Selasa, 24 April 2018

Tangan Geledek 1 Lanjutan Pedang Penakluk Iblis

---
Ji lid I
LULIANG-SAN
Nama Pegunungan Luliang-san ini amat terkenal. Bagi
rakyat jelata hanya terkenal sebagai pegunungan yang indah
dan panjang, yang mempunyai banyak puncak tinggi
menembus awan dan sukar didatangi orang. Akan tetapi
bagi orang-orang di dunia kang-ouw, nama Pegunungan
Luliang-san lebih terkenal lagi. Di pegunungan ini terjadi
banyak hal-hal hebat yang takkan dapat mudah terlupa oleh
tokoh-tokoh dunia persilatan. Di sebuah puncak
pegunungan ini pula terdapat makam dari dua orang datuk
persilatan, dua orang kakak-beradik seperguruan yang tinggi
ilmu silatnya, yang pada saat terakhir sebagai dua orang
kakek tua renta saling bunuh.
Di pegunungan ini pula menjadi perebutan kaum rimba
persilatan kitab dan pedang warisan kakek sakti itu. Akhirakhir
ini Luliang-san menjadi makin terkenal karena bengcu
baru yang memimpin semua partai persilatan bertempat di
puncak pegunungan itu. Bengcu itu adalah Wan Sin Hong.
seorang pendekar gagah perkasa yang tinggi ilmu silatnya.
2
Pegunungan Luliang-san berderet-deret di sepanjang
perbatasan Propisi Shensi sebelah timur, memisahkan
Propinsi Shensi dari Propinsi Sansi. terus ke utara sampal di
perbatasan Mongol. Bukit-bukit indah berjajar di sepanjang
Sungai Huangho atau Sungai Kuning yang terkenal itu.
Karena pegunungan ini berada di lembah Sungai Huangho,
maka tanahnya amat subur penuh tetumbuhan dan pohon
besar.
Diantara puncak-puncak yang tinggi terdapat sebuah
puncak yang menjulang menembus awan, puncak inilah
yang amat terkenal karena di situlah adanya dua buah
makam yang terkenal itu, makam dari dua orang kakek sakti
kakak beradik seperguruan yang bernama Pak Hong Siansu
dan suhengnya Pak Kek Siansu. Di puncak ini pula dahulu
menjadi tempat pertapaan kakek sakti Pak Kek Siansu dan di
sini terdapat bagian puncak yang disebut Jeng-in-thia
(Ruang-an Awan Hijau). Indah sekali tempat ini dan jarang
terinjak kaki manusia biasa.
Agak ke bawah terdapat tiga makam dari Luliang Samlojin
(Tiga Orang Tua dari Luliang-san). Mereka ini adalah
murid-murid Pak Kek Siansu yang tewas ketika orang-orang
gagah memperebutkan kitab dan pedang wasiat peninggalan
Pak Kek Siansu dan kesemuanya terjatuh ke dalam tangan
Pendekar Besar Wan Sin Hong yang sekarang menjadi
bengcu dan dipuja serta ditaati oleh seluruh dunia kangouw.
(Baca PEDANG PENAKLUK IBLIS).
Waktu itu musim dingin telah tiba. Puncak Luliang-san
diliputi hawa dingin yang luar biasa sekali. Orang-orang
biasa takkan kuat menahan serangan hawa dingin ini dan
awan dingin merupakan tangan-tangan maut yang
menjangkau mencari korban. Matahari tak dapat menembus
halimun yang amat tebalnya, hanya setelah matahari naik
tinggi kabut itu mulai menipis dan orang akan dapat melihat
ke depan. Setelah matahari naik tinggi barulah burungburung
dan binatang hutan berani ke luar.
3
Tanpa lindungan matahari, biarpun tubuh para binatang
ini diselimuti oleh bulu tebal, tetap saja kabut dingin akan
menembus dan membunuh mereka. Apalagi di bagian
puncak Jeng-in-thia itu! Dalam musim panas sekalipun
puncak ini selalu diliputi awan kehijauan yang dingin.
Dalammusim dingin seperti itu, tak tertahankan lagi, baik
oleh orang-orang yang sudah terlatih dan memiliki hawa
dalam tubuh yung kuat sekalipun.
Akan tetapi, pada saat sedingin itu, seorang laki-laki
muda belumtiga puluh tahun usianya, duduk berslla di
depan gua Jeng-in--thia begitu asyik dia dalam semadhinya
dan hawa yang perlahan-lahan ke luar dari lubang
hidungnya merupakan uap putih, menimbulkan
pemandangan yang menyeramkan karena ia kelihatan
seperti bukan rnanusia melainkan seorang penjaga gunung
itu. Apalagi setelah dari ubun-ubun kepalanya juga
mengepul uap putih ke atas!
Orang ini bukan lain adalah Wan Sin Hong, bengcu
daripada sekalian partai persilatan, semuda ini sudah
menjadi bencu dan dianggap sebagai pemimpin oleh tokohtokoh
seluruh dunia persilatan benar-benar merupakan hal
luar biasa sekali dan menjadi bukti betapa tingginya ilmu
kepandaian laki-iaki muda ini. Pada saat seperti itu, bengcu
ini ternyata sedang berlatih lweekang! Semenjak pedang
pusaka Pak-kek Sin-kiam terjatuh di dalam tangannya dari
seorang yang jahat seperti iblis bernama Liok Kong Ji (baca
Pedang Penakluk Iblis), Wan Sin Hong memperdalamilmu
kepandaiannya berdasarkan pelajaran dalamkitab
peninggalan Pak Kek Siansu yang telah dibakarnya namun
yang isinya telah pindah dalamingatannya. Kitab wasiat itu
memang mengandung sari pelajaran ilmu silat yang hebat.
Juga di situ terdapat pelajaran ilmu Lweekang dan lain ilmu
kesaktian tinggi.
Wan Sin Hong sudah menamatkan pelajaran ilmu pedang
dan dalam hal ilmu pedang, kiranya sukar dicari keduanya
4
yangmemiliki tingkat setinggi tingkatnya pada masa itu.
Akan tetapi ia masih muda dan dalam hal ilmu lweekang dan
kesaktian lainnya, memerlukan latihan yang tekun dan lama
di samping pelajaran yang tepat dan baik. Pelajaran ilmu
lweekang yang terdapat dalam kitab warisan Pak Kek Siansu
bukan hanya luar biasa, bahkan ajaib sehingga dalam usia
muda Sin Hong sudah memiliki sinkang (hawa sakti dalam
tubuh) yang luar biasa.
Apalagi selama empat lima tahun ini Wan Sin Hong
melatih diri di Jeng-in-thia, puncak dari Luliang-san.
lweekang yang ia pelajari terdiri dari dua bagian, yaitu
bagian Yang (panas/aktip). Melatih-nya harus di bawah
panas terik matahari, atau di dekat api unggun, di tempat
yang sepanas-panasnya. Untukmelatih ini Sin Hong sengaja
pergi ke daerah Mongol di utara dan berlatih di tengah gurun
pasir yang panas luar biasa. Dan sekarang bengcu ini tengah
berlatih lweekang bagian ke dua, yaitu bagian Im (dingin/
pasip) yang biasanya dilatih di tengah malam di puncak
gunung pada saat 'hawa sedingin-dinginnya. Sekarang
musim dingin telah tiba, maka puncak Jeng-in-thia itu
merupakan tempat yang amat baik sekali untukmelatih Imkang
(tenaga Im).
Setelah matahari naik tinggi dan uap putih dari kepala
dan hidungnya menipis tanda bahwa di luar tidak begitu
dingin lagi, Sin Hong menyudahi latihannya. Selagi ia
menggerakkan tubuh hendak bangkit, telinganya yang tajam
itu mendengar sesuatu dan matanya berkilat ke arah suara.
Dilihatnya bayangan, orang sedang mendatangi dari bawah
puncak.
Setelah tiba di puncak, sekali menggerakkan kaki
bayangan itu telah tiba di hadapannya. Jarak yang dicapai
oleh sekali lompatan ini tidak kurang dari lima tombak.
Melihat betapa kaki dan tangan orang itu hampir tidak
kelihatan bergerak, dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu
ginkang (meringankan tubuh) dari orang itu.
5
Sin Hong memandang tajam dan melihat seorang wanita
muda dan cantik jelita berdiri di depannya. Wanita ini
merias wajahnya secara sederhana sekali. Rambut yang
hitam dan panjang itu digelung ke atas dan diikat dengan
sehelai kain sutera kecil. Akan tetapi pakaiannya cukup
indah dan mewah. Bajunya berkembang, di dadanya
terdapat lukisan burung garuda. Celananya terbuat dari-pada
sutera halus berkembang pula. Pakaian yang ringkas ini
mencetak tubuhnya dan membuat bentuk tubuhnya yang
bagus nampak nyata.
Di pinggangnya tergantung pedang yang indah gagangnya,
membuat ia kelihatan gagah sekali. Wajahnya yang cantik
nampak kemerahan, bibirnya tersenyumakan tetapi
sepasang alis di atas mata bintang itu terangkat tanda
bahwa ia sedang tak senang hati.
"Wan Sin Hong, kau manusia sombong...!" inilah kata-kata
pertama yang keluar dari bibir merah itu membuat Wan Sin
Hong tersenyum.
"Hui-eng Niocu, kau masih belumberubah. Sama benar
dengan beberapa tahun yang lalu!"
Wanita itu adalah Siok Li Hwa yang berjuluk Hui-eng
Niocu (Nona Garuda Terbang) dan menjadi ketua dari
Perkumpulan Hui-eng-pai yang berada di Go-bi-san. Dia
masih gadis, berusia kurang lebih dua puluh lima tahun. Li
Hwa adalah seorang gadis yang memiliki kepandaian tinggi
karena dia adalah ahli waris tunggal dari Put-jiu Nio-nio,
seorang nenek tokoh kang-ouw yang namanya pernah
menggemparkan empat penjuru jagat.
Bibir yang merah dan indah bentuknya itu tersenyum
mengejek.
''Orang gagah memang tidak seharusnya berubah-ubah,
tanda bahwa kulit sama dengan isi. Tidak seperti engkau,
setelah menjadi bengcu, kau berubah sama sekali. Hai, Wan6
bengcu (Ketua Wan), apa namanya orang yang tidak
memegang teguh janjinya?"
Melihat gadis itu makin naik darah. Sin Hong
memperlebar senyumnya. "Namanya tentu saja orang pelupa
atau seorang yang tidak boleh dipercaya."
"SinHong, kau termasuk golongan pertama atau ke dua?"
kata-kata gadis ini dikeluarkan dengan suara penuh
penjelasan.
"Ini ...... hemmmm, entahlah,Niocu, Mungkin keduaduanya."
"Kau memang berubah banyak sekali semenjakmenjadi
bengcu. Kau pertapa muda yang pikun, mengapa menyebut
Niocu kepadaku? Apa kau sudah lupa lagi siapa namaku?
Kalau lupa, kuingatkan. Namaku Siok Li Hwa dan dahulu
kau menyebutku cukup memanggil namaku saja. Atau kau
sengaja mengubah sikap!"
"Aaah, aku lupa. Maafkahlah, karena sudah lama, aku
lupa dan tentu saja aku tadi tidak berani sembarangan
menyebut namamu. Sekarang aku ingat, maafkan aku, Li
Hwa."
"Sedikitnya kau masih mau mengubah kesalahan," Li Hwa
mengomel dan tampak agak senang. "Kau tadi mengaku
mungkin kau pelupa dan tak boleh dipercaya. Memang kau
pelupa dan pikun ini sudah terang. Akan tetapi apakah kau
tak boleh dipercaya?"
"Agaknya begitulah, Li Hwa. Orang pelupa mana boleh
dipercaya?" Li Hwa membanting-banting kakinya.
"SinHong, apakah kau sengaja hendakmempermainkan
aku? Lupakah akan janjimu dahulu bahwa kau pasti datang
ke Go-bi -san mengunjungi aku? Mengapa sampai sekarang
kau belumpernah datang? Dahulu aku memberi waktu
setahun, dan aku telah menanti-nanti sampai bertahuntahun.
Sin Hong, kau benar-benar tak punya hati dan
7
menyiksa aku secara kejamsekali ...... " Gadis ini tiba-tiba
menjadi merah matanya, tanda bahwa air matanya sudah
memenuhi pelupuk matanya.
Tentu saja Wan Sin Hong ingat akan semua itu, ingat
bahwa dahulu memang ia berjanji hendak mengunjungi
gadis itu di Go-bi-san. Masih ingat ia betapa empat lima
tahun yang lalu berjumpa untuk pertama kalinya dengan
Hui-eng Niocu Siok Li Hwa ini di puncak Ngo-heng-san di
mana sedang diadakan perebutan bengcu (baca Pedang
Penakluk Iblis). Di puncak itu Li Hwa selain menyatakan
hendak menanti kunjungannya dan hendak mencari kalau
selama setahun dia tidak juga datangmengunjungi, juga
gadis ini dengan terus terangmenyatakan cinta kasihnya!
Inilah sebetulnya yang memberatkan hatinya. Kalau dahulu
Li Hwa tidak menyatakan cinta kasihnya, agaknya ia sudah
mengunjungi gadis itu di Go-bi-san. Akan tetapi perasaan
gadis itu terhadapnya membuat Sin Hong merasa bingung
dan serba salah.
"Jangan kau marah, Li Hwa. Selama ini aku sibuk, banyak
terjadi kekacauan di dunia kang-ouw dan aku sebagai
bengcu tentu saja berkewajiban untuk membereskan semua
ini."
"Aku pun tahu akan hal itu, Sin Hong, kau kira aku tidak
tahu akan segala gerak-gerikmu selama ini? Kau telah
meredakan pertikaian yang timbul antara Teng-sanpai dan
Kong-thong-pai di An-wei, kau telah membantu Siauw-lim-pai
menangkapmuridnya yang murtad di daerah Shantung, kau
telah memulihkan keamanan di sekitar Ta-pa-san, dan kau
telah membantu membereskan keributan di Kun-lun-pai
karena pemilihan Ketua. Akan tetapi aku juga tahu bahwa
kau telah berjasa besar dalam menindih penyelewengan
kaum liok-lim yang berpusat di kaki Go-bi-san. Kau sudah
sampai da sana, sudah dekat tempat tinggalku, mengapa
tidak juga berkunjung? Pendeknya, kau ini menjadi
sombong, atau memang sudah lupa kepadaku, atau barang
8
kali sengaja kau menjauhkan diri karena kau ...... benci
kepadaku!" Sekarang air mata itu tak dapat ditahan lagi,
menitik turun ke pipi bertitik-titik.
Sin Hong melongo. Bagaimana gadis ini benar-benar
mengetahui segala sepak terjangnya selama ini? Behar-benar
seorang gadis luar biasa sekali!
"Bukan itu saja, Li Hwa. Terus terang saja, selebihnya
waktu selama ini kupergunakan untuk melatih Lweekang
dan ...... "
"Tak perlu menjual omongan seperti tukang obat! Kau kira
aku pun tidak tahu? Kau pergi ke daerah Mongol, berjemur di
tengah gurun pasir. Ah, kukira kau sudah gila, tidak tahunya
kau melatih Yang-kang yang luar biasa. Kau ingat untuk
melakukan hal-hal baik, akan tetapi lupa untuk
mengunjungi aku. Sin Hong, kau tahu bahwa aku cinta
kepadamu. Di dunia ini hanya kau seorang yang kucinta,
dan hanya satu kali saja dalamhidupku aku mencinta orang.
Akan tetapi kau betul-betul tidak mempunyai hati, kau
kejam."
Kembali Sin Hong melengak. Kalau gadis itu mengetahui
akan semua yang ia lakukan selama ini, tidak bisa lain tentu
gadis ini melakukan pengintaian, atau mungkin juga
anggauta-anggauta Hui-eng-pai yang melakukan. Demikian
besar perhatian gadis ini terhadap dirinya sampai bertahuntahun
masih saja ingat dan mengejar-ngejar, membuktikan
bahwa cinta kasihnya bukan main-main!
Selagi Sin Hong berpikir-pikir untuk mencari alasan dan
untuk memberi jawaban yang tepat dan tidakmenyakitkan
hati, tiba-tiba ia mendengar tindakan kaki orang mendatangi
dari bawah puncak. Biarpun yang berjalan itu memiliki
kepandaian tinggi, namun Sin Hong yang sudah terlatih baik
itu dapat mendengar datangnya tiga orang yang naik ke
puncak, Sin Hong menjadi bingung. Biasanya yang datang
mengunjungi tentu tokoh-tokoh kang-ouw yang ternama.
Kalau sampai mereka melihat dia sedang bercakap-cakap
9
dengan Li Hwa, seorang gadis muda yang cantik, tentu
mereka akan salah sangka dan mengira yang bukan-bukan.
"Li Hwa, ada orang datang. Harap kau masuk ke gua
dulu."
"Aku tahu ada orang datang. Biar saja, aku tidak takut
kepada mereka!" katanya gagah sambil meraba gagang
pedangnya.
"Kalau yang datang orang jahat masih tidak mengapa,
akan tetapi kalau mereka itu sahabat-sahabat kang-ouw,
bukankah akan ...... akan tidak baik ...... ?"
"Sin Hong, orang muda canggung seperti engkau ini
masih menjadi bengcu? Hemm, sungguh lucu. Kau takut
apakah? Seorang gagah tidak akan rnundur setapak, tidak
akan takut menghadapi apa pun juga asal dia berdiri di atas
kebenaran, Kita berdua tidak melakukan pelanggaran apaapa
mengapa kau takut-takut dan malu-malu?"
Sin Hong terpukul. Memang ucapan gadis ini tepat sekali.
Diam-diamia pun merasa aneh. Kalau dia sudah tidak ambil
pusing tentang gadis ini, tidak mempunyai perasaan apa-apa
terhadap gadis ini, mengapa kehadirannya membikin dia
merasa malu kepada orang lain?
Sementara itu, dari bawah puncak berkelebat tiga
bayangan orang dan di lain saat, tiga orang aneh telah
berdiri menghadapi Sin Hong dan Li Hwa. Sin Hong kaget
bukan main melihat orang-orang ini. Melihat cara mereka
naik ke puncak membuktikan kelihaian mereka. Akan tetapi
bukan ini yang mengejutkan Sin Hong, melainkan wajah dan
keadaan tubuh mereka itu. Orang pertama bertubuh
jangkung kurus dengan jari-jari tangan panjang berkuku
seperti cakar setan, nampaknya kuat bukan main. Kepalanya
gundul pelontos tidak kelihatan akar rambut sehelai pun,
agaknya kulit kepala itu sudah mati. Tidak saja gundul
bahkan kepala itu potongannya lonjong ke atas pletat-pletot
seperti buah waluh.
10
Orang ke tiga lebih lucu lagi. Tubuhnya kurus kering
seperti cecak mati, apalagi sepasang lengannya hanya kulit,
membungkus tulang seperti rangka jerangkong. Dilihat dari
depan, kepalanya seperti gundul akan tetapi kalau orang
melihat dari samping atau belakang, kepalanya ada
rambutnya lurus ke belakang seperti duri binatang landak.
Matanya lebar hidungnya pesek dan mulutnya lebar.
Potongan mukanya tajam hingga kalau dilihat dari
samping, persis kepala burung siluman! Seperti juga si
kepala gundul, si botak ini potongannya tidak karuan macamnya.
Bedanya kalau si gundul itu memakai selendang
pada dadanya yang mengalungi pundaknya, adalah si botak
ini setengah telanjang karena bajunya terbuka dan awutawutan!
Orang ke tiga paling menyeramkan. Tubuhnya besar dan
kuat. Mukanya seperti singa dan rambutnya memenuhi
kepala, kasar dan panjang riap-riapan, pakaiannya seperti
yang biasa dipakai oleh pertapa, longgar dan sederhana.
"Iiihh, kalian ini manusia atau silu... man?" Li Hwa
bertanya sambil melangkah mundur dan mencabut
pedangnya. Akan tetapi Sin Hong menegurnya dengan
pandangan mata, kemudian ia melangkah maju dan menjura
dengan penuh hormat. "Kedatangan Sam-wi Locianpwe yang
terhormat, di puncak Jeng-in-thia dari Luliang-san ini, aku
yang muda mengucapkan selamat datang. Tidak tahu Samwi
Locianpwe datang dari mana dan ada keperluan apakah?"
Tiga orang itu saling pandang, kemudian bagaikan
mendapat komando, ketiganya tertawa terbahak-bahak.
Suara ketawa mereka nyaring, aneh dan menyeramkan
sehingga terdengar seperti ringkik kuda dan suara burung
hantu. Mendengar suara ketawa ini, bulu tengkuk Li Hwa
sampai meremang semua. Gadis ini maklum bahwa di dalam
suara ketawa ini terkandung pengerahan khi-kang yang kuat,
maka cepat ia mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi
11
bagian-bagian lemah dari tubuhnya agar jangan terpengaruh
oleh suara ketawa itu.
Si Jangkung Gundul melangkan maju. "Apakah kau Wanbengcu?"
Suaranya serak dan kasar seperti burung gagak.
"Aku yang muda memang betul Wan Sin Hong yang
mendapat kehormatan dipilih sebagai bengcu."
Kembali tiga orang itu saling pandang dan tertawa
bergelak. Kakek ketiga yang rambutnya riap-riapan dan
mukanya seperti Singa itu menoleh ke arah Li Hwa sambil
menyeringai, kemudian tanyanya dengan suara yang besar
dan dalamsekali, "Si manis itu binimu?"
SebelumSin Hong menjawab, Li Hwa sudah membentak
marah. "Siluman busuk jangan asal buka mulut saja! Aku
Hui-eng Niocu Siok Li Hwa kalausudah merasa terhina, tidak
akan menjanin kepalamu tinggal utuh lagi!"
"Aduh galaknya'" kata Si Jangkung Gundul yang
menyambut kata-katanya dengan suaranya yang parau
menyakitkan telinga. "Wan-bengcu, ketahuilah bahwa aku
bernama Ci Kui, mereka berdua ini adalah sute-suteku."
"Aku Ang Bouw," kata Si Botak.
"Aku Ang Louw," kata Si Rambut Riap-riapan.
Li Hwa mengeluarkan suara menyindir lalu berkata
nyaring. "Sudah lama aku mendengar bahwa raja besar di
utara makin berkuasa dan pemerintahnya makin maju
berkat bantuan orang-orang pandai dari barat dan dari utara.
Di antara mereka itu ada yang disebut Pak-kek Sam-kui
(Tiga Siluman dari Kutub Utara) tidak tahu apakah kalian ini
yang disebut Pak-kek Sam-kui?"
Tiga orang kakek aneh itu saling pandang, kemudian
tertawa besar. "Tidak kusangka Nona mengenal nama besar
kami. Memang betul, kami bertiga yang dimaksudkan
dengan sebutan Pak-kek Sam-kui itu. Aku berjuluk Giam-loong
(Raja Maut), Sute Ang Bouw ini Liok-te Mo-ko (Iblis
12
Bumi), Sute Ang Louw disebut Sinsai-kong (Pendeta Singa
Sakti)."
"Setelah kami mengenal Sam-wi, apakah selanjutnya
yang Sam-wi kehendaki dengan kunjungan ini?" tanya Sin
Hong yang merasa tidak senang mendengar bahwa mereka
ini adalah pembantu-pembantu dari Temu Cin, raja baru di
Mongol yang makin lama makin berkuasa dan merupakan
ancaman bagi pedalaman Tiongkok.
Dengan mulut terkekeh Giam-lo-ong Ci Kui Si Kepala
Gundul menjawab, "Wan-bengcu, kami datang bukan dengan
maksud buruk. Kami adalah utusan raja besar kami, disuruh
mencarimu mengundangmu ke Mongol. Khan (Raja) kami
ingin berjumpa dengan Wan-bengcu, oleh karena itu Wanbengcu
diperintahkan untuk segera menghadap ke sana
bersama kami."
Terang bahwa tiga orang kakek aneh yang menjadi
utusan Raja Mongol itu memandang rendah kepada bengcu
yang masih muda ini, buktinya undangan itu mereka ubah
menjadi perintah menghadap. Akan tetapi Sin Hongmasih
bersikapsabar. Dengan senyum lebar ia berkata.
"Apakah Sam-wi tidak salah?Mungkin bukan aku yang
diperintahkan menghadap oleh karena selama hidupku
belum pernah aku bertemu dengan rajamu. Aku dan dia
tidak pernah berkenalan, bagaimana bisa tahu tentang
diriku dan minta menghadap?"
"Wan-bengcu jangan salah mengerti. Sudah tentu Khan
kami mendengar tentang diri bengcu maka bengcu dipanggil
menghadap. Khan kami mengenal bengcu dari keterangan
Thian-te Bu-tek Taihiap."
Sin Hong dan Li Hwa heran mendengar sebutan ini.
Thian-te Bu-tek Tai-hiap berarti Pendekar Besar Tanpa
Tandingan di Seluruh Dunia! Siapa orangnya yang sudah
begitu nekad dan berani mati menggunakan julukan macam
itu?
13
"Harap Sam-wi sampaikan terima kasihku kepada rajamu
atas undangan itu, juga maafkan bahwa aku terpaksa tidak
dapat memenuhi permintaannya. Aku pun tidak pernah
kenal dengan orang yang mengaku sebagai Thian-te Bu-tek
Taihiap itu. Kalau rajamu ada kepentingan sesuatu boleh
disampaikan melalui utusan saja, tak usah. aku datang
menghadap kesana.”
"Wan-bengcu, jangan sekali-kali kau berani memandang
rendah kepada tai-hiap!" kata Sin-sai-kong Ang Louw dengan
suaranya seperti singa mengaum.
"Wan-bengcu harap jangan menolak. Raja kami sudah
berlaku sabar dan baik terhadapmu sehingga tahun lalu
ketika bengcu melanggar wilayah Mongol di gurun pasir,
kami tidak berbuat sesuatu " kata Liok-te Mo-ko Ang Bouw.
Kaget hati Sin Hong mendengar ini. Jelas bahwa Temu Cin
Raja Mongol itu benar-benar mempunyai pembantupembantu
yang hebat sehingga ketika ia berlatih lweekang di
gurun pasir, mereka juga mengetahui
"Maafkan, terpaksa aku membikin kecewa Sam-wi
Locianpwe. Sungguh aku tidak dapat memenuhi kehendak
rajamu untuk menghadap."
Tiga orang kakek itu nampakmarah. Sayang," kata Liok-te
Mo-ko Ang Bouw dengan suaranya yang tinggi kecil, "sayang
sekali tai-hiap melarang kita turun tangan. Kalau tidak ingin
aku mencoba-coba kelihaian bengcu yang muda ini. Hi hi hi
...”.
KalauWan Sin Hong mendengarkan dengan sabar dan
tenang, adalah Li Hwa yang menjadi panas hatinya. Digerakgerakkan
pedangnya di depan dada dan ia membentak.
"Kalian ini tiga siluman macamapakah? Bukan begitu
menjadi utusan raja. Kalian sudah menyampaikan
undangan, yang diundang sudah menolaknya, kau tinggal
melapor kepada yang mengutus. Habis perkara. Mengapa
banyak cerewet dan ngoceh di sini? Mau coba-coba mengapa
14
mesti ada perkenan dari segala macam taihiap? Kalau sudah
bosan hidup dan mau coba-coba, majulah. Tak usah dengan
bengcu, dengan aku pun kalian bertiga siluman-siluman
jelek boleh maju terima binasa!"
"Li Hwa, jangan kasar terhadap tamu ...... " Sin Hong
mencegah.
Sin-sai-kong Ang Louw yang wataknya mata keranjang,
mendengar tantangan Li Hwa ini, segera melompat maju dan
berkata kepada suhengnya.
"Suheng, kita belumboleh menggangguWan-bengcu,
akan tetapi tiada jeleknya main-main sebentar dengan Nona
manis ini."
SebelumGiam-lo-ong Ci Kui menjawab, Li Hwa dengan
pedang hijaunya menyerang Ang Louw. Pedang di tangan
nona ini lenyap berubah menjadi sinar hijau yang
menyilaukan mata. Ini tidak mengherankan oleh karena
yang dipegangnya itu adalah Cheng-liong-kiam(Pedang Naga
Hijau), pedang pusaka peninggalan mendiang Pat-jiu Nio-nio
gurunya. Apalagi yang memainkan adalah Li Hwa yang
memiliki kiamsut (ilmu pedang) tinggi dan gerakannya cepat
bagaikan kilat menyambar.
"Pedang bagus!" Pendeta bermuka singa itu menggeram.
Suaranya menggetar seperti auman singa. Kalau Li Hwa
tidak memiliki sinkang yang tinggi tentu akan lumpuh
mendengar geraman. Biarpun ia sudah mengerahkan tenaga,
tetap saja jantungnya berdebar dan kedua kakinya agak
gemetar karena pengaruh geraman ini sehingga ia terkejut
bukan main dan menyerang dengan sungguh-sungguh.
Pedangnya membuat gerakan memutar, lalu meluncur maju
dengan gerakan berlenggok seperti ular merayap, mengarah
tubuh lawan bagian dada, sukar diketahui lebih dulu ke
mana pedang hendakmenusuk, ke tenggorokan atau ke ulu
hati. Inilah gerak tipu ilmu pedangnya yang disebut Hui-engtok-
cia (Garuda TerbangMematuk Ular), sebuah )urus lihai
dari ilmu pedangnya Hui-eng-kiam-sut.
15
Akan tetapi, Sin-sai-kong Ang Louw ternyata bukan
orang sembarangan. Melihat hebatnya tusukan pedang yang
mengarah dua jurusan ini, ia berlaku tenang dan otomatis
kedua lengannya diangkat, sepuluh jari tangannya yang
berkuku singa menjaga di depan dada, yang kini menjaga ulu
hati, yang kanan menjaga dekat leher. Pedang sinar hijau
datang menusuk, secepat kilat menerobos hendak menusuk
ulu hati.
"Cringgg ...... !" Pedang terpental akan tetapi terus
meluncur agak ke atas, kini menusuk tenggorokan. Kembali
Ang Louw menggerakkan tangan dan sekarang jari tangan
kiri melakukan gerakan menyentil.
Sin Hong kagum sekali. Menangkis pedang setajam
pedang pusaka Cheng-liongkiamhanya dengan sentilan
kuku jari, benar-benar hanya mampu dilakukan oleh orangorang
yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya. Ia maklum
bahwa kakek bermuka singa ini merupakan lawan berbahaya
dan tangguh sekali bagi Ll Hwa, maka ia segera berseru.
"Li Hwa, cukuplah main-main ini'"
Akan tetapi gadis seperti Siok Li Hwa ini mana mau
mengalah dan puas begitusaja? Ia memang berwatak aneh
dan tidak pernah kenal apa artinya takut.
"Aku harus memberi hajaran kepada singa kaki dua ini!"
serunya dengan penasaran karena pedangnya ditangkis
lawan dua kali hanya dengan sentilan kuku jari. Cepat ia
mengerahkan tenaga pada dua kakinya dan tahu-tahu
tubuh yang langsing itu melesat ke atas bagaikan seekor
burung garuda dan ketika lawannya memandang ke atas,
secepat garuda menyarnbar Li Hwa melayang turun dengan
pedang bergulung merupakan sinar hijau menyambarnyambar
ke arah lawannya dari atas. Serangan ini lebih
hebat dari tadi dan inilah ilmu serangan yang di-sebut Huieng-
lothian (Garuda Terbang Mengacau Langit).
16
"Lihai sekali ...... !" Sin-sai-kong Ang Louw berseru kaget.
Ia tidak dapat menangkis seperti tadi karena kini pedang
pusaka itu bukan menusuk, melainkan menyambar dengan
bacokan hebat. Juga untuk mengelak sukar sekali karena
serangan datang dari atas secara bertubi-tubi. Terpaksa Si
Muka Singa ini menggulingkan dirinya ke atas tanah. Sambil
bergulingan kedua tangannya bergerak-gerak ke atas
melindungi tubuh sehingga ketika Li Hwa turun
menusuknya berkali-kali, kembali terdengar suara nyaring
"cring, cring, cring ...... !" dan kini pertemuan antara pedang
pusaka dan kuku jari tangan itu bahkan menimbulkan
bunga api berpijar!
"Hebat ...... !" Sin Hong berkata perlahan menahan napas
menyaksikan kelihaian Si Muka Singa ini.
Li Hwa menjadi marah, dan ketika melihat kesempatan
baik, kaki kirinya bergerak dan sebuah tendangan tepat
mengenai pundak lawannya yang masih bergulingan
sehingga tubuh lawannya itu terlempar tiga tombak lebih!
Hebatnya begitu tiba di tanah, si Muka Singa melompat
berdiri, sama sekali tidak kelihatan sakit atau terluka,
padahal tendangan Li Hwa tadi dapat membunuh lawan lain
dengan mudah.
"Hui-eng Niocu lihai sekali!" kata Sin-sai-kong Ang Louw
sambil menyeringai dengan muka mengandung ejekan.
"Cukup, Sute. Jangan-jangan kita mendapat marah dari.
taihiap kalau sampai salah tangan," kata Giam-lo-ong Ci Kui.
"Kita sudah menguji kelihaian ilmu silat dari Hui-eng
Niocu, juga kelihaian ilmu pengobatan dari Wan-bengcu.
Nah, Wan-bengcu, sampai jumpa kembaii dalam waktu
dekat." Setelah berkata demikian, Giam-lo-ong Ci Kui
melompat sambil menyambar tangan Liok-te Mo-ko Ang
Bouw, di lain fihak Ang Bouw juga menyambar tangan Sinsai-
Kong Ang Louw adiknya dan di lain saat tiga orang kakek
itu sambil bergandengan tangan melayang turun dari
puncak Jeng-in-thia.
17
"Sungguh mereka itu lihai ...... " kata Sin Hong sambil
menghela napas. "Kalau orang-orang seperti itu datang
memusuhi dunia kang-ouw, tugasku makin berat saja."
"Sin Hong, mengapa kaupusingkan semua itu? Lihat,
jauh-jauh dari Mongol orang datang mencari kau yang
menjadi bengcu. Mari kautinggalkan tempat ini dan ikut aku
ke Go-bi-san saja, di mana kita bisa hidup tenteram. Aku
yangmenjamin bahwa hidupmu akan bahagia dan tidak
terganggu, Sin Hong." Kata-kata ini diucapkan penuh
perasaan oleh Li Hwa sehingga suaranya menggetar. Tangan
kanan yang memegang pedang tergantung di samping, ujung
pedangnya menyentuh tanah.
Sin Hong tersenyum. "Terima kasih, Li Hwa. Kau baik
sekali. Akan tetapi aku tak dapat memenuhi ajakanmu itu.
Tak mungkin aku meninggalkan kawan-kawan, apalagi
kalau keadaan mereka terancam oleh orang-orang Mongol
itu."
"SinHong, mengapa kau begitu keras hati? Kau tahu aku
mencintaimu, dan hasrat hidupku satu-satunya hanya ingin
membahagiakan kau, ingin hidup di sampingmu
menghabiskan usia yang tidak berapa banyak lagi ini. Sin
Hong, kita sudah sama-sama bertambah tua, mau tunggu
kapan lagi kalau kita tidak lekas-lekas berumah tangga? Sin
Hong, apakah sedikit pun kau tidak dapat membalas cinta
kasihku yang setulusnya?" Suara gadis itu kini merayu
penuh keharuan.
Sin Hong merasa susah sekali. Dengan bingung ia
menggosok-sosok dagunya dan kemudian ia mengeraskan
hati mengambil keputusan untukmemberi jawaban yang
sebenamya.
"Li Hwa, kau tadi bilang bahwa kau hanya dapat mencinta
seorang saja di dunia ini. Demikian pun aku, Li Hwa. Aku
pernah mencintai seorang gadis dan biarpun aku gagal
dalampercintaan itu, akan tetap setia kepadanya dan tidak
mungkin aku menerima cinta kasih gadis lain."
18
Muka Li Hwa menjadi pucat sekali kemudian berubah
merah. Matanya memancarkan cahaya berapi penuh
cemburu dan kecewa.
"Kau mencintaGak Soan Li?" tanyanya sambil
melintangkan pedangnya di dada, tangan kirinya menuding
ke dada Sin Hong.
Disebutnya nama Gak Soan Li mengingatkan Sin Hong
akan semua pengalamannya yang dulu. Pengalaman yang
menyedihkan. Gak Soan Li adalah seorang gadis cantik jelita
dan gagah perkasa, murid Hwa I Enghiong yang masih
terhitung suhengnya sendiri. Gak Soan Li mencinta
kepadanya, cinta kasih yang murni dan suci, mencinta
kepadanya dengan sepenuh jiwa biarpun gadis itu mengira
dia seorang pemuda tani biasa saja, karena dalam
pertemuannya dengan Gak Soan Li dia mengaku sebagai
seorang pemuda dusun. Sampai gadis itu menjadi gila oleh
karena perbuatan keji dari manusia iblis Liok Kong Ji, gadis
itu masih terus mencintanya sepenuh hati. Sekarang gadis
itu telah menjadi isteri muda dari Pangeran Wanyen Ci Lun
yang wajahnya sama benar dengan dia karena memang
Wanyen Ci Lun itu masih terhitung saudara misannya dan
dia sendiri adalah keturunan Pangeran Wanyen juga. Semua
ini terbayang kembali di depan matanya membuat ia
termenung (baca Pedang Penakluk Iblis).
"SinHong, kau betul-betul mencinta Gak Soan Li yang
sudah menjadi isteri Pangeran Wanyen Ci Lun?" tanya lagi Li
Hwa dengan suara sayu.
Sin Hong menggeleng kepalanya dengan ragu-ragu.
Memang sejak dahulu ia pun ragu-ragu, entah Soan Li entah
Hui Lian yang telah merampas hati dan cinta kasihnya.
Terhadap dua orang wanita ini ia mempunyai kenangan
mesra.
"Kalau begitu, tak salah lagi, kau tentu mencinta Go Hui
Lian'" kata pula Li Hwa yang mulai menangis. "Cih laki-laki
tak tahu malu. Sin Hong, di manakah kegagahanmu? Ke
19
mana perginya semangatmu? Go Hui Lian sudah menjadi
isteri orang, mungkin sekali sudah menjadi ibu, dan kau
masih setia dan tetap mencinta kepadanya? Bukankah
perasaan yang demikian itu rendah dan hina?"
Sin Hong hanya menundukkan kepala, keningnya
berkerut, pandang matanya muram, nampaknya bersedih
sekali. Melihat ini, Li Hwa menjadi kasihan lagi. la melangkah
maju, ditariknya lengan Sin Hong.
"SinHong, lupakanlah kenangan lama. Marilah kau ikut
aku ke Go-bi-san. Biarpun kau tidak menyintaku, biarlah.
Aku cukup bahagia kalau melihat kau hidup tenteram dan
aku dapat melayanimu, dapat selalu berada di sampingmu
...... "
Sin Hong memandang kepada gadis itu, hatinya terharu.
Alangkah akan bahagianya hidup bersama seorang isteri
seperti Li Hwa ini. Kalausaja ia dulu bertemu dengan Li Hwa
sebelumia berjumpa dengan Soan Li dan Hui Lian. Kini tak
dapat ia berlaku rendah, tak mau ia menuruti maksud gadis
itu hanya untuk menghibur hatinya. Tidak tega ia
mempermainkan cinta kasih yang begitu mendalam dari
gadis ini.
"Tidak, Li Hwa. Aku akan berbuat keliru dan berdosa
kalau aku ikut dengan engkau. Aku tidak berharga
untukmu. Pula, tugasku masih berat, dan aku harus
memenuhi tugas dan kewajibanku sebagai bengcu yang
sudah mendapat kepercayaan semua saudara di dunia kangouw."
Li Hwa menjadi lemas. "Kau ...... kau dulu berjanji
hendak datang ke Go-bi san ...... aku selama ini menantinanti
...... ternyata sia-sia ...... Sin Hong, kau menyakiti
hatiku. Kalau aku bersaing dalam cinta kasih dengan
seorang gadis lain, aku akan mengalah. Akan tetapi,
sainganku adalah isteri orang, mungkin ibu anak-anak. Kau
terlalu ...... menghinaku!"
20
Li Hwa membantingbanting
kakinya. Tibatiba
ia menjerit dan roboh
pingsan. Tubuhnya tentu
akan terbanting di atas
tanah kalausaja Sin Hong
tidak cepat-cepat
memeluknya.Wajah gadis
itu menjadi kebiruan,
matanya mendelik dan
mulutnya berbusa.
Sin Hong kaget sekali.
Dia adalah ahli waris dari
Tabib Dewa Kwa Siucai,
sekali pandang saja
tahulah ia bahwa gadis
itu telah menjadi korban
racun yang amat
berbahaya. Ia tidak
melihat datangnya
senjata gelap dan tidak melihat seekor pun binatang berbisa
yangmenggigit gadis itu. Mengapa begitu membantingbanting
kaki kirinya gadis itu lalu menjerit roboh pingsan?
Sin Hong membaringkan Li Hwa di atas rumput, lalu ia cepat
melepaskan sepatu kiri gadis itu dan memeriksa. Ternyata di
dekat ibu jari di telapak kaki kiri itu terdapat sebuah bisul
merah kecil sekali.
"Kurangajar, ini tentulah perbuatan Sin-saikong Ang
Louw." gerutunya dan tahulah ia kini apa artinya kata-kata
Giam-lo-ong Ci Kui yang menyatakan bahwa mereka telah
menguji ilmu pengobatan dari Wan-bengcu. Tidak ia sangka
sama sekali bahwa di waktu Li Hwa menendang tubuh Sinsai-
ong Ang Louw sampai terguling-guling tadi, Si Muka
Singa ini telah berhasil melukai kaki gadis itu, luka yang
dilakukan dengan sebuah jarum halus berbisa!
21
"Benar-benarmereka lihai. Berbahaya sekali orang-orang
seperti itu menjadi lawan," katanya sambil memeriksa luka di
kaki Li Hwa yang membengkak.
Dengan jarum peraknya, Sin Hong menusuk beberapa
jalan darah di kaki kiri, kemudian membelek sedikit kulit
kaki dekat luka itu, mengeluarkan jarum yang halus berbisa,
mengeluarkan pula darah kehijauan yang berada di sekitar
luka. Setelah itu, ia menempelkan telapak tangannya di
pinggang gadis itu, mengerahkan hawa sinkang untuk
memunahkan racun di tubuh Li Hwa. Perlahan-lahan muka
yang kebiruan itu mulai menjadi merah lagi.
Setelah yakin bahwa gadis ini telah terhindar dari
pengaruh racun, Sin Hong menarik kembali tangannya,
mengatur pernapasannya supaya pulih kembali, kemudian ia
mengobati luka bekas belekan dengan obat tempel yang luar
biasa manjurnya sehingga dalam sekejap saja, kulit yang
dibelek telah rapat kembali.
Setelah bahaya lewat dan hati pemuda ini merasa
tenteram, baru ternyata olehnya betapa mungil dan bagus
bentuknya kaki kiri Li Hwa yang dipegang-pegangnya itu.
Teringatlah ia akan pengalamannya dahulu ketika ia
menolong Gak Soan Li dan menyambung tulang tulang
kedua paha gadis itu yang remuk dipukul oleh seorang
penjahat keji bernama Giok Seng Cu (baca Pedang Penakluk
Iblis). Wajahnya menjadi merah dan hatinya berdebar. Cepatcepat
ia mengenakan kembali kaus kaki dan sepatu di kaki
gadis itu.
Li Hwa membuka matanya. Cepat ia meloncat berdiri dan
menyambar pedang Cheng-liong-kiam yang tadi terletak di
atas tanah. Ia memandang kepada Sin Hong dan mulutnya
meringis sedikit menahan sakit ketika kaki kirinya dipakai
berdiri. Ada rasa perih sedikit karena luka bekas belekan
belum sembuh benar.
"Li Hwa, kau tadi pingsan karena pengaruh racun jarum
gelap yang dilepaskan oleh Sin-sai-kong Ang Louw pada
22
kakimu ketika kau menendangnya tadi. Aku telah
melepaskannya dan mengobatinya, kau akan sembuh ...... "
Li Hwa nampak tercengang. Hal ini tidak pernah
diduganya dan kini ia ber-kata dengan suara cemas.
"Sin Hong, mereka begitu lihai ...... ! Kalau mereka
datang lagi dan mengeroyokmu ...... Marilah kau ikut aku
saja ke Go-bi-san, di sana aman dan mereka tak mungkin
dapat memasuki daerahku."
Sin Hong terharu. Gadis ini yang baru saja terlepas dari
bahaya maut, tidak memikirkan keadaan diri sendiri,
sebaliknya begitusiuman dan mendengar tentang kelihaian
musuh, malah merasa cemas untuk keselamatannya. Dari
sini saja dapat dilihat nyata betapa besar cinta kasih gadis
ini terhadap dirinya.
"Aku akan melawan mereka, Li Hwa. Kau pulanglah dan
rawat dirimu baik-baik." Air mata bercucuran dari sepasang
mata yang jelita itu. Dengan terisak-isak gadis ini berkata.
"Merawat diri baik-baik? Untuk apakah? Kau ...... kau
menolak dan mencinta seorang wanita yang sudah menjadi
isteri orang lain. Kau terlalu menyakiti hati-ku, kau terlalu
menghinaku ...... " Dengan isak tertahan gadis ini melompat,
tidak mempedulikan lagi telapak kaki kirinya yang sakit, lalu
lari cepat turun dari puncak Jeng-in-thia.
Sin Wong menahan napas, menyilang-kan lengan di depan
dada dan menundukkan kepala, kedua matanya dipejamkan.
Sampai lama ia berada dalam keadaan demikian, kemudian
terdengar ia menarik napas panjang berkali-kali.
-oo0mch0oo-
Kim-bun-to (Pulau Pintu Emas) adalah sebuah pulau
kecil yang indah di dekat pantai timur. Pulau ini dekat saja
dengan pantai, hanya terpisah oleh air laut sejauh dua li.
Rumah-rumah di atas pu-lau itu kelihatan jelas dari pantai.
23
Oleh karena air laut yang memisahkan pulau dan daratan
Tiongkok ini airnya selalu tenang, jernih, dan banyak
ikannya, maka tempat ini menjadi tempat pesiar dan
terkenal di seluruh Tiongkok. Selain menjadi tempat
menghibur hati, juga pantainya menjadi pusat perdagangan
yang ramai.
Rumah di Kim-bun-to bagus-bagus dan kelihatan semua
masih baru. Memang, lima tahun yang lalu, rumah-rumah di
atas pulau ini telah dibakar habis oleh barisan Pemerintah
Kin yang ditipu oleh penjahat siluman Liok Kong Ji.
Akhirnya, berkat bantuan Pangeran Wanyen Ci Lun, kaisar
insyaf akan kekeliruannya dan memerintahkan supaya
semua rumah yang terbakar diganti dengan rumah baru!
Pulau ini menjadi makin tersohor semenjak terjadi
peristiwa serbuan oleh tentara Pemerintah Kin itu. Di atas
pulau itu terjadi geger besar yang mengguncangkan dunia
kang-ouw. Terjadi pertempuran hebat antara tokoh-tokoh
persilatan yang terkenal menjagoi dunia kang-ouw di masa
itu. Dalampertempuran inilah jago-jago silat berguguran, di
antaranya Cam-kauw Sin-kai, sepasang suami isteri
Pendekar Go Ciang Le yang berjuluk Hwa I Enghiong dan
isterinya Sian-li Eng-cu Liang Bi Lan, dan masih banyak
orang-orang gagah lain yang kebetulan menjadi tamu di
waktu serbuan terjadi.
Di pihak para penyerbu, tewas pula See-thian Tok-ong
dan isterinya, Kwan Ji Nio. Sepasang suami isteri ini bukan
orang-orang sembarang, melainkan tokoh-tokoh besar dari
barat yang sudah menggoncangkan dunia persilatan di
Tiongkok. Semua ini terjadi pada saat dilangsungkan
pernikahan antara puteri Hwa I Eng-hiong Go Ciang Le yang
bernama Go Hui Lian dengan Coa Hong Kin, pemuda tampan
dan gagah murid dari Cam-kauw Sin-kai (baca Pedang
Penakluk Iblis).
Di antara sekian banyak rumah-rumah baru di atas
Pulau Kim-bun-to, terdapat sebuah rumah besar di tengah24
tengah, yangmenonjol karena paling tinggi di antara semua
bangunan di situ. Inilah rumah yang menjadi tempat tinggal
Coa Hong Kin dan isterinya. Pangeran Wan-yen Ci Lun yang
membangun rumah ini untuk membalas budi Coa Hong Kin
yang dulu menjadi tangan kanannya yang setia.
Keluarga Coa ini disegani dan dihormati oleh semua
orang baik penduduk Pulau Kim-bun-to maupun orangorang
yang datang dari daratan Tiongkok. Siapakah yang
berani mengganggu mereka dan bagaimana semua orang
tidak menghormati keluarga ini? Coa Hong Kin terkenal
gagah perkasa di samping sikapnya yang halus dan lemah
lembut seperti seorang terpelajar yang ramah tamah. Akan
tetapi di dalampertempuran ia akan berubah menjadi
seorang yang lihai bukan main dengan senjatanya yang
istimewa, yaitu sebatang tongkat pendek berkepala ular yang
disebut Coa-thouw-tung, ia dapat mainkan Ilmu Silat Camkauw-
tung-hoat (Ilmu Tongkat Pembunuh Anjing) dan
kiranya tidak banyak orang yang dapat mengalahkan dia
dengan ilmu tongkatnya ini.
Di samping dia, masih ada isterinya yang tidak kalah
lihainya, kalau tidak boleh dibilang lebih lihai malah!
Isterinya ini Go Hui Lian, adalah anak tunggal dari mendiang
Hwa I Enghiong Go Ciang Le yang kepandaiannya sudah
dikenal oleh semua tokoh kang-ouw. Sudah tentu saja Go
Hui Lian ini mewarisi kepandaian dari ayahnya dan juga dari
ibunya yang memiliki kepandaian sangat tinggi pula.
Kelihaian Hui Lian adalah permainan pedang, akan tetapi di
samping ini, ia pandai pula memainkan delapan belas macam
senjata dan ilmu silat tangan kosongnya juga sudah berada
di tingkatan tinggi.
Suami isteri ini mempunyai dua orang anak, seorang
anak laki-laki berusia empat tahun lebih, yang ke dua
seorang anak berusia dua tahun. Sebetulnya, anak pertama
yang laki-laki itu bukan anak mereka sendiri, melainkan
anak angkat. Anak ini mereka pelihara semenjak kecilnya
25
dan mereka beri nama Coa Tiang Bu. Rahasia bahwa anak
laki-laki ini bukan anak mereka yang sesungguhnya, mereka
simpan rapat sekali sehingga tidak ada orang lain yang
mengetahuinya. Hal ini adalah untukmenjaga nama baik ibu
yang aseli daripada anak itu. Ibunya bukan lain adalah Gak
Soan Li, suci dari Hui Lian.
Dalamcerita Pedang Penakluk Ibiis telah diceritakan
betapa Gak Soan Li ketika masih gadis terjatuh ke dalam
tangan penjahat siluman Liok Kong Ji dan dalam keadaan
tidak sadar dan setengah gila, Soan Li menjadi korban
kekejian Liok Kong Ji. Oleh karena itu, ketika Gak Soan Li
mengandung dan melahirkan anak, anak ini dianggap
sebagai anak yang tidak berayah. Diam-diam anak yang
hendak dibunuh oleh Gak Soan Li ini, dipelihara baik-baik
oleh Hui Lian yang mengaku sebagai puteranya sendiri.
Anak ke dua, yaitu puteri yang sesungguhnya dari Coa
Hong Kin dan Go Hui Lian, diberi nama Coa Lee Goat.
Semenjak kecil Coa Tiang Bu nampak sayang sekali kepada
Lee Goat. Setiap kali ia makan sesuatu tentu ia ingat kepada
adiknya ini dan memberinya. Kalau Lee Goat yang baru dua
tahun usianya itu menangis, Tiang Bu menghiburnya
sedapat mungkin sehingga nampak lucu sekali. Bahkan
kalau Lee Goat sedang rewel dan menangis tidak mau diamdiam,
saking bingung dan ikut sedih Tiang Bu juga ikutikutan
menangis!
Tiang Bu nampak cerdik sekali sejak ia masih kecil.
Sayangnya, bocah ini tidak bisa dikatakan tampan. Mukanya
berbentuk segi empat, kulit mukanya agak kemerahan tanda
sehat, jidatnya lebar sekali sampai hampir setengah kepala;
seperti botak, rambutnya hitam kaku seperti bulu kuda,
sepasang alisnya berbentuk golok tebal dan hitam, matanya
tajamsekali kelihatan seperti mata penjahat kejam,
hidungnya pesek dan bibirnya tebal sekali. Dari kecil sudah
dapat dilihat bahwa bentuk tubuhnya padat dan kuat.
26
Sering kali di waktu malam apabila anak itu sudah tidur,
Hui Lian dan Hong Kin memandang muka Tiang Bu ini dan
Hui Lian berkata menyatakan keheranannya.
"Benar-benar aneh sekali, Enci Soan Li cantikmanis, juga
Kong Ji orangnya tampan, mengapa dia ini begitu jelek?"
Suaminya menarik napas panjang. "Dapat dimengerti.
Bocah ini tercipta dalam keadaan yang tidak sewajarnya,
ibunya dalam keadaan sengsara lahir-batin, ayahnya
dikuasai oleh iblis, tidakmengherankan apabila keturunan
yang keluar bermuka buruk. Akan tetapi kita harap saja
biarpun mukanya buruk, wataknya jangan seburuk
rupanya, dan semoga iblis yang menguasai ayahnya jangan
menurun kepadanya."
Hong Kin dan Hui Lian memang berhati mulia. Melihat
keburukan Tiang Bu, mereka sama sekali tidakmembenci,
bahkan merasa kasihan kepada anak yang tidak diakui oleh
ayah bundanya ini, yang kini telah menjadi putera mereka
sendiri. Apalagi melihat Tiang Bu begitu sayang kepada Lee
Goat, mereka makin suka kepada Tiang Bu.
"Kita jangan memberi pelaj'aran ilmu silat kepadanya
siapa tahu kalau-kalau sifat keturunan ayahnya ada
padanya. Tanpa memiliki kepandaian silat, ia tidak
mempunyai andalan untuk menyeleweng di kemudian hari,"
kata Hong Kin. Isterinya merasa setujusekali sungguhpun
agak kecewa mengapa Tiang Bu bukan putera mereka sendiri
yang boleh diberi pelajaran ilmu silat mereka yang tinggi
tanpa ragu-ragu lagi.
Berbeda dengan sepasang suami isteri yang baik hati ini,
anehnya hampir semua orang yang melihat Tiang Bu merasa
tak senang kalau tak boleh dikatakan benci. Entah mengapa
wajah anak ini segala gerak-geriknya menimbulkan kebencian
dan kegemasan. Semua pelayan yang berada di dalam
rumah besar itu, benci belaka kepada Tiang Bu.
27
Memang para pelayan inilah yang mengetahui bahwa
Tiang Bu bukanlah putera aseli dari majikan mereka,
bahkan mereka mendengar dari para pelayan tua yang
semenjak dahulu telah menjadi pelayan dari keluarga Go
dan sekarang ikut pula bekerja di rumah Go Hui Lian,
bahwa bocah itu adalah putera suci dari nyonya majikan
mereka dan tidak karuan ayahnya! Inllah agaknya yang
menimbulkan rasa tak senang dan benci.
Baiknya Tiang Bu masih terlalu kecil untuk mengerti atau
merasa akan hal ini. Di depan Hong Kin atau Hui Lian, tidak
ada orang berani mengganggu Tiang Bu, akan tetapi di
belakang dua orang ini, para pelayan suka menggodanya dan
mentertawakannya.
Pada suatu hari pagi-pagi sekali Tiang Bu yang berusia
lima tahun itusudah berada di dalam kebun bunga luas.
Anak ini mencari-cari dengan pandang matanya, kemudian
dengan girang ia melihat yang dicarinya, yaitu kembang
berwarna merah yang mekar di dalam pohonnya yang agak
besar. Cepat anak ini menghampiri batang pohon itu dan
tanpa ragu-ragu ia mulai memanjat ke atas.
"Eh, bocah bengal, pagi-pagi kau sudah mau main panjatpanjatan.
Kalau kau jatuh dan kepalamu pecah, aku yang
dimaki, tahu?" tiba-tiba terdengar bentakan dan tukang
kebun menarik turun anak itu.
"Aku tidakmau turun!" Tiang Bu merengek dan kedua
tangannya memeluk batang pohon erat-erat. "Jangan tariktarik
kakiku."
"Tidakboleh naik, turun kau!" bentak tukang kebun
gemas, ditambahnya makian perlahan. "Dasar anak haram!"
"Tidak, aku tidakmau turun. Aku hendakmencarikan
bunga merah yang diminta Adik Lee Goat!" Melihat tukang
kebun itu masih saja menarik-narik kakinya, ia mengancam,
"Lepaskan kalau tidak kau kukencingi!"
28
Tukang kebun itu sesungguhnya bukan takut melihat
anak ini jatuh, karena memangsudah sering Tiang Bu main
panjat-panjatan, melainkan ia lebih cepat disebut menggoda
anak itu supaya kehilangan kegembiraannya. Maka ia
membetot-betot terus sambil tertawa-tawa menggoda. Tibatiba
ia melepaskan pegangannya dan melompat mundur
sambil menyumpah-nyumpah. Mukanya menjadi basah oleh
air kencing yang betul -betul dikeluarkan oleh anak itu.
"Bangsat kecil, bocah haram .........” Makinya perlahan,
karena biarpun ia merasa marah dan mendongkol, ia tidak
berani memaki anak itu keras-keras.
"Apa kaubilang, Sam-lopek?" anak itu menunda
panjatannya ketika mendengar sebutan terakhir yang tidak
dimengertinya, Akan tetapi tukang kebun itu tidakmenjawab
dan Tiang Bu melanjutkan usahanya memetik bunga merah
yang hendak diberikan kepada Lee Goat.
Tiba-tiba mata tukang kebun melihat seekor kumbang
besar beterbangan di sekitar pohon kembang itu, agaknya
hendak mencari madu kembang. Untuk melampiaskan
marahnya, juga dengan hati setengah mengharap agar
kumbang itu menyengat Tiang Bu, ia mengambil batu kecil
dan melempari kumbang yang sedang menghisapmadu.
Lemparan itu tepat sekali mengenai kumbang itu dan si
kumbang terlempar, akan tetapi tidak mati. Kumbang
menjadi marah sekali dan di lain saat, kumbang itu terbang
me-nyambar ke arah pohon dan menyerang Tiang Bu. Tukang
kebun menyeringai kegirangan.
Terdengar pekik kesakitan dan tubuh anak itu terguling
jatuh dari atas pohon. Malang baginya, di bawah pohon
terdapat batu besar. Jatuhnya menimpa batu dan anak itu
tidak berkutik lagi, meringkuk pingsan. Barulah tukang
kebun men}adi pucat dan panik.
"Bangsat keji!" Bentakan nyaring ini mengejutkan tukang
kebun yang tidak jadi lari masuk. la menengok dan melihat
seorang wanita cantik tahu-tahu telah berdiri di depannya.
29
”Kau memaki siapa?" tukang kebun yang berangasan ini
bertanya marah.
"Siapa lagi kalau bukan kau! Kau yang menyebabkan
anak itu jatuh, orangmacam kau harus dipukul mampus”.
Tukang kebun itu menjadi marah, marah karena ia takut
kalau-kalau dakwaan ini terdengar oleh majikannya.
”Apa kau gila? Dia itu putera majikanku, bagaimana aku
berani membuatnya jatuh? Kau perempuan gila
sembarangan memaki orang. Kutampar mukamu!"
Wanitaitu tersenyummengejek. "Kau? Macam engkau
bisa memukul orang? Hah, seekor semut pun akan
mentertawakanmu kalau mendengar obrolanmu ini!"
Diejek seperti itu, tukang kebun ini menerjang maju dan
tangan kanannya diayun untuk menampar pipi wariita
cantik itu. Akan tetapi, sungguh luar biasa. Sebelum tangan
itu mengenai pipi yang halus kemerahan, tiba-tiba tukang
kebun itu menjerit, tubuhnya terpental, jatuh dan napasnya
empas-empis.
Dengan tenang wanita itu menghampiri bawah pohon,
menyambar tubuh Tiang Bu yang masih pingsan.Ia
memandangmuka yang jelek itu, tersenyummengejek dan
berkata lirih, "Macam ini putera Hui Lian? Hah,
menyebalkan!"
Pada saat itu, terdengar desiran angin dan dua orang
berkelebat dari dalamrumah. Mereka ini bukan lain adalah
Hui Lian dan Hong Kin. Melihat datangnya kedua orang
majikannya itu, tukang kebun yang sudah siuman kembali
menuding ke arah wanita itu sambil berkata, suaranya
lemah terengah-engah.
"Dia ...... dia hendak menculik Kong-cu ...... " Dan ia
roboh pingsan lagi karena dadanya sesak seperti dipukul
oleh benda keras yang berat.
30
Hui Lian dan Hong Kin melompat ke depan wanita yang
memondong Tiang Bu itu dan melihat wajjah yang cantik itu
tersenyum mengejek.
"Kau ...... bukankah kau Hui-eng Niocu Siok Li Hwa ......
?" tanya Hui Lian kaget.
Li Hwa tersenyum. "Kalian tidak patut menjadi ayah
bunda bocah ini. Aku hendakmembawanya dan biarpun di
sana ada Wan Sin Hong bengcu yang akan membela kalian
mati-matian, aku tidak takut." Setelah berkata demikian,
sekali berkelebat Li Hwa telah berada di atas tembok taman.
"Lepaskan anakku" Hui Lian membentak dan sekali
berkelebat ia pun. telah mengejar dan kembali dua orang
wanita yang sama cantik dan sama gagahnya ini telah saling
berhadapan di luar tembok taman, diikuti olehHong Kin yang
hampir berbareng menyusul .
"Hui-eng Niocu, di antara kita tidak ada permusuhan,
mengapa kau hendakmenculik- anakku?" bentak Hui Lian
yang sudah mencabut pedangnya.
"Hei, Tiang Bu seperti pingsan dan tubuhnya
berdarah....!" Hong Kin berseru kaget sambil menuding ke
arah Tiang Bu yang masih pingsan dalampondongan Li Hwa.
"Memang dia jatuh dari pohon, kakinya patah ...... " kata
Li Hwa seenaknya seakan-akan hal itu tidak berarti apa-apa.
”Kau hendakmencelakai anakku. Kembalikan!" Hui Lian
sudah tak sabar lagi dan maju menusukkan pedangnya ke
arah lambung Li Hwa dan tangan kirinya menyambar tubuh
Tiang Bu yang dipondong oleh Hui-eng Niocu.
"Galak seperti Ibunya ...... !" Li Hwa mengejek dan cepat
melompat mundur. "Tentang jatuhnya, lebih baik kausiksa
tukang kebunmu suruh dia mengaku!" Li Hwa terus
melompat jauh dan melarikan diri.
31
"Penculik jangan lari!"
Hong Kin berseru marah
dan bersama isterinya ia
pun mengejar cepat.
Li Hwa memutar
tubuh dan berseru, "Awas
senjata!" Tangannya yang
kiri bergerak dan belasan
sinar hijau menyambar ke
arah dua orang
pengejamya. Inilah
senjata rahasia Chengchouw-
ciam (Jarum
Rumput Hijau) yang amat
lihai. Sampai tiga kali Li
Hwa menggerakkan
tangannya dan tiga kali
belasan jarumhijau ini
menyambar ke arah Hui
Lian dan Hong Kin. Suami isteri ini lihai ilmu Silatnya, tentu
saja mereka dapat menghindarkan diri dari bahaya dengan
mudah akan tetapi kejaran mereka tertunda dan sebentar
saja Li Hwa sudah lenyap dari situ, mereka terus mengejar,
bahkan mencari sampai ke pinggir laut. Akan tetapi karena
tidak tahu arah mana yang diambil oleh Li Hwa untuk
menyeberang ke daratan, mereka menjadi bingung. Hui Lian
mengajak suaminya terus meyeberang dengan perahu akan
tetapi Li Hwa seperti lenyap ditelan ombak laut dan tidak
kelihatan bayangannya lagi.
Hui Lian membanting-banting kakinya dan menangis.
Hong Kin menghiburnya.
"Kita tidak ada permusuhan dengan Li Hwa. Bu-ji (anak
Bu) tentuselamat di tangannya."
"Mari kita susul perempuan siluman itu ke Go-bi-san!
Perbuatan ini sungguh merupakan penghinaan bagi kita."
32
kata Hui Lian marah. "Kau tidakmelihat Bu-ji tadi terluka
dan pingsan? Siapa tahu kalau siluman itu mempunyai niat
keji ...... ”
"Sabar dan tenanglah, isteriku. Paling perlu mari kita
pulang dulu dan bertanya kepada tukang kebun apa
sebenarnya yang telah terjadi di dalam taman bunga."
Kata-kata ini mengingatkan Hui Lian akan ucapan Li
Hwa agar supaya mereka menyiksa tukang kebun dan
menyuruhnya mengaku. Cepat-cepat mereka pulang dan
alangkah kecewa dan menyesal mereka ketika melihat
bahwa tukang kebun itu ternyata telah tewas!Hong Kin
memeriksa dan mendapatkan beberapa batang jarum hijau
menembus dadanya yang juga terkena pukulan tenaga
lweekang. Agaknya Li Hwa marah sekali kepada tukang
kebun ini dan mengirimserangan maut.
"Perempuan siluman aku harus mengejarnya dan
mengadu nyawa dengan dia!" Hui Lian berteriak-teriak.
Kembali Hong Kin menyabarkannya.
"Isteriku, pikirlah baik-baik. Selain belum ada kepastian
bahwa di Go-bi-san kita akan dapat berjumpa dengan dia,
juga perjalanan ke Go-bi-san bukanlah perjalanan dekat,
akan memakan waktu berbulan-bulan. Bagaimana kau dapat
meninggalkan Lee Goat untuk waktu selama itu? Ingat anak
kita masih amat kecil, kalau kita berdua pergi mencari Hui -
eng Niocu untuk merampas kembali Tiang Bu siapa yang
bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu dengan anak kita,
Lee Goat?"
Mendengar ini Hui Lian menjadi bingung dan ia menangis
sarnbil bersandar di dada suaminya. Ia suka kepada Tiang
Bu, akan tetapi ia sayang kepada Lee Goat. Terhadap Tiang
Bu ia tidakmempunyai rasa sayang seorang ibu, hanya
kasihan dan suka, pula disertai rasa tanggung jawab atas
keselamatan putera sucinya itu.
"Habis bagaimana baiknya ...... ?" tanyanya perlahan.
33
"Kautunggu saja di rumah, biar aku yang pergi
mencarinya. Memang tidak seharusnya didiamkan saja.
Andaikata Li Hwa itu tidak bermaksud jahat dan ingin
mengambil murid kepada Tiang Bu, tidak selayaknya ia
menculik seperti seorang penjahat. Pula, kita bertanggung
jawab atas keselamatan anak itu. Bagaimana kata orangorang
gagah di dunia kalau sampai anak itu celaka dalam
tangan kita tanpa kita berusaha menolongnya? Biar aku
besok berangkat pergi mencarinya."
Hu Lian memeluk suaminya, "Akan tetapi ...... dia amat
lihai. Kukira kau atau aku bukan tandingannya. Kalau kita
maju berdua kiranya baru dapat mengimbanginya."
Hong Kin mengangguk-angguk. "Aku mengerti, oleh
karena itu aku pun mempunyai maksud hendak singgah di
Luliang-san bertemu dehgan Wan-bengcu. Kebetulan jalan
menuju ke Go-bi-san melalui Luliang-san. Pula» kalau aku
tidak keliru sangka, agaknya Hui-eng Niocu mengharapkan
supaya Wan-bengcu campur tangan dalarn penculikan ini."
"Mengapa kausangka demikian!" Hui Lian mengerutkan
keningnya.
"Lupakah kau akan ucapannya ketika ia menculik Tiang
Bu? Dia menyatakan bahwa biarpun kita akan dibela oleh
Wan-bengcu, dia tidak takut. Ucapan ini agaknya sengaja ia
keluarkan untukmenentangWan-bengcu. Kalau tidak
demikian mengapa ia membawa-bawa nama Wan-bengcu
dalam urusan ini. Oleh karena itu aku hendak singgah di
Luliang-san dan hendak minta nasihatnya.
Setelah mendapat kepastian bahwa suaminya akan minta
pertolongan Wan Sin Hong, hati Hui Lian menjadi tenang. Ia
merasa yakin bahwa kalau Sin Hong mendengar, tentu akan
membantunya dan akan merebut kembali Tiang Bu dari
tangan Hui-eng Niocu Siok Li Hwa. Tiba-tiba Hui Lian
mendapat pikiran yang baik sekali.
34
”Suamiku, amat tidak enak kalau begitu saja minta
tolong kepada Wan-bengcu. Lebih baik kalau kita serahkan
saja Tiang Bu untuk menjadi muridnya. Anak itu sudah
cukup besar, pula kalau kita berkukuh tidak mau
menurunkan ilmu silat kepadanya, tentu orang-orang akan
bilang kita tidak suka kepada anak itu. Kalau Wan-bengcu
mau menerimanya sebagai murid, kiraku ia akan menjadi
orang baik-baik, dan biarlah kelak ia menjadi seorang gagah
yang berbudi mulia untuk menebus kejahatan orang yang
menurunkannya."
Seperti juga isterinya, Hong Kin suka kepada Tiang Bu
akan tetapi tidak sayang, maka usul ini diterimanya dengan
baik. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hong Kin
berangkat meninggalkan Kim-bun-to untuk memulai dengan
perjalanannya yang jauh, mungkin sampai ke Go-bi-san,
atau sedikitnya sampai ke Luliang-san. Setelah menyeberang
ke daratan ia melanjutkan perjalanannya dengan
menunggang kuda.
-oo0mch0oo-
Pada masa cerita ini terjadi, daratan Tiongkok terbagi dua
antara Pemerintah Kaisar dari Kerajaan Cin dan Kaisar dari
Kerajaan Sung selatan. Sudah lima enam puluh tahun
daratan Tiongkok berada dalam keadaan seperti ini. Batas
dari daerah atau wilayah kekuasaan dua kerajaan ini adalah
Sungai Yangce. Di sebelah utara Sungai Yangce termasuk
wilayah Kerajaan Cin, sedangkan di sebelah selatan
termasuk wilayah Kerajaan Sung Selatan atau disingkat
Kerajaan Sung saja.
Antara dua kekuasaan ini sering kali terjadi pertentangan
dan pertempuran yang sengit. Akan tetapi pertentangan ini
hanya terbatas pada kelompok kecil saja, tidak sampai
merembet kepada kerajaan masing-masing. Apalagi setelah
kedua fihak melihat adanya perkembangan pada bangsa
Mongol yang selalu mengincar, maka sekali saja timbul
35
perangdi antara mereka, pasti bangsa utara yang berani mati
itu akan menyerbu, menggunakan kesempatan selagi dua
ekor anjing berebut tulang dan bertengkar, diam-diam
mengambil tulangnya.
Yang payah adalah rakyat jelata. Untuk bagian sebelah
utara Sungai Yang-ce, yaitu di wilayah Kerajaan Cin,
kesengsaraan rakyat tidak mengherankan ini oleh karena
memang Kerajaan Cin dianggap sebagai kerajaan penjajah
yaitu terdiri dari bangsa Yu-cin yang kemudian mendirikan
bangsa Cin. Akan tetapi ternyata bahwa di daerah selatan, di
mana kerajaannya masih di tangan orang-orang "aseli",
keadaannya pun sama saja, kalau tak boleh dikatakan lebih
buruk. Korupsi merajalela, hukum rimba berlaku, siapa
berkuasa dia sewenang-wenang, siapa kuat dia menang atas
yang lemah, siapa kaya dia dapat berbuat sekehendak
hatinya. Tidak ada pembesar yaog tidak menerima sogokan.
Pengadilan hanya namanya saja, pada hakekatnya adalah
sarang sogokan dan pemerasan. Urusan putih bisa
dikatakan hitam oleh hakim yang telah menerima sogokan
sampai perutnya yang gendut hampir pecah. Rakyat petani
miskin jangan sekali-kali menghadapi urusan pengadilan,
karena benar maupun salah tetap kalah. Perkara penasaran
bertumpuk-tumpuk. Tuan-tuan tanah menjadi raja-raja kecil
di dusun-dusun. Kerja sama yang kotor sekali terjadi setiap
hari di kota antara para hartawan dan bangsawan
berpangkat.
Bahkan, keadaan di selatan ini sesungguhnya lebih
buruk daripada keadaan di utara. Oleh karena itu, kalau di
selatan orang-orang gagah sama sekali tidak sudi membantu
pemerintah Kerajaan Sung, adalah sebaliknya di utara
terdapat kerja sama yang baik dalam arti kata tidak pernah
ada pertentangan, sungguhpun orang- orang gagah tidak
ada yang terang-terangan membantu Kerajaan Cin.
Sebaliknya di selatan, sering kali orang-orang gagah
membantu rakyat jelata yang tertindas, sering kali membasmi
36
okpa-okpa yaitu orang-orang hartawan dan bangsawan yang
memeras rakyat.
Tidak adanya pertentangan di utara, sebagian besar
adalah karena di fihak kerajaan ada Pangeran Wanyen Ci
Lun yang bijaksana dan dapat bersikap mulia terhadap
orang-orang kang-ouw. Di lain fihak, yaitu di fihak dunia
kang-ouw, yang menjadi bengcu adalah Wan Sin Hong, yang
sebagaimana telah diceritakan di bagian depan adalah
seorang keturunan darah bangsa Cin pula. Ayah Wan Sin
Hong adalah seorang pangeran bernama keturunan Wanyen
pula dan masih terhitung paman dari Pangeran Wanyen Ci
Lun (baca Pedang Penakluk Iblis).
Cukup sekian sekedarmengetahui keadaan Tiongkok
pada masa itu dan mari kita kembali mengikuti perjalanan
Coa Hong Kin yang menuju ke Luliang-san. la melakukan
perjalanan cepat dan hanya berhenti untuk makan dan tidur
saja.
Oleh karena maklum dan sukarnya perjalanan mendaki
puncak Jeng-in-thia di Luliang-san, maka setelah tiba di
kaki Gunung Luliang-san pada senja hari, ia menunda
perjalanan dan bermalamdi sebuah dusun. Baru pada
keesokan harinya, pagi-pagi benar ia mendaki bukit dan
langsung menuju ke puncak di mana Wan-bengcu tinggal.
Perjalanan amat sukar dan melelahkan. Baiknya Hong Kin
adalah seorang gagah yang telah memiliki kepandaian tinggi
sehingga baginya tidak terlalu sukar untuk mencapai
puncak.
Setelah ia tiba di dekat puncak Jeng-in-thia, tiba-tiba ia
mendengar seruan-seruan seperti orang bersilat dan
alangkah kagetnya ketika ia merasa sambaran-sambaran
angin pukulan yang dahsyat. Puncak itu masih terpisah jauh,
akan tetapi dari tempat ia berdiri biarpun ia tidak melihat
orang-orang yang bertempur, namun ia telah merasai
sambaran angin pukulan. Benar-benar hebat sekali tenaga
37
orang-orang yang sedang bertempur itu! la mempercepat
jalannya naik ke puncak.
Setelah tiba di Jeng-in-thia, terlihatlah olehnya dua orang
kakek sedang bertempur dengan gerakan lambat-lambat
sekali, akan tetapi angin pukulan menyambar-nyambar dari
dua orang kakek ini. Hong Kin cepat mengerahkan tenaga
lweekangnya ketika angin pukulan menyambar hebat sekali.
Namun tetap saja ia terhuyung ke belakang sampai tiga
tindak terdorong oleh angin pukulan itu. Padahal dua orang
kakek yang bertempur itu jauhnya ada sepuluh tombak dari
tempat ia berdiri!
"Hebat ...... " katanya dalam hati dan cepat-cepat Hong
Kin menyelinap dan berlindung di batu karang besar sekali
yang takkan roboh oleh serbuan angin taufan sekalipun. Dari
tempat berlindung yang kokoh kuat itu ia mengintai.
Dilihatnya Wan Sin Hong dengan sikap tenang, bibir
tersenyum akan tetapi mata bersinar-sinar penuh
ketegangan dan penuh perhatian memandang ke arah dua
orang kakek yang sedang bertempur, duduk bersila di atas
batu rendah. Di sebelah kanannya duduk pula tiga orang
tosu tua yang sikapnya tenang akan tetapi jelas kelihatan
betapa kagum dan juga tegangmenonton pertempuran itu. Di
sebelah kiri dari Sin Hong tampak pula tiga orang hwesio
yang berdiri dengan lengan tangan bersilang di depan dada
dan kaki lebar, juga penuh perhatian menonton
pertempuran.
Tiga orang tosu dan tiga orang hwesio ini dapat tahan
berada di dekat tempat pertempuran tanpa bergeming, ini
saja sudah menandakan bahwa ilmu kepandaian mereka
amat tinggi, jauh lebih tinggi daripada tingkat ilmu
kepandaian Coa Hong Kin yang bersembunyi dan mengintai
di balik batu karang. Kemudian Hong Kin mengalihkan
pandangannya kepada dua orang yang asyik bertempur.
Mereka ini adalah seorang tosu yang sudah tua sekali
dan seorang hwesio yang bertubuh tinggi besar dan
38
berpakaian kasar serta beralis tebal dan hitam. Melihat tosu
yang tinggi kurus dan berjenggot panjang sekali ini, kenallah
Hong Kin. Tosu itu adalah Bu Kek Siansu ketua Bu-tong-pai,
dan gemuk sekali dengan jenggot pendek itu tidak salah lagi
tentulah Pang Soan Tojin ketua dari Teng-san-pai. Tosu ke
tiga yang kurus bongkokmemegang tongkat butut ia tidak
kenal. juga tiga orang hwesio yang berdiri itu ia tidak kenal.
Kini pertempuran berjalan lebih cepat daripada tadi. Tadi
mereka bertempur lambat-lambat, tidak mengandalkan
kecepatan untuk mencari kemenangan, melainkan
mengandalkan sepenuhnya kepada tenaga lweekang mereka.
Ternyata mereka seimbang dalam kekuatan lweekang. Hawa
pukulan masing-masing tidak dapat mempengaruhi lawan,
apalagi merobohkan. Juga tiap kali tangan mereka beradu
keduanya tergetar karena tenaga raksasa yang seimbang
besarnya bertemu.
Setelah pertempuran dilanjutkan dengan cepat, keduanya
berputaran dan saking cepatnya mereka bergerak sampai
bayangan mereka menjadi satu dan sukar membedakan
mana tosu mana hwesio!
Coa Hong Kin memandang kagum. menghadapi
pertempuran yang jarang dapat disaksikan orang,
pertempuran antara cabang-cabang atas, antara tokoh-tokoh
besar persilatan. Bu Kek Siansu adalah ketua Bu-tong-pai,
sebuah partai persilatan besar yang sudah amat tersohor,
maka tidak mengherankan apabila ilmu silatnya tinggl
sekali. Akan tetapi hwesio yang menjadi lawannya juga lihai
bukan main. Tentu saja ia tidak tahu bahwa empat orang
hwesio itu adalah tokoh-tokoh dari selatan yang menjagoi
dunia kang-ouw di daerah selatan.
Sementara itu, ketika pertempuran terjadi makin hebat
dan di puncak ketegangannya, Wan Sin Hong bangkit berdiri
dan berseru.
"Ji-wi Locianpwe harap membatasi diri dan jangan
membahayakan lawan!"
39
Mendengar seruan ini, Bu Kek Siansu melompat mundur
dan kakek ini menjadi merah.
"Kepandaian Le Thong Hosiang benar-benar hebat, pinto
merasa taktuk!" katanya sambil menjura.
"Mana bisa! Ketua Bu-tong-pai terlalu merendah. Kita
masih seimbang, belum ada yang lebih tinggi atau rendah.
Pinceng sudah lama mendengar tentang Bu-tong Kiam-sut
yang sukar dicari tandingannya. Kalau toyu sudah membuka
mata pinceng dengan sinar pedang, barulah pinceng akan
merasa puas dan biar pinceng bawa sebagai oleh-oleh ke
selatan. Ha-ha-ha!"
Bu Kek Siansu menjadi pucat karena menahan marah.
Hwesio selatan ini benarbenar sombong sekali, pikirnya.
Tanpa menjawab sesuatu, melihat Le Thong Hosiang telah
mengeluarkan senjatanya, yaitusebatang toya pendek yang
kelihatan berat, Bu Kek Siansu lalu menggerakkan tangan
kirinya dan "srat ...... !" sebatang pedang tipis telah berada di
tangannya. Gerakannya cepat sekali dan cara mencabut
pedang ini saja sudah menunjukkan betapa tinggi kiam-sut
dari ketua Bu-tong-pai ini.
Sin Hong mengerutkan alisnya, akan tetapi ia tidak
sempat mencegah karena Le Thong Hosiang sambil tertawatawa
telah memutar toyanya melakukan seranganserangan
hebat. Ilmu toya dari hwesio ini benar-benar tangguh sekali
dan beberapa jurus kemudian Sin Hong sudah mengenal
ilmu toya ini sebagai Ilmu Toya Siauw-lim-pai yang sudah
banyak berubah.
Bu Kek Siansu juga maklum akan kelihaian toya lawan,
maka ia pun tidak mau kalah, memutar pedangnya yang
berubah menjadi segulungan sinar putih yang kuat. Di lain
saat dua orang kakek ini sudah lenyap dari pandangan mata,
bayangan mereka terbungkus oleh sinar pedang yang putih
seperti perak dan sinar toya yang agak kehitaman.
40
Apalagi bagi pandangan mata Hong Kin, ia seakan-akan
melihat dua ekor naga, putih dan hitam, tengah bermainmain
di tempat itu, melayang-layang dan menyambarnyambar!
"Bukan main ...... " kembali ia memuji. Sin Hong yang
melihat betapa dua orang kakek yang bertempur itu mulai
"panas" sehingga sinar senjata mereka merupakan kuku
maut, lalu menarik napas panjang, maju beberapa langkah,
kemudian ia mengebut-ngebutkan kedua ujung lengan
bajunya seakan-akan membuang kotoran dan debu yang
menempel pada ujung lengan bajunya itu. Padahal sebetulnya
pemuda sakti ini tengah mengerahkan tenaga sinkangnya
sehingga beberapa gelintir tanah kering yangmenempel di
kedua ujung lengan baju itu melayang dengan luncuran cepat
ke arah dua kakek yang sedang bertempur.
"Ayaaa ...... !" Le Thong Hosiang melompat ke belakang
dan wajahnya berubah pucat. Ketika ia sedang bertempur
tadi, ia melihat benda hitamkecii seperti capungmenyambar
mengenai tongkatnya dan ia merasa telapak tangannya
tergetar dan terus hawa panas menjalar ke lengannya
membuat lengan itu seperti lumpuh.
Juga Bu Kek Siansu melompat mundur, menjura ke arah
Sin Hong sambil berkata, "Baiknya bengcu datangmelerai,
kalau tidakmungkin pinto akan tewas di bawah toya Le
Thong Hosiang."
Mendengar ini, barulah Le Thong Hosiang tahu bahwa
tadi adalah perbuatan bengcu muda itu, diam-diam ia kaget
sekali. "Masih begini muda sudah lihai bukan main ...... "
pikirnya kagum dan gentar.
"Le Thong Hosiang, maafkan kalau aku campur tangan.
Biarpun terpisah oleh Sungai Yangce dan bernaung di bawah
kerajaan yang berbeda, namun pada hakekatnya, kita kedua
fihak masih terhitung orang-orang segolongan, yakni orangorang
yang menjunjung tinggi kegagahan, keadilan dan
bertindak di atas jalan kebenaran dan kebijaksanaan. Oleh
41
karena itu, biarpun pada saat ini di antara kita terdapat
perbedaan fahamdan pendapat, namun tidak semestinya
kalau perbedaan faham ini dikotori dan dibikin hebat oleh
pertempuran yang hanya akan memperdalam salah
mengerti, mungkin akan menimbulkan permusuhan. Oleh
karena itu, aku harap kau dan kawan-kawanmu suka
mempertimbangkan hal ini baik-baik."
Le Thong Hosiang mengempit toyanya dan berkata
kepada tiga orang hwesio yang berdiri bagaikan patung.
"Wan-bengcu telah memperlihatkan kelihaiannya dan terus
terang saja, pinceng merasa kagum dan tunduk sekali. Lepas
dari darah bangsawannya, memang dilihat dari kelihaiannya
ia patut menjagoi. Hayo kita pergi."
Tiga orang itu lalu menjura ke arah Wan Sin Hong dan
para tosu, setelah Sin Hong dan empat orang tosu membalas
penghormatan mereka, Le Thong Hosiang dan tiga orang
kawannya lalu berlari turun gunung dengan langkah lebar
sekali. Ketika lewat di dekat batu karang di belakang mana
Hong Kin bersembunyi, Le Thong Hosiang berkata sambil
tertawa, "Toyaku sudah tidak ada gunanya!" Dan dipukulnya
batu karang itu. Terdengar suara keras dan permukaan batu
karang itu remuk sambil mengeluarkan bunga api. Seluruh
batu karang itu tergetar hebat. Dapat dibayangkan betapa
kagetnya Hong Kin yang mengira batu karang itu akan roboh
menimpanya, cepat melompat keluar. Empat orang hwesio itu
tertawa-tawa sambil melanjutkan lari mereka.
(Bersambung Jilid ke II)
1
(PEK LUI ENG)
Karya: Asmaraman S. Kho
Ping Hoo Scan djvu :
syauqy_arr
Convert & edit : MCH
Jilid II
Hong Kin mandi keringat. Bukan. main lihainya Le Thong
Hosiang tadi yang ternyata dapat melihatnya dan sengaja
menggertaknya keluar dari tempat persembunyian. Karena
tidak dapat bersembunyi pula, Hong Kin lalu keluarmenghampiri
Sin Hong, dan memberi hormat kepada Sin Hong
dan para tosu itu.
Para tosu yang sedangmenghadapi Sin Hong dan
nampaknya ada urusan penting hanya mengangguk saja
kepada Hong Kin, sedangkan Sin Hong berkata.
"Saudara Coa Hong Kin, duduklah dan tunggu sampai
aku selesai bicara dengan para Locianpwe ini." Ia menuding
ke arah sebuah batu hitam di dekat sepasang makamyang
terawat baik dan mewah. Hong Kin mengangguk lalu berjalan
cepat dan duduk di atas batu setelah mengangguk hormat di
depan sepasang makam yang ia tahu adalah makam Pak Kek
Siansu dan Pak Hong Siansu. Setelah itu ia duduk
mendengarkan percakapan mereka.
"Wan-bengcu, pinto hendak bertanya dengan singkat
saja. Tentang tuduhan kawan-kawan gundul tadi bahwa
2
dahuluWan Sin Hong adalah seorang penjahat besar, tak
perlu dibicarakan lagi karena pinto dan kawan-kawan lain
semua maklum bahwa dahulu kau difitnah oleh Liok Kong Ji
yangmelakukan kejahatan mempergunakan namamu. Akan
tetapi, ada hal yang baru yang kami dengar tadi. Betulbetulkah
kau adalah keturunan dari keluarga Raja Cin dan
nama keturunanmu Wanyen? Betulkah kau keturunan
bangsa Cin yang menjajah tanah air kita di utara ini?"
Wajah Sin Hongmenjadi sebentar pucat sebentarmerah.
Ia menarik napas panjang berulang-ulang, lalu melambaikan
tangan dan berkata.
"Duduklah dulu, Totiang dan dengarkan penjelasanku."
Kemudian sambil bersila di atas batu, Sin Hong berkata.
"Cuwi Locianpwe dan para Locianpwe yang dulu hadir
dalam pemilihan bengcu di Ngo-heng-san, semua tahu
belaka bahwa sesungguhnya aku Wan Sin Hong tidak sekalikali
mengajukan diri dan berusaha mendapatkan
kedudukan bengcu. Terus terang saja, adalah setengah
terpaksa aku menerima tugas dan kedudukan bengcu,
karena apa sih senangnya menjadi bengcu? Tanggung jawab
besar, selalu menghadapi hal-hal tak menyenangkan untuk
dipecahkan dan diselesaikan.
Akan tetapi, sudahlah semua itu, aku sudah
menerimanya dan aku akan menjaga agar dapat
menunaikan tugas dengan taruhan jiwa ragaku. Sekarang
ini, Cuwi Locianpwe, setelah terkena tiupan dari orang-orang
gagah di selatan yang berpikiran sempit, meributkan soal
nama keturunan. Apakah isi hati manusia di-ukur dari
keturunannya? Adakah manusia hendak disamakan dengan
kuda yang selalu ditanya keturunan apa untuk ditentukan
baik tidaknya?
Sepanjangsejarah yang kuketahui, banyak keturunan
orang biasa saja menjadi raja dan menjadi pembesar tinggi,
juga tidak kurang banyak keturunan raja dan orang-orang
besar akhirnya menjadi penjahat rendah!"
3
"Wan-bengcu, pinto rasa cukup semua pembelaan yang
Wan-bengcu ajukan ini karena kami semua sudah mengerti
akan hal itu. Yang menjadi persoalan apakah benar kau
keturunan Wanyen?" tanya Tai Wi Siansu, kakek yang sudah
amat tua itu sambil memandang tajam.
"Tai Wi Taisu, kau orang tua yang sudah jadi sahabat
baik, dan penasehatkuselama ini, yang kuanggap sebagai
pengganti orang tua dan guru, kau juga ....... ?"
"Justeru karena itulah pinto menghendaki kepastian,
karena ini bukan hal yang remeh saja ......." Wan SinHong
memandang kepada keempat orang tosu itu berganti-ganti,
kemudian berkatalah ia dengan suara lantang, nadanya
menantang.
"Memang benar! Aku Wan Sin Hong adalah putera
tunggal dari Wan Kan yang tadinya bernama Pangeran
Wanyen Kan! Ayahku seorang pangeran besar dan Ibuku
seorang anak murid Hoa-san-pai. Memang betul aku
keturunan seorang pangeran bernama Wanyen. Habis, apa
bedanya?"
Keempat orang tosu ini seperti mendapat komando,
bangkit berdiri dari tempat dudukmasing-masing, menjura
ke arah Wan Sin Hong, lalu pergi setelah Tai Wi Taisu berkata
lirih.
"Wan-bengcu, urusan ini harus kami bicarakan di antara
ketua partai. Sampai berjumpa kembali!" Maka pergilah
empat orang tosu ini turun dari puncak Jeng-inthia,
meninggalkan Wan Sin Hong yang tersenyum getir dan
hatinya tertusuk. la berdiri termenung memandang ke arah
perginya empat orang tosu tadi dan baru tersadar ketika
mendengar suara di belakangnya.
"Sungguh empat orang kakek yang hanya panjang
usianya saja akan tetapi pikirannya sempit!"Wan Sin Hong
menengok dan memandang kepada Coa Hong Kin.
4
"Orangseperti engkau yang pernah bekerja sama dengan
Pangeran Wanyen Ci Lun, baru tahu bahwa bukan hanya
suku bangsa Han yang mempunyai orang-orang budiman.
Akan tetapi pandangan orang-orang tua itu tentang
kebangsaan amat kolot dan kukuh. Bagi mereka, selain
bangsa Han tulen tidak ada orang baik. Ah, Saudara Coa,
aku benar-benar mulai menyesal mengapa dulu kuterima
kedudukan bengcu. Sekarang tentu akan datang hal-hal
yang amat tidak enak."
"Wan-bengcu, empat orang tosu tadi agaknya ketuaketua
dari partai-partai besar yang dahulu bekerja sama
menghadapi orang-orang jahat seperti Liok Kong Ji, See-thian
Tok-ong dan lain-lain. Akan tetapi empat orang hwesio itu
siapakah? Dan mengapa tadi Bu Kek Siansu bertempur
melawan hwesio itu?"
Sin Hong menghela napas. "Saudara Coa, karena
kebetulan kau menyaksikan semua ini, baik kuceritakan
padamu. Duduklah."
Coa Hong Kin lalu duduk di atas batu dan Sin Hong
bercerita. Ternyata bahwa empat orang hwesio yang lihailihai
itu adalah tokoh-tokoh besar dari selatan, yaitu Le
Thong Hosiang ketua Partai Taiyun-pai di Pegunungan
Taiyun-san yang letaknya di pantai utara, Nam Kong Hosiang
dan sutenya Nam Siong Hosiang pemimpin-pemimpin
kelenteng besar di Gunung Kao-likung-san, dan yang ke
empat seorang yang amat terkenal di selatan yang bernama
Heng-tuan-san Lojin (Orang Tua dari Heng-tuan-san),
seoranghwesio perantau yang tinggi ilmu silatnya.
Ketika empat orang hwesio ini tiba di puncak Jeng-in-thia
Wan Sin Hong sedang duduk bercakap-cakap dengan empat
orang tosu yang memang betul seperti dikenal oleh Hong Kin
adalah Bu Kek Siansu ketua Bu-tong-pai, Pang Soan Tojin
ketua Teng-san-pai, Tai Wi Siansu ketua Kun-lun-pai. dan
yang seorang lagi adalah Cin-lien Tojin, seorang tosu
perantau dari Gunung Cin-Lien-san.
5
Empat orang tosu ini mengunjungi Wan-bengcu dan
tengah bercakap-cakap tentang ancaman orang-orang
Mongol yang menurut Sin Hong mulai mengirimkan orangorang
pandai ke perbatasan untuk menjadi penyelidik dan
juga agaknya ada maksud-maksud dari orang-orang Mongol
itu untuk membujuk orang-orang gagah di wilayah Kerajaan
Cin agar suka bekerja sama. Sin Hong dan empat orang tosu
itu sedang berdebat. Menurut pendapat Sin Hong, sudah
sepatutnya kalau para orang gagah bangkit dan melawan
orang-orang Mongol itu dan membasmi atau mengusir
mereka, bukan sekali-kali demi Kerajaan Cin, melainkan
demi keselamatan rakyat agar jangan sampai dijajah oleh
orang-orang Mongol. Akan tetapi empat orang tosu itu
membantah, menyatakan bahwa bukan menjadi kewajiban
mereka untuk membantu raja yang bukan bangsa sendiri.
Mereka ini hendak lepas tangan dan menyatakan bahwa
selama mereka tidak diganggu oleh orang-orang Mongol,
mereka hendakmengambil sikap sebagai penonton saja
apabila timbul perang antara Negara Cin dan Negara Mongol.
Selagimereka berdebat, muncul empat orang hwesio dari
selatan itu yang datangdatang memaki-maki dan mencela
orang-orang kang-ouw di wilayah utara yang dikatakannya
sudah lupa kebangsaan sehingga memilih bengcu seorang
penjahat yang bernama Wan Sin Hong. Bukan hanya
penjahat, bahkan seorang keturunan Wan-yen.
"Sungguh tidak disangka bahwa orang-orang gagah
seperti Kun-lun dan Bu-tong sampai kena dibeli oleh Kaisar
Cin sehingga mau saja mempunyai bengcu seorang anak
pangeran. Hm, memalukan sekali," demikian Le Thong
Hosiang mengakhiri caci makinya.
Kata-katanya membuat Bu Kek Siansu marah, maka tak
dapat dicegah lagi kedua orang kakek ini lalu mengadu
kepandaian sampai Sin Hong turun tangan mencegah
pertumpahan darah lebih lanjut. Kelihaian Sin Hong
ternyata dapat mengusir empat orang hwesio itu. Akan tetapi,
6
kata-kata Le Thong Hosiangmengejutkan para tosu dan
mereka mengajukan pertanyaan tentang keturunan Wanyen.
"Demikianlah, Saudara Coa. Tentu para ciangbunjin (ketua)
partai besar akan sependapat dan tidak setuju rnempunyai
bengcu seorang Wanyen. Hal ini bagiku tidak ada artinya,
biar aku tidakmenjadi bengcu tidak akan kecewa atau
menyesal. Akan tetapi, justeru pada saat orang-orang Mongol
akan bergerak, muncul urusan ini dan sikap para ciangbunjin
yang tidak ambil peduli atas gerakan orang-orang
Mongol itu benar-benarmenggelisahkan hatiku. Ahh, aku
membicarakan urusanku sendiri saja sampai melupakan
urusanmu. Saudaraku yang baik, kau datang tentu
membawa urusan penting. Ada apakah?"
Wajah Hong Kin menjadi muram. "Agak sukar aku
membuka mulut setelah mendengar betapa kau tertimbun
urusan sulit. Kedatanganku berarti menambah beban dan
kepusinganmu, Wan-bengcu."
Melihat kemuraman wajah Hong Kin, hati Sin Hong
berdebar. Betapapun juga, persangkaan bahwa Hui Lian
tertimpa malapetaka membuat ia gelisah dan cemas.
"Saudara Coa, jangan kaubilang begitu. Lekas katakan;
kesulitan apakah yangmengganggumu?"
Dengan singkat Hong Kin lalu menceritakan tentang
penculikan atas diri Tiang Bu yang dilakukan oleh Hui-eng
Niocu Siok Li Hwa.
"Inilah yangmenyusahkan hati kami, Wan-bengcu, karena
Tiang Bu bagi Kami sama dengan putera sendiri. Tadinya
kami mempunyai niat untukmenyerahkan anak itu
kepadamu agar dapat menerima pelajaran ilmu silat dan
pendidikan darimu. Dan bukan sekali-kali aku hendak
memanaskan hatimu atau mengadu, Wan-bengcu, akan
tetapi sesungguhnya Hui-eng Niocu telah meninggalkan
kata-kata bahwa biarpun kau akan membela kami, dia
takkan takut menghadapimu."
7
Sejak tadi Sin Hong sudah tersenyumdan mendengar
kata-kata terakhir ini senyumnya melebar dan ia
mengangguk-angguk. .
"Tak usah kau berkata begitu, aku pun telah mengerti,
Saudara Coa. Aku tahu akan maksud Hui-eng Niocu.
Memang aku sudah menduga bahwa ia tentu akan mencari
gara-gara. Jangan kau khawatir, biarlah aku yang akan
menyusul ke Go-bi-san dan memintakan anakmu itu. Akan
tetapi tentang menjadikan aku sebagai gurunya ....... aku
belumsanggupmenerima murid, saudaraku yang baik. Entah
kelak.Biarlah, hal itu kita bicarakan kelak saja. Sekarang
yang terpenting, aku akan mengejarnya dan karena aku
mempunyai sebuah urusan, harap kau suka mewakili aku
pergi, dengan demikian semua urusan dapat beres."
"Tentusaja, katakanlah. Apa yang harus kulakukan?"
tanya Hong Kin cepat -cepat.
"Sepulangwu dari sini, singgahlah di kota raja dan berikan
sepucuk suratku kepada Pangeran Wanyen Ci Lun.
Dapatkah kaulakukan hal ini untukku?"
WajahHong Kin berseri gembira. "Cocok dan kebetulan
sekali! Tentu saja tugas ini akan kulakukan dengan segala
senang hati,Wan-bengcu, karena memang aku pun hendak
singgah di kota raja, hendak mengunjungi Pangeran Wanyen
Ci Lun!"
"Bagus! Kalau begitu tunggulah sebentar kubuatkan
suratnya dan kita berangkat menjalankan tugas masingmasing."
Dengan cepat Sin Hong masuk ke dalam gua, membuat
surat untuk Pangeran Wanyen Ci Lun yang menjadi saudara
misannya, memberikan itu kepada Coa Hong Kin dan tak
lama kemudian dua orang muda ini turun dari puncak, lalu
berpisah mengambil jalan masing-masing. Coa Hong Kin
menuju ke timur sedangkan Sin Hong menuju ke utara.
8
Hui-eng-pai atau Perkumpulan Garuda Terbang
mempunyai markas di sebuah hutan yang subur dan indah
di atas salah sebuah puncak di Pegunungan Go-bi-san.
Puncak ini memang bertanah subur sehingga dari kaki bukit
sampai ke atas, penuh dengan dusun-dusun yang didiami
oleh para petani.
Di puncak inilah tinggal Hui-eng Niocu Siok Li Hwa
dengan seratus orang anak buahnya, semua terdiri dari
wanita belaka. Ada yang .sudah tua, ada yang masih remaja,
akan tetapi sebagian besar adalah gadis-gadis yang cantik.
Biarpun tidak hidup sebagai pertapa-pertapa atau pendetapendeta
akan tetapi keadaan mereka hampir sama dengan
penghidupan para nikouw (pendeta wanita Buddha),
berdisiplin dan memegang tata tertib. « Seorang anggauta
yang berani melakukan penyelewengan, akan dihukumkeras
oleh Siok Li Hwa, akan tetapi ini bukan berarti bahwa semua
anggauta tidak mempunyai kebebasan. Banyak sudah
anggauta yang mendapatkan "jodoh" dan mereka ini tidak
dilarang untukmenikah, hanya dilarang untuk kembali ke
situ dan diharuskan keluar dan ikut suaminya! Pendeknya,
yang diperbolehkan tinggal di situ hanyalah anggautaanggauta
yang masih gadis yang sudah janda, pendeknya
orang-orang yang tidak terikat hidupnya oleh suami.
Di belakang bangunan yang besar sekali dan amat
indahnya seperti istana raja-raja, terdapat sebuah taman
yang luas dan indah pula. Taman ini penuh dengan bungabunga
yang jarang terlihat di kota dan di sudut taman
terdapat sebuah makam yang terawat baik. Inilah makam
dari Pat-jiu Nio-nio, pendiri Hui-eng-pai atau guru Siok Li
Hwa dan semua anggauta Hui-eng-pai. Makam ini terawat
baik dan merupakan pujaan di samping Hui-eng Niocu Siok
Li Hwa sendiri yang dipuja dan disegani oleh semua
anggauta. Siok Li Hwa masih selalu menghormat makam
mendiang gurunya karena menganggap makam ini sebagai
pengganti guru dan orang tuanya. Seringkali ia kelihatan
duduk termenung di depan makam, atau kadang-kadang
9
kelihatan ia tekun bersembahyang seakan-akan minta doa
restu dari gurunya itu.
Pada suatu hari Li Hwa pulang membawa seorang bocah
laki-laki yang buruk mukanya. Semua anggauta Hui -eng-pai
terheran-heran. Anggauta-anggauta yang sudah lanjut
usianya dan menjadi pembantu Siok Li Hwa, memprotes.
Akan tetapi mereka ini dibentak oleh Li Hwa yang berkata
lantang..
"Jangan ribut-ribut! Aku bukan membawa pulang
seorang pemuda! Ini adalah bocah yang masih kecil dan
bersih, yang kubawa pulang untuk menjadi muridku karena
aku melihat ia berbakat baik."
"Akan tetapi, Niocu. Amat tidak pantas ....... kalau dia
sudah besar, sepuluh tahun lagi saja ....... dia menjadi
seorang pemuda di antara kita ....... " bantah seorang
anggauta yang berusia lima puluh tahun.
"Ini namanya melanggar sumpah dan larangan
perkumpulan ....... " kata pula wanita tua ke dua.
"Diam! Sekali lagi bilang melanggar sumpah, kutampar
mulutmu! Siapa yang melanggar larangan? Bunyi larangan
ialah tidak diperbolehkan memasukkan seorang laki-laki ke
tempat ini. Yang kumaksudkan bukan orang dewasa
melainkan seorang bocah. Dia akan berbuat jahat apakah?
Tentu saja ada batasnya. Paling lama tujuh tahun dia berada
di sini. Setelah berusia dua belas tahun, ia harus pergi. Nah,
siapa berani bilang aku memasukkan laki-laki? Apakah
bocah umur lima sampai dua belas tahun bisa
mendatangkan hal-hal buruk? Hayo jawab!" Tak seorang
pun berani menjawab karena selain takut, juga mereka pikir
tiada salahnya kalau di situ ada seorang bocah cilik, biar
laki-laki sekalipun.
Demikianlah, Tiang Bu dirawat dan diobati oleh ahli-ahli
pengobatan di situ dan ternyata setelah beberapa hari berada
di situ, hampir semua anggauta Hui-eng-pai, tua muda, suka
10
kepadanya. Hal ini tidak mengherankan karena sudah lajim
kaum wanita suka kepada anak-anak, apalagi di situ tidak
pernah ada anak kecil, dan lakilaki pula!
Setelah kakinya yang patah sembuh sama sekali, pada
suatu pagi, Li Hwa mengajak anak itu ke taman bunga,
tempat yang paling disukai oleh Tiang Bu. Anak ini tak
pernah mau bertanya tentang ayah bundanya, karena
pernah ia satu kali bertanya dijawab dengan tamparan yang
menyakitkan kedua pipinya oleh Siok Li Hwa.
"Kau menurut saja apa yang dikatakan oleh Niocu,"
berkali-kali para anggauta Huieng-pai memberi nasihat
kepada bocah ini sehingga Tiang Bu menjadi takut kalau
berhadapan dengan Siok Li Hwa.
Li Hwa membawa ke makam yang berada di sudut taman
dan menyalakan beberapa batang hio. Ia memberikan hio itu
kepada Tiang Bu, sebagian dipegangnya sendiri, lalu
berkata.
"Hayo kau sembahyang di depan makam Su-couw."
Tiang Bu menurut saja. Ia berdiri di depan makam dan
mengangkat-angkat hio ke atas kepala. Li Hwa minta hio itu
dan menancapkannya di depan bongpai (batu nisan).
"Hayo berlutut dan kautiru kata-kata yang kuucapkan
nanti!"
Li Hwa berlutut dan Tiang Bu berlutut di sebelahnya,
hatinya berdebar penuh rasa takut. Makam itu mengerikan
hatinya dan upacara yang tidak dimengertinya ini
menimbulkan rasa seram dan takut.
"Sucouw Pat-jiu Nio-nio, teecu Liok Tiang Bu bersumpah
....... " kata Li Hwa, laludisambungnya perintah kepada
Tiang Bu, "Hayo tiru!"
"Sucouw Pat-jui Nio-nio, teecu ....... Tiang Bu
bersumpah.." bocah itu meniru akan tetapi meninggalkan
11
she Liok, karena biarpun masih kecil, anak ini cerdik dan
sudah tahu bahwa shenya bukan Liok, melainkan Coa.
Li Hwa marah dan menampar kepala anak itu sehingga
bergulinganlah tubuh kecil itu. Baiknya Li Hwa tidak
menggunakan tenaganya sehingga Tiang Bu tidak terluka.
Dengan takut Tiang Bu berlutut lagi.
"Goblok! Aku bilang LIOK Tiang Bu, dan kau pun harus
meniru begitu. Kau-kira kau ini she Coa dan kau ini anak
siapakah? Coa Hong Kin dan Go Hui Lian itu bukan ayah
bundamu. Ayahmu bernama Liok Kong Ji dan Ibumu
bernama Gak Soan Li, tahu? Hayo, semua kata-kataku
harus ditiru, tidak boleh diubah!"
Dengan sebentar-sebentar berhenti agar bocah itu mudah
mengikutinya, Li Hwa membuat anak itu bersumpah begini.
"SucouwPat-jiuNio-nio, teecu Liok Tiang Bu bersumpah
akan menjadi murid yang taat dan rajin dari Hui-eng Niocu,
Siok Li Hwa. Kelak kalau teecu sudah pandai, teecu berjanji
akan membalas budi Hui-eng Niocu Siok Li Hwa, membalas
sakit hatinya kepada dua orang, yaitu pertama kepada Wan
Sin Hong dan ke dua kepada Go Hui Lian, karena dua orang
itu telah membuat guruku Siok Li Hwa kehilangan
kebahagiaannya."
Baru saja sumpah atau janji ini selesai diucapkan,
terdengar suara menegur.
"Li Hwa, kau benar-benar terlalusekali'" Bayangan yang
gesit sekali berkelebat dan di lain saat tubuh Tiang Bu telah
disambar dan dipondong oleh orang yang baru tiba dan
menegur tadi.
"Sin Hong, manusia keji dan sombong. Kembalikan
muridku!" Li Hwa mengejar dengan pedang Cheng-liong-kiam
sudah berada di tangannya. Dengan marah sekali ia
menyerang Sin Hong yang cepat mengelak karena serangan
itu dilakukan dengan sungguh-sungguh.
12
"Li Hwa, dengarlah dulu. Jangan mengganggu orang
tidak berdosa ....... ”
"Laki-laki kejam, kembalikan dia." Li Hwa berseru lagi dan
pedangnya berkelebat amat berbahaya, bukan saja
berbahaya bagi Sin Hong, bahkan juga mengancam
keselamatan Tiang Bu yang berada dalam pondongan Sin
Hong.
Melihat betapa serangan Li Hwa bukan main-main dan
benar-benar mengancam keselamatan Tiang Bu, terpaksa
Sin Hong mencabut pedang di pundaknya dengan tangan
kanan dan sekali tangannya bergerak, pedangnya telah
dapat menindih pedang Li Hwa! Li Hwa berkutetan
mengerahkan segenap tenaga agar pedangnya terlepas dari
tindihan pedang Sin Hong, namun sia-sia belaka, pedangnya
seakan-akan sudah lekat dan menjadi satu dengan pedang
Pak-kek-sin-kiam di tangan Sin Hong. Dengan mengerahkan
tenaga sambil menggigit bibir saking gemasnya, Li Hwa
mencoba sekali lagi untuk membetot pedangnya, supaya
terlepas. Masih saja sia-sia belaka.
Marahlah Li Hwa. I a masih mempunyai tangan kiri yang
menganggur, akan tetapi ia tahu bahwa kalau ia menyerang
Sin Hong akan percuma saja karena pemuda itu mempunyai
kepandaian yang beberapa kali lebih tinggi tingkatnya. Oleh
karena itu, tiba-tiba tangan kirinya meluncur ke depan dan
jari telunjuk tangan kirinya menotok ke arah jidat Tiang Bu
yang digendong Sin Hong. Serangan ini cepat sekali dan tidak
terduga sama sekali, sehingga Sin Hong menjadi terkejut
sekali. Ia berseru kaget membanting tubuhnya ke belakang.
Dengan sendirinya ia menarik kembali pedangnya dan
melompat dengan cara berjungkir-balik ke belakang dengan
Tiang Bu masih berada dalam pondongannya.
"Kembalikan muridku!" Li Hwa berseru gemas sambil
mengejar ketika melihat Sin Hong berlari dan melompat
keluar dari tembok yang mengelilingi taman bunga itu. Air
matanya sudah mengalir saking gemasnya, karena gadis ini
13
tahu betul bahwa tak mungkin ia akan dapat menyusul Sin
Hong kalau laki-laki itu betul-betul hendakmelarikan diri.
Ilmu lari cepatnya kalah jauh dibandingkan dengan Sin
Hong.
Akan tetapi ketika ia tiba di luar taman, ia melihat bahwa
Sin Hong ternyata sedang bertempur hebat melawan tiga
orang kakek aneh yang ketika ia perhatikan bukan lain
adalah Pak-kek Sam-kui! Tiga orang aneh ini dengan
bertangan kosong menyerang Sin Hong dan mengepungnya
dari tiga jurusan dengan ilmu silat mereka yang aneh dan
luar biasa akan tetapi hebat sekali. Tak jauh dari situ,
hampak tiga puluh enam orang berdiri teratur seperti barisan
dan mereka ini kelihatan kuat-kuat. Tiang Bu yang tadi
dipondong oleh Sin Hong telah berada di pondongan seorang
yang berdiri terdepan di barisan itu. Apakah yang terjadi
dalam waktu singkat tadi?
Ketika Sin Hong melompat keluar dari taman bunga
dikejar oleh Li Hwa, begitu tiba di luar tembok, ia merasa
ada angin pukulan yang dahsyat menyambarnya dari segala
jurusan, ditambah pula dengan bermacam-macamsinar yang
ternyata bukan lain adalah jarum-jarum halus yang berbisa.
Sin Hong kaget bukan main karena serangan tiba-tiba ini
benar-benar amat membahayakan, terutama sekali
berbahaya bagi Tiang Bu yang berada dalam pondongannya.
Ia maklum bahwa hawa-hawa pukulan itu dilakukan oleh
orang-orang berkepandaian tinggi. Baginya hawa pukulan ini
masih tertahan karena tubuhnya memiliki sin-kang yang
tinggi, akan tetapi kalau hawa pukulan itu mengenai Tiang
Bu tentulah bocah ini akan tewas! Oleh karena itu sambil
melesat ke samping dan menggerakkan lengan kanannya
untuk menyampok semua jarum-jarum halus itu, Sin Hong
melemparkan Tiang Bu ke tempat aman dan anak itu jatuh
ke atas tanah berumput yang tidak keras. Anak itu kaget
dan menangis. Baru sekarang ia dapat menangis sejak
kekagetan hebat yang ia alami. Tadinya jatuh dari pohon
setelah disengat lebah sampai kakinya patah, lalu diculik
14
Hui-eng Niocu, kemudian dijadikan perebutan antara Sin
Hong yang tidak dikenalnya dengan Hui-eng Niocu yang ia
takuti. Sekarang ia mengalami hal yang hebat lagi.
Di lain saat tiga orang berkelebat dan menyerang Sin
Hong sambil tertawa-tawa. melihat bahwa tiga orang ini
bukan lain adalah Pak-kek Sam-kui, Sin Hong mendongkol
sekali dan cepat melayani mereka. Akan tetapi alangkah
kagetnya ketika ia melihat bagaimana sebarisan orang tibatiba
muncul dari balik pohonpohon dan seorang di
antaranya yang kelihatan sebagai pemimpirnya, melompat
dan menyambar tubuh Tiang Bu. Saking takut dan kagetnya
melihat barisan orangorang berwajah galak ini, Tiang Bu
menutup kembali mulutnya dan tidak berani menangis.
Hanya matanya yang lebar itu memandang ke sana ke mari
dengan liar.
Melihat semua ini, Li Hwa menjadi marah dan dengan
pedang di tangan ia melompat, bukan untukmerampas
kembali Tiang Bu, melainkan untukmembantu Sin Hong.
"Pak-kek Sam-kui siluman-siluman pengecut!" ia memaki
dan pedangnya menyerbu cepat. Kedatangan Li Hwa ini
kebetulan sekali oleh karena Sin Hong yang telah mainkan
Pak-kek Sin-kiam ternyata juga terdesak oleh tiga orang
aneh ini. Padahal mereka bertiga bertangan kosong saja!
Ketiganya memiliki kepandaian tinggi dan aneh, berani
mempergunakan kuku jari tangan untuk menyentil pedang
pusaka
Andaikata Li Hwa tidak datang membantu, akan sukar
sekali bagi Sin Hong mencapai kemenangan, atau sedikitnya
ia harus mengeluarkan seluruh kepandaian dan tenaga serta
memakan waktu lama. Akan tetapi setelah Li Hwa maju
dengan pedang Cheng-liong-kiam di tangannya, keadaan
segera berubah. Dua sinar pedang putih kuning dan hijau
menyambar dan bergulung-gulung seperti dua ekor naga
membuat Pak-kek Sam-kui kewalahan sekali.
15
Akan tetapi dua orang muda itu ternyata hanya dapat
melindungi diri dengan baik saja, sama sekali tidak dapat
mengirim serangan yang membahayakan musuh. Mengapa
begitu? Oleh karena Sin Hong maklum bahwa tingkat
kepandaian Li Hwa masih kalah beberapa tingkat kalau
dibandingkan dengan tiga orang aneh ini. Apabila dia
melakukan serangari dalam keadaan seperti itu, mungkin ia
akan dapat merobohkan seorang di antara tiga lawan ini,
akan tetapi sebaliknya keadaan Li Hwa juga berbahaya
karena tidak terlindung oleh pedangnya. Inilah yang
menyebabkan Sin Hong mengurangi daya serangannya dan
memperkuat daya tahan karena ia harus melindungi
keselamatan Li Hwa.
Di lain fihak, Pak-kek Sam-kui merasa seperti
menghadapi dua tembok baja yang kuat sekali. Tiga orang
kakek yang sakti dan banyak pengalamannya ini maklum
bahwa kalau pertempuran ini dilanjutkan, mereka takkan
menang. Giam-lo-ong Ci Kui yang jangkung dan gundul itu
tiba-tiba mengeluarkan seruan-seruan aneh yang menjadi
isyarat bagi kawan-kawannya. Sin Hong sudah merasa
khawatir sekali, kalau-kalau tiga puluh enamorang itu
diperintahkan maju membantu.
Akan tetapi anehnya, ketika barisan itu mulai bergerak
mencabut senjata, tiga orang kakek itu bahkan melompat
imundur! Giam-lo-ong Ci Kui melompat ke depan komandan
barisan, menyambar tubuh Tiang Bu, kemudian bersama
dua orang sutenya ia melarikan diri.
"Penjahat-penjahat keji, tinggalkan anak itu ....... !" Sin
Hong berseru dan besama Li Hwa ia mengejar.
Akan tetapi, tiba-tiba barisan itu ber-gerak cepat sekali,
menghadang dua orang muda yang hendakmengejar itu!
Semua anggauta barisan memegang golok besar di tangan,
sikap mereka garang sekali.
"Tikus-tikus busuk, kalian sudah bosan hidup!" Li Hwa
memaki dan pedang hijaunya menyambar-nyambar. Sebentar
16
saja Li Hwa dan Sin Hong terkurung rapat oleh tiga puluh
enam orang itu yang bertempur secara nekat dan matimatian.
Biarpun bagi Sin Hong dan Li Hwa kepandaian
mereka ini tidak seberapa artinya, namun kenekatan mereka
membuat dua orang muda ini kewalahan dan harus berhati -
hati juga. Mereka berdua sama sekali tidak melihat
kesempatan untuk melanjutkan pengejaran mereka terhadap
Pak-kek Sam-kui.
Hebatnya tiga puluh enam orang ini seakan-akan tidak
takut mati atau memang tolol. Melihat kawan-kawan mereka
banyak yang roboh oleh pedang dua orang yang lihai itu
mereka tidak menjadi jerih, sebaliknya bagaikan singa
mencium darah, mereka makin nekad dan mendesak terus.
Benar-benar seperti rombongan nyamuk yang tidak takut api
lilin, menyerbu terus sampai mereka roboh binasa.
Sin Hong tidak tega untukmembunuh sekian banyak
orang. Akan tetapi Li Hwa seperti berpesta, pedangnya
menyambar-nyambar dan setiap kali terdengar jerit
kesakitan atau golok terputus menjadi dua.
"Kalian masih tidak mau menyerah ?” Sin Hong
membentak, marah dan heran.
Sebagai jawaban, beberapa orang serdadu ini
melemparkan sesuatu ke arahnya. Melihat benda bulat
hitam, Sin Hong rnengira bahwa mereka mempergunakan
senjata rahasia pelor besi. Melihat cara mereka melempar dan
jalannya pelor yang tidak kencang, Sin Hong tertawa
mengejek. Ada lima buah benda hitam yang menyambar ke
arahnya. Cepat ia menyampok pelor pertama dengan
pedangnya.
"Darrr ....... !" Benda itu meledak mengeluarkan api!
Sin Hong cepat menggulingkan tubuh ketika merasa hawa
panas dan benda-benda kecil menyambar ke arahnya dari
pecahan itu.
17
Akan tetapi empat buah benda lain berturut-turut jatuh
ke tanah dan meledak. Hal yang tidak disangka-sangka ini,
biarpun seorang sakti seperti Sin Hong sekalipun, tak
sempat menghindarkan diri lagi. Kalau ia tahu, tentu ia akan
melompat jauh-jauh dari tempat itu. Biarpun ia sudah
mengelak ke sana ke mari dan memutar pedangnya, tetap
saja beberapa benda kecil mengenai tubuhnya. Benda-benda
kecil yang panas memasuki kaki dan lengannya!
Li Hwa mengalami nasib sama! Bahkan lebih hebat.
Sebuah benda yang menyambar kepadanya ia tendang dan
benda itu meledak, isinya melukai paha kanannya, membuat
gadis itu roboh tak dapat bangun pula.
Melihat ini, Sin Hong menjadi marah sekali. Tadinya
pemuda ini masih merasa enggan dan ragu-ragu untuk
membunuh semua orang itu, karena ia maklum bahwa
mereka ini hanyalah pasukan yang menjadi alat dan
menerima komando. Akan tetapi melihat betapa mereka
mempergunakan senjata rahasia yang demikian jahat ia
mengeluarkan seruan keras, pedang Pak-kek-sin-kiam
berkelebat, tubuh Sin Hong lenyap terbungkus gulungan
sinar pedang dan terdengar pekik susul-menyusul ketika
seorang demi seorang, fihak musuh roboh menjadi korban
pedang.
Yangmengagumkan, pasukan Mongol itu terus
melakukan perlawanan sampai orang terakhir dan setelah
orang terakhir ini roboh pula oleh pedang Sin Hong, baru
pertempuran berhenti! Di sana-sini menggeletak mayat
orang dan jumlah mereka tiga puluh enam orang.
Kesemuanya tewas. Sin Hong menggeleng-geleng kepala
melihat ini. Benar-benar pasukan yang hebat, kalau semua
barisan Mongol mempunyai semangat berperang seperti yang
tiga puluh enam orang ini, tidak ada kekuasaan di dunia
yang dapat mengalahkan mereka. Baiknya hanya ada tiga
puluh enam orang yang mengeroyok dia dan Li Hwa, kalau
ada ratusan kiranya dia takkan dapat menyelamatkan diri.
18
Baru tiga puluh enam orang saja, kaki dan lengannya
terluka dan Li Hwa roboh pingsan.
Cepat Sin Hong menolong Li Hwa. Dilihatnya celana yang
menutupi kaki kanan gadis itu berlumur darah. Tahulah, dia
bahwa Li Hwa terluka hebat pada kakinya. Tanpa berpikir
panjang lagi, membuang segala rasa sungkan dan malu-malu,
ia lalu merobek kaki celana yang kanan ini. Nampak betis
dan paha yang berkulit putih halus itu ternoda darah yang
mengucur dari beberapa bagian di paha gadis itu. Beberapa
potongan besi telah memasuki paha itu dan lukanya hebat
juga karena tuiang paha gadis itu ditembusi potongan besi!
Tiba-tiba Sin Hong merasa tubuhnya panas sekali, kaki
dan tangannya yang terluka terasa ngilu. Ia meramkan mata
menggigit bibir menahan sakit, lalu cepat mengambil
bungkusan obat di punggungnya. Ia harus mengobati dirinya
sendiri lebih dulu sebelum memulai dengan pengobatan
kepada Li Hwa. Dengan sebuah pisau perak, ia membelek
kulit lengan dan kakinya yang kemasukan potongan besi,
mengorek potongan besi panas itu keluar.
Dapat dibayangkan betapa sakitnya pembedahan ini, dan
ia menahan sakit sampai keringat sebesar kacang-kacang
hijau memenuhi mukanya. Kemudian ia menempelkan
bubukan obat pada luka-luka itu dan menelan tiga butir pel
hijau. Baru ia merasa enak dan panas yang menyerang
tubuhnya lenyap, juga rasa ngilu tidak ada lagi. Bubukan
obat yang ia tempelkan pada luka-luka itu mendatangkan
rasa dingin nyaman.
Setelah menolong diri sendiri, ia mulai memeriksa paha
kaki Li Hwa yang terluka parah itu. Tiba-tiba mukanya
menjadi merah sekali karena ia teringat akan
pengalamannya dahulu ketika ia mengobati paha dari Gak
Soan Li yang diremuk oleh pukulan Tin-san-kang dari
seorang tosu jahat bernama Giok Seng Cu (baca Pedang
PenaklukIblis). Akan tetapi ia menenangkan pikirannya dan
19
dengan sehelai saputangan yang dicelup air, ia mencuci paha
yang penuh darah itu untuk dapat memeriksa dengan baik.
Kemudian ia mulai mengerjakan pisau peraknya setelah
menotok beberapa bagian jalan darah yang penting untuk
mencegah darah keluar lagi dari luka-luka itu dan untuk
mengurangi rasa sakit apabila ia melakukan pembedahan
untuk mengeluarkan potongan-potongan besi yang
memasuki paha gadis itu.
Ketika ia mulaimengorek keluar sebuah potongan besi, Li
Hwa merintih perlahan. Gadis itu telah siuman dan merasa
pahanya sakit sekali. la membuka mata dan melihat Sin
Hong sedang mengobati pahanya yang telah terluka parah,
melihat betapa Sin Hong memegang kakinya yang tidak
tertutup apa-apa, tiba-tiba rasa jengah dan malu melebihi
rasa nyeri.
Rintihannya terhenti, mukanya berubah merah dan Li
Hwa meramkan kembali kedua matanya! Sama sekali tidak
berkutik dan gadis yang aneh ini diam-diam berterima kasih
kepada musuh-musuhnya yang telah melukainya sehingga ia
bisa dirawat secara demikian mesra oleh Sin Hong! Memang
cinta kasih bisa mendatangkan pikiran yang gila-gila dalam
kepala manusia.
Sin Hong bukan seorang bodoh apalagi seorang ahli
pengobatan. Jangankan tadi Li Hwa sudah merintih dan
membuka mata, andaikata Li Hwa tidak melakukan dua hal
sebagai tanda telah siuman itu, dari denyut darah yang
didorong oleh perasaan dan yang terasa oleh jari-jari
tangannya melalui kaki Li Hwa, dia akan tahu bahwa gadis
itu tidak pingsan lagi. Melihat gadis itu berpura-pura terus
pingsan atau mungkin juga terlalu lemah untuk bangun, Sin
Hong. lalu berkata lirih, untuk mencegah salah pengertian
gadis itu.
"Li Hwa, kau terluka. Pahamu tertembus pecahanpecahan
besi-besi senjata rahasia lawan, tulang pahamu
patah. Untuk mencegah keracunan, aku terpaksa
20
melakukan pembedahan sekarang juga untuk mengeluarkan
besi-besi itu dan untuk menyambung tulang paha yang
patah.".
Diam-diam di dalam hatinya Li Hwa tersenyumgeli dan
memuji watak yang sopan dari Sin Hong.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dan
puluhan orang wanita anak buah Hui-eng-pai datang berlarilari
sambil membawa senjata. Mereka ini terlambat keluar
membantu Li Hwa, karena memang tadinya mereka tidak
tahu adanya pertempuran itu yang terjadi dalamwaktu
cepat. Selain ini, juga mereka ini biasanya selalu hanya
mematuhi perintah dari Li Hwa, sedangkan pada waktu itu
Li Hwa tidak kelihatan maka semua orang ketika mulai
mendengar ribut-ribut pertempuran di luar pagar tembok
taman, menjadi bingung tidak mempunyai komando.
Setelahmendengar suara ledakan-ledakan keras dari
senjata-senjata rahasia berapi, mereka mengkhawatirkan
ketua mereka yang tidak kelihatan di antara mereka.
Barulah mereka menyerbu ke luar.
Melihat ketua mereka telentang seperti mayat di atas
tanah dan seorang laki-laki sedang duduk di dekatnya,
kemudian melihat keadaan pakaian Li Hwa yang tidak
karuan, yaitu kaki kanannya tidak tertutup sampai di paha,
marahlah mereka ini. Mereka mengira bahwa Sin Hong tentu
telah melakukan perbuatan yang tidak patut dan melukai
ketua mereka. Biarpun di antara mereka, yaitu yang dulu
pernah ikut dengan Li Hwa pergi ke Ngo-heng-san, mengenal
Sin Hong sebagai pemuda yang terpilih men-jadi bengcu,
akan tetapi melihat keadaan Li Hwa dan Sin Hong, tidak
mau berpikir panjang lagi dan mereka maju menerjang.
"Jahanam, kau berani mencelakakai Niocu" bentak
mereka.
"Eh, eh, nanti dulu ....... ! Aku tidak mencelakakan dia,
aku bahkan mengobatinya!" Sin Hong cepat menggerakkan
21
tangan kiri mengebutkan ujung lengan baju dan sekaligus
empat buah pedang yang menyerangnya terlempar. Akan
tetapi ia menjadi gugup oleh karena ia sedangmembedah
paha Li Hwa dan kalau ia tinggalkan untuk menghadapi
amukan para wanita itu, paha itu akan rnenjadi makin parah
dan sukar diobati pula.
Para anggauta Hui-eng-pai terkejut melihat bagaimana
dengan kebutan lengan baju kiri secara sembarangan saja,
empat batang pedang telah dapat dipukul terlempar oleh Sin
Hong. Akan tetapi, untuk menolong ketua mereka, para
wani ta ini tidak takut dan juga kata-kata Sin Hong tadi tidak
mereka percaya. Baiknya, sebelumpara wanita ini
menyerang lagi, Li Hwa membuka matanya dan membentak.
"Mundur semua! Wan-bengcu sedangmengobati kakiku,
mengapa kalian berani mengganggu? Mundur dan pergilah."
Dengan mata terbelalak heran dan kaget, semua
anggauta Hui-eng-pai mundur, kecuali tujuh belas orang
wanita yang setengah tua dan memegang pedang. Sikap
mereka heran sekali dan mereka inilah yang tidak mau
mundur. Tujuh belas orang wanita setengah tua ini terkenal
di kalangan mereka sebagai Cap-jit Hui-eng Toanio (Tujuh
Belas Nyonya Besar Garuda Terbang). Sebutan Hui-eng
Toanio ini saja menunjukkan bahwa tingkat mereka tidak
berbeda jauh dengan Siok Li Hwa sendiri yang berjuluk Huieng
Niocu (Nona Garuda Terbang). Memang demikianlah
adanya Cap-jit Hui-eng Toanio ini adalah murid-murid
utama dari mendiang Pat-jiu Nio-nio dan ketika Pat -jiu Nionio
masih hidup, tujuh belas orang murid kepala ini menjadi
pembantu-pembantunya yang boleh diandalkan. Akan tetapi,
karena Li Hwa yang mewarisi kitab rahasia peninggalan Patjiu
Nio-nio dan kemudian nona ini yang menjadi ketua maka
tujuh belas orang yang terhitung sucinya itu hanya
menduduki tempat ke dua, menjadi pembantu-pembantu Li
Hwa.
22
Kini,menghadapi hal yangmenyangkut nama baik Huieng-
pai, biarpun semua anggauta takut dan mundur atas
seruan Li Hwa, tujuh belas orang toanio ini menghadapi
ketua mereka dengan muka sungguh-sungguh.
"Niocu, harap Niocu ingat akan peraturan kita. Usir lakiiaki
kurang ajar ini dan biarkan ahli -ahli kita mengobati
Niocu." kata seorang di antara mereka. Dia ini adalah Toanio
yang tertua dan yang paling lihai kepandaiannya di antara
kawankawannya, nama julukannya Pek-eng Toanio (Nyonya
Garuda Putih).
"Aku tidakmau diobati orang lain! Sin Hong, mari
antarkan aku kembali ke puncak dan kauobati aku sampai
sembuh”.
Sin Hong ragu-ragu dan tidak tahu harus berkata apa.
Sementara itu, Pek-eng Toanio berkata lagi, suaranya kaku.
"Niocu, betul-betul sudah lupakah kau akan aturanaturan
yang diadakan olehNionio dahulu? Tidak
diperbolehkan laki-laki, hidup atau mati, berada di tempat
tinggal kita! Setiap anggauta yang berani memasukkan
seorang pria, hukumannya mati dan peraturan ini; berlaku
baik bagi seorang pelayan sampai ketuanya sendiri Niocu,
biarpun kau sendiri, tidak boleh membawa orang ini naik ke
atas. Itu pelanggaran besar namanya, dan kami tidak boleh
tinggal diam saja."
Li Hwa marah, "Pek-eng Toanio kau mengandalkan
apamu maka berani bicara seperti ini di depanku? Biarpun
kau dan enam belas orang Suci yang lain, takkan mampu
menahan aku seorang. Aku sekarang sedang terluka,
mungkin tak berdaya. Akan tetapi tahukah kau akan
kelihaian Wan-bengcu ini yang sepuluh kali lebih lihai
daripada aku? Jangankan baru kalian tujuh belas Cap-jit
Toanio, biarpun seluruh Hui-eng-pai ditambah beberapa kali
lipat takkan mampu menahannya kalau dia membawaku ke
atas."
23
"Apa boleh buat,Niocu. Biarpun sampai mati semua, kami
tetap akan menentangsiapapun juga menghina
perkumpulan kami dan melanggar peraturan yang diadakan
oleh Nio-nio!" jawab Pek-eng Toanio.
"Kau mau melawan?" Tiba-tiba tangan Li Hwa bergerak.
Sinar hijau menyambar dan Pek-eng Toanio mengeluh roboh
pingsan. Ia telah menjadi korban Cheng-jouw-ciam (Jarum
Rumput Hijau) yang lihai dari Li Hwa! "Baru kau tahu
kelihaianku," gerutunya, agak menyesal bahwa ia terpaksa
harus merobohkan orang sendiri. Akan tetapi enambelas
orang wanita yang lain tetap berdiri tegak, bahkan mereka
berkata tegas.,
”Pek-eng Toanio betul,Niocu. Kami terpaksa menghalangi
kehendakNiocu, biarpun kami harus berkorban nyawa
untuk memegang teguh peraturan dari Nio-nio almarhum."
Li Hwa marah bukan main. "Sin Hong, pondong aku dan
bawa ke atas! Jangan kau pedulikan perawan-perawan tua
ini, sapu saja siapa yang berani merintangi kita!" katanya
kepada Sin Hong.
Akan tetapi Sin Hong tidak bergerak. Ia telah selesai
mengobati paha Li Hwa dan telah membalutnya. Selama
pertengkaran itu, ia tidak mencampuri, hanya melanjutkan
pengobatannya. Sekarang setelah selesai dan mendengar
kata-kata Li Hwa itu, ia tidak menurut, bahkan menarik
napas panjang dan berkata.
"Tidak, Li Hwa. Kau yang keliru, mereka itu benar.
Pulanglah kau dan beristirahatlah. Aku harus mencari Tiang
Bu dan merampasnya kembali dari tangan Pak-kek Sam-kui."
"Aku tidakmau!" Li Hwa menjerit dan beberapa titik air
mata melompat keluar dari matanya. "Aku takkan kembali ke
puncak, aku tidak sudi lagi menjadi ketua Hui-eng-pai. Aku
mau ikut kau mencari Tiang Bu, karena akulah yang
bertanggung jawab atas kehilangannya."
"Jangan, Li Hwa, kau masih terluka dan ....... "
24
"Kausembuhkan aku lebih dulu, atau kau boleh
meninggalkan aku mampus di sini, karena kau tidak mau
membawa aku, aku pun tidak sudi kembali ke atas, aku
....... biarlah kalian semua meninggalkan aku di sini, biar
mampus dimakan srigala ....... "
Dan ketua Hui-eng-pai yang gagah berani dan tak kenal
takut itu sekarang ....... menangis tersedu-sedu.
Sementara itu, Pek-eng Toanio telah siuman kembali
setelah ditolong oleh kawan-kawannya. Melihat keadaan
ketua mereka, ia menghela napas dan sebagai seorang yang
sudah berpengalaman ia maklumbahwa ketuanya sampai
berbuat begitu aneh bukan lain adalah karena gadis itu telah
tergila-gila dan cinta kepada Wan Sin Hong.
"Wan-bengcu, terserah kepadamu apakah kau hendak
membiarkan Niocu mati di sini ataukah hendak
menolongnya. Kami tak berdaya, dan mati hidup Niocu
berada di tanganmu." Setelah berkata demikian, tujuh belas
orang rombongan pemimpin Hui-eng-pai ini lalu mengajak
semua anak buah mereka kembali ke puncak.
Dengan air mata masih mengucur, Li Hwa berkata
kepada Sin Hong.
"Wan Sin Hong, kaupergilah, kau-tinggalkanlah aku. Aku
tahu, selama ini aku telah berlaku bodoh, bahkan sampai
sekarang aku masih bodoh dan gila. Aku mencintamu
sedangkan kau ....... kau tidak peduli sama sekali kepadaku.
Aku memang seorang gadis tidak berharga ....... biarlah aku
mati di sini, tak patut seorang bengcu seperti kau dekat
dengan seorang hina seperti aku ....... "
Sin Hong menarik napas panjang. Benar-benar luar biasa
sekali, gadis ini. Di suatusaat bersikap keras dan galak
seperti iblis wanita, di lain saat dapat berlaku lemah lembut
dan mengalah, mertimbulkan kasihan.
"Li Hwa, kau memang aneh. Kalau kau mau dibawa
pulang dan dirawat oleh orangorangmu, bukankah hal ini
25
sudah beres? Akan tetapi kau tidak mau dan kau rela mati
kalau aku tidak mau membawamu bersamaku. Ahh .......
apakah yang harus kulakukan? Meninggalkan kau
membunuh diri di sini, benar-benar aku tidak tega. Apalagi
kau telah menjadi korban senjata karena membantu aku
menghadapi setansetan dari utara itu."
"Pergilah, jangan memikirkan orang seperti aku ini ....... "
"Tidakmungkin. Aku tidak akan meninggalkan kau, Li
Hwa. Biar aku mengobati lukamu sampai kau sembuh dan
dapat berjalan lagi."
Wajah Li Hwa mulai berseri akan tetapi ia tetap cemberut.
"Akan tetapi aku tidakmau pergi dari sini, aku mau mati di
sini."
"Aku pun akan menunggumu di sini."
"Di tempat ini siang malam? Menahan serangan angin
dan hujan?"
"Mengapa tidak? Kalau kau kuat, aku pun tentu kuat
menahan." jawab Sin Hong mendongkol juga menghadapi
gadis yang aneh wataknya ini. Tanpa ia ketahui. Li Hwa kini
tersenyum, penuh kemenangan.
"Sin Hong, kau benar-benar berhati mulia. Kakakku yang
baik, aku tidak nanti mau tinggal siang malamdi tempat
terbuka ini. Lihat, di sebelah utara sana, kurang lebih satu li
dari sini, terdapat sebuah gua besar di bukit batu karang.
Kita dapat sementara waktu tinggal di sana sampai kakiku
sembuh. Di sana kita dapat berlindung dari angin dan hujan,
juga dari serangan binatang buas di waktu malam". Ketika
mengeluarkan ucapan ini suaranya ramah-tamah dan manis
sekali. Sin Hong yang mendengar perubahan suara ini cepat
menengok dan memandang, akan tetapi lebih cepat lagi Li
Hwa sudah mengubah lagi mukanya sehingga tidak kelihatan
seri gembira yang tadi membayang di situ.
26
"Hm, akhirnya, ternyata kau bukan seorang yang sudah
nekat kepingin mati." gerutunya sambil berdiri. "Mari
kupondong kau.ke sana."
"Kautidakmalu
memondong aku?" Li Hwa
pura-pura bersungutsungut,
padahal hatinya
berdebar girang.
Sin Hong tidak
menjawab, melainkan
membungkuk dan
memondong tubuh gadis
itu. Ketika kedua
lengannya merasa betapa
hangat tubuh Li Hwa
dalam pondongannya, ia
berdebar dan mukanya
merah. Untuk
menghilangkan perasaan
dan menghibur hatinya
sendiri, ia berkata,
suaranya seperti orang
mendongkol.
”Mengapa mesti malu memondongmu? Dalam keadaan
terpaksa seperti ini memondongmu tidak melanggar
kesopanan. Apalagi rnemondong, bahkan aku telah. ..telah
....... mengobati pahamu ....... " Ingin Sin Hong menampar
mulutnya sendiri, karena kata-kata ini seperti melompat saja
dari mulutnya. Kata-kata ini bukan menghibur dan
menghilangkan debar hati dan merah mukanya, bahkan
menambah! Apa-lagi ketika terasa olehnya betapa pinggir
dada Li Hwa yang menempel di lengannya berdebar-debar
keras dan melihat sepasang pipi gadis itu menjadi merah
sampai ke telinga sedangkan kedua matanya dipejamkan!
27
"Sin Hong, kau memang seorang laki-laki berhati mulia,
seorang laki-laki tahan uji dan sopan, pemalu dan canggung.
Karena itulah aku cinta kepadamu," kata Li Hwa dengan
sepasang mata masih terpejam. Kata-kata ini membuat Sin
Hong makin bingung sehingga jalan kakinya tidak tetap.
"Hush, jangan bicara tentang cinta lebih baik kaki
kananmu itu jangan bergerakgerak nanti sambungan
tulangnya tidak betul lagi."
Akan tetapi Li Hwa seperti sengaja menggerak-gerakkan
kaki kanannya, Sin Hong memandang heran dan marah,
kemudian ia melepaskan tangan kiri yang memondong, dan
menotok pinggang kanan gadis itu. Kaki kanan Li Hwa
menjadi lumpuh tak dapat bergerak-gerak lagi
"Nah, sekarang bergeraklah kalau bisa," katanya,
tersenyumpuas dapat memberi "pelajaran" kepada gadis
nakal itu.
Akan tetapi Li Hwa tidak menjadi marah karena totokan
yang membuat ia tidak berdaya menggerakkan kakinya itu.
Sebaliknya ia berkata dengan nada menggoda.
"Kautahu Sin Hong? Setiap kali kau bermaksud
meninggalkan aku seorang diri, aku akan menggerakgerakkan
kaki kananku supaya lukanya pecah dan
tulangnya putus kembali. Kalau kau menotokku terus sampai
kakiku sembuh akan kupukul patah sendiri supaya jerih
payahmu sia-sia."
Sin Hong mengerutkan keningnya, "Mengapa kau seaneh
ini, Li Hwa? Mengapa kau hendak melakukan hal itu"
"Habis, tujuan hidupku hanya dua macam. Hidup di
samplngmu atau mati, habis perkara. Selama kau mau
membawaku bersamamu, aku malah takut mati. Akan tetapi
kalau kau meninggalkan aku, aku jadi takut hidup.
Mengertikah kau?"
28
Seluruh muka Sin Hong berkerut-kerut dan ia berpikir
keras. Akan tetapi tetap saja ia tidak mengerti watak gadis
yang dianggapnya aneh ini. Bagi orang yang sudah tahu
akan racun dan madu asmara, watak atau sikap yang
diperlihatkan Li Hwa ini sama sekali tidak aneh. Akan tetapi,
biarpun ia memiliki kepandaian yang sudah berada di
tingkat tinggi sekali dan pengalamannya bertempur, sudah
banyak sekali, namun dalam hal asmara, Sin Hong boleh
dibilang masih "hijau”.
Demikianlah, Sin Hong membawa Li Hwa ke gua yang
ditunjuk oleh gadis itu dan tinggal di situ berdua dengan Li
Hwa untuk merawat dan mengobati paha Li Hwa yang patah
tulangnya. Sikapnya selalu sopan dan ia menjaga keras agar
selaluingat dan sadar, jangan sampai terpengaruh oleh
nafsu dan jangan sampai melanggar kesusilaan. Ia bersikap
sopan sekali, ya, terlalu sopan sehingga kadang-kadang
membikin mengkal hati Li Hwa!
-oo0mch0oo-
Kita tinggalkan dulu dua orang ini dan mari kita
mengikuti pengalaman Tiang Bu, bocah yang dalam usia
paling banyak lima tahun telah mengalami hal-hal yang
hebat itu.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, baru saja
kakinya yang patah tulangnya sembuh, ia dipaksa menjadi
murid Hui-eng-pai dan bersumpah, kemudian mendengar
cerita tentang ayah-bundanya yang menggores dalam-dalam
di hati dan plkiran anak kecil ini. Ia menjadi bingung sekali
kalau memikirkan kata-kata Hui -eng Niocu Siok Li Hwa
bahwa ia bukanlah putera Coa Hong Kin dan Go Hui Lian
yang selama ini memang ia anggap ayah-bundanya,
melainkan putra Liok Kong Ji dan Gak Soan Li, dua nama
yang sama sekali asing baginya dan baru sekali ini
didengarnya dari mulut Li Hwa.
29
Akan tetapi karena urusannya menggores di hatinya, dua
nama ini menempel dalam ingatannya dan tidak terlupakan
lagi.
Kemudian ia mengalami perebutan atas dirinya antara
seorang laki-laki gagah yang tak dikenalnya dan Siok Li
Hwa, akan tetapi di dalam hati ia memihak laki-laki itu
karenamaklum bahwa laki-laki itu hendakmenolongnya dari
tangan ketua Hui-eng-pai yang tak disukanya itu. Lebih
hebat lagi muncul orang-orang aneh yangmerampas dirinya
dan sekarang ia dibawa lari seperti terbang cepatnya oleh tiga
orang aneh itu.
Ginkang (Ilmu Meringankan Tubuh) dan ilmu berlari
cepat dari tiga orang kakek aneh ini memang benar-benar
luar biasa sekali. Dalam waktu pendek saja mereka telah
turun dari puncak dan telah melalui dua puncak lain dan tiba
di sebuah hutan. Hutan ini berada di lereng sebuah puncak
lain karena Pegunungan Gobi memang mempunyai banyak
puncak yang sebagian besar tidak didiami manusia.
Setelah masuk di dalam hutan lebat ini dan merasa
bahwa mereka telah lari cukup jauh, Giam-lo-ong Ci Kui
yang tinggi gundul itu tiba-tiba berhenti, diturut pula oleh
dua orang sutenya Agaknya bagi Si Gundul ini teringat
bahwa sejak tadi ia mengempit tubuh seorang anak kecil di
bawah lengan kirinya. Melihat ini, ia menyumpah-nyumpah
dan sekali menggerakkan lengan kiri, anak itu terlempar ke
dalam semak-semak di pinggir jalan. Tiang Bu merangkak
bangun dari semak-semak yang penuh duri itu, pengalaman
dilempar ke dalam semak-semak bukan apa-apa lagi
baginya.
Setelah terlalu menderlta, menjerit dan menangis
penderitaan kecil tidak dirasakannya lagi dan ia merasa
enggan untukmenjerit maupun menangis.
"Kutu busuk! Sejak tadi kauikut, he? Setan!" Giam-lo-ong
Ci Kui memaki dan menyeringai tangan kirinya menggarukgaruk
kepala gundulnya seperti orang kehabisan akal
30
mengapa ia sampai tidak ingat lagi bahwa sejak tadi ia
mengempit seorang bocah. "Kalau ingat tadi-tadi, kau sudah
kulempar ke dalam jurang!"
"Twa-suheng, kulihat bocah ini ada nyalinya. Sayang
kalau dibuang begitu saja. Hati dan otaknya akan menambah
semangat," kata Sin-sai-kong Ang Louw Si Muka Singa.
"Juga dia berbakat, kalau sudah tiba waktunya memilih
murid, aku mau memilih dia ini," kata Liok-te Mo-ko Ang
Bouw Si Muka Burung. Giam-lo-ong Ci . Kui mengeluarkan
suara menghina dari lubang hidungnya. "Hah, mana ada
bocah Han mempunyai nyali?" ia mendekati Tiang Bu,
memegang leher anak itu dan sekali menyendal, tubuh Tiang
Bu terlempar tinggi di udara!
Dapat dibayangkan betapa rasa kaget dan takutnya hati
Tiang Bu. Akan tetapi memang betul bahwa anak ini memiliki
nyali yang besar. Pula semenjak kecil sering kali ia
mendengar dongeng dari Hui Lian tentang orang-orang
gagah sehingga pikirannya terbuka dan ia dapat melihat
kenyataan. Melihat sikap orang-orang gagah ini, bocah ini
sudah dapat menduga bahwa ia tidak akan dapat hidup
lebih lama lagi. I a pernah mendengar dari ibunya tentang
sikap seorang gagah yaitu biarpun menghadapi kematian
bernyali seperti harimau, bukan seperti babi. Mengingat
semua ini, ketika tubuhnya dilempar ke atas dan mulai
melayang turun cepat sekali dan membuat jantungnya
berhenti berdetik, ia meramkan mata dan menggigit bibir
agar supaya tidak mengeluarkan jerit dan tangis.
Akan tetapi, ia tidak mati terbanting di atas tanah karena
tangan Giam-lo-ong Ci Kui sekarang sudah menyarnbarnya
dan melemparkannya perlahan ke atas tanah di mana Tiang
Bu jatuh terguling.
"Ha, ha, ha, apa kubilang? Dia mempunyai nyali naga."
kata Ang Louw suara ketawanya seperti singa mengaum.
31
"Siapa tahu, barangkali dia diam saja saking takutnya.
Ji-sute, coba kautangkap seekor kucing atau anjing untuk
mencobanya," kata Giam-lo-ong Ci Kui yang mulai tertarik.
Tiga orang aneh dari utara ini boleh dibilang manusiamanusia
aneh yang seperti iblis, kejam, tak mengenal
kasihan dan watak mereka buruk mengerikan. Hanya satu
hal yang mereka junjung tinggi dan mereka kagumi; yaitu
sifat keberanian yang luar biasa. Kalau saja Tiang Bu
memperlihatkan ketakutan, tentu mereka takkan segansegan
membanting mati bocah itu, atau menurut Ang Louw,
membelek dadanya memecahkan kepalanya untuk
mengambil jantung otaknya sebagai "obat kuat". Akan tetapi
Tiang Bu memperlihatkan sikap yang berani sekali, maka
mereka mulai menjadi tertarik. Berani dan pendiam, sikap
ini selain mengagumkan mereka, juga membuat mereka
suka sekali.
Ang Bouw berkelebat pergi bagaikan iblis menghilang,
dan tak lama kemudian dia sudah kembali memanggul
seekor ....... harimau. Inilah agaknya yang dimaksudkan
“kucing” oleh Giam-lo-ong Ci Kui tadi. Menangkap seekor
harimau seperti menangkap kucing saja, benar-benar dari
sini sudah dapat dibayangkan betapa hebat kepandaian Ang
Bouw. Ia memanggul harimau itu, empat kaki harimau
dipegang dengan satu tangan dan lain tangan memutar leher.
Dengan cara demikian ia memanggul harimau itu dengan
enaknya tanpa si raja hutan dapat berkutik sedikit pun juga!
Setelah tiba di tempat itu, Liok-te Mo-ko Ang Bouw lalu
menurunkan harimau itu di depan Tiang Bu yang sudah
duduk di atas tanah dengan tenang. Harimau itu mengaum
dan meronta marah, akan tetapi ia tidak berdaya di dalam
pegangan Ang Bouw. Kini ia melihat seorang bocah di depan
mulutnya, bocah yang merupakan makanan dan daging
yang empuk, ia mencium-cium dengan hidungnya
berkembang-kempis, seperti seekor kucing yang lebih dulu
mencium-ciummakanan yang hendak dimakannya.
32
Dapat dibayangkan betapa takut rasa hati Tiang Bu. Ia
merasa betapa kulit hidung yang kasar dan dingin dan basah
menyentuh-nyentuh seluruh mukanya, betapa kumis
harimau yang kasar itu menyikat mukanya menimbulkan
rasa perih. Apalagi sepasang mata harimau itu
mendatangkan kengerian di dalam hatinya.
Bau harimau itu memuakkan perutnya dan suaranya
menggereng-gerengmembuat jantungnya meloncat-loncat
keras. Akan tetapi dengan seluruh kekuatan, anak ini
menggigit bibir dan menghadapi, harimau itu dengan mata
terbelaiakmemandang tabah.
"Hayo, kucing terkamdia, robek-robek dadanya, cokel
keluarmatanya! Bikin dia menjerit-jerit minta ampun! Ha,
ha, ha!" Ci Kui berteriak-teriak menakut-nakuti Tiang Bu.
Harimau yang tadinya kebingungan itu, yang tadinya
marah akan tetapi tidak berdaya, sekarangmenimpakan
kemarahannya kepada anak kecil yang duduk di depannya.
Ia mulai menampar dengan kaki depan yang kanan.
Tamparan ini mengenai pundak Tiang Bu merobek baju dan
kulit pundaknya, dan membuat ia terguling-guling. Air mata
meloncat, keluar dari mata anak itu, pundaknya berdarah
dan bibirnya yang tebal itu pun berdarah saking kerasnya ia
menggigit bibir yang menahan sakit dan menahan keluarnya
tangis atau jeritan. Biarpun airmatanya mengucur, sedikit
pun tidak ada keluhan keluar dari mulutnya.
Tiga orang kakek Pak-kek Sam-kui ini tertawa bergelakgelak
dan berteriak-teriak, agar harimau itu menyerang
terus. Menciumbau darah yang segera dijilat-jilat dari kuku
kaki depannya, harimau itu menjadi buas. Ia menubruk lagi,
mempermainkan tubuh Tiang Bu seperti seekor kucingmainmain
dengan bola karet. Akan tetapi tiap kali ia mau
menggigit anak itu, ia menerima pukulan atau ekornya
ditarik dari belakang oleh Ci Kui. Memang bukan maksud Ci
Kui untuk membunuh anak ini. I a hendak menguji
ketabahan Tiang Bu. Sekali saja Tiang Bu menjerit takut
33
atau menangis tentu ia akan mengajak dua orang sutenya
pergi meninggalkan Tiang Bu untuk menjadi mangsa
harimau. Akan tetapi melihat anak itu belum juga
mengeluarkan jeritan, ia selalu menahan apabila harimau
hendak menggigit.
Tubuh Tiang Bu terasa sakit semua, pakaiannya robekrobek
tidak karuan dan darah memenuhi pakaian dan
mukanya. Giginya tertanam dalam-dalam di bibirnya yang
mengucurkan darah karena gigitannya sendiri. Akhirnya
saking terlampau banyak mengeluarkan darah dan seluruh
tubuhnya lemas tak berdaya lagi ia menjadi pingsan.
Tubuhnya seperti sudah menjadi mayat saja, tidak bergerak
lagi dalam permainan harimau.
"Dia pingsan" kata Sin-sai-kong Ang Louw.
Terdengar suara keras dan kepala harimau itu pecah
berantakan terkena pukulan tangan Ang Louw yang lebih
hebat daripada pukulan martil besi lima puluh kilo.
"Dia betul-betul bernyali besar!" kata Ci Kui kagum. la
menghampiri tubuh anak yang sudah mandi darah itu, lalu
merawat dan memberi obat dengan pandangan mata sayang.
"Anak baik, murid baik ....... " berkali-kali ia bicara
sedangkan kedua tangannya bekerja. Ia membersihkan
darah dengan lidahnya sendiri yang menjilat-jilat darah itu
sampai bersih. Kemudian Ci Kui mengeluarkan bungkusan,
dibukanya dan ternyata isinya adalah obat-obat bubuk
bermacam-macam. Diobatinya luka-luka di tubuh Tiang Bu
dengan obat dan ditotoknya jalan darah anak itu di beberapa
bagian sehingga Tiang Bu menjadi siuman kembali. Ia
merasa tubuhnya sakit-sakit semua dan lemas sekali.
Setelah luka-lukanya dijilati oleh Giam-lo-ong Ci Kui,
rasanya lebih sakit dan perih daripada tadi. I a me ringis dan
menahan rasa sakit sampai pingsan lagi. Bukan main
hebatnya penderitaan anak ini.
Ketika Tiang Bu membuka matanya perlahan-lahan, hari
telah senja dan tubuhnya terasa sejuk dan nyaman sekali.
34
Tiba-tiba ia mendengar suara orang-orang mendengkur. I a
hendak bangkit akan tetapi mendapat kenyataan bahwa
tubuhnya terikat, kaki tangan dan pinggangnya terikat pada
sebuah cabang pohon yang besar. Ketika ia melirik ke kanan
kiri, ia melihat tiga orang kakek itu tidur malang melintang
di atas cabang-cabang pohon, tidur begitu saja di atas cabang
pohon yang lebih kecil daripada tubuh mereka tanpa diikat
dan mereka enak-enak mendengkur! Tiang Bu melirik ke
bawah dan wajahnya yang sudah pucat itu menjadi makin
pucat ketika melihat bahwa mereka berempat itu berada di
atas pohon yang tinggi sekali.
Akan tetapi rasa ngerinya hilang ketika ia teringat bahwa
tubuhnya diikat dengan kuat pada cabang pohon hingga tak
mungkin ia jatuh ke bawah. Kini ia mulai memperhatikan
tiga orang kakek itu dengan heran sekali, juga geli karena
cara mereka tidur dan mendengkur lucu sekali.
Si Gundul itu tidur miring di atas cabang kecil,
kepalanya sudah tergantung ke bawah seperti menjadi buah
dari pohon itu dan kaki kirinya menindih muka Si Muka
Burung dekat sekali dengan hidungnya. Si Muka Burung ini
tidur telentang dengan kedua kaki tergantung ke bawah dari
kanan kiri cabang, hidungnya kembang-kempis dan
dengkurnya disertai suara dari hidung seperti orang yang
merasa jijik mencium bau yang tidak enak dari kaki
suhengnya.
Si Muka Singa tidur terpisah telungkup dengan muka
miring, dengkurnya keras sekali sehingga ranting pohon
berikut daun-daunnya yang berada di depan mukanya,
sebentar tertiup pergi sebentar tersedot sampai menutupi
mukanya.
Geli hati Tiang Bu melihat semua ini. Apalagi ketika ia
melihat ranting dan daundaun di depan muka Ang Louw itu
seperti menggelitik lubang hidung Si Muka Singa sehingga Si
Muka Singa berbangkis beberapa kali dan dengan mata
masih meram ia menggerakkan tubuh, miring ke kanan.
35
Hampir saja Tiang Bu berteriak ketika melihat betapa tubuh
itu miring dan seperti hampir terguling dari atas dahan.
Namun, ajaib sekali, biarpun tubuh itu sudah lebih
setengahnya berada di bawah dahan, tetap saja Ang Louw
tidak terguling ke bawah, seakan-akan tubuhnya telah lekat
pada dahan pohon itu!
"Hi, hi, hi, hi ....... !" Tiang Bu tak dapat menahan gelak
ketawanya. Suara bocah ini nyaring sekali biarpun ia berada
dalam keadaan sakit.
Tiba-tiba tiga orang kakek itu serentakmelompat bangun
dari tidurnya dan tentusaja karena mereka melompat, tubuh
mereka semua terguling ke bawah!
"Celaka ....... !" Tiang Bu berseru lirih melihat hal ini.
Akan tetapi di lain saat, bagaikan tiga ekor burung besar
yang beterbangan kacau-balau terdengar suara keras dan
tiga orang kakek itu sudah berada di atas dahan pula. Mata
mereka terbelalak dan dengan liar memandang ke kanan
kiri.
"Mana siluman wanita itu?" Liok-te Mo-ko Ang Bouw
bertanya sambil memandang ke kanan kiri.
"Mana dia Ang-jiu Mo-li?" Sin-saikong Ang Louw juga ikut
bertanya, suaranya terdengar gentar. Ci Kui mendekati Tiang
Bu dan memegang lengannya.
"Bocah, apakah kau tadi melihat seorang wanita muda
cantik berlengan merah di dekat sini?" tanyanya.
"Aku tidak melihat siapa-siapa kecuali kalian bertiga."
jawab Tiang Bu terheranheran. Bukan hanya heran karena
pertanyaan ini, terutama sekali heran melihat bahwa orangorang
seperti ini, masih mengenal takut.
"Tolol kau. Apa telingamu tuli?" Ci Kui membentaksambil
melotot, "baru saja dia tertawa di dekat sini!"
Mendengar kata-kata ini, Tiang Bu mengerti bahwa tiga
orang kakek ini telah salah duga. Suara ketawanya dianggap
36
sebagai suara ketawa seorang iblis wanita yang bernama
Ang-jiu Mo-li (Iblis Wanita Bertangan Merah)! Mengingat ini,
ia menjadi geli hati dan tak dapat ditahannya pula ia
tertawa.
"Hi, hi, hi, hi ....... lucu sekali ....... "
Tiga orang kakek ini melongo, saling pandang kemudian
tertawa bergelak. Ci Kui lalu melepaskan tali yang mengikat
tubuh Tiang Bu dan membantu anak itu duduk di atas
cabang. Tiang Bu berpegang erat-erat pada ranting pohon
supaya jangan terguling ke bawah.
"Anak baik, kau beinyali besar dan ketawamu seperti iblis
wanita. Ha, ha, ha! Siapakah namamu?" .
Tiang Bu berpikir sebentar. Teringat ia akan ucapanucapan
Siok Li Hwa tentang orang tuanya dan ia menjadi
ragu-ragu. Benarkah Coa Hong Kin dan Go Hui Lian itu
bukan ayah bnndanya? Ayahnya tampan sekali ibunya cantik
jelita, juga adiknya Lee Goat yang baru berusia dua tahun
sudah kelihatan cantik mungil. Akan tetapi dia? Banyak
pelayan mengatakan bahwa rupanya seperti setan cilik!
Akan tetapi, untuk percaya omongan Hui-eng Niocu, ia pun
masih ragu-ragu karena ia benci kepada Li Hwa.
"NamakuTiang Bu," akhirnya ia menjawab, tanpa
menyebutkan shenya karena ia masih ragu-ragu tentang
ayah bundanya.
"Kau anak siapa?"
"Aku ....... yatim piatu, dan aku tidak tahu siapa ayah
bundaku ....... " kata-kata ini ia ucapkan dengan sejujurnya
karena memang pada saat itu ia merasa ragu-ragu dan tidak
tahu siapakah sebetulnya ayah bundanya. I a masih belum
mau percaya omongan Siok Li Hwa. Pendeknya, untuk saat
itu ia tidak tahu betul siapa gerangan ayah bundanya yang
sesungguhnya.
37
"Kenapa kau bisa diperebutkan oleh Wan-bengcu dan Huieng
Niocu?" tanya pula Ci Kui.
"Aku tidak tahu sebab-sebabnya. Akan tetapi Hui-eng
Niocu memaksaku menjadi muridnya, lalu datang laki-laki
yang tak kukenal itu merampasku dari tangan Huieng Niocu."
"Ah, ah, tak salah lagi. Dua orang itu sudah melihat
bakat baik dalam dirinya, Suheng. Maka mereka berebut
untukmengambil murid padanya," kata Sin-saikong Ang
Louw.
"Betul begitu kiranya," Ci Kui mengangguk-angguk.
"Memang bocah ini berjodoh dengan kita. Kalau kita bertiga
mengajarnya, kelak dia akan membikin harum nama kita."
"TiangBu, mulai sekarang kau menjadi murid Pak-kek
Sam-kui, hayo kau berlutut memberi hormat," kata Sin-saikong
Ang Louw yang kegirangan sekali karena memang sejak
ia melihat Tiang Bu, ia sudah ingin mengambil anak itu
sebagai muridnya.
Biarpun baru berusia lima tahun, Tiang Bu memang
seorang bocah yang cerdik luar biasa. Ia maklum bahwa ia
berada di dalam cengkeraman tiga orang yang jahat dan lihai
seperti iblis, dan bahwa ia tidak berdaya sama sekali dan
tidak mempunyai pilihan lain kecuali mentaati segala
kehendak tiga orang itu. Juga ia maklumbahwa tiga orang
ini tidak membunuhnya, bahkan mengambilnya sebagai
murid hanya berkat ketabahan yang telah ia perlihatkan.
Maka, mendengar perintah Ang Louw, ia lalu berlutut di atas
dahan itu, sama sekali tidak takut terguling karena ia yakin
bahwa tiga orang gurunya takkan membiarkan ia jatuh
terguling. Anehnya, karena pikiran ini, ia memperoleh
ketenangan dan kalau tadinya ia merasa sukar sekali untuk
menahan dirinya agar jangan jatuh, sekarang ia merasa
mudah saja berdiri atau duduk di atas dahan, bahkan ia
dapat berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala kepada
tiga orang kakek itu tanpa kehilangan keseimbangan
tubuhnya.
38
Demikianlah, mulai saat itu, Tiang Bu telah menjadi
murid tiga orang tokoh besar dari utara yang kepandaiannya
tinggi sekali dan memiliki watak aneh dan jahat seperti
setan.Dengan bergiliran mereka mulai memberi pelajaran
ilmu silat kepada Tiang Bu yang ternyata benar-benar
mempunyai bakat yang luar biasa dalam ilmu ini. Pelajaran
ini diberikan sambil melakukan perjalanan, yaitu menuju ke
selatan, melewati Sungai Yangce, meninggalkan daerah Cin
dan memasuki daerah, Sung.
-oo0mch0oo-
Siapakah sebetulnya Pak-kek Sam-kui dan apa tujuan
mereka pergi ke daerah Kerajaan Sung?
Tiga orang kakek ini sebetulnya adalah tiga di antara
banyak sekali orang-orang pandai yang membantu Temu
Cin, raja dari bangsa Mongol yang mulai bangkit dan kuat.
Masih banyak orang-orang yang selihai mereka ini, bahkan
ada yang lebih lihai lagi, yang masih berada di Mongol
membantu Temu Cin menaklukkan semua suku bangsa di
utara yang nnasih belum mau tunduk.
Adapun Pak-kek Sam-kui tadinya di-utus oleh Temu Cin
untuk menemui Wanbengcu di Lu-liang-san dan
mengundang bengcu muda yang tersohor namanya itu. Tentu
saja maksud Temu Cin adalah hendakmenarik hati bengcu
ini, karena adalah menjadi cita-citanya untuk kelak
menyerbu ke selatan dan paling baik ia mendekati orangorang
gagah di selatan. Kalau sampai mereka ini mau
membantunya, tentu kedudukannya menjadi makin kuat.
Temu Cin amat cerdik dan pandai mengambil hati orangorang
gagah. Untuk membagi hadiah ia berlaku royal sekali.
Akan tetapi sebagaimana telah di-tuturkan di bagian atas,
Wan-bengcu tidakmau menerima undangan itu, bahkan
mereka menjadi bentrok dengan Hui-eng Niocu yang
kebetulan berada di Lu-liang-san. Semua ini mereka laporkan
39
kepada Temu Cin yang menyatakan ke-kecewaannya,
kemudian tiga orang kakek . ini disuruh mengadaka.n
hubungan dengan orang-orang kang-ouw di daerah selatan,
yaitu di wilayah Negara Sung.
Berangkatlah Pak-kek Sam-kui. Mereka teringat akan
hinaan yang mereka peroleh ketika di Lu-liang-san oleh Huieng
Niocu, maka sambil membawa pasukan yang kuat,
mereka singgah di Go-bi-san yang dekat dengan perbatasan
negaranya untuk melakukan balas dendam, kalau perlu
membasmi Hui-eng- pai. Akan tetapi siapa kira di situ
mereka bertemu pula dengan Wan-bengcu yang membantu
Hui-eng Niocu sehingga tiga orang kakek ini mengalami
kekalahan dan terpaksa melarikan diri sambil membawa
Tiang Bu yang dianggap sebagai penebus kekalahan mereka.
Dengan berhasil menculik murid Hui-eng Niocu atau
bahkan calon murid Wanbengcu, tiga orang kakek ini sudah
merasa puas dan mereka tidakmempedulikan lagi nasib
pasukan yang mereka tinggalkan.
Pada suatu hari, setelah mereka melakukan perjalanan
melalui Propinsi Shen-si dan Se-cuan mereka melintasi
Sungai Yang-ce dan tiba di sebuah dusun di Propinsi Kwicu.
Dusun ini terkenal sebagai tempat di mana seringkali terjadi
pertempuran-pertempuran kecil antara orang-orang di
daerah selatan. Di sebelah selatan dusun ini terletak kota
Cun-yi yang menjadi pusat perkumpulannya orang-orang
gagah. Ke kota inilah yang menjadi tujuan Pak-kek Sam-kui.
Akan tetapi oleh karena hari sudah mulai gelap ketika
mereka tiba di dusun Ui-cun itu, mereka lalu bermalam di
sebuah kelenteng yang sudah rusak dan nampak kotor
karena tidak terurus. Ketika mereka memasuki kelenteng
yang tidak berdaun pintu lagi itu, di dalam banyak terdapat
sarang laba-laba. Bau tempat itu pun tidak enak sekali,
tanda bahwa selain tidak terurus, juga tempat ini kotor
sekali, berbau kencing dan kotoran manusia. Baru masuk
saja Tiang Bu sudah merasa muak. Akan tetapi Pak-kek Sam40
kui dengan enaknya terus saja masuk dan melempar tubuh
di atas lantai.
"Siauw-sute, coba kaucari makanan dan terutama
minuman, aku merasa haus sekali," kata Ci Kui kepada Ang
Louw. Si Muka Singa ini terkekeh-kekeh, kemudian tubuhnya
berkelebat dan lenyaplah ia. Hanya bayangannya saja yang
berkelebat cepat keluar dari pintu.
Baru saja Sin-saikong Ang Louw keluar, terdengar
dengkur dua orang kakek yang rebah di atas lantai! Tiang Bu
duduk bersila setelah membersihkan lantai di sudut
ruangan itu, mengenangkan semua pengalamannya. Biarpun
ia harus hidup tidak karuan, kadang-kadang dua hari tidak
makan dan ada kalanya perutnya dipenuhi makanan lezat
tiada habis-habisnya sampai kekenyangan, kadang-kadang ia
disuruh berlari-lari naik turun gunung akan tetapi karena
tiga orang gurunya tidak sabar melihat kelambatannya, ia
lebih sering digendong, namun tak boleh disangkal bahwa
tiga orang gurunya yang buruk watak itu memperlakukan
dengan baik. Telah ribuan li ia melakukan perjalanan
bersama Pak-kek Sam-kui dan telah berbulan-bulan ia
mengikuti mereka. Dan dia mendapatkan sesuatu yang amat
menonjol pada diri tiga orang kakek yang kasar dan jahat
itu, yaitu watak setia kawan di antara mereka bertiga."
Tak lama kemudian terdengar suara terkekeh-kekeh dari
Si Muka Singa. Keadaan di dalam ruangan kelenteng itu
sudah gelap. Hanya Tiang Bu yang masih belum tidur, anak
ini duduk mengatur pernapasannya seperti yang ia pelajari
dari guru-gurunya dan menahan lapar yang menggerogoti isi
perutnya. Hanya ada angin menyambar ketika Ang Louw
masuk ke dalam ruangan itu dan tak lama kemudian
nampak api menyala dan tiga batang lilin dipasang oleh Si
Muka Singa ini di atas meja sembahyang yang sudah
bobrok. Selain lilin menyala ini, juga di atas meja kelihatan
sepanci besar mi dan di sebelahnya terlihat hiolouw (tempat
abu hio) besar sekali yang terisi ....... arak wangi! Dan
41
lucunya, dua orang kakek yang tadinya tidur mendengkur,
seperti disiram air dingin, tiba-tiba melompat bangun dan
berteriakteriak.
"Arak ....... ! Arak ....... !" Mereka tertawa dan menyerbu
meja. Bergantian tiga orang kakek ini minum arak wangi itu
dari hiolouw besar begitu saja tanpa cawan lagi.
"Enak ....... enak ....... eh, Sute, kau mendapatkan arak
dan mi ini dari mana?" kata Liok-te Mo-ko Ang Bouw.
Adapun Giam-lo-ong Ci Kui lalu memanggil Tiang Bu untuk
ikut makan mi yang ternyata memang enak sekali. Untuk
minum arak dengan mengangkat hiolouw itu, tentusaja
Tiang Bu tidak kuat, maka ia lalu minum arak menggunakan
....... tangannya yang dijadikan pengganti cawan! Anak
berusia lima tahun ini sekarang sudah biasa minum arak
keras.
Setelah tertawa bergelak, Ang Louw menjawab
pertanyaan ji-suhengnya.
"Di dusun seperti ini, mana ada warung arak yang baik?
Mana ada masakan mi yang selezat ini? Aku sudah putarputar
dan hanya mendapatkan warung arak yangmenjual
arak campur air. Baiknya hidungku tajam, aku menciumbau
arak wangi keluar dari sebuah kelenteng.' Ketika aku masuk
ke dalam, kulihat lima orang hwesio muda menghadapi arak
dan masakan mi ini. Aku totok mereka, aku kumpulkan mi
dalam panci dan karena di sana tidak ada guci besar, aku
lalu mengambii hio-louw kelenteng itu, menuang-nuangkansemua
arak dari guci kecil, dan membawa semua ini ke sini
setelah menyambar tiga buah lilin."
(Bersambung Jilid ke III)
1
(PEK LUI ENG)
Karya: Asmaraman S. Kho
Ping Hoo Scan djvu :
syauqy_arr
Convert & edit : MCH
Jilid III
Kembali tiga orang itu tertawa, tergelak. Sebentar saja mi
yang sepanci besar banyaknya telah habis, pindah ke dalam
perut empat orang ada sepuluh kati lebih dan arak
sehiolouw penuh itu. Dan tak lama kemudian terdengar
dengkur mereka, dan kali ini Tiang Bu juga ikut tidur pula
setelah perutnya diisi. Di atas meja sembahyang yang bobrok
itu hanya kelihatan sisa-sisa makanan, dan hiolouw bekas
tempat arak telah terguling miring di atas meja, sedikit sisa
arak mengalir keluar membasahi meja.
Matahari telah naik tinggi ketika Tiang Bu membuka
matanya, kaget dan bangun mendengar suara ribur-ribut. la
melihat tiga orang suhunya telah bangun, bahkan Ang Louw
nampak sedang ribut mulut dengan seorang hwesio yang
berwajah angker. I a marah-marah dan mencaci-maki.
"Kalian ini iblis-iblis dari mana berani membikin rusuh di
Ui-cun?"
Si Muka Singa Ang Louw tertawa dan bertolak pinggang.
"Badut Gundul, kau datang-datang marah mau apa? Kau
seperti raja kehilangan selir saja. Apa gundulmu terbentur
2
pintu?" Memang Ang Louw yang mukanya seperti singa ini
paling doyan berkelakar, berbeda dengan dua orang
suhengnya yang bersungguh-sungguh menghadapi lain
orang dan hanya tertawa bergurau dengan saudara sendiri.
Hwesio itu nampak makin marah. I a membanting kaki
kanannya dan ....... lantai yang dihantam oleh kakinya
menjadi jebol, kakinya masuk ke dalamlubang sekaki lebih!
"Keparat, kau ini saikong siluman agaknya yang telah
menghina murid-muridku. Kau merampas hidangan orang,
menurunkan tangan jahat, menotok hwesio-hwesio suci,
menghina kelenteng dengan membawa pergi hiolouw yang
kau isi dengan arak. Kau benar-benar dikutuk para dewata!"
Ang Louw menyeringai dan mukanya benar-benar
menyerupai singa yang hendak menerkam mangsanya.
"Badut GunduL orang-orang macam kau dan muridmuridmu
memang patut dihajar. Mana ada hwesio-hwesio
menghadapi hidangan berupa arak dan mi yang penuh
dengan daging? Kalian ini mempunyai pekerjaan mengemis
dan minta belas kasihan orang untuk mengisi perut.
Sekarang kami orang-orang asing datang dengan perut
kosong, sudah sepatutnya kalian yang sudah seribu kali
minta makanan dari orang lain itu sekali-kali memberi
sedekah kepadaku. Tentang hiolouw, bagaimana kaubilang
aku menghina? Hiolouw biasanya buat tempat abu, aku
meminjamnya untuk diisi arak dan dipakai untuk minum itu
tandanya malah menghormat."
Hwesio itu marah sekali. Dengan menggeram ia memukul
Ang Louw. Gerakannya cepat pukulannya berat. Tidak aneh,
karena hwesio ini sebetulnya adalah anak murid dari
Kaolikung-pai, seorang di antara para murid ketua kelenteng
di Kaolikung-san. Kepandaiannya sudah tinggi dan dengan
murid-muridnya ia bertugas mengepalai kelenteng di Ui-cun
sekalian memata-matai gerakan orang-orang utara yaitu
orang-orang yang datang dari daerah Cin.
3
Kaolikung-pai termasuk partai yang anti kepada
pemerintah Cin dan termasuk sebagai pelopor dalam tiap
pertempuran kecil-kecilan antara orang-orang dari daerah
Cin dengan orang-orang dari daerah Sung. Ketika hwesio itu
pulang dari bepergian dan melihat murid-muridnya tertotok
kaku seperti patung dan selain arak dan makanan, juga
hiolouw dibawa pergi orang, ia menduga bahwa ini tentu
perbuatan orang-orang dari utara. Cepat ia melakukan
penyelidikan dan pada keesokan harinya baru ia
rnendapatkan tiga orang aneh dan seorang bocah tidur di
dalam kelenteng bobrok yang sudah tidak dipakai lagi itu.
Akan tetapi Ang Louw yang diserang itu tertawa-tawa
mengejek. "Eh, eh, kau mau berkelahi? Apa kau sudah
bosan hidup?"
Hwesio itu yang beberapa kali serangannya dapat
dielakkan dengan mudah oleh lawannya menjadi naik darah
dan serangannya makin gencar. Sebuah tonjokannya yang
dilakukan dengan sekuat tenaga mampir di pundak Ang
Louw, membuat Si Muka Singa itu meringis-ringis. Memang
ilmu silat memiliki keistimewaan masing-masing dan biarpun
kepandaian Ang Louw jauh lebih tinggi, namun menghadapi
lawan yang menggunakan ilmu silat asing baginya, tidak
aneh kalau ia sampai terkena pukulan.
Akan tetapi pukulan ini membuat Si Muka Singa marah
sekali. Ia mengeluarkan auman yang keras dan
menyeramkan sekali. Hwesio itu terkejut karena tiba-tiba ia
merasa tubuhnya tergetar hebat oleh suara auman yang
melebihi auman singa hebatnya.
Gerakan kaki tangannya menjadi lambat dan di lain saat
Si Muka Singa menerkammaju dengan dahsyat, tangan
kanannya menyambar dengan tenaga ratusan kati memukul
dagu hwesio itu.
"Prakkk ....... !" Demikian kerasnya pukulan ini sehingga
kepala hwesio yang tidak berambut itu menjadi pecah
4
berantakan! Tubuhnya terlempar dan roboh terguling-guling
di sudut, mati sebelum tubuhnya jatuh di tanah.
Melihat kehebatan pukulan ini, Tiang Bu diam-diam
merasa ngeri, akan tetapi juga kagum. Akan tetapi Giam-loong
Ci Kui menegur Si Muka Singa.
"Siauw-sute, kau benar-benar gegabah. Kita datang
untuk menghubungi orangorang kang-ouw, akan tetapi
datang-datang kau membunuh seorang hwesio. Sungguh
bukan permulaan yang baik."
"Twa-suheng, hwesio macam begini saja, apa sih artinya?
Tugas kita adalah menghubungi tokoh-tokoh besar dan
ketua-ketua partai," Sutenya membantah.
Ci Kui tidak banyak cakap lagi lalu mengajak
rombongannya segera me lanjutkan perjalanan, menuju ke
kota Cun-yi di sebelah selatan dusun itu. Jalan menuju ke
Cun-yi melalui pegunungan yang sunyi dan penuh dengan
hutan yang lebat. Oleh karena masih asing dengan daerah
ini, maka biarpun jsrak ke kota itu hanya seratus li, akan
tetapi Pak-kek Sam-kui harus bertanya-tanya kepada orangorang
dusun dan perjalanan tak dapat dilakukan cepatcepat.
Salahnya, tiga orang kakek itu melakukan perjalanan
terburu-buru oleh karena Ci Kui hendak menghindari segala
ekor yang tidak enak dari peristiwa pembunuhan hwesio itu,
maka pada hari pertama itu mereka telah sesat jalan! Mereka
tersesat ke dalam hutan yang amat besar dan liar di antara
perbatasan Propinsi Kwicu dan Secuan dan tanpa disadari
mereka memasuki daerah Tai-hang-san! Telah sehari penuh
mereka berjalan cepat, Tiang Bu digendong oleh Liok-te Moko
Ang Bouw akan tetapi sampai matahari terbenam mereka
masih belum keluar dari daerah pegunungan yang penuh
hutan itu. Terpaksa malam hari itu mereka bermalam di
hutan. Karena sehari penuh tidak pernah melihat ada
dusun, tentu saja mereka masih belumdapat minta
5
keterangan kepada penduduk dan karenanya masih belum
sadar bahwa mereka mengambil jalan yang salah.
Pada keesokan harinya, mereka melanjutkan perjalanan.
Tak lama kemudian mereka berada di lereng gunung dan
melihat puncak gunungmenjulang tinggi di depan, Ci Kui
berkata.
"Ah, kita telah salah jalan. Di depan ada gunung tinggi
padahal menurut keterangan, jalan menuju ke Cun-yi tidak
melewati puncak gunung yang tinggi."
"Sejak kemarin aku sudah bilang, Suheng. Kita menuju
ke jurusan tenggelamnya matahari berarti kita telah
mengambil jalan ke barat. Padahal seharusnya kita ke
selatan," kata Liok-te Mo-ko sambil menurunkan Tiang Bu
dari gendongan dan rnengeringkan peluh di kepalanya yang
botak menggunakan ujung bajunya.
Selagimereka termenungmemandang puncak gunung
yang tidak mereka kenal itu tiba-tiba Ci Kui berseru.
"Hai, di sana ada orang bertempur.” Dan ia lari melalui
lereng yang menanjak naik, diikuti oleh kedua sutenya. Tiang
Bu juga berlari secepatnya untukmengikuti gurugurunya,
akan tetapi tentu saja ia tertinggal. Ia tidak takut
ditinggalkan dan mengejar terus. Anak kecil ini sudah
terlatih dalam hal berlari melalui jalan-jalan pegunungan
yang sukar-sukar.
"Ah, yang bertempur adalah orang-orang pandai. Ini
kesempatan baik bagi kita untuk menghubungi mereka dan
membantu mereka," kata pula Ci Kui setelah melihat empat
orang hwesio setengah tua yang berwajah keren tengah
mengeroyokseorang hwesio lain yang lihai sekali llmu
silatnya. Empat orang hwesio itu dilihat dari bentuk
pakaiannya saja dapat diduga bahwa rnereka adalah hwesiohwesio
yang biasa menjadi penghuni kelenteng-kelenteng di
Tiongkok selatan, sedangkan hwesio yang dikeroyok dan
lihai sekali itu berjubah merah darah, bermuka hitam dan
6
tinggi sekali hidungnya bengkok. Melihat ini, Pak-kek Samkui
segera dapat menduga bahwa hwesio lihai yang berjubah
merah dan ;memakai topi pendeta kuning itu tentulah
seorang pendeta dari Tibet, pendeta Lama yang banyak
merantau ke Tiongkok.
"Sute, pendeta Lama itu lihai sekali. Akan tetapi kita
harus membantu empat orang hwesio itu," kata Ci Kui
kepada dua orang sutenya. Dua orang sutenya juga maklum
akan maksud suheng mereka, maka tanpa banyak cakap
lagi tiga orang ini lalu melompat ke gelanggang pertempuran.
"Lama kurang ajar, jangan banyak tingkah di sini!" bentak
Ci Kui sambil menyerang dengan pukulan-pukulannya yang
dahsyat. Juga Ang Bouw dan Ang ouw berseru keras.
"Empat sahabat jangan khawatir, kami datang
membantu!"
Pendeta Lama yang mainkan sebuah tongkat pendeta
panjang itu nampak terkejut sekali, karena serbuan tiga
orang ini benar-benar hebat sekali. Tadi, menghadapi
sebuah toya, dua buah tom-bak dan sepasang golok yang
dimainkan oleh empat orang pengeroyoknya, ia masih
mendapat angin dan berada di fihak yang mendesak. Akan
tetapi begitu tiga orang kakek aneh seperti iblis itu
menyerbu, biarpun mereka ini hanya bertangan kosong,
sebentar saja ia menjadi terdesak hebat. Sebaliknya empat
orang hwesio itu menjadi girang dan bertambah semangat
mereka karena menerima bantuan tiga orang pandai yang
belum pernah mereka lihat sebelumnya.
"He, kalian ini bukankah orang-orang dari dunia utara?
Mengapa mencampuri urusan kami!" Pendeta Lama itu
biarpun terdesak hebat, masih sempat menegur Pak-kek
Sam-kui. Tiga orang kakek ini kagumjuga akan ketajaman
mata pendeta yang sudah tua itu.
"Kau ini pendeta dari barat berani kurang ajar terhadap
sahabat-sahabat kami dari selatan, tentu saja kami
7
membantu!" kata Ci Kui yang sengaja berkata demikian
untukmenarik hati empat orang hwesio itu. Ia dapat
menduga bahwa empat orang hwesio yang belum dikenalnya
ini tentulah tokoh-tokoh selatan yang ternama, maka dengan
mengambil hati mereka, akan lebih mudah ia menghubungl
tokoh-tokoh selatan.
Di lain fihak, empat orang hwesio itu khawatir kalaukalau
tiga orang kakek aneh yang membantu akan
meoghentikan bantuannya,maka seorang di antara mereka
berseru.
"Sam-wi Locianpwe, jangan melepaskan penjahat
berkedok Lama ini. Dia telah mencuri pusaka dari Omeisan!"
Pendeta Lama itu tertawa terbahak bahak. "Ha, ha, ha,
ada perampok-perampok berteriakmaling. Sungguh lucu!"
Setelah berkata demikian, karena tidak tahan akan desakan
tujuh orang itu, ia memutar tongkat panjangnya secara
istimewa sekali, cepat dan kuat-kuat hingga angin
pukulannya saja membuat tujuh orang lawannya, kecuali
Giam-lo-ong Ci Kui seorang, terpaksa bergerak mundur. Ini
menandakan bahwa tenaga lweekang dari pendeta Lama itu
amat besar dan hanya Ci Kui yang mampu menahan.
Kesempatan ini dipergunakan oleh pendeta Lama untuk
melompat pergi dan melarikan diri.
"Jangan lari!" seru Sin-saikong Ang Louw sambil
menubruk maju dan ketika ia bergerak dari kedua
tangannya menyambar sinar-sinar merah yang amat lembut.
Inilah jarum-jarum rahasia dari Sin-saikong Ang Louw yang
amat lihai. Akan tetapi anehnya, pendeta Lama itu tidak
mengelak dan terus saja lari. Jarum-jarum itu ketika
mengenai jubah yang lebar dan berkibar di belakang
menutupi tubuh pendeta itu, menancap akan tetapi tidak
menembus. Ternyata bahwa yang dipakai oleh pendeta Lama
itu bukanlah jubah sembarangan, melainkan jubah sutera
8
istimewa yang di sebelah dalamnya terdapat kain benangbenang
perak yang amat kuat!
"Kejar penjahat itu!" Empat orang hwesio tadi berteriakteriak
dan lari mengejar. Pak-kek Sam-kui juga mengejar,
akan tetapi mereka ini ketika melihat bahwa ilmu lari cepat
dari empat orang hwesio itu tidak dapat melawan ilmu lari
cepat si pendeta Lama, lalu mengendurkan larinya dan tidak
mengejar dengan sungguhsungguh hendak memusuhi si
pendeta Lama.
Pendeta Larha itu berlari cepat melihat tujuh orang
mengejarnya terus. Tiba-tiba di depannya ia melihat seorang
bocah yang wajahnya amat menarik perhatiannya. Bocah ini
nampak sehat kuat, jujur dan sinar matanya tajam luar
biasa.
Pakaian bocah yang sederhana dan compang-camping itu
menandakan bahwa ia berhadapan dengan seorang bocah
gunung. Tiba-tiba terdengar suara aneh dari sebelah kiri, di
balik puncak. Suara ini melengking tinggi seperti suling,
kemudian mengalun dan lapat-lapat terdengar seperti suara
ketawa seorang wanita, suara ketawa yang merdu.
"Celaka ....... " pendeta Lama itu menjadi pucat, "kalau
dia ikut mengejar ....... " Timbul pikiran yang amat baik. Ia
melompat ke dekat bocah itu yang bukan lain adalah Tiang
Bu yang sedang susah payah mengejar tiga orang suhunya.
Di-keluarkannya sebuah bungkusan dari jubahnya,
diberikan bungkusan itu kepada Tiang Bu dan pendeta itu
berkata.
"Anak baik, kausimpankan ini. Ku titipkan kepadamu,
kelak aku akan datangmengambilnya. Siapa namamu?"
"NamakuTiang Bu," jawab bocah itu sambil menerima
bungkusan. Pada saat itu terdengar suara lengking meninggi
itu!
"Lekas, simpan dalam bajumu jangan kelihatan orang,"
kata pendeta Lama sambil membantu Tiang Bu
9
memasukkan bungkusan itu ke dalam saku baju di sebelah
dalam. Kemudian pendeta itu tiba-tiba menarik lengan Tiang
Bu dan melemparkan anak itu ke dalam jurang! '
"Tinggal dulu di sana, jangan berteriak. Kalau ada orang
melihatmu, kau akan mampus!" kata pendeta Lama itu yang
cepat lari ke depan.
Akan tetapi baru belasan kali lompatan, tiba-tiba
berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu seorang wanita
cantik sekali telah berdiri di depannya. Wanita ini
berpakaian serba putih, wajahnya kemerahan dan
rambutnya yang halus hitam panjang itu terurai di belakang
punggungnya. Sebatang pedang menempel pada punggung,
sikapnya gagah sekali. Ketika ia mengangkat tangan kirinya
ke atas dengan isyarat menyuruh Lama itu berhenti, nampak
jelas bahwa telapak tangannya kemerahan seperti berlepotan
darah. Inilah Ang-jiu Mo-li (Iblis Wanita Tangan Merah).
"Thai Gu Cinjin, berhenti dulu" wanita itu berseru
suaranya merdu dan tinggi nyaring menusuk telinga tanda
bahwa di-keluarkan dengan pengerahan tenaga khikang.
Kemudian terdengar suara ketawanya yang aneh seperti
lengking suling. Pendeta Lama itu nampak gelisah
mendengar suara ketawa ini.
"Ang-jiu Mo-li, kau menghentikan pinceng ada keperluan
apakah?" tanyanya, suaranya digagah-gagahkan agar tidak
kelihatan bahwa dia gentar menghadapi wanita ini . Memang
sungguh lucu melihat tokoh besar seperti Thai Gu Cin-jin
yang di Tibet terkenal sebagai jagoan berilmu tinggi,
kelihatan gentar menghadapi seorang wanita cantik yang
biarpun kelihatan muda jelita akan tetapi sudah berusia lima
puluh tahun ini!
Ang-jiu Mo-li sekali lagi tertawa cekikikan, kemudian
suara ketawanya terhenti tiba-tiba dan keningnya berkerut,
matanya memancarkan cahaya menakutkan.
10
“Thai Gu Cinj in, sudah lama aku mendengar bahwa kau
adalah seorang pendeta Lama yang paling cerdik banyak akal
dan suka pura-pura. Ternyata sekarang betul, kau masih
hendak berpura-pura dan bertanya apa maksudku
menghentikanmu, seakan-akan kau tidak berdosa sama
sekali! Akan tetapi aku tidak mau seperti kau, aku berterus
terang saja. Aku sengaja menghadangmu dan lekas-lekas
kauberikan kitab-kitab Omei-san itu."
Mendengar ini Thai Gu Cinjin berdongak ke atas, tertawa
bergelak dan memukulmukulkan ujung tongkatnya ke atas
tanah sehinggga batu-balu menjadi remuk.
"Ha, ha, ha, ha! Kau juga, Ang-jiu Mo-li? Benar-benar
lucu. Baru saja Le Thong Hosiang,NamKong Hosiang,Nam
Siong Hosiang dan Hengtuan Lojin empat orang hwesio
goblok itu mengeroyok pinceng dan juga minta kitab dari
Omei-san. Apa kaukira mudah saja mengambil kitab dari
dalamgua yang dijaga oleh dua ekor naga sakti itu? Kau
boleh coba-coba mengambilnya di Omei-san! Ha, ha, ha!"
"Kalau mempergunakan tongkatmu itu aku percaya, kau
takkan mampu mengambll kitab dari Omei-san. Akan tetapi
tipu muslihatmu mungkin membuatmu berhasil. Aku
mendengar berita bahwa kau sudah berhasil menipu Tiong
Jin Hwesio. Nah, sekarang jangan banyak cakap, lekas
kauserahkan kitab itu kepadaku."
"Eh, kau tidak percaya kepadaku, Ang-jiu Mo-li? Pinceng
bersumpah bahwa kitab itu tidak ada pada pinceng!"
"Hmmm, siapa percaya pada sumpahmu? Perlihatkanlah
isi saku bajumu."
"Ang-jiu Mo-li, kau benar-benar terlalu! Kau tidak saja tak
percaya kepada kata-kata pinceng, bahkan sampai pinceng
bersumpah kau tidak percaya. Kau ingin menggeledah?"
"Betul, lekas buka jubahmu dan ja- i ngan banyak
cerewet!" "Ini penghinaan namanya!"
11
"Habis kau mau apa?"
"Ang-jiu Mo-li, sudah lama pinceng tidak merasai
kelihaianmu. Kalau kau dapat merampas tongkat pinceng
ini, baru pinceng mengaku kalah dan menuruti kehendakmu
memeriksa saku jubahku ini." Setelah berkata begini, pendeta
Lama yang bernama Thai Gu Cinjin itu lalu memegang
tongkatnya lurus ke depan dada dengan tangan kanan
disodorkan ke arah Ang-jiu Mo-li.
Wanita ini kembali tertawa aneh. "Kalau aku tidakmelihat
kau sudah tua dan sudah bersusah payah meninggalkan
Tibet untuk mencari kitab Omei-san, tentu kau takkan dapat
meninggalkan tempat ini dengan nyawa dalam tubuhmu.
Baiklah, kaupertahankan tongkatmu!"
Ang-jiu Mo-li lalu menangkap tongkat itu dengan tangan
kirinya, mengerahkan tenaga lweekang disalurkan ke arah
tongkat untuk membetot, Thai Gu Cinjin mempertahankan.
Ang-jiu Mo-li mengubah-ubah tenaganya, kadang-kadang
membetot, kadang-kadang mendorong. Akan tetapi Thai Gu
Cinjin tak dapat diakali dan dapat mengimbangi serangan
lawan.
Tiba-tiba Ang-jiu Mo-li mengeluarkan seruan keras dan
warna merah dari telapak kedua tangannya menjalar
perlahan-lahan sehingga tak lama kemudian tongkat di
bagian yang terpegang oleh wanita ttu mulai mengeluarkan
uap! Terus saja uap itu menjalar menuju ke tangan Thai Gu
Cinjin yang merasa terkejut sekali. Akan tetapi
mengandalkan tenaga lweekangnya yang sudah tinggi sekali,
dia tidak takut dan bersiap-siap menerima serangan hawa
dari tangan merah itu. Uap terus menjalar menyusuri
tongkat, tanda bahwa hawa itu makin lama menjalar makin
jauh mendekati lawan. Akhirnya uap menyentuh tangan Thai
Gu Cinjin yang memegang tongkat.
Pendeta Lama ini merasa seakan-akan ia memegang besi
merah. Panasnya tak tertahankan lagi, apalagi selain hawa
panas ini masih disertai hawa mendorong yang amat dahsyat.
12
Ia mempertahankan, akibatnya, telapak tangannya mulai
hangus dan beruap, mengeluarkan bau seperti kulit dibakar.
"Menyerah ....... '" katanya terengah-engah karena ia
menahan napas dan mengerahkan seluruh tenaga.
Ang-jiu Mo-li tertawa nyaring sekali dan menancapkan
tongkat yang sudah berpindah tangan itu ke atas tanah.
Tongkat amblas sampai setengahnya. Tanpa banyak cakap
lagi, Thai Gu Cinjin membuka jubah luarnya dan
melemparkan jubah di atas tanah. Ia kini hanya memakai
pakaian dalam yang ringkas dan tidak bersaku.
Dengan ujung sepatunya, Ang-jiu Mo-Li meraba-raba
jubah itu. Ketika mendapat kenyataan bahwa di situ tidak
tersimpan kitab, ia nampak kecewa dan marah.
Dipandangnya, wajah Thai Gu Cinjin dengan tajam.
"Thai Gu Cinjin, sekarang kau menang. Memang kau tidak
membawa kitab, akan
tetapi kalau kelak
ternyata kitab itu ada
padamu, ingatlah bahwa
aku tidak biasa
melupakan penghinaan
orang kepadaku. Dan
kalau saat ini kau
menipuku, berarti kau
telah menghinaku!"
Setelah berkata demikian,
sekali berkelebat
lenyaplah wanita yang
mengerikan itu.
Thai Gu Cinjin
mencabut tongkatnya
sambil menarik napas
panjang, memakai lagi
jubahnya yang merah,
lalu tiba-tiba ia berpaling
13
memandang ke arah tujuh orang yang baru saja muncul dari
tempat persembunyiannya.
"Nah, apakah kalian hendakmelanjutkan pertempuran
tadi sampai mati?" bentaknya marah.
Tujuh orang ini bukan lain adalah empat orang hwesio
dan tiga kakek Pak-kek Samkui. Mereka ini tadi mengejar
dan melihat Thai Gu Cinjin bertengkar dengan seorang
wanita baju putih yang kedua tangannya merah, mereka
berhenti. Pak-kek Sam-kui menjadi pucat ketika mengenal
bahwa wanita itu bukan lain adalah Ang-jiu Mo-li yang
mereka takuti, maka buru-buru mereka mengajak empat
orang hwesio itu bersembunyi di balik pohon-pohon. Setelah
Ang-jiu Mo-li pergi, baru mereka berani muncul. Thai Gu
Cinjin yang merasa terhina oleh Ang-jiu Mo-li akan tetapi
tidak berdaya, melihat munculnya bekas lawan ini,
menimpakan kemarahannya kepada mereka dan menantang
mereka melanjutkan pertempuran.
Akan tetapi ketika empat orang hwe-s io itu melihat betapa
setelah digeledah ternyata pendeta Lama itu benar-benar
tidak menyimpan kitab yang mereka hendak rebut, mereka
bahkan menjura memberi hormat dan Le Thong Hosiang
berkata.
"Mohon Taisuhusudi memaafkan kami yang keliru
menyangka dan telah berlaku kurang ajar."
Thai Gu Cinjin mengeluarkan suara di hidung, melirik ke
arah Pak-kek Sam-kui dan berkata perlahan, "Ang-jiu, Mo-Li
Si Ratu Iblis dari utara datang untukmencari kitab Omeisan,
agaknya banyak orang-orang dari utara juga datang
beramai-ramai. Hemmm, kalau yang tiga ini bukan Tiga
Setan Kutub Utara, siapa lagi?”.
Giam-lo-ong Ci Kui menjura dan tertawa. Ia maklum
bahwa ilmu kepandaian dari Thai Gu Cinjin tinggi sekali dan
biarpun mereka bertujuh mengeroyok, kalau .dilakukan
14
pertempuran mati-matian, andaikata mereka menang
sekalipun tentu di fihak mereka akan jatuh banyak korban.
"Penglihatan Cinjin benar-benar tajamsekali. Kelak kalau
ada kesempatan ke Tibet, tentu kami bertiga akan
mengadakan kunjungan penghormatan."
Kembali Thai Gu Cinjin mengeluarkan suara mengejek di
hidung, kemudian menyeret tongkatnya dan pergi dari situ.
Tentu saja ia tidak terus pergi meninggalkan pegunungan
itu, melainkan berkeliaran di sekitar situ mencari Tiang Bu.
Akan tetapi alangkah heran, kaget dan mendongkolnya
ketika ia tidak dapat menemukan bocah yang ia titipi kitabkitab
itu! Tadi ia melemparkan Tiang Bu ke dalam jurang
mempergunakan ke-pandaiannya sehingga bocah itu tidak
terluka ketika tiba di dasar jurang, akan. tetapi sekarang
bocah itu sudah tidak berada di dalam jurang lagi, entah ke
mana perginya dan dengan cara bagaimana. Thai Gu Cinjin
marah-marah, terus mencari, bahkan pergi ke sekitar puncak
gunungitu, tetap saja sia-sia dan tidak menemukan bocah
itu.
"Celaka! Bocah s etan! Kalau aku mendapatkan engkau,
akan kuputar batang lehermu. Berani kau mempermainkan
aku," pikir pendeta Lama itu dengan marah dan terus
mencari-cari, kini menuju ke selatan karena disangkanya
bocah itu tentu telah lari ke selatan membawa bungkusan
kitab-kitab itu.
Adapun Pak-kek Sam-kui pada saat itu sedang bercakapcakap
dengan empat orang hwesio itu. Memang, empat orang
hwesio itu bukan lain adalah Le Thong Hosiang, Nam Kong
Hosiang, Nam Siong Hosiang dan Hengtuan Lojin, empat
orang hwesio yang pernah datang di Lu-liangsan dan
membuka rahasia Wan-bengcu sebagai keturunan dari
Pangeran Wanyen yang dibenci oleh orang-orang gagah,
kemudian telah dituturkan di bagian depan betapa Le Thong
Hosiang telah mengadu kepandaian dengan Bu Kek Siansu.
15
Le thong Hosiang dan kawan-kawannya memberi hormat
kepada Pak-kek Sam-kui dan memperkenalkan namanya.
Kemudian ia berkata.
"Sudah lama pincengmendengar nama besar Sam-wi
Locianpwe dan kebetulan sekali hari ini selain menyaksikan
kelihaian Sam-wi, juga telah menerima pertolongan. Pinceng
dan kawan-kawan menghaturkan banyak terima kasih.”.
Giam-lo-ong Ci Kui tertawa. "Ah, Saudara-saudara terlalu
sungkan. Sudah selayaknya orang-orang segolongan saling
membantu dan tentang kepandaian ....... ah. memalukan
bicara tentang kepandaian setelah kita bertemu dengan
orang-orang seperti Thai Gu Cinjin dan lebih-lebih Ang-jiu
Mo-li itu. Hanya orang dengan kepandaian tinggi seperti
Wan-bengcu kiranya boleh dibandingkan dengan mereka”.
Ci Kui sengaja menyebutWan-bengcu untukmelihat
bagaimana hubungan mereka ini dengan bengcu itu. Girang
hatinya melihat betapa wajah empat orang hwesio itu menjadi
muram, bahkan Heng tuan Lojin berkata tak senang.
"Orang-orang utara memang banyak yang pandai, sayang
mereka tolol, memilih bengcu keturunan Pangerah Cin dan
bekas penjahat pula!"
Ci Kui tertawa girang. "Cocok! Memang kami sendiri
merasa benci melihat bengcu yangmuda sorhbong dan
keturunan bangsawan penindas rakyat itu! Akari tetapi,
mengapa saudara-saudara dari selatan tidak mau turun
tangan dan mendiamkannya saja bangsat itu merajalela?"
Le Thong Hosiangmenarik napas panjang. "Orang-orang
kang-ouw di daerah utara itulah yang menyebabkan. Mereka
semua percaya kepada bengcu mereka dan menyokongnya.
Terus terang saja, di utara banyak terdapat orang-orang
pandai dan andaikata kami turun tangan terhadapWanbengcu
kami tentu akan bermusuhan dengan semua orang
kang-ouw di sana."
16
Ci Kui melanjutkan pancingannya. "Heran sekali,
bukankah di selatan ini banyak sekali terdapat orang-orang
pandai? Bahkan dulu aku pernah mendengar nama besar
dari seorang bengcu di sini yang disebut Tung-nam Beng-cu
(Ketua Persilatan Selatan dan Timur) dan bernama Liok Kong
Ji!"
Le Thong Hosiang mengangguk-angguk. "Memang betul,
akan tetapi Liok-taihiap itu hanya sebentar saja berada di
sini memirripin kami. Sekarang dia telah pergi menghilang
dari dunia kang-ouw, entah ke mana. Paling akhir ia berada
di utara, akan tetapi di sana ia dimusuhi oleh orang-orang di
bawah pimpinan Wan-bengcu. Kalau masih ada di sini,
kiranya kami akan lebih kuat dan mudah untuk menghadapi
penghinaan orang-orang utara."
Mendengar ini, kegirangan Ci Kui memuncak. Sambil
tertawa-tawa ia mengeluarkan sebuah benda dari saku
bajunya, memperlihatkan benda itu kepada Le Thong
Hosiang dan kawan-kawannya sambil berkata.
"Kenalkah Saudara-saudara akan benda ini?"
"Hek-tok-ciam dari Liok-taihiap ....... !" seru Le Thong
Hosiang dan Hengtuan Lojin yang mengenal baik senjata
rahasia berupa jarum hitam yang terkenal sebagai senjata
rahasia yang biasa dipergunakan oleh Liok Kong Ji atau
bengcu mereka dahulu. "Apakah Liok-taihiap masih hidup?
Di mana dia dan bagairnana Hek-tokciam berada di
tanganmu?" tanya hwesio ketua dari Taiyun-pai itu.
"Ketahuilah, Le Thong Hosiang, kami sebetulnya adalah
utusan-utusan dari Thian-te Bu-tek Taihiap yang kini berada
di luar daerah sebelah utara wilayah Cin."
"Siapa itu Thian-te Bu-tek Taihiap? tanyaNamKong
Hosiang, terkejut mendengar nama julukan yang demikian
hebatnya.
17
"Apakah kau tidak bisa menduga? Thian-te Bu-tek Taihlap
adalah Liok-taihiap yang kini menjadi tangan kanan
raja.besar di Mongolia."
Empat orang hwesio itu menjadi heran dan curiga.
"Menjadi pembantu pemimpin bangsa Mongol yang disebut
Temu Cin dan amat terkenal itu? Akan tetapi mengapa? Dan
apa maksudnya mengutus Sam-wi ke selatan ini?"
"Ketahullah Saudara-saudara yang baik. Taihiap melihat
keadaan yang makin buruk di utara, di mana rakyat ditindas
oleh penjahat-penjahat bangsa Cin itu, bahkan orang-orang
gagah di dunia kang-ouw Sudah dikuasai pula oleh orang she
Wan yang bukan lain adalah juga seorang keturunan
Pangeran Wanyen dari suku bangsa Cin. Oleh karena itu,
taihiap dengan bantuan raja besar dari bangsa Mongol, kami
bermaksud memukul Kerajaan Cin dan membebaskan
rakyat dari-pada penjajahan orang-orang Cin. Maka, kami
diutus untuk menyampaikan hal ini kepada saudara-saudara
di selatan agar kita dapat bekerja sama dalamusaha mulia
itu.
“Hmmm, inilah urusan besar sekali yang tidak dapat
begitu saja diputuskan oleh kami berempat," kata Le Thong
Hosiang hati-hati sekali, "bagi pinceng sendiri, tentu saja
pinceng bersedia bekerja sama kalau kerja sama ini
dimaksudkan untuk memberi hukuman kepada Wan-bengcu
dan mengangkat seorang bengcu baru yang lebih tepat, juga
pinceng kira semua saudara di selatan akan setuju kalau
diajak menggulingkan Pemerintah Cin untuk membebaskan
rakyat daripada; tindasan penjajahan." Ia berhenti sebehtar,
kemudian melanjutkan, "Akan tetapi, bukan semestinya
kalau, untuk usaha ini, kami menarik bantuan bangsa
Mongol. Kami akan berusaha sekuat tenaga untuk bekerja
dengan kekuatan sendiri."
Ci Kui mengerutkan keningnya. tak disangkanya orangorang
di selatan begini angkuh.
18
"Akan tetapi, Le Thong Hosiang. Kau sendiri tadi yang
menyatakan bahwa di selatan kekurangan orang pandai,
kalah oleh orang-orang di utara. Tanpa kerja sama,
bagaimana akan berhasil cita-cita?"
Le Thong Hosiang tertawa. "Bukan di selatan tidak ada
orang pandai, hanya belum muncul orang pandai. Kalau dua
Naga Sakti yang bertapa di Omei-san tidak begitu tua dan
mengasingkan diri puluhan tahun lamanya, kiranya di
seluruh dunia ini tidak ada yang berani memandang rendah
kepada kami orang-orang selatan." Untuk meninggikan
derajat orang-orang selatan, Le Thong Hosiang lalu
menceritakan kepada tiga orang pendengarnya bahwa kitab
yang diperebutkan oleh Thai Gu Cinjin dan Ang-jiu Mo-li
tadi, dimaksudkan kitab dari Omei-san. Di puncak Omeisan
yang amat keramat terdapat dua orang pertapa sakti
bernama Tiong Sin Hwesio dan Tiong Jin Hwesio, dua orang
kakek pertapa yang sudah mengasingkan diri di tempat itu
selama tiga puluh tahun lebih dan kabarnya dua orang
kakek ini masingmasing telah mewarisi ilmu kepandaian
yang luar biasa tingginya dari nenek moyang persilatan Tat
Mo Couwsu dan Hoat Hian Couwsu.
Karena dua orang kakek ini tidak mau "turun" ke dunia
ramai dan tekun bertapa, maka banyak orang yang ingin
sekali mencuri kitab-kitab pelajaran ilmu silat mereka yang
kabarnya mereka simpan di dalam kuil tua di mana mereka
tinggal. Inilah sebabnya maka ketika tersiar berita bahwa
Thai Gu Cinjin dari Tibet berhasil mencuri kitab-kitab itu, ia
dikejar-kejar oleh semua orang yang ingin merampas kitabkitab
itu.
“Demikianlah, mengapa tadi kami berempat
mengeroyoknya untuk merampas kembali kitab-kitab yang
seharusnya tinggal di selatan. Akan tetapi ternyata kitab--
kitab itu tidak berada padanya. Memang tadinya kami sudah
bersangsi apakah betul-betul ada orangmampu mencuri
19
kitab-kitab itu dari tangan dua orang kakek sakti itu," Le
Thong Hosiang mengakhiri ceritanya.
Pak-kek Sam-kui tertarik sekali oleh cerita ini dan diamdiam
mereka mencatat semua yang mereka dengar itu,
karena sebagai orang-orang ahli silat, mendengar tentang
ilmu silat tinggi yang dimiliki oleh dua orang kakek itu, amat
menarik perhatian mereka dan ingin mereka berjumpa
dengan dua orang kakek itu.
"Betapapun juga, seperti telah pinceng katakan tadi,
urusan yang sam-wi kemukakan bukanlah urusan kecil
yang dapat pinceng putuskan sendiri. Pinceng akan
menyampaikan hal itu kepada kawan-kawan lain dan minta
pendapat mereka. Kemudian, sekali lagi kami menghaturkan
terima kasih dan apabila kebetulan samwi lewat di Taiyunsan,
pinceng persilakan mampir."
Mereka berpisah di situ. Setelah empat orang hwesio itu
pergi, Pak-kek Sam-kui baru teringat akan murid mereka,
Tiang Bu.
"Eh, mana bocah itu?" kata Sin-saikong Ang Louw. Mereka
mencari-cari, akan tetapi, seperti juga Thai Gu Cinjin,
mereka tidak dapat menemukan TiangBu.
-oo0mch0oo-
Mari kita menengok apa yang dialami oleh Tiang Bu,
bocah yang dicari-cari oleh Thai Gu Cinjin dan Pak-kek Samkui
itu. Tiang Bu kaget bukan main ketika pendeta Lama
yangmemaksanya menerima titipannya berupa bingkisan itu
melemparkannya ke dalam jurang yang cukup dalam.
Anehnya, ia terlempar ke dalam jurang dalam keadaan
berdiri dan agak memutar sehingga tidak laju benar
jatuhnya dan ia jatuh dalam keadaan duduk. Ia tidak
memperdulikan lagi seruan kakek Lama itu yang
menyuruhnya tinggal menunggu di situ, karena pada saat
itu Tiang Bu menghadapi keanehan lain yang membuatnya
20
melongo. Ternyata ketika ia jatuh dalam keadaan duduk, ia
merasa betapa tubuhnya diterima oleh sepasang tangan
yang kuat dan ketika ia memandang, betul saja bahwa ia
terjatuh ke dalam pangkuan seorang kakek yang kepalanya
bundar botak dan tubuhnya pendek, kecil dan kurus seperti
tengkorak ! Dengan sepasang mata seperti orang baru
bangun tidur, kakek ini memandang bocah di pangkuannya
dengan pandangan tajam menyelidik, kemudian ia
tersenyum aneh, disusul suara ketawa perlahan.
"Heh, heh, heh, peruntungan manusia memang aneh.
Yang setengah mampus mencari tidakmendapat, yang
duduk diam tak tersangka-sangka menerima apa yang
direbutkan orang. Bocah, tahukah kau bahwa kau telah
menerima sebuah pusaka yang tak ternilai harganya dari
Thai Gu Cinjin tadi?"
Tiang Bu biarpun seorang anak kecil, karena ia sudah
lama mengikuti tiga orang gurunya yang juga orang-orang
aneh dan sakti, dapat menduga bahwa ia berhadapan
dengan seorang pandai. Cepat ia menjatuhkan diri berlutut
dan berkata,
"Teecumenghaturkan banyak terima kasih atas
pertolongan locianpwe." Orang aneh yang pakaiannya
bertambal-tambal seperti pengemis kelaparan itu mengangkat
alis. "Eh ....... ? Terima kasih untuk apa ? Siapa yang
menolongmu?Memang Thai Gu Cinjin tidak menghendaki
kau binasa maka kau dilempar ke sini seperti tadi. Kau
tahu, apa yang kau bawa di saku bajumu itu ?'
Tiang Bu menggeleng kepala. "Teecu tidak tahu." Kembali
kakek itu tertawa, hampir-hampir tidak bersuara, hanya
angin dari mulutnya yang ompong saja terdengar hahaheheh.
"Lucu sekali ....... lucu sekali ! Kalau kedua losuhu di
Omei-san mendengar akan hal ini, mereka bisa mati tertawa.
Pusaka berharga berada di dalam saku, masih tidak tahu
benda apa sebenarnya itu ! Heh, heh, heh, bocah tolol,
ketahuilah bahwa bungkusan itu berisi kitab rahasia
21
pelajaran ilmu silat yang luar biasa dari Tiong Jin Hwesio
yang dicuri oleh Thai Gu Cinjin."
Tiang Bu tetap tidak berubah air mukanya. "Tiada
gunanya bagiku, locian pwe."
"Tiada gunanya ? Apa maksudmu ?" Muka yang botak ini
menjadi merah sekali, saking mendongkol dan heran
mendengar kata-kata yang baginya tak masuk akal ini.
Bagaimana orang yang mendapatkan kitab luar biasa itu
berani mengatakan tiada guna?.
"Pertama-tania, benda ini hanyalah barang titipan saja
dan tentu akan diambil kembali oleh pendeta berjubah
merah itu. Kedua kalinya, teecu tidak dapat membaca
sebuah hurufpun."
"Bodoh ! Pertama, Thai Gu Cinjin hanya akan menerima
kembali kitab itu berikut nyawamu karena kau menjadi saksi
utama bahwa kitab itu berada padanya. Kedua, apa sih
sukarnya belajar membaca huruf ? Kau tidak tahu bahwa
sebentar lagi, pendeta Lama itu tentu akan mencari-carimu
untuk mengambil kembali kitab itu berikut nyawamu."
Kini Tiang Bu benar-benar kaget. "Locianpwe, harap
tolong teecu."
"Mari kau ikut keluar dari sini." Kakek pengemis ini
berdiri dan temyata kakinya cacat, besar sebelah. Kaki yang
kiri amat kecil sehingga jalannya terpincang-pincang. Akan
tetapi, sekali ia memegang lengan Tiang Bu dan
menggerakkan kaki kanan, tubuh mereka berdua telah
melayang naik dari dalam jurang itu. Tak lama kemudian,
dengan menggandeng tangan Tiang Bu, atau lebih tepat
mengangkat tubuh anak itu karena kedua kaki Tiang Bu
tidak menyentuh tanah, kakek aneh ini berlari cepat sekali
keluar dari tempat itu, memasuki hutan, keluar hutan
dengan cekatan seperti seekor burung walet saja.
Beberapa hari kemudian, di dalam sebuah hutan yang
luas, di tempat sunyi yang jarang didatangi manusia di
22
mana-mana sekitar tempat itu hanya terdapat pohon-pohon
dan batu karangmenjulang tinggi bersaingan dengan pohon,
kelihatan Tiang Bu membalik-balik lembaran buku, belajar
membaca di bawah petunjuk kakek pengemis pincang. Anak
ini belajar dengan tekun sekali karena hatinya berbisik
bahwa inilah kesempatan baginya untuk maju setelah ia
mendengar penuturan pengemis tua itu tentang kitab yang
jatuh di dalam tangannya.
Siapakah kakek botak ini? Dia bukanlah orang yang
tidak ternama di dunia kangouw. Kepandaian tinggi dalam
ilmu silat dan ilmu sastra membuat la dahulu dianggap
sebagai seorang bun-bu-cwan-jai (ahli silat dan surat). Tidak
saja ia pandai membaca menulis, juga ia terkenal sebagai
ahli bermain catur. Kegemaran inilah yang membuat ia
akhirnya berkenalan dengan dua orang sakti yang bertapa di
Omei-san. Pada suatu hari, kakek yang lihai ini ketika
berjalan seorang diri, tiba-tiba ia mendengar desir angin dan
tahu-tahu ia merasa dikempit dan dibawa pergi orang. Tahutahu
ia telah berada di puncak Omei-san dan ketika ia
dibebaskan dari totokan yang luar biasa lihainya itu, ia
berhadapan dengan dua orang hwesio tinggi besar yang
sudah tua sekali.
Akhirnya ia tahu bahwa dua orang hwesio itu bukan lain
adalah dua orang pertapa sakti yang ditakuti' semua orang
karena dikabarkan memiliki kepandaian yang luar biasa
tingginya, bernama Tiong Sin Hwesio dan Tiong Jin Hwesio,
berusia tujuh puluh tahun lebih. Tiong Jin Hwesio yang
"menculiknya" tadi dan perbuatan ini saja sudah menjadi
bukti betapa hebat dan tinggi kepandaian hwe-sio ini.
Menculik orang biasa secara demikian saja sudah
merupakan kelihaian yang jarang dimiliki orang, apalagi
menculik orang yang ilmunya sudah tinggi seperti kakek
botak ini!
Ternyata bahwa dua orang hwesio itu sengaja
membawanya ke Omei-san untuk diajak bermain catur!
23
Kakek botak itu yang mempunyai nama julukan Bu Hok
Lokai (Pengemis Tua Tidak Beruntung) menjadi girang sekali
dan melayani keinginan dua orang kakek sakti itu dengan
gembira. Sampai sebulan lebih ia tnggal di sana dan sebagai
tanda terima kasih, dua orang kakel sakti itu menurunkan
semacam ilmu silat kepadanya atau lebih tepat disebut ilmu
menghindarkan diri dari serangan musuh.
Ilmuini disebut Sam-hoan-san-bu (Tiga Kali Lingkaran
Tiga Kali Menari), semacamilmu yang berdasarkan ginkang
dan khusus dipergunakan untuk menghadapi serangan
lawan, baik dengan tangan kosongmaupun bersenjata.
Dengan memiliki ilmu silat ini, sewaktu apabila menghadapi
lawan yang jauh lebih lihai sekalipun, Bu Hok Lokai tak
usah takut, akan tetapi sudah pasti ia dapat menyelamatkan
diri mempergunakan ilmu silat ini.
Dua orang kakek sakti itu menurunkan ilmu ini
mengingat bahwa Bu Hok Lokai adalah seorang yang
bercacad kakinya. Bu Hok Lokai setelah menerima ilmu ini
mendapat kenyataan bahwa dua orang sakti itu benar-benar
lihai sekali dan kalausaja ia bisa menjadi murid mereka,
tidak ada apa-apa lagi di dunia ini yang ia inginkan. Maka ia
lalu menjatuhkan diri berlutut, minta diangkat murid.
Tak diduga sama sekali, dua orang kakek itu menjadi
marah-marah, memakimakinya sebagai orang tak tahu
terima kasih, kemudian mengusirnya dengan ancaman
ilmunya akan dicabut kembali kalau ia berani kembali ke
situ! Inilah yang menimbulkan sakit hati Bu Hok Lokai maka
ketika ia melihat kitab rahasiaOmei-san terjatuh ke dalam
tangan Tiang Bu, ia mendapat pikiran, untukmengambil
bocah ini sebagai muridnya. Dia sendiri adalah seorang
bercacad, lagi sudah tua, kalau belajar sendiri takkan
mungkin jadi. Kalau dia mempunyai seorang murid pandai,
bukankah hari tuanya akan terjamin?
Mernang nasib manusia kadang-kadang ditentukan oleh
sikapnya yang dianggapnya tidak akan berakibat sesuatu.
24
Andaikata dua orang kakek sakti itu tidak marah ketika
melihat Bu Hok Lokai minta diangkat menjadi murid dan
menolak dengan halus saja, kiranya Bu Hok Lokai melihat
kitab itu akan cepat-cepat membawa kitab itu kembali ke
Omei-san untuk dikembalikan kepada pemiliknya.
Akan tetapi, kemarahan dua orang sakti yang sebetulnya
tidak berarti, dapat membalikkan sejarah, dan kitab itu tidak
kembali kepada pemiliknya melainkan dipelajari oleh Tiang
Bu!
Makin lama Bu Hok Lokai menjadi makin sayang kepada
Tiang Bu yang ternyata memang luar biasa sekali ketajaman
ingatannya. Biarpun setiap hari dijejali puluhan huruf-huruf
baru, akan tetapi sekali huruf-huruf itu menempel pada
ingatannya, takkan terlupa lagi. Di samping kepintarannya
ini, ia juga amat tekun. jarang sekali ia kelihatan menganggur
dan buku pelajaran tak pernah dilepas dari tangannya!
Setahun kemudian Tiang Bu telah dapat membaca kitab
dari Omei-san itu yang ternyata berisi pelajaran ilmu silat
tinggi yang disebut Pat-hong Hong-i (Ilmu Pukulan Delapan
Penjuru Angin Hujan)! la mulai mempelajari ilmu pukulan
ini di bawah pengawasan gurunya yang baru, Bu Hok Lokai.
Bahkan Bu Hok Lokai menurunkan pula pelajaran ilmu silat
yang ia dulu terima dari dua kakek sakti Omei-san, yaitu
Ilmu Silat Sam-hoan Sam-bu kepada muridnya yang ia
sayang.
-oo0mch0oo-
Di lingkungan bangunan-bangunan istana kaisar di ibu
kota Yen Ping (Pe-king}, yaitu istana Kerajaan Cin, terdapat
sebuah istana yang indah dengan pekarangan depan yang
lebar dan taman bunga yang penuh dengan bunga-bunga
indah di bagian belakang. Inilah istana dari Pangeran
Wanyen Ci Lun, seorang pangeran yang tidak saja amat
berpengaruh dan dipercaya oleh kaisar, akan tetapi juga
25
terkenal di kalangan rakyat sebagai seorang pangeran yang
budiman dan tidak pernah menolak permintaan tolong
orang.
Anehnya, pangeran yang hartawan, berpengaruh dan
berwajah tampan ini sampai berusia tiga puluh tahun belum
juga menikah, menikah dengan sah. Karena isterinya di luar
kawin sah ada lima orang! Atau pendeknya pangeran yang
masih perjaka ini telah mempunyai lima orang selir. Di
antara selir-selirnya terdapat seorang selir yang paling
disayanginya dan agaknya selir inilah yang membuat ia segan
untuk menikah lagi.
Di dalam diri selir ini ia mendapatkan seorang yang ia
cinta sepenuh hatinya, seorang yangmenjadi ibu dari
puteranya, dan seorang pelindung keselamatannya.
Oleh karena itu, biarpun selir ini ia kawin di luar upacara
yang sah, akan tetapi agaknya selir ini menjadi pengganti
dari isteri yang sah. Selir ini yang menjadi ratu rumah tangga
dan mengepalai semua penghuni rumah.
Akan tetapi para selir lain tidakmerasa iri hati, karena
memang selir ini mempunyai watak yang pendiam dan tidak
sombong biarpun ia amat disayang oleh Pangeran Wanyen Ci
Lun. Adanya selir inilah maka tidak ada orang yang berani
sembaranganmengganggu istana ini, dan keluarga di rumah
itu merasa aman dan tenteramseakan-akan di situ terdapat
seorang dewi pelindung.
Orang takkan merasa heran kalau sudah mengetahui
bahwa selir ini bukan lain adalah pendekar wanita yang
amat gagah perkasa murid dari Hwa l Enghiong Go Ciang Le
pendekar besar dari Kim-bun-to. Dia inilah yang dulu dijuluki
orang Kangsim-li atau Dara Berhati Baja, karena ia keras
hati dan jujur, tidak mengenal ampun menghadapi para
penjahat. Namanya Gak Soan Li dan ia adalah suci (kakak
seperguruan) dari Go Hui Lian.
26
Di dalam cerita Pedang Penakluk iblis telah diceritakan
betapa Gak Soan Li telah menjadi gila karena perbuatan keji
yang dilakukan oleh penjahat besar Liok Kong Ji dan betapa
kemudian Gak Soan Li telah ditolong oleh Pangeran Wanyen
Ci Lun yang mencintanya. Kemudian akhirnya Gak Soan Li
tinggal di istana pangeran itu dan menjadi selir yang paling
dicinta.
Apalagi karena Wanyen Ci Lun tidakmendapatkan
seorang pun anak dari empat orang selir yang lain,
sedangkan setahun setelah ia mengambil Gak Soan Li,
pendekar wanita ini melahirkan seorang anak laki-laki yang
tampan sekali. Cinta kasih dan sayangnya makin besar dan
dengan tidak resmi Gak Soan Li menjadi Toanio atau Toahujin
(Nyonya Besar)!
Anak itu diberi nama Sun, dan Wan-yen Ci Lun yang ingat
akan jasa-jasa Wan Sin Hong memberi she atas nama
keturunan Wan kepada puteranya, karena ia tahu bahwa
she Wan itu pun asalnya adalah she Wanyen. Demikianlah,
puteranya itu nama lengkapnya Wan Sun dan semenjak
kecilnya Wan Sun sudah nampak bahwa ia akan menjadi
seorarg yang cerdik dan tampan sekali.
Ketika Wan Sun baru berusia dua tahun, pada suatu
malam yang sunyi, seorang pelayan wanita yang kebetulan
pergi ke taman bunga, mendengar tangis bayi dari taman itu.
Pelayan ini ketakutan dan lari masuk sambil berteriakteriak,
"Siluman ....... ! Siluman ....... !"
Mendengar ini, para pelayan lain dan selir-selir Pangeran
Wanyen Ci Lun menjadi ketakutan pula. Hanya Gak Soan Li
yang tidak takut sama sekali, bahkan dengan marah ia
mengguncang-guncangkan pundak pelayan yang menjeritjerit
ketakutan itu sambil menghardik.
"Diam! Ceritakan apa yang kau telah lihatl"
27
"Ampun ....... Toanio ....... hamba me-lihat ....... eh,
mendengar tangis bayi di dalam taman ....... tentu siluman
....... "
Soan Li tidakmenanti habisnya ocehan pelayan yang
ketakutan ini melainkan cepat ia berlari ke belakang sambil
menyambar pedangpya. Ketika tiba di taman bunganya yang
indah itu, tiba-tiba ia tertegun dan tak terasa pula bulu
tengkuknya meremang. Benar saja, ia pun mendengar suara
tangis anak kecil yang nyaring sekali, keluar dari tengahtengah
taman. Bagaimana bisa ada bayi menangis di situ
kalau bukan perbuatan siluman? Akan tetapi, dia adalah
seorang wanita yangmemiliki kegagahan. Sebentar saja
ditindasnya perasaan seramini dan di lain saat ia telah
melompat ke tengah taman.
Malamitu gelap, hanya ribuan bintang yang menimbulkan
cahaya remang-remangmenambah keseraman keadaan di
taman itu. Setelah tiba di tempat di mana terdengar suara
tangis bayi itu, kembali Soan Li tertegun dan kedua kakinya
seperti terpaku pada tanah ketika ia melihat sebuah benda
kecil ber-gerak-gerak di atas tanah di depannya. Ketika ia
memperhatikan, tak salah lagi, benda itu bukan lain adalah
seorang bayi yang baru beberapa bulan usianya! Tangis bayi
itu luar biasa nyaringnya, hampir senyaring tangis Wan Sun
ketika masih bayi.
Soan Li menyarungkan pedangnya dan cepat menyambar
tubuh bocah itu yang ternyata hanya dibungkus dengan
sehelai kain kuning. Tubuh anak itu montok dan sehat
sekali dan ketika Soan Li mendekap bocah itu pada dadanya
ia mencium bau yang harumsekali, keharuman yang amat
aneh seakan-akan dalamtubuh anak itu bersembunyi ribuan
tangkai kembang beraneka warna!
Wanyen Ci Lun dan yang lain-lain menjadi bengong ketika
melihat Soan Li datang memondong seorang bayi perempuan
yang montok dan mungil.
28
"Eh, eh ....... anak siapakah ini ....... ?" tanya Wanyen Ci
Lun.
"Entah dia ditinggalkan menangis di tengah taman. Harus
diselidiki perbuatan siapa ini yang demikian kejam dan
biadab. Orang tuanya harus diberi hukuman berat. Kurasa
tentu seorang di antara pegawai kita atau dari rumah yang
berdampingan, karena kalau bukan orang dalam yang
berdekatan, siapa bisa meninggalkan anak di tengah
taman?" kata Soan Li marah sambil merawat anak itu penuh
kasih sayang.
Melihat bocah yang begitu mungil dengan rambutnya
yang hitam lebat, matanya bercahaya dan bening, kulitnya
yang putih halus, timbul rasa sayang. Cepat ia menyuruh
pelayan memanggil seorang inang pengasuh yang biasa
menyusui anak-anak dan sebentar saja setelah mendapat
minum susu, anak. itu tidur pulas dengan bibir tersenyum
manis. Anak ini berusia paling banyak lima bulan.
Usaha Wanyen Ci Lun untuk menemukan orang tua anak
perempuan itu sia-sia belaka. Tidak saja ia menyelidiki para
pelayan, bahkan ia telah memerintahkan penjaga-penjaga
untuk menyelidiki siapa orang-orang yang mempunyai
seorang anak perempuan berusia lima bulan, namun
ternyata bahwa yang dicari-cari tidak dapat diketemukan.
Banyak yang mempunyai anak, akan tetapi anak-anak itu
masih ada semua pada orang-orang tuanya, jadi anak
perempuan itu seakan-akan jatuh dari langit ke taman
bunga itu!
Soan Li mengerutkan kening dan mukanya yang cantik
itu berpikir keras.
"Tidakmungkin anak ini jatuh begitu saja dari atas
langit. Pasti ada orangnya yang menaruhnya di tengah
taman pada malam hari. Akan tetapi, memasuki lingkungan
istana, apalagi memasuki taman kita tanpa diketahui oleh
siapapun juga kemudian meninggalkan seorang bayi di situ,
sungguh hanya dapat dilakukan oleh orang yangmemiliki
29
kepandaian silat tinggi. Entah apa maksud dan kehendak
orang yang meninggalkan anak itu, aku tidak tahu. Akan
tetapi, anak ini bukanlah bocah biasa, melainkan seorang
anak yang memiliki bakat baik sekali dan kelak pasti
menjadi orang luar biasa. Melihat anak ini, timbul rasa suka
dalam hatiku dan kalau sekiranya kau tidak keberatan,
biarlah anak ini menjadi anak kita yang ke dua, menjadi
kawan bermain dari anak kita Sun-ji."
Mendengar ini, Wanyen Ci Lun tidak keberatan sama
sekali oleh karena ia sendiri pun suka melihat bocah yang
cantik itu. Puteranya hanya seorang, tentusaja ia ingin anak
ke dua, apalagi kalau perempuan.Dengan demikian, ia
mempunyai dua orang anak, seorang laki-laki dan seorang
lagi perempuan.
Demikianlah, bocah yang mereka dapatkan di tengah
taman bunga itu menjadi anak mereka dan mereka beri
nama Bi Li (Wanita Cantik) dan selanjutnya disebut Wan Bi
Li. Bi Li semenjak kecilnya sudah mengalami hal yang anehaneh.
Pertama-tama, munculnya di keluarga pangeran itu
sudah merupakan teka-teki yang tidak diketahui artinya.
Kemudian, pada suatu malam, ketika Bi Li berusia satu
tahun, terdengar Soan Li menjerit keras.Wanyen Ci Lun yang
masih tidur nyenyak itu kaget bukan main dan cepat-cepat ia
melompat dari tempat tidurnya untukmemburu ke arah
isterinya yang sedang berdiri di dekat tempat tidur Bi Li.
Dan alangkah kagetnya ketlka ia me-lihat isterinya itu
memegang seekor ular pada kepalanya dan dengan
tenaganya telah meremas kepala ular itu sampai hancur di
dalamgenggamannya! Ular itu hanya dapat menggeliatgeliatkan
ekornya beberapa kali sebelum diam dan mati. Dan
anehnya, Bi Li tetap tidur nyenyak seakan-akan tidak terjadi
apa-apa.
"Aneh ....... " kata Soan Li menjawab pertanyaan
suaminya. "Tadi aku mendengar Bi Li tertawa-tawa dalam
tidurnya, kemudian karena mendengar keresekan-keresekan
30
di dalam tempat tidurnya, aku turun dan menengoknya. Kau
mengerti betapa kagetku melihat seekor ular hijau yang
berbisa ini melingkar di dekatnya, dengan kepalanya diusapusapkan
pada pipi Bi Li saking ngeri dan terkejut aku
menjerit dan cepat menyambar kepala ular itu untuk
kubunuh."
WanyenCi Lun membelalakkan matanya dan memandang
kepada Bi Li yang tidur dengan nyenyak dan nampak begitu
mungil!
"Heran benar, Bi Li selalu berbau begini harum, apalagi
kalau sedang tidur," katanya.
Kata-kata. ini seakan-akan mengingatkan Soan Li akan
sesuatu. Ia mendekati Bi Li dan hidungnya mencium-cium.
Kemudian, ia memandang suaminya dan menganggukangguk,
lalu menarik napas panjang.
"Entah ini anak siapa dan dari mana datangnya. Bau
harum ini mengingatkan aku akan cerita mendiang Suhu
dahulu akan semacam bunga aneh yang harum sekali dan
amat disuka oleh bangsa ular berbisa namanya Coa-ong-hwa
(Bunga Raja Ular). Bunga seperti ini hanya tumbuh di dekat
Kutub Utara dan banyak orang-orang kang-ouw yang tinggi
kepandaiannya mempergunakan bunga ini untuk menjaga
diri apabila mereka bermalam di dalam hutan liar. Dengan
bunga seperti itu di dalam saku baju, binatang-binatang
berbisa takkan mau mengganggu, malah ular-ular berbisa
akan melindungi orang yang membawa bunga itu! Dan
bocah ini ....... entah bagaimana tubuhnya terutama hawa
mulutnya, berbau harum sekali seperti bunga itu!"
"Isteriku, anak ini benar-benar anak yang aneh. Kiranya
kelak akan menjadi seorang gagah perkasa, atau seorang
yang cerdik pandai. Oleh karena itu, bukankah ini berarti
kita telah memperoleh sebuah keuntungan bagus sekali?
Kita mempunyai Wan Sun yang kita sayang, sekarang
bertambah lagi seorang anak perempuan yang begini luar
31
biasa. Kita harus mengucap syukur kepada Thian Yang
Maha Kuasa."
Akan tetapi Soan Li mengerutkan alisnya yang bagus
bentuknya itu.
"Kata-katamu memang benar, Koko. Akan tetapi kalau
aku teringat akan orang yang menaruh Bi Li di dalam taman,
hatiku tidak enak sekali. Siapa dia dan apa maksudnya?
Ahh ....... kalau saja aku tahu siapa orangnya itu, takkan
begini gelisah hatiku. Kalausaja aku tahu dan yakin bahwa
ia memang hendakmemberikan anak ini kepada kita, akan
lega dan puaslah hatiku ....... "
Wanyen Ci Lun merangkul isterinya. “Sudahlah, mari kita
tidur. Tak perlu hal itu dipikirkan terlalu dalam. Siapapun
juga orangnya, dia tidak bernnaksud buruk, dan lagi
andaikata ia bermaksud buruk, kita takut apakah? Kau
sendiri berilmu tinggi, belumlagi di sini terjaga kuat. Lebih
baik kita jangan beritahu kepada para pelayan tentang ular
itu, supaya mencegah cerita-cerita yang tidak karuan tentang
anak kita Bi Li."
Pangeran itu lalu melempar sendiri ular tadi ke dalam
empang di taman, kemudian tidur bersama isterinya setelah
Soan Li membersihkan bekas-bekas darah ular dengan teliti.
Akan tetapi, keanehan ini tak dapat ditutup untuk
selamanya. Ketika Bi Li sudah berusia dua tahun, dan Wan
Sun empat tahun, dua orang bocah itu selalu bermain-main
dengan rukun sekali. Sering-kali mereka main-main berdua
di taman bunga, dikawani oleh beberapa orang pengasuh.
Pada suatu hari, ketika dua orang anak kecil itu sedang
bermain-main di taman bunga tiba-tiba seorang di antara
pelayan-pelayan itu menjerit.
Semua pelayan memandang dan mereka menjadi pucat
melihat tiga ekor ular belang yang ganas melenggang-lenggok
datangmenuju ke arah dua orang anak yang sedang duduk
bermain-main pasir di bawah pohon itu.
32
Seorang di antara para pelayan itu takut kalau-kalau tiga
ekor ular itu akan menggigit anak-anak tadi, maka ia cepat
mengambil sepotong kayu dan memukul pada ular-ular itu,
dengan maksud me-ngusirnya pergi dari situ. Akan tetapi,
tibatiba seekor ular belang mendesis dan tubuhnya
meluncur cepat ke depan. Di lain saat pelayan itu sudah
memekik dan roboh dengan muka kehitaman dan napas
terhenti. Ular yang menggigit lengannya itu merayap pergi
dan bersama kawannya terus saja menghampiri Bi Li dan
Wan Sun!
Dua orang pelayan wanita yang lain berdiri terpaku
dengan mata terbuka lebarlebar. Mereka tadi kaget setengah
mati melihat seorang kawan mereka roboh tergigit ular, dan
sekarang semangat mereka seperti terbang pergi
meninggalkan tubuh ketika mereka melihat ular-ular itu
merayap mendekati asuhan mereka.
Ketika mereka melihat seekor ular merayap ke atas
pangkuan Bi Li dan lidahnya yang dijulurkan keluar itu
menjilat-jilat muka anak itu, ia menjadi setengah pingsan
dan lari bersama kawannya yang sudah pucat seperti orang
dikejar setan!
"Celaka ....... mati ....... ular ....... aduuhhh ....... " ratap
mereka tidak karuan.
Keduanya jatuh berdebuk di depan Soan Li dan selir-selir
Pangeran Wanyen Ci Lun yang lain. Yang seorang megapmegap
seperti ikan dilempar di darat, mulutnya terbuka
tertutup tanpa suara apa-apa. Sedangkan pelayan ke dua
malah sudah pingsan seperti orang t»dur, tertelungkup di
atas lantai.
"Ada apakah? Mana Kongcu dan Siocia?" tanya Soan Li,
hanya dia yang nampak tenang, sedangkan selir-selir yang
lain sudah ikut-ikutan panik.
"Ular ....... ular ....... aduh celaka, toanio ....... ular .......
mati ....... "
33
"Apa? Ular mati? Kenapa takut ular mati?" Soan Li
bertanya gemas.
Gak Soan Li memang semenjak muda berwatak keras
sehingga ia mendapat julukan Kang-sim-li (Wanita Berhati
Baja). Ia paling benci melihat sifat pengecut, maka paling
sebal kalau melihat orang ketakutan seperti pelayanpelayannya
itu. Dibentak-bentaknya pelayan itusehingga
menjadi makin panik.
"Toanio, ular ....... ada ular di taman. .. .Siocia dan
Kongcu ....... digigit ular belang-belang ....... " kata pelayan
itu sambil menangis tidak karuan.
Mendengar ini, tanpa membuang waktu lagi Soan Li
melompat dan berlari cepat ke taman sambil membawa
pedangnya. Sambil mengeluh cemas Pangeran Wanyen Ci
Lun ikut berlari ke belakang sedang para selirnya dan
pelayan-pelayan lain mengejar pula, akan tetapi dengan hati
kecut dan kedua kaki siap berlari balik apabila terdapat
bahaya!
Ketika Soan Li tiba di taman di mana kedua orang
anaknya sedang duduk di bawah pohon, wanita gagah yang
tak kenal takut itu tiba-tiba menjadi pucat mukanya dan ia
berdiri tegak tak bergerak, hanya dua tombak dari tempat
dua bocah itu duduk, ia melihat pemandangan yang
menggetarkan jantungnya saking cemas dan khawatir.
Seekor ular mengalungi leher Bi Ci, seekor lagi merayaprayap
melingkari pinggangnya dan ular ketiga yang paling
panjang ekornya melilit tangan kanan Wan Sun sedangkan
kepalanya berada di pundak Bi Li dan menjilat-jilat.
Kalau Soan Li menahan napas panjang saking
khawatirnya, adalah Bi Li yang berada dalam keadaan
mengerikan itu tertawa-tawa. Melihat ibunya datang, Bi Li
bahkan berkata. ...
"Ibu, ular bagus ....... ular bagus ....... !"
34
Tak jauh dari situ menggeletak tubuh pelayan yang
mukanya kehitaman dan sudah tak bergerak. Benar-benar
pemandangan yang menyeramkan. Yang mengagumkan
adalah Wan Sun. Bocah ini sudah empat tahun usianya
sudah mengerti urusan. Ia tahu bahwa pelayan itu roboh
karena gigitan ular dan bahwa sekarang yang bermain-main
dengan dia dan Bi Li adalah ular-ular berbisa yang amat
berbahaya. Akan tetapi, biarpun tak mungkin dapat tertawatawa
seperti Bi Li yang bermain-main dengan tiga ekor ular
itu, namun ia tidak kelihatan takut sama sekali, hanya diam
seperti patung memandang adiknya, mengeraskan hati
mengusir rasa jijik dan takut ketika ular ketiga merayapi
tubuhnya dan kini ekornya melilit tangannya! Anak yang lain
kiranya akan menjerit-jerit atau lari dan kalau ia lakukan
hal ini, besar kemungkinannya ia pun akan menggeletak
seperti pelayan itu. Akan tetapi melihat kedatangan ibunya,
baru Wan Suh teringat akan bahaya besar yang mengancam.
Maka ia memanggil ibunya dengan suara penuh harapan
pertolongan.
" Ibu ...."
Baru saja ia membuka mulut mengeluarkan suara, ular
yang paling panjang dan melilit tangannya itu tiba-tiba
membalik dan kini ia merayap pundak Wan Sun, mendesisdesis
dan lidahnya menjilat-jilat leher dan muka Wan Sun,
agaknya siap untuk menyerang! Kalau tadi Bi Li tertawatawa
dan bicara keras ular-ular itu jinak saja, adalah
sekarang terhadap Wan Sun yang baru saja mengeluarkan
sedikit katakata, ular itu sudah nampak marah.
Melihat bahaya ini, Soan Li menggigil. Ia tidak berani
bergerak secara sembrono. Ular itu sudah terlampau dekat
dengan anaknya, kalau ia menyerang, tentu ular itu akan
marah. Sekali saja gigitan, nyawa puteranya sukar ditolong
lagi. I a melihat ular-ular ini sebagai ular belang yang paling
berbisa, yaitu ular belang kuning dengan leher berkalung
biru.
35
"Wan Sun, jangan bergerak, jangan? bicara ....... "
katanya, kemudian dia berkata kepada Bi Li, "Bi Li, kau
berdirilah perlahan-lahan, ya ....... ya ....... begitu .......
sekarang berjalan ke sini, perlahan-lahan..."
Bi Li amat sayang kepada ibunya dan segala permintaan
ibunya tentu ditaatinya. Sambil tertawa-tawa ia berdiri dan
berjalan mendekati ibunya, meninggalkan Wan Sun. Ular
yang tadi melilit Wan Sun, melihat Bi Li bergerakmenjauhi,
lalu merayap turun dan mengejar, akan tetapi secepat kilat
Soan Li menggerak-kan pedangnya dan "sratt!" kepala ular
itu terpisah dari tubuhnya yang menggeliat-geliat.
"Ibu ....... ular baik mengapa dibunuh...?" tanya Bi Li
kaget. Dua ekor ularmasih melilit tubuhnya.
"Bi Li, ular-ular itu jahat ....... Awas...!" teriak Soan Li
ketika tiba-tiba ular yangmelilit pinggang anak itu nampak
marah, demikian pula yang mengalungi lehernya. Ular-ular
itu mencium bau darah kawannya dan kini kepala mereka
bergerak-gerak mencari.
Tiba-tiba ular yang melilit pinggang Bi Li menjulurkan
kepala dan lehernya ke arah Soan Li dan tiba-tiba. dengan
gerakan mendadak ular itu meluncur melakukan serangan
dahsyat ke leher nyonya itu. Akan tetapi tentu saja binatang
ini bukan apa-apa bagi Soan Li. Sekali pedangnya
berkelebat, tubuh ular itu putus menjadi dua.
"Jangan gigit Ibuku ....... " berkali-kali Bi li berteriakteriaksambil
memanggil ular yangmengalungi lehernya dan
yangmeronta-ronta hendakmembela kawannya. Anak itu
kalah kuat dan ular hampir terlepas dari pegangnya, hanya
tinggal ekornya yang dipegang.
"Jangan serang Ibuku, kau ular nakal!' teriak Bi Li lagi,
Kemudian anak ini menggigit ekor ular yang dipeganginya
dan ....... Soan Li melongo melihat ular itu tiba-tiba menjadi
lemas, tergantung lumpuh seperti seekor ular yang sudah
mati di tangan anak itu.
36
Dengan suara di tenggorokan, setengah menangis dan
setengah tertawa. Soan Li melompat, merampas dan
melempar ular itu ke taman dengan kuat yang membuat
tubuh ular itu remuk, kemudian ia merangkul dan
menciumi kedua anaknya yang selamat.Diam-diamia
mengakubahwa betul-betul dalamdiri Bi Li terdapat sesuatu
yang luar biasa, dan tidak saja ular-ular ganas tidak mau
mengganggu anak yang berkeringat harum ini, akan tetapi
juga dengan sekali gigitan anak ini telah melumpuhkan
seekor ular berbisa!
Wanyen Ci Lun dan yang lain-lain juga girang sekali
melihat dua orang bocah itu selamat, akan tetapi pangeran
itu mengerutkan kening melihat pelayan yang menggeletak di
situ. Soan Li yang sedangmengenangkan perbuatan Bi Li
menggigit ular tadi, mendapat pikiran baik. Ia melepaskan
kedua orang anaknya dan cepat menghampiri tubuh pelayan
yang tertelungkup di atas tanah. Diperiksanya pergelangan
lengan dan ketukan jantungnya. Tubuh pelayan itu sudah
dingin akan tetapi ketukan jantungnya masih terasa sedikit,
tanda bahwa pelayan itu sesungguhnya belum tewas. Ia lalu
menghampiri Bi Li dan berbisik.
"Anak baik, mari ikut Ibu." Ia menggendong Bi Li dan
menggandeng Wan Sun kemudian mengajak suaminya
memasuki rumah, setelah memesan kepada para pelayan
untukmengangkat tubuh pelayan yang digigit ular itu ke
dalamkamar.
"Jangan beri obat apa-apa, aku sendiri mau
mengobatinya," pesan nyonya ini kepada para pelayan. "Dan
bersihkan tempat ini, babat semua tanaman yang berupa
alang-alang. Juga perkuat pagar tembok agar jangan ada
ular berbisa masuk sini." Setelah tiba di dalam kamar, ia
memberi tahu kepada suaminya tentang pikirannya hendak
mengobati pelayan itu.
37
"Kurasa sedikit darah dari Bi Li mungkin menolong
nyawa pelayan itu," katanya kepada suaminya. "Setujukah
kau kalau aku menghisap sedikit darah anak kita ini?"
Biarpun dalam hal-hal seperti ini Soan Li lebih pandai
dan mengerti daripada suaminya, akan tetapi ia selalu minta
pendapat suaminya sebelum melakukan sesuatu hal, tanda
akan kasih sayangnya dan kesetiaannya kepada suaminya
ini.
"Tidakmembahayakan diri Bi Li sendiri?" tanya Wanyen
Ci Lun. Isterinya menggeleng kepala. "Tidak ada bahayanya
diambil sedikit saja darahnya. Melihat betapa sekali
menggigit ekor ular dia bisa membikin ular itu tidak berdaya,
kurasa di dalam darah anak ini terkandung khasiat
melumpuhkan pengaruh bisa ular."
"Kalautidakmembahayakan jiwanya, tentusaja aku
setuju. Mulia sekali orang yang dapat menolong keselamatan
nyawa lain orang, biarpun yang ditolong itu hanya seorang
pelayan. Lakukanlah kehendakmu itu."
Soan Li menciumBi Li yang merangkul ibunya dengan
manja. "Bi Li, anakku yang manis. Kau tadi tentu melihat
pelayan yang digigit ular tadi, bukau?
"Ibu maksudkan Liang Ma?"
"Ya, dia itulah. Bi Li, kita harus mengobatinya dan kalau
Ibumu ini tidak salah, sedikit darahmu akan menolong
nyawanya. Bi Li, kuatkanlah, aku hendak mengambil sedikit
darahmu!" Dengan gerakan cepat sekali agar anak itu tidak
mengira dan tidakmerasa ngeri, tahu-tahu Soan Li telah
menancapkan sebuah jarumdan menggurat pangkal lengan
Bi Li. Darah mengucur dari luka ini dan Bi Li hanya menjerit
kecil, mukanya menjadi merah dan air matanya bertitik akan
tetapi tidak menangis.
"Anak baik, siapa tahu dengan darahmu ini kau menolong
nyawa lain orang," kata Soan Li sambi l menggunakan. jarijari
tangannya memencet lengan Bi Li dan menggunakan
38
lweekang untuk mendorong keluar darah anak itu keluar
melalui luka pangkal lengannya.
Setelah mendapatkan darah sebanyak dua puluh lima
tetes, Soan Li menutup luka itu dengan koyo (obat tempel)
dan mencium kedua pipi anaknya dengan pandang mata
sayang dan kagum. Sepasang mata Bi Li yang bening itu
bersinar-sinar, sedikit pun tidak kelihatan takut biar
darahnya diambil sampai dua puluh lima tetes! Benar-benar
anak yang luar biasa mengingat bahwa usianya baru dua
tahun lebih. Wan Sun memandang semua ini dengan mata
penuh kekhawatiran dan kasihan terhadap adiknya.
Soan Li membawa darah itu ke kamar pelayan yang sakit,
menggunakan sedikit darah dioles-oleskan kepada luka
bekas gigitan ular yang sudah menggembung bengkak,
kemudian sisa darah itu ia minumkan dengan paksa ke
mulut pelayan itu. Memang amat sukar memasukkan darah
itu karena orang ini hampir tak bernapas lagi. Akan tetapi
perlahan-lahan darah itu dapat juga mengalir masuk.
Tidak seorang pun pelayan mengira bahwa yang
dipergunakan sebagai obat itu adalah darah dari siocia!
Semua pelayan dan selir melihat cara pengobatan ini dengan
penuh harapan. Tak seorang pun berani mengeluarkan suara
berisik, dan semua, termasuk Soan Li dan Wan-yen Ci Lun,
menjaga di situ melihat akibat daripada obat istimewa itu.
Tak lama kemudlan terdengar suara kerurak-keruruk
seperti suara ayam di tenggorokan dan perut pelayan itu,
kemudian seperti tersentakia muntah-muntah,muntah
darah, darah hitam! Para pelayan atas perintah Soan Li lalu
menolongnya. Banyak sekali darah hitam keluar dan makin
banyak yang keluar, keadaan si sakit makin baik. Cahaya
kehitaman yang menyelimuti seluruh tubuhnya berangsurangsur
hilang, ter-ganti warna pucat.
Melihat pelayan itu muntah-muntah, Wanyen Ci Lun dan
Soan Li meninggalkan kamar itu dan Soan Li memesan
kepada para pelayan agar supaya si sakit itu dibersihkan,
39
kemudian diberi obat makan bubur encer dan diberi obat
penambah darah. Betul seperti dugaan Soan Li, dalamwaktu
dua pekan saja pelayan itu sudah sembuh kembali.
Semenjak saat itu, kesayangan suami isteri ini terhadap
Bi Li makin dalam, akan tetapi tetap saja teka-teki tentang
siapa adanya Bi Li siapa orang tuanya dan apa maksud
orang yang meninggalkannya di taman bunga, masih selalu
menggelisahkan hati mereka. Diam-diam Wanyen Ci Lun
teringat kepada saudara misannya, Wan Sin Hong dan
alangkah rindu hatinya untuk bertemu dengan Sin Hong
karena kiranya hanya Wan Sin Hong yang akan dapat
membantunya memecahkan teka-teki tentang diri Bi Li ini.
Oleh karena itu, alangkah girangnya hati Wanyen Ci Lun
ketika dua bulan setelah peristiwa di atas, tiba-tiba muncul
Coa Hong Kin! Seperti telah diketahui dalam cerita Pedang
Penakluk Iblis, Coa Hong Kin ini dahulu adalah sahabat dan
tangan kanan Wanyen Ci Lun yang amat disayang dan
dipercaya penuh, seorang pembantu yang amat setia.
Dua orang sahabat yang telah lama berpisah ini saling
peluk dengan tertawa-tawa terharu. Kemudian mereka
duduk bercakap-cakap melepas rindu. Hong Kin tidak mau
bercerita tentang terculiknya Tiang Bu, karena memang ia
tahu bahwa tidak pada tempatnya kalau ia bercerita tentang
putera Gak Soan Li yang menjadi anak tiri pangeran ini. Pula
Pangeran Wanyen Ci Lun juga tidak mau banyak bertanya.
Apalagi Soan Li yang juga menjumpai bekas sahabat
suaminya ini, sama sekali tidak bicara tentang bocah itu,
karena memang ia sama sekali tidak tahu di mana adanya
bocah yang dilahirkannya dengan penuh kebencian itu.
Hong Kin mertgeluarkan surat yang ia bawa dari Luliangsan.
"Selain datang berkunjung dan menengok karena sudah
rindu, juga hamba membawa surat dari Wan-bengcu,"
katanya sambil memberikan surat itu kepada Wanyen Ci
Lun. Ia menanti sampai Soan Li meninggalkan mereka
40
berdua saja sebelummemberikan surat itu, karena ia pun
tahu bahwa baik Wanyen Ci Lun tidak menghendaki nyonya
itu tahu akan adanya seorang Wan Sin Hong di permukaan
bumi ini. Seperti telah diceritakan dalam cerita Pedang
Penakluk Iblis, mula-mula Gak Soan Li jatuh cinta kepada
Wan Sin Hong dan kemudian ia menjadi isteri Wanyen Ci
Lun yang mukanya serupa benar dengan Sin Hong. Bagi
Soan Li, orang yang pertama-tama merebut hatinya itu
disangkanya suaminya yang sekarang itulah!
Setelah membaca surat dari Sin Hong, Wanyen Ci Lun
duduk termenung. Di dalamsurat itu Wan Sin Hong
menceritakan tentang keadaan bahaya dari Pemerintah Cin
berhubung dengan makin kuatnya bangsa Mongol dan betapa
ia telah didatangi oleh tokoh-tokoh utusan Temu Cin. Sin
Hong selanjutnya menyatakan bahwa apabila kelak terjadi
perang kalau tentara Mongol menyerang Kerajaan Cin,
sukarlah diharapkan bantuan orang-orang gagah di dunia
kang-ouw, karena selain orang-orang gagah itu sebagian
besar tidak suka kepada Kerajaan Cin, juga bahwa mereka
sekarang tahu bahwa bengcu mereka juga keturunan bangsa
Cin dan agaknya hendak memberontak! Selanjutnya Sin
Hongmemberi nasihat kepada saudara misannya itu agar
supaya mengundurkan diri saja di tempat yang aman dan,
tenteram.
Demikianlah, Wanyen Ci Lun merasa bingung dan
gelisah. Dengan nasihatnya itu, Sin Hong seakan-akan
memberi tahu lebih dulu bahwa kalau sampai terjadi perang,
Sin Hong sendiri pun takkan mau membantu Kerajaan Cin
untuk memukul mundur musuh. Hal ini dapat dimaklumi
oleh Pangeran Wanyen Ci Lun. Biarpun keturunan
bangsawan Cin, akan tetapi seperti mendiang ayahnya, Wan
Sin Hong lebih dekat dengan rakyat jelata daripada dengan
kebangsawanannya.
Akan tetapi bagi dia sendiri, sampai mati Wanyen Ci Lun
tidak nanti mau rnembelakangi Kerajaan Cin begitu saja. I a
41
bukan seorang pengecut, ia telah mengecap kebahagiaan
dengan berdirinya Kerajaan Cin, tak mungkin ia sudi meninggalkan
lari begitu saja setelah kini menghadapi bahaya!
Akan tetapi kalau ia memikirkan dua orang anak-anaknya
....... ia menjadi gelisah sekali.
Coa Hong Kin tinggal sampai satu bulan di istana
Pangeran Wanyen Ci Lun. Pangeran itu tidak menyimpan
rahasia tentang anak pungutnya dan menceritakan tentang
Bi Li kepada Hong Kin. Tentusaja Hong Kin menjadi
terheran-heran dan ia pun tidak dapat menduga siapa
orangnya yang telah meninggalkan anak itu di dalam taman,
dan anak siapa pula gerangan bocah itu.
Ketika Hong Kin hendak pulang, Wan-yen Ci Lun
memberi banyak barang hadiah dan Gak Soan Li juga minta
disampaikan pesannya kepada sumoinya, Go Hui Lian,
bahwa dia sudah merasa rindu sekali dan sewaktu-waktu
hendak pergi menengok ke Kim-bun-to.
"Hong Kin, kalau sudah tiba masanya, harap kau bersiap
menerima kedua anakku bersama ibu mereka untuk tinggal
di Kim-bun-to, mengungsi apabila keadaan sudah amat
mendesak," katanya.
Hong Kin yang diberitahu juga tentang isi surat dari Sin
Hong, mengerti akan maksud hati Wanyen Ci Lun. Ia sudah
kenal baik akan watak Wanyen Ci Lun yang setia kepada
negara dan bangsanya. Ia tahu bahwa kalau sampai terjadi
perang, Wanyen Ci Lun tak mungkin mau lari seperti yang
diusulkan oleh Sin Hong, dan akan membela Kerajaan Cin
sampai mati. Dan agaknya pangeran itu sudah bersiapsiap,
kalau terjadi sesuatu, tentu Gak Soan Li dan dua orang anak
itu disuruh mengungsi ke Kim-bun-to. Oleh karena itu Hong
Kin mengangguk dan menjawab.
"Harapjangan khawatir, tentu kami akan menerima
dengan segala senang hati." Maka berangkat pulanglah Hong
Kin, diantar oleh pangeran itu sampai keluar istana.
42
(Bersambung Jilid ke IV)
1
(PEK LUI ENG)
Karya: Asmaraman S. Kho
Ping Hoo Scan djvu :
syauqy_arr
Convert & edit : MCH
Jilid IV
Mari kita ikuti perjalanan Tiang Bu, anak yang nasibnya
amat luar biasa itu sehingga semenjak kecil sudah
mengalami hal-hal yang hebat dan dia sendiri berganti -ganti
jatuh ke dalamtangan orang-orang aneh berkepandaian
tinggi.
Telah diceritakan di bagian depan betapa nasib telah
melemparkannya ke dalam tangan Bu Hok Lokai, seorang
jembel tua perantau yang berilmu tinggi dan jalannya
terpincang-pincang. Sampai setahun ia ikut merantau dengan
Bu Hok Lokai ini, naik turun gunung, keluar masuk kota dan
dusun dan telah menyeberangi entah berapa banyak sungai.
Pekerjaan Bu Hok Lokai tak lain hanya mengemis dan
kadang-kadang kalau bertemu dengan orang-orang pandai
bermain catur, ia sampai lupa diri.
Kakek pengemis pincang ini kuat ber-main catur sampai
tiga hari tiga malamtanpa beristirahat sejenak pun, bergantiganti
lawan. Kegemarannya bermain catur luar biasa sekali
dan kalau di suatu kota terdapat banyak ahli catur, ia
kadang-kadang lupa untuk melanjutkan perjalanannya.
2
Oleh karena gurunya setiap hari hanya mengemis, sebagai
muridnya Tiang Bu tak berdaya dan tidak bisa berbuat lain
kecuali mengemis. Sebetulnya anak ini tidak sudi mengemis
dan sebagai seorang yang pernah hidup bersama dengan
Pak-kek Sam-kui, ia pernah melakukan pencurian makanan
untuk dia sendiri dan terutama untuk menyenangkan hati
Bu Hok Lokai gurunya.
Akan tetapi tak disangka-sangkanya Bu Hok Lokai
menjadi marah sekali, memakimakinya dan mengancam
hendak meninggalkannya, bahkan hendak turun tangan
membunuhnya!
"Tidaksudi aku mempunyai muridmaling! Jangan
menjadi muridku, dekat saja aku tidak sudi dengan segala
maling dan pencuri. Lebih baik tidakmakan dan kelaparan
daripada mencuri," kata kakek ini marah-marah. "Selama kau
berada di sampingku, sekali lagi kau melakukan pencurian
aku takkan segan-segan turun tangan membunuhmu!"
Semenjak itu, Tiang Bu merasa jera dan tidak berani lagi
untuk melakukan pencurian. Ia rela menderita, bahkan
kadang-kadang beberapa hari tidak makan! Ia sama sekali
tidak tahu karena masih terlalu kecil, bahwa gurunya ini
kadang-kadang sengaja membawa muridnya menderita,
sengaja membiarkan muridnya kelaparan dan sengsara
untuk menambah benih-benih ksatria, agar muridnya ini
tahu dan merasa betapa sengsaranya orang yang miskin dan
kelak suka mempergunakan kepandaian untuk menolong
orang yang sengsara.
Di samping hidup yang serba kurang dan sengsara ini,
dengan amat tekunnya Tiang Bu berlatih silat dibawah
pimpinan Bu Hok Lokai. Atas nasihat Bu Hok Lokai, Tiang Bu
menghafal isi kitab dari Omei-san itu di luar kepala,
kemudian kitab itu dibakar! Tiang Bu memang memiliki
kecerdikan luar biasa maka tidak sukar baginya untuk
menghafal. Dalam waktu setengah tahun, semua dasar dan
3
teori Ilmu Silat Pat-hong-hong-i yang termuat dalam kitab
itu telah hafal olehnya.
Setahunsetengah telah lewat semenjak ia ikut dengan Bu
Hok Lokai dan pada suatu hari ia dan gurunya tiba di kota
raja. Girang sekali hati Tiang Bu ketika ia melihat dinding
tinggi yang mengelilingi kota raja. Sudah lama sekali ia
mendengar orang bicara tentang kota raja yang besar, indah
dan ramai. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa di tempat
ini ia dan gurunya akan mengalami penstiwa hebat.
"Tiang Bu, kita berhenti di sini saja. Hari sudah hampir
gelap dan tidak enak memasuki kota raja di waktu pintupintu
gerbang sudah mau ditutup, akan dicurigai. Besok
pagi-pagi saja kita masuk ke kota. Lagi pula, apanya sih
yang bagus dilihat di waktu malam? Kita mengaso di bawah
jembatan sana itu. Dulu aku pernah meneduh di sana."
Tiang Bu merasa kecewa karena ia ingin sekali cepatcepat
memasuki kota kaisar. Akan tetapi ia tidak berani
membantah kehendak gurunya. Sambil menggandeng
tangan gurunya, ia menuruni jalan kecil menurun di tepi
jalan raya. Jalan ini menuju ke kolong jembatan besar yang
berada di situ. Ketika mereka tiba di kolong jembatan, baru
Tiang Bu melihat bahwa tempat itu amat luas dan memang
enak dipakai mengaso. Panas tidak kepanasan, hujan tidak
kehujanan lagi pula, hawanya hangat di situ.
Di sudut seberang terdapat seorang laki-laki yang duduk
dengan muka tersembunyi di antara lututnya yang diangkat.
Orang ini pakaiannya compang-camping dan kotor seperti
seorang jembel yang sudah melarat betul-betul. Akan tetapi
kepala yang mukanya disembunyikan itu gundul peslontos.
Sukarmenaksir berapa usia orang ini. Ia tidak bergerak, akan
tetapi terdengar ia menggumamdengan kata-kata tak jelas.
“Dia cantik ....... aduh dia cantik mungil ....... seperti
Ibunya ....... anakku ....... cantik seperti Siu Lan ....... ah Siu
Lan.... kalau saja kau bisa melihatnya ....... cantik ....... " lalu
4
orang itu mengeluarkan suara ham-hem-ham-hem tidak
karuan.
Selagi Tiang Bu memandang kepada orang gundul itu
dengan penuh perhatian, tiba-tiba ia mendengar Bu Hok
Lokai menarik napas panjang dan berkata.
"Perempuan ....... di mana-mana terdapat korbanmu .......
" Tiang Bu memandang suhunya dengan mata bertanya. ”Apa
Suhu mengenal dia?" tanyanya.
Gurunya menghempaskan diri di atas rumput yang
tumbuh di situ, lalu menarik napas panjang dan menggeleng
kepala. "Aku tidakmengenalnya, akan tetapi aku dapat
menduga bahwa dia tentu menjadi korban wanita pula,
seperti aku."
Mendengar ini, seketika perhatian Tiang Bu kepada orang
itu lenyap, dan pindah kepada gurunya. Ia pun duduk di
dekat suhunya dan bertanya.
"Kau, Suhu? Korban wanita?"
Bu Hok Lokai mengangguk-angguk dan matanya menatap
air di bawah jembatan. Ia termenung dan terbayanglah
peristiwa lama yang kadang-kadang membikin perih hatinya,
perih hati yang selalu ditahan-tahan. Sekarang, mendapat
kawan seorang murid yang disayangnya, ia mendapat
kesempatan membuka isi hatinya, melempar ke luar semua
penasaran yang meluap di dalam lubuk hati.
"Tiang Bu, sebetulnya kau masih kecil untuk mendengar
penuturanku ini. Akan tetapi apa boleh buat, harus
kuceritakan kepadamu karena aku tidak tahan lagi. Pula,
baik sekali bagimu agar menjadi peringatan bahwa kau
harus selalu berhatihati dan waspada kalau kelak
berhadapan dengan wanita, apabila wanita cantik yang
menarik hatimu nanti. Aku sudah tua dan siapa tahu aku
akan mati sebelum menceritakan hal ini kepadamu, maka
biarlah sekarang saja kuceritakan kepadamu. Kau lihat
keadaanku. Seorang tua bangka sudah mau mampus, tidak
5
berada di rumah anak cucunya melainkan merantau
sebatang kara, menjadi pengemis dengan kaki terpincangpincang.
Ini semua gara-gara wanita cantik."
Tiang Bu melongo. Sama sekali tidak pernah disangkanya
gurunya akan bicara begini. Akan tetapi karena ia diamdiamingin
sekali mengetahui riwayat suhunya, ia diam saja,
memandang penuh perhatian dan membuka telinga baikbaik.
Secara singkat, diselingi oleh tarikan napas dalam
berkali-kali, Bu Hok Lokai menceritakan riwayatnya seperti
berikut.
Dahulu Bu Hok Lokai bukan seorang pengemis. Dia
adalah seorang keturunan bangsawan yang pandai ilmu silat
dan ahli sastra sehingga ia terkenal sebagai seorang bun-bucwan-
jai. Hanya sedikit sayang bahwa Lai Cin, demikian
nama aselinya, mempunyai wajah yang tak dapat dibilang
menarik atau tampan di waktu mudanya. Sebagai seorang
bangsawan muda yang pandai dan beruang ia selalu
menolak kehendak orang tuanya apabila hendak dijodohkan
dengan alasan bahwa calon isteri itu kurang menarik, tidak
memenuhi idam-idaman hatinya. Akhirnya ia menikah juga
dengan seorang gadis tercantik di kotanya, dan pernikahan
itu dirayakan dengan ramai dan meriah. Ia mencinta isterinya
itu dengan sepenuh hati bahkan boleh dlbilang bahwa Lai
Cin jatuh berlutut di bawah pengaruh isterinya yang cantik
jelita itu sehingga banyak orang mentertawakannya diamdiam
dan mengabarkan bahwa Lai Cin mempergunakan
sepatu isterinya untuk tempat ia makan dan minum!
Ini semua kiranya takkan mengurangi kebahagiaan
hidup Lai Cin kalau saja isterinya itu mempuriyai kesetiaan.
Lai Cin sejak kecil mempunyai seorang sahabat baik yang
kemudian menjadi suhengnya (kakak seperguruannya).
Suheng-nya ini bernama Lauw Tek In, seorang pemuda gagah
dan ganteng, terkenal sebagai seorang pemuda perantau dan
pemogoran. Seringkali Lauw Tek In datang berkunjung ke
rumah Lai Cin dan bermalam sampai beberapa pekan di
6
rumah sutenya yang besar dan bagus itu. Semua takkan
mengganggu kebahagiaan rumah tangga Lai Cin kalau saja
isterinya bukan seorang yang lemah iman dan sahabatnya
bukan orang yang berhati anjing. Pada suatu hari Lai Cin
mendapatkan isterinya itu bermain gila dengan suhengnya!
Tidak ada peristiwa hebat di dunia ini yang akan dapat
menghancurkan hati Lai Cin seperti keadaan hati dan
perasaannya ketika ia menyaksikan perbuatan isterinya
yang tercinta dan sahabatnya yang boleh dikata menjadi juga
saudara tuanya yang ia sayang dan hormati itu. Ia menjadi
mata gelap dan menyerang suheng-nya itu mati-matian.
Sebagai suhengnya, tentusaja kepandaian Lauw Tek In lebih
tinggi daripada kepandaian Lai Cin. Akan tetapi, pada waktu
itu Lai Cin adalah seorang patah hati yang nekad dan
menyerang seperti orang gila, sebaliknya Lauw Tek In yang
merasa berdosa, telah menjadi gentar dan gugup sehingga
akhir pertempuran di dalam kamar itu, Lauw Tek In tewas
dan sebaliknya Lai Cin terkena pukulan lihai dari suhengnya
sehingga tulang kakinya rusak dan tak dapat diperbaiki lagi
membuat ia terpincang-pincang selama hidup. Lai Cin yang
sudah hampir gila sakingmarah dan terpukul batinnya itu
lalu mencekik sampai mati isterinya sendiri.
Dalamkeadaan terluka dan tak dapat berjalan, ia
terpaksa menyerah ketika ditangkap oleh yang berwajib.
Akan tetapi dalam pemeriksaan, ia sama sekali tidak mau
menceritakan keadaan sebenarnya, hanya menceritakan
bahwa ia bertengkar mulut dengan isterinya, kemudian
datang suhengnya yang bermalam di situ untuk melerai.
Dalamkemarahannya ia malah mengeluarkan kata-kata
menghina kepada suhengnya, terjadi pertempuran sampai
suhengnya tewas. Kemudian, menyesal karena suhengnya
mati dan menganggap isterinya yang menjadi gara-gara, ia
membunuh isterinya itu.
Alasan ini sebetulnya tak dapat diterima dan orang-orang
sudah dapat mendugaduga sendiri akan peristiwa di kamar
7
itu. Akan tetapi siapakah berani banyak membuka mulut.
Juga para pembesar tidak berani berlaku keras, karena
orang tua Lai Cin mempergunakan semua harta mereka
untuk menolong putera tunggal ini, Lai Cin tidak dihukum
mati, melainkan dihukum buang. Di dalam penjara, lambat
laun kakinya menjadi sembuh biarpun pincang, setelah sehat
benar ia lalu melarikan diri dari penjara dan hidup di dunia
kang-ouw sebagai seorang pendekar pincang yang berwatak
aneh.
Kemudian, melihat betapa bebas hidup para pengemis, ia
pun menjadi jembel . sampai di hari tuanya. Hatinya sudah
menjadi dingin terhadap kemewahan dunia, perasaannya
sudah mati terhadap kecantikan wanita. Kegembiraan
hidupnya lenyap terbawa oleh isterinya yang sebenarnya
amat dikasihinya itu.
"Demikianlah, muridku. Hidupku selama ini hampa dan
kaulah satu-satunya orang yang kuharapkan akan dapat
hidup sempurna, kuharapkan dapat menjadi seorang gagah
dan budiman. Dan aku merasa khawatir kalau aku teringat
akan nasibku, jangan-jangan kau pun akan menjadi korban.
Banyak sekali orang gagah yang akhirnya rusak binasa
hanya oleh senyummanis dan kerlingmemikat.Banyak
sekali contohnya, termasuk orang gundul itu. Maka kau
kelak harus berhati-hati, Tiang Bu. Jangan kauukur hati
wanita dari senyum dan kerlingnya. Jangan seperti aku .......
sampai sekarang aku tidak dapat melupakan dia .......
biarpun dia telah menipuku, telah menghinaku ....... "
Tiang Bu merasa kasihan melihat kakek tua pincang ini,
yang menunduk dan kelihatan seperti orang mau menangis.
Tentu saja Tiang Bu yang baru berusia tujuh tahun lebih itu
merasa asingmendengar kata-kata gurunya seperti itu. Akan
tetapi ia cukup cerdik untuk menangkap isinya, dan ia
merasa kasihan kepada gurunya yang bernasib malang itu.
"Kata-kata, bohong dan berbisa, jahat sekali." Tiba-tiha
orang gundul yang tadi duduk sambil menyembunyikan
8
muka di antara lututnya, berteriak marah sambil
mengangkat muka memandang. "Kakek sial, tidak semua
wanita seperti binimu yang berjalan serong. Tidak semua
wanita suka berzina dan menipu suaminya. Tidak semua
wanita cantik berhati palsuseperti binimu. Isteriku yang
manis, isteriku yang cantik jelita melebihi binimu, isteriku
Sui Lan cantik lahir batin. Dia pun mati muda, dia pun tidak
cinta kepadaku seperti binimu yang tidak mencintamu. Akan
tetapi dia tidak berjalan serong seperti binimu. Untuk
mengakhiri ketidak-cintanya kepadaku, dia bukan berzina
dengan orang lain, melainkan berzina dengan maut sampai
maut merenggut nyawanya, meninggalkan seorang bayi!
Jangan bilang wanita cantik berhati palsu kakek sialan.
Isteriku Sui Lan seorang bidadari, seorang dewi berhati
mulia!" Setelah melontarkan kata-kata penuh kemarahan
ini, orang gundul ini lalu menyembunyikan lagi mukanya di
antara kedua lututnya dan melihat betapa tubuh dan
pundaknya bergerak-gerak dapat diduga bahwa dia tentu
sedang menangis.
Tiang Bu melongo ketika melihat orang itu. Muka orang
itu seperti muka kanakkanak, tentu saja tidak bisa dikata
tampan karena orangnya sudah dewasa, tiga puluh lima atau
empat puluh tahun usianya akan tetapi berwajah kekanakkanakan,
kepalanya gundul dan matanya liar.
Terdengar Bu Hok Lokai menarik napas panjang.
"Dia lebih menderita daripada aku. Kesedihanku karena
kehilangan dia dapat kuhibur dengan anggapan bahwa dia
seorang palsu dan jahat, akan tetapi orang itu, kasihan sekali
....... dia selalu akan terkenang kepada isterinya yang berhati
mulia. Ah, sudahlah. Tak perlu membangkit-bangkitkan
urusan lama yang menyebalkan hati,. Hayo, Tiang Bu. Kau
berlatih, Pat-hong-hong-i dapat kau sempurnakan kelak
kalau lweekangmu sudah baik. Sekarang kau harus melatih
Sam-hoan Sam-bu sampai baik betul, untuk bekal penjagaan
diri sebelum kau dapat menguasai Pat-hong-hong-i."
9
Tiang Bu segera melakukan perintah suhunya dengan
senang hati. Ia selalu merasa girang kalau berlatih, karena
setiap kali berlatih, di bawah pengawasan suhunya, ia tentu
mendapat kemajuan setingkat. Seperti telah diceritakan di
bagian depan, Ilmu Silat Pat-hong-hong-i (Delapan Penjuru
Angin) adalah ilmu silat yang terdapat dalam kitab yang
secara kebetulan terjatuh ke dalamtangan Tiang Bu dan
oleh karena ilmu silat tinggi ini tidak mudah dipelajari Tiang
Bu, atas nasihat gurunya, menghafal isi kitab di luar kepala
sebelum melatih prakteknya. Adapun Ilmu Silat Sam-hoan
Sam-bu adalah ilmu silat istimewa, ilmu penjagaan diri yang
didapatkan oleh Bu Hok Lokai dari seorang sakti dari Omeisan,
yakni orang sakti ke dua di Omei-san yang bernama
Tiong Jin Hwesio sebagai hadiah ketika ia diajak bermain
catur oleh dua orang sakti di Omei-san.
Dengan penuh semangat Tiang Bu berlatih Ilmu Silat
Sam-hoan Sam-bu, tubuhnya berputaran seperti orang
menari, nampak gesit sekali dan kedua kaki kecil yang
bergerak-gerak di atas tanah itu seakan-akan tidak
menyentuh tanah saking cepat dan ringan gerakannya.
Dalambersilat ini, berbunyi perut Tiang Bu. Telah sehari
semalam ia tidak makan apa-apa, perutnya kosong dan
cacing perutnya menggeliat-geliat. Cepat anak yang sudah
mengikuti banyak orang pandai dan sudah melatih diri
dengan dasar-dasar ilmu silat dan lweekang tinggi ini
menggunakan tenaga perut untuk menekan bunyi di
perutnya sehingga tidak terdengar terlalu keras.
"Anak kecil kelaparan disuruh berlatih silat. Benar-benar
keterlaluan jembel tua sialan ini." Kata-kata ini membuat
Tiang Bu tertegun dan otomatis ia menghentikan latihannya.
Kalau gurunya yang mendengar suara yang keluar dari
perutnya tadi, masih tidak mengherankan karena selain
gurunya duduk tak jauh dari tempat ia berlatih, juga ia
sudah tahu akan kelihaian kakek pincang ini. Akan tetapi
10
yang bicara itu adalah orang gundul yang duduknya jauh di
sudut sebelah sana jembatan!
Ketika Tiang Bu menengok ke arah orang gundul itu tibatiba
ia merasa bulu tengkuknya berdiri. Orang gundul itu
masih duduk seperti tadi, akan tetapi tidak lagi
menyembunyikan muka dan menangis, melainkan sedang
makan ular! Ular yangmasih hidup nampak menggeliatgeliat,
ekor ular dipegang oleh tangan kiri sedang kepala ular
sudah masuk ke dalam mulut dan dikunyah-kunyah!
Ketika Tiang Bu melirik kepada suhunya, ia melihat
kakek ini pun memandang ke arah orang gundul itu dengan
pandang mata aneh dan mukanya merah. Tiang Bu mengira
bahwa suhunya merasa dibikin malu oleh kata-kata Si
Gundul itu, maka ia hendak membela gurunya dan berkata
lantang.
"Gundul Pemakan Ular! Jangan menghina guruku, siapa
bilang aku lapar?"
Orang gundul itu memandang kepadanya dengan mulut
tersenyum sehingga kelihatan lidahnya yang merah karena
darah ular. Ia menggigit putus tubuh ular itu tinggal ekornya
saja, lalu berkata, "Bocah bernyali beruang, kau lapar dan
perlu makan. Terimalah hadiahku ini!" Tangannya bergerak
dan ekor ular itu melayang cepat ke arah muka Tiang Bu.
Tidak percuma Tiang Bu berlatih Sam-hoan Sam-bu
selama setahun lebih. Setiap datang serangan, tubuhnya
otomatis bergerakmengelak. Demikian pula, biarpun
sambitan itu cepat sekali datangnya, ia menuruti gerak
otomatis ini, kakinya bergeser, tubuhnya miring dan ekor
ular itu lewat tepat di pinggir telinganya.
"Jangan menolak hadiah, Tiang Bul” kata Bu Hok Lokai
yang cepat mengulurkan tangan menangkap ekor ular itu.
Caranya menangkap luar biasa sekali karena begitu ia
mengulur tangan, seakan-akan ekor ular itu terbang ke arah
tangannya. Kakek itu memandang ekor ular di tangannya,
11
lalu memberikan benda menjijikkan itu kepada muridnya
sambil berkata, "Sahabat itu betul. Perutmu memang lapar
dan hadiah ini berharga sekali, hayo lekas makan ini dan
menyatakan terima kasih!"
Tiang Bu menerima buntut ular itu dengan muka
berubah pucat. Apakah gurunya sudah menjadi gila,
menyuruh ia makan buntut ular, dan bahkan menghaturkan
terima kasih? Akan tetapi, melihat wajah gurunya begitu
sungguh-sungguh dan dia memang seorang anak yang taat,
Tiang Bu tidak membantah. Cepat ia menjura ke arah orang
gundul yang masih memandang padanya sambil mulutnya
bergerak-gerak mengunyah daging di mulutnya.
"Sahabat aneh, terima
kasih atas pemberianmu,"
katanya lalu dengan mata
dipejamkan ia
memasukkan ekor ular ke
mulutnya, dikunyah
beberapa kali lidah dan
mulutnya merasa betapa
ekor ular itu seakan-akan
bergerak dan rtienggeliatgeliat
kesakitan ketika ia
menggigitnya. Dapat
dibayangkan betapa jijik
dan muak rasa
tenggorokan dan
perutnya, namun Tiang
Bu tidak ingin membikin
malu suhunya di depan
orang lain. I a
mengerahkan tenaga
dalammenolak rasa hendakmuntah dan menelan bulatbulat
ekor ular itu ke dalam perutnya. Aneh, begitu buntut
ular itu memasuki perut, ia mendengarperutnya berbunyi
berkeruyukan tak dapat dicegah lagi. Ia berusaha
12
mengerahkan tenaga dalam perutnya, namun luar biasa
sekali, semua tenaga di dalam perutnya telah lenyap,
tubuhnya terasa ringan dan hangat enak dan nyaman!
Orang gundul itu makin kagum memandang kepada
Tiang Bu. Bocah yang dapat berlatih silat demikian tahan uji,
sehingga dalamkeadaan kelaparan masih demikian tekun
berlatih mentaati kehendak guru, kemudian berani membela
nama baik gurunya di depan orang lain yang dianggap
menghina gurunya, yang dapat niengelak dari sambitan
dengan amat cekatan, lalu mentaati perintah guru rela
berkorban perasaan dan rela makan buntut ular mentah,
kemudian kalau gurunya menyuruh dia makan lalu
menghaturkan terima kasih bocah itu malah menghaturkan
terima kasih dulu baru makan".
Benar-benar bocah yang sukar dicari bandingannya dan
patut menjadi murid!
“Jembel tua sialan, kautinggalkan bocah itu untuk
menjadi muridku kau tidak becus mengatur murid, memberi
makan saja tidak mampu, apalagi mengajar silat yang baik.
Mulai saat ini dia menjadi muridku!"
Bu Hok Lokai tersenyumdan matanya berkedip-kedip
memandang orang gundul itu.
"Sahabat Gundul Pemakan Ular, kau ini siapakah yang
begini lihai dapat menangkap dan makan ular hijau dari
daerah barat?.
"Kau mengenal ular hijau tadi? Bagus matamu awas betul.
Aku siapa kau tak perlu tahu, segala macam jembel tua
sialan, mana harga mengenal aku? Lebih baik kau pergi dan
tinggalkan bocah ini habis perkara. Daripada timbul
marahku dan kau mampus di bawah jembatan ini."
Bukan main mendongkolnya hati Tiang Bu mendengar
kata-kata orang gundul aneh yang ternyata berwatak
sombong dan jahat ini. Juga Bu Hok Lokai, seorang tua yang
13
sudah banyak makan garam dunia dan biasanya amat
penyabar, sekarang menjadi merah mukanya.
"Sahabat Gundul Pemakan Ular, biar-pun hanya seorang
jembel tua sialan, aku Bu Hok Lokai tidak biasa lari seperti
anjing dipukul menghadapi siapapun juga. Apa kaukira
setelah kau memberi hadiah ular yang benar-benar berharga
dan menjadi obat istimewa untuk muridku, kau lalu boleh
berbuat sekehendak hatimu terhadap kami?"
Tiang Bu merasa puas sekali melihat sikap gurunya dan
mendengar dampratan ini, maka ia pun memandang kepada
orang gundul itu dengan muka mengejek. Orang gundul itu
mengeluarkan suara di hidungnya, memandang kepada Bu
Hok Lokai dan berkata menggeleng-geleng kepala, "Sayang,
membunuh orang sialan seperti engkau memang tidak ada
harganya, akan tetapi kau mencari mampus sendiri."
Kata-katanya dikeluarkan dengan lambat-lambat dan
muka yang kekanak-kanakan itu tidak memperlihatkan
perubahan apa-apa, namun hebat sekali gerakan kedua
tangannya. Dua tangan itu bertubi-tubi melakukan gerakan
memukul ke depan dan saking cepatnya gerakan ini sampai
dua buah lengan itu seakan-akan berubah menjadi delapan.
Gerakan ini mendatangkan hawa pukulan hebat yang
menyerang Bu Hok Lokai, disusul oleh gerakan tubuhnya
yang tiba-tiba melayang ke arah kakek pincang dengan kedua
tangan terus melakukan gerakan memukul.
"Hebat ....... ” Bu Hok Lokai berseru kaget dan cepat
bagaikan belut kakek ini menggerak-gerakkan tubuhnya
melenggang-lenggok. Dalam saat yang amat berbahaya itu ia
sudah berhasil mainkan Sam-hoan Sam-bu yang paling sukar
akan tetapi ia berhasil membebaskan diri dari serentetan
serangan hawa pukulan yang amat luar biasa.
Bu Hok Lokai tidak mau membiarkan lawan terus
mendesaknya. Tahu bahwa lawannya yang kelihatan masih
sepe rti kanak-kanakmukanya ini ternyata memiliki ilmu
kepandaian yang luar biasa dan jahat karena pukulan tadi
14
saja sudah mengandung hawa maut, ia pun lalu cepat maju
membalas dengan serangan-serangan kilat. Bu Hok Lokai
mempergunakan tongkat bututnya dengan cara istimewa.
Sayang kakinya sudah pincang, kalau saja ia belum bercacat
seperti dulu, kiranya orang gundul itu akan dapat ia
kalahkan.
Di lain fihak Si Gundul itu benar-benar lihai sekali dan
memiliki ilmu silat yang mengerikan. Ketika pertempuran
sudah berlangsung puluhan jurus, kedua lengan orang
gundul itu perlahan-lahan berubah menghitam seperti
dibakar dan pukulanpukulan yang ia lancarkan juga
semakin hebat, kini mengandung hawa pukulan yang keluar
dari sepasang lengan hitamnya.
Bu Hok Lokai bukan main kagetnya. I a pernah mendengar
cerita orang tentang ilmusilat jahat yang disebut Hek-tokciang
(Tangan Racun Hitam) yang kabarnya diciptakan oleh
seorang manusia iblis dari barat berjuluk See-thian Tok-ong
(Raja Racun dari Barat). Inilah gerangan ilmu silat keji itu?
Namun ia tidak sempat menduga-duga dan menghadapi
lawan yang begini berbahayanya, Bu Hok Lokai mengubah
gerakan-gerakannya. Kedua kakinya tetap mainkan langkahlangkah
Sam-hoan Sam-bu untuk melindungi tubuh dari
serangan lawan, karena dengan langkah-langkah ini ia
demikian gesit sehingga sukar diserang lawan, akan tetapi
kedua tangannya melakukan serangan-serangan balasan
yang dahsyat. Ilmu Samhoan Sam-bu sifatnya tidak
menyerang, melainkan menghindarkan diri dari serangan
lawan, maka pemegang peran utama hanya kedua kaki. Bu
Hok Lokai yang sudah menguasai ilmu ini dengan sempurna,
kini mencampurnya dengan ilmu serangan dari ilmu silatnya
sendiri.
Tangan kanan yang menyerang dengan tongkat, tangan
kiri menyusul dengan totokan atau tonjokan, juga kadangkadang
dengan gerakan yang amat cepat, tongkat itu telah
berada di tangan kiri, menyerang diikuti tonjokan tangan
15
kanan. Tanpa dapat diduga-duga oleh lawan, tongkat ini
berpindah-pindah sehingga lawan gundul itu benar-benar
menjadi pening dibuatnya dan telah dua kali tongkat Bu Hok
Lokai mengenai sasaran, sekali di pundak dan kedua kali di
dada. Akan tetapi, lawan itu ternyata lihai sekali. Totokan di
pundak hanya merobek baju dan merusak kulit sedikit,
sedangkan gebukan di dada hanya membuat ia terhuyunghuyung
dan batuk-batuk beberapa kali, akan tetapi belum
cukup kuat untuk merobohkannya.
Tiang Bu girang sekali melihat suhunya dapat melukai
lawan dan ia merasa pasti bahwa suhunya akan menang.
Akan tetapi sebaliknya, Bu Hok Lokai merasa khawatir
sekali. Lain orang pasti akan roboh binasa atau sedikitnya
terluka berat terkena dua kali serangannya tadi. Akan tetapi
orang ini biarpun terluka oleh tongkatnya, luka itu agaknya
tidak terlampau berat sehingga ia masih dapat terus
melakukan serangan.
Akan tetapi sebetulnya, gebukan tong-kat Bu Hok Lokai
pada dada tadi sudah mendatangkan luka hebat di dalam
dada Si Gundul. Hanya karena orang ini memang memiliki
kekuatan yang jauh melebihi orang lain, dan pula karena dia
seorang nekad, maka dia masih belum roboh. Begitu terkena
gebukan tongkat, Si Gundul ini lalu mengeluarkan seruan
ganas dan di lain saat tangan kanan dan kiri merogoh saku
mengeluarkan dua ekor ular merah, seekor di tangan kanan
dan seekor di tangan kiri!
Tiang Bu mengeluarkan seruan tertahan melihat dua
ekor ular ini dan merasa ngeri. Juga Bu Hok Lokai nampak
terkejut sehingga kakek ini melompat mundur dua tombak.
"Masih ada hubungan apa kau dengan See-thian Tokong?"
tanyanya.
Si Gundul aneh itu tertawa terbahak-bahak melihat
kakek jembel pincang itu melompat mundur ketakutan.
Tanpa menjawab ia melangkah maju dan menyerang dengan
ular merah di tangan kiri. Ular itu kecil saja dan panjangnya
16
tiga kaki, berada di tangan Si Gundul ini merupakan senjata
istimewa, pedang hidup yang gigitannya melebihi sepuluh
kali tikaman pedang lihainya. Ang-coa (Ular merah) macam
ini memiliki bisa yang tidak ada obat penawarnya di dunia,
artinya siapa pun juga yang terkena gigitannya pasti akan
menghadap Giam-lo-ong (Raja Maut).
Bu Hok Lokai terkejut bukan main melihat permainan
ilmu silat yang mempergunakan ular demikian hebatnya. Ia
maklum bahwa pertandingan ini adalah pertandingan mati
hidup, maka ia pun tidak mau mengalah lagi. Cepat ia
mengeluarkan suara seperti harimau mengaum dan kakek
pincang ini berubah menjadi seorang yang amat tangkas dan
ganas, Tongkatnya berputaran menyambar mengeluarkan
angin, penuh dengan tenaga lweekang. Ia sengaja mengarah
kepada dua ekor ular yangmeluncur pergi datang bagaikan
beterbangan itu dan akhirnya ia berhasil menangkis seekor
ular di tangan kiri lawannya.
Si Gundul memekik marah ketika darah dan otak
muncrat dari kepala ular merahnya yang remuk kepalanya.
Cepat bagaikan kilat ia melemparkan tubuh ular ke arah
lawannya. Bu Hok Lokai mengelak ke kiri dan tongkatnya
menyambar kini mengarah lambung lawannya dengan
dorongan keras.
Si Gundul yang nampaknya marah sekali, seakan-akan
tidak melihat dorongan tongkat, bahkan ia membarengi
gerakan lawan dengan melemparkan ular merah di tangan
kanannya ke arah kakek itu!
Akibat dari adu tenaga ini hebat sekali. Tongkat di
tangan Bu Hok Lokai berhasil "memasuki" lambung dan
mendorong sedemikian kerasnya sehingga tubuh Si Gundul
itu terlempar dibarengi pekik kesakitan, terjerumus ke
dalamair di bawah jembatan dan hebatnya, bagaikan seekor
ikan orang gundul itu berenang ke seberang, mendarat dan
lari terhuyung-huyung menghilang dari situ. Bu Hok Lokai
tidak mengeluarkan suara apa-apa, akan tetapi tarikan
17
mukanya seperti orang menghadapi Raja Maut di depannya.
Memang, sesungguhnya kakek ini menghadapi maut karena
ular merah di tangan orang gundul tadi kini telah menyantel
di pundaknya. Gigi ular yang kecil runcing berbisa itu telah
menancap ke dalam daging pundaknya dan seketika itu juga
Bu Hok Lokai merasa betapa hawa racun ular telah terbawa
oleh aliran darah ke seluruh anggauta tubuhnya!
"Suhu ....... !" Tiang Bu berseru kaget dan melangkah
maju. Dengan berani anak ini hendak membetot ular yang
meng-gigit pundak gurunya. Akan tetapi dengan tangannya
Bu Hok Lokai memberi tanda supaya Tiang Bu jangan
bergerak. Kemudian tangan kanannya menangkap ekor ular
yang menggeliat-geliat dan memasukkan ekor ular yang
masih menggigit pundaknya itu ke dalam mulut, terus
menggigit dan menyedot darahnya! Hebat sekali tenaga
sedotan dari kakek ini karena sebentar saja ular itu menjadi
lemas, gigitannya terlepas dari pundak dan tubuhnya
terlepas jatuh di atas tanah lalu mati tanpa dapat menggeliat
lagi karena darahnya sudah terhisap habis oleh Bu Hok
Lokai! Akan tetapi bersama dengan matinya ular, tubuh
kakek itu pun roboh pingsan.
Tiang Bu menubruk dan memeluk gurunya, diguncangguncangnya
sambil memanggil-manggil.
"Suhu ....... ! Suhu ....... "' ;
Tak lama kemudian Bu Hok Lokai siuman kembali. Nyata
ia telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk
membantu "obat" yang disedotnya dari tubuh ular tadi.
Mukanya sebentar pucat. Racun yang amat kuat dan
bertentangan berperang tanding di dalam tubuhnya, saling
memperebutkan kedudukan dan kemenangan untuk
menguasai nyawa kakek itu"
"Tiang Bu, aku takkan tertolong lagi. Tanpa darah ular
tadi, sekarang tentu aku sudah mampus. Racun ang-coa
memang tidak ada obatnya. Paling lama sehari semalam
....... " dan Kakek itu roboh pingsan tak dapat siuman
18
kembali selama satu malamdi bawah jembatan itu. Tiang Bu
menjadi bingung, tak dapat berbuat sesuatu memeluki tubuh
gurunya. Se-malam itu Tiang Bu tidak tidur, terus menjaga
gurunya. Ia mencetak wajah orang gundul itu di dalam
ingatannya dan bersumpah di dalam hati bahwa kelak ia
pasti akan dapat membalaskan sakit hati gurunya ini.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bu Hok Lokai
siuman, membikin girang hati Tiang Bu. Kini kakek itu
nampak lebih sehat daripada tadi malam sehingga anak itu
mempunyai harapan besar bahwa gurunya kiranya akan
dapat sembuh.
"Tiang Bu, mari kita ke kota raja. Aku harus membawa
kau ke sana dan memperlihatkan keadaan kota raja yang
sudah ingin sekali kaulihat. Marilah, selagi masih ada
kesempatan terakhir bagiku." Kakek itu bangun berdiri
bersandarkan tongkatnya.
"Suhu, kau masih belumsehat benar. Biarlah tidak
melihat kota raja juga tidak apa asal Suhu sembuh kembali.
Lebih baik Suhu beristirahat di sini, biar teecu mencari
makanan untuk Suhu-"
"Hush, dalamsaat seperti sekarang aku tidak boleh
dibantah. Hayo ikut aku ke kota raja, di sana banyak
makanan, perutmu juga sudah lapar!" kata Bu Hok Lokai
dengan suara gembira seakan-akan nyawanya tidak
terancam maut.
Dengan terpincang-pincang, dibantu oleh muridnya, Bu
Hok Lokai mengajak Tiang Bu memasuki pintu gerbang
istana yang terjaga oleh tentara bertombak. banyak sekali
orang keluar masuk melalui pintu gerbang ini. Bu Hok Lokai
dan muridnya sama sekali tidak menarik perhatian orang
karena mereka ini tidak lebih hanya seorang jembel tua
bersama seorang pengemis muda yang pakaiannya sudah
compang-camping dan penuh tambalan. Yang tua
terpincang-pincang dan yang muda menggandeng tangannya
denganmuka memperlihatkan kekhawatiran besar.
19
Dengan muka yang gembira Bu Hok Lokai membawa
muridnya mengelilingi kota raja, memperlihatkan bagianbagian
yang menarik, bahkan menunjukkan gedunggedung
besar tempat tinggal para orang berpangkat. Tiang Bu sama
sekali tidak memperlihatkan muka gembira juga tidak
tertarik melihat rumah-rumah besar itu bahkan merasa
benci melihat betapa di luar pekarangan gedung-gedung itu
banyak sekali terdapat jembel-jembel setengah kelaparan
berkeliaran ke sana ke mari. Perbedaan keadaan yang amat
menyolok.
KeadaanBu Hok Lokai sebetulnya sudah payah sekali.
Makin lama makin payahlah kakek ini dan tadi pun hanya
karena pengerahan tenaga yang luar biasa saja maka masih
berjalan-jalan. Dengan pengerahan tenaga dalamnya, maka
racun ular yang bekerja di tubuhnya makin ganas.
Menjelang senja ia tak dapat menahan lagi, jalannya
terhuyung-huyung dan napasnya terengah-engah.
"Suhu ....... !" Tiang Bu yang merasa betapa tangan
suhunya panas seperti terbakar itu cepat -cepat membawa
kakek itu ke pinggir jalan. Bu Hok Lokai sudah kehabisan
tenaga dan kakek ini menjatuhkan diri di atas rumput.
"Tiang Bu, saatnya sudah hampir tiba. Kau ....... kau
terpaksa harus hidup seorang diri ....... kasihan ....... yang
baik-baik menjaga diri sendiri, muridku ....... " Wajah kakek
itu membayangkan keharuan ketika ia memandang kepada
Tiang Bu.
"Suhu ......” Tiang Bu hanya dapat memegangi tangan
suhunya, matanya yang lebar itu nampak sedih sekali akan
tetapi ia tidakmenangis. Melihat suhunya terengah-engah
dan bibirnya kering sekali, ia lalu berdiri dan berkata.
"Suhu, teecu hendak mencarikan Suhu . minum."
"Ya ....... minum ....... arak, enak sekali ....... " Kakek itu
menjulurkan lidah untuk membasahi bibirnya nampaknya
ingin sekali minum. Tiang Bu menjadi ngeri hatinya melihat
20
lidah gurunya sudah menjadi hitam sekali. Cepat ia
melompat pergi dan berlari-lari menuju ke rumah makan
yang tadi ia lewati bersama gurunya. Ia tahu bahwa
mengemis arak adalah hal yang langka dan tak mungkin ia
akan bisa mendapatkan arak dengan jalan mengemis.
Mencuri? Ia ter-ingat akan laranganlarangan suhunya. Akan
tetapi dalam keadaan seperti itu, tak perlu banyak ragu. Ia
mempergunakan kepandaian dan kecepatannya, selagi
orang-orang di dalam rumah makan sibuk dengan makan
minumatau memesan masakan, ia menyelinap dan dari
meja seorang tamu yang sudah setengah mabuk ia berhasil
menyambar secawan arak penuh. Tiang Bu berlari-lari ke
tempat gurunya dan hatinya perih melihat gurunya sudah
melenggut seperti orang mengantuk, mukanya merah sekali,
tanda bahwa racun ular ang-coa sudah me-nguasai
keadaan.
"Suhu, minumlah ....... " katanya sambili berjongkok dan
memberikan cawan arak itu kepada gurunya. Melihat tangan
kakek itu menggigil dan matanya sudah setengah tertutup,
Tiang Bu lalu membawa cawan itu ke mulut gurunya. Bu
Hok Lokai minum arak itu dengan lahap, nampaknya enak
dan segar sekali.
"Arak enak ....... kau anak baik ....... hati-hati ....... " Dan
lemaslah seluruh tubuh Bu Hok Lokai, tubuhnya terkulai
dan nyawanya melayang!
"Suhu ....... !" Tiang Bu melempar cawan yang masih di
tangannya, kemudian ia lalu menubruk dan memeluk mayat
suhu-nya sambil menangis. Anak ini memang hanya dapat
menangis untuk orang lain, anehnya betapapun hebat
penderitaan yang ia alami, ia takkan mau menangis.
Tangisnya menarik perhatian orang dan tak lama
kemudian jalan raya itu penuh orang yang merubung untuk
melihat apa yang telah terjadi di situ. Sudah lajim bahwa
orang-orang lebih banyak tertarik dan ingin tahu daripada
21
ingin menolong. Di antara sekian banyaknya orang, tak
seorang pun mau turun tangan menolong.
Paling banyak mereka itu hanya menggeleng-gelengkan
kepala menyatakan kasihan. Ini masih mending bahkan ada
beberapa orang di antara mereka yang begitu melihat seorang
jembel mati di pinggir jalan, lalu meludah dan berkata
menyesal.
"Dasar tak tahu diri! Ketika hidup menyusahkan orang,
mengganggu orang makan dan mengotorkan pemandangan.
Sesudah mati masih membuat susah orang membikin jijik.
Mengapa kalau mau mampus saja memilih tempat di jalan
raya dan tidak pergi saja ke kuburan dan menggali tanah
sebelumnya?"
Pada saat itu, terdengar teriakan-teriakan. "Minggir!
Pangerah Wanyen sekeluarga dalam keretanya lewat!"
Betul saja, dari tikungan jalan muncul sebuah kendaraan
yang ditarik oleh empat ekor kuda. Kendaraan ini cukup
besar maka para penjaga berteriak-teriak menyuruh orang
untukminggir. Ketika kendaraan itu lewat di tempat itu, dari
dalamkendaraan terdengar perintah, "Berhenti!"
Tak lama kemudian, beberapa orang pengawal mengusir
orang-orang yang merubung jenazah Bu Hok Lokai yang ditangisi
oleh Tiang Bu.
"Minggir, minggir ....... ! Ongya hendak memeriksa
kejadian ini!"
Orang-orang yang berada di situ segera mengundurkan
diri dan menonton dari jarak jauh.
"Untungsekali, pengemis itu." Terdengar orang berkata.
Memang, semua orang di kota raja sudah mendengar akan
kebaikan hati keluarga Pangeran Wanyen Ci Lun yang jauh
berbeda dengan bangsawan-bangsawan lain. Bangsawan dan
hartawan atau orang berpangkat lainnya mana sudi
berdekatan dengan bangsa pengemis.
22
Jangan kata dengan kaum jembel, dengan rakyat kecil
saja mereka tidak mau mempedulikan dan tidak sudi
berhubungan. Akan tetapi sebaliknya Pangeran Wanyen Ci
Lun dan keluarganya terkenal sebagai keluarga bangsawan
yang berbudi mulia, yang tak pernah menolak permintaan
tolong rakyat sengsara, yang tidak sombong bahkan
mendekati rakyat jelata. Inilah sebabnya maka para
penonton menganggap bahwa pengemis yang kematian
kakeknya itu beruntung karena bertemu dengan kendaraan
keluarga Pangeran Wanyen Ci Lun pada saat kesengsaraan.
Pintukendaraan terbuka dan turunlah seorang laki-laki
bangsawan yang berwajah tampan peramah, berusia tiga
puluh tahun lebih dan sikapnya agung. Inilah Pangeran
Wanyeh Ci Lun, seorang pangeran yang tidak saja amat
terkenal di kalangan rakyat, namun juga amat berpengaruh
di dalam istana oleh karena ia terkenal cerdik dan
merupakan penasehat kaisar dalam banyak persoalan.
"Ah, kasihan sekali ....... " suara ini terdengar dari dalam
kereta, suara halus seorang wanita dan tak lama kernudian
dari atas kereta turun pula seorang wanita cantik jelita dan
bersikap gagah, di belakang PangeranWanyen Ci Lun. Dia ini
adalah isteri terkasih dari pangeran itu, bukan lain adalah
Gak Soan Li, pendekar wanita yang perkasa itu. Di belakang
ibunya ini turun pula Wan Sun yang berusia enamtahun
lebih dan Wan Bi Li yang berusia empat -lima tahun
digandeng oleh kakaknya.
Kalau orang tua-tua lain tentu akan melarang anak-anak
mereka turur dari kendaraan melihat jenazah seorang Kakek
jembel, akan tetapi Wanyen Ci Lun dan Gak Soan Li tidak
melarang dua orang anaknya itu turun, bahkan tidak
melarang ketika Wan Bi Li mendekati jenazah Bu Hok Lokai
dan bocah berumur lima tahun itu berseru.
"Dia mati digigit ular!"
WanyenCi Lun mendekati Tiang Bu dan bertanya dengan
suara ramah menghibur. "Anak sengsara, dia apamukah?"
23
"Dia adalah ....... guruku ....... "
Wan Sun tertarik sekali. Anak ini wataknya agak keras
dan tidak mau kalah, mendengar disebutnya guru, ia segera
bertanya kepada Tiang Bu yang sudah mengeringkan air
matanya karena malu melihat banyak orang, "Guru apa .....?
Guru silatkah, atau menulis?"
Tiang Bu tidak mau membuka rahasianya, karena
urusan persilatan mendatangkan bencana saja. Buktinya,
gurunya juga tewas karena ada orang hendakmengambilnya
sebagai murid. Ia menggeleng-gelengkan kepala tanpa
menjawab. Akan tetapi Wan Sun tidak puas.
"Kalau bukan guru silat atau surat, habis ia guru apa,
dan kau belajar apa?"
"Guru ....... mengemis!" jawab Tiang Bu dan Wan Sun
tersentak ke belakang oleh jawaban ini. Wajahnya yang
tampan seketika itu juga memperlihatkan perasaan kasihan.
"Di mana rumahmu?" tanya Pangeran Wanyen Ci Lun
kepada Tiang Bu.
"Aku tidak punya rumah, kata guruku, tanah ini lantaiku
dan langit atapku," jawab Tiang Bu, jawabannya yang kasar
itu tidak membikin marah Wanyen Ci Lun, sebaliknya ia
menarik napas panjang karena merasa kasihan. Anak jembel
tidak terpelajar, sampai-sampai membawa diri bersopan
santun saja tidak bisa.
"Anak, jangan kau bersedih. Jenazah gurumu ini
serahkan saja kepada kami untuk mengurus penguburannya
dengan baik-baik. Tentang kau sendiri, kalau kau suka, kau
boleh ikut dengan kami menjadi pelayan dan bekerja di
rumah kami."
Biarpun hatinya sedang berduka dan Tiang Bu berjiwa
sederhana, namun ia masih tahu akan terima kasih, dan
diam-diam merasa heran dan kagum mengapa di dunia yang
didiami penuh orang-orang jahat ini terdapat seorang
24
bangsawan tinggi seperti ini. Serta-merta ia menjatuhkan diri
berlutut di depan Wanyen Ci Lun sambil berkata dan
mendongakkan kepalanya menatap wajah pangeran itu.
"Tai-ya sungguh mulia dan hamba selamanya akan ingat
kepada Tai-ya sebagai seorangmuliawan. Hamba berjanji
akan berusaha membalas kebaikan Tai-ya, dan andaikata
hamba tak dapat memenuhi janji ini, biarlah Thian yang akan
membalas budi Tai-ya. Mohon tanya siapakah nama Tai-ya
agar selama hidup hamba takkan lupa?"
Kalau Pangeran Wanyen Ci Lun bukan seorang pangeran
yang sudah banyak melakukan perantauan di dunia kangouw
dan menyaksikan keanehan-keanehan, tentu ia akan
menganggap bocah itu lancang dan kurang ajar. Akan tetapi
ia tahu bahwa bocah ini bukanlah bocah biasa, maka sambil
tersenyumramah ia menjawab.
"Aku bernama Wanyen Ci Lun dan kau tak perlu
mengingat tentang budi. Asal kau mau bekerja kepada kami,
sudah cukup baik dan ....... "
Kata-kata Wanyen Ci Lun terhenti karena pada saat itu
terdengar suara ketawa aneh sekali, suara ketawa
bermacam-macam ada yang seperti ringkik kuda, ada seperti
burung hantu dan ada yang seperti auman harimau.
Kemudian tiba-tiba berkelebat bayangan orang orang dan
tahu-tahu tiga orang kakek yang mengerikan telah berdiri di
tengah-tengah tempat yang dikelilingi orang itu! Tiang Bu
terkejut sekali ketika mengenal mereka, karena mereka itu
bukan lain adalah Pak-kek Sam-kui. Tiga Iblis Kutub Utara!
"Bocah gila, kiranya kau minggat sampai di sini!" seru
Giam-lo-ong Ci Kui Si Jangkung Gundul dan sepasang matanya
berputaran mengerikan.
"Diamenipu kita!" Seru Liok-te Mo-ko Ang Bouw Si Muka
Burung dengan mata dipejam-pejamkan, alisnya berkerutkerut.
25
Terdengar auman keras menggetarkan dan Sin-saikong
Ang Louw Si Muka Singa melompat maju. "Bocah jahanam
harus mampus saja!" Ia mengangkat tangan hendak
memukul kepala Tiang Bu, akan tetapi tiba-tiba terdengar
bentakan nyaring.
"Siluman-siluman tak tahusopan. Mundurlah!" Bentakan
ini dibarengi dengan sinar pedang yang dengan amat
cepatnya menyabet ke depan tubuh Ang Louw sehingga kalau
Si Muka Singa itu melanjutkan pukulannya kepada Tiang Bu,
tentu lengannya akan terbabat pedang. Cepat sekali Ang
Louw menarik tangannya dan menggerakkan jari tangannya
menyentil pedang itu.
"Cringgg ....... !" Pedang terpental akan tetapi tidak
terlepas dari tangan Gak Soan Li.Namun nyonya ini kaget
setengah mati karena sentilan pada pedangnya itu membuat
tangannya hampir lumpuh.
"Bagus, Toanio lihai juga..." Ang Louw memuji. Memang
ia merasa kagum melihat seorang wanita bangsawan yang
cantik dan masih muda ternyata memiliki kepandaian tinggi
sehingga pedang yang dipegangnya tidak terlepas oleh
sentilan jarinya. "Kami berurusan dengan murid sendiri,
apakah Toanio mau mencampuri?"
Pangeran Wanyen Ci Lun membentak para pengawalnya
yang sudah mencabut senjata dan mengurung tiga orang
aneh itu. Dari sentilan tadi dan melihat wajah isterinya,
pangeran ini maklum bahwa tiga orang kakek aneh yang
muncul secara tiba-tiba itu tentulah bukan orang-orang
biasa. Ia cepat menjura kepada mereka dan berkata.
"Sam-wi Lo-enghiong harap suka memaafkan kami dan
kiranya urusan ini perlu dibuat terang agar jangan terjadi
hal yang tidak diinginkan. Tentu saja isteriku tidak akan
mencampuri urusan orang lain, hanya tadi isteriku melihat
seorang bocah mau dipukul mati, tentu saja merasa kasihan
dan bermaksud menolong. Tidak tahu siapakah Sam-wi Lo26
cianpwe dan ada hubungan apa dengan bocah yang
kematian gurunya ini."
"Kematian gurunya? Hah, kami gurunya. Siapa yang mati,
dan siapakah kau ini, bangsawan muda?" tanya Giam-lo-ong
Ci Kui.
"Kami tadi mendapatkan anak ini menangisi jenazah
seorang kakek tua di tempat ini dan menurut pengakuannya,
kakek itu adalah gurunya."
"Guru mengemis!"
Wan Sun cepat
menyambung kata-kata
ayahnya. Bocah ini pun
cerdik. Dari sikap dan
kata-kata tiga orangkakek
aneh itu, Wan Sun
menduga bahwa Tiang Bu
tentulah telah lari dan
bertukar guru, maka ia
cepat-cepat menyambung
kata-kata ayahnya untuk
menolong Tiang Bu.
Tiga orang kakek itu
saling pandang dengan
heran, lalu Ang Bouw
bertanya kepada Tiang Bu
yang masih berlutut.
"He, setan cilik.
Benarkah kau menjadi murid orang lain untuk belajar
mengemis?"
"Betul, Sam-suhu."
Tiga orang kakek itu tertawa bergelak dan banyak
penonton menjadi ketakutan, bahkan ada yang menggigil
kaki mereka mendengar suara ketawa ini. Kemudian mereka
27
memandang kepada Pangeran Wanyen Ci Lun dan
bertanyalahGiam-lo-ong Ci Kui dengan nada terharu.
"Bagaimana seorang bangsawan besar seperti kau ini mau
mengurus perkara para jembel? Siapakah kau?"
Wanyen Ci Lun tersenyum mendengar ini, "Aku adalah
Wanyen Ci Lun ....... "
"PangeranWanyen Ci Lun?" Tiga orang kakek itu
menegaskan dengan suara hampir berbareng.
"Betul, apakah Sam-wi Locianpwe sudah mendengar
namaku yang tidak berharga?" Kembali tiga orang kakek
aneh itu tertawa bergelak-gelak. .
"Mungkin namamu tidak berharga, akan tetapi, kepala
Pangeran Wanyen Ci Lun berharga sekali'." kata-kata ini
dikeluarkan oleh Ci Kui dan serentakmereka maju
menyerang pangeran itu!
Namun Gak Soan Li sudah waspada. Sejak tadi ia sudah
siap sedia dan curiga terhadap tiga orang kakek ini maka
diam-diam ia sudah memberi isarat kepada para pengawal.
Begitu tiga orang kakek itu bergerak, Soan Li sudah
memutar pedangnya menerjang Giam-lo-ong Ci Kui
sedangkan sepuluh orang pengawal yang berkepandaian
lumayan telah menyerang pula sambil memutar senjata
melindungi Pangeran Wanyen Ci Lun.
Pertempuran hebat segera terjadi di jalan raya itu. Para
penonton bubar dan lari ke sana ke mari panik. Para
pengawal itu ternyata sama sekali bukan tandingan Pakkek
Sam-kui yang bertempur sambil tertawa-tawa. Sebentar saja
empat orang pengawal roboh binasa dengan kepala pecah,
terkena pukulan-pukulan Liok-te Moko Ang Bouw dan Sinsaikong
Ang Louw. Yang lain-lain menjadi gentar juga
menghadapi dua orang kakek yang lihai sekali ini.
Sementara itu, biarpun Giam-lo-ong Ci Kui paling lihai di
antara tiga orang kakek ini, namun ia menemui tandingan
28
yang tidak begitu empuk seperti dua orang adiknya. Gak
Soan Li adalah pendekar wanita yang ilmu pedangnya kuat
dan ganas. Sungguhpun tingkat kepandaiannya masih kalah
jauh kalau dibandingkan dengan Giam-lo-ong Ci Kui, namun
kakek gundul ini tidak dapat cepat-cepat mengalahkan
nyonya pangeran ini. Gak Soan Li terkurung dan terdesak
hebat oleh Giam-lo-ong Ci Kui yang mempergunakan kain
selendangnya sebagai senjata. Nyonya ini menjadi nekad dan
pedangnya menyambar-nyambar seperti naga mengamuk.
Pangeran Wanyen Ci Lun maklumbahwa isterinya berada
dalambahaya. Ia menjadi gelisah sekali. Untuk membantu
isterinya, ia tahu bahwa hal itu hanya akan mengacaukan
pertahanan Soan Li, karena kepandaiannya sendiri masih
belum ada artinya kalau dipergunakan untukmenghadapi
seorang selihai kakek gundul ini. Ia lalu mengeluarkan alat
memanggil dan melengkinglah suitan berkali-kali dari mulut
pangeran ini, sebagai tanda kepada seluruh pengawal di
istana bahwa ada bahaya mengancam. Tanda bahaya seperti
ini akan mendatangkan seribu orang pengawal bersama
puluhan orang panglima yang berkepandaian tinggi yang
tersebar di seluruh kota raja, terutama sekali di lingkungan
istana! Hanya orang-orang besar seperti Pangeran Wanyen Ci
Lun yang memiliki hak membunyikan tanda bahaya ini.
Akan tetapi terlambat. Pada saat ia meniup alat itu Giamlo-
ong Ci Kui telah berhasil melibat pedang di tangan Soan Li
dengan kain selendangnya dan sekali betot saja pedang itu
telah berpindah tangan. Kemudian sambil tertawa-tawa
mengejek Ci Kui menggunakan pedang rampasannya untuk
membabat batang leher Wanyen Ci Lun sambil berseru.
"Wanyen Ci Lun, ke sinikan kepalamu untuk kubawa!"
Akan tetapi Gak Soan Li sudah kena dirampas pedangnya,
melihat bahaya besarmengancam jiwa suaminya, cepat
meloncat bagaikan seekor kucing, menubruk kakek itu
sambil membentak.
"Jangan bunuh suamiku!"
29
Giam-lo-ong Ci Kui terkejut sekali. Gerakan nyonya ini
demikian cepat dan nekad sehingga tak dapat disangsikan
lagi bahwa pedang di tangannya tentu akan membabat putus
lengan kanan nyonya yang berusaha menyelamatkan
suaminya itu juga Wanyen Ci Lun menjadi pucat sekali, lalu
meramkan matanya agar jangan menyaksikan betapa
isterinya terbabat oleh pedang sendiri.
"Traaangngng..;. .Pedang di tangan Giam-lo-ong Ci Kui
terbentur oleh sebuah sinar terang dan aneh sekali, kakek
yang tinggi kepandaiannya ini sampai terhuyunghuyung ke
belakang dan pedang itu patah menjadi dua! Melihat bahwa
yang membentur pedang di tangannya itu adalah sebutir
pat-kwa-ci (biji segi delapan), berubah muka Ci Kui dan ia
berseru kepada adik-adiknya.
"Melihat muka Ang-jiu Mo-li, kita ampunkan Wanyen Ci
Lun dan mari kita pergi'"
Ang Bouw dan Ang Louw juga terkejut sekali apalagi
mendengar seruan suheng mereka itu, cepat mereka
melompat pergi melalui kepala banyak orang. Akan tetapi Ci
Kui tidakmau pergi begitu saja, tangan kirinya menyambar
dan di lain saat tubuh Tiang Bu telah dikempitnya dan
dibawa lari pergi bersama dua orang sutenya.
Tak seorang pun berani mengejar mereka yang cepat
lenyap dari pandangan mata. Wanyen Ci Lun memeluk
isterinya dengan hati penuh rasa sukur bahwa isterinya
terbebas dari kematian. Juga Soan Li mengucurkan air mata
melihat suaminya selamat.Wan Sun dan Wan Bi Li
mendekap baju ibu mereka karena dua orang anak ini masih
merasa ketakutan.
"Sungguh beruntung ada seorangsakti menolong." bisik
Soan Li kepada suaminya. Ia lalu menjura ke empat penjuru
dan berkata dengan suara nyaring, mengerahkan khikangnya
agar suaranya terdengar dari tempat jauh.
30
"Locianpwe yang telah menolong nyawa keluarga Wanyen
dari bahaya maut, harap sudi memperlihatkan diri agar kami
dapat menghaturkan terima kasih!"
Semua orang yang mendengar kata-kata nyonya
pangeran ini menjadi terheran-heran akan tetapi mereka
melongo ketika tiba-tiba terdengar suara perlahan akan tetapi
jelas sekali sehingga seperti orang berbisik di dekat telinga.
“Kalian pulanglah, pinni (aku) menanti kalian di rumah."
Pangeran Wanyen Ci Lun terheran dan tidak mengerti,
akan tetapi istennya lalu menarik tangannya dan mengajak
dua orang anaknya cepat meninggalkan tempat itu dan
kembali ke istana mereka. Kereta dijalankan lagi, jenazah
empat orang pengawal diurus oleh kawan-kawannya dan
ramailah orang berbicara tentang peristiwa aneh tadi.
Banyak yang memuji akan kegagahan nyonya pangeran.
Di dalam kendaraannya, Wanyen Ci Lun berkata kepada
isterinya. "Apakah yang terjadi dengan bocah yang kematian
gurunya itu, dan mengapa tiga orang iblis itu membawanya?"
Soan Li mengerutkan alisnya yang bagus bentuknya.
"Entahlah, akan tetapi jangan kita pedulikan anak itu.
Semenjak melihatnya aku sudah merasa tidak suka
kepadanya."
"Eh, mengapakah kau ada perasaan demikian? Kita baru
melihat dia untuk pertama kali dan apa salahnya?"
"Aku tidak tahu. Begitu melihatnya, aku mendapat
perasaan seakan-akan bocah itu hanya mendatangkan
malapetaka belaka. Dan tepat sekali perasaan itu, baru saja
ia kita ajak bicara, muncul malapetaka berupa tiga orang
lihai. Apalagi kalau diingat bahwa tiga orang iblis itu
mengakuinya sebagai murid. Ah, anak itu tentu bukan
manusia baik, dan entah siapa pula kakek jembel yang
sudah menjadi mayat itu."
31
Wanyen Ci Lun menarik napas panjang. "Memang dunia
kang-ouw banyak sekali manusia aneh, dan makin lama
makin banyak kita melihat orang-orang pandai luar biasa.
Aku kira bahwa kakek jembel yang sudah mati itu pun orang
luar biasa." Pangeran ini teringat akan ucapan puterinya
ketika mereka baru turun dari kendaraan. "Bi Li, kau tadi
bilang dia mati digigit ular. Betulkah itu?"
"Betul Ayah," jawab Bi Li dengan kepala. tunduk dan anak
ini rupanya masih kaget karena peristiwa hebat tadi.
"Siapapun juga adanya kakek jembel itu, aku sudah
menyuruh pengawal merawat jenazahnya baik-baik. Yang
kuherankan adalah tiga orang iblis tadi. Mereka itu belum
pernah kukenal, akan tetapi mengapa begitu mendengar
namaku mereka lalu berusaha membunuhku?"
Gak Soan Li nampak bergidik ngeri. "Mereka itu lihai
sekali. Seorang saja di antara mereka memiliki kepandaian
yang jauh lebih tinggi daripada kepandaianku. Kiranya
kepandaian mereka sudah setingkat dengan kepandaian
mendiang Suhu Hwa l Enghiong Go Ciang Le! Aku pun tidak
dapat menduga siapa adanya mereka itu. Mereka memang
lihai luar biasa. Akan tetapi kalau aku mengingat akan
penolong kita yang dengan satu lemparan pat-kwa-ci telah
berhasil menolong nyawa kita dan mengusir tiga orang iblis
itu, sukar membayangkan betapa tingginya ilmu kepandaian
penolong kita itu."
Diam-diam Wanyen Ci Lun menduga bahwa orang yang
menolong mereka itu bukan lain tentulah Wan Sin Hong
adanya. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau menyebutnyebut
nama orang ini di depan isterinya dan pula ia juga
masih meragukan kebenaran dugaannya. Andaikata benar
Wan Sin Hong yang menolong tadi, mengapa pendekar itu
tidak mau terang-terangan, bahkan mengapa pula
menyuruh mereka pulang dan suaranya berbeda dengan
suara Wan Sin Hong.
32
Begitu kereta berhenti di depan pekarangan istananya
Soan Li melompat turun dan bertanya kepada para penjaga
di depan apakah tadi ada tamu datang. Para penjaga
menjawab tak melihat seorang pun tamu datang di situ.
Wanyen Ci Lun tahu bahwa isterinya tentu mengira penolong
itu mendahului datang di situ. I a merasa kasihan melihat
isterinya! nampak kecewa mendengar jawaban para penjaga.
Diam-diam makin tebal dugaan Wanyen Ci Lun bahwa
penolong mereka tentulah Wan Sin Hong yang tidakmau
menemui secara berterang dan agaknya malamnanti baru
akan muncul di kamarnya sendiri.
Akan tetapi, alangkah kaget dan heran hatinya ketika
mereka semua tiba di ruangan dalam, di situ mereka melihat
seorang wanita berpakaian seperti seorang pertapa,
berwarna putih semua. Mukanya cantik sekali dan kemerahmerahan,
rambutnya hitam panjang terurai di punggung dan
pundak sehingga biarpun rambut itu mendatangkan
keindahan namun agak menyeramkan. Sebuah pedang
menempel di pundak dan wanita ini berdiri dengan mata
bersinar-sinar, memandang ke arah Wan Sun dan Wan Bi Li.
Gak Soan Li menjadi kaget dan kagum sekali. Tidak saja
wanita ini dapat mendahului mereka, bahkan dapat
memasuki istana tanpa terlihat oleh seorang pun penjaga dan
pengawal! Ini saja sudah membuktikan betapa tinggi
kepandaian wanita ini. Soan Li merasa pasti bahwa inilah
orangnya yang telah menolongnya tadi, biarpun ia kaget
sekali karena tidak mengira bahwa penolongnya seorang
wanita demikian cantiknya.
Baginya mudah saja menentukan bahwa inilah orangnya,
karena tadi ia mendengar iblis jangkung gundul menyebut
nama Ang-jiu Mo-li (Iblis Wanita Bertangan Merah)
sedangkan wanita cantik di depannya ini mempunyai dua
buah tangan yang merah seperti diwarnai gin-cu! Karena
sudah yakin bahwa inilah penolongnya, Soan Li tanpa ragu33
ragu lagi lalu menggandeng tangan dua orang anaknya
menjatuhkan diri berlutut.
"Teecu sekeluarga menghaturkan terima kasih atas
pertolongan Locianpwe sehingga nyawa kami sekeluarga
terpelihara," kata Soan Li dengan sikap merendahsekali.
Adapun Wanyen Ci Lun yang menjadi tertegun karena sama
sekali tak disangkanya bahwa wanita cantik ini yang tadi
menolongnya, hanya menjura. Sebagai seorang pangeran
tentu saja ia tidak bisa berlutut di depan siapapun juga. Ia
memberi hormat dengan menjura dan berkata.
"Siankouw, selamat datang di rumah kami dan maafkan
kalau kami terlalu lama di jalan membuat Siankouw terlalu
lama menanti."
Wanita itu menggerak-gerakkan tangan kirinya dan
terdengar ia berkata, suaranya halus akan tetapi tajam
rnenusuk telinga. "Tidak apa, tidak apa! Kalian ini keluarga
bangsawan agung, mengapa memberi hormat kepada orang
rendah seperti aku? Hujin, bangunlah!" Sekali ia
mengibaskan tangan, Soan Li merasa seperti tubuhnya
diangkat oleh tangan yang kuat sekali sehingga ia bangkit
berdiri dengan tiba-tiba. Anehnya, dua orang anaknya tidak
ikut berdiri, jelas bahwa wanita aneh ini tidak menyuruh
dua orang bocah itu berdiri.
"Locianpwe, silakan duduk ....... " kata pula Soan Li.
"Tak usah, aku tidak lama di sini. Hanya ada sedikit
urusan hendak disampaikan kepada kalian suami isteri."
WanyenCi Lun dan Soan Li merasa tidak enak sekali.
Kalau seorang aneh dan sakti seperti wanita ini bilang ada
urusan, betapapun kecilnya urusan itu pasti amat
pentingnya.
"Bolehkan kami mengetahui lebih dulu siapakah
sebetulnya Siankouw ini? Sungguh tidak enak bagi kami
kalau belum mengetahui nama besar penolong kami." kata
Wanyen Ci Lun karena pangeran ini tidak berani berlaku
34
sembrono dan lancang sebelummengenal siapa wanita ini.
Kalau kawan tidak apa, akan tetapi kalau lawan ia dapat
bersiap-siap mendatangkan bala bantuan.
"Lihatsaja kedua tanganku yang merah dan kalian akan
tahu siapa aku ini," jawab wanita itu dengan suara dingin
seakan-akan mengejek.
"Kalau teecu tidak salah duga, Locianpwe ini tentulah
Ang-jiu Nio-nio (Dewi Bertangan Merah), bukan?" kata Soan
Li cepat, khawatir kalau-kalau suaminya salah bicara.
Wanita itu tertawa, wajahnya manis sekali kalau tertawa
akan tetapi suara ketawanya menyeramkan, hanya patut
terdengar di tengah malamdi dalamkuburan yang sunyi.
Suara ketawa siluman!
"Hujin terlalusungkan. Di dunia ini, tidak ada orang yang
menyebut aku dengan sebutanNio-nio. Panggil saja
sebutanku yang sesungguhnya, yaitu Ang-jiu Mo-li (Iblis
Wanita Bertangan Merah)."
"Mana berani teecu berlaku kurang ajar? Seorang sakti
seperti Locianpwe patutnya menjadi seorang dewi. Hanya
orang kurang ajar dan buta saja yang berani menyebut iblis
wanita," kata Soan Li penasaran. Ia merasa amat kagum
terhadap penolongnya ini, maka tentu saja hatinya tidak
mengijinkan orang menyebutkan iblis wanita.
"Sudahlah, kau boleh menyebutku apa saja." Ang-jiu Moli
berkata dengan wajah ramah dan senyum manis. Biarpun
dia ganas dan liar seperti iblis, tetap saja dia seorang wanita
yang memiliki sifat-sifat kewanitaan pula, yakni paling suka
akan pujian! "Sekarang baik kuberi-tahukan tentang
maksud kunjunganku. Aku melihat dua orang anakmu ini
bertulang baik sekali dan kebetulan sekali memang aku
hendak mencari murid. Pendeknya aku datang untuk
membawa mereka bersama-sama dan menjadi muridmuridku."
35
Dapat dibayangkan betapa terkejut hati Wanyen Ci Lun
mendengar ini. Ia cepat memandang kepada isterinya untuk
melihat reaksi isterinya akan maksud wanita aneh itu, dan
untuk mempersiapkan segala kemungkinan kalau saja
isterinya sependapat dengan dia yaitu tidak setuju anak
mereka dibawa pergi. Akan tetapi kekagetannya menjadi
kekhawatiran juga keheranan ketika isterinya dengan wajah
berseri lalu berkata kepada dua orang anaknya.
"Sun-ji dan Bi Li, hayo kalian lekas memberi hormat
kepada Nio-nio!" Dua orang anak itu mentaati perintah
ibunya dan mereka cepat memberi hormat sampai jidat
mereka membentur lantai. Ada-pun Soan Li sendiri tanpa
menanti suaminya menyatakan sesuatu yang tidak sesuai
dengan rencananya, cepat berkata menjawab Ang-jiu Mo-li.
"Terima kasih hanyak atas perhatian Nio-nio terhadap
dua orang anakku yang bodoh. Sungguh mereka mendapat
anugerah besar sekali dari Thian bahwa Nio-nio telah sudi
mengambil mereka sebagai murid. Aku akan segera
menyuruh pelayan menyediakan sebuah kamar bersih dan
tenang untuk Nio-nio dan menyediakan tiga orang pelayan
untuk melayani segala keperluanNio-nio di sini."
Baru lega hati Wanyen Ci Lun mendengar kata-kata
isterinya ini dan ia mengharap wanita aneh itu akan
menerima usul ini. Bagi Wanyen Ci Lun, dua orang anaknya
mendapat guru pandai tentu saja merupakan hal yang
menggembirakan karena pangeran ini dapat merasai
pentingnya ilmu silat. Yang membuat ia menjadi merasa
khawatir hanya kalau kedua anaknya dibawa pergi oleh
wanita itu.Hal ini ia merasa berat sekali, apalagi dalam
suasana seperti sekarang di waktu kerajaan menghadapi
ancaman musuh-musuhnya dan ia mempunyai rencana
untuk menyuruh anak isterinya mengungsi. Kalau dua
orang anaknya dibawa pergi, habis Soan Li bagaimana, dan
dia sendiri akan selalu mengkhawatirkan keadaan anak
isterinya. Beda soalnya kalau anak isterinya mengungsi ke
36
Kim-bun-to di rumah Coa Hong Kin dan Go Hui Lian, ia
merasa yakin bahwa anak isterinya berada di tempat yang
aman dan di tangan kawan-kawan sendiri yang boleh
dipercaya.
Ang-jiu Mo-li tersenyum dan diam-diam ia kagumatas
kecerdikan nyonya pangeran itu, yang telah mendahuluinya
dengan usul supaya ia tinggal di situ dalam mengajar dua
bocah itu.
"Mereka takkan maju kalau belajar di sini saja. Mereka
harus melakukan perantauan, harus mengalami betapa
sulitnya hidup di luar istana yang serba ada. Pinni
bermaksud mengajak mereka merantau di dunia kang-ouw
dan pinni bermaksud menjadikan mereka dua orang yang
kelak akan menjagoi kolong langit!"
WanyenCi Lun menjadi pucat, akan tetapi Soan Li dengan
wajah tenang tidak berubah menjawab.
"Nio-nio, biarpun aku tidak mempunyai kepandaian yang
berartl, namun dahulu aku adalah murid Hwa l Enghiong,
maka aku pun maklum akan kebenaran kata-kata Nio-nio
tadi. Memang tentu saja kami tidak akan berkeberatan kalau
sewaktuwaktu Nio-nio mengajak mereka merantau. Akan
tetapi tentu saja jangan sekarang di waktu mereka masih
kanak-kanak, selain membutuhkan kasih sayang ayah ibu,
juga mereka perlu mempelajari ilmu surat. Tentusaja Nionio
tidak akan suka kalau kelak ada orang-orang kang-ouw
bilangbahwa kedua orangmurid Nio-nio hanyalah orangorang
kasar yang tidak mengenal mata surat bukan? Oleh
karena itulah, Nio-nio, kami mengharap dengan sangat,
memohon kepadamu sudikah membagi anak-anak ini di
antara kita. Maksudku, di waktu kecil Nio-nio mengajar
mereka di sini dan kami berjanji takkan mengganggu Nio-nio,
dan kelak kalau sudah besar, kadang-kadang boleh sajaNionio
ajak mereka merantau. Bukankah jalan ini paling baik
dan adil dan Nio-nio tidakmengecewakan menjadi pujaan
kami keluarga Wanyen?"
37
Ang-jiu Mo-li menatap wajah Gak Soan Li. Tadinya ia
hendak marah mendengar orang berani membantah
kehendaknya, akan tetapi Ang-jiu Mo-li bukan seorang
bodoh. Ia sudah tahu betapa besar kekuasaan Pangeran
Wanyen Ci Lun dan bahwa kota raja bukanlah tempat di
mana ia boleh sembarangan bergerak. Sekali ia melakukan
pelanggaran dan keluarga ini nekat melakukan perlawanan,
ia tentu akan menghadapi pengawal-pengawal istana yang
pandai-pandai dan terutama sekali yang amat banyak
jumlahnya. I a amat suka melihat dua orang anak itu,
terutama sekali Bi Li. Sinarmata anak ini mendatangkan
rasa sayang dalamhatinya karena ia maklum bahwa kalau
anak ini terdidik baik, kelak akan lebih lihai daripada dirinya
sendiri! Pula tempat ini amat indah, dan menyenangkan, apa
salahnya kalau dia tinggal di situ untuk beberapa lamanya.
Kalau sudah bosan, mudah saja baginya untuk pergi. Kalau
perlu, ia dapat juga membawa kedua muridnya minggat.
"Hujin, kau benar-benar seorang ibu yang penuh kasih
sayang kepada anak-anaknya dan seorang wanita yang berani
dan cerdik. Baiklah, pinni menerima usulmu itu dan biarlah
untuk sementara ini pinni tinggal di sini mengajar kedua
anakmu.
Dapat dibayangkan betapa girangiiya hati suami isteri
itu. Sibuk mereka menyediakan kamar yang indah dan
bersih untuk Ang-jiu Mo-li, bahkan malamhya Pangeran
Wanyen Ci Lun menjamu makan minum kepada guru anakanaknya.
Dalamperjamuan ini mereka bertiga bicara dengan
ramah dan berceritalah Ang-jiu Mo-li siapa adanya tiga orang
kakek itu.
"Mereka bertiga adalah kaki tangan Raja Mongol yang
bernama Temu Cin. Tentu saja mereka hendak membunuh
Wanyen Ongya, karena kalau hal itu berhasil mereka tentu
akan mendapat hadiah dari raja mereka. Adapun jembel tua
yang mampus di pinggir jalan itu, kalau tidak salah adalah
Bu Hok Lokai, seorang kangouw yang tidak berdosa dan tak
38
pernah bermusuhan dengan orang. Entah siapa yang
membunuhnya. Bocah itu memang murid Pak-kek Sam-kui
karena pinni pernah melihat dia bersama tiga orangMongol
itu. Pinni juga tidak tahu bagaimana ia bisa bersama Bu Hok
Lokai."
Di dalam percakapan itu, setelah banyak minum arak
wangi, Ang-jiu Mo-li dengan bangga menceritakan bahwa dia
adalah murid dari seorang pertapa setengah dewa di Gunung
Himalaya, dan dalamkesombongannya ia menyatakan bahwa
jangankan menghadapi Pak-kek Sam-kui, biarpun orangorang
seperti See-thian Tok-ong, Ba Mau Hoatsu, atau Giok
Seng Cu, kalau mereka itu masih hidup, mudah ia akan
dapat mengalahkan mereka. Biarpun Gak Soan Li dan
suami-nya masih kurang percaya, namun suami-isteri ini
sudah merasa girang dan beruntung sekali bahwa kedua
anak mereka tidak terpisahkan dari mereka, juga di situ
sekarang tinggal seorang sakti yang selain dapat
menurunkan kepandaian kepada Wan Sun dan Wan Bi Li
juga merupakan pembantu dan penjaga keamanan yang
boleh diandalkan.
Tanpa melihat bukti juga mereka sudah percaya, karena
orang yang dapat menundukkan dengan amat mudahnya
orang-orang berkepandaian tinggi seperti Pak-kek Sam-kui,
tak dapat disangsikan lagi tentu memiliki kesaktian istimewa.
Dan kepercayaan mereka ini memang betul-betul tidak siasia.
Memang sesungguhnya Ang-jiu Mo-li adalah seorang
sakti, dan kiranya pada masa itu jarang ada orang memiliki
ilmu kepandaian setinggi ilmu yang dimiliki Ang-jiu Mo-li!
Diam-diamPangeran Wanyen Ci Lun teringat akan sahabat
baik dan saudaranya Wan Sin Hong. Manakah yang lebih
pandai, pikirnya, antara guru anak-anaknya ini dengan
Wan-bengcu?
Malamharinya ketika Wanyen Ci Lun berada di dalam
kamar tidur bersama isterinya ia berkata, "Aku makin
mengkhawatirkan nasib bocah yang dibawa pergi oleh Pak39
kek Sam-kui. Kalau mereka itu orang-orang Mongol yang
kejam dan jahat, kasihan sekali bocah itu. Entah mengapa,
sebaliknya dari perasaanmu, aku merasa suka dan kasihan
kepada anak itu."
"Aah, mengapa mesti memikirkan bocah buruk seperti
dia?Melihat mukanya saja aku sudah tidak suka dan muka
itu membayangkan watak yang jahat. Murid Pakkek Sam-kui
mana bisa baik? Lebih baik kita pikirkan keadaan anakanak
kita dan mudah-mudahan saja Ang-jiu Nio-nio tidak
hendakmembawa mereka merantau sebelum mereka
dewasa. Suamiku harap kau jangan salah sangka. Aku tadi
begitu saja menerima Ang-jiu Nio-nio sebagai guru anakanak
kita, karena selain dia memang berilmu tinggi, kalau
kita menolak dan dia memaksa, siapakah yang dapat
menahan dia membawa pergi anak-anak kita?"
WanyenCi Lun mengangguk-angguk dan merangkul
pundak isterinya yang terkasih.
"Soan Li, kau memang seorang yang pandai sekali. Aku
kagum kepadamu. Tanpa kau di sampingku tadi, entah apa
yang telah terjadi atas diriku. Hanya saja ....... sayang bocah
bermuka buruk tadi ....... "
"Ah, ada-ada saja. Mari kita tidur dan lupakan bocah
buruk rupa itu!" jawab Soan Li.
Kalausaja Soan Li tahu bahwa "bocah buruk" itu bukan
lain adalah anaknya sendiri! Anaknya sendiri keturunan dari
Liok Kong Ji si manusia jahanam! Seandainya ia tahu, apa
yang akan diperbuatnya? Menerima bocah itu seperti anak
sendiri ataukah menghunus pedang dan membunuhnya?
Entahlah, hati wanita sukar diduga isinya, apalagi isi hati
seorang wanita seperti Gak Soan Li!
-oo0mch0oo40
Sekarang kita ikuti perjalanan Tiang Bu. Bocah ini sama
sekali tidak berdaya ketika Giam-lo-ong Ci Kui
mengempitnya dan membawanya lari dengan cepat sekali
karena Ci Kui dan dua orang sutenya takut setengah mati
kalau sampai bertemu dengan Ang-jiu Mo-li! Pak-kek Samkui
adalah orang-orang utara, tentusaja mereka sudah tahu
siapa adanya Ang-jiu Mo-li. Bukan tahu saja, bahkan dahulu
ketika Temu Cin mencoba membujuk Ang-jiu Mo-li supaya
membantu barisan Mongol dan wanita itu rnenolak sehingga
terjadi pertempuran, Pak-kek Sam-kui pernah merasai
kelihaian tangan wanita itu. Mereka tentu akan tewas dalam
tangan wanita sakti itu kalau saja Temu Cin tidak
mengerahkan panglima-panglimanya. Setelah para panglima
Mongol, dipimpin oleh Thian-te Bu-tek Taihiap Liok Kong Ji
dan Butek Sin-ciang Bouw Gun, yaitu dua orang panglimapanglima
tertinggi dari Temu Cln di waktu itu, baru Ang-jiu
Mo-li melarikan diri, tidak kuat imenghadapi keroyokan
sekian banyaknya orang pandai. Maka tidak mengherankan
apabila tiga kakek seperti iblis ini lari tunggang-langgang
ketika melihat pat-kwa-ci, senjata rahasia Ang-jiu Mo-li yang
amat lihai.
Ilmu lari cepat dari Pak-kek Sam-kui memang luar biasa.
Dengan pengerahan tenaga sepenuhnya dan tidak pernah
berhenti, tak lama kemudian mereka telah memasuki hutan
besar, puluhan !i jauhnya di sebelah utara kota raja. Giam-loong
Ci Kui melemparkan Tiang Bu ke atas tanah dan tiga
orang kakek itu berdiri memandang kepada Tiang Bu.
Menarik sekali kalau mempelajari tarikan suara mereka
bertiga. Ada bayangan orang marah, curiga dan lain
perasaan yang sukar dilukiskan!
"TiangBu, mengapa kau lari dari kami. Apa yang terjadi
padamu ketika kita berada di lereng Taihang-san?"
Tiang Bu sudah mengenal watak tiga orang gurunya yang
aneh dan kejam, maka ia maklum pula bahwa ia tidak boleh
berterus terang apalagi tentang belajar ilmu silat dari lain
41
guru. Hal itu tentu akan dianggap sebagai sesuatu yang
amat menghina oleh Pak-kek Sam-kui.
(Bersambung Jilid ke V)
1
(PEK LUI ENG)
Karya: Asmaraman S. Kho
Ping Hoo Scan djvu :
syauqy_arr
Convert & edit : MCH
Jilid V
"Karena dulu Suhu sekalian berlari cepat ke tempat
orang-orang bertempur, teecu tertinggal di belakang. Selagi
teecu kebingungan mencari jalan yang amat sukar itu, tibatiba
muncul seorang hwesio besar yang aneh, jubahnya
merah-merah dan ia memegang sebuah tongkat panjang.
Tiba-tiba saja munculnya entah dari mana, dan hwesio galak
itu begitu bertemu dengan teecu, lalu mendorong teecu
masuk ke dalam jurang di pinggir lorong kecil itu."
Pak-kek Sam-kui saling pandang dan tahu bahwa yang
dimaksudkan oleh Tiang Bu tentulah Thai Gu Cinjin, pendeta
Lama dari Tibet yang lihai itu. Mereka juga percaya atas
keterangan Tiang Bu karena dengan menyebut pendeta
Lama itu kiranya bocah ini tidak bohong.
"Kenapa dia mendorongmu masuk jurang?" tanya Liok-te
Mo-ko Ang Bouw mata burungnya memandang penuh
selidik.
"Mana teecu bisa tahu? Dia seperti orang gila sedang
marah-marah, begitu bertemu di jalan kecil itu, ia berkata,
2
'Minggir, setan cilik' dan teecu didorongnya sampai
terjungkal ke dalamjurang."
"Lalu apa yang terjadi?" tanya Ci Kui tertarik.
"Teecu tidak ingat apa-apa lagi, ketika teecu sadar
ternyata teecu telah dipondong oleh seorang pengemis tua
yang kakinya pincang. Kemudian menurut jembel itu, teecu
terjatuh di dalamjurang dan pingsan. Pengemis itulah yang
menolong teecu dari bahaya maut. Kemudian pengemis itu
membawa teecu merantau sampai ke kota raja. Tadinya
teecu hendak menolak ajakannya merantau dan mengemis,
akan tetapi teecu tidak berdaya karena teecu masih lemah
dan tidak bisa berjalan akibat jatuh itu. Terpaksa teecu ikut
dengan pengemis tua itu dan sampai akhirnya bertemu
dengan Suhu bertiga di kota raja."
"Mengapa kau berada di sana dengan Pangeran Wanyen Ci
Lun sekeluarganya, dan apa yang dikatakan oleh pangeran
itu padamu?"
"Setibanya di kota raja, kakek jembel itu terserang
penyakit aneh dan meninggal dunia di pinggir jalan. Teecu
yang tinggal seorang diri menjadi ke-bingungan. Lalu
muncul kereta pangeran itu dan pangeran itu sendiri
berjanji hendak mengurus jenazah kakek jembel. Dia tidak
berkata apa-apa, hanya bertanya apa yang terjadi di situ."
Tiang Bu yang melihat peristiwa di kota raja, maklum bahwa
tiga orang kakek ini tidak suka kepada Pangeran Wanyen Ci
Lun maka ia pun tidak mau memuji-mujinya walaupun di
dalam hatinya Tiang Bu amat kagum dan berterima kasih
kepada keluarga Pangeran Wanyen Ci Lun itu.
"Selama kau ikut jembel busuk itu, apakah kau tidak
belajar silat?"
"Jembel tua begitu mana mengerti silat? Teecu hanya
belajar mengemis dan sedikit membaca menulis." Bocah ini
memang cerdik. Ia tahu bahwa Bu Hok Lokai bukanlah orang
tidak ternama. Kalau kelak tiga orang gurunya ini tahu
3
bahwa kakek jembel itu Bu Hok Lokal adanya, tentu mereka
akan menaruh curiga apabila ia bilang tidak belajar apa-apa.
Bu Hok Lokai adalah seorang bun-bu-coan-jai, maka orang
seperti itu kalau tidak mengajar ilmu silat, tentu mengajar
ilmu surat. Dan ia mengaku belajar ilmu surat ini agar
jangan membangkitkan amarah tiga orang kakek yang galakgalak
itu.
"Bocah bodoh! Lain kali biar dipukul sampai mampus
jangan kau mau secara sembarangan saja dibawa pergi
orang. Kau sudah belajar dari kami, mengapa kau tidak mau
membunuh mati saja jembel tua itu lalu pergi mencari
kami?' kata Sinsaikong. Ang Louw.
"Tangan dan kaki teecu sakit-sakit semua, salah urat
ketika teecu terjatuh, juga kepala amat pening. Bagaimana
teecu bisa rnelawannya? Apalagi ketika teecu siuman, teecu
telah dipondongnya. Jembel tua itu ternyata hatinya baik
sekali maka teecu tidak tega untukmembunuhnya. Pula,
teecu tidak tahu kemana harus mencari Sam-wi Suhu, maka
teecu mau saja ikut dengan dia sambil mencari Suhu dalam
perantauan."
"Sudahlah, lain kali kalau kau lari dari kami dan ikut
orang lain, akan kami bunuh. Kau menyia-nyiakan waktu.
Apa kau masih ingat semua pelajaran yang kau terima dari
kami?"
Tiang Bu terkejut. Selama ini ia hanya menghafal kitab
dan melatih ilmu silat Samhoan Sam-bu. Ia tidak pernah
melatih dasar-dasar ilmu silat yang ia dulu terima dari Pakkek
Sam-kui. Cepat otak dan ingatannya bekerja, diperasnya
untuk mengingat-ingat, lalu berkata.
"Teecumasih ingat, Suhu hanya selama ini tidak ada yang
memberi petunjuk, tentusaja teecu tidak mendapat
kemajuan."
"Haya kauperlihatkan padaku!" kata Ci Kui. "Malu aku
kalau orang lain melihat muridku tidak becus apa-apa"
4
Diam-diam Tiang Bu gembira karena dari kata-katanya
ini, Giam-Lo-ong Ci Kui sudah memaafkannya. Dengan muka
riang bocah ini lalu bersilat seperti yang dulu pernah ia latih
ketika masih ikut dengan tiga kakek ini.
"Waah ....... waaah ....... celaka! Buruk sekali!" seru Sinsaikong
Ang Louw. "Hah, memalukan punya murid semacam
ini"
Giam-lo-ong Ci Kui melangkah maju dan berkata dengan
suara sungguh-sungguh kepada Tlang Bu.
"Tiang Bu, ingatlah bahwa kau adalah murid Pak-kek
Sam-kui dan bahwa kau sekarang sudah besar. Sungguh
memalukan hati kami kalau ilmu silatmu seburuk itu. Hayo
kauperhatikan baik-baik dan mulai latihan. Ikuti gerakangerakanku
ini dan jangan salah."
Setelah berkata demlkian, Giam-lo-ong Ci Kui lalu
bersilat tangan kosong, sepuluh jari tangannya dengan kuku
panjang-panjang itu berbentuk cakar harimau dan ia
bersilat secara menyeramkan sekali. Dulu pernah Tiang Bu
menerima pelajaran ini akan tetapi belum berlatih, maka ia
tahu bahwa ia harus belajar ilmu silat yang oleh gurunya
disebut Ilmu Silat Hu-houw-tong-tee (Harimau Terbang
Menggetarkan Bumi). I a memperhatikan gerakan-gerakan
suhunya secara sungguh-sungguh dan penuh perhatian,
kemudian ia mulai meniru gerakan-gerakan suhunya itu.
Tiang Bu bersilat penuh semangat meniru gerakan Giam-loong
Ci Kui.
Ang Bouw dan Ang Louw menonton dan kadang-kadang
mereka memberi petunjuk kalau gerakan bocah itu ada yang
keliru. Sampai tiga jam lebih Ci Kui memberi pelajaran
kepada muridnya tanpa mengenal lelah sampai akhirnya
Tiang Bu dapat menguasai gerakan-gerakan yang sukar dan
hati Si Jangkung Gundul ini puas.
"Mulai besok kau harus latlhan memukul pasir dan batu
agar kedua tanganmu dapat cepat menjadi tok-ciang (tangan
5
beracun) seperti kami," kata Glaro-lo-ong dengan puas
sambil menghapus peluh yang memenuhi kepala gundulnya.
Tiang Bu mengucapkan terima kasih sungguhpun di
dalamhati ia tidak suka akan ilmu-ilmu silat yang aneh dan
menyeramkan ini. I a lebih suka mempelajari Samhoan Sambu
atau Pat-hong-hong-i dari kitab yang isinya sudah ia
hafalkan itu. Akan tetapi ia tidak dapat memilih dan
terpaksa harus menerima pelajaran yang diberikan oleh tiga
orang kakek dari utara ini. Tiang Bu yang sudah tahu betul
akan watak aneh dari Pak-kek Sam-kui, sama sekali tidak
berani mencoba melatih Sam- hoan Sim-bu atau Pat-honghong-
i dihadapan mereka. Hanya sewaktn ia berada seorang
diri saja, sambil mengingat-ingat tangannya bergerak-gerak
melakukan gerakan-gerakan Pat-hong-hong-i yang sudah ia
hafal di luar kepala.
Dari kota raja Pak-kek Sam-kui mengajak Tiang Bu
melakukan perjalanan yang jauh dan lama sekal i tidak tahu
bahwa ia diajak oleh tiga orang kakek itu ke Mongol, di
pusat bangsa Mongol yang mulai berkembang, ke tempat di
mana Raja Besar Temu Cin sedang menghimpun kekuatan
untuk melakukan penyerbuan besar-besaran sesuai dengan
cita-citanya, yaitu menguasai dunia dan memperlihatkan
kekuatan bangsa Mongolia!"
Setelah melakukan perjalanan berbulan-bulan dan makin
lama makin jarang bertemu dengan kota, bahkan mulai
mendaki gunung dan menyeberang laut pasir yang luas dan
ganas, Tiang Bu baru berani bertanya kepada guru-gurunya.
"Suhu,mengapa makin lama makin sunyi, dan makin
jarang kita bertemu manusia? Kita sedang menuju ke manakah?"
Giam-lo-ong Ci Kui tertawa bergelak "Kita menuju
pulang"
"Pulang ke rumah Sam-wl Suhu?" tanya Tiang Bu, yang
cerdik.
6
"Betul, kau akan ikut dengan kami ke sebuah negara yang
besar, sebuah negara yang sebentar lagi akan menjagoi di
dunia ini. Kau akan belajar ilmu kepada kami dan kelak kau
pun akan membantu negara itu menjadi suatu negara yang
jaya dan kuat, ditakuti oleh semua negara lain."
"Suhu,melihat munculnya matahari dari sebelah kanan
kita, teecu tahu bahwa kita sedangmenuju ke utara. Akan
tetapi, teecu belumpernah mendengar dari negara manakah
asal Sam-wi, dan negara besar itu negara apakah?"
Ketiga orang kakek itu tertawa bergelak. "Bocah bodoh,
masa kau tidak mendengar tentangMongol yang jaya dan
kuat, dan tentang raja besar kami yang tiada taranya. Raja
Temu Cin?"
Tentusaja Tiang Bu tidak pernah mendengar nama
negara atau raja itu, bahkan ia tidak tahu yang
bagaimanakah bangsa Mongol itu. Melihat wajah ketiga
orang suhunya, bangsa Mongol tentu jelek.
"Jadi di Negara Mongol itu kita akan menjumpai bangsa
Mongol semua, seperti Samwi Suhu?" tanyanya dengan hati
kecewa akan tetapi wajahnya tetap tidak berubah.
"Tentusaja di Negara Mongol kau akan bertemu dengan
bangsa Mongol," jawab Ang Louw, gemas melihat kebodohan
muridnya.
Mendengar suara Ang Louw dan tahu bahwa guru ke tiga
ini gemas, Tiang Bu berkata sambil tertawa, "Bukan
demikian maksud teecu. Tentusaja betul seperti kata Sam-wi
Suhu bahwa di Negara Mongol tentu kita akan bertemu
dengan bangsa Mongol. Maksud teecu, apakah di sana tidak
terdapat bangsa lain dan apakah disana tidak ada pula
bangsa Han?"
"Kau tidak tahu, bangsa kami sudah menjadi bangsa
besar. Hanya ada beberapa suku bangsa saja yang belum
menaluk dan menyatukan diri di daerah utara, akan tetapi
sebagian besar sudah bersatu di bawah pimpinan Khan kami
7
yang besar dan semua suku bangsa itu kini menjadi bangsa
Mongol. Tentu saja masih ada bangsabangsa lain seperti
orang-orang Tibet dan suku-suku bangsa di pedalaman yang
berada di Mongol. Mereka ini termasuk orang-orang yang
membantu perjuangan kami. Bahkan yang menjadi kepala
dari semua orang gagah pembantu kaisar kami adalah
seorang Han yang berilmu tinggi. Dia itu ber-nama Liok Kong
Ji dan berjuluk Thian-te Bu-tek Taihiap (Pendekar Besar
Tiada Bandingan di Kolong Langit). Kepandaiannya hebat
dan dia menjadi tangan kanan raja besar kami."
Agak terhibur hati Tiang Bu mendengar bahwa di utara
sana terdapat bangsa Han dan yang lain-lain, karena ia
dapat membayangkan bahwa ia akan merasa tidak kerasan
kalau harus tinggal di sebuah negara yang orang-orangnya
macamPak-kek Sam-kui ini buruknya!
Akan tetapi segera kekhawatirannya ini lenyap. Setelah ia
bertemu dengan beberapa kelompok suku bangsa di antara
pegunungan dan padang pasir, ia melihat suku bangsa yang
orang-orangnya terdiri dari orang-orang yang sempurna baik
bentuk muka maupun bentuk badannya. Ada kelompok
terdiri dari orang-orang berkulit agak coklat kemerahan,
akan tetapi wanita-wanitanya manis-manis dan yang lakilaki
gagah tinggi besar tubuh mereka kokoh kekar.
Ada kelompok yang orang-orangnya mempunyai kulit
putih kuning seperti orang-orang Han biasa, bahkan wanitawanitanya
memiliki kecantikan yang menyendiri dan para
prianya juga tampan-tampan, dengan tulang pipi menonjol,
hidung mancung dan dagu meruncing kadang-kadang ada
belahan di tengahnya. Ada pula kelompok yang prianya
memelihara kumis panjang semua baik yang tua maupun
yang baru remaja hingga kelihatan lucu sekali. Bahasa
mereka juga bermacam-macam, akan tetapi pada umumnya
para wanitanya tidak berwatak malu-malu seperti wanita
Han, pandang mata dan senyum pada wajah yang manismanis
itu terbuka dan ramah.
8
Yang nnenyenangkan hati Tiang Bu, setiap kelompok
yang bertemu dengan tiga orang gurunya, bersikap
menghormat. Di mana-mana Pak-kek Sam-kui disambut
seperti rakyat menyambut pembesar tinggi, dijamu dengan
hidangan-hidangan pilihan dan diadakan pesta-pesta tarian
untukmenyenangkan hati Pak-kek Sam-kui. Ketika para
kelompok suku bangsa taklukan itu mendengar bahwa Tiang
Bu menjadi murid Pak-kek Sam-kui, mereka juga
menghormati anak ini sehingga Tiang Bu yang dipuja-puja
merasa sungkan dan malu, akan tetapi perutnya lalu
kenyang.
Akhirnya mereka tiba dikaki Gunung Kangai, di mana
pada waktu itu Raja Besar Temu Cin dan bala tentaranya
tinggal. Markas besar ini dikelilingi pagar tembok dan dijaga
amat kuat. Di sekeliling markas ini terdapat dusun-dusun
yang ramai. Markas besar itu sendiri merupakan sebuah
kota tentara yang megah dan di dalamnya dilengkapi dengan
tempat-tempat hiburan bagi anggauta pasukan yang bebas
tugas dan beristirahat. Di mana-mana nampak kelompok
pasukan yang amat berdisiplin dan bersikap gagah perkasa
sehingga diam-diam Tiang Bu merasa gentar juga.
Pak-kek Sam-kui di tempat ini pun selalu disambut
dengan hormat oleh para penjaga. Tiga orang kakek itu
membawa Tiang Bu masuk ke dalam markas dan langsung
menuju ke sebuah bangunan besar di mana berkumpul
banyak orang yang aneh-aneh sikapnya. Tiang Bu melihat
orang-orang yang berpakaian seperti hwesio, ada yang seperti
pendeta tosu, ada pula yang compang-camping pakaiannya
seperti pengemis. Bahkan banyak pula terdapat wanitawanita
tua yang sikapnya menunjukkan bahwa mereka
adalah orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi. Serdaduserdadu
Mongol dengan sikap menghormat sekali melayani
orang-orang ini makan minum.
Ketika Pak-kek Sam-kui tiba di tempat itu, mereka
semua menyambut dan menyalam dengan gembira. Ketika
9
Pak-kek Sam-kui yang bercakap-cakap dengan mereka
dengan sikap seperti sahabat-sahabat lama memberi tahu
atau memperkenalkan Tiang Bu sebagai muridnya, orangorang
itu segera merubung Tiang Bu dan dari sana sini
terdengar pujian-pujian. Sayangnya Tiang Bu tidak mengerti
bahasa mereka karena mereka bicara dalambahasa Mongol.
Akan tetapi banyak di antara mereka yang pandai bicara
dalam bahasa Han dan segera bocah ini dihujani pertanyaan
tentang nama dan sebagainya.
"Tiang Bu, mereka semua ini adalah sahabat-sahabat
baik kami yang membantu pergerakan bangsa Mongol yang
besar, Mereka ini adalah orang-orang berilmu yang datang
dari segala pelosok, kepala-kepala suku bangsa yang
menyatukan diri dengan pasukan kami. Kalau kau dapat
menyenangkan hati mereka, dan dapat memetik pelajaranpelajaran
dari mereka, kau akan beruntung sekali. Sekarang
kau tinggal dulu di sini, kami hendak menghadap raja," kata
Ci Kui kepada muridnya. Tiang Bu mengangguk dan
menelan ludah. Ia merasa gelisah juga ditinggalkan seorang
diri di antara orang-orang asing yang rata-rata aneh dan
menyeramkan itu.
Jumlahmereka kurang lebih dua puluh orang dan
ruangan yang amat luas itu masih terus kedatangan orang
baru. Juga ada yang menihggalkan ruangan itu. Agaknya
tempat ini menjadi tempat istirahat bagi mereka, beristirahat
sambil bercakap-cakap dengan kawan yang dijumpainya dan
minum-minum arak. Benar-benar mereka kelihatan hidup
senang. Dari percakapan beberapa orang di antara mereka
yang dilakukan dalam bahasa Han, Tiang Bu mendapat
kenyataan bahwa mereka ini adalah orang-orang gagah yang
membantu Raja Temu Cin. Mereka ini bercerita betapa
mereka sudah berhasil memimpin pasukan menaklukan
suku bangsa ini atau itu sehingga kedudukan bangsa
Mongol bertambah lagi.
10
Tiang Bu masih terlalu kecil untuk mengerti tentang
politik dan tentang keadaan pemerintahan di masa itu. Akan
tetapi karena sudah banyak mendengar dari Pak-kek Samkui,
ia dapat menduga bahwa mereka ini tentulah. orangorang
berilmu yang datang ke tempat itu untuk membantu
Temu Cin karena berbagai alasan. Ada yangmemang
ditaklukkan, ada yang memang suka membantusecara suka
rela, ada pula yang karena mengharapkan hadiah yang
secara royal dikeluarkan oleh Temu Cin. Melihat cara
mereka menyambut Pak-kek Sam-kui seperti sahabat yang
setingkat, diam-diam Tiang Bu kagum sekali.
Kepandaian mereka tentu tinggi seperti kepandaian Pakkek
Sam-kui maka mereka berani bersikap seperti itu. Dan
dugaan ini memang betul. Pergerakan bangsa Mongol yang
dipimpin Temu Cin dapat berkembang dengan cepat dan
berhasil, bukan saja karena pandainya Temu Cin memimpin
bala tentaranya yang berdisiplin dan gagah, akan tetapi juga
terutama sekali karena di belakang raja ini terdapat banyak
sekali orang pandai yang membantunya.
Pak-kek Sam-kui memasuki bangunan terbesar yang
berada di dalam lingkungan benteng itu. Bangunan ini selain
besar juga terjaga kuat sekali. Di sebelah dalamnya indah
dan megah. Inilah tempat tinggal Raja Besar Temu Cin! Raja
yang berhasil memimpin bangsa yang tadinya awut-awutan
dan terpisah-pisah menjadi satu bangsa kesatuan yang amat
hebat.
Pak-kek Sam-kui diterima oleh lapisan penjaga yang
tujuh lapis banyaknya dan diantar dari penjaga pertama ke
pos penjaga ke dua dan selanjutnya sampai ia tiba di pos
penjagaan terakhir. Semua penjaga mengenal mereka maka
mereka dapat langsung ke dalamtanpa banyak halangan.
Dari para penjaga Pak-kek Sam-kui mendapat tahu bahwa
raja sedang berundlng dengan dua orang panglima besarnya.
"Kebetulan sekali, bahwa kami meng-hadap," kata Giamlo-
ong Ci Kui.
11
Setelah seorang penjaga melapor dan mendapat perkenan
dari raja, tiga orang kakek aneh itu lalu diperkenankan
masuk. Ruangan sidang yang mereka masuki besar dan
berlantai mengkilap. Di sudut-sudut delapan penjuru
terlihat pengawal-pengawal berdiri tegak dengan tombak dan
pedang di tangan. Mereka itu tidak bergerak seperti patung,
pandang mata tak pernah terlepas dari raja mereka dan
sekelilingnya.
"Pak-kek Sam-kui Suhu datang! Selamat datang, silakan
duduk dan mari minum dulu menghilangkan dahaga!"
sambutan meriah ini adalah kebiasaan dari Raja Temu Cin
setiap kali ia menyambut panglima-panglima atau utusanutusannya
dari sebuah tugas yang berat. Dan dengan
ramahnya, tangan raja besar ini sendiri yang menuangkan
arak wangi ke dalam cawan untuk tiga orang kakek itu. Pakkek
Samkui yang tadinya berlutut memberi hormat, lalu
bangkit membungkuk-bungkuk, menghampiri meja besar,
memberi hormat lagi sebelum menerima cawan arak dan
menghaturkan terima kasihnya. Kemudian mereka
dipersilakan duduk di bangku agak bawah.
Temu Cin adalah seorang raja muda berusia tiga puluh
lima atau empat puluh tahun. Tubuhnya tegap. dengan dada
bidang, mukanya berbentuk segi empat dengan daun telinga
lebar panjang, alisnya kecil cocok dengan matanya yang kecil
sipit. Kumisnya dipelihara pendek dan di bawah bibir bawah
juga terdapat rambut pendek, akan tetapi jenggotnya di
bawah dagu dibiarkan panjang. Sinar matanya yang
kelihatan ramah dan lembut itu membayangkan kekerasan
hati yang tiada bandingannya, hati membaja yang tak dapat
dilipat. Inilah Raja Muda Temu Cin calon raja besar di
Mongol, pendiri bangsa Mongol yang kuat sekali.Nama
besarnya kelak sebagai Raja Jengis Khan akan terkenal di
seluruh jagad!
Di dekat kaisar ini duduk dua orang laki-laki yang
berpakaian sebagai panglima perang. Yang sebelah kanan
12
adalah seorang laki-laki tampan dan gagah se-kali, kulit dan
bentuk mukanya jelas menunjukkan bahwa dia adalah
seorang Han. Inilah dia Thian-te Bu-tek Taihiap Liok Kong
Ji, kenalan lama dari para pembaca cerita "Pedang Penakluk
Iblis". Liok Kong Ji yang berjuluk Pendekar Besar Tiada
Bandingan di Kolong Langit ini sekarang telah berhasil
menduduki tempat terhormat di sebelah Raja Muda Temu
Cin. Bagi para pembaca yang tidakmendapat kesempatan
membaca cerita Pedang Penakluk Iblis, baiklah kita
terangkan secara singkat siapa adanya Liok Kong Ji ini.
Liok Kong Ji adalah seorang laki-laki yang sekarang
berusia hampir empat puluh tahun. Semenjak kecilnya, Liok
Kong Ji memiliki kecerdikan yang amat luar biasa. Dia amat
jahat dan berbahaya. Kecerdikannya membuat ia lebih
berbahaya lagi sampai-sampai ia berhasil menipu tokohtokoh
besar di dunia kang-ouw, di antaranya Hwa l Enghiong
Go Ciang Le, See -thian Tok-ong, Giok Seng Cu, Ba Mau
Hoatsu dan yang lain-lain sehingga tokoh-tokoh besar ini
telah tertipu oleh, Liok Kong Ji di waktu dia masih kecil dan
menurunkan ilmu-ilmu mereka yang tinggi kepada bocah
setan ini! Dengan kecerdikannya yang luar biasa itu
akhirnya Liok Kong Ji berhasil membuat dirinya pandai dan
lihai sekali ilmu silatnya.
Bahkan dengan kepandaiannya dan kecerdikannya ia
telah berhasil mencuri hati semua tokoh besar di selatan
dan timur sehingga ia pernah diangkat oleh mereka ini
sebagai Tung-nam-bengcu (Ketua Persilatan Daerah Selatan
dan Timur). Kejahatannya melebihi iblis. Banyak orang
menderita oleh kejahatannya, dan akhirnya karena tidak
dapat menahan kejaran Wan Sin Hong yang ternyata lebih
pandai daripadanya, Liok Kong Ji melarikan diri ke utara.
Sebelummelarikan diri, ia melakukan penipuan yang hebat
pula dan yang hanya diketahui oleh Wan Sin Hong seorang.
Hal ini terjadi ketika Nyonya Pangeran Wanyen Ci Lun, yaitu
Gak Soan Li yang di waktu masih gadis pernah menjadi
korban kekejian Liok Kong Ji sehingga melahirkan anak di
13
luar kehendaknya, berhasil membunuh Liok Kong Ji! Bagi
semua orang, terutama sekali Gak Soan Li sendiri, yang
dibunuh itu tentu Liok Kong Ji si manusia jahanam.
Akan tetapi pada hakekatnya, dan ini hanya diketahui
oleh Wan Sin Hong, Liok Kong Ji masih hidup dan yang
terbunuh» itu hanya orang lain, yaitu orang yang
dipergunakan oleh Liok Kong Ji untuk melindungi dirinya
karena orang itu kebetulan sekali memiliki bentukmuka dan
tubuh yang serupa dengan dia. Semua ini dapat anda baca
dalam cerita Pedang Penakluk Iblis yang amat menarik.
Demikianlah perkenalan secara singkat dengan tokoh
besar ini, yang sekarang memakai nama julukan Thian-te
Bu-tek Taihiap. Hanya kecerdikannya semata yang dapat
membuat ia diterima dan diangkat sebagai komandan oleh
Raja Temu Cin. Raja orang-orang Mongol ini memang
seorang pemimpin yang amat pandai. Raja Temu Cinmaklum
betul bahwa Liok Kong Ji bukan manusia baik,
berhati palsu, berwatak keji dan dengki dan kalau menjadi
musuh, merupakan lawan yang amat berbahaya. Akan tetapi
Temu Cin tidak membutuhkan wataknya, tidak peduli
apakah orang jahat atau baik, yang penting baginya adalah
tenaga orang itu. Asalkan dapat membantu perjuangannya,
memperkuat bala tentaranya, ia akan menutup mata
terhadap kejahatan orang itu dan akan mengangkatnya
sebagai pembantu.
Justeru orang semacam Liok Kong Ji ini amat
dibutuhkan oleh Temu Cin. Ilmu silatnya tinggi, orangnya
kejam, dan memiliki kecerdikan luar biasa dan tipu muslihat
yang hebat-hebat! Oleh karena itu, ia menerima Liok Kong Ji
dengan senang hati, memberi hadiah dan pangkat tinggi, dan
menyenangkan hati orang she Liok ini. Raja orang Mongol ini
maklum akan watak Kong Ji yang mata keranjang, maka
untuk menyenangkan hatinya, sengaja Temu Cin memberi
hadiah puteriputeri dan dara-dara cantik hasil rampasan
dari berbagai suku bangsa yang ditalukkan. Makmur dan
14
senanglah penghidupan Liok Kong Ji dengan belasan orang
selirnya yang cantik-cantik!
Namun kebahagiaan hidup seseorang tak mungkin dapat
diukur dengan keadaan lahir saja, dan biasanya kebahagiaan
hanyalah khayal pandangan orang-orang luar berdasarkan
harta benda dan kedudukan. Akan tetapi, sesungguhnya
bahagiakah hidup Liok Kong Ji? Tidak! I a sudah terlalu
biasa dengan kemewahan dan kecukupan sehingga pangkat
tinggi dan harta benda serta belasan orang selir itu tidak
mendatangkan kebahagiaan, dan semua itu tidak terasa lagi
kesenangannya. Sering kali ia duduk termenung memikirkan
kekecewaan hatinya yang kadang-kadang mengganjal isi
dadanya.
Ia sering kali murung kalau sedang demikian dan apabila
selir-selirnya datang hendak menghlburnya, ia mengusir
mereka pergi seperti orang mengusir ayam. Kadang-kadang
ia memaki-maki belasan orang selirnya ini, dimakinya
mereka itu bodoh, tidak sehat, tidak setia dan lain-lain
makian kotor. Semua selirnya tahu belaka mengapa Liok
Kong Ji bersikap seperti ini dan di belakangmereka
mengomel dan berkata.
"Dia sendiri yang tidak becus, mengapa marah-marah
kepada orang lain? Kalau hanya seorang isteri saja yang tidak
bisa punya anak, bolehlah dipersalahkan isteri itu, akan
tetapi kalau lima belas orang selir tak seorang pun yang bisa
punya anak, sudah jelas letak kesalahannya bukan pada
selir-selir itu melainkan kepada suaminya! ” Demikian mereka
mengomel.
"Memang, ganjalan hati Liok Kong Ji yang seringmembuat
ia termenung dan marah-marah adalah karena ia tidak
mempunyai keturunan. Inilah sebabnya mengapa ia sampai
mempunyai demikian banyak selir, di samping lain sebab
bahwa ia memang seorang mata keranjang. Makin tua ia
merasa makin gelisah kalau mengingat bahwa ia tidak
mempunyai keturunan seorang pun! Akhirnya atas nasihat
15
Temu Cin, Liok Kong Ji memungut dua orang anak,
keduanya adalah anak-anak perempuan yangmanis-manis
berusia lima dan enamtahun. Mengapa ia memungut anak
perempuan dan bukan laki-laki? Ini tentu ada sebabnya.
Seperti telah diceritakan di bagian depan. Kong Ji adalah
seorang yang memiliki watak rendah dan jahat. Tak mungkin
ia dapat sayang kepada orang, lain yang bukan anaknya
sendiri, kalau orang itu laki-laki. Kalau perempuan lain lagi
karena ia mengandung harapan bahwa kalau kelak anakanak
itu menyenangkan hatinya, ia bisa mengambilnya
sebagai ....... bukan sebagai anak, melainkan sebagai selir
muda! Memang dalam batin bejat seperti ini selalu
terkandung maksud-maksud yang kotor dan tidak suci.
Karena maksud hati kotor ini»maka pengangkatan dua
orang anak itu tidak memuaskan hatinya dan sering kali
kalau sedang termenung seorang diri, ia teringat kepada Gak
Soan Li. Sama sekali bukan teringat karena ia amat
mencinca wanita ini, bukan. OrangmacamKong Ji ini mana
mempunyai perasaan cinta kasih yang suci? Ia bersifat mata
keranjang dan suka akan wanita hanya berdasarkan nafsunafsu
kotor semata. Ia sering kali termenung kepada Soan Li
oleh karena hanya wanita inilah yang telah melahirkan
seorang anak keturunannya! Ingin sekali ia tahu di mana
adanya anaknya itu, laki-laki atau perempuan?
Lima belas orang selirnya selain muda-muda dan cantikcantik,
juga kelihatan amat sayang dan cinta kepadanya. Hal
ini tidak aneh oleh karena Kong Ji pernah membunuh
seorang selir yang berani memperlihatkan sikap membenci
kepadanya. I a mencekik selir itu begitu saja sampai mati di
depan semua selirnya sehingga mereka menjadi takut sekali
kalau-kalau mengalami nasib mengerikan seperti itu. Oleh
karena ini maka mereka berlumba mengambil hati Kong Ji.
Hanya seorang saja di antara lima belas orang selir itu yang
bersikap sewajarnya dan tidak mengambil-ambil hati.Namun
Kong Ji pun tidakmengganggunya, oleh karena selir ini
16
memang paling cantik dan paling disayangi, selain itu Kong
Ji pun tidak berani menyiksanya apalagi membunuhnya.
Selir ini adalah bekas isteri seorang panglima besar
Mongol yang masih muda. melihat kecantikan isteri panglima
muda itu, Kong Ji tak dapat menahan nafsunya dan dengan
kepandaiannya yang tinggi ia mendatangi kamar panglima itu
untukmengganggu isterinya. Panglima itu melihatnya dan
terjadi pertempuran, akan tetapi dia bukan lawan Kong Ji.
Dalambelasan jurus saja panglima itu tewas dan Kong Ji
menculik isteri panglima itu ke rumahnya.
Temu Cin mendengar tentang hal ini. Akan tetapi dia
tidak menghukum Kong Ji, bahkan dengan sah memberikan
wanita itu kepada Kong Ji sebagai selirnya dengan pesan
supaya Kong Ji memperlakukan janda muda itu baik-baik,
kemudian menyuruh orangmengubur jenazah panglima
mudanya. Habis perkara! Temu Cin bukan seorang hakim,
melainkan seorang raja yang sedang membangun
kerajaannya. Oleh karena itu segala keputusannya bukan
berdasarkan keadilan melainkan berdasarkan rugi untung
bagi kemajuan kerajaannya. Kong Ji adalah orang panglima
yang boleh diandalkan, apakah artinya seorang panglima
muda seperti yang telah terbunuh itu? Dan lagi, soalnya
adalah perebutan perempuan. Perkara yang tidak ada
artmya bagi Temu Cin.
Cukuplah kiranya tentang Liok Kong Ji panglima besar
yang usianya hampir empat puluh tahun, berwajah tampan,
bersikap halus terpelajar, dan berkepandaian tinggi serta
memilikl kecerdikan luar biasa ini. Kita kembali ke ruangan
sidang di mana Raja Temu Cin sedang menyambut
kedatangan Pak-kek Sam-kui.
Di sebelah kiri Temu Cin duduk seorang berpakaian
panglima pula. Tubuhnya tinggi besar seperti raksasa.
Mukanya penuh brewok dan hampir menutupi hidung dan
mulutnya. Hanya matanya saja yang kelihatan nyata,
sepasang matanya setengah keluar, menakutkan. Inilah
17
panglima besar yang usianya sudah Lima puluh tahun,
bernama Bouw Gun dengan julukan Bu-tek Sin-ciang
(Tangan Sakti Tiada Bandingan). Oleh karena julukan inilah
kiranya maka Liok Kong Ji mengambil julukan yang lebih
unggul, yaitu Thian-te Bu-tek Taihiap (Pendekar Besar
Tanpa Bandingan di Kolong Langit). Dan ia memang berhak
memakai julukan yang lebih hebat dan tinggi daripada Bouw
Gun karena dalam sebuah pertandingan ketika hendak
diterima oleh Temu Cin, ia telah mengalahkan Bouw Gun ini.
Dua orang ini, Liok Kong Ji dan Bouw Gun, pada waktu
itu merupakan pembantupembantu lihai.
Setelah Pak-kek Sam-kui minum arak yang disuguhkan
oleh Temu Cin sendin, mereka lalu membuat laporan tentang
perjalanan mereka melakukan tugas. Mereka melaporkan
bahwa Wan Sin Hong menolak undangan Temu Cin dan
menceritakan pula tentang peristiwa yang mereka alami di
puncak Luliang-san, di mana Sin-saikong Ang Louw telah
mencoba kepandaian Hui-eng Niocu Siok Li Hwa.
"Sayang," kata Liok Kong Ji. "Kepandaian Wan Sin Hong
benar-benar tinggi dan kalau kita berhasil menariknya, tentu
ia akan dapat menghadapi orang-orang seperti Ang-jiu Mo-li."
Kemudian Pak-kek Sam-kui melanjutkan pelaporan
mereka. Dengan menarik hati mereka menceritakan bahwa
mereka telah berhasil merebut simpati dari para tokoh kangouw
di daerah selatan. Temu Cin girang sekali mendengar ini,
sambil tertawa bergelak ia kembali menuang-kan arak ke
dalam tiga cawan dan mempersilakan Pak-kek Sam-kui
minum. Inilah penghormatan besar sekali bagi tiga orang
utusan ini!
"Bagus-bagus! Dan bagaimana penye-lidikan kalian
tentang sikap suku bangsa Shia-shia yang berkepala batu
itu?" tanya Temu Cin kepada Pak-kek Sam-kui.
"Merekamasih tetap hendak berdiri sendiri, merdeka dan
terlepas dari kita maupun dari kerajaan-kerajaan di selatan.
18
Bangsa Shia-shia itu biarpun hanya sekelompok saja namun
merupakan rintangan yang besar dalam cita-cita kita
menyerbu ke selatan. Akan tetapi, hamba bertiga berani
memastikan bahwa mereka pun takkan sudi bersekutu
dengan Kerajaan Cin," kata Giam-lo-ong Ci Kui.
"Biarlah, jumlah mereka besar. Kelak dalam pergerakan
kita, kalau mereka suka membantu sukur, kalau tidak kita
harus mempergunakan kekerasan."
Kemudian Giam-lo-ong Ci Kui men-ceritakan
pengalamannya di Go-bi-san, ketika ia dan dua orang
sutenya membawa pasukan menyerbu Hui-eng-pai.
"Karena hamba mendengar bahwa Hui-eng-pai di bawah
pimpinan Hui-eng Niocu merupakan perkumpulan wanita
yang kuat, maka hamba bermaksudmenaklukan mereka dan
menarik mereka membantu kita."
"Bagus sekali! Selain tenaga mereka kita butuhkan, juga
mereka terdiri dari banyak wanita-wanita cantik yang dapat
menggembirakan hati anak buah kita!" kata Liok Kong Ji
gembira mendengar penuturan Ci Kui.
"Liok-taihiap tak pernah ketinggalan kalau mendengar
wanita-wanita cantik,” kata Bu-tek Sin-ciang Bouw Gun
sambil tersenyum. Juga Temu Cin tertawa lebar.
"Tentusaja, kalau kita dapat menggembirakan hati para
pemimpmpasukan bukankah mereka akan makin
bersemangat?" jawab Kong Ji.
“Tentusaja diberikan kepada mereka setelah dipilih dan
diambil yang paling baik untuk pengisi taman bungamu
sendiri. Bukankah begitu, Saudara Liok?” kata Temu Cin
menggoda.
Liok Kong Ji tersenyum dan mengangguk. "Dengan seijin
Paduka tentu saja akan terjadi demikian, karena bukankah
panglima mendapat hak lebih dulu dari anak buahnya,
bukan?" Temu Cin tidakmenjawab hanya tertawa bergelak
19
lalu menyuruh Giam-lo-ong Ci Kui melanjutkan
penuturannya.
"Sayangnya hamba tidak berhasil karena di luar dugaan
hamba bertiga di sana sudah muncul Wan Sin Hong!
Temu Cin dan Liok Kong Ji tertarik sekali dan mendesak
supaya Ci Kui segera melan)utkan laporannya. "Lalu
bagaimana selanjutnya?"
"Hamba sudah mengerahkan kawan-kawan dan
bertempurmati-matian, akan tetapi Wan Sin Hong benarbenar
lihai sekali. Akhirnya karena anak; buah hamba
semuanya binasa terpaksa hamba melari-kan diri."
Terdengar Temu Cin menggebrakmeja. Raja ini marah
sekali. mendengar sepasukan orang-orangnya telah binasa
oleh Wan Sin Hong dan Siok Li Hwa. Juga Liok Kong Ji
menjadi kecewa sekali.
"Bawa pasukan yang lebih besar dan tangkap anjingWan
Sin Hong dan Siok Li Hwa itu!" seru Kong Ji lupa diri saking
marahnya. Ia benci sekali kepada Sin Hong dan ini sudah
sewajarnya karena ia sampai lari dari pedalaman dan tinggal
di Mongol hanya karena takut menghadapi kejaran Sin
Hong.
Akan tetapi Temu Cin mengangkat tangan dan
memandang kepadanya dengan mata tajam.
"Saudara Liok, tenanglah. Seorang yang dapat melawan
Pak-kek Sam-kui dan tidak saja mengalahkan mereka
bahkan membinasakan sepasukan tentara pilihan, tidak
seharusnya dibunuh. Pak-kek Sam-kui, sekarang kalian
kuberi tugas, usahakan sedapat mungkin agar supaya Wan
Sin Hong bisa menghadap ke sini dan membantu aku.
Persidangan selesai!"
Dengan hati masih panas Liok Kong Ji terpaksa menjura
dengan hormat bersama yang lain-lain, lalu mengundurkan
diri keluar dari ruangan itu. Sesampainya di luar, Kong Ji
20
minta kepada Pak-kek Sain-kui supaya menceritakan lagi
sejelas-jelasnya tentang pertempuran di Go-bi-san itu. Ci Kui
menuturkan dengan jelas, bahkan menceritakan pula betapa
nama Liok Kong Ji masih dihormati dl selatan. Hal ini
menggirangkan hciti Kong Ji dan diam-diam ia merasa rindu
untuk pulang ke pedalaman hanya ia masih gentar
menghadapi Wan Sin Hong.
Ketikamereka tiba di tempat peristirahatan dan melihat
seorang bocah dikerumuni para perwira, Kong Ji laki
bertanya.
"Siapakah bocah ini?" Ia merasa heran melihat seorang
bocah bangsa Han berada di tempat itu.
"Taihiap, dia ini murid Pak-kek. Sam-kui, apa kau belum
tahu?"
Kong Ji menatap wajah bocah itu, wajah yang buruk dan
tidak menyenangkan hatinya, kemudian ia berpaling kepada
Ci Kui, "Apakah kau mendapatkan murid ini di selatan?"
Ci Kui tertawa. "Bocah ini bukan sembarangan bocah,
karena dia sudah diperebutkan antara Wan Sin Hong dan
Siok Li Hwa!" Kemudian ia menuturkan tentang keadaan
Hui-eng-pai ketika Tiang Bu diperebutkan oleh Sin Hong dan
Siok Li Hwa. Kong Ji merasa heran sekali mendengar ini.
Kalau sampai Sin Hong dan Li Hwa memperebutkan bocah
ini, tentu ada hal yang luar biasa pada anak ini. Ia menjadi
tertarik dan memanggil bocah itu mendekat.
Melihat seorang panglima gagah memanggilnya dengan
suara dan bahasa Han, Tiang Bu segera maju menghadap
dan berdiri di depan Liok Kong Ji. Setelah dekat, Kong Ji
melihat bahwa di balik kulit muka yang kotor dan pakaian
yang compangcamping itu ia melihat sinar mata yang tajam
sekali, wajah yang tidak tampan namun membayangkan
ketabahan luar biasa dan gerakan bocah itu ketika berjalan
membayangkan bakat ilmu silat yang besar.
"Siapa namamu?" tanyanya.
21
"Nama saya Tiang Bu," jawab anak itu tegas, dan sedikit
pun tidak kikuk atau takut-takut.
"Siapa ayah bundamu?" tanya pula Kong Ji yang tertarik
hatinya bukan karena bocah ini sendiri, melainkan oleh
kehyataan bahwa bocah itu diperebutkan oleh Sin Hong dan
Li Hwa.
"Saya tidak punya ayah bunda, entah siapa mereka saya
tidak tahu."
"Kau yatim piatu dan sebatangkara?"
"TiangBu mengangguk dan membalas tatapan sinarmata
Kong Ji tanpa takut. "Mengapa kau diperebutkan oleh Wan
Sin Hong dan Siok Li Hwa?"
"Hui-eng Niocu ingin mengambil murid padaku, lalu
datang laki-laki itu yang hendak merampasku. Entah apa
sebabnya saya sendiri pun tidak tahu."
Jawaban-jawaban ini tidak menarik hati Kong Ji dan ia
beranggapan bahwa tentu dua orang itu melihat bakat baik
dalamdiri anak ini dan berebutan hendakmenjadi gurunya.
Tidak aneh dan tidak menarik. Ia menoleh kepada Ci Kui.
Giam-lo-ong Ci Kui tersenyum. "Tadinya kami
merampasnya hanya untuk membalas dendam kepada Wan
Sin Hong dan Hui-eng Niocu. Kemudian kami tertarik
melihat bakat pada bocah ini dan melihat ketabahannya.
Oleh karena itulah maka kami lalu mengambil keputusan
untuk mengambilnya sebagai murid."
Kong Ji tidak berkata apa-apa lagi dan meninggalkan
ruangan itu untuk kembali ke gedungnya sendiri.
Mendengar penuturan Pak-kek Sam-kui tentang pedalaman
Tiongkok, ia menjadi rindu sekali akan tanah airnya. Ini
bukan berarti bahwa dalam dada Liok Kong Ji ada sedikit
semangat patriotik, melainkan ia ingin menikmati segala
kesenangan yang bisa didapatkan di selatan dan yang sukar
dicari di daerah utara yang dingin itu.
22
Adapun Pak-kek Sam-kui lalu mengajak Tiang Bu ke
sebuah dusun tak jauh dari benteng itu di mana memang
biasanya Pak-kek Sam-kui tinggal kalau mereka tak sedang
menjalankan tugas. Dusun ini merupakan dusun istimewa
yang boleh dibilang paling baik keadaannya di antara semua
dusun di sekitar pegunungan itu, di sinilah sebagian besar
perwira tinggal bersama anak isteri mereka. Juga didusun ini
berdiri gedung tempat tinggal Liok Kong Ji bersama lima
belas orang selir, dua orang anak angkat dan sejumlah besar
pelayan, Di gedung yang terbuat dari kayu ini Liok Kong Ji
tinggal seperti seorang raja muda.
Pak-kek Sam-kui tinggal di sebuah rumah besar dan
mereka mempunyai banyak pelayan laki-laki dan wanita.
Tiang Bu mendapat sebuah kamar sendiri dan bocah ini
merasa lega dan senang karena. ternyata tiga orang suhunya
tidak tinggal bersama banyak orang yang dijumpainya tadi.
Dengan amat tekun Tiang Bu berlatih ilmu silat di bawah
pimpinan Pak-kek Samkui. Biarpun bocah ini tidak suka
dengan ilmu-ilmu silat mereka yang dianggapnya kasar dan
penuh gerakan-gerakan curang, namun harus ia akui bahwa
ilmu silat mereka itu hebat sekali, lagi sukar dipelajari.
Dengan sabar dan rajin ia berlatih terus, dan kini ia
mendapat kesempatan untukmulai melatih diri dengan
gerakan-gerakan Ilmu Silat Pat -hong-hong-i yang sudah
dihafal teorinya. Tiap malam ia berlatih di dalam kamarnya
dengan amat tekun sehingga dalam waktu setahun saja
Tiang Bu telah memperoieh kemajuan pesat. Ilmu silat yang
ia dapat dari kitab dari Omei-san itu benar-benar hebat.
Gerakan-gerakan kaki tangan dalamIlmu Silat Pat -honghong-
i ini mengandung kekuatan yang mendorong
kemampuannya dalam berlatih Iweekang menurut petunjuk
Pak-kek Sam-kui .
Tiga orang kakek ini sampai terheran-heran melihat
kemajuan yang luar biasa dari muridmereka. Mereka hanya
merasa heran dan gembira, sama sekali tidakmengira bahwa
23
kemajuan Tiang Bu itu sebagian besar berkat latihanlatihannya
di waktu malam di dalam kamarnya!
Tiang Bu merasa menyesal sekali bahwa kamarnya tidak
cukup luas untuk berlatih Pat-hong-hong-i, karena pukulanpukulan
dari ilmu silat ini mengandung hawa pukulan yang
menderu sehingga kalau ia berlatih terlalu cepat dan terlalu
mengerahkan tenaga, suara hawa pukulan itu akan terdengar
oleh ketiga suhunya. Alangkah senangnya kalau ia dapat
berlatih di luar, di udara terbuka, pikirnya.
Akhirnya kesempatan itu tiba. Pak-kek Sam-kui mulai
melakukan tugas-tugas baru, membantu pasukan-pasukan
menggempur suku-suku bangsa yang belummau taluk di
daerah perbatasan selatan dan barat.
Pengaruh bala tentara Mongol mulai berkembang dan
membesar. Temu Cin mulai memperluas wilayahnya ke barat
menyerbu daerah Sin-kiang dan ke selatan menalukkan
suku-suku bangsa perantau, memaksa mereka menggabung
dengan bala tentaranya. Bahkan ia mulai mendesak
kedudukan orang-orang bermata biru di utara!
Kesempatan selagi guru-gurunya tidak ada, dipergunakan
oleh Tiang Bu sebaikbaiknya. Biarpun para pelayan memperlakukannya
dengan baik dan hormat mengingat bahwa anak
ini murid dari Pak-kek Sam-kui, namun Tiang Bu tidak
berani berlatih silat di dekat rumah itu. Ia sengaja keluar
dari rumah, bahkan keluar dari perkampungan dan berlatih
silat di dalamsebuah hutan yang sunyi. Di dalam hutan ini ia
boleh berlatih sesuka hatinya. Ia bersilat Sam-hoan Sam-bu
sehingga ketangkasannya yang dulu kembali setelah ia
latihan beberapa kali.
Juga Ilmu Silat Pat-hong-hong-i yang dilatihnya makin
maju saja. Ia merasa tubuhnya ringan dan kedua tangannya
mengeluarkan angin pukulan kalau ia mainkan Pat-honghong-
i. Sampai sehari penuh ia melatih di dalam hutan ini,
bahkan kadang-kadang ia datang di situ pada malam hari
secara diam-diam kalau para pelayan sudah tidur pulas.
24
Kalau ia lelah, ia duduk di atas batu karang dan melamun.
Di samping keg;irangannya melihat kemajuannya sendiri,
kadang-kadang ia juga merasa sedih. Ia tidak kerasan tinggal
di daerah utara yang amat dingin ini. Dan celakanya tiga
orang gurunya sama sekali tidak mau mempedulikannya
sehingga pakaiannya tak pernah diganti, masih tetap
compang-camping.
Bahkan baju yang dipakainya itu kini sudah tidak
berlengan lagi, atau hanya berlengan setengah. Terpaksa ia
potong sebatas Siku dan potongannya dipergunakan untuk
menambali bagian-bagian yang sudah robek dan berlubang.
akan tetapi kepada siapa ia harus mengeluh? Tiga orang
gurunya memang manusia-manusia aneh. Mereka
menduduki pangkat-pangkat besar, kaya raya dan hidupnya
mewah, namun pakaian ketiga orang gurunya itu pun
hampir tak perhah diganti!
Biarlah, pikirnya menghibur hati sendiri. Aku mendapat
makan cukup, ini saja sudah baik sekali. Kelak kalau ada
kekuatan, aku harus segera minggat dari tempat ini. Dengan
pikiran seperti ini Tiang Bu dapat menahan hidup di.utara
sampai dua tahun lebih. Ia masih belum berani melarikan
diri oleh karena maklumakan luasnya pengaruh bangsa
Mongol dan bahwa Temu Cin mempunyai banyak sekali kaki
tangan di mana-mana. Kalau ia harus pergi, pergi ke
manakah?, Pergi ke selatan tentu akan dapat dikejar oleh
tiga orang gurunya, karena kepandaiannya sendiri masih
jauh untuk dapat dipergunakan menjaga diri dalam tempat
berbahaya itu.
Ketika itu Pak-kek Sam-kui melakukan tugas penting
sampai dua bulan lebih. Tiang Bu menjadi senang sekali dan
waktu yang dua bulan lebih itu ia pergunakan untuk melatih
Pat-hong-hong-i dan Sam-hoan Sam-bu sebaik-baiknya,
sehingga boleh dibilang siang malam ia berada di dalam
hutan itu. Memang ia memiliki bakat yang baik sekali, pula
25
otaknya memang cerdas maka ia kici telah dapat memainkan
dua macam ilmu silat tinggi ini secara cukup baik.
Dia sama sekali tidak tahu bahwa sejak ia datang, kurang
lebih dua bulan kemudian, Panglima Besar Thian-te Bu-tek
Taihiap Liok Kong Ji telah berangkat ke selatan, sesuai
dengan siasat Temu Cin, yaitu mengumpulkan bala bantuan
di selatan dan kalau mungkin menghancurkan kekuatankekuatan
yang menentangnya di daerah Cin. Semenjak
pertemuan pertama itu, Tiang Bu sudah lupa lagi akan
panglima itu. Kalau saja ia tahu bahwa orang itu bukan lain
adalah ayah-nya sendiri! Akan tetapi ia tidak tahu, tak
seorang pun tahu. Juga Kong Ji sendiri tidak tahu. Di dalam
dunia ini kiranya hanya tiga orang yang tahu betul akan hal
itu, mereka adalah Wan Sin Hong, Go Hui Lian dan Coa
Hong Kin.
Pada hari itu seperti biasa Tiang Bu pagi-pagi sudah pergi
ke hutan dan di tempat biasa ia mulai berlatih Ilmu Silat Pathong-
hong-i. Angin pukulan yang ke-luar dari kedua
tangannya menderu-deru mengeluarkan suara. Benar-benar
luar biasa ilmu silat ini dan lebih luar biasa lagi adalah anak
itu yang dalam usia sembilan tahun sudah dapat bersilat
seperti itu baiknya. Saking asyiknya Tiang Bu berlatih ia
sama sekali tidak tahu bahwa Pak-kek Sam-kui sudah
berdiri tak jauh dari situ, memandang dengan mata bersinar
marah sekali!
"Setan cilik! Kau telah menipu dan menghina kami! Kau
harus mampus!" seru Liok-te Mo-ko Ang Bouw dengan marah
sekali.
Tiang Bu menjadi pucat ketika ia menghentikan gerakan
kaki tangannya dan menoleh kepada mereka. Akan tetapi ia
dapat menetapkan hatinya dan menanti dengan tenang apa
yang akan terjadi selanjutnya.
"Bangsat rendah, ilmu silat apa yang kau latih tadi?"
tanya Giam-lo-ong Ci Kui dengan suara menggeledek.
26
Tiang Bu maklum bahwa membohong takkan ada
gunanya setelah mereka itu menyaksikan dengan mata
sendiri. Ia berlutut sambil berkata, "Teecu berlatih Ilmu Silat
Pat-hong-hong-i."
"Dari siapa kau belajar ilmu setan itu?" tanya pula Ci Kui,
agak tertegurmelihat muridnya bicara demikian terus
terang.
"Dari ....... dari sebuah kitab di bawah petunjuk
mendiang Bu Hok Lokai."
Kembali tiga orang kakek itu melengak. Jadi orang jembel
yangmati di pinggir jalan itu adalah Bu Hok Lokai dan
menjadi guru Tiang Bu? Benar-benar mereka tidak pernah
menyangkanya.
"Apalagi yang kaupelajari dari jembel itu selain ilmu tadi
dan mengemis?" Ci Kui bertanya, suaranya mengandung
ejekan.
"Teecu diberi pelajaran ilmu Silat Sam-hoan Sam-bu .......
"
Baru saja ia bicara sampai di sini, Liok-te Mo-ko Ang
Bouw sudah tak dapat menahan sabar lagi.
"Bagus, coba kita lihat sampai di mana lihainya dua ilmu
silat itu!" Sambil berkata demikian ia melompat maju
menerkam Tiang Bu dengan buasnya!
Tiang Bu terkejut sekali. Ia maklumbahwa ia berada
dalam bahaya besar karena ia sudah mengenal baik watak
tiga orang gurunya ini. Cepat ia menggerakkan kakinya,
melesat ke belakang dan di lain saat ia telah dapat mengelak
beberapa serangan Ang Bouw yang bertubi-tubi dengan
mempergunakan gerakan Pat-honghong-i yang tadi
dilatihnya.
"Setan alas! Dia dapat mengelak!" seru Sin-saikong Ang
Louw yang segera maju pula menyerbu. "Biar aku yang
membunuh setan ini!"
27
"Tidak, aku yang harus merobohkannya," kata Ci Kui yang
maju pula menyerang. Di lain saat Tiang Bu sedang diserbu
oleh tiga orang suhunya!
"Celaka ....... " anak ini mengeluh, menghadapi seorang
saja ia tahu bahwa akhirnya akan terpukul binasa, apalagi
ketiga-tiganya maju bersama. Namun ia tidak putus asa dan
cepat mainkan Pat-hong hong-i sebaik-baiknya. Untung
baginya bahwa karena memandang rendah, tiga orang kakek
itu tidak mempergunakan ilmu silat lain dan menggunakan
Ilmu Silat Hui-houw-tong-te untuk menyerangnya. Mungkin
Pak-kek Sam-kui merasa malu kalau mengghinakan ilmu
silat lain yang belum dikenal Tiang Bu. Hui-houw» tong-te
sudah dipelajari oleh Tiang Bu secara baik-baik, maka sudah
cukup adil kiranya kalau mereka juga menggunakan ilmu ini
untuk menyerang. Sama sekali mereka lupa bahwa tiga
orang kakek yang sudah kenamaan di dunia kang-ouw
mengeroyok seorang bocah berusia sembilan-sepuluh tahun,
benar-benarmerupakan hal yangmenggelikan dan
menjemukan. Akan tetapi Pak-kek Sam-kui bukanlah orangorang
biasa, mereka berwatak jahat dan aneh dan segala niat
di dalamhati mereka lakukan tanpa mempedulikan anggapan
orang lain.
Melihat datangnya serangan dari tiga jurusan Tiang Bu
yang cerdik lalu mengubah gerakannya dan mainkan ilmu
mengelak Sam-hoan Sam-bu. Ilmu ini lebih tepat untuk
menghadapi keroyokan tiga orang, apalagi karena dengan
ilmu ini perhatiannya seluruhnya dipusatkan untuk
menghindarkan diri dari serangan, sama sekali tidak ada
jurus menyerang.
Pak-kek Sam-kui benar-benar merasa penasaran sekali.
Bocah itu gerakannya lincah melebihi burung walet, gesit
melebih kera. Dipukul sana melesat ke sini, dicegat sini
menerobos sana, benar-benar sukar ditangkap atau dipukul.
Gerakan kaki yang juga langkah berubah dan tangannya
yang bergerak ke sana ke mari seperti menari itu benar28
benar sukar di-ikuti. Sampai dua puluh jurus Tiang Bu
selalu dapat menyelamatkan diri. Akan tetapi ia mulai lelah
dan langkah-langkahnya mulai dikenal oleh Pak-kek Samkui.
Sekali bergerak, Pak-kek Sam-kui sudah mengambil
kedudukan yang mencegat dan mematikan tiga langkah-nya,
Tiang Bu terjepit dan sekali pukul ia akan mati.
"Pak-kek Sam-kui tak tahu malu! Pergi kalian!" Tiba-tiba
terdengar bentakan nyaring dan sebatang tongkat panjang
dengan ukiran kepala naga berkelebat menyambar ke arah
tiga orang itu dengan hebat sekali. Sambaran tongkat ini
benar hebat, menyambarnya ke arah kepala Pak-kek Sam-kui
jadi melewati atas kepala Tiang Bu. Tongkat itu sekaligus
menyerang tiga orang pengurung Tiang Bu tanpa
membahayakan bocah itu sendiri.
Pak-kek Sam-kui kaget sekali dan tidak berani
menangkis sambaran tongkat yang angin pukulannya panas
ini. Mereka cepat melompat mundur dan ketika mereka
memandang, ternyata yang berdiri di depan mereka adalah
seorang hwesio gundul tinggi besar dengan jubah merah dan
tongkat kepala naga yang panjang. Pendeta Lama baju
merah dari Tibet.
"Thai Gu Cinjin ....... !" Giam-lo-ong Ci Kui berseru kaget.
Tak disangkanya sama sekali pendeta Lama ini bisa
berkeliaran sampai di sini! "Kau datang ke Mongol ada
keperluan apakah?"
Seperti diketahui, Thai Gu Cinjin ini adalah hwesio Lama
dari Tibet yang telah berhasil mencuri sebuah kitab dari
Gunung Omei-san. Di bagian depan telah diceritakan bahwa
karena takut dirampas oleh Ang-jiu Mo-li, Thai Gu Cinjin ini
menitipkan kitab curiannya kepada Tiang Bu dan kemudian
setelah Ang-jiu Mo-li gagal mendapatkan kitab di tangannya,
ia pun gagal mendapatkan bocah yang dititipi kitab itu!
Kemudian setelah mencari sekian lama tanpa hasil, ia
mendengar bahwa bocah itu adalah murid Pak-kek Sam-kui,
maka bergegas ia pergi ke Mongol untuk mencari Pak-kek
29
Sam-kui. Kebetulan sekali ia mendengarkan percakapan
antara Pak-kek Sam-kui dah Tiang Bu, dan melihat betapa
bocah itu terancam bahaya maut.
Kalau saja ia sudah mendapatkan kitabnya kembali,
kiranya ia takkan peduli apakah Pak-kek Sam-kui hendak
memecah dada atau kepala bocah itu» Akan tetapi ia harus
mendapatkan kitabnya lebih dulu, maka cepat ia mencegah,
Pak-kek Samkui membunuh Tiang Bu.
"Pak-kek Sam-kui, kalau tidak ada urusan penting untuk
apa pinceng jauh-jauh datang ke tempat buruk ini . Seperti
kalian ketahui, pinceng kehilangan kitab pelajaran ilmu silat
yang dulu pin-ceng titipkan kepada Setan Cilik ini. Setelah
pinceng mendapatkan kembali kitab itu, kalian mau bunuh
dia boleh bunuh, pinceng tidak ada urusan lagi." Kemudian
tanpa menghiraukan Pak-kek Sann-kui lagi, Thai Gu Cinjin
melangkah maju menghadapi Tiang Bu dan membentak.
"Anak setan, mana kitab yang kutitipkan padamu dulu?"
Diam-diam Tiang Bu mengeluh akan nasibnya yang
benar-benar buruk. Baru saja terlepas dari tangan Pak-kek
Sam-kui, ternyata yang menolongnya adalah hwesio yang ia
bawa lari kitabnya dan yang tentu marah sekali kepadanya.
Ini sama halnya dengan terlepas dari mulut harimau jatuh di
mulut naga Akan tetapi sudah kepalang.I a maklumtakkan
dapat hidup lebih lama lagi, maka timbul keberaniannya
yang luar biasa.
"Losuhu, kitab itu sudah teecu bakar'."
Muka Thai Gu Cinjin yang berwarna ungu itu berubah
hijau. Tongkat kepala naga di tangannya menggigil, agaknya
hendak dijatuhkan ke atas kepala Tiang Bu. Kalau hal ini
terjadi, tentu kepala bocah itu akan remuk seperti telur
ayam dipukul dengan batu.
"Anak setan! Jangan kau membohong. Tadi pinceng lihat
ilmu silatmu Pat-honghong-i dari kitab itu cukup baik. Dari
30
mana kau belajar kalau tidak dari, kitab itu? Mana sekarang
kitabnya?"
"Teecu katakan sudah teecu bakar. Tentu saja teecu
belajar dari kitab itu. Setelah isinya teecu pindahkan ke
dalam otak, lalu kitab itu teecu bakar."
"Jadi kau hafal semua isi kitab itu?" tanya Thai Gu Cinjin
terheran.
Tiang Bu mengangguk. "Hafal di luar kepala segala teori
dan gerakannya."
Sengaja Tiang Bu
menyombong karena
melihat lubang jarum
untuk lolos. Barangkali
hal ini yang akan
menyambung nyawaku
pikirnya.
Betul saja dugaan
bocah cerdik ini. Sekali
menggerakkan tangan
kiri, Thai Gu Cinjin
sudah menyambar
tubuhnya dan
dikempitnya demikian
kuat sehingga Tiang Bu
khawatir dadanya akan
pecah.
"Pak-kek Sam-kui,
bocah ini kubawa.
Setelah isi kitab kuperas keluar dari kepalanya, pinceng akan
mewakili kalian mencabut nyawanya."
Pak-kek Sam-kui tak berammembantah. Mereka maklum
bahwa pendeta Lama ini kepandaiannya lebih tinggi daripada
mereka sehingga kalau terjadi pertempuran, kiranya mereka
akan kalah. Dan lagi apa sih gunanya bertempur?
31
Mereka tidak sudi menjadi guru-guru Tiang Bu lagi dan
akan lebih baik kalau anak itu dibawa dan juga kaiau
mereka yang membunuh, mereka takut kelak dibunuh oleh
Thai Gu Cinjin. Betapapun juga akan pembalasan yang
mungkin datang dari fihak Wan Sin Hong!
"Sesukamulah, Thai Gu Cinjin. Kami tidakmembutuhkan
bocah ini. Sebaiknya kalau bocah ini dibunuh karena kelak
ia hanya akan mendatangkan malapetaka saja." kata Ci Kui.
Thai Gu Cin Jin hanya tersenyum dan mengeluarkan
suara ketawa menghina seakanakan mentertawakan nasihat
Ci Kui ini, kemudian dengan gerakan yang amat cepat ia
berlari keluar daii hutan menpju ke selatan. Untuk kesekian
kali-nya; Tiang Bu terjatuh ke dalamtangan seorang sakti
lain lagi yang akan mengubah seluruh keadaan hidupnya
selanjutnya.
-oo(mch)oo-
Mari kita menengok keadaan Wan Sin Hong dan Siok Li
Hwa yang sudah terlalu lama kita tinggalkan. Telah
diceritakan betapa tulang paha dari Hui-eng Niocu Siok Li
Hwa parah terkena ledakan senjata rahasia dari serdaduserdadu
Mongol, kemudian Sin Hong terpaksa sekali
menolong dan merawatnya karena kalau ia tidak mau, gadis
itu pun tidak mau dirawat orang lain dan rela mati terlantar
di dalam hutan!
Wan Sin Hong yang dapat mengenal watak orangmaklum
bahwa gadis seperti Li Hwa ini tidak takut mati dan akan
membuktikan apa yang dikatakannya. Oleh karena itu, juga
karena ia memang kasihan dan suka kepada dara liar ini, ia
memondong tubuh Li Hwa yang terluka, membawanya ke
dalam sebuah goa yang menjadi tempat tinggal sementara
karena Li Hwa tidak boleh kembali ke Hui-engpai kalau
membawa laki-laki. Ia merawat paha yang pecah tulangnya
itusehingga Li Hwa yang mencinta Sin Hong dengan seluruh
32
jiwa raganya merasa amat bahagia! Memang lucu sekali.
Alangkah mudahnya bahagia datang bagi orang yang
dimabuk cinta!
Setelah berbulan-bulan hidup di dekat Siok Li Hwa, Sin
Hongmendapat kenyataan bahwa gadis yang nampaknya liar
dan keras ini, sesungguhnya mempunyai watak yang baik
sekali dan berhati emas. Selain Li Hwa amat mencintanya,
juga gerakgerik gadis itu makin meresap mencocoki
seleranya, kelihatan manis, menarik dan menawan hati.
Heran dia! Mungkinkah dia mencinta Li Hwa? Atau
mungkinkah cinta kasih gadis itu kepadanya yang amat
mendalam membawa pengaruh dan "menular" kepadanya?
Sin Hong menjadi bingung kaiau perasaan cinta kasih
terhadap Li Hwa merangsang di hatinya. ia berpikir-pikir.
Dulu aku mencinta Gak Soan Li, lalu aku merasa bahwa
yang kucinta Go Hui Lian. Sekarang ....... aku mencinta Siok
Li Hwa! Begini mudah berubahkah hatiku? Begini murah
dan palsukah cintaku? Aku tak boleh tergesa-gesa. Harus
kubuktikan lebih dulu apakah perasaanku kali ini betul--
betul murni. Sudah dua kali aku mecinta orang dan selalu
gagal merangkai cinta kasih menjadi sebuah pernikahan yang
membahagiakan. Kali ini aku tak boleh gagal lagi dan tidak
boleh sembarangan mengaku cinta sebelum aku tahu pasti
bahwa perasaan yang timbul ini murni!
Selagi ia melamun itu, dari dalamgoa keluarlah Siok Li
Hwa, jalannya masih perlahan akan tetapi tidak terasa sakit
lagi.
"SinHong, sepagi ini kau sudah melamun. Memikirkan
apa sih?" Tegur dara itu dengan suara manis.
Sin Hong terkejut mendengar suara orang yang sedang
menjadi buah lamunannya itu. Ia berpaling dan matanya
bersinarmelihat Li Hwa keluar dari goa. Pakaiannya kumal,
rambutnya awut-awutan dan matanya masih mengantuk
Akan tetapi nampak cantik dalam pandang matanya,
33
kecantikan aseli. Sin Hong menekan kekaguman hatinya dan
membelokkan perhatian gadis itu dengan tegurannya.
"Kau sudah tidak pincang lagi, Li Hwa. Akan tetapi hati -
hati, jangan terlalu cepat berjalan!Dan kau bangun terlalu
siang. Makin pagi makin baik merendampahamu di telaga.
Hayo kuantar ke sana cepat-cepat, jangan sampai matahari
keburu keluar!"
Li Hwa nnemandang kepada. pemuda itu dengan mata
bersinar dan wajahnya yang sayu berseri. Ia menjura dan
mengangkat kedua tangan ke dada dengan sikap
menghormat sekali, lalu berkata nadanya menggoda.
"Baiklah, Tuan Perawat. Hamba akan mentaati segala
perintah Tuan." Setelah berkata demikian gadis ini hendak
lari ke telaga yang tak jauh dari situ letaknya.
"Bandel ....... !" Sin Hongmendamprat dan di lain saat
gadis itu sudah dipondongnya dan dibawanya lari ke telaga
seperti yang setiap hari ia lakukan sebelum Li Hwa kuat
berjalan.
Li Hwa menyandarkan kepalanya di dada Sin Hong sambil
memejamkan matanya. Terasa enak dan nyaman dalam
pondongan tangan yang kuat itu, seperti anak kecil
dipondong ibunya, terayun-ayun dan penuh perasaan aman.
"SinHong, sudah seminggu lebih kau tidak
memondongku. Aku sengaja keluar agak siang supaya kau
khawatir aku terlambat merendam kakiku ....... " , '
"Hemmmmm, kau memang bengal sekali. Jadi kau
sengaja bangun siang dan memperlambat pergi merendam
kaki ke telaga hanya agar aku memondongmu ke sini?"
"Habis, aku rindu akan pondonganmu sih!" jawabnya
manja dan genit.
Sin Hong menurunkan Li Hwa di pinggir telaga di atas
sebuah batu yang berada di pinggir telaga sehingga dengan
duduk di atas batu itu Li Hwa dapat merendam kakinya dan
34
dapat pula mandi seperti yang biasa ia lakukan apabila pada
pagi hari merendam kaki.
"Mandilah, aku hendak pulang dulu," kata Sin Hong.
Kata-kata "pulang" ini memang sudah biasa mereka katakan
kalau mereka bermaksud kembali ke dalam goa besar yang
seakan-akan sudah menjadi rumah tinggal mereka. Setelah
berkata demikian, Sin Hong membalikkan tubuh hendak
meninggalkan tempat itu agar Li Hwa dapat mandi dan
merendah kaki dengan leluasa.
"Sin Hong, jangan tinggalkan aku ....... !"
"Eh, eh, kau seperti anak kecil saja, Li Hwa. Bukankah
sudah beberapa hari ini kau berendam seorang diri?"
"Dulu kau selalu membantuku me-rendam kaki ....... "
cela Li Hwa manja.
Sin Hong memandang dan tersenyum gemas. "Dulu.
tulang pahamu masih belum tersambung benar, kau tidak
bisa turun seorang diri. Sudah tentu aku membantumu.
Akan tetapi sekarang ....... kau sudah kuat, tidak saja dapat
merendam kaki, akan tetapi juga dapat turun mandi. Apa
kau ini anak kecil yang harus kumandikan?" Tiba-tiba muka
Sin Hong menjadi merah oleh kata-kata terakhir yang
terlanjur ia ucapkan itu.
"Mengapa tidak ....... ?" Li Hwa menjawab, senyum dan
pandang matanya menantang sehingga muka Sin Hong
menjadi makin merah.
"Sudahlah Li Hwa. Jangan main-main. Lekas kau mandi
dan aku menunggu di depan goa."
”SinHong, kalau aku terjeblos ke dalamlubang di telaga
lagi, aku sekarang takkan menjerit kalau kau pergi'"
Sin Hong teringat ketika beberapa hari yang lalu ia
meninggalkan Li Hwa mandi seorang diri, tiba-tiba ia
mendengar gadis itu menjerit. Cepat bagaikan terbang ia lari
dari depan goa menuju ke telaga itu dan melihat gadjis itu
35
tenggelamdan hanya kelihatan dua tangannya saja di
permukaan air. Dapat dibayangkan betapa kagetnya. Tanpa
ingat apa-apa lagi ia lalu melompat ke dalam air dan
menolong gadis itu yang setelah ia tarik tangannya ternyata
bahwa gadis itu telah terjeblos ke dalam sebuah lubang yang
dalam.
Setelah Li Hwa selamat baru ia insaf, bahwa ia berada
dalam keadaan yang amat tidak pantas berdekatan dengan
gadis yang baru mandi! Cepat ia melepaskan Li Hwa yang
sudah selamat dan melompat ke pinggir, dengan muka
membelakangi Li Hwa ia mengomeli gadis itu yang tertawatawa!
Teringat akan ini, terpaksa Sin Hong tidak berani
meninggalkan tempat itu dan ia menarik napas panjang
merasa kalah oleh gadis yang pintar menggoda dan keras
kepala itu.
"Baiklah, aku akan menunggu di sini, akan tetapi jangan
kau ke tengah. Mandi di pinggir juga cukup, mengapa mesti
ke tengah di mana banyak lubangnya yang tak tersangkasangka?"
Li Hwa tersenyumpenuh kemenangan dan dia kini tanpa
sungkan-sungkan lagi lalu menanggalkan pakaian dan
merendam paha sekalian mandi. Ia bermain-main dengan air
bahkan sambil tertawa-tawa beberapa kali menggunakan air
untuk dipercikkan ke pinggir ke arah Sin Hong. Tiada
hentinya ia menggoda pemuda itu dan mengajaknya
bercakap-cakap. Akan tetapi Sin Hong selalu menjawab
tanpa menoleh. Diam-diam Li Hwa makin suka melihat sikap
Sin Hong yang sopan ini, makin suka dan juga geli hatinya.
Perasaan wanitanya dapat meraba betapa sangat inginnya
hati pemuda itu menoleh dan melihatnya namun, ditahantahannya.
Ini semua hanya karena Wan Sin Hong adalah
seorang pemuda yang hebat, seorang pemuda yang berhati
kuat, beriman teguh. Pemuda pilihan dan karenanya Li Hwa
menjadi makin cinta saja.
36
Sebetulnya, berkat perawatan Sin Hong yang amat
telaten dan penuh perhatian, juga karena pengobatan Sin
Hong yang luar biasa, tulang paha yang patah itu sudah
tersambung baik dan kaki Li Hwa sudah sembuh sama
sekali. Akan tetapi karena gadis itu takut kalau-kalau Sin
Hong akan meninggalkannya, maka ia berlaku purapura
masih sakit! Gadis ini amat berkhawatir kalau-kalau Sin
Hong akan pergi dari sampingnya dan hal ini akan
merupakan siksaan batin baginya. I a tidak kuat lagi kalau
harus berpisah dari dekat pemuda itu.
Setelah selesai merendamkakinya dan mandi, Li Hwa
cepat mengeringkan tubuh dan mengenakan pakaian lagi.
Rambutnya yang hltam panjang itu dikepang dan
diperasnya.
"Mari kita pulang, Sin Hong," katanya setelah selesai.
Baru Sin Hong mau menoleh dan memandang gadis itu
yang nampak segar dan cantik, biarpun kini rambutnya
menjadi tidak karuan karena basah.
"Marilah, aku hendak bicara sesuatu dengan kau, Li
Hwa," jawab Sin Hong.
Mereka berjalan kaki berdampingan. Telaga itu terletak di
sebelah barat goa sehingga ketika mereka "pulang" mereka
menyongsong terbitnya matahari. Pagi yang cerah dan indah.
Musimsemi telah tiba sehingga hutan itu penuh bunga dan
daun. Burung-burung menyambut matahari, bunga-bunga
tersenyum kepada mereka. Pagi nan indah, Li Hwa berjalan
perlahan di samping Sin Hong sambil bernyanyi -nyanyi kecil.
Sesungguhnya gadis ini merasa amat gelisah karena kata--
kata Sin Hong tadi.
Ia takut ditinggalkan, Akan tetapi ia menahan hatinya
dan mengobati kegelisahannya dengan bernyanyi-nyanyi, Di
antara anak buah Hui-eng-pai terdapat banyak wanita yang
pandai bernyanyi dan Li Hwa yang mempunyai suara merdu
mempelajari banyak macam nyanyian. Sin Hong berjalan
37
dengan pikiran penuh pertanyaan dan kesangsian. Gadis di
sampingnya ini memang aneh sekali.
Ia sampai merasa heran memikirkan mengapa Li Hwa
demikian, mencintanya. Belum pernah seingatnya ada
wanita yang mencintanya sebesar cinta Li Hwa kepadanya.
Sudah beberapa kali para ketua Hui-eng-pai datang dan
membujuk Ll Hwa untuk kembali seorang diri di Hui-engpai,
menduduki kembali kedudukan ketua. Akan tetapi tetap
Li Hwa menolak.
"Tempatku adalah di dekat Wan-bengcu. Kalian
kembalilah. Kalau perlu, bubarkan saja Hui-eng-pai. Aku
tidak mau lagi memimpln dan aku akan hidup membantu
Wan-bengcu."
Adapun Li Hwa yang bernyanyi-nyanyi kecil itu juga
melamun. Selama beberapa bulan ini Sin Hong hidup di
dekatnya siang malam. Belum pernah satu kali pun Sin
Hongmemperlihatkan bahwa pemuda itu membalas cinta
kasihnya dan pemuda ini selalu bersikap penuh sopan
santun. Akan tetapi, tak dapat disangkal pula bahwa Sin
Hong selalu menjaganya, selalu merawatnya dan wajah yang
tampan dan tenang Itu nampak berseri gembira setiap kali
mendapat kenyataan bahwa kakinya berangsur sembuh.
Apakah benar-benar pemuda ini tega meninggalkannya?
Tidak, ia akan menolak untuk ditinggalkan! Oleh karena itu
dapat dibayangkan betapa dadanya berdebar gelisah ketika
mendengar kata-kata Sin Hong yang menyatakan hendak
bicara sesuatu dengan dia. Karena kegelisahan inilah maka
Li Hwa untuk sementara lupa akan peranannya sebagai
seorang gadis yang "tak pernah sembuh kakinya". Biasanya
ia selalu berpura-pura kakinya masih sakit dan belum
sembuh betul sehingga jalannya tak begitu cepat. Akan
tetapi sekarang, saking tegangnya perasaan, ia berjalan cepat
dan terus mengikuti Sin Hong yang sengaja mempercepat
langkahnya.
38
Setelahmereka tiba di depan goa, Sin Hong berhenti dan
memutar tubuh
menghadapi Li Hwa
sambil berkata.
"Li Hwa, kakimu
sudah sembuh. Jalanmu
sudah kuat dan cepat!" Li
Hwa kaget sekali. Baru ia
sadar bahwa ia tadi telah
berjalan cepat sekali,
terlalu cepat bagi seorang
yang kakinya masih sakit!
"Tidak ....... tidak .......
!" ia tak dapat
melanjutkan katakatanya
karena tahu
bahwa kali ini ia tidak
dapat membohong lagi. Ia
hanya berdiri bingung dan
mukanya berubah pucat,
matanya terbelalak lebar
seperti orang ketakutan.
Melihat keadaan gadis ini, Sin Hong menghela napas dan
berkata perlahan setelah dua kali menelan ludah, sukar
baginya untuk mengeluarkan suara pada saat itu.
"Li Hwa, setiap pertemuan tentu akan berakhir dengan
perpisahan. Kini sudah tiba masanya kita harus berpisah."
"Tidak ....... Sin Hong, kau tidak boleh meninggalkan aku
....... !" Kata-kata ini dikeluarkan dengan nada menjerit akan
tetapi keluarnya perlahan sekali seperti bisikan yang serak
terhalang isak. Mata yang terbelalak itu mulai membasah,
bibir yang berbentuk indah dan berwarna merah itu mulai
menggigil dan digigit-gigitnya menahan tangis. "Sin Hong
....... jangan tinggalkan aku!!" Dan tiba-tiba gadis ini
menjatuhkan dirinya berlutut di depan Sin Hong,
39
menundukkan kepala. Pundaknya bergoyang-goyang dan
isaknya ditahan-tahannya. "Sin Hong ....... kau boleh
tinggalkan aku setelah kaubunuh dulu aku ....... "
Melihat ini, kembali Sin Hong merasa ada debar aneh di
dalamdadanya. Ia cepat memegang kedua pundak gadis itu
dan mengangkat bangun. Mereka berdiri berhadapan. kedua
tangan Sin Hong masih menyentuh pundak Li Hwa.
"Li Hwa, angkat muka dan berlakulah gagah! Tidak
semestinya kau berlutut di depanku. Li Hwa, kau melarang
aku pergi, apakah selama hidupku aku harus berdiam di sini
di goa ini seperti ....... mahluk jaman purba? Aku telah
ditugaskan sebagai seorang bengcu dan pekerjaanku banyak.
Apa akan kata orang di dunia kalau Wan-bengcu
menyembunyikah diri saja di sini bersamamu?"
"SinHong," Li Hwa berkata dengan airmata masih
menetes turun di kedua pipinya. "Kau boleh pergi dari sini,
akan tetapi aku ikut! Kalau kau pergi meninggalkan aku
dengan paksa ....... aku ....... aku akan membunuh diri!"
Sin Hong menarik napas panjang.Hal ini sudah ia duga,
bahkan ia sudah mengerti bahwa dara ini pasti akan berkata
demikian.
"Li Hwa, apa kau sudah pikirkan masak-masak apa
artinya ucapanmu? Kau adalah seorang ketua perkumpulan
yang besar. Hidupmu di sini sudah senang dan mewah. Kau
ikut aku? Aku ini orang apakah? Tidak karuan tempat
tinggalku, lagi pula, kau sendiri tidak tahu bahwa kini
kedudukanku terancam, tokoh-tokoh selatan memusuhiku,
orang-orang dari utara mengarah nyawaku, dan agaknya
tokoh-tokoh di daerah Cin juga sudah mulai tak percaya
kepadaku karena aku keturunan pangeran bangsa Cin. Kau
mau ikut aku? Kau tahu bahaya setiap waktu mengancam
diriku dan kalau kau ikut, berarti kau pun terancam bahaya
pula."
40
Mendengar ini, Li Hwa memandang kepada Sin Hong
dengan marah. Matanya bersinar-sinar seperti mengeluarkan
api.
"Sin Hong, kaukira aku ini gadis macam apakah? Kau
pemberani, apa kaukira aku pun takut mati? Apalagi hanya
menghadapi bahaya, biarpun harus menyerbu lautan api,
kalau bersamamu aku rela dan berani! Sin Hong harus
berapa kalikah aku menyatakan bahwa hidupku hanya
untukmu seorang? Tanpa kau disampingku lebih baik aku
mati!"
"Li Hwa ....... Li Hwa ....... ! Tentu saja aku tahu akan
cinta kasihmu kepadaku dan aku percaya sepenuhnya akan
perasaanmu yang murni itu. Aku merasa amat berbahagia
bahwa seorang serendah aku mendapat penghormatan
sebesar ini, mendapat cinta kasih seorang gadis sepertimu.
Baiklah, Li Hwa. Hal ini memang sudah kupertimbangkan
masak-masak. Kau boleh ikut dengan aku, selamanya
sampai kau bosan."
"Kau gila ....... !" Li Hwa bersorak seperti anak kecil lalu
memandang kepada Sin Hong dengan bibir cemberut. "Sin
Hong, kau benar-benar gila kalau mengira aku akan menjadi
bosan."
Sin Hong tersenyum, diam-diam terharu sekali melihat
gadis ini. "Li Hwa, dengarlah baik-baik. Kita sudah samasama
dewasa, bukan orang-orangmuda yang masih hijau.
Kita sama tahu apa artinya dan apa bahayanya apabila kita
berdua selalu berkumpul dan melakukan perjalanan
bersama. Li Hwa, marilah kita duduk dan mari kita bicara
sebagai seorang laki-laki dan seorang perempuan dewasa
yang penuh pengertian dan berpandangan luas. Aku perlu
membuka isi hatiku sebelum melakukan perjalanan berdua
bersamamu."
Dengan wajah berseri dan muka kemerahan karena katakata
yang baru diucapkan oleh Sin Hong itu Li Hwa
mengangguk dan me reka memilih tempat duduk di atas
41
batu-batu hitamyang banyak terdapat di tempat itu, di
bawah lindungan bayangan pohon yang teduh.
"Li Hwa, mari kita selidiki keadaan kita masing-masing.
Dan mari kita membuka isi hati secara jujur." Sin Hong
memulai dan wajahnya yang nampak sungguh-sungguh
membuat Li Hwa berdebar dan gadis ini tidak berani mainmain
dan berjenaka seperti biasanya. "Lebih dulu aku akan
bicara tentang dirimu. Kau seorang gadis yang menjadi
ketua Hui-eng-pai, kau telah rela menghadapi kekurangan
dan kesengsaraan karena kau mencinta kepada seorang
seperti aku dan sudah sewajarnyalah kalau kau menjadi
seorang isteri yang berbudi dan membahagiakan hati
suamimu.
(Bersambung jilid ke VI)
1
(PEK LUI ENG)
Karya: Asmaraman S. Kho
Ping Hoo Scan djvu :
syauqy_arr
Convert & edit : MCH
Jilid VI
Li Hwa yang biasanya paling berani bicara terus terang
seperti ini dan yang biasanya dia menjadi pihak penyerang
dalam percakapan seperti ini, sekarang mendengar kata-kata
Sin Hong mukanya menjadi merah sekali sampai ke
telinganya dan ia hanya menundukkan muka seperti seorang
gadis dusun yang malu-malu!
"Untuk dirimu tidak ada yang perlu ditinjau lagi. Kau
sudah jelas seorang gadis yang berhati murni dan cinta
kasihmu tulus ikhlas dan suci. Sekarang marilah
kauperhatikan diriku." Suara Sin Hong yang bersungguhsungguh
itu menarik perhatian Li Hwa sepenuhnya sehingga
gadls ini mengangkat mukanya dan menatap wajah pria
yang menjadi pilihan hatinya ini.
"Dahulu aku pemah merasa jatuh cinta. Akan tetapi oleh
karena aku masih hijau sekali, aku sendiri tidak tahu pasti
siapakah yang kucintai itu."
"Kau mencinta Go Hui Lian." Li Hwa memotong, suaranya
tenangsaja tanpa rasa cemburu.
2
Sin Hong menggelengkan kepalanya. "Belum tentu, Li
Hwa. Pertama-tama bertemu dengan Gak Soan Li hatiku
tertarik, kemudian bertemu Go Hui Lian aku pun merasa
tertarik. Kalau mau dikata bahwa aku mata keranjang,
buktinya melihat lain-lain wanita aku tidak tertarik. Karena
itu aku merasa bahwa hatiku tidak tetap terhadap wanita
dan bahwa cinta kasihku kepada dua orang yang
kusebutkan itu mungkin sekali palsu. Aku merasa menyesal
sekali mengapa hatiku mudah berubah dan merasa betapa
cinta kasihku terlalu murah. Oleh karena inilah, maka
menghadapi kau yang sepenuh jiwa mencintaku, aku menjadi
bingung dan ragu-ragu. Ragu-ragu terhadap hatiku sendiri.
Aku tidak mau main-main dengan cinta lagi sebelum aku
yakin betul apakah benar-benar aku mencinta orang.
"Li Hwa, aku tak dapat menolak permintaanmu untuk
ikut dengan aku. Bukan hanya karena aku takut kau betulbetul
akan membunuh diri, bukan hanya karena aku merasa
bahwa cinta kasih sebesar cinta kasihmu itu sungguh keji
kalau ditolak. Akan tetapi terutama sekali, setelah aku
berkumpul dengan kau selama beberapa bulan ini, aku pun
....... merasa berat untuk berpisah."
Li Hwa tersenyum manis sekali, mukanya ditundukkan
dan matanya mengerling ke wajah Sin Hong. Hatinya girang
bukan main, hanya dia sendiri yang tahu!
"Akan tetapi," Sin Hong buru-buru menyambung katakatanya.
"Aku tidak berani sembrono dan sembarangan saja
menyatakan bahwa aku pun cinta kepadamu, Li. Hwa. Aku
tidak mau membuat kesalahan lagi dalam hal ini. Aku tidak
akan berani menyatakan cintaku sebelum aku yakin betul
karena aku tidak sudi menipumu dengan cinta palsu yang
kelak akan luntur! Biarlah kita melakukan perjalanan
bersama. Biarlah orang lain menganggap bagaimanapun
juga. Paling perlu kita menjaga diri, menjauhkan segala
perbuatan yang tidak patut. Biar kita menguji hati kita
sendiri. Kalau kelak ternyata bahwa aku betul-betul
3
mencintamu, Li Hwa, aku takkan ragu-ragu lagi
meminangmu sebagai isteriku. Kalau bukan demikian halnya
hatiku terhadapmu, biarlah kelak kita menjadi saudara saja.
Bagaimana pendapatmu?"
"Sin Hong aku menurut saja segala kehendak hatimu,
asal saja aku kau bolehkan berada di sampingmu. Kau
sudah bicara secara jujur, aku girang mendengar ini,
sungguhpun aku sudah tahu bahwa kau memang seorang
yang amat menjaga kebersihan hati dan perbuatan dan
memang kau amat jujur. Baiklah dan sekarang kaudengar
pengakuanku tentang cintaku padamu. Tentu saja aku
mencintamu seperti seorang wanita mencinta pria
kekasihnya dan ingin menjadi isterimu, ingin menjadi ibu
daripada anak-anakmu. Akan tetapi jangan kira bahwa
cintaku kepadamu hanya karena nafsu muda semata, Sin
Hong. Aku tidak punya orang tua, maka aku pun
mencintamu seperti seorang anak mencinta orang tuanya.
"Aku sudah ingin sekali menjadi ibu maka aku pun
mencintamu seperti seorang ibu mencinta puteranya. Aku
tidak punya saudara maka aku pun mencintamu seperti
seorang saudara kandung. Tentu saja kebahagiaan hidupku
akan sempurna andaikata kau sudi mengambilku sebagai
isterimu, menjadikan aku ibu dari anakanakmu. Akan
tetapi, tanpa itu pun aku dapat hidup asal aku selalu berada
di sampingmu, Sin Hong. Tentu saja aku akan berterima
kasih sekali kalau kau pun membalas cinta kasihku, akan
tetapi andaikata tidak, aku cukup puas asal kau tidak
membenciku!"
Bukan main terharunya hati Sin Hong mendengar katakata
yang panjang lebar, kata-kata yang sesungguhnya setiap
hari telah berpancaran keluar dari kerling mata gadis itu,
membayang melalui senyum-senyumnya. Sampai basah
kedua mata Sin Hong ketika ia menatap wajah gadis itu dan
tak terasa pula kedua tangannya bergerak maju, ditaruh di
atas pundak gadis itu. Sampai lama mereka berpandangan.
4
"Setidaknya kau ....... kau tentu suka kepadaku, bukan?"
tanya Li Hwa, suaranya sayu, mengibakan.
"Tentu saja, L! Hwa. Kaulah satu-satunya orang yang
paling kusuka di dunia ini." Tiba-tiba Li Hwa bangkit berdiri
dan tertawa geli, menutupi mulutnya.
"Kau bohong!" Setelah percakapan serius itu selesai timbul
kembali sifatnya yang jenaka dan suka menggoda.
"Tidak, Li Hwa, demi kehormatanku, aku tidak berbohong!
Memang aku suka kepadamu."
Li Hwa mengangkat muka, menegakkan kepala,
membusungkan dada dan melangkah maju menantang
sampai dekat sekali dengan Sin Hong. Pandang matanya
penuh ejekan ketika ia berkata, nada suaranya menantang.
"Betulkah kau suka kepadaku? Aku tidak percaya
sebelumkaubuktikan kata-katamu'"
Sewaktu-waktu kalau Li Hwa sudah menggodanya
dengan kebinalan macam ini, hampir saja pertahanan hati
Sin Hong roboh. Masih teringat ia akan godaan-godaan Li
Hwa ketika kakinya belum sembuh. Tentang jerit di telaga
ketika gadis itu "tenggelam" padahal ia tahu hanya purapura
saja! Menggodanya dengan segala macam kata-kata
jenaka dan sikap menantang.
Kini menghadapi sikap Li Hwa seperti itu, diam-diam Sin
Hong mengerahkan hawa dan menekan debar jantungnya,,
kemudian kedua tangannya memegang kepala gadis itu,
kedua tangan di bawah telinga kanan kiri, mengangkat
muka yang manis itu lalu ....... diciumnya kening Li Hwa
seperti seorang ayah mencium anaknya atau seorang kakak
mencium adiknya!
Namun perbuatan ini sudah membuat seluruh muka Sin
Hong dan Li Hwa menjadi merah seperti udang direbus dan
kedua kaki Sin Hong menggigil seakan-akan ia terserang
demam!
5
"Nah, itulah tandanya bahwa aku suka kepadamu, Li
Hwa." Biarpun sudah mengerahkan tenaga, tetap saja suara
Sin Hong terdengar gemetar.
Li Hwa tidak menjawab, melainkan menjatuhkan
tubuhnya dengan lemas ke depan, menyandarkan kepala di
dada kekasihnya lalu menangis tersedu-sedu!
Sin Hong mendekap kepala itu sambil melongo, melihat
ke kanan kiri seperti monyet disumpit, tidak tahu harus
berbuat bagaimana. Baru kaliini ia melihat Li Hwa
menangis tersedu-sedu. Air matanya membanjir seakanakan
air mata itu sudah lama dibendung dan kini pecah
bendungannya, membanjir membasahi baju Sin Hong. Tidak
kepalang Li Hwa menangis, suaranya sampai hampir
menggerung-gerung seperti anak kecil ditinggal pergi ibunya.
"Eh, eh ....... kaukenapa ....... ? Li Hwa, kau mengapakah
....... ?" Baru kali ini selama hidupnya Sin Hong mengalami
hal yang membuatnya terheran-heran dan juga kebingungan.
Karena Li Hwa tidak menjawab, akhirnya Sin Hong
membiarkannya saja menangis sepuasnya sampai air mata
yang keluar dari mata gadis itu menembusi bajunya dan
membasahi dada dan perutnya. Akhirnya habis juga air
mata yang "dikuras" oleh Li Hwa dan gadis itu menegakkan
kepalanya kembali. Matanya menjadi agak kemerahan, juga
seluruh mukanya kemerahan, dan dadanya masih terisakisak.
Akan tetapi ketika. Sin Hong menatapnya penuh
kekhawatiran, ia menggaruk-garuk kepalanya dan mata
serta mulutnya terbuka heran. Gadis yang terisak-isak itu
tersenyum! Mukanya berseri-seri gembira!
"Li Hwa ....... !" seru Sin Hong setelah akhirnya ia dapat
mengeluarkan kata-kata. "Kau atau akukah yang sudah
berubah menjadi gila??"
Senyum Li Hwa melebar sehingga nampak giginya yang
putih mengkilap. "Apa maksudmu, Sin Hong?"
6
"Kau tadi menangis seakan-akan aku telah mampus, dan
sekarang kau tertawa! Apa artinya ini?"
"Aku menangis karena ....... bahagia dan senang hatiku,
Sin Hong." jawab gadis itu sambil menyusuti air mata yang
membasahi mukanya. Kemudian ia melihat ke dada dan
perut Sin Hong di mana bajunya sudah basah kuyup.
Meledaklah ketawanya dan Li Hwa menuding-nuding ke arah
perut Sin Hong. '
Sin Hong menggeleng-geleng kepala dan akhirnya ikut
tertawa juga. "Li Hwa, lain kali- kalau bersenang hati, jangan
membikin kaget orang. Kalau senang hati kau menangis
seperti itu, apakah kalau bersusah hati lalu tertawa-tawa?"
Li Hwa menghentikan tawanya, lalu berkata dengan
wajah sungguh-sungguh, "Sin Hong, kau marahkah?
Maafkan aku kalau aku tadi membikin kaget kau. Biar-lah
lain kali aku tidak akan mengulangi lagi perbuatanku tadi."
Melihat sikap Li Hwa, Sin Hong menjadi menyesal
mengapa tadi ia mencela. Ia lebih suka melihat gadis itu
bersikap sewajarnya. Ia menyukai keadaan Li Hwa yang aseli
seperti tadi, tidak dibuat-buat bersungguh-sungguh seperti
sekarang ini.
"Tidak, tidak sekali-kali aku marah. Aku malah ikut
gembira. Jangan kau mengubah perangai dan kebiasaanmu
setiap kali aku menegurmu, Li Hwa. Kalau kau ingin
menangis, menangislah seperti tadi. Aku ....... tidak apa-apa
hanya tadi kaget dan ....... dan basah semua dada dan
perutku ....... "
Li Hwa tertawa lagi melihat sikap Sin Hong yang
kelihatan tidak karuan, gagapgugup dan lucu ini.
Akhirnya mereka berkemas. Lalu Li Hwa pergi seorang diri
ke Hui-eng-pai, menjumpai tokoh-tokoh Hui -eng-pai untuk
berpamit.
7
"Maafkan, terpaksa aku meninggalkan Hui-eng-pai oleh
karena aku mempergunakan hak hidupku untuk mengejar
kebahagiaan. Terserah kepada kalian untuk membubarkan
Hui-eng-pai ataukah untuk melanjutkannya. Akan tetapi,
kalau diteruskan, hendaknya ingat bahwa aku selalu takkan
mendiamkannya saja apabila Hui-eng-pai dibawa ke jalan
sesat. Biarpun aku bukan menjadi ketua Hui-eng-pai lagi,
namun namaku akan terbawa kalau Hui-eng-pai
menyeleweng, dan akulah yang akan menghukum dengan
kedua tanganku sendiri!" Dengan kata-kata pesanan ini, Li
Hwa lalu berangkat setelah mengambil barang-barangnya
yang berharga untuk dibawa sebagai bekal. Banyak
anggauta Hui-eng-pai menangis ketika Li Hwa pergi
meninggalkan mereka.
Akan tetapi, Li Hwa sudah melupakan mereka lagi
setelah ia menuruni bukit dengan Sin Hong di sampingnya.
Hatinya gembira sekali. Betapa tidak? Menjadi isteri Sin
Hong atau pun tidak kelak, ia akan tetap selalu berada di
dekat Sin Hong dan ini berarti bahwa idam-idaman hatinya
telah terpenuhi.
Selama Sin Hong berkumpul dengan Siok Li Hwa di dalam
goa dan mengobati kaki gadis itu, ia telah menceritakan
kepada Li Hwa bahwa bocah yang diculiknya dari Kim-bunto
itu sesungguhnya bukan putera Go Hui Lian dan Coa
Hong Kin. Tadinya Sin Hong tidak hendak menceritakan atau
membuka rahasia ini, akan tetapi Li Hwa selalu menyatakan
penyesalannya bahwa putera Hui Lian yang diculiknya
hanya untuk memancing Sin Hong datang dan untuk
membalas dendamnya karena Hui Lian telah "merebut" hati
Sin Hong, kini telah lenyap dibawa oleh Pak-kek Samkui.
Melihat betapa Li Hwa benar-benar merasa menyesal, dan
tahu pula akan sifat-sifat gadis itu, akhirnya Sin Hong
membuka rahasia Tiang Bu.
8
"Bocah itu," katanya, "diberi nama Coa Tiang Bu dan
semenjak masih bayi dipelihara oleh Hui Lian. Dia bukan
anak Hui Lian dan Hong Kin."
"Pantas saja kalau begitu! Aku sering. kali merasa heran
mengapa bocah ini mukanya buruk, padahal Hui Lian cantik
dan Hong Kin tidak buruk rupa," kata Li Hwa. "Kalau begitu,
dia itu anak siapa-kah? Sungguhpun rupanya tidak tampan
akan tetapi harus kuakui bahwa anak itu mempunyai tulang
dan bakat yang baik sekali. Aku tidak main-main ketika
hendak mengambilnya sebagai murid, karena kulihat dia
memang berbakat sekali."
"Memang demikian dan sayang sekali dia bukan anak dari
Hui Lian dan Hong Kin. Akan tetapi kiraku bagi mereka sama
saja karena diambil anak sejak kecil."
"Dia itu anak siapakah?"
Sin Hong menarik napas panjang, "Kasihan sekali anak
itu. Ia terlahir dari perbuatan yang sejahat-jahatnya, berayah
seorang manusia siluman. Li Hwa, sebetulnya rahasia ini
hanya diketahui oleh aku, Hui Lian, dan Hong Kin saja dan
belumpernah diceritakan kepada orang lain."
"Hemm, kalau begitu janganlah di-ceritakan kepadaku,
karena tak baik membuka rahasia orang. Bagiku sih sama
saja, karena aku sudah tahu dia itu anak siapa."
"Kau tahu ....... ?"
"Tentusaja! Bukankah dia itu anak Liok Kong Ji dan Gak
Soan Li?"
"Eeeeh ....... bagaimana kau bisa tahu, Li Hwa?"
"Sin Hong, apa kaukira aku ini orang sebodoh-bodohnya?
Dahulu di puncak Ngoheng-san sudah kudengar tentang
Soan Li mempunyai anak yang tidak ada ayahnya. Kemudian
kau tadi menyebut-nyebut manusia siluman, siapa lagi kalau
bukan Liok Kong Ji? Mudah saja menghubung-hubungkan
semua itu bukan?"
9
"Memang tepat sekali dugaanmu, Li Hwa. Tiang Bu
adalah anak Liok Kong Ji dan Gak Soan Li. Akan tetapi,
bocah itu semenjak kecil dipelihara oleh Hui Lian, dan dia
bersama Hong Kin amat mencinta Tiang Bu. Oleh karena
bocah itu hilang dari rumah mereka karena perbuatanmu,
kita harus mencarinya dan membawanya kembali ke Kimbun-
to."
"Baiklah kalau kau menghendaki demikian." hanya ini
jawaban Li Hwa ketika itu dengan hati mengkal karena ia
belum yakin apakah kelak Sin Hong mau membawanya.
Setelah kemudian ternyata bahwa Sin Hong mau
menerimanya merantau berdua. Li Hwa mengingatkan soal
Tiang Bu ini.
"Sin Hong, ke manakah tujuan perjalanan kita? Apakah
kita akan langsungmencari Tiang Bu di utara? Pak-kek Samkui
adalah pembantu-pembantu setia dari Raja Mongol,
maka kalau benar-benar mereka terus membawa Tiang Bu,
bocah itu tentu dibawa ke utara dan sebaiknya ke sanalah
kita menyusul."
Akan tetapi Sin Hong tidak menyetujui dan menjawab.
"Tidak sekarang Li Hwa. Aku pun menduga demikian, akan
tetapi memasuki daerah Mongol pada waktu sekarang
bukanlah hal yang mudah. Bahaya besar mengancam kalau
kita memasuki daerah Temu Cin itu. Bukan sekali-kali aku
takut menghadapi bahaya, akan tetapi kalau sampai aku
tewas dalam perjalanan berbahaya itu, bukankah aku akan
mati sebagai seorang bengcu yang mengecewakan? Aku
hendak ke Lu-liang-san lebih dulu, hendak kukumpulkan
para tokoh besar yang dulu mengangkatku sebagai bengcu
dan kukembalikan kedudukan ini. Setelah aku terlepas daripada
ikatan tugas sebagai bengcu, barulah aku akan pergi
mencari Tiang Bu."
Maka berangkatlah Sin Hong dan Li Hwa menuruni
Gunung Go-bi-san, melakukan perjalanan yang cepat ke
selatan. Sin Hong kelihatan tenang-tenang saja akan tetapi Li
10
Hwa nampak gembira, wajahnya berseri-seri dan alam yang
terbentang luas di depannya kelihatan baru dalam
pandangannya, baru dan serba indah menyenangkan.
Larinya cepat sekali dan agaknya kakinya sudah tak sakit
sama sekali. Diam-diam Sin Hong tersenyum di dalam
hatinya kalau ia teringat.betapa baru kemarin gadis ini
masih berpura-pura sakit kakinya dan berjalan perlahan agak
pincang!
"Gadis bengal ....... !" di dalam hatinya ia mengomel, akan
tetapi ia merasa senang.
-oo(mch)oo-
"Bocah setan ....... kau telah berani menipuku ....... !
Kurang ajar kau, sepatutnya dipecahkan kepalamu!" Sambil
berlari dengan langkah lebar Thai Gu Cinjin memaki-maki
Tiang Bu yang dikempit di bawah lengan tangan kirinya
sedangkan tongkat kepala naga itu dipukul-pukulkan ke
kanan kiri sehingga pohon-pohon tumbang dan batu-batu
pecah. Ngeri hati Tiang Bu menyaksikan amukan kakek
gundul yang tinggi besar seperti raksasa ini. Tenaga pukulan
tongkat itu benar-benar dahsyat dan mengerikan.
"Berani kau membakar kitab peninggalan Hoat Hian
Couwsu dan menghafal isinya. Hah, kau berani
mendahuluiku? Setan alas! Kiranya dalam penjelmaan dulu
rohku pernah berhutang kepada rohmu sehingga dalam
penjelmaan sekarang ini kau membalasku, menagih janji."
Hwesio Lama dari Tibet itu terus-terusan mengomel panjang
pendek tentang hubungan roh-roh dan tentang hukum
karma.
Tiang Bu hanya mendengarkan saja penuh perhatian dan
ia mendapat kenyataan bahwa pendeta Lama ini benarbenar
seorang pemuja hukum karma, yakni hukum yang
menyatakan bahwa roh manusia setelah meninggal akan
menjelma pula dalam tubuh lain akan tetapi hubungan11
hubungan dengan roh lain di waktu hidup yang lalu akan
terulang kembali. Tagih-menagih hutang, balas-membalas
dendam!
"Apa yang harus kulakukan? Apa? Membunuhmu, aku
kehilangan isi kitab. Membiarkan kau hidup juga tak
mungkin karena kau telah menipuku!" demikian omelan
terakhir pendeta Lama itu.
”Losuhu, mengapa bingung? Dalam penjelmaan yang dulu
teecu adalah muridmu, sekarang pun demikian pula."
Kaget hati Thai Gu Cinjin mendengar ini sampai-sampai
ia menghentikan langkahnya dan melepaskan Tiang Bu dari
kempitannya. Bocah itu terguling di atas tanah, tubuhnya
sakit-sakit akah tetapi ia merasa lega telah terlepas dari
himpitan lengan yang berbulu dan kuat itu.
"Apa maksud kata-katamu tadi?" bentaknya dengan mata
merah.
"Teecu merasa yakin bahwa dalam penjelmaan yang
dahulu, teecu adalah murid Losuhu. Buktinya begitu
bertemu dengan Suhu, tanpa disengaja Suhu telah
menurunkan sebuah pelajaran ilmu silat kepada teecu dan
takut kitab itu terjatuh ke dalam tangan orang lain, teecu
telah menghafalkan di luar kepala semua isinya lalu
membakar kitabnya. Bukanlah itu namanya jodoh?
Kemudian, tak tersangka-sangka pula, Suhu telah menolong
nyawa teecu dari ancaman Pak-kek San-kui! Bukankah ini
bukti ke dua dari adanya jodoh? Sekarang mengapa Losuhu
menjadi bingung seorang diri? Bagi teecu tidak ada bedanya,
mau dibunuh atau tidak apa sih perbedaannya?"
"Eh, Setan Cilik. Bagaimana kau bilang tidak ada
bedanya?"
"Kalau Losuhu membunuh teecu, tentu Losuhu akan
terbunuh pula oleh teecu. Dalam penjelmaan mendatang,
mungkin teecu menjadi orang yang lebih kuat untuk
membalas kematian teecu di tangan Suhu. Dengan
12
demikian, teecu berhutanglah dan pada penjelmaan
berikutnya Suhu yang membunuh teecu lagi dan Suhu yang
berhutang. Kalau Suhu menghendaki permusuhan yang
tiada habisnya antara dua roh kita, sekarang Suhu mau
bunuh teecu, bunuhlah!"
Thai Gu Cinjin terkenal sebagai seorang tokoh besar yang
selain pandai juga senang menipu orang. Banyak sekali
muslihatnya sehingga ia disegani dan ditakuti orang. Akan
tetapi ia mempunyai satu cacad besar, cacad yang ada
hubungannya dengan kedudukannya sebagai seorang
pendeta Lama. Sebagaimana telah menjadi tradisi dan
kepercayaan mutlak para Lama, ia amat percaya akan
hukum fumimbal lahir(?) (re-incarnation). Oleh karena itu,
kata-kata yang diucapkan Tiang Bu tadi termakan benarbenar
oleh hatinya.
"Sebaliknya kalau Suhu tidak menghendaki balasmembalas
selama roh kita belum musnah apa salahnya
kalau Suhu mengambil teecu sebagai murid dan pelayan?"
Thai Gu Cinjin meraba-raba kepalanya yang gundul
pelontos. Keningnya berkerut. Ia berpikir keras.
"Hemm, kau tentu keturunan roh yang sudah maju
sehingga masih kecil sudah bisa bicara seperti itu ....... ! Kau
betul juga, kalau kau menjadi muridku berarti kau selalu
berada di samplngku dan tidak akan dapat menggunakan
Pat-hong-hong-i sewenang-wenang dan sesuka-sukamu
sendiri. Di samping itu kau harus tahu bahwa kitab itu
bukan milikku, melainkan milik Tiong Jin Hwesio, seorang di
antara dua kakek sakti di Omei-san. Kalau kau sudah tahu
akan hal ini, kau pun tentu tahu bahwa kalau kakek itu tahu
kitabnya hilang ia tentu akan mencari kita."
"Dan Suhu tidak kuat menghadapi Tiong Jin Hwesio?"
tanya Tiang Bu.
"Apa kau sudah gila? Tiong Sio Hwesio dan Tiong Jin
Hwesio adalah orang-orang sakti di masa ini. Merekalah
13
pewaris-pewaris dari kitab-kitab peninggalan Tat Mo Couwsu
dan Hoat Hian Couwsu. Siapa bisa melebihi mereka?
Barangkali hanya orang-orang yang telah mewarisi kitabkitab
lain dari Tat Mo Couw-su, seperti mendiang guruku
dan guru Ang-jiu Mo-li, orang-orang seperti itulah yang bisa
menandingi dewa-dewa Omei-san'"
Mendengar ini, hati Tiang Bu tertarik sekali. Telah
berkali-kali ia bertemu dengan orang-orang yang
berkepandaian tinggi. I a sudah bertemu dengan Hui-eng
Niocu yang lebih lihai, lalu Pak-kek Sam-kui yang lebih lihai
lagi. Sekarang ini ia menjadi murid Thai Gu Cinjin yang
malah lebih lihai daripada Pak-kek Sam-kui. Akan tetapi
pendeta Lama ini merasa dirinya tidak berarti ketika ia
bicara tentang dua orang hwe-sio yang ia sebut "Dewa"
Omeisan! Alangkah banyaknya orang pandai di dunia ini,
pikir Tiang Bu dan diam-diam ia rnerasa amat girang bahwa
ia telah menghafal sebuah kitab dari Omei-san. Memikirkan
ini kegirangan hatinya karena diterima menjadi murid Thai
Gu Cinjin menjadi berkurang dan ia ingin sekali bisa
menjadi murid 'Omei-san itu.
Akan tetapi ia tidak dapat melamun lebih lanjut oleh
karena Thai Gu Cinjin sudah melepaskan buntalan itu
kepadanya sambil berkata.
"Mulai sekarang kau ikut aku. Bawalah buntalan ini."
Tiang Bu tidak berani membantah. I a baru saja terlepas
dari bahaya maut lagi. Pendeta Lama ini tidak jadi
membunuhnya bahkan mengambUnya sebagai murid. Akan
tetapi Tiang Bu adalah seorang anak yang cerdik. Ia
maklunn bahwa belum tentu pendeta ini mengampuninya.
Siapa tahu kalau Thai Gu Cinjin hanya ingin menguras isi
kitab itu daripadanya, kemudian setelah dapat mempelajari
Pat-honghong-i lalu membunuhnya. Hal ini mungkin sekali
bagi seorang seperti Thai Gu Cinjin. Tidak ada penjahat yang
hatinya lebih kejam daripada seorang pendeta yang jahat!
Oleh karena itu, ia berlaku amat hati-hati dan waspada.
14
Benar saja seperti yang ia duga, Thai Gu Cinjin mulai
menyuruh ia setiap hari berlatih Pat-hong-hong-i.
"Ilmu silat yang tinggi dan tidak ada Orang lain
mengetahuinya itu bukan ilmu sembarangan, Tiang Bu.
Maka harus kaulatih sampai sempurna betul. Biar aku yang
mengawasi kalau-kalau ada yang keliru."
Tiang Bu di dalam hatinya berpikir. Bagaimana dia bisa
mengetahui mana yang keliru kalau selamanya dia sendiri
belum mempelajari Pat-hong-hong-i? Aku tak boleh terkena
bujukannya. Dengan cerdik sekali Tiang Bu lalu mengubahubah
gerakan Pat-hong-hong-i.
Tentu saja di depan seorang ahli silat tinggi seperti Thai
Gu Cinjin ia tidak berani mengawur saja dan bersilat dengan
tidak karuan. I a masih mainkan Pat-hong-hong-i, akan tetapi
selain dengan gerakan tangan kaku tak karuan, juga ia
sengaja mencampur-campur Pat-hong-hong-i dengan Samhoan
Sam-bu dan Hui-houwtong-te dalam gerak kakinya.
"Heran sekali, mengapa Pat-hong-hong-i hanya ilmu silat
picisan," kata Thai Gu Cinjin terheran-heran. "Masa Hoat
Hian Couwsu meninggalkan ilmu silat macam begini?" Akan
tetapi ia masih mengandung harapan lain. Pikirnya,
barangkali bukan salah Ilmu Silat Pat-hong-hong-i,
melainkan bocah ini yang tidak becus. Kemudian ia teringat
bahwa Tiang Bu hanya menghafal di luar kepala dan tentu
saja berlatih sendiri tanpa pimpinan jadinya tidak karuan.
Aku harus sabar, pikirnya perlahan-lahan dan sedikit demi
sedikit ilmu ini tentu pindah kepada aku dan dapat kusaring
serta aku ambil aselinya.
Demikianlah, dengan pikiran seperti ini, sampai berbulanbulan
Tiang Bu ikut kakek itu merantau, sama sekali ia tidak
tahu bahwa kakek itu mengajaknya ke daerah selatan.
Diam-diam Tiang Bu merasa girang dan juga geli karena akal
bulusnya berhasil menipu Thai Gu Cinjin.
15
Pada suatu sore Thai Gu Cinjin mengajak Tiang Bu
beristirahat di pinggir sebuah kelompok pohon setelah
mereka keluar dari padang tandus yang tanahnya
mengandung pasir. Mereka telah rnelaku-kan perjalanan
setengah hari lebih diterik panas. Bagi Thai Gu Cinjin hal ini
bukan apa-apa. Kakek ini dapat bertahan untuk berjalan
terus tiga hari tiga malam. Akan tetapi Tiang Bu yang belum
tinggi kepandaiannya, telah kehabisan tenaga dan napas. Ia
amat berterima kasih ketika kakek itu mengajaknya
mengaso. Apalagi tempat itu amat teduh dan nyaman sekali
kalau dibandingkan dengan daerah 'yang dilaluinya setengah
hari tadi. Thai Gu Cinjin sebentar saja mendengkur dan
melenggut di bawah pohon, bersila seperti patung Buddha
Tiang Bu termenung dan pikirannya melayang-layang.
Sudah empat tahun lebih ia meninggalkan rumah orang
tuanya di Kim-bun-to. Ia teringat akan semua keluarganya
dan diam-diam ia menahan tangisnya. Bukan kepalang
rindunya kepada ayah bundanya, terutama sekali kepada
Lee Goat. Tentu sekarang sudah besar, sudah enam tujuh
tahun usianya, pandai bermain-main dan pandai bicara.
Ketika ia pergi, Lee Goat baru berusia dua tahun. Ia tentu
lupa kepadaku, pikir Tiang Bu sedih. Bilakah ia akan dapat
pulang? Kalau saja aku bisa lari dari Thai Gu Cinjin ini,
pikirnya. Akan tetapi lari dari kakek sakti ini tak mungkin.
Biarpun kakek ini melenggut dan mendengkur, tak berani
Tiang Bu meninggalkannya. Bocah ini sudah banyak
berkumpul dengan orang-orang pandai sehingga ia tahu
bahwa mereka ini lihai sekali.
Pula, andaikata ia dapat melarikan diri dari Thai Gu
Cinjin, ia harus pergi ke mana? Jalan menuju ke Kim-bun-to
ia tak tahu. Andaikata ia ketahui dari bertanya-tanya, kalau
jauh sekali dan tidak membekal uang bagaimana?
"Aku harus bersabar," pikirnya, "aku harus giat belajar.
Kalau sudah memiliki kepandaian apa sih sukarnya pulang
ke Kim-bun-to? Pula ayah dan ibu yang kabarnya pandai
16
sekali ilmu silat mengapa tak pernah mengajarku? Aku suka
ilmu silat dan kalau aku pulang tidak boleh belajar
bagaimana?,
Tiang Bu membolak-balik pikiranya demikian asyik ia
termenung sehingga ia tidak melihat adanya dua orang yang
datang ke tempat itu. Mereka ini adalah seorang laki-laki
dan seorang wanita. Tadinya mereka hendak melewati saja
kakek yang melenggut dan bocah jembel yang melamun di
bawah pohon itu, akan tetapi ketika mereka melihat wajah
Tiang Bu, tiba-tiba mereka menahan kaki dan laki-iaki itu
bertanya ragu.
"Bukankah bocah itu yang kita cari ...?
Wanita itu menoleh, memandang penuh perhatian
kemudian berseru girang sekali, "Betul dia Tiang Bu ....... !"
Mendengar namanya disebut orang, baru Tiang Bu
mengangkat kepala dan memandang. Ketika ia melihat dua
orang itu dan mengenal wanita yang menyebut namanya,
kagetnya bukan main. Wanita itu bukah lain adalah Hui-eng
Niocu Siok Li Hwa yang ia takuti dan benci! Dan laki-laki itu
adalah laki-laki gagah yang dulu pernah merampasnya dari
Li Hwa di Go-bi-san. Laki-laki gagah dan tampan yang
agaknya bermaksud baik menolongnya, akan tetapi yang
tidak dikenalnya sama sekali. Mengapa mereka sekarang
datang bersama? Melihat Li Hwa, Tiang Bu merasa khawatir
sekali. I a takut kalau diculik lagi oleh wanita cantik itu. Ia
pernah merasai kegalakan Li Hwia di waktu dulu, maka ia
merasa lebih senarig ikut Thai Gu Cinjin daripada, ikut Li
Hwa. Karena pikiran ini ia lalu menggoyang-goyang lengan
pendeta Lama itu sambil berkata.
"Suhu ....... Suhu ....... bangunlah. Ada orang-orang
datang ....... !"
Tentu saja Thai Gu Cinjin tadi sudah mendengar
kedatangan dua orang itu akan tetapi karena tidak
menyangka buruk, ia tidak peduli dan meramkan terus
17
matanya. Kini setelah Tiang Bu menarik-riariknya, ia
membuka rnata, mengangkat muka memandang. Melihat
dua orang muda yang datang, pendeta Lama ini kembali
menundukkan muka dan memejamkan matanya, sama sekali
ia tidak mau peduli. Pendeta Lama yang berilmu tinggi ini
memang agak sombong. Ia tidak mau berurusan dengan
segala orang muda tak berarti. Orang-orang muda seperti itu
bisa apakah? Biar mereka bicara dengan Tiang Bu kalau
mereka butuh, tak perlu ia melayani mereka!
Melihat sikap gurunya ini, Tiang Bu menjadi gelisah.
Apalagi sekarang dua orang itu bertindak menghampiri. Dari
jauh Li Hwa sudah menegur.
"Tiang Bu, selama ini kau ke mana sajakah? Kami
mencari-carimu sampai payah!" Kedua tangan wanita itu
dijulurkan ke depan seakan-akan hendak menangkap. Tiang
Bu makin ketakutan.
"Suhu ....... ! Suhu ....... ! Mereka datang hendakmenculik
aku!" teriaknya kepada Thai Gu Cinjin sambil mengguncangguncang
lengan kakek ini.
Thai Gu Cinjin membuka lagi matanya dan wajahnya
kelihatan mendongkol ketika ia mengomeli muridnya.
"Kau ini kenapakah ribut-ribut tidak karuan mengganggu
orang mengaso? Ke mana nyalimu? Kau memalukan orang
yang menjadi guru saja. Siapa sih berani menculikmu?
Kalau orang tidak memiliki nyawa cadangan mana berani
mengganggu!" Setelah melempar lirikan memandang rendah
kepada Li Hwa dan Sin Hong, pendeta Lama ini menutupkari
matanya kembali!
"Tiang Bu, mengapa kau berada disini dengan ba ....... "
Li Hwa menghentikan kata-katanya, karena tiba-tiba Sin
Hong memegang pundaknya. Ketika ia menengok ia melihat
Sin Hong mengerutkan kening dan menggeleng-gelengkan
kepaia menegurnya dan mencegahnya, mengeluarkan katakata
kasar. Memang Li Hwa tidak sesabar Sin Hong.
18
Mendengar ucapan dan melihat sikap pendeta gundul itu, ia
merasa dipadang rendah dan dipandang hina sekali, maka
serta merta darahnya naik. Tadi ia tentu akan melanjutkan
makiannya dengan kata-kata "bangsat tua ! bangka" atau
"bajul" atau badut gundul". Akan tetapi oleh cegahan Sin
Hong, ia cepat membelokkan makiannya ketika
disambungnya lagi, "dengan bajut ini?" Makian "bajut"
memang tidak begitu kotor dan menghina.
Tiang Bu mengandalkan Thian Gu Cinjin maka
kekhawatirannya berkurang. Ia menjawab dengan lantang.
"Ini adalah Suhuku, harap Jiwi jangan ganggu teecu lagi.
Teecu suka menjadi muridnya."
Li Hwa memandang kepada Sin Hong yang juga ternyata
sedangmemandangnya sambil tersenyum.
"Nah, itulah! Seperti juga nasib suka atau tidak disuka
orang tergantung sepenuhnya atas sikap kita. Kau dulu
kiranya tidak bersikap terlalu manis terhadap Tiang Bu
maka dia sekarang begitu ketakutan melihatmu. Li Hwa,
insyaflah kau sekarang akan pentingnya sikap manis budi,
apalagi terhadap seorang bocah?"
Li Hwa menggigit bibirnya yang merah sambil
mengangguk-angguk. Memang selama melakukan perjalanan
dengan kekasihnya ini, ia sering kali diperlakukan seperti
seorang murid dan harus mendengarkan "kuliah" dari Sin
Hong bukan hanya tentang perangainya, juga tentang ilmu
silat, ilmu berlari cepat dan lain-lain.
Mendengar ucapan Sin Hong ini, tiba-tiba Thai Gu Cinjin
berkata tanpa membuka matanya.
"Orang muda seperti gentong kosong, nyaring bunyinya,
hanya; angin isinya. Sudah tahu nasib tergantung kepada
sikap, mengapa tidak lekas-lekas pergi dan jangan
mengganggu orang mengaso?"
19
Sin Hong dan Li Hwa menjadi serba salah. Menurut patut
memangmereka harus segera pergi dari situ.
Tiang Bu sudah menjadi murid orang ini dan tidak suka
mereka bawa dan kakek ini tidak sudi diajak bicara, mau apa
lagi. Sebagai seorang gagah Sin Hong merasa malu untuk
melakukan hal tidak pantas. Kalau Tiang Bu berada di
tangan Pak-kek Samkui, ia boleh menerjang dan merampas
kembali anak ini. Akan tetapi bocah ini kini telah menjadi
murid seorang pendeta Lama yang nampaknya tak boleh
dipandahg ringan.
"Tiang Bu, Ibumu di rumah bersedih, menanti
kembalimu!" Tiba-tiba Li Hwa berkata. Memang Hui-eng
Niocu amat cerdik dan banyak akal. Ia maklum akan
kehalusan budi Sin Hong yang pasti tidak mau melakukan
kekerasan terhadap pendeta Lama itu seperti yang ia hendak
lakukan, maka satu-satunya jalan ialah membujuk Tiang Bu.
"Kami datang untuk mengantarkan kau pulang ke rumah
Ibumu, Tiang Bu."
Hati Tiang Bu tergerak. Akan tetapi ia berlaku hati-hati
dan tidak mudah dibujuk.
"Kalau Niocu begitu baik hendak mengantarkan aku
pulang mengapa dahulu menculikku dari rumah?"
Bantahnya yang membuat Li Hwa terpukul dan tercengang.
Akan tetapi Li Hwa seorang yang cerdik dan banyak akal.
Cepat ia dapat menguasai kebingungannya dan tersenyum
manis. Sayang Tiang Bu masih kanak-kanak, andaikata ia
sudah dewasa kiranya segala kemarahan akan banyak berkurang
menghadapi senyum semanis itu!
"Anak yang baik, kau tidak tahu. Dahulu memang ada
pertikaian antara orang tuamu dan aku, pula aku ingin
mengambilmu sebagai murid. Sekarang aku dan orang
tuamu sudah berbaik kembali. Marilah Nak, kauikut kami
pulang ke Kimbun-to. Ibumu menanti-nanti!"
20
Tiang Bu menggeleng kepala. "Tak mungkin Ibu berduka
karena aku hilang. Buktinya dia tidak mencari aku sampai
bertahun-tahun!" Dalam kata ini terkandung rasa sedih dan
sakit hati. Memang kadang-kadang timbul penasaran dan
sakit hati dalam dada Tiang Bu kalau ia terkenang betapa
ayah bundanya yang berkepandaian tinggi seperti yang sering
ia dengar dibicarakan dan dipuji-puji oleh para pelayan,
sama sekali tidak pernal» menyusul dan mencarinya!
Jawaban itu kembaii membuat Li Hwa melengak. Lalu ia
mengira bahwa anak ini tidak begitu sayang atau tidak begitu
disayang oleh ibunya. Mungkin Coa Hong Kin lebih
menyayanginya. Cepat ia berkata.
"Tiang Bu, selain Ibumu bersedih menanti-nantimu, juga
Ayahmu amat mengharapkan kedatanganmu. Marilah ikut
kami pulang!"
Kembali Tiang Bu menggeleng kepala. "Kelak kalau aku
sudah kuat, aku dapat pulang sendiri."
Sin Hong yang maklum akan maksud akal yang
diperguriakan oleh Li Hwa, lalu membantu dengan kata-kata
yang ramah.
"Tiang Bu, anak baik. Kami cukup mengerti betapa kau
telah menderita bertahun-tahun. Ayah bundamu tiada
hentinya memikirkan kau dan sudah mencari-cari tanpa
hasil, juga adikmu amat mengharapkan dan merindukan
pulangnya kakaknya."
Kata-kata ini seperti pisau menancap di jantung Tiang Bu.
Diingatkan akan adiknya yang katanya rindu kepadanya, tak
tahan pula matanya menjadi basah dan merah. Entah
bohong atau tidak, orang ini, akan tetapi tak dapat
diragukan lagi bahwa adiknya pasti amat merindukannya,
pikirnya.
"Siapakah kau ....... ?" tanyanya kepada Sin Hong.
21
"Aku sahabat baik ayah ibumu. Percayalah kepada kami.
Kami betul-betul datang untuk mengajak kau pulang."
"Lee Goat ....... " Tiang Bu menyebut nama adiknya
perlahan, wajah adiknya yang mungil terbayang di depan
matanya. "Sudah besarkah dia? Sudah pandai bicarakah?
Apakah dia nanti masih mengenal aku ....... ?"
Melihat bahwa disebutnya adiknya membuat bocah itu
terpikat, Sin Hong lalu berkata, "Adikmu sudah besar.
Marilah kaulihat sendiri di rumah. Dia tentu akan girang
sekali kalau kau pulang."
"Pulang ....... ?" Tiang Bu menoleh kepada Thai Gu Cinjin
dan pada muka anak ini terbayang kekhawatiran. Sin Hong
dan Li Hwa yang bermata awas dan cerdik maklum bahwa
tentu Tiang Bu takut kepada pendeta itu, maka berkatalah
Sin Hong cepat-cepat.
"Ya, pulang ke Kim-bun-to, Tiang Bu. Suhumu tentu
akan memberi ijin kepadamu."
Tiba-tiba Thai Gu Cinjin menggerakkan tongkatnya dan
tahu-tahu tongkatnya yang panjang sudah disodorkan ke
depan, melintang di depan Sin Hong dan Li Hwa, merupakan
palang menghalangi mereka maju.
"Tidak, Tiang Bu. Kau muridku dan harus taat kepada
perintahku. Kau takkan ke Kim-bun-to, melainkan ikut ke
mana pun juga aku pergi. Kelak kau akan ikut dengan aku
ke Tibet!" Setelah menyemprot muridnya dengan kata-kata
ini ia lalu menoleh kepada Sin Hong dan Li Hwa, memutar
kedua matanya dengan marah lalu berkata.
"Orang-orang muda tak tahu gelagat! Apa kalian mau
mencari penyakit atau kalian sudah bosan hidup? Tadi
sudah kukatakan jangan mengganggu aku dan lekas pergi!"
"Maafkan kami, Losuhu," kata Sin Hong sambil menjura.
"Sesungguhnya kami datang untuk mengajak pulang anak ini
yang dulu dirampas oleh Pak-kek Sam-kui dari tangan kami."
22
Mendengar ini, Thai Gu Cinjin makin memandang rendah.
Kalau terhadap Pak-kek Sam-kui saja mereka ini kalah,
berarti kepandaian mereka ini kalau adapun amat tidak
berarti. Ia tersenyum mengejek.
"Kalian ini sudah terpukul oleh Pak-kek Sam-kui masih
bandel. Apa kaukira mudah saja merebut muridku ini? Lihat
tongkatku ini. Kalau kalian bisa melewati tongkatku, baru
aku bicara." Setelah, berkata demikian, tongkat kepala naga
itu dilonjorkan ke depan dengan tangan kanan, melintang
setinggi dua kaki dari tanah.
Sin Hong merasa mendongkol sekali. Kakek ini benarbenar
sombong, pikirnya, Dapat dimengerti bahwa kalau
orang seperti Sin Hong sabarnya bisa mendongkol, apalagi Li
Hwa! Nona ini sudah bercahaya matanya, kemerah-merahan
pipinya dan jari -jari tangannya yang bagus itu sudah
menggetar dikepal-kepal.
"Biar aku mencobanya. Masa melewati saja tak mampu?"
kata Li Hwa perlahan kepada Sin Hong dengan mata penuh
permintaan. Sin Hong tidak tega mencegah. Ia mengangguk
dan berkata perlahan.
"Berhati-hatilah kau."
Biarpun terang-terangan kakek gundul itu menantang
mereka berdua, namun bukan watak Sin Hong dan Li Hwa
untuk mengeroyok orang begitu saja. Mereka berdua adalah
orang-orang yang berkepandaian tinggi dan sudah percaya
penuh akan kepandaian sendiri, maka amat memalukan
kalau mereka maju berdua sebelum tahu bagaimana
kekuatan lawan.
Hui-eng Niocu Siok Li Hwa adalah seorang ahli ilmu
ginkang yang jarang ditemukan bandingannya. Gerakannya
amat cepat dan tangkas, tepat sekali dengan julukannya
Nona Garuda Terbang! Maka ia cepat-cepat mengajukan diri
tadi karena dianggapnya betapa mudahnya melewati
halangan berupa tongkat dipalangkan seperti itu! Dengan
23
gaya yang indah ia melangkah tiga tindak ke depan bersiapsiap
lalu berkata nyaring.
"Kakek sombong, aku lewat!" Cepat bagaikan anak panah
menyambar tubuhnya meluncur ke depan melompati tongkat
melintang itu dengan kedua lengan dikembangkan ke kanan
kiri seperti seekor burung garuda terbang. Inilah Ilmu
Melompat Hui-eng-coan-in (Burung Garuda Menerjang Awan),
cepat dan indah gerakan ini.
Akan tetapi kali ini
Nona Garuda Terbang
bertemu dengan batu!
Begitu tubuhnya melayang,
pendeta Lama itu
yang kembali sudah
tunduk dan meramkan
mata dengan sikap
memandang rendah
sekali, telah menggerakkan
tongkat ke atas dan
tepat sekali tongkatnya
itu, melakukan totokan ke
arah iga dari tubuh Li
Hwa yang masih melayang
itu.
Terdengar teriakan
kaget disusul oleh ketawa
terkekeh-kekeh. Li Hwa
yang melihat datangnya sodokan tongkat ini, terkejut sekali
sampai menjerit. Cepat ia melakukan gerakan berjungkir
balik di udara, tangan kirinya menyambar ujung tongkat dan
terpaksa ia melompat kembali ke tempat tadi, tidak berhasil
melewati tongkat itu dan ditertawakan oleh Thai Gu Cinjin
yang masih meramkant matanya!
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Li Hwa. Ia
telah dihina orang yang menggagalkan lompatannya dengan
24
mudah sambil meramkan mata! Benar-benar ia dianggap
seorang anak kecil yang bodoh! "Heh-heh-heh-heh! Masih
untung ginkangmu lumayan. Kau boleh coba lagi, dengan
pedang di tangan pun boleh kalau masih berani." Kata-kata
Thai Gu Cinjin yang kini membuka matanya dan
memandang kepadanya dengan penuh ejekan membuat
darah Li Hwa bergolak. Secepat kilat tangannya bergerak
meraba gagang pedang dan sinar hijau berkeredepan
menyilaukan mata ketika pedang itu di lain saat telah
terhunus.
"Pokiam (Pedang Pusaka) bagus! Asal saja kau bisa
mempergunakannya!" Kembali kata-kata dari Thai Gu Cinjin
ini merupakan ejekan yang memandang rendah.
"Pendeta sombong, jagalah aku lewat!" teriak Li Hwa dan
dengan gerakan cepat sekali ia melompat maju lagi dengan
pedang diputar-putar di depannya. Ia akan membabat putus
tongkat panjang itu apabila pendeta itu menghalanginya lagi
dengan tongkatnya.
Betul saja, Thai Gu Cinjin dengan gerakan sembarangan
saja menyodok dengan tongkat menghalangi majunya Li Hwa.
Gadis ini mengayun pedang, mengerahkan tenaga dan
membacok tongkat dengan Cheng-liong-kiam. Terdengar
suara keras,, bunga api berpijar dan Li Hwa terkejut bukan
main. Bukan saja tongkat itu tidak putus oleh sabetan
pedang, bahkan pertemuan antara dua senjata sehingga
mengeluarkan bunga api ini membuat telapak tangannya
perih dan tergetar.
Dan di lain saat ujung tongkat itu telah menyerampang
kedua kakinya! Ini terang hanya gerakan untuk
mempermainkan dan menggertaknya saja. Sambil menggigit
bibir saking cemas, terpaksa Li Hwa melompat ke atas
menyelamatkan kedua kaki dari sabetan tongkat. Akan tetapi
tongkat itu menyusulnya cepat dan melakukan sodokan dari
bawah mengarah perutnya!
25
Ini keterlaluan sekali! Main-main yang sudah bukan
merupakan main-main lagi melainkan penghinaan yang
tidak pantas. Li Hwa tidak mau menangkis dengan
pedangnya, melainkan kedua kaki yang tadinya ditarik ke
atas, tiba-tiba ia lonjorkan dan dengan tepat ia menyambut
ujung tongkat itu dengan tumit kakinya, kemudian dengan.
meminjam tenaga sodokan tongkat itu tubuhnya mumbul
setinggi tiga atau empat tombak ke atas! Dengan cara ini ia
hendak sekaligus melewati pendeta itu dan menang!
"Lihai sekali!" teriak Thai Gu Cinjin melihat kehebatan
ginkang dari nona itu dan Sin Hong juga diam-diam girang
dan memuji kecerdikan Li Hwa yang dapat mempergunakan
hinaan lawan untuk mencapai kemenangan.
Akan tetapi baik Li Hwa maupun Sin Hong menjadi
terkejut sekali ketika tiba-tiba tongkat panjang itu "terbang"
dari tangan kakek itu, meluncur ke atas seperti anak panah
terlepas dari busurnya! Serangan ini berbahaya sekali dan
hanya seorang dengan ginkang tinggi seperti Li Hwa yang
dapat menyelamatkan diri. Melihat luncuran tongkat ke
depannya itu, Li Hwa maklum bahwa kalau ia melanjutkan
lompatannya, ia akan termakan oleh tongkat itu. Untuk
mengelak tak mungkin lagi, maka cepat ia memegang
pedangnya dengan kedua tangan, diayun ke bawah
memapaki datangnya tongkat dengan seluruh tenaganya.
Terdengar suara keras dan kembali bunga api berpijar.
Tongkat kena dihajar pedang terlempar ke bawah, akan
tetapi juga tubuh Li Hwa terpental ke belakang kembali
sehingga ketika gadis ini melompat turun, ia. masih belum
melewati kakek yang telah memegang tongkatnya lagi!
"Li Hwa, kau mundurlah. Biar aku mencoba-coba," kata
Sin Hong, maklum bahwa ia menghadapi seorang sakti yang
tak boleh dipandang ringan sama sekali. Ia menjura kepada
pendeta Lama itu sambil berkata.
"Maaf, Locianpwe. Aku yang muda mohon lewat!" Setelah
berkata demikian dengah langkah tenang dan biasa saja Sin
26
Hong berjalan maju. Thai Gu Cinjih biarpun masih
memandang rendah kepada laki-laki muda ini namun
karena ia dapat menduga bahwa lawan kedua ini tentu lebih
lihai daripada wanita tadi, memegang tongkatnya dengan
kedua tangan, disodorkan merupakan palang yang
mencegah Sin Hong lewat. Kedua tangannya memegang
ujung tongkat kuat-kuat dan matanya memandang orang
yang datang penuh perhatian dan bersiap-siap.
Dengan sekilas pandang, Sin Hong mengukur kedudukan
kakek itu dengan penuh perhitungan, kemudian ia berkata.
"Maaf, Locianpwe. Tongkatmu menghalangi jalan!" Ia
membungkuk dan menangkap tongkat itu dengan kedua
tangan mengerahkan tenaganya untuk menekan tongkat itu
ke bawah.
Thai Gu Cinjin kaget sekali. Ia melakukan penjagaan
dengan tongkat untuk mencegah orang lewat dan untuk
menggebuk atau mendorong orang yang hendak melompati
tongkatnya. Tak disangkanya sama sekali bahwa orang
muda ini menangkap tongkatnya dan menekannya ke
bawah. Tentu saja untuk mengadu tenaga, ia kalah
kedudukan. Orang muda itu memegang ujung sana
tongkatnya dan menekan ke bawah. Kalau ia harus
mempertahankan dan mengangkat tongkat itu dari ujung
sini, berarti tenaganya menjadi satu lawan sepuluh! Akan
tetapi Thai Gu Cinjin memang berwatak sombong.
Ia terlalu percaya akan kepandaiannya sendiri yang
dianggapnya tidak ada bandingnya. Di samping
kesombongan ini, juga ia berpikir andaikata ia kalah tenaga,
toh masih belum berarti bahwa pemuda itu dapat lewat.
Begitu tongkatnya dilepaskan oleh lawannya dan lawan itu
hendak melompat lewat, ia masih dapat menggebuk dari
belakang! Karena pikiran inilah maka Thai Gu Cinjin lalu
mengerahkan seluruh tenaganya untuk mempertahankan
tekanan Sin Hong.
27
Akan tetapi kakek inii sama sekali tidak tahu bahwa ia
berhadapan dengan Wan Sin Hong pendekar muda, yang
berilmu tinggi sehingga tujuh delapan tahun yang lalu
sampai memenangkan pemilihan bengcu di Ngo-heng-san!
Biarpun ia mengerahkan seluruh tenaganya, dengan amat
mudah karena memang menang kedudukan sehingga
dengan sepersepuluh tenaganya saja Sin Hong dapat
menangkan tenaga lawan ujung tongkat itu tentu ditekan,
oleh Sin Hong sampai masuk ke dalam tanah! Sin Hong
terus menekan dan ujung tongkat itu amblas dan melesat
terus makin lama makin dalam.
Thai Gu Cinjin terkejut. I a tak menyangka! Memang,
kekalahan adu tenaga ini tidak ia herankan oleh karena
memang kedudukannya yang kalah, akan tetapi ia tidak
pernah memperhitungkan bahwa pemuda itu bukan hanya
menekan sekedar untuk melompati tongkat, melainkan
bermaksud menekan terus sampai tongkat itu melesak ke
dalam tanah sehingga mudah baginya mengendurkan
tenaganya melawan. Biarpun tongkat amblas ke dalam
tanah, pikirnya asal saja masih kukerahkan tenagaku, begitu
dilepaskan olehnya akan dapat tercabut kembali untuk
mengemplang kepalanya dari belakang!
Di samping ilmu silatnya yang tinggi, Sin Hong juga
memiliki otak yang sehat dan cerdik, maka ia sudah dapat
menduga apa yang tersembunyi di balik pengerahan tenaga
sia-sia dari kakek itu. I a menekan terus, kemudian pada
saat yang baik ia melepaskan tongkat sambil berseru.
"Aku lewat!"
Tongkat yang tadinya terpendam dalam tanah itu tibatiba
tercabut membawa gumpalan-gumpalan tanah.
Sedianya tongkat itu dari bawah akan langsung
menghantam tubuh Sin Hong yang melewatinya. Akan tetapi
dengan gerakan tenang-tenang saja Sin Hong menunda
langkahnya, hanya untuk beberapa detik saja karena begitu
tongkat itu tercabut dan melayang kuat ke atas, ia
28
menerobos dari bawah tongkat! Ketika Thai Gu Cinjin sadar
bahwa ia kena tipu, orang muda itu sudah lolos dan sudah
berdiri jauh melewatinya, tak dapat dihalanginya atau
dicegah oleh tongkatnya lagi.
Wajah Thai Gu Cinjin menjadi merah sekali. Keringat
berkumpul di dahinya yang kelimis. Ia memandang kepada
Sin Hong dengan mata bersinar-sinar mengeluarkan hawa
panas.
"Jahanam, kau telah menipuku! Kau lewat bukan
mengandalkan kepandaian, melainkan mengandalkan tipu
muslihat licik!" bentaknya marah.
Sin Hong tersenyum dan menjura dari tempat ia berdiri.
"Locianpwe, seorang tua seperti Lo-cianpwe ini apa
mungkinmenelan kembali ludah yang sudah dikeluarkan?"
"Setan! Aku tadi berjanji kalau kalian dapat lewat baru
aku mau bicara. Siapa menarik kembali omongan? Dengar
baik-baik, aku berjanji lagi bahwa kalau kau sekarang dapat
menghalangi aku lewat, aku takkan banyak omong lagi dan
kau boleh membawa pergi bocah setan Tiang Bu'"
Sin Hong mengerutkan alisnya. Ia maklum bahwa ia
menghadapi seorang yang berilmu tinggi, akan tetapi
berbatin rendah. Dengan orang macam ini tak mungkin
dicapai penyelesaian secara damai. Kalau ia tidak
memperlihatkan kepandaiannya, kakek itu pasti akan
berlagak terus. Maka ia segera siap menghadapi tantangan
itu. Memang kata-kata tadi sama dengan tantangan, karena
ia dapat menduga bahwa kakek itu pasti akan berusaha
keras untuk dapat melewatinya, biarpun untuk usaha itu ia
harus membunuh lawannya. Ini bukan merupakan
peerjanjian atau pertaruhan biasa saja, melainkan
menyangkut kehormatan maka tentu akan dipertahankan
mati-matian. Namun, Sin Hong masih memancing untuk
mengetahui pasti isi hati lawan.
29
“Baiklah, Locianpwe. Memang aku dapat menduga bahwa
akhirnya Locianpwe tentu akan mengembalikan bocah itu
kepada kami. Harap Locianpwe jelaskan apakah Locianpwe
hendak lewat dengan tangan kosong, ataukah dengan
bantuan senjata?"
Thai Gu Cinjin menjadi mendongkol dan merasa disindir.
Tapi orang muda ini memang telah berhasil "lewat" biarpun
dengan cara menipu, dengan mengandalkan tangan kosong
belaka. Akan tetapi ia tidak mau berlaku bodoh s eperti tadi
tidak mau gagal oleh karena memandang rendah lawan.
Orang rnuda yang sikapnya tenang, matanya terang,
bicaranya ramah seperti ini lebih baik jangan dipandang
rendah.
"Aku sudah tua dan lemah, kemana-mana harus dibantu
tongkatku ini."
Thai Gu Cinjin mengira bahwa orang muda itu tentu
menjadi gentar dan mengajukan alasan supaya ia lewat
dengan tangan kosong. Kalau sampai terjadi demiklan, ia
akan mendapatkan kembali mukanya dan dapat membalas
orang muda itu dengan ejekan bahwa pemuda itu takut.
Akan tetapi ia kecele. Sin Hong menarik napas panjang, tahu
bahwa kakek ini menghendaki pertandingan silat dengan
senjata. Hal ini sama sekali tidak menggelisahkan hatinya,
bahkan ia merasa lega. Kalau kakek ini menggunakan
tongkat yang berarti bersenjata, ia pun tidak malu-malu
mempergunakan pedangnya. Dan karena tongkat itu pun
senjata ampuh seperti tadi telah terbukti ketika beradu
dengan Cheng liong kiam maka ia tidak malu
mempergunakan Pak kek Sin kiam dan takkan disebut
mencapai kemenangan karena mengandalkan senjata
pusaka.
"Baiklah, Locianpwe. Aku siap sedia. Kau cobalah untuk
lewat!" katanya sambil mencabut pedangnya yang
mengeluarkan cahaya lebih cemerlang daripada cahaya hijau
30
dari Cheng liong kiam tadi. Melihat ini Thai Gu Cinjin
tertegun dan kagum sekali.
"Banyak pedang bagus!" katanya. "Kalau aku tak dapat
lewat, kalian boleh bawa pergi Tiang Bu. Akan tetapi kalau
sebaliknya, kalian harus meninggalkan pedang-pedang itu!"
Ternyata kakek inl tldak mengenal pedang Pak kek Sin
kiam yang akan dikenal oleh ratusan tokoh-tokoh kangouw
lainnya. Hal ini tidak mengherankan oleh karena Thai Gu
Cinjin baru sekarang turun gunung meninggalkan Tibet.
Tidak seperti banyak orang sakti yang selalu mengunjungi
Tibet, di waktu dahulu pemilik pedang ini, Pak kek Siansu
belum pernah ke Tibet. Oleh karena inilah maka tokoh-tokoh
besar Tibet ini tidak mengenal Pak kek Sin kiam, baik nama
maupun rupa.
"Kalau Locianpwe yang menang apa yang hendak kau
lakukan, baik yang patut maupun yang tidak kami akan
dapat berbuat apakah?" kata Sih Hong yang sudah berdiri
dengan pedang melintang di tangan kanan.
Pemuda ini tenang sekali. Dengan pedang di tangan
memang Sin Hong boleh merasa tenang. Dalam hal ilmu
pedang kiranya Pak-kek Kiamsut sukar dlcari bandingannya,
apatagi kalau ilmu pedang ini dimainkan oleh Sin Hong yang
mempelajarl dengan sempurna, ditambah dengan Pak-kek
Sinkiam di tangannya pula! Andaikata ia menghadapi kakek
itu dalam pertempuran tangan kosong, belum tentu ia akan
setenang dan sepasti itu untuk mencapal kemenangan.
Thai Gu Cinjln tentu saja merasai sindiran Sin Hong ini.
Dengan marah ia mengayun tongkatnya tinggi-tinggi di atas
kepala, memutar-mutarnya sehingga mengeluarkan angin
dan bersuara mengaung seperti kitiran angin.
"Awas aku lewat. Minggir.....!!" bentaknya menerjang
maju. Melihat ini, diam-diam L.i Hwa meleletkan lidahnya
yang merah. Kakek itu benar-benar berbahaya sekali,
pikirnya. Dari gerakan tongkat dan angin yang menyambar31
nyambar saja gadis ini pun tahu bahwa kakek itu
berkepandaian tinggi dan bertenaga besar. Ia takkan merasa
aneh kalau saja mendengar bahwa kakek ini merampas
Tiang Bu dari tangan Pak kek Samkui, karena dapat diduga
bahwa kepandaian kakek ini memang lebih tinggi daripada
kepandaian Pak-kek Samkui.
Sin Hong menggerakkah pedangnya menangkis. Seperti
juga tadi ketika tongkat bertemu dengan Cheng liong kiam,
terdengar suara keras dan terlihat sinar api berpencaran.
Thai Gu Cinjin merasa tangannya kesemutan. Kagetlah ia
dan cepat-cepat ia menarik kembali tongkatnya untuk
diperiksa apakah tidak rusak. Ia melihat tongkat itu tidak
apa-apa, hanya warna lapisannya lecet-lecet. Ia memandang
kepada Sin Hong yang berdiri tenang-tenang saja. Bukan
main heran hatinya. Akan tetapi keheranannya terganti
kemarahan yang memuncak. Kehormatannya tersinggung.
Masa ia harus kalah oleh seorang bocah seperti ini? Kini ia
menggeram dan melangkah maju. Lenyap sama sekali
keinginan hatinya hendak lewat saja terganti oleh nafsu
merobohkan atau mengalahkan pemuda berpedang pusaka
ini.
"Robohlah!" bentaknya dan kini tongkatnya dimainkan
dengan gerakan silat yang kuat dan cepat juga amat aneh
gerak-geriknya. Muka Thai Gu Cinjin yang berwarna ungu
itu kini berubah merah gelap. Sin Hong mengelak cepat dan
membalas dengan serangan pedangnya. Ia harus bertaku
awas karena menghadapi gerakan ilmu tongkat yang amat
aneh. Namun, Pak kek Kiamsut memang bukan ilmu pedang
sembarangan dan di dalam ilmu pedang ini terdapat segala
macam gerakan untuk menghadapi macam-macam lawan.
Sebentar saja pedangnya tenyap berubah menjadi
gundukan sinar yang menyilaukan mata, yang membendung
hujan pukulan tongkat dan membalas dengan kecepatan
halilintar menyambar-nyambar membuat Thai Gu Cinjin
terkejut bukan main. Baru sekarang Thai Gu Cinjin
32
mendapat kenyataan dan terbuka matanya bahwa yang
dapat mengalahkannya di dunia ini bukan hanya kakekkakek
sakti di Omeisan dan Angjiu Moli iblis wanita dari
utara itu. Ilmu pedang orang muda ini hebat sekali, bahkan
kalau ia bandingkan dengan ilmu pedang dari Angjiu Moli
yang pernah ia lihat kiranya tidak kalah lihai.
Sementara itu, Siok Li Hwa mendekati Tiang Bu yang
melihat pertempuran itu dengan mulut ternganga dan mata
terbelalak. Hampir ia tidak percaya akan penglihatannya
sendiri menyaksikan pertempuran yang hebat bukan main
itu, Thai Gu Cinjin kelihatan seperti raksasa mengamuk.
Tongkatnya berubah menjadi gulungan sinar hitam yang
panjang seperti seekor naga hitam, nampaknya dahsyat dan
mengerikan. Di lain fihak lawannya telah lenyap, hanya
bayangannya saja kadang-kadang nampak di antara
gulungan sinar pedang yang berkelebatan cepat.
Pemandangan itu mirip dengan hari hujan di mana sinar
tongkat itu merupakan mendung hitam sedangkan sinar
pedang merupakan sinar kilat yang menyambar-nyambar
dan diantara mendung dan kilat itu bertempur seorang
raksasa ganas melawan seorang dewa yang tampan! Yang
amat mengherankan hati Tiang Bu, bagaimana orang muda
itu dapat melawan Thai Gu Cinjin? Selama ini, orang yang
dianggapnya paling lihai hanyalah Thai Gu Cinjin yang
dengan mudah merampasnya dari tangan Pak-kek Samkui
yang begitu jahat dan menakutkan. Akan tetapi sekarang
pertempuran itu berjalan demikian seru dan siapakah di
antara mereka yang lebih unggul.
"Tiang Bu, apakah kau tidak mengenal orang yang
hendak menolongmu supaya kau bisa pulang? Tidak
kenalkah kau akan orang yang sekarang bertempur melawan
pendeta Lama itu?" Pertanyaan dari Li Hwa yang tiba-tiba
sudah berada di dekatnya ini mengejutkan hati Tiang Bu.
Ia menggeleng kepalanya, akan tetapi matanya terus
mengincar ke arah dua orang yang tengah bertempur.
33
"Apakah Ayah Bundamu dahulu belum pernah menyebut
nama Wan Sin Hong di depanmu?" tanya pula Li Hwa
terheran-heran. Mendengar disebutnya nama ini, tiba-tiba
Tiang Bu teringat. Pernah sambil lalu ketika Tiang Bu minta
ayah ibunya mengajar ilmu silat, ibunya berkata.
"Kelak saja kau boleh belajar ilmu silat kepada pendekar
besar yang menjadi pemimpin semua ahli persilatan, yaitu
Wan bengcu."
Ketika ia mendesak dan bertanya siapa adanya Wan
bengcu itu, ibunya menjawab, "Dia adalah sahabat baik ayah
bundamu bahkan dia masih terhitung Susiokku (Paman
Guruku). Namanya Wan Sin Hong dan kiranya di dunia ini
tidak ada orang yang dapat menandingi ilmu silatnya."
Demikianlah yang ia ingat tentang nama Wan Sin Hong.
Jadi orang yang lihai inilah Wan Sin Hong yang oleh ayah
bundanya hendak dijadikan gurunya? Tiang Bu memandang
makin tertarik akan tetapi sayang matanya belum begitu
awas untuk dapat mengikuti jalannya pertempuran yang
cepat itu.
Melihat ini, Li Hwa menoleh ke arah pertempuran lalu
berkata dengan suara pasti, "Dia pasti akan menang.
Pernahkah Ayah Ibumu menyebut nama Wan Sin Hong?"
Kini Tiang Bu mengangguk dan matanya bersinar
gembira. Li Hwa juga merasa senang karena sekarang anak
itu agaknya percaya kepadanya dan tidak curiga seperti tadi.
"Siapakah Kakek Gundul sombong itu? Apa betul dia
gurumu?"
"Dia bernama Thai Gu Cinjin, pendeta Lama dari Tibet,"
jawab Tiang Bu tanpa mengalihkan pandangan matanya dari
medan pertempuran.
"Teecu dipaksa menjadi muridnya setelah dia merampas
teecu dari tangan Pak-kek Samkui. Aduuhh..... kenapa
itu.....??" Tiba-tiba Tiang Bu menuding ke arah pertempuran
34
yang mengalami perubahan. Kini ia melihat Sin Hong,
nampaknya orang muda itu kelelahan atau entah mengapa.
Akan tetapi jelas gerakan Sin Hong tidak seperti tadi,
pedangnya mulai tidak karuan dan tiba-tiba Thai Gu Cinjin
yang kini sudah mengeluarkan sebuah saputangan merah
membentak, "Orang muda, lepaskan pedangmu dan
berlututlah!" Aneh sekali! Sin Hong terhuyung-huyung
berusaha menetapkan langkahnya namun tak berhasil
akhirnya ia benar-benar jatuh berlutut, hanya Pak-kek
Sinkiam masih di tangannya. Apakah yang terjadi?
Setelah bertempur selama lima puluh jurus, Thai Gu
Cinjin yang sombong itu harus mengakui keunggulan Wan
Sin Hong. Sudah dua kali dalam lima puluh jurus itu Sin
Hong membuktikan keunggulannya. Dengan ilmu pedangnya
yang luar biasa itu, ia telah berhasil membabat putus ujung
lengan baju dan ujung jubah lawannya. Oleh karena
maklum pemuda yang dihadapinya memiliki ilmu pedang
yang tinggi sekali dan kalau dilanjutkan tentu ia akan kalah,
Thai Gu Cinjin lalu mempergunakan ilmu sihirnya. Kaum
Lama di Tibet pada umumnya memuja roh suci, terutama
sekali roh suci dari Buddha yang mereka percaya selalu jutsi
(menjelma) menjadi seseorang yang mereka pilih menjadi
Dalai Lama. Kalau kaum Lama ini memuja roh suci yang
mereka harapkan dapat memimpin mereka ke arah jalan
kebenaran, adalah kaum Lama jubah merah ini memuja
atau mengadakan hubungan dengan roh-roh jahat atau rohroh
penasaran, bukan untuk memuja guna kebaikan jalan
hidup, melainkan dipuja untuk dipergunakan bantuannya
dalam menjalankan ilmu-ilmu hitam'
Tingkat ilmu silat Wan Sin Hong memang sudah amat
tinggi dan kiranya tidak banyak orang-orang sakti di dunia
ini yang akan dapat mengalahkannya dalam ilmu silat. Akan
tetapi dia masih muda dan pengalamannya tentu saja masih
belum cukup banyak. Belum pernah ia berhadapan dengan
lawan yang mempergunakan ilmu sihir untuk
menyerangnya. Kalau lawannya mempergunakan pukulan
35
atau serangan dengan senjata-senjata berbisa, kiranya
mengandalkan kepandaiannya yang tinggi ia akan dapat
menyelamatkan diri. Akan tetapi kali ini Thai Gu Cinjin
mempergunakan ilmu sihir atau hoat-lek (ilmu gaib) dengan
mempengaruhi dan menguasai semangat Sin Hong melalui
pandangan mata, gerak tangan penuh rahasia, dan suara
perintah yang menyeramkan.
"Orang muda, lepaskan pedangmudan berlututlah!"
bentaknya dan Sin Hong terhuyung-huyung, berusaha
menetapkan langkahnya namun tak berhasil dan akhirnya
menyerah terhadap kekuasaan aneh yang memaksa dan
menguasainya. Ia jatuh berlutut, hanya Pak-kek Sinkiam
masih di tangannya, tergenggam erat-erat. Ini tepat dengan
wataknya, agaknya pedang pusaka di tangan takkan
dilepaskannya! Semboyan "mati hidup dengan pedang di
tangan" menjadi pedoman setiap orang gagah.
Thai Gu Cinjin tertawa bergelak melihat lawannya yang
muda dan lihai itu sudah takluk di bawah pengaruh
sihirnya.
"Orang muda sombong, baru kau tahu kelihaian Thai Gu
Cinjin. Kaukira aku tidak bisa melewatimu? Minggirlah!"
Sambil berkata demikian tongkatnya yang panjang itu
meluncur cepat ke arah ulu hati Sin Hong.
Biarpun kedua kakinya seperti lumpuh dan tak berdaya,
menghadapi serangan maut ini, otomatis tenaga dan hawa
sinkang di dalam tubuh Sin Hong bekerja dan seakan-akan
tanpa ia gerakkan lagi tubuhnya sudah miring membuat
gerakan mengelak! Akan tetapi serangan Thai Gu Cinjin
bukan seperti serangan tukang silat sembarangan saja.
Kepandaian kakek ini sudah tinggi dan melihat tubuh itu
mengelak, ia pun mengejar dengan tongkatnya.
"Brukkk.....!!" Dada sebelah kanan dari pemuda itu
terdorong ujung tongkat. Tubuh itu mencelat sampai empat
tombak lebih, terbanting bergulingan lalu rebah
tertelungkup di atas tanah tak berkutik.
36
"Sin Hong.....!!" Li Hwa lupa akan segalanya. Gadis ini
melompat dan mengejar Sin Hong, lalu menubruk dan
memelukinya. Dipangkunya kepala Sin Hong, didekap ke
dadanya dan ia memperhatikan muka kekasihnya itu. Darah
segar mengalir keluar dari mulut Sin Hong, membuat
bibirnya menjadi merah berlepotan darah. Mukanya pucat
sekali dan matanya terpejam.
"Sin Hong.....! Bangunlah.....! SinHong, jangan kau
mati...... jangan tinggalkan aku, Sin Hong.....!!" Saking kaget
dan khawatirnya kalau-kalau pemuda yang menjadi
pujaannya itu mati, Li Hwa lupa akan kegagahannya dan
menangis seperti anak kecil. I a tadi menyaksikan sendiri ,
betapa hebatnya dorongan tongkat dari Thai Gu Cinjin dan
sebagai seorang ahli silat tinggi ia dapat mengerti bahwa
pukulan semacam itu agaknya tidak mungkin dapat ditahan
orang, apalagi kalau yang terkena itu bagian dada. "Sin
Hong, jangan tinggalkan aku....., bawalah aku serta....." Ia
menangis dan lupa akan segala, ia mencium muka yang
disangkanya sudah akan ditinggalkan nyawa itu. I a tidak
peduli betapa darah segar yang mengalir keluar dari mulut
Sin Hong itu mengenai pipinya, hidungnya, bahkan bibirnya
terkena darah dan terasa darah pada mulutnya!
"Suhu, kau..... kau kejamsekali! Kau..... kau jahat'!"
Teriakan ini dikeluarkan oleh Tiang Bu yang merasa
amat terharu melihat sikap Li Hwa. Saking marahnya ia lupa
diri dan melompat maju ke depan Thai Gu Cinjin, terus
menyerang kakek itu dengan ilmu silat yang ia pelajari dari
kitab, yaitu Pat hong hongi!
“Plak buk plak buk.....!" Thai Gu Cin mengeluarkan
seruan kaget ketika ia melompat ke belakang. Serangan
bocah tadi sungguh aneh luar biasa sehingga biarpun Thai
Gu Cinjin yang lihai sudah mengelak cepat, tetap saja kaki
tangan bocah itu memberi hadiah dua kali tendangan dan
dua kali pukulan yang datangnya susul menyusul. Baiknya
bocah itu tenaganya tidak seberapa, kalau yang melakukan
37
pukulan tadi orang yang sudah dewasa dan memiliki tenaga
lweekang, tentu ia sudah roboh!
"Murid pengkhianat, kau mau membela musuh?" bentak
Thai Gu Cinjin untuk menutupi malunya dan tongkat
panjangnya menyambar ke arah kepala Tiang Bu dengan
hebatnya. Akan tetapi... pukulan itu mengenai tempat
kosong. Bagaikan seekor monyet yang lincah Tiang Bu
berhasil mengelakkan diri. Thai Gu Cinjin menjadi makin
penasaran. Tongkatnya menyambar lagi, sekali, dua kali,
tiga kali. Tetap saja mengenai angin belaka. Tiang Bu dengan
langkah-langkah aneh selalu dapat rnengelak. Ternyata
bahwa bocah ini telah mempergunakan Ilmu Kelit Sam hoan
Sambu yang ia pelajari dari mendiang Bu Hok Lokai dan
ternyata hasilnya luar biasa. Ahli silat biasa jarang ada yang
dapat menyelamatkan diri dari pukulan tongkat satu kali
saja dari Thai Gu Cinjin, apalagi sampai empat kali!
Thai Gu Cinjin menggereng marah, tangan kirinya ikut
bergerak mengeluarkan pukulan khikang. Benar saja,
terkena hawa pukulan ini, tubuh Tiang Bu terhuyunghuyung
seperti didorong dan ia tidak dapat lagi mainkan
Samhoan Sambu dengan baik. Tongkat panjang sudah
bersiutan di atas kepalanya yang agaknya sebentar lagi akan
remuk seperti kepala tikus dihantam dengan batu besar.
"Cringgg.....!" Bunga api berpijar .ketika tongkat itu
tertangkis dan terpental. Thai Gu Cinjin makin marah ketika
melihat bahwa yang menangkis tongkatnya itu adalah
pedang di tangan Wan Sin Hong yang memegang pedangnya
dengan tangan kiri.
"Thai Gu Cinjin, kau tidak patut disebut orang gagah.
Keji sekali hendak membunuh seorahg bocah kecil!" kata Sin
Hong dengan suara halus dan tenang, akan tetapi sepasang
matanya mengeluarkan sinar bercahaya.
Bagaimanakah Sin Hong sudah dapat bangun kembali?
Pertanyaan ini memenuhi pula kepala Thai Gu Cinjin.
38
Sin Hong telah memiliki sinkang yang amat luar biasa di
dalam tubuhnya. Pukulan tadi biarpun mendatangkan luka
hebat dalam dada sebelah kanan, akan tetapi tidak sampai
mencabut nyawanya. Pula, kejernihan pikiran dan hati
berkat latihan bertahun-tahun dalam ilmu Imkang dan
Yangkang membuat la sebentar saja pingsan. Ia sadar dan
siuman dalam dekapan Li Hwa yang menjadi girang bukan
main melihat Sin Hong dapat bergerak lagi dan membuka
matanya.
"Lepaskan, Li Hwa. Aku tidak apa-apa....." kata Sin Hong,
bukan main terharunya melihat budi kecintaan yang
demikian besarnya dari gadis ini terhadap dirinya. Tidak saja
ia merasa terharu, akan tetapi juga mulailah bersemi cinta
kasih di dalam hatinya yang tadinya sudah membeku.
Melihat wajah Li Hwa yang berlinang air mata akan tetapi
sekarang bibirnya tersenyum penuh harapan, melihat betapa
pipi dan bibir gadis itu terkena darah merah yang mengalir
dari mulutnya sendiri, tak tertahan lagi Sin Hong
mengeluarkan keluhan lirih.
"Li Hwa..... Li Hwa....." dan dua titik air mata keluar
tertahan bulu matanya.
Aneh sekali! Pada saat itu hilanglah kekuasaan aneh
yang tadi membuatnya lumpuh! Memang dada kanannya
terasa sakit sekali, akan tetapi adalah akibat dari pukulan
tongkat, dan merupakan luka dalam yang sewajarnya. Tidak
seperti lumpuhnya kedua kaki yang tidak wajar. la tidak
tahu bahwa cinta kasih yang murni dapat mengusir hawa
busuk dari ilmu hitam yang tadi menguasai dirinya. Dengan
cinta kasih murni yang mulai bersemi di dalam dadanya,
ilmu hitam Thai Gu Cinjin menjadi buyar!
Pada saat itu ia mengerling dan melihat Tiang Bu
menyerang Thai Gu Cinjin. juga Li Hwa menoleh dan kedua
orang ini terheran-heran melihat betapa pukulan-pukulan
Tiang Bu bisa mengenai tubuh kakek itu, kemudian betapa
39
pukulan-pukulan dan serangan tongkat itu tidak bisa
mengenai tubuh Tiang Bu.
Sin Hong cepat mengeluarkan tiga butir pel merah, putih
dan kuning dari sakunya dan menelan tiga pel itu. Ini adalah
obat mujarab sekali untuk menahan rasa sakit di dalam
dada kanannya. Sebentar saja dada kanannya terasa panas
dan kebal seperti mati tidak begitu terasa lagi sakitnya. Akan
tetapi pundak dan lengan kanannya tak dapat digerakkan. Ia
memegang pedang Pak kek Sinkiam dengan tangan kiri lalu
melompat dan tepat sekali dapat menangkis tongkat Thai Gu
Cinjin yang hampir saja meremukkan kepala bocah itu.
"Kau masih belum mampus?". bentak Thai Gu Cinjin
kagum dan heran. Alangkah kuatnya orang muda ini,
pikirnya. Akan tetapi melihat pemuda itu memegang pedang
dengan tangan kiri dan pundak serta lengan kanannya
kelihatan tergantung mati, hati Thai Gu Cinjin menjadi
besar. Ia tidak khawatir terhadap Li Hwa dan setelah
pemuda kosen ini tak dapat lagi menggerakkan pundak dan
lengan kanan, ia takut apakah? Maka mendengar teguran
Sin Hong yang menyebutnya tidak patut disebut orang gagah
dan berwatak keji, ia tertawa bergelak sambil menggoyanggoyangkan
tongkatnya dengan lagak sombong.
"Tikus cilik, kau sudah hampir mampus masih berani
membuka mulut besar? Bocah itu aku yang bawa, dia
muridku dan aku hendak membunuh dia atau tidak ada
sangkut paut apakah dengan kau?"
Li Hwa dengan suara marah sekali berkata, "Kau pendeta
busuk! Biar soal itu kami tidak mencampuri dan kami
anggap kau berhak membunuhnya, akan tetapi bagaimana
kau secara tak tahu malu dan tebal muka tadi telah
mengalahkan orang dengan bantuan ilmu iblis? Apa itu
perbuatan orang gagah?"
Muka Thai Gu Cinjin yang biasanya berwarna ungu itu
berubah menjadi kehijauan. Ini adalah tanda bahwa ia
40
merasa malu dan juga marah. I a menudingkan tongkatnya
yang panjang sambil membentak.
"Bocah ini roboh karena dia bodoh dan memang kalah
olehku! Kalian ini dua tikus kecil yang sudah kalah tak usah
banyak cakap lagi. Tinggalkan dua batang pedang kalian dan
minggat dari sini!" .Sambil berkata demikian ia
menggerakkan tongkatnya mengancam hendak
menghancurkan kepalanya dua orang muda itu. "Wansioksiok
(Paman Wan), kau sudah terluka. Biarlah aku saja
mengadu nyawa dengan Kakek jahat ini!" Tiba-tiba Tiang Bu
berseru dan melompat hendak menyerang Thai Gu Cinjin
lagi.
"Tiang Bu, mundur kau!" kata Sin Hong dengan suara
keren, akan tetapi pandang matanya kepada bocah itu
penuh kekaguman dan senang. Kemudian ia menghadapi
Thai Gu Cinjin, pedang di tangan kirinya melintang di depan
dada.
"Thai Gu Cinjin, ketahuilah bahwa aku Wan Sin Hong
bukan seorang yang takut menghadapi kematian. Kita bukan
anak kecil, juga kita adalah orang-orang kawakan di dunia
kangouw yang tahu akan peraturan-peraturan kangouw.
Memang tadi aku telah kalah olehmu karenakau
mempergunakan hoatsut dan aku kurang waspada sehingga
kena tertipu olehmu, maka luka di dadaku sudah
sewajarnya, hukuman bagi kelalaianku. Akan tetapi aku
belum menerima kalah. Tanganku masih sebelah lagi dan
pedangku belum pernah terlepas dari tangan. Mari kita
bertempur secara jantan, mengandalkan kepandaian silat.
Kalau aku kalah olehmu, tidak hanya pedang kuberikan,
juga kepalaku!"
Sejak tadi mendengar pemuda itu memperkenalkan nama
sikap Thai Gu Cinjin sudah berubah. I a memandang penuh
perhatian lalu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jadi kau inikah bengcu baru yang muda dan bijaksana
menurut kata orang? Pantas kau lihai. Akan tetapi
41
ketahuilah bahwa daerahku di Tibet tidak termasuk
wilayahmu, maka bagiku kau bukan bengcu. Kau masih
berani menantangku dengan sebelah tanganmu lumpuh?
Benar-benar aku harus memuji ketabahanmu. Orang she
Wan, setelah sekarang aku mengerti bahwa kau adalah
Wanbengcu, biarlah memandang muka orang-orang
kangouw aku habiskan perkara sampai di sini saja. Kau dan
Nona ini boleh pergi membawa pedang kalian!"
Biarpun amat mendongkol melihat orang sudah melukai
kekasihnya sampai hampir saja tewas itu sekarang bicara
tentang perdamaian, namun Li Hwa yang merasa amat
gelisah melihat keadaan Sin Hong lalu menarik tangan
pemuda itu sambil membujuk untuk pergi saja.
"Kau terluka, tak baik bertempur lagi," katanya.
Akan tetapi Sin Hong menggeleng-geleng kepalanya
sambil memandang ke arah Tiang Bu. Tak mungkin ia mau
pergi meninggalkan Tiang Bu terancam bahaya maut hanya
untuk menyelamatkan dirinya sendiri, Li Hwa juga seorang
yang berjiwa gagah, pada saat lain kiranya ia pun akan
berpendirian sama, yaitu tidak sudi menyelamatkan diri dan
membiarkan orang lain dalam ancaman maut, Akan tetapi,
pada saat itu seluruh perhatian Li Hwa tercurah kepada Sin
Hong dan ia tidak dapat memikirkan lain kecuali
keselamatan Sin Hong.
"Tenang, Li Hwa. Aku tahu baik apa yang kulakukan.
Aku kuat menghadapinya. Jangan kau gelisah," kata Sin
Hong, kemudian ia berkata kepada Thai Gu Cinjin.
"Thai Gu Cinjin, sukur kau menghendaki dihabiskannya
urusan ini. Akan tetapi Tiang Bu harus ikut aku. Aku
memang diminta oleh dua orang tuanya untuk mencari dan
membawa pulang anak ini. Harap dapat mempertimbangkannya."
(Bersambung jilid VII)
1
(PEK LUI ENG)
Karya: Asmaraman S. Kho
Ping Hoo Scan djvu :
syauqy_arr
Convert & edit : MCH
Jilid VII
"Tidak mungkin! Kau baru boleh membawanya kalau dia
sudah menjadi mayat'." bentak Thai Gu Cinjin.
"Hemm, kalau begitu terpaksa kita melanjutkan
pertempuran untuk melihat siapa yang berhak membawa
pergi anak itu."
Thai Gu Cinjin menjadi marah sekali. "Wan Sin Hong,
kau terlalu sekali. Kalau tadi aku hendak menghabiskan
urusan adalah karena aku mengingat akan orang- orang
kangouw, bukan sekali-kali karena aku takut kepadamu!
Masih lengkap kedua tanganmu saja aku tidak takut dan
dapat mengalahkanmu, apalagi sekarang. Akan tetapi kau
memaksaku dan menantang karena bocah ini. Benar-benar
kau sudah bosan hidup.
"Terserah apa yang kaupikir, Thai Gu Cinjin. Aku tetap
mempertahankan bocah ini yang harus pulang ke rumah
orang tuanya."
"Keparat, kaukira aku takut menghadapi pembalasan
orang-orangmu? Siaplah untuk mampus!" Setelah berkata
2
demikian, Thai Gu Cinjin memutar tongkatnya dan
menyerang hebat.
"Pendeta bau! Kalau kau bukan banci kau tentu melawan
Wanbengcu dengan kepandaian silat, bukan dengan ilmu
iblis!" Li Hwa berteriak-teriak dengan hati gelisah.
"Pendeta murid iblis jahat berhati keji macam dia mana
becus main silat? Kalau tidak mengandalkan ilmu iblisnya
jangankan oleh Wan-sioksiok, aku sendiri pun mampu
menghajar kepala gundulnya sampai benjol-benjol!" Tiang
Bu berseru keras-keras. Bocah yang amat cerdik ini tahu ke
mana tujuan seruan Li Hwa tadi, maka ia serta merta
membantu.
Mendengar teriakan-teriakan ini muka Thai Gu Cinjin
menjadi merah kehitaman. Tadi boleh jadi ia jerih
menghadapi Sin Hong tanpa mempergunakan ilmu
hitamnya. Akan tetapi sekarang setelah, Sin Hong terluka
berat di dalam dadanya dan tidak mampu lagi
menggerakkan pundak dan lengan kanan, ia takut apakah?
"Tikus-tikus. cilik kalian lihat saja. Setelah manusia she
Wan ini roboh, kalian akan kukubur hidup-hidup!"
"Asal saja menguburnya jangan menggunakan ilmu
setan!" teriak Tiang Bu. "Thai Gu Cinjin, kalau kau memang
jantan tulen bukan banci, kau harus berani menyatakan
bahwa kau tidak akan menggunakan ilmu hitam!"
"Baik lihatlah, aku tidak menggunakan Hoatsut!" teriak
Thai Gu Cinjin marah dan dengan perut panas. Hoatsut
adalah ilmu sihir yang banyak dipelajari tokoh-tokoh
kangouw di daerah utara dan barat. Tibet adalah sebuah di
antara pusat-pusat ilmu hitamitu.
Dengan tongkatnya yang panjang dan berat Thai Gu
Cinjin mulai menghujani Sin Hong dengan seranganserangan
dahsyat. Pikirnya, seorang lawan yang sudah
menderita luka dalam seperti orang muda ini, tentu dalam
beberapa jurus saja akan mudah ia robohkan. Akan tetapi
3
Sin Hong bukanlah orang biasa. Ilmu kepandaiannya sudah
mencapai tingkat yang tinggi, apalagi ilmu pedangnya.
Biarpun ia hanya bermain pedang dengan tangan kiri
sedangkan lengan kanannya tak dapat ia gerakkan untuk
menjadi imbangan, namun kehebatan pedangnya masih luar
biasa sekali. Pedang di tangan kirinya setelah ia mainkan
berubah menjadi sinar seperti kilat menyambar-nyambar
dan selalu dapat menangkis serbuan tongkat lawan, bahkan
dengan secara tak terduga-duga sama sekali masih dapat
melakukan tekanan dan serangan balasan yang tak kalah
dahsyatnya!
Dengan gerakan dahsyat seperti gerak tipu Hai-ti-lauwliong
(Menyelam Laut Mengejar Naga), tongkat Thai Gu
Cinjin digerakkan secara melengkung, menyambar ke arah
pinggang Sin Hong. Angin dingin berbunyi bersiutan ketika
tongkat itu mengancam pinggang Sin Hong yang akan remuk
bersama tulangnya kalau terkena pukulan maut ini.
Sin Hong terlalu tenang. Dengan gerakan Pak-hong-phuliu
(Angin Meniup Cemara) dari Ilmu Pedang Sam-hong
kiamsut (Ilmu Pedang Angin Puyuh) yang dulu ia pelajari
dari Luliang Samlojin, tubuhnya meniarap hampir rata
dengan bumi dan pedangnya bergerak di atas tubuh
melindungi diri sehingga sabetan tongkat lawannya melewat
di atas kemudian disentil oleh pedangnya untuk mencegah
tongkat itu bergerak ke bawah. Setelah meluputkan diri dari
serangan dahsyat lawannya, Sin Hong melompat berdiri
terus membalas kontan dengan gerak tipu Sian-jin Sia-ciok
(Dewa Memanah Batu) dari ilmu pedangnya Pak-kek
Kiamsut yang hebat. Serangannya tidak berhenti sampai di
sini saja, melainkan disambung dengan serangan-serangan
lain Hui-in-ci-tiam (Awan Mengeluarkan Kilat) dan Hui-poliu-
hong (Air Mancur Pelangi Melengkung).
Menghadapi serangan bertubi-tubi dari tipuan Pak-kek
Kiamsut ini, biarpun hanya dilakukan dengan tangan kiri,
Thai Gu Cinjin menjadi silau matanya dan kabur
4
pandangannya. Kepalanya pening dan ia tidak tahu lagi ke
mana meluncurnya sinar pedang lawan. Tahun-tahu ia
merasa lengan kanannya perih dan tongkatnya terlepas,
kemudian pundak kirinya sakit sekali menyebabkan lengan
kirinya lumpuh dan di lain saat ia telah terjungkal dan roboh
dalam keadaan duduk! Ternyata bahwa rentetan serangan
hebat itu telah membuat lengan kanan Thai Gu Cinjin
terobek kulit dan dagingnya, pundak kirinya putus tulang
sambungannya dan dadanya tertendang kaki Sin Hong!
Di lain fihak, Sin Hong yang tertalu banyak mengerahkan
tenaga dalam keadaan terluka hebat di dada kanannya,
terhuyung-huyung dan tentu roboh kalau tidak cepat-cepat
dipeluk oleh Li Hwa. Menyaksikan sepak terjang Sin Hong
yang gagah perkasa, yang dalam keadaan terluka hebat dan
terancam nyawanya masih tidak sudi melarikan diri
meninggalkan Tiang Bu, kemudian betapa dalam keadaan
terluka parah masih berhasil mengalahkan lawan berat
dengan pedang di tangan kiri Li Hwa menjadi kagum bukan
main dan cinta kasihnya sekaligus naik sampai tak dapat
diukur lagi. Ia memeluk kekasihnya itu dengan bangga dan
juga cemas karena wajah Sin Hong dan juga cemas karena
wajah Sin Hong tampak pucat sekali! "Sin Hong, kau..... kau
tidak apa-apa.....??" tanyanya khawatir. Sin Hong menggigit
bibir dan memejamkan sebentar matanya, menahan rasa
sakit di dalam dada. Ketika ia membuka mata, ia nampak
terkejut dan berkata.
"Aku tidak apa-apa..... akan tetapi..... Tiang Bu..... dia
terancam bahaya. Aku tak dapai menolongnya, tenagaku
habis...." ia menjadi lemas sekali. Li Hwa menengok dan
melihat betapa dengan buas sekali Thai Gu Cinjin yang
sudah terluka hebat itu kini menggunakan tangan kanannya
yang sudah mandi darah untuk menyerang Tiang Bu! Ia
nampak menyeramkan sekali dan tangan yang beberapa kali
hendak mencengkeram kepala Tiang Bu itu penuh dengan
darah yang mengucur dari kulit yang tergores dan terluka
pedang di dekat siku.
5
"Sudah kalah tak tahu malu.....'" berkali-kali Tiang Bu
menyindir sambil berlompatan dan menari-nari ke sana
kemari untuk menghindarkan diri dari bahaya maut. la
mainkan Samhoan Sambu (Tiga Kali Lingkaran Tiga Kali
Menari) untuk menyelamatkan diri dan sekarang setelah
Thai Gu Cinjin menyerangnya hanya dengan tangan kanan,
bocah ini dapat mempertahankan diri dengan baik sekali.
Gerakannya gesit sekali dan tubrukan atau pukulan Thian
Gu Cinjin selalu mengenai angin. Kakek itu menjadi makin
marah, apalagi Tiang Bu mengelak sambil tertawa-tawa,
meringis dan mengejeknya.
Thai Gu Cinjin memang sudah menerima kalah dan tahu
bahwa kepandaiannya masih kalah jauh oleh Sin Hong.
Akan tetapi sebelum ia pergi, ia hendak membunuh Tiang
Bu dulu. Selain untuk melampiaskan kemendongkolan
hatirya, juga ia tidak ingin bocah yang telah mewarisi kitab
yang ia curi dari Omeisan itu terjatuh ke dalam tangan orang
lain. Tak seorang pun tahu bahwa ia mencuri kitab itu, atau
lebih tepat lagi, tak seorang pun dapat membuktikan
andaikata ada yang menuduhnya.
Hanya Tiang Bu satu-satunya orang yang menjadi saksi
utama akan kesalahannya. Oleh karena itu Tiang Bu harus
ikut dia kalau masih hidup, atau boleh berpisah dari
sampingnya asal tak bernyawa lagi. Kalau Sampai orang lain
mendengar bahwa dia telah menjadi pencuri kitab Omeisan,
hal itu masih belum ada artinya. Akan tetapi kalau sampai
kakek-kakek sakti di Omeisan mengetahuinya, ah.....
mengingat hal ini Thai Gu Cinjin merasa bulu tengkuknya
berdiri dan ia menjadi makin bernafsu menyerang Tiang Bu.
Tiba-tiba Thai Gu Cinjln menghentikan serangannya
karena tahu takkan ada hasilnya. Ia berdiri tegak,
menudingkan telunjuknya ke arah Tiang Bu, lalu ia berseru.
"Roboh kau, Tiang Bu! Tiang Bu maklum bahwa kakek itu
mempergunakan sihir. Ia hendak mempertahankan, namun
tentu saja ia kalah kuat. Tanpa dapat dicegah lagi ia roboh
6
terguling! Thai Gu Cinjin mendekatinya dengan langkah
lebar. Kakek ini hanya terluka pundak kiri dan lengan
kanannya, akan tetapi kedua kakinya sama sekali tidak
terluka dan gerakan kakinya masih cepat sekali. Setelah
dekat dengan Tiang Bu yang masih rebah miring, ia
mengangkat tangan kanannya hendak memukul. Akan tetapi
ia menurunkan lagi tangan, itu sambil meringis kesakitan.
Kiranya darah terlalu banyak keluar dari lengan itu,
membuat tubuhnya terasa lemas dan tangan kanannya sakit
sekali. ta tidak jadi memukul, lalu mengambil tongkatnya,
mengayun tongkat itu ke arah kepala Tiang Bu, dan...
"Traangg......!"
Tongkat itu terpental hampir memukul kepala Thai Gu
Cinjin sendiri sedangkan kedua kaki kakek ini terhuyunghuyung
mundur saking kerasnya tangkisan pada tongkatnya
tadi. Ia kaget dan memandang ke kiri, lalu..... lari dengan
langkah lebar seperti orang melihat setan yang menakutkan!
"Celaka....." dengusnya di sepanjang jalan, "selalu
bertemu dengan Angjiu Moli..... sialan betul.....!"
Memang betul, yang menangkis tongkat Thian Gu Cinjin
dan karenanya telah menyelamatkan nyawa Tiang Bu bukan
lain adalah Ang-jiu Mo-li, tokoh wanita utara yang berwajah
cantik manis dan gagah perkasa! Dengan tangan kosong,
tangannya yang kemerahan dan berbentuk mungil bagus itu,
ia telah menangkis pukulan tongkat tadi dan membuat Thai
Gu Cinjin lari ketakutan.
Kini wanita gagah itu memandang ke sekelilingnya,
menyapu dengan ujung matanya yang tajam dan bening.
Melihat Li Hwa duduk di atas tanah sambil menaruh tangan
di pundak seorang pemuda tampan yang duduk bersila
sambil meramkan mata dalam samadhi, ia mengerutkan
kening. Lalu ia menoleh kembali kepada Tiang Bu yang
sudah bangun dan duduk. "Apa saja yang dilakukan oleh
Thai Gu Cinjin di sini?" tanyanya. Pertanyaan ini ia tujukan
kepada dua orang dewasa yang duduk di atas tanah itu
7
sungguhpun matanya memandang kepada Tiang Bu. Ang-jiu
Mo-li biarpun usianya sudah empat puluh tahun dan ia
cantik jelita dan kelihatan masih muda, akan tetapi ia
adalah seorang gadis yang selama hidup-nya belum pernah
berdekatan dengan pria. Maka melihat pemandangan yang
mesra, melihat cinta kasih demikian nyata tercurah dari
pandang mata Li Hwa yang cemas, ia menjadi jengah dan
tidak berani memandang terlalu lama!
Biarpun Li Hwa mendengar jelas dan ia pun sudah
menengok memandang, akan tetapi ia tidak berani
mengeluarkan suara menjawab. la melihat kekasihnya
sedang bersamadhi mengerahkan hawa murni di dalam
tubuh untuk mengobati luka di dalam dada dan semenjak
tadi ia tidak berani berkutik. Menurunkan tangannya yang
memegang pundak Sin Hong saja ia tidak berani, bernapas
pun hati-hati sekali agar jangan sampai Sin Hong terganggu
dalam pengerahan lwee-kangnya. Apalagi harus
mengeluarkan suara keras untuk menjawab pertanyaan
wanita aneh itu. Ia takut kalau-kalau Sin Hong akan
terganggu dan keadaannya menjadi makin hebat.
Juga Tiang Bu diam saja. Anak yang cerdik ini tidak
berani sembarangan membuka mulut. Ia tidak tahu siapa
adanya wanita cantik yang sikapnya gagah tapi angkuh ini.
Kawan ataukah lawan. Oleh. karena itu ia pilih tutup mulut
saja agar jangan mengeluarkan kata-kata yang tidak pada
tempatnya. Setelah menanti jawaban tak kunjung tiba,
Angjiu Moli menjadi marah.
"Apa kalian ini orang-orang tuli!? Ataukah gagu?"
bentaknya, kini lupa akan rasa jengahnya yang tadi dan ia
menoleh ke arah Li hwa dah Sin hong.
Sin Hong membuka matanya dan rnelihat ini. Li Hwa
cepat-cepat menurunkan tangannya dari pundak pemuda
itu. Memang tidak selayaknya di depan orang lain ia
memperlihatkan cinta kasihnya kepada pemuda itu.
Pandang mata Sin Hong tajam luar biasa. Sekilas pandang
8
saja ia dapat menduga siapa gerangan wanita di depannya
ini. Tangan yang merah seperti itu tak mungkin dimiliki
orang kedua kecuali Ang-jiu Mo-li, tokoh utara yang pernah
ia dengar kehebatannya.
"Ang-jiu Mo-li, kau telah menyelamatkan nyawa
keponakanku Tiang Bu dari tongkat maut Thai Gu Cinjin.
Terima kasih!" kata Sin Hong sambil mengangkat kedua
tangan memberi hormat sambil tetap bersila di atas tanah.
Mendengar disebutnya nama Ang-jiu Mo-li, mata Li Hwa
terbuka lebar-lebar peruh kekaguman dan juga keheranan.
Tak disangkanya, Ang-jiu Mo-li yang dulu pernah disebut -
sebut oleh mendiang gurunya, Pat-jiu Nio-nio, sebagai
seorang wanita yang memiliki kepandaian luar biasa
tingginya, ternyata hanyalah seorang wanita yang belum tua
dan cantik sekali!
Di lain fihak mendengar kata-kata Sin Hong, biarpun
pada wajahnya yang cantik itu tidak ada perubahan dan
keangkuhan masih membayang jelas dari pandang matanya,
namun di dalam hatinya Ang jiu Mo-li merasa kaget dan
heran. Kalau orang mengenal namanya, itu dianggapnya
jamak saja, karena memang ia seorang yang amat terkenal,
apalagi tangannya yang berkulit merah halus itu mudah
dikenal orang. Yang amat mengejutkan dan mengherankan
hatinya adalah cara bagaimana pemuda yang pucat dan
terluka berat di dalam dadanya itu bisa tahu bahwa tadi ia
telah menolong bocah itu dan mengusir Thai Gu Cinjin?
Padahal ia tahu benar bahwa pemuda itu sejak tadi
meramkan mata dan mengerahkan tenaga dalam untuk
melawan pengaruh luka di dada. Mungkinkah orang ini
sudah memiliki sinkang demikian tinggi sehingga dalam
siulian (samadhi) tadi dapat memecah panca inderanya?
Juga Li Hwa yang tadi tahu bahwa Ang-jiu Mo-li
menolong mereka mengusir Thai Gu Cinjin, lalu berdiri dan
memberi hormat.
9
"Sudah lama siauwmoi mendengar nama besar Toanio.
Terima kasih atas pertolongan Toanio kepada kami."
Ang-jiu Mo-li menjebikan bibirnya dan diam-diam Li Hwa
harus mengakui bahwa wanita yang berdiri di depannya ini
cantik dan menarik sekali, terutama bentuk tubuhnya yang
bagus dan padat. Di lain fihak Ang-jiu Mo-li juga
memandang Li Hwa penuh perhatian, agaknya seperti
hendak membanding-bandingkan kecantikan muka dan
keindahan bentuk tubuh Li Hwa dengan dirinya sendiri!
"Kau siapa?" tanyanya dengan lagak seperti seorang kota
yang sombong bertanya kepada seorang dusun yang
dianggapnya rendah dan tolol.
Kalau dulu diperlakukan begini, biar-pun tahu orang
yang menghinanya itu berkepandaian tinggi tentu Li Hwa
akan mencak-mencak dan marah sekali. Akan tetapi
semenjak ia dekat dengan Sin Hong, ia sudah banyak
berubah. Pandangannya makin jauh, pertimbangannya
makin masak dan ia dapat menguasai wataknya yang
mudah marah. Sambil tersenyum manis sekali, senyum Li
Hwa memang luar biasa manisnya, ia menjawab. ; "Siauwmoi
bernama Siok Li Hwa, guruku adalah mendiang Pat-jiu
Nio-nio di Go-bi-san."
Ang-jiu Mo-li tersenyum lebar, matanya jelas kelihatan
bahwa ia memandang rendah. "Hemm, Pat-jiu Nio-nio dari
Hui-eng-pai? Aku dulu kenal gurumu itu, kepandaiapnya
tidak jelek."
Bukan main mendongkolnya hati Li Hwa melihat lagak
yang amat sombong dari wanita bertangan merah itu, akan
tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi hanya mengalihkan
pandang matanya, kini ia menengok ke arah Sin Hong yang
masih duduk bersila dan telah meramkan mata kembali.
Hati Li Hwa menjadi lega melihat betapa kedua pipi Sin Hong
yang tadinya pucat kehijauan sekarang sudah menjadi
merah. Tiang Bu ternyata sudah mendekati Sin Hong pula
10
dan anak itu memandang kepada Sin Hong penuh
kekaguman dan perhatian.
"Laki-laki itu siapa?" terdengar Ang jiu Moli bertanya
pula. Suaranya seperti orang bertanya sambil lalu saja, acuh
tak acuh karena ia tidak mau kalau disangka terlalu
"menaruh perhatian" kepada seorang pria! Bahkan ketika Li
Hwa menengok untuk menjawabnya, cepat sekali Angjiu Moli
memutar leher mengalihkan pandang matanya yang tadinya
menatap wajah Sin Hong! "Dia ini adalah Wan-bengcu,
namanya Wan Sin Hong." jawab Li Hwa sengaja
memperkenalkan kedudukan Sin Hong untuk sedikit
mengurangi kesombongan wanita itu, karena harus diakui
bahwa nama Wan-bengcu bukanlah nama kecil saja, dikenal
oleh hampir seluruh orang gagah di dunia persilatan.
Akan tetapi ia kecele kalau mengira demikian. Biarpun
agak tertegun mendengar nama ini, namun Angjiu Moli tidak
berkurang sombongnya.
"Jadi dia ini Wanbengcu?
Siapa yang
melukainya sampai
demikian parah?"
"Thai Gu Cinjin yang
melukainya.....
Li Hwa tak dapat
melanjutkan katakatanya
karena tiba-tiba
Angjiu Molitertawa
terkekeh-kekeh, nadanya
menghina sekali.
"Hihihihi.....! Kiraku
Wan-bengcu adalah
seorang yang berkepala
tiga berlengan enam,
sampai-sampai setiap
malam aku mimpi karena
11
ingin sekali bertemu dan mencoba kesaktiannya. Tidak
tahunya hanya seorang muda bodoh yang oleh Thai Gu
Cinjin saja sudah kalah! Orang she Wan, sung'guh tak patut
kau menjadi bengcu dan kecewa hatiku. Kalau kau tidak
terluka oleh Thai Gu Cinjin tentu aku dapat mengajakmu
mengadu kepandaian dan kau akan terluka bukan oleh
pendeta Lama tolol itu, melainkan oleh tanganku! Sayang
sekali!"
Mendengar kekasihnya dipermainkan orang, Li Hwa tak
dapat menahan kemarahannya. Semangatnya yang dulu,
semangat burung garuda yang tak kenal takut, bangkit
kembali. Ia memandang kepada Angjiu Moli dengan
sepasang mata bersinar, lalu berkata keras.
"Toanio, kau sombong sekali! Wan Sin Hong tidak
kalah....."
Tiba-tiba Sin Hong membetot lengannya dan terdengar
pemuda ini berkata kepada Angjiu Moli.
"Angjiu Moli, mana orang seperti aku ada harga untuk
berpibu dengan kau? Memang aku kalah oleh Thai Gu
Cinjin, apalagi dengan kau, kepandaianku tidak ada artinya
bagimu."
Tadinya Angjiu Moli sudah marah sekali melihat Li Hwa
yang berani menentangnya. Biasanya, siapapun juga yang
berani menentang Angjiu Moli, pasti akan menjadi korban
pukulan tangan merahnya dan dapat dipastikan orang itu
akan tewas! Tadi dia sudah mulai marah, wajah yang cantik
itu sudah mulai merah, bulu matanya sudah bergerak-gerak
seperti ditiup angin. Akan tetapi sikap dan kata-kata Sin
Hong yang merendah itu mengurangi kemarahannya dan
membuat hatinya senang. Wan-bengcu yang disohorkan
orang jarang tandingannya itu kini merendahkan diri di
hadapannya, nampak jerih dan takut! Kembali ia tertawa,
kini bunyi tawanya merdu, tanda keriangan hati, bukan
seperti tadi ketika mengejek.
12
"Kau tidak cantik tapi genit sekali!" bentaknya dan
tangan kanannya melayang ke arah kepala Li Hwa. Li Hwa
terkejut dan tidak tinggal diam. Cepat ia mengerahkan
tenaga dan menggunakan tangan menangkis. Tangannya
bertemu dengan lengan yang halus dan panas sekali yang
begitu bertemu telah menempel tangannya tak dapat ditarik
kembali.
Pada saat itu juga tahu-tahu tangan kiri Angjiu Moli
sudah bergerak dan...., "plak."" pipi kanan Li Hwa kena
tamparan, rasanya pedas, perih dan panas!
"Wan-bengcu, lain kali kalau kau sudah sembuh aku
ingin mencoba kepandaianmu!" Angjiu Moli berseru keras
dan tubuhnya berkelebat cepat sekali ke arah Sin Hong. Li
Hwa tak kuasa menghalanginya karena gerakan wanita
tangan merah itu memang seperti sambaran kilat saja
cepatnya. Tahu-tahu Angjiu Moli sudah menggunakan
tangan kanannya yang merah sekali itu untuk menepuk
punggung Sin Hong. Tepukannya keras dan terdengar suara
"plak!" yang jauh lebih keras daripada ketika menampar pipi
Li Hwa. "Jangan pukul Sin Hong.....!" Li Hwa menjerit dan
melompat untuk menyerang Angjiu Moli, akan tetapi hanya
terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh dara di lain saat
bayangan wanita bertangan merah itu sudah lenyap dari
situ.
Li Hwa tak pedulikan lagi wanita itu dan cepat
menghampiri Sin Hong. Dan ia melihat pernuda itu masih
bersila, kini sudah membuka mata dan memandang
kepadanya dengan senyum lebar. Wajahnya kelihatan segar
dan cahaya matanya berseri, agaknya jauh lebih sehat
daripada tadi!
"Sin Hong.....! Kau tadi dipukul oleh... .. iblis..... siluman
wani....."
"Hush, tenang dan duduklah, Li Hwa." Sin Hong
menyambar pergelangan tangan Li Hwa dan menarik gadis
ini duduk berhadapan dengannya. Tiang Bu juga
13
memandang kepada Li Hwa dengan bengong melihat ke arah
pipi kanan gadis itu.
"Li Hwa, jangan memakinya. Dia tadi memukulku bukan
dengan maksud buruk. Ang-jiu Mo-li memang ganas dan
nakal seperti siluman, akan tetapi hatinya baik”.
"Apa.....? Kau bilang dia itu baik? Dia menampar pipiku,
dia memukul punggungmu. Sin Hong, jangan-jangan kau
sudah terkena sihir lagi. Siapa tahu kalau-kalau siluman itu
pun ahli ilmu hitamseperti Thai Gu Cinjin?"
"Ssst, jangan menuduh sembarangan saja, Li Hwa.
Ketahuilah bahwa tadi dia telah menotok pusat jalan darah
di punggungku dan rnemasukkan hawa Iweekang untuk
mernbantuku sehingga dalam sedetik saja tenaga di dalam
tubuhku menjadi berlipat ganda dan dapat menyembuhkan
luka di dada kananku."
Li Hwa melongo. "Oohh, begitukah? Tapi..... tapi tadi ia
menampar pipiku, sampai sekarang masih terasa panas dan
sakit. Apakah itu pun dengan maksud baik untuk
menolongku?" katanya sambil meraba-raba pipi kanannya
yang terasa panas.
"Niocu, pipi kananmu merah sekali. Ada gambar lima jari
merah di situ!" kata Tiang Bu sambil menuding ke arah pipi
kanan Li Hwa.
"Apa.....?"?" Li Hwa membelalakkan matanya lalu cepat
lari memasuki hutan kecil mencari air. Tak lama kemudian
ia berlari kembali, berdiri di depan Sin Hong sambil
membanting-banting kaki! I a telah menangis dan dengan
suara megap-megap ia berkata.
"Sin Hong kau harus balaskan hinaan ini! Harus!"
katanya sambil menangis dan mengusap-usap pipinya yang
sebelah kanan Sin Hong bersikap tenang. "Duduklah, Li
Hwa. Aku akan memeriksa pipimu yang ditampar."
14
Li Hwa menjatuhkan diri duduk di atas tanah dan Sin
Hong memeriksa pipinya, jari-jari Sin Hong yang merabaraba
pipinya mendatangkan rasa dingin dan sejuk,
menghilangkan rasa panas. Dan dalam keadaan seperti itu
tiba-tiba terasa oleh Li Hwa betapa beda sikap Sin Hong
sekarang terhadapnya. Betapa dalam pandangan mata Sin
Hong kepadanya nampak sesuatu yang aneh namun mesra,
sesuatu yang membuat hatinya berdebar ganjil. Seakanakan
ia melihat titik api di dalam manik mata pemuda itu,
titik api yang hanya timbul apabila mata itu memandang
kepadanya.
Sin Hong tersenyum. "Tidak apa-apa, Li Hwa, Angjiu Moli
hanya main-main. Dalam waktu satu bulan paling lama,
tanda merah itu akan lenyap sendiri."
"Tidak apa-apa katamu? Itu penghinaan namanya!
Penghinaan besar yang harus dibalas? Sin Hong, apa kau
tidak ikut terhina karena perbuatannya ini? Apa kau tidak
malu melihat aku dihina seperti ini.....?" Air matanya
mengucur makin deras, hatinya sakit sekali, jauh lebih sakit
daripada rasa panas di pipinya.
Sin Hong tersenyum. "Mengapa malu, Li Hwa. Dengan
warna merah itu pipimu, kau nampak makin..... cantik
menarik. Bukankah begitu, Tiang Bu?"
Bocah itu tidak tahu tentang cinta kasih. Juga ia tidak
tahu harus berkata apa. Baginya, gambar lima jari di atas
pipi Li Hwa mana bisa disebut menambah cantik,
kelihatannya lucu baginya. Akan tetapi karena ia cerdik dan
dapat menduga bahwa Sin Hong bermaksud menghibur dan
mengurangi kemarahan dan sakit hati Li Hwa, ia
mengangguk-angguk.
Isak tangis yang agak keras itu tiba-tiba terhenti dan
gadis itu menatap wajah Sin Hong dengan bengong, mata
terbuka lebar dan mulut agak terbuka kelihatan giginya yang
putih. Air mata masih mengalir di atas pipinya. Baru
sekarang ia mendengar Sin Hong menyebutnya..... cantik
15
menarik! Pujian ini sekaligus melenyapkan semua
kemarahannya, ia terlalu girang untuk dapat marah lagi,
biar kepada Angjiu Moli sekalipun. Wajahnya perlahan-lahan
menjadi merah dari akar-akar rambul di keningnya sampai
ke leher dan telinganya.
Cap jari merah di pipinya tidak kelihatan lagi karena
sekarang semua wajahnya menjadi kemerahan dan berseriseri.
"Be..... betulkah itu, Sin Hong?" kata lirih dan gagap.
"Apakah yang betul, Li Hwa?" tanya Sin Hong yang benarbenar
tidak dapat menangkap arti pertanyaan gadis ini.
Bibir Li Hwa yang merah bergerak-gerak akan tetapi tidak
ada suara keluar. Ia memandang dengan ragu ke arah Tiang
Bu, lalu terlompat kata-kata jawabannya, "Betulkah
bahwa..... Angjiu Moli tidak menghinaku?" Kegagapannya
dan keragu-raguan dalam kata-katanya ini dapat ditangkap
oleh Sin Hong yang dapat menduga pula bahwa Li Hwa
sengaja menyimpangkan pertanyaannya karena di situ hadir
orang ke tiga, Tiang Bu.
"Dia memang tidak menghinamu dan tak perlu hal ini
kaujadikan dendam. Akan tetapi, memang harus diakui
bahwa perbuatannya itu nakal dan keterlaluan, timbul dari
wataknya yang sombong. Aku berjanji bahwa kelak kalau
ada kesempatan, aku akan berusaha supaya kau dapat
membalas tamparan itu. Puaskah kau sekarang?"
Kegirangan hati Li Hwa bukan kepalang. Kalau di situ
tidak ada Tiang Bu tentu ia akan..... mencubit kekasihnya
itu. Hanya wajahnya saja makin berseri dan sekarang Sin
Hong yang diam-diam memaki diri sendiri bermata buta. Li
Hwa begini cantik jelita, begini manis, begini setia penuh
cinta kasih dan begini mulia hatinya. Mengapa baru
sekarang !a melihatnya seperti itu? Mengapa baru sekarang
hatinya bicara? “Disamping janjiku untuk mernberi
kesempatan kepadamu membalas tamparan itu, aku pun
16
berjanji akan membalas budinya ketika ia menolongku tadi."
kata pula Sin Hong. Li Hwa diam saja, masih terlampau
girang hatinya untuk timbul rasa cemburunya yang biasanya
amat besar itu. Adapun Tiang Bu makin kagum akan
kepribadian Sin Hong yang dianggapnya seorang gagah
perkasa yang patut dicontoh, baik kelihaiannya,
kecerdikannya, maupun kehalusan budinya.
Sin Hong bangkit berdiri perlahan, menggerak-gerakkan
lengan kanannya, mula-mula hati-hati dan perlahan, makin
lama makin cepat dan ia girang sekali mendapat kenyataan
bahwa luka di dalam dadanya telah sembuh.
"Angjiu Moli memiliki Iweekang yang tinggi," katanya
perlahan, kagum dan juga ingin sekali tahu apakah ia tidak
dapat menandingi tokoh wanita utara yang amat terkenal
itu.
"Akan tetapi wataknya buruk, sombong bukan main." Li
Hwa mencela, kini agak merasa "tidak enak" karena Sin
Hong memuji seorang wanita, walaupuri pujian itu bukan
kosong belaka.
"Wan-sioksiok apakah dia itu lebih lihai darimu?" tanya
Tiang Bu, masih terheran-heran karena ia telah bertemu
orang-orang yang amat pandai. Kalau tadinya ia
menganggap Thai Gu Cinjin sebagai orang terpandai, tak
tahunya muncul Wan Sin Hong yang lebih hebat, dan kini
Wan Sin Hong memuji-muji Angjiu Moli. Begitu banyaknya
orang pandai, setiap bertemu yang baru lebih pandai lagi.
Siapa gerangan orang yang memiliki kepandaian tinggi?
Mendengar pertanyaan Tiang Bu, Sin Hong memandang
bocah itu dan tersenyum. Ia suka kepada Tiang Bu setelah.
menyaksikan keberanian dan kecerdikan anak ini, dan ia
berbareng merasa heran sekali mengapa wajah Tiang Bu
tidak tampan. Padahal ayahnya, Liok Kong Ji, biarpun
berwatak jahat namun memiliki wajah yang tampan sekali
dan ibunya Gak Soan Li, adalah seorang wanita gagah yang
cantik. Tiba-tiba Sin Hong teringat akan hal yang
17
menakjubkan hatinya tadi ketika ia melihat bocah ini
berhasil memukul Thai Gu Cinjin!
"Tiang Bu, tak perlu kita ketahui siapa yang lebih lihai.
Betapa pun tinggi kepandaian seorang manusia, tentu ada
orang lain yang melebihinya dan setiap orang mempunyai
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tadi pun kau
telah dapat memukul Thai Gu Cinjin, bukankah itu aneh
sekali?"
Wajah Tiang Bu membayangkan kekecewaan hati.
"Sayang aku bodoh dan tidak bertenaga. Kalau ada sedikit
saja tenagaku, tentu akan dapat membantumu melawan
Thai Gu Cinjin. Pukulan- pukulanku tidak terasa olehnya,
bahkan telapak tanganku sendiri terasa sakit dan panaspanas."
Sin Hong tersenyum dan maklum, bahwa tentu saja
pukulan seorang anak kecil ini tidak ada artinya bagi tubuh
Thai Gu Cinjin yang sudah kebal. Yang mengherankan
hatinya hanyalah cara Tiang Bu melakukan serangan
sehingga berhasil tadi.
"Tiang Bu, coba kau menyerang aku dengan pukulanpukulan
seperti yang telah kau lakukan terhadap Thai Gu
Cinjin tadi.
"Aah, Wan siokhu (Paman Wan), jangan mentertawakan
kebodohanku!"
"Anak bodoh, orang mau memberi petunjuk disangka
mentertawakan. Apa yang harus ditertawakan dalam ilmu
silat?" Li Hwa mencela Tiang Bu. Mendengar ini, merah
wajah Tiang Bu, matanya berseri dan ia memandang kepada
Sin Hong.
"Sioksiok, kau benar-benar mau memberi petunjuk
padaku?" tanyanya girang.
18
"Kita lihat saja nanti. Aku hanya ingin melihat pukulanpukulanmu
yang tadi telah berhasil mengenai tubuh Thai
Gu Cinjin. Mulailah!"
Tadinya memang Tiang Bu merasa ragu-ragu untuk
menyerang Sin Hong biarpun hal itu adalah atas kehendak
Sin Hong sendiri, akan tetapi setelah mendengar bahwa ia
akan diberi petunjuk, dengan penuh semangat ia lalu mulai
menyerang dengan Ilmu Silat Pat-hong-hong-i yang sudah ia
pelajari dari kitab pusaka Omeisan.
Sin Hong melihat kedua lengan bocah itu bergerak-gerak
secara aneh dan cepat sekali juga kedudukan kakinya
berpindah-pindah merupakan segi delapan. la merasa
terkejut sekali, bukan saja karena sifat-sifat yang amat luar
biasa dan lihai dari ilmu silat ini, akan tetapi terutama sekali
karena ia tidak mengenalnya! Inilah hebat. Sebagai seorang
bengcu, tentu saja Sin Hong mengenal hampir semua ilmu
silat, akan tetapi yang sekarang di mainkan oleh Tiang Bu
ini sama sekali belum pernah ia melihatnya. Hampir mirip
dengan Pak kwa kun-hwat akan tetapi lebih hebat, apalagi
serangan-serangan dengan dua tangan itu berubah menjadi
banyak!
Sin Hong menangkis perlahan dan mengelak akan tetapi
segera ia mengeluarkan seruan tertahan karena sebentar
saja ia terpaksa main mundur karena terdesak hebat! Kedua
tangan bocah itu seakan-akan bergerak otomatis, apabila
yang kiri ditangkis atau dihindarkan, yang kanan tentu
melakukan serangan berikutnya, demikian seterusnya kedua
tangan itu menghujankan serangan-serangan yang luar
biasa dan tak terduga-duga. Demikian hebat serangan Tiang
Bu sampai-sampai Sin Hong yang lihai terpaksa
menggunakan seluruh perhatiannya untuk menjaga diri
jangan sampai terpukul seperti Thai Gu Cinjin tadi.
"Hebat sekali ilmu silatnya ini," pikir Sin Hong kagum,
"kalau ia sudah dewasa dan besar tenaga, sukar menahan
serangan-serangannya. Ilmu silat apakah dan dari manakah
19
ini yang demikian hebat mengatasi semua ilmu silat yang
pernah kupelajari dan kukenal?"
Kemudian Sin Hong teringat betapa bocah ini dengan
amat lihainya meloloskan diri dari serangan-serangan maut
Thai Gu Cinjin sehingga kakek itu terpaksa merobohkannya
dengan ilmu hitam. Teringat akan ini ia cepat berkata,
"Cukup seranganmu ini. Sekarang jagalah baik-baik dan
kelit semua seranganku!"
Tiang Bu mentaati perintah "Pamanya Wan" yang lihai
dan mengagumkan hatinya itu. Ia menghentikan seranganserangannya
dengan Ilmu Silat Pat-hong-hong-i mulai
menjaga diri dengan Ilmu Kelit Sam-hoan Sam-bu.
Serangan Sin Hong dimulai dengan tubrukan yang
dahsyat. Ia bermaksud menubruk dan menangkap bocah itu
dari dua jurusan kanan kiri dengan kedua lengan dipentang.
Akan tetapi, bagaikan belut saja, bocah itu membuat
gerakan lemas dan aneh seperti orang menari dan..... Sin
Hong menubruk angin! la mengelak dan cepat mengirim
serangan susulan yang makin lama makin dahsyat. Namun
dengan cara yang luar biasa sekali Tiang Bu selalu dapat
menyelamatkan diri sampai sepuluh jurus berturut-turut.
Inilah hebat! Seorang bocah cilik dapat mengelak selama
sepuluh jurus berturut-turut dari serangan Wan Sin Hong,
benar-benar hebat. Jago silat tingkat menengah saja belum
tentu mampu menahan sampai lima jurus. Yang
mengagumkan hati Sin Hong sesungguhnya bukan bocah itu
yang sudah terlalu lihai, melainkan ilmu silat yang agaknya
khusus untuk berkelit itulah yang terlalu hebat. limu kelit
ini seperti gerakan menari, namun membuka banyak jalan
untuk melepaskan diri dari bahaya ancaman serangan lawan
secara aneh dan cepat.
Untuk kedua kalinya Sin Hong merasa terpukul. Juga
ilmu silat atau ilmu kelit ini ia tidak kenal dan tak pernah
melihatnya. Benar-benar membuat ia tertegun dan
melompatlah ia ke belakang.
20
"Cukup! Tiang Bu anak baik, dari mana kau memperoleh
dua ilmu silat yang luar biasa ini? Atau pernahkah kau
mempelajari ilmu silat lain selama kau meninggalkan
rumah?"
Dasar anak kecil. Biasanya ia hanya menghadapi celaan
dan kebencian, sekarang melihat sikap Sin Hong yang amat
ramah dan mendengar pujiannya, Tiang Bu menjadi girang
sekali dan cepat menjawab untuk memamerkan.
"Masih ada satu lagi, Wan-sioksiokl"
"Coba kau perlihatkan dan kau gunakan untuk
menyerangku."
Dalam kegembiraannya untuk memamerkan ilmu
silatnya yang ketiga," Tiang Bu cepat membuka pasangannya
dan cepat mainkan Ilmu Silat Hui houw tongte yang ia
pelajari dari Pak kek Samkui, jari-jari tangannya dibuka
merupakan cengkeraman dan ia mengeluarkan gerengangerengan
kecil seperti seekor harimau cilik berlagak. Dengan
dahsyat ia menyerang Sin Hong. Akan tetapi alangkah kaget
dan kecewanya ketika baru saja dua gebrakan ia menyerang,
ia telah ditangkap lengannya dan didorong mundur,
dibarengi suara Sin Hong yang penuh teguran.
“Ilmu silat apa yang kau perlihatkan ini? Ilmu silat jahat
dan kotor seperti ini harap jangan kau mainkan lagi selama
hidupmu!"
Tiang Bu melangkah mundur dengan muka merah.
"Maaf, Sioksiok. Aku hanya dipaksa belajar ilmu silat ini oleh
Pak-kek Samkui....." katanya lambat
"Yang dua pertama tadi, dari siapa kau belajar dan apa
namanya, ilmu silat menyerang dan mempertahankan tadi?"
"Yang ke dua adalah Ilmu Kelit Sam-hoan Sam-bu yang
kupelajari dari Suhu Bu Hok Lokai, dan yang pertama....."
Tiang Bu ragu-ragu. Menurut Bu Hok Lokai, kitab yang
mengandung Ilmu Silat Pat hong hong i itu adalah kitab
21
curian yang diperebutkan oleh orang-orang kangouw. Kitab
itu terjatuh ke dalam tangannya secara kebetulan sekali.
Haruslah ia ceritakan ini? Selagi ia ragu-ragu, tiba-tiba
angin menyambar-nyambar, daun-daun pohon pada rontok
dan beterbangan ke bawah.
"Ayaaa....." terdengar Li Hwa menjerit.
"Gunakan tenaga khikang menangkis daun-daun itu.....!!"
teriak Sin Hong kepada Li Hwa dan ia menubruk ke depan
untuk memeluk Tiang Bu dan melindunginya, akan tetapi
alangkah kagetnya karena ia tidak dapat menemukan Tiang
Bu.
Sementara itu, daun-daun masih rontok sepertl hujan
dan anehnya, daun-daun ini melayang cepat dan kalau
mengenai tubuh terasa sakit-sakit seperti jarum-jarum
disambitkan saja! Li Hwa dan Sin Hong menggunakan kedua
tangan untuk mengebut ke kanan kiri sehingga daun-daun
yang mendekati mereka pada runtuh ke bawah. Kemudian
tidak hanya daun-daun yang beterbangan hingga sukar
untuk melihat ke depan, bahkan pasir dan tanah debu
berhamburan ke atas menyerang mata mereka.
"Keluar dari tempat ini!" Seru Sin Hong Sambil menarik
lengan Li Hwa dan mengajaknya melompat jauh keluar dari
bawah pohonpohon itu.
"Mana Tiang Bu.....?" tanya Li Hwa.
"Entahlah. Biar aku mencarinya!" kata Sin Hong dan
baru ia sadar betapa dalam bahaya ini, baginya yang
terpenting lebih dahulu adalah menyelamatkan Li Hwa dari
bahaya!
"Lihat itu.....'." jerit Li Hwa sarnbil menudingkan
telunjuknya ke arah sebuah pohon besar yang berdiri. Sin
Hong menengok dan melihat pemandangan yang aneh dan
membuat bulu tengkuknya berdiri.
22
Di puncak pohon itu, di antara daun-daun dan rankingranting
seperti seekor burung besar, duduk bersila seorang
kakek gundul botak yang tubuhnya kurus dan jangkung
sekali. Kakek itu tangan kirinya mengempit tubuh Tiang Bu
yang entah kapan telah ditangkapnya, sedangkan tangan
kanannyu melakukan gerakan mendorong, menarik, dan
memutar-mutar ke arah pohon-pohon dan tanah di mana
tadi mereka berdiri. Dan dari tangan kanannya itu seakanakan
keluar angin puyuh yang membuat daun-daun hijau
rontok dan pasir serta debu di tanah membubung naik!
Tenaga seperti ini selama hidupnya belum pernah
disaksikan oleh Sin Hong, apalagi oleh Li Hwa.
Melihat dua orang muda itu melompat jauh, kakek
gundul itu menghentikan gerakan-gerakan tangannya dan
seketika angin puyuh berhenti. Kakek itu laki menibuka
mulut sambil menengadah dan keluarlah suara nyanyian
yang parau dan serak, sama sekali tidak sedap didengar
telinga. Akan tetapi kata-kata dalam nyanyian itu
didengarkan dengan penuh perhatian oleh Sin Hong dan Li
Hwa.
"Di antara Ciunglai dan Tailiang
Barang simpanan dicuri orang,
Lam thian Heng te buta dan tuli.
Dua cacing tua menunggu mati
Tak ingin mati seperti macan.
Lebih baik tak diketahui kawan lawan.
Akan tetapi, Thian Maha Kuasa
DiturunkanNya calon Naga!
Cacing tua berubah pikiran.
Berkenan tinggalkan sedikit warisan."
Kata-kata dalam nyanyian ini amat menarik hati Sin
Hong. Akan tetapi selagi ia hendak mengajukan pertanyaan,
tiba-tiba sinar terang berkelebat di puncak pohon tinggi itu
dan di lain saat kakek gundul itu lenyap bersama Tiang Bu!
23
"Celaka! Kembali Tiang Bu diculik orang!" kata Li Hwa
mendongkol.
"Beruntung sekali anak itu....." kata Sin Hong perlahan
sambil menarik napas panjang, hatinya masih tegang
menyaksikan kehebatan kakek tadi.
"Beruntung? Apa maksudmu, Sin Hong?" tanya Li Hwa.
"Li Hwa, apakah kau tidak memperhatikan nyanyian
kakek tadi?"
"Aku mendengar, akan tetapi apa sih artinya nyanyian
tidak karuan itu?"
"Apakali kau belum pernah mendengar tentang dua orang
kakek sakti setengah dewa yang bertapa di Omeisan dan
yang tidak mau mempedulikan urusan duniawi, akan tetapi
ditakuti semua orang karena luar biasa lihainya?"
"Tentu saja aku pernah mendengar tentang dua orang
kakek itu. Bukankah mereka itu berada di daerah selatan?"
Sin Hong mengangguk. "Tahukah kau, di antara Ciunglat
dan Tailiangsan dua pegunungan yang disebut dalam
nyanyiannya tadi terdapat apa?"
Li Hwa mengerutkan alisnya yang hitam panjang dan
rapi. Sepasang matanya yang jeli dipejam-pejamkan, akan
tetapi karena ia belum terlalu jauh merantau dan tidak
mengenal daerah selatan, ia tak dapat menjawab, hanya
menggelengkan kepala setelah lama berpikir.
"Eh, kiraku kau akan menyebut nama tempat itu, alisnya
berkerut-kerut dan matamu berkedap-kedip, tak tahunya
jawabanmu hanya menggeleng kepala!" Sin Hong menggoda
dan Li Hwa tertawa manis.
"Ketahuilah, di antara dua pegunungan di sebelah barat
Propinsi Secuan itu terdapat Gunung Omeisan. Dia tadi
bilang dalam nyanyiannya bahwa barang simpanan dicuri
orang. Tentu ada sesuatu yang hilang sehingga kakek itu
sampai keluar dari tempat pertapaan dan berada di sini.
24
Kalau tidak amat penting, tak mungkin seorang sakti yang
sudah menjauhkan segala keduniawian mau pergi sebegitu
jauhnya."
"Selanjutnya dia bilang Lamthian Hengte buta dan tuli,
dua cacing tua menunggu mati. Tak ingin mati seperti
macan, lebih baik tak diketahui kawan dan lawan. Apa
artinya itu?" tanya Li Hwa.
"Aha, kiranya ingatanmu pun kuat sekali Li Hwa. Kau
sudah hafal nyanyian itu di luar kepala!" teriak Sin Hong
dengan muka berseri.
"Habis, apa kaukira aku sebodoh kerbau? Sin Hong,
jangan kau menggoda orang saja, aku menjadi gemas
melihamu!" kata Li Hwa cemberut, marah dibuat -buat. Sin
Hong tersenyum lebar. "Dan aku jadi senang melihatmu
marah-marah dan gemas. Kau makin manis kalau cemberut,
Li Hwa."
Wajah Li Hwa menjadi merah sekali sehingga cap tangan
di pipinya tidak kelihatan. Untuk ke dua kalinya dalam hari
ini ia merasa hatinya berdetak tidak karuan karena
girangnya mendengar Sin Hong yang selama ini "alim" sekali,
berturut-turut menyebutnya "cantik menarik" dan sekarang
"manis"!
"Betulkah itu, Sin Hong?" tanyanya pula lirih, pertanyaan
yang sama ketika ia disebut cantik menarik.
“Apanya yang betul, Li Hwa?" Sin Hong balas bertanya.
Sebetulnya pemuda ini sudah dapat menduga betapa
girangpya gadis ini karena pujian-pujiannya, akan tetapi ia
sengaja berpura-pura bodoh untuk menggoda.
"Betulkah bahwa aku..... bahwa kauanggap aku.....
manis?" Li Hwa kini menundukkan mukanya, suaranya
perlahan sikapnya malu-malu. Sin Hong berdebar penuh
bahagia hatinya, juga ia merasa heran. Biasanya Li Hwa
bersikap terus terang dan dalam menyatakan cinta kasihnya
tidak malu-malu? Mengapa setelah ia mulai menyatakan
25
bahwa ia pun membalas cinta kasih itu, Li Hwa nampak
malu-malu dan tidak berani memandangnya? Aneh sekali
kaum wanita, pikir Sin Hong.
"Li Hwa, terus terang saja. Baru sekarang hatiku
terbuka, baru sekarang mataku terbuka. Kaulah wanita yang
paling cantik dan manis di dunia ini!"
Li Hwa meramkan mata menahan air mata yang hendak
mengucur keluar kedua kakinya lemas sehingga ia
menjatuhkan diri berlutut. Cepat-cepat ia menutupi
mukanya dengan kedua tangan agar Sin Hong tidak melihat
ia mengucurkan air mata!
"Eh, kau kenapakah?" Sin Hong bertanya sambil
menyentuh pundaknya.
Li Hwa menggoyang kepala dan pundak, diam-diam
menghapus air matanya, lalu berdiri dan tersenyum lebar.
Matanya masih basah akan tetapi tidak ada air mata yang
keluar lagi.
"Tidak apa-apa, hayo jelaskan keteranganmu tentang
nyanyian tadi!" katanya, sikapnya biasa seperti sediakala.
Kembali Sin Hong terheran-heran.
Memang Li Hwa seorang wanita luar biasa, pikirnya.
Akan tetapi ia tidak mau menggoda terus dan melanjutkan
penjelasannya untuk menerangkan arti nyanyian kakek tadi.
"Dia bilang Lamthian Hengte buta dan tuli. Lamthian
Hengte berarti kakak beradik dari dunia selatan, siapa lagi
kalau bukan dua orang kakek sakti di Omeisan? Dengan
pengakuan buta tuli, dimaksudkan bahwa dua orang kakek
itu seperti dua ekor cacing tua menunggu mati. Ucapan ini
untuk menyatakan kerendahan hati mereka yang
menyamakan diri sendiri seperti cacing. Memang orangorang
sakti selalu menuruti jalan merendah, makin tinggi
kepandaiannya makin ia merendahkan diri.
26
Ada peribahasa yang menyatakan bahwa macan mati
meninggalkan kulitnya dan manusia mati meninggalkan
nama baiknya. Akan tetapi dua orang kakek Omeisan tidak
mau mencari nama atau meninggalkan nama tersohor,
malah merasa lebih baik tidak berhubungan dengan orang
luar sehingga tidak punya kawan juga tidak punya lawan!"
"Ah, jelaslah sekarang kuberi keterangan Sin Hong.
Benar-benar dia telah merendahkan diri secara berlebihan!",
kata Li Hwa, memandang kepada Sin Hong dengan kagum.
Biarpun mulutnya berkata demikian, seakan-akan memuji
dan kagum kepada kakek sakti itu namun matanya jelas
menyatakan bahwa sebenarnya Sin Honglah orangnya yang
ia kagumi!
"Kemudian ia bilang bahwa thian telah menurunkan
seorang calon Naga yang berarti seorang calon pendekar
besar. Tak salah lagi tentu yang ia maksudkan Si Tiang Bu!
Memang anak itu luar biasa sekali. Kau melihat sendiri
betapa sekecil itu ia telah menguasai dua macam ilmu silat
yang amat luar biasa, yang selama hidupku baru sekali itu
kulihat. Kemudian setelah melihat Tiang Bu, agaknya
hatinya tergerak dan pendiriannya untuk mati dan
meninggalkan nama berubah. I a berniat akan meninggalkan
sedikit warisan, tentu sebagai seorang sakti warisannya
adalah ilmu kesaktian yang akan ditinggalkan kepada Tiang
Bu."
"Jadi dia mengambil Tiang Bu sebagai muridnya?" kata Li
Hwa sambil mengangguk-angguk. "Pantas saja kaubilang
bahwa Tiang Bu beruntung sekali."
Sin Hong mengerutkan keningnya. "Betapapun juga,
kalau teringat riwayat ayahnya, kadang-kadang aku menjadi
ragu-ragu. Kalau betul dugaanku tadi bahwa Tiang Bu akan
menjadi murid orang pandai sehingga dia sendiri kelak
memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari ayahnya sendiri,
kemudian kalau dia... dia menuruni watak ayahnya,
bukanlah itu hebat sekali?"
27
Li Hwa maklum akan kegelisahan hati Sin Hong karena
ia pun tahu betapa jahat ayah anak itu, yakni Liok Kong Ji
manusia iblis yang tiada taranya dalam hal kejahatan.
Keduanya, termenung dan perlahan Li Hwa berkata,
"Mudah-mudahan tidak begitu jahat....."
Kemudian dua orang muda itu melanjutkan perjalanan
sambil bergandengan tangan.
-oo(mch)oo-
Gunung Omeisan adalah sebuah gunung yang tinggi dan
indah dipandang dari jauh namun sukar didaki orang.
Banyak jurang-jurang yang amat curam, lereng yang terjal
penuh gunung- gunungan batu karang yang tinggi
meruncing seperti menara-menara alam yang penuh rahasia.
Karena keadaan di Gunung Omeisan ini amat sukar dan
berbahaya sekali, maka hampir tidak ada orang pernah
mendaki. Kalau ada juga, maka hanya sampai di lereng.
Mereka ini adalah pemburu-pemburu ahli -ahli silat atau
penduduk-penduduk di daerah itu yang datang untuk
berburu, mencari daun-daun obat, mencari kayu-kayu
berharga dan lain-lain. Akan tetapi tak ada yang berani
mencoba naik melalui lereng batu-batu karang yang amat
terjal itu. Bukan saja tidak berani karena berbahaya,
terutama sekali karena mereka tahu bahwa di puncak
karang itu tinggal dua orang kakek sakti yang mereka
anggap sebagai dewa dan tak berani mereka mengganggu
dua orang kakek itu.
Pada suatu pagi yang amat dingin, dari atas puncak
gunung Omeisan itu nampak dua titik hitam-hitam
bergerak-gerak ke sana kemari, cepat dan gesit. Dilihat dari
jauh, orang akan rnengira bahwa itu adalah dua ekor
burung besar dan kecil. Akan tetapi setelah dua titik itu
makin turun, akan nampaklah bahwa mereka itu adalah
seorang kakek gundul jangkung kurus dan seorang pemuda
28
tanggung yang berlompatan ke sana kemari di atas ujung
batu-batu yang runcing!
Pemuda tanggung itu adalah Tiang Bu! Dan kakek itu
adalah kakek gundul jangkung yang dulu membawanya
pergi dari depan Sin Hong dan Li Hwa. Siapakah gerangan
kakek lihai ini? Tepat seperti dugaan Sin Hong dahulu,
kakek ini adalah seorang di antara dua kakek sakti dari
Omei-san. Dia adalah Tiong Jin Hwesio, dan yang seorang
lagi adalah seorang kakek yang sudah lebih tua dari Tiong
Jin hwesio yang berusia tujuh puluh tahun, yaitu suhengnya
yang bernama Tiong Sin Hwesio berusia delapan puluh
tahun dan rambutnya panjang sudah putih semua.
Tiong Sin Hwesio dan Tiong Jin Hwesio adalah dua orang
pertapa yang sudah puluhan tahun menyembunyikan diri
tidak mau berurusan dengan dunia luar.Kepandaian
mereka luar biasa tingginya. Hal ini tidak mengherankan
kalau diingat bahwa Tiong Sin Hwesio adalah pewaris dari
ilmu-ilmu yang ditinggalkan oleh Tat Mo Couwsu sedangkan
Tiong Jin Hwesio mewarisi ilmu-ilmu dari Hoan Hian
Couwsu! Dua orang kakek tua ini hidup sebagai pertapa di
puncak Omeisan di mana mereka bangun sebuah pondok
berbentuk kelenteng yang cukup besar dan indah. Tiong Jin
Hwesio mempunyai kepandaian mengukir, maka semua
tiang-iang dan payon-payon pondok itu diukirnya, sehingga
merupakan bangunan yang akan mengagumkan hati orangorang
kota.
Kesenangan dua orang pertapa ini hanya bersamadhi dan
melatih ilmu-ilmu yang mereka pelajari. Memang aneh sekali
kalau dipikir. Hidup sebagai pertapa dan bermaksud tinggal
di situ sampai mati, akan tetapi keduanya amat tekun
memperdalam ilmu kepandaian mereka. Di samping ini,
mereka paling suka main catur sehingga dahulu Bu Hok
Lokai sampai dibawa ke situ hanya untuk diajak bermain
catur! Bukan hanya Bu Hok Lokai, sudah banyak orangorang
yang terkenal ahli main catur, biarpun tinggalnya di
29
kota raja atau jauh sekali dari situ, tetap akan diculik dan
mereka bawa ke puncak Omeisan untuk diajak main catur!
Karena kesenangan bermain catur inilah yang
memungkinkan Thai Gu Cinjin yang amat licin dan banyak
tipu muslihat itu untuk mencuri sebuah kitab dari kedua
kakek itu. Dengan mengajak dua orang ahli catur dari Tibet,
Thai Gu Cinjin mendaki Gunung Omeisan. Tentu saja
diterima dengan girang sekali oleh dua orang kakek itu
karena ia membawa dua orang ahli catur itu. Kalau saja ia
tidak membawa dua orang ahli catur itu, sudah tentu dia
tidak diperbolehkan naik ke puncak. Segera Tiong Hwesio
dan Tiong Jin Hwesio tenggelam dalam permainan catur
menghadapi dua orang ahli dari Tibet yang dibawa oleh Thai
Gu Cinjin itu. Dan bukan main permainan ini. Sampai tiga
hari tiga malam! Waktu itulah yang memungkinkan Thai Gu
Cinjin menyelinap ke dalam pondok dan akhirnya ia berhasil
mencuri sebuah kitab yang berisi pelajaran Ilmu Silat Pat
hong hong i.
Sampai lama sekali setelah Thai Gu Cinjin dan dua orang
ahli catur itu pergi turun dan Omeisan baru dua orang
kakek ini tahu akan kehilangan sebuah kitab pusaka. Tiong
Jin Hwesio menjadi marah dan turun gunung untuk
mencari. Karena turunnya ini yang menyebabkah beberapa
orang lihai di dunia kahgouw tahu bahwa kitab Omeisan
dicuri Thai Gu Cinjin sehingga di mana-mana pendeta Lama
jubah merah ini dihadang orang untuk dirampas kitabnya.
Dan akhirnya, seperti telah diceritakan semula, kitab itu
terjatuh ke tangan Tiang Bu secara kebetulan sekali dan
karena bocah ini mempelajari Pat hong hong i, maka Tiong
Jin Hwesio dapat mengenal ilmu silat itu dan membawa
bocah ini ke Omeisan. Juga Tiong Sin Hweslo suka sekali
rnelihat Tiang Bu, yang memiliki bakat luar biasa, maka ia
pun setuju dengan niat sutenya untuk mengangkat Tiang Bu
menjadi ahli waris Omeisan!
30
Memang pada dasarnya Tiang Bu berbakat dan suka
sekali akan ilmu silat. Tak dapat disangkal bahwa hatinya
amat rindu akan pulang, rindu kepada ayah bundanya,
terutama sekali rindu kepada Lee Goat. Akan tetapi,
kesukaannya belajar silat mengatasi kerinduannya sehingga
rindunya terobati ketika ia mulai belajar ilmu sitat di puncak
Omeisan
la tekun sekali dan ditambah kecerdikannya, dua orang
kakek sakti di Omeisan menjadi makin sayang kepadanya.
Akan tetapi dua orang sakti itu tidak memperlihatkan kasih
sayang mereka, bahkan mereka bersikap keras dan lidak
saja Tiang Bu harus berlatih berat sekali, juga anak ini
harus bekerja keras. Setiap hari Tiang Bu harus
membersihkan pondok, mencari kayu, menimba air, mencuci
daun-daun, dan lain-lain.
Namun bocah yang tahu diri ini melakukan semua
pekerjaannya tanpa mengeluh. Ia menerima semua
pekerjaan berat itu sebagai biaya pelajarannya. Ia tidak tahu
bahwa pekerjaan-pekerjaan itu sebetulnya termasuk
"latihan" pula, latihan untuk menguatkan tubuhnya
sehingga tubuh dan pikirannya menjadi biasa akan
penderitaan lahir. Seorang gagah harus kuat menahan
penderitaan lahir.
Baru saja lima tahun Tiang Bu belajar ilmu di Omeisan,
ia telah memperoleh kemajuan yang luar biasa sekali. Pada
pagi hari itu, ia dilatih oleh Tiong Jin Hwesio dalam ilmu
yang disebut Liap tinsut (Ilmu Mengejar Awan)! Itulah
semacam ilmu laricepat atau ilmu melompat yang
berdasarkan ginkang yang sempurna.
Akan tetapi pemuda tanggung ini sudah pandai sekali
melompati jurang yang sepuluh tombak lebarnya,
berlompatan dari ujung batu karang ke ujung lain yang amat
runcing sehingga menuruni lereng yang terjal serta melalui
daerah jurang yang curam itu baginya bukan apa-apa lagi
31
Tiong Jin Hwesio yang melatih ginkang padanya,
membawanya ke tempat berbahaya di daerah gunung itu.
Makin lama kakek ini membawa Tiang Bu ke tempat yang
makin sukar sehingga beberapa bulan kemudian tidak ada
sebuah pun tempat yang tak dapat didatangi Tiang Bu.
Tentu saja kakek ini merasa puas sekali.
Juga dalam ilmu-ilmu yang lain Tiang Bu
memperlihatkan kemajuannya. Biarpun dua orang suhunya
menghujaninya dengan pelajaran-pelajaran berat, namun ia
dapat mengatur waktunya dan dapat menerima semua itu
dengan baik.
"Pinceng dan Jisuhumu (Gurumu yang ke Dua) tak
pernah mempergunakan senjata. Thian sudah mengaruniai
kita dengan tangan kaki, panca indera dan akal budi.
Mengapa pula kita harus mengandalkan bantuan senjata
seperti pedang atau golok? Tidak, biarpun hanya dengan
tangan dan kaki, asal dilatih baik tidak akan kalah
menghadapi senjata yang bagaimanapun juga," kata Tiong
Sin Hwesio kepada muridnya.
Memang keistimewaan inilah yang membuat Tiong Sin
Hwesio dan Tiong Jin Hwesio terkenal sebagai orang-orang
sakti yang berilmu tinggi. Mereka tak pernah
mempergunakan senjata, akan tetapi selama ini, tak seorang
pun yang berani mencoba-coba dapat mengalahkan mereka.
Banyak sudah ahli-ahli pedang, ahli-ahli tombak dan ahliahli
senjata lainnya sengaja datang untuk mencoba-coba
karena mereka ini sebagai ahli senjata tentu saja tidak suka
dicela. Akan tetapi mereka semua roboh dengan mudah saja
oleh Tiong Sin Hwesip dan Tiong Jin Hwesio.
"Thian melengkapi kita dengan akal budi. Untuk apakah
ke mana-mana rnembawa senjata tajam seperti jagal? Kalau
memang perlu, setiap benda di depan kita, baik benda itu
berupa setangkai kembang, sebatang ranting, atau sehe lai
daun, dapat kita pergunakan untuk membela diri. Bukan
senjata yang istimewa, melainkan orangnya yang berada di
32
belakang senjata. Golok pusaka, pedang mustika, segala
yang runcing-runcing dari yang tajam-tajam takkan ada
artinya apabila orang yang memegangnya tolol.
Sebaliknya, sehelai daun akan lebih berguna daripada
sebatang pedang apabila orang yang mempergunakannya
mengerti bagaimana harus mempergunakannya," demikian
Tiong Sin Hwesio melanjutkan nasihatnya kepada Tiang Bu
yang selalu mendengarkan dengan penuh perhatian dan
mencatatnya baik-baik di hati dan ingatannya.
Dilihat dari semua nasihat ini, sama sekali tidak
mengherankan apabila Tiang Bu tak pernah mendapat
pelajaran bersilat dengan senjata apa pun juga. I a hanya
menerima pelajaran ilmu silat tangan kosong, ini pun tidak
begitu dipentingkan oleh dua orang kakek itu. Yang lebih
dipentingkan adalah penggemblengan dalam memperkuat
hawa sinkang di dalam tubuh, mengumpulkan tenagatenaga
tersembunyi sehingga dapat dipergunakan dengan
baik-baik.
Dapat dimengerti apabila tanpa disadarinya, Tiang Bu
telah memiliki tenaga lweekang yang hebat dan memiliki
ilmu khikang dan ginkang yang istimewa. Dengan sinkang
orang dapat memiliki tubuh yang kuat dan kebal, dengan
lweekang orang dapat mengatur tenaga sehingga tenaga
seratus kati menjadi seribu kati, dengan khikang orang
dapat mengatur pernapasan sehingga tidak saja isi dadanya
bersih, juga terutama sekali napasnya panjang dan kuat.
Dengan ginkang orang dapat mengatur gerakan yang
lincah, ringan dan cepat. Kalau semua ini sudah terpenuhi,
berarti orang sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi!
Dengan dasar-dasar ini, orang sudah menjadi kuat dan
sukar dikalahkan.
Beberapa bulan kemudian pada suatu hari Tiang Bu
duduk mengaso di bawah sebatang pohon. Ia tidak lelah,
karena tubuhnya sudah kuat sekali, dan mengerjakan
pekerjaan mengangkut air dari lereng ke puncak sudah
33
rnenjadi kebiasaan sehari-hari. Yang membuat ia ingin
beristirahat di bawah pohon adalah panas terik matahari
yang membakar kulit. Musim panas sedang hebat-hebatnya,
sehingga di lereng Omeisan yang biasanya dingin itu pun
tidak luput dari serangan hawa panas matahari.
Hawa panas, bayangan pohon, ditambah silirnya angin
gunung membuat Tiang Bu duduk melenggut bersandarkan
tongkat pikulannya. Tempat ia berhenti mengaso itu adalah
di lereng selatan di mana terdapat sebuah kelenteng kuno
yang sudah mulai rusak karena tidak dipakai lagi. Di depan
kelenteng itu terdapat pagar terbuat daripada kayu besi yang
berukir indah. Di luar pagar inilah Tiang Bu duduk
mengaso, melenggut dan mengantuk karena malam tadi ia
terlalu malam berlatih teori ilmu silat sampai lupa waktu.
Tiba-tiba ia mendengar suara senjata beradu nyaring
sekali, seakan-akan berada di dekat telinganya. Tiang Bu
membuka matanya dan dengan terheran-heran ia melihat
dua orang gadis cilik sedang bertempur. Keduanya
mempergunakan sebatang pedang dan gerakan mereka
lincah dan indah.
"Cringg.....!" pedang berkali-kali bertemu menerbitkan
suara nyaring dan bunga api berpijar menyilaukan mata.
Kantuk yang tadi menguasaii mata Tiang Bu seketika
lenyap, terganti oleh perhatian dan keheranan. Ia melihat
gadis cilik itu kedua-duanya sama pandai dan usia mereka
pun sebaya, paling banyak sepuluh tahunan. Akan tetapi
keduanya telah memiiiki kepandaian ilmu pedang yang
hebat. Ketika Tiang Bu memandang penuh perhatian kepada
seorang di antara dua anak perempuan itu, hatinya berdebar
aneh. Ia seperti sudah kenal baik bocah itu, kenal baik
sekali. Hidung yang kecil meruncing, bibir itu, mata itu.....!
"Lee Goat.....!" tak terasa lagi Tiang Bu menyebut nama
ini dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah melompat seperti
melayang ke tempat pertempuran dan di lain saat ia telah
menyodorkan tongkat pikulan yang sejak tadi dipegangnya
34
itu di tengah-tengah antara dua orang gadis cilik yang masih
bertempur.
"Tranggg.....! Tranggg.....!" Dua buah pedang terpental
dan terlepas dan pegangan. Padahal Tiang Bu tidak
melakukan pukulan, bahkan dua pedang yangtadi
menghantam tongkat pikulannya, namun karena tenaga
sinkang yang luar biasa dari Tiang Bu, dua batang pedang
itu telah terpental . Dua orang gadis cilik itu memandang
dengan kaget, cepat memungut pedang masing-masing
kemudian mereka menghadapi Tiang Bu dari dua jurusan
yang berlawanan. Akan tetapi, Tiang Bu hanya
memperhatikan gadis cilik adiknya yang ditinggal ketika
baru berusia dua tiga tahun itu. Telah delapan tahun lebih
ia meninggalkan rumah berpisah dari adiknya.
"Kau..... bukankah kau..... Lee Goat.....?" tanya Tiang
Bu, matanya terbelalak dan bibirnya gemetar, penuh
harapan.
Gadis cilik itu memandang kepadanya dengan mata
jernih dan kosong. Sama sekali tidak mengenal, lalu
mengerutkan kening dan berkata.
"Bukan. Aku tidak bernama Lee Goat
"Betulkah? Kau..... kau serupa betul dengan dia....." kata
pula Tiang Bu, dadanya penuh kekecewaan.
"Hemm, kau ini siapakah berani menggangguku?" tanya
gadis cilik itu tiba-tiba dengan marah.
Tiang Bu mendengar sambarah angin ketika
punggungnya hendak ditusuk oleh dara cilik yang berada. di
belakangnya. Dengan gerakan enak saja Tiang Bu miringkan
tubuhnya, perasaan dan pendengarannya sudah sedemikian
tajamnya sehingga punggungnya seperti bermata maka
kelitan ini membuat pedang gadis cilik itu menusuk angin.
Dan sebelum ia dapat menyerang lagi, Tiang Bu
menggunakan jari tangannya menyentil tengah-tengah
pedang sambil berseru.
35
"Bocah cilik jangan main-main dengan pedang!"
Sentilan jari tangannya dengan tepat mengenai pedang
dan gadis itu berseru kaget, pedangnya seperti direnggut
oleh tenaga yang kuat dan tahu-tahu telah terlepas dari
pegangannya, meluncur kebawah dan menancap di atas
tanah!
"Bi Li, jangan berkelahi.....!!" terdengar seruan orang dan
seorang pemuda tanggung yang sebaya dengan Tiang Bu
tampan dan gagah dengan pakaian indah, datang berlari-lari
ke tempat itu. Jauh di belakang pemuda ini nampak pula
beberapa orang tua datang dari jurusan yang berlainan.
Melihat ini Tiang Bu yang merasa kecewa karena gadis
cilik yang disangka Lee Goat itu ternyata bukan adiknya,
segera menyeret pikulannya dan pergi dari tempat itu. Ia
tidak melihat betapa gadis cilik yang disangka adiknya tadi
memandang kepadanya dengan mata penuh pertanyaan dan
keheranan. Sementara itu, bocah perempuan yang seorang
lagi memandang kepadanya dengan pandang mata kagum
dan tertarik sekali.
Setelah melihat munculnya banyak orang, keheranannya
bertambah dan hati Tiang Bu menjadi tidak enak, Tidak
biasanya di lereng ini terdapat begitu banyak orang. Ia tidak
kembali ke puncak, melainkan bersembunyi di dalam
rumpun tebal sambil mengintai keluar. Dilihatnya dua orang
gadis cilik yang tadi bertempur itu sudah saling menjauhi,
gadis yang menyerangnya bersama pemuda tanggung tadi
menengok ke arah seorang wanita yang datang seperti
terbang cepatnya ke arah mereka. Adapun gadis yang
wajahnya seperti Lee Goat juga menanti datangnya seorang
laki-laki. Melihat orang laki-laki ini, Tiang Bu berdebar
jantungnya. Laki-laki ini bukan laln adalah Wan Sin Hong!
Bagaimana Sin Hong bisa sampai disitu dan siapakah
mereka semua itu? Untuk mengetahui hal ini, mari kita ikuti
pengalaman Wan Sin Hong dan Li Hwa. Seperti telah
36
dituturkan, Sin Hong dan Li Hwa melanjutkan perjalanan
mereka.
"Sin Hong, sekarang kita ke mana?" tanya Li Hwa sambil
mengerling ke wajah Sin Hong di sebelah kanannya.
"Aku akan pergi ke Kim-bun-to. Harus kuberitakan
tentang keadaan Tiang Bu kepada Hui Lian dan Hong Kin.
Selain itu, aku sudah terlalu lama meninggalkan Luliangsan.
Aku harus menengok tempat itu kalau-kalau ada orang
mencari aku."
Demikianlah, Sin Hong dan Li Hwa lalu menuju ke
Luliangsan, tempat di mana Sin Hong tinggal selama ia
menjadi bengcu. Ketika tiba di lereng Luliangsan, mereka
melihat bahwa puncak Luliangsan telah kedatangan banyak
tamu dari dunia kangouw. Mereka itu adalah tokoh-tokoh
besar atau wakil-wakil partai besar yang dahulu telah
rnemilih Sin Hong rnenjadi bengcu.
Bu Kek Siansu, ketua Butongpai yang nampak paling tua
di antara para tokoh itu, maju menyambut kedatangan Sin
Hong sambil mernbungkuk. Sin Hong buru-buru memberi
hormat dan berkata.
“Ah, kiranya Bu Kek Siansu Locianpwe dan para
Locianpwe yang terhormat. Sungguh menyesal sekali baru
sekarang siauwte datang, membikin Cuwi sekalian terlalu
lama menanti."
"Kami baru sepekan menanti disini. Pinto sekarang
mewakili kami semua karena Tai Wi Siansu sudah meninggal
dunia setahun yang lalu," kata Bu kek Siansu.
Sin Hong mengerutkan alisnya. “Sayang sekali belum
sempat aku bertemu dengan Tai Wi Siansu Locianpwe di
Kun lun san. Semoga arwahnya mendapat tempat yang
mulia."
Melihat sikap mereka yang dingin, Sln Hong diam-diam
dapat menduga bahwa kedatangan mereka ini tentulah
37
untuk urusan kedudukan bengcu. Tentu semua orang ini
sudah mendengar bahwa dia adalah keturunan bangsa Kin
dan karenanya mereka tidak sudi mempunyai bengcu
keluarga Kaisar bangsa yang dianggap musuh! Akan tetapi ia
berlaku tenang, lalu bertanya
"Tidak tahu urusan penting apakah yang membawa Cuwi
sekalian rnendaki Luliangsan? Apa kiranya yang dapat
kulakukan untuk Cuwi sekalian?"
"Wan-sicu, pinto mewakili semua saudara di sini untuk
memberi penjelasan dan pinto akan bicara singkat saja,"
kata Bu Kek Siansu. Mendengar kakek ini menyebutnya
Wansicu dan bukan Wanbengcu, Sin Hong tersenyum
dingin. Tahulah ia karena sudah jelas sekali bahwa orang
tidak memandangnya sebagai bengcu lagi.
"Bicaralah, Bu Kek Siansu," katanya singkat.
"Sebelum kamu datang ke sini, lebih dulu setahun yang
lalu Tai Wi Siansu telah memimpin pertemuan. Dalam
pertemuan itu dibicarakan tentang kedudukan Wansicu.
Oleh karena sudah jelas bahwa Wansicu keturunan Wan
Kan atau pangeran Wanyen Kan, maka terpaksa kami semua
tidak dapat menerima kau menjadl bengcu kami. Akan
tetapi, mengingat kau telah lama membantu kami, kami
menghentikanmu dengan hormat, bahkan kami mengajak
Wansicu untuk bersama kami membujuk calon bengcu yang
hendak kami angkat."
Sin Hong tersenyum lebar. Dadanya terasa lega,
Kedudukan bengcu selama ini merepotkannya, membuat
hidupnya terikat.
"Bagus! Aku harus berterima kasih kepada Cuwi yang
membebaskan aku dari tugas bengcu yang maha berat.
Tentu saja aku bersedia membantu membujuknya. Siapakah
calon bengcu itu gerangan?"
"Dia adalah seorang dari kakek sakti di Omeisan," kata
Bu Kek Siansu.
38
Kening Sin Hong berkerut. Ia teringat akan sikap orangorang
gagah di dunia sebelah selatan yang amat kasar ketika
mengunjunginya di Luliangsan beberapa tahun yang lalu.
"Hemm, mengapa Cuwi memilih orang selatan?" tegurnya.
"Kalau mereka yang dipilih, terserah. Akan tetapi aku tidak
berani memastikan apakah aku akan ikut membujuk
mereka yang sama sekali tidak kukenal. Betapapun juga,
terima kasih atas pembebasan tugas bengcu.
"Sebagai tanda bahwa aku sama sekali tidak kecil hati
dibebaskan dari tugas bengcu, dan untuk menyatakan
terima kasih, sekarang aku hendak mengumumkan secara
terus terang bahwa biarpun aku memang benar keturunan
bangsawan Wanyen, namun aku tidak dapat membela
Kerajaan Kin! Untuk menyatakan bahwa di dalam tubuhku
masih mengalir darah Han, aku hanya akan membela rakyat
apabila terjadi perang yang datangnya dari utara."
Mendengar kata-kata ini, sebagian besar orang gagah
yang memang menaruh rasa hormat dan suka kepada Sin
Hong bertepuk tangan gembira dan memuji Sin Hong sebagai
orang gagah yang patut dlkagumi.
"Cuwi sekalian!" kata pula Sin Hong dengan suara keras
sehingga suara gaduh itu berhenti karena semua orang
rnemperhatikannya. "Aku hendak mohon pertolongan Cuwi
sekalian, terutama para Locianpwe yang terhormat. Oleh
karena sekarang diriku tidak terikat lagi oleh tugas berat
dan telah bebas, maka aku bermaksud melangsungkan
ikatan jodoh dengan Hui eng Niocu Siok Li Hwa di tempat
ini. Untuk keperluan itu, aku sangat mengharapkan
bantuan para Locianpwe untuk menyelenggarakannya,
sebagai wali-wali atau pengganti orang-orang tua, oleh
karena baik aku maupun calon isteriku adalah orang-orang
yatim piatu, bahkan guru-guru pun telah meninggal dunia.
Tidak tahu apakah para Lociaripwe sudi menolong kami?”
Kata-kata terakhir itu diucapkan oleh Sin Hong dengan
suara terharu.
39
Ketika Sin Hong bicara, semua orang mendengarkan
dengan tak bersuara, akan tetapi begitu ia habis bicara,
terdengar sorak-sorai gemuruh tanda bahwa orang-orang itu
menyambut berita ini dengan gembira sekali. Para locianpwe
juga maju untuk memberi selamat dan menyatakan bersedia
untuk membantu dua orang muda itu mengesahkan
perjodohan mereka.
Para tokoh dunia kangouw berikut para anggauta yang
ikut di puncak Luliangsan itu, jumlahnya ada lima puluh
orang lebih. Mereka ini la!u sibukmengatur ini itu, menghias
gua tempat tinggal Sin Hong sebaik-baiknya, membangun
pondok atau ruangan darurat untuk tempat berpesta. Ada
pula yang turun gunung cepat-cepat untuk mencari bahanbahan
guna berpesta berikut tukang-tukang masaknya,
arak, daging dan lain-lain.
Dalam waktu tiga hari saja semua sudah siap dan pada
pagi hari ke empatnya dilangsungkanlah pernikahan antara
Sin Hong dan Li Hwa secara sederhana namun cukup
meriah! Hanya sayangnya bagi Li Hwa, di antara para tamu
tidak ada seorang pun tamu wanita!
Setelah kedua pengantin diberi restu oleh para locianpwe,
lalu diarak menuju makam Pak Kek Siansu dan Pak Hong
Siansu di puncak untuk bersembahyang di depan kedua
makam ini. Kemudian kedua mempelai dengan diantar oleh
para locianpwe turun ke lereng gunung untuk
bersembahyang di depan makam Luliang Samlojin.
Setelah upacara ini selesai, berpestalah mereka di
ruangan darurat di depan gua itu. Menjelang senja semua
tamu minta diri dan rneninggalkan puncak Luliangsan, Sin
Hong dan isterinya mengantar mereka sampai di tikungan
sarnbil tiada hentinya menghaturkan terima kasih mereka.
Kemudian sambil bergandengan tangan kedua mempelai ini
dengan hati penuh kebahagiaan kembali ke puncak untuk
beristirahat di dalam gua tempat tinggal Sin Hong yang
sudah dihias seada-adanya oleh para tamu tadi. Ketika
40
melangsungkan perjodohannya Sin Hong berusia tiga puluh
tahun dan Li Hwa berusia lebih muda dua tahun. Sukar
untuk melukiskan kegembiraan kedua mempelai ini, hanya
mereka berdua yang mengalamilah yang dapat merasakan!
Beberapa bulan kemudian Sin Hong mengajak isterinya
pergi ke Pulau Kin bun to untuk memberi kabar kepada Hui
Lian dan Hong Kin tentang Tiang Bu. Hong Kin dan Hui Lian
menyambut kedatangan Sin Hong dengan gembira apalagi
setelah diberi tahu bahwa Sin Hong telah menikah dengan
Hui eng Niocu Siok Li Hwa yang gagah perkasa. Mereka
segera mengucapkan selamat dan Hui Lian menegur.
"Wan-susiok (Paman Guru Wan) mengapa tidak memberi
kabar lebih dulu kepada kami? Kalau diberi tahu, biarpun
jauh kami pasti akan datang untuk menghadiri pesta
pernikahan itu!" Hui Lian menyebut Sin Hong paman guru
karena memang Sin Hong masih terhitung paman gurunya
sendiri. Ayahnya dahulu adalah murid Pak Kek Siansu,
demikian pula Sin Hong.
Sin Hong tersenyum. "Perjodohan kami dilangsungkan
secara serentak dan mendadak, mana ada kesempatan
memberi kabar!" Ia lalu menuturkan secara singkat tentang
kedatangan orang-orang kangouw di puncak Luliangsan
untuk membebaskannya dari tugas bengcu dan betapa
dalam kesempatan itu ia lalu minta bantuan mereka untuk
merayakan kelangsungan perjodohannya.
Kemudian Sin Hong bercerita tentang Tiang Bu.
"Anak itu memang aneh sekali nasibnya." katanya
mengakhiri ceritanya. "Selalu berpindah ke dalam tangan
orang-orang pandai, bahkan sekarang kurasa ia telah
menjadi murid kakek sakti di Omeisan. Biarlah lain kali kita
menengok ke sana."
Hui Lian dan Hong Kin agak kecewa karena Tiang Bu
tidak turut pulang akan tetapi mereka lega mendengar
41
bahwa anak itu selamat, bahkan menjadi muid orang
pandai.
"Tadinya kami bermaksud untuk menyerahkan Tiang Bu
kepada Susiok agar dididik dalam ilmu silat, akan tetapi
sekarang dia telah menjadi murid Ji Omeisan biarlah kami
menyerahkan anak kami saja agar diterima sebagai mund
oleh Susiok berdua." kata Hui Lian yang segera nnemanggil
anak peiempuannya yang berada di dalam. Tak lama
kemudian muncullah seorang bocah perempuan berusia
lima enam tahun, cantik manis, dan mungil sekali. Bocah ini
memandang kepada Sin Hong dan Li Hwa dengan mata
bening dan penuh pertanyaan karena ia tidak mengenal
mereka.
"Lee Goat, beri hormat kepada Suhu dan Subomu ini!"
kata Hui Lian kepadanya sambil menuding ke arah Sin Hong
dan Li Hwa. Untuk sesaat bocah itu memandang kepada Sin
Hong dan Li Hwa penuh perhatian terutama sekali ke arah
pedang yang tergantung di pinggang Sin Hong dan menempel
di punggung Li Hwa. Kemudian ia maju dan berlutut sambil
berkata hormat.
"Suhu.....! Subo.....!"
Sin Hong dan Li Hwa saling pandang sambil tersenyum.
Sekali bertemu pandang saja suami isteri ini maklum bahwa
masing-masing amat tertarik dan suka kepada bocah itu. Sin
Hong tertawa dan mengangkat bangun bocah itu sambil
berkata.
(Bersambungjilid ke VIII)
1
(PEK LUI ENG)
Karya: Asmaraman S. Kho
Ping Hoo Scan djvu :
syauqy_arr
Convert & edit : MCH
Jilid VIII
"Anak baik, bangunlah!" Akan tetapi ia merasa betapa
tubuh anak itu kaku seperti batu dan ketika ia
mengangkatnya Lee Goat masih dalam keadaan berlutut,
tubuhnya kaku dan keras! Sin Hong tertawa kagum sambil
memandang kepada Hui Lian.
Dengan muka merah akan tetapi mata bangga Hui Lian
membentak anaknya, "Lee Goat, jangan kurang ajar! Hayo
turun!" Setelah Lee Goat menarlk kembali "tenaganya" dan
sudah diturunkan oleh Sin Hong, Hui Lian berkata lagi
kepada Sin Hong. "Dia memang sudah mernpelajari sedikit
ilmu silat dan. sedang berlatih Iweekang. Harap Susiok
jangan mentertawai kami."
"Mengapa mentertawai? Anak ini berbakat baik sekali,
kecil-kecil sudah dapat menggunakan tenaga membikin
keras tubuh, benar-benar mengagumkan!" kata Li Hwa
mendahului suaminya sambil mengangkat Lee Goat dan
menciumnya.
Demikianlah, semenjak saat itu, Lee Goat menjadi murid
Sin Hong. Rumah di Kim-bun-to anat besar maka Sin Hong
2
dan isterinya merasa suka tinggal di situ. Tidak saja
rumahnya cukup besar sehingga mereka leluasa, juga Lee
Goat merupakan murid yang menggembirakan hati dan juga
mereka dapat bergaul dengan rukun dan baik bersama Hui
Lian dan suaminya. Seringkali Sin Hong bercakap-cakap
atau bermain catur dengan Hong Kin sedangkan Li Hwa dan
Hui Lian kalau sudah mengobrol di dalam kamar berdua
sampai lupa waktu! Mereka benar-benar pasangan-pasangan
yang amat rukun
Cara hidup yang menyenangkan membuat orang lupa
akan waktu yang melewat cepat sekali. Tanpa terasa lagi
tahu-tahu Sin Hong dan Li Hwa sudah tinggal selama empat
tahun di Kim bun to! Sebetulnya Sin Hong sudah kerasan
dan senang tinggal di situ. Mengapa tidak? Hui Lian dan
suaminya amat baik seperti saudara sendiri, juga Lee Goat
merupakan murid yang pintar dan cepat maju. Akan tetapi
ada suatu hal yang mengganggu hati Sin Hong dan kadangkadang
membuatnya sampai jauh malam tak dapat tidur,
bercakap-cakap dengan suara duka dengan isterinya.
Mengapa? Bukan lain karena sebegitu lama mereka berdua
belum juga dikaruniai putera. Hal ini mengecewakan hati
mereka dan melenyapkan semua kesenangan, membuat
rnereka menjadi bosan tinggal di Kim bun to.
Hui Lian dan suaminya terkejut juga ketika pada suatu
pagi Sin Hong dan isterinya menyatakan bahwa mereka ingin
pergi merantau dan hendak membawa Lee Gpat bersama.
"Sudah terlalu lama kami menganggur saja sampaisampai
kami tidak tahu apa yang terjadi di luar. Selain itu,
perlu sekali bagi Lee Goat untuk melihat dunia kangouw
agar pengetahuannya bertambah. Kalian tahu sendiri betapa
pentingnya ini bagi Lee Goat," kata Sin Hong.
Hui Lian dan Hong Kin tentu saja tak dapat menahan
mereka. Juga mereka merasa tidak enak untuk melarang Lee
Goat, karena bukankah mereka sendiri yang menyerahkan
Lee Goat menjadi murid Sin Horg. Dengan mengeraskan hati
3
Hui Lian mengangguk dan menyetujui, bahkan cepat-cepat
menyediakan pakaian-pakaian yang hendak dibawa oleh Lee
Goat yang sudah kegirangan. Akan tetapi setelah Sin Hong
dan Li Hwa berangkat bersama Lee Goat, naik perahu untuk
menyeberang ke daratan, Hui Lian tak dapat menahan
tangisnya! Hong Kin menghiburnya dan menyatakan bahwa
di tangan Sin Hong dan isterinyaj pasti Lee Goat takkan
menemui bahaya sesuatu.
Suami Isteri Ini sama sekali tidak tahu bahwa baru
beberapa ratus li Sin Hong dan rombongannya meninggalkan
Kim bun to telah menghadapi bencana hebat.
Sepekan setelah meninggalkan Kim bun to, Sin Hong dan
isterinya serta muridnya tiba di kota Nanpo. Untuk
menyenangkan hati Lee Goat yang baru pertama kali itu
melakukan perjalanan jauh Sin Hong dan isterinya mengajak
Lee Goat bertamasya di taman bunga yang dibuka untuk
umum di kota itu. Waktu itu musim bunga telah lama lewat,
akan tetapi di dalam taman masih penuh dengan tanaman
bunga yang beraneka warna dan macam. Maka tempat itu
amat ramai dikunjungi orang-orang dari dalam kota maupun
dari luar daerah.
Selagi suami isteri dan murid mereka ini menikmati
keindahan taman sambil minum teh wangi yang dijual orang
di dalam taman dan duduk di atas bangku-bangku kayu
yang sederhana, tiba-tiba Sin Hong menoleh. Ia merasa ada
orang memandangnya dan betul saja, begitu ia menoleh,
diantara banyak orang ia me lihat seorang laki-laki yang
memandang kepadanya dengan tajam. Jantung Sin Hong
serasa berhenti berdetak ketika ia mengenal siapa adanya
laki-laki itu.
Serentak ia bangkit berdiri dan dengan langkah lebar
menghampiri tempat di mana orang itu berdiri. Akan tetapi
orang itu menyelinap di antara orang banyak dan lenyap. Sin
Hong mengejar sambil mendesak orang-orang itu. Dengan
mudah saja kedua lengannya membuka jalan. Akan tetapi
4
tiba-tiba lengannya bertemu dengan lengan tangan orang
lain yang amat kuat sehingga terpaksa Sin Hong berhenti.
Sin Hong mengangkat muka untuk memandang orang
yang lengan tangannya keras dan kuat sekali itu dan ia
bertemu pandang dengan seorang laki-laki tinggi besar
seperti raksasa, bermuka brewok bermata lebar tajam.
Usianya kurang lebih lima puluh tahun, akan tetapi
kelihatan amat kuat dan gagah.
"Hemm, di tempat yang begini penuh orang tak boleh
tergesa-gesa mendocong orang ke kanan kiri," kata orang
brewok itu sambil tersenyum sindir di balik kumis dan
jenggotnya.
Sin Hong melirik ke sana ke mari akan tetapi orang yang
dicarinya telah lenyap, maka sambil tersenyum ia menjura
dan menjawab.
"Maaf, agaknya aku tadi telah melihat setan di siang
hari." Setelah berkata demikian, ia lalu berjalan kembali ke
tempat duduknya semula. Ia sengaja tidak mau berurusan
lebih lanjut dengan orang yang sudah jelas memiliki
kepandaian tinggi itu. Diam-diam ia merasa heran karena ia
tidak kenal orang itu. Tentu seorang tokoh besar dari selatan
pikirnya.
"Kau tadi mencari siapakah?" tanya Li Hwa yang
semenjak tadi memperhatikan gerak-gerik suaminya. Sin
Hong menjawab perlahan. "Aku tadi telah rnelihat..... Liok
Kong Ji.....!"
Mendengar nama ini, wajah Li Hwa berubah dan alisnya
berkerut, dadanya berdebar penuh kekhawatiran, Li Hwa
cukup tahu bahwa di mana ada manusia siluman itu, pasti
akan terjadi hal yang tidak menyenangkan.
"Mana dia.....?" tanyanya lirih.
5
"Dia sudah menyelinap pergi. Entah dia entah bukan,
akan tetapi matanya..... hanya dialah orangnya yang
mempunyai mata seperti itu. Mari kita pergi dari sini."
Li Hwa maklum akan kekhawatiran suaminya. Kalau Sin
Hong sendiri tentu saja tidak takut menghadapi Liok Kong
Ji, akan tetapi di situ ada Li Hwa dan Lee Goat. Maka tanpa
banyak cakap ia lalu menggandeng tangan Lee Goat dan
mereka bertiga melanjutkan perjalanan keluar dari Nanpo
melalui pintu sebelah barat. Setelah keluar dari kota dan
tiba di jalan sunyi baru Sin Hong bercerita kepada isterinya
tentang pertemuannya dengan orang tinggi besar brewok
yang dapat menahan desakan lengannya.
"Biarpun belum yakin benar, akan tetapi kurasa orang
itu adalah kawan dari Kong Ji. Kalau kita ingat sepakterjang
Kong Ji dahulu, sangat boleh jadi ia mempunyai banyak
sekali kawan-kawan yang pandai. Akan tetapi, dia yang
sudah bersembunyi di utara, ada keperluan apakah muncul
di sini? Apakah aku yang salah lihat orang?"
"Kita harus berhati-hati," kata Li Hwa. "Orang seperti dia
itu tak dapat diduga lebih dulu apa yang terkandung dalam
hati iblis itu."
Sin Hong mengangguk-angguk. "Kuharap saja dia tidak
mengulangi perbuatannya yang dulu-dulu ketika ia selalu
memusuhiku. Kiraku dia ada keperluan lain karena dengan
aku dia sudah tidak ada urusan apa-apa lagi. Akan
tetapi....." tiba-tiba Sin Hong mengerutkan keningnya.
"Kenapa?" Li Hwa bertanya.
"Asal saja dia tidak menjadi alat dari orang-orang Mongol
untuk mengkhianati bangsa sendiri," kata Sin Hong sambil
menarik napas panjang. "Kalau kehinaan itu ia lakukan, ia
tidak patut lagi menjadi manusia dan aku sendiri akan
berusaha melenyapkan dari muka bumi!"
Tiba-tiba Sin Hong memberi tanda supaya isterinya
jangan melanjutkan langkah dan ia memandang ke arah kiri
6
di mana terdapat segerombolan pohon yang gelap. Tepat
dugaannya bahwa di sana terdapat orang karena setelah
beberapa lama ia berhenti, dari dalam gerombolan pohon itu
melompat keluar seorang lakilakl tinggi besar yang tadi telah
beradu lengan dengannya di dalam taman bunga. Melihat
sikap orang tinggi besar itu di tengah jalan menghadang
perjalanan mereka dan sikapnya menantang sekali, Sin Hong
berlaku tenang. Ia mengangkat kedua tangan memberi
hormat sambil berkata.
"Eh, kiranya Loenghiong sudah berada di sini. Alangkah
cepatnya! Tidak tahu apakah sengaja Loenghiong
menghadang perjalanan kami dan ada keperluan apakah
gerangan?"
Laki-laki tinggi besar brewokan itu kini tertawa bergelak
sambil memegangi jenggotnya, lalu bertanya, suaranya kaku
dan jelas terdengar logat utara dalam suaranya, "Kau Wan
Sin Hong yang disebut Wan-bengcu?"
Pertanyaan yang diucapkan dengan nada gaya
memandang rendah ini dijawab oleh Sin Hfong hanya
dengan anggukan kepala. Tiba-tiba Sin Hong cepat
mendorong Lee Goat yang mencelat ke arah Li Hwa! Li Hwa
menerima bocah itu dan melompat ke belakang.
Ternyata bahwa laki-laki tinggi besar itu begitu melihat
Sin Hong mengangguk sebagai pengakuan bahwa dia
memang Wan-bengcu, tanpa banyak cakap lagi lalu
mengirim pukulan yang hebat sekali ke arah Sin Hong,
disusul dengan tendangan kaki yang seperti kilat
menyambar.
Sin Hong yang sejak tadi sudah berlaku waspada, cepat
menyelamatkan dulu muridnya, kemudian dengan hati-hati
dan cepat ia mengelak dari dua serangan dahsyat itu.
"Sobat, kau siapakah dan mengapa kau menyerangku?"
ia masih menyabarkan diri dan bertanya sambil memasang
kuda-kuda.
7
Melihat betapa Sin Hong dengan mudah mengelak dari
serangan-serangannya, orang tinggi besar itu menjadi
penasaran.
"Sudah lama aku ingin mencoba kelihaian Wan-bengcu.
Sambutlah!" Kembali kedua tangannya bergerak dan kini Sin
Hong menghadapi serangan-serangan pukulan yang
datangnya bertubi-tubi cepat sekali, datangnya dari tiga
jurusan merupakan serangan yang sukar dijaga! Namun Sin
Hong tidak gentar menghadapi serangan-serangan ini. Ilmu
silatnya Pak-kek Sin-kun cukup kuat untuk menjaga diri
dan kalau perlu membalas serangan lawan. Akan tetapi,
sudah menjadi sifat seorang ahli silat apabila menghadapi
lawan yang tidak terlalu mendesak dan tidak terlalu
membahayakan keselamatannya, tentu lebih dulu ingin
melihat bagaimana macamnya ilmu silatnya apalagi kalau
ilmu silat itu asing.
Oleh karena itulah maka Sin Hong hanya menjaga diri
saja. Mengelak atau menangkis sambil memperhatikan ilmu
silat lawan. Ilmu silat yang dimainkan oleh orang tinggi
besar ini seperti Ilmu Silat Sha kak kun hoat (Ilmu Silat Segi
Tiga) dari selatan, akan tetapi kedudukan kakinya lain lagi
dan ketika lengan tangannya beradu dengan tangan lawan,
orang itu selalu berusaha menangkap pergelangannya
seperti ilmu gulat bangsa Mongol.
Setelah puas melihat ilmu silat lawan, Sin Hong lalu
mengeluarkan kepandaiannya dan sebentar saja ia dapat
mendesak lawannya. Dalam hal tenaga, orang itu mungkin
tidak kalah oleh Sin Hong. Akan tetapi kalau mau bicara
tentang ilmu silat, ternyata kepandaian Sin Hong masih
menang jauh. Sin Hong menanti sampai pukulan tangan
kanan lawan yang cepat dan kuat sekali menyambar
kepalanya itu datang dekat. Kemudian tiba-tiba ia
menyodorkan tangan kiri ke atas dengan dua jari terbuka
menotok urat di dekat siku lengan lawan yang memukulnya
8
sambil merendahkan tubuh dan kepalan tangan kanan
menghantam ke depan menuju dada lawan!
Gerakan Sin Hong ini luar biasa sekali dan jarang ada
lawan yang dapat menyelamatkan diri. Juga orang tinggi
besar itu tak mungkin sekaligus menghindarkan diri dari
serangan-serangan ini. Bahkan agaknya ia tidak menduga
bahwa sambungan sikunya akan ditotok, maka ia cepat
menangkis kepalan tangan Sin Hong yang memukul
dadanya. Memang pukulan inilah yang lebih kentara dan
mudah diduga, padahal yang berbahaya adalah tangan kiri
yang menotok urat siku dengan jari itu.
Sin Hong tidak mengenal orang tinggi besar itu, hanya
menduga bahwa orang ini tentulah seorang tokoh dari utara
seperti halnya Ang-jiu Moli. Oleh karena itu tidak merasa
mempunyai permusuhan dengan orang ini, maka ia tidak
mau melukainya. Kemudian ia melanjutkan totokannya
menjadi cengkeraman dengan lima jari untuk menangkap
lengan lawannya itu. Dengan cara begini pun la sudah
membuktikan keunggulannya. Akan tetapi, alangkah
kagetnya ketika ia mencengkeram lengan yang besar dan
kuat itu tiba-tiba orang itu memutar tubuh sambil
menangkap jari-jari tangan Sin Hong yang mencengkeram
lengan, lalu dengan gerakan kilat membungkuk dan
membanting Sin Hong dari balik pundaknya! Kalau bukan
Sin Hong yang diperlakukan demikian, tentu tubuhnya akan
terbanting atau sedikitnya terlempar jauh. Akan tetapi Sin
Hong cepat mengatur keseimbangan badannya dan ketika
tubuhnya terlempar, ia melayang seperti seekor burung dan
turun ke atas tanah dalam keadaan berdiri tegak!
Orang tinggi besar itu mengeluarkan suara memuji
ketika Sin Hong sekali lompatan kembali telah berdiri
menghadapinya. Sebaliknya di lain fihak Sin Hong maklum
bahwa lawannya selain memiliki tenaga besar dan ilmu silat
lumayan, juga memiliki ilmu gulat bangsa Mongol yang lihai.
Diam-diam ia menyalahkan diri sendiri karena kalau saja ia
9
tidak berlaku sungkan tentu lawan ini sudah terkena
totokannya dan ia berada di fihak menang.
"Lo-enghiong hebat sekali!" ia memuji untuk
merendahkan diri dan memuaskan hati lawannya.
"Kau masih belum kalah!" Si Brewok itu menjawab dan
cepat menyerang lagi dengan hebatnya.
"Benar-benar tak tahu diri!" Sin Hong membentak marah
ketika ia melompat ke belakang untuk menghindarkan diri
dari serangan lawan. Kemudian ia membalas dan sekali lagi
Sin Hong mendesak dan mengurung lawannya dengan hujan
serangan.
"Saudara-saudara, bantulah aku!" tiba-tiba orang
brewokan itu berseru tanpa mengenal malu. Sebetulnya,
kalau menurut tata susila dunia kangouw, dalam
pertempuran orang pantang minta tolong apabila terdesak.
Berturut-turut muncul tiga orang dari balik rumpun yang
lebat dan melihat tiga orang yang bukan lain adalah Pak-kek
Samkui ini, tahulah Sin Hong dengan siapa ia berhadapan.
Tak salah lagi bahwa orang tinggi besar ini tentu seorang
tokoh utara yang membantu pergerakan Temu Cin! Maka ia
cepat mencabut pedangnya dan sebentar saja ia dikeroyok
oleh empat orang lawan. Giam-loong Ciu Kui, Liokte Moko
Ang Bouw, dan Sin-saikong Ang Louw adalah tiga orang yang
tak boleh dipandang ringan kalau maju bersama, apalagi di
situ masih ada seorang lawan yang kepandaiannya tidak
rendah, bahkan lebih tinggi daripada tiga orang Setan Utara
itu.
Pada saat itu, muncul orang lain dari belakang pohon.
Orang ini cepat sekali gerakannya dan ia menyambut Li Hwa
yang sudah mencabut pedang dan hendak membantu
suaminya. Baik Sin Hong mau pun Li Hwa terkejut sekali
melihat orang ini.
"Ha, ha, ha, ha, Wan Sin Hong! Masih kenalkah kau
padaku? Hui eng Niocu Siok Li Hwa, jadi kamu sudah
10
menjadi Nyonya Wan? Ha, ha, kau makin tua makin cantik
saja!"
"Kong Ji.....! Kau mau apa?" Sin Hong membentak sambil
memutar pedangnya mendesak keempat pengeroyoknya.
"Manusia iblis, tutup mulutmu yang kotor!" Li Hwa
memaki marah dan pedang Cheng-liong-kiam di tangannya
bergerak menyerang Kong Ji. Sambil tertawa mengejek Kong
Ji mengelak cepat lalu mengirim pukulan menyerong dari
samping yang mengejutkan hati Li Hwa karena dari pukulan
ini keluar hawa yang mendorongnya amat kuat! Cepat ia
melompat mundur dan siap menghadapi serangan lawan.
Akan tetapi Kong Ji hanya tertawa dan berkata.
"Hui eng Niocu, takkan ada artinya kau melawan. Kau
akan kalah!"
"Subo, serang saja dia!" tiba-tiba Lee, Goat yang marah
melihat lagak sombong dari Liok Kong ji. Kemudian dia
melompat dan memukul Kong Ji dengan tangannya.
"Eh, eh, bocah ini gagah perkasa!" Kong Ji berseru
kagum sambil menangkap tangan Lee Goat dan diangkatnya,
ke atas.
"Kong Ji jangan ganggu dia. Dia puteri dari Hui Lian.
Sumoimu sendiri!" seru Sin Hong yang merasa khawatir
kalau-kalau manusia iblis itu mencelakai Lee Goat. Biarpun
dikeroyok empat, Sin Hong masih dapat membagi
perhatiannya kepada Kong Ji, benar-benar luar biasa sekali
kepandaian Sin Hong. Adapun Li Hwa lain lagi reaksinya.
Melihat Lee Goat diangkat oleh Kong Ji yang tertawa-tawa
dan memandahg kagum, ia cepat menggunakan pedangnya
melakukan serangan hebat. Tubuhnya setengah melayang
dan pedangnya menusuk ke arah lambung dengan gerak
tipu Liongli -coan-ciam (Liong li Menusukkan Jarum). Sebuah
serangan yang amat hebat dan dilakukan dalam keadaan
marah ini mau tidak mau mengagetkan Kong ji juga.
Biappun tingkat kepandaian Kong Ji jauh lebih tinggi
11
daripada tingkat kepandaian Li Hwa, akan tetapi karena
ketika itu Kong Ji sedang mengangkat tubuh Lee Goat, ia
berada dalam keadaan berbahaya. Akan tetapi dengan
enaknya sambil tertawa-tawa Kong Ji malah mengangkat
tubuh Lee Goat untuk menerima tusukan pedang Li Hwa!
"Celaka.....!!" Li Hwa menjerit katena ia tidak keburu lagi
menahan tusukah pedangnya yang dilakukan dengan penuh
kemarahan dan dengan pengerahan tenaga sekuatnya
"Traanggg,..." Pedang Li Hwa terpental dan wanita ini
berjungkir balik untuk mengimbangi tubuhnya yang tibatiba
terdorong hebat. Ternyata bahwa da!am keadaan
berbahaya sekali bagi Lee Goat itu, Sin Hong telah dapat
melompat cepat dan dapat menangkis pedang Li Hwa yang
sudah mengenai baju Lee Goat!
Sambil menangkis, Sin Hong merampas tubuh muridnya
itu yang kini berada dalam kempitan lengan kirinya. Akan
tetapi empat orang lawannya tadi sudah maju lagi
mengeroyoknya. Adapun ketika ia mengangkat muka,
ternyata isterinya telah tertawan oleh Kong ji.
Kong Ji memang selamanya menjadi orang yang licik dan
curang. juga ia cerdik bukan main. Ketika ia melakukan
perjalanan ke selatan, ia telah berhasil menarik orang-orang
selatan. Oleh karena ia mendengar bahwa di selatan masih
ada tokoh-tokoh yang kiranya akan merupakan bahaya bagi
penyerbuan tentara Mongol kelak, ia lalu mendatangkan
bantuan. Maka datang menyusullah dari utara pembantunya
yang lihai yaitu orang tinggi besar brewok itu yang bukan
lain adalah Butek Sinciang Bouw Gun.
"Ketika ia bertemu dengan Wan Sin Hong, ia segera
mengatur siasat dan menyuruh Bouw Gun mencoba
kekuatan Sin Hong. Kemudian ia mengeluarkan Pak-kek
Sam-kui untuk membantu Bouw Gun. Melihat betapa empat
orang sahabatnya itu tetap saja tak dapat mengalahkan Sin
Hong, bahkan terdesak hebat, dia lalu muncul sendiri
menghadapi Li Hwa. Kini ia melihat betapa Sin Hong masih
12
tetap lihai seperti dulu, bahkan lebih lihai lagi. Kalau dia
ikut menyerbu, kiranya biarpun dikeroyok lima, belum tentu
Sin Hong akan dapat dikalahkan. Tadi ia hendak mencobacoba
menculik anak itu yang ia kira anak Sin Hong. Akan
tetapi mendengar dari Sin Hong bahwa anak itu adalah anak
dari Hui Lian, ia tidak mau menggunakan anak itu untuk
mencapai kemenangan, sebaliknya ia cepat mengejar Li Hwa.
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru