baca juga
- Cersil Raja Pedang 5
- Cerita Silat Mandarin Raja Pedang 4
- Cersil Raja Pedang 3
- Cerita Si Raja Pedang 2
- Cersil Terbaru KPH Serial Si Raja Pedang 1
"Celaka, Enci Bwee melihat dan mendengar semua tadi!" Kwa Hong membanting-banting kaki kanannya.
"Semua ini salahmu, Lok-ko! Kau tentu tahu betapa dia mencintamu dan sekarang kau suguhi ia adegan
seperti ini. Bukankah ini berarti kau menyiksa batinnya?"
Kui Lok tunduk dan berkata membela diri, "Apa dayaku, Hong-moi? Apa dayaku apa bila tidak ada wanita lain
di dunia ini yang merobohkan hatiku?"
"Bodoh kau! Enci Bwee cantik manis, lihai ilmu silatnya, sungguh amat cocok menjadi... ehhh... menjadi
jodohmu."
"Tapi kau lebih cantik, Hong-moi. Kau lebih..."
Kembali Kwa Hong membanting kakinya dengan gemas. "Sudah cukup! Kau pergilah dari sini, Lok-ko. Setelah
Enci Bwee melihatnya, apakah kau ingin lain orang melihat sikapmu yang memalukan tadi? Sudah cukup
kataku!"
Kui Lok menarik napas panjang, lalu ia berkata lemah, "Aku hanya mengharapkan belas kasihanmu..." dan dia
pun pergi dari situ dengan tubuh lemas. Kwa Hong juga menarik napas panjang, kelihatan tak senang dan
duduknya gelisah.
Semua ini dilihat dan didengar oieh Beng San yang menghadapi semua ini dengan hati tidak karuan rasanya.
Dia merasa geli dan ingin tertawa keras-keras, akan tetapi juga merasa terharu dan khawatir. la yang selama
hidupnya belum pernah mimpi tentang cinta kasih orang muda, sekarang dihadapkan dengan pemandangan
yang amat mengharukan hatinya.
Ah, betapa membingungkan, pikirnya tanpa bergerak di tempat duduknya, di atas cabang dalam pohon itu. Kui
Lok dicintai Thio Bwee, sebaliknya pemuda ini mencinta Kwa Hong yang agaknya tidak menerimanya! Dan
menurut pendengarannya tadi, ayah Kwa Hong malah bermaksud menjodohkan Kwa Hong dengan Thio Ki.
Alangkah berbelit-belit cinta asmara menggoda hati muda.
Selagi dia berpikir bagaimana dia harus berbuat selanjutnya di tempat itu, dia mendengar suara orang
mendatangi. Hampir meledak ketawanya ketika dari jauh dia melihat seorang pemuda dengan tergesa-gesa
memasuki ke taman itu.
Pemuda ini tinggi kurus. Wajahnya tampan membayangkan kekerasaan dan keangkuhan hati. Pada pinggang
kirinya tergantung sebatang pedang pula dan pakaiannya juga serba putih seperti yang dipakai Kui Lok dan
Thio Bwee tadi. Sekali pandang saja, Beng San mengenalnya sebagai Thio Ki.
"Aduh, akan ramai kali ini..." Beng San tersenyum.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sementara itu, Thio Ki berjalan terburu-buru menuju ke tempat duduk Kwa Hong. Setelah menengok ke kanan
kiri dengan hati-hati, pemuda ini segera menjatuhkan diri berlutut di depan Kwa Hong! Gadis itu
membelalakkan kedua matanya, memandang pemuda yang tak mengucapkan sepatah pun kata di depannya
itu.
"Ehh, ehhh... apa-apa kau ini, Ki-ko (Kakak Ki)?"
"Kwa Hong-moi, jangan kau menyiksa hati kami kakak beradik yang sudah tak berayah lagi."
Kwa Hong mengerutkan keningnya. “Aihhh... apa maksudmu, Ki-ko? Apakah kesalahanku terhadap kau atau
terhadap enci Bwee?"
Dengan muka membayangkan kekerasan hatinya, biar pun dia sedang berlutut, Thio Ki memandang tajam
kepada gadis itu. "Kau tahu betapa aku mencintamu dan bahwa Kwa Supek juga sudah setuju akan
perjodohan antara kau dan aku. Dan kau pun tahu bahwa adikku Bwee-moi mencinta Lok-te (adik Lok)."
Kwa Hong tersenyum mengejek, keningnya masih berkerut. "Hemmm, habis mengapa?” Suaranya penuh
tantangan.
"Janganlah kau merusak hatiku dan hati adikku dengan bermain cinta dengan Kui Lok."
Kwa Hong menjadi marah, berdiri dan membanting kakinya. Agaknya kebiasaan di waktu kecil ini, yaitu
membanting kaki kalau marah, masih melekat pada diri Kwa Hong. "Ah, enci Bwee setelah tak tahu malu
mengintai orang, lalu lari merengek-rengek kepadamu minta bantuan?"
Thio Ki juga bangun berdiri, menghadapi gadis itu. Sikapnya keras akan tetapi suaranya mengandung kasih
sayang, "Hong-moi, adikku sudah tak berayah lagi, kini aku sebagai kakaknya menjadi pengganti ayah."
"Hemmm, apa saja yang ia ceritakan padamu?"
"Tadi dia melihat Kui Lok menyatakan cintanya kepadamu di sini. Betulkah itu? Ingatlah, Hong-moi. Aku
mencintamu sepenuh jiwaku sedangkan adikku mencinta Kui Lok dengan sepenuh hatinya pula. Bukankah
sudah tepat sekali kalau di antara kita para cucu murid Hoa-san-pai terjalin ikatan ini? Kau dengan aku
sedangkan Kui Lok dengan adik Bwee? Bukankah ikatan ini akan memperkuat kedudukan Hoa-san-pai yang
selalu diganggu oleh musuh?"
"Ki-ko! Enak saja kau bicara. Urusan perjodohan mana ada aturannya main paksa? Kalian semua goblok dan
yang dipikir hanya urusan asmara saja. Aku... seujung rambut pun tak pernah memikirkan urusan begitu. Aku
lebih suka memikirkan pembasmian musuh-musuh besar kita. Cih, sungguh tidak tahu pribudi kalian bertiga!"
"Hong-moi... katakanlah sejujurnya... apakah kau mencinta Lok-te?"
"Kalau memang aku mencinta siapa pun juga, kau dan semua orang peduli apa?" Kwa Hong membentak
dengan kedua pipi merah dan dua titik air mata membasahi pipinya itu. "Akan tetapi aku tidak mencinta siapasiapa!
Lok-ko boleh datang di sini dan seperti gila menyatakan cinta, apakah itu salahku? Aku sendiri tidak
mencinta siapa-siapa, kau pun tidak, Lok-ko pun tidak. Nah, jelaskah sekarang?"
Thio Ki menjadi agak pucat mukanya. "Begitukah? Jadi kalau begitu, Kui Lok yang sudah merusakkan semua
ini. Aku harus mencarinya dan memberi hajaran kepadanya!" Dengan sigap Thio Ki membalikkan tubuh dan
pergi dari situ meninggalkan Kwa Hong.
Untuk beberapa saat Kwa Hong berdiri melongo. Matanya bergerak liar dan mukanya menjadi agak pucat,
kemudian gadis ini pun berlari meninggalkan taman bunga.
Tinggal Beng San yang kini termenung seorang diri di atas pohon. la masih merasakan ketegangan semua
yang telah dia dengar dan lihat dari tempat persembunyiannya. Hebat, pikirnya. Urusan orang-orang muda ini
bisa mengakibatkan hal yang amat hebat!
dunia-kangouw.blogspot.com
Mengingat akan sikap Thio Ki yang keras hati itu, mudah diduga bahwa tentu akan terjadi pertempuran antara
saudara seperguruan sendiri, antara Thio Ki dan Kui Lok yang secara kasarnya memperebutkan Kwa Hong!
Masih ada kemungkinan buruk lagi, yaitu bukan hal yang aneh kalau Thio Bwee memusuhi Kwa Hong pula
karena dianggap merampas pria yang dicintainya.
Berkali-kali Beng San menarik napas panjang dan berkata kepada diri sendiri. "Nah, kau sudah tahu sekarang?
Hatimu mudah tertarik wajah cantik. Baru saja turun gunung sudah terpikat oleh gadis yang bernama Eng itu.
Sekarang melihat Kwa Hong dan Thio Bwee hatimu berdebar dan amat tertarik. Kau lihat kesengsaraan
mereka itu? Lihat Thio Ki dan Kui Lok, dua orang muda gagah perkasa, tidak kekurangan sesuatu, sekarang
sebagai saudara seperguruan menjadi saling bermusuhan. Semua ini hanya gara-gara hati lemah menghadapi
wajah cantik."
Akan tetapi perhatiannya segera tertarik oleh bergeraknya daun-daun di pohon-pohon. Pergerakan bukan oleh
meniupnya angin biasa, melainkan tiupan angin yang ditimbulkan oleh kepandaian seseorang yang bergerak
cepat sekali, melintas tak jauh dari depannya. Sekali lagi dia dikejutkan oleh kepandaian yang tinggi dari orang
baru ini.
Ah, sudah banyak dia melihat orang-orang muda berkepandaian tinggi. Pertama kali nona Eng, kedua kalinya
orang muda yang sekarang lewat ini. la juga merasa seakan pernah melihat orang muda ini, entah di mana.
Seorang pemuda yang bertubuh kecil berwajah tampan sekali, kulit mukanya pucat putih, pakaiannya kuning.
Muka yang pucat itu, mata yang selalu memandang rendah, mulut yang tidak pernah berhenti tersenyum lebar,
angkuh dan sombong. Di mana dia pernah melihat orang ini?
Dengan hati penuh kecurigaan, Beng San lalu melesat, diam-diam mengikuti bayangan orang itu yang berlari
cepat ke depan. la mengikuti terus orang muda yang berjalan cepat itu, setelah keluar dari taman lalu
membelok ke kanan dan menuju ke sebuah lereng yang sunyi.
Lereng ini indah sekali, penuh dengan padang rumput menghijau dan di sana-sini terdapat pohon yang
kembangnya berwarna kuning dan merah. Inilah sebuah taman alam yang luas dan sunyi, dan bagi Beng San
bahkan lebih indah dari pada taman bunga yang baru ditinggalkannya tadi.
Dengan hati-hati dia terus mengikuti orang itu. Di tempat yang agak terbuka ini ia harus berhati-hati karena
yang diikuti adalah orang yang berkepandaian tinggi. Ia mengikuti dari jauh dan terpaksa berhenti untuk
menyelinap di belakang pohon apa bila yang diikutinya itu melintasi tempat yang terbuka.
Akhirnya dia melihat orang itu berhenti di tempat yang penuh pohon kembang dan orang itu mengintai. Beng
San cepat menyelinap mendekati dan kini dia pun dapat melihat apa yang diintai oleh pemuda yang di
depannya itu.
Ternyata bahwa Thio Bwee, gadis yang tadi mendengarkan percakapan antara Kui Lok dan Kwa Hong, duduk
di atas sebuah batu besar hitam di tempat sunyi itu dan menangis terisak-isak dengan amat sedihnya. Beng
San menjadi terharu juga.
Ia telah mengenal Thio Bwee ketika kecil, malah pernah dia menggendong Thio Bwee dan Kwa Hong ketika
terculik oleh orang jahat. la maklum sedalamnya apa yang dirisaukan oleh hati gadis muda itu. Siapa orangnya
takkan merasa sedih dan malu kalau melihat laki-laki yang dicintainya berlutut memohon cinta kasih seorang
gadis lain?
"Nona yang baik, harap kau jangan menangis, jangan bersedih. Dunia ini bukan hanya setelapak tangan
lebarnya dan tidak kurang banyaknya pria yang baik dan setia, bahkan lebih baik dari orang she Ku itu..."
Mendengar suara ini, tangis Thio Bwee makin menjadi-jadi. Akan tetapi tiba-tiba gadis itu mengangkat muka
dengan kaget, memandang pemuda yang sudah muncul di depannya. Ia meloncat berdiri dan menudingkan
telunjuknya ke muka orang sambil membentak.
"Siapa kau...?! Kurang ajar, berani lancang mulut? Pergi dari sini!" la mengusir pemuda tampan yang bermuka
pucat dan tersenyum-senyum itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kita orang segolongan, Nona Thio, jangan kau menyangka yang bukan-bukan. Aku pun bukannya orang
sembarangan. Kalau kau adalah cucu murid Hoa-san-pai, aku pun murid seorang sakti. Namaku Giam Kin,
dan nama guruku kiranya tak kalah besarnya oleh nama kakek gurumu, Lian Bu Tojin." Pemuda tampan yang
pucat itu berkata sambil tersenyum memikat. "Aku datang dengan hati suci, tidak bermaksud jahat, aku hanya
kasihan melihat nasibmu dan ingin menghibur hatimu, nona manis. Percayalah, aku akan menjadi sahabat
yang lebih baik dan lebih setia dalam cinta dari pada Kui Lok..."
"Tutup mulut! Pergi kau dari sini, kalau tidak jangan anggap aku keterlaluan. Daerah ini termasuk wilayah
kekuasaan kami dari Hoa-san-pai, kau sudah masuk tanpa ijin. Pergilah sebelum pedangku bicara!" Mendadak
Thio Bwee bersikap gagah dan dengan gerakan yang sebat sekali tahu-tahu pedangnya sudah terhunus dan
berada di tangan kanannya, sikapnya angkuh dan galak, namun gagah berani.
Ada pun Beng San yang sejak tadi diam saja, tercengang ketika mendengar pemuda itu menyebutkan
namanya. Giam Kin? Pernah dia mendengar nama ini dan pernah pula dia melihat muka yang pucat itu, tapi
bila dan di mana?
la memandang terus, siap untuk menolong Thio Bwee yang dia duga tentu berada dalam bahaya berhadapan
dengan pemuda seperti itu. Akan tetapi dia pun ingin menyaksikan sampai di mana kepandaian Thio Bwee dan
terutama kepandaian pemuda aneh itu.
Melihat Thio Bwee menghunus pedang, Giam Kin hanya tertawa mengejek. "Bagus sekali! Memang betapa
pun cantik jelitanya seorang dara, dia tidak berharga menjadi sahabat baikku kalau tidak pandai mainkan
pedang. Nona Thio yang manis, biarlah kita main-main sebentar. Hendak kulihat sampai di mana
kelincahanmu bermain pedang, apakah cocok dengan keindahan wajahmu yang manis itu..."
"Keparat, lihat pedang!" Begitu teriakan keluar dari mulut Thio Bwee segulung sinar putih menyambar ke arah
dada Giam Kin.
Diam-diam Beng San kaget dan kagum juga. Ilmu pedang Hoa-san Kiam-hoat yang baru dimainkan oleh nona
ini betul-betul tak boleh dipandang ringan. Demikian pula agaknya pendapat Giam Kin karena pemuda ini
cepat melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik beberapa kali. Setelah terhindar dari ancaman pedang
dan dapat kembali berdiri tegak, wajah yang pucat itu kelihatan semakin pucat.
"Bagus! Kau benar-benar nona manis yang berkepandaian lihai. Pantas kulayani dengan senjata pula!" Sambil
berkata begitu pemuda ini meraba pinggangnya dan mengeluarkan sebatang benda yang aneh.
Tak salah lagi, benda ini tentulah sebuah suling karena ada lubang-lubangnya, juga ada tempat peniupnya,
akan tetapi bentuknya bagaikan ular! Giam Kin memegang di bagian yang runcing, yaitu bagian ekor ular
dengan cara seperti memegang gagang pedang.
"Ahh, diakah...??" Beng San tiba-tiba teringat.
Terbayanglah dia akan ratusan ekor ular yang datang mengeroyok dia dan Tan Hok ketika seorang bocah
bermuka pucat meniup sulingnya. Inilah dia, Giam Kin bocah yang dulu pernah dia pukul, bocah yang
mengerikan, pandai memanggil datang ratusan ekor ular berbisa. Seketika kebenciannya timbul. Inilah musuh
besarnya!
Pada waktu kecil pun dia sudah amat jahat, dengan ular-ularnya membunuh para petani kelaparan secara
kejam sekali. Apa lagi sekarang. Orang semacam ini harus menjadi musuhnya.
Akan tetapi Beng San tak mau lancang turun tangan. la melihat bahwa Thio Bwee bukan seorang yang lemah.
Berarti memandang rendah kalau dia turun tangan sekarang. Apa lagi, bukankah dia sedang berusaha
menyembunyikan kepandaiannya?
la dengan tenang menonton pertandingan antara Thio Bwee dan Giam Kin itu, akan tetapi selalu siap
menolong apa bila gadis itu terancam bahaya. Betapa pun juga dia merasa yakin bahwa tak mungkin Giam Kin
dunia-kangouw.blogspot.com
mau mencelakai gadis ini, apa lagi membunuhnya. Dari sikapnya tadi jelas bahwa Giam Kin tergila-gila akan
kecantikan Thio Bwee, mana dia mau melukai atau membunuhnya?
Pedang di tangan Thio Bwee lihai sekali. Gerakannya cepat dan ganas dan teringatlah Beng San ketika dia
melihat gadis ini di waktu kecilnya sudah memperlihatkan bakat ilmu pedangnya.
Akan tetapi jika gadis itu lihai, ternyata Giam Kin lebih lihai lagi. Gerakan-gerakan suling berbentuk ular yang
dimainkan sebagai pedang itu benar-benar hebat dan aneh, penuh dengan gerak tipu yang sukar dijaga. Tidak
mengherankan apa bila perlahan-lahan Thio Bwee terdesak hebat, terkurung oleh gulungan sinar yang
diakibatkan oleh gerakan suling ular.
Betul saja dugaan Beng San. Giam Kin tidak bermaksud merobohkan Thio Bwee. Kalau dia kehendaki, kiranya
sudah sejak tadi dia dapat merobohkan gadis itu. Sebaliknya, dia hanya main-main dan tidak ada hentinya
mulutnya tersenyum sambil terus mengeluarkan ucapan-ucapan menggoda.
"Kau lihatlah, nona manis. Bukankah aku juga cukup lihai untuk menjadi sahabat baikmu. Simpanlah
pedangmu dan aku Giam Kin bersedia mengaku kalah, bahkan aku pun suka berlutut asal kau mau menjadi
sahabat baikku..."
Mendengar ini, Beng San diam-diam merasa geli. Alangkah lucunya kalau laki-laki sudah jatuh oleh kecantikan
wajah seorang wanita. Lucu dan tak waras lagi otaknya, lebih patut disebut edan!
Beng San masih terlalu hijau untuk mengenal watak laki-laki seperti Giam Kin. Dikiranya bahwa Giam Kin juga
jatuh hati dan mencinta Thio Bwee, sama sekali tidak tahu bahwa memang pemuda muka pucat itu berwatak
mata keranjang dan tentu dia akan ‘mencinta’ setiap orang wanita yang cantik dan manis, apa lagi seperti Thio
Bwee!
Apa bila ucapan Giam Kin itu menggelikan hati Beng San, sebaliknya amat memanaskan hati Thio Bwee. Biar
pun ia terdesak hebat, gadis ini mengertak giginya, menggenggam gagang pedang dengan lebih erat lalu
menyerang nekat sambil membentak.
"Murid Hoa-san-pai pantang mengaku kalah sebelum putus lehernya!"
Pedang di tangannya meluncur cepat ke depan, tergetar sehingga sukar diketahui bagian tubuh lawan yang
mana hendak ditusuknya, dada ataukah leher. Terkesiap juga Giam Kin menghadapi jurus ini. Inilah jurus dari
Hoa-san Kiam-hoat yang disebut jurus Kwan-kong Sia-ciok (Kwan Kong Memanah Batu). Ujung pedang di
tangan Thio Bwee tergetar dan agaknya kali ini ia akan berhasil kalau saja tidak menghadapi lawan yang
demikian lihai seperti Giam Kin.
Sebagaimana telah kita ketahui, Giam Kin adalah murid dari Siauw-ong-kwi, itu orang sakti dan jagoan nomor
satu dari daerah utara. Tidaklah mengherankan apa bila Giam Kin memiliki ilmu silat yang amat tinggi.
Menghadapi serangan jurus Kwan-kong-sia-ciok tadi, hanya sedetik saja dia terkesiap dan terkejut, akan tetapi
ia segera dapat menenangkan hatinya dan sempat menggulingkan tubuhnya ke belakang. Tubuhnya
menggelundung terus ke sana ke mari seperti seekor binatang trenggiling dan dengan akal seperti ini, jurus
Kwan-kong Sia-ciok yang dimainkan Thio Bwee menjadi gagal sama sekali.
Tiba-tiba tubuh Giam Kin itu menggelundung ke arah lawannya sedangkan suling ularnya bergerak
menyambar-nyambar dari bawah mengarah pada kaki Thio Bwee. Serangan dari bawah ini berbahaya sekali,
terpaksa Thio Bwee harus meloncat-loncat ke atas. Giam Kin tertawa-tawa dan menyerang terus, kadangkadang
menyerang kaki, kadang meloncat ke atas menyerang pundak.
Thio Bwee menjadi makin terdesak dan kewalahan. Jalan satu-satunya baginya hanya mengeluarkan jurus
ilmu pedangnya yang khusus untuk mempertahankan diri, yaitu jurus Tian-mo Po-in (Payung Kilat Sapu Awan).
Dengan jurus ini sinar pedangnya berkelebatan merupakan segulungan cahaya yang melindungi seluruh
tubuhnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ha-ha-ha-ha, nona manis. Mana aku tega memutuskan lehermu? Memutuskan sehelai rambut pun aku tidak
mau, apa lagi lehermu. Lebih baik kita sudahi saja main-main ini dan kau suka menerima aku menjadi
sahabatmu, bukanlah itu baik sekali?" Sambil berkata demikian, dengan gerakan aneh sekali suling itu dapat
menahan pedang Thio Bwee, dan kedua buah senjata ini saling tempel tak dapat terlepas lagi!
Thio Bwee mengerahkan tenaga dan berusaha membetot pedangnya, akan tetapi sia-sia, pedangnya seperti
berakar pada senjata lawannya. Diam-diam Beng San yang menonton pertempuran ini mengangguk-angguk,
maklum dan kagum akan kehebatan Iweekang dari pemuda pucat itu.
"Ha, nona jelita. Kau lihat, sedangkan senjata-senjata kita begini rukun, saling melekat tak mau lepas.
Bukankah baik sekali kalau kita meniru mereka...?" kata pula Giam Kin dengan nada suara ceriwis sekali.
Tangan kirinya bergerak maju dan secara kurang ajar dia lalu mengelus-elus lengan kanan Thio Bwee yang
berkulit halus!
Gadis itu marah, membentak keras dan memukulkan tangan kirinya. Namun ia memang sudah kalah tenaga,
begitu mengeluarkan bentakan tiba-tiba pedangnya dapat terbetot oleh lawan dan terlepas dari tangannya.
Betapa pun juga, murid Hoa-san-pai ini tidak mau menyerah begitu saja. la cepat menubruk maju mengirim
pukulan-pukulan dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya merampas pedangnya kembali.
Memang Thio Bwee amat hebat, dalam keadaan demikian ia masih mampu memperbaiki kedudukannya yang
sudah hampir kalah. Kenekatan gadis ini sama sekali tidak pernah terduga oleh Giam Kin yang masih
memandang rendah, maka begitu melihat datangnya pukulan-pukulan yang amat berbahaya, terpaksa ia
melangkah mundur sehingga pedang rampasannya dapat dirampas kembali oleh Thio Bwee.
Pada saat itu berkelebat dua sosok bayangan dan terdengar bentakan.
"Siapa berani bermain gila di Hoa-san?!"
Giam Kin melangkah mundur dua tindak dan mengangkat kepala, lalu tersenyum nakal memandang kepada
dua orang yang baru datang.
Yang seorang adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa, sikapnya keren sekali. Biar pun sudah lebih empat
puluh tahun usianya, namun masih nampak muda dan gagah. Yang seorang wanita, belum tiga puluh tahun,
cantik berpakaian sederhana, juga wajah yang cantik ini keren dan berpengaruh.
Sekali pandang saja Beng San dengan girang dapat mengenal bahwa laki-laki itu adalah Hoa-san It-kiam Kwa
Tin Siong sedangkan yang wanita adalah Kiam-eng-cu Liem Sian Hwa, dua orang dari Hoa-san Sie-eng yang
tersohor.
Yang tadi membentak adalah Liem Sian Hwa yang terkenal keras wataknya. Sebaliknya Kwa Tin Siong
bermata tajam, dapat melihat bahwa orang muda itu meski pun mukanya pucat dan tersenyum-senyum selalu,
namun bukanlah orang sembarangan.
Di lain pihak Giam Kin memperhatikan dua orang itu, lalu tertawa dan berkata seenaknya, "Siapa berani main
gila? Tidak ada yang bermain gila kecuali orang-orang Hoa-san-pai sendiri. Suheng-nya gagah perkasa dan
tampan, sumoi-nya cantik jelita dan lihai, aihhh… benar-benar mengagumkan..." Ia tertawa lagi dan aneh
sekali, wajah Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa menjadi merah ketika mereka saling lirik.
Kwa Tin Siong maju menghampiri Giam Kin dan berkata. "Sahabat di depan siapakah, dari partai mana dan
apa alasannya bermain-main senjata dengan murid keponakanku?"
Kini Giam Kin mengangkat kedua tangan menghormat, tetapi sikapnya masih penuh sifat main-main dan
mengejek. "Aku yang muda bernama Giam. Aku memenuhi pesanan suhu untuk menghadiri ulang tahun Hoasan-
pai dan melihat-lihat. Siapa tahu begitu sampai di sini belum ada apa-apa. Kebetulan bertemu dengan
nona cilik murid Hoa-san-pai, ingin berkenalan secara baik-baik..."
Liem Sian Hwa sudah marah sekali, akan tetapi Kwa Tin Siong memberi tanda dengan kedipan mata, lalu
berkata lagi, "Orang muda she Giam, siapakah nama gurumu yang mulia?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ha-ha-ha, orang-orang Hoa-san-pai, kalian bermata tajam. Memang guruku orang mulia, kecil-kecil dia masih
raja di utara... Ha-ha-ha..."
Kalau Liem Sian Hwa menjadi makin mendongkol, adalah Kwa Tin Siong yang menjadi kaget betul. Cepat dia
menjura, memberi hormat sambil berkata, "Apakah yang dijuluki orang Siauw-ong-kwi...?"
Giam Kin tersenyum lagi sambil memutar-mutar biji matanya. "Kau juga berani menyebut suhu-ku Setan Kecil?
Awas kau, Hoa-san It-kiam, kalau guruku mendengar kau tak akan berkepala lagi!"
Kwa Tin Siong tersenyum masam. "Kurasa Siauw-ong-kwi locianpwe tidak berpandangan sesingkat kau, orang
muda. Kau datang terlampau pagi, perayaan baru akan diadakan satu pekan lagi. Harap kau nanti datang
pada waktunya dan sementara itu harap jangan main-main dan membikin takut pada anak-anak murid Hoasan-
pai. Bukankah kau datang dengan maksud baik?"
"Baik sekali, tentu, maksudku baik sekali. Sayang terlampau pagi, biar sepekan kemudian aku datang lagi.
Sampai berjumpa kembali, nona manis." Giam Kin lantas membalikkan tubuhnya, kemudian meniup sulingnya
secara aneh.
Tiba-tiba Kwa Tin Siong, Liem Sian Hwa, dan Thio Bwee membelalakkan mata saking kagetnya pada saat dari
mana-mana datang ular-ular besar kecil mengikuti di belakang pemuda aneh itu. Makin lama makin banyak
sehingga Giam Kin diikuti puluhan ekor ular seperti bebek-bebek mengikuti penggembalanya!
"Hebat... berbahaya sekali dia...,” terpaksa Sian Hwa mengakui.
Kwa Tin Siong menarik napas panjang pula. "Sudah lama aku mendengar nama gurunya, Siauw-ong-kwi. Baru
muridnya saja sudah demikian lihainya, apa lagi gurunya. Apa sih kehendak Setan Raja Kecil dari utara itu
dengan mengirim muridnya ke sini?"
Kemudian dia menoleh kepada Thio Bwee yang berdiri dengan muka pucat. "Bwee-ji, kau seorang diri di sini
sedang mengerjakan apa? Bagaimana bisa bertempur dengan dia?" Di dalam suara Kwa Tin Siong terkandung
kasih sayang dan perhatian, biar pun suaranya terdengarnya kereng dan galak.
"Aku... aku sedang berlatih, Supek. Dia datang dan bicaranya kurang ajar, ingin belajar kenal. Aku... aku lalu
menyerangnya."
Hemmm, pikir Beng San yang mendengar jawaban ini. Urusan asmara memang runyam! Sampai-sampai Thio
Bwee berani membohong kepada supek-nya. Setelah berpikir begitu, tubuhnya melesat pergi mengejar Giam
Kin yang sudah tidak kelihatan lagi, hanya suara sulingnya yang aneh itu masih terdengar sayup-sayup
sampai.
Giam Kin berjalan seenaknya sambil meniup suling. Hatinya senang. la telah melihat Kwa Hong dan Thio
Bwee. Cantik-cantik dan manis-manis cucu murid Hoa-san-pai, pikirnya. Apa lagi Kwa Hong! Tidak rugi aku
mewakili suhu ke Hoa-san. Seorang di antara mereka harus kudapatkan.
Tiba-tiba pemuda ini menunda sulingnya, lalu menari-nari dan berloncat-loncatan di antara ular-ular yang kini
menjadi bingung dan lari ke sana ke mari. Anehnya, ular-ular itu yang terinjak-injak, bahkan ada yang terinjak
sampai mati sekali pun, tidak ada yang berani menggigit Giam Kin.
Seperti orang gila pemuda tampan bermuka pucat ini menari-nari dan tertawa-tawa, pasti akan menimbulkan
rasa seram dan ngeri pada yang melihatnya. Siapa tak akan merasa seram melihat seorang pemuda yang
mukanya pucat seperti muka mayat itu menari-nari di antara ular-ular yang buas dan tertawa-tawa seperti
setan?
"Giam Kin, kau benar-benar sudah gila!" terdengar suara teguran, suara yang besar dan bergema di seluruh
tempat itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Giam Kin terkejut, menghentikan tariannya dan menengok ke arah suara datang. Matanya terbelalak kaget dan
mulutnya ternganga ketika dia melihat seorang laki-laki berdiri tak jauh dari situ dengan kedua kaki terpentang
lebar dan kedua tangan bertolak pinggang, Yang membuat dia kaget setengah mati adalah muka orang itu,
muka yang hitam seperti pantat kwali, tidak kelihatan apa-apanya kecuali sepasang matanya yang tajam
seperti mata iblis!
"Ssseeeee... tan… kau… setan..." Giam Kin tergagap.
Laki-laki itu tertawa. "Kau dan perkatanmu yang patut disebut setan!"
Dalam kaget dan gugupnya, Giam Kin kemudian meniup sulingnya. Ular-ular yang tadinya kacau-balau,
mendadak menjadi marah dan menyerbu ke arah laki-laki bermuka hitam itu. Ular besar kecil, sebagian besar
ular-ular berbisa yang amat berbahaya, mendesis-desis dan berlenggak-lenggok menyerbu.
Laki-laki muka hitam itu menggerak-gerakkan kedua tangannya ke depan dan... seperti daun-daun kering
disapu ular-ular itu bergulung-gulung menjadi satu dan terlempar ke belakang, seekor pun tidak ada yang
dapat mendekatinya!
Giam Kin mengeluarkan pekik mengerikan dan tubuhnya melayang ke depan. Sekaligus pemuda murid Siauwong-
kwi ini mengirim serangan maut dengan suling ularnya, secara berturut-turut menikam leher dan menotok
ulu hati.
"Heh-heh-heh, bocah nakal dan gila, jangan kau berani lagi mengacau di sini." Orang itu berkata perlahan.
Dengan sekali tangkis saja dia membuat suling itu menyeleweng dan tubuh Giam Kin terhuyung-huyung.
Sebelum Giam sempat mempertahankan diri, tangan kira orang itu melayang.
"Plakk…!" pipi kanan Giam Kin sudah ditamparnya.
Giam Kin menjerit, merasa pipinya bagai terbakar. Pada pipi itu tampak jelas membayang bekas jari tangan
menghitam! Sambil memaki-maki dan menjerit-jerit Giam Kin kemudian meloncat dan lari pergi dari tempat itu
tanpa menoleh lagi, diikuti suara ketawa orang bermuka hitam yang menyeramkan tadi.
Setelah Giam Kin pergi jauh, muka yang tadinya hitam seperti pantat kwali itu perlahan-lahan berubah menjadi
putih dan biasa kembali. Beng San tersenyum seorang diri. la tadi memang sengaja menggunakan hawa
dalam tubuhnya yang mengandung Yang-kang untuk mendatangkan warna hitam pada mukanya agar tidak
dikenal oleh Giam Kin dan sengaja dia menakut-nakuti pemuda edan itu agar tidak berani lagi mengganggu
Thio Bwee.
Setelah melihat Giam Kin pergi, dia pun meloncat dan tubuhnya melesat ke arah puncak Hoa-san…..
********************
Pada bagian lain dari puncak itu, dua orang pemuda saling berhadapan dengan muka merah. Mereka ini
adalah Thio Ki dan Kui Lok. Setelah pertemuannya dengan Kwa Hong di dalam taman, Thio Ki yang memiliki
watak keras hati langsung mengejar dan mencari Kui Lok. Sekarang kedua orang jago muda Hoa-san-pai ini
berhadapan muka di tempat sunyi, sikap mereka saling mengancam.
"Thio-heng (kakak Thio), apakah keperluanmu mencari aku ke sini hanya untuk menegur yang bukan-bukan
itu?" Kui Lok bertanya dengan nada suara penuh ejekan.
"Sudah tentu!" jawab Thio Ki marah. "Kui-te (adik Kui), kita ini masih terhitung saudara seperguruan dan
karena aku lebih tua, maka sudah sepatutnya kalau aku yang memberi peringatan apa bila kau menyeleweng
dari kebenaran! Sungguh tidak patut apa bila kau mencoba untuk membujuk dan menggoda hati Hong-moi,
sungguh tidak pantas sekali hal ini dilakukan oleh seorang murid Hoa-san-pai!"
Kui Lok tersenyum mengejek, malah sengaja tertawa masam. "He-heh-heh, bagus sekali ucapanmu, Suhengl
Di dunia ini, mana ada orang berhak melarangku bersikap manis kepada Hong-moi? Ha-ha-ha, kau sendiri pun
dunia-kangouw.blogspot.com
selalu bermuka-muka dan bersikap manis bukan main terhadap Kwa Hong. Mengapa aku tidak boleh?” Kui
Lok menantang.
"Aku lain!" bentak Thio Ki. "Aku cinta kepadanya dan... dan... Kwa Supek agaknya setuju kalau aku berjodoh
dengan Hong-moi."
Kui Lok tertawa mengejek. “Apa hanya engkau seorang di dunia ini yang boleh mencinta? Dan mengenai
persetujuan Kwa Supek, hemmm... kita lihat dulu nanti, Suheng. Kurasa Hong-moi sendiri belum tentu setuju,
dan kau belum bertunangan secara resmi."
Thio Ki yang berwatak keras itu tidak dapat lagi mengendalikan kemarahan hatinya yang dibangkitkan oleh
rasa cemburu, "Kui Lok! Pendeknya mulai sekarang aku melarang kau mengaku mencinta Hong-moi, kularang
kau bersikap terlalu manis!"
Kui Lok adalah seorang anak yang biasanya nakal dan gembira. Akan tetapi dalam urusan ini dia pun tidak
mau mengalah dan sudah menjadi marah pula.
"Thio-heng, kau sungguh keterlaluan sekali. Ada hak apa kau melarang aku? Kau adalah suheng dari Hongmoi,
aku pun demikian. Harapan kita masih setengah-setengah. Marilah kita berlomba secara jujur, siapa yang
akhirnya bisa menjatuhkan hati Hong-moi, dialah yang beruntung. Kenapa kau bersikap begini kasar dan
hendak main menang sendiri?"
"Cukup! Di sana ada Bwee-moi yang mengharapkanmu, kau malah mengganggu orang yang menjadi cahaya
harapanku. Pendeknya, aku melarang kau mendekati Kwa Hong."
"Ehh..ehh..ehhh, enaknya bicara! Kalau aku tetap mendekatinya, kau mau apa?"
Thio Ki mencabut pedangnya. "Terpaksa aku melupakan persaudaraan!"
"Bagus! Orang she Thio, kau kira aku takut padamu?"
Kui Lok juga sudah mencabut pedang dengan tangan kirinya. Dua orang muda itu sudah saling berhadapan
dengan pedang terhunus, bersiap untuk saling serbu, saling tikam dan saling bunuh.
Beginilah orang-orang muda kalau sudah dimabuk cinta. Lupa akan persaudaraan, lupa kewaspadaan dan tak
tahu malu. Ya, tak tahu malu. Bukankah terang-terangan Kwa Hong menyatakan bahwa gadis ini tidak memilih
seorang di antara mereka? Namun, tetap saja mereka memperebutkannya dengan persiapan mengorbankan
nyawa.
"Bagus... bagus... Saudara Thio Ki dan Kui Lok, lekaslah kalian bertari pedang. Biarkan aku menontonnya,
tentu indah dilihat." Beng San muncul dari balik sebatang pohon sambil bertepuk tangan dan tertawa-tawa.
Kui Lok dan Thio Ki yang tadinya sudah tegang dan siap untuk saling serang, menjadi terkejut dan menengok.
Mereka melihat seorang pemuda tampan berpakaian sutera biru seperti seorang pemuda pelajar. Tentu saja
mereka tidak mengenal Beng San yang dulu mereka kenal sebagai seorang anak yang berpakaian seperti
jembel.
Namun karena mereka ini memang jago-jago muda Hoa-san-pai yang berwatak angkuh dan merasa diri sendiri
paling gagah dan paling lihai, mereka segera merasa tidak senang dengan datangnya seorang asing ini.
"Kau siapa? Mau apa lancang masuk ke sini?" tanya Thio Ki mengerutkan keningnya. Juga Kui Lok
memandang tajam dengan mata dipelototkan untuk memperlihatkan ketidak senangan hatinya.
Beng San tertawa, wajahnya berseri-seri. "Saudara-saudara Thio dan Kui agaknya sudah lupa lagi kepadaku.
Padahal belum ada sepuluh tahun kita berpisah. Aku Beng San."
dunia-kangouw.blogspot.com
Thio Ki dan Kui Lok saling pandang, untuk detik itu lenyap permusuhan di antara mereka. Terang bahwa
mereka heran melihat Beng San yang sekarang sudah berubah menjadi seorang pemuda yang bertubuh tegap
dan berwajah tampan.
"Uuuhhhhh... Beng San...?" Thio Ki berkata dengan suara menghina.
"Hemmm, kau di sini? Mau apa kau ke sini? Kau mengintai kami, ya?" berkata Kui Lok dengan nada
mengancam.
"Ah, tidak. Aku datang dan melihat kalian hendak bermain pedang, sungguh aku jadi ingin melihatnya. Dahulu
pun kalian sangat pandai, apa lagi sekarang, tentu indah permainan pedang kalian."
Kembali Kui Lok dan Thio Ki saling pandang dan keduanya menjadi curiga. Tentu Beng San sudah mendengar
pertengkaran mereka tadi!
"Kau tadi sudah lama mengintai kami? Juga mendengar apa yang kami bicarakan?" Thio Ki menuntut.
Beng San tersenyum. "Tidak tahu, agaknya kalian bicara tentang angin atau burung."
la sengaja mengatakan demikian tanpa menyinggung nama Kwa Hong, sedangkan kata ‘Hong’ dapat diartikan
sebagai angin atau juga nama burung hong!
Thio Ki yang keras hati itu timbul kembali keangkuhannya. "Beng San, kau sangat kurang ajar. Orang macam
kau ini mengapa berani muncul di sini tanpa ijin? Kau patut dipukul."
"Benar, Suheng. Kita pukul saja jembel ini biar dia minggat dari sini!" kata Kui Lok yang teringat betapa dahulu
bersama Thio Ki dia pernah memukuli Beng San.
Dua orang pemuda itu melangkah maju dan tangan mereka melayang untuk menampar pipi dan memukul
pundak Beng San. Bagaimana pun juga, sebagai jago-jago muda dari Hoa-san mereka tidak sudi membunuh
orang yang lemah, hanya memukul untuk memberi hajaran saja dan untuk mengusir Beng San.
"Ehh, ehh, ehhh... kenapa main pukul? Aku tidak bersalah apa-apa..."
Beng San terhuyung-huyung ke belakang setelah terkena gamparan dan pukulan. Tentu saja seranganserangan
yang dilakukan tidak untuk membunuhnya ini sama sekali tidak dia rasakan, akan tetapi dia purapura
kesakitan dan terhuyung-huyung ke belakang.
Thio Ki dan Kui Lok tidak peduli. Mereka mendesak terus hendak memukuli Beng San sampai pemuda itu
melarikan diri.
Beng San pura-pura mengangkat kedua tangan melindungi kepala dan mukanya sambil berteriak-teriak,
”Jangan pukul... jangan pukul!"
"Ki-ko dan Lok-ko, siapa yang kalian pukuli itu?" Tiba-tiba Kwa Hong sudah berdiri di situ.
Wajah dara ini agak pucat, apa lagi ketika ia melihat bahwa di tangan Thio Ki dan Kui Lok masih memegang
pedang terhunus. Memang ketika memukuli Beng San, Kui Lok masih memegang pedang dengan tangan
kirinya sedangkan tangan kanan Thio Ki juga masih memegang pedang.
Kedatangan Kwa Hong itu sebetulnya karena ia merasa amat gelisah, takut kalau-kalau dua orang pemuda itu
mengadu nyawa. Maka pada waktu melihat mereka memegang pedang, ia menjadi khawatir sekali. Hanya ia
merasa terheran-heran mengapa dua orang pemuda itu malah memukuli seorang pemuda yang kelihatan
lemah dan tidak pandai ilmu silat.
Thio Ki dan Kui Lok dengan muka merah karena jengah lalu meloncat mundur. Setelah dua orang pemuda
yang keranjingan itu mundur, barulah Beng San berani menurunkan kedua tangan dari mukanya. la
dunia-kangouw.blogspot.com
memandang Kwa Hong, sebaliknya gadis itu memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu, dari pihak
Beng San penuh kekaguman.
Sekarang dia dapat melihat jelas keadaan Kwa Hong. Benar-benar melebihi yang sering kali dia bayangkan.
Cantik molek dan gagah perkasa. Sepasang mata yang beningnya melebihi mata ikan emas, rambut yang
hitam mengkilap, alis yang panjang kecil dan hitam sekali di atas kulit muka yang putih kemerahan, hidung
yang kecil, mulut yang manis, ah... bukan main, sekarang Kwa Hong si kuntilanak itu sudah berubah menjadi
seorang dara yang jelita.
Di pihak Kwa Hong, sinar mata gadis ini perlahan-lahan berseri-seri, mulutnya tersenyum lucu ketika ia
mengenal Beng San, lalu terbukalah bibirnya berkata setengah tertawa.
"Kau... kau... ehh, si bunglon...!"
Beng San cemberut. "Benar," katanya dingin, "dan kau si kuntilanak masih tetap galak..."
Thio Ki dan Kui Lok melangkah maju, hendak memukul lagi. Akan tetapi Kwa Hong yang sudah maklum akan
maksud mereka, segera mendahului.
"Aha, Beng San. Benar-benar kaukah ini? Eh, Ki-ko dan Lok-ko, apakah kalian lupa? Dia ini Beng San. Hi-hi-hi,
benar Beng San...!" Serta merta Kwa Hong melangkah maju dan memegang tangan Beng San, mengamatamati
wajah pemuda itu yang seketika menjadi agak kemerahan.
"Hi-hi-hi, kau Beng San yang bisa berubah-ubah mukamu. Benar, kau sudah menjadi... orang sekarang. Ahh,
hampir aku pangling kalau tidak melihat matamu. Kau dari mana? Hendak ke mana? Ada keperluan apa
datang ke sini?"
Bingung juga Beng San dihujani petanyaan dari mulut yang manis itu.
"Aku... aku sengaja datang, mendengar bahwa Hoa-san-pai akan mengadakan perayaan seratus tahun. Aku
datang sampai ke sini, lalu melihat dua saudara Thio dan Kui bertari pedang. Mereka agaknya tidak
mengenalku, dan menyangka aku orang jahat maka aku hendak dipukuli. Baiknya kau keburu datang... ehhh,
Nona Hong...”
Kwa Hong tertawa. Lega bahwa dua orang suheng-nya itu tidak jadi mengadu nyawa. la seorang yang cerdik
sekali. Tentu dua orang suheng itu tadinya memang sudah hendak bertempur, buktinya sudah mencabut
pedang. Kalau hanya menghadapi seorang lemah seperti Beng San, tidak mungkin kedua jago muda itu
menghunus pedang. Tentu selagi mereka hendak bertempur, tiba-tiba datang Beng San, kemudian membuat
mereka marah dan memukulinya.
"Bagus sekali kau datang, Beng San. Apakah kau sudah bertemu dengan ayah? Dengan sukong? Mereka
tentu terheran-heran melihat kau datang. Baik sekali kau mau datang, jadi tidak melupakan hubungan lama."
Dengan ramah-tamah Kwa Hong bicara.
Dua orang kakak seperguruannya memandang dengan hati penuh cemburu dan iri hati. Tak pernah Kwa Hong
memperlihatkan sikap demikian manis terhadap mereka.
"Ki-ko dan Lok-ko, masa kalian tidak mengenalnya. Lihat itu sepasang matanya, mana ada orang lain bermata
seperti dia? Mestinya kalian mengenalnya dan tidak memukulnya. Dia jauh-jauh sudah datang untuk
menghadiri perayaan, menjadi seorang tamu, masa harus dipukuli? Kalian benar-benar sembrono sekali. Apa
bila terdengar oleh ayah atau sukong, bukankah kalian mendapat marah?"
Tiba-tiba Kwa Hong berhenti bicara karena mendengar suara kaki mendatangi, dan tidak lama kemudian
muncullah Thio Bwee, Kwa Tin Siong, dan Liem Sian Hwa. Mereka bertiga ini baru saja kembali dari tempat di
mana mereka bertemu dengan Giam Kin.
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena baru saja ada seorang pemuda membuat onar, kini melihat bahwa tiga orang anak murid Hoa-san-pai
berdiri berhadapan dengan seorang pemuda asing lagi, segera Kwa Tin Siong menjadi curiga dan cepat
menghampiri sambil memandang tajam.
"Siapakah saudara muda yang asing ini?" tanyanya.
Kwa Hong lari menghampiri ayahnya, memegang tangan ayahnya dengan sikap manja. "Ki-ko dan Lok-ko,
jangan beri tahu ayah dulu! Ayah, coba lihat baik-baik, dan Bibi juga. Kau pun lihatlah baik-baik Enci Bwee,
perhatikan dia dan coba katakan, siapa dia ini?"
Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa memandang penuh perhatian, akan tetapi dua orang anggota Hoa-san Sieeng
ini tak dapat mengenali pemuda tampan berbadan tegap yang berpakaian seperti seorang pelajar itu.
Terlalu banyak persoalan dan urusan yang sangat meruwetkan pikiran, membuat mereka sama sekali tak
dapat ingat lagi kepada Beng San.
Akan tetapi tidak demikian dengan Thio Bwee. Seperti juga Kwa Hong, gadis ini dahulu pernah ditolong oleh
Beng San. Biar pun ia tak pernah mengenangkan Beng San, namun kiranya wajah pemuda ini tak dapat ia
lupakan begitu saja.
"Bukankah kau... kau saudara Beng San?" tanyanya penuh ragu karena biar pun ia masih mengenal pemuda
yang bermata tajam dan aneh ini, namun dia tetap ragu-ragu melihat pemuda ini seperti seorang terpelajar.
la tidak ingat bahwa Beng San yang dulu, yang berpakaian buruk itu, memang semenjak kecil adalah seorang
yang pandai baca tulis, jauh lebih pandai dari pada dia sendiri mau pun para murid Hoa-san-pai yang lain.
Karena itulah sukong-nya, Lian Bu Tojin, sayang kepada Beng San dan dijadikan kacungnya dan diberi
pelajaran tentang kebatinan To.
Kwa Hong tertawa. "Enci Bwee masih ingat." la memuji.
Beng San juga tersenyum sambil menjura kepada Thio Bwee sebagai penghormatan.
"Ahh, benar... kau Beng San...!" Kwa Tin Siong juga teringat sekarang setelah mendengar kata-kata Thio
Bwee. Juga Liem Sian Hwa teringat dan memandang kagum ketika Beng San menjura untuk memberi hormat
kepada mereka.
Kwa Tin Siong lalu teringat akan peristiwa dahulu, ketika kedua orang saudara Bun dari Kun-lun-pai tewas di
Hoa-san-pai dan bagaimana sikap Beng San yang membela pihak Kun-lun. Walau pun ucapan bocah ini
dahulu ternyata cocok dengan keadaannya, yakni bahwa Ngo-lian-kauw yang melakukan fitnah sehingga dua
partai besar itu bermusuhan, akan tetapi sikap bocah ini dahulu sudah mencurigakan. Kenapa ia membela
Kun-lun-pai sedangkan bocah itu mondok di Hoa-san?
"Beng San, kau dulu yang sudah meninggalkan kami, sekarang kau datang ke sini dengan maksud apakah?"
tanya Kwa Tin Siong, suaranya membayangkan kecurigaan.
Kwa Hong memandang ayahnya dengan kening berkerut dan dia menoleh ke arah Beng San, pandang
matanya penuh kekhawatiran. Akan tetapi pemuda itu tersenyum penuh arti kepadanya, meminta supaya dara
itu jangan khawatir. Kemudian dia menjura kepada Kwa Tin Siong dan berkata.
"Kwa-enghiong, mohon maaf sebanyaknya bila kedatangan saya ini merupakan gangguan terhadap Loenghiong
sekalian. Sesungguhnya kedatangan saya ke Hoa-san ini memiliki dua maksud. Pertama, karena
saya merasa amat rindu kepada Lian Bu Totiang dan para Lo-enghiong sekalian, kedua kalinya, karena dalam
perjalanan saya mendengar bahwa sebentar lagi Hoa-san-pai hendak merayakan ulang tahun, maka saya
sengaja datang hendak memberi selamat dan menonton keramaian. Betapa pun juga, saya masih belum lupa
akan kebaikan budi Lian Bu Totiang sekalian yang dulu sudah sudi menerima saya menjadi kacung di sini."
Ucapan Beng San terang sekali amat merendahkan diri.
Dua orang pemuda Hoa-san-pai mendengarkan sambil bersikap angkuh. Hanya bekas kacung, perlu apa
diladeni? Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa mendengarkan dengan hati senang menyaksikan sikap yang
dunia-kangouw.blogspot.com
amat sopan santun dari Beng San, sedangkan Thio Bwee dan Kwa Hong memandang dengan mata berseri.
Dua orang dara ini mana bisa melupakan ketika Beng San memanggul mereka seorang satu di kedua pundak
ketika menyeberangi rawa-rawa?
Dan sekarang Beng San telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan tegap, bahkan bagi Kwa Hong, di
dalam lubuk hati kecilnya, dia mengakui bahwa dibandingkan dengan dua orang suheng-nya, dalam hal
ketampanan Beng San jauh lebih menang!
Dulu, dalam pergaulannya dengan Beng San, Kwa Hong memandang Beng San sebagai seorang anak
perempuan nakal memandang seorang bocah laki-laki yang dianggapnya nakal pula. Akan tetapi sekarang,
pandang matanya adalah pandang mata seorang dara remaja terhadap seorang jejaka. Tentu jauh berbeda.
"Bagus sekali kalau kau masih ingat kepada kami, Beng San. Tetapi kedatanganmu agak terlampau pagi.
Perayaan baru diadakan sepekan kemudian. Biarlah sementara itu kau berada di sini. Mari kubawa kau pergi
menghadap suhu."
Beramai-ramai mereka semua kembali ke puncak. Hanya Thio Ki beserta Kui Lok yang merasa tidak puas.
Pertama karena urusan di antara mereka belum juga diselesaikan, kedua kalinya mereka merasa iri hati dan
cemburu menyaksikan Beng San anak jembel itu sebagai tamu, apa-lagi ketika melihat sikap Kwa Hong yang
tersenyum-senyum dan amat manis terhadap Beng San.
Beng San dengan hati terharu melihat bahwa Lian Bu Tojin, kakek tua ketua Hoa-san-pai yang baik hati itu
sekarang kelihatan sangat tua. Mukanya berkerut-kerut tanda bahwa di hari tuanya kakek ini menderita
tekanan batin yang hebat. Beng San dapat menduga bahwa yang menyebabkan ini semua tentulah
pertentangan dengan pihak Kun-lun-pai itu. la cepat menjatuhkan diri berlutut memberi hormat.
"Totiang yang mulia, teecu Beng San datang menghadap dan memberi hormat, semoga Totiang selalu
bahagia dan panjang usia."
Lian Bu Tojin, ketua Hoa-san-pai, kelihatan lebih tinggi dan lebih kurus dari pada delapan tahun yang lalu.
Tongkat bambu yang butut masih selalu dipegangnya dan tangan kirinya mengelus-elus jenggotnya yang
panjang, dan yang sekarang sudah hampir putih semua. la mengangguk-angguk dan tersenyum senang.
"Ah, Beng San, kau mengingatkan pinto akan kejadian dahulu." la menarik napas panjang. "Ternyata kau jauh
lebih waspada dari pada pinto. Kalau saja pinto dahulu mendengarkan omonganmu ketika kau masih kecil...
ahh, kau benar, memang Hoa-san-pai telah menjadi kotor, menanam permusuhan. Baiknya kau pergi dari sini,
kalau tidak, kiranya kau pun akan terseret." Tosu itu menarik napas berulang-ulang dan nampaknya berduka.
Beng San merasa kasihan sekali.
"Totiang, tidak baik kalau bersedih dalam usia tua! Teecu teringat akan ujar-ujar dalam To-tek-keng yang
berbunyi: ‘Aku menderita karena memiliki diri. Andaikan tak memiliki diri, penderitaan apa yang dapat kualami?’
Bukankah demikian, Totiang?”
Tosu tua itu tertawa. “Bagus! Kalimat dalam ujar-ujar nomor tiga belas! Memang demikian adanya, Beng San.
Mala petaka menimpa manusia hanya semata-mata karena manusia selalu mementingkan diri sendiri. Karena
manusia mementingkan diri pribadi maka selalu hendak menang, selalu ingin senang sendiri, enak sendiri
tanpa mempedulikan keadaan lain orang. Ingatkah kau akan beberapa kalimat dalam ujar-ujar nomor dua
puluh tiga?"
Beng San berpikir dan menghubungkan kalimat-kalimat dalam ujar-ujar yang dulu sudah dihafalnya baik-baik
itu dengan keadaan yang dihadapi oleh tosu in. la lalu menjawab,
"Apakah yang Totiang maksudkan itu kalimat-kalimat yang berbunyi:
‘Angin keras takkan berlangsung sepenuh pagi,
hujan lebat takkan berlangsung sepenuh hari.
Siapakah penyebab ini selat edar pada langit dan bumi?
Kalau langit dan bumi pun tidak dapat berbuat tanpa henti,
dunia-kangouw.blogspot.com
apa lagi seorang manusia?’
Demikian yang teecu ingat, Totiang."
"Ha-ha-ha, bagus sekali, Beng San. Ahh, memang kau lebih benar. Seribu kali lebih baik mempelajari filsafat
tetapi mengerti, sadar, serta menuruti inti sarinya disesuaikan dalam hidup, dari pada mempelajari segala
macam ilmu kasar seperti ilmu silat yang akhirnya hanya mendatangkan mala petaka dan permusuhan
belaka...” Kembali dia menarik napas panjang. Kemudian wajahnya kembali berseri ketika dia bertanya,
"Bagaimana, anak yang baik, bagaimana kabarnya dengan Lo-tong Souw Lee? Apakah jago tua yang sakti itu
pun masih kuat menentang kehendak alam?"
"Tidak ada kekekalan di dunia ini, Totiang. Lo-tong Souw Lee sudah kembali ke tempat asalnya, beberapa
bulan yang lalu."
"Ahhh, ke sanalah jua tujuan akhir dari hidup. Siapa kuat melawannya? Baik dia raja mau pun jembel, semua
akan berakhir sama. Pertentangan? Pertempuran mati-matian? Yang kalah akan mati, apakah kiranya yang
menang akhirnya takkan mati juga? Menang kalah hanyalah soal sementara, kalau sudah seperti Lo-tong
Souw Lee, di mana pula letaknya kemenangan dan kekalahan? Aaahhh, kalau manusia ingat akan hal ini..."
Beng San merasa betapa kata-kata ini amat mendalam artinya dan dia yang sejak kecil memperhatikan filsafat,
jadi termenung. Keadaan di ruangan itu menjadi sunyi. Pada saat menghadap ini, Beng San menghadap
seorang diri, karena semua murid Hoa-san-pai pun maklum bahwa tanpa diundang mereka sama sekali tidak
boleh mengganggu kakek itu.
"Kedatanganmu ini apakah hanya untuk menengok kami?" mendadak kakek itu bertanya setelah sadar dari
lamunannya.
"Teecu mendengar berita bahwa Hoa-san-pai hendak merayakan ulang tahunnya yang ke seratus, maka teecu
sengaja datang ke mari untuk memberi selamat dan juga menonton keramaian."
"Tidak diperingati berarti tidak menghormati kepada pendiri Hoa-san-pai. Diperingati pasti akan memancing
datangnya kekeruhan. Pada jaman yang keruh ini, setiap peristiwa akan memancing datangnya peristiwa lain
yang selalu memusingkan. Beng San, pinto memiliki firasat bahwa dalam perayaan sepekan kemudian ini pasti
akan terjadi hal-hal yang tidak enak. Pertentangan antara kami dan Kun-lun-pai semakin menjadi-jadi, makin
diperpanas oleh para anak murid kedua pihak. Aku mendengar desas-desus bahwa Pek Gan Siansu sendiri
akan datang. Baik sekali kalau demikian, kami orang-orang tua tentu akan dapat membikin perhitungan secara
damai. Kau seorang anak yang mendalam pengertianmu, Beng San. Pinto girang sekali kau datang, kau
tinggallah di sini dan kau menjadi saksi dari usaha kami orang-orang tua mencari jalan damai. Dengan hadirmu
di sini, pinto merasa lebih tenang."
Beng San merasa heran sekali. Apa gerangan yang mendatangkan perasaan ini di dalam hati Lian Bu Tojin? la
merasa bangga dan juga berterima kasih sekali, karena itu tanpa ragu-ragu dia berkata, "To-tiang, percayalah,
teecu yang bodoh pasti akan membantu dan menyokong pendirian Totiang yang mulia ini.”
"Beng San, apakah kau sudah mewarisi kepandaian Lo-tong Souw Lee?" pertanyaan ini tiba-tiba diajukan.
Ketika Beng San mendongak, ia terkejut sekali melihat sepasang mata tua itu mencorong dengan tajamnya
memandang matanya penuh selidik.
Celaka, pikirnya. la hendak menyembunyikan kepandaiannya, dan dia pun tidak mungkin dapat berbohong
kepada kakek ini.
"Semenjak kecil teecu amat suka mempelajari filsafat. Selama teecu berkumpul dengan Lo-tong Souw Lee,
kiranya semua petuah dan wejangan orang tua itu telah teecu pelajari dengan baik." Jawabannya menyimpang
dan dia berpura-pura tidak tahu menahu tentang maksud pertanyaan tadi yang tentu saja dimaksudkan
pelajaran ilmu silat.
"Kau tidak mempelajari ilmu silat?" Sifat pertanyaan ini menggirangkan hati Beng San. la tak usah berbohong
lagi sekarang.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Teecu memang pernah mempelajari satu dua macam pukulan, akan tetapi tidak pantas disebut-sebut di
depan Totiang."
Kakek itu menarik napas panjang. "Kau benar. Ilmu silat tidak patut dibicarakan, karena pada akhirnya hanya
mendatangkan keributan belaka. Andai kata Hoa-san-pai dulu tidak mengembangkan ilmu silat, kiranya sampai
sekarang pun Hoa-san-pai takkan mempunyai musuh..."
Mulai hari itu, Beng San diperkenankan tinggal di Hoa-san, malah mendapat kehormatan untuk tinggal satu
rumah dengan Lian Bu Tojin. Kakek ini sangat suka bercakap-cakap dengan Beng San yang juga amat rajin.
tidak melupakan pekerjaannya yang dahulu, yaitu dia dengan tekun membersihkan tempat tinggal kakek itu,
melayani segala keperluan Lian Bu Tojin.
Pada suatu hari, Lian Bu Tojin yang melihat Beng San mencuci lantai rumahnya, menarik napas panjang,
mengelus-elus jenggotnya dan berkata.
"Sayang kau tidak suka ilmu sitat, Beng San. Kalau kau suka, pinto tentu akan merasa senang dan lega sekali
menarik kau menjadi murid pinto. Kau memenuhi syarat-syarat untuk menjadi murid terbaik. Kau mengenal
bakti, mengenal pribudi, mengenal kesetiaan dan wawasanmu tepat, pandanganmu jauh dan luas. Pinto
benar-benar mengharapkan bantuanmu dalam menghadapi cobaan pada beberapa hari yang akan datang ini.
Kiranya pandanganmu dan kata-katamu akan dapat membantu banyak untuk meredakan semua ketegangan.”
"Akan teecu coba sekuat tenaga teecu, Totiang," demikian jawaban Beng San, jawaban yang keluar dari lubuk
hatinya.
Sementara itu, sikap Thio Ki dan Kui Lok masih tetap angkuh sekali terhadap Beng San. Kwa Hong dan Thio
Bwee bersikap manis, akan tetapi juga kelihatan memandang rendah. Tentu hal ini karena mereka berempat
merasa menjadi murid-murid Hoa-san-pai yang mempunyai ilmu silat tinggi, sedangkan Beng San itu pemuda
apakah?
Lemah dan ‘hanya pandai membersihkan lantai’, kata Thio Ki. Bahkan Kui Lok pernah menyatakan
kekhawatirannya bahwa Beng San yang pandai menjilat-jilat itu kelak akan membujuk Lian Bu Tojin untuk
menurunkan ilmunya.
"Ha-ha-ha, andai kata dia pandai menjilat dan berhasil membujuk, tanpa memiliki dasar ilmu silat, mana dia
bisa berlatih?"
Kadang-kadang kalau Beng San berada di taman, keempat orang murid Hoa-san-pai ini berlatih silat dengan
sungguh-sungguh. Memang hebat ilmu pedang mereka, setiap orang memiliki gaya masing-masing dan
keampuhan tersendiri. Agaknya mereka sengaja ingin memamerkan kepandaian mereka di depan Beng San
dan pemuda ini cukup cerdik untuk memperlihatkan muka kagum. Malah pada suatu hari, setelah melihat Thio
Ki dan Kui Lok bermain pedang, dia berkata.
"Aduh... aduh, sampai silau mataku, pening kepalaku... tarian pedang saudara Thio dan saudara Kui hebat
bukan main! Hebat, seperti kilat menyambar-nyambar!"
Thio Ki dan Kui Lok girang juga mendengar pujian ini. Biar pun mereka kadang-kadang masih merasa iri hati
dan cemburu melihat sikap Kwa Hong yang manis terhadap Beng San, namun mereka tidak berani memukuli
lagi karena Kwa Hong mengancam demikian.
"Kalau kalian berani mengganggu Beng San lagi, aku akan melaporkan kepada sukong. Kalian tahu, sukong
amat sayang kepadanya!"
Bangunan darurat yang didirikan oleh para tosu Hoa-san-pai sudah hampir selesai. Waktu yang ditentukan
kurang dua hari lagi. Beng San selalu turun tangan membantu para tosu sehingga para tosu juga merasa suka
kepada pemuda yang sopan, merendah dan ringan tangan ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sore hari itu sebelum gelap bulan sudah muncul, merupakan bola merah yang amat besar dan indah. Beng
San baru saja mandi setelah sehari sibuk membantu para tosu menghias halaman depan.
"Beng San, mengapa kau sembunyi saja?" tiba-tiba dia mendengar suara. Ternyata Kwa Hong yang datang,
lalu gadis ini bisik-bisik, "Di mana sukong?" Gadis ini memang paling takut terhadap Lian Bu Tojin.
"Totiang berada di dalam, sedang siulian," bisik Beng San kembali.
Kwa Hong menaruh jari di depan bibirnya, lalu memberi isyarat supaya Beng San keluar. Setibanya di luar ia
berkata, "Beng San, semenjak datang kau sibuk dengan sukong atau dengan para supek menghias puncak.
Kau sama sekali tidak peduli kepadaku. Kenapa?"
Beng San tersenyum. la lalu menatap wajah yang hebat itu, wajah yang sekarang agak cemberut memandang
kepadanya, sepasang mata yang bening bercahaya memandang penuh selidik.
"Nona Hong..."
"Apa itu nona-nonaan segala? Sudah kukatakan beberapa kali, aku memanggil kau Beng San saja, kau pun
tidak boleh pakai nona-nonaan segala macam!"
"Habis, bagaimana?"
"Semua orang memanggil aku Hong Hong, kau pun harus begitu."
”Baiklah Hong Hong... tentang pertanyaanmu tadi, sebagai tamu tentu saja aku harus melayani totiang dan
membantu para tosu di sini. Tentang kau... bukankah kau sudah ada tiga orang teman baik? Aku... aku bodoh
dan lemah, mana kau suka bicara dengan aku?"
"Rendah hati! Selalu rendah hati, ke mana kenakalanmu yang dulu? Aku lebih suka kau seperti dulu. Berani
dan sombong! Eh, Beng San, tahukah kau?" Gadis itu mendekat dan bicaranya bisik-bisik, "Menghadapi
perayaan seratus tahunan ini, sukong dan ayah telah menganjurkan kami semua ciak-jai (makan sayur
pantang barang berjiwa). Wah, setengah mati aku. Harus satu bulan penuh ciak-jai, mana aku kuat? Tadi aku
melihat di sana... ada kelinci gemuk sekali. Hayo kau temani aku ke sana, aku yang tangkap kelinci, kau yang
memanggangnya, aku yang makan."
Menghadapi seorang dara seperti ini, mana bisa orang bersikap dingin dan pendiam? Demikian pun Beng San.
Timbul kenakalannya yang dahulu. Kalau dituruti saja gadis ini, bisa-bisa dia disuruh menggunduli kepalanya
sendiri!
"Enaknya kau ini! Kalau kau ingin makan daging, pergi kau tangkap sendiri, kau masak sendiri. Sesudah
matang, barulah kau panggil aku dan beri bagian. Sebagai tamu sudah sepantasnya aku menerima
jamuanmu."
"Eh, banyak bantahan, bodoh kau! Bukannya karena aku tidak bisa memanggang sendiri. Aku minta
bantuanmu karena kalau sampai ketahuan sukong, aku tidak akan mendapat marah. Bukankah kau yang
memanggang daging dan bukan aku? Kau tolonglah aku, aku sudah kemecer (ingin sekali)...!"
Beng San tersenyum menggoda "Kalau aku tidak mau...?"
Mulut yang manis itu cemberut. "Kalau tak mau, aku akan maki kau... bung..." la berhenti dan tidak
melanjutkan makiannya. Beng San tahu bahwa dia akan dimaki bunglon, maka dia tertawa.
"Nona... ehh, Adik Hong. Kau ini aneh. Punya teman baik tiga orang di sini, kenapa tidak mengajak mereka?
Kenapa kau mengajak aku bersekongkol. Ajaklah mereka bertiga itu."
"Huh, kau tahu apa? Mereka bertiga itu tidak mempunyai nyali."
"Tidak punya nyali? Apa maksudmu?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Mana mereka berani untuk melanggar larangan sukong? Hayolah, kau jangan putar-putar omongan. Kau mau
atau tidak?"
Tentu saja tidak mungkin bilang ‘tidak mau’ terhadap desakan seorang dara seperti Kwa Hong.
"Baiklah... baiklah..." Beng San berkata dan serentak Kwa Hong memegang lengannya terus menariknya dan
mengajaknya lari cepat sekali.
"Ehh... ehh... bagaimana ini... ihh, Nona... ehh, Hong Hong, aku jatuh nanti..." Beng San berteriak-tenak lirih.
"Cepat sedikit kenapa sih? Kau ini laki-laki atau perempuan?"
Jantung Beng San berdebar. Teringat dia akan gadis baju hijau bernama Eng. Kenapa sama benar pendapat
Eng dan Hong? Eng dahulu juga bertanya seperti itu.
"Kau lihat saja sendiri. Aku ini laki-laki atau perempuan?" balasnya seperti dulu pula ketika dia menjawab
pertanyaan Eng.
Gadis baju hijau itu dahulu mengatakan bahwa dia bukan laki-laki bukan perempuan, tapi banci. Apa yang
akan dikatakan Kwa Hong?
Kwa Hong tertawa, lalu membetot lagi tangan Beng San diajak lari melalui tempat yang tersembunyi. "Tentu
saja kau laki-laki, tapi laki-laki yang lemah melebihi perempuan."
"Kau tidak suka? Kau kecewa melihat aku lemah seperti perempuan?"
"Tidak... tidak...! Aku malah suka melihat kau lemah seperti ini. Laki-laki yang memiliki kepandaian selalu
banyak tingkah, berlagak pandai dan gagah sendiri. Cih, menjemukan malah. Kalau kau berkepandaian tentu
kau pun akan berubah tingkahmu, tentu berlagak dan sombong seperti... seperti..."
"Seperti Kui Lok dan Thio Ki?" Beng San menyambung.
Kwa Hong melepaskan tangannya. Kini mereka berdiri berhadapan di bawah sinar bulan purnama, saling
pandang.
"Kenapa kau berkata begitu?" tuntut Kwa Hong.
"Mudah saja. Kau hanya melihat dua orang itu di sini, tentu merekalah yang kau jadikan perbandingan. Akan
tetapi kau keliru, Adik Hong yang manis. Banyak di dunia ini laki-laki berkepandaian yang tidak sombong
seperti mereka."
"Coba ulangi lagi..."
"Ulangi apa?"
"Sebutanmu terhadapku tadi..."
"Adik Hong yang manis?"
Kwa Hong tertawa girang, matanya berseri memandang kepada Beng San. Pemuda ini merasa kagum dan
heran akan kepolosan hati gadis ini. Masih seperti kanak-kanak saja, begitu girang kalau dipuji. Ia tidak ingat
sama sekali betapa Kwa Hong tidak senang, malah nampak marah dan bosan ketika dipuji-puji oleh Kui Lok
dan Thio Ki. Kini gadis itu tertawa-tawa memandang padanya, dengan mukanya yang menjadi merah dan
matanya yang bersinar-sinar.
"Beng San, tidak bohongkah kau?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bohong tentang apa?"
"Bahwa aku manis... betulkah itu?"
Beng San merasa geli. Wanita memang amat aneh, kadang-kadang seperti kanak-kanak, sewaktu-waktu
malah seperti kaum ibu. "Tentu saja kau manis, kau cantik sekali, Hong Hong. Ketika melihatmu, hampir aku
tidak mengenalmu lagi."
"Kau dulu bilang aku seperti kuntilanak...”
Beng San tertawa ditahan. "Habis, kau pun memaki aku seperti bunglon sih. Apa mukaku benar-benar seperti
bunglon? Hayo katakan!"
Kwa Hong berhenti melangkah, menoleh dan memandang kepada Beng San.
"Tidak, dulu memang kau buruk sekali, lebih buruk dari pada seekor bunglon! Akan tetapi sekarang... hemmm,
jika saja kau pandai silat, kiranya kau lebih gagah dan ganteng dari pada Lok-ko atau pun Ki-ko.”
Muka Beng San menjadi merah juga menerima pujian yang begini terus terang dari Kwa Hong. Gadis ini
memang polos dan jujur bukan main. Mereka berlari lagi.
”Hayo cepatan sedikit, takut kemalaman," kata Kwa Hong sambil mempercepat larinya.
”Nah, itu dia...”
Mata Kwa Hong yang tajam sudah melihat beberapa ekor kelinci berlari-larian menyusup rumpun ilalang.
Cepat ia mengejar. Akan tetapi binatang-binatang itu meski pun kakinya pendek-pendek, ternyata dapat berlari
cepat dan gesit sekali. Ditubruk sana menyusup sini, dicegat sini lari ke sana. Sambil tertawa-tawa Kwa Hong
seperti anak kecil mengejar-ngejar kelinci dan memilih yang paling gemuk.
Beng San menjadi gembira juga melihat ini. Timbul sifat kanak-kanaknya dan dia pun ikut tertawa-tawa serta
mengejar ke sana-sini. Tetapi kelinci yang paling gemuk lari ke tengah hutan, dikejar Kwa Hong. Beng San
juga mengejarnya. Kelinci itu memang amat gemuk lagi pula masih muda dan bulunya putih bersih. Tentu enak
lunak dan sedap dagingnya.
Di bawah sebatang pohon besar Kwa Hong berhasil menangkap kelinci, dipegang pada dua telinganya. Gadis
itu tertawa-tawa gembira, sambil tangannya memegangi binatang yang meronta-ronta itu.
"Nah, akhirnya dapat yang gemuk ini. Beng San, nih kau bawa dan kau yang bertugas menyembelih dan
memanggangnya!”
Sambil tertawa Beng San menerima kelinci itu. Tiba-tiba terdengar auman keras sekali sampai bumi yang
mereka pijak seakan bergetar, daun-daun pohon bergoyang-goyang dan yang kering rontok berhamburan.
Kwa Hong menjadi pucat dan segera mencabut pedangnya.
"Beng San... cepat kau panjat pohon ini," la mendorong-dorong tubuh Beng San arah batang pohon, dia sendri
menjaga keselamatan Beng San dengan pedang di tangan.
”Kenapa aku mesti memanjat pohon?"
"Rewel kau! Ada harimau... biar aku melawannya, tetapi kau... kau harus memanjat pohon. Susah kalau
melawan dan sekaligus melindungimu..." Gadis itu berbisik, matanya tetap memandang ke arah gerombolan
alang-alang yang sudah mulai bergerak-gerak.
Beng San tersenyum geli dan juga kagum disertai terima kasih. Betapa pun galaknya, gadis ini ternyata berhati
baik terhadapnya. Seorang diri hendak menghadapi harimau, sedangkan dia disuruh menyelamatkan diri di
atas pohon! Gadis mana segagah ini?
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena Kwa Hong sedang mencurahkan perhatiannya ke arah gerombolan alang-alang, gadis ini tidak melihat
betapa dengan amat mudahnya, sambil membawa kelinci itu, Beng San sebentar saja sudah duduk di atas
dahan pohon yang tinggi.
Dugaan Kwa Hong segera terbukti. Seekor harimau perlahan-lahan muncul dari belakang gerombolan alangalang
itu. Beng San sampai terkejut melihatnya. Harimau yang besar sekali, sebesar anak sapi. Kepalanya
besar, matanya sipit berkilauan, taringnya sengaja diperlihatkan dan kulitnya loreng-loreng agak putih.
"Hati-hatilah kau... Hong-moi (adik Hong)...!" kata-kata ini keluar dari hati Beng San.
Pemuda ini belum pernah menghadapi seekor harimau yang kelihatan begitu mengerikan, tentu saja dia
menjadi gelisah sekali. Biar pun dia sudah maklum bahwa dirinya memiliki bekal ilmu yang tinggi dan tenaga
yang hebat, namun karena belum pernah berhadapan dengan binatang buas sebesar itu, dia merasa khawatir
akan keselamatan Kwa Hong.
Kwa Hong mengangkat tangan kiri ke arah Beng San dengan maksud supaya pemuda itu tenang dan jangan
khawatir. Hatinya lega mendengar suara Beng San dari atas, tanda bahwa pemuda itu sudah berada di atas
pohon.
Akan tetapi, agaknya gerakan tangan kirinya itu menjadi isyarat bagi sang harimau untuk bergerak. Dengan
suara geraman hebat, tubuhnya yang tadi agak mendekam sekarang meloncat tinggi menerkam ke arah Kwa
Hong dengan tenaga yang dahsyat.
”Awas...!” Beng San berseru, seluruh urat di tubuhnya menegang.
Dia sudah siap dengan kelinci di tangan untuk turun tangan menolong seandainya gadis itu terancam bahaya.
Akan tetapi, lega hatinya ketika dia melihat betapa dengan gerakan yang amat lincah gadis itu sudah dapat
meloncat ke samping dan tubuh harimau yang besar itu lewat cepat menubruk tempat kosong. Pedang gadis
itu berkelebat, tapi meleset tidak dapat menusuk perut harimau karena ekor harimau yang panjang itu
menyabet dan menangkis!
Dengan geraman mengerikan harimau itu sudah membalik dan kembali menubruk, lebih dahsyat dari pada
tadi. Akan tetapi, begitu melihat gerakan Kwa Hong tadi, Beng San lantas lenyap kekhawatirannya. Sekarang
dia malah memandang kagum. Dia mendapat kenyataan bahwa gerakan gadis ini benar-benar lincah dan
cepat sekali.
Dari gerakan-gerakan itu dia bisa mendapat kenyataan bahwa kepandaian Kwa Hong tidak kalah oleh Thio
Bwee mau pun Kui Lok dan Thio Ki. Namun, walau telah diserang empat lima kali, belum juga Kwa Hong
mampu menusuk harimau itu. Tusukannya selalu meleset saking cepatnya harimau itu mengelak, atau
menangkis dengan cakar atau pun ekornya.
"Bacok kaki belakangnya...!" Beng San yang mulai khawatir lagi memberi nasihat.
Harimau melompat lagi. Gadis itu yang agaknya sadar akan akal yang diteriakkan Beng San, tidak meloncat ke
pinggir untuk mengelak seperti tadi, malah menerobos ke depan, ke bawah tubuh harimau yang sedang
melompat tinggi menubruknya. Kemudian, sebelum tubuh harimau tiba di tanah, gadis ini sudah
menggerakkan kaki membalik, pedangnya berkelebat dan... harimau itu roboh dengan paha belakang sebelah
kanan robek oleh sabetan pedang!
la menggereng, mencoba untuk merangsek lagi, tapi karena luka itu gerakannya menjadi kurang cepat.
Dengan mudah Kwa Hong mengelak dan mengirimkan bacokan-bacokan bertubi-tubi ke arah kedua kaki
belakang.
Setelah binatang buas itu roboh tak berdaya karena dua kaki belakangnya hampir putus, dengan mudahnya
Kwa Hong menusukkan leher dan perutnya. Harimau itu mengeluarkan auman terakhir, tubuhnya berkelojotan
lalu diam tak bergerak lagi. la mati mandi darah di depan kedua kaki dara perkasa itu!
Beng San melorot turun, lalu bertepuk tangan. "Hebat... hebat... kau gagah sekali, Hong Hong..."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kau tadi menyebutku Hong-moi..."
Beng San mengingat-ingat. Betul saja, dalam kekhawatirannya tadi dia sudah menyebut adik Hong kepada
gadis itu. Wajahnya langsung memerah.
"Memang aku lebih tua, sudah pantas menyebutmu Hong-moi. Boleh, kan?"
"Tentu saja boleh. Kau malah sudah berjasa. Kalau tidak kau ingatkan untuk menyerang kaki belakangnya,
agaknya akan lama untuk dapat merobohkannya. Ehhh, mana kelinci tadi?"
Beng San mengambil kelinci yang tadi dikempitnya di antara kedua pahanya ketika dia bertepuk tangan. Gadis
itu tertawa dan membersihkan pedang pada bulu harimau.
"Hayo kita pulang, sudah hampir gelap dan perutku makin lapar saja oleh perkelahian tadi."
"Bangkai harimau itu... kan dagingnya enak sekali dan dapat menambah kuat tubuh. Pula, kulitnya juga indah
sekali, sayang kalau dibiarkan saja membusuk di sini."
"Bawalah kalau kau mau. Tapi... terlalu banyak daging itu, tidak akan habis. Kalau sukong melihatnya,
bukankah akan terbuka rahasiaku?"
"Jangan khawatir, kau yang membunuhnya karena diserang harimau, aku yang makan dagingnya."
"Dan aku akan mendapat bagian dengan diam-diam." Kwa Hong tertawa-tawa. "Kau amat cerdik, Beng San...
ehhh, tidak enak juga kalau kau menyebutku adik tapi aku menyebut namamu begitu saja. Kau bilang leblh tua,
sebetulnya berapa sih usiamu? Aku sudah delapan belas tahun!"
Beng San tertawa. "Sedikitnya aku dua tahun lebih tua dari padamu. Kau seharusnya menyebut kakak
kepadaku."
"Hemmm, San-ko (kakak San)... hemmm, enak juga terdengarnya. Baiklah Beng San koko, kau bawa bangkai
harimau itu. Tapi dagingnya terlalu banyak, tidak akan termakan habis olehmu biar pun dibantu olehku secara
diam-diam."
"Jangan khawatir, selebihnya dapat kubuat dendeng. Kau punya banyak garam, kan?"
"Bisa kucuri dari dapur para supek tukang masak!" Kwa Hong tertawa nakal.
"Aha, kulihat kau hanya maju dalam ilmu silat, Agaknya segala petuah sukong-mu tentang kebajikan tak
pernah kau taati, buktinya kau mau nyolong garam."
Keduanya tertawa lagi dan Beng San segera memanggul bangkai harimau itu setelah menyerahkan kelinci
kepada Kwa Hong.
"Ehh, tidak kusangka kau kuat juga. Bangkai harimau ini sedikitnya ada lima puluh kilo!” Kwa Hong
memandang kagum.
Beng San terhuyung-huyung, kelihatan keberatan. Baru kini ia teringat bahwa ia hendak menyembunyikan
kepandaian. Hampir saja dia lupa kalau Kwa Hong tidak memujinya. la cepat-cepat beraksi dan kelihatan amat
berat menggendong bangkai itu.
"Wah, berat sekali..."
Kwa Hong tersenyum, "Tapi kau kuat menggendongnya. Hemmm, kiranya kau tak begitu lemah seperti yang
kukira. Sayang kau tidak belajar ilmu silat."
"Tadi kau bilang lebih baik aku tidak bisa silat," Beng San memperingatkan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwa Hong mengangkat kedua pundaknya, gerakan yang manis dipandang.
"Bukan begitu maksudku... entahlah, yang tak kusuka adalah sikap angkuh dan jumawa, menganggap diri
sendiri paling pandai dan kuat. Sikap inilah yang tak kusuka, sikap yang banyak terdapat di kalangan orang
kang-ouw."
"Kau benar," Beng San nnengangguk-angguk, "dan kiranya sikap yang demikian itu pula, sikap mau menang
sendiri dan tidak mau mengalah sedikit pun juga, yang menimbulkan keributan-keributan dan permusuhanpermusuhan
di antara golongan yang satu dengan golongan yang lainnya."
Dua orang muda itu makin lama merasa makin cocok. Watak Beng San yang sederhana, jujur, sabar dan
kadang-kadang dapat pula lincah jenaka dapat mengimbangi watak Kwa Hong yang lincah, gembira dan ada
kalanya keras tapi ada kalanya halus lembut penuh kemesraan. Tidak mengherankan bahwa dalam beberapa
hari itu mereka nampak makin akrab dalam pergaulan.
Kwa Hong yang mempunyai hati terbuka, secara terang-terangan memperlihatkan rasa sukanya bergaul
dengan Beng San sehingga tentu saja dua orang pemuda Hoa-san-pai, Kui Lok dan Thio Ki, merasa dada
mereka seperti mau meledak saking panas hatinya. Akan tetapi, Beng San adalah seorang tamu di Hoa-sanpai,
lebih lagi agaknya sukong mereka suka kepada Beng San, juga Kwa Hong selalu ‘melindunginya’.
Di lain pihak, Thio Bwee bernapas lega melihat bahwa Kwa Hong ternyata tidak menaruh perhatian kepada Kui
Lok, pemuda idaman hatinya itu…..
********************
Beng San mendapat kenyataan betapa cocok kata-kata Tan Hok ketika menceritakan tentang keadaan Hoasan-
pai dalam permusuhannya dengan Kun-lun-pai. Tidak saja dia melihat banyaknya tosu Hoa-san-pai yang
berkumpul di gunung itu, mendekati seratus jumlahnya, akan tetapi menjelang datangnya hari perayaan ulang
tahun ke seratus dari Hoa-san-pai, berturut-turut datang murid-murid Hoa-san-pai yang tinggal jauh dari
gunung Hoa-san. Tiga hari sebelum hari perayaan, di sana sudah berkumpul seluruh anggota Hoa-san-pai
yang jumlahnya mendekati seratus dua puluh orang!
Keadaan Hoa-san-pai sungguh angker sekali. Tosu-tosu dengan pakaian seragam putih melakukan penjagaan
dengan sikap mereka yang alim dan amat gagah. Jalan kecil yang menuju ke pendakian puncak itu, dihias
dengan bunga-bunga kertas, setiap seperempat kilometer dijaga oleh tiga orang tosu di pinggir jalan,
merupakan tiang-tiang hidup. Hal ini diadakan bukan hanya untuk memberi penghormatan kepada para tamu,
tetapi kiranya terutama sekali untuk ‘unjuk gigi’ kepada para tamu yang datang dengan maksud-maksud buruk
tertentu.
Sebagai sebuah partai besar yang sudah terkenal namanya di seluruh dunia kang-ouw, kali ini Hoa-san-pai
mengadakan persiapan besar-besaran. Beberapa hari sebelumnya, para tosu sudah sibuk berbelanja,
menyediakan segala bahan makanan dan minuman untuk menjamu para tamu. Ratusan bangku baru dibuat
dan diatur di ruangan depan.
Ruangan ini menjadi luas sekali karena diberi bangunan tambahan darurat. Ruangan yang amat luas ini dibagibagi,
untuk para tamu kehormatan di sebelah dalam dan menghadap keluar, untuk tamu wanita di sebelah kiri
dan agak tertutup, dan untuk yang muda-muda di sebelah kanan.
Di belakang ke tiga tempat ini yang paling luas, disediakan bangku-bangku panjang untuk tempat para tamu
lain yang dianggap sebagai pengikut-pengikut saja. Pihak tuan rumah mengambil tempat di ruangan yang
mepet dinding dalam, dekat tempat tamu kehormatan, membelakangi pintu besar yang dapat menuju ke dalam
‘rumah besar’. Di tengah-tengah ruangan merupakan tempat terbuka yang cukup luas untuk memberi tempat
bagi para pelayan hilir-mudik.
Menurut berita yang dibawa oleh para tosu penjaga kaki gunung, dua hari sebelum pesta dimulai, sudah
banyak sekali tamu yang datang sampai di kaki Gunung Hoa-san. Mereka menginap di kampung-kampung,
dunia-kangouw.blogspot.com
menanti datangnya hari yang ditentukan untuk mendaki puncak. Tentu saja para tosu itu di antaranya ada yang
bertugas menyelidiki siapa-siapa yang akan datang, kawan ataukah lawan!
Pada hari itu, pagi-pagi sekali sudah kelihatan para tamu berbondong-bondong mendaki puncak Hoa-san.
Banyak sekali tamu yang datang. Para tosu Hoa-san-pai yang menjaga di sepanjang jalan sampai ke puncak,
mewakili ketua mereka, melihat dengan hati kaget betapa partai-partai lain datang lengkap dengan para anak
murid yang pilihan. Bahkan partai-partai Khong-tong-pai, Bu-tong-pai, dan Bu-eng-pai datang dengan puluhan
orang anak murid masing-masing sehingga merupakan pasukan yang kuat!
Lian Bu-Tojin memang tidak mau memperlihatkan diri lebih dahulu, malah dia sengaja melarang Kwa Tin
Siong, Liem Sian Hwa dan cucu-cucu muridnya untuk keluar lebih dulu sebelum para tamu lengkap. Kakek ini
amat berhati-hati. la mau melihat murid-murid dan cucu-cucu muridnya muncul lalu dipancing oleh pihak lawan
untuk mengacaukan pesta ulang tahun perkumpulannya.
Setelah ruangan tamu di depan penuh oleh para tamu, barulah Lian Bu Tojin diiringkan oleh Kwa Tin Siong,
Liem Sian Hwa, Kwa Hong, Thio Bwee, Thio Ki dan Kui Lok, keluar dari dalam menuju ke tempat duduk yang
disediakan untuk pihak tuan rumah. Para tamu segera berdiri memberi hormat yang dibalas oleh Kwa Tin
Siong sebagai wakil pihak tuan rumah. Lian Bu Tojin sebagai seorang yang tingkatnya lebih tinggi, hanya
mengangguk dan hanya mengangkat kedua tangan membalas penghormatan para tamu yang duduk di bagian
terhormat.
Walau pun baru sekarang Lian Bu Tojin keluar, namun kakek ini sudah tahu siapa saja tamu-tamunya yang
hadir. Tadi Kwa Tin Siong mengintai dari dalam dan memberi tahu kepada gurunya tentang para tamu yang
sebagian besar dikenal oleh jago pertama dari Hoa-san-pai ini.
Yang amat mengherankan hati Lian Bu Tojin dan Kwa Tin Siong adalah ketidak hadiran orang-orang Kun-lunpai.
Padahal mereka melihat bahwa Khong-tong-pai dan Bu-eng-pai, dua partai yang selalu memperlihatkan
sikap membela Kun-lun-pai, sudah lengkap hadir di situ. Diam-diam mereka juga merasa gembira bukan main
dengan hadirnya jago-jago dari Bu-tong-pai, karena partai ini selalu memperlihatkan sikap baik kepada Hoasan-
pai.
Banyak terdapat jago-jago silat yang sudah terkenal namanya hadir di ruangan itu. Nama Hoa-san-pai sudah
terlalu terkenal sehingga kali ini dapat menarik kedatangan jago-jago silat dari seluruh negeri. Tapi yang paling
penting disebutkan di sini hanyalah beberapa orang saja.
Di antaranya pemimpin rombongan Khong-tong-pai, seorang lelaki gemuk pendek berusia lima puluh tahun.
Dia adalah murid pertama dari Khong-tong-pai bernama Liu Ta, seorang ahli Iweekeng dan ahli golok. Karena
terlalu dipercaya oleh gurunya yang sudah tua, Liu Ta ini sering kali bertindak mewakili Khong-tong-pai tanpa
setahu gurunya.
Dari pihak Bu-eng-pai, rombongan ini dipimpin oleh dua orang jago Bu-eng-pai yang telah terkenal namanya,
yaitu Ang Kim Seng yang tinggi kurus berusia empat puluh tahun lebih dan adiknya, Ang Kim Nio yang cantik
genit berusia tiga puluh tahun lebih. Kakak beradik ini terkenal sebagai ahli pedang dari Bu-eng-pai. Seperti
juga pihak Khong-tong-pai, kakak beradik ini lebih condong membantu Kun-lun-pai dari pada Hoa-san-pai.
Beng Tek Cu, seorang tosu yang tinggi besar serta bermata lebar adalah seorang tokoh Bu-tong-pai, usianya
lima puluh lima tahun. Orangnya jujur dan keras hati, akan tetapi kepandaiannya tinggi dan namanya ditakuti
orang-orang jahat karena tosu Bu-tong-pai ini tak pernah menaruh kasihan kepada para penjahat. la menjadi
sahabat Kwa Tin Siong, maka dalam urusan antara Hoa-san dan Kun-lun, tosu tinggi besar ini dan
rombongannya berpihak kepada Hoa-san-pai.
Masih banyak tokoh-tokoh besar yang hadir di pertemuan itu, akan tetapi agaknya akan terlalu panjang kalau
disebut satu persatu. Yang patut disebut kiranya hanya mereka yang duduk di ruang tamu kehormatan, yaitu
pemimpin tiga rombongan yang sudah disebut tadi untuk menghormati nama besar partai yang mereka wakili.
Dari golongan perorangan ada beberapa orang kakek lagi, yaitu dua orang hwesio, dua orang kakek petani
dan tiga orang tosu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka ini adalah tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw yang kenal dengan pribadi Lian Bu Tojin, jadi tidak
mewakili sesuatu partai. Namun karena mereka ini tergolong orang-orang lihai dan setingkat, maka mereka
dipersilakan duduk di ruang tamu kehormatan.
Di antara ramainya para tamu yang saling berbicara seperti bunyi tawon madu diganggu, para tamu mulai
menyerahkan sumbangan-sumbangan serta barang-barang tanda mata untuk memberi selamat kepada Hoasan-
pai. Riuh rendah suara tertawa karena gembira pada saat Lian Bu Tojin berkenan menerima sendiri
barang-barang hadiah yang diberikan para tamu kepada Hoa-san-pai.
Kakek ini berdiri di tengah ruangan di mana disediakan meja kosong yang panjang, diapit di kanan kiri oleh
Kwa Tin Siong dan Liem Sian. Ada pun Kwa Hong bersama tiga orang saudara seperguruannya membantu
untuk menerima semua barang hadiah dan kemudian mengaturnya di atas meja.
Hampir semua tamu membawa barang hadiah. Oleh sebab itu kini mereka berdiri dalam antrian panjang.
Setiap orang yang telah sampai di meja itu menghormat kepada Lian Bu Tojin, mengucapkan selamat dan
menyerahkan barang sumbangannya. Lian Bu Tojin dan dua orang muridnya menghaturkan terima kasih, lalu
barang itu diterima oleh Kwa Hong dan saudara-saudara seperguruannya untuk diatur di atas meja panjang
tadi.
Kwa Hong menjadi heran dari juga geli hatinya ketika ia melihat Beng San ikut-ikutan pula berdiri dalam
antrian. Pemuda ini mengenakan pakaiannya yang paling bersih, wajahnya yang berseri kelihatan gagah dan
tampan sekali, yakni dalam pandangan Kwa Hong.
Sejak tadi pemuda ini duduk di ruang kelas kambing, yaitu tempat luas di mana terdapat bangku-bangku
panjang. Di sana adalah tempat berkumpulnya tamu-tamu yang menjadi pengikut rombongan. Dan sekarang
tahu-tahu dia ikut di dalam antrian sambil membawa sebuah bungkusan besar!
Kwa Hong dengan perasaan heran dan hati geli menduga-duga apakah gerangan hadiah yang dibawa orang
muda itu untuk Hoa-san-pai? Juga Thio Bwee melihat pemuda ini dan di bibir gadis ini pun tampak senyum
geli.
Dalam pandang mata Thio Bwee, biar pun Beng San merupakan seorang pemuda yang ia suka karena
sikapnya yang selalu sopan dan baik, apa lagi dahulu di waktu kecil pernah menolongnya, akan tetapi tetap
saja Thio Bwee memandangnya sebagai seorang pemuda yang tidak punya guna, seorang pemuda yang
lemah dan tidak tahu akan ilmu silat.
Berbeda dengan dua orang gadis itu yang melihat Beng San berdiri di dalam antrian para pemberi hadiah
merasa lucu dan ingin sekali tahu apakah gerangan barang hadiah yang dibawanya dalam bungkusan besar
itu, adalah Thio Ki dan Kui Lok memandang dengan mata penuh curiga, iri hati dan cemburu.
Dua orang pemuda ini dalam beberapa hari saja telah tahu betapa Kwa Hong amat suka bergaul dengan Beng
San, betapa wajah gadis itu selalu berseri-seri bila bercakap-cakap dengan ‘bocah dusun’ itu. Betapa Kwa
Hong agaknya lebih suka bercakap-cakap dengan Beng San dari pada dengan mereka.
Kalau saja tidak berada di tempat perjamuan, dan kalau saja tidak takut kepada sukong mereka, agaknya dua
orang pemuda ini sudah akan mengusir Beng San dari tempat itu. Menurut pendapat mereka, Beng San tidak
patut hadir dalam ruangan ini, yang sekarang penuh dengan para tamu ahli silat belaka.
Akan tetapi Beng San sendiri agaknya tidak peduli akan cucu-cucu murid Hoa-san-pai, tak peduli bagaimana
mereka memandangnya. Dia sendiri terus tersenyum dengan wajahnya yang berseri-seri, melihat ke kanan kiri
kepada para tokoh kang-ouw yang kini sebagian besar sudah berkumpul di situ. Baru sekarang dia mendapat
kesempatan bertemu dengan mereka, siapa tidak akan girang?
Dari seorang di dekatnya, dia tadi mendapat keterangan satu demi satu tentang para tamu yang dianggap
tamu kehormatan. Malah teman di dekatnya tadi, seorang anak murid dari Bu-tong-pai, agaknya senang sekali
bercerita sehingga membocorkan rahasia partainya bahwa Bu-tong-pai membantu Hoa-san-pai. Dia
menceritakan pula betapa Khong-tong-pai dan Bu-eng-pai selalu membantu Kun-lun-pai dalam memusuhi
dunia-kangouw.blogspot.com
Hoa-san-pai. Teman baru ini juga menceritakan kehebatan setiap orang tokoh yang dia anggap memiliki
kesaktian seperti dewa-dewa!
Selain gembira karena mendapat kesempatan melihat orang-orang kang-ouw, Beng San juga sangat gembira
ketika mendengar bahwa pihak Kun-lun-pai tidak hadir. Bukankah dengan demikian maka keributan takkan
terjadi dan dia tidak usah bersusah payah untuk mencegahnya?
Setelah sampai giliran Beng San menyerahkan sumbangannya, pemuda ini dengan wajah sungguh-sungguh
memberi hormat dengan menjura dalam di depan Lian Bu Tojin sambil berkata, "Dengan hati tulus dan hormat
saya menghaturkan selamat kepada Hoa-san-pai yang mencapai umur seratus tahun. Semoga Hoa-san-pai
akan melewati ratusan tahun lagi dan melahirkan patriot-patriot yang gagah perkasa, pembela-pembela rakyat
yang adil dan bijaksana. Harap Totiang sudi menerima kenang-kenangan tidak berharga ini."
la membuka bungkusannya dan terdengar sedak tertahan dari Kwa Hong ketika gadis ini melihat isi bungkusan
yang besar itu. Ternyata isinya adalah... kulit harimau yang besar dan amat indahnya. Harimau yang kemarin
dulu ia bunuh di hutan!
Muka ketua Hoa-san-pai berseri gembira. "Terima kasih, terima kasih..."
Sebagai layaknya seorang tuan rumah, dia membalas penghormatan tamu bersama Kwa Tin Siong,
sedangkan Thio Bwee menerima kulit harimau itu, diletakkan di atas meja.
Ketika Beng San kembali ke tempat duduknya, telinganya yang tajam pendengarannya itu menangkap seruanseruan
heran dan kagum dari para tamu.
"Siapa dia itu? Dapat mengambil kulit harimau sebesar itu tanpa melukainya… hemmm, agaknya pandai juga
dia..."
Diam-diam Beng San tersenyum dan merasa lucu. Yang membunuh harimau itu adalah Kwa Hong dan dia
dengan hati-hati telah menutup luka-luka bekas tusukan pedang Kwa Hong sehingga dilihat sepintas lalu saja
seakan-akan tidak ada bekas luka, seakan-akan dia sudah menangkapnya dengan tangan kosong, atau
membunuhnya dengan kepalan saja!
Tiba-tiba saja terdengar suara gaduh di bagian depan. Orang-orang lalu memandang dan terbelalak kaget.
Seorang pemuda yang bukan lain adalah Giam Kin, berlenggang masuk. Orangnya sih tidak mendatangkan
kaget pada para tamu, hanya apa yang di bawanya yang mendatangkan heboh.
Pemuda ini datang membawa seekor ular besar yang melilit-lilit tubuhnya. Ular sebesar paha yang kelihatan
galak! Beng San memandang dengan perasaan mendongkol. Terang sekali bahwa pemuda itu sengaja
hendak berlagak untuk menarik perhatian orang. Sambil tersenyum-senyum pemuda itu menghampiri meja
dan menjura kepada Lian Bu Tojin.
"Lian Bu-totiang, saya mewakili suhu datang untuk mengucapkan selamat dan terimalah semacam hadiah
saya ini."
Semua orang kaget dan mengira bahwa pemuda, ini akan menghadiahkan ular besar itu.
Akan tetapi Lian Bu Tojin dengan wajah tenang membalas penghormatannya dan berkata, "Ah, saudara Giam
terlalu sungkan. Terima kasih atas pemberian selamat."
Giam Kin lalu merogoh saku jubahnya dan mengeluarkan dua buah tabung bambu yang tersumbat. Tercium
bau yang amat amis ketika dia membuka sumbat dari pada sebuah di antaranya.
"Agar Totiang tahu apa isinya, baik saya buka dan perlihatkan."
Dia mengetuk bambu itu dan keluarlah... seekor ular bersisik merah yang kecil dan liar. Dengan gerakan
seorang ahli ditangkapnya leher ular itu dan diangkatnya tinggi-tinggi ke atas. la berkata, jelas kata-katanya
ditujukan kepada semua tamu seperti seorang penjual obat mempropagandakan obatnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Harap Lian Bu Totiang tidak menganggap bahwa saya memberi tanda mata yang tidak ada harganya.
Sungguh pun hanya merupakan dua ekor ular kecil dalam tabung bambu, tetapi dibandingkan dengan semua
barang sumbangan yang ada di atas meja ini, kurasa hadiahku adalah yang paling berharga. Sepasang ular ini
disebut Ngo-tok-coa (Ular Lima Racun), bisa digunakan untuk menyembuhkan lima macam bahaya akibat
terkena racun. Biar pun hanya merupakan dua ekor ular kecil, namun sewaktu-waktu dapat berjasa dan
menyambung nyawa, benda-benda yang lain ini hanya indah dipandang tetapi tidak ada gunanya, mana dapat
dibandingkan dengan ular-ular pemberianku ini?"
Dengan bangga dia menyerahkan kedua tabung itu kepada Kwa Hong dan Thio Bwee seorang satu. Gerakgeriknya
bebas dan tak tahu malu, akan tetapi karena ia merupakan seorang tamu yang memberi hadiah ulang
tahun untuk Hoa-san-pai, walau pun dengan muka merah dan mulut cemberut, terpaksa Kwa Hong dan Thio
Bwee menerimanya juga. Ada pun Kwa Tin Siong mewakili suhu-nya menjura dan mengucapkan terinia kasih.
Giam Kin lalu menoleh ke kanan kiri, agaknya mencari tempat duduk yang sudah penuh. Seorang tosu Hoasan-
pai segera menghampiri dan sambil membungkuk-bungkuk tosu itu berkata.
"Tuan muda, silakan duduk di sebelah sana, masih ada tempat kosong."
Tosu itu hendak mengantar Giam Kin duduk di ruangan bagian kanan di mana berkumpul tamu-tamu muda.
Akan tetapi Giam Kin mengerutkan keningnya ketika melihat betapa tempat itu adalah tempat duduk orangorang
yang bukan ‘orang atas’. la menggelengkan kepala dan berkata sambil tertawa.
"Biarlah aku di sana saja, aku sudah membawa tempat duduk sendiri." la lalu melangkah lebar menuju ke
ruangan tamu kehormatan!
Liu Ta, pemimpin rombongan Kho-tong-pai, agaknya sudah mengenal pemuda ini karena dia segera berdiri
dan tersenyum memberi hormat. Akan tetapi yang paling menyolok adalah sikap Ang Kim Seng dan Ang Kim
Nio, dua orang jago Bu-eng-pai. Ang Kim Nio melirik-lirik dengan senyum genit sedangkan Ang Kim Seng
bahkan cepat-cepat berdiri dan menyilakan Giam Kin menduduki tempat duduknya.
"Duduklah Ang-twako. Duduklah, biar aku duduk di tempat yang sudah kubawa sendiri.”
Dia lalu melepaskan lilitan ular di pinggangnya, kemudian ular besar dan panjang itu dia gulung dan lingkarlingkar
sehingga merupakan satu gundukan yang lebih tinggi dari pada bangku-bangku yang berada di situ. Di
atas gundukan atau lingkaran tubuh ular inilah dia duduk, nampak bangga dan jelas sengaja melakukan semua
ini untuk menarik perhatian dan memancing pujian!
Bukan main mendongkolnya hati orang-orang Hoa-san-pai menyaksikan sikap pemuda itu. Thio Ki dan Kui Lok
sudah mengepal tinju dan mereka ini diam-diam berjanji bahwa kalau pemuda setan itu berani main gila,
mereka akan menghadapinya lebih dahulu. Kwa Hong dan Thio Bwee juga marah sekali. Dengan kerling tajam
menyambar diam-diam mereka memaki pemuda itu.
Akan tetapi Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa kelihatan tenang-tenang saja, apa lagi Lian Bu Tojin, kakek ini
malah tersenyum-senyum nampak gembira. Padahal di dalam hatinya, guru dan dua orang muridnya ini selalu
terheran mengapa pihak Kun-lun-pai belum juga muncul.
Tidak hanya pihak tuan rumah yang terheran, juga para tamu terheran-heran, malah para tamu muda menjadi
kecewa sekali. Sesungguhnya, mereka naik ke Hoa-san bukanlah semata-mata untuk memberikan
penghormatan kepada Hoa-san-pai, akan tetapi terutama sekali tertarik akan harapan melihat pertandingan
hebat antara jago-jago Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. Mereka semua sudah tahu bahwa antara dua partai
persilatan ini terdapat permusuhan, maka sekali ini dalam pertemuan terbuka, tentu akan diadakan
pertandingan terbuka pula untuk menentukan siapa yang lebih kuat.
Giam Kin menoleh ke kanan kiri seperti orang yang sedang mencari-cari. Diam-diam dia memperhatikan para
tamu dan mencari seorang pemuda muka hitam. Dia bernapas lega ketika tidak dapat menemukan orang
bermuka hitam itu, akan tetapi dia masih merasa gelisah yang ditutup-tutupinya dengan sikap yang sangat
jumawa. Padahal sebetulnya dia merasa khawatir kalau-kalau ‘setan muka hitam’ itu akan muncul di sini.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ah, kenapa aku tidak melihat seorang pun dari Kun-lun-pai?" tiba-tiba Giam Kin berkata, suaranya nyaring
dan terdengar oleh banyak orang, terutama oleh para tamu kehormatan yang hadir di situ.
Semua mata memandangnya karena memang pertanyaan ini sudah sejak tadi berada di dalam benak semua
tamu berikut tuan rumah, hanya tiada seorang pun berani lancang mulut bertanya seperti yang dilakukan Giam
Kin.
Ang Kim Seng tertawa, lalu menjawab, juga dia sengaja mengerahkan tenaga sehingga suaranya terdengar
sangat nyaring, "Giam-taihiap, apakah kau juga ingin sekali menonton keramaian? Tentu mereka akan
datang!"
"Kabarnya ketua Kun-lun-pai juga mau datang memberi selamat. Betulkah berita ini?" Giam Kin bertanya lagi,
tanpa peduli akan pandang mata tak senang dari seorang tosu yang tinggi besar dan duduk di dekatnya.
"Memang ada berita itu," jawab Ang Kim Seng, "dan malah murid-murid Kun-lun-pai telah memberi tahu
kepadaku sendiri. Aku pun sudah lama sekali tidak berjumpa dengan Pek Gan Siansu, ingin aku
menyampaikan hormat."
"Ha-ha-ha, Ang-twako. Agaknya kau ini sahabat karib Kun-lun-pai!" terang-terangan Giam Kin menegur sambil
tertawa.
Ang Kim Seng juga tertawa. "Kun-lun-pai adalah partai terbesar di dunia ini, partai yang terbesar dan terkuat,
juga terkenal sebagai tempat pendekar-pendekar gagah perkasa. Siapa orangnya yang tidak bersahabat
dengan mereka?”
Jelas bahwa percakapan antara Giam Kin dan Ang Kim Seng ini merupakan percakapan yang menyerempet
ketenangan. Para tamu serentak menghentikan percakapan mereka dan mendengarkan dengan hati tegang.
Kwa Tin Siong sendiri mulai melirik-lirik ke arah tempat duduk para tamu kehormatan. Ada pun Thio Ki, Thio
Bwee, Kui Lok, dan Kwa Hong sudah terang-terangan memandang ke arah Ang Kim Seng dengan mata tajam.
Tiba-tiba Beng Tek Cu, tosu dan Bu-tong-pai yang sejak tadi merasa muak melihat lagak Giam Kin, berdiri dan
bangkunya. la memang seorang yang galak dan jujur, dan di dalam hatinya dia pro kepada Hoa-san-pai.
Sekarang, setelah dia mendengar percakapan yang menyinggung-nyinggung urusan Kun-lun-pai, dia tidak
dapat menahan kesabarannya lagi.
Seperti orang berbicara kepada diri sendiri, tosu tinggi besar yang sudah tua tapi masih kelihatan muda ini
menengadahkan kepalanya dan berkata keras.
"Siapa yang menjilat dan bermuka-muka kepada yang besar dan kuat, tidak ada bedanya dengan kutu-kutu
anjing yang selama hidupnya hanya mengandalkan tubuh anjing yang ditumpanginya!"
Mendengar ucapan yang keras ini, Semua tamu diam dan semua memandang ke arah ruangan tamu
kehormatan itu. Tak seorang pun mengira bahwa dari ruang ini akan disulut api yang akan membakar
perayaan itu. Giam Kin tertawa-tawa geli, seakan-akan merasa betapa lucunya kata-kata tadi.
Ang Kim Seng melompat bangun dari bangkunya, lalu memandang ke arah Beng Tek Cu sambil bertanya.
"Kau berani menyamakan aku dengan kutu anjing?"
Beng Tek Cu menoleh kepadanya, seakan-akan tidak peduli, lalu balas bertanya, "Kau merasa menjadi kutu
anjing atau tidak?"
"Tentu saja tidak!" Ang Kim Seng marah, mukanya sudah menjadi merah sekali, matanya melotot.
”Kalau tidak ya sudah! Aku tidak memaki siapa-siapa, hanya mengatakan bahwa kalau ada yang menjilat dan
bermuka-muka pada yang besar dan kuat, dia itu seperti kutu anjing. Kalau kau bukan kutu anjing, ya
sudahlah, kenapa ribut-ribut?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Terdengar suara ketawa di sana-sini.
"Hi-hi-hi-hi...” Kwa Hong menutupi mulutnya dengan tangan untuk menahan ketawanya.
Tentu saja gadis ini sudah maklum bahwa pihak Bu-eng-pai memang selalu menangkan Kun-lun, ada pun
pihak Bu-tong-pai membantu pihaknya. Apa lagi ia mengenal Beng Tek Cu sebagai sahabat karib ayahnya,
maka ia girang dan geli melihat betapa tosu yang memang berwatak berangasan, kasar dan jujur tapi pandai
berdebat itu mempermainkan Ang Kim Seng.
"Satu nol...," kata Beng San.
Pemuda ini sejak tadi sudah memperlihatkan keringanan tangannya, tanpa diminta telah membantu ke sana ke
sini, kadang-kadang membantu para tosu yang menghidangkan makan minum kepada para tamu, kadang kala
dia juga membantu memberes-bereskan barang-barang sumbangan di atas meja panjang itu. Pada saat dia
mendengar Kwa Hong tertawa, dia sendiri juga merasa geli maka tanpa disengaja dia tadi berkata, "Satu nol..."
"Apanya yang satu nol?" Kwa Hong bertanya lirih tanpa pedulikan lirikan ayahnya yang hendak mencegah dia
bicara tentang hal yang meributkan.
"Tosu hitam tinggi besar itu menang satu, si tinggi kurus itu kalah dan belum menangkan apa-apa, maka
kedudukan mereka menjadi satu nol untuk si tosu tinggi besar," jawab Beng San.
Sementara itu, mendengar ucapan Beng Tek Cu, Ang Kim Seng makin marah. Akan tetapi tentu saja dia akan
berada di pihak salah bila mana dia yang mulai memaki. Ia menahan kemarahannya dan pura-pura bersikap
tenang, lalu bertanya.
"Eh, tosu yang bersikap kasar. Tidak tahu siapakah kau?"
"Ang Kim Seng sicu (orang gagah) sebagai seorang jagoan besar Bu-eng-pai, tentu saja tidak mengenal pinto
(aku) Beng Tek Cu dari Bu-tong-pai."
Ang Kim Seng nampak kaget sekali dan dia merasa menyesal mengapa tadinya dia tidak mencari keterangan
lebih dulu siapa sebenarnya tosu tinggi besar yang kasar ini. Kiranya tokoh Bu-tong-pai!
Jawaban Beng Tek Cu tadi sekaligus memukul lawannya oleh karena jawaban itu juga merupakan sindiran
tajam sekali. Dengan mengenal nama Ang Kim Seng dan partainya merupakan tanda betapa tajam pandangan
dan luas pengetahuan Beng Tek Cu, namun sebaliknya kalau orang sampai tidak mengenal tokoh Bu-tong-pai,
hal itu boleh dikatakan keterlaluan dan sangat picik pengetahuannya.
"Dua nol..." kata pula Beng San, tapi sebelum Kwa Hong sempat bicara, pemuda ini telah pergi untuk
membantu para tosu mengisi lagi arak bagi para tamu.
Sementara itu, Ang Kim Seng berusaha menyembunyikan perasaan malunya.
"Ahh, kiranya orang Bu-tong-pai..." Sambil berkata demikian, dia pun duduk kembali dan mengajak Giam Kin
bercakap-cakap. Sikapnya ini jelas sekali hendak membalas, seakan kelihatan memandang rendah kepada
Bu-tong-pai.
Beng Tek Cu tentu saja merasai ini. Mukanya sudah merah, hatinya sudah panas, akan tetapi oleh karena
tiada alasan, maka dia pun tidak dapat berbuat apa-apa. Ketegangan antara dua orang ini makin terasa, dan
semua orang tahu bahwa apa bila ada sedikit saja dasar dan alasannya, tentu kedua orang ini akan saling
tantang.
Pada saat itu, ketegangan yang ditimbulkan oleh tokoh Bu-eng-pai dan Bu-tong-pai ini seketika lenyap dengan
masuknya seorang gadis berpakaian serba hijau yang cantik dan gagah. Dara ini masih remaja sekali,
memakai pakaian serba hijau yang amat sederhana potongannya tetapi ringkas. Gagang pedang tersembul di
balik punggungnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia memasuki ruangan itu seorang diri saja dan inilah yang menarik perhatian orang, terutama sekali perhatian
para tamu muda. Tanpa menoleh ke kanan kiri gadis itu segera menghampiri Lian Bu Tojin dan memberi
hormat dengan sopan.
"Totiang yang mulia, teecu mewakili suhu Swi Lek Hosiang mengucapkan selamat kepada Hoa-san-pai dan
menyampaikan tanda mata ini."
Ternyata gadis itu membawa barang sumbangan berupa sebuah mainan burung dara yang terbuat dari perak
dan diukir indah sekali, bermata kumala.
Lian Bu Tojin tersenyum lebar, nampak gembira sekali dan menerima benda sumbangan itu. "Ha-ha-ha, benarbenar
pinto yang sudah tua ini menerima penghormatan besar yang sangat membanggakan hati. Thai-lek-sin
Swi Lek Hosiang sampai sudi mengingat hari ulang tahun Hoa-san-pai, benar-benar menggirangkan sekali.
Terima kasih, anak yang baik. Berbahagialah Swi Lek Hosiang mempunyai murid seperti engkau. Hong Hong
dan Bwee-ji, ajak nona ini duduk bersama."
Sebagai murid Swi Lek Hosiang, kiranya sudah sepantasnya kalau nona ini diberi tempat duduk pada bagian
tamu kehormatan. Tetapi Lian Bu Tojin melihat betapa tak pantasnya kalau nona muda jelita ini harus duduk
dalam satu ruangan dengan orang-orang laki-laki, terutama di situ terdapat Giam Kin.
Oleh karena inilah maka dia sengaja menyuruh Kwa Hong dan Thio Bwee mengajak nona itu duduk bersama.
Dengan demikian dia dapat menjaga nama besar Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang, dan di samping itu dapat pula
menjaga nona muda ini dari pandang mata atau ucapan yang kasar dan mengandung kekurang ajaran. Diamdiam
kakek ini sudah dapat menilai watak dari orang muda semacam Giam Kin.
Kwa Hong dan Thio Bwee sudah pernah mendengar nama besar Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang, maka
sekarang bertemu dengan muridnya yang begini cantik dan sebaya dengan mereka, tentu saja mereka dapat
menerimanya dengan girang dan sebentar saja tiga orang nona ini bercakap-cakap dengan ramah dan akrab.
Hanya menjadi keheranan hati dua orang nona Hoa-san-pai itu ketika melihat betapa nona berbaju hijau ini
sering kali memandang ke arah para tamu. Sinar matanya menyambar-nyambar penuh selidik, seakan-akan
dia sedang mencari seseorang di antara para tamu.
Mendadak terdengar teriakan tosu penjaga pintu gerbang depan.
“Pek Gan Siansu dari Kun-lun-pai datang...!"
Serentak suara berisik dari para tamu terhenti. Muka-muka menjadi tegang, mata menatap keluar penuh
perhatian, dada berdebar-debar. Terutama sekali murid-murid Hoa-san-pai, mereka siap untuk menghadapi
segala kemungkinan. Mereka mengira bahwa tentu Pek Gan Siansu, ketua Kun-lun-pai ini datang dengan
membawa banyak anak muridnya dari Kun-lun-pai.
Akan tetapi mereka semua itu kecele ketika melihat bahwa yang muncul hanya seorang kakek tua sekali,
usianya hampir delapan puluh tahun, jenggotnya putih panjang sampai ke perut, sepasang matanya juga
kelihatan putihnya saja seperti mata yang sudah lamur. Tubuhnya tinggi kurus, mulutnya tersungging
senyuman ramah dan tenang, dan tangan kanannya membawa sebatang tongkat bambu yang panjang.
Di belakangnya, sambil menundukkah mukanya, berjalan seorang pemuda bertubuh tinggi tegap, bermuka
tampan gagah. Usia pemuda ini takkan lebih dari dua puluh empat tahun. la berjalan di belakang kakek itu
membawa sebatang pedang yang diletakkan di atas kedua lengannya yang ditelentangkan, seperti orang
membawa baki. Pada pinggangnya sendiri tergantung pula sebatang pedang.
Dapat diduga bahwa pedang yang dibawanya itu tentulah pedang pusaka Kun-lun-pai, dan agaknya kakek tua
itu sudah menyuruh pemuda ini sebagai tukang membawanya.
Dengan sikap yang amat manis, Pek Gan Siansu berjalan memasuki ruangan itu. Dia mengangguk ke kanan
kiri kepada tokoh-tokoh yang dia kenal, kemudian dengan langkah halus dia terus masuk menghampiri Lian Bu
dunia-kangouw.blogspot.com
Tojin yang siang-siang sudah berdiri dari tempat duduknya, berdiri tegak menyambut, sikapnya halus wajahnya
berseri ramah akan tetapi sepasang matanya memandang penuh keangkeran seorang ketua partai besar.
"Pek Gan Siansu, selamat datang di Hoa-san-pai. Kedatanganmu ini benar-benar sangat melegakan hati
pinto," kata Lian Bu Tojin sambil mengangkat kedua tangan ke dada dan membungkuk.
"Ahh, kau baik sekali, Lian Bu toyu," berkata kakek tua itu sambil tersenyum dan balas memberi hormat. "Tidak
hanya engkau, aku pun merasa lapang dadaku dapat bertemu muka dengan ketua Hoa-san-pai. Lebih dulu
perkenankanlah aku mengucapkan selamat kepada Hoa-san-pai."
"Terima kasih... terima kasih... dan silakan duduk, Siansu. Silakan duduk dan pengiringmu itu juga. Dan
suruhlah anak-anak muridmu masuk semua, pinto persilakan mereka duduk dan menerima jamuan sederhana
dan seadanya dari Hoa-san-pai."
Akan tetapi, meski pun masih tersenyum-senyum kakek Kun-lun-pai itu tidak mau duduk, tetap berdiri di situ.
Pemuda yang gagah tampan tadi masih berdiri pula di belakangnya, tunduk membawa pedang pusaka.
"Terima kasih, Lian Bu toyu. Aku datang hanya dengan muridku yang paling muda ini. Aku datang tidak
membawa maksud buruk, mengapa aku harus datang membawa anak-anak Kun-lun-pai? Lian Bu toyu, sudah
terlalu lama kau dan aku diam saja melihat kebodohan anak-anak kita. Kurasa sekaranglah saatnya kita harus
bertindak.”
Kembali suasana menjadi tegang. Orang-orang diam tak bergerak, tak bersuara. Semua perhatian dicurahkan
kepada dua orang kakek tua yang kini berdiri saling berhadapan itu. Lian Bu Tojin masih tersenyum, akan
tetapi keningnya bergerak-gerak.
"Pek Gan Siansu, tindakan apa gerangan yang hendak kau lakukan?"
Pek Gan Siansu menoleh ke kanan kiri, jenggotnya yang panjang itu bergerak-gerak.
"Toyu (sahabat dalam To), lajimnya urusan seperti yang hendak kubicarakan ini dilakukan di dalam sebuah
kamar tertutup atau di lingkungan keluarga saja. Akan tetapi melihat keadaan kedua partai kita yang selama ini
telah terjadi kesalah pahaman dan bentrokan-bentrokan, maka kurasa malah ada baiknya kalau pembicaraan
ini disaksikan oleh para orang gagah yang hadir di sini. Justru memerlukan saksi-saksi inilah maka aku
sengaja memilih hari baik ini."
"Katakanlah maksudmu, tentu pinto akan mendengarkan dengan penuh perhatian," Lian Bu Tojin berkata
ketika melihat kakek tua itu berhenti sejenak.
Pek Gan Siansu menarik napas panjang. "Lian Bu toyu, berpuluh tahun kau dan aku menjadi sahabat karib
sampai-sampai dahulu kita pernah mempererat hubungan dengan menjodohkan murid-murid kita satu dengan
yang lain."
"Celakanya, justru perjodohan itulah yang menyebabkan semua keributan," Lian Bu Tojin mencela sambil
menarik napas panjang penuh penyesalan.
"Segala sesuatu memang sudah ditentukan oleh Thian Yang Maha Kuasa," Pek Gan Siansu menghibur. "Akan
tetapi bagi orang-orang yang sudah banyak makan asam garam kehidupan seperti kita ini, kiranya
mengingatkan hal-hal lama bukanlah perbuatan yang benar. Lebih baik kita memandang ke depan dari pada
menengok ke belakang. Tidakkah kau pikir demikian juga, Toyu?”
Tiba-tiba tosu penjaga di pintu gerbang berkata keras.
"Souw-kongcu (tuan muda Souw) dan Tan-kongcu datang...!”
Lian Bu Tojin mengangkat muka memandang, juga semua tamu. Yang masuk adalah dua orang laki-laki muda
yang berpakaian indah dan bersikap gagah. Seorang di antaranya adalah Souw Kian Bi, Pangeran Mongol
dunia-kangouw.blogspot.com
yang pernah menggoda Liem Sian Hwa dahulu, kemudian menculik Thio Bwee dan Kwa Hong, kemudian
dapat membujuk Lian Bu Tojin memberikan janjinya untuk tidak membantu pemberontak Pek-lian-pai.
Hal ini telah dituturkan di bagian depan, yaitu terjadi hampir sepuluh tahun yang lalu. Biar pun semenjak itu
tidak ada lagi hubungan antara Hoa-san-pai dengan Pangeran Mongol ini, akan tetapi tidak mengherankan apa
bila Souw Kian Bi datang pula untuk menghadiri perayaan Hoa-san-pai.
Melihat orang yang dulu pernah menculiknya, Kwa Hong dan Thio Bwee menjadi merah mukanya, mereka
marah sekali. Juga Liem Sian Hwa memandang dengan sinar mata penuh kebencian.
Begitu masuk, Souw Kian Bi segera menujukan pandang matanya ke dalam, ke arah wanita-wanita cantik itu.
Mulutnya terus tersenyum-senyum dan matanya liar memandang. Tiba-tiba dia melihat gadis baju hijau yang
duduk bersama Kwa Hong dan Thio Bwee, dia nampak kaget lalu berseru gembira.
"Heeeee... Nona Thio Eng! Kau di sini juga...?"
Bagi orang-orang Hoa-san-pai, bukan hal aneh kalau Souw Kian Bi mengenal nona baju hijau yang sekarang
baru mereka ketahui bernama Thio Eng itu. Bukankah dahulu juga Souw Kian Bi berada di markas Mongol
bersama dengan Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang guru nona itu?
Thio Eng, nona baju hijau yang pernah kita kenal ketika ia bertemu dengan Beng San dan mengaku bernama
Eng, hanya mengangguk kaku ke arah Souw Kian Bi dan berkata, "Aku mewakili suhu."
"Ah, suhumu di mana sekarang? Bertahun-tahun hwesio tua itu tidak pernah muncul. Dan kau... hemmm,
sudah besar sekarang dan... cantik..."
Terdengar suara orang tertawa di sana-sini dan Souw Kian Bi menjadi merah mukanya, sadar dia bahwa di
depan banyak orang itu dia telah bersikap terlalu bebas dan mungkin agak ceriwis! Cepat-cepat dia menarik
tangan temannya untuk diajak menghampiri Lian Bu Tojin, menjura dan menghaturkan selamat.
Lian Bu Tojin mengucapkan terima kasih, lalu Kwa Tin Siong yang mempersilakan dua orang muda itu
mengambil tempat duduk. Karena maklum bahwa seakan-akan Souw Kian Bi mewakili Pemerintah Mongol,
maka Kwa Tin Siong memberinya tempat duduk yang selayaknya, yaitu di dekat ruangan tamu kehormatan.
Kwa Hong duduk di bangkunya dengan bengong. Sepasang matanya tiada henti menatap wajah pemuda yang
menjadi teman Souw Kian Bi. Orang itu benar-benar mirip Beng San, pikirnya terheran-heran.
Ingin ia bicarakan hal ini dengan Thio Bwee, akan tetapi ia melihat Thio Bwee memeluk lengan gadis baju hijau
sambil berkata.
"Ehhh, Cici Eng yang baik, ternyata kita masih satu keturunan! Jadi kau juga bernama keturunan Thio?"
Akan tetapi gadis berbaju hijau itu, Thio Eng, tidak menyambut sikap Thio Bwee dengan gembira, sebaliknya ia
hanya menundukkan muka dan mengerutkan kening.
"Enci Eng, siapakah ayahmu...?” Thio Bwee dalam kegembiraannya mendesak.
"Ayah... ayah sudah meninggal dunia, juga ibu, aku yatim piatu."
Thio Bwee terharu dan memeluk pinggang gadis itu. "Ah, kasihan kau, Enci Eng. Ayahku juga sudah
meninggal dunia, tapi ibuku masih ada, di Gi-nam...”
Kwa Hong yang tak jadi mengajak Thio Bwee bicara tentang orang muda teman Souw Kian Bi yang ia anggap
mirip Beng San, segera memutar leher mencari-cari Beng San dengan matanya. Tapi ke mana pun ia mencari
dengan pandang matanya, di situ tidak kelihatan adanya Beng San.
Ke manakah perginya pemuda ini? Memang Beng San pergi bersembunyi! Pemuda ini mengalami hal-hal yang
mengguncangkan hatinya. Pertama-tama melihat munculnya Thio Eng yang dia kenal sebagai nona Eng
dunia-kangouw.blogspot.com
berperahu, dia sudah cepat menyingkirkan diri agar jangan terlihat oleh nona itu. Pengalamannya dengan Thio
Eng membuat dia terharu dan juga merasa malu untuk bertemu muka di tempat umum seperti itu.
Kemudian munculnya Pek Gan Siansu dengan seorang pemuda yang membawa pedang pusaka, membuat
hatinya cukup merasakan ketegangan hebat. Inilah tugasnya dan inilah sebabnya mengapa dia datang ke
tempat ini. la harus menjaga agar Hoa-san-pai jangan sampai bentrok lebih hebat dengan Kun-lun-pai, dan ini
pula sebabnya kenapa pemimpin para pemberontak, Ciu Goan Ciang, menitipkan dua pucuk surat untuk
masing-masing ketua partai, untuk mendamaikan.
Sekarang kedua orang ketua itu telah saling berhadapan, kata-kata mereka sudah mulai menyinggungnyinggung
persoalan. Beng San biar pun menyembunyikan diri di belakang orang-orang lain, dia memasang
telinga mendengarkan penuh perhatian dan siap untuk bertindak sebagai penengah apa bila keadaan menjadi
panas. Kemudian muncullah Souw Kian Bi itu.
Hatinya ikut panas melihat Souw Kian Bi yang sudah pernah dikenalnya, dan melihat sikap yang kurang ajar
dari laki-laki ceriwis dan mata keranjang ini. Akan tetapi segera jantungnya serasa berhenti berdetak ketika dia
melihat orang muda yang menjadi teman Souw Kian Bi. la menggosok-gosok kedua matanya dan wajahnya
perlahan-lahan menjadi pucat dan tentu akan berubah hijau sekali kalau saja dia tidak lekas-lekas
mengerahkan tenaga dalamnya untuk melawan hawa yang menjalar ke mukanya.
"Ya Tuhan...," bisiknya dalam batin.
Tak salahkah ingatannya! Itulah wajah Kui-ko (kakak Kui), wajah Tan Beng Kui kakaknya, kakak
kandungnya...! Dan tadi tosu penyambut juga meneriakkan nama Tan-kongcu untuk orang itu. Betulkah? Beng
San menjadi pusing.
Wajah kakaknya ini sering kali terbayang di otaknya semenjak dia dilemparkan ke sungai oleh Song-bun-kwi
dahulu itu. Meski pun dia mengenal wajah kakaknya ketika dia masih kecil, namun wajah orang muda yang
sekarang duduk dengan anteng di kursi itu tak salah lagi. Tetapi benarkah? Bagaimana kalau dia keliru? Bukan
tidak mungkin ada orang lain ber-she Tan yang wajahnya ada persamaan dengan wajah kakaknya!
Setelah gangguan kecil ini mereda, yaitu kedatangan Souw Kian Bi bersama temannya, perhatian semua
orang dialihkan kembali pada dua orang ketua yang masih berdiri saling berhadapan itu. Memang Pek Gan
Siansu dan Lian Bu Tojin masih berdiri di tempat tadi.
Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa juga masih berdiri di belakang suhu-nya, sedangkan pemuda yang oleh
Pek Gan Siansu diaku sebagai muridnya termuda, juga masih berdiri di situ tak bergerak seperti patung. Wajah
yang tampan dari pemuda tinggi tegap ini malah agak pucat, matanya redup.
Agaknya Souw Kian Bi segera dapat merasakan ketegangan suasana ini, maka dia pun tidak banyak tingkah
lagi dan segera menujukan perhatiannya ke dalam.
Pek Gan Siansu mulai membuka mulut. "Lian Bu toyu, seperti kukatakan tadi, segala apa di dunia ini, betapa
pun hebat manusia berusaha, keputusannya diambil oleh Thian Yang Maha Kuasa. Buktinya, kau dan aku dua
orang tua telah berusaha untuk kebaikan, untuk eratnya hubungan antara kita dengan jalan menjodohkan
murid-murid kita. Akan tetapi apa dayanya, agaknya Thian menghendaki lain. Betapa pun juga, kita jangan
habis daya upaya, sahabatku. Oleh karena itu, kedatanganku ini selain memberi selamat atas ulang tahun
Hoa-san-pai, juga ingin aku mengajukan sebuah usul baik kepadamu demi untuk meredakan suasana panas
dan sekalian untuk menyambung kembali persahabatan yang hampir diputus oleh sepak terjang anak-anak
murid kita." Pek Gan Siansu berhenti dan mengambil napas panjang.
Lian Bu Tojin mengangguk-angguk. "Ucapan-ucapanmu dapat pinto terima. Akan tetapi tentang usul yang
hendak kau ajukan itu, hemmm... baiklah kita lihat-lihat dulu. Usul apakah gerangan itu, Siansu?"
Kakek Kun-lun-pai itu menengok ke arah pemuda yang membawa pedang pusaka, lalu dia tersenyum berkata,
"Lian Bu totiang, pemuda ini adalah muridku yang termuda, dia ini adalah anak tunggal dari mendiang muridku
Bun Si Teng...," kembali ia berhenti sebentar untuk mengumpulkan tenaga mengusir ingatan bahwa Bun Si
Teng muridnya itu tewas di tempat ini. "Dia ini adalah ahli warisku satu-satunya dan dia pula yang kuserahi
dunia-kangouw.blogspot.com
pedang pusaka Kun-lun-pai, kelak akan menggantikan kedudukanku. Muridku yang termuda ini bernama Bun
Lim Kwi, berusia dua puluh dua tahun. Lian Bu totiang, jika kau masih suka melihat mukaku, masih suka
mengingat perhubungan lama dan masih ada niat baik untuk menyambung kembali tali persahabatan, aku
datang untuk mengusulkan kepadamu agar diadakan pengikatan jodoh antara muridku ini dengan seorang di
antara cucu muridmu perempuan." Setelah berkata demikian, Pek Gan Siansu menengok ke arah Thio Bwee
dan Kwa Hong yang seketika menjadi pucat.
Hening di tempat itu. Semua orang memandang dengan hati tegang. Hebat sekali usul ini, sekaligus ketua
Kun-lun-pai itu seperti orang takluk dan menyerah kalah, mengulurkan jalan perdamaian.
Muka pemuda itu, Bun Lim Kwi, juga pucat sekali dan perlahan-lahan dua titik air mata mengalir keluar dari
kedua matanya yang dia meramkan. Memang hebat usul dari gurunya ini.
Bayangkan saja, Bun Lim Kwi adalah putera tunggal Bun Si Teng yang dahulu tewas di Hoa-san-pai dalam
pertandingan melawan Hoa-san Sie-eng! Dan dia, putera tunggalnya, kini hendak dijodohkan dengan anak dari
pembunuh ayahnya! Kedua tangannya yang memegang pedang pusaka tiba-tiba gemetar.
Semua ini terlihat oleh Beng San dari tempat sembunyinya. la sudah mendekat dan bukan main terharu
hatinya. Terngiang dalam telinganya pesan terakhir dari mendiang Bun Si Teng ketika hendak
menghembuskan nafas terakhir dahulu. Bagaimana kata-kata terakhir itu?
“... kau berjanjilah bahwa kelak kau akan mengamat-amati putera tunggalku, Bun Lim Kwi..."
Biar pun Beng San tak pernah mengeluarkan ucapan janji itu, akan tetapi di dalam hatinya dia tak pernah
melupakan kata-kata terakhir yang merupakan pesan itu. Dan sekarang dia melihat Bun Lim Kwi berdiri di
sana, di belakang Pek Gan Siansu sebagai murid kakek itu, sebagai ahli waris tunggal dari Kun-lun-pai! Dan
dia melihat Bun Lim Kwi hendak dijadikan alat pendamai antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai.
la merasakan betapa hebatnya keperihan hati pemuda tinggi tegap itu, disuruh mengawini anak musuh besar
yang telah membunuh ayahnya. Dan diam-diam simpati di hati Beng San tercurah kepada pemuda tinggi besar
itu, perasaan kasihan dan juga kagum. la melihat Bun Lim Kwi sebagai seorang pemuda yang amat berbakti
kepada guru, seorang pemuda yang baik dan juga dapat menahan hati. Terharulah dia melihat dua butir air
mata yang mengalir turun dari sepasang mata Bun Lim Kwi.
Wajah Lian Bu Tojin juga berubah Nampaknya kakek ini bimbang sekali, terpukul dan bingung oleh usul yang
tidak tersangka-sangka dari Pek Gan Siansu itu. Sampai lama kakek ini hanya memandang pada Pek Gan
Siansu yang masih berdiri tegak memegangi tongkat bambunya. Kemudian memandang pada Bun Lim Kwi
yang masih tunduk sambil memegangi pedang pusaka. Terharu juga hati Lian Bu Tojin.
Terang bahwa biar pun hatinya hancur, pemuda Kun-lun-pai itu tunduk akan keputusan gurunya, seorang
murid yang baik dan patuh. Akhirnya ketua Hoa-san-pai ini menengok ke arah murid-muridnya, kemudian
setelah melihat pandang mata keras bercahaya dari mata Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa, dia berkata
kepada Pek Gan Siansu.
"Hebat sekali usulmu itu, Siansu. Benar-benar pinto tidak pernah menyangkanya bahwa usaha untuk jalan
damai yang kau adakan sampai demikian jauhnya. Untuk maksud baik itu saja pinto sudah wajib
menghaturkan terima kasih kepadamu. Akan tetapi, urusan yang kau usulkan ini bukanlah urusan kecil, dan
sungguh pinto merasa ragu-ragu dan bahkan tidak berani memutuskannya. Ada banyak sahabat yang duduk
menjadi saksi di sini, dan kiranya sudah sepatutnya kalau kita minta nasihat dan pertimbangan mereka. Akan
tetapi tentu saja lebih dahulu aku harus minta pendapat kedua orang muridku, karena mereka adalah orangorang
yang secara langsung tersangkut dalam urusan pertentangan dengan pihakmu."
"Baiklah, Lian Bu toyu, kau bicarakanlah urusan ini, aku masih sabar menanti."
Kakek itu lalu melangkah mundur dua langkah dan berdiri bersandar pada tongkatnya. Bun Lim Kwi juga
melangkah mundur dan menggunakan kesempatan ini untuk mengusap dua titik air mata dari pipinya dengan
ujung lengan bajunya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tin Siong, Sian Hwa, bagaimana pendapat kalian?" Lian Bu Tojin bertanya kepada dua orang muridnya
dengan suara nyaring. Memang kakek ini sengaja hendak merundingkan usul ini secara terbuka sehingga
banyak saksi akan melihat bahwa Hoa-san-pai tidak sekali-kali mempunyai maksud buruk.
"Suhu, teecu dalam urusan besar ini hanya menyerahkan segala keputusan kepada Suhu. Hanya teecu
mengharap kelonggaran Suhu agar mengingat bahwa Hong-ji sudah teecu rencanakan mengenai calon
suaminya." Dengan ucapan ini secara halus Kwa Tin Siong tidak menyetujui kalau puteri tunggalnya yang akan
dijadikan pengikat antara dua partai itu dan menjadi jodoh putera Bun Si Teng!
"Suhu, teecu rasa amat tidak baik kalau mengulang kembali urusan busuk yang pernah menjadi sebab
penghinaan terhadap Hoa-san-pai kita. Apakah kita tidak kapok setelah apa yang terjadi dengan diri teecu?
Orang Kun-lun-pai tak dapat dipercaya. Siapa tahu kalau-kalau urusan perjodohan nanti hanya akan
menghancurkan penghidupan seorang murid lain dari Hoa-san-pai seperti yang telah teecu derita?" Sampai di
sini tak tertahan lagi air mata bercucuran dari mata Liem Sian Hwa.
Lian Bu Tojin menarik napas panjang. “Pek Gan Siansu, kau lihatlah, pinto tidak dapat memutuskan usulmu itu
begitu saja, pinto harus mendengarkan keterangan pihak lain." la menoleh ke arah Beng Tek Cu, "Beng Tek
Cu toyu, kau sebagai sahabat baikku, coba kau keluarkan pendapatmu tentang usul pihak Kun-lun-pai agar
hati pinto tidak bimbang ragu."
Beng Tek Cu, tosu tokoh Bu-tong-pai yang tinggi besar dan jujur ini segera bangkit berdiri lalu terdengar
suaranya yang keras dan parau.
"Pinto adalah orang luar, akan tetapi karena Lian Bu toyu sudah menaruh penghargaan terhadap pendapat
pinto, baiklah pinto mengeluarkan pendapat secara jujur dengan terus terang. Terserah kalau ada pihak yang
tidak setuju pendapat pinto ini, pokoknya bagi pinto, pendapat ini keluar dari hati yang jujur dan tidak berat
sebelah." Sampai di sini tosu tinggi besar ini melirik ke arah Ang Kim Seng dan Ang Kim Nio.
"Beng Tek Cu toyu, teruskanlah," Lian Bu Tojin mendesak.
“Pinto yang sudah mendengar seluruhnya tentang persoalan Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai dari Lian Bu toyu,
dapat menarik kesimpulan bahwa segala pokok pangkal persoalannya ini yang menjadi biang keladinya adalah
Kwee Sin. Sudah jelas bahwa dia bersekongkol dengan pihak Ngo-lian-kauw mengadakan kerusuhan,
membunuh orang tua Liem-lihiap dan karenanya dia menyeret Kun-lun-pai dalam permusuhan dengan pihak
Hoa-san-pai. Karena dia pulalah maka dua orang saudara Bun dari Kun-lun-pai sampai tewas dalam
pertandingan di Hoa-san, dan kemudian permusuhan menjadi berlarut-larut."
"Pertandingan apa?" tiba-tiba Liu Ta, jago Khong-tong-pai berdiri dan mencela, suaranya tinggi kecil tidak
sesuai dengan tubuhnya yang pendek gemuk. "Kedua Bun-enghiong itu datang berdua saja, mengantarkan
sute mereka Kwee Sin naik ke puncak. Naik berdua saja berarti mempunyai maksud baik, akan tetapi tahutahu
mereka terbunuh di sini. Aku heran, kalau tidak dikeroyok mana bisa dua orang gagah she Bun itu
tewas?"
"Liu-sicu," Lian Bu Tojin menegur, mendahului Beng Tek Cu yang sudah memandang dengan mata melotot.
"Pinto harap Liu-sicu sudi bersabar. Tentu saja sebagai tamu dan saksi, Sicu berhak mengukirkan pendapat,
akan tetapi tunggulah saat dan giliran."
Ucapan Lian Bu Tojin penuh kehalusan, akan tetapi di dalam kehalusan ini tersembunyi celaan dan kekerasan.
Semua ini dilakukan oleh ketua Hoa-san-pai, selain untuk menjaga keangkeran partainya, juga untuk
mencegah terjadinya bentrokan antara Beng Tek Cu dan Liu Ta. Liu Ta menjadi merah mukanya, mengangguk
dan duduk kembali.
Beng Tek Cu juga merah mukanya dan melanjutkan, "Tadi sudah pinto katakan, pendapat pinto keluar dari hati
yang jujur, tak peduli diterima atau tidak oleh yang mendengarkan. Pinto ulangi lagi, pokok pangkal urusan
permusuhan ini terjadi karena gara-gara Kwee Sin. Menurut Lian Bu totiang, pada saat itu Kwee Sin ditolong
dan dilarikan oleh Hek-hwa Kui-bo, guru dari ketua Ngo-lian-kauw. Dari sini saja sudah terbukti bahwa lagi-lagi
Kwee Sin yang bersekongkol dengan pihak Ngo-lian-kauw dan akhir-akhir ini kita semua bahkan sudah
mendengar sepak terjangnya membantu Ngo-lian-kauw. Oleh karena itu, menurut pendapat pinto begini, usul
dunia-kangouw.blogspot.com
Pek Gan Siansu untuk mengakhiri permusuhan dengan ikatan jodoh antara murid Kun-lun-pai dan murid Hoasan-
pai adalah usul yang amat sempurna dan boleh dipuji dan dihormati. Akan tetapi sudah tentu saja luka di
hati pihak Hoa-san-pai takkan terobati kalau di samping usul baik ini pihak Kun-lun-pai tidak mengambil
tindakan yang tegas terhadap bekas anak muridnya, Kwee Sin. Maka sebaiknya pihak Hoa-san-pai memberi
syarat bahwa Kwee Sin harus dapat diantar ke Hoa-san-pai oleh pihak Kun-lun mati atau hidup, dan setelah itu
barulah diadakan perundingan tentang ikatan jodoh. Nah, pinto sudah bicara, terserahlah!" la duduk kembali
sambil menghapus keringatnya dengan ujung lengan baju.
Liu Ta meloncat berdiri, memandang kepada Pek Gan Siansu. "Siansu, harap kau orang tua izinkan saya
bicara untuk membersihkan nama baik Kun-lun yang dicoreng hitam oleh orang sombong!"
Pek Gan Siansu sejak tadi sudah menjadi muram wajahnya. Hatinya kecewa bukan main bahwa maksud
baiknya ternyata tidak mendapatkan sambutan yang baik pula. Ia sudah ribut lebih dulu di Kun-lun dengan
muridnya Bun Lim Kwi sebelum datang ke Hoa-san. la sudah menggunakan banyak kata-kata bujukan supaya
Lim Kwi mentaati kehendaknya dan mau dijodohkan dengan salah satu anak murid Hoa-san-pai demi untuk
memperbaiki dan melenyapkan ketegangan.
Ketua Kun-lun-pai ini maklum, alangkah beratnya hal ini bagi Lim Kwi. Akan tetapi karena ketaatan dan
kebaktiannya, pemuda itu akhirnya tunduk. Tetapi siapa kira di sini kembali dia menghadapi pertentanganpertentangan
yang agaknya akan berakibat tidak baik.
Sekarang melihat pihaknya dibantu orang, tentu saja dia hanya dapat mengangguk sambil berkata, "Boleh
saja, Liu-enghiong, hanya kuharap kau tetap tak melupakan maksud baik yang kubawa jauh-jauh dari Kun-lun."
"Lian Bu totiang," kata tokoh Khong-tong ini sambil menjura kepada ketua Hoa-san-pai. "Harap saja Totiang
tidak mendengarkan omongan mereka yang memanaskan suasana. Pek Gan Siansu sudah datang membawa
maksud yang amat mulia dan sikap yang sudah amat mengalah. Jika hendak bicara tentang pokok pangkal
pertentangan, aku sama sekali tidak setuju bila dalam hal ini Kun-lun-pai dipersalahkan. Boleh orang
menyalahkan Kwee Sin, namun harus diingat bahwa Kwee Sin sudah tidak diakui sebagai murid Kun-lun-pai
lagi oleh ketuanya. Jika diingat lagi tentang soal sakit hati, mana yang lebih sakit hatinya? Dua orang murid
Kun-lun-pai terang-terangan telah terbunuh di Hoa-san oleh murid-murid Hoa-san-pai. Sedangkan pihak Hoasan-
pai yang tewas, apakah ada yang terbunuh oleh Kun-lun-pai? Semua ini adalah gara-gara satu orang saja,
Kwee Sin yang bukan orang Kun-lun-pai lagi. Maka, menurut pendapatku usul yang amat mulia dari Pek Gan
Siansu ini sudah sewajarnya jika diterima oleh Totiang sehingga permusuhan berakhir sampai di sini saja."
Ang Kim Seng yang memang sudah tak senang kepada Beng Tek Cu, lalu menyambung omongan Liu Ta
dengan suara keras.
"Sudah terang musuh besar Hoa-san-pai bukanlah Kun-lun-pai, melainkan Kwee Sin dan Ngo-lian-kauw.
Mengapa pihak Hoa-san-pai tidak pergi menangkap sendiri Kwee Sin dan memusuhi Ngo-lian-kauw? Apakah
takut karena di sana ada Hek-hwa Kui-bo?” Ia tertawa mengejek sambil melirik ke arah Beng Tek Cu.
Beng Tek Cu adalah seorang tosu, artinya seorang yang memeluk Agama To. Akan tetapi dasar dia berwatak
keras, jujur dan galak, maka mendengar omongan ini dia pun serentak bangun berdiri dan berkata.
"Siapa bicara tentang takut dan berani? Jika mengira Hoa-san-pai takut, bisa dia buktikan, tak usah Hoa-sanpai,
pinto saja juga tidak mengenal takut! Kita berunding tentang cengli (peraturan), bukan mau menang sendiri
apa lagi mengadu-adu golongan. Terang sudah bahwa Kwee Sin adalah orang termuda dari Kun-lun Samhengte,
jadi terang dia murid Kun-lun-pai. Kalau dia melakukan kejahatan, biar pun dia dinyatakan bukan murid
Kun-lun lagi, namun sudah sewajarnya kalau Kun-lun-pai bertanggung jawab dan menghukumnya. Ataukah
barang kali Kun-lun-pai memang diam saja kalau namanya dirusak oleh seorang anak muridnya yang
menyeleweng? Hemmm, kami dari Bu-tong-pai memiliki satu aturan khusus, yaitu bila ada seorang anak murid
yang menyeleweng dan melakukan kejahatan menodai nama baik Bu-tong-pai, tidak boleh ada orang lain yang
bertindak, kami sendiri dari pihak pimpinan akan menghukumnya!"
"Bu-tong-pai mana bisa disejajarkan dengan Kun-lun-pai?!" bentak Liu Ta sambil bangkit berdiri, matanya
membelalak.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Memang tidak bisa, apa lagi kalau dibandingkan dengan Khong-tong-pai dan Bu-eng-pai. Kami dari Bu-tongpai
menang jauh dalam hal memegang peraturan!" Beng Tek Cu ganti membentak sambil membusungkan
dada, menantang.
"Beng Tek Cu manusia sombong! Kau-kira aku takut kepada Bu-tong-pai?” bentak Liu Ta sambil melangkah
maju.
"Jagoan Khong-tong-pai adalah tukang pukul, mana kenal takut? Baru takut kalau sudah kalah!" Beng Tek Cu
mengejek.
"Wakil Bu-tong-pai sombong! Hal ini lebih baik diselesaikan di ujung pedang!" Ang Kim Seng dan Ang Kim Nio
berteriak sambil berdiri dan meraba gagang pedangnya.
Keadaan sudah menjadi tegang sekali. Bahkan kini para pengikut masing-masing pihak sudah siap untuk
bertempur begitu mendapat perintah pimpinan masing-masing.
Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin memandang penuh kekhawatiran. Di lubuk hati kedua orang kakek ini
sebetulnya sama sekali tidak menghendaki permusuhan yang makin hebat dan berlarut-larut. Mereka adalah
orang-orang yang selain memiliki ilmu silat tinggi, juga memiliki ilmu batin yang kuat, maka tentu saja lebih luas
pandangan dan tidak menyukai digunakannya kekerasan, apa lagi sampai menyangkut dan menyeret
golongan-golongan lain.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa keras sekali. Yang tertawa ini adalah Giam Kin. Pemuda ini sudah berdiri,
ular yang tadi didudukinya sekarang merayap naik dan melingkar-lingkar di tubuhnya.
"Ha-ha-ha-ha, memang seharusnya begitu! Belum pernah aku melihat partai persilatan mengadakan perayaan
tanpa pertunjukan silat! Lian Bu totiang dan Pek Gan Siansu! Kita adalah laki-laki gagah, tidak seperti
perempuan, tidak pandai banyak bicara, lebih pandai mempergunakan kepalan dan pedang. Ada urusan?
Tidak perlu bicara bertele-tele, tarik pedang gunakan kepalan mencari keputusan siapa yang menang siapa
yang kalah. Yang menang dialah yang benar, yang kalah tentu saja salah! Ha-ha-ha!"
Souw Kian Bi, Pangeran Mongol yang pesolek tampan itu juga berdiri dan bertepuk-tepuk tangan. "Tepat
sekali! Ucapan Giam-taihiap adalah ucapan seorang jantan. Memang lebih baik diadakan pertandingan,
ruangan cukup lebar! Semua dibagi menjadi dua golongan, pihak Hoa-san-pai dan pihak Kun-lun-pai. Masingmasing
mengeluarkan seorang jagonya secara bergiliran, lalu diadakan pertandingan. Yang kalah harus
mengakui kesalahannya. Bukankah ini tepat sekali bagi kita orang-orang yang biasa membawa pedang?"
Sebagian besar orang-orang muda yang hadir di situ menjadi gembira. Tentu saja mereka setuju jika diadakan
pibu (adu kepandaian), maka dari sana-sini terdengar sorakan tanda setuju. Bagi orang-orang yang sudah
biasa bermain pedang untuk menyelesaikan sesuatu urusan, tentu saja mereka tidak suka mendengarkan
banyak kata-kata yang muluk-muluk. Apa lagi di waktu keadaan negara sekacau itu, di mana hukum seakanakan
tidak berlaku lagi dan hukum yang mereka kenal hanyalah siapa menang dia benar, dan siapa kalah dia
salah. Hukum rimba selalu berkuasa di dalam kekacauan.
Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin menjadi serba salah. Mereka juga adalah ketua-ketua dari partai persilatan
yang besar. Tentu saja mereka pun sukar untuk melangkah mundur, sulit untuk menyatakan sikap ragu-ragu
menghadapi perlombaan adu kepandaian. Dalam dunia kang-ouw sudah jelas bahwa siapa mundur dalam
menghadapi pibu, dia dianggap takut dan pengecut!
Apa lagi sekarang Thio Ki beserta Kui Lok sudah melompat maju dengan tangan meraba gagang pedang,
keduanya berlomba berkata, "Akulah jago pertama yang maju membela nama baik Hoa-sanpai!"
Dan Bun Lim Kwi yang tadinya bermuka muram, sekarang nampak berseri-seri mukanya. Matanya yang lebar
itu bersinar-sinar. Ia memandang kepada suhu-nya dengan pandang mata penuh permohonan agar diberi ijin
untuk mempertahankan nama baik Kun-lun-pai. Agaknya pertandingan sebagai gantinya perjodohan untuk
menyelesaikan perkara itu tak dapat dihindarkan lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba seorang pemuda berlari-lari keluar dari kelompok pengikut yang berada paling belakang. Pemuda ini
bukan lain adalah Beng San. Melihat keadaan sudah begitu gawat, pemuda ini tak dapat menyembunyikan
dirinya lagi.
Ia tidak peduli akan pandangan orang banyak kepadanya, juga dia menahan hatinya agar tidak menengok ke
arah dua orang yang pada saat itu mengeluarkan seruan heran. Yang seorang adalah Thio Eng.
Begitu gadis berbaju hijau ini melihat Beng San berlari-lari menghampiri dua orang ketua yang sedang
bersitegang, gadis ini berseru. "Saudara Tan...”
Dia dapat segera menahan keheranannya dan tidak melanjutkan kata-katanya. Dia hanya memandang dengan
mata terbuka lebar ke arah Beng San yang dengan tersaruk-saruk berlari mendekati dua orang kakek ketua
itu.
Orang ke dua yang berseru heran tertahan adalah pemuda teman Souw Kian Bi. Pemuda ini sampai bangkit
dari bangkunya ketika memandang Beng San. Tentu saja perbuatan dua orang ini tidak menyolok benar sebab
pada saat itu semua tamu juga memperhatikan Beng San, apa lagi setelah pemuda ini berteriak-teriak.
"Ji-wi Locianpwe (kedua orang tua gagah), harap tahan dulu! Saya mempunyai dua benda untuk diberikan
kepada Ji-wi!" Beng San yang masih ingin menyembunyikan kepandaian dirinya sengaja lari tersaruk-saruk
dan terengah-engah.
Pek Gan Siansu memandang heran, dan Lian Bu Tojin tersenyum, lalu berkata halus.
"Beng San, kau hendak memberi apakah kepada kami?"
Sementara itu, para tamu sudah saling pandang dan saling bertanya. Siapakah pemuda yang berpakaian
sastrawan itu? Apa maunya bocah ketolol-tololan itu?
Beng San dengan gugup merogoh-rogoh saku dalam bajunya dan mengeluarkan dua lipat kertas. Pemuda ini
cukup cerdik untuk tidak mau menyebut-nyebut nama Ciu Goan Ciang. Ia maklum bahwa di situ banyak matamata
pemerintah dan dia ingat pula bahwa Souw Kian Bi adalah seorang Pangeran Mongol, maka katanya.
"Ji-wi Locianpwe, pada saat saya hendak naik ke Hoa-san, di tengah jalan saya dititipi dua pucuk surat ini
untuk Ji-wi dari seorang gagah. Pesannya agar supaya saya memberikan surat ini kepada Ji-wi untuk
mencegah terjadinya pertempuran dan permusuhan. Silakan Jiwi menerima dan membacanya." Ia
menyerahkan sebuah surat kepada Lian Bu Tojin dan sebuah lagi kepada Pek Gan Siansu.
Tentu saja kedua orang tua itu menjadi heran sekali, akan tetapi dengan tenang mereka menerima surat-surat
itu. Bahkan Lian Bu Tojin sendiri juga amat terheran karena belum pernah Beng San menyebut-nyebut
mengenai dua surat ini. Wajah mereka yang tadinya terheran itu menjadi semakin heran dan berubah merah
ketika mereka sudah membuka lipatan surat-surat itu.
Pek Gan Siansu menujukan matanya yang putih itu kepada Beng San sambil berkata, “Orang muda, apa
maksudmu dengan kelakar ini?"
Juga Lian Bu Tojin menjadi heran sekali setelah membuka surat, malah segera menegur, "Beng San, mengapa
kau mempermainkan kami seperti ini? Katakanlah, apa maksudmu dengan main-main ini?"
Beng San terkejut sekali, lebih-lebih lagi kagetnya ketika dia melihat dua orang kakek itu membalik kertas surat
kepadanya dan setelah dia memandangnya, ternyata bahwa yang dipegang oleh kedua orang kakek itu adalah
sehelai kertas yang tidak ada tulisannya lagi! Pada kertas hanya ada bekas-bekas tulisan-tulisan yang sudah
tak dapat terbaca karena tulisan-tulisan tinta itu telah lenyap tersapu air menjadi sehelai kertas kosong!
Otaknya yang cerdik cepat bekerja dan tahulah dia sekarang bahwa ini adalah gara-gara pertemuannya
dengan gadis baju hijau! la pernah terjatuh ke dalam air dan tentu saja, ah, alangkah bodohnya, surat itu telah
basah oleh air dan tintanya tersapu hilang!
dunia-kangouw.blogspot.com
Jika orang lain yang berada dalam keadaan seperti Beng San, kiranya dia akan kehabisan akal dan menjadi
bingung sekali. Akan tetapi, tidak demikian dengan pemuda ini. Sedetik kemudian dia sudah dapat mengatasi
keadaannya dan dapat pula mencari akal. Melihat dua orang ketua itu memandangnya dengan penuh
penasaran dan pertanyaan, dia malah tertawa lebar.
"Ji-wi Locianpwe tentu menghendaki penjelasan, bukan?"
"Jelaskanlah maksudmu main-main ini!" Pek Gan Siansu menegur.
"Beng San, kau bicaralah," kata Lian Bu Tojin.
Kembali Beng San tertawa. "Ji-wi (kalian berdua) adalah ahli-ahli kebatinan, masa tidak tahu akan maksud
orang gagah yang memberi surat? Kertas itu kosong dan bersih? Apa yang lebih sempurna dari pada kosong
dan bersih? Kalau Ji-wi dapat mengosongkan hati dan membersihkan pikiran, kiranya segala keruwetan dunia
akan bisa dipecahkan dengan mudah. Bukankah Nabi Locu dan Nabi Khong-cu sama-sama menganjurkan
supaya kita dalam menghadapi segala hal dapat mengosongkan hati dan pikiran?"
Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin saling pandang, lalu mengangguk-angguk. Mata hati mereka kini seperti
terbuka. Memang tadi mereka terlalu menurutkan perasaan hati dan jalannya pikiran, maka hampir saja
keduanya tak dapat menguasai keadaan lagi.
Sekarang keduanya serentak mengangkat tangan ke arah pengikut dan pembela masing-masing sambil
berkata, "Biarkan orang muda ini bicara sampai habis!"
Perbuatan ini mereka lakukan karena di sana-sini terdengar suara ejekan serta celaan terhadap Beng San
yang dianggap sebagai orang gila.
Beng San menjadi lega. Langkah pertama sudah dia ambil dan agaknya telah berhasil pula. Kemudian dia
berkata lagi, suaranya lantang, "Ji-wi Locianpwe, terima kasih kalau jiwi sudi mendengarkan kata-kata saya
selanjutnya. Tetapi lebih dahulu saya peringatkan bahwa mungkin apa yang akan saya katakan ini tidak enak
didengarnya. Bukankah Nabi Lo-cu pernah bersabda demikian…” Setelah mengambil satu tarikan napas
panjang, Beng San mulai membacakan sabda yang dia maksudkan.
“Kata-kata jujur tak enak didengar,
kata-kata enak didengar tidak jujur.
Orang yang mengerti tidak mau cekcok,
yang suka cekcok tidak mengerti.
Orang yang tahu tidak sombong,
yang sombong tidaklah tahu.
Orang bijaksana tidak kikir,
Ia menyumbang sehabis-habisnya,
namun ia makin menjadi kaya.
la memberi sehabis-habisnya,
namun ia makin berlebihan.
Jalan yang ditempuh langit
selalu menguntungkan, tidak pernah merugikan.
Jalan yang ditempuh orang bijaksana selalu memberi,
tidak pernah merebut.”
Kembali dua orang kakek itu mengangguk-angguk dan Lian Bu Tojin sambil tersenyum berkata lirih, "Syair
dalam To-tek-keng bagian terakhir."
Beng San makin senang melihat bahwa Lian Bu Tojin sudah bisa tersenyum dan wajah Pek Gan Siansu
kembali sabar seperti tadi.
"Ji-wi Locianpwe hampir saja lupa akan sifat-sifat kebajikan dan hampir saja membiarkan terjadinya kekerasan
yang nantinya amat patut disayangkan. Bukankah Nabi Locu pernah pula mencela kekerasan?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan suara lantang kembali Beng San membacakan ujar-ujar dari kitab To-tek-keng.
“Di waktu hidup, manusia lemah dan lemas,
kalau mati menjadi kaku dan keras.
Segala benda hidup di waktu tumbuh lemah dan lemas
kalau mati menjadi kering dan getas (mudah patah)
Maka dari itu,
KAKU KERAS adalah teman kematian,
LEMAH LEMAS adalah teman kehidupan.
Inilah sebabnya maka senjata keras mudah menjadi rusak
Pohon kayu keras mudah menjadi tumbang dan patah.
Oleh karena itu,
Yang kuat keras akan tumbang menduduki tempat bawah,
yang lemah dan lemas akan terus bersemi di tempat yang atas.”
Dua orang kakek itu kembali saling panjang dan mengangguk-angguk. Memang semua ujar-ujar To-tek-keng
yang diucapkan Beng San untuk mengingatkan mereka ini sangat cocok dengan isi hati mereka tadi sebelum
mereka dibikin panas oleh orang-orang yang lebih muda.
"Heee! Apakah kita ini disuruh mendengarkan bualan penjual obat?" seorang muda yang duduk di belakang,
yang tadi sudah ‘panas’ sekarang berteriak mengejek.
“Kita semua mau dijadikan banci-banci yang tidak memiliki kejantanan!" Giam Kin tertawa menghina. "Urusan
hendak dibicarakan melalui segala macam syair busuk oleh seorang sastrawan jembel. Apakah kedua pihak
sudah tidak punya nyali lagi untuk mengandalkan kepandaian sendiri?"
"Ha-ha-ha! Betul itu." Souw Kian Bi menambah minyak ke dalam api. "Aku tidak mengerti yang manakah yang
sebetulnya tidak berani, Kun-lun-pai ataukah Hoa-san-pai?"
Mendengar suara-suara mengejek ini, habis sudah kesabaran Kiam-eng-cu Liem Sian Hwa. Kebencian nona
ini terhadap Kun-lun-pai memang sudah amat mendalam. Hal ini tidak aneh karena nona ini merasa sakit hati
sekali kepada bekas tunangannya, Kwee Sin yang dianggapnya sudah membunuh ayahnya, kemudian malah
membunuh dua orang suheng-nya, Thio Wan It dan Kui Keng.
Tadi pun dia sudah kurang sabar melihat gurunya hendak berunding secara damai. Kini dengan api dan
minyak yang dinyalakan oleh Giam Kin dan Souw Kian Bi melalui mulut mereka yang berbisa, nona jagoan
Hoa-san-pai ini telah meloncat maju sambil mencabut pedang.
"Keparat Souw Kian Bi! Siapa yang takut? Hoa-san-pai tidak pernah takut, meski harus menghadapi seorang
manusia macammu sekali pun!" Nona ini memang juga amat benci kepada Souw Kian Bi yang pernah
menghinanya dahulu.
Souw Kian Bi tersenyum-senyum sedangkan para tamu lain berdebar tegang dan tambah gembira. Pangeran
Mongol ini menggerakkan pundaknya.
"Nona manis, kita semua sekarang sedang mengurus persoalan antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai,
mengapa kau memilih aku untuk ditantang? Kalau kau tidak berani terhadap Kun-lun-pai, jangan mencari
musuh lain. Ha-ha-ha!"
"Setan busuk, siapa takut? Boleh orang-orang Kun-lun-pai maju, aku Kiam-eng-cu Liem Sian Hwa takkan
mundur setapak!" Sepasang pedangnya sudah siap di kedua tangan dan mukanya yang cantik itu menjadi
merah, matanya berapi-api.
Beng San melototkan matanya ke arah Giam Kin dan Souw Kian Bi. Hatinya ingin sekali memberi hajaran
kepada dua orang itu, akan tetapi dia menenangkan hatinya, lalu berkata lagi keras-keras.
"Ji-wi Locianpwe, harap suka mendengarkan kata-kataku sampai habis!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin memang amat tertarik oleh ucapan Beng San tadi, maka mereka segera
memberi tanda dengan tangan, mencegah orang-orang itu supaya tidak ribut sendiri.
Lian Bu Tojin bahkan membentak Sian Hwa, "Sian Hwa kau duduklah kembali, jangan lancang mendahului
pinto!"
Keadaan menjadi tenang kembali dan Beng San melanjutkan kata-katanya dengan suara nyaring.
"Ji-wi Locianpwe sebagai dua ciangbunjin (ketua) partai besar, hendaknya bertindak wajar dan sesuai dengan
ujar-ujar yang mulia itu. Urusan antara kedua partai Ji-wi seyogianya diurus mempergunakan kelemasan, yaitu
dengan secara damai dan mengusut keadaan yang sebenarnya. Asal sudah didapatkan siapa ‘salah’,
kemudian yang salah mengakui kesalahannya, bukankah semua masalah akan menjadi beres? Pembunuhan
tidak dapat diselesaikan dengan pembunuhan lain lagi, karena hal itu akan menjadi makin berlarut, dendam
dan sakit hati akan bertumpuk-tumpuk tiada habisnya."
Kembali kedua orang kakek itu mengangguk-angguk dan semua tamu sekarang mulai memperhatikan Beng
San. Siapakah pemuda ini? Aneh dan berani sekali sungguh pun kelihatan tidak memiliki kepandaian silat
sama sekali.
"Tadi ada beberapa orang saudara yang menyinggung-nyinggung bahwa biang keladi dari pokok persoalan ini
adalah Kwee Sin orang termuda dari Kun-lun Sam-hengte. Pendapat itu keliru! Pek-lek-jiu Kwee Sin memang
mempunyai kelemahan dan kesalahan, namun bukanlah dia yang melakukan pembunuhan terhadap ayah
Liem-lihiap!"
Kembali suasana menjadi ramai. Akan tetapi dengan isyarat tangan, kedua orang ketua partai itu dapat
menenteramkan suasana.
"Baik Kun-lun-pai mau pun Hoa-san-pai adalah partai-partai yang terkena fitnah jahat dan yang menyebar
fitnah ini memang sengaja melakukan hal ini untuk mengadu domba antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai.
Mengapa demikian? Tentunya mudah sekali diduga. Ada orang-orang atau pihak tertentu yang tidak ingin
melihat dua partai besar ini bersatu dan umumnya mereka pun tidak ingin melihat rakyat bersatu padu, lebih
senang melihat perpecahan-perpecahan di mana-mana. Orang gagah yang menitipkan surat kepadaku
berkata bahwa apa bila Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai dapat membuang perasaan mau menang sendiri dan
mau bersatu, maka dua partai itu akan merupakan kekuatan yang maha hebat dan dapat dipergunakan untuk
menolong negara dan rakyat. Ji-wi Locianpwe, sekarang rakyat sedang menderita, negara sedang kacaubalau,
pergerakan patriotik kini bangkit di mana-mana, orang-orang gagah tidak ada yang ketinggalan untuk
menanam sahamnya dalam perjuangan, untuk menyumbangkan setitik keringat, setetes darah, kalau perlu
bahkan selembar nyawanya untuk tanah air. Masa dalam waktu seperti ini, Ji-wi Locianpwe hendak membawa
anak murid masing-masing untuk saling gempur dan saling bermusuhan? Di manakah letaknya jiwa ksatria Jiwi
Locianpwe? Di manakah letak jiwa patriotik jika Ji-wi (kalian) yang mengaku pendekar-pendekar bangsa
tidak turut berusaha membela tanah air sebaliknya malah saling gempur dan saling bunuh? Semestinya Ji-wi
malah bekerja sama membangun dan menghalau musuh, ehh, siapa kira, tanpa disadari Ji-wi malah bekerja
sama untuk merusak dan tanpa disadari pula malah membantu musuh rakyat dengan jalan mentaati kehendak
mereka. Ya, memang kehendak merekalah agar supaya kita saling hantam dan karenanya kita menjadi lemah
sehingga kelak mereka mudah menguasai kita!"
Kini ramailah lagi para tamu. Giam Kin, Souw Kian Bi dan temannya yang semenjak tadi memandang Beng
San, bangkit berdiri, muka mereka sebentar merah sebentar pucat. Inilah kata-kata berbahaya sekali, kata-kata
seorang pemberontak terhadap pemerintah Mongol!
"Ketahuilah, Ji-wi Locianpwe," Beng San bicara terus tanpa pedulikan sikap para tamu. "Ji-wi telah kena
dipermainkan oleh pihak Ngo-lian-kauw! Ngo-lian-kauw yang mengatur semua ini, yang menyamar sebagai
Pek-lian-pai dan yang mendorong Kwee Sin ke dalam jurang lumpur. Ngo-lian-kauw yang melakukan semua
pembunuhan sambil menyamar, jadi dalam hal ini, pihak Hoa-san-pai mau pun Kun-lun-pai tidak salah.
Seharusnya Ji-wi memusuhi Ngo-lian-kauw!"
Berubah air muka dua orang kakek itu. "Tapi..., tapi kenapa Kwee Sin tidak mau mengaku salah dan malah
pergi dengan orang-orang Ngo-lian-kauw? Kenapa pula dia melakukan semua itu? Beng San, apa bila kau
dunia-kangouw.blogspot.com
sedang berusaha membersihkan diri Kwee Sin, kau kurang berhasil," kata Lian Bu Tojin menggeleng kepala
dengan sangsi.
"Toyu, memang bekas muridku Kwee Sin itu menyeleweng, akan tetapi sekarang dia tidak kuanggap muridku
lagi. Andai kata kau suka mengulurkan tangan kepada Kun-lun-pai dan mengajak kami bersama kalian
menggempur Ngo-lian-kauw, percayalah, aku sendiri tidak akan ragu-ragu untuk menghancurkan kepala
manusia durhaka bernama Kwee Sin!” kata Pek Gan Siansu gemas.
"Baguslah kalau begitu." Lian Bu Tojin berseru girang. "Pek Gan Siansu, mendengarkan kesanggupanmu,
pinto nyatakan bahwa mulai sekarang Hoa-san-pai tidak menganggap Kun-lun-pai sebagai lawan, bahkan
sebagai kawan untuk bersama-sama membasmi kaum Ngo-lian-kauw yang jahat dan menangkap Kwee Sin!"
Orang-orang yang menyetujui dilakukan perdamaian antara dua partai ini bersorak girang, tetapi mereka yang
menghendaki perpecahan menjadi marah dan kecewa.
"Enak benar bocah ini!" Souw Kian Bi membentak marah. "Ji-wi ciangbunjin (dua ketua) dari Hoa-san-pai dan
Kun-lun-pai yang sudah tua-tua mengapa mudah saja ditipu dan dibohongi bocah seperti ini? Ji-wi harus ingat
bahwa bocah ini bukanlah apa-apa, kenapa percaya begitu saja? Enak benar dia kalau kelak ternyata bahwa
kata-katanya itu bohong semua, bukankah ji-wi akan ditertawai oleh seluruh kolong langit? Dua orang ketua
yang besar dan terkenal sudah diingusi oleh seorang bocah tak bernama. Apa lagi mendengar kata-katanya
bocah ini, sudah sepatutnya dia kutangkap atau kubunuh mampus. Dia patut kucurigai sebagai pemberontak!
Ji-wi Lo-cianpwe, saya tidak mau bertindak demikian di sini karena menghormatinya sebagai tamu Hoa-san
ciangbunjin. Akan tetapi, dia harus bisa membuktikan dulu omongannya. Dia harus bisa membuktikannya
dengan membawa Kwee Sin ke sini agar semua kata-katanya itu dapat dicocokkan dengan pengakuan Kwee
Sin. Bukankah ini adil namanya?"
Dalam kata-kata ini terkandung ancaman hebat. Memang, semua orang maklum bahwa Souw Kian Bi adalah
orang Mongol, maka dia itu berhak mengecap siapa saja menjadi pemberontak.
Dua orang kakek itu saling pandang, Pek Gan Siansu bertanya, "Orang muda, kau tadi bicara tentang orang
gagah yang menitipkan surat dan pesanan, siapakah dia itu?"
Beng San yang sudah merasa kepalang tanggung, tak dapat mundur kembali, menjawab dengan sejujurnya,
“beliau she Ciu."
Mendengar ini, dua orang kakek itu menjadi pucat mukanya. Mereka cepat membungkuk tanda menghormat.
Sebaliknya, Souw Kian Bi menyumpah-nyumpah dan berteriak, "Awaslah siapa saja yang merasa berdosa,
aku Souw Kian Bi sudah mendengar dan melihat semua. Hayo, saudara Tan, kita pergi!"
Beng San dengan berani memandang ke arah mereka, terutama sekali ke arah orang she Tan yang dia yakini
adalah kakak kandungnya, Tan Beng Kui itu. Akan tetapi, orang she Tan ini memandang kepadanya dengan
mata melotot, lalu membuang ludah dengan sikap menghina, mengebutkan lengan baju dan pergi mengikuti
Souw Kian Bi.
Para tamu yang merasa tidak setuju dengan omongan Beng San dan yang selama ini malah membantu
pemerintah Mongol menentang para pemberontak, memandang dengan sikap mengancam, malah ada yang
ikut meniru perbuatan Souw Kian Bi meninggalkan tempat itu tanpa pamit.
Pek Gan Siansu menarik napas panjang. "Saudara muda ini ternyata lebih gagah dan berani dari pada kita
orang-orang tua... ahh, Lian Bu toyu, aku benar merasa menyesal kalau kedatanganku ini hanya menjadi
pengganggu perayaan ulang tahunmu. Tentang usulku perjodohan tadi, biarlah sementara kutunda dulu, kelak
kalau kau merasa setuju, kau boleh memberi kabar. Tentang Kwee Sin, aku orang tua akan merasa berterima
kasih kalau saudara muda ini mampu membuktikan segala ucapannya dan mendatangkan Kwee Sin sebagai
saksi utama. Lim Kwi, hayo kita pergi!"
Bu Lim Kwi, pemuda gagah ini mengangguk. Tapi baru saja guru dan murid ini melangkah sejauh lima tindak,
tiba-tiba melayang bayangan hijau yang disusul bentakan nyaring.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Orang she Bun! Hutang nyawa bayar nyawa!"
Hebat sekali gerakan Bu Lim Kwi dan Beng San memandang kagum. Nampak pemuda ini seakan-akan tidak
menghiraukan bayangan hijau yang datang menyambar ke arahnya, akan tetapi tahu-tahu…
"Traanggg...!"
Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika pedang di tangan nona baju hijau terpental karena tangkisannya,
menggunakan pedang yang tadinya tergantung pada pinggangnya. Tangkisan ini dia lakukan dengan tangan
kanannya, sedangkan tangan kirinya tetap saja memondong pedang pusaka Kun-lun-pai!
Bentrokan pedang ini tidak berhenti sampai di situ saja karena wanita baju hijau itu, Thio Eng, sudah
melanjutkan serangannya bertubi-tubi secara hebat dan dahsyat sampai lima kali. Terdengar bunyi pedang
bertemu sampai lima kali dan pertemuan yang terakhir itu demikian kuatnya sehingga baik Thio Eng mau pun
Bun Lim Kwi terhuyung mundur! Semua ini berjalan dengan cepat sekali, hanya beberapa detik dan selama itu
Pek Gan Siansu menoleh pun tidak!
Melihat dua orang pemuda ini sudah terhuyung mundur, Beng San mendapat kesempatan bertindak tanpa
memperlihatkan kepandaiannya. la berlari-lari kemudian berdiri di tengah-tengah antara mereka.
"Eng-moi (adik Eng)... tahan pedang."
"Tan-ko (kakak Tan), kau minggirlah dan jangan turut campur, ini urusan sakit hati yang terpendam bertahuntahun
lamanya!" Wajah Thio Eng masih beringas bibirnya digigit dan matanya bersinar-sinar mengandung api
kemarahan.
"Tidak, Eng-moi. Apakah kau hendak merusak semua usahaku tadi? Eng-moi, ingatlah, kau menjadi tamu di
sini, tidak selayaknya kalau kau melakukan apa saja sesukamu tanpa memandang muka tuan rumah."
Thio Eng terpukul oleh kata-kata ini. Semenjak kecil ia dididik oleh orang sakti, tentu saja ia mengenal aturan
kang-ouw dan benar sekali apa yang dikatakan Beng San. Tadi ketika mendengar bahwa pemuda murid Kunlun-
pai itu bernama Bun Lim Kwi putera mendiang Bun Si Teng, ia tak dapat menahan kemarahannya lagi.
Ayahnya, Thio San, dibunuh oleh kedua orang saudara Bun dan inilah keturunan mereka, inilah musuh
besarnya. Saking marahnya, ia tadi sampai lupa bahwa dia dan pemuda musuh besarnya itu kini sedang
menjadi tamu Hoa-san-pai, maka tidak selayaknya dia menyerangnya di tempat itu.
Akan tetapi Thio Eng sudah terlalu marah, juga penasaran karena lima kali serangannya yang hebat tadi dapat
ditangkis oleh lawannya. Kemarahannya telah memuncak sehingga peringatan Beng Sen tidak berapa
dipedulikannya.
"Maafkan aku, Tan-ko. Kali ini aku tidak mendengarkan siapa-siapa kecuali suara hatiku sendiri. He, orang she
Bun. Jika kau bukan pengecut, mari kita berkelahi sampai seorang di antara kita mati di sini!" tantangnya
mendesak kembali.
Bun Lim Kwi menjawab dengan nada duka, "Nona, aku tidak mengenalmu... bagaimana kau bisa
memusuhiku...?" Suara pemuda ini tenang dan sabar sekali. Sepasang matanya memandang wajah Thio Eng
penuh penyesalan, penuh kedukaan sehingga untuk sedetik hati Thio Eng terpukul.
"Ayahmu membunuh ayahku." Thio Eng menyerang lagi
"Adik Eng, jangan berkelahi di sini. Kau tamu...!" Beng San coba membujuk.
Akan tetapi Thio Eng yang sudah marah sekali telah mengirim tusukan kilat ke arah dada Bun Lim Kwi.
Tiba-tiba mata Beng San menjadi silau ketika sesosok bayangan merah menyambar dari luar. Gerakan
bayangan marah ini luar biasa cepatnya, seperti seekor burung garuda saja. Sambil melayang bayangan
dunia-kangouw.blogspot.com
merah ini mengeluarkan sepasang senjata yang berkilauan seperti mengeluarkan api, sekali sepasang pedang
digerakan sekaligus sudah menangkis pedang Thio Eng yang ditusukkan ke arah dada Lim Kwi dan pedang
Lim Kwi yang hendak menangkis.
"Trang... tranggg...!"
Thio Eng dan Lim Kwi berseru kaget sambil melompat mundur. Ternyata pedang di tangan mereka itu
ujungnya telah patah terkena tangkisan aneh dari bayangan merah ini.
Sementara itu, dengan gerakan cepat hampir tidak dapat diikuti pandang mata, bayangan merah itu telah
menyimpan sepasang pedangnya kembali ke dalam sarung pedang besar di punggungnya.
Sepasang mata bersinar-sinar tajam, sebuah mulut mungil berbibir merah segar, wajah cantik seperti bidadari
akan tetapi juga amat angkuh dan mengandung kekerasan hati yang mengerikan. Seorang gadis cantik jelita
sebaya Kwa Hong, berpakaian serba merah indah dari sutera merah panjang melambai-lambai. Sepatunya
juga merah berkembang batu kemala dengan kedua ujung sepatu dipasangi baja. meruncing. Seorang nona
yang berpakaian serba merah dan luar biasa cantik, akan tetapi juga nampak gagah perkasa!
"Benar ucapan dia itu. Tamu tidak boleh meremehkan tuan rumah dan berbuat seenaknya sendiri!" Suaranya
merdu dan halus, akan tetapi mengandung keangkuhan tinggi seperti suara seorang puteri terhadap para
abdinya! Kemudian dara jubah merah ini meloncat ringan, tahu-tahu sudah berada di depan Lian Bu Tojin,
menjura dan berkata.
"Ayahku karena repot tidak dapat berkunjung ke Hoa-san. Oleh karena itu, aku mewakili keluarga Cia dari
selatan sengaja berkunjung mengucapkan selamat kepada Hoa-san-pai. Selain itu, juga ayah menyuruh aku
memberi tahu kepada semua orang gagah yang berkumpul ini hari di Hoa-san-pai, bahwa sebagai pemegang
gelar Raja Pedang terakhir, ayah menetapkan hari perlombaan gelar Raja Pedang satu tahun kemudian
dihitung mulai bulan ini, pada pertengahan bulan purnama, di puncak gunung Thaisan. Nah, aku sudah
berbicara, selamat tinggal, Lian Bu totiang!" Suara gadis jelita ini selain angkuh, juga amat nyaring dan jelas,
membuat semua tamu melongo kagum.
"Ayaaa, kiranya anak Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tak Terlawan) Cia Hui Gan? Bagus, sudah lama pinto
ingin berkenalan dengan ilmu pedangnya!" kata-kata ini lantas disusul meloncatnya dua orang kakek berkepala
gundul. Mereka adalah dua orang hwesio yang duduk di ruang tamu kehormatan dan yang semenjak tadi
duduk diam saja.
Seperti diceritakan di bagian depan, di dalam ruang tamu kehormatan ini selain duduk para pimpinan partai
besar, juga duduk dua orang hwesio ini, dua orang kakek petani dan tiga orang tosu. Sejak tadi tujuh orang
kakek ini duduk diam dan menonton sambil mendengarkan saja, akan tetapi begitu muncul nona baju merah
ini, mereka kelihatan memperhatikan sekali. Kini dua orang hwesio itu melompat dan tahu-tahu mereka telah
berdiri di depan nona tadi sambil menggerak-gerakkan tongkat baja masing-masing yang panjang dan berat.
Nona itu menggerakkan alisnya yang kecil hitam, matanya menyambar-nyambar lalu ia tersenyum. Senyum
yang manis sekali akan tetapi matanya mengerling tajam laksana pisau. la memperhatikan kedudukan kaki dan
cara dua orang hwesio memegang tongkat, lalu berkata.
"Agaknya Hwesio Hitam dan Hwesio Putih yang menegurku. Dulu kalian berdua pernah dirobohkan dalam lima
jurus oleh ayah, apa hubungannya dengan aku? Siapa yang ingin menonton pameran tongkat hitam dan putih
kalian itu?" Suaranya masih nyaring tinggi, mengandung penuh ejekan dan tidak memandang mata sedikit pun
juga.
Dua orang hwesio itu diam-diam terkejut. Lima tahun yang lalu mereka pernah dirobohkan dalam lima jurus
saja oleh Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan. Ketika itu tentu dara ini masih kecil, kenapa sekarang sekali lihat saja
sudah tahu? Mereka ini adalah hwesio-hwesio yang berilmu tinggi, tokoh pelarian dari Siauw-lim-pai yang
memiliki ilmu tongkat tingkat tinggi.
Memang, oleh karena kehebatan ilmu tongkatnya, maka keduanya dijuluki orang Hek-tung Hwesio (Hwesio
Tongkat Hitam) dan Pek-tung Hwesio (Hwesio Tongkat Putih). Karena julukan ini pula maka sengaja Hek-tung
dunia-kangouw.blogspot.com
Hwesio membuat tongkat dari logam baja hitam sedangkan Pek-tung Hwesio membuat tongkat dari logam baja
putih. Mereka telah kenal dengan Lian Bu Tojin yang menganggap mereka orang setingkat karena memang
ilmu silat mereka sudah amat tinggi, maka mereka diberi tempaf di ruang tamu kehormatan.
"Ha-ha-ha, Nona. Kau sombong sekali. Agaknya kau mengandalkan kepandaian ayahmu untuk menjual lagak
di sini. Pinceng (aku) berdua bukan hendak melawan anak kecil, akan tetapi mengingat bahwa kau puteri
tunggal Raja Pedang tentu ilmu pedangmu hebat. Kami hendak mencoba untuk mengalahkan pedangmu
dalam lima jurus pula. Beranikah kau menghadapi kami?" kata Pek-tung Hwesio.
Terang bahwa hwesio ini hanya bermaksud menebus penghinaan dahulu dan hanya ingin mengalahkan nona
itu dalam lima jurus sehingga kalau hal ini terjadi, sedikitnya dia dapat membersihkan mukanya.
Nona itu mencibirkan mulutnya. “Kalian dua hwesio tua bangka hanya namanya saja yang menakutkan, bagiku
tongkat-tongkat macam ini hanya dapat untuk menakut-nakuti anjing dan maling kecil. Mengapa aku takut?
Tapi kedatanganku ke sini bukan untuk melayani segala macam hwesio tua bangka tak tahu malu."
Benar-benar galak nona ini, pikir Beng San mengerutkan keningnya. Masa terhadap dua orang hwesio tua
sama sekali tidak menaruh hormat? Galak dan kurang ajar!
Dua orang hwesio itu marah sekali, akan tetapi sebagai orang-orang tua mereka dapat menahan kemarahan,
malu untuk mengumbar nafsu kemarahan di tempat umum.
“Bagus, kalau begitu!" kata Pek-tung Hwesio. "Coba kau layani kami selama lima jurus, Nona."
Baru saja kata-kata ini habis diucapkan, dua batang tongkat panjang yang amat berat itu sudah melayang ke
atas, menyambar-nyambar mengeluarkan suara mengaung. Beng San kaget dan ngeri juga. Semua tamu juga
merasa ngeri, bahkan Lian Bu Tojin berseru.
"Harap Ji-wi (saudara berdua) maafkan seorang muda!"
Tak disangka sama sekali bahwa ucapan ini justru diterima dengan marah oleh nona itu. Matanya berapi-api
dan kedua tangannya bergerak.
"Srattt...!"
Semua orang menjadi silau ketika nona itu sekarang sudah mencabut keluar sepasang pedang yang luar biasa
tajam sampai sinarnya berkilauan. Kemudian nona itu berkelebat, terdengar suaranya,
"Lian Bu totiang, jangan pandang rendah orang muda!"
Kemudian dia menari! Ya, menari di antara sambaran-sambaran dua batang tongkat itu. Gerakannya indah
bukan main, sama sekali tidak seperti orang bersilat, melainkan seperti orang menari-nari. Pedangnya bermain
menjadi dua gulung sinar seperti bunga, dan ikat pinggangnya yang merah bergulung-gulung pula laksana
hidup. Tubuhnya yang langsing bergerak-gerak dengan indahnya.
Beng San sampai melongo. Baginya yang sudah memiliki pandang mata tajam sekali, maklum bahwa biar pun
nona itu menitik beratkan gerakan untuk keindahan, namun justru di dalam keindahan inilah letaknya
kehebatan dan kelihaian ilmu pedang itu.
Hanya dengan tekukan pinggang yang indah, sambaran tongkat putih ke arah tubuhnya dapat dihindarkan,
dan hanya dengan mengembangkan pedang di kedua tangan dan meloncat lincah ke atas, serampangan
tongkat hitam mengenai angin. Untuk menambah keindahan yang tiada bandingnya ini, si nona baju merah
masih menambah dengan senyum simpul yang manis menarik.
"Heee, mana ada aturan dua orang laki-laki mengeroyok seorang wanita?" Beng San berteriak-teriak tanpa
menyatakan bahwa mereka sudah bertempur sampai sepuluh jurus lebih. la bersikap ketolol-tololan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Nona baju merah itu tertawa. "Dua hwesio kerbau! Kalian mau merobohkan aku dalam lima jurus, sekarang
sudah belasan jurus. Kiranya aku tidak segoblok kalian ketika roboh oleh ayah dalam lima jurus."
Tiba-tiba sepasang pedangnya bergerak cepat sekali, setelah saling bentur mengeluarkan api berpijar. Bunga
api ini menyambar ke arah muka dua orang lawannya yang menjadi kaget dan lebih gugup ketika tahu-tahu
sepasang pedang itu sudah meluncur mendekati leher mereka. Cepat mereka membuang diri ke belakang
dan...
"Trang…! Tranggg…!"
Tongkat mereka ternyata telah terbabat putus saat mereka dalam gugup tadi tak sempat mengerahkan tenaga.
Si nona baju merah menjura ke arah Lian Bu Tojin setelah tanpa dapat diikuti lagi dengan mata dia sudah
menyimpan kembali sepasang pedangnya, kemudian dia berkata keras, "Selamat tinggal!"
Tubuhnya lenyap, yang nampak hanyalah bayangan merah melesat keluar dari tempat itu.
Dua orang hwesio itu menjadi pucat sekali mukanya. Mereka melempar sisa potongan tongkat ke atas tanah,
lalu menjura kepada Lian Bu Tojin dan keluar dengan langkah lebar.
Sementara itu, setelah tadi berhenti sebentar menonton pertandingan ini, Pek Gan Siansu yang tadi sudah
berpamit, lalu mengajak Bun Lim Kwi melanjutkan perjalanan, keluar dari tempat itu. Thio Eng dengan sinar
mata marah segera mengejarnya, pergi tanpa pamit.
Lian Bu Tojin menarik napas panjang berulang-ulang, malah tidak peduli lagi ketika Giam Kin juga tertawatawa
dan bertindak keluar dengan langkah panjang. Kwa Tin Siong masih berusaha keras untuk melanjutkan
perayaan itu, dan semua hidangan dapat juga dibagi-bagikan biar pun keadaan pesta tidak semeriah tadi.
Kwa Hong dengan penuh keheranan melihat bahwa di situ tidak ada lagi bayangan Beng San yang tadi
menimbulkan heboh. Pemuda ini juga sudah lenyap entah ke mana pula larinya. Kwa Hong yang menjadi
penasaran segera mencari sampai ke belakang, sampai ke tempat di mana pemuda itu menginap, tapi
alangkah herannya ketika ia melihat bahwa bungkusan pakaian pemuda itu pun sudah lenyap pula!
"Ahh, dia aneh sekali...," pikir dara ini kecewa, “aneh dan gagah bukan main. Alangkah beraninya dia tadi...
hemmm, sayang tidak pandai ilmu silat..."
la melamun membayangkan betapa akan mengagumkan kalau seorang pemuda dengan keberanian sebesar
itu memiliki kepandaian ilmu silat pula. Pada saat dengan kecewa ia hendak meninggalkan kamar Beng San, ia
tertarik dengan sepotong kertas di atas meja. Cepat diambilnya kertas itu dan ternyata ada tulisannya, tulisan
tangan yang jelas dan indah, tulisan tangan Beng San.
BENG SAN BERJANJI MENCARl KWEE SIN.
Cepat Kwa Hong membawa surat itu kepada ayahnya dan memperlihatkannya. Wajah Kwa Tin Siong berubah.
"Anak itu aneh, sepak terjangnya tak dapat diduga semua. Bagaimana mungkin dia dapat membawa Kwee Sin
ke sini?" Betapa pun juga dia memperlihatkan surat itu kepada gurunya yang menarik napas panjang.
"Memang bocah luar biasa Beng San itu. Kita Hoa-san-pai hari ini telah berhutang budi kepadanya yang
berhasil mencegah pertempuran. Kalau dia bisa membawa Kwee Sin ke sini, budinya bertumpuk. Tapi...
dapatkah kiranya dia berhasil?"
"Meragukan sekali, Suhu," berkata Kwa Tin Siong. Juga Liem Sian Hwa dan para murid Hoa-san-pai tidak
percaya kalau Beng San akan berhasil membawa musuh besar itu ke Hoa-san.
Akan tetapi tiba-tiba Kwa Hong berkata, suaranya nyaring dan matanya bersinar-sinar. "Aku merasa yakin
bahwa pada suatu hari dia akan datang bersama Kwee Sin ke sini!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Semua mata memandangnya, terutama mata Kwa Tin Siong yang seakan-akan hendak menembus dada
anaknya. Kwa Hong menjadi merah mukanya dan pergi tanpa pamit lagi…..
********************
Apa yang menyebabkan Beng San pergi dari Hoa-san-pai secara diam-diam, serentak tanpa pamit? Ada
banyak hal yang menyebabkan dia terburu-buru itu. Ternyata selama di tempat pesta tadi dia telah mengalami
hal-hal yang mengguncangkan hati dan membuat bingung pikirannya.
Mula-mula pertemuannya dengan teman Souw Kian Bi, pemuda tinggi tegap yang she Tan itu cukup hebat
mengguncang perasaannya karena dia menduga keras bahwa orang itu adalah kakak kandungnya, Tan Beng
Kui. Akan tetapi kenapa kalau benar pemuda itu kakak kandungnya, tidak mengenal dia dan malah tadi
melihatnya lalu membuang ludah dengan amat menyolok dan menghina? Hal ini perlu penyelidikannya.
Hal ke dua adalah Thio Eng dan Bun Lim Kwi. Dia sudah berjanji kepada mendiang Bun Si Teng untuk
mengamat-amati pemuda itu, tapi sekarang dia bisa menduga bahwa Thio Eng tentu akan berusaha untuk
membunuh Lim Kwi. la tidak boleh membiarkan Lim Kwi terbunuh tanpa berbuat sesuatu. Apa lagi kalau yang
hendak membunuh itu Thio Eng, gadis yang... ah yang dia suka dan yang dia kasihani nasibnya. Soal ini pun
memerlukan dia turun tangan dan mencarikan pemecahannya.
Hal ketiga yang benar-benar mengguncangkan hatinya adalah kemunculan nona she Cia berbaju merah tadi.
Bukan, sama sekali bukan karena wajah yang cantik jelita melebihi semua wanita yang pernah dilihatnya,
bukan karena bentuk tubuh serta tarian-tariannya. Sama sekali bukan!
Akan tetapi ketika nona tadi mencabut sepasang pedang, pedang berkilau-kilauan seperti mengeluarkan api,
yang sebuah panjang dan satu lagi pendek, yang membuat matanya silau, adalah... Liong-cu Siang-kiam yang
dicuri orang dari tangan Lo-tong Souw Lee! Jadi gadis jeiita inikah pencurinya?
Berdebar tidak karuan hati Beng San bila ingat akan hal ini. la harus merampas sepasang pedang itu kembali
dan... kedua pipinya menjadi merah dan terasa mukanya panas kalau dia teringat akan pesan Lo-tong Souw
Lee bahwa dia harus mencari pencuri pedang dan kalau pencuri itu seorang wanita, dia harus mengambilnya
sebagai isteri! Dia mengambil isteri nona Cia yang seperti bidadari tadi? Hebat!
Hal ke empat yang tidak kalah pentingnya adalah persoalan yang menyangkut diri Kwee Sin, jago termuda dari
Kun-lun-pai itu. Memang harus diakui bahwa orang inilah yang menjadi biang keladi segala peristiwa
permusuhan itu. Dia merasa yakin bahwa jika dia bisa mengajak Kwee Sin datang ke Hoa-san-pai untuk
mempertanggung jawabkan semua tuduhan yang dijatuhkan kepadanya, maka segala permusuhan akan
menjadi beres.
Melihat sikap Kwee Sin pada saat datang ke Hoa-san-pai, Beng San masih cukup percaya bahwa jago itu
masih mempunyai cukup sifat ksatria untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatannya atau setidaknya
perbuatan yang diperkirakan orang kepadanya.
Empat hal yang sama pentingnya inilah yang membuat Beng San tidak mau lama-lama membuang waktu di
Hoa-san, biar pun jauh di lubuk hatinya dia merasa berat juga harus meninggalkan Hoa-san... ehh,
sesungguhnya, pergi meninggalkan Kwa Hong begitu saja! la sudah merasa cukup berbahagia bahwa sedikit
jerih payah usahanya yang diharapkan oleh Ciu Goan Ciang dan Tan Hok serta semua pejuang, yakni
mencegah Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai bertempur, untuk sementara ini mencapai hasil baik…..
********************
Kita ikuti perjalanan Bun Lim Kwi yang pergi meninggalkan Hoa-san bersama gurunya, Pek Gan Siansu. Ketika
mereka tiba di kaki gunung, tiba-tiba Lim Kwi menjatuhkan diri berlutut di depan suhu-nya dan menangis! Pek
Gan Siansu berhenti, memandang kepada muridnya itu dan dengan wajah murung kakek tua ini menggelenggeleng
kepalanya, lalu mengelus jenggotnya.
"Lim Kwi, aku tahu bahwa walau pun selama ini kau diam saja tak pernah membantah semua perintahku,
namun sesungguhnya kau menyimpan ganjalan hati yang membuat kau banyak menderita batin. Muridku,
dunia-kangouw.blogspot.com
sekarang di tempat sunyi ini kau keluarkanlah isi hatimu, berlakulah jujur kepada gurumu. Seorang enghiong
(ksatria) harus selalu dapat menjaga satunya pikiran, kata-kata dan perbuatan. Satu saja di antara ketiganya
ini tidak cocok, tak patut dia disebut enghiong. Selama ini kata-kata dan perbuatanmu mentaati aku, akan
tetapi aku khawatir sekali bahwa pikiranmu berbeda."
"Ampunkan teecu yang tidak berbakti ini, Suhu. Sesungguhnya telah susah payah teecu memaksa diri untuk
berbakti kepada Suhu, akan tetapi apa daya, hati dan pikiran teecu selalu tergoda, selalu terbayang wajah
ayah dan paman yang dulu telah terbunuh orang. Setelah mendengar semua kata-kata yang sudah diucapkan
orang di Hoa-san tadi, teecu berpendapat bahwa kalau ganjalan hati ini belum dilaksanakan, selalu teecu akan
berbakti secara palsu, yaitu tidak terus ke dalam hati."
"Hemmm, lebih baik berterus terang begitu. Kau bukan kanak-kanak lagi, kau kini sudah menjadi seorang
pemuda dewasa dan tentu saja kau berhak untuk mempunyai pendapat sendiri. Sekarang katakan, apa yang
hendak kau lakukan? Apakah kau akan menurutkan nafsu hatimu menyerbu ke Hoa-san-pai dan menantang
orang-orang Hoa-san-pai?"
Kakek itu mengerutkan alisnya yang sudah putih semua.
"Tak akan sekali-kali teecu berani melanggar garis yang sudah diambil oleh Suhu. Teecu menyetujui garis
perdamaian itu, bahkan teecu juga takkan membantah tentang soal usul perjodohan yang diajukan Suhu tadi.
Akan tetapi... Suhu, apakah kematian ayah beserta paman harus teecu diamkan dan biarkan begitu saja?
Apakah roh mereka akan dapat tenteram melihat teecu berpeluk tangan saja?"
"Hemmm, orang muda... betapa jauh perkiraanmu tentang roh! Bila tak keliru wawasanku, roh ayahmu dan
pamanmu sampai sekarang masih merasa menyesal, mengapa tadinya mereka terseret ke dalam nafsu
bermusuhan dan bunuh-membunuh. Agaknya mereka akan lebih menyesal lagi kalau kelak melihat kau
melanjutkan kekeliruan mereka sewaktu hidup. Tetapi, aku tak akan berkeras mencegah dan merusak hatimu,
muridku. Sekarang katakan sejujurnya, apa yang hendak kau lakukan?"
"Teecu tadi sudah banyak mendengar mengenai Kwee-susiok (paman guru Kwee) dan teecu berpendapat
bahwa hanya Kwee-susiok seoranglah yang akan dapat menerangkan ini semua. Kalau dari mulut Kweesusiok
sendiri..."
”Hemmm, jangan kau menyebut paman guru kepada Kwee Sin. Aku sudah tidak mau mengakui dia sebagai
muridku lagi!" kata-kata Pek Gan Siansu terdengar keras.
"Baiklah, Suhu. Teecu ingin mendengar dari mulut Kwee Sin sendiri apa yang telah terjadi ketika mendiang
ayah dan paman naik ke Hoa-san. Kalau memang benar bahwa ayah dan paman yang salah, yaitu membantu
Kwee Sin yang memusuhi Hoa-san-pai, maka sakit hati teecu akan teecu alihkan kepada diri Kwee Sin."
"Hemmm, kau hendak mengajak dia bertanding?"
"Kalau perlu, apa boleh buat, Suhu. Kalau dia mau, teecu hendak mengajak dia pergi ke Hoa-san secara baikbaik
agar segala persoalan menjadi beres dan dapat diketahui siapa salah siapa benar."
"Ha-ha-ha, kau hendak berlomba dengan bocah sastrawan yang luar biasa tadi? Heh, kau takkan menang, Lim
Kwi!" Ketua Kun-lun-pai tertawa dan agaknya hatinya sudah gembira lagi mendengar keputusan yang diambil
muridnya ini. Tadinya dia merasa amat gelisah, takut kalau-kalau Lim Kwi hendak memusuhi orang Hoa-sanpai
secara langsung.
Bun Lim Kwi memandang gurunya, tak percaya dengan kata-kata gurunya barusan.
"Lim Kwi, jangan kau pandang ringan bocah sastrawan tadi. Aku sudah tua, sudah banyak pengalaman. Orang
seperti dia itu bukanlah orang sembarangan. Nyali dan sikapnya jelas menonjolkan keluar biasaannya. Dia
bukan manusia biasa dan percayalah kepadaku, apa bila kau bertemu kembali dengan dia, kau boleh
mendengarkan semua nasihatnya. Aku menyetujui rencanamu, biar aku pulang sendiri ke Kun-lun dan menanti
beritamu di sana. Semoga kau tak akan menyeleweng dari jalan kebenaran dan selamanya dapat bersikap
sebagai seorang enghiong dari Kun-lun-pai yang mesti kau junjung tinggi nama besarnya."
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat kakek ini lenyap dari situ, meninggalkan Lim Kwi yang tahu-tahu
kehilangan pedang pusaka yang tadi masih dipegangnya. la segera berlutut dan diam-diam merasa amat
kagum.
Gurunya itu biar tua akan tetapi masih luar biasa sekali kelihaian ilmunya sampai-sampai mengambil kembali
pedang pusaka Kun-lu-pai dan pergi dari situ tanpa dia rasai dan tak dapat dia ikuti dengan pandang matanya.
Setelah berlutut memberi hormat, pemuda ini bangun dan menarik napas panjang.
“Aku masih harus banyak belajar untuk dapat mencapai tingkat seperti suhu,” pikirnya.
Kemudian dia teringat kepada Kwee Sin. Ke mana dia harus mencari orang itu? Ia banyak mendengar tentang
Kwee Sin bekas paman gurunya itu. Kabarnya selalu muncul bersama Ngo-lian-pai, malah banyak
hubungannya dengan tentara Mongol. Ada kabar lagi bahwa Kwee Sin sudah diangkat oleh kerajaan menjadi
perwira tinggi tentara Kerajaan Mongol.
Ngo-lian-pai atau Ngo-lian-kauw adalah partai rahasia yang tidak mempunyai markas tertentu, maka takkan
mudah mencari sarang partai ini. Lebih baik kalau mencari berita atau keterangan tentang Kwee Sin di pusat
tentara Mongol. Di mana lagi kalau tidak di kota raja?
Bun Lim Kwi maklum akan bahayanya kalau berani memasuki kota raja. Akan tetapi dia sudah bertekat bulat
untuk mencari Kwee Sin, maka tanpa pedulikan segala ancaman bahaya, berangkatlah dia menuju ke kota
raja.
Tetapi baru saja dia keluar dari daerah berhutan di kaki Gunung Hoa-san itu, sesosok bayangan hijau
berkelebat dibarengi bentakan, "Orang she Bun, kau bersiaplah menebus dosa ayahmu!"
Dan di depannya sudah berdiri gadis cantik berbaju hijau yang tadi telah menyerangnya di puncak Hoa-san!
Gadis itu kini dengan muka agak pucat sudah berdiri menghadangnya dengan pedang tajam melintang di
dada, pedang yang ujungnya sudah buntung sedikit oleh pedang nona baju merah tadi.
Bun Lim Kwi menarik napas panjang, wajahnya yang tampan menjadi muram.
"Nona," dia menjura sebagai tanda penghormatan dan suaranya mengandung kesedihan besar, “kenapa Nona
memusuhi saya? Apakah dosaku dan apa pula gerangan kesalahan mendiang ayahku yang sudah tidak ada di
dunia ini?"
Thio Eng, gadis baju hijau itu, menggigit bibirnya dengan gemas, matanya memancarkan sinar kemarahan.
"Dua saudara Bun dari Kun-lun-pai telah membunuh ayahku ketika aku masih kecil."
"Nona, kalau ayah dan pamanku yang membunuh ayahmu, kenapa kau memusuhi aku? Apa salahku dalam
hal ini?” bantahnya.
"Aku hendak membalas kepada ayah dan pamanmu tapi mereka sudah mampus, kaulah anaknya yang harus
mempertanggung jawabkan pembalasannya. Orang she Bun, tidak usah banyak cakap. Aku sudah cukup
bersabar, cabut pedangmu dan mari kita lanjutkan pertempuran tadi!" la sudah marah sekali dan pedang di
tangannya sudah gemetar.
Tiba-tiba saja Lim Kwi merasa tubuhnya lemas. Entah mengapa, melihat wajah nona ini, melihat sinar matanya
yang redup dan sayu penuh kedukaan, kekerasan hatinya mencair seperti lilin dekat api. Timbul rasa kasihan
di hatinya, bahkan ada rasa suka yang timbul karena persamaan penderitaan. la menganggap dara ini senasib
dengan dirinya, ayahnya dibunuh orang, kemudian hidup menderita dendam.
Dia tersenyum pahit, merasa betapa sama nasibnya dengan nona ini. Akan tetapi dia menyalahkan sikap Thio
Eng. Andai kata dia berpendapat seperti nona ini lalu memusuhi anak-anak dari musuh yang membunuh
ayahnya, tentu dia tidak akan sudi dicalonkan sebagai jodoh seorang gadis yang masih keturunan musuhmusuh
pembunuh ayahnya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Juga timbul ingatannya bahwa segala persoalan, seperti juga persoalannya sendiri, harus diselidiki secara
teliti. Andai kata benar ayah dan pamannya membunuh ayah gadis itu, pasti ada sebab-sebabnya.
"Nona, apa bila ayah dan pamanku benar-benar sudah membunuh ayahmu, sudah dapat dipastikan bahwa
ayahmu melakukan sesuatu yang tidak baik. Ayah dan pamanku adalah dua orang tertua dari Kun-lun Samhengte
yang bernama bersih tak ternoda."
Wajah yang agak pucat dari nona ini sekarang berubah merah sekali, bahkan matanya kini berkilat-kilat.
"Apa kau kata? Tidak peduli mereka itu Kun-lun Sam-hengte atau pendekar-pendekar dari langit sekali pun,
kalau sudah bermusuhan dengan ayahku sudah pasti kesalahan terletak di tangan ayah dan pamanmu!
Ayahku adalah seorang patriot besar, seorang pejuang. Siapakah di antara para pejuang yang belum pernah
mendengar nama besar Thio San? Kesalahannya sudah tentu terletak pada ayah dan pamanmu. Kun-lun
Sam-hengte? Huh, buktinya yang termuda juga bukan orang baik-baik!"
Setelah berkata demikian, pedangnya bergerak menyerang pemuda itu. Serangan yang hebat, cepat dan kuat
sekali. Akan tetapi Bun Lim Kwi dapat melompat ke samping dan menghindarkan diri.
Tag:cersil
cersil indo
cersil mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil langka
cersil mandarin lepas
cerita silat pendekar matahari
kumpulan cerita silat jawa
cersil mandarin beruang salju.
cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia
cerita silat kho ping hoo
cerita silat mandarin online
cerita silat mandarin full
cerita silat jawa
kumpulan cerita silat
cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis
cerita silat jadul indonesia
cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti
cersil indonesia pendekar mabuk
cersil langka
cersil dewa arak
cerita silat jaman dulu
cersil jawa download cerita silat mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil mandarin lepas
cerita silat mandarin pendekar matahari
cerita silat jawa pdf
cersil indonesia pdf
cersil mandarin beruang salju
kumpulan cerita silat pdf
- Cersil Ke 8 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti Cer...
- Cersil Ke Tujuh Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti...
- Cersil ke 6 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti
- Cersil Ke 5 Yoko Bibi Lung
- Cerita Silat Ke 4 Pendekar Yoko
- Cersil Yoko 3 Condor Heroes
- Cersil Yoko Seri Ke 2
- Cerita Silat Cersil Ke 1 Kembalinya Pendekar Rajaw...
- Cerita Silat Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Komp...
- Cersil Ke 25 Tamat Kwee Ceng Bersambung Ke Pendeka...
- Cerita Silat ke 24 Kwee Ceng Pendekar Jujur
- Cersil Ke 23 Kwee Ceng Pendekar Lugu
- Cerita Silat Ke 22 Kwee Ceng
- Cersil Ke 21 Kwee Ceng
- Cerita Silat Ke 20 Cersil Kwee Ceng Rajawali Sakti...
- Cerita Silat Ke 19 Kwee Ceng Jagoan Sakti
- Cersil Ke 18 Kwee Ceng
- Cersil Ke 17 Kwee Ceng Cerita Silat Pendekar Rajaw...
- Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Ke 16 Pendekar Kw...
- Cersil Ke 15 Pendekar Kwee Ceng
- Cersil Hebat Kweeceng Seri 14
- Cersil Cerita Silat Kwee Ceng 13
- Cersil Pendekar Ajaib : Kwee Ceng 12
- Kumpulan Cerita Silat Jawa : Kwee Ceng 11
- Cerita Silat Pendekar Matahari : Kwee Ceng 10
- Cersil Mandarin Lepas :Kwee Ceng 9
- Cersil Langka Kwee Ceng 8
- Cerita Silat Mandarin Online : Kwee Ceng 7
- Cersil Indo Kwee Ceng 6
- Cerita Silat Cersil Kwee Ceng 5
- Cersil Kwee Ceng 4
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 3
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 2
- Cersil Pendekar Kwee Ceng ( Pendekar Pemananah Raj...
- Cersil Seruling Sakti dan Rajawali Terbang
- Kumpulan Cersil Terbaik
- Cersil Jin Sin Tayhiap
- Cersil Raisa eh Ching Ching
- Cersil Lembah Merpati
- Cerita Silat Karya stefanus
- Cersil Pedang Angin Berbisik
- Cersil Sian Li Engcu
- Cersil Si KAki Sakti
- Cersil Bendera Maut
- Cersil Pahlawan Gurun
- Cersil Pedang Pusaka Buntung
- Cersil Terbaik Pendekar Kunang Kunang
- Cersil Mandarin Imam Tanpa Byangan