Kamis, 19 April 2018

Rajawali Emas 5 Tamat Full Komplit

----
baca juga

"Kongkong..."
Tetapi Song-bun-kwi sudah tidak mau menjawab lagi, melainkan membalikkan tubuh dan melompat pergi
dari situ. Dengan muka pucat dan wajah sedih sekali Kong Bu terpaksa melompat juga, kemudian
mengikuti kakeknya meninggalkan tempat yang disenanginya, orang-orang yang disayanginya.
Sunyi keadaan di situ setelah kakek dan cucunya itu lenyap bayangannya. Li Eng dan Hui Cu saling
pandang dengan muka sedih dan kecewa. Kun Hong sejenak berpandangan dengan Cui Bi, akan tetapi
Cui Bi segera menundukkan muka, ngeri melihat wajah Beng San yang berdiri di situ dengan kedua kaki
terpentang, kedua lengan bertumpang di atas dada. Li Cu memandang suaminya dengan mata basah.
Orang gagah ini berdiri tegak. Mukanya yang tampan dan gagah itu merah sekali, malah hampir hitam.
Alisnya terangkat, matanya menakutkan seperti mengeluarkan api dan kilat. Sebuah tangan yang halus
menyentuh pundak kirinya.
Beng San melirik dan melihat wajah isterinya yang berusaha tersenyum membesarkan hatinya. Perlahanlahan
warna merah kehitaman pada mukanya itu berubah menjadi putih lalu kehijauan. Ia menarik napas
berulang-ulang. Barulah ia menurunkan dua tangannya dan memandang ke arah Kun Hong, Li Eng dan
Hui Cu yang sudah menghadap dengan sikap hormat.
"Inikah mereka anak-anak Hoa-san-pai?" terdengar dia bertanya, suaranya masih agak gemetar karena
pukulan batin tadi.
Cui Bi segera maju dan memperkenalkan tiga orang muda Hoa-san-pai itu kepada ayah bundanya. Ketiga
orang itu, dipimpin oleh Kun Hong, segera menjura dan menghaturkan penghormatan mereka.
Kalau saja Beng San tidak baru saja menderita pukulan batin yang sangat hebat, kiranya pertemuan ini
akan menggembirakannya sekali. Mereka ini adalah anak-anak para tokoh Hoa-san-pai yang dikenalnya
dengan baik. Akan tetapi karena perasaannya sudah terluka oleh peristiwa tadi, ia hanya berkata kepada
Cui Bi,
"Kau ajaklah mereka masuk dan beristirahat di puncak."
Cui Bi maklum akan keadaan hati ayahnya, maka ia lalu mengajak tiga orang muda itu melalui jalan
terowongan menuju ke puncak, tempat tinggal ayahnya. Ada pun Beng San dan Li Cu yang ditinggalkan
mereka, saling pandang penuh pengertian dan keharuan.
"Aku harus menyusul mereka, aku harus dapat merubah kekerasan hati Hong-moi...," kata Beng San
kemudian, seperti kepada diri sendiri.
Li Cu mengerutkan keningnya. "Hatinya keras sekali, juga puteranya. Aku kuatir kau tak akan berhasil.
Kenapa tidak menanti sampai selesainya ucapara pendirian Thai-san-pai?"
Beng San menggeleng kepala. "Justru aku tidak mau dia muncul di waktu upacara. Tentu dia akan
mempergunakan urusan itu untuk merusak nama dan menggagalkan pendirian Thai-san-pai, Soal namaku,
aku tidak peduli, akan tetapi kalau Thai-san-pai gagal berdiri, hal ini lebih hebat dari pada kehilangan
nyawa."
Li Cu memegang tangan suaminya. "Akan tetapi, bagaimana kalau kau gagal? Kau akan dihina, kau...
kau... biarlah aku ikut bersamamu."
dunia-kangouw.blogspot.com
Beng San cepat memegang kedua lengan istrinya. "Tidak! Jangan kau mencampurinya. Ini urusan antara
aku dan Kwa Hong. Kalau perlu aku pun bisa menggunakan kekerasan. Kukira aku masih dapat mengatasi
mereka ibu dan anak. Kau tak boleh banyak bergerak, isteriku, kau ingatlah kandunganmu. Kau tunggu
saja di rumah dan percayalah padaku."
Li Cu menatap wajah suaminya, terisak dan menjatuhkan kepala pada pundak suaminya yang lalu
mengelus-elus rambutnya. Awan gelap menyelubungi sepasang suami isteri ini, awan gelap yang timbul
dari urusan-urusan lama. Beberapa kali Beng San menarik napas panjang, hatinya penuh penyesalan
kepada diri sendiri. Akan tetapi, sesal kemudian tiada guna…..
********************
"Ibu, aku benar-benar tidak mengerti!" Sin Lee mendesak ibunya.
Mereka berdua duduk di bawah pohon dalam tengah sebuah hutan yang gelap karena penuh dengan
pohon-pohon raksasa yang tinggi dan berdaun lebat.
"Kau banyak cerewet!" Kwa Hong mengomel. "Sudah kukatakan dia adalah musuh besar kita, habis
perkara."
Sin Lee mengerutkan kening, lalu menggeleng kepala. "Aku ingin mengetahui duduknya perkara yang
betul-betul, Ibu. Aku takkan suka diam kalau belum diberi penjelasan. Dia mengaku ayahku, bagaimana
kau bilang dia adalah musuh besarku dan harus kubunuh? Bukankah ini aneh sekali? Ibu, dari pada
berbohong kepadaku, lebih baik kau berterus terang, apa betul Tan Beng San itu ayahku dan suamimu,
dan apa bila betul demikian mengapa terjadi permusuhan ini?"
Kwa Hong meloncat bangun, membanting kaki sambil membentak, "Kau kepala batu! Dulu kau tidak
pernah begini cerewet!"
Sin Lee juga meloncat berdiri dan menghadapi ibunya dengan tegak.
"Sudah sepatutnya anak menanyakan ayahnya. Ibu yang terlalu jual mahal, kenapa terus menyimpan
rahasia?"
Dua orang itu berdiri berhadapan, ibu dan anak yang sama keras hatinya, dua pasang mata yang sama
tajam saling tentang. Akhirnya Kwa Hong mengeluarkan suara ketawa aneh, lalu memeluk puteranya dan
menarik tangannya untuk diajak duduk kembali.
"Kau memang bandel sekali seperti... seperti dia! Baiklah kau mendengar kalau hendak mengetahui. Tan
Beng San itu memang ayahmu, tapi dia bukan suamiku."
"Bagaimana pula ini? Dia ayahku tapi bukan suami ibu?"
"Karena dia tidak mau mengawiniku, dan meninggalkan aku untuk kawin dengan wanita lain anak Songbun-
kwi si iblis tua itu."
Sin Lee adalah seorang yang cerdik, akan tetapi belum dapat ia menghubungkan cerita yang disingkatsingkat
ini. "Kau maksudkan Ayah tidak mau mengawini ibu, pergi menikah dengan lain wanita? Kenapa
begitu? Apakah Ayah tidak suka kepada Ibu?"
Merah wajah Kwa Hong, matanya memancarkan sakit hati. Ia menggelengkan kepalanya. "Dia tidak cinta
padaku, hanya suka seperti seorang kakak terhadap adiknya."
"Tapi... tapi Ibu cinta kepadanya?"
Kwa Hong mengangkat tangan hendak menampar, tetapi ditahannya. "Kau lancang mulut. Sudahlah.
Pendeknya dia itu meninggalkan kau dalam kandunganku dan tidak mau peduli lagi, lalu menikah dengan
Kwee Bi Goat. Malah ketika Bi Goat mati dia menikah dengan isterinya yang sekarang itu, padaku ia sama
sekali tidak mau peduli."
Sin Lee berpikir keras. "Jadi... dia telah melakukah perhubungan dengan ibu, kemudian Ibu mengandung
aku dan... dan Ibu ditinggalkan begitu saja?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Wajah Sin Lee sebentar pucat sebentar merah ketika melihat ibunya mengangguk dan dua titik air mata
keluar dari sepasang mata ibunya.
"Si keparat... kalau begitu dia memang jahat...," kata Sin Lee dengan suara mendesis dan dengan hati
penuh dendam.
"Kwa Hong, kau tidak adil! Kenapa tidak kau ceritakan tentang racun yang memabokkan kita ketika itu?"
tiba-tiba muncul Beng San, begitu tiba-tiba sehingga Sin Lee dan Kwa Hong terkejut sekali.
Wanita ini semenjak dulu amat gentar menghadapi ilmu kepandaian Beng San. Biar pun sekarang di situ
ada puteranya, namun ia masih ragu-ragu apakah mereka berdua akan dapat menang menghadapi Beng
San yang amat hebat kepandaiannya. Namun, karena niatnya membalas dendam sudah ditahan-tahan
semenjak bertahun-tahun, ia pun menjadi nekat dan cepat mencabut senjatanya, diturut oleh Sin Lee yang
memandang Beng San dengan mata berapi-api.
"Hemmm, kau mengejar kami?" tegurnya, penuh selidik.
Beng San tersenyum pahit. "Kwa Hong, semenjak dulu kau selalu menyembunyikan diri, menyembunyikan
anak kita, kiranya kau sudah jejali dia dengan kebencian dan dendam terhadap diriku. Sekarang aku sudah
datang, seorang diri, coba katakan, engkau hendak berbuat apakah terhadap diriku?"
"Aku... aku hendak membunuhmu!"
"Kau kira begitu mudah? Hong-moi, kau tahu bahwa kau takkan mampu melakukan hal itu kepadaku."
"Akan kucoba, bersama anakku. Kami akan mengadu nyawa! Sin Lee, hayo kita bunuh keparat jahanam
ini, musuh besar kita!"
Sin Lee sudah menggerakkan pedangnya.
Beng San bertanya, "Hong-moi, sebelum kau dan anak kita bergerak, maukah kau pergi dengan tenang
dan tidak mengganggu pendirian Thai-san-pai kalau nanti kalian berdua ternyata dapat kukalahkan?"
"Tak sudi! Aku akan bunuh kau, akan kubuka semua rahasia busukmu, hendak kulihat apakah kau masih
ada muka menjadi ketua Thai-san-pai!" Kwa Hong berteriak-teriak dan mencak-mencak.
Beng San mengerutkan keningnya. "Kwa Hong, dengarlah baik-baik! Semenjak dulu aku sudah merasa
menyesal dengan peristiwa yang terjadi antara kita. Kalau kau hendak menyalahkan aku, biarlah kuterima.
Bahkan dulu pun aku siap untuk menerima kematian di tanganmu. Akan tetapi kau tahu, bagi seorang
gagah nama lebih berharga dari pada nyawa! Pendirian Thai-san-pai sangat penting dan siapa pun juga,
juga kau sendiri, tidak boleh menghalanginya!"
"Kalau aku tetap hendak mengganggunya, kau mau apa?"
"Kwa Hong, kesabaran manusia ada batasnya, Aku sudah cukup banyak mengalah, dan aku berjanji, kalau
kau pergi sekarang dengan baik-baik, aku akan datang ke Lu-liang-san setelah selesai pendirian Thai-sanpai
dan aku akan menurut apa kehendakmu kelak, biar kau bunuh sekali pun."
"Aku tidak sudi."
"Hemm… hemm, tiada jalan lain bagiku kecuali menggunakan kekerasan, mengalahkan dan menawan
kalian sampai selesainya upacara pendirian Thai-san-pai." Sambil berkata demikian, tangan Beng San
bergerak dan tahu-tahu sebatang pedang yang berkilauan telah berada di tangannya. Itulah Liong-cu-kiam
yang amat ampuh!
"Beng San, jangan kau kira aku takut. Sin Lee, hayo serang!"
Ibu dan anak itu lalu menggerakkan senjata mereka, serentak mereka menyerang Beng San dengan hebat.
Pada mulanya Sin Lee masih ragu-ragu, merasa betapa ibunya agak keterlaluan tidak mau mendengar
janji orang yang sebenarnya ayahnya ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi begitu pedangnya terbentur pedang Beng San dan tangannya kesemutan, tahulah ia bahwa
Ketua Thai-san-pai ini benar-benar lihai bukan main. Maka ia pun tidak ragu-ragu lagi dan mengerahkan
seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengeroyok.
Namun, dengan rasa heran dan kagum, juga rasa penasaran memenuhi hatinya, Sin Lee merasa seakanakan
semua serangannya itu lenyap tak berbekas, seperti menyerang bayangan atau menyerang angin
belaka. Semua jurus serangannya bagai tertelan habis oleh gelombang permainan pedang Beng San,
sama sekali tidak ada artinya.
Juga Kwa Hong yang mainkan pedang dan cambuknya, merasa betapa akan sia-sia saja dia dan
puteranya mengeroyok orang ini. Kebenciannya semakin memuncak, akan tetapi kekagumannya juga
meningkat.
"Kwa Hong kau benar-benar kejam sekali, menyuruh anakku sendiri memusuhi aku. Kwa Hong, kau berdua
takkan menang, lebih baik pulanglah. Kelak aku akan datang padamu untuk menerima hukuman..." berkalikali
Beng San membujuk sambil terus menangkis sambaran anak panah hijau yang mengarah bagian
tubuh yang berbahaya.
Diam-diam Beng San gelisah juga kalau ingat bahwa tempat ini adalah tempat di luar dari jalan rahasia,
sehingga tiap saat bisa saja datang tamu-tamu yang mengandung maksud jahat. Ia maklum bahwa di
antara para tamunya, tentu tidak sedikit terdapat bekas-bekas musuhnya yang sengaja datang untuk
mengacau atau untuk membalas dendam.
Oleh karena itu, ia membujuk agar Kwa Hong suka mengalah dan segera pertempuran itu selesai. Kalau ia
mau, sudah tentu saja dengan mudah ia dapat merobohkan Kwa Hong dan Sin Lee. Akan tetapi ia tak
menghendaki hal ini terjadi, karena selain ia harus melukai mereka, juga hal itu pastl akan menambah sakit
hati Kwa Hong. Merobohkan dua orang lawan selihai mereka tanpa melukai, merupakan hal yang amat
sukar, biar oleh dia sekali pun.
Tiba-tiba terdengar suara tiupan suling yang aneh, disusul suara orang tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha, ini
namanya sekali tepuk mendapat dua lalat ditambah seekor lalat cilik!" terdengar suara orang.
Mendengar suara suling ini Beng San kaget sekali. Ia menahan serangan dua orang ibu dan anak itu, akan
tetapi ketika ia melompat mundur, Kwa Hong dan Sin Lee yang sudah penasaran sekali terus saja
menyerang. Terpaksa Beng San memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dan sementara itu ia
memperhatikan orang-orang yang baru datang dan yang sekarang sudah berada di hutan itu.
Beng San menekan debar jantungnya ketika ia mengenal beberapa orang tokoh luar biasa yang ia tahu tak
akan mengandung maksud hati baik terhadapnya. Pertama-tama adalah Hek-hwa Kui-bo, nenek yang
sejak dahulu selalu memusuhinya itu. Orang ke dua adalah Siauw-ong-kwi yang sudah nampak tua namun
sepasang matanya masih bergerak-gerak liar membayangkan kenakalan dan kejahatannya.
Kalau Hek-hwa Kui-bo merupakan tokoh nomor satu dari selatan, adalah Siauw-ong-kwi ini merupakan
tokoh nomor wahid dari utara. Keduanya merupakan iblis-iblis di samping tokoh besar seperti Song-bunkwi.
Di samping dua orang ini dia mengenal tokoh yang tidak kalah jahatnya, yaitu Toat-beng Yok-mo dan Tok
Kak Hwesio, yaitu seorang perampok tunggal yang setelah tua menjadi hwesio dan yang telah ia ketahui
pula macamnya. Empat orang ini saja sudah merupakan lawan yang berbahaya, di samping Kwa Hong dan
Sin Lee.
Apa lagi di situ masih terlihat seorang tosu tua sekali yang memakai kopyah seperti anak kecil, memegang
tongkat berwarna merah dan kelihatannya lemah sekali, seakan-akan kalau ada angin besar bertiup, kakek
ini tentu akan roboh terjengkang. Namun, kakek yang belum pernah dikenal Beng San ini malah yang
menimbulkan kekuatiran hatinya.
Di samping ini, masih terdengar suara tiupan suling aneh itu, akan tetapi peniupnya tidak kelihatan. Tiupan
suling itu mengingatkan Beng San akan seorang tokoh yang sering kali mendatangkan ular-ular dengan
sulingnya, tokoh yang sudah belasan tahun tak pernah ia dengar, yang kabarnya sudah mati, yaitu murid
Siauw-ong-kwi yang malah lebih jahat dari gurunya, bukan lain adalah Siauw-coa-ong Giam Kin!
dunia-kangouw.blogspot.com
Akhirnya perhatian Kwa Hong tertarik pula oleh rombongan ini dan ketika ia menengok, wajahnya berubah.
Cepat ia menarik tangan puteranya dan berseru, "Mundur dulu!"
Setelah Sin Lee melompat mundur di samping Ibunya, wanita ini berkata sambil tertawa, "Kau lihat saja, Hihik-
hik, hari ini keparat Beng San akan menerima hukumannya!"
Sin Lee tidak mengerti akan maksud kata-kata ibunya, dia hanya memandang dengan kening berkerut dan
pedang tetap terpegang di tangan kanan.
Tadinya agak lega hati Beng San melihat Kwa Hong dan Sin Lee menghentikan serangan mereka, akan
tetapi mendengar ucapan Kwa Hong itu, dia tersenyum perih. Terpaksa ia lalu menyimpan pedangnya dan
membalikkan tubuh menghadapi rombongan itu.
"Cu-wi Locianpwe jauh-jauh datang mengunjungi Thai-san, harap maafkan siauwte yang tidak dapat
melakukan penyambutan sebagaimana mestinya. Akan tetapi, hari pendirian Thai-san-pai masih dua
malam dua hari lagi, harap Cu-wi sekalian sudi untuk bersabar dan menanti di tempat peristirahatan yang
sederhana dan yang telah kami sediakan."
Siauw-ong-kwi tertawa terkekeh-kekeh, juga Toat-beng Yok-mo dan Tok Kak Hwesio ikut tertawa,
kemudian orang-orang tua ini menggerakkan tubuh mengambil sikap mengurung. Jelas bahwa mereka ini
berusaha memotong jalan keluar dari Beng San.
Ada pun kakek yang tua renta bertongkat merah itu lalu melangkah maju, langkahnya gontai. Ketika
sampai di depan Beng San dalam jarak dua meter ia berkata, suaranya lirih agak menggigil seperti suara
kakek yang sudah tua sekali,
"Inikah Raja Pedang pengganti Cia Hui Gan? Masih muda sekali... masih muda sudah menjagoi,
selayaknya pinto (aku) memberi hormat!"
Kakek ini mengempit tongkat merahnya lalu mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil
membungkuk dengan sikap menjura. Sambaran hawa pukulan yang menimbulkan angin halus
mengejutkan Beng San.
Ia tidak kaget karena diserang secara demikian karena hal seperti ini sudah biasa terjadi di kalangan ahliahli
silat tinggi. Namun yang mengejutkannya adalah angin halus sekali yang menyambar ke arahnya,
karena semakin halus angin yang ditimbulkan oleh hawa pukulan, berarti makin hebatlah tenaga lweekangnya.
Cepat dia mengerahkan hawa murni di tubuhnya, balas menjura sambil berkata, "Siauwte yang muda
mana berani menerima penghormatan Locianpwe?"
Biar pun kelihatannya ia menjura dengan hormat, namun diam-diam Beng San menangkis pukulan yang
tidak kelihatan itu dan sebagai seorang calon ketua, tentu saja ia tidak mau memperlihatkan
kelemahannya. Sengaja dia menerima serangan gelap itu dengan keras lawan keras!
Dua pasang tangan diangkat ke depan dada, dua tenaga tak kelihatan bertemu di udara dan biar pun
kedua kaki Beng San masih tetap dalam kuda-kuda, tetapi ternyata ia telah tergeser mundur tiga jengkal!
Juga kakek itu bergoyang-goyang tubuhnya, lalu cepat ia menggunakan tongkat yang tadi dikempitnya
untuk menunjang tubuhnya sehingga dia tidak jadi terhuyung ke belakang. Sejenak mata yang tua itu
terbelalak kagum, lalu katanya,
"Hebat... hebat... patut dipuji!"
"Ah, Locianpwe terlalu merendah. Bolehkah siauwte yang bodoh mengetahui nama besar Locianpwe?"
tanya Beng San, diam-diam ia mengeluh karena kakek tua ini benar-benar merupakan lawan yang paling
berat yang pernah ia jumpai selama ia berkecimpung di dalam dunia persilatan.
Kakek itu tertawa sehingga kelihatan gusi mulutnya yang sudah tak bergigi lagi. "Ha-ha-ha pinto orang
gunung, mana ada nama? Di utara sana, pinto disebut Pak-thian Locu (Nabi Locu dari utara), tentu saja
Sicu tidak pernah mendengarnya."
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang nama ini tak pernah dikenal Beng San.
Siauw-ong-kwi segera berkata sambil mendengus, “Thai-san amat tinggi sehingga kadang kala membuat
orang lupa bahwa di atasnya masih ada langit! Calon ketua Thai-san-pai sampai tak mengenal twasuheng-
ku (kakak seperguruan tua), benar-benar telah merasa diri paling tinggi."
Beng-San terkejut. Kiranya kakek ini twa-suheng dari Siauw-ong-kwi. Pantas saja begitu hebat.
"Ah, maafkan... maafkan... ini hanya menunjukkan bahwa siauwte kurang pengalaman."
"Tan Beng San, selama bertahun-tahun ini telah banyak kau menghina kami, dan secara pengecut kau
menyembunyikan diri di balik jalan-jalan rahasia. Kini dengan sombong kau hendak mengumumkan
pendirian Thai-san-pai. Heran, apakah kau sudah merasa dirimu menjadi guru besar?" kata Toat-beng
Yok-mo sambil melangkah maju dan menggerakkan tongkatnya yang hitam.
"Hutangmu kepadaku belum kau bayar lunas!" pekik Hek-hwa Kui-bo sambil mengerling ke arah Kwa Hong
dan Sin Lee. "Kalian dua anjing cilik tunggulah giliranmu." Nenek yang mengerikan ini sudah mencabut
pedang dan selampai yang beraneka warna.
Melihat betapa lima orang itu mengurungnya dan telah siap mengeroyoknya, Beng San tersenyum lalu
berkata dengan nada mengejek, "Aku tahu isi hati kalian! Dua hari lagi, di atas panggung, disaksikan
semua tokoh kang-ouw, sudah pasti kalian takkan dapat maju mengeroyok, melainkan seorang lawan
seorang. Hari ini sengaja kalian menggerebek di sini dengan dalih membalas dendam sehingga kalian
punya kesempatan mengeroyokku, bagus!"
Namun Hek-hwa Kui-bo sudah menyerbu dengan pedang dan selampainya, menyerang dari kiri dan
dibarengi oleh Siauw-ong-kwi yang menyerang dari kanan.
Seperti biasa, Siauw-ong-kwi menggunakan sepasang lengan bajunya yang menerjang untuk melakukan
totokan dengan ujung baju mengarah jalan darah. Serangan ini tak kalah bahayanya dibandingkan dengan
penyerangan Hek-hwa Kui-bo.
Toat-beng Yok-mo dan Tok Kak Hwesio sambil tertawa juga menyerang cepat. Yok-mo menggunakan
tongkat hitamnya, ada pun Tok Kak Hwesio menggunakan kepandaiannya yang diandalkan, yaitu
cengkeraman monyet.
Empat orang ini menyerang dari empat penjuru, mengurung tubuh Beng San. Sedangkan kakek tua renta
itu tanpa menggeser kedua kakinya, dari tempat ia berdiri, ia mengirim pukulan-pukulan jarak jauh ke arah
Beng San.
Beng San mengeluarkan seruan keras sekali. Mukanya berubah merah lalu kehitaman. Ini menandakan
bahwa kemarahan mengganggu hatinya.
Cara bertempur tokoh-tokoh hitam ini benar-benar licik dan curang sekali, menggunakan jumlah banyak
untuk mengeroyok. Padahal mereka semua itu, satu demi satu merupakan tokoh-tokoh yang amat terkenal
dan tak sepatutnya mengeroyok musuh, apa lagi dengan begitu banyak melawan seorang lawan!
Pedangnya digerakkan, berubah menjadi segulung sinar berkeredepan dan mengeluarkan bunyi
mengaung. Hujan serangan lima orang lawannya itu semua dapat tertangkis oleh sinar pedangnya, malah
tangan kirinya yang bergerak-gerak mengeluarkan hawa pukulan dahsyat, selain menangkis seranganserangan
jarak jauh dari Pak-thian Locu, sekaligus juga menanggulangi serangan-serangan Siauw-ong-kwi
dan Tok Kak Hwesio.
Kwa Hong dan Sin Lee berdiri bengong, penuh kekaguman melihat bagaimana Beng San mengeluarkan
kepandaiannya menghadapi lima orang tokoh-tokoh besar yang semuanya memiliki kepandaian tinggi itu.
Terasa oleh ibu dan anak ini betapa kalau tadi Beng San betul-betul mengeluarkan kepandaian, mereka
tentu sudah roboh olehnya.
Beng San maklum bahwa kalau dia membiarkan dirinya terkurung menghadapi sekaligus lima orang
pengeroyoknya, sulit baginya memperoleh kemenangan. Maka sambil mainkan ilmu pedangnya Im-yang
Sin-kiam-sut yang hebat, yang sekaligus dapat dia pergunakan untuk melayani serangan-serangan lawan
yang dasarnya berbeda, baik serangan dengan mengandalkan tenaga Yang-kang mau pun tenaga Imdunia-
kangouw.blogspot.com
kang, ia menggunakan kegesitan melompat ke sana ke mari, menerjang dari seorang lawan kepada lawan
lain sehingga ia terbebas dari pengurungan yang ketat.
Akan tetapi cara ini tidak dapat digunakan daya serangnya karena hanya sejurus saja lalu harus
menghadapi lain lawan, sedangkan semua lawannya adalah orang-orang yang tidak mungkin dapat
dirobohkan hanya dengan satu dua jurus serangan saja. Apa lagi pukulan-pukulan jarak jauh dari Pak-thian
Locu benar-benar hebat sekali, mendatangkan angin berdesir yang hanya dapat dia tolak dengan pukulan
tangan kiri yang mengeluarkan uap putih. Dengan pukulan yang setingkat dengan Pek-in Hoat-sut (Ilmu
Gaib Awan Putih) ini dia mampu membuat setiap pukulan kakek tua renta itu membalik, sehingga berkalikali
kakek ini mengeluarkan seruan memuji.
Pertandingan yang tidak seimbang ini berjalan semakin seru dan hebat. Beng San harus mengerahkan
seluruh tenaga dan segenap kepandaiannya, barulah ia bisa mengimbangi pengeroyokan itu. Makin lama
seruannya makin nyaring, hawa pukulan yang menyambar dari sinar pedangnya makin kuat sehingga
beberapa kali Hek-hwa Kui-bo dan Toat-beng Yok-mo terpaksa harus meloncat jauh untuk menghindarkan
diri dari hawa maut yang menyambar dari sinar pedang Beng San.
Juga Tok Kak Hwesio telah dua kali terhuyung hampir jatuh akibat tangkisan Ilmu Pukulan Pek-in Hoat-sut
yang hebat. Malah Siauw-ong-kwi pernah terpaksa menggulingkan tubuh ke atas tanah ketika kedua ujung
lengan bajunya membalik dan memukul dirinya sendiri karena tangkisan pendekar yang sakti itu!
Kwa Hong semakin kagum, akan tetapi kekagumannya itu kalah oleh dendam di hatinya terhadap orang
yang paling dicintanya ini. Melihat betapa pengeroyokan kelima orang itu ternyata belum cukup kuat untuk
merobohkan Beng San, ia lalu berseru kepada Sin Lee,
"Anakku, kesempatan baik tiba, hayo kita serbu dia!" Ia sendiri pun lalu menerjang maju dengan pedang
dan cambuknya.
"Ibu..." Sin Lee meragu, tetap tidak bergerak dari tempat ia berdiri.
Memang ia ikut pula membenci Beng San karena pengaruh ibunya, akan tetapi wataknya yang menjunjung
tinggi kegagahan itu tidak mengijinkan ia lalu melakukan pengeroyokan seperti itu. Untuk membela ibunya,
ia akan sanggup menghadapi Beng San dan mengadu nyawa dengan ayahnya yang telah menyakiti hati
ibunya, ia rela mempertaruhkan jiwanya. Akan tetapi mengeroyok seperti ini? Ia tidak sanggup
melakukannya. Karena itu ia diam saja, tidak mau turun tangan biar pun Kwa Hong sudah menerjang hebat
ke arah Beng San.
Beng San sama sekali tidak menduga bahwa Kwa Hong akan menyerangnya sehebat itu dari belakang
selagi ia tidak bersiap, tahu-tahu ujung pedang Kwa Hong telah menyambar ke arah leher dan sebuah
anak panah di ujung cambuk menghantam ke arah dadanya. Secepat kilat ia miringkan kepala,
membiarkan pedang itu lewat di dekat kulit lehernya, sementara tangan kirinya menangkis anak panah
yang tak mungkin dapat ia elakkan pula, juga tak mungkin ditangkis karena pedangnya pada detik itu
sedang menangkis tongkat Yok-mo dan pedang Hek-hwa Kui-bo.
"Krakkk!"
Kwa Hong menjerit dan anak panah di ujung cambuknya patah-patah, telapak tangannya terasa sakit
sekali dan hanya dengan melompat mundur ia dapat menguasai anak panah lain yang membalik tidak
karuan. Akan tetapi lengan Beng San luka membiru dan baju pada lengannya itu robek.
Kalau lain orang yang terkena ujung anak panah hijau ini tentu akan terluka hebat yang akan
mendatangkan kematian karena ujung anak panah ini mengandung racun hijau. Namun di tubuh Beng San
penuh dengan hawa Im juga, maka tangkisan itu tidak melukai kulitnya, hanya membuat kulit lengannya
membiru dan terasa agak linu.
Hal ini tidak mengecilkan hatinya, malah menimbulkan semangat perlawanan lebih hebat lagi. Teriakan dan
seruannya menggema di udara dan gerakan pedangnya makin hebat!
Kwa Hong melanjutkan pengeroyokannya. Ia marah karena anak panahnya rusak sebuah. Akan tetapi ia
lebih hati-hati lagi, menjaga agar jangan sampai senjatanya dirusak pula. Pada saat itu, terdengar suara
orang tertawa mengerikan disusul ucapan nyaring,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Beng San kau lihat, siapa ini? Menyerahlah, kalau tidak anakmu ini akan kuhancurkan di depan matamu!"
Beng San melirik dan seketika wajah yang merah menghitam itu berubah pucat dan hijau. Ia melihat
seorang manusia yang mengerikan sekali, seorang laki-laki berpakaian kuning yang mukanya seperti
setan.
Mata kiri orang ini hanya tinggal lubangnya saja seperti mata tengkorak, tinggal mata kanannya yang liar
merah. Mulutnya robek melebar, kelihatan giginya sebelah kiri. Telinga kirinya juga buntung tinggal kulit
sedikit di dekat lubang. Tangan kirinya kaku dan jari-jari tangan ini seperti cakar burung, bukan tangan
manusia lagi.
Meremang bulu tengkuk Beng San melihat orang ini akan tetapi berbareng hatinya terkejut bukan main
karena orang yang sekarang ia kenal sebagai Giam Kin ini tangan kanannya menangkap Cui Bi yang
agaknya sudah pingsan. Tubuh gadis ini lemas menggelantung pada lengan kanan Giam Kin!
"Giam Kin iblis laknat, lepaskan anakku!"
Dengan gelisah Beng San melompat ke arah Giam Kin, namun dia dihujani senjata oleh para
pengeroyoknya sehingga terpaksa ia menangkis dan tak dapat mendekati Giam Kin. Hatinya gelisah bukan
main.
"Giam Kin pengecut, jangan ganggu anakku!"
"Ha-ha-he-heh, baru sekarang kau ketakutan, ya? Kalau tidak ingin melihat anak gadismu yang cantik
molek ini celaka, kau harus menyerah!" jawab Giam Kin dengan suaranya yang sekarang menjadi tidak
karuan karena mulutnya sudah robek.
Lemas seluruh tubuh Beng San. Bagaimana ia dapat mengorbankan puterinya yang dia cinta setengah
mati itu? Ia melompat mundur dan berkata lemah, "Aku menyerah. Tetapi jangan ganggu puteriku..."
Akan tetapi gerakannya yang menarik kembali pedang dan melompat mundur ini lantas dipergunakan oleh
musuh-musuhnya untuk mendesak.
"Dukkk!"
Sebatang anak panah hijau di tangan Kwa Hong menghantam dadanya, membuat Beng San terhuyunghuyung
ke belakang. Ia masih sempat melindungi leher dan kepalanya dari cengkeraman Tok Kak Hwesio
dan hantaman ujung lengan baju Siauw-ong-kwi, namun dalam keadaan terhuyung-huyung itu, ia tidak
mampu mengelak dari hantaman ujung selampai Hek-hwa Kui-bo yang mengenai pundak dekat leher,
menotok jalan darahnya.
Beng San mengerahkan tenaga untuk melawan totokan ini, akan tetapi karena hantaman pada dadanya
oleh anak panah Kwa Hong tadi melumpuhkan sebagian tenaganya, maka totokan ini masih membawa
pengaruh hebat. Dia menjadi pening dan muntahkan darah segar.
Pada saat yang amat berbahaya itu, datang lagi dorongan pukulan Pak-thian Locu yang mengakibatkan
angin pukulan mendorong dadanya. Beng San tak mampu menahan dan roboh telentang. Baiknya
tubuhnya memang kuat sekali, maka ketika terjengkang ini dia menahan napas dan menyalurkan hawa
murni dalam tubuh untuk melawan pengaruh tiga pukulan hebat itu, pada dada, pundak dekat leher dan ulu
hati.
Sekali lagi ia muntahkan darah segar. Wajahnya menjadi pucat dan ia melompat sambil memutar
pedangnya sekaligus menangkis hujan senjata.
"Curang...!" serunya.
Sekarang kemarahannya membuat uap putih mengebul keluar dari ubun-ubun kepalanya. Kemarahan
membuat gerakannya seperti seekor naga terbang. Dia menerjang maju dan terdengar Hek-hwa Kui-bo
menjerit sambil melompat mundur, selampainya putus terbabat pedang dan lengannya masih tergores
ujung pedang sehingga mengeluarkan darah. Juga para pengeroyok lain terpaksa melangkah mundur
setindak saking hebatnya daya serang Beng San ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Beng San hendak melompat ke arah Giam Kin lagi, akan tetapi para pengeroyoknya telah menghalanginya
pula.
"Giam Kin, lepaskan anakku! Lepaskan dia dan aku akan menyerah!" bentak Beng San, suaranya
menggeledek.
"Ha-ha-ha, jangan lepaskan, orang ini harus dibikin mampus bersama anaknya!" tiba-tiba terdengar suara
keras dan tahu-tahu Song-bun-kwi telah muncul di situ bersama Kong Bu.
Datang-datang kakek ini langsung saja menerjang sambil menggerakkan pedangnya yang mengaung
hebat, menggunakan Ilmu Silat Pedang Yang-sin Kiam-sut yang ganas sekali. Melihat datangnya Songbun-
kwi, para pengeroyok timbul kembali semangat mereka dan pengeroyokan makin hebat.
"Hi-hi-hik, dasar dosamu sudah bertumpuk-tumpuk, Beng San!" Kwa Hong bersorak dan kembali ia
menganjurkan puteranya, "Sin Lee, hayo kau ambil bagian dalam pesta ini!"
Namun Sin Lee hanya berdiri tegak dengan wajah pucat, mata membelalak dan tubuh gemetar. Muak ia
melihat pengeroyokan itu dan makin lama makin bangga dan kagumlah ia menyaksikan sepak terjang
orang yang menjadi ayahnya ini.
Ada pun Kong Bu pada waktu sampai di tempat itu, juga berdiri mematung dengan mata seakan-akan
mengeluarkan api. Ia tidak peduli melihat kakeknya yang sudah menyerang mati-matian dan melihat
jalannya pertempuran dengan hati tidak karuan. Sedih ia melihat orang yang menjadi ayahnya itu dikeroyok
sedemikian rupa, mau membela, tapi ia segan kepada kakeknya.
Walau pun sudah terluka di tiga tempat dan pengeroyoknya bertambah dengan seorang yang sehebat
Song-bun-kwi, namun permainan pedang Im-yang Sin-kiam-sut dari Beng San benar-benar hebat sekali
sehingga ia dapat melindungi tubuhnya dari hujan senjata itu.
Akan tetapi, kembali terdengar suara Giam Kin tertawa.
"Ha-ha-ha, Beng San, lihatlah! Kau masih mau melawan terus? Lihat ini anakmu!" Setelah berkata
demikian, tangan kirinya yang berupa cakar mengerikan itu bergerak dan…
"Brettt!" baju luar yang dipakai Cui Bi terobek lebar, memperlihatkan baju dalamnya yang berwarna merah
muda.
Gelap rasanya mata Beng San. "Giam Kin keparat...! Lepaskan anakku..."
Karena perasaannya tertusuk, gerakannya sedikit terlambat. Pedang Song-bun-kwi yang tadinya menusuk
pusarnya itu kurang cepat ia elakkan sehingga pahanya telah tertusuk pedang.
Beng San menggulingkan tubuhnya ke belakang. Sinar pedangnya berkelebat menjaga diri dan ketika ia
melompat bangun lagi, darah keluar bercucuran dari paha kanannya. Ia terpincang-pincang, darah
mengucur banyak sekali, namun pedangnya masih dimainkan rapi menghalau setiap senjata yang hendak
merenggut nyawanya. Tetapi ia tidak mampu balas menyerang karena perhatiannya kini terbagi untuk
mengawasi keadaan Cui Bi yang sama sekali tidak berdaya di dalam tangan manusia iblis itu.
"Ha-ha-ha, Beng San, kau takkan dapat melepaskan dirimu. Kau boleh mati dengan mata melek karena
anakmu ini tak akan dapat bebas pula. Ha-ha-ha!"
Suara ketawa Giam Kin bergema di hutan itu ketika ia memanggul tubuh Cui Bi dan lari pergi dari situ.
"Lepaskan anakku!" Beng San menjerit, tangan kirinya menyambar sebuah batu kecil dan dilemparkannya
ke arah Giam Kin.
Hebat lemparan ini, karena tubuh Giam Kin segera terguling. Akan tetapi manusia iblis itu bangun lagi,
kemudian sambil tertawa-tawa dia lari terus memanggul tubuh Cui Bi.
"Kau mau bawa ke mana anakku?!" Beng San memekik lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi mendadak sebuah pukulan ujung lengan baju Siauw-ong-kwi tepat mengenai kaki kirinya,
membuat ia terguling roboh. Ia berusaha bangun, akan tetapi tidak mampu karena urat di dekat lututnya
terpukul hebat.
Oleh karena kakinya lumpuh, maka terpaksa sambil duduk Beng San menahan datangnya semua senjata
dengan cara memutar pedangnya secara luar biasa sekali. Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu tentu
saja dia tidak mampu melawan tujuh orang lihai itu yang seakan-akan berlomba hendak berdulu-duluan
mencabut nyawanya. Pundaknya tertusuk pedang lagi dan lengan kirinya juga dihantam tongkat hitam Yokmo,
membuat lengan kirinya juga lumpuh.
Pada saat itu terdengar teriakan menyeramkan. Sesosok bayangan menyerbu ke dalam pengeroyokan itu
dan tahu-tahu tubuh Beng San sudah dipondong orang yang langsung memutar-mutar pedangnya
menghadapi para pengeroyok itu. Orang ini bukan lain adalah Kong Bu! Beng San yang dipondong juga
masih memainkan pedangnya untuk menangkis hujan senjata.
"Anakku... anak Bi Goat... akhirnya kau... mau menolongku...?” terengah-engah Beng San berkata, air
mata menitik turun dari matanya.
"Kong-bu, gilakah kau?!" seru Song-bun-kwi dan cepat kakek ini menggerakkan pedang menangkis tongkat
hitam Yok-mo yang hampir mengenai kepala cucunya.
"Kakek, biar aku mati membela ayahku yang jauh lebih gagah dari pada kalian semua!” teriak Kong Bu,
matanya mengeluarkan cahaya berapi, pipinya basah oleh beberapa butir air mata yang menitik turun.
"Ha-ha-ha-ha, Song-bun-kwi tua bangka gila, cucumu sendiri mengkhianati kau!" Yok-mo mengejek dan
bersama yang lain-lain mereka lalu menerjang Kong Bu.
Sekali lagi terdengar teriakan melengking yang tinggi dan nyaring, dan Sin Lee sekarang memutar pedang
membantu Kong Bu!
"Sin Lee, mundurlah kau!" Kwa Hong menjerit.
"Tidak, Ibu. Aku tidak suka melihat ini semua! Ayah seorang gagah perkasa, patut kubela dengan taruhan
nyawa! Majulah, kalau perlu aku akan melawan kau sendiri!"
Kwa Hong menjerit dan menangis, menarik kembali senjatanya. Pada waktu itu, Yok-mo, Tok Kak Hwesio,
Siauw-ong-kwi, Hek-hwa Kui-bo dan Pak-thian Locu yang telah menjadi marah sekali lantas menerjang dua
orang muda yang dengan semangat tinggi melindungi Beng San, orang yang menjadi ayah mereka tetapi
yang harus mereka benci dan musuhi itu.
"Sin Lee... terima kasih... ah, Thian Yang Maha Adil... aku rela mati sekarang..." kata Beng San, akan tetapi
tubuhnya menjadi lemas dan ia menjadi pingsan dalam pondongan Kong Bu.
Betapa pun lihainya Kong Bu dan Sin Lee, menghadapi pengeroyokan lima orang tokoh besar itu mereka
menjadi repot sekali. Apa lagi Kong Bu yang harus memondong tubuh ayahnya sehingga pada saat itu,
ketika ia menangkis sambaran pedang Hek-hwa Kui-bo yang membuat lengannya terasa kesemutan, ia
tidak dapat menghindar lagi dari pukulan mendorong yang dilakukan oleh kakek tua renta, Pak-thian Locu.
"Berani kau menyerang cucuku?" Tiba-tiba Song-bun-kwi meloncat maju dan menangkis pukulan ini.
"Dukkk!"
Hebat sekali pertemuan dua lengan orang sakti ini, akan tetapi akibatnya Song-bun-kwi terdorong mundur
tiga langkah sedangkan kakek renta itu hanya bergoyang-goyang saja tubuhnya. Kaget bukan main Songbun-
kwi, sedangkan Siauw-ong-kwi tertawa-tawa,
"Ha-ha-ha, Song-bun-kwi manusia iblis! Baru sekarang kau bertemu tanding, perkenalkan dia adalah twasuheng-
ku Pak-thian Locu,"
"Aihh-aihhh, kiranya setan tua bangkotan dari Utara. Jangan takabur, aku Song-bun-kwi selamanya tidak
pernah takut, baik kepadamu atau pun kepada twa-suheng-mu yang mau mampus ini!" serentak Song-bunkwi
menerjang kakek itu dengan pedangnya sehingga terjadilah pertandingan hebat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sementara itu, melihat betapa Sin Lee kerepotan dikeroyok Yok-mo, Tok Kak Hwesio dan sekarang Hekhwa
Kui bo juga menerjang Sin Lee karena Song-bun-kwi sudah dihadapi Pak-thian Locu sedangkan Kong
Bu diserang Siauw-ong-kwi. Kwa Hong mengeluarkan suara melengking, dengan marah sekali ia
menyerbu untuk menolong puteranya!
Makin hebatlah pertempuran itu. Akan tetapi, Song-bun-kwi perlahan-lahan terdesak oleh Pak-thian Locu
yang luar biasa. Kong Bu yang memondong tubuh Beng San juga repot menghadapi Siauw-ong-kwi,
sedangkan Sin Lee biar pun sudah dibantu ibunya, tetap saja terkurung hebat oleh Toat-beng Yok-mo, Tok
Kak Hwesio, dan Hek-hwa Kui-bo.
Song-bun-kwi mulai sibuk, apa lagi melihat Kong Bu terdesak hebat oleh Siauw-ong-kwi. Memang di antara
mereka semua, yang paling payah adalah Kong Bu. Di samping harus menggendong Beng San yang tidak
ingat atau pingsan, juga hati pemuda ini gelisah sekali memikirkan nasib adik tirinya, Cui Bi yang tadi
dibawa lari oleh manusia bermuka iblis itu. Harus diakui bahwa di dalam hatinya, Kong Bu amat sayang
kepada adik tirinya itu.
Dia tadi bermaksud menolong. Siapa tahu keadaan lawan sangat tangguh dan ayahnya sudah pingsan
sehingga tidak mampu melawan lagi. Hatinya gelisah, ditambah lawannya Siauw-ong-kwi, merupakan
tokoh utama dan utara yang kepandaiannya setingkat dengan kakeknya!
"Bagus, kau pemuda jahat kini harus membalas kematian muridku!" berkali-kali Hek-hwa Kui-bo berteriak
keras sambil mendesak Sin Lee dengan pedangnya.
Kwa Hong maju hendak membantu puteranya. Akan tetapi, dia ditahan oleh Toat-beng Yok-mo serta Tok
Kak Hwesio, dua orang tokoh yang memiliki kepandaian tinggi pula.
Permainan pedang Hek-hwa Kui-bo adalah ilmu pedang Im-sin Kiam-sut, hebat bukan main dan
mempunyai daya serang yang mengandung tenaga Im-kang. Sin Lee juga amat kuat ilmu pedangnya.
Gerakan kakinya sangat membingungkan dan serangan-serangan yang dilancarkannya ganas sekali.
Namun menghadapi nenek ini, dia kalah pengalaman, kalah tenaga, bahkan kalah segala-galanya. Biar
pun telah mengerahkan kepandaiannya, tetap saja ia terkurung oleh sinar pedang Hek-hwa Kui-bo, bahkan
terancam hebat.
Pada saat yang amat berbahaya itu, tiba-tiba saja terdengar bentakan-bentakan nyaring. Seorang wanita
yang bergerak bagai seekor naga betina menerjang dengan pedang yang menyambar laksana kilat.
Siauw-ong-kwi yang diserang oleh wanita ini sangat kaget dan menangkis dengan lengan baju. Pedang
wanita itu tertangkis, menyeleweng ke samping, akan tetapi ujung lengan baju Siauw-ong-kwi robek!
"Orang-orang tua pengecut!" wanita itu berteriak dan ia berseru kaget melihat keadaan Beng San dalam
pondongan Kong Bu.
Wanita ini bukan lain adalah Cia Li Cu. Melihat suaminya mandi darah dan dengan muka pucat pingsan di
dalam pondongan Kong Bu, ia menjerit dan cepat menubruk. Kong Bu memberikan tubuh Beng San
kepada ibu tirinya ini dan sekarang dengan penuh semangat ia memutar pedangnya menghadapi Siauwong-
kwi.
"Jangan kuatir, kami bantu!" terdengar suara wanita lain dan muncullah Li Eng dan Hui Cu.
Li Eng langsung membantu Kong Bu dan Hui Cu segera membantu Sin Lee. Hal ini terjadi karena
dorongan hati masing-masing melihat laki-laki perampas hati mereka itu terdesak oleh lawan. Di belakang
dua orang gadis ini muncul puluhan orang anggota Thai-san-pai yang semua telah mencabut pedang.
Melihat ini Hek-hwa Kui-bo berseru keras, "Cukup kita bermain-main! Biar besok pada pembukaan Thaisan-
pai dilanjutkan, ha-ha-ha-ha!"
Nenek ini cepat melompat ke belakang, diturut oleh yang lain-lain karena mereka melihat keadaan tidak
menguntungkan pihak mereka. Apa lagi sesudah Beng San terluka hebat, besok lusa mudah saja bagi
mereka untuk menantang sekalian menggagalkan pendirian Thai-san-pai, membalas dendam dan merusak
nama Thai-san-pai dan ketuanya di muka semua orang kang-ouw!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sementara itu, Li Cu yang melihat keadaan suaminya parah sekali, tidak sempat mencari tahu lagi, juga
tidak bertanya kepada Song-bun-kwi mau pun Kwa Hong yang tadi ia lihat sekelebatan berkelahi di pihak
suaminya. Sambil mengeluh penuh kegelisahan nyonya ini memondong tubuh suaminya dan dibawa lari
menuju puncak.
"Heii, Kong Bu, kau hendak ke mana?!" Song-bun-kwi berteriak melihat cucunya dengan pedang di tangan
berlari cepat.
"Harus kutolong adik Cui Bi dari tangan manusia bermuka iblis itu!" jawab Kong Bu tanpa menengok.
"Aku ikut!" Sin Lee juga berseru dan tubuhnya melompat jauh mengejar Kong Bu dengan pedang di
tangan.
Kong Bu menoleh sambil lari, Sin Lee memandang. Dua orang pemuda ini berpandangan dan biar pun
mulut mereka tidak berkata apa-apa namun sinar mata mereka seakan-akan telah saling dapat
menemukan isi hati masing-masing. Tanpa sekecap pun kata-kata dua orang muda seayah ini telah
bersekutu!
Li Eng dan Hui Cu saling pandang dan Hui Cu berkata kaget, "Eh, Adik Eng, mana Paman Hong?"
Li Eng menengok ke sana ke mari, berkata kuatir juga, “Tadi kulihat dia berlari di belakang kita... ah,
jangan-jangan dia ketinggalan jauh. Mari kita susul Bibi, keadaan Paman Beng San kulihat tadi amat
menguatirkan."
Dua orang gadis ini lalu berlarian menyusul Li Cu, hendak membantu bibi itu dan juga hendak mencari Kun
Hong yang tadi datang bersama mereka. Para anggota Thai-san-pai juga berbondong-bondong sudah
mengikuti nyonya ketua mereka kembali ke puncak.
Setelah keadaan di situ sunyi, Kwa Hong dan Song-bun-kwi hanya bisa saling pandang dengan muka
kecewa. Keduanya merasa kecewa dan tertusuk hatinya karena sikap cucu dan putera mereka. Lebih-lebih
Kwa Hong. Sama sekali ia tidak menyangka bahwa Sin Lee akan membalik dan memberontak, membela
ayahnya dan menentangnya.
"Sin Lee...!" Akhirnya ia memekik nyaring dan tubuhnya melesat ke satu jurusan, agaknya hendak
mengejar puteranya.
Song-bun-kwi menampari kepalanya sendiri, bicara seperti orang gendeng, "Goblok kau, tua bangka
goblok! Mana bisa kau memisahkan anak dari ayahnya? Goblok kau hendak mencelakakan cucumu
sendiri, tolol!"
Dan ia pun pergi dari situ dengan langkah gontai, wajahnya nampak makin tua dan sinar mata yang semula
liar itu menjadi lunak dan muram.
Bagaimanakah Cui Bi, gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu sampai terjatuh ke dalam tangan
Giam Kin?
Pagi hari itu Cui Bi sangat kuatir. Dia tidak melihat ayahnya berada di puncak, dan setelah mencari ke
mana-mana tetap tidak dapat menemukan ayahnya itu, bahkan ibunya sendiri tidak tahu ke mana ayahnya
pergi.
Cui Bi maklum bahwa pertemuan antara ayahnya dengan dua orang puteranya itu amat mengganggu hati
serta pikiran ayahnya, apa lagi dua orang putera itu telah dididik orang untuk memusuhinya. Ia maklum
pula bahwa ayahnya amat berduka dan gelisah.
Cui Bi amat kuatir dan timbul dugaannya bahwa ayahnya tentu keluar dari puncak untuk pergi mencari
kedua orang puteranya itu. Karena itu dia pun lalu diam-diam keluar dari terowongan, turun dari puncak
mencari ayahnya.
Baru saja ia menyeberangi rawa, ia mendengar suara suling yang amat aneh dan merdu dari arah kiri.
Cepat ia membelok ke arah ini dan dalam sebuah hutan kecil ia melihat seorang laki-laki yang mukanya
membuat Cui Bi terasa seram dan ngeri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Laki-laki ini mukanya seperti iblis yang mengerikan dengan mata kirinya yang bolong kosong, mulutnya
yang robek lebar, telinga kiri buntung, tangan kirinya yang kaku seperti cakar setan. Namun sebagai puteri
pendekar sakti yang sudah banyak bertemu dengan tokoh-tokoh aneh di dunia kang-ouw, hanya sebentar
saja Cui Bi telah dapat menguasai perasannya kembali dan ia mulai tertarik oleh perbuatan laki-laki
bermuka iblis itu.
Lelaki itu dengan tangan kanannya yang normal sedang meniup suling. Bukan main aneh dan indahnya
suara suling itu dan yang lebih menarik hati Cui Bi lagi, di depan laki-laki yang duduk bersila di bawah
pohon itu, kelihatan lima ekor ular besar tengah ‘berdiri’ di atas ekornya dan menari-nari, melenggaklenggok
amat lemasnya!
Cui Bi memang sudah beberapa kali pernah melihat ahli-ahli ular meniup suling membuat ularnya menarinari,
akan tetapi baru kali ini ia melihat lima ekor ular sekaligus menari dan dapat ‘berdiri’ setinggi itu.
Benar-benar hebat dan lucu. Tak tertahankan gadis itu tertawa dan datang menghampiri laki-laki itu, ikut
duduk dekatnya dan berkata,
"Bagus dan lucu sekali...!"
Laki-laki itu tidak menoleh, terus melanjutkan tiupannya akan tetapi mata kanannya itu melirik ke arah Cui
Bi lalu mengeluarkan sinar yang aneh. Sekali ini Cui Bi mengenakan pakaian wanita yang ringkas sehingga
ia kelihatan sebagai seorang gadis muda remaja yang cantik dan manis. Pedang tergantung di punggung
dan dari senjata inilah orang akan dapat menduga bahwa dia adalah seorang gadis kang-ouw.
Melihat gadis cantik itu memandang kepada ular-ular itu dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri,
laki-laki itu tanpa menunda tiupan sulingnya bertanya, "Kau siapa, Nona? Apakah tidak takut ular?"
Cui Bi menoleh dan bukan main herannya. "Kau hebat sekali, Lopek (Uwa). Sekaligus menyuling dan
bicara. Bukan main! Kau tentu seorang di antara para tamu Thai-san-pai, bukan? Apakah kau sudah kenal
baik dengan Ayah? Tetapi Ayah belum pernah bercerita kepadaku tentang seorang temannya yang pandai
meniup suling menjinakkan ular."
"He-he, jadi kau puteri Ketua Thai-san-pai? Pantas saja tidak takut ular, akan tetapi coba kau lihat ularularku
yang lainnya, entah takut tidak?" Dia lalu bangkit berdiri dan tiupan sulingnya berubah nyaring dan
lebih aneh lagi.
Cui Bi tadinya tersenyum-senyum saja karena mana dia takut segala macam ular? Sekali gerakkan pedang
ia sanggup membunuh lima ekor ular besar itu! Akan tetapi tiba-tiba wajahnya berubah sedikit ketika ia
mendengar suara berisik, suara mendesis-desis yang datang dari segala penjuru.
Sebentar kemudian puluhan, malah ratusan ekor ular merayap datang dari segala jurusan, bahkan ada
yang datang dari atas pohon, merayap-rayap turun dengan cepatnya seperti memenuhi panggilan suara
suling itu! Dalam beberapa menit saja mereka berdua sudah dikurung oleh ratusan ekor ular besar kecil, di
antaranya banyak pula terdapat ular-ular berbisa.
Mau tak mau Cui Bi menjadi pucat juga dan jijik. Ia merasa bulu di tubuhnya meremang dan segera dia
mencabut pedangnya untuk menjaga kalau-kalau ada ular yang hendak menyerangnya.
"Jangan kuatir, selama ada aku di sini, mereka takkan berani mengganggumu, Nona. Aku hanya ingin
memperlihatkan mereka padamu, mereka itu bagus dan menarik, bukan? Apa kau mau melihat mereka itu
semua menari-nari?"
Cui Bi menggeleng kepala, menahan napas, bau yang amat amis memuakkan perutnya, bukan main bau
itu, amis dan menyengat.
"Cukup... aku tidak ingin melihat mereka, Lopek, suruhlah mereka pergi..."
Laki-laki itu yang bukan lain adalah Giam Kin mengangguk-angguk dan meniup sulingnya, kini berlagu
amat merdu dan... ular-ular itu merayap pergi semua, berlenggang-lenggok menggelikan dan sebentar saja
sudah lenyap semua, tak seekor pun berada di situ. Cui Bi menarik napas lega dan menyimpan kembali
pedangnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mata Giam Kin berkilat ketika ia melihat cara gadis itu tadi menarik keluar pedang dan cara menyimpannya
lagi. Matanya yang tinggal sebelah itu dapat melihat bahwa gadis ini bukanlah orang sembarangan,
melainkan seorang ahli pedang yang lihai sekali.
"Wah, celaka.,.." Tiba-tiba Giam Kin berseru, nampak gugup dan bingung sekali, matanya yang tinggal
sebelah itu menatap wajah Cui Bi. "Aku... aku kesalahan terhadap ayahmu, Nona. Ah, Tan Beng San
Taihiap tentu akan marah kepadaku."
"Kenapa, Lopek? Kau tidak bersalah apa-apa."
"Celaka, Nona yang baik. Kau... kau sudah terkena racun ular berbisa yang berbahaya sekali!" Giam Kin
membanting-banting kakinya, "Ayahmu tentu akan marah kepadaku. Coba kau menarik napas dalamdalam,
bukankah tercium bau yang amis? Apakah kau tidak merasa jantungmu berdebar-debar?"
Dengan muka berubah Cui Bi menarik napas dalam. Memang, bau amis yang tadi masih teringat olehnya
sehingga ketika diingatkan, seakan-akan ia mencium bau amis itu makin jelas terasa dari pada tadi, ia pun
merasa jantungnya berdebar. Ia mengangguk gelisah.
"Nah, itu tanda kau keracunan. Cepat, kau pakai obat ini. Aku sendiri tidak terpengaruh racun karena
membawa bunga ajaib ini. Kau ciumlah dan sedot wangi bunga ini, pasti sekaligus lenyap pengaruhnya
racun itu."
Cui Bi menerima setangkai bunga yang tadinya entah berwarna apa karena bunga itu sudah melayu dan
tinggal berwarna kuning gelap, warna daun mulai mengering. Ia masih ragu-ragu.
"Tapi... tapi... bagaimana aku bisa keracunan kalau tak ada seekor ular pun menyentuhku tadi?"
"Ah, kau tidak tahu, Nona. Di antara ular-ular tadi banyak ular beracun yang berbahaya sekali. Pada saat
melihat kita, sudah jamak ular-ular beracun tadi berniat menggigit dan mengeluarkan racunnya, akan tetapi
mereka itu tertahan dan tidak berani dengan suara sulingku. Racun mereka yang keluar dari mulut mereka
berceceran di atas tanah dan hawa pagi ini banyak keluar dari dalam tanah, membubung ke atas. Racun
ular yang sudah berada di tanah itu hawanya terbawa oleh hawa tanah, memasuki hidung kita dan kau
yang tidak berdekatan bunga penawar racun ini tentu saja keracunan, Sudahlah, kau segera cium obat
penawar ini, kalau tidak... nanti akan terlambat dan kau akan celaka. Lekas..." Laki-laki itu nampak gugup
dan bingung sekali.
Cui Bi memang seorang gadis muda yang berkepandaian tinggi, sudah banyak merantau dan
pengetahuannya luas. Namun dalam hal tipu muslihat, berhadapan dengan Giam Kin dia hanya seorang
bocah yang masih hijau.
Melihat sikap Giam Kin dan mendengar keterangannya itu, ia percaya betul dan tanpa ragu-ragu lagi
sekarang gadis itu mendekatkan bunga ke depan hidungnya dan menyedot baunya. Ia mencium bau yang
sangat harum dan enak memasuki hidung terus turun dan lenyap di tenggorokan. Ia menyedot makin
keras. Tiba-tiba ia merasa kepalanya pening, pandang matanya berkunang.
"Celaka...!" serunya sambil melempar kembang itu dan berusaha mencabut pedangnya.
"Ha-ha-ha-ha!” Giam Kin tertawa. Sulingnya segera bergerak menotok leher Cui Bi yang tak mampu
bergerak lagi dan gadis ini roboh terguling, pingsan!
Sudah tentu saja semua ocehan Giam Kin tentang racun tadi bohong belaka. Karena pandainya ia bicara
disesuaikan dengan suasana dan keadaan, tentu saja Cui Bi masih merasa mencium bau amis dari ularular
tadi dan karena pemberi tahuan Giam Kin itu mengejutkannya, sudah semestinya kalau jantungnya
berdebar pula.
Demikianlah, dalam keadaan pingsan dan tak berdaya akibat jalan darahnya telah ditotok, gadis ini
dipanggul pergi oleh Giam Kin, kemudian seperti telah diceritakan pada bagian depan, Giam Kin yang licik
ini dapat mempermainkan gadis yang ditawannya itu untuk mengacaukan pertahanan Beng San sehingga
pendekar ini terluka dalam pengeroyokan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sesudah melihat Beng San terluka dan tidak mungkin lagi dapat menang menghadapi pengeroyokan suhunya,
supek-nya dan tokoh-tokoh lain, Giam Kin lalu membawa pergi Cui Bi. Dia kuatir kalau-kalau keluarga
pendekar itu muncul.
Giam Kin sekarang berbeda jauh dengan Giam Kin belasan tahun yang lalu. Tidak hanya berbeda dalam
ilmu kepandaian yang makin meningkat karena selama ini ia tekun sekali memperdalam ilmunya, juga
wataknya berubah banyak.
Dahulu ia adalah seorang laki-laki mata keranjang. Sekarang watak ini lenyap berbareng dengan
lenyapnya ketampanan wajahnya. Sekarang dia berubah menjadi manusia iblis yang haus darah, yang
haus akan balas dendam terhadap musuh-musuhnya. Mukanya rusak oleh burung rajawali emas dan Kwa
Hong, oleh karena itu tentu saja dia sangat mendendam kepada Kwa Hong.
Akan tetapi dia sekarang menjadi cerdik luar biasa, maka tadi bertemu dengan Kwa Hong ia tidak bertindak
apa-apa karena ia sedang memerlukan Kwa Hong dalam pengeroyokan terhadap Beng San. Sekarang ia
hendak melampiaskan dendamnya kepada Beng San, kepada keluarganya. Maka setelah puteri Beng San
terjatuh ke dalam tangannya, tidak lain nafsu dalam dadanya kecuali menyiksa dan membunuh gadis anak
musuhnya ini.
Ia membawa lari Cui Bi ke dalam hutan lain di sebelah timur, di lereng Gunung Thai-san, jauh dari tempat
para tamu berkumpul. Wajahnya yang buruk itu tertawa-tawa, agaknya ia gembira sekali membayangkan
siksa yang akan ia lakukan atas diri anak musuhnya ini.
Tubuh gadis itu ia lemparkan di atas tanah yang kering tak berumput, lalu ia mengambil sehelai kain
sutera, mengikat kaki serta tangan gadis itu, membalikkan tubuh gadis itu telentang, kemudian ia
membebaskan totokan pada tubuh gadis itu. Cui Bi yang merasa betapa jalan darahnya pulih kembali,
berusaha meronta, akan tetapi ternyata tali itu kuat sekali.
Ketika ia hendak membuka mulut untuk mengelurkan pekik pemberi tahuan kepada ayah bundanya, ia
kaget karena tak dapat ia mengeluarkan sedikit pun suara. Kiranya iblis yang cerdik itu telah menotok jalan
darah urat gagunya, membuat ia tidak dapat mengeluarkan suara.
Terpaksa Cui Bi hanya telentang dengan mata melotot marah, memandang kepada wajah manusia iblis
yang duduk bersila di atas tanah. Ngeri juga kalau ia memperhatikan wajah manusia ini, sudah tak patut
disebut manusia lagi baik bentuk mukanya mau pun semua gerak-geriknya.
Mata kanan yang kemerahan itu seperti matanya orang gila, sedangkan mata kiri yang kosong menghitam
itu seperti mata tengkorak, mata iblis. Mulut yang robek dan terbuka memperhatikan deretan gigi yang
masih rapi itu terlalu menyeringai dan menyeramkan karena gusi-gusi kemerahan tampak di atas gigi
pinggir yang runcing seperti gigi setan.
Di samping kengeriannya, diam-diam gadis ini juga menduga-duga siapa adanya tokoh buruk rupa yang
aneh ini dan kenapa pula memusuhi ayahnya. Ia dapat menduga bahwa tentu orang ini musuh ayahnya
yang sekarang hendak menjatuhkan dendam kepadanya, puteri tunggal ayahnya. Namun sepanjang
ingatannya, belum pernah ayahnya bercerita tentang tokoh seperti iblis ini yang anggapannya malah jauh
lebih mengerikan dari pada tokoh-tokoh manusia iblis yang pernah ia dengar dari ayahnya.
"He-he-heh, matamu seperti ayahmu benar!" Giam Kin tertawa gembira. "Matamu penuh pertanyaan
mengapa aku melakukan hal ini kepadamu dan siapa adanya aku, bukan? Nah, dengarlah, bocah.
Dengarlah baik-baik supaya kau tidak mati penasaran. Aku adalah Siauw-coa-ong (Raja Ular Kecil) Giam
Kin, sahabat baik ayahmu, he-he-heh!" Ia tertawa terpingkal-pingkal, tubuhnya berguncang-guncang.
Pandangan Cui Bi tertuju pada tangan kiri yang kaku mati seperti cakar setan itu, dan gadis ini kelihatan
heran.
"Heh-heh, kau kelihatan terheran-heran. Gadis cilik, dahulunya aku seorang laki-laki yang tampan.
Hemmm, dibandingkan dengan ayahmu, aku jauh lebih tampan. Celaka, siluman betina Kwa Hong itu
dengan rajawali emasnya mengubah aku menjadi begini. Heh-heh, disangkanya aku sudah mati. Hah,
awas kau Kwa Hong iblis betina, kelak akan datang pembalasanku..."
"Aku bertanding melawan Kwa Hong dan menjadi begini rupa karena gara-gara Lee Giok, karena itu aku
telah bersumpah, selain untuk membalas kepada ayahmu sekeluarga, juga kepada Kwa Hong dan Lee
dunia-kangouw.blogspot.com
Giok. Sayang hingga kini belum kudapatkan kesempatan itu, ha-ha-ha, saat ini aku akan dapat
memuaskan hatiku membalas kepada Beng San. Aku mendengar bahwa puteri dari Lee Giok juga berada
di Thai-san sebagai tamu, lalu aku cepat mencari akal untuk menangkapnya, untuk membalas pada
anaknya, menyiksanya seperti juga ibunya telah menyebabkan aku begini. Ehh, kiranya bukan dia yang
muncul melainkan kau, anak Beng San! He-heh-heh, jerat yang kupasang tak berhasil menjerat kelinci
seperti yang kuharapkan, malah lebih dari itu, ternyata telah menjerat seekor anak kijang. Heh-heh-heh,
senang hatiku. Nah, kau sudah mendengar semua dan telah siap menerima siksa dariku? Heh-heh-hehheh!"
Mengertilah sekarang Cui Bi mengapa muka penjahat bernama Giam Kin yang pernah ia dengar
diceritakan ayahnya itu sekarang menjadi seperti iblis begini. Kiranya gara-gara Kwa Hong lagi. Ia
mencoba untuk mengerahkan tenaga lweekang-nya membuka totokan pada lehernya, akan tetapi sia-sia
belaka dan ini membuktikan bahwa orang ini memiliki kepandaian yang tinggi.
Andai kata dia berhasil mengeluarkan pekik keras, tentu orang ini akan segera turun tangan pula. Cui Bi
tidak takut mati, akan tetapi ngeri juga ia mendengar bahwa ia akan mengalami siksaan. Orang yang sudah
bukan manusia lagi ini tentu mempunyai cara-cara yang amat keji untuk menyiksa dan membunuh
musuhnya.
Giam Kin tertawa-tawa lagi lalu mengeluarkan sulingnya. Pada saat suling itu mulai ditiup, tahulah Cui Bi,
atau setidaknya dapatlah ia menduga siksaan apa yang akan ia hadapi. Dan dugaannya itu ternyata benar
karena tak lama kemudian ia mendengar suara berisik, mendesis-desis dan menggelesernya tubuh banyak
ular menuju ke tempat itu.
Tidak lama kemudian dia mencium bau yang amat amis dan kiranya ular-ular itu sudah dekat sekali. Giam
Kin menghentikan tiupannya, mengeluarkan setangkai bunga berwarna kuning dan ular-ular itu berhenti
bergerak, seolah-olah ketakutan melihat kembang warna kuning itu!
"He-he-heh, bocah anak Beng San. Ular-ular itu akan menuruti segala perintahku. Sekali kuperintah,
mereka akan menyerbu dan menggerogoti kulitmu yang halus dan dagingmu yang lunak sampai tinggal
tulang-tulangmu saja. Heh-heh-heh, dalam waktu kurang dari satu jam, wajahmu yang cantik akan menjadi
buruk, lebih buruk dari wajahku. Rambutmu yang hitam panjang ini akan copot dari kepala, matamu yang
bagus-bagus itu akan masuk ke perut ular. Hanya tulangmu yang tinggal, kau akan berubah menjadi
kerangka dan ayah ibumu takkan mengenalmu lagi. Heh-heh-heh! Aku akan menikmati pertunjukan ini,
melihat kau menggeliat-geliat kesakitan, melihat kau berkelahi melawan maut, melihat betapa hidungmu
yang bagus itu akan digigit ular, dan kulitmu yang halus akan dibeset, lalu dagingmu diperebutkan. Hehheh-
heh!"
Cui Bi sudah tak mendengarkan ini semua. Semenjak ular-ular itu datang ia tahu bahwa nyawanya tidak
akan dapat tertolong lagi. Ia tidak takut menghadapi kematian, tidak pula takut menghadapi siksaan, akan
tetapi pada saat ia berada ditepi jurang kematian itu, terbayanglah wajah tiga orang, yaitu wajah ibunya,
wajah ayahnya dan wajah Kun Hong! Tak tertahankan lagi naik sedu sedan di kerongkongannya dan
beberapa titik air mata mengalir ke atas pipinya.
"Heh-heh-heh, kau menangis? Heh-heh-heh-heh, bagus, menangislah. Aahhh, alangkah senangnya kalau
aku bisa memperlihatkan ini kepada jahanam Beng San! Heh-heh, dia sendiri sekarang mungkin sudah
mampus atau terluka hebat. Aahh, alangkah manisnya pembalasan dendam!"
Giam Kin berdiri, mundur dan kemudian duduk bersila di bawah pohon tak jauh dari situ. Ia menyimpan
kembali kembang kuning itu dan mulai meniup sulingnya. Matanya yang tinggal sebelah itu bersinar-sinar
memandang pertunjukan di depannya yang akan segera di mulai.
Suling ditiup, suaranya melengking tinggi mengalun sedih seperti ratap tangis yang keluar dari neraka.
Ular-ular itu mulai merayap maju, berlenggang-lenggok menggeliat-geliat dan merayap ke arah Cui Bi yang
masih menggeletak telentang.
"Mati Bukan soal, tapi melawan sebisanya adalah wajib," pikir gadis ini.
Ia mengerahkan seluruh tenaga lweekang yang ada di dalam tubuhnya, lalu tiba-tiba saja tubuhnya
menggeliat dan melompat ke atas. Dengan meliukkan pinggangnya ia berhasil turun dalam keadaan
berdiri. Badannya bergoyang-goyang, memang sukar untuk dapat melakukan hal itu dalam keadaan
terbelenggu kaki tangannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Diam-diam Giam Kin kagum bukan main. Ginkang yang diperlihatkan gadis itu betul-betul ginkang tingkat
tinggi.
Melihat ular-ular itu sudah mengurungnya dan jumlah mereka amat banyak sehingga di sekelilingnya
dalam jarak lima enam meter adalah ular belaka, Cui Bi maklum bahwa tak mungkin ia dapat melompati
jarak itu keluar dari lingkaran barisan ular. Setelah ular-ular semakin dekat dan siap menerjang kakinya, ia
menggerakkan kedua tumit kakinya dan tubuhnya meloncat ke atas, lalu dengan mengerahkan lweekangnya
ia turun lagi tepat mengarah pada kepala seekor ular besar.
"Krakkk!"
Kepala ular itu hancur lebur oleh injakan kaki Cui Bi yang secepatnya telah meloncat lagi ke atas dan turun
menginjakkan kedua kakinya pada kepala seekor ular besar lainnya. Demikianlah, gadis yang luar biasa ini
berkali-kali meloncat dan tiap kali tubuhnya turun tentu seekor ular mati dengan kepala remuk. Makin lama
makin gembiralah Cui Bi karena meski pun ia maklum bahwa akhirnya ia akan roboh dan tewas, namun ia
telah berhasil membunuh banyak calon-calon pembunuhnya.
Gembira sekali hati Giam Kin. Ia melihat betapa gadis itu makin lama makin menjadi lemah. Tiap kali
meloncat dan tiap kali menginjak remuk kepala seekor ular, gadis itu pasti mengerahkan lweekang yang
cukup besar makan tenaganya sehingga setelah dua puluh ekor lebih ular yahg diinjaknya mati, gadis itu
mulai mandi peluh dan gerakannya lambat. Akhirnya seekor ular berhasii membelit kakinya sehingga ketika
Cui Bi melompat, ular itu terbawa naik.
Gadis itu maklum bahwa sekali saja ular yang belang-belang kulitnya ini menggigit, akan robohlah dia
terkena racun. Cepat ia menggerakkan kedua kakinya selagi meloncat itu. Gerakannya cepat dan
mengandung tenaga sehingga lilitan tubuh ular itu pada kakinya telepas dan ular itu terlempar sampai
sepuluh meter lebih jauhnya!
"Hebat..." Giam Kin memuji. Lengking sulingnya makin meninggi dan hal ini agaknya membuat ular-ular itu
semakin ganas saja.
Cui Bi kehabisan tenaga dan maklum bahwa belum tentu ia kuat meloncat lima kali lagi. Dan setelah ia
tidak kuat meloncat, tentu ular-ular itu akan membelit kakinya merayap ke atas, menggigiti kakinya sampai
ia roboh untuk dikeroyok dan diperlakukan seperti yang telah dibayangkan oleh Giam Kin tadi.
Akan tetapi baru saja meloncat tiga kali, ia sudah kehabisan tenaga dan injakannya tidak mematikan
seekor pun ular. Ia sudah tidak kuat meloncat lagi dan sudah meramkan mata untuk menerima kematian
yang amat mengerikan.
"Heh-heh-heh, ha-ha-ha, kini pertunjukan mulai..." Giam Kin tertawa terkekeh-kekeh.
Akan tetapi tiba-tiba suara ketawanya berhenti dan yang terdengar oleh telinga Cui Bi adalah teriakan
orang, nyaring sekali.
"Bi-moi... lekas kau berloncatan lagi...! Loncat, pertahankan!"
Suara ini seolah-olah aliran listrik yang memberi kekuatan baru kepada Cui Bi, menyendal kembali
harapannya untuk hidup yang tadi sudah terbang ke awang-awang. Dan sebelum kakinya terbelit ular,
sekuat tenaga ia meloncat ke atas, sambil meloncat ia membuka kedua mata memandang.
"Hong-ko...!" di dalam dadanya bergema teriakan hatinya ini sebab ia masih belum dapat mengeluarkan
suara sama sekali.
Dilihatnya betapa pemuda itu dengan memegang dua batang obor kayu, menggunakan api obor itu untuk
mengamuk dan menyerang barisan ular, menyerbu ke arah tempatnya. Tak terasa lagi air mata bercucuran
di kedua mata Cui Bi, saking girang dan terharunya. Akan tetapi, kekuatiran besar memenuhi hatinya kalau
ia melihat Giam Kin masih duduk bersila di tempat tadi sambil memandang ke arah Kun Hong dengan mata
mengandung kemarahan, akan tetapi mulutnya mengejek.
Seperti binatang buas apa saja, ular pun sangat takut terhadap api. Mereka yang kurang cepat menyingkir
sudah berkelojotan terkena serangan Kun Hong. Ada yang mencoba untuk menyerang pemuda itu, akan
dunia-kangouw.blogspot.com
tetapi begitu tubuhnya tercium api, lalu berkelojotan, menggigit bagian badan sendiri yang termakan api
saking panas dan sakitnya. Sebagian yang lainnya menyingkir ketakutan sehingga terbukalah jalan bagi
Kun Hong untuk berlari ke arah Cui Bi.
"Kau pegang ini sebuah, Bi-moi!" teriak pula Kun Hong sambil menyerahkan obor yang tadi dipegang oleh
tangan kanannya.
Dengan penuh semangat Cui Bi segera mengacung-acungkan sepasang lengannya yang terbelenggu
untuk memberi tahu bahwa tak mungkin ia melakukan apa yang diminta itu.
Melihat ini Kun Hong cepat meletakkan sebuah obor ke bawah, mencabut Ang-hong-kiam dan membabat
belenggu kaki dan tangan gadis itu. Ang-hong-kiam tajam bukan main dan tenaga dalam dari Kun Hong
juga hebat, maka dengan sekali babat saja putuslah semua belenggu dan terbebaslah Cui Bi.
Sesudah itu, dengan pedang dikempit untuk membebaskan tangan kanannya, Kun Hong yang maklum
bahwa gadis ini tentu telah tertotok urat gagunya, menotok belakang leher dan menepuk punggung dua
kali.
"Hong-ko...!" sekali ini suara itu keluar dari mulut Cui Bi, disusul isak tangis saking girang dan terharunya.
Tiba-tiba saja Cui Bi merampas pedang dari tangan Kun Hong, matanya memandang liar ketika
membalikkan tubuh memandang ke arah Giam Kin. Akan tetapi alangkah heran, terkejut dan marahnya
ketika ia tidak lagi melihat manusia iblis itu berada di tempat tadi, sudah tidak kelihatan bayangannya lagi.
"Ke mana dia...?"
"Kau mencari siapa, Adik Bi?" tanya Kun Hong.
"Manusia iblis itu, Giam Kin si keparat, hendak kucincang hancur tubuhnya!"
"Ahh, apa kau maksudkan pengemis buta sebelah yang meniup suling tadi? Aku sudah terheran-heran tadi
mengapa ia bisa terus bermain suling sedangkan di depannya terjadi penyerangan ular-ular itu kepadamu.
Kenapa ia tidak turun tangan menolongmu?"
"Menolongku? Ahh, Hong-ko dialah yang menyuruh ular-ular itu mengeroyokku. Dia itulah si iblis bernama
Giam Kin yang memusuhi Ayah dan karena itu dia hendak membalas dendamnya melalui aku. Dia sengaja
mendatangkan ular-ular itu sesudah menawanku secara licik dan curang. Dia hendak melihat ular-ular itu
merobohkan aku, menggerogoti kulit dan dagingku, melihat aku berkelojotan melawan maut, melihat aku
berubah menjadi rangka, tinggal tulang-tulang saja, ahh... Hong-ko..."
Gadis itu menubruk, merangkul pundak Kun Hong dan menangis tersedu-sedu. Kun Hong bergidik dan
membiarkan gadis itu memuaskan perasaannya, membiarkan dia menangis sesenggukan. Memang inilah
obat terbaik untuk menenangkan kembali perasaannya yang tertindih dan tercekam hebat oleh
pengalaman yang begitu mengerikan. Baru saja gadis ini lolos dari lubang jarum, lolos dari cengkeraman
maut yang nyaris begitu pasti.
Diam-diam Kun Hong berterima kasih kepada Tuhan bahwa ia tidak tertambat datang. Terlambat beberapa
menit lagi saja, bayangan ngeri dan seram seperti dikatakan gadis ini tadi pasti akan terjadi.
"Hong-ko... kau telah menolong nyawaku, Hong-ko..."
"Sudahlah, jangan besar-besarkan hal itu, Bi-moi," jawab Kun Hong merendah, padahal hatinya merasa
bahagia bukan main.
"Girang sekali hatiku bahwa kaulah yang berhasil menolongku, Hong-ko. Akhirnya kaulah orangnya yang
berhasil merenggut aku dari cengkeraman maut, maka sudah sepatutnya pula kalau aku menghambakan
diri kepadamu selama hidupku."
Mendengar kesanggupan gadis ini, tanpa terasa lagi Kun Hong memeluk dan mendekap kepala orang
yang disayang dan dicintanya itu rapat-rapat ke dadanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bi-moi... Bi-moi... semoga Tuhan memberkahi kita dan mengabulkan apa yang menjadi cita-cita kita ini...
ahh, mari kita lekas menyusul ke tempat ayahmu. Tadi kulihat dia telah dikeroyok banyak orang jahat, dan
ibumu serta Li Eng dan Hui Cu juga sudah menyusul ke sana. Aku melihat kau ditawan orang dan dibawa
lari, maka cepat aku mengejar. Sama sekali tak kusangka bahwa orang itu adalah pengemis buta sebelah
tadi, dan sama sekali tidak kusangka dia itulah yang bernama Giam Kin. Pernah aku mendengar dari
ayahku tentang orang itu..."
"Baiklah, Hong-ko, mari kita susul Ayah. Tapi aku tidak kuatir Ayah akan dikalahkan oleh keroyokan orang
jahat."
Cui Bi merasa yakin sekali akan kepandaian ayahnya, maka mendengar bahwa ayahnya dikeroyok orang,
ia tidak menjadi gelisah. Apa lagi setelah dia mendengar bahwa ibunya telah pula datang ke tempat itu,
apa yang harus ditakuti dan dikuatirkan lagi? Masih ada lagi Hui Cu yang cukup lihai dan terutama Li Eng
yang berkepandaian tinggi.
Baru saja mereka keluar dari hutan itu, tampak dua orang muda berlari cepat mendatangi dari depan.
Mereka ini bukan lain adalah Kong Bu dan Sin Lee.
"Adik Cui Bi, kau tidak apa-apa?" teriak Kong Bu dari jauh, girang melihat Cui Bi sudah berjalan di samping
Kun Hong dalam keadaan sehat selamat, hanya mukanya agak pucat.
Cui Bi juga girang melihat Kong Bu, akan tetapi ketika mengingat akan peristiwa di depan jalan terowongan
dan ketika melihat Sin Lee juga berada di situ, dia meragu. Betapa pun juga melihat sikap yang begitu
memperhatikan, ia segera bertanya,
"Bu-ko hendak ke manakah kau? Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku terancam bahaya? Dan dia ini...?”
Ia mengerling ke arah Sin Lee yang berdiri tegak.
Kong Bu tersenyum, lalu memegang kedua tangan adik tirinya. "Ahh, adikku, jangan kau curiga. Aku tadi
melihat kau dibawa lari oleh manusia iblis, lalu aku sengaja mengejarnya. Dia ini juga membantuku turut
mengejar untuk menolong adik tirinya. Bukankah begitu?" pertanyaan terakhir ini diucapkan Kong Bu
sambil memandang Sin Lee.
Sin Lee mengangguk, tanpa mengeluarkan kata-kata karena perasaannya masih penuh keharuan, juga
kebingungan sebab baginya, urusan antara ibu dan ayahnya itu membuat dia ragu-ragu dan serba salah.
Cui Bi terharu sekali, menghampiri Sin Lee dan memegang tangan pemuda ini, menatap wajah Sin Lee
dengan pandang mata tajam penuh selidik.
"Kau juga kakakku, kakak tiri putera Ayah. Sin Lee Koko, apakah kau masih juga hendak memusuhi Ayah,
memusuhi Ibu, dan memusuhi aku?" Sinar mata yang bening indah itu menatap wajah Sin Lee seakanakan
hendak menembus hatinya.
Sin Lee tertegun, tak dapat menjawab.
"Adik Cui Bi, tentu saja tidak. Tadi Ayah sudah dikeroyok oleh banyak tokoh lihai, terluka dan hampir
celaka. Aku dan dia ini turun tangan membantu Ayah, agaknya hati kami tak dapat mengijinkan orangorang
membunuh ayah kami di depan mata kami begitu saja. Ayah telah menderita luka-luka hebat dan
sekarang telah dibawa pulang oleh ibumu."
Wajah Cui Bi menjadi pucat seketika. "Ayah terluka...? Ahhh, hayo kita pulang menengok Ayah!" Ia lalu
melompat dan berlari cepat menuju ke puncak.
Kong Bu dan Sin Lee saling pandang, bersepakat dalam pandang mata masing-masing, lalu ikut pula
berlari. Cui Bi tiba-tiba berhenti dan memandang Kun Hong.
"Ahhh, aku lupa... maaf, Hong-ko. Marilah kita bersama ke puncak. Bu-ko dan Lee-ko, terpaksa kita berlari
jangan terlalu cepat agar Hong-ko tidak ketinggalan."
Kun Hong tersenyum. "Larilah Bi-moi, dan aku akan coba mengikutimu dari belakang."
dunia-kangouw.blogspot.com
Demikianlah, keempat orang muda itu melanjutkan perjalanan melalui jalan rahasia yang terdekat, dipimpin
oleh Cui Bi sebagai penunjuk jalan, tidak terlalu cepat karena mereka kuatir kalau-kalau Kun Hong tidak
dapat mengimbangi kecepatan mereka. Di sepanjang jalan dua orang putera Beng San itu mendengar
penuturan Cui Bi mengenai perbuatan biadab Giam Kin dan tentang pertolongan Kun Hong.
Meski pun Kun Hong menjawab secara merendahkan diri namun diam-diam dua orang pemuda itu
menduga bahwa Kun Hong putera Ketua Hoa-san-pai itu tentulah mempunyai kepandaian yang luar biasa
sehingga sanggup mengejar Giam Kin dan dapat memberi pertolongan kepada Cui Bi.
Kedatangan mereka disambut anak murid Thai-san-pai dengan gembira, terutama sekali Hui Ci dan Li Eng
yang tidak saja gembira melihat bahwa paman mereka selamat, juga lebih-lebih melihat Sin Lee dan Kong
Bu ikut pula datang ke puncak.
"Paman Beng San terluka hebat, sekarang sedang dirawat oleh Bibi," kata Li Eng.
Dengan wajah penuh kegelisahan Cui Bi cepat-cepat memasuki rumah diikuti oleh Kong Bu, Sin Lee, Hui
Cu, Li Eng, dan Kun Hong. Mereka memasuki kamar dengan hati-hati dan alangkah kagetnya dan sedih
hati Cui Bi ketika melihat ayahnya duduk bersila dengan wajah sepucat mayat, sedangkan ibunya duduk di
belakang ayahnya, menempelkan dua telapak tangannya pada punggung ayahnya.
Keduanya meramkan mata. Napas Beng San terengah-engah dan berat, sedangkan Li Cu yang sedang
memberi saluran hawa murni ke tubuh suaminya untuk membantu suaminya memulihkah tenaga dan
mengobati luka di dalam, kelihatan sangat pucat dan keringatnya membasahi leher dan muka.
Orang-orang muda yang tahu akan ilmu silat tinggi itu maklum apa yang tengah dilakukan oleh dua orang
tua di atas pembaringan itu, maka mereka tidak berani mengganggu.
Tiba-tiba Kun Hong melangkah maju dan berkata halus, "Bibi, harap kau suka mengaso, sangat berbahaya
bagi kesehatan Bibi sendiri. Biarlah aku yang bodoh mencoba-coba mengobati Paman Beng San."
Semua orang terkejut dan merasa bahwa ucapan Kun Hong ini lancang. Li Cu dan Beng San yang
mendengar ada suara orang, segera membuka mata, lalu memandang kepada mereka.
"Ayah, Ibu, Kakak Kong Bu dan Kakak Sin Lee datang..." berkata Cui Bi, menahan isak tangisnya melihat
keadaan ayahnya.
Memang hebat sekali penderitaan Beng San. Luka-lukanya adalah luka pukulan lweekang dan senjata
yang mengandung racun mematikan. Keadaannya amat berbahaya, cahaya matanya sudah menghilang
dan pandang matanya sayu. Akan tetapi begitu melihat Kong Bu dan Sin Lee berdiri di situ, ia pun
tersenyum, mengangguk-angguk dan matanya yang pudar itu mengeluarkan cahaya bahagia.
Li Cu yang maklum bahwa suaminya sedang berjuang melawan maut, tanpa melepaskan tangannya
berkata, "Anak-anak, harap jangan mengganggu kami, tunggulah di luar."
Akan tetapi Beng San memandang Kun Hong. Melihat pemuda aneh ini tunduk dan sinar mata pemuda itu
berkilat-kilat menjelajahi seluruh tubuhnya, dia berkata lemah,
"Biarlah... biarlah dia... mengobatiku... kau beristirahatlah... dia benar... berbahaya bagi kandunganmu..."
Setelah berkata demikian, tubuhnya menjadi lemas dan dia tidak kuat bersila lagi, roboh terguling dan dari
mulutnya menyembur darah segar.
Li Cu kaget sekali, cepat-cepat menerima tubuh suaminya dan menidurkannya telentang sambil menahan
isaknya ketika turun dari pembaringan. Nyonya ini kelihatan lelah sekali. Dia terlalu banyak mengeluarkan
tenaga untuk membantu suaminya dengan pengerahan tenaga lweekang yang berlebihan. Mukanya pucat
kehijauan, napasnya terengah-engah.
"Bi-moi, tolong ambilkan kertas dan alat tulis. Ibumu harus segera diberi obat," kata Kun Hong setelah
memandang sejenak ke arah Li Cu.
Cui Bi terheran-heran. Ia tidak mengira bahwa orang yang dikasihinya ini ternyata pandai ilmu pengobatan,
maka cepat-cepat ia mengambilkan barang yang dimintanya. Kun Hong lalu duduk di kursi, menuliskan
huruf-huruf yang indah dan cepat sekali di atas kertas dan memberikan kertas itu kepada Cui Bi.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Carilah obat ini, campur dengan air tiga mangkok, masak sampai tinggal semangkok lalu beri minum
kepada ibumu." Lalu ia menoleh ke arah Li Cu yang sedang membersihkan darah yang dimuntahkan
suaminya tadi dengan sehelai sapu tangan.
“Bibi, harap kau suka mengaso untuk menjaga kesehatanmu.”
“Tidak, aku harus menjaga dia….”
Mendengar suara yang penuh cinta kasih dan kesetiaan ini, Kun Hong terharu sekali. Ia dapat melihat
bahwa keadaan nyonya ini sangatlah berbahaya, karena dalam keadaan mengandung telah menyalurkan
tenaga dalam dan hawa murni. Hal ini benar-benar amat berbahaya, tidak saja bagi kandungannya, juga
bagi kesehatan tubuhnya.
“Bibi, percayalah padaku. Apa bila Tuhan menghendaki, Paman Beng San akan sembuh. Bi-moi, kau
ajaklah Ibumu beristirahat dan segera kau menyuruh orang mencarikan obat dari resep itu.”
Melihat sikap kekasihnya yang begitu meyakinkan, Cui Bi tidak ragu-ragu lagi. Memang ia selalu
mempunyai dugaan bahwa kekasihnya ini bukan orang sembarangan, melainkan seorang yang
menyembunyikan kepandaiannya. Kiranya kepandaiannya adalah sebagai ahli pengobatan. Ia memeluk
Ibunya dan berkata,
“Ibu, kau percayalah kepada Hong-ko, mari mengaso dan minum obat.”
Li Cu memandang kepada Kun Hong dengan mata penuh perasaan, bahkan akhirnya ada air mata yang
perlahan-lahan berlinang keluar dari mata itu.
“Kun Hong, kau putera Kwa Tin Siong Lo-enghiong, tentu saja aku percaya kepadamu. Semoga kau betulbetul
dapat menyembuhkannya….”
Kemudian ia menahan isak ketika memandang lagi kepada suaminya yang sudah pingsan terengah-engah
itu, dan akhirnya keluar dari kamar sambil dituntun oleh puterinya.
“Kuharap kalian berempat suka pula keluar dan menunggu di luar. Terlalu banyak orang di dalam kamar
amatlah tak baik bagi si sakit. Li Eng, tolong kau minta kepada Cui Bi agar memberiku jarum-jarum perak
dan sepanci air panas mendidih.”
Tanpa berkata apa-apa lagi Sin Lee, Kong Bu, Hui Cu dan Li Eng meninggalkan kamar, tetapi tidak
meninggalkan ruangan di luar kamar itu. Dari pintu kamar yang tetap terbuka mereka dapat melihat ke
dalam, melihat apa yang akan dilakukan oleh Kun Hong untuk mengobati Beng San yang keadaannya
nampak sudah amat payah itu. Ada pun Li Eng cepat-cepat pergi mencari Cui Bi untuk minta barangbarang
yang dipesan oleh Kun Hong tadi.
Setelah semua orang pergi, Kun Hong lalu mulai memeriksa luka-luka di tubuh Beng San. Kening pemuda
itu berkerut, dahinya berkeriput ketika ia mengerahkan segenap kekuatan ingatannya untuk mencari hal-hal
tentang pengobatan yang sudah dihafalnya dari semua kitab milik Yok-mo. Ia memeriksa jalannya darah
pada nadi, ketukan jantung pada dada kiri, memeriksa jalan-jalan darah pada jalan darah terpenting.
Kun Hong mendapat kenyataan bahwa Beng San menderita luka dalam yang hebat pada tiga tempat, dan
darahnya telah terserang racun berbahaya dari luka-lukanya di luar pula. Benar-benar amat parah.
Dengan gerakan perlahan tetapi tepat dan tidak ragu-ragu, Kun Hong menotok beberapa pusat jalan darah
di tubuh Beng San, mengurut bagian leher dan dada untuk mencegah menjalarnya racun dan mencegah
darah keluar dari mulut, kemudian ia membantu daya tahan ditubuh Beng San dengan pengerahan
lweekang pada telapak tangannya yang dia tempelkan pada ulu hati. Usahanya berhasil baik karena
pernapasan yang sakit itu tidak seberat tadi.
Pada saat Li Eng datang memasuki kamar membawa air panas sepanci dan sebungkus jarum-jarum perak,
Kun Hong melepaskan tangannya dari si sakit, lalu memberi isyarat kepada Li Eng untuk keluar kamar dan
menutupkan pintunya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Li Eng memenuhi permintaan ini. Sekarang empat orang muda itu berdiri di luar kamar, tidak dapat lagi
melihat apa yang sedang dilakukan oleh Kun Hong di dalam kamar itu, hanya dapat saling pandang penuh
keheranan dan menduga-duga.
“Hebat pamanmu itu,” kata Kong Bu akhirnya kepada Li Eng.
“Apakah kau sebagai keponakannya tidak tahu bahwa dia itu pandai ilmu pengobatan?” Tanya Sin Lee
kepada Hui Cu.
Pertanyaan-pertanyaan ini dilakukan berbisik dan secara otomatis empat orang muda itu terbagi menjadi
dua rombongan. Kong Bu berdekatan dengan Li Eng sedangkan Sin Lee berdekatan dengan Hui Cu.
“Memang dia orang aneh, mengaku tidak bisa apa-apa tetapi agaknya menyembunyikan kepandaian luar
biasa,” jawab Li Eng kepada Kong Bu.
“Aku sendiri tidak tahu bahwa dia pandai ilmu pengobatan, dia tidak pernah bicara tentang kepandaiannya,
kecuali kepandaian membaca kitab-kitab,” bisik Hui Cu sebagai jawaban kepada Sin Lee.
Pelayan datang mengantarkan minuman untuk empat orang muda itu. Mereka berpencar lagi, Kong Bu
dengan Sin Lee duduk menghadapi meja kecil di sebelah kiri pintu kamar, ada pun dua orang gadis itu
duduk menghadapi meja di sebelah kanan pintu kamar.
Tak lama kemudian muncullah Cui Bi di ruangan itu. “Ibu sudah minum obat dan sekarang tidur nyenyak.
Aku harus membantu Hong-ko.”
Tanpa memberi kesempatan kepada empat orang muda itu untuk mencegahnya, ia terus saja membuka
pintu kamar, lalu masuk dan menutup pintu dari dalam. Empat orang itu saling pandang dan tersenyum
maklum. Li Eng dan Kong Bu, juga Sin Lee, berseri-seri wajahnya. Hui Cu menunduk, kelihatan malu dan
jengah.
Kun Hong menoleh ketika mendengar ada orang memasuki kamar. Ketika melihat bahwa yang masuk
adalah Cui Bi, ia memandang dengan mata bertanya dan alis berkerut.
"Jangan marah, Hong-ko. Aku harus membantumu. Ibu sudah minum obat dan sekarang sedang tidur.
Kebetulan obat-obat yang kau tulis itu tersedia di kamar obat kami."
Kun Hong tidak tega menolak permintaan kekasihnya. Ia hanya mengangguk kemudian memasukkan
belasan batang jarum ke dalam mangkok yang sudah dia isi dengan air mendidih.
"Kalau begitu, tolong kau buka baju ayahmu."
Dengan sigap Cui Bi melakukan perintah ini. Dia gelisah sekali melihat luka-luka di tubuh ayahnya,
terutama sekali luka dalam yang hanya kelihatan membiru dan kemerahan di tempat-tempat berbahaya
seperti lambung, dada, dan leher. Dengan hati-hati ia membuka baju ayahnya yang terkena noda darah
yang dimuntahkan, lalu menyingkirkan baju itu ke sudut kamar.
Ada pun Kun Hong tetap melanjutkan pekerjaannya memasukkan jarum-jarum ke dalam air panas tadi.
Dengan isyarat tangan dia lalu minta bantuan Cui Bi untuk mengangkat tubuh Beng San yang masih tak
sadarkan diri dan membaringkan tubuh itu telungkup.
"Bi-moi, jangan dekat, kau mundurlah dan jangan mengeluarkan suara."
Mendengar suara yang penuh wibawa ini, meremang bulu tengkuk Cui Bi. Bukan main laki-laki ini, kadangkadang
dia kelihatan bodoh dan halus lemah lembut, akan tetapi pada saat ini kelihatan amat berpengaruh,
penuh wibawa dan suaranya mengandung kekuatan dan kekuasaan yang hebat. Cui Bi cepat melangkah
mundur dan berdiri di sudut kamar, memandang penuh perhatian, penuh harapan, dan penuh kekaguman.
Kun Hong mengeluarkan sembilan batang jarum perak dari dalam air panas, memegang jarum-jarum itu
pada tangan kiri, mengambil sebatang dengan tangan kanan, dijepit di antara ibu jari dan telunjuk, lalu ia
melangkah mundur tiga tindak dari pembaringan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Jarak antara dia dengan tubuh Beng San ada satu setengah meter, matanya memandang tajam, semangat
dikumpulkan, napas ditahan, tenaga lweekang digerakkan dan tiba-tiba dia menubruk ke depan. Jarum
yang pertama telah dia tusukkan tepat pada jalan darah tiong-cu-hiat yang letaknya di belakang leher.
Secepat cara ia menusuk ke depan, ia telah melompat ke belakang pula, lalu mengambil jarum kedua dan
ditusukkan pada jalan darah kin-ceng-hiat di pundak kanan, lalu jalan darah hong-hu-hiat di belakang
kedua pundak, di punggung bawah kanan kiri, jalan darah sin-teng-hiat di kedua pergelangan tangan
sampai sembilan batang jarum itu semua habis ditusukkan, menancap di pelbagai jalan darah yang
penting.
Kun Hong kemudian berdiri tegak dengan mata meram, dua tangan disilangkan, menarik napas panjang
memulihkan tenaga dalam yang tadi banyak dikeluarkan untuk melakukan penusukan-penusukan jarum itu.
Beberapa menit kemudian dia bergerak lagi, namun kini melakukan totokan-totokan dengan jari telunjuk,
menotok mulai dari belakang kepala terus menurun sampai di lutut.
Caranya menotok juga aneh karena ia mempelajari dari kitab pengobatan ajaib Toat-beng Yok-mo. Seperti
tadi, ia menotok dari jarak jauh, melompat dan menotok seperti orang menyerang lawan, akan tetapi
totokannya selalu tepat mengenai sasaran!
Melihat semua gerakan Kun Hong ini, Cui Bi melongo saking herannya. Ia tidak mengenal ilmu tusuk jarum
itu, akan tetapi ilmu menotok tentu saja ia kenal baik. Yang membuat ia kagum adalah cara menotok
dengan sebuah jari ini.
Belum pernah ia melihat cara menotok seperti itu. Dia hanya mendengar saja cerita dari ayahnya bahwa di
jaman dahulu ada semacam ilmu menotok yang disebut It-ci-san, akan tetapi Tiam-hiat-hoat (Ilmu Menotok
Jalan Darah) ini sekarang hanya tinggal dongengan saja. Ayahnya sendiri belum pernah melihat ada tokoh
silat yang menggunakan totokan ini dalam pertandingan. Akan tetapi sekarang dia melihat Kun Hong
menggunakan ilmu itu, hanya bukan untuk bertanding, melainkan untuk mengobati secara hebat sekali.
Kali ini, setelah menotok semua jalan darah yang penting, Kun Hong nampak lelah sekali, Cepat ia duduk
bersila di atas lantai untuk mengatur pernapasan dan memulihkan tenaga sampai sepuluh menit lebih, baru
ia bangun dan memeriksa detik nadi tangan Beng San.
Wajahnya nampak berseri karena tepat seperti petunjuk di dalam kitab pengobatan, cara pengobatan pada
babak pertama ini berhasil apa bila detik nadi menjadi cepat luar biasa, dan detik nadi yang dipegangnya
itu pun cepat sekali. Dengan tenang tapi amat cepat ia mencabuti jarum-jarum itu dan memasukkannya
kembali ke dalam mangkok lainnya yang sudah diisi air panas. Air di mangkok itu segera berubah menjadi
kehitaman!
"Bi-moi, mari bantu aku." Ia memerintah dan Cui Bi cepat-cepat melangkah maju, penuh kekaguman.
Akan tetapi Kun Hong sama sekali tidak memperhatikan nona ini dan ia bersama Cui Bi mengangkat tubuh
Beng San untuk ditelentangkan kembali. Alangkah leganya hati Cui Bi ketika melihat betapa wajah
ayahnya yang tadinya pucat seperti mayat sekarang merah kembali, malah terlalu merah dan pada saat ia
membantu tadi, tubuh ayahnya dirasakan panas seperti api.
Kun Hong memberi isyarat supaya gadis itu mundur lagi, kemudian ia mulai lagi dengan pengobatan babak
ke dua, yaitu dengan cara menusuk-nusukkan sembilan batang jarum perak ke pelbagai jalan darah di
tubuh bagian depan. Setelah mengaso sebentar, Kun Hong kembali melakukan totokan-totokan seperti
tadi. Sekali ini seluruh tubuh Kun Hong mengeluarkan peluh dan terpaksa ia beristirahat lebih lama dari
tadi.
Cui Bi mendekat. Melihat wajah dan pernapasan ayahnya, girang bukan main hatinya. Ia memandang
pemuda yang bersila di lantai itu penuh kekaguman, penuh cinta kasih dan ingin rasa untuk memeluknya.
Ia berterima kasih sekali dan memandang dengan mesra.
Cepat dia menuangkan arak yang tersedia di kamar itu ke dalam sebuah cawan, lalu ikut duduk bersila di
dekat Kun Hong, cawan arak di tangannya, menanti sampai pemuda itu menyudahi semedhinya.
Tercenganglah Kun Hong ketika ia membuka mata, ia melihat Cui Bi duduk mendeprok di depannya,
memandang mesra dan mengangsurkan secawan arak.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kau minumlah dulu...," suaranya merdu sekali, bisikan yang membuat wajah Kun Hong seketika menjadi
merah dan jantungnya berdebar keras.
Cepat ia menindas perasaan ini, sambil tersenyum menerima cawan itu dan meminum isinya.
"Terima kasih, memang perlu bagiku...," jawabnya sambil mengembalikan cawan yang telah kosong.
Kemudian ia mencabuti jarum-jarum itu dan terdengarlah Beng San mengeluh. Pendekar sakti itu batukbatuk
tiga kali, kemudian membuka matanya. Dengan gerakan ringan dia mengangkat kedua tangannya,
lalu seperti orang kaget dan heran ia bangun duduk.
"Ayah, kau sembuh...!" teriak Cui Bi.
"Ahhh... Orang muda, kau benar-benar luar biasa...," kata Beng San.
"Harap Paman jangan bergerak lebih dahulu, perlu mengembalikan tenaga dalam, maaf, akan saya bantu,
harap Paman mengerahkan tenaga dari pusar ke dalam rongga dada, terutama ke sebelah kiri untuk
memperkuat jantung. Bi-moi, kau hangatkan arak untuk ayahmu nanti."
Sambil berjingkrak-jingkak dan menari-nari kegirangan Cui Bi membuka pintu, keluar dari kamar itu. Empat
orang muda yang menunggu di luar kaget, akan tetapi mereka girang sekali ketika dengan wajah berseriseri
dan mata bersinar-sinar gadis itu berkata,
"Ayah sembuh... ohh, Ayah sembuh... Hong-ko hebat...!" Ia lalu lari untuk menghangatkan arak dan
menyampaikan berita girang ini kepada ibunya.
Mendengar ucapan ini, empat orang itu segera melongok melalui pintu kamar yang sudah terbuka oleh Cui
Bi tadi. Dengan penuh kekaguman dan juga keheranan mereka melihat Beng San sudah duduk bersila
tanpa baju. Wajahnya tampak merah, bibirnya tersenyum dan matanya meram. Di belakangnya duduk Kun
Hong bersila pula sambil menempelkan tangan kiri di belakang leher dan tangan kanan di belakang
punggung Beng San. Pemuda ini juga memeramkan matanya.
Terdengar tindak kaki tergesa-gesa dan ketika mereka menengok, ternyata Li Cu yang berlari-lari datang,
matanya berlinang air mata. Seakan-akan tidak melihat adanya empat orang muda di depan pintu itu, dia
terus langsung memasuki kamar, terhenti di ambang pintu, dan menahan napas. Matanya memandang ke
arah suaminya, lalu ia terisak-isak ditahan dan menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan, menangis
perlahan.
Kong Bu dan Sin Lee yang melihat ini semua tiba-tiba mendengar isak lirih di belakang mereka dan
ternyata ketika mereka menengok, Hui Cu dan Li Eng juga sedang terisak menangis!
"Ehh, mengapa menangis?" Sin Lee berbisik kepada Hui Cu.
"Karena girang!" jawab Li Eng dan ternyata ketika menurunkan tangan, wajah gadis ini berseri-seri.
"Girang tapi menangis?" Kong Bu menyela. "Aneh, kalau girang menangis, habis kalau berduka
bagaimana?"
"Tentu saja menangis juga," sekarang Hui Cu yang menjawab, dan baru kali ini terdengar gadis pendiam
ini bergurau, agaknya saking gembira hatinya melihat betapa pamannya betul-betul dapat menyembuhkan
Ketua Thai-san-pai itu.
Agaknya Beng San mendengar juga isak tertahan itu. Ia membuka matanya memandang kepada Li Cu
yang sedang berlutut di pinggir pembaringan, lalu tersenyum. "Kwa-hiante, cukuplah, aku sudah yakin
sekarang bahwa aku akan sembuh. Kau turunlah."
Mendengar ini, Kun Hong melepaskan kedua tangannya. Mukanya agak pucat, namun wajahnya berseri. Ia
segera turun dari pembaringan ketika isteri Beng San berlutut di situ. Beng San memandang dengan wajah
berseri.
"Tak kusangka bahwa hari ini nyawaku tertolong oleh putera Kwa Tin Siong Lo-enghiong. Hiante, tidak
perlu aku mengucapkan terima kasih, cukup kalau kunyatakan bahwa aku telah berhutang nyawa
dunia-kangouw.blogspot.com
kepadamu. Hiante, kalau aku boleh bertanya, dari siapakah kau mendapat ilmu pengobatan yang luar
biasa ini?"
Kun Hong sudah berdiri di tengah kamar, tunduk kemalu-maluan dan di belakangnya berdiri empat orang
muda yang tadi menanti di luar kamar, sedangkan Li Cu kini pun sudah duduk di pinggir pembaringan.
Dengan malu-malu dan merendah Kun Hong menjawab, "Paman sakit dan aku berusaha merawat, soal
seperti ini harap Paman jangan besar-besarkan. Andai kata saya yang menderita sakit, saya yakin Paman
juga tentu akan merawat saya. Ada pun tentang ilmu pengobatan, saya membaca dari kitab-kitab
pengobatan Toat-beng Yok-mo."
Beng San beserta isterinya saling pandang penuh keheranan. Toat-beng Yok-mo adalah seorang tokoh
jahat, seorang manusia berhati iblis yang selalu membunuh setiap orang yang berobat kepadanya. Lalu
bagaimana putera Ketua Hoa-san-pai ini dapat membaca kitab-kitab pengobatannya?
Kalau sekali membaca terus ingat hal ini tidak aneh bagi Beng San karena dia sendiri pun seorang yang
amat cerdas dan sanggup sekali membaca terus ingat. Akan tetapi, hanya membaca saja, bagaimana
dapat melakukan pengobatan-pengobatan yang memerlukan tenaga lweekang?
"Hiante, keteranganmu itu cukup, memang Yok-mo adalah seorang ahli pengobatan yang tiada keduanya
di dunia ini. Akan tetapi caramu mengerahkan lweekang membantu penyaluran tenaga dalam padaku,
hemmm, apakah itu kau pelajari pula dari kitab-kitab Yok-mo? Aku tahu betul lweekang Hoa-san-pai tidak
begitu, malah lweekang yang kau salurkan tadi sejalan atau masih satu sumber dengan lweekang Thaisan-
pai. Sukakah kau memberi keterangan?"
Kun Hong menjadi bingung sekali, tidak tahu harus menjawab bagaimana. Ia tidak suka berbohong, akan
tetapi juga tidak berani membuka rahasia gurunya yang sudah tidak ada dan yang tidak pernah dilihatnya
itu. Karena itu ia hanya menundukkan muka tak dapat menjawab.
Melihat ini, Li Cu memandang suaminya, berkedip yang hanya diketahui oleh mereka berdua, lalu berkata,
"Hal itu kukira tidaklah aneh betul. Aku mendengar bahwa kepandaian Yok-mo sebetulnya adalah warisan
yang terjatuh di tangannya, yaitu warisan dari Yok-ong (Raja Obat), ada pun lweekang dari Yok-ong ini
kabarnya sesumber dengan lweekang dari Pendekar Sakti, nenek moyang perguruan kita."
Beng San mengangguk-angguk dan tak bertanya lebih lanjut. Pada saat itu Cui Bi berlari masuk membawa
arak hangat.
"Hong-ko, ini araknya!" katanya penuh kegembiraan dan memandang kepada pemuda itu dengan sinar
mata mesra.
Akan tetapi ketika melihat semua orang berada di situ dan semua orang termasuk ibu dan ayahnya
memandangnya, ia menjadi sadar. Dengan malu-malu ia meletakkan mangkok arak di atas meja, lalu
menghampiri ayahnya.
"Ayah, kau sudah sembuh betul?" Ia memeluk ayahnya.
"Bi-ji, ayahmu sudah selamat, hanya tinggal memulihkan tenaga saja berkat pertolongan Kwa Kun Hong
Hiante. Dan kau sendiri, ahh... Cui Bi, karena melihat kau ada dalam cengkeraman manusia iblis Giam Kin
itulah yang membuat ayahmu ini sampai menderita luka-luka. Bagaimana kau bisa selamat, anakku?
Apakah kedua orang kakakmu itu yang menolongmu?"
"Ayah belum tahukah kau, Ayah? Yang menolongku adalah Hong-ko ini juga! Kalau tidak lekas-lekas dia
datang, sekarang aku sudah menjadi rangka, tinggal tulang-tulang saja, daging dan kulitku tentu sudah
habis..." sampai di sini Cui Bi menangis, ngeri mengingat semua pengalamannya.
Kun Hong merasa semakin tidak enak, ia memang pemalu dan tidak suka menghadapi pujian-pujian. Ia
cepat-cepat mengambil arak hangat dan diangsurkan kepada Beng San, katanya,
"Arak hangat ini baik sekali untuk Paman, harap suka minum dan selanjutnya, untuk waktu tiga hari
sebaiknya minum obat yang akan saya buat resepnya. Maafkan, Paman, saya hendak membuat resep di
luar dan mengaso."
dunia-kangouw.blogspot.com
Saking herannya mendengar keterangan Cui Bi tadi, Beng San menerima mangkok arak hangat sambil
memandang dengan bengong. Tidak disangkanya sama sekali bahwa pemuda yang lemah-lembut itu,
meski pun dia sudah dapat menduga dari sinar matanya bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan,
dapat menolong puterinya dari tangan Giam Kin manusia iblis Si Raja Ular Kecil!
Ia lalu minum araknya, dan memberi tanda kepada Kong Bu dan Sin Lee sambil berkata, "Anak-anakku,
kalian mendekatlah..."
Kong Bu dan Sin Lee dengan terharu lalu melangkah maju dan berlutut pula dekat Cui Bi di depan tempat
tidur.
Melihat betapa orang tua dan anak-anaknya itu berkumpul di situ diam-diam Hui Cu dan Li Eng saling
mengangguk. Mereka segera keluar dari kamar itu, mencari Kun Hong yang ternyata sedang berjalan-jalan
di dalam taman menghirup hawa udara segar.
Dua orang gadis ini menggandeng tangan Kun Hong di kanan kiri dan keduanya tiada hentinya memujimuji
dengan bangga sampai akhirnya Kun Hong membentak mereka disuruh diam.
Ada pun di dalam kamar itu tampak pemandangan yang amat mengharukan. Bergantian Beng San
memeluk dan membelai kepala puteranya, lalu mereka semua mendengarkan penuturan Cui Bi tentang
pertolongan Kun Hong.
Mendengar cara Kun Hong menolong Cui Bi, kembali mereka semua menjadi tertegun dan ragu-ragu.
Kalau melihat cara mengusir ular-ular itu mempergunakan api, adalah cara orang biasa, bukan cara
seorang ahli silat tinggi.
"Aneh sekali anak itu," Beng San berkata, "sepak terjangnya penuh keberanian, memiliki kepandaian ilmu
pengobatan yang luar biasa pula, tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia pandai ilmu silat.
Pernahkah kalian melihat dia memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia adalah seorang ahli silat kelas
tinggi?"
Cui Bi menceritakan pengalamannya ketika bertemu dengan lawan berat dan betapa Kun Hong secara
aneh sekali berani menantang kemudian mempermainkan Kang Houw yang secara aneh memukuli batu
sampai seratus kali, juga bagaimana pemuda itu menantang dan dikeroyok oleh Tok Kak hwesio dan Toatbeng
Yok-mo akan tetapi akhirnya dua orang tokoh itu saling gebuk sendiri.
Mendengar ini Beng San mengerutkan kening, menggeleng-geleng kepala seperti tidak percaya akan
semua penuturan aneh itu.
Demikianlah, kalau di luar kamar dalam taman dua orang gadis Hoa-san-pai memuji-muji paman mereka,
adalah di dalam kamar itu Beng San yang baru saja bebas dari ancaman maut, bergembira ria, bercakapcakap
dengan anak-anaknya dan mendengar penuturan mereka seorang demi seorang…..
********************
Pada hari yang ditentukan, hari ke lima belas bulan itu, pagi-pagi sekali Beng San telah menampakkan diri.
Mukanya masih agak pucat, tubuhnya masih agak lemah karena biar pun sudah sehat kembali namun
tenaganya belum pulih seluruhnya. Namun ia kelihatan gagah tenang seperti biasa.
Keluarnya pendekar ini diiringkan para anak muridnya yang mengangkat panji-panji dan benda-benda
pusaka yang akan dijadikan lambang partai baru ini. Beng San berpakaian sederhana, pedangnya
tergantung di punggung, hanya kelihatan gagangnya saja yang menonjol di atas pundak. Sikapnya tenang
dan kereng, tidak merendah dan malu-malu seperti pada waktu mudanya. Langkahnya tegap dan
pribadinya membayangkan wibawa besar.
Di sebelah kirinya berjalan Li Cu. Nyonya ini meski sedang mengandung tiga bulan, tidak kelihatan
kegendutan perutnya. Pakaiannya ringkas, mukanya tetap cantik jelita biar pun usianya sudah hampir
empat puluh tahun. Sinar matanya tajam menyapu ke kanan kiri, ke arah para tamu. Gagang pedang yang
persis sama dengan pedang Beng San tampak di belakang pundaknya. Nyonya ini membayangkan sifat
yang berani, keras hati akan tetapi lemah lembut.
dunia-kangouw.blogspot.com
Yang menarik perhatian semua orang, terutama para tamu muda, adalah tiga orang gadis yang berjalan di
belakang nyonya Ketua Thai-san-pai ini. Mereka ini adalah Cui Bi, Li Eng, dan Hui Cu. Tiga orang gadis
remaja ini kelihatan cantik-cantik manis, masing-masing memiliki kelebihan sendiri, akan tetapi ketiganya
nampak gagah dan bersemangat, jelas membayangkan kepandaian ilmu silat tinggi.
Di belakang Beng San berjalan dua orang pemuda yang tampan gagah, yang berjalan sambil
membusungkan dada, mengangkat dada tinggi-tinggi dan kepala tegak dengan mata memandang lurus ke
depan, dua orang muda yang membayangkan kekuatan hebat. Mereka ini adalah Kong Bu dan Sin Lee.
Di belakang dua orang muda ini, kelihatan Kun Hong yang kelihatan lemah lembut dan semua orang tentu
mengira bahwa dia merupakan seorang pemuda pelajar yang lemah. Pedang Ang-hong-kiam dia simpan di
balik jubahnya sehingga tidak kelihatan dari luar. Langkahnya lambat dan lebar, bibirnya tersenyum akan
tetapi pandang matanya serius, seperti pandang mata orang-orang yang sudah tergembleng oleh
pengalaman dan derita hidup.
Memang Kun Hong merasa agak kuatir, juga Li Cu. Kun Hong mengusulkan tadi agar hari pendirian ini
ditunda dan diundurkan. Kesehatan pamannya itu walau pun sudah tidak menguatirkan lagi, akan tetapi
tenaga dalamnya belum pulih sama sekali sehingga kalau menghadapi orang pandai, bisa-bisa akan
celaka.
Kun Hong sudah dapat meramalkan bahwa dalam pertemuan itu sudah pasti orang-orang jahat akan maju
mempergunakan kesempatan ini untuk mengacau. Mendengar ini, Li Cu juga membujuk suaminya supaya
menunda dan mengundurkan hari itu. Akan tetapi dengan bersikeras Beng San menolak.
"Pendirian sebuah partai tidak boleh dibuat main-main. Kita sudah mengumumkan dan orang-orang gagah
dari semua penjuru membanjir datang, bagaimana dapat ditunda lagi? Apa lagi kalau alasannya hanya
karena aku kurang sehat. Hemmm, pendirian ini lebih penting dari pada keselamatanku. Biarlah mereka
yang bermaksud buruk maju, aku masih ada kekuatan untuk melawannya."
"Tidak usah Ayah maju, aku sendiri pun sanggup mewakilinya memberi hajaran kepada manusia-manusia
iblis!" seru Cui Bi dengan muka gemas karena ia teringat kepada Giam Kin dan ingin sekali berhadapan
dengan manusia licik itu.
"Ibu tidak usah kuatir, aku Kong Bu tidak percuma berada di samping Ayah," kata Kong Bu penuh
semangat.
"Aku pun tidak akan membiarkan orang menghina Ayah!" kata Sin Lee.
"Paman dan Bibi, kalau membolehkan kami berdua juga sanggup untuk mewakili Paman menghadapi
orang-orang yang hendak mengacau," kata Li Eng dan Hui Cu mengangguk membenarkan.
Mendengar ucapan orang-orang muda yang penuh semangat ini, Beng San lalu tertawa gembira.
"Nah, ke mana semangatmu yang dulu-dulu?" dia menegur isterinya. "Sikap mereka ini mengingatkan aku
akan semangatmu pada masa dahulu. Dahulu kau pun bersemangat seperti bocah-bocah ini."
Mereka tertawa dan Li Cu hilang kekuatirannya. Ia cukup maklum akan kelihaian dua orang anak tirinya,
juga maklum bahwa selain Cui Bi, Li Eng cukup boleh diandalkan. Apa lagi di situ ada dia sendiri, takut apa
lagi?
Juga tidak semua tamu memusuhi mereka, banyak juga teman-teman baik yang tentu tak akan
membiarkan Thai-san-pai dikacau oleh orang jahat. Akan tetapi ada sesuatu yang mengganjal hatinya dan
hal ini tidak mau ia sembunyikan.
"Bukannya aku kehilangan semangat," katanya kemudian. "Akan tetapi yang agak berat dilawan adalah
tosu itu. Entah siapa dia? Gerakan tangannya saja menunjukkan tenaga lweekang yang hebat sekali."
Beng San mengerutkan kening, "Ahh, kau maksudkan suheng dari Siauw-ong-kwi yang bernama Pak-thian
Locu itu? Memang dia hebat. Hemmm, tak usah kuatir, aku sanggup menghadapinya."
Padahal diam-diam Beng San harus mengakui bahwa dalam keadaan seperti sekarang ini, tak mungkin ia
dapat memandang rendah kepada kakek itu. Ia boleh mengandalkan ilmu pedangnya, akan tetapi dalam
dunia-kangouw.blogspot.com
hal tenaga, ia kalah jauh. Kalau di waktu sehat saja ia sudah kalah lihai dalam tenaga dalam, apa lagi
sekarang. Tenaganya belum ada enam puluh prosen yang kembali. Tetapi kekuatiran ini ia tekan saja di
dalam hatinya dan tidak diperlihatkan keluar.
Setelah rombongan tuan rumah ini sampai di tempat yang sudah disediakan, yaitu di belakang panggung,
Beng San memberi isyarat kepada anak muridnya.
Dengan rapi dan teratur anak murid Thai-san-pai berbaris mendekati panggung. Beberapa orang naik ke
panggung dengan gaya loncatan khas Thai-san-pai, ringan dan gesit tetapi tanpa kelihatan mengerahkan
tenaga. Beberapa orang ini mengatur meja sembahyang yang semenjak tadi memang sudah dipasang di
sudut panggung. Dengan hormat mereka menyalakan lilin, mengatur meja sembahyang lalu berdiri di
kanan kiri merupakan barisan penghormatan.
Beng San melangkah maju, terus tubuhnya melayang ke atas panggung seperti seekor burung terbang,
menghampiri meja, memasang hio dan melakukan sembahyang dengan khidmat. Dengan suara lantang
pendekar ini mengucapkan sumpah dan mohon berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa agar supaya Thaisan-
pai dapat berdiri kokoh kuat dan para murid tidak menyeleweng dari peraturan-peraturan yang
disumpahkan itu.
Setelah Beng San selesai bersembahyang, sebagai sumpah anggota, Li Cu dan Cui Bi meloncat ke atas
panggung. Ibu dan anak ini gerakannya ringan seperti bulu terbawa angin saja, kemudian mereka lalu
bersembahyang.
Kemudian datanglah giliran para anggota yang jumlahnya tiga puluh tujuh orang itu untuk melakukan
sembahyang dan selesailah sudah upacara sembahyangan ini. Kini tiba giliran para tamu untuk memberi
selamat kepada Thai-san-pai dan menyampaikan bingkisan-bingkisan sebagai tanda mata.
Bukan main gembiranya suasana di saat itu. Apa lagi ketika berbondong-bondong datang rombongan
sahabat-sahabat Ketua Thai-san-pai, terjadilah gelak tawa, wajah berseri-seri dan berisiklah orang
bercakap-cakap. Betapa hati Beng San tidak akan girang menerima sahabat-sahabat lama dari partaipartai
persilatan besar Siauw-lim-pai, Kong-thong-pai, dan Go-bi-pai. Bahkan yang membuat ia luar biasa
bergembira adalah hadirnya Ketua Kun-lun-pai, sahabat lamanya yang bernama Bun Lim Kwi bersama
puteranya, Bun Wan.
Tentu saja sahabat dan calon besan ini mendapat penyambutan hangat sekali dan suami isteri Thai-sanpai
ini diam-diam merasa makin gembira melihat calon mantu mereka, Bun Wan. Pemuda itu ternyata
gagah sekali, dengan tubuh tinggi besar dan tegap. Alisnya hitam berbentuk golok, matanya penuh
kejujuran dan kesetiaan, sedang gerak-geriknya membayangkan bahwa dia merupakan seorang pemuda
yang tinggi ilmu silatnya, patut menjadt putera ketua Kun-lun-pai, dan calon mantu Ketua Thai-san-pai.
Akan tetapi, ketika mendengar bahwa pemuda itu adalah tunangannya, Cui Bi membuang muka dan
bersembunyi di belakang para anak murid Thai-san-pai. Ia diam-diam harus mengakui bahwa tunangannya
itu cukup tampan dan gagah, akan tetapi karena hatinya telah terampas oleh pemuda Hoa-san-pai yang
sederhana itu, mana ia mau memandang tunangannya lagi?
Ketika ibunya menarik tangannya ke depan, terpaksa dia memberi hormat kepada ‘calon ayah mertuanya’
tanpa sepatah kata-kata pun, lalu dia bersembunyi lagi.
Di pihak Bun Lim Kwi yang sekarang sudah kelihatan setengah tua dan masih gagah, ia tertawa terbahakbahak
menyaksikan sikap calon menantunya yang malu-malu itu. Sikap demikian adalah wajar, maka dia
tidak merasa tersinggung malah tertawa bergelak.
Ada pun Bun Wan yang mengerling pada saat gadis itu tadi memberi hormat kepada ayahnya, merasa
jantungnya berdebar. Bukan main tunangannya itu! Cantik jelita seperti bidadari, melampaui segala yang
pernah ia impikan. Diam-diam ia memberi selamat pada diri sendiri atas kemujuran ini.
Cui Bi diam-diam gelisah sekali melihat betapa akrab pergaulan antara orang tuanya dan Ketua Kun-lunpai
itu. Ia tetap bersembunyi sampai tamu-tamu yang disambut hangat ini sudah dipersilakan duduk
kembali ke daerah kursi kehormatan.
Hidangan berupa arak dan daging mulailah dikeluarkan dan keadaan menjadi semakin meriah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan amat singkat Beng San membuka pertemuan itu sambil berdiri di atas panggung. Suaranya
lantang terdengar jelas karena semua orang menghentikan percakapan mereka untuk mendengarkan.
"Cuwi sekalian yang terhormat. Sebagai Ketua Thai-san-pai, saya menghaturkan banyak terima kasih dan
selamat datang atas kunjungan dan perhatian saudara sekalian sebagai saksi dari pendirian partai baru
yang kami dirikan, yaitu Thai-san-pai. Terima kasih pula kami ucapkan atas pemberian selamat dan
bingkisan-bingkisan, semoga hal ini akan bisa mempererat persaudaraan di antara kita dan semoga Thian
yang akan membalas segala kebaikan saudara sekalian. Kepada para saudara yang datang dengan
kandungan hati yang tulus ikhlas kami persilakan menikmati hidangan sekedarnya. Ada pun mereka yang
mengandung maksud lain, segala rasa penasaran yang terpendam, sekaranglah kiranya terbuka
kesempatan bagi mereka itu untuk mengeluarkannya agar disaksikan oleh semua tamu yang terhormat."
Setelah berpidato singkat ini, Beng San kembali ke tempat duduknya. Kata-katanya yang terakhir itu
singkat saja, namun langsung menikam mereka yang memang datang bukan mengandung niat baik
Kata-kata ini diucapkan bukan tanpa alasan, tetapi karena memang sudah ada kejadian yang menunjukkan
bahwa di antara para tamu yang datang terkandung pula niat yang buruk. Hal ini terbukti dari adanya orang
yang membunuh anak murid Thai-san-pai, juga mereka yang berusaha mati-matian untuk memecahkan
jalan rahasia, dan mereka yang telah menculik Cui Bi serta mengeroyoknya.
Beng San terpaksa mengeluarkan pernyataan ini karena dari atas panggung tadi ia masih belum melihat
tokoh-tokoh yang mengeroyoknya dua hari yang lalu, juga tidak kelihatan adanya Giam Kin.
Dari tempat ia duduk, sepasang mata Beng San yang amat tajam itu menyapu para tamu dan terlihat jelas
olehnya kini betapa di antara para tamu itu terdapat bekas-bekas lawan dan orang-orang yang selama ini
menganggapnya sebagai musuh. Diam-diam pendekar ini menggolongkan para tamunya menjadi tiga
golongan.
Pertama-tama tentu saja golongan para sahabat baik yang datang khusus untuk memberi selamat dan ikut
bergembira dengan pendirian Thai-san-pai, mereka ini antara lain adalah Kun-lun-pai, Hoa-san-pai, tokohtokoh
Pek-lian-pai dan beberapa tokoh kang-ouw yang dikenalnya baik.
Golongan ke dua adalah golongan yang selama ini memusuhinya dan di antara golongan ini ia mengenal
beberapa tosu Ngo-lian-kauw, orang-orang Bu-eng-pai yang dipimpin oleh seorang wanita tua yang ia
kenal, yaitu Ang Kim Nio. Juga ia melihat adanya tokoh-tokoh bajak sungai dari Huang-ho yang tentu tidak
senang hati mereka sejak Ho-hai Sam-ong terbunuh oleh Li Cu.
Ada pula Koai-sin-kiam Oh Tojin yang dulu membantu kakak kandungnya yang jahat, Tan Beng Kui, dan
masih banyak lagi orang-orang dari golongan jahat. Dia menduga bahwa tokoh-tokoh besar yang
mengeroyok kemarin dulu, tentu bersembunyi dan nanti juga akan muncul kalau sudah tiba saatnya.
Orang-orang itu memang termasuk tokoh-tokoh aneh, tidak seperti kebanyakan.
Ada pun golongan ke tiga adalah yang tidak mudah diraba bagaimana nanti sikapnya. Di dalam golongan
ini termasuk pula para wakil Siauw-lim-si, dan sungguh pun Siauw-lim-pai tidak langsung memusuhinya,
namun ia melihat dua orang di antara mereka adalah Hek Tung Hwesio dan Pek Tung Hwesio yang
dahulunya dianggap sudah melarikan diri dari Siauw-lim-pai dan menjadi musuh mendiang Cia Hui Gan.
Malah pernah dua orang ini dikalahkah oleh Li Cu (baca Raja Pedang).
Juga guru silat kota raja Lai Tang si pongah itu yang sukar dijajaki isi hatinya. Dan masih banyak orangorang
aneh dari selatan yang tidak dikenalnya namun yang jelas memiliki kepandaian tinggi.
Suasana makin menegang ketika para tamu sudah minum arak dan minuman keras ini agaknya membuat
mereka mulai terlepas bicaranya dan keadaan makin berisik. Namun keadaan tuan rumah dan orang-orang
muda yang menemaninya itu tetap tenang-tenang saja, seakan-akan tidak tahu akan perbuatan ini.
Beng San maklum bahwa perkumpulan yang baru didirikannya itu hanya mempunyai tiga puluh lebih orang
anggota, tak boleh dibilang cukup kuat untuk menghadapi bahaya. Akan tetapi ia percaya kepada diri
sendiri, apa lagi di situ ada isterinya yang lihai dan terutama sekali karena sekarang di samping Cui Bi yang
ia tahu tak lihai dari ibunya, terdapat pula anaknya yang baru tiba, Sin Lee, Kong Bu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia maklum bahwa dua orang puteranya ini adalah bocah-bocah gemblengan, bahkan ia boleh
mengandalkan tenaga murid-murid Hoa-san-pai terutama Li Eng. Hui Cu memang belum begitu tinggi
ilmunya sedang Kun Hong tetap merupakan tokoh penuh rahasia bagi Beng San.
Pemuda ini sama sekali tidak pernah mau mengaku bahwa ia memiliki kepandaian tinggi, dan karena Beng
San merasa berhutang nyawa, maka pendekar ini tidak berani untuk mencoba-coba. Biar pun masih amat
muda, sikap Kun Hong seperti seorang yang sudah tua, membuat orang tidak berani main-main
kepadanya.
Di samping kekuatan keluarga sendiri yang cukup membesarkan hati ini, di sana masih banyak sahabatsahabat
yang kiranya takkan berpeluk tangan kalau melihat Thai-san-pai diganggu penjahat. Terutama
sekali tentu saja, calon besan dan calon mantunya Bun Lim Kwi dan Bun Wan.
Cuma seorang saja yang kadang-kadang membuat Beng San berdebar, yaitu Pak-thian Locu. Apa bila
kakek itu nanti muncul, tidak ada orang lain yang boleh diandalkan untuk menghadapinya kecuali dia
sendiri. Kakek itu terlampau lihai, dan tingkatnya sudah tinggi sekali sehingga dia sendiri pun masih raguragu
apakah akan dapat mengatasinya.
Beberapa orang tamu sudah mulai mabuk dan tiba-tiba Lai Teng guru silat pongah yang tinggi besar itu
berdiri dari bangkunya. Agaknya teman-temannya semeja sudah berhasil menghasutnya dan sekarang dia
berdiri dengan kaki terpentang dan dia bertepuk tangan beberapa kali untuk menarik perhatian.
Setelah semua orang memandangnya, ia pun mulai berkata dengan suara nyaring, "Heii! Thai-san-pai ini
partai macam apa sih? Perkumpulan para pengejar huruf, para pengejar konde, ataukah perkumpulan
orang-orang gagah? Jika ketuanya seorang ahli silat tinggi, seorang raja pedang, kenapa perayaan ini
begini adem? Membosankan!"
Ucapan ini terang merupakan penghinaan yang sengaja dikeluarkan untuk memancing keributan. Akan
tetapi Beng San dan keluarganya hanya memandangnya dengan sikap tenang-tenang saja.
Terdengarlah pekik sorak di sana-sini, terutama dari mereka yang memang ingin segera menyaksikan
keributan terjadi di tempat itu. Ada suara dari sudut berseru, "Lai-kauwsu, kau mempunyai julukan Si Cakar
Naga, di kota raja siapa yang tidak pernah mendengar nama besarmu? Tetapi di sini, jangan kau mainmain.
Apa kau berani memperlihatkan kepandaianmu di panggung? Jangan-jangan kau akan diketawai
Thai-san-pai!"
Semua orang menengok untuk melihat Si Pembicara, akan tetapi tidak ada yang tahu betul siapa yang
menguacapkan suara tadi. Hanya orang-orang pandai di antara tamu dan tentu saja pihak tuan rumah
yang tahu bahwa suara ini dikeluarkan oleh seorang pandai yang mempunyai ilmu khikang tinggi sehingga
dapat memindahkan arah suaranya. Orang yang pandai dengan ilmu ini, biar pun ia berdiri di sebelah
barat, suaranya dapat terdengar seperti datang di sebelah timur.
Beng San maklum bahwa orang yang memusuhinya mulai ‘membakar’ suasana. Namun dia tenang saja
dan memang sudah siap menghadapi segala kericuhan yang disengaja oleh para lawannya. Sebagai
sebuah partai baru, Thai-san-pai harus bisa memperlihatkan keangkerannya, harus dapat menjaga nama,
dan keadaan yang sekarang dia hadapi ini merupakan ujian berat namun baik sekali.
Lai Tang Si Cakar Naga ikut menengok juga akan tetapi karena tidak dapat melihat orang yang
mengeluarkan kata-kata itu, ia segera melihat ke arah panggung dan kemarahannya sudah meluap.
"Siapa takut diketawai dan siapa berani menertawai aku?"
Tubuhnya melayang dan ia sudah naik ke atas panggung yang memang disediakan itu. Ketika melayang
ke atas papan panggung itu, tubuhnya seperti daun kering saja, amat ringan dan sedikit pun tidak
mengeluarkan suara. Menyaksikan ginkang yang cukup hebat ini, para tamu yang muda dan yang tidak
begitu tinggi tingkat ilmunya, segera bertepuk tangan riuh-rendah memuji.
Lai Tang yang disoraki ini ‘mendapat hati’. Sambil petantang-petenteng ia berkata ke arah rombongan tuan
rumah.
"Tidak ada partai baru didirikan tanpa diuji. Thai-san-pai adalah partai baru, tapi siapa pernah mendengar
tentang ilmu silat Thai-san-pai? Dalam perayaan semacam ini, sudah sepatutnya Thai-san-pai
dunia-kangouw.blogspot.com
memperlihatkan isinya. Biarlah aku menjadi orang pertama untuk belajar kenal dengan kelihaian ilmu siiat
Thai-san-pai!"
Kong Bu bergerak dari bangkunya, juga Sin Lee mengepal tinju, akan tetapi Beng San memberi isyarat
kepada dua orang puteranya itu untuk menahan diri dan bersikap sabar, kemudian ia menggapai kepada
Oei Sun, murid kepala yang berdiri di rombongan para murid Thai-san-pai.
Isyarat ini cukup dapat dimengerti oleh Oei Sun yang dengan langkah tenang kemudian menghampiri
panggung. Setelah menjura ke depan Beng San dan Li Cu, murid kepala ini lalu melompat ke atas
panggung, menghadapi Lai Tang sambil tersenyum dan memberi hormat.
"Lai-kauwsu, atas perkenan ketua kami, saya diwajibkan melayani Kauwsu yang datang sebagai tamu dan
kami Thai-san-pai sebagai tuan rumah wajib melayani semua kehendak tamu. Harap Kauwsu ketahui
bahwa Thai-san-pai didirikan bukan sekali-kali bermaksud untuk menjagoi, terlebih-lebih pula sama sekali
bukan didirikan dengan maksud mencari permusuhan dengan orang atau pihak mana pun juga."
"Ha-ha-ha-ha!" Lai Tang tertawa bergelak. "Kalau begitu, apakah Thai-san-pai merupakan sebuah
perkumpulan yang mengajar seni tari, ataukah kebatinan, apakah perkumpulan bermain judi? Apakah Thaisan-
pai bukan perkumpulan silat?"
Merah muka Oei Sun mendengar ejekan ini, namun mulutnya masih tersenyum ramah dan tenang. "Laikauwsu,
sudah tentu saja guru kami mendirikan sebuah perkumpulan silat dan Thai-san-pai adalah
perkumpulan silat karena ketuanya adalah seorang ahli silat yang sudah dikenal oleh seluruh dunia. Akan
sama sekali bukan perkumpulan silat yang mendidik murid-muridnya untuk menjadi orang pongah dan
sombong. Semua anak murid Thai-san-pai mempelajari ilmu silat hanya untuk memenuhi kehendak guru
dan memenuhi sumpah Thai-san-pai, yaitu menggunakan kepandaian silat untuk memberantas kejahatan
dan kelaliman, menegakkan kebenaran serta keadilan, mengabdi kebajikan, bukan untuk menjadi jagoan
yang berlagak tengik!"
Lai Tang merasa disindir dan matanya melotot. "Bagus sekali! Kalau begitu ingin sekali aku menguji ilmu
silat Thai-san-pai, apakah sudah cukup tinggi untuk sanggup membuat anak-anak muridnya menjadi
pendekar. Silahkan ketuanya maju, biar aku Lai Tang mohon sedikit pelajaran."
Oei Sun juga sudah marah. "Lai-kauw-su, aku Oei Sun adalah murid Thai-san-pai. Suhu sudah
memerintahkan aku untuk melayanimu, jadi kalau kau sebagai tamu menghendaki pertandingan untuk
menguji ilmu silat, silakan, aku bisa melayanimu."
"Ahh, begitukah? Nah, kau terimalah seranganku ini!"
Lai Tang serta merta menerjang dengan serangannya dan agaknya guru silat ini hendak mencapai
kemenangan dalam waktu singkat karena begitu menerjang dia telah mainkan ilmu silatnya yang paling
diandalkan dan yang membuat dia dijuluki Si Cakar Naga, yaitu ilmu silat yang dia namakan Liong-jiauwkang
(Ilmu Cakar Naga).
Ilmu silat ini dimainkan dengan kedua tangan terbuka, dan jari-jari tangan dipergunakan untuk
mencengkeram sedangkan pukulan dilakukan oleh pangkal tangan. Disertai tenaga lweekang yang kuat,
ilmu Liong-jiauw-kang ini memang berbahaya sekali karena selain memukul, kedua tangan itu dapat
mencengkeram atau menangkap.
Pada hakekatnya ilmu Liong-jiauw-kang ini tiada bedanya dengan ilmu Eng-jiauw-kang. Akan tetapi dasar
Lai Tang orangnya sombong, ia mengadakan perubahan pada ilmu Silat Eng-jiauw-kang ini dan
menganggap bahwa ilmu silat ini merupakan ciptaannya, malah ia memakai julukan Si Cakar Naga segala!
Oei Sun adalah murid pertama dari Beng San. Biar pun bakatnya tidak amat baik, namun karena
ketekunannya mempelajari ilmu silat selama belasan tahun, bahkan selama dua puluh tahunan ini, tentu
saja ilmu silatnya sudah cukup tinggi.
Beng San serta Li Cu memang tidak melihat bakat baik pada dirinya, namun Oei Sun memiliki kejujuran,
kesetiaan dan keteguhan hati. Pasangan suami isteri ini menemukan Oei Sun ketika pemuda ini di suatu
dusun mengamuk menghadapi pengeroyokan belasan orang perampok untuk membela penduduk di situ,
padahal ia sama sekali tidak tahu ilmu silat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sifat gagah dan jiwa ksatria inilah yang menarik hati Beng San. Karena Oei Sun tidak mempunyai sanak
keluarga, dia lalu diajak ke Thai-san dan diberi pelajaran ilmu silat. Oei Sun amat setia dan malah sampai
sekarang dia tidak pernah beristeri.
Tentu saja Beng San tidak menurunkan ilmu-ilmu seperti Im-yang Sin-hoat atau ilmu silat isterinya Sian-li
Kun-hoat kepada Oei Sun, hanya puteri mereka saja yang mewarisi kedua ilmu ini. Namun Beng San
mengajarnya Thai-san Kun-hoat yang dia ciptakan bersama isterinya. Dalam Ilmu Silat Thai-san Kun-hoat
ini terkandung beberapa pukulan-pukulan penting dari kedua ilmu silat di atas.
Melihat datangnya penyerangan Lai Tang yang cepat dan bertubi-tubi itu, Oei Sun dengan tenang
menggeser kaki ke belakang dan beberapa kali ia mengelak dengan cepat sambil memperhatikan gaya
permainan lawan. Memang beginilah sikap anak murid Thai-san-pai, apa bila diserang lawan, tidak buruburu
membalas melainkan menangkis atau mengelak beberapa kali sambil memperhatikan gaya lawan
untuk mencari kelemahannya.
Pada hakekatnya, dasar ilmu silat Lai Tang tidaklah hebat, maka setelah mengelak lima kali saja Oei Sun
sudah dapat mengetahui kelemahan lawan. Cengkeraman yang menjadi pokok penyerangan itu dilakukan
dengan tangan bergerak dari depan dada sehingga siku lengan itu menjulur ke depan dan inilah
kelemahah Lai Tang.
Setelah mengelak dan menangkis beberapa belas jurus lamanya, Oei Sun mulai mencari kesempatan.
Pada waktu dia mengelak dari cengkeraman tangan kanan, tangan kiri Lai Tang sudah siap, lengannya
ditekuk dengan tangan di depan dada. Saat itulah Oei Sun cepat memukul ke depan, tepat pada siku kiri
Lai Tang, mengarah ke jalan darah pada sambungan siku.
"Aduh...!" Lai Tang terhuyung mundur, mukanya pucat dan tangan kanannya memegangi siku kiri yang
terlepas sambungannya oleh pukulan tadi!
Oei Sun cepat menjura sambil tersenyum, "Terima kasih bahwa Lai-kauwsu sudah suka mengalah
kepadaku."
'"Keparat! Jangan sombong dulu, aku belum kalah!" teriak guru silat kasar ini dan tangan kanannya tahutahu
telah mencabut sebatang golok dari pinggangnya.
Biar pun lengan kirinya sudah lumpuh karena sambungan sikunya terlepas ia masih dapat bergerak cepat
dan goloknya menyambar ke arah leher Oei Sun. Semua orang terkejut melihat gerakan golok yang amat
cepat datangnya, namun Beng San yang menonton dari kursinya hanya tersenyum tenang saja. Muridnya
itu biar pun kurang berbakat, namun cukup teliti dan terlatih sehingga kalau hanya menghadapi seorang
lawan kasar macam Lai Tang saja pasti tak akan memalukan.
"Eh, Lai-kauwsu hendak main-main dengan senjata?” seru Oei Sun sambil menundukkan kepala dan
menggeser kaki ke kiri, tangan kanannya bergerak dan tercabutlah sebatang pedang dari pinggangnya.
Ketika golok lawannya menyambar lagi dari samping, dia menangkis sambil menyelinap maju dan tahutahu
pedangnya sudah melanjutkan tenaga tangkisan atau benturan itu merupakan tusukan ke arah
lambung. Lai Tang dapat menangkis pula dan bertandinglah dua orang ini dengan seru.
Harus dipuji juga keuletan Lai Tang. Lengan kiri yang lumpuh itu menghambat gerakan-gerakannya, tapi
dia tidak mau menyerah mentah-mentah dan goloknya yang digerakkan dengan tenaga besar menyambarnyambar
ganas.
Namun menghadapi ilmu pedang Oei Sun, jelas bahwa ia kalah setingkat. Ilmu pedang Thai-san-pai yang
dimainkan Oei Sun adalah pecahan dari Im-yang Kiam-hoat dan Sian-li Kiam-hoat, hebatnya bukan
kepalang, juga amat indah ditonton.
Belum sampai dua puluh jurus pandang mata Lai Tang menjadi kabur, kepalanya pening dan melihat lawan
seakan-akan sudah berubah menjadi banyak sekali. Baiknya Oei Sun sebagai murid Beng San, bukanlah
seorang kejam. Ketika mendapat kesempatan baik, ia berhasil menggurat pergelangan tangan kanan Lai
Tang sehingga guru silat pongah ini berteriak sambil melepas goloknya. Darah bercucuran dari luka di
pergelangan tangan, luka yang tidak berbahaya tapi cukup mengeluarkan banyak darah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Oei Sun sudah menyimpan pedangnya, membungkuk untuk memungut golok kemudian menyerahkannya
kepada Lai Tang sambil berkata, "Terima kasih bahwa Lai-kauwsu telah mengalah dua kali kepadaku.”
Lai Tang menerima goloknya dan memandang dengan mata mendelik, mendengus sekali lalu meloncat
turun dari panggung, diiringi sorak sorai tamu yang memuji-muji Oei Sun. Di tengah sorak sorai itu,
sebelum Oei Sun meloncat turun, tiba-tiba saja nampak bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu seorang
tosu tua sudah berdiri menghadapi Oei Sun di atas panggung.
Pendeta ini berjubah kuning ringkas, pada punggungnya tampak gagang sebuah pedang. Sambil
tersenyum ia menjura dan berkata, "Kepandaian Sicu sangat hebat, tidak kecewa menjadi murid Thai-sanpai.
Lebih-lebih ilmu pedang tadi, amat indah dilihat sungguh pun kegunaannya belum tentu sehebat
keindahannya! Sicu, maukah kau memperlihatkan ilmu pedang Thai-san-pai kepada pinto (aku)?"
Melihat tosu ini, Beng San mengerutkan alisnya. Dia mengenal tosu itu yang bukan lain adalah Koai-sinkiam
Oh Tojin, dahulu pun pernah membantu Tan Beng Kui, kakaknya. Dari julukannya saja, Koai-sin-kiam
(Pedang Sakti Aneh), dapatlah diduga bahwa tosu ini merupakan seorang ahli pedang dan seingat Beng
San muridnya itu tidak akan menang menghadapi tosu ini yang lebih tinggi tingkatnya.
Akan tetapi, melihat bahwa muridnya itu tak menolak tantangan tosu itu, sudah tentu saja dia tidak dapat
menyuruh muridnya untuk mundur sebelum mereka bergerak. Dia hanya memandang dengan alis
berkerut.
Ada pun Oei Sun, sebetulnya dia adalah seorang yang cukup mempunyai kesabaran. Apa bila dia yang
dihina orang kiranya ia takkan mudah menjadi marah. Akan tetapi ucapan tosu itu tadi merupakan
penghinaan bagi Thai-san-pai, merupakan ucapan memandang rendah ilmu pedang Thai-san-pai, maka ia
menjadi penasaran dan mengambil keputusan untuk menjaga nama baik suhu-nya dan partainya. Ia pun
balas memberi hormat sambil berkata,
“Tentu saja sebagai tamu Totiang berhak meminta sesuatu dan sudah menjadi kewajiban tuan rumah
untuk melayani tamunya. Akan tetapi, siapakah Totiang ini, hendaknya sudi memberi nama yang benar
agar aku, Oei Sun murid Thai-san-pai, dapat terbuka mata dan mengenalnya."
"Ha-ha-ha-ha, kau orang muda yang pandai merendah, Oei-sicu. Bagus, karena sikapmu inilah kau akan
selamat dari tanganku. Ketahuilah, pinto adalah Oh Tojin, dan bergelar Koai-sin-kiam. Seperti kau ketahui,
dari julukan pinto itu sudah sepatutnya pinto tertarik akan ilmu pedang. Nah, pergunakanlah pedangmu
untuk menyerang, supaya pinto dapat merasakan kelihaian ilmu pedang Thai-san-pai!"
Tanpa banyak cakap Oei Sun mencabut pedangnya. "Harap Totiang suka mengeluarkan pedang Totiang"
"Ha-ha-ha!" tosu itu tertawa dengan sikap jumawa sekali. "Sudah kukatakan tadi, sikapmu menolongmu.
Pinto tak perlu menggunakan pedang karena sekali menggunakan pedang, tentu kau celaka. Jangan raguragu,
kau pergunakanlah pedangmu."
Oei Sun mendongkol sekali. "Totiang sendiri yang minta, harap jangan menyesal. Lihat pedang!"
Pedang Oei Sun berkelebat menyambar. Tosu itu dengan gerakan yang baik dan cepat sekali telah
berhasil menghindarkan diri. Oei Sun menyerang terus dengan hati-hati, akan tetapi benar-benar tosu di
depannya ini tidak dapat dipersamakan dengan Lai Tang yang sombong tadi.
Gerakan tosu ini ringan sekali dan berdasarkan ilmu silat yang tinggi. Geseran-geseran kakinya teratur dan
walau pun bertangan kosong, belum pernah pedang Oei Sun dapat menyentuh bajunya.
"Hemmm, Oei Sun terlalu sungkan, kalau ia bersungguh melakukan serangan maut, tosu badut itu tentu
akan repot," kata Li Cu yang duduk di sebelah kiri suaminya.
Beng San mengangguk. "Memang, mendengar bahwa tosu itu takkan mencelakakannya, cukup membuat
Oei Sun juga ikut sungkan melukainya. Kesalahan besar, terhadap orang yang begitu tinggi hati harus
memberi hajaran. Tetapi betapa pun juga, Oei Sun bukanlah lawannya."
Tosu itu benar-benar mempermainkan lawannya. Sambil mengelak dan meloncat ke sana ke mari,
mulutnya terus mengoceh. "Ah, jurus ini seperti jurus Hoa-san-pai. Orang muda, sudah banyak kuketahui
tentang ilmu pedang, banyak yang kelihatannya indah dan bagus tapi tidak berisi, seperti misalnya ilmu
dunia-kangouw.blogspot.com
pedang Hoa-san-pai itu. Memang bagus dipandang, tapi kalau dipergunakan dalam pertempuran, tidak ada
gunanya." Ia mengelak ke kiri dan menyambung. "Seperti jurusmu yang ini, apa gunanya? Lihat, ini baru
gerakan istimewa yang disebut Udang Sakti Mencapit Ikan!"
Pada saat itu, pedang Oei Sun menyambar dari atas ke bawah membacok pundaknya. Oh Tojin miringkan
tubuh dan pada saat pedang itu menyambar di dekat tubuhnya, tangan kanannya bergerak dan tahu-tahu
punggung pedang benar-benar telah di ‘capit’ oleh dua buah jari tangannya yang telah ditekuk.
Hebatnya, betapa pun Oei Sun berusaha membetot kembali pedangnya, ia tidak berhasil. Capitan atau
jepitan kedua jari tangan yang ditekuk itu benar-benar sangat kuat seperti jepitan baja!
"Ha-ha-ha, inilah jurus saktiku, Oei-sicu. Tangan kirimu masih bebas, apakah kau hendak memukul? Bisa,
tapi jagalah capit saktiku," kata tosu itu sambil tertawa-tawa.
Oei Sun tentu saja tidak mau mengalah secara demikian. Meski pedangnya sudah dijepit dan tak dapat ia
tarik kembali, tapi ia belum boleh dibilang kalah. Mendengar tantangan ini, ia lalu menggerakkan tangan
kirinya memukul bukan ke arah tubuh tosu itu melainkan ke arah tangan yang menjepit pedangnya. Usaha
ini ia lakukan supaya tangan itu suka melepaskan jepitannya dan pedangnya dapat terlepas.
Akan tetapi sekarang tosu itu menggerakkan tangan kirinya pula dan...
"Capp!"
Lengan tangan Oei Sun pada pergelangannya kena dijepit pula sehingga sekarang Oei Sun tak dapat
menggerakkan kedua lengannya sama sekali! Jepitan pada pergelangan itu mengakibatkan rasa nyeri
yang menusuk jantung.
"Ha-haha, Oei-sicu, apakah kau belum menerima kalah?"
Oei Sun adalah murid seorang pendekar sakti, mana bisa dia menyerah kalah sebelum roboh? Ia
menggeleng kepala, lalu kaki kanannya bekerja, menendang keras ke depan. Tetapi tiba-tiba tubuhnya
terdorong ke belakang dan karena kakinya sedang menendang, otomatis ia terjengkang dan roboh.
Pedangnya masih dalam jepitan tangan tosu lihai itu yang tertawa-tawa bergelak. Sekali tangan kanan tosu
itu bergerak, pedang yang dijepit itu sudah menancap ke atas papan panggung sampai setengahnya!
Oei Sun merayap bangun, berdiri dan menjura kepada tosu itu, "Aku Oei Sun mengaku kalah, tingkat
Totiang lebih tinggi dari padaku."
Setelah berkata begitu, Oei Sun mengerahkan tenaga mencabut pedangnya dan meloncat turun, memberi
hormat kepada suhu-nya dengan wajah muram.
Beng San hanya menegurnya singkat, "Lain kali jangan terlalu sungkan bila berhadapan dengan lawan,
Oei Sun!" Murid itu mengangguk dan berdiri di pinggiran.
Pada saat itu, Li Eng sudah berdiri di depan Beng San dan berkata, "Paman, aku akan menghadapi Si
Sombong itu!"
Anehnya, dia berlari-lari menghampiri panggung berdua dengan Hui Cu. Beng San tidak keberatan, namun
terheran-heran dan ingin mencegah dua orang gadis itu naik bersama. Apa maksud Li Eng? Apakah
hendak mengeroyok?
Adanya Beng San memberi persetujuan, karena ia maklum akan isi hati gadis itu. Tadi Oh Tojin menyebutnyebut
dan memburuk-burukkan nama Hoa-san-pai, sudah sepatutnya kalau gadis itu hendak membela
nama baik perguruannya dan ia maklum bahwa dengan kepandaiannya itu, Li Eng sudah pasti akan dapat
mengatasi Oh Tojin.
Akan tetapi, kalau gadis itu hendak maju berdua mengeroyok Oh Tojin, ahh, hal itu akan sangat
memalukan Hoa-san-pai! Sebelum ia sempat mencegah, dua orang gadis itu telah melompat ke atas
panggung dengan gerakan yang ringan dan cepat, gerakan khas dari Hoa-san-pai.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada saat itu, para tamu sedang bersorak dan bertepuk tangan memuji Oh Tojin. Setelah mendengar
pujian orang, tosu ini menjadi girang sekali dan lagaknya dibuat-buat. Ia lalu menjura ke empat penjuru dan
berkata nyaring,
''Tidak ada harganya untuk dipuji! Pinto belum memperlihatkan kepandaian karena hanya menghadapi
seorang lemah, mana ada kesempatan memperlihatkan kepandaian asli?"
Akan tetapi tepuk tangan semakin bergemuruh. Ia mengira bahwa orang-orang itu sedang memuji-muji dia,
tidak tahunya yang disoraki adalah gerakan dua orang gadis muda yang cantik-cantik dan yang
gerakannya benar-benar mengagumkan itu. Oh Tojin cepat-cepat menoleh, kemudian memandang dan
senyumnya melebar.
"Aha, kiranya Thai-san-pai mempunyai pula murid-murid wanita yang cantik dan pandai! Tentunya kalian
lebih pandai dari pada Oei Sun tadi. Akan tetapi kalian maju berdua, ini bagus sekali. Memang
sepatutnya... bagus sekali kalian maju berdua jadi berimbang dan agar jangan dikatakan bahwa aku orang
tua mau menang sendiri. Ha-ha-ha!"
Li Eng tertawa-tawa dan Hui Cu yang pendiam hanya berdiri tegak. Tadi memang Li Eng yang
membisikkan akalnya untuk menggoda tosu ini. Sebenarnya Hui Cu tak setuju, tapi karena ia maklum akan
kenakalan Li Eng dan pula memang ia mendongkol mendengar betapa tosu ini menghina Hoa-san-pai, di
samping kepercayaannya akan kelihaian Li Eng, maka ia menuruti kehendak adiknya itu.
"Eh, tosu tua yang bernama Oh Tojin berjuluk Koai-sin-kiam! Kami berdua ini juga menjadi tamu-tamu Thaisan-
pai dan kami naik ke sini karena kau tadi sudah menyingung nama Hoa-san-pai, perguruan kami!"
"Ha-ha-ha-ha, kalian anak murid Hoa-san-pai, ya? Aha, kalian naik mau apakah? Jangan main-main, biar
pun ilmu pedang Thai-san-pai yang diperlihatkan bocah tadi tidak berapa hebat, akan tetapi kalau
ditandingi dengan ilmu pedang Hoa-san-pai saja kiraku belum tentu kalian akan dapat mengalahkan." Tosu
itu memotong ucapan Li Eng.
"Bukan begitu, Totiang. Kami berdua tadi mendengar ocehanmu tentang keburukan ilmu pedang Hoa-sanpai
yang hanya indah dilihat namun tidak ada gunanya. Apakah benar begitu anggapanmu?"
Oh Tojin gelagapan mendengar pertanyaan Li Eng. Sebenarnya tadi dia berani mencela Hoa-san-pai
karena ia tidak melihat adanya tokoh-tokoh Hoa-san-pai hadir di tempat itu. Sekarang muncul dua orang
gadis muda ini yang mengaku sebagai murid Hoa-san-pai, sedangkan ia sudah terlanjur mengeluarkan
kata-kata mencela ilmu pedang Hoa-san-pai, terpaksa ia tidak dapat mundur lagi.
"Jika memang betul begitu, kalian mau apakah? Apakah kalian bisa membuktikan bahwa ucapanku tadi
tidak benar?" tantangnya sambil pringas-pringis.
Li Eng tersenyum, bukan main manisnya kalau dia tersenyum sambil memainkan kedua matanya itu.
"Totiang, tentang keburukan ilmu pedang Hoa-san-pai, kami sendiri tak akan menyombong dan aku yang
muda tidak berani pula membantah. Akan tetapi gerakanmu tadi ketika menjepit pedang Oei-enghiong
agaknya tidak menang hebatnya dengan jurus Hoa-san-pai yang bernama Kepiting Sakti Mencapit Ikan!"
Tosu itu melengak. "Tidak bisa jadi! Ilmu mencapit dengan dua buah jari itu merupakan ciptaanku, mana
bisa Hoa-san-pai memiliki ilmu seperti itu? Dan bukan kepiting melainkan udang sakti. Jangan kau mainmain!"
"Hi-hik, siapa main-main? Kau mau bukti? Lihatlah! Eh, Enci Hui Cu, kau cabut pedangmu dan bacok aku
seperti yang dilakukan Oei-enghiong tadi!" kata Li Eng kepada Hui Cu.
Mau tidak mau Hui Cu menahan ketawanya sehingga ia tersenyum-senyum lalu mencabut pedangnya.
Dengan gerakan perlahan dan lambat sekali ia membacok ke arah Li Eng.
Dengan lagak dibuat-buat seperti lagak tosu tadi, Li Eng mengelak dan ketika pedang itu begitu lambat
menurun di dekatnya ia lalu mencapit pedang itu dengan dua jari tangannya yang ditekuk. Gerakannya
begitu persis dengan gerakan tosu tadi, akan tetapi karena baik bacokan mau pun jepitan dilakukan
perlahan dan lambat sekali, terang bahwa dua orang gadis cantik itu mempermainkan Si Tosu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Meledaklah suara ketawa para tamu. Para tokoh-tokoh besar yang melihat pertunjukan ini bahkan tidak
sanggup menahan ketawa mereka. Benar-benar seorang bocah yang nakal sekali, pikir mereka.
Li Cu tak dapat menahan ketawanya, menutupi mulut dengan sapu tangannya, sedangkan Beng San
tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Cui Bi terkekeh-kekeh dan memegangi perutnya, juga
Sin Lee dan Kong Bu terbahak-bahak.
Hanya Kun Hong yang menggeleng-geleng kepala sambil menggerutu. "Kurang ajar sekali dia... kurang
ajar sekali..."
Sementara itu, Oh Tojin tak dapat menahan kemarahannya lagi. "Anak setan, apakah kau sengaja hendak
menghina pinto?"
"Aih-aih, siapa menghina, keledai tua? Siapa yang tadi mengatakan bahwa Hoa-san-pai memiliki ilmu
pedang yang tiada gunanya? Kau yang menghina perguruan kami, sekarang kau berbalik bilang kami yang
menghina. Hemm, sungguh tak tahu malu, tosu bau hidung kerbau!"
Memang Li Eng nakal dan pintar bicara, hal ini sudah pernah dialami oleh Kong Bu yang ketika itu hampir
terpelanting dari kursinya saking tertawa bergelak-gelak melihat lagak kekasihnya mempermainkan tosu
sombong itu.
"Perempuan sombong! Bocah setan, apakah kau berani menghadapi pedangku?" Sambil berkata begitu
Oh Tojin mencabut pedangnya dan menggerak-gerakkan pedangnya agar cahayanya berkilau tertimpa
sinar matahari.
Li Eng menunjukkan sikap ketakutan. "Wah-wah, Enci Hui Cu, lebih baik kau lekas turun panggung,
jangan-jangan kau keserempet pedang. Pedang tajam di tangan orang mabuk yang tidak mampu main
pedang, benar-benar lebih berbahaya dari pada di tangan orang yang baru belajar."
Sambil tersenyum-senyum saking gelinya Hui Cu melayang turun dari atas panggung lalu menghampiri
kembali tempat duduknya, disambut tertawa lebar semua orang yang duduk di pihak Thai-san-pai. Juga
para tamu tadi terpingkal-pingkal menyaksikan ini, sehingga tempat itu benar-benar menjadi meriah
seakan-akan di situ sedang terdapat pertunjukan pelawak-pelawak yang pandai mengocok perut.
Kemarahan Oh Tojin tak dapat ditahannya lagi. "Bocah setan, kau bersiaplah menghadapi pedangku.
Hemmm, kalau aku tidak bisa memberi hajaran kepadamu, jangan sebut aku Koai-sin-kiam lagi!"
"Ehh, betulkah? Nah, biarlah kini kau berkenalan dengan ilmu pedang Hoa-san-pai yang kelihatan indah
tapi tak berguna ini. Awas pedang!"
Tosu itu tercengang, juga para tamu, karena gadis itu mengancam ‘awas pedang’ akan tetapi belum
kelihatan memegang pedang. Tiba-tiba saja, belum juga hilang keheranan Oh Tojin, tahu-tahu di depan
mukanya berkelebat sinar seperti kilat diikuti hawa pedang yang dingin menyambat hidungnya!
"Ayaaa...!" ia berseru kaget.
Cepat ia mencelat ke belakang sambil menyabet-nyabetkan pedangnya ke depan untuk menjaga diri. Ia
masih berjumpalitan sambil menyabet-nyabetkan pedang dan baru berani turun ketika ia tidak merasa
adanya desakan. Ketika berdiri kembali, ia mendengar suara tertawa ramai. Kiranya gadis itu masih berdiri
di tempatnya yang tadi, hanya sekarang tangan kanannya sudah memegang sebatang pedang yang
berkilauan.
Hebat, pikirnya dengan hati kecut. Jurus apa yang diperlihatkan gadis ini tadi? Ia berlaku hati-hati dan
tanpa menyombong lagi ia berkata,
"Majulah, aku telah siap menghadapi pedangmu."
Li Eng tersenyum mengejek.
Tiba-tiba terdengar seruan orang, "Tahan dulu."
dunia-kangouw.blogspot.com
Dua orang itu memandang, juga semua tamu. Kiranya Kun Hong yang berseru itu dan pemuda ini menaiki
anak tangga yang menuju ke panggung dengan tergesa-gesa.
Dari tempat duduknya tadi, Kun Hong telah menyaksikan kepandaian Oh Tojin. Ia maklum bahwa
menghadapi Li Eng, tosu itu tak akan menang. Ia cukup mengenal pula watak Li Eng yang selain jenaka
dan nakal, juga keras hati. Mendengar bahwa Hoa-san-pai dihina orang, ia kuatir kalau Li Eng mendendam
dan menjatuhkan tangan besi kepada tosu itu. Maka, tanpa dipikir panjang ia lalu berseru menahan
pertempuran dan naik ke panggung, tidak dengan cara meloncat seperti yang lain, melainkan lari melalui
anak tangga.
"Eng-ji, kau hendak bermain pedang dengan totiang ini, berhati-hatilah jangan sampai kau membunuhnya.
Kau tahu aku tidak suka kau membunuh orang!"
Li Eng tertawa, "Jangan kuatir, Paman Hong. Aku tidak akan membunuh orang ini."
"Juga tidak melukai secara hebat."
"Tidak, aku hanya ingin membuat dia kapok supaya tidak menghina Hoa-san-pai lagi."
Sementara itu, semua orang yang mendengarkan percakapan ini menjadi bengong dan terheran-heran
sejenak, kemudian meledaklah suara tawa mereka. Sikap Kun Hong tadi seperti seorang nenek bawel
yang memberi nasehat cucunya. Justru sikap kedua orang ini menimbulkan kesan bahwa mereka amat
memandang rendah kepada Oh Tojin.
Kalau sampai pemuda halus itu melarang gadis keponakannya membunuh atau melukai berat kepada tosu
itu, bukankah itu hanya boleh diartikan bahwa Si Pemuda ini sudah yakin akan kemenangan
keponakannya? Inilah yang lucu dan tentu saja Oh Tojin menjadi marah dan mendongkol sekali.
Dari tempat duduknya, Beng San berbisik kepada Li Cu, "Kulihat Kun Hong ini sungguh seorang pemuda
yang luar biasa wataknya, dan halus budi pekertinya."
Li Cu tersenyum. "Dia seperti bayanganmu pada waktu kau masih muda."
Kedua suami isteri itu saling pandang lalu, tersenyum.
Sementara itu, Kun Hong lega hatinya. Ia kembali menuruni anak tangga meninggalkan panggung, dan
juga Oh Tojin yang membanting-banting kakinya.
"Orang-orang Hoa-san-pai memang benar-benar sombong luar biasa! Apa yang dia bilang tadi? Kau tidak
boleh membunuhku, tidak boleh melukai aku? Lihat, sebaliknya pintolah yang akan merobohkanmu dalam
beberapa jurus saja. Lihat pedangku!"
Dengan gerakan yang penuh kemarahan pedangnya berkelebat menyambar ke arah Li Eng. Tapi ia
tertegun karena selain pedangnya hanya mengenai angin belaka, juga gadis di depannya itu telah lenyap
dari depan matanya. Selagi ia bingung, ia mendengar suara ketawa lirih di belakangnya.
Cepat ia membalik sambil mengayun pedang menyerang lagi. Tapi kembali ia kehilangan lawannya yang
ternyata dengan ginkang yang luar biasa telah lenyap dan sudah berada di belakangnya. Berkali-kali ia
menyerang akan tetapi hasilnya sama dan tak pernah ia dapat melihat lawannya yang cepat sekali
gerakannya, seperti setan.
Suara ketawa serta seruan kagum terdengar di sana sini ketika para tamu menyaksikan gerakan tubuh
gadis itu yang memang luar biasa cepatnya, melebihi cepatnya gerakan pedang lawan. Tosu itu mulai
marah, tapi diam-diam hatinya mengecil.
"Hai, bocah setan. Jangan hanya melarikan diri, bertandinglah secara berdepan kalau kau memang lakilaki!"
"Hi-hik, tosu bau, apakah kau sudah-gila? Aku memang seorang wanita, bukan seorang laki-laki!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Suara ketawa makin riuh-rendah menyambut kelakar ini dan wajah Oh Tojin makin merah. Kini ia melihat
gadis itu berdiri tegak di depannya dan ketika ia menyerang lagi, Li Eng sengaja tidak mau mengelak
melainkan menggunakan pedangnya untuk menangkis dan balas menyerang.
Kini Li Eng sengaja mengeluarkan kepandaiannya. Pedangnya berkelebat cepat laksana kilat menyambarnyambar
sehingga dalam belasan jurus saja Oh Tojin sudah terdesak hebat, mengelak dan menangkis ke
sana ke mari tanpa dapat membalas sedikit pun juga.
"Tosu bau, kau bilang ilmu pedang Hoa-san-pai tak ada gunanya? Nah, rasakanlah ilmu pedang yang
kumainkan ini. Inilah Hoa-san Kiam-hoat!"
Oh Tojin memang pernah menyaksikan ilmu pedang Hoa-san-pai, tetapi selama hidupnya tak pernah dia
mengira bahwa Hoa-san Kiam-hoat dapat dimainkan seperti ini hebatnya. Diam-diam ia terkejut dan
menyesal sekali. Wajah yang tadinya merah sekarang menjadi pucat, napasnya terengah-engah dan makin
sibuklah dia menangkis hujan ujung pedang yang tak terhitung banyaknya itu.
"Koai-sin-kiam Oh Tojin, jagalah serangan ilmu pedang Hoa-san-pai ini!" gadis itu berseru keras dan
pedangnya makin hebat menekan.
Oh Tojin berteriak kaget, jenggotnya terbabat putus dan beterbangan ke bawah dan pada detik berikutnya
ia memekik kesakitan, tangannya berdarah dan pedangnya terlepas dari pegangan! Sambil mengerang
kesakitan tosu ini melompat turun dari panggung dan terus melarikan diri tanpa menoleh lagi.
Terdengar sorak-sorai riuh-rendah, sebagian menyoraki tosu yang lari itu, sebagian lagi bersorak karena
melihat Li Eng kini memperlihatkan pertunjukan hebat, yaitu pedangnya sudah dapat menyambar pedang
tosu itu dan pedang lawan itu sekarang terputar-putar bagai kitiran di ujung pedangnya!
Melihat lawannya lari tunggang-langgang, Li Eng berseru keras, "Oh Tojin, ini pedangmu, terimalah
kembali...!"
Sekali ia mengerakkan pedang di tangannya, maka pedang lawan yang tadinya berputar cepat seperti
kitiran itu terlempar melayang ke arah Oh Tojin yang sedang berlari. Hebat sekali bidikan Li Eng karena
dengan tepat gagang pedang itu menimpa kepala orang dan jatuh ke bawah.
Sejenak Oh Tojin pucat saking kagetnya. Akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa kepalanya tidak
bocor, ia cepat-cepat memungut pedangnya dan terus melarikan diri pergi meninggalkan tempat itu diikuti
gelak tawa para penonton. Gelak tawa para penonton sirap kembali ketika mereka melihat seorang tosu
tua sudah meloncat ke atas panggung.
Tosu ini pun berpakaian kuning dan rambutnya yang panjang digelung ke atas. Biar pun pakaiannya kuning
sederhana sebagai tosu, namun rambutnya dihias dengan lima bunga teratai dan pada bajunya terdapat
tanda-tanda jasa dari istana. Inilah Thian It tosu, salah seorang di antara tujuh orang pengawal Pangeran
Mahkota Kian Bun Ti, juga seorang tokoh Ngo-lian-kauw dan pernah menjadi tangan kanan Kim-thouw
Thian-Li.
Melihat naiknya tosu ini, Kun Hong yang mengenalnya menjadi tidak enak hatinya, lalu berkata perlahan
tapi cukup keras untuk didengar oleh Beng San.
"Heran betul, dia itu seorang di antara pengawal-pengawal istana Pangeran Mahkota, mau apa ke sini?"
Kagetlah Beng San mendengar ucapan Kun Hong ini. Dia memandang penuh perhatian. Ia maklum dari
tanda bunga teratai itu bahwa tosu ini adalah seorang tosu Ngo-lian-kauw, akan tetapi apakah orang ini
muncul sebagai tokoh Ngo-lian-kauw, ataukah dia sebagai pengawal istana Pangeran?
Tosu itu sudah menjura ke arah tuan rumah dan berkata, suaranya yang rendah parau membayangkan
lweekang tinggi, "Pinto Thian It Tosu ingin sekali berkenalan dengan ilmu silat Thai-san-pai. Syukur apa
bila Ketua Thai-san-pai sendiri berkenan memberi petunjuk karena pinto sudah lama mendengar nama
besarnya."
Sin Lee segera menghadap Ayah, "Ayah, biarlah saya menghadapi tosu ini."
dunia-kangouw.blogspot.com
Beng San mengangguk. Ia pun ingin mengenalkan putera-puteranya kepada para tokoh kang-ouw yang
datang dari pelbagai tempat itu.
"Boleh, kau hati-hatilah. Dia seorang Ngo-lian-kauw, pandai menggunakan senjata rahasia dan pandai ilmu
sihir, biasanya curang, maka kau yang waspada. Juga karena dia orang istana, jangan sampai
membunuh."
Sin Lee mengangguk. Ketika kakinya mengenjot tanah, tubuhnya dari tempat itu langsung melayang ke
atas panggung dengan kedua lengan tangan dikembangkan.
Sorak sorai menyambut kehadirannya dan Thian It Tosu kaget sekali menyaksikan cara melompat yang
seperti burung raksasa ini. Ia pun memandang pemuda tampan gagah itu penuh selidik, lalu menegur,
"Orang muda, caramu meloncat tadi tidak sama dengan gaya loncatan para anak murid Thai-san-pai tadi.
Siapakah kau dan pinto menantang Thai-san-pai atau ketuanya, kenapa kau yang maju?"
"Thian-It Tosu, memang jitu wawasanmu. Aku bukan anak murid Thai-san-pai, akan tetapi Ketua Thai-sanpai
adalah ayahku. Karena kau tadi menantang ayahku, sudah sepatutnya bila aku mewakilinya untuk
menghadapimu. Thian-It Tosu, kau sendiri sekarang ini berdiri di sini mewakili siapakah? Apa bila kau
sebagai tokoh Ngo-lian-kauw datang menantang, bukanlah hal aneh dan akan kulayani. Akan tetapi karena
aku mendengar bahwa kau telah menjadi seorang pengawal istana Pangeran Mahkota, maka kalau
kedatanganmu ini sebagai pangawal istana, harap kau turun lagi saja. Kami orang-orang dunia persilatan
tidak mempunyai urusan dengan kaki tangan kota raja.”
Terdengar sorakan gembira menyambut ucapan ini, tanda bahwa sebagian besar orang kang-ouw
memang tidak melibatkan diri dengan orang-orang pemerintah. Wajah Thian It Tosu menjadi merah karena
sekaligus pemuda ini membuka kedoknya.
Pada saat itu terdengar lengking tinggi dan di atas panggung berkelebat bayangan orang, tahu-tahu di situ
telah berdiri seorang yang tua sekali. Alangkah kaget gentarnya semua tamu ketika mengenal nenek ini
sebagai tokoh yang dianggap manusia iblis, bukan lain adalah Hek-hwa Kui-bo!
"Berikan dia padaku! Dia pembunuh muridku!" teriaknya dengan suara parau.
Namun, kembali orang-orang tercengang karena tanpa mereka lihat datangnya, tahu-tahu Ketua Thai-sanpai
sudah berdiri di situ pula menghadapi Hek-hwa Kui-bo.
Beng San berdiri tegak dengan sepasang mata berkilat-kilat, lalu berkata kepada Hek-hwa Kui-bo, "Kui-bo,
pertemuan ini kuadakan dengan peraturan dan kesopanan. Apa bila kau mempunyai penasaran, tunggulah
giliranmu, harap jangan mengacau. Mundurlah!"
Sinar mata Beng San berkilat-kilat seperti halilintar menyambar sehingga Hek-hwa Kui-bo gentar juga
menghadapi sikap musuh lamanya ini. Ia meragu. Ia tahu betul bahwa orang ini telah terluka hebat dalam
pengeroyokan kemarin dulu, akan tetapi mengapa sekarang masih dapat meloncat seperti terbang saja
cepatnya? Untuk menutupi kegugupannya, ia tertawa,
"Hi-hik, Beng San, betul juga katamu. Baiklah aku menanti giliranku." Sambil tertawa-tawa ia lalu melayang
turun dan sekejap mata saja ia sudah lenyap entah ke mana.
Juga Beng San dengan tenang meloncat turun dan kembali ke tempat duduknya. Semua tamu menahan
napas, terhadap tokoh seperti Hak-hwa Kui-bo tentu saja tak seorang pun berani mentertawai.
Keadaan makin tegang setelah mereka ketahui bahwa ternyata tempat itu dihadiri pula oleh tamu-tamu tak
kelihatan yang sehebat Hek-hwa Kui-bo. Siapa tahu masih banyak lagi tokoh-tokoh aneh seperti ini.
Karena nenek itu tidak kelihatan lagi, maka perhatian para tamu dialihkan kembali ke atas panggung,
kepada tosu Ngo-lian-kauw dan pemuda yang mengaku putera Ketua Thai-san-pai itu.
Tosu itu memandang rendah kepada Sin Lee, lalu berkata, "Menjawab pertanyaanmu tadi, orang muda,
pinto datang ini boleh dibilang atas nama pribadi, juga bisa disebut mewakili Ngo-lian-kauw, apa lagi
mendengar tadi bahwa ketua kami tewas di tanganmu. Sebagai pengawal istana aku pun mempunyai
urusan, yaitu mengejar larinya tiga orang buronan dari kota raja!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Tosu itu dengan mata tajam lalu memandang ke arah tiga anak murid Hoa-san-pai yang duduk di
rombongan tuan rumah.
"Kalau yang kau maksud dengan ketuamu itu adalah Kim-thouw Thian-li, aku Tan Sin Lee tak merasa telah
membunuhnya. Akan tetapi kalau toh ia mampus oleh pukulanku, hal itu pun aku tidak menyesal karena itu
berarti bahwa aku telah melenyapkan seorang jahat. Tentang kau mengejar buronan, itu bukanlah
urusanku. Nah, kalau memang kau hendak membalas sakit hati ketuamu, kau majulah!”
Thian It Tosu memang telah mendengar bahwa Ketua Ngo-lian-kauw tewas dalam tangan beberapa orang
muda, akan tetapi ia tidak tahu siapakah pembunuhnya. Tadi Hek-hwa Kui-bo muncul dan menerangkan
bahwa pemuda ini adalah pembunuh ketuanya, maka tentu saja ia menjadi marah dan ingin membalas
dendam. Ia tidak berani memandang rendah lagi karena kalau pemuda ini mampu merobohkan Kim-thouw
Thian-li berarti dia pasti lihai sekali. Apa lagi bila diingat bahwa pemuda ini adalah putera Ketua Thai-sanpai.
Tosu ini lalu melolos keluar sebatang pedang dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya mencabut
hiasan rambutnya yang berupa lima bunga teratai itu. Hiasan rambut ini terbuat dari benda berwarna putih,
merupakan lima buah kembang yang atasnya tertutup rapi berbentuk runcing, dan sekarang gagangnya
dipegang oleh tangan kiri tosu itu.
Mengingat akan nasehat ayahnya tadi, Sin Lee selalu bersikap waspada dan tidak berani memandang
remeh pada hiasan rambut ini yang melihat ukuran dan bentuknya, bukanlah merupakan senjata yang baik.
Sambil mengeluarkan teriakan keras tosu itu menyerangnya dengan pedang, namun Sin Lee cepat
mengelak sedangkan pedangnya sendiri lalu menukik dari atas kiri menusuk pundak lawan. Thian It Tosu
terkejut dan maklum bahwa lawannya ini walau pun masih muda ternyata mempunyai gerakan cepat dan
ilmu pedang yang aneh namun berbahaya sekali. Ia pun segera bertempur seru, makin lama makin cepat.
Baru berjalan belasan jurus saja Thian It Tosu maklum bahwa ilmu pedang pemuda itu betul-betul luar
biasa dan ia sudah terdesak hebat. Tiba-tiba tangan kirinya telah menjepit sebuah kembang buatan itu dan
melesatlah jarum-jarum halus ke arah lawannya.
Sin Lee mengeluarkan suara melengking tinggi. Tubuhnya mendadak mencelat ke atas, demikian cepat
gerakannya bagaikan gerakan seekor burung dan semua senjata rahasia halus yang tak dapat dilihat mata
itu lewat di bawah kakinya.
Dari atas Sin Lee membalas, pedangnya meluncur turun menyerang kepala tosu itu. Hal ini sungguhsungguh
tidak pernah diduga oleh Thian It Tosu yang tadinya mengharapkan penyerangannya akan
berhasil, siapa duga bahwa orang yang diserang secara mendadak itu malah menyerang dari atas.
Karena menangkis sudah tidak ada waktu lagi, terpaksa untuk menyelamatkan dirinya tosu ini membanting
tubuh ke belakang dan bergulingan menjauhi kejaran pedang lawan. Ia meloncat bangun dan sekarang ibu
jari dan telunjuknya menjepit bunga teratai kedua.
Terdengar suara ledakan kecil dan dari tangan kirinya itu menyambar asap hitam ke arah muka Sin Lee.
Pemuda ini tidak kurang waspada, cepat ia melompat ke samping, cukup jauh agar tidak terkena pengaruh
asap beracun itu. Sambil menahan napas lalu meniup ke arah asap itu sehingga buyar!
"Tosu curang!" Sin Lee berseru keras.
Pedangnya kini berkelebatan laksana kilat mencari korban. Ia sedikit pun tidak memberi kesempatan
kepada tosu itu untuk mempergunakan senjata rahasianya lagi, malah ia lalu mengincar tangan kiri yang
memegang bunga-bungaan itu, yang bahkan dianggapnya lebih berbahaya dari pada pedang di tangan
kanan.
Thian It Tosu berusaha melawan, namun akhirnya ia berteriak keras ketika ujung pedang Sin Lee
mengancam pergelangan tangan atau jari-jari tangan kirinya. Terpaksa ia menarik tangannya, akan
tetapi…
“Crakk!” terdengar suara dan hiasan rambut itu kini tinggal gagangnya saja yang berada di tangannya.
Sin Lee mengeluarkan suara menghina dan kakinya menendang bunga-bungaan itu ke bawah panggung.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Nah, marilah kita bertanding pedang secara laki-laki, tidak main curang!" seru Sin Lee, perlahan-lahan
maju menghampiri tosu yang berdiri dengan muka pucat itu.
Akan tetapi Thian It Tosu tidak segera menggerakkan pedangnya. Ia hanya berdiri tegak, mukanya pucat,
matanya terbelalak memandang lawan, bibirnya komat-kamit.
"Hayo, majulah, apakah kau takut?" kata Sin Lee mengejek sambil menggerak-gerakkan pedangnya, siap
menanti penyerangan lawannya.
Akan tetapi tosu itu tetap tidak bergerak, dan mulutnya tetap bergerak-gerak. Orang lain tidak ada yang
mendengar suaranya, namun tiba-tiba Sin Lee mendengar suara yang seolah-olah datang dari dasar bumi,
suara yang penuh kekuasaan, penuh pengaruh, yang berbisik-bisik dan mendesis-desis.
"Sin Lee, pandang baik-baik pinto siapa! Pinto adalah pendeta, kau takkan bisa menang melawan pinto,
baru melihat saja kau sudah pening, tenagamu lemah, pikiranmu kacau..." Ucapan ini diulang-ulang.
Mula-mula Sin Lee hendak mentertawakannya, akan tetapi dia mulai bingung dan gugup karena tiba-tiba
dia merasa kepalanya pening.
Pada saat itu Thian It Tosu sudah menyerangnya dan ia cepat menangkis, akan tetapi benar-benar ia
semakin gelisah karena tenaganya terasa amat lemah kepalanya semakin pening dan pikirannya menjadi
kacau-balau, malah ia mulai agak ketakutan! Samar-samar Sin Lee teringat akan nasehat ayahnya bahwa
tosu ini merupakan seorang ahli sihir. Ia mengerahkan semangat hendak melawan, akan tetapi ternyata dia
telah masuk ke dalam perangkap dan sudah terpengaruh sehingga usahanya sia-sia belaka karena
pikirannya telah kacau.
Para penonton terheran-heran betapa sekarang tosu itu melakukan penyerangan dengan pedangnya
sedangkan Sin Lee hanya menangkis dengan terhuyung-huyung seperti orang mabuk.
Beng San duduk menegang di kursinya. Dahinya berkerut, alisnya bergerak-gerak, sinar matanya berkilat.
Ia dapat menduga apa yang terjadi dan siap untuk menolong puteranya jika terancam bahaya maut.
Pada saat itu tampak Kun Hong berlari-lari ke bawah panggung. Setelah dekat panggung ia menggunakan
tangannya menggebrak-gebrak panggung sambil berkata nyaring,
"He, pendeta murtad! Pendeta penuh dosa, pendeta nyeleweng!"
Orang-orang mulai tertawa menyaksikan sikap pemuda ini dan Thian It Tosu yang sudah mulai gembira
melihat hasil ilmu hitamnya, kini terpecah perhatiannya dan marah sekali. Ketika mendapat kesempatan,
selagi Sin Lee terhuyung-huyung, ia menyambar ke pinggir panggung dan menggunakan pedangnya
membacok tangan Kun Hong yang pada saat itu sedang mengebrak-gebrak papan.
Tentu saja Kun Hong menarik tangannya, akan tetapi ia berpura-pura menjerit, "Aduh… aduh…! Pendeta
kejam kau!"
Dan pada saat pandang mata Thian It Tojin yang penuh kemarahan itu sedetik bertemu dengan pandang
matanya, Kun Hong mengerahkan ilmu sihirnya dan ia berkata,
"Kau pendeta murtad, tak patut menggunakan segala ilmu hitam. Kau patut dihukum pukul kepala sepuluh
kali" Setelah berkata demikian Kun Hong lari kembali ke tempat duduknya.
Tiba-tiba saja semua tamu terbelalak memandang kejadian yang amat aneh di panggung. Setelah tosu itu
menghentikan serangan-serangannya, Sin Lee masih terhuyung-huyung dan tosu itu kini berteriak-teriak,
"Benar sekali, pinto patut dihukum pukul kepala sepuluh kali"
Dan tangan kirinya segera bekerja menampar muka, dan kepalanya sendiri dengan keras.
"Plak-plak-plak!" terdengar suara berkali-kali dan muka itu menjadi bengkak-bengkak!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sin Lee agaknya sudah sadar kembali. Pemuda ini cepat berdiri tegak dan untuk sejenak ia mengumpulkan
hawa murni di tubuhnya sehingga pikirannya jernih kembali, tenaganya pulih dan sekarang dia
memandang terheran-heran kepada lawannya yang sedang penuh semangat menghantami kepalanya
sendiri itu.
Tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan Hek-hwa Kui-bo sudah berdiri di atas panggung. "Memalukan saja,
pergi!" tangannya bergerak dan tubuh Thian It Tosu terlempar ke bawah panggung.
Tosu itu roboh dan berbareng dengan jatuhnya itu agaknya ia pun sadar kembali. Dengan bingung ia
bangkit berdiri, memandang bingung ke kanan kiri lalu... angkat kaki lari dari tempat itu.
Beberapa orang tamu yang masih melongo kemudian membuat tanda dengan telunjuk dimiringkan ke
depan kening, yaitu tanda orang yang miring otaknya. Mereka ini mengira bahwa tosu itu tentu seorang
yang berotak miring! Akan tetapi karena peristiwa itu sudah lewat dan di atas panggung berdiri seorang
tokoh yang ditakuti, yaitu Hek-hwa Kui-bo, para tamu yang kini menjadi penonton memandang dengan
penuh ketegangan. Semua orang tahu bahwa tentu sekarang akan terjadi pertandingan yang luar biasa
hebatnya.
Hek-hwa Kui-bo dengan muka yang merah dan mata mendelik sudah menghadapi Sin Lee, pedang
berkilauan di tangan kanannya sedangkan tangan kirinya memegang sehelai sabuk beraneka warna.
"Orang muda, kau sudah menewaskan muridku. Akan tetapi kau mengatakan bahwa kau adalah anak dari
Tan Beng San. Hemm, jangan kau mencoba mengunakan nama Ketua Thai-san-pai untuk menggertak
orang. Aku tahu benar bahwa Cia Li Cu isteri Tan Beng San hanya memiliki seorang anak perempuan,
bagaimana kau bisa mengaku dia sebagai ayahmu? Siapakah ibumu?"
Beng San di tempat duduknya meremas jari-jari tangannya sendiri, hatinya mengharap supaya Sin Lee
tidak usah menjawab pertanyaan ini. Akan tetapi dengan sikap gagah Sin Lee menjawab, suaranya
nyaring,
"Hek-hwa Kui-bo, kau kira aku tidak tahu akan isi hatimu. Kau sendiri sudah tahu siapa ibuku, akan tetapi
kau sengaja mengajukan pertanyaan ini di tempat umum, tentu dengan maksud keji di hatimu yang
memang tidak bersih itu. Akan tetapi aku Tan Sin Lee sebagai seorang laki-laki sejati tidak akan
menyembunyikan dan tidak akan malu mengaku bahwa ayahku adalah Tan Beng San Ketua Thai-San-pai
sedangkan ibuku adalah Kwa Hong anak murid Hoa-san-pai! Nah, aku sudah mengaku, kau mau bilang
apa?" Suara pemuda itu nyaring.
Pada saat itu wajah Beng San sebentar pucat sebentar merah. Dia merasa terpukul, menoleh kepada
isterinya dan berbisik, "Dia lebih jantan dari padaku... dia lebih jantan dan gagah..."
Hek-hwa Kui-bo tertawa terkekeh-kekeh. Wajah tuanya yang biasanya masih berbekas kecantikannya itu
setelah terkekeh-kekeh kelihatan buruknya. Mulutnya yang tak bergigi lagi kelihatan kehitaman dan
matanya berputar-putar liar.
"He-he-he-he, kiranya kau anak haram. Ha-hah-heh-heh, memang sejak dahulu Tan Beng San bukanlah
orang baik-baik. Kapankah dia menikah dengan Kwa Hong? Kapankah dia menjadi ayahmu? Tentu melalui
hubungan gelap. Coba sekalian yang hadir pikir dengan baik-baik, orang yang mempunyai anak haram
apakah masih patut menjadi ketua sebuah perkumpulan silat?"
Sin Lee sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi, mukanya pucat matanya seperti mengeluarkan
api. Meski pun ia dengan gagah berani mengakui kenyataan dirinya, akan tetapi jika mendengar hinaan
yang diucapkan di depan umum secara begitu merendahkan dan disertai kata-kata kotor, tentu saja ia tidak
tahan mendengarnya.
"Iblis betina lihat pedangku!" Ia sudah menerjang dengan nafsu meluap.
Hek-hwa Kui-bo terkekeh-kekeh, tetapi cepat menangkis serbuan pemuda ini, lalu sambil melayani
serangan Sin Lee yang bernafsu, ia masih sempat berkata,
"Kau bocah haram harus kubikin mampus dulu, baru kemudian tiba giliran ibumu yang tak tahu malu dan
ayahmu yang hina!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Makin naik darah Sin Lee dan ia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menikam mati
orang yang dibencinya ini. Dan inilah kesalahannya. Sebagai orang muda, tentu saja ia berdarah panas
dan tidak tahu akan siasat lawan yang jauh berpengalaman dan yang terkenal sebagai seorang tokoh
besar penuh tipu muslihat.
Di samping sengaja menghina tuan rumah, memang Hek-hwa Kui-bo sengaja membakar hati orang muda
ini pula sehingga kini Sin Lee lupa akan kewaspadaan dan menerjang dengan nekat. Bagi seorang ahli
silat tingkat tinggi, mengumbar nafsu amarah merupakan pantangan besar.
Dalam bersilat, apa lagi kalau menghadapi lawan berat, sekali-kali tidak boleh dihinggapi kemarahan,
karena nafsu ini akan menyesakkan dada serta mengurangi ketelitian dan ketenangan. Apa bila bermain
silat dengan diamuk kemarahan, maka permainannya tidak tenang dan karenanya daya permainannya
kurang kuat.
Hek-hwa Kui-bo adalah seorang tokoh kawakan yang sebelum mendapatkan Ilmu Pedang Im-sin Kiam-sut
sudah merupakan tokoh jarang tandingun, Apa lagi setelah ia mendapatkan Ilmu Pedang Im-sin Kiam-sut,
kepandaiannya menjadi hebat sekali dan orang-orang yang dapat menandinginya hanyalah tokoh-tokoh
besar seperti Song-bun-kwi. Biar pun Sin Lee juga merupakan seorang pemuda gemblengan, namun
menghadapi Hek-hwa Kui-bo ia kalah setingkat, kalah akal dan kalah pengalaman.
Dalam dorongan nafsunya, memang tampaknya Sin Lee yang mendesak Hek-hwa Kui-bo dengan
penyerangan bertubi-tubi. Ia menggunakan ilmu silatnya yang aneh malah tangan kirinya beberapa kali ia
putar-putar untuk melakukan pukulan Jing-tok-ciang.
Akan tetapi pukulan-pukulan ini dapat dibikin buyar oleh tangkisan Hek-hwa Kui-bo yang mempergunakan
ilmu pukulan beracun Hwa-tok-ciang yang dilakukan dengan tangan kiri sekalian untuk mengebutkan
sabuknya yang dapat menjadi alat menotok jalan darah yang ampuh itu. Nenek ini sengaja main mundur
karena ia sengaja memancing agar pemuda lawannya ini makin bernafsu hingga akan terbuka kesempatan
baginya untuk merobohkan lawannya sekaligus tanpa meleset lagi.
Beng San memegangi tangan kursinya dengan erat, mukanya agak pucat. Celaka dia, pikirnya gelisah.
Sebagai seorang gagah yang memegang aturan kang-ouw, tentu saja tak dapat ia melompat ke depan
untuk menolong puteranya itu dan ia tahu betul betapa Sin Lee terancam maut.
Hanya Beng San seorang yang tahu akan hal ini, ada pun orang-orang lain, bahkan juga Cui Bi, Li Eng dan
Kong Bu yang berkepandaian tinggi, tidak dapat menduga akan hal ini. Mereka memperlihatkan muka
gembira. Hanya Kun Hong yang muram wajahnya karena bukan saja ia juga mengerti seperti Beng San,
melainkan pemuda itu merasa sedih sekali karena sekali lagi ia harus menjadi saksi dari pertempuranpertempuran
maut yang pasti akan membawa korban.
Pengertian Beng San akan hal ini adalah karena dia sudah sangat menyelami keadaan kepandaian Hekhwa
Kui-bo, maka ia dapat mengerti bahwa nenek itu sedang mengintai kesempatan seperti maut
mengintai korban. Betapa pun juga, ia bersiap sedia menolong puteranya itu apa bila nyawanya nanti
terancam. Ia tidak akan mengeroyok, hanya akan menyelamatkan Sin Lee.
Ketika kesempatan itu tiba, ketika pedang Sin Lee menusuknya, Hek-hwa Kui-bo melihat pergelangan
tangan pemuda itu tidak terjaga. Cepat sabuknya yang beraneka warna itu menyambar dari samping
sedangkan pedangnya menangkis.
Tentu saja Sin Lee hanya mengira bahwa serangannya ini akan dihindarkan oleh lawan dengan tangkisan
ini. Tidak tahunya tangkisan ini hanya untuk memancing perhatiannya dan yang penting bagi nenek itu
adalah sabuknya yang kini telah menyambar pergelangan tangan Sin Lee dan seperti seekor ular hidup
sudah melibat-libat pergelangan tangan berikut jari-jari yang memegang pedang!
Sin Lee kaget sekali, berusaha membetot tangannya, namun sabuk itu ternyata terbuat dari bahan aneh
yang selain kuat dan ulet, juga dapat mulur maka tak dapat ia menarik putus. Dan pada saat itu, pedang
Hek-hwa Kui-bo sudah berkelebat menyambar di atas kepalanya diiringi suara ketawa aneh nenek itu.
Pemuda itu tak dapat mengelak, tak dapat melompat pergi karena lengan kanannya telah terbelit sabuk,
jalan satu-satunya baginya hanya menangkis bacokan itu dengan tangan kiri karena untuk menggunakan
tangan kiri memukul, sudah tidak keburu lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada saat yang amat berbahaya itu, terdengar lengking tinggi nyaring dan berkelebatlah bayangan orang
didahului sinar kehijauan.
"Trangggg!''
Pedang yang akan membacok Sin Lee tertangkis oleh sebatang anak panah hijau dan kemudian lima
batang anak panah yang terikat pada ujung cambuk yang berujung lima, menyambar-nyambar dan
menyerang Hek-hwa Kui-bo.
"Jangan menghina orang muda, Hek-hwa Kui-bo siluman tua bangka, akulah lawanmu, lepaskan anakku!"
Hek-hwa Kui-bo cepat melepaskan sabuk yang membelit lengan Sin Lee dan melompat mundur sambil
memutar pedangnya menangkis. Sementara itu orang yang baru datang ini yang bukan lain adalah Kwa
Hong sendiri, mendorong pundak Sin Lee dan berkata,
"Pergilah kau kepada ayahmu, siluman ini akulah lawannya."
Dorongan ini kuat sekali, tak dapat ditahan oleh Sin Lee yang terpaksa melompat turun dari panggung,
menduduki lagi tempat duduknya lalu dengan wajah pucat memandang ke atas panggung. Melihat betapa
Kwa Hong menggantikan putranya menghadapi Hek-hwa Kui-bo, wajah Beng San dan semua keluarganya
menegang.
Beng San diam-diam merasa terharu sekali. Ia maklum bahwa di balik kebencian Kwa Hong kepadanya,
masih terdapat kasih terpendam dan akhirnya melalui putera mereka, Sin Lee, agaknya Kwa Hong
menyingkirkan sakit hati dan dendamnya sehingga di depan umum Kwa Hong sekarang berhadapan
dengan Hek-hwa Kui-bo yang sudah jelas datang dengan maksud buruk terhadap Thai-san-pai.
Memang mendongkol sekali hati Hek-hwa Kui-bo melihat Kwa Hong maju melawannya. Tentu saja ia tidak
takut, akan tetapi ia marah bukan main, lalu memaki,
"Aha, inilah perempuan tidak tahu malu yang melahirkan pemuda tadi dari perbuatan hina! He-he-heh, kau
murid Hoa-san-pai murtad, wanita iblis sombong, memang orang macam kau ini kalau tak dibikin mampus
hanya akan mengotorkan dunia persilatan saja!"
Kwa Hong tidak menjawab, namun melengking keras dan tahu-tahu dia telah melakukan serangan
serentak dengan lima buah anak panah di ujung cambuk dan dengan pedang di tangan kanannya. Hebat
sekali serangan ini.
Hek-hwa Kui-bo sendiri yang merupakan tokoh hebat dari selatan sampai berseru kaget dan cepat
melompat mundur. Ia merasa seakan-akan sekaligus diserang oleh lima enam orang lawan! Nenek ini pun
maklum bahwa kepandaian Kwa Hong tidak boleh dipandang ringan. Maka ia tidak mau bicara lagi, segera
kedua tangannya bergerak, pedang dan sabuknya sudah menyambar-nyambar mengimbangi permainan
lawan.
Hebat sekali pertempuran kali ini. Keduanya mempunyai ilmu silat yang ganas dan tak mengenal kasihan.
Hek-hwa Kui-bo segera merasa betapa ilmu pedang yang dimainkan oleh Kwa Hong itu ganas dan aneh
bukan main, maka ia pun lalu cepat mainkan Im-sin Kiam-sut untuk melawannya, sedangkan sabuknya
juga merupakan lawan dari cambuk di tangan Kwa Hong.
Dua orang jago betina bertempur mempergunakan pedang dan senjata-senjata aneh yang mengandung
racun, tentu saja pertandingan ini hebat dan seru, juga amat menegangkan hati.
Tiba-tiba terdengar suara parau, "Heee! Hek-hwa Kui-bo, Iblis betina itu adalah untukku, jangan dibikin
mampus dulu. Akulah yang berhak membunuhnya!"
Berbareng dengan teriakan ini tubuh seorang yang mukanya seperti setan melayang ke atas panggung.
Sebagian besar para tamu tercengang dan merasa ngeri menyaksikan muka seorang laki-laki yang begini
menyeramkan, mata kiri bolong, mulut robek, telinga kiri buntung dan tangan kiri kaku seperti cakar setan.
"Iblis betina Kwa Hong, inilah Siauw-coa-ong Giam Kin! Kau sudah membikin wajahku seperti ini, saat ini
juga kau harus menebusnya!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Seperti orang gila Giam Kin memainkan senjatanya yang aneh, yaitu sebuah suling ular, dimainkan dengan
tangan kanan sedangkan tangan kirinya yang berbentuk cakar setan itu juga melakukan penyerangan yang
hebat.
Dari pihak tuan rumah berkelebat bayangan yang sangat gesit seperti burung terbang, disusul bentakan
nyaring halus, "Manusia muka setan, tidak boleh main keroyokan. Dasar curang! Hayo sekarang hadapi
pedangku secara laki-laki!"
Tanpa memberi kesempatan lagi Cui Bi yang sudah berada di atas panggung langsung menerjang Giam
Kin dengan pedangnya. Gadis ini menyerang penuh kebencian, karena itu gerakan pedangnya hebat
bukan main, cepat dan kuat sekali.
Giam Kin kaget dan cepat menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Sulingnya terbuat dari logam yang
kuat dan dengan mengandalkan lweekang-nya, ia ingin membuat pedang di tangan gadis itu terlepas.
Namun alangkah kagetnya ketika tiba-tiba pedang di tangan Cui Bi itu yang bagaikan hidup, melejit ke
bawah dan melewati sulingnya terus menusuk ke arah lambungnya!
"Celaka...!"
Giam Kin segera membuang diri ke belakang dan terus bergulingan di atas papan untuk menghindarkan
diri. Ia tidak mengira bahwa gadis itu demikian cerdik dan ilmu pedangnya demikian hebat.
Memang sebelum melompat ke atas panggung tadi, telinga gadis ini mendengar bisikan, suara ayahnya,
"... jangan mengadu tenaga..."
Pesan inilah yang membuat Cui Bi berhati-hati dan berlaku cerdik. Dia dapat menduga maksud ayahnya
dengan pesan ini. Tentu Si Muka setan ini memiliki tenaga lweekang yang lebih kuat darinya, atau mungkin
suling yang berbentuk ular itu mengandung senjata rahasia yang akan bekerja kalau senjata itu beradu
dengan senjata lain.
Setelah meloncat bangun, Giam Kin menghadapi penyerangan gadis itu dengan hati-hati sekali,
menggunakan seluruh tenaga dan mengerahkan seluruh kepandaiannya. Namun hatinya kecut bukan main
ketika mendapat kenyataan betapa makin lama pedang gadis itu semakin kuat dan membingungkan.
Hal ini takkan mengherankan hatinya kalau ia tahu bahwa untuk menghadapi orang yang amat dibencinya
ini Cui Bi telah mengeluarkan ilmu pedang simpanannya, yaitu Im-yang Sin-kiam-sut yang jarang
tandingannya di dunia persilatan. Giam Kin mulai menyesal.
Tadinya dia menganggap dirinya sudah kuat benar, malah ia ingin menonjolkan namanya dengan
mengalahkan Beng San kalau bisa, karena dia sudah mendengar bahwa Ketua Thai-san-pai itu telah
terluka parah sekali. Siapa kira, baru menghadapi gadis puteri Ketua Thai-san-pai ini saja ternyata sangat
berat. Dan ia tahu pula betapa bencinya gadis ini kepadanya, gadis yang kemarin dulu hampir mati menjadi
korbannya.
Para tamu memandang ke atas panggung dengan hati yang penuh diliputi ketegangan. Pertandingan
antara Hek-hwa Kui-bo dan Kwa Hong sudah cukup hebat dan membuat pandang mata menjadi kabur.
Apa lagi sekarang ditambah dengan sebuah pertandingan lagi antara manusia muka setan dan gadis
cantik itu, benar-benar membuat hati menjadi tegang bukan main. Melihat munculnya tokoh-tokoh besar
serta melihat ilmu silat yang demikian hebatnya, mereka yang tadinya ingin mempertunjukkan
kepandaiannya di atas panggung, sekarang menjadi kuncup hatinya dan keinginan hati itu terbang jauh.
Ilmu pedang Cui Bi hebat bukan main. Hal ini tidaklah aneh kalau diingat bahwa ia telah mendapat
gemblengan dari ayah dan ibunya semenjak kecil. Tokoh seperti Giam Kin, biar pun memiliki kepandaian
yang tinggi, bukanlah lawannya bermain pedang.
Segera ternyata bahwa Si Muka Setan itu terdesak dan tertindih hebat sekali sampai tak mampu membalas
serangan Cui Bi. Dia hanya sanggup menangkis ke sana ke mari dan meloncat ke kanan kiri untuk
menghindarkan sambaran pedang yang akan merupakan tangan maut baginya.
Desakan ini membuat Giam Kin menjadi malu, penasaran, dan marah sehingga kemudian dia menjadi
nekat. Sambil menggereng seperti seekor binatang terpojok, dia menangkis pedang dengan suling ularnya,
lalu tangan kirinya yang seperti cakar setan itu bergerak mencengkeram ke arah dada Cui Bi!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Setan tak bermalu!" Cui Bi memaki.
Cui Bi menggeser kaki, miringkan tubuh jauh ke kanan, lalu dengan gerakan yang indah dan tak terdugaduga
pedangnya menyambar dan... terdengar seperti orang membacok kayu ketika pedangnya membabat
putus lengan kiri yang kering itu! Tetapi lengan yang buntung itu sama sekali tidak mengeluarkan darah,
agaknya tangan itu memang sudah mati dan kering.
Kaget sekali Cui Bi dan kekagetannya ini memperlambat gerakannya sehingga dia kena diserang oleh
Giam Kin yang menghantamkan suling ularnya ke arah punggung Cui Bi. Tetapi gadis puteri tunggal Ketua
Thai-san-pai ini hebat sekali.
Dia berada dalam posisi berbahaya sekali, sehabis membacok tangan kelihatan tertegun dan ngeri, dan
sekarang punggungnya disambar senjata musuh yang lihai. Tidak mungkin ia dapat menangkis dan untuk
mengelak juga sukar karena suling ular itu menghantam dari arah belakangnya.
Tapi dasar ia gadis pendekar yang sudah tinggi ilmu silatnya, sehingga punggungnya pun seakan-akan
mempunyai ‘mata’ yaitu perasaan naluri yang membuat seorang ahli silat dapat menangkis serangan di
waktu ia sedang tidur sekali pun!
Melihat dirinya terancam bahaya, Cui Bi tidak menjadi bingung, bahkan dia menerjang dengan pedangnya
menusuk ke arah ulu hati Giam Kin sambil diam-diam mengerahkan lweekang pada punggungnya. Ia pikir,
gerakannya tidak kalah dulu dan tidak kalah cepat. Andai kata datangnya kedua senjata berbareng,
pedangnya sudah pasti akan menembus ulu hati, sedangkan pukulan suling itu belum tentu akan
berbahaya baginya karena sudah terjaga oleh pengerahan tenaga lweekang-nya!
"Ayaaaa...!"
Giam Kin kaget setengah mati. Tentu saja ia tidak mau menukar pukulan pada punggung dengan tusukan
pada ulu hatinya karena selain rugi, juga sudah pasti nyawanya akan melayang! Secepat kilat ia
membanting tubuhnya ke kiri untuk menghindarkan dirinya dari tusukan maut, akan tetapi otomatis
pukulannya pada punggung lawan juga menjadi batal.
Cui Bi menjadi marah sekali. Selagi tubuh lawan bergulingan di atas papan, ia tidak mau memberi hati,
lantas menerjang maju, melakukan serangan bertubi-tubi dengan gerakan pedang yang amat lihai.
Sambil bergulingan Giam Kin berusaha menangkis, tapi gerakannya kalah cepat. Sebelum ia meloncat
bangun, Cui Bi sudah berhasil menusuk pergelangan tangan kanannya. Giam Kin mengaduh dan suling
ularnya terlepas dari pegangan.
Cui Bi menyerang terus, membuat Giam Kin bergulingan ke sana ke mari menghindarkan bacokan atau
tusukan pedang. Darah mulai mengucur pada saat ujung pedang Cui Bi menembus baju lalu mengenai
pundak dan paha, akan tetapi Giam Kin bergulingan terus berusaha menyelamatkan dirinya.
"Bi-moi, jangan membunuh orang...!" tiba-tiba Kun Hong berseru sambil berdiri dari tempat duduknya.
Mendengar suara ini, Cui Bi menahan sebuah tusukan yang sedianya akan menamatkan riwayat Si Muka
Setan itu, lalu kakinya menendang. Tubuh Giam Kin terlempar ke bawah panggung dibarengi jeritan
kesakitan. Tubuh itu terbanting di atas tanah, dia merangkak lalu lari terpincang-pincang dari tempat itu.
Pada saat itu, pertempuran antara Kwa Hong dan Hek-hwa Kui-bo juga telah mencapai puncaknya.
Dengan jurus Im-Sin Kiam-sut yang istimewa gayanya, Hek-hwa Kui-bo yang penasaran itu menyerang.
Hebat serangan pedang ini sehingga biar pun Kwa Hong sudah cepat mengelak, tetap saja pundak kirinya
tertusuk dan darah mengucur keluar.
Hek-hwa Kui-bo tertawa bergelak, akan tetapi suara ketawanya berhenti ketika pada saat itu Kwa Hong
yang tidak mempedulikan pundaknya yang tertusuk, sempat mengerahkan cambuknya dan tiga di antara
lima anak panah di ujung cambuk itu menyambar ke tiga bagian tubuh Hek-hwa Kui-bo. Nenek ini masih
dapat menangkis dua anak panah yang menghantam pusar dan dada, akan tetapi masih ada sebatang
anak panah yang sedianya menghancurkan kepalanya, biar pun telah ia elakkan, tetap saja menancap
pada pinggir lehernya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Hek-hwa Kui-bo melepaskan pedangnya yang masih menancap pada pundak Kwa Hong, tangan kanannya
lantas menghantam sekuat tenaga ke depan. Kwa Hong yang melihat hantaman ini, tidak sempat lagi
mengelak, tangan kirinya melepaskan cambuk dan sekali putar ia telah melancarkan pukulan Jing-tokciang
menyambut pukulan Hek-hwa Kui-bo.
Terdengar suara keras, kemudian tubuh dua orang wanita itu terlempar turun panggung. Kebetulan sekali
tubuh Kwa Hong terlempar ke arah Giam Kin, yang sedang merangkak bangun. Melihat musuh besarnya
yang sudah membuat wajahnya yang tampan menjadi seperti muka setan, Giam Kin girang dan
menggunakan kesempatan itu untuk mengayun tangan kanannya memukul Kwa Hong yang jatuhnya dekat
sekali dengan dirinya.
"Bukkk!"
Pangkal leher Kwa Hong terpukul, tapi wanita ini sempat menggerakkan pedangnya dan…
"Cesss!" pedang itu menusuk perut Giam Kin sampai tembus ke punggungnya.
Si Muka Setan itu berkelojotan sebentar kemudian diam, putus napasnya. Kwa Hong juga terguling roboh.
Di lain tempat, Hek-hwa Kui-bo yang jatuh terbanting berusaha bangun, tapi dua kali ia gagal, lalu roboh
tak bernapas lagi. Kiranya anak panah yang menancap di lehernya itu mengandung racun yang luar biasa
jahatnya sehingga seluruh tubuhnya telah keracunan, tak dapat ditolong lagi.
Sambil berseru keras Sin Lee sudah melompat ke arah ibunya, menyambar tubuh ibunya dan dibawa lari
ke tempat rombongan tuan rumah. Segera Kwa Hong disambut oleh Beng San, Li Cu, dan Kun Hong.
Yang lain-lain mendekati dan memandang kuatir.
Keadaan Kwa Hong hebat sekali. Lukanya parah, namun wanita ini tersenyum-senyum saja. Melihat Sin
Lee berlutut dengan muka pucat, Kwa Hong berbisik,
"Mana... mana dia...?"
Sin Lee maklum, menoleh kepada ayahnya. Beng San mendekat, berlutut.
"Hong-moi, bagaimana luka-lukamu...?" tanyanya terharu.
"Tidak usah bicara tentang aku, yang perlu anakku. Beng San, apakah kau benar mau menerimanya
sebagai puteramu?"
"Sudah tentu, Hong-moi, Sin Lee memang puteraku."
"Kau akan mendidiknya baik-baik seperti anak-anakmu yang lain?"
"Tentu!"
"Bersumpahlah!" suara Kwa Hong masih keras dan seperti marah-marah.
Tanpa ragu-ragu lagi Beng San bersumpah bahwa dia akan menerima Sin Lee sebagai putera sendiri dan
mendidiknya baik-baik.
Kwa Hong nampak lega. “ Mana…. Li Cu?”
Li Cu memang sedang berdiri di dekat situ, maka mendengar ini dia pun lalu mendekat dan berlutut.
“Li Cu, kau rela menerima Sin Lee sebagai anak tirimu?”
Li Cu mengangguk, terharu. “Puteramu adalah putera suamiku, berarti dia itu puteraku sendiri, tiada
bedanya.”
“Enci Kwa Hong, biarkan aku memeriksa luka-lukamu….” Tiba-tiba Kun Hong berkata, mendekati wanita
yang terluka parah itu.
“Siapa kau?!” Kwa Hong membentak, suaranya ketus.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Enci Hong, ayahku bernama Kwa Tin Siong, Ibuku Liem Sian Hwa, kita adalah saudara tiri.”
Sejenak Kwa Hong tercengang, lalu mengipatkan tangan Kun Hong yang menjangkaunya hendak
melakukan pemeriksaan. “Jangan sentuh aku! Aku anak… jahat, anak murtad.”
“Enci, Ayah tidak pernah marah kepadamu, rindu sekali dan berkasihan kepadamu,” kata Kun Hong
dengan suara halus.
Kwa Hong memandang tajam, agaknya tak percaya. Suaranya semakin lemah dan parau ketika ia
bertanya, “Ayah… Ayah mengampuni aku…?”
“Sejak dahulu Ayah mengampunimu, Enci. Malah diharap-harap kembalimu ke Hoa-san. Enci, biarkan aku
memeriksamu, barangkali aku dapat mengobatimu.”
“Benar, Hong-moi. Adikmu ini mempunyai kepandaian ilmu pengobatan, aku pun sudah mendapatkan
pertolongannya,” kata Beng San.
“Tidak! Biar aku mati…. Ahhh, aku seorang jahat…. Li Cu, kau begini mulia, Ayah pun mengampuniku….
Semua orang baik-baik sedangkan aku… aku… Sin Lee… Jangan kau tiru Ibumu. Kau ikutlah ayahmu
menjadi orang baik-baik….”
Tubuh ini menegang sebentar, kemudian lemas. Mulutnya tersenyum, matanya meram, napasnya terhenti.
Sin Lee menubruk ibunya, tetapi dua buah tangan tangan kuat memegang pundaknya. Ia menoleh, melihat
wajah ayahnya yang pucat. Sepasang mata ayahnya yang tajam itu memperingatkannya bahwa tak
selayaknya seorang gagah terlalu menyedihkan kematian.
"Ibu... ibu... selamat jalan..." Sin Lee terisak lalu menguatkan hatinya, mundur.
Beng San memberi isyarat kepada anak muridnya dan memberi perintah supaya jenazah Kwa Hong
dibawa naik ke puncak dan dirawat di sana. Semua berjalan dengan tenang dan para tamu dari tempat
jauh tidak melihat nyata apa yang terjadi di situ. Hanya setelah jenazah itu diangkat mereka tahu bahwa
Kwa Hong yang dikenal sebagai wanita iblis itu telah tewas.
Jenazah Hek-hwa Kui-bo sudah diangkut oleh para anggota Ngo-lian-kauw, sedangkan jenazah Giam Kin
disingkirkan oleh Siauw-ong-kwi. Keadaan sementara menjadi sunyi.
Pada saat itu terdengar orang tertawa terkekeh-kekeh dan dua bayangan orang meloncat ke atas
panggung. Mereka ini ternyata adalah Toat-beng Yok-mo dan Tok Kak Hwesio. Suara tertawa tadi adalah
suara Toat-beng Yok-mo, dan sekarang Setan Obat itu pun berkata nyaring dengan suaranya yang serak,
"Heh-heh-heh, Ketua Thai-san-pai. Kau benar-benar licik sekali. Sejak tadi baru seorang anak murid Thaisan-
pai yang maju, lalu kedua orang putera-puterimu. Kau menggunakan orang-orang muda untuk
melindungi muka Thai-san-pai, malah mengadu domba antara bekas musuh dengan musuh. Pintar! Aku
memang tidak memiliki urusan penting dengan Thai-san-pai, akan tetapi aku mempunyai urusan dengan
pemuda Kwa Kun Hong yang berlindung di tempatmu. Kwa Kun Hong, kau sudah menghina kami berdua
dengan akal licik, hayo keluarlah untuk perhitungan di atas panggung ini!"
"Toat-beng Yok-Mo!" suara Beng San amat keras menggeledek. "Tak usah kita berbicara tentang
pengeroyokan kemarin dulu, kau tidak menantang aku sudahlah. Akan tetapi kau menantang seorang
pemuda keponakanku dari Hoa-san-pai yang sekarang menjadi tamu terhormat, Apakah kalian berdua tua
bangka hendak mengeroyok seorang pemuda?"
"Hi-hi-hi, sama sekali tidak mengeroyok. Biarlah aku turun dulu dan menunggu giliran." Ia menoleh kepada
Tok Kak Hwesio "Hwesio yang baik, kau boleh memberi hajaran kepada dia, tapi jangan dibunuh, biarkan
aku yang menghabisinya, heh-heh-heh!"
Setelah Toat-beng Yok-mo melompat turun, Tok Kak Hwesio berkata ke arah Kun Hong. "Siluman muda,
hayo kau naik perlihatkan kepandaianmu!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Kun Hong mengerutkan keningnya. Dia tidak senang berkelahi, apa lagi di tempat umum seperti itu,
dijadikan tontonan! Ia ragu-ragu. Bila didiamkan saja, tentu memalukan, bukan memalukan namanya,
terutama sekali memalukan Hoa-san-pai dan Thai-san-pai sebagai tuan rumah. Dilayani, ahh, mengapa
melayani orang gila yang mabuk nafsu membunuh?
Kong Bu bangkit berdiri, memegang lengannya. "Saudara Kun Hong, jangan gelisah. Aku akan menjadi
wakilmu!"
Belum lagi Kun Hong sempat menjawab, tubuh Kong Bu sudah melayang naik ke atas panggung. Dengan
muka kereng dan pandang mata tajam pemuda ini membentak,
"Hwesio tua, sepanjang ingatanku, saudara Kwa Kun Hong adalah orang yang tidak suka berkelahi,
pantang membunuh dan selalu mengalah. Bagaimana seorang pendeta seperti kau ini mendendam
kepadanya? Biar pun dia itu seorang murid Hoa-san-pai, namun ia mempelajari ilmu sastra saja, tidak suka
akan ilmu silat. Apakah tantanganmu ini tidak hanya merendahkan dirimu sendiri dan sekaligus membuka
watakmu yang tak tahu malu, menantang kepada seorang pemuda yang hanya tahu ilmu sastra dan
pengobatan? Jika memang kau hendak berlagak, akulah tandinganmu!"
Tok Kak Hwesio marah sekali. Ia mengenal pemuda ini yang kemarin sudah membantu Beng San dalam
pengeroyokan, dan sepanjang pendengarannya, pemuda ini katanya cucu Song-bun-kwi. Bagaimana bisa
begini dan apa artinya semua ini?
"Ehhh, orang muda, sebenarnya kau ini siapakah? Ada hubungan apa kau dengan Ketua Thai-san-pai dan
apamu pula Kun Hong itu?"
"Hwesio, aku tahu bahwa kau adalah Tok Kak Hwesio yang berjuluk Kauw-jiauw-kang Si Cakar Monyet,
bekas perampok besar! Kau belum kenal aku? Aku adalah putera Ketua Thai-san-pai, namaku Tan Kong
Bu."
"Ha-ha-ha, semua mengaku putera Ketua Thai-san-pai? Orang bilang bahwa kau adalah cucu Song-bunkwi...
Berapa orang sih isteri Ketua Thai-san-pai?"
"Benar! Mendiang ibuku adalah puteri tunggal Kakek Song-bun-kwi. Nah, sekarang kau sudah tahu jelas,
apakah kau masih berani melawanku sebagai wakil saudara Kwa Kun Hong seorang sahabatku yang
baik?"
"Keparat, kau sombong benar. Lihat seranganku!"
Hwesio itu sudah marah sejak ia dimaki-maki sebagai perampok besar tadi, maka tanpa banyak cakap lagi
dia telah langsung menyerang mempergunakan cengkeramannya yaitu Kauw-jiauw-kang. Lihai sekali ilmu
ini, kedua tangannya sudah digembleng, gerakannya cepat, penuh tenaga lweekang dan sekali lawan kena
dicengkeram, pasti kulitnya hancur dagingnya robek tulangnya remuk!
Kemarin dulu ketika Kong Bu menolong ayahnya dari pengeroyokan, sudah melihat ilmu kepandaian
hwesio ini, maka ia tidak berani berlaku sembrono menghadapi serangan ini. Ia mengelak dan membalas
dengan jurus-jurus Yang-sin-hoat, ilmu silat yang berdasarkan tenaga keras sehingga pukulannya
mendatangkan hawa panas.
Kong Bu semenjak kecil digembleng hebat oleh Song-bun-Kwi dan karena Song-bun-kwi tadinya bercitacita
supaya cucu ini kelak bertanding melawan Beng San, tentu saja dia sudah menurunkan seluruh
kepandaiannya. Siapa kira sekarang cucunya bukan melawan ayahnya, bahkan sebaliknya di atas
panggung ini membela dan mempertahankan nama baik Thai-san-pai.
Sesudah belasan jurus saling serang, diam-diam Tok Kak Hwesio mengeluh di dalam hatinya. Dia tahu
bahwa Song-bun-kwi adalah seorang tokoh besar yang sakti dan yang jauh lebih tinggi ilmunya dari pada
dia sendiri, akan tetapi sungguh ia tidak mengira bahwa cucunya, seorang pemuda yang usianya baru dua
puluhan tahun, sudah pula memiliki kepandaian begini tinggi dan tenaga yang begini kuat.
Di lain pihak, Kong Bu juga merasa sukar untuk menjatuhkan hwesio itu karena dia tidak berani melakukan
tangkisan terhadap cengkeraman lawan. Dengan cara hanya mengelak tiba-tiba ia dapat balas memukul
sehingga biar pun ia dapat mendesaknya dengan hujan pukulan, tapi masih kurang cepat dan selalu dapat
dunia-kangouw.blogspot.com
dielakkan oleh hwesio kosen itu. Apa lagi kalau hwesio itu menangkis sambil mencengkeram, ia selalu
harus menghindarkan tangannya dan menarik kembali pukulannya.
Tiba-tiba dia mendengar suara lirih di dekat telinganya, "Cengkeraman cakar bebek begini saja takut apa?
Paling-paling membikin lecet kulit"
Kong Bu girang sekali. Itulah suara kakeknya! Sejak tadi ia melihat-lihat akan tetapi di situ tidak kelihatan
kakeknya muncul, dan sekarang tahu-tahu ada suaranya yang dikirim dari tempat jauh.
Tadinya Kong Bu meragu untuk membiarkan tangannya dicengkeram sambil membarengi memukul.
Sekarang mendengar bisikan ini, hatinya menjadi tabah. Ketika tangan kirinya menjotos dada, kakek itu
menangkis sambil mencengkeram lengan Kong Bu. Pemuda ini sengaja berlaku lambat hingga
pergelangan tangan kirinya betul-betul dapat dicengkeram.
Tok Kak Hwesio sudah menyeringai kegirangan. Akan tetapi mendadak terdengar suara keras, dadanya
terkena jotosan hebat dari tangan kanan Kong Bu. Hwesio itu berteriak, tubuhnya terlempar ke bawah
panggung dan roboh terbanting, bangkit lagi lalu muntah darah segar, terus ngeloyor pergi dari situ!
Toat-beng Yok-mo marah bukan main, tubuhnya telah melayang ke atas panggung. Akan tetapi sebelum
Kong Bu menghadapinya, Kun Hong sudah berlari-lari naik ke panggung melalui anak tangga, terus
menarik tangan Kong Bu yang kiri.
"Wah, kau terkena racun!" bisiknya sambil menotok beberapa jalan darah di lengan itu, mengurut sebentar
lalu berkata, "Saudara Kong Bu, aku berterima kasih bahwa kau sudah mewakili aku, tetapi aku tidak
senang kau atas namaku menjotos orang sampai muntah darah. Sekarang kau turunlah, minta Ayahmu
supaya mengeluarkan darah di pergelangan tanganmu dengan melukainya, kemudian kau telanlah dua
butir pel ini."
Dia mengeluarkan dua butir pel hijau buatannya sendiri dari daun-daun yang khasiatnya memunahkan
racun. Kong Bu mengangguk dan hendak turun panggung, akan tetapi dia memandang ragu kepada Toatbeng
Yok-mo.
"Saudaraku, apakah kau benar-benar dapat menghadapi iblis ini?" bisiknya.
"Biarlah, itu tanggung jawabku, kau turunlah,'" jawab Kun Hong.
Ketika Kong Bu menoleh ke arah ayahnya, ia melihat ayahnya memberi isyarat supaya ia turun, maka ia
pun lalu melompat turun.
Ada pun Toat-beng Yok-mo pada saat melihat cara Kun Hong mengobati Kong Bu tadi, memandang
dengan mata terbelalak, kemudian ia pun mencak-mencak saking marahnya ketika ia mengenal bahwa
cara pengobatan itu adalah pelajaran dari kitabnya.
"Pencuri, kau harus mampus di tanganku untuk menebus dosamu!" teriaknya marah.
"Nanti dulu, Toat-beng Yok-mo jangan sembarangan kau menuduh orang. Di sini banyak orang gagah
yang menjadi saksi, tak boleh kau menuduh sebagai pencuri. Coba katakan orang yang kecurian tentu
kehilangan sesuatu, dan kau kehilangan apamukah?"
"Aku tidak kehilangan sesuatu, tapi kau tetap mencuri, mencuri ilmuku pengobatan. Hayo katakan, apakah
kau tidak membaca habis semua kitab-kitabku tentang ilmu pengobatan? Jawab!"
Kun Hong menghadapi para tamu yang dengan penuh perhatian sedang mendengarkan perdebatan itu.
"Cu-wi sekalian mendengar jelas bahwa kakek ini tidak kehilangan suatu, akan tetapi menuduh siauwte
sebagai pencuri. Bukankah itu aneh? Yok-mo, kau sudah membohong! Dulu pada saat kau terluka, kau
minta aku menolongmu, menggendongmu berhari-hari lamanya. Sementara itu, kau sudah memberi ijin
kepadaku untuk membaca kitab-kitabmu yang sudah kukembalikan pula. Jadi aku tidak mencuri baca
kitab-kitabmu karena kau sudah memberi perkenan. Ada pun mengenai ilmu, ilmu itu bukankah milik
pribadi siapa pun juga. Siapa pun dia orangnya yang suka mempelajari, akan memiliki ilmu itu, yang suka
mempelajari akan mendapat ilmu, yang mengajar takkan kehilangan ilmu, karena ilmu bukanlah milik
pribadi manusia dan akan lenyap bersama manusia, kembali ke tangan pemiliknya, yaitu Tuhan Yang
Maha Kuasa. Nah, sudah sadarkah kau sekarang?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sadar perutmu!" Toat-beng Yok-mo memaki. “Siapa pun yang pernah kuobati dia harus kubunuh, siapa
yang memiliki ilmu pengobatanku dia pun harus kubunuh!"
"Wah-wah-wah, kalau begitu kau nyeleweng dari kebenaran. Kau nyeleweng dan tersesat jauh sekali,
orang tua. Benar kata-kata kuno yang menyatakan bahwa segala sesuatu, baik buruknya tergantung
kepada manusia yang bersangkutan. Pisau tetap pisau, dapat dipergunakan untuk hal-hal yang baik
misalnya pemotong sayur-sayur di dapur sebagai alat pembuat perabot rumah tangga, dan lain-lain. Akan
tetapi pisau yang itu-itu juga dapat juga dipergunakan untuk hal yang buruk misalnya menusuk perut
sesama manusia! Segalanya tergantung kepada manusia yang memegangnya. Hemm, Toat-beng Yok-mo
ilmu pengobatan pun demikian, baik buruknya tergantung pada manusia yang menguasai ilmu itu. Di
tanganmu, ilmu itu menjadi alat kejahatan."
"Sudah, sekarang aku bukan datang untuk mendengar kuliahmu, tetapi untuk mencabut nyawamu. Hayo
berani kau melawan aku?"
"Berani dan tidak bagiku tergantung dari persoalannya. Kalau aku berada di pihak benar, aku takkan
mengenal takut, sebaliknya kalau aku berada di pihak salah, aku tak mengenal berani. Dalam persoalan
antara kita, aku tidak bersalah, tentu aku tidak takut, Yok-mo."
"Keparat, lidahmu tak bertulang, bibirmu lemas seperti bibir perempuan, omonganmu pun berbelit-belit.
Keluarkan senjatamu!"
"Apakah lidahmu bertulang? Bibirmu kaku?" Kun Hong menjawab.
Akan tetapi karena maklum bahwa kakek ini berkepandaian tinggi, ia kemudian mencabut pedangnya
secara terbalik yaitu memegang gagang pedang dengan ujung pedang yang menghadap ke dalam seperti
orang memegang sebilah pisau belati.
"Awas serangan!"
Yok-mo segera menerjang maju dengan tongkatnya, ingin sekali pukul menghancurkan kepala lawan,
maka ia mengarah tubuh bagian atas ini.
"Wah, galaknya!" Kwa Hong membungkuk dengan kaku.
Gerakannya lucu seperti gerakan orang yang tidak pandai silat, namun anehnya, pukulan itu tidak
mengenai kepalanya. Tongkat itu lewat kemudian langsung membabat kembali dan menyerang dada. Kun
Hong terhuyung-huyung mundur, kakinya bergerak…
"Set-set-set!"
Dengan tubuh melengkung ke sana ke mari, dua tangannya dikembangkan, kadang kala ia berdiri di kedua
ujung jari kakinya seperti penari balet! Gerakannya lucu seperti badut menirukan penari-penari balet,
namun hebatnya, semua serangan Toat-beng Yok-mu tak pernah menyentuh kulitnya.
Sin Lee, Cui Bi, Li Eng dan Hui Cu biar pun sudah mengenal baik pemuda itu, kini tetap meragu dan
gelisah.
"Wah, Saudara Kun Hong benar-benar gegabah sekali. Kakek itu lihai dan berbahaya," kata Kong Bu
perlahan.
Sin Lee melongo dan memandang dengan mata terbelalak. "Aneh... aneh..."
Ia mengucapkan kata-kata ini berkali-kali karena makin lama makin jelas melihat gerakan-gerakan yang
menyerupai gerakan ilmu silat yang ia pelajari dari ibunya. Kaki itu, tangan itu yang dikembangkan,
memang agak berbeda dan tidak ‘asli’ lagi, tapi lebih praktis lebih hebat. Apakah hal ini kebetulan saja?
Akan tetapi orang-orang ini menjadi tenang ketika mendengar suara Beng San perlahan, "Tak usah kuatir.
Yok-mo takkan dapat menangkan Kun Hong. Hebat... Hebat orang muda itu..."
dunia-kangouw.blogspot.com
Toat-beng Yok-mo menjadi merah mukanya seperti udang direbus. Ia merasa penasaran sekali, juga
merasa dipermainkan di depan banyak tokoh kang-ouw. Tongkatnya bergerak makin cepat tenaganya
dikerahkan sehingga tongkatnya itu seakan-akan berubah menjadi puluhan batang yang menghadang dan
menyerang tubuh Kun Hong dari segala penjuru.
Akan tetapi gerakan pemuda itu hebat sekali. Kelihatannya terhuyung-huyung, jongkok, berdiri, berloncatan
ke kanan kiri, malah ada kalanya membanting tubuh bergulingan, ada kalanya menari-menari dengan
kedua lengan dikembangkan dan berdiri di ujung jari kaki. Akan tetapi seluruh gerakan ini seirama dengan
jurus-jurus serangan Toat-beng Yok-mo sehingga semua penyerangan itu gagal. Menyerang pemuda ini
sama susahnya dengan menyerang bayangan sendiri!
"Iblis! Siluman! Hayo balas serang kalau kau memang laki-laki!" teriak Yok-mo dengan suara keras, saking
marahnya.
"Sudahlah, Yok-mo. Kau tidak bisa mengalahkan aku, tidak bisa merobohkan aku, apakah kau masih
belum mau terima juga?" kata Kun Hong sambil mengelak lagi dari sambaran tongkat dengan cara yang
aneh, yaitu tubuhnya bagian atas meliuk ke kanan kiri tanpa menggeser kaki, seperti sebatang rumput
alang-alang tertiup angin besar.
Para penonton mulai bersorak-sorak dan terheran-heran. Bahkan golongan tua yang juga menonton
pertunjukan ini saling pandang tidak percaya. Apakah Yok-mo yang main-main ataukah mata mereka yang
sudah tidak terang lagi? Benar-benar belum pernah mereka melihat hal semacam itu, bahkan teori
persilatan yang mana pun belum pernah mereka mendengar apa lagi melihat.
Hanya Beng San seorang yang mengangguk-angguk puas. Dugaannya ternyata tidak keliru. Pemuda itu
ternyata mempunyai kepandaian tinggi, malah dia dapat merasa bahwa dasar ilmu yang berupa langkahlangkah
sakti itu mirip dengan dasar ilmu silatnya sendiri, mirip dengan dasar Im-yang Sin-hoat.
Hanya bedanya, kalau Im-yang Sin-hoat dikembangkan menjadi ilmu pedang yang sakti, adalah ilmu yang
dimiliki pemuda itu bercampur dengan gerakan-gerakan seekor burung sakti. Cara mengelak itu tidak salah
lagi mempergunakan unsur Im dan Yang, akan tetapi gayanya adalah gaya pengelakan seekor burung.
Ia makin kagum, lebih-lebih kalau ia ingat betapa pemuda itu dengan rapat sekali dapat menjaga menutupi
kepandaiannya yang jelas membayangkan sifat merendah, watak yang tidak suka menonjolkan diri, apa
lagi berdasar watak welas asih yang tidak suka melihat bunuh-bunuhan.
"Iblls cilik, buat apa kau memegang pedang? Hayo serang aku bila kau memang memiliki kepandaian!"
"Aku tidak berkepandaian apa-apa, akan tetapi kalau kau minta aku balas menyerang, boleh, Nah, jaga
pedangku ini!"
Kun Hong menggerakkan pedangnya yang masih terbalik cara memegangnya itu. Tangan kanannya
bergerak seperti memukul biasa dan tahu-tahu pedang itu membabat di pinggir lengannya, seperti seekor
ayam jantan menggunakan jalu kakinya untuk menyerang, atau seperti seekor burung menerjang lawan
menggunakan kakinya.
Yok-mo menangkis sambil mengerahkan tenaga dengan maksud membuat pedang lawan terlepas. Akan
tetapi, begitu terdengar suara nyaring beradunya dua senjata itu, Yok-mo merasa lengannya sakit-sakit dan
tubuh Kun Hong terpental ke atas!
Ternyata tubuh itu ringan sekali sehingga benturan senjata dapat membuat dia terpental, tetapi tidak
mempengaruhi keadaannya, malah dari atas ia lalu menukik ke bawah seperti seekor burung mematuk.
Pedangnya mendahuluinya menusuk, kedua kakinya bergantian menendang sedangkan tangan kirinya
juga menampar dari samping. Sekaligus Yok-mo menghadapi dua tendangan, satu tamparan dan satu
tusukan!
"Ahhhh!" Sin Lee berseru sambil berdiri dari kursinya. Itulah gerakan Rajawali Mematuk! Tapi yang ini
hebat sekali, lebih hebat dari pada gerakannya sendiri.
Yok-mo terkejut bukan main, cepat dia menggerakkan tongkatnya menghantam ke arah pedang sambil
merendahkan tubuhnya. Akan tetapi tiba-tiba gerakan tongkatnya terhenti dan tahu-tahu tongkat itu sudah
dicengkeram oleh tangan kiri Kun Hong! Ketika Yok-mo hendak membetot, kaki Kun Hong sudah
dunia-kangouw.blogspot.com
menendang ke arah tangannya sehingga kakek ini terpaksa melepaskan tongkatnya dan melompat
mundur. Akan tetapi terlambat, ujung pedang Kun Hong sempat menggaris tengkuknya, membuat luka
memanjang yang tidak dalam namun cukup merobek baju dan kulit.
"Ahhh, aku menyesal sekali. Aku tidak sengaja..." Kun Hong berseru dan mengembalikan tongkat kepada
Yok-mo.
Saking malunya, muka Yok-mo menjadi merah menghitam. Dia segera menerima tongkat dan tiba-tiba ia
menekuk tubuhnya, membungkuk-bungkuk dan merintih-rintih,
"Aduh... aduh... perutku... kambuh sakitnya..."
Kun Hong adalah seorang yang penuh welas asih, sama sekali tidak menaruh dendam kepada kakek itu.
Melihat muka orang yang menyeringai kesakitan, dia cepat menyimpan pedangnya dan menghampiri.
"Ada apa? Apanya yang sakit? Biarlah aku memeriksanya, Yok-mo."
Ia lalu berlutut dan mengulurkan kedua tangan memeriksa bagian perut kakek itu. Akan tetapi tiba-tiba Yokmo
menggerakkan tongkatnya menghantam kepala Kun Hong sambil menendang dengan kaki ke arah
dada pemuda itu!
"Heh! Curang!" Tubuh Beng San melayang ke atas panggung.
Juga para penonton berteriak-teriak, "Curang... curang...!"
Kun Hong kaget sekali, tapi dengan cepat tubuhnya meliuk ke belakang, pukulan tongkat pada kepalanya
meleset, akan tetapi dadanya kena tendang sehingga ia terjengkang dan bergulingan ke belakang.
Anehnya, ia bangun lagi dan sama sekali tidak apa-apa! Namun sebaliknya, Yok-mo muntah-muntah darah
lantas roboh dan napasnya putus!
Apa yang terjadi? Kiranya tadi Kun Hong benar-benar hendak mengobatinya dan ketika itu pemuda ini
dengan kedua tangannya sudah mencengkeram jalan darah di kanan kiri perut kakek itu. Tentu saja ia
melakukan hal ini dengan maksud baik karena hendak mengobati. Siapa kira kakek itu malah memukul dan
menendangnya.
Gerakan ini sebetulnya sama sekali pantang bagi orang yang urat perutnya dicengkeram, maka begitu
menendang, kakek itu merasa perutnya muak dan sakit. Kiranya urat-urat di dalam perutnya sudah hancur
dan membanjir ke dalam perut sehingga nyawanya tidak dapat diselamatkan lagi.
Kun Hong berdiri melongo. Ia masih belum tahu apa yang menjadi sebab kematian kakek itu. Wajahnya
menjadi agak pucat.
"Aku... aku tidak bermaksud membunuhnya... aku tidak membunuh...," katanya berulang kali kepada Beng
San yang sudah berada di panggung.
Beng San menepuk-nepuk pundak Kun Hong lalu diajaknya pemuda itu turun panggung. Dia lalu
memerintahkan anak buah Thai-san-pai untuk menurunkan mayat Yok-mo dan mengurusnya baik-baik.
"Jangan berduka, Kun Hong, Yok-mo tewas karena kesalahannya sendiri, bukan karena kau." Beng san
menghibur, melihat wajah muram pemuda itu. "Kau hendak menolongnya, sebaliknya ia justru membalas
dengan tendangan dan pukulan, memang telah kehendak Thian bahwa siapa yang jahat takkan selamat."
Pada saat itu di atas panggung sudah muncul seorang kakek tua bertubuh kecil dengan muka tersenyumsenyum
dan sepasang mata liar. Inilah Siauw-ong-kwi, kakek tokoh dari utara yang amat terkenal di dunia
kang-ouw.
Kakek ini sebetulnya jeri menghadapi Beng San yang dia tahu memiliki ilmu silat hebat. Akan tetapi karena
dalam pengeroyokan kemarin dulu dia yakin betul bahwa Beng San telah terluka dalam parah sekali,
sekarang ia hendak mempergunakan kesempatan untuk mengalahkan musuh ini dan mengangkat nama
sendiri, sekalian untuk membalas dendam atas kematian muridnya, Giam Kin, di tempat itu. Giam Kin
celaka dan tewas oleh Kwa Hong, tapi sekarang Kwa Hong sudah tewas pula, maka sudah sepatutnya ia
membalas kepada Beng San.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aku menantang kepada Ketua Thai-san-pai untuk menunjukkan kepandaiannya sebagai Ketua Thai-sanpai.
Jika ketua Thai-san-pai bersembunyi di belakang orang-orang muda, biarlah kuanggap dia tak berani
karena aku tidak sudi melawan orang-orang muda."
Beng San maklum bahwa kakek dari utara ini sengaja menantang dia karena tahu bahwa dia kemarin dulu
terluka. Malah harus ia akui bahwa sekarang pun tenaganya belum pulih kembali sedangkan Siauw-ongkwi
terkenal sebagai seorang ahli ilmu silat tangan kosong yang mengandalkan tenaga dalam.
Tentu saja kakek ini baginya bukan apa-apa kalau ia tidak terluka sedemikian hebatnya sehingga hampir
saja nyawanya melayang kalau tidak tertolong oleh Kun Hong. Sekarang pun andai kata mereka harus
bertanding dengan senjata, pedangnya sudah pasti akan dapat mengatasi kakek ini. Ia bangkit dari tempat
duduknya perlahan-lahan.
"Perlu apa melayani orang gila itu?" Li Cu segera melarang. "Biarlah aku saja yang maju melayaninya."
Beng San menggeleng kepalanya dan memberi isyarat kepada isterinya supaya duduk kembali, "Kau tidak
boleh bertempur, jaga kandunganmu," jawabnya perlahan.
"Ayah, aku sanggup menghadapinya!" Cui Bi bangkit. "Kesehatanmu belum pulih, biar aku mewakilimu
menghajar kakek gila itu."
"Aku pun sanggup menghadapinya," kata Kong Bu.
"Biar aku saja, Ayah," kata pula Sin Lee.
"Paman masih belum sehat benar, biarlah saya mewakili Paman," bahkan Li Eng pun tak mau ketinggalan.
Beng San tersenyum dan hatinya bangga, tapi ia menggeleng kepalanya lagi.
"Siauw-ong-kwi tadi menyatakan takkan melayani orang muda dan ia sengaja menantang kepadaku.
Walau pun aku harus menghemat tenaga memulihkan kesehatan, akan tetapi setidaknya satu kali aku
harus naik panggung, kalau tidak demikian Thai-san-pai akan dipandang rendah orang. Biarlah, aku masih
kuat melayani dia.”
Setelah berkata demikian, Beng San lalu berjalan menuju panggung dengan langkah lebar dan tenang,
kemudian meloncat ke atas panggung disambut sorak-sorai para tamu yang mengaguminya. Dengan
hormat Beng San menjura kepada tamunya, lalu menjura kepada Siauw-ong-kwi yang kini berdiri di
hadapannya sambil memandang tajam dan tersenyum menyeringai.
"Siauw-ong-kwi apakah kau merasa penasaran karena kegagalan kemarin dulu dan ingin merobohkan aku
selagi terluka hebat? Mengapa kau begini membenciku, juga membenci Thai-san-pai yang pendiriannya
sama sekali tidak merugikan dan menganggumu?"
Sikap sabar mengalah dari Beng San ini diterima keliru oleh Siauw-ong-kwi, dikira bahwa Ketua Thai-sanpai
ini takut.
"Ha-ha-ha, kau berani mendirikan perkumpulan persilatan baru, sudah sepatutnya berani menghadapi
tantangan. Kebetulan sekali perhitungan lama dapat dibereskan sekarang, kini perlihatkanlah
kemampuanmu mempertahankan nama Thai-san-pai yang kau dirikan dengan mengalahkan aku, ha-haha!"
"Siauw-ong-kwi, semenjak dulu kau gemar berkelahi, gemar memperlihatkan kepandaian, apa kau kira di
dunia ini tidak ada lain orang yang lebih pandai dari padamu? Kau tahu aku terluka karena pengeroyokan
curang, sekarang kau hendak menggunakan keadaanku untuk mendapatkan kemenangan, apakah ini
sikap yang patut dipuji dari seorang tokoh besar sepertimu?"
"He, Ketua Thai-san-pai. Apakah kau takut? Ha-ha-ha, lihatlah, aku akan menghadapimu dengan tangan
kosong, kalau takut, pakailah pedangmu, pedang Liong-cu-kiam, biar aku bertangan kosong saja karena
kau bilang bahwa kau sedang tidak enak badan," kakek itu tertawa-tawa lagi. Ucapannya ini dikeluarkan
dengan keras agar semua tamu mendengar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Beng San maklum bahwa kata-kata itu dikeluarkan justru agar ia tidak mempergunakan pedangnya. Dia
maklum akan kelicikan orang ini, maka ia mengeraskan hatinya, hendak melawan Siauw-ong-kwi tanpa
pedang! Ia hendak memperlihatkan bahwa biar pun dalam keadaan terluka, biar pun tanpa pedang, dia
masih sanggup mempertahankan kebesaran Thai-san-pai yang baru saja didirikannya.
"Siauw-ong-kwi, dengan senjata mau pun tidak, aku selalu siap melayanimu!" jawabnya dengan tenang,
tapi di dalam suaranya yang tenang ini terkandung kekerasan.
Terdengar suara Kun Hong berseru nyaring sehingga terdengar oleh semua tamu, "Ketua Thai-san-pai
sedang menderita sakit, tenaganya belum pulih semua, bagaimana orang tak tahu malu menantangnya
berkelahi? Kalau dengan senjata masih mendingan, tapi tanpa senjata, bukankah itu berarti orang
mempergunakan tipu muslihat dan hendak mencapai kemenangan secara curang?"
Beng San berterima kasih kepada Kun Hong, akan tetapi ia menoleh dan memberi isyarat dengan tangan
agar supaya pemuda itu duduk kembali.
Benar saja, keterangan Kun Hong ini mendatangkan suara berisik di antara para tamu yang sekarang
menganggap bahwa Siauw-ong-kwi bersikap licik sekali. Sudah tahu akan keadaan tuan rumah tapi
hendak menggunakan kesempatan itu mencapai kemenangan.
Dan diam-diam mereka amat kagum melihat tuan rumah, biar pun tengah menderita sakit tapi berani
menyambut tantangan tanpa senjata. Hati mereka berdebar penuh ketegangan karena maklum bahwa
sebentar lagi tentu terjadi pertempuran mati-matian.
Siauw-ong-kwi tidak senang mendengar seruan pemuda itu, maka supaya jangan sampai berlarut-larut
pikiran dan pendapat para tamu, ia segera menerjang sambil berseru, "Tan Beng San, jagalah pukulanku
ini!"
Beng San menangkis pukulan pertama itu.
"Dukk!" dua lengan bertemu.
Siauw-Ong-kwi mundur tiga langkah dan Beng San hanya mundur selangkah, akan tetapi Ketua Thai-sanpai
ini merasa dadanya sesak sehingga diam-diam ia mengeluh.
Ia tadi sengaja hendak mencoba tenaga lawan, juga hendak memeriksa keadaan sendiri. Ternyata walau
pun tenaganya sebagian besar sudah pulih dan dia sanggup mengatasi lawan, tetapi pengerahan tenaga
yang terlalu besar akan membuat lukanya di dalam dada kambuh kembali!
Di lain pihak, Siauw-ong-kwi kaget setengah mati. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa Beng San
masih akan mempunyai tenaga sehebat itu. Bukankah kemarin dulu ia melihat sendiri betapa hebat lukaluka
yang diderita Ketua Thai-san-pai?
Yok-mo sendiri sebagai seorang ahli pengobatan kemarin dulu menyatakan bahwa Ketua Thai-san-pai itu
tidak akan dapat hidup lebih dari tujuh hari melihat luka-lukanya. Mengapa sekarang tidak saja kelihatan
sehat, malah tenaganya masih sehebat itu? Diam-diam ia meragu dan mulai menyesal mengapa ia
gegabah menantang. Kemarin dikeroyok begitu banyak orang saja mereka tidak mampu menewaskan
Beng San, apa lagi sekarang satu lawan satu.
Akan tetapi karena sudah tidak dapat mundur lagi, Siauw-ong-kwi menjadi nekat. Sambil mengeluarkan
bentakan-bentakan nyaring tokoh dari utara ini kembali menerjang maju, menggunakan ilmunya yang
paling lihai, yaitu pukulan-pukulan dengan ujung lengan baju yang menyembunyikan pukulan-pukulan
tangannya yang mengandung tenaga lweekang hebat, di samping ini diselingi pula dengan ilmu
menangkap dan mencengkeram model Mongol.
Makin lama Beng San merasa dadanya makin sesak. Akan tetapi seujung rambut pun ia tidak mundur,
sama sekali ia tidak memperlihatkan penderitaannya, malah ia menandingi serangan Siauw-ong-kwi
dengan cara keras lawan keras. Semua serangan serta pukulan kakek itu ia tolak mundur dengan pukulanpukulannya
yang mengandung uap putih.
Akan tetapi pukulan-pukulan ini membutuhkan pengerahan lweekang yang hebat, maka tentu saja makin
lama keadaan dalam tubuh Beng San semakin payah dan tidak dapat dicegah pula, gerakannya menjadi
dunia-kangouw.blogspot.com
lambat meski pun ia masih bertekad mempergunakan tenaga dalamnya sekuat mungkin tanpa
mempedulikan keselamatan sendiri.
Kelambatan gerakan Beng San ini, kepucatan wajahnya dan sedikit darah yang keluar dari pinggir bibirnya,
membuat Siauw-ong-kwi girang sekali. Kini tahulah kakek itu bahwa lawannya ini sebetulnya terluka hebat
di sebelah dalam tubuhnya akan tetapi nekat dan pura-pura tidak menderita.
Melihat gerakan lawan menjadi kendur, cepat seperti kilat Siauw-ong-kwi mencengkeram dan tidak dapat
dicegah lagi pergelangan tangan kanan Beng San terancam cengkeraman yang berbahaya sekali. Tidak
ada lain jalan bagi Beng San kecuali melawan keras dengan keras. Dia membuka jari-jari tangan kanannya
dan menyambut cengkeraman itu dengan cengkeraman pula.
Siauw-ong-kwi tertawa mengejek. Ilmu mencengkeram merupakan ilmu khusus baginya, sedangkan Beng
San adalah seorang ahli pedang dan ahli pukulan, bagaimana dalam keadaan terluka dalam berani
menyambut cengkeramannya?
Dua buah tangan itu bertemu, tak dapat dicegah lagi jari-jarinya saling cengkeram. Beng San merasa
dadanya bagaikan tertusuk-tusuk. Akan tetapi ia menahan napas, kemudian mengerahkan tenaga
melawan desakan tenaga dalam lawan.
Sambil menggereng seperti binatang, Siauw-ong-kwi mengangkat tangan kanannya untuk menghantam ke
arah kepala Beng San. Ketua Thai-san-pai ini tentu saja tidak mau begitu saja menerima hantaman. Ia
mangangkat juga tangan kirinya dan menyambut hantaman itu dengan jotosan pula.
"Dukkk!"
Dua pukulan tangan bertemu di udara, sementara tangan yang satunya masih saling cengkeram. Siauwong-
kwi mengeluarkan suara seperti orang kena ditendang perutnya sedangkan Beng San gemetar seluruh
tubuhnya. Dengan nekat Siauw-ong-kwi memukul lagi, segera diterima lagi oleh kepalan tangan Beng San.
Setiap kedua pukulan bertemu, Siauw-ong-kwi tentu mengeluarkan suara,
"Hukkk!" seperti tertendang perutnya sedangkan tubuh Beng San makin keras menggigil.
Akan tetapi kakek itu yang menjadi penasaran dan nekat, memukul terus, selalu ditangkis seperti tadi oleh
Beng San.
Pergulatan mati-matian ini diikuti oleh para tamu dengan hati penuh ketegangan dan pihak tuan rumah
tentu saja merasa cemas bukan main. Sin Lee, Cui Bi dan Kong Bu sudah berdiri dengan pucat. Hanya
karena pencegahan Li Cu saja ketiga orang muda ini tidak meloncat ke atas panggung untuk menolong
ayah mereka.
"Jangan bantu, jangan...," Li Cu berkata perlahan dengan suara mengandung isak, "ayah kalian akan
marah... hal itu akan hina baginya dan lebih hebat dari pada mati..."
Dapat dibayangkan alangkah gelisah hati Li Cu. Akan tetapi nyonya ini kenal betul akan watak suaminya.
Malah ia sendiri pun sebagai puteri pendekar besar dan isteri pendekar sakti, juga mempunyai pandangan
yang sama.
Dalam pertandingan satu lawan satu seperti itu, biar pun harus menyaksikan suami tewas di depan mata,
tidak mungkin dia mau turun tangan membantu. Berbeda soalnya kalau suaminya dikeroyok seperti yang
terjadi kemarin dulu.
Sekarang mereka bertempur di atas panggung, disaksikan oleh banyak tokoh kang-ouw, dan Siauw-ongkwi
tadi mengajukan tantangan yang diterima oleh Beng San. Tidak ada kecurangan atau main paksa di
sini, yang ada hanya pertandingan bebas seorang lawan seorang, cukup adil biar pun keadaan suaminya
sedang sakit.
Kun Hong beberapa kali menutup mukanya. Dia tidak tahan melihat pertandingan yang merupakan
perjuangan antara mati dan hidup ini. Namun telinganya masih mendengar pertemuan dua kepalan bertubitubi
itu.
"Dukk...! Dukk...!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Ingin dia mencegahnya. Akan tetapi mendengar ucapan Li Cu tadi, dia pun tidak berani bergerak. Tak tega
ia melihat muka Beng San karena tadi ia terlihat pucat dan bahkan kehijauan seperti bukan muka manusia
lagi, lebih pucat dari muka mayat.
Dia memang tidak mengenal keadaan Beng San yang sebenarnya, tidak tahu bahwa di dalam tubuh
pendekar sakti ini sudah mengalir hawa Im dan Yang, yaitu dua hawa yang bertentangan dan amat kuat,
yang menghuni tubuhnya sehingga sewaktu-waktu mukanya bisa merah sampai menghitam, dan ada
kalanya muka yang gagah itu bisa berubah pucat sampai menghijau. Perubahan warna wajah Beng San
adalah pengaruh dari dua macam hawa sakti di tubuhnya itu, terdorong dari keadaan dan perasaannya di
waktu itu.
"Dukk...! Dukk...! Dukk...!"
Kedua kepalan tangan itu masih saling bertemu bertubi-tubi dan makin lama makin keras. Siauw-ong-kwi
yang merasa penasaran memandang dengan mata mendelik, sebaliknya Beng San yang mukanya
kehijauan itu menatap tajam.
Keduanya berhenti sebentar, tangan mereka yang saling mencengkeram masih menjadi satu, napas
mereka terengah-engah. Kemudian Siauw-ong-kwi meramkan dua matanya, menahan napas atau lebih
tepat menarik napas dalam, mengumpulkan seluruh tenaganya pada tangan kanannya. Beng San yang
maklum akan hal ini pun mengumpulkan seluruh tenaga dalamnya pada lengan kiri sehingga lengan itu
mengeluarkan uap putih.
Siauw-ong-kwi mengayunkan tangan kanan, jari-jarinya dibuka, dengan tangan terbuka menghantam ke
depan hebat bukan main. Beng San juga mengayun tangan kiri dengan jari-jari terbuka, didahului uap
putih.
"Dessss!"
Kedua telapak tangan berseru, hampir tak mengeluarkan suara, namun akibatnya hebat sekali. Tubuh
Siauw-ong-kwi terpelanting sampai ke bawah panggung, bergulingan di atas tanah, sedangkan tubuh Beng
San terpental ke belakang, terhuyung-huyung, akan tetapi pendekar ini masih dapat berdiri, lalu tiba-tiba
mulutnya dibuka dan... ia muntahkan darah segar banyak sekali.
Li Cu merintih dan mencelatlah tubuhnya ke atas panggung, lalu memeluk suaminya dan dituntun turun
panggung perlahan-lahan.
Ada pun Siauw-ong-kwi, sesudah bergulingan kemudian merangkak bangun, tertawa-tawa dengan suara
menyeramkan, namun melihat mukanya yang membiru, para tokoh berilmu di sana maklum bahwa kakek
ini menderita luka dalam yang luar biasa parahnya. Dari pinggir mulutnya juga mengalir darah menghitam!
Sambil terkekeh-kekeh Siauw-ong-kwi menengok ke sana ke mari, lantas menghampiri tempat tamu di
mana rombongan Kun-lun-pai duduk. Ia menghampiri Ketua Kun-lun-pai, Bun Lim Kwi yang segera berdiri
dengan ragu-ragu dan curiga karena kakek aneh itu jelas hendak mendekatinya. Siauw-ong-kwi berdiri di
depan Bun Lim Kwi dan Bun Wan yang juga sudah bangkit berdiri di sebelah ayahnya menjaga segala
kemungkinan.
Siauw-ong-kwi meroboh saku bajunya, mengeluarkan kertas yang digumpal-gumpal lalu... menyambitkan
kertas ini ke arah Bun Wan. Pemuda ini cepat-cepat mengulur tangan dan menyambut gumpalan kertas itu.
Dia merasa tangannya tergetar namun kertas itu dapat ditangkapnya. Ini saja menandakan bahwa ia telah
mewarisi kepandaian ayahnya.
"Heh-heh-heh, selamat... selamat...!"
Secara aneh Siauw-ong-kwi mengangkat kedua tangan ke dada dan memberi selamat. "Selamat berbesan
dengan ketua Thai-san-pai yang sakti!" Lalu ia membalikkan tubuh, terhuyung-huyung, menghampiri Pakthian
Lo-cu, berkata perlahan,
"Suheng, balaskan nyawaku..." lalu ia melompat dan lari terhuyung-huyung, sebentar saja lenyap dari
tempat itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bun Wan dan ayahnya duduk kembali. Pemuda ini membuka gumpalan kertas, kedua matanya membaca,
wajahnya tiba-tiba pucat dan matanya terbelalak seakan-akan tidak percaya akan isi kertas bertulis itu.
Ayahnya melihat hal ini, lalu mengambil kertas dari tangan anaknya dan membacanya. Ketua Kun-lun-pai
ini juga membelalakkan sepasang matanya, mukanya merah sekali.
Dia melihat Bun Wan bergerak di kursinya hendak berdiri, lalu ia menyentuh lengannya, diberi isyarat
supaya tenang dan duduk kembali. Kadang-kadang dia menengok ke arah rombongan tuan rumah,
mukanya sebentar pucat sebentar merah.
Dengan cepat Kun Hong memeriksa keadaan Beng San setelah Ketua Thai-san-pai ini duduk kembali di
kursinya.
"Syukur..." bisik pemuda ini perlahan, "isi dada Paman memang tergetar hebat, tenaga dalam hampir
habis, akan tetapi benar-benar Paman hebat sekali, dapat menahan semua itu. Tak berbahaya, dengan
istirahat beberapa pekan akan sembuh kembali. Tapi Paman sekarang tidak boleh mengerahkan tenaga
dalam lagi, bisa berbahaya sekali."
Beng San mengangguk dan tersenyum duka. Tidak disangkanya bahwa perkumpulannya baru dibuka saja
sudah harus menghadapi persoalan sehebat ini. Ia juga menyesal akan kenekatan Siauw-ong-kwi yang ia
tahu menderita luka parah dan agaknya sukar tertolong nyawanya. Pihak tuan rumah demikian sibuk dan
gelisah tadi menyaksikan keadaan Beng San sehingga peristiwa di rombongan Kun-lun-pai tadi tak
seorang pun di antara mereka melihatnya.
Sementara itu, di atas panggung berdiri seorang kakek tua renta. Kakek ini bukan lain adalah Pak-thian
Locu, Di atas panggung ia kelihatan begitu tua dan kelihatannya lemah sekali sehingga tubuhnya tak
pernah dapat berdiri diam, selalu bergoyang-goyang seperti rumput tertiup angin. Agaknya kalau ada angin
keras tubuh itu takkan kuat berdiri lagi. Tapi dalam penglihatan para ahli, tubuh yang bergoyang-goyang ini
bahkan menandakan bahwa kakek ini memiliki tenaga lweekang yang sudah mencapai puncaknya!
"Haaii, Ketua Thai-san-pai! Kau benar-benar kosen, sudah mampu menewaskan sute-ku. Hayo jangan
kepalang, majulah lagi dan lawanlah aku, suheng dari Siauw-ong-kwi. Kalau hari ini aku Pak-thian Locu
tewas di tanganmu, aku pun takkan merasa penasaran lagi!"
Mendengar suara ini, Beng San bergerak dalam kursinya. Akan tetapi Li Cu merangkul dan membujuknya,
"Kau tidak mungkin sanggup melawannya. Kau tidak boleh bertanding lagi!"
"Ayah, biarkan aku mewakilimu!" kata-kata ini hampir berbareng keluar dari mulut Cui Bi, Kong Bu dan Sin
Lee.
Beng San menggoyang-goyang tangannya. "Tidak boleh... tidak boleh... dia itu lihai sekali. Pukulannya
penuh hawa yang tak terlawan, aku pun hampir tidak kuat menandinginya. Tidak boleh kalian maju,
kalian... anak-anakku... bisa celaka di tangannya!" Ia bangkit berdiri. "Hanya aku seorang yang kuat
menghadapi tenaganya yang mukjijat."
"Jangan... sekarang kau sudah terluka hebat, mana bisa melawannya? Biarlah aku yang melawannya,
belum tentu pula aku kalah melawan tua bangka itu!" Li Cu berkata sambil memandang marah ke arah
panggung.
"Apa aku gila membiarkan kau dan anak yang kau kandung terancam bahaya? Tidak, ini adalah urusan
Thai-san-pai, urusanku. Apa artinya mati dalam mempertahankan nama dan kehormatan? Anak-anak pun
tidak boleh maju karena aku tahu pasti bahwa seorang di antara kalian bukan lawannya. Aku seoranglah
yang bertanggung jawab!"
"Paman!" tiba-tiba Kun Hong memegang tangan Beng San dan berkata tegas, "Aku tidak mendahului
kehendak Tuhan. Akan tetapi aku yakin betul bahwa kalau kali ini Paman bertanding, jangankan bertemu
dengan ahli lweekang, biar pun bertemu dengan seorang yang lebih rendah tingkatannya dari Siauw-ongkwi
tadi, Paman akan terluka hebat dan sukar ditolong lagi. Paman biarlah aku saja menandinginya, aku
mempunyai akal untuk mengalahkannya."
Beng San tersenyum, menepuk-nepuk bahu pemuda itu. "Kau memang hebat, akan tetapi kakek itu lain
lagi, Kun Hong. Tak bisa kau samakan dengan Yok-mo. Kau memang bisa mengendalikan langkahlangkah
ajaib itu untuk menyelamatkan diri dari semua serangan cepat, akan tetapi tak mungkin kau dapat
dunia-kangouw.blogspot.com
menggunakannya untuk menghindarkan diri dari pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga lweekang
luar biasa. Tidak, tidak layak aku mengorbankan kau yang sudah berjasa sangat besar terhadap Thai-sanpai
dan aku." Keputusan Beng San sudah bulat, ia sudah nekat.
Di atas panggung, kakek itu tertawa-tawa, "He, Ketua Thai-san-pai. Apakah kau sedang meninggalkan
pesan-pesan terakhir kepada sanak keluargamu? Mengapa kau tak juga muncul? Ataukah barangkali kau
takut mati? Kalau begitu kau tak patut menjadi pendiri Thai-san-pai."
Beng San sudah berdiri dan tangan kanannya meraba gagang pedang di punggungnya. "Dengan ilmu
pedangku aku akan dapat mengatasinya," katanya lirih.
"Paman, aku mempunyai satu cara untuk membangkitkan tenaga dalammu dalam waktu singkat. Harap
Paman suka duduk, biarlah aku mengerjakannya."
Karena sudah percaya betul akan kepandaian Kun Hong mengobati, Beng San percaya saja bahwa
pemuda aneh ini benar-benar akan dapat melakukan hal yang luar biasa ini. Memang ia merasa betapa
hawa murni di dalam dirinya berputaran kacau, dan ia merasa lemah sekali. Ia lalu duduk dan meramkan
mata hendak menerima pengobatan aneh itu.
Kun Hong mendekatinya, berkedip aneh kepada Li Cu, meraba punggung dan leher lalu menotok jalan
darah kedua tempat itu dengan amat cepatnya. Seketika Beng San menjadi lemas, tak mampu bergerak
lagi dan tidak mampu mengeluarkan suara lagi.
Pendekar ini kaget bukan main, akan tetapi apa dayanya. Ia hanya dapat memandang kepada pemuda itu
yang sekarang telah berjalan menuju ke panggung, kemudian tubuh pemuda itu tahu-tahu melayang ke
atas panggung.
Sekarang Kun Hong tidak mau berpura-pura lagi. Ia menghadapi keadaan gawat, maka ia mempergunakan
kepandaiannya naik ke panggung. Gerakan ini disambut seruan-seruan heran, bahkan juga dari mulut Li
Cu dan para muda.
Li Eng dan yang lain sama sekali tidak tahu cara apa yang dipergunakan oleh Kun Hong untuk melayang
naik. Tidak kelihatan pemuda itu menggerakkan kaki mengenjot tanah, tidak kelihatan menekuk lutut untuk
menghimpun tenaga meloncat, tapi tahu-tahu kedua lengannya berkembang dan tubuhnya naik ke
panggung seperti burung terbang saja. Sin Lee mengenal gerakan ini, akan tetapi ia sendiri tidak akan
mampu melakukannya tanpa menekuk dan mengenjot tanah.
Kakek tua renta menyambut kedatangan Kun Hong dengan senyum mengejek kemudian mendengus,
"Huh, kau pemuda yang melawan Yok-mo tadi? Apakah, Thai-san-pai begitu pengecut untuk ajukan
seorang bocah semacammu? Apa kehendakmu ke sini? Jangan main-main, usiamu masih muda, sayang
kalau kau mampus sia-sia saja, orang muda. Heee, Thai-san-pai, lebih baik mengirim tokoh yang lebih
sakti dan matang, jangan malah mengirim seorang bocah cilik!"
"Locianpwe, tenanglah dan dengarlah lebih dulu omonganku, biar disaksikan oleh sekalian cianpwe yang
hadir di sini," Kun Hong berkata, suaranya terdengar aneh dan menggema seperti suara yang datang dari
angkasa sehingga membuat terkejut semua orang, juga kakek itu sendiri.
"Tak perlu disembunyikan lagi bahwa Paman Tan Beng San Ketua Thai-san-pai sedang menderita luka
parah dan tidak mungkin dapat bertanding pula. Mungkin para Cianpwe tidak mengetahui, tapi hal ini kau
mengetahui baik-baik Locianpwe, bahwa Paman telah menderita luka berat akibat pengeroyokan yang
curang. Kau pun termasuk pengeroyok-pengeroyoknya. Namun karena semangatnya sebagai seorang
gagah sejati, Paman tadi masih mau melayani Siauw-ong-kwi sehingga berhasil mengalahkan Siauw-ongkwi,
biar pun lukanya menjadi makin parah. Sekarang Paman tidak mungkin dapat melawanmu. Kalau kau
orang tua begini bernafsu hendak bertanding melawan Paman Tan Beng San, kau kembalilah barang tiga
empat pekan lagi, tentu dengan senang hati Paman akan melayanimu. Kami bersumpah takkan
mengeroyokmu seperti yang kau lakukan kemarin dulu terhadap pamanku itu. Sekarang kalau kau suka
bersabar dan menanti sampai tiga empat pekan, kau pergilah dan Paman akan menanti kembalimu. Akan
tetapi kalau kau hendak mempergunakan kelicikan, menantang Paman selagi beliau tak dapat bergerak,
benar-benar kau tidak tahu malu dan biarlah aku yang muda mewakili Paman untuk menghadapimu!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Semua orang yang hadir tercengang mendengar ucapan yang bergema ini. Mereka heran akan keberanian
pemuda ini, dan juga terkejut mendengar betapa Tan Beng San sudah terluka kemarin dulu karena
dikeroyok. Orang-orang menjadi berisik.
"Heii, bocah sombong, kau siapakah? Siapa namamu dan apakah kau juga anak murid Thai-san-pai?"
"Namaku Kwa Kun Hong, aku bukan anak murid Thai-san-pai, melainkan anak dari Ketua Hoa-san-pai.
Biar pun aku tidak berkepandaian, akan tetapi aku menyediakan selembar nyawaku untuk memberantas
ketidak adilan ini. Kakek tua, kau sudah tua, seharusnya kau mencari jalan terang. Pergilah dan padamkan
nafsumu, atau kalau kau tetap hendak berkelahi dengan Paman, kembalilah empat pekan lagi."
"Keparat, aku tetap menantang Ketua Thai-san-pai sekarang juga!"
"Kalau begitu, akulah lawanmu."
"Kau berani melawan aku, bocah ingusan?"
"Yang benar tidak akan penah mengenal takut, kalah menang bukan soal."
"Monyet kecil, bila kau tidak roboh dalam sepuluh jurus pukulanku, kau akan kusembah!"
"Aku tidak butuh kau sembah, kalau mau pukul terserah."
Tidak kelihatan tangan kakek itu bergerak, tapi tahu-tahu angin menyambar mendahului gerakan tangan
kanan kakek itu mendorong ke arah tubuh Kun Hong.
Pemuda ini sudah kuat sekali nalurinya, maka dia segera mengerjakan langkah-langkah Kim-tiauw-kun.
Ujung bajunya berkibar terkena angin pukulan, akan tetapi tubuhnya sama sekali tidak terkena. Angin
pukulan ke dua datang menyambar. Kakek itu masih berdiri di tempatnya, hanya kini kuda-kudanya miring,
tangan kirinya mendorong dari samping.
Kun Hong masih terus melangkah terhuyug-huyung dan…
"Brakkk!"
Papan di belakang Kun Hong amblong terkena angin pukulan yang hebat itu! Para tamu mengeluarkan
suara kaget. Ilmu pukulan sehebat itu baru sekali ini mereka saksikan dan tadinya mereka sangka hanya
terdapat dalam dongeng belaka.
Makin lama makin penasaran kakek itu, pukulannya makin hebat sehingga di sana-sini papan menjadi
pecah dan amblong. Namun dengan gerakan tenang tetapi aneh, bukan main pemuda itu menjalankan
langkah-langkah ajaibnya sehingga pukulan terdekat hanya membuat rambutnya berkibar awut-awutan,
namun belum juga mengenai tubuhnya.
“Sudah sepuluh jurus!" terdengar teriakan dari bawah panggung, teriakan seorang tamu yang merasa
penasaran terhadap kakek itu.
Pak-thian Locu berhenti, tubuhnya bergoyang-goyang, tertawa lalu tiba-tiba ia berlutut.
"Orang muda, sekarang aku akan menyembahmu!" Kedua tangannya bergerak dan pada saat itu terdengar
seruan nyaring sekali.
"Orang muda, awasss!"
Akan tetapi terlambat! Kun Hong yang tadinya terheran-heran karena melihat kakek itu benar-benar
berlutut dan hendak menyembah, tiba-tiba merasa ada angin yang luar biasa keras dan kuatnya
menyambar dari depan. Ia cepat merendahkan dirinya, melipat diri dan menutupi muka seperti trenggiling
melingkar sambil mengerahkan hawa murni di dalam tubuhnya.
Tubuhnya seperti didorong oleh tenaga raksasa dan melayang keluar hingga turun dari panggung! Ia
terbanting dan bergulingan, akan tetapi segera meloncat berdiri dan tidak apa-apa! Dengan tenang sekali
Kun Hong melompat lagi ke atas panggung.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi di atas panggung telah berdiri seorang kakek tinggi besar, Song-bun-kwi yang memandang
kepada Pak-thian Lo-cu dengan mata mendelik.
"Tua bangka gila! Tak tahu malu benar engkau, melawan seorang bocah mempergunakan akal muslihat
curang!"
"He-he-heh, Song-bun-kwi iblis jahat. Apakah kau pun sekarang hendak menjilat pantat Thai-san-pai?"
Dari bawah panggung terdekar suara Beng San. "Gak-hu (Ayah Mertua), harap jangan mengeroyok!"
Ternyata setelah Kun Hong bertempur, Li Cu membebaskan totokan pada diri suaminya sehingga
pendekar ini dapat bergerak dan bersuara lagi. Ia tahu bahwa betapa pun juga, dalam diri Kun Hong
bersembunyi kepandaian yang sukar dijajaki, maka melihat cara Kun Hong menerima pukulan tadi, ia
menjadi lega dan harapannya membesar.
Karena pemuda ini sedang berjuang atas nama Thai-san-pai, maka dia tidak setuju kalau mertuanya
membantu, membikin cemar nama Thai-san-pai, sungguh pun ia girang sekali menyaksikan perubahan
sikap ayah mertua yang aneh ini.
"Kakek, jangan mengeroyok, memalukan saja!" Kong Bu juga berseru kepada kakeknya.
Song-bun-kwi menoleh, matanya mendelik, "Tak puas hatiku kalau aku belum memukul!" tubuhnya
merendah hampir berjongkok, kedua tangannya mendorong ke depan.
Itulah ilmu pukulan jarak jauh dari Ilmu Silat Yang-sin Kun-hoat yang paling diandalkan. Kakek tua renta itu
cepat menolak dengan kedua tangannya pula dan tubuh Song-bun-kwi terlempar sampai dua meter ke
belakang, hampir saja terguling dari atas panggung.
"Hebat tenagamu, tua bangka!" berseru Song-bun-kwi dan ia tak dapat turun tangan pula karena pada saat
itu Kun Hong sudah berkelebat lewat di sampingnya.
"Orang muda Hoa-san-pai, kau berhati-hatilah!" Song-bun-kwi berseru sambil melompat turun.
Kakek yang gagah ini baru sekarang selama hidupnya melihat orang muda yang begini aneh, malah lebih
aneh dari pada Beng San ketika masih muda dahulu, maka timbullah simpatinya. Melihat Kun Hong tidak
apa-apa dan sudah naik, kakek itu tercengang, lalu ia mengeluarkan sebatang pedang yang tipis dan
ringan sekali berwarna putih seperti perak.
Ia tahu bahwa biar pun lawannya masih muda sekali, namun agaknya memiliki kesaktian, maka ia tidak
mau mencoba-coba lagi seperti tadi. Melihat kakek tua itu mengeluarkan pedang, Kun Hong juga mencabut
Ang-hong-kiam dari balik jubahnya. Sinar merah lantas memancar ketika ia mencabut pedangnya.
"Heh, bukankah itu Ang-hong-kiam? Dari mana kau dapat?" Kakek itu menegur, kelihatan kaget.
Akan tetapi dasar manusia licik, sebelum dijawab pedangnya sudah menerjang dengan lambat sekali, tapi
jangan dikira tidak berbahaya karena angin serangan pedang ini sudah cukup memisahkan kepala lawan
dari badannya!
Kun Hong cepat mengelak dan bersilat dengan Ilmu Silat Kim-tiauw-kun yang dahulu ia latih di dalam goa.
Gerakan-gerakannya aneh sekali, caranya memegang gagang pedang juga aneh dan lucu. Berkali-kali Kun
Hong diserang dan ia masih belum juga membalas. Ia sedang memperhatikan cara lawan mempergunakan
pedang, akan tetapi sebegitu jauh belum dapat ia menjajaki.
Ilmu pedang lawannya juga aneh dan banyak ragamnya. Memang kakek setua ini sudah terlalu banyak
mempelajari ilmu silat sehingga jurusnya ia robah-robah dan ia ganti-ganti. Baiknya Kun Hong terus
menggunakan langkah-langkah ajaib sehingga dapat menghindar dengan tepat.
"Hong-ko, balas serangan!" tiba-tiba terdengar suara merdu dan nyaring.
Itulah suara Cui Bi. Suara ini membuat dua orang di antara para tamu menengok dengan mata terbelalak
marah, yaitu mata Bun Lim Kwi dan Bun Wan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar seruan ini, barulah Kun Hong teringat bahwa di dalam pertempuran, ia harus membalas
serangan kalau tidak mau kalah. Maka dia lalu mulai menyerang. Akan tetapi alangkah ganjilnya,
pedangnya tidak menyerang tubuh orang melainkan menyerang udara di sekitar tubuh lawan itu.
Hebatnya, kakek itu berseru keras dan selalu menangkis atau mengelak tiap kali pedang Kun Hong
berkelebat. Kiranya hanya gayanya saja menyerang udara untuk membuat lawan lengah, padahal
dilanjutkan dengan serangan yang berbahaya dan jitu. Tiba-tiba malah Kun Hong membentak dan
pedangnya menusuk ke arah dadanya sendiri!
Cui Bi sampai terteriak kaget melihat ini, tapi ayahnya menyentuh tangannya menyuruh ia diam. Sejenak
kakek tua renta itu pun kaget dan heran, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika pedang yang hampir
menyentuh dada Kun Hong itu, tiba-tiba saja membalik dan mempergunakan kesempatan selagi ia
terheran-heran, ujung pedang sudah dekat sekali dengan lehernya.
"Celaka, mengelaklah, orang tua!" seru Kun Hong.
Jurus ini adalah jurus yang mukjijat dari ilmu Silat Kim-tiauw-kun, maka tak dapat ia tarik kembali dan ia
sudah ngeri melihat betapa ujung pedangnya akan menembus leher kakek itu. Hanya dengan
menggulingkan diri ke atas papan saja kakek itu dapat menyelamatkan diri. Ia bergulingan terus dan…
"Brakk!" tahu-tahu kakinya terjeblos kedalam lubang di papan yang tadi amblong oleh pukulannya sendiri.
Lucu sekali keadaan kakek itu. Ia terperosok sampai ke pinggangnya, dan hanya badan bagian atas saja
yang tampak, kedua tangannya melambai-lambai ke atas.
"Tolongg...!"
Dasar sudah tua sekali ia menjadi pikun. Dengan kepandaiannya yang tinggi, tentu saja dengan mudah ia
dapat keluar dari lubang itu. Akan tetapi ketuaannya dan kepikunannya membuat ia kebingungan setengah
mati dan berseru minta tolong!
Di antara para tamu ada yang tertawa-tawa dan bersorak-sorak saking gelinya melihat ini. Para tokoh tua,
termasuk Song-bun-kwi, menyumpah-nyumpah dan menggeleng-geleng kepala.
Kalau Kun Hong pada saat itu menyerang, kiranya kakek itu takkan mampu membela diri lagi karena
sedang kebingungan, berkutetan dalam usahanya membetot tubuhnya keluar. Akan tetapi, bukan kakek itu
saja yang pikun sehingga kelakuannya aneh, pemuda ini malah lebih aneh lagi. Ia memegang pedang
dengan tangan kiri, lalu mengulurkan tangan kanan mendekati kakek itu dan berkata lembah-lembut bagai
seorang dewasa menolong seorang kanak-kanak.
"Mari kubantu, Locianpwe, peganglah tanganku nanti kutarik keluar."
Pak-thian Locu girang. Dia memegang tangan kanan Kun Hong yang segera menariknya keluar dari lubang
itu. Akan tetapi begitu dirinya sudah tertolong kakek itu ingat kembali akan pertandingan mereka. Pedang
di tangan kanannya mendadak menyambar ke arah leher Kun Hong.
Pada saat itu, tangan kanan Kun Hong masih saling berpegang dengan tangan kiri kakek itu sedangkan
pedangnya masih ia pegang dengan tangan kiri, keadaannya amat tidak menguntungkan. Namun berkat
nalurinya yang tajam, menghadapi serangan ini ia dapat bereaksi cepat sekali. Tangan kirinya mengangkat
pedang dan menangkis sambil menarik kembali tangan kanan yang menolong kakek itu tadi.
"Tranggg!"
Dua pedang bertemu, pedang putih dan pedang merah, dan... Kun Hong langsung roboh terguling-guling
saking hebatnya tenaga kakek ini.
Pak-thian Locu tertawa senang, pedangnya terus menyambar ke arah tubuh Kun Hong yang cepat
mengelak sambil bergulingan dan segera meloncat berdiri lagi. Akan tetapi kini permainan pedang kakek
itu aneh sekali gerakan-gerakannya, membuat ia bingung dan hanya dapat berloncatan ke sana ke mari
mengandalkan langkah-langkah ajaib. Memang kepandaian kakek itu amat tinggi, lebih tinggi dari pada
kepandaian Kun Hong.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sekali ini Kun Hong sama sekali tidak ada kesempatan untuk balas menyerang, bahkan langkah-langkah
ajaibnya hampir tidak manjur lagi setelah bertempur seratus jurus lebih lamanya. Pak-thian Locu bukanlah
orang yang terlalu bodoh. Setelah langkah-langkah ini terus menerus dilakukan oleh Kun Hong, maka Pakthian
Lo-cu mulai dapat mengikutinya dan dapat mengocar-ngacirkan gerak langkah Kun Hong. Sekarang
pemuda itu mulai didesak hebat, kadang-kadang langkahnya bahkan dipapaki serangan, membuat dia
bingung dan kacau gerakan kakinya.
Pak-thian Locu mulai gembira, tertawa-tawa dan terkekeh-kekeh. Kadang kala ia sengaja membentak
sebagai gertakan supaya Kun Hong terkejut, padahal serangannya terhenti di tengah-tengah. Kakek ini
seperti seorang anak kecil menemukan sebuah barang mainan baru, atau bagaikan seekor kucing tua
menemukan seekor tikus. Jelas bahwa Kun Hong dibuat main-main dulu sebelum ditusuk mati.
Tiba-tiba saja Kun Hong membentak dengan suara aneh, "Pak-thian Locu, sekarang kau hadapi
seranganku. Awas!"
Pak-thian Lo-cu kaget luar biasa. Dia cepat-cepat menghindar sambil memutar pedangnya menangkis,
terus saja ia menangkis ke sana ke mari seakan-akan ia didesak hebat oleh lawannya.
Padahal Kun Hong hanya berdiri dan memalangkan pedang di depan dada, sama sekali tidak menyerang.
Ternyata pemuda ini setelah terdesak hebat, terpaksa mempergunakan ilmu sihir yang ia pelajari dari Sineng-
cu Lui Bok.
"Eh, hayo lekas menyerang! Mana seranganmu?" Tiba-tiba kakek itu berhenti menangkis-nangkis sendiri
dan berbalik menyerang Kun Hong.
Pemuda itu terkejut dan cepat mengelak dan pada lain saat kembali ia dihujani serangan. Diam-diam ia
kaget dan dapat menduga bahwa tenaga dalam kakek ini sudah sedemikian tingginya sehingga kekuatan
batinnya ketika menyihir tadi hanya dapat menguasai kakek itu sebentar saja.
Cepat-cepat ia mengerahkan seluruh kekuatan batin di dalam tubuhnya dan membentak lagi, "Awas
serangan ilmu pedangku!"
Kembali kakek itu melompat mundur dan menangkis ke sana ke mari, mengelak ke kanan kiri.
Para tamu melongo menyaksikan pertempuran yang aneh bukan main ini. Mereka hanya mengira bahwa
dua orang aneh itu menggunakan ilmu yang demikian tingginya sehingga penyerangan-penyerangan
mereka tak dapat dilihat oleh mata orang lain.
Beng San memandang dengan kagum. Tapi setelah kini melihat betapa Kun Hong malah duduk bersila di
tengah panggung dengan sikap seperti seorang sedang semedhi, dengan pedangnya diacungkan ke
depan muka, tepat di depan hidung, kemudian Pak-thian Locu sekarang bersilat sendiri, menyerang dan
menangkis memutari Kun Hong, pendekar sakti Ketua Thai-san-pai ini melongo.
Memang pemandangan di atas panggung sekarang aneh dan lucu bukan main. Kun Hong duduk bersila,
pedangnya diacungkan di depan wajahnya, keningnya dikerutkan, ia tidak bergerak sama sekali. Di lain
pihak, Pak-thian Locu seperti orang yang kemasukan setan, mencak-mencak tidak karuan bagaikan orang
bertanding mati-matian melawan bayangan sendiri, maju mundur mengitari tubuh Kun Hong, pedangnya
berkelebatan akan tetapi tak pernah mendekati tubuh Kun Hong. Bahkan agaknya kakek itu tidak melihat
Kun Hong dan sedang bertanding mati-matian melawan musuh yang tidak tampak.
Akan tetapi, setelah Beng San melihat betapa dari ubun-ubun kepala Kun Hong mengepul uap putih,
keheranannya lalu berubah menjadi kekaguman hebat. Bukan main, pikirnya. Kiranya pemuda itu sedang
mempergunakan semacam ilmu yang aneh dan tinggi, ilmu yang membutuhkan pengerahan tenaga batin
dan hawa murni di dalam tubuh. Ia melihat Cui Bi bergerak gelisah dan Li Eng sudah bangun dari kursinya
sambil tangannya meraba gagang pedang.
"Sstt, kalian duduklah kembali," Beng San berkata perlahan. "Jangan ganggu, Kun Hong sedang berjuang
mati-matian melawan kakek itu."
Mendengar ini, orang-orang muda itu kembali duduk dan hati mereka berdebar gelisah, akan tetapi juga
merasa sangat heran. Kun Hong duduk bersila, lawannya ‘mengamuk’ di sekelilingnya, bagaimana bisa
dunia-kangouw.blogspot.com
dibilang sedang berjuang mati-matian? Apakah bukannya Kun Hong sudah terluka hebat dan menanti
kematiannya sedangkan kakek itu berubah gila?
Para tamu saling berbisik-bisik dan keadaan menjadi tegang, aneh, serta berisik pula. Orang-orang mulai
tidak sabar menyaksikan pertandingan yang luar biasa ini. Akan tetapi Beng San dan juga Song-bun-kwi
serta tokoh-tokoh tua makin tegang karena maklum bahwa pertandingan itu makin hebat juga.
Kini seluruh tubuh Kun Hong menggigil dan bercucuran peluh! Akan tetapi, kakek itu pun bercucuran peluh
pada dadanya. Mukanya pucat dan gerakan-gerakannya makin lemah, kelihatan lemah bukan main karena
terlampau banyak mengeluarkan tenaga, baik luar mau pun dalam.
Tiba-tiba saja kakek itu memekik tinggi dan tubuhnya roboh di atas panggung, napasnya empas-empis dan
tidak lama kemudian napas itu pun terhenti. Ada pun Kun Hong masih duduk seperti patung dengan
pedang mengacung ke depan, sama sekali tidak bergerak.
Cui Bi berseru lirih, tubuhnya melesat ke atas panggung. Tanpa ragu-ragu ia menghampiri Kun Hong,
menempelkan dua telapak tangan di punggung dan tengkuk pemuda itu sambil mengerahkan tenaga
lweekang disalurkan melalui kedua telapak tangannya. Hampir dia menjerit ketika tangannya menempel,
sebab tubuhnya tergetar hebat. Akan tetapi dengan mengerahkan tenaga gadis itu memaksa diri, akhirnya
seluruh hawa murni di tubuhnya dapat dibuka dan dipaksa memasuki tubuh Kun Hong.
Para tamu melihat ini makin terheran-heran, kecuali mereka yang berilmu tinggi maklum bahwa puteri Thaisan-
pai itu sedang menolong Kun Hong. Ketua Kun-lun-pai ayah dan anak menyaksikan ini dengan muka
merah sekali.
Melihat perbuatan puterinya, Beng San sebetulnya tidak setuju dan hendak mencegah. Namun melihat
bahwa tubuh puterinya tadi tergetar hebat, sekarang dia maklum bahwa jika dicegah mungkin puterinya itu
malah mendapat luka berat. Maka ia mendiamkannya saja.
Kun Hong bergerak, menoleh perlahan, lalu tersenyum dan perlahan-lahan ia melepaskan kedua tangan
gadis itu dari tempelannya. Lalu ia berdiri akan tetapi tampak kaget sekali melihat tubuh Pak-thian Locu
sudah telentang di atas papan tanpa bergerak sedikit pun. Cepat ia berjongkok memeriksa dan... pemuda
ini berduka sekali melihat bahwa lawannya sudah tak bernapas lagi.
Kun Hong memberi isyarat kepada Cui Bi supaya turun panggung, sedangkan dia sendiri setelah
menyimpan pedangnya lalu berdiri menghadapi para tamu dan berkata, suaranya penuh kedukaan, tapi
juga berpengaruh,
"Cuwi sekalian yang hadir di sini, sudah cukup menyaktikan betapa nafsu-nafsu beberapa orang tokoh
untuk bertempur mengakibatkan kematian-kematian yang amat menyedihkan. Pamanku Tan Beng San
Taihiap mendirikan Thai-san-pai tidak sekali-kali dengan maksud menanam bibit permusuhan, akan tetapi
untuk menyebar luaskan ilmu silatnya sehingga kepandaian ini dapat berkembang biak kemudian dapat
dipergunakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang lemah menumpas si jahat. Maka
biarlah di sini aku Kwa Kun Hong, yang muda dan bodoh, mohon dengan hormat dan sangat kepada Cuwi
sekalian, agar supaya pertandingan-pertandingan ini disudahi saja. Kepada mereka yang memang tidak
mempunyai niat untuk menjual kepandaian dan mencari permusuhan serta mengacaukan pertemuan ini,
kami menghaturkan banyak terima kasih, dan kepada mereka yang bernafsu untuk berkelahi, kami harap
sudi membuang jauh-jauh nafsu yang tidak baik itu."
Baru sampai di sini pidato Kun Hong, mendadak dari bawah panggung terdengar seruan keras, "Kwa Kun
Hong, kau dan dua orang keponakanmu harap menyerahlah untuk kami tangkap dan kami bawa kembaii
ke kota raja!"
Kun Hong memandang dan kagetnya bukan main melihat Thian It Tosu bersama enam orang lain sedang
berdiri berjajar di bawah panggung. Itulah tujuh orang pengawal istana, lengkap! Mereka bukan lain adalah
Tiat-jiu Souw Ki, Thian it Tosu, Bu Sek dan Bu Tai, Bhong-lokoai, Sin-twa-to Liong Ki Nam, dan Ang-moko.
Tentu para pengawal ini disuruh oleh pangeran mata keranjang itu untuk menangkap kedua anak
keponakannya.
"Celaka... Li Eng, Hui Cu, hayo kita lari pergi!" Kun Hong sudah melompat dan berlari ke arah dua orang
keponakannya itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi Beng San mencegah mereka yang ketakutan ini lari. "Tenanglah, biar aku yang mengurusnya."
Namun, pada saat ketujuh orang pengawal istana itu melompat naik ke atas panggung, tiba-tiba terdengar
suara orang tertawa keras dan tahu-tahu Song-bun-kwi telah melayang naik pula.
"Ha-ha-ha-ha, kalian tujuh anjing penjilat pantat! Dahulu yang mengacau di istana adalah aku, Song-bunkwi.
Hayo, kalian mau apa? Kalian datang ke sini apakah ingin menerima gebukan-gebukan dari aku? Haha-
ha!"
Dua saudara kembar Bu Sek dan Bu Tai, juga Thian It Tosu, sudah pernah merasakan kelihaian Song-bunkwi
di markas Ngo-lian-kauw dahulu, maka sekarang karena mereka bertujuh dan di situ terdapat pula Angmoko
dan Bhong-lokoai, mereka menjadi tabah dan segera menyerbu Song-bun-kwi tanpa banyak cakap
lagi.
Dalam sekejap mata saja Song-bun-kwi telah dikeroyok oleh tujuh orang pengawal istana itu yang
semuanya menggunakan senjata andalan mereka masing-masing. Terang bahwa pertempuran kali ini
bukanlah adu kepandaian, melainkan pertempuran sungguh-sungguh antara dua pihak bermusuhan dan
semua penyerangan ditujukan untuk mematikan lawan.
Para tamu mulai geger, malah sudah ada yang diam-diam meninggalkan tempat itu untuk turun gunung.
Memang sebagian besar para tamu segan kalau harus berurusan dengan petugas-petugas dari istana.
Melihat kakeknya dikeroyok tujuh, Kong Bu berseru marah. Tubuhnya melayang ke atas panggung, lantas
membantu kakeknya mengamuk. Suara ketawa Song-bun-kwi semakin terbahak, seakan-akan
pengeroyokan atas dirinya beserta cucunya ini merupakan sebuah peristiwa yang amat menyenangkan
hatinya!
Pada saat itu, para tamu makin gelisah dan banyak yang sudah pergi. Tiba-tiba kelihatan pasukan orangorang
Ngo-lian-kauw yang memegang pedang dan menyerbu, kemudian mengurung tempat itu. Mereka
yang terdiri dari lima puluh orang lebih ini berteriak-teriak,
"Bayar kembali nyawa ketua kami!"
Beng San terkejut melihat ini. Celaka, pikirnya, tentu akan terjadi perang kecil yang akan mendatangkan
banyak korban, apa lagi ia melihat di belakang pasukan ini masih terdapat barisan lain dari Ngo-lian-kauw
yang semua tidak kurang dari dua ratus orang jumlahnya! Sedangkan pertempuran di atas panggung
masih amat seru dan ramai.
Tiba-tiba terdengar letusan-letusan. Kiranya orang-orang Ngo-lian-kauw sudah memasang banyak petasan
dan obat peledak, mungkin merupakan tanda-tanda atau mungkin juga untuk mengacaukan keadaan.
Tempat tamu sudah banyak yang kosong karena ditinggalkan. Pada saat itulah terdengar sorak-sorai dan
dari lereng gunung berlari-lari satu pasukan yang panjang. Setelah dekat, kiranya pasukan ini adalah
barisan orang-orang pengemis dan di belakang pasukan ini berlari-lari pula sepasukan kecil prajurit kota
raja mengiringkan seorang perwira bertubuh tinggi besar. Samua menuju ke tempat itu.
Agaknya memang sudah ada dendam lama antara orang-orang Ngo-lian-kauw dan para pengemis itu
karena begitu bertemu, segera terjadi pertempuran keroyokan. Melihat ini, Kun Hong segera berlari-lari ke
depan dan berseru,
"Hee, bukankah kalian ini anggota-anggota Hwa-i Kaipang? Berhenti, jangan bertempur!"
Pada waktu para pengemis itu menengok dan melihat siapa yang bicara, mereka segera meninggalkan
lawan, lari-lari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu. Kun Hong mengenal Coalokai
yang memimpin pasukan itu. Segera dia memegang tangannya dan berkata girang, "Coa-lokai kau
yang datang? Saudara-saudara, bangunlah tak usah berlutut. Coa-lokai ceritakanlah mengapa kalian
datang dan mau apa?"
“Mendengar bahwa Pangcu ditawan Pangeran, kami mengirim berita ke Hoa-san-pai lalu membawa
teman-teman menyusul sampai ke sini. Syukur Pangcu selamat saja, padahal kami semua telah gelisah
bukan main."
dunia-kangouw.blogspot.com
Pasukan yang dikepalai oleh perwira tinggi besar juga sudah sampai di situ dan segera terdengar perwira
itu berseru sambil berlari mendekati Beng San, "Adikku Beng San, apa artinya keributan ini?"
"Twako...!" Beng San berdiri dan dua orang ini berangkulan. Kiranya perwira ini bukan lain adalah Tan Hok
atau Tan-taijin, "Memang aku sedang sial, mendirikan perkumpulan juga memancing datangnya keributankeributan."
Tan Hok menoleh dan melihat betapa tujuh orang pengawal istana sedang mengeroyok dua orang. Ia
kaget ketika mengenal bahwa satu di antara dua orang yang dikeroyok itu adalah Kakek Song-bun-kwi!
Segera ia melompat maju dan beseru,
"Tujuh saudara pengawal harap berhenti dan turun. Tidak boleh kalian membikin ribut di sini!" Suara Tantaijin
berpengaruh sekali dan pula sangat dikenal oleh para pengawal, maka segera mereka berlompatan
turun dari panggung.
Kiranya keadaan mereka amat payah, hampir semuanya sudah menderita luka-luka dan kepala bocor. Di
atas panggung, Song-bun-kwi berpelukan dengan cucunya. Wajah kakek ini berseri-seri, matanya
terbelalak dan pipinya sebelah kiri mengucurkan darah karena tersayat senjata lawan.
Ketika tujuh orang pengawal itu melapor bahwa mereka hendak menangkap tiga buronan Pangeran, Tan
Hok menegur mereka, malah memperlihatkan sehelai surat keputusan dari Kaisar sendiri bahwa mereka
tidak boleh mengganggu para anak murid partai persilatan Hoa-san-pai. Melihat cap dan tanda tangan
Kaisar, dengan tubuh gemetaran tujuh orang itu lalu menjatuhkan diri berlutut.
"Sudahlah, kalian pulang ke kota raja, jangan membikin ribut lagi dan usir para anggota Ngo-lian-kauw
yang hendak mengacau itu."
Terhadap pembesar yang menjadi kepercayaan Kaisar ini, tujuh orang pengawal itu tentu saja mati kutu
dan atas perintah Thian It Tosu, orang-orang Ngo-lian-kauw kemudian pergi meninggalkan tempat itu. Juga
anggota Hwa-i Kaipang setelah dijamu lalu disuruh pulang kembali oleh Kun Hong.
Para tamu sudah pulang semua, banyak yang tidak sempat berpamit. Yang masih tinggal di situ hanyalah
Ketua Kun-lun-pai, Bun Lim Kwi dan Bun Wan, juga Song-bun-kwi yang sekarang sudah ‘jinak’ dan baik
kembali, dan Tan Hok. Sebelum mereka beramai diajak ke puncak, tiba-tiba dari lereng gunung berlari-lari
beberapa orang menuju tempat itu dan setelah dekat, segera Kun Hong, Hui Cu, dan Li Eng berlari-lari
menyambut.
Mereka ini bukan lain adalah Kwa Tin Siong Ketua Hoa-san-pai, Lim Sian Hwa isterinya, Lee Giok ibu Hui
Cu, dan Thio Bwee ibu Li Eng. Tokoh-tokoh Hoa-san-pai ini menyusul ke Thai-san setelah mendengar
berita dari anggota pengemis Hwa-i Kaipang bahwa ketiga anak mereka tertawan Pangeran di kota raja
tapi lolos secara aneh. Karena gelisah akan keselamatan mereka, empat orang tua ini menyusul,
menyelidik dan akhirnya sampai juga ke Thai-san biar pun sudah agak terlambat.
Kegembiraan keluarga Thai-san-pai sukar dilukiskan. Apa lagi Beng San, bertemu dengan orang-orang
yang semenjak dahulu dikenalnya begitu baik, orang-orang Hoa-san-pai yang mendatangkan banyak
peristiwa dalam hidupnya, ia menjadi terharu dan juga gembira. Apa lagi karena ia sudah mendengar dari
Cui Bi bahwa kedua orang puteranya saling mencinta dengan dua orang gadis Hoa-san-pai itu, dua orang
gadis anak dari Thio Bwee dan Thio Ki, teman-teman lamanya di waktu ia masih kecil! Alangkah akan
bahagianya merangkapkan jodoh mereka.
Juga pihak Hoa-san-pai amat gembira melihat anak-anak mereka selamat, malah dapat bertemu dengan
orang-orang yang memang sudah lama mereka rindukan. Yang nampak kurang gembira adalah Bun Lim
Kwi dan puteranya.
Akan tetapi dalam suasana penuh kegembiraan itu, tiba-tiba buyar dan berubah menjadi suasana penuh
duka ketika orang-orang Hoa-san-pai ini mendengar mengenai kematian Kwa Hong yang sekarang
jenazahnya masih berada di puncak. Tentu saja yang paling berduka adalah Kwa Tin Siong, sebagai ayah
dari Kwa Hong.
Beramai-ramai mereka dipersilakan naik ke puncak melalui jalan rahasia dan terowongan. Jenazah Pakthian
Locu yang lain-lain sudah pula diurus oleh anak buah Thai-san-pai. Sin Lee menangis mengguguk di
dunia-kangouw.blogspot.com
depan peti mati ibunya, membuat semua menjadi terharu, terutama Hui Cu yang juga menangis sampai
kedua matanya menjadi merah.
Song-bun-kwi duduk di kursi menarik napas panjang, lalu terdengar suaranya yang parau dan dalam,
"Ahhh, kalau sudah menjadi begini, barulah kita semua merasa betapa hidup ini tidak akan langgeng.
Sekali waktu akan datang maut merenggut nyawa kita dan kita semua akhirnya akan menjadi mayat, habis
sudah semua riwayat. Apa bila sudah begini baru kita ingat betapa semua pertikaian, semua keributan dan
kegaduhan, semua urusan musuh-memusuhi, berlomba kepandaian, dan lain-lain itu hanyalah perbuatan
orang gila saja." Kemudian kakek yang tinggi besar itu berdiri berdongak ke atas dan berseru keras,
"Betapa banyak sudah aku membunuh manusia, aku dijadikan alat oleh Maut. Apakah Maut akan berterima
kasih kepadaku? Tidak, sekali waktu Maut akan merenggut nyawaku pula. Aku menyesal! Ah, Beng San
mantuku, sediakanlah sebuah goa kecil untuk aku, aku hendak mengasingkan diri, menghukum diri
menebus dosa!"
Tiba-tiba terdengar suara aneh dari angkasa, "Ho-ho, Song-bun-kwi, akhirnya kau insyaf juga, tetapi amat
terlambat, tanganmu sudah terlampau kotor berdarah. Betapa pun juga, keinsyafanmu berguna pula bagi
anak keturunanmu, menjadi pengingat dan penyadar!"
Semua orang kaget memandang ke atas dan tampaklah seekor burung rajawali berbulu emas ditunggangi
oleh seorang kakek tua renta berpakaian butut. Burung itu menukik ke bawah dan kakek itu meloncat
turun.
"Kim-tiauw-ko....!"
Sin Lee dan Kun Hong berbareng lari menghampiri burung itu dan dua orang pemuda ini serentak
memeluk leher burung rajawali yang berbulu indah bagai emas itu. Mereka saling pandang dan sekarang
mengertilah keduanya mengapa mereka melihat dasar-dasar yang sama dalam ilmu silat mereka.
Burung itu pun mengenal Kun Hong dan Sin Lee. Dengan mengeluarkan suara girang ia menggosokgosokkan
leher dan kepalanya pada dua pemuda itu. Kemudian Kun Hong berlutut memberi hormat
kepada kakek yang bukan lain adalah Sin-eng-cu Lui Bok ini.
"Ha-ha, Sin-eng-cu Lui Bok! Kalau saja kemarin kau datang, tentu aku akan menantang kau bertanding!"
kata Song-bun-kwi sambil tertawa, sikap orang aneh ini sudah berubah pula.
"Bagus, kau sudah insyaf sekarang, tulang-tulangku yang tua selamat dari gebukanmu," jawab kakek itu.
Beng San yang sudah mendengar nama besar Sin-eng-cu Lui Bok segera mempersilakan kakek itu duduk.
Akan tetapi kakek itu menolak dan berkata, "Kedatanganku hanya untuk bicara sedikit dengan Kun Hong."
Ia menoleh kepada pemuda itu sambil mengerutkan kening dan berkata, "Kun Hong, aku tidak hendak
mendahului kehendak Thian Yang Maha Kuasa. Tapi aku minta kepadamu, orang muda yang kukasihi, aku
meminta kepadamu dengan sangat, sekarang juga kau ikutlah bersamaku. Marilah kita bertapa dan
menjauhkan diri dari keruwetan dunia."
"Tapi... tapi... Susiok, aku..." Ia memandang kepada orang tuanya, kepada orang-orang yang dikasihinya
dan terutama kepada Cui Bi. ''Biarlah lain kali aku mengunjungi Susiok."
Kakek itu berdongak ke angkasa, lalu menarik napas panjang. "Thian Yang Maha Kuasa, kehendak-Mu
selalu terjadilah. Tiada kekuasaan lain di dunia ini yang mampu mengubah kehendak-Mu. Sudahlah,
selamat tinggal semua."
Sin-eng-cu Lui Bok meloncat ke atas punggung rajawali. Burung ini segera terbang sambil mengeluarkan
pekik panjang, agaknya ucapan selamat tinggal pula.
Upacara penguburan dilakukan sederhana. Sesudah selesai, Beng San dan isterinya lalu mempersilakan
para tamunya untuk makan bersama. Hari itu adalah hari ke tujuh sejak terjadinya keributan pada hari
pendirian Thai-san-pai itu.
Mereka makan minum dengan asyik dan gembira. Para tokoh Hoa-san-pai mendengarkan penuh
keheranan dan ketakjuban ketika mendengar cerita mengenai sepak terjang Kun Hong. Terutama sekali
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwa Tin Siong yang mendengar semua perihal puteranya itu, dia terheran-heran dan berkali-kali
menggelengkan kepala.
"Aku sengaja melarang dia belajar ilmu silat dengan maksud supaya dia jangan sampai tersesat seperti
enci-nya. Siapa tahu dia malah mendapatkan ilmu lebih jahat dari pada Kwa Hong," katanya.
Song-bun-kwi tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Kwa-sicu mengapa bicara begitu? Tidak ada ilmu yang jahat,
tergantung dari orangnya. Kalau ilmu digunakan untuk kejahatan, maka menjadi ilmu jahat, kalau
dipergunakan untuk kebaikan, ilmu yang itu juga menjadi ilmu baik. Puteramu benar-benar luar biasa
sekali, dan kalau kau berbesan dengan mantuku, ha-ha-ha, akan benar-benar cocok sekali!" Kakek ini
tertawa bergelak, kemudian minum araknya.
Pucat wajah Beng San setelah mendengar omongan mertuanya yang lancang sekali ini. Ia melihat betapa
Bun Lim Kwi dan Bun Wan menjadi merah sekali mukanya, maka cepat ia berkata sambil tertawa,
"Ahhh, Gak-hu tidak tahu persoalannya maka bicara main-main. Baiknya kuberi tahukan kepada semua
yang hadir bahwa anakku yang bodoh, Tan Cui Bi, sebenarnya sudah kuikatkan jodoh dengan putera Kunlun-
pai, Bun Wan putera dari sahabatku Bun Lim kwi ini."
Song-bun-kwi hanya berkata, "ah-oh-ah-oh" lalu minum araknya lagi untuk menghilangkan ketidak enakan
hatinya. Namun muka Kun Hong menjadi pucat seperti mayat. Baiknya pemuda ini cepat dapat menguasai
hatinya sehingga mukanya berubah merah lagi.
Tentu saja hal ini tidak lepas dari pandangan mata Cui Bi dan Kong Bu yang sudah tahu akan
persoalannya. Li Eng dan Hui Cu hanya memandang paman mereka dengan penuh iba, lalu menoleh
kepada Cui Bi dengan marah. Ada pun gadis Thai-san-pai itu tak dapat menahan dua butir air matanya
yang meloncat turun ke atas kedua pipinya, tetapi cepat diusapnya dan ia menundukkan muka.
Keadaan sunyi senyap, tak ada seorang pun bergerak. Suasana yang mencekam dan tak menyenangkan
ini membuat Beng San cepat-cepat bertindak. Dia berkata lagi, suaranya mengandung keramahan dan
kegembiraan paksaan,
"Ayah mertuaku Song-bun-kwi tadi hanya main-main saja. Mana bisa terjadi aku berbesan dengan Ketua
Hoa-san-pai? Ketua Hoa-san-pai adalah kakek dari anakku Sin Lee, berarti ayah mertuaku pula. Mana ada
mantu berbesan dengan mertua? Gak-hu, katakan bahwa kau tadi hanya main-main saja."
Song-bun-kwi tertawa bergelak, lalu minum araknya lagi. Setelah mengusap mulut dengan ujung lengan
baju, ia berkata, "Ah, mulut lancang! Aku tidak ingat akan semua itu. Ha-ha, memang aku hanya mainmain!"
Pada saat itu, Bun Wan menggebrak meja di depannya. "Ayah, aku tidak dapat menahan lagi!" suaranya
serak dan ia lalu menutupi mukanya dengan kedua tangan.
Semua orang memandang dengan heran dan tidak mengerti, karena itu kini semua mata ditujukan kepada
Bun Lim Kwi, ketua dari Kun-lun-pai yang pendiam itu. Orang setengah tua ini wajahnya mengeras, agak
pucat dan ia kemudian bangkit berdiri, kedua tangannya dikepalkan dah suaranya jelas membayangkan
perasaan yang tertindih.
"Sepekan sudah kami ayah dan anak menahan perasaan karena tak baik mengemukakan urusan ini selagi
tuan rumah menjalankan perkabungan. Akan tetapi benar kata anakku, tak mungkin kami berdua dapat
menahan-nahan hal ini yang benar-benar amat menindih perasaan kami."
"Saudara Bun, demi Tuhan, demi persahabatan kita, katakanlah, apa yang telah terjadi?" Beng San
berkata penuh kegelisahan.
Suara Bun Lim Kwi terdengar amat pahit, menyatakan keperihan hatinya ketika ia berkata sambil
mengeluarkan segumpal kertas dari sakunya.
"Memang urusan ini amat menyakitkan hati dan menyinggung perasaan. Tetapi saudara Beng San, kita
sebagai orang-orang gagah paling suka akan urusan yang terus terang, kita bersama menjunjung nama
kehormatan lebih tinggi dibandingkan nyawa. Kun-lun-pai boleh dibilang perkumpulan kecil, apa lagi
ketuanya macam aku ini mana ada harganya? Dapat berbesan dengan Thai-san-pai benar-benar
dunia-kangouw.blogspot.com
merupakan kehormatan yang jatuh dari langit. Akan tetapi betapa pun rendahnya keadaan aku dan
anakku, kiranya tidak patut menjadi buah tertawaan orang dan bahan permainan, apa lagi ejekan."
"Saudara Bun, bicaralah sejujurnya, demi Tuhan, apa yang kau maksudkan ini?" Beng San berseru keras.
"Sebelum pergi, Siauw-ong-kwi menghina kami dan menyerahkan tulisan pada kertas ini. Berhari-hari aku
menunggu dan menahan, akan tetapi melihat gelagatnya, tak boleh tidak kertas bertulis itu harus
kuserahkan padamu dan aku mesti menginsyafi akan kerendahan kami. Nah, kau terimalah kertas ini, baca
dan boleh kalian perbincangkan sendiri. Ada pun kami... ah, kami memohon diri. Tentang perjodohan, baik
kita bicarakan belakangan saja, itu pun kalau kau merasa perlu untuk mengajakku bicara, Saudaraku."
Ketua ini dengan tajam menatap semua orang yang berada di situ, lalu menarik tangan anaknya. "Wan-ji,
mari kita pulang."
Ayah dan anak itu bangkit dan menuju ke pintu.
Beng San berseru, "Saudara Bun, mengapa pergi? Kalau ada urusan, baik kita bicarakan yang betul.
Duduklah kembali."
Akan tetapi melihat calon besannya itu tak menjawab, terpaksa Beng San berkata kepada Oei Sun yang
duduk di luar ruangan. "Oei Sun, kau antar tamu kita keluar."
Dia menyuruh anak muridnya karena kuatir kalau-kalau kedua orang tamunya itu akan tersesat jalan dan
tak dapat keluar dari tempat yang penuh jalan rahasia itu. Kemudian setelah mereka pergi, Beng San
mengambil surat di atas meja yang ditinggalkan Bun Lim Kwi itu. Dibukanya surat itu dan seketika
wajahnya berubah merah padam malah hampir menghitam.
Li Cu dan Cui Bi maklum akan sifat Ketua Thai-san-pai ini. Tentu Beng San amat marah membaca surat
itu, maka mereka menunggu dengan hati berdebar. Beng San menoleh kepada Cui Bi, suaranya gemetar
ketika ia menyerahkan surat itu
"Cui Bi, apa artinya ini?” surat itu melayang di atas meja depan Cui Bi.
Tubuh gadis itu mengigil dan tidak berani menjamah surat itu, hanya matanya membaca huruf-huruf besar
yang ditulis di situ.
DI BAWAH SINAR BULAN PURNAMA PUTERI THAI-SAN-PAI DAN PUTRA HOA-SAN-PAI BERSUMPAH
SALING MENCINTA, MEMBIARKAN KUN-LUN-PAI DITERTAWAI DUNIA.
Seketika pucatlah wajah Cui Bi. Kun Hong yang duduk di seberang gadis itu dapat pula membaca tulisan
ini, demikian pula yang lain-lain.
"Kun Hong, apa yang kau lakukan? Betulkah isi tulisan itu?" Kwa Tin Siong membentak kepada puteranya
dengan pandang mata tajam.
"Cui Bi, jawablah, tulisan Siauw-ong-kwi itu fitnah ataukah kenyataan?"
Cui Bi tak dapat menjawab, tiba-tiba ia malah menelungkupkan mukanya di atas meja dan menangis! Kun
Hong sejenak menatap pandang mata ayahnya, lalu dia bangkit berdiri perlahan dan berkata, suaranya
gemetar,
"Aku bersalah... aku berdosa... telah menggoda Bi-moi... aku siap menerima hukuman..."
"Brakkk!"
Cawan arak di depan Kwa Tin Siong melayang menghantam pipi Kun Hong yang kanan sehingga kulit
pipinya berlubang dan darah mengucur. Saking marahnya Kwa Tin Siong sudah menyambit muka
puteranya dengan cawan itu yang kini jatuh menggeletak di atas meja, berlumuran darah dari pipi Kun
Hong.
"Anak celaka! Kiranya engkau mendatangkan cemar lebih hebat dari pada yang diperbuat Hong Hong...,"
suara Ketua Hoa-san-pai mengandung isak, mukanya pucat sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tidak... tidak... Hong-ko tidak bersalah!" tiba-tiba Cui Bi meloncat bangun, mukanya yang pucat penuh
dengan air mata. "Akulah yang bersalah! Memang aku bersalah karena tidak memberi tahu kepadanya
bahwa aku telah ditunangkan, ditunangkan dengan paksa oleh orang tuaku. Ayah... ibu... aku... cinta
kepada Hong-ko, sebaliknya dia pun mencintaiku. Aku tidak sudi menikah dengan orang lain!"
Beng San dan Li Cu saling pandang bingung, tak tahu harus berbuat atau berkata apa. Akhirnya Beng San
berkata lirih, "Kun Hong banyak jasanya kepada kita, malah dia telah menolong nyawaku... tapi... tapi... tapi
ini soal kehormatan dan nama baik..."
"Ayah, lebih baik aku mati kalau dinikahkan dengan orang lain. Aku dan Hong-ko saling mencinta, sudah
bersumpah..."
"Brakkk!"
Kun Hong menggebrak meja dan ternyata empat kaki meja itu ambles ke bawah saking hebatnya ia
menahan gelora hati dan mempergunakan tenaga dalam tanpa ia sadari.
"Bi-moi, tak boleh begini! Kau sudah ditunangkan dengan putera Kun-lun-pai. Urusan ini menyangkut nama
serta kehormatan Kun-lun-pai dan Thai-san-pai. Nama kehormatan yang harus dijaga lebih gigih dari pada
menjaga nyawa. Apa lagi hanya cinta. Bi-moi, tak mungkin aku membiarkan kau melanggar aturan,
menyusahkan orang tua, merusak nama Thai-san-pai, menyebabkan permusuhan dengan Kun-lun-pai
hanya untuk memuaskan diriku saja. Tak mungkin! Cintaku tak serendah itu, bukan untuk mementingkan
diri sendiri. Kau harus menjaga nama orang tuamu, menikah dengan putera Kun-lun-pai."
"Tidak...! Tidak sudi...! Lebih baik aku mati. Hong-ko... Hongko... sudah lupakah kau akan sumpahmu?
Hong-ko, tak boleh kau mengorbankan aku hanya untuk aturan-aturan lapuk. Hong-ko...," gadis itu tersedusedu
tak dapat melanjutkan kata-katanya lagi.
"Kun Hong! Perbuatanmu amat memalukan. Kau benar-benar sudah mencemarkan nama orang-orang tua.
Kun Hong, mulai saat ini aku tak mau mengakui kau sebagai anak lagi!"
"Ayah...!" Kun Hong pucat, memandang ayahnya, kemudian kepada ibunya yang hanya dapat menunduk
dan menangis.
Dalam keadaan segawat itu, karena menghadapi urusan besar yang menyangkut nama serta kehormatan
Hoa-san-pai, Kun-lun-pai, dan Thai-san-pai, nyonya ini sama sekali tak dapat mengeluarkan perasaan
hatinya yang penuh cinta dan kasihan kepada puteranya. Diam-diam ia membandingkan nasib kedua
orang muda itu dengan nasibnya sendiri yang pernah mengalami kehancuran dalam pertunangan dahulu.
Dengan tubuh gemetar, wajah pucat serta hati hancur, Kun Hong berdiri perlahan-lahan dari tempat
duduknya, kakinya menggigil ketika melangkah, kata-katanya perlahan seperti orang berbisik,
"Aku berdosa... aku durhaka... tak patut hadir di sini...," Ia melangkah hendak keluar dari ruangan besar itu.
"Hong-ko...!" Cui Bi melompat dari tempat duduknya, berlari mengejar, menjatuhkan diri berlutut di depan
Kun Hong, sambil merangkul kedua kakinya, menangis tersedu-sedu, "Hong-ko... jangan tinggalkan aku...!"
Dia mendongak. Mukanya yang pucat penuh dengan air mata, rambutnya awut-awutan, keadaan gadis itu
sungguh mengiris jantung Kun Hong.
Kun Hong menunduk, memandang lekat wajah kekasihnya, menelan ludah beberapa kali, menggigit bibir
menahan air mata, lalu meramkan mata dan menggelengkan kepalanya keras-keras.
"Tidak, Bi-moi, tidak boleh...! Kau harus menjaga nama baik keluargamu... aku... aku tidak bisa melanggar
aturan, kesopanan dan kesusilaan!"
"Hong-ko...,!"
Tapi dengan cepat Kun Hong mengipatkan kedua tangan Cui Bi. Gadis itu tergelimpang, menangis sampai
hampir tak dapat bernapas dan Kun Hong melangkah terus keluar.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ayah, ini tidak boleh terjadi!" tiba-tiba Kong Bu berteriak kepada ayahnya. "Cui Bi sudah berterus terang
kepadaku, dia mencinta Kun Hong dan aku sudah berjanji kepadanya hendak bicara dengan Ayah tentang
hal ini! Batalkan perjodohan dengan Kun-lun-pai dan terima Kun Hong sebagai suami Adik Bi!"
Beng San merah mukanya, matanya meram dan ia hanya menggeleng-geleng kepalanya, kelihatan betapa
hatinya seperti ditusuk-tusuk jarum. Li Cu juga menangis dan menahan hatinya yang ingin sekali menubruk
serta memeluk puterinya. Akan tetapi tentu saja ia menahan hatinya karena dalam urusan ini, puterinya
boleh dibilang telah melakukan suatu hal yang amat memalukan! Akan tetapi bagaimana dengan dia
sendiri? Ia teringat akan semua pengalamannya dahulu, betapa ia pun bertekad dan melawan ayahnya
sendiri karena cinta kasihnya kepada Beng San.
Sin Lee yang juga merasa sayang terhadap adik tirinya, mukanya menjadi merah dan matanya meliar. Dia
sedang terbenam kedukaan karena kematian ibunya, dan sekarang menghadapi keadaan Cui Bi, satusatunya
orang di samping ayahnya yang amat ia kasihi, ia tak kuat menahan. Tiba-tiba ia melengking keras
dan tubuhnya sudah mencelat keluar dari ruangan mengejar Kun Hong.
Ia berdiri di depan Kun Hong dengan beringas. "Kun Hong! Kau harus berani bertanggung jawab! Kau
sudah menjatuhkan hati Cui Bi, tidak boleh kau sekarang meninggalkannya. Apa pun yang terjadi, kau
harus melanjutkan cinta kasihmu itu, kau harus menjadi suami Bi-moi!"
Kun Hong menggigit bibirnya, kerongkongannya serasa tersumbat. Sesudah menghela napas dan menelan
ludah berapa kali, barulah ia dapat menjawab,
"Sin Lee, justru sebagai orang berani bertanggung jawab, aku menjauhkan diri. Lebih baik aku sengsara
dari pada melihat nama baik orang-orang tua dan nama baik Bi-moi sendiri hancur ternoda."
"Kau harus kembali, harus, kataku!" Sin Lee membentak dan maju mendorong Kun Hong untuk memaksa
pemuda itu kembali ke ruangan. Akan tetapi sekali mengelak serangan itu luput dan Kun Hong sudah
melewati tubuh Sin Lee terus berjalan pergi.
"Kun Hong, tunggu dulu!" tiba-tiba Kong Bu juga sudah menghadangnya, malah dengan pedang di tangan,
sikapnya mengancam!
"Kau mau apa, Kong Bu?" suara Kun Hong mengerikan, suara tanpa irama, seperti suara dari balik lubang
kubur.
"Kun Hong, tidak ingatkah kau akan sumpahmu dahulu? Bahwa kau mencinta sangat Adik Bi dan bersedia
mengorbankan nyawa untuknya? Mengapa sekarang kau malah hendak menghancurkan kebahagiaannya
dan meninggalkannya?"
"Aku tetap cinta padanya, aku tetap bersedia mengorbankan segalanya untuknya. Kong Bu, tak tahukah
kau bahwa pengorbanan yang kulakukan ini bahkan lebih berat dari pada berkorban nyawa?" Kini suara itu
bercampur sedu-sedan dan pada kedua pipi Kun Hong tampak air mata bercucuran.
"Tidak, kau harus kembali dan meminta Bi-moi dari Ayah. Jangan pedulikan pandangan orang lain, kalau
pihak Kun-lun-pai marah serahkan saja kepadaku!" bentak Kong Bu.
Kun Hong menggelengkan kepala. "Kau keliru. Aku tidak mau demi cinta kasihku, demi kebahagiaanku,
harus mengorbankan hal-hal yang lebih penting lagi. Tidak, Kong Bu, kau kembalilah."
"Aku akan memaksamu!" Kong Bu mengayun pedangnya.
Tapi sekali melejit Kun Hong mengelak dan menyentil dengan jari telunjuknya yang tepat mengenai
pergelangan tangan Kong Bu, membuat pemuda ini hampir saja melepaskan pedangnya, sementara itu
Kun Hong sudah melewatinya.
"Hong-ko... tunggu...! Hong-ko...!"
Cui Bi berlari-lari mengejar Kun Hong. Gadis ini tadi melihat sendiri betapa kedua orang kakak tirinya
membujuk-bujuk, malah dengan kekerasan, namun semuanya tidak berhasil. Maka ia sendiri lalu berlari
mengejar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar suara kekasihnya ini, Kun Hong berhenti, seakan-akan kedua kakinya terpaku di tanah, tak
dapat digerakkan lagi. Ia berhenti berdiri tegak tanpa menoleh, bahkan ia pun tidak menunduk ketika Cui Bi
sudah berlutut lagi di depannya sambil menangis.
"Hong-ko... demi Tuhan, Hong-ko... jangan kau tinggalkan aku. Aku... aku tidak akan kuat menahan, Hongko...
aku takkan dapat hidup bila harus berpisah denganmu dan menikah dengan orang lain... Hong-ko, kau
kasihanilah diriku..."
Kun Hong meramkan mata, tunduk pun ia tak berani. Ia tahu bahwa sekali ia memandang wajah Cui Bi
yang sangat dikasihinya itu, kekerasan hatinya akan hancur dan dia akan melupakan kesopanan,
melupakan aturan, melupakan nama dan kehormatan, dan hanya akan memuaskan cinta kasih dan
kebahagiaan perasaan hatinya sendiri. Maka seperti orang dalam mimpi ia meramkan mata dan bibirnya
berulang-ulang berbisik,
"Tidak, Bi-moi... tidak... tidak... tidak..."
Tiba-tiba Kun Hong mendengar keluhan panjang.
"Hong-ko...!" suara Cui Bi ini sedemikian anehnya dan ia mendengar gadis itu roboh.
Kun Hong membuka matanya dan... ia terbelalak, menjerit,
"Tidak... ahhh, tidak... jangan, Bi-moi... aduh, Bi-moi...!"
Ia menubruk ke depan, menubruk tubuh yang masih hangat itu, yang kini telah telentang dengan pedang
menembus dadanya, dengan mata masih terbuka memandangnya penuh permohohan, dengan bibir masih
berkomat-kamit memanggil namanya, berbisik-bisik lirih, "Hong-ko... Hong-ko..."
"Cui Bi...! Dewiku! Ahh, Cui Bi, kekasihku... ahhh, Cui Bi...!" Kun Hong menjerit-jerit dan mendekap kepala
gadis itu ke dadanya sambil menangis dan memanggil-manggil.
Darah mengalir keluar dari dada serta punggung gadis itu, membasahi baju Kun Hong. Ketika ia
memandang melalui air matanya ia melihat Cui Bi tersenyum puas dan bahagia, bibirnya bergerak, "Hongko,
aku cinta padamu..." Dan ucapan ini merupakan hembusan napas terakhir.
Gadis jelita itu mati dalam pelukan kekasihnya, mati dalam keadaan bahagia, terbukti dari bibir yang
tersenyum itu. Orang-orang di dalam ruangan itu berlari-lari memburu keluar. Segera terdengar pekik dan
jerit memilukan. Li Cu menubruk ke depan, merampas tubuh anaknya dari pelukan Kun Hong, akan tetapi
pemuda itu tidak memberikannya.
"Biar dia kupondong..." katanya sambil berdiri, memondong tubuh gadis itu sambil berjalan lambat-lambat
kembali ke ruangan tadi.
Langkahnya satu-satu, kaku, matanya memandang lurus ke depan seperti mata patung, mukanya yang
tadi dipergunakan untuk mencium dan mendekap gadis itu penuh air mata bercampur darah. Tubuh Cui Bi
terkulai dalam pondongannya, rambut gadis itu terlepas dan terurai ke bawah, kedua kakinya yang masih
lemas tergantung dan bergerak-gerak ketika Kun Hong membawanya berjalan ke ruangan.
Li Cu menjerit-jerit, masih mencoba merampas mayat anaknya. Beng San memegang lengannya dan
merangkulnya, menuntunnya ke dalam ruangan itu, tapi Li Cu masih terus menjerit-jerit.
"Dia anakku...! Kembalikan anakku...! Ah, mana anakku? Ya Tuhan, Kun Hong, kau telah membunuh
anakku. Aduhai, Cui Bi... Cui Bi anakku sayang... kenapa menjadi begini? Kun Hong, kau... kau membunuh
Cui Bi. Ah, Cui Bi, biji mataku... Cui Bi bangunlah, anakku."
Beng San merangkul isterinya. "Tenang, kuatkan hatimu..." ia menghibur.
"Tenang bagaimana? Menguatkan hati bagaimana? Aku kehilangan biji mataku dan harus tenang? Ya, dia
lebih berharga dari pada biji mataku!"
Nyonya itu menangis lagi sambil menjerit-jerit, membuat semua orang merasa terharu dan terutama sekali
Li Eng dan Hui Cu, Lee Giok dan Thio Bwee. Lee Giok yang masih adik seperguruan Li Cu merangkul sucidunia-
kangouw.blogspot.com
nya itu dan membujuk-bujuk sambil menangis. Hui Cu dan Li Eng memeluki mayat Cui Bi yang oleh Kun
Hong sudah diletakkan di atas bangku panjang. Sin Lee dan Kong Bu berdiri mematung, pucat dan juga
dari kedua mata mereka runtuh beberapa butir air mata. Hanya Song-bun-kwi terus menerus menenggak
arak, agaknya untuk menguatkan hatinya yang hampir lumer menyaksikan semua itu.
Kun Hong telah membaringkan tubuh Cui Bi di atas bangku, lalu berlutut di depan Li Cu. "Bibi, memang
aku yang menyebabkan kematian Bi-moi. Kau kehilangan biji mata, Bibi? Ahhh, aku pun kehilangan,
kehilangan matahari hidupku. Bibi, aku tidak dapat mengganti seorang Cui Bi kepadamu, akan tetapi aku
sanggup mengganti dengan biji mata pula, apa artinya biji mata bagiku kalau aku tak dapat melihat
matahari lagi. Terimalah ini, Bibi, biji mataku..."
Sebelum orang lain dapat menduga apa yang hendak dilakukan, tiba-tiba saja Kun Hong menggerakkan
jari tengah dan jari telunjuk tangan kanannya, ditusukkan ke matanya dan di lain saat dua biji matanya
telah ia korek keluar dan berada di telapak tangannya yang sekarang diangsurkan kepada Li Cu.
Semua orang berteriak tertahan. Kun Hong masih berlutut tegak dengan tangan kanan diangsurkan dan di
atas telapak tangan itu terdapat dua butir mata yang berlumuran darah. Ada pun mukanya yang pucat itu
sekarang menjadi mengerikan sekali. Darah bercucuran keluar dari kedua matanya yang sudah berlubang.
Li Cu memandang dengan mata terbelalak, "Kau... kau... aduh, Kun Hong...!"
Li Cu memeluk pemuda itu yang lalu terguling dan pingsan! Beng San menarik isterinya perlahan, lalu
menyerahkan kepada Lee Giok, minta supaya diajak ke dalam.
Kwa-Tin-Siong dengan muka pucat memegangi lengan isterinya yang kini menjerit-jerit, sebentar
memandang pada puteranya yang menggeletak dengan muka berlumur darah, lalu tidak kuat dia dan
membuang muka, memandang lagi dan kalau tidak dipegangi suaminya tentu ia sudah menubruk anaknya
itu.
Wajah Kwa Tin Siong seperti Beng San yang berdiri di hadapannya. Kedua orang ini berpandangan penuh
pengertian, penuh sesal, penuh kedukaan dan akhirnya Beng San lalu membungkuk memondong tubuh
Kun Hong yang pingsan itu, dibawa ke dalam untuk dirawat.
Sunyi di ruangan itu, hanya isak tangis yang terdengar, bahkan kini Song-bun-kwi yang tadinya minum
terus-menerus sekarang menjatuhkan muka ke atas meja, menutupi muka dengan dua lengan dan
menangis seperti anak kecil, memanggil-manggil nama isterinya, dan nama anaknya, Bi Goat, yang sudah
meninggal…..
********************
Betapa pun janggalnya, namun bukanlah hal yang aneh atau tak mungkin terjadi apa bila kita melihat
seorang yang menurut penilaian, kita adalah seorang baik, namun mengalami nasib yang amat
menyedihkan. Semua ini adalah kehendak Tuhan dan hal ini merupakan rahasia bagi manusia.
Ada kalanya, apa bila Tuhan menghendaki, seorang yang hidupnya terkenal jahat dapat mengalami hidup
yang serba menyenangkan, sebaliknya seorang yang hidupnya terkenal baik dapat mengalami hidup yang
sengsara. Tampaknya tidak adil, tetapi sesungguhnya bukan demikian. Ada sebab-sebab tertentu yang
menjadi rahasia Tuhan, dan Tuhan tetap Maha Adil. Betapa pun ganjilnya, betapa pun anehnya, manusia
wajib menerima, karena baik yang menyenangkan mau pun yang sebaliknya, kesemuanya itu tetap adalah
karunia Tuhan.
Setelah jenazah Cui Bi dimakamkan, Kun Hong tetap dirawat di Thai-san-pai sampai sembuh. Matanya
menjadi buta, tidak berbiji lagi. Beng San sendiri yang merawatnya, bahkan di samping merawatnya, Beng
San membisiki semua rahasia Ilmu Silat Im-yang Kun-hoat kepada orang muda itu dan melatihnya
mempergunakan telinga bagai pengganti mata.
Kwa Tin Siong dan isterinya serta semua tokoh Hoa-san-pai, termasuk Li Eng dan Hui Cu, telah kembail ke
Hoa-san setelah mendapat janji dari Beng San bahwa lain waktu Ketua Thai-san-pai ini akan mengunjungi
Hoa-san-pai untuk membicarakan tentang perjodohan kedua puteranya dengan Hui Cu dan Li Eng.
Dengan penuh keharuan Liem Sian Hwa memeluk anaknya yang sudah buta itu, minta supaya kalau sudah
sembuh anaknya akan segera kembali ke Hoa-san-pai.
dunia-kangouw.blogspot.com
Di samping Beng San yang amat tekun merawat Kun Hong, juga Song-bun-kwi sering kali mengajak
pemuda itu bercakap-cakap, bergurau dan malah pada suatu hari Song-bun-kwi memberi hadiah sebatang
tongkat kepada Kun Hong. Ketika Kun Hong menerima dan memeriksa dengan rabaan tangannya, ternyata
tongkat itu bukan sekedar tongkat untuk membantunya mencari jalan, akan tetapi tongkat yang di
dalamnya tersimpan pedang Ang-hong-kiam, pedangnya. Ternyata oleh kakek sakti itu, pedang Ang-hongkiam
telah diberi sarung pedang berupa tongkat…..
********************
Beberapa bulan kemudian, di kala Hoa-san-pai merayakan pesta pernikahan yang amat meriah dari Hui Cu
dan Li Eng yang menikah dengan Sin Lee dan Kong Bu, Kun Hong juga hadir. Pada malam harinya, malam
yang amat bahagia bagi dua pasang pengantin itu, semua orang mencari-cari Kun Hong, akan tetapi orang
muda buta ini tidak nampak bayangannya.
Kalau kita menengok jauh ke lereng Bukit Hoa-san-pai, akan terlihatlah bayangan orang buta itu berjalan
perlahan, dibantu tongkat pedangnya, meninggalkan Hoa-san, berjalan di bawah cahaya bulan purnama.
Bibirnya terus tersenyum-senyum seakan-akan dia dapat pula merasakan kebahagiaan dua pasang
mempelai yang merupakan orang-orang yang sangat disayangnya…..
>>>>> T A M A T <<<<<

Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru