Kamis, 19 April 2018

Rajawali Emas 4 Siip

-----
baca juga
Akan tetapi, karena ia tidak balas menyerang, kalau ia terus-menerus mengelak, kiranya lambat-laun kakek
itu akan mengenal gerakan-gerakannya dan akan dapat memecahkan rahasia lalu memukulnya. Sekali
saja terkena pukulan kakek ini, kiranya akan celakalah pemuda itu.
Kun Hong tidak berani mencobakan ilmu sihirnya atas diri kakek yang sakti ini. Celaka, pikirnya, apakah dia
gila mendadak? Lebih baik lari saja.
Setelah berpikir demikian, ia menunggu kesempatan baik. Ketika dilihatnya Song-bun-kwi tiba-tiba
berjongkok dengan dua tangan dibuka di kanan kiri seperti seekor katak hendak melompat, tanpa pikir
panjang lagi Kun Hong lalu memutar tubuh dan melarikan diri.
Ia merasa datangnya hawa pukulan yang luar biasa dari belakang, cepat kakinya digeser ke kanan dan
tubuhnya seperti terhuyung-huyung ke depan sedangkan kedua tangannya diam-diam menggunakan
gerakan Dewa Menyambut Mustika. Ia merasa dua tangannya itu bertemu dengan hawa yang panas, akan
tetapi dengan pengerahan lweekang yang dilatih selama berada di puncak bukit, ia dapat menolak
serangan itu.
Kembali Song-bun-kwi mengeluarkan gerengan heran dan kagum, lalu ia mengejar sambil mengerahkan
ginkang-nya. Beberapa kali lompatan saja membuat ia dapat menyusul Kun Hong.
Akan tetapi anehnya, ketika sudah dekat, tiba-tiba tubuh pemuda itu bergerak aneh dan sudah menjauh
lagi beberapa tombak jauhnya. Ada kalanya kalau ia melompat menyusul, tahu-tahu pemuda itu seperti
mundur sehingga lompatannya terlewat jauh. Kalau sudah berhasil ia mendekat, selalu uluran tangannya
tak berhasil mencengkeram pemuda aneh itu.
Keringat dingin mulai membasahi tubuh Song-bun-kwi. Belum pernah selama hidupnya ia mengalami hal
seaneh ini. Banyak sudah dia menghadapi lawan-lawan sakti dan sering mengalami pertempuranpertempuran
mati-matian dan hebat, akan tetapi belum pernah ia menghadapi perlawanan begini aneh.
Pemuda itu laksana bayangan saja, susah dijamah, akan tetapi juga sama sekali tidak pernah membalas.
Ia kelihatan takut-takut dan bingung, bagai orang tidak bisa ilmu silat. Gerakan-gerakannya itu pun tidak
patut disebut ilmu silat, lebih mirip seperti ayam dikejar atau seperti burung.
Mereka terus berkejaran keluar masuk hutan dan sudah setengah jam lebih Song-bun-kwi mengejar, belum
juga ia dapat memegang pemuda itu. Saking marahnya ia lalu mencabut keluar pedangnya dan
membentak, "Anak setan, rasakan ketajaman pedangku!"
Ia masih merasa malu kepada dirinya sendiri jika harus mempergunakan senjata rahasia. Menggunakan
pedang saja sebetulnya sudah merupakan hal yang amat memalukan, apa lagi kalau harus menggunakan
senjata gelap!
Sekali ini kehormatannya benar-benar tersinggung sekali. Diam-diam Song-bun-kwi hanya mengharap
jangan sampai perbuatannya ini diketahui lain orang.
Akan tetapi pengharapannya itu ternyata bahkan sebaliknya karena mendadak terdengar suara orang
mengejek, "Ha-ha, sejak kapan Song-bun-kwi tua bangka menjadi pengecut, mengejar-ngejar seorang
pemuda dengan pedang di tangan? Ha-ha-ha!"
Kaget bukan main Song-bun-kwi, mukanya menjadi merah padam dan otomatis ia lantas menghentikan
pengejarannya, kemudian membalikkan tubuh. Ia melihat seorang kakek bertubuh sedang, agak
membungkuk saking tuanya. Segera ia mengenal kakek ini dan makin malulah ia. Dari malu ia menjadi
marah sekali.
"Siauw-ong-kwi, berani kau mengatakan aku pengecut? Kau sudah bosan hidup!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Cepat ia lalu menyerang kakek itu dengan pedangnya tanpa memberi kesempatan lagi. Kakek itu memang
benar Siauw-ong-kwi adanya, seorang tokoh besar dari utara. Belasan tahun kakek ini tidak pernah lagi
memperlihatkan diri di dunia kang-ouw, seperti halnya Song-bun-kwi sendiri.
Seperti pembaca masih ingat, dalam cerita Raja Pedang sudah pernah diceritakan bahwa Siauw-ong-kwi
ini adalah seorang di antara Empat Besar dan dia adalah jago nomor satu dari utara, guru dari Giam Kin.
Mengapa ia tiba-tiba bisa muncul di situ?
Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, Giam Kin telah bertemu dengan Kwa Hong dan
disiksa setengah mati oleh rajawali emas dan Kwa Hong ketika Giam Kin menculik Lee Giok. Semenjak itu
Giam Kin tak pernah ada kabar ceritanya lagi.
Karena inilah maka sekarang Siauw-ong-kwi yang selama ini mengasingkan diri, menjadi kuatir akan
keselamatan muridnya. Sengaja ia sekarang turun gunung untuk mencarinya, sekalian ia hendak datang
pada upacara pembukaan Thai-san-pai karena sebagai tokoh besar ia pun ingin mencoba lagi kelihaian Si
Raja Pedang Tan Beng San yang menjadi pendiri dari Thai-san-pai.
Kebetulan sekali di hutan ini dia melihat Song-bun-kwi sedang mengejar-ngejar seorang pemuda yang
kelihatan lari ketakutan, maka ia lalu muncul dan mengejek. Ketika dengan marah Song-bun-kwi
menyerangnya, Siauw-ong-kwi mengeluarkan teriakan keras sambil menggerakkan kedua lengan bajunya
yang merupakan senjatanya yang ampuh.
Dua orang tokoh besar ini segera bertempur dengan hebatnya. Sambaran angin pukulan mereka membuat
daun-daun di puncak pohon bergoyang-goyang seperti tertiup angin besar. Pertempuran hebat ini diselingi
teriakan-teriakan aneh Siauw-ong-kwi serta suara melengking dari tenggorokan Song-bun-kwi. Selain
bertarung dengan kepandaian silat, kedua tokoh ini juga saling mengadu kekuatan khikang mereka.
Sementara itu, untuk sejenak Kun Hong hanya berdiri bengong. Bukan main kagumnya dia menyaksikan
pertandingan yang amat hebat itu sampai pandang matanya berkunang melihatnya. Diam-diam ia menarik
napas panjang dan harus mengakui bahwa dua orang kakek itu benar-benar memiliki kesaktian yang luar
biasa. Ketika teringat bahwa mungkin ia akan celaka kalau tertawan oleh dua orang ini, segera ia
mengangkat kaki melarikan diri secepat mungkin pergi dari tempat itu.
Ia masih berlari-lari ketika tiba-tiba ada orang menegurnya, "Heii, kenapa kau berlari-lari seperti dikejar
setan?"
Kun Hong menoleh dengan kaget karena mengira bahwa yang berseru itu adalah kakek yang hendak
menawannya. Akan tetapi ketika ia melihat seorang pemuda yang tampan sekali, timbul kemendongkolan
hatinya. Ia mengenal pemuda itu sebagai pemuda tampan pesolek yang pernah menampar pipinya di
rumah gedung Tan-taijin! Segera dia berhenti dan memandang dengan muka merengut.
"Ada keperluan apa kau mencampuri urusanku?"
Pemuda itu balas memandang dan agaknya baru sekarang ia bisa mengenal Kun Hong. Alisnya yang
hitam itu bergerak-gerak, matanya berkilat dan ia lalu tersenyum.
"Ehhh, kiranya kaukah ini? Kutu buku yang sombong itu?" katanya dengan nada seakan kecewa sudah
menegurnya tadi. Tanpa bilang apa-apa lagi pemuda itu lalu melanjutkan perjalanannya, menuju ke arah
dari mana Kun Hong datang.
Kun Hong mendongkol sekali kepada pemuda itu. Hemm, sampai-sampai di dalam hutan begini dan dalam
melakukan perjalanan, pemuda itu masih berpakaian indah dan bersih, sepertl orang berjalan-jalan menjual
aksi saja. Dan alangkah angkuh dan sombongnya!
Akan tetapi ketika melihat pemuda itu menuju ke arah dari mana ia datang, ia menjadi kuatir juga. Betapa
pun juga, pemuda itu yang menyebut Tan-taijin pek-hu (uwa), berarti masih keponakan pembesar itu dan
Tan-taijin berkesan baik di hati Kun Hong.
Apa lagi pembesar itu dulu menyatakan bahwa dia adalah sahabat baik ayahnya. Kalau sampai pemuda
angkuh ini bertemu dengan dua orang kakek sakti itu dan tertimpa mala petaka, tentu Tan-taijin akan
menjadi susah hatinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Heii, tunggu dulu!" teriaknya mengejar.
Pemuda itu menoleh. "Mau apa kau?" caranya bertanya memandang rendah sekali.
Kun Hong menahan gemas hatinya. "Jangan kau pergi ke sana, di sana ada dua orang kakek sakti sedang
bertanding. Kalau kau terlihat oleh mereka, kau akan celaka!"
Pemuda itu mencibirkan bibir mengejek, "Huh, mana aku takut dengan segala obrolan kosongmu?"
"Sombong kau! Siapa mengobrol kosong? Song-bun-kwi dan seorang kakek lain bernama Siauw-ong-kwi
sedang bertempur hebat di sana. Mereka benar-benar sakti dan jahat."
Berubah wajah pemuda itu mendengar nama-nama ini dan diam-diam Kun Hong merasa girang. Nah, baru
tahu kau sekarang, baru takut mendengar dua nama itu.
Akan tetapi pemuda itu segera mencabut pedang dan berseru, "Betulkah Song-bun-kwi di sana?"
Tanpa banyak cakap lagi pemuda itu kemudian berlari meninggalkan Kun Hong menuju ke hutan di depan.
Sejenak Kun Hong hanya terlongong. Apakah orang muda itu sudah gila? Ataukah saking sombongnya
maka tidak mengenal keadaan seperti seekor anak kerbau yang tak gentar menghadapi singa?
Celaka, dia tentu mampus, pikirnya. Kembali ia merasa tidak enak terhadap Tan-taijin dan di luar
kehendaknya kedua kakinya sudah bergerak, mengejar pemuda itu!
"Heee, jangan ke sana...!" serunya berkali-kali.
Kun Hong kagum sekali pada saat melihat betapa pemuda itu berlari cepat sekali laksana terbang.
Tubuhnya demikian ringan sehingga terlihat dari belakang seakan-akan pemuda itu tidak menginjak tanah!
Ia juga mempergunakan ilmu lari cepat yang ia miliki tanpa ia sadari, akan tetapi Kun Hong menjaga
supaya jangan sampai dia menyusul pemuda itu, melainkan mengikuti dari belakang.
Ketika ia tiba di dalam hutan di mana tadi Song-bun-kwi bertempur, ia melihat pemuda itu berdiri tegak
seorang diri, menanti kedatangannya dengan wajah tak senang. Begitu Kun Hong datang, pemuda itu
menyambutnya dengan suara marah, "Kau pembohong besar! Mana dia Song-bun-kwi? Bayangannya pun
tidak ada di sini?"
Kun Hong berpura-pura terengah-engah napasnya karena dia tidak ingin diketahui orang bahwa ia pun
pandai ilmu lari cepat. "Wah! Kau lari seperti kijang melompat. Bagus sekali Song-bun-kwi sudah pergi,
kalau tidak kau tentu akan dipukul mati dan aku pun tidak diampuni. Tadi dia berada di sini bertempur
dengan kakek aneh itu. Siapa membohong? Hayo kau kembalikan pedangku yang kau rampas tempo
hari!"
Pemuda itu mendengus marah. "Orang macam kau, mana pantas mempunyai pedang pusaka?"
"Ehh-ehh, soal pantas atau tidak bukan urusanmu. Yang terang pedang Ang-hong-kiam adalah pedangku,
apakah kau nekat hendak merampas pedang orang? Benar-benar tak bermalu!"
Mendengar kata-kata ini, pemuda itu marah sekali. Pedang Ang-hong-kiam yang masih tergantung di
pinggangnya itu segera diambilnya dan sekali tangannya diayun pedang itu berikut sarungnya amblas ke
tanah sampai setengahnya!
"Nah, nih pedangmu pemotong ayam!"
Kun Hong menghampiri pedang itu dan dengan kedua tangannya mencabut. Pemuda itu memandang
dengan mulut mengejek. Melihat sikap orang itu, Kun Hong malah sengaja berpura-pura mengerahkan
seluruh tenaganya sehingga ketika pedang itu dapat tercabut ia terjengkang ke belakang dengan pedang di
tangan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemuda itu pun terkekeh geli, "Kutu buku macam kau mempunyai pedang itu untuk apa? Paling-paling di
tengah jalan dirampas orang jahat. Kau telah berhasil lari dari tahanan, siapa yang menolongmu? Apakah
Song-bun-kwi? Dan dua orang gadis Hoa-san-pai itu, ke mana mereka?"
"Aku... aku tidak tahu bagaimana aku bisa keluar. Ehhh... para penjaga tahanan yang mengeluarkan aku,
kukira Tan-taijin yang memerintahkannya. Ada pun tentang dua orang keponakanku itu, justru aku hendak
mencari mereka."
"Ke mana kau hendak mencari mereka?"
"Mungkin mereka ke Thai-san... ehhh, kau... kenapa kau memperhatikan mereka?" Kun Hong memandang
dengan tajam penuh curiga.
Melihat pandang mata Kun Hong ini, pemuda itu mencibirkan bibir dan berkata, "Kudengar mereka cantikcantik,
aku senang gadis-gadis jelita!"
Wajah Kun Hong merah sekali. Dengan telunjuknya ia menuding ke arah hidung pemuda itu. Dengan lagak
seorang tua memberi peringatan seorang anak nakal, ia lalu berkata, "Hemm, kau bocah kurang ajar,
dengarlah baik-baik! Kalau bukan keponakan Tan-taijin yang menjadi sahabat ayahku, takkan sudi aku
memberi nasehat kepadamu. Jangan kau mengumbar nafsumu yang bejat, janganlah kau bertingkah
seperti laki-laki yang gagah sendiri, yang tampan sendiri, yang kaya sendiri. Kau berlagak seperti... seperti
seorang banci, laki-laki pesolek yang mata keranjang. Apa kau kira semua perempuan akan jatuh olehmu?
Awas kau kalau kau berani mengganggu kedua orang keponakanku, hemm..."
Pemuda itu membusungkan dada, mengedikkan kepalanya kemudian berkata menantang, "Kalau aku
ganggu mereka, kau mau apakah? Apa kau berani berkelahi melawanku?"
Merah muka Kun Hong. Ia tidak suka berkelahi, tidak sudi, apa lagi dengan pemuda yang seperti kanakkanak
ini. Juga ia tidak mau memperlihatkan kepada siapa pun juga bahwa ia pandai ilmu silat. Akan tetapi
pemuda ini benar-benar memanaskan perutnya.
"Huh, lagakmu! Kalau kau berani mengganggu kedua orang keponakanku, hemmm, tentu ada seorang
laki-laki muda penuh aksi yang roboh dan mampus oleh dua orang gadis keponakanku itu! Sudah, tak sudi
aku bicara lagi denganmu!"
Dengan marah Kun Hong lalu membalikkan tubuh hendak melanjutkan perjalanannya. Di dalam hatinya ia
betul-betul marah kepada pemuda ini, belum pernah seingatnya ia marah dan mendongkol kepada orang
lain seperti kepada orang muda sombong ini.
"He! kau bilang hendak ke Thai-san. Kenapa ke sana?"
Tanpa menoleh Kun Hong menjawab, "Banyak cerewet! Kalau ke sana mengapa?"
Terdengar pemuda itu tertawa mengejek, "Soalnya, tolol, Thai-san berada di sebelah sini, bukan sana!"
Kalau tadinya Kun Hong mengambil sikap tidak peduli, ketika mendengar kata-kata itu ia kaget dan cepatcepat
menghentikan tindakannya dan menengok.
Pemuda itu dengan lagak angkuh sudah berjalan pergi ke jurusan yang berlawanan. Dia ragu-ragu.
Betulkah kata pemuda itu bahwa ia menuju ke arah yang berlawanan dengan Thai-san? Tadi dalam
kegugupannya ketika dibawa lari Song-bun-kwi, dia tidak sempat memperhatikan jalan lagi. Karena ia tidak
kenal jalan dan pemuda itu agaknya tidak asing lagi dengan wilayah itu, terpaksa ia lalu berjalan ke arah
perginya pemuda itu dengan hati mengkal.
Akan tetapi, di samping rasa mendongkol terhadap pemuda yang penuh aksi dan angkuh itu, juga hatinya
amat senang karena Ang-hong-kiam telah dikembalikan. Ia tidak mengira bahwa pemuda congkak itu
begitu mudah mau mengembalikan pedangnya, padahal jika melihat gerak-gerik pemuda itu, kiranya dia
mempunyai kepandaian silat yang tinggi juga. Biasanya orang di kalangan kang-ouw bila melihat senjata
pusaka, menjadi amat tamak dan ingin memilikinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika melewati sebuah dusun di luar hutan, Kun Hong mencari keterangan dan dengan lega mendengar
bahwa memang arah Thai-san yang ditempuh pemuda itu betul. Maka ia lalu mempercepat jalannya, akan
tetapi tak dapat menyusul pemuda itu yang melakukan perjalanan cepat sekali.
Beberapa hari kemudian Kun Hong tiba di sebuah kota kecil yang cukup ramai. Karena hari sudah
menjelang senja ketika ia tiba di kota Tiang-bun ini, ia lalu menuju ke sebuah rumah penginapan. Seorang
pelayan datang menyambut dengan muka menyesal sambil berkata,
"Maaf, Tuan Muda. Semua kamar di sini sudah terisi penuh, sayang sekali kau terlambat datang karena
kamar terakhir yang cukup besar telah disewa oleh seorang kongcu."
Kun Hong kecewa sekali. "Apakah di kota ini tidak terdapat rumah penginapan lain?"
Pelayan itu menggelengkan kepala dan memandang dengan kasihan melihat pemuda ini kelihatan lelah
sekali. "Ada dua jalan untuk menolongmu, Tuan Muda. Pertama, harap kau menjumpai kongcu yang
menyewa kamar besar itu karena dia hanya seorang diri dan kamar itu cukup besar sehingga jika dia tidak
keberatan, tentu kongcu itu dapat membagi kamarnya denganmu. Jalan ke dua, kalau toh dia
berkeberatan, yaaah, untuk melepas lelah saja, kiranya Tuan Muda dapat tidur di bangku di ruangan
tengah.”
Kun Hong menghela napas. Apa boleh buat, dalam keadaan seperti itu terpaksa harus menerima usul ini.
"Sebetulnya aku tidak suka mengganggu lain orang, akan tetapi karena menurut katamu dia seorang
kongcu, kiraku tiada salahnya untuk mencoba. Twako, antarkan aku ke kamar pemuda itu."
Dengan gembira karena mengharapkan hadiah, pelayan itu segera mendahuluinya. Kun Hong yang
berjalan di belakang pelayan itu ketika sampai di ruangan tengah, melihat dua orang laki-laki tinggi besar
duduk menghadapi arak di atas meja. Ketika Kun Hong lewat, dua orang yang tadinya bercakap-cakap itu
tiba-tiba berhenti dan biar pun mereka tidak berkata apa-apa, namun mereka memandang penuh
kecurigaan ketika melihat pelayan itu membawa Kun Hong ke kamar yang berada di ujung belakang.
Kun Hong bermata tajam dan ia dapat melihat betapa sinar mata kedua orang itu amat tajam dan
mengandung kecurigaan terhadap dirinya. Akan tetapi dia tidak mengacuhkan mereka karena tidak merasa
mengenal orang-orang itu.
Sementara itu, pelayan tadi sudah mengetuk pintu kamar. Dari dalam kamar terdengar suara yang tidak
begitu jelas karena pintu itu rapat sekali.
"Siapa?"
"Maaf, Kongcu, aku pelayan!" kata pelayan itu dengan suara manis, "Harap Kongcu suka membuka pintu
sebentar, ini ada seorang tuan muda yang tidak kebagian kamar, hendak mohon Kongcu sudi membagi
kamar dengan dia."
"Hemm, aku tidak suka diganggu!" terdengar jawaban dan pintu kamar di buka dari dalam.
Begitu pintu kamar dibuka dan Kun Hong melihat seorang pemuda di ambang pintu, dia segera membuang
muka dan menarik tangan pelayan itu sambil berkata, "Twako, aku lebih suka tidur di bangku di luar atau
kalau perlu di emper rumah penginapan ini dari pada tidur di kamar ini!"
Kemarahan dan kemendongkolan hati Kun Hong ini dapat dimengerti ketika ia mengenal ‘kongcu’ itu bukan
lain adalah Si Pesolek tadi.
"Hemm, siapa sudi tidur sekamar dengan kutu buku jembel ini?" kata Si Pemuda dengan nada menghina
sambil menutupkan pintunya kembali, akan tetapi seperti kilat pandang matanya menyambar ke arah dua
orang laki-laki tinggi besar yang mendengar dan melihat semua itu dari ruangan tengah.
Pelayan itu hanya bisa melongo dan mengangkat pundak, tapi dengan baik hati dia lalu menyediakan
sebuah bangku panjang yang dia letakkan di dalam ruang belakang untuk memberi tempat istirahat kepada
Kun Hong. Setelah mandi dan makan, saking lelahnya Kun Hong langsung saja menggeletak berbaring di
atas bangku panjang, berselimutkan sebuah baju luar yang lebar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia masih dapat mendengar betapa pemuda sombong itu berteriak memanggil pelayan dan memerintahkan
pelayan menyediakan air hangat untuk mandi, banyak sekali air yang dimintanya, kemudian memesan
makanan yang mahal-mahal. Hemmm, seorang pemuda kaya yang mewah dan pesolek, pikirnya.
Juga dilihatnya betapa dua orang laki-laki tinggi besar tadi beberapa kali memandang ke arah kamar
pemuda itu sambil mereka bicara berbisik-bisik. Diam-diam ia menaruh curiga.
Dasar pemuda mewah yang bodoh, pikirnya. Melakukan perjalanan dengan cara demikian mencolok, jelas
sekali membayangkan bahwa kantongnya penuh berbekal emas sehingga menarik perhatian kaum
penjahat.
Biar pun dia sendiri masih belum matang pengalamannya dalam perjalanan jauh, akan tetapi kiranya tidak
setolol pemuda itu. Akan tetapi karena ia masih merasa jengkel akibat beberapa kali dimaki kutu-buku,
jembel, ia pun tidak mengacuhkan pemuda itu dan kalau pemuda itu keluar kamar, ia pura-pura tidur
mendengkur. Akan tetapi entah mengapa, mungkin karena gangguan kegemasannya terhadap pemuda
yang tentu enak sekali tidur di dalam kamar yang hangat, tidak seperti dia yang kedinginan karena angin
malam bebas menghembus memasuki ruangan itu, dia tidak segera dapat pulas.
Keadaan rumah penginapan itu sudah sunyi sekali, agaknya semua tamu sudah tertidur pulas. Hanya Kun
Hong saja masih gelisah dan mendongkol karena bayangan nyamuk yang mengiang-ngiang di sekitar
telinganya.
Ia menimpakan kemendongkolannya kepada pemuda sombong itu. Andai kata pemuda itu tidak
sesombong itu, atau andai kata tamu itu orang lain, sudah tentu ia akan mendapat bagian di dalam kamar
dan tidak menderita seperti ini.
Dalam kemendongkolannya, Kun Hong tidak ingat bahwa sebenarnya bukan hawa dingin atau nyamuk
yang membuat ia tidak dapat tidur karena biasanya ia dapat tidur nyenyak walau di atas atau di bawah
pohon dalam hutan. Sesungguhnya, wajah pemuda itu selalu terbayang di pelupuk matanya,
mendatangkan rasa mengkal di dalam hatinya.
Tiba-tiba saja ia mendengar suara perlahan sekali. Dari balik selimutnya ia mengintai dan melihat sesosok
bayangan melayang turun ke dalam ruangan itu. Ternyata dia adalah seorang laki-laki tinggi kurus yang
gerakannya amat gesit dan ringan, tanda bahwa orang itu memiliki kepandaian tinggi.
Orang itu menghampiri kamar dua orang laki-laki tinggi besar tadi dan mengetuk perlahan. Pintu segera
dibuka dan orang itu masuk, lalu pintu kamar segera ditutup lagi. Kun Hong menjadi curiga sekali dan
merasa tidak enak hatinya.
Dua orang tinggi besar tadi selalu memandang ke arah kamar Si Pemuda, sekarang ada tamu yang
demikian mencurigakan dan aneh, tentu mereka mempunyai niat yang tidak baik. Pikirannya berjalan
cepat. Ia lalu mengatur bantalnya memanjang dan diselimutinya seperti orang tidur berselimut, sedangkan
dia sendiri lalu melompat turun dengan hati-hati, kemudian dengan menggunakan ilmunya meringankan
tubuh ia lantas melompat ke atas genteng.
Hatinya berdebar keras karena baru sekarang inilah ia mempergunakan ilmu yang telah dipelajarinya di
puncak itu untuk melompat naik ke atas genteng dengan maksud akan mengintai kamar orang lain! Di
puncak dahulu dia sudah biasa melompati jurang-jurang lebar, tentu saja meloncat ke atas genteng
merupakan pekerjaan mudah baginya.
Akan tetapi karena belum terbiasa, ia menjadi berdebar dari berhati-hati sekali. Cepat ia bersembunyi di
belakang wuwungan rumah, kemudian memasang telinga mendengarkan percakapan di dalam kamar dua
orang laki-laki tinggi besar itu. Segera dia mendengar suara orang laki-iaki yang parau, agaknya suara
orang yang baru datang tadi.
"Ji-wi laote, Twako kita melarang kalian untuk mengganggu pemuda yang hendak pergi ke Thai-san itu.
Menurut Twako, apa bila kita turun tangan di sini, paling banyak hanya dapat merampas bekal dan
pedangnya, sedangkan resikonya kalau sampai hal ini terdengar oleh Thai-san-pai, tentu mereka akan
berhati-hati."
"Hemm, habis, apa yang harus kita lakukan?" terdengar suara lain.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sekarang Twako sedang mengumpulkan semua saudara kita, malah kabarnya Ji-ko dan Sam-ko (Kakak
ke Dua dan ke Tiga) juga datang, bersama Hui-liong Sam-heng-te yang bersedia membantu pula. Twako
menyuruhku datang memberi tahu Ji-wi (Kalian Berdua) untuk bersamaku sekarang juga datang ke sana,
mendengar petunjuk-petunjuk lebih jauh dan mengadakan perundingan."
"Baiklah."
Terdengar jendela dibuka dari dalam kemudian berturut-turut tiga sosok bayangan orang melesat keluar
terus meloncat ke atas genteng.
Kun Hong bersembunyi cepat dan ia berhati-hati sekali, tidak segera memperlihatkan diri. Perbuatannya ini
menolongnya karena dia melihat bayangan lain yang gerakannya cepat sekali berkelebat mengejar tiga
sosok bayangan yang sudah berlari lebih dulu itu.
Ia menahan napas. Untung tadi ia tidak cepat-cepat muncul, kalau demikian halnya tentu orang ke empat
itu akan melihatnya. Ia merasa heran, menduga-duga siapakah adanya orang ke empat itu yang seperti
juga dia, melakukan pengintaian.
Muka orang itu tidak terlihat, hanya bayangannya memperlihatkan tubuh yang ramping kecil. Karena ia
tidak ingin dilihat orang, baik oleh tiga orang pertama mau pun oleh orang ke empat yang mengikuti tiga
orang itu, Kun Hong sengaja berlari mengejar dari jauh.
Kurang lebih sejam mereka berkejaran di dalam gelap dan akhirnya ternyata tiga orang itu memasuki
sebuah kuil tua yang sudah rusak, terletak di luar kota dekat sebuah rawa yang sunyi. Kun Hong
membiarkan pengintai di depannya itu melompat ke atas genteng lebih dulu, baru kemudian dia
menyelinap di antara pohon-pohon di belakang kuil dan mencari tempat sembunyi dan pengintaian dari
sebuah jendela yang sudah tidak dipakai dan rusak daun jendelanya.
Di dalam kuil itu terdapat ruang yang luas dan kotor, akan tetapi sekarang di situ tengah berkumpul
beberapa orang mengelilingi meja bobrok, agaknya bekas meja sembahyang. Lima batang lilin menyala
menerangi ruangan dan keadaan amat seram dengan beberapa patung rusak menghias pojok ruangan.
Seorang penakut tentu akan menyangka mereka itu setan-setan yang berpesta-pora di dalam kuil tua itu.
Karena ruangan itu cukup terang, Kun Hong dapat melihat wajah mereka itu.
Pertama-tama ia melihat wajah dua orang laki-laki tinggi besar yang berada di rumah penginapan. Dua
orang laki-laki ini berusia empat puluh tahun. Orang ke tiga yang duduk dekat mereka agaknya adalah
orang yang menyusul ke rumah penginapan tadi, orangnya kecil kurus dengan muka ciut seperti tikus dan
pada punggungnya tergantung pedang, agaknya pedang pasangan karena kelihatan dua gagang pedang.
Sekarang Kun Hong mencurahkan perhatian kepada orang-orang yang duduk di kepala meja. Ia seorang
bertubuh pendek gemuk berperut besar, berusia lima puluh tahun lebih tetapi mukanya segar kemerahan
dan bundar seperti muka kanak-kanak. Gerak-geriknya halus, akan tetapi setelah membaca kitab-kitab
ilmu pengobatan dari Yok-mo, Kun Hong tahu bahwa orang itu adalah seorang ahli Iweekeh (tenaga
dalam) yang sangat lihai. Dari percakapan mereka, orang inilah yang dipanggil Twako (Kakak Tertua) tadi.
Orang di sebelah kirinya adalah seorang yang usianya lebih tua, rambutnya sudah putih semua. Tubuhnya
sedang akan tetapi punggungnya agak bongkok. Matanya juling, pada punggungnya tampak gagang
senjata ruyung. Orang ini disebut Ji-ko (Kakak ke Dua).
Orang yang disebut Sam-ko (Kakak ke Tiga) oleh Si Muka Tikus adalah seorang yang masih muda, paling
banyak baru tiga puluh lima tahun usianya. Wajahnya tampan dan di pinggangnya kelihatan ruyung lemas
semacam cambuk.
Diam-diam Kun Hong heran dengan panggilan-panggilan mereka itu. Kakak ke dua lebih tua dari pada
kakak tertua, sedangkan yang disebut kakak ke tiga oleh Si Muka Tikus adalah seorang yang masih muda.
Ia tidak tahu bahwa empat orang termasuk Si Muka Tikus ini adalah tokoh-tokoh terkenal di daerah selatan
yang disebut Lam-thian Si-houw (Empat Harimau Dunia Selatan)!
Girang hati Kun Hong ketika ia mendengar Si Muka Tikus itu tiba-tiba memperkenalkan dua orang tinggi
besar tadi dengan tiga orang yang duduk berendeng di sebelah kanan. Hal ini sama dengan memberi tahu
kepadanya siapa adanya orang-orang itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dari perkenalan itu ia tahu bahwa tiga orang yang berendeng di sebelah kanan itulah yang tadi oleh Si
Muka Tikus disebut Hui-liong Sam-heng-te (Tiga Kakak Beradik Si Naga Terbang). Ada pun dua orang lakilaki
tinggi besar yang bermalam di rumah penginapan itu adalah dua orang saudara she Kam, lengkapnya
Kam Ki Hoat dan Kam Siong.
"Ji-wi Kam-laote," antara lain Si Twako yang bermuka kanak-kanak itu berkata kepada kedua orang
saudara Kam, "menurut keterangan Si-te (Adik Ke Empat), Ji-wi (Kalian Berdua) hendak mengenyahkan
seorang muda dari Thai-san-pai. Betulkah itu?"
"Betul sekali, karena dua pasang mata kami tak akan salah melihat orang. Sungguh pun tldak jelas bagi
kami siapa sebenarnya dia, namun yang sudah pasti sekali kami pernah melihat dia itu di Thai-san. Siapa
tahu dia itu orang Thai-san-pai yang sengaja bertugas memata-matai gerakan kita, bukankah celaka kalau
begitu? Kami rasa lebih baik turun tangan di jalan sebelum terlambat. Akan tetapi Twako menghendaki lain,
habis bagaimana selanjutnya?"
Twako itu tersenyum. "Seorang muda dari Thai-san-pai memata-matai kita? Heh-heh, lucu kalau benar
demikian. Apakah dia berkepala tiga berlengan enam?"
Kun Hong yang mendengar pertanyaan ini bingung, tidak tahu maksudnya. Akan tetapi Kam Ki Hoat
menjawab,
"Lagaknya bagaikan seorang pemuda kaya raya yang ahli dalam bun (ilmu sastra) dan sedikit mengerti
ilmu silat. Akan tetapi aku sendiri sangsi apakah dia itu ada isinya."
"Kalau begitu, kenapa harus takut dia dapat memata-matai kita? Jangan pedulikan bocah masih ingusan
itu, Ji-wi Kam-laote. Sekarang dengarlah rencanaku yang tadi sudah kuberi tahukan kepada Hui-liong Samheng-
te. Kita naik ke Thai-san dengan cara berpencaran, mempergunakan kesempatan pembukaan
berdirinya Thai-san-pai. Kita mengaku sebagai orang-orang kang-ouw yang hendak memberi ucapan
selamat dan menghaturkan sekedar sumbangan atau barang perkenalan. Akan tetapi setelah tiba di sana
kita semua harus dapat berkumpul di dekat meja penerimaan sumbangan dan hadiah. Seorang tokoh
besar seperti orang she Tan itu, sudah pasti akan menerima barang-barang luar biasa dari para tokoh
kang-ouw di empat penjuru. Nah, bila telah saatnya tiba, mudah untuk kita sembilan orang menyikat
barang-barang itu, tentu saja yang tidak berharga kita tinggalkan."
"Twako, apakah kau sudah merasa yakin benar bahwa saat keributan itu pasti akan tiba?" Kam Ki Hoat
bertanya ragu.
Si Twako ini tertawa lagi, mukanya menjadi makin bulat. "Siapa bilang tak akan tiba? Aku yakin dan berani
bertaruh memotong daun telinga! Saat ini sudah pasti akan digunakan oleh mereka yang pernah dihina
oleh Si Raja Pedang. Bahkan aku dapat menduga bahwa iblis-iblis dari empat penjuru akan muncul,
berlomba untuk menjatuhkan Si Sombong yang hendak membentuk Thai-san-pai itu."
Kun Hong yang mendengarkan semua ini mulai agak mengerti persoalannya. Dia dapat menduga bahwa
orang-orang ini yang berjumlah sembilan dan terdiri dari tiga rombongan atau tiga golongan, adalah
sekumpulan orang jahat yang hendak merampok Thai-san-pai, mempergunakan kesempatan di waktu
pertemuan itu kacau karena terjadinya keributan.
Agaknya Tan Beng San yang amat dikagumi ayahnya, yang sudah sering kali ia dengar namanya, yang
digelari orang Raja Pedang itu, sudah menanam bibit permusuhan yang banyak sekali. Diam-diam Kun
Hong mengerutkan keningnya.
Andai kata sembilan orang yang ada di ruangan kuil bobrok ini mempunyai hati dendam terhadap Tan
Beng San dan ingin membalasnya dengan cara bertempur, tentu ia takkan dapat berpihak sebelum tahu
sebab-sebab permusuhannya. Akan tetapi sembilan orang ini hendak merampok benda-benda berharga.
Hemm, kalau sudah begini tak perlu diselidiki lagi sebab-sebab permusuhan, karena jelas bahwa mereka
ini bukan orang-orang baik. Aku harus dapat mendahului mereka, pikirnya, mendahului mereka naik ke
Thai-san dan memberi tahukan apa yang ia lihat ini kepada Tan Beng San. Apa bila sudah diberi tahu tentu
dapat berjaga-jaga dan kalau sembilan orang ini kelak naik ke Thai-san boleh diusir saja!
dunia-kangouw.blogspot.com
Baru saja dia hendak keluar dari tempat persembunyian dan pergi, tiba-tiba pengintai di depan itu pun
bergerak perlahan dan segera lari meninggalkan tempat itu. Kun Hong heran. Siapakah dia itu?
Gerakannya demikian gesit dan ringan, sebentar saja lenyap.
Ahh, kiranya kalau tadi ia dapat mengikuti bayangan itu adalah karena bayangan itu pun mengikuti Si Muka
Tikus dan dua orang saudara Kam. Maka gerakan dan larinya juga tidak begitu cepat. Sekarang
kembalinya, karena tidak mengikuti orang-orang yang lebih rendah tingkatnya, ternyata bayangan ini dapat
melesat seperti burung terbang cepatnya, membuat Kun Hong melongo dan makin kagum terheran-heran.
Hati-hati ia memasuki rumah penginapan, tersenyum melihat bantal guling yang tadi dia selimuti masih
tetap tidak berubah, lalu tidur lagi, pulas sampai pagi hari. Dia terbangun karena mendengar suara pemuda
pesolek itu berteriak-teriak memanggil pelayan,
"Hee, pelayan, tulikah engkau? Lekas ambilkan air hangat, cepat! Aku hendak berangkat pagi-pagi!"
Kun Hong memang malam tadi berniat bangun dan berangkat pagi-pagi untuk mendahului orang-orang itu
ke Thai-san. Akan tetapi pada saat melihat pemuda itu ribut-ribut tanpa menghiraukan orang lain yang
masih tidur, ia mendongkol dan berkata, "Benar-benar tak tahu adat! Apakah tidak melihat orang lain masih
tidur?"
Pemuda itu hanya menoleh dan mencibirkan bibirnya mengejek, kemudian masuk lagi ke kamar tanpa
mempedulikan Kun Hong. Dengan hati mengkal Kun Hong lalu berkemas, membersihkan mata dan
membeli sarapan di warung depan rumah penginapan. Ketika ia kembali ke rumah penginapan untuk
membayar sewa bermalam, ia mendapat kenyataan bahwa pemuda yang menyebalkan hatinya itu telah
berangkat.
"Hemm, anak manja itu sudah pergi?" tanyanya kepada pelayan yang memberinya tempat bermalam.
Pelayan itu tertawa, mengangguk. "Anak orang kaya memang sudah biasa dimanja, Tuan Muda," katanya.
"Segala keinginannya harus terkabul."
Pada saat itu Kun Hong melihat dua orang laki-laki tinggi besar semalam, yaitu Kam Ki Hoat dan Kam
Siong, juga sudah siap. Dengan suara keras mereka memanggil pelayan, mengadakan perhitungan lalu
meninggalkan rumah penginapan itu tanpa menoleh sedikit pun kepada Kun Hong.
Pemuda ini kaget. Ahh, sama sekali ia tidak mengira kalau mereka pun berangkat sepagi itu. Lebih baik
jika ia mengikuti mereka. Tidak akan terlambat kiranya mendahului mereka kelak di kaki Gunung Thai-san.
Siapa tahu dengan mengikuti mereka secara diam-diam, nanti ia akan dapat lebih banyak memberi
keterangan penting kepada Paman Tan Beng San, demikian pikirnya. Dan siapa tahu kalau-kalau mereka
yang memusuhi Raja Pedang ini ternyata juga ada hubungannya dengan mereka yang menculik Li Eng
dan Hui Cu.
Akan tetapi alangkah kaget dan kecewa hatinya ketika melihat betapa ternyata dua orang itu mempunyai
dua ekor kuda yang dititipkan di dalam kandang kuda di belakang rumah penginapan dan sekarang mereka
sudah menunggang kuda dan membalap keluar. Mau rasanya Kun Hong menempeleng kepalanya sendiri.
Mengapa ia tidak menduga akan hal ini?
Terpaksa dia melanjutkan perjalanan dengan bersungut-sungut. Tidak mungkin dia harus berlari-lari
mengejar dua ekor kuda itu. Hal ini tentu akan menimbulkan keheranan dan kecurigaan orang-orang yang
melihatnya. Setelah dia keluar dari dusun itu dan berada di tempat yang sunyi, barulah dia berani berlarilari
cepat untuk sedapat mungkin menyusul dua orang penunggang kuda tadi.
Dia telah sampai di dalam hutan malam tadi dan dari jauh ia sudah melihat kuil tua yang dijadikan tempat
pertemuan orang-orang yang memusuhi Tan Beng San. Berdebar-debar hatinya melihat beberapa orang di
depan kuil dan mendengar suara pertengkaran. Cepat ia menyusup-nyusup di antara pohon dan semaksemak
mendekati tempat itu.
Alangkah kaget dan herannya ketika dia melihat pemuda pesolek sombong itu berdiri di depan kuil
berhadapan dengan sembilan orang yang semalam telah dia lihat di dalam kuil. Dia merasa kuatir sekali
karena dapat menduga bahwa akhirnya sembilan orang penjahat itu toh akan mengganggu juga pemuda
yang mereka anggap sebagai seorang anak murid Thai-san-pai.
dunia-kangouw.blogspot.com
Yang membuat Kun Hong mendongkol adalah melihat sikap pemuda itu sendiri. Di depan sembilan orang
yang terkenal sebagai tokoh-tokoh kang-ouw dengan julukan nama-nama menyeramkan, kenapa dia masih
tersenyum-senyum dengan bibir yang selalu mengejek? Alangkah sombongnya!
Meski hatinya menjadi gemas dan ingin dia melihat pemuda pesolek macam ini menerima hajaran keras,
akan tetapi mengingat bahwa pemuda itu boleh jadi benar-benar adalah orang Thai-san-pai, tak enak kalau
ia harus membiarkan saja pemuda itu dalam bahaya. Diam-diam Kun Hong bersiap sedia, apa bila nanti
melihat pemuda itu terancam, pasti ia akan keluar dan membantunya. Sementara ini, ia akan mencari
persembunyian yang lebih dekat dan menonton saja.
Orang pendek gemuk bermuka kanak-kanak yang mengepalai rombongan sembilan orang itu terdengar
berkata sambil tertawa, "Orang muda, apakah niatmu menghadang kami di sini? Siapakah kau?"
Pemuda itu dengan lagak sombong mengerutkan kening, menjawab, "Kong Houw si perut gendut, tidak
usah kau berpura-pura lagi. Kau tahu bahwa aku datang dari Thai-san-pai, akulah anak murid Thai-sanpai."
"Kau kenal namaku?" Si Gendut itu berseru kaget.
"Hemm, siapa tidak mengenal nama busukmu? Kau tokoh tertua dari Lam-thian Si-houw, di selatan
menjadi momok yang ditakuti rakyat. Akan tetapi jangan kira Thai-san-pai takut kepadamu!"
Kang Houw melirik pada teman-temannya, kemudian ia tertawa lagi dengan muka ramah dan berkata,
"Aha, kiranya saudara ini adalah orang Thai-san-pai. Bagus sekali, kalau begitu kita adalah orang-orang
sendiri. Saudara muda, ketahuilah bahwa kami sembilan orang ini adalah orang-orang yang mengagumi
ketuamu, Raja Pedang Tan-Taihiap dan kami sengaja hendak pergi ke Thai-san untuk memberi selamat
dan hormat atas pendirian Thai-san-pai. Harap kau orang muda jangan salah duga."
Orang muda itu mencibirkan bibirnya, satu kebiasaan yang memanaskan perut Kun Hong karena gerakan
ini benar-benar membuat orang menjadi gemas dan mendongkol!
"Kang Houw si perut gendut! Siapa sudi membeli daganganmu? Kalian hanya pura-pura saja hendak
memberi selamat kepada Thai-san-pai, akan tetapi kalian sebetulnya adalah kumpulan maling-maling kecil
yang sudah mengilar begitu mengingat akan barang-barang sumbangan yang berada di meja penerimaan
di Thai-san-pai! Siapa yang tidak tahu akan hal itu? Hemmm, kalian ini sama dengan tikus-tikus kecil yang
mau coba-coba meraba kumis harimau."
Mendengar kata-kata ini, sikap sembilan orang itu berubah, juga Kun Hong yang berada di tempat
persembunyiannya tercengang keheranan. Bagaimana pemuda itu bisa tahu akan hal ini? Hatinya
berdebar penuh dugaan. Jangan-jangan bayangan yang bergerak cepat bagai iblis malam tadi ialah dia ini!
Mungkinkah pemuda sombong ini memiliki kepandaian begitu tinggi?
"Twako, ternyata dia mata-mata seperti yang kami sangka. Menghadapi bocah seperti ini perlu apa banyak
bicara lagi? Twako, biarlah kami berdua membereskannya di sini, siapa yang akan tahu?" kata Kam Ki
Hoat.
Ketika melihat Kang Houw si gendut muka kanan-kanak itu mengangguk perlahan, Kam Ki Hoat berkata
kepada adiknya, "Mari kita tamatkan setan ini."
Dengan sikap mengancam dan menakutkan, kedua orang tinggi besar yang kelihatan amat kuat itu
menghampiri pemuda yang tubuhnya kecil dan kelihatan lemah itu.
"Bocah yang telalu lebar telinganya, terlalu besar matanya dan terlalu lebar mulutnya! Kau bersiaplah
menghadap raja akhirat!" teriak Kam Ki Hoat.
Kun Hong memandang tajam. Akan tetapi melihat sikap yang tenang sekali dari pemuda itu, ia merasa
yakin bahwa pemuda itu belum terancam bahaya. Oleh karena itu ia hanya memegangi dua buah batu
kecil di kedua tangannya, siap menolong.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemuda itu benar-benar nampak amat tenang menghadapi dua orang yang tinggi besar dan
mengancamnya itu. Dengan tersenyum mengejek ia berkata, "Dua ekor monyet besar menjual lagak. Siapa
takut gertakanmu?"
Kam Ki Hoat dan Kam Siong berseru keras, dengan berbareng mereka maju menerjang dari kanan kiri.
Kam Ki Hoat menggunakan gerakan Harimau Menerkam Domba, kedua tangannya meluncur ke arah leher
pemuda itu untuk memukul patah atau mencengkeram leher itu.
Dari kiri Kam Siong menggunakan gerakan Kilat Menyambar Batu. Kedua tangannya yang terkepal
sebesar kepala orang itu memukul bergantian ke arah lambung serta ulu hati lawan.
Sekaligus pemuda itu diserang dari kanan kiri ke arah atas dan bawah tubuhnya, dengan penyerangan
yang dahsyat dan penuh tenaga yang amat kuat. Anehnya, pemuda itu diam saja tak bergerak, seakanakan
tidak tahu bahwa dia diserang orang dari kanan kiri!
Akan tetapi, ketika empat buah tangan itu sudah mendekati tubuhnya, tiba-tiba tubuhnya berkelebatan,
tangan kakinya bergerak dan... dua orang saudara Kam itu lantas berteriak kesakitan. Apa yang terjadi?
Ternyata serangan Kam Hoat malah berbalik mengancam leher Kam Siong, sedangkan pukulan-pukulan
Kam Siong mengancam ulu hati dan lambung kakaknya! Mereka kaget dan berusaha menarik kembali
serangan, akan tetapi tetap saja masih saling menggebuk yang membuat keduanya terpental dan jatuh
terduduk, saling memandang dengan mata melotot heran. Ada pun pemuda itu masih berdiri di tempat tadi,
tersenyum penuh ejekan yang memanaskan perut.
Tujuh orang lainnya yang melihat ini menjadi terbelalak, terheran-heran karena mereka tidak dapat melihat
nyata gerakan pemuda itu, tahu-tahu dua orang saudara Kam sudah saling memukul sendiri. Sudah
gilakah dua orang saudara Kam itu? Ataukah memang tadi gerakan mereka itu keliru dan justru saling
bertentangan?
Hanya Kun Hong yang diam-diam kagum sekali juga kaget bukan main karena ternyata olehnya bahwa
pemuda itu benar-benar seorang yang pandai sekali. Sekarang semakin besar dugaannya bahwa
bayangan hitam tadi tentulah pemuda ini pula orangnya.
Ia tidak mengenal gerakan Si Pemuda ketika menjatuhkan kedua lawan tadi, akan tetapi dapat mengikuti
dengan pandang matanya. Ia tahu bahwa tadi pemuda itu menggunakan kelincahannya dalam ilmu
‘menggunakan sedikit tenaga meminjam tenaga lawan’. Sambil mengelak cepat sekali ia menggencet kaki
kedua lawannya bergantian selagi kedua lawan itu menyerang, melejit ke kanan mendorong Kam Ki Hiat
ke depan sehingga tanpa dapat dicegah lagi dua saudara itu berubah arah penyerangan mereka dan
terjadi saling gebuk sendiri!
Tentu saja Kam Ki Hoat dan Kam Siong marah sekali, juga malu karena terang-terangan mereka tadi
dipermainkan oleh pemuda itu. Sambil mengeluarkan gerengan bagai macan kelaparan, keduanya
menerjang kembali dari kanan kiri.
Kam Ki Hoat mengeluarkan ilmu tendangan yang jarang dapat dihadapi lawan, tendangan geledek yang
akan sanggup menumbangkan sebatang pohon besar. Sedangkan dari kiri Kam Siong juga mengeluarkan
ilmu pukulannya, pukulan geledek yang tentu akan dapat meremukkan kepala seekor harimau! Pendeknya,
sekali ini dua orang saudara ini hendak menghancurkan tubuh pemuda kurus itu dari atas dan bawah agar
menjadi hancur dan lumat seperti tahu dicacah!
Seperti juga tadi, pemuda itu kelihatannya tenang saja dan sama sekali tak bergerak dari tempatnya. Kini
tujuh orang penjahat lainnya memandang penuh perhatian. Takkan salah lagi, pikir mereka, sekarang
pemuda ini pasti akan mampus!
Hanya Kun Hong yang diam-diam tersenyum karena timbul kekaguman dan kepercayaan besar dalam
hatinya terhadap kelihaian pemuda ini. Ia juga memandang penuh perhatian, ingin sekali melihat dengan
cara apa pemuda ini akan mengalahkan lawan-lawannya. Dan Kun Hong kembali terkagum-kagum melihat
cara pemuda itu berkelebat mengelak sambil mengerahkan ginkang-nya, menyelinap di antara pukulan dan
tendangan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada saat kaki Kam Ki Hoat menyambar lewat, tangan kirinya bergerak menangkap tumit lawan dan
mendorong. Pada saat yang hampir bersamaan, pukulan geledek Kam Siong juga meluncur lewat, dan
tangan kanannya bergerak menangkap pergelangan tangan itu kemudian mendorong.
Akibatnya... tubuh Kam Ki Hoat terlempar ke atas sampai tiga meter, sedangkan tubuh Kam Siong
terdorong ke depan berjungkir-balik lantas terguling-guling sampai lima enam meter! Kedua orang ini agak
nanar, menggerak-gerakkan kepala dengan mata menjuling dan berkunang-kunang.
Beberapa waktu kemudian keduanya dapat merangkak bangun dan kemarahan mereka memuncak.
Tampak benda berkilat ketika kedua orang saudara Kam ini mencabut golok mereka yang besar, tajam dan
meruncing.
"Bocah iblis, rasakan pembalasanku!" Kam Ki Hoat berteriak sambil lari menerjang.
"Mampuslah kau, setan!" Kam Siong juga berseru marah sambil memutar-mutar goloknya menyerang.
Agak kuatir juga hati Kun Hong melihat betapa dua orang tinggi besar itu mainkan golok yang demikian
tajamnya. Mengerikan sekali. Apa lagi karena ia dapat melihat bahwa ilmu mereka bermain golok agaknya
lebih lihai dari pada ilmu pukulan mereka.
Bagaikan kilat menyambar-nyambar, dua batang golok itu menyerang dari kanan dan kiri, sedangkan
pemuda itu tetap saja bertangan kosong, tidak mau mencabut pedangnya dan malah enak-enak saja
menanti datangnya dua batang golok yang mengancamnya!
Serangan maut kali ini akibatnya hebat sekali. Tujuh orang penjahat itu sampai terbelalak mata mereka
saking kaget dan herannya. Hanya tampak dua tubuh saudara Kam yang tinggi besar itu seperti bola-bola
yang ditendang melayang ke arah pohon besar, disusul melayangnya dua benda gemerlapan dan tahutahu
kedua orang saudara Kam itu sudah tergantung di batang pohon dengan leher baju mereka terpantek
pada batang itu oleh golok mereka sendiri!
Agaknya pemuda yang aneh dan luar biasa itu secara cepat bukan main sudah berhasil melontarkan tubuh
mereka ke arah pohon sambil merampas goloknya, lalu menggunakan golok-golok itu sebagai golok
terbang yang langsung memantek dua orang tinggi besar itu melalui leher baju mereka. Sekarang tubuh
dua orang itu tergantung, kedua kaki mereka bergerak-gerak dan mereka kelihatan ketakutan sekali karena
golok mereka sendiri begitu dekat dengan leher!
Kun Hong mengerutkan keningnya. Hatinya memang girang sekali melihat bahwa pemuda ini walau pun
sombong, kiranya tidak kejam dan tidak mau menbunuh atau melukai berat kepada lawan. Akan tetapi
diam-diam dia mulai ragu apakah perlu dia membantu karena melihat gerakan-gerakan tadi, terutama pada
waktu menyambit dengan golok-golok itu, ia sangsi apakah dia sendiri becus melakukannya. Ia juga sangsi
apakah dia sendiri mampu mengalahkan pemuda yang benar-benar luar biasa ini.
Dua buah batu yang tadi dipegangnya dalam persiapan untuk menolong, tanpa terasa lagi terlepas dari
tangannya dan ia menonton kembali dengan penuh perhatian dan dengan hati tertarik.
Tiba-tiba dua bayangan orang melesat ke arah pohon itu dan cepat sekali dua bayangan itu sudah kembali
melayang turun lagi sambil mengempit tubuh kedua saudara Kam dan memegang golok yang tadi
memantek dua orang ini pada pohon. Hebat sekali gerakan itu, sekaligus melayang, mencabut golok dan
mengempit orang sambil melayang turun kembali.
Kiranya kedua bayangan ini adalah dua orang di antara Hui-liong Sam-heng-te. Setelah menurunkan
kedua orang saudara Kam itu, tiga orang kakak beradik Si Naga Terbang ini maju menghampiri pemuda
tadi. Sikap mereka tenang akan tetapi pandang mata mereka penuh ancaman.
Tiga orang ini berusia lebih dari empat puluh tahun, bertubuh kurus-kurus sesuai dengan keahlian mereka,
yaitu ilmu meringankan tubuh sehingga membuat mereka dijuluki Naga Terbang. Mereka ini adalah kakak
beradik she Cong berasal dari daerah Kang-lam dan nama mereka sudah amat terkenal di dunia kang-ouw
sebagai ahli-ahli ginkang dan ahli pedang yang jarang bandingnya.
Pemuda itu tersenyum. "Ah, memang pantas bila kalian dijuluki Hui-liong (Naga Terbang), hanya sayang
bahwa julukan itu terlalu muluk untuk tiga saudara maling kecil. Sayang sekali orang-orang yang sudah
memiliki kepandaian sebaik itu merusak nama sendiri dan menjadi maling-maling tak tahu malu."
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiga orang itu terkejut juga. Pemuda ini kelihatannya masih hijau, akan tetapi ternyata sudah mengenal
nama mereka. Apakah karena nama mereka yang sudah terlalu populer. Akan tetapi berbareng mereka
juga merasa marah sekali dimaki sebagai maling-maling kecil.
"Bocah bermulut lancang! Kami Hui-liong Sam-heng-te bukanlah sebangsa maling-maling kecil, keparat!"
"Ahhh? Betulkah? Kalau begitu tentulah maling-maling besar. Bukankah kalian juga ingin mencuri barangbarang
berharga dari Thai-san-pai nanti?"
Merah muka tiga orang kurus itu. Tidak dapat disangkal lagi, memang mereka menerima ajakan Lam-thian
Si-houw untuk merampok barang-barang hadiah di Thai-san-pai, akan tetapi hal itu bukan hanya karena
barang-barang itu tentulah merupakan barang-barang pusaka yang luar biasa, melainkan juga untuk
melampiaskan dendam kemarahan mereka terhadap Raja Pedang yang pernah merobohkan mereka
beberapa tahun yang lalu. Niat usaha mereka ini sama sekali tak boleh dianggap sebagai perbuatan
‘maling-maling kecil’!
"Jika kami bermusuhan dengan Tan Beng San Ketua Thai-san-pai ada sangkutan apakah denganmu? Kau
siapa?" tanya seorang di antara mereka, yang tertua.
Pemuda itu tersenyum mengejek, matanya berkilat. "Bukankah kalian tadi menganggap bahwa aku adalah
anak murid Thai-san-pai? Nah, aku memang murid Thai-san-pai. Dan kalian ini monyet-monyet kurus
memiliki kemampuan apakah berani bermusuhan dengan Ketua Thai-san-pai? Ih, benar-benar tak tahu diri!
Bercerminlah terlebih dahulu dan lihat, apakah monyet-monyet macam kalian ini cukup patut untuk
mengganggu Thai-san-pai!"
Kemarahan Hui-liong Sam-heng-te tidak dapat mereka kendalikan lagi. Sekali bergerak, mereka telah
mencabut pedang mereka yang tajam berkilauan. Pemuda tampan itu tetap tersenyum-senyum tenang,
seperti seorang tua melihat kenakalan tiga orang bocah.
Tiba-tiba tiga orang kurus itu menggerakkan pedang dan berpencar mengurung pemuda itu dari tiga
jurusan. Berbareng mereka memekik dan pedang mereka serentak berkelebat menyerang. Pemuda itu
berkelebat dan tiga serangan tadi mengenai tempat kosong.
"Ehh, ehhh, kalian menggunakan jurus-jurus dari Kun-lun-pai!" pemuda itu berseru.
Tiga orang itu tertegun dan saling memandang, karena herannya menunda penyerangan mereka.
"Hemmm, lucu benar. Melakukan jurus-jurus Kun-lun Kiam-hoat saja kalian masih belum becus, sudah
menyerang aku. Hi-hi, melihat tingkat, kalian ini lebih patut menyebut kakek guru kepadaku!"
"Bocah sombong, kau tahu apa tentang Kun-lun Kiam-hoat?" teriak orang yang termuda.
"Ehh, kalian tidak percaya? Nih, lihat!"
Pemuda itu lalu memungut sebatang ranting kering dan memegangnya di tangan kanan seperti sebatang
pedang.
"Kalian tadi menggunakan jurus Iblis Menukar Bayangan, yang seorang lagi menyerang dengan gerakan
Burung Sakti Membuka Sayap, dan yang ke tiga dengan jurus Ayam Emas Mematuk Gabah. Bukankah
begitu? Nah, jurus-jurus yang kalian mainkan tadi salah semua, bukan ilmu Kun-lun yang asli, melainkan
sudah campur aduk seperti masakan cap-cai! Kalau tidak percaya, jurus-jurus kalian tadi dapat dipunahkan
semua dengan ilmu pedang Kun-lun-pai yang bernama Ilmu Pedang Lima Serangkai."
Tiga orang Naga Terbang itu saling pandang, lalu tertawa. Memang tepat sekali ucapan pemuda itu saat
menyebutkan jurus-jurus yang mereka mainkan. Memang mengherankan sekali bagaimana dalam
keadaan diserang berbareng, selain dapat menyelamatkan diri, juga sekaligus pemuda itu dapat mengenal
jurus-jurus mereka.
Namun mendengar bahwa pemuda itu akan menggunakan Ilmu Pedang Lima Serangkai dari Kun-lun-pai,
mereka mau tidak mau tertawa. Karena ilmu pedang yang disebutkan itu adalah ilmu pedang yang paling
rendah dari Kun-lun-pai, merupakan dasar pelajaran bagi para murid yang baru akan belajar ilmu pedang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mana dapat dipakai untuk menghadapi mereka? Biar pun mereka bukan murid-murid asli dari Kun-lun-pai,
namun ilmu pedang Kun-lun-pai yang tinggi telah mereka pelajari dan dicampur dengan ilmu-ilmu pedang
lain.
"Manusia sombong, kau agaknya sudah ingin mampus! Nah, sambutlah kami dengan Ilmu Pedang Lima
Serangkai! Keluarkan pedangmu," orang tertua dari ketiga Naga Terbang itu berkata.
Pemuda itu hanya membolang-balingkan ranting di tangannya. "Menghadapi ilmu pedang cap-cai kalian itu
untuk apa harus menggunakan pedang. Dengan ranting ini dan dengan Ilmu Pedang Lima Serangkai, aku
akan menghadapi kalian. Majulah!"
Selama mereka hidup, tiga orang ini belum pernah dihina seperti sekarang. Mereka malu sekali kalau
harus mengeroyok seorang pemuda yang hanya bersenjata ranting. Akan tetapi karena sikap pemuda itu
benar-benar amat menghina, mereka tidak mempedulikan aturan-aturan di kalangan kang-ouw lagi dan
serentak mereka menyerang, mengeluarkan jurus-jurus simpanan yang paling lihai. Bagaikan tiga ekor
naga terbang, pedang mereka berubah menjadi gulungan sinar panjang yang menyambar dari tiga jurusan
ke arah pemuda itu.
Alangkah besar keheranan mereka ketika pemuda itu benar-benar memainkan Ilmu Silat Pedang Lima
Serangkai! Mereka menahan gelak ketawa mereka dan dengan sungguh-sungguh mereka menyerang
untuk merobohkan pemuda sombong ini.
Akan tetapi, ranting yang digerakkan secara lambat dan perlahan itu kiranya benar-benar dapat menyusup
di antara pedang mereka sedemikian rupa dan mengancam jalan darah pergelangan tangan mereka
bertiga! Tentu saja mereka tak mau membiarkan jalan darah yang terpenting ini tertotok dan tidak pernah
jurus serangan mereka dapat dilanjutkan.
Nampaknya memang lucu sekali. Tiap kali salah seorang di antara mereka menusuk atau membacok,
sebelum serangan ini mengenai tubuh Si Pemuda, sudah buru-buru ditarik kembali oleh penyerangnya
untuk diubah dengan jurus lain.
"Ha-ha, lihat, bukankah ilmu pedang cap-cai kalian ini tidak ada gunanya sama sekali?" pemuda ini masih
dapat mengejek ketika ia melompat ke sana ke mari untuk memapaki setiap serangan dengan totokantotokan
yang benar-benar dilakukannya sesuai dengan jurus-jurus Ilmu Pedang Lima Serangkai!
Tiga orang itu betul-betul dibikin bingung dan tidak mengerti. Akhirnya mereka penasaran, merasa malu
dan marah sekali, lalu melakukan serangan bertubi-tubi secara nekat dan lebih gencar.
Tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan seruan panjang. Ranting di tangannya cepat sekali berkelebat dan di
lain saat ia sudah melompat keluar dari gelanggang pertempuran sambil tertawa-tawa.
Kun Hong kagum bukan main, akan tetapi enam orang teman penjahat itu menjadi merah muka mereka
melihat betapa Hui-liong Sam-heng-te itu ternyata berdiri seperti patung, dalam sikap masing-masing, sikap
orang bersilat. Mereka telah kaku tak dapat bergerak karena masing-masing telah kena ditotok oleh
pemuda itu.
Melihat hal ini, Kang Houw Si Twako melangkah maju mendekati tiga orang yang telah tertotok itu, lalu
berseru tiga kali sambil menotok dengan dua jari tangannya. Seketika itu terbukalah jalan darah tiga orang
yang segera mengeluh dan roboh terguling.
Demikian hebatnya pengaruh totokan pemuda itu sehingga tubuh mereka terasa lemas dan baru beberapa
lama kemudian mereka dapat berdiri kembali. Akan tetapi mereka sekarang seperti tiga ekor naga yang
sudah dicabuti kuku dan siungnya, tidak berani lagi mengeluarkan suara.
Sementara itu, Si Pemuda dengan lagak sombong kemudian berkata, "Ehh, bagaimana sekarang? Apakah
Lam-thian Si-houw juga hendak memperlihatkan kuku dan taringnya? Kalau begitu, majulah dan rasai
kelihaian anak murid Thai-san-pai sebelum kalian tak tahu diri berani naik ke Thai-san."
Wajah Kang Houw menjadi merah. Ia merasa marah, penasaran, dan malu bukan main. Benarkah pemuda
ini adalah anak murid Thai-san-pai? Jika hanya anak murid yang masih muda saja begini lihai, ahh, kiranya
tak akan mungkin bergerak di Thai-san.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tuan Muda, sebenarnya siapakah kau?"
"Hi-hi-hik, sudah kalian tahu, anak murid Thai-san-pai, mengapa tanya-tanya lagi?"
Bi Houw Si Muka Tikus melangkah maju. "Twako, biarkanlah Si-te mencoba-coba bocah ini."
Twako-nya mengangguk.
"He-he-he, Si Muka Tikus yang suka merayap ke penginapan!" seru Si Pemuda. "Apakah kehendakmu?
Lebih baik kau ajak saja tiga orang saudaramu itu maju bersama, supaya segera beres urusan ini!"
Bi Houw mencabut pedangnya yang ternyata adalah pedang pasangan yang berhiaskan benang-benang
merah. "Bocah mulut besar, tuanmu saja sudah cukup untuk memenggal lehermu."
Pemuda itu mengulur lehernya yang kecil panjang, seperti lagak seekor kura-kura.
"Ihh, leher hanya sebuah hendak dipenggal? Habis ke mana aku mencari gantinya nanti? Jangan
sembrono, tikus, jangan-jangan ekormu malah yang akan kau penggal sendiri."
"Bangsat, lihat pedang!"
Dua gulung sinar pedang menyambar ke arah pemuda itu yang berseru lucu, "Hayaaaa, ada tikus bermain
siang-kiam (pedang pasangan). Jangan-jangan buntutmu sendiri yang akan putus!"
Karena melihat betapa pemuda itu dengan mudah bisa menghindarkan diri dari sambaran sepasang
pedangnya, Bi Houw lalu mempercepat gerakan pedangnya yang menyambar-nyambar dari atas ke bawah
dan dari kiri ke kanan atau sebaliknya.
Sungguh mengagumkan sekali gerakan pemuda itu. Seperti sebuah bayang-bayang saja, tubuhnya tak
pernah terbabat pedang. Atau, lebih tepat seperti asap saja tubuhnya, selalu menyelinap di antara sinar
pedang dengan gerakan seenaknya.
"Awas, pedangmu beradu!" pemuda itu berseru di antara bacokan-bacokan itu dan…
"Traaanggg!"
Benar saja! Dengan sentuhan-sentuhan dan sentilan di belakang telapak tangan Si Muka Tikus, membuat
pedang kanan Bi Houw itu menyeleweng dan membentur pedang kirinya sendiri.
"Iihhh!" Bi Houw sampai melompat kaget atas kejadian yang luar biasa ini, namun ia tidak menghentikan
serangannya, bahkan makin gencar ia membabat.
"Awas, buntutmu putus!"
Entah bagaimana pedang yang tadinya menyambar leher pemuda itu, tahu-tahu menyelonong balik dan
membabat leher Bi Houw sendiri. Tentu saja Bi Houw kaget bukan main dan menahan gerakan tangannya
itu. Akan tetapi, agaknya tangan kanannya sudah tidak mau menurut perintah hatinya sehingga...
"Brettt!" kepalanya terbabat pedang membuat ikat kepala dan rambutnya putus, membuat ia setengah
gundul!
"Heh-heh-heh, tikus gundul... tikus gundul...!"
Bi Houw yang marah hendak, menubruk , dengan pedangnya, namun tahu-tahu ia merasa tubuhnya
terlempar ke belakang dan pedangnya terlepas dari kedua tangan. Ia berusaha untuk menahan diri, namun
tidak kuat dan tubuhnya menggelinding terus.
Tahu-tahu tubuhnya tertahan sesuatu dan ketika ia melihat, ternyata yang menahannya itu adalah
sepasang pedangnya yang entah datang dari mana tahu-tahu sudah menancap di atas tanah dan
menahan tubuhnya yang menggelinding tadi! Dengan muka pucat dan keringat dingin membasahi dahinya,
Si Muka Tikus ini berdiri dan mencabut sepasang pedangnya, kemudian hanya dapat memandang pemuda
itu dengan mata melotot tanpa berani membuka suara.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bocah, kau benar-benar menghina orang!" terdengar seruan.
Orang ke tiga dari Lam-thian Si-houw yang tampan dan berusia tiga puluhan lebih, sudah menerjang maju
sambil meloloskan senjatanya, yaitu sebuah cambuk baja yang panjang.
"Eh, kau ini gembala bebek hendak berlagak? Lebih baik kakakmu yang matanya juling itu kau suruh
maju!" Pemuda itu mengejek sambil menudingkan telunjuknya kearah orang ke dua yang berambut putih,
bertubuh bongkok dan bermata juling.
"Sombong, rasakan cambukku!"
Orang ketiga yang bernama Teng Houw segera menyerang. Cambuknya mengeluarkan bunyi bergeletar
keras dan ujung cambuk itu bergerak-gerak menyambar di atas kepala pemuda itu.
Akan tetapi hebat sekali pemuda ini. Ia hanya sejenak mengerling ke arah ujung cambuk dan sama sekali
tidak mau mengelak kalau ujung cambuk itu belum mendekati tubuhnya benar. Agaknya dia maklum
bahwa Si Pemegang Cambuk itu membunyikan cambuk dan mengamang-amangkannya hanya untuk
menggertak saja.
Melihat hal ini, Teng Houw menjadi panas hatinya. Seperti juga saudara-saudaranya, dia tadinya merasa
jengah pula untuk menyerang seorang pemuda bertangan kosong dengan cambuknya yang sudah amat
terkenal ganas dan entah sudah merenggut berapa banyak nyawa lawan. Akan tetapi pemuda aneh itu
hanya tersenyum-senyum sambil memandang cambuknya seperti sebuah benda mainan yang tiada
harganya.
"Awas senjata!" Akhirnya ia berseru dan kali ini cambuknya betul-betul menerjang dengan serangan yang
amat dahsyat dan ganas.
Namun, pemuda itu masih tersenyum-senyum ketika tubuhnya mulai bergerak mendahului gerakan
cambuk. Sedikit pun juga ujung cambuk tak pernah dapat menyentuh tubuhnya. Bahkan dia masih
mengejek ke arah Si Mata Juling yang maju mendekat dengan maksud mempelaiari gerakan-gerakan
pemuda lihai itu.
"Hei mata juling, kenapa hanya menonton saja dan tidak ikut turun tangan? Matamu akan menjadi makin
juling nanti kalau kau banyak menonton."
Si Mata Juling agaknya tak dapat dibikin panas hatinya, hanya berdiri menonton dengan penuh perhatian.
Akan tetapi tidak lama kemudian, benar saja matanya menjadi semakin juling pada waktu ia melihat betapa
pemuda itu bergerak bagaikan seekor lalat gesitnya, berputar-putar beterbangan di sekeliling tubuh Teng
Houw.
Orang ke tiga dari Lam-thian Sin-houw ini masih mencoba menyabet bayangan lawannya yang luar biasa
gesitnya itu dengan cambuknya, namun sia-sia belaka. Dia hanya dapat menyerang dengan sabetansabetan
yang membabi buta, seolah-olah sedang menyerang bayangan setan.
Tiba-tiba saja terdengar pemuda itu tertawa dan Teng Houw terkejut bukan main. Entah bagaimana, tahutahu
ujung cambuknya telah melilit batang lehernya sendiri. Ia berusaha membetot gagangnya, namun
makin dibetot semakin erat lilitan itu sehingga ia mendelik karena lehernya tercekik!
Kiranya dalam kegesitannya, pemuda itu tadi dapat menyambar ujung cambuk kemudian melilitkannya di
leher lawannya sambil tertawa-tawa. Saking bingung dan kuatirnya, Teng Houw melompat keluar dari
kalangan dengan mata melotot dan lidah terjulur keluar.
Baru setelah twako-nya menghampiri dan melepaskan lilitan cambuknya, ia sadar akan keadaan dirinya.
Mukanya menjadi merah sekali saking malunya, dan di lehernya terlihat garis-garis merah bekas lilitan
cambuknya sendiri. Orang ini tidak bisa berbuat lain kecuali memandang ke arah pemuda itu dengan heran
dan gentar.
"Sudah kukatakan tadi, lebih baik maju sekaligus agar cepat beres. Kalian benar-benar tak tahu diri, Lamthian
Si-houw!" Pemuda itu menantang dan menertawakan ketika melihat Si Mata Juling, Ban Houw,
melangkah maju dengan ruyung di tangan kanan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ban Houw ini adalah seorang jagoan tua yang jarang menemui tandingannya di daerah pantai selatan. Dia
sudah memiliki banyak pengalaman, maka tak berani ia memandang rendah kepada pemuda aneh itu.
Melihat gerak-gerik pemuda ini dalam pertempuran-pertempuran sebelumnya, diam-diam kakek juling ini
dapat menduga bahwa pemuda ini tentulah murid seorang yang sangat sakti. Diam-diam ia
menghubungkan pemuda ini dengan Si Raja Pedang Tan Beng San, yang hanya pernah ia dengar
namanya dan kelihaiannya.
"Orang muda, kau benar-benar lihai sekali. Sebegini muda sudah mempunyai kepandaian sehebat itu.
Orang muda, aku tak percaya bahwa kau hanyalah seorang anak murid biasa saja dari Thai-san-pai. Si
Raja Pedang Ketua Thai-san-pai itu apamukah?"
Pemuda itu memang kurang ajar sekali. Orang tua bicara baik-baik, ia tetap menyambut dengan ejekan,
"Ehh, kakek mata juling, kau tanya-tanya tentang aku apakah kau ingin menarik aku sebagai mantumu?
Apakah anak gadismu tidak juling seperti kau? Sudahlah, jangan banyak tanya dan cukup kukatakan kalau
aku anak murid Thai-san-pai. Kalian ini orang-orang banyak lagak, akan tetapi tidak becus apa-apa dan
berani hendak mengacau Thai-san-pai? Hayo, kalian boleh kalahkan aku lebih dulu, murid kecil dari Thaisan-
pai!”
Diam-diam Kun Hong mendongkol juga menyaksikan sikap pemuda itu. Harus dia akui bahwa kepandaian
pemuda itu hebat sekali. Dari gerak-geriknya tadi ketika bertempur, ia dapat mengambil kesimpulan bahwa
walau pun masih amat muda, orang itu benar-benar telah matang kepandaiannya dan mempunyai dasar
yang amat kuat, baik lweekang mau pun ginkang-nya dari tingkat tinggi.
Akan tetapi ia menganggap pemuda itu terlalu sombong dan agaknya mata keranjang pula. Sudah dua kali
ia mendengar pemuda itu bicara tentang perempuan, yaitu ketika di gedung Tan-taijin dahulu pemuda ini
menyatakan iri hati kepada Pangeran Mahkota yang selalu rnendapatkan wanita cantik untuk menjadi selir.
Sekarang terhadap Si Mata Juling lagi-lagi pemuda ini memperlihatkan sikap ceriwisnya.
Ban Houw tidak marah mendengar ejekan-ejekan pemuda itu. Dia melintangkan ruyung di depan dadanya,
lalu berkata, "Orang muda, setidaknya kau tentu suka memberi tahukan siapa namamu? Kau sudah
mengenal kami semua, memang kau mempunyai mata yang amat tajam, dan harus kuakui bahwa kami
tidak dapat menduga siapakah sebetulnya kau orang muda yang lihai ini?"
Agaknya kesabaran dan ketenangan Ban Houw ini membuat pemuda ini berhati-hati, hal ini ternyata dari
jawabannya yang tidak main-main lagi.
"Orang tua, namaku tidak ada artinya bagimu. Jika kuberi tahu juga kau takkan pernah mendengarnya dan
tidak akan mengenalnya. Yang jelas bahwa aku adalah anak murid Thai-san-pai dan jika kalian hendak
mengganggu Thai-san-pai, harus dapat mengalahkan aku lebih dulu."
Kakek juling itu mengangguk-angguk. "Kau memang takabur, akan tetapi juga sesuai dengan
kepandaianmu. Marilah kau layani ruyungku ini! Apakah menghadapi aku kau pun akan bertangan kosong
saja?"
Pemuda itu sejenak meragu. Biar pun ia masih muda, namun agaknya ia sudah mengerti bahwa
menghadapi seorang lawan yang begini tenang, ia harus berhati-hati sekali. Akan tetapi dasar wataknya
memang manja seperti biasanya anak orang berpangkat atau orang kaya, agaknya ia sudah biasa dipuji
dan diangkat, maka kini pun ia merasa segan untuk mengurangi kesan setelah beberapa kali ia mendapat
kemenangan.
"Kau sudah tua, aku masih muda sudah sepatutnya kalau aku mengalah sedikit, boleh kau serang aku,
kakek juling."
Ucapan ini betul-betul amat takabur sebab keadaannya terbalik. Yang patut mengeluarkan kata-kata itu
adalah Si Tua, bukan Si Muda karena dalam hal ilmu silat, pada umumnya yang lebih tua itu lebih matang
dan mempunyai pengalaman lebih banyak sehingga lebih patut pula kalau yang tua yang mengalah.
Akan tetapi kakek juling itu tidak menjadi panas perutnya seperti yang dimaksudkan dan dikehendaki oleh
pemuda itu, sebaliknya kakek ini lalu memasang kuda-kuda dan berkata, "Kau sendiri yang menetapkan,
jangan menyesal nanti. Nah, kau lihat senjataku!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Baru saja habis ucapannya ini, ruyung sudah menyambar dekat sekali dengan kepala pemuda itu. Bukan
main cepatnya gerakan kakek itu dan yang paling hebat, ruyungnya yang amat berat itu bergerak tanpa
mendatangkan angin dan tahu-tahu sudah mendekati kepala lawannya!
"Bagus!" Pemuda itu berseru nyaring.
Ia benar-benar kaget dan tahu bahwa lawannya kali ini benar-benar seorang yang ‘berisi’, jauh bedanya
dengan yang sudah-sudah. Maka dia berlaku waspada, cepat menggeser kedua kakinya dan
mempergunakan langkah-langkah yang amat teratur dan amat indah, sementara kedua tangannya
bergerak-gerak untuk mengimbangi tubuh dan kadang kala juga digunakan untuk balas menyerang.
Anehnya, dua tangan itu gerakannya sama sekali berlainan dan bahkan berlawanan sehingga
memperlihatkan cara bersilat yang janggal sekali, aneh, dan membingungkan.
Kalau tadi pemuda ini hanya mempermainkan sekalian lawannya, kali ini ia tidak hanya main loncat dan
kelit, akan tetapi tiap kali mendapat kesempatan juga balas menyerang dengan sengit. Hebatnya tidak
pernah ada serangan lawan yang tidak dibalasnya. Sambil mengelak atau mendorong ruyung dari
samping, tentu ia segera balas menyerang dengan pukulan atau tendangan.
Berkali-kali kakek juling itu harus berseru memuji karena segera ternyata bahwa serangan balasan pemuda
itu dengan tangan atau kakinya ternyata tidak kalah hebatnya dengan serangan ruyungnya. Dan yang
sangat membingungkan hatinya adalah gerakan tangan pemuda itu.
Sebegitu jauh belum juga ia dapat mengenal ilmu silat itu. Maka ia segera menggerakkan ruyungnya lebih
gencar pula agar pemuda itu mengeluarkan simpanannya dan dia dapat mengenal ilmu silatnya.
Hebat gerakan ruyung ini. Kalau tadi gerakannya sama sekali tidak mendatangkan angin, sekarang begitu
ruyung diputar, angin menderu dan terdengar angin mengiung. Ruyung itu kelihatannya menjadi puluhan
buah banyaknya, mengancam pemuda ini dari segala jurusan.
Melihat hal ini, Kun Hong mengerutkan keningnya dan otomatis kedua tangannya sudah memegang lagi
dua buah batu kecil yang tadi dilepasnya. Si Juling ini benar-benar hebat, pikirnya, sekali saja kepala
pemuda itu terlanggar ruyung, tentu akan pecah berantakan dan habislah riwayat pemuda sombong dan
nakal ini.
Betapa pun tidak senangnya terhadap pemuda itu, melihat orang membela mati-matian kepada Thai-sanpai
yaitu perkumpulan yang didirikan oleh Tan Beng San, orang yang dipuji-puji dan dihormati ayahnya,
tentu saja ia tak akan membiarkan pemuda ini tertimpa bencana. Di samping ini, dia pun mempunyai kesan
baik atas sikap pemuda yang tidak mau membunuh lawannya itu.
Dua hal inilah, yaitu membela Thai-san-pai dan tidak mau membunuh lawan, merupakan penawar dari
kebenciannya terhadap Si Pemuda, kebencian yang dia sendiri tidak tahu mengapa bisa mengotori
hatinya. Belum pernah selama hidupnya ia bisa membenci orang seperti perasaannya terhadap pemuda
ini. Banyak sudah ia melihat orang sombong, juga banyak melihat orang manja, akan tetapi belum pernah
dia merasakan kebencian dalam hatinya seperti terhadap pemuda ini.
Agaknya desakan ruyung yang dimainkan secara ganas itu membuat si pemuda harus mengerahkan
seluruh kepandaiannya dan bersilat dengan sungguh-sungguh. Tiba-tiba ia mengeluarkan seruan nyaring
sekali sampai memekakkan telinga, lalu tubuhnya melesat ke sana ke mari sambil kedua tangannya
mengirim serangan-serangan jarak jauh yang membuat si pemegang ruyung beberapa kali mengeluarkan
seruan tertahan.
Pada saat si mata juling menghantamkan ruyungnya untuk menyerang pinggang, pemuda itu meloncat ke
atas dengan gerakan yang sangat ringan seperti burung walet terbang. Akan tetapi lawannya juga gesit
sekali karena ruyung itu tidak dibiarkan melewat, hanya langsung ia babatkan ke atas untuk memukul
kedua kaki pemuda yang tubuhnya masih berada di udara itu!
Kedua tangan Kun Hong sudah gemetar dan menegang, siap melontarkan sambitan batu untuk menolong
si pemuda ketika terjadi pertunjukan yang amat luar biasa oleh pemuda itu.
Biar pun dirinya diserang selagi berada di udara, pemuda itu tidak menjadi gugup, malah ujung kaki kirinya
dari samping ditotolkan kepada ujung ruyung lawannya dan… tubuhnya mencelat mumbul lagi ke atas
dunia-kangouw.blogspot.com
berjungkir-balik. Ketika tubuhnya turun dan dia disambut hantaman ruyung, kembali dia menotolkan ujung
kaki pada ruyung dan kembali tubuhnya mencelat ke atas.
Pertunjukan ini amat hebat sampai-sampai semua orang yang memandang mengeluarkan seruan memuji.
Betul-betul ginkang yang sangat hebat disertai kelincahan dan kegesitan yang luar biasa!
Agaknya si mata juling menjadi penasaran. Ia sudah menang di atas angin, pemuda itu tak dapat turun lagi
dan posisinya amat buruk, masa ia tidak mampu mengalahkannya? Dengan penuh semangat, ketika
pemuda itu kembali melayang turun, ruyungnya segera melakukan hantaman dari kiri ke kanan sehingga
tak mungkin disambut oleh kaki pemuda itu lagi!
"Cringgg! Aduhhh...!"
Tampaklah bunga api berpijar dan Si Mata Juling terhuyung-huyung ke belakang dengan ujung ruyungnya
yang sudah sapat, sedangkan pemuda itu sudah turun dengan wajah tersenyum dan sebatang pedang
yang berkilauan saking tajamnya berada pada tangan kanannya!
Entah kapan ia mencabut pedangnya, tahu-tahu ia sudah dapat mempergunakan itu, tidak hanya untuk
menangkis saja, bahkan untuk membikin sapat senjata lawan dan sekaligus mendesak lawannya mundur
terhuyung-huyung.
"Lepas senjata!” serunya dengan suara nyaring.
Tahu-tahu tubuhnya melayang ke depan, pedangnya bergerak seperti kilat berputaran ke arah tangan Si
Pemegang Ruyung dan... mau tak mau Si Mata juling harus melepaskan ruyungnya karena pedang lawan
yang hebat itu sudah berputaran di sekitar pergelangan tangannya yang memegang gagang ruyung!
Pemuda itu melompat mundur dan menyimpan kembali pedangnya.
Dengan wajah pucat Si Mata Juling memandang, mulutnya berkata gagap, "Kau... kau… apanya Si Raja
Pedang...?"
Pemuda itu hanya tersenyum tidak menjawab, sebaliknya menghadapi orang pertama dari Lan-thouw Sihouw,
yaitu orang berusia lima puluhan tahun yang bertubuh pendek gemuk berperut gendut dengan muka
seperti kanak-kanak.
"Kau adalah orang pertama dari Lam-thian Si-houw. Nah, sesudah semua bawahanmu kalah, apakah kau
pun ingin coba-coba?"
Si Gendut ini tersenyum lebar, matanya jelas membayangkan kekaguman.
"Hebat... hebat... aku orang kasar yang puluhan tahun berkelana di dunia kang-ouw, belum pernah
bertemu dengan seorang muda seperti kau ini! Beranikah kau menyambut sebuah pukulanku?"
Pemuda itu memandang tajam, bibirnya tersenyum manis tetapi matanya bergerak-gerak penuh
kecerdikan. "Mengapa tidak berani? Kau adalah seorang ahli lweekang, akan tetapi Thai-san-pai tidak
pernah gentar terhadap ahli lweekang!”
"Bagus, kau boleh coba menyambut ini!"
Kakek gendut itu lalu memukul dengan tangan kiri terbuka jari-jarinya ke arah ulu hati Si Pemuda. Melihat
ini, pemuda itu dengan berani sekali segera menyambut pukulan dengan tangan kanannya.
“Celaka!” Kun Hong yang melihat dari tempat persembunyiannya diam-diam berseru.
Kun Hong maklum bahwa Si Gendut itu mempunyai tenaga lweekang yang sangat lihai, bagaimana
pemuda itu demikian bodoh menyambut? Tidak tahukah bahwa pemuda itu kena dipancing dan dijebak
oleh Si Gemuk?
Terang bahwa Si Gemuk maklum akan kelihaian permainan pedang pemuda itu, maka ia sengaja
mengajak adu tenaga lweekang dan sengaja pula menggunakan tangan kiri agar disambut tangan kanan
pemuda itu. Kalau tangan kanan pemuda itu sudah tertempel di tangan kirinya, lalu datang lain serangan,
dunia-kangouw.blogspot.com
tentu pemuda itu takkan dapat menggunakan pedangnya! Sekali lagi batu-batu kecil tergenggam erat
tangan Kun Hong.
Begitu dua telapak tangan itu bertemu, tubuh keduanya tergetar. Akan tetapi bukan main kaget hati Si
Gemuk ketika merasa betapa telapak tangannya bertemu dengan kulit yang halus dan lunak seperti kapas,
akan tetapi yang memiliki dasar kuat sekali sehingga tidak bergeming oleh daya dorongannya. Ia kini
maklum bahwa pemuda lihai itu karena merasa kalah tenaga, telah mempergunakan tenaga lemas dan
menyerah saja di ‘tempel’.
Inilah yang dia kehendaki. Sambil tersenyum tangan kanannya lalu mengeluarkan sehelai cambuk yang
dililitkan pada pinggangnya, memutar-mutar cemeti itu di atas kepala lalu cemeti atau cambuk itu
menyambar ke arah leher lawan! Akan tetapi tangan kiri pemuda itu bergerak cepat. Tampak sinar
berkelebat dan tahu-tahu tangan kiri itu telah memegang sebatang pedang yang digunakan untuk
membabat cambuk.
Si Gemuk menarik kembali cambuknya dan mainkan cambuk itu dengan hebat sehingga cambuk
bergulung-gulung di atas kepalanya seperti seekor ular hidup. Ia mengira bahwa dengan pedang di tangan
kiri tentu Si Pemuda tidak akan dapat main dengan baik. Siapa kira gerakan pemuda itu dengan tangan
kirinya sangat cekatan dan tangkas tidak kalah oleh gerakan tangan kanan. Ia tidak dapat menghindar lagi
ketika pedang itu menyambar, terpaksa menangkis dengan cambuk dan...
"Bretttt…!" ujung cambuknya putus.
"Ayaaaa…!"
Si Gemuk mengerahkan tenaga mendorong sehingga perlahan kedua telapak tangan itu terlepas. Dia
sendiri cepat-cepat menggulingkan tubuh di atas tanah untuk membebaskan diri dari tenaga lweekang
yang membalik. Sedangkan pemuda itu dengan teriakan nyaring melompat dan berjumpalitan di udara.
Sama-sama mereka membebaskan diri dari serangan tenaga lweekang yang membalik. Namun tentu saja
jauh lebih indah gerakan pemuda itu dengan berjungkir-balik beberapa kali di udara, membuat salto yang
amat manisnya.
Si Gemuk bangun berdiri dengan pakaian kotor semua. Pemuda itu telah turun kembali, berdiri tegak
dengan senyum dan pedang di tangan kiri. Jelas bahwa dalam pertandingan gebrakan pertama ini Si
Gemuk kalah setingkat karena ujung cambuknya telah putus.
"Twako, buat apa memberi ampun kepadanya? Mari kita serbu bersama!" teriak Bi Houw Si Muka Tikus
dengan marah sambil memegang kedua pedang di tangan kanan kiri, juga yang lain sudah mengambil
senjata dan mengurung pemuda itu.
"Ha-ha-ha, sudah semenjak tadi kukatakan, lebih baik maju bersama, biar kalian merasai ketajaman
pedangku!" kata pemuda itu dengan sikap menantang dan sama sekali tidak gentar.
Merah muka Si Gemuk. Sebagai pemimpin rombongan itu, dia merasa tepukul dan malu sekali. Masa
mereka sembilan orang lelaki gagah yang namanya tidak asing lagi di dunia persilatan, kini hendak
mengeroyok seorang pemuda yang masih setengah kanak-kanak? Akan tetapi, jika pemuda ini tidak
dibinasakan, tidak saja usaha mereka akan gagal, juga nama mereka akan rusak, maka ia lalu melangkah
maju dan membentak,
"Orang muda, biar pun kau berkepala tiga berlengan enam, menghadapi kami sembilan orang tentu kau tak
dapat keluar dengan selamat!"
Pemuda itu sekali lagi tersenyum, pedangnya lalu bergerak-gerak indah sekali di depan dadanya. Gerakan
yang amat aneh, akan tetapi indah bukan main seperti seorang penari ulung memperlihatkan keahliannya.
"Siapa takut kepada kalian? Kalau aku tidak sanggup merobohkan kalian sembilan tikus kecil, percuma
saja aku mengaku datang dari Thai-san-pai!"
Kun Hong mengerutkan kening. Pertempuran ini harus dicegah, pikirnya. Kalau pemuda itu dikeroyok,
keadaannya benar-benar berbahaya. Walau pun seorang melawan seorang dia sudah menang, akan tetapi
dunia-kangouw.blogspot.com
dikeroyok sembilan orang yang kesemuanya merupakan ahli-ahli silat pandai ini, bukanlah hal yang boleh
dipandang ringan begitu saja.
Selain ini, bila dikeroyok kiranya pemuda itu takkan dapat mengalahkan tanpa membunuh seperti tadi dan
tentulah akan terjadi pembunuhan besar-besaran. Ia harus turun tangan mencegah.
Setelah berpikir sejenak, pemuda ini lalu melompat keluar dari tempat persembunyiannya dan berseru
keras, "Tahan dulu, jangan berkelahi!"
Semua orang menunda gerakan masing-masing dan menoleh heran. Terutama sekali dua orang saudara
Kam yang tinggi besar dan pemuda pesolek itu, yang mengenal Kun Hong. Pemuda itu sendiri tampak
kaget karena ia sama sekali tidak mengira akan dapat bertemu dengan Kun Hong di tempat ini.
"Kau siapa? Mau apa?" Kang Houw bertanya dengan suara bentakan.
Kun Hong cepat mengerahkan tenaga batin seperti yang dia pelajari dari kitab pemberian Sin-eng-cu Lui
Bok, menatap wajah sembilan orang itu berganti-ganti, kemudian dengan suara aneh ia berkata, "Kalian ini
sembilan orang benar-benar tak tahu diri. Kalian sudah kalah semua, tidak tahukah betapa lihainya
saudara muda ini? Tidak melihatkah kalian bahwa dia benar-benar berkepala tiga dan berlengan enam?
Lihatlah baik-baik dan akan lebih selamat kalau kalian lekas pergi saja sebelum mampus oleh manusia
berkepala tiga berlengan enam ini!"
Hampir saja pemuda itu tertawa bergelak mendengar kata-kata yang dianggapnya lucu ini. Benar-benar
keterlaluan Si Kutu Buku ini, pikirnya. Tapi mulutnya yang sudah tersenyum itu tiba-tiba terbuka, ternganga
keheranan melihat orang-orang itu.
Muka sembilan orang itu menjadi pucat, mata mereka terbelalak memandang kepadanya. Tubuh kedua
saudara Kam menggigil dengan bibir yang membiru. Tiga saudara Hui-liong Sam-heng-te memandang
dengan mata melotot, biji mata mereka seakan-akan hendak keluar dari ruangnya.
Si Muka Tikus gemetar seluruh tubuhnya sampai giginya mengeluarkan bunyi. Teng Houw berdiri bagai
patung, memegang cambuk dan menggigit gagang cambuknya. Kakek juling itu menggerak-gerakkan
kepalanya untuk ‘mengatur’ matanya yang juling, seakan-akan tidak percaya akan pandangan matanya
yang semakin menjuling.
Yang lucu adalah sikap Kang Houw Si Gendut. Ia menggosok-gosok kedua matanya, lalu menggarukgaruk
rambutnya, menggosok-gosok lagi matanya, akhirnya dia berteriak,
"Siluman...!"
"Iblis...!"
"Setan! Lebih baik pergi."
"Lari...!" teriak Kang Houw yang tak dapat menahan rasa takutnya lagi.
Berserabutan mereka lari. Ada yang masih mencoba untuk menengok, akan tetapi begitu menengok dia
menjadi makin ketakutan sampai jatuh bangun ketika lari.
Pemuda itu berdiri bengong. Bulu tengkuknya meremang dan otomatis ia pun menengok ke belakangnya.
Mana siluman atau iblis yang ditakuti mereka? Ia memandang ke sana ke mari, akhirnya memandang Kun
Hong yang berdiri tersenyum-senyum saja.
"Kenapa... kenapa mereka itu...?" pemuda itu berkata dengan suara perlahan, masih belum lenyap
keheranannya melihat peristiwa yang luar biasa anehnya itu.
"Kenapa lagi kalau tidak takut kepadamu, orang berkepala tiga berlengan enam?" jawab Kun Hong,
nadanya mengejek.
Pemuda itu matanya berkilat, marah. "Jangan main-main kau!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ehhh, siapa main-main? Bukankah mereka bilang kau berkepala tiga berlengan enam? Apakah tidak
senang berkepala tiga berlengan enam?"
"Siapa sudi jadi tontonan orang?!"
"Kan bagus jadi tontonan orang, tinggal masuk pasar pukul tambur mengumpulkan uang."
"Ehh, kutu buku busuk! Jangan kau mempermainkan aku, ya?"
"Siapa yang mempermainkan? Aku sama sekali tidak ingin mempermainkan orang, apa lagi mengandalkan
kepandaian. Ahh, aku tidak berkepandaian apa-apa."
Pemuda ini merasa dirinya disindir, tangannya diangkat hendak menampar, akan tetapi ditahannya
kembali.
Kun Hong melangkah maju, mukanya merah sekali saking marahnya. Ia maklum apa arti gerakan tangan
seperti seorang dewasa menggertak anak kecil yang hendak ditempeleng itu.
"Kau mau pukul lagi? Boleh, pukullah. Memang kau manusia sombong, manja dan selalu mengandalkan
kepandaian, bisanya cuma pukul orang. Huh!"
Mata pemuda itu semakin membara. "Siapa sombong? Kau sendiri yang sombong, kutu buku! Orang
macam kau ini berani memaki-maki Tan-pek-hu! Kau berlagak pintar, berani memberi nasehat kepada Tanpek-
hu. Sudah patut kalau kutampar. Aku tidak menyesal menamparmu dahulu itu."
Dada Kun Hong terasa panas seakan hendak meledak. "Kau memang anak jahat. Heran aku mengapa
Thai-san-pai bisa mempunyai murid begini jahat."
Pemuda itu tiba-tiba membentak, "He, kenapa kau mengintai aku? Kenapa kau mengikuti aku?"
"Setan, siapa mengintai? Siapa yang mengikuti? Aku hendak ke Thai-san, apa urusannya dengan kau?"
Kun Hong diam-diam merasa heran sekali mengapa setelah berhadapan dengan pemuda ini, ia tak dapat
menguasai diri lagi dan menjadi pemarah. Dan ia tidak tahu pula kenapa ia marah-marah, mungkin sebal
karena melihat sikap pemuda itu terhadapnya demikian sombong dan memandang rendah.
"Kau hendak ke Thai-san? Mau apa ke sana? Apakah mau mengacau seperti sembilan ekor tikus tadi?"
"Jangan kau menyangka yang bukan-bukan. Aku datang hendak mengunjungi Paman Tan Beng San,
menyampaikan hormatku dan salam dari Ayah. Ketua Thai-san-pai merupakan sahabat yang amat baik
dari Ayahku, seperti saudara saja, masa aku hendak mengacau, bagaimana caranya? Aku tidak becus
apa-apa."
Pemuda itu tersenyum, agak berkurang marahnya. "Kau anak siapa, sih? Gampang saja mengaku-aku
sahabat Ketua Thai-san-pai."
Mengkal bukan main hati Kun Hong. Bocah ini terlalu sekali, terlalu memandang rendah kepadanya. Ia
segera menjawab, "Jelek-jelek aku ini adalah orang Hoa-san-pai."
Pemuda itu mendengus, "Siapa yang tidak tahu? Dua orang gadis itu keponakanmu, jika mereka anak
Hoa-san-pai, kau pun tentulah orang Hoa-san-pai. Anehnya kau tidak belajar silat, malah belajar menjadi
kutu buku dan menjadi sombong."
"Tidak sesombong engkau! Padahal kau hanya anak murid Thai-san-pai biasa saja, biar pun
kepandaianmu tinggi. Hemmm, hendak kulihat nanti apa kata Paman Tan Beng San kalau mendengar
tentang sepak terjang muridnya seperti kau ini!”
Pemuda itu nampak terkejut sekali, terbelalak memandang Kun Hong. "Hee! Apa kau mau mengadu
kepada... Ketua Thai-san-pai tentang aku? Siapa sih kau berani berbuat begitu? Siapa ayahmu?"
"Ayah hanyalah Ketua Hoa-san-pai."
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemuda itu kelihatan makin kaget. Ia tak menyembunyikan kekagetannya saat bertanya, "Apa? Kau... kau
anak dari... Kwa Tin Siong Lo-enghiong, yang berjuluk Hoa-san It-kiam, ketua dari Hoa-san-pai?"
Kun Hong merasa dadanya mengembung. Mungkin kalau orang lain yang bersikap begini, dia akan
merendahkan diri, lahir batin. Akan tetapi terhadap pemuda ini, benar-benar sikapnya membuat ia merasa
bangga.
"Betul, Kwa Tin Siong adalah ayahku, karena itu aku hendak menjumpai Paman Tan Beng San di Thaisan."
Pemuda itu semakin panik. "Jadi kau... kau hendak mengadukan aku kepada... kepada… pamanmu itu?"
"Hemm, kau maksud gurumu? Bukankah kau ini anak murid Thai-san-pai dan kau menjadi murid Paman
Tan Beng San?"
"Betul," suara pemuda itu sekarang terdengar perlahan dan lemah, mukanya menunduk. "Kau akan
mengadu kepada Suhu tentang apa?"
"Tentang apa lagi? Tentang kesombonganmu, tentang sikapmu terhadap aku, tentang..." Tanpa terasa Kun
Hong mengusap kedua pipinya, seakan-akan masih terasa gaplokan di pipinya.
Pemuda itu mengangkat muka memandang. "Ah, kau mau mengadukan bahwa aku telah menampar
pipimu?"
"Hemmm, mungkin juga. Dan tentang kesombonganmu yang tidak mau membagi kamar, tentang sikapmu
yang takabur. Tidak patut kau menjadi murid seorang pendekar perkasa seperti Paman Tan Beng San."
"Apakah kau pernah bertemu dengan dia?"
"Belum, akan tetapi kalau Paman mendengar bahwa aku anak Kwa Tin Siong, kiraku dia akan percaya."
Hening sejenak, pemuda itu duduk di atas rumput, tangannya mencabuti rumput, nampak bingung
sehingga diam-diam Kun Hong tersenyum dengan puas. Rasakan kau sekarang anak manja. Kau
ketakutan sekarang!
Pemuda itu kemudian mengangkat mukanya memandang Kun Hong, berkata perlahan dan dengan
memohon, "Kuharap kau tidak akan menceritakan hal begini kepada Suhu!"
Kun Hong tersenyum mengejek. Kepalanya dikedikkan, bukan main girang hatinya akan kemenangan ini.
"Mengapa tidak? Orang seperti kau ini memang patut diberi hajaran, biarlah kulihat nanti betapa Paman
Tan Beng San akan memaki, mungkin memukulmu. Ha-ha-ha!"
Kun Hong membereskan bungkusan, siap untuk melanjutkan perjalanan.
"Kakak yang baik..., jangan kau adukan aku..."
Makin girang hati Kun Hong. Ia mencibirkan bibirnya, membuang muka seperti orang tak peduli. Namun
aneh sekali, dadanya berdebar saking girangnya. Huh, baru sekarang kau menyebutku kakak yang baik,
pikirnya. Heran bukan main akan dirinya sendiri. Kenapa sekarang kebenciannya terhadap pemuda itu
lenyap seperti awan tipis dihembus angin?
Akan tetapi mulutnya hanya mendengus, "Huhh...!"
"Kakak yang baik, aku... aku minta maaf kepadamu. Kalau kau suka, nih... kau boleh tampar pipiku sebagai
pembalasan..."
Kun Hong menoleh dan melihat pemuda itu mengajukan mukanya, memberikan pipinya yang putih halus
itu untuk ditampar. Kembali Kun Hong menjadi heran. Kalau tadinya ia ingin sekali menampar muka bocah
ini, sekarang mendadak ia menjadi tidak tega dan penyesalan serta permohonan maaf bocah ini sudah
lebih dari cukup, sudah menebus sakit hatinya, habislah yang sudah-sudah, tak teringat lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aku bukan orang yang suka menampar muka orang!" Ia masih memaksa diri berkata ketus.
Pemuda itu memandang penuh pertanyaan. "Jadi... kau masih tetap hendak melaporkan aku...?"
"Hemmm..." Kun Hong pura-pura merasa ragu.
Akan tetapi agaknya sinar matanya yang sudah terang dan sama sekali tak mengandung kemarahan itu
dapat dilihat oleh pemuda tadi, buktinya dengan jelas tampak muka yang tampan itu menjadi berseri.
"Twako (Kakak) yang baik, kau benar-benar sudi memaafkan aku? Tidak mendendam lagi?"
"Hemmm, aku bukanlah orang yang suka menaruh dendam dan tentang maaf, ehhh... sebetulnya, ehhh...
tidak ada apa-apa yang harus dimaafkan."
Kun Hong memaki dirinya sendiri. Mengapa hati ini begini lemah? Hemm, keenakan benar bocah ini!
Pemuda itu dengan girang kemudian menyambar tangan Kun Hong, akan tetapi segera dilepaskannya
kembali, bagaikan sikap seorang anak kecil yang kegirangan akan tetapi malu-malu.
"Ahh, Twako yang baik, terima kasih. Kau tentu takkan melaporkan aku kepada... Suhu, bukan?"
Mau tak mau Kun Hong tertawa juga, walau pun hanya tertawa ditahan. Sikap bocah ini mengingatkan ia
akan sikap Li Eng. Hemm, setelah dilihat dari dekat, pemuda ini nampak benar-benar masih bocah. Heran
sekali, kenapa sedemikian tinggi ilmu silatnya.
"Tidak, siapa hendak melapor? Aku bukan seorang yang panjang mulut."
"Aduh, terima kasih. Kau berjanji?"
"Janji!"
"Sumpah?"
Kun Hong cemberut. "Janji seorang laki-laki lebih berharga dari nyawa. Selama hidup aku tak pernah
bersumpah!"
"Ahh, Twako, harap jangan marah. Aku percaya kepadamu!"
Tiba-tiba ia melompat ke atas dan kelihatan girang sekali, wajahnya berseri-seri, matanya yang amat tajam
itu bersinar-sinar.
Kun Hong melongo. Bukan main tampannya anak ini, pikirnya. Tak mungkin orang bisa benci kepadanya.
Akan tetapi kenapa sebelum ini dia amat benci, ya amat membencinya sehingga ingin dia memukulnya? Ia
benar-benar tidak mengerti.
"Ehh, kau tadi bilang siapa namamu, Twako?"
"Aku tidak pernah bilang siapa namaku."
"Ahh, ya. Aku yang lupa. Siapa sih namamu, Twako? Kau tentu she Kwa, dan namamu siapa?"
"Hemm, kau lebih muda. Kau harus memperkenalkan lebih dulu."
Pemuda itu tertawa. Makin tampan wajahnya pada waktu tertawa. "Namaku Cui Bi. Nah, sekarang katakan,
siapa namamu, Twako?"
"Namaku Kun Hong."
"Kwa Kun Hong. Hemm, kalau begitu kau kupanggil Hong-ko (Kakak Hong)."
Sejenak mereka diam. Nama pemuda itu sama sekali tidak menarik perhatian Kun Hong. Dia lebih tertarik
oleh gerak-gerik pemuda yang lincah jenaka dan gembira ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hong-ko, kedua orang keponakanmu itu lenyap. Ke manakah mereka?"
"Siapa tahu mereka di mana? Yang menculik mereka adalah Song-bun-kwi, aku pernah mendengar sendiri
waktu iblis itu mengaku di depan para pengawal istana. Karena itu aku hendak minta pertolongan Paman
Tan Beng San untuk menolong mereka."
Pemuda itu nampak terkejut sekali. "Song-bun-kwi...? Ah, sudah kuduga...! Celaka, dia itu lihai sekali...
apakah kau betul-betul telah bertemu dengan Song-bun-kwi?"
"Siapa membohong padamu? Aku melihat sendiri Song-bun-kwi mengaku di depan para pengawal istana,
di tempat kediaman Ngo-lian-kauw, kemudian Song-bun-kwi dikeroyok oleh para pengawal, dibantu oleh
Toat-beng Yok-mo dan Ngo-lian Kauwcu. Song-bun-kwi lalu lari sambil menyeret aku, dan ia bertemu
dengan iblis yang bernama Siauw-ong-kwi. Mereka kemudian bertempur dan aku lari lalu... bertemu
dengan kau."
Cui Bi pemuda itu menggeleng-geleng kepala, nampak keheranan sekali.
"Aneh benar, Hong-ko. Kau putera Ketua Hoa-san-pai, tetapi tidak pandai silat. Kau tidak pandai silat,
namun bertemu dengan tokoh-tokoh jahat seperti Song-bun-kwi, Toat-beng Yok-mo, Ngo-lian Kauwcu dan
lain-lain. Hebat!" Pemuda ini menggeleng-geleng kepala dan mulutnya tiada hentinya mengeluarkan bunyi
berdecak tanda bahwa dia benar-benar keheranan.
Kun Hong tiada hentinya memandangi wajah pemuda ini, makin dipandang ia pun makin kagum. Pemuda
ini benar-benar tampan dan lincah. Ahhh, alangkah cocoknya dengan Li Eng!
"Hong-ko, apakah selama ini kau melakukan perjalanan dengan dua orang keponakanmu itu? Siapa sih
mereka itu? Siapa saja nama mereka? Aku ingin sekali berkenalan dengan mereka."
Kembali ada rasa tidak enak di hati Kun Hong. Teringat dia akan sikap pemuda ini yang agaknya mata
keranjang! Hemm, perlu diperkenalkan supaya pemuda ini tahu anak siapa mereka itu sehingga tidak akan
berani main-main.
"Yang seorang bernama Kui Li Eng, anak Paman Kui Lok dan Bibi Thio Bwee. Seorang lagi bernama Thio
Hui Cu, anak Paman Thio Ki dan Bibi Lee Giok."
Wajah Cui Bi makin berseri, "Kau maksudkan Bibi Lee Giok? Bukankah itu bibi guruku, murid dari Sukong
Cia Hui Gan?"
"Betul, karena itu kau tidak boleh main-main."
Cui Bi mengerling dan memainkan bibirnya, setengah tersenyum ketika berkata, agaknya sengaja
memanaskan hati, "Hong-ko, apakah... apakah mereka itu... ehh, cantik jelita?"
Merah wajah Kun Hong dan kembali hatinya tak sedap rasanya. Ia memandang tajam dan membentak,
"Kau tanya-tanya mau apa sih?"
Cui Bi tertawa. "Ahh, tanya saja apa salahnya? Hong-ko, engkau mengadakan perjalanan bertiga saja
dengan mereka. Hemmm, senang sekali, ya?"
"Kau bilang apa?!" Kun Hong mendelik marah.
"Hisss, jangan marah, Twako. Aku hanya main-main. Kok engkau gampang sekali marah. Pemarah benar
kau, ya?"
"Siapa suruh kau bercakap-cakap tidak karuan?"
"Twako, bukanlah menggirangkan hati kalau mendengar bahwa aku mempunyai saudara-saudara
seperguruan? Mareka itu, apa lagi... Nona Hui Cu itu, terhitung masih saudara seperguruan denganku
karena ia pun cucu murid dari kakek guruku, bukan? Nah, sudah sepatutnya kalau aku ingin mendengar
tentang diri mereka. Katakanlah, apakah mereka itu cantik? Bagaimana kepandaian mereka?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Diam-diam Kun Hong harus membenarkan kata-kata ini. Pula, bocah masih sebegini kecil, masih kekanakkanakan,
masa mempunyai pikiran yang bukan-bukan?
"Tunggu saja, kalau kau sudah bertemu dengan Li Eng. Hemmm, pasti kau takkan bisa bicara main-main.
Kau akan kalah bicara dengan dia."
"Cantik benarkah dia?"
"Cantik, seperti bidadari, seperti... seperti bunga mawar hutan."
Cui Bi tertawa geli. "Aha, kiranya kau pria yang amat romantis, Twako. Pintar mengambil perumpamaan.
Mengapa kau bilang dia seperti bunga mawar hutan?"
Merah wajah Kun Hong. Bocah ini benar-benar menggemaskan, kadang-kadang dia kalah bicara
dengannya, selalu kena goda. Benar-benar harus bertemu dengan Li Eng, baru tahu rasa kau, pikirnya.
"Dia tidak hanya cantik, namun juga jenaka, gembira, lincah dan pandai bicara, sifat-sifat liar menarik yang
ada pada bunga mawar hutan."
"Aih-aih... hebat sekali. Dan kepandaiannya?"
"Wah, jangan ditanya soal kepandaiannya. Ilmu silatnya hebat sekali. Dialah satu-satunya orang yang
paling pandai tentang ilmu silat Hoa-san-pai pada saat ini."
Cui Bi melengak, suaranya tidak main-main lagi ketika dia bertanya, "Aneh sekali, Twako. Bukankah
ayahmu yang terpandai?"
Kun Hong menggeleng kepala. "Bukan, yang terpandai adalah ayah bunda Li Eng itulah. Mereka telah
bertemu dengan Sukong Lian Ti Tojin yang telah memiliki dan mewarisi ilmu silat Hoa-san-pai yang asli
dan mengangkat mereka sebagai murid. Li Eng mewarisinya dari ayah bundanya. Lihainya bukan main.
Kau akan kalah segala-galanya dengan dia."
Aneh benar. Pemuda itu kelihatan penasaran.
"Hemm, hemm... ingin aku bertemu dengannya dan mencoba-coba!"
Pada saat ia menoleh dan bertemu pandang dengan Kun Hong yang memandang tajam penuh selidik, ia
tersenyum lagi, lenyap wajah bersungguh-sungguh tadi dan ia bertanya, "Dan bagaimana dengan... Nona
Hui Cu, saudara seperguruanku itu? Apakah dia juga cantik dan pandai? Seperti... bunga apakah dia?"
"Dia? Hemmm, dia seperti bunga seruni, alim pendiam, serius dan pandangannya jauh, pikirannya luas dan
cerdik. Tentang ilmu silat, dia kalah oleh Li Eng, akan tetapi dia pun lihai karena selain menerima pelajaran
ilmu silat Hoa-sai-pai, dia pun sudah mempelajari ilmu pedang dari ibunya."
"Heee, kalau begitu ilmu pedangnya tentu sama dengan ilmu pedang Subo (Ibu Guru). Wah-wah-wah, dan
kau selama ini melakukan perjalanan dengan dua orang bidadari? Hemm, kau pamannya, tapi masih
begini muda... agaknya kau dan mereka tidak banyak selisih usianya, bukan?"
"Hush, kau bicara apa? Aku bukan laki-laki seperti kau!"
"Betulkah?" Cui Bi mengerling dengan sikap menggoda dan tidak percaya.
"Sudahlah. Hatiku gelisah mengingat nasib mereka, kau hanya bicara main-main saja."
Agaknya pemuda itu baru ingat akan hal ini. "Ah, betul juga. Hayo kita cepat-cepat pergi ke Thai-san
menjumpai Suhu. Kalau Suhu turun tangan, jangankan baru Song-bun-kwi, biar ada sepuluh Song-bun-kwi
tak perlu takut lagi!"
Mereka lalu berjalan meninggalkan tempat itu. Diam-diam Kun Hong mendapat kesan aneh akan diri
pemuda di sampingnya ini. Sombong, sudah jelas. Ucapan terakhir tentang suhu-nya saja amat sombong.
Binal, seperti kuda liar. Gembira dan jenaka, hampir sama dengan Li Eng. Kadang-kadang mendatangkan
rasa suka, kadang-kadang menimbulkan kegemasan yang luar biasa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemuda yang aneh, pikirnya. Akan tetapi Pamannya Tan Beng San itu, kabarnya adalah seorang Raja
Pedang, seorang sakti. Seorang sakti tentu aneh dan tidak mengherankan kalau muridnya pun aneh.
Hanya saja, masih begini muda...!
Mereka berhenti istirahat di sebuah hutan. Hari itu sangat terik. Sudah tiga hari mereka melakukan
perjalanan dan selalu bermalam di hutan. Malam tadi tak dapat tidur karena banyak sekali nyamuk di hutan
itu. Karena kurang tidur, hari ini baru berjalan setengah hari saja mereka sudah lelah dan beristirahat di
situ.
Namun kegembiraan dan kejenakaan Cui Bi banyak menolong menggembirakan suasana. Pandai benar
pemuda ini bicara, dan selalu ada saja yang dipercakapkan. Pandai pula dia memancing-mancing
sehingga banyak Kun Hong bercerita tentang dirinya, walau pun ia berhasil menyembunyikan segala
kepandaian silat yang pernah dipelajarinya.
Tentu saja Kun Hong tidak dapat menyembunyikan kenyataan bahwa sedikit banyak dia mengerti ilmu
silat. "Aku hanya mempelajari teorinya, tidak suka mempelajari prakteknya. Ayah tidak membolehkan,"
demikian katanya.
"Hong-ko, betul-betulkah kau sama sekali tidak bisa mainkan ilmu silat?" sambil duduk mengaso di bawah
pohon yang teduh, pemuda itu bertanya.
Kun Hong hanya menggelengkan kepala, menguap dan menyandarkan tubuhnya pada batang pohon,
mencoba untuk tidur. Melihat kawannya ini lelah benar, Cui Bi tidak mau mengganggu lebih jauh lagi dan ia
pun menyandarkan tubuhnya pada batang pohon yang berdekatan.
Angin semilir menggerakkan daun-daun pohon, menimbulkan suara yang berirama dan mendatangkan
hawa yang nyaman, membuat kedua orang muda itu terkantuk-kantuk dan tidur ayam. Mendadak
terdengar suara keras,
"Nah, inilah mereka!"
Kun Hong dan Cui Bi terkejut dan membuka mata. Tiba-tiba melayang sebuah benda di dekat kedua orang
muda itu, terdengar ledakan keras dan asap tebal memenuhi tempat itu.
"Celaka, Hong-ko... awas...!" terdengar suara Cui Bi dan selanjutnya sunyi.
Kun Hong mencium bau yang amat harum menyengat hidung. Cepat ia menekan hawa murni dari pusar ke
atas dan mendorong keluar asap yang sedikit memasuki dadanya, kemudian dengan pengerahan tenaga
murni ini ia dapat menahan napas dan terhuyung-huyung menghampiri Cui Bi. Dilihatnya Cui Bi bergerak
lemah, merangkak hendak pergi dari daerah berasap.
Melihat keadaan pemuda itu, Kun Hong cepat menangkap tangannya dan diseret, dibawa lari ke tempat
bersih. Untung bahwa asap itu sebentar saja lenyap, terbawa angin yang bertiup agak kencang. Akan
tetapi dengan lemas Cui Bi menjatuhkan tubuhnya di atas tanah ketika Kun Hong melepaskan tangannya.
Kun Hong tidak apa-apa, dan ia amat kuatir melihat keadaan Cui Bi yang agaknya jatuh pingsan itu. Ia
berdiri dan menoleh ke belakang. Alangkah kagetnya ketika ia melihat tiga orang berdiri di situ.
Seorang adalah Kang Houw, orang tertua dari Lam-thian Si-houw yang gemuk pendek bermuka kanakkanak.
Orang kedua adalah seorang hwesio tinggi kurus berkepala gundul licin dan beralis tebal sampai
hampir menutupi kedua matanya, dan orang ke tiga adalah... Toat-beng Yok-mo sendiri!
Kun Hong menjadi gelisah dan gugup. Jelas bahwa kedatangan tiga orang ini tidak akan mendatangkan
kebaikan, buktinya datang-datang mereka lantas menyerang dengan obat peledak dengan racun
memabukkan, sehingga Cui Bi yang boleh ia harapkan akan dapat melawan mereka ini sekarang pingsan
dan tidak berdaya.
Tentu saja Kun Hong tidak tahu bahwa Cui Bi hanya sebentar saja nanar. llmu lweekang pemuda ini juga
sudah tinggi sekali, maka sebentar saja ia bisa mendorong asap beracun itu dari tubuhnya, keluar dan ia
sudah tidak apa-apa lagi. Hanya tadi karena keheranan melihat Kun Hong juga tidak apa-apa dan bahkan
dunia-kangouw.blogspot.com
dapat menolongnya, timbul keinginan hati pemuda ini untuk mencoba Kun Hong yang berkali-kali
menyatakan tidak mempunyai kepandaian.
Ia sengaja pura-pura pingsan sambil diam-diam siap sedia melindungi Kun Hong. Ingin ia melihat
bagaimana Kun Hong akan menghadapi tiga orang lawan berat ini.
"Susiok, (Paman Guru), inilah pemuda Thai-san-pai itu. Lebih baik kubinasakan saja agar jangan
berkepanjangan!" Kata Si Muka Kanak-kanak kepada hwesio itu.
Tertegun hati Kun Hong mendengar bahwa hwesio itu masih paman guru Kang Houw. Murid
keponakannya saja sudah sedemikian lihainya, apa lagi paman gurunya. Dan di situ masih ada Toat-beng
Yok-mo yang dia ketahui bagaimana jahat wataknya. Akan tetapi melihat bahwa paman gurunya itu adalah
seorang pendeta Buddha, timbul harapannya.
"Jangan main bunuh!" Kun Hong berseru sambil mengangkat tangannya ke atas. "Losuhu, katakanlah
kepada murid keponakanmu itu bahwa membunuh dilarang dalam agama."
Akan tetapi hwesio itu tersenyum menyeringai memperiihatkan deretan gigi kuning, malah mengangguk ke
arah Kang Houw. Si Gendut ini lalu meloloskan sabuk yang merupakan cambuk senjatanya, melompat ke
arah Cui Bi.
"Hei, tidak boleh kau membunuh dia! Selama aku masih hidup dan berada di sini, kau tak boleh membunuh
orang! Losuhu, kau ini seorang hwesio, bukankah membunuh orang itu bertentangan keras dengan
pelajaran agamamu?"
Melihat dengan nekat Kun Hong menghadangnya, Kang Houw menjadi marah.
"Kau ini kutu busuk jembel, mau apa petentang-petenteng? Lebih baik kau kubunuh lebih dulu agar jangan
banyak rewel!"
''Hemmm, Kang Houw, alangkah jahatnya kau! Apa kau kira aku takut kepadamu? Lihat baik-baik, aku Kwa
Kun Hong berjanji tidak akan lari dan sanggup menerima pukulanmu seratus kali. Bagaimana? Kalau aku
lari atau mampus sebelum kau pukul seratus kali, barulah kau boleh mengganggu temanku ini."
Diam-diam Cui Bi memaki pemuda yang dianggapnya tolol dan gila itu. Andai kata orang berkepandaian
juga, mana mungkin bisa menahan pukulan seorang ahli lweekang sampai seratus kali? Bila saja tidak
ingat bahwa pemuda itu berbuat demikian penuh keberanian dan pengorbanan untuk melindungi dirinya,
tentu ia sudah meloncat bangun dan memaki kebodohannya.
Diam-diam pemuda ini mengintai dan siap untuk menolong apa bila Kun Hong terancam bahaya. Ia tidak
segera turun tangan karena ingin benar melihat apa yang akan dilakukan Kun Hong selanjutnya sebagai
akibat dari tantangan yang tak masuk akal terhadap Kang Houw yang lihai itu.
Orang she Kang itu tertawa bergelak sampai tubuhnya yang gendut itu bergerak-gerak semua. "Ha-ha-ha!
Betulkah janjimu ini? Aku akan menggebukmu dengan cambukku ini seratus kali dan kau tak akan lari dan
menerima begitu saja?"
"Siapa akan membohongimu? Kau boleh menggebuk terus menerus sampai seratus kali jangan berhenti."
"Bagus, kalau kau mampus, dagingmu akan hancur lebur, tidak usah ribut dikubur lagi. Jika sampai seratus
kali kau benar-benar tidak apa-apa, biarlah aku Kang Houw mengaku kalah dan berlutut seratus kali
kepadamu. Ha-haha!"
"Mulailah, dan hitung baik-baik!" kata Kun Hong.
Suaranya tiba-tiba berubah aneh seperti suara yang datang dari angkasa, bergema kuat membuat Toatbeng
Yok-mo dan hwesio itu saling pandang dan nampak kaget. Bahkan Cui Bi juga terkejut sekali
mendengar suara ini. Ia lalu teringat bahwa ketika pemuda itu mula-mula muncul di hutan tiga hari yang
lalu, juga pernah bersuara seperti itu.
"Awas, lihat cambuk. Satuuu...!"
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tarrr!” terdengar bunyi susulan keras sekali.
Cui Bi sudah siap melompat, akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat Kun Hong betul-betul tidak
bergeming dari tempatnya dan anehnya... cambuk itu bukan digebukkan kepada kepala Kun Hong,
melainkan kepada sebuah batu besar di sebelah kiri pemuda itu.
"Duaa... tarrr!”
Kang Houw mencambuk lagi, kelihatannya penasaran dan marah sekali. Debu-debu batu beterbangan
terkena hantaman cambuk yang digerakkan tenaga lweekang raksasa itu.
"Tigaaa... tarrr!"
Kang Houw mencambuk terus sambil menghitung, peluh membasahi jidatnya. Sedangkan Kun Hong enakenak
berdiri, bahkan dengan tenang ia meninggalkan tempat itu, berjalan menghampiri Toat-beng Yok-mo
dan hwesio itu yang berdiri terlongo-longo menyaksikan peristiwa luar biasa ini.
Cui Bi lupa akan peranannya berpura-pura pingsan tadi. Dia bangun dan duduk bengong menyaksikan
betapa Kang Houw menggebuki batu sambil menghitung terus!
"Yok-mo, kau juga mencari aku mau apakah?" Kun Hong bertanya tenang-tenang saja kepada Yok-mo.
Sejenak kakek ini bingung. Ia memandang kepada Kun Hong lalu menoleh kepada Kang Houw, sampai
lama berganti-ganti ia memandang. Sesudah terbatuk-batuk kemudian dia berkata, "Orang muda yang
aneh, aku datang hendak bertanya kepadamu, apakah kau telah membaca habis tiga buah kitabku yang
kau kembalikan itu?"
"Tentu saja! Bukankah dulu kau sendiri yang memberi ijin padaku untuk membacanya?" jawab Kun Hong
sewajarnya, karena memang ia tidak membohong.
"Hemm, kalau begitu kau harus mampus. Tak seorang pun boleh mempelajari ilmuku."
"Nanti dulu, Yok-mo. Mampus ya mampus, tetapi biarlah aku bicara dulu dengan Losuhu ini. Losuhu, kau
sebagai paman dari Kang Houw, apakah kau juga bermaksud membunuh aku?"
Hwesio itu nampak bingung. Sudah beberapa kali pemuda ini menyindirnya mengenai pelajaran Agama
Buddha. Memang pada waktu itu banyak juga penjahat yang mencukur rambut masuk menjadi hwesio agar
terbebas dari pengejaran yang berwajib. Selain ini, dengan menjadi hwesio mereka lebih leluasa
melakukan kejahatan sambil memperdalam ilmu silat yang banyak dimiliki para hwesio. Hwesio ini adalah
seorang di antara mereka itu.
"Pinceng (aku) datang untuk menangkap pemuda Thai-san-pai itu, pinceng tiada urusan denganmu. Lebih
baik kau lekas pergi dari sini, jangan mencampuri urusan pinceng."
"Hemm, enak saja kau bicara, Losuhu. Sebetulnya, walau pun kau berjubah hwesio dan kepalamu gundul,
namun isi hatimu tiada bedanya dengan orang sebangsa Kang Houw. Sebetulnya aku tak sudi melayani
orang palsu seperti engkau, juga aku tidak sudi untuk berurusan dengan Yok-mo yang wataknya plin-plan
ini. Akan tetapi karena kalian sudah datang, yang seorang hendak membunuh aku, seorang lagi hendak
membunuh temanku, padahal temanku itu lagi tak dapat melawan dan akulah yang melindunginya. Nah,
kalian berdua majulah berbareng. Kalau maju seorang demi seorang, aku tidak sudi melayani, seorang
saja kurang berharga bagiku. Hayo, majulah jika memang berani melawan aku!" Setelah berkata demikian,
Kun Hong mencabut pedang Ang-hong-kiam dari balik bajunya.
Cui Bi diam-diam memperhatikan dan ingin sekali ia melihat apakah betul-betul Kun Hong seorang ahli
pedang seperti yang dia sangka. Akan tetapi hampir saja dia terkekeh geli saat melihat cara Kun Hong
memegang pedang, sama persis seperti seorang pemotong kambing memegang golok penyembelihan
atau seperti seorang tukang mencacah bakso memegang goloknya.
Juga Yok-mo dan hwesio itu saling pandang dengan ragu-ragu. Gilakah pemuda ini?
"Hayo maju, boleh kalian merasakan ilmu pedangku! Lihat baik-baik, pedang pusaka ini akan
membereskan kalian dengan mudah saja. Ha-ha-ha!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bocah edan, apakah kau betul-betul sudah bosan hidup?" Hwesio itu membentak.
"Kun Hong, kau pernah menggendongku. Kalau kau suka minta ampun dan bersumpah tak akan
mengingat lagi isi kitab-kitabku, biarlah kuampuni jiwamu dan hanya mengambil sepuluh buah jari
tanganmu agar kau tidak melanggar janji," kata Toat-beng Yok-mo.
Bergidik Kun Hong. Benar-benar dua orang ini iblis-iblis yang tidak patut disebut manusia lagi. Ia
menyimpan kembali pedangnya dengan hati-hati. Lalu ia menepuk kedua telapak tangannya.
"Hemm, kalau aku menggunakan pedang, tentu darah kalian tercecer dan akan menjadi sialan bagiku
kalau sampai terkena darah kalian berdua. Aku hanya akan membagi-bagi tempelengan kepadamu,
majulah dua ekor iblis tua!"
Toat-beng Yok-mo adalah tokoh besar yang jarang bandingannya, juga hwesio itu yang bernama Tok Kak
Hwesio, merupakan tokoh besar yang sangat lihai ilmunya, apa lagi ilmunya Kauw-jiauw-kang
(Cengkeraman Tangan Monyet) sukar sekali dilawan, biar oleh lawan bersenjata sekali pun. Sekarang
bocah yang lagaknya seperti orang berotak miring ini menantang mereka berdua maju bersama. Alangkah
gilanya. Penghinaan yang tiada taranya.
"Yok-mo, bukan kita akan mengeroyok, tapi marilah kita berlomba, siapa yang lebih dulu mematahkan
batang leher bocah ini, dialah yang menang!"
"Heh-heh-heh, bagus, Tok Kak Hwesio, mari mulai!"
Dua orang kakek itu lalu menubruk ke depan, seperti orang-orang menubruk swike (Katak Hijau) saja.
Akan tetapi tiba-tiba pemuda itu lenyap dari depan mereka. Keduanya bingung dan Kun Hong sudah
tertawa di belakang mereka.
"He, aku di sini!"
Keduanya membalik dan secepat kilat menerjang maju, mempergunakan pukulan-pukulan yang
mematikan.
Diam-diam Cui Bi menonton dengan mata terbelalak. Sekali lagi dia melihat Kun Hong terhuyung-huyung
ke samping, kedua lengan berkembang, tubuhnya berputaran dengan pantat ditarik-tarik ke atas seperti
lagak burung hendak terbang. Lucu sekali gerakannya, akan tetapi anehnya, sekali lagi serangan kedua
orang tokoh besar itu mengenai angin!
"Hayo serang terus... serang terus, aku membalas, awas. Heeiiiitt, ayaaa... awas, kanan... kiri... muka...
belakang...!"
Cui Bi sekarang bangun berdiri. Bukan hanya matanya yang terbuka lebar melotot, malah mulutnya yang
kecil itu juga terbuka lebar-lebar. Ia berdiri seperti patung saking herannya. Ia melihat Kun Hong berjalan
melenggang tenang dan enak sekali keluar dari kalangan pertempuran dan dua orang jago tua itu kini
saling serang dengan hebatnya!
"Ehh, kau berdiri dengan mulut terbuka lebar seperti itu, bagaimana kalau ada lalat yang masuk?"
Buru-buru Cui Bi menutup mulutnya dan ia seperti baru sadar dari mimpi. Saking heran dan bingungnya, ia
merasa bulu tengkuknya berdiri dan ia menurut saja ketika Kun Hong menarik tangannya dan mengajaknya
lari dari tempat itu.
Sekali lagi ia menengok dan memandang tajam. Sungguh gila betul! Apakah dia sudah gila sehingga
pandang matanya kacau? Ataukah mereka bertiga itu yang gila? Ia masih melihat Kang Houw menggebuki
batu yang sudah setengah hancur sambil menghitung,
"Lima puluh empat... tarrr!"
Juga masih terlihat Yok-mo bersama hwesio itu terengah-engah dan mati-matian saling gebuk, saling jotos!
Sekali lagi ia mengkirik, lalu tak menoleh lagi, menurut saja diseret oleh Kun Hong.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hari telah mulai gelap ketika keduanya berhenti dan memasuki sebuah kuil kosong di luar sebuah
kampung kecil. Dengan napas terengah-engah, aneh sekali, bukan karena lelah melainkan saking ngeri
dan seramnya, Cui Bi menjatuhkan diri di atas lantai yang kasar dan kotor, memandang Kun Hong.
"Eh, kenapa kau memandangku begini rupa? Laote (Adik), kulihat kau tadi sudah berdiri. Kau tidak pingsan
lagi, kenapa kau tidak segera mempergunakan kepandaianmu memberi hajaran kepada mereka?" tanya
Kun Hong.
Diam-diam Kun Hong merasa tidak enak karena ilmu yang dia pergunakan itu membuat pemuda ini
terheran-heran dan sekarang ia sibuk mencari alasan untuk menyembunyikan kepandaiannya.
"Hong-ko... apa yang kau lakukan tadi…? Mimpikah aku…? Bagaimana mereka itu bisa... bisa..."
"Bisa apa?"
"Bisa begitu... ahhh, ngeri aku melihatnya. Apakah tiba-tiba Kang Houw itu sudah menjadi gila, memukuli
batu seperti itu? Dan kenapa pula Yok-mo malah bertempur sendiri dengan hwesio itu?"
"Ha-ha-ha-ha, apanya yang aneh? Laote, agaknya kau tadi pingsan, kau tidak mendengar jelas
percakapan kami. Aku menantang dia supaya mencambuki batu seratus kali, kalau batu itu dapat
dihabiskan aku mengaku kalah. Ada pun Yok-mo dan hwesio itu, mereka berkelahi karena berebutan untuk
membunuh aku. Mereka tidak mau saling mengalah, hendak berlomba untuk membunuhku. Memang
untungku, juga untungmu, bisa terlepas dari tangan orang-orang jahat itu."
Cui Bi memandang tajam, tentu saja dia tidak dapat mempercayai keterangan ini. Akan tetapi kalau tidak
begitu, habis apa pula sebabnya terjadi peristiwa yang begitu aneh? Ia benar-benar tidak mengerti.
"Hong-ko, apakah benar-benar kau tidak pandai bersilat? Apakah kau bukannya tengah berpura-pura
padahal kau telah mewarisi semua kepandaian ayahmu?"
Kun Hong tersenyum. "Laote, sudah kuceritakan bahwa Ayah tidak suka aku belajar silat, bagaimana aku
bisa mewarisi kepandaiannya? Tentu saja aku juga tahu banyak tentang Hoa-san Kun-hoat karena aku
telah membaca semua kitab-kitabnya."
Cui Bi benar-benar tidak mengerti bagaimana orang bisa membaca kitab pelajaran ilmu silat tanpa
melatihnya. Apa gunanya? Ada pun pemuda ini... benar-benar mengherankan!
Dikatakan pandai silat, gerakan-gerakannya tadi ketika berhadapan dengan lawan begitu kaku dan kacau,
jelas membayangkan bahwa dia memang tidak pandai bersilat. Akan tetapi, dikatakan tak pandai,
mengapa sikapnya demikian tabah dan berani, malah dapat menyelamatkan diri dari ancaman tokoh-tokoh
seperti Song-bun-kwi, Toat-beng Yok-mo, dan yang lain-lain secara begitu aneh!
Malam hari itu mereka bermalam di dalam kuil kosong, memilih tempat yang agak bersih di sebelah
belakang. Cui Bi mengeluarkan roti kering yang dibelinya di dalam dusun yang mereka lewati tadi, lalu
membaginya dengan Kun Hong. Mereka makan roti kering dan minum air dari sumur yang berada di
belakang kuil. Kemudian mereka merebahkan diri, Cui Bi di atas meja sembahyang yang sudah tidak ada
isinya apa-apa lagi, Kun Hong menemukan bangku panjang dan berbaring di situ.
Malam itu tidak terjadi sesuatu yang penting. Namun pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dua orang
muda itu mendengar suara orang di depan kuil. Kun Hong dan Cui Bi saling pandang ketika mendengar
suara seorang laki-laki, suara yang keras dan nyaring penuh nada mengejek,
"Heeei, semalam suntuk kau nekat berjalan terus, setelah pagi malah berhenti! Agaknya sudah tidak waras
otakmu!"
Terdengar jawaban, nyaring, akan tetapi ketus, "Tutup mulut! Kau tawananku, ingatkah? Aku hendak
berbuat apa yang kusuka, kau tak punya hak membuka mulut mencampuri urusanku, mengerti?"
Mendengar suara ini seketika Kun Hong berseri wajahnya. Ia hendak menyerbu keluar. Cui Bi yang melihat
gerakannya, cepat-cepat menangkap lengan tangan Kun Hong dan menaruh telunjuk pada bibirnya, minta
temannya itu supaya jangan berisik.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Dia itu... dia itu Li Eng...," bisik Kun Hong dekat telinga Cui Bi, akan tetapi segera ia menjauhkan mukanya
dan bergidik karena mencium bau harum dari sekitar telinga itu. Alangkah pesoleknya laki-laki ini, memakai
minyak segala!
Cui Bi nampak terkejut, akan tetapi dia tetap memberi isyarat supaya temannya tidak membuat gaduh dan
mereka akan mengintai dahulu. Berindap-indap mereka keluar dan mengintai ke ruangan depan.
Kun Hong menuruti kehendak temannya karena ia pun lalu ingat bahwa mungkin Li Eng datang bersama
musuh-musuh tangguh, juga ia ingin tahu siapakah laki-laki yang bicara dengan Li Eng itu. Benar juga
dugaan Kun Hong. Memang yang datang sepagi itu di kuil ini adalah Li Eng dan tawanannya.
Seperti telah kita ketahui, karena mempergunakan kesempatan selagi Kong Bu, pemuda yang
menawannya itu berusaha menyedot keluar racun dari luka di kakinya, Li Eng lalu memukul roboh Kong Bu
dan balas menawannya. Tentu saja Li Eng tak sudi memanggul tubuh Kong Bu yang sengaja
membalasnya dengan sikap ketus dan melawan, sehingga terpaksa gadis ini yang sudah membelenggu
kaki Kong Bu, lalu mengikatnya dengan akar dan menyeretnya sepanjang jalan!
Li Eng cukup cerdik untuk mengambil jalan yang sunyi melalui hutan-hutan dan gunung-gunung. Sewaktuwaktu
kalau terpaksa melalui dusun-dusun, ia berhenti dan melanjutkan perjalanan pada waktu malam. Ia
tidak mau dijadikan tontonan karena tentu saja mereka menjadi perhatian orang. Mana ada seorang gadis
melakukan perjalanan sambil menyeret seorang laki-laki yang terbelenggu?
Demikianlah, pagi hari itu dia tiba di kuil tua. Semalam suntuk dia telah berjalan sambil menyeret tubuh
Kong Bu, lelahnya dan ngantuknya bukan main, maka ia lalu berhenti dan mengambil keputusan untuk
beristirahat dan tidur di kuil tua ini. Tentu saja ia sama sekali tidak penah menyangka bahwa pamannya
berada di belakang kuil dan bahwa sekarang ‘Paman Hong’ itu sedang mengintainya.
Jalan masuk ke dalam kuil itu melalui anak tangga, lumayan juga tingginya, ada satu setengah meter.
"Hayo bangkit, kita masuk ke kuil! Tidak mau aku orang yang lewat di depan ini mellhat kita." Li Eng
membentak sambil menarik-narik ujung tali akar yang kuat itu.
Kong Bu masih rebah telentang di atas tanah. Tubuh pemuda ini sudah tidak karuan lagi macamnya.
Mukanya kotor penuh debu, rambutnya awut-awutan dan pakaian di bagian punggungnya sudah habis,
robek-robek ketika tubuhnya terseret. Akan tetapi hebatnya, tiada sedikit pun kulit tubuhnya yang rusak biar
pun gadis itu menyeretnya sepanjang hari.
Mendengar perintah Li Eng, Kong Bu tersenyum dan memandang dengan mata bersinar-sinar penuh
ejekan, "Memang aku ingin sekali orang-orang melihat kita. Biarlah mereka melihat dengan mata kepala
sendiri betapa liar dan buasnya gadis murid Hoa-san-pai. Ha, kau benar-benar hendak menyebarkan
kebusukan Hoa-san-pai di depan umum. Seorang gadis menyeret-nyeret tawanannya seperti seekor
binatang, hemm, di dunia ini mana ada keganasan melebihi ini? Huh, anak murid Hoa-san-pai, memang
benar kata-kata Kakek. Anak murid Hoa-san-pai terutama yang perempuan, jahat seperti siluman."
"Tutup mulutmu!" Li Eng memekik marah. "Kau yang jahat, kau yang seperti iblis, kaulah yang palsu.
Setelah menjadi tawananku, kau sengaja tidak mau menurut, tidak mau jalan mengikuti. Bila tidak
menyeretmu, habis bagaimana aku bisa membawamu ke Thai-san? Dasar kau yang licik dan jahat."
"Itulah kalau dasarnya jahat. Ketika aku menawanmu, kau kugendong ke mana-mana, dan sekarang
setelah kau berbalik menawan aku, kau seret-seret!"
"Cihhh, tak bermalu! Masa aku harus menggendongmu? Puuhhh! Hayo naik, masuk ke dalam kuil."
"Tidak sudi!" Kong Bu menjawab, tetap tersenyum mengejek, tersenyum lebar sehingga deretan giginya
yang putih dan rata serta kuat itu tampak berkilat di atas dagunya yang membayangkan kekerasan hati
yang luar biasa.
"Kepala batu!" seru Li Eng dan sekali ia membetot ujung tali akar itu, tubuh Kong Bu melayang melewati
anak tangga, ke dalam kuil. Akan tetapi ketika tubuh itu turun ke atas lantai kuil, seperti sehelai daun kering
saja, sama sekali tidak terbanting keras.
dunia-kangouw.blogspot.com
Diam-diam Cui Bi yang mengintai bersama Kun Hong, terkejut dan kagum sekali melihat ini. Cara gadis
cantik jelita ini membetot tali dan membuat tubuh pemuda itu melayang ke dalam kuil, membuktikan
kehebatan lweekang Si Gadis dan hanya seorang ahli silat tinggi saja yang dapat melakukan hal itu. Di lain
pihak tubuh pemuda itu turun seperti sehelai daun kering, hal ini membuktikan pula kehebatan ginkang dari
Si Pemuda. Jelas dalam pandang mata Cui Bi bahwa sepasang muda-mudi yang bermusuhan ini adalah
dua orang yang memiliki kepandaian hebat!
Sementara itu, Kun Hong yang sejak tadi mengerutkan keningnya, tidak dapat menahan kemarahannya
lagi melihat ‘keponakannya’ memperlakukan seorang tawanan seperti itu. Tanpa dapat dicegah lagi oleh
Cui Bi, ia melompat keluar sambil berseru,
"Eng-ji, benar-benar kelakuanmu sekali ini tidak patut!"
Li Eng menengok kaget, wajahnya lalu berseri dan matanya bersinar-sinar. Tanpa terasa ia melepaskan
ujung tali dan lari menubruk Kun Hong.
"Paman Hong...!” Gadis itu memegang kedua lengan Kun Hong, meloncat-loncat seperti anak kecil diberi
permen. "Aduh, Paman Kun Hong... siapa mimpi bertemu dengan kau di sini?"
Kun Hong mengerutkan keningnya, menggeleng-geleng kepala dan berkata, suaranya tenang akan tetapi
berpengaruh sekali.
"Li Eng, sebelum kita bicara lebih dulu kau harus lepaskan belenggu dia itu!"
Ia menuding ke arah Kong Bu yang memandang pertemuan itu dengan mata tajam, akan tetapi ia tidak
mengerti siapa adanya pemuda yang pakaiannya seperti anak sekolah akan tetapi sudah butut, sikapnya
lemah lembut dan dipanggil paman oleh Li Eng ini.
"Aih, mana bisa, Paman Hong! Dia ini adalah cucu dari iblis tua Song-bun-kwi yang telah menawan aku
dan Enci Hui Cu. Enci Hui Cu dirampas pula oleh orang lain entah siapa, sedangkan aku oleh iblis tua
Song-bun-kwi diserahkan kepada... iblis muda ini. Baiknya aku dapat... ehhh..."
"... menipu, berlaku curang dan membalas susu dengan air tuba," Kong Bu menyambung.
"Diam kau, setan alas!" Li Eng memaki.
"Li Eng, segala urusan dapat didamaikan, kesukaran dapat diatasi, pertikaian juga dapat dirundingkan. Tak
patut kau memperlakukan seorang manusia seperti ini. Hayo, kau buka ikatan tangannya."
"Tetapi... tetapi dia berbahaya sekali, Paman Hong. Kalau dia terlepas, mungkin... aku... belum tentu dapat
menguasainya. Dia lihai dan kejam sekali, seperti binatang buas..."
Sementara itu, Kun Hong memandangi wajah Kong Bu dengan penuh perhatian dan tajam sekali. Serasa
dia mengenal wajah ini, akan tetapi entah di mana. Tidak mungkin wajah segagah dan setampan ini dihuni
watak yang rendah.
"Kau lepaskan, aku yang tanggung."
Li Eng adalah seorang gadis yang manja dan selalu ingin menang sendiri. Akan tetapi sejak bertemu
dengan Kun Hong, ia menjadi penurut dan lenyaplah segala kekerasannya. Baginya serasa tak mungkin ia
membantah perintah pamannya yang muda ini.
Setelah menarik napas berulang-ulang, dia melangkah maju, mencabut pedangnya dan sekali tebas dia
hendak memutuskan belenggu pada kedua tangan Kong Bu. Akan tetapi tiba-tiba dia melompat ke
belakang tidak melanjutkan babatannya, matanya memandang dengan terbelalak dan wajahnya berubah.
Kiranya Kong Bu sambil tertawa sudah memberontak, menggerakkan kedua tangannya dan... belenggu
akar pohon itu seketika putus-putus! Dengan gerakan ringan sekali Kong Bu meloncat bangun, berdiri
dengan baju bagian belakang hancur sehingga punggungnya yang kuat itu tampak nyata berlumur debu.
Pemuda ini dengan berdiri tegak memandang kepada Li Eng dengan mata memancarkan sinar penuh
ejekan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Gadis itu merah seluruh mukanya, hatinya mengkal bukan main. Kiranya pemuda itu kalau mau, dalam
perjalanan mereka itu mampu melepaskan belenggunya. Kiranya, pemuda itu membiarkan dirinya ditawan,
hanya untuk menggodanya.
"Setan kau!" desisnya dan pedangnya berkelebat hendak menyerang.
"Eng-ji, jangan…!" bentak Kun Hong dan... dengan lemas gadis itu menurunkan kembali pedangnya.
"Dia... dia musuh kita, Paman Hong. Dia menghina Hoa-san-pai, hendak kuseret dia ke depan Sukong
(Kakek Guru) agar dihukum!"
Kun Hong bukanlah seorang bodoh. Biar pun ia kelihatan tak suka menonjolkan diri, akan tetapi
sesungguhnya dia seorang yang cerdas dan cerdik. Dia pun dapat menduga bahwa pemuda yang gagah di
depannya itu tertawan oleh Li Eng hanya pura-pura menyerah saja. Ginkang yang didemonstrasikan tadi,
juga tenaga memutuskan tali yang terbuat dari akar yang amat kuat, cukup membuat ia dapat menduga
bahwa kepandaian pemuda ini tidak di bawah tingkat Li Eng.
"Sahabat, harap kau maafkan jika keponakanku ini melakukan kekerasan terhadap dirimu. Aku percaya
kau cukup jantan untuk menyudahi perselisihan dengan seorang gadis, yaitu keponakanku ini. Kau boleh
meninggalkan kami tetapi kuharap kau suka memberi tahu mengapa kakekmu Song-bun-kwi menawan dua
orang keponakanku dan ke mana pula perginya keponakanku yang seorang lagi."
Kalau tadi perhatian Kong Bu hanya tertuju kepada Li Eng untuk menggodanya, sekarang ia memandang
kepada pemuda yang mengaku paman dari Li Eng ini. Dan ia tertegun.
Mata itu. Terang bukanlah mata biasa, begitu tajam menusuk jantung, penuh wibawa dan kekuasaan. Dan
kata-kata yang halus itu! Diam-diam dia kagum, akan tetapi mendengar pertanyaan terakhir ini, ia tertawa!
"Sahabat, memang beralasan kalau kakekku membenci semua anak murid Hoa-san-pai. Ibuku mati karena
anak murid perempuan Hoa-san-pai. Kakek menawan dua orang murid Hoa-san-pai, yang seorang sudah
dirampas oleh orang lain, entah siapa, dan seorang lagi diserahkan kepadaku. Aku tawan keponakanmu
ini, aku malah telah melemparnya kepada anjing-anjing hutan untuk dimakan. Akan tetapi aku
menolongnya dan sepanjang jalan aku memanggulnya. Kemudian aku tertipu dan tertawan olehnya. Dia
lalu menyeret-nyeret aku sepanjang jalan. Balas membalas sudah punah, sudah lunas untuk sementara ini.
Tidak ada yang harus dimaafkan dan memaafkan. Kita sudah seri. Aku tidak mau menyalahkan siapasiapa,
tetapi juga tidak mau disalahkan."
Kun Hong mengerutkan kening. Begitu melihat dan mendengar omongan pemuda ini, ia dapat meraba isi
hati orang, dapat menaksirkan watak orang. Pemuda ini berjiwa gagah, jujur dan sama sekali tidak jahat.
Hanya keras hati dan aneh. Ia menggeleng kepala.
"Apakah yang menyebabkan kematian ibumu itu seorang di antara kedua keponakanku ini?" tanyanya
menegur.
"Bukan! Akan tetapi mereka pun anak murid perempuan Hoa-san-pai."
"Hemmm, kau teracun oleh nafsu dendam kakekmu, sahabat. Salah seorang anak murid Hoa-san-pai
membuatmu penasaran, apakah oleh karena itu kau harus memusuhi semua orang Hoa-san-pai? Bila
begitu pendirianmu, apakah kalau ada seorang petani menyakiti hatimu, kau lalu memusuhi seluruh petani
di permukaan bumi ini? Lagi, kalau kau disakiti hatimu oleh seorang manusia, apakah kau pun akan
memusuhi seluruh manusia di jagat ini?"
"Ngaco!" Kong Bu membentak. "Itu lain lagi!"
"Bukan ngaco, apa bedanya? Kalau ada anak murid Hoa-san-pai yang bersalah, belum tentu semua anak
murid Hoa-san-pai juga bersalah, sama halnya bila ada seorang petani bersalah, belum tentu seluruh
petani harus bersalah, atau kalau ada seorang manusia bersalah, tidak semestinya kita menyalahkan
seluruh umat manusia. Apa lagi kalau diingat bahwa menyalahkan orang lain sama mudahnya dengan
membalikkan telapak tangan, setiap orang pun bisa melakukannya. Cobalah tengok diri sendiri dan
mencari kesalahan sendiri, kalau bisa berbuat begitu barulah terhitung seorang gagah sejati."
dunia-kangouw.blogspot.com
Kong Bu termenung, memandang aneh, lalu menggaruk-garuk kepalanya. Dia kemudian membalikkan
tubuh dan berkata, "Sudahlah, aku pergi!" Sambil mengerling ke arah Li Eng ia berkata, "Sampai berjumpa
lagi."
"Apa?!" Li Eng menyerang ketus. "Sekali lagi berjumpa, kalau tidak ada Paman Hong aku ingin bertempur
seribu jurus denganmu sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa!"
Kong Bu tertawa mengejek, "Bagus, boleh sekali. Akan kunanti saat itu."
Kemudian ia meloncat jauh dan berlari cepat, sebentar saja lenyap di sebuah tikungan jalan.
Kun Hong menarik napas panjang, berbalik memandang Li Eng yang masih merah kedua pipinya. "Kenapa
kau begitu membencinya, Li Eng?"
"Aku benci padanya! Benci... benci setengah mati! Dia kurang ajar sekali, Paman. Masa dia bilang semua
murid Hoa-san-pai adalah orang jahat dan hina. Dia tidak memandang sebelah mata kepadaku!" Suara
gadis ini makin parau seakan-akan ia hendak menangis, saking gemas dan mendongkolnya.
Kun Hong tersenyum. "Benci atau cinta itu sama saja..."
"Hisss! Kau bilang apa, Paman...?" Li Eng berseru sambil memandang dengan kedua matanya terbelalak.
Indah sekali sepasang mata itu dan Kun Hong harus mengakui dalam hatinya bahwa yang paling indah di
antara seluruh anggota tubuh keponakannya ini adalah matanya yang seperti bintang itulah. Ia kagum
sejenak, lalu menyambung sambil tersenyum,
"Baik cinta mau pun benci hanyalah merupakan pencetusan perasaan yang dipengaruhi oleh keadaan,
berdasarkan sifat keakuan (egoisme) yang sudah menjadi watak dasar dari setiap manusia. Siapa yang
menguntungkan dan menyenangkan akan diupah rasa cinta, sebaliknya siapa yang merugikan dan tidak
menyenangkan diupah rasa benci. Karena itu, kalau hari ini kita membenci seseorang, bukan tak mungkin
esok hari kita mencintanya."
"Apa...?" Merah sekali kedua pipi Li Eng, menambah kecantikannya. "Kau mau bilang aku akan mencinta...
dia...?"
Kun Hong mengangkat tangan seperti hendak menangkis tamparan. Andai kata ia bukan paman Li Eng,
agaknya gadis ini akan menamparnya.
"Bukan kau... bukan kau... aku hanya bicara menurutkan renungan, semua orang bisa saja mengalami hal
ini dan... heee, mana dia?"
"Dia siapa?" Li Eng menengok ke kanan kiri belakang.
"Dia tadi berada di dalam kuil bersamaku. Heee, Bi-te (Adik Bi)... keluarlah!" Kun Hong memanggil-manggil,
malah segera masuk ke dalam mencari-cari.
Namun orang yang dicarinya, Cui Bi, tidak nampak mata hidungnya lagi. Dan di belakang pintu, pada
sebuah tiang kayu yang keras di mana mereka berdua tadi bersembunyi dan mengintai, terdapat tuiisan,
ditulis dengan tekanan jari tangan pada kayu yang keras itu.
‘Hong-ko, aku pergi dulu, sampai jumpa pula’.
"Siapakah dia itu, Paman Hong?" tanya Li Eng tertarik setelah ia ikut membaca tulisan ini. "Hebat juga
lweekang-nya!"
Kun Hong menarik napas panjang lalu tersenyum, sinar matanya berseri karena ia teringat akan
persamaan watak antara Li Eng dan pemuda itu.
"Dia anak murid Thai-san-pai, ilmu silatnya lihai. Ahh, sayang dia pergi. Aku tidak tahu kenapa dia buruburu
pergi, aku ingin sekali mengenalkan dia kepadamu Eng-ji. Biarlah, kelak kita pasti akan bertemu juga
dengan dia. Sekarang lebih baik kita lekas-lekas pergi ke Thai-san, banyak hal kita jumpai di jalan yang
dunia-kangouw.blogspot.com
ada hubungannya dengan Thai-san-pai, agar supaya kita dapat memberi tahu kepada Paman Tan Beng
San dan di sana dapat bersiap-siap menghadapi maksud orang-orang jahat."
"Baiklah, Paman Hong. Sayang, kalau aku ingat kepada Cici Hui Cu..." Li Eng nampak gelisah dan
berduka.
"Jangan kuatir. Orang yang tidak melakukan kejahatan pasti akan dilindungi oleh Tuhan Yang Maha Adil.
Semoga saja kita akan dapat bertemu dengan Hui Cu dan aku seperti mendapat firasat bahwa kita akan
berjumpa dengan dia di Thai-san juga."
Berangkatlah kedua orang muda itu dan aneh sekali, baik Li Eng mau pun Kun Hong melakukan perjalanan
dengan wajah muram. Mereka itu seperti hendak memberi kesan kepada masing-masing bahwa mereka
murung memikirkan Hui Cu, padahal keduanya merasai sesuatu yang kosong di dalam dada, yang diamdiam
hendak mereka bantah sendiri bahwa hal itu bukan dikarenakan perpisahan mereka dengan orangorang
yang mereka ‘benci’ dan yang membikin mengkal hati mereka selama ini…..
********************
Kong Bu berlari cepat keluar masuk hutan. Bayangan Li Eng terbayang-bayang di pelupuk mata, tak mau
lenyap biar pun ia berusaha mengusirnya. Ah, anak murid Hoa-san-pai, mengapa harus diingat-ingatnya?
Tapi senyumnya, sinar mata yang indah itu... ahhh!
Tiba-tiba ia berhenti, lalu merenung memandang daun-daun di depannya. Hatinya serasa kosong dan
sunyi. Aneh sekali, sekelilingnya tampak sunyi tak berarti, alangkah bedanya dengan perasaan ketika ia
masih diseret-seret tadi.
Ia menepuk kepala sendiri. "Bodoh kau! Dia benci dan tidak suka kepadamu, kau adalah musuhnya,
kenapa dipikir-pikir? Tolol… celaka!" Dan ia lalu lari lagi cepat-cepat.
Mendadak ia melihat ada bayangan berkelebat di sebelahnya dan terdengar suara orang berseru,
"Sahabat, berhenti dulu!"
Kong Bu tidak lari secepat ia bisa, akan tetapi cukup cepat sehingga gerakan bayangan yang menyusulnya
itu cukup membuat ia terkejut dan maklum bahwa orang ini memiliki ilmu lari yang hebat juga. Ia berhenti
dan memandang.
Seorang pemuda, masih amat muda, tampan sekali, berdiri di depannya. Mata yang tajam memandangnya
penuh selidik. Pakaian pemuda ini amat indah dan rapi, juga kuku-kuku tangannya terpelihara baik-baik,
segalanya begitu bersih, sedangkan dirinya sendiri begini kotor. Kong Bu menghela napas.
"Kau siapa dan mau apa menahan perjalananku?" tanyanya, suaranya penuh kecurigaan dan ketidak
senangan. Memang hatinya sedang risau, sedang tak senang karena ia tidak puas dengan keadaan
hatinya sendiri.
"Apakah Song-bun-kwi itu kakekmu?" pemuda tampan yang bukan lain adalah Cui Bi itu bertanya.
"Tak perlu aku sembunyikan hal itu. Benar, Song-bun-kwi adalah kakekku. Kau siapa dan mau apa?"
"Orang tuamu... apakah mendiang ibumu bernama Kwee Bi Goat dan ayahmu bernama Tan Beng San?"
Pemuda tampan itu bertanya terus tanpa mempedulikan pertanyaan Kong Bu sama sekali.
Kong Bu terkejut sekali. "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Tak peduli bagaimana aku bisa tahu. Cucu Song-bun-kwi, cabutlah pedangmu, hendak kulihat sampai di
mana kelihaian cucu dari Song-bun-kwi!" setelah berkata demikian, Cui Bi menggerakkan tangan kanannya
dan…
"Srattt!" pedangnya telah berada di tangan.
Kong Bu membelalakkan matanya, membusungkan dadanya yang bidang. "Sombong kau! Tanpa sebab
kau menantangku, kau kira aku takut kepadamu?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan marah ia pun lalu mencabut pedangnya. Diam-diam ia bersyukur bahwa Li Eng gadis liar itu tidak
merampas pedangnya ketika gadis itu menawannya.
Cui Bi tersenyum mengejek, "Hendak kukenal dengan ilmu pedangmu. Lihat pedangku!"
Tanpa banyak rewel lagi pemuda tampan ini lalu menggerakkan pedangnya menusuk. Melihat datangnya
tusukan yang cepat dan kuat seperti kilat menyambar, Kong Bu sangat terkejut. Itulah gerakan yang sangat
hebat dan ia tidak berani memandang ringan. Cepat ditangkisnya sepenuh tenaga.
"Trangggg!"
Bunga api berpijar dan Cui Bi merasa tangannya tergetar. Diam-diam ia memuji tenaga dari pemuda gagah
itu. Akan tetapi dia tidak memberi hati dan segera bersilat pedang dengan amat cepat dan indahnya.
Kong Bu kagum sekali. Amat indah gerakan-gerakan ilmu pedang ini, lagi pula cepat dan berbahaya. Ujung
pedang itu berkembang menjadi banyak, dan setiap bayangan ujung pedang mengarah jalan darah yang
penting. Ia pun berseru keras dan tanpa ragu-ragu lagi lalu mainkan ilmu pedang yang paling ia andalkan,
yaitu warisan dari kakeknya, Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-hoat.
Sampai mengaung-ngaung suara pedangnya memecah udara, menimbulkan tiupan angin di sekeliling
tubuhnya. Pedangnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang hendak menelan lawan.
"Yang-sin Kiam-hoat! Bagus, hayo keluarkan semua kepandaianmu!" seru Cui Bi sambil menangkis dan
balas menyerang tak kalah hebatnya.
Sekali lagi Kong Bu terkejut. Pemuda tampan itu tidak hanya segera bisa mengenal ilmu pedangnya yang
jarang dikenal oleh orang-orang kang-ouw itu, bahkan sekaligus dapat mengimbanginya, agaknya
mengenal pula jurus-jurus Yang-sin Kiam-hoat.
Heran benar, semuda ini tapi sudah begitu lihai, siapa dia? Namun pikiran ini tidak lama mengganggunya
karena ia harus mencurahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang benar-benar berat ini.
Begitu cepat gerakan kedua orang muda itu sehingga tubuh mereka lenyap terbungkus gulungan pedang
mereka yang saling membelit. Makin lama Kong Bu menjadi semakin terheran-heran.
Tidak saja semua jurus Yang-sin Kiam-sut yang ia mainkan itu dapat dihindarkan oleh lawan, malah setiap
jurusnya tertindih oleh tangkisan Yang-sin Kiam-sut juga yang disusul serangan jurus-jurus yang asing
baginya, akan tetapi merupakan kebalikan dari Yang-sin Kiam-sut.
Sama sekali Kong Bu tidak pernah mimpi bahwa pemuda tampan ini ternyata memiliki Ilmu Pedang Imyang
Sin-kiam-sut. Jadi artinya kalau ia hanya mengenal setengahnya, pemuda itu telah mengenal
selengkapnya! Tentu saja ia kalah angin dan segera terdesak hebat.
Namun, Kong Bu adalah seorang anak gemblengan yang sejak kecil sudah digembleng secara hebat oleh
Song-bun kwi. Tidak hanya Yang-sin Kiam-hoat yang ia warisi, tetapi semua kepandaian kakeknya yang
banyak sekali macamnya. Selain ini, dalam hal tenaga, ternyata Kong Bu lebih menang setingkat sehingga
dengan mengandalkan kesemuanya ini, ia masih dapat mempertahankan diri dan sengaja ia hendak
mengadu pedang untuk memukul jatuh pedang lawan.
Siapa kira, pemuda tampan itu walau pun usianya lebih muda darinya, ternyata memiliki kecerdikan tinggi.
Buktinya, pemuda tampan itu sama sekali tidak mau mengadu pedang karena agaknya maklum bahwa
tenaganya kalah besar. Ia mengandalkan kegesitan di samping kelihaian llmu pedangnya untuk terus
mendesak hebat.
Yang membuat Kong Bu terheran-heran, setelah tiga ratus jurus lebih mereka bertempur, mulailah ia
merasa bahwa andai kata pemuda tampan itu menghendaki, ia tentu sudah terkena sasaran pedang
lawan. Anehnya, pemuda tampan itu agaknya tidak bertempur sungguh-sungguh, atau setidaknya, tidak
mempunyai maksud buruk untuk merobohkan dia, lebih tepat disebut menguji kepandaiannya.
Hal ini malah mendatangkan rasa penasaran di hatinya karena dia merasa terhina dan dipermainkan.
Sambil mengeluarkan lengking meninggi seperti orang menjerit menangis, Kong Bu memutar pedangnya
dan melakukan tekanan-tekanan dengan serangan maut!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Wah, ganas... ganas...!" Cui Bi berseru.
Ia merasa tergetar jantungnya mendengar lengking yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang
serta lweekang ini. Ia harus mengempos semangat dan hawa murni di dalam tubuhnya agar jangan
terpengaruh.
Memang hebat sekali Kong Bu. Setelah mengeluarkah lengking yang aneh ini, tenaga serangannya
seakan-akan menjadi jauh lebih kuat dan walau pun tadi ia sudah terdesak hebat terkurung oleh ilmu
pedang lawan yang sangat luar biasa itu, sekarang ia dapat mengimbangi lagi permainan lawan. Cui Bi
dapat merasa betapa dalam jarak satu meter jauhnya, pedang lawannya itu sudah mengeluarkan tenaga
pukulan yang kuat!
Lima ratus jurus telah lewat, dan kedua orang muda itu sudah mulai berkeringat. Tiba-tiba Cui Bi
membentak nyaring, pedangnya berkelebat dengan gerakan bergelombang, sukar sekali ditangkis dan
tahu-tahu sudah menyambar ke arah pusar Kong Bu.
Kong Bu berseru keras saking kagetnya karena dia melihat betapa pedang lawan yang sedianya sudah
menusuk lambung itu tiba-tiba menyeleweng dan…
"Brettt!" ujung bajunya yang terbabat putus.
Saking kagetnya melihat pedang itu tadi hendak menusuk lambungnya, ia mengerahkan seluruh tenaga,
menangkis dari bawah ke atas dan…
"Tranggg!"
Cui Bi menjerit lirih, pedangnya terlepas dari pegangan, melayang ke atas. Bagai seekor burung walet,
pemuda tampan ini sudah meloncat ke atas dan pada lain detik pedangnya yang ‘terbang’ tadi sudah
ditangkapnya kembali.
Kini mereka berhadapan, saling pandang, pedang melintang di tangan. Diam-diam Kong Bu harus
mengakui di dalam hatinya bahwa ia sudah kalah. Bahwa lawannya tadi telah memperlihatkan
kelebihannya dan sekaligus membuktikan bahwa lawan ini tidak memiliki maksud jahat. Kalau demikian
halnya tentu ia telah roboh dengan pusar tertusuk pedang.
Cui Bi memandang tajam, matanya bersinar-sinar sedangkan wajahnya berseri-seri, lalu ia menyimpan
kembali pedangnya.
"Kau... kau hebat, patut menjadi putera Raja Pedang di Thai-san!" katanya.
Merah sekali wajah Kong Bu. Ia pun menyarungkan pedangnya, menarik napas panjang beberapa kali.
"Lebarnya dunia tidak dapat diukur, dalamnya lautan sukar dijajaki, kepandaian manusia sukar dibatasi.
Sahabat, aku benar-benar takluk padamu, belum pernah seumur hidupku aku bertemu dengan tandingan
seperti kau. Siapakah kau dan apa maksudmu menahan aku dan mengajakku main-main seperti ini?"
"Kau... kau puteranya... kenapa kau memusuhi orang-orang Hoa-san-pai, dan... mengapa kau tidak
mencari ayahmu...?" Cui Bi berkata perlahan, suaranya gemetar.
Kong Bu terheran. Ia menduga-duga siapa adanya pemuda aneh ini. Akan tetapi ia tidak dapat
mengirakannya.
"Untuk apa kau bertanya-tanya? Apa pedulimu dengan urusanku?"
"Ada hubungannya erat sekali dan aku ingin sekali tahu. Ahh... agaknya kau tidak berani mengaku," Cui Bi
menarik napas panjang.
Memang ia cerdik. Begitu bertemu dia sudah dapat menduga bahwa pemuda gagah ini tentu memiliki jiwa
gagah juga, dan biasanya orang yang menghargai kegagahan, paling pantang jika disebut ‘tidak berani’.
Maka barusan ia sengaja mengatakan demikian untuk membakar hati orang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akalnya berhasil baik. Kong Bu menjadi merah mukanya, matanya terbelalak mendelik dan suaranya
menggeledek, "Siapa tidak berani? Bocah, jangan kau sombong. Biar pun harus kuakui bahwa
kepandaianmu hebat sekali, namun aku belum mampus di tanganmu dan sewaktu-waktu takkan mundur
menghadapi kau atau siapa pun juga. Kau bilang aku tidak berani mengaku? Baik dengarlah! Ibuku
meninggal karena seorang anak perempuan Hoa-san-pai, karena itulah maka semua perempuan murid
Hoa-san-pai kumusuhi! Nah, tahukah kau sekarang?"
"Hemm, kau tentu maksudkan perempuan Hoa-san-pai bernama Kwa Hong itu, bukan? Sayangnya kau
ngawur dan membabi buta, sampai-sampai dua orang gadis yang tidak ikut apa-apa kau ganggu juga.
Hemm, kau tersesat. Kenapa kau tidak mencari ayahmu di Thai-san?"
Kong Bu tercengang. Bagaimana bocah ini dapat mengetahui segalanya? Ingin ia balas bertanya, akan
tetapi karena tidak mau dianggap ‘tidak berani’ ia mengaku, "Ayahku Tan Beng San di Thai-san adalah
seorang laki-laki yang sudah menghancurkan penghidupan mendiang ibuku. Dia telah tergila-gila kepada
perempuan Hoa-san-pai siluman betina itu. Mengapa aku harus mencarinya? Huh, aku bahkan ingin
bertemu untuk menantangnya bertempur, untuk membalaskan sakit hati ibuku!"
Tiba-tiba Cui Bi membentak marah, "Jangan mengacau! Kau agaknya sudah dirusak oleh kebohongan dan
fitnahan-fitnahan Song-bun-kwi. Kau menurutkan nafsu yang dikobarkan oleh kakekmu yang jahat itu. Kau
mau tahu duduknya perkara yang betul? Nah dengarlah aku bercerita."
Cui Bi lalu duduk di atas sebuah akar pohon yang menonjol keluar dari pohon. Kong Bu tidak peduli, tetap
berdiri dan memandang penuh curiga. Bocah ini tahu banyak sekali, entah apa kehendaknya, akan tetapi
karena ingin tahu ia diam saja, mendengarkan.
"Kau tidak adil sekali menyumpahi dan memaki ayahmu sendiri. Dia seorang pendekar besar, seorang
gagah perkasa, seorang berbudi mulia yang nasibnya buruk dan patut dikasihani. Akan tetapi kau
puteranya, kau malah memaki-makinya dan bahkan hendak menantangnya. Cih, sungguh memualkan
perutku! Kau mau mendengar kenyataan? Nah, dengarlah. Tan Beng San sama sekali tidak tergila-gila
kepada perempuan Hoa-san-pai, atau kepada perempuan yang mana pun juga, kecuali kepada Kwee Bi
Goat, mendiang ibumu. Biar pun kakekmu telah memperlakukannya dengan jahat, tetap saja dia mencinta
Kwee Bi-Goat dengan sepenuh jiwa raganya. Memang tak dapat disangkal bahwa Tan Beng San pernah
mengadakan hubungan dengan Kwa Hong, akan tetapi hal itu terjadl sebelum ia menjadi suami ibumu,
pula hal itu terjadi karena muslihat musuh, karena dia keracunan dan dalam keadaan tidak sadar. Biar pun
sudah terjadi hal itu, dia menolak menjadi suami Kwa Hong dan tetap mencari ibumu lalu menikah dengan
ibumu atas dasar saling cinta yang suci murni..."
Cui Bi berhenti sebentar dan Kong Bu sudah menjadi begitu tertarik sehingga tanpa terasa lagi ia pun
duduk di atas batu, di depan pemuda tampan itu. Belum pernah ia mendengar cerita tentang ayah
bundanya sejelas ini. Biasanya kakeknya hanya mengatakan secara singkat bahwa ayahnya sudah tergilagila
kepada wanita lain sehingga ibunya mati karena duka.
Melihat perhatian Kong Bu itu, Cui Bi melanjutkan ceritanya penuh semangat, matanya berapi-api, kedua
pipinya merah.
"Kemudian terjadilah mala petaka menimpa. Kwa Hong ternyata sudah mengandung dari hubungan yang
berlangsung di luar kesadaran Tan Beng San itu. Malah Kwa Hong yang tak tahu malu itu mengunjungi
ibumu di Min-san, dan melahirkan anaknya di sana. Hal itu terjadi ketika kakekmu sedang merantau dan
ayahmu, Tan Beng San itu, sedang sibuk pula membantu perjuangan. Setelah Kwa Hong pergi bersama
anaknya, ibumu menjadi berduka sekali, maklumlah hati wanita, penuh sakit hati, penuh iri dan cemburu,
merasa bahwa cinta kasihnya yang mendalam itu dicemarkan. Dan... saking tak kuasa menahan kesedihan
hatinya, ia meninggal dunia setelah melahirkan kau..." Sampai di sini suara Cui Bi terdengar serak. Isaknya
dalam dada jelas membayangkan keharuan hatinya.
Kong Bu merasa dadanya sesak, sedu-sedan naik ke kerongkongannya. Akan tetapi dia menguatkan hati,
menggigit bibirnya sehingga hanya kedua matanya saja yang nampak menjadi merah, sikapnya
menakutkan.
"Kau tahu bagaimana keadaan ayahmu ketika dia mendengar tentang kematian isterinya yang tercinta itu?
Dia menjadi... menjadi gila..." kembali suara itu parau dan lirih, dan Cui Bi terpaksa berhenti karena
terbatuk-batuk, agaknya menahan keharuan hatinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Gi... gila...?" Kong Bu sempat bertanya di antara sedu-sedan yang kembali naik lagi ke kerongkongannya.
"Ya, gila, atau hilang ingatan. Pada waktu itu... hemm, di antara dia dan... Cia Li Cu..."
“Isterinya yang sekarang?"
"Ya, di antara mereka itu terjalin persahabatan yang amat erat, akan tetapi jangan salah artikan. Tan Beng
San tetap tidak dapat mencinta lain orang kecuali isterinya, ini terbukti ketika mendengar kematian isterinya
dia lalu lupa segalanya, yang diingat hanya isterinya itu. Melihat hal ini, Cia Li Cu amat terharu. Harus
diakui Cia Li Cu mencintanya sepenuh jiwa. Ia hendak menghibur pendekar ini, namun apa yang terjadi?
Dalam pandangan Tan Beng San yang sudah hilang ingatan itu, Li Cu terlihat seperti ibumu yang telah
meninggal dan seterusnya menganggap bahwa Cia Li Cu adalah Kwee Bi Goat!"
"Ahh..." Kong Bu menahan napas, amat tertarik dia dan keharuan bergumul di hatinya.
"Cia Li Cu, puteri Raja Pedang Tanpa Tanding Cia Hui Gan, demi cintanya mengorbankan nama baiknya,
malah nekat menantang ayahnya, memelihara Tan Beng San dengan hati hancur karena melihat orang
yang dicintanya itu menganggapnya sebagai wanita lain. Adakah pengorbanan lebih besar dari ini? Adakah
cinta kasih yang lebih besar dari ini?" Cui Bi nampak bangga.
Kong Bu mulai bingung. Kalau betul begini jalan ceritanya, ahh, ayahnya tidak bersalah, malah patut
dikasihani.
"Nah, kau tahu, sampai sekarang pun Cia Li Cu yang kini sudah menjadi isteri sah dari Tan Beng San yang
akhirnya mendapatkan kembali ingatannya dan mengawini Cia Li Cu, sama sekali tidak ada hati yang
memusuhi mendiang Kwee Bi Goat ibumu, apa lagi kau sebagai putera suaminya yang semenjak kecil
dibawa lari oleh kakekmu. Kau dicari-cari oleh ayahmu, tetapi tidak bertemu dan kakekmu hendak
mengadu kau dengan ayahmu sendiri."
Kong Bu menundukkan mukanya, mukanya merah sekali dan ia berusaha keras menahan sedu-sedan
yang sudah hampir meledak di dadanya.
"Ibu... Ayah...," bisiknya, keadaannya mengharukan sekali.
Pemuda itu teringat betapa ia tidak pernah melihat ibunya yang sudah mati, juga tidak pernah melihat
ayahnya yang harus diakui sangat mendatangkan rasa rindu di hatinya. Tapi bujukan-bujukan kakeknya
membuat ia membenci ayahnya yang disangkanya telah menyeleweng dan menyakiti hati ibunya.
Siapakah yang benar? Cerita kakeknya ataukah cerita orang ini? Siapakah orang ini? Apakah dia tidak
berbohong?
Ia cepat mengangkat kepala memandang dan kagetlah dia, pemuda tampan di depannya itu memandang
kepadanya dengan mata merah, air mata membanjir di kedua pipinya, dan bibirnya yang gemetar itu
dikatupkan menahan isak tangis!
Wajah Kong Bu pucat sekali. Mukanya membayangkan hati yang hancur. Seorang yang bagaimana pun
keras hatinya sekali pun tentu akan kasihan melihatnya pada saat itu.
Makin deras air mata mengalir sepanjang pipi Cui Bi dan tiba-tiba pemuda tampan ini memegang kedua
tangan Kong Bu, bibirnya berbisik perlahan dan menggetar.
"Aduh..., kasihan sekali kau... Koko..."
Kong Bu tersentak kaget dan balas memegang tangan pemuda itu.
"Kau... kau siapakah?" Tentu saja ia heran dan kaget mendengar pemuda itu memanggil dirinya koko
(kakak).
Dengan lengan bajunya pemuda tampan itu mengusap air matanya pada kedua pipinya sebelum
menjawab, akan tetapi air matanya mengalir terus.
"Aku... aku adalah adik tirimu... aku... aku anak dari ayahmu dan ibuku adalah Cia Li Cu..."
dunia-kangouw.blogspot.com
Kong Bu merenggutkan tangannya terlepas, meloncat mundur sambil berdiri dan berseru, suaranya keras
sekali, "Bohong! Kau penipu, pembohong! Sudah sering aku mendengar bahwa... Ayah dan Cia Li Cu
hanya mempunyai seorang anak tunggal, seorang anak perempuan... bagaimana kau ini...?"
Cui Bi sudah berdiri pula, air matanya masih membasahi kedua pipinya.
"Koko, tidak tahukah kau bahwa aku...?"
Ia menggosok kedua anak telinganya sehingga tampak lubang anak telinga yang tadinya ditutup semacam
bedak, dibukanya penutup kepala sehingga terurailah rambutnya yang panjang dan halus berombak.
Muka Kong Bu makin pucat. "Kau... kau seorang gadis...?"
"Koko, tidak dapatkah kau melihat bahwa ilmu pedangku adalah warisan Ayah dan Ibu? Koko, Ayah
banyak menderita kalau memikirkan kau, kau amat dirindukan Ayah... juga Ibu, percayalah, Ibu sama
sekali tidak menganggap kau sebagai orang lain, demikian pula aku... kau sudah kuanggap sebagai
kakakku sendiri..."
Tak dapat tertahan lagi, air mata yang sejak tadi sudah menekan di kedua mata Kong Bu, kini berlinang
jatuh menetes. Pemuda itu menutupkan kedua tangan di depan muka untuk menyembunyikan tangis,
namun air mata yang tak banyak itu tetap menetes keluar dari celah-celah jari tangannya, sedangkan sedusedan
yang ditahan-tahannya membuat dua pundaknya yang bidang itu bergerak-gerak.
"Koko...," suara halus itu dekat sekali karena gadis itu sudah mendekatinya.
Kong Bu menurunkan kedua tangan, melihat wajah yang memandang penuh iba, penuh permohonan agar
diakui sebagai saudara, dengan air mata membasahi pipi.
"Moi-moi (adik perempuan)..."
Kong Bu memeluk dan mendekap kepala gadis itu ke dadanya, kepalanya berdongak dan kedua matanya
meram, air matanya bertetesan ke atas rambut Cui Bi.
"Ibu... semoga kau mengampuni anakmu..."
Sampai beberapa lamanya kedua orang muda seayah ini saling peluk dan bertangisan. Akhirnya keduanya
mampu menguasai hati masing-masing dan dengan agak malu-malu mereka melepaskan pelukan,
kemudian saling pandang.
Setelah keharuan mereda, mereka saling memandang kagum. Perlahan-lahan tersembul senyum di bibir
Cui Bi yang ternyata adalah seorang gadis yang amat cantik jelita itu.
"Koko, alangkah bahagianya hatiku. Ayah dan Ibu setiap hari menangis kalau mengingat kau. Mereka amat
kuatir kalau-kalau hatimu sudah diracuni, kuatir kalau-kalau kau akan datang dan mengganggu Ayah Ibu
sebagai musuh besar. Syukur bahwa kau ternyata memiliki jiwa ksatria, seperti yang diharapkan ayah
karena kata Ayah, ibumu pun seorang yang berbudi halus."
"Aku pun bahagia sekali dapat bertemu dengan kau, Moi-moi. Ah, alangkah bodohku..." ia menghela napas
panjang. "Aku memang tahu akan watak Kakek yang keras dan aneh... dan diam-diam aku sudah tidak
cocok. Baiknya aku bertemu dengan kau dan insyaf. Ah, kalau tidak... bagaimana mungkin aku dapat
menjual lagak memamerkan kebodohanku di depan ibumu, sedangkan terhadap kau saja aku sudah kalah
jauh?"
Cui Bi tertawa dan memegang tangan kanan kakaknya. "Iihh, kau memang amat pandai merendah. Siapa
bilang kau akan kalah jauh? Hemmm, sedangkan kau belum menerima apa-apa dari Ayah saja, sudah
setengah mampus aku melawanmu, apa lagi kalau kau sudah menerima warisan dari ayah, pendeknya aku
bukan apa-apa bagimu."
"Moi-moi, kau manis sekali, ahhh, alangkah bangga hatiku mempunyai adik seperti kau!" Kong Bu meraba
dagu gadis itu dengan hati penuh kasih sayang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Cui Bi melengos, manja. "Ahh, bisa saja kau, siapa tidak tahu bahwa aku jelek? Kaulah yang gagah
perkasa, benar-benar Ayah akan menari kegirangan kalau nanti melihatmu. Ehhh, Koko, bagaimana kita
ini? Kakak beradik tetapi tidak saling mengetahui namanya!" Keduanya berpandangan lalu tertawa
bergelak!
Memang, dua orang ini adalah keturunan orang sakti dan aneh, maka watak mereka juga aneh. Lebih-lebih
jiwa muda mereka membuat mereka mudah merasa gembira.
"Namaku Kong Bu, Tan Kong Bu. Namamu siapa, adikku yang manis?"
"Aku Cui Bi, Tan Cui Bi."
"Bi-moi, mengapa kau menyamar sebagai seorang pemuda? Ha, hampir saja aku kena terpedaya olehmu.
Benar-benar tidak dapat diduga bahwa kau seorang gadis yang manis, pandai benar kau menyamar
sebagai seorang pemuda tampan dan ganteng lagi pesolek. Sampai-sampai lubang daun telingamu dapat
kau tutupi dengan baik, tidak kentara sama sekali."
Heran sekali, Kong Bu melihat wajah adiknya yang tadinya berseri-seri itu tiba-tiba saja menjadi muram.
"Menyamar sebagai pria sudah biasa kulakukan, Ko-ko, dan dalam hal ini Ayah dan Ibu memberi nasehatnasehatnya.
Memang kalau melakukan perjalanan di dunia kang-ouw, aku lebih leluasa kalau menyamar
sebagai seorang laki-laki. Akan tetapi kali ini... ah, tidak apa aku berterus terang, bukankah kau kakakku
sendiri? Dan siapa tahu, kau akan dapat membantu aku meringankan penderitaan yang amat
membingungkan hatiku ini, Bu-ko."
"Ehh, semuda ini, segembira ini dapat menderita kesusahan? Ada apakah, Bi-moi? Apa yang kau
susahkan? Tentu saja aku siap sedia menolongmu."
Gadis ini menarik tangan kakaknya, diajaknya duduk di tempat yang teduh. Lalu menarik napas panjang,
kelihatan berduka.
"Kau tidak tahu, Bu-ko. Kali ini aku bukan melakukan perjalanan untuk bersenang-senang seperti biasa,
melainkan... aku telah lari dari Thai-san, pergi meninggalkan rumah tanpa pamit!"
"Heee?! Kenapa? Kau dimarahi ayah ibumu?"
"Bukan, bukan mereka yang marah, melainkan akulah yang marah kepada mereka."
"Aaiiih, kenapa kau ini? Tak baik marah-marah kepada orang tua, durhaka kau nanti."
"Panjang ceritanya, Bu-ko. Tapi biar kusingkat saja. Kau tahu, Koko, selama aku berada di Thai-san
bersama orang tuaku, entah sudah berapa belas kali, bahkan mungkin puluhan kali selama dua tahun ini,
orang tuaku menerima lamaran orang atas diriku."
Gadis yang masih berpakaian pria itu merah sekali wajahnya, akan tetapi Kong Bu justru tertawa tergelak.
"Mengapa kau tertawa-tawa?" tanyanya cemberut.
"Ha-ha-ha, kau gadis cantik jelita dan manis, usiamu juga tentu ada tujuh belas tahun, apa anehnya jika
menerima banyak lamaran? Andai kata bukan kakakmu, aku sendiri mau melamar. Ha-ha-ha!"
"Iihh, ceriwis kau!" Wajah itu semakin merah. "Jangan mentertawakan aku, Koko, hatiku benar-benar baru
resah, nih!"
"Ya sudahlah, kau teruskan ceritamu."
"Ayah dan Ibu sudah merasa jengkel sekali karena aku selalu menolak keras kalau ada pinangan orang.
Akhirnya, Ayah dan Ibu menerima pinangan putera Ketua Kun-lun-pai, katanya puteranya seorang she Bun
yang menjadi Ketua Kun-lun-pai dan yang menjadi sahabat baik Ayah. Malah menurut cerita Tan-pek-hu di
kota raja yang dahulunya adalah tokoh Pek-lian-pai yang terkenal dalam perjuangan, orang she Bun itu
adalah keturunan pendekar besar dari Kun-lun-pai sedangkan isterinya merupakan keturunan dari patriot
pemimpin Pek-lian-pai, she Thio."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Waduh, kiong-hi... kiong-hi (selamat, selamat), adikku...!"
"Selamat hidungmu!" Cui Bi memotong dan melerok, mulutnya cemberut marah. "Orang berkeluh-kesah,
berduka dan bingung, kok justru diberi selamat. Bukankah kau ini malah memperolok aku, Koko? Bagus
benar ya menjadi kakak orang begini kejam!"
"Lho-lho-lho, nanti dulu, jangan marah-marah tidak karuan. Orang muda she Bun itu dilihat dari
keturunannya, baik dari ayah mau pun dari ibunya, benar-benar hebat. Kalau ayah bundamu sudah
menerima pinangan itu, bukankah berarti pemuda she Bun itu menjadi calon adik iparku? Tentu saja aku
senang sekali mempunyai calon adik ipar keturunan orang-orang ternama dan gagah begitu. Apakah kau
tidak senang menjadi... eh, anunya?"
Dengan gemas Cui Bi mengulur tangan dan mencubit lengan kakaknya sampai Kong Bu mengaduh-aduh
kesakitan.
"Kau nakal benar, Bu-ko. Benci aku kalau begini. Kau mau menolong adikmu atau tidak?"
"Tentu, tentu... tapi lepaskan dulu cubitanmu, ahh, bisa pecah-pecah kulit lenganku nanti. Teruskanlah
ceritamu, aku berjanji tak akan menggodamu lagi."
Kong Bu yang baru sekarang merasakan kenikmatan bergurau dengan seseorang yang mendatangkan
rasa sayang, benar-benar gembira sekali, akan tetapi juga kuatir melihat betapa adiknya itu bersungguhsungguh.
"Tentu saja aku menolak keras. Aku tidak sudi menikah apa lagi dengan orang yang sama sekali belum
pernah kulihat. Ayah dan Ibu marah-marah, aku pun marah dan akhirnya aku lari meninggalkan rumah
tanpa pamit. Aku bersembunyi di rumah Pek-hu di kota raja. Nah, Bu-ko, sukakah kau menolongku kalau
nanti kau bertemu dengan Ayah dan Ibu. Kau bujuklah mereka supaya jangan memaksa aku menikah,
supaya pinangan yang sudah diterima itu dibatalkan saja dan katakan bahwa aku masih kecil."
Mau tak mau Kong Bu menahan ketawanya. Senang dan sayang benar ia kepada adiknya yang lucu ini.
"Usiamu berapa sih, Moi-moi."
"Kata Ayah, hanya selisih dua tahun denganmu."
"Nah, kalau begitu sudah tujuh belas tahun. Mana bisa dibilang masih kecil?"
"Kau menggoda lagi. Mau tidak membantuku?"
"Ya, baik... baik... biar kelak aku membujuk orang tuamu."
Cui Bi memegang tangan kakaknya dan ditarik bangun, menari-nari seperti orang yang kegirangan sekali.
"Terima kasih, terima kasih... wah, aku percaya bahwa Ayah pasti akan meluluskan permintaanmu, kau
seorang anak yang disayang, dan baru saja bertemu. Eh, Bu-ko, kau nakal sekali, ya? Gadis Hoa-san-pai
yang cantik manis itu, hemmm, kau telah pura-pura kena ditawan. Hemmm, senang sekali, ya? Hi-hi-hik,
kau pembohong besar. Katanya benci perempuan murid Hoa-san-pai, tetapi yang satu ini, aku berani
bertaruh potong kepala bebek bahwa kau suka kepadanya!"
Kong Bu merenggut lepas tangannya, melotot. "Gila kau! Jangan main-main, ya? Siapa suka perempuan
galak seperti setan itu?"
"Galak-galak tetapi manis, seperti setan tetapi menarik hati, bukan begitu? Ah, Koko, aku tidak boleh kau
bohongi, ya? Biarlah aku berjanji, kelak kalau kau benar-benar sudah menolongku sehingga ikatanku
dengan pemuda Ku-lun-pai itu dapat dibatalkan, aku akan membalas budimu. Aku akan menjadi perantara,
akan kubujuk Ayah agar supaya pergi mengajukan pinangan ke Hoa-san!"
"Hush, jangan ngaco!" Kong Bu mendelik dan membentak-bentak, akan tetapi ia sendiri merasa aneh
mengapa jantungnya jadi berdebar begini macam?
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bimoi, aku heran sekali kenapa kau dapat melihat kedatanganku di kuil dengan... ehm, gadis Hoa-san-pai
itu? Kulihat tadi yang berada di kuil itu hanyalah seorang pemuda dari Hoa-san-pai yang bijaksana dan
halus budi, seorang pemuda lemah akan tetapi bicaranya menusuk perasaan benar, tepat dan bijaksana.
Menurut pengakuannya dia adalah paman dari gadis Hoa-san-pai itu."
"Ahh, kau maksudkan Hong-ko?"
"Ehh, Hong-ko siapa? Kau kenal dia?"
Cui Bi tersenyum. "Seorang kutu buku, tetapi dia itu putera tunggal Ketua Hoa-san-pai, pandai ilmu surat
tidak pandai ilmu silat. Memang dia orang yang luar biasa. Tentu saja aku kenal dia, malah berhari-hari aku
melakukan perjalanan bersama dia."
"Hee...?"
"Jangan memandang seperti itu. Ihhh, pikiranmu agaknya penuh dengan dugaan yang bukan-bukan dan
fitnah-fitnah keji. Sampai sekarang dia menganggap aku sebagai laote (adik laki-laki)." Cui Bi tertawa geli
dan Kong Bu juga tertawa.
"Sudahlah, mari kita cepat-cepat pulang ke Thai-san, Bu-ko. Kalau bersamamu aku berani pulang. Akan
tetapi karena Ayah hendak merayakan pendirian perkumpulan Thai-san-pai, lebih baik kita melihat-lihat di
kaki Gunung Thai-san dulu dan menyelidiki kalau-kalau ada orang jahat hendak datang mengacau. Kau
tahu, sudah terlalu banyak Ayah membasmi golongan-golongan jahat sehingga dapat diduga bahwa akan
banyak musuh yang datang mengacau dan berusaha menggagalkan pendirian Thai-san-pai. Sudah
menjadi kewajiban kita untuk membantu Ayah."
Kong Bu hanya mengangguk-angguk. Berangkatlah dua orang kakak beradik ini. Mereka sengaja menguji
kepandaian masing-masing dan berlari cepat. Betapa kagum hati mereka karena dalam kemahiran ilmu lari
cepat ini mereka berimbang.
Cui Bi menang ringan tubuhnya dan menang gesit gerakannya, akan tetapi ia kalah napas melawan kakak
tirinya itu…..
********************
"Apa kau bilang, Li Eng? Jadi pemuda gagah tadi punya sakit hati terhadap Hoa-san-pai? Mengapa
demikian?" tanya Kun Hong.
'Dia cucunya Song-bun-kwi dan Song-bun-kwi agaknya benci sekali kepada Hoa-san-pai karena... hmmm,
apakah kau belum pernah dengar tentang... Enci (Kakak Perempuan) tirimu, Paman Hong?"
"Enci tiri? Mana aku mempunyai Enci tiri? Ayah dan Ibu tak pernah bercerita tentang itu!"
Sebetulnya Li Eng juga tidak berani lancang bercerita, akan tetapi keterangan Kun Hong ini malah
membangkitkan keinginan hatinya untuk menyampaikan rahasia itu. Dia sendiri merasa heran mengapa
orang tidak menceritakan hal Kwa Hong kepada pamannya ini.
"Paman Hong, dulu sebelum ayahmu menikah dengan ibumu yang menjadi sumoi sendiri dari ayahmu,
ayahmu sudah memiliki seorang anak perempuan bernama Kwa Hong. Nah, Bibi Kwa Hong inilah yang
menimbulkan permusuhan hebat di mana-mana, karena sepak terjangnya yang... hemmm, malah orang
tuaku sendiri pun mendendam sakit hati kepada Bibi Kwa Hong yang betul-betul seperti iblis wanita itu."
"Li Eng, yang betul kau bicara. Kalau memang benar dia itu kakak tiriku, berarti dia itu masih bibimu.
Bagaimana kau bisa bicara tentang bibimu sendiri?"
"Ah, ternyata kau tidak tahu apa-apa, Paman Hong. Nah kau dengarlah aku bercerita, tapi jangan
tersinggung, ya? Aku hanya menceritakan apa yang kudengar dari Ayah dan Ibu. Ingatkah dahulu ketika
kau bercerita kepada aku dan Enci Hui Cu tentang burung rajawali emas dan kami bertanya kepadamu
tentang dia, siluman betina? Nah, yang kami maksud dahulu itu bukan lain adalah Kwa Hong, enci-mu
itulah!"
"Hemmm, kau benar-benar kurang ajar. Kalau benar aku mempunyai kakak perempuan berarti dia bibimu."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Memang betul, akan tetapi bibi macam bagaimana? Kau dengarlah!"
Li Eng lalu menceritakan tentang Kwa Hong. Betapa wanita ini karena jebakan musuh, mengadakan
hubungan dengan Tan Beng San dan betapa wanita ini lalu berubah seperti Siluman, naik burung rajawali
emas dan mengacau ke mana-mana. Bahkan Kwa Hong hampir membunuh ayah bunda Li Eng,
mengusirnya dan menduduki Hoa-san-pai sebagai ketua. Ia menceritakan pula kenapa Song-bun-kwi
mendendam, yaitu dalam hubungannya dengan puterinya, Kwee Bi Goat yang menjadi nyonya Tan Beng
San dan yang akhirnya meninggal dunia karena berduka.
"Dia jahat luar biasa, Paman Hong. Dia seperti iblis betina, naik burung rajawali menyebar maut di manamana.
Entah bagaimana, menurut Ayah dan Ibu, kepandaiannya hebat sekali sampai-sampai Sucouw Lian
Bu Tojin, guru ayahmu, juga tewas di tangannya. Dia telah menyakitkan hati isteri Paman Tan Beng San
sehingga tak kuat menahan dan tewas setelah melahirkan... heeiii! Tentu dia orangnya!" Tiba-tiba Li Eng
meloncat berdiri dan termenung.
"Dia siapa? Apa maksudmu?" tanya Kun Hong.
Li Eng menepuk-nepuk pahanya.
"Siapa lagi kalau bukan dia?! Pemuda itu, cucu Song-bun-kwi, si keparat itu, siapa lagi kalau bukan putera
Kwee Bi Goat, putera Paman Tan Beng San."
"Apa?! Pemuda gagah perkasa tadi putera Paman Tan Beng San yang lahir dari Bibi Kwee Bi Goat itu?"
Kun Hong tertarik sekali akan cerita tadi dan diam-diam ia merasa menyesal bukan main bahwa semua hal
yang sekarang menimbulkan permusuhan hebat itu adalah gara-gara kakak perempuannya, Kwa Hong.
Tahulah dia sekarang mengapa ayahnya begitu keras kepadanya, melarang dia berlatih ilmu silat. Kiranya
di sinilah letak rahasianya. Ayahnya sudah kapok, tidak ingin melihat anaknya rusak lagi karena
kepandaian silat! Wajahnya pun menjadi muram.
"Ahh, nasib Ayah yang buruk... ahhh, ingin aku bertemu dengan Enci Kwa Hong, ingin aku nasehatkan
padanya agar minta ampun kepada ayah, kepada semua orang yang pernah disakiti hatinya."
"Hemmm, aku sangsi apakah dia akan mau... haiii, di sana ada orang bertempur?"
Li Eng menunjuk ke depan. Ketika Kun Hong memandang, benar saja ia melihat seorang pemuda dengan
hebatnya bertempur dikeroyok oleh dua orang lawannya. Cepat-cepat ia mengikuti Li Eng yang sudah lari
lebih dulu ke tempat pertempuran itu.
"Enci Hui Cu...!" Di lain saat Li Eng sudah berpelukan dengan Hui Cu.
"Eng-moi...!" Paman Hong...!"
Saking girangnya, Hui Cu menangis dalam rangkulan Li Eng. Sama sekali tidak pernah disangkanya
bahwa dua orang itu berada dalam keadaan selamat, malah dapat bertemu dengannya di situ. Mereka
belum dapat bicara banyak karena perhatian mereka kembaii tertuju kepada pertempuran hebat yang
masih berlangsung.
Hebat sekali pemuda itu. Akan tetapi kedua orang pengeroyoknya pun luar biasa, yaitu seorang nenek tua
sekali dan seorang wanita tua yang masih berwajah cantik. Siapakah mereka ini? Pemuda itu tak lain
adalah Sin Lee, ada pun pengeroyoknya adalah Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li!
"Adik Eng..., lekas, kau bantulah dia..." berkata Hui Cu kepada Li Eng. "Aku... aku sendiri sudah terluka..."
Semenjak tadi Kun Hong bengong karena menyaksikan sesuatu yang membuat dia amat terheran-heran,
yaitu gerakan pemuda gagah yang dikeroyok itu. Ilmu silat pemuda itu! Bukankah gerakan kaki itu mirip
benar dengan Kim-tiauw-kun? Kaki yang meloncat-loncat itu, kedua lengan yang dikembangkan seperti
sayap burung. Ahh, meski pun menyimpang dari aslinya, namun tidak salah lagi, pemuda itu tentu pernah
mempelajari Kim-tiauw-kun. Inilah yang membuat dia bengong dan membuat dia lengah, tidak melihat
bahwa Hui Cu telah terluka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sekarang mendengar ucapan ini, cepat ia memandang dan berseru, "Ahhh, Hui Cu. Kau terluka dengan
senjata beracun!"
Cepat ia memegang tangan kiri gadis itu dan menariknya dekat. Tanpa ragu-ragu lagi ia merobek lengan
baju bagian atas dan benar saja, di balik lengan baju yang sudah sedikit robek dan berdarah itu tampak
kulit pangkal lengan dekat pundak hitam membengkak!
Li Eng mengeluarkan seruan tertahan, namun ia segera bertanya, "Enci, ia siapakah dan kenapa harus
dibantu?"
"Lekas... dua orang itu, Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li. Mereka amat jahat dan lihai. Tolong
bantulah dia... dia itu... ehhh, dia penolongku."
Li Eng tak usah diperintah dua kali. Mendengar bahwa pemuda gagah itu adalah penolong Hui Cu, apa lagi
sesudah mendengar bahwa nenek buruk rupa saking tuanya itu adalah Hek-hwa Kui-bo dan wanita tua
yang cantik itu Kim-thouw Thian-li, Li Eng cepat mencabut pedang dan menyerbu ke dalam kalangan
pertempuran sambil berseru,
"Bagus sekali! Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li, sudah lama aku mendengar nama kalian yang
busuk, lihat, aku Kui Li Eng dari Hoa-san-pai datang untuk menagih semua hutang-hutangmu kepada Hoasan-
pai!"
Memang gadis ini sudah mendengar dari ayah bundanya mengenai kejahatan dua orang tokoh ini,
terutama tentang perbuatan Kim-thouw Thian-li yang dulu banyak berbuat jahat terhadap Hoa-san-pai
(baca cerita Raja Pedang).
Hek-hwa Kui-bo dan muridnya kaget sekali melihat serbuan seorang gadis cantik yang mengaku sebagai
murid Hoa-san-pai itu. Tadinya mendengar suara Li Eng, mereka tidak pandang sebelah mata, karena apa
sih kepandaian seorang anak murid Hoa-san-pai yang masih begitu muda? Namun begitu pedang di
tangan Li Eng berkelebat, mereka menjadi terkejut sekali.
Menghadapi pemuda ini saja, walau pun mereka berhasil mendesak dengan keroyokan mereka, akan
tetapi tak mudah untuk merobohkannya. Apa lagi sekarang muncul seorang gadis yang demikian ganas
ilmu pedangnya.
"Kau bereskan anak iblis ini, biar kubunuh gadis liar ini!" kata Hek-hwa Kui-bo kepada muridnya.
Ia percaya bahwa Kim-thouw Thian-li akan dapat menahan Si Pemuda sedangkan ia akan cepat-cepat
membunuh gadis itu sebelum dua orang muda yang lain itu dapat membantu. Akan tetapi, bicara memang
mudah.
Kepandaian Sin Lee hebat sekali dan sekarang menghadapi Kim-thouw Thian-li seorang diri saja, segera
keadaan berubah hebat. Bila tadi Sin Lee terdesak, hal itu tidaklah amat mengherankan.
Hek-hwa Kui-bo adalah seorang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi, setingkat dengan tokoh-tokoh
besar seperti Song-bun-kwi dan lainnya. Lebih-lebih nenek ini mengandalkan ilmu pedangnya yang sakti,
yaitu Im-sin Kiam-hoat. Apa lagi karena nenek ini dibantu oleh muridnya yang hampir sama lihainya, Kimthouw
Thian-li ketua dari Ngo-lian-kauw.
Betapa pun lihainya Sin Lee, dia terdesak hebat juga oleh dua orang pengeroyoknya itu. Kim-touw Thian-li
hebat permainan goloknya yang dibantu sehelai selampai merah yang mengandung racun. Gurunya, Hekhwa
Kui-bo juga menggunakan dua buah senjata, yaitu sebatang pedang serta sehelai sapu tangan
beraneka warna yang racunnya lebih jahat lagi.
Juga Hek-hwa Kui-bo kecele apa bila tadi ia memandang rendah gadis muda belia yang cantik murid Hoasan-
pai ini. Sejak dahulu Hek-hwa Kui-bo memandang rendah kepada Hoa-san-pai, sama sekali ia tak tahu
bahwa di Hoa-san-pai telah terjadi perubahan besar.
Hoa-san-pai sekarang jauh bedanya dengan Hoa-san-pai pada dua puluh tahun yang lalu. Setelah Kui Lok
dan isterinya, Thio Bwee, dua orang anak murid Hoa-san-pai ini mewarisi ilmu silat Hoa-san-pai asli dari
Lian Ti Tojin, yang sekarang diwarisi pula oleh Kui Li Eng, hebatlah ilmu silat Hoa-san-pai itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Baru kini Hek-hwa Kui-bo mendapat kenyataan bahwa sama sekali salah bila memandang rendah
golongan lain. Begitu mulai serang menyerang dengan Li Eng, nenek itu kaget dan terpaksa segera
mengeluarkan ilmu pedangnya yang ampuh, Im-sin Kiam-hoat dibantu permainan sapu tangan aneka
warna yang mengeluarkan bau yang memuakkan.
Li Eng harus mengerahkan seluruh kepandaiannya dan menjaga diri dari pengaruh racun itu dengan hawa
murni. Beberapa kali selama perjalanannya, dia sudah bertemu dengan orang-orang sakti. Hal ini membuat
Li Eng berhati-hati kali ini.
Sementara itu, setelah memeriksa sebentar, Kun Hong pun berkata, "Hui Cu, jahat benar orang yang
melepas Hwa-tok-ciam (Jarum Racun Bunga) ini. Jarum yang halus itu masih berada di lenganmu. Kau
diamlah, kendurkan semua urat dilengan kananmu!"
Hui Cu memandang pamannya dengan keheranan, akan tetapi mentaati permintaan ini. Kun Hong lalu
menggunakan jari telunjuknya menotok beberapa jalan darah di siku serta pundak dan seketika gadis itu
merasa lengannya lumpuh!
"Diam saja, sakit sedikit, hendak kuambil keluar jarum itu," kata Kun Hong dan pemuda ini segera memijitmijit
lengan yang luka itu.
Tidak lama kemudian, ujung jarum dari luka itu mulai tersembul. Hui Cu menggigit bibir menahan sakit.
Sekali lagi Kun Hong memencet, jarum itu keluar dari luka. Jarum yang amat lembut, sebesar ujung
rambut.
"Nah, sekarang sudah tidak berbahaya lagi, tunggu kelak kita akan mencari obat untuk menyembuhkannya
sama sekali. Biar kukeluarkan dulu sebagian darah yang teracun."
Ia mengurut lengan itu dari atas ke bawah dan dari luka itu keluarlah darah menghitam. Setelah itu ia
membebaskan totokannya.
"Aih, Paman Hong. Tidak kusangka... ternyata kau begini pandai..." Hui Cu berkata, penuh kekaguman.
"Pandai apa? Hanya sedikit ilmu pengobatan yang kuketahui dari membaca kitab-kitabnya Yok-mo. Lihat,
Li Eng dan penolongmu itu masih bertempur hebat."
Keduanya lalu memandang ke arah pertempuran. Ternyata Sin Lee kini dapat mendesak Kim-thouw Thianli
dengan hebatnya. Pedang pemuda ini amat kuat dan aneh gerakannya dan sekali lagi Kun Hong tertegun
karena ia mengenal ilmu pedang ini yang mengandung inti Ilmu Silat Kim-tiauw-kun. Akan tetapi sifatnya
sudah berubah, ganas dan merupakan tangan maut mengintai korban.
"Ahh, ganas... ganas...," katanya penuh kekuatiran.
Ia semakin terheran-heran ketika mengenal bahwa inti sari Ilmu Silat Kim-tiauw-kun yang dimainkan
pemuda itu bercampur dengan ilmu pedang Hoa-san-pai sehingga merupakan ilmu silat kombinasi yang
tidak menyerupai Hoa-san Kiam-hoat mau pun Kim-tiauw-kun lagi.
Desakan-desakan Sin Lee terhadap Kim-thouw Thian-li semakin dahsyat. Kini wanita itu benar-benar
merasa kewalahan menghadapi serangan-serangan yang banyak memakai gerak-gerak tipu ini. Mulailah ia
ketakutan setelah pundaknya tercium oleh ujung pedang lawannya.
Hebat serangan Sin Lee. Mula-mula pedangnya menyambar ke arah pusar. Pada waktu Kim-thouw Thian-li
menangkis sambil mengebutkan sabuk merah ke arah muka Sin Lee, pemuda ini mengibaskan tangan kiri
menangkis dengan hawa pukulannya, melanjutkan dengan tusukan pedang yang diputar-putar di depan
muka wanita itu.
Mata Kim-thouw Thian-li menjadi silau dan cepat-cepat menarik pedang untuk menangkis lagi. Siapa kira,
serangan ini hanya pancingan belaka supaya ia mengangkat pedangnya karena tahu-tahu pemuda itu
mengirim pukulan keras ke arah ulu hati, menggunakan tangan kiri yang diputar-putar lebih dulu.
Kim-thouw Thian-li mengeluarkan jeritan kaget karena hawa pukulan tangan kiri pemuda itu mendatangkan
angin dingin yang luar biasa, membuat tubuhnya menggigil dan lemas. Cepat-cepat wanita itu
dunia-kangouw.blogspot.com
mengerahkan lweekang-nya sambil membanting tubuh ke kanan untuk menghindarkan diri dari pukulan
dahsyat itu, namun ujung pedang Sin Lee sudah menyambar datang memenggal leher!
"Celaka!"
Kim-thouw Thian-li menggerakkan kepalanya menjauh, akan tetapi pundaknya masih saja tercium ujung
pedang, bajunya robek berikut kulit pundak dan sedikit dagingnya. Mulailah ia menjadi gentar, apa lagi
ketika Sin Lee terus menerus mendesaknya dengan serangan pedang yang gencar diselingi pukulannya
yang dahsyat itu.
Kun Hong yang menyaksikan pukulan dengan tangan lebih dulu diputar-putar ini, menjadi bingung. Di
dalam Kim-tiauw-kun tidak ada pukulan macam itu.
Memang, ilmu pukulan ini merupakan ilmu dari kaum sesat yang hanya dipergunakan oleh golongan hitam.
Inilah ilmu pukulan Jing-tok-ciang (Pukulan Racun Hijau) yang Sin Lee warisi dari ibunya dan di lain pihak
Kwa Hong ibunya itu dahulu menerimanya dari Koai Atong. Dahsyat bukan main Jing-tok-ciang ini karena
baru angin pukulannya saja sudah mengandung hawa luar biasa yang dapat mematikan lawan.
Dengan marah sekali Kim-thouw Thian-li mengebutkan sabuk merahnya sambil berseru nyaring. Debu
kemerahan langsung menyambar ke arah Sin Lee. Inilah racun berbahaya yang keluar dari dalam sabuk
itu, yang dipergunakan Ketua Ngo-lian-kauw hanya kalau menghadapi lawan yang tangguh. Debu merah
ini berbau harum sekali, begitu harumnya sampai dapat merampas ingatan dan semangat orang!
Namun sudah banyak Sin Lee mendengar tentang Ketua Ngo-lian-kauw ini dari ibunya, dan sudah tahu
pula ia apa artinya debu merah ini. Ia tidak berani memandang rendah, terdengar dia melengking tinggi dan
tubuhnya meloncat ke atas dengan kedua tangan dikembangkan.
Hebatnya, dari udara dia dapat melakukan gerakan menerjang ke depan bawah sambil memutar dari kiri
sehingga tidak bertemu dengan awan debu merah. Pedangnya cepat dikerjakan dan tangan kirinya juga
diputar-putar, siap melakukan pukulan.
Kim-thouw Thian-li berhasil menangkis tusukan pedang Sin Lee, namun sebuah pukulan Jing-tok-ciang
yang tak tersangka-sangka datangnya, mengenai pundak kirinya. Perlahan saja pukulan itu, namun ketika
jari-jari tangan pemuda itu menyentuh pundaknya, wanita ini memekik keras dan terhuyung-huyung lalu
roboh!
Dengan sekuat tenaga dia menghimpun hawa Im-sin-kang di tubuhnya untuk melawan pukulan yang
membuat seluruh isi dadanya terasa membeku. Pada saat itu Sin Lee sudah tidak mau memberi hati lagi,
menerjang dengan pedang diputar lalu ditusukkan seperti lagak seekor burung mematuk mangsanya.
"Heee, jangan bunuh orang...!" Kun Hong sudah sampai di situ dan menyelinap di antara sinar pedang Sin
Lee.
Hui Cu kaget sekali dan hendak menarik tangan pamannya ketika dia melihat pamannya dengan gerakan
tidak karuan dan kacau menubruk Sin Lee. Akan tetapi secara aneh sambarannya meleset dan tubuh Kun
Hong terus menyerbu ke depan.
Hui Cu hampir menjerit karena kuatir kalau-kalau pamannya itu yang tidak pandai silat terkena senjata Sin
Lee. Akan tetapi ia melihat Sin Lee mencelat mundur sambil berseru.
"Kau…?!"
Kuatir kalau-kalau Sin Lee akan menyerang Kun Hong, Hui Cu segera lari menghampiri dan berkata,
"Jangan... dia adalah pamanku."
Sin Lee tertegun. Tadi dia terpaksa harus menarik kembali pedangnya dan meloncat ke belakang karena
pemuda aneh itu yang menyelinap masuk sudah memasang dua jari tangannya memapaki tangannya yang
memegang pedang sehingga kalau ia meneruskan tusukannya kepada Kim-thouw Thian-li, sudah tentu
pergelangan tangannya akan tertotok dan pedangnya akan terlepas.
Heran ia bagaimana paman dari Hui Cu dapat mengenal kelemahan pergerakannya tadi? Dan sama sekali
ia tidak pernah mengira bahwa ‘paman’ ini masih seorang muda sebaya dia!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Dia... dia pamanmu yang bernama Kun Hong itu?" tanyanya memandang ke arah Kun Hong yang
menghampiri Kim-thouw Thian-li yang sudah duduk bersila dan mengerahkan lweekang untuk melawan
hawa dingin yang menyerang isi dadanya.
"Ya, maklumlah dia... dia paling anti bunuh membunuh, karena itu maka tadi mencegah kau membunuh
Kim-thouw Thian-li..."
"Kau... tidak apa-apa?" tanya Sin Lee memandang penuh perhatian.
"Tidak, Paman Hong sudah mengobatiku, tidak kusangka dia pandai. Saudara Tiauw, kau tolong bantulah
adik Li Eng melawan Hek-hwa Kui-bo."
Pada saat itu pertempuran antara Li Eng dan Hek-hwa Kui-bo masih berjalan seru sekali. Akan tetapi,
betapa pun lihainya Li Eng, menghadapi tokoh sakti ini dia jadi terdesak juga. Apa lagi pedang nenek itu
menyambar-nyambar ganas dengan ilmu pedangnya Im-sin Kiam-sut.
Mendengar permintaan Hui Cu, Sin Lee cepat melompat dan langsung menerjang nenek itu dengan
pedangnya.
"Iblis tua, kau mampuslah!"
Pedangnya menyambar-nyambar bagai kilat dan Hek-hwa Kwi-bo terpaksa mengerahkan seluruh
kepandaiannya untuk menghadapi pengeroyokan dua orang muda yang memiliki kepandaian tinggi itu.
Li Eng diam-diam merasa lega bahwa dia mendapat bantuan seorang yang begini kuat. Diam-diam ia
membandingkan pemuda ini dengan cucu Song-bun-kwi.
Ada persamaan wajah serta bentuk badan di antara dua orang pemuda ini, hanya cucu Song-bun-kwi itu
lebih kekar dan lebih tampan dalam pandangannya. Juga dalam ilmu kepandaian, keduanya sama-sama
hebat.
Kun Hong menghampiri Kim-thouw Thian-li yang duduk bersila. Wajah wanita itu muram, mengandung
cahaya kehijauan yang aneh. Kun Hong tahu bahwa wanita ini telah terluka berat, luka dalam yang
mengandung hawa pukulan beracun. Ia pernah bertemu dengan Ketua Ngo-lian-kauw ini dan ia dapat
menduga bahwa orang ini bukanlah orang baik-baik, tetapi hatinya yang penuh welas asih membuat ia
berkasihan melihat orang itu terluka dan bermaksud untuk mengobatinya.
"Kauwcu, kau terluka hebat"
Tanpa ragu-ragu ia memegang pergelangan tangan kiri wanita tua itu. Beberapa detik ia memeriksa
keadaan orang melalui ketukan jalan darahnya, dan ia kaget sekali.
"Kauwcu, kau telah terkena racun hawa pukulan yang mengandung daya Im-kang. Jangan kerahkan
tenaga keluar, jangan pula kau melawan dari dalam. Aku akan berusaha untuk menolongmu." Setelah
berkata demikian, Kun Hong menotok ke bagian pundak dan mengurut bagian punggung.
Kim-thouw Thian-li membuka matanya. Dia kaget bukan main melihat bahwa orang yang bicara hendak
menolongnya adalah orang Hoa-san-pai yang pernah datang ke tempatnya kemudian dibawa pergi Songbun-
kwi. Orang ini terang pihak musuh, mana ia percaya hendak mengobatinya? Tentu hendak menipunya
dan hendak mencelakainya. Ia cepat mengangkat tangan mengirim pukulan keras.
"Eh, jangan kerahkan tenaga, berbahaya!” Kun Hong berseru namun terlambat, tubuhnya mencelat dan
bergulingan sampai beberapa meter jauhnya!
"Paman Hong... kau... kau tidak apa-apa?" Hui Cu mendekati, melupakan lukanya sendiri.
Dia terheran-heran melihat pamannya ini merangkak bangun, sama sekali tidak terluka, hanya keningnya
yang bertumbukan dengan batu pada saat ia terlempar tadi agak benjol setengah telur besarnya.
Pemuda ini menggeleng kepala dan memandang ke arah Kim-thouw Thian-li, lalu menarik napas panjang.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kehendak Thian tak dapat diubah... dia seperti membunuh diri..."
Hui Cu tidak mengerti dan menengok ke arah Ketua Ngo-lian-kauw dan... ternyata wanita itu telah rebah
telentang dengan wajah kehijauan. Ketika dia mendekati, ternyata bahwa Kim-thouw Thian-li telah tewas!
Diam-diam Hui Cu girang sekali, karena ia benci wanita Ketua Ngo-lian-kauw yang terkenal jahat dan yang
dahulu sudah banyak membikin susah orang-orang tua di Hoa-san-pai.
Hek-hwa Kui-bo benar-benar hebat sekali. Nenek ini usianya sudah amat tua, mukanya sudah penuh
keriput dan matanya cekung seperti mata tengkorak. Dilihat begitu saja, ia merupakan seorang nenek yang
sudah mendekati lubang kubur.
Namun dalam pertempuran dia benar-benar bagaikan iblis betina. Tenaga lweekang-nya masih mengatasi
kedua orang muda yang mengeroyoknya itu, juga ilmu pedangnya yang berdasarkan ilmu sakti Im-sin
Kiam-sut bercampur dengan ratusan macam gerakan ilmu silat yang dimilikinya, membuat dua orang
pengeroyoknya itu harus mengerahkan seluruh kepandaian untuk menekannya. Kali ini nenek ini benarbenar
menghadapi lawan berat.
Sin Lee adalah putera Kwa Hong yang telah mewarisi kepandaian ibunya yang luar biasa, kepandaian
campuran antara ilmu silat Hoa-san-pai, Ilmu Silat Jing-tok-ciang ditambah lagi ilmu silat yang dipelajari
oleh Kwa Hong dari rajawali emas. Ada pun Kui Li Eng mempunyai ilmu silat Hoa-san-pai yang asli, yang
tadinya masih merupakan rahasia bagi Hoa-san-pai sendiri sebelum ayah bundanya bertemu dengan Lian
Ti Tojin. Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-hoat yang asli ini berlipat kali lebih lihai dari ilmu pedang Hoa-san-pai
yang dimiliki oleh tokoh-tokoh Hoa-san-pai lainnya.
Perlahan tapi tentu, Hek-hwa Kui-bo mulai terdesak. Dua buah pedang di tangan dua orang muda itu
benar-benar membuat dia sebentar-sebentar memekik marah dan heran. Akan tetapi ketika nenek ini
melihat bahwa muridnya yang terkasih itu tewas sebagai akibat pukulan pemuda yang sekarang
mengeroyoknya, ia menjadi marah sekali dan juga kuatir.
Sambil memekik keras, sabuknya lalu dikebut-kebutkan sehingga mengepullah debu yang bermacammacam
warnanya dan di antara kepulan debu ini berkelebatan sinar-sinar yang menyembunyikan jarumjarum
lembut yang mengandung racun sama hebatnya dengan racun debu beraneka warna itu! Inilah
penyerangan hebat luar biasa yang jarang dapat dihindarkan oleh lawan yang bagaimana tangguh pun.
"Awas...!" teriakan ini sekaligus keluar berbareng dari mulut Li Eng dan Sin Lee.
Dan berbareng pula seperti mendengar komando, dua orang muda ini membanting tubuh ke belakang,
berjungkir balik dan menggelundung pergi seperti binatang trenggiling turun gunung.
Kiranya keduanya sudah mendengar dari orang tua masing-masing mengenai kelihaian Hek-hwa Kui-bo
dan tentang senjata rahasia yang amat ampuh dari nenek iblis ini, yaitu debu beracun yang disebut Ngohwa
Tok-san (Bubukan Racun Lima Kembang) dan juga jarum-jarum beracun Ngo-hwa Tok-ciam.
Karena inilah maka mereka berdua tidak berani menyambut atau menangkis, melainkan membuang diri
dengan cara pengelakan yang paling tepat untuk menghindarkan diri dari serangan debu dan jarum-jarum
itu. Biar pun begitu, kedua orang muda ini merasa angin berseliweran di atas punggung mereka, hanya
beberapa senti meter saja jauhnya, tanda bahwa jarum-jarum beracun itu hampir saja mengenai tubuh
mereka.
Setelah menggelundung jauh, keduanya lalu berloncatan bangun dengan keringat dingin mengucur.
Hampir saja mereka menjadi korban. Keduanya segera memutar tubuh untuk menghadapi nenek yang
ganas itu, akan tetapi nenek itu sudah tidak kelihatan lagi.
Kiranya ketika melihat dua orang pengeroyoknya bergulingan tadi, Hek-hwa Kui-bo yang tahu betul bahwa
melanjutkan pertempuran melawan kedua orang muda itu merupakan bahaya sedangkan muridnya telah
tewas, cepat melompat kemudian menyambar jenazah Kim-thouw Thian-li dan membawanya lari secepat
terbang dari tempat itu.
Kun Hong dan Hui Cu yang melihat ini, hanya dapat memandang saja. Bagi Hui Cu yang maklum akan
tingkat kepandaiannya, tidak berani dia menghalangi, ada pun Kun Hong memang tidak mau menghalangi,
malah ia bersyukur bahwa jenazah Ketua Ngo-lian-kauw itu ada yang membawa pergi dan mengurusnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hui Cu dengan muka gembira memperkenalkan Sin Lee kepada Li Eng dan Kun Hong. Li Eng yang
berwatak lincah gembira itu menjura dan berkata,
"Tiauw-enghiong benar-benar gagah perkasa dan lihai sekali, membuat aku kagum sekali. Apa lagi karena
Tiauw-enghiong telah menolong Enci Hui Cu dari tangan Song-bun-kwi, benar-benar merupakan budi yang
tak akan pernah dilupa oleh... Enci Hui Cu." Setelah berkata demikian ini, dengan sinar mata yang nakal
sekali Li Eng mengerling kepada Hui Cu yang menjadi merah dadu warna pipinya.
"Menyesal sekali bahwa dahulu itu aku tidak sempat pula menolongmu dari tangan kakek itu, Nona, karena
kakek itu memang lihai sekali. Terpaksa aku hanya dapat mengajak Nona Hui Cu pergi," jawab Sin Lee
yang tadi merasa tersindir mengapa dahulu itu yang ditolongnya hanya Hui Cu seorang.
Sementara itu, Kun Hong memandang kepada Sin Lee dengan mata tajam penuh selidik. Ia mengenal ilmu
silat pemuda ini. Oleh karena otaknya yang cerdik, dia lalu membuat rangkaian dan dugaan.
Gurunya, Bu-beng-cu sudah lama meninggal dunia. Kiranya sampai mati pun guru besar itu tidak pernah
menerima murid, buktinya ilmunya ditinggalkan dalam bentuk kitab. Kalau ada orang lain mampu mewarisi
Kim-tiauw-kun, tentulah melalui burung rajawali emas itu. Dan Kim-tiauw-kun yang dimainkan oleh pemuda
ini kacau-balau dan tercampur dengan ilmu-ilmu silat lain, malah ada pula ilmu silat dari Hoa-san-pai di
dalamnya. Satu-satunya orang selain dia, yang ada hubungannya dengan rajawali emas, seperti yang ia
dengar dari dua orang murid keponakannya, hanyalah Kwa Hong, kakak perempuannya lain ibu itu. Jadi
pemuda ini... kiranya tak akan terlalu ngawur kalau ia menduga bahwa pemuda ini tentulah anak dari Kwa
Hong.
"Saudara Sin Lee she Tiauw, bukan? Bagus, she yang bagus akan tetapi juga jarang ada. Membikin aku
teringat akan burung rajawali raksasa. Ehh, Saudara Tiauw Sin Lee, apa kau pernah melihat seekor burung
rajawali emas raksasa yang memakai kalung mutiara?"
Wajah Sin Lee segera berubah. Jantungnya berdebar keras. Tadi ketika diperkenalkan, ia mendengar
bahwa orang muda yang halus gerak-gerik serta tutur sapanya ini bernama Kwa Kun Hong, putera Ketua
Hoa-san-pai. Ini saja sudah membuat ia berdebar-debar karena Kwa Kun Hong yang berdiri di depannya
ini adalah adik ibunya! Adik lain ibu, jadi adik tirinya, berarti Kwa Kun Hong ini adalah paman tirinya sendiri.
Akan tetapi tentu saja dia tidak berani memperkenalkan diri dengan sesungguhnya. Dia adalah anak Kwa
Kun Hong dan kepergiannya ke Thai-san mempunyai maksud menyeret Tan Beng San ke hadapan ibunya.
Orang-orang muda ini sedang menuju ke Thai-san, agaknya mempunyai hubungan baik dan erat sekali
dengan Ketua Thai-san-pai.
Apa bila ia mengaku dan menceritakan maksudnya, sudah tentu akan terjadi hal-hal yang tidak enak sekali.
Oleh karena itu ia harus tetap memalsukan shenya. Siapa kira di sini ia bertemu dengan paman tirinya,
yang entah dengan cara bagaimana, agaknya mengetahui rahasianya!
Bagaimana paman tirinya ini tahu tentang kim-tiauw pula? Sudah tentu saja ia mengenal rajawali emas
yang berkalung mutiara. Siapa tidak mengenal kalau kalung yang berada di leher burung itu adalah dia
sendiri yang memasangnya?
Mendengar ini, baik Hui Cu mau pun Li Eng menjadi kaget dan heran, lalu memandang kepada Sin Lee.
Terutama sekali Li Eng. Sebagai seorang gadis yang cerdik sekali, ia pun dapat menghubung-hubungkan
sesuatu.
"Kalau pernah melihat kim-tiauw berkalung mutiara tentu pernah melihat... dia!" Li Eng memandang tajam.
Mendengar ini Hui Cu mengeluarkan seruan tertahan. Benarkah dugaan Li Eng bahwa pemuda
penolongnya dan yang sekaligus perampas hatinya ini ada hubungan dengan... dia yang dimaksudkan
tentu Kwa Hong?
Ada pun Sin Lee ketika mendengar ucapan Kun Hong dan kemudian Li Eng, melihat pula pandang mata
Hui Cu dan yang lain-lain, berubah air mukanya. Tidak mengakui tentang kim-tiauw bukanlah hal yang
sukar baginya, akan tetapi bagaimana ia bisa tidak mengakui tentang ibunya sendiri? Ia menjadi gugup dan
gelisah karena merasa rahasianya hampir terbongkar.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aku... aku... ah, tidak tahu siapa yang kalian maksudkan... setelah Nona Hui Cu bertemu dengan kalian,
biarlah aku pergi!" Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan dia sudah melompat jauh sekali.
"Saudara Sin Lee...!" Tak terasa lagi Hui Cu berseru memanggil dan lari mengejar, namun ia segera
menahan kakinya dan mukanya berubah merah ketika teringat bahwa sikapnya ini benar-benar telah
membuka perasaan hatinya, sedangkan di situ terdapat Kun Hong dan Li Eng!
Dari jauh, lapat-lapat terdengar suara pemuda yang telah menjatuhkan hatinya itu, "Nona Thio Hui Cu,
selamat tinggal, kelak kita pasti akan saling bertemu kembali..."
"Enci Hui Cu, jangan kuatir, aku yakin kau akan bertemu lagi dengan dia. Hemm, dia baik sekali kepadamu,
Cu-cici." Li Eng lalu tertawa dan Hui Cu menjadi makin merah mukanya.
"Adik Eng, jangan kau main-main!"
"Siapa main-main? Memang dia... ehh, hebat sekali, bukan begitukah pendapatmu?"
"Kau... nakal...!"
Hui Cu maju sambil mengulur tangan hendak mencubit pipi Li Eng yang menggodanya. Li Eng mengelak
dan menjerit-jerit.
"Ehh... ehhh, jangan... uhh, kenapa marah-marah? Lihat, tuh dia datang kembali!"
Seketika Hui Cu berhenti dan menengok ke arah perginya pemuda tadi. Ketika dia tidak melihat siapasiapa,
Hui Cu menjadi semakin jengah, maklum bahwa sekali lagi ia digoda oleh adik misan yang nakal itu.
"Sudahlah, jangan bergurau saja. Kita harus bersyukur bahwa akhirnya kita bertiga dapat berkumpul
kembali dengan selamat."
Sambil melanjutkan perjalanan, tiga orang muda ini lalu saling menuturkan pengalaman mereka masingmasing…..
********************
Puncak Thai-san yang sangat tinggi menjadi tempat tinggal Raja Pedang Tan Beng San dan isterinya Cia
Li Cu. Seperti telah kita ketahui dalam permulaan cerita Rajawali Emas, Tan Beng San setelah mengalami
banyak sekali derita hidup, dipermainkan oleh asmara yang membuatnya banyak mengalami pahit getir
penghidupan, akhirnya berjodoh dengan Li Cu dan hidup sebagai suami isteri yang penuh kebahagiaan di
Thai-san ini.
Tentu saja, sebagai sepasang pendekar yang berjiwa gagah, mereka tidak dapat terus menerus
menyembunyikan diri di tempat sunyi ini. Kadang-kadang mereka bersama-sama atau Tan Beng San
seorang diri, turun gunung untuk menjalankan tugas sebagai seorang pendekar pembasmi kejahatan serta
penegak kebenaran dan keadilan, sehingga nama sepasang pendekar itu makin terkenal di seluruh dunia.
Tan Beng San adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, pewaris dari Ilmu Silat Im-yang Sinhoat.
Ada pun isterinya Li Cu, adalah puteri tunggal Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan. Dengan keadaan
demikian, tentu saja sepasang suami isteri ini mempunyai cita-cita untuk mengembangkan kepandaian
mereka, membentuk sebuah partai persilatan di Thai-san yang akan menyebar luaskan ilmu dari mereka
dan dijadikan sebagai modal untuk membantu usaha pembasmian kejahatan di dunia ini.
Cita-cita inilah yang membuat mereka akhirnya sepakat untuk mendirikan partai persilatan Thai-san-pai.
Mereka lalu memilih orang-orang atau lebih tepat anak-anak yang berbakat, diambil dari dusun-dusun dan
dipilih anak-anak yang telantar untuk dididik dan dijadikan murid mereka.
Kebahagiaan hidup mereka terasa meningkat ketika setahun kemudian terlahir seorang anak perempuan
yang mereka beri nama Tan Cui Bi. Tentu saja anak kesayangannya ini mendapat gemblengan dari kedua
orang tuanya sehingga sesudah berusia tujuh belas tahun, Cui Bi menjadi seorang gadis yang selain cantik
jelita, juga berkepandaian tinggi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Namun, sebagai anak tunggal, Cui Bi amat manja. Darah ayah bundanya, darah ksatria, mengalir dalam
tubuhnya dan semenjak berusia lima belas tahun tanpa dapat ditahan lagi oleh kedua orang tuanya, anak
ini kadang-kadang melakukan perantauan seorang diri dan melakukan perbuatan-perbuatan gagah berani
yang menggemparkan dunia kang-ouw.
Dalam setiap perjalanan ia selalu berpakaian sebagai laki-laki. Hal ini adalah nasehat dari ayahnya yang
maklum bahwa betapa pun tingginya kepandaian puterinya, namun dalam pakaian laki-laki Cui Bi akan
dapat melakukan perjalanan lebih leluasa, dari pada sebagai seorang gadis cantik dan muda.
Semestinya Tan Beng San serta isterinya akan merasa sangat bahagia setelah mereka mendapatkan
murid-murid yang cukup banyak untuk dapat dijadikan anggota Thai-san-pai yang akan mereka resmikan
pendiriannya. Akan tetapi, sebagaimana lajimnya kehidupan manusia di dunia ini, selalu tidak mungkin
sempurna, tidak ada kebahagiaan sempurna selama manusia masih hidup, pasti ada saja gangguan.
Hal yang sangat menggelisahkan hati dua orang gagah ini adalah sikap Cui Bi dalam hal perjodohan. Telah
banyak sekali datang pinangan-pinangan, baik dari putera orang-orang berpangkat, putera tokoh-tokoh
kenamaan di dunia kang-ouw, atau pendekar-pendekar muda yang sepak terjangnya benar-benar
mengagumkan. Akan tetapi semua pinangan itu selalu ditolak mentah-mentah oleh Cui Bi, sampai akhirnya
datang pinangan dari Ketua Kun-lun-pai yang menjadi sahabat baik dari Tan Beng San sendiri.
Pembaca kiranya masih ingat kepada Bun Lim Kwi, pendekar Kun-lun-pai yang terjodoh dengan Thio Eng
puteri tokoh Pek-lian-pai dan murid Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang. Setelah Ketua Kun-lun-pai yang sudah tua
meninggal dunia, Bun Lim Kwi diangkat menjadi ketua baru dari Kun-lun-pai. Bun-paicu ini mempunyai
seorang putera tunggal dan diberi nama Bun Wan.
Bun Wan seorang pemuda yang ganteng dan gagah, bertubuh tinggi besar dan berwatak jujur, ilmu
silatnya pun amat tinggi. Ketika dalam perantauan, Tan Beng San dan isterinya pernah singgah di Kun-lun
dan pernah melihat Bun Wan ini yang mendatangkan kesan baik dalam hati mereka.
Oleh karena itulah, ketika datang lamaran dari Kun-lun, serta merta Tan Beng San dan isterinya setuju
karena dalam pandangan mereka, sudah patut sekali kalau puteri mereka menjadi isteri pemuda Bun Wan
itu. Bun Wan tampan dan gagah, keturunan orang-orang gagah, putera Ketua Kun-lun-pai yang besar dan
terkenal, mau apa lagi? Sukar kiranya mencari mantu yang melebihi Bun Wan ini.
Maka, setelah bersepakat, suami isteri Thai-san ini menerima pinangan itu, tanpa pernah bertanya lagi
kepada Cui Bi karena gadis ini sedang merantau. Bun Lim Kwi yang datang sendiri ke Thai-san menjadi
girang dan amat berterima kasih, lalu kembali ke Kun-lun-pai setelah mendapat keterangan dari suami
isteri Thai-san bahwa persoalan itu selanjutnya akan ditentukan hari pernikahannya sehabis peresmian
pendirian Thai-san-pai.
Akan tetapi alangkah mengkal dan duka hati suami isteri ini ketika Cui Bi datang dan diberi tahu tentang
ikatan jodoh ini. Gadis itu marah-marah, bahkan pada malam harinya lari pergi dari Thai-san tanpa
memberi tahukan ayah bundanya.
"Hemm, anak itu terlalu manja!" Beng San membanting kaki dan mendongkol sekali. “Kali ini ia mau tidak
mau harus menurut kehendak kita! Aku akan menyusul dan mencarinya."
Li Cu memegang tangan suaminya. "Jangan, terburu nafsu. Ingatlah bahwa Cui Bi baru berusia tujuh
belas, mungkin perkawinan merupakan hal asing yang menakutkan hatinya. Tidak perlu disusul dan
dipaksa, jangan-jangan ia akan semakin keras kepala dan nekat menolak. Tunggulah, aku yakin sekali dia
akan pulang menjelang pendirian Thai-san-pai dan perlahan-lahan nanti kita bujuk. Serahkan saja
kepadaku untuk membujuknya."
Beng San mengerutkan keningnya. "Ahh, kau selalu memanjakan dia, maka sekarang dia begitu keras
kepala, selalu hendak membantah kehendak orang tua."
"Suamiku, bagaimana takkan begitu jadinya kalau Bi-ji itu merasa bahwa dia adalah anak tunggal
kesayangan kita? Aku memang bersalah," ia menundukkan mukanya. "Aku terlalu memanjakan dia. Tapi...
tapi kiraku kalau adiknya ini sudah terlahir, dia tidak akan begitu manja lagi..." Li Cu meraba perutnya yang
sudah mengandung empat bulan lebih itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Beng San berubah mukanya. Cepat ia memegang kedua tangan isterinya dan dibawanya ke muka,
diciuminya. "Ahh, maafkan aku... Li Cu, kau tahu, aku tidak menyalahkan kau, bukan begitu maksudku...
ahh, aku hanya terlalu bingung dan gelisah memikirkan Cui Bi. Kita sudah menerima pinangan dari Kunlun-
pai, bagaimana jika kelak dia tetap berkeras menolaknya?"
Li Cu menarik kedua tangannya, memandang pada suaminya dengan penuh cinta kasih. "Kau selalu baik
sekali. Percayalah, aku akan membujuk Bi-ji (Anak Bi)."
Suami isteri ini mengatur persiapan perayaan yang dilakukan oleh para anggota Thai-san-pai. Murid Thaisan-
pai jumlahnya ada tiga puluh orang lebih dan mereka ini rata-rata sudah berusia tiga puluh tahun lebih.
Malah mereka yang sudah berumah tangga dan tinggal di luar, sekarang pada datang untuk membantu.
Ramai dan gembira keadaan di puncak Thai-san ini. Selain mengatur hiasan-hiasan, juga pada beberapa
tempat dibangun pondok-pondok darurat untuk para tamu yang diduga akan membajiri Thai-san-pai.
Para murid ini telah menerima pelajaran ilmu silat yang cukup tinggi juga, yaitu Ilmu Silat Thai-san Kunhoat
yang diciptakan oleh Tan Beng San dengan jalan menggabung ilmu silatnya dan ilmu silat isterinya
yang mengutamakan keindahan, kecepatan dan cara yang praktis untuk merobohkan lawan tanpa
membunuh, sesuai dengan jiwa Beng San yang tidak suka membunuh orang.
Telah dituturkan di bagian depan cerita ini bahwa Beng San dan isterinya melanjutkan usaha Cia Hui Gan,
yaitu membuat jalan rahasia yang menuju ke puncak tempat tinggal mereka. Hanya mereka berdua, anak
mereka, dan para murid saja yang tahu akan jalan rahasia yang amat sulit ini.
Jika dilihat dari jauh, agaknya tak mungkin mendatangi puncak di mana terdapat tempat tinggal mereka
atau yang menjadi pusat dari Thai-san-pai, karena puncak itu dikurung jurang-jurang yang amat terjal dan
tak mungkin dilalui manusia, kecuali kalau manusia itu dapat terbang seperti burung. Bahkan anak murid
yang belum tamat, tidak diberi tahu tentang jalan rahasia ini dan karenanya mereka tak dapat
meninggalkan puncak sebelum pelajaran mereka tamat. Karena adanya jalan rahasia inilah maka musuhmusuh
besar suami isteri itu, di antaranya Song-bun-kwi, tidak berdaya menyerbu Thai-san-pai.
Jalan rahasia ini setiap saat bisa dirubah-rubah sehingga andai kata ada seorang musuh yang berhasil
mendapatkan rahasia pada hari itu, pada lain harinya pengetahuannya itu akan sia-sia belaka karena
setelah dirubah, rahasia itu akan jauh berlainan dengan yang sudah-sudah.
Untuk menjaga rahasia gunungnya, Beng San sengaja hendak mengadakan perayaan pendirian Thai-sanpai
itu di bawah puncak, sehingga ia tidak usah mendatangkan para tamu ke puncak dan karenanya tidak
perlu pula ia membuka rahasia itu.
Para anak murid Thai-san-pai sudah siap siaga di bawah puncak. Sebelum hari ditetapkan tiba, kurang
satu minggu anak murid sudah siap menyambut para tamu, mewakili ketua mereka. Beng San sendiri tidak
mau turun dari puncak sebelum hari yang ditentukan tiba. Ia dan isterinya sedang menanti datangnya para
anak murid yang bertempat tinggal jauh, juga menanti datangnya puteri mereka, Tan Cui Bi.
Para tamu mulai berdatangan dan sibuklah anak murid Thai-san-pai menyambut mereka. Yang mewakili
Beng San mengadakan penyambutan dan menyampaikan maaf ketuanya karena sibuk sehingga baru
akan muncul pada hari yang sudah ditetapkan, adalah Oei Sun, murid tertua, seorang laki-laki bertubuh
tinggi kurus berusia empat puluh tahun.
Macam-macam sikap para tamu saat menerima penyambutan yang hanya dilakukan oleh murid tertua
Thai-san-pai ini. Mereka ini kesemuanya amat menghormat dan mengagumi Raja Pedang Tan Beng San,
namun apakah artinya murid Thai-san-pai yang baru saja berdiri ini?
Ada yang menerima penyambutan dengan hormat, ada yang berterima kasih dan berdiam diri saja, akan
tetapi ada pula yang bersungut-sungut, mereka menganggap bahwa Ketua Thai-san-pai tidak memandang
mata kepada mereka. Akan tetapi, karena sungkan kalau mendatangkan keributan, mereka menerima saja
dan mendiami tempat masing-masing, yaitu bangunan-bangunan darurat yang sudah disediakan untuk
mereka.
Seorang di antara para tamu, Lai Tang yang berjuluk Cakar Naga, seorang guru silat dari kota raja yang
bertubuh tinggi besar seperti raksasa dan berwatak kasar pongah, ketika mendapat sambutan ini segera
berkata sambil berjalan ke arah pondok yang ditunjukkan baginya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hemm, hemm, Thai-san-pai Ciangbunjin (Ketua) sedang sibuk dan tidak ada kesempatan menyambut
kedatanganku? Membikin kakiku terasa berat saja menaiki Thai-san."
Semua tamu mendengar ini dan beberapa orang di antaranya lalu berseru kagum ketika melihat betapa
jejak kaki guru silat tinggi besar ini tercetak di tanah dan memperlihatkan bekas sedalam sepuluh
sentimeter lebih pada tanah yang keras itu!
Demonstrasi yang diperlihatkan Lai Tang itu menunjukkan bahwa tenaga lweekang-nya cukup hebat,
agaknya sengaja ia perlihatkan untuk mengejek bahwa seorang anak murid Thai-san-pai yang tidak ada
nama itu tak cukup berharga untuk menyambut seorang tamu yang berkepandaian selihai dia!
Terdengar Oei Sun tertawa ramah, lalu berkata, "Maaf, maaf, Lai-kauwsu (Guru Silat Lai), Suhu telah
memesan agar menyampaikan maafnya dan memesan supaya siauwte dapat melayani semua tamu
dengan hormat. Biarlah siauwte yang meringankan kalau Kauwsu merasa berat kaki."
Setelah berkata demikian, dengan tenang dia berjalan pula melangkah di dekat jejak kaki guru silat itu
dan... bekas kaki yang amblas sepuluh senti meter itu segera lenyap karena tanahnya sudah rata kembali!
Semua tamu kembali berseru memuji dan guru silat Lai itu menengok, melihat apa yang dilakukan oleh Oei
Sun. Mukanya segera menjadi merah dan ia cepat-cepat membalikkan tubuh dan mengangkat tangan
memberi hormat kepada Oei Sun.
"Panglima yang pandai mempunyai prajurit yang hebat pula! Sahabat, dengan kepandaian seperti yang
kau miliki ini, tentu saja aku sudah merasa cukup terhormat bisa mendapat penyambutanmu!"
Sesudah berkata demikian, Lai Tang berjalan menuju ke pondoknya sambil tertawa tulus. Senang hati Oei
Sun karena meski pun pongah dan kasar, kiranya guru silat she Lai itu cukup jujur dan terbuka hatinya.
Di kaki puncak itu telah dibuat tanah datar yang amat luas dan di tengah dibangun teratak tinggi, setinggi
dua meter dengan bentuk persegi empat berukuran lima meter. Di ujung teratak yang lantainya terbuat dari
papan tebal dan tiang-tiangnya di bawah dari balok besar-besar ini dipasangi meja sembahyang.
Teratak tanpa atap inilah yang nanti akan menjadi tempat dilakukannya upacara pendirian Thai-san-pai
dan sengaja dibuat dalam bentuk seperti biasa orang membuat panggung lui-tai di mana orang akan dapat
bermain silat cukup leluasa. Bukan hal aneh kalau setiap pertemuan di antara para jago-jago silat atau
dalam partai-partai persilatan, dibuat teratak semacam ini untuk memberi kesempatan orang bermain silat
atau bertanding kepandaian silat.
Banyak juga tamu yang datang, sampai tak kurang dari lima puluh orang yang mendapat tempat istirahat di
pondok-pondok darurat di kaki puncak. Namun rombongan-rombongan besar dari partai-partai terkenal
seperti dari Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Siauw-lim-pai dan lain-lain, adalah partai-partai yang dipimpin oleh
orang-orang terkenal.
Mereka adalah orang-orang tahu diri dan tidak suka mendesak-desak, maka sebelum tiba hari yang
ditentukan, mereka tidak mau naik ke kaki puncak, tapi berhenti di lereng-lereng dan mencari tempat
peristirahatan di dalam hutan-hutan yang pemandangannya indah dan hawanya sejuk. Juga tokoh-tokoh
besar perorangan belum ada yang muncul ke kaki puncak karena orang-orang seperti mereka ini pun tentu
saja bersikap ‘jual mahal’ dan tidak muncul sebelum Ketua Thai-san-pai keluar dari sarangnya.
Pendeknya, biar pun yang terlihat berkumpul di kaki puncak hanya ada lima puluh orang, namun di lerenglereng
Thai-san telah datang banyak orang yang masih menyembunyikan diri di tempat peristirahatan
masing-masing, di dalam hutan-hutan yang banyak terdapat di seluruh permukaan Pegunungan Thai-san
itu.
Selama menunggu datangnya hari penentuan itu, mereka yang datang ke Thai-san, baik yang sudah
diterima oleh murid kepala mau pun yang masih berdiam menanti di lereng, setiap hari berjalan-jalan
menikmati pemandangan alam yang indah bukan main. Mereka yang datang dari gunung-gunung lain lalu
membandingkan pemandangan di situ dengan tamasya alam di tempat masing-masing.
Rata-rata mereka memuji akan keindahan Thai-san dan diam-diam menyatakan kagum kepada Raja
Pedang Tan Beng San yang pandai memilih tempat untuk dijadikan pusat perkumpulannya. Ada pula yang
dunia-kangouw.blogspot.com
memuji nasib baik Raja Pedang itu karena telah menjadi mantu Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan yang dahulu
merajai daerah pegunungan ini. Namun, banyak pula di antara tamu yang merasa penasaran melihat
bahwa tempat upacara dan pertemuan tidak diadakan di puncak, melainkan di kaki puncak.
"Hemmm, Ketua Thai-san-pai sungguh tidak memandang kepada kita!" beberapa orang di antara mereka
berkata, "Apakah puncak tempat tinggal mereka itu terlalu bersih sehingga takut dikotori kaki kita?"
Ada pula yang mengomel, "Kabarnya jalan rahasia Thai-san-pai benar-benar amat hebat dan yang paling
sukar dipecahkan di antara tempat-tempat rahasia di dunia ini. Aku ingin mendapat kesempatan ini untuk
melihatnya. Siapa tahu, Ketua Thai-san-pai begini pelit sehingga tidak mau memperlihatkan puncak.
Apakah dia takut kalau kita akan mencuri barang-barang yang berharga?"
Macam-macam pendapat orang, pada pokoknya banyak yang merasa penasaran. Malah perasaan ini
mendatangkan bermacam-macam kejadian, bahkan ada pula yang hebat akibatnya. Beberapa kelompok
bahkan berusaha untuk mencari sendiri jalan rahasia itu, bermaksud untuk mendaki puncak dan mencari
jalannya. Akan tetapi akibatnya, mereka ini berkeliaran di hutan-hutan, sesat tidak karuan dan selama dua
hari baru dapat keluar dari hutan-hutan yang sulit dilalui, dengan tubuh lemas dan perut lapar, malah ada
yang hampir mati dikeroyok ular atau binatang lain!
Lebih celaka lagi, ada yang pergi seorang diri, diam-diam mempergunakan kepandaian menawan seorang
anak murid Thai-san-pai, menyeretnya ke dalam hutan dan memaksa anak murid itu untuk mengaku dan
membuka rahasia jalan ke puncak. Orang ini terlalu memandang rendah anak murid Thai-san-pai.
Biar pun murid yang ia lawan itu tidak sanggup melawannya karena kalah tinggi tingkat kepandaiannya,
tetapi setiap orang murid Thai-san-pai adalah orang pilihan yang memiliki kesetiaan luar biasa. Murid Thaisan-
pai itu tidak mau membuka rahasia pertanyaannya, biar pun ia disiksa oleh Si Penawannya, malah
kemudian sampai tewas dan ditinggalkan mayatnya begitu saja di dalam hutan itu.
Si Penawan ternyata gagal mendapatkan rahasia Thai-san-pai dan dengan hati kecut ia meninggalkan
tawanannya yang sudah menjadi mayat, takut kalau-kalau akan ketahuan rahasianya. Dengan wajah biasa
dan sikap tenang orang ini kembali di antara para tamu. Ributlah para anak murid Thai-san-pai ketika
mereka mendapatkan seorang saudaranya tewas di dalam hutan. Namun mereka tidak memperlihatkan
kegugupannya.
Oei Sun yang mendengar tentang ini, dengan tenang menyuruh seorang murid melapor kepada suhu-nya
serta membawa mayat saudara seperguruannya itu naik ke puncak pula untuk diperiksa oleh ketua
mereka. Kejadian ini berlangsung tanpa banyak menimbulkan keributan, namun tentu saja berita ini tersiar
luas di antara para tamu sehingga mereka ini diam-diam menjadi tegang karena menduga bahwa tentu
akan terjadi pertandingan hebat antara Thai-san-pai dengan orang-orang yang memusuhinya, di antaranya
orang-orang yang telah membunuh anak murid Thai-san-pai itu!
Lima hari sebelum bulan pertama, yaitu hari pendirian Thai-san-pai, datanglah Tan Cui Bi bersama Tan
Kong Bu ke tempat penyambutan. Para anak buah murid Thai-san-pai tentu saja menyambut kedatangan
Cui Bi dengan gembira.
Akan tetapi Oei Sun memandang sumoi-nya (adik perempuan seperguruan) ini dengan mata diliputi
kemuraman, lalu menarik tangan sumoi-nya masuk ke dalam pondok. Sambil tertawa Cui Bi memberi
tanda kepada Kong Bu untuk turut pula ke dalam. Ketika Oei San melihat ini, keningnya berkerut, akan
tetapi Cui Bi berkata,
"Oei-suheng, dia ini bukan orang luar. Dia... hemm, belum waktunya kau mengetahui hal ini. Aku dan Kong
Bu-koko ini tidak akan segera naik menemui Ayah Ibu, karena kami berdua hendak menanti datangnya tiga
orang murid Hoa-san-pai. Aku sendiri yang harus menyambut mereka dan setelah mereka mendapat
pondokan yang baik, barulah aku akan menghadap Ayah Ibu. Eh, Suheng, kenapa kau kelihatan tak
senang dan gelisah? Apakah yang terjadi?"
Walau pun Cui Bi merupakan adik seperguruan, namun tentu saja Oei Sun menganggap gadis muda ini
seperti atasannya karena gadis ini adalah puteri gurunya dan dia maklum bahwa dalam hal kepandaian, ia
tidak ada setengahnya sumoi-nya yang nakal ini.
"Sumoi, aku merasa agak kecewa bahwa kau sama sekali tidak muncul lebih siang untuk membantu
keperluan kita. Kau tahu, baru saja kemarin terjadi hal yang menggemaskan."
dunia-kangouw.blogspot.com
Lalu murid tertua ini bercerita tentang tewasnya seorang murid Thai-san-pai secara aneh itu.
"Ternyata di antara para tamu terdapat musuh-musuh curang dari Suhu sehingga mereka itu melakukan
pembunuhan sebelum Suhu sendiri turun dari puncak. Bukankah ini amat menggemaskan?" berkata Oei
Sun sambil membanting-banting kaki. "Thai-san-pai belum diresmikan pendiriannya saja sudah harus
menelan penghinaan ini. Hemmm, ingin sekali aku mengetahui siapa yang melakukan perbuatan ini dan
ingin aku berhadapan dengan dia!"
Tentu saja Cui Bi juga marah mendengar ini. "Benar-benar jahat dan curang sekali! Kalau memang mau
mencari perkara dengan kita, kenapa tidak terang-terangan saja? Hemmm, coba dia berani
memperkenalkan diri, tak akan mau sudah aku kalau belum kupenggal batang lehernya. Suheng, sambil
menanti datangnya teman-teman dari Hoa-san-pai, aku akan memasang mata. Kurasa, orang yang
membunuh itu tentu telah menculik saudara kita itu untuk dipaksa memberi tahu tentang rahasia jalan ke
puncak. Apakah di tubuh Suheng itu terdapat tanda luka-luka berat?"
Oei Sun memandang kagum. Memang harus ia akui bahwa sumoi-nya ini biar pun masih muda, akan tetapi
memiliki kecerdikan luar biasa. "Kau benar, Sumoi. Memang begitulah agaknya, akan tetapi derita yang
dialami oleh Sute itu hebat, seperti ditusuk benda panas, tentu sebelum meninggal dia menderita sekali."
Cui Bi lalu minta disediakan sebuah pondok yang letaknya agak jauh dan tersembunyi karena dia hendak
melakukan pengintaian selama menanti kedatangan Kun Hong dan Li Eng. Juga ia mengharapkan
kedatangan Hui Cu yang sampai sekarang belum ia ketahui bagaimana nasibnya itu.
Sebentar saja kedukaan akan kematian seorang suheng-nya telah tak berbekas pula. Di dalam pondok ia
menggoda kakak tirinya.
"Bu-ko, hatimu tentu berdebar-debar, bukan?"
"Apa maksudmu? Mengapa kita harus menanti di sini? Bukankah lebih baik terus saja ke puncak
menemui... Ayah?" Kaku juga pemuda ini menyebut ayah yang selamanya belum pernah ia lihat itu.
"Hishh, benarkah kau begitu terburu-buru? Ataukah kau diam-diam ingin segera melihat kedatangan...
dia?"
"Bi-moi, kau selalu menggodaku tentang Nona Kui Li Eng itu. Hmmm, tahukah kau apa yang akan terjadi
apa bila aku dan dia bertemu? Kami berdua sudah saling menantang, kalau sekali lagi bertemu akan
mengadu pedang!"
Akan tetapi Cui Bi tidak heran malah tertawa manis. "Tentu saja, maksud dia itu hendak menjatuhkan
hatimu, bukan pedangmu. Padahal, tanpa usaha itu pun kau sudah jatuh. Bukan begitu?"
Kong Bu benar-benar merasa bohwat (tak berdaya) menghadapi adik tirinya yang nakal ini. "Sudahlah...
sudahlah, Moi-moi. Siapa tidak tahu, bahwa kaulah yang rindu kepada... kutu buku itu?"
Seketika wajah Cui Bi berubah, matanya membelalak. Seakan-akan hal ini merupakan hal yang baru
baginya, atau sesuatu yang baru saja teringat olehnya. Hatinya berdebar keras, membuat wajahnya
seketika menjadi merah sekali.
Ia seorang gadis yang jujur, tak suka berpura-pura, apa lagi terhadap kakak tirinya yang baginya sudah
dianggap sebagai kakak kandungnya sendiri itu. Ia menunduk, termenung, tak dapat berkata-kata lagi,
seakan-akan lupa bahwa kakak tirinya berada di situ.
Melihat adiknya tiba-tiba menunduk dan termenung itu, Kong Bu kuatir kalau ia membuat adiknya tidak
senang. Ia menyentuh pundaknya dan berkata, "Kau kenapa? Aku hanya main-main, jangan marah. Kau
tukang menggoda orang, tapi jika digoda sedikit saja, lalu ngambek!"
Akan tetapi ketika adiknya itu mengangkat muka memandangnya, hati Kong Bu tertegun. Adiknya ini tidak
ngambek, tidak pula marah, tetapi kelihatan terharu dan bingung!
"Bu-ko, apakah kau pikir betul-betul aku rindu kepadanya?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Lho, mengapa urusan begitu kau bertanya kepadaku? Habis, kau sendiri bagaimana?"
"Aku... aku tidak tahu, Bu-ko, aku tak tahu. Hanya terus terang saja, aku memang... ingin sekali melihatnya.
Lucunya ia mengira aku seorang laki-laki. Ah, Bu-ko, aku meragu. Apa yang harus kulakukan?"
Kong Bu terharu. Adik tirinya ini benar-benar seorang yang berhati polos, dan terhadap dia tidak mau
menyimpan rahasia apa-apa, begitu jujur dan menaruh kepercayaan yang besar sekali. Hal ini
membuatnya terharu dan makin mendalam rasa sayangnya kepada adik tiri ini.
“Aku harus membelanya, harus melindunginya. Aku ingin melihat dia berbahagia, adikku sayang ini,”
pikirnya.
"Bu-ko, kau lihat orang she Kwa itu orang yang bagaimana?" tanya pula Cui Bi dengan mendadak.
"Hemm, mana aku tahu? Hanya sebentar aku bertemu dengan dia. Dia memang orang aneh, semuda itu
kata-katanya mengandung filsafat-filsafat tinggi. Kau... kau yang sudah cukup lama melakukan perjalanan
bersama dia tentu lebih mengenal sifat-sifatnya. Tetapi dia itu... kutu buku yang lemah, seperti yang kau
katakan sendiri. Apakah sifat ini sesuai dengan kau... seorang gadis yang memiliki kepandaian tinggi dan
jiwa gagah perkasa?"
Cui Bi menggeleng kepalanya berkali-kali. "Entahlah... entahlah... dia aneh, Koko. Ah, aku bingung..."
Kedatangan dua orang itu tidak menarik perhatian para tamu. Siapa memperhatikan dua orang muda yang
bersahaja itu? Hanya dua orang pemuda yang ganteng, tidak ada apa pun yang aneh. Tentu saja tidak ada
di antara mereka yang tahu bahwa seorang di antara dua pemuda itu adalah puteri dari Ketua Thai-san-pai
dan tidak ada yang tahu pula bahwa pemuda yang seorang lagi adalah cucu yang tergembleng dari Kakek
Song-bun-kwi!
Alangkah girangnya hati Cui Bi, dan diam-diam juga hati Kong Bu, ketika pada keesokan harinya tiba tiga
orang muda yang bukan lain adalah Kun Hong, Li Eng, dan Hui Cu di kaki puncak itu! Lebih besar lagi
kegirangan Cui Bi karena melihat bahwa Hui Cu juga sudah berada dengan pemuda itu dalam keadaan
selamat.
Berlari-larian dia menyambut kedatangan tiga orang itu, diikuti oleh Kong Bu yang agak meragu berjalan di
belakangnya.
"Adik Cui Bi...!" Kun Hong berseru dan tanpa ragu-ragu lagi dia memegang kedua tangan sahabat ini.
"Alangkah girangku melihat kau di sini! Ahh, adik yang nakal, kenapa tempo hari kau pergi begitu saja
tanpa pamit? Aku... aku hendak memperkenalkan kau dengan keponakan-keponakanku. Ini dia Li Eng
yang sering kali kuceritakan kepadamu, dan ini Hui Cu. Anak-anak, inilah pemuda aneh murid Thai-san-pai
yang sering kali kuceritakan kepada kalian. Dia hebat!"
Diam-diam Cui Bi yang mukanya menjadi merah sekali itu bertukar pandang dengan Kong Bu yang juga
sudah sampai di situ.
"Ehhh, kau juga di sini? Bersama-sama Bi-laote?" Kun Hong menegur kaget dan heran melihat Kong Bu
berada pula di situ dengan sahabatnya itu.
Akan tetapi yang ditegur hanya mengerling kepada Li Eng yang sebaliknya memandang kepadanya
dengan mata marah!
Panas rasa dada Li Eng. Tentu saja panas melihat pemuda yang dibencinya itu berada bersama Cui Bi!
Hemm, dia tidak sebodoh pamannya. Akan tetapi terpaksa ia menahan panas hatinya itu karena Cui Bi
sudah merangkapkan kedua tangan dan memberi hormat kepadanya serta kepada Hui Cu.
"Syukur kalian sudah datang!" Cui Bi berseru gembira. "Aku sudah menyediakan sebuah pondok yang
besar untuk kalian. Mari, marilah silakan ke pondok untuk beristirahat sambil bercakap-cakap. Hong-ko kita
masih banyak waktu, masih empat hari lagi dari hari yang ditentukan. Kalian bisa beristirahat sambil
menikmati keindahan tempat kami."
dunia-kangouw.blogspot.com
Cui Bi kemudian menggandeng tangan Kun Hong ke pondok besar yang agak menyendiri letaknya,
berdekatan dengan pondok Cui Bi sendiri. Memang untuk sahabat-sahabatnya dari Hoa-san-pai dia
sengaja memilih dua pondok berjajar yang agak terpisah jauh dari pondok-pondok para tamu itu.
Pada saat melihat bahwa pondok itu tidak mempunyai kamar-kamar terpisah. Kun Hong menjadi agak
bingung. "Ahhh, mengapa pondok ini tanpa kamar? Habis, bagaimana kita bisa bermalam di sini?” Ia
memandang kepada dua orang keponakannya.
Li Eng tertawa, lalu berkata, "Mengapa bingung? Aku dan Enci Hui Cu tentu saja tidur sepondok dengan
dia! Hayo, Saudara Cui Bi, kita mengobrol di pondok yang satunya."
Tanpa ragu-ragu lagi Li Eng menggandeng tangan Cui Bi, ditariknya memasuki pondok kedua diikuti oleh
Hui Cu yang tersenyum-senyum.
Kun Hong melongo, kemudian membentak, "Eng-ji, apa kau gila...?!"
Akan tetapi alangkah herannya ketika dia melihat Cui Bi tidak menjadi marah atau malu, malah tertawatawa
sambil merangkul Li Eng, juga Hui Cu lalu mendekat dan merangkul sehingga tiga orang itu, Cui Bi di
tengah-tengah, dirangkul oleh dua gadis keponakannya, memasuki pondok sambil tertawa-tawa!
"Gila...! Mereka gila semua... ataukah aku yang gila...?" Kun Hong berkata seorang diri dengan mata tetap
terbelalak.
Diam-diam Kong Bu memperhatikan pemuda Hoa-san-pai itu dan ia menjadi geli hatinya. Pemuda Hoasan-
pai ini benar-benar tidak berpura-pura dan memang tak pernah mengira bahwa Cui Bi adalah seorang
wanita. Ia tidak terlalu menyalahkannya karena dia sendiri juga tadinya tertipu oleh adik tirinya yang nakal
itu.
Agaknya dua orang gadis Hoa-san-pai itu, oleh karena sama-sama wanita, begitu bertemu sudah dapat
mengenal keadaan sesungguhnya dari Cui Bi.
"Saudara Kwa Kun Hong, bukan mereka yang gila, juga kau tidak gila, hanya kau itu telah tertipu. Adik Cui
Bi bukanlah seorang pria, melainkan seorang gadis, puteri tunggal Ketua Thai-san-pai."
"Ohhh..." Kun Hong makin melongo, kemudian mukanya tiba-tiba berubah merah sekali.
Dia teringat betapa tadi dalam pertemuan itu dia begitu girang dan memegang kedua tangan ‘pemuda’ itu
begitu mesra. Kalau ia tahu ia seorang gadis…!
Kalau tahu mau apa? Ia pernah ditempeleng, pernah dihina dimaki. Tapi, mengapa gadis itu mau
melakukan perjalanan bersama dia? Mau membelanya? Ahhh, apa artinya semua ini…?
Kong Bu tertawa dan menepuk-nepuk Kun Hong.
"Tidak usah heran, aku sendiri pun pernah tertipu olehnya. Sudahlah, kau kelihatan lelah sekali, sekarang
kau mengasolah. Malam ini aku mempunyai tugas penting, tak usah kau menunggu aku. Nanti akan ada
anak murid Thai-san-pai yang mengantarkan hidangan untukmu.”
Sebelum Kun Hong sempat bicara, pemuda itu telah pergi meninggalkannya, keluar dari pondok. Kun Hong
tidak berani mencegah karena ia belum mengenal betul pemuda cucu Song-bun-kwi itu.
Otaknya diputar. Banyak hal menimbulkan keheranan dan kebingungannya. Banyak hal hendak dia
tanyakan kepada pemuda itu, namun pemuda itu telah meninggalkannya dan betul-betul ia merasa lelah
setelah melakukan perjalanan jauh itu.
Benar saja, menjelang malam, seorang anak murid Thai-san-pai yang gagah dengan sikap hormat sekali
mengantarkan hidangan sederhana. Anak murid ini pendiam sekali dan penuh hormat sehingga Kun Hong
merasa tidak enak bahwa sebagai seorang tamu ia banyak bertanya-tanya, apa lagi mengenai diri puteri
Ketua Thai-san-pai.
Ia makan seorang diri, lalu merebahkan diri di atas pembaringan kayu yang berada di dalam pondok.
Mengapa Hui Cu atau Li Eng tidak muncul? Apakah mereka juga lelah? Ahh, aku harus mencari mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tidak enak sekali rasa hatinya. Kalau ia teringat akan pengalamannya dengan Cui Bi yang selama ini
disangkanya seorang pria itu, ia merasa amat malu. Bagaimana ia akan berani berhadapan dengan Paman
Tan Beng San? Ke mana ia harus menaruh mukanya kalau nanti bertemu dengan Cui Bi?
Malam itu terang bulan, akan tetapi banyak awan hitam di angkasa raya yang sebentar-sebentar menutupi
bulan. Kun Kong keluar dari pondoknya. Memang pondok ini agak jauh dari pondok-pondok lain yang
penuh tamu. Pondok-pondok lain itu tidak kelihatan dalam kegelapan malam, hanya sinar api penerangan
yang berkelap-kelip nampak dari jauh.
Siapa tahu kalau-kalau dua orang keponakannya itu lagi berada di luar pondok mereka, pikirnya. Dia
berjalan hati-hati menghampiri pondok yang hanya terpisah beberapa puluh meter itu dari pondoknya.
Sunyi sekali di pondok itu, malah api penerangannya juga telah padam. Agaknya tiga orang itu sudah tidur.
Hati-hati sekali Kun Hong menghampiri. Ketika bulan menyinarkan cahayanya menembus awan tipis,
hatinya girang melihat bayangan seorang gadis duduk di belakang pondok, di atas sebuah batu besar.
Tak salah lagi, itulah Hui Cu, seorang diri melamun! Hui Cu duduk membelakanginya dan dengan hati-hati
tapi cepat Kun Hong menghampirinya.
"Ssttt, Hui Cu, kau belum tidur?" bisiknya menghampiri.
Hui Cu diam saja, seakan-akan tidak mendengarnya.
"Cu-ji (Anak Cu), celaka sekali..." Kun Hong kini mendekat dan berdiri di belakang gadis itu. "Kita harus
lekas-lekas pergi meninggalkan tempat ini! Ahhh, celaka, tak mungkin aku dapat menghadap Paman Tan
Beng San setelah semua kejadian ini. Tak mungkin dapat aku berhadapan dengan... dia. Ahh, siapa tahu,
kiranya ia seorang gadis..."
Terdengar Hui Cu tertawa perlahan, ditahan-tahan, tubuhnya bergerak sedikit akan tetapi mukanya tidak
kelihatan jelas karena bulan tertutup awan hitam.
"Hui Cu, kau malah mentertawakan aku? Kau tidak tahu, betapa memalukan dan tak patut kelakuanku
terhadap dia. Aku maki dia pemuda pesolek, aku mengatakan dia banci, aku marah dan dia agaknya benci
kepadaku, lalu dia menampar pipiku, memaki aku pemuda sombong. Ahh, kau tidak tahu, Hui Cu, aku tidak
ada muka untuk bertemu dengannya. Lekas kau beri tahukan Li Eng, bangunkan perlahan-lahan dan kita
pergi meninggalkan tempat ini. Kalau kau dan Li Eng tidak mau, terpaksa aku sendiri akan pergi, aku tidak
berani bertemu dengan dia dan orang tuanya."
Hui Cu sudah turun dari batu dan berdiri di depannya. Melihat keponakannya ini diam saja, Kun Hong
memegang kedua tangannya diguncang-guncang dan ia berkata penuh permintaan, "Hui Cu, jangan
anggap hal ini sebagai main-main. Aku benar-benar malu, kenapa kau acuh tak acuh? Lekas masuk ke
pondok dan beri tahu Li Eng, malam ini juga aku akan pergi."
Perlahan-lahan awan hitam tertiup angin meninggalkan bulan sehingga perlahan-lahan sinar bulan
menerangi tempat itu.
"Hui Cu, mengapa kau diam saja? Mengapa... aihhhh, kau ini siapa... ahhh..." Kun Hong terbelalak dan
mulutnya ternganga memandang wajah gadis yang disangkanya Hui Cu itu.
Wajah yang seperti bulan purnama itu sendiri, gilang gemilang dengan sepasang mata bening bersinarsinar.
Hidungnya kecil mancung, di atas sepasang bibir yang setengah tersenyum mengejek, yang manis
luar biasa, yang pernah membuat dia kehilangan rasa bencinya… wajah seorang gadis cantik jelita
melebihi bidadari kahyangan, wajah... Cui Bi!
"Aduh, celaka... aduh... aku tolol... ah..." Kun Hong gagap-gugup akan tetapi lupa bahwa sejak tadi ia
masih memegangi kedua tangan gadis itu!
"Hong-ko..." suara merdu yang sudah amat dikenalnya, terlalu dikenalnya, suara yang dahulu pun ketika
gadis ini dikiranya pria, sering mendatangkan rasa nikmat dan nyaman di hatinya.
"Hong-ko, kenalkah kau padaku?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hemm, ehh, tentu saja, kau... ehh, kau Bi-laote (adik laki-laki Bi)."
Cui Bi tertawa, suara ketawanya perlahan, ditahan-tahan menyatakan bahwa ia merasa geli sekali. "Bilaote...?"
ia mengulang, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri tertimpa cahaya bulan keemasan.
Bibirnya tersenyum lebar sehingga nampak gigi putih berkilau sebentar.
"Eh... Oh... bagaimana aku ini...? Kau... Nona Tan..." Kemudian Kun Hong yang hendak mengangkat
tangan memberi hormat baru sadar bahwa sejak tadi dia memegangi kedua tangan orang!
"Maaf... maaf sebanyak-banyaknya..." ia cepat melepaskan pegangannya dan menjura sambil
membungkuk-bungkuk, "maafkan aku, Nona."
"Hong-ko, apa-apaan kau ini? Mendadak sontak menyebut nona-nonaan segala? Kalau begitu lebih baik
kau seterusnya menyebut aku laote (adik laki-laki) saja!" Suara Cui Bi terdengar merajuk dan manja. Juga
sikap ini amat dikenal oleh Kun Hong dan suara inilah yang dahulu membuat ia memaki Cui Bi sebagai
anak manja, anak pesolek!
"Maaf... habis, bagaimana...?"
"Kau lebih tua dari pada aku. Kalau aku laki-laki, kau memanggil laote, kalau perempuan, masa kau tidak
tahu harus memanggil apa? Kau menyebut ayahku paman, bukankah aku ini adik perempuanmu, adik
misanmu?"
"Ohh, ya... ya, baiklah Siauw-moi (Adik Perempuan Cilik)."
"Hei, aku sudah berusia tujuh belas kau masih menyebut siauw-moi? Apakah kau anggap aku ini masih
bocah?"
"Bi-moi-moi...," Kun Hong membetulkan kesalahannya.
Cui Bi nampak puas, lalu tiba-tiba ia menyambar tangan Kun Hong, dipegangnya seperti tadi Kun Hong
memegang tangannya, seperti dahulu sebagai ‘Cui Bi pria’ ia memegang tangan sahabatnya.
"Hong-ko, marahkah kau kepadaku? Aku sudah menipumu."
"Tidak, tidak... kenapa mesti marah? Aku yang tolol."
"Tidak senangkah hatimu mendapat kenyataan bahwa sahabat baikmu itu ternyata adalah seorang
wanita?"
"Tentu, senang... senang sekali, ehhh, aku..." Bingung Kun Hong teringat akan semua ucapannya tadi.
"Kau... apa? Kau datang ini hendak ke manakah? Hendak mencari Enci Hui Cu? Atau Li Eng?" Cui Bi
melihat kebingungan pemuda itu sengaja menggoda.
"Tidak. Aku... aku tadi hendak... ehh, mencari tempat buang air..."
Mendengar jawaban yang tidak tersangka-sangka ini, Cui Bi menahan gelak tawanya, membuat Kun Hong
makin bingung.
"Aiih, perutmu sakit, Hong-ko? Di sana itu, di belakang kelompok pohon kate itu, ada sebatang anak
sungai, di sana kau bisa buang air. Hendak ke sanakah?"
"Ah, tidak... maksudku, eh, tidak jadi sakit Aku... aduh, Bi-moi, kenapa kau menggodaku? Bukankah kau
sudah mendengar semua tadi? Aku malu, lebih-lebih sekarang aku malu sekali, Moi-moi..."
Cui Bi mempererat genggaman tangannya. "Hong-ko, kenapa malu? Seharusnya akulah yang malu
kepadamu, karena aku yang banyak berbuat tak baik terhadapmu."
"Tidak, tidak! Akulah yang bodoh, yang buta, bagaimana aku berani kurang ajar terhadap puteri Paman
Tan Beng San?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aku sudah pernah menampar pipimu. Hong-ko, kau sudah berjanji takkan melaporkan hal itu kepada
ayahku, tapi aku masih merasa salah kepadamu. Kau boleh menampar aku sekarang sebagai
pembalasan."
"Wah, mana bisa? Malah aku akan girang kalau kau mau mengulang tamparanmu itu, untuk semua
ucapanku yang kurang patut."
Cui Bi melepaskan pegangannya, berkata lembut, "Hong-ko duduklah."
Kun Hong dengan kikuk duduk di atas batu, gadis itu duduk di depannya. Mereka saling pandang di antara
cahaya bulan yang kadang-kadang terang kadang-kadang gelap. Kun Hong merasa seakan-akan
kerongkongannya tersumbat, hatinya berdebar tidak karuan dan dia tidak tahu harus berkata apa. Kikuk
sekali rasanya sesudah berhadapan dengan sahabat baiknya yang ternyata seorang gadis itu.
"Hong-ko, sore tadi kau menyatakan amat girang bertemu denganku. Apakah sekarang kau juga masih
merasa girang?"
"Aku girang sekali."
"Hong-ko, kau... sukakah kau kepadaku?"
Bukan main gadis ini, pikir Kun Hong. Gadis yang jujur dan terbuka hatinya. Pertanyaan itu seperti
todongan pedang tajam di depan ulu hatinya.
Kun Hong menggigit bibir, kemudian menekan debar jantungnya dan menjawab, suaranya bersungguhsungguh,
"Bi-moi, aku suka kepadamu, aku suka sekali kepadamu. Entah mengapa, dahulu ketika kau menampar
pipiku dan merampas pedangku, aku benci sekali kepadamu. Aku benci dan selalu mendongkol kepadamu.
Setelah itu aku terheran sendiri mengetahui bahwa kebencian dan kemarahanku kepadamu itu bukan
karena pribadimu, melainkan karena aku merasa bahwa kau tidak suka kepadaku! Aku tidak senang
karena kau tidak suka padaku, begitu perkiraanku dahulu. Setelah kita saling jumpa kembali, dan kau...
kelihatan suka kepadaku, tidak membenciku, malah membelaku, aku... ahh, sejak itu lenyap semua
kebencianku kepadamu, menjadi suka sekali. Ketika kau pergi, ahh... memalukan sekali, aku merasa rindu,
ingin bertemu, ingin berdekatan. Kuanggap kau sebagai sahabat yang luar biasa, entah mengapa, rasa
sayang memenuhi hatiku. Setelah sekarang ternyata kau seorang wanita, ahhh... tak tahu aku, aku
bingung, Moi-moi."
Bulan bersembunyi di balik awan sehingga Kun Hong tidak melihat betapa mata gadis itu menjadi basah air
mata, tapi mulut gadis itu tersenyum bahagia.
"Hong-ko, katakan terus terang, apakah kau sekarang, setelah melihat bahwa sahabatmu ini seorang
wanita, masih sayang kepadaku?"
"Ahh, soal itu... itu... ahh, mana aku berani begitu kurang ajar, Moi-moi? Mana aku berani menyatakan hal
demikian kurang ajar? Kau adalah puterinya Paman Tan Beng San, kau berkepandaian tinggi, kau cantik
jelita, sedangkan aku..."
"Kau seorang pemuda luar biasa, Hong-ko, Belum pernah selama hidupku aku bertemu dengan seorang
seperti kau. Kau hebat, kau mengagumkan hatiku dan aku... aku amat suka kepadamu, Hong-ko. Hanya
sayang..."
"Sayang... apakah, Moi-moi?"
"Hong-ko, apakah kau benar-benar tidak mengerti ilmu silat? Enci Hui Cu dan Enci Li Eng bercerita banyak
tentang kau, katanya kau mengerti banyak teori ilmu silat, tetapi tidak pernah melatihnya. Betulkah?"
"Hemm, agaknya betul begitu."
"Kalau begitu, mudah saja kau berlatih silat. Kau berbakat baik sekali. Aku yakin, apa bila kau sudah
berlatih, aku sendiri pun tak akan mampu melawanmu!" Cui Bi tampak gembira sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sstttt...!" Tiba-tiba Kun Hong berdiri dan menoleh. Cui Bi juga menoleh dan masih dapat melihat bayangan
orang berkelebat cepat sekali, menghilang di dalam gelap.
"Ada orang...," kata Cui Bi, terheran-heran mengapa ia kalah dulu oleh Kun Hong melihat orang itu tadi.
Kun Hong juga sadar bahwa tanpa terasa dia telah memperlihatkan kelihaian matanya, maka cepat-cepat
ia berkata, "Aku kebetulan menengok dan melihat bayangannya. Adik Cui Bi, lebih baik kita berpisah,
biarlah besok masih banyak waktu bercakap-cakap. Tidak baik orang melihat kita bicara berdua di sini."
Cui Bi mengangguk. "Dan... Hong-ko, apakah kau masih tetap bersikeras hendak pergi meninggalkan
aku?"
"Tidak, tidak nanti!" kata Kun Hong.
"Selamanya?" desak Cui Bi.
Makin berdebar hati Kun Hong, apa lagi melihat gadis itu berdiri amat dekat. Tanpa terasa lagi ia pun
memegang kedua tangan gadis itu, ditekannya erat-erat untuk beberapa detik sambil berkata, "Selamanya
tidak akan kutinggalkan kau..."
Begitu Kun Hong melepaskan pegangan tangannya, gadis itu lari memasuki pondoknya, meninggalkan
suara keluhan panjang, setengah tertawa setengah menangis.
Untuk beberapa menit Kun Hong berdiri mematung di tempat itu, lalu perlahan berjalan pulang ke
pondoknya dengan wajah berseri-seri. Wajahnya berubah dan menjadi merah ketika dia memasuki
pondok. Dia melihat Kong Bu sudah berbaring di atas dipan sambil memandang kepadanya dengan
tersenyum.
"Kau sudah pulang...?" Kun Hong bertanya untuk menyembunyikan kegugupannya.
Kong Bu tersenyum lebar, "Sudah semenjak tadi aku menantimu. Ke manakah kau pergi, Saudara Kun
Hong?"
"Aku... aku pergi buang air ke anak sungai di sana..."
"Ohh, begitukah?"
Kun Hong tak mau banyak bicara lagi dan segera merebahkan diri di atas dipan yang lain, lalu pura-pura
tidur. Padahal sampai jauh tengah malam ia tidak dapat tidur. Wajah yang cantik itu terbayang-bayang
terus di depan matanya. Lewat tengah malam barulah dapat tidur.
Pagi-pagi sekali Kun Hong telah terbangun akibat mendengar suara orang di luar pondok. Ketika ia bangkit
duduk, ia tidak melihat lagi Kong Bu, maka ia segera memburu keluar. Tersipu-sipu pemuda ini ketika
melihat Cui Bi sudah berada di luar dengan pakaian pria. Ia tidak jadi keluar dan berhenti di belakang daun
pintu. Ia mendengar Cui Bi berkata,
"Kalau kau tidak melayaninya dan mengalahkannya, dia akan selalu memandang rendah kepadamu, Buko."
"Aihh, kau ini ada-ada saja. Bagaimana kalau terlihat oleh seorang tamu?"
"Tidak mungkin," jawab Cui Bi, "aku yang akan membawa kalian ke tempat rahasia. Kau ikutlah."
Kong Bu mengomel tidak jelas dan agaknya ragu-ragu, akan tetapi mereka lalu berjalan meninggalkan
pondok. Kun Hong tertarik sekali, lalu diam-diam ia mengintai dan setelah dua orang itu pergi jauh, ia cepat
menyelinap keluar dan mengikuti dari belakang.
Udara amat dingin dan keadaan masih agak gelap, memudahkan ia mengikuti mereka itu. Dua orang itu
berhenti sebentar di depan pondok ke dua di mana Li Eng dan Hui Cu telah menunggu. Empat orang muda
itu lalu berjalan cepat ke arah utara, menjauhi kelompok pondok para tamu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kun Hong makin terheran-heran dan diam-diam ia terus mengikuti mereka. Ia melihat Cui Bi memimpin
perjalanan, memasuki hutan. Heran betul ia melihat cara gadis itu membawa teman-temannya pergi.
Pertama-tama masuk hutan, baru lewat seratus meter membelok ke kanan dan... keluar lagi dari hutan, lalu
masuk lagi dan keluar lagi dari sebelah kiri. Kun Hong amat cerdik. Ia tadi sudah amat curiga ketika Cui Bi
bicara tentang tempat rahasia, maka diam-diam ia menaruh perhatian dan selalu mengikuti jejak mereka.
Karena perhatiannya itu maka ia mendapat kenyataan bahwa gadis itu selalu berbelok sesudah mereka
melewati sembilan buah pohon besar.
Setelah keluar masuk hutan sembilan kali, sampailah mereka di tempat terbuka, sebuah padang rumput
yang luas. Cui Bi dan teman-temannya berhenti. Kun Hong juga berhenti tak jauh dari situ dan
bersembunyi dalam segerombol pohon kembang. Ia berjongkok dan mengintai.
Ia melihat Cui Bi membuat guratan di atas tanah, guratan yang merupakan garis kurung selebar sepuluh
meter. Hebat gadis ini. Dengan jari telunjuk ia menggurat dan rumput di atas tanah seperti dicabuti, tampak
nyata garis lingkaran itu seperti dipacul saja!
"Nah, kalian sudah berjanji kalau bertemu kembali akan mengadu kepandaian. Keduanya penasaran dan
hal ini harus dilakukan untuk menentukan siapa di antara kalian yang lebih pandai. Aku tidak suka melihat
kalian saling mendendam dan penasaran. Sekarang kalian bertandinglah, lapangan luas tidak ada yang
mengganggu. Siapa yang pedangnya jatuh terlempar atau badannya terdesak dari lingkaran ini dianggap
kalah. Setuju?"
Tanpa menjawab Li Eng mengangguk dan mencabut pedangnya, dilintangkan di depan dada dan
memandang tajam kepada Kong Bu. Pemuda ini mula-mula nampak ragu-ragu, lalu dengan sikap ‘apa
boleh buat’ dari menggeleng-geleng kepala serta menarik napas panjang, mencabut keluar pula
pedangnya dan memasang kuda-kuda.
Kun Hong terheran-heran dan mendongkol. Kenapa Cui Bi seolah-olah hendak mengadu keponakannya itu
dengan Kong Bu?
Semua ini adalah gara-gara Cui Bi. Di dalam pondok, gadis ini menggoda Li Eng yang dikatakannya
menyukai Kong Bu. Li Eng menyangkal, malah menyatakan bahwa ia akan menantang pemuda itu yang
dijawab oleh Cui Bi dengan memanaskan hati. Katanya Li Eng tak akan menang. Demikianlah, dengan
perantaraan Cui Bi lalu diajukan tantangan pertandingan ini.
Kun Hong tidak tahu akan kecerdikan Cui Bi yang bermata tajam itu. Gadis ini sudah dapat menduga
bahwa kakak tirinya dan Li Eng ini saling mencinta, akan tetapi keduanya berkeras kepala menyangkal.
Maka jalan satu-satunya untuk ‘saling menemukan’ mereka hanyalah memancing mereka bertanding!
Kedua orang muda itu sudah mulai menggerakkan pedang masing-masing dan terjadilah pertandingan
pedang yang bukan main hebat dan serunya. Bayangan keduanya lenyap ditelan sinar pedang masingmasing
dan sebentar kemudian terdengarlah angin bersuitan diseling suara nyaring kalau pedang itu
bertemu mengeluarkan suara berdenting disusul muncratnya bunga api.
Tadinya Kun Hong hendak melompat keluar untuk mencegah, akan tetapi maksud hatinya ini ia batalkan.
Ia melihat sesuatu yang aneh dalam pertandingan itu. Ia memasang mata dan memperhatikan.
Tidak salah lagi! Dua orang muda yang tampaknya bertempur mati-matian itu sebetulnya saling mengalah
dan tidak rnenyerang dengan sungguh-sungguh! Li Eng menang cepat, kalau ia mau mempergunakan
kecepatannya, kiranya ia akan dapat melakukan serangan maut yang akan membahayakan keselamatan
Kong Bu. Sebaliknya, dengan ilmu pedang yang ganas, yaitu Yang-sin Kiam-sut, pemuda ini sebetulnya
menang setingkat.
Dengan geli hatinya Kun Hong melihat betapa setiap kali Kong Bu melancarkan serangan ganas dan ujung
pedangnya sudah mengancam lawan, akan tetapi tiba-tiba pedangnya itu menyeleweng ke samping, tidak
melanjutkan serangan. Kalau hanya terjadi sekali dua kali saja hal ini kiranya tidak akan kentara, akan
tetapi karena terlalu sering, jelas bahwa hal itu ia sengaja karena ia tidak mau melukai lawannya!
Demikian pula di pihak Li Eng. Kecepatan pedangnya pada saat ditangkis lawan, demikian hebat sehingga
kalau ia mau, menurut penglihatan Kun Hong yang tajam, pedang itu bisa dilanjutkan untuk terus menusuk
dunia-kangouw.blogspot.com
lawan, namun kerap kali Li Eng hanya menarik pedang yang tertangkis, sama sekali tidak mau mencelakai
lawan.
Dua ratus jurus telah lewat dan agaknya sikap mengalah itu diketahui juga oleh keduanya, buktinya muka
mereka menjadi merah akan tetapi sinar mata mereka berseri. Ketika Kun Hong melirik ke arah Cui Bi,
gadis ini pun tertawa-tawa, hanya Hui Cu yang tidak setinggi itu tingkatnya, memandang penuh kekuatiran
dan tentu saja berdoa untuk kemenangan Li Eng!
Kong Bu mulai mundur teratur dan Li Eng dengan girang mendesaknya. Memang maksud keduanya sama
sekali tidak mau melukai lawan yang mereka ‘benci’, melainkan hendak mencari kemenangan dengan
mendesak lawan mundur dari lingkaran atau memukul jatuh pedangnya.
Terdesaknya Kong Bu ini bukanlah pura-pura lagi, karena memang saking terus-menerus mengalah dan
memang kalah dalam kegesitan, akhirnya Kong Bu yang terdesak. Hui Cu berseri mukanya akan tetapi Cui
Bi mengerutkan kening.
Ia maklum bahwa kakak tirinya sebetulnya tidak kalah, kalau sampai keluar dari lingkaran, bukankah akan
memalukan dia juga? Ia mengepal tangan menggigit bibir dan pada saat itu Kong Bu sudah tinggal
selangkah lagi keluar dari lingkaran.
Li Eng gembira, mendesak dengan tusukan digetarkan yang mengancam leher terus ke pusar lawan. Kali
ini mau tidak mau Kong Bu harus melompat keluar lingkaran!
"Tranggg!"
Kong Bu benar-benar keluar lingkaran, akan tetapi pedangnya secepat kilat menangkis dari atas ke bawah
sambil mengerahkan tenaga sehingga pedang itu terlepas dari cekalan tangan Li Eng.
Kong Bu cepat mengambil pedang dan mengembalikan kepada Li Eng sambil berkata, "Aku menyerah
kalah, aku keluar dari lingkaran. Hebat benar ilmu pedangmu, Nona."
Merah wajah Li Eng namun wajahnya berseri. Ia menerima pedang dan menjura berkata, "Bukan, akulah
yang kalah. Pedangku terpukul jatuh."
Cui Bi bertepuk-tepuk tangan sambil menari-nari. "Hi-hi-hi, bagus... bagus! Kalian sudah saling mengalah,
hi-hi-hi, bagus! Lenyaplah benci, muncullah perasaan suci!"
"Idihhh... kau... ceriwis...!"
Li Eng melompat dan mencubit bibir Cui Bi, namun sekali mengelak serangan ini luput. Li Eng lalu lari
meninggalkan tempat itu.
"Eng-moi, tunggu...!" Hui Cu yang kuatir kalau-kalau adiknya itu marah-marah lalu segera mengejar.
"Heiii, kalian jangan pergi, nanti tersesat jalan. Tidak mudah jalan pulang!" Cui Bi berseru.
Akan tetapi dua orang gadis Hoa-san-pai itu tidak mempedulikan seruannya dan terus berlari, Li Eng lebih
dulu, dikejar Hui Cu.
"Biarlah, anak-anak nakal itu tidak kapok kalau belum kebingungan dan tersesat di sini. Hemmm, biar
mereka melihat kelihaian jalan rahasia Thai-san-pai!" kata Cui Bi. "Jangan kuatir," katanya kepada Kong
Bu, "nanti mereka akan kucari."
Setelah berkata demikian, Cui Bi menghampiri Kong Bu, menggandeng tangan pemuda itu diajak duduk dl
bawah pohon yang besar, agak jauh dari tempat sembunyi Kun Hong. Pemuda ini kini hanya dapat
memandang dari jauh akan tetapi tidak dapat mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Dia hanya
melihat mereka bercakap-cakap, kadang-kadang Cui Bi tertawa, kadang-kadang menggelengkan kepala
dan kelihatan berduka.
Apakah yang dipercakapkan oleh dua orang muda itu?
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hi-hi-hik Bu-koko, sekarang apakah kau mau menyangkal lagi? Jelas kau mengalah dan tidak tega
melukai Enci Li Eng, itu hanya berarti bahwa kau sama sekali tidak membenci dia, sebaliknya kau...
mencintanya. Nah, coba kalau berani menyangkal sekarang!" kata Cui Bi sambil tertawa-tawa menggoda.
Kong Bu menarik napas panjang. "Sudahlah, aku mengaku. Memang dia itu amat menarik hatiku, aku...
aku kagum kepadanya."
"Katakanlah cinta, masa hanya kagum?" desak Cui Bi.
"Kau anak nakal! Ya, baiklah, aku cinta kepadanya. Akan tetapi, jangan kau kira aku tidak tahu bahwa kau
pun mencinta... kutu buku itu! Hayo, coba kalau kau berani menyangkal setelah pertemuan kalian malam
tadi."
Berubah merah wajah Cui Bi ketika dengan mata terbelalak dia memandang kakak tirinya. "Heee...?! Jadi
bayangan itu... kaukah itu?"
Tiba-tiba saja Cui Bi menutupi muka dengan kedua tangan dan terdengar dia menangis terisak-isak.
Kong Bu kaget dan memegang tangan adik tirinya itu, "Eh, Bi-moi, kenapa kau menangis? Maafkan, aku
tidak sengaja hendak menyakiti hatimu, maafkan godaanku tadi."
Sambil menangis tersedu-sedu Cui Bi menggeleng-gelengkan kepala, "Tidak... kau tidak menggodaku...
Bu-ko, memang aku... aku cinta kepadanya... tetapi, ahhh, bagaimana tak akan hancur hatiku karena aku
dipaksa berjodoh dengan orang lain...?"
Saking sedih dan hancur hatinya Cui Bi menjatuhkan diri, menubruk Kong Bu kemudian menangis di atas
dada kakak tirinya itu. Ayah dan ibunya hendak memaksa dia berjodoh dengan lain orang, dan sekarang
hanya ada kakak tirinya ini yang menjadi satu-satunya orang yang kiranya dapat ia sambati, dapat ia mintai
tolong.
"Tenanglah, Moi-moi, tenanglah... nanti di depan Ayah, aku pasti akan bilang untukmu..." Kong Bu dengan
terharu mengusap-usap rambut kepala adiknya dan membiarkan gadis itu menangis dan menyembunyikan
muka di atas dadanya.
Di tempat persembunyiannya, Kun Hong yang hanya dapat melihat adegan ini dari jauh tanpa dapat
mendengar pembicaraan mereka, seketika menjadi pucat. Seluruh tubuhnya gemetar, kepalanya terasa
berputar dan matanya berkunang-kunang. Hampir ia tak dapat mempercayai adegan yang dilihatnya.
Dua orang itu berpeluk-pelukan. Ahh, jahat benar cucu Song-bun-kwi, sejahat kakeknya. Dan keji benar
Cui Bi, setelah malam tadi demikian mesra sikapnya. Hemm, gadis keji ini hendak mempermainkannya
rupanya. Hati Kun Hong sakit sekali. Belum pernah selama hidupnya ia merasa sakit hati seperti ini. Kedua
matanya yang berapi-api meneteskan dua butir air mata.
Kong Bu, kau keparat...! Sudah jelas bahwa kau berusaha menarik hati Li Eng, terang dalam pertandingan
tadi kalian saling mengalah. Bahkan Cui Bi mengucapkan kata-kata menyindir tentang perasaan Kong Bu
dan Li Eng. Tapi sekarang... ahh, kalian dua orang berhati binatang. Tak bermalu!
Hampir Kun Hong tak kuat menahan hatinya, hampir ia melompat dan menerjang mereka dengan kata-kata
pedas. Akan tetapi dia menahan hatinya ketika melihat dua orang itu bangkit berdiri, berjalan
bergandengan tangan sampai dekat tempat ia bersembunyi.
"Bu-ko, biar sekarang kususul Enci Li Eng dan Enci Hui Cu. Akan kubawa kalian semua menghadap Ayah."
Kong Bu hanya mengangguk. Cui Bi lalu lari dari tempat itu, tubuhnya lenyap di antara pohon-pohon. Kun
Hong yang sudah tak dapat menahan hatinya lagi, melompat keluar.
Kong Bu memandang kaget, "Ehh, Saudara Kun Hong, kau di sini?"
Kekagetan Kong Bu bukan hanya disebabkan munculnya Kun Hong yang tidak disangka-sangkanya itu,
akan tetapi terutama sekali karena melihat pemuda ‘kutu buku’ ini beringas mukanya, matanya berapi-api
dan tangannya memegang sebatang pedang yang sinarnya kemerahan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemuda yang biasanya sopan santun dan lemah lembut ini kelihatannya bengis sekali. Wajahnya tersinar
cahaya matahari pagi yang kini mulai menerobos dari celah-celah daun pohon.
"Kong Bu, cabut pedangmu!" tiba-tiba saja Kun Hong berkata, suaranya menggeledek tak seperti biasanya.
Kong Bu makin kaget dan heran.
"Ehh, apa maksudmu, Saudara Kun Hong?" tanyanya bingung.
"Jangan kau berpura-pura lagi. Aku sudah melihat semua perbuatanmu yang tak senonoh dengan... Nona
Tan Cui Bi. Kau... kau manusia rendah! Kau memikat hati Li Eng dengan kepandaianmu, kau
memperlihatkan sikap mengalah di dalam pertandingan sehingga dia jatuh dan mengira bahwa kau cinta
kepadanya. Kiranya kau hanya mempermainkannya, diam-diam kau main gila dengan Nona Cui Bi!
Hemmm, Kong Bu, aku seorang penyabar, akan tetapi kali ini kita harus mengadu nyawa! Bersiaplah!"
Melihat semua ini, melihat sikap menantang dari Kun Hong, melihat pula cara Kun Hong memegang
pedang seperti orang memegang pisau dapur, mendadak Kong Bu tak dapat menahan gelak tawanya yang
bergema di sekitar tempat itu.
"Keparat, tak usah mentertawakan! Kalau kau memang jantan, cabut pedangmu!" Makin panas hati Kun
Hong, "Tak dapat aku membiarkan kau merusak hati Li Eng!"
"Ha-ha-ha, Saudara Kun Hong. Hebat benar kau! Aku kagum melihat keberanianmu. Akan tetapi kenapa
kalau aku merusak hati Nona Li Eng? Katakanlah saja aku merusak hatimu, kau anggap aku merampas
Cui Bi darimu! Ha-ha-ha, apa kau kira aku tidak tahu akan pertemuanmu dengan Cui Bi malam tadi? Kau
mencinta Cui Bi dan kini kau cemburu kepadaku."
Wajah Kun Hong menjadi merah sekali. "Hemm, apa lagi kalau sudah tahu akan hal itu, berarti makin
jahatnya hatimu dan rendahnya Bi-moi."
"Tak boleh kau memaki Cui Bi!"
"Aku tidak memaki, kenyataan yang amat rendah membuktikan."
"Ehh, Kun Hong, kau makin menghina. Kau kira aku takut padamu?" Kong Bu mencabut pula pedangnya.
"Mari, mari... kalau kau ingin main-main denganku, boleh!"
"Majulah, tak usah banyak cakap!" Kun Hong menantang.
Melihat betapa pemuda Hoa-san-pai itu memegang pedang dengan ujung pedang terseret di atas tanah,
Kong Bu makin geli dan ia menggertak, "Awas pedang!"
Cepat seperti kilat menyambar pedangnya menusuk ke arah dada Kun Hong. Akan tetapi secepat itu pula
dia menarik kembali pedangnya ketika melihat betapa Kun Hong sama sekali tidak melakukan gerakan
untuk menangkis mau pun mengelak.
"Ehh, benar-benarkah kau hendak mengadu pedang denganku?"
"Siapa mau main-main denganmu?" jawab Kun Hong.
"Kenapa kau tidak menangkis atau mengelak?"
"Hemmm, pedangmu belum menyentuh bajuku, kau sudah ribut-ribut? Hayo seranglah, kalau kau memang
laki-laki!"
Kong Bu kembali menggerakkan pedangnya, kali ini membacok ke arah leher lawannya itu. Ketika
pedangnya tinggal beberapa sentimeter lagi dari leher Kun Hong dan kali ini juga Kun Hong tidak
menangkis mau pun mengelak, Kong Bu terkejut sekali dan cepat merubah arah pedang sehingga
membabat atas kepala Kun Hong.
Kun Hong tersenyum. Tentu saja dia sudah siap sedia dan dia dapat mengikuti gerakan pedang itu dengan
baik sekali sehingga dia tidak perlu menangkis atau mengelak sebelum benar-benar dia terancam.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Mengapa tidak jadi menyerang? Apakah kau takut?" ejeknya.
Kong Bu benar-benar kagum sekali. Belum pernah ia menemui seorang yang begini besar keberaniannya,
menanti datangnya pedang dengan mata tidak berkedip sedikit pun.
"Hebat! Kau benar-benar gagah berani, Saudara Kun Hong. Biarlah tak perlu lebih lama lagi aku
menggodamu."
Kong Bu menyimpan pedangnya. "Ketahuilah, kau yang gagah dan cerdik ini, kali ini kau seakan-akan buta
karena cinta kasih mengeruhkan hati dan pikiranmu sehingga kau tidak melihat kenyataan bahwa apa yang
kau lihat antara aku dan Cui Bi itu bukanlah hal yang perlu kau ributkan. Ketahuilah, dia dan aku adalah
saudara tiri, kami sama-sama anak Ayah Tan Beng San, dia lahir dari Ibu Cia Li Cu dan aku dari Ibu Kwee
Bi Goat. Kau tahu apa yang kami bicarakan tadi? Dia menangis karena cintanya kepadamu!"
Lemas seluruh sendi tulang di tubuh Kun Hong. Cepat-cepat ia menyimpan pedangnya dan memegang
lengan Kong Bu yang kuat, "Ahh, Saudaraku, aku benar-benar buta! Aku layak kau maki, layak kau pukul.
Hemmm, orang macam aku ini mana ada harga untuk mencintanya?"
Kong Bu tertawa gembira. "Sudahlah, Saudara Kun Hong, tak perlu kau merendahkan diri. Salah mengerti
ini sudah dapat dilenyapkan, itu bagus sekali. Tentang adikku Cui Bi, tak usah kau kuatir, dia benar-benar
mencintamu. Hanya aku masih sangsi apakah cintamu kepadanya betul-betul sebesar perasaannya
terhadapmu."
"Saudara Kong Bu," kata Kun Hong bernafsu. "Biarlah bumi dan langit menjadi saksi, dan dengarlah
sumpahku bahwa aku mencinta Bi-moi sepenuh jiwaku dan aku rela berkorban nyawa untuknya!"
"Bagus! Aku menjadi saksi!"
"Jangan mau menang sendiri, Saudara Kong Bu. Sikapmu terhadap keponakanku Li Eng juga tidak
berterus terang. Dahulu kau mengalah dan membiarkan dirimu ditawan, lalu tadi kau sengaja berlaku
mengalah dalam pertandingan. Apa artinya? Seorang laki-laki sejati tidak akan ragu-ragu untuk
menyatakan perasaannya secara jujur."
Merah muka Kong Bu, akan tetapi sambil tersenyum ia mengangkat dada berkata, "Kau telah memberi
contoh. Aku pun bersumpah bahwa aku betul-betul mencinta Nona Kui Li Eng dengan sepenuh jiwaku."
Tiba-tiba terdengar orang bertepuk tangan dan tertawa, "Bagus, bagus... sudah kudengar sumpah dua
orang. Awas, aku menjadi saksi utama!"
Muncullah Hui Cu dari balik sebatang pohon. Gadis ini dengan wajah berseri-seri berkata sambil menoleh
ke belakang. "Adik Eng, Adik Cui Bi, keluarlah, kenapa malu-malu kucing bersembunyi saja?"
Dengan muka merah dan ditundukkan, dua orang gadis itu membiarkan mereka tertarik keluar oleh Hui Cu.
Kun Hong dan Kong Bu sangat terkejut dan tentu saja menjadi malu sekali, wajah mereka merah sampai
ke telinga.
Kiranya tempat rahasia itu hebat sekali sehingga di tempat ini ada tiga orang gadis muncul tanpa mereka
ketahui sama sekali! Tentu mereka bertiga tadi telah melihat dan sekaligus mendengar segala-galanya.
Terdengar Li Eng berkata malu-malu kepada Cui Bi sambil merangkul gadis berpakaian pria itu, "Adik Bi,
maafkanlah aku..."
Apakah yang terjadi? Seperti telah kita ketahui, Cui Bi pergi menyusul Hui Cu dan Li Eng. Karena jalan
rahasia itu memang sulit sekali, akhirnya Li Eng tersesat, malah Hui Cu yang mengejarnya juga tersasar
sehingga dua orang gadis ini terpisah, makin lama makin jauh. Cui Bi yang mengenal jalan rahasia itu
mengejar Li Eng dan... tanpa disadari oleh Li Eng sendiri, sebetulnya Li Eng telah mengambil jalan
memutar kembali ke tempat semula.
Karena inilah maka tadi ia sempat menyaksikan, seperti juga Kun Hong, adegan mesra antara Cui Bi dan
Kong Bu. Begitu melihat Cui Bi hendak mencarinya, Li Eng sengaja menunggu dan segera memaki setelah
melihat Cui Bi muncul di depannya,
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bagus, kau perempuan tak tahu malu! Kau mendorong-dorongku kepada Kong Bu, kau sendiri
menyatakan cintamu kepada Paman Hong, akan tetapi apa yang kau lakukan tadi? Benar-benar tak tahu
malu!"
Tentu saja Cui Bi kaget sekali. Akan tetapi dia segera dapat menduga apa yang menjadi sebabnya, maka
ia tersenyum manis.
"Enci Li Eng, kemarahanmu ini malah menggirangkan hatiku, tanda bahwa rasa cemburu di hatimu ini
membuktikan betapa besar cinta kasihmu kepada kakak tiriku Kong Bu."
"Kakak tiri? Apa maksudmu?"
"Dia putera Ayah, dari Ibu Kwee Bi Goat, tentu saja dia kakak tiriku. Nah, apa kau masih cemburu?"
Bukan main menyesal dan malunya hati Li Eng maka ia hanya bengong saja dan tidak membantah ketika
Cui Bi menarik tangannya untuk menyusul Hui Cu. Setelah bertemu, mereka bertiga kembali ke tempat tadi
melalui jalan rahasia yang sangat dekat sehingga mereka sempat menyaksikan keributan antara Kun Hong
dan Kong Bu, bahkan sempat pula mendengar sumpah cinta kasih mereka. Kini tibalah giliran Hui Cu untuk
menggoda mereka dan menyatakan kegembiraannya.
Pada pertemuan yang serba menggembirakan ini, Kun Hong agak gelisah melihat betapa wajah
kekasihnya itu muram seperti matahari tertutup awan. Akan tetapi tentu saja ia tidak berani untuk bertanya.
Di lain pihak, Cui Bi yang masih amat sungkan dan likat, segera berkata, "Sekarang tiba waktunya kita naik
ke puncak menghadap Ayah. Hati-hati, jalan rahasia ini amat sulit, dan aku kuatir kalau-kalau perjalanan
kita ini ada yang mengikuti. Kong Bu-koko, aku menjadi penunjuk jalan di depan dan biarlah kau jalan
paling belakang sambil meneliti kalau-kalau ada musuh yang mengikuti perjalanan kita ke puncak."
"Adik Bi, apakah kau melihat sesuatu yang mencurigakan?" Kong Bu bertanya.
"Agaknya selama ini ada orang yang memata-matai kita. Malam itu..." Cui Bi melirik ke arah Kun Hong
yang juga teringat akan bayangan semalam.
"Apakah itu bayanganmu Bu-koko?"
Kong Bu menggeleng kepala, wajahnya serius. "Aku hanya melihat dari jauh dari belakang pondok, mana
bisa kau melihat bayanganku?"
"Hemm, agaknya orang lain. Mari, jangan membuang waktu," berkata Cui Bi yang segera memimpin
perjalanan itu dengan hati-hati dan perlahan.
Jalan rahasia itu memang amat sukar. Kalau bukan orang Thai-san-pai, takkan mungkin dapat mencarinya.
Jalan yang luas dihindari, akan tetapi gerombolan pohon yang sangat lebat malah dimasuki, semua ini
memakai perhitungan, dan sebagai tanda-tanda hanyalah pohon-pohon yang tumbuh malang melintang
tidak teratur di sekitar puncak.
Cui Bi membawa mereka menyusupi celah antara dua batang pohon yang berdampingan sehingga mereka
hanya dapat bergerak maju dengan tubuh miring, melewati tetumbuhan penuh duri dan akhirnya mereka
terhalang oleh sebuah rawa yang lebarnya tidak kurang dari lima puluh meter.
Di atas rawa ini dipasangi jembatan bambu melintang, terdiri dari dua batang bambu yang disambungsambung
tanpa pegangan. Jembatan itu sempit dan kalau dilalui orang tentu memerlukan ilmu
meringankan tubuh yang tinggi. Pendeknya, orang biasa takkan mampu melewati jembatan yang cukup
panjang ini.
Akan tetapi, para muda itu terheran-heran melihat Cui Bi tidak mengajak menyeberangi rawa melalui
jembatan itu, melainkan langsung turun ke dalam rawa!
"Ehh, ada jembatan mengapa menyeberang rawa yang airnya begitu kotor, dan siapa tahu kalau membuat
kita tenggelam?" teriak Li Eng yang berjalan di belakang Cui Bi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Cui Bi berhenti, menoleh dan tertawa. "Di antara seratus orang, tentu tak ada seorang pun yang tidak
mengira bahwa perjalanan selanjutnya tentu melalui jembatan yang sukar ini. Akan tetapi ini hanya
perangkap bagi musuh yang mencoba-coba memasuki jalan rahasia ini. Siapa yang menyeberang melalui
bambu ini, akan tersesat jauh dan akan menghadapi bahaya yang hebat di sebelah sana. Sekarang ikutilah
saja bekas jejak kakiku dan jangan sampai terpeleset!"
Dengan perlahan supaya dapat diikuti dengan seksama oleh kawan-kawannya, Cui Bi lalu melangkahkan
kaki ke dalam rawa dan... kiranya di dekat permukaan air rawa yang hitam itu dipasangi patok-patok
tertentu yang cukup lebar sebagai injakan kaki. Patok-patok ini dipasang sedemikian rupa sehingga hanya
mereka yang telah hafal saja yang akan dapat mencarinya.
Cui Bi melangkah, ke kanan sembilan langkah, memutar ke kiri sembilan langkah, lurus sembilan langkah
lalu membelok lagi ke kanan dan kemudian melalui bawah jembatan bambu itu, sama sekali tidak
menyeberang, tapi menyusur sepanjang rawa itu memanjang ke kiri. Dilihat dari jauh, lima orang muda itu
seakan-akan berjalan di atas air rawa! Sama sekali bukan seberang di mana jembatan itu berakhir yang
dituju oleh Cui Bi, melainkan membelok dan lenyap di tikungan yang penuh dengan tetumbuhan liar.
Setelah melangkah sebanyak sembilan puluh sembilan langkah, mereka tiba di seberang sana dan
meloncat ke daratan yang indah, penuh kembang dan rumput hijau.
"Kita berhenti di sini, di sebelah sana ada terowongan yang menuju ke puncak. Biarlah aku sendiri yang
akan naik melapor kepada Ayah. Biasanya Ayah kalau hendak menemui para murid tentu keluar dari
terowongan itu. Tak sembarang orang diperbolehkan melalui terowongan. Nah, kalian tunggu sebentar,
aku segera kembali bersama Ayah."
Lin Eng, Hui Cu, Kun Hong dan Kong Bu terpaksa menanti di situ sungguh pun Kong Bu dan Li Eng yang
keras hati itu tidak sabar dan tidak puas mengapa diadakan peraturan seperti ini. Mereka tentu saja tidak
tahu betapa dulu Beng San mempunyai banyak sekali musuh-musuh yang sangat lihai, yang selalu
berusaha menyerbu tempat tinggalnya untuk membalas dendam. Untuk menjaga keselamatan
keluarganya, terpaksa pendekar ini lalu membuat tempat yang penuh rahasia ini.
Baru saja Cui Bi lenyap di sebuah tikungan, tiba-tiba Kun Hong yang kebetulan menengok ke belakang
berseru, "Ada orang datang!"
Semua orang segera menengok dan cepat meloncat berdiri dari tempat duduk mereka di atas tanah. Benar
saja, sesosok bayangan dengan gerakan yang gesit dan ringan sekali berloncatan dari patok ke patok,
persis seperti yang mereka lakukan dengan hati-hati dan perlahan tadi.
"Wah, ia tentu mengikuti kita sejak tadi dan diam-diam memperhatikan jalan rahasia untuk menyeberangi
rawa!" Kata Li Eng sambil siap untuk menghadapi lawan.
Empat orang muda ini maklum bahwa yang datang adalah seorang yang mempunyai ilmu meringankan
tubuh hebat sekali. Kong Bu melompat ke dekat rawa.
"Dia lihai, biarlah aku menghadapinya!" dengan kata-kata demikian dia hendak mencegah kekasihnya itu
berhadapan dengan lawan yang demikian lihainya.
Orang yang berloncatan itu tiba-tiba berhenti, agaknya menjadi ragu-ragu melihat bahwa orang-orang yang
diikutinya itu ternyata berhenti dan telah melihatnya. Tetapi agaknya ia sudah merasa kepalang dan kini
malah meloncat-loncat lagi dengan cekatan dan lebih cepat dari tadi.
Kedua lengannya berkembang ke kanan kiri, pakaian di tubuhnya berkibar, dipandang dari jauh seperti
seekor burung besar. Kun Hong hampir berseru kaget karena dia mengenal bahwa langkah-langkah dan
gerakan itu mirip betul dengan langkah ajaib Kim-tiauw-kun.
"Dia bukan musuh...!" Tiba-tiba Hui Cu berseru. “Dia... dia Saudara Tiauw...!"
Memang benar dugaan gadis ini yang tak pernah dapat melupakan pemuda penolongnya itu sehingga dari
jauh saja dia sudah mengenalnya. Bayangan yang datang berlompatan seperti terbang itu bukan lain
adalah Sin Lee!
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi seruan Hui Cu tidak berpengaruh bagi Kong Bu yang tidak mengenal pemuda itu. Dia
membiarkan Sin Lee melakukan loncatan terakhir hingga berada di darat, lalu dia memapaki dan berkata,
suaranya ketus,
"Siapa kau dan apa maksudmu mengikuti kami?"
Sin Lee adalah seorang pemuda yang berwatak kasar, juga jujur dan tidak pernah merasa takut terhadap
siapa pun juga. Ia dapat merasakan ketusnya suara pemuda tampan yang menyambutnya, maka ia
menjawab sama ketusnya, "Tidak ada sangkut pautnya dengan dirimu sobat, perlu apa kau banyak
bertanya?"
Lalu ia menoleh ke arah Hui Cu, mengangkat tangan memberi hormat pula kepada Kun Hong sambil
berkata, "Maafkan aku, sengaja aku menyusul ke sini sebab aku ingin sekali bertemu dengan Ketua Thaisan-
pai."
Di sini sudah tidak ada Cui Bi dan tiga orang muda Hoa-san-pai itu termasuk tamu, tentu saja mereka tidak
berhak melarang orang lain yang juga hendak bertemu dengan Ketua Thai-san-pai. Apa lagi Kun Hong dan
dua orang keponakannya itu seperti orang kesima melihat betapa dua orang muda yang sama gagah sama
tampan itu benar-benar mirip satu dengan yang lain!
Tetapi, Kong Bu yang merasa bahwa sebagai putera Ketua Thai-san-pai ia pun berhak melindungi
kehormatan Thai-san-pai, segera membentak,
"Kau datang memata-matai kami. Kau mengikuti kami dengan diam-diam, perbuatanmu ini saja sudah
cukup menyakinkan bahwa kau tentulah seorang jahat! Hayo mengaku kau siapa dan apa maksud
kedatanganmu?"
"Saudara Kong Bu, dia bukan orang jahat!" serta merta Hui Cu membela, nada suaranya mengandung
kemarahan. "Dialah yang menolong aku ketika kakekmu menculikku!"
Karena panas mendengar penolongnya dimaki, Hui Cu tak dapat mengendalikan hatinya dan sengaja ia
mencela kakek Kong Bu. Hal ini tentu saja membuat Kong Bu makin tak senang kepada pendatang ini.
Hemmm, kiranya inilah orangnya yang oleh kakeknya dianggap lihai dan yang ternyata berhasil merampas
Hui Cu dari tangan kakeknya. Ia memandang tajam, sinar matanya berapi-api.
Ada pun Sin Lee ketika mendengar pembelaan Hui Cu, diam-diam merasa puas sekali, kemudian dia
bertanya, suaranya mengandung ejekan, "Sobat, kau bersikap seolah-olah kau raja tempat ini. Apa
hubunganmu dengan Ketua Thai-san-pai dan betulkah kata-kata Nona Hui Cu bahwa kau cucu iblis tua
Song-bun-kwi?"
Segera Kong Bu memandang dengan mata melotot, "Keparat, tutup mulutmu yang kotor! Song-bun-kwi
memang kakekku dan Ketua Thai-san-pai ayahku, kau mau apa?"
"Bagus! Kiranya kau si keparat, keturunan para pembunuh ayahku! Hemm, setelah kita bertemu di tempat
ini, jangan harap kau mampu lepas dari tanganku!" Sin Lee mencabut pedangnya dan memandang penuh
kebencian.
"Ho-ho-ho, manusia sombong, bukan aku yang akan roboh, melainkan kau yang akan menggeletak tak
bernyawa di depan kakiku! Hayo, jika kau memang jantan katakan siapa namamu dan mengenai kematian
ayahmu. Memang entah sudah berapa ratus manusia jahat yang tewas di tangan Ayah dan kakekku,
agaknya termasuk ayahmu itulah!" Kong Bu mengejek dan mencabut pula pedangnya.
Sin Lee menggerakkan pedangnya, lalu menerjang sambil berkata, "Ibuku Kwa Hong dan ayahku terbunuh
oleh kakekmu. Mampuslah kau!"
Terjangan ini hebat sekali, seperti seekor burung menyerbu. Akan tetapi Kong Bu sudah waspada. Pemuda
ini sudah mengerti bahwa kini ia menghadapi lawan yang tidak boleh dipandang ringan. Cepat ia
mengeluarkan suara melengking dan pedangnya menangkis, tubuhnya menggeliat dan tiba-tiba ia sudah
balas menyerang tidak kalah cepatnya. Akan tetapi, serangan yang biasanya sukar dihindarkan oleh lawan
ini ternyata dengan mudah dielakkan oleh Sin Lee yang menggeser kakinya secara aneh.
dunia-kangouw.blogspot.com
Segera dua orang muda ini bertanding dengan hebat sekali. Pedang di tangan mereka bersuitan,
mengeluarkan angin yang kadang-kadang panas kadang-kadang dingin. Mata pedang menyambarnyambar
mencari mangsa dan di antara mereka terdengar lengking-lengking saling bersahut, suara yang
menggetarkan jantung karena suara ini dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam.
Melihat ‘kekasihnya’ bertempur, Li Eng sudah mencabut pedangnya pula, siap untuk maju membantu.
Akan tetapi Hui Cu menyentuh lengannya dan ketika Li Eng menengok, dia terheran melihat bahwa Hui Cu
menangis!
"Adik Eng..., jangan... jangan serang dia... dia itu penolongku..."
Li Eng bingung sekali. "Tapi... tapi... pertandingan ini begini hebat, salah seorang tentu akan celaka..."
katanya penuh kekuatiran. Tentu saja kuatir kalau-kalau Kong Bu yang terluka.
Sementara itu, Kun Hong sangat tertarik, terheran-heran melihat gerakan pedang serta gerakan kaki yang
dimainkan Sin Lee. Itulah Kim-tiauw-kun, pikirnya. Kim-tiauw-kun yang tidak sempurna dan tidak lengkap
namun dilengkapi dengan ilmu silat lain yang aneh.
Melihat cara dua orang pemuda itu bertanding, Kun Hong segera maklum bahwa dengan pedangnya dia
sanggup memisahkan mereka, sanggup melerai. Akan tetapi karena dia melihat bahwa keduanya setingkat
dan seimbang kepandaiannya, dia tidak terburu-buru melerai. Dia ingin melihat lebih lama lagi ilmu silat
yang dimainkan oleh Sin Lee.
"Kalian tak usah kuatir, mereka takkan celaka, keduanya sama tangguh, kita nonton saja," katanya.
Li Eng mengerutkan kening, juga Hui Cu. Entah mengapa, ada sesuatu perasaan yang membuat mereka
saling menjauhi! Memang keduanya terpisah oleh perasaan yang saling bertentangan, yang seorang
memihak Kong Bu yang seorang lagi memihak Sin Lee. Biar pun mereka berdua merasa sungkan untuk
membantu namun diam-diam mereka sudah mengambil keputusan, terutama Li Eng, bahwa kalau sampai
orang yang dicintai terluka, tentu dia akan menyerbu dan menuntut balas.
Pertandingan itu benar-benar seru sekali. Ketika di antara permainan pedangnya Sin Lee kelihatan
memutar-mutar tangan kiri, diam-diam Kun Hong menjadi gelisah dan otomatis dia mengambil beberapa
buah batu kecil siap untuk disambitkan ke arah pergelangan tangan kiri Sin Lee andai kata ia melihat Kong
Bu terancam bahaya.
Ia sudah mengenal kehebatan pukulan tangan kiri dengan tangan diputar-putar ini. Pernah ia melihat Sin
Lee merobohkan Kim-thouw Thian-li dengan pukulan semacam ini yang mengakibatkan luka dalam yang
hebat dan mengandung hawa beracun.
Benar saja, setelah memutar-mutar tangan kiri beberapa kali, Sin Lee lalu mengeluarkan seruan dan
mendorongkan tangan kirinya itu ke depan. Kun Hong sudah menegang urat tangannya, akan tetapi dia
menjadi lega ketika melihat Kong Bu mengeluarkan seruan keras sekali, tangan kirinya juga mendorong ke
depan dengan jari tangan terbuka. Dua hawa pukulan yang sama hebatnya bertemu dan... akibatnya
keduanya terjengkang ke belakang!
"Ahh... kau tidak apa-apa...?" Li Eng memburu Kong Bu.
Sedangkan Hui Cu memburu Sin Lee, juga bertanya, "Kau tidak apa-apa...?"
Kedua orang pemuda itu menggeleng kepala, lalu dengan beringas menerjang maju lagi, bertanding lebih
hebat dari pada tadi.
Li Eng dan Hui Cu sudah mencabut pedang, agaknya sudah gatal-gatal tangan mereka hendak membantu
kekasih masing-masing. Tapi Kun Hong segera mendatangi mereka, menarik tangan mereka diajak duduk
di bawah pohon, menjauhi pertempuran.
"Kalian bocah-bocah nakal, untuk apa mesti turut-turut? Yang seorang anak Bibi Bi Goat dan paman Beng
San, yang seorang lagi anak Enci Kwa Hong dan Paman Beng San, mengapa turut-turut? Kulihat mereka
sama pandai, sama kuat, nanti kalau memang ada yang terdesak, barulah kita maju untuk melerai sebelum
ada yang terdesak. Kalau kita memisah, tentu mereka penasaran dan tidak mau menerima. Biarlah saja,
kita nonton di sini."
dunia-kangouw.blogspot.com
Sin Lee yang selama ini belum pernah menemui tandingan berat kecuali pada waktu dia bergebrak sejurus
saja dengan Kakek Song-bun-kwi, menjadi penasaran sekali. Ia lantas memekik-mekik dan tubuhnya
kadang-kadang meloncat tinggi, kadang-kadang menerjang dari kanan kiri seperti orang terhuyung-huyung,
beberapa kali mempergunakan gerakan seperti rajawali emas, menyerang dengan pedang akan tetapi
yang betul-betul merupakan serangan adalah pukulan tangan kiri, kadang-kadang menerjang hebat
dengan pedang, pukulan tangan kiri dan tendangan bertubi-tubi dengan kedua kakinya! Ia mengerahkan
seluruh kepandaian dan tenaganya.
Akan tetapi Kong Bu benar-benar kuat sekali penjagaannya. Juga cucu Song-bun-kwi ini merasa sangat
penasaran sampai mukanya menjadi merah, matanya mendelik marah. Selamanya, kecuali ketika
bertanding melawan Li Eng, belum pernah ia bertemu tanding sehebat pemuda ini.
Kadang kala ia dibikin bingung oleh gerakan-gerakan yang aneh dan ajaib, namun berkat gemblengan
kakeknya yang amat hati-hati mengajar cucunya, Kong Bu dapat menangkis semua serangan lawan,
bahkan dia pun mampu membalas tak kalah hebatnya. Ia malah mengeluarkan Yang-sin Kiam-sut yang
berhawa panas, dan setelah dia memainkan ilmu pedang ini, benar saja ia mampu mendesak lawan.
Namun Sin Lee dengan langkah ajaib yang ia warisi dari ibunya, dapat menghindarkan kurungan-kurungan
Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-sut ini, sehingga walau pun dia terdesak oleh ilmu pedang aneh ini, namun
belum pernah pedang lawan dapat menyentuh ujung bajunya.
Sudah empat ratus jurus lebih dua orang muda itu bertanding seperti dua ekor naga atau dua ekor singa.
Kun Hong sudah mulai ragu-ragu dan sudah timbul niat di hatinya untuk turun tangan melerai. Kalau ia
turun tangan, tentu saja berarti ia membuka rahasia sendiri, karena kalau bukan seorang yang memiiiki
ilmu silat tinggi tak mungkin dapat mendekati dua orang muda yang sedang bertanding itu, apa pula
memisah.
Pada saat Kun Hong meragu itu, tiba-tiba berkelebat bayangan orang. Kun Hong melihat bahwa orang ini
adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, memelihara jengot pendek, pakaiannya
sederhana dan tubuhnya sedang, matanya berkilat-kilat bagai mata harimau, di punggungnya tergantung
pedang.
Bayangan orang ini langsung menyerbu ke dalam gelanggang pertandingan, gerakannya gesit dan luar
biasa sekali sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata. Tetapi tahu-tahu dua orang yang bertanding tadi
seperti terdorong oleh angin yang mengandung kekuatan tak terlawan, keduanya terpental ke belakang,
terhuyung-huyung mundur masing-masing lebih dari tujuh langkah!
Beberapa detik kemudian muncullah seorang wanita cantik, usianya juga hampir empat puluh,
dandanannya sederhana pula, ringkas dan rambutnya yang hitam itu digelung ke atas, sebatang pedang
menempel pula di punggung. Biar pun sudah setengah tua wanita ini masih tangkas dan cantik, sepasang
pipinya masih segar kemerahan dan gerakannya tangkas biar pun melihat perutnya yang agak besar itu
mudah diketahui bahwa ia sedang mengandung muda.
Di belakang wanita ini berlari-lari Cui Bi yang kini berpakaian sebagai seorang gadis cantik sehingga untuk
sejenak Kun Hong memandang dengan muka merah dan mata melotot sukar dikejapkan!
Mudah diduga bahwa laki-laki yang memisah pertandingan itu bukan lain adalah Si Raja Pedang Tan Beng
San sendiri, sedangkan wanita cantik yang mengandung itu adalah Cia Li Cu.
Setelah berhasil memisah dua orang muda yang bertanding hebat itu, Beng San berdiri memandang
dengan penuh kekaguman dan keheranan. Ia bingung juga karena menurut puterinya, Cui Bi, di sini ia
akan bertemu dengan puteranya, putera Bi Goat yang bernama Kong Bu. Tidak tahunya sekarang ada dua
orang pemuda yang bertanding sedemikian hebatnya, sama-sama muda, sama-sama gagah dan yang
aneh, ia merasa seakan-akan sudah mengenal wajah keduanya!
Cui Bi serta merta menghampiri Kong Bu dan menarik tangan kakak tirinya ini, dibawa mendekat kepada
ayahnya. "Bu-ko, inilah Ayah. Ayah, inilah Kakak Kong Bu!"
Keduanya berdiri saling pandang seperti terpesona. Beberapa detik kemudian, menitiklah dua air mata dari
mata Beng San. Dia seakan-akan melihat Bi Goat dalam diri Kong Bu, mulut itu, mata itu...
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ayah...!" Kong Bu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Beng San.
"Anakku... kau anakku...!"
Beng San lalu memeluk pundaknya, mendekap kepala puteranya itu seperti ia mendekap kepala Bi Goat,
isteri yang amat dikasihinya dahulu.
"Terima kasih, Tuhan. Kau telah mempertemukan kami dalam keadaan begini..."
Memang selama ini Beng San selalu berkuatir kalau-kalau anak-anaknya dari Bi Goat dan Kwa Hong akan
dididik orang untuk membenci dan memusuhinya.
"Ayah, terus terang saja, memang tadinya anak datang mengandung pikiran yang tak baik terhadap Ayah.
Syukur anak bertemu dengan Adik Cui Bi...," kata Kong Bu yang jujur.
Berseri wajah Beng San. "Cui Bi anak baik!"
Ia berdiri dan Li Cu lalu mendekati Kong Bu, memandang dengan wajah berseri.
"Kong Bu-koko, ini ibuku," kata Cui Bi memperkenalkan.
Kong Bu memandang sejenak, melihat wajah cantik berseri-seri, lalu ia pun menjatuhkan diri berlutut.
"Anak Kong Bu menghaturkan hormat."
Sepasang mata yang bening itu menjadi basah. Suaranya menjadi serak karena terharu ketika wanita ini
merangkul Kong Bu sambil berkata, "Kau anakku! Belasan tahun aku menanti-nanti datangnya saat ini.
Ayahmu sangat banyak menderita karena memikirkan kau, Anak."
Diam-diam Kong Bu terharu sekali. Sama sekali tak pernah ia membayangkan bahwa ibu tirinya adalah
seorang wanita yang selain cantik jelita dan gagah, juga demikian baik hati dan mau menerimanya sebagai
anak dengan tulus ikhlas. Hal ini tak dapat disangkal lagi, tidak mungkin sikap seperti ini dibuat-buat dan
diam-diam ia makin bersyukur bahwa ia telah percaya akan segala omongan adik tirinya, Cui Bi.
Dalam kegirangan dan keharuannya, Kong Bu teringat kepada lawannya, maka ia segera berkata kepada
ayahnya, "Ayah, dia adalah anak... siluman betina Kwa Hong yang telah merusak hidup mendiang ibuku!
Harap Ayah jangan kuatir, biar kubinasakan dia!"
"Hemm, Kong Bu bocah sombong, kau ingin mengandalkan teman banyak untuk menjual lagak? Kau kira
aku takut? Boleh maju mengeroyok, aku Sin Lee takkan mundur setapak!"
Sementara itu, ketika Beng San dan Li Cu mendengar kata-kata Kong Bu tadi, suami isteri ini berdiri
terkesima dan mereka memandang kepada Sin Lee seperti patung. Anehnya, wajah Beng San pucat sekali
dan air mata makin deras mengalir dari sepasang mata Li Cu.
"Thian Yang Maha Adil!" Beng San akhirnya mengeluh. "Sudah terasa di hatiku tadi, aku... aku seperti
mengenali wajahnya..."
Beng San melangkah mendekati Sin Lee yang memandang dengan mata tajam curiga.
"Kau... kau anak Hong Hong? Kau... kau juga anakku... anakku...!" Dengan kedua lengan dikembangkan,
Beng San hendak memeluk Sin Lee.
Pucat seketika wajah Sin Lee dan ia cepat-cepat menghindarkan diri. "Bohong! Aku bukan anakmu!
Bukankah kau yang bernama Tan Beng San?"
Berseri wajah Raja Pedang ini, girang bahwa puteranya, keturunan Kwa Hong, ternyata mengenal
namanya. Dengan penuh gairah dia menjawab, "Betul, anakku, betul... akulah Tan Beng San!"
Muka Sin Lee mengeras. "Bagus, memang kedatanganku ini hendak bertemu dengan Tan Beng San Ketua
Thai-san-pai. Menurut ibuku, engkaulah salah seorang di antara mereka yang menjadi sebab kematian
ayahku dan sebab kesengsaraan hidup ibuku. Tan Beng San, kau harus ikut dengan aku ke Lu-liang-san
untuk menghadap Ibuku dan menerima hukuman yang akan diputuskan oleh Ibu sendiri!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Semuanya kaget mendengar ini, kecuali Beng San yang mendengarnya dengan senyum duka.
"Kanda Sin Lee...!" Tiba-tiba Hui Cu berseru dan mendekati pemuda ini. Dalam sedih dan bingungnya nona
ini sampai lupa diri dalam panggilannya yang demikian penuh perasaan dan mesra. "Jangan... jangan kau
memusuhi Paman Tan Beng San... ahh, kenapa jadi begini...?" Gadis itu lalu menangis terisak-isak.
Kening Sin Lee berkerut. Kekerasaan hatinya tertusuk dan kelemahannya tersinggung. Akan tetapi ia
mengeraskan perasaan, menyentuh tangan Hui Cu yang diulurkan. Hanya sedetik saja tangan mereka
bersentuhan, dan pemuda ini berkata, suaranya halus namun penuh ketegasan,
"Dinda Hui Cu... menjauhlah kau... urusan ini tak dapat dirubah lagi. Ini kehendak Ibu dan aku harus
berbakti kepada Ibu, biar untuk itu aku harus berkorban nyawa sekali pun. Ibu selamanya hidup menderita,
ditinggal Ayah dan dihina banyak orang, kalau aku sebagai putera tunggalnya tidak berbakti kepadanya,
habis apa balasku terhadap Ibu yang telah melahirkan aku? Dinda, jangan kau turut-turut, jangan beratkan
hatiku, mundurlah..."
"Kalau begitu. kau memang patut mampus!" Tiba-tiba Kong Bu membentak dan pemuda ini mengirim
pukulan keras sekali.
Sin Lee mendengus dan mengangkat tangan menangkis.
"Dukkk!"
Dua lengan tangan yang sama kuatnya bertemu, membuat tubuh keduanya terpental ke belakang tiga
langkah. Kong Bu masih hendak menyerang lagi namun Beng San segera berseru,
"Kong Bu, tahan! Jangan kau serang dia! Sin Lee, kau adalah anakku, kau mau mengaku atau tidak, kau
adalah anakku!" Beng San berseru dengan suara parau.
Kong Bu terpaksa melompat mundur dengan hati gemas, akan tetapi dia tidak berani membantah
kehendak ayahnya. Juga Cui Bi yang sudah tahu akan semua hal ini karena ia pernah mendengar dari
ibunya tentang Kwa Hong, sekarang mendekati Kong Bu dan memegang tangannya, memberi isyarat agar
supaya kakak tirinya ini tidak ikut campur.
Melihat betapa suaminya meratap-ratap dengan hati hancur, sementara Sin Lee berdiri tegak dan tegap,
sikapnya angkuh membayangkan sikap Kwa Hong dahulu, Li Cu dapat merasakan betapa hancurnya hati
suaminya itu, betapa suaminya saat ini seperti ditampar mukanya, seperti dibuka matanya akan akibat dari
perbuatannya yang lalu.
Li Cu adalah seorang wanita bijaksana, seorang yang berpandangan luas dan memang pada dasarnya
berbudi mulia. Ia tidak hanya berkasihan kepada suaminya yang tercinta, akan tetapi juga kasihan kepada
Sin Lee yang tidak berdosa apa-apa tetapi seakan-akan sekarang memikul akibat dari dosa yang dilakukan
ayah bundanya.
"Aku tidak percaya kau ayahkul" Sin Lee membentak. "Ayah sudah mati dan kau adalah seorang di antara
mereka yang menyebabkan kematiannya. Aku harus percaya kepada ibuku seorang dan kau mau tidak
mau harus ikut aku menghadap ibuku!"
Li Cu bergerak ke depan dan menghadapi Sin Lee. Ia menahan-nahan keluarnya air matanya. Memang
harus dikasihani wanita ini. Kalau ada wanita yang merasa perih dan tertusuk hatinya menghadapi semua
peristiwa ini dialah orangnya.
Pada waktu yang sama, dia harus menyaksikan pertemuan antara suami dan dua orang anak yang terlahir
dari dua orang isteri suaminya yang lain. Akan tetapi dasar ia berwatak baik, ia tidak merasa sakit hati
malah merasa kasihan sekali, baik kepada suaminya mau pun kepada anak-anaknya itu.
"Sin Lee, aku adalah Cia Li Cu, isteri Tan Beng San. Akulah saksi utama bahwa kau adalah benar-benar
anak suamiku ini, kau anak Tan Beng San dan Kwa Hong, jangan kau melawan ayahmu sendiri, Nak. Kau
anak suamiku, juga anakku, meski pun anak tiri tapi kuanggap kau anakku sendiri. Majulah, berilah hormat
kepada ayahmu, Sin Lee, seperti yang kau lihat tadi dilakukan oleh Kong Bu, juga anak kami yang lahir dari
Kwee Bi Goat. Berdosa melawan orang tua sendiri, Sin Lee."
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemuda itu memandang dengan mata terbelalak tajam. "Hanya Ibu yang kupercaya! Ibu menyatakan
bahwa Tan Beng San adalah musuh Ibu, yang harus kuseret ke depan Ibu di Lu-liang-san. Malah Ibu
bepesan, wanita yang bernama Cia Li Cu adalah musuh besarnya dan harus kubunuh."
Terdengar jerit kemarahan dan Cui Bi sudah melompat maju menerjang dengan pedang terhunus.
"Traangggg!"
Pedang gadis ini terangkis oleh pedang Sin Lee. Demikian keras pertemuan senjata ini sampai keduanya
mundur tiga langkah, saling pandang dengan mata berapi-api. Dengan pedangnya Cui Bi menuding ke
arah muka Sin Lee sambil berseru marah,
"Keparat kau! Sombong dan jahat, seperti orang yang menjadi ibumu! Ketahuilah, ibumu itulah yang jahat,
bagaikan iblis betina. Dunia kang-ouw tahu belaka akan hal ini. Ibunya iblis, anaknya pun setan!"
"Cui Bi... diam kau...!" Li Cu membentak dan menarik tangan anaknya.
"Memang betul ucapan Cui Bi!" Tiba-tiba saja Li Eng berteriak dan gadis ini pun sudah mencabut pedang.
"Siluman betina Kwa Hong orang terjahat di dunia, anaknya pun bukan orang baik! Aku masih ada
perhitungan dengan siluman Kwa Hong yang belum kutagih!"
Seperti juga Cui Bi tadi, Li Eng saking marah melihat anak musuh besarnya, menerjang dengan pedang
diputar. Hebat sekali serangan ini, sinar pedang itu sampai menyerupai payung lebar yang mengurung diri
Sin Lee. Kembali Sin Lee menggerakkan pedangnya menangkis dan dua orang muda itu terpental ke
belakang.
"Adik Li Eng, jangan...!" Hui Cu mengejar sambil terisak-isak dan menarik tangan Li Eng mundur.
"Janganlah... kau jangan serang dia..." bisik Hui Cu dengan muka pucat dan pipi basah air mata.
Menghadapi Kong Bu, Cui Bi, dan Li Eng yang memandang padanya seolah-olah hendak menelannya
bulat-bulat itu, Sin Lee tersenyum mengejek, "Hemmm, ada kabar akan didirikannya Thai-san-pai, yang
katanya diketuai seorang ahli pedang yang berkepandaian tinggi. Kiranya hanya tukang keroyok. Hayo Tan
Beng San, kalau memang kau tidak suka kuseret ke Lu-liang-san, terpaksa aku menggunakan kekerasan.
Ataukah engkau hendak menggunakan anak-anakmu untuk mengeroyok? Majulah kalian, siapa takut
kepadamu?"
"Jahanam jangan sombong kau!" Kong Bu yang berdarah panas itu tak dapat menguasai hatinya lagi,
segera ia menerjang dengan pedang di tangannya.
Gerakan Kong Bu ini otomatis disusul oleh Cui Bi dan Li Eng, sehingga sekaligus Sin Lee menghadapi
serangan tiga orang muda itu! Tingkatnya adalah tak berbeda jauh dengan seorang di antara mereka,
bahkan dibandingkan Cui Bi, kiranya sukarlah dia mengatasi gadis ini. Akan tetapi Sin Lee memiliki
keberanian yang tak kenal batas dan ketabahan hatinya membuat dia nekat. Pedangnya diputar dan…
“Trang-trang-trang!” terdengar suara nyaring disusul muncratnya bunga api.
Li Cu dan Beng San berteriak-teriak melarang, juga Hui Cu berteriak-teriak memanggil nama Li Eng. Hanya
Kun Hong yang berdiri seperti patung, tak tahu harus berbuat apa. Ia sudah mulai mengerti akan duduknya
perkara, dan ia benar-benar merasa bingung.
Kun Hong menarik napas panjang dan berkata seorang diri, "Hukum karma... orang tua yang menanam,
anak-anak yang memetik buahnya!"
Mendadak berkelebat bayangan orang yang didahului oleh lengking tinggi, sinar pedang menderu dan
bunyi cambuk berdetar-detar di udara sehingga membuat tiga orang muda yang mengeroyok Sin Lee
terkejut dan cepat meloncat mundur sambil melindungi tubuh dengan pedang masing-masing karena entah
dari mana datangnya, ujung cambuk yang ada anak panahnya menyerang bagian-bagian berbahaya tubuh
mereka.
"Hi-hi-hi, Beng San pengecut! Melepaskan anjing-anjing cilik untuk mengeroyok Sin Lee. Anakku Sin Lee,
jangan takut! Ibumu datang!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita cantik dan bermata liar, memegang cambuk yang berekor
lima batang anak panah hijau. Kwa Hong, wanita yang selama belasan tahun menyembunyikan diri itu
sekarang muncul tiba-tiba di tempat itu dengan sinar mata penuh mengandung nafsu membalas dendam,
sepasang mata yang masih bening akan tetapi amat liar dan ganas!
"Hong-moi...!" Beng San berseru.
Akan tetapi suaranya terhenti karena lehernya serasa tercekik. Ia sudah melangkah maju dua tindak lalu
berdiri seperti patung, sinar matanya membayangkan kedukaan hebat.
"Ha-ha-ha-ha, Beng San, masih merdu suaramu memanggil aku. Hong-moi... alangkah merdunya. Ahh,
Beng San, kau masih pandai merayu, hik-hik-hik!"
"Hong-moi, apakah kau tidak dapat menyudahi saja urusan lama? Lihat, anak kita sudah begitu besar,
Hong-moi, dan demi Tuhan, janganlah kau bawa anak kita terseret-seret ke dalam urusan kita...," kata pula
Beng San dengan suara menggetar.
Kembali Kwa Hong tertawa. "Beng San, apakah kau tidak ingat betapa dahulu kau selalu menyakiti hatiku,
menolakku dan membiarkan aku hidup merana sendiri? Membiarkan aku berubah menjadi iblis? Hi-hi-hik,
sejak kecil kupelihara, kugembleng supaya setelah besar dapat membalaskan sakit hatiku terhadapmu,
sekarang tibalah saatnya. Sin Lee, anakku, inilah orangnya yang sudah merusak hidup ibumu. Kau turun
tanganlah, bunuh dia. Kau jangan takut, ada ibumu di sini!"
Tangan Sin Lee yang memegang pedang menegang, lalu menggetar, akan tetapi bibirnya bertanya, lirih,
"Ibu..., benarkah dia itu ayahku?"
"Tak peduli dia itu apamu, dia seorang yang jahat melebihi binatang, patut kau binasakan. Dia menyianyiakan
kau. Dia makhluk jahat, perusak hati wanita. Bunuh dia!"
Tiba-tiba Li Eng yang sejak tadi memandang marah kepada Kwa Hong, menerjang maju menggerakkan
pedangnya mengancam Kwa Hong, "Kwa Hong, kau siluman betina jahat, dengarlah! Aku Kui Li Eng dari
Hoa-san-pai! Ingatkah kau betapa kau mengusir ayah dan ibuku memasuki Im-kan-kok, membiarkan
mereka mati tidak hidup pun tidak? Sekarang kau hendak mengacau lagi di Thai-san, ahhh... dosamu
sudah bertumpuk-tumpuk, hari ini aku akan membalaskan sakit hati orang tuaku!"
Pedang gadis ini menyerang seperti kilat cepatnya sehingga Kwa Hong menjadi terkejut juga dan cepat
mengelak. Untuk sejenak wanita ini tercengang, dan hanya mengelak ke sana ke mari atas desakan Li
Eng.
"Kau... kau... anak Thio Bwee dan Kui Lok? Kau lahir di Im-kan-kok? He-he, lucu sekali... kau berani
melawan aku?" Mulailah ia menangkis dan balas menyerang.
Sementara itu, Sin Lee sudah memandang kepada Beng San dengan mata mendelik. Dan melihat ibunya
sudah bertempur, ia melempar semua keraguan dan menganggap bahwa dia dan ibunya sedang berada di
tempat musuh. Maka, cepat ia menusukkan pedang ke arah dada Beng San sambil berseru,
"Kau musuh ibuku, harus kubunuh!"
Beng San mengeluarkan keluhan panjang. Peristiwa yang terjadi di hadapan matanya ini membuat seluruh
tubuhnya lemas, matanya berkunang dan hatinya rusak, maka serangan Sin Lee puteranya sendiri itu tak
dihiraukan.
"Trangggg!"
Pedang Sin Lee membentur sebatang pedang lain yang digerakkan secepat kilat. Cui Bi sudah menangkis
pedang itu dengan mata berapi-api.
"Keparat, jangan ganggu Ayahl"
Pedangnya terus menyerang dan di lain detik Sin Lee sudah bertanding hebat melawan Cui Bi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tadinya Kong Bu hanya menonton saja. Biar pun munculnya Kwa Hong mendatangkan rasa panas di
hatinya karena teringat bahwa wanita inilah yang menyebabkan ibunya mati ngenes, namun karena Kwa
Hong sedang berhadapan dengan ayahnya, dia tidak berani mencampuri dan menanti saat baik.
Sekarang saat itu tiba, yaitu setelah Kwa Hong bertempur melawan Li Eng, kekasihnya. Tentu saja ia tidak
bisa tinggal diam, apa lagi karena maklum bahwa wanita itu lihai sekali dan Li Eng bisa berbahaya kalau
melawannya seorang diri saja.
"Kwa Hong wanita busuk, ibuku Kwee Bi Goat meninggal dunia akibat merana karena kejahatanmu. Lihat
pedangku menamatkan riwayatmu!" bentaknya sambil menerjang.
Tidak heran hati Kwa Hong mendengar ini karena memang ia sudah tahu akan pemuda ini. Sudah lama
juga ia mengikuti puteranya sehingga ia tadi mendengar bahwa pemuda gagah ini adalah putera Kwee Bi
Goat. Tanpa berkata apa-apa ia segera menangkis dan menghadapi Kong Bu dan Li Eng dengan gerakan
aneh dari pedang dan cambuknya.
Beng San susah sekali hatinya melihat pertempuran-pertempuran itu. Beberapa kali Li Cu hendak
mencabut pedang dan ikut menerjang maju, akan tetapi melihat betapa suaminya menjadi amat sedih, ia
pun tidak tega. Li Cu dapat menyelami sepenuhnya kesedihan hati suaminya. Siapa tak akan sedih melihat
kedatangan seorang putera yang datang-datang menjadi musuh?
Kun Hong yang bingung juga melihat Hui Cu dengan muka pucat berdiri memandang Sin Lee, merasa
bahwa enci tirinya itu memang keterlaluan. Kalau ada urusan lama, mengapa diteruskan sampai sekarang,
malah seorang anak disuruh melawan ayahnya sendiri. Tak terasa lagi kakinya melangkah mendekati
pertempuran, langsung ia mendekati Kwa Hong dan berkata, suaranya lantang,
"Enci Kwa Hong, kalau Ayah melihat kelakuanmu hari ini, tentu akan marah sekali!"
Kwa Hong kaget dan melirik heran. Biar pun dikeroyok dua oleh Kong Bu dan Li Eng, ia masih sempat
memperhatikan pemuda tampan yang aneh, yang berani menegurnya dan memanggil enci ini.
"Bocah, kau siapa?"
“Aku adalah adik tirimu, ayahku Kwa Tin Siong ibuku Liem Sian Hwa! Kelakuanmu hari ini sungguh tidak
patut. Seharusnya kau mempertemukan anakmu dengan Tan Beng San Taihiap sebagai anak dan ayah
dengan mengubur persoalan-persoalan lama."
"Keparat, tutup mulut kau!"
Sebuah anak panah hijau di ujung cambuk menyambar pundak Kun Hong. Akan tetapi anehnya, anak
panah itu tidak mengenai sasaran biar pun tadi kelihatan sudah jitu. Kwa Hong terkejut, apa lagi ketika
melirik ke arah gerak kaki Kun Hong yang tidak karuan itu.
"Siapa namamu?"
"Kwa Kun Hong. Enci, kau turutlah permintaanku...," kata Kun Hong girang.
"Kun Hong, kau adikku, seharusnya kau membantuku. Tan Beng San itu orang jahat, dia harus membayar
hutangnya."
Terpaksa Kwa Hong memutar cepat cambuknya untuk mendesak Li Eng dan Kong Bu karena selagi dia
bercakap-cakap, dua orang muda itu mendapatkan kesempatan untuk menekannya.
"Tidak bisa, Enci Hong. Kau yang tidak patut..."
"Setan, mampuslah!"
Kini dua batang panah menyambar, satu ke ulu hati satu lagi ke arah kepala Kun Hong. Serangan ini hebat
sekali dan memang amat keji hati Kwa Hong, menyerang adik tirinya sendiri secara mendadak seperti itu.
Akan tetapi kembali ia melengak karena dua batang anak panahnya tidak mengenai sasaran, sedangkan
Kun Hong hanya terhuyung-huyung saja.
dunia-kangouw.blogspot.com
Semakin kuatir hati Kwa Hong. Baru orang-orang muda ini saja sudah begini hebat. Kalau sampai Beng
San dan Li Cu turun tangan, jangan harap ia akan dapat membalas dendam, malah-malah sangat boleh
jadi ia dan puteranya akan tewas di tempat itu!
Sementara itu, melihat Kwa Hong dan puteranya terdesak, Beng San tak dapat menahan lagi. Betapa pun
lihainya, tapi menghadapi Cui Bi yang marah itu Sin Lee mulai terdesak, sedangkan Kwa Hong juga payah
menanggulangi kemarahan Kong Bu dan Li Eng yang amat lihai ilmu pedangnya. Tentu saja ia tidak ingin
melihat pertumpahan darah terjadi di antara keluarganya sendiri.
"Berhenti...! Tahan senjata, hentikan pertempuran...!" serunya berkali-kali.
Ketika orang-orang muda itu nekat tidak mau berhenti, Beng San menggerakkan kedua lengannya berkalikali
dan... angin dingin yang luar biasa kuat menyambar ke depan dan membuat mereka yang bertempur
itu terhuyung-huyung ke belakang.
Kwa Hong mengeluarkan bunyi lengking marah dan kecewa. "Sin Lee anakku, hayo kita pergi saja!" Ia
menyambar tangan Sin Lee dan membawanya pergi melompat dari tempat itu.
Setetah bayangan dua orang ini lenyap, terdengar suara Kwa Hong, melengking nyaring, "Beng San
manusia tak berjantung! Boleh kau tertawa atas kemenanganmu, akan tetapi tunggu saja pada hari
pembukaan, hendak kulihat apakah kau masih ada muka menjadi Ketua Thai-san-pai, hi-hi-hik!"
"Bu-ko mari kita kejar dan bunuh mereka!" Cui Bi berseru.
"Hayo!" Kong Bu menjawab dan keduanya berlari maju hendak mengejar, malah Li Eng juga tidak
ketinggalan.
"Kong Bu...! Kenapa kau tidak melakukan perintahku?!"
Mendadak sesosok bayangan melayang turun dan tahu-tahu seorang kakek tinggi besar bermuka bengis
sudah berdiri menghadang. Li Eng sampai mengeluarkan teriakan saking kagetnya karena ia segera
mengenal kakek ini yang pernah menculik dia dan Hui Cu.
"Kongkong...!" Kong Bu juga berseru, girang dan kaget.
Sementara itu, ketika Beng San melihat munculnya kakek ini, wajahnya berubah. Cepat ia mengangkat
tangan menjura dan berkata, "Gak-hu (Ayah Mertua)..."
Song-bun-kwi, kakek itu, tertawa bergelak, "Ha-ha-ha, sebutan palsu itu masih saja kau pakai? Siapa yang
tidak tahu akan kepalsuan hatimu? Eh, Kong Bu, kenapa kau berbaik dengan mereka ini?"
"Kakek, aku mengejar Kwa Hong, bukankah dia musuh besar kita?"
"Betul, akan tetapi kau melupakan laki-laki ini." Dia menuding ke arah Beng San. "Dialah yang membuat
ibumu tidak panjang usia. Dia tergila-gila pada wanita lain, meninggalkan ibumu sampai ibumu mati
merana. Kita harus memusuhi dia!"
"Kakek... akan tetapi dia… ayahku..."
"Huh! Ayah macam apa! Kau kena dibujuk orang!" Matanya liar menyapu ke kanan kiri. "Hayo pergi, tempat
ini tak patut untukmu."
"Tapi... Kongkong..." Kong Bu meragu dan menoleh kepada ayahnya.
"Tidak ada tapi, hayo kau ikut aku pergi! Kau berat ayah keparat yang baru saja kau lihat sekarang ini
ataukah kakekmu yang memelihara dan mendidikmu sejak kau masih bayi?" Suara Song-bun-kwi
menggeledek dan matanya melotot.
Terjadi pertarungan dalam hati Kong Bu. Baru saja dia mengalami kebahagiaan bertemu dengan ayahnya,
terutama sekali dengan Li Eng di tempat yang penuh damai itu. Baru saja hatinya dipenuhi dengan
kebanggaan akan ayahnya, yang menyentuh hati baktinya untuk membela ayah dan memusuhi Kwa Hong.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi kemunculan kakeknya ini sekaligus membuyarkan segala yang indah-indah itu, membuka
matanya bahwa di sana masih ada arwah ibunya yang menghendaki dia menuntut balas, tidak hanya
kepada Kwa Hong, akan tetapi juga kepada Beng San yang meninggalkan ibunya. Hati dan perasaan Kong
Bu ketika itu terbelah-belah, terbagi-bagi, sebagian besar condong kepada Li Eng, sebagian lagi pada
ayahnya dan sebagian pula kepada kakeknya.
"Kong Bu...!" Suara Song-bun-kwi menggetar penuh kemarahan. "Jika kau tidak mau pergi bersamaku,
biarlah mulai saat ini juga aku Song-bun-kwi bukan kakekmu lagi, melainkan musuh besarmu, biarlah lain
saat aku mengadu nyawa denganmu!"
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru