Jumat, 20 April 2018

Cerita Silat Darah Pendekar 3

-------
"Bocah lancang mulut! Berani engkau mencam-puri urusan kami ?"
Akan tetapi, dengan pandang mata yang bera-ni dan jujur Pek Lian menghadapi nenek itu. "Bi-arpun
saya menjadi tawanan dan orang yang dicu-rigai, akan tetapi selama ini locianpwe dan teruta-ma
kedua orang cici bersikap baik kepada saya sehingga saya sama sekali tidak merasa menjadi tawanan.
Sebaliknya, saya merasa sebagai sahabat atau tamu yang diperlakukan dengan baik. Setelah
mengalami suka-duka, bahkan sudah sama-sama menghadapi lawan tangguh, bagaimana mungkin
saya bersikap tidak perduli dengan malapetaka yang menimpa keluarga locianpwe ? Sedapat
mungkin, saya tentu akan menyumbangkan tenaga saya yang tidak seberapa ini untuk membantu."
Sejenak dua orang wanita itu saling berpandangan. Akhirnya nenek itu menarik kembali kepalanya ke
dalam kereta dan terdengar ia menarik napas panjang, lalu terdengar suaranya, "Hemm, engkaupun
seorang yang keras hati dan keras kepala. Akan tetapi engkau memiliki keberanian dan kejujuran."
Dan tiba-tiba kereta itupun bergerak lagi.
Pek In menyentuh lengan Pek Lian. "Adik Lian, engkau sungguh membuat kami menahan napas.
Kami tidak mengira engkau masih dapat hidup setelah berani bersikap seperti itu."
Pek Lian tersenyum. "Kenapa, eici Pek? Aku merasa benar, dan matipun bukan apa -apa kalau
berada dalam kebenaran."
Biarpun ia dapat mengerti akan kata -kata ini, namun di dalam hatinya Pek In harus mengakui bahwa
ia tidak mempunyai keberanian yang sede-mikian besarnya seperti gadis ini.
Kereta nenek itu berhenti di depan pintu ger-bang kota raja. Para penjaga pintu gerbang ber-baris rapi
di kanan kiri, dengan tombak di tangan kanan dan perisai di tangan kiri. Pakaian seragam mereka
mengkilap tertimpa sinar matahari dan mata tombak mereka juga berkilauan karena setiap hari
digosok. Seorang komandan jaga yang pakaiannya lebih mentereng lagi, nampak berlutut dengan
kaki kiri di tengah jalan dan inilah yang membuat nenek itu menghentikan kereta. Sambil membawa
tong-katnya nenek Siang Houw Nio -nio turun dari atas keretanya. Pek In dan Ang In juga meloncat
turun dari atas kuda mereka dan menyerahkan kendali kuda kepada Pek Lian. Dua orang gadis ini
cepat mendampingi subo mereka memasuki pintu gerbang.
Para penjaga bersikap hormat melihat nenek ini. Siang Houw Nio -nio sendiri melangkah de-ngan
tenang, tangan larinya membawa tongkat ke-pala naga dan dua orang muridnya berjalan di kanan
kirinya.
Komandan jaga yang setengah berlutut itu mem-beri hormat. "Hamba menerima perintah dari istana
untuk melapor kepada paduka tuan puteri."
"Perintah apa yang datang dari istana ? Lekas laporkan kepadaku," jawab Siang Houw Nio -nio.
Komandan itu adalah perwira penjaga yang ber-tugas di luar istana, dan hal ini dikenalnya dari
pakaian seragamnya.
"Sri baginda kaisar menanyakan apakah padu-ka sudah tiba kembali. Dan baru saja beliau mengutus
Hek-tai-ciangkun untuk menyusul paduka ke istana Wakil Perdana Menteri Kang."
Nenek itu mengerutkan dahinya dan mengang-kat tangan kanan ke depan. "Baiklah, kau pergi
danlaporkan ke dalam istana bahwa aku akan segera menghadap sri baginda."
Komandan jaga itu memberi hormat, lalu bang-kit dan dengan sigapnya meninggalkan pintu ger-bang
untuk membuat laporan ke istana. Derap kaki kuda terdengar lantang dan gagah.
Siang Houw Nio-nio diikuti oleh dua orang muridnya kembali ke kereta. "Pek -ji dan Ang -ji, kita terus
saja ke istana. Ajak sekalian nona itu dan beri pinjam pakaianmu. Agaknya ada perkem-bangan baru
di istana. Mari !"
dunia-kangouw.blogspot.com
Pek Lian diberi pinjam pakaian dan mereka ber-tiga lalu berganti pakaian sebagai dayang atau pelayan
puteri bangsawan itu. Nenek itu sendiripun berganti pakaian, karena biarpun ia masih bibi dari
kaisar sendiri, kalau menghadap kaisar, ia tidak dapat meninggalkan peraturan -peraturan yang sudah
ditentukan. Setelah selesai berdandan, mereka berempat lalu menuju ke istana.
Ho Pek Lian merasa girang sekali dan jantung-nya berdebar keras. Ia merasa girang karena tahu
bahwa nenek bangsawan itu agaknya sudah mulai menaruh kepercayaan kepadanya, bahkan merasa
suka seperti juga kedua orang muridnya itu. Kalau tidak demikian tak mungkin ia diajak, masuk ke
istana sebagai dayang sang puteri tua. Tidak akan sukar bagi nenek itu untuk menyerahkannya kepada
pasukan untuk dijebloskan ke dalam tahanan !
Suasana menegangkan yang membayangkan bahwa ada apa -apa di istana nampak dari pintu
gerbang istana yang paling depan. Penjagaan amat ketat dan ada belasan orang perajurit jaga di situ,
padahal biasanya hanya ada enam orang saja. Dan di balai perajurit yang luas itu, nampak banyak
sekali pengawal-pengawal resmi para menteri sedang duduk beristirahat. Hal ini menandakan bahwa
para menteri sedang berada di istana, menghadap sri baginda kaisar. Siang Houw Nio -nio tahu akan
hal ini dan diam -diam iapun menduga-duga apa gerangan yang terjadi maka kaisar me-ngumpulkan
semua menteri negara.
Setelah tiba di serambi istana, nampak bahwa penjagaan dilakukan oleh para pengawal yang disebut
pasukan pengawal Gin -i -wi (Pengawal Pa-kaian Perak). Mereka itu rata -rata bersikap gagah,
bertubuh kuat dan pakaian mereka yang berlapis pe-rak itu nampak gemerlapan. Komandan mereka
juga berpakaian serba mengkilap berlapis perak, dan nampaknya keren berwibawa sekali. Ketika dia
melihat datangnya Siang Houw Nio -nio yang dii-kuti oleh tiga orang dayang cantik, segera maju
memberi hormat.
"Paduka tuan puteri telah dinanti -nanti oleh yang mulia sri baginda kaisar. Silahkan !" Koman-dan itu
dengan sikap hormat lalu mengantar nenek bangsawan dan tiga orang dayangnya itu sampai ke pintu
induk. Di sini, tugasnya diambil alih oleh komandan pasukan Kim-i-wi (Pengawal Pakaian Emas).
Pasukan Kim-i-wi nampak tidak kalah gagahnya dibandingkan pasukan Gin-i-wi, bah-kan pakaiannya
yang berlapis emas itu amat me-gah dan mewah. Pasukan Kim-i-wi ini bertugas menjaga di bagian
dalam istana, sedangkan pasukan Gin-i-wi bertugas di bagian luar istana. Akan tetapi keduanya
adalah pasukan-pasukan pengawal istana yang terkenal dan mereka dipim-pin oleh komandan
masing -masing yang merupa-kan pembantu-pembantu dari Pek-lui-kong Tong Ciak, itu jagoan
terkenal yang bertubuh pendek dari istana!
Di dekat pinta gerbang induk ini, terdapat ba-ngunan samping di mana nampak beberapa belas orang
-orang yang sikapnya aneh-aneh dan membayangkan kepandaian tinggi. Mereka ini adalah
pengawal-pengawal pribadi para menteri yang tentu saja hanya diperbolehkan mengawal sampai di
situ dan tidak diperkenankan ikut masuk menghadap kaisar. Di sekitar tempat itu nampak pengawalpengawal
Kim-i-wi berjalan hilir-mudik dengan tombak di tangan, sedangkan di bagian luar pintu
gerbang nampak pengawal-pengawal Gin-i-wi yang juga berjaga-jaga. Nampak angker dan gagah.
Juga nampak pengawal-pengawal dari kedua pasukan ini berjaga-jaga di gardu-gardu ronda, di atas
dinding dan di menara-menara. Mereka semua sjap siaga dengan ketat.
Siang Houw Nio-nio dengan sikap tenang dan agung, diiringkan oleh tiga orang gadis dan dida-hului
oleh komandan pasukan Kim-i-wi sebagai penunjuk jalan atau penjemput, berjalan di sepanjang
ruangan-ruangan yang amat luas itu. Ho Pek Lian berjalan di belakangnya bersama Pek In den Ang
In. Pek Lian adalah puteri seorang bekas menteri. Gedung ayahnya sendiri sangat indah dan gadis ini
sejak kecil sudah terbiasa dengan keme-wahan dan keindahan. Akan tetapi baru pertama kali ini ia
memperoleh kesempatan memasuki istana dan melihat segala kemewahan yang terham-par di
depannya, ia merasa dirinya kecil dan merasa seperti seorang miskin yang baru pertama kali me-lihat
kekayaan berlimpah. Ia merasa seolah -olah keindahan yang luas itu amat besar, seperti hendak
menelan dirinya.
Setelah mereka tiba di depan sebuah pintu be-sar yang berkilauan dan dilapis emas, komandan Kim -i
-wi itu berhenti. Agaknya kedatangan me-reka sudah nampak dari dalam karena tirai sutera merah
yang menutupi pintu itu terbuka dan mun-cullah dua orang yang nampak gagah perkasa. Yang
seorang bertubuh tinggi tegap, mukanya brewok dan dia memakai pakaian panglima yang berlapis
perak. Orang ke dua bertubuh tinggi kurus dan dia ini memakai pakaian panglima yang berlapis emas.
Melihat mereka, komandan Kim -i -wi sege-ra memberi hormat, lalu membalikkan tubuh medunia-
kangouw.blogspot.com
ninggalkan tempat itu. Agaknya tugasnya mengawal Siang Houw Nio -nio telah selesai dan kini kedua
orang panglima itulah yang menggantikan-nya, menyambut kedatangan nenek bangsawan itu. Dua
orang panglima itu memberi hormat lalu mem-persalahkan nenek bangsawan itu melanjutkan perjalanan
melalui pintu emas.
Ang In yang berjalan di samping Pek Lian, ber-bisik di dekat telinga nona ini,
"Mereka itu berilmu tinggi, memiliki tenaga berlawanan. Kim -i -ciangkun (Panglima Baju E-mas) itu
memiliki pukulan telapak tangan panas yang dapat membakar pakaian lawan dan Gin -i-ciangkun
(Panglima Baju Perak) itu memiliki pukul-an tangan dingin yang membuat darah lawan mem-beku."
Pek Lian memandang ke depan dan mengang-guk. Ia tidak merasa heran mendengar ini karena ia
sudah sering mendengar bahwa di istana kaisar terkumpul jagoan -jagoan yang amat lihai.
"Akan tetapi semua itu tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan atasan mereka, yaitu Tong-tai -
ciangkun yang berjuluk Pek -lui -kong," bisik Pek In.
Pek Lian merasa betapa jantungnya berdebar kencang dan kedua kakinya agak gemetar. Kira-nya
dua orang panglima, ini adalah tangan kanan si pendek itu. Bagaimana kalau si pendek itu ber-ada di
situ pula dan mengenalnya ? Akan tetapi Pek Lian meneliti pakaiannya dan hatinya lega.
Tidak mungkin si cebol yang lihai itu akan menge-nalnya. Mereka baru saling berjumpa satu kali saja,
yaitu ketika ia menghadang bersama empat orang suhunya untuk membebaskan ayahnya. Ketika itu,
ia berpakaian sebagai seorang gadis kang -ouw, tidak seperti pakaian puteri atau dayang istana seperti
sekarang ini. Pula, kalau ia datang sebagai dayang nenek bangsawan yang menjadi bibi kaisar
ini, siapa yang berani mencurigai dan mengganggunya ?
Memang kedudukan Siang Houw Nio -nio di istana amat tinggi. Orang lain, betapapun tinggi
kedudukannya, tidak boleh menghadap kaisar mem-bawa pengawal atau pengikut. Akan tetapi nenek
ini masuk diiringkan tiga orang dayangnya dan tidak ada orang berani menentangnya. Bagaikan
bayangan saja, Pek Lian mengikuti gerak -gerik dua orang gadis itu dan ketika mereka semua memasuki
ruangan pertemuan di mana duduk kaisar dihadap oleh para menterinya, Pek Lian juga ikut
pula menjatahkan diri berlutut di belakang Ang In. Ketika ia mengerling, jantungnya berdebar tegang
melihat ada dua orang berdiri di belakang kaisar. Dua orang itu bukan lain adalah Pek-lui-kong Tong
Ciak si cebol yang lihai itu dan yang ke dua adalah Jenderal Beng Tian yang tidak kalah lihai-nya !
Tentu saja Pek Lian diam-diam mengeluarkan keringat dingin ketika melihat "singa dan harimau", dua
jagoan pengawal kaisar yang amat terkenal itu. Pernah ia bertemu, bahkan bentrok de-ngan mereka
berdua! Kini, mereka berdua itu berdiri di belakang kaisar, berdampingan dan mata mereka itu
menyapu ruangan dengan sinar mata yang mencorong tajam dan menyeramkan. Pek Lian cepat -
cepat menundukkan mukanya dan ini tidak menarik perhatian karena memang sikap pa-ra dayang
harus begitu, takut -takut dan malu-malu ! Penyamaran ini menguntungkan Pek Lian karena selain ia
diperbolehkan selalu menyembu-nyikan muka tanpa dicurigai, juga siapakah yang akan
memperhatikan seorang dayang ? Dua orang lihai itupun tentu tidak akan memandang sebelah mata
kepada seorang dayang!
Di kanan kiri, berderet -deret duduk para men-teri menghadapi meja masing-masing. Nenek Siang
Houw Nio-nio yang memasuki ruangan itu, dengan sikap angkuh dan kesadaran bahwa kedudukannya
lebih tinggi dari pada para menteri itu, mengangguk ke kanan kiri membalas penghormat-an
para menteri yang hadir. Wanita tua ini sadar akan harga dirinya. Ia adalah pengawal pribadi, juga
kepercayaan, juga bibi sendiri dari kaisar! Ke-mudian, dengan sikap tenang nenek itu berlutut
menghormati kaisar yang masih keponakannya sendiri itu.
"Selamat datang, bibi!" kata kaisar dengan ra-mah dan dengan tangannya mempersilahkan ne-nek itu
untuk bangkit dan mengambil tempat duduk di kursi yang telah disediakan untuknya. Bi-arpun para
dayang pengikut nenek ini diperboleh-kan ikut masuk, akan tetapi tentu saja mereka ti-dak boleh
mengganggu persidangan dan Pek In lalu mengajak adiknya dan Pek Lian untuk ber-kumpul di
pinggir, bersama dengan para dayang istana, di mana mereka duduk berkelompok dan tidak berani
mengeluarkan suara, seperti sekelom-pok bunga di taman yang ringkih dan takut terlanda angin.
Setelah Siang Houw Nio-nio tiba, maka per-sidangan dilanjutkan dan nenek itu kini mengerti bahwa
sri baginda memang mengadakan sidang darurat, memanggil semua menteri untuk mem-bicarakan
dunia-kangouw.blogspot.com
keadaan yang membuat sri baginda kaisar merasa khawatir. Kaisar Cin Si Hong-te mengerti bahwa
beberapa tindakannya telah menimbulkan heboh dan kegemparan di seluruh ne-geri.
Kaisar merasa marah sekali. Menurut hemat-nya, semua tindakan yang dilakukannya ada-lah benar
dan tepat, dan demi kebaikan pemerin-tahnya. Pembakaran kitab-kitab Guru Besar Khong Cu
dianggap amat tepat karena pelajaran dalam kitab-kitab itu dianggap menghasut rakyat untuk tidak
tunduk dan setia kepada rajanya. Banyak isi pelajaran yang dianggap memburuk-burukkan kaisar,
merendahkan kaisar merendahkan martabat kaisar sebagai Wakil atau Utusan Tuhan !
Dan tindakan ini ditentang oleh para sasterawan lemah itu, bahkan beberapa orang menteri ikut
menentangnya. Tentu saja mereka yang menentang itu harus dibasmi habis ! Kalau tidak demikian,
ke-wibawaan kaisar akan merosot, demikian pendapat orang -orang kepercayaan kaisar seperti
kepala thaikam Chao Kao dan Perdana Menteri Li Su, yang dibenarkan oleh kaisar.
Selain itu, juga pembangunan tembok besar di utara banyak ditentang oleh menteri dan orang-orang
yang menamakan dirinya pendekar. Katanya usaha itu menyiksa rakyat! Padahal, pembangunan itu
adalah untuk keselamatan negara, untuk kesela-matan rakyat pula, untuk membendung datangnya
orang-orang dari utara yang akan menyerbu ke selatan. Soal pembangunan tembok besar inipun
menimbulkan geger dan pemberontakan.
Untuk melihat reaksi yang sesungguhnya dari rakyat jelata, kaisar sudah mengutus dua orang jagoan
istana itu, Pek -lui -kong Tong Ciak dan Jenderal Beng Tian, sekalian untuk menumpas pi-hak
pemberontak yang menentang kekuasaan pe-merintah. Ketika kedua orang utusan itu tiba kem-bali
dan membuat laporan mereka, kaisar menjadi terkejut, marah dan segera mengumpulkan para
menteri untuk diajak bermusyawarah. Menurut pelaporan dua orang jagoan itu, rakyat memang
sedang bergolak dan nampak tanda-tanda bahwa rakyat akan bergerak menentang pemerintah,
dipanaskan oleh gerakan para pendekar. Pelopor utama adalah seorang jago pedang yang terkenal
bernama Liu Pang yang oleh rakyat jelata diangkat menjadi semacam bengcu (pemimpin rakyat) dan
yang bermarkas di Puncak Awan Biru di Pegunungan Fu-niu-san. Selain Liu Pang ini, juga masih ada
seo-rang lagi keturunan Jenderal Chu yang pernah menjadi musuh besar kaisar ketika masih menjadi
Raja Chin, yaitu yang bernama Chu Siang Yu yang bermarkas di sepanjang Lembah Yang-ce. Anak
buah Chu Siang Yu telah banyak dihancurkan oleh dua orang jagoan istana ini di sepanjang Sungai
Yang-ce, akan tetapi itu hanya merupakan sebagian saja dari pada kekuatan para pemberontak yang
ma-sih berkeliaran. Menurut penyelidikan dua orang jagoan istana itu, Liu -twako, demikian sebutan
umum untuk Liu Pang, memiliki pengaruh yang amat besar di kalangan rakyat dan para pendekar.
Anak buahnya banyak sekali. Juga dia memiliki hubungan yang amat luas di dunia kang-ouw.
Bukan ini saja yang dilaporkan oleh dua orang jagoan itu. Juga mereka melaporkan bahwa kaum ses
***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To Register.]***
anggi. Di atas istana-istana mereka kadang-kadang nampak bayangan dua orang yang berkeliaran
dan yang berilmu amat tinggi. Para pengawal tidak ada yang mampu mengejar mereka sehingga
mereka itu tidak diketahui benar bagaimana macamnya. Bahkan dua bayangan orang itu pernah
muncul di atas istana kaisar ! Peristiwa ini terjadi ketika dua orang jagoan itu sedang melaksanakan
perintah kaisar sehingga tidak berada di istana. Juga Siang Houw Nio -nio tidak berada di istana
karena diutus membujuk Wakil Perdana Menteri Kang yang ikut-ikut menentang pemerintah dan
hendak mengun-durkan diri itu.
Demikianlah, para menteri, juga Siang Houw Nio-nio, mendengarkan penuturan ini dengan hati ikut
gelisah melihat perkembangan keadaan yang tidak menguntungkan itu. Bagaimanapun juga, tentu
saja kaisar dan juga mereka tidak ingin melihat rakyat memberontak.
"Semua ini adalah kesalahan para menteri yang tidak setia !" Tiba -tiba terdengar Perdana Menteri Li
Su berkata setelah memberi hormat kepada kai-sar. "Para menteri dan pejabat yang menentang
kebijaksanaan sri baginda, itulah yang menyebar-kan hasutan kepada rakyat, memberi contoh ketidaksetiaan
yang besar. Dosa mereka itu amat hebat dan mereka sepatutnya dihukum berat beserta
seluruh keluarga mereka. Kalau tidak demikian, ka-lau pemerintah hanya menghukum orangnya saja,
tentu sanak keluarganya akan mendendam dan menghasut rakyat untuk memberontak!"
Ucapan Perdana Menteri Li Su ini memancing datangnya pendapat-pendapat yang berbeda anta-ra
para menteri dan pejabat tinggi yang hadir se-hingga keadaan menjadi ramai dengan suara mere-ka,
dunia-kangouw.blogspot.com
seperti sarang tawon yang diganggu. Melihat ini kaisar mengerutkan alisnya dan memberi isya-rat
kepada Pek -lui -kong Tong Ciak. Si cebol ini mengangkat kedua tangan ke atas dan terdengar
suaranya yang bergema dan melengking nyaring, mengandung getaran kuat karena dikeluarkan dengan
dorongan tenaga khikang.
"Cu-wi harap tenang dan dengarkan amanat sri baginda !"
Mendengar suara yang amat berpengaruh ini, suasana menjadi sunyi sekali dan semua orang memandang
ke arah kaisar, walaupun mereka segera menundukkan muka kembali karena menentang
wajah kaisar lama -lama merupakan dosa besar !
Kaisar menarik napas panjang. Dalam keadaan seperti itu, terasa benar olehnya betapa para pembantunya
itu hanya merupakan sekelompok orang-orang tolol yang pandainya hanya menjilat -jilat
saja. Maka diapun lalu memandang kepada Siang Houw Nio-nio dan berkata, "Bibi yang baik, bagaimanakah
hasil pertemuan bibi dengan Menteri Kang ? Maukah dia kembali dan memangku
jabatannya sebagai wakil perdana menteri ?"
Pertanyaan ini menimbulkan ketegangan dan semua mata memandang kepada nenek itu. Memang
harus mereka akui bahwa di antara semua menteri, maka Wakil Perdana Menteri Kang adalah orang
yang paling berani bertindak tegas, bahkan paling berani menentang kebijaksanaan kaisar. Menteri
Kang adalah seorang yang memiliki wiba-wa besar sekali, dan juga amat bijaksana dan cer-dik
pandai. Setelah menteri itu meletakkan jabat-annya, keadaan menjadi semakin kacau dan ba-nyak
pejabat tinggi seperti kehilangan pegangan. Andaikata menteri itu masih ada, tentu dia akan dapat
bertindak dengan tegas dan cepat mengha-dapi pergolakan yang sedang terjadi. Semua orang tahu
bahwa seperti juga Menteri Kebudayaan Ho, maka wakil perdana menteri itupun seorang yang amat
disegani, bahkan dihormat dan dikagumi oleh para pendekar di dunia kang -ouw.
Dengan suara tenang dan sikap hormat, nenek Siang Houw Nio -nio lalu menceritakan hasil pertemuannya
dengan Menteri Kang. Diceritakannya betapa bekas wakil perdana menteri itu mau menjabat
lagi kedudukannya sebagai wakil perdana menteri asal dipenuhi syarat yang dimintanya, yai-tu
dibebaskannya bekas Menteri Ho dan juga para menteri yang ditahan atau dihentikan agar diam-puni,
dibebaskan dan dipekerjakan kembali.
"Menurut pendapat bekas Wakil Perdana Men-teri Kang, penangkapan dan pemecatan para men-teri
yang setia itulah yang menyebabkan terjadinya pergolakan dan ketidakpuasan di kalangan rakyat.
Oleh karena itu, dia sanggup bekerja lagi kalau sya-rat itu dipenuhi." Demikianlah Siang Houw Nio-nio
mengakhiri pelaporannya. "Kalau tidak, maka dia menyerahkan jiwa raganya kepada paduka sri
baginda."
Pelaporan nenek ini mengejutkan semua orang dan menimbulkan perdebatan sengit di antara mereka
yang hadir. Ada yang setuju agar kaisar me-menuhi tuntutan atau syarat itu, akan tetapi ada pula
yang tidak setuju.
"Bagaimana pendapatmu, Perdana Menteri Li Su ?" Akhirnya kaisar mengangkat tangan memberi
isyarat agar semua orang diam dan dia bertanya kepada perdana menterinya. Selama ini, perdana
menterinya itulah yang menjadi penasihat utama-nya, yaitu di kalangan para menterinya, sebagai
orang yang amat dipercayanya. Di dalam istana, sebagai penasihat pribadi, terdapat Chao Kao kepala
thaikam yang amat dipercayanya. Di antara kedua orang pembesar ini memang terdapat suatu
persekongkolan untuk mempertahankan keduduk-an, kekuasaan dan kepentingan-kepentingan pribadi
mereka.
"Hamba sangat khawatir kalau syarat yang di-ajukan oleh Menteri Kang itu dipenuhi, sri baginda
Pertama, Menteri Kang telah mengajukah permin-taan berhenti sendiri, berarti dia telah kehilangan
kesetiaan. Oleh karena itu, pengangkatannya kem-bali dengan memenuhi syarat yang dimintanya,
akan membuat dia merasa dimanja dan dipakai dan hal ini pasti akan menimbulkan watak angkuh,
sombong dan selanjutnya segala buah pikiran dan keinginannya tentu harus dipenuhi. Ke dua, membebaskan
para menteri dan pejabat yang berkhia-nat dan berani menentang kebijaksanaan paduka,
apa lagi memakai mereka kembali sebagai pejabat, sama saja dengan mengumpulkan pengkhianatpengkhianat
yang kelak akan membahayakan kedu-dukan paduka. Dan ke tiga, Menteri Ho adalah
orang yang paling besar dosanya, yang terang -te-rangan menentang kebijaksanaan paduka dan
meng-hasut orang -orang kang -ouw untuk memberontak. Pergaulannya dengan orang -orang kang -
dunia-kangouw.blogspot.com
ouw amat luas, maka kalau dia dibebaskan, tentu akan me-nambali berani kepada para
pemberontak."
"Akan tetapi, justeru Menteri Ho itulah yang menjadi tuntutan utama dari Menteri Kang, karena menteri
kebudayaan itu adalah sahabat baiknya, juga merupakan penasihat utamanya," nenek Siang Houw
Nio -nio memotong.
Mendengar ini, kaisar lalu mempersilahkan pa-ra menteri dan ponggawa yang hadir untuk mengajukan
pendapat -pendapat mereka masing -masing. Dan terjadilah perdebatan sengit, Tentu saja
banyak menteri dan pejabat yang diam -diam telah menjadi kaki tangan Perdana Menteri Li Su dan
mereka ini dengan sendirinya mendukung pendapat perdana menteri itu. Akan tetapi ada beberapa
orang menteri yang menjadi sahabat bekas wakil perdana menteri, mencoba untuk mendebat mereka.
Perdebatan itu dibiarkan saja oleh kaisar yang men-dengarkan dengan penuh perhatian,
mendengarkan setiap pejabat yang mempertahankan kebenaran pendapatnya sendiri. Tentu saja, di
samping kai-sar yang mendengarkan dengan penuh perhatian itu, terdapat seorang lain yang juga
mendengarkan dengan penuh perhatian, bahkan dengan jantung berdebar tegang dan badan terasa
panas dingin. Orang ini bukan lain adalah Ho Pek Lian! Siapa orangnya yang tidak akan menjadi
tegang hatinya kalau mendengarkan betapa ayahnya dijadikan pokok pembicaraan, bahkan
persidangan itu seo-lah -olah merupakan pengadilan terhadap nasib ayahnya ? Mati hidup ayahnya
tergantung dalam keputusan persidangan itu dan ia menghadiri dan menyaksikannya tanpa ada
seorangpun di antara mereka yang tahu bahwa anak tunggal dari Mente-ri Ho berada di situ !
Siang Houw Nio -nio mengerutkan alisnya men-dengar dalih -dalih yang dikemukakan oleh kelom-pok
pendukung Perdana Menteri Li Su. Nenek ini memang sudah mempunyai perasaan tidak suka
terhadap perdana menteri itu yang ia tahu adalah seorang yang pandai sekali mengambil hati kaisar,
dan pandai pula merebut kepercayaan kaisar, men-jilat -jilat dan bermuka -muka. Akan tetapi ia sendiri
tidak mau berpihak dalam urusan ini. Melihat betapa kaisar nampak bingung mendengar pendapat
-pendapat para menterinya yang seolah -olah terpecah menjadi dua itu, nenek Siang Houw Nionio
lalu mengemukakan pendapatnya dengan suara lantang.
"Cu-wi telah memperbincangkan keadaan se-karang, maka sekarang tinggal melakukan pilihan
antara dua kemungkinan. Pertama, menuruti per-mintaan Wakil Perdana Menteri Kang dan dialah
orangnya yang akan sanggup untuk menyelesaikan segala pergolakan dan keruwetan yang
mengancam negara ini dengan jalan damai. Atau, cu -wi meno-lak pemintaannya dan kita semua
menghadapi pemberontakan-pemberontakan dunia kang-ouw dan juga menghadapi pengacauan
kaum sesat. Ha-rap cu -wi suka mempertimbangkan baik -baik. Memilih yang pertama berarti keadaan
akan tetap tenang dan damai baik di kalangan pemerintah maupun di kalangan rakyat, atau memilih
yang ke dua dan berarti akan terjadi kerusuhan dan pem-bunuhan di mana -mana. Harap cu -wi ingat!
Orang -orang kang -ouw itu dengan ilmu mereka yang tinggi sanggup berkeliaran di wuwungan rumah
-rumah, baik rumah rakyat, rumah cu -wi sendiri maupun di istana -istana."
Tentu saja peringatan ini membuat semua orang merasa ngeri. Akan tetapi Perdana Menteri Li Su
sudah memandang kepada nenek itu dengan sinar mata penuh selidik dan penasaran.
"Apakah Nio -nio hendak berpihak kepada para menteri jahat yang tidak setia dan berami membangkang
terhadap sri baginda itu ? Dosa mereka terlalu besar. Mereka sepatutnya dihukum mati
bersama seluruh keluarga mereka untuk menjadi contoh bagi rakyat agar tidak ada yang berani menentang
kekuasaan sri baginda, bukannya diangkat kembali yang akan membuat mereka menjadi
kepa-la besar !"
"Harap paduka tidak menuduh yang bukan-bukan. Saya sama sekali tidak mau memihak sia-papun
juga dalam soal ketidakcocokan pendapat antara kalian! Akan tetapi, betapa bodohnya un-tuk
bertengkar antara rekan sendiri selagi negara berada dalam bahaya pergolakan dan pembe-rontakan.
Dalam keadaan seperti ini, seorang peja-bat yang setia akan memikirkan keselamatan nega-ra, sama
sekali tidak akan memperdulikan perasa-an -perasaan pribadi. Saya bicara bukan karena berpihak,
melainkan mengingat akan keselamatan negara!"
Mendengar semua perdebatan itu, Kaisar Cm Si Hong-te menjadi semakin bingung. Memang pendapat
yang saling bertentangan itu ada benarnya. Dan para menteri yang menunjang pendapat
Perdana Menteri Li Su adalah menteri -menteri yang pandai menyenangkan hatinya, selalu setia dan
ta-at, tidak pernah membantah atau menentang kebi-jaksanaannya, bahkan mendukung semua
dunia-kangouw.blogspot.com
kebijak-sanaan yang diambilnya sepenuhnya. Mereka itu selalu berusaha untuk menyenangkan diri,
sedang-kan para menteri yang bertentangan dan yang men-dukung pihak Menteri Kang adalah
mereka yang suka cerewet, banyak membantah dan banyak me-nentang kebijaksanaannya,
membuat dia kadang-kadang merasa penasaran dan marah. Tentu saja di dalam hatinya dia condong
membenarkan Per-dana Mentei Li Su dan para menteri pendukungnya. Akan tetapi, kaisar juga bukan
seorang bodoh yang tidak dapat melihat keadaan. Keadaan negara benar-benar terancam. Kalau api
pemberontakan yang baru mulai bernyala ini tidak segera dipadamkan, maka keadaan akan benar -
benar berbahaya dan api pemberontakan itu akan dapat membakar selu-ruh negeri. Dan agaknya,
satu -satunya jalan untuk mencegah api itu berkobar, adalah kembalinya Wa-kil Perdana Menteri
Kang. Akan tetapi, dia tahu bahwa kembalinya menteri yang keras hati ini tidak menyenangkan hati
Perdana Menteri Li dan teman-temannya. Lalu bagaimana baiknya ?
Akhirnya, dengan pandang mata penuh harap kaisar itu menoleh ke arah Siang Houw Nio-nio dan
bertanya, "Bibi yang baik, bagaimanakah menurut pendapatmu ?"
"Harap paduka mengampuni hamba kalau hamba katakan bahwa hak itu sepenuhnya terserah
kepada kebijaksanaan paduka sendiri. Bagi hamba, yang terpenting adalah keselamatan sri baginda
dan kerajaan, hal-hal lainnya hamba tidak perduli. Bagi hamba, siapa saja yang membahayakan keselamatan
sri baginda maupun tahta paduka, baik itu datang dari orang-orang yang memberontak maupun
dari orang -orang kita sendiri yang tidak becus mengatur negara sehingga membikin bahaya
kedu-dukan paduka, akan hamba sikat dan basmi sampai habis !" Suara nenek itu berapi -api penuh
sema-ngat ketika ia mengucapkan kata-kata ini dan Perdana Menteri Li Su bersama teman -temannya
mengerutkan alis karena mereka merasa seolah-olah sebagian dari pada ancaman nenek itu ditujukan
kepada mereka.
Sri baginda kaisar mengangguk-angguk men-dengar ini. Kemudian dia menoleh ke arah dua orang
jagoannya yang berdiri di belakangnya, dan berkata kepada jenderal tinggi besar yang gagah perkasa
itu, "Jenderal Beng Tian, bagaimana pen-dapatmu ?"
Jenderal itu terkejut, tidak menyangka bahwa pendapatnya ditanya oleh junjungannya. Biarpun dia
merupakan seorang yang amat dipercaya oleh kaisar, akan tetapi dia hanyalah petugas pelaksana,
melaksanakan semua perintah kaisar dan tidak per-nah mencampuri urusan politik, walaupun di sudut
hatinya dia merasa kagum dan suka sekali kepada Menteri Kebudayaan Ho Ki Liong dan juga Wakil
Perdana Menteri Kang.
"Hamba ? Pendirian hamba tiada bedanya dengan pendirian yang mulia Siang Houw Nio-nio tadi.
Hamba bukanlah seorang ahli pikir yang pandai. Yang hamba ketahui hanyalah perang dan berkelahi
dengan setia untuk menjunjung paduka dan negara yang akan hamba bela sampai titik da-ah terakhir.
Siapapun yang berani merongrong ke-kuasaan paduka dan kerajaan akan hamba mus-nahkan !"
Kembali kaisar mengangguk -angguk dan kini dia memandang kepada si cebol Pek-lui-kong Tong
Ciak. "Dan bagaimana dengan pendapatmu ?"
Tong Ciak menjatuhkan diri berlutut. "Hamba adalah seorang pengawal istana yang bertanggung
jawab atas keselamatan sri baginda dan keluarga, oleh karena itu, segalanya terserah kepada keputusan
paduka. Hanya satu hal yang hamba keta-hui, yaitu menyerahkan nyawa bagi keselamatan
paduka sri baginda dan sekeluarga kerajaan. Persoalan lain-lainnya hamba tidak bisa memikirkannya.
Pada hakekatnya, pendapat tiga orang pelin-dungnya itu sama saja. Kaisar menjadi semakin
bingung. Pikirannya bercabang dua dan dia mera-sa sulit untuk dapat mengambil keputusan, memilih
mana yang tepat, baik dan menguntungkan. Tiba -tiba seorang kakek berpakaian seperti pende-ta
yang sejak tadi diam saja dan duduk dengan antengnya di sebelah kanan kaisar, bangkit berdiri dari
tempat duduknya, menghampiri ke arah kaisar dan mengebut -ngebutkan ujung lengan bajunya
sebagai tanda penghormatan lalu menjura dengan dalam. Semua orang memandang dan ingin tahu
apa yang akan dikatakan oleh pendeta ini. Kakek ini adalah Bu Hong Sengjin, berusia hampir tujuhpuluh
tahun, berwajah lembut. Bu Hong Sengjin adalah seorang tosu (pendeta Agama To) yang
menjadi kepala paderi dari kuil agung yang ber-ada di dalam lingkungan istana. Kuil Thian -to-tang itu
adalah kuil bagi kaisar dan para bangsawan, dan mereka yang menjadi tosu dalam kuil itu ada-lah
para bangsawan kerajaan sendiri. Bu Hong Sengjin sendiripun seorang bangsawan karena dia masih
terhitung paman dari kaisar sendiri. Pada waktu itu, banyak sekali bangsawan -bangsawan yang
dunia-kangouw.blogspot.com
setelah tua lalu menjadi paderi dengan mak-sud untuk menyucikan diri atau untuk mempersiap-kan
diri menghadapi kematian agar jiwanya bersih !
Betapa palsunya kita manusia ini! Kita selalu ingin senang, ingin enak sendiri. Sewaktu muda, kita
mengumbar nafsu angkara sesuka hati, tanpa memperdulikan apakah tindakan -tindakan kita itu
merugikan orang lain ataukah tidak. Hidup kita dipenuhi dengan tindakan -tindakan yang merugikan
orang lain dan bergelimang dengan dosa. Se-telah kita menjelang tua, barulah kita ingin mero-bah
jalan hidup, bukan karena penyesalan dan karena kesadaran bahwa jalan hidup kita yang lalu itu
kotor dan tidak benar, melainkan terdorong rasa takut akan akibat perbuatan -perbuatan itu, takut
kalau -kalau setelah mati kita akan tersiksa dan terhukum, akan tidak kebagian tempat yang baik dan
menyenangkan. Betapa palsunya ini. Di wak-tu muda mengejar kesenangan sampai lupa diri, di waktu
tua masih saja mengejar kesenangan yang diharapkannya akan didapatkan di "sana" kelak. Apa
bedanya ini ?
Yang terpenting sekali adalah sekarang ini ! Saat ini! Setiap saat kita harus sadar dan mawas diri.
Perbuatan tidak dapat dinilai dan dibanding-bandingkan. Manusia hidup berhak untuk menge-cap dan
menikmati kesenangan hidup. Bukan ber-arti kita harus sejak muda hidup sebagai pertapa dan
pantang akan segala kesenangan, menjauhi se-gala kesenangan ! Sama sekali tidak, karena inipun
pada hakekatnya hanyalah mengejar kesenangan yang lain lagi, yang kita namakan kebahagiaan
batin dan sebagainya. Akan tetapi, yang penting kita harus selalu mengamati semua gerak -gerik
badan dan batin kita penuh kewaspadaan. Hanya perbuatan yang didasari cinta kasih sajalah yang
murni dan tidak dapat dinilai baik atau buruk. Dan perbuatan yang didasari cinta kasih sudah pasti
tidak akan merugikan orang lain baik lahir maupun batinnya. Karena cinta kasih itu berarti bebas dari
kebencian, iri hati, cemburu, pementingan diri pribadi.
Baik hanya sebuah kata sebutan, hanya sebuah pendapat. Maka kalau kita INGIN baik, berarti kita
ingin disebut baik, dan di balik "keadaan baik" ini tentu mengandung pamrih untuk mendapatkan
sesuatu, pahala anugerah maupun imbalan jasa dari "kebaikan" itu sendiri. Dan jelas ini bukan baik
lagi namanya, melainkan kemunafikan, kepu-ra -puraan karena "kebaikan" itu hanya dilakukan secara
palsu, untuk memperoleh pamrih yang ter-sembunyi di baliknya. Karena itu, bagi orang yang memiliki
cinta kasih dalam hatinya, dalam setiap perbuatannya yang disinari cinta kasih, tidak ada istilah baik
atau buruk. Dia tidak akan menilai, tidak akan tahu apakah yang dilakukannya itu baik atau buruk, dan
penilaian orang lain tidak akan mempengaruhinya. Cinta kasih itu indah, cinta kasih itu sederhana,
seperti indah dan sederhana-nya bunga mawar yang harum semerbak, seperti indah dan
sederhananya sinar matahari pagi. Ke-sederhanaan bukanlah hidup bercawat di puncak bukit
memamerkan "kesederhanaannya" kepada setiap orang yang datang untuk memujanya. Kesederhanaan
berarti kewajaran tanpa pamrih, tanpa kepalsuan, tidak dibuat-buat, hanya didasari cinta
kasih.
Setelah memberi hormat, Bu Hong Sengjin lalu menanti teguran atau pertanyaan sri baginda. Melihat
kakek ini bangkit berdiri, agaknya kaisar itu baru sadar bahwa kepala kuil istana ini selain menjadi
pamannya, juga menjadi seorang di antara para penasihat kaisar. Maka diapun cepat berkata
setelah menerima penghormatan itu, "Ahh... , hampir aku melupakan kehadiran orang -orang tuaku
yang dapat menasihatiku. Paman yang mulia, bagaimanakah menurut pendapatmu ?"
Pendeta itu dengan tenangnya menjura lagi, kemudian terdengar suaranya yang lembut. Semua
orang mendengarkan dengan penuh perhatian se-hingga suasana di ruangan itu sunyi sekali dan
suara yang lembut dan tenang itu terdengar satu-satu, "Bagi seorang yang mencinta kedamaian seperti
hamba, cara yang terbaik haruslah mengingat akan keselamatan semua pihak. Baik
keselamatan paduka dan kerajaan, keselamatan para pejabat, keselamatan rakyat dan lain -lain. Kita
harus menghindarkan segala pertentangan yang mengaki-batkan pertumpahan darah. Hamba kira,
jalan satu-satunya untuk itu hanya memanggil kembali Wakil Perdana Menteri Kang yang telah kita
ketahui pengaruhnya terhadap rakyat, agar dia memangku kembali jabatannya agar suasana keruh
dapat dijernihkan kembali. Mengenai para menteri yang dijadikan syarat kembalinya Wakil Perdana
Menteri Kang, dapat dipertimbangkan dan dimusyawarahkan kembali tanpa meninggalkan
kepentingan yang menyangkut persoalan itu dari segala pihak. Misalnya, pengampunan dan
penempatan kembali para menteri itu dapat dilakukan dengan syarat-syarat berat tertentu yang akan
mengikat mereka."
Mendengar ucapan yang dikeluarkan dengan kata-kata yang lugu, suara yang lembut dan jelas itu,
wajah sri baginda kaisar nampak berseri. Kai-sar Cin Si Hong-te bangkit dari tempat duduknya dan
dunia-kangouw.blogspot.com
menggerakkan tangannya menunjuk kepada jenderal Beng Tian, tangan kirinya memegangi ka-lung
mutiara dan matanya bersinar -sinar.
"Bagus ! Benar sekali itu ! Begitulah keputusanku. Jenderal Beng Tian, sekarang juga kau pergi-lah
dan panggil Menteri Kang ke sini! Semua syaratnya akan kupenuhi. Bawalah surat perintah dariku !"
Kaisar menengok ke arah sudut di mana seorang petugas yang berpakaian sebagai sastera-wan telah
menuliskan surat perintah itu dengan cekatan. Setelah membubuhi cap sebagai tanda kekuasaan
kaisar, surat itu diberikan kepada Jen-deral Beng Tian dan kaisar berkata, "Selain Men-teri Kang, juga
perintahkan agar para menteri yang ditahan agar semua menghadap ke sini!"
Para pejabat tinggi yang mendukung Menteri Kang tentu saja menjadi gembira sekali dan hati mereka
merasa lega. Tentu saja Perdana Menteri Li Su dan kaki tangannya mengerutkan alis dan merasa
penasaran, tidak puas walaupun mereka tidak berani membantah keputusan yang diambil oleh kaisar.
Mereka juga merasa khawatir karena mereka tahu bahwa para menteri itu, di bawah pimpinan Wakil
Perdana Menteri Kang, akan selalu menentang dan memusuhi mereka.
Ho Pek Lian merupakan orang yang paling gembira mendengar keputusan kaisar itu. Hampir saja ia
lupa diri dan bersorak kegirangan. Untung ia masih ingat akan keadaan dan ia hanya menun-dukkan
muka menyembunyikan senyum di wajahnya yang mendadak menjadi berseri-seri itu.
Setelah Jenderal Beng Tian berangkat, persi-dangan dibubarkan. Para menteri siap untuk mengundurkan
diri. Sebelum kaisar meninggalkan ruangan, Siang Houw Nio-nio yang bertugas menga-wal
kaisar sampai ke bagian dalam istana, berkata kepada dua orang muridnya, "Ajaklah kawanmu
pulang dulu. Nanti aku menyusul setelah selesai tugasku di sini."
Setelah kaisar meninggalkan ruangan itu, baru-lah para menteri bubaran dan mereka itu tentu saja
berkelompok, memilih kelompok masing-masing dan ramailah mereka membicarakan keputusan
menghebohkan yang baru saja diambil oleh kaisar.
Rakyat di manapun juga di dunia ini mengha-rapkan kemakmuran dalam hidup. Makmur dalam arti
kata lahir batin. Makmur lahiriah adalah mu-rahnya sandang pangan sehingga nilai tenaga ma-nusia
dihargai dan cucuran keringat dari pekerja mendatangkan hasil yang lebih dari cukup untuk keperluan
hidup yang pokok. Makmur batiniah adalah hidup dalam suasana aman tenteram bebas tanpa adanya
penindasan dari yang kuat terhadap yang lemah, dari yang berkuasa terhadap rakyat jelata, merasa
terjamin keselamatan dan kebebasan dirinya lahir batin. Dan kemakmuran seperti itu tidak mungkin
terlaksana kalau pemerintahnya ti-dak baik. Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang
dikemudikan oleh alat pemerintah yang ca-kap dan sehat lahir batin. Karena alat pemerintah
merupakan kelompok bertingkat, maka sudah ba-rang tentu tingkat yang tertinggi haruslah benar dan
bersih. Dalam sebuah kerajaan, kalau sang raja tidak bersih dan korup, mana mungkin mengharapkan
para pejabat dan pembantunya bersih ? Seba-liknya kalau sang raja benar -benar bersih dan
sehat, tentu dia akan mampu untuk menegur, me-mecat atau menghukum para pembantunya yang
menyeleweng dan korup, lalu memilih pembantu-pembantu puncak yang jujur dan bersih agar para
pembantu puncak ini dapat pula membersihkan ba-wahan -bawahannya. Karena, kalau bukan atasannya
sendiri, siapa lagi di antara rakyat yang berani menentang kekuasaan orang yang sedang diberi
kursi kekuasaan ? Rakyat tidak akan berani menen-tang lurahnya yang korup. Yang dapat
menentang-nya hanyalah atasan sang lurah itu, yaitu camat atau bupati misalnya. Dan sang
bupatipun kalau menyeleweng hanya dapat ditentang oleh atasan-nya pula. Jadi jelaslah bahwa sang
atasan yang duduk paling tinggi dan memegang Kekuasaan paling besar yang harus lebih dulu
bersih, dalam hal sebuah kerajaan adalah sang raja sendiri.
Sayanglah bahwa kebanyakan raja bersikap ke-ras menekan justeru terhadap rakyatnya, bukan
terhadap para pembantunya. Para pembantu itu hanya menurut atasan. Kalau atasannya korup, maka
para pembantunya juga mendukung keko-rupan itu atau penyelewengan itu. Kalau atasan-nya jujur
dan bersih, para pembantunya akhirnya terpaksa akan mendukung kejujuran dan kebersih-an itu. Ini
sudah menjadi watak manusia pada umumnya yang ingin bermuka-muka kepada atasan.
Raja juga seorang manusia. Dan manusia itu lemah terhadap kesenangan. Oleh karena itu, banyak
raja yang jatuh hanya karena mengejar ke-senangan sehingga melupakan kewajibannya yang besar,
yaitu mengatur pemerintahan yang bersih agar kemakmuran mungkin dapat dinikmati oleh rakyat
jelata. Rakyat jelata yang selalu diam itu amatlah awas. Kalau ada raja yang bertindak bi-jaksana dan
membersihkan para pembantunya dari penyelewengan, maka sudah dapat dipastikan bah-wa rakyat
dunia-kangouw.blogspot.com
pada umumnya akan setuju sepenuhnya. Yang dimaksudkan dengan rakyat di sini adalah rakyat
jelata yang tidak ada sangkut -pautnya de-ngan segala perbuatan korupsi. Tentu saja tindakan raja
yang membersihkan para pembantunya dari tindakan korupsi itu akan ditentang oleh mereka yang
sudah biasa melakukan perbuatan itu, sudah biasa menyalahgunakan kedudukannya untuk me-meras
dan memperoleh hasil -hasil yang tidak wa-jar dari rakyat. Akan tetapi mereka ini tidak masuk
hitungan rakyat, bahkan menjadi penjegal kemak-muran rakyat!
Tak dapat disangkal bahwa ada sebagian rakyat yang sengaja mempergunakan uang untuk menyogok
para pejabat. Hal ini dilakukan bukan karena paksaan pejabat itu lagi, melainkan karena si penyogok
itu mempunyai pamrih lain, yaitu dengan jalan menyogok dia akan memperoleh kesempatan
dan wewenang yang akan mendatangkan hasil yang lebih besar lagi. Penyogokannya itu sama
dengan memberi umpan untuk mendapatkan ikan. Akan tetapi, hal ini hanya merupakan akibat atau
lan-jutan dari pada penyelewengan si pejabat. Karena kalau raja sudah berhasil membersihkan
seluruh pembantunya dari pada watak menyeleweng, maka para pejabat yang sudah bersih itu sendiri
yang akan menindak dan menghukum orang -orang yang membujuk dan hendak menyogoknya
dengan uang. Dengan demikian, maka segalanyapun akan beres dan bersih. Atasan ditindak oleh
atasannya, atasan menindak bawahan dan bawahan yang menjadi petugas dan pelaksana menindak
rakyat yang hendak menyeret mereka ke dalam penyelewengan.
Tentu saja hal ini tidaklah semudah dibicara-kan. Untuk dapat berhasil membutuhkan suasana dan
keadaan yang dapat menimbulkan gairah dan semangat untuk kebersihan itu. Dan rakyat sudah pasti
akan mendukung sekuat tenaga. Rakyat sela-lu mengidamkan kemakmuran dan kesejahteraan.
Sayang bahwa Kaisar Cin Si Hong-te masih terombang-ambing oleh pengejaran kesenangannya diri
sendiri. Bahkan keputusan yang dikeluarkan-nya itu pun bukan didasari kesadaran hatinya, melainkan
didasari perhitungan untung rugi bagi diri-nya, bagi kerajaan, bukan bagi rakyat jelata. Dia
lupa bahwa raja dan pemerintah diadakan untuk rakyat jelata! Tanpa rakyat, apa artinya negara ? Apa
artinya kaisar ?
********************
Ho Pek Lian ikut bersama Pek In dan Ang In keluar dari istana kaisar melalui pintu samping yang
menembus melalui sebuah taman yang luas di mana terdapat banyak jembatan -jembatan yang
bercat dan terukir indah menyeberangi sungai-sungai buatan kecil yang penuh dengan ikan -ikan
emas dan bunga teratai. Kembali Pek Lian merasa kagum bukan main karena selama hidupnya
belum pernah ia melihat taman bunga seluas dan seindah ini. Kiranya tempat tinggal Siang Houw Nio
-nio juga berada di kompleks istana, tidak begitu jauh dari bangunan induk yang menjadi tempat
tinggal kaisar. Sebagai seorang pengawal pribadi, tentu saja ia harus selalu dekat dengan kaisar
sehingga dalam sekejap saja dapat dipanggil kalau kaisar memerlukannya. Bahkan ada rahasia
antara kamar kaisar dan kamar Siang Houw Nio-nio, rahasia yang hanya diketahui oleh mereka
berdua. Kalau kaisar menarik tali tertentu, sebuah kelenengan ke-cil akan bergenta di kamar nenek
itu. Genta kecil ini tentu saja dihubungkan dengan tali halus yang dipasang secara rahasia, melalui
taman bunga.
Ketika Pek In dan Ang In tiba di pintu gedung yang cukup indah itu, mereka disambut oleh para
pelayan wanita yang bukan hanya berwajah can-tik -cantik akan tetapi juga dari gerak -gerik me-reka
dapat diketahui bahwa mereka itu rata -rata memiliki ilmu silat yang tinggi!
"Heii ! Nona Pek dan nona Ang sudah kembali!" kata mereka dengan nada suara gembira.
Kedua orang nona itu tersenyum lalu memperkenalkan Pek Lian kepada mereka. Para pelayan itu
yang berpakaian sebagai dayang-dayang me-nyambut Pek Lian dengan ramah. Kemudian Pek Lian
diajak melihat -lihat gedung kecil mungil yang indah itu. Di situ terdapat ruangan berlatih silat yang
cukup luas, ada tempat samadhi, tempat di mana disimpan abu leluhur yang menjadi semacam
tempat sembahyang, ada ruangan tamu yang indah, mangan duduk, ruangan makan dan sebagainya.
Gedung itu sungguh indah sekali, jauh lebih megah dan indah dibandingkan dengan gedung
tempat tinggal keluarga ayannya sebagai menteri kebudayaan. Mungkin kemenangan satu -satunya di
gedung keluarga Ho adalah tergantungnya lukis-an -lukisan dan tulisan -tulisan bagus yang dihadiahkan
oleh para sasterawan dan seniman kepada Menteri Ho.
"Apakah subomu tinggal di sini ?" tanya Pek Lian kepada mereka. Pek In menggeleng kepa-lanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tidak. Hampir setiap malam subo tidur di da-lam istana, tidak jauh dari kamar sri baginda. Su-bo
mempunyai sebuah kamar indah pula di sana. Hanya kadang -kadang saja subo ke sini. Gedung ini
adalah bekas tempat tinggal kakak sepupunya yang meninggalkan istana dan tidak menempatinya
lagi. Lalu gedung ini oleh sri baginda kaisar diha-diahkan kepada subo ketika subo meninggalkan
suhu dan mengabdikan diri ke dalam istana. Kare-na subo sendiri bertugas menjaga keselamatan sri
baginda, maka gedung ini lalu oleh subo diserah-kan kepada kami berdua untuk menempatinya
bersama dayang-dayang kami." Pek In menun-juk kepada para dayang yang sedang sibuk bekerja
dengan wajah berseri.
Pek Lian memandang kepada mereka dan mak-lum bahwa mereka itu adalah anggauta-anggauta
kelompok wanita bertusuk konde kemala yang lihai-lihai. Ia menghela napas panjang. "Dayangdayangmu
itu sungguh lihai-lihai sekali." Ia teringat betapa ia pernah jatuh ke tangan mereka, bahkan
menjadi tawanan mereka.
Pek In dan Ang In tersenyum, lalu Ang In yang menjawab, "Hal itu tidak mengherankan karena
mereka itu langsung menerima pelajaran dari subo, tidak ada bedanya dengan kami berdua. Hanya
saja, kami berdua adalah murid -murid utama, ten-tu saja mempelajari ilmu yang lebih tinggi dari pada
mereka."
Ruangan sembahyang, di mana abu leluhur di-simpan, merupakan bagian terakhir dari gedung itu
yang mereka masuki. Ketika mereka masuk, Pek In mengerutkan alisnya. Sepasang matanya yang
bening itu memandang ke sana -sini dengan sinar mata menyelidik. Pandang mata tajam dari nona ini
dapat melihat adanya bekas-bekas abu dan ada beberapa batang hio yang tinggal gagang-nya saja
menancap di tempat dupa, batang hio yang masih baru, berbeda dengan yang sudah lama. Dari ini
saja Pek In dapat menduga bahwa baru beberapa hari yang lalu ada orang membakar hio di tempat
itu. Segera dipanggilnya pelayan. De-ngan cepat, tiga orang pelayan sudah berdatangan ke ruangan
itu.
"Siapakah yang datang untuk bersembahyang di sini beberapa hari yang lalu ?" tanya Pek In.
Akan tetapi, sungguh mengherankan hati Pek In dan Ang In ketika mendengar bahwa tidak ada
seorangpun di antara para pelayan yang tahu. Me-nurut mereka, ruangan itu selalu tertutup pintunya
dan jarang sekali dimasuki mereka, kecuali kalau mau membersihkan. Itupun dilakukan paling cepat
dua minggu sekali. Selama ini, tidak ada pelayan yang masuk ke situ, sedangkan kedua orang nona
itu bersama subo mereka juga selama beberapa hari. pergi keluar kota. Kalau ada orang luar
memasuki ruangan itu, sudah pasti para pelayan itu akan melihatnya. Mereka semua adalah
anggauta -ang-gauta pasukan wanita bertusuk konde kemala, ra-ta -rata memiliki kepandaian tinggi
sehingga rasa-nya mustahil kalau ada orang masuk tanpa mereka ketahui.
Jilid X
MELIHAT ketegangan menyelimuti wajah me-reka itu, Ho Pek Lian lalu tersenyum dari berkelakar,
"Wah, jangan-jangan yang datang adalah orang -orang yang dikabarkan berkeliaran di istana -istana
di waktu malam itu! Siapa tahu mereka itu mendengar akan kecantikan kalian ber-dua, lalu datang ke
sini akan tetapi karena kalian tidak ada, mereka lalu iseng-iseng membakar hio!"
"Ih, genit kau!" Ang In berseru dan mencubit lengan Pek Lian yang mengelak sambil tertawa. Wajah
Pek In dan Ang In berobah merah oleh ke-lakar itu.
Sebelum dua orang gadis itu dapat membalas, tiba-tiba terdengar suara orang-orang di serambi
depan. Kiranya nenek Siang Houw Nio -nio datang bersama seorang tamu.
"Wah, subo datang membawa tamu," kata Pek In. Mereka lalu meninggalkan ruang sembahyang itu,
menutupkan daun pintunya lalu menuju ke ruang-an depan. Terdengar suara Siang Houw Nio-nio
bercakap-cakap dengan tamunya. Pek Lian merasa jantungnya berdebar tegang ketika mengenal
suara tamu itu. Ternyata ada dua orang tamu yang bukan lain adalah Jenderal Beng Tian dan si cebol
dunia-kangouw.blogspot.com
Tong Ciak! Juga dua orang gadis itu menahan langkah, tidak berani mengganggu ketika mereka
mengenal suara dua orang jagoan istana yang sakti itu.
"Kapankah Beng -goanswe berangkat ke tempat Menteri Kang ?" terdengar suara nenek itu berta-nya.
"Aku telah berjanji kepadanya untuk membe-ri kabar tentang keputusan kaisar dan dua hari telah
lewat. Tentu dia sangat menanti -nanti ke-datanganku."
"Saya menanti kembalinya Hek -ciangkun yang saya suruh menyusul paduka ke tempat Menteri
Kang, karena saya ingin memberi tugas baru kepa-da Hek -ciangkun agar pergi menjemput dan membawa
kembali Menteri Ho ke kota raja."
"Bagaimana dengan para menteri yang lainnya ?" tanya Siang Houw Nio -nio.
"Saya telah memerintahkan Liok -ciangkun un-tuk menghubungi kepala penjara agar membebas-kan
para menteri yang ditahan, dan menyuruh mencari para menteri yang telah dipecat, mengun-dang
mereka ke kota raja."
Si cebol Pek -lui -kong Tong Ciak yang sejak tadi diam saja menarik napas panjang dan berkata,
suaranya penuh kekecewaan, "Aah, banyak tenaga telah dibuang secara sia-sia belaka."
Jenderal Beng Tian menjawab ramah, "Memang, akan tetapi siapa mengira keadaan akan menjadi
berobah begini macam? Tong-ciangkun telah ikut memeras keringat membantuku ketika menga-wal
Menteri Ho sampai jauh sehingga tugas Tong-ciangkun sendiri yang menjadi pengawal di istana
hampir kebobolan! Untung bahwa dua orang maling yang aneh itu tidak membuat kerusakan apa -apa
di istana. Kalau kita tahu bahwa akhirnya sri baginda akan mengampuni dan memanggil kem-bali para
menteri itu, tentu aku tidak sampai me-mohon kepada sri baginda agar Tong-ciangkun membantu
dalam tugas-tugasku itu."
"Ah, Beng-goanswe terlalu sungkan. Kita sebagai rekan sudah selayaknya saling membantu. Pula,
kita tidak bisa tahu apa yang akan terjadi. Akupun menyadari betapa beratnya tugas Beng – goanswe
harus mengawal Menteri Ho yang terkenal dan dicinta oleh para pendekar itu secara rahasia, pada
hal pada waktu itu juga Beng -goanswe bertugas menumpas para pemberontak di Lembah Yang -ce.
Sesungguhnya, saya harus merasa malu karena kebodohanku dalam mengatur siasat sehingga
banyak anak buah goanswe yang tewas ketika kawan-kawan Menteri Ho melakukan penghadangan
ketika itu. Memang... aku cuma bisa berkelahi saja, sama sekali tidak mengerti akan siasat-siasat
perang seperti Beng-goanswe."
"Tidak mengapalah. Yang penting Menteri Ho dapat diselamatkan, dan itupun berkat bantuan
ciangkun dan kami sudah amat berterima kasih."
Pek -lui -kong Tong Ciak menarik napas pan-jang. Dia teringat akan peristiwa penghadangan kereta
yang ditumpangi Menteri Ho sebagai tawan-an itu. Betapa dia hampir saja gagal mempertahan-kan
tawanan itu. Tak disangkanya akan muncul si pemuda kusir kereta yang memiliki kesaktian luar biasa
itu. Untung pemuda itu berotak miring se-hingga perkelahian tidak dilanjutkan. Kalau sampai
dilanjutkan, mungkin saja tawanan sudah dirampas oleh para pemberontak. Pemuda itu lihai bukan
main. Dia sendiri, yang sudah mampu menyempur-nakan ilmunya sehingga mencapai tingkat terakhir,
yaitu tingkat tingkat tigabelas terpaksa ketika beradu tenaga, terdorong mundur ! Biarpun belum dapat
ditentukan siapa yang akan kalah atau me-nang kalau perkelahian diteruskan, akan tetapi ka-lau dia
harus sibuk menghadapi pemuda lihai itu, bukankah tawanan itu akan mudah dilarikan orang?
Pasukannya sudah terdesak ketika itu.
"Pembersihan yang kita lakukan di Lembah Yang-ce itu memang dapat dikata berhasil. Akan tetapi,
mereka itu hanya sebagian kecil saja dari pada gerombolan yang memberontak, yang kabarnya
semakin besar dan kuat, saja karena bantuan rakyat. Dan lebih mengkhawatirkan lagi adalah adanya
berita bahwa kaum sesat dari dunia hitam telah bangkit dan dipimpin oleh keturunan si raja kaum
hitam setengah abad yang lalu. Orang itu juga menamakan dirinya seperti leluhurnya yaitu Raja
Kelelawar! Hal ini sungguh mendatangkan kegelisahan. Mereka itu lebih kejam dan lebih ganas
dibandingkan dengan para pemberontak. Para pemberontak itu hanya menentang pemerintah, akan
tetapi kaum sesat itu tidak memakai peraturan lagi, mengganas dan melakukan kejahatan tanpa
pandang bulu, merusak kehidupan rakyat. Dan mereka itu memiliki kepandaian yang tinggi. Hemm,
ingin aku dapat bertemu dan berhadapan dengan iblis itu !" Jenderal Beng Tian mengepal tinjunya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Akupun sudah mendengar tentang itu," sambung Pek-lui-kong Tong Ciak. "Aku mendengar bahwa
dia memang sakti seperti iblis sendiri. Ja-ngan-jangan dialah yang mengunjungi wuwungan istana
beberapa malam yang lalu. Kim-i-ciangkun yang mengejar bayangan kedua orang itu melapor-kan
bahwa mereka memiliki gerakan cepat seperti setan, berloncatan dan berlarian di atas wuwungan
kompleks istana dengan amat ringannya dan sukar disusul. Siapa lagi yang mampu meninggalkan pasukan
pengawal yang rata-rata memiliki kepandaian yang cukup tinggi itu dengan mudah, kecuali iblis
itu sendiri ?"
"Hemm, benar kiranya dugaanmu itu, Tong-ciangkun. Di antara kita bertiga ini, akulah yang pernah
merasakan kelihaiannya."
"Ehh ......?" seru Jenderal Beng.
"Ahh... ?" Si pendek Tong Ciak juga berseru kaget dan heran.
"Sesungguhnyalah, baru kemarin aku bertemu dan bertanding melawan iblis itu. Dan terus terang saja
kuakui bahwa aku bukan tandingannya. Padahal waktu itu aku sudah dibantu oleh murid pertama dari
suamiku. Kami berdua terdesak dan nyaris tewas!"
Tentu saja dua orang jagoan istana itu tertegun. Hampir mereka tidak dapat menerima kebenaran
cerita itu kalau tidak mendengar sendiri dari mulut Siang Houw Nio-nio. Mereka tahu benar siapa
adanya wamta tua yang berada di depan mereka ini. Pengawal pribadi kaisar! Mereka tahu betapa
lihainya nenek ini dan merekapun sudah mendengar siapa pula suami nenek ini. Suhengnya sendiri,
ketua Partai Pedang Langit, keturunan Sin-kun Bu-tek, datuk besar utara jaman abad lampau. Mereka
sudah pernah samar-samar mendengar tentang apa yang telah terjadi antara suami isteri sakti itu.
Oleh karena itu, mereka merasa sungkan dan sungguhpun mereka merasa heran sekali mendengar
bahwa iblis Raja Kelelawar itu menye-rang si nenek yang dibantu oleh murid utama suaminya,
mereka tidak berani mendesak atau bertanya lebih lanjut.
Di dalam hati, kedua orang jagoan ini berdebar penuh ketegangan. Nenek ini memiliki ilmu
kepandaian yang hebat, tidak banyak selisihnya dengan mereka sendiri, dapat dikatakan setingkat.
Biarpun demikian, melawan iblis itu, padahal sudah dibantu oleh murid utama suaminya, masih kalah
dan nyaris tewas! Padahal, merekapun pernah melihat kelihaian murid utama itu, ialah Yap Kiong
Lee. Murid utama ini boleh dibilang telah mewarisi ilmu-ilmu kesaktian gurunya sehingga dapat dibilang
hampir selihai gurunya. Pemuda itu sering datang ke kota raja dan semua orang gagah di kota
raja mengenalnya.
"Hemm, jelas bahwa tentu iblis itu yang muncul di kota raja!" Pek-lui-kong berkata sambil mengepal
tinju. "Aku harus berhati-hati."
"Memang kita harus berhati -hati," kata Siang Houw Nio -nio. "Akan tetapi aku mendengar dari
pelaporan para dayang dari Pek-ji dan Ang-ji yang diutus oleh murid -muridku itu menyelidiki ke
tempat pertemuan kaum sesat, bahwa si iblis itu bersama dengan pembantunya akan mencari Tunghai-
tiauw (Rajawali Lautan Timur) yang pada waktu itu tidak muncul. Jadi, mungkin dia hanya lewat
saja di sini."
Si cebol mengangguk. "Menurut pengamatan paduka, benarkah iblis itu keturunan Si Raja Kelelawar
beberapa puluh tahun yang lalu seperti tersebut dalam dongeng-dongeng itu ?"
"Kurasa benar demikian, karena ilmu silat yang dimainkannya itu tentulah Kim -liong Sin -kun seperti
yang pernah kudengar, dan ilmu ginkang-nya itu tentulah Bu-eng Hwee-teng yang membuat aku mati
kutu. Kurasa, untuk masa kini, tidak ada lagi orang yang mampu menandinginya." Nenek itu
memandang kepada Pek-lui-kong dengan sinar mata tajam penuh selidik. Menurut penu-turan
Ouwyang Kwan Ek dalam percakapannya dengan suaminya, si cebol ini telah mencapai tingkat
tertinggi dalam perguruan Soa-hu-pai. Ingin sekali ia tahu, bagaimana jika si cebol ini menandingi
Raja Kelelawar. Mana yang lebih lihai antara ilmu si iblis itu, yalah Pat-hong Sin-ciang atau Kim-liong
Sin-kun dibandingkan dengan Ilmu Silat Teratai Soa-hu-lian dan Ilmu Pukulan Pusaran Pasir Maut ?
Pek-lui-kong Tong Ciak tersenyum dingin. "Hemm, sekali-kali aku ingin sekali berkenalan dengan
ilmu-ilmunya. Tentu saja hal itu akan sukar terkabul karena aku terikat oleh tugas di da-lam istana.
Akan tetapi, ingin sekali aku mencoba ilmuku, apakah mungkin dapat untuk dipakai menghadapinya ?
Kurasa, yang paling sukar dila-wan adalah Bu -eng Hwee -teng itu karena kalau benar dia telah
dunia-kangouw.blogspot.com
mewarisi ilmu itu dengan sempurna, kiranya di dunia ini sukar dicari orang yang akan mampu
menandingi kecepatannya. Kecuali apa bila locianpwe Sin -yok -ong hidup kembali. Akan tetapi,
dengan kecepatan gerak tangan Ilmu Silat Teratai Soa-hu-lian, kurasa iblis itu tidak akan mudah untuk
menundukkanku." Si cebol ini meng-akhiri kata-katanya dengan kalimat yang penuh dengan
kepercayaan akan kehebatan ilmunya sen-diri.
Ucapan itu bukan sekedar kesombongan kosong belaka. Semenjak dia berhasil mencapai tingkat
tertinggi dengan ilmu keturunannya, belum pernah ada lawan yang mampu mengalahkan dia. Apa lagi
jika dia mengeluarkan Ilmu Silat Soa-hu-lian karena kedua lengannya dapat bergerak dengan luar
biasa cepatnya sehingga nampak seperti ribu-an tangkai bunga teratai mencuat di antara daun-daun
teratai di telaga pasir. Karena ilmunya ini, selain julukan Pek-lui-kong (Malaikat Halilintar), diapun
kadang-kadang dijuluki Si Lengan Seribu.
Jenderal Beng Tian menarik napas panjang. Dia-pun amat tertarik. "Tentang Ilmu Bu-eng Hwee-.
teng itu, kurasa Tong -ciangkun salah duga kalau mengira tidak ada orang yang akan mampu menandinginya.
Ketika aku mengejar -ngejar ketua lembah, aku bertemu dengan seorang kakek yang
memiliki ginkang yang luar biasa hebatnya. Kakek itu dengan menggendong seorang gadis masih
mampu menggandeng tangan si ketua lembah dan melarikan diri bebas dari kepungan beribu orang
perajurit pilihan. Padahal di sana masih ada aku sendiri dan dua orang pengawalku. Bayangkan sa-ja
betapa hebat ginkangnya."
"Memang banyak terdapat orang-orang tak terkenal yang sakti," kata Siang Houw Nio-nio. "Para anak
buah Ang -ji yang beruntung dapat menyaksikan pertemuan rahasia kaum sesat itu mengatakan
bahwa seorang kakek telah berhasil menundukkan kesombongan iblis itu dalam ilmu ginkang yang
luar biasa. Kakek itu memperkenal-kan diri sebagai murid bungsu Sin-yok-ong (Raja Tabib Sakti)."
"Ohhh ! Jadi locianpwe Sim-yok–ong masih mempunyai murid?" kata Jenderal Beng Tian. "Kalau
begitu, kakek yang kuhadapi itu ten-tulah dia juga orangnya!"
"Mungkin demikianlah adanya. Tentang murid-murid Sin-yok-ong, aku masih mengenal seorang
muridnya yang lain, yaitu suheng dari murid bung-su itu. Dia adalah ketua perguruan Liong -i -pang
(Jubah Naga)."
"Kakek berjubah naga ?" Pek-lui-kong berseru kaget. "Ali, tidak kusangka ! Pantas saja ilmu
silatnya sedemikian hebat. Wah, kalau demikian halnya, si iblis Raja Kelelawar tentu akan banyak
menemui kesulitan dalam pemunculannya ini.
Murid-murid Sin-yok-ong... hemm, Beng-goanswe, benarkah bahwa ketua orang-orang lembah itu
diselamatkan oleh kakek murid bungsu dari Sin-yok-ong ?"
"Memang dia diselamatkan seorang kakek, akan tetapi aku tidak yakin apakah benar kakek itu sama
dengan kakek yang telah muncul dalam pertemuan rahasia para kaum sesat atau bukan, aku tidak tahu
benar apakah dia itu murid Sin -yok -ong atau-kah orang lain," jawab jenderal itu.
"Heii! Aku ingat sekarang !" Tiba -tiba Siang Houw Nio -nio berseru keras. "Aku membawa se-orang
gadis yang pernah bersama -sama dengan ketua lembah itu. Aku malah membawanya ke sini dari
perlawatanku ke tempat Menteri Kang tempo hari. Mungkin ia tahu di mana adanya kawannya itu.
Heh, kamu pelayan yang di luar. Cepat pang-gil Pek -ji dan Ang -ji ke sini, suruh mereka mem-bawa
tamunya!"
Mendengar perintah ini, Ho Pek Lian yang mendengarkan di ruangan samping tentu saja menjadi
terkejut sekali. Jantungnya berdebar tegang. Ia akan dihadapkan dengan dua orang jagoan is-tana
yang pernah dilawannya itu ? Mereka tentu akan mengenalnya kalau begitu. Akan tetapi ah,
mengapa ia mesti takut ? Bukankah ayahnya sekarang telah bebas, bukan menjadi pemberontak lagi,
bukan menjadi buronan pemerintah atau orang hukuman lagi ? Akan tetapi kalau ia dituduh seba-gai
komplotan orang -orang lembah itu. Ah, perduli amat! Bagaimanapun juga, ia bukanlah komplotan
mereka. Ia termasuk anggauta kelompok yang di-pimpin oleh Liu Pang, sedangkan orang -orang
lembah pimpinan Kwee Tiong Li itu adalah ke-lompok yang berada di bawah perlindungan bengcu
Chu Siang Yu.
Ketika dayang itu datang, dengan sikap tenang saja Pek Lian bersama Pek In dan Ang In pergi
menghadap memenuhi panggilan Siang Houw Nio-nio.
dunia-kangouw.blogspot.com
Jenderal Beng Tian memandang tajam ke arah gadis itu, kemudian diapun berseru dengan suara
keras, "Ah, benar! Inilah gadis itu! Aku pernah berhadapan dengan ia ini sampai dua kali. Perta-ma
ketika ia muncul secara tiba-tiba dari balik gerobak tokoh Ban-kwi-to dan membantu ketua lembah
yang menyamar sebagai perajuritku. Ke dua ketika ia diselamatkan oleh kakek sakti itu! Benar begitu
bukan, nona ?"
Ho Pek Lian maklum bahwa ia tidak mungkin dapat mengelak dan menyangkal lagi, maka iapun
dengan sikap tenang sekali mengangguk. "Benar, akulah gadis itu. Akan tetapi sekali lagi kujelaskan
kepada siapa saja bahwa aku bukanlah teman orang -orang lembah itu. Aku baru mengenal dia pada
saat dia menyamar sebagai peraiurit itu. Pa-da saat itu aku tidak tega melihat dia dikeroyok banyak
perajurit." Pek Lian bersikao tenang dan sedikitpun ia tidak kelihatan takut. Sementara itu, Pek-luikong
Tong Ciak juga memandang nona itu dengan penuh perhatian. Dia merasa seperti pernah
bertemu dengan gadis ini, akan tetapi dia lupa lagi entah kapan dan di mana.
"Akan tetapi nona selalu bersama dengan pe-muda pemimpin lembah itu, maka tentu saja kami
menyangka bahwa nona adalah anggauta mereka pula. Sekarang kami ingin bertanya kepadamu, nona,
di manakah kawanmu pemimpin lembah itu ? Namanya Kwee Tiong Li, bukan ? Dan dia itu
termasuk kelompok manakah ?"
"Tai -ciangkun salah sangka kalau mengira aku selain bersama dengan dia. Sejak aku diselamat-kan
oleh kakek sakti, aku lalu memisahkan diri. Aku tidak tahu ke mana kakek dan pemuda itu pergi.
Memang benar namanya Kwee Tiong Li, akan tetapi aku tidak tahu dia termasuk kelompok mana."
"Ah, nona. Sebagai seorang tua biasa tentu saja aku bisa percaya omonganmu. Akan tetapi sebagai
perajurit, aku terpaksa tidak danat menerimanya begitu saja tanpa penyelidikan. Kami harus menahanmu
untuk menyelidiki kebenaran kata -katamu. Tuan puteri, bolehkah aku membawa gadis ini
sebentar saja ? Kami ingin menyelidikinya !"
Siang Houw Nio-nio mengangguk dan meno-leh kepada Pek Lian. "Akan tetapi kuminta dengan
sangat kepada Beng -goanswe untuk memperlaku-kan gadis ini baik -baik. Aku suka kepadanya, ia
tabah dan gagah, dan aku percaya bahwa ia mem-beri keterangan yang sebenarnya."
"Baik," jawab jenderal itu, lalu dia memberi perintah kepada bawahannya. "Bawa gadis ini ke kantorku
!"
Perwira itu bersama beberapa orang perajurit melangkah masuk. Pek In dan Ang In memandang
bingung, merasa serba salah. Dengan mata gelisah dan bersedih mereka itu memandang kepada Pek
Lian dan kepada subo mereka berganti -ganti, tak tahu harus berbuat bagaimana.
Akan tetapi, Pek Lian yang memiliki kekerasan hati itu tentu saja tidak mau ditangkap secara mu-dah
begitu saja. Selama ini ia juga menjadi ta-wanan Siang Houw Nio -nio dengan dua orang muridnya,
akan tetapi ia lebih diperlakukan seba-gai sahabat atau tamu dari pada sebagai tawanan. Selain itu,
juga ia merasa bahwa ia kini adalah pu-teri seorang menteri yang telah bebas dari hukuman pula.
Mana mungkin ia membiarkan dirinya di-tangkap oleh perwira muda dan delapan orang perajuritnya
itu. Maka, ketika perwira itu hendak menangkap lengannya, iapun nrelangkah mundur dan mengelak.
"Nona, menyerahlah untuk kami tangkap. Ja-ngan sampai kami mempergunakan kekerasan," ka-ta
perwira muda itu yang merasa malu karena sambaran tangannya tadi dengan mudah dapat dielakkan
oleh nona yang hendak ditangkapnya.
Pek Lian memandang dengan senyum dingin. "Hemm, hendak kulihat apakah akan mudah begitu
saja kalian menangkap aku yang tidak berdosa !"
Perwira muda itu menjadi merah mukanya dan diapun memberi aba -aba kepada delapan orang
perajuritnya, "Ringkus gadis ini!"'
Delapan orang perajurit itu lalu mengurung dan serentak maju untuk menangkap kedua lengan Pek
Lian. Akan tetapi, dengan langkah -langkah ter-atur Pek Lian mengelak sambil menggerakkan ke-dua
'tangannya. Terdengar suara "plak, plak!" beberapa kali dan tiga orang perajurit terhuyung ke
belakang!
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat ini, lima orang perajurit yang lain men-jadi penasaran dan marah. Tak mereka sangka bahwa
gadis itu akan melawan. Merekapun seren-tak menubruk ke depan. Akan tetapi kembali me-reka
hanya menubruk tempat kosong saja dan ta-ngan Pek Lian sudah menampar dua orang pera-jurit lagi
yang terhuyung dan terpelanting dengan muka biru terkena tamparan.
Kini perwira muda itu menjadi marah dan dia sendiripun maju, dibantu oleh delapan orang, perajuritnya.
Akan tetapi, Pek Lian sudah mengambil keputusan untuk melawan. Ia tidak akan membiarkan
orang menangkapnya dengan mudah tanpa perlawanan. Biarlah ia tertawan karena kalah, bukan
karena takut. Maka terjadikah perkelahian, antara sembilan orang pengeroyok itu dengan Pek
Lian. Pek In dan Ang In yang melihat perkelahian ini, tersenyum -senyum melihat betapa Pek Lian
membuat sembilan orang itu kocar-kacir. Dan karena yang hadir adalah ahli -ahli silat, mereka-pun
tertarik. Bahkan Jenderal Beng Tian setengah membiarkan perkelahian itu terjadi dan dia-pun kagum
melihat sepak terjang gadis itu.
"Bukan main... " pikirnya. "Boleh juga gadis muda ini." Diam -diam dia memperhatikan gerakangerakan
Pek Lian dan dia merasa heran. Dasar gerakan gadis itu menunjukkan bahwa ia telah
mempelajari ilmu silat yang baik dan bersih. Akan tetapi mengapa begitu campur aduk, seolah -olah
gadis itu telah menggabungkan beberapa macam ilmu silat dari aliran -aliran yang berbeda dalam
gerakan silatnya. Kadang-kadang gerakan silat-nya bergaya harimau tutul, kadang -kadang seperti
gaya ular dan ginkangnya juga amat baik, membuat tubuhnya dapat bergerak ringan sekali. Jelaslah
bahwa gadis ini bukan orang sembarangan dan telah menerima pendidikan ilmu silat dari guru -guru
yang baik.
Sembilan orang perajurit itu benar -benar dibu-at kewalahan oleh Pek Lian. Nona ini bukan hanya
menghindarkan diri untuk ditangkap dengan cara mengelak atau menangkis, akan tetapi juga membagi
-bagi pukulan dan tamparan, walaupun nona itu tidak pernah mempergunakan pukulan maut
yang dimalcsudkan untuk membunuh lawan. Hal inipun diketahui dengan baik oleh para ahli silat yang
melihat perkelahian ini dan diam -diam me-reka merasa kagum juga kepada nona muda ini yang
agaknya masih mampu mengendalikan pera-saannya.
Jenderal Beng Tian merasa sungkan untuk turun tangan sendiri terhadap seorang gadis muda seperti
Pek Lian. Akan tetapi diapun maklum bahwa gadis ini tidak boleh dipandang ringan dan kalau dia
hanya menyuruh perwira -perwira saja agak-nya akan sukar untuk menangkapnya. Oleh karena itu,
melihat sembilan orang itu kembali jatuh ba-ngun, dia lalu membentak dan menyuruh mereka mundur
sambil memberi isyarat kepada dua orang pengawal pribadinya yang sejak tadi berjaga-jaga di dekat
pintu. Dua orang pengawal pribadi dari Jenderal Beng Tian ini adalah sute -sutenya sendiri, maka
biarpun tingkat kepandaian mereka tidak setinggi sang jenderal, namun mereka meru-pakan dua
orang tangguh yang berilmu tinggi.
Dua orang pengawal ini maklum bahwa atasan atau juga suheng mereka itu sungkan turun tangan
terhadap nona muda itu, maka merekapun meng-angguk dan keduanya lalu maju menggantikan
perwira muda dan delapan orang perajuritnya yang sudah keluar dari situ dengan muka matang biru.
Seorang di antara mereka lalu menyelonong ke depan dan tangannya menyambar, mencengkeram ke
arah pundak Pek Lian. Ada angin bersuit ketika tangan ini meluncur ke depan. Pek Lian sudah
maklum akan kelihaian dua orang ini, maka iapun sudah siap -siap dan cepat mengerahkan
tenaganya menangkis tangan yang mencengkeram itu.
"Plakkk !" Sambil menangkis, Pek-Lian meng-gunakan tangan kanan untuk memukul ke arah dada
dan ia terkejut bukan main melihat betapa lawannya sama sekali tidak mengelak atau menang-kis
melainkan menerima pukulan itu begitu saja dengan dadanya.
"Bukk !" Kepalan tangan Pek Lian itu menda-rat di dada dengan empuk saja. Ia merasa seperti
memukul benda lunak yang kenyal seperti karet. Pek Lian terkejut dan maklumlah ia bahwa lawannya
ini memiliki kekebalan yang amat kuat. Maka iapun cepat mencabut pedangnya. Biarpun ia menjadi
tawanan Siang Houw Nio -nio dan dua orang muridnya, akan tetapi ia telah dipercaya setelah ia
bersama dengan mereka ikut melawan musuh dan iapun diperbolehkan membawa pedang di
pinggangnya. Kini Pek Lian yang maklum bahwa kalau hanya dengan kedua tangan kosong tak
mung-kin ia mampu menghadapi dua orang pengawal Jenderal Beng Tian, telah mencabut
pedangnya. Dengan ilmu pedang yang dipelajarinya dari guru-nya yang baru dan lihai, yaitu Liu Pang
atau lebih terkenal dengan sebutan Liu -twako, bengcu yang amat disegani itu, Pek Lian mulai
memainkan pe-dangnya menghadapi pengawal pribadi Jenderal
dunia-kangouw.blogspot.com
Beng Tian yang hendak menangkapnya. Pedangnya bergerak indah dan kuat, membentuk gulungan
si-nar yang menyilaukan mata dan mengeluarkan su-ara berdengung -dengung. Akan tetapi,
pengawal yang masih sute sendiri dari Beng -goanswe itu tetap menghadapinya dengan kedua
tangan kosong. Pengawal yang tangguh inipun maklum akan keli-haian pedang si nona muda, maka
diapun mengelu-arkan ilmu andalannya, yaitu ilmu pukulan yang amat hebat dari perguruan mereka.
Pukulan ini bernama Khong -khi -ciang (Pukulan Tangan U-dara Hampa) yang amat hebat. Dari jarak
jauh saja pukulan ini mampu melukai lawan karena me-ngandung getaran seperti petir menyambar.
Juga, pukulan ini mengeluarkan suara berdentam dan meledak -ledak. Dengan kedua lengan yang
am-puh ini, yang dipenuhi getaran tenaga sinkang yang amat kuat, pengawal itu berani menghadapi
pedang Pek Lian, bahkan berani menangkis pedang dengan lengan telanjang!
Ilmu pedang Pek Lian adalah ilmu pedang pi-lihan yang merupakan ilmu silat tinggi. Akan te-tapi,
gadis ini belum begitu lama menjadi murid Liu -taihiap atau Liu Pang, maka ilmu pedangnya selain
kurang matang, juga tenaga sinkangnya be-lum dapat mengimbangi sifat ilmu pedang yang hebat itu.
Oleh karena itulah, kini menghadapi seorang lawan yang memiliki ilmu silat tinggi, sete-lah lewat
tigapuluh jurus, ia mulai terdesak. Pada hal, pengawal ke dua belum juga maju membantu temannya.
Sementara itu, Pek-lui-kong Tong Ciak yang sejak tadi menonton perkelahian itu selalu memperhatikan
gerakan-gerakan Pek Lian dan meng-ingat -ingat di mana dia pemah melihat gadis ini.
Setelah memperhatikan ilmu pedang dari gadis itu, barulah dia teringat.
"Tahan !" teriaknya dan diapun meloncat ke dalam arena pertempuran. Melihat majunya si
cebol, Pek Lian terkejut dan mengira bahwa si ce-bol botak itu hendak menangkapnya, maka iapun
sudah membalikkan tubuhnya ke kiri, meninggal-kan pengawal lihai itu dan menggunakan pedangnya
untuk menyerang Pek-lui-kong Tong Ciak.
"Hyaaatttt...... !!" Pek Lian menerjang dan mengangkat pedangnya tinggi di atas kepala lalu
membacok ke arah kepala botak si cebol.
"Hemm... !" Pek-lui-kong berseru, kedua tangannya bergerak dan pandang mata Pek Lian menjadi
silau karena kedua tangan itu seolah -olah berobah menjadi banyak sekali dan tahu -tahu
pergelangan tangan kanannya kena ditotok dan dalam sekejap mata saja pedangnya telah berpin-dah
tangan!.
"Aku sekarang mengenal gadis ini!" kata Pek-lui-kong sambil meloncat mundur kemudian melempar
pedang rampasan itu ke atas lantai. "Tidak salah lagi! Nona, bukankah engkau gadis yang
menghadang iring-iringan kereta tawanan di sebelah utara kota Kong-goan, di dusun Han-kung-ce
itu? Herani, hampir saja engkau dan kawan-kawanmu berhasil menculik Menteri Ho ketika pemuda
gila kusir kereta itu mengamuk. Hampir separuh perajurit-perajuritku terbunuh. Bukankah engkau
gadis yang memimpin penghadangan itu ?"
Pek Lian merasa serba salah untuk menjawab pertanyaan ini dan sementara itu, Jenderal Beng Tian
dan Siang Houw Nio -nio, juga Pek In dan Ang In, terkejut bukan main mendengar ucapan panglima
cebol yang tidak berpakaian sebagai panglima itu.
"Alih ?" Jenderal Beng berteriak hampir berbareng dengan nenek itu. Kemudian jenderal itu
melanjutkan, "Kalau begitu gadis ini harus ditawan untuk mempertanggungjawabkan perbuat-annya
melawan negara! Pengawal, cepat ringkus gadis ini!"
Pengawal yang seorang lagi bergerak cepat me-nubruk ke depan hendak menangkap pundak Pek
Lian yang sudah tidak memegang pedang. Akan tetapi, tiba-tiba Pek-lui-kong Tong Ciak
menggerakkan tangannya menangkis cengkeraman ta-ngan pengawal yang tangguh itu.
"Ehh... !!" Pengawal itu terkejut dan meloncat ke belakang. Semua orang memandang dengan mata
terbelalak. Apakah Pek-lui-kong telah menjadi gila? Apakah panglima pengawal aneh ini mau
berkhianat ? Jenderal Beng Tian menge-rutkan alisnya dan dengan penuh rasa penasaran dia
memandang kepada rekannya sambil melangkah maju, juga bersiap siaga. Siang Houw Nio -nio juga
melangkah maju, siap membantu jenderal itu menghadapi si cebol yang lihai.
"Tong-ciangkun, apakah maksud ciangkun mencegah pengawalku menangkap gadis ini ?" ta-nya
Jenderal Beng Tian dengan sikap hati-hati, tidak berani sembarangan bergerak sebelum me-ngerti
benar duduknya perkara.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat sikap jenderal itu dan juga Siang Houw Nio-nio yang mengerutkan alis dan bersiap untuk
melawannya, barulah Pek -lui -kong sadar akan keadaannya dan mengerti bahwa tindakannya tadi
menimbulkan kecurigaan. Maka cepat-cepat dia menjura dengan hormat kepada jenderal itu dan
berkata lantang, "Beng -goanswe, saya kira engkau tidak ingin menentang keputusan sri baginda
kaisar yang baru saja dikeluarkan itu, bukan ?"
Dengan sikap masih penasaran, tanpa mengu-rangi kewaspadaannya, jenderal itu mengerutkan
alisnya dan balas bertanya, "Apakah maksud ucap-an Tong -ciangkun itu ?"
Dengan sikap tenang dan ada kegembiraan terpancar dari pandang matanya, kegembiraan da-ri,
orang yang mengetahui suatu rahasia yang tidak diketahui oleh orang lain, panglima cebol itu kembali
ke kursinya dan duduk.
"Beng -goanswe, untuk memulihkan keadaan negara yang dilanda kekeruhan, yang diakibatkan
karena rasa tidak puas dari rakyat atas dipecat dan dihukumnya beberapa orang menteri, sri baginda
telah memutuskan untuk memanggil kembali Wakil Perdana Menteri Kang dan membebaskan Menteri
Kebudayaan Ho dan menteri -menteri lainnya, agar memangku kembali jabatan mereka, dengan
tujuan agar rakyat menjadi tenang kembali. Bu-kankah demikian keputusan sri baginda ?"
"Benar ! Akan tetapi apa hubungannya hal itu dengan pemberontak kecil ini ?" tanya Beng-goanswe
sambil menuding ke arah Pek Lian.
"Harap goanswe suka bersabar. Ketahuilah, gadis ini adalah puteri tunggal dari Menteri Ho Ki Liong !
Nah, kalau sekarang kita menangkapnya dan memasukkannya ke dalam penjara, apa yang akan
terjadi jika ayahnya mendengar akan hal itu ? Tentu dia akan marah dan menolak untuk kembali ke
istana. Padahal, Menteri Ho adalah sahabat baik Menteri Kang, bahkan pembebasan Menteri Ho
merupakan syarat utama dari Menteri Kang. Hal ini tentu akan menimbulkan akibat luas dan kalau
sampai bertentangan dengan keputusan sri baginda kaisar, lalu siapakah yang akan menanggung akibatnya
? Siapa yang berani mempertanggungja-wabkan ?"
Tentu saja semua orang tertegun mendengar penjelasan Pek -lui -kong Tong Ciak itu. Semua mata
kini ditujukan memandang kepada Pek Lian dari kaki sampai kepala. Tentu saja mereka tidak pernah
mengira bahwa gadis ini ternyata adalah seorang puteri bangsawan, puteri tunggal dari Menteri Ho
yang amat terkenal itu.
Jenderal Beng Tian sendiri menjadi lemas mendengar penjelasan itu. Dengan sinar mata tajam dia
memandang gadis itu lalu bertanya, "Benarkah bahwa nona adalah puteri Menteri Ho?"
Dengan sikap angkuh Pek Lian berkata, "Memang benar ! Memangnya kenapa kalau begitu ?
Mengapa tidak diteruskan pengeroyokan atas diriku ?"
"Nah, lihat saja sikapnya!” Pek -lui -kong ber-kata lagi. "Dan harap goanswe ketahui bahwa nona ini
adalah murid dari jago pedang yang terkenal dengan sebutan Liu -taihiap atau Liu -twako, bengcu
yang terkenal memimpin para pendekar yang merasa tidak puas atas perlakuan pemerintah terhadap
para menteri itu."
Jenderal Beng Tian menjadi semakin kaget. Dia terbelalak memandang. "Benarkah itu ?"
"Dahulu aku pernah bertanding melawan jago pedang she Liu itu sebelum aku mengabdi di ista-na,
dan aku mengenal gaya permainan pedangnya," kata Pek-lui-kong tegas.
"Akan tetapi mengapa la selalu bersama-sama orang-orang lembah ?" Jenderal itu bertanya dengan
nada suara sangsi dan curiga.
"Apakah anehnya hal itu ? Bukankah kedua pi-hak itu sama -sama memusuhi pemerintah ? No-na ini
merasa sakit hati karena ayahnya akan dihu-kum mati. Orang -orang lembah itupun sakit hati karena
mereka dikejar -kejar dan dibasmi oleh pasukan pemerintah. Kalau keduanya bertemu, tentu saja
akan terjalin persahabatan sebagai ka-wan senasib sependeritaari, bukan ?"
Jenderal Beng Tian mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. "Ah, betapa bodohnya aku
sekali ini! Nona Ho, maafkanlah kekasaran para pembantuku tadi," katanya kepada Pek Lian dan
diapun kembali ke kursinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada saat itu, seorang perajurit datang melapor bahwa Hek -ciangkun yang diutus oleh jenderal itu ke
tempat tinggal Wakil Perdana Menteri Kang telah tiba kembali. Mendengar ini, Jenderal Beng Tian lalu
berkata, "Suruh tunggu sebentar!" Ke-mudian dia menjura kepada Siang Houw Nio -nio dan Panglima
Tong Ciak. "Harap maafkan karena saya terpaksa menunaikan tugas."
Siang Houw Nio-nio lalu mengantar dua orang tamunya pergi, karena Panglima Tong Ciak juga minta
diri. Pertemuan itupun bubar dan kedua orang gadis itu setelah kini tahu bahwa Pek Lian adalah
puteri Menteri Ho yang terkenal itu, segera merangkulnya.
"Ah, kiranya engkau adalah puteri Menteri Ho yang hebat itu. Ah, pantas saja sikapmu demikian
angkuh !" kata Pek In dengan kagum.
"Sungguh nakal sekali! Kenapa tidak dari dulu kaukatakan tentang dirimu ?" Ang In juga berkata
gemas sambil mencubit sayang.
"Bagaimana aku berani mengaku ?" Pek Lian berkata sambil tertawa. "Kalau dahulu aku meng-aku,
tentu enci berdua sudah menyerangku dan bagaimana aku akan dapat selamat ? Tadipun ka-lau tidak
ada Tong -ciangkun, bukankah aku sudah dijebloskan ke dalam sel tahanan ?"
Siang Houw Nio -nio memang tidak pernah memperdulikan urusan politik, akan tetapi sebagai
seorang yang menjunjung tinggi kegagahan, diam-diam iapun merasa simpati kepada Menteri Ho
yang berani itu, dan merasa suka kepada Pek Lian juga karena keberanian gadis ini. Sekarang, mendapat
kenyataan bahwa gadis ini adalah puteri menteri itu, iapun merasa semakin suka.
"Sementara engkau menanti kedatangan ayah-mu ke istana, engkau boleh tinggal bersama Pek In
dan Ang In di sini," kata nenek itu dengan sikap ramah.
Pek Lian cepat memberi hormat kepada nenek itu, penghormatan yang sungguh -sungguh, seba-gai
puteri seorang menteri kepada seorang yang berkedudukan tinggi seperti bibi kaisar itu. Akan tetapi
karena ia lebih kagum dan tertarik kepada nenek ini sebagai seorang wanita sakti, maka ia tetap
menyebut locianpwe sebagai penghormatan seorang ahli silat muda terhadap seorang tokoh besar
yang jauh lebih tinggi tingkat ilmunya.
"Saya menghaturkan terima kasih atas semua kebaikan locianpwe dan harap sudi memaafkan segala
kesalahan saya yang sudah-sudah terhadap locianpwe."
Melihat sikap dan mendengar pula tanda-tanda adanya orang yang me-masuki ruangan itu, bahkan
telah bersembahyang, subo. Akan tetapi, tidak ada seorangpun di antara anak buah teecu yang
melihatnya." Demikian Pek In imenutup laporannya. Gurunya mengerutkan alis dan memandang
heran. Ia tidak perlu meme-riksa sendiri ke ruangan itu karena ia percaya pe-nuh akan ketelitian
muridnya ini
"Mengingat akan cerita tentang munculnya dua bayangan orang yang amat lihai di gedung para
bangsawan bahkan juga di istana, jangan-jangan yang memasuki ruangan sembahyang inipun mereka
itu, subo," kata Ang In dan diam -diam gadis yang gagah perkasa ini melirik ke kanan kiri de-ngan
hati mengandung rasa jerih juga. Siapa tahu bayangan setan itu pada saat itu masih berada di situ!
"Akan tetapi, apa perlunya mereka berkeliaran di sini dan memasuki ruangan sembahyang tempat
penyimpanan abu leluhur ?" Nenek itu bertanya sangsi, akan tetapi ia teringat akan dugaan Pek-luikong
akan kemungkinan bahwa seorang di an-tara dua bayangan itu adalah Si Raja Kelelawar
sendiri. Kalau benar yang datang ke istana ini adalah Si Raja Kelelawar, lalu apa maksudnya ?
Apakah iblis yang mengerikan itu masih terhitung keluarga istana dan dia datang untuk bersembahyang
di depan abu leluhurnya sendiri ? Siang Houw Nio -nio mengerutkan alisnya dan dengan termenung
iapun lalu memasuki kamarnya sendiri. Dua orang muridnya yang melihat sikap subonya, maklum
bahwa subonya sedang berpikir keras, maka merekapun tidak berani banyak bertanya, melainkan
mengiringkan subonya.
Siang Houw Nio-nio duduk termenung di da-lam kamarnya, di atas kursinya. Pek In dan Ang In, diikuti
oleh Pek Lian, duduk di luar kamar menanti dan menduga-duga apa yang dipikirkan oleh nenek itu.
Nenek itu melayangkan lamunannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Gedung mungil ini dahulunya menjadi tempat tinggal keluarga pamannya yang menjabat sebagai
kepala rumah tangga istana. Pamannya itu hanya mempunyai seorang putera yang kini menjadi kepala
kuil istana, yaitu Bu Hong Sengjin yang masih terhitung saudara sepupunya sendiri. Ketika masih
muda, Bu Hong Sengjin yang pangeran itu oleh ayahnya disuruh mempelajari ilmu silat tinggi dari
seorang kepala kuil Agama To -kauw. Tentu saja pamannya itu mengharapkan agar putera tunggalnya
itu kelak dapat menjadi seorang panglima atau perwira tinggi. Akan tetapi, tempat perguruan di
mana pangeran itu belajar tidak hanya mengajar-kan ilmu silat tinggi, melainkan juga keagamaan.
Dan dia memang telah mewarisi ilmu silat tinggi, akan tetapi di samping itu juga mewarisi ilmu keagamaan
yang mendalam. Bahkan agaknya, pemu-da itu lebih condong mendalami agama dari pada
ilmu silatnya sehingga setelah tamat belajar silat, dia tidak mau pulang ke rumah orang tuanya, bahkan
lalu masuk menjadi pendeta Agama To dengan julukan Bu Hong Tojin. Kemudian, sebagai
seorang tosu dia lebih senang mengembara di kalangan rakyat untuk menyebarkan Agama To -kauw.
Tentu saja hal ini amat mengecewakan hati pa-mannya. Watak pamannya itu keras dan perbuatan
puteranya itu dianggap merendahkan martabat dan nama keluarga. Maka dengan jalan kekerasan
pamannya lalu mengurus pasukan mencari putera-nya itu. Sampai bertahun -tahun usaha itu dilakukan
dan akhirnya dengan bantuan para pembesar dan pasukan, puteranya dapat dibawa kembali
ke istana. Akan tetapi, Bu Hong Tojin juga memiliki watak yang sama kerasnya dengan ayahnya. Dia
berkeras tidak mau menjadi perajurit. Perbantahan terjadi dan akhirnya, pamannya yang keras hati itu
menjebloskan puteranya ke dalam penjara. A-kan tetapi, Bu Hong Tojin tetap berkeras kepala. Hal ini
amat mengesalkan hati pamannya sehingga dia "makan hati" dan jatuh sakit sampai akhirnya
meninggal dunia.
Hal ini amat mendukakan hati Bu Hong Tojin. Akan tetapi bagaimanapun juga, dia tidak suka akan
kekerasan, tidak mau menjadi perajurit. Dia tidak meninggalkan istana, akan tetapi dia bahkan
memasuki istana dan menjadi pendeta di situ. Akhir-nya, kaisar mengangkatnya menjadi kepala kuil
dan juga menjadi penasihat. Dan gedung istana mungil ini, karena tidak ada yang menempati lagi,
oleh kaisar lalu dihadiahkan kepadanya.
Ketika lamunannya melayang -layang sampai sejauh itu, Siang Houw Nio -nio lalu teringat akan kakak
sepupunya itu. "Hemm, tentu saja dia, siapa lagi ? Tentu Bu Hong Sengjin yang datang bersembahyang
di sini, menyembahyangi arwah men-diang paman. Tentu saja dengan kepandaiannya
yang tinggi, dia dapat datang tanpa terlihat oleh para dayang. Sebaiknya kutanyakan sendiri kepadanya."
Wanita itupun lalu bangkit dari tempat duduknya dan melangkah keluar kamar, wajahnya tidak
sekeruh tadi.
"Pek -ji dan Ang -ji, aku mau kembali ke istana," katanya kepada dua orang muridnya itu. Tanpa
menanti jawaban, nenek itu melangkah cepat me-ninggalkan mereka yang tentu saja hanya dapat
mengangguk dan tidak berani bertanya.
Malam yang kelam. Hujan rintik -rintik mem-buat hawa dingin sekali. Suasana di kompleks is-tana
amat sunyi menyeramkan. Bukan hanya karena kelamnya malam gelap -gulita, melainkan teruta-ma
sekali dengan adanya cerita tentang tamu yang misterius maka suasana menjadi nampak sunyi dan
menyeramkan. Para petugas jaga merasakan ini dan mereka memperketat penjagaan, bersikap waspada.
Namun, makin tegang hati mereka, makin menyeramkanlah suasananya. Lewatnya seekor
kucing di atas genteng saja sudah cukup untuk membuat jantung berdetak seolah akan pecah dan
membuat darah tersirap meninggalkan muka. Lam-pu-lampu teng yang dipasang oleh para hamba
istana tidak mampu memberi penerangan yang cukup, bahkan kabut tipis yang diciptakan oleh hujan
rintik -rintik itu membuat lampu -lampu itu nam-pak seperti cahaya -cahaya yang aneh menyeramkan.
Tiga orang gadis itu bukanlah orang -orang yang lemah. Sama sekali bukan. Pek In dan Ang In
adalah murid-murid kesayangan Siang Houw Nio-nio dan mereka telah memiliki tingkat ilmu silat yang
tinggi, lebih tinggi dari kepandaian Ho Pek Lian. Dan Pek Lian sendiri, biarpun belum selihai dua
orang gadis itu, namun sudah merupakan seorang gadis yang hebat ilmu silatnya, dan jarang ada
orang yang akan mampu menandinginya. Mereka bertiga ini sudah jelas sekali bukan orang-orang
penakut, bahkan tidak pernah merasa takut menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Akan tetapi,
pada malam hari ini, ada rasa ngeri dan takut menyelinap dalam hati masing-masing dan mereka
mencoba untuk menyembuyikannya dengan melalui obrolan yang asyik di dalam ruangan duduk itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Rasa takut bukan datang dari luar, melainkan dari dalam batin kita. sendiri. Rasa takut timbul dari
permainan pikiran sendiri yang membayangkan hal -hal yang mengerikan. Kalau kita menghadapi
segala sesuatu tanpa bayangan pikiran akan hal-hal yang belum ada ini, maka rasa takut tidak akan
muncul. Umpamanya, kita duduk seorang diri di dalam kamar dalam suasana yang sunyi. Pikiran kita
teringat akan cerita orang tentang adanya setan dalam kamar, tentang hal -hal yang mengerikan lain,
maka pikiran itu lalu membayangkan hal -hal yang tidak ada. Dalam keadaan seperti itu, suara seekor
tikus melanggar sesuatu saja sudah cukup untuk menimbulkan bayangan dalam pikiran ten-tang
munculnya setan yang menakutkan. Timbul-lah rasa takut dan rasa takut ini membuat orang tidak
waspada sehingga ada bayangan sedikit saja lalu bisa kelihatan seperti setan oleh mata kita yang
sudah terselubung rasa takut. Kewaspadaan yang menyeluruh, perhatian yang menyeluruh ter-hadap
apapun yang terjadi di depan kita, akan meniadakan rasa takut itu.
Tiga orang gadis itu, dalam keadaan diliputi rasa ngeri dan takut akan kemungkinan munculnya hal -
hal yang tidak mereka inginkan, terutama sekali munculnya dua bayangan yang dihebohkan itu, dan
juga adanya bekas -bekas orang bersem-bahyang di dalam ruangan penyimpanan abu lelu-hur,
mencoba untuk melarikan diri dari rasa takut dengan jalan mengobrol. Mereka saling mencerita-kan
pengalaman dan riwayat masing -masing dan dalam kesempatan itu, mereka merasa menjadi semaian
akrab satu sama lain.
"Aih, ternyata engkau mempunyai banyak guru yang sudah amat terkenal di dunia kang-ouw. Mulamula
Huang-ho Su-hiap, empat orang pendekar Huang-ho yang terkenal itu menjadi guru -gurumu,
kemudian engkau digembleng pula oleh Liu-taihiap yang terkenal itu. Pantas saja engkau lihai sekali,
adik Lian," kata Ang In me-muji.
"Ah, jangan terlalu memuji, enci Ang. Biarpun aku mempunyai lima orang guru, akan tetapi dibandingkan
dengan engkau atau enci Pek yang hanya mempunyai seorang guru saja, aku masih belum
ada setengahmu! Aku masih harus banyak bela-jar dari kalian !"
"Hemm, sesungguhnya tidak demikian, adik Lian. Ilmu silatmu sudah cukup hebat, hanya agak-nya
engkau masih kurang dalam latihan. Ilmu-ilmu-mu itu belum dapat kaukuasai dengan matang. Kalau
sudah matang, tentu aku bukan lawanmu karena engkau mempunyai ilmu yang lebih leng-kap dan
banyak ragamnya. Kalau engkau bisa merangkai semua itu, tentu engkau benar -benar akan tangguh
sekali," bantah pula Ang In.
Selagi Pek Lian hendak membantah untuk merendahkan diri, tiba-tiba Pek In memandang kepada
mereka dengan mata terbelalak dan nona ini menaruh telunjuk di depan mulut sambil mendesis
lirih, "Ssshhhhh !" Ang In dan Pek Lian melihat perobahan muka yang menjadi tegang itu,
dan mereka berdua menjadi waspada. Melihat betapa cuping hidung Pek In berkembang -kempis,
merekapun menggerakkan cuping hidung mencium cium dan barulah mereka dapat menangkap bau
yang agak harum itu. Dan mereka merasa betapa bulu tengkuk mereka meremang, leher terasa
dingin karena serem. Itu adalah bau asap dupa hio ! Me-reka bertiga saling pandang. Mereka lalu
bangkit dan atas isyarat Pek In, ketiganya lalu berganti pakaian ringkas. Dengan hati tegang mereka
mengadakan persiapan, kemudian dengan hati-hati sekali, mengerahkan ginkang agar jangan sampai
langkah kaki mereka bersuara, dipimpin oleh Pek In, ketiganya lalu keluar dari situ dan menuju ke
belakang, ke arah datangnya bau asap hio itu yang datang dari arah belakang, dari ruangan sembahyang
tempat penyimpanan abu leluhur!
Mereka bergerak sigap dan seluruh urat syaraf meneka menegang. Jantung mereka berdebar pe-nuh
ketegangrn ketika, mereka berindap -indap menuju ke ruangan sembahyang itu. Makin dekat dengan
ruangan itu, bau dupa semakin keras me-nusuk hidung. Betapa beraninya orang itu, pikir mereka.
Membakar hio di rumah orang sedemikian menyoloknya, seolah -olah tidak memperdulikan penghuni
rumah dan tidak takut dipergoki. Akan tetapi, bulu tengkuk mereka meremang kalau me-reka teringat
akan kata-kata Pek-lui-kong siang tadi. Jika benar dugaan si cebol itu yang mengata-kan bahwa
orang yang berkeliaran di komplek istana pada beberapa hari yang lalu adalah Si Raja Kelelawar,
maka mungkin sekali orang yang membakar hio dalam mangan itu adalah si Iblis itu sen-diri ! Jika hal
ini benar, maka amatlah berbahaya untuk didekati. Iblis itu kabarnya memiliki kepan-daian yang amat
hebat dan apa yang mereka saksi-kan ketika iblis itu berkelahi dengan Siang Houw Nio-nio sudah
cukup membuat mereka jerih. Me-reka maklum bahwa kalau yang membakar hio adalah Raja
dunia-kangouw.blogspot.com
Kelelawar, maka mereka bertiga bu-kanlah tandingan iblis itu dan menyerbu masuk sama saja
dengan membunuh diri atau mati konyol. Oleh karena itu setelah tiba di luar ruangan yang pintunya
tertutup itu, mereka berhenti dan saling pandang dengan ragu -ragu.
"Kita pukul saja tanda bahaya?" bisik Ang In kepada kakaknya.
Pek In menggeleng kepalanya. "Jangan dulu," bisiknya kembali. "Kita masih belum yakin. Kalau benar
musuh, memang baik sekali memukul tanda bahaya. Bagimana kalau bukan ? Bagaimana kalau dia
sudah pergi ? Berarti menggegerkan is-tana dengan sia-sia dan tentu Kim -i -ciangkun akan marahmarah
kepada kita. Kita tunggu se-bentar."
Tiba-tiba mereka bertiga terkejut dan cepat menyelinap dan bersembunyi di balik tiang besar sambil
mengintai ke depan. Daun pintu ruangan sembahyang itu terbuka perlahan dari dalam ! Ke-adaan
menjadi semakin menyeramkan. Mereka bertiga memasang mata, memandang tanpa berkedip.
Daun pintu terbuka perlahan-lahan dan di antara keremangan sinar lilin, mereka melihat dua sosok
tubuh yang tinggi kurus, mengenakan pakaian ringkas serba hitam. Wajah mereka itu ditutupi kain
hitam dari kepala sampai ke leher dan hanya sepasang mata mereka saja yang nampak bersinarsinar
seperti bintang kecil. Dari bentuk tubuh mereka, tiga orang gadis yang mengintai itu dapat
menduga bahwa seorang di antaranya tentulah wanita. Ho Pek Lian memandang dengan penuh
perhatian dari tempat persembunyiannya.
Yang pria mungkin si iblis Raja Kelelawar, pikirnya. Badannya juga jangkung kurus, pakaiannya
hitam-hitam, sepasang matanya mencorong. Dan wanita itu, matanya begitu jeli, bukankah itu Si
Maling Cantik ? Akan tetapi kalau memang benar mereka itu adalah Raja Kelelawar dan Maling
Cantik, mengapa mereka harus memakai kedok kain ?
Dua orang yang berada di dalam ruangan sembahyang itu setelah membuka daun pintu perlahanlahan,
dengan mata mereka yang mencorong itu memandang keluar ruangan, ke kanan kiri,
kemudian agaknya mereka hendak melanjutkan kesibukan mereka di dalam kamar itu, dan siap untuk
meninggalkan ruangan yang sudah mereka buka pintunya.
Sementara itu, Pek In berbisik kepada dua orang kawannya, "Ang -moi, cepat kaupukul tanda ba-haya
sedangkan aku dan Lian -moi akan menyerbu mereka dan menghadang mereka agar tidak mela-rikan
diri. Siap ? Hayo, Lian -moi!"
Mereka bertiga berpencar sambil menyelinap ke tempat gelap. Ang In cepat menuju ke sudut di mana
tergantung kentungan alat untuk dipukul ka-lau ada bahaya, sedangkan Pek In dan Pek Lian su-dah
berindap menghampiri jendela ruangan yang berada di depan kamar sembahyang itu. Mereka berdua
menanti dan begitu terdengar suara ken-tungan dipukul bertalu-talu dengan gencarnya, merekapun
menerjang ke depan !
Mendengar suara kentungan tanda bahaya ini dua orang yang berada di dalam kamar sembah-yang
terkejut dan menengok. Padi saat itu, Pek Lian sudah meloncat masuk sambil membentak nyaring,
"Maling -maling hina jangan lari !"
Hampir berbareng, Pek In juga muncul dan menyerbu dari pintu yang terbuka. Akan tetapi ha-nya
sejenak saja dua orang aneh itu kelihatan ter-kejut.
"Mari... !" Terdengar yang pria menggumam dan keduanya melesat dengan amat ceratnya ke arah
pintu. Pek In memapaki dengan pukulannya, akan tetapi dengan mudahnya dua orang itu menghindar
dengan gerakan tubuh yang amat cepat, dan sekali meloncat mereka telah dapat melewati Pek In dan
terus melesat keluar dari dalam ruangan itu melalui pntu. Pek Lian sendiri tidak sempat menyerang.
Dua orang itu meloncat naik ke atas tembok dan ketika mereka mengayun tangan, semua lampu teng
di sekitar tempat itu padam dan kea-daan menjadi gelap sekali.
"Kejar !" Pek In berseru dan bersama Pek Lian ia mengejar. Akan tetapi karena di luar amat gelap,
mereka hampir kehilangan bayangan dua orang itu.
Akan tetapi, pukulan tanda bahaya yang dibu-nyikan oleh Ang In itu mengakibatkan datangnya
banyak sekali pengawal dan penjaga. Derap kaki mereka terdengar dari semua penjuru, dan hal ini
agaknya membuat dua orang itu menjadi bingung juga. Sebaliknya, Pek In dan Pek Lian merasa lega
dunia-kangouw.blogspot.com
dan terus mengejar ke depan dan melihat dua orang itu sedang berdiri bingung di serambi depan
taman bunga. Dua orang gadis ini segera menya-rang dan menggunakan pedang mereka. Pek In
menyerang maling pria dan Pek Lian menerjang maling wanita. Akan tetapi dua orang itu sungguh
lihai bukan main. Hanya dengan gerakan langkah kaki dan kadang -kadang mengibaskan tangan, mereka
mampu menghadapi serangan pedang itu dan jelaslah bahwa Pek In maupun Pek Lian bukan
tandingan mereka. Ketika mereka membalas de-ngan serangan tamparan tangan dan tendangan
kaki, Pek In dan Pek Lian terdesak mundur. Un-tung bagi mereka bahwa pada saat itu, Ang In datang
bersama para pengawal yang segera terjun dan mengeroyok. Melihat ini, dua orang maling itu
berloncatan jauh dan melarikan diri. Tak lama kemudian keduanya sudah berada di atas gentenggenteng
wuwungan kompleks istana dan melarikan diri, dikejar oleh tiga orang gadis itu bersama para
perwira pengawal yang memiliki kepandaian cukup tinggi untuk dapat mengejar sambil berlompatan di
atas wuwungan rumah.
Karena datangnya banyak pengejar dari semua jurusan, dua orang yang gerakannya cepat seperti
iblis itu kadang-kadang harus melawan pengero-yokan para pengejar, melarikan diri lagi, dikeroyok
lagi dan terjadilah kejar -kejaran yang amat ramai di kompleks istana, di bawah cucuran hujan rintikrintik.
Banyaknya pengawal yang menghadang di sana-sini membuat dua orang maling itu kebingungan.
Mereka berputaran di seluruh kompleks dan agaknya malah kehilangan jalan. Memang jalan
keluar telah dijaga ketat oleh para pengawal sehingga dua orang mal'ng itu hanya mampu berlari—
larian di sekitar bangunan-bangunan kom-pleks istana yang luas itu dan tanpa mereka sadari
mereka beberapa kali kembali ke tempat semula. Dari tingkah mereka ini saja mudah diketahui bahwa
dua orang maling itu masih belum mengenal benar keadaan di kompleks istana.
Padi saat itu muncullah Kim -i -ciangkun, komandan dari pasukan Kim-i-wi. Melihat bahwa para anak
buahnya yang membantu tiga orang nona itu mengeroyok dua orang berpakaian hitam dan berkedok
kain, Kim -i -ciangkun menjadi marah. Dengan suara gerengan seperti seekor harimau marah dia
menerjang ke depan, begitu maju dia telah mengeluarkan ilmunya yang ganas, yaitu Hwi-ciang
(Tapak Tangan Api) memukul ke arah maling yang bertubuh ramping. Iblis betina yang berke-dok ini
agaknya memandang rendah kepada lawan, dengan mengandalkan kecepatan tubuhnya dan
kekuatan tangannya iapun menangkis.
"Desss ! Aihhh !" Jeritan suara wanita membuka rahasianya sehingga semua orang tahu
bahwa maling ke dua bertabuh ramping ini benar-benar seorang wanita. Wanita itu meloncat ke
belakang dan matanya terbelalak memandang ke arah lengan baju kirinya yang terbakar hangus!
Untung bahwa ia telah memiliki tenaga sinkang yang amat kuat sehingga pukulan ampuh itu tidak
melukai kulitnya dan gerakannya yang cepat meloncat ke belakang tadi telah menyelamatkannya.
Diam-diam Kim -i -ciangkun juga terkejut, tidak mengira bahwa wanita itu benar-benar mampu
menangkis pukulan saktinya, maka diapun menyerang terus. Akan tetapi wanita itupun agaknya
marah karena lengan bajunya hangus. Ia menangkis, mengelak dan balas meyerang. Kecepatan
gerakannya membuat Kim -i -ciangkun kewalahan dan sebuah tendangan kilat mengenai pahanya,
membuat Kim -i -ciangkun terpelanting. Akan tetapi para pengawal menerjang dan mengeroyok.
Melihat betapa banyaknya pihak pengeroyok, maling pria berseru kepada temannya, "Lari ...... !" Dan
merekapun lari lagi, dikejar oleh banyak sekali penga-wal. Bahkan kini nampak pula pengawal Gin-i-wi
yang berpakaian perak datang membantu dari luar.
Karena dikepung makin rapat, kedua orang ma-ling itu semakin bingung. Ke manapun mereka lari,
tentu ada pasukan yang menghadang. Akhirnya, tanpa disengaja mereka lari sampai ke kuil agung
istana. Melihat bangunan kuil ini, dua orang itu lari ke sana. Akan tetapi setibanya di depan kuil yang
megah itu, kembali mereka telah dikepung rapat oleh para pengawal yang sudah ada pula yang
berjaga di tempat itu. Segera terjadi penge-royokan lagi. Biarpun ada beberapa orang penga-wal dan
pengeroyok yang roboh terluka, namun dua orang itu dikepung terus sampai tiga orang ga-dis lihai
dan juga Kim -i -ciangkun datang pula di tempat itu.
"Sungguh aneh, kenapa iblis itu tidak segesit dahulu ?" kata Pek Lian kepada dua orang temannya.
"Bukankah dahulu gerakannya luar biasa cepatnya seperti pandai menghilang saja? Biarpun
sekarang gerakannya juga cepat bukan main akan tetapi rasanya tidak sehebat dahulu "
dunia-kangouw.blogspot.com
"Mungkin karena dia harus melindungi teman pei'empuannya itulah," jawab Pek In yang segera
mengajak dua orang temannya untuk membantu para pengeroyok karena memang dua orang iblis itu
luar biasa sekali. Pengeroyoknya amat banyak, dipimpin oleh Kirn -i -ciangkun yang tangguh. Semua
pengawal adalah perajurit -perajurit pilihan karena untuk dapat diterima menjadi anggauta pasukan
pengawal istimewa ini orang harus melalui ujian berat. Maka mereka itu rata -rata memiliki ilmu silat
yang cukup tangguh. Biarpun demikian, agaknya mereka itu menghadapi kesulitan untuk dapat
merobohkan atau menangkap dua orang iblis itu. Bahkan banyak sudah anggauta pengawal yang
roboh terluka oleh pengamukan mereka berdua. Hebatnya, dua orang maling itu tidak pernah
menggunakan pedang mereka yang tergantung di punggung. Ini saja menunjukkan bahwa selain
mereka tidak ingin membunuh para pengeroyok, juga menjadi tanda bahwa mereka adalah orangorang
yang sudah memiliki ilmu silat tinggi sehing-ga merasa tidak perlu lagi dibantu oleh senjata
dalam menghadapi lawan.
Selagi para pengawal itu dengan ramainya me-lakukan pengeroyokan, tiba -tiba terdengar bentak-an
melengking nyaring dan muncullah Pek-lui-kong Tong Ciak ! Melihat munculnya tokoh ini, tentu saja
para pengawal bersorak girang. Kalau jagoan ini yang turun tangan, tentu dua orang ma-ling itu akan
dapat ditangkap atau dirobohkan. Juga Kim -i -ciangkun merasa girang sekali melihat munculnya
atasan ini. Sebaliknya, Pek Lian dan dua orang tokoh wanita bertusuk konde kemala itu mundur dan
hanya menonton karena mereka sudah mulai meragukan bahwa orang berkedok itu adalah Si Raja
Kelelawar. Pula, kalau yang maju adalah orang seperti Pek -lui -kong, tentu amat tidak enak bagi
jagoan itu kalau dibantu. Biasanya, seo-rang tokoh besar yang sudah menjadi jagoan, tidak sudi dan
merasa malu untuk melakukan pengeroyokan.
Pengeroyokan itu terjadi di serambi depan, di bawah pagoda kuil yang bertingkat enam. Melihat
betapa para anak buahnya ternyata t'dak mampu menundukkan dua orang maling itu, Pek -lui -kong
Tong Ciak menjadi marah. Sambil membentak dia lalu menerjang ke depan dan menggerakkan
tangan kanannya menampar. Melihat ini, wanita dalam kedok itu menangkis dan seperti tadi,
perbuatannya ini sungguh ceroboh. Ia tidak tahu dengan siapa ia berhadapan dan dengan ceroboh ia
berani meng-adu tenaga begitu saja ! Padahal, pukulan Pek -lui-kong Tong Ciak ini sama sekali tidak
dapat disama-kan dengan pukulan api dari Kim -i -ciangkun tadi.
"Dessss ......ahhhh !!" Tubuh wanita itu terlempar ke udara! Demikian hebatnya tenaga yang
terkandung dalam pukulan Pek -lui -kong sehingga ketika wanita itu menangkis mengadu tenaga, tubuhnya
terlampar keras. Tubuh itu meluncur ke arah pagoda dan terjadilah hal yang mengagumkan
sekali. Kiranya wanita itu juga memiliki sinkang yang amat hebat sehingga biarpun tubuhnya mencelat
ke atas, namun agaknya ia tidak terluka. Ma-lah dengan ginkang yang luar biasa indahnya, ia
berjungkir balik dan dapat dengan tenangnya turun dan hinggap di lantai dari tingkat ke dua pagoda
itu ! Semua orang memandang kagum.
Ketika tubuhnya terlempar ke atas tadi, teman-nya terkejut dan dengan ringannya tubuhnya juga
melayang ke atas menyusul kawannya. Melihat ini, Kim -i -ciangkun yang sudah mempersiapkan
pasukan panah segera memberi isyarat dan melun-curlah belasan batang anak panah ke arah tubuh
ma-ling yang melayang ke atas itu. Akan tetapi, kem-bali terjadi hal yang amat mengagumkan ketika
iblis atau maling itu berjungkir balik dan dengan mudahnya menggerakkan kaki tangan memukul dan
menendang runtuh semua anak panah yang melun-cur ke arah tubuhnya. Semua ini dilakukan selagi
tubuhnya berada di tengah udara. Kemudian tubuh itu meluncur turun ke lantai tingkat dua, di dekat
temannya. Melihat ini, Pek -lui -kong mengeluar-kan dengus mengejek dan diapun bersama Kim -iciangkun
meloncat ke atas loteng tingkat dua. Pa-ra perajurit pengawal berlari-larian melalui tang-ga.
Merekapun hanya ingin menambah semangat saja karena setelah si cebol sendiri yang maju, me-reka
tidak berani mengganggu dengan pengeroyokan mereka. Hanya pasukan anak panah saja yang
masih siap di luar dan di bawah menara, meman-dang ke atas di mana dua orang iblis itu kini bertanding
dengan amat serunya melawan Pek -lui-kong dan Kim -i -ciangkun.
Pek Lian, Pek In dan Ang In menonton di ba-wah. Mereka merasa terheran -heran melihat be-tapa
iblis yang mereka sangka Si Raja Kelelawar itu ternyata nampak terdesak oleh Pek-lui-kong setelah
mereka berkelahi belasan jurus lamanya. Sebaliknya, maling wanita itu bertempur dengan seru dan
nampaknya seimbang dengan Kim -i-ciangkun. Pek -lui -kong dan Kim -i -ciangkun bernapsu sekali
untuk mengalahkan dua maling itu, maka merekapun sudah mengerahkan seluruh te-naga dan
kemampuan, mendesak dua orang lawan yang hanya melakukan perlawanan dengan sikap ragu -
dunia-kangouw.blogspot.com
ragu itu. Karena terdesak dan tersudut, akhir-nya iblis itu kembali menjejakkan kakinya dan tu-buhnya
sudah melayang ke atas, ke arah loteng tingkat tiga. Memang tidak ada lain jalan baginya. Ketika dia
sudah tersudut ke pinggir loteng, hanya ada dua pilihan, yaitu meloncat ke bawah lagi atau meloncat
ke atas. Di bawah sudah menanti ratusan pengawal yang siap dengan anak panah dan yang sudah
mengepung pagoda kuil itu. Maka diapun meloncat ke atas dan melihat ini, temannya si ma-ling
wamta juga mempergunakan ginkangnya yang hebat untuk menyusul dengan loncatan ke atas.
Melihat betapa dua orang lawannya berloncatan ke atas, tentu saja Pek-lui-kong yang sudah merasa
"menang angin" itu tidak mau melepaskannya dan diapun meloncat ke atas, mengejar, diikuti oleh
Kim-i-ciangkun yang berbesar hati karena adanya Pek-lui-kong di sampingnya.
Kini terjadi kejar-kejaran dan juga perkelahian sengit di tingkat tiga. Agaknya dua orang maling itu
hendak mengandalkan ginkang mereka karena mereka hanya sebentar saja menghadapi lawan lalu
cepat berloncatan lagi ke tingkat yang lebih tinggi. Dua orang jagoan istana itu terus mengejar dan
terjadilah perkelahian seru di atas leteng ke empat. Semua orang yang menonton di bawah dapat
meng-ikuti semua kejar -kejaran dan perkelahian itu de-ngan jelas. Para anggauta pasukan bersorak -
sorak menjagoi komandan mereka.
Kini Pek Lian dan dua orang temannya dapat melihat bahwa Pek -lui -kong benar -benar dapat
mendesak si iblis pria dengan pukulan -pukulan saktinya ! Iblis itu nampak kewalahan sekali. Akan
tetapi, sebaliknya, Kim -i -ciangkun juga nampak terdesak oleh iblis wanita itu. Terutama sekali karena
dia kalah cepat dalam bergerak, dan kalah panjang napasnya membuat panglima ini terdesak dan
napasnya mulai terengah -engah. Melihat ini, para perajurit yang di bawah dan tidak dapat mem-bantu
itu lalu melepas anak panah ke atas. Mereka tahu bahwa dengan pakaian pengawalnya, ko-mandan
mereka tidak akan terlukai oleh anak panah.
Kembali terjadi keheranan dalam hati Pek Lian. Ia tahu bahwa iblis Si Raja Kelelawar memiliki jubah
yang dapat menahan segala macarn senjata tajam. Akan tetapi iblis ini agaknya tidak berani
mengandalkan jubahnya, atau dia tidak memakai jubah pusakanya itu. Iblis itu dan teman wanita
nya harus mengelak ke sana -sini dan menjadi kewalahan ketika dihujani anak panah dari bawah,
maka mereka berdua lalu meloncat lagi ke tingkat lima. Di sini anak panah tidak lagi dapat mencapai
mereka karena terhalang langkau melintang di tepinya. Pek -lui -kong dan Kim -i -ciangkun terus
mengejar. Terjadilah perkelahian yang lebih hebat di tingkat lima.
Agaknya si maling wanita itu menjadi marah karena terdesak dam tersudut. Ia mengeluarkan teriakan
melengking dan tubuhnya melesat dengan luar biasa cepatnya menyambut Kim -i -ciangkun yaag
sudah mengejar ke tingkat lima. Komandan itu maklum bahwa lawannya melakukan serangan yang
berbahaya, maka diapun cepat mengerahkan tenaga untuk menangkis. Akan tetapi, agaknya dia
kurang cepat dan tahu-tahu sebuah pukulan telah mengenai pundak kirinya.
"Dess !" Kim -i -ciangkun mengeluh dan terpelanting, roboh dan ketika dia hendak bangkit lagi, dia
menyeringai karena pundaknya terasa nye-ri sampai ke dada, bahkan lengan kirinya tidak da-pat
digerakkan, amat nyeri rasanya kalau digerak-kan ! Tentu saja dia menjadi terkejut dan maklum
bahwa dia tidak mungkin dapat maju untuk ber-tanding lagi.
Sementara itu, melihat pembantunya roboh, Pek-lui-kong menjadi marah dan sepak terjangnya
menjadi semakin hebat. Dia kini dikeroyok dua oleh lawannya. Akan tetapi, dia tidak merasa gen-tar,
bahkan kini mengeluarkan ilmunya yang amat diandalkan, yaitu tenaga pukulan Pusaran pasir Maut.
Begitu dia melancarkan pukulan ini, angin puyuh bertiup dan hawa dingin terasa melanda tubuh
kedua orang lawannya! Seketika butiran-bu-tiran keringat dan air hujan yang membasahi tubuh kedua
lawan itu menjadi beku ! Keduanya meng-gigil kedinginan dan menjadi gelagapan. Cepat mereka
mengerahkan sinkang untuk memunahkan pengaruh luar biasa dari pukulan Pusaran Pasir Maut itu.
Si cebol mengeluarkan suara ketawa me-nyeramkan.
"Hayo, keluarkan ilmu -ilmu andalanmu yang terkenal itu !" bentaknya kepada iblis yang tinggi dan
yang disangkanya Raja Kelelawar itu. "Sudah kutunggu sejak tadi. Kenapa tidak kaukeluarkan ilmu -
dunia-kangouw.blogspot.com
ilmumu ? Orang bilang, ginkangmu tidak ada keduanya di dunia ini, tidak tahunya Cuma sebegitu
saja!" Kembali si cebol tertawa menge-jek. Kemudian dia memasang kuda -kuda dengan tubuh yang
sudah cebol itu direndahkan, kedua tangannya bergerak cepat sekali di selatar tubuh-nya, makin lama
makin cepat.
"Hayo, majulah !" bentaknya dan kini dua le-ngannya sudah sukar diikuti pandang mata, biar oleh
seorang ahli silat tinggi sekalipun. Seolah-olah kedua lengan itu kini nampak menjadi ratusan atau
ribuan banyaknya, membentuk bayang bayang dan sukar dilihat dengan nyata yang manakah le-ngan
aselinya dan di mana adanya kedua lengan itu di satu saat. Itulah ilmu sakti yang luar biasa, Ilmu Silat
Soa -hu -lian (Teratai Danau Pasir)!
Iblis itu nampak terkejut, sepasang matanya ter-belalak, nampak jerih dan putus asa.
"Koko , awas !" Maling wanita memperingatkan dengan suara halus. Mereka berdua cepat bersatu
untuk menghadapi si cebol yang benar -benar amat menggiriskan ilmunya. Biarpun dikeroyok dua,
namun tetap saja dia mampu mendesak lawan. Kedua tangan yang berobah menjadi banyak sekali
saking cepat gerakannya itu, mengeluarkan angin berputar menyambar -nyambar dan membawa
hawa dingin. Butir-butiran air hujan yang jatuh di sekitar tempat itu, terkena sambaran angin dingin ini
menjadi beku dan berjatuhan mengeluarkan bunyi seperti batu!
Ho Pek Lian, Pek In dan Ang In juga sudah tiba di tingkat ke lima itu. Mereka berloncatan dan kini
menonton pertandingan hebat itu dari jarak yang agak jauh. Biarpun demikian, mereka masih merasa
betapa hawa dingin melanda tubuh mere-ka, terdorong oleh angin pukulan si cebol, membu-at
mereka mengg:gil.
Sepasang iblis itu telah terdesak hebat. Mere-ka tidak dapat lari lagi. Terpaksa melawan dari pada
mati konyol. Akan tetapi, gerakan si cebol benar -benar membuat mereka bingung. Ketika Pek -lui -
kong mengeluarkan bentakan nyaring dan kedua tangannya bergerak cepat, sepasang ma-ling itu
menangkis dan akibatnya hebat sekali. Kedok yang dipakai oleh maling pria itu tereng-gut lepas,
sedangkan maling wanita yang terkena sambaran tangan pada pundaknya itu, menjerit dan tubuhnya
terlempar jauh ke atas, ke tingkat paling atas !
Pada saat itu, dari tingkat paling atas terdengar suara halus menegur, "Siapa berkelahi di bawah ?"
Dan muncullah seorang kakek pendeta ke serambi tingkat teratas itu. Ketika dia melihat sesosok tubuh
terlempar dari bawah, cepat dia mengulurkan tangan dan menangkap dengan mencengkeram
punggung baju tubuh itu. Dan ket;ka dia melihat bahwa wanita yang berpakaian hitam itu terluka
parah, dia lalu merebahkannya di atas lantai.
Pada saat itu berkelebat bayangan hitam dan ternyata maling pria tadi, yang terhindar dari pukulan
akan tetapi kedoknya copot itu, telah melon-cat dan menyusul maling wanita yang terpukul dan
terlempar ke atas. Tak lama kemudian, si ce-bol juga sudah meloncat ke atas dan melihat beta-pa
lawannya berjongkok menghampiri dan meme-riksa tubuh kawannya yang terluka, Pek -lui -kong
sudah melangkah maju untuk melakukan pukulan maut pula.
Pada saat itu, terdengarlah teriakan Ho Pek Lian, "Tahan!! Dia bukan Raja Kelelawar!!"
"Ehhh ??" Tentu saja Pek-lui-kong menjadi terkejut, juga, kecewa karena tadinya dia sudah merasa
girang dan bangga bahwa dia mampu menandingi bahkan mendesak dan nyaris merobohkan iblis
yang dikenal dengan nama si Raja Kelelawar itu! Akan tetapi, kini puteri Menteri Ho itu mengatakan
bahwa orang itu bukanlah si Raja Kelelawar! Tentu saja dia terkejut dan kecewa. Dia menengok dan
melihat bahwa Ho Pek Lian,
Pek In dan Ang In juga sudah tiba di tempat itu.
Sementara itu, iblis yang sedang berjongkok memeriksa kawannya yang terluka, terkejut meli-hat si
cebol telah mengejarnya, maka diapun me-loncat dan siap menghadapi serbuan lawan yang amat
tangguh itu. Pada saat itu, ada suara gemu-ruh angin pukulan melanda dirinya, dari samping.
Karena dia tadi memperhatikan ke arah si cebol, dia tidak tahu bahwa di sampingnya ada seorang
lawan lain, maka kini diapun cepat mengangkat tangannya menangkis.
"Bresss !" Maling itu terdorong ke belakang oleh tenaga yang amat hebat. Celaka, pikirdunia-
kangouw.blogspot.com
nya. Ada seorang lagi yang memiliki ilmu sedemikian hebatnya. Kesempatan untuk meloloskan diri
bersama kawannya sungguh menjadi semakin tipis lagi. Cepat dia mengangkat muka memandang
dan ternyata orang yang melepaskan pukulan sakti yang amat hebat itu adalah seorang nenek!
Memang, sesungguhnya penyerang itu adalah Siang Houw Nio -nio yang juga baru keluar dari
ruangan dalam di tingkat tertinggi, bersama de-ngan kakek pendeta itu. Nenek ini memang sedang
berada di situ, dan melihat ada orang berpakaian hitam yang dikejar oleh si cebol, iapun sudah da-pat
menduga bahwa tentu dua orang berpakaian hitam itulah yang dikabarkan menjadi pengacau yang
sering muncul di kompleks istana, maka iapun segera mengirim pukulan tadi.
"Adikku sabar dulu jangan sembarangan turun tangan !" Pendeta tua yang bukan lain adalah Bu
Hong Sengjin itu berkata halus. Pendeta itu sedang memeriksa maling wanita yang terluka.
Ketika Pek Lian tadi melihat maling pria yang terenggut kedoknya, segera ia dapat mengenal pria
muda yang tampan itu. Maka iapun cepat menge-jar ke atas dan kini ia menghampiri maling pria yang
ternyata merupakan seorang pemuda tam-pan yang jangkung, usianya duapuluh tahun lebih.
"Bu -taihiap ......!" serunya.
Pemuda itu memang Bu Seng Kun, yang di-kenal oleh Pek Lian sebagai putera Bu Kek Siang
keturunan murid Sin-yok-ong si Tabib Sakti itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan dari ki-sah
ini, setelah Bu Kek Siang tewas, "barulah Bu Seng Kun dan adiknya, Bu Bwee Hong, mengeta-hui
dari surat peninggalan kakek itu bahwa mere-ka sesungguhnya bukan putera dan puteri Bu Kek
Siang, melainkan cucu keponakan pendekar itu. Ayah kandung mereka adalah seorang pangeran
yang bernama Pangeran Chu Sin yang ditawan oleh pasukan pemerintah, sedangkan ibu mereka
yang She Bu, keponakan dari Bu Kek Siang, telah tewas. Jadi, mereka itu adalah Chu Seng Kun dan
Chu Bwee Hong dan mereka berdua meninggalkan tem-pat tinggal mereka untuk pergi mencari ayah
me-reka yang lenyap setelah ditawan oleh pasukan pemerintah!
Melihat Pek Lian, pemuda itu segera mengenal-nya. "Ah, kiranya Ho -siocia berada di sini ?" Dia
memberi hormat dan menoleh ke arah maling wa-nita yang rebah terluka. "Dan dia adalah adikku."
Lalu dengan sedih dia mendekati adiknya, menge-luarkan sebutir pel dan berkata, "Kau cepat telan
pel ini."
Dibukanya topeng adiknya dan dimasukkannya pel itu ke mulut adiknya. Semua orang terkejut dan
kagum. Kiranya yang bersembunyi di balik kedok hitam itu adalah wajah yang luar biasa can-tiknya !
"Enci Hong !" Pek Lian cepat berlutut dan memegang tangan dara cantik yang sudah dikenalnya
dengan baik itu.
Gadis yang terluka itu setelah menelan pel dari kakaknya, dapat bernapas agak longgar dan iapun
tersenyum melihat Pek Lian.
"Anak nakal, engkau di sini dan ikut mengeroyok kami pula ?" katanya dan senyumnya membuat
semua orang seolah-olah melihat bulan bersinar penuh, demikian manis dan cemerlangnya wajah itu.
"Ah, enci, mana aku tahu bahwa Bu-taihiap dan engkau ? Kenapa ...... ah, kenapa ?" tanya Pek
Lian yang tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu, Siang Houw Nio-nio sudah
bertanya kepadanya,
"Nona Ho, siapakah sesungguhnya mereka ini ?" "Locianpwe, mereka ini adalah kakak beradik she
Bu, yaitu Bu Seng Kun dan Bu Bwee Hong. Mereka ini adalah keturunan dan ahli waris dari Sin -yok -
ong, putera dan puteri dari mendiang pendekar besar Bu Kek Siang cucu murid Sin-yok-ong
locianpwe "
"Hemm! " Tiba-tiba pendeta Bu Hong Sengjin berseru dan diapun memberi isyarat kepada
nenek Siang Houw Nio -nio, lalu berkata, "Mari kita semua bicara di dalam. Ternyata dua orang
muda ini adalah orang -orang sendiri. Dan nona ini perlu istirahat dari lukanya "
dunia-kangouw.blogspot.com
Yang ikut masuk adalah selain kakek pendeta itu sendiri, Siang Houw Nio-nio dan dua orang
muridnya, Pek Lian, kakak beradik she Bu itu, dan Pek-lui-kong Tong Giak. Kim-i-ciangkun lalu keluar
dan memerintahkan semua pasukan untuk mengundurkan diri dan merawat mereka yang menderita
luka dalam perkelahian tadi. Suasana menjadi hening dan tenang kembali setelah tadi terjadi
keributan yang menggegerkan itu.
Biarpun pukulan dari si cebol itu amat hebat, namun berkat sinkangnya yang kuat, Bwee Hong tidak
sampai terancam maut. Apa lagi ia telah menelan pel mujijat dari kakaknya, bahkan Pek-lui -kong
sendiripun lalu memberi obat luka yang khusus untuk melawan bekas pukulannya kepada gadis itu.
Maka nona itu dapat ikut bercakap -ca-kap, walaupun ia harus duduk dengan punggung diganjal
bantal dan kaki dilonjorkan, dijaga oleh kakaknya, dan oleh Pek Lian.
"Nah, sekarang ceritakanlah semua," kata pen-deta tua itu dengan suara halus. "Kalau kalian be-nar
putera dan puteri dari pendekar Bu Kek Siang, lalu mengapa kalian datang ke sini seperti dua orang
maling ? Ceritakan sejujurnya, karena hanya itulah yang akan menerangkan duduknya perkara dan
akan dapat membebaskan kalian dari kecuri-gaan dan hukuman."
Kakak beradik itu saling pandang, kemudian Bu Seng Kun bercerita dengan singkat namun jelas,
"Kami berdua mengunjungi kompleks istana seperti dua orang pencuri, sesungguhnya bukan dengan
iktikad buruk. Kami sedang melakukan penyelidik-an untuk mencari seseorang yang dahulu pernah
tinggal di kompleks istana. Kami tidak tahu apakah dia masih hidup, akan tetapi kami tahu bahwa dia
pernah menjadi seorang bangsawan di sini. Akhir nya, setelah mencari selama beberapa hari, kami
menemukan istananya dan kami mengunjunginya, tentu saja dengan diam -diam karena tak mungkin
kami dapat berkunjung dengan terang-terangan..."
Siang Houw Nio -nio yang sejak tadi meman-dang tajam penuh perhatian, merasa berhak untuk
bertanya karena yang dikunjungi kedua orang mu-da ini adalah rumahnya yang diberikan kepada dua
orang muridnya. "Siapakah bangsawan yang kalian cari itu ?"
"Dia seorang pangeran, namanya Chu Sin"
Kalau nenek Siang Houw Nio-nio dan kakek Bu Hong Sengjin terkejut, maka mereka tidak memperlihatkan
perasaan ini pada wajah mereka yang tetap tenang saja itu. Bahkan, nenek Siang Houw
Nio-nio lalu bertanya cepat, "Lalu mengapa kali-an mendatangi gedung itu, memasuki ruangan
penyimpan abu leluhur dan bersembahyang di sana ?"
"Kami hendak bersembahyang kepada arwah leluhur dari Pangeran Chu Sin"
Pek Lian, Pek in, Ang In dan juga Pek -lui -kong Tong Ciak mendengarkan dengan heran karena
mereka tidak tahu siapa yang dimaksudkan dengan Pangeran Chu Sin itu. Akan tetapi, kini kakek Bu
Hong Sengjin bertanya, dan suaranya agak gemetar, "Mengapa kalian menyembahyangi leluhur
Pangeran Chu Sin?"
Kembali kakak beradik itu saling pandang, lalu Seng Kun menarik napas panjang. Tidak ada jalan
lain untuk menyatakan bahwa mereka tidak bermaksud buruk, yaitu hanya dengan membuka rahasia
mereka. "Beliau adalah ayah kandung kami, maka leluhur beliau berarti leluhur kami,pula "
Sebelum nenek Siang Houw Nio -nio yang ter-kejut sekali itu sempat bicara dan hanya meman-dang
kepada kakak sepupunya dengan melongo, kakek pendeta itu sudah bertanya lagi, "Bagaima-na baru
sekarang kalian datang mencari ayah kan-dung kalian di sini?"
"Kami mendengar akan rahasia tentang ayah kandung kami itu baru saja setelah ayah... eh, setelah
paman kakek kami Bu Kek Siang meninggal, melalui surat wasiat peninggalannya. Kakek Bu suami
isteri meninggal dunia dan begitu kami ta-hu akan riwayat ayah kandung kami, lalu kami da-tang ke
kompleks istana untuk mencarinya."
Pendeta itu menarik napas panjang dan meman-dang kepada dua orang muda itu berganti -ganti,
kemudian dia menunduk dan sungguh mengheran-kan hati semua orang yang hadir kecuali Siang
Houw Nio-nio ketika nampak beberapa butir air mata turun dari sepasang mata itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Seng Kun, Bwee Kong, akulah orangnya yang memberi nama -nama kepada kalian itu karena akulah
Pangeran Chu Sin yang kalian cari -cari."
Seng Kun terperanjat dan memandang kepada kakek itu dengan mata terbelalak, akan tetapi ia
didahului oleh adiknya yang sudah menjerit, "Ayah !!" Dan gadis itu sudah turun dari kursi tempat ia
bersandar dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bu Hong Sengjin. Juga Seng Kun cepat
menjatuhkan diri berlutut. Suasana menjadi sunyi dan mengharukan sekali, yang terdengar hanya
isak tangis Bwee Hong.
Sambil duduk, kakek itu lalu meraih pundak. Suasana menjadi semakin mengharukan. Akan tetapi,
agaknya kakek itu telah dapat menguasai hatinya dengan mudah.
"Seng Kun, Bwee Hong, kalian adalah anak-anak kandungku. Duduklah dan tenangkan hatimu, biar
aku menceritakan semua riwayat kita agar me-reka yang menyaksikan pertemuan antara kita ini dapat
mengerti duduknya perkara. Kurasa hanya bibi kalian Siang Houw Nio -nio sajalah yang tahu akan
rahasiaku ini."
Jilid XI
SAMBIL menyusut air mata karena girang dan terharu, dua orang muda itu lalu duduk kembali dan
tentu saja kini pandang mata mereka terhadap kakek pendeta itu berrobah sebagai pandangan anak
terhadap ayahnya. Bu Hong Sengjin lalu bercerita secara singkat. Di waktu mudanya, dia belajar ilmu
silat dan juga ilmu Agama To. Ayahnya, seorang pangeran tua, menghendaki agar dia menjadi
seorang panglima. Akan tetapi, biarpun telah mempelajari ilmu -ilmu silat tinggi dan mem-buatnya lihai
sekali, Pangeran Chu Sin lebih suka memperdalam Agama To dan lebih suka berkelana di antara
rakyat. Apa lagi karena pangeran ini memiliki pandangan yang berbeda dengan ke-luarga istana. Dia
melihat penindasan yang dilaku-kan oleh istana terhadap rakyat. Dia melihat keme-wahan yang
berlimpah -limpah di kalangan istana dan melihat kesengsaraan yang memilukan di ka-langan rakyat.
Hal inilah yang membuat dia eng-gan untuk menyumbangkkan tenaganya membantu istana. Ayahnya
marah sekali dan dia dianggap sebagai pemberontak atau penentang keluarga istana. Kemudian
ayahnya minta bantuan pasukan dan para pembesar untuk mencarinya. Akan tetapi, Pangeran Chu
Sin yang sudah bertekad tidak mau pulang itu melarikan diri dan merantau sampai jauh dan sampai
bertahun -tahun. Bahkan di da-lam pelariannya ini dia bertemu dengan seorang gadis kang-ouw
dengan siapa dia saling jatuh cinta. Kemudian dia menikah dengan gadis she Bu itu, lalu suami isteri
ini mengasingkan diri ke gunung, hidup tenteram dan bahagia sampai terlahirlah Seng Kun dan Bwee
Hong. Akan tetapi, pada sua-tu hari, para penyelidik dari istana dapat menemu-kan jejaknya dan
tempat tinggal mereka diserbu. Biarpun Pangeran Chu Sin dan isterinya menga-muk dan melawan,
namun jumlah pasukan amat banyak dan setelah melihat isterinya tewas dalam pengamukan itu,
Pangeran Chu Sin menjadi lemas dan menyerah dengan syarat bahwa kedua orang anaknya tidak
diganggu.
"Demikianlah, anak -anakku dan kalian yang menjadi saksi pertemuan ini," kakek itu menutup
ceritanya. "Ketika itu, Seng Kun baru berusia tiga tahun dan Bwee Hong berusia satu tahun. Aku
menyerahkan diri dan ditangkap. Kedua orang anak ini benar tidak diganggu dan dipelihara oleh
paman Bu Kek Siang, yaitu paman dari isteriku. Aku di-bawa ke istana dan karena aku tetap tidak
mau memegang pangkat untuk membantu pemerintah, aku dipenjarakan dan ayahku sampai
meninggal karena sakit dan menyesal. Bertahun-tahun aku berada di dalam penjara di mana aku
memperdalam ilmu silat dan ilmu agama. Akhirnya, aku dibebas-kan dan menjadi pendeta di kuil ini,
bahkan ke-mudian diangkat menjadi kepala kuil dan penasihat kaisar seperti sekarang."
Tentu saja peristiwa geger mengejar maling itu berakhir dalam suasana gembira karena pertemuan
antara ayah dan kedua orang anaknya itu. Yang ta-hu akan rahasia itu hanyalah Siang Houw Nio -nio
seorang, karena memang Bu Hong Sengjin selama ini merahasiakan nama mudanya. Orang-orang
yang tidak mengenalnya di waktu kecil tentu tidak ada yang tahu bahwa di waktu mudanya, ketua kuil
itu bernama Pangeran Chu Sin. Siang Houw Nio -nio tentu saja tahu akan hal ini karena kakek itu
ada-lah saudara sepupunya yang dikenalnya sejak ke-cil, bahkan iapun tahu akan petualangan kakek
dunia-kangouw.blogspot.com
itu di waktu mudanya. Hanya saja, nenek inipun sa-ma sekali tidak tahu bahwa kakak misannya itu,
yang menjadi tosu yang dihormati, ternyata di wak-tu mudanya ketika bertualang telah menikah,
bahkan mempunyai dua orang anak !
Tentu, saja peristiwa yang menggembirakan itu disambut oleh Siang Houw Nio -nio dan Pek -lui-kong
Tong Ciak yang segera menghaturkan selamat kepada Bu Hong Sengjin. Dan dua orang muda-mudi
yang berbahagia itupun diterima dengan senang hati oleh Siang Houw Nio -nio, Pek In dan Ang In
untuk tinggal di istana itu, karena mereka berdua itulah yang sesungguhnya berhak atas ru-mah
nenek moyang mereka itu. Dengan hati rela Siang Houw Nio -nio dan kedua orang muridnya
menyerahkan kembali gedung istana mungil itu kembali kepada yang berhak dan kakak beradik she
Chu itu tinggal di istana itu sebagai tuan dan nona rumah ! Akan tetapi karena Seng Kun dan Bwee
Hong sejak kecil dididik dengan keras, mere-ka menjadi orang-orang sederhana yang tidak menjadi
angkuh dengan perobahan dalam kehidup-an mereka itu. Mereka sendiri yang membujuk agar Pek In
dan Ang In bersama para dayang untuk terus tinggal di istana itu, para dayang itu tetap bekerja di situ
dan kedua orang murid Siang Houw Nio-nio itu tinggal di situ sebagai sahabat-saha-bat baik, bahkan
dapat dibilang masih merupakan kerabat mereka karena bukankah nenek Siang Houw Nio -nio itu
adalah bibi mereka sendiri ? Dan me-reka semua segera dapat menjadi akrab, karena memang di
dalam batin orang -orang muda ini terdapat watak pendekar yang gagah perkasa se-hingga mereka
itu sudah memiliki persamaan dalam selera.
Chu Seng Kun dan Chu Bwee Hong telah dibawa menghadap kaisar oleh ayah mereka. Kaisar sendiri
menjadi tertegun dan heran, akan tetapi ju-ga merasa gembira bahwa Bu Hong Sengjin ter-nyata
mempunyai dua orang anak yang demikian cakap dan gagahnya. Atas persetujuan kaisar pula maka
Seng Kun dan Bwee Hong secara sah menjadi ahli waris istana nenek moyang mereka, dan kaisar
lalu memberikan sebuah istana lain untuk Siang Houw Nio -nio dan murid -muridnya.
Beberapa hari kemudian, Chu Bwee Hong yang menjadi nona rumah itu menerima kunjungan Pek In
dan Ang In, sedangkan Pek Lian memang untuk sementara menjadi tamunya yang amat disayangnya.
Empat orang gadis yang cantik -cantik ini duduk di serambi depan. Dari tempat mereka du-duk
bercakap -cakap nampak bunga -bunga yang sedang mekar. Musim semi sudah tua, akan tetapi
bunga-bunga di taman itu malah mekar semua sehingga suasana menjadi amat indah dan segarnya
di pagi hari itu. Mereka berempat bercakap -cakap sambil menghadapi hidangan teh hangat dan
kueh-kueh.
Chu Bwee Hong nampak cantik jelita bukan main. Apa lagi dalam pandang mata kaum pria,
sedangkan Pek Lian, Pek In dan Ang In sendiri diam -diam kagum bukan main. Wajahnya demiki-an
cemerlang, dengan garis -garis yang hampir sempurna, kulit mukanya halus licin dan seolah-olah
mengeluarkan kehangatan dan kesegaran yang mempesona. Rambutnya hitam gemuk, dengan anakanak
rambut yang berjuntai dari dahi, bah-kan sinom yang tumbuh di depan telinga itu me-lengkung
ke bawah seperti lukisan seniman yang pandai. Alisnya hitam kecil melengkung seperti dilukis,
padahal dara ini tidak pernah mempergu-nakan alat penghitam alis. Sepasang matanya begitu bening
dan tajam, kini sinarnya mengandung keba-hagiaan dan kegembiraan, tentu karena pertemuan-nya
dengan ayah kandungnya. Ia sudah sembuh sama sekali dari akibat pukulan Pek -lui -kong dan
nampak segar dari sepasang bibirnya yang merah membasah, merekah seperti sekuntum bunga
mawar diselimuti embun pagi itu. Juga kedua pipinya, yang menonjol di bawah mata, kemerahan
seperti buah tomat masak. Hidungnya kecil mancung, cupingnya dapat bergerak lembut dan lucu
menam-bah kemanisan wajahnya. Memang, Bwee Hong adalah seorang dara yang cantik jelita dan
manis.
Pek Lian dan kedua orang murid Siang Houw Nio -nio itupun merupakan dara -dara yang can-tik,
terutama sekali Pek Lian yang memiliki kecan-tikan yang khas, dengan mukanya yang agak lon-jong,
dagu meruncing halus, hidung mancung dan mata yang lebar dan tajam, kecantikan yang mengandung
kegagahan, keberanian dan penuh de-ngan gairah dan semangat hidup. Akan tetapi, kecantikan
Bwee Hong memang luar biasa sekali se-hingga nampak menonjol di antara mereka.
Empat orang gadis itu bercakap -cakap dengan gembira sekali, terbawa oleh suasana segar di pagi
hari itu. "Aku dan Kun-koko sudah lebih dari sepuluh hari berkeliaran di daerah istana ini," terdengar
Bwee Hong bercerita mengenang kembali semua pengalamannya yang menyeramkan. "Kami
dunia-kangouw.blogspot.com
berusaha mencari ayah yang belum pernah kami kenal, hanya bermodalkan pesan terakhir mendi-ang
kakek Bu Kek Siang itu."
"Engkau sungguh beruntung, enci Hong," kata Pek Lian. "Kalian mengunjungi tempat yang amat
berbahaya dan terjaga kuat, menyelidiki sampai berhasil menemukan rumah keluarga nenek mo-yang
ayahmu tanpa menemukan kesukaran."
Bwee Hong tersenyum manis dan mengangguk. "Memang kami beruntung sekali. Ketika kami ber-dua
tiba di sini, jagoan -jagoan istana kebetulan sekali sedang bertugas keluar. Andaikata pada waktu itu
di istana terdapat Beng -goanswe, atau Tong -ciangkun, atau bibi Siang Houw Nio-nio, sudah pasti
kami berdua akan tertangkap basah. Betapapun juga, beberapa hari yang lalu kami pernah kepergok
oleh Kim -i -ciangkun sehingga terjadi geger. Untung kami masih dapat melolos,-kan diri.
"Bagaimanapun juga, kami merasa amat kagum akan kepandaian nona Chu," kata Pek In memuji.
"Kim -i -ciangkun yang amat lihai dengan pukulan apinya itu masih dapat nona kalahkan, sungguh
sukar dapat dipercaya kalau tidak menyaksikannya sendiri. Nona yang begini muda dan cantik jelita
dan lembut, mampu mengalahkan seorang jagoan tangguh seperti dia. Bukan main !"
"Apa lagi kakakmu itu, nona. Masih semuda itu sudah mampu melayani jagoan istana nomor satu
seperti Tong -ciangkun sampai begitu lama. Sung-guh luar biasa sekali, agaknya tidak kalah kalau
dibandingkan dengan Yap -suheng kami."
'"Tap -suheng kalian itu siapakah ?" tanya Bwee Hong. Ia sudah pernah mencela sebutan kedua
orang murid bibinya ini kepadanya yang bersikap hormat dan menyebut nona, akan tetapi kedua
orang gadis itu tetap menyebutnya nona. Bagai manapun juga, Bwee Hong adalah puteri pangeran
dan keponakan Siang Houw Nio -nio, maka tentu saja sudah layak kalau dihormati.
Mendengar pertanyaan ini, Ang In tertawa. Bi-arpun ia dan cicinya selalu bersikap hormat, akan tetapi
keakraban mereka terhadap Bwee Hong membuat mereka seperti sahabat-sahabat biasa saja.
"Hi-hi-hik, kalau nona hendak mengetahui, tanya saja kepada Pek-cici. Ia pacarnya ......!"
"Hushh ! Siapa bilang ?" Pek In berseru dengan kedua pipi berobah merah sekali. Tangannya menyambar
ke depan untuk mencubit lengan adiknya, akan tetapi ribut-ribut disertai kekeh tawa ini
terhenti seketika ketika mereka melihat muncul-nya Seng Kun dari halaman depan. Bwee Hong
segera bangkit dan menyongsong kakaknya.
"Koko, ada berita apakah ? Kenapa sepagi ini engkau sudah dipanggil menghadap ke dalam ?"
Akan tetapi sebelum menjawab pertanyaan adik-nya, dengan sikap sopan Seng Kun lebih dulu memberi
hormat dan menyapa tiga orang gadis itu yang juga cepat membalas salamnya. Kemudian
mereka semua duduk menghadapi meja dan Seng Kun lalu bercerita.
"Malam tadi Hek-ciangkun, utusan Beng-goanswe pulang. Seperti diketahui, dia diutus untuk
menjemput ayah nona Ho dari penjara.
Juga Beng -goanswe sudah pulang dari tempat Wakil Perdana Menteri Kang. Menteri Kang me-nunda
keberangkatannya ke kota raja memenuhi panggilan sri baginda karena ...... karena Hek-ciangkun
telah gagal untuk membawa Menteri Ho ke kota raja."
"Eh ......!! Kenapa? Apa yang telah terjadi?"
Pek Lian berseru kaget, mukanya berobah agak pucat.
Melihat ini, Seng Kun segera menghibur. "Harap nona tidak menjadi gelisah. Karena ayahmu pasti
tidak kurang suatu apa."
"Akan tetapi ...... apa yang terjadi dengan ayah-ku ?"
"Menteri Ho telah diculik orang sebelum Hek-ciangkun tiba untuk menjemputnya. Para penjaga tidak
ada yang mengetahuinya. Jeruji -jeruji baja pintu penjara itu melengkung semua sehingga ta-wanan
dapat lolos. Memang luar biasa sekali. Ha-nya orang yang memiliki kekuatan luar biasa saja yang
dunia-kangouw.blogspot.com
akan mampu membuat jeruji -jeruji baja yang amat tebal itu melengkung semua tanpa ada
seorangpun penjaga yang mendengarnya."
"Ahh, ayahku ...... !!" Pek Lian mengeluh.
"Akan tetapi, mengapa engkau dipanggil oleh sri baginda, koko ?" tanya lagi Bwee Hong kepada
kakaknya.
"Sri baginda menjadi sangat marah. Beliau ingin mengutus seseorang yang akan dapat menemukan
kembali Menteri Ho dan mengantarkannya ke kota raja dalam keadaan selamat. Utusan itu haruslah
seorang yang belum dikenal baik oleh golongan sesat maupun oleh golongan yang menentang kembalinya
para menteri di istana, karena kalau tugas merampas kembali Menteri Ho ini diketahui pihak
lawan, sebelum beliau dapat diselamatkan, mungkin keselamatannya akan terancam. Sri baginda
tidak berani mengutus Tong -ciangkun, Beng-goanswe maupun bibi Siang Houw Nio -nio yang sudah
banyak dikenal. Pula, istana perlu dijaga karena keadaan yang seperti sekarang ini sungguh mengkhawatirkan.
Kemudian sri baginda memilih aku atas petunjuk Tong -ciangkun. Hal itupun disetujui
oleh ayah dan oleh bibi. Nah, di sinilah aku, siap untuk berangkat melaksanakan tugas itu."
"Aku juga akan pergi untuk mencari ayah !" Ho Pek Lian yang wajahnya pucat itu berseru, di dalam
suaranya terkandung kedukaan dan kegelisahan. Baru saja ia terbebas dari kedukaan ketika sri baginda
memutuskan untuk membebaskan ayahnya dan sekarang, kembali ayahnya dilanda
malapetaka, diculik orang tanpa diketahui siapa penculiknya dan apa maksudnya menculik orang tua
itu.
"Aku juga ikut!" kata Bwee Hong penuh sema-ngat. "Kapan kita berangkat, koko ?"
"Hari ini juga, nanti kalau matahari telah terbe-nam. Akan tetapi sebaiknya kalau kalian tidak usah
ikut."
"Aku harus pergi mencari ayah !" Pek Lian ber-seru. "Kalau engkau tidak mau mengajakku, aku akan
pergi mencari sendiri!"
"Dan akupun akan menemani adik Lian kalau engkau tidak mau mengajakku, koko !" sambung Bwee
Hong. Seng Kun tahu akan kekerasan hati adiknya dan diapun sudah mengenal watak Pek Lian,
maka dia menarik napas panjang dan mau ti-dak mau meluluskan juga permintaan mereka. Dia bisa
melarang adiknya, akan tetapi tidak mungkin dapat melarang Ho Pek Lian yang hendak mencari
ayahnya. Dan diapun tidak enak hati kalau harus melakukan perjalanan berdua saja dengan Pek Lian.
Setelah bercakap -cakap beberapa lamanya, Pek In dan Ang In minta diri. Mereka khawatir kalau -
kalau guru mereka mencari mereka dan mereka mengucapkan selamat jalan kepada mereka bertiga.
"Selamat jalan, nona Ho," kata Pek In. "Hati-hatilah di jalan karena sekarang ini di dunia ba-nyak
berkeliaran orang -orang jahat yang amat sakti."
"Semoga engkau bisa cepat mendapatkan kem-bali ayahmu dalam keadaan sehat dan selamat, nona
Ho," kata pula Ang In.
Pek Lian mengucapkan terima kasih dan iapun segera bersiap-siap bersama Bwee Hong. Menu-rut
petunjuk dan saran Seng Kun, mereka bertiga melakukan perjalanan sambil menyamar sebagai
petani -petani. Pemuda ini berpendapat bahwa akan lebih mudah dan aman, menjauhkan gangguangangguan
kalau tidak melakukan perjalanan sebagai nona -nona cantik yang berpakaian mewah.
Muka mereka dilapisi bedak yang agak kehitaman, ram-but mereka dibikin kusut dan di atas telinga
diberi warna keputih-putihan sehingga kedua orang dara jelita ini berobah menjadi wanita-wanita
petani setengah tua yang sederhana. Seng Kun sendiri juga menyamar sebagai seorang petani,
lengkap dengan caping dan jenggot palsu.
Setelah matahari terbenam, berangkatlah tiga orang keluarga "petani" itu meninggalkan kota raja.
Mereka bertiga sengaja menguji penyamaran mere-ka dengan melewati para penjaga, akan tetapi ternyata
tidak ada seorangpun yang mengenal atau mencurigai mereka. Mereka keluar dari pintu gerbang
kota raja dan berhenti di tempat yang sepi.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ke mana kita akan menuju untuk memulai de-ngan tugas mencari ayah ini ? Kita buta sama sekali
dan tidak tahu dengan siapa kita berhadapan, ke mana kita harus mencari," Pek Lian berkata dengan
sikap bingung.
"Benar kita sama sekali tidak tahu siapa pen-culiknya. Apakah para penculik itu termasuk orang-orang
yang menyukai Menteri Ho ataukah justeru mereka itu yang memusuhinya ? Kalau yang menculik itu
para pendekar yang ingin menyelamatkan Menteri Ho dari hukuman, ahh... tugas kita menjadi ringan
sekali dan keselamatan Menteri Ho tidak perlu dikhawatirkan. Akan tetapi bagaimana kalau
sebaliknya ?" Bwee Hong juga mengemukakan pendapatnya.
"Biarlah kita menggantungkan diri kepada nasib dan kewaspadaan kita. Mari kita menuju ke dusun di
depan sana, siapa tahu di suatu tempat kita akan bertemu dengan petunjuk," jawab Seng Kun dan
mereka lalu menuju ke dusun yang sudah nampak dari situ. Sebuah dusun yang tidak begitu jauh dari
kota raja. Senja telah tiba ketika mereka memasuki dusun itu dan mereka lalu memasuki sebuah
kedai teh yang berada di tepi dusun. Seng Kun mengajak dua orang gadis itu singgah karena dia
tertarik sekali melihat betapa warung itu penuh dengan tamu. Padahal biasanya, kedai teh yang
menjual makanan tentu hanya dikunjungi orang di-waktu pagi atau siang saja. Seolah-olah ada terjadi
sesuatu di situ dan hal inilah yang menarik perhatiannya. Karena di bagian dalam telah penuh,
mereka bertiga duduk di meja yang terdapat di halaman kedai. Kemunculan tiga orang ini tidak
menarik perhatian karena mereka dianggap tiga orang dari keluarga petani biasa saja dan banyak
pula di situ terdapat petani -petani sederhana. Di halaman depan itupun telah duduk beberapa orang
tamu yang bercakap -cakap.
Ketika pelayan datang mengantar teh dan bak-pao yang mereka pesan, secara sambil lalu Seng Kun
berkata, "Wah, tamunya banyak sekali, ber-arti banyak rezeki!"
Pelayan itu menaruh teh dan makanan di atas meja dan tertawa senang. "Memang benar, dan ke
datangan kalian bertigapun merupakan rezeki ka-lian. Ketahuilah bahwa setelah diumumkan oleh
pemerintah bahwa Menteri Ho dan para menteri lainnya diampuni, juga Menteri Kang kabarnya
hendak bertugas kembali, kami merasa seperti ke-jatuhan bulan saking girangnya. Majikan kami telah
mengatakan kepada para langganan bahwa pada hari ini kami mengundang semua orang untuk
mengadakan pesta untuk bersyukur atas kurnia kaisar terhadap Menteri Ho dan Menteri Kang yang
kami cinta dan hormati. Jadi, kalian bertigapun kami anggap sebagai tamu dan ... ha-ha, tentu saja
mendapatkan minuman dan makanan gratis!" Pelayan itu meninggalkan mereka sambil tertawa
gembira, dan menghampiri meja lain. Sua-sana di situ memang seperti orang dalam pesta.
Seng Kun dan Bwee Hong saling pandang dan Pek Lian menundukkan mukanya untuk menyembunyikan
kedua matanya yang menjadi merah dan basah. Dengan kekuatan batinnya ia dapat membendung
tangisnya. Setelah diusapnya air matanya dengan ujung baju tanpa ada yang melihatnya kecuali
dua orang kawan yang duduk di depannya, iapun mengangkat muka.
"Kenapa kau menangis ?" Bwce Hong berbisik. "Ayahmu demikian disuka dan dipuja orang ! Li-hat itu
di dalam, hampir segala lapisan masyarakat begitu gembira menyambut berita dibebaskannya
ayahmu."
"Benar, nona. Semestinya nona gembira dan berbahagia mempunyai seorang ayah yang demiki-an
disuka orang," kata Seng Kun menyambung ucapan adiknya.
Pek Lian menghela napas panjang dan balas berbisik, "Semestinya demikian, akan tetapi mereka itu
tidak tahu kalau orang yang mereka rayakan kebebasannya itu kini sama sekali tidak bebas lagi,
bahkan tidak diketahui hidup matinya."
Diingatkan akan hal ini, kakak beradik itupun menjadi prihatin dan diam saja. Suasana di dalam kedai
itu benar-benar gembira dan terdengarlah orang -orang di dalam ruangan itu bersorak -sorak dan
berteriak, "Hidup Menteri Ho ! Hidup Mente-ri Ho !"
Seorang laki -laki yang berjenggot tebal naik ke atas sebuah kursi sambil mengisyaratkan dengan
kedua tangan ke atas agar semua orang suka mem-perhatikannya. Keadaan menjadi hening dan lakilaki
itupun berkata dengan suara yang lantang,
"Saudara -saudara, marilah kita bergembira me-rayakan kebebasan para tokoh pembela rakyat dari
kecurangan musuh -musuh rakyat. Menteri Ho mendapat pengampunan kaisar dan Wakil Perdana
dunia-kangouw.blogspot.com
Menteri Kang kembali akan memimpin kita. Negeri akan menjadi tenteram dan damai seperti semula,
dan kita akan hidup tenang dan terbebas dari pada penindasan!"
Semua orang bersorak-sorak. Bwee Hong me-ngerutkan alisnya dan berkata kepada kakaknya dan
Pek Lian, "Orang itu sungguh lancang dan berani. Tempat ini dekat sekali dengan kota raja. Kalau
kaki tangan para menteri korup yang memu-suhi Menteri Ho dan menentang keputusan kaisar
mendengar, bukankah akan terjadi keributan dan mungkin orang itu takkan diampuni ?" Akan tetapi
ketika Bwee Hong memandang kepada Pek Lian, ia terkejut dan berbisik, "Adik Lian, ada apakah ?
Engkau melihat siapa ?"
"Ssttt hati-hatilah kalian di sini terdapat pengunjung lain, seorang anak buah dari Raja Kelelawar
......"
"Ehh ? Di mana ?" tanya kakak beradik itu dengan kekagetan yang ditekan.
"Sstt lihat di sudut halaman sebelah kanan," kata Pek Lian tanpa memandang ke arah orang yang
ditunjuknya. Kakak beradik itupun meman-dang secara sepintas lalu saja dan mereka melihat adanya
seorang laki -laki yang usianya kurang le-bih tigapuluh lima tahun, berwajah ganteng dengan pakaian
yang indah mewah. Pria itu tersenyum -se-nyum, wajahnya selalu berseri dan berlagak, tangan-nya
memegang sebatang huncwe (pipa tembakau) dari emas yang kadang-kadang diisapnya. Seng Kun
dan Bwee Hong tidak mengenal pria itu, akan tetapi tentu saja Pek Lian mengenalnya karena orang
itu bukan lain adalah Jai-hwa Toat-beng-kwi, satu di antara tokoh sesat yang dahulu pernah
menghadiri pertemuan rahasia pemunculan Raja Kelelawar. Itulah penjahat cabul yang lihai sekali,
dan yang menjadi anak buah San -hek -houw si Harimau Gunung, pembantu utama Raja Kelelawar.
Sebagai anak buah San -hek -houw, tentu saja penjahat cabul ini juga menjadi kaki tangan Raja
Kelelawar.
Mendengar bahwa pria itu adalah anak buah Raja Kelelawar, tentu saja Seng Kun menjadi curi-ga.
Dia tidak mempunyai pegangan untuk meng-ikuti jejak penculik Menteri Ho, maka setiap pe-tunjuk
penting baginya. Dan kalau ada anak buah Raja Kelelawar di situ, belum tentu penjahat ini tidak akan
dapat memberi petunjuk. Peristiwa-peristiwa kejahatan harus diselidiki di antara pen-jahat, pikirnya.
Oleh karena itu, Seng Kun diam-diam memperhatikan pria tampan pesolek itu. Ketika melihat laki -laki
itu bangkit berdiri dan pergi, diapun segera mengajak dua orang gadis itu untuk membayanginya.
"Akan tetapi itu berbahaya sekali," bisik Pek Lian. "Dia amat lihai, dan siapa tahu dia akan menemui
kawan-kawan si Raja Kelelawar yang lain ?"
"Justeru itu kebetulan sekali. Siapa tahu para penjahat itu menculik ayahmu, nona ? Dan seti-daknya,
mungkin mereka itu tahu siapa penculik yang kita cari." Mendengar jawaban Seng Kun ini, Pek Lian
terpaksa lalu mengikutinya karena iapun ingin sekali dapat cepat menemukan ayahnya.
Akan tetapi setelah tiba di tempat sunyi, si pen-jahat cabul itu mengerahkan ginkang dan berlari cepat
sekali. Seng Kun dan Bwee Hong juga ber-lari cepat mengejar sehingga terpaksa Pek Lian yang
tingkat ginkangnya paling rendah itu harus mengerahkan seluruh tenaganya sampai ia terengahengah.
Baiknya orang yang dibayangi itu tidak mengambil jalan hutan karena cuaca sudah mulai
gelap. Penjahat itu mengambil jalan melalui semak-semak dan padang ilalang sehingga mereka
bertiga dapat membayanginya dari jauh dengan mudah tanpa bahaya kehilangan dia.
Setelah tiba di jalan besar lagi, penjahat itu menuju ke sebuah rumah yang berdiri terpencil di tempat
sunyi, di tepi jalan yang membelah pa-dang ilalang itu. Ternyata bahwa rumah itu ada-lah sebuah
kedai minuman yang biasa, dipakai untuk tempat peristirahatan dan persinggahan para pe-dagang
yang akan memasuki kota raja. Di setiap sudut kedai itu dipasangi lampu besar sehingga keadaan di
sekitarnya menjadi terang. Kedai itu nampak sunyi menantikan datangnya orang lain.
"Harap kalian suka bersembunyi dulu di sini. Aku akan mengambil jalan memutar dan pergi ke warung
itu sebagai tamu yang kemalaman dan ingin minum untuk mencoba mendengarkan percakapan
mereka dan kita melihat perkembangannya nanti," kata Seng Kun kepada dua orang gadis itu.
"Baik, akan tetapi engkau berhati-hatilah, koko," kata adiknya.
Ketika Seng Kun tiba di kedai itu dari arah lain, dia disambut oleh pelayan dan tanpa menarik
perhatian dan sambil lalu dia lalu duduk di meja yang tidak berjauhan dengan meja penjahat cabul
dunia-kangouw.blogspot.com
bersama dua orang wanita itu. Akan tetapi, mereka sudah berhenti berbicara, atau agaknya mereka
memang tidak ingin percakapan mereka terdengar orang lain, maka mereka menghentikan percakapan
dan memperhatikan petani setengah tua yang baru datang itu. Ketika melihat bahwa petani itu
hanya seorang petani sederhana yang kehausan, mereka kelihatan lega. Dan pada saat itu, Seng
Kun melihat munculnya sebuah gerobak yang di-tarik oleh seekor kuda dan dikusiri seorang pemuda.
"Heii, A -piang ! Kenapa arakmu sangat ter-lambat ?" pemilik warung yang setengah tua dan agak
gemuk itu keluar dari kedainya dan meng-hampiri gerobak yang berhenti di pekarangan ke-dai.
"Sudah dua hari persediaan arakku yang baik habis. Tamu -tamuku sudah mengomel!" Pemilik kedai
itu menegur, kemudian dia melihat pemuda yang turun dari tempat kusir dan tertegun. "Eh, siapa
engkau ?"
"Lo-pek, A-piang berhalangan datang karena dia jatuh salut, itulah sebabnya pengiriman arak menjadi
terlambat dan sekarang aku yang disuruh menggantikannya mengantarkan pesananmu."
Pemuda itu bertubuh tinggi tegap dan dengan kaku, agaknya merupakan pekerjaan yang tidak biasa
baginya, dia mulai menurunkan guci -guci arak dari gerobaknya. Pemilik kedai sejenak ter-mangu,
akan tetapi lalu mengangguk -angguk dan mulai menghitung guci -guci arak yang diturunkan itu,
membuka tutup beberapa buah guci, mencium bau arak yang terhembus keluar dan menganggukangguk
puas. Siapapun kusirnya, bukan hal yang penting baginya. Yang penting, araknya bagus!
Seng Kun yang duduk tak jauh dari meja penjahat cabul, mendengarkan akan tetapi mengambil sikap
tidak perduli dan mengeluh memijati kedua kaki-nya seperti orang yang kelelahan setelah melakukan
perjalanan jauh.
Sementara itu, ketegangan hebat terjadi dalam diri Pek Lian. Matanya terbelalak dan jantungnya
berdebar-debar keras, darahnya berdenyut ken-cang. Bwee Hong sendiri sampai terkejut ketika
merasa betapa lengannya dicengkeram orang.
"Eh, eh, kau kenapa ?" bisiknya kepada Pek Lian.
"Enci Hong... aku mengenal pemuda kusir pedati itu !" suara Pek Lian terdengar tergetar.
"Ehemm... , begitukah ?" Matanya yang bening itu melirik ke arah kawannya dan mulutnya yang indah
itu tersenyum penuh arti. "Dia memang seorang pemuda yang ganteng dan gagah, pantas kalau
menjadi kenalan baikmu."
Seketika muka Pek Lian menjadi merah sekali. "Ih, kau jahat, enci Hong! Siapa bilang dia tam-pan
dan gagah ? Aku kan cuma bilang kalau aku mengenal dia. Perkara dia ganteng atau bopeng, siapa
perduli ?"
"Wah -wah, kenapa jadi marah -marah ? Aku juga cuma bergurau ! Maafkan, ya ?" Bwee Hong yang
berada dekat sekali dengan. Pek Lian itu mendekatkan mukanya dan mencium pipi teman-nya.
"Siapa sih dia ? Putera seorang pedagang arak?" tanya Bwee Hong, suaranya kini sungguh -sungguh.
"Entahlah, aku sendiri tidak tahu benar siapa dia itu. Dia sangat baik, akan tetapi wataknya sangat
aneh. Mungkin... mungkin dia itu berpenyakit gila!"
"Lhoh... ?!" Dara cantik itu tertegun.
"Benar, enci, aku tidak bergurau. Sudah tiga kali aku bertemu dengan dia dan selalu dia menolong
dan menyelamatkan aku. Pertama ketika kami serombongan menghidang iring-iringan kereta yang
membawa ayahku. Pemuda itu yang menjadi kusir keretanya. Ke dua ketika kami dikejar oleh Benggoanswe,
pemuda itu menjadi pelayan di kuil. Dan sekarang dia menjadi penjual arak." Pek Lian
memandang dan jantungnya berdebar aneh. Rasanya, ingin ia keluar dan berlari menghampiri
pemuda itu. Tadipun, hampir ia berteriak memanggil nama A-hai! Rasa girang yang aneh dan luar
biasa menyelinap di dalam hatinya ketika ia melihat A-hai. Padahal, selama ini, jarang ia teringat
kepada pemuda itu.
"Hemm, kalau begitu dia mencurigakan," kata Bwee Hong yang kini juga memandang penuh
perhatian melihat pemuda itu menurun-nurunkan guci arak.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Engkau belum mendengar semua, enci. Kau-lihat langkahnya itu ? Seperti seorang biasa yang sama
sekali tidak mengenal ilmu silat, bukan ? Nah, itulah keadaannya kalau dia sedang waras, seorang
pemuda biasa yang baik hati dan lemah, yaitu ti-dak tahu ilmu silat walaupun dia boleh jadi memi-liki
tenaga dasar yang amat kuat. Akan tetapi ja-ngan ditanya kalau dia menjadi kumat! Dia se-perti
menjadi gila, menangis dan marah-marah, akan tetapi juga seketika dia menjadi seorang yang sakti.
Bahkan Tong -ciangkun sendiri, jagoan no-mor satu di istana itu, terpaksa mundur ketika ber-adu
tangan dengan dia."
"Wah! Benarkah itu ? Kalau begitu, betapa lihainya dia !" Nona cantik itu terkejut sekali dan kini
pandang matanya terhadap pemuda kusir itu berobah, menjadi kagum dan juga penuh keheran-an.
Kalau bukan Pek Lian yang bicara, tentu ia akan mentertawakan. Dari gerak-geriknya ketika
menurunkan guci -guci arak itu, jelas terlihat bah-wa pemuda kusir itu tidak pandai ilmu silat dan
agaknya tidak tahu bagaimana mempergunakan tenaga dalam. Buktinya dia menurunkan guci -gu-ci
arak itu mengandalkan tenaga otot saja. Ia sen-diri bersama dengan kakaknya yang lihai pernah
berhadapan mengeroyok si cebol Tong -ciangkun. Dan akhirnya mereka berdua harus mengakui kelihaian
si cebol itu. Dan sekarang ia mendengar bahwa pemuda kusir itu mampu membuat si ce-bol
terdorong mundur ? Betapa mustahilnya hal ini. Kini dengan tajam sepasang mata yang in-dah bening
itu memandang ke arah wajah si pemu-da kusir. Mata seorang ahli silat dan ahli pengobat-an, menilai
dan memeriksa. Kini ia melihat bahwa perawakan pemuda itu memang tepat apa bila menjadi
seorang ahli silat yang tangguh. Tapi gerakan -gerakan pemuda itu sungguh tidak me-yakinkan.
"Enci, engkau adalah keturunan Sin -yok -ong dan gurumu adalah seorang ahli pengobatan yang
paling hebat di dunia. Tahukah engkau penyakit apa yang membuat orang kadang-kadang mengamuk
dan kadang -kadang waras, kemudian lupa diri sama sekali seperti pemuda itu ? Bisakah engkau
atau kakakmu mengobati dan menyembuhkan pemuda itu ?"
"Entahlah, tidak mudah dikatakan begitu saja. Harus lebih dulu memeriksanya dengan teliti. Akan
tetapi, kalau penyakit gila itu akibat rusaknya syaraf -syarafnya, atau karena guncangan jiwanya,
memang tidak mudah menyembuhkannya."
Jawaban ini meragukan dan mengecewakan hati Pek Lian. Betapa akan bahagia rasa hatinya kalau
ia dapat melihat A -hai disembuhkan sama sekali dari penyakit lupa diri dan gila itu. Biarpun dia tidak
akan pernah bisa menjadi sakti kembali ka-rena sudah tidak dapat kumat gilanya, namun pemuda itu
tidak akan menderita seperti itu. Ke-adaan lalu menjadi sunyi, Pek Lian tenggelam ke dalam
lamunannya membayangkan nasib A -hai, sedangkan Bwee Hong masih terkesan akan cerita tentang
pemuda aneh itu. Mereka berdua meman-dang ke arah kedai itu.
A -hai, pemuda itu, setelah selesai menurunkan semua guci arak, agaknya menanti pembayaran dan
untuk itu dia melepaskan lelahnya sambil duduk di dekat lampu minyak yang tergantung di atas.
Pemilik warung itu sedang membereskan barang-barang dagangannya yang baru diterimanya itu,
dibantu pelayan mengangkut guci -guci arak itu ke dalam kedai, langsung ke gudang yang berada di
bagian belakang. Mata pemuda itu menyapu ke arah warung, meneliti setiap wajah untuk me-lihat
kalau -kalau ada yang dikenalnya.
Tiba-tiba kesunyian malam itu dipecahkan oleh suara derap kaki kuda yang datang ke arah kedai itu.
Semua orang menoleh ke arah datangnya suara derap kaki kuda. Di bawah remangnya sinar bintang
-bintang di langit, nampak serombongan penunggang kuda yang menuju ke kedai itu. Yang terdepan
adalah dua orang laki -laki gemuk pen-dek berjenggot lebat yang mukanya hampir mirip satu sama
lain. Di pinggang mereka tergantung sepasang golok pendek. Di belakang mereka terda-pat sepuluh
orang yang agaknya adalah anak bu-ahnya, semua bersenjata dan lagak mereka kasar dan bengis,
jelas membayangkan bahwa mereka bukanlah golongan orang baik-baik melainkan le-bih pantas
kalau digolongkan orang -orang yang biasa mengandalkan kekuasaan melakukan kekeras-an dan
kekejaman untuk memaksakan kehendak mereka. Dari tempat persembunyiannya, Pek Lian dan
Bwee Hong yang merupakan dua orang dara perkasa dan sudah banyak mengenal orang -orang dari
dunia hitam, maklum bahwa rombongan ini tentu merupakan gerombolan kaum sesat yang jahat.
Maka merekapnn bersikap waspada karena agaknya di tempat itu datang banyak gerombolan jahat.
"Ha-ha-ha, kalian memang gesit, agaknya telah tiba lebih dulu dari pada kami!'' dua orang laki-laki
gemuk pendek itu berteriak dari pung-gung kuda ketika mereka melihat Jai-hwa Toat-beng-kwi si
Penjahat Cabul dan dua orang wanita itu. "Mana kawan-kawan yang lain, apakah belum ada yang
datang ?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Duabelas orang itu berloncatan turun dari atas kuda mereka dan dua orang gendut itu segera
menghampiri Jai -hwa Toat -beng -kwi yang men-jawab pertanyaan mereka tadi, "Baru kami yang
datang. Duduklah dulu sambil menanti kedatang-an teman -teman yang lain."
Dua orang pemimpin rombongan itu meman-dang ke kanan kiri dan ketika mereka melihat Bu Seng
Kun yang menyamar sebagai seorang petani setengah tua, seorang di antara mereka mengge-rakkan
kepala dengan dagu menunjuk ke arah pe-tani itu sambil bertanya kepada Si Cabul, "Teman-mukah
dia ?"
Si Cabul melirik ke arah Seng Kun lalu menggeleng kepala dengan sikap tak acuh. Tadi ketika petani
itu masuk, dia telah melakukan penyelidik-an dan keadaan petani itu tidak mencurigakan. "Bukan, dia
hanya tamu biasa yang kelaparan dan kehausan."
Mereka lalu bercakap -cakap dengan suara berbisik-bisik, kadang -kadang kalau mereka hanya
bersendau-gurau, suara mereka keras dan mereka tertawa-tawa sehingga Seng Kun yang berada di
meja lain, juga dua orang dara pendekar yang mengintai, mengerti bahwa bisikan-bisikan itu adalah
percakapan penting yang menyangkut urus-an mereka pada waktu itu. Malam itu nampak semakin
menegangkan karena tiga orang pendekar itu seperti merasakan adanya suatu ancaman, sesuatu
yang akan meledak dan yang akan terjadi. Tidak percuma saja para penjahat berkumpul di tempat itu
pada malam hari itu. Pasti ada apa -apanya dan agaknya urusan itu tentu penting sekali. Apa lagi
ketika mereka melihat datangnya orang yang semakin banyak. Seluruhnya terdiri dari orang -orang
yang bersikap galak, bertampang serem dan bertingkah kasar. Dari sikap mereka, di antaranya
banyak yang saling mengenal dan pertemuan itu mendatangkan kegembiraan di an-tara mereka.
Seng Kun dapat menduga bahwa me-mang pertemuan itu sudah direncanakan dan go-longan hitam
itu tentu datang berkumpul atas pang-gilan atau perintah pimpinan mereka untuk meren-canakan
sesuatu yang penting. Maka diapun me-rasa beruntung sekali dapat secara kebetulan hadir di situ.
Sayangnya, di antara mereka itu tidak ada seorangpun yang membocorkan rahasia urusan atau
rencana mereka itu.
Warung itu menjadi penuh dan orang -orang baru masih saja berdatangan. Melihat keadaan ini,
pemilik warung itu merasa khawatir juga. Seorang bermuka hitam brewok yang matanya lebar dan
bengis, berteriak, "Heii, tukang warung! Di mana kami harus duduk ? Engkau bisa menyediakan
bangku untuk petani busuk, apakah tidak dapat melayani, kami dengan baik ?" Mata yang lebar itu
melotot ke arah Seng Kun yang menyamai sebagai petani setengah tua dan yang duduk dengan
tenangnya itu.
Pemilik warung melihat gelagat tidak baik. Karena dia melihat bahwa petani itu telah selesai makan
minum, maka bergegas dia menghampiri Seng Kun dan berkata dengan suara lunak dan membujuk,
"Harap saudara suka meninggalkan meja ini agar dapat dipakai oleh orang lain. Lihat saja sendiri,
tamu begini banyak dan tempat men-jadi kurang. Tentu saudara tidak ingin menyusah-kan aku, bukan
?"
Sejak tadi, Seng Kun tentu saja sudah merasa tidak suka kepada mereka itu. Akan tetapi dia datang
bukan untuk mencari keributan atau memancing perkelahian, melainkan untuk melakukan
penyelidikan. Dia sedang melaksanakan tugas yang amat penting, jauh lebih penting dari pada urusan
yang menyangkut perasaan pribadi. Maka, biarpun dia merasa tidak senang dan penasaran sekali
karena dia diusir dengan halus, namun dia mengangguk dan sambil mengerutkan alis menahan rasa
jengkel diapun bangkit berdiri. Dirogohnya saku bajunya untuk, membayar harga makanan dan
minuman, akan tetapi pemilik warung yang merasa bahwa dia telah mengusir tamu, cepat
menggerakkan tangan menolak. "Tak usah bayar..., engkau sudah baik sekali mau meninggalkan
tempat ini "
Kalau menurut perasaannya, tentu saja Seng Kun menjadi semakin penasaran dan tentu dia akan
memaksa dan membayar harga makanan dan mi-numan. Bukan wataknya untuk merugikan lain
orang. Akan tetapi dia teringat bahwa kalau dia melakukan hal ini, maka tentu akan menimbulkan
kecurigaan. Harga diri tidak pantas dipegang ter-lalu tinggi oleh seorang petani sederhana. Maka
diapun tersenyum dan memaksakan diri untuk mengucapkan terima kasih, lalu pergilah dia keluar.
Dengan sikap sambil lalu dan tidak acuh, juga santai seperti seorang petani yang kecapaian, Seng
Kun yang keluar dari rumah makan itu lalu duduk di atas bangku butut yang berada di luar warung. Di
emper itu telah duduk pemuda kusir gerobak yang tadi datang mengirim arak.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemuda itu memandangnya dan mereka saling pandang. Seng Kun maklum bahwa pemuda ini bukan
seorang di antara para gerombolan itu, ma-ka diapun tersenyum dan mengangguk. Pemuda itu,
seperti telah dikenal oleh Pek Lian dari tempat persembunyiannya, memang benar adalah A -hai,
pemuda aneh yang pernah dijumpai gadis itu be-berapa kali. Biarpun A-hai sedang menderita
penyakit yang aneh, namun perasaannya masih peka dan diapun agaknya dapat merasakan bahwa
petani setengah tua yang duduk tak jauh darinya itu adalah seorang baik -baik, tidak seperti para
tamu yang berdatangan di situ, yang kelihatan bengis -bengis dan jabat -jahat. Maka diapun balas
mengangguk dan tersenyum kepada petani yang dianggapnya ramah itu.
"Banyak sekali tamu malam ini," kata Seng Kun sambil lalu, menoleh ke dalam di mana para tamu
memenuhi semua meja dan mereka itu bercakap-cakap dan bersendau -gurau secara kasar sekali.
"Ya," A-hai mengangguk. "Amat banyak dan ramai."
Mendengar jawaban singkat dengan suara te-nang ini, Seng Kun memandang dan memperhatikan.
Pemuda ini sungguh tampan, pikirnya, dan memi-liki bentuk tubuh yang begitu kokoh membayangkan
tenaga besar. Seorang pemuda yang bertulang baik sekali dan diapun menjadi tertarik.
"Saudara juga tamu ?" tanyanya.
A-hai menggeleng kepala. "Bukan, saya pem-bawa arak untuk warung ini. Itu gerobakku." Dia
menunjuk ke arah gerobak dan Seng Kun meman-dang guci-guci arak yang berjajar di halaman warung,
tak jauh dari tempat mereka berdua duduk.
Kini agaknya sudah tidak ada lagi tamu baru yang datang, akan tetapi warung itu telah penuh sesak,
bahkan banyak di antara mereka yang tidak kebagian bangku sehingga mereka hanya bercakapeakap
dan minum arak sambil berdiri saja. Mereka mulai kelihatan tidak sabar, agaknya ada orang
yang mereka nanti -nantikan dan yang belum juga muncul. Beberapa orang yang tidak kebagian
tempat duduk, menjadi tidak sabar dan merekapun keluar dari warung itu, berjalan -jalan hilir -mudik
di pelataran warung sambil mengomel. Mereka semua membawa cawan penuh arak yang mereka
minum sambil menanti di luar.
Dua orang laki-laki kasar yang pakaiannya kumal dan berbau busuk karena tak pernah diganti dan
dicuci, berkali-kali terendam keringat, men-dekati Seng Kun dan A-hai yang sedang duduk mengobrol
di emper warung.
"Sudah terlalu lama kalian duduk di sini, sekarang giliran kami. Hayo berikan bangku-bangku itu
kepada kamil" bentak seorang di antara mereka.
Seng Kun maklum bahwa melayani orang-orang seperti ini sama artinya dengan membuat keributan,
maka diapun bangkit berdiri, akan tetapi A-hai kelihatan tak senang hati dan mengerutkan alis-nya,
memandang dengan mata terbelalak dan ma-rah.
"Pergi kau ! Mau apa melotot?" bentak orang ke dua dan diapun sudah memegang lengan A -hai dan
menarik pemuda itu dari atas bangkunya. A-hai terhuyung dan hendak marah, akan tetapi tangannya
sudah dipegang oleh Seng Kun yang menariknya dengan halus menjauhi bangku-bang-ku itu. "Ah,
terlalu lama duduk juga melelahkan pinggang, mari kita jalan-jalan saja," kata Seng Kun dan A-hai
yang sudah mengepal tinju itu dapat disabarkan. Mereka berjalan menjauhi orang-orang itu dan
berdiri di bawah pohon di sudut halaman.
"Mereka itu semua bukan orang baik-baik !" kata A-hai.
"Ssstt, perlu apa mencari keributan dengan mereka ?" Seng Kun berbisik. "Hanya akan merugi-kan
diri sendiri saja."
"Orang-orang macam itu tentu hanya akan menimbulkan kekacauan, hanya, akan melakukan
kejahatan saja."
"Saudara yang baik, apalah engkau mengenal mereka ? Siapakah mereka itu dan mengapa malam ini
mereka berkumpul di tempat ini ?"
dunia-kangouw.blogspot.com
A-hai memandang kepada petani itu sejenak, lalu menggeleng kepalanya. "Aku sama sekali tidak
tahu, malah tadinya aku mengira engkau yang tahu dan mengenal mereka."
Seng Kun menggeleng kepala. "Eh, kenapa engkau menyangka bahwa aku mengenal mereka ?"
tanyanya.
"Entahlah, karena engkau kelihatan begitu cerdik."
Seng Kun mengerutkan alisnya. Pemuda ini, yang kelihatan bodoh dan jujur, ternyata memiliki
pandang mata yang tajam sehingga agaknya seperti sudah menduga bahwa dia bukanlah seorang
pe-tani biasa! Begitu burukkah penyamaranku, pikir Seng Kun dengan hati khawatir juga. Apakah
orang lain juga akan menduga seperti pemuda ini ? Ka-lau begitu, gagallah penyamarannya ini.
"Heii... ! Jangan ambil arakku... !!" Tiba-tiba A-hai melompat dan berlari ke depan.
Seng Kun terkejut memandang dan melihat seorang
di antara para tamu itu mengambil sebuah guci arak, membuka tutupnya dan menuangkan arak dari
guci itu ke dalam cawannya yang telah kosong.
A -hai berlari mendekat dan hendak merampas guci araknya, akan tetapi penjahat itu tertawa dan
menggerakkan kaki menendang. Sebuah tendangan yang sembarangan saja, bukan tendangan
seorang ahli silat tinggi, akan tetapi akibatnya, tubuh A-hai terjengkang setelah terdengar suara
berdebuk ka-rena perutnya tertendang.
"Ha -ha -ha ! Lihat tikus ini berguling-gulingan!!" Penjahat itu tertawa bergelak, disusul suara ketawa
teman-temannya yang sudah berdatangan. "Hayo siapa yang ingin tambah arak ?" Enam orang lain
yang berada di luar warung itu berda-tangan dan mereka mengulurkan cawan-cawan kosong mereka
untuk diisi oleh orang yang meme-gang guci arak.
"Itu arakku ! Jangan kalian mencuri sembarang-an saja !" A -hai sudah bangkit lagi dan menyerbu,
hendak merampas guci. Akan tetapi, beberapa buah kepalan menyambutnya dan orang -orang itu kini
menjadi marah karena dimaki mencuri. A -hai lalu dihajar dan dijadikan bulan -bulanan pukulan dan
tendangan kaki mereka. Terdengar suara berdebukan dan A -hai jatuh bangun menjadi kor-ban
pukulan -pukulan keras.
Biarpun dia sedang menyamar dan tidak ber-niat untuk memancing keributan, akan tetapi me-lihat
pemuda yang amat disukanya karena diang-gap jujur dan polos, juga bertulang bersih itu, Seng Kun
tidak dapat menahan diri lagi.
"Heii, jangan pukuli orang yang tidak berdosa!" bentaknya dan sekali bergerak, tubuhnya sudah
melayang ke tempat di mana A-hai dihajar dan begitu dia menggerakkan kaki tangannya, tu-. juh
orang pengeroyok itu terlempar ke kanan kiri dan mereka mengaduh -aduh. Seng Kun lalu me-narik
bangun A-hai yang memandang kepada-nya dengan wajah berseri, walaupun pipinya beng-kak dan
matanya menghitam.
"Haa, sudah kuduga, engkau seorang yang li-hai, paman petani!" serunya.
Akan tetapi, teriakan-teriakan itu memancing munculnya para penjahat dari dalam warung dan melihat
keributan itu, mereka segera serentak me-nyerbu dan mengeroyok Seng Kun dan A-hai. Seng Kun
tentu saja menyambut mereka dan para pengeroyok segera menjadi kaget mendapat ke-nyataan
betapa petani setengah tua itu benar-be-nar amat lihai. Akan tetapi, pemuda tukang gero-bak itu tidak
merupakan lawan berat sehingga ki-ni mereka mengeroyok Seng Kun sedangkan empat orang
pertama masih menghajar A-hai yang melawan sedapatnya sambil memaki-maki.
"Kalian manusia -manusia jahat! Kalian iblis-iblis berwajah manusia!" Pemuda ini hanya ber-gerak
sembarangan saja, sama sekali tidak menu-rut gerakan ilmu silat dan karena empat orang pengeroyoknya
adalah orang-orang kasar yang su-dah biasa berkelahi dan juga semua memiliki ilmu
silat, maka A-hai menjadi bulan-bulanan pukul-an. Akan tetapi pemuda ini memiliki tubuh yang kuat
sehingga biarpun sudah dipukuli jatuh ba-ngun, dia tetap terus bangkit dan melawan lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat pemuda itu dihajar dan dipukuli, Seng Kun yang dikeroyok oleh banyak orang itu mem-bantu
dan mencoba untuk melindunginya. Karena ini, maka dia sendiri menerima beberapa kali pu-kulan
yang cukup keras.
Ketika, melihat terjadinya keributan itu, dari tempat sembunyinya, Pek Lian dan Bwee Hong tentu saja
menjadi terkejut. Bwee Hong yang me-lihat kakaknya dikeroyok banyak sekali orang jahat, segera
meloncat maju, sedangkan Pek Lian yang melihat A -hai dipukuli orang, juga tidak mungkin dapat
berdiam diri dan gadis irupun sudah me-. lompat keluar dari tempat persembunyiannya. Dua orang
gadis ini lalu menyerbu dan mengamuk.
Para penjahat itu terkejut sekali melihat mun-culnya dua orang wanita petani yang demikian lihainya.
Mereka pun sadar bahwa petani setengah
tua dan dua orang wanita petani ini tentulah pihak musuh yang datang melakukan penyelidikan, maka
merekapun kini mengurung dan menyerang mati-matian mempergunakan senjata mereka. Jumlah
pengeroyok ada tigapuluh orang lebih dan mereka semua rata -rata memiliki ilmu silat yang tinggi dan
pengalaman berkelahi yang matang, apa lagi mereka itu adalah penjahat -penjahat yang kejam dan
sudah biasa membunuh orang.
Melihat kehebatan petani setengah tua itu, Jai-hwa Toat-beng-kwi, penjahat cabul berusia tigapuluh
lima tahun yang berwajah ganteng dan berpakaian mewah pesolek itu lalu meloncat ke depan, begitu
menerjang, dia sudah menggunakan huncwe emasnya untuk menotok ke arah leher Seng Kun.
Melihat meluncurnya sinar emas di bawah sinar lampu yang kini dibantu obor itu. Seng Kun mak-lum
bahwa penyerangnya tidak boleh disamakan dengan para pengeroyok lainnya. Diapun cepat
melangkah mundur sambil mengelak dan meng-gerakkan lengan kanan untuk menangkis huncwe
emas itu. Akan tetapi, Si Cabul sudah menarik kem-bali huncwenya dan dengan gerakan cepat sudah
menggerakkan senjata istimewa itu yang meluncur ke arah muka Seng Kun, didahului oleh percikan
api tembakau dari hunewe yang menyambar ke arah mata. Inilah keistimewaan huncwe itu! Seng Kun
maklum akan bahayanya serangan kilat itu, maka diapun lalu meniup ke depan untuk menghalau
percikan api tembakau, lalu membuang diri ke belakang, menyelinap ke bawah dan dengan gerak-an
indah namun kuat, tangannya sudah menusuk perut lawan dengan jari -jari tangan terbuka.
"Wuiiuuttt !" Tusukan tangan yang kuatnya melebihi golok itu dapat dihindarkan pula oleh Jaihwa
Toat -beng -kwi yang diam-diam juga merasa kaget. Kiranya petani ini benar-benar bu-kan lawan
ringan ! Diapun mempercepat gerakan huncwenya dan kini mengerahkan seluruh tenaga dan
mengeluarkan semua ilmunya untuk mengha-dapi petani yang lihai itu, dibantu pula oleh be-berapa
orang penjahat yang memiliki kepandaian cukup tinggi.
Sementara itu, dua orang wanita yang pertama kali datang ke warung itu bersama Si Cabul yang
amat mirip satu sama lain, sudah mencabut pedang dan menyambut Bwee Hong karena mereka melihat
betapa wanita petani ini gerakannya amat si-gap dan cepat. Bwee Hong tahu pula bahwa dua
orang wanita ini cukup lihai, maka iapun sudah mencabut pedang yang disembunyikan di balik baju,
menyambut dan menyerang mereka dengan sengit. Terjadi pula pertandingan seru di antara mereka
dan dua orang wanita itu juga dibantu oleh beberapa orang penjahat yang memperguna-kan senjata
mereka untuk mengurung Bwee Hong.
Pek Lian meloncat dan hendak menolong A -hai yang masih menjadi bulan -bulan pukulan dan tendangan
empat orang jahat itu, akan tetapi iapun disambut oleh banyak orang yang mengurung dan
mengeroyoknya. Pek Lian membentak marah, mencabut pula pedangnya dan mengamuklah gadis ini.
Daerah yang sunyi itu kini menjadi medan per-kelahian yang amat seru. Akan tetapi, kepandaian tiga
orang pendekar muda ini agaknya terlalu kuat bagi para penjahat itu. Terutama sekali kakak ber-adik
bangsawan she Chu itu, biarpun di pihak ka-um sesat terdapat Si Cabul dan dua orang wanita
berpedang, namun tetap saja mereka itu kewalahan menghadapi pengamukan Seng Kun dan Bwee
Hong. Bagaimanapun juga, dua orang muda ini adalah keturunan dari datuk sakti Sin -yok -ong dan
mereka memiliki gerakan yang amat cepat. Juga Ho Pek Lian merupakan seorang dara yang-gagah
perkasa. Ia memiliki dasar ilmu silat tinggi yang baik, dan selama beberapa bulan ini ia telah
digembleng oleh pengalaman -pengalaman hebat, bertemu dengan orang-orang sakti dan semua
pengalaman ini membuatnya menjadi masak dan ilmunya juga menjadi semakin mantap. Pedangnya
membentuk gulungan sinar yang membuat para pengeroyoknya kewalahan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba -tiba terdengar suara mengaum seperti auman singa dan disambut oleh dua kali auman
harimau. Suara ini menggetarkan suasana yang hiruk-pikuk oleh perkelahian di tempat itu. Se-mua
orang tertegun dan Pek Lian segera mengerti bahwa bahaya besar muncul karena ia tahu siapa
orangnya yang datang. Mungkin orang inilah yang dinanti-nanti oleh para penjahat itu. San-hek-houw
Si Harimau Gunung telah muncul ! Juga Bwee Hong dan Seng Kun cepat meloncat ke bela-kang dan
memandang.
Seorang kakek tinggi besar yang mengenakan jubah kulit harimau berdiri dengan gagahnya, dan di
belakangnya nampak dua ekor harimau kum-bang. Ketika tiba di tempat itu tadi, San-hek-houw sudah
tahu bahwa petani yang berkelahi melawan Si Cabul bersama beberapa orang teman-nya itulah yang
paling lihai di antara mereka yang dikeroyok oleh anak buahnya, maka diapun tanpa banyak cakap
lagi lalu menerjang ke depan dan menyerang Seng Kun. Tangannya diulur ke depan dengan jari -jari
tangan terbuka membentuk cakar harimau dan Seng Kun cepat meloncat ke bela-kang untuk
menghindarkan cakaran -cakaran yang amat kuat itu. Itulah Umu Silat Houw -jiauw -kun (Ilmu Cakar
Harimau) akan tetapi yang berbeda dengan ilmu silat harimau lainnya. Gerakan orang ini amat kuat
dan ganas ! Dengan hati -hati Seng Kun lalu balas menyerang dan segera terjadi perke-lahian yang
amat seru di antara mereka.
Melihat bahwa lawan yang tangguh itu kini telah dihadapi oleh San -hek -houw yang merupa-kan
tokoh yang lebih tinggi tingkatnya dari pada-nya, Si Cabul lalu tersenyum -senyum mengham-piri
Bwee Hong. "Ih, wanita petani kotor ternyata pandai juga berkelahi. Sayang kau sudah agak tua,
kalau masih muda tentu akan menjadi penghibur yang menarik !" Sambil berkata demikian, Si Cabul
sudah mencolek ke arah dada Bwee Hong.
"Plakk !" Bwee Hong menangkis dengan penge-rahan tenaga dan akibatnya, Si Cabul itu terdorong ke
belakang. Jai-hwa Toat-beng-kwi menjadi marah dan diapun menyerang dengan huncwenya, djbantu
pula oleh dua orang wanita berpedang. Kini Bwee Hong menghadapi lawan yang jauh le-bih lihai dari
pada tadi. maka iapun memutar pe-dangnya dan melawan dengan mati-matian.
Akan tetapi, pada saat Seng Kun mengerahkan semua kepandaiannya untuk dapat mengalahkan
San-hek-houw yang sudah dibantu pula oleh be-berapa orang anak buahnya, tiba-tiba saja terde-ngar
suara tinggi seperti suara wanita, akan tetapi suara itu mengandung getaran khikang yang kuat.
"Ha-ha-ha, apakah Harimau Gunung sudah kehilangan sebagian giginya maka menghadapi seo-rang
petani saja sudah kewalahan ?"
Dari dalam kegelapan malam, muncullah seo-rang laki -laki yang usianya kurang lebih empat-puluh
tahun, tubuhnya gendut pendek, perutnya besar seperti perut kerbau bunting, dan tangan kanannya
memanggul sebuah senjata yang kelihatan-nya sederhana saja, yaitu sebatang toya besar se-perti alu
yang terbuat dari pada baja putih. Akan tetapi, melihat munculnya orang ini, Pek Liari ter-kejut sekali
karena ia mengenal orang ini sebagai Sin -go Mo Kai Ci. Julukannya Sin -go (Buaya Sakti), raja dari
segala bajak sungai dan menjadi rekan dari Harimau Gunung. Inilah dua di antara Sam -ok {Tiga
Jahat) yang menjadi pembantu-pembantu utama Si Raja Kelelawar!
"Buaya hina, dari pada banyak mulut, tidakkah lebih baik cepat membantuku menundukkan mu-suh
ini? Dia bukan petani biasa, tentu mata-.mata pihak musuh !" kata San-hek-houw sambil rnen-coba
untuk mendesak lawan. Namun, Seng Kun yang juga sejak tadi munculnya Harimau Gunung ini
sudah mainkan sebatang pedang, menahan se-rangannya dengan baik dan membalas dengan serangan
kilat yang nyaris merobek ujung jubah ha-rimaunya.
Buaya Sakti tertawa bergelak dan begitu tubuh-nya yang bundar itu bergerak, toya putihnya sudah
diputar dan diapun terjun ke dalam perkelahian itu membantu rekannya. Melawan Harimau Gu-nung
saja sudah merupakan hal yang cukup berat bagi Seng Kun. Kini ditambah munculnya Sin -go Mo Kai
Ci yang memiliki tingkat yang seimbang dengan rekannya, maka tentu saja Seng Kun men-jadi repot
sekali. Apa lagi karena corak permainan silat dan gaya permainan senjata pendatang baru ini jauh
berbeda, membuat mereka berdua itu me-rupakan kombinasi yang sulit untuk dilawan.
Biarpun Seng Kun melawan mati-matian, na-mun akhirnya sebuah hantaman toya dari Buaya Sakti itu
mengenai punggungnya dengan amat ke-rasnya. Untung bahwa Seng Kun memiliki tenaga sinkang
yang amat kuat, maka hantaman itu tidak sampai mematahkan tulang punggungnya, hanya
membuatnya terpelanting saja. Akan tetapi, banyak orang menubruk dan meringkusnya sehingga
Seng Kun tidak mampu berkutik lagi. Dia telah terta-wan !
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat ini, Bwee Hong menjadi marah. Akan tetapi Pek Lian yang melihat betapa sia-sia ka-ku
mereka melawan dan akhirnya mereka berdua-pun tentu akan roboh tewas atau tertawan, cepat
mendekati Bwee Hong.
"Enci Hong, mari kita lari !"
"Tapi... tapi... Kun-ko"
"Kita bicarakan nanti. Lekas, ikut aku !" Dan Pek Lian lalu menarik tangannya. Bwee Hong adalah
seorang gadis yang cukup cerdas. Biarpun ia merasa khawatir sekali akan nasib kakaknya, akan
tetapi iapun tahu apa yang dimaksudkan oleh Pek Lian. Kalau mereka berdua selamat, setidak-nya
mereka akan mampu untuk memikirkan usaha agar dapat menyelamatkan Seng Kun. Sebaliknya,
kalau mereka berdua nekat dan melawan, lalu me-rekapun tertawan, habislah sudah semua harapan
untuk dapat lolos !
Dua orang wanita itu meloncat dan melarikan diri dalam gelap.
"Kejarl" teriak Harimau Gunung dan Buaya Sakti dengan penasaran, dan merekapun ikut lari
mengejar. Akan tetapi, dua orang gadis itu me-mang dapat bergerak cepat sekali, dan pula, kegelapan
malam menolong mereka sehingga akhirnya para pengejar itu terpaksa kembali ke warung dengan
tangan hampa.
Setelah melibat tidak ada pihak musuh yang mengejar, kedua orang dara itu berhenti dan Bwee Hong
segera mencela Pek Lian, "Adik Lian, bagai-manakah engkau ini ? Kakakku tertawan dan eng-kau
malah memaksaku melarikan diri ! Memang aku tahu bahwa kita tidak dapat selamat dan tidak da-pat
menolongnya, akan tetapi, melarikan diri selagi kakakku tertawan, sungguh membuat aku merasa
berduka dan malu. Apa yang akan dipikir oleh kakakku ?"
"Kakakmu tentu akan membenarkan tindakan kita ini, enci. Pihak musuh begitu banyak dan di
antaranya banyak terdapat orang lihai. Sedangkan kakakmu saja tertawan, apa lagi kita. Belum lagi
kalau sampai pimpinan mereka datang, yaitu Si Raja Kelelawar. Sungguh habislah kita ! Sekarang
kita berdua masih selamat. Apa kaukira akupun akan diam saja melihat kakakmu dan A -hai dita-wan
orang ? Kita dapat membayangi mereka dan melihat keadaan selanjutnya. Kalau memang ba-haya
mengancam mereka, kita boleh turun tangan dan mengadu nyawa !"
Bwee Hong yang kebingungan karena memikir-kan kakaknya itu hanya mengangguk dengan lesu dan
selanjutnya ia akan menurut saja kepada saha-batnya ini. Biarpun tingkat kepandaian silatnya masih
lebih lihai dari pada Pek Lian, namun ha-rus diakuinya bahwa ia kalah wibawa, dan juga kalah
pengalaman. Hal ini adalah karena Pek Lian telah mewakili gurunya untuk memimpin para pen-dekar.
Pandangannya lebih luas dan ia tidak ber-tindak menurutkan perasaan belaka, melainkan ber-tindak
dengan pedntungari sebagai layaknya seorang yang berjiwa pemimpin.
Sementara itu, San-hek-houw dan Sin-go Mo Kai Ci yang memimpin pertemuan itu, nampak tergesa -
gesa membagi -bagi tugas kepada para anak buahnya, kemudian terdengar dia berkata, "Munculnya
gangguan ini merobah acara. Kita ha-rus cepat pergi meninggalkan tempat ini. Tidak aman setelah
diketahui orang lain." Pertemuan itu-pun bubaran dan dua orang yang ditawan itu,
A -hai dan Seng Kun, dibawa pergi sebagai tawan-an oleh dua orang tokoh sesat itu, ditotok dan di
be-lenggu kemudian dilempar di dalam pedati milik A -hai yang tadi dipergunakan untuk mengangkat
arak.
Melihat betapa dua orang itu dibawa pergi oleh Si Harimau Gunung dan Si Buaya Sakti, Pek Lian dan
Bwee Hong lalu membayangi gerobak itu. Mereka berdua tidak berani sembarangan turun tangan
karena maklum bahwa keselamatan A-hai dan Seng Kun terancam jika mereka dengan sembro-no
melakukan penyergapan. Apa lagi karena dua orang tokoh sesat itu masih dikawal oleh para pembantunya
yang lihai.
Sampai beberapa hari lamanya dua orang gadis itu membayangi kereta atau gerobak dua orang
tokoh sesat yang menawan A-hai dan Seng Kun. Mereka melihat betapa kedua orang tawanan itu
diperlakukan dengan cukup baik, masih dibelenggu akan tetapi setiap kali rombongan berhenti untuk
makan, keduanya mendapatkan hidangan secukup-nya. Hal ini melegakan hati Bwee Hong dan Pek
dunia-kangouw.blogspot.com
Lian yang mendapat kenyataan bahwa agaknya para penjahat tidak berniat membunuh dua orang
tawanan itu.
Dan memang sesungguhnya demikianlah. Se-telah berhasil menawan A -hai dan Seng Kun, Si
Harimau Gunung dan Si Buaya Sakti memperhatikan Seng Kun dan melarang anak buah mereka
untuk membunuh atau melukainya. Juga A-hai yang telah dibela oleh petani itu mendapatkan
perlakuan yang cukup baik walaupun kedua orang tawanan itu selalu dibelenggu. Hal ini adalah
karena Harimau Gunung merasa curiga melihat kelihaian petani itu dan menduga bahwa petani itu
tentulah seorang tokoh pembantu yang cukup ting-gi kedudukannya dari Si Petani Laut, seorang di
antara raja-raja lautan. Ciri khas dari para tokoh bajak lautan ini adalah pakaian mereka yang seper-ti
pakaian petani, walaupun pekerjaan mereka ada-lah perampok -perampok di lautan alias bajak -bajak
laut! Kabarnya, Si Petani Laut berasal dari ke-luarga petani, maka setelah menjadi seorang di
antara jagoan-jagoan atau bahkan raja-raja kecil yang menguasai lautan timur, dia tetap berpakaian
petani bahkan mengharuskan para pembantunya berpakaian seperti petani! Dan karena Si Petani
Laut juga termasuk tangan kanan atau juga sekutu dari Tung-hai-tiauw (Rajawali Lautan Timur), maka
Si Harimau Gunung menduga bahwa petani yang tertawan itu adalah seorang utusan dari ke-lompok
bajak laut. Seperti kita ketahui, Sam -ok atau Si Tiga Jahat adalah Tung -hai -tiauw Si Rajawali Lautan
Timur, Sin -go Mo Kai Ci Si Bua-ya Sakti, dan San-hek-houw Si Harimau Gunung. Merekalah yang
disebut raja -raja di wilayah dan daerah masing -masing, yaitu raja lautan, raja sungai -sungai dan raja
daratan. Dua di antara mere-ka, yaitu Si Buaya Sakti dan Si Harimau Gunung telah menakluk
terhadap Raja Kelelawar. Kemu-dian Raja Kelelawar yang merupakan datuk terting-gi di antara kaum
sesat itu mengutus dua orang pembantunya ini untuk menghubungi Si Rajawali Laut.
Demikianlah, karena menduga bahwa Seng Kun adalah tokoh sesat lautan yang menjadi anak buah
Si Rajawali Laut, maka Harimau Gunung dan Buaya Sakti tidak mau bertindak lancang. Bahkan
mereka menganggap bahwa Seng Kun dapat men-jadi semacam sandera agar mereka dapat dengan
mudah menghubungi rekan yang kadang -kadang menjadi saingan dan musuh itu. Harimau Gunung
dan Buaya Sakti scndiripun tadinya sering kali bentrok dan bersaing. Hanya kini setelah muncul Raja
Kelelawar, mereka menjadi akur dan tidak berani bentrok, karena sama -sama menjadi pem-bantu
dari atasan mereka yang baru, yang amat mereka takuti, yaitu Raja Kelelawar.
Ketika rombongan itu tiba di tepi lautan di se-belah timur kota raja, menghadapi Teluk Po -hai yang
luas, rombongan yang mengawal kedua orang raja penjahat itu segera menyediakan sebuah pe-rahu
layar besar. Kemudian, dikawal oleh belasan orang saja. Si Harimau Gunung dan Si Buaya Sakti
membawa dua orang tawanan naik perahu yang berlayar ke arah timur laut. Ketika itu, hari masih
amat pagi akan tetapi matahari telah meninggal-kan permukaan laut dan membakar seluruh permukaan
air dengan cahayanya yang masih belum terlalu panas, masih keemasan. Perahu layar besar
yang membawa dua orang tawanan itu mem-bentuk sebuah bayangan memanjang di atas permukaan
air yang merah tembaga. Angin laut pagi itu lembut saja, namun cukup membuat perahu itu
melaju karena layar terkembang yang lebar itu menangkap banyak angin yang mendorong pe-rahu.
Sunyi sekali, karena perahu -perahu nelayan yang terapung di sana-sini sedang tenang, me-nanti
datangnya rombongan ikan yang biasanya muncul setelah sinar matahari menjadi keperakan. Para
nelayan duduk di dalam perahu masing-ma-sing, memandang ke arah perahu besar yang lewat
melaju, tidak merasa curiga atau heran karena memang sering terdapat perahu -perahu besar lalu -
lalang di perairan itu, baik perahu -perahu pedagang maupun perahu -perahu pelancong. Merekapun
tidak khawatir kalau -kalau ada pera-hu bajak laut, karena mereka semua berada dalam
"perlindungan" raja -raja bajak laut dengan cara membayar "pajak penghasilan" setelah mereka pulang
membawa hasil penangkapan ikan mereka nanti. Di darat telah menanti kaki tangan para raja
bajak yang akan menentukan besar kecilnya pajak itu disesuaikan dengan hasil pekerjaan mereka
semalam, atau sehari. Dengan pembayaran pajak seperti itu, keselamatan mereka terjamin dan
mereka dapat bekerja dengan tenang.
Pungutan liar semacam ini terdapat di manapun juga dan di jaman apapun juga. Pungutan liar ini
tercipta oleh kesempatan mengeduk keuntungan yang banyak dimiliki oleh mereka yang mempunyai
banyak kekuasaan, oleh mereka yang mempunyai wewenang. Dengan kekuasaan atau wewenang
yang ada pada mereka, maka terbukalah kesempatan un-tuk memeras. Kekuasaan atau wewenang
itu bisa saja timbul dari kedudukan atau dari kekuatan. Kedudukan dan kekuatan itu dijadikan modal
untuk memeras atau mencari keuntungan dengan jalan memeras. Para nelayan itu tanpa mereka
sadari te-lah diperas. Mereka merasa "dilindungi" oleh para bajak, dan untuk itu mereka mau
menyerahkan se-bagian dari pada hasil keringat mereka. Dilin-dungi dari siapa ? Tentu saja dari
gangguan, dan biasanya, yang mengganggu adalah para bajak itu sendiri. Berarti, kalau tidak mau
dunia-kangouw.blogspot.com
menyogok, akan diganggu ! Perbuatan para bajak laut ini tiada bedanya dengan perbuatan para
pejabat yang ju-ga akan "mengganggu" dengan menggunakan ke-kuasaan dan wewenang mereka
apa bila mereka ti-dak disogok.
Pungutan liar memang akibat disalahgunakan-nya wewenang dan kekuasaan. Akan tetapi, sumber
pokoknya terletak dalam batin seseorang itu sendi-ri. Kedudukan tinggi sebagai pejabat tidak
mempunyai kecondongan kc arah perbuatan baik atau buruk tertentu. Kedudukan itu diperlukan untuk
mengatur orang banyak, dan untuk pekerjaan ini dia telah menerima upah. Jadi sepenuhnya tergantung
kepada seseorang itu sendiri, mau dijadi-kan apakah kedudukannya itu ! Dapat saja dijadikan
modal untuk memeras, akan tetapi dapat pula dijadikan alat untuk menertibkan dan mengatur,
yang pertama adalah untuk kesenangan diri sendiri sedangkan yang ke dua adalah untuk kesenangan
orang -orang lain, atau setidaknya untuk meme-nuhi tugas yang telah dibebankan ke atas pun-daknya
dengan imbalan upah yang semestinya. Demikian pula dengan kekuatan yang ada pada diri
seseorang, dapat saja kekuatan itu dipakai un-tuk menindas demi memenuhi kesenangan diri pribadi,
dapat juga dipakai untuk melindungi orang-orang lain dari pada ancaman kejahatan yang
mengandalkan kekuatan. Jadi, sumber pokok dari perbuatan pungutan liar itu, seperti dari penyelewengan
-penyelewengan hidup yang lain, ter-letak dalam batin masing-masing. Tanpa adanya
kesadaran batin, segala usaha untuk memberantas-nya hanya akan berhasil untuk sementara saja.
Dengan kekerasan, mungkin saja perbuatan sesat dapat dihentikan, akan tetapi penghentian ini hanya
lahiriah, hanya bersifat sementara karena bo-rok di dalam batin itu masih belum sembuh. Kalau
penjagaannya kurang ketat, maka borok itu akan kambuh lagi dan perbuatan sesat itu akan tendang,
mungkin lebih hebat dari pada yang sudah. Seba-liknya, kalau batinnya sudah sembuh dari pada bibit
penyakit itu, tanpa pengekangan sekalipun, perbuatan sesat itu takkan muncul.
Ketika Pek Lian dan Bwee Hong melihat persi-apan para penjahat itu, Pek Lian segera dapat menduga
bahwa dua orang tawanan itu akan dibawa pergi berlayar. Maka dengan cepat iapun mencari
perahu yang disewanya dari seorang nelayan. Ke-tika perahu besar itu mengembangkan layar, Pek
Lian dan Bwee Hong juga sudah mendayung pe-rahu dan tak lama kemudian perahu kecil mereka
pun berlayar mengikuti perahu besar. Dengan adanya banyak perahu nelayan di sekitar tempat itu,
maka tentu saja perbuatan dua orang wanita ini tidak menarik perhatian, juga tidak dicurigai oleh para
penjahat itu.
Dua orang gadis itu telah menanggalkan pe-nyamaran mereka begitu perahu kecil mereka ber-gerak.
Kini tidak perlu lagi menyamar karena me-reka bukan sedang melakukan tugas menyelidik dan
membantu Seng Kun, melainkan sedang meng-hadapi para penjahat secara langsung. Tidak perlu
lagi mereka menyamar. Perahu kecil mereka me-luncur cepat ketika mereka memasang layar. Untung
bagi mereka bahwa Pek Lian tidak asing de-ngan pelayaran dan Bwee Hong ternyata juga merupakan
seorang gadis yang dapat belajar dengan cepat. Kekuatan dalam mereka berkat latihan
membuat mereka dapat bertahan terhadap gun-cangan dan goyangan perahu mereka ketika dipermainkan
oleh air laut yang mulai bergelombang. Bersama meningginya matahari, gelombangpun
se-maian membesar. Hal inilah yang membuat mereka tertinggal oleh perahu besar di depan. Perahu
be-sar itu tidak begitu payah melawan gelombang seperti perahu kecil dua orang dara perkasa ini.
Menjelang tengah hari, mereka berdua kehi-langan perahu besar di depan! Tentu saja mereka
menjadi bingung dan biarpun mereka berusaha untuk mengejar, namun gelombang laut yang besar
itu membuat perahu mereka terombang-ambing.
"Ah, celaka perahu itu telah meninggalkan kita! Aih, bagaimana ini, adik Lian! Bagaimana dengan
Kun-koko! "Bwee Hong meratap dan hampir saja ia menangis. Bwee Hong sama sekali bukan
seorang gadis lemah. Bahkan dalam hal ilmu silat, ia masih lebih lihai dari pada Pek Lian. Akan tetapi,
ia amat sayang kepada kakaknya. Kini kakaknyalah satu-satunya keluarga
terdekat di dunia ini baginya. Ayah kandungnya, yang baru saja dijumpainya, telah merupakan orang
yang jauh dari batinnya. Bukan hanya karena sejak kecil terpisah, melainkan juga karena ayahnya itu
telah menjadi seorang pendeta di istana dan sudah tidak mau tahu akan urusan keluarga lagi.
Keluarga Bu yang mengasuh ia dan kakaknya sejak kecil, sudah tewas. Di dunia ini ia hanya
mempunyai seorang saja, yaitu Seng Kun dan sekarang kakaknya itu dilarikan penjahat.
"Tenangkan hatimu, enci Hong. Dalain keadaan seperti sekarang ini, yang penting sekali bagi kita
adalah ketenangan. Kita tidak boleh panik dan putus asa. Arah perahu mereka menuju ke arah timur
laut dan lihatlah, bukankah di depan sana itu terdapat gugusan pulau -pulau yang nampak lapat -lapat
dunia-kangouw.blogspot.com
dari sini ? Tentu ke sanalah mereka menuju dan perahu mereka lenyap karena pandang-an kita
terhalang oleh gelombang. Kita menuju ke arah itu, pasti kita akan bertemu lagi dengan mereka."
Melihat sikap Pek Lian yang tangkas dan pan-dang mata yang penuh semangat itu, Bwee Hong
terhibur dan merasa malu. Dirangkulnya teman-nya itu dan sejenak ia memejamkan mata sambil
bersandar pada pundak sahabatnya yang memiliki watak amat kuat itu. Sahabatnya inipun menderita.
Ayahnya juga dilarikan penjahat, akan tetapi Pek Lian masih mampu menghibur dan membesarkan
hatinya!
"Maafkan aku, Lian-moi. Aku telah bersikap cengeng seperti anak kecil. Mari, kita lanjutkan pelayaran
kita. Ombak -ombak ganas ini harus kita lawan dan atasi!" Di dalam suara dara cantik jelita ini
terkandung ketabahan dan ketekadan be-sar sehingga Pek Lian tersenyum,
"Bagus ! Mari kita bekerja keras!"
Demikianlah, kedua orang gadis itu bersitegang dengan gelombang lautan, memperebutkan perahu
dan nyawa mereka. Ombak -ombak besar itu seo-lah-olah merupakan jangkauan tangan maut yang
hendak menelan dan menghempaskan perahu, se-dangkan mereka berdua dengan kedua tangan
yang berjari kecil mungil halus itu mengerahkan tenaga untuk menahan perahu mereka agar jangan
teng-gelam ! Terjadilah proses pertarungan dan perju-angan hidup yang mungkin sudah setua lautan
itu sendiri atau setua sejarah manusia, antara manusia dan alam ! Antara ancaman mati dan
memperta-hankan hidup ! Proses yang sampai kini masih me-landa kehidupan manusia, dan
karenanya amat mengharukan. Bukankah kita inipun setiap saat dikelilingi jangkauan tangan -tangan
maut ? Me-lalui penyakit, melalui kecelakaan, melalui bencana alam? Betapa mati dan hidup ini seling
-menye-ling, merupakan perpaduan yang serasi, yang me-nguasai diri kita ? Kalau kita tidak
membuka ma-ta mempelajari apa sesungguhnya kehidupan ini, apakah kita lalu hanya hidup untuk
menghindarkan diri dari pada jangkauan maut belaka dan akhirnya kita akan tercengkeram juga dan
tunduk di bawah kekuasaan maut sebelum kita tahu apa sesungguh-nya kehidupan ini ? Apakah
hidup ini hanya per-juangan, kesengsaraan, kekecewaan, duka nestapa, permusuhan, segala pahit
getir dengan hanya sedikit manis sekali -kali, kemudian habislah semua itu dan mati ?
Setelah terhindar dari rasa khawatir, baik ke-khawatiran akan nasib kakaknya maupun rasa ta-kut
akan gelombang yang mengancam nyawanya, mulailah terasa oleh Bwee Hong kegairahan dan
kegembiraan dalam menghadapi gelombang lautan yang mendahsyat itu. Kegembiraan yang jarang
terasa olehnya, mungkin hanya terasa oleh mereka yang tahu apa artinya berdekatan dengan maut,
apa artinya dapat menyelinap di antara jari -jari tangan maut yang mengancam. Saking besarnya rasa
gem-bira ini, Bwee Hong yang membantu Pek Lian me-ngemudikan perahu, menjerit -jerit, suaranya
dite-lan angin dan gemuruh gelombang air yang saling timpa.
"Hayo, majulah! Datanglah gelombang! Ha-ha, hayo serbulah, aku tidak takut padamu ! Huiiii-huuu!"
Perahu itu melambung tinggi lalu meluncur turun dengan kecepatan yang membuat jantung terasa
copot tertinggal di udara ! Namun Bwee Hong menjerit dan tertawa, sehingga Pek Lian ikut pula
terseret kegembiraan itu dan kedua orang dara perkasa itupun menjerit -jerit dan ter-tawa-tawa, dan
gelombang lautan itu berobah menjadi sahabat -sahabat yang mengajak mereka bersendau-gurau!
Setengah hari lamanya dua orang dara pendekar itu berjuang melawan amukan air laut dan tiga kali
hampir saja perahu mereka terbalik. Pakaian mereka sudah basah kuyup, basah oleh air bercam-pur
keringat mereka. Wajah mereka yang cantik itu nampak berseri, berkilau dengan cahaya kehi-dupan
dan kesegaran, kemerahan dan sepasang mata mereka bersinar -sinar, muka mereka yang berkulit
halus itu kemerahan dan agak coklat ter-bakar matahari. Setelah setengah hari lamanya bergurau,
agaknya air laut menjadi jemu dan bo-san juga dan gelombangpun tidak seganas tadi. Napas lautan
yang tadinya terengah -engah itu kini menjadi tenang dan hanya tinggal sisanya saja.
Tiba-tiba Pek Lian menunjuk ke arah depan. "Lihat, itu mereka ! "
Di antara -puncak -puncak gunung ombak di kejauhan, nampak mula-mula ujung tiang perahu layar
besar dengan benderanya, kemudian nampak layarnya dan mereka berdua hampir bersorak gi-rang
mengenal bahwa memang itulah perahu yang mereka bayangi, perahu yang membawa A -hai dan
Seng Kun sebagai tawanan. Karena kini ge-lombang tidak terlalu mengganas lagi, badai tidak
mengamuk seperti tadi dan angin bertiup tenang dan kuat, mereka lalu memasang layar besar dan
dunia-kangouw.blogspot.com
perahu kecil itu melaju, seperti anak kecil berlari-larian di atas rumput -rumput ketika mereka menerjang
puncak -puncak gelombang, mengejar ke depan.
Matahari telah condong jauh ke barat dan cua-ca sudah mulai berkurang terangnya, sinar perak telah
berganti sinar lembayung yang lemah dan redup, seolah -olah matahari telah mulai mengan-tuk dan
siap untuk beristirahat di balik permukaan laut, seperti hendak tenggelam di dalam lautan yang amat
luas itu. Dan seperti juga di waktu mun-culnya pagi tadi, ketika menghilang, matahari juga bergerak
amat cepatnya, tenggelam sedikit demi sedikit sampai akhirnya yang tinggal hanya sinar redup
kemerahan, memancar dari balik permukaan kaki langit di atas lautan, bola mataharinya sendiri telah
tenggelam di balik ujung laut.
Dua orang gadis itu tidak merasa khawatir lagi. Biarpun kegelapan malam akan melenyapkan pera-hu
di depan dari pandang mata mereka, akan tetapi mereka percaya bahwa perahu besar itu akan memasang
lampu, atau setidaknya mereka berdua su-dah melihat bayangan gugusan pulau-pulau di
depan. Mereka merasa yakin bahwa ke sanalah perahu di depan itu menuju.
Tiba -tiba, di dalam keremangan senja, nampak cahaya lampu bermunculan di sebelah kanan dan kiri.
Perahu -perahu ini membawa penerangan yang cukup terang, menerangi air laut di sekitarnya.
"Eh, eh, dari mana munculnya perahu -perahu ini dan siapakah mereka ?" Pek Lian bertanya de-ngan
heran dan juga hatinya terasa tidak enak. Kini bermunculan perahu -perahu dari kanan kiri dan
melihat lampu-lampu mereka, mudah meng-hitung jumlahnya. Ada delapan buah perahu yang
muncul, semua memakai penerangan dan dari pe-rahu kecilnya, Pek Lian dan Bwee Hong dapat melihat
bahwa di atas setiap perahu terdapat anak buah sebanyak sepuluh orang. Dan mereka itu
bersenjata lengkap. Delapan buah perahu itu me-luncur searah dengan perahu yang ditumpangi A -
hai dan Seng Kun, seolah -olah mengawal pera-hu penjahat itu. Dan mereka itu mungkin tidak melihat
perahu kecil Pek Lian yang tidak memakai lampu.
Kurang lebih satu jam lamanya perahu -perahu itu berlayar menuju ke arah timur laut. Tiba -tiba
terdengar suara peluit ditiup berulang-ulang saling sahutan dan kedua orang dara itu melihat betapa
semua perahu itu berpencar ke kanan kiri dengan teratur, membentuk barisan seperti hendak menggunting
dan lampu -lampu penerangan merekapun kadang-kadang padam kadang-kadang nampak,
itupun hanya merupakan penerangan lampu hijau redup -redup. Karena seolah -olah ditinggalkan oleh
barisan perahu itu, perahu kecil Pek Lian dan Bwee Hong kini meluncur ke depan dengan cepat-nya
sendirian saja menempuh kegelapan malam. Keadaan amat mengerikan, seolah -olah setiap saat
mereka akan ditelan oleh sesuatu yang telah meng-ancam sejak tadi. Namun, dua orang gadis itu telah
memperoleh kembali ketabahan mereka dengan jalan bersendau -gurau dan bercakap -cakap,
seo-lah -olah mereka sedang menikmati sebuah pela-yaran yang amat romantis dan
menggembirakan. Langit amat indah. Langit di waktu malam hanya nampak indah kalau gelap seperti
itu. Bintang-bintang nampak jelas menghias angkasa menghitam. Seperti hamparan beludru hitam
yang ditaburi ratna mutu manikam yang berkilauan.
Jilid XII
ENTAH berapa lamanya mereka berdua me-ngemudikan perahu layar mereka yang me-luncur pesat
ke depan sambil menikmati keindahan angkasa dan mendengarkan dendang air yang ter-sayat oleh
moncong perahu mereka, ketika tiba-tiba keduanya terkejut melihat sinar terang lampu dari sebuah
perahu besar yang meluncur berla-wanan arah dengan perahu mereka.
"Cepat, belokkan perahu !" teriak Pek Lian ke-pada Bwee Hong yang kebetulan sedang menggantikan
tugas mengemudikan perahu. Bwee Hong sudah terlatih beberapa jam lamanya, sudah gapah,
akan tetapi karena terkejut dan panik, iapun bingung dan perahunya membelok terlampau keras.
Ham-pir saja perahu itu terbalik ketika layarnya menja-di kacau.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Dukkkkk !!" Tiba-tiba mereka merasakan gun-cangan keras dan ternyata perahu mereka telah menumbuk
sebuah perahu lain. Kiranya di kanan kiri perahu besar yang terang itu terdapat pula dua
buah perahu kecil yang agaknya mengawal perahu besar.
Terdengar teriakan dan maki -makian dalam ba-hasa asing. Perahu besar itupun berhenti dan ramailah
suara orang -orang dengan bahasa asing di atas perahu besar. Ketika Pek Lian dan Bwee
Hong dapat menenangkan hati mereka yang terguncang karena perahu mereka hampir terbalik,
dengan ma-rah mereka lalu memandang ke atas, ke arah pera-hu besar dan melihat munculnya
beberapa orang di atas perahu itu, menjenguk ke bawah ke arah mereka. Sebuah lampu sorot
ditujukan kepada me-reka dan perahu kecil mereka kini bermandikan ca-haya sehingga mata kedua
orang dara itu menjadi silau karenanya.
Orang -orang yang menjenguk ke bawah itu berteriak-teriak dalam bahasa asing, agaknya ma-rah -
marah dan ada pula yang tertawa -tawa, ke-mudian dua buah perahu kecil di kanan kiri perahu besar
mewah itu didayung maju dengan cepat dan beberapa batang dayung panjang mendorong -do-rong
perahu dua orang dara itu, sehingga perahu itu terguncang -guncang ke kanan kiri.
"Eh, kalian ini mau apa ?" bentak Pek Lian.
Akan tetapi orang -orang asing yang rata -rata bertubuh pendek itu hanya menjawab sambil tertawatawa
dan melanjutkan usaha mereka men-dorong-dorong perahu dua orang dara itu, agaknya
bermaksud untuk menggulingkan perahu. Sementara itu, orang -orang yang berada di atas perahu
besar itu tertawa-tawa dan menggerakkan tangan, nampaknya memberi anjuran kepada para
pembantu mereka yang berada di dalam dua buah perahu kecil di bawah.
Biarpun tidak mengerti bahasa mereka, Pek Lian dan Bwee Hong maklum bahwa orang -orang ini
berusaha untuk menggulingkan perahu mereka, maka tentu saja mereka menjadi marah. "Jahanam,
kalian hendak menggulingkan perahu kami ?" ben-tak Pek Lian marah. Akan tetapi, orang -orang di
atas perahu besar itu tertawa -tawa dan menuding-nuding ke arah dua orang gadis yang marah -
marah itu.
"Adik Lian, mari kita hajar mereka !" kata Bwee Hong dan sekali tangannya bergerak, ia sudah menangkap
sebatang dayung yang mendorong pinggir perahu dan sekali renggut, dayung itu dapat
diram-pasnya dan pemegang dayung berteriak ketika tu-buhnya terlarik dan akhirnya dia terjungkal
keluar perahu ke dalam air laut!
"Jangan di sini! Mari kita naik ke perahu besar itu saja dan menghajar pimpinan mereka !" kata Pek
Lian yang maklum bahwa kalau mereka ber-dua melawan di dalam perahu kecil mereka, keselamatan
mereka malah terancam. Kalau sampai pe-rahu mereka itu digulingkan, tentu mereka akan
celaka. Bwee Hong mengerti apa yang dimaksud-kan oleh kawannya, maka iapun mengangguk dan
tiba-tiba mereka berdua, menggunakan kepa-nikan para pengganggu yang melihat seorang ka-wan
mereka tercebur ke dalam lautan tadi, untuk mengenjot tubuh dan meloncat ke atas perahu be-sar
yang mewah itu.
Ketika mereka yang berada di atas perahu besar melihat berkelebatnya dua bayangan mereka melayang
ke atas perahu besar, mereka tercengang dan terkejut sekali. Tak mereka sangka bahwa dua
orang penghuni perahu nelayan yang mereka permainkan itu ternyata memiliki kepandaian sehe-bat
itu. Mereka mengeluarkan seruan kaget, apa lagi ketika melihat dua orang dara cantik telah berada di
atas perahu besar mereka. Sejenak me-reka semua melongo. Baru sekarang mereka dapat melihat
jelas betapa cantik jelitanya dua orang penghuni perahu yang bertumbukan dengan perahu mereka
tadi! Tadinya mereka mengira bahwa perahu kecil itu hanya ditumpangi dua orang nela-yan dan
mereka hendak menghukum dan mem-permainkan mereka yang berani menghadang di tengah
perjalanan. Siapa kira, penghuninya adalah dua orang dara yang demikian cantik manisnya! Maka
timbullah niat buruk di dalam hati mereka untuk mempermainkan dua orang dara cantik jeli-ta ini.
"Aha, kiranya kalian adalah dua orang dewi lautan cantik jelita yang sengaja datang untuk menghibur
kami ? Ha -ha -ha !" kata seorang di antara mereka sambil-menepuk -nepuk perutnya yang gendut.
Orang ini dapat bicara dalam Bahasa Han dan dimengerti oleh dua orang gadis itu, wa-laupun
suaranya terdengar kaku dan asing. Pek Lian segera dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan
orang -orang Jepang. Pernah ia melihat tamu -tamu Bangsa Jepang di istana ayahnya keti-ka
ayahnya masih menjadi menteri kebudayaan. Menurut penuturan ayahnya, Bangsa Jepang adalah
orang-orang pelarian dari Tiongkok dan masih seketurunan, bahkan berkebudayaan sama, de-ngan
dunia-kangouw.blogspot.com
bentuk tulisan huruf yang sama pula, meru-pakan sekelompok suku bangsa yang telah memi-sahkan
diri dari daratan Tiongkok dan tinggal di Kepulauan Jepang di sebelah timur laut. Bangsa Jepang ini,
menurut ayahnya, merupakan bangsa yang cerdik, pandai, rajin dan orang harus berhati-hati
menghadapi mereka karena mereka itu dapat menjadi lawan yang amat berbahaya.
Dua orang laki -laki pendek, si perut gendut itu dan seorang yang mukanya seperti kanak -kanak
akan tetapi sepasang matanya mengandung penuh nafsu berahi, kini melangkah maju dan kedua lengan
mereka yang pendek -pendek dan nampaknya ceko itu dikembangkan seolah -olah mereka
hendak menangkap dua ekor ayam, ditonton oleh teman-teman mereka yang sudah berkumpul di situ
dan mereka semua tertawa riuh dan gembira.
"Nona manis, mari ke sini... mari kupeluk cium..." kata si gendut yang agaknya merupakan satusatunya
orang di antara mereka yang dapat berbahasa Han, sedangkan teman-temannya hanya
tertawa-tawa dan berkata-kata dalam Bahasa Jepang yang tidak dimengerti oleh kedua orang nona
itu. Setelah berkata demikian si perut gendut itu menubruk ke arah Pek Lian. Gerakannya cepat dan
nampaknya si perut gendut ini kuat sekali. Temannya, yang bermuka anak-anak itupun sudah
mengeluarkan teriakan nyaring sambil menubruk kepada Bwee Hong.
Akan tetapi Pek Lian dan Bwee Hong sudah siap siaga. Pek Lian menyambut tubrukan itu de-ngan
elakan ke kiri, kemudian pada saat tubuh si perut gendut itu terdorong ke depan karena menu-bruk
tempat kosong, kakinya sudah melayang dan menyambar ke arah perut lawan.
"Ngekkk ! Aughhh... auhhh ......!" Si perut gendut itu membungkuk-bungkuk sambil mendekap perut
gendutnya dengan kedua tangan, meringis -ringis karena dia merasa perutnya mulas seketika, begitu
mulasnya sampai dia terhuyung-huyung lari ke kakus dan terdengar suara membe-rebet dari tubuh
belakangnya !
Si muka kanak -kanak yang menubruk Bwee Hong mengalami nasib lebih buruk lagi diban-dingkan
dengan si perut gendut yang menjadi mu-las perutnya sehingga isinya menuntut keluar itu.
Bwee Hong menyambut tubrukan lawannya dengan marah. Ia memiliki ginkang yang luar biasa
hebat-nya, dan si muka kanak -kanak itu tadinya sudah merasa yakin bahwa kedua lengannya akan
dapat memeluk nona yang cantik jelita itu. Akan tetapi, pada detik terakhir, tahu -tahu tubuh nona itu
hi-lang begitu saja dan sebelum dia dapat melihat di mana adanya nona itu, tiba -tiba kaki nona itu
me-nyambar dari samping dan menyambar dadanya.
"Desss ...!" Tendangan itu keras sekali. Tubuhnya yang pendek itu terjengkang dan si muka kanak -
kanak itu roboh dan pingsan, mukanya seperti seorang anak kecil sedang tidur dengan nyenyak dan
tenteramnya!
Tentu saja peristiwa ini membuat semua orang terkejut dan sekaligus juga sadar bahwa dua orang
dara yang hendak mereka permainkan itu ternyata adalah dua orang wanita yang memiliki kepandaian
lihai! Mereka bukan hanya terkejut, akan teta-pi juga merasa penasaran sekali melihat dua orang
teman mereka dirobohkan, dan dengan muka ber-ubah merah cemberut, lenyap semua kegembiraan
tadi, belasan orang anak buah perahu layar itu me-ngurung Pek Lian dan Bwee Hong! Tentu saja dua
orang dara perkasa itupun siap -siap untuk menghadapi pengeroyokan.
Orang -orang yang sebagian bertubuh katai itu mengurung makin ketat. Akan tetapi pada saat itu
terdengar bentakan dalam Bahasa Jepang. Bentak-an itu halus, akan tetapi mengandung wibawa
yang sedemikian hebatnya terhadap orang -orang itu karena mereka semua terkejut seperti diserang
ular dan mereka semua serentak mundur, lalu ber-diri tegak dan memandang dengan penuh ketaatan
dan kehormatan kepada seorang laki -laki yang berpakaian indah bersikap agung, yang baru mun-cul
dari dalam bilik perahu besar itu diiringkan oleh empat orang yang pakaiannya warna -warni dan
menyolok sekali. Empat orang ini bertubuh pendek gempal dan nampaknya kokoh kuat, di pinggang
mereka tergantung pedang panjang me-lengkung yang ujungnya terseret di atas lantai pe-rahu !
Perahu layar besar mewah itu adalah milik la-ki -laki berusia tigapuluh lima tahun yang baru muncul
ini. Dia seorang Pangeran Jepang yang me-lakukan pelayaran menuju ke daratan Tiongkok untuk
mengunjungi kaisar dengan membawa ba-nyak barang-barang berharga yang akan dihadiah-kan
kepada kaisar. Empat orang pengawalnya ada-lah jagoan -jagoan samurai. Ketika sang pangeran ini
mendengar suara ribut -ribut di luar dan setelah dia keluar melihat dua orang dara cantik dikurung
oleh anak buah perahu, dia menjadi tertarik sekali dan menyuruh para anak buahnya mundur. Dia
dunia-kangouw.blogspot.com
sendiri memandang kepada dua orang nona cantik itu, maklum bahwa mereka tentulah dua orang
dara berbangsa Han dan melihat sikap mereka, tentulah dua orang nona ini merupakan dua orang
wanita petualang yang memiliki ilmu kepandaian silat. Sudah banyak sang pangeran ini mendengar
ten-tang ahli -ahli silat di Tiongkok, dan tentang pen-dekar-pendekar wanita. Hatinya tertarik sekali,
terutama kepada Pek Lian yang dianggapnya me-miliki sifat kegagahan yang amat mengagumkan
hatinya di samping kecantikannya. Maka, kalau dia dapat menawan dua orang dara ini, tentu akan
menjadi suatu kebanggaan baginya kalau pulang kelak, sebagai hasil perjalanan jauh ini yang paling
menyenangkan dan mengesankan hatinya. Di an-tara para selirnya, tidak terdapat seorang pendekar
wanita dan betapa akan bangga hatinya memiliki selir yang selain cantik juga berkepandaian silat
tinggi seperti dua orang dara ini. Maka, dengan senyumnya yang khas, senyum seorang Pangeran
Jepang yang hanya merupakan gerakan bibir ter-buka saja, seperti topeng tersenyum, pangeran itu
melangkah maju menghadapi Pek Lian dan Bwee Hong, lalu mengangguk dengan sikap ramah. Sebelum
meninggalkan negerinya untuk menghadap Kaisar Tiongkok, tentu saja pangeran ini lebih dulu
telah mempelajari bahasa dari negara yang hendak dikunjunginya, dan kini dia berkata dengan suara
dan sikap halus, kata-katanya teratur rapi seperti kata-kata seorang yang menguasai bahasa asing
melalui pelajaran, bukan karena praktek.
"Harap nona berdua sudi memaafkan kekasar-an orang-orang kami. Akan tetapi mereka itu
menentang nona berdua karena perahu nona me-numbuk perahu kami."
"Hemm, dalam hal ini perahu siapa yang me-numbuk perahu siapa ? Agar tidak menuduh yang
bukan-bukan dan sembarangan saja !" bantah Pek Lian sambil memandang kepada laki -laki itu dengan
penuh perhatian. Juga Bwee Hong meman-dang dengan heran. Laki-laki itu berusia kurang
lebih tigapuluh lima tahun, pakaiannya dari sutera halus dengan potongan aneh-aneh. Wajah orang
itu dapat dikatakan tampan dan berwibawa, de-ngan jenggot yang dicukur dengan bentuk aneh pula.
Rambutnya digelung ke atas dengan hiasan beberapa batang tusuk konde kemala, akan tetapi dahi
yang teramat luas itu jelas merupakan dahi buatan, yaitu sebagian besar dari rambut di atas dahi itu
dicukur sehingga dahi kelihatan ting-gi dan luas! Diam-diam dua orang dara itu me-rasa geli dan juga
heran. Laki -laki ini termasuk tinggi di antara teman -temannya, setinggi Pek Lian, sedangkan yang
lain -lain itu jauh lebih pendek.
Pangeran itu menarik napas panjang. "Kami sudah menerima laporan dan ternyata bahwa pe-rahu
nona tidak memakai lampu. Jadi, tabrakan ini jelas sekali terjadi karena kelalaian nona."
Pek Lian tidak dapat membantah. Bagaimana-pun juga, ucapan itu memang benar, perahunya tidak
mempunyai lampu penerangan sehingga kalau orang -orang ini menabrak perahunya, mereka tidak
dapat terlalu disalahkan.
"Memang perahuku tidak mempunyai penerang-an. Lalu, setelah terjadi tabrakan, apakah sudah
sepatutnya kalau anak buahmu hendak menggu-lingkan perahuku ? Aturan mana itu ?" kata Pek Lian
marah.
"Itupun hanya akibat dari pada tabrakan perahu, nona. Dan nona sudah merasa betapa kesalahan
berada di pihak nona karena tidak adanya lampu penerangan. Kemudian nona malah naik ke sini dan
merobohkan dua orang kami."
Pek Lian menjadi marah. Dia menegakkan ke-palanya dan memandang tajam. "Habis, kalian mau
apa?"
Pangeran itu tersenyum dan seperti tadi, Pek Lian merasa seolah-olah tidak mengira bahwa mereka
berhadapan dengan seorang pangeran Bangsa Jepang.
"Kita mengadu ilmu silat, kalau nona berdua dapat mengalahkan kami, aku berjanji akan membebaskan
nona dan akan menghabiskan urusan ta-brakan perahu tadi."
"Kalau kami kalah ?" Pek kian mendesak.
Pangeran itu tersenyum. "Terpaksa nona ber-dua harus menjadi tamuku. Aku ingin berkenalan lebih
erat dengan nona berdua yang menarik ha-tiku."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bagus!" teriak Pek Lian marah. "Sudah kudu-ga tentu ada pamrih busuk di balik semua ini. Majulah!"
Ia menantang sambil mencabut pedang-nya. Bwee Hong juga mencabut pedangnya dan dua orang
dara itu siap menghadapi segala ke-mungkinan.
Pangeran itu tersenyum dan menoleh kepada empat orang pengawalnya, mengangguk dan ber-kata
dalam bahasanya sendiri, "Tangkap mereka ini!"
Seorang jagoan samurai yang pakaiannya war-na-warni, totol -totol dan mewah sekali melom-pat
maju ke depan menghadapi Pek Lian. jagoan ini juga memiliki dahi yang amat lebar, bahkan seluruh
permukaan kepalanya bagian atas telah dibotaki licin sehingga dahinya seolah -olah sede-mikian
lebarnya sampai di bagian belakapg kepa-lanya. Sisa rambut bagian bawah digelung kecil dan dihias
tusuk konde. Muka jagoan ini seperti monyet, akan tetapi harus diakui bahwa gerakannya sigap dan
tubuhnya yang pendek itu nampak ku-at bukan main. Bajunya rangkap empat, kedua le-ngannya dari
pergelangan tangan sampai dekat siku dibelit -belit kain keemasan, pinggangnya juga dibelit -belit
kain totol -totol merah dan sebatang pedang samurai terselip di situ. Kakinya memakai sandal yang
banyak talinya.
Jagoan ini berdiri di depan Pek Lian dan de-ngan sikap kaku membungkuk seperti pisau lipat,
kemudian dia mengeluarkan seman keras dari da-lam perut, kedua tangan bergerak dan tahu -tahu
nampak sinar berkilat dan sebatang samurai telah dicabutnya dengan kedua tangan dan dipegangnya
seperti orang memanggul cangkul. Pedang ini gagangnya dua kali lebih panjang dari pada pedang
biasa dan jagoan itupun memegang pedang dengan kedua tangan. Kembali jagoan Jepang ini
berteriak nyaring dan tiba -tiba dia sudah melaku-kan penyerangan. Tubuhnya bergerak dan pedang
samurai yang dipegang dengan kedua tangan itu menyambar dari kanan ke kiri mengarah tubuh Pek
Lian.
Dara ini cepat meloncat ke belakang sambil menangkis dengan pedangnya. Ia mengerahkan tenaga
sinkang karena ia ingin menguji sampai di mana besarnya tenaga lawan. Karena tangkisan-nya itu,
tak dapat dihindarkan lagi. pedangnya bertemu dengan pedang samurai yang dibabatkan dari kanan
ke kiri itu.
"Trakkkk!" Pek Lian mengeluarkan seruan kaget dan meloncat ke belakang menghindarkan babatan
ke dua ke arah kakinya. Dara ini melon-cat ke papan lantai perahu yang lebih tinggi, me-mandang
kepada pedang yang tinggal gagangnya dan sepotong kecil saja di tangannya, matanya ter-belalak.
Tak disangkanya bahwa pedang samurai lawan itu sedemikian tajam dan kuatnya sehingga sekali
beradu saja pedangnya telah patah ! Akan tetapi ia melihat bahwa biarpun pedang samurai lawan itu
amat ampuh, tajam dan kuat, gerakan lawan ini tidaklah terlalu gesit. Maka iapun membuang
pedangnya dan berseru kepada Bwee Hong, "Hati -hati, enci, jangan mengadu senjata !" Iapun lalu
menerjang maju melawan jagoan yang masih mempergunakan samurainya untuk memba-cok dan
membabat itu. Pek Lian mempergunakan kelincahannya dan memang ia jauh lebih lincah dari pada
lawannya sehingga biarpun kini ia ber-tangan kosong, namun menghadapi samurai itu ia tidak
terdesak. Tubuhnya berkelebat ke sana -sini mengelak dari sambaran sinar pedang samurai, dan
iapun membalas dengan tidak kalah hebatnya, menggunakan pukulan dan tendangan kaki.
"Buk!" Sebuah tendangan kaki kiri Pek Lian mengenai perut lawan dan jagoan ini terpental ke
belakang sambil mengeluh dan memaki. Akan te-tapi ternyata dia memiliki kekebalan juga karena
tendangan itu tidak merobohkannya, lalu dia maju lagi sambil memutar-mutar pedang samurainya
dengan ganas sehingga terpaksa Pek Lian harus menggunakan kelincahan tubuhnya untuk berloncatan
dan mengelak ke sana -sini.
Sementara itu, Bwee Hong juga sudah diserang oleh seorang jagoan samurai lain. Akan tetapi, karena
Bwee Hong sudah melihat betapa samurai-samurai itu amat tajam dan kuatnya, dan mende-ngar
peringatan Pek Lian, ia sama sekali tidak mau mengadu pedangnya, melainkan menggunakan kecepatan
gerakannya untuk menghindarkan setiap bacokan lawan lalu membalas dengan cepat. Karena
Bwee Hong memang memiliki ginkang yang amat hebat, maka dalam beberapa kali gebrakan saja,
lawannya telah terdesak hebat dan terpaksa jagoan ke tiga lalu mengeroyoknya ! Namun Bwee Hong
tidak merasa jerih dan dara ini mengamuk terus, mengandalkan ginkangnya dan juga kece-patan
gerakan pedangnya.
Diam -diam sang pangeran mengikuti jalannya pertandingan itu dengan kagum. Melihat betapa
seorang di antara jagoannya dalam belasan jurus saja terkena tendangan kaki Pek Lian, dia terke-jut
dunia-kangouw.blogspot.com
sekali. Apa lagi melihat betapa dara yang ke dua itu bahkan memiliki kecepatan gerakan yang melebihi
dara pertama sehingga pengeroyokan dua orang jagoannya tidak membuat terdesak, diamdiam
dia menjadi kaget, kagum dan juga girang Betapa akan bangga hatinya kalau dia dapat ber-hasil
menundukkan dua orang dara perkasa ini dan mengangkat mereka menjadi selir -selirnya ! Selain
sebagai selir yang patut dibanggakan, juga dapat menjadi pengawal pribadinya dalam arti yang paling
mesra dan mendalam.
Pangeran Akiyama lalu memberi isyarat kepa-da jagoannya nomor empat, lalu memerintahkan
jagoan yang melawan Pek Lian untuk membantu dua orang temannya yang sudah mengeroyok Bwee
Hong. Kemudian dia sendiri, dengan tangan ko-song, dibantu oleh jagoan barunya yang juga bertangan
kosong, menerjang dan mengeroyok Pek Lian. Dan Pek Lian terkejut! Kiranya Pangeran
Jepang inipun pandai ilmu silat tangan kosong, de-ngan pukulan -pukulan tangan miring yang cukup
kuat, sedangkan pembantunya, jagoan samurai itu pandai ilmu semacam Ilmu Kim -na -jiauw, yaitu
ilmu menggunakan jari -jari tangan untuk men-cengkeram dan menangkap ! Dikeroyok dua oleh dua,
orang ahli yang memiliki ilmu yang berbeda ini, Pek Lian menjadi sibuk juga. Setelah melawan sampai
belasan jurus, tahu -tahu pergelangan ta ngan kirinya sudah dicengkeram dan ditangkan oleh jagoan
pembantu pangeran itu ! Untung sekali Pek Lian bersikap waspada dan bergerak cepat. Sebelum
sang pangeran yang juga lihai itu sempat memperburuk keadaannya, kakinya sudah mela-yang ke
arah bawah pusar jagoan itu dan tangan kirinya menusuk dengan jari telunjuk ke arah mata! Diserang
dengan hebat seperti ini, jagoan sa-murai itu terkejut dan cepat membuang tubuh ke belakang dan
tiba-tiba saja pundak kanannya tertotok oleh jari tangan Pek Lian. Seketika lengan kanannya seperti
lumpuh dan cengkeramannya ter-lepas. Pada saat itu, Pangeran Akiyama telah me-nerjang lagi, akan
tetapi Pek Lian sudah terbebas dari cengkeraman sehingga ia mampu bergerak mengelak dan balas
menyerang. Si jagoan samurai hanya lumpuh sebentar saja. Dia sudah pulih kem-bali dan membantu
sang pangeran, mengeroyok Pek Lian dengan lebih ganas. Sekali ini Pek Lian benar -benar merasa
kewalahan. Tingkat kepan-daian pangeran itu sendiri sudah berimbang dengan tingkatnya, kini
pangeran itu dibantu oleh jagoan samurai itu, tentu saja ia menjadi kewalahan.
Keadaan Bwee Hong tidak lebih baik dari pada temannya. Pengeroyokan tiga orang Samurai yang
kesemuanya bersenjatakan pedang samurai yang amat berbahaya, tajam dan kuat itu sungguh membuat
ia kewalahan. Kalau melawan satu demi satu, atau katakanlah dikeroyok dua, ia masih sanggup
untuk menang. Akan tetapi yang mengeroyoknya ada tiga orang !Perlahan -lahan dara inipun terdesak
dan main mundur, mandi keringat seperti juga keadaan Pek Lian. Bagaimanapun juga, seperti
juga Pek Lian, Bwee Hong pantang menyerah dan mengamuk terus sambil mengandalkan kecepatan
gerakan tubuhnya.
Melihat keadaan ini, hati sang pangeran men-jadi khawatir. Dia tidak menghendaki dua orang gadis
itu terluka, apa lagi terbunuh. Dia ingin me-nundukkan dan menangkap mereka hidup -hidup. Akan
tetapi mereka berdua itu sedemikian lihai nya sehingga tentu sukar untuk mengalahkan me-reka
tanpa merobohkannya. Diapun lalu memberi aba -aba dalam bahasanya dan kini belasan orang anak
buahnya datang membawa jala yang lebar. Mereka mengurung Bwee Hong dan tiba -tiba, de-ngan
cepat sekali jala atau jaring itu mereka lem-parkan dan karena ia sendiri terancam tiga batang
samurai, Bwee Hong tidak mampu menghindar la-gi dan tahu -tahu jaring itu telah menimpa tubuhnya
! Tentu saja dara ini terkejut dan cepat meng-gunakan pedangnya untuk membabat tali jaring
yang meringkusnya. Akan tetapi, tiba -tiba pedang-nya bertemu dengan benda keras.
"Krakkkk !" Dan pedang itu, seperti pedang Pek Lian tadi, telah patah -patah bertemu dengan dua
batang samurai yang menangkisnya dari luar ja ring ! Dan kini tiga orang jagoan itu menyimpan
samurai mereka dan menubruk, meringkus Bwee Hong yang meronta-ronta di dalam jaring seperti
seekor ikan yang terjala. Karena tiga orang jagoan itu memang bertenaga besar dan Bwee Hong tak
dapat banyak bergerak dalam jaring, akhirnya dara ini telah dibelenggu di dalam jaring dan tidak
mampu berkutik lagi.
Melihat ini, Pek Lian marah bukan main. "Pa-ngeran busuk, lepaskan sahabatku !" bentaknya dan
iapun menyerang dengan dahsyat, memukul ke arah kepala Pangeran Jepang itu dengan pengerahan
tenaga. Pangeran itu melihat pukulan berbahaya, maka diapun cepat merendahkan dirinya dan
mengangkat kedua lengan menangkis. Pembantu-nya, jagoan yang-mengeroyok Pek Lian, melihat
kesempatan baik. Ketika lengan Pek Lian bertemu dengan lengan pangeran, diapun mendorong dari
samping ke arah lambung gadis itu !
dunia-kangouw.blogspot.com
"Dukk!" Pangeran Akiyama terguling ketika beradu lengan dengan Pek Lian, akan tetapi gadis ini
sendiri terkena dorongan jagoan samurai itu dan terlempar ke kanan. Malang baginya, di sebelah kanannya
adalah tepi perahu itu dan tanpa dapat di-cegah lagi, tubuhnya terlempar keluar.
"Byuuurrrr !" Tubuh gadis itu menimpa air. Pek Lian maklum bahwa kalau ia tertawan juga,
habislah harapannya untuk menolong Bwee Hong dan juga dua orang pemuda yang tertawan, maka
iapun cepat menyelam. Ketika para anak buah pangeran itu menggunakan lampu untuk mencari ke
bawah, mereka tidak dapat menemukan gadis itu yang sudah bersembunyi di balik perahu besar, di
bagian yang gelap.
Akan tetapi pada saat itu, nampak sinar terang dan ternyata perahu besar mewah milik Pangeran
Jepang ini telah dikepung oleh delapan buah pera[ hu yang malam tadi pernah dilihat oleh Pek Lian.
Dari permukaan air di balik perahu besar di mana ia bersembunyi, Pek Lian dapat melihat betapa tiga
orang yang bergerak sigap sekali memimpin anak buahnya dari delapan buah perahu itu me-nyerbu
ke perahu asing. Terjadi pertempuran he-bat, akan tetapi betapapun lihainya sang pangeran dari
Jepang itu bersama para jagoan samurai dan anak buahnya, namun pihaknya kalah banyak dan para
bajak itu dipimpin oleh tiga orang yang ting-kat kepandaian silatnya tidak kalah dibandingkan dengan
para samurai. Maka akhirnya sang pange-ran yang melihat bahwa melanjutkan perlawanan tiada
guna, lalu menyerukan aba -aba kepada anak buahnya untuk menyerah ! Banyak di antara me-reka
yang tewas dan sisanya dijadikan tawanan. Para bajak bersorak -sorai penuh kegembiraan ke-tika
mendapat kenyataan bahwa perahu yang me-reka bajak itu adalah perahu seorang pangeran dan di
dalam perahu terdapat banyak sekali barang-barang berharga yang sedianya hendak dihadiah-kan
kepada kaisar ! Benar -benar merupakan hasil besar, mereka telah menangkap seekor kakap yang
besar dan gemuk!
"Harap kalian orang -orang gagah suka dengar baik -baik !" Tiba-tiba Pangeran Jepang itu ber-teriak
sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. "Aku adalah Pangeran Akiyama, seorang bangsawan
tinggi dari Jepang yang hendak menghadap kaisar di Kota Raja Sian-yang! Aku adalah sahabat kaisar,
maka harap kalian jangan mengganggu kami dan suka membebaskan kami kembali. Untuk itu,
kami tidak akan lupa dan akan memberi hadiah yang besar !"
Akan tetapi, tiga orang yang memimpin pemba-jakan itu tertawa bergelak. "Ha -ha -ha, pangeran
badut! Biar kaisar sendiri yang berada di dalam pe-rahu, tetap saja akan kami bajak !" Para bajak laut
itu bersorak -sorak dan tertawa -tawa dan Sang Pa-ngeran Jepang terpaksa membungkam dan tidak
berani bicara lagi, maklum bahwa dia terjatuh ke tangan para bajak laut yang tidak mau mengakui
kedaulatan siapapun kecuali kepala mereka. Dia hanya mengharapkan bahwa kepala bajak akan mau
menerima tebusan dan tidak akan membunuh-nya. Semua anak buahnya ditawan, dan Bwee Hong
juga termasuk menjadi tawanan. Bwee Hong tidak merasa takut akan nasib dirinya sendiri, akan tetapi
ia merasa khawatir sekali ketika melihat Pek Lian tercebur ke dalam lautan tadi. Ingin ia mena-ngisi
nasib kawannya itu dan kini setelah ia diting-galkan Pek Lian, mungkin ditinggal mati, ia merasa
betapa harapannya untuk dapat menolong kakak-nya menjadi semakin menipis. Akan tetapi, berada
di tangan lawan sebagai tawanan, ia pantang me-nangis !
Ketika pertempuran antara para bajak dan anak buah Pangeran Jepang terjadi, Pek Lian masih
bersembunyi di permukaan air. Dia hanya melihat para bajak berlompatan ke atas perahu mewah
setelah menempelkan perahu -perahu mereka ke-pada perahu korban, dan perahu mewah itu terguncang
-guncang selagi mereka bertempur. Un-tung baginya, ada sebuah perahu sekoci kecil terlepas
dari perahu mewah dalam keributan itu dan iapun cepat berenang dan berhasil memegang perahu
itu. Sementara itu, pertempuran sudah ber-henti dan perahu mewah itu lalu ditarik oleh pera-hu -
perahu bajak laut yang meninggalkan tempat itu jauh lewat tengah malam.
Pek Lian menggunakan dayung, sekuat tenaga ia mendayung dan melawan ombak untuk mengikuti
ke arah perginya perahu -perahu itu. Hari telah hampir pagi dan cuaca mulai remang -remang ke-tika
perahu -perahu para bajak itu tiba di sekelom-pok pulau -pulau kecil yang bertebaran di tengah lautan.
Perahu besar mewah yang dibajak itu, yang membawa tawanan, diseret ke sebuah pulau ter-besar
yang berada di tengah kelompok pulau -pu-lau. Di atas beberapa pulau kecil nampak bebe-rapa orang
menyambut iring -iringan perahu itu dengan teriakan dan sorak -sorai gembira. Mereka itu tahu bahwa
kawan -kawan mereka telah ber-hasil membajak sebuah perahu mewah yang kaya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tidak seperti pulau -pulau kecil di sekelilingnya yang berpantai pasir dan landai, pantai dari pulau di
mana perahu bajakan itu diseret merupakan tebing karang yang tinggi. Di tepi tebing yang curam
itulah para bajak menghentikan perahu -perahu mereka. Sebuah pintu baja terbuka dan perahu -
perahu itu memasuki pintu ini ke dalam pulau. Pintu rahasia dan agaknya perahu luar tidak akan
mungkin dapat masuk karena pintu karang itu menutup jalan masuk.
Ho Pek Lian memutar perahu sekocinya dan akhirnya ia mendapatkan sebuah tempat pendaratan
yang tersembunyi dan tidak begitu terjal. Ia menarik sekoci kecil itu ke darat, menyembunyikannya
dalam guha batu karang, dan ia sendiri lalu mendaki tebing dengan hati -hati karena iapun maklum
bahwa ia telah memasuki tempat berbahaya, sebuah pulau yang dihuni oleh gerombolan bajak laut
yang ganas.
Sementara itu, Bwee Hong yang masih berada di dalam jaring dan diikat dari luar, tidak dapat
bergerak. Selama terjadi pertempuran di atas perahu, ia hanya dapat rebah sambil menonton saja
dan ketika iapun terbawa sebagai tawanan bersama Pangeran Akiyama dan anak buahnya, iapun
hanya diam saja. Apa gunanya kalau ia berteriak memberi tahu bahwa ia biikan anak buah pangeran
itu ? Yang menang itu jelas adalah gerombolan bajak laut yang tentu lebih ganas dan kejam dari pada
gerombolan anak buah pangeran itu. Ia merasa betapa baru saja terlepas dari mulut serigala ia kini
terjatuh ke mulut buaya !
Semua tawanan dibawa ke dalam sebuah ba-ngunan besar yang dibangun seperti benteng di pulau
itu. Mula -mula Sang Pangeran Jepang itu yang dihadapkan kepada pimpinan bajak. Di atas sebuah
kursi besar, di ruangan yang luas, duduklah pemimpin bajak itu yang memandang kepada semua
tawanan yang dikumpulkan di situ dengan wajah dingin. Dia adalah seorang laki -laki yang usianya
kurang lebih limapuluh tahun, pakaiannya mewah, lebih pantas menjadi seorang bangsawan atau seorang
hartawan besar dari pada seorang kepala ba-jak. Wajahnya juga tidak membayangkan
kekejam-an atau kekerasan seperti wajah para anggauta ba-jak, walaupun wajah itu berkulit tebal
kehitaman dan segala sesuatunya pada kepala bajak ini nam-pak tebal dan bulat! Wajahnya gemuk
bulat, de-ngan mata yang lebar dan biji mata besar. Hidung-nya juga besar dan bulat, bibirnya tebal.
Akan te-tapi wajah ini bukan wajah yang buruk atau me-nakutkan, melainkan membayangkan
kemakmuran duniawi, sering nampak pada wajah orang -orang kaya atau bangsawan tinggi yang
selalu hidup da-lam kemewahan dan kesenangan. Tubuhnya gemuk dan perutnya gendut. Begitu si
gemuk ini tadi mun-cul ke dalam ruangan, semua anggautanya memberi hormat dengan menekuk
sebelah lutut. Baru setelah ia duduk di atas kursi besar itu, semua bajak berdiri lagi, dan ada pula
yang duduk. Ketika Sang Pangeran Jepang dihadapkan, pangeran ini meng-ambil sikap angkuh.
"Engkaukah pemilik perahu itu ?" tanya si ke-pala bajak dengan suara tenang.
Pangeran Akiyama lalu menggunakan kesem-patan ini untuk memperkenalkan diri. "Aku adalah
Pangeran Akiyama, seorang bangsawan tinggi di Jepang dan masih kerabat dari kaisar. Aku sedang
melakukan perjalanan menuju ke daratan besar untuk menghadap Kaisar Cin Si Hong-te. Ka-rena
tidak tahu, kami telah melanggar wilayah tu-an, maka harap suka memberi maaf dan untuk itu kami
sanggup untuk mengganti kerugian."
Kepala bajak yang perutnya gendut itu terse-nyum, akan tetapi senyumnya penuh ejekan. "Kaum
pedagang kaya raya dan bangsawan yang tinggi kedudukannya merupakan korban yang paling ka-mi
sukai. Pangeran, tanpa kauusulkan, karena eng-kau telah terjatuh ke tangan kami, engkau baru akan
kami bebaskan kalau keluargamu dapat me-nebus dengan sejumlah emas yang akan kami te-tapkan
kemudian. Masukkan dia ke kamar tahanan dan perlakukan dengan baik!" Empat orang anak buah
bajak lalu menarik pangeran itu keluar dari ruangan. Pangeran Akiyama bersikap tenang se-perti
layaknya seorang pangeran. Bagaimanapun juga, keluarganya takkan membiarkan dia teran-cam
oleh para bajak dan tentu uang tebusan akan dikirim.
Setelah pangeran itu dibawa pergi, kepala bajak itu memandang kepada sisa anak buah sang pangeran,
lalu berkata kepada para pembantunya, "Su-ruh mereka ini bekerja keras, kalau ada yang melarikan
diri, bunuh saja !"
Para tawanan itu lalu digusur pergi, dan di an-tara mereka itu terdapat Bwee Hong yang masih terikat
dan terbungkus jaring. "Tahan dulu, biar-kan tawanan wanita ini tinggal di sini! Aku mau
memeriksanya !" kata si kepala bajak. Anak buah-nya yang tadi sudah menyeret wanita dalam jaring
itu nampak kecewa. Biarpun berada dalam jaring, Bwee Hong masih dapat dilihat dengan mudah dan
dunia-kangouw.blogspot.com
anak buah bajak itu sudah merasa girang memper-oleh seorang tawanan yang demikian muda dan
cantiknya. Akan tetapi kini dia diperintahkan un-tuk meninggalkan tawanan ini maka tentu saja dia
kecewa.
Kini yang berada di dalam ruangan itu tinggal-lah si kepala bajak dan tiga orang pembantunya, yaitu
bajak laut lihai yang tadi memimpin penye-rangan terhadap perahu asing itu.
"Siapakah engkau?" tanya kepala bajak itu sambil memandang kepada wanita tawanan itu yang rebah
miring di atas lantai. Bwee Hong yang mera-sa amat terhina itu tidak mau menjawab sama sekali. Ia
sudah tertawan dari tangan orang Jepang itu ke tangan bajak laut, dibelenggu dan terbung-kus jaring,
merasa seperti seekor harimau tertang-kap, diseret dan dilempar begitu saja di atas lantai. Ingin ia
menangis karena sakit hati, maka kini ia menimpakan kemarahan hatinya kepada kepala bajak ini. Ia
sudah tertangkap, biar akan dibunuh sekalipun ia tidak akan sudi memperlihatkan sikap lunak atau
tunduk !
Melihat wanita itu diam saja, si kepala bajak mengerutkan alisnya. Dalam keadaan terbungkus jaring
dan terikat seperti itu, tentu saja Bwee Hong tidak kelihatan terlalu cantik, bahkan sebagian da-ri
mukanya tertutup rambutnya yang terlepas dari sanggul dan riap -riapan, dan bagian yang tidak
tertutup itupun masih tidak dapat nampak jelas karena tertutup benang-benang jaring.
"Kenapa engkau terbungkus jaring dan dibe-lenggu seperti seekor binatang buas ?" kembali si kepala
bajak laut bertanya. Bwee Hong makin mendongkol dan tidak mau menjawab. Menja-wab sama saja
dengan menceritakan kekalahannya.
"Apakah engkau tuli ? Ataukah gagu barang-kali ?" Kepala bajak itu mulai ragu -ragu. Semua tawanan
tadi, biarpun tidak kelihatan ketakutan, setidaknya mentaatinya dan tidak memperlihatkan sikap
melawan, sadar bahwa mereka sudah kalah dan tertawan. Agaknya tidak mungkin kalau wa-nita ini
berani menentangnya dan sengaja tidak mau menjawab. "Atau barangkali engkau tidak me-ngerti
bahasa kami ?" Lalu tiba -tiba kepala bajak itu mengajukan pertanyaan lagi dalam Bahasa Jepang !
Mendengar ini, diam -diam hati Bwee Hong merasa geli, akan tetapi kemarahannya ti-dak mereda dan
tiba -tiba iapun menjawab dengan suara lantang.
"Aku sudah tertawan, kalau mau bunuh, laksa-nakanlah. Siapa takut mati ? Tak perlu banyak cerewet
lagi!"
Kepala bajak itu nampak terkejut sekali mende-ngar ucapan ini. Sungguh merupakan jawaban yang
sama sekali tidak diduganya. Dan suara wa-nita ini sungguh merdu, nyaring dan penuh sema-ngat,
tidak mungkin suara seorang wanita biasa saja !
"Eh, siapakah sesungguhnya engkau ? Bukan-kah engkau juga anak buah Pangeran Jepang itu
kepala bajak itu mendesak dengan penuh keingin-an tahu.
"Bukan !" jawab Bwee Hong. "Perahuku berta-brakan dengan perahunya, aku dikeroyok dan tertangkap."
"Ah, begitukah ?" kepala bajak itu berseru he-ran dan kagum. Tahulah dia kini bahwa wanita itu
adalah seorang wanita gagah, kalau tidak de-mikian, tak mungkin sampai dikeroyok. "Lepas-kan !"
katanya kepada tiga orang pembantunya.
Tiga orang pimpinan bajak itu lalu mengguna-kan golok untuk membikin putus tali yang mengikat kaki
tangan dan tubuh Bwee Hong. Begitu terle-pas dari ikatan, Bwee Hong meronta dan jaring itupun
jebol dan iapun meloncat keluar, berdiri tegak dengan gagahnya di depan kepala bajak itu.
"Ahhh !" Kepala bajak yang perutnya gendut itu kini memandang dengan melongo, juga tiga orang
pembantunya itu memandang kagum. Kiranya tawanan wanita itu adalah seorang dara yang luar
biasa cantik jelitanya! Biarpun pakaiannya
kusut dan rambutnya awut -awutan, mukanya kotor, namun jelas nampak betapa cantiknya gadis ini.
Seketika jantung kepala bajak itu berdebar-debar dan diapun sudah jatuh hati kepada gadis itu. Dia
sudah mempunyai seorang isteri dan beberapa orang selir, akan tetapi begitu melihat Bwee
dunia-kangouw.blogspot.com
Hong, mau rasanya dia membuang semua isteri dan selirnya itu dan menggantikan tempat mereka
dengan gadis ini!
"Aihh, nona yang cantik dan gagah perkasa. Si-apakah engkau ? Siapa namamu ?"
Melihat perobahan sikap itu, senyum lebar yang disertai pandang mata -penuh gairah, hati Bwee
Hong sudah menjadi penasaran dan mendongkol. Ia menduga bahwa tentu si gendut inilah yang
pernah dibicarakan oleh Pek Lian, yaitu kepala atau raja penjahat yang menguasai lautan dan
memimpin para bajak yang berjuluk Tung-hai-tiauw Si Rajawali Lautan Timur, seorang di an-tara Sam
-ok yang sedang dicari -cari oleh dua orang rekannya, yaitu Si Harimau Gunung dan Si Buaya Sakti,
atas perintah Raja Kelelawar! Ia ti-dak ingin berkenalan atau memperkenalkan diri kepada segala
macam raja penjahat!
"Namaku tidak ada sangkut -pautnya dengan kalian!" jawabnya kaku.
Kepala penjahat itu tidak menjadi marah meli-hat sikap ini. Malah sikap itu nampak semakin me-narik
dan gagah baginya! Setiap pendapat itu selalu diwarnai oleh perasaan suka atau tidak suka,
karenanya, pendapat itu selalu palsu adanya dan tidak dapat dijadikan ukuran untuk menilai kea-daan
sesungguhnya dari sesuatu.
"Nona, bagaimanapun juga, aku telah menye-. lamatkan nona dari pada malapetaka hebat. Kalau
tidak ada aku yang menolongmu, bukankah engkau akan celaka sebagai tawanan pangeran asing itu
?" katanya membujuk.
"Kalian menyerbu perahu pangeran itu untuk membajak, sama sekali bukan untuk menolongku,"
bantah Bwee Hong.
Makin larna, kepala bajak itu menjadi semakin tertarik dan terpesona oleh kecantikan gadis ini.
"Kalau begitu, berilah kesempatan kepadaku untuk dapat menolongmu, nona. Agar aku dapat
membuktikan bahwa aku sungguh ingin menolongmu dan mempunyai niat baik terhadap dirimu "
"Kalau engkau beriktikad baik, berilah aku se-buah perahu kecil agar aku dapat pergi mencari
temanku yang terpisah dariku karena pengeroyok-an orang -orang Jepang itu!"
"Ah, ada lagi seorang temanmu ? Apakah diapun tertawan ? Seorang pemuda ataukah sudah tua?"
"Sahabatku itu juga seorang gadis, ia terjatuh dari perahu "Bwee Hong mulai mau bercerita karena ia
mengharapkan orang -orang ini akan da-pat membantunya mencari dan menyelamatkan Pek Lian.
Selain itu ia percaya bahwa kakaknya tentu sudah menjadi tawanan pula di tempat ini dan siapa tahu
ia akan dapat membujuk agar ke-pala bajak ini mau membebaskan kakaknya pula.
"Nona, Lautan Po -hai ini begini luas dan eng-kau yang tidak berpengalaman, bagaimana dapat
mencari seorang teman yang hilang hanya dengan menggunakan sebuah perahu kecil ? Jadilah
tamuku yang terhormat dan aku akan membantumu men-carikan sahabatmu itu. Akan kukerahkan
semua anak buahku. Engkau tentu lelah sekali, biarlah engkau mengaso dulu. Mari, nona, mari
kuantar nona ke kamar tamu dan nona akan menikmati ke hidupan di tempat ini." Kepala bajak itu lalu
mem-bawa sendiri Bwee Hong menuju ke ruangan sebe-lah dalam dan di situ, beberapa orang
pelayan wa-nita menyambutnya. Bwee Hong diberi sebuah kamar yang indah. Karena mengharapkan
bantuan untuk menemukan kembali Pek Lian, juga karena mengharapkan akan dapat membebaskan
kakaknya yang ia kira tentu berada di tempat ini pula seba-gai tawanan, Bwee Hong tidak menolak,
walaupun ia tidak pernah kehilangan kewaspadaannya dan tidak mau bersikap manis kepada tuan
rumah yang pandang matanya mengandung gairah itu. Bagai-manapun juga, nona ini terkesan juga
oleh sikap tuan rumah. Sama sekali tidak seperti sikap kepala bajak. Begitu halus dan sopan, dan
ternyata di se-belah dalam istana itu, keadaannya seperti dalam istana raja -raja saja. Juga para
pelayan wanita terlatih baik dan bersikap amat halus!
Para anak buah bajak selama sehari semalam berpesta -pora merayakan hasil yang amat besar di
malam hari itu. Para tawanan, yaitu anak buah pangeran, dijebloskan dalam tempat tawanan yang
berada di bawah tanah. Hanya Pangeran Akiyama seorang yang dimasukkan dalam kamar tahanan
lain dan diperlakukan dengan sikap baik. Anak bu-ah pangeran ini menjadi orang tahanan dan dipekerjakan
secara berpencar untuk pembangunan di pulau itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ho Pek Lian telah berhasil naik ke tebing dan dengan berindap -indap ia menyelinap melalui bu-kitbukit
karang dan akhirnya ia berhasil mema-suki bangunan megah seperti istana itu. Ia melihat betapa
tempat itu terjaga ketat seolah -olah tempat itu merupakan benteng dengan banyak bala tentaranya.
Dan istana itu, yang terletak di tengah -te-ngah kompleks bangunan benteng, sungguh megah. Aneh
melihat sebuah istana dibangun di tengah-tengah pulau kosong ini, di antara pulau-pulau kecil yang
terpencil di tengah lautan.
Untung bagi Pek Lian bahwa para anak buah bajak sedang merayakan pesta kemenangan dengan
hasil baik itu. Para penjaga ikut pula berpesta dan biarpun mereka masih tetap dalam tempat penjagaan
masing -masing, namun mereka juga kebagian arak dan daging sehingga tentu saja penjagaan
me-reka menjadi kurang teliti dan lengah. Kesempatan inilah yang dipergunakan oleh Pek Lian,
dengan mengandalkan gerakannya yang gesit dan ginkang-nya yang tinggi, untuk menyusup masuk
ke dalam istana itu melalui pintu belakang di dekat taman bunga batu karang. Hanya ada beberapa
pohon bunga kecil yang hidup di dalam pot-pot bunga, dengan tanah yang diambil dari daratan besar,
se-dangkan hiasan lain merupakan batu-batu karang yang dibentuk dengan nyeni, dicat dan diatur sedemikian
rupa sehingga tempat itu merupakan se-buah taman yang aneh tapi indah.
Bukan main girangnya hati Pek Lian ketika da-lam usahanya menyelidik dan mencari Bwee Hong
dalam istana yang luas ini, ia tersesat masuk ke dalam dapur! Memang perutnya sudah terasa lapar
bukan main. Kalau menurut perasaan hatinya, ingin ia menyerbu dan merampas makanan dengan
kekerasan. Akan tetapi Pek Lian bukanlah seorang gadis sebodoh itu. Tidak, ia adalah seorang dara
muda yang sudah banyak digembleng oleh keadaan, yang membuatnya menjadi cerdas, tenang dan
juga berpemandangan luas. Ia melihat tiga orang tukang masak sedang sibuk di dapur itu dan
beberapa orang pelayan hilir -mudik mengangkuti masakan -masakan. Beberapa kali Pek Lian menelan
ludah ketika bau masakan yang sedap memasuki hidungnya, membuat perutnya berkeruyuk
seperti ayam jago sedang berlagak. Ia sampai terkejut sendiri dan menekan perut dengan tangan,
khawa-tir kalau -kalau suara perutnya itu akan terdengar orang dan membuatnya ketahuan. Ia hanya
menan-ti kesempatan baik untuk dapat mencuri makanan. Tiga orang koki itu sibuk masak dan kini,
setelah para pelayan yang mengangkuti masakan-masakan itu pergi, mereka bercakap-cakap.
"Huh, kalau sedang begini, kitalah yang repot!" kata seorang di antara mereka yang matanya juling,
agaknya karena bertahun -tahun bekerja di dapur dan matanya terlalu sering terserang asap. "Setiap
orang -orang merayakan pesta dan bersenang -se-nang, kita sendiri yang repot di sini setengah mati.
Terlambat sedikit akan didamprat!" Dengan gerak-an tangan yang sudah terlatih baik sehingga tidak
perlu lagi menggunakan mata melihat, dia menca-cah daging, agaknya hendak membuat bakso.
"Aih, A -pek, engkau ini mengomel saja !" kata koki ke dua sambil melemparkan sepotong daging
panggang yang banyak gajihnya ke dalam mulut-nya, lalu mengunyahnya sampai ada minyak gajih
yang menetes dari ujung bibir. Melihat ini, kemba-li Pek Lian menelan ludah dan memandang dengan
mata benci kepada koki yang perutnya amat gen-dut ini. Mungkin karena terlalu banyak makan, pikir
Pek Lian iri. "Sekali ini bukan hanya karena pesta. Untuk anak buah itu, cukup masakan seada-nya,
asal sudah ada panggang daging dan arak bagi mereka sudah cukup. Akan tetapi apakah eng-kau
tidak tahu bahwa ong -ya mempunyai dua orang tawanan istimewa ?"
Ucapan ini membuat Pek Lian melupakan la-parnya dan mendengarkan penuh perhatian. Koki ke tiga
yang tubuhnya jangkung dan kurus seperti orang kurang makan, keadaan yang amat janggal
mengingat akan pekerjaannya sebagai tukang ma-sak, segera berkata, "Tawanan pangeran itu ?"
"Yang pertama adalah pangeran itu. Biarpun dia menjadi tawanan, akan tetapi dari keluarganya
diharapkan uang tebusan yang besar, maka dia harus dijamu dan diperlakukan sebagai seorang-tamu
terhormat dan berharga," jawab si gendut dengan mulut masih bergerak-gerak mengunyah daging.
"Tapi yang paling istimewa adalah tamu ke dua."
"Kaumaksudkan gadis yang cantik dan gagah itu ?" kata si juling. "Kabarnya ia cantik sekali. Semua
pelayan mengatakan bahwa belum pernah mereka melihat seorang gadis secantik tawanan itu, Aihhh,
aku jadi ingin sekali menengoknya!" Si juling itu tersenyum -senyum dan sikapnya menjadi genit,
tanda bahwa kalau temannya yang gendut itu lebih suka makan enak, dia sendiri agaknya le-bih
memperhatikan wanita cantik.
"Hushh! Apa kau sudah bosan hidup ? Kau tahu apa?" cela si gendut yang agaknya selain doyan
makan enak juga paling tahu akan keadaandalam istana itu. "Ong -ya agaknya jatuh cinta kepada
dunia-kangouw.blogspot.com
gadis ini dan karena itulah kita sekarang harus masak semua bahan simpanan seperti mengadakan
pesta besar. Semua ini untuk disuguhkan kepada gadis itu ! Masak pauwhi, sarang burung, da ging
capit kepiting, sup kaki biruang, hemmm... hebat deh !" Tukang masak gendut ini mengusap air liurnya
ketika menyebutkan nama masakan-masakan mewah ini dan diam-diam Pek Lian juga menelan
ludahnya. Tentu Bwee Hong yang mereka bicarakan, pikirnya. Wah, Bwee Hong agaknya menjadi
tamu terhormat dan disuguhi makanan le-zat -lezat sedangkan ia sendiri harus bersembunyisembunyi
setengah kelaparan !
Tiga orang koki itu kini sibuk memasak sayuran yang tadi disebutkan oleh si gendut dan Pek Lian
semakin menderita karena bau masakan itu sung-guh luar biasa sedapnya, apa lagi bagi seorang
yang sedang kelaparan seperti dirinya. Ia tahu bah-wa kalau masakan -masakan itu sudah selesai
dan siap, tentu para koki itu akan menarik tali yang agaknya menjadi penyambung tanda rahasia bagi
para pelayan bahwa masakan telah siap dan para pelayan itu akan datang mengangkut masakanmasakan
tadi. Maka Pek Lian pun siap -siap. Ketika masakan-masakan itu sudah selesai dan
dipindahkan dari tempat masak ke dalam mangkok-mang-kok besar, tiba-tiba Pek Lian menggerakkan
ta-ngannya. Terdengarlah suara gedombrangan bi-sing sekali di lain ruangan dapur itu, di mana disimpan
mangkok piring dan panci -panci. Men-dengar ini, para koki itu terkejut.
"Wah, wah, jangan -jangan ada kucing lagi ma-suk ke sana !" kata si gendut yang segera berlari ke
tempat itu disusul oleh dua orang temannya. Pek Lian cepat meloncat keluar dan dengan cekatan
sekali ia bekerja. Tak lama kemudian ia sudah kembali ke tempat persembunyiannya, membawa
sebuah mangkok besar terisi nasi dengan lauk -pa-uknya, yaitu pauwhi, sarang burung, capit kepiting,
dan sup cakar biruang. Lezat! Ia makan dengan lahapnya, dengan tangan saja karena dalam keadaan
tergesa -gesa itu ia lupa menyambar sumpit. Hatinya girang dan geli ketika mendengar tiga orang
itu kembali ke dalam dapur sambil mengomel, akan tetapi agaknya mereka tidak tahu bahwa
masakan -masakan itu telah berkurang.
Ketika akhirnya pelayan -pelayan datang meng-angkut masakan -masakan, Pek Lian sudah selesai
mengisi perutnya dan iapun menyelinap dan mem-bayangi para pelayan yang membawanya ke tempat
di mana sahabatnya ditahan ! Di lain saat, Pek Lian telah bersembunyi di atas genteng kamar
Bwee Hong dan mengintai ke dalam. Dilihatnya Bwee Hong duduk menghadapi meja, dilayani oleh
dua orang pelayan wanita dan benar saja, sahabat-nya yang cantik itu diperlakukan sebagai seorang
tamu kehormatan. Akan tetapi Bwee Hong tidak kelihatan gembira, bahkan sebaliknya, sahabatnya
yang cantik itu kelihatan pucat dan agak kurus dan menghadapi hidangan lezat itu dengan wajah gelisah
dan duka. Karena agaknya kurang bernafsu, maka tidak lama Bwee Hong makan, lalu ia menyuruh
para pelayan membersihkan meja. Tak lama kemudian, gadis itu nampak duduk termenung
ditemani oleh dua orang pelayan yang agaknya juga bertugas untuk menjaga dan mengamatinya.
Selagi Pek Lian berniat untuk meloncat masuk, tiba -tiba terdengar suara orang dan Pek Lian me-lihat
seorang laki -laki setengah tua yang pakaian-nya mewah dan perutnya gendut, yang memasuki kamar
Bwee Hong itu diikuti oleh empat orang dayang muda-muda dan cantik-cantik. Melihat masuknya
kepala bajak ini, Bwee Hong bangkit dari tempat duduknya dan memandang dengan sinar mata
bertanya-tanya dan alis berkerut. Sudah sehari semalam ia ditahan di situ sebagai tamu terhormat
dan ia masih menanti berita ten-tang Pek Lian, dan mencari kesempatan untuk ber-tanya tentang
kakaknya.
"Bagaimana kabarnya dengan usaha mencari sahabatku itu?" Bwee Hong segera menyambut-nya
dengan pertanyaan ini.
Kepala bajak yang gendut itu lalu memberi isyarat kepada para dayang dan pelayan yang se-gera
meninggalkan kamar itu dan menutupkan da-un pintunya dari luar, kemudian mereka duduk di luar
bersama dengan tiga orang pembantu utama kepala bajak itu yang agaknya memang mengawal dan
menanti di luar. Dari atas genteng Pek Lian dapat melihat bahwa selain tiga orang itu, terdapat pula
belasan orang penjaga yang agaknya siap membantu kalau sampai pimpinan mereka membu-tuhkan
tenaga mereka. Keadaan ini membuat Pek Lian menjadi waspada dan tidak berani turun ta-ngan
secara lancang. Iapun mengintai ke dalam kamar dan memperhatikan pertemuan antara saha-batnya
dan kepala bajak itu.
"Belum berhasil, nona. Kalau sahabatmu itu tidak mendapatkan perahu untuk menyelamatkan diri,
setelah tercebur ke dalam lautan, mana mung-kin ia dapat diharapkan tinggal hidup ? Di daerah itu
dunia-kangouw.blogspot.com
terdapat banyak ikan hiunya yang ganas. Jadi, hanya ada dua kemungkinan. Pertama, ia menemukan
perahu dan berhasil menyelamatkan diri, atau ke dua, yaaahh... nyawanya sukar tertolong"
"Ahhh...... !" Bwee Hong mengeluh sambil menutupi mula dengan kedua tangannya.
Hening sejenak, kemudian kepala bajak laut itu berkata, suaranya halus seperti juga sikapnya,
"Nona, engkau telah menjadi tamuku, dan aku akan tetap mencari sampai anak buahku tahu di mana
adanya sahabatmu itu. Akan tetapi sampai sekarang aku belum mengenal namamu "
Agaknya Bwee Hong. merasa tidak enak juga kalau tidak memperkenalkan nama, karena memang
sesungguhnya sikap kepala bajak ini amat baik se-lama ia menjadi tamu, balikan baru sekarang
kepala bajak ini datang menjenguknya.
"Namaku Chu Bwee Hong ......"
"Nona Chu, sungguh aku merasa berbahagia sekali mendapatkan kesempatan bertemu dan berkenalan
denganmu. Aku ingin sekali mendengar sendiri bagaimana jawabanmu terhadap usul yang
kuajukan pagi tadi. Engkau tentu telah mendengar-nya dari pelayan dan utusanku, bukan ?"
Sepasang mata yang jernih dan indah itu tiba-tiba mengeluarkan sinar berkilat dan Bwee Hong
bangkit berdiri dengan sikap marah. "Aku sudah mendengarnya dan justeru karena itulah aku akan
menjawab dan menegurmu ! Sudah kukatakan ke-marin bahwa anak buahmu menyerang perahu
Pangeran Jepang itu untuk membajak, bukan untuk menolongku! Kemudian, engkau memperlakukan
aku dengan baik, sudah kuduga bahwa tentu ada pamrih sesuatu yang busuk. Ternyata benar,
engkau hendak membujuk aku menjadi isterimu! Hemm, dengarlah. Aku tidak sudi menerimanya dan
kalau sampai besok engkau tidak berhasil mendengar ten-tang sahabatku, aku akan pergi dari sini!"
Kepala bajak itu menarik napas panjang. "Aku dapat mengerti penolakanmu, nona. Engkau seo-rang
dara yang cantik jelita dan berkepandaian tinggi. Akan tetapi, engkau belum tahu siapa ada-nya aku.
Kalau engkau menjadi isteriku, nona Chu, berarti engkau akan mendapatkan kemuliaan, ke-dudukan
tinggi dan juga menjadi kaya."
Bwee Hong teringat akan kakaknya dan ia mengangkat mukanya memandang, lalu bertanya dengan
suara ketus, "Siapakah engkau ?"
"Nona Chu, dengarlah. Aku adalah raja di lautan sebelah selatan, aku hanya dikenal dengan sebutan
Lam -siauw -ong (Raja Muda Selatan).
"Ehh... ?" Bwee Hong memotongnya dengan kaget dan juga dengan wajah mengandung kekecewaan.
"Jadi engkau bukan Tung-hai-tiauw ?"
Kepala bajak itu mengerutkan alisnya dan meng-geleng kepala. Hatinya kecewa pula karena nona
yang dicintanya ini ternyata mengira dia orang lain, orang yang selama ini memang menjadi
saingannya! "Bukan! Tung -hai -tiauw itu adalah seorang di antara kami, di antara tiga raja bajak di
lautan ini, dan dia kebetulan pada saat ini sedang menduduki kursi pimpinan."
Pek Lian yang ikut mendengarkan percakapan itu, juga sama kecewanya dengan Bwee Hong. Kalau
orang ini bukan Si Rajawali Lautan Timur, berarti bahwa dua orang di antara Sam -ok itu ti-dak datang
ke tempat ini, dan dengan demikian mereka telah kehilangan jejak dari A -hai dan Seng Kun yang
dibawa oleh kedua orang raja penjahat itu. Orang ini telah memiliki kedudukan tinggi dan kuat, kalau
orang ini masih merupakan pembantu saja dari Rajawali Lautan, maka dapat dibayangkan betapa
hebatnya raja penjahat itu sendiri.
Bwee Hong tidak tahu banyak tentang dunia penjahat dan ia hanya tahu sedikit -sedikit karena
mendengar cerita Pek Lian. Ia sudah men-dengar dari sahabatnya itu bahwa Sam -ok adalah tiga raja
penjahat yang kini menjadi pembantu-pembantu dari Raja Kelelawar yang dianggap se-bagai
datuknya kaum sesat. Akan tetapi mengapa kini kepala bajak ini mengatakan bahwa Rajawali Lautan
kini menduduki kursi pimpinan ? Biarpun hatinya kecewa karena merasa seperti kehilangan jejak
kakaknya, akan tetapi keinginan tahu membu-atnya bertanya, "Apa maksudmu mengatakan bah-wa
dia menduduki kursi pimpinan ?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Duduklah, nona dan agaknya engkau belum mengenal kami. Baiklah, engkau perlu mengenal
keadaanku lebih baik. Lautan di sebelah timur ini dikuasai oleh kami bertiga dan kami masing-ma-sing
mempunyai anak buah sendiri. Kami bertiga adalah Tung-hai-tiauw yang menguasai wilayah timur,
yang ke dua adalah Si Petani Lautan yang menguasai wilayah utara, sedangkan ke tiga adalah aku
sendiri yang menguasai wilayah selatan. Kami masing-masing tidak saling melanggar wilayah dan
melakukan operasi di batas wilayah masing-masing. Tempat kami menyerang perahu Jepang itu
adalah batas wilayah kami."
"Jadi kalian bertiga adalah saingan -saingan yang saling bermusuhan ?" tanya Bwee Hong yang
tertarik juga hatinya. Kepala bajak ini biarpun se-orang penjahat, namun sikapnya bukan seperti
penjahat yang kasar.
"Pada mulanya kami memang saling bermusuh-an sehingga terjatuh banyak korban di antara kami
sendiri. Lalu kami bermufakat untuk bersatu dan yang paling lihai di antara kami berhak menduduki
kursi pimpinan, menempati gedung istana lautan yang kami bangun bersama. Nah, ternyata Rajawali
Lautan yang berturut-turut menang dalam pemi-lihan dan menjadi raja lautan. Setiap tiga tahun sekali
kami mengadakan pertemuan dan mengadu ilmu. Tiga tahun telah lewat sejak pemilihan yang lalu
dan di dalam bulan ini juga, kurang beberapa hari lagi, kami akan mengadakan lagi pertemuan. Tiga
hari lagi dan aku yakin akan dapat mengalahkan Si Rajawali Lautan karena selama ini aku telah
berlatih dengan tekun. Tentu saja aku harus dapat pula mengalahkan Petani Lautan yang memperdalam
ilmunya yang hebat, yaitu ilmunya Ban-seng-kun ( Silat Selaksa Bintang ) yang hebat. Dan
engkau...... kalau engkau menerima pinanganku, nona, engkau akan menjadi ratu lautan !"
Baik Bwee Hong maupun Pek Lian yang ikut mendengarkan, menjadi ngeri. Macam apakah Ilmu Silat
Selaksa Bintang itu ? Sampai di mana kehe-batannya ? Dan si gendut ini agaknya memiliki il-mu yang
tidak kalah tingginya, karena buktinya dia merasa yakin akan dapat menangkan Petani Lautan dan
juga Rajawali Lautan ! Betapa banyak-nya terdapat orang -orang lihai di dalam dunia kaum sesat.
"Engkau akan merasa ngeri kalau menyaksikan Ilmu Silat Selaksa Bintang itu, nona. Petani Lautan
itu tidak pernah memakai baju karena tubuh atas-nya selalu penuh dengan keringat yang keluar bagaikan
sumbernya yang tidak pernah kering. Dia selalu membawa tempat air ke manapun dia pergi
untuk minum setiap saat. Minumnya banyak sekali, melebihi kuda karena keringatnya luar biasa banyaknya.
Di dalam pertempuran, keringatnya itu memercik -mercik keluar dan kalau tertimpa sinar
matahari atau lampu, dapat menimbulkan sinar berwarna -warni dan berkelap -kelip seperti selak-sa
bintang di langit. Itulah sebabnya maka ilmunya dinamakan, Selaksa Bintang dan gerakannya
demikian cepatnya seperti bintang beralih. Siapa-pun yang bertanding melawannya akan menjadi
basah kuyup tersiram keringat-keringat itu, apa lagi kalau keringat itu menyerang ke arah muka lawan,
akan membuat mata menjadi silau dan ge-rakan Petani Lautan yang cepat itu akan sukar da-pat
diikuti lagi."
Bwee Hong mendengarkan cerita itu dengan alis berkerut dan diam -diam ia kurang begitu percaya
akan cerita ini. Ilmu sesat macam itu tidak perlu ditakuti, pikirnya. Yang hebat hanya luarnya saja,
akan tetapi pada hakekatnya, tidak mengandung inti yang kuat dan dalam. Akan tetapi, Pek
Lian yang sudah sering menyaksikan betapa ganas dan jahatnya ilmu orang-orang dari dunia hitam,
mendengarkan dengan hati ngeri dan jijik. Betapa menjijikkan kalau harus bertanding melawan Petani
Lautan itu. Keringat orang itu akan menyiram seluruh tubuhnya, mukanya dan ihh, betapa keras
dan busuk baunya dan menjijikkan! Pek Lian bergidik.
"Akan tetapi, sehebat itu, dia masih kalah oleh Rajawali Lautan ?" Bwee Hong bertanya, bukan hanya
ingin tahu, akan tetapi juga untuk mengikat tuan ramah itu dalam membicarakan urusan lain agar
urusan "pinangan" itu tidak diulang lagi.
"Nona Chu, agaknya engkau belum tahu siapa Rajawali Lautan itu. Dia amat lihai, dia malah orang
pertama dari Sam -ok, Si Tiga Jahat di da-ratan besar. Bukan saja ilmu silatnya yang amat tinggi,
akan tetapi sepuluh buah jarinya mempunyai kuku yang kuat seperti baja, dan juga dia mema-kai baju
emas yang membuatnya kebal terhadap segala macam senjata."
"Hemm, jadi dia kebal ?"
"Benar, dan kekebalan serta kuku-kuku jari tangannya itulah yang berbahaya."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kalau begitu, bagaimana engkau akan dapat menang menghadapinya ?"
Si gendut itu menarik napas panjang. "Entahlah, akan tetapi pokoknya, aku harus menang dan aku
telah memperdalam ilmu pedangku yang kuberi nama Hun -kin -kiam (Pedang Pemutus Urat), mudah-
mudahan aku akan dapat mengalahkan me-reka berdua."
"Mudah -mudahan."
"Dan engkau menjadi ratu "
"Sudahlah, jangan bicara soal itu. Aku tidak dapat menjadi isterimu."
"Kenapa tidak dapat ? Kurang apakah aku ini?"
"Pokoknya aku tidak mau, aku belum mau menikah."
"Engkau harus !"
Bwee Hong meloncat berdiri dan menegakkan kepalanya. "Eh ? Siapa yang menghaluskan ? Aku
tidak mau dan hendak kulihat engkau akan dapat berbuat apa terhadap diriku!" Bwee Hong menantang
berani. Agaknya tidak ada jalan lain ba-ginya kecuali menggunakan kekerasan. Kakaknya
tidak berada di sini dan agaknya sukar mengharap-kan bantuan Pek Lian, maka jalan satu-satunya
hanya menantang dan menggunakan kekerasan. Menang dan bebas, atau kalau kalah biarlah ia mati
di situ dari pada harus menjadi isteri si perut gendut ini.
Lam -siauw -ong juga melompat dari tempat duduknya. Mukanya yang bulat itu menjadi merah,
matanya yang lebar itu melotot semakin lebar dan kepalanya yang bundar itu mengangguk-angguk.
"Bagus, akupun ingin sekali melihat sampai di ma-na kelihaianmu agar dapat kupertimbangkan-apakah
engkau memang patut menjadi ratuku." Si gendut ini menepuk tangan dua kali dan tiga orang
pembantunya yang lihai itupun bermunculan dari pintu, berdiri dengan sikap hormat.
"Nona Chu ingin memperlihatkan kepandaian-nya. Coba kalian menangkapnya dan kalau berha-sil,
ikat kaki tangannya I"
Tanpa bertanya lagi, tiga orang pembantu setia ini maklum dan dapat menduga bahwa tentu nona ini
menolak kehendak raja mereka, maka setelah memberi hormat kepada Lam -siauw -ong, mereka lalu
menghampiri Bwee Hong dan mengurungnya dengan kedudukan segi tiga." Bwee Hong berdiri tegak
dan siap untuk menghadapi pengeroyokan mereka. Bahkan ia tidak mau membuang waktu lagi
karena maklum bahwa perkelahian yang akan dihadapi ini baginya bukan sekedar menguji kepandaian,
melainkan perjuangan untuk mencapai ke-menangan dan untuk meloloskan diri! Begitu tiga
orang lawan itu datang dekat, ia sudah menge-luarkan teriakan melengking nyaring dan tubuhnya
sudah bergerak cepat sekali mengirim serangan kepada orang yang di depannya, sedangkan kakinya
mencuat dalam tendangan kilat ke arah lawan di sebelah kanan.
Dua orang lawan itu terkejut bukan main. Ham-pir mereka tidak melihat gerakan nona itu dan ta-hu -
tahu orang yang berada di kanan itu telah ke-na tendangan pada pahanya! Dan orang yang berada di
depannya itu hanya menggulingkan tu-buh saja dapat terhindar. Dan Bwee Hong lalu mengamuk !
Tiga orang itu berusaha untuk mengu-rungnya rapat, akan tetapi mereka itu bahkan men-jadi bulan -
bulanan pukulan dan tendangan Bwee Hong yang membuat mereka jatuh bangun ! Me-lihat ini, Lain -
siauw -ong memandang dengan wajah berseri -seri dan tiada hentinya memuji.
"Bagus ! Bagus ! Ginkang yang sempurna ! Hebat
! Pantas menjadi ratuku, lebih dari pada pantas !" Dia bertepuk tangan tiga kali dan muncullah
lima orang pembantu lain yang dia perintahkan untuk membantu tiga orang pertama dan mengeroyok
Bwee Hong.
"Keparat, curang tak tahu malu!" Bwee Hong memaki dan Pek Lian yang berada di atas juga merasa
marah sekali menyaksikan kecurangan si gendut yang main keroyok itu. Akan tetapi ia tidak
menurutkan hati, tidak mau turun tangan memban-tu sebelum melihat kesempatan baik agar ia dan
sahabatnya itu dapat lolos dari pulau yang dihuni oleh para bajak itu. Andaikata ia turun membantu
dan mereka menang sekalipun, masih amat sukar untuk dapat lolos dari pulau itu karena para penjadunia-
kangouw.blogspot.com
hat itu tentu akan merintangi dan menghadapi mereka di laut, sama saja dengan membunuh diri atau
menyerahkan diri! Tidak, ia harus menanti saat baik. Hanya kalau terpaksa saja, kalau melihat Bwee
Hong menghadapi ancaman maut, baru ia akan turun tangan dengan nekat, kalau perlu mati bersama
dengan sahabatnya itu.
Biarpun dikeroyok delapan, namun Bwee Hong tetap mengamuk dan semua pengeroyoknya telah
merasakan pukulan atau tendangannya. Semua pe-rabot dan isi kamar menjadi porak -poranda ketika
para pengeroyok itu terlempar ke sana -sini. Akan tetapi, tiba -tiba Lam -siauw -ong sendiri maju dan
begitu dia menyerang, Bwee Hong terkejut sekali. Ternyata raja penjahat ini benar -benar amat lihai!
Bahkan melawan satu sama satu saja ia belum tentu dapat mengalahkan si gendut ini! Maka ia
menjadi penasaran dan marah sekali. Memiliki ke-pandaian yang tinggi, namun si gendut ini masih
mengerahkan anak buahnya untuk mengeroyok !
Akan tetapi Pek Lian mengerti mengapa si gen-dut itu tadi tidak maju sendiri dan menyuruh orangorangnya
untuk mengeroyok. Tentu selain ingin menguji sampai di mana kelihaian Bwee Hong, juga si
gendut ini ingin menangkap Bwee Hong tanpa melukainya, maka dia menggunakan tenaga banyak
orang. Dan memang dugaannya ini tepat. Setelah dikeroyok sembilan orang, maka akhirnya Larnsiauw
-ong berhasil menotok pundak kiri Bwee Hong. Separuh tubuh dara itu menjadi lumpuh dan
ketika si gendut "memeluk dan meringkusnya, iapun tidak dapat berkutik dan di lain saat dara itu telah
dibelenggu kaki tangannya !
Pek Lian sudah mengepal tinju. Ia tentu akan nekat kalau melihat Bwee Hong hendak diperkosa, akan
tetapi ternyata si gendut iba, biarpun kepala bajak, bukanlah seorang yang kasar. Dia sama se-kali
tidak memperkosa, bahkan menciumpun tidak ! Agaknya, di depan delapan orang anak buahnya, si
gendut ini menahan diri dan karena itulah maka dia dihormati sekali oleh para anak buahnya. Setidaknya,
biarpun dia kepala bajak, namun julukan-nya adalah Raja Muda Selatan !
Setelah tubuh Bwee Hong direbahkan di atas pembaringan, kedua kaki dibelenggu, kedua lengan
diikat di belakang tubuh dan mulutnya juga diikat saputangan agar jangan mengeluarkan teriakan atau
makian, si gendut menyuruh semua anak buahnya keluar lagi. Mereka keluar, ada yang terpincangpincang,
ada yang mengaduh memegangi perut, ada yang kepalanya benjol-benjol dan ada yang
sebelah matanya menghitam. Kini tinggallah si gendut berdua dengan Bwee Hong dan kembali Pek
Lian siap untuk menolong sahabatnya. Akan tetapi, Lam -siauw -ong hanya mendekati pemba-ringan
sambil berkata, "Nona Chu, salahmu sendi-rilah sehingga terpaksa aku membelenggumu. A-kan
tetapi, engkau masih kuberi waktu untuk berpi-kir selama tiga hari ini. Setelah selesai menghadiri
pertemuan antara pimpinan lautan, baru aku akan memaksa engkau mengambil keputusan, yaitu
men-jadi isteriku secara suka rela ataukah secara pak-saan !" Setelah berkata demikian, Lam -siauw -
ong meninggalkan kamar itu. Tak lama sesudah si gendut ini pergi, barulah Pek Lian cepat melayang
turun ke dalam kamar itu. Tadi, ketika mencari-cari di dalam istana, ia menemukan gudang sen-jata
dan ia telah memilih sebatang pedang untuk dibawa berlindung diri.
Melihat melayangnya sesosok tubuh ke dalam kamarnya, Bwee Hong cepat memandang dan da-pat
dibayangkan betapa girangnya melihat bahwa yang melayang turun itu adalah Pek Lian yang ta-dinya
dikhawatirkan telah terkubur di perut ikan hiu ! Kalau saja mulutnya tidak diikat dengan kain, tentu ia
sudah berteriak saking girangnya.
"Ssttt !" Pek Lian menaruh telunjuk kanan di depan mulut memberi isyarat kepada sahabatnya itu
agar tidak bersuara. Kemudian dengan cekatan ia meloncat ke dekat pembaringan, mencabut pedang
curiannya dan membebaskan Bwee Hong dari belenggu.
Setelah bebas dari belenggu, Bwee Hong me-rangkul sahabatnya itu. Sejenak mereka berangkul-an
tanpa ada sepatahpun kata keluar dari mulut mereka. Kata -kata tidak berarti lagi untuk menya-takan
kebahagiaan hati mereka masing-masing pada saat itu, bahkan kata -kata dapat berbahaya karena
dapat terdengar para penjaga di luar pintu.
"Mari kita pergi, melalui atas saja," bisik Pek Lian. Bwee Hong mengangguk dan dara ini telah
mendapatkan kembali semangatnya setelah melihat sahabatnya ini. Seperti biasa, biarpun
kepandaian-nya masih kalah dibandingkan dengan Bwee Hong, namun Pek Lian mengambil sikap
memimpin. Ia sudah mendahului meloncat ke atas dan dengan se-lamat mereka berdua lolos dari
kamar itu tanpa menimbulkan suara berisik dan keduanya di lain saat telah berdiri di atas genteng dan
dunia-kangouw.blogspot.com
memandang ke kanan kiri.
"Kita ke mana, adik Lian ?" tanya Bwee Hong.
Karena tidak melihat seorangpun penjaga. Pek Lian berbisik memberitahukan rencananya, "Kita harus
dapat cepat meninggalkan pulau ini sebelum ketahuan. Kita naik perahu dan mencari Istana Laut di
mana tinggal Si Rajawali Lautan !”
Kau tahu juga ?"
"Aku tadi ikut mendengarkan cerita Lam-siauw-ong. Tapi kita harus mempunyai seorang petunjuk
jalan. Kita tawan seorang anggauta bajak dan me-maksanya membawa kita ke sana. Nah, mari ikuti
aku, enci, dan berhati -hatilah. Sekali ketahuan dan kita dikepung, akan sukar sekali meloloskan diri."
Dengan Pek Lian menjadi petunjuk jalan di depan karena Pek Lian sudah mulai mengenal tempat itu,
mereka menuju ke belakang gedung besar itu, di tempat sunyi dari mana Pek Lian tadi datang dan
bersembunyi. Mereka berdua mende-kam di balik pohon dalam taman batu karang, po-hon buatan
dari batu karang pula dan menanti. Tak lama kemudian rombongan penjaga meronda lewat dan
kedua orang gadis itu membiarkan mereka lewat tanpa mengganggu. Setelah keadaan sunyi kem-bali
dan aman, barulah Pek Lian mengajak Bwee Hong melanjutkan perjalanan. Dengan berindap-indap
dan hati -hati, mereka menyelinap dan me-nyusup, menuju ke pantai. Untung bagi mereka bahwa
pantai itu gelap dan malam hanya diterangi bintang saja. Di pantai itu terdapat banyak perahu dan
terdapat pula beberapa orang anggauta bajak yang hilir-mudik, dan ada pula yang bertugas menjaga
pantai.
"Enci, kita harus dapat menangkap seorang
"Lian-moi, sekarang giliranku. Engkau sudah terlalu banyak bekerja, dan aku hanya menyusah-kan
saja. Sekarang biarkan aku yang turun tangan menangkap seorang bajak."
Pek Lian mengangguk. Sudah tentu saja ia percaya akan kemampuan Bwee Hong dan kalau ia
menolak permintaan itu, mungkin saja Bwee Hong akan tersinggung dan merasa tidak percaya.
"Baiklah, enci Hong, asal engkau berhati-hati saja. Aku menanti di sini," bisiknya kembali. Bwee Hong
mengangguk dan tak lama kemudian dara itu berkelebat lenyap. Diam-diam Pek Lian me-rasa kagum
sekali. Ia sudah tahu bahwa Bwee Hong terutama sekali amat unggul dalam ilmu ginkangnya. Ia
sendiri kalah jauh dibandingkan dengan Bwee Hong walaupun ia sendiri telah me-nerima gemblengan
dari Huang -ho Su -hiap (Em-pat Pendekar Huang -ho) bahkan kemudian di-perdalam oleh bimbingan
Liu -twako atau Liu-taihiap. Akan tetapi kalau diingat bahwa Bwee Hong mewarisi ilmu keturunan dari
mendiang Sin-yok-ong, maka kehebatan ginkangnya itu memang tidaklah mengherankan.
Betapapun juga, Pek Lian merasa tidak enak kalau membiarkan sahabatnya itu bekerja tanpa
perlindungannya, maka diam-diam iapun memba-yangi. Ia melihat Bwee Hong telah berada di ujung
pantai, agaknya mendekati dua orang penjaga yang terpencil. Dara itu mengambil dua potong batu
karang sebesar kepalan tangan, kemudian menga-yun tangannya ke kanan kiri. Terdengarlah dua
suara berisik berturut-turut di kanan kiri tempat itu.
"Eh, apa itu ?" terdengar dua orang penjaga bertanya kaget dan merekapun lalu bangkit berdiri dan
berpencar ke kanan kiri, hendak memeriksa apa gerangan yang menimbulkan bunyi berisik tadi.
Setelah jarak antara mereka cukup jauh, tiba-tiba Bwee Hong meloncat ke depan dan sebelum orang
itu sempat berteriak, ia sudah merobohkannya de-ngan pukulan pada tengkuknya, menggunakan tangan
miring. Orang itu roboh pingsan lalu dara cantik dan perkasa itu menyeretnya pergi ke tempat
semula ia meninggalkan Pek Lian. Akan tetapi, Bwee Hong merasa kaget ketika ia tidak mendapatkan
lagi Pek Lian di tempat itu. Ia melempar-kan tubuh orang yang pingsan itu ke atas tanah dan ia
sendiri lalu berdiri dan memandang ke sana-sini, mencari -cari Pek Lian. Tak lama kemudian,
muncullah Pek Lian dan dara ini tersenyum, me-nyerahkan sebatang pedang kepada Bwee Hong.
"Ih, engkau membuatku gelisah, adik Lian. Ke-mana saja engkau pergi dan dari mana kau mendapatkan
pedang ini ?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Sambil berbisik Pek Lian menceritakan bahwa ketika melihat Bwee Hong merobohkan seorang di
antara dua penjaga, ia berpendapat bahwa kalau penjaga ke dua tidak dirobohkan pula, tentu penjaga
itu akan kehilangan kawannya dan menjadi curiga. "Karena itu, aku merobohkannya, dan kini dia
tersembunyi dalam keadaan tertotok dan kaki tangannya terikat, mulutnyapun kusumbat. Selain itu,
juga pedangnya ini tentu berguna bagimu. Aku sendiri sudah mengambil pedang dari gudang senjata.
Mari kita kerjakan tawanan itu, enci!"
Bwee Hong menerima pedang dan semakin ka-gum. Sungguh seorang dara muda yang cerdas sekali,
pikirnya. Ia sendiri sama sekali tidak memi-kirkan kemungkinan-kemungkinan itu dan kalau tidak
bersama Pek Lian, mungkin perbuatannya menawan seorang bajak ini akan cepat ketahuan dan hal
ini tentu akan membahayakan sekali. Maka iapun menyerahkan segala sesuatu selanjutnya ke-pada
Pek Lian, juga ketika "mengerjakan" tawanan itu.
Dengan beberapa kali tepukan, Pek Lian me-nyadarkan tawanan itu, akan tetapi begitu orang itu
membuka mata, ujung pedang di tangan Pek Lian telah menempel di lehernya. "Engkau tentu belum
ingin mati, bukan ?" bisiknya dengan suara penuh ancaman. Orang itu terkejut sekali, apa lagi ketika
merasa betapa lehernya sakit tertusuk ben-da tajam.
"Belum, ampunkan aku " bisiknya.
"Baik, kamipun tidak ingin membunuhmu. Ka-mi hanya ingin engkau membantu kami melarikan diri
dari sini. Kalau sampai kami berhasil lolos dengan selamat, engkau akan kami ampuni dan tidak kami
bunuh. Mengerti ?"
Bajak itu mengangguk dan matanya terbelalak ketakutan. "Ampun aku mempunyai anak isteri,
ampunkan aku dan aku akan berusaha membantu ji -wi lihiap (nona pendekar berdua).”
"Bagus ! Nah, sekarang kita harus dapat meng-gunakan sebuah perahu untuk melarikan diri. Hayo
bawa kami mendapatkan sebuah perahu yang baik. Awas, jangan sampai ketahuan kawan-kawanmu,
karena kalau ketahuan, terpaksa aku akan membu-nuhmu lebih dulu sebelum kami mengamuk dan
membasmi mereka semua!"
"Baik, saya tidak berani menipumu, nona, saya masih ingin hidup."
"Kalau begitu, mari kita ke sana," Pek Lian me-nunjuk ke kiri, ke tempat yang nampaknya sunyi untuk
mencari perahu di sana. "Tidak, di sana berbahaya." "Mengapa?" Pek Lian menghardik. "Di sana
sunyi tidak nampak penjaga dan kulihat ada bebe-rapa buah perahu di sana." Ia merasa curiga.
"Jangan salah duga, nona. Di sana ada penja-ga-penjaga tersembunyi, memang disengaja kare-na
semua pelarian tentu akan mencari perahu di sana. Tidak, mari kita mencari ke sana." Orang itupun
menunjuk ke kanan, arah sebaliknya dari yang dikehendaki Pek Lian. Sebelah kanan itu nampak
ramai oleh hilir -mudiknya para anggauta bajak. Tentu saja dia dan Bwee Hong meragu. Melihat
keraguan mereka, bajak yang sudah ter-tawan itu berkata, "Tentu ji -wi mengetahui bahwa sekali saya
menipu, ji -wi akan membunuh saya. Marilah, saya tidak menipu, saya masih sayang nyawa."
Pek Lian dan Bwee Hong menurut, akan teta-pi mereka tidak pernah melepaskan pedang yang selalu
siap untuk menyerang bajak ini kalau -kalau dia mengkhianati mereka. Akan tetapi, setelah me-lalui
jalan berliku-liku, akhirnya bajak itu dapat menemukan sebuah perahu dan tidak ada seorang-pun
penjaga di situ. Cepat dia melepaskan tali perahu dan mereka bertiga lalu naik ke dalam pe-rahu dan
mereka bertiga bekerja sama mendayung perahu itu meninggalkan pantai. Karena langit mulai penuh
dengan awan hitam, dan cahaya bin-tang -bintang di langit yang sudah muram itu kini menjadi
semakin gelap, maka hal ini amat mengun-tungkan mereka yang sedang berusaha untuk me-larikan
diri.
Akan tetapi, tiba -tiba bajak itu mengeluarkan seruan kaget dan nampak panik. Sungguh tidak
kebetulan sekali, dari depan datang meluncur em-pat buah perahu bajak yang baru saja pulang ! Tentu
saja hal ini sama sekali tidak disangka -sang-kanya.
"Celaka, kita ketahuan !" katanya dan diapun mendayung perahu itu dengan sepenuh te-naga. Dan
memang benar. Dari perahu -perahu itu terdengar bentakan -bentakan dan perahu -pe-rahu itupun
lalu memutar haluan dan melakukan pengejaran!
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat ulah si bajak yang mati -matian menda-yung perahu itu, Pek Lian dan Bwee Hong maklum
bahwa bajak itu tidak mengkhianati mereka dan memang pertemuan dengan perahu -perahu bajak itu
merupakan hal yang tidak disangka -sangka dan di luar perhitungan, maka mereka berduapun lalu
membantu bajak itu mendayung perahu menambah lajunya perahu yang hanya terdorong oleh sedikit
angin pada layar terkembang yang hanya kecil itu. Akan tetapi, begitu mendapat bantuan dua orang
dara perkasa itu, perahu kecil melaju lebih cepat dan empat buah perahu bajak yang lebih besar dengan
layar yang lebih lebar itu tertinggal. Mereka berteriak -teriak dan kini merekapun mengerah-kan
anak buah bajak untuk mendayung sehingga kembali jarak di antara mereka tidak begitu jauh.
Kalau pengejaran itu terjadi di darat, tentu Pek Lian dan Bwee Hong takkan merasa gentar. Mere-ka
berdua dapat melarikan diri lebih cepat, dan kalau perlu harus bertanding sekalipun, mereka ti-dak
takut menghadapi pengeroyokan duapuluh le-bih bajak -bajak ini. Akan tetapi, mereka berada di atas
perahu -perahu di tengah lautan, daerah yang asing bagi mereka dan kalau sampai mereka dapat
disusul, tentu keadaan mereka berbahaya sekali. Para bajak itu tentu saja lebih mahir menjalankan
perahu dan lebih mahir pula berkelahi dalam air kalau sampai perahu itu digulingkan. Maka Pek Lian
dan Bwee Hong lalu mati -matian mengerah-kan tenaga untuk mendayung perahu kecil itu.
"Cepatan ! Cepatan lagi ! Ah, untung ji -wi sungguh hebat dapat mendayung begini
kuat ...... ah, kita dapat meninggalkan mereka !" Bajak itu terengah-engah memuji karena memang dia
kagum sekali terhadap dua orang gadis ini.
Jilid XIII
SEMENTARA itu, langit makin gelap karena berkumpulnya awan -awan mendung dan tiba -tiba
perahu mereka terguncang keras dan ter-ayun tinggi, mengejutkan Pek Lian dan Bwee Hong. "Apa
yang terjadi ?" tanyanya kepada ba-jaik itu.
"Alih, sungguh nasib kita yang buruk. Agaknya sebentar lagi badai akan mengamuk dan ini tidak kalah
bahayanya dari pada pengejaran mereka itu ! Cepat bantu saya menurunkan layar, nona. Cepat
sebelum badai melanda kita !"
Karena maklum akari kemahiran bajak itu me-nangani perahu, Pek Lian dan Bwee Hong cepat
membantunya dengan membuta dan memang be-nar sekali, air laut bergelombang hebat dan angin
menderu kencang. Kalau layar masih terpasang, entah apa akan jadinya dengan perahu kecil itu !
Mereka bertiga kini mengemudikan perahu dan berusaha menguasainya dengan kekuatan dayung
mereka, agar perahu itu tetap berada di atas puncak ombak -ombak yang mengalun ganas. Empat
buah perahu bajak yang melakukan pengejaran ta-dipun tahu akan bahaya dan mereka sudah sejak
tadi putar haluan meninggalkan perahu kecil yang ditelan badai itu.
Semalam suntuk tiga orang dalam perahu kecil itu berjuang melawan badai lautan yang mengga-nas.
Demikian hebatnya hempasan badai sehingga tiang layarpun patah ! Kalau saja tidak ada Bwee Hong
yang cepat menangkis tiang itu dengan le-ngannya yang kecil dan berkulit halus, tentu tiang itu akan
menimpa kepala bajak itu.
"Krekkk!" Tiang sebesar paha itu patah ketika bertemu dengan lengan Bwee Hong sehingga ba-jak
laut itu menjadi semakin kagum. Mereka terus mempertahankan perahu mereka agar tidak sampai
terbalik sampai mereka hampir kehabisan tenaga dan napas. Mereka tidak tahu lagi di mana mereka
berada. Sekeliling mereka hanya ada air mengga-nas, bahkan di antara mereka nampak puncak -puncak
ombak dengan lidah -lidah yang terjulur dari sana -sini seolah -olah hendak menelan mereka.
Mereka tentu telah terseret jauh sekali.
Untung bagi mereka, pada keesokan harinya, bersama dengan munculnya matahari di ufuk timur,
badai mereda dan air laut menjadi tenang kembali. Mereka bertiga, di bawah pimpinan si anggauta
bajak yang lebih paham akan perahu, mulai beru-saha memperbaiki perahu sedapat mungkin. Untung
bahwa mereka berjuang dengan gigih sehingga da-yung -dayung tetap berada di tangan mereka, bahkan
gulungan layar dan tiang yang patah tidak sampai lenyap terbawa menanggapi omongan ini, diam
dunia-kangouw.blogspot.com
-diam mereka bersyukur bahwa mereka dapat lolos dari lubang jarum, lolos dari an-caman maut yang
mengerikan ditelan badai. Dan bagaimanapun juga, anggauta bajak ini sudah ber-jasa, karena tanpa
adanya orang ini, mereka ber-dua belum tentu akan mampu mempertahankan perahu kecil itu. Pek
Lian agak paham tentang perahu dan lautan, sedangkan Bwee Hong baru sa-ja belajar mengenal air
dan perahu setelah pergi bersamanya. Mereka berdua kini sibuk membersih-kan pakaian mereka
yang basah dan kotor.
Melihat betapa dua orang nona itu tidak me-nanggapi ucapannya, bajak itupun berdiam diri dan
melanjutkan pekerjaannya memperbaiki perahunya yang rusak diamuk badai. Dua orang gadis itu
saling pandang. Bajak laut ini bagaimanapun juga menarik hati mereka. Seorang laki -laki yang usianya
kurang lebih empatpuluh tahun, agak kurus dan kulit mukanya kehitaman karena terlalu ba-nyak
dibakar matahari. Yang menarik adalah sikap-nya yang sama sekali berbeda dengan penjahat pada
umumnya. Tidak kurang ajar pandang mata-nya, tidak kasar bicaranya dan tidak ugal -ugalan
sikapnya.
"Paman, sudah berapa lamakah engkau menjadi bajak laut ?" Akhirnya Pek Lian bertanya setelah
selesai membereskan pakaian dan rambutnya. Orang itu mengangkat mukanya memandang,
agaknya terkejut mendengar dirinya disebut paman.
"Sudah lama juga, nona. Belasan tahun sudah."
"Mengapa engkau menjadi bajak laut ? Dan engkau tidak seperti bajak laut yang kasar itu."
"Nona, tidak semua anak buah Lam-siauw-ong-ya berasal dari penjahat. Lam -siauw -ongya sen-diri
bukan berasal dari penjahat, bahkan masih ada darah bangsawan dalam tubuhnya. Kami menganggap
pembajakan di laut ini sebagai pekerjaan, bukan sebagai kejahatan. Kami tidak pernah mengganggu
para nelayan, baik di lautan maupun di pantai."
"Huh, membajak masih dikatakan bukan keja-hatan ? Lalu apa saja yang dinamakan kejahatan kalau
merampok barang orang dengan kekerasan tidak dianggap kejahatan?" Bwee Hong berkata dengan
suara mengejek.
Bajak itu menarik napas panjang. "Entahlah, nona, saya sendiripun tidak dapat menjawab per-tanyaan
itu. Akan tetapi, sebelum saya menjadi anggauta bajak dan mengabdi kepada Siauw -ong-ya, saya
pernah hidup sebagai anak keluarga petani. Saya melihat kejahatan -kejahatan yang lebih ga-nas dan
kejam dilakukan oleh para tuan tanah dan para pejabat terhadap keluarga petani miskin yang tidak
mempunyai tanah, yang hanya mengandalkan tenaga dan cucuran keringat mereka untuk dapat
makan setiap hari. Membajak memang merampas milik orang lain, akan tetapi setidaknya kami memberi
kesempatan yang sama kepada pemilik barang untuk mempertahankan barang -barangnya. Akan
tetpi, para tuan tanah dan pejabat di dusun -dusun itu seperti lintah yang menghisap darah para keluarga
petani, sedikitpun tidak memberi kesempatan kepada para petani untuk dapat memperjuangkan
hak dan nasibnya. Saya melihat mereka itu jauh lebih kejam dan jahat dari pada bajak!" Anggauta
bajak itu berhenti sebentar dan dua orang dara itu termenung karena merekapun pernah mendengar
tentang kesewenang -wenangan mereka yang meng-andalkan kekayaan atau kekuasaan mereka.
"Kemudian, dari dusun saya pernah pindah ke kota dan hidup sebagai buruh kasar. Dan di sana-pun
saya menyaksikan kekejaman -kekejaman yang luar biasa, dilakukan olth semua orang kepada orang
lain dalam memperebutkan uang dan kekuasaan. ji-wi lihiap, harap maafkan saya. Akan te-tapi
sesungguhnya, katakanlah bahwa pembajakan merupakan kejahatan, namun kejahatan yang sifatnya
terbuka, tidak seperti kejahatan orang-orang itu yang melakukan kejahatan secara gelap dan
terselubungi bahkan kadang-kadang kejahatan me-reka dilindungi oleh hukum."
Dua orang dara itu kembali saling pandang. Mereka mendengar akan kekejaman -kekejaman para
pembesar bahkan kekejaman yang dilakukan kaisar. Bukankah semua itupun merupakan keja-hatan,
bahkan amat besar, jauh lebih besar dari pada kejahatan para bajak laut ini yang hanya
mempergunakan kesempatan dan mengandalkan tenaga mereka untuk merampas barang orang, dan
kadang-kadang kalau pihak pemilik barang lebih kuat, mereka akan mati konyol? Kata-kata bajak
yang sederhana itu sama sekali bukan merupakan pembelaan diri seorang penjahat, bukan untuk
membenarkan perbuatannya, melainkan timbul karena kepahitan melihat 'kenyataan yang terjadi di
dalam dunia ramai yang sopan. Dan kepahitan-kepahitan macam ini sering kali mendorong orang
untuk menjadi penjahat secara berterang! Pek Lian teringat akan para pendekar yang berkumpul di
gunung -gunung dan lembah -lembah sungai. Bukankah mereka itu melakukan gerakan menen-tang
dunia-kangouw.blogspot.com
pemerintah karena kepahitan itu, dan bukan-kah merekapun dicap sebagai pemberontak -pemberontak,
yaitu golongan yang dianggap paling rendah dan paling berdosa, lebih rendah dari pada
perampok atau bajak ? Dan bukankah kalau perlu
p
para pendekar yang memberontak itupun akan me-lakukan perampokan -perampokan dan pembajakan
-pembajakan untuk menentang pemerintah? Sampai di sini jalan pikirannya, Pek Lian menjadi
bingung.
"Di manakah kita sekarang, paman ?" tanyanya dan suaranya kini lebih ramah, tidak seperti suara
orang terhadap musuh yang ditawan, melainkan suara orang terhadap teman seperjalanan, bahkan
teman senasib. Setelah mengalami ancaman badai seperti yang telah terjadi semalam, orang -orang
yang bersama-sama mengalaminya terdorong un-tuk menjadi lebih erat dan akrab.
Mendengar pertanyaan itu, si bajak laut agaknya baru sadar dan diapun memandang ke kanan
kiri sambil berkata, "Aih, kita sudah terseret jauh ke timur oleh badai semalam, nona. Dan kita harus
berhati -hati daerah ini agaknya telah dekat dengan" bajak laut itu berhenti bicara
dan mukanya berobah pucat sekali ketika tiba-tiba terdengar suara bising yang gemeresak disertai
suara melengking dan mengiang seperti suara suling yang ditiup secara aneh sekali, makin lama
makin nyaring.
Sikip bajak laut itu menjadi semakin aneh. Tu-buhnya menggigil dan matanya beringas, memandang
ke kanan kiri dengan sikap yang amat ketakutan. Melihat ini, tentu saja dua orang dara itu menjadi
terkejut dan khawatir juga.
"Paman, ada apakah?" Pek Lian bertanya.
"Nona cepat cepat belokkan arah pe rahu! Itulah yang kumaksudkan yang kutakuti suara itu
“Ah, daerah ini termasuk daerah Siluman Lautan! Itu adalah suara pintu masuk sarang mereka.
Pusaran Maut! Dalam jarak selemparan batu, tidak ada benda atau mahluk yang mampu terlepas dari
daya sedotnya.
Mari kita menghindar cepat, nona !"
Tentu saja Pek Lian tidaklah setakut orang itu. Bukan hanya karena ia lebih tabah dan sudah ter-lalu
sering menghadapi ancaman bahaya dengan mata terbuka, akan tetapi juga karena ia belum
mengenal tempat ini dan karenanya ia tidak begitu percaya akan keterangan orang itu. Akan tetapi
tiba-tiba ia dan Bwee Hong melihat di kejauhan ada kabut tebal membubung tinggi berbentuk tiang
layar yang luar biasa besarnya dan mengeluarkan suara gemuruh. Dua orang dara itu menjadi terkejut
dan gentar juga, mulai percaya akan keterangan bajak laut itu. Jangan -jangan keterangan itu tidak
bohong ! Mereka lalu cepat -cepat membantu un-tuk memutar haluan perahu mereka.
Bajak laut itu berhasil memperbaiki perahu dan memasang tiang layar darurat, lalu mereka memasang
layar sedapatnya. Layar itu tertiup angin dan perahupun meluncur menjauhi tempat yang berbahaya
itu sampai akhirnya kabut itu tidak nampak lagi dan suara gemuruhpun tidak lagi terdengar
oleh mereka.
Perahu mereka meluncur ke arah utara ketika mereka menghindarkan diri dari kabut mengerikan tadi
dan tiba -tiba dari jauh nampak sebuah perahu besar yang berlayar menuju ke selatan. Karena perahu
itu masih terlampau jauh untuk dapat dilihat dari atas geladak, bajak laut itu lalu memanjat ti-ang
layar dan melindungi kedua mata dari sinar matahari untuk mempelajari keadaan perahu dari jauh itu.
"Itu perahu asing dan membawa banyak pera-jurit asing!" akhirnya dia berkata kepada dua orang
pendekar wanita yang berada di atas geladak.
"Ah, apakah mereka itu pasukan Jepang, jago-an -jagoan samurai ?" tanya Pek Lian yang teri-ngat
akan pengalamannya bertemu dengan perahu Jepang.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bukan, nona. Kalau tidak salah mereka itu tentulah orang -orang dari daerah utara, jauh di luar
tembok besar. Lebih baik kita menghindar saja, jangan sampai bertemu dengan mereka yang
sebentar lagi tentu akan berpapasan dengan perahu kita."
Akan tetapi, agaknya para penumpang perahu besar itu sudah melihat mereka dan memang benar,
perahu dari depan itu memotong jalan! Dan kini nampak ada beberapa orang yang berada di pun-cak
tiang layar mengamati perahu kecil yang ditum-pangi Pek Lian dan Bwee Hong. Tidak ada kesempatan
untuk menghindar lagi dan jelaslah bagi dua orang nona itu bahwa perahu besar dari depan itu
memang sengaja memotong jalan perahu kecil me-reka ! Dan bajak laut itu sibuk untuk berusaha
menghindarkan perahunya ditabrak perahu besar itu.
Pek Lian dan Bwee Hong sudah siap dengan pedang di tangan, berdiri di geladak perahu kecil dan
memandang marah. Tiba -tiba terdengar te-riakan -teriakan dari perahu besar dan muncullah
beberapa orang yang segera meluncurkan anak pa-nah ke arah perahu kecil.
"Keparat! Mereka menyerang dengan anak pa-nah !" teriak Pek Lian dan bersama Bwee Hong ia
segera memutar pedang untuk meruntuhkan semua anak panah yang menyambar. Akan tetapi, sungguh
kasihan sekali nasib bajak laut itu. Sebatang anak panah menembus dadanya. Dia berteriak keras
dan tubuhnya terjungkal keluar dari perahu, tercebur ke dalam lautan.
"Manusia -manusia jahanam !" Bwee Hong juga memaki marah.
Kini perahu kecil itu sudah dekat sekali dan nampak orang -orang tinggi besar yang menuding-nuding
ke arah mereka, wajah mereka menyeringai dan pandang mata mereka kurang ajar. Terdengar pula
teriakan-teriakan mereka untuk menawan dua orang nona cantik itu hidup -hidup ! Bahkan dua orang
di antara mereka dengan tidak sabar telah meloncat turun ke perahu kecil. Tubuh me-reka yang besar
dan loncatan mereka yang kasar membuat perahu kecil hampir terguling, akan teta-pi dua batang
pedang berkelebat dan tubuh kedua orang kasar itu sudah terguling ke dalam lautan dengan mandi
darah. Pek Lian dan Bwee Hong sudah menjadi marah sekali karena mereka tadi diserang anak
panah yang mengakibatkan bajak laut itu tewas. Karena mereka maklum bahwa pe-rahu kecil mereka
bukan merupakan tempat yang tepat untuk berkelahi, Pek Lian berseru, "Enci Hong, kita naik dan
serbu !"
Dua orang dara perkasa itu lalu meloncat ke atas perahu besar dan kembali, seperti pernah me-reka
lakukan di perahu orang -orang Jepang, mere-ka mengamuk. Mereka segera dikeroyok oleh be-lasan
orang perajurit asing yang merasa terkejut karena sama sekali tidak mengira bahwa dua orang wanita
penumpang perahu kecil itu selain cantik jelita, juga memiliki kepandaian sedemikian hebat-nya. Dan
kini Pek Lian dan Bwee Hong sudah marah sekali. Pedang mereka berkelebatan dahsyat dan di
antara para pengeroyok sudah ada enam orang yang roboh terluka oleh sambaran pedang mereka.
Tiba -tiba terdengar bentakan halus dan muncullah dua orang laki -laki yang berpakaian pre-man,
tidak seperti para pengeroyok yang berpakai-an seragam. Dua orang ini mempunyai rambut, jenggot
dan kumis yang lebat namun berwarna agak keputih -putihan, dan muka mereka merah keka-nakkanakan.
Tubuh mereka tinggi besar akan tetapi mata mereka kecil. Begitu kedua orang ini
membentak, semua pengeroyok mundur dengan sikap hormat dan kini dua orang laki -laki tinggi
besar itulah yang menerjang dan menghadapi Pek Lian dan Bwee Hong. Mereka berdua tidak bersenjata,
akan tetapi dua pasang tangan telanjang itu berani menangkis pedang dan setiap kali tangan
mereka bertemu dengan pedang, terdengar suara nyaring dan pedang di tangan kedua orang dara itu
terpental seolah -olah bertemu dengan benda-benda keras yang amat kuat ! Tentu saja Pek Lian dan
Bwee Hong terkejut dan mereka mengeluarkan semua kepandaian dan mengerahkan semua tenaga
mereka. Dan agaknya mereka berdua itu hanya lebih unggul dalam hal kecepatan saja, akan tetapi
kalah tenaga dan semua kecepatan mereka tertum-buk kepada kekebalan dua orang tinggi besar ini !
Bwee Hong dan Pek Lian terdesak hebat dan mereka terpisah. Pek Lian didesak sampai terpak-sa
menggunakan kecepatan gerakannya lari ke sa-na -sini dan 'mengelak dari pukulan -pukulan yang
amat kuat dari lawannya. Ia berloncatan dan masuk ke lorong-lorong bilik perahu besar itu, terus dikejar
dan didesak oleh lawannya. Ketika gadis ini meloncat lagi untuk menghindar dan hampir menabrak
pintu sebuah bilik, tiba-tiba terdengar su-ara seorang laki -laki menegur dari dalam bilik itu.
"Hei, siapa ribut -ribut di luar itu ? Pergi dan jangan ganggu aku! Aku tidak sudi dibujuk lagi!" Lalu
terdengar suara seperti pukulan dan suara orang itu tidak terdengar lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pek Lian tertegun dan matanya terbelalak, mu-kanya pucat sekali dan pada saat itu, pukulan lawannya
menyambar. Untung bahwa ia masih sempat membuang diri ke belakang sehingga ia
terhuyung dan hampir jatuh, akan tetapi selamat dari pukulan dahsyat yang datang pada saat ia
tertegun dan terkejut itu. Jantungnya masih ber-debar kencang, bukan karena ia hampir saja terke-na
hantaman lawan, melainkan karena suara itu ! Suara itu adalah suara ayahnya ! Tidak salah lagi! Ia
mengenal benar suara ayahnya ! Akan tetapi mana mungkin ? Ayahnya di perahu orang asing ini ?
"Wuuuttt krakkkk !" Pedangnya menyambar ke arah lawan dan ketika lawan mengelak, ia
melanjutkan pedang itu menyambar pintu sehingga pintu bilik itu roboh. Akan tetapi di dalam bilik
dari mana tadi terdengar suara ayahnya, tidak nampak seorangpun. Ia melihat pintu belakang dalam
bilik itu telah terbuka lebar.
Karena perhatiannya terpecah, tentu saja Pek Lian menjadi semakin terdesak. Kembali lawan yang
amat tangguh itu menerjang dengan tendang-an kakinya yang besar, kuat dan berat. Pek Lian
meloncat ke belakang dan hampir terjatuh oleh tambang yang melintang di belakangnya. Ketika ia
berdiri lagi, ternyata ia telah berada di tepi pe-rahu !
"Lian-moi, hati-hati!" Terdengar suara Bwee Hong. Nona yang memiliki ilmu lebih lihai dari pada Pek
Lian inipun terdesak, akan tetapi de-ngan kecepatan gerakan tubuhnya, Bwee Hong da-pat
berloncatan dan seperti mempermainkan lawan yang terlalu lamban untuk dapat mengikuti gerakgeriknya.
Betapapun juga, Bwee Hong juga mak-lum bahwa ia tidak akan mampu mengalahkan raksasa
berambut putih itu, maka ketika ia melihat Pek Lian terdesak hebat, ia cepat melompat dekat dan
pada saat lawan mereka menerjang lagi, melihat mereka telah tersudut di tepi perahu, Bwee Hong
berteriak nyaring dan mendorong tubuh Pek Lian keluar dari dalam perahu itu! Setelah Pek Lian
terjatuh ke dalam air di luar perahu, Bwee Hong sendiripun lalu meloncat keluar. Tubuh mereka
diterima oleh air bergelombang dan sebentar saja terseret jauh dari perahu.
Seorang ahli renang sekalipun takkan banyak dapat berdaya kalau melawan gelombang lautan, apa
lagi dua orang dara itu yang kepandaian re-nangnya hanya amat terbatas. Mereka berusaha untuk
melawan gelombang dan untuk tidak sampai ber-jauhan, akan tetapi ombak menyeret mereka dan
membuat mereka saling terpisah sampai jauh dan akhirnya Pek Lian tidak dapat melihat temannya itu
lagi. Karena merasa khawatir, juga lelah dan tidak melihat harapan untuk dapat menyelamatkan diri
dari ancaman lautan luas itu, akhirnya Pek Lian tidak sadarkan diri. Tubuhnya hanyut dan dipermainkan
air, dilemparkan tinggi -tinggi lalu dihempas-kan kembali, ditelan dan dimuntahkan kembali!
Telah banyak sekali terbukti dengan peristiwa-peristiwa yang aneh dan luar biasa yang mengantar
manusia kepada kematiannya atau sebaliknya yang menghindarkan manusia dari pada ancaman
maut yang nampaknya sudah tak mungkin dapat dielak-kan lagi. Banyak sekali orang yang tewas
dalam keadaan yang tidak tersangka -sangka sama sekali, bahkan dalam keadaan jasmani yang
nampaknya segar-bugar dan sehat, banyak pula yang mati secara mendadak oleh kejadian -kejadian
yang aneh dalam kecelakaan -kecelakaan maupun bencana-bencana alam. Akan tetapi sebaliknya,
banyak pu-la orang yang terancam bahaya maut, yang nampak-nya sudah tidak mungkin dapat
dielakkan lagi, secara aneh pula terhindar dari kematian. Orang yang menderita sakit yang sudah
terlalu parah, da-pat saja sembuh secara aneh dan kebetulan, atau orang yang sudah dianggap tidak
ada harapan lagi untuk ditolong kemudian ternyata dapat terhindar dari maut hanya karena hal -hal
yang "kebetulan'' dan sederhana. Semua ini merupakan sesuatu yang mujijat, yang aneh dan yang
diliputi rahasia yang sudah terlalu sering diselidiki orang dan hendak ditembusnya.
Segala hal yang belum dimengerti selalu menim-bulkan berbagai pendapat, rekaan, dan dipandang
sebagai hal yang mujijat dan aneh. Padahal, segala sesuatu yang terjadi di dalam alam ini adalah
WAJAR, dan setiap peristiwa itu tentu ada yang menyebabkannya. Hidup dan mati merupakan
rangkaian yang tak terpisahkan, merupakan suatu pertumbuhan yang wajar. Kerusakan jasmani karena
usia tua yang berakhir dengan kematian adalah lumrah dan dapat dimengerti dengan adanya kemajuan
dalam ilmu tentang itu. Akan tetapi, karena manusia selalu dikuasai oleh pikiran yang menciptakan
"aku", maka si aku inilah yang mencari-cari ke mana dia akan pergi setelah jasmaninya
berhenti hidup, setelah tubuhnya mati. Dan ba-yangan bahwa "aku" akan hilang begitu saja membuatnya
merasa ngeri dan takut.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kalau memang sudah tiba saatnya sang maut datang menjemputnya, walaupun kita bersembunyi di
dalam lubang semut, tetap saja nyawa kita akan direnggut. Sebaliknya kalau memang belum tiba
saatnya mati, ada saja yang menjadi penolong diri.
Karena ketidakpengertian tentang rahasia saat ke-matian, kita lalu dengan mudah saja memakai istilah
nasib dan takdir! Padahal, setiap peristiwa, juga kematian, tentu terjadi karena suatu sebab
tertentu. Dan sebab -sebab itu terkumpul karena ulah kita sendiri. Oleh karena itu, dari pada men-cari
-cari akal untuk mengungkapkan rahasia yang tidak mungkin dipecahkan selama kita masih hidup ini,
lebih bermanfaat kalau kita selagi hidup men-jaga diri, mengurangi hal -hal yang dapat menjadi
bertambah banyaknya sebab -sebab yang dapat mengakibatkan kematian.
Menurut perhitungan dan pendapat umum, orang yang dihanyutkan ombak di tengah lautan seperti
yang dialami oleh Pek Lian, tentu dianggap sudah tidak ada harapan lagi untuk selamat. Na-mun,
ternyata Pek Lian belum mati! Ketika dara perkasa ini siuman dan membuka matanya, ia mendapatkan
dirinya sudah berada di atas perahu. Se-orang nelayan tua dengan caping lebar, nampak
se-dang mendayung perahunya perlahan -lahan.
Pek Lian masih rebah akan tetapi matanya su-dah bergerak -gerak memandang ke sana -sini, alisnya
berkerut ketika ia mengumpulkan ingatan-nya.
"Ah, untung nona kuat sekali sehingga laut tidak mampu mengalahkamnu," kakek nelayan itu ber-kata
mengangguk-angguk, kagum melihat betapa wanita muda yang ditemukannya hanyut oleh om
bak dalam keadaan pingsan itu ternyata hanya rne-nelan sedikit saja air dan kini bahkan sudah siuman
kembali.
Kini Pek Lian sudah teringat sepenuhnya dan tiba-tiba ia bangkit duduk dan memandang ke kanan
kiri, mencari-cari. "Lopek telah menyela-matkan aku dari lautan ?"
Nelayan tua itu mengangguk. "Nona hanyut dalam keadaan pingsan. Tadinya dari jauh kusang-ka
seekor ikan mati. Ketika melihat pakaianmu, aku cepat mendekat dan untung saja engkau tidak dihanyutkan
menjauh dan dapat kuraih dan kutarik ke dalam perahu."
"Ah, terima kasih atas budi pertolonganmu, lopek. Akan tetapi apakah lopek tidak melihat sahabatku?"
"Sahabatmu ? Siapakah yang nona maksud-kan ?"
"Sahabatku, seorang gadis juga. Kami berdua terjatuh dari atas perahu! Apakah lopek tidak melihatnya
?"
Nelayan tua itu menggeleng kepalanya dan mukanya membayangkan rasa duka. "Hanyut oleh
gelombang seperti itu, nona, sukarlah bagi seorang manusia untuk dapat menyelamatkan diri. Nona
memiliki tubuh dan semangat yang kuat dan kebetulan sekali bertemu denganku, akan tetapi sahabatmu
itu ah, agaknya sukar untuk dapat di harapkan"
Pek Lian menutupi mukanya dengan kedua tangan. Matikah Bwee Hong ? Ia merasa berduka sekali.
Mencoba untuk menolong A -hai dan Seng Kun juga belum berhasil, kini malah kehilangan Bwee
Hong ! Betapa buruk nasib gadis cantik jelita itu. Tak terasa lagi, dari celah -celah jari tangannya
nampak air mata menetes -netes. Pek Lian adalah seorang dara yang sudah banyak di-gembleng
oleh kekerasan hidup dan sudah menga-lami banyak hal yang menyedihkan, akan tetapi mengingat
dan membayangkan betapa Bwee Hong tewas dicabik -cabik ikan hiu, ia tidak dapat mena-han
tangisnya lagi. Nelayan tua itu merasa kasih-an.
"Nona. mari kau ikut bersamaku ke daratan un-. tuk memulihkan kesehatanmu. Siapa tahu, secara
aneh pula sahabatmu itu juga dapat diselamatkan. Kekuasaan Thian berada di manapun juga, nona,
dan lautan inipun hanya sebagian kecil saja dari pada kekuasaan Thian. Kalau Thian menghendaki,
mungkin saja sahabatmu itu masih hidup dan se-lamat."
Ucapan seorang yang percaya penuh akan ke-kuasaan Tuhan, ucapan sederhana namun dapat
menyegarkan perasaan Pek Lian, dapat menumbuh-kan tunas harapan di hatinya, dan sekaligus menyadarkannya
bahwa berduka saja tidak ada guna-nya sama sekali, bahkan hanya akan melemahkan
dunia-kangouw.blogspot.com
dirinya lahir batin. Padahal, tugasnya masih banyak, masih bertumpuk. Bukan hanya mencoba untuk
menolong Seng Kun dan A-hai, akan tetapi juga terutama sekali mencari ayahnya ! Dan iapun teringat
akan suara di dalam perahu asing itu. Suara ayahnya! Maka iapun mengangguk dan menurut saja
ketika diajak kembali ke daratan oleh si nelayan tua.
Yang dimaksudkan daratan oleh nelayan tua itu ternyata bukanlah daratan besar, melainkan sebuah
pulau kecil yang dihuni oleh belasan orang keluarga saja, keluarga nelayan. Akan tetapi, di tempat sunyi
sederhana dan miskin ini nampak pula kenya-taan hidup bahwa kemiskinan lahiriah kadangkadang
menonjolkan kekayaan batiniah, sebalik-nya kekayaan lahiriah kadang -kadang mendatangkan
kemiskinan batiniah. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat sikap dan cara hidup orang -orang
kota besar dan orang -orang di dusun -dusun ter-pencil. Orang -orang kota sudah terbiasa hidup
mewah, hidup bersaing dan memperebutkan keka-yaan, bersaing dan bermusuhan, iri hati dan ketamakan,
membuat mereka hidup menyendiri dan tidak mengacuhkan orang lain. Sebaliknya, kehidupan
di dusun -dusun terpencil, di mana orang-orang-hidup sederhana membuat mereka juga berbatin
sederhana, tidak dijejali oleh banyak keingin-an sehingga rasa persaudaraan dan kegotongroyongan
menjadi tebal, lebih akrab dalam membagi suka dan duka di antara sesama manusia. Pek
Lian merasakan benar hal ini ketika para nelayan miskin di pulau itu menyambutnya dengan gembira,
dan ikut merasa bersyukur mendengar betapa gadis yang telah hanyut dipermainkan gelombang
lautan ini masih dapat tertolong dan selamat. Dalam ke-adaan sederhana dan seadanya itu mereka
lalu menyambut Pek Lian dengan perjamuan yang me-riah, walaupun hidangan yang diberikan
kepada gadis itu amatlah sederhana, terdiri dari masakan-masakan ikan laut belaka.
Para penghuni pulau itu bukan hanya gembira karena kedatangan seorang nona tamu, melainkan
terutama sekali melihat kembalinya kakek nelayan yang dianggap sebagai orang tertua di pulau itu
dan disuka oleh semua anggauta keluarga nelayan. Pada waktu itu, para nelayan tidak ada yang
berani keluar mencari ikan karena mereka tahu bahwa ba-nyak bajak laut berkeliaran berhubung
dengan pesta besar yang diadakan tiap tiga tahun sekali oleh apa yang mereka kenal sebagai Istana
Laut. Akan tetapi, kakek nelayan itu berlayar seorang diri dan sudah tiga hari belum pulang, membuat
mereka merasa khawatir sekali dan untuk menyusul dan mencari, mereka tidak berani. Kini, kakek itu
pulang dalam keadaan selamat, bahkan telah me-nyelamatkan seorang gadis cantik yang hanyut
dalam gelombang lautan.
Pek Lian mendengarkan mereka bercakap-ca-kap dan diam -diam ia mengambil keputusan untuk
mengunjungi Istana Laut itu. Ia tidak dapat men-cari keterangan tentang nasib Bwee Hong, akan
tetapi kedukaan ini tidak menghentikan niatnya untuk mencoba menolong A-hai dan Seng Kun yang ia
duga tentu oleh kedua orang Sam -ok di-bawa ke Istana Laut di mana tinggal Rajawali Lautan sebagai
pucuk pimpinan para bajak.
Karena maklum bahwa gadis itu baru saja lolos dari cengkeraman maut dan tubuhnya masih lemah,
para nelayan tidak terlalu lama membiarkannya bergadang dan nona itu memperoleh sebuah kamar
dalam rumah sederhana kakek nelayan. Ia dipersi-lahkan tidur. Akan tetapi, Pek Lian tidak dapat tidur
pulas. Ia rebah di pembaringannya dengan gelisah, pikirannya kacau karena ia teringat kepada
ayahnya yang tak diketahui di mana adanya dan yang amat membingungkan hatinya adalah ketika ia
teringat suara ayahnya di atas perahu asing itu. Selain teringat ayahnya, juga teringat kepada A-hai
dan Seng Kun yang juga menjadi tawanan pen-jahat, dan Bwee Hong yang membuatnya amat
berduka karena menduga bahwa sahabatnya itu tentu telah tewas, tenggelam atau dimakan ikan.
Hatinya yang gelisah dan berduka membuat Pek Lian tidak dapat memejamkan matanya, makin
keras ia berusaha untuk tidur, makin sulitlah. A-khirnya iapun bangkit dari pembaringan, turun dan
keluar dari dalam kamar yang sederhana itu, terus keluar dari pondok kecil menuju ke pantai laut yang
mengelilingi pulau kecil itu. Bulan muda yang muncul menerangi pulau dan mendatangkan cahaya
remang -remang yang indah. Ketika ia se-dang asyik berjalan -jalan di atas pasir yang lunak basah,
tiba-tiba ia terkejut melihat seorang manu-sia berpakaian serba hitam duduk bersila di atas gundukan
pasir. Sinar bulan yang tidak dihalangi awan itu membuat jubah yang juga hitam warna-nya itu
mengkilat seperti dilapisi perak. Seketika Pek Lian merasa kedua kakinya seperti lumpuh, jantungnya
berdebar kencang dan semangatnya terbang. Orang itu adalah Si Raja Kelelawar! I-ngin ia melarikan
diri, akan tetapi kedua kakinya mogok. Apa lagi ketika orang itu menoleh, meman-dang kepadanya
sambil menyeringai, matanya yang bulat tajam dan mengeluarkan sinar yang dingin dan aneh sekali
itu seolah -olah mempunyai kekuatan untuk mencengkeram hatinya. Hampir saja Pek Lian jatuh
pingsan saking ngeri dan ta-kutnya. Belum pernah ia merasa takut dan ngeri seperti pada saat itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebetulnya, dara perkasa ini tidak takut mati. Akan tetapi, tokoh yang menjadi raja -di -raja sekalian
kaum sesat ini sungguh membuat ia merasa ngeri.
"Ke sinilah engkau, heh budak kecil!" Terde-ngar suara orang berpakaian hitam itu, suaranya
berdesah seperti desir angin laut, dingin dan me-nerbangkan butiran pasir lembut. Hati Pek Lian
menjadi semakin gentar. Kekerasan hatinya bermaksud untuk membangkang, namun sungguh aneh.
Di luar kehendaknya, kedua kakinya bergerak dan iapun mendekat, menghampiri iblis itu. Ia tidak tahu
bahwa ini juga merupakan satu di antara il-mu kesaktian si iblis, yaitu di dalam pandang mata dan
suaranya terkandung kekuatan khikang yang dapat mempengaruhi semangat orang lain.
"Cepat!!" Bentakan ini seperti mempunyai daya tarik yang amat kuat sehingga Pek Lian merasa
seperti ditarik ke depan atau didorong dari bela-kang, membuat ia meloncat ke depan menghampiri
orang itu, dan berdiri berhadapan dengan orang itu, mukanya agak pucat dan jantungnya berdebar
penuh rasa ngeri dan takut.
"Kenapa takut ? Saat ini aku sedang tidak mem-punyai minat terhadap wanita. Aku hanya ingin
bertanya kepadamu. Kenapa engkau sampai di tempat ini dan di mana teman -temanmu itu ? Ke
mana perginya kakek tua murid Tabib Sakti yang menolongmu itu ? Hayo jawab sejujurnya ! Kalau
tidak kaujawab, akan kutelanjangi kau di sini dan kukubur hidup -hidup di pasir ini!"
Pek Lian mengerahkan tenaga batinnya untuk menenangkan perasaan hatinya, namun iblis itu
memiliki wibawa yang sedemikian kuatnya sehing-ga ia tetap saja merasa betapa tubuhnya gemetar
dicekam rasa ngeri dan takut. Ia tahu bahwa iblis ini dapat melakukan hal -hal yang tidak lumrah dan
yang kejam karena pembawaannya yang tidak seperti manusia biasa, seperti pembawaan yang dimiliki
oleh orang gila. Ketika ia menjawab, suara-nya juga tergagap -gagap dan Pek Lian dapat mendengar
sendiri betapa suaranya gemetar ketakutan.
"Saya ...... aku ...... aku ingin mencari kawan-kawanku. Mereka dibawa oleh Si Buaya Sakti dan
Harimau Gunung ke tempat Si Rajawali Lautan.
Tentang kakek yang membantuku dahulu itu ...... aku tidak tahu ke mana perginya. Dia bersama ketua
muda Lembah Yang -ce itu telah pergi berpisah dengan kami "
"Hemm, sungguh berani engkau, pergi sendirian ke tempat Rajawali Lautan Timur ! Tapi aku senang
melihat seorang gadis muda yang berani sepertimu ini. Tidak percuma ayahmu mempunyai anak
seper-ti engkau. Eh, bagaimana dengan ayahmu ? Bukan-kah engkau sedang mencarinya ? Sudah
dapat kau-temukan ?"
Pek Lian tertegun. Sungguh iblis yang luar biasa, yang agaknya mengetahui segala -galanya !
Hatinya menjadi semakin gelisah. Jangan -jangan ayahnya terjatuh ke tangan iblis ini ? Begitu membayangkan
bahwa ayahnya terjatuh ke tangan iblis ini, sungguh aneh, semua rasa takut lenyap dari
hatinya dan ia mulai dapat memandang iblis itu dengan berani, dan tubuhnya tidak lagi gemetar. Demi
ayahnya, ia sanggup menghadapi dan me-nentang apapun juga, kalau perlu iblis inipun akan
ditentangnya mati-matian. Ia sudah mengepal tinjunya. Akan tetapi iblis itu seakan -akan dapat
membaca pikirannya.
"Jangan mengira yang bukan -bukan. Tidak ada persoalan antara ayahmu dan aku. Aku belum
pernah bertemu dengan dia, hanya baru mendengar namanya saja. Nah, pergilah! Pakailah perahuku
untuk melanjutkan usahamu, aku sendiri akan ber-jalan kaki saja!"
Iblis itu lalu bangkit dari duduknya. Badannya jangkung besar dan begitu kedua kakinya bergerak,
tubuhnya berkelebat seperti terbang saja. Tubuh itu meluncur ke arah laut tanpa menengok lagi. Pek
Lian memandang dengan bengong dan mata-nya terbelalak ketika ia melihat betapa iblis itu te-rus
berlari ke arah laut dan ketika telah mencapai air laut, iblis itu masih terus berlari -lari di atas air laut,
menempuh gelombang ! Di bawah kedua sepatunya terdapat sepotong bambu kurang lebih semeter
panjangnya. Kini iblis itu mengembangkan kedua lengannya dan jubah panjangnya menjadi seperti
layar terkembang, menggembung dan tubuh-nya didorong oleh angin, meluncur secepat perahu
membalap menuju ke tengah lautan!
Pek Lian baru menarik napas panjang setelah bayangan hitam itu lenyap. Ia menggosok mata
dengan ujung lengan bajunya, merasa seperti ba-ngun dari mimpi buruk. Matanya dikejap -kejap-kan,
akan tetapi bayangan hitam itu telah lenyap. Sunyi sekali di situ. Hanya nampak sebuah perahu kecil
dunia-kangouw.blogspot.com
tergolek di atas pasir, tidak jauh dari situ dan ini menjadi bukti bahwa ia tidak mimpi, bahwa memang
benar ia telah bertemu dengan Raja Ke-lelawar dan bahwa iblis itu telah meninggalkan perahunya,
bahkan memberikan kepadanya. Pek Lian menghampiri perahu itu dan memeriksanya. Sebuah
perahu kecil yang baik sekali, buatannya kuat dan bentuknya memungkinkan perahu itu da-pat
meluncur cepat. Juga perahu kecil ini diper-lengkapi dengan dayung, layar dan juga jangkar. Hatinya
menjadi girang sekali. Ia tidak tahu meng-apa sikap Raja Kelelawar terhadap dirinya menjadi begitu
baik, bukan saja tidak mengganggunya, bahkan meninggalkan dan memberikan sebuah pe-rahu yang
baik kepadanya dan menganjurkannya untuk mencari ayahnya. Dan ia akan mencari ayah-nya besok!
Pada keesokan harinya, pagi -pagi sekali ia me-ninggalkan pulau para nelayan itu setelah mengucapkan
banyak terima kasih kepada nelayan tua yang telah menyelamatkannya. Ia menolak ketika
para nelayan yang hidup sederhana dan berwatak jujur itu hendak mengantarnya. Ia bertekad un-tuk
mencari sendiri ayahnya. Setelah perahunya meninggalkan pulau itu, ia memasang layar dan
mengenangkan semua yang telah dialaminya.
Ia masih bingung mengenangkan suara ayahnya yang didengarnya di dalam perahu para perajurit
asing. Benarkah ayahnya berada di dalam perahu itu ? Kalau benar demikian, tentu amat sukar ba
ginya untuk menyelamatkan ayahnya. Raksasa-raksasa berambut putih yang berada di atas perahu
itu sungguh lihai bukan main. Selain itu, iapun tidak tahu ke mana ia akan dapat menyusul perahu
besar yang disangkanya membawa ayahnya itu. Juga ia merasa curiga kepada Si Raja Kelelawar.
Iblis ini menyebut -nyebut ayahnya. Apakah hu-bungannya ? Jangan -jangan iblis yang luar biasa
lihainya dan mungkin saja melakukan segala macam perbuatan yang aneh -aneh itu benar -benar
telah menguasai ayahnya atau setidaknya tahu di ma-na ayalmya berada. Wah, kalau benar demikian
dan ia harus berhadapan dengan iblis itu, makin kecil kemungkinannya untuk dapat menyelamatkan
ayahnya.
Mengingat akan semua kesukaran ini, Pek Lian termenung dan semangatnya menurun. Hampir ia
menangis karena ia tidak tahu ke mana ia harus pergi, ke mana ia harus mencari dan di sekeliling-nya
hanya nampak air kebiruan yang demikian lu-asnya. Akan tetapi dara pendekar ini mengepal tinjunya
dan mengeraskan hatinya. Tidak, ia tidak boleh menangis! Ia tidak boleh patah semangat! Ia harus
berbakti kepada ayahnya. Sampai mati sekalipun ia tak boleh undur selangkah, harus me-lanjutkan
usahanya mencari dan menyelamatkan ayahnya.
Akan tetapi, karena ia tidak tahu ke mana harus menuju, perahu layarnya itu meluncur ke depan, ke
arah matahari terbit tanpa tujuan tertentu. Ka-dang -kadang ia membelok ke utara dan mencari-cari,
namun sehari penuh ia tidak pernah melihat adanya perahu besar yang diperkirakan membawa
ayahnya sebagai tawanan itu. Yang dijumpainya hanya perahu -perahu nelayan, itu pun jarang sekali.
Akhirnya, matahari condong ke barat dan malam menjelang tiba.
Untung bagi Pek Lian malam itu bulan purna-ma. Ia tidak perlu menyalakan lampu perahunya. Lebih
aman tidak menggunakan lampu agar tidak mudah nampak oleh perahu lain. Tiba -tiba ia me-lihat
titik-titik terang di kejauhan. Hampir ia bersorak. Biarpun titik -titik terang itu sama sekali tidak
menjamin bahwa ia akan menemukan apa yang dicarinya, akan tetapi setidaknya ada harap-an dan
perahunya mempunyai tujuan. Iapun me-ngemudikan perahunya yang didorong angin itu menuju ke
cahaya api di depan itu. Lampu itu ke-lihatan dekat saja, akan tetapi setelah ditempuh, ternyata bukan
main jauhnya. Sampai hampir se-tengah malam, baru ia dapat mendekat dan kini nampak bahwa
banyak sekali lampu bernyala me-menuhi sebuah pulau kecil. Akan tetapi ketika perahu makin
mendekat, ribuan lampu itu makin
berkurang, lenyap dan yang nampak hanya ting-gal sebuah lampu yang tinggi dan terang, yang
terdapat di tengah -tengah pulau. Tadinya Pek Lian merasa heran. Akan tetapi setelah perahunya
dekat dengan pulau itu, mengertilah ia mengapa lampu -lampu itu lenyap. Kiranya pulau itu tepinya
tidak landai, melainkan merupakan tebing yang curam seperti dinding tembok yang amat tinggi. Tentu
saja ketika perahunya masih jauh dari pulau itu, ia dapat melihat semua lampu yang berada di atas
pulau, akan tetapi setelah dekat, lampu -lam-pu itu terhalang oleh tebing yang tinggi, kecuali sebuah
lampu besar yang agaknya berada di tempat paling tinggi di tengah pulau itu.
Melihat pulau yang tebingnya tinggi itu, Pek Lian menjadi bingung. Bagaimana mungkin men-darat
dan memasuki pulau? Tebing itu amat cu-ram, sedikitnya ada limapuluh meter tingginya. Hanya
dunia-kangouw.blogspot.com
burung bersayap sajalah yang kiranya akan dapat mendarat ke pulau itu. Pek Lian mengeli-lingi pulau
dengan perahunya, menggulung layar dan mendayung dengan perlahan, mencari -cari jalan masuk
atau tempat mendarat yang tepat, atau hendak melihat di mana para penghuni pulau men-daratkan
perahu mereka. Terdengar suara orang-orang bersorak -sorai di pulau itu, terdengar dari atas
dalangnya suara sorakan. Agaknya para peng-huni pulau itu sedang berpesta -pora atau bersu-ka ria.
Ketika perahu Pek Lian tiba di bagian timur pulau dan dara ini sedang mencari -cari tempat
pendaratan, tiba -tiba ia melihat berkelap -kelip-nya banyak lampu yang datang dari arah laut me-nuju
ke pulau itu. Ia cepat mendayung perahunya, bersembunyi di balik batu karang menonjol dan
mengintai. Beberapa buah perahu datang mende-kati pulau. Karena tidak mengenal tempat apa
adanya pulau ini dan siapa pula orang -orang da-lam perahu itu, Pek Lian merasa lebih aman kalau
menyembunyikan diri lebih dulu. Kiranya perahu-perahu itupun dihias dengan meriah, digantungi
lampu teng warna -warni, suasana pesta nampak di perahu -perahu itu.
Pek Lian mengintai dengan penuh perhatian dan karena perahu-perahu itu mempunyai banyak lampu
yang cukup terang, maka dia dapat melihat kesibukan-kesibukan di situ. Di atas perahu paling depan
nampak berdiri seorang laki -laki bertubuh kurus dengan kumis tikus, pakaiannya mewah seperti
seorang pembesar kerajaan saja. Terdengar orang meniup terompet tanduk dan pe-rahu -perahu itu
merapat ke tebing. Ketika Pek Lian memandang ke arah tempat itu, nampaklah olehnya sebuah
lubang besar di tebing itu, persis di atas permukaan laut, seperti mulut raksasa. Di dalam lubang itu
berserakan batu -batu besar ke-cil dan di sela -selanya mengalir air bening ke laut. Itu adalah sebuah
muara sungai bawah tanah yang menembus ke tebing itu dan ternyata muara inilah yang agaknya
menjadi pintu menuju ke pulau! Satu -satunya pintu yang aneh sekali.
Para penghuni perahu berlompatan memasuki lubang. Diam-diam Pek Lian mendayung perahu-nya
sambil bersembunyi di balik batu karang dan kini ia memandang penuh perhatian. Setelah dekat, baru
ia melihat bahwa di mulut lubang terowongan itu terdapat ukiran huruf -huruf di tebing yang licin
mengkilap. Jantung gadis itu berdebar tegang ketika ia membaca tulisan huruf -huruf besar itu. Hai
Ong Kong Hu (Istana Raja Lautan)! Kiranya di sinilah tempat tinggal Si Rajawali Lautan Timur, datuk
atau raja para bajak itu! Akan tetapi meng-apa tidak ada penjagaan sama sekali ? Apakah se-mua
sedang berpesta -pora di pulau itu seperti yang dapat didengarnya dari luar pulau ?
Pek Lian menanti sampai semua orang dalam perahu -perahu itu memasuki lubang dan mereka
meninggalkan perahu -perahu mereka yang mele-pas jangkar di dekat tebing. Perahu -perahu itu
bergoyang -goyang akan tetapi tidak sampai mem-bentur tebing, tertahan oleh tali -tali kuat yang
dihubungkan dengan jangkar yang dilepas di dasar laut. Setelah merasa yakin bahwa tidak ada lagi
orang yang akan dapat melihatnya, Pek Lian lalu menambatkan perahunya pada batu karang di pinggir
tebing yang terlindung, kemudian berindap-indap dia berloncatan dari batu karang lain
menghampiri lubang. Dengan hati-hati iapun mema-suki terowongan itu. Dengan penuh
kewaspadaan, ia berloncatan ke atas batu -batu dan ternyata terowongan itu berbelok -belok
mendaki. Ia terus mengikuti terowongan itu dan akhirnya sampailah ia ke mulut terowongan di atas
pulau. Terowongan itu tiba di tepi sebuah telaga kecil dan agaknya terowongan itu merupakan jalan
air untuk pembu-angan air dari telaga.
Dengan berindap -indap, Pek Lian mengintai keluar dari lubang yang merupakan mulut tero-woagan
itu. Ia melihat bahwa di mulut terowong-an itu terdapat sepuluh lebih penjaga. Akan tetapi, seperti
semua orang yang berada di pulau itu, para penjaga inipun asyik bersorak -sorak dan menonton
perlumbaan yang diadakan di atas telaga, menjagoi sampan yang dikemudikan oleh kawan -kawan
mereka. Ternyata di atas telaga itu diadakan per-lumbaan perahu sampan yang luar biasa ramainya.
Semua orang menonton, di tepi telaga penuh orang dan yang berada di belakang mencari tempat
yang agak tinggi untuk dapat menyaksikan perlumbaan perahu itu. Para penjaga ini yang berada di
mulut terowongan, mendapatkan tempat yang tinggi se-hingga mereka dapat menyaksikan
perlumbaan itu dengan jelas, walaupun dari tempat yang agak jauh.
Agaknya seluruh penghuni pulau itu dan juga semua penjaga dan para tamu, berkumpul di tepi telaga
itu. Karena keadaan yang berjejal -jejal ini,
laki -laki dan wanita, walaupun jauh lebih banyak prianya ketimbang wanitanya, maka kehadiran Pek
Lian tidak begitu menarik perhatian. Apa lagi waktu itu masih malam dan mulut terowongan itu masih
dunia-kangouw.blogspot.com
gelap, demikian pula tempat di mana semua orang menonton itu. Hanya di tepi telaga terdapat
penerangan yang beraneka warna, dan juga pada sampan -sampan yang melakukan perlumbaan itu
terdapat lampu -lampu yang mengenakan kap de-ngan warna dan tulisan tertentu sehingga mereka
itu dapat dikenal dari jauh oleh teman -teman me-reka yang menjagoi mereka.
Pertempuran adu kepandaian antara tiga orang raja lautan yang diadakan tiap tiga tahun sekali, selalu
diawali dengan tontonan yang amat mena-rik ini, yaitu lumba perahu. Perlumbaan ini diikuti oleh
semua perkumpulan bajak laut yang tergabung di bawah bendera tokoh yang dianggap sebagai Raja
Lautan dan yang berhak mendiami Istana Ra-ja Lautan selama tiga tahun. Pada saat itu, yang
menjadi Raja Lautan adalah Rajawali Lautan Ti-mur. Perkumpulan -perkumpulan ini adalah anak
buah Lain -siauw -ong si Raja Muda Selatan, ke-mudian Petani Lautan, dan beberapa perkumpulan
kecil lainnya. Akan tetapi tentu saja hanya para anak buah tiga perkumpulan di bawah tiga orang
datuk itu saja yang termasuk golongan kuat, yaitu anak buah Rajawali Lautan Timur, Raja Muda Selatan,
dan Petani Lautan. Tiga orang ini sejak bertahun-tahun telah menjadi saingan -saingan yang
paling keras, sedangkan para pimpinan perkumpulan-perkumpulan kecil lainnya boleh dibilang tidak
masuk hitungan. Mereka yang kecil ini boleh dibilang hanya bertugas meramaikan pesta perte-muan
itu saja, walaupun mereka juga berhak untuk mengikuti perlumbaan, bahkan mencoba kepandai-an
mereka untuk dapat terpilih sebagai Raja Laut-an yang baru!
Perahu-perahu yang ikut dalam perlumbaan itu adalah sampan -sampan kecil yang bentuknya
runcing, ditumpangi tiga orang. Selain ada lampu warna -warni, juga setiap perahu dihias dan dicat,
diberi bendera dari perkumpulan masing -masing yang berkibar di kepala perahu. Namanya saja
perlumbaan dan perahu -perahu itu menang ber-lumba cepat mencapai garis yang telah ditentukan di
mana dipasang tambang dengan pita berkem-bang. Siapa yang lebih dulu melewati tambang inilah
yang dianggap juara.
Namanya saja perlumbaan adu cepat, akan te-tapi karena yang melakukan perlumbaan adalah para
bajak perompak, maka perlombaan itupun bersifat keras, sesuai dengan watak mereka masingmasing.
Perlumbaan itu tanpa memakai peraturan, pendeknya siapa mencapai dan melewati tambang
sebagai garis terakhir, dialah yang menang. Tidak ada larangan apapun dalam perlumbaan ini. Karena
tidak ada aturan ini, dan tidak ada larangan sama sekali, maka merekapun berusaha untuk
mencapai kemenangan dengan segala macam cara mereka sendiri. Terjadilah pukul-memukul dan
usaha me-nenggelamkan perahu lawan ! Saling sodok, saling kemplang dengan dayung. Pendeknya,
mereka itu saling menghalangi lawan agar jangan sampai mencapai garis finish dan tentu saja usaha
ini dila-kukan dengan kekerasan, maka terjadilah perkela-hian sengit di antara mereka sebelum ada
yang berhasil mencapai garis kemenangan. Hanya ada batasnya dan hal ini sudah diumumkan sebelumnya,
yaitu bahwa mereka, sesuai pula de-ngan kedudukan mereka sebagai bajak -bajak laut,
mereka tidak diperbolehkan menggunakan alat senjata lain kecuali dayung dan mereka juga tidak
boleh meninggalkan perahu masing-masing.
Tentu saja pertempuran yang kacau -balau dan acak -acakan itu amat ramainya. Banyak sudah di
antara para anggauta bajak yang terlempar ke luar dari perahunya, tercebur ke dalam air telaga
dengan kepala benjol atau bocor terkena hantaman dayung lawan. Akan tetapi mereka adalah orangorang
kasar yang sudah biasa dengan kekerasan se-hingga mereka tidak menjadi marah, bahkan
terta-wa -tawa dalam suasana pesta dan mereka itu rata-rata adalah perenang -perenang yang
pandai maka masing -masing dapat menyelamatkan dirinya sen-diri. Ada pula perahu yang sempat
digulingkan lawan, dan tentu saja tiga orang penumpangnya.
terguling semua dan tercebur ke dalam air, bere-nang ke sana -sini berusaha membalikkan perahu
sendiri atau kalau tidak berhasil, merekapun lalu menggulingkan perahu lawan mana yang terdekat.
Suasana menjadi ramai, hiruk -pikuk dan lucu. Para penonton bersorak -sorai gembira. Akan tetapi
kegembiraan yang kasar, dan tidak jarang terjadi perkelahian sendiri di antara penonton, bukan perkelahian
antara musuh melainkan perkelahian se-sama rekan, menggunakan tangan kosong dan sudah
puas kalau lawan terpelanting, tidak ada yang bermaksud membunuh rekan. Taruhanpun terjadilah
dan para petaruh ini yang bersorak -sorak kalau melihat perahu yang mereka jagoi itu dapat maju
melampaui lainnya.
Pek Lian menengok ke sana -sini, mencari -cari dengan penuh perhatian. Ia tidak melihat adanya
orang -orang berperahu yang dilihatnya berlon-catan memasuki terowongan mendahuluinya tadi. Dan
iapun tidak dapat menduga di mana adanya Bu Seng Kun atau juga A-hai kalau memang me-reka
berdua itu dibawa ke tempat ini oleh para penawan mereka. Pek Lian sendiri sampai menjadi bingung
dunia-kangouw.blogspot.com
memikirkan nasibnya. Mula -mula ia ber-sama Bu Seng Kun dan Bu Bwee Hong mencari ayahnya.
Ayahnya belum bisa didapatkan, Bu Seng Kun dan juga A -hai malah lenyap ditawan orang. Dan
akhirnya, mencari ayahnya dan dua orang pemuda itu belum berhasil, ia sudah harus berpisah lagi
dengan Bwee Hong yang tidak dike-tahui bagaimana nasibnya itu.
Perlumbaan perahu itu terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah para anggauta bajak
tingkat rendah yang tadi telah diperlihatkan kenekatan masing -masing. Adapun golongan ke dua
yang diperlumbakan adalah golongan thouw-bak (kepala regu) dari perkumpulan masing -masing
yang akan diadakan kemudian. Sementara itu, ke-but -kebutan sambil berkelahi kacau -balau itu
masih terus berlangsung dengan ramai dan sengit-nya di tengah telaga.
Pek Lian bersembunyi di belakang setumpuk jerami kering sambil melihat suasana di sekeliling
tempat itu. Ia sadar sepenuhnya bahwa ia telah memasuki sarang srigala buas di mana terdapat
banyak sekali orang yang memiliki kepandaian tinggi. Juga ia tahu bahwa orang -orang di tempat, ini
berwatak seperti binatang, kejam dan buas. Ka-lau sampai ia tertangkap, tentu ia akan mengalami
nasib yang amat mengerikan. Akan tetapi ia telah berada di situ, tidak mungkin lagi ia mengundurkan
diri karena kini ia melihat betapa mulut terowong-an dari mana ia tadi lewat, telah mulai dijaga dan
diperhatikan kembali.
Perlumbaan masih terjadi dengan amat ramai-nya. Sampan dari anak buah Si Raja Muda Selatan
agaknya seperti memimpin perlumbaan, dikejar oleh sampan pihak tuan rumah, yaitu anak buah
Rajawali Lautan Timur. Sedangkan kelompok perkum-pulan lain mengejar sambil gebug -gebugan.
Dua buah perahu, yang lampunya merah dan hijau, saling tabrak dan perahu merah terguling! Tiga
orang penumpangnya terpelanting, disoraki lawan. Akan tetapi, tiga orang itu berhasil memegang
ujung perahu lawan yang berlampu hijau dan mendorong-nya terbalik pula. Tentu saja tiga orang
penum-pangnya juga terpelanting dan tercebur. Dan enam orang itu kini saling pukul menggunakan
dayung, berkelahi di air. Hiruk -pikuk suaranya ! Agaknya, perlumbaan ini belum tentu dapat selesai
sampai fajar nanti. Perahu -perahu yang sudah maju se-lalu terhalang oleh lawan sehingga segi
lumbanya sendiri hanya sedikit sekali, akan tetapi perkelahi-annya yang banyak. Para penonton
makin keran-jingan. Makin banyak darah muncrat, makin banyak orang celaka, makin banyak perahu
terguling, ma-kin penuh gairah para penonton, makin gembira hati mereka karena dalam keadaan
seperti itu me-reka ingin melihat orang menderita sehebat-hebatnya. Memang demikianlah watak
orang. Suka sekali melihat orang lain menderita, bahkan merasa lucu kalau melihat orang lain
menderita dan ke-sakitan. Sebaliknya, melihat orang menikmati ke-senangan, timbullah iri hati.
Manusia pada umumnya memiliki watak welas asih (belas kasihan), penuh pertimbangan, suka akan
keadilan, menentang kelaliman. Akan tetapi di samping watak -watak yang baik ini, terdapat pula
watak yang sadis, yang senang melihat penderitaan orang lain dan merasa iri hati kalau melihat orang
lain bersuka ria. Sifat -sifat yang bertentangan ini disebabkan oleh konflik batin yang ditimbulkan oleh
pikiran yang menciptakan si aku yang selalu ingin senang dan selalu mencari dan mengejar kesenangan,
atau keadaan lain yang lebih menye-nangkan dari pada keadaan sekarang yang telah
dirasakan dan dimilikinya.
Watak seseorang dibentuk oleh kebiasaan -ke-biasaan. Dan kebiasaan lahir dari ketidakwaspa-daan.
Kebiasaan membuat seseorang menjadi seperti robot, yang bergerak karena kebiasaan itu sendiri,
dan kebiasaan dihidupkan oleh keinginan untuk senang. Kebiasaan ini dapat dihentikan seketika
dengan kewaspadaan. Waspada meman-dang kenyataan, mengerti dan sadar akan kekeliru-an
sendiri dan kewaspadaan ini, kesadaran ini ber-arti tindakan seketika pula, yang menghentikan
kebiasaan itu. Tanpa ini, maka pengertian itu palsu adanya, bukan kewaspadaan, melainkan
permainan si aku yang enggan melepaskan kese-nangan sehingga dalam melihat kesalahan atau
kekeliruan sendiri, si aku lalu mencari seribu satu macam alasan untuk membela diri dan mempertahankan
kebiasaan itu! Semua ini dapat kita lihat dengan jelas apa bila kita mau membuka mata dan
mengamati diri sendiri lahir batin.
Ho Pek Lian melihat betapa semua orang seperti tenggelam ke dalam tontonan yang makin ramai itu,
maka iapun berindap -indap meninggalkan tepi telaga menuju ke rumah -rumah yang bertebaran di
sekitar telaga kecil itu. Ia memasuki sebuah rumah dengan hati -hati dan tepat seperti yang
diduganya, rumah itu kosong karena semua peng-huninya beramai -ramai nonton perlombaan perahu.
Pek Lian merasa betapa jantungnya berdebar-debar tegang. Ia merasa seperti seorang pencuri
memasuki rumah orang yang kosong dan merasa khawatir kalau -kalau penghuni rumah itu akan
masuk sewaktu -waktu dan memergokinya di da-lam rumah itu. Dimasukinya sebuah kamar dan
dunia-kangouw.blogspot.com
dengan girang akhirnya ia menemukan pakaian wanita yang cocok untuknya, pakaian sederhana dan
kasar dari keluarga bajak. Setelah merasa bahwa dengan dandanan itu ia tidak akan berbeda banyak
dengan para wanita yang berada di tepi telaga, ia lalu keluar. Rambutnya sudah diubah gelungnya
meniru gelung cara dusun dari para wanita yang berada di antara para penonton. Mu-lailah ia
mencampurkan dirinya dengan para penon-ton lainnya dan memang tidak ada orang yang tertarik
untuk memperhatikannya setelah ia mema-kai pakaian seperti para wanita lain di tempat itu. Pek Lian
memperhatikan dan mencari -cari dengan pandang matanya, namun ia tetap tidak melihat para
penumpang perahu -perahu yang mendahuluinya memasuki terowongan yang menuju ke pu-lau itu.
Tiba -tiba ia menyelinap di antara banyak orang untuk menyembunyikan diri ketika ia melihat
munculnya tiga orang yang telah dikenalnya. Mere-ka itu adalah para pembantu Raja Muda Selatan
yang pernah mengeroyok Bwee Hong ketika Bwee Hong dicoba oleh raja bajak itu. Mereka bertiga itu
nampak sedang berjalan bersama dua orang bermuka hitam dan bopeng, meninggalkan tepi telaga
dan menuju ke sebuah gedung di tengah pu-lau. Melihat tiga orang ini, Pek Lian segera mem-bayangi
mereka. Gadis ini tadi sudah melihat bahwa anak buah Si Raja Muda Selatan hadir pula dalam
keramaian itu, dan karena itulah ia sangat berhati -hati menyembunyikan diri karena ia ter-ingat akan
minat Raja Muda Selatan terhadap Bwee Hong, yaitu ingin mengambilnya sebagai isteri, baik dengan
halus maupun kasar.
Lima orang yang dibayangi Pek Lian memasuki gedung itu dan mereka disambut oleh empat orang
lain yang wajahnya membayangkan kekerasan dan sikap mereka kasar -kasar, akan tetapi pakaian
mereka bukan seperti bajak laut, melainkan seperti para petani. Melihat ini, Pek Lian dapat menduga
bahwa tentu empat orang itu anak buah Petani Lautan seperti yang pernah didengarnya dari percakapan
antara Raja Muda Selatan dengan Bwee Hong. Melihat sembilan orang itu duduk di ruangan
depan gedung itu, minum bersama dan ditemani oleh wanita -wanita muda yang genit -genit, Pek
Lian menyelinap dan mengintai untuk mendengar-kan percakapan mereka.
"Hei, kawan. Persembahan apakah yang akan dihaturkan oleh pimpinan kalian ?" tanya empat orang
anak buah Petani Lautan itu kepada tiga orang anak buah Raja Muda Selatan.
"Pimpinan kami akan menghadiahkan beberapa buah benda berharga hasil rampasan kami dari
perahu Pangeran Jepang," jawab seorang di antara mereka, "dan apa yang akan dipersembahkan
pim-pinan kalian ?"
"Entah, mungkin sebuah golok pusaka yang kami rampas baru -baru ini dari perahu kerajaan."
"Aih, besok akan ramai sekali dan membayang-kannya hatiku menjadi tegang. Pertandingan silat
antara para raja lautan yang hanya dapat kita nik-mati setiap tiga tahun sekali," kata orang yang
mukanya bopeng, yaitu anak buah dari tuan rumah, Si Rajawali Lautan.
"Kitapun besok sore akan saling bertemu dalam perlumbaan perahu," sambung temannya yang bermuka
hitam.
"Ha -ha -ha ! Benar sekali, aku sudah ingin sekali tahu kemajuan apa yang kalian peroleh se-lama tiga
tahun ini!" seorang thouw -bak dari Raja Muda Selatan berkata gembira. Suasana men-jadi makin
gembira ketika mereka itu mengadu
tebak jari sambil minum -minum. Makin banyak mereka minum arak, makin gembira suasananya dan
kadang -kadang terdengar jerit -jerit kecil para wanita pelayan kalau tangan orang -orang kasar itu
mulai usil.
Pek Lian menyelinap masuk ke dalam gedung itu dari pintu samping. Ternyata gedung inipun kosong
dan di ruangan dalam ia tidak menemui se-orangpun manusia. Agaknya penghuninya keluar semua
dan para wanita yang menemani sembilan orang itu tentu pelayan -pelayan atau memang wanita
yang disediakan untuk para tamu. Ketika ia menuju ke ruangan belakang, ia mendengar su-ara orang
dari sebuah kamar. Pek Lian cepat me-nyelinap bersembunyi. Suara itu tidak jelas, akan tetapi seperti
suara seorang laki -laki dan seorang perempuan. Karena ia hendak menyelidiki dan mencari kalau -
kalau ia dapat menemukan di mana adanya Bu Seng Kun atau A -hai, maka ia lalu ber-indap
menghampiri kamar itu. Dengan ludah dan jari tangan, ia melubangi kertas jendela dan meng-intai ke
dalam kamar yang hanya diterangi oleh sebatang lilin itu. Dan apa yang disaksikannya membuat Pek
Lian cepat -cepat membuang muka, wajahnya menjadi kemerahan dan cepat -cepat ia pergi
dunia-kangouw.blogspot.com
meninggalkan tempat itu dengan hati me-nyumpah -nyumpah ! Kiranya yang berada di dalam kamar
itu adalah seorang anggauta bajak yang sedang bergumul dengan seorang wanita !
Pek Lian terus menuju ke belakang dan keluar dari gedung itu melalui pintu belakang. Ia melihat
sebidang tanah kosong yang penuh dengan batu-batu karang di antara semak -semak. Di tengah
nampak sebatang sungai kecil yang dangkal penuh dengan batu -batu. Fajar mulai menyingsing dan
Pek Lian mendaki bukit dari mana air sungai kecil itu mengalir. Pulau itu sepi, tidak nampak ada
penjagaan seorangpun. Agaknya, semua orang te-lah pergi menonton perhambaan di tepi telaga.
Pek Lian termenung. Rajawali Lautan bukanlah seorang pemimpin yang baik. Pulau ini memang
merupakan tempat sembunyi yang baik sekali, juga dapat menjadi semacam benteng yang kuat
karena pulau ini dikelilingi tebing yang terjal dan tidak akan dapat diserbu lawan. Jalan masuk satu -
satu-nya hanya melalui terowongan. Akan tetapi meng-apa penjagaannya begini lemah ? Kalau terjadi
ser-buan musuh, mana mungkin akan dapat melawan dengan baik ? Apa lagi kalau yang menyerang
itu orang -orang yang lihai macam Harimau Gunung dan Buaya Sakti. Berpikir demikian, dara itu teringat
akan dua orang dari Sam -ok yang menjadi pembantu -pembantu utama Raja Kelelawar itu.
Heran sekali, ke manakah mereka itu pergi?
Apakah belum sampai di pulau ini ? Rasanya mustahil. Mereka itu berangkat lebih dulu dari padanya.
Melihat betapa di puncak bukit di depan terda-pat sebuah bangunan besar, jantung Pek Lian berdebar
tegang. Bangunan itu seperti istana saja. Itukah Istana Raja Laut ? Ah, kalau memang benar dua
orang pemuda yang dicarinya itu menjadi tawanan, agaknya di istana itulah mereka ditahan!
Dan siapa tahu ia akan bertemu dengan ayahnya pula di istana itu. Hatinya menjadi tegang dan
dengan cepat namun hati -hati sekali ia berlari mendaki bukit menuju ke istana itu. Makin dekat, makin
nampaklah bahwa bangunan itu memang megah dan indah, pantas menjadi sebuah istana. Ia
menyelinap di antara semak-semak dan mengintai ke depan. Nampak para penjaga hilir-mudik
dihalaman istana. Tidak salah, pikirnya. Tentu inilah yang dinamakan Istana Raja Laut dan karena
bangunan ini merupakan tempat tertinggi, maka satu-satunya lampu yang nampak ketika perahunya
su dah mendekati pulau malam tadi tentulah lampu dari istana itu.
Pek Lian maklum bahwa tentu amat berbahaya kalau sampai ketahuan, maka iapun lalu menyeli-nap
ke samping bangunan, menjauhi aliran sungai kecil yang agaknya bermata air di bukit itu. Ia mengintai
dari balik sebatang pohon dan melihat beberapa orang wanita muda yang berpakaian se-perti
pelayan-pelayan istana turun dari anak tangga pintu samping istana membawa keran-jang, menuju ke
arah telaga.
Fajar telah tiba dan sinar matahari pagi mulai mengusir kegelapan malam. Pek Ljan mulai melihat
para penonton bubaran. Dari tempat tinggi itu ia dapat melihat keadaan di tepi telaga di mana
perhambaan diadakan. Celaka, pikirnya. Semua orang akan pergi ke tempat masing -masing dan
kalau ia tidak cepat mendapatkan sebuah tempat persembunyian yang baik, tentu akan sukar baginya
untuk menghindar dari tangkapan. Mencoba memasuki istana sama dengan menyerahkan diri.
Dari tempat tihggi ini ia mencari -cari dengan pan-dang matanya dan akhirnya ia melihat sebuah bangunan
kuno yang tidak terawat berdiri terpencil di lereng bukit, arahnya di belakang istana itu. Ce-pat
ia meninggalkan tempat ia mengintai tadi dan berlari -lari menuju ke bangunan kuno itu.
Hatinya girang melihat bahwa bangunan kuno itu memang sebuah bangunan yang tidak dipakai
orang lagi. Semacam bengkel atau gudang di ma-na bertumpuk banyak bangkai perahu, sampan,
tiang layar dan semacam itu, berserakan tidak di-pakai lagi. Pek Lian cepat membuka pintu dan
menyelinap masuk. Memang sebuah tempat per-sembunyian yang baik, kata hatinya girang. Di situ
terdapat alat -alat pertukangan dan balok -balok kayu. Sebuah bengkel tempat pembikinan perahu.
Terdapat banyak pula patung -patung yang bia-sanya dipakai menghias kepala perahu -perahu besar,
patung dewa -dewa dengan muka yang me-nyeramkan, sebesar manusia.
Mengerikan juga melihat patung -patung itu sebesar orang dengan posisi berdiri atau duduk, dengan
muka yang menyeramkan. Ada. patung yang rambutnya terbuat dari rambut manusia aseli. Patung -
patung ini berada di sebuah ruangan yang cukup luas dan sambil melangkah perlahan -lahan
memeriksa keadaan tempat itu, Pek Lian merasa serem. Seolah -olah semua patung itu mengawasi
setiap gerak -geriknya. Dan patung -patung itu seperti hidup saja, apa lagi di dalam ruangan yang
remang -remang seperti itu. Pek Lian berusaha untuk tidak mengamati patung -patung itu. Tengkuknya
meremang dan hatinya diliputi rasa serem. Akan tetapi, makin ia berusaha untuk tidak medunia-
kangouw.blogspot.com
mandang, matanya malah selalu memperhatikan ke sekeliling, ke arah patung -patung itu. Berada di
tempat itu ia merasa seolah -olah kalau berada se-orang diri di tanah kuburan, atau di ruangan yang
penuh dengan peti -peti mati. Seolah -olah ada yang bergerak, ada yang hidup, ada setannya !
Kita tidak mungkin dapat melarikan diri dari rasa takut. Rasa takut bukanlah sesuatu yang ter-pisah
dari kita. Rasa takut adalah kita sendiri, ba-tin kita sendiri penciptanya. Ke manapun kita lari, kalau
memang kita takut, tentu akan tetap takut. Hiburan yang kita cari hanya akan membuat kita terlupa
sebentar saja, akan tetapi rasa takut itu masih ada dalam batin.
Ada bermacam -macam rasa takut, yaitu misal-nya takut terhadap setan, takut terkena malapeta-ka,
takut penyakit, bahkan takut mati. Akan tetapi semua bentuk rasa takut itu pada hakekatnya sama
saja. Semua itu timbul dari pikiran yang memba-yangkan hal-hal yang belum ada, hal-hal yang
dianggapnya amat tidak menyenangkan seperti yang pernah diketahuinya dari orang lain atau dari
pengalaman sendiri. Orang takut kepada se-tan yang melakukan hal -hal yang menyeramkan, dan
orang yang takut kepada setan itu tentu belum bertemu dengan setan, jadi yang ditakutinya itu
hanyalah bayangan -bayangan yang dibuatnya sendiri dalam pikirannya. Orang yang takut mati tentu
takut karena membayangkan keadaan yang mengerikan sesudah mati seperti yang pernah didengarnya
dari cerita -cerita dongeng, atau takut membayangkan kesepian dan kehilangan segalanya
sesudah mati. Melarikan diri dari rasa takut sia-sia belaka. Akan tetapi, kalau kita mau menghadapinya,
menghadapi rasa takut setiap kali ia mun-cul, mengamatinya dengan penuh perhatian, maka
pengamatan ini sendiri akan membebaskan kita dari cengkeraman rasa takut. Pengamatan dengan
penuh perhatian akan melenyapkan pikiran yang membayang -bayangkan, dan pengamatan ini akan
membuat kita mengerti dengan jelas proses terja-dinya rasa takut dalam pikiran kita.
Pek Lian yang sudah merasa ngeri itu hampir saja menjerit ketika ia melirik ke kiri dan merasa ada
sebuah patung yang bergerak di pojok ruangan itu. Untung ia masih ingat sehingga tidak ber-teriak
dan menutupi mulutnya dengan tangan kiri. Ah, mana mungkin ada patung bisa bergerak ? Dibantahnya
sendiri dugaan tadi. Akan tetapi tetap saja hatinya merasa gentar dan ia menjauhi tempat
patung -patung itu menuju ke pintu untuk meng-intai keluar, melihat suasana di luar.
"Gedobrakkk ! Huh, bedebah! Sialan !"
Tentu saja Pek Lian merasa terkejut sekali se-perti disambar halilintar mendengar suara bising yang
disusul suara makian itu. Cepat ia menoleh dan wajahnya menjadi pucat, matanya terbelalak ketika ia
melihat sebuah patung benar -benar ber-gerak menyingkirkan sebuah patung lain yang tadi agaknya
roboh menimpanya. Rasa takut membuat Pek Lian kehilangan kewaspadaan dan iapun men-dorong
daun pintu dan melompat keluar dari da-lam rumah setan itu. Serombongan orang yang se-dang
lewat di depan rumah tua itu terkejut me-lihat munculnya seorang gadis yang ketakutan. Mula -mula
mereka mengira bahwa gadis itu te-man sendiri karena Pek Lian memang menyamar dengan pakaian
yang diambilnya dari sebuah ru-mah, akan tetapi ketika mereka melihat wajah Pek Lian, mereka tahu
bahwa gadis itu adalah seorang asing. Karena masih menduga bahwa mungkin ia seorang gadis yang
dibawa datang oleh para tamu, maka seorang di antara mereka cepat meloncat ke depan Pek Lian
sambil menyeringai.
"Eh, nona manis, engkau datang dari rombong-an manakah ? Dan apa yang telah terjadi maka
engkau keluar dari bengkel lama ini ?"
"Ha-ha-ha, agaknya nona manis ini menjum-pai kekasihnya di sini!"
"Tak salah lagi, tentu semalam suntuk telah bermain cinta sepuasnya "
Beberapa orang laki -laki mengeluarkan kata-kata yang makin lama makin cabul dan tidak pan-tas,
maka Pek Lian tidak dapat menahan kemarah-annya lagi.
"Tutup mulutmu yang busuk !" bentaknya dan tangan kirinya menampar.
"Plakk !" Orang yang mengeluarkan kata-kata cabul itu terkena tamparan pipinya. Dia mengaduh dan
terpelanting roboh, lalu merintih karena muka yang kena dihantam itu membeng-kak ! Tentu saja para
anak buah pulau itu menjadi marah. Dua orang teman yang melihat kawannya ditampar, sudah
meloncat ke depan dan mereka berdua ini menubruk untuk merangkul dan menangkap gadis yang
galak itu. Akan tetapi, Pek Lian menggerakkan kaki tangannya dan dua orang itupun roboh
terpelanting! Gegerlah para anak buah pulau itu. Baru mereka tahu bahwa gadis ini lihai sekali. Lima
dunia-kangouw.blogspot.com
orang maju mengeroyok dan yang lain memberi tanda memanggil teman-teman. Para anak buah
Rajawali Lautan berdatangan dan selain nona itu dikeroyok, juga rumah tua itu di kepung.
"Periksa di dalam rumah ! Mungkin masih ada kawan -kawannya. Mereka ini tentu mata -mata dari
luar !" demikian seorang thouw -bak pemban-tu Rajawali Lautan berteriak.
Tiba -tiba terdengar sumpah serapah dari da-lam rumah itu dan pintu depan yang baru sete-ngahnya
dibuka oleh Pek Lian tadi kini jebol di tendang orang dari dalam. Lalu muncullah dua orang kakek
yang keluar sambil mengomel. Yang seorang berusia empatpuluh lima tahun, bertubuh gemuk
pendek dan membawa sebatang toya baja putih, sikapnya angkuh dan memandang rendah mereka
yang datang mengepung. Orang ke dua adalah seorang kakek berusia limapuluh tahun ber-jubah kulit
harimau, tubuhnya tinggi besar mena-kutkan dan tangannya membawa sehelai rantai baja yang
ujungnya merupakan tombak berjangkar, dili-litkan di lengannya. Dua orang ini bukan lain ada-lah dua
di antara Sam -ok, yaitu yang pertama adalah Sin -go Mo Kai Ci Si Buaya Sakti, sedang-kan yang ke
dua bukan lain adalah San -hek -houw Si Harimau Gunung! Tentu saja Pek Lian segera mengenal
dua orang pembantu utama dari Raja Kelelawar ini, dan para pengeroyok terkejut karena ternyata dua
orang ini jauh lebih ganas dan lihai dari pada nona itu. Sebentar saja, beberapa orang pengeroyok
telah roboh dan luka -luka. Sementara itu, San-hek-houw men-dekati Pek Lian dan memaki, "Bocah
kurang ajar! Engkau membikin kacau rencana orang saja!"
Perkelahian keroyokan itu menjadi semakin seru ketika muncul sembilan orang thouw -bak dari tiga
kepala bajak itu. Karena mereka ini termasuk orang -orang yang lihai, maka setelah sembilan orang
ini mengeroyok, barulah dua orang di antara Sam -ok itu agak dapat ditahan. Bagaimanapun juga,
sembilan orang thouw -bak itu kewalahan, walaupun mereka telah dibantu oleh banyak anak buah
mereka. Sementara itu, Pek Lian juga repot sekali dikeroyok banyak anggauta bajak, walaupun
banyak sudah anggauta bajak yang roboh olehnya. Agaknya perkelahian keroyokan ini merupakan
pertunjukan yang tidak kalah menariknya dari pada perlumbaan semalam. Banyak yang datang menonton
dan kalau ada seorang anggauta bajak yang terpental dengan kepala benjol atau tulang patah,
para penonton mentertawainya. Sementara itu pengeroyokan menjadi semakin ketat.
Tiba -tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan para penonton bersibak memberi jalan masuk
kepada Lam -siauw -ong Si Raja Muda Selatan dan Si Petani Laut. "Kalian mundurlah dan biar-kan
kami menghajar pengacau -pengacau ini!" terdengar Raja Muda Selatan berkata dan sembilan orang
thouw -bak yang sudah kewalahan itu lalu mundur. Juga para bajak yang tadinya mengeroyok. Pek
Lian, mengundurkan diri sehingga-nona itu dapat mengaso dan menghapus peluh di leher dan
dahinya dengan ujung lengan baju.
Raja Muda Selatan yang berpakaian mewah dan bertubuh gendut itu segera mencabut sebatang
pedang panjang yang besar, lalu menerjang Si Bua-ya Sakti tanpa banyak cakap lagi. Agaknya Lamsiauw
-ong ini tadi sudah melihat betapa lihainya kakek gemuk pendek ini, maka dia langsung saja
menyerang menggunakan pedangnya.
"Trang -trang -tranggg!" Pedang bertemu bertubi -tubi dengan toya baja putih, membuat telinga yang
mendengarnya menjadi sakit dan nampak bunga api berpijar menyilaukan mata. Ternyata keduanya
memiliki tenaga yang berimbang dan terjadilah perkelahian seru antara Raja Muda Selatan dengan Si
Buaya Sakti.
Adapun Si Petani Laut yang melihat rekannya-sudah saling serang dengan seorang pengacau, lalu
menggerakkan senjatanya untuk menyerang Si Ha-rimau Gunung. Senjata dari Petani Laut ini memang
istimewa, yaitu sebuah cangkul bergagang panjang. Caranya menyerang seperti mencangkul
tanah, akan tetapi sekali ini bukan tanah yang di-cangkulnya, melainkan kepala lawan !
"Trangg ... wuuuut, cringgg !" Si Harimau Gunung juga cepat menangkis dengan senjata rantainya
dan balas menyerang sehingga merekapun terlibat dalam perkelahian yang amat seru.
Kini para penonton menjadi semakin gembira karena pertandingan itu sungguh amat hebat, jauh lebih
ramai dari pada tadi karena kedua pihak memiliki kepandaian dan tenaga yang berimbang. Pek Lian
sendiri hanya dapat menonton karena tentu saja ia tidak dapat berpihak manapun. Mere-ka yang
saling berkelahi itu adalah sama -sama penjahat, hanya bedanya kalau Si Buaya Sakti dan Harimau
Gunung adalah raja -raja penjahat da-ratan, maka dua orang lawannya adalah raja pen-jahat lautan.
Diam -diam ia merasa heran mengapa mereka itu saling hantam sendiri, akan tetapi ia teringat bahwa
kedua orang raja penjahat daratan itu adalah pembantu -pembantu utama Raja Ke-lelawar dan bahwa
dunia-kangouw.blogspot.com
Tung -hai -tiauw si Rajawali Lautan Timur sebagai orang pertama dari Sam -ok masih belum menjadi
anak buah atau pembantu iblis itu.
"Tahan senjata !" Tiba -tiba terdengar bentakan nyaring. "Kita adalah orang -orang sendiri!" Em-pat
orang yang sedang loerkelahi itu berhenti dan ternyata yang muncul itu adalah seorang bertubuh
tinggi kurus yang berwibawa dan orang ini bukan lain adalah si Rajawali Lautan Timur sendiri, penghuni
Istana Raja Lautan karena selama tiga tahun ini dialah yang berhak menjadi raja lautan setelah
mengalahkan semua kepala bajak lainnya.
Empat orang itu segera berloncatan mundur dan perkelahian yang amat seru itupun segera dihentikan.
Tung-hai-tiauw tertawa bergelak dan meng-angkat tangan sebagai tanda salam kepada dua
orang raja penjahat daratan itu. "Ha -ha, selamat datang di tempat kami! Sungguh tidak pernah kami
duga bahwa dua orang sahabat lama kami sudi berkunjung ke sini. Ha -ha, kalau tidak ber-kelahi
berarti tidak kenal, betapa tepatnya kata-kata itu. Saudara -saudaraku Raja Muda Selatan dan Petani
Lautan, mereka ini adalah sobat -sobat-ku yang baik, yaitu Sin -go Mo Kai Ci Si Buaya Sakti dan Sanhek-
houw Si Harimau Gunung, dua orang yang amat terkenal di daratan sana!" kata-katanya yang
terakhir ini untuk saling mem-perkenalkan empat orang yang tadi saling serang itu.
"Aha! Kiranya ini saudaramu yang berjuluk Raja Muda Selatan yang tersohor itu ? Aihh, pantas saja,
hampir -hampir aku terjungkal di tangannya kalau aku tidak berhati -hati tadi!" kata Si Bua-ya Sakti
memuji.
"Wah, Sin -go Mo -sicu terlalu memuji orang," kata Raja Muda Selatan. "Sebaliknya, toya baja
putihmu benar-benar membuat aku repot tadi!"
"Gila! Aku sendiripun repot sekali menghadapi cangkul panjang itu, kiranya yang memainkannya
adalah Petani Lautan ! Pantas begitu lihai!" kata pula San -hek -houw memuji.
"Dan nona ini, siapakah ia ? Apakah murid dari kalian ?" Rajawali Lautan bertanya sambil memandang
kepada Pek Lian, diam -diam kagum ka-rena selain cantik sekali, juga nona ini masih muda
akan tetapi telah memiliki kepandaian yang cukup tinggi dan keberanian yang luar biasa. Juga sikap
dara ini bukan seperti wanita -wanita dari golong-an sesat, melainkan gagah sekali dan membayangkan
keagungan dan ketinggian harga diri.
"Sialan mempunyai murid macam ini!" Hari-mau Gunung berseru.
"Bocah perempuan ini di mana -mana hanya membikin kacau saja!'" kata pula Si Buaya Sakti "Kami
tidak mengerti bagaimana ia bisa tiba-tiba muncul di tempat ini!"
Mendengar ucapan dua orang tamu itu, wajah Rajawali Lautan berseri gembira. Kiranya nona ini tidak
ada sangkut -pautnya dengan dua orang ta-mu itu. Tentu seorang mata-mata, akan tetapi mata -mata
dari mana ? Dan ia begitu muda dan cantik dan lihai. "Bagus! Kalau begitu, ia adalah tawanan kami!"
Ia lalu memberi isyarat kepada para pembantunya untuk menangkap Pek Lian.
Empat orang thouw -bak maju dan menubruk Pek Lian. Akan tetapi dara ini sudah siap dan segera
menggerakkan kaki dan tangannya mela-kukan perlawanan mati -matian. Semua orang kini nonton
dara yang hendak ditawan ini dan ternyata empat orang thouw -bak yang lihai-lihai itu ke-walahan
untuk dapat menangkap si nona. Kalau mereka diperintahkan untuk merobohkan Pek Lian, mungkin
lebih mudah bagi mereka. Akan tetapi perintahnya adalah menangkapnya, jadi mereka tidak berani
mempergunakan senjata dan tidak be-rani menggunakan pukulan maut, hanya berusaha menubruk
dan menangkap saja. Karena itu, mere-ka berempatlah yang menjadi bulan -bulanan tam-paran dan
tendangan Pek Lian. Bahkan seorang di antara mereka terkena hantaman pada dadanya sehingga
roboh pingsan dan tidak mampu bangkit kembali! Melihat keadaan itu, Rajawali Lautan menjadi
marah. Dia mendengus dan menerjang maju, tangannya yang berkuku tajam seperti baja kuatnya itu
mencengkeram ke arah pundak Pek Lian. Dara ini mengenal serangan berat, maka ia-pun cepat
mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak sambil mengirim tendangan yang disusul
pukulannya ke arah perut kepala bajak itu.
"Dukk ! Bukkk !" Baik tendangan maupun pukulannya dengan tepat mengenai sasaran, yaitu dada
dan perut orang tinggi kurus itu. Akan tetapi sama sekali tidak mengguncangkan tubuh Tung-hai -
tiauw, bahkan dia mempergunakan kesempat-an selagi Pek Lian tertegun melihat serangannya
dunia-kangouw.blogspot.com
mengenai tubuh yang kebal, cepat tangannya me-nyambar tengkuk dan menotok. Seketika Pek Lian
merasa tubuhnya lunglai dan iapun tidak dapat melawan lagi ketika para thouw -bak menubruk dan
meringkusnya, membelenggu kaki tangannya dan membawanya pergi ke kamar tahanan !
Rajawali Lautan tertawa, lalu berkata kepada empat orang kawannya, "Nah, sobat-sobatku, ma-rilah
kita pergi ke ruang tamu untuk bercakap-cakap !" Mereka lalu pergi menuju ke istana di puncak bukit.
Dua orang raja penjahat daratan itu tiada habisnya mengagumi istana yang megah dan mewah itu.
Sungguh keadaan para bajak lebih baik dibandingkan dengan keadaan para perampok di daratan
yang selalu dikejar -kejar oleh pasukan pemerintah.
Di sebuah ruangan yang luas di dalam Istana Raja Lautan itu sedang diadakan perjamuan makan
minum istimewa, perayaan pesta untuk meramai-kan pertemuan antara pimpinan yang diadakan tiap
tiga tahun itu. Ketika Rajawali Lautan sebagai tuan rumah bersama empat orang tamu dan rekan-nya
memasuki ruangan itu, tempat itu sudah penuh dengan para tamu dan sejak tadi suara musik
mengiringi para penari dan penyanyi yang cantik -cantik. Para tamu bangkit berdiri ketika melihat lima
orang gagah itu, terutama sekali untuk menghormat Ra-jawali Lautan yang dianggap sebagai raja dan
juga tuan rumah. Dengan sikap ramah dan gagah, Raja-wali Lautan memberi isyarat kepada semua
tamu untuk duduk kembali dan diapun mempersilahkan Raja Muda Selatan, Si Petani Lautan, Si
Buaya $akti dan Si Harimau Gunung untuk mengambil tempat duduk di kursi -kursi kehormatan, dekat
tempat duduknya sendiri sebagai tuan rumah. Se-telah tuan rumah dan para tamu kehormatan hadir,
musik dipukul makin meriah, dan para penari mem-perlihatkan keindahan tarian mereka, diseling oleh
para penyanyi. Guci-guci arak baru dikeluarkan dan suasana menjadi semakin meriah.
"Kursi siapakah itu?" tiba-tiba Si Buaya Sakti bertanya kepada tuan rumah. Juga temannya, Si
Harimau Gunung, merasa heran melihat adanya sebuah kursi yang gemerlapan, seperti sebuah
singgasana raja. Kursi itu kosong dan ditutup kain pu-tih, ditaruh di tengah -tengah dan di tempat yang
paling tinggi.
Tuan rumah tertawa dan memberi penjelasan kepada dua orang rekan yang menjadi tamu kehormatan.
"Ah, kalian secara kebetulan saja datang ke sini, tidak tahu bahwa kami sedang mengada-kan
pesta yang paling meriah di antara kami, para pendekar lautan ! Ketahuilah, di antara kami, setiap tiga
tahun sekali dipilih seorang yang paling tinggi tingkat kepandaiannya dan orang ini diang-kat menjadi
Raja Lautan, dan dia berhak tinggal di pulau ini, di Istana Raja Lautan sebagai orang yang paling
berkuasa di seluruh lautan ini, selama tiga tahun. Dan setelah tiga tahun, diadakan pemi-lihan untuk
mengangkat Raja Lautan yang baru. Untuk tiga tahun terakhir ini, akulah yang berun-tung menjadi
Raja Lautan. Hari ini aku harus da-pat mempertahankan kedudukan itu untuk tiga tahun lagi. Kalau
ada yang lebih lihai dari pada aku, dialah yang berhak menjadi Raja Lautan se-lama tiga tabun
mendatang. Kursi itu adalah sing-gasana raja kami dan karena hari ini sedang dia-dakan pemilihan,
maka tentu saja kedudukan itu kosong. Hari ini kedudukanku telah berakhir maka akupun tidak duduk
di situ. Mengertikah kalian, sekarang ?"
Jilid XIV
DUA ORANG gembong penjahat itu meng-angguk-angguk dan saling pandang. Biar-pun mereka
bertiga itu terkenal dengan sebutan Sam -ok, yaitu Si Tiga Jahat untuk mengakui ke-dudukan mereka
sebagai pimpinan para bajak laut-an, pimpinan para bajak sungai dan pimpinan para
perampok, namun mereka itu tidak pernah saling bersahabat Bahkan mereka sering kali bentrok dan
bersaing. Hanya setelah muncul Raja Kelela-war, maka Si Buaya Sakti dan Harimau Gunung
terpaksa dapat bekerja sama di bawah kekuasaan Raja Kelelawar. Akan tetapi, Rajawali Lautan itu
belum menjadi anak buah atau taklukan Raja Ke-lelawar, maka sikapnya tentu saja berbeda dan dia
merasa masih menjadi yang dipertuan di daerah lautan. Dua orang gembong daratan itu sama se-kali
tidak pernah menyangka bahwa mereka yang datang sebagai utusan Raja Kelelawar, tiba pada saat
kebetulan di situ diadakan pemilihan raja lautan baru. Mereka tidak mengira ada peraturan semacam
itu. Mereka hanya mengetahui bahwa Rajawali Lautan adalah seorang datuk lautan yang telah menjadi
raja sekalian bajak dan menguasai lautan yang amat luas itu. Mereka berdua maklum bahwa
dunia-kangouw.blogspot.com
tentu saja urusan itu amat penting bagi para bajak, meru-pakan peristiwa besar dalam dunia bajak.
Mereka membayangkan dengan hati tegang betapa akan serunya pertandingan memperebutkan kursi
Raja Lautan itu nanti. Mereka tadi sudah merasakan kelihaian Raja Muda Selatan dan Petani Lautan,
belum tokoh-tokoh lainnya. Menghadapi urusan besar ini, keduanya saling memberi isyarat dan
bersepakat untuk menunda urusan mereka sebagai utusan Raja Kelelawar. Mereka ingin melihat
pertandingan itu dan melihat siapa yang akan menang dan menjadi Raja Lautan. Lalu kepada orang
yang menjadi Raja Lautan itulah mereka berdua akan berhadapan sebagai utusan Raja Kelelawar
sebagai pucuk pimpinan semua golongan di dunia sesat.
Kini Rajawali Lautan bangkit berdiri dan mem-beri isyarat dengan mengangkat tangan kiri ke atas.
Seketika suara musik berhenti, para penari berla-rian kembali ke tempatnya dan semua orang
memandang ke arah tuan rumah. Suasana menjadi su-nyi dan tidak ada yang berani mengeluarkan
suara berisik. Hal ini bukan karena para tamu itu tahu akan sopan santun dan aturan. Sama sekali
bukan. Mereka taat karena mereka itu takut. Pelanggaran dapat saja mengakibatkan mereka dihukum
secara kejam sekali, mungkin dibunuh !
"Saudara saudaraku sekalian yang baik! Se-perti tiga tahun yang lalu, hari ini adalah hari ber-bahagia
bagi kita kaum pendekar lautan ! Dan se-kali ini, pertemuan antara kita dihadiri pula oleh dua orang
tamu terhormat yang sehaluan dengan kita. Sin-go Mo Kai Ci adalah pimpinan bajak su-ngai,
sedangkan San -hek -houw adalah pimpinan dari semua perampok, maling dan copet sehingga
lengkaplah tiga golongan dari kaum kita yang di-anggap oleh sementara orang sebagai golongan
hitam. Biarlah dua orang tamu kita menjadi saksi atas upacara kita dan marilah kita mulai !"
Para tamu mulai bergerak dan suasana menjadi bising karena para tamu saling bicara sendiri. Ada
pula yang sibuk mempersiapkan bingkisan masing-masing. Sebagian besar di antara mereka telah
mengenal siapa adanya Rajawali Lautan yang me-miliki ilmu kepandaian amat tinggi, maka jaranglah
di antara mereka ada yang berani main -main. Me-reka yang merasa bahwa kepandaian mereka jauh
di bawah tingkat Rajawali Lautan, hanya mengha-turkan bingkisan atau sumbangan secara suka rela
tanpa hendak menguji kepandaian Akan tetapi, para kepala perkumpulan bajak, tentu saja di antara
mereka ada yang merasa penasaran kalau belum memperlihatkan kepandaian, biarpun mereka tiada
harapan untuk dapat mengalahkan Rajawali Laut-an, namun setidaknya mereka akan memperlihatkan
kepandaian dan agar mereka dianggap sebagai
orang yang telah berani mencoba kepandaian Ra-jawali Lautan! Ini saja sudah akan mengangkat
sedikit derajat mereka dan dapat mereka jadikan bahan cerita yang membanggakan hati.
Seorang bajak laut tunggal yang biasa berope-rasi di sekitar Lautan Jepang, tampak maju mem-bawa
sebuah bingkisan. Seperti yang telah diten-tukan dalam peraturan mereka, yaitu peraturan bagi
mereka yang hendak menguji kepandaian Rajawali Lautan yang harus mempertahankan kedudukannya,
bingkisan diletakkan di atas senjatanya. Sen-jata bajak tunggal ini adalah sebatang samurai panjang.
Dia berdiri tegak di depan Rajawali Lautan yang sudah bangkit berdiri dan melangkah maju di
tempat lapang pula. Bajak tunggal itu melonjorkan pedang samurainya di depan dada, dan bing-kisan
itu berada di ujung pedangnya. Tangan kiri-nya diangkat ke atas kepala, melintang dan terbuka, lalu
tangan kiri itu turun ke depan dada sebagai penghormatan, dan terdengar suaranya yang berlo-gat
Jepang karena bajak laut ini memang seorang peranakan Jepang dan lebih banyak merantau di luar
daratan.
"Hai-ongya, harap terima bingkisan dariku!" Pedang samurainya digetarkan dan bingkisan yang
terletak di ujung pedang itu tiba -tiba mencelat ke atas, ke arah Rajawali Lautan. Raja Lautan yang
harus mempertahankan kedudukannya ini berdiri dengan sikap tenang, kipas besinya siap di
tangannya.
Ketika dia melihat bingkisan itu terbang ke arahnya, tangan kirinya yang memegang kipas besi
bergerak untuk menangkap bingkisan itu. Akan tetapi, nampak sinar berkelebat cepat ketika pedang
samurai itu menyambar ke arah pergelangan tangan kiri yang memegang kipas dengan gerakan
menda-tar dari kanan ke kiri. Suaranya berdesing karena pedang samurai itu tajam dan gerakan
orang itu-pun amat kuatnya. Akan tetapi, dengan gerakan pergelangan tangannya, Rajawali Lautan
telah membalikkan kipas besinya menangkis dan tangan kanannya diulur ke depan untuk menyambut
bing-kisan yang melayang ke arahnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Trangggg !!" Pedang samurai yang tertangkis kipas besi itu terpental, akan tetapi bajak tunggal
itupun cukup lihai. Pedang yang terpental itu membuat gerakan lingkaran dan tahu-tahu telah
menyambar dari samping ke arah leher lawan !
"Bagus!" kata Rajawali Lautan yang telah ber-hasil menangkap bingkisan tadi. Sambaran pedang
lawan dibiarkan lewat di atas kepalanya dengan menundukkan kepala, dan kipas besinya sudah
menotok ke arah pergelangan tangan lawan yang memegang pedang dan yang menyambar lewat.
Bajak tunggal itu terkejut sekali, cepat menarik kembali pedang dan tangannya, akan tetapi pada saat
itu, Rajawali Lautan sudah menggunakan tangan kanan yang memegang bingkisan untuk men-dorong
ke arah dada lawan sambil berkata, "Teri-ma kasih atas bingkisan yang berharga !"
Dorongan itu mengandung tenaga yang luar biasa kuatnya sehingga biarpun bajak tunggal itu
mempertahankan diri, tetap saja dia terdorong ke belakang, terhuyung -huyung dan hampir saja dia
terpelanting. Diapun tahu diri karena kalau tuan ramah tadi menghendaki, dia tentu sudah terluka
parah atau bukan tidak mungkin roboh dan tewas.
Memang cara -cara yang dipergunakan oleh ka-um bajak ini amat keras. Para tamu menyerahkan
bingkisan, akan tetapi pada saat itu dia dan tuan rumah boleh adu kepandaian dan saling serang,
bukan hanya untuk saling mengalahkan dan mem-perebutkan kedudukan sebagai Raja Lautan untuk
waktu tiga tahun, bahkan boleh saja mereka itu mengalahkan lawan dengan membunuhnya ! Raja
wali Lautan sendiripun pada sembilan tahun yang lalu telah merobohkan Raja Lautan lama dengan
membunuhnya dalam adu ilmu itu ! Dan semenjak itu, belum pernah ada bajak lain yang dapat mengalahkannya.
Akan tetapi, Rajawali Lautan adalah seorang cerdik. Dia tidak mau membunuh lawan
karena dia ingin agar semua tokoh bajak laut tun-duk dan takluk kepadanya, bukannya membenci dan
mendendam. Maka diapun jarang sekali me-nurunkan tangan maut, kecuali tentu saja kalau ke
dudukannya terancam.
Beberapa orang maju lagi secara bergiliran, akan tetapi tidak ada seorangpun yang mampu
menandingi Rajawali Lautan lebih dari sepuluh jurus! Dan sebagian besar dari pada para tamu yang
tadinya ingin mencoba -coba kepandaian, menjadi jerih dan akhirnya mereka itu hanya me-masuki
rombongan yang memberi bingkisan secara suka rela tanpa bertanding lagi.
Ketika Petani Lautan maju, semua orang me-mandang dengan hati penuh ketegangan dan di sana
sini terdengar orang berbisik-bisik. Sekarang tuan rumah benar -benar berhadapan dengan seo-rang
musuh bebuyutan atau seorang yang memiliki kepandaian setingkat. Semua bajak laut tahu be-laka
bahwa di daerah lautan mereka, yang menjadi jagoan hanya tiga orang, yaitu Raja Lautan seka-rang
yang berjuluk Rajawali Lautan Timur, Si Pe-tani Lautan, dan Raja Muda Selatan. Mereka ber-tiga
inilah yang tiga tahun yang lalu merupakan tokoh -tokoh yang saling memperebutkan kedu-dukan
secara seru dan setingkat. Memang akhirnya Rajawali Lautan yang menang, akan tetapi
kemenangannya tipis sekali. Sekarang, tiga tahun telah lewat dan semua orang tentu saja tahu
betapa dua orang tokoh yang dikalahkan itu telah memperda-lam ilmu -ilmu mereka untuk dapat
menjatuhkan Rajawali Lautan dan merebut kedudukan Rajawali Lautan dalam kesempatan ini. Jadi,
dua orang itu tentu telah bersiap -siap dengan matang ! Maka.
setelah kini akhirnya orang yang mereka tunggu-tunggu muncul, yaitu Si Petani Lautan, semua orang
memandang dengan hati tegang dan wajah berseri gembira karena mereka maklum bahwa
pertunjukan sekali ini benar -benar amat hebat dan menarik.
"Maaf, Hai -ong. Aku yang bodoh ingin mem-persembahkan sebuah pusaka kepadamu!" kata Petani
Lautan sambil memberi hormat.
Rajawali Lautan tertawa. Memang sejak tadi dia sudah menanti -nanti datangnya saat ini, di mana
Petani Lautan atau Raja Muda Selatan akan menyerahkan bingkisannya yang berarti dia harus
mempertahankan kedudukannya terhadap mereka. Hanya dua orang itulah yang dianggapnya
sebagai saingan yang patut untuk dilawan, yang lainnya tidak masuk hitungan.
"Ha -ha -ha, silahkan, saudara Phang, silahkan. Sebenarnya hampir aku tidak berani menerima
persembahanmu. Tiga tahun yang lalu saja, ham-pir aku kehilangan sebelah tanganku ketika mencoba
untuk menerima bingkisanmu. Apa lagi se-karang tentu engkau sudah maju pesat sekali,
buktinya engkau sudah bisa mengendalikan aliran keringatmu. Dahulu engkau terpaksa harus selalu
bertelanjang baju, akan tetapi sekarang engkau sudah dapat memakai baju dan mengendalikan
keluarnya keringatmu. Hebat! Aku sebenarnya jerih, akan tetapi aku kepingin mencobanya juga!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Rajawali Lautan sengaja mengucapkan kata-kata merendah, bukan hanya untuk membuat lawan
tenggelam dalam kebanggaannya sehingga mungkin saja menjadi lengah, juga dia harus menjaga
segala kemungkinan, sehingga andaikata dia benar -benar kalah, dia tidak sampai terbanting oleh
sikap yang congkak sebelum bertanding. Sebenarnya, bagi orang -orang yang hidup di dunia hitam,
atau yang disebut kaum sesat, mereka tidak lagi mem-perdulikan akan sopan santun, tidak perduli
apakah sikap mereka itu merugikan orang lain atau me-nyinggung orang lain. Setiap jalan pikiran,
setiap ucapan dan perbuatan, selalu hanya demi keun-tungan diri sendiri.
Sikap kaum sesat itu menjadi pelajaran yang teramat baik bagi kita. Pernahkah kita meneliti dan
mengamati sikap hidup kita sendiri sehari-hari? Bagaimanakah keadaan jalan pikiran atau batin kita,
kemudian bagaimana pula keadaan yang nya-ta dari perbuatan dan juga ucapan kita? Pernah-kah
kita berpikir, berkata atau berbuat yang di ba-liknya tidak mengandung pamrih untuk enak sen-diri,
senang sendiri, dan menang sendiri? Benar-kah apa yang terucap oleh mulut kita selalu sejalan
dengan bisikan hati kita? Adakah kesatuan antara batin, ucapan dan perbuatan? Kita berlumba
menonjolkan kebaikan-kebaikan kita, bukankah itu hanya merupakan jembatan saja bagi kita untuk
mencapai kesenangan dalam bentuk kepuasan batin, pujian, harapan, pahala dan sebagainya?
Pernahkah kita bertindak atau bicara dengan dasar belas kasihan atau cinta kasih? Pernahkah?
Kalau tidak pernah, mengapa? Semua pertanyaan ini kiranya amat perlu bagi kita manusia -manusia
yang hidup dan yang dianggap sebagai mahluk berahlak dan berakal budi, bukan?
Sikap Rajawali Lautan Timur yang merendah tadi jelas mengandung pamrih demi keuntungan diri
sendiri, bukan rendah hati lagi. Rendah hati bukan terletak di mulut, melainkan di batin, dan mulut
baru bersih dan benar kalau menyuarakan batin tanpa dipertimbangkan dan disensor oleh pikiran
yang selalu berpalsu -palsu.
Si Petani Lautan yang bernama Phang Kui ter-senyum. Senyum orang yang percaya akan kehe-batan
diri sendiri, yang menyembunyikan rasa bangganya karena pujian lawan tadi, menyembu-nyikannya di
balik senyuman, yang bukan lain juga merupakan suatu bentuk pamer terselubung. Dia membuka
bajunya sehingga badan yang kurus de-ngan tulang iga menonjol dan membayang di balik kulit
nampak nyata. Tidak nampak setetespun keringat keluar dari kulit tubuhnya. Akan tetapi semua orang
yang sudah mengenal kelihaian pria ini, cepat mundur dan menjauh karena mereka tahu betapa
berbahayanya benda cair kecut yang kelu-ar dari tubuh tokoh ini.
Phang Kui menarik napas panjang, menghimpun sinkangnya dan brolll ! Peluhnya mulai keluar dari
pori-pori kulitnya dan mengucur deras ! Mula-mula nampak butir-butir air seperti mutiara menghias
kulit tubuhnya, dan tak lama kemudian butir -butir ini saling bertemu dan mengalir ke bawah,
berlenggak -lenggok dan membasahi se-mua kulit tubuhnya. Dia mengacungkan senjata-nya yang
istimewa, sebuah cangkul bergagang pan-jang. Sebelum bergerak lebih lanjut, Phang Kui menyambar
sebuah teko terisi air teh dari atas meja. Teko besar itu dituangkannya ke mulut yang ternganga
sampai habis isinya. Dengan wajah nampak lega dan puas, Si Petani Lautan mengem-balikan teko
kosong dengan tangan kirinya ke atas meja, kemudian mulutnya berkata lirih dan lem-but, "Terimalah
persembahanku !" Kata-kata yang halus itu tiba -tiba disambung dengan bentakan yang amat nyaring
dan mengejutkan semua orang.
"Hyaaaatttt !!" Nampak sinar menyambar
dan cangkul bergagang panjang itu telah berge-rak seperti kilat cepatnya. Mata cangkul berki-lauan
dan gerakannya mengundang datangnya angin, ketika mata cangkul itu terangkat dan bung-kusan
panjang terlempar dengan amat lajunya ke arah muka Rajawali Lautan ! Baru meluncurnya benda
sumbangan itu saja sudah merupakan se-rangan kilat yang berbahaya. Akan tetapi itu hanya
merupakan "pembukaan" belaka karena luncuran benda sumbangan itu disusul hampir sama.
cepatnya oleh mata cangkul yang membacok atau mencangkul ke arah dada lawan !
"Hemmmm !" Rajawali Lautan Timur
menggerakkan tubuhnya yang tinggi kurus, melon-cat ke belakang dan miringkan kepala, menangkap
bungkusan dengan tangan kiri yang memegang kipas besi.
"Trappp ....!" Kipas besi yang tadinya terbuka itu, begitu menerima bungkusan lalu menutup dan
menjepit benda sumbangan. Akan tetapi pada saat itu, cangkul lawan telah datang menyambar ke
arah dadanya dengan kecepatan yang dahsyat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan gerakan indah Tung -hai -tiauw atau Rajawali Lautan Timur sudah melemparkan barang
sumbangan itu ke arah pembantunya yang segera menerimanya dan menumpuk benda itu di atas
meja tempat menaruh benda -benda sumbangan, dan sambil melontarkan benda tadi, Si Rajawali
Lautan sudah mengelak sambil menangkis dengan gagang kipas besinya. Akan tetapi karena
sebelum menangkis tadi dia melontarkan dulu barang sumbangan, tangkisannya agak terlambat
sehingga mata cangkul itu masih menyerempet lambungnya.
"Cringgg ... trakk !" Mata cangkul tertangkis gagang kipas lalu menyerempet lambung, akan tetapi
Kim-pouw-san (Jubah Mustika Emas) yang kebal membuat serangan itu meleset dan tidak melukai
kulit lambung! Bahkan karena pengerahan sinkang, mata cangkul itu terpental dan penyerangnya
merasa betapa kuatnya lambung yang mene-rima mata cangkul tadi.
Akan tetapi, Petani Lautan itu lihai bukan ma-in. Dia sudah mempergunakan langkah ajaibnya dan
tahu-tahu tubuhnya sudah menyelinap dan gagang cangkulnya kini menyerang dengan sodokan
keras ke arah leher lawan !
"Bagus !" Si Rajawali Lautan memuji dan dia-pun terkejut, tidak menyangka lawan memiliki gerakan
secepat ini. Karena yang menyerangnya adalah gagang cangkul, maka dia berani menang-kis dengan
lengan kirinya yang kuat.
"Dukk !" Lengan kiri yang kuat itu menangkis gagang cangkul. Pertemuan antara lengan dan gagang
cangkul itu tidak terhenti di situ saja ka-rena gagang cangkul itu telah membalik dan kini mata
cangkulnya mencangkul kepala dan lengan yang tadinya menangkis itupun tiba -tiba meluncur ke
depan, tangan yang berkuku tajam sekuat baja itu sudah membentuk cakar rajawali dan mencengkeram
ke depan, ke arah pusar lawan ! Begitu ce-patnya kedua orang ini bergerak melanjutkan pertemuan
lengan dan gagang cangkul sehingga ke-duanya terkejut karena tahu -tahu serangan lawan
telah tiba sedemikian hebatnya ! Kalau mereka berdua melanjutkan serangan dan membiarkan serangan
lawan datang, tentu berarti akan mengadu nyawa dan mungkin keduanya akan tewas atau
setidaknya terluka parah. Melihat ini, diam -diam Lam -siauw -ong sudah tersenyum-senyum girang.
Biar mereka berdua itu mampus bersama, pikirnya,, dan kursi Raja Lautan akan dapat diperolehnya
tanpa banyak membuang tenaga !
Akan tetapi, Tung -hai -tiauw dan Petani La-utan adalah dua orang tckoh besar yang telah me-miliki
kepandaian tinggi, tentu saja mereka tidak mau mati konyol begitu saja. Dalam ilmu silat ada hal -hal
yang selalu dipentingkan oleh kaum per-silatan, yaitu pertama, sedapat mungkin mendahu-lui lawan
dengan serangan yang tepat, dan kalau hal ini tidak mungkin, maka yang terutama adalah
menyelamatkan atau menghindarkan diri lebih du-lu dari bahaya yang mengancam pada saat itu. Maka,
melihat bahaya yang mengancam hebat, kedu-anya lalu menunda serangan mereka dan lebih
dulu mereka berdua melemparkan diri ke belakang. Ragi Petani Lautan yang memiliki langkah -langkah
ajaib, dengan lebih mudah sudah dapat memu-tar kaki mengatur langkah sehingga tubuhnya
men-jauh dan sekaligus menghindarkan diri dari ceng-keraman lawan akan tetapi juga hantaman
mata cangkulnya tidak mencapai kepala lawan. Si Raja-wali Lautan lebih repot dan terpaksa tadi dia
me-lempar diri ke belakang sehingga tubuhnya mem-buat poksai (salto) sampai tiga kali ke belakang.
Kesempatan ini tidak disia -siakan oleh Petani Lautan. Dia sudah lebih dulu dapat menguasai
posisinya dan melihat betapa lawan masih bersalto untuk mengatur keseimbangan tubuh, dia sudah
mendesak dengan cangkulnya, mainkan Ilmu Silat Ban -seng -kun yang dahsyat! Didesak seperti itu,
Rajawali Lautan Timur terpaksa memutar ki-pasnya dan mengandalkan jubah emasnya untuk
mempertahankan diri dan sampai belasan jurus dia tidak sempat membalas serangan lawan yang
ber-tubi -tubi.
Memang hebat sekali permainan cangkul dari Petani Lautan. Selama tiga tahun ini dia sudah
memperdalam gerakan -gerakannya, bahkan mem-perkuat sinkangnya dengan latihan -latihan. Selain
gerakannya cepat dan kuat, langkah -langkah ke-dua kakinya aneh sekali dan tubuhnya seperti da-pat
pindah -pindah posisi di luar perhitungan la-wan, juga kini peluh -peluhnya mulai berpercikan di sekitar
tubuhnya dan terutama sekali di bagian depan tubuh sehingga butiran -butiran keringat itu
menyambar ke arah lawan seperti senjata -sen-jata rahasia. Memang tentu saja butiran -butiran peluh
ini tidak berbahaya, akan tetapi bagaimana-pun juga harus diakui bahwa sambaran air -air yang
berbau kecut ini cukup membingungkan la-wan, apa lagi kalau menyambar ke arah muka dan
terutama mata.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiga tahun yang lalu, dalam pertandingan yang sama, yaitu memperebutkan kedudukan Raja Laut-an,
Rajawali Lautan Timur menang tipis. Hanya se-sedikit selisih tingkat di antara mereka. Andaikata
tingkat kepandaian Si Rajawali Lautan masih sama dengan tiga tahun yang lalu, sekali ini mungkin dia
akan kalah. Akan tetapi, sebagai seorang Raja La-utan, tentu saja selama ini dia tidak tinggal diam.
Dia tahu bahwa mempertahankan lebih sukar dan berat ketimbang merebut karena yang hendak merebut
tentu berusaha mati -matian untuk merebut kedudukan itu. Maka selama tiga tahun ini Si Rajawali
Lautan Timur juga telah menggembleng diri dan mencapai kemajuan -kemajuan besar.
Setelah agak terdesak selama belasan jurus, akhirnya Tung -hai -tiauw dapat mengatur kem-bali
posisinya dan dapat menguasai perkelahian itu. Kipas besinya mengebut runtuh semua butiran
keringat yang menyambar ke arahnya dan sekaligus menangkis setiap serangan cangkul dan
gagangnya. Kipas besinya itu seolah -olah membentuk benteng baja yang membuat cangkul lawan
tidak dapat menembusnya, dan sebagai pembalasan, tangan kanannya membentuk cakar rajawali
dan menyam-bar-nyambar ke depan. Kipas telah dipindahkan ke tangan kiri, dan kini lengan
kanannya berobah keras dan amat kuat, kuku-kuku jari tangán ka-nannya tajam dan runcing
melengkung. Betapapun juga, Si Rajawali Lautan Timur hanya dapat me-lindungi dirinya karena
semua cengkeramannya tidak pernah mengenai sasaran. Agaknya langkah-langkah ajaib dari
lawannya amat luar biasa pula.
membuat tubuh lawannya itu kadang -kadang se-perti lenyap dari depannya dan tahu -tahu muncul di
sebelah kiri, kanan atau bahkan di belakangnya !
Karena merasa jengkel melihat kelincahan la-wan, Rajawali Lautan Timur lalu sengaja memperlambat
gerakannya. Melihat lowongan ini Si Petani Lautan girang sekali dan cangkulnya menyambar
dengan dahsyatnya ke arah kepala lawan.
"Wuuuuttt !" Mata cangkul berobah menjadi sinar berkilat ketika menyambar muka Tunghai -
tiauw. Akan tetapi, Rajawali Lautan itu tidak mengelak atau menangkis, bahkan meloncat ke atas
sehingga mata cangkul menyambar ke arah dadanya! Raja Lautan itu sengaja menerima han-taman
cangkul itu dengan dadanya yang tentu saja terlindung oleh jubah emasnya yang membuatnya kebal.
Dan satu -satunya bahaya hanyalah tenaga pukulan itu yang mengandung sinkang amat kuat, maka
diapun mengerahkan tenaga sinkang ke arah dada untuk melawan tenaga penyerangnya.
"Desss !" Pada saat mata cangkul menghantam dadanya, pada saat itupun Tung-hai-tiauw
menggunakan tangan kiri yang memegang kipas menotok ke arah jalan darah di dada lawan.
Si Petani Lautan terkejut sekali. Mata cang-kulnya terpental ketika mengenai dada lawan dan melihat
totokan gagang kipas, dia cepat mengelak. Akan tetapi, kini tangan kanan Tung-hai–tiauw yang
membentuk cakar telah mencengkeram ke arah ubun -ubun kepalanya.
Melihat ini, Si Petani Lautan cepat membalik-kan cangkulnya, menangkis dengan gagangnya. Akan
tetapi, Tiing -hai -tiauw melanjutkan serang-annya dan ketika gagang cangkul menangkis, dia
mencengkeramnya.
"Krekkkk !" Gagang cangkul itu hancur lebur dicengkeram oleh cakar rajawali! Dengan wajah
pucat, Si Petani Lautan meloncat dua meter ke belakang sambil menjura.
"Hai -ong, kepandaianmu makin hebat saja dan engkaulah yang pantas menjadi Raja Lautan. Aku
mengaku kalah !"
Semua orang yang mengikuti jalannya perkela-hian itu memandang terbelalak dan merasa ngeri
membayangkan betapa kuatnya cakar rajawali itu. Kalau anggauta badan lawan yang kena dicengkeram,
tentu akan cabik -cabik dagingnya dan re-muk-remuk tulangnya. Setelah Si Petani Lautan
mengaku kalah, terdengar tepuk tangan memuji.
Tepuk tangan itu tiba -tiba terhenti ketika se-mua orang melihat majunya Lam -siauw -ong. Si Raja
Muda Selatan. Dengan sikapnya yang ang-kuh, pakaiannya yang mewah seperti seorang bang-sawan
tulen, tubuhnya yang gendut, dia melangkah ke depan menghampiri tuan rumah.
"Hebat, hebat kepandaian Si Rajawali Lautan Timur semakin tangguh saja, membuat aku merasa
jerih untuk dapat merebut kedudukan. Hai-ong, terimalah persembahanku ini!" Sambil berkata
demikian, tangan kanannya meraba ke balik jubahnya yang lebar panjang dan pada saat itu, seorang
dunia-kangouw.blogspot.com
pembantunya melontarkan sebuah bungkusan kecil yang kelihatan berat ke arahnya. Nampak kilat
menyambar menyilaukan mata dan tahu-tahu Raja Muda Selatan ini telah memegang sebatang
pedang di depan dadanya, pedang ditodongkan ke depan dan bungkusan kecil yang berat itu telah
berada di ujung pedangnya !
"Tunggu sebentar, Siauw -ong !" kata Raja-wali Lautan Timur dan diapun sudah mengham-piri meja
tempat ditaruhnya barang -barang bing-kisan, menyimpan kipasnya dan mengambil bung-kusan
panjang pemberian Si Petani Lautan tadi. dibukanya bungkusan itu dan ternyata benda itu adalah
sebatang golok dengan sarungnya yang amat indah. Sebuah golok pusaka yang telah dirampas oleh
Si Petani Lautan dari perahu kerajaan ! Raja-wali Lautan Timur agaknya sudah tahu ketika tadi
menerima benda itu dan untuk menghadapi pedang Raja Muda Selatan, tidak cukup kalau hanya
mem-pergunakan kipas besinya. Dia sudah mendengar bahwa lawan ini telah memperdalam ilmu
pedang-nya dan menguasai Ilmu Pedang Hun -kin -kiam (Pedang Pemutus Urat) yang amat
berbahaya. Untuk menghadapi ilmu pedang itu, Raja Lautan ini sengaja menciptakan sebagai
tandingannya ilmu golok yang hebat. Dia memang ahli main golok di samping ilmu silat lainnya dan
dianggapnya bahwa satu -satunya senjata yang tepat untuk menghadapi pedang lawan hanya ilmu
golok. Dia sendiri me-miliki sebatang golok yang baik, akan tetapi karena dia tahu bahwa golok yang
dipersembahkan oleh Si Petani Lautan itu adalah golok pusaka yang ampuh, maka diapun segera
mengambilnya.
Si Petani Lautan tersenyum. Memang dia se-ngaja menyerahkan golok itu karena dia mende-ngar
akan persiapan tuan rumah menghadapi Raja Muda Selatan. Memang sudah direncanakan demikian.
Kalau dia kalah, biarlah tuan rumah ini tetap menjadi Raja Lautan dan mengalahkan Raja
Muda Selatan pula. Dia tidak rela kalau keduduk-an Raja Lautan itu akan terampas oleh Lam-siauwong,
saingan besarnya..
Tung -hai -tiauw kini melangkah ke depan dan berdiri di lantai atas, lebih tinggi dua anak tangga dari
pada Lam -siauw -ong yang berdiri di bawah. Raja Lautan ini nampak gagah perkasa dengan pakaian
yang mewah pula, gelung rambut di atas kepala itu dihias dengan hiasan rambut seperti yang biasa
dipakai oleh para bangsawan, agaknya untuk menandakan bahwa dia adalah Raja Lautan, walaupun
raja kaum bajak! Tubuhnya yang ting-gi itu berdiri tegak, tangan kanan memegang golok
pusaka di depan dada, tangan kirinya siap pula membantu, dan matanya memandang tajam ke arah
lawan.
"Lam -siauw -ong, aku telah siap menghadapi Ilmu Hun -kin -kiam dari pedangmu !" katanya dengan
sikap tenang.
Lam -siauw -ong berdiri tegak dengan kaki kanan di depan. Suasana amat sunyi dan mene-gangkan
hati. Orang bertubuh gendut yang meng-aku sebagai Raja Muda Selatan ini, sejenak meno-leh dan
memandang ke arah Petani Lautan dengan alis berkerut. Agaknya diapun dapat "mencium" rencana
siasat yang dijalankan oleh saingannya itu dengan memberi sumbangan berupa sebuah golok pusaka
kepada tuan rumah. Melihat Si Petani La-utan yang sudah kalah itu tersenyum, Lam -siauw-ong
mengeluarkan suara menggumam dari kerong-kongannya, kemudian dia memandang lagi kepada
tuan rumah yang sudah siap.
"Hai -ong, terimalah !" Tiba -tiba dia berseru dan sekali pedangnya tergetar, tiba -tiba bung-kusan di
ujung pedang itu seperti hidup, bergerak-gerak dan akhirnya meloncat ke arah tuan rumah ! Menyusul
itu, nampak sinar pedang bergulung-gulung dan terdengar suara berdesing -desing di-sertai angin
yang membuat lampu -lampu gantung bergoyang dan api lilin berkelap -kelip.
"Haiiiittt !" Lam -siauw -ong mengeluarkan suara melengking nyaring dan sinar pedang yang
bergulung -gulung itu kini meluncur ke arah tuan rumah, mengikuti bungkusan barang sumbangannya
tadi.
Tung -hai -tiauw sudah menggerakkan golok-nya menyambut bungkusan. "Trakkk !" Bungkusan yang
berat itu menempel pada golok itu seperti besi dengan sembrani. Akan tetapi sinar pedang lawan
sudah datang menyerang. Menerima bung-kusan sumbangan haruslah dengan hormat dan pantang
untuk menjatuhkan bungkusan itu. Akan tetapi kalau bungkusan yang menempel pada golok itu tidak
dilempar, tentu akan sukar baginya menghadapi serangan lawan yang demikian dah-syat ! Maka
Tung -hai -tiauw lalu menggetarkan goloknya dan bungkusan itu terbang ke atas. Pada saat itulah
dunia-kangouw.blogspot.com
sinar pedang datang menyambar dan golok yang diputar itupun berobah menjadi gu-lungan sinar
putih cemerlang.
"Trang -cringgg tranggg, tranggg !!"
Empat kali beruntun dua senjata itu bertemu. Bu-nga api berpijar dan keduanya merasa betapa tangan
mereka tergetar hebat. Pada saat itu, bung-kusan sumbangan sudah melayang turun kembali,
disambut oleh Tung -hai -tiauw dengan tangan kiri sedangkan kakinya meloncat ke belakang untuk
menghindarkan diri kalau -kalau lawan kembali menyerang. Akan tetapi, sinar pedang itu berkele-bat
panjang mengitari tubuh Lam -siauw -ong dan ketika dia berdiri tegak, ternyata ada tiga batang lilin
pendek bernyala di atas pedangnya ! Kiranya pedang itu telah menyambar tiga batang lilin yang
bernyala di atas meja tak jauh dari situ dan sede-mikian hebat gerakan pedang itu sehingga mam-pu
membabat tiga batang lilin yang potongannya melekat pada pedang, sedangkan api ketiga lilin itu
tidak padam! Kecepatan gerak disertai tenaga sinkang yang amat kuat ini membuat semua orang
melongo karena gerakan pedang membabat dan membawa potongan lilin itu seperti permainan sulap
saja. Maka terdengarlah tepuk tangan me-muji.
Lam -siauw -ong memandang dengan mata bersinar mengejek ketika tuan rumah melempar-kan
bungkusan sumbangan itu kepada seorang pembantunya yang segera menaruhnya dengan si-kap
hormat ke atas meja, di antara tumpukan ba-rang -barang sumbangan lain. Kemudian, Lam-siauw -
ong menggerakkan tangan yang memegang pedang dan tiga batang lilin pendek yang bernya-la itu
menyambar berturut -turut ke arah Tung-hai -tiauw. Laki -laki tinggi kurus ini menggerak-kan goloknya
dan nampak sinar golok berkelebat menyilaukan mata tiga kali dan tiga batang potong-an lilin itu
berobah menjadi enam potong dengan apinya masih menyala ketika enam potong itu runtuh ke atas
lantai dan apinya padam. Kiranya golok itu dengan kecepatan kilat telah membelah potongan lilin itu
menjadi dua dengan belahan di tengah-tengah sehingga sumbunyapun terbelah dua dan masingmasing
masih bernyala! Tentu saja demonstrasi penggunaan golok yang luar bia-sa hebatnya ini
disambut dengan tepuk sorak oleh para tamu.
Lam -siauw -ong memandang dengan hati panas dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah me-nerjang
ke depan, pedangnya bergerak dengan ce-pat. Lawannya menyambut dan mereka sudah sa-ling
serang dengan serunya, tubuh mereka lenyap terbungkus gulungan sinar pedang dan golok yang
seolah -olah berobah menjadi dua ekor naga yang saling belit dan saling himpit.
Dua orang raja kaum sesat yang hadir sebagai tamu, yaitu Sin-go Mo Kai Ci dan San -hek -houw,
memperhatikan gerakan mereka berdua yang ber-kelahi itu dan diam -diam mereka terkejut dan
kagum bukan main, maklum bahwa mereka berdua tidak akan mampu menandingi tuan rumah dan
saingannya itu. Apa lagi mengingat bahwa mereka sebagai tokoh -tokoh darat dan sungai kini berada
di "dunia lain", yaitu di daerah kekuasaan bajak-bajak laut sehingga mereka terpencil dan merasa
amat asing. Kalau saja mereka tidak mengingat bahwa mereka berdua adalah utusan Raja Kelela-war
dan mengandalkan iblis yang amat lihai itu, tentu mereka berdua akan merasa jerih sekali.
"Cring -trang -tranggg !!" Untuk ke sekian
kalinya pedang bertemu dengan golok dan nampaklah
bunga api berpijar menyilaukan mata. Ke-dua orang yang telah mengadu tenaga lewat senjata
mereka itu cepat memeriksa senjata masing-masing dan legalah hati mereka melihat bahwa
senjata mereka tidak menjadi rusak. Lam -siauw-ong yang tadinya mengandalkan pedangnya dengan
Ilmu Pedang Hun -kin -kiam -sut itu, merasa pe-nasaran sekali bahwa lawannya mampu mematahkan
semua serangannya dengan ilmu goloknya. Dia mengeluarkan bentakan nyaring dan menerjang
la-gi ke depan dengan dahsyat, pedangnya lenyap berobah menjadi gulungan sinar panjang dan menyambar
-nyambar dengan ganasnya. Hun -kin-kiam-sut (Ilmu Pedang Pemutus Urat) adalah ilmu
pedang yang dilatihnya selama tiga tahun ini, dan merupakan ilmu pedang yang amat dahsyat. Ujung
pedang itu seperti hidup saja, dapat mencari urat-urat halus dan jalan -jalan darah yang me-matikan,
maka setiap tusukan atau bacokan meru-pakan serangan maut. Karena Lam -siauw -ong
menggerakkan pedangnya dengan pengerahan sin-kang, maka selain pedang itu lenyap berobah
men-jadi sinar bergulung -gulung, juga dari gulungan sinar itu kadang -kadang mencuat sinar
menyam-bar ke arah lawan dan setiap kali nampak sinar menyambar ini, terdengar bunyi bercuitan
menge-rikan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, ternyata ilmu golok yang dimain-kan oleh Tung -hai -tiauw juga hebat sekali. Se-lain golok
yang dimainkannya merupakan golok pusaka, juga ilmu goloknya amat hebat. Golok itu adalah golok
pusaka yang tadinya merupakan pu-saka istana kaisar, bernama Toat -beng -to (Go-lok Pencabut
Nyawa). Sebenarnya, kalau diban-dingkan dengan ilmu golok yang dimainkan tuan rumah dengan
Ilmu Pedang Hun -kin -kiam -sut, maka ilmu golok itu masih kalah hebat. Sekiranya Tung -hai -tiauw
hanya mengandalkan ilmu go-loknya menghadapi Lam -siauw -ong, agaknya dia akan kalah. Akan
tetapi, kekalahannya dalam hal mainkan senjata itu tertutup oleh keuntungannya karena dia memakai
baju emas yang membuatnya kebal itu. Beberapa kali ketika ujung pedang me-nyambar ke arah
dadanya, dengan berani dia me-nerima tusukan itu dengan baju emasnya dan mem-barengi dengan
bacokan golok sehingga Lam-siauw -ong menjadi sibuk bukan main karena tu-sukannya meleset dan
dirinya bahkan terancam bacokan maut! Di samping baju emas yang mem-buatnya kebal itu, juga
Tung -hai -tiauw masih memiliki cengkeraman kukunya dari tangan kiri dan cengkeraman ini amat
berbahaya, tidak kalah dari serangan goloknya. Karena bantuan baju emas dan cengkeraman kuku
inilah maka Tung -hai-tiauw mulai dapat mendesak lawannya !
Kembali pedang itu meluncur ke arah leher de-ngan tusukan yang halus dan cepat sekali sampai
mengejutkan hati Tung -hai -tiauw. Kalau tusukan itu mengenai jalan darah di lehernya, tidak usah
dalam -dalam tusukan itu, tentu dia akan roboh dan tak mungkin dapat bangkit kembali. Maka cepat
dia menangkis dengan goloknya sambil me-ngerahkan tenaga. Pedang tertangkis, terpental dan
dengan cepatnya pedang yang tertangkis itu me-luncur ke bawah, membacok ke arah urat di pun-dak.
Untuk ke sekian kalinya, Lam -siauw -ong yang bergerak menurut ilmu pedangnya, lupa bah-wa
lawannya memakai baju emas yang membuat-nya kebal, maka pedangnya membacok pundak lawan.
Tung -hai -tiauw membiarkan saja pun-daknya diserang bacokan dan sebagai balasan, go-loknya
menyambar ke arah paha kanan lawan dan tangan kirinya mencengkeram ke arah pusar! Sungguh
luar biasa dahsyat dan berbahayanya se-rangan balasan Tung -hai -tiauw ini! Pada detik terakhir yang
amat menegangkan dan berbahaya bagi nyawanya ini, terdengar Lam-siauw-ong mengeluarkan
suara melengking, pedangnya ber-kelebat dan tubuhnya dilemparkan ke belakang.
"Bretttt !!" Terdengar suara nyaring dan
Lam -siauw -ong berjungkir balik dan dapat ber-diri dengan terhuyung, mukanya pucat sekali ka-rena
bajunya bagian pusar telah koyak-koyak. Nyaris perutnya yang koyak oleh cengkeraman tadi dan
pedangnya mampu menyerempet pung-gung tangan kiri lawan, menimbulkan luka sedikit dan
berdarah sedikit.
Mengertilah Lam -siauw -ong bahwa pihak tuan rumah telah bersikap murah hati terhadap di-rinya,
karena kalau Tung -hai -tiauw tadi meng-hendaki, tentu kini dia telah roboh dengan isi perut
berantakan ! Maka diapun tahu diri, maklum bah-wa sampai saat itu tingkat kepandaiannya masih
kalah sedikit. Diapun menjura dan berkata dengan suara mengandung kekecewaan besar, "Hai -ong,
aku mengaku kalah !"
Tung -hai -tiauw merasa girang bukan main telah dapat mengalahkan lawan yang paling berba-haya
ini. Dia tersenyum lebar dan balas menjura. "Ah, Siauw -ong telah bersikap merendahkan diri dan
sengaja telah mengalah terhadapku. Terima kasih, Siauw-ong. Nyaris tanganku buntung oleh
pedangmu yang amat lihai!"
Raja Muda Selatan itu kembali ke tempat du-duknya dengan lesu dan tepuk sorak para hadirin yang
menyambut kemenangan Rajawali Lautan itu baginya seperti ejekan terhadap dirinya sehing-ga
mukanya menjadi kemerahan.
Setelah Petani Lautan dan Raja Muda Selatan kalah, tidak ada lagi kepala bajak yang berani maju
mencoba kepandaiannya terhadap Rajawali Lautan, oleh karena itu, jelas bahwa kedudukan Hai -ong
(Raja Lautan) masih dimiliki Tung -hai-tiauw untuk jangka waktu tiga tahun lagi. Kursi singgasana
yang tadinya ditutupi kain putih kini dibuka dan dengan resmi, di bawah tepuk tangan para hadirin,
Tung -hai -tiauw duduk di atas kursi singgasana itu dengan sikap gagah dan gembira. Semua orang
lalu mengangkat cawan memberi se-lamat kepada Raja Lautan.
Sin -go Mo Kai Ci dan San -hek -houw yang; datang sebagai tamu yang tidak mempunyai hu-bungan
dengan pemilihan Raja Lautan, juga seba-gai rekan -rekan dari Tung -hai -tiauw karena mereka
bertiga pernah dikenal di dunia kang -ouw sebagai Sam -ok (Si Tiga Jahat), juga bangkit dari kursi
mereka, menghampiri Tung -hai -tiauw sam-bil mengangkat cawan arak mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hai -ong, kami berdua dalam kesempatan ini mengucapkan selamat atas kemenanganmu !" kata San
-hek -houw dan dia mengangkat cawan arak-nya, diikuti oleh Si Buaya Sakti.
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru