Selasa, 31 Juli 2018

Cersil Hoasan Tayhiap 1

============
baca juga

dunia-kangouw.blogspot.com
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
E-book : dunia-kangouw.blogspot.com
BAB-01 : TIGA MURID HO SIM SIANSU
BUKIT HOA-SAN terletak di pegunungan Jeng-leng-san sebelah selatan dan di kaki bukit ini mengalir
Sungai Han yang lebar dan berair jernih. Bunga-bunga beraneka macam warna memenuhi lereng bukit ini
di sebelah timur, menimbulkan pemandangan yang amat permai sedangkan hawa udara di bukit amat
sejuk. Di lereng sebelah barat banyak sekali ditumbuhi pohon-pohon obat yang banyak khasiatnya,
sedangkan di lereng sebelah selatan penuh dengan hutan-hutan liar.
Bukit Hoa-san sungguh merupakan tempat yang amat baik dan ideal bagi para pertapa yang
mengasingkan diri dari dunia ramai. Bukit ini amat terkenal, bukan hanya karena keindahan bunga-bunga
yang menghias lereng timur, atau karena banyaknya daun-daun dan akar-akar obat yang sering didatangi
para ahli pengobatan untuk mengambil daun dan akar, atau pun karena keindahan tamasya alam yang
terdapat di bukit itu, akan tetapi terutama sekali oleh karena seperti banyak bukit-bukit besar dan
pegunungan luas di Tiongkok, juga Hoa-san merupakan sumber semacam cabang ilmu silat yang disebut
Hoa-san-pai atau cabang ilmu silat bukit Hoa-san.
Semenjak puluhan tahun yang lalu amat banyak pendekar-pendekar yang muncul dari bukit Hoa-san, yakni
anak-anak murid cabang persilatan ini. Banyak pula orang-orang sakti yang bertapa di puncak Hoa-san,
yang namanya sangat terkenal sebagai guru besar-guru besar yang berkepandaian tinggi.
Pada waktu cerita ini terjadi, yang sedang bertapa di puncak Hoa-san adalah seorang kakek tua pemeluk
Agama Tao yang bernama Ho Sim Siansu. Kakek ini telah berusia amat tinggi, sedikitnya enam puluh
tahun. Tubuhnya tinggi kurus dan rambutnya yang telah putih semua itu dibiarkan terurai di atas
pundaknya. Juga kumis serta jenggotnya sudah putih semua, tergantung memanjang sampai ke dadanya.
Walau pun rambut dan cambangnya ini tidak terawat, akan tetapi selalu nampak bersih bagaikan benangbenang
perak.
Wajahnya yang sudah penuh keriput selalu berwarna kemerah-merahan, tanda kesehatan tubuhnya yang
amat sempurna. Pakaian yang menutupi tubuhnya sederhana sekali, seperti pakaian para petani biasa,
hanya warnanya saja yang selalu kuning. Sepatunya terbuat dari pada rumput kering yang dianyam bagus
sekali.
Sudah lebih dari dua puluh tahun Ho Sim Siansu mengasingkan diri di puncak Hoa-san dan biar pun telah
lama ia tidak mencampuri urusan dunia ramai, namun di kalangan kang-ouw namanya amat terkenal
karena selama bertapa di puncak Hoa-san itu ia tidak menganggur bahkan telah berhasil menciptakan
semacam ilmu pedang yang lihai sekali dan yang diberi nama Hoa-san Kiam-hoat.
Selain tosu (pendeta pemeluk Agama To) ini, di puncak Hoa-san itu juga tinggal tiga muridnya yang amat
terkasih dan yang telah mengejar ilmu di bawah pimpinan Ho Sim Siansu selama hampir sepuluh tahun.
Murid pertama adalah seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang bernama Lie Ciauw In. Ciauw In
orangnya pendiam, lemah-lembut, dan wajahnya tampan sekali. Tubuhnya agak kurus dan tinggi, akan
tetapi bahunya bidang serta kedua lengannya berisi tenaga yang mengagumkan. Sinar mata pemuda ini
kadang kala nampak bercahaya ganjil, sukar sekali untuk diukur dan dimengerti wataknya, dan kadang
kala bersinar tajam membuat orang merasa jeri untuk menatap wajahnya lama-lama.
Hanya pemuda inilah yang benar-benar sanggup mewarisi Hoa-san Kiam-hoat dari Ho Sim Siansu
sehingga pendeta merasa amat bangga dan suka pada muridnya ini. Harapannya hanya terletak kepada
Ciauw In untuk memperkembangkan dan memperluas ilmu pedang yang diciptanya itu.
Murid kedua juga seorang pemuda bernama Ong Su. Berbeda dengan suheng-nya (kakak
seperguruannya), pemuda yang berusia delapan belas tahun ini bertubuh tinggi besar dan kekuatan
dunia-kangouw.blogspot.com
tubuhnya dinyatakan oleh urat-urat besar yang mengembung di lengan tangan dan kakinya membuat ia
nampak hebat dan gagah sekali.
Baru melihat tubuhnya saja, orang akan memperhitungkan dulu sampai seratus kali sebelum mengambil
keputusan mengajaknya berkelahi! Sesuai dengan bentuk tubuhnya, Ong Su ini berwatak jujur dan polos,
meski pun sedikit kasar. Memang orang-orang yang berhati jujur sering kali bertabiat kasar.
Wajah Ong Su tidak dapat disebut tampan, akan tetapi ia tidak buruk rupa dan ia bahkan memiliki sesuatu
pada wajahnya yang amat menyenangkan hati orang untuk mendekati dan bergaul kepadanya. Juga Ong
Su sudah mewarisi ilmu silat tinggi dari Hoa-san-pai, namun keistimewaannya ialah permainan silat toya.
Tenaganya besar sekali dan dengan sebatang toya di tangan, ia merupakan seekor harimau ganas yang
tumbuh tanduk pada kepalanya. Juga kepada murid kedua ini, Ho Sim Siansu amat menyayangi karena
suka dan kagum akan kejujurannya.
Murid ketiga merupakan orang yang paling disayang oleh tosu itu, dan murid ini memang menimbulkan
rasa sayang dalam hati siapa saja yang melihatnya. Ia adalah seorang murid wanita bernama Gak Bwee
Hiang, seorang dara muda berusia tujuh belas tahun. Wajahnya manis sederhana dan yang membuat
semua orang merasa suka dan sayang kepadanya ialah wataknya yang selalu gembira dan jenaka.
Dengan adanya dara ini di dekatnya, setiap orang akan selalu merasa gembira dan matahari seakan-akan
bercahaya lebih terang dari pada biasanya. Bwee Hiang pandai bicara, tidak suka marah, selalu tersenyum
dan suka menggoda orang. Wataknya yang amat peramah dan baik ini ditambah oleh kelincahannya yang
mengagumkan. Ia pandai menari, pandai menyanyi dan suaranya amat merdu.
Tidak heran apa bila suhu-nya sangat menyayanginya, juga kedua suheng-nya. Dalam hal ginkang dan
kegesitan, ia tak usah merasa kalah terhadap dua suheng-nya. Keahliannya ialah memainkan sepasang
siang-kiam (pedang berpasang) yang dimainkan dengan ilmu pedang Hoa-san Kiam-hoat. Biar pun ilmu
pedangnya tidak sematang dan selihai Ciauw In, akan tetapi oleh karena ia mempergunakan dua pedang
dan gerakannya cepat dan gesit, maka tidak sembarangan orang akan dapat mengalahkan dara manis ini!
Hubungan tiga orang anak muda murid-murid Hoa-san ini amat erat dan baiknya bagaikan saudarasaudara
sekandung, bahkan lebih dari itu. Diam-diam bersemilah tunas asmara di dalam hati Ong Su
terhadap dara itu dan setelah mereka menjadi dewasa, tunas itu tumbuh makin kuat di lubuk hatinya.
Tentu saja pemuda ini merasa malu untuk menyatakan perasaannya terhadap Bwee Hiang, akan tetapi
pandang matanya secara jujur dan terus terang membayangkan cinta kasihnya yang besar. Wataknya
yang jujur itu membuat segala gerak-geriknya mudah sekali diketahui oleh semua orang bahwa ia
mencintai gadis itu.
Tentu saja sebagai seorang wanita yang memiliki perasaan lebih halus dari pada pria dan yang memang
amat tajam perasaannya, dalam hal ini, Bwee Hiang telah lama maklum akan isi hati Ong Su. Akan tetapi,
gadis ini sudah lama jatuh hati kepada twa-suheng-nya, yakni Ciauw In yang pendiam dan tampan itu.
Sering kali gadis ini menderita dalam hatinya melihat betapa sikap Ciauw In demikian dingin dan pendiam
terhadapnya. Ia sering kali membayangkan betapa akan bahagianya apa bila sikap Ong Su terhadapnya itu
berada dalam diri Ciauw In. Akan tetapi karena memang wataknya gembira, tak seorang pun dapat
mengetahui isi hatinya dan terhadap Ciauw In ia bersikap seperti biasa semenjak mereka masih kanakkanak
dan mula-mula belajar silat di Hoa-san.
Pada suatu hari, seorang laki laki yang bersikap gagah dan menunjukkan bahwa ia pandai ilmu silat, naik
ke puncak Hoa-san melalui lereng timur yang penuh dengan bunga-bunga indah. Sambil berjalan mendaki
tebing, orang ini tiada hentinya mengagumi keindahan bunga-bunga yang tumbuh memenuhi lereng.
Berkali-kali ia menarik napas panjang melalui hidungnya, menikmati keharuman bunga yang membuat ia
merasa segan untuk meninggalkan tempat itu.
“Benar kata orang bahwa lereng Hoa-san sebelah timur merupakan taman sorga yang amat indah,”
katanya dalam hati. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya dan orang akan merasa kagum melihat
betapa dia mempergunakan ilmu lari cepat, melompat-lompati jurang dan berlari di jalan yang sukar
dengan amat mudahnya.
Ketika sampai di dekat puncak, orang itu melihat seorang pemuda sedang bekerja mencangkul tanah di
ladang sayur. Ia menahan tindakan kakinya dan memandang kagum. Pemuda yang sedang bekerja keras
dunia-kangouw.blogspot.com
itu hanya mengenakan celana sebatas lutut dan tubuhnya bagian atas telanjang. Nampak dada yang
penuh dan bidang itu bergerak-gerak, sedang urat-urat yang besar dan hebat menggeliat-geliat ketika ia
mengayun cangkul di kedua tangannya.
Memang pemuda itu bekerja secara aneh sekali. Setiap petani mencangkul tanah dengan hanya sebatang
cangkul yang dipegang oleh kedua tangan, akan tetapi pemuda bertubuh besar dan kuat itu memegang
dua batang cangkul di kedua tangannya dan dua cangkul itu digerakkan berganti-ganti mencangkul tanah
dengan gerakan yang amat cepat dan kuat! Dengan cara demikian, maka hasil pekerjaannya pasti akan
lebih cepat dan banyak melebihi pekerjaan dua orang!
“Hebat sekali! Kalau semua petani dapat bekerja seperti kau, tanah di seluruh negara akan menghasilkan
padi dan gandum dua kali lipat banyaknya!” seru orang itu gembira.
Pemuda itu yang bukan lain adalah Ong Su yang sedang bekerja, menunda cangkulnya dan memandang
kepada orang yang berbicara tadi. Ia melihat seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun,
bersikap gagah dan garang, pedangnya nampak tersembul dari balik punggungnya.
“Orang gagah dari manakah datang mengunjungi Hoa-san yang sunyi?" tanya Ong Su.
Orang itu tersenyum dan masih memandang ke arah tubuh Ong Su dengan kagum.
“Anak muda, kau tentu salah seorang anak murid Hoa-san, bukan? Di manakah aku dapat bertemu dengan
Ho Sim Siansu?"
"Aku memang murid kedua dari Ho Sim Siansu, kau siapakah dan datang dari mana?”
“Aku adalah seorang anak murid Go-bi-pai yang disuruh oleh suhu untuk menyampaikan surat kepada
suhu-mu.”
“Ahhh, tidak tahunya kami kedatangan seorang pendekar dari Go-bi-pai! Selamat datang, sahabat!" kata
Ong Su yang segera menjura dan dibalas oleh orang itu sepantasnya.
Ong Su segera mengambil kedua cangkulnya, mencuci tangan dan kaki lalu mengenakan pakaian yang
tadi ditaruh di pinggir ladang. Setelah itu ia lalu berkata kepada orang itu,
"Marilah kau kuantar menjumpai suhu."
Setelah berkata demikian, Ong Su kemudian berlari cepat dan ia sengaja mengeluarkan kepandaiannya
untuk mencoba kepandaian orang yang mengaku menjadi murid Go-bi-pai. Bukan main kagumnya orang
itu ketika melihat betapa Ong Su berlari dengan amat ringan dan cepatnya, jauh berlawanan dengan
tubuhnya yang tinggi besar.
Dengan mengerahkan kepandaian seluruhnya, barulah ia bisa menyusul dan tidak sampai tertinggal. Pada
saat Ong Su melihat hal ini, diam-diam ia mengakui bahwa anak murid Go-bi-pai ini pun memiliki ilmu
kepandaian yang cukup lumayan.
Ciauw In dan Bwee Hiang melihat kedatangan tamu itu dengan merasa heran oleh karena memang jarang
sekali tempat itu kedatangan tamu. Sebaliknya, pada saat memandang kepada Ciauw In dan Bwee Hiang,
murid Go-bi-pai itu semakin kagum dan diam-diam memuji bahwa murid-murid Hoa-san benar-benar gagah
dan luar biasa.
Ho Sim Siansu menerima tamunya dengan sabar dan tenang. Setelah orang itu memberi penghormatan
sambil berlutut di depan pertapa itu, Ho Sim Siansu lalu berkata,
"Sicu, kau datang dari tempat jauh membawa perintah apakah dari suhu-mu?”
Pertapa ini tadi telah diberitahu oleh Ong Su mengenai kedatangan seorang anak murid Go-bi-pai yang
hendak menyampaikan surat dari suhu-nya.
“Pertama-tama teecu menghaturkan hormat kepada locianpwe dan juga suhu minta kepada teecu untuk
menyampaikan salamnya. Di samping itu, suhu menyuruh teecu menyampaikan sepucuk surat ini kepada
loocianpwe.” Sambil berkata demikian, orang itu mengeluarkan sebuah sampul surat tertutup.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sambil menerima surat itu Ho Sim Siansu tersenyum dan berkata,
"Suhu-mu bukankah Pek Bi Hosiang si Alis Putih?”
Anak murid Go-bi itu mengangguk membenarkan, membuat ketiga orang murid Hoa-san itu terkejut
mendengar ini karena mereka telah mendengar nama Pek Bi Hosiang, ketua dari Go-bi-san yang sangat
terkenal namanya karena memiliki ilmu silat yang amat lihai. Jadi orang ini adalah murid hwesio tua itu?
Mereka menaruh perhatian kepada tamu yang datang ini.
Sementara itu, Ho Sim Siansu lalu membuka dan membaca surat dari Pek Bi Hosiang yang ketika
mudanya menjadi kenalan baiknya itu. Wajahnya yang penuh keriput itu kini berseri dan bibirnya
tersenyum seakan-akan menahan geli hatinya membaca isi surat itu.
"Ahh Pek Bi, kau masih seperti anak kecil saja," katanya dan ia lalu berkata kepada anak murid Go-bi-pai
tadi.
"Sicu, suhu-mu memang suka main-main. Kau katakanlah kepadanya bahwa sedikit sekali kemungkinan
aku dapat memenuhi permintaannya, akan tetapi betapa pun juga, aku pasti mengirim wakil ke tempat
yang telah ditentukan.”
"Teecu mengerti, locianpwe. Suhu bahkan berpesan supaya teecu menyampaikan kepada locianpwe
bahwa dalam pertemuan besar ini akan diundang semua tokoh persilatan dari berbagai cabang. Suhu telah
mengirim surat-surat undangan yang kini dibawa dan akan disampaikan oleh lima belas orang anak murid
Go-bi.”
"Bagus, memang biar pun suhu-mu itu suka main-main, tapi ia pandai menyelenggarakan sesuatu yang
besar dan megah. Aku kenal baik keadaannya dan dalam usia tua ia masih sanggup mengatur pertemuan
ini, benar-benar membuat aku merasa kagum. Sampaikan salamku kepadanya dan doaku semoga usianya
lebih panjang dari pada usiaku.” Setelah berkata demikian, Ho Sim Siansu kemudian masuk ke dalam
gubuknya dengan langkah perlahan.
Anak murid Go-bi-pai itu setelah memberi hormat sekali lagi, lalu berpaling kepada Ciauw In dan dua orang
saudara seperguruannya, dan menjura sambil berkata, "Selamat tinggal, sahabat-sahabat baik, sekarang
sudah tiba waktunya bagiku untuk pergi dari sini."
Ong Su menahannya dan berkata, "Sobat, kau datang dari tempat yang jauh dan sudah lama kami
mendengar nama Pek Bi Hosiang yang tersohor dan sering dipuji-puji oleh suhu. Pertemuan dengan kau
yang menjadi murid orang tua itu amat menggembirakan hati kami, mengapa kau tergesa-gesa hendak
pergi? Kau bermalamlah disini dan tinggal barang dua hari agar kita dapat bicara dengan senang."
Orang itu tersenyum. "Terima kasih, kalian baik dan peramah sekali. Akan tetapi, aku datang membawa
tugas, bukan sedang melancong maka terpaksa aku harus segera kembali untuk memberi laporan
mengenai tugasku kepada suhu. Biarlah lain kali kita bertemu pula."
Setelah berkata demikian, ia menjura lagi dan segera lari pergi menuruni lereng bukit.
Setelah orang itu pergi, Ho Sim Siansu lalu memanggil ketiga orang muridnya. Sambil memperlihatkan
surat yang baru saja diterimanya, ia berkata,
"Murid-muridku, surat yang kuterima dari Pek Bi Hosiang ini adalah surat undangan untuk menghadiri
pertemuan besar pada permulaan musim semi yang akan datang dua bulan lagi. Pertemuan diadakan di
puncak Bukit Kui-san agar para pengunjung dapat menempuh jarak sama jauhnya karena tempat itu
berada di tengah-tengah. Dan maksud pertemuan itu ialah untuk mengadakan pibu (pertandingan ilmu
silat) untuk menentukan siapa yang tertinggi ilmu silatnya dan untuk saling menukar pengalaman. Memang
maksud Pek Bi Hosiang ini baik sekali karena selain perhubungan di antara orang gagah menjadi lebih
erat, juga kesalah pahaman dapat dilenyapkan dalam pertemuan itu."
"Bagus sekali! Kalau suhu datang ke sana, pasti suhu akan dapat menduduki tingkat teratas karena
dengan Hoa-san Kiam-hoat, teecu merasa pasti bahwa suhu tentu takkan menemui tandingan!" kata Ong
Su gembira.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hush, jangan kau sombong!” cela suhu-nya, "Orang yang mengagulkan kepandaiannya sendiri akan
kecewa karena itu merupakan tanda dari kebodohan! Sungguh pun bukan maksudku merendahkan ilmu
silat kita, akan tetapi kita tetap harus berlaku waspada dan hati-hati, jangan sekali-kali memandang rendah
ilmu kepandaian orang lain.”
"Suhu, mengapa suhu tadi menyatakan tak dapat datang? Datanglah suhu dan bawalah teecu!” kata Bwee
Hiang dengan suara membujuk.
Ho Sim Siansu memandang kepada murid perempuan itu dengan tersenyum.
"Bwee Hiang, aku sudah tua."
"Justeru sudah tua maka sebaiknya suhu melakukan perjalanan untuk menghibur hati, Marilah kita
bergembira di sana, suhu." Bwee Hiang membujuk pula dengan gembira.
Suhu-nya menggeleng kepala.
"Tidak ada hiburan yang lebih mengamankan hati dari pada di tempat ini bagiku, Bwee Hiang. Kau dan
kedua suheng-mu yang perlu mendapat pengalaman dan hiburan itu. Oleh karena itu, aku bermaksud
untuk mewakilkan kehadiranku kepada kalian bertiga."
Bwee Hiang dan Ong Su menyambut kata-kata ini dengan penuh kegembiraan, wajah mereka berseri-seri,
mulut tersenyum senang. Akan tetapi Ciauw In yang semenjak tadi diam saja mendengar percakapan ini,
lalu berkata kepada suhu-nya,
"Maaf, suhu. Kepandaian teecu bertiga masih rendah dan pertemuan yang dimaksudkan itu adalah
pertemuan mengadu kepandaian. Kalau teecu bertiga yang pergi dan mewakili Hoa-san-pai, apakah
takkan mengecewakan? Teecu berkuatir nama Hoa-san-pai akan turun apa bila teecu bertiga tak berhasil
mendapat kemenangan."
Ho Sim Siansu tersenyum dan di dalam hatinya ia merasa amat girang mendengar ucapan muridnya yang
amat hati-hati dan pandai merendahkan diri itu. Ia maklum bahwa dalam hal ilmu pedang, Ciauw In telah
dapat memiliki seluruh kepandaiannya dan Hoa-san Kiam-hoat telah dapat dikuasainya dengan baik, maka
kiranya tak akan mudah bagi jago-jago silat lain untuk mengalahkan ilmu pedang muridnya ini.
"Ucapanmu memang benar, Ciauw In dan memang seharusnya kita berhati-hati dan tidak mengagulkan
kepandaian sendiri. Akan tetapi, kau tak perlu merasa kuatir, oleh karena menurut pendapatku, kepandaian
yang kalian bertiga miliki sudah cukup untuk digunakan dalam pertandingan pibu di mana pun juga. Aku
yakin hasilnya tak akan mengecewakan. Andai kata kalian kalah, kenapa hal itu kau anggap menurunkan
nama Hoa-san-pai. Ingatlah bahwa bukan kelihaian ilmu silat yang menjunjung tinggi dan mengharumkan
nama sebuah cabang persilatan, akan tetapi sepak terjang para anak murid cabang itu. Kalau kalian dapat
menggunakan kepandaianmu untuk melakukan hal-hal yang betul dan sepatutnya dilakukan oleh orang
orang berkepandaian tinggi, mengapa aku harus kuatir bahwa nama cabang persilatan kita akan turun?
Kekalahan atau kemenangan dalam sesuatu pertandingan pibu adalah lazim dan tak dapat dihubungkan
dengan keharuman nama."
Ketiga murid yang masih muda itu mendengarkan petuah guru mereka dengan khidmat.
“Ong Su dan Bwee Hiang,” kata pula pertapa itu, "Kalian sebagai saudara-saudara muda harus tunduk dan
menurut kepada suheng-mu dalam segala tindakan. Jangan menurutkan nafsu hati dan dalam
pertandingan kau harus menyontoh sikap twa-suheng-mu, merendah dan tidak sombong, akan tetapi
cukup tabah dan tenang menghadapi lawan yang bagai mana tangguh pun. Ilmu toya yang dimiliki Ong Su
cukup untuk menghadapi lawan yang bertenaga besar, ada pun siang-kiam dari Bwee Hiang boleh
digunakan untuk menghadapi lawan yang cepat dan gesit. Sedangkan jika kalian menghadapi seorang
yang benar-benar tangguh dan telah tinggi tingkat kepandaiannya, kalian harus memberikan kesempatan
kepada twa-suheng-mu untuk menghadapinya. Ciauw In, hanya kau yang sudah mampu mewarisi Hoa-san
Kiam-hoat secara baik, maka kau pakailah pedangku ini."
Sambil berkata demikian, pertapa itu memberikan pedang berikut sarungnya kepada Ciauw In yang
menerimanya sambil berlutut.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ciauw In," orang tua itu berkata lagi, “ilmu pedang Hoa-san Kiam-hoat yang kuciptakan belum pernah
digunakan untuk menghadapi musuh, oleh karena itu, rahasianya belum pernah terlihat oleh siapa pun
juga. Sungguh pun demikian, orang-orang di kalangan kang-ouw sudah mendengar tentang Hoa-san Kiamhoat,
karena itu kau harus dapat menyimpan ilmu pedang ini dan jangan kau pergunakan apa bila tidak
menghadapi lawan yang benar-benar pandai. Waktu pertemuan itu masih sebulan lagi, ada pun perjalanan
dari sini ke Kui-san sedikitnya makan waktu sepuluh hari. Maka kalian pergilah turun gunung sekarang juga
supaya kelebihan waktu yang dua puluh hari itu dapat kalian pergunakan untuk mencari pengalaman dan
menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Ingat, dalam membasmi kejahatan-kejahatan,
batasilah nafsu membunuhmu dan kalau tidak sangat terpaksa, jangan kau membunuh manusia.”
“Bagus, kalau begitu teecu dapat lebih dulu pulang ke rumah orang tuaku,” kata Ong Su dengan girang
sekali.
"Dan teccu juga sudah amat rindu kepada ibu di rumah." kata pula Bwee Hiang.
Hanya Ciauw In sendiri yang tak dapat ikut bergembira seperti sumoi (adik perempuan seperguruan) dan
sute-nya (adik lelaki seperguruan).
BAB-02 : BALAS DENDAM
Ong Su memang masih mempunyai ayah ibu yang tinggal di sebuah dusun, seorang petani sederhana
bernama Ong Lo It. Mereka tinggal di kaki bukit Hoa-san, di sebuah dusun yang disebut Kwee-cin-bun.
Semenjak berusia sebelas tahun, Ong Su ikut naik ke puncak Hoa-san belajar ilmu silat dari Ho Sim Siansu
dan pertemuan ini terjadi ketika pertapa itu menolong dusun Kwee-cin-bun dari serangan para perampok.
Ayah Ong Su yang merasa berterima kasih dan tahu akan pentingnya kepandaian silat untuk melawan
para perampok yang mengganas, lalu mengijinkan putera tunggalnya itu untuk ikut belajar silat kepada
kakek sakti ini. Kadang-kadang, biasanya di waktu tahun baru, Ong Lo It mendaki bukit Hoa-san untuk
mengunjungi Ho Sim Siansu dan menengok puteranya itu.
Ada pun Bwee Hiang sebenarnya adalah puteri tunggal seorang hartawan bernama Gak Seng yang
berdagang hasil bumi di kota Keng-sin di sebelah selatan Hoa-san. Ho Sim Siansu mengambil murid anak
perempuan ini karena ia amat tertarik melihat kelincahan dan ketabahan anak itu, juga karena ia maklum
bahwa anak itu mempunyai bakat yang amat baik. Diculiknya anak itu dan ia meninggalkan surat kepada
orang tuanya tentang maksudnya hendak mengambil murid kepada Bwee Hiang.
Sejak berusia sepuluh tahun, gadis itu telah berada di puncak Hoa-san dan mempelajari ilmu silat dengan
Ong Su dan Ciauw In yang sudah berada di situ lebih dahulu darinya. Selama tujuh tahun berada di puncak
Hoa-san, gadis ini belum pernah bertemu dengan kedua orang tuanya, sungguh pun ia masih ingat akan
wajah dan nama orang tuanya, akan tetapi ia maklum bahwa kini mereka tentu telah tua sekali dan belum
tentu dapat mengenalnya apa bila bertemu.
Ciauw In ikut naik gunung sejak berusia delapan tahun dan hingga kini ia sudah belajar silat selama dua
belas tahun tanpa berhenti. Pernah ia ikut suhu-nya turun gunung untuk beberapa bulan lamanya, lalu
kembali lagi ke atas puncak Hoa-san untuk memperdalam ilmu silatnya.
Ciauw In adalah seorang anak yatim piatu yang tadinya ditemukan oleh Ho Sim Siansu dalam keadaan
melarat serta terlantar. Ayah ibunya meninggal dunia karena terserang penyakit dan kelaparan, maka ia
hidup sebatang kara di waktu masih kecil sekali hingga hidupnya penuh derita. Kini ia tidak mempunyai
orang tua atau keluarga yang dikenalnya, maka terhadap Ho Sim Siansu gurunya, ia pun menganggapnya
sebagai orang tuanya sendiri.
Karena itu, kini setelah disuruh turun gunung, ia tidak dapat bergembira seperti sute dan sumoi-nya yang
akan bertemu dengan orang tua masing-masing, bahkan ia merasa agak bersedih karena harus berpisah
dari suhu-nya.
Sesudah banyak lagi nasehat-nasehat diucapkan dan dipesankan oleh Ho Sim Siansu kepada ketiga orang
muridnya, maka berangkatlah Ciauw ln, Ong Su, dan Bwee Hiang turun gunung melalui lereng sebelah
selatan yang penuh dengan hutan liar.....
********************
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan menggunakan ilmu jalan cepat, pada keesokan harinya tiga murid dari Hoa-san itu sudah sampai
di dusun Kwee-cin-bun. Mereka disambut oleh Ong Lo It dan isterinya dengan gembira sekali. Terutama
sekali nyonya Ong atau ibu Ong Su yang sudah tujuh tahun tidak bertemu dengan puteranya. Karena
merasa terharu dan amat girang nyonya ini menangis di pundak Ong Su sambil memeluk puteranya itu.
Ciauw In yang pendiam pun merasa terharu melihat pertemuan mesra ini dan ia turut merasa gembira
melihat kebahagiaan sute-nya. Keluarga Ong yang hidup sebagai petani itu segera menjamu mereka.
Tidak ketinggalan pula semua penduduk dusun itu datang untuk memberi selamat kepada Ong Lo It yang
telah menerima kembali putera mereka yang kini sudah menjadi seorang yang gagah.
Di tengah-tengah para petani yang sederhana dan jujur itu, ketiga orang murid Hoa-san merasa seakanakan
berada di lingkungan satu keluarga besar dan mereka tidak dapat menolak ketika para petani itu
minta kepada mereka untuk memainkan ilmu silat sebagai demonstrasi. Ciauw In lalu bersilat melawan
Ong Su sebagaimana kalau mereka sedang berlatih di puncak Hoa-san, yakni Ong Su bersenjata toya ada
pun Ciauw In bersenjata pedang.
Kepandaian kedua orang muda itu memang sudah mencapai tingkat tinggi, maka ketika mereka bersilat
tentu saja dalam pandangan semua orang dusun itu tubuh mereka lenyap tergulung oleh sinar toya dan
pedang hingga mereka memandang dengan mata terbelalak dan kagum sekali. Mereka bersorak-sorak
memuji hingga keadaan menjadi makin ramai dan gembira. Sesudah kedua orang muda itu berhenti
bersilat, Ong Lo It dengan mata berlinang air mata lalu menepuk-nepuk pundak puteranya dengan bangga
sekali.
Akan tetapi ketika Bwee Hiang yang diminta pula mempertunjukkan kepandaiannya itu bersilat pedang
seorang diri, dan sepasang pedangnya bergerak cepat menyilaukan mata serta tubuhnya lenyap di antara
gulungan kedua pedang di tangannya, semua orang lalu menjadi melongo! Dalam pandangan mereka,
gadis ini lebih hebat pula, dan sesudah Bwee Hiang berhenti bersilat pecahlah tepuk tangan dan tempik
sorak yang memuji-muji gadis itu dengan penuh kekaguman.
Pada malam harinya, kedua orang tua itu memanggil Ong Su dan setelah putera mereka menghadap,
ibunya lalu berkata,
“Su-ji, aku dan ayahmu merasa suka sekali melihat sumoi-mu itu dan karena tahun ini kau telah memasuki
usia delapan belas tahun, bagaimana pikiranmu kalau kita lamar sumoi-mu itu untuk menjadi jodohmu?
Kami lihat bahwa ia sesuai sekali untuk menjadi isterimu."
Merahlah muka Ong Su mendengar ucapan ibunya ini dan ia merasa malu-malu dan juga girang oleh
karena ternyata bahwa kedua orang tuanya sependapat dengannya. Karena ia seorang berwatak jujur,
maka dengan terus terang dan menundukkan muka karena malu, ia berkata,
“Ibu dan ayah, sesungguhnya di dalam hatiku telah lama pula aku merasa suka kepada sumoi, maka
sudah tentu aku merasa setuju sekali pada kehendak ayah dan ibu. Akan tetapi, harap jangan melakukan
pinangan pada waktu sekarang, oleh karena selain sumoi belum bertemu dengan ibunya, juga aku belum
mendapat kepastian dari sumoi yang sikapnya masih meragukan. Ayah dan ibu tentu maklum bahwa kalau
sampai pinangan kita ditolak, maka hubungan antara aku dan dia sebagai saudara seperguruan bisa jadi
akan terganggu.”
Ong Lo It dan isterinya merasa girang sekali mendengar ini dan mereka berjanji akan menunda dulu
maksud ini, menanti sampai ada ‘tanda-tanda baik’ dari pihak gadis itu yang tentu akan dikabarkan oleh
Ong Su kepada mereka kalau hal ini terjadi.
Pada keesokan harinya, ketiga orang muda itu berpamit kepada Ong Lo It dan isterinya, dan dengan
diantar sampai ke batas dusun oleh banyak penduduk di situ, mereka pergi meninggalkan Kwee-cin-bun
dan menuju kota Keng-sin untuk mencari ibu Bwee Hiang.
Kalau di Kwee-cin-bun mereka disambut dengan gembiranya, di rumah ibu Bwee Hiang, yakni nyonya Gak
Seng, mereka disambut dengan hujan air mata dan kesedihan. Ketika dulu Bwee Hiang diculik oleh Ho Sim
Siansu, ayahnya adalah seorang yang paling kaya di kota ini dan disegani oleh orang karena selain berhati
dermawan dan suka menolong orang miskin, juga Gak Seng terkenal sebagai seorang yang jujur dan
pemberani.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi sekarang, Gak Seng sudah meninggal dunia empat tahun yang lalu, harta bendanya habis dan
kini nyonya Gak Seng telah menjadi janda dan hidup sebatang kara di dalam rumahnya yang amat
sederhana, menanti-nanti datangnya puterinya yang hilang terculik orang pada tujuh tahun yang lampau!
Kedatangan Bwee Hiang disambut dengan pelukan dan ciuman yang amat mengharukan. Nyonya yang
kurus itu menangis dan mengeluh dengan sedihnya.
“Ibu, jangan kau bersedih, ibu. Bukankah aku sudah kembali di pangkuanmu?" kata Bwee Hiang yang
mencoba untuk tersenyum sungguh pun seluruh mukanya basah air matanya sendiri. “Bagaimana kau
sampai tinggal di tempat ini? Mana gedung kita dulu? Dan ayah pergi ke manakah?"
Pertanyaan ini membuat nyonya Gak Seng menangis semakin sedih sehingga sukarlah baginya untuk
mengeluarkan kata-kata. Bwee Hiang terpaksa menghibur ibunya itu dan setelah mempersilakan kedua
suheng-nya untuk duduk di ruang depan, ia lalu menuntun ibunya itu ke dalam kamar.
Hati Bwee Hiang merasa gelisah sekali ketika melihat sebuah meja abu di ruang tengah dan melihat
keadaan rumah yang amat miskin itu. Wajahnya berubah pucat dan matanya terbelalak memandang ke
arah meja abu itu, karena keberadaan meja itu di situ hanya mempunyai satu maksud, yakni bahwa
ayahnya telah meninggal!
“Ibu..., meja abu siapakah ini...?”
Sambil menahan sedu sedan yang mendesak dari dalam kerongkongnya, nyonya Gak menjawab perlahan.
“Siapa lagi...? Meja ayahmu...”
Bwee Hiang menjerit dan segera menubruk kaki meja abu itu, berlutut sambil menangis terisak-isak.
"Ayah... ayah... Hiang datang ayah..., ampuni anakmu yang tak berbakti ini... aku datang akan tetapi...,
ternyata kau telah pergi..."
Jeritan Bwee Hiang ini terdengar oleh Ong Su dan Ciauw In yang duduk di luar, maka tanpa
memperdulikan lagi kesopanan sebagai tamu, mereka menyerbu ke dalam karena berkuatir. Melihat gadis
itu mendekam di atas tanah, berlutut di depan meja abu sambil menangis terisak-isak dan menyebut nama
ayahnya, keduanya berdiri bengong dan tahulah mereka bahwa ayah sumoi-nya itu telah meninggal.
Dengan terharu mereka kemudian menjura di depan meja abu itu sebagai penghormatan kepada
mendiang ayah Bwee Hiang, kemudian mereka mendekati sumoi-nya dan Ciauw In yang biasanya
pendiam itu berkata dengan suara menahan keharuan,
“Sudahlah, sumoi, mati dan hidup tak berbeda banyak seperti kata suhu dulu, mengapa kau bersedih!
Ingatlah bahwa aku pun telah kehilangan ayah ibuku...”
Mendengar hiburan ini, Bwee Hiang menahan tangisnya, dan kedua orang muda itu lalu kembali keluar.
Nyonya Gak Seng kemudian memeluk anaknya dan dibawanya masuk ke dalam kamar.
"Ibu, lekas ceritakanlah, mengapa ayah meninggal dunia sedangkan ayah belum begitu tua? Dan mengapa
pula keadaanmu sampai menjadi begini?”
Nyonya Gak Seng menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan.
"Anakku, telah banyak sekali hal-hal yang hebat terjadi pada kira-kira empat tahun yang lalu. Dan aku
selalu berdoa siang malam kepada Thian Yang Maha Adil agar supaya kau cepat-cepat pulang membawa
kepandaian untuk membalas dendam yang sudah kuderita bertahun-tahun. Anakku, sebelum aku bercerita,
katakanlah dulu apakah kau benar-benar membawa pulang kepandaian tinggi? Jawablah sejujurnya,
Hiang."
Merahlah muka Bwee Hiang karena marah. Ia pun dapat menduga bahwa ayahnya tentu terbunuh orang.
Maka, tiba-tiba ia mencabut sepasang pedangnya dan bertanya.
"Katakan, ibu! Siapa orang yang telah mendatangkan mala petaka ini? Siapa yang telah membunuh ayah?
Akan kubalas dendam ini sekarang juga!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Simpan dulu pedang-pedangmu, anakku. Aku merasa girang kau memiliki kesanggupan untuk membalas
musuh kita, karena sesungguhnya musuh kita sangat lihai dan banyak jumlahnya."
"Aku tidak takut sama sekali, ibu! Dan pula, ada kedua suheng-ku yang tentu akan suka membantuku!"
Setelah menarik napas lega, nyonya janda itu bercerita…..
"Pada empat tahun yang lalu, kota ini telah kedatangan serombongan orang jahat yang mengaku sebagai
anggota perkumpulan Hek-lian-pang atau Perkumpulan Teratai Hitam. Mereka ini terdiri dari dua puluh
orang lebih yang kesemuanya merupakan jago-jago silat yang berilmu tinggi. Mereka menggunakan
kepandaian mereka untuk memeras penduduk kota ini. Mereka menentukan uang sumbangan yang
jumlahnya besar dari tiap penduduk. Kau tahu tabiat ayahmu yang keras dan berani. Melihat sikap mereka
yang kurang ajar itu, ayahmu lalu mengumpulkan kawan-kawan sekota ini untuk melawan dan mengeroyok
mereka. Banyak orang fihak kita yang tewas dalam pertempuran itu, akan tetapi akhirnya mereka dapat
didesak mundur meninggalkan kota. Dan pada tiga hari kemudian, malam hari yang celaka, diam-diam
mereka datang kemudian seluruh dendam mereka dibalas kepada keluarga kita."
Bicara sampai di nyonya itu menarik napas panjang dengan muka sedih.
“Teruskan ibu, apakah yang diperbuat oleh keparat-keparat itu?" Bwee Hiang bertanya dengan marah.
“Mereka merampok harta kita dan ayahmu yang malang itu mereka bunuh, rumah kita mereka bakar!
Ketika penduduk datang menolong, telah terlambat. Ayahmu... telah tewas dan rumah habis terbakar,
sedangkan bangsat-bangsat itu telah melarikan diri!”
Bwee Hiang bangkit berdiri dari tempat duduknya. Kedua tangannya dikepalkan, lantas matanya
mengeluarkan sinar berapi-api.
“Ibu, anak bersumpah akan membasmi gerombolan Teratai Hitam itu! Di manakah sarang mereka?”
"Tenanglah, Bwee Hiang, dan biar pun sakit hati ini harus dibalas, akan tetapi kau berhati-hatilah
menghadapi mereka, karena menurut cerita semua penduduk kota ini, mereka itu memiliki ilmu silat yang
lihai, dan mereka dipimpin oleh seorang penjahat yang sangat tinggi kepandaiannya. Aku adalah seorang
wanita lemah yang tak berdaya, akan tetapi selama ini tiada hentinya aku menyelidiki dan mendengardengarkan
cerita orang di mana mereka yang menjadi musuh-musuh kita itu berada. Aku tahu bahwa pada
suatu hari kau tentu akan datang dan perlu mengetahui tempat mereka itu. Menurut hasil penyelidikanku
yang terakhir, mereka itu katanya kini berada kota Ban-hong-cun, sebelah timur kota ini, kira-kira seratus li
jauhnya."
"Ibu, kalau begitu anak hendak mohon diri. Sekarang juga anak akan mengejar mereka di Ban-hong-cun!”
“Jangan begitu tergesa-gesa, Bwee Hiang...!”
Tapi gadis itu telah berlari ke luar menghampiri kedua suheng-nya yang memandangnya dengan kasihan.
Dengan singkat Bwee Hiang menuturkan peristiwa hebat yang menimpa keluarganya itu kepada Ciauw In
dan Ong Su, dan dua orang muda ini dengan serentak menyatakan kesediaan mereka untuk membantu.
"Penjahat-penjahat kejam macam itu memang harus dibasmi, sumoi. Mari kita berangkat sekarang juga,”
kata Ong Su yang menjadi marah sekali.
Demikianlah, tanpa dapat ditahan lagi oleh nyonya janda Gak, Bwee Hiang mengajak dua orang suhengnya
untuk melanjutkan perjalanan menuju ke Ban-hong-cun untuk mencari musuh-musuh besarnya!
Mereka bertiga tak banyak bercakap-cakap di dalam perjalanan yang dilakukan secara tergesa-gesa ini,
dan Bwee Hiang yang biasanya amat jenaka hingga menggembirakan hati kedua suheng-nya, kini
bermuram durja.
Dua hari kemudian tibalah mereka di kota Ban-hong-cun. Dengan mudah mereka dapat mencari sarang
perkumpulan Hek-lian-pang itu. Tempat itu merupakan sebuah gedung yang besar serta mentereng. Di
depan gedung itu terdapat sebuah papan yang lebar, di mana terdapat sebuah lukisan bunga teratai warna
hitam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika mereka bertiga memasuki halaman rumah itu, mereka melihat tiga orang laki-laki duduk di ruang
depan sambil bermain catur. Tiga orang laki itu memandang kepada Bwee Hiang dan kedua suheng-nya
dengan heran.
“Sam-wi (saudara bertiga) siapakah dan ada keperluan apa datang ke tempat kami?” tanya seorang di
antara mereka sambil berdiri dan menjura.
Bwee Hiang menahan marahnya dan tanpa membalas penghormatan mereka, ia berbalik mengajukan
pertanyaan singkat.
"Apakah kalian ini anggota-anggota Hek-lian-pang?"
"Benar, dan nona...?"
Belum juga kata-katanya dilanjutkan, Bwee Hiang telah melompat maju dan menyerang dengan pukulan
kilat. Pukulannya ini cepat sekali dan karena tidak menduga lebih dulu, orang itu kena pukul dadanya
hingga terlempar jauh dan roboh pingsan.
Dua orang kawannya menjadi terkejut dan marah sekali. Sambil berseru keras mereka mencabut pedang
dari pinggang dan membentak.
"Perempuan liar dari manakah datang-datang menyerang orang?"
Akan tetapi tanpa banyak cakap lagi Bwee Hiang sudah mencabut siang-kiam-nya dan bagaikan seekor
naga betina yang ganas ia maju menyerang dua orang itu. Serangannya ini penuh dengan nafsu
membunuh dan datangnya cepat luar biasa sehingga ketika dua lawannya menangkis, ia segera memutar
pedangnya dan seorang di antara lawannya lantas roboh karena tusukan pedang di tangan kirinya! Ketika
melihat kelihaian nona itu, yang seorang lagi cepat-cepat melompat mundur dan lari masuk ke dalam
gedung sambil berteriak-teriak keras!
Bwee Hiang memandang ke dalam dengan mata bersinar-sinar, sedangkan Ong Su dan Ciauw ln yang
belum bergerak, hanya memandang dengan tangan telah siap memegang senjata masing-masing!
Pada waktu orang yang terpukul dadanya oleh Bwee Hiang tadi bergerak dan merayap bangun, dengan
sekali lompatan saja Bwee Hiang sudah berada di hadapannya sambil menodong dengan pedang.
“Di mana adanya pangcu (ketua) mu yang empat tahun yang lalu menyerbu keluarga Gak di kota Kengsin?"
"Pangcu kami sedang pergi... dia tidak berada di sini...,” jawab anggota Hek-lian-pang itu dengan muka
pucat dan tubuh menggigil.
“Bohong!” Bwee Hiang berteriak sambil menusukkan ujung pedangnya sedikit ke dada orang.
“Tidak... tidak bohong... pangcu kami pun baru setahun menjabat kedudukan pangcu... Empat tahun yang
lalu pangcu kami adalah ayah dari pangcu kami yang sekarang... dia ada di dalam gedung... harap lihiap..."
Akan tetapi pada saat itu dari dalam berlari keluar seorang tua tinggi besar yang diikuti oleh rombongan
orang berjumlah dua puluh orang lebih. Melihat ini, Bwee Hiang lantas menusukkan pedangnya menembus
dada orang yang membuat pengakuan tadi!
Orang tua tinggi besar yang baru keluar dari dalam rumah itu merasa marah sekali. la gunakan golok
besarnya menuding ke arah Bwee Hiang dan kedua suheng-nya sambil membentak dengan mulut marah.
“Tiga pembunuh rendah, siapakah kalian dan mengapa datang-datang membunuh orang seperti orang
gila?!”
Akan tetapi Bwee Hiang tidak menjawab pertanyaan ini, bahkan lalu bertanya.
"Apakah kau orang yang memimpin anak buahmu pada empat tahun yang lalu membakar rumah seorang
she Gak di Keng-sin dan membunuhnya dengan kejam?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Orang itu tertawa menghina.
"Benar! Akulah yang dahulu memimpin kawan-kawanku menghukum anjing she Gak itu! Apa hubungannya
dengan kau?”
Bukan main marahnya hati Bwee Hiang ketika mendengar bahwa orang yang berdiri di depannya inilah
yang menjadi musuh besarnya.
"Manusia keparat! Dengarlah baik-baik! Aku adalah puteri dari Gak Seng yang kau bunuh itu dan kini
setelah kita berhadapan muka, marilah kita bertempur untuk menyelesaikan perhitungan ini!”
Sambil berkata demikian gadis itu melompat maju dengan penuh amarah dan langsung menggerakkan
siang-kiam di kedua tangannya untuk menyerang.
"Kau anak kecil hendak melawan Gu Ma Ong? Ha-ha-ha!” Orang itu tertawa menyindir sambil
menggerakkan goloknya menangkis sekuat tenaga.
Akan tetapi suara ketawanya yang penuh ejekan itu melenyap ketika ia merasa betapa tangannya itu
terbentur dengan pedang yang sangat kuatnya sehingga ia merasa telapak tangannya tergetar. Ia maklum
bahwa lawannya yang biar pun hanya seorang dara muda, akan tetapi ternyata memiliki lweekang yang
tinggi dan tidak boleh dipandang ringan. Ia lalu memutar-mutar goloknya dan melawan dengan hebat.
Para anggota Hek-lian-pang yang berjumlah dua puluh orang lebih itu semuanya segera menggerakkan
senjata masing-masing hendak membantu. Akan tetapi tiba-tiba nampak dua bayangan berkelebat dan
Ciauw In berdua Ong Su sudah berdiri menghadang di depan mereka. Dengan toya di tangan Ong Su
membentak sambil melototkan sepasang matanya.
“Anjing-anjing Hek-lian-pang, jangan lakukan keroyokan secara curang!"
Tentu saja para anggota Hek-lian-pang yang mengandalkan jumlah besar tidak merasa jeri menghadapi
dua orang pemuda ini. Karena itu, sambil berteriak-teriak mereka maju menyerbu.
Ong Su tertawa bergelak. Sekali toyanya bergerak terputar, seorang pengeroyok lantas roboh dengan
mandi darah di kepalanya! Ciauw In juga menggerakkan pedangnya dan mata para pengeroyok itu tiba-tiba
menjadi silau karena sinar pedang dan toya kedua pemuda itu benar-benar hebat bergulung-gulung bagai
dua ekor naga sakti mengamuk.
Pertempuran berjalan ramai dan seru sekali karena betapa pun juga, semua anggota Hek-lian-pang
memiliki ilmu silat yang cukup tinggi hingga mereka dapat mengepung dan mengeroyok Ciauw In dan Ong
Su. Senjata-senjata di tangan mereka datang bagaikan serangan air hujan, akan tetapi dua orang jago
muda dari Hoa-san ini tidak merasa jeri. Ketika mereka mendesak, terdengarlah pekik dan robohlah
beberapa orang pengeroyok!
Sementara itu, pertempuran yang berjalan antara Bwee Hiang dan Gu Ma Ong, berjalan amat ramainya.
Gu Ma Ong adalah seorang ahli silat kawakan yang telah banyak sekali mengalami pertempuranpertempuran
besar, dan ilmu goloknya yang berasal dari cabang Bu-tong-pai itu tidak boleh dianggap
lemah.
Maka biar pun Bwee Hiang telah memiliki ilmu siang-kiam yang tinggi, akan tetapi ia kalah pengalaman
sehingga kelebihan ilmu silatnya bisa diimbangi oleh kelebihan pengalaman lawannya. Berkali-kali senjata
mereka bertemu dan bunga api terpencar keluar dibarengi suara nyaring ketika dua senjata beradu.
Gu Ma Ong merasa penasaran sekali karena setelah beberapa lamanya ia menyerang, selalu serangannya
berhasil digagalkan oleh lawan yang masih muda ini, maka ia lalu menggereng keras dan tiba-tiba
merubah ilmu goloknya. Ia mulai memainkan ilmu golok Hek-lian-pang sendiri yang berasal dari ilmu golok
Bu-tong-pai tapi telah dirubah. Golok di tangan kanannya meluncur dan dengan gerakan terputar
membabat ke arah pinggang Bwee Hiang, sedangkan tangan kirinya menyusul dengan sebuah pukulan ke
arah kepala gadis itu.
Bwee Hiang tidak menjadi gugup, ia lalu melayani serangan ini dengan gerak tipu Raja Monyet Membagi
Buah. Pedang di tangan kirinya dipukulkan dari atas ke bawah untuk menangkis babatan golok ke
pinggangnya, sedangkan pukulan tangan kiri lawan yang menyambar ke arah kepalanya itu dielakkan
dunia-kangouw.blogspot.com
dengan merendahkan tubuh hingga pukulan lawan menyambar lewat di atas kepalanya. Berbareng dengan
pertahanan diri itu, tangan kanannya yang menganggur segera menusukkan pedang ke arah dada orang,
tepat di bawah tangan kiri Gu Ma Ong yang terangkat dan sedang memukulnya itu!
Akan tetapi Gu Ma Ong benar-benar lihai, karena sungguh pun ia merasa amat terkejut melihat serangan
tiba-tiba yang berbahaya ini, ia tidak kehilangan ketenangannya dan tangan klrinya yang telah memukul
kepala segera disabetkan ke bawah dengan telapak tangan miring, menghantam pedang Bwee Hiang yang
menusuknya dari samping dengan gerak tipu Dewa Mabok Menolak Arak.
Gerakan ini harus dilakukan dengan tepat sekali, oleh karena pedang merupakan senjata yang tajam pada
kedua bagian sehingga pukulan telapak tangan harus dapat mengenai permukaan pedang, kalau meleset
sedikit saja maka telapak tangan itu pasti akan putus atau sedikitnya menderita luka! Gerakan Gu Ma Ong
amat tepat. Pedang yang menusuk di dadanya itu dapat terpental ke samping sehingga dadanya dapat
diselamatkan.
BAB-03 : PIBU DI BUKIT KUI-SAN
Bwee Hiang merasa kagum juga melihat ketenangan dan kelihaian pangcu (ketua) dari Hek-lian-pang ini.
Karena itu, sesudah melompat mundur dua langkah untuk menetapkan posisinya, ia lalu menyerbu lagi
dengan tipu-tipu Hoa-san Kiam-hoat yang hebat.
Sepasang pedangnya menyambar-nyambar dari kanan kiri, atas bawah dan mengurung tubuh lawannya.
Meski pun Gu Ma Ong melakukan perlawanan sengit dan mengerahkan seluruh kepandaiannya, namun
tetap saja goloknya terdesak dan terhimpit oleh sepasang pedang lawan sehingga diam-diam ia mengeluh
dan merasa gelisah sekali.
Sementara itu, Ong Su serta Ciauw In yang mengamuk, terutama sekali Ong Su yang memainkan toyanya
secara ganas dan lihai, sudah merobohkan belasan orang anggota Hek-lian-pai. Mereka itu ada yang
terbacok pundak atau lengannya, juga ada yang tulang kakinya patah-patah karena disapu oleh toya Ong
Su, bahkan ada pula yang kepalanya pecah atau mukanya matang biru sehingga sukar dikenal lagi.
Tubuh mereka bergelimpangan, darahnya membasahi lantai dan suara rintihan terdengar sangat
menyedihkan. Tadinya banyak sekali orang-orang penduduk Ban-hong-cun yang mendengar tentang
perkelahian itu datang menonton dari luar pintu pekarangan. Mereka diam-diam merasa heran dan juga
girang melihat bahwa akhirnya ada juga orang-orang yang berani melawan dan menentang Hek-lian-Pang
yang mereka benci. Namun ketika mellhat betapa tiga orang muda itu mengamuk demikian hebatnya,
mereka merasa ngeri juga lalu pergi menjauhkan diri dan hanya menonton atau menunggu dari tempat
yang cukup jauh dan aman!
Para anggota Hek-lian-pang yang tadinya mengeroyok Ong Su dan Ciauw In, kini merasa gentar dan
ketakutan melihat betapa dua orang muda itu mengamuk bagaikan sepasang naga dari angkasa dan
melihat betapa banyak kawan-kawan mereka terluka parah atau binasa. Mereka yang masih tersisa
delapan orang itu lalu berlarian keluar dari tempat itu untuk menyelamatkan diri!
Ong Su tertawa bergelak-gelak. Melihat betapa Bwee Hiang belum berhasil merobohkan ketua Hek-lianpang,
Ong Su segera menyerbu hendak membantu. Akan tetapi Ciauw In cepat berseru,
“Ong sute, jangan turun tangan! Sumoi tak perlu dibantu, biar dia sendiri yang membikin mampus musuh
besarnya!"
Ong Su merasa penasaran karena menurut suara hatinya, dia ingin cepat-cepat melihat musuh besar
sumoi-nya yang kejam itu roboh binasa, maka ia tidak menunda maksudnya hendak membantu. Akan
tetapi di luar dugaannya, Bwee Hiang juga berseru,
“Ong-suheng, ucapan twa-suheng tadi memang benar! Biarlah aku sendiri yang menebus kematian
mendiang ayahku."
Terpaksa Ong Su melompat mundur kembali dan hanya menonton bersama Ciauw In di pinggir.
Gu Ma Ong yang melihat betapa seluruh anak buahnya sudah disapu bersih oleh kedua orang muda itu,
tentu saja menjadi terkejut sekali dan hatinya semakin takut dan gentar. Oleh karena ini, maka permainan
dunia-kangouw.blogspot.com
goloknya yang sudah terdesak hebat oleh Bwee Hiang itu menjadi semakin kalut. Napasnya tersengalsengal
dan pandangan matanya kabur.
Pada saat Bwee Hiang menggunakan pedang di tangan kiri menyerang ke arah lehernya dan kaki kanan
gadis itu melayang menendang lambung dengan gerakan tipu Burung Walet Menyerang Lawan, Gu Ma
Ong yang sudah pening itu mempergunakan goloknya menangkis serangan pedang, ada pun tangan
kirinya cepat menyampok tendangan yang berbahaya itu.
la dapat menghindarkan diri dari serangan ini, akan tetapi tidak tahunya kedua serangan gadis itu hanya
untuk memancing dan mencari lowongan, karena secepat kilat pedang di tangan kanan gadis itu meluncur
ke depan dan tak dapat ditahan lagi pedang itu amblas ke dalam dadanya sebelah kiri sampai menembus
ke punggungnya! Gu Ma Ong hanya dapat mengeluarkan jerit ngeri, lantas roboh tak berkutik lagi!
Bwee Hiang berdiri memandang tubuh lawan atau musuh besarnya ini. Lenyaplah seluruh tenaga serta
semangatnya melihat betapa musuh besarnya ini akhirnya binasa juga di tangannya. Keharuan hati
dicampur kesedihan teringat akan nasib ayahnya membuat dia berdiri lemas dan dua butir air mata menitik
ke atas pipinya.
Bwee Hiang lalu menoleh dan memandang pada sekian banyaknya tubuh para anggota Hek-lian-pang, lalu
ia berkata sambil memandang kepada kedua suheng-nya.
“Twa-suheng, ji-suheng, terima kasih atas bantuan kalian. Hatiku telah puas karena sakit hati ayah sudah
terbalas!”
Seorang anggota Hek-liang-pang yang rebah tidak jauh dari mereka dan menderita tulang kering kakinya
patah-patah oleh toya Ong su menggerakkan tubuhnya dan bertanya.
"Sam-wi siapakah? Harap suka memberi tahu nama kalian agar nanti aku dapat memberi tahukan kepada
pangcu apa bila ia kembali ke sini."
Bwee Hiang tersenyum menyindir.
“Baiklah, kau kubiarkan hidup agar mendapat kesempatan memberi tahukan nama kami kepada pangcumu.
Ingat baik-baik bahwa yang melakukan semua ini adalah Gak Bwee Hiang puteri tunggal dari
mendiang Gak Seng di kota Keng-sin yang terbunuh mati oleh ketuamu ini!"
"Dan aku bernama Ong Su, kau ingat baik-baik!”
“Boleh juga kau beri tahukan namaku, yaitu Lie Ciauw In!”
"Kuingat baik-baik, tak akan kulupa tiga nama ini...," orang itu berkata lalu merintih-rintih karena kakinya
terasa sakit sekali.
Bwee Hiang dan kedua orang suheng-nya lalu meninggalkan tempat itu. Ketika mereka tiba di luar
pekarangan, mereka melihat banyak sekali orang menghampiri hingga mereka menjadi terkejut dan
bersiap sedia karena mengira bahwa orang-orang itu mungkin anak buah Hek-lian-pang yang hendak
mengeroyok. Akan tetapi ternyata bahwa mereka itu adalah penduduk kota Ban-hong-cun yang
menyatakan kekaguman dan rasa terima kasih mereka.
“Kalian sungguh gagah perkasa,” berkata seorang kakek yang berada di antara mereka. "Hek-lian-pang
telah bertahun-tahun merajalela dan tidak seorang pun berani menentang mereka, akan tetapi hari ini
mereka hancur dan rusak binasa dalam tangan kalian bertiga orang-orang muda. Untungnya bahwa
pangcu mereka sedang keluar kota. Kalau tidak, belum tentu kalian dapat keluar dengan selamat."
"Mengapa begitu, lopek?" tanya Ciasuw In dengan heran.
"Kalian tidak tahu, ketua mereka yang sedang pergi itu sangat lihai dan menurut cerita orang, ilmu
kepandaiannya masih beberapa kali lipat lebih tinggi dari pada kepandaian Gu-pangcu yang binasa itu."
"Aku tidak takut!" kata Bwee Hiang sambil mengangkat dada. "Bila lain kali aku bertemu dengan dia, pasti
akan kupenggal batang lehernya!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kakek itu memandang kagum.
"Lihiap, kalau ia bertemu dan bertempur dengan kau pasti akan merupakan pertandingan yang amat indah
dan sedap dipandang!”
Akan tetapi ketiga anak murid Hoa-san itu tidak memperdulikan mereka, bahkan Ciauw In lalu berpesan
agar supaya mereka itu suka turun tangan merawat mereka yang luka serta mengurus yang sudah tewas.
Kemudian mereka lalu melanjutkan perjalanan, menuju ke Kui-san untuk memenuhi tugas yang diserahkan
kepada mereka oleh suhu mereka, yakni mewakili Hoa-san untuk mengadu kepandaian di puncak Kui-san!
Bukit Kui-san adalah sebuah bukit yang bersih. Tidak terdapat hutan liar di tempat itu dan banyak dusun
dibuka orang di lereng-lereng bukit ini yang memiliki tanah subur. Di sana sini tumbuh pepohonan dan
seluruh permukaan bukit ditumbuhi rumput-rumput hijau yang gemuk menyedapkan mata.
Di puncak bukit ini terdapat sebuah kelenteng tua yang amat besar, memiliki pekarangan yang luas sekali.
Tempat inilah yang dipilih oleh Pek Bi Hosiang tokoh besar Go-bi-pai itu untuk mengadakan pibu
persahabatan. Hwesio ini sudah menghubungi ketua kelenteng dan mendapat perkenannya untuk
meminjam tempat ini sebagai tempat pibu.
Ketika hari-hari pertama musim Chun (musim semi) tiba, segala jago silat dari berbagai tempat berangsurangsur
berdatangan ke bukit Kui-san sehingga suasana di tempat itu ramai bagaikan sedang berpesta.
Para penduduk dusun di sekitar bukit, juga orang-orang dari kota jauh yang mendengar akan pertandingan
ini sengaja datang untuk menonton.
Ketika Ciauw In, Ong Su, dan Bwee Hiang sampai di tempat itu, ternyata di sana telah banyak berkumpul
jago-jago muda dan tua dari segala cabang persilatan. Kedatangan tiga orang muda itu disambut oleh Pek
Bi Hoasiang yang bertindak sebagai tuan rumah atau pengundang.
Sikap hwesio tua ini sangat ramah tamah. Sesudah mereka menjalankan penghormatan selayaknya,
hwesio tua yang beralis putih seluruhnya ini sambil tersenyum bertanya,
“Sam-wi, di manakah Ho Sim Siansu? Apakah orang tua itu akan datang belakangan?”
"Maaf, locianpwe. Suhu tidak dapat datang karena suhu tidak tertarik untuk turun tangan sendiri mengadu
pibu, yang menurut katanya seperti permainan kanak-kanak saja," jawab Ong Su yang jujur.
Akan tetapi selagi Pek Bi Hosiang tertawa bergelak-gelak mendengar ucapan ini, Ciauw In segera
memotong pembicaraan sute-nya yang lancang itu.
“Locianpwe," katanya dengan sikap hormat. “Suhu tidak punya waktu untuk datang, oleh karena itu suhu
sengaja mengutus teecu bertiga untuk mewakilinya.”
"Sayang, sayang... agaknya seperti juga tokoh-tokoh tua dari cabang persilatan lainnya, suhu-mu sudah
kehilangan kegembiraan hidup. Tak hanya suhu-mu yang tidak datang, bahkan sebagian besar dari
cabang-cabang persilatan hanya mengutus anak-anak murid muda saja, kecuali cabang Kun-lun-pai dan
Thai-san-pai yang meski pun mengutus dan mendatangkan jago tua, akan tetapi juga hanya tokoh-tokoh
tingkat dua saja. Mereka ini benar-benar terlalu sungkan, sayang...”
Ketiga anak murid Hoa-san ini lalu dipersilakan duduk di ruang yang telah penuh dengan para tamu yang
rata-rata bersikap sangat gagah itu. Oleh karena di antara para anak murid yang datang di situ banyak pula
terdapat pendekar-pendekar wanita, maka Bwee Hiang merasa gembira sekali dan ia memandang dengan
kagum kepada mereka itu.
Sebaliknya ketika mendengar bahwa gadis muda yang baru datang itu adalah murid dari Hoa-san-pai yang
sangat terkenal, para pendekar wanita lalu memandang dengan mata menduga-duga sampai di mana
kelihaian gadis ini.
Di antara para wanita yang berada di sana, yang amat menarik perhatian Bwee Hiang adalah seorang
wanita muda yang berusia paling banyak dua puluh tahun dan duduknya menyendiri seakan-akan tidak
berteman. Dara ini berpakaian serba hitam dan wajahnya luar biasa cantiknya, sedangkan sikapnya amat
gagah, terutama sepasang matanya yang bening dan indah itu benar-benar memikat hati.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah semua tamu memenuhi ruangan itu dan duduk di tempat masing-masing, Pek Bi Hosiang ketua Go
bi-pai yang mennjadi pengundang lalu berdiri dari tempat duduknya. Ia menduduki tempat yang khusus
disediakan untuk para tingkatan tua, bersama dua orang tokoh tua lain, yakni Gui Im Tojin dari Kun-lun-pai
dan Lan Lau Suthai dari Thai-san-pai.
Pek Bi Hosiang yang bertubuh tinggi besar itu nampak amat gembira dan gagah sekali. Jubahnya putih
bersih, kepalanya gundul licin dan mukanya berwarna kemerah-merahan dan belum nampak ada keriput.
Yang paling menarik perhatian adalah alisnya yang telah berwarna putih dan amat tebal itu. Alis inilah yang
membuat dia mendapat nama Pek Bi Hosiang atau Hwesio Alis Putih.
"Cuwi sekalian," katanya dengan suara yang nyaring dan jelas, “pinceng menghaturkan banyak terima
kasih dan merasa sangat bergembira atas kedatangan cuwi sekalian yang sudah memenuhi undangan
pinceng untuk datang mengadakan pertemuan pada hari ini, sungguh pun ada sedikit kekecewaan pinceng
bahwa para sahabat baik dari golongan tua tak berkesempatan turut hadir. Biarlah pertemuan kali ini
dilakukan oleh yang masih muda-muda untuk menambah pengalaman dan mempererat persahabatan,
tetapi lain kali akan pinceng usahakan untuk mengadakan satu pertemuan khusus bagi para locianpwe!
Sebagaimana cuwi sekalian ketahui, pertemuan ini diadakan untuk menyelenggarakan sebuah pibu secara
persahabatan. Sebuah lomba yang akan menentukan siapakah yang memiliki ilmu silat terbaik, yang
dilakukan dalam suasana persahabatan, saling mengisi kekurangan, menambah pengalaman serta
mempererat hubungan antara segolongan. Pertemuan ramah tamah seperti ini amat penting, dan ada
baiknya apa bila kelak setelah kami orang-orang tua ini sudah tidak ada lagi di dunia ini, kalian orang-orang
muda suka mengusahakan pertemuan semacam ini agar persatuan para orang gagah sedunia tidak akan
terpecah belah dan setiap persengketaan atau kesalah pahaman dapat dibereskan dalam pertemuan
seperti ini. Nah, sekarang mari kita mulai!”
Pidato ketua Go-bi-san ini disambut dengan tepuk tangan gembira oleh seluruh hadirin hingga keadaan
menjadi makin gembira. Pek Bi Hosiang lalu mengadakan perundingan bersama Gui Im Tojin dan Lan Lau
Suthai untuk menentukan peraturan dan tata cara pertandingan persahabatan itu dilakukan.
Setelah berunding beberapa lama, kemudian diputuskan bahwa setiap orang muda yang mewakili cabang
persilatan mereka boleh mendaftarkan nama mereka sebagai peserta dan pertandingan pibu ini akan
dilakukan dalam dua babak. Apa bila seorang pengikut dapat memenangkan dua pertandingan dalam
babak pertama, maka ia berhak ikut dalam babak kedua. Pemenang-pemenang babak kedua ini lalu akan
‘diuji’ kepandaiannya oleh tiga orang tua yang dianggap sebagai jurinya, yaitu Pek Bi Hosiang sendiri, Gui
Im Tojin, dan Lan Lau Suthai.
Setelah aturan ini diumumkan, maka ramailah orang-orang muda itu mendaftarkan nama masing-masing.
Akan tetapi tidak semua ikut mendaftarkan diri. Di antara mereka, yang merasa bahwa kepandaian sendiri
masih kurang sempurna, tidak berani mendaftarkan diri, karena takut kalau-kalau mendapat malu. Mereka
maklum bahwa yang berkumpul di waktu itu adalah ahli-ahli silat pilihan karena kalau tidak memiliki
kepandaian tinggi tidak nanti diutus sebagai wakil golongan masing-masing.
Setelah semua nama peserta tercatat, maka ternyata bahwa dari partai Go-bi terdapat dua orang peserta,
yakni Lo Sun Kang, murid pertama Pek Bi Hosiang, dan sumoi-nya yang bernama Ciu Hai Eng. Dari Kunlun-
pai yang ikut adalah Bong Hin dan Bong Le, kakak beradik yang juga merupakan murid pertama dan
kedua perguruan Kun-lun-pai, sedangkan Gui Im Tojin adalah susiok (paman guru) mereka.
Siauw-lim-pai diwakili oleh seorang hwesio muda bernama Hwat Siu Hwesio, seorang kepala gundul yang
pendiam dan tak banyak bicara, akan tetapi sepasang matanya yang tajam menunjukkan bahwa ia adalah
seorang ahli lweekeh yang sangat tangguh. Partai Bu-tong-pai diwakili oleh Ong Hwat Seng, seorang
pemuda berusia dua puluh tahun lebih yang tampan dan gagah, akan tetapi yang mempunyai watak amat
sombong dan takabur. Dari pihak Thai-san-pai, keluarlah dua orang gadis cantik dan gagah bernama Tan
Bi Nio dan Kui Ek Li, kedua-duanya murid Lan Lau Suthai yang hadir pula di situ.
Selain wakil-wakil dari partai, ada juga beberapa orang yang tidak mewakili partai, atau peserta luar yang
juga diperbolehkan mengikuti pibu ini. Di antara mereka terdapat dua orang yang perlu dikemukakan, yakni
seorang pemuda bernama Kam Sui Hong, serta seorang dara jelita yang tadi dikagumi oleh Bwee Hiang,
yang mendaftarkan namanya sebagai Gu Sian Kim.
Juga Ciauw In, Ong Su, dan Bwee Hiang mendaftarkan namanya hingga dari fihak partai peserta yang
terbanyak adalah partai Hoa-san ini. Dengan demikian maka jumlah peserta ada lima belas orang. Tentu
dunia-kangouw.blogspot.com
saja mereka ini merupakan orang-orang pilihan, sebab pada waktu itu yang datang memenuhi ruangan tak
kurang dari lima puluh orang dari berbagai golongan.
Ketika para peserta itu dipersilakan untuk bersiap, dan karena agaknya mereka ini masih merasa malumalu,
ketika seorang di antaranya diminta naik ke panggung akan tetapi tiada yang muncul. Sebagai tuan
rumah Pek Bi Hosiang lalu menyuruh muridnya yang kedua mendahului mereka.
Ciu Hai Eng, gadis bermuka kuning murid Go-bi-pai ini mentaati perintah suhu-nya dan dengan gerakan
ringan sekali ia melompat ke atas panggung. Munculnya gadis ini lantas disambut dengan tepuk tangan
para penonton, yakni penduduk dusun dan kota yang sengaja datang menonton karena mereka yang telah
menanti-nanti dari pagi tadi maklum bahwa kini pertandingan akan segera dimulai.
Melihat gadis Go-bi-pai itu sudah melompat naik ke panggung, maka murid kedua dari Thai-san-pai, yakni
Kui Ek Li yang bertubuh kecil langsing dan bermuka manis, lompat menyusul, disambut dengan tempik
sorak pula. Kui Ek Li mengangkat kedua tangannya kepada Ciu Hai Eng yang tersenyum dan membalas
penghormatannya.
“Cici, bagaimanakah kita bertanding, bertangan kosong, atau bersenjata?" tanya Kui Ek Li dengan senyum
manis, kepada Hai Eng yang lebih tua darinya itu. Memang tadi sudah ditetapkan bahwa dalam
pertandingan ini kedua peserta boleh berunding sendiri apakah mereka akan bertanding dengan tangan
kosong atau bersenjata.
"Adik yang manis,” jawab Hai Eng sambil tersenyum pula, "sudah lama aku mendengar tentang kehebatan
ilmu golok Thai–san-pai. Ingin sekali aku mencobanya."
Sambil berkata demiklan, Ciu Hai Eng mengeluarkan pedangnya, sedangkan Kui Ek Li segera mencabut
keluar goloknya yang kecil dan tipis dari pinggang.
"Berlakulah murah hati kepadaku, cici," katanya sambil memasang kuda-kuda dan setelah saling
mengangguk, kedua orang gadis itu mulai bersilat dan saling serang.
Ciu Hai Eng segera mengeluarkan ilmu pedang dari cabang Go-bi-pai yang tangguh dan cepat gerakannya
itu. Sedangkan Kui Ek Li juga tidak mau kalah, goloknya berkelebatan merupakan sinar putih yang lebar
dan panjang, menyerang dengan hebatnya.
Bagi para penonton yang tidak mengerti ilmu silat, tentu saja pertandingan ini membuat hati mereka
berdebar tegang dan cemas karena kuatir kalau-kalau seorang di antara kedua gadis itu akan terbacok
golok atau tertusuk pedang. Akan tetapi bagi mereka yang mengikuti pertandingan itu dan mengerti akan
ilmu silat tinggi, tidak ada kekuatiran ini di dalam hati.
Mereka maklum bahwa orang yang telah mempunyai ilmu kepandaian silat tinggi dapat menguasai
gerakan senjata mereka sepenuhnya sehingga mereka tidak akan kesalahan tangan membunuh atau
melukai hebat kepada lawannya. Sungguh pun setiap serangan dilakukan dengan sungguh-sungguh dan
hebat, namun mereka sudah cukup gesit untuk menghindarkan diri dari setiap serangan. Juga andai kata
lawan kurang cepat mengelak, mereka ini masih dapat menguasai senjata dan menahan serangan hingga
tidak sampai mendatangkan luka yang mematikan.
Setelah kedua orang gadis itu bertempur selama dua puluh jurus lebih, maka bagi mata para ahli yang
berada di situ, ternyatalah bahwa gerakan pedang Ciu Hai Eng lebih kuat dan matang sehingga perlahanlahan
golok Kui Ek Li mulai terdesak. Akan tetapi hal ini tentu saja tidak diketahui olen para penonton yang
tidak rnengerti ilmu silat tinggi, oleh karena mereka hanya melihat betapa dua orang gadis itu bergerak
cepat sekali hingga bayangan tubuh mereka lenyap tertelan sinar pedang dan golok.
Kui Ek Li juga maklum akan kehebatan ilmu pedang lawannya, maka untuk menjaga nama perguruan dan
untuk rnemperoleh kemenangan, tiba-tiba ia melakukan serangan yang luar biasa hebatnya, yakni dengan
tipu Hong-sauw Pat-yap atau Angin Sapu Daun Rontok. Goloknya sungguh merupakan angin taufan yang
berkelebatan dan menyambar-nyambar dengan ganas sekali.
Diam-diam Ciu Hai Eng merasa kagum melihat kegesitan gadis muda itu. Akan tetapi ia memang lebih kuat
dan lebih tenang sehingga menghadapi serangan hebat ini dia tidak menjadi gugup. Dengan ketenangan
disertai kegesitannya yang mengagumkan, Ciu Hai Eng lalu mainkan tipu silat Seng-siok Hut-si atau Musim
Panas Kebut Kipas.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pedangnya terputar melindungi tubuhnya dari depan sehingga tiap tusukan dan babatan golok lawannya
selalu tertangkis dengan kuatnya, bahkan ia segera membalas dengan serangan Hui-pau Liu-cwan atau Air
Terjun Bertebaran. Karena memang ia menang kuat dalam hal tenaga lweekang, maka serangannya ini
membuat Kui Ek Li merasa kewalahan dan setelah terdesak mundur dengan hebat, ia melompat sambil
berseru.
“Cici, ilmu pedangmu hebat sekali!"
Kalau para penonton di luar menganggap Ek Li sudah mengalah, adalah para ahli yang melihatnya maklum
bahwa tadi dalam pertempuran terakhir, ujung pedang Hai Eng telah berhasil membabat putus ujung ikat
pinggang Ek Li yang melambai ke bawah!
Menurut peraturan, untuk bisa memasuki babak kedua, maka Ciu Hai Eng harus menang satu
pertandingan lagi. Oleh karena itu, dia masih berdiri seorang diri di atas panggung setelah Ek Li turun dan
dengan tenang menanti datangnya lawan kedua.
Melihat kelihaian Ciu Hai Eng, Ong Su menjadi tertarik. Ia dulu pernah bertemu dengan seorang anak
murid dari Go-bi-pai yang mengantarkan surat untuk suhu-nya dan menurut pandangannya, ilmu
kepandaian pengantar surat itu walau pun cukup baik, akan tetapi tidak setinggi ilmu silat gadis bermuka
kuning dari Go-bi-pai ini.
Sesudah mendapat persetujuan suheng dan sumoi-nya, dia lalu melompat naik ke atas panggung sambil
membawa toyanya. Mendengar nama Ong Su sebagai murid utusan dari Hoa-san-pai disebut oleh Pek Bi
Hosiang, semua orang memandang dengan penuh perhatian.
Ong Su menjura kepada Ciu Hai Eng dan berkata,
"Enci yang gagah perkasa, perkenankanlah aku merasai kelihaian ilmu pedang cabang Go-bi-pai!” katanya
dengan suara nyaring sesuai dengan tubuhnya yang kuat dan tegap itu.
Ciu Hai Eng maklum akan ketangguhan lawan ini, akan tetapi dia merasa agak heran melihat pemuda ini
memegang sebatang toya.
"Saudara yang baik,” katanya, “sudah lama aku mendengar bahwa Hoa-san-pai memiliki ilmu pedang yang
jarang tandingannya di dunia ini dan tadi aku telah merasa gembira sekali mendengar bahwa aku
mendapat kehormatan untuk merasakan hebatnya Hoa-san Kiam-hoat. Akan tetapi mengapa kau
membawa-bawa toya?”
Ong Su tertawa, suara ketawanya bebas lepas menandakan kejujuran serta kepolosan hatinya.
“Enci yang gagah, semenjak belajar ilmu silat, aku lebih suka memegang toya ini dan ilmu pedang yang
kupelajari belum cukup untuk menandingi ilmu pedangmu tadi. Selain ilmu pedang, Hoa-san-pai juga
memiliki ilmu toya dan marilah kita main-main sebentar untuk menambahkan pengetahuanku yang amat
dangkal." Karena memang wataknya sangat jujur, maka biar pun merendahkan diri namun ucapan Ong Su
terdengar kaku.
Sambil tersenyum Ciu Hai Eng lalu memasang kuda-kuda dan berkata, "Saudara Ong yang baik, silakan
menyerang!”
Ong Su tidak sungkan-sungkan lagi dan segera menggerakkan toyanya dan terkejutlah Ciu Hai Eng
melihat gerakan toya yang benar-benar hebat itu. Ia maklum bahwa dalam hal tenaga, ia tidak dapat
mengimbangi tenaga lawan yang kuat bagaikan seekor harimau muda ini, maka ia berlaku hati-hati sekali
dan memutar pedangnya dengan cepat untuk mendesak Ong Su dengan ginkang-nya yang tinggi.
Akan tetapi kembali ia terkejut. Biar pun tubuhnya besar dan kuat, namun ginkang dari Ong Su cukup lihai
dan tidak berada di sebelah bawah ginkang-nya sendiri!
Pertempuran kali ini lebih hebat dari pertempuran tadi sehingga penonton bersorak-sorak gembira.
Memang benar-benar mengagumkan gerakan kedua orang itu. Toya di tangan Ong Su bergerak-gerak
kuat bagai gelombang ombak samudera yang bergulung-gulung memukul pantai, sedangkan Ciu Hai Eng
dengan amat gesitnya berkelebat dengan sinar pedangnya di antara gulungan gelombang sinar toya itu!
dunia-kangouw.blogspot.com
Kalau diukur, kepandaian kedua orang muda ini memang seimbang. Ong Su memang boleh dibilang
menang tenaga, akan tetapi dalam hal kegesitan, dia masih kalah sedikit. Hal ini bukan hanya disebabkan
oleh ginkang, karena ilmu meringankan tubuh mereka setingkat, hanya karena senjata di tangan gadis itu
lebih ringan dan dipegang di ujung tangan, maka dapat digerakkan lebih cepat dari pada gerakan toya
yang dipegang oleh kedua tangan.
Dalam hal mempertahankan diri memang senjata toya lebih bermanfaat dan praktis, akan tetapi dalam
penyerangan, kalah ganas oleh gerakan pedang. Hal ini dapat dilihat dengan baik oleh para ahli yang
berada di situ. Akan tetapi bagi mereka juga amat sukar untuk menentukan siapakah yang lebih unggul
antara dua orang muda yang sedang bertempur itu.
Ciu Hai Eng yang sudah mulai lelah, segera mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling hebat, yakni ia
menggunakan gerak tipu Dewi Kwan Im Menyebar Bunga. Kali ini gerakan pedangnya benar-benar cepat
sekali sehingga Ong Su merasa amat terkejut. Seolah-olah berubah menjadi dua batang, pedang di tangan
gadis itu secara tiba-tiba dan bertubi-tubi menyerang dengan tusukan ke arah lehernya lalu diteruskan
membacok dadanya!
Ong Su menggerakkan toyanya menangkis, akan tetapi ketika dua kali serangan ini dapat ia tangkis, tahutahu
pedang gadis itu telah terpental dan langsung menusuk ke perutnya! Ong Su merasa terkejut dan tak
tempat menangkis lagi. Akan tetapi, tiba-tiba pedang di tangan Hai Eng berubah gerakannya karena gadis
ini tidak mau melukai lawannya dan kini pedang itu meluncur ke pinggir perut Ong Su dan hanya
menyerempet bajunya saja.
Pada saat itu toya Ong Su yang ditangkisnya tadi telah tiba dan menghantam pedang itu sekerasnya
hingga pedang di tangan Hai Eng terlepas dari pegangan!
BAB-04 : KESOMBONGAN MEMBAWA PETAKA
ONG SU adalah seorang yang jujur. Dia maklum bahwa kalau mau, tadi gadis itu telah dapat
mengalahkannya, dan bahwa gadis itu telah berlaku mengalah. Maka kini melihat betapa pedang gadis itu
terlepas dari pegangan karena sampokan toyanya, ia pun lalu melepaskan toyanya itu dari pegangan
hingga jatuh ke atas lantai panggung!
Ciu Hai Eng tersenyum dan menjura.
"Ong-enghiong, tenagamu besar sekali, aku mengaku kalah."
Ong Su buru-buru membalas dengan menjura dalam. Ketika para penonton menyambut kemenangannya
dengan tepuk sorak, ia lalu mengangkat kedua tangannya ke atas dan berkata dengan suara keras.
“Bukan siauwte yang menang, akan tetapi nona inilah yang menang! Aku mengaku kalah!” Setelah berkata
demikian, ia menjura lagi kepada Hai Eng dan berkata,
“Enci yang gagah, aku benar-benar mengaku kalah dan terima kasih atas kemurahan hatimu tadi!”
Setelah berkata demikian, Ong Su mengambil toyanya dan melompat turun kembali ke tempat duduknya
semula di dekat Ciauw In dan Bwee Hiang.
"Ji-suheng, sikapmu tadi benar-benar baik dan membanggakan hatiku," kata Bwee Hiang.
Sedangkan Ciauw In hanya mengangguk-angguk sambil berkata, “Dia memang lihai ilmu pedangnya."
Para juri yang terdiri dari Pek Bi Hosiang, Gui Im Tojin serta Lan Lau Suthai juga tahu akan hasil
pertarungan tadi, maka pada babak pertama ini Ciu Hai Eng dinyatakan keluar sebagai pemenang. Dia
diperbolehkan duduk mengaso dan menanti untuk masuk dalam babak kedua! Tepuk sorak ramai
menyambut kemenangan Hai Eng ini dan gadis itu lalu duduk di tempatnya sendiri dan diam-diam merasa
kagum akan kejujuran hati Ong Su, murid Hoa-san-pai yang lihai ilmu toyanya itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika peserta lain dipersilakan naik, wakil Bu-tong-pai yang bernama Ong Hwat Seng, pemuda yang
menjadi wakil tunggal dari partai Bu-tong itu melompat ke atas panggung. Ia sengaja melakukan gerak
lompat Garuda Sakti Melayang Naik, sebuah gerakan yang amat indah dipandang.
Sambil melompat, ia membuka kedua lengannya ke kanan kiri bagaikan sayap garuda, dua kakinya ditekuk
ke atas seolah-olah cakar garuda hendak menyambar dan tubuhnya seakan-akan telungkup di udara.
Ketika tubuhnya turun ke atas papan panggung luitai (panggung tempat bersilat), kedua kakinya diturunkan
dan hinggap di atas papan, begitu ringannya bagaikan seekor burung kecil saja! Tentu saja gerakannya ini
disambut oleh tepuk sorak penonton yang merasa kagum sekali.
Dengan lagak dibuat-buat pemuda ini lalu menjura ke empat penjuru, kemudian berdiri mengangkat dada
dan bertolak pinggang, menunggu datangnya lawan! Ong Hwat Seng memang tampan dan gagah
orangnya, serta memiliki kesombongan besar. Hal ini adalah karena ia masih amat muda, belum lebih dari
dua puluh tahun dan karena dia memang berasal dari keluarga bangsawan yang kaya raya, maka sifat ini
tidak begitu membuat heran. Akan tetapi, harus diakui bahwa dia memiliki bakat baik sekali dan ilmu
silatnya amat lihai sehingga Bu-tong-pai merasa bangga mempunyai seorang murid muda seperti dia.
Seorang peserta lain yang tidak mewakili partai, yakni Kam Sui Hong, saat melihat lagak pemuda di atas
panggung, tidak dapat menahan hatinya lagi. Sambil berkata "maaf!” ia melompat naik ke atas panggung
dan menghadapi Ong Hwat Seng sambil menjura.
“Saudara Ong dari Bu-tong-pai, siauwte Kam Sui Hong minta pengajaran!” katanya.
"Saudara Kam Sui Hong, baru tadi aku mengenal namamu, akan tetapi aku belum tahu dari manakah kau
berasal, dan kau mewakili cabang persilatan manakah?” Pertanyaan ini diajukan dengan senyum dikulum.
Nampaknya Ong Hwat Seng ini memandang rendah sekali.
Melihat lagak ini, Bwee Hiang yang melihat betapa Ong Su memandang dengan mata tak senang, segera
menggoda ji-suheng-nya itu.
"Ong suheng, saudaramu itu benar-benar memalukan!"
Ong Su memandang kepada Bwee Hiang dengan merengut. "Saudara siapakah? Siapa sudi mempunyai
saudara seperti dia?”
Bwee Hiang tersenyum. “Dia juga she Ong, sama seperti she-mu sendiri, setidak-tidaknya kau masih ada
hubungan saudara dengan dia.”
Makin panaslah hati Ong Su. la bangkit berdiri dan hendak melompat ke atas panggung, akan tetapi
tangannya segera dipegang oleh suheng-nya.
"Sute, kau hendak pergi ke manakah?" tanya Ciauw In.
“Biar aku naik ke panggung dan melawan orang sombong itu!"
“Hush! Jangan kau begitu, sute. Kau tadi sudah mengaku kalah, dan karenanya kau tidak berhak lagi untuk
naik ke panggung. Kau lihat, orang sombong itu kurasa tidak akan kuat menghadapi Kam Sui Hong itu!”
Juga Bwee Hiang membujuk dan berkata, “Ong-suheng, aku tadi hanya bicara main-main saja, apakah kau
tidak bisa memaafkan?”
Luluh lagi kemarahan Ong Su dan dinginlah rasa panas yang membakar hatinya ketika mendengar ucapan
Bwee Hiang ini, maka dia menarik napas panjang dan duduk kembali di tempatnya.
Sementara itu, ketika mendengar pertanyaan Ong Hwat Seng yang sombong, Kam Sui Hong lalu
tersenyum dan menjawab,
“Saudara Ong Hwat Seng, kau mewakili partai Bu-tong-pai yang ternama, maka tentu kau lihai sekali. Akan
tetapi aku tak mewakili siapa pun juga, kecuali diriku sendiri. Aku hanya perantau bodoh yang karena
gembira melihat pertemuan ini, lalu melupakan kebodohan sendiri dan ingin menambahkan pengalaman
dalam pertandingan pibu persahabatan ini."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sayang sekali. Kalau begitu, aku berada dalam keadaan dan kedudukan yang rugi. Bila menang, maka
kemenangan itu tidak dapat mengharumkan nama partaiku, kalau kalah, aku akan malu sekali."
Bukan main panas hati Kam Sui Hong mendengar ini. "Tak usah kau merasa ragu-ragu, saudara Ong.
Ketahuilah, meski bodoh akan tetapi aku adalah keturunan langsung dari Kam Ek locianpwe yang mencipta
ilmu silat Ang-sin-tiauw Kun-hoat (Ilmu Silat Rajawali Merah).”
Mendengar pengakuan ini, kagetlah Ong Hwat Seng dan juga semua orang kini menaruh perhatian besar
kepada Kam Sui Hong. Nama Ang-sin-tiauw Kun-hoat bukanlah nama ilmu silat yang tidak terkenal.
“Bagus, kalau begitu biarlah aku belajar kenal dengan Ang-sin-tiauw Kun-hoat!" seru Ong Hwat Seng
dengan suara garang dan ia lalu maju menyerang.
Kam Sui Hong berlaku waspada dan segera mengelak lalu membalas dengan serangan yang tak kalah
hebatnya. Pertempuran kali ini berbeda dengan yang tadi-tadi, oleh karena dilakukan dengan tangan
kosong. Walau pun mereka bertempur dengan tangan kosong, akan tetapi tidak kalah ramainya dengan
pertempuran yang sudah-sudah. Kedua orang itu sama kuat, sama cepat, dan ilmu silat keduanya memang
tinggi.
Ilmu silat Bu-tong-pai mempunyai gerakan dan tendangan kaki yang kuat dan lihai, maka Ong Hwat Seng
mempunyai ilmu tendangan yang sangat berbahaya. Selain kepandaian menendang ini, dia pun ahli tiamhoat
(ilmu menotok jalan darah) dari Bu-tong-pai yang disebut coat-meh-hoat.
Ilmu tiam-hoat (totok) ini tidak sama dengan ilmu totok dari cabang Siauw-lim-pai yang disebut Tiam-hweelouw.
Apa bila tiam-hoat dari Siauw-lim-pai digunakannya harus tepat dan mencari urat-urat penting,
adalah coat-meh-hoat dari Bu-tong-pai tidak mencari urat, namun di mana saja totokan itu mengenai tubuh
akan mendatangkan kelumpuhan pada lawan.
Akan tetapi, ilmu silat turunan yang dimiliki oleh Kam Sui Hong bukanlah ilmu silat biasa saja dan Ang-sintiauw
Kun-hoat ini telah mengandung pukulan-pukulan lihai dari Hun-kin Coh-kut atau ilmu pukulan untuk
memutuskan otot dan melepaskan tulang lawan. Juga pemuda ini sudah mempelajari ilmu kebal Tiat-pouwsan
(Baju Besi) yang membuatnya kebal terhadap segala totokan yang datangnya tidak tepat dan kuat.
Malah senjata tajam yang mengenai badannya, asal datangnya tidak telak sekali dan tidak dilakukan
dengan tenaga lweekang yang tinggi, takkan dapat melukainya!
Karena itu dapat dibayangkan alangkah hebatnya pertempuran itu. Sebetulnya, menurut imbangan
kepandaian mereka, Ong Hwat Seng seharusnya mendapat kemenangan, oleh karena ilmu kepandaiannya
masih setingkat lebih tinggi, juga gerakannya memiliki banyak variasi yang tidak terduga. Akan tetapi, oleh
karena ia sombong, maka dia memandang rendah dan juga dia terlalu banyak berlagak untuk
mendemonstrasikan gerakannya agar supaya nampak indah.
Sudah tiga kali ia berhasil memasukkan jari tangannya dan mengirim serangan totokan, akan tetapi
totokan-totokan ini dapat ditahan oleh kekebalan tubuh Kam Sui Hong hingga meleset dan tidak
melukainya. Hal itu membuat Ong Hwat Seng menjadi panasaran dan marah.
Maka, sambil berseru keras ia kemudian mengeluarkan kepandaian simpanannya, yakni tendangan
berantai Siauw-cu-twi. Tendangan yang amat lihai ini dilakukan dengan kedua kaki dipentang sedikit sambil
badan agak merendah ke bawah, kemudian secara tiba-tiba ia melompat ke atas kira-kira satu setengah
kaki tingginya, lalu kaki kirinya menendang dengan lutut ditekuk, disusul dengan sambaran tendangan kaki
kanan, dilakukan secara berulang-ulang dan bergantian, bertubi-tubi ditujukan ke arah anggota berbahaya
pihak lawan! Inilah tendangan maut yang sangat berbahaya dan sekali saja tendangan itu bisa mengenai
sasaran, jiwa Kam Sui Hong takkan tertolong lagi!
Melihat keganasan serangan lawan yang seakan-akan lupa bahwa mereka hanya berpibu secara
bersahabat itu, Kam Sui Hong menjadi terkejut. Ia lalu mencoba mengelak, akan tetapi ia merasa
kewalahan menghadapi tendangan berantai yang lihai, itu. Maka sambil menggunakan kedua tangan untuk
menyampok tiap tendangan yang datang, ia terhuyung mundur. Satu kali tendangan itu meleset mengenai
pahanya hingga terasa sakit sekali.
Menurut patut, Ong Hwat Seng seharusnya menghentikan serangannya karena dengan terdesaknya lawan
dan berhasilnya tendangan ke arah paha, dia sudah boleh dianggap menang. Akan tetapi, pemuda ini
dunia-kangouw.blogspot.com
agaknya masih belum puas kalau belum merobohkan lawan, maka ia tidak mau berhenti dan terus
melancarkan serangan tendangannya!
Oleh karena tertendang pahanya, sebelah kaki Kam Sui Hong menjadi lemas. Akibatnya, ia jatuh berlutut
dan ini merupakan satu pembelaan diri yang tidak disengaja, oleh karena untuk menghadapi tendangan
Siauw-cu-twi memang paling tepat harus merendahkan diri dan menyembunyikan tubuh bagian bawah
yang berbahaya.
Dengan keadaan itu, maka tendangan Ong Hwat Seng menyambar ke atas kepalanya dan kesempatan itu
digunakan dengan baik oleh Kam Sui Hong yang segera mengulur tangan, lalu menangkap belakang kaki
lawan dan mendorongnya sekuat tenaga ke depan sehingga Ong Hwat Seng yang sedang menendang itu
tanpa ampun lagi lantas telempar sampai terjatuh di bawah panggung!
Tepuk sorak riuh rendah menyambut kemenangan Kam Sui Hong oleh karena diam-diam semua orang
berpihak kepadanya dan tidak senang melihat lagak Ong Hwat Seng yang terbanting ke bawah panggung.
Sesudah merayap bangun dengan muka meringis, Ong Hwat Seng lalu berjalan cepat meninggalkan
tempat itu sambil setengah berlari-lari!
"Ong-sicu, tunggu...!” Pek Bi Hosiang berteriak memanggil pemuda itu.
Akan tetapi Ong Hwat Seng hanya menengok sebentar dan menjawab, "Aku sudah kalah, mau apa lagi!"
dan terus berlari pergi.
Pek Bi Hosiang menghela napas dan berkata, "Ah, kenapa Bu-tong-pai mengirim seorang murid seperti
dia?"
Akan tetapi, ia lalu menarik muka gembira dan memberi tanda agar supaya pertandingan pibu
dilangsungkan.
Kam Sui Hong biar pun mendapat kemenangan, akan tetapi ia telah menderita luka pada pahanya yang
biar pun tidak berbahaya, akan tetapi tak memungkinkan kepadanya untuk menghadapi seorang lawan
baru. Krena itu, sambil menjura kepada Pek Bi Hosiang dia berkata.
"Locianpwe, teecu yang bodoh sudah membuat onar, maka harap suka dimaafkan dan teecu menganggap
bahwa barusan teecu tidak berada pada pihak yang menang. Biarlah selanjutnya teecu menjadi penonton
saja, karena teecu tidak kuat lagi untuk menghadapi seorang saudara lain."
Orang-orang memuji sikap pemuda yang halus serta sopan ini, bahkan ketiga anak murid Hoa-san-pai
memandangnya dengan kagum.
"Seorang pendekar muda yang gagah perkasa dan patut dicontoh," kata Ong Su.
Oleh karena dalam pertandingan yang baru terjadi tak ada pihak yang dianggap menang, maka lalu
muncullah jago muda dari Kun-lun-pai yang bernama Bong Lee, yakni murid kedua dari Kun-lun-pai.
Baru sejenak Bong Lee berada di atas panggung, tiba-tiba berkelebat bayangan orang gundul dan ternyata
bahwa Hwat Sui Hwesio wakil dari Siauw-lim-pai telah berada di atas panggung menghadapi Bong Lee
sambil menjura dengan sikap hormat. Hwesio ini meski pun masih muda, akan tetapi pada wajahnya
nampak kesabaran besar seakan-akan dia telah puluhan tahun menjalani penghidupan suci.
"Sahabat dari Kun-lun-pai, untuk menambah kegembiraan marilah pinceng melayanimu main-main
sebentar," katanya.
Dari gerakan ketika melompat ke atas panggung tadi saja sudah dapat diketahui bahwa hwesio muda ini
tak boleh dipandang ringan, maka Bong Lee sambil membalas menjura lalu berkata.
“Siauw-suhu, harap berlaku murah hati kepadaku."
Kemudian dia maju menyerang sambil mengeluarkan ilmu silat Kun-lun-pai yang cepat. Kedua kakinya
tiada hentinya berlompat-lompatan ke kanan kiri dengan gerakan cepat, sedangkan kedua tangannya pun
bergerak-gerak membingungkan lawan dengan banyak pukulan-pukulan pancingan dan palsu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Inilah ilmu silat Pek-wan Sin-na atau Ilmu Silat Lutung Putih yang benar-benar luar biasa. Ilmu silat ini tidak
mengandalkan keteguhan kedudukan kaki, akan tetapi mengandalkan kecepatan serta keringanan kaki
untuk melakukan serangan mendahului lawan dengan mempunyai banyak sekali gerakan-gerakan palsu
untuk memancing dan membingungkan lawan!
Sebetulnya apa bila menghadapi seorang yang kurang tenang hatinya, biar pun orang itu memiliki
kepandaian yang lebih tinggi, ilmu silat ini mungkin akan dapat mengalahkannya. Akan tetapi dalam
menghadapi hwesio muda itu, ternyata Bong Lee telah salah taksir. Dia tidak tahu bahwa Hwat Sui Hwesio
telah lama menjadi hwesio dan tiap hari meyakinkan ilmu batin dan semedhi hingga ia menjadi tenang
sekali.
Maka, pada saat melihat betapa lawannya menggunakan ilmu silat yang amat cepat dan membingungkan,
Hwat Sui Hwesio segera persatukan seluruh perhatiannya dan berlaku waspada sambil mainkan ilmu silat
Lo-han Kun-hoat, yaitu ilmu silat cabang Siauw-lim-pai yang sudah terkenal keteguhannya itu. Dengan
gerakan-gerakan yang mantap dan penuh tenaga, walau pun nampak sangat lambat, akan tetapi setiap
kali pukulan asli dari lawan menyambar, dengan enak dan mudah saja Hwat Sui Hwesio dapat mengelak
atau pun menangkis, bahkan membalas dengan serangan-serangan cukup berbahaya.
Akibatnya, Bong Lee harus mengakui keunggulan jago dari Siauw-lim itu ketika sebuah gerakan kaki yang
menyapu membuat tubuhnya terguling. Dengan cepat hwesio itu lalu menggunakan kedua tangannya
untuk membangunkan lawannya.
“Terima kasih atas pengajaranmu, Siauw-suhu,” kata Bong Lee yang kemudian segera mengundurkan diri.
Setelah Bong Lee, murid kedua dari Kun-lun-pai ini melompat turun, maka berkelebatlah satu bayangan
hijau dari bawah panggung dan tahu-tahu seorang gadis berpakaian serba hijau sudah berdiri di depan
Hwat Siu Hwesio. Inilah pendekar wanita Tan Bi Nio, murid pertama dari Thai-san-pai atau suci (kakak
seperguruan) dari Kui Ek Li yang tadi sudah dikalahkan oleh Ciu Hai Eng murid Go-bi-pai. Kalau
dibandingkan dengan kepandaian Kui Ek Li, maka kepandaian Tan Bi Nio ini menang jauh dan setingkat
lebih tinggi. Dengan sikap sopan ia mengajak pibu hwesio Siauw-lim-si itu dengan menggunakan senjata.
Hwat Sui Hwesio segera menyetujuinya dan mengeluarkan senjatanya, yakni sebatang toya. Ada pun Tan
Bi Nio adalah seorang ahli senjata siang-kek, yakni sepasang tombak pendek yang ujungnya bercagak.
Pertempuran kali ini betul-betul mengagumkan karena keduanya mempunyai ketenangan yang sama dan
juga lweekang masing-masing agaknya setingkat. Akan tetapi kemudian ternyata bahwa Tan Bi Nio masih
lebih unggul dalam hal kecepatan gerakan.
Hwat Sui Hwesio memainkan ilmu toya Hok-houw Kun-hoat, yakni ilmu toya penakluk harimau yang sangat
terkenal dari cabang Siauw-lim. Akan tetapi lawannya yang sudah banyak mengalami pertempuran itu tahu
bagaimana harus menghadapi toyanya. Setelah pertempuran berjalan dengan sangat serunya selama
hampir lima puluh jurus, sebatang tombak bercagak di tangan kirinya berhasil merobek ujung lengan baju
hwesio itu yang segera melompat mundur dan menjura mengaku kalah.
Sambutan penonton terhadap kemenangan ini meriah sekali karena semua orang merasa suka sekali
melihat Tan Bi Nio yang di samping cantik, juga tinggi ilmu silatnya dan tidak sombong lagaknya. Ada pun
Hwat Sui Hwesio, setelah mengaku kalah, kemudian duduk kembali ke tempat semula dengan tenang dan
sikap biasa.
Dari pihak Siauw-lim hanya dia sendiri yang datang oleh karena sesungguhnya pihak Siauw-lim tidak
begitu bernafsu untuk ikut dalam pibu ini. Kedatangan Hwat Sui Hwesio hanyalah untuk menghormat dan
memenuhi undangan Pek Bi Hosiang saja.
Setelah wakil Siauw-lim-si kalah, naiklah seorang peserta lain yang tidak mewakili cabang persilatan, akan
tetapi sebagai perseorangan lain, yang hendak mencari pengalaman dan persahabatan. Peserta ini adalah
seorang tinggi besar dengan muka hitam. Dia adalah seorang penduduk di kaki bukit Kui-san yang
bertenaga besar.
Akan tetapi ternyata bahwa peserta ini hanya bertenaga besar saja dan tidak memiliki ilmu silat yang tinggi.
Maka, setelah bertempur dengan tangan kosong melawan Tan Bi Nio, baru belasan jurus saja ia sudah
terlempar lagi turun ke bawah panggung!
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan kemenangan berturut-turut ini, Tan Bi Nio berhak memasuki babak kedua dan ia pun lalu
melompat turun untuk mengaso dan menanti sampai babak kedua dimulai.
Pemenang-pemenang selanjutnya dalam babak pertama ini adalah Bong Hin, yaitu murid pertama dari
Kun-lun-pai yang merobohkan dua orang peserta dari luar, dan juga Lo Sun Kang murid pertama dari Gobi-
pai yang telah mengalahkan seorang peserta dari luar.
Pada saat Lo Sun Kang masih berdiri menanti lawan yang kedua, dan Ciauw In hendak melompat naik
untuk menghadapi murid Go-bi-pai yang lihai itu, tiba-tiba bayangan hitam yang amat gesit gerakannya
melompat naik menghadapi Lo Sun Kang dengan tersenyum manis. Bayangan ini bukan lain adalah gadis
baju hitam yang tadi dikagumi oleh Bwee Hiang, karena bersikap gagah dan berwajah cantik jelita.
Memang, dara berbaju hitam ini benar-benar manis dan jelita sekali. Rambutnya panjang hitam digelung
menjadi dua bukit rambut di kanan kiri, diikat dengan sutera kuning yang melambai ke bawah. Kulit
mukanya yang putih kemerahan itu kelihatan lebih putih dan menarik oleh karena pakaiannya yang hitam
seluruhnya.
Hidungnya mancung dan mulutnya kecil dengan bibir berbentuk indah berwarna merah segar. Terutama
sepasang matanya amat indah bentuknya dan bening sekali, akan tetapi dari situ terpancar sinar yang
tajam berpengaruh.
Para penonton memandang kagum dan juga Lo Sun Kang merasa agak sungkan dan malu-malu
menghadapi nona cantik ini. Ia segera menjura dengan hormat, sementara itu suara Pek Bi Hosiang yang
memperkenalkan tiap peserta yang naik panggung, terdengar menyebut nama peserta ini sebagai Gu Sian
Kim.
"Bolehkah siauwte mengetahui, lihiap ini anak murid dari manakah?” tanya Lo Sun Kang.
Sambil tetap bersenyum manis, Sian Kim menjawab, "Lo-taihiap, sebetulnya memalukan sekali untuk
menuturkan keadaanku, dan sesungguhnya aku amat lancang dan tak tahu kebodohan sendiri berani naik
ke sini, karena sesungguhnya aku tidak mewakili cabang persilatan dari mana pun juga. Kepandaianku
hanyalah ilmu silat pasaran belaka dan kedatanganku ini hendak mohon pengajaran darimu."
Lo Sun Kang adalah seorang murid terpandai dari Pek Bi Hosiang yang sudah banyak merantau sehingga
ia banyak kenal orang-orang pandai di dunia persilatan. Akan tetapi ia belum pernah mendengar nama
Sian Kim, maka ia memandang sambil menduga-duga.
Ia maklum bahwa orang yang sekali-kali tak boleh dipandang rendah tentang ilmu silatnya ialah orangorang
yang nampaknya lemah seperti para pendeta dan para wanita, terlebih lagi apa bila mereka ini
pandai merendahkan diri. Maka melihat Sian Kim, ia mendapat dugaan bahwa dara ini tentu memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi.
"Lihiap harap jangan terlalu merendahkan diri,” Lo Sun Kang berkata. "Tidak tahu lihiap hendak
mengadakan pibu dengan tangan kosong atau bersenjata?”
"Aku pernah mempelajari sedikit permainan pedang dan karena sudah lama mendengar bahwa perguruan
Go-bi-pai memberi pelajaran delapan belas macam senjata yang lihai kepada murid-muridnya, harap
taihiap sudi memberi pelajaran padaku dengan semacam senjata yang biasa kau gunakan, agar
pengalamanku lebih luas dan terbuka mataku yang bodoh dan sempit pandangan.”
Sambil berkata demikian, Sian Kim meloloskan pedang yang tergantung di pinggangnya dan semua orang
berseru kagum karena ternyata bahwa pedangnya mengeluarkan sinar tanda bahwa pedang itu adalah
sebuah pedang pusaka yang ampuh.
BAB-05 : PERTARUNGAN DUA HARIMAU WANITA
Lo Sun Kang makin merasa yakin akan kelihaian lawan ini, karena itu ia lalu mengambil senjatanya yang
paling dia andalkan, yakni sebatang tombak yang disebut Coa-kut-chio atau Tombak Tulang Ular karena
tombak ini melengkung-lengkung seperti tubuh ular dan di ujungnya terpecah dua seperti bentuk mulut ular
yang terbuka. Ujung yang bercabang ini gunanya untuk menggigit atau menangkap senjata lawan untuk
dunia-kangouw.blogspot.com
diputar dan kemudian dirampasnya dan dalam hal permainan tombak ini Lo Sun Kang benar-benar
merupakan seorang ahli yang lihai.
Sementara itu, di antara semua orang yang memandang ke arah Sian Kim dengan rasa kagum, terdapat
pula seorang pemuda yang tiba-tiba merasa betapa dadanya berdebar keras. Pemuda ini adalah Ciauw In,
murid Hoa-san-pai itu.
Selama ini, belum pernah Ciauw In tertarik terhadap seorang wanita, bahkan sumoi-nya sendiri, Bwee
Hiang, yang dia tahu menaruh hati kepadanya, diterimanya dengan dingin. Akan tetapi, semenjak saat Sian
Kim melompat naik ke atas panggung, ia memandang dengan mata terbelalak dan terbakarlah hatinya oleh
api asmara.
Ia memandang kepada dara baju hitam itu bagaikan melihat seorang bidadari baru turun dari kahyangan.
Gadis itu benar-benar merupakan kenyataan dari pada gadis impiannya, demikian cantik jelita dan
terutama sekali kerlingan mata gadis itu membuat ia betul-betul roboh.
Bwee Hiang memang tiada hentinya memandang kepada suheng-nya yang telah mencuri hatinya ini, maka
gadis ini pun bisa melihat betapa cahaya dalam mata Ciauw In berubah ketika dara baju hitam itu naik ke
panggung. Sebagai seorang wanita yang berperasaan halus, Bwee Hiang dengan hati kuatir telah dapat
menduga bahwa suheng-nya ini tertarik kepada Sian Kim, maka diam-diam ia merasa panas hati.
Sementara itu, kedua orang muda di atas panggung sudah mulai bertempur dan segera setelah keduanya
menggerakkan senjata di tangan masing-masing, terdengarlah sorakan penonton yang merasa sangat
gembira karena kepandaian kedua orang itu benar-benar hebat luar biasa.
Tidak lama kemudian, sorakan-sorakan itu tiba-tiba terhenti dan mereka ini memandang dengan mulut
ternganga serta napas tertahan! Ternyata bahwa ilmu pedang dara baju hitam itu benar-benar
menakjubkan sekali karena sesudah bertempur kurang lebih lima belas jurus, tiba-tiba gadis itu berseru
nyaring. Gerakan pedangnya berubah sedemikian rupa sehingga kini sinar pedangnya berkelebat dan
menyambar-nyambar demikian ganas hingga tubuhnya sama sekali tertutup dan sinar pedang itu kini
mengurung Lo Sun Kang dengan ganasnya!
Ciauw In mengeluarkan seruan tertahan karena ia merasa heran dan kagum sekali, akan tetapi ada juga
perasaan ngeri dalam hatinya karena ilmu pedang gadis itu benar-benar ganas sekali. Setiap gerakan
merupakan serangan maut yang sukar ditangkis!
Kalau saja yang manghadapinya bukan Lo Sun Kang murid pertama dari Pek Bi Hosiang, tentu dalam
beberapa gerakan saja ia akan roboh! Akan tetapi Lo Sun Kang melakukan perlawanan sekuat tenaga dan
tombak tulang ular di tangannya digerakkan secepatnya untuk mengimbangi serangan lawan yang datang
bergelombang itu.
Akan tetapi Lo Sun Kang hanya dapat bertahan saja oleh karena sama sekali tidak diberi kesempatan
untuk membalas. Pedang Sian Kim terlalu cepat gerakkannya hingga tidak ada ketika sama sekali bagi Lo
Sun Kang untuk mengadakan serangan balasan. Tiap kali tombaknya berhasil menangkis pedang lawan,
maka pedang yang tertangkis itu bukan terpental kembali kepada si pemegang, akan tetapi terpental miring
merupakan serangan susulan yang otomatis!
Belum pernah Lo Sun Kang menghadapi lawan setangguh ini, karena itu ia benar-benar merasa gugup dan
kagum. Tetapi sebagai seorang murid pertama dari cabang persilatan Go-bi-pai, murid Pek Bi Hosiang
yang sudah terkenal sebagai tokoh besar, tentu saja ia ingin menjaga nama perguruannya.
Sayang sekali bahwa Lo Sun Kang berhati lemah. Ia tidak tega untuk membalas dengan serangan kejam
pula terhadap lawannya yang cantik jelita ini. Perasaan bahwa ia sedang bertanding menghadapi seorang
lawan wanita dalam sebuah pertandingan persahabatan, selalu mencegahnya untuk bersikap keras dan
kejam.
Dia tidak ingat bahwa lawannya tidak menggunakan perasaan semacam ini, dan bahwa lawannya selalu
menyerangnya dengan sungguh-sungguh. Andai ia juga menggunakan kenekatan ini, sebenarnya masih
belum tentu ia akan dapat menang, apa lagi karena ia berlaku sungkan-sungkan, tentu saja makin lama ia
makin terdesak hebat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ada pun Sian Kim makin lama makin ganas ilmu pedangnya dan mendesak hebat sekali, sama sekali tidak
mau memberi kelonggaran. Pada suatu ketika, Lo Sun Kang melihat pedang lawan membacok ke arah
kepalanya dengan gerakan cepat sekali. Dia segera menggunakan ujung tombaknya untuk ‘menangkap’
pedang itu dan untuk itu tombaknya segera diputar cepat untuk merampas pedang.
Akan tetapi, pada saat itu, dengan gerakan tidak terduga dan cepat sekali, kaki kiri dara baju hitam itu
bergerak mendupak ke arah dadanya dengan kecepatan luar biasa! Lo Sun Kang yang sedang
mengerahkan seluruh perhatian untuk merampas pedang lawan yang berbahaya itu, tidak menyangka
sama sekali dan tidak berdaya menghindarkan diri dari dupakan ini, maka cepat ia mengerahkan
lweekang-nya untuk melindungi dadanya yang disambar kaki!
"Dukkk!” tendangan itu tepat mengenai dada dan tubuh Lo Sun Kang terhuyung-huyung mundur, wajahnya
menjadi pucat sekali!
Pemuda ini lalu menjura di depan Sian Kim dan berkata, "Lihiap, kau benar-benar lihai, aku Lo Sun Kang
mengaku kalah!”
Kemudian, tanpa menanti jawaban, ia melompat turun ke bawah panggung dan setelah tiba di depan Pek
Bi Hosiang, ia muntahkan darah merah dan roboh pingsan!
Dengan tenang dan masih tersenyum, Pek Bi Hosiang berkata kepada murid-rnurid lain, “Bawa ia ke dalam
dan beri kim-tan (obat)!"
Sementara itu, Sian Kim yang mendapat kemenangan dan menerima tepuk tangan pujian dari para
penonton, berdiri dengan tenang dan senyumnya tidak pernah meninggalkan mulutnya. Ia menganggukangguk
keempat penjuru sambil mengangkat kedua tangannya memberi hormat sebagai pernyataan terima
kasih atas pujian para penonton. Ia belum mau turun oleh karena maklum bahwa untuk dapat memasuki
babak kedua, dia harus menangkan sebuah pertandingan lagi.
Cauw ln sudah merasa gatal-gatal tangannya untuk dapat mencoba kepandaian bidadari yang menarik
hatinya itu, dan sudah bangkit berdiri hendak melompat naik ke panggung. Akan tetapi, tiba-tiba Bwee
Hiang telah mendahuluinya dan gadis ini sudah melompat ke atas panggung terlebih dulu, menghadapi
Sian Kim yang memandangnya dengan mata tajam.
Terpaksa Ciauw In duduk kembali dengan kecewa, dan ia berkata kepada Ong Su.
“Mengapa kau tidak melarang dia nalk? Gadis baju hitam itu lihai sekali dan sumoi takkan dapat menang
terhadapnya!"
Ong Su yang ditegur itu menarik napas panjang dan menjawab, "Sumoi agaknya marah sekali dan
penasaran melihat cara bertempur yang kejam dari gadis baju hitam itu!”
Ciauw In mengerutkan keningnya. Kejam? Menurut pandangannya, Sian Kim tidak kejam, tetapi
menggunakan taktik untuk mencapai kemenangan yang memang wajar dilakukan dalam sebuah
pertandingan!
Memang, hati seorang muda yang sudah tergoda asmara, takkan melihat atau tidak mau melihat
keburukan orang yang dicintainya! Dia tadi ingin naik ke panggung menghadapi Sian Kim bukan dengan
maksud hendak merebut kemenangan, akan tetapi untuk dapat berhadapan dan menguji kepandaian gadis
yang menarik hatinya itu.
Sementara itu, begitu berhadapan dengan Sian Kim, Bwee Hiang segera meloloskan sepasang pedangnya
dan berkata keras menahan marahnya,
"Sobat yang gagah perkasa, biarlah aku mencoba ilmu pedangmu yang ganas itu!"
Ketika Pek Bi Hosiang menyebut nama Bwee Hiang untuk memperkenalkannya kepada penonton,
berubahlah air muka Sian Kim. Gadis baju hitam ini seakan-akan kurang jelas mendengar nama yang
sudah disebut oleh tokoh Go-bi-pai itu, maka dengan suaranya yang merdu dan halus ia bertanya kepada
Bwee Hiang,
“Nona manis, siapakan namamu tadi? Tadi kurang jelas terdengar olehku.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aku adalah Gak Bwee Hiang, anak murid Hoa-san-pai!” jawab Bwee Hiang.
Semua orang yang berada di sana, yang merasa amat kagum akan kelihaian Sian Kim, menduga-duga
siapakah adanya gadis ini dan siapa pula gurunya. Walau pun Pek Bi Hosiang sendiri tidak tahu ilmu
pedang apakah yang dimainkan oleh dara baju hitam yang sudah berhasil mengalahkan murid pertamanya
itu. Juga Ciauw In yang menduga-duga dengan hati tertarik tidak pernah menduga bahwa sebetulnya dara
baju hitam ini bukan lain ialah pangcu atau ketua dari Hek-lian-pang!
Gadis inilah yang menjadi ketua Hek-lian-pang yang telah diobrak-abrik olehnya bersama kedua orang
saudara seperguruannya. Bahkan Gu Mo Ong yang tewas dalam tangan Bwee Hiang itu adalah ayah dari
Sian Kim!
Ilmu pedang yang dimainkannya tadi adalah ilmu pedang ciptaan seorang pengemis tua yang menjadi guru
Sian Kim, pengemis perantau bertubuh tinggi yang sekarang sudah meninggal dunia. Dengan demikian,
maka ilmu pedangnya ini adalah ilmu pedang tunggal yang tidak dikenal orang lain dan hanya dapat
dimainkan oleh Sian Kim sendiri!
Sudah setahun lamanya dara baju hitam ini memimpin Hek-lian-pang. Dia menggantikan ayahnya yang
sudah tua dan karena memang ilmu silatnya jauh lebih tinggi dari pada ilmu silat ayahnya, maka baik
ayahnya sendiri mau pun semua anggota Hek–lian-pang mengangkatnya menjadi ketua perkumpulan.
Akan tetapi, Gu Sian Kim ini mempunyai darah perantau dan karena semenjak kecil ia ikut suhu-nya
merantau, maka ia tidak tahan untuk berdiam saja di rumah. Kedudukan sebagai ketua perkumpulan Heklian-
pang tidak menarik hatinya, maka sering kali ia pergi meninggalkan ayah dan anak buahnya untuk
merantau.
Ketika ia kembali ke Ban-hong-cun, ia mendengar tentang kematian ayahnya dan banyak anak buahnya.
Ketika mendengar bahwa yang membasmi perkumpulan Hek-lian-pang dan yang membunuh ayahnya
adalah seorang anak murid Hoa-san-pai yang bernama Gak Bwee Hiang beserta kedua orang suheng-nya
yang bernama Lie Ciauw In dan Ong Su, ia merasa marah sekali. Ia bersumpah untuk mencari dan
membalas dendam sakit hati ini, hendak membunuh ketiga orang murid Hoa-san-pai!
Oleh karena itu, ketika tadi melihat dan mendengar nama Ong Su naik ke atas panggung, diam-diam ia
memperhatikan. Ia datang ke tempat ini bukan sengaja mencari tiga orang musuhnya, akan tetapi hanya
untuk mencari nama dan mencoba kepandaiannya. Tidak disangka sama sekali bahwa di tempat ini dia
akan bertemu dengan ketiga orang yang dicari-carinya, maka sudah tentu saja ia diam-diam merasa girang
bukan main.
Kini menghadapi Gak Bwee Hiang yang menjadi pembunuh ayahnya dan menjadi musuh besarnya, ingin
sekali terjang dia membunuh musuh ini. Akan tetapi kecerdikan otaknya membuat ia berlaku tenang dan
membatasi diri, menahan amarahnya yang memuncak dan yang membuat sepasang matanya yang indah
itu seolah-olah mengeluarkan cahaya berapi sehingga Bwee Hiang sendiri merasa terkejut.
Sian Kim maklum bahwa ia berada di antara orang-orang gagah yang tak boleh dibuat permainan, maka
kalau saja ia berlaku keras dan kasar terhadap musuh besarnya ini dan sampai membunuhnya, tentu
tokoh-tokoh besar seperti Pek Bi Hosiang, Gui Im Tojin, Lan Lau Suthai dan yang lain-lain takkan tinggal
diam dan kalau sampai terjadi hal ini, maka keadaannya akan berbahaya sekali! Ia merasa jeri untuk
dianggap musuh oleh sekalian orang gagah dari dunia kang-ouw, maka ia manahan kemarahan hatinya
seberapa dapat.
Sian Kim merasa lega ketika tadi melihat dan menyaksikan kepandaian Ong Su yang biar pun cukup lihai,
akan tetapi tidak terlalu berbahaya baginya dan ia merasa sanggup untuk menewaskan pemuda itu dalam
sebuah pertempuran. Kini ia hendak menguji ketinggian ilmu pedang musuh besar yang berada di
hadapannya, kemudian setelah mencoba lagi kepandaian murid pertama dari Hoa-san, barulah dia akan
turun tangan, akan tetapi tidak di tempat ini!
Demikianlah, setelah mendapat jawaban yang memastikan bahwa gadis yang kini berada di depannya
ialah musuh besarnya yang bernama Gak Bwee Hiang, untuk melenyapkan keraguannya, ia berkata
sambil memaksa sebuah senyum manis.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Adikku yang baik, ketika aku menuju ke tempat ini, aku mendengar tentang tiga orang muda anak murid
Hoa-san-pai yang membuat nama besar di kota Ban-hong-cun, tidak tahu apakah mereka yang gagah
perkasa itu kau dan saudara-saudaramu?”
Melihat sikap Sian Kim yang mengajaknya mengobrol ini, Bwee Hiang merasa heran dan juga tidak sabar.
"Benar, memang benar aku dan kedua suheng-ku. Sobat, marilah kita mulai, sekarang bukan waktunya
untuk mengobrol!"
Sian Kim tersenyum dan mencabut pedangnya.
"Baik, baik. Kau majulah!”
Bwee Hiang yang merasa tak senang kepada dara jelita berbaju hitam ini, tanpa sungkan-sungkan lagi lalu
mainkan siangkiam-nya dan menyerang hebat. Sian Kim menangkis dan dia hanya mempertahankan diri
saja karena hendak mengukur sampai di mana kelihaian musuh besarnya ini.
Setelah bertempur belasan jurus, tahulah ia mengapa ayahnya tewas di tangan Bwee Hiang. Memang ilmu
pedang Hoa-san-pai yang dimainkan oleh sepasang pedang gadis ini benar-benar tangguh! Sesudah
mengukur kehebatan serangan Bwee Hiang, Sian Kim mulai membalas dan kini pedangnya berputar hebat
mendesak sepasang pedang Bwee Hiang dengan sangat kuatnya.
Bwee Hiang terkejut sekali. Cepat ia membela diri oleh karena sekarang lawannya telah mengeluarkan
ilmu pedangnya yang ganas dan yang tadi telah merobohkan murid tertua dari Go-bi-pai! Diam-diam Bwee
Hiang mengakui keunggulan ilmu pedang lawannya yang aneh ini, dan betapa pun dia mainkan sepasang
pedangnya dengan cepat, tetap saja ia terdesak hebat!
Sebaliknya, Sian Kim yang melihat pertahanan lawannya ini, tahu bahwa meski pun kalau menghadapi
seorang lawan seorang dia pasti akan dapat merobohkan mereka ini, akan tetapi apa bila mereka berdua
maju mengeroyoknya, Bwee Hiang dengan siangkiam-nya dan Ong Su dengan toyanya, belum tentu ia
mampu menang! Belum lagi diperhitungkan seorang suheng mereka yang belum ia ketahui sampai di
mana tingkat kepandaiannya.
Mengingat akan hal ini, Sian Kim berlaku hati-hati dan ia tidak mau membinasakan Bwee Hiang dalam
pertandingan ini. Walau pun dia akan berhasil membunuh musuh besar ini, tentu dia tidak akan kuat
menghadapi keroyokan kedua suheng dari Bwee Hiang!
Dia hanya mengeluarkan ilmu pedang yang dinamakannya sendiri Hek-lian Kiam-sut, dan mempergunakan
keunggulan permainannya untuk mendesak keras dan mempermainkan Bwee Hiang. Pada jurus ketiga
puluh satu, dia berhasil menggunakan ujung pedangnya untuk menowel pita rambut Bwee Hiang sehingga
pita itu putus dan rambut Bwee Hiang terurai di atas pundaknya.
Akan tetapi, hal ini malah menambah kemarahan Bwee Hiang yang menganggap bahwa lawannya terlalu
menghina dan mempermainkan dirinya. Dengan nekat ia maju menyerbu dengan sepasang pedangnya,
namun kembali Sian Kim mengeluarkan kepandaiannya. Pedangnya berkelebat dan…
“Brettt!” ujung pedang itu berhasil mampir di baju Bwee Hiang pada bagian dada hingga robek!
Bukan main marahnya Bwee Hiang oleh karena perbuatan ini hampir saja mendatangkan malu besar pada
dirinya. Untung bahwa yang terobek hanyalah baju luar dan tak sampai menembus baju dalamnya yang
berwarna merah. Kalau baju dalamnya ikat terobek, tentu akan terlihatlah dadanya!
Hal ini dianggapnya penghinaan yang luar biasa besarnya. Maka, sambil memekik marah Bwee Hiang lalu
menyerang dengan lebih hebat, mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk mengadu nyawa!
Menghadapi amukan ini, terpaksa Sian Kim juga mengerahkan kepandaiannya, karena ia hanya lebih
unggul setingkat saja dari Bwee Hiang dan tak mungkin baginya untuk dapat mempermainkan gadis itu
sesuka hatinya. Sesudah dia mengerahkan tenaga serta ilmu pedangnya, perlahan akan tetapi tentu, Bwee
Hiang mulai mundur-mundur dan berkelahi sambil mundur terputar. Beberapa kali ia terdesak sampai ke
pinggir panggung sehingga tiap saat dapat saja dia tergelincir jatuh!
dunia-kangouw.blogspot.com
Para penonton yang melihat pertandingan ini, menjadi tegang dan cemas sekali. Biar pun mereka yang
tidak mengerti ilmu silat, dapat merasa bahwa pertandingan kali ini di antara dua orang gadis yang
merupakan harimau betina itu, bukanlah pertandingan main-main belaka.
Juga Ciauw In merasa gelisah sekali melihat hal ini. Pemuda ini sudah berdiri dari tempat duduknya dan
memandang penuh kekuatiran. Ia merasa menyesal mengapa sumoi-nya begitu keras hati dan tidak tahu
diri. Sudah seharusnya sumoi-nya itu melompat turun dari panggung menerima kalah. Kenapa sumoi-nya
menjadi demikian pemarah dan tidak mau mengalah?
Sian Kim merasa penasaran juga melihat kebandelan Bwee Hiang dan karena serangan-serangan Bwee
Hiang juga amat berbahaya, terpaksa ia mendesaknya lagi dan mengirim serangan-serangan mematikan.
Pada suatu ketika, serangan Sian Kim datang demikian cepat sehingga ketika tertangkis, api memancar
keluar dari kedua pedang yang sedang bertemu.
Bwee Hiang merasa betapa tangannya gemetar. Selagi dia hendak membalas serangan itu, Sian Kim
mendahuluinya dengan serangan kilat ke arah lehernya! Bwee Hiang masih mampu menangkis serangan
ini, akan tetapi dia terhuyung dan hampir jatuh, sedangkan Sian Kim tidak mau memberi hati dan
menubruk!
Pada saat itu, terdengar suara keras, "Sumoi, kau sudah kalah!"
Sian Kim merasa betapa pundaknya ditolak orang sehingga ia terdorong mundur sampai tiga langkah,
sedangkan orang yang datang memisah itu, sekali pegang tangan Bwee Hiang sudah berhasil menarik
gadis itu melompat turun panggung. Kemudian orang itu melompat kembali ke atas panggung menjura
kepadanya dan berkata dengan halus,
“Nona, harap kau maafkan sumoi-ku yang keras hati itu."
Sian Kim memandang dan ia tertegun. Yang berdiri di depannya adalah seorang pemuda yang tampan
sekali, bersikap sopan santun dan mempunyai sepasang mata yang sangat tajam bagaikan sepasang
bintang pagi! Sian Kim memang memiliki kelemahan terhadap pemuda-pemuda tampan, maka tak terasa
lagi hatinya tergoncang.
Akan tetapi ia teringat bahwa pemuda ini tentulah suheng dari Bwee Hiang yang bernama Lie Ciauw In.
Diam-diam ia merasa terkejut dan mengeluh. Dari dorongan pemuda ini tadi saja sudah membuktikan akan
kelihaiannya dan kekuatan lweekang-nya yang luar biasa. Maka ia membalas menjura dan berkata,
“Tidak ada yang harus minta maaf, sudah biasa terjadi perebutan kemenangan dalam sebuah pibu!”
Setelah berkata demikian, Sian Kim lalu melompat turun dan duduk di tempatnya semula, menunggu
dimulainya pertandingan babak kedua sebagai hasil kemenangannya dua kali berturut-turut itu. Dia
mengharapkan untuk dapat bertanding dan mengukur kepandaian Ciauw In dalam babak kedua nanti.
Sementara itu, Ciauw In yang belum bertanding, masih berdiri menanti datangnya lawan. Kebetulan sekali
masih ada dua orang peserta yang tidak mewakili partai persilatan, dan seorang di antara mereka lalu
melompat naik ke panggung. Akan tetapi ternyata bahwa ia bukanlah lawan Ciauw In yang lihai. Dalam
sebuah pertempuran pendek, dalam belasan jurus saja peserta ini dapat dikalahkan oleh Ciauw In yang
berhasil menotok pundaknya!
Peserta kedua dan yang terakhir melompat naik kemudian mengajak Ciauw In bertanding pedang. Ciauw
In mencabut pedangnya dan semua orang, termasuk Pek Bi Hosiang pula, memandang penuh perhatian
oleh karena ia pun ingin sekali melihat lihainya Hoa-san Kiam-hoat ciptaan Ho Sim Siansu yang belum
diperlihatkan itu.
Pada waktu Bwee Hiang bermain siang-kiam, walau pun gerakan ini menurut ilmu pedang Hoa-san, akan
tetapi telah banyak dirubah dengan permainan sepasang pedang. Karena Hoa-san Kiam-hoat sebetulnya
harus dimainkan dengan pedang tunggal maka permainan Bwee Hiang tidak sangat mengesankan.
Lawan Ciauw In ternyata mempunyai ilmu pedang campuran yang cukup tangguh dan gerakannya kuat.
Akan tetapi, menghadapi ilmu pedang yang dimainkan Ciauw ln, ia tidak berdaya dan belum sampai dua
puluh jurus, pedangnya telah dapat dibikin terpental ke udara oleh babatan Ciauw In!
dunia-kangouw.blogspot.com
Tepuk-sorak menyambut kemenangan Ciauw In ini, dan juga Pek Bi Hosiang diam-diam memuji kehebatan
ilmu pedang Hoa-san, sungguh pun ia belum mendapatkan bukti yang jelas akan kehebatan ilmu pedang
itu karena Ciauw In belum mendapat kesempatan untuk memainkan ilmu pedang ini sampai sehebathebatnya,
berhubung lawannya tadi bukanlah merupakan lawan yang cukup kuat untuk mengimbangi
kepandaiannya.
Maka selesailah sudah babak pertama dan orang-orang yang keluar sebagai pemenang ada lima orang,
yaitu Ciu Hai Eng murid perempuan dari Go-bi-pai, Bong Hin murid utama dari Kun-lun-pai, Tan Bi Nio
murid perempuan dari Thai-san-pai, Gu Sian Kim, dan Lie Ciauw In. Jadi tiga pendekar wanita dan dua
pendekar pria!
Pek Bi Hosiang yang bijaksana lalu mengadakan keputusan bahwa di antara lima orang itu, harus
bertanding menurut kelamin masing-masing untuk menetapkan pemenang pria dan wanita yang kemudian
akan berhadapan untuk memperebutkan gelar juara!
Ciu Hai Eng lalu melompat ke atas panggung, disusul oleh Tan Bi Nio. Pek Bi Hosiang merasa kecewa
sekali bahwa yang menang dalam babak pertama tadi adalah muridnya kedua ini, karena kalau yang
menang itu murid pertamanya yaitu Lo Sun Kang yang dikalahkan oleh Sian Kim, tentu kedudukan Go-bipai
lebih kuat. Kini Ciu Hai Eng yang menghadapi Tan Bi Nio, murid pertama dari Thai-san-pai,
mendapatkan lawan yang berat sekali.
Benar saja, setelah keduanya mulai menggerakkan senjata masing-masing, yakni Ciu Hai Eng
menggerakkan pedangnya dan Tan Bi Nio mainkan siang-kek atau sepasang tombak pendek bercagak
yang lihai, segera terlihat bahwa kepandaian Tan Bi Nio lebih menang setingkat.
Sepasang siangkek-nya mendesak pedang Ciu Hai Eng dengan hebat. Biar pun Hai Eng mempertahankan
diri dan nama perguruannya sekuat tenaga, namun sesudah bertempur mati-matian, pada jurus ketiga
puluh siangkek di tangan kanan Tan Bi Nio dapat menjepit pedang lawan dan memutarnya sedemikian
rupa sehingga terpaksa Ciu Hai Eng melepas pedangnya dan mengaku kalah.
BAB-06 : LAHIRNYA HOA-SAN TAIHIAP
Gu Sian Kim kemudian menggantikan Ciu Hai Eng dan kehadirannya disambut oleh para penonton dengan
tepuk sorak riuh rendah! Hampir semua penonton laki-laki merasa amat kagum melihat kepandaian dan
terutama sekali melihat kecantikan Sian Kim, dan karena yang kini dihadapinya juga seorang gadis cantik
laksana Tan Bi Nio, sudah tentu mereka yang menonton merasa senang dan gembira sekali. Mereka telah
menyaksikan kelihaian Tan Bi Nio dan sudah dibikin kagum pula oleh permainan pedang Sian Kim, maka
dapat menduga bahwa kini pasti akan terjadi pertempuran yang luar biasa ramainya!
Sementara itu, Ciauw In yang kembali ke tempat duduknya, disambut oleh Bwee Hiang dengan muka
merengut. Gadis ini hampir menangis dan sedang dihibur oleh Ong Su dengan bisikan-bisikan perlahan.
Ciauw In ingin sekali menegur sumoi-nya ini, akan tetapi ia tidak mau membikin malu sumoi-nya di depan
umum, maka menunda niatnya dan akan menegur setelah mereka meninggalkan tempat itu.
Sedangkan Bwee Hiang juga diam saja, bahkan tidak mau memandang muka Ciauw In. Gadis ini merasa
tak enak hati dan marah sekali, karena hatinya telah dipengaruhi oleh rasa iri dan cemburu besar terhadap
Sian Kim.
Sementara itu, pertempuran antara Tan Bi Nio dan Sian Kim sudah mulai berlangsung dengan hebatnya.
Sepasang siang-kek dari murid Thai-san-pai itu memang lihai sekali dan memiliki gerakan yang kuat dan
cepat, sedangkan ilmu pedang Sian Kim memang mempunyai gerakan istimewa cepatnya. Karena itu,
setelah kedua orang gadis gagah ini mengeluarkan kepandaian masing-masing, tentu saja sinar senjata
mereka berkelebatan menyilaukan mata yang menontonnya!
Sian Kim adalah seorang gadis yang memiliki kecerdikan luar biasa. Ia tidak mempunyai permusuhan
dengan Tan Bi Nio dan tidak ingin pula menanam permusuhan dengan gadis ini oleh karena, ia tahu bahwa
Tan Bi Nio adalah anak murid Thai-san-pai yang tersohor dan ternama. Apa bila dia sampai menjatuhkan
Tan Bi Nio dengan ilmu pedangnya yang ganas tanpa mengenal ampun, setidaknya tentu ia akan dibenci
oleh Tan Bi Nio beserta golongannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Oleh karena itu, kini menghadapi Tan Bi Nio, biar pun kalau mau dia bisa mendapatkan kemenangan
dengan segera, akan tetapi dia sengaja menyimpan tipu-tipu silatnya yang terlihai dan ganas, dan hanya
mainkan pedangnya dengan gerakan lemah gemulai dan indah serta sedap dipandang.
Memang Sian Kim cantik jelita dan mempunyai potongan tubuh yang menggiurkan. Maka kini setelah ia
mengeluarkan gaya gerakan yang indah, tentu saja ia mendapat sambutan tepuk tangan yang riuh rendah.
Pada jurus kelima puluh, setelah keduanya merasa cukup lelah, Tan Bi Nio yang merasa penasaran oleh
karena biasanya dia merasa sepasang siangkek-nya paling baik untuk melawan orang berpedang, tapi kini
ternyata tak berdaya menghadapi permainan pedang Sian Kim, lalu berseru keras,
“Awas serangan!”
Dan benar saja, siangkek-nya sekarang berubah gerakannya, menjadi kuat serta cepat. Siang-kek itu
bertubi-tubi menghujani serangan. Senjata tombak pendek di tangan kirinya selalu memancing-mancing
dan menyerang hebat, akan tetapi ini hanyalah merupakan serangan palsu belaka.
Pada waktu senjata di tangan kiri meluncur ke arah iga Sian Kim, gadis baju hitam ini menangkis dengan
pedang. Akan tetapi tiba-tiba senjata itu ditarik mundur dan tombak di tangan kanannya yang menyerang
dengan hebatnya, menyerampang pinggang Sian Kim yang ramping!
Sian Kim tidak menjadi gugup menghadapi serangan tiba-tiba yang berbahaya ini. Sambil berseru keras
dan nyaring, tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas dengan gerak loncat Pek-liong Seng-thian atau Naga
Putih Terbang ke Langit! Tubuhnya berjungkir balik dengan kepala di bawah dan kaki di atas, dan dari atas
ia melayang turun dengan serangan hebat yang mirip dengan serangan pedang Sin-liong Pok-sui atau
Naga Sakti Menyambar Air.
Gerakan serangan ini indah bukan main. Ikat pinggang Sian Kim yang berwarna merah itu berkibar di
udara, sedangkan sebagian rambutnya terlepas dari sanggulnya sehingga berkibar-kibar pula amat
indahnya. Semua orang menjadi kagum melihatnya.
Tan Bi Nio yang bersikap tenang menerima serangan ini dan menggunakan kesempatan yang amat baik ini
untuk mengelak ke kiri, lalu selagi tubuh Sian Kim meluncur turun, ia membarengi dengan serangan kedua
siang-kek ke arah leher dan pinggang lawan sambil membarengi mengangkat kaki menendang!
Bukan main hebatnya serangan Tan Bi Nio ini. Ciauw In yang melihatnya mengeluarkan seruan tertahan
karena kuatir akan keselamatan dara jelita itu sehingga membuat Bwee Hiang menjadi makin merengut
dan cemburu.
Namun, semua penonton yang tadinya menahan napas dengan berkuatir sekali, tiba-tiba bersorak-sorak
memuji karena Sian Kim sudah mendemonstrasikan kepandaiannya yang benar-benar mengagumkan.
Ketika tubuhnya meluncur turun akibat serangannya dengan gerak tipu yang mirip dengan Sin-liong Poksui
tadi gagal, tiba-tiba ia menekuk tubuhnya dan dengan gerakan loh-be yakni gerakan membalik dengan
cepat, ia telah mencelat lagi ke atas sebelum tubuhnya tiba di bawah!
Gerakan ini menggagalkan tendangan Tan Bi Nio, juga sekaligus mengelakkan sambaran senjata lawan
pada lehernya. Sedangkan sambaran senjata tombak ke arah pinggangnya dapat didupaknya dengan
sebelah kakinya! Cepat bukan main gerakan ini hingga Bi Nio sendiri tidak pernah menyangkanya, maka
tendangan kaki lawan itu tepat mengena pada jari tangan yang memegang senjata tombak. Maka, tanpa
dapat dicegah lagi, tombaknya terlepas dan ia melompat mundur dengan muka merah.
"Aku menerima kalah!" katanya.
Sian Kim yang sudah melompat turun, kemudian menghampiri Bi Nio, memungut tombak lawannya dan
mengembalikannya. Ia lalu memeluk pundak Bi Nio sambil berkata dengan senyum manis.
"Cici, ilmu siangkek-mu betul-betul membuat aku kagum sekali. Maafkan kelancanganku tadi."
Melihat sikap ini, Tan Bi Nio merasa terharu dan juga girang. Ia pun balas memeluk dan berkata, “Ah,
betapa pun juga, kepandaianku masih belum dapat dibandingkan dengan kehebatan ilmu pedangmu."
Keduanya kemudian turun dari panggung bersama-sama untuk memberi tempat kepada peserta lain.
dunia-kangouw.blogspot.com
Menurut keputusan Pek Bi Hosiang, maka kini Ciauw In harus menghadapi Bong Hin, murid kepala dari
Kun-lun-pai. Tentu saja Bong Hin sebagai murid kepala termuda dari Kun-lun-pai, memiliki ilmu silat tinggi
sekali sebagaimana yang sudah dibuktikannya tadi sehingga dengan amat mudahnya ia mengalahkan dua
orang peserta luar.
Diam-diam Bong Hin tadi memperhatikan gerakan pedang Ciauw In, dan dia mendapat kenyataan bahwa
Hoa-san Kiam-hoat dari pemuda itu sungguh-sungguh tangguh maka ia merasa bahwa dalam kepandaian
dalam main senjata, belum tentu ia akan memperoleh kemenangan.
Oleh karena ini, dia mendapat akal. Dia adalah seorang ahli dalam ilmu Tiat-ciang-kang, yakni Telapak
Tangan Besi. Kedua telapak tangannya sudah dilatih semenjak dia masih kecil sehingga telapak tangannya
mempunyai kekuatan dan kehebatan yang tidak takut menghadapi serangan senjata tajam. Ia berani
memapaki bacokan golok dengan telapak tangannya dan merampas golok itu!
Maka, mengandalkan ilmu silat tangan kosong dari Kun-lun-pai dan ilmu Tiat-ciang-kang ini, ia lalu
mendahului Ciauw In dengan kata-kata ramah.
“Saudara gagah dari Hoa-san, karena perguruan kita saling bersahabat, maka marilah kita main-main
sebentar dengan bertangan kosong saja.”
Ciauw In tersenyum dan ia dapat menduga bahwa lawannya ini tentulah mempunyai satu keistimewaan
yang khusus dalam kepandaian silat tangan kosong. Sesudah melihat dan memandang dengan teliti, dia
dapat melihat telapak tangan lawan yang kehitam-hitaman itu, maka diam-diam ia terkejut.
Akan tetapi, sebagai seorang murid Hoa-san-pai yang menjunjung tinggi nama perguruan sendiri, tentu
saja ia tidak menjadi gentar menghadapi lawan ini. Sambil menganggukkan kepala ia lalu meloloskan
sarung pedangnya dan melemparkannya ke arah Ong Su yang menyambutnya. Kemudian dengan tenang
ia maju menghadapi Bong Hin dan memasang kuda-kuda dengan gerakan Heng-Pai Kwan-Im atau
Memuja Dewi Kwan Im Dengan Tangan Miring!
Melihat betapa lawannya sudah memasang bhesi, Bong Hin tidak berlaku sungkan lagi, maka ia pun
berseru, “Awas pukulan!”
Bong Hin lalu memajukan kakinya dan menyerang dengan gerak tipu Pai-in Cut-sui atau Mendorong Awan
Keluar Puncak! Ia mendorong dengan telapak tangannya yang berisi tenaga Tiat-ciang-kang hingga belum
juga dorongannya mengenai tubuh Ciauw In, angin dorongan itu telah terasa kekuatannya!
Ciauw In cepat mengelak dan miringkan tubuh, lalu membalas dengan pukulan tangan kiri dengan gerak
tipu Hong-tan Tiam-ci atau Burung Hong Mementangkan Sebelah Sayap. Pukulannya tidak keras, akan
tetapi di dalamnya mengandung tenaga lweekang yang menggetarkan dada Bong Hin walau pun pukulan
itu belum mengenai tubuhnya!
Bong Hin merasa terkejut sekali karena tidak pernah disangkanya bahwa lawannya ini memiliki lweekang
yang hebat. Ia tidak tahu bahwa di samping ilmu pedangnya yang lihai, Ciauw In juga mendapat
gemblengan dan latihan Ho Sim Siansu sehingga memiliki ilmu pukulan Kim-san-ciang atau Tangan Bubuk
Emas! Tenaga luar biasa yang telah berada di kedua tangannya ini dapat dipergunakan untuk menghadapi
ilmu-ilmu kekuatan tangan seperti Tiat-ciang-kang, Ang-see-jiu dan lain-lain!
Dengan cepat Bong Hin mengelak sambil menggunakan tangannya menyampok lengan Ciauw In. Akan
tetapi Ciauw In tidak mau membiarkan lengan tangannya beradu dengan telapak tangan lawan yang lihai
itu, maka dia memutar lengannya dan mempergunakan telapak tangannya untuk membentur telapak
tangan lawan ini!
Dua telapak tangan beradu, membawa tenaga raksasa yang akibatnya membuat mereka terpental mundur
hingga tiga langkah! Keduanya amat kaget dan maklum akan kelihaian lawan, terutama sekali Bong Hin
yang tadinya tidak menyangka akan ilmu yang dimiliki Ciauw In. Sesudah benturan telapak tangan ini, dia
segera maklum bahwa dia tak dapat mengandalkan Tiat-ciang-kang untuk merobohkan lawan, maka ia
berlaku amat hati-hati dalam gerakannya.
Ternyata bahwa dalam hal kepandaian silat tangan kosong, mereka berimbang sekali, biar pun harus
diakui bahwa ginkang atau ilmu meringankan tubuh Ciauw In masih lebih tinggi setingkat sehingga
dunia-kangouw.blogspot.com
gerakannya lebih gesit. Akan tetapi ilmu silat Kun-lun-pai amat tangguhnya, terutama sekali dalam daya
tahan seolah-olah Ciauw In menghadapi tembok baja yang kokoh kuat saja!
Pukulan demi pukulan dikeluarkan, tendangan melayang silih berganti, siasat dilawan tipu, kekuatan
beradu kekuatan dan banyak sekali gerakan silat mereka keluarkan dalam usaha menjatuhkan lawan.
Akan tetapi mereka sama kuatnya sehingga lima puluh jurus telah lewat tanpa ada tanda-tanda siapa yang
akan menang!
Bong Hin menjadi amat penasaran, dan perasaan inilah yang akhirnya membuat ia harus menderita
kekalahan. Karena merasa penasaran, maka ia menjadi nekat dan melakukan serangan yang berbahaya,
tidak saja berbahaya bagi lawan, akan tetapi juga berbahaya bagi dirinya sendiri.
Ia menggunakan serangan yang disebut Pai-san To-hai atau Menolak Gunung Menguruk Laut! Gerakan ini
luar biasa hebatnya sebab dilakukan dengan kedua tangan mendorong disertai sebelah kaki menendang.
Sekaligus ada tiga serangan yang dilancarkan kepada lawannya!
Ciauw In berlaku waspada dan cepat menjatuhkan diri ke kiri untuk menghindarkan diri dari serangan
berbahaya itu, dan karena dia melihat kesempatan terbuka, secepat kilat kakinya menendang ke arah lutut
kaki kiri Bong Hin yang masih berdiri. Ketika itu kaki kanan Bong Hin masih terangkat dalam tendangannya
tadi. Maka, saat lutut kaki kirinya ditendang, tak ampun lagi ia roboh terguling!
Secara jujur jago muda dari Kun-lun-pai ini mengakui keunggulan Ciauw In dan turun dari panggung sambil
terpincang-pincang. Ciauw In berdiri di atas panggung dengan gembira sekali, tidak hanya karena tepukan
tangan para penonton yang memujinya, akan tetapi terlebih karena dengan kemenangannya ini ia
mempunyai kesempatan menghadapi Sian Kim, dara jelita yang menarik hatinya itu!
Sebaliknya, Sian Kim juga merasa girang oleh karena kini ia mendapat kesempatan pula untuk
menghadapi pemuda yang menjadi seorang di antara tiga orang musuh besarnya. Dia dapat mengukur
kepandaian lawan ini! Segera setelah mendapat tanda dari Pek Bi Hosiang, ia pun melompat ke atas
panggung, disambut dengan senyum malu-malu oleh Ciauw In.
“Lie-taihiap, harap kau suka perlihatkan Hoa-san Kiam-hoat kepadaku!” kata nona baju hitam itu sambil
mencabut keluar pedangnya yang berkilau tajam.
"Nona, aku hanya minta agar kau berlaku murah hati kepadaku!" jawab Ciauw In sambil memberi tanda ke
bawah.
Ong Su mencabut keluar pedang suheng-nya, kemudian melemparkan pedang itu ke arah Ciauw In.
Semua penonton terkejut melihat betapa pedang yang dilempar oleh Ong Su itu meluncur bagaikan anak
panah menuju ke tubuh Ciauw In!
Namun sambil tersenyum tenang Ciauw In mengulurkan tangan kanan dan menyambut pedang itu. Tidak
pada gagangnya, melainkan pada ujungnya yang runcing dengan jalan menjepit di antara jari-jari
tangannya!
Tepuk tangan menyambut demonstrasi yang sangat hebat ini. Ong Su memang sengaja melakukan hal ini
untuk memberi ‘muka terang’ kepada suheng-nya. Di puncak Hoa-san mereka memang sudah sering
mengadakan latihan menyambut pedang terbang ini!
"Gerakan Kwan lm Menjepit Jarum itu sungguh bagus!" Sian Kim memuji.
Ciauw In merasa kagum melihat betapa nona cantik itu mengenal gerakan tangannya. Maka ia berlaku
amat hati-hati karena maklum bahwa kini ia menghadapi seorang lawan yang memiliki ilmu pedang luar
biasa lihainya.
Juga para penonton termasuk tokoh-tokoh besar yang hadir di situ, maklum pula bahwa pertandingan
terakhir yang akan menentukan siapa juara ahli silat muda pada pertemuan ini, memandang dengan hati
amat tertarik. Ilmu pedang yang tadi dimainkan oleh Sian Kim memang mereka kagumi sebagai ilmu
pedang lihai yang belum pernah dilihat oleh mereka, sedangkan ilmu pedang Ciauw In adalah ilmu pedang
baru dari Hoa-san-pai yang juga tidak pernah mereka saksikan, sungguh pun setiap tokoh persilatan telah
tahu dan mendengar akan kehebatan ilmu pedang ciptaan Ho Sim Siansu itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sekali lagi Sian Kim mengangguk sambil mengerling dengan matanya yang indah dan bibirnya tersenyum
memikat hati, kemudian ia lalu berseru, "Lie-taihiap, lihat pedang!"
Dan mulailah ia membuka serangannya sambil tidak menghentikan senyum manis yang menghias bibirnya.
Ciauw In menangkis dan segera membalas serangan itu dengan gerak tipu Kong-ciak Kai-bwee atau
Burung Merak Buka Ekor. Pedangnya digoyang-goyang di depan muka lawan untuk membingungkan
lawannya, lalu secepat kilat dia melanjutkan serangannya dengan gerak tipu Ayam Emas Mematuk
Permata. Pedangnya meluncur cepat ke arah tenggorokan lawannya! Kedua gerakan ini dilakukan Ciauw
In untuk mencoba kecepatan dan kewaspadaan.
Sian Kim merasa kagum melihat gerakan ini. Ia pun lalu bergerak cepat dan melakukan gerak tipu Dewi
Cantik Mengebut Kipas. Gerakan ini menangkis serangan lawan dan sekaligus membarengi dengan
pedang yang terpental karena tangkisan itu diluncurkan ke bawah membabat pingggang Ciauw In.
Pemuda ini berseru memuji kecepatan Sian Kim dan cepat mengelak sambil melompat mundur. Setelah
serangannya gagal, Sian Kim juga mundur dua langkah untuk mencari posisi yang lebih baik. Ia maklum
akan kehebatan ilmu pedang lawan, maka tidak berani berlaku sembrono dan tidak mau menyerang lebih
dulu, menanti saja diserang oleh lawan untuk kemudian membalas dengan reaksi dan gaya reflex yang
mengagumkan. Dengan jalan demikian, ia tidak terlalu menaruh diri di tempat dan kedudukan berbahaya,
karena itu dapat mengukur dan menimbang keadaan lawannya dari pada kalau menyerang dulu dan tidak
dapat melihat perubahan gerakan lawan.
Ada pun Ciauw In bukan karena jeri, akan tetapi oleh karena memang hatinya tidak tega untuk mendesak
nona cantik itu! Akan tetapi, pada waktu melihat betapa gadis itu pun melangkah mundur, ia maklum
bahwa gadis itu amat hati-hati. Maka, ia lalu tersenyum dan mulai menyerang dengan desakan hebat. Ia
mulai keluarkan tipu-tipu yang paling hebat dari Hoa-san Kiam-hoat untuk menguji lawannya ini.
Sebaliknya Sian Kim dengan penuh perhatian melihat perubahan gerakan pedang Ciauw In dan
mengimbanginya dengan permainan yang sama cepatnya sehingga sebentar saja tubuh kedua orang ini
seolah-olah menjadi satu, tertutup oleh dua gulungan sinar pedang yang bergulung-gulung dan bergumul
seakan-akan dua ekor naga yang saling lilit dengan hebatnya!
Pecahlah sorak sorai dari para penonton. Bahkan para tokoh besar yang menyaksikan pertempuran ini
diam-diam merasa kagum sekali karena ilmu pedang kedua orang muda itu benar-benar merupakan ilmu
pedang yang sukar dicari tandingannya. Akan tetapi, Bwee Hiang dan Ong Su yang sudah paham akan
Hoa-san Kiam-hoat ketika melihat gerakan-gerakan Ciauw In, diam-diam merasa kecewa sekali.
Terutama sekali Bwee Hiang. Dengan muka pucat ia memandang jalannya pertempuran dan dia merasa
hatinya sakit sekali karena ternyata bahwa Ciauw In agaknya sengaja berlaku lambat dan lunak serta tidak
mengeluarkan seluruh kepandaiannya!
Gadis ini maklum kalau suheng-nya itu benar-benar menghendaki kemenangan, bukan hal yang sukar
baginya. Akan tetapi, suheng-nya itu sengaja berlaku lambat-lambatan, seakan takut kalau-kalau
pedangnya melukai lawannya! Hal ini hanya dapat disebabkan oleh satu hal saja, yakni bahwa suheng-nya
telah jatuh hati kepada gadis baju hitam yang cantik jelita itu!
Dan hal ini memang benar! Meski pun ilmu pedang Sian Kim luar biasa sekali, cepat, ganas, dan kuat
gerakannya, akan tetapi ia masih belum berdaya menghadapi Hoa-san Kiam-hoat. Gadis yang cerdik ini
pun maklum akan hal itu, dia sendiri merasa heran mengapa pada setiap kali lawannya telah terdesak
hebat dan terdapat kesempatan untuk merobohkannya, mendadak tekanan pedang lawan itu mengendur
sehingga ia mendapat ketika untuk memperbaiki posisi dan kedudukannya!
Akhirnya ia dapat juga menduga bahwa tentu pemuda yang tampan ini tidak tega untuk melukainya! Diamdiam
hatinya berdebar keras dengan perasaan girang dan gembira sekali. Tadinya Sian Kim mengeluh di
dalam hati karena memang ternyata ilmu pedang Ciauw In ini sangat hebat dan dalam hal lweekang serta
ginkang, ia masih kalah sedikit oleh pemuda ini, karena itu harapannya untuk menuntut balas atas
kematian ayahnya menipis.
Tetapi setelah timbul dugaannya bahwa pemuda ini agaknya tertarik oleh kecantikannya, dia mulai
menggunakan siasat lain. Dengan bibir selalu tersenyum, dia pun mendesak Ciauw In dan sengaja menarik
dunia-kangouw.blogspot.com
kembali pedangnya sebelum pedang itu mendekat tubuh lawannya, dan gerakan ini ia maksudkan untuk
memberi tanda kepada Ciauw In bahwa ia pun merasa tidak tega melukai pemuda itu!
Dan Ciauw In terkena oleh muslihat ini! Ia percaya bahwa gadis baju hitam ini membalas perasaannya dan
diam-diam ia pun merasa girang dan berbahagia sekali! Ia lalu sengaja mengeluarkan kepandaiannya dan
bergerak cepat sekali.
Pada waktu Sian Kim menyerangnya dengan tipu Hui-eng Bok-thou atau Elang Terbang Menyambar
Kelinci, ia sengaja membiarkan sampai pedang nona itu berada amat dekat dengan lehernya, kemudian
tiba-tiba saja ia memutar pedangnya yang segera menempel pada pedang nona itu karena tenaga
lweekang-nya ia kerahkan untuk ‘menyedot’ pedang lawan, lalu selagi Sian Kim mengerahkan tenaga
untuk membetot kembali pedangnya, Ciauw In mengulur tangan kirinya yang seakan-akan hendak
menyerang leher lawannya.
Sian Kim terkejut sekali dan mengira bahwa pemuda itu benar-benar hendak mencelakai dirinya. Akan
tetapi ketika ia memandang, ternyata tangan pemuda itu melayang naik ke arah kepalanya dan menyendal
pita rambutnya yang berwarna merah! Kalau dia mau, gadis ini dapat mengelak dan menundukkan
kepalanya, akan tetapi sambil tersenyum ia sengaja membiarkan pitanya terampas.
Kemudian keduanya melompat mundur dan dengan muka kemerah-merahan serta mata mengerling
disertai bibir tersenyum semanis-manisnya, ia berkata dengan suara merdu,
"Lie-taihiap, aku mengaku kalah!"
Lie Ciauw In seolah-olah tidak mendengar suara tepuk sorak para penonton yang ramai menyambut
kemenangannya ini, karena hatinya penuh dengan kegembiraan dan gairah ketika melihat betapa gadis itu
sengaja tidak mau mengelak, seakan-akan membiarkan pitanya terampas. Kemudian, melihat kerling dan
senyum itu, hatinya benar-benar masuk dalam perangkap asmara!
Terdengar suara Pek Bi Hosiang yang mengumumkan bahwa Ciauw In, anak murid dari Hoa-san-pai
menjadi juara atau pemenang. Maka Ciauw In lalu menghampiri orang tua itu untuk menghaturkan terima
kasih sambil menjura penuh hormat. Sementara itu, Sian Kim melompat turun dan kembali ke tempat
duduknya.
"Cu-wi," berkata Pek Bi Hosiang dengan suara keras hingga terdengar oleh semua orang sungguh pun
bagi Ciauw In, Sian Kim, dan Bwee Hiang suara itu terdengar setengahnya saja!
"Dengan berakhirnya pertandingan barusan, maka selesai pulalah pibu persahabatan ini. Sebagai mana
cuwi saksikan sendiri, maka Lie Ciauw In murid Ho Sim Siansu di Hoa-san mendapat kemenangan dan
oleh karena ilmu pedangnya memang hebat, maka patutlah ia mendapat kemenangan ini dan dianggap
sebagai jago muda yang paling pandai!”
Terdengar suara tepuk tangan riuh menyambut pengumuman ini. Akan tetapi tetap saja bagi tiga orang
muda yang sedang tenggelam dalam lamunan masing-masing itu, pidato ketua Go-bi-pai tidak begitu
menarik perhatian.
Ciauw In masih berdebar-debar karena girang dan beberapa kali ia melirik ke arah tempat duduk Sian Kim.
Sedangkan Sian Kim yang memang selain tertarik oleh wajah cakap pemuda itu juga sengaja hendak
menjalankan siasat menggunakan kecantikannya untuk mencapai maksudnya, yakni membalas dendam,
sedang duduk termenung memikirkan bagaimana akal yang harus digunakan selanjutnya.
Sementara itu, Bwee Hiang yang melihat dengan jelas bahwa twa-suheng-nya yang ia cinta itu benarbenar
telah jatuh hati kepada Sian Kim, duduk dengan wajah muram. Dia menahan-nahan kesedihan
hatinya.
"Cu-wi sekalian yang mulia," terdengar Pek Bi Hosiang melanjutkan pidatonya. "Dengan kemenangan jago
muda Lie Ciauw In itu, maka sudah sepatutnya kalau pinceng atas nama semua cabang persilatan yang
diwakili oleh cu-wi sekalian, memberi nama julukan Hoa-san Taihiap kepadanya!”
Kemudian, sekali lagi Pek Bi Hosiang menghaturkan terima kasih kepada mereka yang sudah datang
meramaikan pertemuan persahabatan ini, juga memesan kepada semua pendekar-pendekar muda itu
dunia-kangouw.blogspot.com
untuk menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada suhu-suhu mereka. Maka, berangsur-angsur
bubarlah semua tamu, kembali ke tempat mereka masing-masing.
Ketika Ciauw In memandang ke arah Sian Kim, ia menjadi terkejut dan kecewa karena gadis itu tidak
kelihatan lagi, entah telah pergi ke mana. Ia mencari-cari dengan matanya, dan baru sadar ketika merasa
tangannya disentuh orang. Ia menengok dan ternyata Ong Su telah memegang lengannya dan berkata
dengan wajah berseri,
"Suheng, kionghi! Kau telah mendapat julukan yang hebat sekali. Hoa-san Taihiap! Ahh, suhu tentu akan
girang sekali mendengar hal ini!"
Akan tetapi, seperti seorang yang kehilangan, mata Ciauw In masih terus mencari-cari dan ucapan Ong Su
itu hanya diterima dengan senyum tawar saja.
"Twa-suheng, kau mencari siapakah? Dia sudah pergi dari sini, tak perlu dicari-cari lagi!” tiba-tiba Bwee
Hiang berkata dengan ketus.
Mendengar suara ini, barulah Ciauw In sadar dan dengan muka merah karena malu, ia pura-pura bertanya,
"Ehh, siapa yang dicari? Aku tidak mencari siapa-siapa!"
Bwee Hiang tersenyum menyindir. “Bagus sekali kalau tidak mencari siapa-siapa. Marilah kita pulang, suhu
tentu menanti-nanti kita!"
Ciauw In terpaksa ikut mereka meninggalkan Kui-san. Ciauw In merasa seakan-akan ia kehilangan
sesuatu, akan tetapi ia malu untuk menyatakan kekecewaannya ini. Mereka bertiga turun gunung dan
melakukan perjalanan cepat menuju ke Hoa-san…..
********************
Pada keesokan harinya, ketiga murid Hoa-san-pai itu bermalam di sebuah dusun. Bwee Hiang agaknya
telah hilang kemarahannya dan ia mulai tertawa-tawa lagi, kembali sifat gembiranya seperti semula. Juga
Ong Su tiada hentinya membicarakan pertemuan para orang gagah itu dan menyatakan kekagumannya
pada jago-jago muda yang dianggapnya lihai.
Mereka duduk di ruang depan hotel di mana mereka bermalam dan selagi mereka asyik bicara, tiba-tiba
nampak berkelebat bayangan hitam. Ketika mereka bertiga menengok, ternyata bahwa seorang gadis
berpakaian hitam telah berdiri di dekat mereka.
Gadis ini bukan lain ialah Sian Kim, dara jelita yang lihai ilmu silatnya itu! Akan tetapi kini wajah dara yang
manis itu nampak muram, seakan-akan ia menderita kesusahan besar.
“Nona Sian Kim!” tak terasa pula terluncur seruan girang ini dari mulut Ciauw In.
Wajah pemuda ini berseri-seri dan kedua matanya memancarkan cahaya gembira ketika tiba-tiba ia
melihat nona yang telah merampas hatinya itu berdiri di depannya. Kembali Bwee Hiang merasa betapa
dadanya sakit melihat sikap suheng-nya ini.
Sementara itu, ketika mendengar sebutan Ciauw In, mendadak wajah Sian Kim menjadi merah, akan tetapi
ia menahan senyumnya sehingga bibirnya nampak manis sekali.
“Sam-wi yang gagah perkasa, harap suka memberi maaf jika aku mengganggu kalian,” kata Sian Kim
sambil memberi hormat.
“Ahh, tentu saja tidak mengganggu, nona. Silakan duduk! Kebetulan sekali kita bertemu di sini, sebetulnya
kau hendak pergi ke manakah?” berkata Ciauw In yang tiba-tiba menjadi peramah sekali, berbeda dengan
sikap biasanya yang amat pendiam hingga kali ini Ong Su sendiri yang jujur dan tidak pernah menyangka
sesuatu sampai menjadi terheran dan memandang dengan melongo kepada suheng-nya.
“Terima kasih,'' kata Sian Kim yang lalu mengambil tempat duduk menghadapi mereka bertiga. "Aku
memang sengaja datang menyusul kalian untuk bertemu!"
“Ada keperluan apa kau mencari kami?" tiba-tiba Bwee Hiang bertanya sambil matanya memandang tajam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sian Kim balas memandang kepada Bwee Hiang. Kalau saja pertemuan ini terjadi pada waktu siang hari,
tentu ketiga murid dari Hoa-san itu akan melihat betapa sepasang mata Sian Kim yang indah itu
mengeluarkan cahaya yang mengerikan ketika ia memandang kepada Bwee Hiang. Cahaya kebencian
yang besar, pandangan mata yang dipenuhi nafsu membunuh.
BAB-07 : CINTA SEGI EMPAT
Akan tetapi Sian Kim cepat menundukkan kepala dan menjawab.
“Aku kuatir sekali bahwa kedatanganku ini tidak dikehendaki. Jika memang betul, biarlah, aku pergi saja...,”
ucapannya ini terdengar sangat mengharukan, seakan-akan dia berada dalam kesedihan besar.
"Ahh, sama sekali tidak, nona. Katakanlah keperluanmu kepadaku, karena kau telah kami anggap sebagai
teman sendiri, mengapa berlaku sungkan-sungkan? Kami merasa girang sekali dapat bertemu dengan
kau!" kata Ciauw In sedangkan Ong Su yang berhati jujur itu berkata juga,
“Nona Gu, di antara sesama orang gagah tidak ada sungkan-sungkan, bila memang ada kepentingan, lebih
baik berterus terang. Andai kata hanya ingin bertemu saja, kami pun merasa gembira dan kita dapat
bercakap-cakap tentang pertandingan-pertandingan yang terjadi kemarin!”
Nampaklah perubahan pada muka Sian Kim yang menjadi girang sekali.
“Kalian memang baik sekali," katanya tanpa memandang kepada Bwee Hiang sedikit pun. "Sebetulnya aku
datang untuk mohon bantuanmu!”
Bukan main girangnya rasa hati Ciauw ln mendengar ini. Tidak ada hal yang akan lebih menggembirakan
hatinya pada waktu itu dari pada mengulurkan tangan membantu nona yang diam-diam ia cinta ini!
“Tentu aku bersedia membantumu!” katanya, lupa bahwa ia bukan seorang diri sehingga menyebut ‘aku’
dan tidak ‘kami’!
"Kalau memang kami kuasa membantumu, tentu saja kami suka membantu," kata pula Ong Su, sama
sekali tidak tahu bahwa Bwee Hiang mendengarkan semua percakapan ini dengan hati dingin.
Sian Kim nampak ragu-ragu dan berkata perlahan, "Betul-betulkah kalian suka membantu aku?"
Agaknya nona baju hitam itu merasa sungkan untuk melanjutkan kata-katanya sehingga Ciauw In
mendesak.
"Katakanlah, nona. Kesukaran apakah yang sedang kau hadapi?"
Ditanya demikian, dengan suara yang mengandung penuh perhatian, tiba-tiba saja Sian Kim menangis
sedih! Air matanya mengalir keluar bagaikan banjir dan dia menggunakan sehelai sapu tangan berwarna
hijau untuk menyusuti air mata itu dari kedua pipinya yang agak kemerah-merahan. Ketika gadis ini
mengeluarkan sapu tangannya itu dari balik baju bagian dada, terciumlah bau harum yang luar biasa
sedapnya oleh Ciauw In dan Ong Su.
Sedangkan Bwee Hiang yang melihat betapa tiba-tiba Sian Kim menangis dengan amat sedihnya, menjadi
heran dan menaruh perhatian pula.
“Cici, kenapakah kau menangis dan bersedih? Urusan apakah yang begitu menyusahkan hatimu?"
Betapa pun Bwee Hiang adalah seorang wanita yang berperasaan halus, maka tentu saja melihat lain
orang wanita menangis ia merasa terharu dan kasihan.
Dengan amat pandainya Sian Kim memperhebat tangisnya ketika mendengar pertanyaan ini, kemudian
dengan susah-payah dapat juga ia berkata,
"Aku memang bernasib malang... hanya mengharapkan bantuan... sam-wi yang mulia... untuk membalas
sakit hatiku... yang amat besar ini...”
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tenanglah, nona, dan ceritakan terus terang. Aku bersumpah akan membantu padamu sekuat tenagaku,”
kata Ciauw In, sama sekali tidak ingat bahwa ucapannya ini melampaui batas.
Dia belum kenal baik kepada Sian Kim, belum tahu asal usulnya dan belum tahu pula urusan apakah yang
gadis itu ingin ia bantu, akan tetapi ia telah berani bersumpah untuk membantunya!
Ong Su tentu saja merasa heran melihat sikap suheng-nya ini. Maka, untuk membetulkan ucapan suhengnya
yang dianggap salah dan hanya menurutkan hati iba, dia lalu segera menyambung,
"Ceritakanlah, nona. Setelah kami mengetahui duduknya persoalan, barulah kami akan
mempertimbangkan apakah kami akan dapat membantumu!"
Dengan suara sedih yang sewajarnya dan mengharukan hati ketiga pendengarnya, Sian Kim lalu
menceritakan riwayat bohong. Dia menuturkan bahwa dia adalah puteri tunggal seorang hartawan di utara,
dan bahwa semenjak kecil ia telah mempelajari ilmu silat dari seorang pengemis tua yang merantau dan
mempunyai kepandaian tinggi. Bahkan atas kehendak suhu-nya, ia ikut pula merantau sampai sepuluh
tahun hingga mempunyai ilmu silat seperti sekarang ini.
Akan tetapi suhu-nya itu meninggal dunia dalam perantauan karena terserang penyakit jantung. Kemudian
ia pulang ke kota ayahnya dan hidup dengan tenteram. Ayahnya juga seorang jago silat yang kenamaan
dan mempunyai banyak kenalan.
Di antara sahabat-sahabat ayahnya itu terdapat tiga orang jago tua yang disebut Hopak Sam-eng atau Tiga
Pendekar dari Hopak yang berilmu tinggi. Seorang di antara Hopak Sam-eng ini mempunyai seorang
putera dan pada suatu hari Hopak Sam-eng datang melamar Sian Kim untuk dijodohkan dengan pemuda
itu.
Ayahnya setuju dan menerima lamaran itu, akan tetapi ia sendiri tidak suka dan menolak. Setelah ayahnya
terpaksa membatalkan perjodohan itu, timbullah perasaan permusuhan dan sakit hati dari pihak Hopak
Sam-eng.
Pada suatu hari, pemuda yang tergila-gila kepadanya itu datang menggoda sehingga dia menjadi marah
dan melukainya. Hal ini membuat Hopak Sam-eng menjadi amat marah sehingga mereka bertiga datang
menantang ke rumah orang tuanya. Dalam pertempuran hebat, ayahnya terbunuh oleh mereka, sedangkan
dia sendiri sesudah berhasil melukai seorang di antara Hopak Sam-eng, dapat melarikan diri dan pergi
merantau.
Demikianlah, Sian Kim mengarang cerita bohong dan menceritakannya sambil menangis sedih.
"Apakah dayaku? Mereka itu lihai...” katanya sambil menyusut air matanya. "Dan aku tak sanggup
menghadapi mereka seorang diri saja. Telah beberapa kali aku menyerbu, akan tetapi selalu aku dipukul
mundur, bahkan menerima hinaan-hinaan dari pemuda itu!"
Ia mengepal tinju dengan muka marah. "Tadinya karena tak berhasil membalas dendam, aku ingin
membunuh diri saja untuk mengakhiri penderitaan dan kekecewaanku. Lalu aku mendengar tentang
pertemuan dan pibu yang diadakan oleh pihak Go-bi-pai, maka timbul kembali harapanku. Aku sengaja
datang dan ikut bertanding untuk mencari kawan yang kiranya dapat membantuku. Setelah mellhat kalian
bertiga yang berkepandaian tinggi dan berbudi mulia, maka aku merasa yakin bahwa kalian sajalah yang
mampu membantuku, terutama sekali kau, Lie-taihiap."
Sambil berkata demikian, tiba-tiba Sian Kim menjatuhkan dirl berlutut di depan Ciauw In! Tentu saja Ciauw
In merasa gugup sekali melihat hal ini dan dengan sentuhan halus ia memegang pundak Sian Kim untuk
mengangkatnya bangun.
"Jangan begitu, nona. Tentu saja aku suka membantumu untuk melenyapkan bangsat-bangsat tua itu!"
"Nanti dulu, twa-suheng," Bwee Hiang cepat berkata, "kita bertiga harus merundingkan hal ini semasakmasaknya
dulu, karena seharusnya kita kembali dulu ke Hoa-san untuk memberi laporan kepada suhu
tentang tugas kita. Mengenai persoalan cici Sian Kim ini pun akan lebih baik kalau kita minta ijin dulu
kepada suhu."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Untuk melakukan hal yang baik tidak perlu harus pulang dulu ke Hoa-san, sumoi," kata Ciauw In.
"Betapa pun juga, aku tetap hendak kembali dulu ke Hoa-san memberi tahu kepada suhu tentang
pertempuran dan pibu itu. Barulah kita akan pikir-pikir untuk membantu cici Sian Kim.”
“Akan tetapi, sumoi...” Baru saja Ciauw In berkata sampai di sini, tiba-tiba Sian Kim lalu memotongnya.
"Ah, aku yang hina dina hanya membuat kacau saja! Biarlah aku pergi saja dulu, dan hal ini kuserahkan
kepada kalian bertiga untuk mempertimbangkan. Aku sudah mengajukan permohonanku, dan dikabulkan
atau tidak itu hanya tergantung pada nasibku. Aku akan berada di sebelah barat dusun ini pada besok
pagi-pagi. Jika kalian kunanti-nanti sampai matahari naik tidak juga datang, maka kuanggap saja bahwa
kalian tak sudi membantuku. Apa bila memang demikian, apa boleh buat, aku akan mengadu nyawaku
dengan Hopak Sam-eng dan biarlah riwayatku yang penuh derita ini tamat di tangan mereka!"
Terdengar ia tersedu lagi lalu pergi melarikan diri ke dalam gelap.
“Nona...” kata Ciauw In, akan tetapi ia menahan mulutnya oleh karena ia anggap bahwa hal inilah yang
terbaik. Kini ia dapat berunding dengan Bwee Hiang dan Ong Su.
“Bagaimana kau bisa berlaku kejam terhadap seorang yang minta pertolongan kita?” kata Ciauw In
menegur sumoi-nya. "Sumoi, tidak hanya sekarang, bahkan kemarin ketika kau bertanding di atas
panggung dengan nona Sian Kim, kau telah menunjukkan sikap yang kurang memuaskan sekali!"
Bwee Hiang bersungut-sungut dan menahan air matanya yang hendak meloncat keluar.
“Twa-suheng, kalau memang sikapku kurang baik, biarlah aku terima salah. Akan tetapi, kuharap kau tidak
pergi memenuhi permintaan Sian Kim itu..."
“Mengapa?”
"Entahlah... aku kurang percaya kepadanya!"
“Kau tidak adil! Sute, coba kau bilang, apakah betul sikap dari sumoi kita ini?”
Ong Su merasa serba salah. Pada dasar hatinya, ia juga kurang setuju dengan pendirian Bwee Hiang.
Sian Kim adalah seorang gadis yang harus dikasihani, kenapa tanpa alasan Bwee Hiang agaknya benci
kepadanya? Akan tetapi, menyatakan perasaan ini di depan Bwee Hiang yang ia cinta, ia pun tidak berani!
Karena Ong Su tidak menjawab, Bwee Hiang lalu berkata lagi sambil menetapkan hatinya agar suaranya
tidak gemetar.
“Twa-suheng, selain perasaanku yang mungkin sekali keliru itu, kurasa kurang sempurna kalau kita atau
kau sendiri pergi membantu Sian Kim menuntut balas kepada musuh-musuhnya. Persoalan gadis itu
adalah persoalan pribadi, soal perjodohan, jadi perlu apa kita harus ikut mencampurinya?"
"Kau keliru, sumoi. Biar pun persoalan itu tadinya merupakan soal pribadi yang tidak perlu kita campuri,
akan tetapi setelah ketiga jago tua itu menurunkan tangan jahat membunuh mati orang yang tak berdosa,
bahkan menghina seorang gadis yang telah mereka bunuh ayahnya, maka sudah selayaknya kalau kita
turun tangan!"
Bwee Hiang memandang kepada Ong Su minta pertimbangan dan bantuan.
"Bagaimana, ji-suheng? Menurut pendapatmu, apakah kita harus pergi memberi laporan lebih dulu kepada
suhu, ataukah langsung pergi membantu Sian Kim?"
Ong Su merasa serba bingung dan tidak tahu bagaimana harus menjawab. Ia hanya bisa menggarukgaruk
kepalanya yang tidak gatal, kemudian sesudah batuk-batuk beberapa kali, terpaksa ia menjawab,
"Aku menjadi bingung... membantu orang memang perlu dan sangat baik, akan tetapi melaporkan kepada
suhu juga penting sekali...”
dunia-kangouw.blogspot.com
"Jawablah yang betul, sute, jangan bercabang dua! Kau setuju dengan keputusanku atau setuju dengan
keputusan sumoi?"
Ketika Ong Su merasa ragu-ragu dan tidak dapat menjawab, hanya memandang mereka dengan
bergantian, Bwee Hiang berkata gemas,
"Ji-suheng, kau benar-benar tidak mempunyai pendirian yang tetap!"
Ditegur dari kanan kiri, Ong Su menjadi makin gugup dan bingung. Ia lalu bangkit berdiri dan berkata,
"Sudahlah... lebih baik sekarang aku pergi tidur saja. Kuserahkan kepada kalian berdua untuk mengambil
keputusan dan aku akan menurut saja pada keputusan apa yang kalian ambil!" Lalu ia pergi memasuki
kamarnya untuk tidur!
Bwee Hiang dan Ciauw In saling pandang.
"Sumoi, betapa pun juga aku harus menolong Sian Kim! Kenapa kau agaknya demikian benci kepadanya?”
"Karena... karena pandang matamu kepadanya begitu... begitu... mesra! Dan sikapnya kepadamu itu...
ahhh...”
Tiba-tiba Bwee Hiang menutupi kedua matanya dengan tangan untuk mencegah air mata yang hendak
keluar, akan tetapi tetap saja air matanya tak dapat dibendung dan mengalir di sepanjang kedua pipinya.
Melihat sumoi-nya menangis, hati Ciauw In menjadi terharu sekali. Pemuda ini maklum apa yang terasa di
dalam hati gadis ini. Maka sambil memegang lengan Bwee Hiang, ia berkata dengan suara gemetar,
”Sumoi, sejak kecil kita telah berkumpul, maka baiklah aku berterus terang saja padamu. Dengarlah, selain
merasa kasihan pada Sian Kim, aku..... aku mencinta padanya... entah mengapa, hatiku amat tertarik...
belum pernah terasa seperti ini dalam hatiku... aku cinta padanya, sumoi."
Makin keraslah tangis Bwee Hiang mendengar pengakuan ini.
"Ahhh... twa-suheng, sudah kuduga... sudah kuduga hal ini akan terjadi... dan aku... aku yang bodoh...
aku...”
Dia tidak mampu melanjutkan kata-katanya karena tangisnya membuat kerongkongannya seakan-akan
tersumbat.
"Aku tahu perasaan hatimu, sumoi. Maafkan aku... kau kuanggap sebagai adikku sendiri. Aku harus
menolong dan membantu Sian Kim membalas musuh-musuhnya, besok aku akan pergi bersama dia
mencari Hopak Sam-eng...”
"Dan... dan aku bagaimana...?"
Pertanyaan ini keluar bagaikan seorang anak kecil yang hendak ditinggal pergi oleh orang tuanya, dan hati
Ciauw ln tertusuk sekali. Ia merasa kasihan kepada sumoi-nya ini, akan tetapi cinta yang mengamuk dalam
hatinya itu lebih besar pengaruhnya.
"Kau dan sute boleh kembali ke Hoa-san, memberi laporan kepada suhu tentang pibu di Kui-san itu.
Sesudah aku berhasil membantu Sian Kim, aku akan menyusul ke Hoa-san dan mengaku terus terang
kepada suhu tentang perasaanku terhadap Sian Kim."
Dengan wajah amat pucat Bwee Hiang lalu bangkit berdiri dengan tubuh lemas, dan dia pun berkata tetap,
"Baiklah, suheng, semoga kau berbahagia."
Kemudian dengan isak tangis tertahan, gadis yang malang ini lalu berlari ke kamarnya, meninggalkan
Ciauw In yang termenung seorang diri di ruang depan hotel itu.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bwee Hiang sudah keluar dari kamarnya, begitu pula Ciauw In
karena sesungguhnya kedua orang muda ini semalam suntuk tidak tidur sama sekali. Pada waktu Ong Su
bangun dan bertanya tentang keputusan mereka, Bwee Hiang menjawab dengan singkat,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Twa-suheng akan pergi untuk membantu Sian Kim, sedangkan kau dan aku kembali ke Hoa-san untuk
memberi laporan kepada suhu."
"Ya, demikianlah keputusannya, sute. Kalau sudah selesai urusanku membantu nona Gu, aku akan
menyusul cepat ke Hoa-san,” kata Ciauw In.
Ong Su tidak mau banyak bicara karena dari sikap kedua orang ini, ia maklum tentu telah terjadi
pertentangan. Terutama sekali ia melihat betapa wajah Bwee Hiang sangat pucat dan masih nampak
tanda-tanda bekas air mata di bawah pelupuk matanya yang merah. Setelah berpamit, kedua orang muda
ini kemudian pergi melanjutkan perjalanan menuju ke Hoa-san.
Di tengah perjalanan, Ong Su berkata pada sumoi-nya yang melakukan perjalanan tanpa bicara sedikit pun
seperti sebuah patung hidup.
"Sumoi, agaknya terjadi perselisihan antara suheng dan kau!”
“Tidak ada perselisihan apa-apa. Twa-suheng terlalu memaksa untuk pergi membantu... perempuan itu!”
Ong Su menarik napas panjang.
"Sumoi, kau... agaknya amat membenci Sian Kim, berbeda sekali dengan suheng.”
“Memang twa-suheng... cinta kepada perempaan itu!”
"Apa?!”
Ong Su terheran juga karena hal ini belum pernah ia pikirkan.
"Twa-suheng mencinta Sian Kim." Bwee Hiang mengulang. “dan itulah sebabnya kenapa ia membantu
perempuan itu. Malam tadi twa-suheng mengaku terus terang kepadaku."
Kembali gadis ini menahan isaknya.
Tiba-tiba Ong Su menghentikan tindakan kakinya dan dia menarik napas panjang. Bwee Hiang juga
berhenti dan memandang kepada pemuda itu.
“Kasihan sekali kau, sumoi...,“ katanya. "Aku tahu akan keadaan hatimu. Kita memang senasib,
menjatuhkan cinta kasih kepada orang yang tak dapat membalasnya!”
Untuk sesaat mereka saling berpandangan. Bwee Hiang yang dapat menangkap maksud kata-kata
suheng-nya ini, mengulang ucapan Ciauw In yang diucapkan kepadanya malam tadi.
“Maafkan aku, suheng..."
Hanya itulah yang dapat ia ucapkan dan keduanya lalu melanjutkan perjalanan dengan membisu,
tenggelam dalam lamunan masing-masing yang penuh kepahitan…..
********************
Sementara itu, dengan hati berdebar dan tergesa-gesa, Lie Ciauw In meninggalkan hotel dan keluar
menuju ke jurusan barat. Ketika sampai di pintu dusun, benar saja ia melihat bayangan Sian Kim dengan
bentuk tubuhnya yang langsing itu telah menanti di situ.
Gadis itu duduk di atas sebuah batu besar dan ketika melihat ia datang, segera melompat bangun dan lari
menyambutnya. Mereka berdiri berhadapan, berseri gembira pada wajah mereka. Dari sepasang mata
gadis yang indah itu kelihatan dua titik air mata, akan tetapi mulutnya tersenyum girang.
"Ah, taihiap, kau betul-betul datang membantuku,” katanya dengan suara yang merdu dan gembira.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ciauw In tertegun memandang. Matanya menatap dengan kagum sekali. Pada pagi hari ini, Sian Kim
kelihatan lebih cantik lagi, bagaikan seorang bidadari fajar. Gadis jelita ini masih mengenakan pakaian
berwarna hitam seluruhnya, akan tetapi pakaiannya terbuat dari pada sutera halus dan yang amat
menggiurkan hati Ciauw In ialah belahan baju pada bagian leher depan yang agak terlalu rendah sehingga
nampak membayang kemontokan dada gadis itu.
Pita rambutnya berwarna merah muda, demikian pula ikat pinggangnya yang melambai-lambai ke bawah.
Sepatunya juga berwarna hitam dan berkembang merah. Pada rambut kepala sebelah kiri terhias dengan
setangkai bunga merah yang segar dan berbau harum!
“Maafkan bahwa sute dan sumoi-ku tak dapat ikut membantumu, nona, karena mereka itu harus segera
kembali ke Hoa-san melaporkan hasil pibu itu kepada suhu."
"Tidak apa, taihiap, dengan dikawani oleh kau seorang pun sudah cukup bagiku! Seorang Hoa-san Taihiap
lebih berharga bagiku dari pada seratus orang kawan yang membantu?”
”Ahh, kau terlampau melebih-lebihkan, nona."
“Selama hidupku, aku tidak akan melupakan budimu ini, taihiap."
"Nona, mengapa kau berkata demikian? Bantuan belum kuberikan, dan belum tentu pula aku akan berhasil
mengalahkan musuh-musuhmu. Kemanakah sekarang kita harus pergi mencari mereka?”
"Mereka telah lama pindah dari kota kelahiranku dan kini mereka berada di Kiang-sun-ok, kota di sebelah
barat yang letaknya kurang lebih seratus li dari sini."
Kedua orang ini lalu berangkat menuju ke barat. Sian Kim pandai sekali mengambil hati, mengajak
kawannya bercakap-cakap dengan amat gembira hingga sebentar saja Ciauw In telah lupa kepada Bwee
Hiang yang menimbulkan kasihan di dalam hatinya. Ia terpikat semakin dalam pada gadis ini dan merasa
bahwa selama ini ia belum pernah menikmati kebahagiaan dan kegembiraan hidup.
Pohon-pohon dan kembang-kembang yang dilihatnya kini nampak berbeda dari biasanya, dan segala apa
yang nampak mendatangkan kesedapan pada matanya. Seakan-akan dia merasa hidup baru disamping
gadis jelita ini.
Sian Kim sengaja melakukan perjalanan secara lambat, akan tetapi hal ini tak menjadikan keberatan bagi
Ciauw In. Bahkan pemuda ini pun menghendaki agar ia dapat berkumpul selama mungkin dengan kekasih
hatinya ini.
Gadis baju hitam ini memang sudah mempunyai banyak pengalaman dan tahu cara-cara memikat hati lakilaki.
Sedikit pun Ciauw In tak pernah menyangka bahwa dara jelita yang kini melakukan perjalanan
bersama dia ini adalah seorang manusia berbahaya, seorang wanita yang seperti seekor ular berbisa yang
berbahaya sekali.
BAB-08 : RIWAYAT DARA JELITA BERBAJU HITAM
la tidak pernah mengira bahwa semua cerita gadis itu adalah cerita yang sengaja diputar balikkan dari
kenyataan. Memang Sian Kim memiliki permusuhan besar dengan Hopak Sam-eng, akan tetapi sebabsebab
permusuhan bukan seperti yang diceritakan olehnya pada malam hari itu. Untuk mengetahui
keadaan yang sebenarnya, mari kita menengok riwayat Sian Kim, gadis cantik yang menjadi ketua dari
Hek-lian-pang itu.
Ayah Sian Kim, yakni Gu Ma Ong, sejak masih muda sudah menjadi seorang perampok yang ganas dan
lihai. Berkat ilmu silatnya yang cukup tinggi, dia malang-melintang dan melakukan banyak kejahatan
sehingga namanya sangat terkenal di kalangan liok-lim atau rimba raya, yakni dunia orang-orang yang
melakukan pekerjaan sebagai perampok dan begal.
Dalam kejahatannya, Gu Ma Ong berhasil menculik seorang gadis cantik puteri seorang pembesar dan
memaksanya menjadi isterinya. Wanita ini diajak hidup di dalam hutan di mana Gu Ma Ong mempunyai
banyak kawan-kawan atau anak buahnya dan meski pun tinggal di dalam hutan, namun dia hidup dengan
mewah sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tapi tentu saja isteri paksaan ini tidak dapat menikmati hidup bahagia dengan suaminya yang jahat itu, dan
setahun kemudian, nyonya muda yang bernasib malang ini meninggal dunia pada saat ia melahirkan
seorang anak perempuan.
Anaknya ini kemudian dipelihara oleh Gu Ma Ong yang mengambil isteri lain lagi, dan anak inilah yang
diberi nama Gu Sian Kim. Karena memang sifatnya jahat dan kejam, Gu Ma Ong tidak mempedulikan
puterinya ini sehingga hidup Sian Kim semenjak kecil amat sengsara, di bawah asuhan seorang ibu tiri
yang kejam dan galak.
Pada suatu hari Sian Kim terlihat oleh seorang pengemis tua yang bertubuh kurus kering. Ternyata bahwa
pengemis ini adalah seorang luar biasa yang mempunyai ilmu silat tinggi sekali. Melihat Sian Kim,
pengemis sakti ini timbul rasa suka karena ia memang belum mempunyai murid, maka dimintanya anak itu
dari Gu Ma Ong.
Akan tetapi sudah tentu saja Gu Ma Ong yang menjadi kepala rampok kaya raya itu tidak suka anaknya
diambil murid oleh seorang pengemis. Ia merasa terhina dan diserangnya pengemis itu. Akan tetapi, biar
pun semua anak buahnya maju mengeroyok, mereka tidak kuat menghadapi pengemis itu. Akhirnya Gu
Ma Ong yang memang tidak begitu peduli lagi kepada puterinya, mengalah dan memberikan puterinya
dibawa pergi oleh pengemis sakti yang berjuluk Pat-chiu Sian-kai atau Pengemis Dewa Tangan Delapan
itu!
Sian Kim dibawa merantau oleh Pat-chiu Sian-kai sambil diberi latihan silat tinggi. Pada waktu itu, Sian Kim
baru berusia enam tahun dan selama sepuluh tahun ia menjadi murid Pat-chiu Sian-kai yang berilmu tinggi.
Sesudah ia menjadi dewasa, ternyata bahwa Sian Kim mewarisi kecantikan ibunya, bahkan lebih jelita dari
pada ibunya! Akan tetapi sayang sekali bahwa ia memiliki watak seperti ayahnya, yakni jahat dan kejam!
Pat-chiu Sian-kai merasa kecewa dan berduka sekali melihat watak muridnya ini. Tetapi ia terlalu sayang
dan cinta kepada muridnya yang cantik jelita, maka ia tidak tega untuk mencelakainya, sungguh pun dia
merasa khawatir melihat tanda-tanda tentang kejahatan gadis itu. Karena sedihnya, maka pengemis tua ini
jatuh sakit dan serangan sakit jantung mengantarkannya ke alam baka.
Pada waktu itu, Sian Kim telah berusia enam belas tahun, bagaikan bunga mulai mekar, harum semerbak
dan cantik jelita menggairahkan. Ia sudah mendapat tahu dari suhu-nya bahwa dia adalah anak tunggal
dari Gu Ma Ong, seorang kepala berandal yang ditakuti orang.
Hati Sian Kim tidak tertarik mendengar keadaan ayahnya ini. Maka, sesudah suhu-nya meninggal dunia,
dia menjadi seekor kuda tanpa kendali! Ia mulai melakukan perantauan sendiri dan ia menjadi binal benarbenar
seperti seekor kuda liar!
Dengan kepandaiannya yang tinggi, ia lalu merobohkan banyak orang gagah, dan seperti juga ayahnya, ia
menganggap harta benda orang bagaikan milik sendiri saja. Setiap saat apa bila ia membutuhkan uang
untuk biaya perjalanan, ia merampas dari siapa saja yang dijumpainya! Ia merampok tanpa pilih bulu!
Beberapa tahun ia merantau dan sementara itu, ia menjadi makin dewasa. Dan agaknya, sifat ‘mata
keranjang’ dari ayahnya menular pula kepada gadis yang makin cantik jelita ini, sehingga setiap kali
melihat seorang pemuda yang tampan dan cakap, hati Sian Kim merasa tertarik sekali!
Ketika berusia tujuh belas tahun, ia tiba di kota Kiang-sun-ok. Karena ia kekurangan uang untuk biaya
akibat uangnya hasil curian beberapa hari yang lalu telah habis diobral untuk membeli pakaian-pakaian
indah dan mahal serta untuk hidup secara royal, maka ia lalu mencari korban!
Dia mendengar nama Hopak Sam-eng yang selain terkenal hartawan juga sebagai tiga orang jago
ternama, maka hati mudanya yang tidak mau kalah terhadap siapa pun juga itu menjadi panas. Pada
malam hari, didatangilah gedung Hopak Sam-eng ini untuk dicuri hartanya!
Akan tetapi sekali ini dia membentur batu karang! Hopak Sam-eng ternyata benar-benar gagah dan
sungguh pun kalau melawan seorang demi seorang Sian Kim tak akan kalah, akan tetapi setelah dikeroyok
tiga, bahkan dikeroyok empat dengan tambahan seorang pemuda putera salah seorang di antara ketiga
jago itu, ia menyerah dan tertangkap!
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, ia tertolong oleh pemuda itu, yakni yang bernama Liok Seng, karena pemuda ini merasa
tertarik sekali melihat kecantikan maling wanita ini! Juga Sian Kim yang mata keranjang itu jatuh hati
kepadanya, sehingga akibat dari pada pertempuran ini bahkan membuat mereka menjadi sahabat baik!
Selama berbulan-bulan Sian Kim tinggal di rumah gedung Hopak Sam-eng dan menjadi kekasih Liok Seng.
Hidupnya serba mewah dan senang, bercinta-cintaan dengan pemuda yang terkenal sebagai seorang
pemuda hidung belang itu!
Selain kaya raya dan berpengaruh, Hopak Sam-eng juga amat disegani dan ditakuti oleh penduduk Kiangsun-
ok, oleh karena mereka ini memang terkenal berwatak keras dan tinggi. Juga mereka yang memiliki
banyak tanah dan terkenal sebagai tuan-tuan tanah itu berlaku amat keras dan memeras para petani yang
menjadi buruh tani mereka!
Seperti juga watak ayahnya, setelah beberapa bulan hidup dengan penuh kasih sayang dengan Liok Seng,
Sian Kim mulai menjadi bosan dan mulai sering meninggalkan rumah untuk mulai dengan perantauannya,
bahkan berani bermain gila dengan pemuda-pemuda lain yang cukup ganteng.
Hal ini tentu saja amat menyakitkan hati Liok Seng. Meski pun pemuda ini bukan menjadi suami yang sah,
akan tetapi Liok Seng sangat mencinta Sian Kim dan tidak suka melihat kekasihnya bermain gila dengan
pemuda lain.
Liok Seng menegurnya, akan tetapi Sian Kim tak ambil peduli hingga akhirnya keduanya bertempur! Akan
tetapi Liok Seng bukanlah lawan Sian Kim. Dalam beberapa jurus saja Liok Seng telah dilukai pundaknya
oleh pedang Sian Kim yang meninggalkan pemuda itu sambil menghinanya dengan kata-kata pedas.
Liok Seng adalah putera Liok Bu Tat, atau saudara termuda dari Hopak Sam-eng, maka ketika mendengar
hal ini, tentu saja Liok Bu Tat menjadi marah sekali. Demikian pula dua jago Hopak lainnya yang bernama
Liok Sui dan Liok Ban, mereka ini merasa amat marah mendengar betapa keponakan mereka sudah
dilukai dan bahkan dihina oleh Sian Kim yang dianggap tak kenal budi.
Ketiga Hopak Sam-eng lalu mengejar Sian Kim dan menyerangnya dengan hebat. Sian Kim membela diri
dan mengadakan perlawanan mati-matian, akan tetapi akhirnya ia tidak dapat menghadapi ketiga jago tua
itu dan segera melarikan diri.
Ketika ketiga orang jago itu berhasil menyusulnya sehingga pertempuran terjadi lagi, Sian Kim sedang
bersama dengan seorang pemuda lain yang tampan sekali. Kini melihat Sian Kim dapat melarikan diri,
Hopak Sam-eng segera menumpahkan kemarahannya kepada pemuda itu yang lalu dibunuhnya.
Pada waktu Sian Kim mendengar berita bahwa kekasih barunya itu dibunuh oleh Hopak Sam-eng, ia
menjadi sakit hati sekali dan menganggap ketiga orang jago tua itu sebagai musuh besar yang harus
dibalas sewaktu-waktu.
Demikianlah sebetulnya peristiwa yang terjadi sehingga menimbulkan permusuhan antara Sian Kim dan
Hopak Sam-eng. Akan tetapi cerita ini lalu diputar-balikkan ketika gadis ini menceritakannya kepada Ciauw
In dan dua orang adik seperguruannya.
Setelah menderita kekalahan dari Hopak Sam-eng, Sian Kim lalu mencari ayahnya. Gadis jelita yang amat
kejam dan juga amat cerdik serta jahat ini, ketika melihat betapa ayahnya menjadi ketua dari Hek-lian-pang
dan betapa ibu tirinya yang dulu amat bengis padanya, lalu menyerbu dan membunuh ibu tirinya!
Ayahnya menjadi marah sekali dan menyerangnya. Akan tetapi Gu Ma Ong tidak dapat mengalahkan
puterinya sendiri, bahkan kena dirobohkan! Sian Kim lalu mengangkat diri sendiri sebagai kepala Hek-lianpang
yang baru dan menurunkan kedudukan ayahnya menjadi wakilnya!
Semua anak buah Hek-lian-pang tidak ada yang berani membantah oleh karena memang mereka telah
menyaksikan sendiri bahwa gadis jelita ini benar-benar lihai! Mereka bahkan merasa girang mendapatkan
seorang ketua yang demikian cantik jelitanya dan semenjak Sian Kim berada di sana, banyak di antara
anak buahnya yang tampan menjadi ‘teman baik’-nya.
Gu Ma Ong yang melihat betapa puterinya bertukar-tukar kekasih dan hidup secara hina sekali bagi
seorang wanita, hanya dapat menarik napas panjang dan merasa menyesal sekali. Ayah manakah yang
dunia-kangouw.blogspot.com
tak akan merasa berduka melihat anak perempuannya hidup seperti seorang pelacur yang memalukan
sekali?
Gu Ma Ong tidak teringat akan perbuatannya sendiri dan tidak sadar bahwa anaknya itu ternyata
mempunyai watak yang diwariskan olehnya. Memang demikianlah sifat seorang manusia. Betapa pun
jahatnya dia, akan tetapi ia tidak rela dan tak suka melihat anaknya menjadi jahat pula. Namun Gu Ma Ong
tidak berdaya, karena ilmu kepandaiannya kalah jauh dan ia tidak berkuasa terhadap puterinya itu.
Sejak menjadi ketua Hek-lian-pang, Sian Kim lalu bertukar pakaian dan selalu pakaiannya berwarna hitam.
Nama perkumpulan ini yang berarti Teratai Hitam, terasa cocok sekali olehnya dan ia merasa seakan-akan
ia merupakan setangkai bunga teratai hitam, maka ia selalu berpakaian serba hitam.
Apa lagi ketika para kekasihnya memuji-mujinya dan menyatakan bahwa gadis jelita ini pantas sekali
mengenakan pakaian hitam sehingga kulitnya yang putih bersih itu nampak makin menyolok, ia lalu tak
pernah mengganti pakaiannya dengan warna lain! Ia pun lalu mengeluarkan para anggota yang sudah tua,
kemudian mengganti anak buahnya dengan pemuda-pemuda yang tampan dan bahkan ia melatih silat
kepada mereka!
Namun, tetap saja ia merasa bosan dengan segala kemewahan dan kesenangan ini. Ia tidak tahu bahwa
memang demikianlah sifat kesenangan duniawi, yakni membosankan! Tidak tahu bahwa kebahagiaan
abadi tidak terletak dalam kesenangan duniawi. Ia mulai merantau lagi dan hanya memimpin
perkumpulannya selama setahun.
Kemudian, setelah dia kembali ke tempat itu dan mendengar bahwa ayahnya terbunuh mati oleh tiga murid
Hoa-san, bahkan betapa banyak anggota perkumpulannya terbasmi pula, dia segera mengejar ketiga
murid Hoa-san itu dan selanjutnya menggunakan siasat untuk menjebak hati Ciauw In yang amat lihai
untuk dapat diperalatnya!
Demikianlah riwayat singkat dari Sian Kim, gadis jelita berbaju hitam yang telah berhasil menjatuhkan hati
Ciauw In. Tentu orang akan bergidik apa bila telah mengetahui riwayat gadis yang penuh kekotoran itu.
Akan tetapi siapa saja yang bertemu dengannya, lalu memandang wajah yang ayu serta potongan tubuh
yang menggiurkan, pasti tak akan ada yang mengira bahwa dara jelita ini adalah seorang wanita yang
jahat, kotor, dan kejam.
Hanya Bwee Hiang saja yang mempunyai perasaan halus sehingga bisa meragukannya. Akan tetapi
Ciauw In tak dapat disalahkan. Setiap orang laki-laki, baik ia masih muda mau pun sudah tua, pasti akan
tergiur melihat dara ini…..
********************
Ciauw In adalah seorang pemuda yang baru saja keluar dari tempat perguruan dan baru saja turun gunung
menceburkan diri ke dalam dunia ramai, maka ia dapat diumpamakan sebagai seekor anak burung yang
baru saja turun dari sarang dan baru belajar terbang. Ia amat bodoh dan tidak berpengalaman sama sekali,
sehingga lebih mudahlah bagi Sian Kim untuk menjalankan tipu muslihatnya, walau pun terdapat pula
kesulitan bagi gadis ini dalam siasatnya menghadapi Ciauw In.
Kesukaran ini justeru timbul oleh kebodohan Ciauw In. Bila saja pemuda ini tidak sehijau itu, tentu ia akan
dapat mengerti segala pernyataan cinta kasih Sian Kim dan tentu akan menyambutnya dengan hati girang.
Akan tetapi, Ciauw In terlalu bodoh dan malu-malu, demikianlah Sian Kim sering mengomel seorang diri,
sehingga biar pun pemuda itu sering memandangnya dengan mata kagum dan penuh perasaan cinta yang
besar, akan tetapi belum pernah terlompat dari bibir pemuda ini mengnai perasaannya yang jelas nampak
dari pandangan matanya itu.
Sian Kim cukup cerdik untuk tidak menggunakan sikap yang terlalu menyolok dan kasar dan ia tetap
bersikap malu-malu pula bagaikan seorang gadis, baik-baik. Dari gerak-gerik dan pandangan matanya,
jelas-jelas ia membayangkan akan perasaan hatinya terhadap Ciauw In, meski pun ia tidak berani pula
berterus terang seperti layaknya dilakukan oleh seorang gadis sopan.
Ia memang pandai bermain sandiwara hingga Ciauw In betul-betul terpikat, menganggap bahwa Sian Kim
adalah seorang gadis yatim piatu yang malang dan yang mencintainya seperti ia mencinta gadis itu hingga
diam-diam Ciauw In merasa luar biasa gembira dan bahagianya. Ia mengambil keputusan di dalam hati
untuk segera mengajukan hal ini pada suhu-nya dan meminta orang tua itu untuk mengajukan pinangan! Ia
dunia-kangouw.blogspot.com
sendiri tidak kuasa membuka mulut menyatakan perasaan hatinya maka dia pun diam saja dan hanya
gerak bibir dan pandang matanya saja yang bicara dalam seribu bahasa dan yang dimengerti baik oleh
Sian Kim.
Selama dalam perjalanan menuju ke Kiang-sun-ok tempat tinggal Hopak Sam-eng, Sian Kim menjaga
dengan hati-hati sehingga tidak pernah memperlihatkan sikap yang kurang sopan. Mereka selalu bermalam
di sebuah hotel terbesar dengan kamar berhadapan.
Pada malam hari itu mereka bermalam di hotel ‘Lok-pin’ di kota Siang-yu, sebelah timur Kiang-sun-ok.
Setelah makan malam mereka bercakap-cakap di ruangan depan sampai jauh malam, lalu masuk ke
kamar masing-masing untuk tidur.
Kira-kira menjelang tengah malam, Ciauw In yang masih belum tidur karena diam-diam memikirkan
keadaan Sian Kim dengan hati amat beruntung, tiba-tiba mendengar suara kaki menginjak genteng hotel
itu, tidak jauh di atas kamarnya. Cepat-cepat ia mengambil pedangnya dan melompat keluar kamar dari
jendelanya dan langsung melompat ke atas genteng. Dilihatnya bayangan hitam berkelebat cepat, maka ia
pun segera mengejar dan mengintai dari belakang.
Alangkah herannya ketika dia melihat bahwa bayangan itu adalah Sian Kim sendiri! Dia hendak
memanggil, akan tetapi timbul keinginannya untuk mengetahui dengan diam-diam apakah yang hendak
dilakukan oleh kawan baru ini, maka dia lalu mengikutinya dengan diam-diam tanpa diketahui oleh Sian
Kim.
Ciauw In terlalu memandang rendah kepada Sian Kim kalau ia menyangka bahwa gadis itu tidak tahu
bahwa ia sedang mengikutinya, karena sesungguhnya Sian Kim sudah tahu bahwa Ciauw In berada tidak
jauh di belakangnya. Gadis ini diam-diam tersenyum manis seorang diri dan berlaku seakan-akan ia tidak
melihat pemuda itu. Gadis ini terus menuju ke sebuah gedung besar, tempat seorang hartawan di kota itu.
Sesungguhnya, gadis ini sudah kehabisan uang bekal dan seperti biasa hendak mencari uang dari gedung
itu. Ia maklum bahwa hal ini dapat ia lakukan dengan hati tenang, oleh karena ‘meminjam uang’ seorang
hartawan memang sudah biasa dilakukan orang-orang kang-ouw yang kehabisan bekal di dalam
perjalanan, sehingga ia pun tidak perlu merasa malu-malu kepada pemuda itu. Bahkan ia ingin melihat
bagaimana sikap Ciauw In dalam hal ini.
Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa pada malam itu kebetulan sekali ia akan bertemu dengan seorang
penjahat lain! Ketika dia berhenti di atas genteng rumah hartawan itu, tiba-tiba matanya yang tajam dapat
melihat bayangan hitam berkelebat turun dari genteng dan menuju ke ruang dalam gedung itu. Ia segera
mengejarnya dan mengintai, tahu bahwa di lain tempat tak jauh dari situ, Ciauw In juga sedang mengintai
pula!
Bayangan hitam ini adalah bayangan dari seorang laki-laki tinggi besar yang mengenakan pakaian serba
hitam. Dengan hati-hati sekali orang itu menghampiri jendela salah satu kamar, lalu dengan goloknya
membuka daun jendela dengan gerakan cepat dan cermat, tanda bahwa ia memang ahli dalam hal
membongkar jendela kamar orang!
Setelah jendela terbuka, orang itu kemudian mengeluarkan satu bungkusan kuning yang panjang dari
punggungnya. Ternyata bahwa di dalam bungkusan itu terdapat beberapa batang hio (dupa) dan sesudah
dibakarnya, ia lalu menaruh hio itu di dalam jendela dan meniupkan asap hio ke dalam kamar!
Ciauw In yang masih hijau itu tidak tahu apa maksud penjahat ini dengan perbuatannya itu, maka diamdiam
ia pun lalu mengintai ke dalam kamar. Kamar itu indah dan mewah sekali, dan di dalamnya ada
sebuah tempat tidur yang kelambunya tertutup, akan tetapi sepasang sepatu kain yang tersulam indah
berwarna merah membuat ia dapat menduga bahwa di dalam kelambu itu tentulah berbaring seorang
gadis, puteri tuan rumah yang sedang tidur!
Selain pembaringan ini, terdapat pula banyak barang-barang indah dan mahal serta yang menandakan
bahwa penghuni kamar ini memang seorang wanita. Pemuda ini berpikir heran, mengapa penjahat ini
membakar hio yang asapnya ditiupkan ke dalam kamar. Kalau ia hendak mencuri, setelah membuka
jendela, mengapa tidak langsung masuk saja dan mengambil barang-barang berharga?
Akan tetapi, Sian Kim tahu dengan baik apa artinya perbuatan itu, karena dengan marah sekali ia segera
membentak halus, "Penjahat cabul, jangan kau berani main gila di depan nonamu!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sambil berkata demikian, gadis ini melompat keluar dari tempatnya mengintai. Pada saat mendapat
kenyataan bahwa perbuatannya ketahuan orang, penjahat itu menjadi terkejut dan segera melompat ke
atas genteng. Akan tetapi Sian Kim mengejar dengan lompatan yang jauh lebih cepat dari pada penjahat
itu hingga ia mendahuluinya mencegat di atas genteng. Sementara itu, Ciauw In juga menyusul dan
mengintai dengan diam-diam.
Sementara itu, bukan main kagetnya penjahat tinggi besar itu saat melihat betapa wanita yang
menegurnya tadi kini tahu-tahu telah berada di hadapannya, dan kekagetannya ini berubah menjadi
ketakutan setelah ia memandang kepada Sian Kim.
"Kau...?! Kau... di... sini...?" tanyanya gagap.
“Penjahat cabul tukang petik bunga! Setelah bertemu denganku jangan harap mendapat ampun!” teriak
Sian Kim memotong ucapannya dan langsung pedangnya menyerang.
Penjahat itu dengan tubuh gemetar terpaksa menangkis dengan goloknya dan suaranya menggigil ketika ia
berkata pula, "Ampunkan aku... ampunkan... Hek..."
Akan tetapi ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya, oleh karena pedang Sian Kim telah menyambar dan
tepat sekali menabas batang lehernya hingga batang leher penjahat itu hampir putus! Ia tak sempat
mengeluarkan teriakan dan tubuhnya roboh berdarah di atas genteng!
Ciauw In merasa ngeri dan terkejut sekali, maka ia tak dapat pula menahan hatinya dan segera melompat
keluar.
"Nona, mengapa kau tidak mau ampunkan dia?”
Sian Kim pura-pura baru melihat Ciauw In, maka dengan membuka mata lebar-lebar ia berkata, "Ehh,
ehhh... taihiap, mengapa pula tahu-tahu kau telah berada di sini?"
Ditanya demikian Ciauw In menjadi malu sendiri dan menjawab sejujurnya, "Tadi aku tak dapat tidur dan
melihat kau keluar, aku pun lalu menyusul karena ingin tahu apakah yang hendak kau lakukan pada waktu
seperti ini. Mengapa kau bunuh penjahat ini sedangkan ia belum melakukan kejahatan apa-apa? Dan apa
yang dia lakukan dengan pembakaran hio itu?"
Diam-diam Sian Kim merasa geli hatinya melihat kebodohan Ciauw In dan tiba-tiba timbul keinginannya
untuk mencoba keteguhan hati pemuda ini.
“Ia adalah seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga),” katanya.
Sungguh Ciauw In benar-benar belum pernah mendengar akan hal ini, maka ia bertanya, "Jai-hwa-cat?
Apakah maksudnya sebutan ini? Kenapa pula seorang penjahat memetik bunga? Bunga apakah?”
Merahlah muka Sian Kim mendengar pertanyaan ini. Ia lalu menundukkan kepala dengan bibir tersenyum
malu-malu dan mengerling dengan matanya yang tajam, membuat aksi seakan-akan seorang gadis
mendengar kata-kata yang membuatnya merasa malu sekali!
“Taihiap, benar-benarkah kau belum pernah mendengar tentang hal ini?”
Ciauw In menggeleng kepala.
"Kau jelaskanlah, nona. Jika tidak, selamanya aku akan merasa menyesal mengapa kau begitu kejam
membunuh seorang yang belum diketahui kedosaannya.”
“Taihiap, ketahuilah, hio yang dibakarnya tadi mempunyai pengaruh memabokkan orang yang sedang
tidur. Kalau hio itu asapnya memenuhi kamar, orang yang tidur di dalamnya tidak akan dapat mendengar
sesuatu atau pun merasa sesuatu karena ia telah tidur pulas sekali bagaikan pingsan!"
Ciauw In mengangguk-angguk. “Tentu saja seorang maling suka menggunakan itu agar mudah baginya
mengambil barang-barang penghuni kamar."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kau keliru, taihiap. Penjahat hina ini tak bermaksud mengambil barang-barang berharga, akan tetapi
bermaksud memetik bunga.”
“Apa maksudmu?”
"Aduh, sukar sekali bagiku untuk memberi tahukan hal ini, taihiap. Bagaimanakah aku harus
menceritakannya?”
Kemudian gadis yang cantik ini menggigit-gigit bibir dan tiba-tiba dia mendapat sebuah pikiran bagus.
"Kau hendak tahu maksudnya? Baiklah, mari kau ikut aku, taihiap!”
Setelah berkata demikian, Sian Kim lalu melompat turun dari genteng, diikuti oleh Ciauw In yang terheranheran.
Gadis itu lalu melompat ke depan jendela kamar yang dibongkar penjahat tadi, dan sesudah melihat
Ciauw In melompat turun pula, ia lalu memberi tanda agar pemuda itu mengikutinya masuk ke dalam
kamar melalui jendela.
Ciauw In mencium bau harum sekali di dalam kamar itu hingga hatinya berdebar karena maklum bahwa ia
telah memasuki kamar gadis. Ia merasa malu sekali, akan tetapi oleh karena ingin melihat apakah yang
akan dilakukan oleh Sian Kim, ia mendekati gadis itu. Sian Kim lalu menghampiri kelambu yang tertutup
sambil memberi tanda kepada Ciauw ln yang mendekatinya pula.
Sian Kim lalu mengunakan kedua tangannya membuka kelambu itu dengan serentak dan nampaklah tubuh
seorang gadis rebah telentang di atas pembaringan dan dalam keadaan tidur nyenyak. Gadis yang sedang
berbaring telentang itu cantik manis sekali dan dalam tidurnya tersenyum sehingga menimbulkan
pemandangan yang sangat menggairahkan. Apa lagi karena dalam ketidak sadarannya, pakaian gadis itu
amat kusut dan tidak karuan letaknya.
Ciauw In memandang kepada Sian Kim dengan rasa terkejut dan heran, karena ia tidak mengerti apa
maksud gadis itu membuka kelambu orang. Ketika Sian Kim memandang dirinya dan melihat sinar
kebodohan di wajah Ciauw In serta matanya yang mengandung penuh pertanyaan, dara jelita berbaju
hitam itu lalu tertawa kecil dan berkata,
“Taihiap, inilah kembang yang kumaksudkan tadi."
Ciauw In menjadi bengong karena masih belum mengerti juga. Maka, sambil menahan geli hatinya, Sian
Kim berkata lagi,
“Kembang yang begini indah mengharum, siapa yang tidak ingin memetik? Apakah kau juga tak ingin
memetiknya, taihiap?”
Barulah sekarang Ciauw In mengerti akan maksud sebutan penjahat pemetik bunga tadi, maka wajahnya
tiba-tiba menjadi pucat dan tanpa berkata sesuatu ia cepat melesat dari kamar itu! Sian Kim juga keluar
dari kamar setelah tangannya menyambar kantung uang emas yang berada di atas meja dekat
pembaringan. Ia mengejar Ciauw In yang nampak marah.
“Taihiap, tunggu dulu," katanya dan terpaksa Ciauw In menahan larinya yang cepat.
“Mengapa kau cemberut, apakah kau marah kepadaku?”
Ciauw In memandang dan di dalam hati ia mengaku bahwa ia tak dapat marah terhadap gadis ini, maka ia
menggeleng kepala dan berkata,
"Aku merasa sebal mendengar kata-katamu tadi dan kalau kau tidak membunuh bajingan itu, tentu aku
sendiri yang akan membunuhnya! Sekarang aku sudah mengerti mengapa kau membunuh dia."
“Jadi kau tidak menganggap aku kejam lagi?”
“Tidak, tidak! Hukuman itu sudah pantas bagi seorang jahat seperti dia. Akan tetapi aku tak mengerti,
kenapa penjahat itu agaknya kenal padamu dan apakah artinya sebutannya kepadamu tadi?"
"Sebutan bagaimana?" tanya Sian Kim dengan hati berdebar gelisah.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aku tadi mendengar seakan-akan ia hendak menyebutmu dengan sebuah kata-kata Hek (hitam). Apakah
artinya itu?"
"Taihiap, kau betul-betul bermata tajam dan bertelinga tajam pula. Memang, sebenarnya sejak kemarin
harusnya aku mengaku kepadamu. Ketahuilah bahwa dalam perantauanku yang sudah-sudahm sudah
banyak aku membinasakan para penjahat sehingga namaku agak terkenal di antara mereka dan karena
aku memang paling suka berpakaian serba hitam, maka mereka menyebutku Hek-lian Niocu (Nona Teratai
Hitam )."
Ciauw In mengangguk-angguk dan tanpa disengaja mulutnya berkata perlahan, "Memang kau... cantik
sekali memakai pakaian hitam.”
Sebetulnya Sian Kim sudah cukup mendengar ucapan ini, akan tetapi ia pura-pura tidak dengar dan
bertanya mendesak. "Apa katamu taihiap?”
Merahlah wajah Ciauw In mendengar pertanyaan ini. “Sesungguhnya kau... amat pantas mengenakan
pakaian serba hitam," ia lalu berkata lagi.
"Benarkah...?" Sambil tersenyum manis Sian Kim melirik.
"Nona, ada satu hal lagi yang masih belum kuketahui, yakni mengapakah malam-malam kau meninggalkan
kamar dan pergi ke gedung itu?”
"Untuk mengambil ini!” kata Sian Kim dengan lagak centil dan tersenyum-senyum sambil mengangkat
kantung yang tadi diambilnya dari kamar gadis itu.
"Apakah itu?"
Sian Kim tidak menjawab, hanya membuka kantung itu dan memperlihatkan isinya, yakni sejumlah uang
perak dal emas.
"Ehh, ehhh kau... kau mencuri uang itu?"
“Hush, jangan kau bilang mencuri, taihiap. Lebih baik kau menggunakan istilah kang-ouw, yakni meminjam
untuk biaya perjalanan." Ketika melihat Ciauw In agaknya kurang setuju, ia segera menyambung, "Hal ini
bukan hal yang amat penting dan tidak perlu disusahkan, taihiap. Lagi pula, bukankah aku telah menolong
gadis itu dari satu bahaya yang melebihi hebatnya dari pada maut? Sudah sepantasnya kalau ia memberi
hadiah uang tak berapa banyaknya ini kepadaku!”
Ia lalu tertawa dan suara ketawanya demikian halus dan gembira sehingga mau tidak mau Ciauw In juga
ikut tertawa.
BAB-09 : BANTUAN SALAH ALAMAT
"Kau benar-benar aneh dan... nakal, nona," katanya.
Pada saat itu mereka telah sampai di depan hotel dan keduanya lalu masuk kembali ke dalam hotel melalui
genteng. Sebelum mereka kembali ke kamar masing-masing, Sian Kim memandang dengan mata penuh
daya memikat.
Akan tetapi Ciauw In hanya berkata, "Nona, kuharap kau tidak menyebutku taihiap lagi. Kita telah menjadi
sahabat baik dan tidak enak kalau kau memanggilku seperti terhadap orang yang baru berkenalan saja.
Kau membuat aku menjadi sungkan."
Ucapan ini saja sudah merupakan kemenangan setindak bagi Sian Kim. Oleh karena itu, sambil
memandang dengan muka semanis-manisnya, ia berkata dan tersenyum,
“Baiklah. Kalau begitu, biarlah aku menyebutmu twako (kakak) saja. Nah, selamat malam dan selamat
bermimpi, Lie-twako!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah berkata begitu, sambil berlari-lari dan tertawa-tawa kecil ia memasuki kamarnya. Sebelum
menutup pintu kamar, kembali dia mengerling ke arah Ciauw In dengan penuh arti.
Ciauw ln memasuki kamarnya sendiri dan setelah mengganti pakaian, ia merebahkan diri di atas
pembaringan. Benar saja, malam itu dia bermimpi melihat kamar gadis hartawan yang dimasukinya tadi,
akan tetapi yang rebah di atas pembaringan bukanlah gadis itu, melainkan Sian Kim! Sian Kim dengan
memakai baju pengantin dan ia sendiri memasuki kamar dalam pakaian mempelai laki-laki!
Sama sekali ia tidak tahu bahwa penjahat yang mendatangi gedung itu dan yang telah dibunuh oleh Sian
Kim, sesungguhnya adalah seorang bekas anak buah Hek-lian-pang, bahkan pernah pula menjadi kekasih
Sian Kim!
Oleh karena inilah maka penjahat tadi merasa ketakutan dan terkejut melihat Sian Kim muncul. Gadis baju
hitam ini selalu mengancam kepada setiap laki-laki kekasihnya untuk dibunuh apa bila berani-bermain
dengan wanita lain…..
********************
Semenjak peristiwa malam itu, sikap Sian Kim terhadap Ciauw In makin berani dan makin menggiurkan
hati Ciauw In. Gadis ini selalu menyebutnya ‘Lie-twako’ dengan suara yang mempunyai nada istimewa
halus dan merdunya, panggilan yang hanya dapat diucapkan oleh mulut seorang kekasih yang tercinta.
Perjalanan mereka pada keesokan harinya terasa lebih menggembirakan. Kata-kata yang dikeluarkan di
antara mereka makin mesra, juga lirikan mata masing-masing makin penuh arti dan perasaan.
Ketika mereka tiba dl kota Kiang-sun-ok, dengan mudah saja mereka mencari gedung tempat tinggal
Hopak Sam-eng. Untuk membuat Ciauw In percaya, dengan sengaja Sian Kim mencari keterangan kepada
pelayan hotel di mana tempat tinggal Hopak Sam-eng, padahal tentu saja ia tahu di mana letak gedung itu,
oleh karena sudah berbulan-bulan ia tinggal di dalam gedung itu sebagai kekasih Liok Seng.
Ciauw In lalu mengajak Sian Kim untuk segera mendatangi musuh-musuh besar itu dan membuat
perhitungan, akan tetapi Sian Kim menolak dan berkata,
"Lie-twako, kita tidak perlu tergesa-gesa. Hopak Sam-eng merupakan tritunggal yang lihai sekali, apa lagi
ditambah pula dengan bangsat muda Liok Seng itu, mereka benar-benar merupakan lawan yang tangguh.
Jika kita datang terang-terangan pada waktu siang dan menghadapi mereka, aku kuatir kalau-kalau kita
akan gagal dan tak berhasil merobohkan mereka. Lebih baik kita datang menyerbu di waktu malam dan
menyerang mereka selagi mereka tidak bersedia."
Ciauw In tidak setuju dengan pendapat ini dan sebetulnya Sian Kim hanya mengeluarkan ucapan ini untuk
membakar hatinya saja.
“Nona, hal seperti itu tidak patut dilakukan oleh orang-orang gagah. Lebih baik kita datang secara
berterang, dan betapa pun juga, kau jangan kuatir. Aku akan membantumu sekuat tenaga, biar pun aku
harus berkorban jiwa!”
“Terima kasih, Lie-twako, kau memang seorang yang berhati mulia. Kalau begitu, biarlah aku mengirim
surat tantangan kepada mereka itu!”
Sebelum Ciauw In menjawab, Sian Kim sudah menulis sebuah surat dan memberikan itu kepada pelayan
hotel sambil memberi hadiah beberapa potong uang perak.
“Berikan surat ini kepada Hopak Sam-eng!" perintahnya.
Pelayan itu merasa gembira sekali oleh karena hadiah yang dia terima untuk tugas itu jumlahnya lebih
besar dibandingkan gajinya sebulan di hotel itu! Ia membungkuk-bungkuk menerima surat itu sambil
menghaturkan terima kasihnya, lalu pergi dengan cepat untuk menyampaikan surat itu kepada Hopak
Sam-eng yang tinggal di sebelah utara, di dalam sebuah gedung yang mempunyai pekarangan amat
luasnya.
Sesudah beberapa lama, pelayan itu datang kembali dengan muka pucat dan datang-datang ia
menuturkan pengalamannya dengan suara masih diliputi ketakutan.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aduh, siocia, hampir saja aku tidak dapat pulang! Liok toaya yang menerima suratmu menjadi marahmarah
dan memaki-maki kalang kabut. Bahkan hampir saja ia memukulku karena dikatakan berani
membawa surat itu kepadanya. Untung saja masih ada siauwya yang menghalangi kehendaknya. Ia terus
memaki-maki dan akhirnya menyatakan bahwa besok jam delapan dia akan menanti siocia di depan
rumahnya!”
Sian Kim tersenyum saja mendengar ini dan menyuruh pelayan itu pergi.
“Lie-twako, mulai sekarang mereka telah bersiap sedia dan selanjutnya aku yang bodoh hanya
mengharapkan bantuanmu.”
"Jangan kuatir, nona. Aku akan membelamu terhadap mereka," jawab Ciauw In dengan tenang.
Pada keesokan harinya, setelah makan pagi, Ciauw In dan Sian Kim berangkat menuju ke rumah Hopak
Sam-eng. Dari jauh mereka telah melihat empat orang berdiri di depan rumah besar itu sambil bertolak
pinggang dan memandang pada Sian Kim dengan mata menyatakan kemarahan besar.
Dari jauh Sian Kim menunjuk mereka dan memperkenalkan mereka kepada Ciauw In.
“Twako, mereka bertiga itu adalah Liok Sui, Liok Ban dan Liok Bu Tat, Hopak Sam-eng yang lengkap.
Sedangkan orang muda itu adalah bajingan yang sudah menghinaku, yang bernama Liok Seng, putera dari
Liok Bu Tat."
Ciauw In memandang dengan penuh perhatian. Ketiga jagoan dari Hopak itu semuanya bertubuh tinggi
besar dan berwajah kereng dan galak sekali. Jelas terlihat bahwa mereka itu mempunyai tenaga yang
amat kuat.
Liok Sui dan Liok Ban memegang sebatang toya, ada pun Liok Bu Tat membawa pedang yang tergantung
di pinggangnya. Liok Seng adalah seorang muda yang berwajah tampan dan berpakaian merah, sikapnya
lemah lembut, akan tetapi kedua matanya galak seperti mata ayahnya.
Begitu mereka tiba di depan Hopak Sam-eng, Liok Bu Tat menuding kepada Sian Kim dan membentak
sambil tersenyum menyindir,
“Bagus, Gu Sian Kim! Kau datang mengantar nyawamu!"
Juga Liok Sui dan Liok Ban memandang dengan marah, bahkan Liok Sui, saudara tertua dari Hopak Sameng
yang terkenal berwatak keras dan galak, segera memaki,
"Perempuan rendah! Agaknya bebarapa kali hajaran dari kami itu masih belum membuat kau kapok!
Sekarang kau datang lagi hendak mengacau, maka sudah sepatutnya kali ini kau dibikin mampus!"
Sementara itu, ketika melihat betapa bekas kekasihnya ini nampak makin jelita saja, Liok Seng menjadi
panas hati ketika melihat Sian Kim datang bersama seorang pemuda yang tampan. Ia segera mencabut
pedangnya dan dengan nada marah berkata,
"Perempuan sundal! Kau datang membawa-bawa kekasihmu yang baru?” Sambil berkata demikian, ia
melangkah maju dan menudingkan pedangnya ke arah muka Ciauw In.
Ciauw In semenjak tadi menahan-nahan marahnya, akan tetapi ketika mendengar ucapan Liok Seng ini, ia
tidak tahan lagi dan segera membentak,
"Tutup mulutmu yang kotor!"
"Ha-ha-ha!" Liok Seng tertawa. "Bagus sekali, Sian Kim. Kekasihmu ini betul-betul berani membelamu dan
bahkan agaknya seorang yang sopan-santun sekali!”
"Ini adalah Lie-twako atau Hoa-san Taihiap, seorang pemuda yang sopan dan mulia, tidak seperti kau,
bajingan rendah!” Sian Kim balas memaki.
Akan tetapi Liok Seng yang dimakinya hanya tertawa bergelak dan berkata,
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bagus, bagus! Kau memang pandai memilih kekasih, akan tetapi sebentar saja kau tentu akan merasa
bosan pula kepada kekasih sopan ini!"
"Bangsat bermulut busuk! Kalau kau tidak berhenti memaki, akan kupukul mulutmu yang jahat!" kembali
Ciauw In membentak dengan marah sekali.
Kini Liok Seng maju dua langkah dan menghadapi Ciauw In sambil menggerak-gerakkan badannya.
"Kau disebut Hoa-san Taihiap? Haa! Jangan kau menjadi sombong karena bisa menjadi kekasih
perempuan sundal ini, sobat! Kau tahu, sebelum kau kenal padanya, akulah yang lebih dahulu menjadi
sahabatnya yang baik sekali. Bukan hanya kau yang dapat memiliki perempuan ini! Ha-ha-ha, karena itu
jangan kau berlagak sombong."
"Bangsat bermulut keji!" Sian Kim berteriak sambil mencabut pedangnya. "Lie-twako, kau jagalah tiga
orang tua bangka ini, biar aku memberi hajaran kepada anjing ini!"
Setelah berkata demikian, Sian Kim lalu melompat dengan pedangnya, menyerang Liok Seng yang segera
menangkis.
Hopak Sam-eng melihat betapa Liok Seng diserang oleh Sian Kim, maklum bahwa orang muda itu
bukanlah tandingan Sian Kim. Karena itu mereka segera menggerakkan senjata masing-masing dan
melompat untuk menghadapi Sian kim. Akan tetapi tiba-tiba mereka melihat cahaya pedang berkelebat dan
tahu-tahu pemuda yang disebut Hoa-san Taihiap itu telah menghadang di depan mereka dengan pedang di
tangan!
“Ha-ha-ha-ha! Agaknya kau pun ingin mampus!” berkata Liok Sui yang segera menyerang dengan toyanya.
Serangan ini hebat sekali datangnya karena ia ingin sekali pukul membikin roboh lawan ini atau setidaknya
ingin mendesaknya agar supaya kedua adiknya dapat membantu Liok Seng yang sedang didesak oleh
Sian Kim. Serangan toya ini adalah gerak tipu Ouw-liong Chut-tong atau Naga Hitam Keluar Goa, yaitu
salah satu gerakan dari cabang persilatan Siauw-lim-si. Toyanya menyabet pinggang, ada pun ujung yang
dipegangnya siap untuk dibalikkan dan memukul dada apa bila sabetan itu dapat ditangkis atau dielakkan!
Sementara itu, Liok Ban dan Liok Bu Tat maklum bahwa kakak mereka itu cukup kuat untuk menghadapi
pemuda itu, maka mereka tidak bantu mengeroyok, melainkan segera melompat untuk menerjang Sian
Kim.
Akan tetapi, baik Liok Sui mau pun kedua orang adiknya itu menjadi amat terkejut ketika tiba-tiba tubuh
Ciauw In berkelebat dan lenyap dari depan Liok Sui dan sekaligus ia telah memutar pedangnya di depan
Liok Ban dan Liok Bu Tat! Gerakan Ciauw In ini cepat luar biasa sehingga ketiga orang she Liok itu menjadi
tercengang. Ternyata bahwa Ciauw In benar-benar memenuhi permintaan Sian Kim dan dapat menahan
tiga jago Hopak itu!
Mereka menjadi marah sekali dan maklum pula bahwa pemuda ini tidak boleh dipandang ringan, karena itu
sekaligus mereka lalu maju menyerang dengan hebat dari tiga jurusan! Ketiga orang jago Hopak ini
memang pernah mempelajari ilmu silat Siauw-lim-si dan juga ilmu silat Bu-tong-pai, maka kepandaian
mereka cukup tangguh dan kuat.
Akan tetapi, menghadapi Ciauw In mereka kecele sekali karena ternyata bahwa setelah pemuda itu
mainkan ilmu pedangnya, pedang di tangan pemuda itu seakan-akan berubah menjadi puluhan batang dan
yang sekaligus bisa menghadapi mereka dengan ganasnya. Inilah kehebatan Hoa-san Kiam-hoat yang
sudah membikin kagum banyak jago-jago silat dari seluruh cabang persilatan ketika dimainkan di puncak
Kui-san!
Sementara itu, Liok Seng yang sedang didesak hebat oleh Sian Kim, merasa sibuk sekali. Ia mencoba
untuk mempertahankan diri dengan pedangnya sambil berharap kedatangan ayah atau kedua pamannya
untuk membantu. Akan tetapi, jangankan hendak membantu dirinya, baru membela diri mereka sendiri dari
sambaran-sambaran pedang Ciauw In saja mereka telah merasa repot sekali!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sudah dua kali Liok Seng mendapat tusukan yang menyerempet di pundak dan pahanya hingga pakaian di
bagian itu telah penuh darah. Ia menjadi ketakutan dan gelisah sekali, maka tanpa malu-malu ia lalu
berseru,
"Ayah... pek-hu... tolonglah...!”
Sian Kim tertawa bergelak yang tentu akan membuat Ciauw ln merasa seram sekali kalau saja ia tidak
sedang mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi ketiga jagoan Hopak yang kosen itu.
"Liok Seng, kau boleh merengek-rengek minta tolong, ha-ha-ha-ha, akan tetapi, sekarang pasti kau akan
mampus di tanganku!”
Sambil berkata demikian Sian Kim lalu memperhebat gerakan pedangnya, melancarkan seranganserangan
maut ke arah Liok Seng!
"Sian Kim... ingatlah kau tahu bahwa aku mencintaimu! Tegakah kau membunuhku yang pernah pula kau
cinta...?”
Akan tetapi oleh karena kuatir kalau ucapan Liok Seng ini terdengar oleh Ciauw In, Sian Kim menjawab
ucapan ini dengan tusukan-tusukan yang lebih gencar pula. Tentu saja kepandaian Sian Kim yang jauh
lebih tinggi ini, ditambah pula oleh nafsunya membunuh, membuat Liok Seng tak berdaya lagi dan ketika
pedang di tangan Sian Kim dengan tepat sekali menusuk dan menembusi dadanya, ia memekik ngeri dan
roboh, terus tewas pada saat itu juga!
Ketiga jago Hopak yang mendengar pekik serta melihat betapa anak muda itu roboh dan tewas di tangan
Sian Kim, menjadi marah dan segera mengerahkan seluruh tenaga untuk mengalahkan Ciauw In. Liok Sui
dan Liok Ban mainkan toya mereka dengan cepat hingga kedua batang toya itu seakan-akan berubah
menjadi dua ekor ular besar yang hidup dan bergulung-gulung hendak menelan tubuh Ciauw In,
sedangkan Liok Bu Tat yang merasa marah dan sedih melihat putera tunggalnya binasa, segera memutarmutar
pedangnya, mencari kesempatan untuk meninggalkan Ciauw In dan menerjang Sian Kim.
Akan tetapi, Ciauw In yang tahu akan hal ini segera menjaga dengan pedangnya hingga seranganserangan
balasannya yang cukup cepat itu membuat Liok Bu Tat tidak memiliki kesempatan untuk
menyerang Sian Kim. Ia kemudian mencurahkan seluruh perhatiannya untuk mendesak Ciauw In, oleh
karena dia pikir lebih baik mengalahkan pemuda lihai ini terlebih dahulu sebelum mengeroyok Sian Kim.
Hopak Sam-eng adalah jago-jago golongan tua yang selain bertenaga besar dan memiliki kepandaian
tinggi, juga sudah mempunyai banyak sekali pengalaman pertempuran. Kini, karena mereka bertempur
secara nekat dan mati-matian, maka desakan mereka hebat luar biasa sehingga sibuk juga bagi Ciauw In
untuk bisa mengalahkan mereka. Terpaksa ia mainkan ilmu pedang Hoa-san Kiam-hoat sebaik-baiknya,
mengeluarkan tipu-tipu yang terlihai dari ilmu pedang itu. Pedangnya terputar cepat dan tubuhnya tertutup
sama sekali oleh sinar pedangnya yang putih dan berkilauan cahayanya.
Sementara itu, aneh sekali, Sian Kim setelah berhasil membunuh Liok Seng, lalu duduk di bawah pohon,
menonton pertempuran yang sedang berjalan seru itu dan sama sekali tak bermaksud membantu Ciauw In!
Bagi ketiga jago Hopak, memang aneh melihat hal ini, sungguh pun mereka merasa lega, karena kalau
Sian Kim maju pula membantu Ciauw In, mereka pasti akan roboh dalam waktu singkat! Ada pun Ciauw In
tidak merasa menyesal melihat hal ini karena ia memang hendak memperlihatkan kepandaian dan
pembelaannya kepada gadis yang dicintainya itu.
Sebetulnya hal ini memang disengaja oleh Sian Kim. Bila seandainya Ciauw In terbinasa dalam
pertempuran ini, berarti dia akan kehilangan seorang musuh yang sangat tangguh dan ditakuti sehingga
selanjutnya ia akan mudah menghadapi Bwee Hiang dan Ong Su. Juga sebetulnya ia tidak mempunyai
permusuhan besar dengan Hopak Sam-eng, karena dibunuhnya kekasihnya dulu itu pun kini sudah
merupakan peristiwa yang hampir terlupa olehnya.
Sekarang pertempuran terjadi dengan benar-benar seru dan ramai. Biar pun ilmu pedang Ciauw In benarbenar
hebat, akan tetapi tandingannya kali ini merupakan tandingan yang terhebat dan terkuat baginya.
Pemuda Hoa-san ini belum memiliki cukup pengalaman dalam pertempuran menghadapi musuh-musuh
tangguh, ada pun tiga orang musuhnya sudah memiliki kepandaian tinggi, baik lweekang-nya mau pun
dunia-kangouw.blogspot.com
gerakan ilmu toya dan pedangnya kuat sekali. Pemuda itu diam-diam mengeluh dan kini tidak merasa
heran lagi mengapa Sian Kim yang lihai tidak mampu mengalahkan mereka ini.
Juga pengeroyokan mereka dilakukan secara sangat teratur. Kedudukan mereka selalu merupakan segi
tiga yang bergerak hidup, karena setiap kali seorang di antara mereka mengubah kedudukan, dua orang
yang lain segera cepat mengatur kedudukan masing-masing sehingga mereka selalu merupakan segi tiga
yang mengurungkan secara rapat sekali.
Liok Sui dan Liok Ban yang memegang toya selalu berusaha menyerang dari jarak jauh, sedangkan Liok
Bu Tat yang merasa sakit hati dan nekat karena kematian puteranya itu, menyerang dari jarak dekat sambil
mendapat perlindungan dan bantuan dari kedua orang kakaknya.
Diserang secara begini, sibuk juga Ciauw In menghadapi mereka. Dia sudah keluarkan seluruh
kepandaiannya dan hanya karena mengandalkan ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang lebih tinggi
tingkatnya dari ketiga orang lawannya, barulah ia dapat menjaga dan tidak dapat dirobohkan, sungguh pun
ia merasa sangat lelah karena menghadapi tiga senjata yang menyerangnya secara bergantian dan
bertubi-tubi.
Ciauw In mulai mencari siasat. Di antara ketiga lawannya, yang paling dekat dengannya dan mudah
dicapai hanyalah Liok Bu Tat seorang. Ia maklum bahwa mereka bertiga itu saling membantu dan saling
menjaga sehingga kalau dia menyerang seorang, maka dua orang yang lain lalu serentak menyerangnya
untuk menggagalkan serangannya kepada orang pertama.
Dia dapat memperhitungkan bahwa apa bila ia terus menerus menjaga diri, ia akan kalah karena tentu ia
akan kehabisan tenaga. Maka ia lalu mengambil keputusan nekat untuk mencari kemenangan. Setelah
beberapa kali memperhatikan cara penyerangan mereka, akhirnya tibalah kesempatan itu.
Pada ketika itu, pedang Liok Bu Tat menusuk dadanya dari depan, sedangkan toya di tangan Liok Sui
menyerampang kakinya, serta toya dari Liok Ban menghantam ke arah belakang kepalanya! Melihat
kedudukan mereka pada waktu melakukan penyerangan ini, Ciauw In cepat mengambil keputusan nekat.
Dia menangkis pedang Liok Bu Tat dengan menggetarkan pedangnya, lantas membalas dengan tusukan
sambil melompat ke atas untuk menghindarkan diri dari serampangan toya Liok Sui. Ada pun pada saat itu,
toya Liok Ban telah menghantam ke arah belakang kepalanya.
Apa bila ia harus menangkis atau mengelak kemplangan toya, terpaksa ia harus menarik kembali
serangannya terhadap Liok Bu Tat dan ia tak mau melakukan hal ini. Sebaliknya, ia lalu miringkan
kepalanya dan menerima kemplangan toya itu dengan bahu kirinya pada pangkal lengan yang berdaging
sambil mengerahkan lweekang-nya!
Ia memperhitungkan dengan cepat dan cermat sehingga ketika tusukan pedangnya pada Liok Bu Tat dapat
dielakkan oleh lawan dan toya Liok Ban menghantam bahunya dengan keras, tubuhnya terlempar ke arah
Liok Bu Tat dengan tepat sekali. Ia lalu menggerakkan pedangnya sambil meminjam tenaga dorongan toya
yang menghantam bahunya itu untuk menubruk Liok Bu Tat yang sama sekali tidak menyangka akan hal
ini!
Hampir berbareng terjadinya hal itu, yakni ketika toya mengemplang bahunya, tubuhnya segera
terpelanting dan sesaat kemudian pedangnya berhasil menusuk leher Liok Bu Tat yang roboh mandi darah
dan tewas di saat itu juga!
Akan tetapi, Ciauw In merasa betapa bahunya menjadi sakit dan linu sehingga tangan kirinya menjadi kaku
dan sukar digerakkan lagi! Akan tetapi ia telah mendapat hati karena berhasil merobohkan Liok Bu Tat,
maka ia cepat maju kembali dan memutar pedangnya secara hebat dan ganas.
Sebaliknya, Liok Ban yang tadinya merasa sangat girang karena berhasil menghantam bahu lawan dengan
toya, menjadi terkejut sekali melihat betapa pemuda itu seakan-akan tidak merasakan dan tidak terluka
sama-sekali, padahal kemplangan toyanya tadi cukup keras untuk bisa menghancurkan batu karang!
Ia hanya merasa betapa toyanya membal kembali seakan-akan memukul karet. Dan lebih terkejut lagi
ketika ia melihat betapa hasil kemplangannya ini bahkan dipergunakan oleh pemuda lihai itu untuk
menewaskan adiknya! Juga Liok Sui merasa kaget dan karena ini, kedua saudara she Liok itu menjadi
kacau permainan toyanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tanpa adanya Liok Bu Tat yang merupakan penyerang dekat dari bagian depan, maka permainan mereka
menjadi kacau balau dan dengan mudah Ciauw In akhirnya berhasil mempergunakan gerak tipu Tiangging-
king-thian atau Pelangi Panjang Melengkung Di Langit dan merobohkan Liok Ban. Pedangnya sudah
melukai pundak Liok Ban sehingga orang ini roboh dengan pundak hampir putus!
Liok Sui yang paling lihai di antara ketiga Hopak Sam-eng, dengan amat marah dan nekat mengadakan
perlawanan dan segera mengeluarkan ilmu toya Hok-houw Kun-hoat, yaitu Ilmu Toya Penakluk Harimau
dari cabang Siauw-lim-si. Akan tetapi, dengan seorang diri tentu saja ia merupakan lawan yang lunak bagi
Ciauw In, sungguh pun pemuda ini telah merasa lelah sekali dan bahu kirinya seakan-akan telah mati!
Sambil mengertak gigi dan bergerak cepat, Ciauw In mengirim serangan-serangan yang paling lihai dari
Hoa-san Kiam-hoat. Akhirnya dia berhasil pula membuat toya lawannya terpental ke atas, dan sebuah
tendangan kakinya ke arah perut membuat Liok Sui jatuh terguling-guling dan tak berkutik lagi.
Ciauw In terhuyung-huyung. Kini setelah tiga lawannya roboh baru terasa bahunya yang amat sakit itu dan
juga kelelahan tubuhnya. Sian Kim memburu dan memeluk pundaknya.
“Bagaimana, twako, sakitkah pundakmu?" tanya gadis ini.
Sambil menahan sakit, Ciauw In memandang kepada wajah gadis ini dengan mesra, lalu berkata perlahan,
"Tidak apa-apa, biar berkorban nyawa pun aku bersedia untuk membelamu...” Kemudian ia roboh pingsan
dalam pelukan Sian Kim!
Gadis ini segera melepaskan tubuh Ciauw In yang lantas roboh terguling di atas tanah. Ia mencabut
pedangnya dan melompat ke arah tubuh Liok Ban dan Liok Sui yang masih pingsan akan tetapi belum
mati. Dua kali ia menggerakkan pedang untuk membunuh dua orang itu, kemudian dengan pedang yang
sudah berlumuran darah di dalam tangan, ia menghampiri tubuh Ciauw In yang masih menggeletak tak
bergerak!
la mengangkat pedangnya dan telah siap untuk menusuk dada Ciauw In. Kesempatan itu memang baik
sekali baginya. Sekali saja ia menusuk, akan tamatlah riwayat Ciauw In dan dia tidak usah terlalu takut
menghadapi dua orang murid Hoa-san yang lain, yang sudah membunuh ayahnya dan menghancurkan
Hek-lian-pang.
Akan tetapi, senyum di bibir Ciauw In membuat ia menunda tusukannya dan ia berpikir. Pemuda ini telah
masuk dalam perangkapnya. Baru tadi sebelum pingsan ia menyatakan bersedia berkorban nyawa untuk
membelanya! Bukankah ucapan itu merupakan sebuah pernyataan cinta kasih yang besar?
Kalau dipikir-pikir lagi, yang menjadi musuh besarnya sesungguhnya hanya Bwee Hiang seorang diri.
Ciauw In hanya terbawa-bawa oleh sumoi-nya itu. Dan dari pada membunuh pemuda yang lihai ini, lebih
baik kalau ia dapat memperalatnya untuk menjaga dirinya dan bahkan kalau mungkin, untuk mengalahkan
Bwee Hiang dan Ong Su! Dan pula, demikian Sian Kim berpikir sambil menatap wajah pemuda yang
tampan itu, sukar mendapatkan seorang kekasih setampan segagah pemuda pendekar Hoa-san ini!
Akhirnya Sian Kim memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarung pedang. Pada saat dia hendak
mengangkat tubuh Ciauw In yang masih pingsan, tiba-tiba saja pemuda itu menggerakkan tubuhnya dan
siuman dari pingsannya. Sian Kim cepat-cepat membantu pemuda itu bangun.
Sekelebatan Ciauw In dapat melihat bahwa dua orang lawannya yang tadi ia robohkan, kini sudah tewas
akibat tusukan pedang yang dapat ia duga tentulah perbuatan Sian Kim. Selagi ia hendak menegur,
datanglah orang-orang dari kota itu ketika mendengar tentang terjadinya perkelahian yang mengorbankan
jiwa empat orang manusia.
BAB-10 : BANTUAN SALAH ALAMAT YANG KEDUA
Melihat hal ini, Sian Kim lalu memegang tangan Ciauw In dan berkata perlahan,
“Lie-twako, mari kita lari cepat-cepat dari sini!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Ciauw In melarikan diri, setengah ditarik-tarik tangannya oleh Sian Kim sehingga mereka tiba di luar kota
dan berhenti di dalam sebuah hutan. Karena telah mempergunakan sisa tenaganya yang telah hampir
habis, Ciauw In merasa lelah dan lemas sekali, maka ia lalu menjatuhkan diri di atas rumput.
Sian Kim segera berlutut dan mengeluarkan sehelai sapu tangan hijau yang aromanya harum. Dengan
mesra ia lalu menyusut muka pemuda itu yang penuh peluh dengan sapu tangannya. Ciauw In mencium
bau yang amat harum sehingga hatinya berguncang keras.
"Twako... kau telah membalaskan sakit hatiku. Budi yang amat besar ini selama hidup tak akan kulupa..."
Sambil berkata demikian, Sian Kim merobek ujung bajunya dan dengan amat cekatan ia lalu membuka
baju Ciauw In dan memeriksa bahunya yang tadi terpukul.
Hampir saja Ciauw In berseru kesakitan, akan tetapi dengan lemah-lembut Sian Kim lalu menggunakan
ujung jari tangannya untuk menyentuh bahu yang sudah berwarna biru itu, kemudian ia membalut bahu
Ciauw In sambil mulutnya yang berada dekat dengan muka pemuda itu berbisik merayu,
"Koko yang baik... sampai mati aku Sian Kim tak akan melupakan budimu yang besar..."
Ketika Ciauw In memandang, ia melihat betapa dua titik air mata yang bening tergantung di bulu mata
gadis itu. Sian Kim mengejap-ngejapkan mata untuk mengusir dua titik air mata dari bulu matanya.
Melihat betapa gadis jelita dan yang amat dikasihinya itu berlulut dekat sekali dan betapa rawatan Sian Kim
penuh dengan kemesraan serta cinta kasih, tak tertahan lagi Ciauw In lalu menggunakan jari-jari
tangannya menjamah pipi Sian Kim dengan gerakan halus dan mesra sambil berbisik,
"Sian Kim... kau... cantik sekali...”
Warna merah menjalar ke atas mulai dari leher gadis itu dan membuat seluruh mukanya menjadi merah
sampai ke telinga. Kemudian dengan kerling memikat dan senyum malu, ia pura-pura menolak tangan itu
dan berbisik kembali,
“Koko... kau juga tampan sekali...”
Demikian mesra keadaan mereka hingga Ciauw In makin mabok dan tenggelam makin dalam, sedikit pun
tidak sadar bahwa dia sudah masuk ke dalam perangkap yang amat berbahaya. Sian Kim memang pandai
sekali merayu hati pemuda yang masih hijau itu.
Setelah selesai membalut pundak Ciauw In serta membereskan pakaian pemuda itu, dia kembali
mengeluarkan sapu tangannya yang harum dan berwarna hijau, disapu-sapukan ke muka sendiri,
kemudian dia menyapu muka Ciauw In pula dan sengaja beberapa kali manyapukan sapu tangan di bawah
hidung pemuda itu hingga Ciauw In makin tenggelam dalam pengaruh keharuman yang melekat pada sapu
tangan.
Dia sama sekali tidak tahu bahwa sapu tangan itu bukanlah sapu tangan sembarangan. Aroma harum itu
sebenarnya adalah bau semacam bunga yang beracun dan yang dapat meracuni tubuh orang secara
berangsur-angsur dan tanpa disadari atau dirasainya, tubuh orang yang sering kali menciumnya sudah
kemasukan racun yang berbahaya! Sian Kim sendiri telah memakai obat penawar sehingga baginya,
kembang beracun itu merupakan kembang harum yang tidak berbahaya.
“Twako, mengapa kau begitu memperhatikan nasibku dan demikian mulia hatimu untuk menolong dan
membelaku?" suaranya penuh rayu dan cumbu.
Ciauw In memegang kedua tangan gadis itu dan sambil menatap kedua mata yang jeli itu, ia berkata
dengan suara menggetar,
"Moi-moi, aku... aku cinta padamu."
Tiba-tiba Sian Kim merenggutkan kedua tangannya dan memalingkan mukanya.
"Mengapa, moi-moi...? Marahkah kau...?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sian Kim menggelengkan kepala, dan ketika ia memandang kembali kepada pemuda itu, Ciauw In melihat
betapa kedua mata gadis itu menjadi basah oleh air mata.
"Koko, benar-benarkah ucapanmu tadi?”
"Mengapa tidak benar? Aku bersumpah, demi kehormatanku sebagai seorang gagah!"
“Benar-benarkah kau mencintaku, biar pun akan kau ketahui bahwa aku adalah seorang bekas
penjahat...?”
Ciauw In terkejut, akan tetapi dengan suara pasti ia berkata,
"Ada pun yang telah terjadi atau akan terjadi, aku tetap mencintamu, moi-moi, mencinta sepenuh jiwaku.
Sebagai seorang laki-laki yang menjunjung tinggi kegagahan, aku tidak pernah jatuh cinta, tetapi sekali aku
memberikan hatiku, aku akan tetap mempertaruhkan jiwaku demi cinta kasihku."
“Takkan berubahkah hatimu apa bila kelak kau ketahui bahwa aku adalah seorang yang mempunyai
banyak dosa?"
"Aku tidak percaya, moi-moi. Kau adalah seorang yang mulia, cantik dan... yang kucinta semenjak
pertemuan kita pertama kali."
"Terima kasih, Koko, kau memang baik dan mulia sekali. Sudah sepatutnya apa bila aku yang telah
menerima budimu merasa bersyukur bahwa kau pemuda yang gagah perkasa ternyata mencinta seorang
gadis hina dan bodoh seperti aku."
Dengan amat girang Ciauw In menerima kepala dengan rambut harum yang disandarkan ke dadanya itu.
Mereka berdua tidak bergerak, tenggelam dalam laut asmara yang penuh madu dan memabokkan.
“Koko, dulu kau telah merampas ikat rambutku, di manakah sapu tangan itu sekarang?”
Ciauw In merogoh sakunya dan mengeluarkan sapu tangan itu.
“Lihat, sejak saat itu, aku tidak pernah terpisah dari sapu tangan ini, kekasihku,” katanya berbisik.
Sian Kim mengambil sapu tangan itu dari tangan Ciauw In dan menukarnya dengan sapu tangannya
sendiri yang berbau harum.
"Selanjutnya kau pakailah sapu tanganku ini, koko!"
Ciauw In menerima sapu tangan hijau itu dan menempelkannya di depan hidungnya.
"Alangkah harum sapu tanganmu ini, entah bunga apakah yang demikian harum baunya."
Berulang-ulang ia menyedot bau harum itu sepuas-puasnya, tidak tahu bahwa dengan cara demikian,
makin banyaklah racun yang terisap olehnya dan meracun paru-parunya.
"Koko, kalau kau benar-benar mencintaku, harap kau jangan kembali dulu ke Hoa-san."
"Mengapa begitu, adikku? Aku ingin sekali cepat-cepat pulang untuk minta kepada suhu agar supaya
segera meminangmu dan agar kita dapat segera menjadi suami-isteri yang sah!"
Akan tetapi Sian Kim menggeleng kepala.
“Jangan dulu, koko. Aku masih ingin merantau, merantau berdua dengan kau, menikmati kebahagiaan ini."
Terpaksa Ciauw In menurut. Pemuda ini betul-betul sudah tunduk dan kini ia merupakan tanah lempung
yang lunak di dalam tangan Sian Kim yang mulai menjalankan siasatnya yang kejam dan penuh tipu daya
ini…..
********************
dunia-kangouw.blogspot.com
Orang-orang yang pernah melihat dan memperhatikan cara seekor laba-laba menangkap korbannya, tentu
akan tahu betapa sesudah korban itu tertangkap oleh jaring laba-laba, binatang itu kemudian akan melibatlibat
tubuh korbannya dengan jaring-jaring putih halus sehingga korban itu tidak dapat lepas kembali untuk
kemudian dihisap seluruh darahnya sampai kering.
Begitu pula cara Sian Kim menawan Ciauw In. Sedikit demi sedikit ia melontarkan tali-tali jaring yang halus
berupa senyuman manis, kerlingan mata tajam dan sikap yang mesra mencinta sehingga makin lama hati
Ciauw In semakin terikat dan membuat pemuda itu tak berdaya dan seolah-olah menjadi buta. Pemuda ini
tidak hanya terpikat dan mencinta secara membuta, bahkan telah tergila-gila!
Akan tetapi, betapa pun juga, Ciauw In memang pada dasarnya tidak berhati kotor, maka dia selalu
menjaga batas-batas kesopanan. Betapa pun tergila-gilanya, namun dia masih mempertahankan diri dan
menjaga kesusilaan. Justru hal inilah yang mengesalkan hati Sian Kim, oleh karena gadis jelita ini memang
mempunyai sifat-sifat cabul dan tidak tahu malu sehingga ia telah menjadi hamba dari pada nafsunya
sendiri.
Beberapa kali, pada waktu mereka berdua tiba di sebuah kota, ketika memesan kamar hotel, Sian Kim
mendahuluinya dan hanya memesan satu kamar untuk mereka berdua. Tentu saja Ciauw In lalu
menegurnya setelah mereka berada berdua di dalam kamar.
"Kim-moi, mengapa hanya memesan satu kamar? Tak baik bagi kita untuk tinggal berdua dalam satu
kamar."
Diam-diam Sian Kim merasa mendongkol sekali.
“Kenapa tidak baik. Bukankah kita saling mencinta?"
"Biar pun demikian, kita belum menjadi suami isteri dan adalah berbahaya sekali apa bila kita tinggal
sekamar, moi-moi," kata Ciauw In terus terang karena sesungguhnya ia belum tahu bahwa hal ini memang
disengaja oleh Sian Kim dalam usahanya menjerumuskan pemuda itu makin dalam.
"Aku berani menghadapi bahaya itu!" berkata Sian Kim dengan sikap menantang sambil melempar lirikan
tajam yang penuh arti. Akan tetapi dengan muka yang merah sekali oleh karena jengah dan malu-malu.
Ciauw In berkata pula, "Jangan, moi-moi. Kau terlalu cantik dan aku tidak percaya kepada kelemahan
hatiku sendiri."
Sian Kim tersenyum girang dan mendekati pemuda itu, kemudian memegang pundaknya dengan mesra
dan sikap memikat.
"Koko, kau tentu pernah mendengar dongeng tentang Siong Kang dan Lan Bwee?"
Ciauw In merasa semakin jengah. Tentu saja dia tahu sekali akan dongeng kuno itu yang menceritakan
betapa untuk membalas budi Siong Kang, pemuda yang sudah menolong dirinya, Lan Bwe sampai
melarikan diri dari rumah lantas mengikuti pemuda itu sungguh pun akibatnya ia dibenci dan dikutuk oleh
kedua orang tuanya.
Dengan ucapan ini, ternyata bahwa Sian Kim hendak menyatakan tentang cinta kasihnya yang besar.
Bahwa ia sudah menyerahkan jiwa raganya bulat-bulat kepada Ciauw In!
Terpaksa pemuda itu mengalah, tapi tetap saja Sian Kim tak dapat mencapai maksudnya. Setiap kali
mereka bermalam bersama, pemuda itu selalu memisahkan diri dan bahkan rela tidur di atas lantai! Ciauw
In sama sekali tidak berani mendekati Sian Kim!
Hal ini membuat hati gadis itu menjadi makin penasaran dan gemas, biar pun diam-diam dia merasa amat
kagum kepada Ciauw In yang teguh menjaga kesopanan. Alangkah jauh bedanya pemuda ini dengan
pemuda-pemuda lain yang pernah dikenalnya!
"Sebetulnya kau hendak mengajak aku merantau kemanakah, moi-moi?" tanya Ciauw In beberapa hari
kemudian setelah mereka merantau jauh ke selatan.
“Aku ingin mengunjungi Ouwciu di Propinsi Kwisai dan mencari Hui Kok Losu," Sian Kim menjawab.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ada keperluan apakah dengan dia dan siapa pula Hui Kok Losu itu?"
“Dia adalah ciangbunjin (ketua) dari perkumpulan Kim-houw-bun di Ouwciu."
Ciauw In memang belum luas pengetahuannya, maka ia tidak kenal nama ini.
"Bolehkah aku mengetahui apa maksudmu mencari dia?”
Sian Kim tersenyum manis.
"Tentu saja kau boleh tahu. Semua urusanku adalah urusanmu juga, bukan? Tak perlu aku menyimpan
rahasia. Juga kurasa sekarang sudah waktunya bagiku untuk membuka rahasiaku sendiri. Koko, kuharap
kau jangan terkejut dan lebih-lebih kuharap jangan kau membenciku setelah mendengar ini."
"Adikku yang manis, betapa pun juga, aku tak akan dapat membencimu. Kau telah tahu akan hal ini dan
sudah beberapa kali kukatakan kepadamu. Cintaku kepadamu tak dapat diukur besarnya.”
Sian Kim tersenyum lagi, kemudian dia maju dan memegang lengan tangan pemuda itu dengan gaya
manis.
“Koko, benar-benar kau tidak akan marah?”
Ciauw In menggunakan tangannya untuk membelai rambut yang hitam halus dan berbau harum itu, lalu
berkata,
“Tidak, Kim-moi, aku berjanji takkan marah."
"Dulu, lama sekali kira-kira dua tahun yang lalu," Sian Kim mulai menuturkan riwayatnya dengan amat hatihati,
“aku pernah menjadi ketua dari sebuah perkumpulan."
“Jarang terdapat ketua yang amat cantik seperti engkau," kata Ciauw In sambil menatap wajah yang makin
cantik saja baginya itu.
"Sebagaimana sering kali terjadi," Sian Kim melanjutkan ceritanya, “sebuah perkumpulan kadang bentrok
dengan perkumpulan lain. Demikian pula sudah terjadi bentrokan antara perkumpulanku dengan
perkumpulan Kim-houw-bun. Soalnya biasa saja, antara anggota dengan anggota, ketika mereka sedang
main barongsai pada waktu hari tahun baru. Aku sebagai ketua perkumpulan tentu saja membela anggota
sendiri, demikian pula Hui Kok Losu, ciangbun dari Kim-houw-bun itu. Bentrokan ini akhirnya menjadi
pertempuran pibu (adu kepandaian) antara aku dan ciangbun dari Kim-houw-bun itu dan aku kalah!"
Perhatian Ciauw In sebagian besar ditujukan untuk mengagumi bibir indah yang sedang bergerak-gerak
bicara itu, dan mata bintang yang memandangnya dengan sayu merayu sehingga ia hanya dapat
menangkap sebagian saja dari pada yang diceritakan oleh Sian Kim. Akan tetapi mendengar kekalahan ini,
ia merasa heran juga. Tidak sembarang orang dapat mengalahkan kekasihnya ini.
“Lalu bagaimana?" tanyanya mulai menaruh perhatian.
"Sesudah dikalahkan, aku berjanji bahwa pada suatu hari aku akan mengunjunginya ke Ouwciu untuk
mengadu kepandaian sekali lagi dan aku mengandalkan bantuanmu untuk menebus kekalahan itu."
Ciauw In tersenyum.
“Ahh, hal ini tidak perlu kau susahkan. Jangankan baru menghadapi seorang ciangbunjin, biar pun harus
menghadapi sepuluh orang ketua perkumpulan, aku pasti bersedia untuk membelamu."
Dengan muka girang sekali dan berseri-seri Sian Kim kemudian meremas tangan Ciauw In sambil berkata,
"Koko-ku yang baik, aku...aku cinta padamu..."
Ciauw In menjadi makin mabok dan merasa seakan-akan ia menjadi seorang yang paling berbahagia di
dunia ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka lalu melanjutkan perjalanan ke Ouwciu yang tidak begitu jauh lagi letaknya dari situ. Ciauw In yang
sudah tergila-gila itu sampai lupa untuk mendesak dan mengetahui lebih banyak tentang keadaan
perkumpulan Sian Kim, dan sama sekali ia belum pernah menduga bahwa gadis ini adalah ketua
perkumpulan Hek-lian-pang dan menjadi puteri dari Gu Ma Ong musuh besar Bwee Hiang!
Ada pun Sian Kim yang sudah membuka sedikit rahasianya itu, masih belum berani untuk membuka lebih
lebar dan belum berani mengaku bahwa sebenarnya ia memiliki dendam permusuhan besar dengan adik
seperguruan pemuda itu.
Sebetulnya apa yang dia ceritakan kepada Ciauw In tadi memang ada benarnya, yakni bahwa
perkumpulan Kim-houw-bun ada permusuhan dengan Hek-lian-pang dan dengan dia pada khususnya.
Akan tetapi, sebab-sebab permusuhan itu kembali ia putar-balikkan.
Memang terjadi permusuhan dan adu kepandaian antara dia dengan Hui Lok Losu, akan tetapi sama sekali
bukan karena permainan barongsai. Pertempuran yang terjadi antara anak buah Hek-lian-pang dan anak
buah Kim-houw-bun terjadi hanya sebagai akibat saja dari pada sebab-sebab pertama.
Pada waktu itu, seperti biasa pada waktu perayaan pesta menyambut datangnya musim semi (musim
Chun) yang juga disebut Tahun Baru, banyak pemain-pemain barongsai dari kota lain datang untuk
bermain barongsai di kota tempat tinggal Hek-lian-pang. Sian Kim yang sempat melihat betapa di antara
pemain-pemain anggota Kim-houw-bun ini terdapat seorang pemuda yang sangat gagah dan tampan, lalu
timbul hatinya yang dikuasai oleh nafsu jahat dan segera mengadakan hubungan dengan pemuda Kimhouw-
bun itu.
Hal ini diketahui oleh para anggotanya yang segera menjadi marah kepada pemuda itu dan timbullah benci
dalam hati mereka terhadap Kim-houw-bun. Maka ketika kedua pihak bertemu pada waktu bermain
barongsai, tak dapat dicegah lagi timbul pertempuran hebat.
Sian Kim tadinya tak mau ambil peduli tentang hal ini, akan tetapi tidak demikian dengan ketua Kim-houwbun.
Sebagai ketua perkumpulan pendatang, tentu saja ia tak mau para anggotanya mendapat hinaan dari
orang lain, apa lagi ketika ia mendengar bahwa hal itu terjadi oleh karena kecabulan ketua Hek-lian-pang.
Karena itu dia segera datang dan menantang ketua perkumpulan Hek-lian-pang. Dalam pertempuran yang
amat hebat, akhirnya Sian Kim harus mengakui keunggulan Kim-houw Chio-hoat (Ilmu Tombak Harimau
Emas) yang dimiliki ketua Kim-houw-bun (Perkumpulan Harimau Emas) itu dan berjanji akan menuntut
balas.
Sebenarnya, perkumpulan Kim-houw-bun adalah sebuah perkumpulan yang terkenal dan semua penduduk
memandang tinggi perkumpulan yang dipimpin oleh Hui Kok Losu, oleh karena perkumpulan itu memang
telah banyak melakukan perbuatan baik yang menolong penduduk kota Ouwciu dan sekitarnya. Juga
sebagai seorang ahli tombak nama Hui Kok Losu telah banyak dikenal di dunia kang-ouw dan dianggap
sebagai seorang lo-enghiong (orang tua gagah) yang disegani dan dihormati.
Kepandaian ilmu tombaknya merupakan ilmu tombak turunan dan yang berasal dari ilmu tombak Lian-hoan
Coa-kut-chio (Tombak Tulang Ular) yang dulu pernah menggemparkan dunia persilatan. Hui Kok Losu
adalah murid tunggal dari Sin-chio Siauw Kiat Si Tombak Malaikat, yakni pencipta dari ilmu tombak Lianhoan
Coa-kut-chio. Dan karena Hui Kok Losu juga mempelajar berbagai macam ilmu silat, maka ia lalu
mencipta semacam ilmu tombak yang dijadikan ilmu tombak keturunan keluarga Hui, yakni ilmu tombak
Kim-houw Chio-hoat itu.
Pada waktu Sian Kim dan Ciauw In tiba di rumah perkumpulan Kim-houw-bun, kebetulan sekali Hui Kok
Losu sedang keluar kota, mengunjungi seorang sahabat baiknya di sebuah dusun yang tak jauh dari kota
Ouwciu. Sahabatnya ini pun seorang pendekar tua yang kenamaan, bernama Ma Sian dan bergelar Luicin-
tong (Pacul Kilat) dan menjadi seorang petani setelah mengundurkan diri dari dunia kang-ouw. Sering
kali kedua orang tua itu saling kunjung-mengunjungi untuk mengobrol sambil minum arak dan main tioki
(catur).
Pada saat Sian Kim dan Ciauw In tiba di depan rumah besar yang memakai papan besar dengan tulisan
warna emas yang amat indah dan gagah ‘KIM HOUW BUN KOAN’ atau ‘RUMAH PERKUMPULAN
MACAN EMAS’, Sian Kim lalu berkata dengan senyum sindir,
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sekarang kau boleh menjadi macan emas, akan tetapi sebentar lagi kau akan menjadi macan mampus!"
Setelah berkata demikian, ia lalu melompat ke atas dan sekali ia ayun tangan memukul dengan telapak
tangannya, terdengarlah suara keras…
“Prakkk!" dan papan itu terpukul pecah menjadi beberapa potong dan jatuh ke atas tanah.
Pada waktu itu di ruang depan perkumpulan itu duduk beberapa orang pemuda anggota Kim-houw-bun
yang menjadi anak murid Hui Kok Losu. Tadi mereka pun sudah melihat datangnya seorang gadis cantik
berpakaian hitam dengan seorang pemuda tampan yang berhenti di depan rumah perkumpulan mereka.
Maka, seperti biasanya jika para pemuda melihat wanita muda yang cantik jelita, mereka kemudian
menghentikan percakapan dan memandang kepada Sian Kim dengan kagum.
Akan tetapi alangkah terkejut hati mereka pada saat melihat betapa nona cantik itu telah melompat dan
sekali pukul menghancurkan papan nama perkumpulan mereka! Dengan cepat empat orang pemuda itu
segera memburu keluar.
Mereka merasa marah sekali. Akan tetapi ketika mereka sudah datang dekat, seorang di antara mereka
mengenal nona baju hitam ini karena dahulu ia juga ikut dalam permainan barongsai saat perkumpulannya
melawat ke kota Ban-hong-cun dan terjadi pertempuran dengan perkumpulan Hek-lian-pang.
"Siapakah kau yang sudah berani mengacau di sini?!" salah seorang di antara mereka membentak.
Akan tetapi pemuda yang telah mengenal Sian Kim, sambil tersenyum penuh arti oleh karena ia pun
maklum akan kecabulan nona ini yang dahulu telah mengadakan hubungan gelap dengan seorang murid
Kim-houw-bun hingga timbul permusuhan, berkata kepada Sian Kim.
"Hek-lian Niocu, apakah kau datang ke sini hendak mencari Gan-suheng?" sambil berkata demikian, ia
tersenyum-senyum.
Yang disebutnya Gan-suheng adalah pemuda yang dulu mengadakan hubungan dengan Sian Kim. Karena
itu, tentu saja Sian Kim menjadi marah sekali sebab kuatir kalau-kalau rahasia ini akan terbuka di depan
Ciauw In.
"Aku tidak kenal dengan segala suheng-mu!" Sian Kim membentak dan sebelum pemuda itu membuka
mulut lagi, ia telah mendahului. "Suruh tua bangka she Hui keluar agar dia membayar penghinaannya
dahulu kepadaku!"
"Kau sudah menjadi pecundang, kenapa datang-datang berlagak sombong dan merusak papan nama
perkumpulan kami?" orang itu berkata lagi.
Ia telah melakukan kesalahan besar dengan ucapan yang memandang rendah ini karena mendadak
tangan Sian Kim bergerak dan pemuda itu langsung menjerit kesakitan sambil menggunakan kedua tangan
menutup mulutnya yang berdarah. Ternyata tamparan Sian Kim telah membuat pipinya bengkak dan
beberapa buah giginya copot!
Tiga orang kawannya menjadi marah dan karena mereka ini termasuk orang-orang baru di Kim-houw-bun,
maka mereka belum mengenal siapa adanya Sian Kim. Dengan cepat mereka mencabut pedang dan
menyerang Sian Kim.
Akan tetapi gadis itu dengan gerakan kilat mendahului mereka dan tiga kali ia menyerang, maka tiga orang
itu terlempar dan mengaduh-aduh sebab masing-masing telah menerima persenan berupa pukulan dan
tendangan yang membuat mereka roboh tak dapat bangun kembali!
Ciauw In melihat semua ini sambil tersenyum saja, oleh karena ia telah dapat dibujuk oleh Sian Kim yang
menceritakan bahwa semua anggota Kim-houw-bun hanyalah terdiri dari orang-orang jahat. Dan memang
tadi ia melihat lagak pemuda yang memandang rendah dan kurang ajar terhadap Sian Kim yang
dicintainya.
Teriakan kesakitan dari empat orang yang sudah merasakan tangan Sian Kim terdengar oleh orang-orang
di dalam rumah perkumpulan itu. Oleh karena itu, tidak lama kemudian serombongan anggota Kim-houwbun
yang terdiri dari dua belas orang menyerbu keluar. Di antara mereka ini terdapat pula empat orang
dunia-kangouw.blogspot.com
murid yang sudah setengah tua dan yang memiliki kepandaian lumayan, bahkan mereka sering mewakili
Hui Kok Losu mengajar murid-murid yang baru.
BAB-11 : MELAWAN DUA LO-ENGHIONG
Melihat empat orang murid muda menggeletak sambil merintih-rintih serta seorang nona berbaju hitam
berdiri bertolak pinggang didampingi seorang pemuda yang cakap, mereka segera berlari menghampiri.
Keempat orang murid kepala itu segera mengenal Sian Kim dan tanpa bertanya mereka tahu bahwa nona
ini tentu datang untuk membalas kekalahannya yang dahulu dan sudah merobohkan empat orang kawan
mereka. Mereka menjadi marah sekali dan dua orang di antaranya lalu berlari masuk lagi mengambil
empat batang tombak yang segera diberikan kepada kawan-kawannya.
“Hek Lian Niocu, kau sungguh kurang ajar!” seorang di antaranya berteriak dan segera ia mendahului
kawan-kawannya menggerakkan tombak menyerang Sian Kim. Serangannya lihai dan dia telah
menggunakan gerak tipu Yan-cu Liok-sui (Burung Walet Memukul Air). Ujung tombaknya menusuk ke arah
perut Sian Kim dengan gerakan yang sangat kuat hingga ujung tombak ini menggetar dan mengeluarkan
angin cukup keras!
Akan tetapi Sian Kim sambil tertawa berkata, “Tikus kecil, kau berani menghadapi aku?”
Pada saat ujung tombak menyambar perut, tiba-tiba Sian Kim bahkan melangkahkan kaki kiri ke depan
sambil memiringkan tubuh dan mengganti kedudukan kakinya. Gerakannya cepat dan hatinya tabah sekali
hingga tombak itu meluncur dekat sekali dengan perutnya, hanya terpisah satu dim saja!
Akan tetapi oleh karena ia melangkah maju, maka ia berada dekat dengan lawannya dan sebelum lawan
itu mendapat kesempatan menarik kembali tombaknya, Sian Kim sudah bergerak mendahuluinya dengan
gerak tipu Bi-jin-to-hwa (Wanita Cantik Memetik Bunga).
Tangan kanannya cepat memegang batang tombak dan menariknya ke belakang hingga tenaga tusukan
lawan yang belum ditarik kembali itu ditambah dengan tenaga tarikannya membuat tubuh lawan
terbungkuk ke depan. Sian Kim menggunakan tangan kirinya untuk dipukulkan ke arah dada orang!
Lawannya menjadi terkejut sekali. Akan tetapi sebagai murid kepala dari Hui Kok Losu, tentu saja ia tidak
membiarkan dirinya dijatuhkan hanya dalam segebrakan saja. la cukup memiliki kegesitan sehingga sambil
mengeluarkan seruan keras dengan secepat kilat dia berjungkir balik ke belakang dengan gerakan Koathoan-
sin (Siluman Naga Jungkir Balik) hingga tubuhnya terluput dari pukulan Sian Kim, akan tetapi tentu
saja ia terpaksa harus melepaskan tombaknya!
Sian Kim tersenyum manis. Sekali ia menekuk tangannya, tombak itu melengkung dan…
"Trakkk!" patahlah tombak itu pada tengah-tengahnya.
Sian Kim melempar potongan tombak ke atas tanah sambil tersenyum menghina, lalu dia berkata,
"Tikus-tikus kecil jangan membikin ribut saja. Lekas panggil keluar tua bangka she Hui untuk menerima
beberapa gamparan!”
"Perempuan cabul, jangan bertingkah!" teriak seorang murid kepala Kim-houw-bun dan segera ia bersama
kawan-kawannya maju menggerakkan tombaknya.
Mendengar makian ini, hati Sian Kim menjadi amat marah. Maka ia lantas menggerakkan tangannya dan…
“Srettt!” pedangnya telah ditarik keluar.
Kini mata Sian Kim berapi-api dan mukanya menjadi merah.
"Bangsat-bangsat Kim-houw-bun! Kalau hari ini aku tidak berhasil membasmi kalian para kutu-kutu busuk,
jangan panggil aku Gu Sian Kim lagi!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sehabis berkata demikian, tubuhnya lalu berkelebat didahului sinar pedang di tangannya yang bergerak
laksana kilat halilintar membagi maut! Beberapa batang golok dan pedang para pengeroyok langsung
dibikin terpental atau bahkan terlempar berikut sebelah tangan yang tadi memegangnya akan tetapi yang
kini terbabat putus oleh pedang Sian Kim! Jerit kesakitan terdengar susul menyusul, ada pun tubuh para
pengeroyok roboh seorang demi seorang dengan cepatnya.
Ilmu silat murid-murid Kim-houw-bun bukan rendah, akan tetapi menghadapi ilmu pedang Hek-lian Kiamhoat
yang ganas dan lihai, mereka itu tidak berdaya sama sekali. Sebentar saja, tujuh orang anak murid
yang kepandaiannya belum tinggi betul sudah roboh mandi darah, bahkan tiga orang di antara mereka
telah tewas pada saat itu juga!
Semenjak tadi Ciauw In hanya menonton saja karena ia maklum bahwa nona kekasihnya itu tidak perlu
dibantu. Akan tetapi melihat betapa para pengeroyok telah menjadi korban keganasan ilmu pedang Sian
Kim, biar pun ia menganggap mereka sebagai orang-orang jahat yang perlu diberi hajaran, akan tetapi
hatinya merasa tidak tega juga. Maka ia cepat melompat dan menggerakkan tangannya sehingga dua
batang tombak yang berada pada tangan murid-murid tua dapat terampas olehnya.
"Tahan dan mundur semua!” teriak Ciauw In.
Saat melihat betapa dua batang tombak mereka dapat dirampas oleh pemuda itu dengan hanya sekali
renggut saja, tiga orang murid kepala yang belum roboh itu menjadi terkejut dan segera mundur dengan
jeri. Tidak mereka sangka bahwa pemuda kawan Sian Kim ini mempunyai kelihaian yang bahkan lebih
hebat dari pada kepandaian nona yang ganas itu. Juga Sian Kim menahan pedangnya dan memandang
dengan senyum simpul kepada musuh-musuhnya.
"Kalian harus tahu bahwa kalau pertempuran ini dilanjutkan, tidak seorang pun di antara kalian yang akan
keluar dengan tubuh utuh!" kata Ciauw In. "Mengapa tidak mau melihat gelagat dan mundur sebelum
tewas? Kami datang ke sini untuk bertemu dan mengajak pibu ketua Kim-houw-bun, bukan untuk
menghadapi kalian yang tak berkepandaian!"
"Suhu sedang keluar kota, tetapi telah diberi tahu. maka kalau kalian berdua benar-benar gagah, tunggulah
sebentar kedatangan suhu yang akan membalas kejahatan ini!" berkata seorang di antara mereka.
"Baik, kami akan menunggu di sini!" jawab Ciauw In yang segera memberi tanda kepada Sian Kim untuk
menyimpan kembali pedangnya.
Gadis ini tersenyum menyindir, akan tetapi ia tidak membantah. Dimasukkannya pedang itu pada sarung
pedangnya dan bersama Ciauw In dia berdiri menjauhi tempat itu. Para anggota Kim-houw-bun yang tidak
terluka lalu sibuk menolong kawan-kawan mereka dan menggotong mereka ke dalam rumah perkumpulan
untuk dirawat dan diobati, sedangkan Ciauw In dan Sian Kim berdiri saja melihat pekerjaan mereka itu.
"Moi-moi, kenapa kau harus menurunkan tangan kejam kepada mereka? Seharusnya kita bergebrak
menghadapi Hui Kok Losu saja." Ciauw In menyatakan penyesalannya.
Akan tetapi Sian Kim memandangnya dengan tajam dan berkata,
“Koko, apakah kau tadi tak mendengar betapa mereka itu menyebutku dengan kata-kata kotor? Siapa yang
kuat menahan kemarahan jika mendengar makian mereka tadi? Untuk menghadapi tikus-tikus busuk itu
aku tidak memerlukan bantuanmu dan kalau nanti Hui Kok Losu datang, barulah mungkin aku
membutuhkan bantuanmu!"
Ciauw In tidak menjawab, hanya diam-diam menarik nafas karena ia merasa tak berdaya. Memang tadi
pun dia merasa marah bukan main mendengar betapa kekasihnya disebut ‘perempuan lacur’, akan tetapi
dia merasa bahwa sebutan itu tidak boleh dijadikan alasan untuk membunuh tiga orang dan melukai orang
sedemikian banyaknya.
“Koko, kau marah kepadaku?" Sian Kim bertanya ketika melihat pemuda itu diam saja.
Ciauw In menggelengkan kepala. "Tidak, Kim-moi, aku tidak marah. Mungkin kau benar karena mereka itu
memang orang-orang jahat yang harus diberi hajaran keras. Semoga saja kini mereka merasa kapok dan
takkan berani berlaku sewenang-wenang dan kurang ajar pula. Yang kupikirkan adalah Hui Kok Losu,
dunia-kangouw.blogspot.com
karena aku sungguh ingin sekali lekas bertemu dan mencoba ilmu kepandaiannya. Aku merasa heran
sekali mengapa seorang dengan ilmu kepandaian seperti kau dapat kalah olehnya."
Sian Kim merasa girang sekali karena ternyata pemuda itu tidak menjadi marah, maka ia lalu menuturkan
dengan singkat tentang kegagahan Hui Kok Losu.
"Hui Kok Losu memiliki ilmu tombak yang disebut Kim-houw Chio-hoat dan dengan ilmu tombak yang
diciptanya sendiri itu dia sudah malang melintang di dunia kang-ouw tanpa menemui tandingan. Di
samping keahliannya dalam ilmu tombak ini, dia pun mempunyai pengertian yang dalam tentang ilmu
pedang sehingga dia tidak kuatir menghadapi lawan yang berpedang. Selain itu, seperti dapat kau lihat
pada murid-muridnya tadi, dia pandai segala macam permainan senjata tajam yang diajarkan kepada
murid-muridnya menurut bakat masing-masing. Jika aku tak salah ingat, pernah aku mendengar dia
mengalahkan kepala rampok Oei Sam si Golok Emas di bukit Hong-na-san!"
Keterangan ini tidak berarti banyak bagi Ciauw In karena ia tidak kenal siapa adanya Oei Sam Si Golok
Emas itu, akan tetapi cukup mendatangkan kesan bahwa Hui Kok Losu tentu benar-benar lihai hingga
kegembiraannya makin bertambah untuk segera mencoba kepandaian ketua Kim-houw-bun itu.
Kalau saja ia tidak sedang mabok asmara dan memiliki lebih banyak pengalaman hingga sudah mengenal
atau mendengar bahwa Oei Sam yang disebut oleh Sian Kim itu adalah seorang perampok jahat yang
sangat kejam, tentu setidaknya akan timbul rasa heran di dalam hatinya mengapa Hui Kok Losu yang
disebut jahat oleh Sian Kim itu sampai bisa bertempur dan mengalahkan Oei Sam!
Seorang yang memusuhi penjahat besar biasanya hanya orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan
dan menjadi pembela rakyat serta pembasmi kejahatan. Tetapi sayang, Ciauw In tidak berpikir sejauh itu
sehingga ia masih saja belum sadar.
Mereka berdua tidak usah lama menanti oleh karena tak lama kemudian, terdengar suara kaki kuda
mendatangi dan tampak dua orang penunggang kuda memasuki pintu gerbang pekarangan itu.
“Nah, yang berbaju biru itu adalah Kim-houw Ciangbun Hui Kok Losu!” berkata Sian Kim. "Orang kedua
entah siapa karena aku belum pernah melihatnya."
Ciauw In memandang dengan penuh perhatian dan ia melihat bahwa orang yang disebut Kim-houw
Ciangbunjin (Ketua Perkumpulan Macan Emas) adalah seorang lelaki berusia lima puluh tahun lebih,
bertubuh sedang dengan mempunyai sepasang mata yang sangat tajam berpengaruh. Sikapnya gagah
sekali dan biar pun sudah tua, akan tetapi ketika ia melompat turun dari kudanya, gerakannya masih sigap
sekali.
Orang kedua juga bukan orang sembarangan. Biar pun usianya bahkan lebih tua dari Hui Kok Losu dan
pakaiannya sederhana sebagai seorang petani yang bertopi lebar, namun ketika turun dari kuda, dia
bergerak dengan tubuh ringan sekali sehingga dengan mudah Ciauw In dapat menduga bahwa petani ini
tentulah seorang yang memiliki ilmu ginkang yang sudah amat tinggi tingkatnya. Orang kedua ini bukan lain
ialah Lui-cin-tong Ma Sian si Pacul Kilat.
Gagang paculnya yang kecil nampak pada belakang punggungnya dan melihat benda ini, Ciauw In makin
terheran karena walau pun dia pernah mendengar dari suhu-nya bahwa pacul yang menjadi alat pertanian
ini memang bisa juga digunakan sebagai senjata, akan tetapi kalau tidak mempunyai ginkang dan
kepandaian tinggi, senjata ini bukanlah senjata yang berbahaya, bahkan sukar sekali dimainkannya.
Karena itu ia dapat menduga bahwa petani tua ini tentu seorang yang lihai hingga ia makin bersikap hatihati.
Sementara itu, salah seorang murid kepala yang menyambut kedatangan Hui Kok Losu, lalu bicara
berbisik-bisik kepada suhu-nya yang mukanya berubah menjadi pucat. Hui Kok Losu hanya sekali saja
melirik ke arah Sian Kim tanpa memandang kepada Ciauw In, kemudian langsung berlari masuk ke dalam
gedungnya, diikuti oleh petani tua tadi.
Ciauw In dan Sian Kim maklum bahwa orang tua itu tentu mendengar tentang kekalahan muridnya dan kini
hendak melihat keadaan murid-muridnya itu. Dengan tenang Sian Kim menanti, sedangkan di dalam
hatinya, Ciauw In berdebar-debar karena ia maklum bahwa apa bila ketua Kim-houw-bun itu melihat muridmuridnya
yang mati dan terluka, tentu ia akan marah sekali sehingga perkelahian yang akan ditempuh ini
tentu akan merupakan pertempuran mati-matian!
dunia-kangouw.blogspot.com
Benar saja dugaannya. Tak lama kemudian Hui Kok Losu keluar lagi dengan muka merah diikuti oleh para
muridnya dan didampingi pula oleh Lui-cin-tong Ma Sian yang juga amat marah melihat kekejaman musuh
yang datang.
Sesudah berhadapan dengan Sian Kim, Hui Kok Losu lalu menuding ke arah muka nona itu dan berkata,
"Hek-lian Niocu! Kau benar-benar tak tahu malu! Dulu adalah aku yang merobohkan kau dan kalau kau
datang hendak mengadakan pembalasan dan menyelesaikan perhitungan lama, mengapa kau malah
mengganggu murid-muridku, bahkan melukai tujuh orang dan menewaskan tiga nyawa?”
"Orang she Hui! Mudah saja kau bicara. Lupakah kau bahwa dahulu juga banyak sekali anggota-anggota
perkumpulanku yang tewas oleh murid-muridmu? Kematian tiga orang anggota Kim-houw-bun anggaplah
saja sebagai penebusan dosa yang dulu. Pula, kalau orang-orangmu yang kurang ajar itu tidak
mengeluarkan kata-kata busuk, aku juga tidak sudi mengotorkan tangan membunuh kutu-kutu busuk itu.
Sekarang tak perlu kau banyak cakap, kita telah berhadapan dan aku membawa seorang kawan untuk
menghadapimu, membalas kekalahan yang dulu!”
Hui Kok Losu mengalihkan pandang matanya yang penuh hawa marah kepada Ciauw In yang masih
bersikap tenang. Melihat sikap pemuda yang nampak lemah ini, ia maklum bahwa pemuda ini tentulah
seorang yang memiliki kepandaian tinggi, karena makin lemah nampaknya seorang ahli silat, makin
tinggilah ilmu kepandaiannya.
Lagi pula ia sudah tahu akan kelihaian Sian Kim yang hanya kalah pengalaman apa bila dibandingkan
dengan ia sendiri. Oleh karena itu, setelah kini gadis itu membawa seorang pembantu, tentulah pembantu
ini mempunyai kepandaian yang lebih tinggi dari pada Sian Kim! Ia lalu menjura dan bertanya kepada
Ciauw In,
"Bolehkah aku mengetahui namamu yang gagah?"
Sebelum Ciauw In sempat menjawab, dia didahului oleh Sian Kim yang tertawa sambil menjawab
pertanyaan itu.
"Hui Kok Losu! Kami bukanlah jago-jago kawakan seperti kau yang sudah memiliki nama tinggi! Kawanku
ini adalah Hoa-san Taihiap Lie Ciauw In yang meski pun namanya tidak sebesar namamu, akan tetapi aku
tanggung dalam beberapa jurus saja tombak karatan di tanganmu akan patah-patah oleh pedangnya!"
Hui Kok Losu terkejut mendengar bahwa pemuda itu adalah seorang murid Hoa-san-pai. Dia sudah
mendengar kebesaran nama Ho Sim Siansu yang selain gagah dan sakti, juga amat terkenal sebagai
seorang tua bijaksana yang amat dikagumi dunia persilatan. Maka ia segera berkata lagi kepada Ciauw In,
“Ahhh, kiranya seorang murid dari Ho Sim Siansu! Akan tetapi sungguh heran mengapa seorang murid
Hoa-san-pai dapat bersama-sama dengan seorang perempuan hina dina seperti Hek-lian Niocu?”
Marahlah hati Ciauw In mendengar ini, maka ia lalu menjawab,
"Lo-enghiong (orang tua gagah), seorang gagah takkan sudi mencampuri urusan pribadi orang lain dan
kiranya aku bebas untuk bergaul dengan siapa pun juga! Pula, tidak patut bagi seorang tua yang mengaku
diri gagah perkasa untuk mengeluarkan makian kotor terhadap seorang gadis pendekar seperti kawanku
ini!”
Sian Kim juga segera mencabut pedangnya dan berkata,
"Hui Kok Losu! Jangan kau lepaskan lidahmu yang tua tapi busuk itu! Bilang saja bahwa kau gentar
mendengar nama Hoa-san Taihiap dan tidak berani menghadapinya! Bila kau memang takut pada
kawanku ini, biarlah aku sendiri yang maju. Biar pun aku akan kalah, akan tetapi nama besarmu akan
hancur oleh karena baru menghadapi seorang pemuda saja, kau telah terkencing-kencing ketakutan tanpa
berani mencoba kepandaiannya!"
Bukan main tajam dan pedasnya ucapan dari Sian Kim yang sengaja diucapkannya untuk membakar hati
musuhnya itu. Oleh karena itu, sambil berseru keras Hui Kok Losu segera menanggalkan jubahnya dan
dunia-kangouw.blogspot.com
menerima tombak dari tangan salah seorang muridnya yang sengaja membawa senjata itu kepada suhunya.
"Siapa bilang takut? Orang yang telah menjadi sahabatmu tentu bukan orang baik-baik!”
Kemudian ia menuding kepada Ciauw In dan membentak,
"Orang muda, kau tentulah seorang kekasih perempuan hina ini! Kau majulah jika hendak mengenal Kimhouw
Chio-hoat!"
Akan tetapi pada saat itu, petani tua tadi maju menghalangi Hui Kok Losu sambil berkata,
"Losu, biarlah aku mencoba-coba dulu kepandaian Hoa-san Taihiap"
Kemudian ia menghadapi Ciauw In dan berkata sambil tersenyum,
"Orang muda, belum lama ini aku mendengar bahwa yang menjadi juara dalam pibu di puncak Kui-san
ialah seorang pemuda anak murid Hoa-san-pai yang kemudian mendapat gelar Hoa-san Taihiap! Tadinya
aku merasa amat kagum, akan tetapi setelah melihat kau dalam keadaan seperti sekarang ini,
kekagumanku lenyap sama sekali! Entah bagaimana dengan kepandaianmu. Karena itu, sekarang
perlihatkanlah kepandaianmu untuk kulihat apakah aku pun akan kecewa melihatnya!"
Ciauw In merasa panas hatinya mendengar sindiran ini dan ia menganggap orang tua ini keterlaluan. Yang
bermusuhan dengan Sian Kim adalah Hui Kok Losu, karena itu tidak mengherankan apa bila Hui Kok Losu
memaki-maki Sian Kim yang menjadi musuhnya dan bahkan yang telah membunuh muridnya. Akan tetapi
mengapa datang-datang petani tua ini juga menghina Sian Kim?
Dengan mengatakan bahwa melihat keadaannya membuat kekagumannya lenyap, berarti bahwa setelah
melihat dia datang bersama Sian Kim, petani tua itu memandang rendah kepadanya dan hal ini secara
tidak langsung berarti penghinaan bagi diri Sian Kim! Akan tetapi, ia masih menahan marahnya dan
bertanya,
"Orang tua, sudah selayaknya bagi orang-orang yang biasa bertempur untuk mencoba kepandaian. Tentu
saja aku bersedia untuk melayanimu setelah engkau memberi tahukan namamu kepadaku.”
Petani tua itu tersenyum dan menduga bahwa sikap anak muda itu tentu akan berubah sesudah
mendengar namanya yang cukup terkenal di kalangan kang-ouw. Maka dia lalu menjawab sambil
mengangkat dada,
"Aku bernama Ma Sian, akan tetapi kawan-kawan di kalangan kang-ouw memberi nama Lui-cin-tong
(Pacul Kilat) kepadaku."
Akan tetapi orang tua ini kecele apa bila ia menyangka bahwa pemuda itu akan merasa terkejut
mendengar namanya, karena sesungguhnya Ciauw In sama sekali belum pernah mendengar nama ini.
Sikapnya sama saja kalau seandainya ia menyebutkan namanya sebagai Pacul Karatan atau Pacul Butut!
Pemuda itu hanya tersenyum dan berkata,
"Kalau begitu, kau tentu bukan seorang petani tulen!”
"Mengapa kau berkata demikian, anak muda?” tanya Ma Sian dengan terheran-heran.
"Seorang petani sejati menggunakan paculnya untuk berbuat kebaikan saja, mencangkul tanah menanam
padi dan gandum. Akan tetapi kau yang berpakaian sebagai petani dan selalu membawa-bawa pacul,
ternyata menggunakan alat pertanian yang mulia itu untuk mencangkul kepala orang!”
Merahlah muka Ma Sian mendengar ini.
"Pemuda buta! Ketahuilah bahwa paculku ini hanya suka mencangkul kepala orang jahat! Dan kau beserta
kekasihmu itu bukan termasuk orang baik-baik! Majulah dan perlihatkan kepandaianmu."
Sambil berkata demikian, tangannya bergerak ke belakang. Kini paculnya telah dipegang dengan kedua
tangan, lalu memasang kuda-kuda yang mirip dengan seorang petani siap hendak mencangkul tanah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ciauw In juga mencabut pedangnya dan Ma Sian yang melihat berapa pemuda itu telah bersiap sedia, lalu
menyerang dengan gerakan cepat. Cangkulnya menghantam ke arah kepala Ciauw In dengan gerak tipu
Petani Mencangkul Batu. Pukulan ini datangnya keras sekali dan digerakkan dengan kecepatan luar biasa.
Ciauw In maklum akan kepandaian lawan, maka ia berlaku hati-hati. Dengan sigapnya ia melangkah
mundur menghindarkan diri dari terkaman pacul yang tajam itu, lalu maju pula untuk membalas dengan
tusukan pedang ke arah leher lawan. Akan tetapi Ma Sian benar-benar cepat gerakannya oleh karena ia
sudah dapat menarik kembali paculnya dan kini ia menangkis serangan Ciauw In dengan senjatanya yang
luar biasa itu.
Hoa-san Taihiap segera memperlihatkan kepandaiannya yang asli karena merasa bahwa menghadapi
lawan yang lihai ini ia tak boleh berlaku lambat. Pedangnya berkelebat cepat bagaikan seekor naga sakti
mengamuk sehingga Ma Sian diam-diam merasa kagum dan juga terkejut.
Petani tua ini lalu mengeluarkan gerakan yang disebut Petani Membabat Rumput. Pacul di tangannya
bergerak cepat, ada pun kakinya maju dengan tetap dan cepat dalam gerak langkah Cin-po Lian-hoan
(Majukan Kaki Secara Berantai). Mata paculnya yang tajam itu berkilauan putih, menyambar-nyambar ke
arah bagian tubuh lawan yang berbahaya.
Akan tetapi Ciauw In ternyata menang gesit serta ilmu pedangnya Hoa-san Kiam-hoat benar-benar
memiliki gerakan yang aneh dan tak terduga. Ketika pacul di tangan Ma Sian menyambar ke arah leher
untuk menebas putus batang lehernya, dia segera menangkis dengan pedangnya.
Keduanya mengerahkan tenaga dalam. Pada waktu kedua senjata itu beradu, terdengar suara keras dan
bunga api beterbangan, sedangkan Ma Sian merasa betapa tangan yang memegang pacul menjadi
kesemutan.
Pada waktu kedua senjata bertemu, Ciauw In mempergunakan gerak tipu Po-in Kian-jit (Sapu Awan Lihat
Matahari). Ketika pedangnya bertemu dengan mata pacul, ia miringkan sedikit pedangnya sehingga
mengenai belakang pacul, lantas segera dilanjutkan melalui sepanjang gagang pacul itu membabat ke arah
tangan yang memegang gagang!
Ma Sian sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pedang lawannya itu akan dapat bergerak
sedemikian cepatnya, yakni setelah senjata bertemu terus menyerang, maka ia tidak dapat mengelak lagi.
Terpaksa dia berseru keras dan melepaskan paculnya karena kalau tidak, pastilah kedua tangannya akan
terbabat pedang musuh! Ia melompat mundur dengan muka merah!
Sebelum Ma Sian dapat berkata sesuatu, bayangan tubuh Hui Kok Losu yang memiliki gerakan cepat
sekali sudah menyambar dan menghadapi Ciauw In. Orang tua ini marah sekali melihat kawannya
dikalahkan dalam suatu pertempuran yang belum berjalan lama, maka kini dengan tombak di tangan ia
membentak,
“Hoa-san Taihiap, kau mengandalkan kepandaian dan melakukan pengacauan. Majulah!” Sambil berkata
demikian ia menggerakkan tombaknya.
Diam-diam Ciauw In merasa terkejut melihat betapa ujung tombak itu melakukan gerakan melingkar dan
ujungnya tergetar sampai seolah-olah berubah menjadi delapan!
BAB-12 : SALAH TANGAN !!
Ia maklum akan kelihaian orang tua ini, karena menurut penuturan suhu-nya, seorang ahli tombak mampu
menggetarkan ujung tombaknya sampai terlihat menjadi lima atau enam. Akan tetapi kakek ini dapat
menggetarkan tombaknya hingga ujungnya nampak menjadi delapan buah! Dapat dimengerti bahwa
lweekang kakek ini tak boleh dibuat permainan.
Ciauw In tidak mau didahului, maka segera maju menyerang dengan gerak tipu Sian-jin Ci-lou (Dewa
Menunjuk Jalan). Pedangnya meluncur cepat ke arah ulu hati lawannya dan ketika Hui Kok Losu
menggerakkan tombak menangkis dengan gerakan yang sangat kuat dan cepat.
Ciauw In menarik pedangnya dan merubah gerakannya menjadi gerak tipu Liong-ting Ti-cu (Ambil Mutiara
di Kepala Naga). Dengan gerak tipu ini dia membacok ke arah kepala lawan, akan tetapi kembali sekali
dunia-kangouw.blogspot.com
menggerakkan kedua tangan, tombak di tangan Hui Kok Losu telah menangkis pedang yang menyambar
kepalanya.
Setelah menangkis untuk kedua kalinya, mulailah kakek itu membalas dengan gerak tipu Teng-miau Po-ci
(Kucing Sakti Menerkam Tikus). Tombaknya dari atas mengemplang ke bawah menuju kepala Ciauw In
dan ketika pemuda itu mengelak ke kiri, ujung tombak itu diteruskan dengan sebuah tusukan maut ke arah
perutnya! Jika ujung tombak mengenai sasaran, maka perut pemuda itu tentu akan tertembus tombak
sampai ke punggung!
Akan tetapi tentu saja Ciauw In tidak membiarkan dirinya dijadikan daging untuk disate. Karena itu cepat
dia molompat ke atas dengan gerak loncat Kera Sakti Memetik Buah, kemudian ketika ia masih berada di
atas, ia lalu membuat gerakan loh-be (berjumpalitan) dan menyerang dari atas dengan tusukan Garuda
Terbang Menyambar Ikan.
Menghadapi Ciauw In yang memiliki ginkang yang begitu lihainya, Hui Kok Losu maklum bahwa pemuda ini
benar-benar memiliki ilmu pedang yang jauh lebih lihai dari pada Sian Kim. Maka, dia segera
mengeluarkan ilmu tombaknya Kim-houw Chio-hoat (Ilmu Tombak Harimau Emas) yang lihai dan
mengerahkan tenaga, kegesitan dan kepandaiannya.
Pertempuran kali ini berjalan seru dan ramai luar biasa karena ternyata bahwa Kim-houw Chio-hoat benarbenar
merupakan ilmu tombak yang jarang terdapat di daerah selatan. Ciauw In merasa seakan-akan
menghadapi dinding baja yang amat kuat dan sukar sekali ditembuskan.
Akan tetapi sebaliknya, menghadapi Hoa-san Kiam-hoat, ketua dari Kim-houw-bun ini pun merasa bo-hwat
(tidak berdaya) karena di samping cepat dan kuat, ilmu pedang ini juga mempunyai gerakan perubahan
yang amat aneh dan tak terduga.
Keduanya sama-sama maklum akan kelihaian lawan. Oleh karena dalam hal lweekang mereka setingkat,
tentu saja sukar bagi keduanya untuk saling merobohkan.
Hui Kok Losu mengambil keputusan untuk mengadu keuletan dan napas oleh karena ia pikir bahwa
seorang pemuda yang bergaul dengan Sian Kim tentulah pemuda pemogoran yang bertubuh lemah. Oleh
karena itu, maka ia segera mainkan tombaknya dengan ilmu tombak Membuat Dinding Baja Menutup Diri,
salah sebuah bagian ilmu tombak Kim-houw Chio-hoat yang kegunaannya untuk menjaga diri.
Ketika melihat betapa gerakan lawannya berubah menjadi gerakan yang dititik beratkan kepada
pertahanan saja, Ciauw In maklum bahwa lawannya hendak mengadu keuletan dan menunggu sampai ia
kehabisan napas dan kelelahan untuk segera merobohkannya. Maka ia diam-diam tersenyum girang
karena hal ini pun menjadi keinginannya.
Dia merasa alangkah sukarnya merobohkan kakek yang menjadi ciangbunjin (ketua) dari Kim-houw-bun
ini. Karena itu dia pun ingin mendapatkan kemenangan dari keuletan dan kekuatan napas. Dia merasa
bahwa dalam hal ini ia tak perlu kuatir untuk bisa dikalahkan oleh orang tua yang sudah lanjut usianya itu.
Pertempuran berjalan terus sampai hampir seratus jurus. Setelah merasa lelah, barulah Hui Kok Losu
sadar akan kesalah dugaannya. Ia tidak tahu bahwa walau pun Ciauw In tergila-gila kepada Sian Kim, akan
tetapi Hoa-san Taihiap ini adalah seorang lelaki sejati dan seorang pemuda yang semua tenaganya dalam
tubuh masih terkumpul sepenuhnya, maka tentu saja dia yang sudah tua tak kuat untuk mengadu keuletan
tenaga dan napas. Apa bila dia sudah mulai terengah-engah dan keringat sudah memenuhi jidatnya,
adalah Ciauw In masih bermain pedang dengan tenang, sedikit pun belum pernah lelah!
Menyadari kesalahannya ini, Hui Kok Losu lalu hendak menggunakan kesempatan yang masih ada. Ia
mulai merubah gerakan tombaknya dan sekarang melancarkan serangan-serangan yang paling
berbahaya. Tombaknya berkelebatan cepat hingga mendatangkan angin dingin, menyambar-nyambar ke
arah tubuh Ciauw In sehingga pemuda ini merasa terkejut sekali.
Hal ini sama sekali tak pernah diduganya, karena dalam keadaan sedemikian lelah, orang tua itu ternyata
masih dapat melakukan serangan yang begitu cepat dan membutuhkan tenaga besar. Maka Ciauw In pun
lalu memutar-mutar pedangnya lebih cepat lagi untuk menangkis setiap serangan.
Ketika terjadi benturan senjata, dalam hatinya Ciauw In merasa betapa ternyata tenaga lawannya sudah
mulai banyak berkurang! Ia maklum bahwa lawannya ini betapa pun juga sudah mulai lelah dan hampir
dunia-kangouw.blogspot.com
kehabisan tenaga, maka ia segera berseru keras dan terus mendesak dengan serangan-serangan
mematikan.
Benar saja, Hui Kok Losu mulai kepayahan dan terdesak hebat. Beberapa kali ketika dia menyampok pergi
pedang lawan, sebelah tangannya sampai lepas dari pegangan pada gagang tombak dan hanya karena ia
memegang tombak dengan kedua tangan saja maka senjatanya itu tidak sampai terlempar!
Melihat keadaan suhu-nya ini, para anggota Kim-houw-bun merasa amat khawatir. Tanpa diperintah lagi,
mereka lantas menyerbu dan mengeroyok Ciauw In untuk membantu guru mereka!
Sebenarnya Hui Kok Losu hendak mencegah hal ini. Akan tetapi dalam kelelahannya, dia tidak berani
membuka mulut, oleh karena ia sedang mengerahkan tenaga terakhir, kalau ia membuka mulut dan
berbicara, tentu ia tidak akan kuat menahan lagi!
Juga Ma Sian si Cangkul Kilat ketika melihat keadaan Hui Kok Losu, tentu saja tidak rela kalau kawannya
yang gagah perkasa ini sampai roboh di tangan seorang penjahat muda. Maka, ia segera mengangkat
paculnya menyerbu!
Akan tetapi sambil tertawa menghina Sian Kim berkata, “Orang-orang dari Kim-houw-bun memang
pengecut!”
Segera ia memutar-mutar pedangnya menghadapi Ma Sian!
Pertempuran menjadi semakin ramai karena kini terpecah menjadi dua bagian. Ciauw In menghadapi Hui
Kok Losu yang dibantu oleh para murid kepala yang semua berjumlah tujuh orang, ada pun Sian Kim
bertempur melawan Ma Sian dan dikeroyok oleh delapan orang murid muda.
Akan tetapi Ciauw In tetap saja berada pada pihak yang menyerang. Pemuda ini merasa marah sekali
melihat kecurangan pihak lawan yang mengeroyok, karena sebenarnya tadi dia tidak berniat mencelakai
Hui Kok Losu, hanya ingin mengalahkannya saja.
Sejak tadi ia belum dapat merobohkan Hui Kok Losu oleh karena ia hendak mencari jalan bagaimana dia
dapat mengalahkan orang tua gagah itu tanpa harus mendatangkan luka berat apa lagi menewaskannya.
Kalau dia bermaksud membunuh, dari tadi pun dia dapat menjatuhkan tangan kejam.
Sekarang melihat datangnya para anggota Kim-houw-bun yang mengeroyok, timbullah marahnya dan
sekali dia berseru keras dan pedangnya berkelebat, pedangnya meluncur cepat menuju tenggorokan Hui
Kok Losu.
Ciangbunjin ini masih berusaha keras untuk menangkis. Akan tetapi ia benar-benar telah kehabisan tenaga
serta napas, maka tangkisannya kurang kuat dan ujung pedang masih terus meluncur dan secara tepat
dan tanpa disengaja, ujung pedang Ciauw In menancap pada jalan darahnya dekat leher. Hui Kok Losu
menjerit ngeri dan roboh. Ia tewas bukan hanya disebabkan serangan Ciauw In, akan tetapi sebagian
besar akibat telah kehabisan napas dan tenaga!
Ciauw In merasa agak menyesal melihat betapa ia telah kesalahan tangan. Akan tetapi oleh karena para
pengeroyoknya sekarang menjadi semakin sengit dan nekat, ia merasa kepalang kalau tidak bergerak
terus. Ia lantas mengamuk dan sebentar saja tiga orang pengeroyoknya telah roboh oleh pedangnya!
Sementara itu, pertempuran di bagian lain lebih ramai karena kini menghadapi Sian Kim, Ma Sian dapat
memperlihatkan kelihaiannya. Sungguh pun apa bila bertempur satu lawan satu belum tentu ia akan dapat
mengalahkan ilmu pedang Sian Kim yang juga lihai dan ganas, akan tetapi karena kini ia dibantu oleh
delapan orang anak murid Kim-houw-bun, ia dapat mendesak Sian Kim yang mulai terdesak mundur.
Sian Kim menjadi marah sekali. Pedangnya berkelebat semakin ganas dan beberapa kali terdengar jerit
kesakitan karena pedang gadis baju hitam itu telah mendapat korban. Akan tetapi jumlah pengeroyoknya
tidak pernah berkurang, karena bila jatuh seorang maju pula penggantinya yang masih banyak menanti
mencari lowongan!
Sian Kim juga telah mendapat luka pada pundak kirinya oleh pukulan pacul Ma Sian yang walau pun hanya
menyerempet dan merobek bahunya serta melukai kulitnya saja, akan tetapi darah yang keluar cukup
banyak, membasahi lengan baju sebelah kiri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah menjatuhkan enam orang, para pengeroyok Ciauw In yang semakin bertambah jumlahnya itu mulai
menjadi gentar. Mereka cepat mengundurkan diri untuk mengeroyok Sian Kim yang sudah amat terdesak.
"Koko, bantulah aku...!" gadis itu berseru.
Ciauw In cepat maju menyerbu membantu kekasihnya. Tiga orang sekaligus roboh akibat serbuannya ini
sehingga semua pengeroyoknya kecuali Ma Sian, menjadi makin gentar. Kesempatan ini digunakan secara
baik oleh Sian Kim yang mengirim tusukan maut ke arah Ma Sian dengan gerakan Harimau Lapar
Menubruk Kambing.
Ma Sian tidak melihat jalan keluar menghadapi serangan ini, maka ia lalu berlaku nekat hendak mengadu
nyawa. Ia tidak menangkis atau mengelak, akan tetapi lalu mengangkat cangkulnya dan menghantam
kepala Sian Kim sekuat tenaga dengan senjatanya itu. Jika Sian Kim meneruskan serangannya, tentu
kepalanya akan hancur terpukul oleh pacul itu.
Akan tetapi, Ciauw In tentu saja tidak dapat berpeluk tangan melihat kepala Sian Kim yang bagus itu
dihancurkan. Maka, dia segera menangkis dengan pedangnya sedangkan pedang Sian Kim terus meluncur
dan…
“Crattt…!” ujung pedangnya masuk ke dalam dada Ma Sian sampal tembus di punggung!
Pada saat gadis itu mencabut senjatanya, Ma Sian masih sempat menggunakan tenaga terakhir
melontarkan paculnya ke arah Ciauw In yang segera membungkuk hingga pacul itu menghantam tembok!
Tubuh Ma Sian terhuyung-huyung, kemudian rebah dan tewas!
Keadaan makin menjadi kacau dan tiba-tiba dari luar datang menyerbu penjaga-penjaga keamanan kota
yang dikepalai oleh seorang perwira. Mereka ini mendapat laporan dari seorang anggota Kim-houw-bun
mengenai datangnya dua orang pengacau, maka karena perkumpulan ini amat dihormati, juga oleh
petugas-petugas negara, segera serombongan petugas lari menyerbu untuk membantu menangkap dua
orang pengacau itu.
Melihat serbuan ini, Ciauw In segera berseru, "Moi-moi, mari kita lari!”
Akan tetapi, Sian Kim kini sedang bergembira membabati para anggota Kim-houw-bun. Setelah Hui Kok
Losu dan Ma Sian tewas, maka sisa orang yang mengeroyoknya bagai tahu empuk baginya, maka setiap
kali pedangnya berkelebat, robohlah seorang anggota Kim-houw-bun.
Gadis ini sama sekali tidak takut melihat kedatangan para penjaga keamanan, bahkan ia lalu melompat
mendekat dan menyambut mereka dengan serangan pedang yang berhasil merobohkan dua orang
penjaga keamanan dengan sekali serang saja. Oleh karena ini, ia dalam kegembiraannya menyebar maut,
tidak mendengar seruan Ciauw In.
Pemuda ini melihat betapa lengan kiri Sian Kim penuh darah, dan juga melihat betapa jumlah penjaga
keamanan yang menyerbu dari luar semakin banyak jumlahnya. Maka, ia lalu melompat mendekati Sian
Kim, menyambar pinggang kekasihnya itu dan melompat ke atas genteng!
Setelah berada di atas ganteng, barulah Sian Kim merasa betapa pundaknya perih sekali, maka ia pun
kemudian melarikan diri bersama Ciauw In, melalui wuwungan rumah-rumah penduduk dan sebentar saja
mereka telah berada di luar kota.
Akan tetapi, walau pun sudah ketinggalan jauh, barisan penjaga dan sisa-sisa anak buah Kim-houw-bun
tetap mengejar mereka sehingga Ciauw In dan Sian Kim tidak mendapat kesempatan untuk mengaso.
Mereka ini terpaksa berlari terus ke selatan, dikejar-kejar dari belakang oleh para penjaga yang
menunggang kuda!
Ciauw In telah merasa amat lelah. Juga Sian Kim merasa lelah, apa lagi karena luka kulit pundaknya
terasa perih dan ngilu, maka tentu saja keadaan ini membuat mereka menjadi bingung.
Tiba-tiba saja dari jurusan depan datang sebuah kendaraan beroda tiga yang ditarik oleh empat ekor kuda
besar. Seorang laki-laki yang duduk di dalam kendaraan itu, membuka tirai kereta dan melongok keluar.
Pada waktu melihat Ciauw In dan Sian Kim, ia segera berseru,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ahh, tidak tahunya jiwi enghiong (dua orang gagah) yang sedang mendapat kesukaran. Lekas masuk ke
dalam keretaku!”
Tadinya Ciauw In dan Sian Kim tidak mengenali muka ini dan merasa amat heran melihat seorang pemuda
tampan dan hartawan menegur dan hendak menolong mereka. Akan tetapi ketika melihat senyumnya, tibatiba
Sian Kim teringat.
“Dia adalah Ong Hwat Seng murid Bu-tong-pai!” katanya kepada Ciauw In yang kini juga teringat.
Pernah ia melihat pemuda ini di puncak Kui-san ketika terjadi pertandingan persahabatan di antara orangorang
gagah. Inilah pemuda sombong yang dahulu mewakili Bu-tong-pai dan meski pun Ciauw In tidak
suka kepada pemuda mewah dan sombong itu, akan tetapi dalam keadaan terdesak sedemikian rupa, dan
pula karena Sian Kim mendahuluinya melompat ke dalam kereta, terpaksa ia pun lalu melompat ke dalam
kereta, menduduki bangku berhadapan dengan Ong Hwat Seng. Sian Kim duduk di dekat pemuda itu, ada
pun Ciauw In duduk di hadapan mereka.
Pemuda itu lalu memberi perintah kepada pengemudi kereta,
“Lekas putar kembali kendaraan dan kita pulang!”
Pengemudi kereta menurut perintah. Empat ekor kuda itu lalu diputar kembali dan segera kereta
dikaburkan pesat. Akan tetapi, tak lama kemudian para pengejar yang terdiri dari petugas-petugas kota
Ouwciu dapat menyusul kendaraan itu dan dengan suara garang memerintahkan pengemudi untuk
berhenti.
Sementara itu, Ong Hwat Seng memberi tanda kepada Ciauw In dan Sian Kim untuk tidak mengeluarkan
suara, kemudian ketika kereta diperintahkan berhenti, ia lalu melongok dari tirai.
“Ada apakah maka kendaraan berhenti?” tanyanya keras-keras kepada pengemudinya. "Siapa yang berani
menahan keretaku?"
Sementara itu, para pengejar yang terdiri dari anggota-anggota Kim-houw-bun dan para penjaga
keamanan kota Ouwciu, ketika melihat Ong Hwat Seng, segera lenyap keraguan mereka dan dengan
mengangkat tangan memberi hormat sambil tersenyum mereka lalu mendekati pemuda itu. Pemimpin
mereka, seorang perwira yang bertubuh tinggi besar, segera turun dari kuda dan menjura.
“Ah, tidak tahunya Ong-siauwya (Tuan muda Ong) yang berada di dalam kereta! Maafkan kami yang tidak
tahu dan telah mengganggu siauwya!”
Ong Hwat Seng memperlihatkan muka manis ketika berkata, "Tidak apa, tidak apa! Akan tetapi ada
keperluan apakah maka kalian sampai membalapkan kuda ke tempat ini dan menahan kereta? Agaknya
ada hal yang amat penting terjadi!”
“Celaka, Ong-siauwya!” kata perwira itu. "Di kota kami datang dua orang penjahat besar yang sudah
membasmi Kim-houw-bun, membunuh banyak sekali orang, bahkan Hui Kok Lo-enghiong juga tewas
dalam tangan mereka."
"Aduh, hebat benar...!” Ong Hwat Seng menggeleng-geleng kepalanya dan melebarkan matanya.
"Kami mengejar dua penjahat itu, seorang pemuda dan seorang gadis, akan tetapi ketika tiba di tempat ini
mereka tiba-tiba lenyap!”
Ong Hwat Seng memperlihatkan muka tidak senang mendengar ini. Ia mengeluarkan suara menghina dan
berkata keras,
“Jadi karena itukah kalian menghentikan keretaku? Kalian menyangka bahwa aku sudah menyembunyikan
kedua orang penjahat dalam kendaraanku? Ah, sungguh menyebalkan! Mari, kalian periksalah di dalam
kereta!"
Tentu saja perwira itu merasa sangat malu dan juga gugup mendengar ucapan ini dan melihat betapa Ong
Hwat Seng menjadi tak senang hati. Ong Hwat Seng mereka kenal baik, seorang pemuda kaya raya di
dunia-kangouw.blogspot.com
kota Ouw-san yang letaknya tidak jauh dari Ouwciu, dan selain kaya raya dan berpengaruh besar di
kalangan pembesar karena pemuda ini adalah putera dari seorang bekas pembesar tinggi yang telah
meninggal dunia, ia pun terkenal sebagai seorang pemuda berkepandaian tinggi dan bahkan menjadi
kenalan baik dari mendiang Hui Kok Losu! Sudah tentu ia tidak berani berlaku kurang ajar untuk tidak
mempercayai omongan pemuda bangsawan yang kaya raya dan mempunyai kepandaian tinggi itu.
"Maaf, Ong-siauwya. Tadi kami tidak menyangka bahwa kendaraan ini milik Ong-siauwya. Sama sekali
kami tidak berani berlaku lancang dan sudah tentu saja kami tidak pernah menyangka bahwa siauwya
menyembunyikan orang jahat. Akan tetapi, besar harapan kami semoga siauwya suka memberi tahu kalaukalau
tadi melihat ke mana larinya dua orang yang sedang kami kejar-kejar itu!"
"Hm, kalau aku melihat mereka, apa kau kira mereka dapat lari jauh?" jawab Ong Hwat Seng dengan
sombongnya. "Aku tak melihat mereka, akan tetapi sesampainya di rumah, aku akan melaporkan hal ini
kepada pembesar-pembesar kawanku setempat supaya ikut membantu mencari dan menangkap mereka."
Perwira itu lalu menjura lagi dengan hormat sekali. "Terima kasih, siauwya, dan sekali lagi harap maafkan
kami yang telah berlaku lancang."
Kemudian rombongan berkuda itu melarikan kuda mereka ke lain tempat untuk mencari dua orang
penjahat yang tiba-tiba lenyap itu.
Ong Hwat Seng masuk dan duduk lagi di dalam kereta sambil memerintahkan kusirnya melanjutkan kereta
menuju ke Ouw-san, ia berkata kepada kusirnya,
"Akai, awas kau! Jangan kau menceritakan kepada siapa pun juga tentang peristiwa tadi. Kedua tuan muda
dan nona ini adalah sahabat-sahabat baikku yang datang dari Bi-hok, tahu kau?”
"Baik, siauwya, saya tahu."
Ong Hwat Seng kemudian memandang kepada Sian Kim dan Ciauw In sambil tersenyum bangga. "Nah,
bukankah beres sudah?"
"Kau telah menolong kami," kata Ciauw In sederhana.
Ada pun Sian Kim yang meringis kesakitan, memaksa tersenyum manis sambil berkata, “Ong-Siauwya,
kau benar-benar cerdik dan baik hati. Aku berterima kasih kepadamu."
Ucapan ini ditutup dengan kerlingan mata menyambar hingga membuat Ong Hwat Seng menatap wajah
jelita itu tanpa berkejap! Hal ini membuat hati Ciauw In tidak enak sekali dan rasa tidak sukanya kepada
pemuda kaya ini makin meluap. Akan tetapi ia pura-pura tidak melihatnya karena ia telah ditolong maka
tidak seharusnya ia memperlihatkan muka tak senang.
Sementara itu, ketika Ong Hwat Seng melihat pundak kiri Sian Kim, dia hampir menjerit karena kaget dan
kagum. Kaget melihat darah telah membuat pakaian gadis itu menjadi merah dan kagum karena dari balik
baju yang robek itu ia melihat kulit lengan yang halus dan putih menggiurkan hatinya.
Harus diketahui pula bahwa jago muda dari Bu-tong-pai ini selain kaya raya dan berdarah bangsawan, juga
terkenal mata keranjang dan gila wajah cantik. Maka melihat kecantikan Sian Kim dan lirikan mata yang
tajam serta senyum di bibir yang mungil dan manis itu, tentu saja semenjak tadi hatinya telah berdebardebar
keras.
"Ah, kalian terlampau sungkan," katanya, “bukankah kita sudah saling bertemu di puncak Kui-san? Kita
adalah orang-orang segolongan, karena itu tak perlu bersungkan-sungkan. Sudah sewajarnya kita saling
menolong. Nona, pundakmu terluka, kau perlu mendapat rawatan yang baik. Akan tetapi tak perlu kuatir,
sesampainya di rumah, aku akan panggil seorang tabib yang pandai dan ahli dalam hal mengobati lukaluka."
Dia tersenyum lalu menambahkan dengan sikap yang ceriwis sekali. “Kecuali luka di dalam hati yang
tidak ada obatnya!”
Kalau saja dia tidak berada dalam perlindungan dan pertolongan pemuda ini, tentu Ciauw In sudah
menggerakkan tangan menampar mulut pemuda itu. Akan tetapi dia menahan kesabarannya dan ketika ia
mengerling ke arah kekasihnya, ternyata Sian Kim tersenyum mendengar ucapan yang ceriwis itu!
dunia-kangouw.blogspot.com
Kembali ia merasa tidak enak dan dalam maboknya, ia tidak menyalahkan Sian Kim yang tidak seharusnya
menghadapi keceriwisan itu dengan tersenyum. Ia bahkan menimpakan seluruh kejengkelannya kepada
pemuda itu!
Rumah Ong Hwat Seng merupakan sebuah bangunan gedung besar yang mewah serta indah. Pemuda ini
hanya tinggal dengan ibunya yang sudah tua, akan tetapi pemuda ini benar-benar seorang anak yang amat
jahat dan tidak berbakti terhadap orang tuanya.
Ia berlaku sewenang-wenang terhadap ibunya. Ibunya yang sudah tua ini melihat betapa anaknya makin
lama makin binal, dan lama sekali tidak menghormat atau menghiraukan dirinya, maka menjadi amat
berduka dan selalu menyembunyikan diri di dalam kamarnya. Jarang sekali ia keluar dari kamarnya,
karena sekali ia keluar, tentu timbul percekcokan mulut dengan puteranya itu.
Pernah dulu ia menegur puteranya dengan kata-kata pedas.
“Hwat seng, kau adalah putera tunggal dari keluarga Ong, dan ayahmu terkenal sebagai seorang
pembesar yang dihormati orang. Akan tetapi, apa jadinya dengan kau? Ketika disuruh mempelajari
kesusasteraan, kau malah belajar ilmu silat yang kasar. Apakah kau hendak menjadi tukang pukul? Dan
sekarang, setelah ayahmu meninggal dunia, kau tidak menjadi baik bahkan semakin menggila. Tiap hari
kerjamu hanya berpelesir saja, bergaul dengan segala macam buaya darat, menghabiskan uang seperti
melempar-lempar pasir, sama sekali tak ingin mencari kedudukan baik, atau berusaha sesuatu. Kalau
kelak harta peninggalan ayahmu habis, kau akan hidup dari apa?”
Seperti biasanya, Ong Hwat Seng cemberut dan anak yang dulunya terlalu dimanja itu bahkan membentak
ibunya.
“Ibu, kau sudah tua, untuk apa masih suka cerewet saja? Biasanya orang tua mencari jalan terang untuk
menungggu kematiannya, akan tetapi engkau setiap hari selalu marah mengumbar hawa nafsu, tidak tahu
bahwa yang kau marahi adalah anakmu sendiri. Aku sudah dewasa dan mencari sedikit kesenangan,
kenapa kau marah-marah? Apakah kau iri hati?"
Terbelalak mata nyonya tua itu karena marah dan terkejut karena biar pun biasanya anak tunggalnya itu
suka membantah, akan tetapi belum pernah sekasar itu.
“Bagus, Hwat Seng!” katanya dengan air mata mengalir turun ke atas pipinya. "Setelah ayahmu meninggal,
kau berani terhadap ibumu, ya? Begitukah sikap seorang anak pada ibunya? Kau seorang anak puthauw
(tidak berbakti), tidak membalas cinta kasih seorang ibu, bahkan berani bersikap dan bicara kasar jadi kau
ingin melihat ibumu lekas mati?"
Melihat ibunya menangis, Hwat Seng bahkan lalu tersenyum yang merupakan seringai mengejek.
“Ibu, aku hanya berkata sebenarnya, karena siapakah orangnya yang akhirnya tak akan mati? Aku sendiri
kelak tentu akan mati. Dan tentang berbakti atau tidak berbakti, hal ini adalah ucapan palsu yang
digunakan oleh para orang tua untuk menakut-nakuti anaknya. Bila aku menghabiskan uang juga bukan
dari penghasilan ibu, akan tetapi mendiang ayah yang dahulu mencarinya! Ibu hanya menumpang diri,
seperti aku pula. Kalau ibu hendak memakai uang peninggalan ayah dan hidup bersenang-senang, silakan,
aku juga takkan melarang!”
"Thian Yang Maha Agung!" ibu yang hancur hatinya itu mengeluh sambil mendekap dada, "mengapa aku
memiliki anak semacam ini? Percuma saja kau kukandung berbulan-bulan kemudian kupelihara dengan
susah payah, kupertaruhkan jiwaku ketika melahirkanmu...” Nyonya ini menangis lagi makin sedih.
“Sudahlah, sudahlah..." Hwat Seng anak durhaka itu mencela dengan muka menunjukkan kesebalan
hatinya, “betapa pun juga, ibu harus ingat bahwa aku dulu tidak pernah minta dikandung, tidak minta
dilahirkan, dan juga tidak minta dipelihara...!”
Setelah mengeluarkan ucapan-ucapan yang hanya patut keluar dari mulut iblis neraka ini, anak itu lalu
meninggalkan ibunya. Semenjak saat itulah maka nyonya Ong tidak pernah keluar dari kamarnya lagi, tiap
hari termenung memikirkan nasibnya, berprihatin menanti saatnya tiba untuk menyusul suaminya oleh
karena biar pun hidup di tengah-tengah harta benda dan kemewahan, akan tetapi ia tidak merasakan
kebahagiaan hidup…..
dunia-kangouw.blogspot.com
********************
BAB-13 : PEMUDA GAGAH BERHATI LEMAH
Dengan amat ramah tamah, Ong Hwat Seng lalu memberi perintah kepada para pelayan menyediakan dua
buah kamar untuk Ciauw In dan Sian Kim. Gadis itu mendapat sebuah kamar yang sangat indah dan
mewah, karena inilah kamar Hwat Seng sendiri yang dia berikan kepada nona manis itu. Sedangkan Ciauw
In mendapat sebuah kamar di ruang belakang, agak jauh dari kamar Sian Kim. Kemudian dia
mendatangkan seorang tabib yang terkenal pandai di kota Ouw-san untuk merawat luka di pundak Sian
Kim yang biar pun terasa sakit, akan tetapi sebetulnya tidak berbahaya.
Ciauw In dan Sian Kim mendapat pelayanan yang luar biasa manisnya dari Hwat Seng, bahkan setiap hari
kedua orang tamu itu mendapat jamuan makan yang serba mewah. Sian Kim nampak kerasan dan senang
sekali tinggal di rumah gedung yang indah itu, dan wajahnya selalu berseri-seri. Dia tidak banyak berbicara
dengan Ciauw In, bahkan hanya bertemu pada waktu makan, bersama dengan tuan rumah, atau bercakapcakap
di ruang tamu yang terhias perabot-perabot mahal dan indah.
"Lie-heng dan Gu-siocia," kata Hwat Seng pada hari kedua, pada saat mereka sedang menghadapi meja
makan yang penuh dengan hidangan serba mahal. "Semenjak turun dari Kui-san, tiada henti-hentinya aku
mengagumi kalian karena aku pun telah mendengar betapa Lie-heng (saudara Lie) yang keluar sebagai
pemenang dan juara. Nama Hoa-san Taihiap sudah kudengar dan membuat hatiku sangat kagum! Juga
aku telah mendengar akan kelihaian Gu-siocia yang boleh dibilang menduduki tempat kedua. Sudah lama
aku merasa rindu dan ingin bertemu, siapa tahu sekarang kita dapat bertemu dan bahkan makan di satu
meja dan tidur di bawah satu wuwungan! Ahhh, bukankah ini namanya jodoh? Kuharap saja jiwi (kalian
berdua) suka tinggal lebih lama di rumahku yang buruk ini untuk bercakap-cakap."
“Kau baik sekali, saudara Ong. Akan tetapi, kami berdua masih memiliki banyak urusan, maka sesudah
nona Gu sembuh, terpaksa kami bermohon diri melanjutkan perjalanan," kata Ciauw In.
“Ah, kenapa terburu-buru?” Hwat Seng berseru kaget. "Ketahuilah Lie-heng, bahwa pada waktu ini menurut
penyelidikan orang-orangku kalian berdua sudah menjadi pembicaraan orang. Semua petugas dan alat
negara telah dikerahkan untuk mencari dan menangkap kalian berdua. Malah tidak itu saja, bahkan orangorang
kang-ouw yang menjadi sahabat-sahabat baik dari Hui Kok Losu dan Lui-cin-tong Ma Sian yang
tewas dalam tangan kalian itu, kini keluar pula untuk mencarimu dan membalas dendam. Hal ini berbahaya
sekali. Kalau jiwi tinggal di sini, kutanggung takkan ada orang yang berani datang mengganggu karena tak
akan ada yang menaruh curiga kepadaku, sedangkan para pelayanku dapat dipercaya sepenuhnya. Kelak,
kalau keadaan sudah tidak demikian panas lagi dan nafsu mereka telah menjadi dingin, barulah kalian
boleh melanjutkan perjalanan sebab bahaya tidak begitu besar lagi.”
Sebelum Ciauw In menjawab, Sian Kim mendahuluinya.
"Memang betul juga ucapan Ong-siauwte ini. Lie-twako, terpaksa kita harus menurut pada petunjuknya."
Kemudian, sambil memandang kepada tuan rumah yang muda lagi tampan itu dengan sepasang matanya
yang indah serta bening, nona baju hitam itu pun berkata. “Ong-siauwya, budimu sungguh besar, entah
bagaimana kami harus membalasnya.”
Hwat Seng tertawa senang dan mainkan bibirnya untuk menambah kegagahan mukanya.
"Siocia, jangan bicara tentang budi, membikin aku merasa tidak enak saja!”
Sesudah berkata demikian, dengan ramah tamah dia lalu mempersilakan kedua orang tamunya mengambil
makanan yang lezat-lezat.
Telah sepekan lamanya Ciauw In dan Sian Kim tinggal di gedung itu. Makin lama, hati Ciauw In makin
merasa tidak enak dan tidak senang. Ia ingin cepat-cepat pergi dari situ untuk melakukan perjalanan
bersama Sian Kim, untuk dapat berdua saja dengan yang dicintainya itu.
Di dalam gedung ini ia merasa seakan-akan ia dipisahkan dari Sian Kim. Bahkan sudah dua hari ini ia
jarang bertemu kekasihnya dan seakan-akan gadis itu sengaja menjauhkan dirinya. Juga Ong Hwat Seng
jarang muncul, kecuali di waktu makan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada saat mereka makan bersama pun, Sian Kim dan Hwat Seng nampak pendiam dan tidak banyak
bicara. Akan tetapi, yang membuat hati Ciauw In merasa semakin gelisah adalah sinar mata Sian Kim yang
bersinar-sinar pada waktu gadis itu mengerling ke arah tuan rumah!
Pada malam hari ke delapan, Ciauw In merasa gelisah. Kamar yang lega itu nampak sempit baginya dan
keindahan kamar berubah menjadi amat membosankan hatinya. Dia merasa rindu sekali kepada Sian Kim
biar pun gadis itu berada di bawah satu wuwungan dengannya.
Ia tak dapat tidur dan segera keluar dari kamar, berjalan-jalan sepanjang deretan kamar dan ruang yang
sangat luas di gedung. Maksudnya hendak mencari pintu belakang dan masuk ke dalam taman bunga
besar yang berada di belakang gedung itu.
Ketika ia lewat di depan sebuah kamar di bagian belakang, tiba-tiba ia mendengar suara wanita menangis.
Ciauw In merasa heran sekali dan dia berhenti melangkah, mendekati pintu kamar itu kemudian
memasang telinga baik-baik. Terdengar olehnya betapa suara tangisan itu disertai keluhan yang amat
sedih.
"Suamiku... tidakkah rohmu melihat betapa anakmu menjadi tersesat...? Lindungilah dia dan insyafkanlah
hatinya... suamiku, kalau Hwat Seng tidak segera insaf... dia tentu akan mengalami mala petaka... dan
aku... aku yang disia-siakannya... aku tetap tidak tega...”
Kemudian terdengar lagi suara wanita itu menangis
Ciauw In merasa heran sekali dan tak terasa pula ia mendorong daun pintu yang ternyata tak terkunci dari
dalam. Ketika daun pintu terbuka, ia melihat seorang wanita tua, sedang berlutut di depan meja
sembahyang di dalam kamar itu. Sepasang lilin nampak bernyala di atas meja sembahyang dan kamar itu
penuh dengan asap hio yang aromanya harum.
Saat mendengar kedatangan orang, wanita itu segera berdiri dan memandang. Ketika ia melihat Ciauw In,
matanya mengeluarkan sinar marah. Dengan gemetar tangannya lalu menuding kepada pemuda itu dan ia
berkata,
"Kau... kau penjahat yang meracuni anakku... apakah kau datang hendak membunuhku dan merampas
harta benda kami?"
Bukan main kaget hatinya ketika Ciauw ln mendengar tuduhan ini, maka ia lalu menjawab dengan gagap.
“Lo-hujin, kau tentu ibu dari saudara Ong Hwat Seng," ia lalu menjura memberi hormat, "akan tetapi
mengapakah kau marah-marah kepadaku? Aku bukan orang jahat dan aku tidak bermaksud jahat terhadap
siapa pun juga..."
“Bohong! Kau datang membawa perempuan jahat untuk memikat hati puteraku hingga ia tergila-gila.
Mereka main gila di dalam rumahku yang bersih! Mereka mengotorkan rumah ini mencemarkan nama
keluarga kami yang terhormat! Dan kau mau berkata bahwa kau dan kawanmu itu tidak bermaksud jahat?"
Ciauw In terkejut sekali.
"Apa katamu? Kawanku adalah orang baik-baik, seperti aku pula. Kami tidak mempunyai maksud serendah
itu!”
Tiba-tiba wanita tua itu tersenyum menghina.
"Apa kau anggap aku buta? Biar pun aku sudah tua, akan tetapi aku tidak mudah ditipu oleh bajinganbajingan
muda seperti kau! Pergi! Pergilah kau dari sini!"
Wanita itu melangkah maju hendak mencakar muka Ciauw In yang segera melompat ke luar dengan hati
berdebar, tidak pedulikan lagi wanita itu karena pikirannya penuh dengan dugaan yang membuat mukanya
menjadi pucat dan dadanya berdebar keras. Cemburu yang amat besar mendesak hatinya dan seperti
orang kalap ia lalu berlari masuk kembali ke dalam kamar, mengambil buntalan pakaian dan pedangnya,
lalu berlari ke arah kamar Sian Kim.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia hendak memaksa kawannya itu untuk meninggalkan gedung ini. Ia telah diusir oleh ibu Hwat Seng,
bahkan nyonya tua itu telah mengeluarkan tuduhan-tuduhan yang amat keji terhadap dirinya, terutama
sekali terhadap Sian Kim!
Saking marahnya, ketika tiba di depan pintu kamar Sian Kim, ia mempergunakan tenaga dalam untuk
mendorong daun pintu hingga daun pintu itu terpentang lebar dan palangnya copot! Ketika ia melompat
masuk, hampir saja ia berteriak karena marah dan terkejut!
Dia melihat Ong Hwat Seng berada di kamar Sian Kim, sedang duduk menghadapi arak dan daging,
sedangkan gadis itu duduk pula di dekatnya. Mereka nampak sedang makan minum dengan amat gembira
dan wajah Sian Kim nampak berseri-seri!
"Apa artinya ini?!" Ciauw In membentak marah sambil mencabut pedangnya!
Kalau pada waktu itu ada kilat menyambar ke dalam kamar, belum tentu Hwat Seng dan Sian Kim akan
menjadi sekaget itu. Hwat Seng segera melompat dan sebelum ia sempat berkata-kata, Ciauw In sudah
menerkamnya dengan tusukan pedang.
Pemuda she Ong itu cepat mengelak dan segera mencabut pedangnya pula, lalu balas menyerang. Akan
tetapi dalam kegemasannya, Ciauw In bergerak cepat sekali. Sebuah tendangan membuat meja yang tadi
dihadapi Hwat Seng terpental ke arah pemuda she Ong itu sehingga Hwat Seng terpaksa melompat ke
pinggir. Akan tetapi Ciauw In terus mengejarnya dan kembali pemuda ini menyerang dengan tusukan kilat
dan ketika Hwat Seng mencoba untuk menangkis, tiba-tiba saja Ciauw In merubah serangannya dengan
bacokan ke arah leher!
Ong Hwat Seng menjadi terkejut sekali dan cepat miringkan tubuhnya, akan tetapi tetap saja pundaknya
terbacok hingga mendapat luka. Hwat Seng menjerit keras, melompat ke arah dinding sebelah kiri dan
sekali ia menekan tempat rahasia, dinding itu terbuka dan ia melompat masuk! Ketika Ciauw In mengejar,
dinding itu tertutup kembali.
Sementara itu, Sian Kim yang sejak tadi hanya berdiri bengong dan muka pucat, segera berseru. "Koko,
jangan...!"
Akan tetapi Ciauw In tidak mau mendengarkan cegahannya dan cepat melompat keluar kamar untuk
mencari Ong Hwat Seng, karena dia tidak akan puas sebelum membunuh pemuda itu! Hatinya panas
sekali dan matanya menjadi gelap!
Cemburu yang amat besar telah membuat ia berlaku nekat untuk membunuh Hwat Seng. Ia mengejar ke
arah di mana pemuda itu masuk ke dalam dinding rahasia dan ketika ia melihat bayangan pemuda itu
berkelebat jauh di depannya, dia terus mengejar. Ternyata bahwa pemuda itu berlari ke dalam kamar
ibunya!
Ciauw In berseru dan mengejar terus dengan pedang di tangan. Ia tendang pintu kamar nyonya tua tadi
dan melihat betapa Ong Hwat Seng sedang berlutut sambil merangkul kaki ibunya dengan seluruh
tubuhnya gemetaran. Ciauw In mengangkat pedangnya.
Akan tetapi tiba-tiba Nyonya Ong menubruk anaknya dan melindungi dengan tubuhnya.
"Sicu (tuan yang gagah), jangan kau bunuh anakku... jangan....! Kalau mau bunuh, bunuh saja aku... jika
anakku melakukan kesalahan, biarlah aku ibunya yang menebus dosanya dengan nyawaku...!"
Sikap seorang ibu yang demikian nekat melindungi puteranya, sungguh pun putera itu adalah seorang
putera durhaka, membuat Ciauw In tertegun dan ragu-ragu.
"Ong Hwat Seng," katanya dengan suara marah, "memandang muka ibumu, aku memberi ampun
kepadamu!" Kemudian ia membalikkan tubuh meninggalkan kamar itu.
"Lie-heng, kau salah sangka..." terdengar suara Ong Hwat Seng.
Akan tetapi Ciauw ln tidak mempedulikan padanya. Ketika ia tiba di luar kamar, ia melihat Sian Kim sudah
berada di situ, lengkap dengan buntalan pakaiannya. Gadis ini biar pun berwajah pucat, akan tetapi masih
nampak amat cantik jelita dan ketika melihat Ciauw In, ia berkata singkat.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Koko, kau terburu nafsu. Mari kita tinggalkan gedung ini dan akan kujelaskan kelak!"
Ciauw In tiba-tiba menjadi girang sekali karena tak pernah disangkanya bahwa gadis itu akan pergi
bersama dia meninggalkan gedung. Tadinya ia khawatir kalau-kalau gadis itu telah terpikat hatinya oleh
kemewahan tempat itu dan tidak mau ikut pergi. Maka ia hanya mengangguk dan keduanya lalu melompat
keluar dan pergi dari gedung itu pada waktu malam gelap…..
********************
"Twako, kau benar-benar terlalu terburu nafsu dan menjadi buta karena cemburu. Aku... aku tidak
melakukan perbuatan apa-apa yang melanggar batas kesusilaan dengan Ong Hwat Seng. Ia datang dan
mengajakku makan-minum untuk merayakan kemenangannya bermain dadu. Tadinya ia hendak mengajak
kau, akan tetapi oleh karena kamarmu sudah tertutup pintunya, ia takut bahwa kau sudah tidur dan akan
mengganggumu. Kebetulan ketika itu aku berada di luar kamar, maka ia mengajak aku makan-minum dan
tentu saja aku tak bisa menolaknya untuk membikin senang hatinya. Bukankah kita telah berhutang budi
padanya?”
"Akan tetapi... kau dan dia di dalam kamarmu... makan-minum bersama..."
Ciauw In tak dapat melanjutkan kata-katanya, hanya memandang wajah Sian Kim dengan ragu-ragu.
Betapa pun juga, dia tak sanggup membenci gadis ini, dan kebenciannya ini dia tumpahkan seluruhnya
kepada Hwat Seng.
Sian Kim tersenyum dan menggunakan kedua tangannya untuk memeluk Ciauw In.
“Kau terlalu cemburu, koko yang baik! Biar pun kami berada di dalam kamar, akan tetapi kami hanya
makan minum belaka. Apa salahnya itu? Apakah kau tidak percaya padaku? Ahh, aku tidak begitu buta
dan gila untuk salah pilih, koko yang baik. Seratus orang Hwat Seng masih belum dapat menandingi
seorang Ciauw In yang kucinta sepenuh hati dan jiwaku!”
Sambil berkata demikian, gadis itu dengan lagak yang amat memikat lalu menyandarkan kepala dengan
rambutnya yang harum di dada Siauw In.
Pemuda ini memang telah berhari-hari merasa rindu pada kekasihnya, maka kini melihat sikap Sian Kim,
luluhlah seluruh kemarahannya dan ia lalu balas memeluk dengan hati amat bahagia. Ia merasa seakanakan
mendapatkan kembali mustika yang disangkanya telah hilang.
"Nyonya tua itu... ibu Hwat Seng, ia membuat aku cemburu dan gelap mata!" katanya seakan-akan
mengatakan kemenyesalan dan maafnya atas perbuatannya tadi. “Ia bilang bahwa kau dan anaknya
melakukan... hal-hal yang tidak selayaknya..."
Sian Kim merenggutkan kepalanya dari dada Ciauw In dan sinar matanya menyatakan bahwa ia marah
sekali. Bibirnya yang manis itu cemberut.
“Nyonya gila itu...? Koko, apakah kau lebih percaya terhadap seorang nyonya gila dari pada aku,
kekasihmu yang sangat mencintamu? Kalau begitu, akan kubunuh nyonya itu sekarang juga!" Gadis ini
membuat gerakan seakan-akan hendak lari kembali ke gedung Ong Hwat Seng.
Melihat sikap ini, makin besar kepercayaan Ciauw In terhadap kesucian kekasihnya, oleh karena itu ia
cepat-cepat menubruk dan menggunakan kedua lengannya untuk memeluk pinggang Sian Kim.
"Jangan, moi-moi, tak usah kau melakukan hal itu! Thian yang menjadi saksi bahwa aku percaya
kepadamu. Maafkan perbuatanku yang bodoh tadi!”
Sian Kim dengan masih cemberut lalu mengerling tajam, marah sekali.
”Lain kali jangan kau meragukan cintaku, koko. Kalau kau memang tidak percaya, biarlah sekarang juga
kita berpisah dan selamanya tak pernah bertemu lagi. Aku rela menderita dan patah hati, asal tidak
membuat kau gelap pikiran dan mengamuk tidak karuan seperti orang gila...”
Ciauw In merasa terharu dan memeluk lebih erat.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Maafkan aku, moi-moi, aku memang bersalah. Biarlah lain kali aku minta maaf kepada Hwat Seng.”
Akan tetapi di dalam batinnya Ciauw In maklum bahwa berapa pun juga, kebenciannya terhadap Hwat
Seng tidak akan dapat lenyap…..
********************
Tentu saja Ciauw In tak pernah mengira bahwa memang sesungguhnya, sejak tinggal di gedung keluarga
Ong, Sian Kim mengadakan hubungan gelap dengan Ong Hwat Seng! Nona ini karena menjadi penasaran
dan jengkel melihat sikap Ciauw In yang bersopan santun selalu itu, kini berjumpa dengan seorang
pemuda yang selain tampan dan kaya raya, juga yang mempunyai sifat yang sama dengan dia sendiri,
maka tentu saja mereka merupakan pasangan yang amat cocok. Di dalam kamar Sian Kim terdapat
sebuah pintu rahasia dan melalui pintu inilah Hwat Seng mengadakan pertemuan dengan Sian Kim.
Setelah Sian Kim dan Ciauw In meninggalkan rumahnya, Hwat Seng merasa amat marah dan sakit hati.
Dia benci sekali kepada Ciauw In yang selain memutuskan hubungannya dengan Sian Kim, juga
menghinanya dan melukai pundaknya. Ia lantas bersumpah untuk membalas dendam.
Karena itu, pada keesokan harinya, cepat dia menyebar orang-orangnya untuk memberi tahukan kepada
para petugas pemerintah yang sedang mencari-cari kedua orang itu dan juga kepada para jago kang-ouw
yang merasa marah mendengar betapa Hek-lian Niocu dan Hoa-san Taihiap telah membunuh orang baikbaik
dan membuat kekacauan besar.
Terbunuhnya Hopak Sam-eng beserta putera mereka, dan terbunuhnya Hui Kok Losu, Lu-cin-tong Ma Sian
serta banyak anggota perkumpulan Kim-houw-bun, membuat para orang gagah merasa heran dan juga
marah sekali terhadap Hoa-san Taihiap. Sebentar saja menjadi buah bibir kalangan kang-ouw bahwa Hoasan
Taihiap menjadi jahat karena pengaruh Hek Lian Niocu yang sudah terkenal jahat dan menjadi
pemimpin perkumpulan Hek-lian-pang yang juga bernama busuk itu.
Maka ketika Ong Hwat Seng, jago muda Bu-tong-pai, memberi kabar bahwa kedua orang muda yang
dicari-cari itu sudah mendatangi rumahnya, merampok dan bahkan melukai pundaknya, mereka segera
memburu dan mengadakan pengejaran. Dalam kemarahan dan dendamnya, Ong Hwat Seng melakukan
usaha yang amat luas. Ia bahkan memberi kabar kepada Ho Sim Siansu, tokoh Hoa-san-pai atau guru dari
Ciauw In. Dia mengirim surat yang membuka semua kejahatan Ciauw In bersama Sian Kim…..
********************
Setelah meninggalkan rumah gedung Ong Hwat Seng dan mengalami peristiwa itu, hati Ciauw In tidak
berubah terhadap Sian Kim, bahkan makin besar rasa cinta kasihnya dan ia makin tergila-gila. Apa lagi
sekarang Sian Kim berusaha sekuat tenaga untuk menarik hati pemuda itu dengan lagak yang amat
menggiurkan hati.
Namun, betapa pun juga ia tidak dapat meruntuhkan keteguhan iman Ciauw In. Pemuda itu masih dapat
mempertahankan diri dan tidak melakukan pelanggaran yang melampaui batas-batas kesusilaan.
Sementara itu, di dalam tubuh Ciauw In telah mengalir racun kembang yang berasal dari sapu tangan hijau
pemberian kekasihnya dulu. Racun ini memang berjalan lambat sekali, dan dalam waktu kira-kira satu
bulan barulah orang yang terkena racun ini akan menjadi korban yang tak akan dapat tertolong jiwanya
lagi.
Dengan muslihat yang cerdik dan licin, Sian Kim kemudian mengganti sapu tangannya dan memberi Ciauw
In sapu tangan yang baru dan yang lebih harum aromanya karena mengandung racun yang lebih banyak.
Ciauw In yang tak menduga sesuatu menganggap pemberian sapu tangan-sapu tangan ini sebagai tanda
cinta yang lebih besar dari gadis itu!
Tiga hari kemudian, mereka mulai bertemu dengan orang-orang kang-ouw pertama yang sedang berusaha
mencari mereka. Orang-orang ini bukan lain ialah Bong Hin, anak murid pertama dari Kun-lun-pai yang
dahulu ikut pula berpibu (mengadu kepandaian) di puncak Kui-san dan pemuda yang gagah perkasa ini
dikawani oleh Gui Im Tojin, tokoh nomor tiga dari Kun-lun-pai! Gui Im Tojin merupakan susiok (paman
guru) dari Bong Hin dan ilmu kepandaiannya amat tinggi serta namanya sudah tersohor sebagai seorang
pendekar dari tingkatan tua.
dunia-kangouw.blogspot.com
Gui Im Tojin dan Bong Hin kebetulan sedang berada di dekat tempat itu ketika mereka mendengar berita
yang ditebar oleh Ong Hwat Seng bahwa Hoa-san Taihiap dan Hek-lian Niocu berada di sekitar Ouwciu.
Kebetulan sekali pada waktu itu mereka melihat Ciauw In duduk di bawah sebatang pohon siong dan Sian
Kim dengan gaya yang manja sekali sedang berbaring di atas rumput dengan kepala berbantal paha
pemuda itu!
Ciauw In dengan mesra sekali membelai rambut kekasihnya yang hitam, panjang, dan berbau harum.
Pemuda ini merasa amat berbahagia dan lupalah sudah dia akan segala peristiwa yang dialaminya
bersama Sian Kim hingga membuat dia banyak menanam bibit permusuhan dengan para orang gagah dan
menimbulkan rasa kebencian kepada seluruh orang-orang kang-ouw.
Ciauw In membelai rambut kekasihnya sambil menciumi sapu tangan hijau. Sekarang dia tak dapat
terpisah dari sapu tangan itu karena sering kali ia merasa tubuhnya lemas kalau tidak mencium harum
kembang yang menempel pada sapu tangan itu. Apa bila ia sudah mencium sapu tangan itu sambil
memandang wajah Sian Kim, ia dapat merasa betapa keharuman itu seolah-olah menjalar di seluruh
tubuhnya dan membuatnya merasa segar!
Memang racun kembang itu memiliki pengaruh yang hampir sama dengan racun madat, dan yang
membuat orang menjadi ketagihan. Hanya bedanya, bila madat hanya merusak kesehatan dan membuat
tubuh orang menjadi kurus kering, sebaliknya racun kembang ini membuat orang merasa segar dan sehat,
akan tetapi diam-diam paru-paru mereka telah terkena racun yang dapat merenggut jiwa tanpa disadari
dalam waktu sebulan!
"Koko yang manis, kau tahu bahwa aku memiliki banyak sekali musuh. Agaknya semua orang sengaja
hendak memusuhi aku. Ahh, sungguh malang nasibku...,” terdengar Sian Kim berkata perlahan sambil
menarik napas panjang.
"Jangan bersedih, kekasihku. Betapa pun juga, masih ada aku yang mencintamu dan mau membelamu."
"Hanya itulah pegangan hidupku, koko. Akan tetapi ada satu hal yang selalu tidak dapat kukatakan
kepadamu karena aku kuatir kalau-kalau kau pun akan memusuhiku sesudah mendengar hal itu."
“Apakah hal itu, moi-moi? Katakanlah, kau tahu betul bahwa aku tak akan merasa benci kepadamu, apa
pun yang telah dan akan terjadi."
"Sebenarnya, aku pun dimusuhi oleh golonganmu, dan bahkan... tanpa kau sadari, aku pun... menjadi
musuhmu pula!”
Ciauw In terkejut bukan main, kemudian menatap wajah yang didongakkan dari bawah memandang
kepadanya itu.
”Moi-moi, apakah maksudmu?”
Kembali Sian Kim ragu-ragu. Biar pun ia sudah merasa pasti bahwa kini Ciauw In telah berada dalam
genggaman tangannya, akan tetapi ia masih berkuatir kalau-kalau pemuda ini akan berubah pikirannya apa
bila ia membuka rahasianya. Maka ia lalu bangkit duduk dan berkata,
"Koko, kau peluklah aku, karena aku tidak berani membuka rahasia ini tanpa merasa bahwa kau betul-betul
tak akan menggangguku!”
Ciauw In tersenyum dan merangkul pundaknya.
"Katakanlah adikku yang manis."
"Lie-twako, ketahuilah bahwa dulu aku pernah menjadi ketua dari sebuah perkumpulan."
"Kau sudah memberi tahukan hal itu kepadaku dulu."
"Benar, akan tetapi kau tidak tahu perkumpulan apakah itu. Aku adalah pangcu (ketua) dari Hek-lian-pang
yang dulu kau obrak-abrik bersama kedua adik seperguruanmu!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kali ini Ciauw In benar-benar terkejut sehingga kedua tangannya yang merangkul pundak Sian Kim
gemetar.
“Jadi kau... kau adalah anak...”
"Ya, Gu Mo Ong yang dibinasakan oleh sumoi-mu itu adalah ayahku sendiri, walau pun... hanya ayah
angkat saja!" Sian Kim membohong.
Sejenak keduanya terdiam, dan tangan Ciauw In turun dari pundak Sian Kim. Gadis itu memandang
dengan hati penuh kekhawatiran, untuk beberapa lama mereka hanya saling pandang.
BAB-14 : BURONAN DUNIA KANG-OUW
Akan tetapi, akhirnya Ciauw In kalah. Cintanya kepada Sian Kim sudah terlalu mendalam sehingga tidak
mungkin baginya untuk merubah perasaannya itu.
"Bagaimana, twako? Apakah sekarang kau membenciku? Kalau kau membenci dan ingin membunuhku,
silakan, koko. Kau cabutlah pedangmu dan tusuk dadaku. Aku tidak akan melawan dan aku rela mati di
dalam tanganmu."
Ciauw In diam saja, kemudian dengan napas sesak ia berkata,
"Sungguh tak kusangka sama sekali, moi-moi. Gu Ma Ong begitu jahat dan... karenanya aku membantu
sumoi-ku untuk membunuhnya dan memukul hancur perkumpulannya."
Sian Kim menarik napas lega. Dia maklum bahwa pendirian pemuda ini terhadap dirinya tidak akan
berubah, maka ia berkata,
"Justru karena mereka jahat maka aku meninggalkan perkumpulan itu. Harus kau ketahui bahwa setelah
tamat belajar silat, baru aku kembali ke kota kelahiranku dan seperti telah kuceritakan dulu, ayahku tewas
dalam tangan Hopak Sam-eng. Kemudian aku pergi ke Kiang-sin-ok untuk membalas dendam, tapi aku
dikalahkan dan di kota Ban-hong-cun aku bertemu dengan Gu Ma Ong dan perkumpulan Hek-lian-pang.
Tadinya mereka hendak menggangguku, akan tetapi aku dapat mengalahkannya, kemudian aku diangkat
sebagai ketua dan Gu Ma Ong sendiri mengangkat aku sebagai anak angkatnya. Namun, setelah kulihat
bahwa perkumpulan itu kurang baik, aku lalu meninggalkan mereka dan datanglah kau dan kedua adik
seperguruanmu yang membasmi mereka!"
Untuk beberapa lama Ciauw In tak dapat mengeluarkan kata-kata. Hatinya menjadi amat bingung.
"Kalau begitu... kau... kau menaruh dendam kepada sumoi dan sute-ku dan juga padaku yang telah
menewaskan ayah angkatmu dan menghancurkan perkumpulanmu?"
Sian Kim menyandarkan kepalanya pada dada Ciauw In dengan gaya memikat.
"Koko, bagaimana kau bisa berkata demikian? Kalau aku menaruh dendam kepadamu, mungkinkah aku
bisa mencintamu? Tidak, aku tidak dendam kepadamu!”
"Dan juga tidak kepada sumoi dan sute-ku?"
Sampai lama Sian Kim tak dapat menjawab.
"Hal ini terus terang saja tak dapat kuputuskan sekarang. Kau tahu bahwa ayah angkatku itu amat baik
terhadapku sehingga aku telah berhutang budi kepadanya. Kini ia dibunuh oleh sumoi-mu, maka...
bagaimanakah aku harus bersikap kepadanya? Ahh, koko, hal ini jangan kita sebut-sebut dulu. Kalau saja
sumoi dan sute-mu mau berlaku manis terhadap diriku, mungkin aku akan dapat melupakan urusan itu,
karena bagaimana pun mereka itu adalah saudara-saudaramu, koko."
Ciauw In menarik napas.
“Mudah-mudahan kau dan mereka takkan terlibat permusuhan. Kau maafkanlah mereka, moi-moi."
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada saat itulah Bong Hin dan Gui Im Tojin telah datang mendekat dan Bong Hin segera membentak,
"Orang-orang tak tahu malu! Kalian telah bertemu dengan kami, hendak menyerah secara baik-baik atau
harus dirobohkan dengan senjata?"
Ciauw In dan Sian Kim melompat bangun dan melihat mereka berdua, Ciauw In terkejut sekali.
“Saudara Bong Hin!" ia berseru karena pernah bertanding kepandaian dengan jago muda dari Kun-lun-pai
itu. "Apakah maksud kata-katamu?”
Bong Hin tersenyum sindir.
"Tidak kusangka bahwa Hoa-san Taihiap hanyalah seorang pemuda hidung belang yang lemah! Kau masih
hendak bertanya lagi? Kau berserta perempuan tak tahu malu ini telah membunuh banyak orang gagah
tanpa adanya alasan kuat, bahkan kalian sudah berani membunuh Hui Kok Losu dan Ma Sian Loenghiong.
Lalu melarikan diri dan mengganggu gedung Ong Hwat Seng. Sungguh tak kusangka sama
sekali.”
Sian Kim melangkah maju dan menuding dengan pedangnya yang tadi telah dicabut pada saat melihat
kedatangan mereka.
"Orang sombong! Kau mengandalkan apamu maka kini berani membuka mulut secara sembarangan
saja?"
Ada pun Ciauw In juga menjawab, “Saudara Bong Hin, sebagai seorang yang menjunjung tinggi
kegagahan, aku membantu Gu-siocia membasmi orang-orang jahat. Mengapa kau mencela?”
“Hm, bagus! Kalian sudah membunuh ketua Kim-houw-bun dan juga Lui-cin-tong tetapi berani menyatakan
membasmi orang-orang jahat?!”
"Orang Kun-lun-pai!” Sian Kim membentak. "Urusanku dengan Kim-houw-bun merupakan urusan pribadi
dan mereka itu mampus dalam sebuah pibu! Sudah layak seorang terluka atau mati dalam pertandingan
silat, apa perlunya kau datang membuat ribut?”
Kini Gui Im Tojin, tosu (Pendeta To) yang tenang sikapnya itu berkata,
"Hek-lian Niocu, memang sudah jamak orang terbunuh di dalam sebuah pibu. Akan tetapi kalian berdua
sudah menjatuhkan tangan kejam kepada orang-orang lain. Banyak anak buah Kim-houw-bun kau bunuh
secara kejam. Apakah ini pun termasuk pibu?”
"Kami mempunyai permusuhan pribadi, apa hubungannya dengan kamu orang-orang dari Kun-lun-pai?”
“Tidak hanya kami, akan tetapi semua orang gagah mencela kejahatan kalian berdua, terutama kau
sebagai ketua Hek-lian-pang yang terkenal jahat. Maka kami sengaja turun gunung membantu pemerintah
untuk menangkap kalian. Menyerahlah dengan baik-baik kalau kalian tidak mau merasakan kelihaian kami
dari Kun-lun-pai!" kata Bong Hin yang biar pun telah merasai kelihaian Ciauw In, akan tetapi dengan
adanya paman gurunya, ia tidak merasa takut.
"Bangsat hina dina! Kaukira aku takut padamu,” Sian Kim berseru dan menerkam dengan pedangnya yang
segera ditangkis oleh pedang Bong Hin.
Ciauw In tadinya ingin berdamai dengan orang-orang Kun-lun-pai itu. Akan tetapi melihat betapa
pertempuran telah terjadi, terpaksa ia pun mencabut pedang untuk menjaga diri.
“Siancai, siancai, sungguh sayang Hoa-san Taihiap harus menderita kesesatan demikian jauhnya!" kata
Gui lm Tojin sambil mengeluarkan tongkatnya yang berkepala naga. Inilah Liong-thouw Koai-tung atau
Tongkat Iblis Kepala Naga yang membuat namanya tersohor untuk puluhan tahun lamanya.
“Sekali lagi, kau menyerahlah saja, anak muda!" katanya sambil menggerakkan tongkat kepala naganya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi Ciauw In tidak mau banyak bicara lagi. Segera pemuda ini melangkah maju sambil memutar
pedangnya. Pertempuran segera terjadi dengan hebatnya, dan terpecah menjadi dua rombongan, yakni
Sian Kim melawan Bong Hin, sedangkan Ciauw In harus menghadapi Gui Im Tojin yang lihai.
Pertempuran antara Sian Kim dan Bong Hin berjalan luar biasa seru dan sengitnya oleh karena keduanya
memang menggerakkan senjata dengan maksud membunuh. Bong Hin benci kepada Sian Kim setelah dia
mendengar tentang riwayat yang kotor dari gadis baju hitam ini, maka senjatanya bergerak mengarah
bagian yang mematikan. Sedangkan Sian Kim memang memiliki ilmu pedang yang ganas dan setiap
serangan mengandung hawa maut bagi lawannya.
Ilmu kepandaian Bong Hin sudah terbukti kelihaiannya ketika dia maju ke panggung luitai (panggung adu
silat) menghadapi lawan-lawannya hingga akhirnya ia berhasil dikalahkan oleh Ciauw In dengan susah
payah. Kalau saja ia bertanding melawan Sian Kim dengan tangan kosong, agaknya akan amat sulit bagi
Sian Kim untuk mendapatkan kemenangan.
Akan tetapi kini mereka bertempur dengan pedang. Meski sebagai murid kepala Bong Hin telah mewarisi
ilmu pedang Kun-lun Kiam-hoat yang lihai, namun ketika menghadapi ilmu pedang Sian Kim yang amat
ganas dan hebat itu, akhirnya ia terdesak juga!
Sian Kim tidak mau memberi hati pada lawannya. Pada suatu saat ia menyerang dengan gerak tipu Coanjiu
Cion-kiam (Lonjorkan Tangan Sembunyikan Pedang), yakni serangan yang tadinya dilakukan dengan
pukulan tangan kanan dan dengan pedang tersembunyi di bawah lengan, akan tetapi secara tiba-tiba,
dengan gerakan jari yang sangat cepat dan kuat, pedang itu meluncur keluar dari tempat persembunyian
dan tidak menyerang ke arah dada yang dipukul tangan, akan tetapi secara tidak tersangka-sangka
meluncur ke bawah menusuk pusar!
Bong Hin terkejut sekali melihat datangnya serangan yang ganas ini, dan karena kedua tangannya telah
berada di atas dalam usaha menangkis pukulan tadi, maka tubuh bagian bawah menjadi kosong dan ia tak
sempat menangkis lagi. Hanya dengan gerakan Yo-cu Hoan-sin (Burung Elang Memutar Badan) barulah
dia dapat menghindar dari serangan pedang itu.
Tubuhnya berjungkir balik cepat sekali ke belakang dan dia cepat memasang kuda-kuda lagi untuk
menghadapi lawannya yang sangat lihai itu. Kini ia bertempur dengan hati-hati sekali dan biar pun ia terus
didesak, akan tetapi untuk sementara waktu ia dapat menjaga diri dengan baik sambil mengharapkan
untuk segera mendapat bantuan dari susiok-nya.
Akan tetapi, pertempuran yang terjadi antara Gui Im Tojin dan Ciauw In juga berjalan dengan amat serunya
sehingga pendeta itu tidak memiliki ketika sedikit pun juga untuk membantu murid keponakannya yang
terdesak hebat.
Tadinya pendeta itu dan Ciauw In hanya bertempur dengan maksud mengalahkan lawan saja tanpa
bermaksud membunuh. Akan tetapi setelah bertempur puluhan jurus, mereka maklum bahwa ilmu
kepandaian mereka seimbang sehingga tak mungkin akan mendapat kemenangan tanpa mengeluarkan
serangan-serangan yang paling lihai dan berbahava. Kini mereka bertempur dengan sungguh-sungguh,
sedikit pun tidak mau mengalah lagi.
Gui Im Tojin merasa penasaran tidak mampu mengalahkan Hoa-san Taihiap yang meski pun berilmu tinggi
tetapi setidaknya mempunyai tingkat yang lebih rendah dari padanya. Gui Im Tojin merasa malu kalau tidak
dapat mengalahkan Ciauw In, maka ia lalu berseru keras dan tongkatnya berputar-putar mengeluarkan
angin keras.
Ia lantas mengeluarkan ilmu silat Hok-thian Hok-te (Membalikkan Langit dan Bumi), yakni semacam ilmu
pukulan yang menjadi kepandaian khusus dari ilmu tongkatnya dan yang hanya dimengerti dan dipelajari
oleh tokoh-tokoh Kun-lun-pai tingkat atas saja.
Ciauw In merasa kagum dan terkejut melihat perubahan serangan ini, dan dia pun segera terdesak
mundur. Baiknya Hoa-san Kiam-hoat memang mempunyai gerakan yang cepat dan bagian pertahanannya
amat kokoh kuat, maka ia dapat menjaga diri sungguh pun serangan lawan yang mainkan Hok-thian Hok-te
ini membuat dia sukar untuk mengirim serangan balasan.
Kalau tadi yang digunakan oleh Gui Im Tojin untuk menyerang hanya ujung tongkatnya saja, sedangkan
bagian gagang yang berkepala naga hanya untuk menangkis, adalah kini pendeta itu memutar-mutar
dunia-kangouw.blogspot.com
tongkatnya sedemikian rupa hingga kedua ujung tongkat terputar dan bergantian melancarkan
penyerangan kilat yang dilakukan dengan dorongan tenaga lweekang sepenuhnya hingga tiap kali ujung
tongkat menyapu dekat tanah, debu mengebul ke atas karena sambaran angin tongkat!
Ciauw In mempertahankan diri sebisa mungkin. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa tubuhnya amat lemas dan
lemah, serta timbul keinginan keras untuk mencium harum yang timbul dari sapu tangannya!
Keinginan ini datangnya demikian tiba-tiba dan hebat, dan yang membuat seluruh tubuh terasa lemas serta
semangat tempurnya menjadi berkurang! Akan tetapi lawannya yang tangguh itu tidak memberi
kesempatan padanya untuk mengeluarkan sapu tangan hijau dan menciumnya!
Sementara itu, Sian Kim sudah dapat mendesak Bong Hin ke satu sudut di mana tumbuh banyak pohon.
Dengan serangan yang ganas dan cepat, dia membuat pemuda itu kini hanya kuat menggerakkan pedang
menangkis saja dan karena ia merasa sibuk sekali, gerakan kakinya menjadi tidak tetap. Tiba-tiba dia
berseru keras karena ketika bergerak mundur itu kakinya tersandung sebuah akar pohon yang melintang di
belakangnya.
Pada saat itu pedang Sian Kim menyambar ke arah leher, maka terpaksa ia mendorong tubuh ke belakang
sehingga tak dapat dicegah lagi, karena kedua kakinya terganjal akar, ia lalu roboh terguling ke belakang.
Sebelum ia sempat melompat bangun, Sian Kim telah menerkam dengan pedangnya dan…
"Ceppp!" pedang itu menembus ulu hati Bong Hin yang tewas pada saat itu juga!
Setelah berhasil menewaskan Bong Hin, Sian Kim dengan mata beringas cepat berbalik. Dia melihat
betapa Ciauw In sedang didesak hebat dan agaknya pemuda itu menjadi bingung sekali. Dia lalu berseru
keras.
"Jangan kuatir, koko! Aku akan membantumu membikin mampus tosu siluman ini!"
Ia lalu menerjang Gui Im Tojin sehingga Ciauw In mendapat ketika untuk mencabut sapu tangan hijaunya
dan menciuminya berulang-ulang! Aneh, tiba-tiba tubuhnya yang lemah tadi menjadi segar kembali dan
kegembiraan serta semangatnya timbul. Ia maju lagi dan sebentar saja keadaan menjadi terbalik. Kini Gui
Im Tojin yang terdesak hebat oleh kedua orang muda yang memiliki ilmu pedang luar biasa itu!
Saat melihat keadaan Ciauw In, diam-diam Sian Kim merasa terkejut sekali. Tanda-tanda yang
diperlihatkan oleh pemuda tadi menunjukkan bahwa racun yang keluar dari sapu tangannya itu sudah
mulai menyerang jantung dan paru-paru Ciauw In!
Akan tetapi, ia tak sempat memikirkan hal ini oleh karena perhatiannya harus dikerahkan untuk mendesak
tosu yang benar-benar tangguh itu. Keroyokan Ciauw In dan Sian Kim benar-benar tidak boleh dipandang
ringan dan kalau saja yang dikeroyok bukan Gui Im Tojin, tokoh Kun-lun-pai yang besar, jarang ada orang
dapat menghadapi mereka sampai demikian lama!
Akan tetapi, sesudah bertahan sepanjang lima puluh jurus, perlahan-lahan pendeta tua ini merasa lelah
juga dan terdesak makin hebat. Pada saat Ciauw In menyerangnya dengan gerak tipu Angin Taufan
Meniup Rumput dan pedang itu membabat dengan cepatnya dan berkali-kali ke arah kaki pendeta itu, Sian
Kim membarengi dengan gerak tipu Elang Sakti Menyambar Ular, yakni serangan yang dilakukan dengan
lompatan tinggi dan pedangnya menyambar-nyambar arah kepala Gui Im Tojin.
Diserang sekaligus dari atas dan bawah oleh pedang yang gerakannya demikian cepat, Gui Im Tojin
merasa sibuk juga. Ia bisa menggunakan tongkatnya untuk memukul pedang Ciauw In sekerasnya
sehingga pedang pemuda itu terlepas dari pegangan, akan tetapi pedang Sian Kim berhasil membacok
lehernya sampai hampir putus! Gui Im Tojin, tokoh Kun-lun-pai yang ternama itu lantas roboh tanpa dapat
berteriak lagi dan tewas pada saat itu juga.
Akan tetapi, berbareng dengan robohnya Gui Im Tojin, Ciauw In yang pedangnya telah terpental, juga
terhuyung-huyung ke belakang dan segera ia mencabut sapu tangan hijau dan didekapnya di muka hidung
lalu disedotnya keras-keras seakan-akan seorang yang tadinya tenggelam ke dalam air mendapat hawa
udara baru! Kesehatannya kembali pula dan ia baru memungut pedangnya.
Sian Kim menghampiri Ciauw In dan melihat betapa pucat wajah pemuda itu. Tiba-tiba gadis ini merasa
terharu dan amat berduka! Entah dari mana timbulnya perasaan ini, akan tetapi dia yang tadinya sengaja
dunia-kangouw.blogspot.com
hendak meracun pemuda itu, dengan girang melihat betapa Ciauw In masuk ke dalam perangkapnya, akan
tetapi sekarang setelah berkali-kali pemuda itu membelanya dan melihat betapa racun pada sapu tangan
itu mulai bekerja, tiba-tiba ia merasa tidak tega, merasa kasihan dan takut ditinggal mati oleh Ciauw In! Ia
menubruk Ciauw In, merangkulnya sambil menangis terisak!
Ciauw In memandang dengan mata terbelalak heran.
"Moi-moi, kau kenapakah? Apakah kau terluka?"
Akan tetapi Sian Kim tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala dan tetap menangis di pundak
pemuda itu.
"Moi-moi, jangan kau kuatir," berkata Ciauw In yang menyangka bahwa gadis itu merasa kuatir dimusuhi
sekian banyaknya orang gagah, “selama aku masih hidup, aku tidak akan membiarkan siapa pun juga
menghinamu!”
Mendengar ucapan ini, jantung Sian Kim bagaikan diiris-iris rasanya. Ia menjadi semakin sedih dan
didekapnya dada pemuda itu sambil mengeluh.
"Koko... koko...”
Ciauw In menggandeng tangan Sian Kim, lalu diajak pergi dari tempat itu, meninggalkan mayat kedua
orang tokoh Kun-lun-pai yang tewas dalam tangan mereka itu…..
********************
Kita lihat keadaan Bwee Hiang dan Ong Su, dua adik seperguruan Ciauw In yang kembali ke Hoa-san
untuk melaporkan hasil pertemuan besar di Kui-san kepada Ho Sim Siansu, guru mereka.
Bwee Hiang di sepanjang jalan nampak bermuram durja, tanda dari kemurungan hatinya yang benar-benar
merasa sedih melihat keadaan Ciauw In, suheng yang ia cinta itu. Atas permintaan Bwee Hiang, keduanya
berhenti dulu di Ban-hong-cun, tempat di mana dulu mereka berdua bersama Ciauw In mengobrak-abrik
sarang Hek-lian-pang.
Bwee Hiang masih merasa penasaran dan hendak mencari keterangan kalau-kalau ketua Hek-lian-pang
yang baru sudah berada di sana untuk sekalian dibasmi. Mencabut pohon busuk harus dengan semua
akar-akarnya, demikian pendiriannya.
Dan di kota ini mereka berdua mendengar sesuatu yang membuat keduanya lantas saling pandang dengan
muka pucat. Ternyata, dari penuturan penduduk di kota Ban-hong-cun yang sangat berterima kasih kepada
mereka, bahwa yang menjadi ketua baru atau anak mendiang Gu Ma Ong yang mereka tewaskan, bukan
lain adalah Gu Sian Kim!
"Celaka! Kalau begitu siluman perempuan itu tentu tak bermaksud baik terhadap suheng!” kata Bwee
Hiang dengan muka pucat.
"Kita harus susul mereka!" kota Ong Su yang merasa amat kuatir akan nasib suheng-nya.
Akan tetapi Bwee Hiang membantahnya.
"Tak perlu! Jika memang Sian Kim berniat buruk, kenapa kepada twa-suheng? Harusnya dia membalas
kepadaku! Lagi pula, sudah terbukti bahwa kepandaian suheng lebih tinggi dari padanya, maka ia akan
dapat berbuat apakah? Lebih baik memberi laporan kepada suhu lebih dulu, baru kita minta pendapat suhu
tentang hal ini."
Sesungguhnya Bwee Hiang merasa demikian kecewa sehingga dia hendak membiarkan dahulu Ciauw In
kecele, yakni menjatuhkan cintanya kepada seorang gadis yang ternyata adalah seorang penjahat
perempuan yang kejam dan ganas!
Mereka melakukan perjalanan dengan cepat tanpa mampir dulu di lain tempat dan ketika mereka sudah
sampai di puncak Hoa-san dan menceritakan semua pengalaman mereka kepada Ho Sim Siansu, orang
dunia-kangouw.blogspot.com
tua ini mengangguk-angguk senang, mendengar betapa Ciauw In berhasil menjunjung tinggi nama Hoasan-
pai.
"Dan mengapa ia tidak ikut pulang ke sini?” tanyanya.
Bwee Hiang dengan bernafsu lalu menuturkan tentang munculnya Sian Kim. Sesudah Ho Sim Siansu
mendengar bahwa Sian Kim adalah Hek-lian Pangcu yang sangat jahat dan menjadi musuh besar Bwee
Hiang, berkerutlah jidat orang tua itu.
"Ciauw In adalah seorang lelaki yang memiliki kekerasan hati, dan sekali ia menjatuhkan cintanya, sukarlah
untuk mencabutnya kembali. Aku kuatir... betul-betul aku kuatir... Akan tetapi, dia adalah seorang laki-laki
yang sudah dewasa dan segala perbuatannya harus ia pertanggung jawabkan sendiri. Kalian tak perlu
mencari dia dan biarlah dia insaf sendiri. Sekarang lebih baik kalian pulang ke tempat tinggal orang tuamu
dan biarlah aku yang menanti kembalinya Ciauw In."
Kemudian, sambil memandang kepada Bwee Hiang dengan sinar mata tajam, ia berkata, "Bwee Hiang,
selanjutnya tentang keadaanmu, kau harus menurut segala petunjuk orang tuamu dan jangan membawa
kehendak sendiri. Kau masih muda dan orang-orang muda selalu berpemandangan sempit dan mudah
terjerumus."
Kedua orang murid itu lalu mengundurkan diri.
Sesudah beristirahat, pada keesokan harinya mereka lalu kembali ke rumah orang tua masing-masing.
Ong Su kembali ke dusun Kee-cin-bun dan membantu pekerjaan orang tuanya bertani, sedangkan Bwee
Hiang menuju ke kota Kang-sin untuk tinggal bersama ibunya, yakni nyonya Gak Seng yang sudah menjadi
janda.
Beberapa hari setibanya Ong Su di dusun orang tuanya, kedua orang tuanya itu kembali mendesak kepada
puteranya tentang perjodohan yang mereka rencanakan dengan Bwee Hiang, gadis cantik dan gagah yang
mereka suka. Ong Su merasa serba salah. Untuk menyetujui kehendak orang tuanya, dia kuatir kalaukalau
pinangannya ditolak karena dia maklum bahwa sumoi-nya itu sebenarnya mencinta twa-suheng-nya.
Akan tetapi untuk menolak kehendak orang tuanya, ia pun tidak tega dan tidak berani.
Akhirnya, ayah ibunya berhasil membujuk Ong Su untuk bersama-sama pergi ke kota Kang-sin untuk
mengunjungi Bwee Hiang dan ibunya, serta untuk membicarakan tentang perjodohan itu atau ringkasnya
mengajukan pinangan. Dengan adanya perlindungan Ong Su yang gagah perkasa, perjalanan mereka
tidak mendapat sesuatu gangguan sehingga mereka tiba di kota Kang-sin dengan selamat.
Kedatangan mereka tentu saja mendapat sambutan hangat dari Bwee Hiang dan ibunya. Akan tetapi Ong
Su mendapat warta yang benar-benar mengagetkan hatinya. Ketika dia tiba di situ, ia melihat bahwa suhunya
sudah berada di sana pula!
Dia merasa lebih terkejut ketika mendengar dari suhu-nya yang menerima surat laporan dari Ong Hwat
Seng tentang kesesatan suheng-nya, yakni mengenai segala perbuatan Ciauw In dan Sian Kim yang telah
menewaskan banyak orang gagah, semata-mata untuk menuruti kehendak wanita jahat itu!
Sementara itu, Ho Sim Siansu yang mendengar tentang maksud pinangan dari orang tua Ong Su kepada
Bwee Hiang, sambil tersenyum berkata,
“Kalau kedua pihak setuju, aku sendiri akan merasa paling gembira melihat kedua orang muridku ini
terangkap jodoh!”
Bwee Hiang yang ditanya pendapatnya, hanya menundukkan mukanya. Dia tidak dapat menahan
mengalirnya air matanya karena teringat kepada Ciauw In yang sekarang telah masuk dalam perangkap
siluman wanita Gu Sian Kim itu. Dengan gemas ia lalu berkata perlahan.
“Aku tak dapat memutuskan tentang perjodohan sebelum dapat mencari dan membunuh wanita iblis Gu
Sian Kim itu!”
Ho Sim Siansu yang waspada maklum bahwa muridnya ini mencinta Ciauw In, maka ia lalu berkata,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bwee Hiang dan kau Ong Su. Kedatanganku ini sebenarnya pun hendak memberi tugas kepada kalian
berdua. Sekarang sudah tiba waktunya bagi kalian untuk menyusul serta mencari Ciauw In, kemudian
memanggil dia untuk kembali ke Hoa-san. Kukira dia akan suka mendengarkan kalian, mengingat
hubungan persaudaraan. Kalau kalian tak berhasil memanggilnya, terpaksa aku sendiri akan mencarinya
dan turun tangan!"
Setelah berkata demikian dengan suara sedih, kakek sakti itu lalu berpamit dan kembali ke Hoa-san.
Maka diputuskanlah kepada kedua orang tua Ong Su untuk menunda urusan perjodohan itu untuk
sementara waktu. Kedua orang muda itu segera berangkat mencari Ciauw In untuk memenuhi pesan suhu
mereka. Kedua orang tua Ong Su akan menanti kembalinya putera mereka itu di rumah ibu Bwee
Hiang…..
********************
Menurut petunjuk Ho Sim Siansu, Ong Su dan Bwee Hiang langsung menuju ke Ouwciu dalam usaha
mereka mencari Ciauw In. Hati mereka menjadi semakin gelisah lagi ketika mendengar berita terakhir
betapa Ciauw In sudah menambah lagi kesesatannya dengan membunuh Gui lm Tojin serta Bong Hin, dua
orang tokoh Kun-lun-pai itu sehingga kini tokoh-tokoh Kun-lun-pai turun gunung untuk membalas sakit hati!
Mereka berdua, terutama Bwee Hiang, ingin sekali bertemu dengan suheng mereka dan ingin sekali
memberi hajaran kepada Sian Kim, ketua Hek-lian-pang yang agaknya telah membuat Ciauw In menjadi
tergila-gila. Mereka bertemu dengan orang-orang kang-ouw yang menceritakan riwayat kotor dari Gu Sian
Kim hingga makin benci dan gemaslah hati Bwee Hiang.
“Ong-suheng, ternyata apa-apa yang dulu kukuatirkan kini terbukti. Perempuan rendah itu ternyata
bukanlah perempuan baik-baik seperti yang kusangka dulu."
Ong Su menarik napas panjang.
"Kasihan twa-suheng, kalau saja kami kaum laki-laki mempunyai perasaan tajam seperti perempuan...”
Mereka melanjutkan perjalanan, mencari jejak Ciauw In dan Sian Kim…..
********************
BAB-15 : KARMA BERUJUNG AJAL
Sian Kim merasa betul-betul menyesal ketika sekarang racun telah mulai mempengaruhi paru-paru serta
jantung Ciauw In yang menyebabkan pemuda itu kini harus sering kali menyedot sapu tangannya. Pemuda
ini sendiri merasa heran dan tidak mengerti kenapa sering kali dia terserang di bagian dadanya oleh
perasaan yang membuatnya lemas dan lemah, baik tubuh mau pun semangatnya, dan baru merasa segar
kembali sesudah dia mencium bau harum kembang dari sapu tangan Sian Kim itu.
Sudah dua puluh hari lebih dia terserang racun yang hebat ini tanpa menyadarinya dan hanya tinggal
beberapa hari saja nyawanya dapat bertahan. Akan tetapi hal ini dia tidak tahu, dan Sian Kim yang tahu
dengan baik merasa tersiksa hatinya. Tanpa disengaja dan disadarinya, gadis ini ternyata sudah
mencintanya dengan sungguh-sungguh, bukan cinta berdasarkan nafsu busuknya!
Pemuda ini amat jauh bedanya dengan semua pemuda yang mencintanya, karena cinta pemuda ini
kepadanya bukan berdasarkan nafsu, akan tetapi betul-betul cinta murni yang membuat pemuda itu rela
berkorban nyawa untuknya. Hal ini membuat dia menjadi amat terharu dan bersedih.
Dia telah banyak ditolong oleh Ciauw In dan sekarang keadaannya sudah terjepit. Banyak orang gagah di
kalangan kang-ouw yang memusuhi dan tengah mencari-carinya. Dengan Ciauw In di sampingnya ia akan
menghadapi semua itu secara tabah, akan tetapi bagai mana kalau Ciauw In tewas karena racun itu?
Dua hari lamanya mereka melarikan diri semenjak mereka berhasil merobohkan Gui Im Tojin dan Bong
Hin. Pada waktu itu mereka tiba di sebuah dusun dan bermalam di dalam hotel kecil.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kembali Ciauw In terserang oleh racun itu hingga ia rebah tak berdaya, sedangkan Sian Kim duduk
menangis di sampingnya sambil menggunakan sapu tangan baru yang masih keras bau kembangnya
untuk membuat pemuda itu segar kembali.
“Moi-moi, entah penyakit apa yang menyerang diriku. Akan tetapi jangan kau bersedih, aku pasti akan
sembuh kembali," kata pemuda itu sambil menggenggam tangan Sian Kim dengan hati terharu dan
mencinta.
Ia mengira bahwa Sian Kim menangis karena besarnya cinta kasih gadis itu kepadanya, tidak tahu bahwa
gadis itu sedang menyesali perbuatannya sendiri.
Akhirnya Ciauw In tertidur dengan Sian Kim masih duduk di pinggir pembaringan. Melihat wajah pemuda
yang gagah perkasa itu, bukan main sedih dan terharunya hati Sian Kim. Dia sendiri tidak dapat tidur,
hanya menatap wajah Ciauw In dengan air mata berlinang-linang.
“Ciauw In, jangan kau tinggalkan aku...,” demikian hatinya bersambatan. Namun rintihan hatinya ini tak
terdengar oleh siapa pun juga.
Setelah pemuda ini mendekati saat-saat yang akan membuatnya menghembuskan nafas terakhir, baru ia
tahu bahwa sebetulnya ia mencinta pemuda ini dengan sepenuh hatinya. Cinta yang belum pernah terasa
olehnya, karena cintanya kepada sekian banyak kekasih yang dulu-dulu hanyalah cinta main-main belaka.
Tiba-tiba dia mendengar suara kaki menginjak genteng di atas kamarnya. Dengan cepat Sian Kim meniup
padam api lilin yang menyala di atas meja. Dia menggoyang-goyang tubuh Ciauw In dan ketika pemuda itu
bangun, ia berbisik dengan suara penuh ketakutan,
"Koko, ada orang di atas genteng...”
Kini Ciauw In telah sehat kembali berkat sapu tangan hijau yang sering kali ditempelkan pada hidungnya
oleh Sian Kim. Maka, cepat mereka mengambil pedang dan melompat keluar dari jendela kamar dan terus
melompat ke atas genteng. Dengan hati amat terkejut mereka melihat banyak orang di atas genteng itu
dan terdengar seorang di antara mereka berseru,
“Penjahat-penjahat kejam, kalian hendak lari ke mana?!”
Setelah tangan orang yang berseru itu bergerak, melayanglah tiga batang piauw ke arah Ciauw In dan Sian
Kim. Akan tetapi dengan mudah sekali Ciauw In dan Sian Kim dapat memukul jatuh piauw itu dengan
pedang mereka dan tidak lama kemudian mereka telah dikeroyok oleh enam orang yang ternyata adalah
tokoh-tokoh Kun-lun-pai yang datang hendak membalas dendam atas kematian Gui Im Tojin dan Bong Hin!
Mereka ini adalah suheng dan sute dari Gui Im Tojin dan tingkat mereka di Kun-lun-pai telah menduduki
tingkat kedua dan ketiga, maka tentu saja kepandaian mereka hebat dan tangguh. Ciauw In segera
membetot tangan Sian Kim dan mengajak kekasihnya segera melompat turun dari genteng untuk
melarikan diri.
"Penjahat Hoa-san dan perempuan rendah! Kalian hendak lari ke mana?!”
Orang-orang Kun-lun-pai itu mengejar. Akan tetapi tiba-tiba dari tempat gelap di mana kedua orang muda
tadi berlari, menyambar segenggam Hek-lian-ciam (Jarum Teratai Hitam) ke arah mereka. Ternyata bahwa
senjata senjata rahasia yang amat lembut ini dilepas oleh Sian Kim yang jarang mempergunakannya kalau
tidak amat terdesak.
Para pengejar itu cepat mengelak, akan tetapi dua orang telah kena terserang jarum yang amat berbahaya
itu karena mengandung racun yang amat jahat hingga mereka berteriak keras dan roboh terguling. Ciauw
In dan Sian Kim mempergunakan kesempatan ini untuk berlari terus di dalam gelap.
“Jangan khawatir, Kim-moi, aku akan terus membelamu...” demikianlah ucapan Ciauw In terdengar berkalikali
ketika keduanya berlari cepat, ada pun jawaban Sian Kim hanyalah isak tangis tertahan.
Mereka berlari terus, tidak berani menunda sekejap pun juga, karena maklum bahwa apa bila mereka
tersusul maka pertempuran hebat akan terjadi dan belum tentu mereka dapat mengalahkan imam-imam
Kun-lun-pai yang kosen itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada keesokan harinya, di waktu matahari mulai muncul, Ciauw In dan Sian Kim masih saja berlari-lari
mengambil jalan kecil yang sunyi di pinggir sebuah hutan. Mereka merasa lelah sekali dan merasa agak
lega karena tempat itu sunyi sehingga mereka akan dapat mengaso melepas lelah untuk beberapa lama.
Akan tetapi mereka kecewa, karena dari depan tiba-tiba saja muncul sepasukan penjaga keamanan yang
terdiri dari barisan tentara dikepalai oleh seorang perwira yang nampak gagah dan didampingi pula oleh
beberapa orang gagah yang ketika telah dekat mereka kenal sebagai Lo Sun Kang dari Go-bi-pai dan Hwat
Siu Hwesio dari Siauw-lim-pai!
"Menyerahlah untuk menerima pengadilan!" seru Lo Sun Kang dengan suara ketus.
"Siapa takut kepadamu?!” bentak Sian Kim yang sudah mencabut keluar pedangnya dan diturut pula oleh
Ciauw In.
Segera dua orang itu dikepung dan terjadi pertempuran mati-matian. Biar pun tadi merasa lelah sekali,
akan tetapi melihat betapa keselamatan kekasihnya kini terancam bahaya, semangat Ciauw In lantas
berkobar lagi. Dia mengamuk bagaikan seekor naga terluka. Pedangnya berkelebatan cepat, didampingi
oleh sinar pedang Sian Kim yang amat ganas sehingga kembali kedua orang ini menjatuhkan beberapa
korban di antara para anggota tentara yang kurang tinggi ilmu silatnya.
Akan tetapi pemimpin barisan itu bersama Lo Sun Kang dan Hwat Sin Hwesio merupakan lawan yang
benar-benar tangguh. Ciauw In dan Sian Kim terpaksa melompat jauh dan kembali melarikan diri ke dalam
hutan. Para musuhnya terus mengejar dari belakang.
Dengan perasaan bingung kedua orang muda yang sudah terkurung oleh banyak lawan itu melarikan diri
ke dalam hutan yang amat luas itu. Sambil memegang tangan Ciauw In, Sian Kim mengeluh,
"Koko, kau maafkan aku yang menyeretmu ke dalam keadaan yang demikian sengsara..."
"Hush, jangan berkata demikian, moi-moi..."
"Koko, kalau kau tidak membela aku, kalau saja kau tidak... tidak mencintaku... tentu kau akan hidup
bahagia dan selamat..." Tak tertahan lagi Sian Kim menangis sambil masih berlari-lari, “aku... aku tak
berharga kau bela mati-matian, koko... aku... aku orang busuk dan kejam...”
"Diamlah, moi-moi diamlah... masih ada harapan bagi kita untuk dapat melepaskan diri dari kepungan
mereka... jangan kuatir, ada aku di sini yang akan membelamu!”
Baru saja ucapan ini selesai dikeluarkan, mendadak dari atas pohon menyambar turun bayangan seorang
tua dan tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri seorang tua yang tinggi kurus serta berjubah kuning.
Inilah Kim Kong Tojin, orang yang sudah menduduki tingkat kelas satu dari Kun-lun-pai!
"Hoa-san Taihiap dan Hek-lian Niocu! Dosa-dosa kalian telah terlalu besar maka terpaksa hari ini pinto
akan melanggar pantangan membunuh, kecuali kalau kalian mau menyerah dengan baik-baik.”
"Siapakah totiang dan kenapa pula memusuhi kami?” tanya Ciauw In yang terkejut sekali melihat gerakan
kakek ini ketika melompat turun, karena maklum bahwa itulah gerakan orang yang memiliki ilmu ginkang
yang lebih tinggi tingkatnya dari kepandaiannya sendiri!
"Pinto adalah Kim Kong Tojin dari Kun-lun-pai dan tentu tak perlu pinto jelaskan lagi dosa apa yang telah
kalian perbuat terhadap Kun-lun-pai.” Sambil berkata demikian, tosu itu mencabut pedangnya dari
pinggang.
Mendengar ini, Ciauw In maklum bahwa sekali ini ia harus bertempur mati-matian untuk menentukan mati
atau hidup, maka ia segera berkata kepada Sian Kim,
"Kim-moi, kau larilah sendiri, biar aku yang menghadapi totiang ini. Kau masih memiliki kesempatan, larilah
secepatnya dari sini dan mintalah perlindungan kepada suhu-ku di Hoa-san. Beliau seorang yang berhati
mulia, tentu akan menolong seorang yang sudah insyaf dari kesalahan-kesalahannya. Larilah, kekasihku,
jangan sampai kau turut menjadi korban pula.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sian Kim bukannya menurut permintaan Ciauw In, bahkan sekarang tiba-tiba menangis terisak-isak
dengan amat sedihnya. Hatinya hancur luluh mendengar ucapan ini dan dia pun sadar betapa dia
membikin celaka pemuda ini, telah melakukan perbuatan yang amat jahat.
Pemuda semulia ini telah ia seret ke dalam jurang kehinaan, sementara cinta pemuda ini kepadanya
benar-benar suci murni! Ahh, ia menyesal sekali, akan tetapi telah terlambat. Maka ia lalu membentak tosu
itu sambil menyerang.
"Tosu keparat! Jangan banyak cakap, kalau kau ada kepandaian, bunuhlah kami berdua."
Tosu itu tersenyum mengejek dan menangkis dengan pedangnya. Tangkisan ini demikian kuatnya hingga
tangan Sian Kim terasa bagaikan lumpuh sehingga gadis itu merasa amat kaget dan buru-buru menarik
kembali pedangnya lalu menyerang lagi dengan ganas akan tetapi hati-hati. Ciauw In maklum bahwa
kekasihnya tak akan dapat menangkan tosu itu, maka ia pun lalu maju menyerang.
Walau pun dikeroyok dua, tosu itu ternyata benar-benar lihai sekali. Ilmu pedang Kun-lun Kiam-hoat
memang belum tentu bisa menandingi Hoa-san Kiam-hoat dalam hal kelihaian dan kecepatannya. Akan
tetapi dalam hal lweekang dan ginkang, tosu ini mempunyai kepandaian yang lebih tinggi tingkatnya dari
pada kepandaian dua orang anak muda itu, maka pedangnya merupakan sinar yang bercahaya
menyambar-nyambar dan mendesak Sian Kim dan Ciauw In!
Sementara itu, teriakan-teriakan para pengejar makin lama semakin terdengar jelas dari tempat
pertempuran itu! Ciauw In merasa putus harapan mendengar itu. Untuk melarikan diri dari tosu ini bukanlah
hal yang mudah, maka ia lalu berkata kepada Sian Kim,
"Moi-moi, mari kita mengadu jiwa dengan tosu ini!”
Sian Kim maklum akan maksud Ciauw In. Maka, dia membarengi pemuda itu membuat serangan yang
nekat terhadap tosu itu tanpa mempedulikan pertahanan sendiri!
Diserang secara hebat oleh dua orang yang memiliki ilmu pedang cukup tinggi, tentu saja Kim Kong Tojin
merasa terkejut dan sibuk. Ia menangkis pedang Sian Kim dan rangsekan pedang Ciauw In ke arah
pergelangan tangannya membuat ia terpaksa mesti melepaskan pedangnya dan mengirim pukulan dengan
tangan kiri ke arah Ciauw In, yang tentu akan tepat mengenai dada pemuda itu apa bila Sian Kim tidak
menolongnya dengan lemparan segenggam jarum teratai hitam ke arah tosu itu! Kim Kong Tojin cepat
menggulingkan diri ke atas tanah untuk mengelak sambaran senjata halus yang amat berbahaya ini dan
saat itu digunakan oleh Sian Kim dan Ciauw In untuk melarikan diri ke dalam hutan!
Melihat kenekatan dua orang yang tidak segan-segan mengadu jiwa itu, dan mengingat pula akan
bahayanya jarum-jarum beracun dari Sian Kim, Kim Kong Tojin jadi merasa ragu-ragu untuk mengejar
karena hutan itu memang liar dan penuh pohon-pohon hingga mudah bagi yang dikejar untuk melakukan
serangan tiba-tiba. Ia memungut pedangnya dan menanti datangnya para pengejar lain, tiada hentinya
mengagumi ilmu pedang kedua orang muda itu.
Sementara itu, dengan napas tersengal-sengal, Ciauw In dan Sian Kim berlari terus dan ketika mereka tiba
di sebuah padang rumput, tiba-tiba Ciauw In roboh terguling!
Sian Kim menjerit dan menubruk pemuda itu.
"Koko... kau kenapakah? Apakah kau terluka?"
Ciauw In menggelengkan kepalanya.
"Tidak... moi-moi, sama sekali aku tidak terluka... akan tetapi... penyakit lama... isi dadaku terasa lemas...
kosong...” pemuda itu merebahkan kepalanya sambil memandang kepada Sian Kim yang menangis
tersedu-sedu dan memeluki dadanya.
"Koko... koko... ampunkan aku, koko... akulah yang membuatmu begini...”
Ciauw In mengangkat tangannya yang lemas dan merangkul pinggang Sian Kim.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hush... jangan berkata begitu, adikku... aku sayang padamu... kau... larilah cepat-cepat tinggalkan aku...
kau masih terlampau muda dan... cantik untuk tewas di sini..."
"Koko...!" Sian Kim tak dapat mengeluarkan kata-kata lain lagi karena ia merasa lehernya seakan-akan
tercekik. Kemudian ia bisa menekan perasaannya dan berkata dengan mata penuh air mata.
“Koko, dengarlah pengakuanku. Aku... akulah pembunuhmu, aku... aku tahu bahwa hari ini adalah hari
terakhir bagimu. Akulah yang menyebabkan kematianmu, koko, aku yang membunuhmu dengan ini..." Ia
mengeluarkan sapu tangan hijau dari balik baju di bagian dadanya.
Ciauw In tersenyum, mengulurkan tangan yang lemas dan mengambil sapu tangan itu yang terus
ditempelkan pada hidungnya hingga ia menjadi agak kuat lagi.
"Kau boleh bilang... sesuka hatimu, moi-moi... akan tetapi aku... aku tetap cinta padamu sampai nafas
terakhir...”
Saat itu merupakan saat yang paling sengsara dan menghancurkan hati bagi Sian Kim, perasaan yang
belum pernah dirasakan selama hidupnya. Ia menyesal sekali, menyesal bukan main.
Kalau dulu-dulu dia dapat insaf dan menjadi orang baik-baik, dia tentu akan dapat hidup sebagai seorang
isteri yang amat berbahagia di samping seorang suami seperti Ciauw In ini...! Ia dicinta sepenuh jiwa oleh
pemuda ini dan ternyata... ia pun mencinta Ciauw In diluar kemauan dan kesadarannya sendiri.
Dan ia mengetahui hal ini setelah terlambat, setelah pemuda ini sekarang berada dalam cengkeraman
maut dan tidak dapat ditolong lagi! Sian Kim tak kuat menahan kesedihan hatinya dan makin hancur
hatinya melihat betapa air muka Ciauw In makin lama semakin membiru!
“Koko, jangan kau tinggalkan aku...!" Ia menjerit dan sambil mendekap kepala pemuda itu pada dadanva ia
menangis keras.
Pada saat itu, datanglah dua orang ke tempat itu dan memandang Sian Kim dengan muka penuh rasa
benci.
"Perempuan keparat! Akhirnya kami dapat bertemu dengan kau di sini!” terdengar satu bentakan keras.
Pada saat Sian Kim menengok, ia melihat Bwee Hiang dan Ong Su berdiri di situ dengan senjata di tangan!
Dua orang musuh besarnya, bahkan ketiga-tiganya dengan Ciauw In, sekarang telah berada di
hadapannya!
Ciauw In juga mendengar dan mengenal bentakan Bwee Hiang tadi, karena itu dia lalu menggerakkan
kepalanya menengok. Biar pun ia tak dapat menggerakkan tubuhnya lagi, akan tetapi ia masih dapat
menggerakkan leher untuk menengok. Ketika melihat kepada kedua adik seperguruannya, ia berkata
dengan lemah kepada Sian Kim,
"Kim-moi... kau larilah... jangan kau lawan mereka... janganlah kau ganggu sumoi dan sute-ku... larilah kau,
kekasihku... selamat... selamat...”
Dan tiba-tiba leher Ciauw In lemas dan kedua matanya tertutup lalu kepalanya terkulai!
"Kokooo...!!”
Sian Kim menjerit ngeri, lantas menubruk Ciauw In yang sudah menghembuskan nafas terakhir. Dengan
muka pucat Sian Kim lalu bangkit berdiri dengan pedang di tangan.
Pada saat itu, para pengejar yang dipimpin oleh Kim Kong Tojin juga sudah tiba di tempat itu dan mereka
semua lalu mengurung Sian Kim dengan senjata siap di tangan masing-masing. Sian Kim memandang
pada mereka semua dengan mata sayu dan muka pucat, kemudian dia menatap muka Bwee Hiang dan
suaranya terdengar tak bernada ketika dia berkata,
"Bwee Hiang, aku tahu bahwa kau dan semua orang datang hendak menangkap atau membunuhku!
Sekarang, setelah terlambat, kuakui bahwa aku telah hidup sebagai orang jahat! Kau sudah membunuh
ayahku dan kini terbuka mataku bahwa ayahku memang jahat pula! Kalian semua berhak membunuhku
dunia-kangouw.blogspot.com
dan memang orang seperti aku pantas dibunuh, akan tetapi... dia ini...” ia menunjuk ke arah mayat Ciauw
In yang menggeletak di bawah kakinya, "dia ini seorang gagah... seorang yang melakukan kejahatan bukan
atas kehendak sendiri... Dia sangat mencintaku... dengarkah kalian semua? Dia mencintaku! Mencinta
dengan tulus ikhlas dan suci murni! Dan aku... aku yang membunuhnya... aku yang meracuninya..." air
matanya jatuh berderai, "akan tetapi aku cinta kepadanya...! Ya, aku cinta kepadanya dan aku ingin mati
sebagai mempelainya...! Kalian jangan sia-siakan jenazahnya, jangan sia-siakan jenazah Hoa-san Taihiap,
suamiku! Kuburlah jenazahnya baik-baik, tentang mayatku, aku tidak peduli. Aku seorang jahat, kalian
boleh hancurkan mayatku kalau kalian kehendaki, atau beri makan kepada anjing, aku tak peduli!”
Setelah berkata demikian, ia menggerakkan pedangnya dan Kim Kong Tojin berseru.
"Tahan dia!”
Akan tetapi terlambat, pedang di tangan Sian Kim telah membabat leher sendiri sehingga hampir putus dan
tubuhnya terguling roboh di atas tubuh Ciauw In! Darah menyembur keluar dari lehernya, membasahi
tubuhnya sendiri dan tubuh Ciauw In.
Bwee Hiang menggunakan kedua tangan untuk menutupi matanya dan ia pun menangis terisak-isak,
sedangkan Ong Su mengepal-ngepal tinjunya. Pikirannya tidak karuan dan hatinya merasa gemas, marah,
menyesal, dan juga kasihan dan bersedih.
Bwee Hiang lalu mempergunakan sapu tangannya, menyusuti air matanya, lalu sambil menghadapi semua
orang, terutama Kim Kong Tojin, ia menjura dan berkata,
"Cuwi sekalian yang mulia! Kita sama-sama mendengar ucapan terakhir dari perempuan yang jahat dan
biang keladi semua mala petaka ini dan karenanya tentu cuwi sekalian maklum pula bahwa betapa pun
besar kesalahan yang sudah dilakukan oleh suheng-ku yang kini telah tewas, namun sama sekali tidak ada
sangkut pautnya dengan perguruan kami Hoa-san-pai! Orang yang berdosa sudah menemui ajalnya dan
kami berdua murid Hoa-san-pai mewakili suhu menghaturkan maaf sebesarnya atas segala dosa yang
telah dilakukan oleh mendiang suheng kami itu!”
Kemudian, sambil berusaha menahan mengucurnya air mata, Bwee Hiang melanjutkan kata-katanya,
“Dan kami mohon kepada cuwi sekalian untuk mengijinkan kami berdua mengurus kedua jenazah ini baikbaik."
Kim Kong Tojin menarik napas panjang dan berkata,
"Ahh, memang orang-orang muda harus berhati-hati terhadap perasaan sendiri, terutama menjaga nafsu
jahat yang selalu hendak menonjolkan diri, menguasai hati serta fikiran. Kalau iman kurang teguh dan kuat,
maka beginilah jadinya, seperti Hoa-san Taihiap yang tadinya terkenal gagah perkasa dan budiman,
ternyata runtuh imannya saat menghadapi seorang wanita cantik yang jahat! Anak-anak muda, tentu saja
kami tidak akan pernah menghubungkan peristiwa ini dengan perguruan Hoa-san-pai, hanya pinto merasa
turut menyesal atas kegagalan Ho Sim Siansu memilih murid...”
Setelah berkata demikian, tosu ini lalu meninggalkan tempat itu, diikuti oleh semua tokoh Kun-lun-pai. Para
tentara pemerintah yang melakukan pengejaran juga bergegas pergi meninggalkan tempat itu untuk
membuat laporan kepada atasan mereka.
Ong Su dan Bwee Hiang lalu mengubur jenazah Sian Kim dan Ciauw In, dijadikan dua makam yang
berdampingan. Diam-diam Ong Su makin kagum terhadap sumoi-nya yang selain gagah perkasa, juga
berbudi mulia ini.
Dan Bwee Hiang diam-diam juga mengakui bahwa apa bila dibandingkan, meski pun Ong Su tidak
segagah dan setampan Ciauw In, akan tetapi ji-suheng-nya ini jauh lebih jujur, sederhana, dan beriman
teguh sehingga tak mungkin tersesat seperti Ciauw In!
Mereka lalu kembali untuk membuat laporan kepada Ho Sim Siansu.
Ketika pertapa tua itu mendengar peristiwa itu, ia memeramkan matanya untuk beberapa lama dan
menggunakan kekuatan batinnya untuk dapat menahan gelora kedukaan yang menggelombang di dalam
dadanya. Suaranya terdengar lemah ketika ia berkata,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Jadikanlah peristiwa suheng-mu ini sebagai contoh, Bwee Hiang dan Ong Su. Memang tak selamanya
kepandaian mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan, semua tergantung dari orang yang memiliki
kepandaian itu. Lebih berguna seorang berkepandaian rendah yang berhati bersih dari pada seribu orang
berkepandaian tinggi namun berhati kotor, karena kepandaiannya itu hanya akan mendatangkan kejahatan
dan mala petaka belaka. Oleh karena itu, kelak didiklah anak-anakmu agar menjadi orang yang beriman
teguh dan mempunyai batin yang bersih, kuat menghadapi segala macam godaan dunia yang akan
menjerumuskan diri sendiri ke jurang kesesatan!”
Sesudah banyak menerima petuah dari Ho Sim Siansu, Bwee Hiang dan Ong Su lalu menuju ke kota
Keng-sin untuk memberi keputusan tentang perjodohan mereka kepada orang tua masing-masing yang
sudah lama menanti-nanti di kota itu.
Keputusan mereka itu menggirangkan hati ibu Bwee Hiang dan kedua orang tua Ong Su yang segera sibuk
memilih hari dan bulan baik untuk melangsungkan pernikahan kedua orang muda itu…..
>>>>> T A M A T <<<<<
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments