Kamis, 27 April 2017

Cersil Mandarin 17 : Toliongto

Cersil Mandarin 17 : Toliongto Tag:Penelusuran yang terkait dengan cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil Mandarin 17 : Toliongto
kumpulan cerita silat cersil online
Cersil Mandarin 17 : Toliongto
“Ie thian kiam adalah milik Biat coat Soethay dari Go
bie pay,” jawabnya. “Saudara2 dari agama kami banyak
sekali yang binasa di bawah pedang itu. Dadaku sendiri
pernah ditikam dengan pedang itu, sehingga hampir2
jiwaku melayang. Itulah sebabnya mengapa kami sangat
memperhatikannya.”
“Thio Kauw coe mempunyai Sin kang yang tiada
tandingannya dalam dunia ini,” kata Tio Beng. “Menurut
cerita orang, dengan menggunakan Kian koen Tay lo ie,
Thio Kauwcoe telah merampas Ie thian kiam dari tangan
Biat coat Soethay. Bagaimana Kauw coe sampai kena
dilukai? Selanjutnya siauw moay dengar, bahwa yang
melukai Kauw coe adalah seorang murid wanita Go bie pay
yang ilmu silatnya tak seberapa tinggi. Hal ini dengan
sesungguhnya tidak dapat dimengerti olehku.” Ia
mengucapkan kata2 itu sambil mengawasi Boe Kie dengan
sorot mata tajam, sedang di kedua ujung bibirnya
tersungging senyuman, tapi bukan senyuman biasa.
Paras muka Boe Kie lantas saja berubah merah. “Dari
1578
mana dia tahu kejadian itu?” tanyanya di dalam hati.
Dengan paras jengah ia menjawab, “Serangan itu datang
dengan tiba-tiba, sedang aku sendiri kurang waspada.”
“Kalau tak salah, Cioe Cie Jiak Cioe Cie cie cantik luar
biasa” kata pula si nona sambil tertawa. “Bukankah
begitu?”
Selebar muka Boe Kie jadi makin merah. “Ah! Kau suka
sekali berguyon” katanya. Ia mengangkat cawan, tapi
sebelum menceguk isinya tangannya bergemetar sehingga
sebagian arak tumpah membasahi tangan bajunya.
Si nona bersenyum dan berkata. “Siauw moay tak kuat
minum, kalau minum lagi mungkin sekali siauw moay akan
melanggar adat. Sekarang saja siauw moay sudah
mengeluarkan kata-kata yang tak pantas. Siauw moay ingin
minta permisi untuk masuk sebentar guna menukar pakaian
dan akan segera kembali. Kalian jangan berlaku sungkan
dan makanlah secara bebas.” Seraya berkata begitu, ia
berbangkit dan sesudah memberi hormat, ia bertindak
keluar dari Soei-kok. Pedang Ie thian-kiam ditinggalkan di
atas meja.
Sementara itu, para pelayan terus mengeluarkan piringpiring
makanan.
Para pemimpin Beng kauw saling mengawasi dan lantas
berhenti makan. Lama juga mereka menunggu, tapi Tio
Beng belum juga kembali.
“Dengan meninggalkan pedangnya, ia kelihatannya
menaruh kepercayaan penuh atas diri kita,” kata Cio Tian
sambil menjemput pedang itu. Tiba2 ia mengeluarkan
seruan kaget. “Mengapa begini enteng?” tanyanya. Ia
memegang gagangnya dan menariknya. Tiba2 jago2 itu
serentak bangkit dan mengawasinya dengan mata
membelalak. Mengapa? Karena pedang itu bukan terbuat
1579
daripada logam tapi hanya sebatang pedang kayu! Badan
pedang yang ke-kuning2an mengeluarkan bau harum dari
kayu garu.
Dengan bingung Cioe Tian memasukkannya lagi ke
dalam sarung. “Yo… Yo… Co soe… permainan apa yang
sedang dilakukan ini?” tanyanya dengan suara terputusputus.
Biarpun sering bertengkar dengan Yo Siauw, di
dalam hati ia selalu mengakui kecerdasan Co coe itu,
sehingga dalam bingungnya tanpa merasa ia mengajukan
pertanyaan tersebut.
Dengan paras muka berkuatir Yo Siauw berbisik, “Kauw
coe, sepuluh sembilan Tio siocia mengandung maksud yang
kurang baik. Kita sekarang berada di tempat bahaya dan
jalan yang paling baik ialah menyingkir se-cepat2nya.”
“Takut apa?” bentak Cioe Tian. “Kalau mereka main
gila, apakah kita yang berjumlah begini besar, masih tak
cukup untuk menghajarnya?”
“Sedari masuk di Lek lioe-chung, aku merasa tempat ini
diliputi dengan teka-teki,” kata Yo Siauw tanpa meladeni
Cioe Tian. “Mau dikata tempat orang baik-baik
kelihatannya bukan tempat orang baik-baik. Mau dikata
sarang penjahat, bukan sarang penjahat. Aku tidak dapat
menerka tempat apa sebenarnya Lek lioe chung ini. Biar
bagaimanapun jua, aku tidak dapat menghilangkan
perasaan bahwa kita sekarang berada di tempat yang sangat
berbahaya, Kauw coe sebaiknya kita angkat kaki.”
“Yo Co coe, kau benar,” kata Boe Kie. “Sekarang saja
kita berpamitan.” Seraya berkata begitu, ia berbangkit.
“Kauw coe, apakah kau tak mau menyelidiki kemana
perginya Ie-thian kiam yang tulen?” tanya Tiat-koan Toojin.
1580
“Menurut pendapatku, semua teka-teki ini telah diatur
oleh Tio-soe-cia,” kata Pheng Eng Giok. “Dia pasti
mempunyai maksud tertentu. Andai kata kita tak cari dia,
dia tentu akan cari kita.”
“Tak salah,” katanya. “Kita harus menggunakan siasat.
Menguasai lawan dengan bertindak belakangan, menunggu
letihnya musuh dengan menyembunyikan diri.”
Semua orang lantas saja meninggalkan Soei-kok, kembali
ke toa thia dan meminta supaya beberapa pegawai yang
bertugas disitu melaporkan kepada nona Tio, bahwa para
tamu dari Beng kauw menghaturkan terima kasih dan
berpamitan.
Tio Beng buru-buru keluar. Ia sekarang mengenakan
baju dari sutera kuning, sehingga kelihatannya jadi lebih
ayu lagi. “Baru saja kita bertemu, mengapa kalian sudah
mau berangkat lagi?” tanyanya. “Apakah penyambutan
siauw-moay tidak memuaskan?’
“Janganlah Kauw-nio mengatakan begitu,” jawab Boe
Kie. “Kami sangat merasa berterima kasih atas budi
kecintaan Kauw-nio. Mana bisa jadi kami mencela
kesambutan yang begitu ramah tamah? Kami perlu segera
berangkat sebab mempunyai tugas yang sangat penting. Di
belakang hari kita pasti akan bertemu lagi.”
Bibir si nona bergerak, ia seperti mau bersenyum, tapi
bukan bersenyum biasa. Ia mengantar semua tamunya
sampai di pintu depan, sedang Sin-cian Pat-hiong berdiri di
pinggir jalan dengan sikap hormat.
Sesudah menyoja, Boe Kie dan rombongannya lantas
saja melompat ke punggung kuda dan tanpa bicara lagi,
mereka melarikan tunggangan-tunggangan itu.
Tidak lama kemudian mereka itu sudah terpisah amat
1581
jauh dari Lek-lioe chung dan tiba di sebelah tanah datar dan
sepi.
“Nona itu mungkin tak mempunyai maksud jahat,” kata
Cioe-Tian dengan tiba2. “Bisa jadi, dengan pedang kayu itu
ia hanya ingin berguyon dengan Kauw coe, Yo-heng, kali
ini kau salah mata.”
Yo Siauw tak lantas menjawab. Alisnya berkerut dan
beberapa saat kemudian barulah berkata, “Akupun tak bisa
mengatakan, tidak bisa menebak, apa maksud nona itu
yang sebenarnya. Aku hanya merasa, bahwa ada sesuatu
yang kurang beres.”
Cioe Tian tertawa nyaring. “Ha-ha! Yo Co soe yang
namanya besar, baru saja bergebrak sekali di Kong beng
teng sudah berubah menjadi seorang penakut… aduh!...”
Badannya mendadak ber-goyang2 dan ia terjungkal dari
tunggangannya.
Swee Poet Tek yang berada paling dekat lantas saja
melompat turun dan membangunkannya. “Cioe heng,
mengapa kau?”
Cioe Tian tertawa. “Tidak… tidak apa-apa,” jawabnya.
“Sebab minum terlalu banyak, kepalaku agak pusing.”
Berbareng dengan terdengarnya perkataan “pusing”,
paras muka para pemimpin Beng Kauw lantas saja berubah
pucat. Sedari meninggalkan Lek-lioe chung, mereka semua
memang sudah merasa agak pusing. Karena menganggap
bahwa perasaan itu adalah akibat arak, mereka tidak
memperdulikan. Tapi Cioe Tia yang terkenal kuat minum
dan mempunyai Lweekang tinggi, tak mungkin bisa roboh
karena beberapa cawan arak itu. Kejadian ini mesti ada
latar belakangnya.
Sambil mendongak mengawasi langit, Boe Kie mengasah
1582
otak. Ia mengingat-ingat isi Tok keng dari mendiang Ong
Kauw. Racun apakah yang tanpa warna, tanpa rasa dan
bau, bisa menerbitkan rasa pusing? Ia mengingat-ingat kitab
itu dari kepala sampai di buntut, tapi tak ada racun yang
seperti itu. Makanan dan arak yang dimakannya tidak
berbeda dengan arak yang dimakan oleh kawan-kawannya.
Mengapa dia sendiri tidak merasai apapun juga? Heran
sungguh!
Sekonyong-konyong bagaikan kilat, dalam otaknya
berkelebat suatu ingatan. Ia terkesiap parasnya pucat pasi.
“Semua orang yang turut makan minum di Soei kok turun”
teriaknya dengan gugup. “Duduk bersila, tapi sekali-kali
tidak boleh mengerahkan khie (hawa). Bernafaslah secara
wajar.” Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula,
“Kuminta saudara-saudara dari Ngo heng kie dan Peh bie
kie berpencar dan berbaris di empat penjuru untuk menjaga
keselamatan para pemimpin kita. Siapapun jua yang
mendekati, bunuhlah!” Sesudah Peh bie kauw
mempersatukan diri dengan Beng kauw, dengan perkataan
“kauw” (agama) dibuang dan diganti dengan “Kie”
(bendera).
Anggota keenam bendera itu membungkuk, menghunus
senjata dan lalu berpencaran untuk menunaikan tugas yang
diberikan oleh sang Kauw coe. “Sebelum aku kembali,
kalian semua tidak boleh berkisar dari tempat penjagaan,”
kata pula Boe Kie.
Semua orang kaget bukan main. Mereka hanya merasai
sedikit pusing. Mengapa kauw-coe mereka jadi begitu
bingung? “Kalian, dengarlah” kata Boe Kie dengan suara
sungguh-sungguh. “Biar bagaimana tidak enakpun, kalian
tidak boleh, sekali-kali tidak boleh mengerahkan tenaga
dalam. Kalau racun mengamuk tak akan ada obat lagi
untuk menolong kalian!”
1583
Semua orang jadi terlebih kaget.
Dalam saat, dengan sekali berkelebat Boe Kie melesat
belasan tombak jauhnya. Ia tidak mau menggunakan kuda
sebab larinya binatang itu dianggap masih terlalu lambat.
Sambil mengempos semangat, dengan ilmu ringan badan
yang paling tinggi, ia “terbang” ke Lek hoe-chung.
Jarak duapuluh li lebih dilaluinya dalam sekejap mata,
bagaikan seekor burung ia masuk ke dalam perkampungan.
Para penjaga melihat berkelabatnya satu bayangan. Mereka
sama sekali tak menduga, bahwa seorang manusia sudah
menerobos masuk dari tempat jaganya.
Tanpa menyia-nyiakan waktu, Boe Kie berlari-lari ke
Soei kok. Dari kejauhan ia melihat seorang wanita yang
mengenakan baju warna hijau sedang membaca buku
sambil minum teh. Wanita itu bukan lain dari Tio Beng.
Mendengar tindakan kaki, si nona menengok dan
bersenyum.
“Tio Kauw nio,” kata Boe Kie, “aku minta beberapa
pohon rumput.” Tanpa menunggu jawaban, kakinya
menotol tepi empang dan melompat ke Soei kok, badannya
melayang di permukaan air, seolah-olah seekor capung.
Sambil melayang kedua tangannya mencabut tujuh delapan
pohon yang menyerupai pohon bunga Coei sian. Tapi
sebelum kedua kakinya hinggap di Soei kok, tiba-tiba
terdengar sret… srr… beberapa senjata rahasia yang sangat
halus menyambar dirinya. Dengan sekali mengibas, ia
sudah menggulung semua senjata rahasia itu di dalam
tadang saku bajunya dan hampir berbareng, ia mengebut
Tio Beng dengan tangan baju kiri. Si nona berkelit dan
angin kebutan itu sudah melontarkan poci dan cangkir teh
yang jatuh hancur.
Sesudah berdiri tegak di lantai Soei-kok, Boe Kie
1584
melihat, bahwa pada setiap pohon bunga terdapat ubi
sebesar telur ayam, merah. Ia girang sebab obat pemunah
racun sudah didapatkan. “Terima kasih untuk obat ini, aku
sekarang mau berangkat!” katanya sambil memasukkan
pohon-pohon itu ke dalam sakunya.
“Datangnya gampang, perginya mungkin tidak begitu
gampang,” kata si nona sambil tertawa. Ia melemparkan
buku yang dipegangnya seraya menarik keluar dua batang
pedang yang tipis bagaikan kertas dari dalam buku itu.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, ia menerjang.
Karena memikiri orang-orang yang kena racun, Boe Kie
sungkan berkelahi lama-lama. Ia mengibaskan tangan
bajunya dan beberapa belas jarum emas milik si nona
berbalik menyambar majikannya. Dengan satu gerakan
yang sangat indah Tio Beng menyelamatkan diri. “Bagus!”
memuji Boe Kie. Dilain detik, si nona sudah mulai
menyerang dengan kedua pedangnya.
Sambil mengegos Boe Kie berkata dalam hatinya,
“Perempuan ini sungguh kejam. Jika aku tidak memiliki
Kioe yang Sin kang dan tidak pernah membaca Tok keng,
hari ini jiwa para pemimpin Beng kauw tentu sudah
terbinasa di dalam tangannya. Sesudah mengegos, kedua
tangannya menyambar untuk merampas senjata si nona.
Tapi Tio Beng cukup lihay, ia membalik kedua jari
tangannya dan pedangnya memapas jari-jari tangan Boe
Kie. Melihat kecepatan si nona Boe Kie merasa kagum.
Tapi Sin kang bukan ilmu biasa. Biarpun gagal dalam usaha
merampas senjata Sin kang itu sudah mengebut jalan darah
di kedua pergelangan tangan Tio Beng, sehingga si nona
tidak dapat mencekal lagi senjatanya. Tapi sebelum
senjatanya terlepas, bagaikan kilat ia menimpuk. Boe Kie
miringkan kepalanya dan kedua pedang itu amblas di tiang
Soei kok.
1585
Ia kaget. Ia kaget bukan lantaran tingginya ilmu si nona.
Dalam ilmu silat Tio Beng masih kalah dari Yo Siauw, Wie
It Siauw atau In Thian Ceng. Ia kaget sebab kecerdasan
nona itu, yang bisa segera mengubah siasat dengan
mengimbangi keadaan. Sesudah jalan darahnya dikebut dan
ia tidak bisa mencekal lagi senjatanya, ia bisa berpikir cepat
dan menimpuk. Kalau Boe Kie kurang gesit, pedang yang
sangat tajam itu tentu sudah amblas di batok kepalanya.
Dalam pertempuran, sering kejadian bahwa seseorang yang
ilmu silatnya lebih rendah berhasil merobohkan seorang
yang ilmunya lebih tinggi. Sebab musababnya terletak di
sini.
Sesudah kedua pedangnya ditimpukkan, buru-buru Tio
Beng menjemput pedang Ie thian kiam kayu yang
menggeletak di atas meja. Tanpa menghunusnya, ia
menyodok pinggang Boe Kie dengan sarung pedang. Boe
Kie berkelit, tangan kanannya menyambar dan kali ini, ia
berhasil merampas Ie thian kiam kayu itu.
Tio Beng melompat mundur. “Thio kong coe,” katanya
sambil tertawa, “apakah itu yang dinamakan Kian koen
Tay lo sin kang? Kulihat Sin kang itu sama sekali tidak
mengherankan.”
Sambil tersenyum Boe Kie membuka telapak tangan
kirinya yang ternyata menggenggam sekuntum kembang
mutiara, yaitu yang dipakai di kondai si nona.
Tio Beng kaget tak kepalang. “Dia memetik perhiasanku,
tanpa aku merasa,” katanya di dalam hati. “Kalau dia mau
mencelakai aku, kalau dia itu mau menotok Tay yang
hiatku, jiwaku tentu sudah melayang.” Tapi, sedang
jantungnya memukul keras paras mukanya tidak berubah.
Ia tertawa tawar dan berkata, “Jika kau senang dengan
kembang itu, aku bersedia menghadiahkan dengan suka
rela, tak perlu kau merampasnya.”
1586
Boe Kie merasa jengah. “Aku pulangkan,” katanya
sambil melontarkannya. Sesudah itu ia memutar badan dan
melompat ke atas dari Soei-kok.
“Tahan!” seru si nona seraya menyambuti kembang
mutiara itu.
Boe Kie menengok.
“Mengapa kau curi dua butir mutiara?” tanya Tio Beng.
“Justru aku tak punya waktu untuk berguyon,”
jawabnya.
Nona Tio mengangkat kembangnya tinggi-tinggi.
“Lihatlah!’ katanya. “Dua butir mutiara hilang.”
Boe Kie melirik dan memang benar dua butir mutiara
tidak ada pada tempatnya tapi ia tahu, bahwa kedua
mutiara itu sudah sengaja disingkirkan oleh pemiliknya. Ia
mengerti, bahwa si nona mau memancingnya untuk
menjalankan akal bulusnya lagi. Maka itu, ia tidak mau
meladeni lagi. Sambil mengeluarkan suara di hidung, ia
bertindak keluar.
“Thio Boe Kie!” bentak Tio Beng. “Kalau kau
mempunyai nyali, datanglah kepadaku dalam jarak tiga
tindak.”
Tapi Boe Kie tidak kena dibikin panas. “Kalau kau
menganggap aku bernyali tikus, apa boleh buat,” katanya
sambil bertindak turun dari undakkan Soei-kok.
Melihat semua akalnya tidak berhasil, paras muka Tio
Beng lantas saja berubah. “Sudahlah!” katanya dengan
suara putus harapan. “Hari ini aku kalah. Mana aku ada
muka untuk bertemu lagi dengan lain manusia?” Ia
mencabut sebatang pedang yang menancap di tiang dan
berteriak, “Thio Boe Kie, terima kasih bahwa kau sudah
1587
menyempurnakan aku!”
Boe Kie menengok. Tiba-tiba sinar putih berkelebat. Tio
Beng mengayun tangannya untuk menancapkan pedang di
dadanya.
Boe Kie tertawa dingin dan berkata, “Aku tak akan
kena…” Sebelum perkataan “ditipu” keluar dari mulutnya,
ujung pedang sudah menancap di dada si nona. Tio Beng
berteriak, tubuhnya terkulai.
Kali ini Boe Kie benar-benar kaget. Ia tidak pernah
menyangka, bahwa si nona beradat begitu keras. “Asal saja
pedang tidak melanggar isi perut, aku masih bisa
menolong,” pikirnya sambil melompat untuk memeriksa
luka si nona.
Tapi baru saja ia tiba dalam jarak tiga tindak dari meja,
mendadak kakinya kejeblos, tubuhnya meluncur ke bawah!
“Celaka!” ia mengeluh. Cepat bagaikan kilat ia
mengibaskan kedua tangan bajunya ke bawah sehingga
untuk sedetik, tubuhnya terhenti di tengah udara. Hampir
berbareng, satu tangannya coba menepuk pinggiran meja.
Kalau kena dengan meminjam tenaga, ia bisa
menyelamatkan diri. Tapi Tio Beng yang hanya pura2
bunuh diri, sudah menduga usaha pemuda itu dan dengan
cepat ia menyampok dengan tangan kanannya. Selagi
kedua tangan kebentrok, tubuh Boe Kie merosot ke bawah.
Dalam bingungnya, ia membalik tangan dan coba
mencengkeram jari-jari tangan Tio Beng tapi jari-jari tangan
si nona licin luar biasa, bagaikan licinnya lindung, sehingga
tidak dapat dicengkeram! Cekalannya terlepas!
Pada detik yang sangat berbahaya, Sin kang yang
dimiliki Boe Kie memperlihatkan kelihayannya. Biarpun
cekalannya terlepas, tapi sebab cekalannya itu, ia berhasil
1588
meminjam sedikit tenaga, sehingga kemerosotan tubuhnya
terhenti untuk sedetik dan tangannya menjambret lengan si
nona. Jambretan itu berhasil! Ia mengerahkan Sin kang
untuk melompat ke atas. Kali ini maksudnya gagal. Karena
tubuhnya berat dan Tio Beng enteng, maka begitu ia
membetot, tubuh si nona terjungkal dan tidak dapat
tercegah, kedua-duanya tergelincir ke dalam lubang
kemudian sesaat terdengar “trang!” tutupan lubang tertutup
lagi.
Lubang itu, atau lebih benar sumur, tidak terlalu dalam,
hanya belasan tombak. Begitu hinggap di dasarnya, Boe Kie
melompat dengan menggunakan ilmu Pek houw Yoe ciang
(Cicak merayap di tembok), ia merayap ke atas. Setelah
sampai di atas, ia mendorong tutupan sumur beberapa kali,
tapi tidak bergeming. Tutupan itu, yang dingin seperti es,
adalah selembar besi tebal yang dipegang erat-erat dengan
semacam alat. Walaupun memiliki sin kang, tapi lantaran
badannya berada di tengah udara, ia tidak bisa meminjam
tenaga. Sesudah mendorong beberapa kali tanpa berhasil, ia
terpaksa melompat turun lagi.
Tio Beng tertawa geli. “Tutupan itu dipegang dengan
delapan batang baja yang kasar,” katanya. “Dengan berada
di bawahnya, cara bagaimana kau bisa membukanya?”
Boe Kie sangat mendongkol. Ia tak dapat meladeni dan
meraba-raba pinggiran sumur yang licin dan dingin.
“Thio kongcu. Peh houw Yoe ciangmu betul betul
lihay,” kata si nona. “Lubang jebakan ini terbuat daripada
baja murni yang licin luar biasa. Tapi kau masih bisa naik
ke atas, betul-betul hebat..hi..hi..hi!”
“Apa yang lucu?” bentak Boe Kie. Mendadak ia ingat,
bahwa nona itu sangat licin. Di dalam sumur mungkin
terdapat sebuah jalan rahasia. “Aku tak dapat membiarkan
1589
dia kabur seorang diri,” pikirnya. Memikir begitu, ia segera
mencengkeram tangan si nona.
Tio Beng terkesiap, “mau apa kau?” tanyanya.
“Kau tak usah harap bisa lari seorang diri” jawab Boe
Kie. “Kalaukau masih kepingin hidup, bukalah jalan
keluar.”
“Kau tak usah bingung,” kata Tio Beng. “Kita tidak akan
mati kelaparan dalam jebakan ini. Kalau orang-orangku
tidak melihat aku, mereka pasti akan datang kemari untuk
melepaskan kita. Aku hanya kuatir, mereka menduga aku
pergi keluar. “Jika mereka menduga begitu, celakalah kita.”
“Apa dalam sumur ini tak ada jalanan keluar?”
“Kulihat kau bukan manusia goblok, tapi mengapa kau
ajukan pertanyaan setolol itu? Jebakan ini dibuat bukan
untuk ditempati sendiri, tapi untuk menangkap musuh.
Perlu apa dibikin jalan keluar?”
Boe Kie merasa perkataan Tio Beng ada benarnya jua.
“Menjeblaknya papan tutupan dan jatuhnya kita pasti
didengar oleh orang-orangmu,” katanya. “Mengapa mereka
belum datang? Lekas panggil mereka!”
“Orang-orangku sedang menjalani tugas,” jawabnya.
Besok kira-kira pada waktu begini, barulah mereka kembali.
Kau tidak perlu bingung. Mengasolah tenang-tenang. Tadi
kau sudah makan kenyang.”
Boe Kie jadi gusar. Ia tak keberatan untuk berdiam lebih
lama dalam jebakan itu. Tapi bagaiman keselamatan
kakeknya dan yang lain2? Ia menyengkeram tangan si nona
terlebih keras dan membentak, “Kalau kau tidak segera
melepaskan aku, terlebih dahulu aku akan segera
mengambil jiwamu.”
1590
Tio Beng tertawa, “Jika kau bunuh aku, kau takkan bisa
keluar dari penjara ini,” katanya. “Eh!... perlu apa kau
pegang tanganku?”
Boe Kie jadi malu hati. Buru2 ia melepaskan cekalannya,
mundur dua tindak dan lalu duduk di lantai. Tapi karena
sumur itu terlalu kecil, mau tidak mau ia mengendus juga
bebauan wangi yang keluar dari badan si nona.
Makin lama ia makin mendongkol. Tiba-tiba ia
berbangkit dan berkata dengan suara gusar, “Beng kauw
dan kau belum pernah sama sekali bermusuhan. Mengapa
kau begitu jahat?”
“Ada banyak hal yang tak dimengerti olehmu”
jawabnya. “Sebab kau sudah bertanya begitu, biarlah aku
menceritakan sebab musababnya, dari kepala sampai di
buntut. Apa kau tahu siapa sebenarnya aku?”
Boe Kie ingin sekali mendengar asal usul dan maksud
nona itu. Tapi kalau ia mendengar cerita, mungkin sekali In
Thian Ceng dan yang lain sudah keburu mati. Apapula,
cerita wanita itu tentu benar. Jalan satu2nya adalah
memaksa supaya ia membuka papan tutupan. Memikir
begitu, ia lantas saja berkata, “Aku tak punya waktu untuk
mendengari ceritamu.jawablah pertanyaanku. Kau mau
atau tidak mau teriaki orang-orangmu untuk membuka
papan tutupan itu?”
“Aku sudah memberitahukan kau bahwa semua
orang2ku tak berada di sini,” jawabnya. “Selain itu teriakan
yang bagaimana keraspun takkan terdengar di luar jebakan
ini.”
Darah Boe Kie meluap, bagaikan kalap ia menubruk. Tio
Beng kaget dan coba melawan, tapi jalan darahnya segera
tertotok dan ia tak bisa bergerak lagi.
1591
Sambil mencekik tenggorokan si nona, Boe Kie
membentak. “Sedikit saja aku menambah tenaga, jiwamu
melayang!”
Tio Beng mengap-engap. Tiba2 ia menangis. “Kau
hinakan aku! Kau hinakan aku!” teriaknya.
Kejadian ini lagi-lagi di luar dugaan Boe Kie. Ia
melepaskan cengkeramannya dan berkata, “Aku tak
berminat untuk menghinakan kau. Aku hanya ingin supaya
kau melepaskan aku.”
“Baiklah,” kata si nona. “Aku akan panggil orangorangku.”
Sehabis berkata begitu, ia berteriak. “Hei !...
hei!... kemari! Buka tutup jebakan! Aku jatuh ke dalam
penjara baja.” Tapi di luar hanya sepi-sepi saja. Ia sekarang
tertawa dan berkata, “Kau lihatlah! Bukankah tak berguna
aku berteriak-teriak?”
“Sungguh kau tak mengenal malu!” kata Boe Kie dengan
mendongkol. “Sebentar menangis, sebentar tertawa.”
“Kau yang tak tahu malu!” bentak si nona. “Lelaki
menghina perempuan.”
Boe Kie mengeluarkan suara di hidung. “Kau bukan
perempuan biasa!” katanya. “Akal bulusmu terlalu banyak,
sepuluh lelaki belum tentu bisa menandingi kau seorang.”
Tio Beng tertawa geli. “Aku rendah tak sanggup
menerima pujian terlalu tinggi dari Thio Kauw coe yang
mulia,” katanya.
Boe Kie menggertak gigi. Waktu sudah mendesak, kalau
ia ayal-ayalan, semua pemimpin Beng Kauw akan binasa.
Tiba2 tangannya menyambar dan merobek bagian bawah
dari kain si nona.
Tio Beng terkesiap dan berteriak dengan suara terputus1592
putus. “Mau… mau… bikin apa… kau?”
“Jika kau bersedia melepaskan aku dari penjara ini,
manggutkan saja kepalamu,” jawabnya.
“Mengapa begitu?” tanya pula si nona.
Boe Kie tidak menyahut, tapi segera membasahi kain
sobekan itu dengan ludahnya. “Maaf, aku tidak bisa berbuat
lain,” katanya seraya menyumbat mulut dan hidung si nona
dengan kekainan itu.
Tio Beng tak bisa bernafas. Tapi ia bandel sekali.
Walaupun dadanya menyesak dan selebar mukanya sudah
berubah merah, ia tetap tak mau mengangguk. Akhirnya
kedua matanya berkunang-kunang dan ia pingsan.
Lalu Boe Kie memegang nadi si nona, ketukan nadi itu
ternyata sudah sangat lemah, sehingga ia buru buru
mencabut kekainan yang menyumbat mulut dan hidung.
Beberapa saat kemudian, Tio Beng tersadar. Ia membuka
kedua matanya dan mengawasi dengan penuh kegusaran.
“Tak enak bukan?” tanya pemuda itu. “Bagaimana? Apa
kau bersedia untuk melepaskan aku?”
“Tidak nanti!” bentaknya dengan bernafsu. “Biarpun
pingsan ratusan kali, tidak nanti ku melepaskan kau. Kalau
penasaran, kau boleh membunuhku.”
Mendengar jawaban yang keras kepala itu, Boe Kie
tertegun dan tak tahu apa yang harus diperbuatnya.
Akhirnya sambil menggertak gigi ia berkata, “Untuk
menolong jiwanya banyak orang, aku terpaksa berlaku
kasar terhadapmu dan kuharap kau suka memaafkan.”
Sehabis berkata begitu, ia memegang kaki kiri Tio Beng dan
melocotkan sepatu serta kaus kakinya.
Si nona kaget bercampur gusar. “Anak bau! Mau berbuat
1593
apa kau?” teriaknya.
Tanpa menjawab Boe Kie lalu membuka sepatu dan kaus
kaki dan kemudian, dengan telunjuk ia menotok Yong
coanhiat, di kedua telapak kaki si nona. Sesudah itu, ia
mengerahkan Kioe-yang Sin-kang dan mengirim hawa
hangat dari “hiat” tersebut.
Yong coanhiat, yang terletak di bagian cekung telapak
kaki, adalah permulaan dari jalan darah Ciok siauw im
Kian keng dan merupakan bagian tubuh manusia yang
sangat perasa. Sebagai seorang yang mahir ilmu ketabiban
Boe Kie tahu kenyataan itu. Jika bagian itu dikitik, orang
akan merasa geli luar biasa, sehingga sekujur tubuhnya
lemas kesemutan. Kiu yang Sin kang yang dikirim Boe Kie
seratus kali lebih daripada dikitik. Semula Tio Beng tertawa
geli terus menerus ia mau meronta tapi karena ditotok kaki
tangannya tidak bisa bergerak. Sesaat kemudian, ia merasai
penderitaan yang lebih hebat daripada bacokan golok atau
cambukan. Ia merasa seperti juga berlaksa kutu merayap
dan menggigit isi perutnya serta tulang tulangnya. Dari
tertawa ia sekarang menangis dan sesambat.
Sambil mengeraskan hati Boe Kie terus mengirim Sin
kangnya. Keringat dingin membasahi baju si nona,
jantungnya seolah olah mau melompat keluar. “Anak
bau…!” cacinya. “Bangsat… bangsat tengik…! Satu hari…
aku… aku akan cincang kau!... Aduh! Ampun!... ampun!...
Thio Kongcoe… hu.hu hu!...”
“Kau mau lepas aku atau tidak?” tanya Boe Kie.
“Le…pas! Ampun!...” jawabnya.
Boe Kie segera menarik pulang Sin kang-nya dan
menepuk punggung si nona beberapa kali, sehingga jalanjalan
darah yang tertotok segera terbuka lagi.
1594
Nafas Tio Beng tersengal-sengal. Beberapa saat
kemudian, barulah ia bisa membuka suara. “Bangsat!
Pakaikan sepatuku.”
Boe Kie segera mengambil kaos kaki dan sepatu dan
kemudian memegang kaki kiri si nona. Tadi, waktu
membukakan, dalam gusarnya, ia tak punya lain pikiran.
Tapi sekarang, begitu tangannya menyentuh tumit kaki
yang halus lemas itu, jantungnya memukul keras. Di lain
pihak, si nona pun mendapat perasaan serupa, sehingga
parasnya lantas saja berubah merah. Untung juga karena
berada di tempat gelap Boe Kie tak lihat perubahan paras
muka itu. Dengan cepat kedua kakinya sudah memakai lagi
sepatu dan kaos kaki. Tiba-tiba ia mendapat perasaan luar
biasa. Di dalam hati kecilnya ia kepingin pemuda itu
memegang lagi kakinya.
Mendadak ia tersadar. Kupingnya mendengar bentakan
Boe Kie. “Lekas! Lekas lepaskan aku.”
Tanpa menjawab tangannya meraba dinding jebakan dan
kemudian dengan gagan pedang, ia mengetuk-ngetuk
sebuah lingkaran yang diukir pada dinding baja itu.
Sesudah mengetuk beberapa kali, sekonyong-konyong
terdengar suara menjeblak dan tutupan jebakan terbuka.
Ternyata pada lingkaran itu terdapat alat rahasia yang
dihubungkan dengan penjaga di luar jebakan. Begitu
melihat isyarat yang diberikan oleh majikannya, si penjaga
segera membuka tutup lubang.
Boe Kie kaget tercampur girang. “Mari kita keluar,”
katanya.
Tapi Tio Beng tidak bergerak, ia tetap berdiri sambil
menundukkan kepala. Melihat begitu dan mengingat akan
perbuatannya, Boe Kie merasa tidak enak hati. Ia
membungkuk seraya berkata, “Tio Kauw nio, tadi sebab
1595
sangat terpaksa aku sudah melakukan perbuatan yang
sangat tidak pantas terhadapmu. Kuharap kau tidak
menjadi gusar”.
Si nona tetap tidak menyahut. Ia bahkan memutar badan
dan berdiri menghadapi dinding jebakan. Pundaknya
bergoyang-goyang seperti orang lagi menangis. Waktu
sedang mengadu kepandaian, Boe Kie merasa sangat
mendongkol terhadap nona itu yang dianggapnya sebagai
wanita kejam. Tapi sekarang di dalam hatinya muncul rasa
kasihan. “Tio Kauw nio,” katanya dengan suara menyesal,
“aku mau pergi sekarang. Aku mengakui, bahwa aku sudah
berbuat kedosaan terhadapmu dan kuharap kau suka
memaafkan.” Sehabis berkata begitu, dengan menggunakan
ilmu Pek houw Yoe ciang ia merayap ke atas. Setibanya di
mulut lubang sambil menendang pinggiran jebakan
sehingga badannya lantas saja melesat ke atas, ia
mengibaskan kedua tangan bajunya untuk menjaga
bokongan. Sebelum kakinya hinggap di bumi, ia menyapu
seputar Soe kok dengan kedua matanya, tapi disitu tidak
kelihatan bayangan manusia.
Tanpa menyia-nyiakan waktu lagi ia melompati tembok
dan dengan menggunakan ilmu ringan badan, menuju ke
tempat berkumpulnya rombongan Beng Kauw. Karena
terjebak, ia sudah terlambat kira-kira satu jam. Apa In
Thian Ceng dan yang lain-lain masih bisa ditolong? Dengan
penuh rasa kuatir, ia berlari-lari sekeras-kerasnya dan dalam
beberapa saat, ia sudah hampir tiba di tempat yang dituju.”
Mendadak hatinya mencelos. Bukan main kagetnya
sebab ia lihat sepasukan serdadu Mongol berkuda sudah
mengurung rombongan Beng kauw dan melepaskan anak
panah. “Celaka” ia mengelak dan mempercepat
tindakannya.
Sekonyong-konyong di tengah rombongan Beng kauw
1596
terdengar suara seorang wanita yang sangat nyaring. “Swikim
kie menyerang dari timur laut! Ang soe kie mengurung
ke barat daya.”
Itulah suara Siauw Ciauw! Hampir berbareng dengan
komando itu, pasukan Beng kauw yang membawa bendera
putih yang menerjang dari timur laut dan sepasukan lain
yang membawa bendera hitam mengurung ke barat daya.
Barisan Goan segera dipecah untuk menahan kedua
pasukan itu. Mendadak Houw toaw kie yang membawa
bendera kuning dan Kie kok kie yang membawa bendera
hijau menyerang dari tengah. Mereka menerjang bagaikan
sepasang naga yang kuning yang lain hijau. Barisan Goan
lantas saja terpukul pecah dan terpaksa mundur.
Dengan beberapa kali lompatan, Boe Kie sudah berada
di antara orang-orangnya sendiri. Melihat pemimpin
mereka, para anggota Beng kauw terbangun semangatnya.
In Thian Ceng, Yo Siauw dan yang lain-lain masih tetap
bersila di tempat tadi, sedang Siauw Ciauw memimpin
gerakan-gerakan Ngo heng kie dan Peh bie dengan berdiri
di atas bukit kecil dan sebelah tangannya memegang
bendera. Di bawah pimpinan si nona yang menggerakkan
keenam bendera menurut ilmu Kie boen Pat kwa, seranganserangan
barisan Goan selalu dapat dipukul mundur.
“Thio Kongcoe, gantikan aku,” kata Siauw Ciauw
dengan suara girang.
“Pimpin terus!’ jawab Boe Kie. “Aku akan coba
membekuk pemimpin barisan musuh.” Tiba-tiba beberapa
batangan panah menyambar ke arahnya. Dengan cepat ia
menjambret sebatang tombak dari tangan seorang anggota
Beng kauw dan memukul jatuh semua anak panah itu.
Sesudah itu, sambil mengerahkan Sin kang ia menimpuk
dengan tombaknya yang amblas di dada seorang Peh hoe
thio. Sejumlah serdadu yang mengiring Peh hoe thio itu jadi
1597
ketakutan dan mundur serabutan.
Se-konyong2 dari kejauhan terdengar bunyi terompet
tanduk, disusul dengan munculnya belasan penunggang
kuda yang mendatangi dengan cepat. Boe Kie yang bermata
paling jeli lantas saja mengenali bahwa dalam rombongan
itu terdapat Sio Cian Pat hiong. Ia kaget dan berkata dalam
hatinya. “Kalau mereka turun tangan banyak saudara bakal
jadi korban. Lebih baik aku turun tangan lebih dahulu.”
Tapi lantas saja ternyata bahwa mereka tak bermaksud
untuk menyerang. Dari jauh Tio It Siang, yang jadi
pemimpin sudah meng-goyang2kan sebatang tongkat
pendek kepala naga yang berwarna kuning emas. “Majikan
mengeluarkan perintah untuk segera menarik pulang
tentara!” teriaknya.
Seorang Cian hoe thio yang memimpin barisan itu lantas
saja beteriak dalam bahasa Mongol dan seluruh barisan
segera mundur dengan teratur.
Sementara itu, dengan tangan menyangga nampan, Cian
Jie pay melompat turun dari tunggangannya dan
menghampiri Boe Kie seraya membungkuk ia berkata,
“Majikanku minta Kauw coe suka menerima ini sebagai
kenang2an.” Di atas nampan itu yang dialaskan dengan
selembar sutera sulam warna kuning terdapat sebuah kotak
emas dengan ukir2an yang sangat indah.
Boe Kie menjemput kotak itu yang kemudian lalu
diserahkan kepada Siauw Ciauw. Cian Jie pay
membungkuk lagi, mundur tiga tindak dan kemudian
barulah melompat ke punggung tunggangannya.
Sesudah musuh mundur dan rombongan Sin-cian Pat
hiong berlalu, tanpa menyia-nyiakan waktu lagi Boe Kie
segera mengeluarkan pohon-pohon bunga yang serupa Cioe
sian dari sakunya. Ia minta air bersih dan kemudian
1598
menghancurkan semua ubi yang warna merah di dalam air.
Campuran itu segera diberikan kepada Ie Thian Ceng dan
yang lain2 untuk diminum. Kecuali Boe Kie sendiri yang
dilindungi Kioe yang sin kang sehingga tak mempan racun,
semua orang yang turut makan minum dalam Soet kok
sudah kena racun. Yo Poet Hwie terbebas sebab ia
menemani In Lie Heng di dalam kamar, begitupun Siauw
Ciauw dan para anggota Beng kauw yang lainnya, yang
makan minum di lain ruangan.
Obat yang diberikan Boe Kie sangat mustajab. Belum
cukup setengah jam, rasa pusing sudah hilang dan yang
masih ketinggalan hanya perasaan lemas.
Menjawab pertanyaan beberapa orang cara bagaimana ia
tahu tentang keracunan itu, sambil menghela napas Boe Kie
berkata. “Kita semua berhati-hati dan kalau racun ditaruh
dalam makanan atau minuman, kita bisa segera
mengetahuinya. Di luar dugaan caranya wanita lihay luar
biasa. Sebelum kalian merasa pusing, siapapun jua tak akan
bisa menebaknya. Pohon kembang yang menyerupai bunga
Coei sian itu adalah pohon Coei sian Leng hoe yang jarang
terdapat di dalam dunia. Pada hakekatnya pohon itu tidak
beracun. Di lain pihak, pedang Ie thian kiam kayu terbuat
daripada kayu Kie kiauw Hiang bok yang terdapat di dasar
laut. Kayu ini pun pada hakekatnya tidak beracun. Tapi…
disinilah terletak kunci persoalan. Tapi, kalau bau wangi
dari Coei sian Leng hoe dan Kie kiauw Hiang bok
tercampur menjadi satu, maka kedua macam wangi2an itu
akan berubah menjadi racun yang sangat berbahaya.”
Cioe Tian menepuk lututnya. “Aha! Kalau begitu akulah
yang bersalah,” teriaknya. “Aku yang gatal tangan sudah
mencabut pedang kayu itu.”
“Cioe heng tidak bersalah,” kata Boe Kie. “Wanita itu
sudah bertekad untuk mencelakai kita, sehingga biarpun
1599
Cioe heng tidak mencabut pedang itu, ia tentu akan mencari
jalan untuk mencabutnya. Kejadian itu tak akan bisa
dicegah.”
“Kurang ajar!” kata si semberono dengan gusar. “Mari
kita bakar perkampungannya sampai rata dengan bumi!”
Baru saja berkata begitu, di sebelah kejauhan tiba2
terlihat mengepulnya asap hitam. Benar-benar Lek lioe
chung terbakar. Para pemimpin saling mengawasi tanpa
bisa mengeluarkan sepatah kata.
Semua orang kagum. Tio Beng ternyata dapat
menghitung dengan tepat, ia sudah menduga bahwa
sesudah racun dipunahkan, jago2 Beng kauw akan kembali
untuk membakar perkampungannya, sehingga oleh
karenanya, ia sudah mendahului dengan membakarnya
sendiri. Walaupun ia masih berusia muda dan hanya
seorang wanita, nona Tio ternyata merupakan seorang
lawan yang tidak boleh dipandang enteng.
“Paling benar kita mengejar mereka dan menghajarnya
sampai mereka bertobat,” kata Cioe Tian.
“Sesudah dia membakar perkampungannya sendiri, kita
tahu, bahwa dalam setiap tindakannya, dia sudah
mempersiapkan segala sesuatu,” kata Yo Siauw. “Kurasa
belum tentu kita dapat menyusul mereka.”
“Yo heng, kau sungguh pintar,” kata Cioe Tian. “Dalam
akal budi, kau memang lebih tinggi daripada Cioe Tian.”
Yo Siauw tertawa, “Aduh! Tak berani aku menerima
pujian Cioe heng,” katanya. “Dalam hitung-hitungan, mana
bisa siauw tee menandingi Cioe heng.”
“Sudahlah, Jie wie tak usah saling merendahkan diri,”
menyela Boe Kie seraya bersenyum. “Bahwa hanya
beberapa belas saudara terluka enteng karena panah dan
1600
bahwa kita tidak menderita kerusakan terlebih hebat, sudah
dapat dikatakan untung sekali. Marilah kita meneruskan
perjalanan.”
Di tengah jalan, beberapa orang menanya Boe Kie cara
bagaimana ia bisa menebak keracunan itu.
“Kuingat, bahwa dalam Tok keng terdapat keterangan
yang mengatakan, bahwa jika bau wangi dari kayu Kie
kauw Hiang bok tercampur dengan bau wangi sebangsa
kembang Hoe-yong, maka bebauan itu mengakibatkan
mabuk, seperti mabuk arak, selama beberapa hari. Kalau
hawa beracun itu masuk ke dalam isi perut, jantung dan
paru-paru bisa rusak. Itulah sebabnya mengapa aku
melarang kalian mengerahkan tenaga dalam. Manakala
kalian mengerahkan khie (hawa), sehingga racun masuk ke
dalam pembuluh darah, besarnya bahaya tidak bisa ditaksir
lagi.”
“Tak dinyana si budak Siauw Ciauw berpahala begitu
besar,” kata Wie It Siauw. “Kalau pada detik berbahaya dia
tak tampil ke muka, kita pasti mendapat kerusakan besar
sekali.”
Perbuatan Siauw Ciauw terutama membingungkan Yo
Siauw. Ia telah menduga pasti, bahwa nona itu seorang
mata-mata musuh yang mau menyelidiki segala rahasia
Beng kauw. Tapi sekarang si nona berbalik menjadi seorang
penolong.
Malam itu, rombongan itu menginap di sebuah rumah
penginapan. Seperti biasa, Siauw Ciauw membawa sepaso
air cuci muka ke kamar Boe Kie.
“Siauw Ciauw, hari ini kau berjasa besar sekali,” kata
Boe Kie. “Mulai dari sekarang kau tak usah melakukan
tugas pelayan lagi.”
1601
Si nona tersenyum. “Aku justru merasa senang jika bisa
merawat kau,” katanya. “Tugas semua sama saja, yang satu
tidak lebih mulia daripada yang lain.”
Sesudah Boe Kie mencuci muka, si nona mengeluarkan
kotak emas yang dikirim Tio Beng. “Apa di dalamnya?”
tanyanya. “Mungkin racun, mungkin senjata rahasia. Kita
harus ber-hati2.”
“Ya, kita harus berhati-hati,” kata Boe Kie. Ia menaruh
kotak itu di atas meja dan sesudah menarik tangan si nona
supaya menyingkir yang agak jauh, lantas ia menimpuknya
dengan uang tembaga. “Tring!” uang itu kena tepat di
pinggir kotak dan tutupannya lantas saja terbuka. Boe Kie
mendekati dan melongok ke dalam kotak, yang isinya
ternyata bukan lain daripada kembang mutiara yang pernah
dipetik olehnya dari kondai nona Tio. Dua butir mutiara
yang katanya hilang, juga sudah berada di tempatnya. Boe
Kie mengawasi dengan mata membelalak. Ia tahu apa
artinya itu.
“Thio Kongcoe,” kata Siauw Ciauw sambil tertawa.
“Thio Kauw-nio bersikap manis luar biasa terhadapmu.”
“Aku seorang lelaki, perlu apa dengan perhiasan itu?”
kata Boe Kie. “Siauw Ciauw, kau ambillah.”
Si nona tertawa nyaring. Sambil menggoyang-goyangkan
tangannya ia berkata, “Tidak! Tak bisa begitu. Bagaimana
aku bisa menerima hadiah itu yang diberikan kepadamu
dengan penuh kecintaan.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, Boe Kie segera menjemput
kembang mutiara itu. “Kena!” serunya seraya menimpuk.
Timpukan itu tepat sekali menancap di rambut Siauw
Ciauw tanpa melukai kulit kepalanya.
Si nona mau mencabutnya, tapi Boe Kie buru-buru
1602
mencegah dengan berkata, “Anak baik, apakah aku tidak
boleh menghadiahkan sesuatu kepadamu?”
Paras muka si nona lantas saja bersemu merah. Ia
menunduk dan berkata, “Terima kasih. Tapi aku kuatir Siocia
akan menjadi gusar jika ia lihat aku memakai perhiasan
ini.”
“Tidak!” bantah Boe Kie. “Hari ini kau berjasa besar. Yo
Cosoe, ayah dan anak tidak akan curiga lagi.”
Siauw Ciauw jadi girang sekali. “Melihat Kongcoe
belum juga kembali, hatiku bingung. Apalagi belakangan
datang barisan Goan itu yang segera mengurung dan
menyerang,” katanya. “Entah bagaimana, entah dari mana
aku dapat keberanian, tahu-tahu aku memegang bendera
dan berteriak-teriak. Kalau sekarang kuingat kejadian itu,
hatiku masih ketakutan. Thio Kongcoe, kumohon kau mau
berkata begini kepada Ngo heng-kie dan Peh bie-kauw.
Untuk segala kekurang ajaran Siauw Ciauw, aku harap
kalian tidak kecil hati.”
Boe Kie tersenyum, “Kau gila?” katanya, “Mereka
sebenarnya harus menghaturkan terima kasih kepadamu.”
Sambil berjalan, para pemimpin Beng-kauw beromongomong
membicarakan soal Thio Beng dan coba merabaraba
asal usulnya. Tapi tak satupun yang bisa menebak. Boe
Kie sendiri menceritakan bagaimana ia mengambil Cui sian
leng hoe tapi menyembunyikan hal terjebaknya dan segala
kejadian dalam penjara baja itu. Meskipun benar segala
tindakannya dapat dipertanggungjawabkan. Akan tetapi ia
merasa jengah untuk menceritakan itu.”
Pada suatu hari, tibalah mereka di daerah Ho-lam.
Jaman itu adalah jaman kalut rakyat Tiongkok yang
mulai bangkit melawan penjajah. Di mana-mana tentara
1603
Mongol mengadakan pemeriksaan yang sangat keras.
Untuk menghindarkan kecurigaan dan mencegah
kerewelan, rombongan Beng-kauw dipecah dan kemudian
berkumpul lagi di kaki gunung Siong san, dari sana mereka
terus mendaki Siauw sit san, Gouw Kin Co diperintahkan
jalan lebih dahulu dengan membawa karcis nama Boe Kie
dan pemimpin lain untuk dipersembahkan kepada Hong
thio Siauw lim sie.
Boe Kie mengerti bahwa dalam kunjungannya ke Siauw
lim sie itu, walaupun dia tidak menghendaki pertempuran,
sesudahnya masih merupakan teka-teki. Manakala pendetapendeta
Siauw lim tidak bisa diajak bicara dan menyerang
lebih dulu maka Beng-kauw tidak bisa tidak melayani.
Maka itu ia segera mengeluarkan perintah supaya
menyamar sebagai pelancong, anggota-anggota Ngo hengkie
dan Peh bie-kauw berpencar di seputar kuil dan mereka
harus segera menerjang masuk jika mendengar tiga siulan
panjang, perintah itu segera dijalankan dengan
bersemangat.
Tak lama kemudian seorang Tie-kek ceng (pendeta
penyambut tamu) ikut Gouw Kin Co turun dari atas
gunung. “Kauw coe,” kata pendeta itu kepada Boe Kie.
“Hong thio dan para Tiang-loo dari kuil kami sedang
menutup diri dan bersemedi sehingga mereka tidak dapat
menemui Kauw coe. Kami harap Kauw coe sudi
memaafkan.,”
Mendengar itu, paras muka semua orang langsung
berubah.
“Pendeta-pendeta Siauw lim sungguh sombong!” kata
Cioe Tian dengan gusar. “Mereka sama sekali tidak
memperdulikan bahwa yang datang berkunjung adalah
Kauw coe kim sendiri.”
1604
Pendeta itu menundukkan kepalanya dengan paras duka.
“Tidak bisa menemui!” katanya.
Cioe Tian jadi lebih gusar. Tangannya menyambar untuk
mencengkram dada si pendeta tapi keburu ditangkap oleh
Swee Poet Tek. “Cioe heng jangan sembrono,” bujuknya.
“Kalau Hong thio sedang menutup diri, kami boleh
bicara dengan Kong-tie dan Kong-seng Seng ceng,” kata
Pheng Eng Giok.
Tie-kek ceng itu merangkap kedua tangannya dan
berkata dengan suara dingin, “Tidak bisa menemui!”
“Bagaimana kalau Sioeco dari Tat-mo tong?” tanya
Pheng Eng Giok. “Jika Sioeco Tat-mo tong juga tak bisa
menemui kami, kami bersedia untuk bicara saja dengan
Sioeco Lo-han tong.”
Tapi jawaban si pendeta tetap tidak berbeda, “Tidak bisa
menemui!” katanya.
In Thian Ceng meluap darahnya. “Gila!” teriaknya.
“Kau bilang saja apa pemimpin kamu mau menemui kami
atau tidak?” Hampir bersamaan dengan bentakannya, ia
menghantam sebuah pohon siong tua dengan kedua
tangannya. Pohon itu segera patah dan roboh.
Pendeta itu ketakutan. “Kalian yang datang dari tempat
jauh sebenarnya harus diterima dengan segala
kehormatan,” katanya. “Hanya menyesal para pemimpin
kami sedang menutup diri sehingga kami mohon kalian
sudi datang di lain waktu.” Seraya berkata begitu, ia
membungkuk dan memutar badan.
Dengan sekali melompat Wie It Siauw sudah
menghadang di depannya. “Bolehkah aku mendapat tahu
hoat-beng Taysoe yang mulia? Tanyanya.
1605
“Hoat beng siauw ceng Hoei-hian,” jawabnya.
Mendengar itu semua pemimpin Beng-kauw dongkol
bukan main. Seorang pendeta Siauw lim yang
menggunakan nama “Hoei” adalah pendeta ketiga yang
hidup pada saat itu. Sebagaimana diketahui yang paling
tinggi “Kong”, sedang yang kedua adalah “Goan”. Bahwa
Siauw lim hanya mengirimkan seorang wakil dari tingkatan
“Hoei” untuk menyambut pemimpin Beng-kauw dianggap
suatu hinaan paling besar.
Dengan paras muka gusar Wie It Siauw menepuk
pundak pendeta itu. “Baiklah!” katanya. “Taysoe terus
menerus mengatakan tidak bisa menemui. Jika Giam-looong
yang memanggil, Taysoe akan menemui atau tidak?”
Begitu ditepuk Hoei-hian merasakan hawa dingin yang
sangat hebat menerobos, sehingga sekujur badannya
gemetaran dan giginya gemelutukan. Sambil menahan rasa
dingin itu, dia lari melewati Wie It Siauw dan terus kabur
ke atas gunung dengan langkah limbung.
“Sesudah dia dipukul, guru dan paman-paman gurunya
tidak akan menyudahi begitu saja,” Boe Kie menyambung
perkataan itu. “Sekarang tak ada jalan lain daripada naik ke
atas untuk melihat pendeta-pendeta itu benar-benar tidak
mau menemui kita.”
Semua orang mengangguk. Mereka merasa bahwa satu
pertempuran hebat tidak bisa dielakkan lagi. Siauw lim-pay
dikenal sebagai gunung Thay-san atau bintang Pak tauw
dalam Rimba Persilatan dan selama ribuan tahun, partai itu
dinamakan sebagai “partai yang tak pernah terkalahkan”.
Hari ini akan diputuskan, apa Beng-kauw atau Siauw limpay
yang akan unggul. Mereka tahu bahwa di dalam kuil
Siauw lim sie terdapat banyak orang pandai sehingga
hebatnya pertempuran yang akan terjadi sukar dibayangkan
1606
lagi. Mengingat begitu, dengan semangat bergelora para
pemimpin Beng-kauw mendaki gunung.
Berselang kira-kira sepeminuman teh mereka tiba di
pendopo Lip-soat-teng. Dengan rasa terharu Boe Kie ingat
bahwa pada beberapa tahun berselang mereka bersamasama
Thay-soehoenya, ia bertemu dengan pendeta suci
Siauw lim-pay di pendopo itu. Pada waktu itu ia datang
sebagai seorang bocah yang kurus kering yang menderita
keracunan hebat, tapi sekarang ia berkunjung sebagai
seorang Kauw coe dari Beng-kauw yang sangat
berpengaruh. Jangka waktu kunjungan itu hanya beberapa
tahun tapi seolah-olah sudah satu abad.
Boe Kie menahan rombongannya di pendopo itu. Ia
ingin menunggu wakil Siauw lim sie. Sebelum
menggunakan kekerasan, ia mau bertindak menurut
peraturan sopan santun, tapi mereka menunggu dengan siasia.
“Ayo kita naik!” kata Boe Kie akhirnya.
Dengan Yo Siauw dan Wie It Siauw di sebelah kiri dan
In Thian Ceng dan In Ya Ong di sebelah kanan, Thian koan
Toojin, Pheng Eng Giok, Cioe Tian dan Swee Poet tek di
belakang, Boe Kie lalu memasuki pintu kuil Siauw lim sie.
Setelah berada di dalam ruangan sembahyang Tay-hiong Po
tian, mereka melihat patung Budha yang agung, kursi meja
yang mengkilap, asap hio yang mengepul ke atas dan
lampu-lampu yang menyala tapi dalam ruangan itu tak
kelihatan bayangan manusia.
“Beng-kauw Thio Boe Kie bersama Yo Siauw, In Thian
Ceng dan lain-lain datang berkunjung untuk bertemu
dengan Hong Tio Tay-soe!” teriak Boe Kie yang suaranya
disertai Lweekang hebat sehingga lonceng yang tergantung
di dalam ruangan itu mengeluarkan suara “ung…ung…”
1607
Yo Siauw, Wie It Siauw dan yang lain-lain saling
mengawasi dengan perasaan kagum. Dengan mempunyai
seorang pemimpin yang tenaga dalamnya begitu tinggi,
mereka merasa bahwa dalam pertempuran ini Beng-kauw
akan memperoleh kemenangan.
Teriakan Boe Kie bisa didengar di seluruh kuil tapi
sesudah menunggu beberapa lama seorang manusiapun tak
kelihatan batang hidungnya.
“Hei! Apa kamu mau bersembunyi seumur hidup?”
teriak Cioe Thian berangasan.
Mereka menunggu lagi tapi tetap tiada yang muncul.
“Sudahlah!” kata In Thian Ceng. “Sekarang kita tak usah
perdulikan akal apa yang dijalankan mereka, mari kita
masuk semua!” Seraya berkata begitu dengan diikuti oleh
yang lain ia maju lebih dulu dan terus menuju ke ruang
belakang. Tapi seorang manusiapun tidak ditemui mereka.
Mereka heran tak kepalang. Siauw lim-pay adalah
sebuah partai persilatan yang besar dan sejak dulu sudah
mempunyai nama yang sangat harum. Di dalam kuil
terdapat banyak sekali pendeta yang tinggi ilmu silatnya
dan banyak akal budinya. Tapi hari ini mereka menjalankan
“tipu kuil kosong”. Tipu apa itu? Tak bisa tidak suatu tipu
yang sangat hebat. Mengingat begitu, mereka makin
berhati-hati. Mereka waspada pada setiap tindakan sesudah
melewati Ka-lam tian, tapi mereka belum juga menemui
manusia.
Tiba-tiba Wie It Siauw berkata, “Swee Poet Tek, mari
kita mengamat-amati dari atas!”
Swee Poet Tek mengangguk dan badannya segera
mencelat ke atas, tapi sebelum kedua kakinya menginjak
payon rumah, Wie It Siauw sudah berada di atas
1608
wuwungan.
“Ilmu ringan badan Wie Hong ong benar-benar tak akan
bisa ditandingi oleh Po tay Hweeshio,” katanya di dalam
hati.
“Hei! Pendeta-pendeta Siauw lim sie!” teriak Cioe Tian.
“Mengapa kau main bersembunyi terus menerus?”
Rombongan Boe Kie menyelidiki dari satu ruang ke lain
ruang. Sebegitu jauh mereka bukan saja belum menemui
manusia, tapi juga belum melihat tanda-tanda yang
mencurigakan. Di Lo-han tong ruangan berlatih silat,
mereka mendapati kenyataan bahwa semua senjata yang
biasanya terdapat dalam ruangan itu sudah tidak ada lagi.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, cepat-cepat mereka
menuju ke Tat-mo tong. Dalam ruangan itu di atas lantai,
hanya terdapat sembilan lembar tikar yang sudah separuh
rusak.
Dengan alis berkerut, Yo Siauw berkata, “Kudengar Tatmo
tong adalah tempat beristirahatnya para cianpwee dari
Siauw lim sie, di antaranya ada yang tidak pernah keluar
dari pintu ruangan ini selama sepuluh tahun. Mana bisa
jadi?...Mana bisa jadi, tanpa bertempur, mereka
menyembunyikan diri?”
“Hatiku sangat tidak enak,” sambung Pheng Eng Giok.
“Aku merasa di dalam kuil ini sudah terjadi sesuatu yang
sangat hebat, kejadian yang sangat buruk….”
Cioe Tian tertawa nyaring, “Ada-ada saja!” katanya.
Tiba-tiba Boe Kie ingat pengalaman waktu ia belajar
Siauw lim Kioe yang kang.
“Coba kita pergi ke situ,” katanya. Dengan diikuti oleh
pengiringnya, ia menuju ke kamar Goan tin. Di dinding
masih terlihat bekas-bekas dari bagian yang dahulu
1609
dijobloskan Goan tin, tapi kamar kosong tiada manusianya.
“Coba kita selidiki di Cong keng kok,” kata Yo Siauw.
Di Cong keng kok, rak-rak buku kosong semua! Ke mana
perginya beberapa laksa jilid kitab suci? Semua orang
menggeleng-gelengkan kepala. Mereka benar-benar pusing.
Andaikata benar pemimpin-pemimpin Siauw lim
menyingkirkan diri, sepantasnya mereka harus
meninggalkan beberapa orang untuk membersihkan kuil itu.
Beng-kauw pasti tidak menyusahkan mereka itu. Apakah
jika mereka meninggalkan beberapa orang pemimpin Siauw
lim sie kuatir rahasianya terbuka?
Semua orang kembali ke Tay hiong Po thian. Wie It
Siauw dan Swee Poet Tek yang menyusul belakangan
melaporkan bahwa sesudah menyelidiki seluruh kuil
mereka tidak mendapatkan apapun jua bahkan si pendeta
penyambut tamupun turut menghilang.
Sementara itu, Yo Siauw memanggil Goan Hoan,
pemimpin Houw touw-kie dan memerintahkannya supaya
bersama semua anggota bendera tersebut menyelidiki kalaukalau
di dalam kuil tersebut terdapat jalan atau tempat
rahasia untuk menyembunyikan diri. Dua jam kemudian
Goan Hoan kembali dengan laporan bahwa penyelidikan
tidak memberi hasil. Ia hanya menemukan beberapa kamar
untuk menutup diri dan bersemedi, tapi kamar itu kosong
semua. Goan Hoan adalah seorang ahli bangunan dan di
dalam Houw touw-kie terdapat tukang membuat rumah
yang pandai. Maka itu, laporan tersebut boleh tidak
diragukan lagi.
Yo Siauw, In Thian Ceng, Pheng Eng Giok dan yang
lain-lain adalah orang-orang yang berpengalaman luas dan
berakal budi. Tapi sekarang mereka menemui jalan buntu.
Mereka mengasah otak, berpikir bolak balik tapi mereka
1610
tetap tak bisa menembus misteri yang aneh itu.
Selagi mereka berunding, tiba-tiba di sebelah barat
terdengar suara kedubrakan sebuah pohon siong tua roboh
dengan tiba-tiba. Semua orang kaget dan memburu ke
tempat itu. Pohon itu berada di pinggir sebuah perkarangan
yang terkurung tembok dan batang yang patah menimpa
tembok itu. Waktu didekati, pohon itu ternyata roboh
karena terpukul, sebab urat-uratnya di bagian yang patah
putus semuanya. Dilihat dari urat-uratnya yang sudah agak
kering, pukulan itu bukan baru terjadi, tapi sudah berselang
beberapa hari.
Mendadak beberapa orang mengeluarkan seruan kaget.
“Ih!”
“Lihat ini!”
“Aha! Di sini terjadi pertempuran hebat!”
Memang dalam perkarangan itu terlihat tanda-tanda
bekas pertempuran. Di atas lantai batu hijau, di dahan
pohon dan di tembok terlihat bekas bacokan senjata tajam
atau pukulan-pukulan yang dahsyat. Dilihat dari bekasbekasnya
orang-orang yang bertempur adalah ahli-ahli silat
kelas satu. Tapak-tapak kaki yang menggores lantai
membuktikan Lweekang yang sangat tinggi dari orangorang
yang berkelahi itu.
Mendadak Wie It Siauw mengendus bau darah. Dalam
pertempuran itu rupanya sudah mengucur banyak darah
tapi karena semalam turun hujan besar, sebagian besar
darah itu sudah hanyut dan hanya ketinggalan di beberapa
tempat tertentu.
Perkarangan itu sangat besar dan tadi waktu diperiksa,
orang tidak memeriksa secara teliti sebab di situ tak terdapat
manusia. Kalau pohon siong itu tidak roboh mereka tentu
1611
takkan datang lagi ke sini.
“Yo Cosoe, bagaimana pendapatmu?” tanya Pheng Eng
Giok.
“Pada tiga empat hari yang lalu, di sini telah berlangsung
pertempuran yang sangat hebat,” jawabnya. “Hal ini tak
usah disangsikan lagi. Apakah orang-orang Siauw lim sie
terbasmi semua?”
“Aku sependapat dengan Yo Cosoe,” kata Pheng Eng
Giok. “Tapi siapa musuhnya Siauw lim sie? Mana ada
partai yang begitu lihay? Apa Kay-pang?”
“Biarpun partai besar dan banyak orang pandainya, Kaypang
pasti takkan bisa membasmi semua pendeta dalam
kuil ini,” kata Cioe Tian. “Yang bisa berbuat begitu
hanyalah Beng-kauw kita, tapi jelas-jelas bukan kitalah yang
melakukannya.”
“Cioe Tian lebih baik kau jangan mengeluarkan segala
omong kosong,” kata Tiat koan Toojin. “Apakah di antara
kita ada yang tidak tahu bahwa kita tidak melakukan
perbuatan ini?”
Diluar dugaan perkataan Cioe Tian yang dikatakan
sebagai omong kosong sudah mengingatkan sesuatu kepada
Yo Siauw. “Ah!...,” ia mengeluarkan seruan tertahan.
“Kauw coe mari kita pergi lagi ke Tat-mo tong.”
Boe Kie tahu bahwa ajakan itu mesti ada sebabnya.
“Baik,” katanya.
Dengan cepat semua orang masuk lagi ke dalam Tat-mo
tong. Dalam ruangan itu, di samping sembilan lembar tikar
pecah, di atas meja sembahyang terdapat sebuah patung
batu dari Tat-mo Couw soe. Muka patung itu menghadap
tembok, dengan punggung menghadap keluar. Semua orang
tahu bahwa itu adalah untuk memperingati satu kejadian
1612
penting dalam hidupnya guru besar tersebut. Menurut
cerita, sesudah bersemedi menghadap tembok selama
sembilan tahun Tat-mo Couw soe berhasil mendapatkan
inti sari daripada ilmu silat.
“Tapi kita sudah menyelidiki, ada perlu apa kita datang
lagi ke sini?” tanya Cioe Tian.
Tanpa meladeni perkataan Cioe Tian, Yo Siauw berkata
kepada In Ya Ong. “In Sie heng, aku minta bantuanmu.
Mari kita putar patung Tat-mo Couw soe.”
“Jangan!” cegah In Thian Ceng.
Tat-mo Couw soe adalah pendiri Siauw lim sie yang
dipandang suci dan dipuja bukan saja oleh orang-orang
Siauw lim-pay, tapi juga oleh semua tokoh persilatan di
kolong langit.
“Eng Ong jangan kuatir,” kata Yo Siauw. “Siauw tee
bertanggung jawab untuk segala akibatnya,” seraya berkata
begitu ia melompat ke atas meja sembahyang dan coba
memutar patung itu. Namun karena terlalu berat, patung itu
tidak bergeming.
“Ya Ong, bantulah,” kata sang ayah.
In Ya Ong segera melompat ke atas dan dengan tenaga
dua orang patung itu yang beratnya dua ribu kati lebih
dapat diputar.
Begitu patung diputar, paras muka semua orang berubah
pucat. Ternyata muka patung telah dipapas rata sehingga
merupakan selembar papan batu dan di atasnya terdapat
huruf-huruf yang berbunyi seperti berikut:
“Lebih dahulu membasmi Siauw lim.
Kemudian menumpas Boe tong.
Yang merajai Rimba Persilatan hanyalah Beng-kauw.”
1613
Huruf-huruf itu ditulis dengan jari tangan yang seolaholah
memahat papan batu itu.
Tanpa merasa semua orang mengeluarkan teriakan
kaget. Itulah tipu daya yang sangat busuk, yang
menimpakan semua dosa di atas pundak Beng-kauw.
Dengan bersamaan Yo Siauw dan In Ya Ong melompat
turun.
“Hidung kerbau Tiat koan!” bentak Cioe Tian. “Jika aku
tidak mengeluarkan omong kosong, Yo Cosoe pasti tak bisa
menebak kejahatan musuh.”
Tiat koan Toojin tidak meladeni. Ia tak ada kegembiraan
untuk bertengkar dengan saudara yang rewel itu. “Yo
Cosoe, bagaimana kau dapat memikirkan bahwa pada
patung itu terdapat sesuatu yang luar biasa?” tanyanya.
“Tadi waktu pertama kali aku masuk ke sini, aku sudah
lihat bahwa patung itu memang digeser orang,” jawabnya.
“Tapi aku belum dapat berpikir bahwa dalam penggeseran
itu bersembunyi tipu daya yang sangat busuk.”
“Ada hal lain yang belum dimengerti olehku,” kata
Pheng Eng Giok. “Tak bisa disangsikan lagi bahwa dengan
huruf-huruf itu musuh ingin menumpahkan dosa di atas
pundak Beng-kauw supaya kita dikeroyok oleh seluruh
Rimba Persilatan. Tapi mengapa musuh itu manghadapkan
muka patung ke tembok? Kalau Yo Cosoe tidak berotak
cerdas, bukankah kitapun tak tahu adanya huruf-huruf itu?”
Yo Siauw manggut-manggutkan kepalanya. “Patung itu
telah diputar lagi oleh orang lain,” jawabnya. “Dengan
diam-diam, seseorang yang sangat tinggi kepandaiannya
telah membantu kita. Kita telah menerima budi yang sangat
besar.”
Semua orang segera menanyakan siapa adanya orang itu.
1614
Yo Siauw menghela nafas dan berkata, “Akupun tak
tahu….”
Perkataan itu tiba-tiba diputuskan oleh teriakan Boe Kie.
“Celaka…! Lebih dahulu membasmi Siauw lim, kemudian
menumpas Boe tong…Boe tong menghadapi bencana
besar!”
“Kita harus segera membantu,” kata Wie It Siauw.
“Dengan memberi bantuan, kitapun bisa menyelidiki siapa
adanya anjing terkutuk itu.”
Saat itu, di depan mata Boe Kie segera terbayang
kecintaan Thay soehoe dan para pamannya. Apa Song Wan
Kiauw dan yang lain-lain sudah kembali ke Boe tong?
Di sepanjang jalan ia tak pernah menerima berita
mengenai gerak-gerik rombongan Boe tong. Kalau
rombongan itu terlambat, maka yang berada di gunung
hanyalah Thay soehoe, murid-murid turunan ketiga dan
Sam Soepeh Jie Thay Giam yang cacat. Jika musuh
menyerang, bagaimana mereka bisa melawannya?
Mengingat begitu, ia bingung bukan main. “Para Cianpwee
dan Heng tiang!” katanya dengan suara nyaring. “Boe tong
adalah tempat asal dari mendiang ayahku. Sekarang Boe
tong menghadapi bencana. Kalau sampai terjadi sesuatu
dikemudian hari, aku sukar menginjak bumi lagi sebagai
manusia terhormat. Menolong orang seperti menolong
kebakaran, lebih cepat lebih baik. Sekarang aku ingin minta
Wie Hok-ong mengikuti aku untuk berangkat lebih dulu.
Yang lain bisa menyusul belakangan. Kuminta Yo Cosoe
dan Gwa kong sudi mengepalai rombongan kita.” Sehabis
berkata begitu, ia menyoja dan dengan sekali berkelabat, ia
sudah berada di luar kuil. Wie It Siauw mengikuti dengan
ilmu ringan badan. Dalam sekejap mereka sudah melewati
Lip-soat-teng. Dalam ilmu ringan badan di kolong langit tak
ada orang yang bisa menandingi mereka.
1615
Setibanya di kaki gunung Siong san, siang sudah berganti
malam. Tapi mereka meneruskan perjalanan dan jalan
semalaman suntuk, mereka sudah melalui beberapa ratus li.
Kecepatan lari Wie It Siauw tidak kalah dari Boe Kie, tapi
dalam jangka waktu panjang, ia kalah tenaga dalam. Biar
bagaimanapun jua, lama-lama mereka merasa lelah.
“Untuk mencapai Boe tong san dengan kecepatan seperti
sekarang, harus menggunakan waktu satu hari satu malam
lagi,” kata Boe Kie di dalam hati. “Manusia yang terdiri
darah dan daging tak akan bisa lari terus menerus. Apalagi
dalam menghadapi musuh kelas berat, kita harus
menyimpan tenaga!”
Berpikir begitu ia segera berkata, “Wie Hok-ong,
setibanya di kota aku ingin membeli dua ekor kuda untuk
dijadikan tunggangan.”
Wie It Siauw memang sudah punya niat itu, tapi ia
merasa malu hati untuk membuka mulut. “Kauw coe beli
kuda sangat repot,” katanya sambil tersenyum. “Perlu apa
kita membuang-buang waktu?”
Tak lama kemudian dari sebelah depan datang limaenam
penunggang kuda. Dengan sekali melompat Ceng-ek
Hok-ong sudah mengangkat tubuh dua penunggang kuda
yang lalu dilepaskan di tanah dengan perlahan. “Kauw coe,
naiklah!” serunya.
Boe Kie ragu. Perbuatan itu tiada bedanya dengan
merampok.
“Kauw coe!” teriak Wie It Siauw. “Demi kepentingan
urusan besar, kita tidak boleh menghiraukan segala hal
remeh.”
Beberapa orang itu yang mengerti sedikit ilmu silat
segera menyerang. Dengan tangan memegang les kuda,
Wie It Siauw menendang kian kemari dan beberapa golok
1616
terpental.
“Bangsat! Siapa kau!” bentak salah seorang.
Boe Kie mengerti bahwa jika orang-orang itu diladeni
terlalu lama, Beng-kauw akan mendapat lebih banyak
musuh. Maka itu, ia segera melompat ke punggung seekor
kuda dan lalu kabur bersama-sama Wie It Siauw. Orangorang
itu mencaci tapi mereka tidak berani mengejar.
“Biarpun kita berbuat begini karena terpaksa, tapi orangorang
itupun mungkin mempunyai urusan yang sangat
penting,” kata Boe Kie. “Aku sungguh merasa tidak enak.”
Wie It Siauw tertawa nyaring. “Kauw coe,” katanya.
“Janganlah kau memikirkan urusan yang tiada artinya.
Kalau dulu memang benar kita pernah berbuat seenaknya
saja.” Sehabis berkata begitu ia tertawa terbahak-bahak.
Mendengar itu Boe Kie berpikir, “Kalau orang
menamakan Beng-kauw sebagai agama yang sesat memang
beralasan juga. Tapi dalam hakekatnya apa yang benar dan
apa yang salah tak gampang disimpulkan dengan begitu
saja.” Ia ingat bahwa dalam memikul beban Kauw coe yang
sangat berat, ia kurang pengalaman dan pengetahuan
sehingga ia sering ragu untuk mengambil keputusan.
Meskipun ia memiliki ilmu silat yang sangat tinggi tapi
urusan-urusan penting di dalam dunia tak bisa dibereskan
dengan mengandalkan ilmu silat saja. Dengan pikiran
kusut, ia larikan tunggangannya. Ia hanya berharap supaya
berhadil dalam usaha menyambut Cia Soen. Agar ia bisa
menyerahkan tanggungan yang berat itu kepada ayah
angkatnya.
Berpikir sampai di situ, tiba-tiba berkelabat bayangan
manusia dan dua orang menghadang di tengah jalan.
Boe Kie dan Wie It Siauw menahan kudanya. Yang
1617
mencegat mereka adalah pengemis anggota Kay-pang yang
bersenjata tongkat baja dan menggendong karung.
“MInggir!” bentak Wie It Siauw sambil mengedut dan
menyabet salah seorang dengan cambuk. Pengemis itu
menangkis dengan tongkatnya, sedang kawannya
mengeluarkan siulan nyaring seraya mengibaskan tangan
kirinya. Tunggangan Wie It Siauw kaget dan berjingkrak.
Sesaat itu, dari gombolan pohon-pohon melompat
pengemis lain, yang dilihat dari gerakannya berkepandaian
cukup tinggi.
“Kauw coe, jalanlah lebih dulu!” seru Ceng-ek Hok-ong.
“Biar aku yang melayani kawanan tikus ini.”
Boe Kie dongkol bukan main. Pencegatannya itu
membuktikan bahwa Boe tong-pay benar-benar
menghadapi bencana. Dengan mengingat bahwa Wie It
Siauw memiliki ilmu ringan badan yang sangat tinggi
sehingga andaikata ia tidak bisa memperoleh kemenangan
sedikitnya ia masih bisa menyelamatkan diri, maka Boe Kie
segera menjepit perut kuda dengan kedua lututnya dan
binatang itu segera lompat menerjang. Dua orang pengemis
mencoba merintangi dengan tongkatnya. Sambil
mencondongkan badannya, Boe Kie menangkap kedua
tongkat itu lalu dilemparkan. Hampir bersamaan kedua
pengemis itu mengeluarkan teriakan kesakitan dan roboh di
tanah karena tulang betisnya patah terpukul tongkatnya
sendiri. Boe Kie sebenarnya tidak berniat melukai orang,
tetapi karena melihat empat pengemis yang baru datang dan
berkepandaian tinggi, maka ia terpaksa turun tangan untuk
membantu Wie It Siauw.
Meskipun Siong san dan Boe tong san terletak di dua
propinsi yang berlainan, tapi lantaran yang satu berada di
Ho-lam barat dan yang lain berada di Ouw-ak utara, maka
jarak antara kedua gunung itu tak begitu jauh. Sesudah
1618
melewati Ma san-kauw, daerah di sebelah selatan adalah
tanah datar sehingga kuda bisa lari lebih cepat. Kira-kira
tengah hari setelah melalui Lweehiang, Boe Kie segera
berhenti di satu pasar untuk membeli makanan guna
menahan perut.
Selagi makan ia mendadak mendengar pekik kesakitan
dari kudanya. Ia menengok dan dengan terkejut ia melihat
sebatang pisau tertancap di perut kuda dan berkelabat
bayangan manusia yang coba melarikan diri. Tak salah lagi,
binatang itu ditikam orang tersebut. Dengan beberapa
lompatan Boe Kie berhasil membekuk orang itu yang
ternyata juga seorang murid Kay-pang dengna baju
berlepotan darah kuda. Dengan gusar Boe Kie menotok
Toa-tio-hiatnya supaya ia menderita tiga hari tiga malam
lamanya.
Boe Kie menjadi bingung kudanya mati dan ia tak punya
uang lagi. Tapi waktu menggeledah tawanannya ia
mendapatkan seratus tail perak lebih. “Kau sudah
membunuh kudaku biarlah aku ambil uang ini sebagai
gantinya,” katanya. Ia pergi ke pasar dan secara kebetulan
ia bertemu kuda yang sikapnya garang. Sesudah
melemparkan seratus tail perak lebih di tanah, tanpa
memperdulikan si pemilik kuda, ia melompat ke punggung
kuda yang lalu dilarikannya sekencang-kencangnya.
Tak lama kemudian ia tiba di Sam koan-tian, di tepi
sungai Han-soei. Sungguh untung di pinggir sungai
kelihatan berlabuh sebuah perahu eretan besar. Sambil
menuntun kudanya ia turun ke perahu dan minta
diseberangi.
Selagi perahu melaju di tengah sungai, di depan mata
Boe Kie terbayang kejadian di masa lampau. Ia ingat,
sekembalinya dari Siauw lim sie, waktu lagi menyeberangi
Han-soei bersama Thay soehoe ia bertemu Siang Gie Coe
1619
dan kemudian menolong nona Sie Coe. Dengan pikiran
melayang ia mengawasi air sungai yang berombak.
Mendadak ia tersadar dari lamunannya karena perahu
bergoyang-goyang. Dengan kaget ia menyadari bahwa
perahu bocor, air menerobos masuk dari sebuah liang.
Sebagai orang yang pernah menghuni pulau Peng-hwee to,
ia pandai berenang. Tapi bila perahu tenggelam
perjalanannya jadi terlambat. Ia memutar badan dan
melihat si juragan perahu sedang mau melompat ke dalam
air dengan bibir tersungging senyuman mengejek. Gerakan
Boe Kie cepat luar biasa. Dengan sekali melompat, ia sudah
menjambret pakaian orang itu yang lalu ditotok sehingga
dia berteriak-teriak. “Lekas kayuh!” bentak Boe Kie. “Kalau
kau mau gila lagi, kusodok kedua biji matamu!” Sesudah
mendengar ucapan itu, si juragan perahu tidak berani
membantah dan segerah mengayuh sekuat-kuatnya. Selagi
dia mengayuh, Boe Kie merobek ujung bajunya yang lalu
digunakan untuk menyumbat liang kebocoran di dasar
perahu.
Sesudah tiba di seberang, sambil mencengkram dada
juragan perahu itu, Boe Kie membentak, “Siapa yang suruh
kau mencelakai aku?”
Dia ketakutan dan menjawab dengan suara terputusputus.
“Siauw jin…siauw jin…Kay-pang….”
Tanpa menunggu selesainya jawaban, Boe Kie melompat
ke punggung kuda yang lalu dilarikan ke arah selatan.
Cuaca sudah mulai berubah gelap. Sesudah berjalan kirakira
satu jam lagi, kuda itu berlutut karena terlalu lelah.
Sambil menepuk-nepuk punggung kuda itu, Boe Kie
berkata, “Kuda biarlah kau mengaso di sini. Aku perlu
segera meneruskan perjalanan.” Dengan menggunakan
ilmu ringan badan ia segera berlari sekencang-kencangnya.
1620
Sesudah lewat tengah malam, selagi enak berlari-lari
dengna kecepatan kilat, sayup-sayup ia mendengar suara
kaki kuda yang ramai di sebelah depan. Ia menyusul dan
melewati rombongan penunggang kuda itu. Karena gelap
dan gerakannya sangat cepat, rombongan yang dilewati
tidak mendusin. Dilihat dari arahnya, rombongan itu yang
terdiri dari dua puluh orang lebih pasti menuju ke Boe tong
san. Mereka terus berjalan tanpa berbicara sehingga Boe
Kie tidak bisa mendapat keterangan apapun jua tapi lapatlapat
ia melihat bahwa orang-orang itu berbekal senjata.
“Mereka tentu mau menyerang Boe tong san,” pikirnya.
“Untung juga aku keburu menyusul. Dilihat begini tong-pay
belum diserang.”
Berselang setengah jam ia kembali bertemu dengan
serombongan orang yang menuju ke Boe tong san. Kejadian
itu terulang beberapa kali sehingga ia telah menyusul dan
melewati tidak kurang dari lima rombongan orang.
Boe Kie jadi bingung sendiri, “Berapa rombongan yang
sudah naik ke atas?” tanyanya di dalam hati. “Apa mereka
sudah bertempur dengan partaiku?” Secara resmi ia
sebenarnya belum menjadi murid Boe tong, tapi karena
ayahnya ia selalu menganggap dirinya sebagai seorang
anggota Boe tong-pay.
Dalam bingungnya, ia lari makin cepat. Ketika tiba di
tengah-tengah gunung, di sebelah depan tiba-tiba terdengar
suara bentakan dan teriakan. Dengan mengambil jalan
mutar, ia bersembunyi. Di lain saat ia lihat bayangan hitam
yang sedang uber-uberan di depan, tiga menggenakan baju
putih mengejar dari belakang.
“Kepala gundul! Perlu apa kau naik ke Boe tong san?”
teriak salah seorang yang mengejar.
“Usahamu untuk menyampaikan berita tidak ada
1621
gunanya,” sambung yang lain. Hampir bersamaan
terdengar suara “srrr…srrr…srrr…” dan beberapa senjata
rahasia menyambar kea rah orang yang dauber. Di dengar
dari suaranya, orang yang melepaskan senjata rahasia
bukan sembarang orang.
“Kalau begitu dia sahabat,” pikir Boe Kie. “Aku harus
mencegat ketiga pengejar itu.” Ia melompat dan
menyembunyikan diri di belakang pohon. Di lain saat,
orang yang dikejar sudah lewat di depannya. Orang itu
gundul kepalanya, benar seorang hwee-shio. Ia memegang
golok yang warnanya kehitam-hitaman dan larinya
terpincang-pincang, rupanya ia sudah terluka. Tiga
pengejarnya mengikuti dengan cepat. Mereka bersenjata
tombak bercagak dan Boe Kie mengenali bahwa mereka itu
orang-orang Kay tapi memakai baju putih yang biasa
dipakai oleh anggota Beng-kauw.
Darah boe Kie bergolak, “Ayah sering menceritakan
bahwa dahulu di bawah pimpinan Kioe cie Sin kay Ang Cit
Kong, Kay-pang adalah sebuah partai yang dihormati dan
disegani dalam Rimba Persilatan,” katanya dalam hati.
“Siapa nyana sekarang partai itu sudah berubah tidak
keruan.”
Sementara itu, si pendeta lari terus dengan langkah
limbung. “Kepala gundul, berhenti kau!” teriak seorang
pengejar. “Siauw lim-pay-mu sudah musnah semuanya.
Apa yang bisa diperbuat olehmu seorang diri? Paling baik
kau takluk. Beng-kauw bersedia untuk mengampuni.”
Boe Kie jadi makin gusar.
Karena merasa tidak bisa lari lebih jauh, pendeta itu
berhenti memutar badan dan membentak seraya
melintangkan goloknya. “Manusia siluman! Aku mau lihat
sampai kapan kamu masih bisa berbuat sewenang-wenang.
1622
Sekarang aku mau mengadu jiwa dengan kamu.”
Ketika anggota Kay-pang itu segera mengurung si
pendeta dan menyerang secara hebat. Tapi pendeta itu
ternyata berkepandaian cukup tinggi dan melawan dengan
gagah. Sesudah bertempur beberapa lama, sambil
membentak keras pendeta itu membacok bagaikan kilat dan
golok mampir tepat di lengan kiri seorang lawannya. Selagi
musuh-musuhnya kaget, ia membabat lagi dan sekali ini
berhasil melukai pundak seorang musuh lainnya. Sesudah
dua kawannya luka, yang ketiga buru-buru angkat kaki.
Tanpa mengaso lagi pendeta itu lalu mendaki gunung
secepatnya.
“Permusuhan antara Beng-kauw dan Siauw lim serta Boe
tong masih belum selesai dan dengan adanya siasat busuk
ini permusuhan akan menghebat,” pikir Boe Kie. “Kalau
aku tunjukkan muka, urusan mungkin akan lebih sulit.
Paling baik aku menguntit dan bertindak dengan
mengimbangi keadaan.” Berpikir begitu, dengan
menggunakan ilmu ringan badan, ia mengikuti di belakang
pendeta itu.
Waktu hampir mencapai puncak, tiba-tiba terdengar di
belakang, “Sahabat dari mana yang datang berkunjung?”
Bentakan itu disusul dengan melompat keluarnya empat
orang, dua imam, dua orang biasa dari belakang batu-batu
gunung. Mereka adalah murid-murid turunan ketiga dan
keempat dari Boe tong-pay.
Sambil merangkap kedua tangannya, pendeta itu
menjawab. “Kong-siang pendeta Siauw lim, mohon
berjumpa dengan Thio Cin-jin dari Boe tong-pay utnuk
suatu urusan yang sangat penting.”
Mendengar nama “Kong-siang”, Boe Kie agak terkejut.
“Kedudukan pendeta itu ternyata setingkat dengan ketiga
1623
Seng ceng (pendeta suci) dari Siauw lim sie Hong thio
Kong-boen, Kong-tie dan Kong-seng. Tidak heran kalau
ilmu silat begitu tinggi. Dia benar seorang ksatria,” pikir
Boe Kie. “Tanpa memperdulikan bahaya dan lelah, dia
datang ke Boe tong untuk menyampaikan berita.”
“Tay soe tentu capai, masuklah untuk minum secangkir
teh,” kata salah seorang murid Boe tong.
Selagi berjalan, Kong-siang menyerahkan goloknya
kepada salah seorang too-jin sebagai tanda menghormati
bahwa ia tidak berani masuk ke dalam kuil dengan
membawa senjata.
Boe Kie pernah berdiam di Boe tong san. Dengan rasa
terharu ia melewati pohon rohon dan batu-batu yang
dikenalnya. Keenam murid Boe tong itu lalu mengajak
tamunya masuk ke dalam Sam ceng tian dan Boe Kie segera
bersembunyi di luar jendela untuk mengamat-amati.
“Too-tiang, lekaslah memberi laporan kepada Thio Cinjin,”
kata Kong-siang. “Urusan ini sangat penting dan tidak
boleh ditunda-tunda.”
“Taysoe datang pada waktu yang tidak tepat,” kata si
imam dengan suara menyesal. “Tahun yang lalu Soe coe
menutup diri dan sampati sekarang sudah setahun lebih.
Kami sendiripun sudah lama tidak pernah bertemu muka
dengan orang tua itu.”
Alis Kong-siang berkerut, “Kalau begitu, biarlah aku
menemui saja Song Thay-hiap,” katanya.
Too-jin itu menggeleng-gelengkan kepala. “Toa soe-peh
belum pulang,” jawabnya. “Sebagaimana Taysoe tahu
bahwa Toa soe-peh, Soe hoe dan para Soe siok bersama
partai Taysoe sendiri telah pergi menyerang Beng-kauw.
Sampai sekarang mereka belum pulang.”
1624
Boe Kie kaget. Ia sekarang tahu bahwa rombongan Boe
tong-pay pun belum kembali dan terdapat kemungkinan
besar para pamannya mendapat bencana atau sedikitnya
mendapat halangan di tengah jalan.
Kong-siang menghela nafas, “Dilihat begini Boe tongpay
bakal sama nasibnya dengan Siauw lim-pay dan hari ini
sukar meloloskan diri dari mara bahaya,” katanya dengan
suara duka.
Si imam yang tidak mengerti maksud pertanyaan itu
segera berkata, “Segala urusan partai kami untuk sementara
diurus oleh Tong hian soe Soe-heng. Aku bisa melaporkan
padanya.”
“Murid siapa Tong hian Too-tiang?” tanya Kong-siang.
Paras muka pendeta itu berubah terang. “Biarpun Jie Samhiap
cacat, ia seorang pandai,” katanya. “Biarlah aku bicara
dengan Jie Sam-hiap saja.”
“Baiklah, aku akan menyampaikan keinginan Taysoe,”
kata too-jin itu sambil masuk ke dalam.
Dengan roman tidak sabaran, Kong-siang jalan mondarmandir
dalam ruangan itu. Kadang-kadang ia berhenti dan
memasang kuping, kalau-kalau musuh sudah tiba.
Tak lama kemudian too-jin yang tadi keluar dengan
tergesa-gesa, “Jie Samsoe siok mengundang Taysoe,”
katanya seraya membungkuk. “Samsoe siok memohon
maaf bahwa ia tidak bisa keluar untuk menyambut Taysoe.”
Sikap too-jin itu sekarang lebih banyak manis daripada tadi.
Mungkin sekali, sesudah mendengar bahwa yang datang
berkunjung adalah seorang pendeta Siauw lim dari
tingkatan “Kong” Jie Thay Giam sudah memesan supaya
dia berlaku hormat terhadap tamu itu.
Boe Kie sebenarnya sangat ingin mengintip dari jendela
1625
kamar pamannya, tapi ia segera membatalkan niatnya itu.
“Sesudah kaki tangannya lumpuh, kuping dan mata Sam
soepeh lebih hebat daripada manusia biasa,” pikirnya.
“Kalau kau mendengar di luar jendela, ia pasti akan
mengetahui.” Berpikir begitu, ia lalu berdiri di tempat yang
berjarak beberapa tombak dari kamar Jie Thay Giam.
Kira-kira sepeminuman teh dengan tersipu-sipu si imam
keluar dari kamar. “Ceng-hong! Beng-goat!” teriaknya.
“Kemari!”
Dua too-tong (imam kecil) menghampiri dengna berlarilari,
“Ada apa Soesiok?” tanyanya.
“Sediakan kursi tandu, Sam soesiok mau keluar,”
jawabnya.
Kedua too-tong itu mengiyakan dan segera berlalu untuk
mengambil kursi tandu.
Tie-kek Too-jin (imam penyambut tamu) yang
menyambut Kong-siang adalah murid baru dari Jie Lian
Cioe. Boe Kie tidak mengenalnya, karena pada waktu ia
berada di Boe tong san imam itu belum menjadi murid.
Tapi ia mengenal Ceng-hong dan Beng-goat. Ia pun tahu
bahwa saban kali Jie Thay Giam mau keluar, paman itu
selalu digotong dengan kursi tandu oleh mereka.
Melihat too-tong itu masuk ke kamar kursi tandu, ia
lantas mengikuti dari belakang. Tiba-tiba ia menegur,
“Ceng-hong, Beng-goat, apa kalian masih mengenaliku?”
Mereka terkejut dan mengawasi. Mereka merasa bahwa
mereka sudah pernah bertemu dengan orang yang menegur
itu tapi mereka lupa siapa orang itu.
Boe Kie tertawa dan berkata, “Aku Boe Kie, Siauw
soesiok-mu! Apa kau lupa?” (Siauw soesiok artinya Paman
1626
kecil)
Mereka segera mengenali. Mereka girang tak kepalang.
“Aha! Siauw soesiok pulang!” seru yang satu. “Apa kau
sudah sembuh?”
Usia mereka bertiga kira-kira sepantaran. Dulu waktu
Boe Kie di Boe tong san, mereka bersahabat dan sering
bermain bersama-sama, main petak umpet, adu lari, adu
jangkrik, tangkap kodok dan sebagainya. Pertemuan yang
tidak diduga-duga tentu saja menggirangkan.
“Ceng-hong aku ingin menyamar sebagai kau dan ingin
menggantikan tugasmu menggotong. Apa Sam soepeh
kenali aku atau tidak.”
Ceng-hong ragu,”Aku bisa dimarahi…,” katanya.
“Tak mungkin!” kata Boe Kie, “Melihatku pulang
dengan sehat, Sam soepeh tentu kegirangan. Mana ia ada
waktu untuk mengusir kau?”
Kedua too-tong itu tahu bahwa semua pemimpin Boe
tong-pay dari Couw soe sampai pada Boe tong Cit-hiap
sangat mencintai paman kecil itu. Sekarang mendadak
Siauw soesiok itu pulang dalam keadaan sembuh. Kejadian
ini tentu saja kejadian yang sangat menggirangkan. Maka
itu mereka berpikir, “Apa halangannya kalau si paman kecil
mau berguyon sedikit untuk menggirangkan hati Jie Thay
Giam yang sedang sakit?”
“Baiklah Siauw soesiok, kami menurut saja,” kata Benggoat.
Sambil tertawa ha ha hi hi Ceng-hong segera membuka
pakaian imamnya, sepatu dan kaus kakinya yang lalu
diserahkan kepada Boe Kie. Sementara itu Beng-goat
membuat kundai imam di kepala sang paman. Dalam
sekejap seorang kong-coe yang tampan sudah berubah
1627
menjadi seorang too-tong.
“Siauw soesiok, tak bisa kau menyamar sebagai Cenghong
sebab mukamu sangat berlainan,” kata Beng-goat.
“Begini saja, kau mengaku sebagai seorang murid baru dan
menggantikan Ceng-hong yang keseleo kakinya. Tapi kau
harus mempunyai nama. Nama apa yang baik?”
Sesudah berpikir sejenak Boe Kie berkata sambil tertawa,
“Ceng-hong meniup daun-daun jatuh. Biarlah aku
menggunakan nama Sauw-cap.” (Ceng-hong Angin, Sauwyan
Menyapu daun)
Kedua too-tong itu tertawa nyaring. Ceng-hong
menepuk-nepuk tangan dan berseru, “Bagus!...Sungguh
bagus nama itu!”
Selagi mereka bersenda gurau, tiba-tiba terdengar
teriakan si too-jin penyambut tamu, “Hei, lagi apa kamu?
Mengapa belum juga keluar?”
Boe Kie dan Beng-goat buru-buru memikul kursi tandu
dan pergi ke kamar Jie Thay Giam. Dengan hati-hati
mereka mengangkat Jie Sam-hiap dan merebahkannya di
kursi. Pendekar Boe tong itu kelihatannya diliputi kedukaan
dan ia tidak memperhatikan kedua too-tong tersebut. “Pergi
ke belakang gunung, ke tempat Couw soeya,” katanya.
Mereka segera memikul kursi tandu itu dan berangkat.
Beng-goat berjalan di depan dan Boe Kie di belakang
sehingga Jie Thay Giam hanya melihat punggung Benggoat.
Kong-siang sendiri berjalan di samping tandu. Karena
diminta oleh sang paman, too-jin penyambut tamu itu tidak
ikut.
Thio Sam Hong menutup diri dalam sebuah gubuk kecil,
di hutan bambu di belakang gunung. Tempat itu sunyi
senyap kecuali suara burung dan binatang-binatang kecil
1628
tidak terdengar suara apapun juga.
Setibanya di depan gubuk Beng-goat dan Boe Kie
menghentikan langkah. Baru saja Jie Thay Giam mau
memanggil, dari dalam gubuk mendadak terdengar sang
guru, “Seng ceng Siauw lim-pay yang mana yang datang
berkunjung? Aku minta maaf bahwa aku tidak dapat
menyambut dari tempat jauh.” Hampir bersamaan pintu
bambu terbuka dan Thio Sam Hong berjalan keluar.
Kong-siang kaget. “Bagaimana ia tahu bahwa yang
datang adalah pendeta dari Siauw lim sie?” tanyanya di
dalam hati. “Ah! Mungkin ia sudah diberitahukan oleh toojin
penyambut tamu itu.”
Tapi Jie Thay Giam tahu bahwa berkat ilmunya yang
sangat tinggi, dengan hanya mendengar suara langkah kaki
Kong-siang, sang guru sudah bisa menebak partai dari
orang yang sedang mendatangi itu, bahkan bisa menebak
juga tinggi rendahnya kepandaian itu. Tapi kali ini tebakan
Thio Sam meleset sedikit. Ia menduga yang datang adalah
salah seorang dari ketiga pendeta suci Siauw lim sie.
Dilain pihak Lweekang Boe Kie lebih tinggi banyak dari
Kong-siang. Oleh karena itu dia bisa menyembunyikan
gerak-geriknya dari pendengaran Thio Sam Hong, sebab
pada hakekatnya seseorang yang Lweekangnya sudah
mencapai tingkat tertinggi bisa berbuat sedemikian rupa
sehingga yang “berisi” menjadi “kong”, yang “ada”
menjadi “tidak ada”.
Dengan jantung memukul keras, Boe Kie mengawasi
paras muka Thay soehoenya. Muka itu tetap bersinar merah
tapi dengan rambut dan jenggotnya yang putih semua,
paras itu kelihatan lebih tua daripada delapan sembilan
tahun berselang. Ia girang bercampur terharu dan tanpa
terasa air matanya mengalir keluar. Cepat-cepat ia
1629
melengos.
Kong-siang merangkap kedua tangannya, “Kong-siang
pendeta Siauw lim sie, menghadap Boe tong Cianpwee
Thio Cin-jin,” katanya.
Guru besar itu membalas hormat, “Aku tak berani
menerima pujian yang sedemikian tinggi,” katanya.
“Taysoe tak usah menggunakan banyak peradatan.
Masuklah.”
Mereka berlima segera melangkah masuk. Dalam
ruangan gubuk hanya terdapat sebuah meja dan di atas
meja sebuah poci teh dan sebuah cangkir. Di lantai tergelar
selembar tikar dan di dinding tergantung sebatang pedang
kayu. Hanya itulah, tak ada apa-apa lagi.
“Thio Cin-jin,” kata Kong-siang dengan suara berduka.
“Siauw lim-pay telah mengalami bencana hebat yang belum
pernah dialami selama ribuan tahun. Mo-kauw telah
menyerang dengan mendadak. Semua anggota Siauw limpay
yang berada di dalam kuil dari Hong thio Kong boe
Soe-heng sampai pada pendeta yang tingkatannya paling
rendah, kecuali aku sendiri tidak ada yang lolos. Mereka
binasa atau ditawan musuh. Hanya Siauw ceng sendiri yang
luput dan siang malam Siauw ceng kabur ke sini.
Serombongan Mo-kauw yang berjumlah besar sedang
menuju ke Boe tong san. Mati hidupnya Rimba Persilatan
Tiong goan sekarang berada dalam tangan Thio Cin-jin
seorang.” Sehabis berkata begiut ia menangis sedih sekali.
Biarpun Thio Sam Hong berilmu tinggi dan berusia
seabad lebih, mendengar laporan itu ia terkesiap. Untuk
sejenak ia mengawasi Kong-siang dengan mulut ternganga.
Sesudah ia menentramkan hatinya lalu ia berkat, “Dalam
Siauw lim sie banyak orang yang pandai. Bagaimana kalian
sampai mendapat kesukaran begitu besar?”
1630
“Sebagaimana Thio Cin-jin tahu, Kong-tie dan Kongseng,
Jie-wie Soe-heng dan para murid Siauw lim sie
bersama-sama lima partai besar telah pergi ke daerah barat
untuk menumpas Mo-kauw,” kata Kong-siang.
“Entah bagaimana mereka dikalahkan, mereka
tertawan….”
Boe Kie terkejut, “Siapa musuh itu?” tanyanya dalam
hati.
Sesudah berdiam sejenak, Kong-siang meneruskan
penuturannya. “Pada saat kami mendapat laporan bahwa
rombongan yang menyerang Mo-kauw telah pulang. Hong
thio Kong-boen Soe-heng sangat girang dan lalu keluar
menyambut dan membawa murid Siauw lim sie. Kong-tie
dan Kong-seng Soe-heng dan yang lainnya lantas saja
masuk ke dalam kuil dan selain mereka juga terdapat
kurang lebih seratus tawanan. Waktu itu berada di dalam
perkarangan kuil, Kong-boen Soe-heng lalu menanyakan
perihal berhasilnya keenam partai dalam usaha membasmi
Mo-kauw. Kong-tie Soe-heng memberikan jawaban yang
tidak terang. Mendadak Kong-seng Soe-heng berteriak,
‘Soe-heng, awas! Kami semua telah jatuh ke tangan musuh.
Semua tawanan adalah musuh!....’ Sebelum Hong thio bisa
berbuat apa-apa semua tawanan sudah menghunus pedang
dan menyerang. Lantaran gugup dan tak membawa senjata,
kami segera terdesak. Semua pintu sudah ditutup musuh.
Suatu pertempuran yang sangat hebat, kami terbasmi,
Kong-seng Soe-heng sendiri binasa….” Ia tak bisa
meneruskan perkataannya lalu menangis sesegukan.
Thio Sam Hong sangat berduka, “Sungguh jahat!”
katanya sambil menghela nafas berulang-ulang.
Sementara itu Kong-siang mengambil buntalan yang
digendong di punggungnya. Ia lalu membuka buntalan itu
1631
yang di dalamnya terdapat bungkusan kain minyak, semua
orang terkesiap karena di dalamnya terdapat satu kepala
manusia, kepala Kong-seng Taysoe salah seorang dari
Siauw lim Seng ceng!
Dengan bersamaan Thio Sam Hong, Jie Giam dan Boe
Kie mengeluarkan teriakan kaget.
“Dengan mati-matian aku berhasil merebut jenazah
Kong-seng Soe-heng,” kata Kong-siang dengan air mata
bercucuran. “Thio Cin-jin, bagaimana caranya kita harus
membalas sakit hati yang besar ini?” Seraya berkata begitu
ia berlutut di hadapan Thio Sam Hong. Guru besar itu
membungkuk untuk membalas hormat.
Rasa duka dan gusar mengaduk dalam dada Boe Kie. Ia
ingat bahwa dalam pertempuran di Kong beng-teng Kongseng
Taysoe telah memperlihatkan ksatriaannya dan sifatsifatnya
yang agung sehingga ia boleh tak usah malu
menjadi seorang guru besar dari Siauw lim-pay itu. Siapa
nyana ksatria telah binasa dalam tangannya manusiamanusia
terkutuk?
Melihat Kong-siang masih mendekam di lantai sambil
menangis, Thio Sam Hong mengangsurkan kedua
tangannya dan mengangkatnya seraya berkata, “Kong-siang
Soe-heng, Siauw lim dan Boe tong pada hakekatnya adalah
sekeluarga. Sakit hati ini tidak bisa tidak dibalas….”
Bersamaan dengan perkataan “dibalas” mendadak saja
Kong-siang mengangkat kedua telapak tangannya dan
menghantam ke punggung Thio Sam Hong!
Itulah kejadian yang takkan diduga oleh siapapun juga,
Thio Sam Hogn seorang guru besar yang berpengalaman
sangat luas. Tapi iapun tak pernah mimpi bahwa seorang
pendeta beribadat dari Siauw lim sie yang mempunyai sakit
hati hebat dan dari tempat jauh untuk menyampaikan kabar
1632
penting bisa memukul dirinya. Dalam sedetik, pada saat
Kong-siang baru menyentuh punggungnya, ia bahkan
menduga bahwa karena terlalu berduka pendeta itu jadi
was-was dan menganggap ia sebagai seorang musuh. Tapi
di detik lain ia terkesiap. Pukulan itu adalah Kam kong Pan
jiak ciang dari Siauw lim-pay dan Kong-siang telah
menghantam dengan seluruh tenaganya. Muka pendeta itu
pucat bagaikan kertas tapi pada bibirnya tersungging
senyuman mengejek.
Melihat kejadian ini kagetnya Jie Thay Giam, Boe Kie
dan Beng-goat bagaikan disambar halilintar. Mereka
terpaksa dan mengawasi dengan mulut ternganga. Karena
cacat, Thay Giam tak dapat membantu gurunya. Untuk
beberapa detik, Boe Kie yang belum berpengalaman masih
belum mendusin bahwa dengan pukulan itu si pendeta
mencoba mengambil jiwa Thay soehoe-nya. Sebelum
mereka bergerak, Thio Sam Hong sudah angkat tangan
kirinya dan menepuk batok kepala Kong-siang.
Berbarengan dengan suara “plak” tepuknya yang kelihatan
enteng itu sudah menghancurkan kepala si pendeta yang
segera roboh tanpa bersuara lagi. Dengan latihan hampir
seabad, Lweekang guru besar itu sukar diukur bagaimana
tingginya. Meskipun Kong-siang serang dengan ilmu kelas
satu, ia masih tak mampu melawan tepukan yang enteng
itu.
Sesudah hilang kagetnya, Jie Thay Giam teriak,
“Soehoe! Kau….” Ia tak meneruskan perkataannya sebab
sang guru sudah pejamkan kedua matanya dan dari
kepalanya keluar uap putih, satu tanda bahwa guru besar itu
sudah mengerahkan Lweekang untuk mengobati lukanya.
Beberapa saat kemudian, mendadak Sam Hong membuka
mulutnya dan memuntahkan darah.
Boe Kie kaget bukan kepalang. Ia sekarang tahu bahwa
1633
Thay soehoe menderita luka berat. Kalau darah itu
berwarna ungu hitam maka dengan mempunyai Lweekang
yang tinggi kesehatan guru besar itu aka segera pulih. Tapi
darah yang barusan dimuntahkan adalah darah segar. Ini
merupakan petunjuk bahwa isi perut Sam Hong sudah
terluka hebat. Sesaat itu beberapa ingatan keluar masuk
dalam otaknya. Apa yang harus diperbuatnya? Apa
sebaiknya ia segera memperkenalkan diri dan menolong
Thay soehoenya?
Sebelum ia bisa mengambil keputusan, di luar pintu
mendadak terdengar suara langkah kaki. Langkah itu cepat
sekali datangnya tapi segera berhenti di luar pintu. Orang
itu yang rupanya sedang kebingungan tak berani membuka
suara.
“Siapa? Apa Cong-hian? Ada apa?” tanya Thay Giam.
“Benar,” jawab too-jin penyambut tamu itu.
“Melaporkan kepada Sam soesiok bahwa sejumlah besar
musuh sudah berkumpul di luar kuil. Mereka mengenakan
seragam Mo-kauw. Mereka mau bertemu dengan Couw soe
Ya ya dan mereka mengeluarkan perkataan-perkataan
kotor, mereka bilang mau injak Boe tong-pay sampai jadi
tanah rata.”
“Diam!” bentak Thay Giam. Ia kuatir gurunya jadi lebih
sakit karena laporan itu.
Perlahan-lahan Thio Sam Hong membuka kedua
matanya dan berkata dengan suara perlahan. “Kim kong
Pan jiak ciang benar-benar hebat. Untuk sembuh aku harus
beristirahat tiga bulan lamanya.”
“Kalau begitu Thay soehoe menderita luka lebih berat
dari dugaanku,” kata Boe Kie di dalam hati.
“Dalam serangannya ini, Beng-kauw pasti sudah
1634
membuat persiapan sempurna,” kata Sam Hong pula. “Hai!
Bagaimana dengan Wan Kiauw Lian Cioe dan yang lainlain?
Thay Giam, apa yang harus kita perbuat?”
Si murid tak menyahut. Ia mengerti bahwa kecuali sang
guru dan ia sendiri, murid-murid Boe tong lainnya, muridmurid
turunan ketiga dan keempat tak akan mampu
menahan musuh dan mereka hanya akan membuang jiwa
dengan sia-sia. Maka itu, jalan satu-satunya adalah
mengorbankan jiwa sendiri supaya sang guru bisa
menyingkirkan diri untuk mengobati lukanya, untuk
membalas sakit hati di kemudian hari. Berpikir begitu, ia
segera berkata dengan suara nyaring, “Cong-hian,
beritahukan orang-orang itu bahwa aku akan segera keluar
untuk menemui mereka. Minta mereka tunggu di Sam cong
tian.”
“Baiklah,” kata Cong-hian yang lalu berjalan pergi.
Thio Sam Hong dan Jie Thay Giam sudah menjadi guru
dan murid selama puluhan tahun dan mereka sudah saling
mengenal isi hati masing-masing. Mendengar perkatahan
Thay Giam, Sam Hong segera mengerti maksud si murid.
Ia tersenyum-senyum dan berkata, “Thay Giam, hidup atau
mati, dihormati dan dihina, adalah soal-soal remeh. Tapi
pelajaran istimewa dari Boe Tong Pay tidak boleh karena
itu menjadi putus di tengah jalan. Dalam menutup diri
selama delapan belas bulan, aku telah mendapatkan intisari
dari ilmu silat dan telah mengubah Thay Kek Koen serta
Thay Kek Kiam. Kedua ilmu ini sekarang aku hendak
turunkan kepadamu.”
Thay Giam tertegun. Sebagai seorang bercacat, mana
bisa ia belajar silat? Disamping itu musuh sudah masuk ke
dalam kuil! Mana ada waktu lagi untuk menurunkan ilmu
silat? “Suhu… “ katanya dengan tergugu.
1635
Thio Sam Hongtertawa tawar. “Sedari didirikan, Boe
Tong Pay kita telah melakukan banyak perbuatan baik,
sehingga menurut pantas partai kita tidak akan musnah
dengan begitu saja,” katanya. “Thay Kek Koen dan Thay
Kek Kiam yang digubah olehku berlainan dengan ilmu silat
yang pernah dikenal semenjak dahulu. Dasar daripada ilmu
ini ialah: “yang tenang menindih yang bergerak, yang
bergerak belakangan menguasai yang duluan. Thay Giam,
gurumu sudah berusia lebih dari seratus tahun. Andaikata
hari ini dia tidak bertemu dengan musuh berapa tahun lagi
dia bisa hidup? Aku merasa girang, bahwa pada saat-saat
terakhir dari penghidupanku aku masih bisa mengubah ilmu
silat ini. Wan Kiauw, Lian Cioe, Siong Kee, Lie Heng dan
Seng Kok tidak berada di sini. Kecuali Ceng Soe, diantara
murid-murid turunan ketiga dan keempat tidak terdapat
orang yang berpangkat baik. Tapi Ceng Soe pun tak berada
di sini. Maka itu, Thay Giam, kau adalah orang satusatunya
yang bisa menerima warisan ini. Dihormatinya
atau dihinanya Boe Tong Pay, disatu waktu tertentu
tidaklah menjadi soal. Soal yang penting adalah semoga
Thay kek Koen dapat diwariskan kepada orang-orang yang
hidup di zaman belakangan. Kalau harapanku ini bisa
terwujud, maka Boe Tong Pay pasti akan bisa hidup abadi
selama ribuan tahun,” ia mengucapkan kata-kata itu dengan
semangat gelora seolah-olah melupakan rombongan musuh
yang sudah menumbuh di luar.
Dengan mata mengembang air, Thay Giam manggutmanggutkan
kepalanya. Ia mengerti maksud sang guru. Ia
mengerti, bahwa sang guru memerintahkan supaya ia
menelan segala hinaan, agar ia dapat mewariskan ilmu silat
Boe Tong Pay kepada dunia.
Perlahan-lahan Thio Sam Hong berdiri. Kedua
tangannya diturunkan belakang tangannya menghadap ke
1636
luar, jari-jarinya ditekuk sedikit dan kedua kakinya
dipentang. Sesudah itu, dengan perlahan ia mengankat
kedua lengannya. Di depan dada, lengan kiri ditekuk,
telapak tangan menghadapi muka, sehingga merupakan Im
Ciang. Hampir berbareng, telapak tangan kanannya dibalik
menjadi Yan Ciang. “Inilah permulaan Thay Kek Koen.”
Katanya. Sesudah itu, sejurus demi sejurus, ia mulai bersilat
sambil menyebutkan nama-nama setiap pukulan Lang Ciak
Pwee, Tan Pian, Tee Chioe Siang Sit, Pek Ho Liang Cie,
Siowsit Youw Pwee, Cioe Hwie Pee, Cin Po Pan Lan Toei,
Jie Hong Sit Pit, Po Houw Kwie Shoa, Cap Jie Chioe.
Dengan sepenuh perhatian Boe Kie mengawas saban
pukulan. Semula ia menduga Thay Suhu sengaja perlambat
gerakannya, supaya Jie Thay Giam bisa melihat dengan
tegas. Pada jurus ketujuh yaitu, Cioe Hwee Pie Pee, dengan
Yang Ciang pada tangan kiri dan Im Ciang pada tangan
kanan dan dengan mengawasi tangan kirinya Thio Sam
Hongmendorong telapak tangannya dengan perlahan.
Dorongan itu kelihatannya berat seperti gunung, tapi juga
enteng bagaikan bulu burung.
Tiba-tiba Boe Kie mendusin. “Ah! Inilah yang
dinamakan perlahan mengalahkan yang cepat, yang tenang
menguasai yang bergerak!” katanya di dalam hati. “Aku
taknyana dalam dunia terdapat ilmu silat yang begitu lihaI.”
Ia memang sudah memiliki ilmu silat tinggi. Begitu dapat
menangkap intisari Thay Kek Koen, perhatiannnya jadi
lebih besar.
Thio Sam Hongbersilat terus dengan kedua tangannya
membuat gerakan-gerakan yang merupakan lingkaran dan
setiap jurus mengandung perubahan Im Yang dari Thay
Kek Sit. Ilmu silat itu digubah dari kitab Ya Keng dari
tiongkok purba dan berbeda dengan ilmu silat Tat Mo
CouwSoe. Biarpun belum tentu menang, ilmu itu sedikitnya
1637
tidak usah kalah dari pelajaran Tat Mo.
Kira-kira semakanan nasi Thio Sam Hongselesai dan lalu
berdiri tegak. Sesudah itu ia memberi pelajaran tentang
pukulan-pukulan yang tadi diperlihatkannya.
Jie Thay Giam mendengar tanpa membuka mulut. Ia
tahu, bahwa waktu sudah mendesak dan ia tak keburu
mengajukan pertanyaan-pertanyaan lagi. Banyak yang tidak
dimengerti olehnya dan hanya diingat saja dalam otaknya.
Andaikata sampai terjadi sesuatu yang tidak diharapkan
atas diri sang guru, ia bisa mengajar Kouw Koat (toori) itu
kepada orang lain, supaya di hari kemudian seseorang yang
cerdas dan berbakat bisa memecahkan artinya yang dalam.
Dilain pihak, Boe Kie berhasil menyelami hampir
seluruh pelajaran itu. Kouw Kaot dan cara-cara latihan
Kian Koen Tay Lo Ie berbeda dengan thay Kek Koen, tapi
pada hakekatnya, dasar kedua ilmu silat itu adalah sama.
Kedua-duanya berdasarkan “meminjam tenaga untuk
memukul tenaga.” Maka itulah, setiap jurus dan penjelasan
Thio Sam Hongdapat ditangkap olehnya.
Melihat paras bimbang pada muka muridnya. Thio Sam
Hongbertanya, “Thay Giam, berapa bagian yang dapat
dimengerti olehmu?”
“Murid berotak tumpul, hanya mengerti tiga empat
bagian,” jawabnya. “Tapi murid sudah menghafal semua
jurus dan Koaw Koat yang diberikan Suhu.”
“Aku banyak menyusahkan kau,” kata pula sang Guru.
“Kalau Wan Kiauw berada di sini, ia pasti dia, bisa
menangkap lima bagian dari pelajaran ini. Hai! Diantara
murid-muridku, Ngo Soetee-mu yang berotak paling cerdas,
hanya sayang, siang-siang ia sudah meninggal dunia. Jika ia
masih hidup, dibawah pimpinanku dalam lima tahun ia
tentu sudah bisa mewarisi seantero pelajaran ini.”
1638
Mendengar mendiang ayahnya disebut-sebut, jantung
Boe Kie memukul keras.
Sesudah berdiam sejenak, Thio Sam Hongberkata pula:
“Nah sekarang perhatikan ini. Tenaga pukulan
kelihatannya enteng, tapi tidak enteng, agaknya sudah
dikerahkan, tapi belum dikerahkan, seolah-olah putus, tapi
sebenarnya belum putus.. “
Ia berhenti karena dari Sam Ceng Tian tiba-tiba
terdengar teriakan. “kalau Thio Sam Hongbersembunyi
terus, lebih dahulu kita binasakan murid-murid dan cucucucu
muridnya!”
“Boe!” menyambung seorang lain. “Bakar saja kuil ini!”
“Mampus dibakar terlalu enak untuk dia,” kata orang
ketiga sambil tertawa, nyaring. “Kita harus tangkap dia,
belenggu kaki tangannya, arak dia ke pusat berbagai partai,
supaya semua orang bisa lihat macamnya gunung Thay San
dan Bintang Pak Tauw dari dunia persilatan.”
Jarak antara gubuk di belakang gunung itu dan Sam
Ceng Tiang kira-kira satu li, tapi suara mereka terdengar
tegas sekali, sehingga dapat dilihat, bahwa musuh sengaja
memperlihatkan Lweekang mereka dan memang juga,
tenaga dalam itu harus diakui kelihatannya.
Mendengar cacian itu, tak kepalang gusarnya Jie Thay
Giam, sehingga kedua matanya seolah-olah mengeluarkan
api.
“Thay Giam,” kata sang guru, “apa kau sudah lupa
pesanku? Jika kau tidak bisa menelan hinaan, cara
bagaiman akau bisa memikul tanggung jawab yang sangat
berat itu?”
“Benar,” kata si murid sambil menundukkan kepala.
1639
“Kau bercacat dan musuh tentu tak akan turunkan
tangan jahat atas dirimu.” Kata pula Thio Sam Hong.
“Sekali lagi aku meminta supaya kau menahan napsu
amarah. Manakala kau tidak bisa menyebar pelajaranku
kepada turunan yang belakangan, maka aku menjadi
seorang yang berdosa dari partai kita.”
Thay Giam mengeluarkan keringat dingin. Ia mengerti
maksud gurunya. Demi kepentingan Boe Tong Pay, ia
diperintah menelan segala hinaan.
Sesudah berkata begitu Thio Sam Hongmengeluarkan
sepasang Loo Han besi dari sakunya dan menyerahkannya
kepada si murid. Menurut katanya Kong Siang, Siauw Lim
Pay sudah termusnah, katanya. Entah benar, entah dusta,
kita tak tahu. Tapi bahwa seorang tokoh Siauw Lim Pay
seperti dia menaklukkan kepada musuh dan kemudian
membokong aku, dapatlah kita menarik kesimpulan, bahwa
Siauw Lim Pay benar sudah mendapat bencana. Pada kirakira
seratus tahun yang lalu, Kwee Siang Lie Hiap telah
menghadiahkan sepasang Loo Han ini kepadaku. Dihari
kemudian serahkan kepadaku ahli waris Siauw Lim Pay.
Aku berharap bahwa dengan bantuan sepasang Loo Han
ini, sebagian ilmu silat Siauw Lim Sie akan dapat
mempertahankan!” Sesudah memberi keterangan, sambil
mengipaskan tangan jubah, ia bertindak keluar pintu.
“Mari kita ikut, kata Thay Giam, Boe Kie dan Beng
Goat lantas saja memikul kursi tandu dan mengikuti di
belakang guru besar itu.
Setibanya di Sam Ceng Tian, mereka mendapat
kenyataan, bahwa di ruangan itu sudah penuh dengan
manusia yang berjumlah kurang lebih tiga ratus orang, Thio
Sam Honghanya mengangguk dan tidak mengeluarkan
sepatah kata.
1640
Inilah guruku, Thio Cin Jin,” kata Jie Thay Giam
dengan suara nyaring. Perlu apa kalian naik ke Boe Tong
San?”
Semua mata ditujukan kepada Thio Sam Hong, tokoh
tertua dalam rimba persilatan yang namanya menggetarkan
seluruh dunia. Guru besar itu mengenakan jubah hitam
warna abu, rambut dan jenggotnya putih laksana perak,
sedang badannya tinggi besar.
Sedang semua orang mengawasi Thio Sam Hong, Boe
Kie menyapu seluruh ruangan dengan matanya. Ia
mendapat kenyataan, bahwa separuh dari orang-orang itu
memakai seragam Beng Kauw dan berapa belas orang, yang
rupa-rupanya juga jadi pemimpin, mengenakan pakaian
biasa.
Sekonyong-konyong di luar pintu terdengar teriakan
“Kauw Coe tiba… “
Ruangan Sam Ceng Tian lantas saja berubah sunyi.
Belasan pemimpin itu dengan tergesa-gesa keluar
menyambut, diikuti oleh yang lain dan dalam sekejab
beberapa ratus orang sudah keluar dari Sam Ceng Tian.
Tak lama kemudian, orang-orang itu kembali tapi
mereka tidak lantas masuk dan berhenti di luar pintu. Boe
Kie melongok keluar dan tiba-tiba saja ia terkesiap, karena
ia lihat delapan orang memikul sebuah joki indah yang
dikawal oleh enam tujuh orang dan delapan tukang pikul
itu bukan lain dari Sin Cian Pat Hiong. Cepat-cepat ia
mengusap debu lantai dengan kedua tangannya. Melihat
begitu, Beng Goat geli bercampur takut, ia menduga bahwa
perbuatan Boe Kie terdorong oleh perasaan takut. Dalam
bingungnya, iapun segera memoles debu pada mukanya
sehingga di lain saat kedua Too Tong itu sudah berobah
menjadi badut wayang.
1641
Joli diturunkan tirai disingkap dan dari dalam joli, keluar
seorang Kong Coe tampan yang menikam jubah panjang
warna putih dengan sulaman obor kemerah-merahan pada
tangan bajunya. Ia itu bukan lain daripada Tio Beng.
Dengan diiring oleh belasan pemimpin rombongan,
sambil menggoyang-goyangkan kipasnya, si nona bertindak
masuk. Seorang pria yang bertubuh jangkung itu maju lebih
dulu dan kemudian berkata sambil membungkuk.
“Melaporkan pada Kauw Coe, yang itu Thio Sam Hong,
yang itu yang bercacat, Jie Thay Giam, murid ketiga dari
Boe Tong Pay.
Tio Beng manggut-manggutkan kepala. Ia maju beberapa
tindak menutup kipasnya dan lalu menyoja seraya
membungkuk. “Boan Seng Thio Boe Kie pemimpin Beng
Kauw!” katanya. “Boan Seng bersyukur, bahwa hari ini
bisa bertemu dengan Gunung Thay san dari rimba
persilatan.”
Boe Kie kaget dan gusar. Di dalam hati, ia mencaci
wanita itu yang sudah menyamar sebagai dirinya dan
menipu Thay Suhu.
Mendengar nama Thio Boe Kie, Thio Sam Hongheran,
“Mengapa namanya bersamaan dengan nama anak Thio
Boe Kie? Tanyanya di dalam hati. Ia membalas hormat dan
menjawab, “Sebab tak tahu Kauw Coe dari tempat jauh.
Untuk kelainan itu kuharap Kauw coe suka memaafkan.”
“Bagus, bagus!” kata si nona.
Dengan diikuti oleh seorang Too Tong bagian depan Tie
Kek Toojin menyuguhkan the. Tio Beng duduk di kursi
seorang diri. Orang-orang bawahannya berdiri jauh-jauh
dengan sikap hormat.
Sebagai seorang yang sudah memiliki usia seabad lebih
1642
dan memiliki ilmu yang sangat tinggi, Thio Sam
Hongmempunyai ketenangan luar biasa dan tak
menghiraukan lagi segala apa yang bersifat keduniawian.
Akan tetapi, ikatan antara guru dan murid adalah
sedemikian erat, sehingga dalam ketenangannya, guru besar
itu masih memikirkan keselamatan murid-muridnya.
“Dengan tidak mengimbangi tenaganya yang sangat kecil,
beberapa murid Lao Too telah pergi ke tempat Thio Kauw
Coe untuk meminta pelajaran,” katanya.
“Sampai kini mereka belum pulang. Apakah Thio Kauw
Coe sudi memberi sedikit keterangan?”
Tio Beng tertawa, “Song Tay Hiap, Jie Tay Hiap, Thio
Sie Hiap, dan Boh Cit Hiap sudah berada dalam tangan
Beng Kauw.”
“Mereka mendapat luka enteng karena totokan dan sama
sekali tidak membahayakan jiwa mereka.”
“Luka totokan mungkin berarti luka kena racun,” kata
Thio Sam Hong.
Tio Beng tersenyum. “Thio Cin Jin kelihatannya sangat
mengagulkan kepandaian Boe Tong Pay,” katanya. “Kalau
Thio Cin Jin menduga kena racun, biarlah kita anggap
mereka kena racun.”
Thio Sam Hongmengenal kepandaian murid-muridnya.
Mereka adalah ahli-ahli silat kelas satu pada zaman itu.
Andaikata benar, karena berjumlah kecil mereka tak dapat
melawan musuh yang jumlahnya besar. Biar bagaimanapun
jua mesti ada beberapa orang yang bisa meloloskan diri
untuk menyampaikan berita. Jika tidak menggunakan
racun, musuh tak mungkin bisa merobohkan atau
menangkap mereka semua.
Mendengar jitunya tebakan guru besar itu, Tio Beng pun
1643
tak mau membantah.
“Dimana adanya muridku yang she In?” tanya pula Thio
Sam Hong.
Si nona menghela napas, “In Liok Hiap telah dibokong
oleh orang-orang Siauw Lim Pay dan keadaannya
bersamaan dengan Jie Sam Hiap,” jawabnya. “Tulang kaki
tangannya dihancurkan dengan Kim Kong Cie sehingga
biarpun tidak binasa, ia sudah menjadi seorang bercacat
yang tidak dapat bergerak pula.”
Paras muka Thio Sam Hongjadi lebih pucat. Ia tahu, Tio
Beng tidak berdusta. Tiba-tiba ia memuntahkan darah.
Orang-orang itu yang berdiri di belakang si nona
kelihatan bergirang sebab muntah darah itu sebagai bukti
bahwa Kong Siang sudah berhasil dalam bokongannya.
Lawan paling berat sudah terluka berat dan mereka boleh
tak usah takut lagi.
“Dengan setulus hati aku ingin memberi nasehat, hanya
aku tak tahu apakah Thio Cin Jin suka mendengarnya,”
kata Tio Beng.
“Kauw Coe boleh bicara.”
“Selebur bumi di kolong langit ini adalah milik kaisar,
keangkeran kaisar Mongol kami meliputi empat lautan. Jika
Thio Cin Jin suka menakluk kepada kaisar Hong Siang
tentu akan memberi anugerah dan Boe Tong Pay akan
menikmati zaman gilang gemilang. Disamping itu Song
Tay Hiap dan yang lain-lainpun bisa segera pulang dengan
selamat.”
Thio Sam Hongmendongak dan mengawasi genteng.
Sesudah itu, perlahan-lahan ia berkata dengan suara dingin.
Walaupun Beng Kauw banyak melakukan perbuatan yang
tidak patut, semenjak dahulu agama itu menentang penjajah
1644
Goan. Lagi kapan Beng Kauw menakluk kepada kerajaan?
Lao Too belum pernah mendengar kejadian itu.”
“Meninggalkan tempat gelap dan pergi ke tempat terang
adalah perbuatan seorang gagah sejati,” kata Tio Beng.
“Siauw Boen dan Kong Tie Seng Ceng sampai pada
pendeta yang berkedudukan paling rendah sudah menunjuk
kesetiaannya kepada kerajaan. Tindakan kami adalah demi
kepentingan negara dan mengikuti tindakan segenap orang
gagah di seluruh rimba persilatan. Apa hal itu
mengharapkan Thio Cin Jin.
Kedua mata Thio Sam Hongberkeredepan bagaikan kilat
dan sorot matanya yang setajam pisau mengawasi muka si
nona. “Orang Goan kejam dan banyak mencelakai rakyat,”
katanya dengan suara gemetar. “Diwaktu ini, segenap
orang gagah di kolong langit bangkit serentak untuk
mengusir penjajah dan merampas pulang sungai dan
gunung kita. Di dalam hati setiap anak cucu Oey Tee
terdapat tekad untuk mengusir Tat Coe. Tindakan inilah
yang bisa dinamakan sebagai tindakan demi kepentingan
negara. Biarpun hanya seorang pertapaan, …. mengenal
juga peribudi luhur. Kong Boen dan Kong Tie adalah
pendeta-pendeta suci. Manabisa mereka ditundukkan
dengan kekerasan? Nona, mengapa kau bicara begitu
sembarangan?”
Mendadak seorang pria tinggi besar yang berdiri di
belakang Tio Beng melompat ke luar dan membentak.
“Bangsat tua, jangan kau menggoyang lidah seenaknya saja!
Boe Tong Pay sedang menghadapi kemusnahan. Kau
sendiri tidak takut mati, tapi apakah ratusan imam yang
berada di kuil inI juga tak takut mati?” Ia bicara dengan
suara yang disertai Lweekang dan sikapnya garang sekali.
Mendengar cacian itu, Thio Sam Hongberkata dengan
suara tawar. “Semenjak dahulu, manusia mana yang tak
1645
pernah mati, aku menggunakan kesetian untuk mencatat
kitab sejarah.” Kata-kata itu adalah sajak gubahan Boe
Thian Siang yang sangat dikagumi Thio Sam Hong. Selama
hidup sering kali ia rasa menyesal, bahwa waktu Boe Thian
Siang menghadapi kebinasaan, ia tidak bisa menolong
sebab ilmu silatnya belum cukup tinggi. Sekarang dalam
menghadapi kematiannya sendiri tanpa merasa ia
menyebutkan sajak itu. Sesudah berdiam sejenak, ia
menambahkan, “Sebenarnya Boe Sin Siang pun terlalu
kukuh. Aku hanya ingin bersetia terhadap nusa dan bangsa.
Aku tak perduli apa yang akan ditulis dalam kitab sejarah,”
ia lirik Jie Thay Giam dan berkata di dalam hati, “aku
hanya mengharap agar Thay Kek Koen bisa diwariskan
kepada orang-orang yang hidup di zaman belakangan.
Tapi… hai! Jika aku mengharap begitu, bukankah akupun
memikirkan soal sesudah aku meninggal dunia? Bukankah
sikapku jadi bersamaan dengan sikap Boe Sin Siang? Hai,
perduli apa bisa diwariskan atau tidak! Perduli apa mati
hidupnya mati Boe Tong Pay!”
Tiba-tiba Tio Beng mengibaskan tangan kirinya dan pria
tinggi besar itu lantas saja mundur sambil membungkuk. Si
nona tersenyum dan berkata, “Thio Cin Jin ternyata
seorang kukuh, biarlah untuk sementara kita tidak bicara
lagi. Mari! Semua ikut aku!” seraya berkata begitu, ia
berbangkit.
Hampir berbareng empat orang yang tadi berdiri di
belakang Tio Beng, melompat dan mengurung Thio Sam
Hong. Keempat orang itu ialah si pria tinggi besar, seorang
yang mengenakan dandanan pakaian pengemis, seorang
hwesio kurus dan seorang wanita setengah tua. Dilihat
gerak-geriknya mereka semua ahli silat kelas utama.
Boe Kie kaget, “Darimana Tio KouwNio mendapat
orang yang begitu lihai?” tanyanya di dalam hati.
1646
Keadaan sudah mendesak! Kalau Thio Sam Hongtidak
mengikut, keempat orang itu pasti akan menggunakan
kekerasan.
“Jumlah musuh sangat besar dan mereka semua
kawanan manusia tidak mengenal malu, tidak dapat
dibandingkan dengan enam partai yang mengurung Kong
Beng Teng, pikir Boe Kie. “Biarpun aku dapat merobohkan
beberapa orang, yang lain pasti dan akan mengerubuti.
Sangat sukar untuk aku melindungi Thay Suhu dan Sam
Supeh. Tapi keadaan sudah jadi begini, Sudahlah! Jalan
satu-satunya ialah mengadu jiwa.
Tapi baru saja ia mau menerjang, di luar pintu mendadak
terdengar suara tertawa yang sangat nyaring, disusul
dengan berkelabatnya masuknya satu bayangan hijau.
Gerakan orang itu cepat luar biasa, laksana angin,
bagaikan kilat. Begitu berkelebat masuk, ia sudah berada di
belakang si pria tinggi besar juga cukup lihai. Tanpa
memutar badan, ia menangkis dengan sepenuh tenaga. Tapi
orang itu sudah keburu menarik pukulan-pukulannya dan
dengan berbereng tangan kirinya menepuk pundak wanita
setengah tua. Wanita itu berkelit seraya menendang, tapi ia
menendang angin, karena orang itu sudah melompat ke
samping dan menghantam si pendeta. Dalam sekejab ia
sudah mengirim empat pukulan kepada empat jago itu. Biar
semua pukulan gagal, kecepatan gerakan itu sungguh
menakjubkan. Keempat jago itu mengerti, bahwa mereka
sedang menghadapi lawan berat. Dengan serentak mereka
melompat mundur untuk melakukan serangan teratur.
Tanpa menghiraukan gerakan musuhnya, orang yang
mengenakan pakaian hijau itu sudah menghampiri Thio
Sam Hongdan sambil membungkuk, ia berkata “boanpwee
Wie It Siauw, orang sebawahan Thio Kauw Coe dari Beng
Kauw memberi hormat kepada Thio Cin Jin!” orang itu,
1647
memang bukan lain daripada Wie It Siauw yang sesudah
berhasil mengelakkan musuh, buru-buru menyusul Boe Kie.
Mendengar perkataan, orang sebawahan Thio Kauw Coe
dari Beng Kauw, Thio Sam Hong semula menganggap,
bahwa ia adalah kaki tangan Tio Beng dan serangannya
terhadap keempat jago itu hanya berpura-pura. Maka itu, ia
lantas saja berkata dengan suara tawar “Wie Sian Seng tak
usah menggunakan banyak peradatan. Sudah lama
kudengar bahwa Ceng Ek Hok Ong memiliki ilmu ringan
badan yang sangat luar biasa. Hari ini baru aku tahu, bahwa
pujian itu bukan pujian kosong!”
Wie It Siauw girang, “Thio Cin Jin adalah gunung Thay
san dari rimba persilatan,” katanya. Pujian Thio Cin Jin
sungguh-sungguh membikin terang muka Boanpwee,”
sehabis berkata begitu, ia memutar tubuh dan membentak
sambil menuding Tio Beng.
“Tio Kouw Nio! Perlu apa kau merusak nama baiknya
Beng Kauw? Kalau kau laki-laki sejati, mengapa kau
menggunakan tipu yang begitu busuk?”
Si Nona tertawa geli,” aku memang bukan laki-laki,”
jawabnya. “kalau aku menggunakan tipu busuk, kau mau
apa?”
Ceng Ek Hok Ong tertegun. Ia insyaf bahwa ia sudah
salah omong. Sesudah kagetnya hilang, ia berkata dengan
sungguh-sungguh. “siapa sebenarnya kamu semua, lebih
dahulu menyerang Siauw Lim, kemudian membokong Boe
Tong. Kalau kamu hanya bermusuhan dengan Siauw Lim
dan Boe Tong, Beng Kauw tak perlu campur. Tapi kamu
menyuruh sebagai orang-orang Beng Kauw, aku Wie It
Siauw tidak bisa tidak campur tangan!”
Thio Sam Hong memang tidak begitu percaya, bahwa
Beng Kauw yang sudah berseteru dengan kerajaan Goan
1648
selama hampir seratus tahun bisa gampang menekuk lutut.
Mendengar perkataan dari Wie It Siauw, ia berkata di
dalam hati. “Walaupun Mo Kauw mempunyai nama tak
baik, tapi dalam soal penting para anggotanya ternyata bisa
berpendirian secara tegas sekali.”
Sementara itu, Tio Beng sudah berpaling kepada si pria
tinggi besar dan berkata, “Dengarlah, suaranya besar
sungguhan! Coba kau jajal-jajal kepandaiannya.”
“Baik,” jawabnya. Sesudah mengencangkan pinggang, ia
segera bertindak ke tengah ruangan, “Wie Hok Ong,”
katanya, “aku meminta pelajaran dari Han Peng Bian
Cang-mu!”
Wie It Siauw terkejut, “bagaimana dia tahu aku memiliki
Han Peng Bian Ciang?” tanyanya di dalam hati. “Sesudah
tahu aku memiliki ilmu itu, dia masih berani menantang.
Dia pasti bukan lawan yang enteng.” Sambil memikir
begitu, ia bertanya, “Bolehkah aku mendapat tahu nama
tuan?”
“Sesudah datang menyamar orang-orang Beng Kauw,
apa mungkin kuperkenalkan namaku yang sejati?” kata
orang itu. "Wie Hok Ong, pertanyaanmu sungguh tolol!”
Wie It Siauw tertawa dingin. “Benar, pertanyaanku
pertanyaan tolol,” katanya dengan suara mendongkol.
“Mengapa juga, setelah rela menjadi anjingnya kaisar Goan
dan bersedia menghamba kepada orang asing, terlebih baik
tuan tak memperkenalkan nama sendiri. Dengan demikian
sedikitnya kau merusak nama leluhurmu.”
Didamprat begitu, si tinggi besar jadi malu juga dan
karena malu ia jadi gusar. Sambil membentak keras, ia
menghantam dada Wie It Siauw.
Wie Hok Ong melompat ke samping, disusul dengan
1649
lompatan kedua di belakang lawannya sambil mengirim
satu totokan. Sebab ingin menjajal “isi” orang itu totokan
ini bukan totokan Han Peng Bian Cian. Orang itu
mengegos lalu balas menyerang. Sesudah bertempur
beberapa jurus, Wie It Siauw merasa heran lantaran ia
merasai sambaran angin panas dalam pukulan-pukulan
lawan. Tiba-tiba ia terkejut karena melihat kedua telapak
tangan orang itu merah bagaikan darah. “Apa itu Coe See
Cit Cat Siang?” tanyanya di dalam hati.
“Ilmu itu sudah lama hilang dari rimba persilatan, Siapa
dia?” Bagaimana dia bisa memiliki ilmu yang luar biasa
itu?”
Kini Ceng Ek Hok Ong berkelahi dengan hati-hati. Luka
di dalam tubuhnya baru saja sembuh dan sekarang
menghadapi musuh yang berat. Ia segera menggosok kedua
telapak tangannya dan mulai bersilat dengan ilmu Han
Peng Bian ciang.
Tak lama kemudian, jalam pertempuran berubah dari
cepat menjadi perlahan karena mereka mulai menguji
tenaga dalam. Sekonyong-konyong dari mulut pintu
gerbang masuk serupa benda yang sangat besar dan
menyambar ke tubuh si tinggi besar. Benda itu jauh lebih
besar daripada karung beras. Semua orang kaget, senjata
apa itu?”
Si tinggi besar terkejut dan dengan sepenuh tenaga, ia
menghantam benda tersebut, yang lantas saja benda itu
terpental setombak lebih, dibarengi dengan teriakan
manusia yang menyayat hati. Ternyata benda itu sebuah
karung dan di dalam karung terdapat manusia. Dipukul
dengan Coe See Cit sat ciang, orang itu telah hancur
tulangnya.
Si tinggi besar tertegun. Mendadak ia menggigil karena
1650
pada saat itu ia tidak berwaspada, Wie It Siauw melompat
ke belakangnya menotok Toa Toei Hoatnya, di bagian
punggung dengan Han Peng Bian Ciang. Dibokong begitu,
ia jadi kalap. Sambil memutar tubuh, ia menghantam batok
kepala Wie It Siauw dengan telapak tangannya.
Nyali Ceng Ek Hok Ong benar-benar besar. Ia tertawa
terbahak-bahak dan berdiri tegak, tidak berkelit atau
menangkis. Si tinggi besar ternyata sudah habis tenaganya.
Telapak tangannya tepat mampir di batok kepala Wie It
Siauw, tetapi Wie Hok Ong hanya seperti diusap-usap.
Melihat gilanya Wie It Siauw, semua orang menggelenggelengkan
kepala. Kalau si tinggi besar mempunyai ilmu
untuk bertahan terhadap pukulan Han Peng Bian Ciang,
bukankah ia akan mati konyol? Tapi memang adat Wie
Hok Ong yang otak-otakan itu. Makin besar bahaya yang
dihadapi, ia makin gembira. Ia menganggap bokongannya
sebagai perbuatan yang kurang bagus, maka itu ia
memasang kepalanya untuk menebus dosa.
Sementara itu si tokoh Kay Pang (Partai pengemis)
sudah membuka karung itu dan mengeluarkan sesosok
tubuh manusia yang berlumuran darah dan yang sudah
mati karena pukulan Coe See Cit Sat Ciang. Mayat itu yang
berpakaian compang-camping adalah mayat seorang
pengemis. Entah mengapa dia berada di dalam karung dan
menemui ajal secara mengenaskan.
Tak kepalang gusarnya si tokoh Kay Pang. Dengan mata
merah, dia berteriak, “Bangsaat…” Ia tidak dapat
meneruskan caciannya, sebab pada detik itu, selembar
karung menyambar dan mau menelungkup dirinya. Cepatcepat
ia melompat mundur.
Di lain saat, seorang pendeta gemuk sudah berdiri di
tengah ruangan sambil tertawa haha hihi. Dia bukan lain
1651
daripada Poet Tay Hweeshio Swee Poet Tek! Sesudah
karung Kian Koen It Khie Tay dipecahkan Boe Kie, ia tak
punya senjata yang tepat dan terpaksa membuat beberapa
karung biasa sebagai gantinya. Meskipun ilmu
mengentengkan tubuhnya tidak selihai Wie It Siauw, tapi
karena tidak menemui rintangan, ia sudah tiba di Boe Tong
San pada saat yang tepat.
Ia menghampir Thio Sam Hong dan sambil
membungkukkan, ia memperkenalkan diri, “Yoe Heng Sian
Jin Poet Tay Hweeshio Swee Poet Tek, orang sebawahan
Thio Kauwcoe dari Beng Kauw, memberi hormat kepada
Boe Tong Ciang Kauw Couw Soe Thio Cin Jin.”
Guru besar itu membalas hormat dan berkata sambil
tersenyum. “Tay Soe banyak capai. Terima kasih atas
kunjunganmu.”
“Thio Cin Jin,” kata pula Swee Poet Tek dengan suara
lantang. “Kong Beng Soe Cia, Peh Bie Kie Peh Bie Eng
Ong, empat Sian Jin, lima Kie Soe, berbagai pasukan dari
agama kami sudah mendaki Boe Tong San untuk
menghajar kawanan manusia yang tak kenal malu itu, yang
sudah menggunakan nama kami.”
Boe Kie dan Wie It Siauw tertawa geli di dalam hati.
Hebat sungguh “ngibulnya” Poet Tay Hweeshio. Tapi Tio
Beng kaget dan berkuatir. Ia kira benar para pemimpin
Beng Kauw sudah tiba dengan seluruh barisan. “Cara
bagaimana mereka bisa datang begitu cepat? Siapa yang
membocorkan rahasia?” tanyanya dalam hati.
Karena bingung, tanpa merasa ia bertanya, “mana Thio
Kauw Coe mu? Suruh dia menemui aku.”
“Thio Kauw Coe sudah memasang jaring untuk
menjaring kamu semua,” jawab Swee Poet Tek. “Orang
yang berkedudukan begitu mulia mana boleh sembarangan
1652
menemui manusia seperti kau.” Sambil berkata begitu, ia
saling melirik dengan Wie It Siauw dengan sorot mata
menanya.
Melihat datangnya bantuan, tidak kepalang girangnya
Boe Kie.
Tio Beng tertawa dingin. “Yang satu kelelawar berabun,
yang lain hweesio bau hawa di sini sungguh tidak sedap.”
Katanya.
Mendadak di sudut timur terdapat suara tertawa yang
sangat nyaring. Swee Poet Tek, apa Yo Co Soe sudah tiba?”
tanya orang itu, yang ternyata bukan lain daripada In Thian
Ceng. Sebelum Swee Poet Tek keburu menjawab, suara
ketawa Yo Siauw sudah terdengar di sudut bara. “Eng Ong
sungguh lihai, sudah tiba lebih dahulu daripada aku.”
Katanya.
“Yo Co Soe jangan berlaku sungkan,” kata In Thian
Ceng. “Kita berdua tiba bersamaan, tak ada yang kalah tak
ada yang menang. Mungkin sekali, karena memandang
muka Thio Kauw Co, Yo Co Soe sengaja mengalah
terhadapku.”
“Tidak!” kata Yo Siauw. “Boanpwee sudah
menggunakan semua tenaga tapi setindakpun tidak bisa
mendului Eng Ong.”
Mereka berbicara begitu sebab di tengah jalan selagi
gembira mereka setuju untuk menjajal tenaga kaki. In Thian
Ceng memiliki Lweekang yang lebih kuat, tapi Yo Siauw
bisa lari lebih cepat, sehingga pada akhirnya mereka tiba
pada detik yang bersamaan dan lalu melompat turun dari
kedua ujung payon kuil.
Thio Sam Hongsudah mengenal lama nama besarnya In
Thian Ceng. Mengingat bahwa jago itu juga mertua Thio
1653
Coei San, maka ia lantas saja maju tiga tindak dan
menyambut sambil merangkap kedua tangannya. “Thio
Sam Hong menyambut In Heng dan Yo Heng.” Katanya.
Diam-diam ia merasa heran. Terang-terang In Thian Ceng
seorang Kauw Coe dari Peh Bi Kauw, tapi mengapa ia
menyebut-nyebut “karena memandang Thio Kauw Coe?”
In Thian Ceng dan Yo Siauw membalas hormat dengan
membungkuk. “Sudah lama kami dengar nama harum Thio
Cin Jin hanya menyesal sebegitu jauh kami belum
mendapat kesempatan untuk bertemu muka.” Kata Peh Bie
Eng Ong.
“Kami bersyukur bahwa hari ini kami bisa melihat wajah
Thio cin Jin yang mulia.”
“Kalian adalah guru-guru besar pada zaman ini,” kata
Thio Sam Hong. “Kunjungan kalian merupakan
kehormatan untuk Boe Tong San.”
Tio Beng jadi lebih jengkel dan gusar. Makin lama
jumlah tokoh Beng Kauw makin bertambah. Boe Kie
sendiri belum muncul, tapi keterangan Swee Poet Tek tak
boleh diabaikan. Memang mungkin pemuda itu sudah
mengatur siasat untuk menghancurkan segala rencananya.
Makin dipikir, ia makin mendongkol. Dengan mudah ia
berhasil melukai Thio Sam Hong. Hasil itu hasil luar biasa.
Hari ini adalah satu-satunya utnuk membasmi Boe Tong
Pay. Di lain hari kalau Thio Sam Hongsudah sembuh,
kesempatai itu tak ada lagi.
Diluar semua penghitungan Beng Kauw mengadu biru.
Yang datang pentolan-pentolannya. Apa ia akan berhasil?
Makin dipikir ia makin mendongkol. Biji matanya yang
hitam bermain beberapa kali. Tiba-tiba ia tertawa dingin
dan berkata dengan suara mengejek. “Dunia Kang Ouw
selamanya memuji Boe Tong Pay sebagai partai yang lurus
1654
bersih. Huh huh! Mendengar tak sama dengan melihat. Tak
dinyana Boe Tong Pay bergandeng tangan dengan Mo
Kauw dan mempertahankan tenaga Mo Kauw. Huh Huh!...
Sekarang baru kutahu, ilmu silat Boe Tong Pay tiada
harganya.”
Swee Poet Tek tertawa nyaring. “Tio Kauw Nio,”
katanya “pemandanganmu tidak lebih panjang dari panjang
rambutmu. Kau sungguh masih kanak-kanak. Dengarlah
Thio cin Jin sudah dapat nama besar pada sebelum
kakekmu dilahirkan! Anak kecil tahu apa!”
Belasan orang yang berdiri di belakang Tio Beng
mengawasi hweesio yang gatal mulut itu dengan mata
melotot, tapi Poet Tay Hweeshio tenang-tenang saja. “Apa
aku tidak boleh bicara begitu.” Tanyanya. “Aku Swee Poet
Tek, tapi bila aku bicara, aku tetap bicara. Mau apa kamu?”
(Swee Poet Tek tak boleh dibicarakan)
Seorang Hweesio jangkung meluap darah. “Coe Jin,”
katanya, “permisikan aku membereskan Hweesio gila itu!”
(Coe Jin – Majikan)
“Bagus!” kata Swee Poet Tek. “Aku hweesio gila,
kaupun hweesio gila. Yang gila ketemu dengan yang gila,
kita boleh minta Thio Cin Jin jadi juru pemisah.” Seraya
berkata begitu, ia mengibaskan tangannya yang sudah
memegang selembar karung.
Tio Beng menggelengkan kepala, “Hari ini kita meminta
pelajaran Boe Tong,” katanya. “Kalau yang turun anggota
Boe Tong Pay, kita boleh melayani.” Berisi atau kosongnya
Boe Tong Pay akan dapat dipastikan hari ini. Perhitungan
antara kita dan Mo Kauw dapat dibereskan di hari nanti.
Kalau aku belum mencabut urat-urat setan kecil Thio
Boe Kie dan membeset kulitnya, belum puas hatiku. Tapi
hal itu boleh ditunda untuk sementara waktu.”
1655
Mendengar perkataan setan kecil Thio Boe Kie,” Thio
Sam Hongjadi sangat heran. “apa Kauw Coe Beng Kauw
juga bernama Thio Boe Kie?” tanyanya di dalam hati.
Swee Poet Tek tertawa geli, “Kauw coe kami seorang
pemuda gagah yang sangat tampan,” katanya. “Mungkin
usiamu lebih muda beberapa tahun daripada Kauw Coe.
Apa tak baik kau menikah saja dengan Kauw Coe kami?
Kulihat cocok benar… “
Sebelum ia habis bicara, orang-orangnya Tio Beng sudah
membentak dan mencaci.
“Bangsat, tutup mulut!”
“Diam!”
”Kau sungguh telah bosan hidup!”
Paras muka si nona lantas saja bersemu dadu, sehingga
ia nampaknya lebih cantik lagi. Pada paras itu terlihat tiga
bagian kegusaran dan tujuh bagian kemalu-maluan.
Seorang pemimpin yang berkuasa lantas saja berubah
menjadi seorang gadis pemalu. Tapi perubahan itu hanya
untuk sedetik dua saja.
Dilain saat, paras muka mereka itu berubah dingin
seperti es. “Thio Cinjin,” katanya dengan nada memandang
rendah. “Jika kau tak mau turun ke dalam gelanggang,
kamipun tak akan memaksa, asal saja kau mengakui terangterangan,
bahwa Boe Tong Pay adalah partai yang
mendustai dunia dan mencuri nama. Sesudah kau mengaku
begitu, kami akan pergi. Kami bahkan bersedia untuk
memulangkan Song Wan Kiauw, Jie Lian Cio dan lain-lain
kawanan tikus, kepadamu.”
Sesaat itu, Tiat Koat Toojin dan In Ya Ong tiba, disusul
dengan Cioe Than dan Pheng Eng Giok. Melihat
bertambahnya tenaga Beng Kauw, Tio Beng mengerti
1656
bahwa dalam suatu pertempuran memutuskan, pihaknya
belum tentu menang. Dan apa yang paling dikuatiri adalah
Boe Kie dan siasatnya.
Sambil menyapu pihak lawan dengan matanya yang jeli,
si nona berkata dalam hati. “Thio Sam Hongdibenci kaisar
karena hambanya yang sangat besar dan dianggap sebagai
thaysan atau Pak Tauw dalam rimba persilatan. Tapi dia
sudah begitu tua, berapa tahun lagi dia bisa hidup? Tak
perlu aku mengambil jiwanya. Kalau aku bisa menghina
Boe Tong Pay, jasaku sudah cukup besar,” memikir begitu,
ia lantas saja berkata, “tujuan kedatangan kami ke sini
adalah untuk menjajal kepandaian Thio Cin Jin. Kalau
kami mau mengukur tenaga dengan Beng Kauw, apakah
kami tak tahu jalanan ke Kong Beng Teng? Begini saja,
sebelum menjajal, kami tidak bisa mengatakan apa ilmu
silat Boe Tong berisi atau kosong. Aku mempunyai tiga
orang pegawai rumah tangga yang sudah lama mengikuti
aku. Yang satu mengerti sedikit ilmu pukulan, yang lain
mempunyai lweekang yang cetek, yang ketiga mengenal
sedikit ilmu pedang. A Toa, A Jie, A Sam, kemari! Asal
Thio Cin Jin bisa mengalahkan mereka, kami akan merasa
takluk dan mengakui, bahwa Boe Tong Pay benar-benar
mempunyai ilmu silat tinggi. Manakala Thio Cin Jin tidak
mau apabila dijajal atau tidak mampu melawan mereka,
maka kesimpulannya biarlah ditarik oleh orang-orang Kang
Ouw sendiri. Seraya berkata begitu, ia meneput tangan dan
tiga orang, yang berdiri di belakangnya lantas saja bertindak
ke tengah ruangan.
Yang dinamakan A Toa seorang kakek kurus kering yang
kedua tangannya memegang sebatang pedang, pedang itk.
Mukanya yang berkerut-kerut diliputi paras sedih.
Yang kedua, A Jie, juga bertubuh kurus, tapi lebih tinggi
daripada A Toa. Kepala botak Tha Yang Hiatnya melesak
1657
ke dalam, kira-kira setengah dim.
A Sam yang ketiga, berbadan keras padat, sikapnya
garang anker bagaikan harimau. Pada mukanya, lengannya,
lehernya, pendek kata di bagian-bagian badannya yang
terbuka terlihat otot-otot yang menonjol keluar.
Thio Sam Hong, In Thian Ceng, Yo Siauw dan yang lain
terkejut. Ketiga orang itu bukan sembarang orang.
“Tio Kouw Nio,” kata Cioe Thian, “mereka bertiga
adalah ahli-ahli silat kelas utama dalam rimba persilatan.
Melawan mereka Cioe Thian tidak unggulan. Tapi
mengapa secara tidak mengenal malu, nona
memperkenalkan mereka sebagai pegawai rumah tangga?
Apa nona mau berguyon dengan Thio Cin Jin?”
“Mereka ahli silat kelas utama?” menegas Tio Beng.
“Ah! Aku sendiri tak tahu. Apa kau tahu siapa mereka?
Apa kau tahu nama mereka?”
Cioe Thian tertegun, ia diam tak dapat menjawab
pertanyaan itu.
Si nona tersenyum tawa. Ia menengok kepada Thio Sam
Hongdan berkata, “Thio Cin Jin lebih dahulu, biarlah kau
mengadu pukulan dengan A Sam.”
A Sam maju setindak dan sambil merangkap kedua
tangannya. Ia berkata, “Thio Cin Jin, silahkan!” berbareng
dengan tantangannya, kaki kirinya menjejak lantai. “Brak!”
tiga batu hijau persegi hancur. Orang tak heran kalau yang
hancur hanya batu yang terjejak. Yang luar biasa adalah
turut hancurnya dua batu yang lain.
Sesudah kawannya maju, A Toa dan A Jie segera
mundur sambil menundukkan kepala. Sedari masuk ke
dalam sam ceng tian, ketiga orang itu selalu mengikuti Tio
Beng dengan kepala menunduk, sehingga orang tidak
1658
memperhatikan mereka. Siapapun tak menduga bahwa
mereka adalha jago-jago yang tidak boleh dibuat gegabah.
Tapi begitu mundur, mereka memperlihatkan lagi sikap
sebangsa budak belian.
Melihat lihainya A Sam, In Thian Ceng merasa kuatir
akan keselamatan Thio Sam Hong. “Thio Cin Jin sudah
terluka berat, tapi meskipun tidak terluka, dengan usianya
yang sudah begitu tinggi, bagaimana ia bisa bertanding
dengan orang itu?” pikirnya. “dilihat gerak-geriknya, orang
itu ahli dalam ilmu silat keras. Sudahlah! Biar aku saja yang
melayaninya.” Memikir begitu, ia lantas saja berkata
dengan suara nyaring. “Seorang yang kedudukannya begitu
tinggi seperti Thio Cin Jin mana boleh melayani manusia
rendah semacam kau! Jangankan Thio Cin Jin, sedang
akupun, seorang she In, rasanya masih terlalu tinggi untuk
berhadapan dengan seorang budak belian seperti kau.” Ia
tahu, bahwa ketiga orang itu bukan sembarangan orang,
supaya mereka panas dan diterimanya dengan baik
tantangannya itu.
“A Sam,” kata Tio Beng. “apa kau masih ingat namamu
yang dahulu?” cobalah beritahu mereka, supaya mereka
bisa menimbang-nimbang apa kau cukup berderajat atau
tidak untuk bertanding dengan seorang tokoh Boe Tong
Pay.” Dalam pembicaraan itu, ia menekankan perkataan
Boe Tong Pay.
“Sedari Siauw Jin (aku yang rendah) menghadapi kepada
Coe Jin, nama yang dahulu telah tak digunakan lagi.” Kata
A Sam.
“Kalau diperintah, siauw jin tidak berani tak berbicara,
dahulu Siauw Jin she Oe Boen Cek.”
Semua orang terkesiap.
Sesaat kemudian, In Thian Ceng membentak, “Oe Boen
1659
Cek! Pada dua puluh tahun berselang, bukankah kau yang
sumpah membinasakan lima jago she Sie Tiangan! Pada
malam itu, pembunuh yang mengenakan topeng dan baju
merah yang mengaku sebagai “Piat Pie Sin Mo Oe Boen
Cek” telah membunuh tiga belas tokoh rimba persilatan
dalam sebuah perjamuan hari ulang tahun. Bukankah kau
yang melakukan pembunuhan itu?” (Pat Pie Sin Mo Iblis
bertangan delapan)
“Ingatanmu sangat kuat, aku sendiri telah lupa,”
jawabnya dengan suara dingin.
Mendengar perkataan itu, semua orang dari Beng Kauw
dan Boe Tong Pay meluap darahnya.
Lima jago She Sie adalah orang-orang yang sangat
disegani dan dihormati dalam rimba persilatan. Ia
berkepandaian tinggi, dan selalu bersedia untuk menolong
sesama manusia yang perlu ditolong. Tiba-tiba pada suatu
malam, mereka semua dibinasakan oleh seorang bertopeng
dan mengenakan baju merah. Pembunuh itu mengaku
sebagai Ang Ie Kok Oe Boen Cek. Disamping lima jago She
Sie, beberapa tokoh hsp dan gbp turut dibinasakan. Karena
orang tak bisa menyelidiki asal-usul manusia yang bernama
Oe Boen Cek itu, maka orang lantas saja menduga, bahwa
perbuatan musuh itu dilakukan oleh Beng Kauw dan Peh
Bie Kauw.
Tuduhan itu sangat menjengkelkan hati In Thian Ceng,
tapi ia tak dapat jalan untuk melampiaskan rasa
penasarannya. Tidak dinyana, sesudah berselang dua puluh
tahun barulah diketahui pembunuh yang benar.
Biarpun Oe Boen Cek hanya muncul satu kali di Tiong
Goan, tapi perbuatannya itu adalah sedemikian hebat,
sehingga kalau mau diperhitungkan soal derajat yang
berdasarkan tingginya ilmu silat, maka dia memang cukup
1660
berderajat untuk bertanding dengan Thio Sam Hong. Di
samping itu, andaikata ia tidak menantang Thio Sam Hong,
tapi sesudah ia memperkenalkan dirinya menurut pantas
seorang tetua. Thio Sam Hong harus turun tangan untuk
menegakkan rimba persilatan. Maka itu sesudah ia
memperkenalkan diri Oe Boen Cek telah mendesak Thio
Sam Hong sedemikian rupa. Sehingga guru besar itu tak
bisa mengelakkan diri lagi dari satu pertempuran.
“Bagus!” seru In Thian Ceng. “Kalau benar kau Pat Pie
Sin Mo, biarlah aku orang she In yang menyambut
tantanganmu.” Seraya berkata begitu, ia melompat masuk
ke dalam gelanggang.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru