Kamis, 19 April 2018

Cersil Darah Pendekar 2

----
"Maaf, locianpwe, kami merasa sebagai orang luar maka kami tidak berani mengganggu"
"Siapakah kalian ?"
"Kami...... kami hanya pelancong-pelancong yang kemalaman di sini " Pemuda itu tidak mau
memperkenalkan diri mereka.
"Dia itu Kim -suipoa !" Tiba-tiba berteriak seorang, di antara para penjahat yang mengenal pendekar
tua itu.
"Dan itu dia Pek-bin-houw !" teriak seorang lain.
Mendengar disebutnya dua nama ini, tiba -tiba Raja Kelelawar tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kiranya
hanya kaum pemberontak hina ? Kalian sudah mengintai kami, harus mampus semua!" Dan diapun
lalu mendorongkan tangannya yang sakti ke arah Kwee Tiong Li! Pemuda ini terkejut. Dia masih
belum memperoleh kembali tenaganya dan sedapat mungkin dia meloncat ke kiri untuk
menghindarkan diri. Akan tetapi tetap saja angin pukulan itu menyambar dan diapun terguling dan
jatuh terduduk di bawah pohon depan kuil. Sambil tertawa Raja Kelelawar melangkah dan hendak
memukul, akan tetapi pada saat itu, Yang -ce Sam -lo tentu saja sudah meloncat ke depan dan
menyerangnya untuk menolong ketua rnereka.
"Dessss... !!" Raja Kelelawar mengibaskan tangannya menyambut mereka dan tiga orang
Yang -ce Sam -lo yang lihai itupun terlempar dan terbanting jatuh semua !
"Manusia iblis!" Tiba -tiba Pek Lian sudah menerjang dengan pedangnya.
"Cringg......!" Pedang itu disampok oleh tangan Raja Kelelawar dan terlepas dari pegangan Pek Lian,
dan sebelum Pek Lian mampu mengelak, pergelangan tangan kanannya telah dipegang oleh tangan
kanan Raja Kelelawar ! Melihat ini, Kim-suipoa dan Pek -bin -houw segera menerjang ma-ju untuk
menolong, akan tetapi Raja Kelelawar menggerakkan kakinya dan dua orang itupun terlempar dan
terbanting jauh !
"Heh-heh-heh, ternyata engkau cantik sekali lebih cantik dan manis dibandingkan Maling Cantik. Haha-
ha, dan engkau masih perawan. Bagus... !"
Pek Lian yang dipegang pergelangan tangan kanannya meronta dan hendak memukul dengan
tangan kirinya, akan tetapi ketika dia bertemu pan-dang dengan iblis itu, tiba -tiba kepalanya terasa
pening dan tenaganya menjadi lemas dan habislah semangat melawannya. Iblis itu menariknya dan
agaknya hendak mencium, akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa perlahan dan lembut dari
dalam kuil. Mendengar suara ketawa halus yang mengandung getaran sampai terasa oleh jantungnya
itu, Raja Kelelawar terkejut dan mengangkat muka memandang. Tiba-tiba dari dalam kuil
muncul seorang kakek berjenggot putih yang memegang sebatang tongkat butut. Orang tua ini
mengangkat tangan kirinya ke atas dan berkata kepada Raja Kelelawar,
"Heh -heh -heh, nama Raja Kelelawar terlalu besar dan gagah untuk dirusak oleh perlakuan ren-dah
terhadap seorang nona muda. Raja Kelelawar, kalau memang engkau gagah, lepaskan nona muda itu
!"
Raja Kelelawar sejenak meragu dan dia me-mandang penuh perhatian. Seorang kakek tua yang
sederhana saja, dengan jubah seperti pertapa dan tubuhnya agak kecil, akan tetapi ketika bertemu
pandang mata dengan kakek itu, Bit -bo -ong baru ini terkejut melihat sepasang mata tua itu berkilat -
kilat sebagai pertanda bahwa kakek itu bukan orang sembarangan. Dan kakek itu memang cerdik,
menantangnya untuk melepaskan gadis itu sebagai orang gagah sehingga kalau tidak dilepaskannya,
sama saja mengakui bahwa dia bukan orang gagah! Maka didorongnya Pek Lian sehingga
gadis itu terjengkang, hampir menimpa tubuh Tiong Li yang masih rebah di atas tanah.
Kakek itu lalu berkata kepada Pek Lian, "Nona,
dunia-kangouw.blogspot.com
lekas bantu dia dan menjauhlah dari sini "
Pek Lian, dibantu oleh Yang-ce Sam-lo dan juga oleh dua orang gurunya yang sudah datang
Mendekat, lalu memapah Tiong Li menjauhi Raja Kelelawar yang kini sama sekali tidak lagi
memperdulikan mereka, melainkan menghadapi kakek bertongkat itu dengan sinar mata tajam. Dia
tahu bahwa kakek ini adalah orang yang pandai sekali dan dia dapat menduga bahwa sekali ini dia
akan menghadapi lawan yang amat tangguh. Dia sama sekali tidak merasa gentar. Tidak ada apapun
di dunia ini yang dapat membuatnya merasa takut. Akan tetapi, di depan semua tokoh sesat di mana
baru saja dia diangkat sebagai raja -di -raja, dia harus dapat cepat menundukkan orang ini yang
dianggap sebagai musuh pertama yang melintang di jalan. Kalau tidak, hal itu tentu akan menurunkan
martabatnya yang telah terangkat tinggi sejak kemunculannya tadi.
"Orang tua, dengarlah baik -baik. Kalau engkau bisa menandingi ilmuku, maka tujuh orang itu akan
kubebaskan. Kalau engkau tidak mampu, mereka semua dan engkau juga akan kubunuh di sini!"
Suara yang melengking tinggi itu terdengar mengerikan sekali.
Mendengar ini, Tiong Li, Pek Lian dan lima orang tua terkejut bukan main. Mereka kini dapat
menduga bahwa suara batuk -batuk yang pernah mereka dengar tanpa melihat orangnya, tentulah
kakek bertongkat ini yang melakukannya, untuk memberi peringatan kepada mereka akan bahaya
yang mengancam dari para orang sesat yang berkumpul di luar kuil.
Akan tetapi kakek itu nampak tenang -teƱan saja bahkan lalu terkekeh, kelihatan girang sekali "Heh -
heh, benarkah begitu ? Ah, terima kasih terima kasih ! Akan tetapi, kalau engkau meman benar
keturunan Raja Kelelawar, ilmu yang mana kah yang harus kutandingi ? Sejak muda suda' kudengar
bahwa Raja Kelelawar memiliki beberap ilmu simpanan yang diandalkan, yaitu antara lain Ilmu Bu -
eng Hwee -teng (Loncat Terbang Tanp Bayangan) yang merupakan ginkang yang ama hebat, Ilmu
Kim -liong Sin -kun (Silat Sakti Nag Emas) yang merupakan ilmu silat yang amat ting gi mutunya, dan
Ilmu Pat -hong Sin -ciang (Ta ngan Sakti Delapan Penjuru) yang merupakan ga bungan sinkang dan
sihir! Yang manakah di anta ranya yang harus kuhadapi ? Kalau harus mengha dapi semuanya, wah,
wah, terus terang saja ak yang tua ini tidak akan mampu menandinginya !
Mendengar ucapan itu, Raja Kelelawar meras bangga dan girang sekali karena ucapan itu
mengandung pujian-pujian terhadap ilmu -ilmunya yang didengarkan oleh sekian banyaknya oran
sehingga derajatnya makin menaik. Akan tetapi diapun sadar bahwa kakek bertongkat yang tela
mengenal ilmu -ilmu simpanan dari perguruannya ini jelas adalah seorang yang amat lihai. Dia harus
berhati -hati. Orang selihai ini tidak boleh dihadapi! dengan sembrono. Kalau sampai dia dikalahkan di
depan semua anak buahnya, tentu namanya akan runtuh. Dan diapun tidak mempunyai permus
***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To Register.]***
uandang dengan hati diliputi ketegangan, terutama sekali Pek Lian dan kawan-kawannya yang
mengerti bahwa nyawa mereka seolah -olah tergantung kepada kakek bertongkat itu!
"Hemmm kalau aku harus melayani ilmumu Pat-hong Sin-ciang, tentu saja aku akan kalah
karena aku sudah tua dan sudah puluhan tahun tak pernah berkelahi. Kalau melawan Kim-liong Sinkun,
biarpun aku tidak akan kalah akan tetapi akupun sukar untuk bisa menang. Maka biarlah
aku akan mencoba ilmu kesaktian Raja Kelelawar yang pertama tadi, yaitu Bu-eng Hwee-teng yang
kabarnya hebat sekali itu."
Semua orang, terutama sekali Tiong Li dan ka-wan-kawannya, terkejut bukan main mendengar
ucapan kakek itu. Bahkan di antara para tokoh sesat yang hadir di situ, ada yang tertawa ce-kikikan.
"Kek-kek-kek ! Tua bangka ini sudah bosan hidup !" Jai-hwa Toat-beng-kwi terkekeh dan mengejek.
"Hi-hik, biar melawankupun takkan menang apa lagi mengadu ginkang melawan ong-ya," kata Pekpi
Siauw-kwi si Maling Cantik.
Kaum sesat adalah orang -orang yang tidak memperdulikan kesopanan dan tidak menghirau-kan
peraturan, maka biarpun mereka itu amat ta-kut dan takluk terhadap Bit -bo -ong si Raja Kelelawar,
dunia-kangouw.blogspot.com
namun tetap saja mereka itu bersikap sembarangan dan tidak memakai aturan. Dan Pek-pi Siauw -
kwi si Maling Cantik sudah menyebut-nya ong -ya, sebutan untuk raja, pangeran atau juga biasanya
untuk menyebut "raja" di antara mereka. Sebutan yang sifatnya menjilat, bukan penghormatan dan
penjilatan mengandung rasa takut.
Memang pilihan kakek itu amat menggelikan di samping mengejutkan. Hanya orang yang miring
otaknya sajalah yang untuk mengadu ilmu mela-wan Raja Kelelawar memilih adu ilmu ginkang. Sama
saja dengan bunuh diri, seperti ular mencari penggebuk. Seluruh dunia sudah mendengar bahwa di
antara sekian banyak ilmunya yang mujijat, il-mu meringankan tubuh inilah justeru yang sangat
diandalkan dan dibanggakan oleh mendiang Raja Kelelawar tua dahulu dan ilmu itu telah mengangkat
namanya setinggi langit. Dunia kang -ouw menganggap bahwa sukar dicari orang yang akan
mampu menandingi Bu -eng Hwee -teng, ilmu "terbang" dari raja datuk kaum sesat itu. Sebaliknya,
ilmunya yang lain, ilmu silatnya dan ilmu sinkangnya, masih dapat ditandingi oleh para tokoh kangouw
yang sakti. Dan sekarang, kakek itu memilih ilmu yang hebat itu untuk menandinginya. Gilakah
kakek ini ? Ataukah memang disengaja untuk menguji kebenaran pengakuan iblis hitam itu bahwa dia
benar -benar keturunan mendiang manusia iblis Raja Kelelawar ?
Si iblis itu sendiri juga merasa amat heran dan terkejut. Dia memandang bimbang. Benarkah ka-kek
ini ingin menghadapi ilmu ginkangnya yang tak pernah bertemu tanding itu ? Semenjak dia
mempelajari ilmu warisan dari Baja Kelelawar, justeru ilmu itulah yang dipelajarinya secara sempurna
karena dia tahu bahwa ilmu ginkang Bu-eng Hwee -teng itu sukar dicari bandingannya di dunia
persilatan. Apakah kakek ini sudah putus asa ataukah gila, ataukah justeru orang ini malah merasa
yakin akan dapat mengatasi ilmu itu ? Sia-pakah orang ini ? Dia harus waspada karena pilihan yang
aneh ini menimbulkan kecurigaan dan mungkin saja mengandung sesuatu di dalamnya.
Bagaimanapun juga, dia amat percaya akan kemampuannya sendiri dalam hal ginkang dan selama ini
belum pernah ada orang yang mampu menandingi ilmunya.
Kakek itu sendiri, seorang kakek sederhana saja, agaknya maklum bahwa lawannya merasa bimbang
atau memandang rendah dan semua orang men-tertawakan dirinya, maka diapun tertawa sambil
mengangkat muka memandang ke langit.
"Ha -ha -ha -ha ! Kenapa kalian semua heran! mendengar aku ingin menghadapi Bu -eng Hwee-teng,
ilmu yang amat tersohor dari mendiang Raja Kelelawar... eh, yang lama itu ? Dengarlah kalian semua,
aku sejak kecil pertama kali mempelajari ilmu silat adalah tentang ginkang ini. Sebelum belajar silat
yang lain aku lebih dulu belajar ilmu meringankan tubuh! Ini penting sekali, karena aku dapat berlari
cepat dan kalau kalah berkelahi, aku dapat mengandalkan ginkang ini untuk melari-kan diri dan aman
! Ha -ha -ha !"
Semua orang tertawa, mentertawakan kakek pikun yang mereka anggap sudah t;dak waras otak-nya
ini. Melihat suasana yang tadinya begitu ter-pengaruh oleh kehadirannya sehingga semua orang
nampak serius dan takut kini menjadi hambar oleh suara ketawa mereka karena ulah kakek ini, Raja
Kelelawar menjadi marah. Dengan angkuh dia berkata, "Kakek pikun, menghadapi ilmuku Bu-eng
Hwee -teng, engkau tidak usah memenangkan, asal dapat melayaninya saja cukuplah sudah. Kalau
dapat menandingi saja, engkau boleh membawa pergi tujuh orang itu."
"Heh -heh, benarkah itu ? Heii, dengarlah se-mua saudara golongan hitam! Pemimpin baru kalian
sudah berjanji dan biarpun golongan hitam, janji seorang pemimpin selalu harus dipegang teguh
sebagai lambang kekuasaannya, karena hanya anjing rendah sajalah yang menjilat ludahnya sendiri
yang sudah dikeluarkan. Terima kasih, marilah kita mulai. Eh, bagaimana aku harus menandingi
ginkang Bu -eng Hwee -teng yang amat hebat itu ?"
Dengan suara yang tetap bernada tinggi, iblis berpakaian serba hitamitu berkata, "Ginkang mempunyai
dua manfaat, yaitu untuk berlari cepat dan untuk bergerak cepat dalam perkelahian. Nah, kita
pertandingkan keduanya. Pertama -tama, kita berlumba menaruh dua buah batu ini ke atas puncak
bukit di depan sana. Siapa yang kembali ke sini lebih dulu, dia menang."
"Batu -batu ini ?" Kakek itu menudingkan tongkatnya kepada dua buah batu sebesar perut kerbau
yang berada di dekat tempat itu, di depan kuil. "Wah, tentu berat sekali."
"Orang yang berani menandingi Bu -eng Hwee-teng tentu tidak sukar membawa batu itu!" Tiba-tiba
terdengar suara seorang di antara para tokoh kaum sesat itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kakek itu mengangguk -angguk. "Biarlah, biar kucoba tenaga tubuhku yang sudah rapuh ini. Baik, aku
setuju. Dan bagaimana dengan pertandingan ke dua ? Ingat, aku tidak menantangmu untuk
berkelahi!"
"Tidak perlu berkelahi. Untuk pertandingan ke dua, kita masing-masing memakai sebatang daun pada
lubang kancing baju dan kita saling berlumba mengambil daun itu dari tubuh lawan. Siapa yang kalah
dulu dia kalah."
"Heh-heh-heh, bagus sekali permainan itu. Aku setuju ! Hayo kita mulai saja sekarang!" kata kakek
bertongkat butut itu sambil mengangguk-angguk setuju.
Tanpa banyak cakap lagi iblis hitam itu lalu menghampiri dua buah batu. dan sengaja dia memilih batu
yang lebih besar dan sekali kaki kirinya bergerak menendang, batu sebesar perut kerbau itu seperti
sebuah bola karet yang ringan saja me-lambung ke atas dan diterima oleh tangan kirinya yang
menyangganya di atas pundak kiri. Begitu mudahnya!
"Bersiaplah membawa batumu !" katanya kepada kakek itu di bawah tepuk sorak para tokoh kaum
sesat yang memuji kehebatan tenaga si iblis hitam itu, walaupun banyak di antara mereka yang akan
sanggup melakukan hal seperti itu.
Kakek itu memandang dengan mata terbelalak, seperti orang terkejut. "Wah, aku yang tua mana
sanggup menggunakan tanganku yang sudah lemah ini untuk mengangkat batu sebesar itu ? Biar
kuminta tolong tongkatku. Hei, tongkat tua, tolonglah aku sekali ini!" Dan tongkatnya itu lalu ditusukkan
ke arah batu yang sebuah lagi dan "crokkk !" seperti sumpit menusuk ta-hu saja, tongkat itu
amblas memasuki batu itu dan ketika diangkatnya, maka kini kakek itu memanggul tongkat yang
ujungnya sudah menusuk batu! Tentu saja semua orang melongo menyaksikan ini dan diam -diam si
iblis hitam juga terkejut. Kiranya kakek ini memiliki tenaga dalam yang demikian kuatnya sehingga
disalurkan melalui tongkat, dapat membuat tongkat itu menusuk batu seperti menusuk benda lunak
saja. Karena tidak mau kalah membuat kesan, diapun mengeluarkan suara mendengus dari
hidungnya, lalu tiba -tiba saja batu yang disangga tangan kiri itu dilontarkannya ke atas dan ketika
batu itu meluncur turun ke arah kepalanya, iblis hitam ini menggunakan tangan kiri yang jari -jarinya
diluruskan dan dibuka.
"Crokkk!" Tangan itu amblas memasuki batu sampai dekat siku ! Tentu saja semua orang ber-sorak
memuji. Kalau kakek itu menusuk batu dengan tongkat, sekarang si iblis hitam yang menjadi
pemimpin mereka itu menusuk batu dengan tangan Degitu saja seolah -olah tangan itu telah berobah
menjadi golok tajam runcing dan batu itu berobah lunak sekali!
"Kakek yang nekat, mari kita mulai. Ingat, kita berlumba meletakkan batu ini di puncak bukit sana itu,
lalu kembali ke sini. Kuhitung sampai tiga. Satu... dua... tiga!" Dau orang hanya melihat dua
bayangan berkelebat dan tahu-tahu dua orang itu lenyap dari tempat mereka berdiri seperti dua setan
yang menghilang saja! Tentu saja semua orang terkejut dan melihat betapa orang -orang yang
memiliki kepandaian tertinggi di antara mereka seperti si Buaya Sakti dan si Ha-rimau Gunung
memandang ke satu arah, mereka-pun ikut-ikut memandang dan dapat dibayang-kan betapa kagum
rasa hati mereka melihat di titik hitam "terbang" menuju ke puncak bukit di depan !
Kehebatan ilmu ginkang dari Raja Kelelawar telah menjadi semacam dongeng, karena Raja Kelelawar
telah meninggal dunia puluhan tahun yang lalu. Dan sekarang muncul seorang keturunan
yang menguasai semua ilmu -ilmunya, termasuk ilmu ginkang luar biasa itu. Memang jarang ada
orang yang sanggup menandingi ginkang dari Raja Kelelawar, karena kalau para ahli yang lain hanya
mengandalkan kemampuan tubuh latihan dan kekuatan dalam, Raja Kelelawar mempunyai rahasiarahasia
yang tidak diketahui orang lain. Ada alat-alat rahasia yang dipakainya, yang membantunya
dapat berlari seperti terbang dan bergerak amat lincahnya. Alat -alat rahasia itu sebagian tersembunyi
di dalam jubahnya, dan juga di sepatunya yang membuat kakinya seperti menginjak pegas yang
dapat membuatnya memantul.
Iblis berpakaian hitam itu dapat menduga akan kelihaian kakek yang menantangnya maka diapun
mengerahkan seluruh kemampuannya sehingga tubuhnya bagaikan terbang saja. Dia terkejut melihat
betapa kadang -kadang ada bayangan berkelebat di dekatnya, dan tahulah dia bahwa kakek itu benar
-benar amat luar biasa, dapat menyamai kecepatan gerakannya. Dan dia menjadi semakin penasaran
dan terheran -heran ketika dia meletakkan batu besar itu di puncak bukit, diapun melihat batu yang
dunia-kangouw.blogspot.com
tadi dibawa oleh kakek itu telah berada di situ ! Maka diapun tidak mau menengok lagi ke sana -sini,
melainkan "tancap gas" dan ngebut, secepat mungkin dia terbang menuruni puncak bukit! Ketika dia
tiba di situ, terdengar sorak-sorai dan tepuk tangan para "anak buahnya" menyambutnya. Baja
Kelelawar menjadi girang sekali dan merasa menang, akan tetapi dia mendengar suara terkekeh dan
ternyata kakek itupun sudah berada di situ, agaknya bersamaan waktunya dengan dia ! Jantung Baja
Kelelawar terasa berdebar dan perutnya panas. Dia merasa ditantang benar-benar ! Jelaslah bahwa
biarpun kakek ini tidak dapat dikatakan menang atau mendahuluinya, akan tetapi setidaknya dapat
menyamainya !
"Bagus, sekarang pertandingan ke dua kita mu-lai," katanya dengan suaranya yang melengking tinggi.
"Pertandingan pertama masih belum dapat menentukan siapa menang siapa kalah !" Berkata
demikian, sekali menggerakkan tubuhnya, si iblis hitam telah lenyap dari situ dan sebelum semua
orang hilang Kagetnya, tubuhnya sudah melayang turun dari atas pohon dan tangannya membawa
dua tangkai daun. Dia memberikan setangkai kepada kakek, itu dan memasukkan yang setangkai lagi
ke lubang kancing bajunya.
Kakek itupun sambil tersenyum dan terkekeh memasukkan tangkai daun ke lubang kancingnya, lalu
menghadapi Raja Kelelawar sambil berkata, "Bu -eng Hwee -teng memang hebat bukan main ! Akan
tetapi hendaknya diingat bahwa kita tidak sedang berkelahi, melainkan mempergunakan kecepatan
gerakan untuk saling merampas daun, Maka, kita berdua cukup mengerti banwa tidak dipergunakan
pukulan dan tangkisan dalam lumba ini, melainkan hanya usaha merampas daun dan pengelakan
untuk menyelamatkan daun, jadi sepenuhnya menggunakan kecepatan gerakan. Begitu, bukan ?"
Si iblis hitam mengangguk. "Begitulah, dan mari kita mulai!" Berkata demikian, tiba-tiba iblis hitam
sudah menggerakkan tangannya, cepat sekali, menyambar ke arah dada kakek itu.
"Eeiiiittt, luput !" Si kakek sudah mengelak de-ngan kecepatan yang tak terduga-duga sehingga
tubuhnya seperti menghilang saja. Selanjutnya, semua orang melihat betapa tubuh dua orang itu
benar -benar lenyap bentuknya, yang nampak ha-nya bayangan berkelebatan sedemikian cepatnya
sehingga sukar untuk dapat diikuti dengan pandang mata! Bahkan para tokoh kaum sesat yang sudah
tinggi ilmunya menjadi pening dan silau mpnyaksikan gerakan dua tubuh itu dan kadang-kadang
bayangan itu seperti menjadi satu, kadang-kadang saling kejar akan tetapi tidak dapat dibe-dakan
siapa yang dikejar dan siapa yang mengejar. Bukan main hebatnya permainan kejar -kejaran saling
memperebutkan daun ini sehingga seperempat jam lewat sudah, dan semua orang memandang
dengan penuh ketegangan. Dua orang yang sedang berlumba itu sendiripun menjadi kagum bukan
main karena sampai sekian lamanya, belum juga mereka mampu merampas daun. Iblis sakti itu
mengeluarkan suara melengking nyaring karena penasaran. Sungguh di luar dugaannya bahwa dia
akan bertemu dengan seorang kakek yang mampu menandinginya! Dan kakek ini keluar pada saat
dia memperkenalkan diri kepada dunia lagi!
Tiba -tiba kakek itu mengeluarkan seruan kaget karena kini tangan yang mencengkeram ke arah
daun itu membalik ke arah lehernya dengan totokan maut! Akan tetapi, kakek ini memang sudah
bersiap-siap, maklum akan curang dan kotornya watak seorang dari dunia hitam. Cenat dia mengelak
dan pada saat itu, daun di lubang kancingnya telah kena dirampas! Si iblis hitam meloncat ke
belakang dan mengangkat tinggi-tinggi daun itu di atas kepalanya.
"Hemm, daunmu telah dapat kuambil!" katanya dan semua tokoh sesat bersorak menyambut
kemenangan ini. Akan tetapi tanpa dilihat siapa-pun, kakek itu membuka tangannya dan melihat
sebuah kancing hitam di telapak tangan kakek itu. Raja Kelelawar terbelalak. Itulah kancingnya,
kancing jubahnya! Kalau kancing jubahnya saja dapat diambil kakek itu, apa lagi daunnya. Senga-ja
kakek itu tidak mau mengambilnya dan sengaja kakek itu mengalah! Iblis hitam itu adalah seo-rang
yang tingkatnya sudah tinggi sekali, maka diapun maklum bahwa lawan telah mengalah dan memberi
muka terang kepadanya. Hal ini berarti bahwa biarpun kakek itu lihai dan mampu meng-atasinya,
namun kakek itu tidak berniat buruk dari hanya ingin menyelamatkan tujuh orang itu saja Maka diapun
lalu membuang daun itu dan berka-ta, suaranya melengking nyaring.
"Sudahlah ! Betapapun juga, ilmu kepandaian mu hebat dan sudah lebih dari cukup untuk
membiarkan engkau membawa pergi tujuh orang itu !" Semua tokoh sesat merasa heran karena
tadinya mereka mengira bahwa Raja Kelelawar tentu akan membunuh kakek itu bersama tujuh orang
lainnya Akan tetapi tidak ada seorangpun di antara mereka yang berani membantah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kakek itupun membungkuk -bungkuk dan tertawa. "Ahh, ternyata Raja Kelelawar seperti hidup
kembali! Kebesarannya sungguh hebat, sesuai dengan perbuatannya dan kegagahannya. Terima
kasih, sobat!" Kakek itupun menghampiri Pek Lian dan teman -temannya, lalu berkata.
"Orang telah bersikap lunak kepada kita, tidak lekas pergi mau tunggu apa lagi ?"
Tujuh orang itu tidak menjawab hanya melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Ketika kakek itu
hendak pergi juga, tiba-tiba Raja Kelelawar bertanya, suaranya melengking, membuat Pek Lian dan
kawan -kawannya terkejut dan me-rekapun menghentikan langkah dan menengok, siap menghadapi
segala kemungkinan. Hal macam apa saja dapat dilakukan oleh orang -orang dari dunia hitam!
Akan tetapi, ternyata Raja Kelelawar itu hanya bertanya kepada kakek itu dengan suara mengandung
geram, "Kakek, siapakah engkau sebenarnya ?"
Kakek itu mencoret -coret tanah dengan ujung tongkat bututnya dan menarik napas panjang ber-ulang
-ulang sebelum menjawab. "Aihh, belasan tahun hidup aman tenteram penuh damai di puncak
gunung, siapa kira hari ini terpaksa terjun ke dalam kekeruhan dunia. Dan tidak nyana sama sekali
bahwa mendiang Raja Kelelawar benar-benar telah mempunyai seorang pewaris sepertimu ini.
Sungguh mengagumkan. Terus terang saja, selama hidupku, baru sekali ini aku mengalami bertemu
tanding yang membuatku kewalahan dalam ilmu ginkang. Padahal, aku mengira bahwa aku telah
mewarisi semua kemampuan mendiang guruku yang terkenal, dengan julukan Bu -eng Sin -yok-ong
(Si Raja Tabib Sakti Tanpa Bayangan)." Kakek itu menarik napas panjang lagi dan memandang
kagum kepada iblis berpakaian hitam itu.
Semua orang terkejut mendengar ucapan kakek itu. Nama Si Raja Tabib Sakti amat terkenal, seperti
tokoh dongeng yang sama terkenalnya dengan nama Raja Kelelawar, di jaman dahulu. Juga Pek Lian
dan kawan-kawannya memandang heran. Mereka teringat akan keluarga Bu, keturunan dari Raja
Tabib Sakti pula, keturunan murid pertama manusia sakti itu. Juga mereka pernah bertemu dengan
murid -murid ketua iblis berambut riap-riapan yang jubahnya bergambar naga, sebagai keturunan
murid ke dua si Raja Tabib Sakti. Jadi inikah murid, ke tiga Raja Tabib Sakti yang dikabarkan
mewarisi ginkang dari manusia sakti itu ? Pantas ginkangnya demikian hebatnya !
Timbul dalam hati Ho Pek Lian untuk mence-ritakan semua yang telah dialaminya di rumah ke-luarga
Bu, tentang perebutan kitab pusaka pening-galan Raja Tabib Sakti, maka iapun melanjutkan
langkahnya diikuti oleh kawan-kawannya mening-galkan tempat itu.
"Heh -heh -heh, selamat tinggal, Raja Kelelawar, atau engkau hendak mempergunakan julukan lain ?"
kata kakek itu kepada si iblis hitam.
"Tidak ! Aku tetap memakai nama Bit -bo -ong si Baja Kelelawar untuk melanjutkan nama besar dari
nenek moyangku dan mempersatukan semua sahabat di dunia kang -ouw dan liok -lim."
"Bagus, Raja Kelelawar, selamat tinggal dan sampai jumpa pula."
'Selamat jalan, dan dalam perjumpaan lain kali, bagaimanapun juga aku tidak akan melepaskan
engkau begitu saja!" kata si Raja Kelelawar dengan sikap angkuh untuk meyakinkan hati para
pengikutnya bahwa dia "lebih unggul" dari pada kakek itu, walaupun di dalam hatinya dia mengakui
bahwa ginkangnya masih setingkat kalah oleh kakek itu.
Setelah kakek itu pergi pula mengikuti rom-bongan Pek Lian, si Raja Kelelawar lalu melanjut-kan
pertemuannya dengan para tokoh sesat. Dengan suaranya yang melengking tinggi dan penuh wibawa
dia lalu berkata kepada dua di antara Sam -ok yang hadir, yaitu Sin -go Mo Kai Ci dan San -hek -
houw, "Kalian berdua telah datang dan menyambutku. Itu bagus sekali dan biarlah kalian menjadi
pembantu -pembantuku di bidang masing-masing. Akan tetapi mengapa Tung -hai -tiauw tidak muncul
di sini ?"
Setelah berkata demikian, iblis hitam itu me-mandang ke sekeliling, seolah -olah hendak mencari
orang pertama dari Sam -ok itu di sekitar tempat itu. Suasana menjadi tegang dan semua orang
memandang kepada iblis itu dengan rasa takut, khawatir kalau -kalau raja mereka itu marah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akhirnya San -hek -houw memberanikan diri menjawab, "Ong -ya, kami semua tidak tahu mengapa
dia tidak muncul, mungkin saja terhalang sesuatu."
"Selidiki tentang dia!" kata raja datuk sesat itu. "Kalau dia memang sengaja tidak memenuhi
panggilanku, kalian berdua bunuh dia dan bawa kepalanya di depanku ! Akan tetapi kalau memang
terhalang sesuatu, bantu dia, kemudian ajak dia bersama -sama menghadap padaku."
"Akan tetapi, ong -ya, kalau kami sudah bertemu dengan Tung -hai -tiauw, ke manakah kami harus
pergi untuk dapat menghadapmu ?" tanya Sin -go Mo Kai Ci.
"Datang saja ke kuil ini!" jawab sang raja sing-kat. "Akan ada wakilku di manapun kalian kehendaki
untuk menghadapku. Tandanya adalah kele-lawar itu. Di mana ada kelelawar itu, maka di situ akan
terdapat seorang wakilku. Dan kalau kalian ingin langsung menghadapku, dapat kalian pergi ke kota
raja."
"Kota raja......?" Tentu saja dua orang raja kecil kaum sesat itu terkejut sekali. Tentu saja mereka
terkejut karena kota raja merupakan tempat terakhir yang ingin mereka kunjungi, tempat yang amat
berbahaya karena di kota raja terdapat petugas -petugas keamanan yang berilmu tinggi dan
merupakan tempat paling tidak aman bagi penjahat -penjahat yang menjadi tokoh besar dan mudah
dikenal orang.
"Ya, di kota raja. Di belakang istana kaisar terdapat sebuah kuil kecil. Datanglah ke sana, katakan
kepada hwesio penjaga kuil bahwa kalian ingin menghadapku, dan kalau aku kebetulan berada di
kota raja, aku akan datang. Seandainya aku tidak sedang berada di sana, dapat kalian meninggalkan
pesan kepada hwesio di situ."
"Tapi, ong-ya..." San-hek-houw berkata.
"Jangan bantah! Tidak ada orang yang berani menggangguku di sana! Cukup, aku hendak pergi
sekarang."
Akan tetapi dia tidak melangkah pergi, melain-kan memandang ke sekeliling, kepada mereka semua.
"Tidak tahukah kalian bagaimana caranya menyambut dan mengantar kepergian Raja Kelelawar,
pemimpin besar kalian ??"
Semua orang terkejut dan dua orang raja kecil kaum sesat itu lalu membungkuk dengan dalam, tidak
berani memandang. Semua orang mengikuti gerakan mereka. Terdengar suara melengking tinggi
yang dibalas oleh lengking suara kelelawar besar yang tadi bergantung pada pohon, lalu terasa oleh
mereka angin menyambar. Kemudian sunyi. Setelah beberapa lamanya dan mereka mengangkat
muka, ternyata iblis berpakaian hitam itu telah lenyap dari tempat itu !
Maka kini meledaklah suara berisik di antara mereka, membicarakan pemimpin mereka itu. Dan rata -
rata mereka merasa gembira sekali karena kalau keturunan Raja Kelelawar ini seperti pada jamannya
dahulu, maka dunia hitam akan bangkit dan menjadi jaya! Para pendekar tidak akan sem-barangan
berani menindas mereka, bahkan peme-rintahpun akan bersikap lunak. Dan dua orang "raja kecil"
yang tadinya hampir saja saling serang itu kini hanya dapat saling pandang, merasa seo-lah -olah ada
kekuasaan lain yang mengamati me-reka dan merekapun tidak berani berkutik. Mereka merasa
seperti seekor harimau yang dicabuti ca-karnya, tidak berani lagi merajalela memperlihat-kan
kekuasaan. Betapapun juga, mereka tidak merasa menyesal karena mereka maklum bahwa dengan
munculnya seorang datuk besar seperti Raja Kelelawar itu, kedudukan mereka malah lebih terjamin.
Apa lagi sebagai pembantu -pembantu raja datuk itu ! Kemunculan kakek yang mengaku sebagai
murid Raja Tabib Sakti saja tentu sudah membuat mereka semua ketakutan dan mungkin saja celaka
di tangan orang sakti itu kalau saja di situ tidak ada Raja Kelelawar! Maka mereka me-rasa terlindung
dan Si Buaya Sakti tiba-tiba ber-teriak, "Hidup Bit-bo-ong pemimpin kita !" Dan semua orangpun lalu
menyambutnya dengan sorakan yang sama sampai berkali -kali sebelum mereka bubar dengan
kacau seperti biasa menjadi watak mereka yang tak pernah dapat tertib.
***
Tujuh orang itu menuruni bukit bersama kakek yang masih berjalan tertatih -tatih dibantu tong-katnya.
Tidak ada seorangpun di antara mereka yang mengeluarkan kata-kata ketika mereka menuruni bukit
dunia-kangouw.blogspot.com
itu, meninggalkan kuil kuno yang kini menjadi tempat mengerikan. Mereka semua merasa seolah -
olah mata Raja Kelelawar mengikuti mereka sehingga membuat hati terasa tegang dan tidak enak.
Akhirnya, kesunyian yang amat mencekam itu dipecahkan oleh si kakek sakti yang terkekeh.
"Heh -heh -heh, sejak dahulu nama Raja Kele-lawar selalu mendatangkan perasaan menyeramkan.
Sudah lama meninggalkan dunia, tahu-tahu kini muncul lagi dan aku berani bertaruh bahwa Raja
Kelelawar yang sekarang ini tidak kalah lihainya oleh Raja Kelelawar yang tua dan yang sudah tidak
ada lagi itu. Sungguh berbahaya!" Kakek itu berhenti melangkah dan tujuh orang itupun Menghentikan
langkah mereka. Kini mereka telah tiba di kaki bukit, sudah jauh dari kuil itu. Melihat kakek itu duduk
di tepi jalan kecil, di atas akar pohon yang menonjol keluar dari permukaan bumi, tujuh orang itu
saling pandang lalu merekapun semua duduk menghadapi kakek itu. Bagaimanapun juga, kakek ini
telah menyelamatkan nyawa mere-ka dari ancaman tangan maut Raja Kelelawar. Me-reka maklum
bahwa mereka semua sudah pasti akan mati kalau tidak ada kakek itu. Baru Raja Kelelawar sendiri
saja sudah demikian lihainya sedangkan ketua Lembah Yang -ce, Kwee Tiong Li, masih dalam
keadaan lemah, walaupun sean-dainya dia dalam keadaan sehat sekalipun dia bu-kanlah lawan Raja
Kelelawar. Selain merasa ber-hutang budi dan nyawa, juga mereka semua ingin bicara dengan kakek
ini, menceritakan pertemuan mereka dengan keluarga Bu yang kemudian meli-hat keluarga Bu
tertimpa malapetaka sedangkan keluarga itu masih ada hubungan dekat dengan ka-kek ini, masih
sekeluarga perguruan. Juga, mereka maklum bahwa kakek ini adalah seorang sakti yang menentang
kejahatan dan kelaliman, maka ada ba-iknya kalau mereka "mendekati" orang sakti ini agar kelak
dapat membantu mereka menentang kelaliman kaisar dan kaki tangannya.
Tanpa menanti kakek itu mengeluarkan suara Kwee Tiong Li lalu mewakili teman -temannya
memperkenalkan diri sambil memberi hormat, "Lo-cianpwe, setelah menerima budi pertolongan
locian-pwe sehingga kami semua masih dapat hidup sam-pai saat ini, perkenankanlah kami
memperkenal-kan diri kepada locianpwe."
Kakek itu mengangkat tangannya ke atas sambil tertawa. "Heh-heh, jangan kecewa, aku sudah
mengenalmu, orang muda. Engkau adalah ketua Lembah Yang-ce, memimpin para pendekar yang
sedang melawan kekuasaan kaisar dan namamu Kwee Tiong Li, engkau murid dari pendekar Chu
pemimpin besar para pemberontak, bukan ?"
Tiong Li mengangguk dan memandang kagum. Kakek itu tidak perduli lalu menoleh kepada tiga orang
kakek pembantunya. "Dan kalian ini yang disebut Yang-ce Sam-lo, pembantu ketua Lembah Yang -
ce."
"Locianpwe sungguh berpengetahuan luas dan berpemandangan tajam," puji seorang di antara Yang
-ce Sam -lo.
Kembali kakek itu tertawa, ketawanya polos. "Heh -heh, orang yang tahu bukan merupakan hal yang
patut dibanggakan. Kalau sudah mendengar dari orang lain, tentu saja tahu, apa sih hebatnya ? Aku
mendengar nama para pimpinan Lembah Yang -ce dari anak buah Lembah Yang -ce sendiri."
Mendengar ini, giranglah hati Tiong Li. "Ah, kiranya locianpwe yang telah menolong para saudara
kami pula ? Di manakah mereka sekarang, locianpwe ?"
"Tidak jauh dari sini, di sebuah pondok tua kosong di dalam hutan kecil. Terpaksa kusembunyi-kan di
situ karena aku tahu betapa bahayanya kalau mereka berkumpul di dalam kuil itu lalu bertemu dengan
para tokoh sesat yang mengadakan pertemuan. Akan tetapi harap kalian maafkan aku. Orang-orang
Lembah Yang-ce itu agaknya sudah terbiasa dengan kekerasan dan selalu mencurigai orang. Mereka
tidak percaya kepadaku dan terpaksa aku harus menotok roboh mereka dan membawa mereka turun
bukit ke hutan itu. Maaf !"
"Ah, kami yang sepatutnya minta maaf kepada locianpwe bahwa para saudara kami itu mencurigai
maksud baik locianpwe."
"Dan nona ini siapakah ? Juga dua orang sauda-ra yang gagah ini ? Apakah juga tokoh -tokoh
Lembah Yang -ce ?" tanya kakek itu sambil me-mandang kepada Pek Lian dan dua orang gurunya
dengan penuh perhatian, terutama sekali kepada Pek Lian kakek itu memandang dengan sinar mata
tajam penuh selidik.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiong Li lalu memperkenalkan Pek Lian dan dua orang gurunya sebagai rekan -rekan patriot yang
menentang kelaliman kaisar. "Nona Ho Pek Lian ini adalah puteri dari Menteri Ho Ki Liong yang telah
ditangkap oleh kaisar dan yang namanya menggemparkan seluruh dunia orang gagah itu."
Kakek itu mengerutkan alisnya. "Aku pernah mendengar akan nama besar menteri kebudayaan itu.
Bukankah kabarnya beliau itu menentang pembakaran kitab -kitab Guru Besar Khong Cu yang
dilakukan oleh kaki tangan kaisar ? Apa yang terjadi dengan dia ? Mengapa seorang pejabat tinggi
yang demikian baiknya malah ditangkap oleh kaisar ?"
Tiong Li memandang kepada Kim-suipoa dan berkata, "Kiranya Tan -lo -enghiong yang dapat
berceritera lebih jelas mengenai hal itu, atau nona Ho sendiri."
Ho Pek Lian lalu menceritakan tentang keadaan ayahnya, betapa ayahnya menentang keputusan
kaisar yang dianggapnya keterlaluan dan merusak kebudayaan itu, yaitu menentang pembakaran
kitab -kitab yang dianggapnya sebagai kitab -kitab kesusasteraan dan kitab -kitab yang menjadi pegangan
seluruh rakyat tentang cara hidup tata su-sila mereka. Pada waktu itu, biarpun pelajaran dari
Nabi Khong -cu masih belum dianggap sebagai suatu agama dan Nabi Khong -cu sendiri disebut
sebagai seorang Guru Besar, namun pelajarannya banyak dianut oleh rakyat sebagai pedoman hidup
mereka. Setelah Pek Lian selesai bercerita tentang ayahnya yang ditangkap oleh kaisar, tentu saja
karena hasutan -hasutan pembesar -pembesar lalim dan penjilat, Kim -suipoa dan Pek-bin-houw juga
menceritakan tentang kelaliman kaisar, bukan hanya memaksa rakyat bekerja sampai mati untuk
membangun Tembok Besar sehingga yang jatuh menjadi korban sampai ratusan ribu orang, akan
tetapi juga pemerintahan tangan besi yang dijalankan kaisar untuk menekan rakyat, dan semua
perbuatan kaisar yang membuat para pendekar diamdiam menentangnya dan menyusun kekuatan
untuk memberontak.
Mendengar semua itu, kakek ini menarik napas panjang. "Siancai... siancai... siancai... !
Dunia takkan pernah aman, manusia takkan pernah hidup dalam damai selama masih terjadi kekerasan-
kekerasan. Sudah menjadi penyakit umum bahwa penguasa mempergunakan tangan besi
terhadap rakyat, dibantu oleh semua kaki tangannya, dengan seribu satu macam alasan, katanya
demi kebaikan kehidupan rakyat. Mengapa para penguasa tidak sadar bahwa rakyat hanya akan
menentang karena tidak puas melihat kelaliman mereka? Biasanya, kaisar tidak tahu bagaimana
macam para pembantunya yang selalu bertindak sewenang -wenang, memeras dan korup, sama
sekali tidak ada ingatan untuk memperbaiki kehidupan rakyat melainkan hanya berlumba untuk
mengumpulkan kekayaan bagi dirinya dan keluarganya sendiri saja. Mengapa kaisar sejak dahulu
sampai sekarang tidak mau menyadari bahwa dia dikelilingi oleh orang-orang yang sifatnya penjilat ke
atas dan menindas ke bawah ? Aihh, kapankah ada kaisar seperti Bu Ong yang akan memerintah
dengan adil dan bijaksana ? Seorang kaisar sepatutnya menggunakan tangani besi terhadap
bawahannya, terhadap semua kaki tangannya agar semua pejabat menjadi pejabat yang bijaksana
dan baik. Bukan mempergunakan tangan besi terhadap rakyat! Salahnya, hampir semua kaisar tidak
menya-dari bahwa dia dibantu oleh iblis -iblis yang ko-rup, yang memeras rakyat akan tetapi selalu
mem-buat pelaporan yang baik -baik saja kepada kaisar. Kapankah ada kaisar yang menyelinap di
antara rakyat dan menyelidiki sendiri kehidupan rakyat, menyelidiki sendiri cara kerja para
pembantunya ? Aih, agaknya untuk itu, Thian harus menciptakan manusia -manusia yang khas."
"Locianpwe benar sekali," kata Kim -suipoa sambil menarik napas panjang. "Sang Bijaksana
mengajarkan bahwa sebelum mengatur orang lain, harus lebih dulu dapat mengatur diri sendiri. Seorang
ayah takkan mungkin dapat mendidik anak-anaknya kalau dia sendiri tidak terdidik, karena dia
menjadi contoh dari pada anak-anaknya. Seorang pembesar harus mencuci bersih kedua tangannya
sendiri terlebih dahulu sebelum dia ingin melihat anak buahnya bersih. Kalau penguasa yang di atas
korup, mana mungkin bawahannya jujur dart tidak korup ? Akan tetapi, kalau atasannya bersih, tentu
dia akan berani bertindak terhadap bawahannya yang kotor."
Pek-bin-houw menarik napas panjang. "Siancai..., alangkah akan senangnya kalau keadaan
pemerintahan dapat seperti itu. Sayang, kaum atas-an hanya menuntut agar bawahannya bersih, dan
hal ini sama sekali tidak mungkin selama dia sendiri masih kotor. Bawahan mencontoh atasan, dan
pula, atasan yang kotor mana akan ditaati oleh bawahannya ? Sungguh sayang...!"
"Munculnya Raja Kelelawar menandakan bahwa kaum sesat kini bangkit dan menjadi semakin kuat.
Kalau hal ini ditambah lagi dengan kela-liman kaisar dan kaki tangannya, sungguh amat mengerikan
dunia-kangouw.blogspot.com
kalau dibayangkan bagaimana akan jadinya dengan nasib rakyat jelata," kata kakek itu sambil
menarik napas panjang penuh penyesalan. Keadaan seperti itu tentu akan memaksa orang-orang
seperti dia yang tadinya sudah mengasingkan diri dan hidup tenteram dan penuh damai, akan
terpaksa terjun ke dunia ramai.
Kalau kita memperhatikan percakapan mereka, sungguh banyak terdapat pelajaran yang dapat diambil
berdasarkan kenyataan hidup. Memang tak dapat dipungkiri kebenaran pribahasa yang mengatakan
bahwa "guru kencing berdiri, murid ken-cing berlari". Kebaikan seorang guru belum tentu
dapat ditauladani muridnya dengan mudah, namun keburukan seorang guru akan dapat diikutinya dengan
amat cepatnya. Guru dalam hal ini dapat di-perluas menjadi orang tua atau juga kepala suatu
kelompok atau seorang pemimpin. Betapapun ke-rasnya seorang ayah melarang anaknya berjudi,
kalau dia sendiri seorang penjudi, maka dia tidak akan berhasil. Betapapun kerasnya seorang atas-an
melarang bawahannya agar tidak korupsi, kalau dia sendiri tukang korup maka usahanya akan siasia.
Bawahan selalu condong mencontoh atasan, seperti murid condong mencontoh guru dan anak
mencontoh orang tua. Menekan anak, atau murid, atau bawahan untuk meniadi baik, tanpa si orang
tua, guru atau atasan lebih dulu membereskan dirinya, tidak akan ada gunanya !
Namun, kekuasaan selalu digandeng oleh kesewenang-wenangan. Orang tua, atau guru, atau
pemimpin yang merasa berkuasa, selalu membenarkan dirinya sendiri. Orang tua bilang, berjudi untuk
dia tidak apa -apa, akan tetapi tidak boleh untuk anak -anak. Guru mengatakan, tidak sopan sedikit
untuk guru tidak mengapa, akan tetapi tidak boleh untuk murid. Atasan bilang, penyalahgunaan
wewenang untuk atasan adalah wajar, tapi tidak boleh untuk bawahan ! Seorang kaisar merupakan
batang sebuah pohon. Kalau batang itu sehat, ca-bang ranting dan daunnya juga tentu sehat. Akan
tetapi kalau batangnya sakit, jangan mengharapkan cabangnya, rantingnya dan daun -daunnya akan
tumbuh sehat.
"Locianpwe, belum lama ini kami bertiga telah berjumpa dengan murid keponakan locianpwe."
Akhirnya Ho Pek Lian berkata kepada kakek itu setelah percakapan mereka mengenai keadaan
negara karena kelaliman kaisar itu mereda.
Kakek itu memandang kepadanya. "Murid ke-ponakan ? Yang mana ?"
"Namanya Bu Kek Siang," Pek Lian memberi keterangan.
"Bu Kek Siang ? Ah, dia itu putera Bu -suheng ! Sudah puluhan tahun aku tidak bertemu dengan dia,"
kata kakek itu, tersenyum dan wajahnya men-jadi berseri. "Di antara murid suhu, Bu -suhenglah murid
yang boleh dibanggakan mendiang suhu."
"Memang, beliau adalah seorang pendekar yang amat hebat dan budiman, seorang ahli pengobatan
yang dalam menolong manusia tidak memandang bulu, sungguh sayang, seorang pendekar
sedemikian hebatnya harus tewas dalam keadaan yang amat menyedihkan," kata pula Pek Lian.
Kakek itu tidak nampak terkejut, hanya nam-pak alisnya yang sudah putih itu berkerut seben-tar. "Kek
Siang? Tewas?" Hanya itulah tanyanya dan Pek Lian lalu menceritakan semua peristiwa yang terjadi
di rumah keluarga Bu itu. Kakek itu menarik napas panjang mendengar betapa murid keponakannya
itu bersama isterinya tewas di waktu mengobati puteri tokoh iblis Tai -bong -pai, dan yang membuat
dia merasa menyesal adalah bahwa kedua orang murid keponakannya itu tewas di ta-ngan murid -
murid keponakan lain, yaitu murid-murid dari ji -suhengnya (kakak seperguruan ke dua).
"Hayaaaa...!" Dia mengeluh. "Jadi ji-suheng masih hidup malah mendirikan Perkumpulan Baju Naga.
Sungguh luar biasa, sudah tua masih bersemangat! Ji -suheng itu amat lihai, memiliki ilmu silat yang
paling hebat di antara kami ber-tiga. Heran, dia bukan orang jahat, kenapa murid-muridnya begitu
kejam, tega membunuh Bu Kek Siang yang masih saudara seperguruan ? Mungkinkah ji-suheng tuatua
telah berobah ?"
Tujuh orang itu tentu saja tidak berani me-nanggapi urusan perguruan orang, apa lagi karena mereka
merasa bahwa mereka berada di tingkat yang jauh lebih rendah. Kakek itu menarik napas panjang
lagi. "Kedua orang anaknya itu... apakah mereka terluka parah ?"
"Bu Bwee Hong tidak terluka, akan tetapi ka-taknya, Bu Seng Kun, terluka parah. Untunglah bahwa
mereka adalah ahli -ahli pengobatan yang pandai sekali sehingga agaknya tidak perlu dikhawatirkan
keadaannya, locianpwe," kata Pek Lian.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sudahlah, lain hari akan kujenguk mereka. Se-karang mari kutunjukkan kepada kalian di mana
kusembunyikan orang-orang Lembah Yang-ce itu."
Kakek itu bangkit dan melangkah dibantu tong-katnya, nampaknya seenaknya saja akan tetapi tujuh
orang itu terpaksa harus mengerahkan tenaga Snkang mereka untuk mengikutinya! Bahkan Tiong Li
yang masih belum pulih seluruh tenaganya, digandeng oleh dua orang pembantunya dan mereka
bertujuh itu harus berlari -larian agar ti-dak sampai tertinggal oleh kakek sakti itu. Ketika mereka tiba
di sebuah hutan kecil, kakek itu memasuki hutan dan tak lama kemudian mereka telah tiba di depan
sebuah pondok tua. Kakek itu me-mandang ke arah sebuah gerobak yang berhenti tak jauh dari
pondok. Kuda penarik gerobak nam-pak sedang makan rumput dengan tenangnya, tak jauh dari
gerobak itu. Ketika Pek Lian dan ka-wan -kawannya melihat gerobak itu, mereka terke-jut bukan main.
Jantung mereka berdebar tegang dan wajah mereka agak pucat oleh rasa khawatir. Dan gerobak itu
bergoyang -goyang mengeluarkan bunyi berkereyotan karena memang gerobak tua. Pada saat itu,
Pek Lian menoleh dan saling pan-dang dengan Tiong Li. Mendadak, keduanya me-nunduk dengan
muka merah karena malu dan je-ngah. Kembali mereka dihadapkan dengan keca-bulan yang tidak
tahu malu dari kakek dan nenek iblis pemilik gerobak!
Kakek sakti itupun tidak lama memandang kepada gerobak yang bergoyang -goyang itu, lalu dia
melangkah memasuki pondok diikuti oleh tujuh orang pendekar. Akan tetapi, begitu masuk pondok
kakek bertongkat itu berseru perlahan, "Siancai... ke mana mereka ?"
Tiong Li dan tiga orang Yang -ce Sam -lo me-mandang kepada kakek itu dengan sinar mata pe-nuh
pertanyaan. Hati mereka berempat menjadi tegang dan khawatir sekali. Kalau para anak buah mereka
itu bertemu musuh dalam keadaan tertotok, tentu tidak akan ada seorangpun di antara mereka yang
dapat lolos dan selamat. Akan tetapi, kalau bertemu musuh dan dibunuh, lalu ke mana perginya
mayat -mayat mereka ? Apakah mereka ditemukan oleh pasukan pemerintah yang menawan mereka
semua ? Akan tetapi, pasukan pemerintah biasanya tidak bersikap demikian lunaknya dan tentu
langsung membunuh orang -orang Lembah Yang -ce, walaupun pada saat itu pemerintah
membutuhkan banyak tenaga orang -orang hukuman untuk membangun tembok besar.
"Ah, siapa lagi kalau bukan perbuatan dua orang itu ?" tiba -tiba kakek itu berkata dan dia-pun sudah
berjalan keluar dari dalam pondok, diikuti oleh tujuh orang itu, menghampiri gerobak yang masih
bergoyang -goyang. Kakek itu tidak berani lancang menuduh orang, akan tetapi karena di tempat itu
tidak terdapat lain orang kecuali pemilik gerobak yang berada di dalam kendaraan itu, diapun
menghampiri untuk bertanya.
"Sobat -sobat pemilik gerobak, keluarlah, aku ingin bertanya!" kakek itu berkata dengan suara yang
bernada halus. Tujuh orang pendekar itu me-mandang dengan khawatir. Tidak ada jawaban, bahkan
gerobak itu makin keras guncangannya dan kini terdengar suara cekikikan genit diiringi suara ketawa
parau. Jelas suara laki -laki dan wanita ! Kakek sakti itu mengangkat alisnya dan kembali dia
bertanya.
"Maaf, sobat -sobat yang berada di dalam gero-bak. Apakah ada yang melihat orang -orang yang
tadinya mengaso di dalam pondok itu ? Ke ma_ kah perginya mereka ? Apa yang telah terjadi dengan
mereka ?" Pertanyaan ini diajukan oleh ka-kek sakti karena dia maklum bahwa menurut perhitungannya,
pada saat itulah orang-orang Lem-bah Yang -ce itu baru akan dapat pulih dari totokannya.
Jadi tidak mungkin kalau dapat terbebas sebelumnya. Akan tetapi tidak terdengar jawaban dari
dalam gerobak dan sendau -gurau di dalam gerobak itu malah lebih seru dan ramai!
"Locianpwe, yang berada di dalam adalah dua orang tokoh terakhir dari Ban -kui -to (Pulau Selaksa
Setan)..." tiba -tiba Kim -suipoa membisiki kakek sakti itu. Kakek itu mengerutkan alisnya.
Akan tetapi sebelum kakek itu menjawab atau melakukan sesuatu, tiba -tiba terdengar suara ke-ras
dan gerobak itu bergoyang -goyang keras, lalu terdengar suara gedebugan seperti orang berkelahi
disusul maki -makian dan tiba -tiba daun pintu gerobak itu jebol dan terlepas dari kaitannya, disu-sul
terlemparnya sesosok tubuh setengah telanjang seorang kakek yang begitu terlempar dari atas gerobak
lalu berjungkir balik dan bangkit berdiri te-rus lari.
"Mau lari ke mana kau!" terdengar bentakan dan dari dalam gerobak meloncat seorang nenek yang
pakaiannya juga tidak karu -karuan, agaknya dikenakan secara tergesa -gesa dan celananya ma-sih
kedodoran. Nenek ini tidak memperdulikan semua orang yang berada di situ, langsung saja mengejar
kakek tadi sambil memaki -maki ! Sekejap mata saja sepasang iblis itu telah lenyap. Tentu saja
dunia-kangouw.blogspot.com
melihat ini, Ho Pek Lian menundukkan mukanya dan merasa jengah sekali. Sepasang iblis tua
bangka itu benar -benar keterlaluan sekali !
Tujuh orang pendekar itu tadi hanya memandang dengan bengong, tidak tahu harus berbuat apa,
sedangkan kakek sakti hanya menggeleng kepala menyaksikan kelakuan sepasang iblis itu.
"Siancai, kiranya Ban -kui -to sampai sekarang masih dihuni iblis -iblis seperti itu. Kalau mereka itu
sudah berkeliaran di tempat ramai, hal itupun menjadi tanda -tanda bahwa dunia akan menjadi
semakin tidak aman. Ahhh, mana mungkin orang dapat menikmati keheningan lagi melihat munculnya
orang -orang seperti Raja Kelelawar dan penghuni Pulau Selaksa Setan itu ?"
Mereka mendekati gerobak dan longak -longok mengintai ke dalam. Akan tetapi tidak nampak ada
seorangpun manusia di situ, kecuali benda-benda aneh yang mereka duga tentulah barang-barang
berbahaya milik sepasang iblis itu. Mereka tidak mengganggu milik orang, melainkan menanti di
dalam hutan itu sampai kembalinya sepasang iblis yang tadi lari berkejaran seperti gila itu. Akan tetapi
sampai lama sekali, belum juga nampak ada tanda-tandanya nenek dan kakek itu kembali.
Tak lama kemudian, dari dalam hutan mereka melihat banyak orang lewat dan mereka mengenal
tokoh -tokoh sesat yang tadi hadir dalam pertemu-an mereka menghadap pimpinan baru mereka, si
Raja Kelelawar. Mereka tetap tinggal di dalam hutan dan tidak memperlihatkan diri. Akan tetapi ketika
tiba-tiba terdapat serombongan orang menyusup keluar dari balik semak -semak belukar di dalam
hutan, tidak jauh dari tempat mereka berada, tujuh orang pendekar itu terkejut dan diam-diam
merekapun mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan sambil memandang kepada
rombongan orang itu. Mereka itu tadi tidak nampak hadir dalam pertemuan para tokoh sesat. Mereka
berjumlah delapan orang dengan pakaian sutera hitam. Kesemuanya adalah wanita yang sudah
setengah tua, antara empatpuluh sampai empatpu-luh lima tahun usianya. Rata -rata bersikap gagah
dan gerakannya gesit, dan selain pakaian sutera hitam yang ringkas, juga di sanggul rambut mereka
terhias tusuk konde dari batu giok. Selagi Pek Lian dan kawan-kawannya memperhatikan, tiba-tiba
dari lain jurusan muncul pula rombongan empat orang pria yang memakai seragam putih-putih. Di
punggung masing -masing terdapat sepasang pedang panjang dan sikap mereka juga gagah sekali,
sedangkan usia mereka kurang lebih empatpuluh tahun. Rombongan empat orang seragam putih
inipun tadi tidak kelihatan di antara kaum sesat yang berkumpul di depan pondok di atas bukit. Maka
merekapun menduga bahwa agaknya, selain para tokoh sesat yang hadir, kiranya banyak juga
terdapat tamu tak diundang yang secara diam -diam berdatangan ke tempat itu secara sembunyisembunyi.
Ketika kedua rombongan, yaitu delapan orang wanita berpakaian hitam -hitam dan empat
orang pria berpakaian putih -putih itu berpapasan di dalam hutan, kedua pihak nampak kaget.
"Ah, mereka berempat itu adalah pendekar-pen-dekar Thian -kiam -pang ( Perkumpulan Pedang
Langit) yang terkenal itu!" bisik Kwee Tiong Li. Sebagai ketua Lembah Yang -ce, tentu saja dia sudah
banyak mengenal atau mendengar tentang perkumpulan -perkumpulan pendekar lainnya.
"Perkumpulan macam apakah itu ?" Pek Lian berbisik, ingin tahu.
"Itu adalah perkumpulan pendekar pedang yang terkenal gagah perkasa. Kalau di daerah untuk
daerah utara, nama Thian -kiam -pang amat ter-kenal, ilmu pedang mereka hebat."
Kini muncul pula rombongan para tosu Bu-tong -pai, terdiri dari lima orang tosu. Kedua rombongan
terdahulu segera menyingkir, pergi ke jurusan -jurusan yang berlainan. Juga para tosu Bu -tong -pai
itu menyingkir. Mereka adalah tokoh -tokoh dari dunia putih, akan tetapi karena mereka semua datang
ke daerah itu sebagai pengintai dan tidak saling berhubungan, maka mereka-pun saling menghindar,
tidak ingin berjumpa karena kalau mereka berkumpul, berarti mereka tidak dapat bergerak secara
sembunyi -sembunyi lagi.
Kakek itu makin tertarik dan diapun melangkah keluar dari hutan kecil itu, diikuti oleh Tiong Li, Pek
Lian dan teman -teman mereka. Dan ter-nyata banyak bermunculan rombongan -rombongan dan
tokoh -tokoh persilatan dari kaum bersih atau dari mereka yang tidak memasukkan dirinya ke dalam
kaum bersih maupun kaum sesat, yang ingin berdiri bebas. Melihat betapa banyak orang itu baru
mereka ketahui sekarang kehadirannya, diam -diam Ho Pek Lian merasa kagum dan dapat menduga
bahwa mereka itu adalah orang -orang yang berkepandaian hebat.
"Siancai... !" Kakek ahli ginkang yang sakti itu berkata setelah melihat betapa banyaknya para
pendekar bermunculan setelah pertemuan para tokoh sesat itu bubar, "Agaknya kemunculan
dunia-kangouw.blogspot.com
keturunan Raja Kelelawar benar-benar membuat dunia persilatan menjadi geger! Bukankah demikian,
sobat yang berada di balik semak -semak itu ?" Kalimat terakhir ini ditujukan ke arah semak -semak
yang berada di sebelah kiri, beberapa meter jauhnya dari tempat mereka berdiri. Tentu saja tujuh
orang pendekar yang mendengar kalimat ini menjadi terheran -heran kemudian terkejut ketika tibatiba
melihat tiga orang hwesio muncul dari balik semak-semak itu sambil (mengangkat kedua tangan
memberi hormat dengan wajah mereka yang alim dan ramah.
"Omitohud..., lo-sicu sungguh bermata tajam bukan main !" seorang di antara mereka memuji. Melihat
seorang di antara tiga hwesio berusia kurang lebih enampuluh tahun ini, yang dahinya terhias bekas
luka memanjang, Pek-bin-houw Liem Tat cepat maju memberi hormat.
"Ah, kiranya Ta Beng losuhu yang berada di sini. Tidak kami kira bahwa para tokoh Siauw-lim -pai
juga hadir di tempat ini! Terimalah hormat saya, losuhu."
Hwesio itu sejenak memandang wajah Pek-binhouw
yang putih, mengingat-ingat, lalu menepuk
dahinya dan balas menjura. "Omitohud... bukankah Si Harimau Putih yang berada di sini ?
Bagaimana kabarnya, sicu ? Pinceng mendengar berita bahwa sicu dan kawan-kawan mengadakan
gerakan di Lembah Yang-ce sekarang, meninggalkan Huang-ho. Benarkah ?"
Pek -bin -houw Liem Tat lalu memperkenalkan hwesio itu kepada teman -temannya. Hwesio itu
berjuluk Ta Beng Hwesio, seorang tokoh Siauw-lim -pai, merupakan tokoh ke dua dalam urutan
tingkat di Siauw -lim -pai, seorang hwesio yang berilmu tinggi.
"Sicu tentu mencari para pendekar Lembah Yang -ce, bukan ?" Tiba -tiba hwesio itu bertanya.
"Karena itulah pinceng bertiga sengaja menanti di sini." Lalu Ta Beng Hwesio menceritakan bahwa dia
dan dua orang sutenya itulah yang membebas-kan totokan para anak buah Lembah Yang -ce itu.
"Pinceng melihat munculnya kakek dan nenek iblis dari Ban -kui -to, maka pinceng merasa khawatir
melihat mereka itu dalam keadaan tertotok. Kami membebaskan mereka dan menyarankan agar mereka
menjauhi tempat itu dan menanti cu -wi (an-da sekalian) sebagai pimpinan mereka di dalam
dusun di sebelah utara sana."
Mendengar keterangan ini, bukan main girang-nya hati Kwee Tiong Li dan tiga orang pembantu-nya.
Cepat dia maju dan memberi hormat. "Sung-guh besar budi pertolongan losuhu terhadap kawankawan
kami. Saya menghaturkan banyak terima kasih." Ketika hwesio itu mendengar bahwa pe-muda
yang perkasa ini adalah ketua muda dari Lembah Yang -ce, murid dari pendekar Chu Siang Yu,
wajahnya berseri girang.
"Ah, kiranya sicu adalah murid Chu -taihiap. Sudah lama sekali pinceng tidak berjumpa de-ngan dia.
Bagaimana kabarnya ?"
"Suhu dalam keadaan baik saja, akan tetapi per-kumpulan kami di Lembah Yang -ce mengalami
pukulan hebat dari pasukan pemerintah."
Tiga orang hwesio itu mengangguk -angguk karena mereka sudah mendengar akan berita buruk itu
dari para anak buah Lembah Yang -ce yang mereka bebaskan dari totokan. Mereka lalu berpisah dan
kakek sakti bersama tujuh orang pendekar itu menuju ke dusun yang ditunjuk oleh para hwesio Siauw
-lim -pai.
***
"Maafkan pertanyaan saya, locianpwe. Akan tetapi setelah menerima budi pertolongan locian-pwe,
kami ingin sekali mengenal nama locianpwe yang mulia. Sudikah locianpwe memberitahukan kami ?"
Pertanyaan yang diajukan oleh Pek Lian ini melegakan hati enam orang lainnya karena mereka
semuapun ingin sekali mendengar lebih banyak dari kakek sakti ini, hanya karena kakek itu lebih
sering berdiam diri seperti orang melamun, mereka merasa ragu -ragu dan tidak enak hati untuk
bertanya, hanya mengharapkan kakek itu akan memberitahukan sendiri. Akan tetapi, kini Pek Lian
yang mungkin sebagai seorang dara yang lincah lebih berani dalam hal bertanya seperti itu, te-lah
mewakili keinginan hati mereka, maka kini mereka semua memandang kepada kakek sakti itu dengan
penuh perhatian.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kakek itu menarik napas panjang. "Hemm, sudah puluhan tahun aku ingin menyembunyikan diri agar
namaku tidak disebut -sebut orang. Siapa tahu, gara -gara Raja kelelawar kedua tanganku menjadi
kotor, berlepotan dengan urusan dunia. Datuk -datuk sesat, seperti setan -setan yang keluar dari
neraka, telah bermunculan. Biarlah aku menceritakan keadaanku, apa lagi karena kalian telah
berkenalan dan menjadi sahabat dari keluarga Bu."
Kakek itu mulai bercerita sambil berjalan. Tu-juh orang pendekar mendengarkan dengan penuh
perhatian. Gurunya, mendiang Bu -eng Sin -yok-ong atau Raja Tabib Sakti Tanpa Bayangan mempunyai
tiga orang murid. Murid pertama adalah ayah dari Bu Kek Siang dan murid pertama ini mewarisi
ilmu pengobatan dan tenaga sinkang yang amat kuat sehingga bagaimanapun juga, dengan
kekuatan sinkang itu, dia dapat dikatakan paling unggul di antara tiga orang murid, sesuai de-ngan
kedudukannya sebagai murid tertua. Murid ke dua adalah seorang yang berasal dari selatan bernama
Ouwyang Kwan Ek, yang mewarisi ilmu pukulan sehingga murid ini memiliki ilmu silat yang amat
hebat gerakan -gerakannya. Sedangkan orang ke tiga yang menjadi murid termuda dan yang
mewarisi ilmu ginkang adalah kakek bertongkat itu yang bernama Kam Song Ki. Semenjak matinya
Raja Tabib Sakti, tiga orang murid ini terpencar dan saling berpisah. Ayah Bu Kek Siang yang
bernama Bu Cian itu tinggal di utara. Ouw-yang Kwan Ek yang berasal dari selatan itu kem-bali ke
dunia selatan dan tidak pernah terdengar beritanya, sedangkan Kam Song Ki yang memang hidup
sendirian saja dan suka merantau, tidak diketahui di mana tempat tinggalnya yang tetap. Tentu saja di
samping mewarisi keahlian -keahlian itu, masing -masing juga mewarisi ilmu silat yang tinggi, ilmu
pengobatan dan ilmu ginkang serta tenaga sinkang. Hanya saja, masing -masing telah mewarisi
keistimewaan yang diberikan oleh guru mereka disesuaikan dengan bakat masing -masing pula.
"Aku suka merantau, dan aku tidak suka ber-urusan dengan dunia, seperti juga halnya dengan twa -
suheng almarhum. Bahkan ji -suhengpun bi-asanya tidak pernah mau merisaukan urusan dunia
sesuai dengan pesan suhu yang tidak ingin murid-muridnya mengandalkan kepandaian untuk
melakukan kekerasan dan bermusuhan dengan orang lain. Maka, sungguh mengherankan sekali
kalau kini ji-suheng selain masih hidup, malah juga mendirikan perkumpulan Liong-i-pang
(Perkumpulan Jubah Naga) itu, bahkan telah membunuh murid keponakannya sendiri hanya untuk
memperebutkan kitab pusaka." Dia menarik napas panjang dengan penuh penyesalan.
Mendengar penuturan singkat itu, tujuh orang pendekar ini menjadi kagum. Kakek ini murid seo-rang
yang kesaktiannya terkenal seperti dewa, dan memiliki ilmu kepandaian yang sukar diukur tingginya.
Namun sikapnya demikian sederhana, tidak ingin namanya dikenal orang, bahkan tidak ingin
mempergunakan kepandaiannya untuk bermusuhan dengan orang lain.
Dengan kagum Tiong Li lalu memberi hormat. "Penuturan Kam-locianpwe membuka mata kami
bahwa makin banyak gandumnya, makin menunduklah tangkainya, makin dalam airnya, makin tenang
dan diam. Akan tetapi, kalau para locianpwe seperti Kam-locianpwe tidak mempergunakan
kepandaian untuk membendung datuk-datuk hitam yang berkepandaian tinggi, tentu akan lebih parah
dan celakalah kehidupan rakyat jelata, dilanda oleh kejahatan mereka."
"Itulah yang menyebalkan !"' kata Kam Song Ki sambil menggurat -guratkan ujung tongkatnya di atas
tanah di depannya. "Kemunculan iblis-iblis seperti Raja Kelelawar itu mau tidak mau menyeret pula
orang-orang tua yang sudah mendekati lubang kubur seperti aku ini untuk ikut pula meramaikan dunia
dengan pertentangan-pertentangan antara manusia !" Setelah berkata demikian, kakek itu
mempercepat langkahnya sehingga semua orang bergegas mengejarnya dan sikap ini seperti
menjadi tanda bahwa dia tidak ingin bicara lagi tentang dirinya.
Ketika akhirnya mereka tiba di dusun itu, hari telah sore dan keadaan dusun yang agak sunyi itu
membuat mereka merasa heran. Bahkan beberapa orang kanak-kanak yang tadinya bermain-main di
pekarangan rumah, ketika melihat munculnya delapan orang ini, dengan wajah ketakutan mereka
melarikan diri memasuki rumah mereka, rumah pondok miskin. Beberapa orang dewasa yang
kebetulan berada di luar rumah juga cepat -cepat memasuki rumah dan menutupkan daun pintu
rumah mereka. Jelaslah bahwa penduduk di dusun itu dicekam rasa ketakutan melihat orang asing
memasuki dusun mereka. Hal ini hanya berarti bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang hebat. Mereka
terus memasuki dusun itu dan ketika mereka tiba di tengah dusun, tiba -tiba saja bermunculan
puluhan orang penduduk dusun itu, kesemuanya pria dan mereka membawa alat -alat senjata
seadanya, mengurung dengan sikap mengancam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat ini, kakek itu tenang -tenang saja, akan tetapi Kwee Tiong Li segera mengangkat tangan ke
atas dan berkata dengan suara berwibawa, "Saudara-saudara hendaknya jangan salah menyangka
orang ! Kami bukanlah orang-orang jahat dan kami datang untuk mencari teman-teman kami yang
kemarin dulu datang ke tempat ini. Jumlah mereka kurang lebih ada limapuluh orang "
Dari para pengepung itu majulah seorang laki-laki berusia lebih dari empatpuluh tahun. Suaranya
agak parau ketika dia berkata, "Mereka semua telah mati! Semua telah mati!"
Tentu saja delapan orang itu terkejut, terutama sekali Tiong Li. "Mati ? Kenapa ? Siapa membunuh
mereka dan mengapa ?"
"Malam tadi di sini terjadi pertempuran hebat, antara pasukan pemerintah yang menyergap orangorang
yang agaknya bersembunyi di dusun kami. Kami semua ketakutan, takut terbawa -bawa dan
memang ada belasan orang muda di dusun kami yang ikut pula terbunuh karena disangka
menyembunyikan mereka. Kami semua bersembunyi ketakutan. Akhirnya, semua orang itu tewas,
juga puluhan orang perajurit tewas. Sejak pagi tadi kami penduduk dusun bertugas untuk mengubur
semua mayat itu. Mengerikan ! Lebih dari seratus mayat terpaksa dikubur dalam beberapa lubang
besar saja, di luar dusun."
Jilid VI
MENDENGAR penuturan ini, pucatlah wajah Tiong Li dan Yang-ce Sam-lo. Juga Pek Lian dan dua
orang gurunya terkejut sekali. Bagai-manapun juga, yang terbunuh semua sampai terbasmi habis itu
adalah para anggauta pemberontak Lembah Yang-ce, jadi masih rekan-rekan mereka sendiri.
Pimpinan mereka, Liu Pang, adalah juga pemberontak Lembah Yang -ce yang untuk sementara ini
membangun pusat perkumpulan di Puncak Awan Biru.
"Siapa lagi kalau bukan Jenderal Beng Tian dan dua orang pengawalnya itu yang memimpin
penyerbuan ?" kata Pek Lian dengan gemas.
Kwee Tiong Li mengepal tinjunya, sepasang
matanya merah dan mukanya pucat. "Habis sudah
kawan-kawanku.....! Dengan susah payah guruku membimbing mereka, melatih mereka, dan
akhirnya, mereka hancur di bawah pimpinanku! Ahhh" Pemuda itu menutupi muka dengan kedua
tangannya, merasa berduka dan menyesal bukan main.
Melihat keadaan ketua mereka ini, Yang-ce Sam-lo menghibur. "Harap kokcu jangan terlalu
menyalahkan dan menyesalkan diri sendiri. Semua ini adalah resiko perjuangan menentang kelaliman
dan kematian saudara-saudara kita terjadi di luar kemampuan kita untuk mencegahnya," kata seorang
di antara mereka. "Seandainya kita berada di sini sekalipun, kalau dikepung oleh pasukan besar yang
dipimpin jenderal itu, apa yang akan dapat kita lakukan untuk menyelamatkan kita semua ? Memang,
lebih dari limaratus orang anggauta kita gugur sebagai pejuang -pejuang gagah perkasa yang
menentang ketidakadilan, akan tetapi pihak tentara pemerintah juga banyak yang tewas di tangan
kita. Setidaknya, setiap anggauta kita tentu sedikitnya merobohkan dua orang, sehingga kalau
dihitung-hitung, kita masih tidak rugi."
Akan tetapi hiburan-hiburan tiga orang pembantunya itu tidak melenyapkan kedukaan hati Kwee
Tiong Li yang kehilangan semua anak buah-nya. Dia memukulkan tinju kanannya ke atas telapak
tangan kirinya dengan keras sehingga ter-dengar suara nyaring. "Bagaimanapun juga aku tidak mau
berhenti sampai di sini saja ! Aku harus menuntut balas. Harap Sam-lo kembali ke lembah dan
menyampaikan laporan kepada suhu. Aku sendiri akan mencari jalan untuk membalas dendam ini !"
Tiga orang pembantunya hendak membantah karena perbuatan itu tentu saja amat berbahaya bagi
keselamatan pemuda itu. "Sam-lo, ini adalah keputusanku sebagai ketua lembah!" katanya de-ngan
tegas dan tiga orang itu tentu saja tidak dapat membantah lagi. Ho Pek Lian melihat betapa pe-muda
yang biasanya bersikap lembut itu kini nam-pak keras, bersemangat dan penuh wibawa sehing-ga
dunia-kangouw.blogspot.com
hatinya merasa tergetar. Pemuda ini merupa-kan seorang jantan yang gagah perkasa, membayangkan
kepribadian seorang pemimpin yang he-bat, membuat hati Pek Lian menjadi kagum sekali.
"Siancai..., saat kematian merupakan rahasia yang tak pernah terbuka oleh manusia. Siapa sangka
aku bermaksud menolong mereka, tidak tahunya karena perbuatanku, malah mereka mengalami
pembasmian di sini" kata kakek Kam dengan suara menyesal. Mendengar ini, Kwee Tiong Li cepat
menghadapi kakek itu.
"Harap locianpwe jangan beranggapan demiki-an karena locianpwe sama sekali tidak bersalah dalam
hal ini."
"Aku tahu, orang muda... akan tetapi membuat hatiku terasa tidak enak......" tiba-tiba kakek itu
berhenti dan cepat menoleh ke belakang. Pada saat itu terdengar bunyi terompet bersahut-sahutan,
diiringi sorak -sorai para perajurit dan ternyata dusun itu telah dikepung! Mendengar ini, para
penghuni berlari -larian kembali ke rumah masing-masing dan yang tertinggal di dusun itu, di luar
rumah, hanya tinggal delapan orang itu saja. Se-mua penghuni dusun telah bersembunyi ! Delapan
orang itu, yang merasa sudah terkepung, tidak mau ikut bersembunyi karena mereka maklum bahwa
bersembunyi di dusun kecil itu tidak ada artinya malah -malah akan mencelakakan semua penghuni
dusun. Maka, sambil menanti, mereka semua mencabut senjata, siap untuk melawan.
Dengan teriakan yang berisik sekali, bermunculanlah pasukan itu dari segenap penjuru dan mereka
segera diserbu dan dikeroyok. Pek Lian telah mencabut pedangnya, Kim -suipoa Tan Sun
mengeluarkan senjata suipoanya sedang-kan Pek -bin -houw juga sudah melintangkan pi-kulan
bajanya. Begitu para perajurit menyerbu, mereka bertiga mengamuk bagaikan harimau -ha-rimau
kelaparan. Sementara itu, Kwee Tiong Li, biarpun tenaganya belum pulih seluruhnya, juga sudah
mengamuk dan menggerakkan pedangnya dengan dahsyat. Tiga orang Yang -ce Sam -lo juga sudah
menyambut pengeroyokan musuh de-ngan senjata golok tipis mereka. Tujuh orang pen-dekar itu
mengamuk dengan penuh semangat, terutama sekali Tiong Li dan Yang -ce Sam-lo yang seolah -olah
memperoleh kesempatan un-tuk membalas dendam atas terbasminya seluruh kawan mereka itu.
Empat orang ini merobohkan banyak sekali perajurit. Adapun kakek Kam Song Ki sendiri hanya
melindungi dirinya, menggerak-kan tongkatnya untuk merobohkan semua orang yang menyerangnya,
akan tetapi jelaslah bahwa kakek ini merobohkan orang tanpa bermaksud membunuh. Biarpun
demikian, tidak ada perajurit yang dapat mendekatinya karena belum juga dekat mereka itu sudah
roboh berpelantingan.
Akan tetapi, tiba -tiba muncul dua orang berpakaian preman yang menjadi pengawal pribadi, juga sute
-sute dari Jenderal Beng Tian yang amat lihai itu! Bukan hanya kedua orang pengawal ini saja,
melainkan juga belasan orang perwira yang memiliki gerakan -gerakan gesit sekali, tanda bahwa
mereka adalah orang -orang yang pandai ilmu silat. Pengepungan semakin ketat, pengeroyokan
semakin rapat dan dengan munculnya dua orang pengawal bersama para perwira itu, delapan orang
yang dikeroyok menjadi kewalahan juga. Betapapun juga, mereka terus mengamuk dengan hebatnya
dan sudah puluhan orang banyaknya roboh, tewas atau terluka sehingga mayat -mayat mulai
bertumpuk dan berserakan, suara orang -orang mengaduh dan mengerang kesakitan amat
mengerikan.
Sore semakin gelap. Satu jam lebih mereka mengamuk, akan tetapi jumlah para perajurit amat
banyaknya. Ada ratusan orang! Dan akhirnya, apa yang mereka khawatirkanpun tibalah dengan
munculnya Jenderal Beng Tian sendiri! Tadinya, dua orang pengawal pribadi jenderal itu masih menemukan
kesulitan ketika mereka dihadang dan dibendung oleh tongkat butut kakek Kam, membuat
mereka terheran -heran, penasaran dan juga marah karena ternyata tongkat itu membuat mereka
tidak mampu banyak bergerak. Akan tetapi sebaliknya kakek Kam yang tidak ingin membunuh, tidak
mu-dah pula merobohkan dua orang pengawal lihai ini seperti yang dilakukannya kepada para perajurit.
Sedangkan tujuh orang pendekar itu dikero-yok oleh belasan orang perwira yang dibantu oleh
puluhan orang perajurit pula. Sampai berdesakan dan sukar sekali untuk bergerak dalam pengepungan
yang ketat itu. Dan kini, jenderal itu sendiri muncul. Tadinya, panglima ini tidak ikut memim-pin
anak buahnya. Bukankah menurut penyelidik, yang berada di dusun itu hanya delapan orang pimpinan
pemberontak ? Cukup diwakilkan kepada dua orang pengawal atau sutenya saja, para perwi-ra
dan pasukan. Akan tetapi, dia memperoleh beri-ta yang mengejutkan bahwa di antara delapan orang
itu terdapat seorang kakek yang amat sakti yang membuat kedua orang sutenya tidak berdaya Tentu
saja dia menjadi terkejut sekali dan jenderal itupun bergegas menuju ke medan pertempuran. Pada
dunia-kangouw.blogspot.com
saat dia tiba di tempat, itu, dia masih sempat melihat betapa dua orang sutenya mengeroyok seorang
lawan yang tidak nampak bayangannya !
Seolah -olah dua orang sutenya itu mengeroyok setan saja. Tahulah dia bahwa lawan dua orang
pembantunya itu adalah seorang ahli ginkang yang amat luar biasa.
Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, jenderal itu lalu menyerbu dan dua orang sutenya girang
bukan main melihat munculnya jenderal yang selain menjadi atasan, juga menjadi suheng mereka itu.
Dan pukulan yang dilancarkan jenderal itu terhadap kakek Kam membuat kakek itu mengeluarkan
seman kaget. Namun, gerakan kakek itu terlampau cepat sehingga empat serangan yang merupakan
rangkaian susul-menyusul dari jenderal itu semua hanya mengenai tempat kosong saja. Dia
menduga-duga siapa gerangan orang ini dan diam-diam terkejut bukan main. Kalau pihak
pemberontak terdapat orang -orang selihai ini, sungguh amat berbahaya, pikirnya. Bersama dua
orang sutenya, dia mengeroyok. Namun tetap saja mereka bertiga menjadi kewalahan karena jauh
kalah cepat gerakan mereka. Kadang-kadang kakek itu seperti lenyap saja dan tahu -tahu muncul di
atas mereka, di belakang mereka atau di kanan kiri. Dan ma-lampun tibalah. Para perajurit memasang
obor sehingga keadaan di situ semakin menyeramkan.
Betapapun lihainya, tujuh orang pendekar yang dikeroyok oleh banyak sekali lawan yang tiada
habisnya dan tak kunjung berkurang itu, menjadi repot. Mereka kelelahan, mandi peluh setelah
mengamuk selama hampir dua jam lamanya! Dan akhirnya, tak dapat tertolong lagi, Pek-bin-houw
roboh terkena tusukan tombak seorang perwira dari belakang. Tombak itu menancap di punggung
dan tembus ke dadanya, darah muncrat dan dia berteriak seperti harimau terluka, membalik dan
senjata pikulannya menghantam kepala penyerang-nya sampai pecah. Kemudian dia menubruk ke
kiri, merobohkan seorang perajurit, akan tetapi dia sendiripun roboh karena sebatang golok membuat
lehernya hampir putus, disabetkan oleh perwira lain. Robohlah Pek -bin -houw Liem Tat sebagai
seorang pendekar dan patriot. Melihat ini, Kim-suipoa berteriak marah dan menyerang dengan nekat,
menubruk ke arah perwira yang membacok golok tadi. Perwira itu menangkis, akan tetapi go-loknya
terpental oleh hantaman suipoa dan ke-pala perwira itupun remuk terkena pukulan suipoa baja. Akan
tetapi, pada saat yang sama, dua ba--tang pedang menembus lambung dan dada Kim-suipoa
***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To Register.]***
Tg Li dan kakek yang masih dikeroyok tiga oleh Jenderal Beng Tian bersama dua orang sutenya itu.
Tiong Li dan Pek Lian masih mengamuk dan keduanya maklum bahwa nyawa merekapun tidak akan
tertolong lagi. "Nona Ho, selamat berpisah di sini !" kata Tiong Li sambil memutar pedangnya.
Pek Lian terharu sekali, akan tetapi juga bangkit semangatnya melihat pemuda yang gagah perkasa
itu! "Selamat berpisah, saudara Kwee. Akan tetapi aku tidak mau mati sebelum membasmi anjing -
anjing ini sebanyak mungkin !"
Keduanya mengamuk lagi penuh semangat. Kakek Kam mendengarkan semua ini dan hatinya
tergerak. Kalau dia menghendaki, tentu dia sudah dapat membunuh tiga orang lawannya. Akan tetapi
dia tidak tega untuk membunuh. Kalau dia mau melarikan diripun tidak sukar baginya, akan tetapi dia
merasa kasihan kepada dua orang muda itu. Diam -diam dia merasa kagum sekali melihat, gerakgerik
Tiong Li dan Pek Lian. Terutama pemuda itu sungguh membuat hatinya yang tua merasa
terharu. Seorang pemuda gagah perkasa yang penuh setia kawan! Sungguh seorang eng-hiong
(pendekar) sejati! Dan melihat betapa Pek Lian terhuyung oleh pukulan rayung lawan yang mengenai
punggungnya, cepat dia menggerakkan kakinya dan tahu-tahu tiga orang pengeroyoknya sudah
kehilangan kakek itu yang kini telah menyambar tubuh Pek Lian sebelum dara itu terguling ro-boh.
Dipanggulnya tubuh Pek Lian dan diapun berseru kepada Tiong Li,
"Kwee -sicu, mari kita pergi !'"
Memang mudah saja bagi kakek sakti yang me-miliki ginkang istimewa itu untuk mengatakan demikian,
bahkan mudah pula baginya untuk me-loloskah diri dari kepungan ketat dan penge-royokan
itu, akan tetapi amat sukarlah bagi Tiong Li untuk melaksanakannya. Pula, dia telah dibakar
kemarahan meluap -luap dan sudah diambilnya keputusan untuk mengamuk sampai mati, membela
kematian tiga orang pembantunya dan juga dua orang guru Pek Lian itu. Melihat betapa pemuda itu
mengamuk makin hebat dan seperti tidak memperdulikan ajakannya, kakek itu berseru lagi,
dunia-kangouw.blogspot.com
"Orang muda, perlu apa mengorbankan nyawa dengan konyol ? Ingat, kelak engkau harus membuat
perhitungan dan membalas semua dendam. Kalau mati sekarang, siapa yang akan membalas
dendam kelak ?" Ucapan ini sengaja dikeluarkan hanya untuk membakar semangat pemuda itu agar
mau meloloskan diri, bukan ucapan yang keluar dari lubuk hatinya.
Mendengar ini, Tiong Li menjadi sadar. Semua anak buahnya, berikut tiga orang pembantunya yang
setia, telah gugur. Hanya tinggal dia seorang diri. Kalau dia gugur pula, lalu siapa yang akan
membalas semua ini.? Siapa yang akan melanjutkan perjuangan, membantu para pendekar lain,
membantu gurunya ? Dia tidak boleh sekedar menurutkan perasaan hati duka dan marah. Akan
tetapi, bagaimana dia dapat meloloskan diri dari kepungan begini banyak musuh ? Sambil memutar,
pedang mengamuk, Tiong Li mencari jalan keluar, namun, sia -sia belaka. Seorang lawan dirobohkan,
dua orang menggantikannya. Dua orang dirobohkan, empat orang yang maju. Pedangnya sudah
berlumur darah, pakaiannya juga berlepotan darah, darah lawan dan darahnya sendiri. Tubuhnya
sudah lelah sekali dan agaknya gerakannya itu hanya dikendalikan oleh semangatnya yang berkobar
-kobar. Seolah -olah kesehatannya yang baru berkembang baik dan belum pulih benar itu kini menjadi
sembuh sama sekali dengan adanya pertempuran mati -matian ini.
Sementara itu kakek Kam Song Ki melihat kesukaran yang dialami pemuda itu. Dia sendiri masih
dikepung ketat, bahkan kini Jenderal Beng Tian dan dua orang pengawalnya meneriakkan perintah
agar para perwira juga ikut mengepung kakek yang luar biasa lihainya itu. Kakek Kam masih
memondong tubuh Pek Lian dan tubuhnya berkelebatan ke sana-sini dan tahu-tahu dia sudah
mendekati Tiong Li. Caranya amat menggiriskan hati para pengeroyoknya karena tubuhnya itu
berloncatan atau lebih tepat lagi "beterbangan" melayang-layang, meloncat di antara pundak dan
kepala para pengeroyok, kadang -kadang menginjak pundak dan kepala, bahkan menginjak ujung
senjata, ba-gaikan seekor burung walet saja tubuh itu kini tahu -tahu sudah mendekati Tiong Li dan
menyam-bar tangan pemuda itu.
"Pegang erat-erat tanganku dan ikuti gerakan ku. Kau menurut saja, jangan melawan! Dengarkan
petunjuk-petunjukku baik-baik. Kalau perlu pejamkan mata, jangan bergerak menurut kemauan
sendiri, tapi turuti aku dengan membuta, Ini pelajaran ilmu langkah ajaib yang dapat melolos-kan
dirimu dari kepungan!"
"Baik... locianpwe !" Tiong Li menjawab.
Maka mulailah pemuda itu menurutkan tenaga tarikan, betotan, maupun dorongan tangan kakek itu,
mengatur langkahnya sesuai dengan tenaga kakek itu, ke kiri, kanan, ke depan, ke samping, ke
belakang, kadang -kadang meloncat rendah dan meloncat tinggi, cepat sekali gerakan itu dan amat
aneh, akan tetapi hebatnya, gerakan -gerakan itu membuat dia terbebas dari semua serangan dan
kepungan tanpa mengelak satu demi satu seperti yang dilakukannya sendiri tadi. Dia tidak tahu
bahwa dia telah dibawa oleh kakek sakti itu mela-kukan Ilmu Ban-seng-po Lian-hoan (Langkah
Selaksa Bintang Berantai). Langkah-langkah ini menurut garis-garis perbintangan dan
langkahlangkahnya teratur sedemikian rupa, penuh rahasia sehingga seolah-olah semua gerakan itu
telah mendahului datangnya hujan serangan. Melihat ini, seorang di antara pengawal atau sute dari
Jenderal Beng Tian menjadi marah sekali! Sambil berseru keras dia menyerang dahsyat ke arah
kepala Tiong Li. Pemuda ini terkejut, maklum bahwa dia tidak akan mungkin dapat menyelamatkan
diri, akan tetapi dia memejamkan matanya dan dengan membuta dia menurutkan tenaga kakek yang
me-ngendalikannya. Dia menggeliat dan meloncat ke depan malah! Tentu saja hatinya terasa ngeri
sekali. Dipukul demikian dahsyat mengapa malah meloncat ke depan ? Akan tetapi sungguh aneh,
karena dia meloncat ke depan ini, dia malah terhindar dari pukulan dahsyat yang ternyata telah
datang kecuali tentu saja ke depan, karena si pemukul sama sekali tidak pernah menduga bahwa
orang yang dipukul itu malah melangkah maju! Inilah hebatnya Ban -seng -po Lian -hoan itu. Ilmu ini
memungkinkan segala gerakan kaki dan tubuh dalam menghadapi pengeroyokan lawan lawannya
yang tangguh.
"Plak ! Plakk !" tangan kakek itu menampar dan dua orang pengawal itu terhuyung ke belakang
dengan muka pucat ketika mereka menangkis.
"Pemberontak hina !" Terdengar Jenderal Beng Tian membentak dan pedang panjangnya
menyambar. Tiong Li sudah berhasil merampas sebatang tombak yang dibetotnya dari tangan
seorang pera-jurit yang menyerangnya dan menggunakan tom bak itu untuk menangkis pedang yang
menyambar ke arah kakek Kam.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Trakkkk..... !" Tombak itu patah menjadi dua dan Tiong Li merasakan tangannya sampai ke pangkal
lengannya seperti lumpuh ! Dia terke-jut setengah mati, akan tetapi pada saat itu, Jen-deral Beng Tian
juga terhuyung ke belakang kare-na ketika pedangnya bertemu dengan tombak di tangan pemuda itu,
secepat kilat kakek Kam telah berhasil mendorong punggungnya dan dia merasa betapa hawa yang
dingin sekali menyusup ke dalam tubuhnya, membuat dia terhuyung dan cepat -cepat jenderal ini
yang tidak mau menderita luka parah segera mengatur pernapasan seperti yang dilaku-kan oleh dua
orang sutenya pula. Melihat betapa tiga orang tertangguh itu menghentikan penye-rangan, kakek Kam
melihat kesempatan yang baik sekali.
"Kwee -sicu, cepat rampas kuda !"
Tiong Li yang sejak tadi secara membuta sudah menurut perintah kakek ini, sekarang membuka mata
dan melihat seorang perwira menunggang ku-da tak jauh dari situ, diapun meloncat mendekati.
Perwira itu menyambutnya dengan bacokan golok, akan tetapi Tiong Li mengelak ke kiri dan menyambar
lengan perwira itu, menariknya keraskeras ke bawah. Pada saat tubuh perwira itu terpelanting
ke bawah, Tiong Li meloncat ke atas punggung kuda! Dan pada saat itu pula, seorang lain
telah terlempar dari atas punggung kudanya, tak jauh di sebelah depan Tiong Li, dan tubuh Pek Lian
melayang ke atas punggung kuda.
"Naiki kuda itu dan larilah kalian I" terdengar kakek Kam berseru. Akan tetapi karena Pek Lian
menderita luka-luka dan merasa lelah sekali, dara ini tidak dapat mengatur tubuhnya dan ia hinggap di
atas kuda itu dalam keadaan terbalik! Akan tetapi sebelum ia terpelanting jatuh, tubuhnya sudah
disambar lagi oleh kakek Kam yang tadi merobohkan empat orang perajurit, lalu kakek itupun membalapkan
kuda, diikuti oleh Tiong Li.
"Hayo, jangan tidur, anak nakal!" Kakek itu mengguncang-guncang tubuh Pek Lian. "Engkau seorang
gadis gagah perkasa, masa baru begini saja sudah turun semangat ? Bangunlah, dan naiki kuda ini,
larikan secepatnya, aku melindungi dari belakang !" Kembali dia mengguncang. "Mengertikah kau ?"
Mendengar kata -kata ini dan karena guncangan-guncangan itu, apa lagi ketika tengkuknya di-totok
dua kali oleh jari si kakek sakti, Pek Lian membuka matanya lebar -lebar. "Aku mengerti, locianpwe."
Dan tahu-tahu kakek itu sudah meloncat ke atas, meninggalkan Pek Lian, berjungkir balik dan
membiarkan Tiong Li lewat, lalu dia sendiri menghadang para pengejar!
"Kejar ! Tangkap ! Bunuh mereka !" Terdengar teriakan para perwira dan tiba -tiba mereka itu
melepaskan anak panah!
Hujan anak panah itu tiba -tiba runtuh semua ketika ditahan oleh bayangan kakek Kam yang berkelebatan
ke kanan kiri, atas bawah. Demikian ce-patnya, gerakan kakek ini sehingga dia mampu
membendung dan meruntuhkan semua anak panah yang meluncur itu dengan kebutan -kebutan
kedua ujung lengan bajunya dan pemutaran tongkatnya. Bahkan ada beberapa batang anak panah
yang mengenai tubuhnya, hanya merobek dan melubangi kain bajunya saja, namun tidak dapat
melukai kulit tubuhnya.
Ketika barisan pengejar tiba dekat, kakek itu menggerakkan kedua tangannya dan anak panah yang
belasan batang banyaknya meluncur ke depan, ke arah kaki kuda dan barisan terdepan terguling,
membawa para penunggangnya terlempar dan jatuh tersungkur, ditabrak oleh teman -teman dari
belakang. Tentu saja keadaan menjadi kacau -balau dan terdengar teriakan-teriakan mengaduh dan
sumpah -serapah. Sebagian besar meloncat turun dan menyerbu. Kakek Kam sudah mengamuk lagi
dengan tongkat bututnya dan siapapun yang dekat dengannya tentu roboh terguling. Akan tetapi
Jenderal Beng Tian dan dua orang pengawalnya, dibantu oleb para perwira, telah mengurungnya lagi.
Sekali ini jenderal itu yang dapat menduga bah-wa dia berhadapan dengan seorang sakti,
memben-tak marah.
"Kakek pemberontak jabat! Siapakah engkau ?" Mendengar bentakan panglima mereka, para pengeroyok
itu menahan senjata mereka dan semua mata memandang kakek itu di bawah sinar oborobor
yang cepat menerangi tempat itu, dipegang oleh para perajurit.
“Siancai...... tai-ciangkun yang gagah perkasa. aku bukanlah pemberontak. Namaku Kam Song Ki."
Jenderal Beng Tian adalah seorang panglima yang berilmu tinggi dan sudah banyak pengalaman,
sudah banyak mengenal hampir semua tokoh persi-latan, akan tetapi dia tidak mengenal nama ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hal itu tidaklah mengherankan mengingat bahwa kakek ini biarpun merupakan murid ke tiga dari Raja
Tabib Sakti, namun dia selalu mengasingkan diri dan selama puluhan tahun tidak pernah menonjolkan
diri di dunia kang -ouw sehingga nama-nya tidak dikenal orang.
"Orang tua she Kam, apakah engkau pura -pura tidak tahu bahwa orang-orang muda yang kaubela itu
adalah pimpinan pemberontak -pemberontak besar dari Lembah Yang-ce ?"
"Siancai...... sayang sekali aku tidak tahu tentang berontak-memberontak. Setahuku kalau ada yang
memberontak tentu ada sebabnya dan hanya yang tertindas sajalah yang akan memberontak, bu-kan
? Setahuku, mereka adalah orang-orang yang baik dan melihat orang baik-baik dikeroyok, tentu saja
aku membela mereka."
"Engkau hendak melawan pasukan pemerintah ? Berarti engkau berani memberontak terhadap
pemerintah !"
Kakek itu tertawa. "Tai -ciangkun, kalau tidak salah ciangkun adalah Jenderal Beng Tian yang
terkenal itu. Tentu saja orang seperti engkau ini akan bersetia sampai mati kepada pemerintah, tidak
perduli bagaimana keadaannya, karena engkau mempertahankan kedudukanmu, kehormatan dan
kemuliaan sebagai jenderal besar ! Akan tetapi, aku hanyalah seorang rakyat biasa saja, dan orang
macam aku ini hanya mempertahankan hidup, asal dapat makan setiap hari dan dapat menutupi
tubuh dengan pakaian saja sudah cukuplah. Aku tidak ingin memberontak, akan tetapi kalau melihat
kesewenang -wenangan, tentu saja aku tidak dapat tinggal diam saja."
"Kesewenang -wenangan yang bagaimana maksudmu ?" jenderal itu membentak.
"Nona Ho Pek Lian kehilangan keluarganya. Seluruh keluarga ayahnya ditangkap, padahal, siapakah
yang tidak tahu bahwa Menteri Kebudayaan Ho Ki Liong adalah seorang menteri yang amat baik ?
Dan semua teman dari Kwee Tiong Li itu telah dibasmi oleh pasukan pemerintah! Apakah namanya
itu kalau bukan sewenang -wenang ? Ka-rena itulah aku membela mereka, bukan karena berontak -
memberontak!"
Mendengar bahwa gadis yang tadi dikeroyok adalah puteri Menteri Ho, jenderal itu terkejut bu-kan
main. Biarpun Menteri Ho dianggap pembe-rontak oleh pemerintah dan menteri beserta selu-ruh
keluarganya itu ditangkap, namun diam-diam jenderal yang gagah perkasa ini merasa kagum bu-kan
main terhadap Menteri Ho. Tentu saja, seba-gai seorang jenderal dia tidak mampu berbuat se-suatu
kecuali merasa menyesal akan nasib menteri yang dia tahu amat setia dan baik itu. Kini, men-dengar
bahwa gadis yang gagah perkasa tadi ada-lah puteri Menteri Ho, dia menjadi semakin kagum dan
lenyaplah napsunya untuk menangkap atau membunuh gadis itu. Tugasnya hanyalah menum-pas
para pemberontak di Lembah Yang -ce dan tugas itu telah diselesaikannya dengan baik. Semua
pemberontak telah berhasil ditumpasnya walaupun dia harus kehilangan banyak sekali perajurit. Akan
tetapi, sebagai seorrmg panglima, tentu, saja dia tidak boleh memperlihatkan sikap kagum terhadap
orang yang dianggap pemberontak, maka diapun berteriak, "Tangkap orang tua ini!"
Dua orang pengawal yang juga menjadi sutenya adalah orang -orang yang amat setia terhadap jenderal
itu, akan tetapi merekapun sudah mengenal baik suheng mereka. Mereka itu, dengan pandang
mata saja, sudah maklum akan isi hati suheng mereka yang di dalam hati tidak ingin menangkap atau
membunuh kakek ini, maka mereka berduapun bergerak lambat, membiarkan para perwira dan
perajurit yang maju mengeroyok. Di lain pihak, kakek Kam juga merasa heran mengapa panglima dan
dua orang pembantunya yang amat lihai itu tidak turun tangan melainkan membiarkan anak buahnya
yang maju mengeroyoknya. Maka diapun cepat menggerakkan tubuhnya dan dengan mudah saja dia
meloloskan diri dari kepungan, terus melarikan diri, sengaja tidak berlari cepat agar para pe-rajurit itu
dapat terus mengejarnya. Dia mengambil jalan ke kanan, berlawanan dengan jalan yang diambil oleh
dua ekor kuda yang melarikan Tiong Li dan Pek Lian tadi. Dia terus main kucing -kucing-an dan untuk
menyembunyikan perasaan hati yang sesungguhnya, biarpun dia dapat menduga bahwa kakek Kam
yang tidak berlari sekuatnya itu sengaja memancing ke arah lain, Jenderal Beng Tian terus mendesak
pasukannya untuk mengejar kakek itu sampai pagi!
Tentu saja pasukan itu menjadi semakin jauh dari jejak kaki dua ekor kuda itu dan menjelang pagi,
mereka kehilangan bayangan kakek Kam. Kakek ini tentu saja sudah kembali ke tempat semula dan
di bawah sinar matahari pagi dia melanjutkan perjalanan mengikuti jejak kaki dua ekor kuda.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sambil berjalan, kedua kakinya diseret dan meng-hapus jejak kaki kuda itu dari permukaan tanah.
Matahari telah naik tinggi ketika kakek Kam tiba di dalam hutan di mana dia mendapatkan Tiong Li
dan Pek Lian sedang beristirahat. Tiong Li duduk bersila dan mengatur pernapasan, mengumpulkan
hawa murni untuk memulihkan kekuatan badannya sedangkan Pek Lian dengan wajah agak pucat
duduk bersandar pohon tak jauh dari pemuda itu. Kedatangan kakek itu sama-sekali tidak mereka
ketahui dan barulah setelah kakek itu berada di depan mereka, keduanya terkejut sekali akan tetapi
juga girang karena semalam mereka mengkhawatirkan keadaan kakek sakti itu.
"Locianpwe......!" Pek Lian berkata dan tiba-tiba saja kedua mata gadis ini menjadi basah air mata.
Hatinya memang sudah berduka sekali karena kematian dua orang gurunya dan khawatir akan
keadaan kakek Kam yang melindungi ia dan Tiong Li.
"Locianpwe, kami menghaturkan terima kasih karena hanya berkat pertolongan locianpwe maka kami
berdua masih dapat hidup sampai sekarang," kata Tiong Li, juga suaranya mengandung kedukaan
besar.
Kakek itu duduk di dekat mereka. "Nona, engkau masih mengandung luka dalam yang cukup
berbahaya kalau tidak diobati. Mendekatlah !"
Kakek itu lalu menaruh telapak tangannya di punggung Pek Lian yang segera merasakan adanya
hawa panas menjalar masuk ke dalam ruang dadanya. Iapun cepat memejamkan kedua mata dan
menerima hawa panas itu, membiarkan hawa itu berputar -putar dan mendorong atau menekan ke
arah bagian yang terkena pukulan dalam pengeroyokan tadi.
Setelah menyembuhkan luka -luka di dalam tubuh Pek Lian dan membantu Tiong Li memulihkan
kembali tenaganya, maka kakek itu lalu mengajak mereka duduk bercakap-cakap di bawah pohon
dalam hutan itu.
"Sekarang aku ingin sekali mengetahui, apa rencana kalian selanjutnya ? Apa yang akan kaulakukan
sekarang, nona ?"
Ho Pek Lian mengusap air matanya akan tetapi tidak terisak, lalu dengan mata kemerahan
diamatinya wajah kakek sakti itu, kemudian ia menunduk dan berkata, "Saya hendak menyelidiki
keadaan ayah, locianpwe."
"Tapi itu berbahaya sekali!" kata Tiong Li. "Saya sudah menasihatinya untuk tidak melakukan hal itu,
locianpwe. Tentu ia akan terjebak dan tertawan."
"Jangankan hanya tertawan, biar mati sekalipun aku rela !" Pek Lian berkata. "Bagaimanapun juga,
sebelum ayah tewas dalam hukuman... aku ingin melihatnya sekali lagi..." Kembali tangannya
mengusap air mata, membuat Tiong Li dan juga kakek itu menarik napas panjang dan merasa
kasihan sekali.
"Dan bagaimana dengan engkau, Kwee-sicu ?"
Bekas kokcu (ketua lembah) itu mengepal tinjunya. Matanya bersinar-sinar seperti mengeluar-kan api
ketika dia berkata, suaranya penuh kegeraman, "Saya akan membalas dendam, locianpwe saya akan
bergabung dengan suhu yang menjadi bengcu (pemimpin rakyat) dan menghancurkan pemerintah
dan Kaisar Chin yang lalim ini !"
"Sayapun demikian !" Tiba -tiba Pek Lian berkata, mengepal tinjunya. "Saya tidak akan berhenti
sebelum pemerintah ini dapat dihancurkan!"
"Siancai... siancai... siancai...!" Kakek Kam berseru lirih sambil merangkap tangan di depan dada, lalu
menarik napas panjang berulang-ulang. "Kekerasan... kekerasan..... di mana-mana kekerasan.
Mungkinkah kekerasan dapat menghasilkan hal-hal yang baik? Mungkinkah tujuan yang baik dapat
dicapai melalui jalan kekerasan ?"
"Akan tetapi, locianpwe !" bantah Kwee Tiong Li dengan suara keras karena hatinya dibakar semangat
dan kebencian. "Kaisar telah bertindak lalim dan sewenang-wenang. Lihat saja keadaan
rakyat yang miskin terhimpit dan lihat keadaan para pembesar yang berlebihan ! Pembesar bertindak
sewenang -wenang menekan rakyat, pembesar -pembesar melakukan korupsi besar-besaran.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebaliknya rakyat ditindas, disuruh kerja paksa sampai mati untuk membangun tembok besar. Rakyat
dibelenggu dan dibikin tak berdaya, membawa senjata pelindung diri dari ancaman bahaya saja
dilarang. Kitab-kitab sastera dibakar sehingga rakyat kehilangan pegangan. Sasterawan-sasterawan
dibunuh. Apakah kita harus diam saja, locianpwe ? Kalau bukan kita kaum pendekar yang bergerak
membela rakyat, habis siapa lagi ? Apakah kaisar dan kaki tangannya yang korup dan sewenangwenang
itu dibiarkan saja merajalela di atas kepala rakyat yang menderita ?"
"Benar sekali!" sambung Pek Lian. "Kalau o-rang -orang tua bersikap sabar, maka penindasan akan
makin membabi -buta! Ayahku bersabar, akan tetapi aku tidak. Kita kaum muda harus serentak
bangkit menentang kelaliman, kalau perlu dengan taruhan nyawa!"
"Siancai.....!" Kakek Kam menarik napas panjang dan menggeleng kepala. "Nanti dulu, anak -anak.
Memang baik sekali semangat kalian untuk membela rakyat yang sengsara dan menderita hidupnya.
Akan tetapi, tidak baik kalau hanya menurutkan perasaan marah, dendam dan benci saja. Bangsa
merupakan keluarga, pemerintah merupakan rumah keluarga itu. Kalau ada sesuatu yang tidak benar
pada rumah itu, mari kita perbaiki bagian yang tidak benar itu saja. Bukan lalu meruntuhkan seluruh
rumah itu, bukan lalu harus membakar rumah kita sendiri itu ! Pemerin-tah bukan milik kaisar atau
para pembesar saja Mereka bahkan menjadi pelayan dan pelaksana. Pemerintah adalah milik kita
bersama. Kalau ada yang tidak benar, mari kita perbaiki bersama, de-ngan musyawarah. Kita berhak
menyadarkan pem-besar yang bersalah. Akan tetapi, jalan kekerasan hanya akan menimbulkan
perang saudara, sama saja dengan membakar rumah kita sendiri dan ka-lau terjadi perang, akhirnya
rakyat pula yang akan menderita, bukan ? Akan jatuh banyak korban, bunuh-membunuh antara
bangsa sendiri, betapa-akan menyedihkan sekali kalau hal itu terjadi, se-perti yang terjadi malam
tadi."
"Tapi, locianpwe. Tanpa melakukan kekerasan, tanpa menggunakan kekuatan untuk menghantam
yang jahat, mana mungkin kita dapat mengenyah-kan kejahatan itu sendiri ?" bantah Tiong Li.
"Kejahatan merajalela, orang -orang jahat bah-kan telah mengadakan rapat, dipimpin oleh iblis hitam
itu. Apakah kita harus diam saja, locianpwe? Kalau begitu, apa artinya kita mempelajari ilmu silat
sejak kecil ? Apa perlunya jiwa kependekaran di-tanamkan dalam batin kita ?" Pek Lian juga membantah
dan kedua orang muda itu seperti merasa-kan persatuan yang kokoh untuk menentang pen--
dirian kakek yang biarpun sakti akan tetapi mereka anggap memiliki pendirian lemah itu.
Kakek itu tersenyum. "Seorang pendekar adalah abdi kebenaran dan keadilan. Hal ini memang benar
dan memang sudah sepatutnya demikian. Akan tetapi kebenaran dan keadilan tidak mungkin dapat
dipertahankan atau didirikan melalui kekerasan. Mungkin saja kita harus mempergunakan ilmu silat
untuk melindungi diri dan untuk menun-dukkan lawan yang juga mempergunakan ilmu itu, akan tetapi
ini bukan kekerasan namanya. Pendekar bahkan harus menjadi pembantu pemerintah untuk
menahan merajalelanya kejahatan dan melindungi rakyat. Bukan malah menentang pemerintah.
Bukankah penjahat -penjahat itu merupakan musuh pemerintah ? Kalau kita menentang pemerintah,
berarti kita memberi angin kepada para penjahat."
"Tapi kalau pemerintahnya yang lalim dan jahat ?"
"Tidak ada pemerintah yang lalim. Yang jahat itu. hanya seorang dua orang pembesar saja. Bukan
semua pejabat itu jahat. Buktinya, bukankah Menteri Ho juga seorang pejabat yang amat baik ?"
"Juteru karena baik itu maka ayah menjadi celaka !" kata Pek Lian penuh penasaran.
"Ayahmu itulah pendekar dan pahlawan sejati, nona ! Tanpa kekerasan, namun dia berani menentang
kejahatan. Kalau kita melihat ada pembesar jahat, jangan lalu menganggap pemerintahnya yang
jahat, melainkan pembesar itulah yang merupakan perorangan. Dan kewajiban kita adalah
mengingatkan, agar pemerintah bertindak terhadap pembesar yang korup dan jahat itu."
"Akan tetapi, kalau yang lalim kaisarnya dan orang-orang yang duduk di tingkat teratas, seperti kepala
thaikam Chao Kao si penjilat dan Perdana Menteri Li Su rajanya segala pembesar korup dan
sewenang-wenang, lebih tepat kalau kita memberontak dan menggulingkan pemerintah bejat ini !"
Tiong Li berkata lagi.
Kembali kakek itu menggeleng-geleng kepala. "Melalui perang saudara ?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kalau perlu!"
"Mengorbankan ratusan ribu nyawa rakyat yang tak berdosa ? Perang selalu diikuti oleh kejahatankejahatan
seperti perampokan, perkosaan, pembakaran, balas dendam pribadi, kekacauan karena
tidak adanya hukum dan penjaga keamanan ! Setelah pemerintah dapat digulingkan misalnya dan
orang -orang yang memimpin pemberontakan itu duduk di atas kursi empuk dan kemuliaan, lalu mereka
ini, para pimpinan pemberontak ini, yang tadinya dengan segala propaganda membujuk para
pendekar dengan berbagai slogan indah muluk kosong, menjadi berbalik wataknya dan menjadi
tukang korup pula, lalu apa yang hendak kalian lakukan ? Memberontak dan menggulingkan pemerintahan
baru itu pula ? Menimbulkan perang sau-dara yang baru pula ? Membakar pemerintah dan
negara yang menjadi rumah bangsa lagi ? Celaka-lah kalau begitu ! Apakah kalian mampu menja-min
bahwa di dalam pemerintahan baru tidak akan timbul tikus -tikusnya ?"
Dua orang muda itu saling pandang, ragu -ra-gu, lalu mengerutkan alisnya merenung bingung, tak
mampu menjawab ! Penggambaran kakek itu terlalu mengerikan, namun bukan merupakan hal yang
tidak mungkin terjadi! Bahkan sejarah sudah mencatat berulang kali terjadinya peristiwa seperti itu!
Pemerintah yang dipimpin pembesar-pembesar yang dianggap lalim, ditumbangkan oleh sekelompok
orang yang pada waktu itu memang berjiwa pahlawan, mengerahkan rakyat untuk mem-. bantu
perjuangan mereka menumbangkan kekuasaan lalim. Kemudian, mereka menang dan menjadi
penguasa. Akan tetapi, setelah menjadi pembesar-pembesar mereka seperti lupa akan suara hati
nurani perjuangan, lelap dalam kesenangan, mabok kemuliaan dan berobah menjadi orang -orang
yang tidak kalah lalim dan korupnya dibandingkan de ngan pembesar -pembesar terdahulu yang
mereka tumbangkan. Muncul pula pahlawan -pahlawan yang mempergunakan kekuatan rakyat
menumbangkan pemerintah baru itu, dan demikianlah, susul -menyusul terjadi pemberontakan -
pemberontakan dan perang saudara. Rakyat terus -menerus menjadi korban. Kalau ada perjuangan,
rakyatlah yang dijadikan perisai dan tombak, kalau perjuangan berhasil, hanya sekelompok manusia
sajalah yang menikmati hasil kemenangan itu dan melu-pakan rakyat sampai ada kelompok pejuang
atau pahlawan lain yang muncul, yang kembali memper-gunakan rakyat sebagai mata tombak dan
perisai-Betapa menyedihkan keadaan di seluruh dunia ini ! "Anak -anak yang baik," kata pula kakek
itu melihat mereka termenung. "Sebuah pemerintahan terdiri dari ratusan, dan ribuan pejabat. Tak
mung-kin mengharapkan bahwa seluruh pejabat itu be-kerja dengan jujur dan baik. Tentu ada saja
yang salah jalan, sesat dan curang. Adalah kewajiban semua orang yang mencintai tanah air dan
bangsanya untuk mengamati hal ini dan memprotes kebu-rukan -keburukan seorang pejabat,
menuntut agar pejabat itu diganti dengan orang yang lebih jujur. Bukan lalu memberontak dengan
kekerasan. Kekerasan ini mencerminkan adanya keinginan untuk mengejar sesuatu dan biasanya,
pengejar -pengejar kesenangan akan mabok kesenangan. Kemenangan dalam kekerasan membuat
orang mabok akan kemenangan itu dan menjadi lupa diri dan buta, sebaliknya kekalahan dalam
kekerasan menimbulkan sakit hati dan dendam."
Dua orang itu saling pandang dan menundukkan muka. Mereka tidak dapat membantah lagi.
Keterangan kakek itu mengejutkan hati mereka, membuat mereka seolah -olah dipaksa membuka
mata melihat kenyataan yang amat kotor dan pahit. Membuat mereka merasa ngeri. Mereka sendiri
adalah orang -orang muda yang berhati bersih dan jujur. Sedikitpun mereka tidak memiliki keinginan
untuk menang dan berpesta dalam kemenangan itu. Mereka hanya melihat ketidakadilan, menjadi
penasaran dan hendak membela mereka yang tertindas. Keterangan-keterangan yang baru saja
diucapkan oleh kakek itu membuat Pek Lian dan Tiong Li diam-diam membayangkan keadaan guru
masing -masing. Pemimpin rakyat Liu Pang guru Pek Lian yang terkenal dengan sebutan Liu-toako,
pendekar dan pahlawan sejati itu, apakah benar dia memiliki keinginan kotor untuk kesenangan diri
pribadi yang tersembunyi di balik cita -cita perjuangan demi rakyat itu ? Dan Tiong Li juga meragukan
apakah gurunya, pendekar dan pejuang Chu Siang Yu, juga memiliki keinginan demi kesenangan
pribadi seperti yang digambarkan oleh kakek ini, atau setidaknya kelak kalau menang akan berobah
menjadi penindas dan pengejar kemuliaan sendiri saja ? Dia tidak mampu membayangkan dan
merasa ngeri.
"Locianpwe, semua keterangan locianpwe terlalu mengerikan dan terlalu mendalam bagi saya.
Sekarang, bagaimana baiknya ? Saya mohon nasihat locianpwe," katanya.
"Aku tetap hendak melihat keadaan ayahku dan
selanjutnya... entahlah. Kata -kata locianpwe sudah memadamkan sebagian besar api dendamku..."
kata Pek Lian meragu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kakek Kam tersenyum. "Anak-anak muda berdarah panas dan bersemangat, memang sudah sepa
tutnya demikian, asal saja darah panas dan sema-ngat itu disertai kebijaksanaan dan jangan sampai
dipergunakan orang -orang demi keuntungan me-reka sendiri. Kwee Tiong Li, engkau adalah seorang
pemuda yang hebat! Semuda ini sudah memi-liki ilmu silat tinggi dan tenaga sinkang yang amat
kuat, juga memiliki batin yang bersih penuh de-ngan semangat kegagahan. Kalau engkau memiliki
sedikit ginkang yang baik, kiranya kelak engkau akan menjadi seorang pendekar pilihan. Maukah
engkau ikut denganku untuk belajar ginkang dari-ku ? Dan engkau, nona ? Engkaupun memiliki ba-kat
yang amat baik, aku ingin mewariskan bebera-pa ilmuku kepada kalian berdua."
"Teima kasih, locianpwe. Saya terpaksa tidak dapat menerima kebaikan hati locianpwe, karena saya
harus pergi melihat keadaan ayah, kemudian kembali ke Puncak Awan Biru," kata Pek Lian.
Akan tetapi Tiong Li menerima penawaran ka-kek itu dengan girang. Pendekar muda ini maklum
betapa dengan kepandaiannya yang sekarang, dia tidak dapat berbuat banyak terhadap para kaum
sesat yang amat lihai itu, maka kalau kakek sakti ini mau mendidiknya, tentu saja dia merasa gembira
sekali.
"Kita tidak boleh terlalu lama berada di sini,"" kata kakek Kam. "Biarpun jejak kaki kuda sudah
kuhapus, akan tetapi mereka tentu akan terus mencari dan tentu akan sampai di sini pula."
"Kalau begitu, biarlah saya akan pergi lebih dulu," kata Pek Lian. Ia bangkit berdiri lalu memberi
hormat kepada kakek itu. "Kam -locianpwe, sekali lagi saya menghaturkan terima kasih atas semua
budi kebaikan locianpwe kepada saya. Kwee -toako, terima kasih dan selamat tinggal."
Kakek itu hanya mengangguk -angguk dan Tiong Li cepat membalas penghormatan gadis itu. Hatinya
merasa terharu sekali. Karena bertemu dengan dia dan kemudian membelanya, maka gadis itu
kehilangan kedua orang gurunya.
"Nona, akulah yang harus berterima kasih. Mudah-mudahan kelak kita akan dapat saling bertemu
kembali"
Pek Lian mengangguk, tak kuasa menjawab karena ia khawatir kalau -kalau suaranya akan terdengar
parau pada saat hatinya amat berduka itu. Ia lalu menghampiri kuda rampasannya, lalu meloncat ke
atas punggung sela kudanya. Ia menoleh dan mengangguk, akan tetapi sebelum ia membe-dal
kudanya, tiba -tiba Tiong Li meloncat mendekat sambil berseru, "Tahan dulu. nona!"
Pek Lian menahan kendali kudanya dan menoleh. Matanya basah, akan tetapi kini ia dapat
menguasai hatinya karena merasa heran. "Ada apa kah, Kwee -toako ?" tanyanya.
Tiong Li tidak menjawab, melainkan cepat dia membuang semua tanda-tanda pada kendali dan
pelana kuda itu sehingga yang tertinggal hanya sela kasar dan kulit kendali sederhana tanpa hiasan.
Kemudian dia mencari sebatang ranting pohon penuh daun dan mengikatkan ranting ini dengan
pelana kuda sehingga ranting itu akan ter-seret kalau kudanya lari. Setelah selesai melakukan semua
itu yang diikuti oleh pandang mata kehe-ranan Pek Lian, dia berkata, "Dengan begini, orang tidak
akan mengenal kuda tentara kerajaan dan ranting itu akan menghapus jeiak kudamu, nona Ho."
Barulah Pek Lian mengerti dan merasa gembi-ra. "Terima kasih, toako. Engkau baik sekali. Sam-pai
jumpa ! Selamat tinggal, Kam -locianpwe !" Dan Pek Lian lalu menjalankan kudanya. Kuda itu berlari
cepat, menyeret ranting yang mengha-pus jejak Liki kuda, mengeluarkan debu yang me-ngepul tinggi.
Tiong Li memandang sampai bayangan gadis dan kudanya itu lenyap, baru dia membalikkan
tubuhnya menghadap kakek Kam dan menjatuhkan dirinya berlutut. "Suhu, teecu mohon petunjuk
selanjutnya."
Kakek itu tersenyum. "Bagus, mulai saat ini engkau mei'jadi muridku. Tiong Li, kalau engkau kelak
berjodoh dengan nona itu, sungguh akupun merasa gembira sekali. Ia seorang gadis yang luar biasa!"
Mendengar ini, wajah pemuda yang biasanya tenang itu berobah merah sekali, akan tetapi hatinya
terasa perih. Dia tidak tahu apakah dia mencinta gadis itu, akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat
membayangkan dirinya berjodoh dengan seorang puteri menteri kebudayaan ? Dia hanya seorang
yatim piatu yang miskin, bahkan rumahpun tidak punya, hidup sebagai seorang pelarian pula. Ah,
terlampau jauhlah khayal itu. Dia masih seperti berada dalam lamunan ketika gurunya mengajaknya
dunia-kangouw.blogspot.com
pergi dari situ, meninggalkan kuda rampasan karena kakek itu tidak mau menunggang kuda dan
melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki saja.
*
***
Ho Pek Lian melakukan perjalanan seorang diri dengan kudanya. Tadinya, ketika meninggalkan Tiong
Li dan kakek Kam, ia membalapkan kudanya karena ingin cepat -cepat pergi agar mereka tidak
melihat kesedihan dan tidak mendengar tangisnya. Setelah ia pergi jauh, ia membuang ranting di
belakang kudanya dan menjalankan kudanya perlahan-lahan sambil termenung. Kedukaan
menghimpit hatinya, membuat wajahnya pucat kehilangan cahaya, matanya sayu dan kadangkadang,
kalau pikirannya meremas perasaan hatinya dengan kenang-kenangan dan bayanganbayangan,
air matanya meluap keluar dari pelupuk kedua matanya
Selama ini ia melakukan perjalanan dengan dua orang gurunya, menemui hal-hal hebat dan semua ini
seolah-olah merupakan hiburan, atau setidaknya membuatnya seperti lupa akan keadaan dirinya
sendiri, keadaan keluarganya yang berantakan itu. Akan tetapi sekarang, pada saat ia menunggang
kuda seorang diri, melalui pegunungan yang sepi itu, tanpa adanya seorangpun manusia
menyertainya, ia merasa amat kehilangan kedua orang gurunya dan perasaan kesepian ini menjalar
ke dalam hatinya, membuatnya termenung dan berdu-ka. Dalam keadaan kesepian itu, pikirannya
melayang -layang, mengingat-ingat akan keluarga ayahnya yang menjadi tawanan, dan hatinya terasa
semakin terhimpit oleh kesepian yang membuat air matanya mengalir keluar, penuh dengan rasa
duka dan sengsara.
Semakin diingat, semakin gundah hatinya, makin besar rasa iba diri menyerangnya dan membuat ia
beranggapan bahwa di dunia ini, hanya ia seoranglah yang paling sengsara hidupnya. Kedukaan
membuat tubuhnya terasa lemas dan Pek Lian lalu menghentikan kudanya, turun dari atas punggung
kuda dan membiarkan kudanya makan rumput, sedangkan ia sendiri duduk di bawah pohon,
bersandar batang pohon dan menerawang ke langit yang penuh awan putih berarak. Akan tetapi
sekali ini tidak nampak keindahan di angkasa itu bagi Pek Lian. Bahkan membuat rasa dukanya
menjadi semakin menyesak di dada. Ia merasa seperti menjadi segumpal awan putih kecil yang
melayang-layang jauh dari kelompok awan lain, terpencil di sana, sendirian, kesepian. Semilirnya
angin membuat hatinya perih oleh rasa rindu kepada orang tuanya. Kenangan akan tewasnya Kim -
suipoa Tan Sun dan Pek -bin -houw Liem Tat, dua di antara guru -gurunya yang amat sayang
kepadanya seperti orang tua sendiri, membuat air matanya mengalir lagi. Bencana yang menimpa
keluarga ayahnya masih belum dapat diatasi, kedua orang gurunya telah tewas pula.
Usianya baru delapanbelas tahun dan ia sudah harus mengalami demikian banyak kepahitan hidup.
Ia bukanlah seorang dara yang cengeng, sama sekali bukan! Biarpun sejak kecil, sebagai puteri
seorang menteri yang berkedudukan tinggi ia hidup di dalam kemuliaan, kehormatan dan kaya raya,
namun Pek Lian bukanlah seorang dara yang manja dan cengeng. Sejak kecil pula ia digembleng
oleh guru -gurunya sebagai seorang wanita yang berjiwa pendekar, yang tidak mudah mengeluh
menghadapi kesukaran. Namun, kepahitan yang dihadapinya sekarang ini terlampau hebat, luka di
hatinya terlampau parah, membuatnya menangis seorang diri di tempat sunyi itu. Ia harus bertemu
dengan ayahnya sekali lagi sebelum ayahnya dihukum ! Di dunia ini, ia hanya mempunyai seorang
keluarga terdekat, yaitu ayahnya. Ibunya sudah tiada, dan ia tidak mempunyai saudara kandung. Ia
harus bertemu dengan ayahnya, apapun yang akan terjadi ! Bisikan hati ini menggugah semangat
Pek Lian dan iapun bangkit lagi, menaiki punggung kudanya dan melanjutkan perjalanan.
Matahari telah condong ke barat ketika kuda yang ditunggangi Pek Lian menuruni sebuah lereng
bukit. Ia menghentikan kudanya dan memandang ke sekeliling, hendak mencari sebuah dusun untuk
melewatkan malam ketika tiba -tiba ia melihat munculnya lima orang wanita. Begitu bertemu, Pek Lian
terkejut karena ia mengenal mereka itu sebagai rombongan wanita bertusuk konde batu giok yang
pernah ia jumpai ketika ia masih bersama-sama dua orang gurunya. Lima orang wanita itu muncul
dari jalan simpangan dan bertemu dengannya tepat di perempatan jalan kecil itu. Dan mereka berlima
itupun agaknya terkejut melihatnya, dan mengenalnya pula. Mereka berhenti dan seorang di antara
mereka yang bertahi lalat di bawah telinga kiri berkata, suaranya lantang,
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ah, engkaukah ini ? Di mana adanya kokcu (ketua lembah) yang muda itu bersama tiga orang sam -
lo -nya ? Kenapa engkau hanya sendirian saja ?" Pertanyaan ini lantang dan diajukan dengan nada
suara yang meremehkan, tanpa sikap hormat sama sekali seperti sikap orang dewasa yang bertanya
kepada anak kecil saja. Pada saat itu, batin Pek Lian sedang mengalami tekanan dan dalam keadaan
seperti itu, tentu saja ia mudah sekali tersinggung. Hatinya terasa mengkal dan ia sama sekali tidak
memperdulikan pertanyaan orang, melainkan dengan gemas ia menarik kendali kudanya, membuat
kuda itu terlonjak dan lari. Dengan dagu terangkat Pek Lian lewat menanggalkan mereka.
"Haii, bocah sombong, tunggu !" Terdengar bentakan di belakangnya, disusul berkelebatnya
bayangan lima orang itu yang sudah melakukan pengejaran.
"Tar -tar -tarrr !"
Pek Lian terkejut sekali melihat sinar biru menyambar-nyambar di dekat kepalanya dan meledak
ketika ia mengelak. Kiranya ia telah diserang oleh seorang di antara mereka dengan sehelai sabuk
berwarna biru yang tadi melakukan totokan tiga kali berturut-turut ke arah leher dan pundaknya.
"Orang -orang jahat!" bentaknya dan terpaksa ia meloncat turun dari atas kudanya sambil mencabut
pedangnya. "Kalian kira aku takut mela-wan ?" Iapun sudah memutar pedangnya dan menyerang
wanita yang tadi menggerakkan sabuk. Karena dalam keadaan marah dan menganggap bahwa
wanita itu tentulah bukan golongan baik-baik dan yang agaknya sengaja hendak memusuhinya, Pek
Lian sudah menyerang dengan dahsyat sehingga gerakan pedangnya melahirkan tusukan-tusukan
maut ke arah wanita itu. Wanita itu meng-elak beberapa kali, nampaknya terkejut juga me-nyaksikan
kehebatan gerakan pedang di tangan Pek Lian.
"Cring ! Tarang -tranggg ! !"
Bunga api berpijar menyilaukan mata dan kem-bali wanita itu terkejut ketika memperoleh kenya-taan
betapa tenaga dara muda itu cukup kuat un-tuk menandingi tenaganya. Pek Lian terus menye-rang,
akan tetapi wanita yang bertahi lalat, yang menjadi pemimpin di antara mereka, segera ber-teriak dan
teman -temannya sudah maju menge-pung Pek Lian.
Pek Lian terus memutar pedangnya, melawan mati -matian dan penuh kemarahan. Akan tetapi
tingkat kepandaiannya hanya seimbang dengan se-orang di antara mereka, maka setelah mereka
ber-lima maju bersama, tentu saja ia segera terdesak hebat. Untung baginya bahwa lima orang
wanita, bertusuk konde batu giok itu agaknya tidak berni-at membunuhnya. Kalau demikian halnya,
tentu ia tidak akan dapat bertahan lama. Beberapa belas jurus kemudian, lima orang itu
mempergunakan sabuk biru yang menyambar -nyambar dan. akhir-nya Pek Lian terpaksa menyerah
ketika sabuk-sabuk biru itu telah melibat tubuhnya, membuat ia tidak dapat lagi menggerakkan kaki
tangannya. Ia tertawan dan dibelenggu kedua lengannya ke belakang.
"Manusia-manusia hina, pengecut besar. Beraninya hanya main keroyokan ! Kalau mau bunuh lekas
bunuh, jangan dikira aku takut mati!" teriak Pek Lian marah.
"Pemberontak hina!" Si tahi lalat itu memaki dan makian ini membuat Pek Lian membungkam.
Siapakah mereka ini, pikirnya, dan apakah mereka ini tahu bahwa ia adalah puteri Menteri Ho yang
dianggap pemberontak? Ia mulai merasa khawatir. Kalau sampai ia ditangkap sebagai pemberontak,
ditawan seperti ayahnya, tentu ayahnya akan marah dan semua usahanya sia -sia belaka. Ia harus
mencari akal dan kesempatan untuk meloloskan diri dari orang -orang ini. Ia harus mencari ayahnya.
Akan tetapi, gerak -gerik lima orang wanita ini demikian teliti dan teratur, jelas menunjukkan bahwa
mereka adalah rombongan orang-orang terlatih, seperti pasukan kecil yang dikemudikan oleh
pemimpinnya, yaitu wanita yang bertahi lalat. Tak pernah mereka itu lengah menjaganya dan ketika
malam tiba, mereka berhenti di bagian yang tinggi dan agaknya mereka itu menanti sesuatu. Pek Lian
tidak pernah membuka mulut dan hanya memperhatikan gerak-gerik mereka yang juga tidak banyak
mengeluarkan kata -kata itu. Mereka berlima itu bersikap seperti menantikan orang, sering kali
memandang ke empat penjuru dari tempat tinggi itu dan saling pandang seperti orang -orang yang
mulai merasa gelisah. Pek Lian menduga -duga siapa gerangan yang mereka nan-tikan. Ia teringat
bahwa ketika ia bersama kedua orang gurunya dan juga orang -orang Lembah Yang -ce melakukan
perjalanan dan berjumpa de-ngan mereka ini, terdapat delapan orang di antara wanita bertusuk konde
batu giok ini. Akan tetapi sekarang hanya tinggal lima orang. Ke manakah perginya tiga orang lagi ?
Apakah mereka ini me-nanti munculnya tiga orang kawan mereka itu ?
dunia-kangouw.blogspot.com
Pek Lian diajak makan dan dara ini tidak me-nolak. "Kalau engkau tidak melawan, kamipnn ti-dak
akan mengganggumu, hanya engkau harus menurut saja sebagai tawanan yang baik," kata si tahi
lalat sambil melepaskan belenggu kedua tangan Pek Lian.
Pek Lian hanya mengangguk. Ia tidak takut, hanya ia tahu bahwa kalau ia bersikap keras, ia tidak
berdaya untuk lolos, ia harus mempergunakan kecerdikan dan tidak menuruti hati yang panas.
Setelah makan, mereka berlima itu duduk bersila, seperti orang bersamadhi, membentuk lingkaran
dan Pek Lian berada di tengah -tengah. Pek Lian maklum bahwa lima orang wanita itu beristirahat,
namun mereka itupun tidak pernah lengah dan ia seperti dikurung. Maka iapun mencontoh perbuatan
mereka, duduk bersila mengumpulkan tenaga. Api unggun yang dibuat oleh mereka itu bernyala
tak jauh dari mereka, mengusir nyamuk dan dingin.
Hanya satu kali si tahi lalat itu mengeluarkan suara yang mengandung kegelisahan, "Mengapa sampai
sekarang mereka belum juga datang ?"
Ucapan ini meyakinkan hati Pek Lian bahwa mereka tentu menanti datangnya tiga orang kawan
mereka, dan memang dugaannya ini tepat. Lima orang wanita yang memiliki ciri khas, yaitu tusuk
konde batu giok itu, memang sedang menantikan datangnya tiga orang kawan mereka.
Menjelang tengah malam, suasana. sunyi bukan main di tempat itu. Hutan di dekat puncak bukit
nampak hitam menyeramkan dan suara binatang-binatang hutan kadang -kadang membuat Pek Lian
terkejut dan membayangkan yang bukan -bukan. Biarpun ia masih duduk bersamadhi seperti lima
orang yang menawannya, namun diam -diam Pek Lian selalu waspada. Sedikit saja kesempatan
untuk meloloskan diri, sudah pasti tidak akan dilewatkannya. Akan tetapi, lima orang itu agaknya tidak
pernah lengah, karena mereka itu masih tetap menantikan munculnya tiga orang kawan mereka.
Tiba -tiba terdengar bunyi desing di sebelah selatan. Mereka semua terkejut, termasuk Pek Lian dan
semua orang menengok ke arah selatan. Nampak oleh mereka meluncurnya anak panah berapi
kuning yang meluncur ke angkasa. Anak panah tanda bahaya! Si tahi lalat sudah meloncat bangun
dan berkata, "Tanda bahaya mereka ! Tentu terjadi sesuatu yang gawat ! Mari kita bantu mereka. Abwee,
engkau di sini menjaga tawanan!"
Wanita yang disebut A -bwee mengangguk dan tanpa diduga oleh Pek Lian, wanita ini sudah meringkus
dan membelenggu kedua lengannya. Pek Lian terkejut dan hendak melawan, namun maksud
hati ini diurungkannya, karena apa dayanya menghadapi mereka berlima ? Kedua lengannya diikat di
belakang tubuhnya dan setelah melihat betapa tawanan itu tidak berdaya, empat orang di antara
mereka lalu berloncatan pergi sedangkan yang seorang itu duduk menjaga tawanan yang sudah terbelenggu
kedua lengannya itu. Ketika empat orang wanita gagah itu dengan tangkasnya berloncatan
ke arah anak panah tanda bahaya tadi, tiba-tiba mereka melihat anak panah ke dua dan mengertilah
mereka bahwa teman -teman mereka terancam bahaya besar.
"Mari cepat!" kata yang bertahi lalat dan me-rekapun mengerahkan seluruh kepandaian mereka berlari
cepat menuruni bukit itu dan ketika mereka tiba di lereng, mereka melihat betapa pemimpin mereka
sedang berkelahi dengan amat serunya menghadapi seorang nenek yang bertubuh gendut dan lihai
bukan main. Jelaslah bahwa pemimpin mereka itu terdesak hebat. Tak jauh dari situ nampak seorang
kakek kurus kecil sedang berjongkok, nongkrong di atas sebuah pedati. Dekat pedati itu tergeletak
dua orang tubuh wanita, dua di antara tiga kawan kelompok wanita bertusuk konde batu giok itu.
Melihat betapa muka mereka nampak kebiruan, mudah diduga bahwa mereka itu tentu terluka hebat
dan keracunan. Begitu melihat nenek gendut dan kakek kurus ini, empat orang wanita yang baru
datang terkejut bukan main.
"Iblis-iblis dari Ban-kwi-to (Pulau Selaksa Iblis) !" teriak mereka dan merekapun sudah cepat
mencabut pedang untuk membantu pemimpin mereka.
"Awas ......!" Pemimpin mereka berseru sambil memutar pedang melindungi dirinya dari desakan
lawan. "Lindungi hidung dengan saputangan! Tempat ini telah penuh disebari racun oleh iblis-iblis ini!"
Mendengar seruan itu, empat orang wanita bertusuk konde giok segera mengikatkan saputangan
melindungi hidung dan mulut mereka, kemudian merekapun maju mengeroyok wanita gendut yang
amat lihai itu. Hebat bukan main wanita gendut itu. Biarpun tubuhnya gendut, akan tetapi ia dapat
bergerak dengan amat gesitnya dan ia menghadapi pengeroyokan lima orang wanita lihai yang
berpedang itu dengan kedua tangan kosong saja! Akan tetapi, yang terancam maut malah lima orang
dunia-kangouw.blogspot.com
pengeroyoknya karena setiap gerakan wanita gendut ini selalu mengandung bahaya. Jarum-jarum
halus menyambar-nyambar dari jarak dekat kepada mereka sehingga mereka itu harus lebih banyak
mempergunakan pedang mereka untuk melindungi tubuh. Setiap tamparan tangan wanita itupun mengandung
hawa beracun yang selain membawa bau amis, juga mengandung hawa yang kadangkadang
amat panas dan kadang-kadang amat di-ngin. Untunglah bahwa lima orang wanita itu
memang pada dasarnya memiliki ilmu pedang yang tangguh, dan setelah kini mereka maju berlima,
nenek gendut itu tidak mudah merobohkan seorang di antara mereka.
"He-he..., ha-ha-ha, rasakan sekarang ! Kau sekarang dikeroyok banyak orang lihai, sebentar lagi
tentu kau akan dicincang pedang mereka menjadi bakso ! Ha-ha-ha ! Mereka akan menggorok
lehermu yang buntek, menusuk hidungmu yang pesek dan merobek perutmu yang gendut, lalu kau
boleh pelesir ke neraka! Dan aku akan bebas, heh -heh! Jadi ini namanya kita sehidup semati, aku
yang hidup, kau yang mati dan aku akan kawin lagi, aku akan mencari yang muda, yang cantik,
yang... heiiiittt!" Kakek kecil kurus itu cepat mencelat dan mengelak karena tiba-tiba saja isterinya, si
nenek gendut itu telah me-ninggalkan lima orang pengeroyoknya dan menye-rang ke arah suaminya
dengan terkaman dahsyat. Melihat suaminya mengelak, nenek itu menyerang lagi dengan hebatnya
dan sekarang suaminya menangkisnya.
"Desss !!" Nenek gendut itu terdorong sampai tiga langkah akan tetapi suaminya terdorong
sampai lima langkah. Ini saja membuktikan bahwa si nenek itu ternyata lebih lihai dari pada suaminya.
Perkelahian antara suami isteri iblis ini demikian hebatnya, membuat lima orang wanita bertusuk
konde giok itu melongo. Ketika suami isteri itu mulai mempergunakan racun, si suami menyebar pasir
beracun, sedangkan isterinya yang tidak mau kalah itu menyebar jarum -jarum dan asap beracun,
lima orang wanita itu cepat menyingkir sambil menyeret dua orang kawan mereka yang terluka.
Sepasang iblis tua itu benar-benar gila. Agaknya mereka sudah melupakan sama sekali tentang
musuh -musuh mereka dan kini mereka itu berkelahi mati -matian. Si nenek lebih ganas lagi
menyerang, baik dengan kaki tangan maupun dengan mulutnya yang memaki -maki, dan akhirnya
kakek itu kewalahan lalu melarikan diri terbirit -birit, dikejar oleh isterinya yang makin keras memakimaki
penuh kemarahan. Melihat kesempatan ini, lima orang wanita bertusuk konde giok itu cepat
membawa dua orang teman mereka yang terluka untuk menjauhkan diri dari tempat berbahaya itu.
Yang terpenting bagi mereka adalah mencoba untuk menolong dua orang teman yang terluka. Cepat
mereka membawa dua orang itu ke dalam hutan dan setelah merebahkan kedua teman itu di atas
rumput, mereka berusaha mengobati dengan pe-ngerahan sinkang dan dengan obat -obat penawar
racun yang selalu mereka bawa di antara obat -obat luka luar atau dalam. Akan tetapi, luka -luka
beracun yang diderita oleh dua orang itu sungguh berbeda dengan luka-luka beracun biasa. Luka
gigitan ular berbisa saja masih akan dapat disembuhkan oleh mereka, akan tetapi luka-luka yang
diakibatkan serangan tokoh Ban-kwi-to itu sungguh luar biasa sekali dan semua usaha pengobatan
mereka sia-sia. Nyawa kedua orang itu tidak dapat diselamatkan dan akhirnya merekapun tewas
tanpa dapat meninggalkan kata-kata pesanan lagi.
Lima orang wanita yang kelihatan gagah perkasa itu, kini menangisi mayat dua orang teman-nya.
Kemudian pemimpin mereka, yang tadi dengan gagahnya melawan nenek iblis, menghentikan tangis
mereka dan dengan wajah muram berduka mereka lalu mengubur jenazah kedua orang teman
mereka di tempat itu juga.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka berlima meninggalkan dua gundukan tanah itu dan
bergegas kembali ke tempat di mana mereka meninggalkan seorang teman mereka menjaga
tawanan. Akan tetapi apa yang mereka dapatkan ke-tika mereka tiba di tempat itu membuat mereka
terkejut bukan main. Tawanan telah lenyap dan teman mereka yang bernama A-bwee itu telah
menggeletak tanpa nyawa, dengan muka kebiruan tanda keracunan pula! Setelah mereka berlima
memeriksanya, ternyata luka keracunan yang diderita mayat ini sama dengan yang diderita oleh
kedua orang teman mereka yang tewas.
"Keparat busuk! !" Pimpinan mereka, wanita berusia empatpuluh tahun yang sepasang matanya
berkilat -kilat tajam itu, berseru marah sambil menghentak-hentakkan kakinya ke atas tanah,
wajahnya penuh geram dan kedukaan. "Sepasang iblis itu sungguh jahat dan kejam! Sayang kita
bukan tandingan mereka. Kita harus cepat pulang dan melapor, biarlah siocia yang akan
membalaskan sakit hati ini!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan berduka merekapun mengubur jenazah teman ke tiga ini. Tentu saja mereka merasa
berduka dan terpukul sekali. Mereka terkenal sebagai Delapan Singa Betina yang terkenal, dan
sekarang, sungguh tak terduga sama sekali, dalam waktu-semalam saja, jumlah delapan itu tinggal
lima dan yang tiga tewas dalam keadaan yang amat me-nyedihkan. Dan penderitaan ini, korban tiga
nyawa ini sungguh merupakan, korban yang sia -sia dan mati konyol, karena mereka bentrok dengan
sepasang iblis itu tanpa sebab -sebab tertentu yang kuat, hanya merupakan percekcokan di antara
dua kelompok yang berpapasan di jalan ! Setelah selesai mengubur jenazah teman ke tiga itu. lima
orang wanita bertusuk konde batu giok itu lalu cepat meninggalkan tempat itu dengan wajah muram.
Sudah sejak tadi Pek Lian; merasa betapa jalan darahnya telah pulih kembali. Akan tetapi ia tidak
berani bergerak, dan pura -pura masih lumpuh tertotok atau setengah pingsan. Tubuhnya bergoyang -
goyang dalam keadaan rebah miring di bagian belakang gerobak yang berjalan lambat -lambat itu,
berjalan di atas jalan yang tidak rata sehingga bergoyang -goyang keras. Hanya sepasang mata dara
itu saja yang bergerak melirik ke bagian depan gerobak, di mana nampak dua orang suami isteri gila
itu sedang duduk berdampingan dan bercanda, tertawa-tawa, kadang-kadang mereka itu bercumbu
dengan kasar, tanpa mengenal malu seolah -olah tidak ada Pek Lian di dekat mereka yang dapat
melihat semua adegan ini. Begitulah kalau suami isteri itu sedang dalam keadaan rukun.
Pek Lian memejamkan kedua matanya. Wajah-nya yang bulat telur itu agak pucat dan kurus.
Memang selama ayahnya ditawan ia mengalami banyak hal -hal yang pahit, ditambah lagi dengan
kematian dua orang gurunya, membuat dara ini menderita tekanan batin yang membuatnya kurus dan
pucat. Namun wajah yang kini nampak pucat itu masih tidak kehilangan kecantikannya. Biarpun
rambutnya awut-awutan, kulit mukanya agak kotor dan pakaiannya kusut, dara ini masih nampak
gagah dan cantik manis. Dagunya yang runcing itu membayangkan kekerasan hati dan keberanian
yang luar biasa. Mulutnya tidak pernah membayangkan rasa takut, sedangkan sepasang matanya
yang memang agak lebar itu, setelah wajahnya menjadi kurus nampak lebih lebar lagi, sepasang
mata tajam yang mengeluarkan sinar berkilat. Memang pantaslah puteri Menteri Ho ini menjadi
pimpinan para pendekar di Puncak Awan Biru, membantu suhunya. Sebutan "nona Ho" oleh para
pendekar dengan sikap menghormat, tidaklah mengecewakan karena selama ini sepak teriang Ho
Pek Lian memang gagah perkasa dan nenuh semangat. Akan tetapi pada saat itu, Ho Pek Lian atau
nona Ho yang dikagumi para patriot itu, berada dalam keadaan yang menyedihkan dan sama sekali
tidak berdaya. Dalam keadaan lumpuh tertotok ia menjadi tawanan sepasang suami isteri iblis itu, dan
ia tahu bahwa kepandaiannya masih jauh untuk dapat menandingi seorang saja di antara mereka,
apa lagi kalau harus menghadapi mereka berdua. Dalam keadaan lumpuh tertotok, ia dilempar begitu
saia seperti karung kosong di atas gerobak dan selanjutnya suami isteri-itu tidak memperdulikannya
dan membawanya melalui dusun -dusun yang terpencil menuju ke utara.
Biarpun ia tidak takut menghadapi kematian, akan tetapi menghadapi kemungkinan apa yang akan
dilakukan oleh sepasang iblis itu kepadanya, membuat Pek Lian merasa ngeri juga. Ada hal-hal yang
lebih mengerikan dari pada kematian. Siang tadi saja ia telah mengalami hal yang mengerikan, masih
meremang bulu tengkuknya kalau ingat. Si kakek kecil kurus yang seperti tulang bungkus kulit itu
mendekatinya. Kemudian jari-jari tangan yang kecil dan keras dingin itu mera-ba dan membelai
lehernya. Pek Lian merasa ngeri dan bulu -bulu di seluruh tubuhnya bangkit ber-diri. Ia menutupkan
kedua matanya dan menahan bau apek yang keluar dari tubuh kakek itu.
"Heh-heh-heh, halus kulitnya. hemm, lunak halus. Cantik sekali gadis ini !" Jari – jari tangan itu
meraba dan membelai. Pek Lian mena-han jeritnya ketika jari-jari tangan itu makin menurun ke
dadanya. Akan tetapi, tiba-tiba ka-kek itu menarik tangannya ketika isterinya menghardik.
"Hem, bagus, ya ? Dahulu engkau merayu dan mengatakan bahwa di dunia ini akulah wanita paling
cantik! Dan sekarang, di depan hidungku engkau memuji kecantikan lain orang! Bagus, ya ? Engkau
menantangku, ya ?"
"Uhh, tidak, tidak ! Jangan salah sangka, isteriku
yang manis. Sampai sekarangpun, engkaulah wanita paling cantik di dunia. Gadis ini memang cantik,
akan tetapi engkaulah yang paling cantik. Heh-heh!"
"Betulkah itu, kakanda ?" Si isteri merayu manja.
"Heh-heh, siapa bohong padamu?" jawab ka-kek itu dan merekapun lalu bercanda, bergelut di dalam
gerobak, saling berciuman, saling cubit dan saling cakar sampai gerobak itu bergoyang -goyang dan
dunia-kangouw.blogspot.com
berguncang keras! Melihat semua ini, Pek Lian memejamkan matanya akan tetapi tidak mampu
menutup telinganya yang terpaksa mendengar semua cumbu rayu mereka yang kasar itu.
Setelah permainan cinta mereka itu mereda, si isteri berkata, "Awas engkau, ya ? Sekali lagi engkau
berani menyentuhnya, akan kurobek kulit yang kausentuh dan akan kupatahkan tanganmu yang
menyentuh!"
Tentu saja Pek Lian bergidik ngeri, akan tetapi hatinya merasa lega juga. Kakek itu sangat takut
kepada bininya yang besar cemburu itu dan hal ini telah menolongnya karena ia melihat pandang
mata penuh nafsu dari kakek itu kepadanya. Akan tetapi suami isteri itu sungguh menyeramkan dan
againya keduanya memang tidak normal otaknya. Mereka itu kadang -kadang bermain cinta di
depannya saja, dan kadang -kadang bercekcok sampai berkelahi mati-matian.
Pek Lian merasa tersiksa bukan main. Ia tidak tahu hendak dibawa ke mana dan mau diapakan oleh
suami isteri itu. Belum setengah hari ia berada di dalam gerobak tubuhnya sudah terasa gatal-gatal,
kulitnya timbul bintik-bintik merah seperti digigiti nyamuk. Ia tahu bahwa hal itu disebabkan oleh hawa
beracun yang memenuhi gerobak itu.
Untung bahwa ia telah memiliki tenaga sinkang yang cukup kuat sehingga ia dapat melawan hawa
beracun ini. Yang amat menyiksanya hanyalah to-, tokan yang membuat kaki tangannya seperti lumpuh
itu.
Pek Lian memulihkan tenaganya. Totokan itu telah mulai kehilangan kekuatannya dan jalan da^,
rahnya pulih kembali. Ia diam saia, pura -pura masih lumpuh. Sampai lama ia membiarkan darahnya
berjalan lancar sampai akhirnya ia merasa betapa tubuhnya telah segar dan sehat kembali.
Pek Lian menanti sampai malam tiba. Gerobak itu dihentikan oleh dua orang penawannya di tepi
jalan dan seperti biasa, suami isteri itu meninggalkan gerobak untuk mencari bahan makan malam.
Indah kesempatan terbaik, pikir Pek Lian dan setelah melihat mereka pergi, iapun cepat meloncat
turun. Senia telah tiba dan cuaca mulai remang-remang. Akan tetapi, tiba -tiba dara ini meloncat
kembali memasuki gerobak ketika ia mendengar suara kakek nenek itu tertawa -tawa dari jauh. 'Aduh,
dingin sekali airnya ....... !" Terdengar
kakek itu berseru dan tahulah Pek Lian bahwa mereka itu sedang mandi. Agaknya terdanat sumber
air, anak sungai atau telaga di dekat tempat itu. Iapun mengintai dari balik tirai gerobak, melihat
apakah keadaannya cukup aman baginya untuk melarikan diri. Ia harus berhati-hati sekali karena
kakek dan nenek itu lihai luar biasa dan kalau sampai larinya ketahuan sebelum ia pergi jauh se kali,
besar bahayanya ia akan tertawan kembali.
Tiba -tiba ada angin menyambar yang membuat pintu gerobak itu bergerak dan hampir saja Pek Lian
menjerit saking kagetnya ketika mendadak ada tubuh meloncat masuk dan tahu -tahu kakek kurus itu
telah berdiri di pintu gerobak dalam keadaan telanjang bulat sama sekali! Badannya yang kurus itu
masih basah kuyup, air masih menetes-netes dari seluruh tubuhnya. Pek Lian menutupi mulut dengan
tangan menahan jeritnya dan cepat membuang muka agar tidak usah melihat tubuh telanjang itu
walaupun cuaca mulai remang -remang dan ia tidak dapat melihat jelas.
"Heh -heh -heh, engkau sudah dapat bangun, manis ? Bagus, mari temani aku bersenang -senang
sebentar !" Dan kakek itu lalu menubruk dan meraih tubuh Pek Lian.
"Tidak ! Jangan... !" teriaknya dan ia memapaki tubuh itu dengan pukulan tangannya.
"Plakk !" Pergelangan tangannya ditangkap dan sebelum tangan ke dua bergerak, juga pergelangan
tangan ke dua ini ditangkap oleh kakek itu yang terkekeh dan ada air liur menetes dari mulutnya
ketika dia mencoba untuk mencium muka nona itu. Pek Lian. meronta-ronta sekuat tenaga, melawan
mati -matian dan tiba -tiba kakinya yang tertindih, tanpa disengaja, menendang sebuah benda di
dalam gerobak itu.
"Prakk!" Guci kecil itu pecah dan dari dalam guci itu keluarlah berpuluh -puluh kelabang me-rah. Bau
amis memenuhi ruangan gerobak itu dan Pek Lian menggigil ketakutan melihat kelabang-kelabang
dunia-kangouw.blogspot.com
besar merah itu merayap cepat dan ad. yang merayap ke pakaiannya, bahkan memasuki lubang
celana dan bajunya. Ia berteriak -teriak dan mencoba untuk mengusir binatang -binatang itu.
"Heh -heh -heh, ha -ha -ha !" Kakek itu mera-sa girang bukan main dan agaknya dia seperti seo-rang
anak kecil yang menemukan permainan baru. Sejenak dia lupa akan rangsangan nafsu berahinya dan
dia merasa gembira sekali melihat gadis itu tersiksa seperti itu. Sambil berjongkok di dekat Pek Lian,
dia terkekeh -kekeh melihat gadis itu meng-geliat-geliat kengerian dikeroyok puluhan ekor ke-labang
itu ! Dan Pek Lian sekali ini baru dapat mengalami apa artinya rasa takut dan jijik. Dari takutnya ia
sampai jatuh pingsan ! Melihat gadis ini pingsan, kakek itu seperti kehilangan kegembi-raannya dan
teringat lagi akan nafsu berahinya maka diapun mulai meraba -raba hendak menang-galkan pakaian
gadis itu. Akan tetapi, baru dua buah kancing baju dibukanya, tiba -tiba dia menarik kembali
tangannya mendengar isterinya berteriak-teriak dari kejauhan.
"Bangsat penipu pembohong ! Laki -laki pena-kut dan pengecut! Di mana kau ? Akan kurobek
mulutmu yang membohongiku. Di mana ada buaya di sungai itu ? Sampai kehabisan napas aku
menye-lam dan mencari -cari tanpa hasil. Kau pembo-hong ! Di mana kau ? Jangan lari !"
Mendengar teriakan isterinya ini, kakek itu men-jadi ketakutan dan cepat diapun meloncat keluar dari
dalam gerobak dan melarikan diri dalam kea-daan masih telanjang bulat, meninggalkan Pek Lian
yang masih rebah pingsan di dalam gerobak.
Nenek itu meloncat masuk ke dalam gerobak. Matanya terbelalak melihat binatang -binatang itu
terlepas dan berkeliaran di situ. "Wah, celaka, sia-pa berani melepaskan peliharaan kesayanganku,
hah ?" Cepat ia mengambil sebuah botol kecil dan menuangkan isinya yang berupa cairan ke dalam
mangkok. Bau yang amis busuk memenuhi tempat itu dan sungguh mengherankan sekali, semua
kela-bang itu cepat -cepat merayap datang dan mema-suki mangkok itu. Nenek itu menangkapi
dengan jari -jari tangan yang cekatan sekali dan tak lama kemudian semua kelabang sudah
disimpannya kem-bali ke dalam sebuah guci kosong.
Kemudian ia memperhatikan keadaan Pek Lian dan alisnya yang tebal itu berkerut. Apa lagi keti-ka ia
melihat genangan air di dalam gerobak. Ia lalu meloncat turun dan kembali terdengar suaranya
memaki-maki.
"Bangsat cabul tak tahu diri! Di mana kau ?"
Tak lama kemudian, nenek itu mendapatkan suaminya sedang enak -enak memancing ikan di tepi
sungai sambil bersiul -siul, seolah -olah tidak pernah melakukan sesuatu yang salah. Akan tetapi,
agaknya isterinya tidak dapat dikibuli begitu saja dan segera telinga sang suami dijewer dan dia diseret
oleh isterinya yang galak itu kembali ke peda-ti, yang segera diberangkatkan oleh nenek yang
marah -marah itu.
Dengan terjadinya peristiwa itu, pengawasan si nenek menjadi lebih ketat sehingga kakek itu tidak
mempunyai kesempatan sama sekali untuk menco-ba -coba mendekati Pek Lian. Hal ini tentu saja
amat menguntungkan Pek Lian, akan tetapi di sam-ping itu, juga ia mengalami penyiksaan lain
sebagai akibat dari rasa cemburu dan benci dari nenek iblis. Karena cemburu, kini sikap nenek iblis itu
terhadap Pek Lian menjadi sadis. Pada hari ke tiga, Pek Lian tidak dibelenggu kedua lengannya lagi,
melainkan diharuskan duduk di bagian depan, di atas tempat duduk kusir dan kaki kanannya di-rantai
dengan tiang gerobak. Ia diharuskan men-jadi kusir, mengamati dan mengendalikan kuda penarik
gerobak. Lebih celaka lagi, nenek itu telah menotok urat gagunya sehingga ia tidak mampu
mengeluarkan suara, hanya duduk dengan anteng-nya di bangku kusir sementara itu suami isteri iblis
itu bersenang -senang di dalam gerobak. Pek Lian masih selalu menanti saat baik. Bagaimanapun
juga keadaannya, gadis perkasa ini tidak pernah putus asa. Selama hayat dikandung badan, ia tidak
akan pernah putus harapan. Pada suatu ketika, ia pasti akan dapat meloloskan diri. Ia tidak mau mati
konyol dengan melakukan perlawanan yang sia -sia belaka terhadap suami isteri iblis yang amat lihai
itu. Bagaimanapun juga, ia kini terlindung oleh rasa cemburu isteri itu terhadap suaminya. Bahaya
yang terbesar telah tersingkir dan iapun tidak bodoh untuk dapat menduga bahwa suami isteri itu tidak
menghendaki kematiannya, karena kalau demikian halnya, tidak mungkin ia dibiarkan hidup sampai
tiga hari lamanya.
Hari itu, sejak pagi telah turun hujan. Akan te-tapi suami isteri iblis itu membiarkan Pek Lian tetap
duduk di luar dan kehujanan sampai pakaian-nya basah kuyup. Juga nenek itu tidak memperbolehkannya
menghentikan gerobak untuk berte-duh. Tentu saja keadaan Pek Lian ini membuat
dunia-kangouw.blogspot.com
orang -orang yang melihatnya menjadi terheran-heran. Sementara itu, di dalam gerobak terjadi pu-la
perdebatan antara suami dan isterinya yang galak itu.
"Eh, isteriku yang manis, yang denok, di luar hujan deras sekali. Apakah akan kaubiarkan saja anak
ayam itu kehujanan di luar ? Ia bisa masuk angin dan sakit"
"Huh ! kau perduli apa sih ? Kau kasihan ya ? Kau cinta padanya ya ?"
"Eh, eh... jangan marah dulu dong! Aku hanya bilang kalau ia sakit dan tidak dapat mengendalikan
kuda, kita akan kehilangan seorang kusir yang can... eh,yang cakap."
"Sudah, jangan cerewet! Biarkan saja. Hayo kita bersenang-senang, di dalam sini kan hangat, mari
kita main adu kelabang !"
"Isteriku yang manis, mengapa tidak dibunuh saja biar lekas beres dan tidak mengganggu ?"
"Manusia tolol engkau! Lupakah engkau bah-wa kita pernah dipesan oleh Sam -suci ? Aku akan diberi
hadiah ramuan awet muda yang diciptakan-nya, apa bila kita dapat mencarikan seorang gadis muda
cantik keturunan bangsawan yang bertulang bagus dan berdarah murni, juga mempunyai ke-pandaian
tinggi. Nah, inilah gadis itu!"
"Alaaaa, awet muda. Mana bisa orang tetap awet muda kalau usianya sudah tua ?" kakek itu
menggerutu. Mereka tidak
***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To Register.]***
mak dapat mematahkan rantai yang mem-belenggu kakinya, maka jalan satu -satunya adalah
membelokkan kuda menuju ke kota agar kalau ada orang melihat keadaannya, ia akan menarik
perha-tian orang dan siapa tahu kalau di antara mereka itu terdapat pendekar-pendekar yang sakti
dan dapat membebaskannya dari cengkeraman suami isteri iblis itu. Kini ia sudah tahu mengapa ia
dita-wan dan tidak dibunuh. Kiranya iblis betina itu mempunyai niat untuk "menjualnya" kepada seorang
iblis lain yang disebut Sam -suci oleh iblis betina itu, untuk ditukar ramuan obat awet muda.
Hujan masih deras ketika gerobak itu memasuki pintu gerbang sebuah kota. Agaknya karena hujan
yang mendatangkan hawa dingin, suami isteri iblis itu masih enak -enak tidur mendengkur, tidak tahu
bahwa gerobak mereka telah disesatkan memasuki kota besar, padahal mereka selalu ingin menjauhi
tempat ramai selama ini. Orang -orang yang ber-teduh di tepi jalan memandang dengan heran kepada
gadis yang menjalankan gerobaknya dan membiarkan dirinya ditimpa air hujan sampai ram-but
dan pakaiannya basah kuyup itu.
Kota yang dimasuki gerobak itu adalah Lok-yang, yang merupakan kota kedua setelah Tiang-an yang
menjadi kota raja. Tentu saja Pek Lian yang menjadi puteri seorang menteri, mengenal ko-ta besar ini
dan diam -diam ia mengharapkan un-tuk dapat bertemu dengan orang -orang gagah yang akan dapat
membantunya membebaskan diri dari kedua orang iblis itu. Jantungnya berdebar tegang, akan tetapi
ia merasa lega mendengar betapa kedua orang iblis itu masih enak-enak tidur mendengkur. Mereka
itu sungguh seperti bukan manusia lagi, pikir Pek Lian. Bermain cinta dengan kasar tanpa mengenal
malu, bercekcok dan berkelahi, selalu bersaing, bahkan dalam mendeng-kur saja mereka seperti
bersaing keras !
Jilid VII
BIARPUN waktu itu sudah tengah hari, akan tetapi cuacanya agak dingin dan agak gelap karena
sejak pagi hujan. Kota yang besar, penuh dongan toko -toko, rumah-rumah makan dan juga rumah -
rumah penginapan itu nampak sunyi karena yang berani berlalu -lalang hanya mereka yang
membawa payung dan yang naik kereta. Sebagian besar orang berteduh di emper -emper toko dan
jalan raya yang cukup lebar itu telah digenangi air.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika gerobak yang dikendarai Pek Lian me-masuki pintu gerbang, tak lama kemudian masuk pula
sebuah kereta indah yang dihias tanda -tanda kebesaran. Kereta itu dikawal oleh belasan orang
perajurit yang berpakaian serba mewah dan indah gemerlapan. Di sebelah kanan kiri kereta itu
nampak dua orang gadis cantik yang berpakaian indah se-perti puteri -puteri bangsawan istana atau
penga-wal-pengawal wanita istana yang berkedudukan tinggi. Di belakang masing -masing gadis ini
ter-dapat seorang perajurit yang melindungi mereka dari air hujan dengan sebuah payung bergagang
panjang. Perlakuan ini saja membuktikan bahwa dua orang gadis itu bukanlah sembarang pengawal,
setidaknya tentu pengawal-pengawal seorang puteri istana yang dipercaya. Melihat pedang panjang
tergantung di punggung dua orang gadis itu, makin mudah diduga bahwa mereka itu tentulah
pengawal-pengawai istana yang penting.
Karena kereta indah itu mendahuluinya, Pek Lian dapat memperhatikan kereta di depannya itu. Ia
melihat betapa orang-orang yang berteduh di tepi jalan, membungkuk dengan hormat ketika ke-reta
lewat. Ini hanya menunjukkan bahwa penum-pang kereta itu tentulah seorang pejabat tinggi. Dan
melihat dua orang pengawalnya, mudah di-duga bahwa penumpang itu tentulah seorang wanita
bangsawan. Pek Lian menduga-duga. Siapa-kah wanita bangsawan tinggi di dalam kereta itu ?
Pek Lian memandang kepada dua orang penga-wal wanita itu dengan penuh perhatian. Sejak
melihatnya tadi, ia merasa seperti telah menge-nal atau setidaknya pernah melihat mereka ini, akan
tetapi ia lupa lagi entah kapan dan di mana. Kini ia memandang lagi penuh perhatian dan karena kini
ia memandang dari belakang, sege-ra ia tertarik oleh sesuatu pada rambut mereka itu. Tentu saja!
Tusuk konde batu giok! Sama benar bentuknya dengan tusuk konde yang dipakai oleh delapan orang
wanita berpakaian sutera hitam itu, yang pernah menawannya. Hanya bedanya, dua orang gadis ini
masih muda, cantik dan pakaian-nya indah. Karena ia sendiri tidak tahu harus me-nujukan
gerobaknya ke mana, maka kuda yang di-diamkannya itu otomatis mengikuti jalannya kereta di
sebelah depan.
Kereta mewah itu berhenti di pintu gerbang se-buah gedung besar dengan pekarangan yang luas dan
indah. Pek Lian juga menghentikan gerobak-nya di belakang kereta itu sambil memandang dengan
penuh perhatian. Pintu kereta terbuka dan turunlah seorang wanita tua yang berwibawa, ber-pakaian
indah dan bersikap tenang sekali. Wanita tua ini menengok satu kali ke arah gerobak, lalu melangkah
ke depan, disambut oleh seorang laki-laki setengah tua yang agaknya menjadi tuan ru-mah penghuni
gedung itu. Pek Lian melihat nenek ini dan juga pria itu, hatinya berdebar tegang. Ia mengenal
dengan baik siapa adanya mereka, walau-pun ia tidak pernah berkenalan dekat dengan mere-ka. Pria
setengah tua yang kelihatan gagah itu, yang us;anya antara limapuluh lima tahun, adalah Wakil
Perdana Menteri Kang yang amat terkenal karena selain wakil perdana menteri ini amat cerdik
pandai, juga dia terkenal sebagai seorang pembesar atau pejabat yang adil, jujur dan set;a. Semua
pe-jabat di kota raja segan kepadanya, bahkan kaisar sendiripun menaruh hormat kepada wakil
perdana menteri ini. Sedangkan nenek itupun pernah dilihat oleh Pek Lian, bahkan nama nenek ini
sudah lama dikenalnya. Nenek ini dikenal sebagai Siang Houw Nio -nio, bukan nenek sembarangan
karena ia adalah bibi dari kaisar sendiri ! Bahkan, biarpun tidak secara resmi, terdengar desas -desus
bahwa nenek inilah yang bertanggung jawab atas keaman-an keluarga kaisar di istana karena nenek
ini me-mang memiliki ilmu kepandaian yang amat-lihai.
Pek Lian hanya dapat memandang dengan me-longo ketika nenek itu disambut dengan penuh
kehormatan oleh pihak tuan rumah, kemudian ne-nek itu diiringkan masuk ke dalam gedung, dika-wal
oleh dua orang gadis cantik yang berjalan gagah di belakangnya. Setelah mereka itu lenyap, ke dalam
gedung, barulah Pek Lian sadar bahwa ia sejak tadi telah duduk bengong di atas gerobak yang
dihentikannya di belakang kereta. Dan baru ia tahu bahwa para pengawal yang jumlahnya empatbelas
orang tadi mulai memperhatikan gerobak-nya. Bahkan empat orang segera melangkah lebar
menghampirinya.
"Heii, nona ! Sejak tadi engkau mengikuti kami, ada urusan apakah ?" tegur seorang di antara mereka.
Mereka tadi ketika mengawal kereta, meli-hat gerobak ini, akan tetapi mereka tidak berani
membikin ribut karena takut kepada Siang Houw Nio -nio yang mereka kawal, juga karena dua orang
nona pengawal pribadi nenek itu diam saja, mere-kapun tidak berani banyak bertingkah. Sekarang,
setelah nenek penghuni kereta bersama para pe-ngawal pribadinya telah diterima oleh pihak tuan
rumah dengan selamat, barulah mereka berani ri-but -ribut untuk menyatakan rasa penasaran dan
mereka menghampiri gerobak yang masih berhenti tak jauh dari pintu gerbang itu.
"Jangan-jangan ia menyelidiki perjalanan kita !" kata seorang di antara mereka sambil. mendekat.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Eh, kenapa kakimu dirantai, nona ?" tanya orang ke tiga dan kini ada enam orang pengawal ramairamai
mendekat karena tertarik oleh seru-an terakhir ini.
Pek Lian tidak dapat banyak mengharapkan orang-orang seperti para pengawal ini. Ia sudah tahu
sampai di mana kepandaian perajurit -perajurit pengawal ini. Kalau dua orang gadis tadi, barulah
boleh diharapkan dapat menolongnya. Akan tetapi, betapapun juga, ia melihat kesempatan untuk menimbulkan
keributan dan menarik perhatian, maka mendengar pertanyaan itu, ia lalu menoleh dan
me-nudingkan jari telunjuknya ke dalam gerobak.
Isyarat ini cukup bagi para perajurit pengawal. Bagaikan pendekar -pendekar atau pahlawan -pahlawan
yang hendak menolong seorang gadis manis yang tersiksa, mereka itu lalu mendobrak pintu
dengan gedoran -gedoran keras.
"Penjahat-penjahat keji yang berada di dalam gerobak ! Hayo keluar menerima hukuman !" teriak
mereka sambil beramai-ramai mendorong pintu gerobak yang terkunci dari dalam itu. Tiba-tiba
terdengar teriakan melengking dari dalam, me-ngejutkan para perajurit pengawal karena teriakan
seperti itu hanya dapat dikeluarkan oleh mulut bi-natang-binatang buas. Dan tiba-tiba saja pintu
gerobak itu terbuka lebar dari dalam, disusul ber-i kelebatnya dua bayangan orang dan empat orang
perajurit berteriak dan roboh, menggigil kedinginan terkena pukulan beracun ! Tentu saja hal ini amat
mengejutkan sepuluh orang perajurit pengawal la-innya dan mereka sudah cepat mencabut senjata
lalu mengeroyok kakek dan nenek yang telah me-robohkan empat orang kawan mereka itu. Terjadilah
perkelahian yang ramai, di mana sepuluh orang pengawal dihadapi oleh dua orang kakek dan
nenek yang amat lihai. Kakek itu berkelahi sambil terkekeh -kekeh dan seperti biasa, dia mempermainkan
para pengeroyoknya, membuat mereka jatuh bangun hanya dengan menjegal, mendorong dan
tidak menjatuhkan pukulan maut karena memang dia ingin puas mempermainkan dulu para pengeroyoknya
sebelum membunuh mereka. Sebaliknya, nenek itu menggerakkan kaki tangannya dengan
buas sambil memaki -maki dan dalam waktu sing-kat, sudah ada dua orang lagi perajurit pengawal
yang dirobohkan oleh pukulannya yang mengan-dung hawa beracn. Suasana menjadi ribut karena
para penjaga gedung itupun sudah berlari -lari mendatangi sambil memegang senjata.
Kembali sudah jatuh dua orang perajurit penga-wal sehingga kini sudah ada delapan orang menggeletak
keracunan oleh pukulan suami isteri yang lihai itu. Keributan ini tentu saja segera diketahui
oleh para pengawal -pengawal dalam gedung dan merekapun cepat berlari keluar. Kini kakek dan
nenek itu dikeroyok oleh puluhan orang perajurit pengawal dan penjaga. Akan tetapi, para perajurit itu
sama saja dengan menyerahkan nyawa mencari kematian. Makin banyak kini yang roboh sehingga
mayat mereka malang melintang memenuhi ha-laman yang luas itu. Melihat ini semua, diam -diam
Pek Lian bergidik. Kakek dan nenek itu benar-benar amat keji dan juga amat lihai.
Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dan nampak berkelebat bayangan merah dan putih
meluncur keluar dari dalam gedung. Pek Lian melihat bahwa yang bergerak cepat sekali itu ternyata
adalah dua orang gadis pengawal tadi. Tahu -tahu mereka telah berada di situ dan mereka sudah mengenal
keadaan dengan pandang mata mereka yang tajam dan berpengalaman.
"Pek -cici, tentu mereka inilah yang telah mem-bunuh orang -orang kita ! Manusia -manusia iblis dari
Ban -kwi -to !"
"Benar, Ang -siauwmoi! Kau bantu para pengawal, biar aku bebaskan gadis tawanan itu !" kata
wanita baju putih, sedangkan wanita yang bajunya merah telah mencabut pedang panjangnya dan
dengan gerakan yang amat cepat dan dahsyat, ia sudah menerjang kakek nenek iblis dengan
serangan maut. Pedangnya membuat gulungan sinar dan mengeluarkan suara bercicit, tanda bahwa
ilmu pedang gadis baju merah ini amat lihai dan digerakkan oleh tenaga sinkang yang amat kuat.
Sementara itu, gadis baju putih sekali meloncat telah tiba di dekat Pek Lian. Dengan cekatan ia
mematahkan rantai kaki Pek Lian dengan pedangnya yang ternyata terbuat dari pada baja yang amat
kuat itu, dan melihat keadaan Pek Lian, iapun lalu menotok dan mengurut leher Pek Lian sehingga
Pek Lian dapat mengeluarkan suara lagi. "Terima kasih," kata Pek Lian. "Tidak perlu, kalau engkau
ada kepandaian, lebih baik bantu kami menghadapi sepasang iblis itu!" jawab si wanita baju putih
yang kini segera meloncat turun dan membantu gadis baju merah dengan putaran pedangnya yang
ternyata tidak kalah hebatnya dibandingkan dengan si baju merah.
Dua orang gadis itu memang benar amat lihai. Terutama sekali ilmu pedang mereka sedemikian
hebatnya sehingga sepasang iblis itupun berkali-kali mengeluarkan seruan kaget dan nyaris menjadi
dunia-kangouw.blogspot.com
korban pedang kalau mereka tidak cepat -cepat menghindarkan diri dengan cekatan sambil membalas
dengan mengawut -awut jarum, pasir dan asap beracun. Para pengawal yang mengeroyok
hanya berani menggunakan senjata -senjata panjang seperti tombak untuk menyerang kakek daii
nenek itu dari jarak jauh setelah melihat betapa pe-rajurit pengawal yang berani mehyerang terlalu
dekat tentu roboh dalam keadaan mengerikan, men-jadi korban pukulan beracun. Melihat betapa sepasang
iblis itu terdesak, akan tetapi masih amat sukar bagi dua orang gadis dan para pengawal untuk
merobohkannya, Pek Lian yang merasa sakit hati terhadap mereka lalu meloncat turun dari atas
gerobak, dan menyambar sebatang pedang yang berserakan di halaman. Banyak senjata para
penga-wal yang sudah roboh itu berserakan di tempat itu dan pedangnya sendiri entah dibuang ke
mana oleh suami isteri iblis itu. Dengan pedang di ta-ngan, Pek Lian menyerbu dan ikut mengeroyok.
Tentu saja serangan Pek Lian dengan ilmu pedang yang tidak boleh dipandang ringan ini membuat
suami isteri dari Ban-kwi-to menjadi semakin terdesak.
Bagaimanapun juga, ilmu silat pedang Pek Lian adalah ilmu pedang yang masih aseli dan bersih,
mengandung dasar yang kuat. Dan selama ini ia telah memperoleh banyak pengalaman dalam
pertempuran-pertempuran melawan musuh-musuh yang tangguh sehingga ia memperoleh banyak
kema-juan pesat. Maka, pengeroyokannya juga terasa berat oleh suami isteri iblis itu sehingga
mereka semakin terdesak. Karena khawatir kalau-kalau sampai terluka dan roboh, tiba-tiba nenek itu
mengeluarkan sebuah tabung bambu kuning dari saku jubahnya yang kedodoran, dan membuka
tutupnya. Melihat ini, Pek Lian yang selama tiga hari berkum-pul dengan mereka dan sudah tahu akan
isi tabung bambu itu, berteriak kaget, "Awas binatang berbisa !!"
Teriakannya itu ternyata benar karena dari ta-bung bambu itu keluar beterbangan beratus -ratus lebah
yang warnanya putih yang mengamuk dan menyerang para pengeroyok. Hebatnya, di antara para
perajurit yang terkena sengatan lebah itu, se-ketika roboh berkelojotan, tubuhnya kejang -kejang !
Bukan main hebatnya bisa dari sengatan lebah pu-tih ini. Yang belum menjadi korban sengatan lebah,
segera melarikan diri ke dalam gedung, termasuk Pek Lian dan dua orang wanita tokoh tusuk konde
batu giok itu, dikejar oleh lebah -lebah yang marah.
Sementara itu, melihat jatuhnya beberapa orang korban sengatan lebahnya, kakek dan nenek itu seperti
kumat gilanya. Mereka tertawa -tawa, ber-tepuk -tepuk tangan dan bersorak, lalu berjongkok dan
menonton orang-orang yang berkelojotan dan kejang-kejang sebagai akibat sengatan lebah, kelihatan
gembira bukan main seperti anak-anak ke-cil menikmati cacing -cacing yang berkelojotan terkena
abu panas. Mereka agaknya seperti telah me-lupakan keadaan sekeliling mereka, karena asyik
dengan permainan baru ini. Memang nampaknya dua orang ini seperti iblis yang amat kejam. Akan
tetapi, bukankah kesadisan, yaitu rasa gembira me-lihat orang atau mahluk lain tersiksa ini telah ada
pada diri setiap orang manusia sejak kanak -kanak ? Hanya agaknya pada suami isteri ini kesadisan
itu menonjol sekali sehingga kelihatannya luar biasa dan keterlaluan.
Sementara itu, nenek Siang Houw Nio -nio yang berada di dalam gedung, sedang bercakap -cakap
dengan Wakil Perdana Menteri Kang. Mereka bica-ra dengan serius sekali dan wajah keduanya agak
muram dan nampak bersemangat. Agaknya mereka saling berbantah dan kini terdengar suara nenek
yang berwibawa itu, yang bicara sambil menatap tajam wajah wakil perdana menteri itu, suaranya
terdengar lantang dan berpengaruh.
"Menteri Kang! Aku pribadi dapat mengerti akan perasaan hatimu. Aku mengerti, apa yang men-jadi
sebab sesungguhnya dari permintaanmu untuk pensiun itu. Alasan yang kauajukan bahwa engkau
sudah merasa terlalu tua dan tidak sanggup bekerja lagi adalah alasan yang dicari -cari saja. Aku tahu
bahwa sebab yang sesungguhnya adalah karena se-mua nasihatmu tidak pernah digubris oleh kaisar,
bukankah demikian? Di dalam batinmu, engkau selalu berselisih pendapat dengan Sri baginda dan
hal itu amat mengesalkan hatimu. Bukankah demi-kian ? Apa lagi setelah sahabat eratmu, yaitu Menteri
Ho, ditangkap karena dianggap menentang kebijaksanaan pemerintah. Dan karena engkau setia,
muka dari pada engkau harus mengalami tekanan batin, lebih baik engkau mengundurkan diri saja.
Bukankah demikian, Wakil Perdana Menteri Kang !'" Ucapan nenek itu begitu terus terang dan
ditujukan langsung tanpa pura-pura lagi sehingga bagi men-teri setia itu terasa seolah-olah ada
todongan pedang langsung ke ulu hatinya.
Mendengar ucapan itu, pembesar ini agak pucat mukanya dan sampai lama dia menundukkan mukanya.
Dia maklum bahwa akan percuma saja untuk menyangkal terhadap puteri yang amat cerdas ini.
Akhirnya, setelah menarik napas panjang, diapun berkata, suaranya terdengar berat membayangkan
keadaan hatinya yang terhimpit,
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tuan puteri, hamba mengerti bahwa sebagai bibi dan pelindung sri baginda kaisar, paduka memiliki
pandangan yang luas, waspada dan bijaksana. Oleh karena itu, tentu paduka juga maklum bahwa
hamba sama sekali tidak mempunyai niat yang kurang baik terhadap sri baginda. Di dalam lubuk hati
hamba, yang ada hanyalah kesetiaan, sifat yang dijunjung oleh nenek moyang hamba. Selama ini,
selagi mendampingi sri baginda, hamba selalu berbuat baik dan bijaksana agar dapat meraih rasa
hormat dan cinta dari rakyat. Kekuatan negara terletak kepada kekuatan kaisarnya dan kekuatan
kaisar timbul dari kesetiaan rakyat yang mencintanya. Akan tetapi... ah, bagaimana hamba harus
mengatakannya ?"
"Lanjutkanlah, Menteri Kang. Jangan khawatir, engkau bicara dengan orang yang mempergunakan
hati nuraninya, bukan hanya mempergunakan perasaannya."
"Bagaimana hati hamba tidak akan berduka me-lihat betapa sri baginda agaknya hanya selalu menuruti
keinginan beberapa orang kepercayaan saja. Mengejar kesenangan dan kurang
mempertimbang-kan usul -usul mereka yang dipercaya sehingga sering kali muncul keputusan dan
perintah yang amat berlawanan dengan kehendak rakyat jelata. Hal itu membuat negara kita menjadi
tegang dan kacau seperti sekarang ini. Hamba adalah wakil perdana menteri, tentu ikut bertanggung
jawab atas keadaan negara. Akan tetapi apa yang dapat hamba lakukan kalau semua usul hamba
tidak di-perhatikan ? Kalau semua nasihat hamba dikalah-kan oleh bujuk rayu para penjilat ? Lebih
baik hamba mengundurkan diri saja. Bukan karena ham-ba ingin melarikan diri atau karena kecewa,
mela-inkan karena kehadiran hamba di dekat sri baginda sama sekali tidak ada artinya lagi." "Aku
dapat mengerti perasaan hatimu, akan te-tapi jalan pikiranmu yang demikian itu sesungguh-nya keliru
sama sekali, menteri yang baik. Kalau engkau mundur, apakah keadaan akan menjadi le-bih baik ?
Tentu akan semakin parah. Aku sendiri tidak berhak mencampuri urusan pemerintahan, akan tetapi
aku tahu bahwa kalau engkau mundur, berarti makin berkurang pula menteri yang berani memberi
ingat dan menegur sri baginda kalau be-liau melakukan kesalahan dalam tindakannya. Be-tapapun
juga, usia sri baginda masih terlalu muda sehingga beliau perlu dibimbing dan dinasihati oleh orangorang
yang bijaksana dan berpengalaman seperti engkau. Sayang bahwa aku hanya mahir dalam
urusan ilmu silat, sedikitpun aku tidak tahu akan seluk-beluk pemerintahan, maka aku minta dengan
sangat kepadamu, Menteri Kang, secara pribadi dan demi persahabatan kita, agar engkau suka
mempertahankan kedudukanmu, mendampingi sri baginda. Biarlah kita bekerja sama. Aku yang
mendampingi dan menjaga keselamatan sri bagin-da, sedangkan engkau yang menjaga
kebijaksanaan-nya." Setelah bicara dengan panjang lebar, nenek itu menghapus sedikit peluh dari
dahi dan leher-nya.
"Akan tetapi, tuan puteri... paduka tentu mengenal kekerasan hati sri baginda. Mungkin saja
peringatan hamba akan membuat hamba dijebloskan pula ke dalam penjara seperti Menteri Ho yang
baik dan jujur itu"
"Hemm, kalau begitu engkau merasa takut dan ngeri ? Engkau lebih suka melihat keadaan menjadi
semakin buruk dari pada kehilangan nyawamu un-tuk negara ? Inikah ucapan Wakil Perdana Men-teri
Kang yang terkenal setia dan berbudi itu ?"
"Bukan begitu, tuan puteri..."
Akan tetapi pembesar ini tidak melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu terdengar suara hirukpikuk
dari para pengawal dan penjaga yang berlarian ke dalam gedung, dikejar oleh lebah-le-bah
berbisa. Bahkan di ruangan depan gedung itu, terdapat beberapa orang pengawal yang jatuh bergelimpangan
dan sekarat.
Dua orang gadis bertusuk konde batu giok su-dah meloncat ke dalam dan dengan singkat menceritakan
kepada nenek itu tentang pengamukan suami isteri dari Ban -kwi -to yang memperguna-kan
lebah -lebah berbisa untuk merobohkan banyak sekali pengawal. Mendengar keterangan dua orang
pengawal pribadi yang juga menjadi murid -murid kesayangannya itu, Siang Houw Nio-nio menjadi
marah sekali. Dikibaskannya lengan bajunya.
"Pek-ji! Ang-ji! Apakah menghadapi iblis Ban-kwi-to saja kalian tidak mampu mengatasi-nya dan perlu
menggangguku ?" bentaknya pena-saran. Biasanya, kedua orang muridnya ini sudah dapat
mengatasi segala persoalan yang timbul, karena itu ia sudah menaruh kepercayaan besar dan
bahkan mengangkat mereka menjadi pengawal-pengawal pribadinya agar ia tidak usah turun ta-ngan
dunia-kangouw.blogspot.com
sendiri kalau timbul persoalan. Tentu saja ia merasa penasaran dan marah melihat kedua orang murid
yang diandalkannya ini sekarang menjadi kacau hanya oleh amukan dua orang iblis Ban-kwi-to saja.
"Maaf, subo, sebetulnya teecu berdua tidak akan kalah kalau saja mereka itu mempergunakan ilmu
silat biasa. Akan tetapi mereka melepaskan lebah yang ratusan ekor banyaknya, lebah berbisa yang
mengerikan sehingga sudah banyak perajurit yang roboh dan keracunan. Teecu berdua kewalahan
untuk mengusirnya."
Mendengar laporan muridnya yang berbaju putih yang diberi nama panggilan Pek In (Awan Putih)
sedangkan yang berbaju merah disebut Ang In (Awan Merah), Siang Houw Nio -nio mengerutkan
alisnya.
"Lebah berbisa ...... ? Apakah berwarna putih dan yang kena sengatannya terus kejang -kejang
karena panas yang hebat dan berkelojotan, lalu kulit para korban juga menjadi putih ?"
"Benar, subo," kata Ang In.
"Hemm, tentu lebah beracun dari pohon -pohon arak di Sin -kiang yang amat berbahaya. Dalam
waktu tiga jam kalau tidak diberi obat penawarnya, luka sengatan itu akan menjadi busuk dan sukar
ditolong lagi. Menteri Kang, apakah engkau mempunyai arak yang tua, keras dan wangi ? Cepat
keluarkan dan bawa ke sini. Suruh semua orang membawa obor, karena hanya dengan api sajalah
lebah-lebah itu dapat diusir dan mereka sangat suka kepada arak wangi dan keras. Cepat!"
Wakil Perdana Menteri Kang lalu memberi pe-rintah kepada pengawal pribadinya dan tak lama
kemudian nenek bangsawan itu telah menuangkan arak wangi ke dalam guci arak yang indah
buatannya, kuno dan nyeni. la membawa keluar guci arak itu dan meletakkannya di ruangan depan.
Dan terjadilah keanehan. Bau arak yang harum itu agaknya menarik lebah -lebah putih itu yang
beterbangan dengan cepatnya menuju ke guci arak itu dan sebentar saja semua lebah mengerumuni
guci dan mengeroyok arak harum itu seperti semut -semut mengerumuni gula. Setelah semua lebah
berkumpul di situ, Siang Houw Nio -nio lalu menyingsingkan lengan bajunya dan dengan kedua
tangannya ia meraup lebah -lebah itu dan memasukkannya ke dalam sebuah botol besar, kemudian
iapun keluar membawa botol terisi lebah -lebah putih itu.
Di halaman depan, suami isteri iblis itu masih seperti orang gila, berjongkok dan tertawa terpingkalpingkal
melihat para korban yang berkelojotan di atas tanah. Memang ada lucunya melihat muka yang
tertarik-tarik itu dan kaki tangan yang kejang-kejang, akan tetapi bagi orang biasa, tentu rasa ngeri
dan kasihan akan mengusir semua bagian yang lucu.
"Heh-heh-heh, lihat hidungnya ! Heh-heh, hidungnya jadi bengkok!" kata nenek itu sambil terpingkalpingkal.
"Dan yang sana itu, kakinya menendang-nendang, ha-ha, agaknya dia mimpi belajar ilmu tendangan
baru yang sakti, ha-ha-ha!" suaminya juga tertawa bergelak melihat tingkah laku seorang korban lain.
"Hemm, kiranya tak salah dugaanku. Im-kan Siang-mo yang datang mengacau, sungguh berani mati
sekali!" nenek bangsawan itu berkata.
Suami isteri itu terkejut dan cepat melompat berdiri, berdampingan menghadapi nenek itu, memandang
heran bahwa ada seorang yang mengenal julukan mereka di tempat ini. Akan tetapi ketika
mereka melihat nenek yang berpakaian indah dan bersikap penuh wibawa itu, mereka berdua saling
pandang dan nampak terkejut, lalu dengan sikap canggung keduanya menjura ke arah nenek itu.
"Bagaimana toanio dapat mengenal Im -kan Siang -mo ?" tanya nenek itu dengan suara parau. Siang
Houw Nio -nio tersenyum. "Memang baru sekarang aku dengan sial bertemu dengan kalian, akan
tetapi siapakah yang tidak pernah mendengar nama kalian sebagai tokoh -tokoh Ban -kwi -to ? Kalian
mempunyai ciri -ciri badan yang mudah di-kenal. Im -kan Siang -mo, Sepasang Iblis dari A-khirat, juga
suami isteri Bouw Mo -ko dan Hoan Mo -li."
"Engkau mengenal kami, lalu mau apa ?" tiba-tiba nenek iblis itu menantang.
Siang Houw Nio -nio tetap tersenyum dengan tenang. "Lihat, tidak kenalkah kalian kepada lebahlebah
ini lagi ?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat betapa lebah -lebah putih itu berada di dalam botol yang dipegang oleh si nenek sakti, suami
isteri itu menjadi marah sekali. "Kembali-kan lebah -lebahku !" bentak Hoan Mo -li, nenek gendut itu
sambil menyerang, diturut pula oleh suaminya. Lebah -lebah itu adalah binatang -bi-natang peliharaan
mereka yang menjadi sahabat-sahabat baik dan bahkan merupakan senjata mere-ka yang terampuh
dalam menghadapi lawan tang-guh, dan mereka memperoleh lebah -lebah itu de-ngan amat sukar,
bahkan dengan taruhan nyawa. Belum lagi waktu yang dipergunakan untuk men-jinakkan mereka
yang membutuhkan ketelitian, ke-sabaran dan juga mengandung bahaya. Oleh kare-na itu, melihat
betapa lebah -lebah itu berada di tangan nenek bangsawan itu, tentu saja mereka menjadi marah dan
menyerang dengan dahsyat dan mati -matian.
Akan tetapi, suami isteri yang mempunyai pukulan-pukulan beracun itu sekarang seolah-olah ketemu
gurunya. Pada hakekatnya, dasar ilmu si-lat dari tokoh -tokoh Ban -kwi -to ini tidaklah ter-lalu tinggi.
Yang membuat mereka berbahaya bu-kanlah kelihaian ilmu silat mereka, melainkan ra-cun -racun
yang mereka pergunakan itulah. Kini, berhadapan dengan Siang Houw Nio -nio yang memiliki tingkat
ilmu silat tinggi, mereka itu mati kutu. Puteri tua yang menjadi bibi dan juga pe-lindung kaisar ini
ternyata amat lihai. Ia menghadapi pengeroyokan dua orang itu hanya dengan tangan kanan saja,
sedangkan tangan kirinya dipa-kai untuk memegang botol terisi lebah -lebah putih. Biarpun demikian,
dengan langkah-langkah ajaib, ia selalu dapat menghindarkan diri dan kedua orang suami isteri iblis
itu tidak pernah mampu menyen-tuhnya.
Sampai tigapuluh jurus lebih suami isteri itu mendesak tanpa ada gunanya sama sekali. Tiba-tiba,
Siang Houw Nio -nio yang tadi hanya ingin melihat dasar -dasar gerakan mereka dan mengu-kur
tingkat mereka, meloncat ke pinggir sambil berseru, "Berhenti!!"
Seruannya mengandung tenaga khikang yang demikian kuatnya sehingga dua orang lawannya itu,
mau atau tidak, otomatis berhenti bergerak dan memandang kepadanya dengan bengong.
"Kita tukar lebah -lebah peliharaan kalian ini dengan obat pemunahnya untuk menyembuhkan para
korban. Hayo cepat, kalau tidak, kuhancurkan lebah -lebah ini kemudian kepala kalian juga !"
Ucapan nenek itu penuh wibawa dan sekali ini suami isteri itu tidak ragu -ragu lagi. Mereka telah
memperoleh bukti bahwa nenek ini tidak hanya mengeluarkan gertak sambal belaka, karena selama
tigapuluh jurus lebih tadi mereka berdua memang sama sekali tidak berdaya dan kalau nenek itu benar-
benar hendak membunuh mereka, agaknya hal itu bukan tidak mungkin.
"Baik..., baik... ini obat pemunahnya, obat luar dan obat minum. Berikan kembali lebah-lebahku,"
kata Hoan Mo-li si nenek gendut.
Penukaran terjadilah dan Siang Houw Nio-nio lalu memerintahkan dua orang muridnya untuk
mengobati para korban. Dan benar saja, setelah diolesi obat luar dan diberi minum obat minum-nya,
para korban itu berhenti berkelojotan dan tak lama kemudian merekapun sembuh kembali.
Sementara itu, kakek kecil kurus, Bouw Mo -ko, setelah sejak tadi memandang kepada nenek bangsawan
itu, lalu berkata, "Benarkah kami berhadap-an dengan yang mulia Siang Houw Nio-nio?"
Mendengar ucapan suaminya itu, Hoan Mo -li juga kelihatan terkejut. Nenek bangsawan itu
mengangguk dan berkata, "Nah, kalian boleh pergi dari sini dan jangan mencoba untuk membikin kacau
di kota ini !"
Bouw Mo -ko yang maklum bahwa tinggal le-bih lama di tempat itu tidak menguntungkan mere-ka, lalu
menggandeng tangan isterinya. "Isteriku, mari kita pergi dari sini!"
"Nanti dulu !" Hoan Mo -li mengibaskan ta-ngannya yang digandeng suaminya. "Siang Houw Nio-nio,
perjanjian antara kita hanya mengenai tukar -menukar lebah dan obat penawarnya. Akan tetapi gadis
itu adalah tawanan kami, maka kami akan membawanya kembali!"
Nenek bangsawan itu menoleh kepada Pek Lian yang ditudingi oleh nenek iblis itu, lalu ia mengangkat
pundaknya. "Tidak ada hubungannya de-nganku," katanya. Mendengar ini, Hoan Mo -li lalu
menghampiri Pek Lian.
"Anak manis, mari kau ikut dengan kami!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tidak sudi! Biar mati aku tidak akan mau menyerah !" bentak Pek Lian sambil melintangkan
pedangnya, pedang yang dipungutnya dari atas tanah di halaman itu.
"Eh, eh, kau berani melawanku, ya ?" Hoan Mo -li membentak dan menubruk maju. Pek Lian
mengelak dan balas menyerang. Akan tetapi, Bouw Mo -ko kini juga sudah maju menubruk dan Pek
Lian menjadi repot sekali. Melawan seorang di an-tara kedua iblis itu saja ia takkan mampu menang,
apa lagi kalau dikeroyok dua. Akan tetapi pada saat itu, Pek In dan Ang In sudah menerjang maju
membantunya.
"Eh, eh, bukankah gadis tawananku ini tidak termasuk perjanjian tukar -menukar lebah ?" Hoan Mo -li
mencela.
"Kalian berjanji dengan subo, bukan dengan ka-mi. Kami tidak terikat perjanjian!" jawab Pek In yang
terus menggerakkan pedangnya, dibantu oleh Ang In dan Pek Lian. Kini dua orang suami isteri iblis itu
yang menjadi kewalahan. Untuk mempergunakan racun, mereka segan dan jerih terhadap Siang
Houw Nio-nio, maka akhirnya sambil mengeluarkan seruan -seruan marah dan kecewa, keduanya
meloncat ke atas gerobak dan melarikan gerobak mereka itu dengan cepat meninggalkan tempat itu,
langsung keluar dari pintu gerbang ko-ta besar Lok -yang.
Setelah dua orang iblis itu melarikan diri, Siang Houw Nio -nio memandang kepada Pek Lian de-ngan
sinar mata penuh selidik, kemudian bertanya, "Nona, siapakah engkau ?"
Pek Lian merasa ragu -ragu untuk menjawab. Ia tahu siapa adanya nenek ini yang masih keluarga
dekat kaisar. Tentu saja ia tidak berani mengaku bahwa ia adalah puteri Menteri Ho yang kini menjadi
musuh dan tawanan pemerintah. Sebagai bibi kaisar, tentu saja nenek inipun memusuhi keluarga
Ho yang dianggap pemberontak. Melihat keraguan Pek Lian, gadis baju merah lalu berkata sebagai
keterangan kepada subonya,
"Gadis ini tentu merupakan kawan dari orang-orang Lembah Yang -ce yang memberontak. Anak buah
teecu pernah menawannya. Bukankah begi-tu ?" tanyanya kepada Pek Lian.
Pek Lian tak dapat menyangkal akan hal ini dan iapun tahu bahwa tentu wanita -wanita bertusuk
konde batu giok itu telah melapor kepada pimpinan mereka ini. Maka iapun menjawab dengan suara
mengejek, "Hemm... kiranya wanita – wanita bertusuk konde batu giok itu adalah anak buah-mu ?"
Pek Lian memandang ke arah tusuk konde pada rambut nona baju merah itu. "Anak buahmu itu
sungguh kurang ajar sekali. Aku hanya pernah berjalan bersama -sama ketua lembah itu saja, dan
aku lalu ditangkap ! Aturan mana itu ?"
"Adik yang baik, kaumaafkanlah anak buah ka-mi. Akan tetapi orang -orang lembah itu adalah
buronan pemerintah, maka karena engkau menge-nal mereka, sudah selayaknya kalau engkau dicurigai,"
kata Pek In si baju putih.
"Akan tetapi, apa hubungannya dengan wanita-wanita baju sutera hitam bertusuk konde batu giok itu
? Ada hak apakah mereka mencurigai orang ?"
Pek Lian bertanya penasaran.
Gadis baju putih itu tersenyum dan kalau biasa-nya ia nampak gagah, kini baru terlihat jelas bahwa
wajahnya manis sekali kalau tersenyum. "Adik, tahukah engkau siapa pembesar pemilik gedung ini ?
Beliau adalah Wakil Perdana Menteri Kang, dan guru kami ini, beliau adalah bibi dari sri ba-ginda
kaisar. Nah, kini engkau mengerti mengapa anak buah kami mencurigai orang -orang yang menjadi
teman para pemberontak, bukan ?"
Tentu saja Pek Lian sama sekali tidak terkejut mendengar siapa adanya pembesar dan nenek bangsawan
itu karena memang ia sudah pernah menge-nal dan mendengar tentang mereka. Hanya tadi ia
merasa kagum bukan main menyaksikan kelihaian nenek itu ketika menghadapi Im -kan Siang -mo,
suami isteri iblis yang lihai itu. Dan baru sekarang ia tahu bahwa pasukan wanita berpakaian sutera
hitam dengan tusuk konde batu giok itu adalah anak buah murid -murid dari Siang Houw Nio -nio jadi
orang-orangnya pemerintah! Atau setidak-nya adalah golongan yang membela kaisar.
Ia sendiri tidak ingin dikenal sebagai puteri Menteri Ho karena hal ini akan berbahaya sekali baginya.
Maka, ketika melihat Wakil Perdana Men-teri Kang keluar dan memandang kepadanya de-ngan sinar
dunia-kangouw.blogspot.com
mata tajam, Pek Lian menundukkan mukanya. Menteri Kang itu mengerutkan alisnya dan merasa
seperti pernah mengenal gadis ini. akan tetapi dia lupa lagi.
Pek Lian merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Bagaimana kalau sampai ia dikenal ? Tidak
ragu lagi, ia tentu akan ditangkap sebagai anggauta keluarga pemberontak. Ia harus berhati -hati dalam
memberi jawaban, pikirnya dan ia tidak boleh terlalu banyak bicara.
"Nona, siapakah engkau ? Benarkah orang-orang Lembah Yang -ce itu adalah kawan -kawan mu ?
Ataukah engkau barangkali juga anggauta pemberontak ?" kembali wanita tua itu bertanya dengan
halus, namun sinar matanya seperti hendak menembus jantung Pek Lian.
"Saya adalah seorang perantau dan kebetulan bertemu di jalan dan berkenalan dengan ketua lembah
itu. Karena saya pernah ditolongnya, maka kami menjadi sahabat, akan tetapi saya bukan
anggauta mereka."
"Di manakah sekarang sahabatmu, ketua lembah itu ?"
Ho Pek Lian memang tidak tahu ke mana pergi-nya Kwee Tiong Li yang ikut bersama gurunya yang
baru, yaitu kakek Kam Song Ki yang lihai. Maka iapun menggeleng kepalanya dan berkata, "Saya
tidak tahu. Kami saling berpisah tiga hari yang lalu dan saya ditawan oleh pasukan tusuk konde batu
giok lalu dirampas oleh sepasang iblis itu."
Wakil Perdana Menteri Kang mempersilahkan nyonya bangsawan itu untuk duduk kembali di ruangan
tamu melanjutkan percakapan mereka. Siang Houw Nio -nio memberi isyarat kepada dua orang
muridnya, "Bawa ia masuk dan awasi baik-baik."
Pek In dan Ang In lalu memegang kedua ta-ngan Pek Lian dengan halus dan mengajaknya ma-suk
pida ke ruang tamu di mana kedua orang gadis itu duduk agak jauh di belakang nenek yang kini
melanjutkan percakapan dengan Menteri Kang. Dua orang muridnya adalah orang-orang kepercayaan
maka diperbolehkan untuk hadir. Dan ne-nek ini biarpun seorang bangsawan, akan tetapi
sikapnya seperti orang kang -ouw, tidak begitu perduli akan segala peraturan. Bahkan ia seperti
sengaja membiarkan Pek Lian ikut pula mendengar-kan, agaknya memang nenek ini ingin
memancing agar Pek Lian dapat memberi keterangan lebih banyak tentang para pemberontak. Pek
Lian duduk diapit-apit dua orang gadis lihai yang biarpun bersikap halus akan tetapi tetap saja
merupakan pengawal -pengawal yang takkan membiarkan ia lolos. Diam -diam Pek Lian memasang
telinga men-dengarkan percakapan tingkat tinggi itu.
"Menteri Kang, sekali lagi kuharapkan engkau suka memegang lagi jabatanmu dan mengurungkan
niatmu untuk mengundurkan diri. Hal ini telah diputuskan oleh para penasihat istana dalam rapat
terakhir dengan sri baginda kaisar sendiri. Akulah yang ditugaskan datang ke sini untuk menyampaikannya
kepadamu."
Wakil Perdana Menteri Kang mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. "Kalau hamba
menolak, tentu paduka telah mendapat wewenang dari sri baginda untuk memenggal kepala hamba
sekeluarga, bukan ? Begini, tuan puteri. Hamba siap untuk kembali, akan tetapi hamba juga siap
untuk membiarkan kepalaku dipenggal sekarang juga oleh paduka."
Nenek itu mengerutkan alisnya dan sinar mata-nya mencorong menatap wajah pembesar itu. "Hem,
apa maksudmu, Menteri Kang ?"
"Hamba siap untuk bertugas kembali, apa bila syaratnya dipenuhi. Hamba mohon agar para menteri
jujur dan setia yang dipecat dan dipensiunkan agar diampuni dan ditarik kembali karena tenaga
mereka amat dibutuhkan negara, termasuk sahabat hamba Menteri Ho. Menteri Ho hendaknya diampuni
dari hukuman mati, keluarganya dibebaskan dan agar dia menduduki lagi jabatannya.
Demikianlah, tuan puteri. Kalau permohonan hamba itu tidak dipenuhi, maka lebih baik hamba
menerima untuk di..."
"Nanti dulu, Menteri Kang!" nenek itu menyela. "Mana mungkin aku dapat memutuskan hal itu
sekarang! Bukan wewenangku. Akan tetapi aku akan berusaha untuk menyampaikan permohonanmu
kepada sri baginda dan akan berusaha agar beliau mengabulkannya. Aku mendengar bahwa sri
baginda telah menghentikan empat orang menteri, bahkan menjatuhkan hukuman mati kepada
seorang di antaranya yang kini sedang hendak menjalankan pelaksanaan hukuman matinya. Menteri
dunia-kangouw.blogspot.com
itu adalah sahabat karibmu" Nenek itu menghela napas. Ia tidak tahu betapa jantung Pek Lian
berdebar penuh ketegangan dan keharuan. Betapa tidak akan tergetar rasa hati gadis ini mendengar
orang membicarakan ayahnya. Akan tetapi ia
menguasai hatinya dan hanya menundukkan muka sambil terus mendengarkan dengan penuh
perhatian.
"Maaf, tuan puteri. Soalnya bukan semata-mata karena Menteri Ho adalah sahabat karib hamba.
Andaikata hamba tidak mengenal dia sekalipun, tetap dia akan hamba bela karena hamba tahu
bahwa dia adalah satu di antara para pembantu sri baginda yang terbaik, paling jujur dan setia sampai
ke tulang -tulang sumsumnya."
"Tapi dia berani menentang kebijaksanaan sri baginda !" kata nenek itu penasaran.
"Tidak, tuan puteri. Bukan menentang sri ba-ginda, melainkan mengingatkan beliau bahwa keputusan
yang diambil beliau itu kurang tepat dan pada akbarnya hanya akan merugikan negara sendiri.
Hanya menteri-menteri-jujur sajalah yang berani mengeritik, sebagai tanda bahwa dia benarbenar
setia, bukan sebangsa pejabat yang pandai-nya hanya menjilat -jilat, menyenangkan hati sri
baginda karena pamrih untuk mencari kedudukan dan pengaruh, pejabat macam ini sesungguhnya
adalah pengkhianat, musuh dalam selimut yang amat berbahaya. Kenapa justeru menteri yang ju-jur
dan setia yang harus ditangkap dan dihukum ?"
"Sudahlah, aku mengerti apa yang kaumaksud-kan. Aku akan menghadap sri baginda dan tunggu-lah
selama satu minggu. Aku akan datang lagi, Pek-ji, Ang-ji, mari kita pulang. Bawa nona itu sebagai
kawan."
Biarpun nenek itu menyebut "kawan" namun dua orang muridnya tentu saja maklum bahwa guru
mereka mencurigai nona ini yang harus dibawa sebagai seorang tawanan. Pek Lian tidak membantah.
Ia dan dua orang murid Siang Houw Nio -nio itu diberi pinjaman pakaian oleh keluarga Wakil
Perdana Menteri Kang untuk mengganti pakaian mereka yang tadi basah ketika mereka berkelahi
melawan Im -kan Siang -nio. Setelah berpamit, rombongan puteri tua itu meninggalkan Lak-yang
untuk kembali ke kota raja. Pengawal yang tadi-nya berjumlah empatbelas orang itu masih utuh
biarpun mereka telah menderita luka -luka berat yang kemudian dapat disembuhkan kembali. Ten-tu
saja mereka masih nampak loyo. Akan tetapi, sesungguhnya tugas mereka itu lebih banyak se-bagai
tanda kebesaran saja dari pada benar -benar mengawal puteri tua yang amat lihai dan yang ten-tu
saja sama sekali tidak membutuhkan pengawal-an orang -orang seperti mereka. Pek Lian menunggang
kuda di belakang kereta, diapit oleh Pek In dan Ang In. Dua orang gadis ini bersikap manis
kepadanya, sama sekali tidak bersikap seperti orang yang menawannya. Pek Lian mengakui
namanya, hanya she Ho itu digantinya dengan she palsu, yaitu she Sie.
***
Hujan telah berhenti sama sekali sehingga para pengawal, juga Pek In, Ang In dan Pek Lian yang
berada di luar kereta tidak lagi basah oleh air hujan. Nenek bangsawan itu sengaja membuka tirai
kereta sehingga dari belakang, sambil naik kuda yang disediakan oleh keluarga Menteri Kang, Pek
Lian dapat melihat wajah nenek itu yang duduk termenung seperti patung. Diam -diam, seperti tidak
sengaja, Pek Lian memperhatikan wajah itu. Seorang wanita yang sudah tua, usianya tentu ada
enampuluh lima tahun, akan tetapi masih jelas membayang bekas kecantikannya. Wajah itu masih
putih lembut biarpun di sana -sini, terutama di kanan kiri mulut dan di antara kedua mata, terda-pat
keriput. Alisnya diperindah dengan hiasan hi-tam seperti sudah lajimnya dilakukan oleh para wanita
bangsawan. Mulut itu dahulu tentu indah dan penuh gairah, masih nampak jelas garis -garis
lengkungnya, akan tetapi kini membayangkan se-suatu yang menyeramkan, menimbulkan sifat dingin
dan juga keras. Pek Lian teringat akan cerita ayahnya tentang wanita ini, seorang bibi dalam dari
kaisar dan juga menjadi pelindung kaisar. Bia-sanya wanita ini selalu berada di dalam istana, menjadi
semacam pelindung tersembunyi dari kaisar, di samping adanya pengawal -pengawal pribadi kaisar
yang dipimpin oleh Pek-lui-kong Tong Ciak si pendek cebol tokoh Soa-hu-pai itu. Karena nenek ini
tidak pernah mencampuri urusan pemerintahan, maka perkenalannya dengan Menteri Ho juga hanya
sepintas lalu saja, bahkan Pek Lian sendiri hanya baru mendengar namanya saja dan belum pernah
berkenalan secara langsung, hanya melihatnya dari jauh. Tidak demikian dengan Wa-kil Perdana
Menteri Kang yang menjadi sahabat baik ayahnya. Ia pernah bertemu, bahkan berke-nalan dengan
dunia-kangouw.blogspot.com
pembesar ini, walaupun hanya meru-pakan pertemuan sambil lalu. Karena itulah maka pembesar itu
meragu dan tidak mengenalnya tadi.
Kereta itu dengan tenangnya meluncur keluar dari pintu gerbang benteng sebelah utara. Para penjaga
yang mengenal kereta dengan tanda -tan-da pangkatnya ini, cepat berdiri tegak memberi hormat dan
kereta itu lewat dengan cepatnya, Pada saat itu, Ang In mendekati jendela kereta dan berkata kepada
nenek Siang Houw Nio -nio.
"Subo, di depan terdapat empat orang dari per-kumpulan Thian -kiam -pang. Mereka juga keluar dari
pintu gerbang dan juga membawa sebuah kereta."
Nenek itu mengerutkan alisnya yang kecil panjang dan hitam karena alis itu buatan dengan alat
penghitam. "Biarkan saja, kenapa ribut-ribut ? Jangan perdulikan bocah-bocah ingusan itu. Pura-pura
tidak melihat saja!" Jelas bahwa dalam kata-kata nenek itu terdapat kemarahan atau ke-mengkalan
hati yang tidak senang.
"Tapi tapi, subo di sana terdapat Yap-suko ! Teecu... teecu..." gadis baju merah itu tergagap.
Juga nona Pek In nampak gugup seperti adik seperguruannya. Melihat semua ini, Pek Lian
memandang heran. Ada apakah ? Ia juga melihat kereta di depan dengan beberapa orang pemuda
perkasa yang mirip dengan rom-bongan pria yang pernah dilihatnya ketika ia masih bersama kedua
orang suhunya. Orang -orang Thian-kiam-pang ! Pria gagah perkasa, berbaju putih-putih membawa
pedang pasangan yang panjang, sikap merekapun gagah dan jelas menunjukkan bahwa mereka
adalah golongan pendekar-pendekar perkasa.
"Huh, kalau ada bocah itu, kenapa sih ? Apa-kah kalian takut padanya?" nenek itu bertanya dan
nampaknya semakin penasaran. "Lihat, apa yang dapat mereka lakukan kalau ada aku di sini !"
Ho Pek Lian menjadi semakin heran. Ada apa-kah antara nenek dan dua orang muridnya itu de-ngan
orang-orang dari Thian -kiam -pang, sehing-ga dua orang gadis lihai itu nampak seperti gentar dan
kehilangan keberanian mereka ? Apakah orang-orang Thian -kiam -pang itu musuh-musuh mere-ka
dan apakah mereka itu demikan lihainya se-hingga dua orang gadis itu kelihatan gentar? Ka-rena
tertarik, Pek Lian agak menjauhkan kudanya dari kereta untuk dapat melihat lebih jelas ke arah orang
-orang Thian -kiam -pang yang berada di depan itu.
Kereta di depan itu agaknya berjalan lambat-lambat sehingga hampir tersusul oleh kereta yang
ditumpangi Siang Houw Nio-nio. Kini Pek Lian dapat melihat lebih jelas. Orang -orang dari Perkumpulan
Pedang Langit itu rata -rata berusia antara tigapuluh lima sampai empatpuluh tahun,
kelihatan tegap dan gesit, rata -rata bersikap ga-gah dan membayangkan kepandaian silat yang
tinggi. Setelah kereta yang berada di belakang itu menyusul dekat, pria -pria gagah perkasa yang
rata -rata berpakaian serba putih itu serentak me-nengok ke belakang dan kesemuanya nampak terkejut
sekali dan kikuk, persis seperti sikap Pek In dan Ang In ketika melihat mereka ! Jadi ada semacam
rasa tidak enak, segan dan takut antara kedua rombongan itu. Kini Pek Lian teringat betapa
wanita-wanita berpakaian sutera hitam yang me-makai tusuk konde batu giok itupun nampaknya kikuk
ketika pria -pria gagah itu bertemu dengan pimpinan wanita bertusuk konde batu giok. Empat orang
pria itu meringis, senyum yang masam dan kikuk, dan mereka hampir berbareng menegur ke-pada
dua orang gadis itu. "Adik Pek! Adik Ang!"
Teguran yang dilakukan dalam keadaan cang-gung itu membuat dua orang gadis itu kelihatan makin
serba salah, keduanya hanya tersenyum masam sambil sedikit mengangguk ketika mende-ngar
sebutan itu. Padahal, melihat nada suara se-butan itu, mudah diduga bahwa hubungan antara mereka
itu sesungguhnya amat dekat. Kini dua orang gadis itu hanya mengerling tajam dengan sikap takuttakut
ke arah jendela kereta. Mereka merasa lebih gugup ketika melihat betapa kereta itu, kereta para
pria itu, berhenti dan pemuda yang tadi duduk di bangku kusir kini meloncat turun dan menghampiri
mereka ! Pemuda ini nampaknya paling muda di antara mereka berempat, akan te-tapi melihat
caranya memberi isyarat kepada yang lain untuk berhenti dan yang lain mengangguk ta-at, dapat
diduga pula bahwa kedudukannya adalah yang paling tinggi.
Tentu saja Pek In dan Ang In tahu siapa pe-muda ini. Namanya Yap Kiong Lee dan biarpun usianya
termuda di antara yang lain, yaitu baru ti-gapuluh satu atau dua tahun, akan tetapi dia ada-lah murid
tertua atau paling lama sehingga meru-pakan toa -suheng dari yang lain dan tingkat ilmu silatnya juga
dunia-kangouw.blogspot.com
paling tinggi. Melihat dua orang ga-dis itu, murid Thian -kiam -pang yang paling lihai ini tersenyum
girang dan dengan langkah lebar menghampiri sambil menegur.
"Hei, kiranya Pek-siauwmoi dan Ang-siauwmoi ! Apa kabar, adik-adik yang manja ? Dari manakah"
tiba-tiba dia terdiam ketika dua orang gadis itu kelihatan ketakutan dan kebingung-an, memandang ke
arah jendela kereta di belakang itu. Cepat dia menghentikan langkahnya dan me-mandang ke arah
jendela kereta pula, wajahnya agak berobah dan sikapnya menjadi gugup pula,
Tiba -tiba terdengar suara nenek bangsawan dari dalam kereta, suaranya agak ketus, "Hayo, Pek-ji
dan Ang-ji! Jangan layani bocah -bocah itu!"
Pek In dan Ang In menjadi semakin ketakutan.
"Yap-suheng... aku... aku..." Pek In tak dapat melanjutkan kata-katanya dan menjalankan kudanya
maju menjauhi pemuda itu, disusul oleh Ang In.
Yap Kiong Lee juga kelihatan jerih, sambil mennura ke arah kereta, diapun berkata, "Subo...!"
Dan saudara-saudara seperguruannya juga menjura dengan hormatnya. Akan tetapi, nenek di dalam
kereta itu sama sekali tidak menjawab dan kereta-nya lewat dengan cepat mendahului kereta Thiankiam
-pang itu dan Pek Lian juga mengikuti kereta sambil melirik dengan penuh keheranan.
Betapa anehnya semua orang ini, pikirnya. Je-laslah bahwa mereka itu saling mengenal dengan amat
baiknya, apa lagi pemuda she Yap itu sudah jelas memiliki hubungan yang amat akrab dengan dua
orang gadis itu. Akan tetapi mengapa mereka itu bersikap seolah -olah mereka bermusuhan atau
merasa takut untuk memperlihatkan keakraban ? Pek Lian melirik ke belakang ketika mereka me-lalui
kereta orang-orang Thian -kiam -pang itu, dan ia melihat kereta itupun bergerak dengan ce-patnya,
melalui jalan kecil di sebelah kiri dan agak-nya memang hendak mengambil jalan lain agar tidak
sejalan dengan nenek bangsawan. Sebentar saja kereta mereka itu lenyap, meninggalkan debu
mengepul tinggi. Sementara itu, kereta nenek bang-sawan jalan seenaknya seperti yang
diperintahkan oleh nenek itu kepada kusirnya.
Ketika kereta Siang Houw Nio -nio memasuki kota kecil di sebelah timur kota raja, hari telah senja.
Jarak antara kota kecil Bin -an dengan Kota Raja Tiang -an tinggal perjalanan setengah hari saja.
Akan tetapi karena nenek bangsawan itu tidak ingin melakukan perjalanan di malam hari, ia memerintahkan
agar mereka bermalam di kota kecil Bin -an. Dan biarpun ia seorang yang berkedudukan
tinggi di istana, namun karena ia tidak terma-suk orang pemerintahan dan tidak begitu menge-nal
para pejabat, iapun tidak mau merepotkan pe-jabat kota itu dan memerintahkan dua orang mu-: ridnya
untuk mencari penginapan, tentu saja hotel yang paling baik dan besar di kota itu. Hotel itu selain
besar dan mempunyai banyak kamar, juga menyediakan sebuah rumah makan yang mewah.
Nenek Siang Houw Nio-nio segera memasuki kamar yang disediakan untuknya dan memesan kepada
Pek In dan Ang In agar untuk makan malamnya, diantar saja ke dalam kamar karena ia enggan
keluar.
"Kalian boleh makan di luar dan jalan-jalan, akan tetapi jaga jangan sampai gadis itu lolos," katanya.
Dua orang gadis itu menyanggupi lalu mereka mengajak Pek Lian keluar dan memasuki rumah
makan itu. Sikap keduanya gembira dan terhadap Pek Lian mereka menganggap seperti se-mang
sahabat sendiri.
"Adik Pek Lian, engkau tahu bahwa demi tugas, kami harus mengawasimu karena engkau dicurigai,
akan tetapi percayalah bahwa kami suka kepadamu dan sedikitpun kami tidak mempunyai hati benci
atau memusuhimu," demikian mereka pernah ber-kata sehingga di dalam hatinya, Pek Lian juga su-ka
kepada dua orang gadis yang berilmu tinggi ini.
Ketika mereka memasuki rumah makan, tempat itu penuh dengan tamu -tamu yang makan minum.
Ada sebuah meja kosong di sudut dan tiga orang gadis itu duduk menghadapi meja ini, tidak jauh dari
meja di mana terdapat empat orang laki -laki yang menarik perhatian mereka. Di pinggang me-reka ini
terselip golok. Padahal, waktu itu sudah ada larangan membawa senjata. Jelaslah bahwa empat
orang ini termasuk jagoan -jagoan dan dua orang di antara mereka mempunyai lengan yang dibalut,
tanda bahwa mereka telah mengalami luka. Sikap mereka kasar -kasar dan diam -diam Pek Lian
melirik penuh perhatian karena ia merasa seperti pernah melihat wajah -wajah kasar ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Empat orang kasar itu kini menjadi semakin kasar karena mereka telah agak kebanyakan minum arak
keras. Ketika mereka minta tambah arak dan pelayan datang agak terlambat, seorang di antara
mereka bangkit berdiri dan menampar pelayan itu. Pelayan yang sial itu roboh terguling dengan pipi
bengkak dan pingsan. Tentu saja keadaan menjadi gempar. Banyak di antara para tamu merasa tidak
enak dengan adanya peristiwa ini dan mereka su-dah bangkit berdiri, bermaksud meninggalkan tempat
itu. Akan tetapi, empat orang kasar itu bangkit berdiri, mencabut golok mereka dan mengacungacungkannya
ke atas.
"Jangan ribut! Teruskan kalian makan, siapa berani pergi akan kami bunuh !"
Tentu saja para tamu menjadi semakin ketakut-an. Mereka tidak jadi pergi, akan tetapi tentu saja
napsu makan sudah lama terbang meninggalkan hati mereka. Para pelayan lain dengan ketakutan
segera menggotong pelayan sial yang pingsan itu.
"Harap nona suka hati-hati," bisik seorang di antara para pelayan ketika mereka lewat dekat me-ja tiga
orang gadis itu.
Ketika ada beberapa orang petugas keamanan kota memasuki rumah makan, para tamu memandang
dengan penuh harapan. Tentu mereka akan menangkap empat orang yang jelas merupakan
penjahat-penjahat kasar itu. Akan tetapi, empat orang itu sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan
seorang di antara meieka mengangkat kakinya ke atas meja secara menantang sekali. Dan anehnya,
para petugas keamanan itu nampak ragu -ragu!
Hal ini tentu saja amat mengherankan hati Pek Lian. Kota kecil ini tidak terlalu jauh dari kota raja,
akan tetapi mengapa para penjahat ini begitu beraninya, seolah -olah menantang petugas keaman-an
? Melihat sikap mereka, Ang In hampir tidak dapat menahan hatinya, akan tetapi sucinya berkedip
kepadanya dan mencegahnya turun tangan karena Pek In ingin melihat perkembangannya.
Empat orang yang mabok -mabokan itu agak-nya tidak memperdulikan kanan kiri dan kesem-patan ini
dipergunakan oleh Pek Lian untuk meng-gapai pelayan yang tadi membisikkan peringatan kepada
mereka bertiga. Pelayan itu datang ke me-ja mereka dan sambil berpura -pura memesan ma-kanan,
Pek Lian berbisik dan bertanya kepada pelayan itu tentang empat orang kasar tadi. Sam-bil berbisik
pula, dengan singkat pelayan itu lalu bercerita.
Kiranya memang sudah kurang lebih sepekan ini kota kecil itu didatangi oleh penjahat -penjahat yang
beraksi di sekitar kota raja, termasuk di kota kecil itu. Ketika para petugas keamanan turun tangan
bertindak, para penjahat melawan dan be-berapa orang petugas tewas dalam perkelahian. Hal ini
membuat para komandan marah dan diada-kanlah pembersihan terhadap para penjahat. Akan tetapi,
ketika diadakan pembersihan pada siang harinya, maka pada malam harinya, terjadilah pembunuhanpembunuhan
gelap terhadap para komandan yang memimpin pembersihan. Dan di setiap tempat di
mana perwira itu dibunuh, terda-pat sebuah bendera kecil berdasar hitam dengan gambar harimau
berwarna kuning. Di pinggang harimau itu melilit sebuah rantai yang kedua ujung nya bermata
tombak.
Mendengar penuturan itu, Pek Lian menahan kagetnya. Bukankah gambar yang dilukiskan itu
merupakan tanda dari San -hek -houw (Harimau Gunung Hitam), raja kaum perampok dan begal,
copet dan maling, yang merupakan seorang di an-tara Sam -ok (Tiga Jahat) ?
"Hemm, mengherankan sekali," kata Ang In. "Apakah tidak ada pasukan penjaga keamanan dari kota
raja ?" tanyanya kemudian.
Pelayan itu sambil berbisik melanjutkan cerita-nya. Agaknya dia termasuk orang yang suka de-ngan
kabar angin, dan suka bercerita pula, agak-nya bangga karena dia dapat menceritakan semua itu.
Menurut kabar, oleh penguasa kota telah dila-porkan ke kota raja, akan tetapi sampai hari itu belum
ada hasilnya. Para penjahat itu nampaknya semakin berani. Beberapa kali terjadi perkelahian antara
para penjahat dan para penjaga yang diban-tu oleh pendekar -pendekar yang kebetulan lewat di situ
dan yang membela rakyat dari ancaman para penjahat. Hampir setiap hari. terjadi pembu-nuhan.
Baru, kemarin terjadi pertempuran sengit antara para penjahat dengan beberapa orang pen-dekar dari
Kun -lun -pai. Para penjahat melari-kan diri sambil membawa teman -teman mereka yang terluka
karena lima orang pendekar Kun -lun-pai itu lihai sekali. Akan tetapi, kemudian muncul seorang laki -
laki tinggi besar yang berjubah kulit harimau. Laki -laki tinggi besar ini selalu diikuti oleh dua ekor
harimau kumbang dan lima orang pendekar Kun -lun -pai itu tewas semua di tangan raja penjahat ini!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Dan mereka itu..." kata si pelayan sambil melirik ke arah empat orang yang duduk di meja sambil
tertawa-tawa itu. " adalah sebagian dari penjahat-penjahat yang melarikan diri karena kalah oleh
pendekar-pendekar Kun-lun-pai"
Mendengar penuturan itu, Pek Lian mengepal tangannya di bawah meja dan tanpa disadarinya lagi
iapun berkata gemas, "Hemm, orang-orang si Raja Kelelawar sudah mulai merajalela !" Setelah
mengeluarkan kata-kata itu dan melihat betapa dua orang gadis itu memandangnya dengan aneh,
barulah Pek Lian terkejut sendiri.
"Adik Pek Lian sudah mengenal Raja Kelelawar dan pengikut -pengikutnya ?" tanya Pek In sambil
memandang tajam.
"Ah, tidak..." kata Pek Lian yang sudah menyadari bahwa ia tadi terdorong oleh perasaan-nya dan
kelepasan bicara. "Aku hanya mendengar berita angin saja bahwa kini kaum hitam telah bersatu dan
dipimpin oleh seorang raja penjahat besar yang bernama Raja Kelelawar. Raja ini ka-barnya dibantu
oleh dua orang pimpinan penjahat yang berjuluk Si Harimau Gunung dan Si Buaya Sakti."
Gadis baju merah mengangguk-angguk. "Me-mang berita itu benar. Anak buah yang kami kirim ke
tempat pertemuan itu juga melaporkan demikian. Kiranya engkaupun sudah mendengar akan berita
menghebohkan itu." Ang In tidak melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu terdengar suara
berisik derap kaki kuda di luar restoran.
Pelayan yang datang mengantar hidangan ke
meja tiga orang gadis itu, menjadi pucat ketika
menaruh mangkok-mangkok di atas meja. "Celaka... mereka... mereka datang lagi ......!"
Dan setelah menaruh masakan-masakan panas di atas meja, pelayan itu bergegas pergi
meninggalkan ruangan dan bersembunyi di bagian belakang res-toran bersama teman-temannya.
Empat orang kasar itu kini semakin mabok dan semakin ugal-ugalan. Kata-kata mereka kasar dan
juga jorok dan cabul, apa lagi setelah kini me-reka melihat adanya tiga orang wanita cantik tidak jauh
dari meja mereka. Kata-kata mereka mulai menyindir dan mengenai tiga orang wanita itu se-hingga
wajah ketiga orang gadis itu menjadi merah karena marahnya.
"Ha -ha -ha, A -tung, gadis -gadis di sini me-mang berani -berani. Lihat saja, banyaknya gadis yang
datang mendekati kita ke manapun kita ber-ada. Ha -ha -ha 1"
"Memang rejeki kita sedang besar. Tapi, kita berempat sedangkan yang ada hanya tiga, harus diundi
!"
"Aku ingin yang paling muda!"
"Kalau aku yang lebih tua, karena tentu lebih berpengalaman dan lebih menyenangkan."
Ang In sudah meraba gagang pedangnya, akan tetapi lengannya disentuh oleh sucinya yang melarangnya
untuk menanggapi orang -orang kasar itu. Pek In lebih hati -hati dari pada sumoinya, ia selalu
ingat bahwa mereka berada dalam tugas dan me-reka tidak sepatutnya kalau melibatkan diri
dengan urusan pribadi. Mereka hanya akan bergerak kalau ada perintah dari subo yang juga menjadi
majikan mereka. Kalau mereka menimbulkan keributan karena urusan pribadi, tentu mereka akan
meneri-ma teguran dari subo mereka.
Akan tetapi, empat orang kasar itu agaknya tidak tahu gelagat dan mereka itu makin menjadi-jadi
kurang ajarnya. Apa lagi ketika Pek Lian yang merasa marah karena dirinya dibicarakan secara jorok
itu, melirik dengan sinar mata berapi. Seorang di antara mereka, yang berkumis tebal, bangkit dan
dengan langkah sempoyongan menghampiri meja tiga orang gadis yang sedang mulai makan itu.
"Ha-ha-ha, nona manis, jangan jual mahal. Mari makan bersama kami" Dan diapun mengulurkan
tangannya hendak meraba dada Pek Lian. Gadis itu tidak dapat lagi mengendalikan, kemarahan
hatinya. Disambarnya mangkok kuah bakso panas dan "sekali ia menggerakkan tangan "byuurrr"
kuah panas itu menyiram muka yang berkumis tebal itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aduuhhh... auphh... panas, panas... !"
Dia menjerit -jerit, kulit mukanya terbakar, matanya kemasukan kuah yang banyak mericanya, terasa
pedas dan perih. Tiga orang kawannya terkejut dan marah sekali, meloncat sambil, mencabut golok
me-reka. Suasana menjadi panik karena para tamu sudah menjadi ketakutan.
Akan tetapi, sebelum empat orang kasar itu sempat turun tangan, terdengar bentakan yang amat
nyaring, "Tahan ! Jangan mengganggu wanita !!"
Kiranya yang membentak dan yang kini telah berdiri di situ adalah Yap Kiong Lee, murid kepala dari
ketua Thian -kiam -pang itu. Tiga orang su-tenya dengan sikap tenang berdiri di belakangnya. Kiranya
derap kaki kuda tadi adalah kuda dan kereta mereka.
Empat orang kasar itu adalah penjahat -penja-hat yang terlalu mengandalkan kepandaian sendiri. Apa
lagi sekarang, sepeiti diceritakan oleh pelayan tadi dan diketahui pula oleh tiga orang gadis, me-reka
sedang berbesar hati karena banyak kawan mereka merajalela di situ, dan mereka merasa di-lindungi
oleh raja mereka, Si Harimau Gunung ! Mengandalkan semua ini, tentu saja mereka tidak merasa
gentar menghadapi empat orang pria muda ini.
"Keparat jahanam ! Berani engkau hendak men-campuri urusan kami ?" bentak pimpinan gerom-bolan
empat orang penjahat itu yang kepalanya botak kelimis sambil menudingkan goloknya ke arah muka
Yap Kiong Lee. Pemuda ini tersenyum tenang saja.
"Mengganggu wanita di tempat umum bukan-lah urusan pribadi, melainkan urusan umum karena
kalian telah mengacaukan orang lain di tempat umum, Sebaliknya kalian berempat pergi saja dari sini
dan jangan membuat gaduh."
"Keparat!" Si botak itu dengan marahnya mem-bacok dengan goloknya ke arah leher pemuda she
Yap. Namun, dengan amat mudahnya, pemuda she Yap ini miringkan kepala dan golok itu lewat di
dekat lehernya tanpa menyentuhnya sedikitpun ju-ga. Hanya seorang ahli silat tinggi sajalah yang dapat
mengelak seperti itu, sedikit saja dan membiar-kan senjata lawan lewat dekat. Karena gerakan
yang sedikit inilah yang memungkinkan dia dapat cepat pula melakukan serangan balasan. Akan
tetapi agaknya pemuda itu sabar sekali dan tahu bahwa -dia hanya menghadapi orang -orang kasar.
Dia tidak membalas dan pada saat itu, dua orang sute-nya sudah maju.
"Toa -suheng, biarkan kami yang maju meng-hajar bajingan -bajingan kecil ini!" Dua orang sutenya itu
lebih tua beberapa tahun dari pada Kiong Lee, akan tetapi mereka menyebut suheng, bahkan toa -
suheng atau kakak seperguruan terbe-sar karena memang pemuda inilah yang pertama kali menjadi
murid ketua Thian -kiam -pang. Yap Kiong Lee segera mundur dan dua orang sutenya maju. Empat
orang kasar itu tidak perduli dan mereka sudah menerjang dengan golok mereka. Akan tetapi, dua
orang murid Thian -kiam -pang yang maju ini adalah murid-murid kepala, murid-murid pilihan yang
sudah mempunyai ilmu kepan-daian tinggi. Dengan kedua tangan kosong saja mereka menghadapi
empat orang bergolok itu dan membagi -bagi pukulan dengan enaknya, membuat empat orang kasar
itu jatuh bangun dan akhirnya mereka memperlihatkan warna aselinya, yaitu pe-ngecut -pengecut
yang beraninya hanya main keroyok, menindas yang lemah dan kalau bertemu tanding yang lebih
kuat, mereka itu berlumba me-larikan diri!
Yap Kiong Lee melirik ke kanan kiri untuk me-lihat apakah guru dari dua orang gadis yang dikenalnya
itu berada di situ. Setelah merasa yakin bahwa nenek yang ditakutinya itu tidak berada di situ,
wajahnya menjadi cerah dan diapun bersama tiga orang sutenya cepat menghampiri meja Pek In dan
Ang In.
"Suheng, apa kabar ? Subo berada di kamarnya. Marilah!" Pek In mempersilahkan pemuda itu dan
mereka berempat lalu mengambil tempat duduk dan bercakap-cakap dengan amat akrabnya dengan
Pek In dan Ang In.
"Sebetulnya, Yap-suheng dari manakah ? Kelihatan tergesa-gesa sekali. Dan bagaimana kabarnya
dengan Kim-suheng ? Kenapa dia tidak kelihatan bersamamu ? Biasanya, Kim-suheng yang bandel
itu tidak pernah berpisah denganmu," kata Pek In dan ketika ia menyebutkan "Kim-suheng", ia melirik
kepada sumoinya, Ang In.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar pertanyaan Pek In ini, mendadak sikap empat orang gagali itu berobah dan mereka
kelihatan berduka dan menundukkan mukanya. Terutama sekali Yap Kiong Lee, pemuda ini menundukkan
muka dan matanya menjadi basah.
Teringatlah pemuda itu akan semua keadaan-nya yang membuatnya berduka sekali pada saat itu,
setelah mendengar pertanyaan Pek In tentang adiknya. Ya, Yap Kim adalah adiknya. Dia sendiri
adalah seorang anak yatim piatu yang sejak kecil telah diambil murid, kemudian bahkan diangkat
anak oleh gurunya sendiri, yaitu seorang pendekar terkenal yang memiliki ilmu kepandaian hebat dan
kemudian menjadi ketua Thian -kiam -pang. Gu-runya itu she Yap dan biasanya orang hanya mengenal
sebagai Yap -taihiap saja, dan setelah tua dikenal sebagai Yap -lojin yang disegani orang.
Nama lengkapnya adalah Yap Cu Kiat. Karena su-hunya itu tadinya tidak mempunyai keturunan maka
diapun diangkat anak oleh Yap Cu Kiat. Dua tahun kemudian, ketika dia berusia delapan tahun,
isteri suhunya melahirkan seorang anak laki -laki yang diberi nama Yap Kim karena ketika isterinya
mengandung, suhunya pernah bermimpi isterinya melahirkan sebuah boneka emas ! Yap Kiong Lee
sendiri amat sayang kepada adiknya ini. Dialah yang menggendongnya, dialah yang mengajaknya
bermain-main sejak Yap Kim kecil dan setelah adiknya itu dewasa, mereka menjadi akrab dan ru-kun
sekali, saling menyayang. Takkan ada orang yang menyangka bahwa mereka itu sesungguhnya
hanyalah saudara angkat saja. Kiong Lee sangat menyayang adiknya itu dan memang Kim -ji, demikian
sebutannya, amat dimanjakan oleh semua orang sehingga sejak kecil anak itu menjadi ban-del
dan nakal bukan main. Dan kini, diingatkan oleh pertanyaan Pek In, hati Kiong Lee seperti di-tusuk
karena dia teringat kepada adiknya.
"Ahh... dia... Kim-te terluka parah"
Akhirnya dia dapat mengeluarkan kata-kata yang penuh kegelisahan.
"Terluka parah...... ??" Ang In bertanya dan mukanya berobah pucat. "Apa yang terjadi dengan dia ?"
"Dia dilukai oleh Si Raja Kelelawar! Lukanya parah sekali... entah bisa sembuh atau tidak..."
Suara Kiong Lee gemetar penuh kegelisahan.
"Apanya yang terluka ? Dan... di manakah dia sekarang ?" Kembali nona Ang In bertanya, hampir
menangis. Melihat semua ini, Pek Lian dapat menduga bahwa nona Ang yang gagah ini agaknya ada
hati terhadap pemuda bernama Yap Kim yang terluka parah itu.
***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To Register.]***
oleh kaum sesat itu. Akan tetapi karena ada larangan dari suhu, maka akupun tidak mau, Tidak
kusangka sama sekali bahwa dengan nekat adik Kim pergi sendiri ! Mendengar bahwa Kim-te pergi
seorang diri, suhu lalu memanggilku dan me-nyuruhku mencari dan mengajaknya pulang. Aku
mengajak beberapa orang suteku untuk menyusul Kim -te, akan tetapi setibanya di tempat pertemuan
itu, ternyata sudah terlambat. Orang -orang sudah bubaran dan pertemuan itu telah lewat. Kami berpencar
untuk mencari Kim -te. Kalian tentu sudah tahu bahwa biarpun Kim -te sangat berbakat
dalam ilmu silat, namun watak nakalnya sukar untuk di- robah. Apa lagi setelah subo pergi
meninggalkan suhu, anak itu makin sukar diurus." Yap Kiong Lee menarik napas panjang, nampak
berduka seka-li.
"Akan tetapi bukankah dia amat penurut kepa-damu, Yap-suheng ?"
"Memang dia amat patuh kepadaku karena se-jak kecil akulah yang mengasuhnya, melindungi dan
mengajarnya ilmu silat yang diberikan oleh suhu dan subo."
"Yap -suheng memang sangat berbudi, aku dan adik Ang juga sejak kecil selalu menyusahkanmu,"
kata Pek In lirih.
"Hemm, adik Pek, engkau tahu apa ? Sejak ke-cil aku sudah yatim piatu. Suhu memungut dan
memeliharaku, bahkan mengangkatku sebagai anak. Setelah aku berusia delapan tahun, baru adik
Kim terlahir. Budi suhu dan subo yang dilimpahkan kepadaku, sampai matipun takkan dapat kubalas,
maka apa artinya membimbing kalian yang menjadi murid-murid tersayang dari subo ?"
dunia-kangouw.blogspot.com
'U
"Lalu bagaimana dengan Kim-suheng ?" tanya Ang In.
"Baiklah, kulanjutkan ceritaku. Dari seorang pengunjung pertemuan itu, kami mendengar bah-wa ada
seorang pemuda yang berpakaian putih dan bersenjata siang -kiam (pedang pasangan) tam-pak
bersama seorang gemuk pendek berkelahi me-lawan kelompok orang berjubah naga di lereng bu-kit
sebelah selatan. Kami segera mengejar ke sana. Akan tetapi terlambat. Perkelahian telah selesai dan
kedua pihak sama -sama terluka dan kedua pihak telah pergi. Yang membuat kami khawatir adalah
ketika kami melihat dari bekas-bekas pertempuran bahwa kawan Kim-sute yang pendek itu adalah
seorang tokoh pulau terlarang atau Pulau Ban-kwi-to. Kalau benar seperti kata orang yang
menyaksikan itu, orang yang gemuk pendek itu tentulah Ceng-ya-kang (Kelabang Hijau) to-koh
penting dari Ban-kwi-to."
"Lalu bagaimana ?" Ang In mendesak, khawatir sekali.
"Kami mengikuti jejaknya. Di sebuah dusun kami menemukan Kim-sute terluka parah di rumah
seorang petani, dirawat oleh seorang pendekar tua yang tidak mau menyebutkan namanya. Menurut
pengakuannya, adik Kim telah berkelahi melawan penjahat-penjahat yang dipimpin oleh raja bajak,
kemudian datanglah Raja Kelelawar dan Kim-sute dilukainya. Untung ada pendekar tua itu yang lewat
dan menolongnya."
"Lalu ke mana perginya si Kelabang Hijau itu ?" tanya Pek In.
"Entahlah, Kim-sute sendiripun tidak tahu karena setelah terpukul, dia pingsan."
"Di mana adanya Kim-suheng sekarang?" Ang In bertanya, wajahnya membayangkan kekhawatiran
hebat.
"Di dalam kereta, dijaga oleh Ngo-sute."
"Aku ingin menengok Kim-suheng !" Ang In cepat bangkit berdiri dan semua orangpun bangkit hendak
mengikutinya. Akan tetapi, sebelum mereka meninggalkan meja itu, tiba-tiba terdengar suara halus.
"Hemm kalian mau ke mana ?"
Semua orang terkejut karena mengenal suara ini dan ketika mereka membalikkan tubuh, ternyata
Siang Houw Nio -nio telah berdiri di situ !
Yap Kiong Lee terkejut dan jerih, cepat -cepat
dia dan ketiga orang sutenya menjatuhkan diri
berlutut sambil berkata takut -takut, "Subo... !"
Akan tetapi wanita bangsawan itu tidak mengacuhkan mereka melainkan memandang kepada kedua
orang muridnya yang nampak ketakutan, dan wanita tua itu nampak marah.
"Kenapa kalian tetap bergaul dengan murid-murid tua bangka itu ? Apakah engkau ingin mengikuti
mereka dan memusuhi aku ?" Di dalam ucapan ini terkandung kepahitan yang amat mendalam
sehingga dua orang gadis itu menjadi bingung dan tidak mampu menjawab.
Melihat ini, Yap Kiong Lee mengangkat muka dan berkata, "Subo... teeculah yang..."
"Diam kau !" bentak wanita bangsawan itu dengan suara keras, membuat Pek In menjadi semakin
pucat.
Peristiwa ini diam -diam sejak tadi diikuti oleh Ho Pek Lian. Jiwa pendekarnya bergolak. Ia me-lihat
ketidakadilan dan merasa tidak senang dengan sikap nenek bangsawan itu yang dianggapnya ter-lalu
menekan kepada orang -orang muda yang di-kaguminya itu. Tanpa dapat menahan gelora hati-nya,
Pek Lian sudah melangkah ke depan dan de-ngan jari telunjuk menuding kepada nenek bangsa-wan
itu, ia berkata marah, "Haii, apa -apaan ini ? Main gertak main kasar! Lihat dulu masalahnya baru
marah -marah, itu baru adil namanya !"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Anak kecil, engkau tahu apa !" bentak nenek itu dan tangannya melayang, menampar ke arah pipi
Pek Lian. Tentu saja nona ini tidak membiar-kan pipinya ditampar dan iapun sudah cepat me-loncat
ke belakang dan baiknya nenek itu agaknya-pun bukan menyerang dengan sungguh -sungguh hanya
untuk melampiaskan kemengkalan hatinya saja sehingga tidak melanjutkan serangannya. Dan pada
saat itu, terdengarlah suara ribut -ribut di luar. Yap Kiong Lee melihat empat orang laki-laki jahat yang
tadi dihajar oleh dua orang sutenya, maka diapun cepat meloncat keluar. Hampir saja dia bertabrakan
dengan seorang tinggi besar ber-mantel kulit harimau yang melangkah masuk. Laki-laki tinggi besar
ini tidak menghindar atau mihggir, akan tetapi malah memasang kuda-kuda dan menggerakkan
sikunya ke depan, menyerang ke arah tulang rusuk pemuda baju putih itu. Mereka sudah berada
dalam jarak dekat sekali dan serangan itu dilakukan secara tiba -tiba dan tidak terduga-duga, akan
tetapi ternyata pemuda she Yap ini amat lihai, tenang dan tidak kehilangan akal. Dia maklum bahwa
kalau dia mengadu tena-ga, dia akan kalah posisi dan kalau orang itu ber-tenaga besar seperti
nampaknya, dia akan menderita rugi. Dan pintu itu terlalu sempit untuk dapat me-nerobos keluar, apa
lagi karena lubang pintu telah dijaga oleh sepasang lengan yang panjang dan kuat dari orang itu, di
samping adanya dua ekor harimau hitam yang berdiri di kanan kiri orang itu, dengan rantai leher yang
ujungnya dipegang oleh dua orang di. antara empat penjahat yang tadi meng-ganggu Pek Lian.
Dalam beberapa detik saja, Yap Kiong Lee telah memperoleh akal yang amat cerdik. Kakinya yang
sedang melangkah tadi dilanjutkan dengan tendangan ke arah selangkang si tinggi be-sar dan dia
bersikap seolah -olah dia memang hendak mengadu tenaga. Melihat ini, orang tinggi besar itu
menyeringai dan tubuhnya sedikit membungkuk untuk menangkis tendangan dengan tangan kiri
sedangkan tangan kanannya tetap melakukan serangan dengan siku. Akan tetapi tiba-tiba Kiong Lee
menarik kembali kakinya dan mengenjot badan dengan menekankan kaki pada lantai,
tangannya menampar siku yang menyerang rusuknya, meminjam tenaga lawan untuk mengayun
tubuhnya meluncur ke atas di antara kepala lawan dan daun pintu seperti seekor burung lolos dari
pintu kurungan yang terbuka sedikit saja. Kemudian, tubuhnya yang meluncur keluar itu membuat
salto yang amat manisnya sehingga dia dapat
turun di luar pintu dengan lunak. Semua orang melongo dan memandang kagum. Bahkan nenek
Siang Houw Nio-nio sendiri merasa kagum dan memuji ketangkasan dan kecerdikan pemuda itu.
"Berani... bagus sekali... anak ini sungguh semakin lihai saja !"
Kalau semua orang memandang kagum sekali, tiga orang gadis itupun bersorak karena gembira-nya.
Pek In dan Ang In sampai lupa kepada subo-nya yang marah -marah. Mereka terbawa oleh sikap Pek
Lian yang bersorak memuji sehingga merekapun ikut pula bersorak. Baru setelah mere-ka melihat
subo mereka memandang kepada mereka dengan mata melotot, mereka sadar dan tangan yang
sedang bertepuk itupun terhenti di tengah jalan.
Sementara itu, orang tinggi besar itu menjadi marah sekali. Dia adalah orang ke tiga dari Sam-ok,
yaitu tiga raja penjahat. Dia adalah San-hek-houw atau Si Harimau Gunung yang sebelum munculnya
Raja Kelelawar telah merajai semua penjahat di daratan, rajanya para. perampok, maling dan copet.
Kini dia telah menjadi pembantu utama dari Raja Kelelawar di samping dua orang rekannya yang
terkenal dengan julukan Sam-ok atau Si Tiga Jahat. Melihat betapa dalam gebrakan pertama dia tidak
mampu menghadang pemuda baju putih itu dan sebaliknya malah memberi ke-sempatan kepada
pemuda itu mendemonstrasikan kepandaiannya sehingga memperoleh pujian, Sam-hek-houw
menjadi marah sekali. Cepat dia mem-balikkan tubuhnya dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah
menerjang ke depan dan menyerang Kiong Lee yang baru saja turun ke atas tanah. Serangan San -
hek -houw ini ganas dan dahsyat sekali, tiada bedanya dengan ulah seekor harimau yang sedang
kelaparan. Dua ekor harimau hitam yang menjadi binatang peliharaannya itu mengaum-ngaum
melihat majikan mereka berkelahi, seolah-olah memberi semangat. Tentu saja para tamu restoran
menjadi panik ketakutan. Berdiam di restoran merasa ngeri, mau lari keluar terhadang oleh
perkelahian di luar pintu, juga mereka takut kepada dua ekor harimau itu yang rantainya dipegang
oleh empat orang penjahat yang kini tertawa-tawa karena mereka merasa yakin bahwa muculnya raja
mereka ini akan dapat membalaskan kekalahan mereka tadi.
Akan tetapi sekali ini mereka kecelik. Baru sekarang mereka memperoleh kenyataan bahwa raja
mereka itu bukanlah jaminan untuk selalu menang. Biarpun Si Harimau Gunung menyerang dengan
ganas dan dahsyat, namun pemuda baju putih itu dengan sikap tenang sekali dapat menan-dinginya
dan sama sekali tidak pernah terdesak, bahkan membalas dengan serangan-serangan yang tidak
kalah ampuhnya. Mereka ternyata seimbang, baik kecepatan maupun tenaga mereka. Perkelahian itu
amat seru dan menegangkan, terutama sekali bagi mereka yang mempunyai keahlian dalam ilmu silat
dunia-kangouw.blogspot.com
sehingga dapat mengikutinya. Yang merasa marah dan penasaran adalah San-hek-houw sendiri.
Biasanya, selama ini setiap kali dia turun tangan, dan hal ini jarang terjadi karena dia cukup
mewakilkan kepada anak buahnya saja, sudah dapat dipastikan bahwa dia akan berhasil baik. Akan
tetapi ternyata pemuda baju putih ini sedemikian lihainya sehingga semua serangannya gagal dan dia
malah harus menjaga diri karena pemuda itu membalas dengan serangan yang amat berbahaya pula.
Karena penasaran, maka raja penjahat ini lalu mengeluarkan senjatanya yang mengerikan, yaitu
rantai yang kedua ujungnya bermata tombak. Begitu diputar, rantai itu lenyap berobah menjadi
gulungan sinar yang menyambar-nyambar. Meli-hat ini, Yap Kiong Lee cepat mencabut sepasang
pedangnya yang tergantung di punggung. Nampak dua sinar putih berkelebatan menghadapi senjata
rantai dan kembali terjadi perkelahian yang lebih seru dan juga ternyata dalam adu kepandaian
senjata, mereka memiliki tingkat yang seimbang.
Jilid VIII
LIMAPULUH jurus telah lewat dan keduanya
sudah saling desak samibil mengerahkan tenaga sekuatnya. "Tring – trang... trakkk...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, rantai itu melibat kedua pedang dan senjata -senjata itu saling berbelit dengan
amat kuatnya. Karena tidak ada jalan lain untuk melepaskan senjata yang terlibat itu, kedua-nya
lalu mengerahkan tenaga sinkang. Mereka membentak nyaring dan saling tarik. Akibatnya, kedua
pedang Kiong Lee terlepas dari pegangan, akan tetapi juga tangan kanan Harimau Gunung itu
terpaksa melepaskan senjata rantainya yang ki-ni hanya dipegang oleh tangan kiri. Inipun tidak lama
karena secepat kilat kaki Kiong Lee menen-dang ke arah pergelangan tangan kiri lawan. Ka-kek tinggi
besar itu berusaha mengelak, akan te-tapi tetap saja ujung sepatu menyerempet perge-langan tangan
kirinya sehingga tangan inipun terpaksa melepaskan rantainya. Kini senjata-senjata itu terlepas di
atas tanah dan keduanya melanjutkan lagi dengan tangan kosong !
San-hek-houw mengeluarkan suara auman seperti harimau yang disambut oleh dua ekor harimau
peliharaannya, kemudian diapun mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu ilmu silat tangan kosong
Houw-jiauw-kang. (Ilmu Cakar Harimau). Kedua tangannya membentuk cakar harimau dan
gerakannya juga seperti gerakan kaki depan hari-mau kalau mencakar -cakar dengan dahsyatnya.
Hanya cakar harimau yang dibentuk oleh jari -jari tangan manusia ini bahkan jauh lebih berbahaya
dari pada cakar harimau aseli karena setiap gerak-an mengeluarkan desiran angin tajam. Kedua kakinya
berloncatan persis seperti gerakan harimau kumbang dan selama belasan jurus Kiong Lee nampak
terkurung dan terdesak oleh ilmu silat yang berbeda dengan Ilmu Silat Houw -kun (Silat Ha-rimau)
biasanya ini. Ilmu Silat Houw -jiauw -kang milik Si Harimau Gunung ini benar -benar luar biasa sekali.
Agaknya telah dipelajari dengan sem-purna sehingga biarpun jari -jari tangan yang mem-bentuk cakar
harimau itu tidak sampai menyentuh lawan, namun sambaran angin pukulannya saja te-lah mampu
mencabik -cabik benda. Baju pemu-da yang putih itu, terutama di bagian lengan baju, robek -robek
terlanggar angin pukulan itu, seperti dicakari oleh kuku -kuku tajam. Tentu saja semua orang terkejut
dan memandang khawatir karena pemuda itu nampak terdesak, terutama sekali tiga orang gadis yang
selalu berpihak kepada pemuda itu. Ilmu silat raja perampok itu sungguh lihai bukan main.
Tiba -tiba Kiong Lee mengeluarkan teriakan yang mengejutkan semua orang dan pemuda ini sudah
merobah gerakan silatnya. Dia menggerak-gerakkan kaki tangannya perlahan -lahan namun
mengandung penuh tenaga sehingga setiap kali ka-kinya dihentakkan, bumi seperti tergetar rasanya.
Telapak tangannya terbuka dan otot -otot lengan-nya tersembul keluar. Buku -buku tulangnya se-perti
saling bergeser mengeluarkan bunyi berke-rotokan dan uap putih nampak membayang tipis di setiap
permukaan lengannya. Dan ketika lengan yang bergerak perlahan itu menangkis cakaran Si Harimau
Gunung, semua orang menjadi terkejut. Gerakan itu, yang dilakukan perlahan, tahu -tahu meluncur
cepat bukan main seperti kepala ular yang mematuk mangsa yang sudah lama diintai-nya. Suara
mencicit bagaikan bunyi burung malam terdengar ketika lengan bergerak dan cepatnya membuat
semua serangan cakaran Si Harimau Gu-nung itu terhenti setengah jalan karena setiap kali tangan
yang berbentuk cakar itu bergerak, baru se-tengah jalan sudah terpukul ke samping dan sebe-lum
cakar dapat ditarik kembali, tangan pemuda baju putih yang bergerak seperti ular mematuk itu telah
dunia-kangouw.blogspot.com
menyerang bagian -bagian tubuh yang ber-bahaya. Si Harimau Gunung terkejut bukan main dan
dalam beberapa gebrakan saja nyaris kepalanya kena dipatuk oleh tangan kiri Yap Kiong Lee. Cepat
dia membuat gerakan seperti ha-rimau mendekam untuk menghindarkan kepa-lanya. Akibatnya,
sebuah arca singa yang berada tepat di belakangnya kena hantaman tangan Kiong Lee. Nampak cap
lima jari tangan di tubuh arca batu itu dan kemudian arca itu menjadi retak -re-tak dan akhirnya hancur
berantakan menjadi ke-pingan -kepingan kecil berserakan. Tentu saja se-mua orang melongo dan
ada yang menjulurkan lidah saking kagum dan ngerinya, bahkan Si Ha-rimau Gunung sendiri
terbelalak dan air
mukanya berobah. Hatinya mulai menjadi ragu dan gentar dan timbul pertanyaan dalam hatinya siapa
gerang-an pemuda yang amat lihai ini sebenarnya ? Ca-karan tangannya itu biasanya mampu
menghancur-kan batu karang yang keras sekalipun, akan tetapi sekarang ternyata hanya dapat
membuat kulit le-ngan pemuda itu lecet -lecet sedikit saja, semen-tara dia sendiri tidak berani
menangkis pukulan pukulan pemuda yang demikian kuat dan ampuh-nya. Ilmu apakah itu ?
Nenek Siang Houw Nio-nio juga menggeleng-geleng kepala saking kagumnya. "Hemm, tua bang-ka
itu kiranya telah menurunkan ilmu rahasia ke-turunannya kepada murid kesayangannya ini,"
gumamnya. Pek In dan Ang In tentu saja menjadi kagum bukan main. Mereka memang sudah lama
mengetahui bahwa suheng mereka itu amat lihai, akan tetapi mereka tidak menyangka sehebat ini.
Diam -diam mereka, dan juga Pek Lian, merasa gembira sekali karena-sekarang Harimau Gunung itu
mulai terdesak. Pek In tadi telah mengambil dan menyimpan sepasang pedang milik Kiong Lee yang
terlepas, seperti juga seorang di antara pen-jahat -penjahat itu telah (menyimpan senjata rantai dari Si
Harimau Gunung.
Selagi Kiong Lee mendesak Si Harimau Gu-nung, tiba -tiba dia terkejut bukan main mende-ngar
teriakan seorang di antara para sutenya, "Su-heng ! Kim -sute lenyap dan Ngo -suheng yang menjaga
kereta tertotok pingsan !"
Mendengar teriakan ini, wajah Yap Kiong Lee menjadi pucat seketika dan diapun meloncat meninggalkan
lawannya yang sudah terdesak untuk berlari menghampiri kereta yang ditinggalkan di tepi
jalan tak jauh dari rumah makan itu. Dengan wajah pucat dia memeriksa dan memang benar, sutenya
yang luka parah dan tidak mampu berge-rak itu lenyap. Ngo -sutenya pingsan dengan leher berwarna
kehijauan, mukanyapun mengandung warna kehijauan. Maka mengertilah dia bahwa sutenya ini tentu
terkena totokan Ceng -ya -kang, Si Kelabang Hijau tokoh Ban-kwi-to itu. Yap Kiong Lee menjadi
bengong, wajahnya pucat se-kali dan hatinya dicekam rasa khawatir yang hebat akan keselamatan
sutenya yang tersayang.
Sesosok bayangan berkelebat cepat sekali dari tahu -tahu nenek Siang Houw Nio -nio telah ber-ada
di dekat kereta dan suaranya terdengar keren ketika ia menghardik, "Apa katamu ? Ada apa dengan
Kim -ji (anak Kim) ? Hayo jawab !"
Yap Kiong Lee menjawab dengan suara penuh duka dan kepala ditundukkan, "Subo, adik Kim telah
dilukai orang karena dia bergaul dengan orang jahat. Hari ini sebenarnya teecu hendak membawanya
kepada suhu, tidak teecu sangka bahwa orang yang menjadi sahabatnya itu telah menculiknya,
selagi teecu berkelahi di restoran tadi."
Nenek itu menjadi semakin marah, sepasang matanya memancarkan sinar berapi. "Kenapa eng-kau
dan suhumu membiarkan anak itu berkeliaran? Sungguh orang tua yang tidak tahu mengurusi anak!
Berteman dengan segala macam manusia jahat dibiarkan saja. Hemm, aku akan minta pertanggungan
jawab kepada suhumu. Akan kulabrak dia kalau tidak bisa mendapatkan anakku dalam
keadaan sehat selamat !" Wajah nenek itu menjadi merah padam dan hampir saja ia menangis. Ia lalu
cepat memasuki keretanya dan berkata dengan suara berteriak kepada murid -muridnya, "Kita tidak
jadi bermalam di sini! Bayar semuanya lalu susul aku. Malam ini juga aku harus melabrak si tua
bangka itu atas keteledorannya mengasuh Kim-ji!" Setelah berkata demikian, kereta dilarikan de-ngan
kencang menuju ke barat, ke arah kota raja.
Para murid itu tertegun dan bengong saja. Yap Kiong Lee menjadi serba salah. Sejak suhu dan
subonya hidup berpisah, hatinya merasa bingung dan prihatin sekali, bahkan dia sampai tidak mau
dunia-kangouw.blogspot.com
menikah sampai sekarang. Dia sangat takut dan hormat kepada subonya karena di waktu dia masih
kecil, subonya itulah yang mengasuhnya dan dia tahu bahwa subonya itu sebenarnya amat sayang
padanya. Kemudian suhu dan subonya saling ber-pisah, subonya meninggalkan suhunya yang sudah
tua itu dan mengabdi kepada kaisar di istana yang masih keponakannya sendiri. Suhunya tidak mau
ikut dan dia sendiri kasihan dan tidak tega untuk meninggalkan suhunya yang sudah tua dan sendirian
itu. Karena dia tidak mau ikut subonya dan memilih untuk tinggal di situ merawat suhunya, maka
subonya tidak mau lagi menggubrisnya. Kini subonya marah -marah, tentu akan terjadi keribut-an dan
dia merasa prihatin sekali.
Yap Kiong Lee lalu memerintahkan para sute-nya untuk berpencar dan menyelidiki ke mana Yap Kim
dilarikan orang. Pada saat itu, Si Harimau Gunung bersama empat orang penjahat kasar tadi telah
lenyap dari situ, agaknya jerih dan tidak ber-napsu lagi untuk melanjutkan perkelahian.
Pek In dan Ang In membayar sewa kamar yang belum dipakai itu dan membayar harga makanan,
kemudian mereka yang juga nampak tegang dan khawatir itu menghampiri Kiong Lee. "Bagaimana
baiknya sekarang, Yap -suheng ?" tanya Pek In. Tidak ada jalan lain, kalian harus mentaati perintah
subo, menyusulnya ke tempat suhu. Dan nona ini siapakah nona ini dan bagaimana bisa
bersama kalian ?"
"Nona Sie Pek Lian ini adalah seorang yang dicurigai subo sebagai teman ketua Lembah Yang-ce,
maka subo memerintahkan kami untuk mena-wannya dan mengajaknya pulang."
"Hemm, kalau begitu, mari kita susul subo. Pasti akan menjadi ramai di sana." Merekapun berangkat,
mempergunakan kereta Kiong Lee un-tuk mengikuti jejak kereta nenek Siang Houw Nio-nio yang
marah itu. Kiong Lee benar-benar me-rasa prihatin sekali.
"Adik Pek dan Ang, aku khawatir akan terjadi salah paham antara subo dan suhu. Padahal, saat ini
suhu sedang mengasingkan diri di tempat sa-madhinya, sudah belasan hari suhu tidak keluar dari
situ."
Dua orang gadis itupun merasa khawatir sekali. Sebaliknya, Pek Lian menjadi ingin tahu sekali dan
merasa amat tertarik. Makin lama, makin banyak ia mengalami hal yang aneh -aneh, bertemu dengan
orang -orang yang aneh dan berilmu tinggi Betapa di dunia ini penuh dengan orang -orang
pandai, pikirnya, akan tetapi herannya, semakin pandai orang, semakin banyak masalah yang mereka
hadapi, keruwetan -keruwetan hidup yang membuat kehidupan mereka itu menjadi tidak te-nang,
bahkan menderita. Biarpun ia belum tahu benar, akan tetapi iapun dapat menduga bahwa tentu ada
rahasia besar antara nenek Siang Houw Nio -nio dan ketua Thian -kiam -pang itu, raha-sia yang
membuat mereka terpisah dan agaknya menderita dan saling bermusuhan. Benar juga kata-kata yang
pernah didengarnya dahulu bahwa kelandaian itu, seperti juga harta dan kedudukan, lebih banyak
mendatangkan malapetaka dari pada bahagia. Tadinya ia sendiri tidak begitu mengerti akan arti kata -
kata ini yang dianggapnya tak masuk akal karena bukankah semua itu bahkan merupakan sarana
untuk dapat merasakan keba-hagiaan ? Akan tetapi, sekarang ia mulai melihat betapa orang -orang
yang berkepandaian tinggi, justeru menjadi sengsara hidupnya karena kepan-daian itu sendiri.
Persaingan, permusuhan, perke-lahian terjadi di mana -mana dan saling bunuh terjadi di antara
orang-orang yang pandai ilmu silat. Apakah hal buruk ini akan terjadi pada orang-orang yang tidak
tahu ilmu silat ? Agaknya ke-mungkinannya jauh karena mereka tentu tidak condong mempergunakan
kekerasan. Dan kedu-dukan ? Ayahnya sendiri sekeluarga tertimpa malapetaka karena kedudukan.
Andaikata ayahnya bukan seorang menteri, melainkan seorang petani miskin, apakah kaisar akan
melihatnya? Tentu keluarga ayahnya kini masih aman sentausa, walaupun sebagai keluarga petani
miskin !
Untung bagi mereka bahwa malam itu terang bulan sehingga dengan mudah mereka dapat mengikuti
jalan yang berlika -liku mengikuti arus su-ngai itu. Belasan li sebelum memasuki daerah Ko-ta
Raja Tiang -an, mereka membelok ke kanan, meninggalkan jalan besar memasuki jalan kecil, akan
tetapi tetap mengikuti aliran sungai. Mereka memasuki sebuah hutan kecil yang banyak menyembunyikan
cahaya bulan. Akan tetapi karena Yap Kiong Lee sudah hapal akan jalan di tempat itu,
dia dapat menjalankan keretanya dengan lan-car. Kemudian nampak sebuah telaga kecil di te-ngah
hutan dan di pinggir telaga itu terdapat sebu-ah bangunan megah yang dilingkari tembok merah yang
kokoh kuat seperti benteng.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hari telah larut malam dan tempat itu nampak sunyi sekali. Akan tetapi mereka tahu bahwa tem-pat itu
tentu terjaga ketat oleh para murid perkum-pulan Thian -kiam -pang. Kiong Lee, Pek In dan Ang In
longak -longok dan merasa heran karena tidak melihat adanya kereta subo mereka yang ta-di
dilarikan kencang lebih dahulu.
"Berhenti! Siapa di sana ?" Bentakan nyaring ini segera dikenal oleh Kiong Lee sebagai suara jisutenya,
yaitu orang ke dua setelah dia di antara murid -murid Thian -kiam -pang. Tentu ji -sute-nya
itu sedang bergilir meronda.
Pek Lian yang mendengar bentakan itu, merasa jantungnya tergetar karena suara itu dikeluarkan
dengan pengerahan khikang yang cukup kuat un-tuk membuat orang yang datang dengan niat buruk
menjadi gentar.
Akan tetapi Kiong Lee tidak jadi menjawab karena dia mendengar suara kaki berlari -lari disu-sul
suara beradunya senjata! Agaknya yang dite-gur oleh ji-sutenya tadi bukanlah rombongannya,
melainkan orang lain. Yap Kiong Lee mengerahkan ilmu ginkangnya dan sekali tubuhnya meluncur ke
depan, dia telah meninggalkan tiga orang wanita muda itu. Tubuhnya lalu mencelat ke atas, berputaran
dan tahu -tahu dia telah hinggap di atas pa-gar tembok yang kokoh kuat dan tinggi itu. Akan
tetapi baru saja kakinya menginjak pagar tembok, dari sebelah dalam menyambar sebatang piauw ke
arah lehernya. Dia cepat mengelak, akan tetapi penyerangnya itu sudah berada di dekatnya dan
menyerangnya dengan tusukan pedang. Kembali Kiong Lee mengelak dan biarpun cuaca remangremang,
agaknya penyerangnya itu mengenal ge-rakan mengelak ini, sedangkan Kiong Lee juga
mengenal gerakan serangan pedang.
"Toa-suheng... !" penyerang itu berseru.
"Sam-sute ! Ada apakah ini ?"
"Entahlah, suheng. Aku baru saja keluar karena mendengar teriakan ji-suheng tadi. Agaknya tempat
ini kedatangan orang-orang jahat. Lihat, di sana ji-suheng sedang melayani seorang musuh agaknya!"
"Benar ! Cepat kau pergi ke belakang, di sana terdengar banyak orang bertempur. Aku akan
membangunkan semua saudara kita !" Sute ke tiga dari Kiong Lee itu meloncat lenyap dan Kiong Lee
lalu mengerahkan ilmunya yang hebat, membung-kuk dan mencengkeram ke arah tembok pagar itu
sehingga tembok itu hancur di dalam genggaman tangannya, kemudian dia menggunakan tenaga-nya
untuk menyambit ke arah genta besar di atas menara yang berada tinggi dan agak jauh di sudut
pekarangan. Biarpun jaraknya jauh dan yang di-pakai menyambit hanyalah hancuran tembok, akan
tetapi segera terdengar suara genta nyaring berbu-nyi berkali-kali seperti ditabuh bertalu-talu oleh
tangan yang kuat. Tentu saja suara itu mengejutkan semua penghuni rumah perkumpulan atau
perguruan Thian-kiam-pang itu dan semua terbangun dari tidur dan bergegas keluar. Keadaan
menjadi gempar akan tetapi kini semua murid te-lah berlarian keluar dengan pedang di tangan. Akan
tetapi mereka itu hanyalah murid-murid tingkat rendahan yang juga menjadi anak buah Thian-kiampang,
sedangkan di antara tujuh orang murid utamanya, kini yang berada di situ hanya Yap Kiong
Lee, ji-sutenya dan sam -sutenya saja, sedangkan yang lain-lain masih ketinggalan karena sedang
berpencar dan mencari-cari ke mana perginya orang yang menculik Yap Kim.
Kiong Lee sudah cepat meloncat ke arah sam-ping bangunan di mana dia melihat ji-sutenya sedang
bertanding melawan seorang wanita cantik. Melihat betapa Kwan Tek, yaitu adik seperguruan-nya
yang ke dua itu tidak bersepatu, tahulah Kiong Lee bahwa Kwan Tek tentu terbangun dari tidur dan
tidak sempat mengenakan sepatu. Kiong Lee berdiri memperhatikan perkelahian itu. Dengan
sepasang pedangnya, Kwan Tek sebetulnya dapat mendesak lawannya, karena selain serangannya
le-bih mantap, juga ia memiliki tenaga yang lebih besar sehingga lawannya kewalahan menghadapi
serangan -serangan sepasang pedangnya. Akan te-tapi wanita baju hitam itu memiliki kegesitan yang
luar biasa dan jelaslah bahwa ginkangnya memang hebat sehingga sebegitu jauh ji-sutenya itu belum
juga dapat mengalahkannya. Kiong Lee segera mengenal wanita cantik itu yang bukan lain ada-lah
Pek -pi Siauw -kwi (Iblis Cantik Tangan Seratus) atau juga terkenal dengan sebutan Si Maling Cantik
yang amat terkenal namanya sebagai maling tunggal di daerah selatan. Maling Cantik itu juga
memegang sepasang senjata, yang kiri se-batang pedang pendek dan yang kanan sehelai sa-buk
sutera. Kiong Lee maklum bahwa sutenya itu tidak perlu dibantu, maka diapun cepat meloncat ke
belakang dan terkejutlah dia melihat betapa tempat itu telah didatangi oleh banyak penjahat yang rata
-rata memiliki kepandaian tinggi. Ba-ngunan sebelah kiri sudah terbakar dan dia meli-hat adik
dunia-kangouw.blogspot.com
seperguruannya yang ke tiga sibuk meng-hadapi serbuan para penjahat, dibantu oleh para anggauta
Thian-kiam-pang. Dia teringat akan suhunya yang masih berada di dalam tempat per-tapaannya, yaitu
di sebuah bangunan yang berada di atas pulau kecil di tengah telaga kecil. Cepat dia berlari ke
tempat itu dan di depan bangunan itupun terdapat orang bertempur. Ketika Kiong Lee melihat bahwa
yang berkelahi itu adalah nenek Siang Houw Nio -nio, dia terkejut bukan main. Lawan subonya itu
adalah seorang laki -laki tinggi bermantel hitam, memiliki gerakan yang luar bia-sa sekali, cepat dan
aneh sehingga subonya sendiri nampak terdesak !
Sejenak Kiong Lee berdiri tertegun. Subonya bukanlah tokoh silat sembarangan. Ia merupakan
pengawal pribadi kaisar yang berilmu tinggi. Dia tahu betul betapa saktinya subonya itu, mungkin tidak
banyak selisihnya dengan kesaktian gurunya. Akan tetapi sekarang, menghadapi lawan berjubah
hitam ini, subonya jelas terdesak. Orang berpakaian hitam itu bergerak luar biasa cepatnya, seperti
setan saja. Jantungnya berdebar tegang. Dia sudah mendengar laporan tentang Raja Kelelawar.
Inikah orangnya ? Kiong Lee mengamati gerakan orang itu dengan penuh perhatian. Memang luar
biasa sekali gerakan orang itu. Kiranya mantel hitam itu-lah yang menjadi semacam perisai, atau
tempat berlindung, juga tempat di mana dia bersembunyi dan dari situ melakukan serangan -serangan
dah-syat. Mantel hitam itu kadang -kadang kaku ka-dang-kadang lemas dan dapat menyembunyikan
ge-rakan -gerakannya dari mata lawan karena pihak lawan hanya dapat melihat ujung kepala, kaki
dan tangan saja. Semua serangan lawan banyak diga-galkan oleh adanya mantel yang menjadi
perisai itu dan setiap kali ada lowongan, tentu iblis itu me-nyerang dari balik mantel dengan dahsyat.
Bebe-rapa kali dilihatnya betapa subonya kewalahan dan nyaris terpukul. Melihat ilmu silat aneh ini,
Kiong Lee teringat akan cerita gurunya tentang ilmu andalan Si Raja Kelelawar yang amat hebat, yaitu
yang disebut Ilmu Silat Gerhana Bulan. Man-tel itu seolah -olah menjadi awan tebal yang me-nyelimuti
atau menyembunyikan bulan. Inikah il-mu aneh itu ? Kiong Lee tidak tega melihat subo nya terdesak
dan terancam bahaya, maka diapun cepat terjun ke dalam medan perkelahian dan membantu,
subonya.
Begitu terjun, Kiong Lee menyerangnya dari belakang. Dia berpendapat bahwa kalau orang itu
dikeroyok dari depan dan belakang, tentu tidak akan mampu berlindung di balik mantelnya lagi. Akan
tetapi ternyata pendapatnya ini tidak benar. Secara aneh sekali, mantel yang hitam lebar itu dapat
bergerak aneh dan cepat, menggulung dan berkibaran mengelilingi tubuh Si Raja Kelelawar sehingga
menyembunyikannya dari semua jurusan, juga dari belakang ! Seperti juga subonya, Kiong Lee tidak
dapat melihat tubuh lawan dengan jelas dan tidak melihat pula gerakan lawan di balik mantel hitam
itu. Dan semua hantamannya selalu bertemu dengan mantel yang seperti perisai. Kalau dia
mempergunakan tenaga sinkang, maka pukul-annya tiba di permukaan mantel yang lunak dan yang
menyerap semua tenaga pukulannya, dan kadang-kadang mantel itupun menjadi keras seperti perisai
baja yang kuat. Sungguh merupakan ilmu yang aneh dan, berbahaya. Mantel itu bisa sa-ja tiba-tiba
terbuka untuk memberi jalan keluar serangan dahsyat dari Raja Kelelawar itu ! Dan gerakan orang
itu cepat bukan main, berkelebatan.-seolah -olah dia mempergunakan ilmu terbang sa-ja. Kiong Lee
sudah mencabut sepasang pedang-nya dan menyerang dengan sungguh -sungguh, na-mun semua
serangannya gagal dan dia sendiripun kini terdesak. Mengeroyok dua bersama subonya yang sakti
masih terdesak, padahal tingkat kepan-daiannya di saat itu sudah maju pesat, tidak ber-selisih banyak
dengan tingkat subonya. Sungguh membuat mereka berdua merasa penasaran sekali.
Tiba -tiba subonya mengeluh karena paha kiri-nya kena tendangan iblis itu yang mencuat dari balik
mantel hitamnya. Tendangan itu datangnya sama sekali tidak tersangka-sangka dan sedemikian
cepatnya karena gerakan iblis itu memang luar bi-asa cepatnya, dilakukan ketika tubuh iblis itu baru
saja meloncat dan mengelak dari sambaran pedang Kiong Lee sehingga datangnya tidak tersangkasangka
dan tendangan itu luar biasa kerasnya sam-pai tubuh Siang Houw Nio -nio terlempar dan menabrak
pintu bangunan sampai jebol! Tentu saja Kiong Lee terkejut sekali dan cepat menolong
subonya yang bangkit lagi. Sepasang pedangnya diputar dengan pengerahan sinkang sekuatnya sehingga
membentuk gulungan sinar yang lebar dan tidak memungkinkan Raja Kelelawar untuk mendesak
nenek yang sudah terkena tendangannya itu dan terpaksa harus menghadapi pemuda perkasa
itu. Akan tetapi setelah kini dia harus menghadapi iblis itu sendirian saja sedangkan subonya agaknya
belum pulih kembali dan belum terjun membantu-nya, Kiong Lee merasakan betapa hebatnya kepandaian
iblis itu. Setelah kini dia harus meng-hadapinya sendirian, baru terasa olehnya kehebatannya.
Terutama sekali kecepatan gerakan itulah yang membuatnya benar -benar bingung dan kewalahan
karena dia merasa seperti menghadapi banyak lawan. Iblis itu bergerak sedemikian cepatnya
sehingga sukar untuk dapat diikutinya dengan pandang mata, sebentar di depan, tahu-tahu sudah
menyerang dari kanan, dari kiri, bahkan tahu -tahu menerjang dari belakangnya ! Dia sudah
mengerahkan kepandaiannya, memainkan langkah -langkah ajaib, akan tetapi semua itu sia -sia saja
dunia-kangouw.blogspot.com
karena ke-cepatan gerak Si Raja Kelelawar itu sungguh tak dapat dipecahkan oleh langkah -langkah
ajaib. Iblis itu seolah -olah dapat terbang atau menghilang, dan juga dalam hal tenaga sinkang, Kiong
Lee ha-rus mengakui keunggulan lawan. Dia memang kalah segala -galanya, pendeknya tingkatnya
masih kalah jauh. Maka, setelah terdesak hebat, akhir-nya pundak kirinya terkena sambaran jari
tangan lawan. Kelihatan perlahan saja, akan tetapi cukup membuat lengannya terasa ngilu dan
seperti sete-ngah lumpuh, lengan kirinya tergantung lemas dan terpaksa dia melompat mundur.
Pada saat itu nampak bayangan di luar pintu. Nenek Siang Houw Nio -nio yang maklum bahwa
pemuda itu terluka pula, khawatir melihat bayang-an ini. Kalau ada musuh lagi datang, tentu mereka
berdua takkan berdaya lagi. "Lee -ji, cepat buka pintu rahasia bawah tanah! Cepat!"
Kiong Lee tercengang dan meragu. "Tapi... tapi suhu sedang bertapa di dalam... teecu takut
mengganggu, tanpa ijin beliau tak seorangpun boleh membukanya... aughh... !" Sebuah tendangan
iblis itu mengenai punggungnya dan Kiong Lee terlempar, muntah darah !
"Persetan dengan tua bangka itu ! Cepat sebe-lum kita mati penasaran ! Lihat, lawan kita ber-tambah
!" Sambil berkata demikian, nenek itu menyebar jarum-jarum halus ke arah iblis itu, Ba-gaimanapun
juga, nenek itu adalah seorang yang berilmu tinggi dan hal ini diketahui oleh si iblis yang tidak berani
sembarangan dan cepat melin-dungi tubuhnya dari jarum -jarum halus itu dengan mantelnya. Juga dia
maklum bahwa pemuda itu-pun amat lihai, maka biarpun keduanya telah ter-luka, dia tidak berani
sembarangan mendekat dan menanti kesempatan baik untuk menurunkan tangan mautnya. Dan kini,
khawatir kalau mereka lolos, iblis itu bergerak cepat mengelilingi mereka, tidak membiarkan mereka
melarikan diri melalui pintu rahasia yang belum diketahuinya di mana letaknya. Siang Houw Nio -nio
dan Kiong Lee berdiri beradu punggung melindungi diri yang sudah terluka.
Tiba -tiba berkelebat bayangan orang memasuki ruangan bangunan kecil itu. Semua orang melirik
dan kiranya yang masuk adalah Ho Pek Lian, no-na tawanan itu. Di belakangnya nampak Pek Lian
dan Ang In. Ketika Pek Lian melihat Raja Kelela-war yang pernah menawannya, dan melihat betapa
pemuda perkasa itu luka, ia menjadi marah sekali dan langsung saja, dengan nekat iapun menerjang
maju dan menyerangnya dengan pukulan tangan kanan. Akan tetapi, Raja Kelelawar itu menangkis
dan akibatnya, tubuh Pek Lian terlempar mena-brak sebuah pot bunga yang berada di sudut ruangan.
Pot bunga kuningan itu tidak roboh ter-langgar tubuh Pek Lian, melainkan tergeser ke
samping. Terdengar bunyi berkerotokan dan tiba -tiba saja separuh lantai ruangan itu terbuka dan
tanpa dapat dicegah lagi, tubuh nenek Siang Houw Nio -nio dan Kiong Lee, juga tubuh Pek Lian
terjerumus ke dalam lubang. Melihat ini, Pek In dan Ang In berteriak khawatir, akan tetapi me-rekapun
meloncat menyusul ke dalam lubang itu karena mereka maklum bahwa lubang itu tentulah merupakan
rahasia yang baru dibuat oleh Thian-kiam-pang.
Melihat ini, Raja Kelelawar menjadi marah, hen-dak mengejar, akan tetapi dia meragu, takut kalaukalau
dia akan terjebak. Kembali terdengar suara berkerotokan dan tahu -tahu lantai telah menutup
kembali. Barulah Raja Kelelawar sadar bahwa me-reka itu telah meloloskan diri melalui pintu rahasia,
yaitu lubang tadi. Dia menjadi geram. Dihampiri-nya pot bunga kuningan itu dan digeser -gesernya ke
kanan kiri untuk membuka lantai. Namun dia tidak berhasil. Agaknya lubang itu telah tertutup dan
dikunci dari bawah. Dia memukul -mukul pot bunga sampai hancur dan memukul -mukul lantai,
menendang -nendang. Akhirnya dia mengerahkan anak buahnya untuk membakar bangunan di
tengah pulau kecil itu, lalu diapun keluar dan bersama anak buahnya dia melakukan pembantaian
besar-besaran di gedung induk Perguruan Pedang Langit (Thian -kiam -pang). Semua anggauta dan
murid dibunuhnya dengan kejam, dan seluruh bangunannya dibakar sampai habis. Agaknya, Raja
Kelela-war ini amat membenci Thian -kiam -pang, seperti orang melampiaskan dendam yang hebat!
********************
Mereka yang terjeblos ke dalam lubang itu ter-jatuh ke dalam ruangan bawah tanah dan biarpun lantai
di atas telah menutup kembali, namun kea-daan di situ cukup terang dengan adanya lampu-lampu
yang menempel di dinding batu. Nenek Siang Houw Nio -nio yang terluka pahanya itu, terpincang -
pincang menuruni lorong kecil. Di be-lakangnya, Pek In dan Ang In memapah Kiong Lee yang terluka
parah di pundak dan punggung. Pa-ling belakang adalah Ho Pek Lian. Lorong itu panjang sekali,
berbelak -belok naik turun dan akhirnya mereka tiba di depan sebuah pintu tertu-tup yang bertuliskan
RUANGAN SAMADHI.
dunia-kangouw.blogspot.com
Agaknya langkah kaki mereka sudah diketahui orang karena dari balik pintu terdengar suara te-guran
halus, "Siapa di luar itu ? Lee-jikah itu ?"
Sebelum Kiong Lee dapat menjawab, nenek itu mendahuluinya menjawab lantang, "Akulah yang
datang!"
Terdengar seruan tertahan dari dalam dan tiba-tiba daun pintu terbuka. Di balik pintu itu berdiri
seorang kakek berambut panjang. Kiong Lee, Pek In dan Ang In cepat menjatuhkan diri berlutut dan
berkata, "Suhu !"
Untuk beberapa lamanya, nenek dan kakek itu berdiri saling pandang penuh selidik dan ada keharuan
menyelinap dalam pandang mata mereka. Mereka adalah suami isteri yang telah saling berpisah
selama limabelas tahun walaupun keduanya sama -sama tinggal di daerah kota raja.
"Sumoi... !" Kakek itu akhirnya menegur dengan suara lirih. Semenjak berpisah, nenek itu tidak mau
lagi diakui sebagai isteri, maka terpaksa kakek itupun menyebutnya dengan sebutan semula sebelum
mereka menjadi suami isteri, yaitu sumoi karena memang isterinya ini adalah sumoinya sendiri.
Akan tetapi, panggilan yang mengandung keha-ruan dan kelembutan ini tidak diacuhkan oleh si nenek
yang marah. Ia bahkan tidak memperdu-likan pahanya yang amat nyeri rasanya, akan tetapi langsung
saja ia menyerang kakek itu dengan kata-kata ketus.
"Di mana anakku, Kim -ji ? Hayo katakan di mana dia ? Engkau membiarkan dia dihina orang, ya ?
Engkau membiarkan dia bergaul dengan se-gala macam manusia sesat, ya ? Hayo kaukembali-kan
anakku kepadaku, kalau tidak ...... !" Nenek itu terengah -engah dan kedua matanya tiba-tiba menjadi
basah !
Kakek itu menjadi bengong. Matanya meman-dang berganti-ganti kepada isterinya dan murid-murid
itu, karena dia sungguh tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh isterinya yang marah-marah. Juga
dia merasa heran melihat mereka masuk seperti itu, bahkan isterinya dan juga murid utamanya
menderita luka yang cukup parah. Melihat keadaan suhunya, Kiong Lee merasa kasihan dan
diapun berkata, "Suhu... adik Kim... dia telah dilukai orang... lalu diculik "
Sejenak kakek itu terbelalak, akan tetapi seben-tar saja dia sudah mampu menguasai hatinya lagi dan
dengan sikap tenang diapun berkata, "Marilah kita semua masuk ke dalam, jangan ribut-ribut di sini.
Aku mempunyai seorang tamu di sebelah dalam. Mari, sumoi, silahkan masuk dan kalian samua,
anak -anak, masuklah."
Biarpun masih cemberut, nenek Siang Houw Nio -nio melangkah masuk terpincang -pincang, diikuti
semua murid dan juga Pek Lian tidak ke-tinggalan memasuki ruangan itu dengan hati te-gang dan
heran. Ternyata ruangan itu sangat luas dan nyaman sejuk. Pada dinding -dindingnya ber-gantungan
lukisan -lukisan orang dalam posisi ber-silat. Di dalam kamar itu telah berdiri seorang kakek tua yang
nampaknya masih sehat dan berse-mangat, menyambut sambil tersenyum membung-kuk terhadap
Siang Houw Nio-nio. Melihat pa-kaian kakek itu, diam -diam Pek Lian menjadi ter-kejut bukan main.
Kakek tamu ini berjubah hitam yang ada lukisannya seekor naga di bagian dada-nya, menutupi
tabuhnya yang tinggi besar. Pek Lian teringat akan orang -orang dari Liong-i-pang, yaitu Perkumpulan
Jubah Naga yang berambut riap -riapan dan yang pernah menyerang keluarga Bu itu. Inikah ketua
dari Liong -i -pang yang mempunyai anak buah yang kasar dan kejam itu ? Akan tetapi karena
maklum bahwa ia berada di antara orang -orang sakti, maka Pek Lian berlagak tidak tahu dan
bersikap tenang saja walaupun ha-tinya terguncang hebat.
"Isteriku, inilah dia saudara Ouwyang Kwan Ek" Kakek itu memperkenalkan.
Nenek itu memandang dan nampaknya tertarik. "Ah, murid ke dua dari mendiang Sin -yok -ong ?"
tanyanya.
Kakek tinggi besar berkulit hitam itu tersenyum dan menjura. "Sudah lama mendengar nama besar
Siang Houw Nio -nio, sungguh beruntung hari ini dapat bertemu. Toanio, kakimu terluka dan mengandung
racun, kalau boleh saya berlancang, si-lahkan toanio menelan obat ini, tentu segera sembuh
kembali," kata si tinggi besar sambil menye-rahkan sebutir pel merah. Nenek itu maklum bah-wa
ia berhadapan dengan murid seorang tokoh besar raja obat, maka iapun tidak mau sungkan lagi,
dunia-kangouw.blogspot.com
menerima pel itu dan menelannya. Rasa pa-nas menjalar dari perutnya dan dengan sinkangnya ia
menekan hawa panas itu ke arah pahanya yang terluka dan sungguh ajaib, ia merasa betapa rasa
nyeri di pahanya perlahan -lahan lenyap. Cepat ia menghaturkan terima kasih.
"Ouwyang -toyu, jangan pelit, sekalian berilah obat kepada muridku yang terluka," kata kakek itu. "Lee
-ji, majulah agar diobati oleh Ouwyang-locianpwe."
Kiong Lee maju dan berlutut di depan kakek itu. Ouwyang Kwan Ek adalah murid ke dua dari Si Raja
Tabib dan sebenarnya dia tidak mewarisi ilmu pengobatan karena yang mewarisi adalah mendiang Bu
Cian murid pertama Si Raja Tabib. Akan tetapi sebagai murid Raja Tabib, tentu saja dia tidak buta
dengan ilmu pengobatan dan kalau tidak terlalu hebat saja, dia mempunyai obat -obat untuk
bermacam luka parah. Setelah meraba punggung dan pundak Kiong Lee, kakek itu me-narik napas
panjang.
"Siancai... ! Luka -luka ini diakibatkan pukulan-pukulan sakti yang hebat. Untung muridmu ini telah
memiliki sinkang yang amat kuat, kalau tidak, tentu aku akan sukar mengobatinya, Yap-lojin !" katanya
kepada tuan rumah. Kakek ketua Thian -kiam -pang itu bernama Yap Cu Kiat atau di antara kenalan -
kenalannya lebih terkenal disebut Yap -lojin (orang tua Yap). Setelah menotok pundak dan punggung
Kiong Lee, kakek itu lalu
memberi obat bubuk berwarna kuning untuk diminum dengan air. Dan memang obat itu mustajab
sekali karena Kiong Lee merasa betapa luka-luka di dalam tubuhnya tidak terasa nyeri lagi dan hanya
membutuhkan pengobatan dengan pengerahan sinkang sendiri. Diapun cepat menghaturkan terima
kasih.
"Kiong Lee, apakah yang terjadi ? Kenapa engkau sampai terluka dan juga subomu..."
"Hemm, enak -enak saja bersenang sendiri di sini, tidak tahu di luar dibanjiri musuh yang dipim-pin
oleh Raja Kelelawar. Anak sendiri dilarikan orangpun tidak tahu!" Nenek itu masih marah.
Mendengar ini, terkejutlah Yap-lojin. "Raja Kelelawar menyerbu ke sini ? Ah, aku harus keluar
melihatnya !"
"Aku akan menemanimu, lojin !" kata Ouwyang Kwan Ek yang segera mengikuti tuan rumah. Me-reka
cepat keluar dari terowongan itu dan mencari keluar. Akan tetapi, setelah mereka tiba di luar,
pertempuran telah berhenti dan pihak musuh telah tidak nampak lagi bayangannya. Yang ada hanya
mayat-mayat para anggauta Thian -kiam -pang, termasuk murid-muridnya yang ke dua, yaitu Kwan
Tek, dan murid ke tiga, di antara bangunan yang terbakar habis! Tentu saja Ouwyang Kwan Ek
merasa terkejut dan kasihan kepada sahabatnya yang berdiri bengong dengan muka pucat. Dia la-lu
membantu tuan ramah untuk mengangkut ma-yat -mayat itu melalui terowongan.
Melihat kedua adik seperguruannya tewas, Kiong Lee memekikinya sambil menangis. Juga Pek In
dan Ang In ikut menangis sedih. Bahkan nenek Siang Houw Nio -nio sendiri tak dapat menahan
runtuhnya beberapa butir air matanya dan nenek ini mengepal tinju. "Raja Kelelawar, aku akan
menghadapimu kelak untuk membuat perhitungan !"
Pek Lian yang melihat semua ini menjadi ikut terharu dan ikut menangis. Tak disangkanya bahwa
keluarga yang sakti ini tertimpa malapetaka de-mikian hebat dan kembali matanya seperti dibuka oleh
kenyataan bahwa semakin tinggi kepandaian orang, semakin besar pula bahayanya karena tentu
orang itu mempunyai musuh-musuh yang lihai pula. Dengan penuh duka cita mereda semua lalu
mengubur mayat-mayat dengan upacara se-derhana saja. Mayat-mayat itu dikubur di belakang
bangunan yang sudah menjadi abu dan malam hari itu terpaksa mereka kembali memasuki
terowongan karena semua tempat telah terbakar sehingga sisa tempat yang ada hanyalah ruangan di
bawah tanah.
Mereka duduk berkumpul dalam suasana duka dan masing-masing merasakan suatu keakraban.
Bahkan Pek Lian sendiri yang tadinya adalah seorang tawanan, pada saat itu merasa seolah-olah ia
menjadi anggauta keluarga itu. Juga Ouwyang Kwan Ek memperlihatkan simpatinya. Suami isteri
yang tadinya seperti mengambil sikap bertentangan itupun kini seperti melupakan perselisihan mereka
yang sudah berlangsung belasan tahun itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ilmu silat Raja Kelelawar dengan jubahnya itu memang hebat luar biasa. Semua setanganku kandas,
bahkan jarum -jarumku tidak ada gunanya. Mengeroyoknya bersama Kiong Leepun masih terdesak
dan terluka."
Suaminya menarik napas panjang. "Itu baru Il-mu Gerhana Bulan, belum yang lain -lain. Ah, sungguh
tidak kusangka setelah berpuluh tahun ti-dak ada jago silat yang menonjol dan berbakat, kini muncul
keturunan raja kaum hitam yang penuh bakat dan menyamai kesaktian leluhurnya, Si Raja Kelelawar
yang sakti."
"Memang kenyataan yang pahit sekali!" kata Ouwyang Kwan Ek, kakek tinggi besar hitam berju-bah
naga itu. "Padahal, di pihak kaum bersih, sam-pai kini tidak ada seorangpun jago berbakat yang
muncul. Dari perguruan kamdpun tidak ada seo-rang yang berbakat seperti mendiang suhu Raja
Tabib Sakti. Aku sendiri cuma mewarisi sebagian saja dari ilmu -ilmunya, seperti halnya saudara
seperguruanku yang lain."
"Demikian pula pada perguruan kami," Yap-lojin berkata penuh sesal. "Sebenarnya Kiong Lee ini
sangat berbakat, akan tetapi akulah yang bodoh tak mampu membimbingnya. Sayang, guruku, Sinkun
Bu-tek, telah tiada. Kalau masih ada, tentu beliau akan dapat membimbing Lee-ji ini dan akan ada
seorang penggantinya yang boleh diandalkan !"
Mendengar percakapan mereka, diam -diam Pek Lian mengalami kejutan lain. Tahulah ia se-karang
bahwa ketua Perguruan Pedang Langit ini adalah keturunan dari Sin-kun Bu -tek, datuk da-ri utara,
pendekar sakti terbesar seabad yang lalu, yang pernah didengarnya ketika ia masih bersama dua
orang gurunya. Sin-kun Bu-tek yang sejajar namanya dengan si datuk selatan, yaitu Raja Tabib Sakti.
Keduanya merupakan datuk-datuk kaum bersih yang merupakan saingan terbesar dari da-tuk -datuk
kaum sesat seperti pendiri Tai -bong-pai, pendiri Soa -hu -pai, dan juga tentu saja men-jadi musuh
yang ditakuti dari Bit -bo -ong Si Raja Kelelawar. Mengertilah ia kini mengapa Raja Ke-lelawar
memusuhi Thian -kiam -pang. Kiranya iblis itu ingin membalas dendam leluhurnya yang kabarnya
tewas di tangan Sin -kun Bu -tek. Pan-tas saja sarang Thian -kiam -pang itu dibasminya, semua
penghuninya yang ada ditewaskan dan ba-ngunan -bangunannya dibakar habis.
Nenek Siang Houw Nio-nio juga hanyut dalam percakapan itu dan ia menarik napas panjang lalu
berkata, "Yahh... padahal asal salah seorang dari murid-murid kita bisa mendalami pelajaran
perguruan masing-masing secara sempurna seperti halnya iblis itu mempelajari ilmu leluhurnya yaitu
Raja Kelelawar, aku berani bertaruh bahwa iblis itu pasti akan bisa ditaklukkan. Seperti juga di jaman
dahulu Si Raja Kelelawar tidak berkutik ketika melawan guru-guru kita, baik melawan guru kami Raja
Tabib Sakti maupun melawan Sin-kun Bu-tek."
Ouwyang Kwan Ek mengangguk-angguk mem-benarkan ucapan ini. Memang patut disayangkan
bahwa tidak ada murid dari para datuk itu yang dapat mewarisi seluruh ilmu gurunya sampai mencapai
tingkat setinggi mereka. Akan tetapi dia ti-ba -tiba teringat akan sesuatu, lalu diapun ber-kata,
"Kim -mo Sai -ong pendiri Soa -hu-pai yang bersama dengan iblis pendiri Tai -bong-pai merupakan
juga datuk -datuk persilatan yang setingkat dengan guru -guru kita seabad yang lalu? Nah, aku
mendengar bahwa ada cucu murid dari Kim -mou Sai -ong ini yang sangat berbakat, dan kabarnya
kini telah mencapai tingkat ke tigabelas ilmu -ilmu Soa -hu -pai, yaitu tingkat terakhir dari Soa-hu-pai
yang hebat itu. Dan kabarnya orang itu kini mengabdi kepada kaisar." Berkata demiki-an, Ouwyang
Kwan Ek memandang kepada nenek Siang Houw Nio -nio yang juga mengabdikan diri-nya kepada
kaisar karena masih terhitung keluar-ga dekat kaisar.
Nenek itu mengangguk -angguk. "Memang be-nar, akan tetapi orang itu menjadi komandan pengawal
istana dan kurasa diapun masih belum se-tinggi Raja Kelelawar tingkatnya. Dan seperti juga
dahulu, alirannya tidak mau berurusan dengan iblis itu. Seperti, juga guru -gurunya tidak pernah acuh
terhadap Raja Kelelawar."
"Selama ini aku tidak pernah mendengar ten-tang orang-orang Tai -bong -pai. Setelah ketu-runan
Raja Kelelawar keluar, apakah keturunan-nya juga tidak memperlihatkan diri ? Ataukah Tai -bong -pai
sudah mati dan tidak mempunyai keturunan?" Yap-lojin bertanya karena percakap-an itu membongkar
hal -hal lama, mengingatkan mereka akan golongan -golongan jaman dahulu yang pernah
menggemparkan dunia persilatan.
Mendengar pertanyaan ini, hampir saja Pek Lian membuka mulut menjawab. Ia teringat akan orang -
orang yang membawa gadis cantik dalam keranjang yang terluka parah dan lumpuh itu. Untung
dunia-kangouw.blogspot.com
bahwa ia masih dapat menahan hatinya, karena kalau ia membuka mulut, akhirnya tentu ia akan
terpaksa membuka rahasianya bahwa ia ada-lah puteri Menteri Ho dan hal ini dapat berbahaya bagi
dirinya. Maka iapun diam saja dan menun-dukkan muka, hanya memasang telinga mende-ngarkan
percakapan yang amat menarik hatinya itu.
"Entahlah, tidak ada berita tentang mereka ...." kata kakek berjubah naga.
Tiba -tiba Yap-lojin berseru, "Ahh... !
Pek Lian terkejut dan mengangkat muka meman-dang kepada kakek itu yang agaknya teringat akan
sesuatu. "Lupakah kalian akan sasterawan itu ? Dia yang yang mengalahkan keempat datuk sakti
dahulu, leluhur kita itu ?"
Kakek berjubah naga terkejut. "Maksudmu ?"
"Mari kita memasuki ruang samadhiku." Kakek itu mendahului mereka semua memasuki pintu rahasia
dan berkumpul di ruangan bawah tanah yang luas. Yap -lojin membawa mereka semua kepada
beberapa buah gambar. Gambar -gambar yang melukiskan bermacam gerakan menyerang, gambar
searang sasterawan terhadap lawan -lawannya. Dalam tiap gambar, sasterawan tua itu mengha-dapi
seorang lawan berbeda.
"Lihat gambar-gambar ini dilukis untuk mengabadikan pengalaman yang amat langka itu, yaitu
kalahnya para datuk sakti terhadap si sasterawan tua dan lukisan-lukisan ini adalah jurus-jurus
terampuh yang dipergunakan para datuk, akan tetapi selalu si sasterawan yang menang," kata Yaplojin.
"Ah, betapa hebat dan menariknya. Harap suhu sudi menceritakan karena teecu amat tertarik
mendengarnya."
Kakek ita menarik napas panjang. "Hal ini sebenarnya merupakan rahasia para datuk yang di-anggap
amat memalukan, bahkan subomu sendiri-pun tidak tahu akan cerita ini. Akan tetapi setelah kini Raja
Kelelawar seperti menjelma lagi dan me-ngacaukan dunia, kita memang boleh mengharapkan
munculnya tokoh keturunan sasterawan ini yang akan menundukkannya. Nah, kalian dengar-lah
ceritaku." Kakek itupun lalu menceriterakan peristiwa hebat yang terjadi puluhan tahun yang lalu.
Seabad yang lalu, dunia persilatan mengenal nama empat orang datuk yang dianggap sebagai tokoh
-tokoh yang memiliki kepandaian silat paling tinggi di dunia persilatan. Mereka itu adalah dua orang
tokoh golongan putih, yaitu Bu-eng Sin-yok-ong (Raja Tabib Sakti Tanpa Bayangan) yang merupakan
datuk putih daerah selatan, dan Sin-kun Bu -tek (Kepalan Sakti Tanpa Tanding) yang menjadi datuk
putih di utara. Kemudian dua orang datuk golongan hitam, yaitu Cui-beng Kui-ong (Raja Iblis Pengejar
Arwah) pendiri dari Tai-bong-pai dan Kim-mo Sai-ong (Raja Singa Berbulu E-mas) pendiri dari Soahu-
pai. Empat orang tokoh inilah yang dianggap amat sakti dan paling tinggi ilmunya sehingga
seorang seperti Bit-bo-ong (Raja Kelelawar) yang dianggap rajanya kaum penjahat sekalipun tidak
pernah berani bertingkah terhadap mereka dan dianggap masih lebih rendah dari pada mereka
berempat.
Biarpun di antara dua golongan itu ada go-longan putih dan golongan hitam, akan tetapi me-reka itu
dapat mengikat persahabatan dan tidak pernah saling bermusuhan. Memang aneh, akan tetapi
memang kehidupan para datuk ini tidak lumrah manusia biasa. Biarpun Cui-beng Kui-ong dan Kim-mo
Sai-ong itu merupakan dua orang datuk hitam, akan tetapi mereka sendiri tidak pernah melakukan
kejahatan, hanya dianggap datuk dan didewa-dewakan oleh kaum sesat. Mereka itu balikan memiliki
kegagahan yang mengagum-kan, walaupun pandangan mereka kadang-kadang sesat dan tidak
mengenal arti kesopanan atau hukum-hukum yang ada. Mungkin karena saling segan oleh ilmu
masing-masing yang amat tinggi, dan saling menyayang kepandaian masing -masing kawan, maka
mereka itu dapat bersahabat.
Anehnya, setiap empat tahun sekali, empat orang datuk itu selalu mengadakan pertemuan untuk
membicarakan ilmu silat, bahkan mereka itu masing-masing memperlihatkan kemajuan -kemajuan
yang mereka peroleh selama empat tahun terakhir, untuk dikagumi oleh yang lain, juga diakui! Akan
tetapi baiknya, belum pernah di antara mereka itu terjadi persaingan atau cekcok, apa lagi lalu saling
serang sampai bunuh -membunuh. Mereka agak-nya maklum bahwa sekali bentrok, berarti mereka
akan membiarkan dirinya terancam maut, karena sekali berkelahi, tentu kematian mengancam
dunia-kangouw.blogspot.com
mereka. Bukan tidak mungkin, mengingat bahwa tingkat mereka seimbang, mereka akan sampyuh
dan mati semua. Kadang-kadang mereka mengadakan pertemuan di tepi pantai, kadang-kadang di
puncak gunung atau di tempat-tempat yang sunyi dan yang tak pernah didatangi orang lain.
Pada suatu hari, kembali mereka mengadakan pertemuan setelah selama empat tahun mereka tidak
pernah saling bertemu. Sekali ini, mereka memilih tempat di lembah Gunung Hoa-san yang indah dan
amat sunyi. Dan di lembah itu terdapat sebuah telaga yang indah sekali, dengan airnya yang dalam
dan kehijauan, bening seperti kaca. Sunyi sekali di situ sehingga ketika empat orang datuk itu datang
secara beruntun, mereka merasa suka sekali dan memuji tempat itu sebagai tempat pertemuan yang
amat menyenangkan.
"Ha -ha -ha, kamu tukang obat memang pandai memilih tempat yang bagus !" Cui -beng Kui -ong
pendiri Tai-bong-pai memuji karena memang tempat itu adalah pilihan Bu-eng Sin-yok-ong. Mereka
lalu duduk mengelilingi sebuah perapian sambil bercakap-cakap, membicarakan tentang ilmu silat dan
tentang hasil -hasil mereka selama empat tahun ini. Bu -eng Sin -yok -ong mengatakan bahwa diapun
hanya mendengar saja tentang keindahan telaga ini dan baru sekarang dia datang ke tempat itu.
"Yok-ong, selama empat tahun ini ilmu apa sajakah yang berhasil kauciptakan ?" Kita -mo Sai -ong
bertanya. Di antara mereka berempat, memang boleh dibilang tingkat Bu-eng Sin-yok-ong yang paling
tinggi sehingga tiga orang yang lain menganggap dia seperti saudara tua. Menurut tingkat mereka,
walaupun mereka tidak pernah saling gempur, orang pertama adalah Bu -eng Sin-yok -ong, ke dua
adalah Sin -kun Bu -tek dan Cui-,beng Kui -ong yang (memiliki tingkat seimbang, dan yang sedikit
lebih "rendah adalah Kim -mo Sai -ong. Akan tetapi, perbedaan tingkat ini tidak pernah mereka,
nyatakan dengan mulut, hanya masing-masing mencatatnya di dalam hati, mengukur dari kepandaian
mereka ketika saling mendemonstrasikan ilrnu masing -masing.
Ditanya oleh Kim -mo Sai -ong secara terbuka itu, Bu -eng Sin -yok -ong tersenyum sambil mengelus
jenggotnya. "Ah, sudah tua seperti aku ini, perlu apa memperdalam ilmu membunuh orang lain ?
Tidak, :elama ini aku tidak mau menambah ciptaan ilmu (membunuh. Sudah terlalu banyak ilmu
membunuh diciptakan orang-orang pandai seperti kalian bertiga ini, maka aku lalu tekun di dalam
guha untuk mencfcri rahasia ilmu menghidupkan yang menjadi kebalikan dari ilmu membu-nuh."
"Lo -heng, engkau adalah seorang Raja Tabib yang merupakan dewa pengobatan di dunia ini, apakah
engkau maksudkan selama ini engkau memperdalam ilmu pengobatan yang sudah hebat itu ? Hampir
tidak ada penyakit yang tak dapat kausembuhkan dengan ilmumu," tanya Sin-kun Bu-tek yang merasa
seperti saudara sendiri dengan datuk selatan itu sehingga menyebutnya lo-heng.
"Bukan hanya ilmu pengobatan, lo-te, melainkan ilmu menghidupkan," jawab yang ditanya.
"Ha-ha-ha, tukang obat !" Cui-beng Kui-ong yang suka ugal-ugalan dan tidak pernah mau memakai
peraturan, juga dalam hal memanggil nama itu, tertawa. "Yang dihidupkan itu hanyalah orang mati,
apakah kau mau katakan bahwa engkau dapat menghidupkan orang mati ?" Pertanyaan ini seperti
kelakar, akan tetapi diam-diam yang bertanya merasa tegang dan juga dua orang lainnya
memandang wajah Bu-eng Sin-yok-ong dengan mata terbelalak penuh perhatian.
Sin -yok -ong menarik napas panjang. "Siancai... aku hanya manusia biasa, mana mungkin dapat
membuka rahasia antara mati dan hidup ? Akan tetapi, sebagai ahli pengobatan, aku tertarik untuk
menyelidiki sebab-sebab mengapa ada kematian dalam hidup ini. Manusia ini hidup karena adanya
tenaga yang menggerakkan segala sesuati dalam tubuh kita, baik selagi terjaga maupun sedang
tertidur, menggerakkan jantung, pernapasan dan seluruh urat syaraf dalam tubuh, sampai yang terhalus
sekalipun. Kematian disebabkan karena tenaga penggerak ini tidak dapat menembus bag;an
tubuh yang rusak, baik oleh kuman maurmn oleh kekeras-an dari luar. Nah, aku melakukan
penyelidikan bagaimana untuk menembus bagian tertutup itu sehingga tenaga penggerak itu mampu
menembus ke bagian-bagian yang terpenting sehingga semua anggauta tubuh dapat bekerja dengan
baik walau-pun ada bagian yang cacat dan hidup dapat diper-tahankan."
Tiga orang datuk lainnya mendengarkan de-ngan mata terbelalak. "Wah, wah, bukan main hebatnya!
Kalau benar engkau telah berhasil mengatasi kematian, maka segala ilmu di dunia ini tidak ada
artinya lagi. Selamat, Yok-ong!" kata Kim-mo Sai-ong akan tetapi Sin-yok-ong mengangkat
tangannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Jangan tergesa -gesa memberi selamat, Sai-ong. Aku baru dalam taraf penyelidikan dan per-cobaan
saja dan ternyata di balik itu tersembunyi rahasia -rahasia yang amat pelik dan gawat. Sudah-lah,
lebih baik kalian menceritakan dan memperli-hatkan ilmu -ilmu baru yang kalian berhasil cipta-kan
selama ini."
Kim -mo Sai -ong lalu mendemonstrasikan ilmu-nya yang paling hebat, yaitu ilmu tenaga sakti Rawa
Pasir. Ketika dia mainkan ilmu ini yang diberi nama Pukulan Pusaran Pasir Maut, di sekitar tu-buhnya
terasa ada tenaga hebat yang berdaya tolak luar biasa kuatnya, mengandung hawa dingin yang
menggigilkan, terasa oleh tiga orang datuk lainnya yang dapat mengerti bahwa lawan yang kurang
kuat tidak akan dapat bertahan mengha-dapi datuk ini dalam jarak tiga langkah saja. Dan kaki tangan
Kim -mo Sai -ong mainkan ilmu silat yang dinamakannya Soa-hu-lian (Teratai Danau Pasir). Tiga
orang datuk itu memuji ilmu-ilmu baru ini.
Tiba giliran Cui-beng Kui-ong yang mendemonstrasikan ilmunya yang mutakhir, yaitu Ilmu Pukulan
Penghisap Darah! Bukan main hebatnya pukulan ini. Terasa oleh tiga orang datuk lainnya betapa
dalam angin pukulan itu terkandung hawa beracun yang menyedot ke arah lawan dan se-tiap
pertemuan anggauta badan dengan lawan, seperti kalau lawan menangkis dan sebagainya, lawan
yang kalah kuat sedikit saja tenaganya tentu akan terkena akibat hawa pukulan ini yang akan
menyedot keluar darah dari balik kulit mereka sehingga lawan seolah-olah akan berkeringat da-rah !
Sebelum ilmu yang mengerikan ini, Cui -beng Kui -ong sudah pula memiliki Ilmu Tenaga Sakti Asap
Hio yang membuat keringatnya berbau seper-ti hio (dupa biting) yang harum -harum aneh.
Diam-diam Sin-yok-ong dan Sin-kun Bu-tek merasa khawatir dan ngeri. Kalau ilmu kedua orang datuk
kaum sesat itu dipergunakan oleh mu-rid-murid mereka yang berahlak bobrok, tentu akan
mendatangkan malapetaka di dunia ini. Akan tetapi mereka berdua merasa yakin bahwa biarpun dua
orang datuk sakti itu dianggap sebagai datuk sesat, namun mereka amat keras terhadap muridmurid
mereka dan tidak sembarangan menurunkan ilmu mereka kepada murid mereka.
Tiba giliran Sin-kun Bu-tek yang memperli-hatkan ilmu pukulan terbarunya. Ilmu itu dina-makan Ilmu
Silat Angin Puyuh dan dimainkan dengan pengerahan tenaga sakti yang dinamakan-nya tenaga Thian
-hui -gong -ciang (Tangan Ko-song Halilintar). Ketika orang sakti ini memainkan ilmunya, maka terasa
oleh tiga orang datuk lain-nya betapa ada hawa menyambar -nyambar panas dan disertai angin puyuh
yang mengamuk hebat. Debu mengepul tinggi dan berpusing seperti ter-bawa angin puyuh dan
pohon-pohon di sekeliling tempat-itu bergoyang -goyang, daun -daun rontok beterbangan terbawa
berpusing pula.
"Hebat, hebat... , lo-te. Ilmu pukulan ini hebat sekali" Bu-eng Sin-yok-ong memuji, demikian pula dua
orang datuk sesat juga merasa kagum dan merasa bahwa bagaimanapun juga, ke-majuan ilmu
mereka masih kalah dibandingkan dengan Sin -kun Bu -tek ini.
"Nah, sekarang tiba giliranmu, lo-heng. Biar-pun engkau mengaku belum berhasil, akan tetapi selama
empat tahun ini tentu telah ada kemajuan. Siapa tahu engkau telah dapat menghidupkan orang mati !
Wah, kalau benar demikian, kami bertiga akan berlutut dan takluk!" kata Sin -kun Bu -tek yang
dibenarkan oleh dua orang datuk lainnya. Kalau benar Tabib Sakti itu dapat menghidupkan orang
mati, apa artinya semua kemajuan yang mereka peroleh ? Kecil sekali dibandingkan dengan ilmu
yang dapat menghidupkan orang mati !
Bu -eng Sin -yok -ong tersenyum dan mengge-leng kepala. "Jangan kalian melebih -lebihkan. Sudah
kukatakan, aku baru membuat penyelidikan dan percobaan, dan di balik kehidupan ini terdapat hal -
hal yang tidak dapat dijangkau oleh kekuatan otak belaka. Akan tetapi, memang selama empat tahun
ini aku sudah membuat percobaan -percoba-an. Nah, Sai -ong, engkau yang paling gesit, coba-lah
engkau mencari seekor kelinci."
"Baik!" Begitu menjawab, tubuhnya sudah melesat lenyap dan sebentar saja iblis pendiri Soa-bu -pai
ini telah datang kembali membawa seekor kelinci.
"Bunuhlah tanpa merusak kepalanya !" kata pula Bu-eng Sin-yok-ong.
Kim -mo Sai -ong tertawa dan sekali tangan kirinya bergerak, jari telunjuknya telah memukul
punggung kelinci itu. "Ngekk!" dan kelinci itupun tewaslah, hanya berkelojotan sekali dua kali saja.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Periksalah oleh kalian apa benar -benar bina-tang, ini sudah mati," kata pula Bu -eng Sin -yok-ong
dengan tenang. Tiga orang datuk itu dengan bergantian memeriksa dan mendapat kenyataan bahwa
kelinci itu memang sudah mati, darahnya sudah terhenti sama sekali dan napasnya tidak ja-lan
walaupun tubuhnya masih hangat.
Bu -eng Sin -yok -ong sudah mengeluarkan se-rangkaian jarum -jarum emas dan perak. Lalu dia
mengambil bangkai kelinci itu dan mulai menggu-nakan jarum -jarumnya untuk menusuk sana -sini.
Belum sampai duabelas kali dia menusuk... eh, binatang itu dapat bergerak kembali dan ketika jarum -
jarum itu diambil dan kelinci dilepaskan, binatang itu berlari cepat memasuki semak-semak!
Tiga orang datuk itu terbelalak dan seperti telah mereka janjikan tadi, mereka menjatuhkan diri berlutut.
Akan tetapi Bu -eng Sin -yok -ong juga ber-lutut membalas mereka dan berkata, "Sudah, su-dah,
jangan main -main. Mari kita duduk kembali. Aku hanya menghidupkan seekor kelinci yang mati-nya
dalam keadaan utuh. Kalau manusia yang mati dan rusak alat tubuhnya yang penting, sung-guh aku
tidak berani memastikan apakah aku akan dapat menghidupkannya."
Biarpun kakek itu merendah, namun tiga orang datuk itu semakin kagum dan hormat kepadanya.
Mereka lalu beroakap -cakap dan mula -mula yang membangkitkan kebanggaan di hati mereka
adalah Kim -mo Sai -ong yang berkata, "Setelah kita ber-empat mencapai tingkat seperti sekarang ini,
siapa-kah di dunia ini yang sanggup mengatasi kita ?"
"Ha-ha-ha, omonganmu sungguh aneh, Sai-ong !" Cui-
***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To Register.]***
Sin -kun Bu -tek batuk -batuk untuk menekan rasa bangga ini, kemudian dia berkata, "Uhh, tua
bangka -tua bang-ka seperti kita ini menghabiskan waktu puluhan tahun untuk menciptakan ilmu -ilmu
silat yang tinggi. Kalau sudah mencapai tingkat tertinggi, lalu untuk apa ?" Biarpun demikian, dalam
ucap-annya ini mengakui bahwa mereka telah mencapai tingkat tertinggi!
"Siancai... , sungguh beruntung bahwa kita berempat dapat bersahabat seperti ini. Kalau ilmu-ilmu kita
ini dipergunakan untuk saling hantam, bukankah dunia akan menjadi kacau dan kiamat ?" Bu-eng Sinyok-
ong juga berkata dan dalam kata-katanya juga terbayang rasa bangga akan kepandaian mereka
berempat yang mereka anggap sudah tidak ada bandingnya lagi di seluruh dunia ini.
Tiba -tiba mereka dikejutkan oleh suara nyanyian halus yang datangnya dari seberang telaga! Suara
itu halus sekali seperti berbisik, akan tetapi mereka dapat mendengar dengan jelas, seperti suara
anak -anak yang dibawa angin lalu.
"Langit biru tinggi nian
apa gerangan yang berada di atasmu ?
Telaga biru betapa dalam
apa gerangan yang berada di bawahmu ?
Adakah yang tertinggi?
Adakah yang paling dalam ?
Aku tak tahu... !"
Empat orang tua itu saling pandang dan dalam pandang mata itu mereka tahu babwa nyanyian itu
seolah -olah mengejek dan menusuk jantung mere-ka, seolah -olah mencela rasa bangga dan angkuh
yang tadi mencekam hati mereka. Di samping rasa penasaran, juga mereka merasa malu bahwa
mere-ka yang telah berada di tempat itu selama hampir setengah hari, tidak tahu bahwa di dekat
telaga itu ada orangnya!
Orang itu adalah seorang sasterawan, atau seorang kakek yang memakai pakaian sederhana seperti
sasterawan, sudah tua sekali, dengan kumis dan jenggot panjang berwarna putih, tubuhnya kurus
kering seperti orang kurang makan, namun wajah-nya membayangkan kelembutan yang mengharudunia-
kangouw.blogspot.com
kan. Kakek ini sejak pagi buta telah duduk di tepi telaga, terlindung oleh semak-semak dan pohonpohon,
dan karena dia sama sekali tidak mengeluarkan suara sedikitpun, seperti gerakan bayangan
pohon saja, maka empat orang datuk sakti itu sama sekali tidak tahu akan kehadirannya. Sasterawan
itupun tidak memperdulikan mereka berempat, tenggelam dalam kesibukannya sendiri. Dia sedang
melukis keindahan telaga dengan gunung-gunung yang mengelilinginya. Di dekatnya terda-pat
tangkai pancing yang ditancapkan, ada bebera-pa buah berderet -deret di tepi telaga. Akan teta-pi
sasterawan itupun tidak memperdulikan pan-cing -pancing ini, melainkan asyik melukis. Hanya
setelah empat orang datuk itu berbincang-bincang dengan penuh kebanggaan dan keangkuhan
tentang kepandaian mereka, kakek tua ini secara langsung menyanyikan sajak tadi, sama sekali
bukan bermak-sud untuk mengejek atau menyindir, melainkan karena ucapan -ucapan empat orang
yang mengan-dung keangkuhan itu membuat dia termenung dan bertanya-tanya dalam hati tentang
apakah ada yang tertinggi dan terdalam. Pertanyaan ini tim-bul karena dia melukis langit dan danau,
dan ter-dorong oleh percakapan yang mengandung nada angkuh dan bangga akan diri sendiri itu.
Empat orang datuk itu dengan kepandaian me-reka yang hebat, dalam beberapa detik saja sudah
berada di tepi telaga, berhadapan dengan kakek sasterawan yang asyik melukis itu. Kakek itu hanya
menengok dan memandang dengan sinar mata lembut dan mulutnya yang kempot tak bergigi itu
tersenyum tenang.
Akan tetapi Cui -beng Kui -ong, si iblis peng-isap darah dari Tai -bong -pai yang berangasan itu
sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia melangkah maju dan memandang kepada ka-kek
sasterawan itu dengan sinar mata berapi dari sepasang matanya yang lebar terbelalak, lalu dia
menudingkan telunjuknya ke arah muka kakek itu. "Heh, orang tua yang sombong ! Engkau telah lancang
mengintai kami, ya ? Sungguh kurang ajar sekali perbuatan itu, melanggar peraturan dan kebiasaan
orang -orang gagah ! Bukan jantan kalau suka mengintai orang lain!"
Sasterawan tua itu nampak terkejut dengan se-rangan kata -kata yang kasar ini. Dia bangkit ber-diri
dengan gerakan lemah, meninggalkan lukisan-nya yang terbentang di atas tanah, akan tetapi dia tidak
melepaskan tempat tinta bak yang dipegang dengan tangan kiri dan pena bulu yang dipegang dengan
tangan kanan, yaitu alat -alatnya untuk me-lukis tadi.
"Maaf, maaf harap cu -wi yang gagah perkasa tidak salah sangka dan menuduh aku melakukan
hal yang bukan -bukan. Sejak pagi buta aku telah berada di sini seperti yang kulakukan setiap hari,
memancing dan melukis atau menulis sajak. Rumahkupun tidak jauh dari sini, itu di lereng sebelah
sana, nampak dari sini. Siapa yang mengintai ? Salahkah aku kalau aku sudah berada di sini ketika
cu-wi datang ?"
Ucapan itu halus dan cukup beralasan, akan tetapi karena Cui -beng Kul -ong merasa penasar-an
dan menduga bahwa orang ini tentu telah me-nyaksikan ilmu-ilmu baru yang mereka keluarkan, tadi,
dia menjadi naik darah. Apa lagi, sejak tadi dia memang merasa kurang puas, karena dia mera-sa
bahwa ilmu barunya tadi masih kalah hebat di-bandingkan dengan ilmu bara dari Sin-kun Bu-tek, dan
hal ini berarti bahwa dalam empat tahun ini kemajuan ilmunya masih kurang dibandingkan dengan
kemajuan tiga orang datuk lainnya.
"Mancing ? Alasan ! Beginikah caranya orang mancing?" Dan diapun menggunakan. tangannya
bergerak ke depan dan batang-batang pancing itu tercabut semuanya dan ternyata di mata kail-nya
tidak ada seekorpun cacing !" Inikah namanya mancing ?" Dia melempar -lemparkan semua ba-tang
pancing ke atas tanah.
Akan tetapi, kakek sasterawan itu ternyata sa-bar sekali. Dia sama sekali tidak marah, bahkan dia lalu
mengangkat muka memandang ke atas dan bersajak lagi.
"Memancing tanpa umpan
karena tidak butuh ikan
hanya memancing ketenangan
untuk menikmati kebahagiaan.
Apa artinya pintar
dunia-kangouw.blogspot.com
kalau hanya untuk menipu ?
Apa artinya kuat
kalau hanya untuk menindas ?
Lebih baik bodoh
lebih baik lemah!"
Cui-beng Kui-ong menjadi semakin marah karena dia merasa diejek dan disindir. "Keparat, berani
engkau memaki orang ?" katanya dan dia-pun merenggut lukisan dari atas tanah dan mero-bek -robek
lukisan itu ! Datuk yang bertubuh ting-gi besar dengan kumis dan jenggot kasar pendek ini kelihatan
menyeramkan sekali. Lukisan itu hancur lebur ketika dirobeknya. Padahal, sastera-wan tua itu
bersusah payah dengan lukisan itu selama berhari-hari dan lukisan itu telah menda-patkan bentuknya.
Sebuah lukisan yang amat in-dahnya. Matahari pagi dilukisan itu seolah-olah menyinarkan cahaya
begitu hidup, cahaya keemas-an yang gilang -gemilang dan yang membentuk cahaya panjang di
permukaan danau. Padahal, lukisan itu hanya hitam putih saja, namun orang yang menatap lukisan
itu seolah-olah melihat ke indahan warna-warna aselinya.
Bu-eng Sin-yok-ong dan Sin-kun Bu-tek mengerutkan alisnya dan merasa bahwa tindakan Cui -beng
Kui -ong itu agak keterlaluan walaupunmereka berduapun merasa tidak senang kalau mengingat
bahwa kakek sasterawan ini tadi telah mendengarkan semua percakapan mereka berem-pat, bahkan
mungkin sekali telah melihat demons-trasi kepandaian mereka yang amat dirahasiakan itu.
Sasterawan tua itu ternyata tidak marah, hanya dengan muka sedih sekali dia melihat betapa lu-kisan
kesayangannya dirobek -robek orang. Ke-dua lengan yang memegang mouw -pit dan tem-pat bak itu
tergantung lemas dan wajahnya yang tua keriputan nampak amat berduka. Lalu dia berlutut di dekat
robekan -robekan lukisan, me-naruh pena bulu dan tempat tinta di atas tanah, memunguti robekan
lukisan, melihatnya dengan air mata berlinang, kemudian dia berkata dengan lirih, nadanya penuh
keprihatinan,
"Kuharap dengan sangat agar tuan -tuan suka cepat berlalu dari tempat ini sebelum anak angkatku
yang pemarah itu datang ke sini dan melihat malapetakka ini."
Tentu saja ucapan yang mengandung peringat-an ini membuat empat orang datuk itu mau tidak mau
tertawa, bahkan Bu -eng Sin -yok -ong sen-diripun sempat tersenyum dan mengelus jenggot-nya.
Mereka adalah empat orang datuk terbesar di seluruh dunia persilatan, merasa tanpa tandingan dan
tentu saja menghadapi siapapun mereka tidak merasa takut, apa lagi harus berhadapan dengari anak
angkat kakek itu yang berangasan saja, bahkan dengan kaisar dan bala tentaranya sekalipun mere-ka
tidak akan gentar menghadapinya. Bahkan Sin-kun Bu -tek yang berjiwa pendekar juga merasa
tersinggung diperingatkan seperti itu, seolah -olah mereka berempat akan merasa takut terhadap ancaman
seorang bocah, karena betapapun juga, anak angkat kakek itu tentu masih muda. Maka
diapun bertanya dengan suara mengandung kemarahan.
"Sobat yang pandai melukis dan bersajak, tahukah engkau siapa adanya kami berempat ?"
Dengan sikap tenang sasterawan itu menjawab, "Sejak cu-wi datang, sebenarnya aku tidak tahu
sama sekali siapa cu-wi dan akupun tidak perduli. Akan tetapi aku tahu bahwa cu-wi saling bersahabat
dan ingin menguji ilmu masing-masing, Baru setelah cu-wi selesai saling menguji ilmu dan
bercakap-cakap serta saling memanggil nama ma-sing -masing, aku tahu bahwa cu-wi adalah empat
orang datuk dunia persilatan yang tersohor itu. Benarkah demikian ? Menilik dari kesaktian-kesaktian
yang telah cu-wi perlihatkan tadi, tentu perkiraanku benar."
Jawaban ini tentu saja mengejutkan dan mencengangkan. Kalau sasterawan ini sudah dapat
mengenal ilmu kesaktian mereka, berarti kakek ini tidak asing dengan ilmu silat tinggi. Kim-mo Saiong
yang sejak tadi diam saja kini berkata dengan suara mengejek,
"Meskipun telah dapat menduga siapa kami, engkau masih berani menakut-nakuti kami dengan anak
angkatmu itu ? Apakah anak angkatmu itu bisa mengalahkan kami ?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Justeru itulah yang kutakutkan. Biarpun berangasan, aku sangat mengasihinya, dan aku tidak ingin
melihat orang menyakitinya. Kalau dia da-tang dan melihat lukisanku dirobek -robek orang, tentu dia
akan marah dan mengamuk. Padahal, pada waktu ini, ilmunya belum mencapai tingkat setinggi
tingkat cu-wi. Akibatnya tentu dia akan dihajar habis-habisan. Bukankah aku akan merasa sedih sekali
kalau begitu ?"
"Sudahlah mari kita pergi saja!" Bu-eng Sin-yok-ong membujuk tiga orang temannya karena dia
merasa kasihan terhadap sasterawan tua itu. Tiga orang datuk lainnya juga merasa enggan untuk
mengganggu seorang kakek lemah seperti itu. Tidak pantaslah kalau datuk-datuk sakti seperti mereka
harus melayani seorang sasterawan tua lemah. Merendahkan martabat saja dan mem-buang-buang
tenaga sia-sia. Mereka bertiga mengangguk dan sudah hendak pergi bersama Bu-eng Sin-yok-ong.
Tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat dan muncullah seorang pemuda tinggi tegap dari balik
tebing gunung. Begitu datang, pemuda ini melihat lukisan yang robek -robek dan ayah ang-katnya
yang berdiri dengan muka berduka, berha-dapan dengan empat orang kakek yang agaknya hendak
meninggalkan tempat itu.
"Tahan !!" Pemuda itu berteriak dan karena teriakannya mengandung tenaga khikang yang
cukup dahsyat, maka empat orang datuk itu terkejut dan tertarik, lalu tidak jadi pergi dan memandang
kepada pemuda itu. Inikah anak angkat kakek sasterawan yang berangasan itu ?
"Siapakah yang berani merobek-robek lukisan ayahku ? Hayo, siapa berani melakukan perbuatan
biadab ini ? iblis sekalipun tidak akan tega mengganggu ayah, apa lagi merobek lukisannya yang
dibuatnya dengan penuh kecintaan dan ketekunan selama berhari-hari. Hayo kalian mengaku, siapa
di antara kalian yang merobek-robeknya ?"
"Anakku ....... sudahlah !" Sasterawan tua itu membujuk, suaranya gemetar.
"Biar, ayah. Aku tidak akan mau sudah sebelum yang merobeknya berlutut minta-minta ampun
kepadamu dan bersumpah lain kali tidak akan berani berbuat sewenang-wenang lagi!"
Tentu saja sejak tadi Cui-beng Kui-ong sudah marah bukan main. "Heh, bocah gila, akulah yang telah
merobek-robek gambar busuk itu! Habis, kau mau apa ?" Sambil berkata demikian, datuk ini
melangkah maju dan membusungkan dadanya yang bidang dan kokoh kuat.
Pemuda itu memandang kepada datuk tinggi besar itu dengan mata berapi-api. "Engkau, ya ?
Siapakah engkau begitu berani menghina ayahku ?"
Cui-beng Kui-ong masih merasa malu kalau harus melayani seorang pemuda seperti ini, maka dia
menahan kemarahannya dan tertawa. "Ha-ha-ha, ketahuilah, pemuda tolol. Aku adalah Cui-beng Kuiong!"
Dikiranya bahwa pemuda itu tentu akan ketakutan setengah mati mendengar namanya. Di
seluruh dunia ini, baik pendekar maupun pen-jahat, gemetar ketakutan mendengar namanya, apa-lagi
seorang pemuda tak terkenal seperti ini. Akan tetapi sikap pemuda itu sungguh mengejutkan empat
orang datuk itu.
"Hernm, engkau baru seorang Kui-ong (Raja Iblis) sudah berani mengganggu ayahku. Sedangkan
seorang Sian-ong (Raja Dewa) sekalipun tidak akan berani. Iblis seperti ini memang patut dihajar !"
Dan pemuda itu langsung saja memukul dengan kepalan lurus ke arah dada Cui-beng Kui-ong!
Hampir saja raja iblis ini tertawa bergelak melihat pemuda itu berani menyerangnya dengan kepalan
biasa seperti itu. Tentu saja dengan mudah dia akan dapat mengelak, akan tetapi karena dia ingin
segebrakan saja membuat pemuda itu "tahu rasa", maka diapun tidak mengelak, melainkan
menangkis sambil mengerahkan sinkang biasa yang cukup kuat untuk mematahkan tulang lengan
pemuda itu dan sekaligus membuatnya terlempar.
"Dukkk!!" Akibat benturan kedua lengan itu membuat Cui-beng Kui-ong terbelalak, bah-kan tiga orang
datuk lainnya juga menjadi bengong. Mereka bertiga itu maklum akan maksud Cui-beng Kui-ong
dengan tangkisan itu. Akan tetapi akibatnya, pemuda itu sama sekali tidak terlempar, apa lagi patah
tulang lengannya, bahkan Cui-beng Kui-ong merasa betapa pemuda itu memiliki tenaga sinkang yang
amat kuat, setidaknya mampu menandingi tenaganya tadi! Tentu saja dia merasa kecelik, terkejut dan
juga penasaran dan cepat datuk ini membalas serangan dengan dahsyat dan bertubi-tubi. Akan tetapi
kembali dia terkejut setengah mati karena dengan gerakan-gerakan aneh akan tetapi teratur dan
dunia-kangouw.blogspot.com
cepat sekali, pemuda itu dapat menghindarkan semua serangannya dengan baik, bahkan membalas
setiap serangan secara kontan dan berantai ! Karena Cui-beng Kui-ong memandang rendah, hal yang
tidak aneh karena memang selama ini dia tidak pernah menemukan tanding, nyaris dalam serangan
jurus ke tigabelas kepalan tangan pemuda itu mengenai lehernya. Untung dia masih dapat melempar
tubuh ke belakang sehingga terhindar dari pada malu terkena pukulan lawan. Akan tetapi pemuda itu
terus mendesaknya dengan pukulan -pukulan yang mantap sekali.
"Anakku, sudahlah sudahlah, Cong Bu .... jangan berkelahi!" Sasterawan tua itu meratap-ratap.
Akan tetapi anak angkatnya yang berangas-an dan yang sudah marah dan sakit hati sekali itu mana
mau mendengarkan permintaannya ? Pemuda itu menerjang terus dan terjadilah perkelahian yang
seru dan yang amat mengherankan hati tiga orang datuk lainnya, juga membuat semakin pe-nasaran
hati Cui-beng Kui-ong. Dia merasa malu sekali karena tadi memandang rendah dan ternyata pemuda
ini sedemikian lihainya se-hingga dapat melayaninya sampai hampir ti-apuluh jurus. Marahlah Cuibeng
Kui-ong an diapun mulai memainkan ilmunya yang paling baru, yaitu Ilmu Pukulan Penghisap
Darah! Bu kan main hebatnya pukulan ini dan sekali ini pe-muda itu terdesak hebat. Memang harus
diakui bahwa bagaimanapun juga, tingkat kepandaian pe-muda ini walaupun memiliki bakat yang
amat kuat, namun masih belum matang dan masih kalah se-tingkat dibandingkan dengan Cui -beng
Kui -ong. Dia terdesak mundur, akan tetapi dasar wataknya keras dan berangasan, dia masih nekat
terus mela-kukan perlawanan.
Akhirnya, sebuah pukulan dahsyat dengan Tenaga Sakti Asap Hio mengenai dada sebelah kanan
pemuda itu yang roboh terjengkang dan tak sadarkan diri!
"Cong Bu ah, Cong Bu, mengapa engkau tidak mentaati kata-kataku tadi ?" Sasterawan tua itu
menubruk dan menangisi anak angkatnya, mengeluh panjang pendek. Diambilnya sehelai koyo (obat
tempel) dan ditempelkan pada dada anaknya yang terluka parah itu. Baju bagian dada itu berlu-bang
seperti terbakar dan kulitnya juga matang ha-ngus terkena pukulan itu dan masih mengepulkan uap!
Melihat ini Raja Tabib Sakti lalu mendekat dan sekali lihat saja tahulah dia bahwa pemuda itu terkena
pukulan Tenaga Sakti Uap Hio, maka dia-pun cepat -cepat mengeluarkan obat cair dalam botol. Dia
percaya bahwa pemuda itu tidak teran-cam nyawanya karena tadi sudah dilihatnya bahwa pemuda itu
memiliki sinkang yang cukup kuat, akan tetapi kalau tidak cepat diberi obat yang tepat, ha-wa beracun
dari pukulan itu bisa merusak jalan darah.
"Sobat, tuangkan obat ini pada luka di dadanya dan paksa dia minum sebagian sisanya," katanya
halus. Tanpa berkata apa-apa, sasterawan itu menerima botol dan membukanya, lalu menyiram luka
itu dengan sebagian dari obat cair itu. Kemu-dian, dia membuka mulut anaknya dan menuang-kan
sisa obat ke dalam mulutnya. Kalau dia tidak memiliki kepercayaan sepenuhnya kepada datuk
yang berjuluk Raja Tabib Sakti itu, tentu dia me-ragu mendengar bahwa obat luar bisa diperguna-kan
untuk obat dalam itu. Dan memang hebat se-kali obat dari Raja Tabib Sakti itu. Begitu diobati,
pemuda itu siuman kembali dan mengeluh lirih.
"Nah, apa kataku tadi, Cong Bu, janganlah kau-lanjutkan sifatmu yang berangasan itu, hanya mendatangkan
malapetaka saja bagimu. Untung engkau tidak mati dan menerima pertolongan dari Bueng
Sin-yok-ong !" kakek sasterawan itu menegur anaknya.
"Akan tetapi... akan tetapi mereka menghina ayah! Hemm, kelak aku akan membalas penghina-an
ini, setelah aku menyempurnakan pelajaran ilmu yang ayah berikan. Sungguh kurang ajar sekali!
Aduhh... huh-huh... kepandaiannya cuma seperti itu sudah berani menyombongkan di depan ayah!
Huh, lihat saja dua tahun lagi, aku tentu akan menghajar raja iblis itu !"
Sasterawan tua itu cepat membungkam mulut anaknya yang marah-marah dan penasaran itu, sambil
dengan muka was -was melirik kepada em-pat orang datuk yang sudah hendak pergi itu.
Dan memang sesungguhnyalah apa yang dikhawatirkannya. Cui-beng Kui-ong marah bukan main
mendengar ocehan pemuda yang telah dirobohkannya itu. Sambil menggeram dia melangkah ke
depan, sekali mengulur tangan dia telah mencengkeram leher sasterawan tua itu dan melemparkannya
ke tengah telaga. Tubuh yang kurus kecil itu terlempar bagaikan layang-layang putus talinya.
Cui -beng Kui -ong yang marah -marah itu me-lanjutkan gerakannya, menjambak rambut pemuda itu
untuk dijotos. Melihat ini, Bu -eng Sin -yok-ong hendak mencegah akan tetapi tiba -tiba me-reka
semua dikejutkan oleh hal yang sama sekali tidak pernah mereka duga !
dunia-kangouw.blogspot.com
Tubuh sasterawan tua itu tadi terlempar ke arah telaga seperti layang-layang putus talinya, dan tak
dapat diragukan lagi bahwa tubuhnya yang ringan itu tentu akan terjatuh ke air telaga. Akan tetapi,
ketika sasterawan tua itu melihat be-tapa anaknya dijambak rambutnya dan terancam nyawanya, tibatiba
dia mengeluarkan suara me-lengking tinggi halus sekali seperti suara nyamuk terdengar di dekat
telinga dan tubuhnya yang tadi-nya meluncur itu, mendadak menggeliat di udara dan dapat menukik
kembali ke darat dengan kece-patan seperti seekor burung walet terbang saja. Bu -eng Sin -yok -ong
adalah seorang ahli gin-kang yang tiada keduanya di dunia persilatan, akan tetapi menyaksikan
ginkang yang diperlihat-kan oleh kakek sasterawan itu, dia sampai melongo dan bengong keheranan.
Kemudian, sekali kedua tangan kakek sasterawan itu bergerak, tahu-tahu pemuda yang tadinya
dijambak rambutnya oleh Cui -beng Kui -ong itu telah berpindah tangan dan dipondong oleh kakek
sasterawan kecil kurus itu !
Sasterawan itu memangku anaknya di atas ta-nah dan sambil mengelus -elus kepala puteranya, dia
berkata dengan suara gemetar, "Agaknya cu-wi memiliki hati yang demikian angkuhnya sehingga
selalu mau menang sendiri. Agaknya untuk memo-hon agar cu -wi suka pergi, haruslah lebih dulu
menundukkan keangkuhan itu. Nah, sekali lagi, ha-rap cu -wi suka meninggalkan tempat ini sebelum
cu -wi kehilangan keangkuhan itu."
Sebelum yang lain menjawab, Cui-beng Kui-ong sudah menjadi marah sekali dan dia maju
menghampiri kakek sasterawan itu. "Tua bangka sombong ! Inilah aku, Cui -beng Kui ong yang telah
memukul anakmu karena anakmu lancang mulut. Kau hendak menundukkan keangkuhan ka-mi ?
Hemmu, majulah, siapa takut kepadamu ? A-kan tetapi ingat, kalau engkau mampus di tangan-ku,
anakmu inipun akan kubunuh agar engkau tidak mati sendiri !" Ucapan datuk ini bukan sekali -kali
karena kekejamannya, melainkan karena kecerdikan-nya. Kalau kakek itu tewas, tentu kelak anaknya
yang berangasan itu hanya akan mendatangkan ke-sulitan saja baginya, maka harus dibunuh sekali
untuk menghilangkan balas dendam.
Dengan perlahan kakek sasterawan itu bangkit berdiri dan mengangguk. "Sesukamulah, akan tetapi
dengan kepandaianmu yang jauh dari pada bersih itu, dengan banyak kelemahan dan kekurangannya
di sana-sini, bagaimana engkau akan dapat memastikan kemenanganmu? Pertama-tama, engkau
harus merobah watakmu yang bukan saja kejam, akan tetapi juga sombong dan. tekebur itu, ini
merupakan pelajaran pertama bagimu, Cui-beng Kui-ong !" Kini ucapan sasterawan itu tidak lemah
seperti tadi, melainkan penuh wibawa dan mengandung kekuatan yang menggetarkan jantung.
Jilid IX
TENTU saja Cui-beng Kui-ong menjadi semakin marah. Sambil menghardik, diapun sudah menerjang
maju. Karena dia tahu bahwa sebagai ayah pemuda itu, tentu kakek ini memiliki ilmu ke-pandaian
tinggi, maka begitu menerjang, dia sudah mengeluarkan ilmu andalannya, yaitu dia memukul dengan
Tenaga Sakti Asap Hio yang mengeluarkan bau harum aneh itu. Biasanya, ilmu ini akan mengeluarkan
bau yang membuat lawan menjadi pu-sing dan bisa roboh sendiri tanpa dipukul. Dan dari
kedua tangannya keluar asap tipis putih ber-bau, harum yang melengkung ke ayah lawannya. Akan
tetapi, dengan tenang saja kakek sasterawan ini menghadapi semua pukulannya sambil menerangkan
kelemahan -kelemahan jurus yang di-mainkan Cui-beng Kui-ong.
"Lihat, bukankah lambung kirimu terbuka ? Ka-lau kumasukkan kakiku ke situ, engkau sudah roboh !
Nah, penutupan lambung itu membuka lehermu sebelah kiri, dan pukulanku dengan tangan miring
pada leher itu tentu sukar kauhindarkan lagi !" Dan setiap gerakan Cui-beng Kui-ong di-sambutnya
dengan uraian tentang kelemahan-kelemahannya. Lebih hebat lagi, asap tipis putih berbau hio yang
tadinya melengkung ke arah kakek sasterawan itu, kini membalik dan dari kedua le-ngan Cui-beng
Kui-ong bukan melengkung ke depan, melainkan membalik ke belakang!
Cui-beng Kui-ong merasa terkejut bukan main. Memang semua yang dinyatakan kakek itu tentang
kelemahan semua jurusnya itu tepat dan bahkan baru sekarang dia melihatnya! Dia merasa
penasaran sekali dan cepat diapun mainkan pukulan Pehisap Darah yang amat hebat itu. Akan tetapi,
kembali pukulan keji ini sama sekali tidak mempengaruhi si kakek sasterawan. Tidak ada setetespun
darah sasterawan itu terpecik keluar seperti yang biasa terjadi pada lawan-lawan iblis itu kalau
mempergunakan Ilmu Penghisap Darah, pa-dahal berkali-kali sasterawan itu mengadu lengan dengan
dunia-kangouw.blogspot.com
si raja iblis. Bahkan dalam jurus-jurus ilmu inipun si sasterawan menunjukkan kelemahan -
kelemahannya.
"Yang paling berbahaya adalah ilmu-ilmu hitam seperti ini, Kui-ong. Kalau engkau tidak merobah sifat
dan watakmu, maka ilmu-ilmu seperti ini bahkan akan menjadi kutukan bagimu. Lihat, kalau kulawan
begini, bukankah engkau yang akan celaka sendiri ?" Kakek itu menggerakkan kedua lengannya yang
kecil dan angin yang menyambar amat dahsyatnya, kemudian Cui-beng Kui-ong terpekik kaget
melihat betapa ada darah keluar dari pori-pori kedua lengannya, tanda bahwa dia sendiri telah
menjadi korban ilmunya sendiri, seperti senjata makan tuan! Maka tahulah dia bahwa kakek
sasterawan ini benar-benar maha sakti dan diapun bukan orang bodoh, melainkan seorang datuk
sehingga dia tahu saat kekalahan-nya. Diapun meloncat ke belakang.
"Hari ini Cui-beng Kui-ong mengaku kalah!" katanya dengan menahan geram lalu mengatur
pernapasannya untuk mengobati luka-lukanya sendiri akibat ilmu yang membalik tadi.
Tentu saja tiga orang datuk lainnya hampir tidak percaya akan apa yang mereka saksikan tadi. Di
samping keheranan dan kekagetan, juga mereka merasa penasaran. Mungkinkah kepandaian mereka
yang menggemparkan dunia persilatan itu harus kalah oleh seorang sasterawan tua renta yang sa-ma
sekali tidak terkenal! Kim -mo Sai -ong me-loncat maju dan menjura kepada kakek itu. Dia tahu bahwa
kakek itu seorang sakti, maka diapun tidak sembrono.
"Sobat, aku mohon petunjukmu !" Dan tanpa menanti jawaban, Kim-mo Sai-ong sudah menerjang
dengan dahsyatnya dan begitu turun tangan diapun sudah mempergunakan ilmunya yang paling
hebat, yaitu Pukulan Pusaran Pasir Maut dan dimainkannya ilmu silatnya yang, dinamakan Soa -hu -
lian (Teratai Danau Pasir). Hawa dingin yang menggigilkan terpancar dengan daya tolak hebat dari
tubuhnya. Kuda-kudanya kokoh kuat, lengannya yang panjang itu mencuat ke sana ke mari mencari
lowongan, dengan jari -jari tangan terkembang siap untuk mencengkeram lawan. Se-luruh tubuhnya
melambangkan setangkai bunga teratai, nampak sangat indah dipandang. Kalau kedua kakinya yang
kokoh kuat itu bergerak lam-ban dan kuat seperti menjadi akar -akar teratai, maka kedua tangannya
bergerak cepat dari atas, melambai-lambai seperti tangkai-tangkai bunga teratai tertiup angin.
"Bagus, Kim -mo Sai -ong, akan tetapi ilmumu ini terlalu mengandalkan kekuatan kaki belaka, dan
ingat, orang bisa roboh karena kelemahan bagian atasnya, walaupun kakinya tidak roboh akan tetapi
kalau bagian atas terluka, apa artinya ? Lihat, aku membuat tangkai-tangkai terataimu tidak berda-ya
!" Dan benar saja, dengan totokan -totokan satu jari yang mengeluarkan hawa panas, kakek sasterawan
itu membuat kedua lengan Kim-mo Sai-ong tidak berdaya karena sebelum mendekati tu-buh
lawan telah bertemu dengan hawa -hawa yang menotok ke arah jalan darah di seluruh kedua lengannya.
Kim -mo Sai -ong yang telah mencapai tingkat ke tigabelas, tingkat terakhir dari Soa -hu -pai ini
mengerahkan seluruh tenaganya sampai daya tolak nya membuat batu -batu besar bergoyang -
goyang dan pohon-pohon di sekitar tempat itu seperti tertolak angin badai. Akan tetapi kakek sasterawan
itu tenang saja menghadapi daya tolak Tenaga Sakti Pusaran Pasir Maut, seolah-olah tonggak
besi kecil namun kokoh kuat yang tidak goyang sedikitpun juga dilanda angin. Karena kedua lengannya
selalu menjadi sasaran totokan yang me-nyambut semua serangannya, akhirnya Kim -mo
Sai -ong kewalahan dan mati kutu. Ilmu yang di-andalkannya itu seperti api bertemu air, tidak berdaya
sama sekali dan akhirnya, karena terlalu ba-nyak mengeluarkan tenaga sia -sia, dengan terengah-
engah diapun meloncat ke belakang. "Teri-ma kasih, aku Kim-mo Sai-ong mengaku kalah !"
Giliran Sin-kun Bu-tek yang maju. Datuk ini terkenal memiliki ilmu silat yang luar biasa am-puhnya
sehingga dijuluki Sin-kun Bu-tek (Tangan Sakti Tanpa Tanding). Sebagai seorang datuk golongan
bersih, walaupun wataknya lebih keras di-bandingkan dengan Bu-eng Sin-yok-ong, namun datuk ini
tidaklah sekasar dua orang datuk pertama. Dia menjura dengan hormat dan berkata, "Kiranya mata
kami seperti buta tidak mengenal Gunung Thai-san menjulang di depan mata ! Sahabat yang sakti,
saya Sin-kun Bu-tek mohon petunjuk !"
Kakek sasterawan iba telah mengalahkan dua orang datuk, akan tetapi dia kelihatan masih tenang
saja, seolah-olah dia mengalahkan mereka tadi tanpa pengerahan tenaga sama sekali. Sikapnya
masih biasa, tenang dan merendah. "Sin-kun Bu-tek, julukanmu saja menandakan bahwa ilmu silatmu
adalah ilmu pilihan. Belum tentu aku akan dapat mengalahkanmu, akan tetapi aku ingin engkau
mengalahkan dan menundukkan keangkuhanmu sendiri. Nah, majulah !"
dunia-kangouw.blogspot.com
Sin-kun Bu-tek menerjang dengan ilmu silat andalannya, yaitu Ilmu Silat Angin Puyuh dengan tenaga
sakti Thian-hui-gong-ciang (Tangan Kosong Halilintar). Hebat bukan main datuk ini me-mang dan
tingkatnya hanya kalah sedikit saja di-bandingkan dengan Bu -eng Sin -yok -ong. Gerakan kaki
tangannya amat cepat sehingga tubuhnya lenyap berobah bentuknya menjadi bayangan yang
berkelebatan dan gerakan ini mendatangkan angin yang berputar -putar membuat semua pohon bergoyang-
goyang di sekeliling tempat itu. Dan yang hebat sekali adalah kedua tangan yang
melancarkan pukulan Thian-hui-gong-ciang itu. Kadang-kadang terdengar ledakan dan nampak asap
mengepul ketika kedua tangan itu memukul dan saling bersentuhan, seolah-olah kedua tangan itu
me-ngandung aliran listrik atau aliran kilat yang dapat menghanguskan tubuh lawan yang terkena
pukulannya.
Namun, kakek sasterawan itu bersikap tenang saja dan seperti juga tadi, kini diapun memberi
petunjuk kepada Sin-kun Bu-tek tentang kele-mahan -kelemahan dari ilmu silatnya, mengeritik dengan
petunjuk dan bukti-bukti sehingga kalau dia mau, tentu dia akan dapat merobohkan Sin -kun Bu -tek
dengan ilmunya yang dipakai untuk meng-hadapi ilmu datuk utara itu. Sebelum lewat lima-puluh jurus,
Sin-kun Bu-tek yang selalu ditunjuk kelemahan -kelemahan ilmunya, merasa takluk dan diapun
meloncat ke belakang dan mengaku kalah!
Kini tinggallah Bu -eng Sin -yok -ong seorang. Datuk ini berbeda dari yang lain. Dia sudah mencapai
tingkat tinggi dalam ilmu silat, ilmu pengobatan dan ilmu kebatinan sehingga dia tidak bersikap kasar
dan tidak pula penasaran. Kini dia-pun tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang maha sakti yang
sengaja menyembunyikan diri dan diam -diam dia merasa malu bahwa dia menerima sebutan datuk,
padahal ada orang yang lebih lihai tidak dikenal sama sekali! Betapapun juga, setelah tiga orang
sahabatnya diberi petunjuk, kalau dia tidak maju, berarti dia akan membikin malu tiga orang
sahabatnya itu. Di samping itu, sebagai se-orang ahli silat tinggi, diapun suka sekali akan ilmu silat
dan tiada salahnya kalau kini setelah mendapat kesempatan bertemu orang sesakti ini, diapun
mencoba -coba ilmunya.
"Seorang locianpwe tinggal di sini tanpa nama, sungguh membuat kami merasa malu kepada diri
sendiri. Harap sahabat yang mulia sudi memberi petunjuk kepadaku," katanya sambil mengibaskan
lengan bajunya yang lebar.
Kakek sasterawan itu tersenyum pahit. "Siancai... nama besar Bu-eng Sin-yok-ong bukan
sembarangan. Aku jauh lebih kagum akan ilmu pengobatanmu dari pada ilmu silat. Ilmu pengobatanmu
itulah ilmu yang amat berguna dan baik, tidak seperti ilmu silat yang selalu disalahgunakan
untuk menindas katun lemah. Marilah, Yok-ong, mari kita main-main sebentar, siapa tahu ada
gunanya bagi kita berdua."
"Maafkan kelancanganku !" Sin -yok -ong berseru dan setelah memberi hormat diapun langsung
mengeluarkan ilmu simpanannya yang merupakan gabungan dari Ilmu Silat Kim -hong -kun (Silat
Burung Hong Emas) digerakkan dengan ginkang Pek -in (Awan Putih) dan dengan tenaga sakti Paihud-
ciang (Tangan Sakti Penyembah Buddha). Sukar diceritakan betapa hebatnya gerakan kakek
yang berjuluk Bu-eng (Tanpa Bayangan) ini. Gin-angnya memang hebat luar biasa sehingga tubuhnya
kadang -kadang lenyap menghilang, dan ilmu silatnya juga amat indah dan halus, menyambarnyambar
dari atas dan bawah sedangkan tenaganya adalah tenaga sinkang yang sudah mencapai
ting-kat tertinggi, begitu halus dan mengandung getar-an yang hampir tidak terasa, akan tetapi tenaga
ge-taran ini manipu menghancurkan batu karang dari jarak jauh!
"Siancai bukan main hebatnya !" kata kakek sasterawan itu sambil menandingi lawannya.
Dan biarpun agak lama, akhirnya dia dapat juga menemukan beberapa kekurangan dan kelemahan
dalam ilmu silat Bu-eng Sin-yok-ong sehingga kalau dia menghendaki, dalam waktu kurang dari
seratus jurus dia tentu akan dapat mengalahkan Raja Tabib Sakti itu! Akhirnya, kakek sakti inipun
meloncat ke belakang, terlongong sejenak kemudian menjura sambil berkata dengan hati penuh rasa
kagum.
"Kami sungguh tak tahu diri..., dan benarlah bahwa kami amat angkuh dan terlalu membanggakan diri
sendiri. Mulai sekarang, aku tabib tua yang bodoh tidak berani lagi menjual lagak di dunia luar !"
Setelah berkata demikian, Sin -yok -ong lalu pergi dari situ, diikuti oleh tiga orang datuk lainnya. Dan
memang benar, sejak saat itu, empat orang datuk itu tidak pernah lagi muncul, lebih banyak
mengasingkan diri dan diam -diam mem-perdalam ilmu masing-masing.
dunia-kangouw.blogspot.com
Demikianlah cerita yang amat menarik, yang diceritakan oleh Yap -lojin ketua Thian-kiam-pang
kepada para pendengarnya,, yaitu nenek Siang Houw Nio -nio, Ouwyang Kwan Ek, Yap Kiong Lee,
Pek In, Ang In, dan juga Ho Pek Lian. Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian dan hati
tertarik sekali. Siang Houw Nio-nio yang juga menjadi murid dari Sin-kun Bu-tek, belum pernah
mendengar cerita ini dari suhunya, bahkan Ouw-yang Kwan Ek, murid ke dua dari Si Raja Tabib
Saktipun tidak pernah diceritakan oleh gurunya. Agaknya, empat orang datuk itu sungguh merasa
terpukul dan tidak pernah bercerita kepada mere-ka, kecuali Sin -kun Bu -tek yang menceritakan-nya
kepada muridnya yang tersayang, yaitu Yap Cu Kiat atau Yap -lojin, sambil menyerahkan gam-bar -
gambar itu.
Yap -lojin melanjutkan ceritanya. "Lihat, gambar-gambar ini adalah petunjuk -petunjuk dari
sasterawan tua itu. Di sini diperlihatkan betapa dengan mudahnya beliau memunahkan setiap ilmu
khas dari empat orang datuk. Empat gambar ini memperlihatkan jelas, dan dilukis oleh mendiang
suhu sebagai peringatan dan juga untuk memper-dalam ilmunya dengan meneliti kelemahan -kelemahan
seperti yang ditunjukkan oleh sasterawan itu. Dan memang, semenjak kekalahan yang mutlak
itu, empat orang datuk tekun memperbaiki ilmu masing-masing dan karena mereka sudah tidak
tekebur lagi, mereka dapat menciptakan ilmu yang jauh lebih baik dan matang."
Kakek berjubah naga mengangguk-angguk. "Sejak dahulu aku menduga bahwa ada rahasia se-suatu
yang membuat suhu selalu marah kalau ada muridnya yang tekebur. Mungkin saja rahasia itu
diceritakannya kepada twa-suheng Bu Cian yang sayang agaknya juga menyimpan rahasia itu sampai
matinya."
Yap -lojin berkata, "Berdasarkan cerita itu ma-ka aku percaya bahwa biarpun kita orang -orang tua
tidak mampu menghadapi Raja Kelelawar yang amat hebat itu, nanti pasti akan muncul seseorang
yang akan mampu menundukkannya."
"Mudah-mudahan begitulah," kata isterinya. "Menurut pengamatanku, biarpun si pendek Pek-lui-kong
Tok Ciak cucu murid Kim-mo Sai-ong itupun agaknya masih jauh untuk dapat menan-dingi Raja
Kelelawar."
Setelah menceritakan rahasia itu dan memperlihatkan gambar -gambar, kakek Yap mengajak mereka
semua untuk keluar lagi dari terowongan di bawah tanah. Dalam perjalanan ini. Yap Kiong Lee
merasa penasaran bukan main mendengar dongeng gurunya itu. Selama ini, gurunya tidak pernah
bercerita tentang rahasia itu. Dia merasa penasar-an karena selama ini, dia merasa bahwa ilmu rahasia
perguruan mereka yang hanya diturunkan kepa-danya oleh gurunya dianggap sebagai tidak ada
cacat celanya.
Mereka tiba di luar terowongan, di tepi telaga yang kini sunyi melengang dan menyeramkan itu karena
semua bangunannya telah runtuh. "Suhu, setelah peristiwa itu, lalu apa saja yang dikerjakan oleh
kakek guru dan para locianpwe yang lain ?" Kiong Lee tidak dapat menahan diri dan mengaju-kan
pertanyaan itu kepada suhunya.
Yap-lojin menoleh dan tersenyum melihat keinginan tahu murid kesayangannya ini. "Kakek gurumu
lalu menyepi di dalam kamar rahasia itu dan berusaha menyempurnakan ilmunya. Gambar-gambar
tadi adalah peninggalan beliau. Selama bertahun-tahun empat orang datuk mengasingkan diri, tidak
pernah keluar, dan masing-masing me-nyempurnakan ilmu -ilmu mereka. Dan pada wak-tu itu, hanya
Kim -mo Sai -ong saja yang telah menerima murid."
"Apakah para locianpwe itu tidak lagi berkun-jung ke telaga Hoa -san, setelah mereka memper-baiki
ilmu masing-masing untuk mencari saste-rawan itu ?" Kiong Lee mendesak.
"Baru sepuluh tahun kemudian, setelah kakek gurumu merasa bahwa ilmunya sudah maju, be-liau
berkunjung ke sana. Akan tetapi sasterawan tua dan anaknya itu sudah tidak lagi berada di sana.
Kakek gurumu lalu berkelana mencarinya, akan tetapi usahanya gagal, tidak pernah ketemu. Akhirnya
suhu menjadi bosan, pulang ke sini dan menerima murid, yaitu aku dan subomu ini," katanya sambil
melirik kepada isterinya, yaitu nenek Siang Houw Nio -nio.
Ouwyang Kwan Ek menarik napas panjang. "Sekarang aku tahu mengapa guruku, menurut ce-rita
twa -suheng, pernah pula mengasingkan diri untuk menyempurnakan ilmu. Belasan tahun kemu-dian
baru suhu keluar dan merantau dan barulah beliau menerima murid-muridnya."
dunia-kangouw.blogspot.com
Kiong Lee merasa penasaran. "Jadi kalau begi-tu, agaknya sampai para locianpwe itu meninggal
dunia, mereka tidak pernah dapat menemukan sas-terawan tua yang maha sakti itu, suhu ?"
Yap-lojin mengangguk. "Agaknya begitulah. Dan selama mereka berempat itu mengembara un-tuk
mencari si sasterawan, mereka telah membuat nama besar sehingga tersohor di seluruh dunia
persilatan. Mereka berempat dipuja-puja sebagai tokoh sakti yang tak terkalahkan, tokoh-tokoh yang
memiliki ilmu silat sempurna. Tak ada yang mengetahui bahwa empat datuk yang mereka puja-puja
itu di dalam hatinya masih merasa gentar ter-hadap seseorang."
"Ahh, siapakah gerangan sasterawan itu dan di mana beliau sekarang, atau keturunannya ?" tiba -tiba
Ho Pek Liari tidak dapat menahan hati-nya untuk bertanya. Sebetulnya hatinya yang ber-suara dan
tanpa disadarinya mulutnya ikut pula bicara. Akan tetapi tidak ada yang merasa heran karena
pertanyaan itu memang berkecamuk di da-lam hati mereka semua.
"Sebetulnya dari perguruan -perguruan kita sendiri saja, kalau ilmu dari perguruan kita terpu-sat dan
terkumpul, tidak terpecah-pecah antara para murid, kiranya kita masih mampu mengha-dapi dan
mengatasi Raja Kelelawar !" kata kakek berjubah naga Ouwyang Kwan Ek dengan suara menyesal.
Mendengar ini, diam -diam Pek Lian memandang tajam kepada kakek ini. Bukankah kakek ini telah
mengirim murid -murid dan anak buahnya untuk merampas kitab -kitab pusaka per-guruannya sendiri
dan bahkan telah dengan kejam membasmi semua keluarga Bu ? Hemm, pikirnya dengan penasaran.
Kalau caramu mengumpulkan ilmu perguruan sendiri secara demikian kejam, membunuh saudara
seperguruan sendiri, maka eng-kau tidaklah lebih baik dari pada Si Raja Kelelawar! Akan tetapi, tentu
saja ia tidak berani mengeluarkan bisikan hatinya ini.
Tiba-tiba semua orang menoleh ke arah ba-yangan empat orang yang berlari mendatangi tem-pat itu.
Setelah dekat, mereka itu ternyata adalah murid-murid Thian -kiam -pang, yaitu para sute dari Yap
Kiong Lee yang diperintahkan oleh pemu-da ini untuk mencari jejak penculik yang melarikan Yap Kim.
Tentu saja mereka berempat terkejut bukan main melihat betapa bangunan perguruan mereka sudah
rusak binasa habis terbakar, dan mereka tak dapat menahan tangis mereka ketika mendengar
malapetaka yang menimpa perguruan mereka dan tewasnya dua orang suheng dan para anak buah
Thian -kiam -pang.
"Sudah, jangan menangis seperti anak-anak cengeng!" Akhirnya Siang Houw Nio-nio membentak
mereka. "Lekas ceritakan bagaimana dengan hasil penyelidikan kalian!"
Empat orang murid itu sambil berlutut lalu bercerita. Mereka dapat menemukan jejak orang yang
melarikan Yap Kian dan ternyata bahwa yang melarikan itu memang seorang gemuk pendek yang
kemungkinan besar adalah Ceng-ya-kang (Si Kelabang Hijau), seorang tokoh dari Ban-kwi-to.
"Kim-sute dibawa dengan perahu yang berlayar di Sungai Huang-ho. Kami tidak berani melakukan
pengejaran karena selain kami tidak mem-punyai perahu, juga kami ingin cepat melapor ke-pada
suhu, subo dan suheng."
"Celaka ! Kalau Kim -ji berada di tangan ka-wanan iblis dari Ban -kwi -to, tentu akan celaka ! Semua
ini adalah kesalahanmu, orang tua yang ti-dak becus mengurus anak sendiri! Engkau mem-biarkan
anak tunggalmu sendiri untuk bergaul dengan segala macam iblis dari Ban -kwi -to. Huh, di mana
pertanggungan jawabmu ? Bagaimana caramu mendidik anak?"
Yap -lojin yang dimaki -maki di depan orang banyak, terutama di depan Ouwyang Kwan Ek yang
menjadi tamunya, memandang dengan muka merah, dan mata mengeluarkan sinar marah. Kakek
inipun pada hakekatnya mempunyai watak yang keras, tidak kalah kerasnya dengan watak isterinya.
"Hemm, kalau orang tuanya retak, mana mung-kin anaknya dapat memperoleh pendidikan yang baik
? Keretakan orang tuanya sudah merupakan contoh, yang amat buruk, yang dapat menghancur-kan
perasaan anak. Dan kalau seorang isteri me-ninggalkan suami dan anaknya sehingga kehidupan
suami dan anak itu menjadi hancur, si anak tidak memperoleh pendidikan yang baik, salah siapakah
itu?"
Diserang oleh ucapan begini, nenek Siang Houw Nio-nio menjadi marah bukan main. Mukanya
berobah merah sekali dan matanya berkilat -kilat. Ia membanting kakinya ke atas tanah dan membentak
marah.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Yap Cu Kiat !" Telunjuk kanannya menuding ke arah Indung suaminya itu yang biasanya disebut-nya
suheng. "Enak saja engkau bicara ! Sudah ber-ulang kali aku membujuk, menyembah-nyembahmu,
agar keluarga kita pindah ke kota raja. Aku adalah keluarga kaisar, dan sudah sepatutnya kalau aku
menyumbangkan tenagaku pada saat terakhir hidupku untuk kerajaan keluargaku ! Akan tetapi,
engkau berkeras kepala dan tidak sudi, bahkan engkau berkukuh untuk tidak membolehkan Kim-ji
kubawa ke istana! Dan engkau mendidiknya sendiri, sekarang apa jadinya ?"
"Wah, kaukira kalau kaubawa dia menjadi orang istana dia akan menjadi lebih baik, ya ? Paling-paling
dia akan menjadi seorang pemuda bangsa-wan yang sombong, angkuh dan manja !"
"Jelas tidak serusak sekarang ini !"
"Siapa bilang rusak? Harus diselidiki dulu mengapa dia sampai berdekatan dengan orang Ban-kwi-to
dan mengapa pula dia sampai dicu-lik." Kakek itu mencoba untuk menahan kemarah-annya. "Jangan
sembarangan menuduh yang bukan-bukan!"'
"Tidak perduli ! Pokoknya, kalau engkau tidak bisa mencarinya dan menemukannya, membawanya
kembali kepada aku ibunya dalam keadaan utuh, aku bersumpah akan mengadu nyawa denganmu !*
Melihat keadaan yang meruncing antara suheng dan sumoi yang telah menjadi suami isteri akan
tetapi kemudian saling berpisah karena masing-masing mempertahankan pendirian sendiri itu, Ouwyang
Kwan Ek yang menjadi tamu merasa tidak enak sekali. Dia lalu maju dan menjura kepada dua
orang itu.
"Lojin ! Nio-nio ! Harap maafkan aku, bukan maksudku mencampuri, akan tetapi sebagai sahabat,
kiranya aku berkewajiban untuk mengingatkan kalian bahwa dalam keadaan seperti ini, cekcok saja
tidak akan dapat mengembalikan putera kalian. Aku akan suka membantu mencarinya."
Suami dan isteri yang sudah tua itu saling pandang dengan sinar mata berkilat, kemudian mereka lalu
membuang muka dengan muka masih merah. Memang mereka saling berpisah karena masingmasing
mempertahankan pendirian dengan hati keras. Siang Houw Nio -nio ingin untuk menyumbangkan
tenaganya kepada kerajaan, dan iapun sudah minta kepada suaminya untuk membantunya
dan hidup di kota raja, untuk mengangkat derajat putera tunggal dan putera angkat mereka, yaitu
Kiong Lee yang sudah mereka anggap sebagai anak sendiri. Akan tetapi, Yap Cu Kiat merasa tidak
suka akan sepak terjang kaisar dan diapun berkeras tidak mau sehingga timbullah percekcokkan
anta-ra mereka yang mengakibatkan Siang Houw Nio-nio meninggalkan suami dan puteranya, dan
pergi sendirian ke kota raja di mana ia lalu menjadi pengawal pribadi dari kaisar.
Pendidikan anak merupakan kewajiban mutlak dan utama bagi orang tua, di samping tentu saja
memelihara dan membesarkannya.. Dan pendidik an yang tepat adalah pencurahan kasih sayang
yang murni, bukan sekedar pendidikan melalui nasihat-nasihat dari mulut. Seorang anak
membutuhkan pencurahan cinta kasih dari ayah bundanya. Ge-taran cinta kasih akan terasa oleh
anak itu dan orang tua yang benar-benar mencinta anaknya, sudah pasti akan selalu mendidik diri
sendiri terlebih da-hulu agar si anak dapat melihat dan mengerti, tan-pa dibujuk melalui mulut. Apa
artinya orang tua melarang anaknya agar jangan berjudi kalau si orang tua sendiri tukang judi ? Apa
artinya orang tua melarang anaknya agar jangan memaki kalau si orang tua sendiri tukang maki ?
Kerukunan ayah dan ibu merupakan pendidikan yang paling baik bagi anak mereka. Sebaliknya
percekcokan antara ayah dan ibu merupakan racun -racun dan benih-benih buruk pertama yang
merusak watak si anak. Pujian -pujian tidak akan menjadikan anak baik, karena hal itu bahkan akan
membuat si anak men-jadi seorang yang selalu haus akan pujian dan ke-baikannya itupun hanya
palsu karena dilakukan ha-nya untuk memancing agar memperoleh pujian be-laka. Memanjakannya
secara berlebihan akan mem-buat si anak menjadi seorang yang lemah tergan-tung kepada orang
tua, tidak berani dan lemah menghadapi halangan dan kesukaran hidup. Akan tetapi, mendidik
dengan kekerasan akan membuat si anak berwatak keras, juga dapat membuatnya men-jadi rendah
diri. Anak yang menurut kepada orang tuanya karena pendidikan keras, hanya menurut karena takut
saja, akan tetapi di dalam hatinya dia memberontak dan kalau sekali waktu dia me-rasa kuat, dia akan
memberontak secara berterang, bahkan mungkin akan sengaja memberontak untuk membalas
dendam yang sudah lama disimpan di dalam hatinya.
Ucapan Ouwyang Kwan Ek menyadarkan suami isteri itu bahwa mereka telah dikuasai perasaan
sehingga melupakan nasib putera mereka yang ber-ada di tangan orang Ban -kwi -to dan masih
belum diketahui bagaimana keadaannya itu. Akan tetapi, Siang Houw Nio nio masih bersungut -
dunia-kangouw.blogspot.com
sungut ketika berkata, "Pendeknya engkau harus cepat mencari dan menemukan kembali anakku !"
Ucapan ini ditujukan kepada suaminya.
"Baliklah, sumoi baiklah, aku akan turun gunung mencarinya," jawab Yap-lojin dengan suara duka.
Siang Houw Nio -nio lalu mendengus, memba-likkan tubuhnya dan memberi isyarat kepada dua orang
muridnya untuk pergi bersamanya, kemudian, hanya dengan anggukan kecil pada Ouwyang Kwan
Ek, iapun lalu pergi meninggalkan tempat itu.
Pek In dan Ang In berlutut kepada Yap -lojin untuk berpamit. Kakek itu menggerakkan tangan kanan
menyuruh mereka bangkit. "Pergilah dan jaga baik-baik subo kalian." Dua orang gadis itu
mengangguk dan menahan air mata mereka. Mere-ka masih diliputi kedukaan melihat apa yang menimpa
Thian -kiam -pang dan Pek In mengerling ke arah Yap Kiong Lee dengan pandang mata sa-yu.
Kemudian merekapun pergi sambil mengajak Pek Lian.
Setelah isterinya dan tiga orang gadis itu pergi, Yap -lojin menghela napas panjang. "Sungguh aku
tidak mengerti, apa maksudnya orang Ban -kwi -to menculik puteraku. Aku harus menyusul ke pulau
itu Sekarang juga."
"Memang sebaiknya begitu, suhu, dan aku akan menemani suhu untuk mendapatkan kembali Kimsute,"
kata Kiong Lee. Pemuda ini memang diang-kat anak oleh keluarga Yap, bahkan dia sendiripun
memakai she Yap, akan tetapi terhadap ayah dan ibu angkatnya itu, dia selalu menyebut mereka suhu
dan subo, seperti murid -murid yang lain. Dan agaknya Yap -lojin dan isterinya itupun tidak menaruh
keberatan, apa lagi setelah mereka sendiri juga mempunyai anak, yaitu Yap Kim.
"Jangan khawatir, lojin, biar akupun akan mem-bantumu menghadapi orang -orang Ban -kwi -to," tibatiba
Ouwyang Kwan Ek juga berkata.
"Ah, mana aku berani merepotkanmu, sahabat Ouwyang ?"
"Aku kebetulan berada di sini ketika tempatmu diserbu orang dan aku mendengar akan musibah yang
menimpa keluargamu. Hal ini berarti aku berjodoh untuk terlibat dalam urusanmu. Selain itu, akupun
ingin sekali melihat sampai di mana kehebatan nama besar Pulau Selaksa Setan itu."
Yap Cu Kiat tidak dapat menolak lagi dan dia-pun lalu memerintahkan empat orang muridnya untuk
mencari tenaga bantuan dan membangun kembali sedapatnya rumah mereka yang terbakar itu.
Kemudian, bersama Ouwyang Kwan Ek dan Kiong Lee, diapun meninggalkan sarang Thian-kiam -
pang yang telah rusak terbakar itu.
********************
"Seharusnya kita membantu Yap-locianpwe untuk menyusul dan mencari puteranya itu ke sarang
Ban-kwi-to !"
Ucapan Pek Lian ini mengejutkan Pek In dan Ang In. Dua orang ini sendiri tidak akan berani
mengeluarkan ucapan itu di depan subo mereka, apa lagi ucapan itu dikeluarkan dengan nada su-ara
kaku dan mencela!
Benar saja kekhawatiran dua orang gadis ini. Tiba-tiba kereta dihentikan dan kepala nenek itu keluar
dari tirai jendela kereta, sepasang matanya mencorong menatap wajah Pek Lian yang juga
menghentikan kudanya di dekat kereta.
"Mengapa kau berkata demikian ?" bentak ne-nek itu, matanya agak terpejam dan mulutnya cemberut.
"Melihat orang lain tertimpa bencana, sudah sepatutnya kalau kita turun tangan membantu. Ka-lau
tidak demikian, apa perlunya kita belajar ilmu sejak kecil ? Apa lagi kalau yang tertimpa malape-taka
itu masih keluarga sendiri, sudah menjadi kewajiban kita untuk membantu. Pula, harus dii-ngat
bahwa Ban-kwi-to kabarnya merupakan tempat yang berbahaya, dihuni oleh tokoh-tokoh sesat yang
lihai, maka sudah selayaknyalah kalau kita ikut membantu Yap -locianpwe menghadapi mereka." Pek
Lian melihat betapa dua orang gadis murid-murid Siang Houw Nio-nio itu berkedip kedip memberi
isyarat kepadanya agar ia menghen-tikan ucapannya, akan tetapi ia tidak perduli O-rang -orang lain
dunia-kangouw.blogspot.com
boleh takut setengah mati kepada nenek bangsawan ini, akan tetapi ia tidak! Ia menganggap bahwa
nenek ini terlalu angkuh, ter-lalu tinggi hati dan kejam sehingga mendengar putera kandungnya diculik
orang dan terluka pa-rah., agaknya bersikap tidak perduli saja. Hal ini sudah membuat hati Pek Lian
memberontak dan marah.
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru