----
- Cersil Dewasa Jaka Lola 3
- Cerita Silat Dewasa Jaka Lola 2
- Jaka Lola 1 Lanjutan Pendekar Buta
- Pendekar Buita 4 Tamat Full Komplit Baca Online di...
- Cerita Silat Pendekar Buta 3
- Cersil Pendekar Buta 2
dalam kitab-kitab sejarah, kita memperoleh kenyataan betapa manusia telah memperoleh kemajuan
yang amat hebat di dalam keadaan lahiriah, yaitu soal-soal teknik, ilmu pengetahuan dan sebagainya.
Gerobak- gerobak sederhana ditarik lembu atau kuda kini telah diganti dengan mobil, kereta api,
bahkan pesawat terbang jet. Senjata-senjata pelindung diri yang tadinya hanya berupa pedang,
tombak dan sebagainya kini telah diganti dengan senjata api, peluru kendali, bahkan bom dan senjata
nuklir yang maha dahsyat. Memang, tidak dapat disangkal lagi bahwa manusia telah memperoleh
kemajuan yang amat hebatnya. Itu di bidang lahiriah. Akan tetapi bagaimana dengan bidang batiniah,
rohaniah? Majukah kita?
Kembali kita bisa menyelidikinya dengan bantuan catatan-catatan sejarah dan kita akan memperoleh
kenyataan yang amat mengejutkan, memalukan, bahkan mengkhawatirkan. Menurut catatan sejarah,
di jaman dahulu, ribuan tahun yang telah lalu, kita sudah mengenal perebutan kekuasaan, korupsi,
benci-membenci, bunuh-membunuh, tipu-menipu karena manusia saling berlumba untuk meraih
kesenangan sebanyak mungkin. Dan bagaimana keadaannya sekarang ? Sama saja, bahkan makin
hebat!
Di jaman dahulu, manusia sudah mengenal kesengsaraan dan di jaman sekarang ini, belum juga
manusia dapat merobah keadaan batinnya, masih saja kesengsaraan merajalela dan manusia lebih
banyak mengenal duka dari pada suka dalam hidupnya. Mungkin pertentangan antar manusia
tidaklah sekasar dahulu lagi, namun hal itu bukan berarti bahwa pertentangan itu berkurang atau lebih
lunak. Bahkan pada dasarnya lebih keji lagi. Dan keadaan seperti ini, yaitu kemajuan pesat pada
bidang lahiriah namun tetap atau hampir dapat dikatakan mundur pada bidang batiniah, terjadi di
seluruh bagian dunia ini, tanpa kecuali!
Cerita ini terjadi dua ribu tahun lebih yang lalu, kurang lebih dua abad Sebelum Masehi, pada
jamannya Cin Si Hong-te, yaitu kaisar pertama dari Dinasti Cin. Ada yang mengatakan bahwa orangorang
dari Dinasti Cin inilah yang pertama kali melakukan perantauan dan pelayaran sampai jauh dari
negerinya, ke negara-negara asing sehingga dari mereka inilah munculnya sebutan Negeri China atau
Cina, yaitu dari Dinasti Cin.
Menurut catatan sejarah, Cin Si Hong-te dilahirkan pada tahun 259 Sebelum Masehi dan dalam usia
tigabelas tahun, yaitu pada tahun 243. S.M. telah menjadi raja dari Kerajaan Cin. Pada waktu itu,
banyak terdapat raja-raja yang membuat Tiongkok terpecah-pecah menjadi banyak kerajaan dan
timbullah perang antara raja-raja ini, perang yang tak pernah ada henti-hentinya karena perebutan
wilayah dan kekuasaan. Namun, Raja Cin yang muda itu, dengan bantuan para panglimanya yang
pandai, memperoleh kemenangan dan akhirnya, pada tahun 221 S.M. ketika dia berusia tigapuluh
delapan tahun, hampir seluruh kerajaan kecil-kecil itu ditaklukkannya dan diapun mengangkat dirinya
menjadi kaisar pertama berjuluk Cin Si Hong-te dari Dinasti Cin.
Kekuasaan, sejak jaman dahulu sampai sekarang, selalu mendatangkan kekerasan dan penindasan.
Hal ini tidaklah mengherankan karena di mana terdapat para pendukungnya, terdapat pula pihakpihak
yang menentangnya, terdapat pula pihak-pihak yang merasa iri hati dan ingin merebut
kekuasaan itu, dan pihak yang berkuasa tentu saja berusaha mati-matian untuk mempertahankan
kekuasaannya. Maka, sudah tentu terjadi kekerasan dan penindasan demi mempertahankan
kekuasaan dan dalam perebutan kekuasaan itu, mereka yang menentang tentu saja memberi cap
lalim kepada penguasa yang ditentangnya. Hal ini terjadi sejak dahulu sampai kini, sejarah berulang
sepanjang masa dan agaknya takkan pernah dapat dirobah selama kita manusia selalu mengejar
kesenangan masing-masing.
Cin Si Hong-te juga disohorkan sebagai seorang kaisar diktator, kejam, bertangan besi sehingga
banyak orang-orang cerdik pandai dan para pendekar membencinya di samping juga menakutinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Lebih dari itu malah, kaisar ini terkenal sebagai seorang kaisar yang penuh rahasia, yang aneh,
bahkan sering kaisar ini lenyap tanpa ada yang tahu ke mana, untuk menyusup di antara rakyat dan
sering menyamar sebagai rakyat biasa, melakukan hal-hal aneh tanpa ada yang tahu bahwa dia
adalah sang kaisar sendiri.
Seperti terjadi di jaman apapun dan di manapun di dunia ini, setiap kekuasaan di samping
menghadapi tentangan dan tantangan, tentu mempunyai pula pendukung dan biasanya, di antara
para pendukung dan para penentang inilah terjadi bentrokan-bentrokan, merupakan dua pihak yang
berdiri saling berhadapan sebagai musuh. Dan kalau para pendukung ini memusatkan pembelaan
mereka pada tokoh penguasa, adalah para penentang itu memusatkan pembelaan atau bantuan
mereka pada tokoh pemberontak. Dan kalau sudah begitu, rakyatpun ikut terseret, terpecah-belah,
saling bermusuhan sendiri dan negarapun menjadi kacau! Dalam keadaan seperti itulah cerita ini
terjadi.
********************
Selama beberapa bulan terakhir ini, dunia kang-ouw, terutama kaum sasterawan, menjadi geger oleh
perbuatan kaisar yang dianggap sungguh keterlaluan. Kaisar telah memerintahkan agar semua kitab
pelajaran Nabi Khong Cu dibakar! Tidak seorangpun diperbolehkan menyimpan kitab dengan
ancaman hukuman mati. Tentu saja hal ini mempunyai akibat yang amat hebat. Perlu diketahui bahwa
kitab-kitab pelajaran Nabi Khong Cu telah dianggap sebagai garis- garis kebudayaan, bahkan
dianggap sebagai ukuran tentang kemampuan sastera seseorang. Akan tetapi, kaisar berpendapat
lain. Pelajaran dalam kitab-kitab itu dianggap melemahkan kedudukan kaisar, dan dianggap
mengandung pelajaran kepada rakyat untuk memberontak dan tidak mengindahkan kaisar lagi
sebagai satu-satunya Wakil atau Utusan Tuhan di dunia !
Banyak sasterawan yang tidak sudi membakar, atau menyerahkan kitab-kitabnya dan mereka ini
mempertahankan pendiriannya dengan mengorbankan nyawa. Para sasterawan itu dibunuh oleh kaki
tangan kaisar. Gegerlah dunia !
Seorang menteri yang amat setia dan jujur, yaitu Menteri Ho Ki Liong yang menjabat kedudukan
sebagai menteri kebudayaan, terkejut bukan main. Dia maklum bahwa perintah kaisar yang kejam itu
terjadi karena hasutan-hasutan kaki tangan kaisar yang menganut agama lain. Kaisar sendiri condong
untuk mempelajari Agama To yang sudah bercampur dengan ilmu-ilmu hitam dari See-thian (India).
Padahal, urusan kitab-kitab itu sebetulnya adalah wewenangnya sebagai menteri kebudayaan, Maka,
tanpa memperdulikan akibat-akibatnya Menteri Ho lalu menghadap kaisar dan mengajukan protes!
Protes dari menteri yang setia ini tentu saja berpengaruh dan kaisar lalu memerintahkan agar
memperlunak pelaksanaan pelarangan atau pembakaran kitab-kitab itu. Dan Menteri Ho sendiri
segera pergi ke daerah selatan untuk menangani urusan ini, menghentikan kekejaman-kekejaman
yang terjadi di daerah itu, di mana kaki tangan kaisar membakari kitab-kitab dan membunuhi mereka
yang menentang dengan kejam.
Akan tetapi kaki tangan kaisar yang membenci para pemeluk Agama Khong-hu-cu, tidak tinggal diam.
Dengan cerdik mereka menghasut kaisar dan akhirnya mereka berhasil membujuk kaisar sehingga
kaisar menganggap bahwa protes dan penentangan Menteri Ho ini merupakan sikap memberontak
kepadanya. Dan diapun mengirim pasukan untuk menangkap menteri yang setia itu. Peristiwa ini
sungguh amat menggemparkan dunia kang-ouw, karena Menteri Ho, selain dikenal sebagai seorang
menteri yang pandai dan bijaksana, juga dikenal sebagai orang yang menghargai para tokoh kangouw
dan bahkan mengenal tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw dan para pemimpin partai persilatan
besar di empat penjuru. Dan orang-orang kang-ouw, para pendekar itupun lalu bergeraklah!
Pada suatu hari, dusun Han-kung-ce amatlah panasnya. Dusun yang terletak di sebelah utara kota
Kong-goan ini biasanya amat ramai karena dusun itu merupakan tempat simpangan dari para
pedagang dan pelancong yang hendak menuju ke kota raja di utara. Juga dusun ini berada di sebelah
utara Sungai Yang-ce-kiang, menjadi tempat di mana para pedagang bermalam sebelum mereka
berangkat membawa barang-barang dagangan mereka melalui jalan air di Sungai Yang-ce-kiang. Hari
itu amat panas, berbeda dari biasanya sehingga jalan-jalan di dusun itu, terutama jalan rayanya,
nampak sunyi. Orang-orang lebih suka berlindung di tempat teduh, minum teh di warung-warung, atau
beristirahat di bawah pohon sambil mengobrol. Namun, di balik kesunyian yang timbul karena
panasnya hari itu, terasa adanya ketegangan, walaupun tidak ada di antara para pedagang itu
dunia-kangouw.blogspot.com
mengetahui apa gerangan yang sedang atau akan terjadi, karena pada siang hari itu memang tidak
nampak ada terjadi sesuatu yang luar biasa di dusun itu.
Para penghuni rumah-rumah di tepi jalan raya, kecuali mereka yang mempergunakan rumah itu
sebagai toko, tidak ada yang mau duduk di depan, karena jalan raya yang kering berdebu tertimpa
cahaya matahari terik itu amat tidak enak bagi mata. Lebih nyaman untuk duduk di belakang rumah, di
antara pohon-pohon, bertelanjang dada membiarkan tubuh yang kegerahan dihembus angin semilir.
Maka jalan raya itu nampak lengang.
Betapapun juga, panasnya hari itu tidak mampu menghentikan kesibukan para pekerja kasar untuk
bekerja. Dari jauh nampak serombongan pekerja kasar itu, memikul keranjang-keranjang besar berisi
garam, menempuh jalan yang panas berdebu itu. Jalan mereka terseok-seok seirama, tubuh mereka
dipaksa oleh beratnya ayunan keranjang yang tergantung di pikulan mereka, membuat tubuh mereka
bergoyang-goyang dan sebelah tangan yang tidak memegang pikulan tergantung kaku dan bengkok,
digerak-gerakkan untuk mengatur keseimbangan badan yang dibebani muatan amat berat itu. Pikulan
bambu mereka berbunyi kreyat-kreyot, lebih nyaring dari pada bunyi kaki mereka atau mulut mereka
yang kadang-kadang bercakap-cakap tanpa menoleh kenada kawan yang diajaknya bercakap-cakap.
Mereka berjalan beriring-iringan satu-satu seperti barisan panjang. Biarpun jumlah mereka hanya ada
belasan orang, akan tetapi karena setiap dari mereka memikul garam dengan pikulan bambu yang
panjangnya tidak kurang dari satu setengah meter, maka tentu saja jarak di antara mereka agak jauh,
ada dua meter sehingga barisan belasan orang itu menjadi panjang juga.
Belasan orang yang sebagian besar bertelanjang dada itu nampak kuat-kuat, seperti pada umumnya
para pekerja kasar yang mencari natkah mengandalkan otot-otot badan mereka. Akan tetapi yang
paling menarik adalah orang pertama yang berjalan di depan. Orang inilah yang seolah-olah ditiru
oleh orang di belakangnya dan dengan demikian gerakan semua orang itu seperti gerakan pasukan
yang terlatih saja. Orang pertama ini adalah seorang laki-laki setengah tua. Usianya kurang lebih
empatpuluh tahun dan dia memakai pakaian sederhana dan kasar. Bajunya tidak ditanggalkan seperti
sebagian besar teman-temannya, dan mudah dilihat bahwa tubuhnya tidaklah kekar dan berotot
seperti teman-temannya yang lebih muda. Akan tetapi keranjang-keranjang garam yang dipikulnya itu
dua kali lebih besar dari yang dipikul teman-temannya dan hebatnya, kalau teman-temannya yang
bertubuh kekar dan masih muda itu bermandi peluh dan kelihatan lelah, sebaliknya orang setengah
tua ini tidak nampak repot memikul keranjang-keranjang itu, dan hanya ada sedikit peluh membasahi
leher dan dahinya. Napasnya tidak memburu seperti napas teman-temannya yang mulai terengahengah
ketika mereka memasuki dusun itu. Pria yang agaknya memimpin rombongan tukang memikul
garam ini bertubuh sedang, tidak mengesankan, dan dia kelihatan seperti seorang petani atau orang
dusun biasa saja. Akan tetapi mukanya putih bersih dengan jenggot dan kumis masih hitam lebat,
membuat mukanya nampak semakin putih lagi. Akan tetapi, muka yang putih itu mengandung sinar
mata kehijauan dan ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang ahli lweekeh atau ahli tenaga dalam
yang telah melatih diri dengan suatu ilmu tenaga dalam yang hebat, dan sepasang matanya juga
amat tajam, walaupun dia nampak tenang sekali sikapnya.
Setelah tiba di depan pasar Han-kung-ce, rombongan pemikul garam itu berhenti dan memang
benarlah bahwa laki-laki bermuka putih itu adalah pemimpin mereka. Hal ini terbukti bahwa laki-laki
setengah tua itu kini memasuki sebuah toko, menjumpai pemilik toko itu yang agaknya biasa
menerima dan memborong garam yang datang dari luar daerah. Ketika pemimpin para pemikul garam
ini bercakap-cakap dengan pemilik toko, belasan orang anak buahnya nampak berkumpul di pinggir
toko di mana terdapat sebuah gang dan mereka itu berteduh di tempat itu, berlindung dari teriknya
sinar matahari yang kini terhalang oleh bangunan toko. Mereka bercakap-cakap dan diselingi sendaugurau
orang-orang muda, nampaknya lega telah tiba di tempat tujuan dan dapat bersantai
membiarkan tubuh yang lelah itu beristirahat. Mereka menggunakan baju yang mereka lepaskan
untuk menyusuti badan mereka yang basah oleh peluh, dan ada yang menggunakan caping mereka,
yaitu topi-topi bundar lebar dengan ujung sebelah atasnya meruncing, untuk mengipasi tubuh yang
gerah. Kadang-kadang, beberapa orang di antara mereka melayangkan pandang mata mereka ke
arah sebatang pohon pek yang besar sekali, paling besar di antara pohon-pohon pek yang banyak
tumbuh di tepi jalan dalam dusun itu. Dua orang laki-laki yang agaknya ditugaskan oleh pimpinan
pamong praja di dusun itu, sedang menebangi dahan-dahan yang bergantung ke jalan raya. Pasar itu
tidak begitu ramai lagi karena hari telah siang dan sebagian besar dari orang-orang yang datang
berbelanja sudah pulang kembali ke rumah masing-masing. Yang tinggal hanya para pedagang pasar
yang dengan sabar masih menanti datangnya pengunjung-pengunjung yang kesiangan. Akan tetapi
ada beberapa orang di antara mereka yang sudah mulai berkemas-kemas untuk menutup
dunia-kangouw.blogspot.com
dagangannya dan pulang. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan debu di atas jalan raya itu
mengebul, membuat suasana menjadi semakin pengap dan panas. Yang datang dari arah utara ini
adalah serombongan piauwsu berkuda dan dari bendera mereka, dapat diketahui bahwa mereka
adalah rombongan piauwsu dari Hek-coa-piauwkiok (Perusahaan Ekspedisi Ular Hitam). Mereka
mengawal sebuah kereta penuh muatan barang dan di atas kereta ini terdapat bendera yang
bergambar seekor ular hitam melingkar disertai empat buah huruf nama perusahaan itu. Belasan
orang piauwsu itu dipimpin oleh seorang piauwsu yang tubuhnya tinggi besar bermuka hitam,
nampaknya kuat dan menyeramkan. Melihat sikap gagah dan muka hitam orang ini, mudah diduga
bahwa dialah kepala atau ketuanya, dan mungkin saja sebutan Ular Hitam itu disesuaikan dengan
kulitnya yang hitam. Rombongan piauwsu ini turun dari kuda masing-masing dan berhenti di depan
sebuah kedai arak, menambatkan kuda mereka dan mereka lalu memasuki kedai, makan minum
sambil bergurau. Si tinggi besar bermuka hitam duduk di dekat pintu kedai, sesekali dia memandang
ke arah toko di mana nampak pria muka putih bercakap-cakap dengan pemilik toko, agaknya mereka
itu sedang tawar-menawar garam. Pemilik toko itupun usianya sudah empatpuluh tahun lebih, tangan
kirinya mengisap huncwe tembakau yang panjang, dan orang ini memiliki kumis yang kecil panjang
dan bergantung dari bawah hidung melalui sebelah kanan kiri mulutnya.
Setelah melihat bahwa keadaannya sunyi dan di toko itupun tidak ada pembeli lain, yang ada hanya si
tuan toko pedagang garam, maka piauwsu tinggi besar ini lalu bangkit berdiri dan menghampiri toko
itu dengan lagak seperti orang yang hendak melihat-lihat dan hendak membeli sesuatu. Akan tetapi,
setelah jelas melihat bahwa di sekitar tempat itu tidak ada orang lain yang memperhatikan mereka,
diapun segera menghampiri dua orang pria yang sedang bercakap-cakap itu. Ternyatalah bahwa
mereka bertiga ini sudah saling mengenal dengan baik. Piauwsu itu menegur dengan suara lirih, akan
tetapi dengan sikap gembira dan akrab sekali.
"Heii, Kim-suipoa (Suipoa Emas) dan Pek-bin-houw (Harimau Muka Putih), kiranya kalian sudah
datang lebih dulu ?"
Melihat si tinggi besar muka hitam ini, dua orang yang sedang bercakap-cakap itu tersenyum gembira.
Tentu saja mereka tadi sudah melihat datangnya rombongan piauwsu itu dan kini mereka menyambut
dengan tersenyum. "Ah, engkau dan rombonganmu berkuda, akan tetapi datang terbelakang! Dasar
Ular Hitam yang malas !" kata mereka.
Pemimpin Hek-coa-piauwkiok itu tertawa, akan tetapi lalu mendekati mereka dan berkata dengan
suara serius dan lirih, "Awas, kalian berhati-hatilah. Ternyata jagoan kerajaan yang lihai sekali itu
berada dalam rombongan dengan menyamar!" Dia menoleh ke kanan kiri dan jelas nampak
kegelisahan membayang di wajahnya yang hitam kasar itu.
Dua orang itu terkejut. "Benarkah ...... ?" tanya si muka putih atau si pedagang garam yang berjuluk
Pek-bin-houw itu. "Bukankah kabarnya dia diutus kaisar memimpin pasukan untuk melakukan
pembersihan di sepanjang lembah Yang-ce ?"
"Memang kabarnya demikian, akan tetapi entahlah, agaknya fihak istana telah dapat mencium akan
gerakan kita. Mata-mata mereka tersebar di mana-mana. Dan agaknya mereka lalu merobah siasat
dan mempergunakan jagoan itu untuk mengawal. Hal ini sudah jelas karena anak buah Sin-kauw
(Kera Sakti) ada yang berhasil menyelundup ke sana dan dialah yang memberi kabar kepadaku,"
jawab pemimpin piauwkiok yang berjuluk Hek-coa (Ular Hitam).
"Wah, kalau begitu berbahaya sekali! Orang itu memiliki ilmu silat yang tinggi sekali. Padahal kita tidak
memperhitungkan dia, hanya mengira bahwa rombongan itu akan dikawal oleh Ciong-ciangkun saja
yang sudah cukup lihai," kata pemilik toko yang berjuluk Kim-suipoa.
"Lalu bagaimana baiknya'?" tanya pedagang garam yang berjuluk Pek-bin-houw atau Harimau Muka
Putih itu.
"Kita bukan penakut dan untuk perjuangan kita, mati bukanlah apa-apa. Akan tetapi kita harus
waspada dan kita tahu bahwa menghadapi jagoan istana itu satu lawan satu, kita bukanlah
tandingannya. Akan tetapi, kalau kita bertiga maju bersama menandinginya, kukira belum tentu kita
akan kalah olehnya," kata Kim-suipoa.
"Benar, dan biarlah Sin-kauw yang menandingi Ciong-ciangkun, komandan pasukan pengawal itu,"
kata Pek-bin-houw.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Dan anak buah kita berempat akan menyerang pasukan pengawal. Semua ini memang baik dan
tepat. Akan tetapi, lalu siapa yang akan bergerak melarikan dan menyelamatkan Ho-taijin (pembesar
Ho) ?" tanya Hek-coa.
Mereka bertiga mengepal tinju dan menjadi kebingungan mendengar pertanyaan ini. Kim-sui-poa
membanting kaki kanannya. "Sungguh di luar dugaan ! Kita mengira bahwa dengan mengerahkan
empat orang dan kita bersama anak buah kita, urusan ini akan dapat diselesaikan dengan mudah.
Tidak tahunya manusia itu ikut datang dan merusak rencana kita. Biarpun Ho-siocia (nona Ho) dapat
diharapkan akan berhasil dan datang tepat pada waktunya, namun kita tidak ingin membuatnya
terancam bahaya. Kalau tahu begini, aku tentu akan minta persetujuan Ho-siocia untuk mengajak Liutwako
supaya membantu kita."
"Benar, agaknya memang hanya Liu-twako yang akan mampu menandingi iblis itu," kata Hek-coa.
Selagi mereka bercakap-cakap dengan hati agak gelisah karena terjadinya perobahan tiba-tiba itu,
muncullah seorang anak buah piauwkiok dengan sikap tergopoh-gopoh. "Rombongan kerajaan yang
mengawal kereta tawanan telah tiba di luar dusun," demikian orang itu melapor.
"Baik, atur semua kawan menurut rencana semula. Kurung tempat di depan pasar dan bersembunyi.
Laksanakan siasat bumi hangus !" kata Kim-suipoa yang dalam gerakan ini agaknya menjadi
pemimpin. Orang itupun memberi hormat dan pergi untuk melaksanakan perintah.
"Mari kita bersiap. Kalian tahu adanya perobahan rencana. Kita bertiga harus menghadapi jagoan
istana itu dan biar Sin-kauw menghadapi Ciong-ciangkun yang mengepalai pasukan pengawal. Hekcoa,
harap kau cepat beri tahu Sin-kauw yang bersembunyi di pohon itu."
"Baik!" kata si muka hitam yang cepat pergi ke arah pohon. Tak lama kemudian, semua orang ini
sudah tidak nampak lagi, akan tetapi sambil bersembunyi mereka telah melakukan persiapan untuk
menyerbu dan di belakang rumah-rumah di sekitar pasar itupun telah terjadi kesibukan-kesibukan
para anak buah mereka.
Akhirnya terdengarlah derap kaki kuda para perajurit itu. Debu mengebul tinggi dan dari arah selatan
nampaklah rombongan itu memasuki dusun. Belasan orang perajurit berkuda nampak paling depan,
kemudian sebuah kereta berkuda empat yang dikusiri oleh seorang laki-laki muda yang berpakaian
biasa saja, tidak seperti para perajurit sehingga mudah diduga bahwa kereta itu bukanlah kereta
pasukan dan kusir itupun bukan perajurit. Kemudian, di kanan kiri kereta itu nampak beberapa orang
perajurit berkuda, lalu di belakang kereta masih ada puluhan orang perajurit lagi. Jumlah seluruh
perajurit tidak kurang dari limapuluh orang! Pakaian seragam mereka tertimpa sinar matahari
mengeluarkan cahaya berkilauan, bersama kilauan tombak dan golok mereka!
Ketika pasukan ini tiba di depan pasar, tiba-tiba saja terjadi kebakaran di empat penjuru ! Suasana
menjadi gempar. Teriakan "api! api!" terdengar dan para penduduk menjadi panik. Orang-orang lari
berserabutan, keluar dari rumah dan memenuhi jalan raya yang tadinya sunyi itu. Asap yang terbawa
angin juga ikut menambah kacaunya suasana. Kuda para perajurit menjadi ketakutan juga karena
para penduduk itu berteriak-teriak, lari ke sana-sini, ada yang mencari anak mereka, ada pula yang
lari mencari air dan ada pula yang berteriak-teriak, minta tolong karena rumah mereka kebakaran.
Ciong-ciangkun, komandan pasukan itu, nampak keluar dari dalam kereta bersama seorang perajurit
yang bertubuh pendek cebol. Keduanya lalu melompat ke atas kereta yang telah dihentikan oleh kusir.
Komandan pasukan yang bertubuh tinggi besar dan nampak gagah itu, lalu berteriak-teriak dari atas
atap kereta, mengatur para perajuritnya agar waspada dan berhati-hati karena dia menaruh
kecurigaan akan peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba ini. Mana mungkin ada kebakaran rumah
terjadi sedemikian tiba-tiba dan sekaligus terjadi di empat penjuru ?
Dan kecurigaannya itu memang segera terbukti. Dua orang perajurit mengeluarkan pekik keras dan
mereka jatuh terjungkal dari atas punggung kuda mereka. Ternyata mereka telah diserang oleh anak
buah para penghadang tadi.
"Awas, jaga kereta tawanan !" teriak Ciong-ciangkun dan dari atas kereta diapun mengeluarkan abaaba
sehingga semua perajurit itu cepat mengepung kereta dan melakukan penjagaan dengan ketat.
Pada saat itu, tidak kurang dari tigapuluh orang, yaitu gabungan dari anak buah para penghadang,
tukang-tukang pikul garam, para piauwsu, pegawai-pegawai toko, mulai menyerbu dan terjadilah
dunia-kangouw.blogspot.com
pertempuran yang ramai di tengah jalan di depan pasar itu. Para penduduk dusun itu yang tadinya
dengan panik lari berserabutan, kini menjadi ketakutan dan cepat merekapun lenyap bersembunyi,
tidak ingin terbawa dalam pertempuran yang tidak mereka ketahui sebabnya itu.
Terjadilah pertempuran yang seru dan mati-matian tanpa banyak bicara lagi karena kedua fihak sudah
tahu mengapa mereka bertempur dan para perajurit itupun dapat menduga bahwa orang-orang ini
tentulah orang-orang yang ingin merampas dan menyelamatkan tawanan.
Biarpun jumlah para perajurit itu lebih banyak, akan tetapi karena para penyerbu itu rata-rata memiliki
kepandaian silat yang lumayan, maka pertempuran itu dapat berimbang. Setiap orang penyerbu
dikeroyok dua orang perajurit, akan tetapi keadaan mereka tidak terdesak, bahkan sebaliknya, fihak
pasukan pemerintah mulai kewalahan dan beberapa orang perajurit mulai berjatuhan. Terutama sekali
karena adanya tiga orang pemimpin penyerbu yang mengamuk hebat, yaitu Kim-suipoa yang
menyamar sebagai pedagang toko, Pek-bin-houw yang menyamar sebagai pedagang garam, dan
Hek-coa ketua piauwsu. Tiga orang ini mengamuk hebat dan makin mendekat ke arah kereta di mana
duduk seorang tawanan yang hendak mereka bebaskan.
Melihat sepak terjang tiga orang ini, Ciong-ciangkun, komandan pasukan itu menoleh kepada perajurit
pendek cebol yang berdiri di atas kereta pula sambil menonton pertempuran. Ciong-ciangkun berkata
dengan sikap hormat, "Harap taihiap suka menjaga kereta. Saya akan menahan mereka !"
"Baik, ciangkun, jangan khawatir," jawab si pendek dengan sikap tak acuh dan melihat sikap
komandan itu demikian hormat kepadanya, sungguh amat mengherankan orang. Si pendek itu
berpakaian perajurit biasa saja, akan tetapi komandan itu demikian menghormatnya.
Kini Ciong-ciangkun, komandan pasukan yang kelihatan gagah perkasa itu mencabut pedangnya dan
meloncat turun dari atas kereta, lalu dia berlari menyerbu ke depan. Lawan tangguh yang paling dekat
adalah Hek-coa si ketua piauwkiok, akan tetapi sebelum dia dapat mendekati si muka hitam itu, tibatiba
saja nampak bayangan berkelebat dan dia telah disambut oleh seorang laki-laki berusia limapuluh
tahun yang berpakaian sederhana dan yang gerakannya gesit bukan main. Laki-laki ini mukanya kecil
dan hidungnya pesek seperti hidung seekor monyet. Inilah Sin-kauw, seorang di antara empat orang
gagah yang berusaha menghadang pasukan dan hendak merampas tawanan itu.
Seperti telah mereka rencanakan, Sin-kauw inilah yang bertugas menghadapi komandan itu, maka
begitu melihat komandan itu turun dari kereta, diapun segera menyambutnya dengan senjata
tongkatnya. Melihat munculnya orang ini, Ciong-ciangkun membentak marah.
"Bagus sekali! Kiranya si monyet sakti kini telah menjadi pemberontak !" Komandan ini mengenal Sinkauw,
seperti juga dia mengenal tiga orang pimpinan yang lain itu, karena mereka berempat itu
adalah orang-orang kang-ouw yang cukup ternama sebagai tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian
tinggi dan sebagai pendekar-pendekar yang gagah perkasa.
"Ciong-ciangkun," kata Sin-kauw si Monyet Sakti, "kita sama-sama mengabdi, hanya bedanya, kalau
engkau mengabdi kelaliman karena memperoleh bayaran, sebaliknya aku mengabdi kebenaran tanpa
mengharapkan upah apapun juga."
"Keparat, pemberontak tetap pemberontak hina !" Dan Ciong-ciangkun sudah menyerang dengan
marahnya, mempergunakan pedangnya. Sin kauw menangkis dengan tongkatnya dan membalas
dengan cepat dan tidak kalah dahsyatnya, Mereka sudah berkelahi dengan hebat, mempergunakan
senjata dan mengerahkan seluruh tenaga, mengeluarkan semua jurus-jurus simpanan mereka. Dan
memang keduanya memiliki kepandaian yang seimbang sehingga perkelahian antara mereka amat
hebatnya. Tidak ada anak buah dari kedua fihak berani mencampuri, karena jauhnya tingkat
kepandaian mereka membuat pembantu-pembantu itu bukan membantu, malah mengantar nyawa
dengan konyol saja.
Melihat betapa komandan itu telah dihadapi oleh Sin-kauw dan kereta tawanan itu ditinggalkan, yang
nampak berjaga hanyalah seorang perajurit pendek dan kusir yang nampak ketakutan, juga hanya
beberapa orang perajurit di kanan kiri kereta, maka Kim-suipoa menjadi girang sekali. Ternyata, tidak
seperti berita yang diterimanya, di situ tidak terdapat jagoan istana yang kabamya amat lihai itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Mari cepat, kita serbu kereta!" katanya kepada dua orang temannya dan tiga orang gagah ini lalu
mengamuk lebih hebat, makin mendekati kereta. Setelah mereka berhasil mendekati kereta, Kimsuipoa
berseru dengan suara lantang, "Ho-taijin, kami datang membebaskan tuan !"
Akan tetapi begitu mereka tiba di dekat kereta, tiba-tiba saja ada angin puyuh menyambar ke arah
mereka. Angin yang mempunyai tenaga berputaran hebat dan sedemikian kuatnya tenaga angin ini
sehingga gerakan mereka tertahan dan tiga orang ini tidak mampu bergerak maju, betapa kuatpun
mereka berusaha untuk menerjang ke depan! Tentu saja tiga orang gagah ini terkejut bukan main.
Mereka baru tahu bahwa angin puyuh itu tim bul dari gerakan tangan perajurit pendek yang berdiri di
atas kereta setelah si pendek itu tertawa bergelak dengan suara yang menggeledek, tidak sesuai
dengan tubuhnya yang pendek cebol itu.
"Hua-ha-ha-ha...... ! Sungguh tak kusangka, di tempat ini benar-benar ada penjahat-penjahat kecil
yang tak tahu diri!"
Baru sekarang tiga orang gagah itu sadar. Inilah kiranya jagoan istana yang dikabarkan ikut dalam
pasukan pengawal ini! Pantas saja disohorkan orang karena memang ternyata kepandaiannya hebat
sekali. Mereka memang hanya mendengar saja tentang jagoan istana yang memiliki kepandaian
hebat, dan baru sekarang mereka memperoleh kesempatan untuk bertemu dan merasakan
kelihaiannya.
Maka, ketika si pendek itu melompat turun, tiga orang gagah ini sudah menerjang dan
mengeroyoknya. Sambil tertawa mengejek, perajurit pendek cebol itu menyambut mereka. Jelaslah
bahwa si pendek ini memandang rendah karena dia hanya menggerakkan kaki tangan saja untuk
melawan mereka. Padahal, Kim-suipoa menyerang dengan senjatanya yang aneh, yaitu sebuah alat
penghitung (suipoa) yang lingkarannya terbuat dari pada baja, sedangkan biji-bijinya terbuat dari
emas. Agaknya senjatanya inilah yang membuat dia memperoleh julukan Suipoa Emas. Pek-bin-houw
menyerang dengan senjata pikulan dan ternyata pikulannya bukan terbuat dari pada bambu,
melainkan dari baja yang kedua ujungnya meruncing dan tajam. Orang ke tiga, yaitu Hek-coa
mempergunakan sebatang golok besar tipis yang amat tajam. Menghadapi tiga orang gagah yang
lihai dan yang semua memegang senjata andalan mereka masing-masing tanpa senjata di tangan,
sungguh merupakan hal yang amat berbahaya sekali. Akan tetapi, si pendek ini benar-benar amat
lihai. Dengan kaki dan tangannya yang kecil pendek, tidak saja dia mampu menandingi tiga orang
pengeroyoknya, bahkan sebelum lewat duapuluh jurus, tiga orang lawan yang mengeroyoknya itu
telah menjadi kalang-kabut! Tentu saja tiga orang gagah itu merasa penasaran bukan main. Mereka
adalah tiga orang tokoh kang-ouw yang cukup terkenal sebagai orang-orang yang berkepandaian
tinggi dan jarang bertemu tanding! Mereka terkenal sebagai pendekar-pendekar yang ditakuti para
penjahat.
Kim-suipoa adalah seorang pendekar yang pandai berdagang, berkepandaian tinggi dan berhati
dermawan, suka membantu fakir miskin dan berani menentang kejahatan, sedangkan alat sui-poa di
tangannya itu merupakan senjata ampuh yang sukar dilawan. Pek-bin-houw adalah seorang pendekar
yang suka berkelana ke gunung-gunung dan ditakuti para perampok karena dia selalu membasmi
gerombolan perampok yang suka mengganggu orang yang berlalu-lintas di hutan-hutan yang sunyi.
Senjatanya berupa pikulan ini menunjukkan bahwa dia berasal dari keluarga petani, dan senjata ini
tidak kalah terkenalnya dibanding dengan senjata suipoa itu. Dan orang ke tiga, Hek-coa juga amat
ditakuti para bajak di sepanjang Sungai Huang-ho, karena lihainya. Sebagai seorang piauwsu, diapun
amat terkenal dan banyak memperoleh kepercayaan orang untuk mengawal barang sangat berharga,
bahkan mengawal anggauta keluarga yang melakukan perjalanan jauh melalui tempat-tempat
berbahaya. Ya, mereka adalah tiga orang pendekar yang terkenal, dan berempat bersama Sin-kauw,
mereka itu pernah bekerja sama dan dijuluki Huang-ho Su-hiap (Empat Pendekar Huang-ho) karena
mereka berempat berhasil membersihkan para penjahat di sepanjang sungai itu ! Akan tetapi, kini
menghadapi seorang lawan saja yang bertangan kosong, mereka malah tidak mampu menang dan
terdesak hebat.
Mereka pernah mendengar akan nama jagoan istana ini yang hanya mereka ketahui julukannya saja,
yaitu Pek-lui-kong (Malaikat Halilintar), seorang aneh yang berilmu tinggi, dan kabarnya merupakan
seorang tokoh yang menguasai ilmu dari partai persilatan terkenal yang disebut Soa-hu-pai (Partai
Persilatan Danau Pasir). Menurut penuturan Liu Pang, yaitu seorang bengcu (pemimpin rakyat) amat
terkenal di sepanjang lembah Yang-ce-kiang, dan merupakan pendekar dengan siapa mereka
berempat itu bekerja sama, Pek-lui-kong memang seorang yang lihai sekali. Menurut bengcu itu,
dunia-kangouw.blogspot.com
setahun yang lalu kepandaian Pek-lui-kong itu sudah hebat, akan tetapi masih belum mampu
menandingi ilmu kepandaian Liu Pang. Sekarang, melihat kehebatan gerakannya, agaknya hanya Liu
Pang saja yang akan mampu menandinginya.
Mereka terus menggerakkan senjata untuk berusaha mengalahkan lawan. Akan tetapi, setiap kaki si
pendek itu mengeluarkan seruan sambil mendorong, mereka bertiga tentu terdorong ke belakang oleh
hawa pukulan yang amat kuat dan dingin sekali. Tak dapat mereka bertahan, dan betapapun mereka
mengerahkan tenaga sinkang, tetap saja mereka terdorong ke belakang, terhuyung dan menggigil
kedinginan !
"Haiiiittt......!" Kim-suipoa berteriak panjang sebagai isyarat kepada dua orang temannya untuk
melakukan gempuran dengan serentak. Senjata di tangannya menyambar, nampak sinar keemasan
berkelebat dan senjata suipoa itu telah menghantam ke arah kepala lawan. Pada saat itu, Hek-coa
juga sudah menyerang dengan babatan goloknya ke arah pinggang lawan, sedangkan Pek-bin-houw
memutar tongkatnya yang meluncur dan menusuk ke arah anggauta rahasia si pendek itu. Sungguh
tiga serangan ini amat dahsyat dan berbahaya sekali karena satu saja di antaranya mengenai
sasaran, tentu akan merupakan cengkeraman maut menyambar nyawa !
Akan tetapi, si pendek itu sama sekali tidak merasa gugup dengan serangan serentak itu. Sambil
tersenyum, tiba-tiba tubuhnya melesat ke atas sehingga semua serangan itu mengenai tempat
kosong, kemudian dari atas, dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan dengan tubuh
berjungkir-balik, kepala di bawah, tubuhnya melayang ke bawah dan kedua tangannya melakukan
gerakan mendorong. Serangkum angin yang berputar menyerang ke bawah. Belum pernah tiga orang
pendekar itu melihat serangan macam ini, maka mereka menyambut tubuh lawan yang melayang
turun itu dengan senjata mereka. Akan tetapi, sebelum senjata-senjata itu sempat menyentuh tubuh
Pek-lui-kong, tiga orang itu terpelanting oleh sambaran hawa pukulan yang dahsyat sekali. Rasa
dingin menyelinap ke dalam tubuh mereka, menggetarkan jantung dan membuat mereka menggigil.
Sejenak ketiganya tidak mampu bergerak dan saat itulah yang amat berbahaya karena dengan
mudah lawan akan dapat mempergunakan kesempatan itu untuk memukul mati mereka tanpa mereka
mampu melindungi diri sendiri.
"Suhu, teecu datang...... !!"
Nampak bayangan berkelebat dan sebatang pedang yang digerakkan dengan sangat cepat,
menyerupai segulung sinar yang menyilaukan mata telah menyambar ke arah Pek-lui-kong dan
menghalangi si pendek itu untuk mengirim pukulan susulan yang akan mematikan tiga orang
pengeroyoknya. Melihat betapa lihainya gerakan pedang ini, Pek-lui-kong terkejut dan memandang
heran. Yang memegang pedang menolong tiga orang lawannya itu adalah seorang dara yang cantik
jelita ! Karena pedang itu gerakannya cepat dan amat kuat, Pek-lui-kong tidak berani memandang
rendah dan cepat dia meloncat ke belakang untuk menghindar. Kesempatan itu dipergunakan oleh
nona cantik ini untuk menyerbu ke arah pintu kereta.
"Ayah...... !" teriaknya.
Akan tetapi, serangkum angin puyuh yang dingin menyambar dari kiri. Kiranya si pendek sudah
menyerangnya. Nona cantik itu agaknya maklum akan kehebatan angin pukulan ini, maka ia terpaksa
mundur lagi, tidak jadi menyerbu ke arah kereta dan cepat ia memutar pedangnya, dengan marah ia
sudah menyerang lagi kepada si pendek.
Sementara itu, tiga orang pendekar yang tadi rebah kedinginan, sudah dapat memulihkan dirinya dan
sudah bangkit lagi, lalu membantu nona cantik tadi untuk mengeroyok si pendek yang amat lihai. Kini
terjadilah pertempuran yang makin hebat, dan setelah nona itu datang mengeroyok, ternyata
kekuatan mereka hampir seimbang dan si pendek menjadi lebih sibuk menghadapi pengeroyokan
mereka.
Siapakah nona cantik itu yang menyebut suhu kepada empat orang pendekar akan tetapi yang
ternyata memiliki kepandaian yang agak lebih tinggi dari pada mereka itu ? Seperti yang pembaca
agaknya dapat menduganya, tawanan di dalam kereta itu bukan lain adalah Menteri Kebudayaan Ho
yang telah berani memprotes kepada kaisar tentang pembakaran kitab kitab pelajaran Nabi Khong Hu
Cu. Ho-taijin atau Menteri Ho ini melakukan perjalanan ke selatan untuk mengakhiri pembakaran
kitab-kitab dan pembunuhan para sasterawan yang mempertahankan kitab-kitab itu, akan tetapi
kaisar yang kena dihasut oleh kaki tangannya itu lalu mengirim pasukan yang dipimpin oleh Ciongdunia-
kangouw.blogspot.com
ciangkun untuk menyusul dan menangkapnya. Bukan ini saja, malah keluarga Menteri Ho telah
ditangkap lebih dulu dan dijebloskan dalam penjara!
Untung bahwa satu-satunya anak keluarga Ho ini, yaitu seorang anak perempuan yang telah remaja,
bernama Ho Pek Lian, telah berhasil diselamatkan oleh empat orang gurunya. Ho-taijin yang
sasterawan itu ternyata mempunyai hubungan baik dengan para pendekar, bahkan puteri tunggalnya
itu sejak kecil menjadi murid dari Huang-ho Su-hiap Maka, ketika terjadi penangkapan atas seluruh
keluarga Ho, nona Ho Pek Lian berhasil melarikan diri, dan ia ditolong oleh empat orang gurunya
yang membawanya lari kepada Liu-bengcu, yaitu Liu Pang yang menjadi memimpin rakyat yang amat
disegani di waktu itu. Liu Pang ini juga merupakan seorang pengagum Ho-taijin. maka dia menerima
Ho Pek Lian yang selanjutnya disebut Ho-siocia dengan suka hati, bahkan dia mau pula menerima Ho
Pek Lian menjadi muridnya. Sarang atau pusat yang dijadikan tempat para pendekar berkumpul di
bawah pimpinan Liu Pang ini, yang menjadi tempat rahasia mereka, terletak di sebuah puncak yang
bernama Puncak Awan Biru di Pegunungan Fu-niu-san.
Liu Pang sendiri marah sekali mendengar akan tindakan kaisar yang bukan hanya menyuruh tangkap
Ho-taijin, bahkan telah menangkap semua keluarga pembesar yang bijaksana itu. Maka, selain
memberi petunjuk kepada murid barunya ini dalam hal ilmu silat, juga Liu Pang lalu mengangkat Hosiocia
menjadi pimpinan dalam usaha mereka untuk membebaskan Ho-taijin dari tawanan. Usaha ini
dibantu oleh Huang-ho Su-hiap, yaitu guru-guru pertama dari Pek Lian seperti telah diceritakan di
bagian depan. Dan biarpun Pek Lian menjadi murid-murid mereka, namun karena ia telah menguasai
ilmu-ilmu dari mereka, maka penggabungan ilmu inilah yang membuat ia menjadi tidak kalah lihainya
dibandingkan dengan seorang di antara guru-guru mereka. Apa lagi ia telah memperoleh petunjuk
dari gurunya yang baru dan amat lihai, yaitu Liu Pang.
Demikianlah, seperti telah direncanakan, ketika terjadi pertempuran di dusun itu. tiba-tiba Ho Pek Lian
yang disebut Ho-siocia oleh semua orang gagah pengikut Liu Pang, muncul untuk membebaskan
ayahnya. Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa tiga di antara guru-gurunya
kewalahan menghadapi seorang lawan yang bertubuh pendek cebol, sedangkan seorang guru yang
lain. Sin-kauw, sedang bertanding dengan serunya melawan komandan pasukan. Maka Pek Lian
cepat bergerak menolong tiga orang gurunya yang terancam bahaya maut itu dan kini ia bersama tiga
orang gurunya itu mengeroyok si pendek yang kini iapun dapat menduga tentu Pek-lui-kong yang
kabarnya diam-diam menyelundup ke dalam pasukan pengawal yang menangkap ayahnya.
Setelah kini Pek Lian membantu, dan mereka berempat mengeroyok, maka Pek-lui-kong menjadi
sibuk juga. Terpaksa dia mengeluarkan senjatanya, yaitu sabuk rantai baja, akan tetapi dia hanya
mampu mengimbangi saja empat orang pengeroyoknya. Sementara itu, pertempuran antara Sin-kauw
yang melawan Ciong-ciangkun juga amat seru dan keduanya sudah menerima hantaman dari lawan,
telah menderita luka-luka yang tidak membahayakan nyawa, akan tetapi mereka masih terus
bertanding dengan hebatnya. Hanya keadaan para anak buah yang mengalami pembahan. Biarpun
jumlahnya lebih banyak, namun perajurit itu tidak dapat bertahan menghadapi amukan para pendekar
yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lebih tinggi. Banyak di antara perajurit yang roboh terluka atau
tewas. Melihat keadaan ini, Pek Lian cepat berseru kepada para pembantunya,
"Cepat...... bebaskan Ho-taijin !" Teriakan ini ditujukannya kepada para anak buah yang berhasil
mendekati kereta. Ia sendiri bersama tiga orang gurunya tidak berani meninggalkan Pek-lui-kong.
karena berkurang satu saja di antara mereka berarti keadaan mereka akan terdesak dan berbahaya.
Dengan berempat, mereka mampu mengimbangi kelihaian Pek-lui-kong.
Mendengar perintah dari Ho-siocia (nona Ho) ini, seorang di antara para anak buah Puncak Awan
Biru ini cepat meloncat ke atas kereta. Di bagian depan, kusir muda yang sejak tadi tidak ikut
berkelahi, masih menelungkup di atas bangkunya dan menutupi muka dengan kedua tangan,
tubuhnya gemetar dan nampaknya dia merasa ngeri dan ketakutan.
Melihat ini, anggauta Puncak Awan Biru itu menendang dan kusir itu mengeluarkan seruan keras,
tubuhnya terguling ke bawah dan jatuh ber debuk ke atas tanah. Dia menjadi semakin ketakutan,
dengan kedua tangan masih menutupi mukanya dan tidak memperdulikan rasa nyeri karena
terbanting tadi, dia berteriak-teriak, "Jangan dirusak keretaku! Kereta ini duma disewa oleh perajuritperajurit
itu ! Jangan dirusak, ini keretaku!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada saat itu, beberapa orang pendekar anggauta Puncak Awan Biru telah berloncatan dan mereka
hendak membuka pintu kereta yang agaknya terkunci kuat sekali. Melihat betapa pintu kereta itu
ditarik-tarik dan agaknya hendak dibuka dengan paksa, si kusir itu takut kalau-kalau keretanya rusak,
maka diapun lari menghampiri dan dengan marah dia menarik dari belakang beberapa orang
pendekar sambil berteriak-teriak, "Jangan dirusak keretaku ini!"
Para pendekar itu tentu saja menganggap si kusir sebagai kaki tangan pasukan perajurit biarpun
mengaku bahwa keretanya hanya disewa. Mereka menjadi marah dan seorang di antara mereka yang
menjadi gemas itu mengayun goloknya sambil menghardiknya. "Pergi kau!"
Kusir muda itu mencoba untuk mengelak, akan tetapi karena agaknya dia memang tidak mengenal
ilmu silat sama sekali, gerakannya kaku dan kurang cepat sehingga golok itu sempat menggores
lengan kirinya.
"Crett...... ! Aduhhh...... !" Darah mengucur dari lengan yang terobek kulitnya dan sebuah tendangan
membuat kusir muda itu terlempar dan jatuh terbanting.
Dan terjadilah hal yang amat aneh, diawali dengan suara ketawa yang mendirikan bulu roma. "Ha-hahi-
hi-hi...... !" Suara ketawa ini nyaring sekali sehingga semua orang menengok ke arah pemuda kusir
yang tertawa itu. Para pendekar yang tadinya berusaha membuka pintu kereta juga menengok. Baru
sekarang mereka memandang kusir muda itu penuh perhatian dan melihat bahwa kusir itu masih
muda sekali, berperawakan tinggi tegap, pinggangnya ramping dan nampaknya kuat. Juga wajahnya
yang membayangkan kesederhanaan, bahkan kebodohan itu, nampak tampan dan gagah. Akan
tetapi, kini sepasang matanya yang lebar dan yang dilindungi alis hitam tebal seperti golok itu
terbelalak dan beringas. Lengan kirinya berdarah, matanya beringas memandang ke kanan kiri seperti
orang gila. Semua orang yang memandangnya menjadi terkejut dan juga ngeri. Kusir muda itu telah
menjadi gila.
"Heh-heh, hi-hi-hi... darah..... darah.....! Hemmm... !" sambil berjingkrak-jingkrak seperti menari-nari,
pemuda itu lalu menjilati darah yang keluar dari luka di lengannya!
Melihat ini, semua orang menjadi semakin ngeri. Mereka mengira bahwa tentu kusir muda itu menjadi
gila karena takutnya setelah lengannya terbacok luka itu. Seorang perajurit yang merasa ikut malu
melihat ulah kusir kereta yang tadi dikawalnya itu, membentaknya dan memukulnya untuk
mengusirnya pergi dari situ.
"Pergi...... aiiiiihhhhh...... !" Bentakan itu disambung dengan jeritan yang mengerikan dan tubuh
perajurit yang menghantam itu terlempar seperti didorong oleh tenaga dahsyat, lalu tubuhnya
terbanting ke atas tanah dan ternyata perajurit itu telah tewas dengan kepala retak-retak ! Padahal
tadi dialah yang memukul pemuda yang seperti gila itu ! Tentu saja semua orang menjadi kaget
setengah mati. Kiranya kusir muda yang gila itu memiliki kepandaian yang luar biasa hebatnya.
Ketika kusir itu melihat perajurit terbanting tak jauh dari situ, dia berlari maju dan menubruk mayat itu,
dipelukinya dan diapun menangis. Diangkatnya mayat itu, dipangkunya dan dirangkulnya sementara
mulutnya tiada hentinya mengeluarkan ratap tangis, "Ayaahh...... ayaahhh...... !"
Dan kusir itupun menjadi semakin beringas. Setelah menurunkan kembali mayat itu ke atas tanah,
diapun meloncat berdiri dan mulailah dia mengamuk ! Tidak perduli siapapun yang berada di
dekatnya, perajurit maupun pendekar, tentu diamuknya. Dan tidak ada seorangpun yang mampu
bertahan terhadap amukannya. Setiap ayunan kaki atau tangan tentu membuat orang itu terlempar
sampai jauh ! Melihat ini, semua orang menjadi gempar dan ketakutan, semua lari menyingkir setelah
mencoba melawan yang hanya berakhir dengan tubuhnya terlempar jauh dan terbanting keras.
Karena semua perajurit dan pendekar menjauhinya, kusir muda yang gila itu kemudian lari ke arah
Sin-kauw yang masih bertanding dengan serunya melawan Ciong-ciangkun. Mereka berdua sudah
luka-luka dan sudah agak lemas, namun masih tidak mau saling mengalah. Dan begitu pemuda itu
menyerbu, keduanya telah dapat ditangkap pada tengkuk masing-masing dan sekali menggerakkan
kedua tangannya, kusir muda itu telah berhasil melemparkan Sin-kauw dan Ciong-ciangkun sampai
lima meter jauhnya! Mereka berdua jatuh terbanting, tidak terluka parah tetapi juga nanar dan
merangkak bangun dibantu oleh anak buah masing-masing. Semua orang terkejut. Bukan main
hebatnya kepandaian kusir muda itu. Dan kini kusir itu telah menerjang ke arah pertempuran antara
Pek-lui-kong yang bertubuh pendek dan yang dikeroyok oleh empat orang lihai itu. Dan rusaklah
dunia-kangouw.blogspot.com
perkelahian itn setelah kusir muda ini masuk. Dia memukul dan menendang, tanpa berpihak, bahkan
diserangnya mereka kelimanya dengan gerakan kacau dan kaku, secara membabi-buta saja.
Hek-coa, Pek-bin-houw dan Kim-suipoa terdorong mundur sebelum menangkis, terdorong oleh angin
pukulan yang keluar dari kedua tangan kusir muda itu. Mereka terkejut sekali, dan Pek Lian juga cepat
menyerang dengan pedangnya. Akan tetapi, kusir muda itu menangkis dengan mengipaskan
tangannya dan akibatnya, tubuh nona itu terlempar sampai dua tiga meter jauhnya !
"Hyaaahhh...... !" Pek-lui-kong mengeluarkan bentakan nyaring sambil menyambut pukulan kusir
muda itu dengan dorongan kedua telapak tangannya.
"Dess...... !" Dua tenaga aneh yang dahsyat berjumpa dan akibatnya, si pendek itu tergetar hebat dan
terhuyung ke belakang, sedangkan kusir itupun terpelanting jatuh. akan tetapi dia sudah cepat bangkit
kembali dan menangis melolong-lolong seperti anak kecil ! Si pendek terkejut setengah mati karena
dia mendapat kenyataan bahwa tenaga kusir ini ternyata tidak kalah kuatnya dibandingkan dengan
tenaga sinkang yang dikeluarkannya tadi. Dia menjadi gentar, karena dia tidak tahu di pihak siapakah
kusir itu berdiri. Tadinya kusir itu jelas membunuh seorang perajurit, akan tetapi diapun melihat kusir
gila itu menyerang kalang-kabut tanpa memilih orang.
Selagi semua orang dari kedua pihak gentar memandang kepada pemuda yang menangis melolonglolong
itu, tiba-tiba jendela kereta terbuka dari dalam dan nampaklah kepala seorang pria tua
tersembul dari dalam. Pria itu bukan lain adalah Menteri Ho sendiri. Dengan suara penuh wibawa
pembesar yang menjadi tawanan ini berkata, suaranya tegas dan tak mungkin dapat dibantah lagi
oleh mereka yang menghormati dan mengaguminya.
"Pek Lian...... anakku, dan para sahabatku semua. Kalian pulanglah. Aku tidak menghendaki kalian
memberontak kepada pemerintah. Semenjak turun-temurun, nenek moyang keluarga Ho adalah
orang orang yang setia mengabdi kepada nusa dan bangsa, setia kepada pemerintah yang berkuasa
dan tidak pernah ada yang menjadi pemberontak. Aku tidak ingin menodai nama keluarga Ho dengan
pemberontakan. Nah, pulanglah. Bagaimanapun juga, aku tidak mau melarikan diri dari tahanan
pemerintah."
"Ayahhhh...... !"
"Anakku, pergilah ! Semoga Thian selalu memberkahimu, selamat berpisah !" Daun jendela kereta itu
tertutup kembali.
Ho Pek Lian menangis, akan tetapi Kim-sui-poa, gurunya, menuntunnya dan mengajaknya pergi dari
situ. Pertempuranpun berhenti ketika kedua fihak menyerukan agar anak buah masing-masing itu
mundur. Ciong-ciangkun yang maklum bahwa pasukannya akan menderita kekalahan kalau
pertempuran dilanjutkan merasa lega bahwa Ho-taijin sendiri yang menghentikan pertempuran dan
para penyerbu itu mundur dan meninggalkan tempat itu. Dia lalu mengumpulkan sisa pasukannya,
meninggalkan yang tewas dan luka, lalu tergesa-gesa melanjutkan perjalanan dengan pengawalan
sisa pasukan itu yang kini tinggal separuhnya saja. Kusir muda yang gila tadipun telah pergi sambil
menangis dan kadang-kadang tertawa, agaknya dalam kegilaannya itu dia sudah lupa akan kereta
dan kudanya, ditinggalkannya begitu saja dan entah kemana dia pergi tak ada seorang yang
mengetahuinya.
Sikap seperti yang diperlihatkan oleh Menteri Ho itu sudah sering kali diperlihatkan oleh orang-orang
yang disebut sebagai "orang besar" di sepanjang sejarah. Memang amat mengherankan sekali. Kalau
direnungkan secara mendalam, apakah gunanya sikap seperti itu ? Dia tahu bahwa dirinya difitnah,
bahwa kaisar telah bersikap lalim dan tidak benar, bahwa dia telah menjadi korban kelaliman kaisar.
Akan tetapi, mengapa dia tidak mau menyelamatkan diri, dengan dalih tidak mau memberontak
terhadap pemerintah ? Bukankah hal ini didasari oleh kebanggaan diri dan ketinggian hati yang konyol
belaka ?
Nama baik! Kehormatan! Semua ini hanya sebutan, sebutan yang diperhalus saja untuk menutupi
rasa bangga diri dan ketinggian hati itu. Kita melihat betapa diri kita ini kosong melompong tidak ada
artinya, bahwa diri kita ini dangkal sekali, menjadi hamba dari pada nafsu belaka dan bahwa hidup ini
hanya fana, bahwa tubuh kita ini akhirnya akan hilang ditelan usia dan kematian, bahwa semua pada
diri kita ini akhirnya akan lenyap. Karena itulah, di antara harapan-harapan dan sebutan-sebutan lain,
maka nama kita anggap takkan lenyap. Karena itu, nama harus dijaga sebaiknya, agar hidup selamadunia-
kangouw.blogspot.com
lamanya biarpun badan ini telah tiada ! Dan demi nama dan kehormatan ini, kita mau saja melakukan
segala-galanya, bahkan berkorban nyawa sekalipun, bahkan mati konyol sekalipun seperti yang
diperlihatkan oleh sikap Menteri Ho itu! Apakah gunanya nama besar ? Berguna bagi anak cucu ?
Belum tentu ! Yang jelas, apapun gunanya bagi si empunya nama, tidak ada artinya lagi karena si
empunya nama telah mati. Akan tetapi, kita mengejar-ngejar nama baik ini, kehormatan ini. Bukan
untuk sesudah mati, melainkan untuk sekarang, agar kita dapat berbangga hati dan agar kita merasa
tenteram mengingat bahwa kalau kita mati nama kita akan terus dipuji-puji orang, dikagumi orang !
Kalau nama baik dan kehormatan sudah menjadi tujuan, maka semua jalan untuk mencapainya
merupakan kepalsuan. Tujuan menghalalkan segala cara. Perbuatan apapun, cara apapun yang kita
lakukan, kalau sudah ditujukan untuk sesuatu demi keuntungan diri sendiri lahir maupun batin, maka
perbuatan itu, cara itu, tidaklah wajar dan palsu, merupakan pura-pura belaka.
Namun, seperti tercatat dalam sejarah bahkan sampai kinipun masih dilakukan orang, kita tergila-gila
akan hal-hal yang kita anggap menyenangkan, seperti harta kekayaan, kemuliaan, kehormatan, nama
besar, dengan ukuran dalam pikiran kita bahwa semua itulah sarana untuk mencapai kebahagiaan.
Harapan kosong belaka !
********************
&&&
Rombongan Ho Pek Lian dan empat orang gurunya yang gagal membebaskan Menteri Ho karena
dilarang oleh menteri itu sendiri, pulang ke pegunungan dengan lesu. Mereka telah kehilangan
beberapa orang kawan yang tewas dan yang mayatnya mereka bawa dan mereka kuburkan di tengah
perjalanan, dan beberapa orang pula luka-luka dan kini ikut melakukan perjalanan pulang. Di antara
empat orang pendekar itu, Sin-kauw mengalami luka-luka pula dalam pertandingannya melawan
komandan pasukan, bahkan yang lainpun tidak keluar dari pertandingan itu dengan utuh. Bekas
hantaman Pek-lui-kong dan kemudian tangkisan-tangkisan pemuda gila yang menjadi kusir, itu masih
terasa oleh Pek Lian dan guru-gurunya. Namun, semua pengorbanan itu ternyata sia-sia belaka!
Menteri Ho sendiri, pada saat mereka hampir berhasil membebaskannya, menolak dibebaskan dan
menyuruh mereka pergi.
"Ayaahhh...... " hati kecil Pek Lian menjerit dan air matapun berlinang di kedua matanya.
Keempat orang gurunya menghibur.
"Kami dapat mengerti akan sikap ayahmu, nona," kata Kim-suipoa. Keempat orang pendekar ini
selalu menyebut nona kepada murid mereka ini, mengingat bahwa Pek Lian adalah puteri tunggal
Menteri Ho yang mereka hormati. "Bagi seorang pejabat seperti ayah nona itu, keluarga sendiri dan
nyawa sendiri tidak dipentingkan lagi, yang terpenting adalah mengabdi kepada pemerintah dengan
penuh kesetiaan."
"Tapi, suhu !" Pek Lian membantah dengan hati penuh penasaran. "Teecu sendiri juga bukan seorang
yang suka berkhianat, bukan pula seorang yang berjiwa pemberontak dan tidak setia kepada negara
dan bangsa. Kita yang menamakan diri pendekar dan patriot, memang mencinta negara dan bangsa
dan rela mati demi membela nusa dan bangsa. Akan tetapi, kalau negara dipimpin oleh seorang
kaisar yang lalim dan jahat, kalau bangsa ditindas demi kepuasan nafsu kaisar lalim, apakah kita juga
harus bersetia kepada kaisar seperti itu ? Bukankah kalau kita setia kepada kaisar lalim, berarti
kitapun membantu kaisar untuk menindas bangsa sendiri, untuk membawa negara ke ambang
kehancuran? Lihat, betapa banyaknya rakyat terbunuh, ratusan ribu, jutaan, untuk membangun
Tembok Besar. Dan pembakaran kitab-kitab itu ! Apakah semua itu harus dibiarkan saja ?"
"Tentu saja tidak, nona !" kata Pek-bin-houw. "Dan buktinya, Ho-taijin yang mulia sudah bertindak,
memprotes kaisar !"
"Dan akibatnya, dia sendiri ditangkap !" nona itu berseru marah. "Dan semua keluarga ayah, bibi,
paman, keponakan-keponakan, bahkan pelayan-pelayan, semua ditangkapi dan dijebloskan tahanan
!"
"Itulah yang dinamakan membela kebenaran, nona. Ayahmu bukan setia kepada kaisar, melainkan
kepada nusa dan bangsa, kepada kebenaran. Demi kebenaran, ayahmu berani menentang kaisar dan
dunia-kangouw.blogspot.com
berani menghadapi hukuman. Kami mengerti, dengan perbuatannya itu, ayahmu ingin menyadarkan
kaisar akan kelalimannya !"
"Benarkah kaisar akan sadar ? Aku tidak percaya akan hal ini. Kaisar telah lalim, dan untuk itu, siapa
lagi kalau bukan kita kaum pendekar yang bergerak untuk membebaskan rakyat dari kelalimannya ?
Ini bukan pemberontakan terhadap negara dan bangsa, melainkan pemberontakan terhadap
penguasa lalim yang akan menyeret negara dan bangsa ke lembah kehancuran !"
Empat orang gurunya mengangguk-angguk dan diam-diam mereka merasa bangga akan semangat
murid mereka itu. "Ucapanmu benar, nona. Pengorbanan ayahmu tidak akan sia-sia, mata para
pendekar akan lebih terbuka dan akan makin banyaklah orang gagah yang menentang kaisar yang
lalim. Akan tetapi, urusan ini bukan urusan kecil, oleh karena itu kita semua harus menyerahkan
segala urusan ini di bawah pimpinan Liu-toako (kakak Liu)."
Mereka melanjutkan perjalanan dan kini empat orang pendekar itu bercakap-cakap tentang kelihaian
orang-orang yang mereka temui dalam pertempuran siang tadi. Pek Lian mendengarkan percakapan
mereka dengan hati tertarik, karena di dalam hatinya iapun merasa kagum akan kepandaian Pek-luikong
dan terheran-heran akan perobahan pada diri kusir muda yang tiba-tiba saja menjadi gila dan
setelah gila ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat sehingga si pendek Pek-lui-kong
sendiri sampai tidak mampu menandinginya!
"Kepandaian Pek-lui-kong yang lihai itu tidak perlu diherankan lagi," antara lain Kim-suipoa yang lebih
berpengalaman sebagai pedagang yang suka merantau dari pada saudara-saudaranya berkata, "dia
adalah murid dari Soa-hu-pai tingkat tinggi, tentu saja ilmunya hebat bukan main dan masih baiklah
kalau kita berempat tadi masih mampu menandinginya dan tidak sampai tewas di tangannya."
"Suhu, teecu rasakan tadi pukulannya mengandung hawa yang berputaran seperti angin puyuh, dan
juga terasa dingin bukan main. Pukulan apakah itu ?" Pek Lian sejenak melupakan kedukaannya
karena ditangkapnya ayahnya dan mengajukan pertanyaan itu.
"Itulah pukulan yang disebut Pukulan Pusaran Pasir Maut!" jawab Kim-suipoa sambil bergidik.
"Pukulan itu merupakan inti dari ilmu Perkumpulan Danau Pasir itu. Aku hanya mengetahui sedikit
saja, nona, akan tetapi perlu juga kaudengarkan agar kelak dapat berhati-hati kalau bertemu dengan
tokoh dari Soa-hu-pai itu. Danau itu sebetulnya kini lebih tepat disebut rawa berpasir yang terletak di
sebuah puncak, merupakan kawah yang sudah mati, dan mirip sebuah danau, akan tetapi bukan air
yang berada di danau itu, melainkan pasir. Pasir ini amat panas, kadang-kadang mengepulkan asap
yang panas dan berbau keras. Dan dalamnya pasir ini tak pernah ada yang dapat mengukurnya,
mungkin saja tak dapat diukur selamanya. Selain amat dalam dan juga amat panas, pasir ini
mempunyai sifat yang mengerikan, yaitu dapat bergerak menyedot segala sesuatu yang terjatuh di
situ. Biar binatang yang kuat seperti harimau sekalipun, sekali terjatuh ke dalam pasir, jangan harap
akan dapat keluar lagi karena tersedot terus sampai lenyap tanpa meninggalkan bekas.
"Ih, mengerikan...... !" kata Pek Lian, membayangkan betapa mengerikan kalau sampai ia terjatuh ke
dalam kubangan pasir itu.
"Dan hasil ilmu dari tempat itupun mengerikan, kata lagi Kim-suipoa. "Tokoh yang menemukan ilmu
itu kemudian mendirikan partai Soa-hu-pai berjuluk Kim-mou Sai-ong, seorang pendeta berambut
keemasan yang amat terkenal abad lalu, Dan ilmu itu bertingkat-tingkat. Kabarnya hanya Kim-mou
Sai-ong seoranglah yang dapat mencapai tingkat ke tigabelas. Ilmu itu luar biasa sukarnya dan
mempelajarinya harus dengan taruhan nyawa, maka jaranglah ada murid yang mencapai tingkat
tinggi. Kabarnya, guru dari Pek-lui-kong itu sendiripun hanya mencapai tingkat ke sepuluh! Akan
tetapi, melihat ilmu si pendek itu, sungguh aku heran sekali entah tingkat berapa sekarang telah
dicapainya"
"Bagaimana sih mempelajarinya, suhu ?" tanya Pek Lian, tertarik.
"Akupun hanya mendengar beritanya saja, nona. Karena danau pasir itu luas sekali dan Kim-mou Saiong
kebetulan bertapa di tempat itu, pertapa yang sakti ini lalu mencari daya upaya untuk dapat
menanggulangi bahaya dari danau pasir ini. Dia lalu menciptakan ilmu yang didasarkan untuk
mengatasi kehebatan pasir itu. Dengan latihan sinkang di atas pasir itu, Kim-mou Sai–ong berhasil
menemukan tenaga sinkang yang kekuatannya menolak daya sedot pasir itu. Dapat di-bayangkan
betapa hebatnya tenaga sinkang itu kalau sudah mampu menolak daya sedot seperti itu. Selain ini,
dunia-kangouw.blogspot.com
juga untuk melawan panasnya pasir ketika berlatih di atas pasir, diapun berhasil membuat hawa
sinkangnya menjadi dingin untuk menahan panas. Oleh karena itu, setelah ilmunya yang dinamakan
Ilmu Pukulan Pusaran Pasir Maut itu sempurna, ilmu itu mengandung hawa yang memutar dan
mendorong untuk melawan sedotan itu, dan juga mengandung hawa dingin yang dapat mematikan
lawan."
Perjalanan mereka kini tiba di tepi Sungai Yang-ce-kiang yang amat lebar. Di situ sudah menanti
beberapa orang teman mereka yang sudah mempersiapkan perahu-perahu untuk mereka. Maka
perjalanan dilanjutkan dengan naik beberapa buah perahu. Akan tetapi Pek Lian tidak mau naik
perahu.
"Harap suhu sekalian dan saudara-saudara semua melanjutkan perjalanan dengan perahu," katanya
kepada empat orsng suhunya. "Teecu lebih senang mengambil jalan darat naik kuda, karena teecu
ingin menghibur hati dengan melihat pemandangan alam yang indah."
"Ah, jalan darat lebih berbahaya dari pada jalan air, nona," kata Sin-kauw yang masih lemah oleh
luka-lukanya.
"Teecu tidak takut, suhu."
"Kalau begitu, biarlah aku menemani nona Ho mengambil jalan darat," kata Hek-coa.
"Tidak, Ular Hitam, engkau lebih ditakuti para bajak, maka sebaiknya kalau engkau menemani Si
Monyet Sakti yang terluka itu mengambil jalan air. Biarlah aku dan Harimau Muka Putih yang menemani
murid kita mengambil jalan darat," kata Kim-suipoa yang merupakan orang tertua dan juga
menjadi pemimpin setelah Ho Pek Lian yang mereka anggap sebagai pemimpin mereka seperti yang
telah ditentukan oleh Liu-toako.
Si Ular Hitam tidak membantah, lalu dia bersama teman-temannya menggunakan perahu-perahu itu,
mendayung perahu ke tengah dan sebentar saja perahu-perahu itu telah menghilang di suatu
tikungan. Kim-suipoa dan Pek-bin-houw lalu mengajak murid mereka melanjutkan perjalanan.
"Matahari telah mulai condong ke barat, sebaiknya kalau kita mempercepat perjalanan agar dapat
melewati hutan di depan, nona. Hutan ini tidak kita kenal, dan kalau sudah melewati hutan barulah
kita sampai di sebuah dusun nelayan di mana kita boleh beristirahat."
"Baiklah, suhu."
Mereka lalu melanjutkan perjalanan memasuki hutan. Akan tetapi, jalan setapak yang dilalui oleh kuda
mereka itu makin lama makin menjauhi sungai dan akhirnya sungai tidak nampak sama sekali karena
jalan itu terhalang oleh tebing-tebing dan batu-batu besar di tepi sungai. Akhirnya mereka sama sekali
terputus dari sungai dan berada di tengah-tengah hutan yang amat liar dan gelap. Sementara itu,
cuaca menjadi semakin gelap. Mereka melanjutkan perjalanan, akan tetapi kegelapan malam
membuat mereka tersesat jauh ke dalam hutan, makin menjauhi jalan setapak dan akhirnya mereka
terpaksa menghentikan kuda karena mereka tidak tahu lagi mana jalan yang benar. Tiga orang itu
adalah pendekar-pendekar yang memiliki kepandaian tinggi, tentu saja mereka tidak takut berada di
dalam hutan itu. Mereka tidak takut terhadap binatang buas, juga tidak takut akan orang jahat.
Betapapun juga, mereka merasa tidak enak kalau harus melewatkan malam di dalam hutan lebat
yang tanahnya lembab dan hawanya dingin itu.
Pek-bin-houw lalu memanjat pohon besar sampai ke puncaknya dan dari situ dia mencari-cari
dengan pandang matanya. Akhirnya, di sebelah kirinya, di tempat yang agak meninggi, dia melihat
sinar api kecil yang tak lama kemudian lalu padam. Cepat dia turun kembali dan berkata, "Di sebelah
sana kulihat ada sinar api. Mungkin ada rumah orang."
Kim-suipoa menjadi girang. "Bagus, sebaiknya kalau kita tuntun saja kuda kita, lebih mudah mencari
jalan kalau begitu."
Demikianlah, di bawah penerangan bulan yang baru saja muncul, dan dengan hati-hati sekali, mereka
lalu berjalan sambil menuntun kuda. Pek-bin-houw di depan karena dialah yang melihat api tadi dan
dia yang selalu mengingat-ingat di mana letak api yang dilihatnya tadi. Pek Lian di tengah sedangkan
Kim-suipoa di belakang. Mereka sudah berjalan selama dua jam, namun belum juga melihat ada
dunia-kangouw.blogspot.com
rumah orang. Yang ada hanyalah pohon-pohon raksasa dan tanah yang penuh dengan alang-alang,
rumput dan tumbuh-tumbuhan liar. Akan tetapi, jalan mulai mendaki dan Pek-bin-houw berseru,
"Agaknya kita tidak salah jalan. Api itu memang berada di tempat yang agak tinggi."
Dan makin menanjak jaian itu, makin berkuranglah pohon-pohon besar, terganti padang rumput
sehingga tiga orang itu menjadi lapang pula. Akan tetapi mereka masih belum tahu jalan mana yang
menuju ke arah jalan setapak yang akan membawa mereka kembali ke tepi sungai. Dan selagi
mereka mencari-cari, tiba-tiba Pek Lian yang masih remaja dan penglihatannya lebih tajam
dibandingkan dengan dua orang gurunya, berseru lirih, "Nah, di sana itu ada rumah !"
Dua orang gurunya cepat menengok dan mengerutkan alis untuk dapat memandang lebih jelas dan
merekapun dapat melihat bayangan remang-remang di bawah sinar bulan. Merekapun merasa
gembira dan cepat tiga orang ini menuntun kuda mereka menuju ke arah bayangan rumah itu yang
ternyata masih cukup jauh. Setelah tiba di pekarangan rumah, mereka menambatkan kuda mereka
pada pohon di depan rumah, kemudian merekapun menuju ke pintu depan.
Rumah itu besar sekali, besar dan menakutkan karena gelap dan rumah itu kuno. Suasana
menyeramkan meliputi rumah besar yang gelap itu. Tidak nampak penerangan sedikitpun sehingga
Pek-bin-houw menyatakan bahwa mungkin bukan ini rumah yang dilihatnya dari atas pohon dalam
hutan, karena dari atas tadi ia melihat sinar penerangan walaupun hanya sebentar.
"Rumah siapapun juga, ada penghuninya atau tidak, cukup lumayan untuk kita mengaso malam ini,
dari pada di hutan yang lembab dan dingin," kata Kim-suipoa dan mereka lalu mengetuk pintu. Pek
Lian memandang ke kanan kiri. Rumah itu terpencil, tidak terdapat rumah lain di sekeliling tempat itu.
Padang rumput yang luas dengan beberapa batang pohon di sana-sini.
Ketukan pintu mereka tak terjawab dan Pek-bin-houw mendorong daun pintu. Terdengar bunyi
berkriyet ketika daun pintu itu terbuka dengan mudahnya. Kiranya memang tidak terkunci. Mereka lalu
memasuki daun pintu itu. Mereka tidak banyak cakap karena biarpun tempat itu sedemikian sunyinya
namun mereka bertiga merasa seolah-olah ada banyak orang mengintai mereka dari empat penjuru.
Maka ketiganya memasuki rumah itu dengan sikap yang waspada, siap sedia menghadapi segala
kemungkinan. Di tempat yang angker seperti ini, tidak akan mengherankan mereka kalau tiba-tiba ada
bahaya mengancam.
Biarpun rumah itu nampak kosong dan tidak berpenerangan, namun ketika mereka masuk, mereka
melihat kebersihan dalam rumah, dan perabot-perabot rumah sederhana. Hal ini menunjuk kan bahwa
rumah itu sebenarnya bukan kosong, tentu ada penghuninya atau setidaknya baru saja ditinggalkan
para penghuninya. Mereka berjalan terus dengan hati-hati, memasuki lorong dalam rumah. Di katian
kiri lorong itu terdapat
***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To Register.]***
ka," Kim-suipoa menunjuk ke kamar di sudut sebelah belakang akan tetapi tiba-tiba dari dalam kamar
yang berada di sudut paling kiri terdengar suara wanita, suaranya halus agak parau, pantasnya suara
seorang wanita tua.
"Hong-ji, kulihat hanya tiga orang tamu kita malam ini, benarkah ?"
"Benar, ibu. Mungkin masih ada yang lain di luar, tapi koko belum bergerak!" jawaban yang terdengar
dari gubuk di dekat kolam ikan di taman itu amatlah merdunya, jauh berbeda dan bahkan menjadi
kebalikan dari suara wanita pertama.
Mendengar dua suara yang tiba-tiba ini, tentu saja Pek Lian dan dua orang gurunya menjadi terkejut
dan mereka bertiga sudah menghentikan langkah dan memandang ke arah suara itu dengan penuh
perhatian. Suara nertama datang dari dalam sebuah kamar, dan ketika mereka mencari ke arah suara
merdu yang datang dari gubuk di tengah taman itu, nampaklah oleh mereka bayangan seorang wanita
yang tinggi ramping sedang berdiri dan bersandar pada tiang gubuk tadi. Melihat ini, dan mendengar
percakapan tadi, ketiganya merasa tak enak dan malu sekali karena mereka maklum bahwa dua
orang yang bersuara itu tentulah fihak nyonya rumah. Maka, cepat Kim-suipoa mengajak Pek-binhouw
dan Pek Lian untuk pergi menghampiri wanita yang berada di gubuk itu dan setelah dekat, di
bawah sinar bulan mereka dapat melihat bahwa orang ini adalah seorang gadis yang tubuhnya
ramping sekali dan garis-garis wajahnya membayangkan kecantikan. Sebagai wakil rombongannya,
dunia-kangouw.blogspot.com
Kim-suipoa lalu menjura, diikuti oleh Pek-bin-houw dan Pek Lian, lalu pendekar ini berkata dengan
suara penuh hormat,
"Kami mohon maaf sebesanya kepada kouw-nio (nona) atas kelancangan kami bertiga memasuki
rumah ini tanpa ijin. Kami adalah tiga orang yang sesat jalan ingin berteduh melewatkan malam dan
karena kami mengira bahwa rumah ini kosong maka kami berani memasukinya."
Wanita yang memiliki suara merdu itu berkata, suaranya masih merdu dan enak didengar walaupun
mengandung kemarahan, "Hemm, banyak sekali srigala yang berkedok domba selama tiga hari
orang-orang jahat berkeliaran di sini, membuat kami banyak pusing. Siapakah yang dapat percaya
omongan kalian ?"
Mendengar jawaban ini Ho Pek Lian mengerutkan alisnya. Ia sendiri adalah seorang wanita yang
halus wataknya, berpendidikan sebagai puteri seorang menteri kebudayaan walaupun sejak kecil ia
mempelajari ilmu silat tinggi. Maka, melihat betapa tadi gurunya bersikap hormat dan kini wanita itu
sebaliknya bersikap kasar, iapun merasa tidak senang.
"Hemm, jangan sembarangan menuduh orang!"
Akan tetapi sebelum Pek Lian dapat melanjutkan kemarahannya, tiba-tiba terdengar suara nyaring
sekali, didahului siulan panjang yang terdengar dari jauh. Suara nyaring itu terdengar dari atas
genteng, "Hong-moi, awas mereka datang lagi!"
Mendengar suara ini, gadis yang bersuara merdu itu keluar dari gubuk dan diam-diam Pek Lian
memandang dengan kagum bukan main. Gadis yang bersuara merdu itu ternyata memiliki kecantikan
yang sama indahnya dengan suaranya. Amat cantik jelita dan manis, dan hal ini mudah dilihat biarpun
hanya dengan penerangan sinar bulan saja. Sementara itu, dengan tiba-tiba, seolah-olah muncul
dari tiada, di situ telah berdiri seorang wanita tua berusia lebih dari limapuluh tahun, dan ternyata ialah
pemilik suara parau tadi karena dengan sikap sembarangan wanita ini berkata kepada mereka
bertiga, "Kalau sam-wi (kalian bertiga) memang tidak berniat jahat, lekaslah pergi dari sini agar
selamat!" Setelah berkata demikian, wanita itu bersama puterinya lalu pergi ke dalam rumah.
Kim-suipoa dan Pek-bin-houw yang sudah banyak pengalamannya di dunia kang-ouw, maklum
bahwa mereka memasuki rumah keluarga yang agaknya sedang menanti datangnya musuh-musuh
mereka, maka karena dia tidak ingin terlibat dengan urusan orang lain, Kim-suipoa lalu mengajak Pekbin-
houw dan Pek Lian untuk cepat keluar dari tempat itu. "Mari kita cepat pergi, tidak ada gunanya
kita berdiam lebih lama di sini."
Mereka bertiga lalu bergegas keluar, akan tetapi ketika mereka tiba di pintu depan, mereka berhenti.
Dari jauh mereka melihat datangnya tiga orang laki-laki yang rambutnya riap-riapan, tiga orang ini
semua memakai jubah seperti jubah pendeta, dua di antara mereka berjubah hijau sedangkan orang
ke tiga berjubah biru. Di bagian dada dari jubah mereka itu terdapat lukisan seekor naga. Ketika tiga
orang itu, yang berjubah biru di tengah sedangkan yang berjubah hijau berada di kanan kirinya, tiba di
depan pintu pekarangan, tiba-tiba nampak ada dua bayangan orang berkelebat melayang turun dari
atas genteng dan ternya-ta mereka itu adalah seorang kakek berusia hampir enampuluh tahun,
berjenggot panjang, dan seorang pemuda tampan gagah bertubuh jangkung tegap. Begitu kedua
pasang kaki itu menyentuh tanah, keduanya berdiri dengan tegak, di sebelah depan Kim-suipoa dan
dua orang temannya, menghadapi tiga orang berambut riap-riapan itu.
Orang yang berjubah biru itu cepat menjura ke arah kakek berjenggot panjang, diikuti oleh dua orang
berjubah hijau dan terdengarlah suaranya yang bernada kasar, "Selamat berjumpa, supek, kami
bertiga datang menghadap!"
Kim-suipoa, Pek-bin-houw dan Pek Lian merasa serba salah. Mereka tidak sengaja memasuki rumah
orang, dan tidak sengaja pula mereka menjadi saksi pertemuan dua fihak yang agaknya diliputi
ketegangan. Oleh karena itu, atas isyarat Kim-suipoa, mereka bertiga lalu melangkah maju, lalu
ketiganya menjura sebagai penghormatan ke arah kakek berjenggot dan pemuda tampan karena
mereka menduga bahwa tentu keduanya itu yang menjadi tuan rumah. Kakek berjenggot itu hanya
mengangguk sebagai balasan, akan tetapi pandang matanya masih terus ditujukan ke arah tiga orang
laki-laki berambut riap-riapan itu. Melihat ini, Kim-suipoa dan dua orang temannya lalu melanjutkan
langkah mereka, bermaksud untuk pergi mengambil kuda mereka dan mening-galkan tempat itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi ketika mereka hendak melewati tiga orang berambut riap-riapan itu, si baju biru
membentak, suaranya kasar dan keras sekali, "Berhenti...... !!" Sebelum Kim-suipoa dan temantemannya
menjawab, si baju biru itu lalu menghadapi kakek jenggot panjang dan berkata, "Supek,
seorangpun tidak boleh meninggalkan halaman ini sebelum tuntutan kami yang kemarin itu supek
penuhi dan berikan kepada kami!"
Kakek itu tidak menjawab, akan tetapi pemuda jangkung di sebelahnya yang menjawab, suaranya
dingin, "Mereka adalah orang luar, tidak ada sangkut-pautnya dengan kita !"
"Biar orang luar biar setan, sebelum tuntutan kami dipenuhi, tidak boleh keluar dari tempat ini dalam
keadaan bernyawa!" bentak si jubah biru dengan nada suara, keras dan tegas. Mendengar ucapan ini,
Ho Pek Lian sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dara ini telah mencabut pedangnya.
Terdengar suara berdesing dan nampak sinar berkilau ketika sinar bulan menimpa pedang yang tajam
itu.
"Aku hendak keluar dari sini, ingin kulihat siapa yang akan berani melarangku !" katanya sambil
melangkah maju.
Si jubah biru mundur dan berkata kepada dua orang berjubah hijau, "Bekuk bocah ini!"
Dua orang berjubah hijau itu bergerak maju. "Baik, suhu!" kata mereka dan keduanya lalu
menggerakkan kedua tangan, jari-jarinya ditekuk dan dibuka seperti kuku harimau dan terdengarlah
suara berkerotokan dari buku-buku jarinya.
"Nona, biarlah kami berdua menghadapi mereka," Kim-suipoa berkata dan bersama Pek bin-houw
diapun melangkah ke depan. Melihat dua orang suhunya sudah maju, Pek Lian lalu mundur kembali
dan menyimpan pedangnya, namun pandaug matanya berapi-api ditujukan kepada si jubah biru,
hatinya panas dan marah sekali. Siapapun adanya mereka, ia tidak takut untuk menghadapi nya.
"Kalian hendak melarang kami pergi dari sini. Nah, perlihatkanlah kepandaian kalian!" kata Kim-suipoa
sambil tersenyum mengejek. Akan tetapi diam-diam dia dan Pek-bin-houw merasa heran sekali
dengan munculnya orang-orang berambut riap-riapan yang berjubah dan jubahnya bergambar naga
ini. Selama mereka malang-melintang di dunia kang-ouw dan terutama di daerah lembah Huang-ho
dan Yang-ce, mereka berempat telah dikenal oleh semua penjahat, akan tetapi mereka belum pernah
bertemu dengan golongan seperti yang mereka hadapi sekarang ini.
Dua orang berjubah hijau itu mengeluarkan suara gerengan keras, lalu mereka menubruk seperti
gerakan seekor harimau atau seperti cakar naga. Gerakan mereka cepat dan juga kuat sekali karena
dari gerakan ini menyambar angin yang berhawa panas. Namun. Kim-suipoa dan Pek-bin-houw
bukanlah orang-orang lemah dan dengan cekatan mereka sudah mengelak dan balas menyerang
dengan sama dahsyatnya.
Pek-bin-houw adalah seorang pendekar yang memiliki lweekang yang amat kuat, maka begitu
bergebrak selama belasan jurus, lawannya yang berkumis tebal itu beberapa kali menggereng-gereng
marah karena pertemuan antara lengan mereka membuatnya kenyerian. Sedangkan Kim-suipoa
adalah seorang pendekar yang memiliki banyak macam ilmu silat dan juga memiliki gerakan yang
aneh dan cepat sehingga biarpun lawannya juga amat tangguh, namun dia dapat menandingi bahkan
mengatasinya. Dua orang berjubah hijau itu memang hebat sekali gerakannya dan tingkat merekapun
seimbang dengan dua orang pendekar ini, namun mereka itu mulai terdesak dan melihat hal ini, si
jubah biru menjadi marah bukan main. Tak disangkanya bahwa dua orang muridnya yang amat
diandalkannya itu, yang kepandaiannya sudah tinggi dan tidak banyak selisihnya dengan
kepandaiannya sendiri, tidak mampu mengalahkan dua orang pria yang menjadi tamu tuan rumah.
Dia bersiul panjang dan nyaring sekali. Dari jauh terdengarlah siulan sebagai jawabannya, dan diapun
menggereng lalu menerjang ke depan untuk membantu dua orang muridnya.
"Singggg ....!" Gulungan sinar terang berkelebat dan si jubah biru terpaksa melompat ke samping.
Pedang di tangan Pek Lian menyambar ganas dan memaksa si jubah biru untuk menghadapi dan
melawan ia, tidak dapat mengeroyok kedua orang suhunya. Si jubah biru menjadi semakin marah dan
dengan gerengan dahsyat diapun balas menyerang, gerakannya seperti seekor naga marah, kedua
tangannya membentuk cakar, kedua lengannya bengkok seperti dua ekor ular yang berdiri dan siap
menyerang, dan kedua tangan ini melakukan serangan dengan cara mencengkeram dan menotok,
kadang-kadang juga membuat gerakan hendak menangkap. Gerakannya aneh, gesit dan terutama
dunia-kangouw.blogspot.com
sekali mengandung hawa panas yang membuat Pek Lian menjadi agak kewalahan. Biarpun
pedangnya telah digerakkan dengan cepat, namun selalu pedangnya bertemu dengan hawa pukulan
kuat yang membuat gerakannya menyimpang. Tentu saja Pek Lian merasa terkejut dan terheranheran
sekali. Dalam waktu singkat saja dari sejak percobaan membebaskan ayahnya sampai
sekarang, ia telah berjumpa dengan banyak sekali orang pandai. Mula-mula Pek-lui-kong si pendek
yang lihai itu, lalu si kusir gila, dan sekarang orang-orang yang berambut riap-riapan ini ternyata lihailihai
bukan main. Iapun menduga bahwa tentu fihak tuan rumah ini merupakan keluarga yang berilmu
tinggi, apa lagi mendengar bahwa si jubah biru yang amat lihai ini menyebut kakek berjenggot
panjang itu sebagai supek (uwa guru)!
Selagi ramai-ramainya mereka berkelahi, terdengar siulan nyaring dan nampak berkelebat dua
bayangan orang yang begitu tiba di situ terus menggerakkan tangan ke arah Pek Lian dan dua
gurunya. Angin pukulan yang dahsyat dan panas sekali membuat dara dan dua orang garunya ini
terkejut dan cepat meloncat jauh ke belakang. Kiranya yang datang adalah dua orang yang
rambutnya riap-riapan juga, yang seorang berjubah biru dan seorang lagi berjubah coklat. Si jubah
coklat ini usianya sudah enampuluh tahunan, rambutnya yang riap-riapan itu sudah setengahnya
putih, matanya berkilauan dan tajam sekali, wajahnya membayangkan kekerasan hati. Dengan
matanya yang tajam dia memandang kepada Pek Lian dan dua orang gurunya, lalu berkata dengan
suara mengandung ejekan, "Huh, kiranya Bu-suheng telah menjadi penakut dan mengandaikan
bantuan orang luar, he-he...... !"
"Bhong-sute, jangan menuduh sembarangan. Ketiga orang ini adalah tamu-tamu yang tidak ada
hubungannya sama sekali dengan urusan kita. Akan tetapi murid-muridmu yang tak tahu diri dan
menyerang mereka."
Jilid II
"SUDAHLAH," kata si baju coklat, "katakanlah murid-muridku salah, akan tetapi mereka inipun tidak
penting. Sekarang aku ingin minta dengan cara persaudaraan yang baik kepadamu, Bu-suheng.
Guruku ingin melihat pusaka yang diberikan oleh mendiang kakek guru kepada mendiang supek,
ayah suheng. Kata guruku, pusaka itu hanya hendak dipinjam sebentar, setelah dipelajari akan
dikembalikan kepadamu."
Kakek berjenggot panjang itu menghadapi ta-munya yang bersikap kasar dengan tenang. Kemudian
terdengar dia berkata, suaranya tenang dan halus namun lantang dan mengandung ketegasan,
"Bhong-sute, mendiang kakek guru adalah se-orang sakti yang bijaksana dan adil sekali. Di an-tara,
tiga orang muridnya,. masing-masing telah diberi sebuah pusaka, Mendiang ayahku sebagai murid
pertama menerima pemberian pusaka, demikian pula ji-susiok (paman guru ke dua) yang menjadi
gurumu, dan juga sam-susiok (paman guru ke tiga), masing-masing telah menerima pemberian
pusaka. Kenapa sekarang ji-susiok ingin memiliki pusaka yang telah diberikan kepada mendiang
ayahku dan telah diwariskan kepadaku ?"
"Tapi suhu hanya ingin meminjam sebentar, Bu-suheng."
"Sute, engkau tentu sudah tahu, dan demikian pula ji-susiok bahwa pusaka sama dengan jiwa, tidak
boleh dipinjam-pinjamkan."
"Ha-ha-ha, jiwa tidak boleh dipinjamkan akan tetapi bisa saja diambil!" Kakek berambut riap-riapan itu
tertawa. "Mendiang sucouw kita tidak adil dalam pembagian itu, demikian kata suhu. Kalau yang lain
hanya diberi sebuah kitab pusaka, ternyata supek diberi dua kitab. Yang pertama ada-lah rahasia ilmu
tenaga dalam yang merupakan inti perguruan kita, juga supek masih diberi kitab rahasia ilmu
ketabiban. Padahal guruku hanya diberi rahasia ilmu silat perguruan kita dan susiok hanya diberi
rahasia ilmu ginkang kakek guru yang termasyhur itu. Nah, karena itu maka guruku merasa curiga,
dunia-kangouw.blogspot.com
jangan-jangan dalam kitab ilmu ketabiban itu diterangkan mengenai kelemahan-kelemahan ilmu yang
lain. Ini namanya tidak adil!"
"Sute, kita golongan muda tidak tahu sama se-kali akan hal itu. Pembagian itu adalah urusan orangorang
tua. Kalau ji-susiok merasa tidak adil, kenapa tidak sejak dahulu mengurusnya dengan
mendiang sucouw, atau dengan mendiang ayahku?"
"Bu Kek Siang!" Si jubah coklat membentak sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka kakek
jenggot panjang itu. "Ucapanmu sungguh menghina ! Dengan menyuruh suhu berurusan dengan
orang-orang yang sudah mati, bukankah itu berarti engkau menyuruh suhu mati ? Keparat...,
pendeknya serahkan kitab itu atau terpaksa aku akan melakukan kekerasan!"
Sepasang mata kakek berjenggot panjang itu berkilat karena diapun marah sekali. "Bhong Kim Cu,
jangan mengira bahwa aku takut akan ancamanmu. Sebelum tubuh ini menggeletak tanpa nyawa,
jangan harap untuk mendapatkan kitab pusaka kami !"
Orang yang bernama Bhong Kim Cu itu me-ngeluarkan suara gerengan seperti seekor binatang buas
dan diapun sudah menerjang ke depan, me-nyerang kakek berjenggot yang bernama Bu Kek Siang
itu. Kakek berjenggot itupun menyambut serangan ini dengan sikap tenang dan merekapun sudah
saling serang dengan hebat, masing-masing mengeluarkan pukulan-pukulan yang mengandung
tenaga sinkang sedemikian hebatnya sehingga terasa angin menyambar-nyambar di sekitar tempat
itu.
Sementara itu si baju biru yang baru datang bersama Bhong Kim Cu itupun sudah maju dan disambut
oleh pemuda jangkung putera Bu Kek Siang dan merekapun ternyata memiliki kepandaian seimbang
sehingga terjadilah pertandingan yang amat seru.
Ketika si baju biru yang pertama hendak maju Pek Lian membentak, "Mari kita lanjutkan pertandingan
kita !" dan iapun sudah menyambut dengan pedangnya. Akan tetapi, tiba-tiba dua orang berbaju hijau
telah menerjangnya dari kanan kiri sehingga terpaksa Pek Lian melayani pengeroyokan dua orang ini.
Sedangkan si baju biru telah menerjang dan disambut oleh pengeroyokan Kini-suipoa dan Pek-binhouw.
Ternyata fihak penyerbu itu cerdik sekali. Tadinya mereka tahu bahwa kepandaian nona
berpedang itu tidak banyak selisihnya dengan kepandaian dua orang pria yang menjadi tamu di
tempat itu, maka untuk mengimbangi mereka, si jubah biru lalu bertukar tempat dengan dua orang
muridnya. Kini, si jubah biru menandingi pengeroyokan dua orang kakek sedangkan nona itu yang
dianggap lebih lihai dikeroyok oleh dua orang berjubah hijau. Terjadilah pertempuran yang amat hebat
di pekarangan rumah kuno itu.
Memang fihak penyerbu cerdik sekali. Setelah bertukar tempat, kini jelaslah bahwa dikeroyok oleh
dua orang jubah hijau, Pek Lian mulai terdesak Dua orang itu juga sudah mengeluarkan senjata, yaitu
keduanya mempergunakan semacam cambuk baja bergigi, semacam joan-pian ak.an tetapi dibentuk
mengerikan, seperti ekor ikan pi-hi yang panjang. Menghadapi kedua orang lawan ini, Pek Lian
terdesak dan terpaksa ia memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari desakan dua buah
senjata panjang yang berbahaya itu. Sedangkan Kim-suipoa dan Pek-bin-houw sudah mainkan
senjata pikulannya yang tak pernah terpisah dari tubuhnya itu, akan tetapi si baju biru itu biarpun
bertangan kosong, ternyata memiliki gerakan ilmu silat yang aneh dan cepat sekali. Perobahanperobahan
gerakan kedua tangannya amat hebat dan juga gerakan kedua kakinya gesit dan kadangkadang
si jubah biru ini berloncatan dan meni haritam dengan tiba-tiba secara tidak terduga-duga,
membuat kedua orang pendekar itu benar-benar kewalahan.
Sebaliknya, pertandingan antara pemuda jangkung dan jubah biru yang lain amat ramai, sungguhpun
perlahan-lahan si pemuda dapat mendesak lawan. Juga tuan rumah, yaitu kakek jenggot panjang
yang bernama Bu Kek Siang itu mulai dapat mendesak lawan. Si jubah coklat yang bernama Bhong
Kim Cu itu memang memiliki ilmu silat yang lebih hebat dari pada lawannya, lebih cekatan dan
perobahan pada gerakan tangannya amat aneh dan indah sehingga dia dapat memperoleh lebih
banyak kesempatan untuk melakukan serangan terhadap lawan. Namun jelaslah bahwa dalam hal
tenaga dalam, dia kalah oleh tuan rumah. Setiap kali mereka bertemu lengan, tentu si jubah coklat itu
terhuyung, dan dengan kelebihan tenaga dalam inilah fihak tuan rumah dapat menahan lawan.
"Manusia-manusia tak tahu malu !" Tiba-tiba nampak dua bayangan berkelebat dan ternyata seorang
nenek dan seorang dara muda telah ber-loncatan keluar dan masing-masing membawa sebatang
pedang, lalu keduanya menerjang ke dalam medan pertempuran. Mereka tadi telah melihat siapa
dunia-kangouw.blogspot.com
yang perlu dibantu, maka dara cantik seperti bidadari tadi telah menggunakan pedangnya membantu
Pek Lian sehingga tentu saja dua orang berjubah hijau itu seketika berbalik terdesak oleh dua orang
dara cantik itu. Sedangkan nenek itupun segera menyerbu dan membantu Kim-suipoa dan Pek-binhouw.
Gerakan pedangnya juga amat kuat sehingga si jubah biru yang hanya lebih unggul sedikit saja
menghadapi pengeroyokan dua orang pendekar itu, kini menjadi terdesak hebat dan terus main
mundur.
Melihat keadaan yang amat tidak menguntungkan ini, di mana semua anggauta fihaknya terdesak
dan kalau dilanjutkan tentu akan menderita kekalahan mutlak, Bhong Kim Cu lalu mengeluarkan
siulan nyaring dan meloncat mundur, diturut oleh semua muridnya dan tanpa mengeluarkan kata-kata
lagi, lima orang itupun melarikan diri dan menghilang ke dalam gelap.
Setelah semua lawan menghilang, kakek itu menarik napas panjang, lalu dia bersama keluarganya,
yaitu isterinya, puteranya dan puterinya, menghadapi Pek Lian dan dua orang gurunya. Kakek itu
menjura dan berkata dengan halus, "Kami sekeluarga menghaturkan terima kasih atas bantuan nona
dan ji-wi sicu."
Tentu saja Pek Lian dan dua orang gurunya menjadi kikuk sekali dan tergopoh-gopoh mereka
membalas penghormatan mereka. Kim-suipoa mewakili rombongannya berkata sambil tersenyum
ramah,
"Ah, harap cu-wi tidak bergurau ! Mana bisa dinamakan bahwa kami membantu cu-wi ? Bahkan kalau
tidak ada toanio dan siocia yang menolong, mungkin kami bertiga telah mati konyol Kepandaian kami
bertiga disatukan ini saja masih belum dapat menyamai kelihaian putera-puteri locianpwe."
Ucapan ini bukan hanya merupakan sikap merendahkan diri saja, melainkan mengandung kebenaran
yang benar-benar merupakan pukulan dan kekecewaan bagi mereka bertiga. Mereka kini baru sadar
dan seolah-olah baru terbuka mata mereka bahwa kepandaian mereka yang selama ini mereka
anggap sudah cukup lihai, ternyata belum apa-apa. Berturut-turut mereka bertemu dengan orangorang
yang amat lihai, yang memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi dari pada mereka, membuat
mereka merasa bodoh sekali.
"Sekarang kami mohon diri dan maafkanlah kalau kami bertiga tanpa sengaja telah mengganggu cuwi,"
kata pula Kim-suipoa dan mereka bertiga lalu menjura dan berpamit.
"Ah, malam telah mulai larut dan bulan bersem-bunyi di balik awan, malam akan gelap. Sebaiknya
kalau sam-wi bermalam saja di sini untuk malam ini," kata kakek Bu Kek Siang dengan ramah.
"Maaf, kami tidak ingin mengganggu locianpwe lebih lama lagi," kini Pek-bin-houw berkata.
"Tidak ada yang mengganggu. Kalian boleh bermalam di sini, kecuali kalau kalian merasa takut akan
ancaman lawan terhadap tempat ini, tentu kami tidak dapat menahan kalian " kata nenek itu pula.
Pek Lian mengerutkan alisnya dan ia menjawab, "Biarpun kami tidak mempunyai kepandaian, namun
kami tidak takut akan ancaman orang jahat! Kami dapat melawan sampai titik darah terakhir untuk
menentang kejahatan!"
Kakek berjenggot itu tersenyum menyaksikan semangat nona ini, dan pemuda jangkung itupun lalu
berkata, "Maafkan kalau tadi kami semua merasa curiga kepada nona dan paman berdua. Akan
tetapi, sekarang kami tahu bahwa paman berdua adalah Kim-suipoa dan Pek-bin-houw, dua orang
pendekar terkenal di sepanjang lembah Huang-ho dan Yang-ce itu, bukan ?"
Dua orang itu terkejut dan menjura. ''Ah, sungguh pengetahuan kami dangkal bukan main, Taihiap
telah mengenal kami, sebaliknya kami sama sekali tidak pernah menduga akan bertemu dengan
orang-orang sakti yang sama sekali belum pernah kami kenal namanya. Maaf, maaf" kata Kim-suipoa.
"Masuklah dan jadilah tamu kami untuk malam ini, dan kami akan memperkenalkan diri," kata kakek
Bu Kek Siang dengan ramah. Kini tiga orang itu tidak berani menolak lagi, apa lagi ketika dara yang
cantik jelita dan manis sekali itu segera menggandeng tangan Pek Lian dan berkata dengan manis,
"Enci, engkau gagah sekali, aku suka padamu !" Pek Lian juga tersenyum dan balas merangkul. "Ah,
tidak ada setengahnya kepandaianmu, adik yang manis."
dunia-kangouw.blogspot.com
Merekapun beramai-ramai memasuki rumah itu dan di bawah penerangan beberapa buah lilin, karena
keluarga itu tidak berani membuat terlalu banyak penerangan, tiga orang tamu ini lalu dijamu dengan
makanan malam sederhana. Namun, kesederhanaan jamuan dan sikap fihak tuan rumah yang amat
ramah itu cukup menggembirakan para tamu itu dan sebentar saja mereka telah berkenalan dengan
akrab sekali. Terutama sekali Pek Lian yang segera menjadi sahabat baik dari dara yang bernama Bu
Bwee Hong itu.
Dalam percakapan mereka, Bu Seng Kun, pemuda jangkung itu, mewakili keluarganya menceritakan
keadaan keluarga Bu. Ayahnya bernama Bu Kek Siang, seorang pewaris ilmu tinggi sekali namun
yang tidak suka akan ketenaran nama sehingga sampai bertahun-tahun mereka sekeluarga itu tinggal
di rumah kuno di tempat sunyi ini, tanpa mencampuri urusan dunia karena menurut ayahnya, dunia
sedang kacau dan negeri dikuasai oleh orang-orang yang suka menindas rakyat demi mencapai
keinginan mereka untuk menyenangkan diri mereka sendiri. Seperti juga suaminya, nyonya Bu pandai
ilmu silat pula, terutama memiliki ginkang yang mengagumkan. Suami isteri pendekar yang
mengasingkan diri ini mempunyai dua orang anak, yaitu Bu Seng Kun yang kini telah berusia
duapuluh tahun dan Bu Bwee Hong yang cantik jelita dan manis seperti bidadari itu, yang telah
berusia delapanbelas tahun. Mereka berdua mewarisi ilmu-ilmu silat ayah mereka, dan juga ilmu
ketabiban. Biarpun mereka berdua tinggal di dalam hutan dan hanya berhubungan dengan peng-huni
dusun di sekitarnya, dan jarang pergi me-ngunjungi kota, namun keduanya terdidik baik sekali dalam
hal kesusasteraan oleh ayah mereka sendiri. Di rumah gedung yang kuno dan besar itu, mereka
mempergunakan tenaga beberapa orang dusun sebagai pelayan, akan tetapi semenjak datang
gangguan-gangguan itu beberapa hari yang lalu, semua pelayan disuruh pulang ke dusun agar
mereka itu tidak ketakutan dan tidak perlu terancam bahaya karena keluarga mereka.
"Kalau boleh kami mengetahui, keluarga locianpwe ini dari perguruan manakah ?" Kim-suipoa
memberanikan diri bertanya sedangkan yang lain-lain yang juga hadir di situ hanya mendengarkan
saja. Pek Lian duduk di dekat Bwee Hong dan mereka itu nampak akrab sekali.
Kakek Bu Kek Siang menarik napas panjang. "Biarpun kami tidak pernah memperkenalkan diri,
namun agaknya sam-wi pernah mendengar nama kakek guruku. Kurang lebih seratus tahun yang
lalu, di dunia persilatan terdapat dua orang tokoh yang dianggap sebagai datuk golongan pendekar
atau golongan putih, dan dua orang datuk golongan hitam atau kaum sesat. Apakah ji-wi sicu
mengenal nama mereka itu ?" tanyanya kepada Kim-suipoa dan Pek-bin-houw. Dua orang ini saling
pandang dan cepat mengangguk.
"Kalau kami tidak salah, dua orang datuk go-longan putih itu adalah Sin-yok-ong (Raja Tabib Sakti)
yang dipuja sebagai datuk di selatan, dan ke dua adalah Sin-kun Bu-tek (Tangan Sakti Tanpa
Tanding) yang menjadi datuk di utara. Sedangkan dua orang datuk kaum sesat itu kalau tidak salah
adalah Cui-beng Kui-ong (Raja Iblis Pengejar Roh) yang mendirikan Tai-bong-pai, dan yang ke dua
adalah Kim-mou Sai-ong (Raja Singa Bulu Emas) pendiri dari Soa-hu-pai. Benarkah ?"
Kakek itu mengangguk-angguk dan mengacungkan jempolnya. "Ternyata ji-wi mempunyai
pengetahuan yang cukup luas. Nah, agaknya, jarang ada yang tahu karena memang murid-murid
beliau tidak pernah menonjolkan diri. Akan tetapi, mendiang Sin-yok-ong mempunyai tiga orang
murid. Yang pertama adalah mendiang ayahku, dan masih ada dua orang lagi, yaitu ji-susiok (paman
guru ke dua) dan sam-susiok (paman guru ke tiga). Nah, mereka yang datang tadi adalah murid-murid
atau para pengikut dari ji-susiok."
"Ah....... !" Kim-suipoa berseni kaget dan heran. "Maaf, locianpwe. Kiranya keluarga locianpwe
adalah keluarga yang mewarisi ilmu dari seorang yang terpandai di antara empat tokoh besar itu
seperti yang pernah saya dengar dari guru saya. Akan tetapi, locianpwe Sin-yok-ong terkenal sebagai
seorang pendekar sakti yang budiman, dan kami tidak heran melihat locianpwe sebagai keturunan
beliau. Hanya anehnya, mengapa para murid-murid dari ji-susiok lociannwe tadi seperti itu sikapnya
seolah-olah maaf, seolah-olah mereka itu dari golongan sesat saja ?"
Kembali kakek itu menarik napas panjang. "Nyatanya memang demikianlah. Mereka berjumlah
tigapuluh orang, termasuk ji-susiok. Ji-susiok sendiri berjubah hitam, mempunyai dua orang murid
berjubah coklat, dan setiap orang murid itu mem-punyai masing-masing dua orang murid berjubah
biru, yang berjubah biru masing-masing mempunyai dua orang murid berjubah hijau dan yang
berjubah hijau masing-masing mempunyai dua orang murid berjubah kuning. Jadi jumlah
dunia-kangouw.blogspot.com
keseluruhannya tigapuluh satu yang merupakan tenaga inti dari perguruan ji-susiok. Para pelayan dan
penjaga adalah orang-orang biasa yang tidak termasuk murid perguruan itu."
"Tapi, kalau locianpwe Sin-yok-ong terkenal sebagai seorang pendekar sakti yang budiman,
bagaimana muridnya."
"Tak perlu diherankan, sicu. Apakah seorang guru itu dapat menentukan watak atau cara hidup
muridnya, apa lagi kalau guru itu sudah meninggal dunia ? Tidak. Watak dan cara hidup seseorang
hanya ditentukan oleh si orang itu sendiri, dan mungkin saja keadaan sekelilingnya amat mempengaruhinya.
Oleh karena itu, kami lebih senang tinggal di tempat sunyi, bergaul dengan kembangkembang,
tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang hutan. Atau paling banyak kami bergaul dengan
orang-orang gunung dan dusun yang masih bersih dan polos batinnya."
Dua orang pendekar itu mengangguk dengan penuh kekaguman. "Locianpwe adalah pewaris dari
mendiang Raja Tabib Sakti, sungguh kami merasa berbahagia sekali dapat kesempatan berjumpa
dengan locianpwe sekeluarga," kata Pek-bin-houw.
"Tidak biasa kami memperkenalkan diri, dan kalau kami menceritakan keadaan kami kepada sam-wi,
adalah karena sam-wi telah mendengar akan semua urusan tadi. Harap sam-wi suka menyimpan
rahasia kami ini dan tidak menceritakan kepada orang-orang luar, karena kami tidak suka akan
banyak urusan."
Para tamu itu menyatakan kesanggupannya dan fihak tuan rumah lalu mempersilahkan para tamunya
beristirahat di dalam kamar tamu yang banyak terdapat dalam rumah besar itu. Akan tetapi Pek Lian
menolak dan berkata, "Bagaimana kami dapat tidur kalau keluarga tuan rumah terancam bahaya?
Tidak, saya akan bergadang dan ikut menjaga kalau-kalau ada fihak penjahat yang berani datang lagi.
Sungguh tidak enak kalau selagi kami tidur, fihak tuan rumah sibuk menghadapi serbuan lagi."
"Wah, enci, kami jadi merepotkan engkau saja, bukankah kau datang untuk beristirahat dan bukan
untuk berjaga ?" Bwee Hong mencela sambil tertawa.
"Tapi sekarang kita sudah berkenalan dan tak dapat dikatakan tamu orang luar. Biarlah aku akan
menemanimu dan kalau ada bahaya, biarpun aku bodoh, aku akan menyumbangkan tenagaku dan
aku tidak takut mati di tangan penjahat untuk membela kebenaran !" Ucapan ini juga sambil tertawa,
akan tetapi pandang mata yang tajam dari kakek berjenggot itu dapat menyelami hati dara itu dan
diam-diam dia merasa kagum.
"Bagus, engkau sungguh seorang berdarah pendekar, nona. Baiklah kalau begitu, akan tetapi kami
belum banyak mendengar tentang dirimu. Ceritakanlah sedikit tentang keluargamu."
Ditanya demikian, tiba-tiba Pek Lian menundukkan mukanya dan wajahnya yang tadinya
bersemangat dan terang itu menjadi muram dan sampai lama ia tidak mampu menjawab.
Terbayanglah kembali ia kepada ayahnya dan hatinya menjadi berduka sekali. Tak dapat ditahannya
lagi, kedua matanya menjadi basah dan ia menahan turunnya air mata dengan memejamkan kedua
matanya. Melihat ini, Bu Kek Siang mengerutkan alisnya. Baru saja dia kagum menyaksikan
kegagahan dan semangat dara ini dan sekarang dia harus melihatnya menjadi wanita yang cengeng!
Dia merasa kecewa dan mengira bahwa dia telah salah menilai orang. Sementara itu, Kim-suipoa lalu
berkata dengan suaranya yang ramah,
"Locianpwe, harap maafkan nona Ho yang dilanda kedukaan. Agaknya sukar baginya untuk
menceritakan keadaannya dan karena kita telah saling berkenalan, kiranya tidak ada salahnya kalau
saya menceritakan keadaannya. Bolehkah, Ho-siocia ?"
"Silahkan, suhu...... " kata Pek Lian dengan suara lirih dan gemetar. Semua anggauta tuan rumah
heran mendengar betapa Kim-suipoa menyebut nona kepada dara itu dan sebaliknya dara itu
menyebut suhu.
Kim-suipoa lalu menceritakan keadaan keluarga Ho yang mengalami bencana di tangan kaisar itu.
Menteri Kebudayaan Ho Ki Liong adalah seorang duda, dalam arti kata, isterinya yang pertama, yaitu
ibu Pek Lian, telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu karena penyakit. Kini Menteri Ho
tinggal bersama dua orang selirnya, dua orang adik perempuan dan seorang ipar bersama para
keponakan dan pelayan-pelayan. Ketika Menteri Ho terkena musibah itu, seluruh keluarganya
dunia-kangouw.blogspot.com
ditangkap dan dijebloskan penjara, dan hanya Ho Pek Lian seoranglah yang berhasil meloloskan
dirinya. Kemudian Kim-suipoa menceritakan usaha mereka untuk membebaskan Menteri Ho dan
betapa mereka bertanding melawan seorang tokoh dari Soa-hu-pai yang berjuluk Pek-lui-kong, dan
betapa dalam keadaan hampir berhasil, Menteri Ho sendiri yang mencegah mereka dan menyuruh
mereka pergi. Betapa kemudian mereka bertiga yang menuju ke Puncak Awan Biru di Fu-niu-san,
mengambil jalan darat dan kemalaman serta tersesat sampai ke tempat itu.
"Penasaran...... !!" Tiba-tiba terdengar Bu Seng Kun menghantamkan tangan kanan ke telapak tangan
kiri sendiri sehingga mengeluarkan bunyi ke-ras dan mengejutkan semua orang. Pemuda ini
bangkit berdiri, wajahnya yang tampan itu kelihatan merah padam. "Bagaimana negara dan bangsa
kita dipimpin oleh seorang kaisar yang begitu laknat ? Kami sudah mendengar tentang ratusan ribu
rakyat yang dipaksa membangun Tembok Besar dan ratusan ribu orang tewas. Kini kaisar malah
membakari kitab-kitab Nabi Khong Cu dan mem-bunuhi para sasterawan ! Sungguh, nama besar
Menteri Ho yang membela kaum sasterawan dan berani menentang kaisar sampai berkorban
keluarga patut dijunjung tinggi, akan tetapi mengapa membiarkan diri mati penasaran ?" Dia duduk
kembali dan berkata dengan marah, "Kelaliman, dari siapapun juga datangnya, harus ditentang !'
Sunyi dan hening sejenak setelah pemuda itu mengeluarkan perasaannya melalui kata-kata keras.
Kemudian terdengar suara kakek Bu Kek Siang yang halus, mendinginkan suasana yang panas itu,
"Seribu kepala seribu pendapat dan seribu hati seribu selera ! Seng Kun, engkau harus dapat
menghargai pendapat dan selera lain orang. Karena engkau masih muda dan berdarah panas maka
engkau tidak dapat mengerti mengapa Menteri Ho yang budiman itu menolak puterinya
menyelamatkannya. Kalau beliau dipaksa dan dibebaskan, hal itu hanya akan menghancurkan hati
beliau dan beliau akan merasa terhina sekali." .
"Tapi...... !" Pek Lian yang merasa cocok dengan pendapat Seng Kun tadi hendak membantah, akan
tetapi lengannya disentuh oleh gurunya.
"Nona, ayahmu yang mulia itu adalah seorang patriot sejati, seorang pendekar besar yang di da-lam
bidangnya sendiri telah berbakti kepada negara dan bangsa, sama sekali bukan kepada kaisar lalim.
Beliau sengaja menentang kaisar, sengaja membiar-kan dirinya ditangkap agar semua mata para
pen-dekar terbuka. Beliau memberi contoh untuk melawan kaisar dengan taruhan nyawa. Beliau juga
memberontak kepada kaisar, akan tetapi bukan de-ngan cara kasar dari orang-orang golongan bu
(silat) seperti kita. Beliau menentang dan membe-rontak dengan cara halus, akan tetapi hasilnya tidak
kalah besarnya. Kaisar akan nampak semakin buruk dalam pandangan kaum patriot sehingga hal
itu akan menambah kekuatan mereka yang menentang kaisar. Ayahmu memiliki kegagahan dan
keberanian menentang maut, lebih besar dari pada kita menentang maut dengan pedang di tangan !
Aku amat menghormatinya, nona."
Setelah mengenal Pek Lian sebagai puteri Menteri Ho dan dua orang guru nona itu sebagai para
pendekar patriot yang membantu Liu Pang, bengcu yang amat terkenal dan dihormati oleh semua
orang gagah itu, hubungan antara tamu dan tuan rumah menjadi semakin akrab. Mereka lalu
melakukan penjagaan dan perondaan dilakukan secara bergilir. Pek Lian bersama Bwee Hong berada
di dalam kamar nona rumah itu, bercakap-cakap dan kemudian mereka mengaso dengan duduk
bersila dan melakukan siulian. Bagi orang-orang yang telah mempelajari ilmu silat tinggi seperti
mereka, tidak tidurpun tidak menjadi persoalan dan mereka cukup duduk bersila membiarkan tubuh
mereka dan pikiran mereka beristirahat, namun kesadaran mereka masih ada dan biarpun mereka
seperti dalam keadaan tidur, namun sedikit perobahan keadaan saja sudah cukup untuk membuat
mereka sadar. Mereka tetap waspada. Kakek Bu bersama isterinya juga beristirahat di dalam kamar
mereka. Kim-suipoa duduk bersila seorang diri di ruangan tengah, sikapnya penuh kewaspadaan.
Pek-bin-houw dan Bu Seng Kun tadinya juga berjaga di situ, akan tetapi mereka berdua lalu
melakukan perondaan di sekitar tempat itu dengan hati-hati dan waspada sekali. Sambil meronda,
Pek-bin-houw yang merasa amat tertarik oleh keluarga yang menjadi pewaris ilmu dari tokoh datuk
yang hidup seabad yang lalu, yaitu Sin-yok-ong itu, mengajak si pemuda untuk membicarakan soal
perguruannya.
"Saya pernah mendengar bahwa seabad yang lalu, nama Sin-yok-ong merupakan nama yang amat
hebat dan terkenal di seluruh dunia sebagai tokoh yang paling lihai di antara datuk-datuk lainnya yang
pernah ada."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Menurut keterangan ayah memang ada benarnya demikian. Akan tetapi sesungguhnya ilmu silat
empat orang datuk itu, dua dari golongan putih dan dua dari golongan hitam, berimbang tingkatnya.
Hanya karena sucouw Sin-yok-ong itu memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang hampir
dikatakan sempurna, maka beliau mempunyai kelebihan dari pada yang lain, dan agaknya itulah
kemenangannya. Sayang bahwa kami sekeluarga tidak mewarisi ginkang yang hebat itu," kata Bu
Seng Kun.
"Menurut kata-kata Bhong Kim Cu si jubah coklat itu, keluargamu menerima dua macam ilmu, taihiap."
Bu Seng Kun menarik napas panjang. "Menurut penuturan ayah, di antara tiga orang murid beliau,
tidak ada yang memiliki bakat hebat seperti beliau sehingga tidak ada yang dapat menguasai semua
ilmu dari sucouw Sin-yok-ong itu. Maka agar adil, sucouw lalu membagi bagi ilmunya, disesuaikan
dengan bakat masing-masing. Kakekku, sebagai murid pertama, menerima pusaka tentang latihan
tenaga dalam. Murid ke dua menerima kitab pusaka tentang ilmu-ilmu silat dari sucouw dan rahasiarahasianya,
sedangkan murid yang termuda menerima kitab pusaka tentang ilmu ginkang beliau yang
hebat itu."
"Sayang bahwa kepandaian yang hebat dari mendiang Sin-yok-ong harus dibagi-bagi seperti itu. Akan
tetapi keluarga taihiap selain menerima pusaka, tentang Iweekang, juga memperoleh pusaka ilmu
pengobatan."
"Benar, akan tetapi justeru ilmu ini sekarang akan dijadikan rebutan dan karenanya memecah-belah
persaudaraan seperguruan," kata si pemuda) dengan suara menyesal sekali.
"Lalu di manakah murid termuda yang ahli ginkang itu kini?" Pek-bin-houw merasa amat tertarik.
"Entahlah, seiak kakekku meninggal beliau tidak pernah terdengar lagi berada di mana. Ilmu
ginkangnya, menurut ayah, amat hebat, bahkan tidak kalah hebatnya dengan ilmu ginkang yang
pernah dimiliki oleh sucouw Sin-yok-ong sendiri."
"Ah, bukan main ! Saya kira di dunia ini tidak ada lagi orang yang dapat menyamai kesempurnaan
ginkang dari Sin-yok-ong seperti yang pernah saya dengar dari guru saya."
"Paman keliru," bantah Bu Seng Kun. "Pada jaman sucouw itu, masih ada seorang lagi dari golongan
hitam yang malang-melintang di utara dan selatan. Dia ini memiliki ginkang yang boleh dibilang
setingkat dengan sucouw, biarpun ilmu silatnya tidak setinggi tingkat keempat orang datuk itu. Tokoh
ini amat terkenal, terutama di dunia kang-ouw, di kalangan liok-lim dan bahkan ditakuti oleh
pemerintah pada waktu itu. Nama julukannya adalah Bit-bo-ong (Raja Kelelawar)."
"Ah, saya pernah mendengar tentang Raja Kelelawar itu. Seperti dalam dongeng saja dan tidak saya
sangka bahwa benar-benar ada orangnya. Kabarnya, tokoh ini menguasai semua golongan hitam,
baik dari para pencopet paling kecil sampai maling, perampok, tukang tadah, penjudi dan tempat
pelacuran semua dikuasainya. Katanya ilmu silatnya juga hebat sekali. Dia dijuluki Raja Kelelawar
karena keluarnya hanya di malam hari, tidak pernah keluar di siang hari. Benarkah itu ?"
"Kabarnya demikian menurut cerita ayah. Yang sungguh menyedihkan, kalau dulu sucouw amat
terpandang sebagai datuk para pendekar sedangkan Raja Kelelawar sekalipun tidak berani mainmain
di depannya. Akan tetapi murid-muridnya membuat perguruan menjadi terpecah-belah, dan
sekarang malah paman kakek guru ke dua mengirim murid-muridnya untuk memaksa ayah
menyerahkan kitab pusaka yang menjadi hak milik ayah. Sungguh membikin hati penasaran dan
menyesal sekali. Mengapa bermusuhan antara saudara seperguruan sendiri sehingga hanya
menimbulkan kelemahan di antara saudara sendiri ?"
Pek-bin-houw menarik napas panjang. Dia sudah banyak pengalaman dan tidak merasa heran.
Betapapun tinggi kedudukan seorang manusia, betapapun pandainya dia, selama sang aku masih
menguasai diri, sang aku yang selalu mengejar kelebihan, sudah pasti hidup ini menjadi arena
persaingan, permusuhan dan kebencian, Dia adalah orang luar, tidak berhak mencampuri urusan
keturunan datuk sakti itu. Akan tetapi, melihat betapa sikap Bu Seng Kun demikian polos, demikian
terbuka terhadap dirinya, diapun merasa tidak enak kalau hanya diam saja.
"Bu-taihiap, sungguh patut disayangkan bahwa ilmu-ilmu dari mendiang kakek buyut gurumu itu, Sinyok-
ong locianpwe, telah terpecah-pecah dan terbagi-bagi sehingga tentu saja menjadi berkurang
dunia-kangouw.blogspot.com
kelihaiannya. Siapa tahu kalau-kalau usaha peminjaman pusaka itu bermaksud untuk mempersatukan
kembali ilmu-ilmu yang tercecer-cecer itu ? Apakah tidak pernah taihiap mempunyai minat untuk
mempelajari semua ilmu keturunan perguruan taihiap, dengan jalan mempersatukan dan saling
mempelajari dengan ilmu-ilmu yang terjatuh kepada murid-murid yang lain ?"
"Ahhh ...... !" Bu Seng Kun terbelalak dan berteriak kaget. "Benar juga kata-katamu, paman ! Kenapa
keluarga kami tidak berpikir sejauh itu ? Bukankah lebih baik kalau kami memberikan kitab itu dan
sebaliknya meminjam pusaka mereka dan kami saudara-saudara seperguruan saling mempelajarinya
sehingga kami semua dapat mewarisi seluruh ilmu dengan lengkap ?"
Pek-bin-houw tersenyum. "Sebuah pikiran yang baik sekali, Bu-taihiap. Akan tetapi, melihat sikap
mereka, agaknya mereka itu tidak dapat di-golongkan pendekar-pendekar dan mungkin saja akan
bertindak curang. Bagaimanapun juga, sebaiknya kalau taihiap memperbincangkannya de-ngan ayah
taihiap."
Mereka terus meronda dan bulan sudah naik tinggi. Keadaan amat sunyi sekali. Sunyi yang
mengerikan karena mereka masih menduga akan adanya ancaman pihak yang tidak beritikad baik
terhadap keluarga Bu.
Tiba-tiba saja keadaan menjadi terang-benderang di daerah hutan itu. Kiranya awan tipis yang tadinya
lewat dan menghalangi sinar bulan, kini lenyap dan bersih terbawa angin. Langit nampak terang dan
bulan tidak terhalang apapun se-hingga dapat menjatuhkan sinarnya ke bumi, se-penuhnya. Pek-binhouw
dan Bu Seng Kun yang mengadakan perondaan, tiba di tepi hutan. Keadaan tetap amat sunyi
dan tiba -tiba terdengar bunyi gonggong anjing dari jauh. Bukan seperti anjing menggonggong ke arah
bulan purnama, dengan suara yang menyayat hati, seolah-olah anjing yang menggonggong bulan itu
menjadi berduka dan menangis, melainkan gonggong anjing pelacak!
"Sungguh aneh, suara itu bukan suara anjing hutan," kata Bu Seng Kun, "dan setahuku, di sini tidak
ada anjing jinak peliharaan orang."
Akan tetapi, Pek-bin-houw memegang lengannya dan menarik pemuda itu menyelinap di balik
sebatang pohon besar yang gelap dalam bayangan daun-daun lebat. Hidung pendekar tua itu
bergerak mencium-cium seperti hidung anjing pelacak pula.
"Mereka datang...... " bisik kakek itu dan mukanya berobah pucat.
"Apa...... ? Siapa..... ?" Seng Kun bertanya, heran sekali melihat kakek pendekar yang gagah perkasa
itu nampak seperti orang ketakutan.
"Ssttt...... tunggu dan lihatlah..." kata kakek itu.
Pemuda itu kini dapat pula mencium bau harum. Namun dia masih belum mengerti. Dan tak lama
kemudian, terdengar lagi gonggong anjing bahkan suaranya ada beberapa ekor. Kemudian muncullah
empat orang yang memikul sebuah keranjang bambu yang besar dan panjang. Pek-bin-houw
memandang kepada rombongan orang itu dengan mata terbelalak dan muka pucat. Memang keadaan
mereka itu amat memeramkan. Pakaian mereka putih-putih dan wajah mereka yang tertimpa sinar
bulan itu nampak pucat seperti muka mayat, muka orang yang jarang terkena sinar matahari rupanya.
Mereka semua ada delapan orang, empat orang memikul keranjang dan empat orang lagi menjaga di
kanan kiri. Empat ekor anjing hitam, putih, coklat dan belang berjalan bersama rombongan ini,
kadang-kadang di belakang kadang-kadang mendahului di depan. Anjing-anjing biasa saja, tidak
terlalu besar, namun mereka itu nampak liar dan ganas. Setelah tiba di luar hutan, delapan orang itu
berhenti, dengan hati-hati empat orang pemikul keranjang bambu itu menurunkan keranjang dan
seorang di antara empat yang lain, yang suaranya nyaring halus mengandung wibawa yang
menyeramkan, berkata, "Kita telah sampai di tempat yang dituju. Kalian harus berhati-hati. Suhu
bilang bahwa ilmu silat keturunan locianpwe Sin-yok-ong amat lihai. Biarlah kita berhenti di sini dulu,
nanti setelah lewat tengah malam kita mengetuk pintu."
Sementara itu, Bu Seng Kun yang memandang penuh perhatian, tidak juga mengenal siapa adanya
orang-orang aneh yang berpakaian putih dan bermuka pucat itu. Melihat bahwa agaknya kakek Pekbin-
houw mengenal mereka, maka diapun berbisik lirih bertanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ah, apa kau tidak dapat menduga, taihiap ? Mereka itu jelas adalah orang-orang dari Kuburan Besar,
iblis-iblis dari Tai-bong-pai !"
Kini Seng Kun terkejut sekait dan memandang ke arah rombongan erang yang berhenti agak jauh dari
situ dengan penuh perhatian. Tentu saja dia sudah mendengar banyak tentang Tai-bong-pai. Nama
Tai-bong-pai muncul pada jaman kakek buyut gurunya, kira-kira seabad yang lalu. Karena agaknya
Pek-bin-houw tahu banyak tentang partai ini, maka dia bertanya lagi,
"Paman, benar -benar hebatkah mereka itu ?"
"Mereka mengerikan!" kata Pek -bin -houw lirih. "Akan tetapi kenapa mereka itu datang ke sini ?
Padahal, mereka hampir tidak pernah keluar dari sarang mereka, yaitu sebuah kuburan kuno yang
amat luasnya, yaitu bekas kuburan para bangsawan di jaman dahulu dan yang letaknya jauh di
daerah barat melalui Gurun Go-bi. Kuburan di bawah tanah itu berisi kamar-kamar seperti sebuah
istana dengan benteng yang kuat dan luas. Seratus tahun lebih yang lalu, tempat ini dimanfaatkan
oleh seorang datuk iblis yang membuat jalan-jalan terowongan antara makam-makam itu dan
dijadikan sarang, turun-temurun sampai sekarang."
Seng Kun mengangguk-angguk kagum. "Iblis-iblis Tai-bong-pai ini mudah diketahui karena
kemunculan mereka tentu membawa bau dupa dari tubuhnya apa bila mereka berkeringat. Akan
tetapi mereka itu jarang sekali keluar sehingga keadaan mereka tidak dikenal orang."
"Paman, mari kita keluar dan kita temui mereka. Mereka tiba di daerah kami, perlu kutanya apa
maksud mereka mengunjungi kami di tengah malam begini," kata Seng Kun.
Selagi Pek-bin-houw meragu karena maklum betapa berbahayanya bertemu dengan iblis-iblis atau
kawanan Tai-bong-pai itu, tiba-tiba ada anjing menggonggong di dekat mereka. Tentu saja anjinganjing
itu dengan mudah dapat menemukan terapat persembunyian mereka dan kini empat ekor
anjing pelacak itu sudah mengurung mereka dan menggonggong dengan ribut sekali.
Melihat keadaan anjing-anjing mereka itu, seorang di antara delapan orang aneh itu sekali
menggerakkan kakinya sudah mencelat dan tiba di depan Seng Kun dan Pek-bin-houw yang terpaksa
harus keluar dari tempat persembunyian mereka.
"Orang-orang jahat, keluarlah dari tempat per-sembunyian kalian untuk menerima hukuman!" kata
orang Tai-bong-pai itu yang ternyata adalah si pemimpin yang bersuara nyaring tadi. Muka orang ini
pucat sekali, pakaiannya putih-putih seperti orang dalam keadaan berkabung, dari mori kasar dan
berlengan pendek. Rambutnya digelung ke atas dan keadaannya amat sederhana, agaknya
disesuaikan dengan keadaan orang berkabung. Di tengah dahinya terdapat sebuah benjolan sebesar
kacang yang berwarna merah, membuat wajahnya nampak lebih menyeramkan lagi.
Pek-bin-houw melangkah maju dan memandang kepada orang itu, lalu berkata tenang dan sabar,
"Harap saudara jangan sembarangan memaki orang sebagai orang jahat. Sebaliknya kalianlah yang
datang di tempat orang di malam buta, sungguh amat mencurigakan."
"Nanti dulu, apakah engkau keturunan dari Raja Tabib Sakti ?" tanya orang itu.
Tentu saja Pek-bin-houw menggeleng kepalanya. Bukan, aku . . . . . ."
"Tak perduli engkau siapa, kalau bukan ketu-runan Raja Tabib Sakti, engkau harus mati karena telah
melihat kami!" Berkata demikian, orang ber-pakaian putih itu sudah menyerang Pek-bin-houw dengan
tamparan kedua tangan dari kanan kiri!
"Plak-plak-plak-plakk ! !" Empat kali Pek-bin-houw diserang dan empat kali dia menangkis dengan
pengerahan tenaga, akan tetapi ternyata orang itu kuat sekali dan sama sekali tidak terdorong oleh
tangkisan-tangkisannya, bahkan dia sendiri merasa betapa kedua lengannya tergetar hebat ! Bukan
main, pikirnya. Kembali dia telah bertemu dengan orang yang amat lihai, yang agaknya memiliki
tingkat kepandaian tidak kalah tinggi dari pa-danya. Dan orang berpakaian putih itupun agaknya
penasaran karena empat kali serangannya berturut-turut dapat dihindarkan lawan, maka dia
mendesak terus dengan pukulan-pukulan yang semakin lama menjadi semakin dahsyat. Pek-binhouw
mengelak, menangkis dan balas menyerang, namun dia segera terdesak oleh lawan yang
dunia-kangouw.blogspot.com
memiliki gerakan silat yang luar biasa anehnya itu. Terutama sekali bau dupa harum itu membuatnya
agak muak dan pening.
Melihat keadaan Pek-bin-houw yang terdesak itu, Bu Seng Kun menjadi tidak tega, marah dan
penasaran. "Berhenti!" teriaknya sambil meloncat ke depan. "Tamu dari manakah yang berani kurang
aturan mengacau daerah kami ?"
Si muka pucat itu menghentikan serangannya dan memandang kepada Bu Seng Kun. "Apakah
engkau keturunan Raja Tabib Sakti ?"
'Benar, aku adalah anggauta keluarga Bu !"
"Maafkan kami !" Orang itu lalu menjura dengan hormatnya kepada Bu Seng Kun. "Karena tidak tahu,
kami telah membikin ribut." Dan tujuh orang temannya semua menjura kepada Bu Seng Kun dengan
sikap hormat sekali.
Tiba -tiba terdengar seruan kaget dari Pek-bin-houw. Ujung lengan bajunya terkena noda merah
seperti terkena darah, padahal dia sama sekali tidak merasa telah terluka dalam perkelahian tadi.
Keringatnya yang keluar di lengan telah bercampur darah ! Dengan mata terbelalak dia memandang
kepada bekas lawannya. "Kau...... kau menggunakan ilmu siluman apakah ?" tanyanya gagap karena
dia teringat akan ilmu-ilmu aneh dari Tai-bong-pai yang pernah didengarnya di dunia kang-ouw.
Si muka pucat itu memandang kepada Pek-bin-houw, sikapnya sama sekali berbeda dengan sikapnya
ketika dia menghadapi pemuda she Bu itu.
Terdengar dia mendengus, lalu berkata, "Hemm, ilmu itu belum kukeluarkan semua. Kalau tadi dilanjutkan,
sebentar kemudian engkau akan meng-geletak di sini tanpa darah setetespun di tubuhmu
lagi, semua akan keluar membasahi tempat ini."
"Ilmu ...... ilmu penghisap darah...... !" Pek-bin-houw berseru kaget dan mukanya menjadi pucat. Dia
memandang kepada lengannya dan melihat betapa di setiap pori-pori lengan yang bajunya
disingkapkannya itu nampak butiran-butiran darah keluar bersama keringat.
"Berterimakasihlah kepada Bu-kongcu karena kalau tidak ada Bu-kongcu yang menghentikan
pertempuran tadi, engkau tentu sudah menjadi mayat tanpa darah. Melihat muka tuan rumah yang
kami hormati, biarlah kuberi obat kepadamu."
"Tidak perlu!" kata Bu Seng Kun. "Paman ini adalah tamuku, maka akulah yang wajib menolong-nya."
Pemuda ini mengeluarkan sebutir pel merah dan memberikannya kepada Pek-bin-houw. Paman,
telanlah pel ini."
Pek-bin-houw menjadi girang, menerima pel itu dan menelannya. Hal ini dilihat oleh delapan orang
kawanan Tai-bong-pai itu dengan pandang mata kagum. Mereka agaknya sudah tahu akan kelihaian
tuan rumah dalam ilmu pengobatan, maka mereka merasa kagum sekali betapa hanya dengan sebutir
pel saja, maka seketika darah yang keluar dari lubang-lubang lengan bersama keringat itu seketika
berhenti!
"Siapakah kalian ?" Bu Seng Kun bertanya. "Be-narkah dugaan kami bahwa kalian adalah para
anggauta Tai-bong-pai ?"
Delapan orang itu menjura dengan hormat, dan pemimpin mereka yang tadi melawan Pek-bin-houw
menjawab, "Tidak keliru dugaan Bu-kongcu. Harap dimaafkan kalau kami mendatangkan keributan,
akan tetapi kami perlu sekali untuk menghadap keturunan Raja Tabib Sakti yang kalau tidak salah
bernama Bu Kek Siang taihiap dan tinggal di sini."
"Beliau adalah ayahku. Kalau kalian hendak bertemu dengan keluarga kami, mengapa datang malammalam
?"
"Maaf, kongcu, akan tetapi kami tidak pernah keluar pada siang hari!" Orang itu berkata dan agaknya
merasa heran dan penasaran. Teringatlah Seng Kun akan kebiasaan yang luar biasa dari kawanan
Tai-bong-pai, yaitu mereka hanya keluar di malam hari saja. Maka, maklum bahwa mereka itu tentu
dunia-kangouw.blogspot.com
mempunyai urusan penting sekali dan kalau dia berdua dengan Pek-bin-houw saja yang harus
melayani delapan orang ini, tentu keadaannya akan berbahaya sekali.
"Kalau begitu, marilah kalian ikut bersamaku menghadap ayah."
Beramai merekapun mengikuti Bu Seng Kun menggotong lagi keranjang bambu itu. Pek-bin-houw
berjalan mengikuti mereka dari belakang, diam-diam menduga-duga apa gerangan isi keranjang
bambu yang dipikul dengan amat hati-hati oleh empat orang itu. Dia, sudah banyak mendengar akan
kekejaman orang-orang aneh dari Tai-bong-pai yang terdiri dari golongan sesat, maka diapun merasa
curiga dan menduga bahwa kedatangan mereka ini tentu membawa niat yang kurang baik.
Bu Seng Kun membawa para tamu itu ke pekarangan luar rumah keluarganya. Pemuda ini bersikap
hati-hati sekali maka membawa mereka ke pekarangan, tempat terbuka dan kedatangan mereka tentu
saja dapat dilihat dengan baik oleh ayah bundanya. Dan memang sesungguhnyalah. Kedatangan
rombongan itu sudah dapat dilihat oleh Bu Kek Siang. Pendekar ini telah melihat dan dapat menduga
siapa yang datang berkunjung, maka diapun sudah menanti di ruangan tamu yang berada di depan
sebelah kanan.
"Ayah, tamu-tamu dari Tai-bong-pai datang berkunjung !" teriak puteranya dari luar.
"Persilahkan mereka memasuki ruangan tamu !" jawabnya dari dalam ruangan itu yang sudah diterangi
oleh cahaya beberapa batang lilin yang di-nyalakan.
Bu Seng Kun lalu mempersilahkan tamu-tamunya masuk. Dia mendahului sebagai penunjuk, jalan
sedangkan di belakang rombongan itu berjalan Pek-bin-houw. Ketika mereka semua memasuki
ruangan tamu, ternyata di situ Bu Kek Siang telah menanti bersama isterinya, puterinya, dan juga
Kim-suipoa telah siap sedia dan berada di situ Ketika delapan orang itu memasuki ruangan tamu, bau
dupa menyerang hidung. Keranjang bambu diturunkan perlahan-lahan dan delapan orang itu lalu
menjura dengan hormatnya.
"Cu-wi jauh-jauh datang ke sini malam-malam, tidak tahu ada urusan apakah dengan kami ?" Bu Kek
Siang bertanya dengan sikap tenang dan dialah yang dapat menduga bahwa isi keranjang itu tentulah
seorang manusia, mungkin yang sedang menderita sakit, karena kalau tidak begitu, apa perlunya
mereka ini datang ? Selama hidupnya dia belum pernah berurusan dengan pihak Tai-bong-pai.
Akan tetapi delapan orang itu tidak menjawab Tiba-tiba terdengar suara melengking halus dan tinggi
sekali, seperti suara beberapa ekor nyamuk beterbangan dalam ruangan tamu itu, makin lama
semakin kuat dan nyaring menyakitkan telinga Kemudian, tahu-tahu di ambang pintu telah berdiri
seorang wanita berusia kira-kira limapuluh tahun, membungkuk dan menjura dengan sikap hormat
sekali kepada pihak tuan rumah. Bau dupa kini luar biasa kerasnya, mengalahkan bau dupa yang
dibawa oleh delapan orang pertama tadi!
Wanita itupun memakai pakaian serba putih dan walaupun kainnya terbuat dari bahan yang lebih baik
dari pada delapan orang tadi, namun tetap saja potongannya sederhana sekali. Wajahnya masih
membayangkan kecantikan walaupun sudah mulai keriputan, sepasang matanya yang bersinar tajam
itu kini nampak diliputi kegelisahan dan kedukaan.
"Maafkan kami," katanya dengan suara halus. "Kami datang dari seberang Gurun Go-bi, untuk minta
pertolongan keturunan dari Raja Tabib Sakti yang kami hormati. Puteri kami sedang menderita sakit
hebat akibat kesalahan mempelajari ilmu perguruan kami sehingga lumpuh kaki tangannya. Sudah
setahun ia menderita dan segala usaha kami sia-sia berlaka. Kemudian kami teringat bahwa di jaman
dahulu, Raja Tabib Sakti merupakan satu-satunya orang yang dapat menyembuhkan segala macam
penyakit yang ada di dunia ini. Maka kami mencari keturunannya yang mewarisi kepandaian beliau
dan mendengar bahwa Bu-taihiap adalah keturunan itu, maka kami datang untuk minta tolong. Harap
dimaafkan bahwa kami datang di tengah malam, maklumlah karena kami tidak biasa melakukan
perjalanan pada siang hari."
Setelah berkata demikian, wanita itu mengham-piri keranjang bambu lalu membuka tutupnya dengan
hati-hati sekali. Nampaklah seorang gadis yang berwajah cantik rebah di situ. Namun gadis itu kurus
sekali dan wajahnya, lehernya, kedua tangan yang tidak tertutup itu nampak pucat kebiruan seperti
membeku. Bahkan bibirnyapun nampak kebiruan sehingga dipandang sepintas lalu saja orang tentu
akan mengira bahwa yang rebah di dalam keranjang itu tentu telah menjadi mayat Wanita itu
dunia-kangouw.blogspot.com
berusaha untuk menahan perasaannya, namun tidak urung air matanya berlinang dan menuruni
pipinya yang keriputan. Agaknya karena kedukaan maka wanita ini menjadi kurus keriputan.
"Anakku....... " bisiknya menahan isak.
Bu Kek Siang mengerling ke arah puterinya sendiri yang berdiri di dekat Bu Seng Kun. Dia dapat
membayangkan betapa akan sedih hatinya sebagai seorang tua kalau melihat puterinya, Bu Bwee
Hong mengalami penderitaan seperti gadis dalam keranjang bambu itu. Selain itu, diapun mempunyai
watak sebagai seorang ahli pengobatan tulen, selalu merasa kasihan kepada yang sedang menderita
sakit dan setiap macam penyakit merupakan musuh atau tantangan yang harus ditanggulanginya dan
dikalahkannya. Makin berat penyakit itu, makin besar pula gairah di dalam batinya untuk
mengalahkannya.
"Bu-taihiap, tolonglah anakku...... " Nyonya itu meratap.
"Baiklah, toanio. Biarkan aku memeriksanya." Bu Kek Siang lalu bangkit dari tempat duduknya,
menghampiri keranjang itu lalu melakukan peme-riksaan. Diperiksanya nadi pergelangan tangan
gadis itu, dibukanya pelupuk mata itu, dan setelah dia mengetuk sana-sini dengan penuh ketelitian,
pendekar itu lalu kembali ke tempat duduknya, menarik napas panjang berkali-kali dan setiap ge-rakgeriknya
diikuti oleh pandang mata nyonya itu dengan penuh kegelisahan.
"Bagaimana, Bu-taihiap...... ?" Akhirnya dia bertanya dengan gelisah, akan tetapi penuh harap-harap
cemas.
"Keadaan puterimu memang parah, toanio. Kami suka membantu, walaupun aku tidak dapat
menjamin apakah kami akan berhasil. Untuk menyembuhkan puterimu, selain pengobatan berupa
obat minum dan tusuk jarum, juga dibutuhkan sinkang yang kuat dari aliran persilatan kami. Tenaga
sinkangku sendiri terbatas, maka terpaksa aku harus minta bantuan anak isteriku. Kalau kami semua
turun tangan, kiranya baru berhasil, walaupun aku belum yakin apakah kekuatan kami itu sudah
cukup untuk menembus semua pembuluh darah dan urat-urat syaraf dalam tubuh puterimu yang
seperti sudah membeku itu. Kami dengan segala senang hati akan berusaha menolongnya, akan
tetapi ..... "
"Akan tetapi, bagaimana, taihiap..... ?" sang ibu bertanya penuh kegelisahan.
"Ketahuilah, toanio, pada saat ini keluargaku sedang mengalami gangguan dan ancaman dari ...
musuh-musuh kami!"
Bu Kek Siang menarik napas panjang dan merasa berduka sekali. Alangkah akan baiknya kalau jisusioknya
itu membantunya mengobati gadis ini, bukannya memusuhinya untuk merampas kitab
pusaka seperti sekarang ini. Dengan tenaga sin-kang dari ji-susioknya yang amat hebat, yang lebih
tinggi dari pada ilmunya sendiri, apa lagi kalau, dibantu pula oleh sinkang dari sam-susioknya, dan dia
sendiri turun tangan mengobati, pasti gadis ini akan dapat disembuhkan dengan cepat.
Mendengar keterangan tuan rumah yang amat diharapkan akan dapat menyelamatkan nyawa
puterinya, wanita itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Kek Siang. "Bu-taihiap, kalau taihiap
bersama keluarga taihiap sudi menolong puteriku maka kami yang akan menjaga rumah ini dari
gangguan siapapun juga. Kami anak murid dari Partai Kuburan Besar, biarpun bukan orang-orang
yang disukai oleh kaum persilatan, akan tetapi kami tahu membalas budi kebaikan orang lain. Selama
hidup turun-temurun, anak murid kami akan menjunjung tinggi budi kecintaan keluarga Bu sampai
turun-temurun."
Bu Kek Siang tersenyum. "Toanio salah sangka. Melawan penyakit mengobati orang merupakan
kewajiban seorang ahli pengobatan. Bukan hanya kewajiban, juga merupakan suatu pekerjaan yang
kucinta. Siapapun yang datang minta tolong kepadaku untuk diobati tentu akan kutolong tanpa
pandang bulu, tanpa minta imbalan jasa, tanpa pamrih. Sekarang, baiklah kita mengadakan
pembagian kerja. Aku bersama isteri dan kedua orang anakku akan mencoba untuk mengobati
puterimu. Tiga orang tamu kami dapat membantu kalau mereka suka...... " Bu Kek Siang memandang
ke arah Pek-bin-houw, Kim-suipoa, dan Pek Lian. Sebenarnya, Bu Kek Siang tidak mengharapkan
bantuan mereka untuk mengobati gadis itu, mela-inkan mengharapkan bantuan mereka untuk
menghadapi lawan kalau mereka muncul. Karena, selagi melakukan pengobatan, kalau musuhdunia-
kangouw.blogspot.com
musuh itu datang sungguh amat berbahaya sekali, dan diapun belum tahu bagaimana nanti sikap
orang-orang Tai-bong-pai.
"Jangan khawatir, locianpwe. Saya akan mem-bantu keluarga locianpwe!" kata Pek Lian yang
menghampiri Bwee Hong, gadis cantik jelita yang telah menjadi sahabat baiknya itu.
"Benar, kami berduapun siap untuk membantu," kata Kim-suipoa sedangkan Pek-bin-houw juga
mengangguk menyetujui.
Diam-diam Bu Kek Siang merasa girang, akan tetapi dia masih mencoba lagi, "Akan tetapi,
pengobatan ini akan memakan waktu yang cukup lama, mungkin sampai belasan hari lamanya !
Apakah sam-wi akan dapat membantu terus ?"
Dua orang pendekar dari Puncak Awan Biru itu menjadi ragu-ragu mendengar ini, akan tetapi mereka
telah didahului oleh Pek Lian yang berkata dengan nada suara tetap dan nyaring, "Tentu saja kami
akan terus membantu sampai pengobatan itu berhasil baik!"
Wanita berpakaian putih itu cepat menghadap kepada Pek Lian dan dua orang gurunya, lalu menjura
dengan hormat. "Tak tahu bagaimana kau harus berterima kasih kepada sam-wi, dan kami sungguh
merasa malu sekali bahwa murid kami pernah menyerang penolong kami." Tiba-tiba wanita itu
menoleh ke arah anak buahnya yang tadi berkelahi dengan Pek-bin-houw dan membentak, "A-jui,
hayo maju dan serahkan nyawamu!"
Orang yang disebut A-jui itu terbelalak, tubuhnya menggigil akan tetapi dia lalu maju berlutut di depan
wanita itu. Semua orang merasa terkejut sekali, akan tetapi ketika wanita itu mengangkat tangannya,
tiba-tiba Pek-bin-houw meloncat ke depan dan berseru, "Tahan !!"
Wanita itu tidak jadi menurunkan pukulan mautnya dan menoleh kepada Pek-bin-houw. "Apakah
saudara hendak turun tangan sendiri ? Lakukanlah, dia sudah menyerahkan nyawanya untuk
menebus dosa tadi."
"Tidak !" bentak Pek-bin-houw, bergidik menyaksikan kekejian ini. "Aku sama sekali tidak ingin melihat
dia dibunuh hanya karena tadi berkelahi denganku. Kami berkelahi karena salah paham. Toanio,
jangan bunuh dia!"
Bu Kek Siang juga melangkah maju. "Siancai ...... ! Aku disuruh menyelamatkan nyawa seseorang
dari ancaman maut, akan tetapi sekarang ada orang hendak dibunuh begitu saja. Sama sekali tidak
boleh hal ini dilakukan. Toanio, kalau engkau hendak membunuh orangmu, terpaksa aku tidak akan
sanggup mengobati puterimu."
Wanita itu nampak terkejut dan matanya terbe-lalak, seperti orang keheranan, lalu iapun berkata
kepada tuan rumah, "Ah, maafkan, Bu-taihiap, akan tetapi sudah menjadi kebiasaan kami untuk
menghukum anak buah kami yang bersalah. Biarpun demikian, melihat betapa para tuan penolong
kami telah mintakan ampun, terpaksa kamipun akan mentaati. A-jui, tidak lekas menghaturkan terima
kasih kepada tuan-tuan ini yang telah mengembalikan nyawamu ?"
A-jui, laki-laki yang di tengah dahinya ada benjolan merah itu, cepat menghaturkan terima kasih
kepada Bu Kek Siang dan Pek-bin-houw sambil berlutut. Tentu saja pihak tuan rumah dan tamutamunya
merasa heran sekali melihat sikap luar biasa ini.
"Nah, kulanjutkan pembagian tugas," kata Bu Kek Siang. "Ho-siocia dan kedua saudara Kim-suipoa
dan Pek-bin-houw membantu kami dalam ruangan ini, juga sambil menjaga keamanan kami yang
sedang mengobati, dan toanio bersama anak buan toanio harap menjaga di sekitar rumah, dan
mencegah masuknya orang luar yang nendak meng-ganggu kami."
"Baik, sekarang juga kami melakukan tugas itu !" kata wanita itu sambil melangkah keluar diikuti oleh
delapan orang anak buahnya, setelah ia melempar pandangnya ke arah puterinya dengan pandang
mata penun harapan. Pek Lian dan dua orang gurunya lalu membantu keluarga itu mengadakan
persiapan. Sebuah meja panjang diangkat ke dalam ruangan itu, juga sebuah perapian dengan alatalat
menggodok obat dipersiapkan di situ. Kemudian mereka semua beristirahat karena menurut Bu
Kek Siang, pengobatan baru akan dimulai besok paginya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Malam itu ternyata tidak terjadi sesuatu, tidak ada penyerbuan dari orang-orang yang rambutnya riapriapan
itu. Hati mereka menjadi lapang dan merasa dapat beristirahat untuk menghimpun tenaga.
Baru pada keesokan harinya, setelah sarapan, keluarga Bu mulai dengan pengobatannya atas diri
gadis yang nampaknya seperti sudah mati itu. Pek Lian dan kedua orang gurunya menyaksikan cara
pengobatan yang amat aneh, yang mula-mula dilakukan oleh Bu Kek Siang sendiri, yaitu melakukan
totokan-totokan pada beberapa jalan darah rahasia yang merupakan cara pengobatan sukar dan
berbahaya sekali. Totokan-totokan pada jalan darah rahasia itu kalau kurang tepat dilakukan,
akibatnya malah akan mencelakakan pasien, dapat membunuhnya ! Apa lagi totokan-totokan di
bagian leher dan kepala. Selain sukar dan harus tepat, juga membutuhkan pengerahan tenaga yang
amat besar sehi
***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To Register.]***
nmpak pucat seperti tanpa darah sama sekali.
Bu Kek Siang, Kim-suipoa dan Pek-bin-houw adalah pria-pria yang sudah tua, akan tetapi Bu Seng
Kun adalah seorang pemuda, sehingga kalau menurut kebiasaan umum, tidak pantaslah bagi seorang
pemuda untuk melihat tubuh seorang wanita muda yang telanjang. Akan tetapi, Bu Seng Kun tidak
danat disamakan dengan orang-orang muda biasa. Seiak kecil dia sudah mempelajari ilmu
pengobatan dari ayahnya dan dialah yang merupakan ahli waris terakhir dari Raja Tabib Sakti. Sejak
muda sekali Seng Kun telah membantu ayahnya mengobati bermacam-macam orang dengan
bermacam-macam penyakit sehingga baginya, tidak merupakan hal aneh untuk melihat wanita
bertelanjang bulat ketika diobati. Apa lagi pengobatan yang harus mempergunakan totokan atau
penusukan jarum di bagian-bagian yang penting, haruslah bagian itu dibuka agar penusukan dapat
dilakukan dengan tepat sekali. Maka, kini melihat keadaan nona yang kadang-kadang harus telanjang
sama sekali itu, dia dapat memandang tanpa bayangan-bayangan cabul sama sekali, yang dilihatnya
hanyalah sebatang tubuh yang menderita dan harus diobati sampai sembuh!
Meruanglah, kecabulan atau yang dinamakan porno merupakan hal yang amat relatip sekali. Apa dan
bagaimanakah porno itu? Apakah porno itu identik dengan tubuh telanjang ? Apakah porno itu berarti
terbukanya tanpa ditutupi anggauta rahasia pria atau wanita, termasuk buah dada wanita? Itukah
porno ? Ataukah juga penulisan tentang hal-hal seksuil, hubungan sanggama dan yang menyangkut
dengan hal itu ? Lalu sampai di manakah batas-batas kepornoannya ? Hal ini agaknya menjadi
masalah yang selalu diributkan karena memang tidak mungkin orang menemukan batas-batas
tertentu, tidak mungkin menggariskan antara porno dan tidak, seperti juga menggariskan tentang
kegilaan dan kewarasan seseorang.
Kecabulan bukan terletak dalam kenyataan di luar. Kecabulan terletak di dalam batin masing-masing.
Cabulkah atau pornokah kalau ada seorang wanita mandi di sungai bertelanjang bulat ? Pornokah
wanita itu dan pornokah yang melihatnya ? Tergantung dari si wanita dan si pemandang sen-diri.
Wanita mandi telanjang di sungai itu adalah suatu kenyataan, dan kalau si wanita mandi karena tidak
ada tempat lain baginya untuk mandi, kalau ia mandi karena kebutuhan akan mandi tanpa mempunyai
dasar untuk memamerkan tubuh telan-jangnya itu untuk menarik perhatian orang, untuk menimbulkan
gairah pria yang memandangnya, maka ia sama sekali tidak porno ! Sebaliknya kalau ia mandi
telanjang itu dengan kesengajaan untuk menimbulkan gairah pada pria yang melihatnya, maka
jelaslah bahwa perbuatannya itu porno! Di lain fihak, kalau ada pria yang melihat ia mandi, melihat
tanpa adanya pikiran yang membayang-bayangkan hal lain dari pada yang ada, maka diapun sama
sekali tidak porno walaupun boleh jadi dia akan melihat wanita mandi itu. Sebaliknya kalau di waktu
dia memandang tubuh wanita telanjang itu dia membayangkan kemesraan-kemesraan seperti
misalnya dia bermain cinta dengan wanita itu sehingga timbullah napsu berahi, maka tentu saja dia itu
porno! Contoh ini dapat saja ditrapkan dengan pelukis dan penonton lukisan, pengarang dan
pembaca karangan, dan sebagainya. Bukan gambar atau cerita yang menentukan porno tidaknya,
melainkan batin si pelaku itu sendirilah, baik dia itu pencipta keadaan itu maupun si pemandang
keadaan. Dan tentu saja, kalau diteliti mudah saja terasa apakah si pencipta keadaan itu menciptakan
sesuatu dengan dasar batin porno ataukah tidak. Seorang wanita mandi telanjang bulat belum tentu
porno, akan tetapi kalau wanita in dengan pakaian lengkap bersikap memancing gairah dengan
menyingkap sedikit gaun memperlihatkan betis saja, ia sudah porno.
Wanita berpakaian putih bersama delapan orang anak buahnya menjaga dengan tertib dan dengan
teliti, bergiliran siang malam dan mereka itu menyediakan keperluan makan mereka sendiri, tanpa
dunia-kangouw.blogspot.com
mengganggu keluarga tuan rumah. Hanya beberapa kali sehari saja wanita itu menjenguk ke dalam
kamar tamu yang menjadi kamar pengobatan itu untuk melihat keadaan puterinya.
Pengobatan itupun tidak dilakukan terus-menerus. Bermacam-macam cara pengobatan dilakukan
oleh Bu Kek Siang. Tubuh gadis itu telah digosok seluruhnya oleh arak obat, totokan -totokan dan
tusukan -tusukan jarum telah dilakukan. Se-mua berjalan dengan baik dan lancar, hanya satu hal
yang membuat keluarga itu kewalahan. Mereka belum berhasil menembus pembuluh -pembuluh
darah dan urat-urat syaraf yang seperti membeku itu. Bagaimanapun juga, lewat lima hari pengobatan,
keadaan gadis itu sudah mengalami banyak sekali perobahan. Tubuhnya yang tadinya pucat
kebiruan seperti tubuh mayat itu kini sudah mulai
memerah. Pemapasannya yang tadinya seperti te-lah hampir terhenti itu kini nampak lebih lancar dan
longgar. Bahkan ada senyum membayang di bibir yang mulai agak merah itu, cuping hidungnya
sudah dapat berkembang -kempis kalau bernapas, hanya gadis itu masih lumpuh sama sekali.
Ibu gadis itu kelihatan gembira bukan main. Biarpun gadisnya masih lumpuh, akan tetapi jelas
nampak perobahan -perobahan yang menggembirakan, tanda -tanda bahwa usaha pengobatan sekali
ini akan berhasil baik. Dan keluarga Bu juga merasa lega bahwa selama beberapa hari itu tidak ada
gangguan pihak musuh sama sekali. Hal ini tentu saja menggirangkan hati mereka dan menimbulkan
dugaan bahwa agaknya pihak musuh merasa segan mengganggu karena di situ terdapat orang -
orang Tai -bong -pai!
Akhirnya, pengobatan itu mencapai puncaknya pada hari ke sepuluh. "Hari ini bagaimanapun juga kita
harus berhasil menembus jalan darah gadis itu," kata Bu Kek Siang. "Sebetulnya, melihat
keadaannya, nona Kwa sudah berada di ambang pintu kematian. Maka, perjumpaannya dengan kita
dapat dikatakan jodoh, dan kita harus berusaha sekuat tenaga untuk menyembuhkannya."
"Akan tetapi, ayah," kata Seng Kun. "Kalau ayah masih hendak melaksanakan penggabungan tenaga,
bukankah hal itu amat berbahaya sekali bagi kita dan juga bagi nona Kwa ? Kalau terjadi
penyerbuan."
"Jangan khawatir, bukankah sudah sepuluh hari ini tidak terjadi sesuatu ? Dan sekali ini, biar kita
beritahukan bahaya itu kepada Kwa-toanio agar ia ikut pula melakukan penjagaan terhadap diri
puterinya."
Selama beberapa hari tinggal di tempat terpen-cil itu, wanita berpakaian serba putih telah memperkenalkan
diri. "Sebetulnya, kami selalu mera-hasiakan nama dan keadaan kami, akan tetapi melihat
pertolongan cu -wi yang demikian penuh pe-ngorbanan, kami akan meniadakan kebiasaan itu
dan perkenalkanlah, saya adalah isteri dari Kwa Eng Ki, seorang di antara tokoh Tai -bong -pai. Dan
anak ini adalah puteri tunggal kami bernama Kwa Siok Eng. Penyakit yang diderita oleh Siok Eng ini
sebetulnya adalah karena kelancangannya. sendiri. Diambilnya kitab pusaka partai kami dan diam -
diam ia mempelajarinya tanpa memberi tahu kepada kami, sedangkan tingkatnya masih terlampau
rendah untuk mempelajari ilmu simpanan partai kami itu, maka beginilah jadinya. Nah, setelah saya
memperkenalkan diri, maka mulai seka-rang kita telah menjadi sahabat -sahabat karib."
Tentu saja bagi pihak tuan rumah, cerita itu sama sekali bukan pembukaan rahasia, dan hanya
memperkenalkan sedikit saja, yaitu hanya nama ibu dan anak itu sehingga keadaan mereka masih
tetap diliputi rahasia. Akan tetapi mereka tidak mau bertanya lebih banyak, karena merekapun sebenarnya
tidak mempunyai minat untuk bersahabat dengan Tai-bong-pai yang terkenal sebagai perkumpulan
golongan hitam yang disamakan dengan iblis -iblis yang kejam sekali.
Setelah diberi tahu bahwa hari itu pihak tuan rumah akan mengadakan pengobatan terakhir yang
besar -besaran dengan penggabungan tenaga, nyonya Kwa merasa tegang dan iapun segera
menyatakan siap sedia untuk melakukan penjagaan dengan kuat di luar rumah. Pek Lian dan kedua
orang gurunya juga melakukan penjagaan di luar. Mereka bertiga maklum akan bahayanya keadaan
mereka ketika fihak tuan rumah sekeluarga sedang melakukan pengobatan dengan penggabungan
tenaga itu. Pengobatan dengan pengerahan sinkang membuat orang yang melakukan pengobatan itu
sama sekali tidak berdaya terhadap serangan dari luar, karena kalau dia melawan, berarti
membahayakan nyawa yang diobati. Dan kini, menurut keterangan Bu Seng Kun terhadap mereka,
pemuda itu bersama ayah dan ibunya akan menggabungkan tenaga sehingga kalau sewaktu mereka
mengadakan pengobatan itu datang. musuh, mereka bertiga takkan berdaya untuk membela diri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan demikian, maka penjagaan seluruhnya hanya berada di tangan mereka bertiga, dan orang -
orang Tai -bong -pai.
Bahkan nona Bu sendiripun membantu pengobatan itu dengan tusukan -tusukan jarum.
Pagi itu mereka sudah besiap -siap. Yang ber-ada di kamar pengobatan, selain si sakit, juga empat
orang keluarga Bu lengkap. Kwa Siok Eng te-lah direbahkan di atas meja panjang dengan menelungkup.
Kulit tubuhnya yang putih mulus itu tidak begitu pucat lagi, akan tetapi masih belum dapat
bergerak sama sekali. Ibunya, nyonya Kwa, menjaga di dekat pintu, sepasang matanya hampir tidak
pernah berkedip memandang kepada puterinya dan kadang -kadang saja beralih kepada empat
orang yang sedang mengobati puterinya itu. Hatinya terharu. Nampak jelas olehnya betapa keluarga
itu berusaha sungguh -sungguh. Tadi se-belum melakukan pengobatan, Bu Kek Siang telah
memberi penjelasan kepadanya sekedarnya sehingga dia tahu bahwa mereka berempat itu, sungguhsungguh
berusaha untuk menolong puterinya, ter-utama sekali kakek Bu sendiri bersama Bu Seng
Kun, pemuda itu. Mereka berdua ini akan menge-rahkan sinkang sekuatnya untuk menembus jalan
darah gadis itu yang belum pulih, dan sebagai seo-rang ahli silat tinggi, tentu saja nyonya itu tahu apa
artinya ini. Pengerahan sinkang untuk meno-long orang seperti itu amatlah berbahaya karena
tenaganya dikerahkan terus -menerus, kalau keliru sedikit saja tentu dapat membunuh si sakit atau
membunuh diri sendiri!
Memang amat menegangkan keadaan dalam ruangan itu. Bu Seng Kun bertelanjang dada, karena
dia mempergunakan dadanya itu untuk menempel pada kedua telapak kaki Kwa Siok Eng dan
dengan penyaluran tenaga sinkang sepenuhnya dia menya-lurkan hawa murni melalui kedua telapak
kaki gadis itu. Pemuda ini memejamkan kedua matanya dan dadanya nampak membesar, wajahnya
menjadi merah dan kedua tangannya mencengkeram belakang lutut gadis itu. Di seberangnya,
ayahnya berdiri dan menempelkan tangan kirinya di ubun-ubun kepala gadis itu. Seperti juga
puteranya, Bu Kek Siang, kakek ini mengerahkan sinkangnya disalurkan melalui ubun -ubun kepala
gadis itu, kedua matanya juga dipejamkan. Isterinya, nenek yang masih nampak cantik itu, berdiri di
tepi meja, kedua tangannya ditaruh di atas pinggang telanjang itu dan nenek inilah yang menjadi
semacam peng-hubung atau penampung saluran tenaga dari atas dan bawah itu untuk kemudian,
setelah dapat bertemu dan bersatu, dipergunakan untuk membobol semua jalan darah dalam tubuh.
Dan di tepi meja seberangnya, Bu Bwee Hong sibuk mempergunakan jarum-jarum emas untuk
menusuki bagian-bagian yang penting untuk mengurangi hambatan -hambatan penyaluran tenaga
ayahnya dan kakaknya. Dan memang, dalam hal ilmu pengobatan, gadis inilah yang telah mewarisi
kepandaian ayahnya dan dibandingkan dengan ibunya dan kakaknya, ia me-mang lebih pandai dalam
hal tusuk jarum. Peker-jaan gadis ini, seperti juga ibunya, tak dapat dikatakan ringan, bahkan
mengharuskan adanya ketelitian yang luar biasa. Empat orang itu sungguh menge-rahkan dan
mengeluarkan semua kepandaian me-reka untuk menolong gadis itu. Hal ini nampak jelas sehingga
seorang seperti nenek Kwa yang se-lamanya berkecimpung dalam dunia hitam itu merasa terharu.
Matahari telah naik tinggi. Setengah hari telah lewat dan suasana dalam ruangan pengobatan itu
menjadi semakin tegang. Empat orang keluarga Bu itu bermandi peluh, namun agaknya usaha mereka
itu sia -sia belaka karena seluruh tenaga ayah dan anak itu belum juga dapat dipertemukan !
Seng Kun yang telah mengerahkan seluruh tenaganya itu hanya bisa mendorong sampai ke pangkal
paha dan dia telah menemui rintangan -rintangan di sepanjang kedua kaki itu yang seolah -olah telah
membeku. Ayahnya lebih sukar lagi, hanya dapat mendorong sampai di bawah pundak. Bwee Hong
sibuk menusuk sana -sini sehingga tubuh belakang gadis yang diobati itu penuh dengan jarum kecil
kecil, perak dan emas. Dan nyonya Bu juga sibuk sekali, menggunakan sinkang seperti hendak menyedot
hawa murni dari atas bawah, namun belum juga terasa olehnya datangnya sinkang yang disalurkan
oleh suaminya dan puteranya itu.
"Cepat, tambah lagi tenaganya !" Ibu ini mendorong dan mengerutkan alisnya.
"Ahhh tidak tidak bisa lagi ... ibu, aku tidak kuat lagi ahhhh !" Seng Kun mendesah dan
tiba -tiba dari sudut bibirnya mengalir darah segar.
"Koko !" Bwee Hong berseru khawatir.
Akan tetapi pemuda itu tidak memperdulikan dirinya.
"Moi -moi, cepat kaubantu ayah !"
dunia-kangouw.blogspot.com
Bwee Hong menoleh memandang ayahnya dan semakin gelisah ia melihat betapa ayahnya juga
payah sekali keadaannya, wajahnya pucat pasi dan dari lubang hidungnya juga mengalir darah.
"Ibu , ayah itu "
Akan tetapi, ibunya hanya menggeleng kepala dengan sikap tenang karena ibu ini percaya bahwa
suaminya dan puteranya masih akan dapat menolong diri sendiri. Kalau sudah ada darah keluar dari
mulut atau hidung, berarti bahwa tenaga mereka sudah sampai di puncaknya, dan tentu mereka akan
mengendurkan tenaga karena kalau dilanjutkan berarti mencari mati sendiri.
Ibu gadis yang sakit itu sejak tadi melihat ini. Wajahnya pucat dan beberapa kali ia memejamkan
mata, mengepal tinju dan membanting – banting kakinya. Akhirnya iapun berseru, "Sudahlah !
Sudahlah !!" Ia melihat betapa usaha keluarga Bu yang mati-matian itu telah menemui kegagalan.
Keadaan yang amat menegangkan itu membuat mereka semua tidak sadar bahwa di luar ramah
telah terjadi penyerbuan! Ada beberapa orang yang luar biasa datang menyerang dan tentu saja
serbuan itu disambut oleh para penjaga yang berada di luar rumah, yaitu Ho Pek Lian dan dua orang
gurunya, dan delapan orang anggauta perkumpulan Tai -bong -pai. Akan tetapi, para penyerang itupun
lihai bukan main. Dua orang di antara mereka adalah orang -orang yang berambut riap -riapan
dengan pakaian berwarna coklat! Masih ada lagi teman -teman mereka, yaitu empat orang berjubah
biru dan delapan orang berjubah hijau ! Tentu saja pihak penyerbu menjadi jauh lebih kuat. Seperti
telah kita ketahui, seorang yang berjubah biru saja kepandaiannya sudah sedemikian hebatnya
sehingga ketika dikeroyok oleh Kim -suipoa dan Pek -bin -houw, dua orang pendekar inipun
kewalahan. Apa lagi kini terdapat dua orang yang berjubah coklat, ditambah empat orang murid
mereka dan delapan cucu murid. Sebentar saja delapan orang anak buah Tai -bong -pai sudah
terpukul roboh dan Pek Lian sendiri bersama dua orang gurunya juga hanya mampu menangkis saja
ketika dikeroyok oleh orang -orang berjubah biru dan hijau.
Dua orang yang berjubah coklat itu sudah me-nerjang pintu ruangan dan dengan mengeluarkah suara
hiruk-pikuk pintu itu pun jebol! Tentu saja Bwee Hong dan Kwa -toanio terkejut bukan main.
"Awas musuh...... !!" Kwa-toanio berseru dan Bwee Hong sudah meloncat dan memapaki kedua orang
itu dengan sambitan jarum -jarumnya, jarum perak dan emas yang tadinya dipergunakan untuk
menusuk dan mengobati Siok Eng. Akan tetapi, dengan amat mudahnya kedua orang yang berjubah
coklat itu meruntuhkan semua jarum dengan kebutan lengan baju mereka. Dan di belakangnya
masih bermunculan orang -orang berjubah hijau. Mereka ini segera mengeroyok Kwa -toanio yang
merobohkan dua orang di antara mereka. Ketika melihat betapa jarum -jarumnya tidak ada gunanya,
Bwee Hong menerjang ke depan sambil mencabut pedangnya, menyerang seorang di antara dua
orang berjubah coklat itu. Akan tetapi orang itu mengelak dan dari belakangnya, Bwee Hong
merasakan sambaran angin pukulan dahsyat. Dia mengelak dan membalik, dan ternyata yang
menyerangnya telah tidak ada lagi dan juga orang berjubah coklat yang pertama yang diserangnya
tadi sudah tidak ada. Mereka berdua itu telah meloncat dengan gerakan yang amat cepatnya, seorang
berada di belakang ayahnya dan seorang pula di belakang kakaknya!
Kwa-toanio sendiri sibuk dikeroyok oleh orang-orang baju biru sebanyak empat orang. Ternyata
bahwa Pek Lian dan dua orang gurunya juga sudah terluka dan kini hanya dikeroyok oleh orang -
orang jubah hijau, sedangkan empat orang berjubah biru sudah menyerbu ke dalam dan mengurung
Kwa-toanio, membuatnya tidak berdaya.
Dua orang berjubah coklat itu tahu bahwa di antara mereka semua, yang paling lihai adalah Bu Kek
Siang dan Bu Seng Kun, maka merekapun langsung saja meloncat ke belakang ayah dan anak yang
masih mengerahkan tenaga kepada si sakit itu. Juga nyonya Bu tak dapat meninggalkan tempatnya,
karena hal itu akan membahayakan si sakit. Pula, peristiwanya terjadi sedemikian cepat dan tiba -tiba.
Tahu -tahu kedua orang berjubah coklat itu telah mengirim serangan kilat ke arah ayah dan anak itu.
Kakek berjubah coklat yang pertama sudah menghantamkan tangan kanannya dengan jari-jari tangan
terbuka ke arah lambung Bu Kek Siang, sedangkan kakek ke dua dengan kepalan tangan kanannya
sudah menghantam ke arah punggung Bu Seng Kun. Kedua pukulan ini datang dengan berbareng
dan tepat benar.
"Blaaarrrr.....!!'"
dunia-kangouw.blogspot.com
Akibatnya hebat! Ayah, anak dan ibu roboh tersungkur ! Dari mulut mereka muncrat darah segar dan
seketika mereka itu roboh pingsan. Akan tetapi yang lebih aneh lagi, pada saat pukulan itu tiba,
terdengar jeritan nyaring dari mulut gadis yang menelungkup itu, dan beberapa batang jarum yang
masih menancap di tubuhnya mencelat se-dangkan bekas -bekas tusukan jarum itu menge-luarkan
darah, dan iapun terkulai dan pingsan.
Kwa -toanio marah sekali, mengira bahwa pu-terinya tentu menjadi korban dan tewas. Dengan
kemarahan meluap, tokoh Tai -bong -pai ini meng-amuk, dikeroyok oleh empat orang berjubah biru
yang agaknya kewalahan juga menghadapi amuk-an ibu yang marah ini. Bwee Hong sudah memu-tar
pedangnya, menyerang seorang berjubah coklat akan tetapi ia tidak mampu mencegah ketika seorang
berjubah coklat yang lain telah memasuki ru-mah keluarganya. Sedangkan menghadapi si jubah
coklat itu saja ia sudah merasa amat kewalahan pedangnya tak mampu berbuat banyak karena
lawannya itu sedemikian lihainya sehingga lengan orang itu berani menangkis pedangnya tanpa terluka
sedikitpun, sebaliknya malah setiap kali terjadi benturan keras, hampir saja pedangnya terlepas
dari pegangan karena seluruh lengannya tergetar hebat.
Kwa -toanio yang marah sekali itu mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Kini ditariknya sehelai
sabuk putih yang ia gerakkan seperti cambuk dan tangan kirinya kadang-kadang menyambitkan hiohio
yang bernyala. Entah bagaimana hio-hio itu dapat dinyalakan, akan tetapi senjata-senjata rahasia
ini memang hebat sekali sehingga para pengeroyoknya yang berjubah biru itu menjadi repot juga
karena mereka tidak berani menyambut senjata rahasia itu. Melihat kehebatan nenek ini, si jubah
coklat yang mendesak Bwee Hong lalu meloncat dan menyerang Kwa-toanio, sedangkan dua orang
berjubah biru kini mengeroyok Bwee Hong yang masih tetap kewalahan. Setelah si jubah coklat maju
mengeroyok, repotlah Kwa-toanio dan akhirnya sebuah tendangan kilat dari si jubah coklat mengenai
pahanya dan membuatnya terhuyung.
Pada saat itu, kakek berkubah coklat yang tadi memasuki rumah keluarga Bu, muncul sambil
berkata, "Sudah kudapatkan, mari kita pergi!" Teman-temannya yang masih bertempur segera
meloncat keluar dan para anak buah mereka yang berjubah hijau juga sudah melarikan diri sambil
membawa teman-teman yang terluka. Sebentar saja, keadaan di situ menjadi sunyi.
Melihat keadaan pihak keluarga tuan rumah, Kwa-toanio menjadi berduka sekali. Tanpa
memperdulikan lagi puterinya yang masih rebah menelungkup tak sadarkan diri, pertama-tama yang
ditolongnya adalah nyonya rumah karena ia melihat Bwee Hong berlutut dan merangkul nyonya itu
sambil berusaha untuk membuat pernapasan dengan cara meniupkan napasnya sendiri melalui mulut
ibunya dengan menutup lubang hidungnya. Bwee Hong tidak menangis, hanya air matanya saja
berlinang. Gadis yang juga telah mempelajari ilmu pengobatan ini berusaha untuk bersikap tenang
sungguhpun hatinya merasa amat gelisah dan bingung. Hati siapa tidak akan menjadi bingung melihat
betapa ayahnya, ibunya, dan kakaknya seluruh keluarganya roboh pingsan dan semuanya menderita
luka yang hebat ? Setelah berhasil mengembalikan pernapasan ibunya, walaupun masih amat lemah,
gadis itu cepat merebahkan kembali ibunya dan menghampiri ayahnya. Ternyata ayahnya sudah
siuman, walaupun keadaannya masih amat payah karena ayahnya juga menderita luka yang amat
berat di sebelah dalam tubuhnya.
"Coba periksa kakakmu..., hentikan jalan darah koan-goan-hiat" ayahnya berkata dengan napas
terengah. Gadis itu bangkit dan menghampiri kakaknya. Ternyata pemuda itu masih pingsan, akan
tetapi setelah memeriksanya, hati Bwee Hong tidak begitu khawatir akan keadaan kakaknya. Biarpun
kakaknya juga menerima pukulan hebat, namun agaknya tubuh muda kakaknya itulah yang
menyelamatkannya dan mampu melindungi isi dadanya.
Jilid III
MEMANG serangan dua orang berjubah coklat yang mendadak itu telah mendatangkan keanehankeanehan.
Selain ayah dan anak itu yang langsung menerima pukulan dan menderita luka parah, juga
hawa sinkang dari kedua orang penyerang yang kuat itu telah mendorong hawa sinkang dari ayah
dan anak itu sendiri, membuat kekuatan yang mengalir ke dalam tubuh Siok Eng menjadi berlipat
ganda dan tenaga sinkang itu, yang tadinya kurang kuat dan hanya berhenti sampai pada pangkal
paha dan bawah pundak, kini dengan serentak mengalir dan menyerbu sehingga dapat bertemu dan
dunia-kangouw.blogspot.com
ditampung oleh nyonya Bu melalui kedua telapak tangannya yang berada di punggung gadis sakit itu.
Seperti aliran listrik yang ditampung dan terlalu besar, maka ibu inipun tidak kuat bertahan dan seperti
menerima hantaman dahsyat dari kanan kiri melalui kedua telapak tangannya, membuat ia roboh
seketika dan menderita luka yang parah sekali. Akan tetapi, peristiwa ini mendatangkan keuntungan
yang besar kepada Siok Eng. Dengan adanya penambahan tenaga sinkang dari luar, dari kedua
orang jubah coklat itu, maka semua pembuluh darah dan urat syaraf dapat ditembus, dan semua
kebekuan telah dapat mencair. Kalau tadinya ia tak mampu bicara, sekarang tiba-tiba saja ia sudah
dapat bicara bahkan ia sudah dapat menggerakkan semua anggauta tubuhnya. Setelah siuman dari
pingsannya, gadis ini dapat bergerak dan mengenakan pakaian sendiri. Hanya tubuhnya masih amat
lemah dan ia masih belum mampu turun dan berjalan, walaupun sudah dapat bangkit duduk kembali
tanpa bantuan orang lain.
Melihat keadaan ini, Kwa-toanio yang sejak muda telah menjadi tokoh sesat dalam dunia hitam, sekali
ini meruntuhkan air mata dan menangis sesenggukan. Ia melihat betapa keluarga itu telah berusaha
sungguh-sungguh untuk menyelamatkan puterinya, dan akibat-nya, puterinya benar-benar sembuh,
akan tetapi keluarga itu sendiri menjadi hancur ! Maka tentu saja ia merasa berterima kasih sekali,
bukan hanya kepada keluarga Bu, akan tetapi juga kepada Ho Pek Lian dan kedua orang gurunya
yang juga mengalami luka-luka dalam pertempuran itu. Biarpun penyerbuan itu dilakukan orang
kepada keluarga Bu tanpa ada sangkut-pautnya dengan rombongannya, namun kalau tidak ada
bantuan Pek Lian dan kedua orang gurunya, tentu akibatnya akan lebih hebat pula.
Memang akibat penyerbuan itu hebat sekali. Kakek Bu Kek Siang dan isterinya ternyata tidak dapat
menahan gempuran hebat itu. Bahkan pada keesokan harinya, nyonya Bu yang jatuh pingsan lagi
tidak sadar lagi dan tewas ! Juga Bu Kek Siang sendiri napasnya tinggal satu-satu. Dia lebih banyak
menggunakan isyarat tangan dari pada bicara ketika dia minta agar diambilkan sebuah peti hitam
kecil yang disimpannya di tempat rahasia bersama kitab-kitab pusaka. Kitab-kitab pusaka itu telah
lenyap diambil oleh si jubah coklat, akan tetapi peti itu biarpun sudah dibuka, ternyata tidak dibawa
pergi. Isinya sebuah kitab catatan kakek Bu Kek Siang sendiri.
"Terimalah ini" katanya kepada puterinya.
"Dan kelak, berdua dengan kakakmu, bacalah"
Hanya itulah pesan yang ditinggalkan pendekar ini. Agaknya, kematian isterinya membuat dia seolah-
olah ingin mempercepat perjalanannya me-ninggalkan dunia yang penuh kepalsuan ini.
Tentu saja, kematian ayah bundanya ini meru-pakan pukulan yang amat hebat bagi Seng Kun dan
adiknya. Terutama sekali bagi Bwee Hong. Gadis ini berusaha untuk bersikap gagah dan tidak
menangis, akan tetapi ternyata usaha ini malah membuat ia menjadi pucat sekali dan air matanya
selalu berlinang di kedua matanya dan setiap kali ia ber-kedip, beberapa butir air mata mengalir ke
atas kedua pipinya yang pucat.
Rumah keluarga Bu itu kini menjadi rumah duka yang penuh dengan orang sakit. Karena kakaknya
masih terluka dan belum dapat turun dari pembaringan, maka Bu Bwee Hong seoranglah yang
menjadi wakil keluarga Bu, menghadapi semua itu. Ayah bundanya tewas, kakaknya terluka berat.
Untung di situ terdapat Ho Pek Lian yang menghiburnya, menemani dan membantunya. Juga kedua
orang guru dari Pek Lian yang dengan penuh rasa kasihan membantu sekuat tenaga. Masih ada lagi
nyonya Kwa yang merasa berhutang budi dan berterima kasih sekali kepada keluarga itu. Maka
nyonya ini mengerahkan sisa anak buahnya yang hanya luka ringan, yaitu hanya enam orang, untuk
membantu segala keperluan untuk mengubur jenazah Bu Kek Siang dan isterinya. Dikubur secara
sederhana saja, di belakang rumah di mana terdapat sebuah bukit kecil.
Sebelum kedua peti jenazah diangkat, diadakan upacara sembahyang dan dalam kesempatan inilah
baru Bu Bwee Hong dapat menangis terisak-isak seperti anak kecil. Pemandangan waktu itu sungguh
amat memilukan hati. Dua peti jenazah itu dijajar-kan dengan satu meja sembahyang di depannya.
Tidak ada orang lain yang hadir kecuali mereka yang berada di situ semenjak terjadinya penyerbuan
itu. Nyonya Kwa dan delapan anak buahnya, dua di antaranya luka parah. Kwa Siok Eng yang
terpaksa dituntun ibunya ketika hendak bersembahyang. Dan juga Bu Seng Kun yang dirangkul dan
dipapah oleh adiknya.
Dua orang kakak beradik itu menjatuhkan diri berlutut di depan peti dan menangis. Seng Kun ternyata
adalah seorang gagah yang cepat dapat menguasai hatinya. Dia menyusut air matanya dan melihat
dunia-kangouw.blogspot.com
betapa adiknya menangis seperti tak sadar-kan diri, dia mencengkeram lengan adiknya itu,
mengguncangnya dan berkata, "Moi-moi, mana kegagahanmu ? Apakah engkau kira ayah dan ibu
akan senang hati mereka melihat engkau cengeng seperti ini ?"
Bwee Hong mengangkat mukanya yang basah air mata, memandang kepada kakaknya sejenak,
kemudian menjerit dan merangkul kakaknya, dan pingsan dalam pelukan kakaknya ! Seng Kun
merasa jantungnya seperti diremas-remas, akan tetapi dia menahan diri dan dengan adiknya masih
dalam rangkulannya, diapun menghadap dua peti jenazah itu.
"Ayah, ibu......, ampunkanlah kelemahan moi-moi, ia masih kanak-kanak ...... dan menghadapi semua
ini... ah, ayah dan ibu, aku tidak dapat berkata apa-apa lagi. Ayah dan ibu tewas dalam tangan
saudara seperguruan sendiri, apa yang harus kulakukan ? Apa yang harus kulakukan ??" Pemuda itu
mengeluh karena hatinya sungguh merasa bingung sekali. Ayahnya selalu mendidik putera-puterinya
agar menjauhi kekerasan, agar mengusir segala perasaan dendam. Dan kini mereka tertimpa
musibah yang demikian hebat, dan yang menyebabkan adalah keluarga seperguruan sendiri! Karena
hendak memperebutkan kitab peninggalan kakek guru mereka.
Ho Pek Lian yang teringat akan keadaan ayahnya sendiri, segera maju dan mengambil Bwe Hong
dari rangkulan kakaknya, untuk dipondongnya dan dibawanya ke pinggir, lalu dirawatnya sehingga
Bwee Hong siuman kembali dan kedua orang gadis ini saling berangkulan sambil menangis Melihat
keadaan kakak beradik itu, nyonya Kwa dan puterinya juga merasa terharu sekali.
"Twako Bu Seng Kun, akulah yang menyebabkan kematian ayah ibumu, maka kaubunuhlah aku
untuk menghapuskan penasaran itu !" Tiba-tiba terdengar suara halus dan kiranya Siok Eng yang
mengeluarkan kata-kata itu dari tempat duduknya di sudut.
Seng Kun menoleh ke arah gadis itu yang memandang kepadanya dengan mata merah menahan
tangis. Dia tersenyum pahit lalu menarik napas panjang. "Nona Kwa, ayah dan ibuku telah matimatian
berusaha menyelamatkanmu, setelah mereka berhasil, engkau minta aku membunuhmu !
Apakah berarti engkau menyuruh aku berkhianat dan murtad kepada mereka ?"
"Ohhh ...... !" Siok Eng terkejut dan menangis, dirangkul oleh ibunya. Kemudian, setelah Kimsuipoa
dan Pek-bin-houw membantu Seng Kun yang masih belum dapat berjalan itu, mengangkatnya
dan membawanya ke pinggir, nyonya Kwa membawa puterinya untuk bersembahyang di depan
sepasang peti mati itu. Mereka menangis sesenggukan ketika mengangkat hio dan terdengar suara
Kwa -toanio yang bicara dengan lantang diseling isak tangis,
"Bu -taihiap berdua semenjak puluhan tahun kami tinggal di dalam kuburan. Kematian bukan
apa-apa bagi kami. Kuburan adalah tempat tinggal kami. Mayat-mayat adalah sahabat-sahabat kami,
dan selama hidup kami berkabung. Entah sudah berapa banyak orang yang kami bunuh. Akan tetapi,
taihiap sungguh kematian yang taihiap berdua alami ini membuat hati kami penasaran!! Kami akan
membalas kebaikan ini, kami harus menuntut balas atas kematian ji-wi dan mulai saat ini kami
menganggap keluarga taihiap sebagai keluarga kami sendiri." Dan nenek itu menangis bersama
puterinya.
Pemakaman dilakukan secara sederhana sekali dan setelah pemakaman selesai, Pek Lian dan kedua
orang gurunya masih tinggal di situ selama seming-gu lagi, membantu Bwee Hong yang masih harus
mengobati kakaknya dan juga mengobati Siok Eng. Setelah lewat seminggu, barulah Pek Lian dan
kedua orang gurunya berpamit.
Bwee Hong merangkulnya. "Pek Lian, benarkah engkau hendak meninggalkan aku yang kesepian ini
?" Gadis itu mengeluh. Setelah menjadi sahabat baik, keduanya tidak menyebut enci adik lagi, karena
memang keduanya sebaya berusia delapan belas tahun. "Apakah engkau tidak bisa memperpanjang
beberapa hari lagi?"
"Bwee Hong, aku juga sayang sekali kepadamu dan aku ingin dapat terus berdekatan dengan
seorang sahabat seperti engkau. Akan tetapi, sudah terlalu lama kami bertiga meninggalkan kawankawan
kami, dan engkau tentu tidak lupa akan keadaan ayahku" Sampai di sini, suara Pek Lian
menjadi gemetar mengandung duka.
"Ah, sahabatku yang baik. Aku ikut menyesal dengan keadaanmu yang tidak lebih baik dari pada
keadaanku. Kalau saja kami dapat membantu ......, sayang kakakku masih belum sembuh"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Terima kasih, engkau baik sekali. Akan tetapi bantuan apakah yang dapat diberikan orang kepada
kami ? Yang memusuhi kami bukan orang biasa melainkan pemerintah !"
Bu Seng Kun kini sudah dapat turun dari pembaringan dan dapat berjalan, walaupun masih lemah
dan perlu beristirahat agar bekas-bekas luka dalam tubuhnya dapat sembuh sama sekali. Diapun
memandang kepada kedua orang guru Pek Lian, dan berkata, "Bantuan sam-wi sungguh tak ternilai
besarnya bagi keluarga kami, dan entah kapan kami kakak beradik akan sanggup untuk
membalasnya. Semoga Thian Yang Maha Esa sajalah yang akan membalas sam-wi dengan berkah
yang melimpah-limpah."
"Ah, Bu-taihiap terlalu sungkan," kata Kim-suipoa. "Bantuan apa yang dapat diberikan oleh kami
orang-orang lemah ini ?"
"Selain itu, sudah menjadi kewajiban kita para pendekar untuk saling bantu, bukan ?" kata pula Pekbin-
houw. Mereka bertiga lalu pamit dan meninggalkan tempat itu, diantar oleh kakak ber-adik itu
sampai ke pintu depan dan mereka berdua melambaikan tangan sampai tiga orang tamu itu lenyap di
sebuah tikungan.
Dua hari kemudian, setelah dua orang anak bu-ahnya yang terluka itu sembuh, Kwa-toanio juga
minta diri. Sambil memegang lengan kedua orang muda itu, Kwa-toanio berkata dengan mata basah
dengan air mata, "Anakku sembuh adalah berkat keluarga Bu. Sampai mati, aku dan anakku tidak
akan melupakan budi kalian. Aku akan membawa Siok Eng pulang untuk dirawat sampai sembuh,
Kami belum dapat memikirkan bagaimana untuk membalas budi kalian. Untuk sementara ini, harap
kalian suka menerima bendera keramat dari kami ini untuk disimpan. Bendera ini adalah pusaka Taibong-
pai, pemegangnya akan dihormati seperti kepada ketua Tai-bong-pai sendiri."
Bwee Hong menerima bendera itu, bendera kecil yang terbuat dari pada anyaman kawat baja lembut
yang bersulamkan benang emas dengan lukisan sebuah kuburan dengan huruf Tai Bong Pai.
"Sayang sekali bahwa kami belum berhasil menyembuhkan sama sekali penyakit yang diderita oleh
Kwa-siocia," kata Seng Kuil dengan suara menyesal. "Padahal, sudah hampir sembuh. Kalau ia
dilanjutkan dengan pengobatan yang menggunakan sinkang dari golongan kami, tentu akan dapat
disembuhkan secara cepat sekali. Sayang, aku masih terluka sehingga tidak mampu melakukannya,
sedangkan adikku, hanya mempelajari tusuk jarum dan pengobatan saja, akan tetapi sinkang-nya
belum sekuat itu untuk dapat mengobati. Kalau saja ji-susiok tidak memusuhi kami, sekali dia turun
tangan tentu puterimu akan dapat disembuhkan dengan seketika, bibi Kwa."
Setelah berkali-kali menghaturkan terima ka-sih, ibu dan anak itu lalu pergi pada malam hari. Karena
belum mampu berjalan sendiri, Siok Eng masih dipikul dalam keranjang bambu seperti ketika ia
datang. Ibu dan anak itu berangkat di malam gelap, diiringkan oleh delapan orang anak buah yang
seram-seram itu.
Setelah semua tamunya pergi, barulah kakak beradik itu merasa betapa sunyinya rumah mereka.
Barulah terasa oleh mereka benar-benar bahwa mereka telah kehilangan ayah bunda mereka. Maka,
tak tertahankan lagi, Bwee Hong menangis. Seng Kun juga termenung dengan hati terasa kosong dan
kesepian. Akan tetapi untuk menghibur adiknya, dia cepat berkata, "Sudahlah, adikku. Dari pada
membiarkan diri hanyut dalam kesedihan, apakah tidak lebih baik kalau kita membaca buku catatan
peninggalan ayah itu ?"
Ucapan ini mengingatkan Bwee Hong. Selama ini, mereka berdua belum sempat membaca buku
catatan itu karena di situ terdapat banyak tamu dan Bwee Hong juga sibuk merawat kakaknya dan
Siok Eng. Kini, teringat akan pesan ayah mereka, Bwee Hong segera memasuki kamar dan
membawa keluar peti hitam itu. Mereka duduk berdampingan agar dapat membaca isi kitab itu
bersama-sama, Ternyata pada halaman pertama terdapat tulisan ayah mereka yang ditujukan kepada
mereka berdua !
Seng Kun dan Bwee Hong tersayang,
Surat dan catatan ini memang kupersiapkan untuk kalian, pada saat terakhir kita berpisah, akan
kuserahkan kepada kalian. Sekarang, kuatkanlah hati kalian untuk menghadapi kenyataan, pahit
maupun manis, kenyataan tentang diri kalian yang sesungguhnya. Nah, bacalah catatanku ini."
dunia-kangouw.blogspot.com
Ayah angkat kalian,
Bu Kek Siang
"Ayah angkat...... ? Apa maksud ayah ? Bwee Hong berseru dengan kaget sekali membaca
sebutan itu.
Kakaknya lebih tenang. "Marilah kita baca catatan ini selanjutnya, adikku."
Mereka berdua dengan tidak sabar lalu membaca catatan itu. Dan keduanya terkejut bukan main
Mula-mula mereka memang tidak mengerti ketika catatan itu bercerita tentang keadaan seorang
pangeran. Pangeran itu bernama Chu Sin, seorang pangeran yang berjiwa pemberontak karena dia
tidak suka melihat kehidupan istana yang penuh dengan kepalsuan dan korupsi. Dia menentang
keluarga kaisar, keluarga ayahnya sendiri dan karena dia dimusuhi, dia lalu meninggalkan istana dan
merantau di luar istana. Akan tetapi, karena dia dianggap sebagai pemberontak yang berbahaya dan
mungkin akan menghimpun kekuatan dari rakyat untuk menentang istana, maka dia lalu dikejar-kejar
sebagai buronan. Dalam perantauan-nya ini, Pangeran Chu Sin bertemu dengan seorang gadis kanguw,
yaitu keponakan dari nyonya Bu Kek Siang sendiri, seorang gadis she Sim. Mereka saling
mencinta dan akhirnya menjadi suami isteri.
Pangeran Chu Sin dan isterinya tinggal mengasingkan diri di gunung sampai mereka mempunyai dua
orang anak. Akan tetapi pada suatu hari, datanglah pasukan pemerintah yang telah mengetahui di
mana adanya Pangeran Chu Sin. Rumah itu diserbu. Isteri Chu Sin, sebagai seorang wanita kangouw,
melakukan perlawanan gigih dan akhirnya tewas. Pangeran Chu Sin sendiri tertawan oleh
pasukan dan dibawa pergi ke kota raja.
Pada akhir catatan itu, barulah Seng Kun dan Bwee Hong dengan kaget membaca bahwa putera
sang pangeran itu bukan lain adalah mereka sendiri!
Ketika itu, demikian menurut catatan pendekar Bu Kek Siang, Seng Kun baru berusia tiga tahun dan
Bwee Hong berusia satu tahun. Mereka lalu ditolong oleh pendekar Bu Kek Siang suami isteri dan
diaku sebagai anak-anak mereka sendiri, digembleng dengan ilmu silat dan ilmu pengobatan.
"Koko......"
"Moi-moi !" Dua orang anak itu saling berangkulan dan menangis. Kiranya mereka bukan anak
kandung pendekar Bu Kek Siang, melainkan putera-puteri seorang pangeran yang kini entah masih
hidup ataukah sudah mati. sedangkan ibu kandung mereka telah lama tewas dalam pengeroyokan
pasukan istana. Pendekar yang dianggap ayah itu ternyata malah kakek paman mereka, karena
bukankah ibu kandung mereka itu keponakan dari nyonya Bu ? Kenyataan yang mereka baca dalam
catatan pendekar Bu Kek Siang itu menimbulkan berbagai macam perasaan. Mereka merasa terharu
dengan kenyataan bahwa suami isteri pen-dekar itu biarpun hanya merupakan ayah dan ibu pungut
saja, ternyata telah mencurahkan kasih sayang yang amat besar kepada mereka. Dan ternyata bahwa
she mereka sendiri bukanlah she Bu melainkan" she Chu ! Akan tetapi, kenyataan itu pun
mendatangkan suatu harapan tipis, yaitu untuk dapat bertemu dengan ayah kandung mereka.
Bukankah menurut catatan itu, ayah kandung me-reka, Pangeran Chu Sin, masih hidup dan hanya
ditawan saja oleh para pasukan istana ?
Ho Pek Lian bersama dua orang gurunya, melanjutkan perjalanan mereka yang telah tertunda sampai
setengah bulan lebih itu. Pengalaman-pengalaman mereka selama beberapa belas hari ini benarbenar
mengejutkan sekali dan membuka mata mereka bahwa di dunia ini terdapat banyak-sekali
orang pandai dan bahwa kepandaian mereka sesungguhnya masih amatlah rendah. Pengalamanpengalaman
ini terutama sekali amat mengejutkan hati Pek Lian. Dua orang kakek itu sudah banyak
pengalaman, akan tetapi baru sekarang merekapun menghadapi orang-orang yang amat pandai,
seolah-olah ada sesuatu terjadi di dunia kang-ouw ini yang membuat orang-orang sakti bermunculan
dari tempat pertapaan dan persembunyian mereka.
Kim-suipoa adalah seorang yang belum pernah menikah dan namanya adalah Tan Sun. Semenjak
muda dia suka bertualang, oleh karena itu maka dia tidak pernah menikah setelah di masa mudanya
pernah gagal bercinta. Kesukaannya, selain ilmu silat, adalah berdagang dan kalau dia sudah memperoleh
keuntungan-keuntungan karena tepatnya perhitungannya, maka berbahagialah hatinya. Akan
tetapi, dia tidak pernah dapat mengumpulkan har-tanya. Hatinya terlalu perasa dan kedua tangannya
dunia-kangouw.blogspot.com
terlalu terbuka sehingga semua keimbangan yang didapatnya karena kelihaiannya mainkan suipoa,
selalu habis disumbangkan kepada orang lain. Sekarangpim, seluruh hartanya diberikannya kepada
Liu Pang untuk memperkuat kedudukan pendekar yang memimpin orang-orang gagah sebagai
seorang bengcu itu.
Pek-bin-houw bernama Liem Tat dan dalam usia semuda itu, baru empatpuluh tahun lebih, dia sudah
menduda. Isterinya tergila-gila kepada pria lain dan melarikan diri bersama pria itu. Pek-bin-houw
Liem Tat tidak mengejar, membiarkannya saja karena dia berpikir bahwa kalau memang isterinya itu,
sebagai seorang wanita sudah tidak suka hidup bersama dia, perlu apa dipaksa ? Lebih baik begitu,
lebih baik berpisah dari pada memilih seorang isteri yang tidak mencintanya lagi. Untung bahwa
selama pernikahannya itu, dia dan isterinya tidak dikurniai anak. Penyebab utama mengapa isterinya
meninggalkannya adalah karena dia suka bertualang, sebagai seorang pendekar kang-ouw tidak
memperdulikan keadaan kesejahteraan rumah tangga, bahkan tidak jarang dia bertualang
meninggalkan isterinya sampai berbulan-bulan. Ini-lah salahnya kalau orang memperisteri wanita
yang tidak sehaluan dengan sang suami. Andaikata isterinya juga seorang kang-ouw, tentu keduanya
dapat bertualang bersama-sama.
Dua orang ini yang sekarang menjadi pembatu-pembantu Liu Pang, yaitu bengcu (pemimpin rakyat)
yang amat terkenal itu, menjadi terkejut dan terheran ketika melihat munculnya banyak orang sakti
selama ini. Mereka lalu mengajak murid mereka untuk cepat-cepat kembali ke Puncak Awan Biru
untuk kembali ke sarang mereka dan melapor kepada Liu-twako.
Akan tetapi Pek Lian membantah. "Maaf, suhu. Akan tetapi aku ingin sekali mengetahui bagaimana
nasib ayahku. Menurut kabar, ayah akan ditawan di kota Wu-han di Propinsi Hu-peh. Aku ingin sekali
menyelidiki ke sana."
Kim-suipoa mengerutkan alisnya. "Sungguh berbahaya sekali bagimu, nona. Engkau telah di kenal
dan tentu sekarang mereka sudah bersiap-siap. Apa lagi setelah terjadi serangan kita yang ternyata
gagal itu, tentu pemerintah telah meng-anggap engkau seorang buronan yang akan dikejar-kejar."
"Dan untuk menyelidiki keadaan Ho-taijin, sebaiknya kalau diserahkan kepada pendapat dan siasat
Liu-twako yang dapat mengirim penyelidik-penyelidik rahasia, tentu hasilnya akan lebih baik dari pada
kalau kita sendiri yang menyelidiki sambil sembunyi-sembunyi," Pek-bin-houw menyam-bung. Akan
tetapi gadis itu mengerutkan alisnya.
"Suhu sendiri tentu akan kecewa kalau melihat muridnya menjadi seorang anak yang tidak memperdulikan
keadaan ayah yang tertawan, dan takut menghadapi bahaya demi menolong ayahnya.
Suhu, aku ingin mencari keterangan tentang ayah," Gadis itu berkata lagi dan teringat akan ayahnya
yang menderita, matanya menjadi basah.
"Nona, kami sama sekali tidak berkeberatan dan memang sepantasnya kalau Ho-taijin dibebaskan
dari cengkeraman kaisar lalim. Akan tetapi apa daya kita kalau beliau sendiri tidak mau dibebaskan ?
Apakah yang akan kita lakukan kalau kita pergi ke Wu-han ?"
"Aku hanya ingin mendengar bagaimana kea-daannya."
"Baiklah," akhirnya Kim-suipoa Tan Sun mengangguk.
"Bagaimanapun juga, untuk pulang ke Puncak Awan Biru, kita dapat mengambil jalan melewati Wuhan.
Mari kita pergi agar sebelum terlampau gelap kita sudah bisa tiba di kota Ki-han di sebelah
selatan Wu-han."
Mereka melakukan perjalanan cepat dan pada sore hari itu tibalah mereka di kota Ki-han, sebuah kota
yang cukup besar dan ramai. Selagi mereka berjalan di jalan raya untuk mencari sebuah rumah
penginapan, mereka melihat betapa di jalan raya itu banyak terdapat perajurit-perajurit pemerintah
hilir-mudik dan Suasana nampak sibuk sekali. Melihat ini, Pek Lian lalu berjalan di belakang kedua
orang gurunya untuk menyembunyikan mukanya dan mereka mengambil jalan di tepi jalan raya itu
agar jangan bertemu dengan komandan-koman-dan pasukan.
Akan tetapi, dara ini tidak mengenal betul wa-, tak para perajurit yang sedang mengadakan suatu
gerakan di sebuah tempat. Mereka ini bukan hanya merupakan kelompok orang-orang yang sudah
biasa dengan kekerasan dan juga yang selalu merasa memiliki kekuasaan atas rakyat jelata sehingga
dunia-kangouw.blogspot.com
sering sekali melakukan tindakan dan sikap sewe-nang-wenang, juga mereka yang bertugas dan
agak lama berjauhan dari wanita itu selalu mem-pergunakan kesempatan untuk bersikap kurang ajar
terhadap wanita-wanita yang dijumpainya di mana saja. Apa lagi kalau wanita itu secantik Ho Pek
Lian! Para perajurit yang berkeliaran di kota Ki-han itu adalah pasukan yang baru saja kembali dari
tugas mereka untuk menumpas gerombolan, yaitu mereka yang tidak mentaati pemerintah,
gerombolan di sepanjang Sungai Yang-ce yang terkenal itu.
Biarpun Pek Lian telah mengambil jalan di pinggir namun kemudaan dan kecantikannya tidak lolos
dari pandang mata seorang perajurit mabok yang kebetulan lewat di dekatnya. Apa lagi karena siangsiang
para wanita kota itu sudah menyembu-nyikan diri di dalam rumah ketika pasukan tiba, sehingga
di jalan raya itu tidak nampak wanita mu-da, maka kehadiran Pek Lian amatlah menyolok.
"Heh, nona manis, hendak ke mana ?" perajurit mabok itu berkata sambil menyeringai dan tangannya
terjulur ke depan untuk meraih dada! Tentu saja Pek Lian mengelak dan menjadi marah.
"Manusia tak sopan!" desisnya akan tetapi ia tidak melayani perajurit itu dan mengharap pera-jurit itu
akan lewat begitu saja. Akan tetapi dugaannya keliru karena tiba-tiba perajurit itu membalik dan
menubruk pinggangnya yang ramping.
Tentu saja Pek Lian yang sedang berduka me-mikirkan keadaan ayahnya itu menjadi jengkel se-kali,
apa lagi karena setelah ayahnya ditawan oleh pasukan kerajaan, ia membenci setiap orang pera-jurit
kerajaan, maka tanpa ampun lagi ia mengge-rakkan kaki tangannya dan perajurit itu roboh ter-jungkal
di atas jalan. Ketika menerima hantaman yang amat keras itu, perajurit mabok ini berteriak keras,
akan tetapi setelah roboh terbanting, dia tidak mampu berteriak lagi.
Tentu saja peristiwa itu menimbulkan kegempar-an. Para perajurit yang sedang berkeliaran itu, cepat
berlari mendatangi dan melihat betapa seo-rang di antara kawan mereka dihantam roboh oleh
seorang dara cantik, tentu saja mereka langsung saja maju mengeroyok! Pek Lian cepat melawan
dan tentu saja dua orang gurunya juga tidak tinggal diam dan membantu murid mereka itu. Tentu saja
banyak perajurit yang roboh malang-melintang ketika tiga orang ini mengamuk. Akan tetapi makin
banyak perajurit berdatangan. Melihat ini, karena khawatir kalau-kalau para peiwira tinggi yang lihai
datang, Kim-suipoa lalu berteriak kepada Pek-bin-houw dan Pek Lian untuk mengikutinya melarikan
diri dan menghilang ke dalam kegelapan malam.
Tentu saja para perajurit mengejar sambil berteriak-teriak. Kim-suipoa terus berlari, diikuti oleh Pekbin-
houw dan Pek Lian. Mereka lari ke tepi kota dan melihat sebuah rumah di tempat yang sunyi dan
gelap, mereka segera menghampirinya. Rumah itu gelap di luar maupun di dalamnya, maka mereka
lalu mendorong daun pintu depan. Daun pintu terbuka dan di dalamnya gelap sekali. Kebetulan, pikir
mereka. Agaknya rumah kosong. Mereka lalu melangkah masuk dan menutupkan kembali daun
pintunya. Dari jauh mereka mendengar derap kaki orang-orang yang berlari-larian, yaitu kaki para
perajurit yang mengejar dan mencari-cari mereka. Agaknya mereka itu tidak mencurigai rumah ini,
buktinya tidak ada perajurit yang menuju ke rumah itu.
Keadaan kamar yang gelap pekat itu membuat mereka tidak berani bergerak. Setelah suara kaki di
jalan raya itu tidak terdengar, lagi, terdengar Kim-suipoa berbisik, "Mereka sudah pergi. Tempat ini
agaknya kosong, sebaiknya kalau kita bermalam di sini saja."
"Sebaiknya begitu, akan tetapi kegelapan ini..." kata Pek-bin-houw.
"Aku membawa batu pembuat api !" kata Pek Lian. "Kalau saja ada lilin di sini."
"Kamar ini tentu ada mejanya, barang kali ada lilin atau lampu" kata Kim-suipoa. Mereka melangkah
untuk meraba-raba mencari meja.
"Ihh... !" Pek Lian menahan jeritnya.
"Ehh... !" Kim -suipoa juga berseru.
"Apa yang terinjak ini?" Pek-bin-houw juga berseru. Mereka merasa menginjak sesuatu yang lunak.
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena tidak dapat menyentuh meja, dan ingin melihat apa yang mereka injak itu, Pek Lian lalu
memukul batu apinya. Terdengar bunyi "crek! crek!" dan setiap ada api berpijar, nampak sinar
terang.
Tiba -tiba Pek Lian menjerit ketika ia melihat ke depan pada saat bunga api berpijar. Ia melihat
sepasang mata melotot dari seorang pria berpakaian perwira kerajaan yang duduk di atas kursi !
Saking kagetnya, ia menjerit dan batu api itu terlepas, jatuh. Ia berjongkok dan dengan tangan
menggigil karena merasa ngeri, ia hendak mencari bata apinya. Akan tetapi, untuk kedua kalinya ia
menjerit karena tangannya meraba -raba sesuatu yang ternyata adalah muka orang!
"Ihhh...!"
"Ada apa, nona ?"
"Ada.... ada orang duduk kursi dan rebah di lantai"
Kim-suipoa meraba-raba dan diapun dapat meraba orang-orang yang malang-melintang di atas lantai.
"Ah, ada beberapa orang dan mereka agaknya telah mati. Ini batumu" katanya dan cepat mereka
mencetuskan batu api sehingga terpancar sinar. Setelah mencetuskan beberapa kali, mereka dapat
melihat tempat minyak dan lampu. Cepat mereka lalu menyalakan api dan betapa ngeri hati mereka
melihat bahwa ada sedikitnya enam orang perwira kerajaan yang tewas malang-melintang di atas
lantai, sedangkan seorang perwira yang telah mati duduk di atas kursi dengan mata melotot dan lidah
terjulur keluar.
Mengerikan sekali. Rumah itu kosong, agaknya tidak ada orang lain, atau orangnya yang masih hidup
kecuali mereka bertiga.
Tiba-tiba terdengar suara terkekeh perlahan. Mereka bertiga terkejut dan memandang ke atas.
Kiranya di atas tiang yang melintang nampak empat orang yang memiliki wajah yang menyeramkan,
wajah yang gagah dan juga bengis. Tiga orang di antara mereka sudah berusia limapuluh tahun lebih,
akan tetapi seorang di antaranya masih muda, kurang lebih duapuluh tahun usianya, wajahnya halus
dan tampan.
Karena mengira bahwa tentu mereka itu adalah orang-orangnya pasukan yang mengejar mereka,
maka Kim-suipoa sudah menggerakkan tangannya dan empat butir biji suipoa terbuat dari baja
meluncur ke arah empat orang itu. Senjata Kim-suipoa Tan Sun ini adalah alat suipoa, dan senjata
rahasianya juga biji suipoa, tentu saja bukan dari emas melainkan dari baja. Akan tetapi, dengan
tenangnya empat orang itu menyambut sinar yang menyambar itu dengan tangan mereka ! Kimsuipoa
terkejut karena hal ini saja sudah membuktikan betapa lihainya mereka itu.
"Aha, kiranya Kim-suipoa yang dikejar -kejar para perajurit. Ha-ha, ini namanya jodoh !" kata pemuda
itu dan dia sudah mendahului meloncat turun diikuti oleh tiga orang temannya.
Karena sikap empat orang itu tidak bermusuhan, maka Pek Lian dan dua orang gurunya juga hanya
memandang dengan sikap waspada. Orang muda itu menyingkirkan mayat yang menghalang di
depan kakinya dengan menendangnya ke pinggir dan dengan sikap menghina. Kemudian dia menjura
kepada Kim-suipoa.
"Maaf kalau kami mengejutkan lo-enghiong berdua dan nona. Kalau boleh kami bertanya, mengapa
sam-wi dikejar-kejar para perajurit ?"
"Aku diganggu perajurit dan kami merobohkan beberapa orang perajurit, lalu kami dikeroyok dan lari
sampai di sini," kata Pek Lian.
Pemuda itu tersenyum. "Hemm, memang begitulah watak mereka. Sudah lama kami mendengar
nama besar Kim-suipoa lo-enghiong, dan kamipun merasa kagum sekali kepada Liu-taihiap."
"Beliau adalah guruku !" kata Pek Lian. Men-dengar ini, mereka berempat menjura.
"Ah, kiranya para pendekar dari Puncak Awan Biru. Maafkan kami. Tempat inipun tidak aman, kami
mohon diri lebih dulu !" berkata demikian, pemuda itu berkelebat diikuti oleh tiga orang temannya dan
merekapun lenyap dari situ. Hanya ada angin menyambar yang membuat api lampu di atas meja
dunia-kangouw.blogspot.com
bergoyang -goyang. Pek Lian saling pandang dengan dua orang gurunya sambil menggeleng -geleng
kepala. Kembali mereka bertemu dengan orang -orang yang berkepandaian tinggi.
"Suhu, siapakah kiranya orang-orang tadi?"
Kedua orang gurunya menggeleng kepala karena mereka memang belum mengenal orang-orang tadi
dan tidak dapat menduga siapa mereka. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara derap kaki orang di luar
rumah dan diikuti teriakan -teriakan para perajurit.
"Mari lari dari jendela !" teriak Kim -suipoa. yang sudah membuka jendela samping dan mereka
berloncatan keluar.
"Tangkap!"
"Serbu...!"
"Kejar...!!
Akan tetapi tiga orang itu dengan cepat telah melarikan diri di dalam kegelapan malam dan di-kejarkejar
oleh para perajurit. Dan kiranya kota Ki -han itu telah dijaga ketat sekali oleh banyak perajurit
sehingga pintu -pintu gerbang tak mung-kin dilalui orang tanpa pemeriksaan dan pengge-ledahan
yang ketat. Untuk melompati pagar tembok kota juga berbahaya karena agaknya malam itu para
perajurit benar -benar sibuk melakukan penjagaan. Untuk melalui pintu gerbang tentu saja mereka
tidak berani. Dan untuk tetap tinggal di dalam kota, tanpa ada tempat menginap, selain berbahaya
juga akan membuat, mereka tentu menjadi lelah sekali. Akhirnya mereka dapat menemukan tembok
kota yang gelap dan agak jauh dari penjagaan, maka tanpa ragu -ragu lagi mereka lalu berlompatan
dan keluar dari kota Ki-han melalui tembok kota itu.
Betapapun juga, mereka tidak berhenti dan terus berlari sampai akhirnya mereka melihat sebuah
kuil tua di kaki bukit. Ke situlah mereka menuju dan mereka segera mengetuk pintu kayu tebal kuil itu.
Beberapa kali mereka mengetuk dan akhirnya pintu depan terbuka dan seorang hwesio dengan mata
mengantuk berdiri di depan mereka.
Kim -suipoa yang memimpin rombongannya segera memberi hormat kepada hwesio itu. "Kami mohon
kemurahan hati para hwesio di sini untuk dapat menampung kami bermalam di tempat ini melepaskan
lelah."
Hwesio itu mengerutkan alisnya. "Pinceng tidak berani memberi keputusan karena sam -wi datang di
tengah malam begini, apa lagi ada seorang wanita muda sebaiknya pinceng melapor kepada suhu,
yaitu kalau suhu belum tidur. Kalau suhu sudah tidur, tentu saja pinceng tidak berani
membangunkannya dan tidak berani menerima sam-wi."
"Sudahlah, A-ceng, silahkan mereka masuk ke kamar tamu." Tiba-tiba terdengar suara halus dari
dalam.
Hwesio yang dipanggil A-ceng itu tersenyum. "Ah, suhu belum tidur. Silahkan, sam-wi, silahkan
masuk ke sini ......" Dia lalu membawa lampu teng bergagang, menutupkan kembali daun pintu
dan memalangnya, kemudian mengantar tamu-tamu itu menuju ke sebuah ruangan tamu di samping.
Seorang hwesio tua sudah duduk di situ. Kim-suipoa selain terkenal sebagai seorang pendekar gagah
perkasa, juga terkenal sebagai seorang dermawan, maka mengingat bahwa dia banyak dikenal oleh
kuil-kuil yang sudah banyak disumbangnya, dia lalu memperkenalkan diri setelah memberi hormat.
"Saya Kim-suipoa Tan Sun dan dua orang teman mohon maaf kalau mengganggu losuhu. Kami
bertiga kemalaman di jalan dan mohon diperkenankan mengaso sampai pagi di kuil ini."
Mendengar julukan ini, benar saja hwesio tua itu segera merangkapkan kedua tangan di depan
dadanya. "Omitohud..., kiranya Tan-sicu yang datang. Apa lagi Tan-sicu yang telah banyak
melimpahkan budi kepada kaum miskin dan tempat-tempat ibadah, biar orang lain sekalipun kalau
kemalaman tentu akan pinceng terima dengan hati dan tangan terbuka. Silahkan, sicu." Hwesio tua itu
lalu menyuruh hwesio bernama A-ceng itu untuk membawa tiga orang tamunya ke kamar tamu, dua
buah kamar, sebuah untuk siocia (nona) dan yang ke dua untuk kedua orang sicu (orang gagah) itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Malam itu Pek Lian dan kedua orang gurunya dapat beristirahat dengan tenang dan daffat tidur
nyenyak sehingga pada keesokan harinya, ketika pagi-pagi mereka bangun, mereka merasa segar
dan tenaga mereka telah pulih kembali. Pagi-pagi sekali, mereka bertiga sudah bangun, mereka
membersihkan diri, berkemas dan bersiap-siap untuk berpamit dari ketua kuil untuk melanjutkan
perjalanan mereka, karena mereka merasa bahwa terlalu lama berada di sekitar daerah di mana
sedang diadakan pembersihan itu, tidaklah menguntungkan. Pula, yang mereka tuju adalah Wu-han,
di mana Menteri Ho kabarnya ditawan.
Akan tetapi, pada saat mereka berjalan menuju ke ruangan depan, terdengar ada orang membuka
pintu depan dan menutupkannya kembali, lalu terdengar suara ketua kuil yang halus dan sabar. "Hei,
A-hai, ke mana sajakah engkau semalam ?
Omitohud.., pinceng benar-benar mengkhawatirkan dirimu. Kenapa engkau tidak pulang ? Apakah
terjadi kesukaran lagi, Hai-ji (anak Hai)?"
"Maaf, suhu. Aku tidak berani pulang. Habis, banyak sekali perajurit -perajurit di kota pada mengamuk
membabi -buta. Aku jadi ketakutan dan aku tidur bersama para jembel di dalam pasar." Jawaban
suara ini seperti tidak asing dan telah dikenal oleh Pek Lian dan dua orang gurunya, akan tetapi
mereka lupa lagi di mana pernah mendengar suara itu, suara yang ketolol-tololan.
Kim-suipoa lalu maju dan membuka pinta lalu melangkah keluar. Orang yang disebut Hai-ji dan baru
datang itu telah memegang sebatang sapu bergagang panjang dan sudah siap untuk menyapu
pelataran di mana banyak terdapat, daun-daun sang berguguran semalam. Mudah diduga bahwa
pemuda itu adalah murid atau juga pelayan di kuil itu karena dia bukanlah hwesio, melainkan seorang
pemuda yang bertubuh jangkung tegap, dengan rambut hitam panjang digelung ke belakang dan
pakaiannya sederhana. Mendengar pintu dibuka orang, pemuda itu menoleh.
"Eh, kau ??!" Suara Kim-suipoa terdengar kaget sekali ketika dia mengenal pemuda itu. Pek
Lian dan Pek-bin-houw cepat keluar dari pintu itu dan merekapun terkejut, memandang kepada
pemuda yang memegang sapu itu dengan mata terbelalak dan pandang mata gentar. Tentu saja
mereka gentar karena pemuda ini bukan lain adalah pemuda yang pernah menjadi kusir kereta
tawanan yang membawa Menteri Ho, pemuda yang terluka lalu mengamuk dengan kepandaiannya
yang mentakjubkan dan mengerikan itu! Mereka bertiga memandang dengan muka berobah dan
sikap waspada. Siapakah pemuda ini ? Bagaimana dulu pernah menjadi kusir pasukan pemerintah,
dan sekarang menjadi pelayan kuil ?
Ketua kuil, hwesio yang usianya sudah mendekati
tujuhpuluh tahun itu kini datang menghampiri.
Diapun tersenyum gembira. "Omitohud..., betapa sempitnya dunia ini. Kiranya sam -wi (anda
bertiga) telah mengenal anak ini ? Sungguh ke-betulan sekali! Baru setengah bulan dia bekerja di sini.
dan pinceng tidak tahu siapa dia sebenarnya. Siapakah anak ini, sicu ?" tanyanya kepada Kim-suipoa.
"Sungguh aneh!" Ho Pek Lian berseru. "Apakah losuhu belum mengenal dia ? Kalau begitu,
bagaimana dia bisa berada di sini ? Kami baru dua kali ini bertemu dengan dia dan kamipun tidak
tahu siapakah dia sebenarnya."
"Orang muda, bukankah sudah tiba saatnya ba-gimu untuk memperkenalkan diri ?" Pek-bin-houw
berkata sambil memandang tajam kepada wajah yang tampan dan gagah sekali itu.
Sejenak pemuda tinggi besar itu memandang kepada mereka satu demi satu. Alisnya yang tebal
hitam berbentuk golok itu berkerut, sepasang mata yang bening tajam akan tetapi nampak bingung itu
menjadi semakin muram. Dia membanting kakinya dan nampak jengkel sekali, bahkan dia lalu
membuang sapunya. Wajahnya muram dan membayangkan kekesalan hatinya. Tangan kirinya
menggaruk-garuk kepala di belakang telinga, bahkan lalu mencengkeram dan menjambaki rambutnya
sehingga gelungnya terlepas dan rambut yang diikat di bagian belakang itu menjadi seperti ekor kuda
yang besar.
"Suhu... sungguh celaka, semua membuatku menjadi pusing saja! Setiap orang mengatakan bahwa
dia pernah mengenalku, pernah melihatku, malah banyak yang mengatakan bahwa aku pernah
dunia-kangouw.blogspot.com
memukulnya. Mereka memandang dengan takut kepadaku, katanya aku lihai dan pandai silat.
Padahal, aku belum pernah melihat mereka ! Dan aku sama sekali tidak bisa silat, apa lagi memukul
orang. Bagaimana ini ? Suhu, siapakah aku ini sebenarnya ? Kenapa begitu banyak orang
mengenalku sedangkan aku belum pernah bertemu dengan
mereka ? Ah, aku bisa menjadi gila kalau menghadapi teka-teki ini... suhu, katakanlah siapa
sebenarnya diriku ini."
Kwesio tua itu merangkap kedua tangan di depan dada, pandang matanya diangkat ke atas seolaholah
dia berdoa. "Omitobud ...... !" Dipandangnya pemuda itu dengan sinar mata penuh iba kasih
mendalam. "Sudahlah, Hai-ji.. engkau masuk dan beristirahatlah dulu. Mungkin engkau masih
merasa kaget oleh ulah para perajurit malam tadi, maka tenangkanlah hatimu dan mengasolah."
Pemuda itu mengangguk dan melangkah pergi, baru beberapa langkah berhenti dan mengambil sapu
yang dibuangnya tadi, menyandarkannya di batang pohon, barulah dia pergi meninggalkan tempat itu
tanpa menoleh kepada Pek Lian dan dua orang gurunya. Dan melihat sikap pemuda itu, entah
bagaimana ia sendiripun tidak tahu dan tidak mengerti mengapa, hati Pek Lian terasa
amat kecewa. Pemuda itu sama sekali tidak mem-perhatikannya, melirik sedikitpun tidak, seolah-olah
ia tidak pernah ada di situ ! Dan anehnya, pe muda itu nampaknya seperti ketakutan benar keti ka
diingatkan akan para perajurit. Dan pemuda itu nampak bahwa dia benar -benar sama sekali ti' dak
mengenal mereka. Benarkah pemuda itu sa-kit ingatan ? Sungguh sayang sekali. Pemuda yang
demikian gagahnya, tampan dan juga sebetulnya lihai bukan main sehingga seorang tokoh besar
seperti Pek -lui -kong saja dapat dibuat gentar olehnya.
Hwesio tua itu menarik napas panjang, "Sunggun patut dikasihani anak itu. Agaknya sesuatu yang
amat hebat telah menimpa dirinya sehingga jiwanya terguncang hebat. Dia benar -benar lupa sama
sekali akan masa lalunya. Dia tidak tahu sia-pa dirinya dan siapa pula orang tuanya."
"Akan tetapi, losuhu. Bukankah losuhu menyebut namanya dengan Hai -ji (anak Hai) ?"
Hwesio itu kembali menghela napas. "ketika dia mengerahkan seluruh ingatannya, dia mengatakan
bahwa dia hanya ingat orang tuanya menye-butnya Hai-ji (anak Hai). Oleh karena itu maka pinceng
menyebutnya A-hai atau Hai-ji. Agaknya namanya, tak salah lagi, tentu ada huruf Hai -nya Dia telah
berkelana sampai jauh, mencari orang yang tahu akan riwayat hidupnya, yang benar -benar
mengenalnya dan tahu keadaan keluarganya., Namun, sampai sekarang sia -sia belaka."
"Sungguh aneh sekali. Apakah dia tidak ingat sama sekali peristiwa yang terjadi pada saat ter-akhir
dia dapat mengingatnya, losuhu ?" tanya Pek-bin-houw.
Kakek itu menggeleng kepalanya. "Keadaan di-rinya sendiripun kadang -kadang aneh dan dia kehilangan
ingatan sama sekali. Dalam keadaan sa-dar, dia adalah seorang pemuda yang rajin, sopan,
biarpun pemurung karena selalu memikirkan dirinya, dan juga seorang pemuda yang lemah, dalam
arti kata tidak mengenal ilmu silat walaupun pada dasarnya dia bertenaga besar dan bertulang bersih
sekali. Akan tetapi apa bila dia mengalami tekan-an batin atau melihat darah, maka dia akan kumat.
Dan kalau sudah begitu, dia bisa berbahaya bukan main. Dengan tiba-tiba saja dia menjadi buas, liar
dan memiliki gerakan silat yang luar biasa sekali. Sudah setengah bulan dia bekerja di sini. Pinceng
membawanya ke sini setelah dia roboh pingsan, sesudah kumat dan mengamuk. Setelah sadar, dia
menyatakan bahwa tempat ini menenangkan hatinya dan dia minta bekerja di sini. Karena kasihan,
pinceng menerimanya."
Pek Lian dan dua orang suhunya yang sudah merasakan kelihaian pemuda itu ketika kumat, lalu
menceritakan tentang pertemuan mereka yang per-tama kali dengan pemuda itu kepada ketua kuil
yang mendengarkan dengan penuh rasa heran dan kagum.
"Pinceng tidak percaya bahwa dia dengan se-ngaja membantu pasukan," katanya, tidak mengerti
bahwa nona itu adalah puteri Ho -taijin yang terkenal karena mereka tidak menceritakan hal itu. "Dia
tidak berpura -pura. Dalam keadaan sadar, dia sama sekali tidak mengerti ilmu silat. Pinceng sudah
beberapa kali mencobanya. Akan tetapi kalau penyakit aneh itu kambuh, ilmunya hebat bukan main.
Sungguh mengherankan sekak, mengapa begitu hilang kesadarannya, dia malah menjadi lihai sekali."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Memang mengherankan dan patut dikasihani," kata Kim -suipoa. "Kalau dia tidak cepat mem-peroleh
pengobatan sampai sembuh, keadaannya seperti itu amat berbahaya dan tentu saja dia dapat
disalahgunakan oleh golongan penjahat."
Hwesio itu mengangguk -angguk. "Memang berbahaya sekali. Tiga hari yang lalu ketika dia sedang
bergembira, pinceng menyuruhnya membetulkan genteng yang pecah dan bocor. Entah karena
kurang hati -hati barangkali, dia terjatuh ke bawah. Kakinya terluka, lecet dan mengeluarkan banyak
darah. Begitu dia melihat darah, langsung saja dia kumat, mengamuk. Kalau pinceng dan para hwesio
tidak cepat melarikan diri, mungkin ada yang terbunuh. Dia mengejar pinceng dan melawanpun
percuma. Pinceng lalu pasrah dan bersila, bersembahyang. Eh, melihat pinceng bersembahyang, dia
tidak jadi memukul walaupun angin pukulan tangannya sempat membuat pinceng tergetar hebat. Dan
diapun melayang naik ke. atas genteng di wuwungan tertinggi dan duduk menangis! Hebatnya,
setelah dia sadar kembali, dia menjadi ketakutan dan tidak dapat turun se-hingga pinceng terpaksa
memasang anak tangga untuk dia turun."
Pek Lian dan dua orang gurunya merasa heran dan juga geli. Sungguh keadaan pemuda itu amat
aneh dan penuh rahasia. Akan tetapi karena pe-muda itu sendiri tidak dapat menceritakan keada-an
dirinya, dan mereka mempunyai urusan penting mereka lalu mohon diri dari ketua kuil.
Akan tetapi, baru saja mereka hendak melang-kah keluar, tiba -tiba terdengar suara terompet
bersahut -sahutan dari jauh, disusul suara derap kaki banyak kuda di sepanjang jalan tak jauh dari kuil
itu. Jelaslah bahwa keributan para perajurit itu menunjukkan bahwa telah terjadi sesuatu yang hebat.
Para hwesio kuil itu berlari -larian keluar untuk menonton, kecuali pemuda aneh yang malah
bersembunyi di belakang kuil. dan ketua kuil yang dengan tenang saja berada di ruangan depan.
"Maaf, losuhu, kemarin kami bentrok dengan para perajurit ketika saya diganggu, maka kami ingin
tinggal dulu di sini sampai mereka itu pergi," kata Pek Lian. Ketua kuil itu mengangguk dan
mempersilahkan
***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To Register.]***
mdiki keadaan di luar dan melihat apa yang terjadi," katanya, kemudian dia memanggil beberapa
orang hwesio dan memberi perintah kepada mereka untuk pergi menyelidik.
Menjelang tengah hari, ketua kuil itu menemui
para tamunya dengan wajah yang serius. Setelah
duduk berhadapan, ketua kuil itu lalu menarik napas
panjang berkali -kali. "Omitohud..... , dunia semakin menjadi kacau kalau manusia -manusianya
tidak lekas -lekas sadar akan dirinya, baik yang paling tinggi kedudukannya maupun yang paling
rendah."
"Apakah yang telah terjadi, losuhu ?" tanya Pek Lian.
"Ah, sungguh menyedihkan dan mengerikan. Para pendekar mulai memperlihatkan kemarahannya
dan banyak perwira -perwira dibunuh di mana -mana, tidak terkecuali di kota Ki -han. Beberapa orang
perwira yang sedang berkemah di dekat kota dan sedang menghibur diri di kota, tahu-tahu dibunuh
orang. Ahhh..., semua ini akibat dari pada peraturan-peraturan tidak adil yang dilakukan oleh kaisar.
Malah baru saja pemerintah melarang terhadap orang -orang bersenjata. Pendeknya, semua senjata
yang ada dalam rumah dirampas dan disita untuk dilebur dan dihancurkan, dan tentu saja setiap,
orang yang membawa senjata ditangkap, senjatanya dirampas dan kalau dia melawan akan dipukuli
bahkan ada yang dibunuh. Kacau... kacau..., dan sam-wi sebagai pendekar-pendekar sebaiknya
cepat menyembunyikan
senjata kalau sam-wi membawanya."
Pek Lian meraba pedangnya dan saling berpan-dangan dengan kedua orang gurunya. Kaisar telah
bertindak terlampau jauh. Akan menentang para pendekar dengan terang-terangan agaknya. Kimsuipoa
mengepal tinjunya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tindakan pemerintah sungguh sewenang -wenang. Semenjak ratusan tahun yang lalu, para
pendekar mempersenjatai dirinya untuk melawan kejahatan. Kalau dilarang memegang senjata,
bagaimana harus membela diri terhadap serangan segala macam binatang buas dan orang jahat ?"
"Omitohud makin tua pinceng mengalami hal -hal yang amat menyedihkan. Semenjak kaisar
yang sekarang berkuasa, memang ada beberapa hal yang pinceng anggap merupakan kebijaksanaan
yang baik sekali. Penertiban ukuran dan timbangan sungguh menguntungkan dalam dunia
perdagangan. Kemudian disamakannya huruf -huruf di
seluruh daratan juga merupakan hal yang amat baik
sekali bagi kesusasteraan dam kesenian. Akan
tetapi, kenapa akhir -akhir ini bermunculan perintah
-perintah yang begitu jahat ? Kitab -kitab suci
dibakar dan dimusnahkan! Bagaimana mungkin
hal itu dilakukan tanpa menggegerkan dunia ?
Pinceng sendiri beragama Buddha, akan tetapi
melihat betapa kitab -kitab Nabi Khong Cu dimusnahkan,
diam -diam pinceng merasa ngeri. Jelas
itu merupakan persaingan agama yang tidak adil.
Kemudian, Menteri Ho yang bijaksana itu ditangkap
seluruh keluarganya! Bukan main "
"Berita apa lagi yang diperoleh murid -murid losuhu ?" Kim -suipoa bertanya.
"Hebat, dan membuat pinceng merasa tidak enak terhadap sam -wi. Ada berita yang mengatakan
bahwa para perajurit itu mencari seorang gadis dan dua orang laki -laki setengah tua yang kabarnya
pernah membuat onar dan mereka bertiga itu dituduh telah melakukan pembunuhan -pembunuhan
terhadap para perwira kerajaan itu."
"Ah, yang dimaksudkan adalah kami!" kata Pek Lian terkejut.
"Agaknya demikianlah, nona. Maka sebaiknya kalau sam -wi bersembunyi dulu di kuil ini dan baru
pergi setelah keadaan aman dan tenteram."
Tiga orang itu menjura dan menghaturkan terima kasih. Tan Sun si Suipoa Emas dan Liem Tat si
Harimau Muka Putih mengintai dari balik pintu depan, sedangkan Pek Lian pergi ke belakang untuk
mencari pemuda aneh yang sinting itu. Dida-patkannya pemuda itu asyik membelah kayu -kayu bakar
dengan pisau dapur yang tidak tajam dan juga kecil. Dari belakang pemuda itu, Pek Lian memandang
kagum. Biarpun dalam keadaan sadar pemuda itu tidak paham ilmu silat, akan tetapi ha-rus diakuinya
bahwa pemuda ini bertenaga besar. Kalau tidak, mana mungkin membelah kayu bakar hanya
mempergunakan pisau dapur kecil yang tumpul pula ? Pemuda itu bertelanjang baju, hanya memakai
celana hitam panjang. Dari belakang nampak tubuhnya yang kekar dan kokoh kuat, dengan otot -otot
yang besar dan hidup. Pek Lian memandang kagum sekali sampai melongo dan seperti orang
menahan napas. Menarik sekali dan indah sekali bentuk tubuh pemuda itu, membayangkan
kejantanan dan kekuatan yang mengagumkan hatinya. Tiba -tiba pemuda itu menengok, seolah -olah
merasa bahwa ada orang memandanginya.
Dua pasang mata bertemu dan sejenak bertaut. Pek Lian segera menundukkan mukanya yang
menjadi merah. Ia telah tertangkap basah sedang "mencuri" pandang. Pemuda itupun kelihatan
canggung dan dihentikannya pekerjaannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ada ada apakah, nona ?" dia bertanya sambil mengusap keringat dari dada dan lehernya,
menggunakan saputangan besar.
"Ah, tidak apa-apa, maaf kalau aku mengganggu pekerjaanmu, eh... saudara A-hai.
Bolehkah aku memanggilmu A-hai ?" Pek Lian melangkah, mendekat dan memandang ramah.
Pemuda itu sejenak menatap wajah itu, lalu me-nunduk dan dengan canggung seperti orang yang
malu-malu membelah lagi kayu di depannya, akan tetapi karena canggung, gerakannya kaku dan
kayu itu tidak dapat terbelah pecah.
"Tentu saja boleh, nona. Memang namaku A-hai."
"Dan namaku Pek Lian," kata dara itu tanpa menyebutkan she-nya yang untuk sementara ini harus
disembunyikan dulu.
"Pek Lian ?" Pemuda itu mengerutkan alisnya,
seolah-olah hendak mengingat-ingat atau
hendak menanamkan nama itu dalam-dalam di
batinnya. "Pek Lian..., Pek Lian... !"
Pek Lian menahan senyumnya. Aneh sekali ra-sanya. Mengapa ketika namanya disebut berulangulang
itu hatinya terasa senang sekali ?
"Engkau mengenal nama itu ?"
A-hai menggeleng kepala. "Aku hendak mengingatnya agar jangan lupa."
Kembali Pek Lian terasa sejuk nyaman. Senang sekali hatinya dan iapun berjongkok di dekat pemuda
itu yang masih mencoba -coba untuk membelah kayu akan tetapi selalu gagal karena dia tiba-tiba
menjadi canggung sekali.
"Begini kalau membelah kayu !" kata Pek Lian dan gadis ini miringkan tangan kanannya, mengerahkan
tenaganya dan sekali "bacok" dengan tangan miring itu pecahlah kayu bakar di depannya
menjadi dua, seperti terbacok golok yang tajam saja.
Wajah A -hai berseri. "Wah, engkau pandai se-kali, Pek Lian!"
Pek Lian semakin girang. Padahal, pemuda ini seharusnya menyebut nona. Lalu iapun teringat bahwa
ia sendiripun menyebut A -hai begitu saja, dan dalam sebutan -sebutan ini terasa olehnya suatu
keakraban yang luar biasa.
"Apa engkau tidak bisa melakukannya dengan tangan kosong, A -hai ?"
Pemuda itu menggeleng. "Mana mungkin ? Dengan pisau inipun amat sukarnya."
"Dengan pisau itu memang lebih sukar dari pada dengan tangan kosong. Cobalah dan tirulah aku,
engkau tentu bisa," kata Pek Lian. "Nah, mula -mula tangan kananmu begini, lalu kerahkan tenaga,
tahan napas dan salurkan tenaga ke tanganmu, pusatkan pada bawah tanganmu dan curahkan
perhatian dan keyakinan bahwa kayu ini tentu akan pecah terbelah oleh pukulan tanganmu yang
tajam seperti golok. Mulai. Lihatlah dulu tanganku. Satu -dua -tiga ! Krakk !" Kayu itu pecah oleh
bacokan tangan Pek Lian. "Sekarang coba kaulakukan dengan kayu di depanmu itu."
Wajah pemuda itu berseri seperti seorang anak kecil memperoleh suatu permainan baru. Diapun lalu
menegangkan tangannya, dibentuk seperti bentuk tangan dara itu tadi, kemudian diapun menahan
napas dan mengerahkan tenaga. Pek Lian menekuk ibu jari pemuda itu agak membengkok ke dalam
telapak tangan, lalu mengangguk. "Sudah baik begitu, nah, kerahkan tenaga dan dengar hitunganku.
Satu..., dua... tiga... !" Pemuda itu mengayun tangannya dan "Krakkk!" kayu itupun pecah
terbelah! A -hai tertawa gembira biarpun sambil menyeringai karena tangannya agak nyeri rasanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Diam-diam Pek Lian memandang kagum. Tanpa disadari, pemuda ini sebenarnya memiliki sin-kang
yang amat kuat. Kalau saja pemuda ini dapat mempergunakannya, tentu akan hebat sekali. Kalau
begitu, pikirnya, keadaan menjadi sebaliknya ma-lah. Kalau pikirannya sedang sadar seperti ini, justeru
ilmu pemuda itu seperti "tidur", akan tetapi sebaliknya kalau pikirannya kacau dan tidak sadar,
ilmunya malah "bangun".
"Engkau baik sekali, Pek Lian," katanya dan sikapnya menjadi ramah.
"Engkau juga baik sekali, A-hai. Benarkah bahwa engkau sudah tidak ingat sama sekali akan asal -
usulmu ?"
Pemuda itu mengerutkan alisnya yang hitam tebal itu, lalu menghela napas panjang. Dadanya yang
bidang dan kuat itu membusung ketika di menyedot napas. "Aahh, Pek Lian, jangan bicara tentang
masa laluku. Aku menjadi pusing kalau memikirkan itu. Aku tidak mau ingat apa -apa lagi yang
penting aku ingat sekarang ini bahwa engkau bernama Pek Lian dan engkau baik sekali terhadap
diriku."
Hati dara itu terasa senang sekali. Ia sendiri merasa heran. Sebagai puteri seorang menteri, ia sudah
biasa dengan kata -kata menjilat dan me-muji, dan sebagai seorang gadis yang cantik dan lihai,
banyak sudah orang memuji kecantikannya atau kelihaiannya. Akan tetapi biasanya, puji -pu-jian itu
membuatnya merasa muak karena ia tahu bahwa di balik pujian itu tersembunyi maksud lain
Sebaliknya, pujian pemuda ini begitu wajar dan bersih dari pada pamrih apapun, dan terasa mengharukan
dan juga menyenangkan baginya.
"A -hai, apakah selain aku, tidak ada orang lain yang juga amat baik kepadamu ?"
Pemuda itu cemberut, lalu menggeleng kepa-lanya. "Ada sih ada, seperti losuhu di kuil ini juga baik
kepadaku. Akan tetapi kebanyakan orang amat jahat, jangankan menolong, malah mereka itu selalu
menggangguku. Semua orang jahat kepadaku, Pek Lian, akan tetapi engkau baik baik sekali,
aku suka kepadamu."
Pek Lian tersenyum dan dalam keharuannya,
otomatis jari -jari tangannya menyentuh lengan
yang berotot itu. "Kasihan engkau, A-hai "
Dalam suara Pek Lian terkandung getaran penuh belas kasihan dan agaknya hal ini terasa dan
menyentuh perasaan A -hai karena tiba-tiba saja pemuda itu menangis sesenggukan ! Pek Lian terkejut,
memandang pemuda yang menutupi muka dengan kedua tangannya itu dan melihat air mata
mengalir dari celah -celah jari tangan itu.
Pek Lian memegang lengannya. "A-hai, jangan berduka, A-hai " katanya lirih, hampir tak dapat
menahan air matanya sendiri.
Pemuda itu menggunakan tangan yang dikepal untuk menyusuri air matanya, lalu dengan muka
muram memandang wajah dara itu. "Bagaimana aku tidak akan berduka, Pek Lian, kalau hatiku
terasa berduka sekali? Aku berduka sekali aku sengsara sekali"
"Eh, apakah yang menyebabkan engkau berduka, A-hai ? Apakah yang telah terjadi maka engkau
merasa begini sengsara ?" Dipandangnya wajah itu dengan penuh harap kalau-kalau pemuda itu
sekarang telah menemukan kembali ingatannya. Akan tetapi, pemuda itu menggeleng kepala dan
menarik napas panjang.
"Tidak tahu aku tidak tahu, tahuku hanya
bahwa aku berduka dan sengsara sekali"
Pek Lian memandangi pemuda itu, dari kepaL sampai ke kaki. Biarpun dalam keadaan kehilangan
ingatannya, ternyata pemuda ini merawat diri-nya dengan baik. Rambutnya, kukunya, terawat dan
bersih. Jelas bahwa dia ini bukan seorang pe-muda dusun yang bodoh.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba pendengaran Pek Lian menangkap suara ribut-ribut di luar kuil. Ia khawatir kalau-kalau
pemuda ini akan kumat pula, maka ia bangkit berdiri dan berkata, "A -hai, engkau lanjutkan
pekerjaanmu dan latihlah membelah kayu dengari tangan seperti tadi. Aku hendak menemui losuhu di
luar."
A -hai mengangguk dan sudah mulai membe-lah -belah kayu dengan tangan seperti yang diajarkan
oleh Pek Lian tadi. Pek Lian sendiri cepat berlari ke ruangan luar di mana ia melihat kedua orang
gurunya sedang mengintai dari balik pintu dengan wajah tegang. Iapun cepat menghampiri dan ikut
mengintai.
Kiranya di luar kuil sedang terjadi sesuatu yang amat menarik, yaitu suatu perkelahian yang aneh
karena di situ nampak seorang perajurit muda dikeroyok oleh belasan orang perajurit lain. Perajurit
muda itu dikeroyok oleh teman -temannya sendiri ! Akan tetapi, perajurit muda itu lihai bukan main.
Dengan tangan kosong saja dia menghadapi pengeroyokan belasan orang perajurit bersenjata itu dan
berhasil membuat para pengeroyoknya kocar-kacir
Gerakannya cepat dan mantap, setiap tamparan tangannya membuat perajurit yang terkena seketika
roboh dan terlempar. Akan tetapi, karena pihak pengeroyok amat banyak, roboh satu maju penggantinya,
maka perajurit muda itu terkepung. Pek Lian mengerutkan alisnya, merasa seperti sudah
pernah melihat wajah perajurit muda itu.
Dikeroyok banyak orang, perajurit muda itu ke-lihatan semakin gembira. Dia tersenyum dan membentak,
"Gentong -gentong kosong, majulah kalian semua!" Begitu pemuda itu tersenyum dan bicara,
teringatlah Pek Lian.
"Suhu dia itu orang yang berada di atas tiang melintang di rumah itu. Akan tetapi, di mana tiga
orang temannya yang lebih tua itu ?"
Kedua orang gurunya memperhatikan, dan pada saat itu terdengar derap kaki kuda dan muncullah
seorang berpakaian panglima diiringkan oleh dua orang laki -laki gagah berpakaian preman yang
agaknya merupakan pengawal -pengawal panglima itu. Di belakang panglima ini nampak belasan
orang perajurit berpakaian lengkap berlari-lari mengikuti larinya kuda. Sementara itu, pertempuran itu
agak menjauh, maka Pek Lian dan dua orang gurunya juga sudah keluar dari kuil dan melihat ada
sebuah gerobak tertutup yang berhenti di tepi jalan tak jauh dari kuil itu.
"Wah, wah... dia muncul juga" terdengar Kim-suipoa berbisik ketika melihat panglima itu. Pek-binhouw
juga mengenalnya dan tentu saja Pek Lian yang sudah banyak mengenal panglima -panglima
kota raja itupun mengenal panglima berkuda itu.
Pada jaman itu, di kota raja terdapat dua orang jagoan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali
dan namanya dikenal dan ditakuti orang. Orang pertama adalah Pek-lui-kong Tong Ciak, jagoan cebol
yang jarang keluar karena selalu bekerja secara rahasia dan menjadi panglima dari Kim -i -wi
(Pasukan Baju Emas). Panglima pengawal ini selain memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi
karena dia mewarisi ilmu -ilmu dari Soa -hu -pai, juga mempunyai kekuasaan yang tak terbatas
besarnya di dalam lingkungan istana. Hal ini tidaklah mengherankan, karena selain si cebol ini amat
dipercaya oleh kaisar, juga dia masih sanak dengan Chao Kao, yaitu thaikam (pembesar kebiri)
kepala yang berkuasa di dalam istana dan menjadi orang kepercayaan nomor satu di dalam istana.
Bahkan para selir dan keluarga kaisar sendiri menaruh hati jerih terhadap pembesar ini.
Adapun jagoan ke dua yang ditakuti orang ada-lah panglima yang kini tiba -tiba muncul di jalan raya
tak jauh dari kuil di luar kota Ki -han itu. Panglima ini adalah seorang jenderal yang menge-palai
pasukan -pasukan pilihan. Namanya sudah amat terkenal dan setiap kali jenderal ini memim-pin
pasukannya menghadapi musuh atau melakukan operasi pembersihan, maka selalu pasti berhasil
baik. Namanya adalah Jenderal Beng Tian dan melihat tubuhnya yang tinggi besar itu saja dia sudah
nampak amat gagah perkasa. Dan memang ilmu silatnya kabarnya juga amat hebat, mendekati
kesaktian yang sukar dicari tandingannya, dan ka-barnya setingkat dengan ilmu silat si cebol Pek -luikong
Tong Ciak. Tentu saja keduanya memiliki kelebihan, yaitu Jenderal Beng Tian mahir ilmu perang
dan menguasai banyak pasukan, sedangkan Tong Ciak mempunyai pengaruh besar di istana, dan
lebih dekat dengan kaisar.
Dua orang berpakaian preman yang selalu men-dampingi Jenderal Beng Tian adalah pengawalpengawal
pribadinya. Bukan orang -orang lain, melainkan masih saudara seperguruannya sendiri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Maka dapat dibayangkan betapa lihai mereka berdua itu, hanya setingkat lebih rendah dibandingkan
dengan jenderal itu sendiri. Jaranglah jenderal itu turun tangan sendiri, karena setiap lawan yang
berani melintang di depannya, cukup ditanggulangi dan ditundukkan oleh dua orang pengawalnya
yang tangguh itu.
Beng -goanswe (Jenderal Beng) kini sudah tiba di dekat tempat perajurit muda dikeroyok itu. Dia
menghentikan kudanya dan menonton dengan pandang mata tertarik. Dia merasa kagum sekali
kepada perajurit muda itu. Diam-diam dia merasa heran dan menduga -duga siapa adanya orang
muda yang demikian tangguh dan beraninya, menyamar sebagai seorang perajurit dan menyusup ke
dalam perkemahan bala tentaranya itu. Sungguh suatu perbuatan yang luar biasa beraninya dan kegagahan
yang mengagumkan sekali. Gerakan pemuda itu selain cepat dan gesit, juga mengandung
tenaga kuat dan aneh sekali. Diam -diam Beng-goanswe mempelajari gerakan -gerakannya itu dan
mengingat -ingat, akan tetapi dia tidak mengenal ilmu silat pemuda itu.
Di lain pihak, ketika perajurit muda palsu itu mengenal siapa yang muncul, diam -diam menjadi
terkejut bukan main. Tidak disangkanya sama sekali bahwa orang nomor satu dari pasukan peme-,
rintah pilihan itu muncul di situ ! Tentu saja dia mengenal bahaya dan berusaha untuk meloloskan diri
dari kepungan belasan orang perajurit yang mengeroyoknya. Tiba -tiba pemuda itu mengeluarkan
teriakan melengking nyaring, kedua lengannya membuat gerakan memutar -mutar membentuk
lingkaran -lingkaran yang saling menyambung dan para pengeroyoknyapun berjatuhan ! Dalam satu
gebrakan yang mengandung serangan bertubi-tubi itu, sekaligus robohlah enam orang perajurit
pengeroyok ! Beng -goanswe terkejut dan mengeluarkan seruan tertahan sambil mengangkat tangan
kanannya ke atas. Dua orang sutenya, atau juga dua orang pengawal pribadinya, maklum akan
isyarat ini maka keduanya lalu berloncatan turun dari atas kuda masing -masing, berjungkir balik dan
dengan gerakan indah keduanya sudah melayang dan memotong jalan lari perajurit muda palsu itu !
Pemuda yang menyamar sebagai perajurit itu terkejut, maklum bahwa dia berhadapan dengan dua
orang lawan yang tangguh, padahal di situ masih terdapat sang panglima dan puluhan orang perajurit,
maka diapun tidak mau membuang banyak waktu lagi, membentak nyaring dan dia su-dah
menyerang dua orang pengawal panglima itu. Dan melihat betapa dua orang pengawal itupun
menghadapi si pemuda dengan tangan kosong, dapat dimengerti bahwa tingkat kepandaian merekapun
sudah tinggi sekali.
Sekali ini para perajurit hanya mengurung dari jauh sambil menonton. Perkelahian yang terjadi
memang hebat bukan main. Sang panglima yang masih duduk di atas kudanya memandang dengan
mata semakin kagum. Tak disangkanya sama sekali bahwa musuh yang menyamar itu, yang masih
demikian muda, mampu melayani pengeroyokan dua orang pengawalnya, dapat membalas setiap
serangan dengan serangan yang tidak kalah dahsyatnya, walaupun lambat -laun pemuda itu nampak
kewalahan juga. Panglima ini dapat mengukur bahwa andaikata tidak dikeroyok, belum tentu su-tenya
dapat menang. Kini, mengandalkan pengeroyokan itu, dua orang pengawalnya dapat menghujani
serangan dan dengan cengkeraman-cengkeraman, satu demi satu pakaian perajurit penyamaran itu
dapat dilucuti dan akhirnya nampaklah pakaian pemuda itu sendiri, yaitu pakaian yang dipakai oleh
pemuda yang semalam telah bertemu dengan Pek Lian dan dua orang gurunya di rumah kosong.
Tiba -tiba Pek -bin -houw menahan seruannya. Setelah kini melihat wajah pemuda itu di siang hari,
diapun mengenalnya. Pernah dia bertemu dengan pemuda itu, setahun lebih yang lalu. "Ahhh...! aku
ingat sekarang!" Dia berbisik kepada Kim-suipoa dan Pek Lian. "Dia adalah Yang-ce Siauw-kokcu
(Ketua Muda Lembah Sungai Yang-ce) !"
Mendengar ini, Pek Lian memandang tajam. Kiranya inilah pemimpin dari orang -orang gagah yang
bermarkas di sepanjang lembah Sungai Yang-ce, yang kini sedang digempur oleh pasukan
pemerintah itu! Para pendekar lembah Sungai Yang-ce amat terkenal karena gagah perkasa, dan
nama-mereka sejajar dengan nama para pendekar Puncak Awan Biru. Memang kedua perkumpulan
orang gagah ini sama -sama terkenal sekali sebagai orang-orang gagah yang menentang kelaliman
pemerintah. Puncak Awan Biru di Pegunungan Fu-niu--san menjadi sarang para pendekar yang tentu
saja oleh pemerintah dinamakan gerombolan penentang pemerintah atau gerombolan pemberontak,
dipimpin oleh seorang pendekar yang gagah perkasa, yaitu Liu Pang yang terkenal dengan sebutan
Liu—toako. Pek Lian dan empat orang gurunya bergabung kepada perkumpulan pimpinan Liu Pang
inilah. Adapun gerombolan lembah Sungai Yang -ce ini dipimpin oleh seorang pendekar yang tidak
kalah terkenalnya, yaitu yang bernama Chu Siang Yu. Karena sama-sama sebagai perkumpulan
pendekar atau patriot yang menentang kelaliman pemerintahan dan membela rakyat kecil yang
dunia-kangouw.blogspot.com
tertindas, maka kedua pihak ini saling menghormat dan saling membantu. Bahkan Liu Pang yang
berasal dari keluarga petani kecil menaruh sikap hormat sekali kepada Chu Siang Yu yang masih
berdarah bangsawan, bahkan terkenal sekali karena dia adalah keturunan Jenderal Chu Tek yang
pernah menggegerkan dunia karena kegagahannya di jaman dahulu.
"Bukan main ......" kata Pek -bin -houw. "Kok-cu muda ini lihai sekali. Gurunya lebih hebat lagi, pernah
pibu (mengadu ilmu silat) secara persahabatan dengan Liu – toako."
"Ah, lalu bagaimana hasilnya, suhu ?" tanya Pek Lian, tertarik sekali mendengar bahwa guru pemuda
yang lihai ini pernah pibu melawan gurunya yang baru, ketua Puncak Awan Biru.
"Mereka pibu tangan kosong, dan kalau saja pibu itu dilakukan dengan senjata, dengan keistimewaannya
bermain pedang mungkin tidak akan "kalah."
"Jadi, suhu kalah ?" tanya Pek Liari kece
wa.
"Begitulah, akan tetapi hal itu terjadi ketika. Liu-toako masih muda, masih sama -sama muda dahulu,
sepuluh tahun yang lalu. Sekarang tentu saja Liu-twako telah memperoleh kemajuan yang amat
hebat. Akan tetapi melihat kelihaian pemuda, itu, tentu dapat dimengerti bahwa ilmu silat gurunya
tentu jauh lebih hebat lagi."
"Suhu, ternyata di dunia ini demikian banyak-nya orang -orang yang memiliki ilmu silat sedemi-kian
tingginya." Dalam suara Pek Lian terkandung kekecewaan karena dara ini melihat betapa ilmunya
sendiri masih amatlah dangkalnya.
Dua orang pendekar itu maklum akan perasaan hati murid mereka. Mereka sendiripun setelah
secara berturut -turut mengalami pertemuan dengan begitu banyaknya orang pandai, merasa beta-pa
kepandaian sendiri masih teramat rendah. Mereka maklum bahwa Pek Lian merasa kecewa seka-li
melihat kenyataan yang menghancurkan harga diri itu. Dara itu telah berlatih silat dengan amat
tekunnya, bahkan telah belajar dari lima orang gu-ru dan ilmu kepandaiannya bahkan sudah
melampaui tingkat masing -masing dari keempat Huang-ho Su-hiap. Gadis itu tentu mengira bahwa
ilmu silatnya sudah baik dan tidak sembarang orang akan dapat mengalahkannya. Akan tetapi
sungguh merupakan kenyataan yang amat pahit baginya
bahwa begitu ia turun gunung untuk pertama kalinya, bertualang sebagai gadis pendekar kang -ouw
setelah keluarganya hancur, ia mengalami kekalahan karena bertemu dengan orang -orang yang
memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.
Pertama -tama, bertemu dan kalah oleh si ce-bol Pek -lui -kong Tong Ciak. Kemudian pemuda sinting
itupun memiliki kepandaian yang luar biasa lihainya. Setelah itu, bertemu dengan keluarga Bu yang
sakti, yang rata -rata memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari padanya. Juga orang-orang berjubah
naga itu, baru bertemu dengan yang berjubah biru saja ia sudah kalah, belum lagi kalau harus
melawan yang berjubah coklat. Kemudian muncul pemuda Lembah Yang -ce ini, jelas pemuda ini
memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi di atasnya. Dan orang -orang Tai -bong-pai itupun lebih
lihai lagi. Bertemu dengan demikian banyaknya tokoh -tokoh yang hebat, tentu saja dara itu merasa
betapa dirinya kecil dan lemah tak berarti!
Perkelahian antara kokcu lembah Sungai Yang-ce dengan dua orang pengawal Jenderal Beng Tian
itu menjadi semakin seru, akan tetapi jelaslah kini bahwa pemuda itu terdesak hebat. Kedua pengeroyoknya
itu masing-masing tidak memiliki tingkat lebih tinggi darinya, akan tetapi mereka berdua dapat
bekerja sama dengan baik sekali. Beberapa kali pemuda itu telah terkena pukulan -pukulan dua orang
pengeroyoknya. Kalau saja tenaga sinkang-nya tidak amat kuat, tentu pukulan-pukulan dahsyat itu
sudah merobohkannya. Pemuda itu terdesak terus, main mundur sampai akhirnya pertempuran itu
tiba di dekat gerobak yang berhenti, di mana Ho Pek Lian dan kedua orang gurunya bersembunyi.
Sementara itu, Pek Lian dan dua orang gurunya hampir lupa diri saking asyiknya nonton perkelahian
itu, lupa bahwa kalau mereka bertiga itu sampai ketahuan, amat berbahayalah bagi mereka yang
memang sedang dicari-cari oleh para peraju-rit karena mereka dicurigai sebagai pembunuh para
perwira itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebuah pukulan menyambar ke arah kepala pemuda dari Lembah Yang-ce itu. Pemuda ini
menangkis dan sebuah tendangan ke arah pusarnya dapat dielakkannya. Akan tetapi karena dia
terhimpit ke gerobak itu, pukulan yang mengarah lehernya dan sudah dielakkannya masih saja
mengenai pun-daknya.
"Dukk!!" Keras sekali pukulan ini, membuat tubuhnya terdorong dan menabrak gerobak sehingga
gerobak itu bergoyang -goyang. Sebelum pemuda itu dapat memperbaiki kembali sikapnya, kedua
orang lawan itu dengan tenaga gabungan telah dapat menghantamnya lagi.
"Dess !!" Kini tubuh pemuda itu menabrak gerobak dengan keras dan jatuh terlentang ke bawah
gerobak. Dari mulutnya keluar darah segar, tanda bahwa dia telah menderita luka dalam yang cukup
parah. Akan tetapi dua orang lawannya tidak mau memberi ampun, masih mendesak maju hendak
mengirim pukulan susulan yang tentu akan mematikan.
Melihat ini, Ho Pek Lian dan guru -gurunya tidak dapat menahan hatinya lagi. Mereka adalah
pendekar -pendekar yang sejak lama digembleng untuk selalu mengulurkan tangan menolong pihak
lemah atau pihak yang benar, maka melihat betapa nyawa pemuda Lembah Yang -ce itu terancam,
mereka segera keluar dari balik gerobak itu dan. menyerang dua orang pengawal yang hendak
menghabiskan nyawa pemuda Lembah Yang -ce.
"Wuuut! Singgg ....!!" Pedang di tangan Pek Lian menyambar ke arah leher seorang di antara dua
lawan terdekat untuk menyelamatkan pemuda itu. Akan tetapi pengawal itu gesit sekali, dengan
sebuah loncatan menyamping dia dapat menghindarkan diri dari sambaran pedang ke lehernya,
bahkan secepat kilat tangannya sudah menyambar dari samping, mengarah ubun -ubun kepala Pek
Lian!
Melihat ini, pemuda Lembah Yang-ce terkejut. Dia sendiri sudah terluka parah, akan tetapi me-lihat
bahaya mengancam nona yang mencoba me-nyelamatkannya itu, diapun meloncat bangkit dan
menangkis pukulan itii. Kembali dia terlempar, akan tetapi pukulan pengawal itu meleset, tidak
mengenai kepala Pek Lian, dan sebaliknya menyambar dan mengenai tiang gerobak bagian
belakang.
"Krakkkk ....!!" Tiang itu patah dan sebagian atapnya yang belakang ambruk.
"Kurang ajar! Anak setan sialan dangkalan! !" Terdengar suara parau menyumpah -nyumpah dari
bawah atap gerobak yang patah dan runtuh itu berbareng dengan suara jeritan serak suara wanita
yang juga memaki -maki lebih kotor lagi.
"Anak haram anjing babi monyet!" maki wanita itu.
Semua orang terkejut dan dari bawah atap gerobak yang runtuh itu muncullah sepasang laki-laki dan
wanita setengah tua dengan pakaian ke-dodoran setengah telanjang sambil memaki -maki. Keduanya
berloncatan keluar sambil membetulkan celana yang kedodoran dan diikat sekenanya saja.
Kemudian, tanpa bicara apa -apa lagi pria dan wa-nita ini menggerakkan kedua tangan mereka
dengan cepat luar biasa, tanpa pilih bulu, baik Pek Lian dan kedua orang gurunya, juga pihak perajurit.
Dan terjadilah hal yang mengerikan sekali. Tangan pria dan wanita itu seketika berobah
kehijauan dan ketika mereka menggerakkan kedua tangan, angin besar menyambar -nyambar seperti
terjadi angin puyuh. Karena gerakan empat buah tangan itu cepatnya sukar diikuti dengan mata,
orang sebanyak itu merasa seperti mereka masing-masing menerima pukulan, maka merekapun adu
yang mengelak dan ada yang menangkis. Namun akibatnya sama saja. Baik yang mengelak maupun
yang menangkis, semua terkena pukulan itu atau bersentuhan dengan tangan itu dan seketika juga
mereka merasa tubuh mereka panas seperti terbakar api, kemudian berobah dingin sampai menggigil,
panas dan dingin menyerang tubuh mereka seperti orang sakit demam. Pek Lian, dua orang gurunya,
juga dua orang pengawal lihai itu, tak terkecuali, semua menggigil dan kepanasan silih berganti.
Hanya pemuda Lembah Yang-ce, karena tadi ketika menangkis tubuhnya roboh, terbebas dari hawa
beracun yang hebat itu.
Panglima itu, Jenderal Beng Tian, melihat hal ini, berobahlah wajahnya. Dari atas kudanya dia
mengirim pukulan dorongan kedua tangannya berganti -ganti. Pria dan wanita itu terdorong mundur
oleh hawa pukulan ini dan mereka berteriak kesakitan. Sementara itu, Beng -goanswe sudah berteriak
memberi peringatan kepada anak buahnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Semua mundur ! Awas pukulan Im -yang Tok-ciang mereka! Sangat beracun. Mereka adalah iblis -
iblis dari Pulau Selaksa Setan !"
Sambil berkata demikian, Jenderal Beng Tian melompat turun dari atas kudanya agar dapat ber-gerak
lebih leluasa. Akan tetapi, sepasang laki perempuan itu telah meloncat ke atas gerobak dan dari
tangan mereka berhamburan pasir -pasir putih beracun ke arah sepasang panglima dan para
perajurit yang hendak mengejar. Panglima itu dan dua orang pengawalnya saja, yang masih menggigil,
yang dapat menghindarkan dirinya. Para pera-jurit, delapan orang banyaknya, roboh dan menjerit
-jerit, bergulingan karena pasir -pasir putih itu mengandung racun yang mendatangkan rasa gatal -
gatal dan panas. Gerobak itu telah dilarikan secepatnya, diseret oleh dua ekor kudanya meninggalkan
tempat itu.
Hampir saja gerobak itu bertabrakan dengan sebuah kereta yang juga bergerak datang dengan
cepat. Akan tetapi ternyata kakek yang mengusiri gerobak, juga seorang laki -laki setengah tua yang
mengusiri kereta itu, amat cekatan. Sambil memaki, kakek pengemudi gerobak itu dapat menyimpangkan
gerobaknya ke kiri, demikian pula kereta itupun menyimpang ke kiri sehingga tubrukan
dapat dihindarkan. Kereta itu berhenti dan secepat kilat, tiga orang kakek, yaitu kawan-kawan dari
kokeu Lembah Yang-ce, berloncatan keluar. Mereka sudah bersiap-siap untuk menghadapi panglima
yang lihai itu. Akan tetapi tiba -tiba kedua pengawal dari jenderal itu mengeluh kepanasan oleh racun
pukulan suami isteri aneh tadi, maka pertempuran dengan sendirinya berhenti. Tiga orang kakek itu
lalu mengangkat pemuda Lembah Yang-ce, juga Pek Lian dan dua orang gurunya ditarik naik
memasuki kereta, lalu kereta itu dilarikan secepatnya. Panglima yang masih gentar menghadapi
suami isteri yang tiba -tiba saja muncul dan seolah -olah juga menentangnya itu, apa lagi melihat dua
orang pengawalnya sudah terluka, cepat bersuit panjang memberi isyarat kepada pasukannya untuk
mengejar dan menghalangi orang-orang yang memberontak itu untuk melarikan diri.
Maklum bahwa tidaklah mudah untuk dapat melarikan kereta itu dari pengejaran pasukan, apa lagi
melihat kenyataan yang tidak menguntungkan betapa kokcu Lembah Yang -ce telah terluka parah,
bahkan tiga orang pendekar dari Puncak Awan Biru yang dapat diharapkan bantuannya itupun telah
menggigil panas dingin, maka tiga orang kakek dari Lembah Yang-ce itu membalapkan kereta
sedapat mungkin untuk mencapai hutan di depan.
Jilid IV
AKAN TETAPI, ketika kereta tiba di suatu tikungan, tiba-tiba muncul seorang pemuda bertubuh tinggi
besar. Pek Lian dan dua orang gurunya yang tidak pingsan seperti kokcu Lembah Yang -ce dan ikut
mengintai keluar, mengenal pe-muda ini sebagai pemuda tukang sapu di kuil itu !
"A-hai...!" teriak Pek Lian. "Harap berhentikan kereta, mungkin dia mempunyai petunjuk penting!"
Mendengar seruan nona ini, tiga orang kakek Lembah Yang-ce menghentikan kereta itu. Kalau saja
bukan Pek Lian yang berseru, tentu mereka tidak akan berhenti karena mereka tidak mengenal
pemuda tinggi besar itu, bahkan mencurigainya.
Pemuda itu dengan napas terengah -engah, agaknya ketakutan dan juga gelisah sekali, berkata,
"Cepat turun semua ! Di depan sudah ada peraju-rit -perajurit menjaga. Penunggang -penunggang
gerobak itupun sudah dikeroyok dan terjadi pertempuran mengerikan. Lekas turun dan mari ikut
bersamaku, aku dapat menyembunyikan kalian!"
Pek Lian melihat betapa pemuda itu ketakutan. Hal ini merupakan tanda bahwa pemuda itu justeru
berada dalam keadaan normal dan tidak sedang kumat. Maka diapun lalu turun dengan menahan
rasa dingin tubuhnya, diturut oleh dua orang gurunya.
"Dia dapat dipercaya. Mari cepat!" katanya kepada tiga orang kakek Lembah Yang -ce yang tentu saja
tidak ragu -ragu lagi, karena keadaan amat mendesak. Pemuda tinggi besar itu melihat Pek Lian
menggigil, lalu memegang tangan gadis itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Pek Lian, engkau sakit ? Ihhhh . . . ! Tanganmu seperti salju!" Dan digandengnya dara itu,
dibawanya lari dengan hati-hati. Pek Lian menurut saja karena memang iapun merasa pening dan
larinya terhuyung. Kim -suipoa dan Pek -bin-houw saling bantu dengan bergandeng tangan, lalu
dibantu oleh dua orang kakek. Kakek ke tiga me-mondong tubuh kokcu Lembah Yang -ce.
Pemuda yang menggandeng Pek Lian itu memasuki sebuah kuil kuno yang rusak di tepi hutan, lalu
menuju ke bagian belakang. Tiba-tiba Pek Lian mengeluh, dan tubuhnya menjadi panas sekali,
kepalanya pening dan matanya berkunang -ku-nang. Hampir berbareng dengan kedua orang
suhunya, iapun terpelanting. Untung A -hai cepat menyambar dan memondongnya. "Ah, celaka Pek
Lian! Pek Lian ! Ah, badannya panas sekali ... ah, jangan-jangan ia mati ...... !"
Tiga orang kakek Lembah Yang-ce itu terheran-heran melihat sikap pemuda ini. Mereka ma-sing -
masing kini memondong seorang. Akan tetapi karena agaknya keselamatan mereka berada di tangan
pemuda itu, merekapun hanya mengikuti saja ketika pemuda itu berjalan terus. Di kamar belakang
yang amat kotor, penuh dengan rumput tinggi, pemuda itu membuka tutup sumur bekas tempat
pembuangan kotoran dari kamar mandi dan kakus! Begitu tutup sumur dibuka, bau busuk menyerang
hidung mereka. Akan tetapi, pemuda itu memberi isyarat agar mereka semua mengikutinya memasuki
lubang sumur kotor itu! Ada tangga di situ dan dengan susah payah, yang sehat membawa dan
menarik yang sakit melalui tangga sampai ke tengah -tengah sumur. Kakek Lembah Yang-ce yang
turun terakhir, tidak lupa menutupkan papan penutup sumur kembali. Sebelum mereka tiba di dasar
lubang kotoran itu, tangganya sudah habis dan di lambung sumur terdapat sebuah lubang sebesar
perut kerbau. Kini terpaksa yang sakit tidak dipondong lagi, melainkan dibantu memasuki lubang
seorang demi seorang. Kokcu Lembah Yang -ce sudah siuman, dan dengan gerakan lemah sekali
diapun merangkak, dibantu oleh seorang kakek. Tentu saja perjalanan ini amat sukar karena empat
orang dari mereka terluka dan keracunan, walaupun yang amat parah hanya kokcu Lembah Yang-ce
itu saja. Lubang sebesar perut kerbau itu ternyata amat panjang, gelap dan licin karena becek dan
basah. Pemuda yang menjadi penunjuk jalan itu berkali -kali terpeleset dan kepalanya terbentur
dinding tanah. Pek Lian yang berada di belakangnya dan digandengnya, berkali kali harus menjaga
agar jangan sampai pemuda ini lecet atau mengeluarkan darah. Bergidik ngeri ia kalau
membayangkan betapa di tempat seperti itu, penyakit pemuda itu kambuh. Bisa berabe benar-benar !
Maka iapun mengajak bicara pemuda itu, biarpun kepalanya pening dan tubuhnya masih kadang -
kadang dingin kadang-kadang panas.
"Hati -hati, A -hai, jalannya licin. Awas jangan jatuh dan lihat atas, kepalamu bisa terbentur batu '"
Akhirnya A -hai tertawa. "Pek Lian, engkau sendiri yang payah dan sakit, masih memperingatkan aku.
Jaga baik -baik dirimu sendiri."
Melihat sikap Pek Lian ini, empat orang tokoh Lembah Yang -ce juga merasa heran. Memang lucu
sekali, pikir mereka. Pemuda tinggi besar itu dalam keadaan sehat dan menjadi petunjuk jalan,
sedangkan gadis itu terluka pukulan sakti akan tetapi kenapa justeru gad's itu yang terus-menerus
memperingatkan pemuda itu agar berha ti -hati ? Akan tetapi tentu saja Kim -suipoa dan Pek -bin -
houw tidak merasa heran, bahkan merekapun diam -diam menyetujui sikap Pek Lian itu, karena
mereka tahu babwa kalau sampai pemuda itu terbentur dan jatuh lalu terluka, akibatnya mereka tidak
berani membayangkan. Kalau pemuda itu kumat, wah, tentu akan mengerikan sekali dan bukan
mustahil kalau mereka semua mati konyol di tangan pemuda itu !
Setelah merangkak -rangkak secara susah pa-yah lebih dari satu jam lamanya, tibalah di suatu
tempat dataran lapang yang dikelilingi tembok-tembok kuno yang tebal, merupakan ruangan yang
panjang dengan dinding tembok dan atasnya dari batu.
"Tempat apakah ini, A -hai ?" tanya Pek Lian. "Ruangan ini berada di bawah tembok benteng kota Ki -
han," jawab pemuda itu sambil menyalakan sebatang lilin yang terdapat di tepi tembok. "Aku
menemukannya beberapa hari yang lalu secara kebetulan saja. Aku mengejar seekor kelinci yang
memasuki lubang sumur itu dan akupun bisa sampai ke tempat ini. Dari sini ada terowongan yang
menembus keluar, ke parit -parit di luar benteng. Malam nanti kita dapat melarikan diri melalui
terowongan itu."
Empat orang tokoh Lembah Yang-ce, ketika merangkak-rangkak di belakang tadi, sudah diberi tahu
dengan bisikan-bisikan oleh Kim-suipoa dan Pek-bin-houw tentang diri pemuda ini yang sama sekali
tidak dapat ditanyai riwayatnya. Karena itu, merekapun diam saja dan membiarkan Pe Lian saja yang
dunia-kangouw.blogspot.com
bicara, karena agaknya pemuda itu kenal baik dengan Pek Lian. Mendengar keterangan tentang
tempat ini, mereka menjadi lega. Untuk sementara, agaknya para perajurit tidak akan dapat
menemukan mereka dan diam-diam merekapun berterima kasih kepada pemuda yang dipanggil
dengan nama A-hai itu. Tanpa adanya pemuda itu, dalam keadaan luka-luka, sukarlah bagi mereka
untuk dapat diselamatkan oleh tiga orang kakek Lembah Yang-ce.
A-hai lalu memanjat dinding yang kasar itu untuk menaruh lilin di dalam sebuah lubang. Se-telah dia
meletakkan lilin itu di dalam lubang, maka ruangan itu menjadi lebih terang. Akan tetapi ketika dia
turun, sebuah batu tembok terlepas, ka-kinya terpeleset dan diapun jatuh terduduk. Pek Lian dan dua
orang gurunya terkejut dan memandang dengan mata terbelalak dan muka berobah. Akan tetapi
mereka menarik napas lega ketika-melihat pemuda itu hanya menyeringai kemalu-maluan dan bangkit
kembali.
Bagaimana pemuda yang setolol ini dapat berubah menjadi demikian luar biasa lihainya ? Demikian
Pek Lian berpikir sambil memandang penuh keheranan. Apakah benar-benar dalam keadaan sadar
selemah ini ? Akan tetapi kenapa ketika diajarnya membelah kayu dengan tangan kosong, pemuda ini
dapat melakukannya sedemikan mudahnya ? Apakah semua ini hanya permainan sandiwara belaka ?
Keheranan hati Pek Lian bertambah ketika pe-muda itu kini mengeluarkan berbagai macam
bungkusan dari dalam saku bajunya. Kiranya dia tadi menyalakan lilin dan menaruhnya di atas
memang ada maksudnya, yaitu agar dia memperoleh cukup penerangan untuk mengeluarkan obatobatan
dari dalam saku bajunya. Sambil membuka-buka bungkusan bermacam -macam itu ia
menunjuk kepada obat -obatan yang berupa bubuk berbagai warna dan butiran-butiran besar kecil
sambil berkata, "Ini obat untuk luka akibat senjata beracun, dan ini dapat menyedot racun yang
mengeram di dalam tubuh, dan pel kecil ini dapat diminum untuk membebaskan darah dari
keracunan, dan yang besar ini untuk membersihkan isi perut. Bubuk putih ini kalau disedot dapat
menawarkan racun yang tersedot orang melalui asap beracun, dan yang ini kalau ditelan dapat
mempercepat kembalinya tenaga murni."
Semua orang memandang bengong. Kiranya pemuda ketolol-tololan ini adalah seorang ahli
pengobatan, terutama sekali pengobatan tentang orang keracunan ! Bukan keracunan biasa,
melainkan akibat dari serangan-serangan pukulan sakti yang beracun. Biasanya, ilmu pengobatan
seperti ini hanya dimiliki oleh ahli-ahli silat tingkat tinggi atau orang -orang yang memang ahli dalam
menggunakan segala macam serangan beracun itu. Akan tetapi Pek Lian yang cerdik itu tidak
memberi komentar apa-apa. Dara ini menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada A-hai. akan tetapi
iapun maklum akan keadaan pemuda ini yang seolah-olah berada di antara dua dunia atau dua
kesadaran, yang kadang-kadang membuatnya nampak ketolol-tololan. Maka, melihat obat-obat itu,
iapun lalu berkata dengan suara yang sungguh-sungguh,
"A-hai, aku menjadi korban pukulan yang men-datangkan panas dingin, pukulan beracun yang dilakukan
oleh iblis-iblis bertangan hijau."
"Ah ! Itu tentu pukulan kalajengking hijau !" seru A-hai dan nampak gembira. "Kebetulan sekali, inilah
dia obatnya. Lekas telan sebutir dan engkau akan sembuh, Pek Lian!"
Pek Lian tidak sangsi lagi, mengambil sebutir pel berwarna hitam dan menelannya. Begitu ditelan,
terasa olehnya hawa panas sekali dan terasa seolah-olah pel itu hancur dalam pencernaannya dan
mengeluarkan hawa panas dan pedas seperti lada. Akan tetapi, rasa dingin yang tadinya sudah
membuatnya menggigil itu lenyap ! Dan ketika ia menggerahkan sinkangnya. diputar-putar di sekitar
perut dan dada, sudah tidak terasa lagi kenyerian seperti tadi.
"Dia benar! Pel ini manjur bukan main !" so-raknya. "A-hai, berilah mereka masing-masing sebutir,
merekapun menjadi korban pukulan itu tadi!" Dan dua orang guru Pek Lian itu menerima masingmasing
sebutir pel yang segera mereka telan dan seperti juga Pek Lian, keduanya seketika menjadi
sembuh dan sehat kembali! Tentu saja mereka berduapun menjadi girang bukan main.
"Wah, terima kasih, A-hai. Tak kusangka engkau sehebat ini, pandai mengobati! Sekarang apakah
engkau mempunyai obat untuk sahabat kami ini ?" Pek Lian menunjuk kepada pemuda kokcu dari
Lembah Yang-ce yang terluka lebih parah itu. "Dia juga terkena pukulan-pukulan yang hebat sekali"
Pek Lian tidak dapat melanjutkan karena di waktu ia menonton perkelahian itu, ia melihat pemuda ini
roboh oleh pukulan gabungan dari dua orang pengawal Jenderal Beng Tian, akan tetapi ia tidak tahu
jelas apa macam pukulan itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat keraguan dara itu, kokcu dari Lembah Yang-ce lalu berkata dengan suara lemah dan mulut
menyeringai menahan nyeri, "Pukulan mereka tidak mengandung hawa beracun, akan tetapi karena
amat kuat, mematahkan dua tulang iga dan aku terluka karena tenaga sendiri yang membalik.”
A-hai tidak kelihatan bingung, malah terse-nyum. "Bagus! Itu ada obatnya ! Nah, lebih dulu telan ini
untuk membebaskan darah dari keracunan, lalu yang ini untuk menguatkan isi perut yang terguncang
oleh pukulan kuat, kemudian ini ditelan untuk mempercepat kembalinya tenaga murni. Adapun tulang
patah itu, ah, mudah saja. Aku mempunyai obat param untuk itu." Dia membuka sebuah bungkusan
lain yang terisi bubuk kuning yang cukup banyak. "Ini harus dicampur dengan putih telur, lalu
diparamkan dan dibalut kuat-kuat. Dalam waktu satu dua hari saja tulang-tulang itu akan tersambung
kembali!"
Melihat hasil obat-obat itu pada diri Pek Lian dan dua orang gurunya, kokcu Lembah Yang-ce percaya
bahwa agaknya pemuda tinggi besar ini adalah seorang pandai yang menyamar sebagai orang tolol,
maka diapun tanpa ragu-ragu lagi lalu menelan obat-obat itu. Dan memang manjurnya bukan main!
Dia cepat duduk bersila setelah jalan darahnya pulih kembali dan pernapasannya normal, untuk
melakukan siulian dan menghimpun tenaga dan hawa murni. Akan tetapi A-hai yang kebingungan.
"Wah, di tempat seperti ini, di mana mencari telur ?" Dia menoleh ke sana-sini dan akhirnya melihat
burung-burung walet beterbangan dengan cepatnya memasuki ruangan itu dan lenyap di sebuah
lubang di atas. "Ah, di sana tentu terdapat banyak telur burung. Akan tetapi, bagaimana mencari dan
mengambilnya ?"
"Jangan khawatir, aku akan mencari dan meng-ambilnya !" tiba-tiba seorang kakek dari Lembah
Yang-ce berkata dan diapun lalu memanjat dinding itu dengan mempergunakan Ilmu Cecak Merayap
sehingga kaki tangannya seperti menempel pada dinding ketika perlahan-lahan dia terus merayap ke
atas, sampai di lubang di mana burung-burung walet tadi beterbangan. Begitu dia tiba di lubang, dan
memasuki lubang gelap itu, burung-burung walet beterbangan keluar dengan mengeluarkan bunyi
panik. Kakek itu terus merayap masuk sampai tubuhnya lenyap ke dalam lubang dan hanya nampak
kedua kakinya saja. Tak lama kemudian, kakek ini sudah keluar lagi dan meloncat turun sambil
membawa dua genggam telur burung!
"Bagus ! Wah, paman sungguh lihai sekali !" A-hai memuji dengan girang ketika dia menerima telurtelur
burung itu.
"Ah, apa artinya sedikit kemampuanku itu di-bandingkan dengan kelihaian taihiap ?" Kakek itu
merendah dan menjura kepada A-hai dengan penuh kekaguman karena memang hatinya girang dan
kagum sekali melihat betapa kokcunya dapat disembuhkan secara demikian mudahnya.
"Apa ? Siapa yang paman sebut taihiap ? Aku ? Wah, jangan bergurau, ah!" A-hai berkata dan
dengan hati-hati diapun lalu mencampur putih te-lur-telur itu dengan obat kuning di atas permukaan
batu yang sudah ditiupnya sampai bersih betul. Kemudian, dia menaburi iga yang patah itu di atas
dada kokcu Lembah Yang-ce setelah tiga orang kakek membantunya dan membuka baju pemuda itu.
Dan A-hai tanpa ragu-ragu lagi lalu merobek sabuknya yang panjang untuk membalut dada itu.
Melihat ini, diam -diam semua orang kagum sekali. Pemuda ini, biarpun nampak tolol, ternyata selain
ahli pengobatan, juga mempunyai budi yang mulia, tanpa ragu-ragu mengorbankan pakaiannya untuk
menolong orang. Pandang mata Pek Lian terhadap pemuda ini menjadi semakin kagum dan mesra.
Setelah diberi obat dan dibalut dada itu, kokcu Lembah Yang-ce, orang muda yang berilmu tinggi itu,
merasa betul betapa hawa hangat yang aneh masuk dari luar. Tahulah dia bahwa obat itu memang
mujarab sekali, maka diapun lalu menjura ke arah A-hai. "Saudara telah melepas budi yang amat
besar kepada kami. Mudah-mudahan pada saat lain kami akan berkesempatan untuk membalasnya."
A -hai hanya tersenyum dan balas menjura de-ngan canggung, tidak tahu harus berkata apa. Me-lihat
ini, Pek Lian mendekatinya. Kini semua orang telah diobati. Dua orang gurunya, seperti juga kokcu
Lembah Yang-ce itu, duduk bersila menghimpun hawa murni untuk menyempurnakan pengobatan itu.
Ia sendiri merasa sudah sembuh sama sekali, terdorong oleh rasa girang dan juga bangga. Sungguh
aneh mengapa ia berbangga atas kemampuan pemuda tolol ini!
"A-hai, sungguh mati aku merasa kagum dan heran. Baru saja mengenalmu, ternyata engkau memiliki
kepandaian mengobati orang dengan hebat ! Siapa sih gurumu dalam ilmu ketabiban ini ?" Ia sengaja
bertanya sambil lalu, dan sambil bergurau tersenyum agar jangan sampai mengejutkan pemuda itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, ia menjadi heran ketika melihat pemuda itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, ketabiban apa
lagi ? Aku bukan tabib dan tidak mengenal ilmu ketabiban sama sekali! Aku mendapatkan obat-obat
ini dengan keterangan tentang pengobatannya sebagai hadiah karena aku membantu orang mencari
kalajengking hijau. Hanya aku yang tahu tempat binatang itu di daerah ini, maka orang itu menjadi
girang dan memberi hadiah setelah aku menunjukkan tempatnya kepadanya."
"Orang apa ? Siapa dia ?" tanya Pek Lian, ha-tinya tertarik, bukan kepada orang yang diceritakan itu,
melainkan mengharap kalau-kalau keterangan itu sedikitnya akan membuka sedikit tentang pemuda
aneh itu.
"Wah, dia orang yang aneh, hebat bukan main dia. Ha-ha, seperti orang gila, dan memang agaknya
dia sudah gila. Bayangkan saja, kalajengking hijau itu beracun luar biasa, baru memegang dengan
tangan saja dapat meracuni orang. Dan apa yang dilakukan oleh orang itu ? Dia menelannya bulatbulat!
Ha-ha-ha !"
"Ah, tidak salah lagi. Tentu dia seorang iblis-dari Pulau Selaksa Setan ! Apakah orangnya bertubuh
gendut, gemuk bulat seperti bola, mata dan kulit tubuhnya kehijau-hijauan ?" tanya seorang di antara
tiga kakek tokoh Lembah Yang-ce.
"Benar sekali, ha-ha, dia bundar seperti bola dan kalau berjalan seperti bola menggelinding ke sanasini.
Lucu sekali. Dan memang kulitnya hijau seperti seperti kalajengking-kalajengking itu. Agaknya
memang dia terlalu banyak makan kalajengking." Pemuda tolol itu kelihatan begitu gembira, akan
tetapi kalau dia bicara dan tertawa dia selalu memandang wajah Pek Lian yang
memandangnya dengan kagum, walaupun dia menjawab ucapan orang lain. "Apakah kalian sudah
mengenal orang itu ?" Akhirnya dia bertanya.
"Aihh ! Dia tentu seorang tokoh dari Pulau Selaksa Setan ! Sekarang aku yakin akan hal itu."
"Apakah paman sudah mengenal iblis-iblis dari pulau terkutuk itu?" tiba-tiba Pek Lian bertanya,
hatinya tertarik sekali karena selain ia pernah mendengar serba sedikit tentang adanya Ban-kwi-to
(Pulau Selaksa Setan), juga ketika kakek dan nenek iblis yang muncul dari dalam gerobak itu
mengamuk, kepandaian mereka itu hebat bukan main dan Jenderal Beng Tian sendiri, yang memiliki
ilmu kepandaian sangat tinggi, nampak terkejut dan gentar, dan menyebut bahwa kakek dan nenek itu
adalah iblis-iblis pulau terkutuk.
Tokoh Lembah Yang-ce itu menarik napas panjang. Setelah para tokoh Lembah Yang-ce itu mengenal
Pek Lian sebagai puteri Menteri Ho yang; amat terkenal itu, sikap mereka amat menghormatnya.
Kakek inipun menarik napas panjang. "Ho-siocia, kalau dibilang mengenal mereka, saya belum
pernah mendapat kesempatan untuk berkenalan dan kalau bisa diminta, mudah-mudahan selamanya
saya tidak mengenal mereka." Dia bergidik dan nampak gentar sekali. "Akan tetapi saya mendengar
banyak tentang mereka. Mereka berjumlah tujuh orang dan menjadi majikan-majikan Pulau Selaksa
Setan itu. Agar nona dan semua saudara ketahui dan bersikap hati-hati kalau tidak kebetulan bertemu
muka dengan mereka, biar saya perkenalkan keadaan mereka itu."
Kakek itu lalu memberi gambaran yang jelas tentang Jit-kwi (Tujuh Iblis) itu. Orang pertama yang
menjadi tocu (majikan pulau) dari Ban-kwi-to adalah seorang yang tubuhnya pendek kecil, akan tetapi
mudah dikenal karena mukanya yang meruncing seperti muka tikus. Karena mukanya seperti tikus
inilah maka dia mendapat julukan Te-tok-ci (Tikus Beracun Bumi), selain memiliki kesaktian yang luar
biasa, juga wataknya licik dan kejam bukan main. Yang menjadi orang ke dua adalah sutenya,
dengan bentuk tubuh yang menjadi kebalikan dari pada orang pertama. Orang ke dua ini bertubuh
tinggi besar seperti raksasa yang berjuluk Tiat-siang-kwi (Setan Gajah Besi) dan kabarnya raksasa ini
suka makan daging manusia! Orang yang ke tiga dan ke empat adalah sepasang wanita kembar.
Mereka berdua ini memiliki keahlian untuk pian-hwa (mengubah diri) dan mereka itu sukar dibedakan
satu antara yang lain karena bentuk tubuh dan raut wajah yang serupa benar. Orang-orang di dunia
kang-ouw mengenal mereka dengan julukan Jeng-bin Siang-kwi (Sepasang Tblis Bermuka Seribu).
Adapun orang yang ke lima adalah orang gendut bundar yang mungkin sekali adalah orang yang
mencari kalajengking hijau dan
bertemu dengan taihiap eh, saudara ini. Julukannya adalah Thian-te Tok-ong (Raja Racun Langit
Bumi) dan keahliannya tentang racun amat mengerikan. Kemudian orang yang ke enam dan ke tujuh
adalah sepasang suami isteri, kakek dan nenek yang pernah kita lihat muncul dari dalam gerobak itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Suami isteri tua bangka itu terkenal cabul dan tak tahu malu, akan tetapi juga lihai bukan main,
terutama ilmu pukulan mereka Im-yang Tok-kun. Kita harus berhati-hati kalau bertemu dengan
mereka itu. Untung sekali bahwa orang muda perkasa ini memperoleh obat-obatan dari Thian-te Tokkun
sendiri. Kalau tidak, sukarlah mengobati dan kita mungkin akan menjadi penderita cacat, kecuali
kalau bisa memperoleh pengobatan dari mendiang Si Tabib Sakti." Kakek itu mengakhiri ceritanya
dan kini mengertilah Pek Lian mengapa mereka begitu berterima kasih dan menghormat kepada A-hai
yang telah menyelamatkan mereka, terutama kokcu mereka.
Ketika malam berikutnya tiba, keadaan mereka telah baik kembali, tubuh mereka telah sehat dan
segar kembali, kecuali Kwee Tiong Li, pemuda yang menjadi kokcu (majikan lembah) Yang-ce itu.
Pemuda yang pendiam dan tampan berwibawa ini, bersikap sederhana dan jarang bicara, dan ketika
mereka saling memperkenalkan diri, dia hanya memperkenalkan namanya sebagai Kwee Tiong Li.
Padahal, pemuda ini yang baru berusia duapuluh dua tahun, adalah murid terkasih dari bengcu
(pemimpin rakyat) yang terkenal itu, yaitu Chu Siang Yu, tokoh para patriot Lembah Yang-ce yang
ditakuti oleh pasukan pemerintah. Kalau yang lain-lain telah sembuh sama sekali, hanya Kwee Tiong
Li saja yang biarpun tubuhnya tidak lagi keracunan berkat obat pemberian A-hai namun tubuhnya
masih lemas dan lemah. Dia harus-banyak beristirahat dan bersiulian (bersamadhi) untuk memulihkan
tenaganya dan menghimpun hawa murni.
Menjelang tengah malam, barulah A -hai ber--kata, "Sekaranglah tiba saatnya bagi kita untuk, keluar
dari sini."
"Keluar ? A-hai, bagaimana kita bisa keluar dari sini ? Kembali melalui jalan ketika kita masuk ?" tanya
Pek Lian terkejut dan ngeri mengingat kembali jalan masuk yang amat sukar itu, akan tetapi yang
membuat jantungnya berdebar kalau ia teringat betapa dalam keadaan pingsan ia dipondong oleh Ahai
melalui perjalanan yang demikian sukarnya.
A-hai tersenyum dan menggeleng kepala. "Ada jalan rahasia di tempat ini dan hanya aku yang tahu,
secara kebetulan saja." Diapun lalu mengo-rek -ngorek lantai di sudut ruangan itu dan nam-paklah
sebuah tutup besi bundar yang garis te-ngahnya kira -kira setengah meter. Ternyata di bawah tutup
besi itu terdapat lubang yang hitam gelap dan kalau saja di situ tidak ada A-hai yang sudah mengenal
jalan, tentu mereka akan mem-pertimbangkan masak -masak lebih dulu sebelum memasuki lubang
yang menganga hitam gelap itu.
"Saudara A -hai, lubang ini akan membawa kita ke manakah ?" Kim-suipoa Tan Sun bertanya.
Sebagai seorang kang-ouw yang berpengalaman, dia selalu bersikap hati-hati dan memasuki lubang
gelap seperti itu tanpa mengetahui lebih dulu apa yang menanti di dalam lubang itu, sungguh
merupakan perbuatan yang lengah dan berbahaya.
"Kita akan tiba di luar benteng melalui lubang ini," jawab A-hai dengan sikap sederhana, kemudian dia
menoleh kepada Pek Lian. "Pek Lian, sudah siapkah engkau ? Mari kauikuti aku, pegang ta-nganku
dan melangkah hati-hati saja kalau merangkak, ikuti ke mana aku pergi." A-hai sudah memasuki
lubang itu dan merangkak. Biarpun dia tidak mengerti ilmu silat, namun jelas bahwa A-hai memiliki
keberanian yang besar sekali. Pek Lian adalah seorang gadis yang sejak kecil digembleng oleh
orang-orang pandai dan kini telah memiliki tingkat kepandaian silat yang tinggi, lebih tinggi dara pada
tingkat Kim-suipoa atau Pek-bin-houw, namun melihat lubang gelap itu, iapun gentar juga.
"Yakin benarkah engkau bahwa kita akan sampai di tempat yang aman, A-hai ?"
"Tentu saja, aku sudah beberapa kali menggu-nakan jalan ini. Bahkan ketika di kota para pasu-kan
mengamuk, aku mengambil jalan ini juga."
Mulailah mereka merangkak melalui lubang sempit yang gelap itu. Mereka bergandeng tangan, A-hai
di depan, lalu Pek Lian, Kim-suipoa, Pek-bin-houw, Kwee Tiong Li yang dibantu oleh seorang kakek,
dan dua orang kakek lainnya. Ketika mereka merangkak-rangkak di tanah yang licin dan basah itu,
Pek Lian berpikir dengan penuh kekaguman bahwa pada saat itu, mereka semua yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi, menganggap A-hai sebagai pimpinan mereka ! Semua harapan dan kepercayaan
dilimpahkan kepada pemu-da yang nampaknya sinting itu !
Setelah merangkak agak lama juga, tiba-tiba A-hai berhenti dan bertanya kepada dara yang
merangkak di belakangnya, "Pek Lian, apakah engkau dapat berenang ?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Eh, Berenang ?" Pek Lian merasa heran dan. geli juga mengapa di tempat seperti itu, tiba-tiba saja
A-hai bertanya tentang berenang. "Kalau se-dikit-sedikit sih bisa saja."
"Bagus, asal engkau tidak sampai tenggelam saja sudah baik, nanti aku yang menarikmu."
Baru mengertilah Pek Lian bahwa perjalanan ini akan melalui air! Dan pemuda itu agaknya tidak
perduli apakah yang lain-lain dapat berenang atau tidak, hanya Pek Lian seorang yang ditanya.
"Wah, aku tidak pandai berenang!" kata Pek-bin-houw Liem Tat.
"Dan akupun tidak bisa!"
"Aku juga tidak dapat berenang!"
Dua orang kakek tokoh Yang-ce dan Pek-bin-houw nampak gugup dan gelisah. Betapapun pandainya
mereka di daratan, kalau harus menghadap air yang dalam mereka menjadi takut dan gelisah,
maklum bahwa sekali berada di air yang dalam mereka lebih lemah dari pada seorang anak kecil
yang pandai berenang. Mereka akan mati lemas dan tenggelam.
"Jangan khawatir !" tiba-tiba terdengar Kim-suipoa berkata. "Yang tidak dapat berenang akan dibantu
oleh yang pandai berenang dan aku tidak membual kalau mengatakan bahwa aku pandai berenang
dan sanggup menyeberangkan mereka yang tidak pandai berenang seorang demi seorang."
Mereka merangkak terus dan kini terowongan itu menjadi agak lebar, akan tetapi menjadi semakin
licin dan basah. Dari atas berjatuhan air yang menetes-netes membasahi kepala dan pakaian
mereka, kemudian terowongan itu mulai menurun, terus menurun sampai akhirnya mereka berdiri di
tempat yang digenangi air. A-hai berhenti dan berkata, "Sebaiknya semua barang yang penting
dibungkus baju dan diikatkan di atas kepala agar jangan basah." Berkata demikian, dia sendiri mengeluarkan
bungkusan-bungkusan obat dan membuntalnya dengan bajunya yang sudah ditanggalkannya,
kemudian mengikatkan baju itu di atas kepalanya. Orang-orang lain juga melakukan hal ini,
kecuali Pek Lian tentunya. Mana mungkin dia menanggalkan bajunya ?
"Pek Lian, kalau engkau mempunyai barang yang kau tidak ingin sampai terkena air, berikan padaku,"
kata A-hai dan untuk kata-kata ini, Pek Lian merasa berterima kasih sekali. Bagaimanapun juga,
agaknya A -hai adalah seorang pemuda baik hati yang teringat akan kesukarannya menghadapi
persoalan melepaskan baju ini.
"Tidak, aku tidak mempunyai apa-apa yang perlu dijaga agar tidak basah."
"Baiklah. Apa semua sudah siap ?" tanya A—hai lalu memegang tangan Pek Lian dan berkata lagi,
"Biar aku berenang lebih dulu mengantar Pek Lian. Paman yang tidak pandai berenang boleh
berpegang pada pundakku. Yang lain-lain harus bantu agar kita sekaligus dapat menyeberang
semua."
Mereka lalu mengatur diri. Seorang kakek tokoh Yang-ce berpegang kepada pundak A-hai. Pek Lian
berenang di sebelah kiri A-hai yang bersikap melindunginya. Pek-bin-houw dibantu oleh Kim-suipoa
dan seorang kakek Yang-ce membantu temannya yang tidak pandai berenang, Kwee Tiong Li sendiri
adalah seorang ahli berenang, akan tetapi karena tenaganya masih lemah, diapun lalu berenang di
dekat A-hai dan Pek Lian agar kedua orang ini dapat membantunya kalau perlu.
"Nah, inilah perlunya belajar berenang," kata Kim-suipoa kepada temannya, Pek-bin-houw. "Jangan
karena engkau berjuluk harimau, lalu tidak pandai berenang."
"Jangankan aku yang berjuluk harimau, sedangkan dua orang saudara yang menjadi tokoh Yang-ce
inipun tidak pandai berenang !" Pek-bin-houw menjawab olok-olok sahabatnya. Dua orang ka-kek
Yang-ce itupun lalu berjanji bahwa setelah pulang mereka akan belajar berenang di Sungai Yang-ce.
A-hai melangkah terus ke depan, diikuti oleh Tiong Li dan di belakang kokcu ini baru Pek Lian
berjalan sehingga ketua lembah ini diapit oleh dua orang, sedangkan yang lain-lain mengikuti dari
belakang. Air yang tadinya sampai ke lutut itu mulai makin dalam dan dinginnya luar biasa sekali,
sampai menyusup ke dalam tulang rasanya. Dan mulai terasa arus air. Untung bahwa arusnya tidak
begitu kuat. Setelah melangkah beberapa belas langkah lagi, mulailah air itu dalam dan mereka harus
dunia-kangouw.blogspot.com
berenang. Air yang dingin itu seperti mendatangkan tenaga pada tubuh Tiong Li sehingga dia dapat
berenang tanpa dibantu, hanya dijaga saja oleh A-hai dan Pek Lian. A-hai berenang dengan
pundaknya dipegangi oleh kakek Yang-ce. Ternyata pemuda ini pandai sekali berenang dan
mempunyai tenaga yang kuat. Yang lain-lain mengikuti di belakang. Setelah mereka berenang
beberapa lamanya, paling lama sepuluh menit akan tetapi bagi mereka yang tidak pandai berenang
terasa amat menegangkan dan lama sekali, akhirnya mereka tiba di tempat terbuka. Mereka lalu
berenang ke tepi dan ternyata air itu mengalir keluar dan bergabung pada sebatang anak sungai yang
berada di luar benteng. Mereka cepat naik ke darat dan keadaan masih amat gelap dan sunyi. Tidak
segelap tadi karena mereka telah berada di tempat terbuka dan sinar bulan membuat mereka dapat
saling melihat.
Semua orang bergembira dan berterima kasih sekali kepada A-hai. Kwee Tiong Li memegang tangan
A-hai dan berkata, "Terima kasih, saudara A-hai. Tanpa adanya bantuanmu, belum tentu aku dapat
hidup sampai sekarang. Percayalah bahwa aku Kwee Tiong Li tidak akan dapat melupakan budimu
ini!"
A -hai tersenyum dan menggeleng kepala. "Se-baliknya, mungkin sebentar saja aku sudah lupa akan
namamu itu. Aku pelupa sekali dan aku masih merasa sedih mengapa aku meniadi pelupa seperti ini."
Juga tiga orang kakek Yang-ce mengucapkan terima kasih yang diterima oleh A-hai dengan biasa
saja. Sebaliknya pemuda sinting ini merasa gembira melihat Pek Lian telah sembuh sama sekali.
"Pek Lian. pakaianmu basah semua, sebaiknya kalau engkau bertukar pakaian kering, karena engkau
bisa masuk angin kalau begitu," kata A-hai dan Pek Lian merasa terharu sekali. Pemuda ini,
biarpun sinting dan nampak ketolol-tololan, namun sungguh amat baik hati dan amat memperhatikan
dirinya. Juga yang lain-lain merasa terharu dan dari gerak-geriknya, mereka itu semua dapat melihat
betapa dengan caranya yang polos dan bo-doh, pemuda ini amat mencinta Pek Lian!
"Aku telah kehilangan semua pakaianku dalam keributan tadi. Akan tetapi jangan khawatir, A-hai.
Sebagai seorang gadis perantau, sudah terbiasa aku oleh keadaan yang sukar, maka basahnya
pakaian ini tidak akan menggangguku," jawab Pek Lian.
"Kalian tidak bisa tinggal terlalu lama di sini. Tempat ini dekat tembok benteng, dan sewaktu-waktu
akan ada pasukan meronda," kata pula A-hai.
"Kami memang harus cepat pergi dari sini," kata Kwee Tiong Li. "Dan engkau dan kedua orang
paman ini hendak ke mana, nona Ho ? Kalau kalian mau, mari ikut bersama kami menemui temanteman
kami. Kami telah berjanji akan mengadakan pertemuan setelah tempat kami di Lembah Yangce
diobrak-abrik pasukan."
"Memang sebaiknya demikian," kata Kim-suipoa. "Kami bertigapun harus dapat melaporkan kepada
pimpinan kami tentang keadaan para sahabat dari Lembah Yang-ce yang mengalami musibah itu."
"A-hai, engkau sendiri hendak ke manakah ?" Pek Lian bertanya.
"Aku harus kembali, pulang ke kuil. Ke mana lagi ?"
"Kalau begitu, selamat tinggal, A-hai. Jaga dirimu baik-baik," kata Pek Lian.
A-hai mengangguk-angguk. "Engkau yang harus menjaga dirimu baik-baik, Pek Lian. Apakah...
apakah kita tidak akan saling jumpa kembali ?" Dalam pertanyaan yang diajukan dengan nada suara
seperti anak kecil kehilangan sesuatu ini jelas nampak betapa pemuda itu bersedih hati sehingga Pek
Lian merasa terharu sekali, akan tetapi juga malu karena banyak orang yang mendengarkan.
"Biarlah lain kali aku akan singgah di kuilmu itu."
"Benarkah, Pek Lian ? Benarkah engkau akan singgah ? Ah, akan kutunggu kedatanganmu !" kini
suara itu demikian girang dan penuh harapan, membuat semua orang makin terharu.
Sampai lama A-hai berdiri bengong dan merasa kehilangan, memandang kepada bayangan tujuh
orang itu sampai bayangan itu lenyap ditelan kegelapan malam. Baru dia pergi meninggalkan tempat
sunyi itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
***
Kwee Tiong Li adalah seorang kokcu (ketua lembah) yang muda akan tetapi telah dapat menghimpun
banyak anak buahnya, yaitu para pendekar patriot yang memberontak karena melihat
kelaliman kaisar yang dirasakan amat menindas rakyat. Mereka membentuk suatu kelompok yang
bermarkas di lembah Sungai Yang-ce, dipimpin oleh Kwee Tiong Li yang dibantu oleh tiga orang
kakek yang dikenal sebagai Yang-ce Sam-lo (Tiga Kakek Gagah dari Yang-ce). Kelompok yang
dipimpin oleh Tiong Li ini hanya merupakan kelompok cabang saja dari perkumpulan para patriot yang
berpusat di sebuah bulat di Lembah Yang-ce sebelah barat, yang merupakan pusat. Dan pusat
perkumpulan para pendekar patriot ini dipimpin oleh Chu Siang Yu, yaitu pendekar berilmu tinggi yang
juga menjadi guru Tiong Li. Gerakan para anggauta perkumpulan pendekar ini dilakukan oleh
kelompok-kelompok cabang, di antaranya yang paling aktip adalah yang dipimpin oleh Tiong Li.
Sedangkan Chu Siang Yu sendiri yang sudah lama menjadi buronan pemerintah, bersembunyi dan
mengatur pasukan -pasukannya dari tempat rahasia.
Ketika tempat yang dijadikan sarang oleh Tiong Li dan anak buahnya itu diserbu oleh pasukan pemerintah
yang besar jumlahnya dan dipimpin oleh perwira-perwira pandai pula, Tiong Li dan Yang-ce
Sam-lo sedang pergi mengadakan kunjungan kepada perkumpulan pusat, untuk berunding dan
melaporkan kepada Chu Siang Yu. Maka, dapat dibayangkan betapa marah dan berduka rasa hati
Hong Li dan tiga orang pembantunya ketika mereka mendapatkan sarang mereka telah kosong,
kebanyakan dari para anak buahnya tewas dan sebagian lagi ada yang tertawan dan hanya sebagian
kecil saja yang dapat melarikan diri. Maka, dengan hati yang berduka dan marah sekali, Tiong Li
mengumpulkan sisa anak buahnya dan menyuruh mereka bersembunyi lebih dulu. Dia sendiri
bersama Yang-ce Sam-lo mengejar para perajurit yang menyerbu sarangnya, dan di kota Ki-han dia
berhasil menculik dan mem
***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To Register.]***
byang terbasmi, disuruh berkumpul di sebuah tempat rahasia yang mereka tentukan, yaitu di sebuah
kuil rusak yang kosong dan yang terletak di puncak Bukit Merak Putih. Maka kini, setelah
diselamatkan oleh A -hai, mereka itu, bersama Ho Pek Lian dan dua orang gurunya, menuju ke
puncak Bukit Merak Putih di mana telah dijanjikan untuk menjadi tempat pertemuan sisa para anak
buah Lembah Yang-ce itu.
Pada keesokan harinya, menjelang senja, tiba-lah mereka di bawah puncak Bukit Merak Putih.
Mereka tidak langsung menuju ke kuil tua yang sudah nampak dari situ, karena keadaannya amat
sunyi. Tiong Li mengajak mereka bersembunyi di balik semak-semak belukar, kemudian dia minta
kepada ketiga orang Sam-lo untuk melakukan penyelidikan ke kuil, untuk melihat apakah temanteman
mereka sudah ada yang tiba di tempat itu. Menurut perhitungan, karena mereka sendiri terhalang
di jalan, tentu teman-teman mereka itu sudah tiba di situ, akan tetapi mengapa keadaannya begitu
sunyi ? Yang-ce Sam-lo dengan hati-hati sekali lalu menuju ke kuil dari tiga jurusan karena mereka
berpencar. Dan mereka tiba di kuil untuk mendapatkan kenyataan bahwa tempat itu memang kosong
tidak nampak ada seorangpun, hanya ada nampak bekas-bekas pertempuran, darah dan patahanpatahan
senjata.
Yang-ce Sam-lo terkejut sekali dan terpaksa mereka kembali ke tempat persembunyian kokcu untuk
melaporkan keadaan. Mendengar laporan itu, kokcu merasa terkejut dan juga penasaran. Maka dia
sendiri lalu pergi ke kuil, diikuti oleh mereka semua. Dan melihat bekas-bekas pertempuran itu, hati
Tiong Li meniadi bersedih sekali. Apakah teman-temannya sudah tiba di sini dan diketahui oleh
pasukan pemerintah lalu merekapun mengalami penyerbuan kedua kalinya dan mereka semua
ditawan oleh pasukan ?
"Ah, seharusnya di antara kami ada yang mene-mani mereka, bukan kami tinggalkan seperti ini ..."
seorang di antara Sam-lo membanting kaki penuh penyesalan. Melihat kesedihan terbayang pada
wajah kokcu yang mereka kasihi itu, mereka bertiga merasa menyesal bukan main.
"Sudahlah, sam-wi tidak perlu menyesali diri sendiri, sebenarnya akulah...... " Tiong Li tidak
melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu telinganya menangkap suara seperti lengkingan
tinggi dari tempat jauh. Mereka semua cepat memasuki kuil, bersembunyi sambil mengintai keluar.
Akan tetapi tidak terjadi sesuatu dan agaknya suara tadi datang dari tempat yang jauh sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka tidak dapat menentukan suara apakah itu. Tadinya mereka merasa khawatir bahwa itu adalah
suara tanda dari pasukan yang akan datang menggempur mereka lagi. Akan tetapi karena tidak
terjadi apa-apa, merekapun lalu beristirahat di dalam kuil rusak itu sambil makan daging kelinci
panggang yang mereka tangkap di belakang kuil Biarpun mereka dapat beristirahat tanpa gangguan
namun mereka tidak dapat tidur, siap siaga menghadapi segala kemungkinan dan kesunyian malam
itu amat menegangkan hati.
Menurut kokcu, mereka akan menanti di sini sampai dua hari dua malam. Kalau selama itu tidak ada
anak buah Lembah Yang-ce yang muncul mereka baru akan meninggalkan tempat itu. Kare-na
merasa setia kawan dan satu golongan dengan para tokoh Lembah Yang-ce ini, maka Pek Lian dan
kedua orang gurunya juga mau mendampingi mereka sampai dua hari dan setelah dua hari barulah
mereka akan kembali ke tempat mereka sendiri.
Pada keesokan harinya, baru saja matahari menyinarkan cahayanya yang gemilang, kembali mereka
mendengar suara melengking tinggi itu, se-perti yang mereka dengar senja kemarin. Mendengar
suara ini, cepat mereka bertujuh masuk ke dalam kuil dan mengintai keluar, siap sedia untuk
membela diri kalau ada musuh datang. Tiong Li sendiri masih lemah, tak mungkin dapat melawan
musuh yang tangguh, maka Yang-ce Sam-lo selalu mendekatinya untuk siap melakukan perlindungan
terhadap kokcu yang mereka kasihi itu. Kembali terdengar suara melengking tinggi itu, seperti suara
suling ditiup dengan nada yang tertinggi, suara lengkingan itu berulang-ulang, makin lama makin
nyaring seolah-olah suara itu makin dekat saja dengan kuil itu. Dan selagi mereka merasa tegang,
tiba-tiba saja terdengar suara batuk-batuk, bukan batuk karena memang sakit batuk, melainkan
semacam batuk buatan seperti biasa dilakukan orang untuk memberi isyarat kepada orang lain! Tentu
saja tujuh orang itu terkejut bukan main. Suara batuk itu terdengar seperti di belakang mereka dan
ketika tujuh orang itu cepat sekali menoleh, ternyata di belakang mereka tidak nampak seorangpun!
Tentu saja mereka saling pandang dan merasa serem, seolah-olah yang batuk tadi adalah iblis yang
tidak kelihatan.
Akan tetapi perhatian mereka kembali tertuju keluar ketika Pek Lian memberi isyarat dengan
tangannya karena dara ini yang lebih dahulu meli-bat bayangan itu. Bayangan seorang manusia yang
bergerak cepat sekali menuju ke kuil itu ! Sungguh luar biasa sekali ilmu berlari cepat orang itu,
seperti terbang saja dan tahu-tahu bayangan itu telah tiba di pekarangan kuil. Pek Lian merasa
kagum bukan main. Lagi-lagi ia bertemu dengan orang sakti yang memiliki ginkang seperti itu hebatnya.
Orang itu berdiri membelakangi kuil sehingga yang nampak hanya bagian belakang tubuhnya
saja, perawakannya agak kecil dan pakaiannya serba hitam. Setelah tiba di depan kuil dan melihat
sunyi saja, orang itu termangu-mangu, kemudian iapun berdongak lagi ke atas memandang langit
yang cerah karena matahari sudah mulai memancarkan sinarnya yang kemerahan. Kemudian!
terdengar pula suara melengking yang amat nyaring itu, yang mendirikan bulu roma karena selain
nyaring dan menggetarkan jantung, juga terdengar menyeramkan, bukan seperti suara manusia lagi.
Dan tak lama kemudian dari bawah puncak Bukit Merak Putih itu terdengar suara geraman yang
seperti meraungraung, menggetarkan jantung dari biarpun terdengar dari jauh, akan tetapi seperti
menusuk anak telinga sehingga orang-orang yang berada di dalam kuil itu cepat mengerahkan sinkang
untuk melindungi jantung mereka, sedangkan Tiong Li yang masih lemah itu sudah
menggunakan kedua tangan untuk menutupi daun telinganya. Biarpun demikian, tetap saja tubuhnya
tergetar hebat. Setelah raungan itu berhenti, terdengar pula suara bersuit nyaring yang diikuti oleh
suara anjing melolong-lolong pula ! Pek Lian teringat akan orang-orang Tai-bong-pai. Bukankah
orang-orang Tai-bong-pai yang memelihara anjing-anjing yang ganas dan terlatih ? Kalau orang-orang
Tai-bong-pai datang, tentu ada urusan penting dan ia dapat menduga bahwa suara-suara tadi tentu
dikeluarkan oleh orang-orang yang sudah memiliki tingkat ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya.
Ada terjadi apakah di dunia ini maka bermunculan orang-orang sakti yang biasanya hanya
bersembunyi mengasingkan diri di dalam guha-guha di pegunungan dan tempat-tempat yang terpencil
dan jarang bertemu dengan orang lain ?
Sebentar saja setelah semua suara itu menghi-lang, nampaklah bayangan orang-orang berkelebatan
cepat dari pelbagai jurusan menuju ke kuil itu dan segera nampak betapa pekarangan yang luas di
depan kuil itu kini telah penuh dengan manusia. Ada yang datang seorang diri, ada yang berdua,
bertiga dan yang paling banyak adalah delapan orang. Pakaian mereka bermacam-macam, akan
tetapi rata-rata mereka terdiri dari orang-orang yang aneh bentuknya, wajahnya, maupun pakaiannya.
Dan dari sikap mereka, sinar mata mereka, mudah diduga bahwa mereka itu tentu bukanlah terdiri
dari orang yang baik-baik, melainkan dari, golongan kaum sesat atau golongan hitam. Mereka semua
dunia-kangouw.blogspot.com
tiba di situ dan berdiri diam tak bergerak seperti arca, seolah-olah mereka itu sedang menanti
munculnya seseorang. Keadaan sungguh amat menyeramkan bagi tujuh orang yang bersembunyi di
dalam kuil. Mereka merasa seolah-olah menjadi saksi pertemuan para iblis, setan dan siluman !
Begitu banyak orang berkumpul di pekarangan itu, namun tidak terdengar suara apapun, bahkan tidak
nampak gerakan apapun! Ada seperempat jam keadaan diam-diam seperti ini sehingga suasana
menjadi semakin menegangkan hati. Akhirnya, orang berpakaian serba hitam yang sejak tadi berada
di situ karena merupakan pendatang pertama, nampaknya menjadi tidak sabar. Agaknya ia sudah
bosan menunggu. Kembali ia menengadah dan terdengarlah lengkingannya yang menyeramkan tadi,
sekali ini agak panjang dan gemanya terdengar dari lereng bukit. Setelah berhenti mengeluarkan
suara lengkingan yang tidak lumrah suara manusia ini, maka terdengar ia bicara sambil menoleh dan
memandang kepada sebatang pohon siong yang tumbuh di sudut kanan depan kuil.
"Eh, Ciong tua cebol, agaknya kita kena diakali orang! Orang yang menyombongkan diri mengundang
kita untuk menjadi pemimpin golongan kita itu agaknya sudah ketakutan melihat kita, hi-hik !
Lebih baik kita pulang saja dari pada membuang-buang waktu!"
Pek Lian dan teman-temannya yang berada di dalam kuil menjadi terkejut ketika mendengar suara
itu. Baru mereka tahu bahwa orang berpakaian serba hitam ini adalah seorang wanita! Mereka
menduga-duga siapa gerangan wanita yang mengeluarkan suara melengking seperti itu dan yang
memiliki ginkang yang amat hebat tadi.
Kini dari balik pohon siong itu muncul seorang laki-laki yang tubuhnya pendek cebol, akan tetapi
kekar. Badannya tidak berbaju dan basah oleh keringat, penuh dengan otot-otot besar, nampak kokoh
kuat sekali. Laki-laki ini nampak kuat dan perkasa, bukan hanya karena otot yang melingkar-lingkar di
seluruh tubuh, akan tetapi juga lengan, dagu dan dadanya ditumbuhi bulu hitam yang lebat. Melihat
orang ini, seorang di antara Yang-ce Sam-lo berbisik, "Ah, dia tentu perampok tunggal daerah selatan
yang terkenal itu, she Ciong dan julukannya Tiat-ciang (Si Tangan Besi) karena lengannya seperti
baja!"
Orang she Ciong yang cebol ini terkekeh, dan suaranya parau besar. "Heh-heh, Siauw-kwi (Iblis
Cantik), jangan sembarang membuka mulut kau! Orang yang sudah mengundang begini banyak
orang tentu tidak berani main-main. Siapa tahu kalau-kalau dia itu benar keturunan dewa pelindung
kita yang sudah tiada, mendiang yang mulia Bit-bo-ong (Raja Kelelawar)! Kalau salah omong, apa
kaukira akan dapat dengan leluasa engkau menjadi Maling Cantik lagi ?"
Kim-suipoa yang mendengar ucapan ini, berbisik kaget, “Kiranya Si Maling Cantik. Wah, bisa ramai
ini!”
"Akan tetapi aku mendengar dari Jai-hwa Toat-beng-kwi (Iblis Pencabut Nyawa Pemetik Bunga) si
manusia cabul itu bahwa Bit-bo-ong tidak mempunyai murid, tidak pernah mau menurunkan ilmunya
dan ... eh, kau di sini ?" Wanita itu menoleh dan memandang kepada seorang laki-laki yang tahu-tahu
muncul pula di situ Laki-laki ini usianya tentu sudah tigapuluh tahun lebih, ganteng dan pesolek.
Agaknya dia sedang melamun memandang ke bawah puncak di mana terbentang pemandangan
alam yang indah. Dia nampak kaget ketika mendengar ucapan wanita itu, maka diapun menoleh dan
pipa huncwenya nampak berkilat, lalu mulutnya bersiul nyaring mengejutkan wanita cantik yang
sedang bicara ta-di. Dan kini mereka yang berada di dalam kuil dapat melihat bahwa wanita yang
disebut Iblis Cantik dan juga Maling Cantik itu memang benar-benar memiliki wajah yang cantik
manis. Wanita ini sebenarnya berjuluk Pek-pi Siauw-kwi (Iblis Cantik Berlengan Seratus). Tangan
seratus itu me-nyindirkan kemahirannya mencuri dan mencopet dan biarpun kemahirannya mencuri
dan mencopet dan kejam, maka ia disebut Siauw-kwi.
Maling Cantik itu memandang kepada pria tampan itu dengan senyum mengejek yang mengandung
penuh daya pikat, dan pria tampan yang selain kejam juga mempunyai watak buruk yaitu suka
memperkosa wanita sehingga dijuluki Pemetik Bunga itu tersenyum pula. "Aha, kiranya engkau si
maling yang cantik jelita!" Suaranya halus dan penuh rayuan. "Bukankah tadi engkau memanggilku ?
Nah di sini aku, manis, kalau memang engkau merindukanku!" Biarpun dia mengeluarkan kata-kata
merayu, namun Jai-hwa-cat (Penjahat Pemerkosa Wanita) ini tidak berani terlalu mendekati wanita itu.
Dia tahu betapa lihainya si Maling Cantik. Telah beberapa kali dia bentrok dengan wanita ini dan
selalu dia mengalah dan menghindarkan diri sehingga di antara mereka belum pernah secara
sungguh-sungguh ber-tanding untuk membuktikan siapa yang lebih kuat.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Huh, rayuanmu tidak laku bagiku! Apa engkau ingin berkelahi lagi? Hayo, kulayani di sini, bangsat
cabul!" tantang wanita itu.
"Hushh, jangan main -main kau ! Bagaimana kalau benar-benar di sini hadir keturunan yang mulia
dewa pelindung kita ?" Kini Jai -hwa -cat itu tidak bicara main-main dan kelihatan takut-takut.
Mendengar ini, wajah Maling Cantik itupun agak pucat dan dia memandang ke arah kanan kiri dengan
matanya yang tajam, dan iapun tidak berani sembarangan membuka mulut lagi.
Bit -bo -ong atau Raja Kelelawar memang amat ditakuti oleh setiap tokoh kaum sesat yang manapun
juga. Biarpun sudah lama sekali dia dikabarkan mati, namun namanya masih ditakuti orang, sehingga
Jai-hwa-cat dan Maling Cantik dua orang tokoh sesat dari selatan, juga Tiat -ciang si cebol dari
selatan pula, membicarakan namanya saja sudah merasa gentar. Padahal, sudah bertahun -tahun
dikabarkan bahwa datuk itu telah meninggal dunia. Memang, dahulu ketika masih hidup, Bit -bo -ong
merajalela di dalam dunia hitam, mengangkat diri sendiri menjadi "maha raja" kaum sesat, berkuasa
dengan menggunakan tangan besi. Siapa saja yang berani menantangnya tentu akan tewas dalam
keadaan yang amat mengerikan. Dan karena Bit -bo -ong ini memiliki ginkang yang luar biasa
hebatnya, bahkan kabarnya mengalahkan ahli ginkang Si Tabib Sakti sendiri, maka semua orang
gentar kepadanya. Datang dan pergi seperti iblis yang pandai menghilang saja ! Padahal, Sin -yok -
ong atau Tabib Sakti juga dijuluki orang Bu -eng (Tanpa Bayangan), namun menurut kabar di dunia
kang -ouw, puluhan tahun yang lalu pernah Tabib Sakti itu bertanding ginkang dan dikalahkan oleh
Raja Kelelawar, walaupun dalam hal ilmu silat, Raja Kelelawar masih belum mampu menandingi
Tabib Sakti. Sebenarnya, bukan ginkang yang membuat Raja Kelelawar itu sedemikian cepat
gerakannya melebihi Si Tabib Sakti, melainkan alat -alat ciptaannya sendiri yang dipasangnya pada
sepatunya, lalu alat yang berupa sayap disembunyikan di dalam jubahnya sehingga dia dapat
meloncat dengan bantuan alat seperti per dalam sepatunya dan melayang dengan bantuan alat seperti
sayap di bawah jubahnya.
Pertengkaran mulut antara Jai -hwa -cat dan Maling Cantik itu terhenti, akan tetapi tiba -tiba dari atas
genteng kuil yang sudah banyak rusak itu melayang turun seorang laki-laki yang bertubuh gemuk
pendek. Biarpun dia tidak secebol Tiat-ciang, akan tetapi dia termasuk orang yang tubuhnya pendek.
"Jangan ribut di sini!" kata orang yang baru melayang turun dan kedua kakinya sengaja menginjak
tanah sampai halaman itu tergetar. "Kalau mau adu ilmu, tunggu sampai pertemuan ini selesai !"
Orang gemuk pendek itu mengayun -ayun sebatang tongkat besar pendek yang terbuat dari baja
putih.
Melihat orang ini, Kim -suipoa Tan Sun berbi-sik dengan nada suara gemas, tangannya dikepal,
"Wah, si jahanam ini juga datang ?"
Tentu saja Kim -suipoa marah melihat orang ini. Orang gemuk pendek ini berjuluk Sin -go (Buaya
Sakti) dan bernama Mo Kai Ci, seorang bajak tunggal yang luar biasa lihainya, yang malang
melintang di sungai -sungai besar, bahkan di pantai-pantai selatan dan timur. Semua bajak takut
kepadanya, dan menjadi buruan pemerintah yang selalu gagal menangkap atau menewaskannya.
Bahkan Kim-suipoa sendiri pernah kehilangan perahu berisi dagangannya ketika dihadang oleh bajak
ini dan dia sendiri mengalami luka -luka karena bajak ini me-nguasai ilmu dalam air yang luar biasa
sekali. Pa-ra nelayan dan pedagang yang sering mempergunakan perahu untuk mengangkut
dagangannya, selalu gelisah kalau -kalau bajak yang tak pernah diketahui tempat tinggalnya yang
tetap ini tiba-tiba muncul. Sin -go Mo Kai Ci memang malang melintang tanpa tempat tertentu,
mengacau dan membajak seenak perutnya sendiri, tanpa memper-dulikan daerah kekuasaan para
bajak lain. Pendek-nya, dia merupakan seorang tokoh bajak tunggal yang ditakuti orang. Melihat
munculnya orang ini, yang berada di dekatnya otomatis surut beberapa langkah.
Mendengar teguran orang ini, si Maling Cantik terkejut dan marah bukan main, akan tetapi iapun
mengenal orang. Kalau saja yang berani mencelanya itu orang lain, tentu sudah dihajarnya sejak tadi.
Akan tetapi ia mengenal betul siapa orang gemuk pendek bertongkat putih yang besar pendek pula
itu, maklum bahwa betapapun lihainya, melawan bajak tunggal ini sungguh amat berbahaya. Ia tahu
bahwa di kalangan liok-lim ada tiga orang yang kadang -kadang dinamakan raja kejahatan dalam hal
mencari nafkah. Mereka bertiga ini sering dinamakan orang Sam-ok (Tiga Jahat), dan mereka
mempunyai daerah kekuasaan sendiri, walaupun kadang-kadang, maklum watak orang jahat,
merekapun melakukan pelanggaran-pelanggaran wilayah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Orang pertama dari Sam-ok ini berjuluk Tung-hai-tiauw (Rajawali Laut Timur), seorang bajak laut
yang lihai sekali, raja dari sekalian bajak laut dan mempunyai banyak anak buah. Dia sangat kaya
raya, dan kapalnya mempunyai bendera ber-gambar burung rajawali pada dasar hitam. Adapun orang
ke dua adalah Sin-go Mo Kai Ci itulah, se-orang bajak sungai yang kadang-kadang suka me-langgar
wilayah Si Rajawali Lautan Timur, akan tetapi karena dia merupakan bajak tunggal, maka
pelanggaran itu tidaklah terlalu menyolok. Orang ke tiga adalah San -hek -houw (Harimau Gunung
Hitam), yang dianggapnya sebagai raja perampok yang malang melintang di seluruh daratan, ditakuti
oleh kawanan perampok, maling, begal dan copet. Bahkan juga si Maling Cantik dan Tiat-ciang Ciong
Lek perampok selatan itu tidak berani menentang San-hek-houw yang dianggap rajanya semua
penjahat di daratan. Pendeknya, Sam -ok adalah tiga orang "raja" yang menguasai daerah masingmasing,
yaitu seorang di lautan, orang ke dua di sungai-sungai dan orang ke tiga di daratan.
Itulah sebabnya mengapa Pek-pi Siauw-kwi atau si Maling Cantik yang biasanya amat kejam dan
memandang rendah lawan, kini tidak berani banyak lagak ketika ditegur oleh orang ke dua dari Samok.
Ia sendiri termasuk orang yang berada dalam "lindungan" San-hek-houw, dan kini ia hanya melirik
sana-sini, dengan pandang matanya mencari-cari untuk melihat apakah pelindungnya itu berada di
situ. Kalau di situ terdapat San-hek-houw, tentu ia berani menentang Sin-go Mo Kai Ci, karena kalau
si jahat penguasa sungai-sungai itu berani mengganggunya, tentu pelindungnya itu akan turun tangan
membantunya. Hatinya kecewa karena tidak melihat bayangan San-hek-houw. Tidak mungkin kalau
rajanya penjahat daratan itu sampai tidak menerima undangan, sedangkan golongan yang lebih
rendah tingkatnya saja menerimanya.
Mereka yang berada di dalam kuil, kini merasa tegang dan diam-diam juga merasa gelisah sekali.
Tak disangkanya bahwa di tempat ini mereka tidak bertemu dengan para anak buah Lembah Yang -
ce, bahkan melihat pertemuan antara golongan -go-longan kaum sesat. Tentu saja mereka merasa
ge-lisah melihat hadirnya begitu banyak orang pandai dari golongan hitam itu, apa lagi hadirnya
seorang di antara Sam -ok yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Bagaimanakah para penjahat
itu kini berani terang -terangan mengadakan pertemuan, seolah -olah mereka itu "mendapat angin"
dan menjadi berani ? Dan siapakah yang mengundang mereka semua, yang katanya hendak menjadi
pemimpin mereka, semacam "bengcu" di antara golongan sesat, menjadi raja dari dunia hitam ?
Dahulu, puluhan tahun yang lalu, memang terdapat raja dunia hitam, yaitu Bit -bo -ong si Raja
Kelelawar, dan setelah raja itu meninggal dunia, semua golongan menjadi terpecah -pecah kembali,
terutama yang sifat pekerjaan mereka berlainan. Mereka hidup sendiri -sendiri di daerah masing -
masing dan tidak saling mengacuhkan, bahkan tidak jarang terjadi bentrokan di antara mereka. Hal ini
tentu saja melemahkan dunia hitam sehingga mereka tidak mampu lagi menahan tentangan para
pendekar atau pihak pemerintah. Inilah sebabnya maka muncul tokoh -tokoh yang berkuasa di dalam
bidang dan daerah masing -masing, seperti halnya ketiga Sam-ok itu.
Dan kini, pada pagi hari ini, di depan kuil kuno di puncak Bukit Merak Putih itu berkumpul penjahat
dari semua golongan, mengadakan pertemuan kembali untuk bersatu padu seperti ketika mereka
mempunyai raja dunia hitam, yaitu Raja Kelelawar dahulu. Mereka semua datang berkumpul karena
diundang oleh seseorang yang mengaku menjadi keturunan Raja Kelelawar yang hendak memimpin
mereka kembali. Benarkah demikian? Kalau memang benar, alangkah akan gegernya dunia kangouw
dan hal ini merupakan peristiwa yang amat hebat dan mengancam, baik terhadap para pendekar
maupun terhadap rakyat jelata dan juga pemerintah.
Kwee Tiong Li yang biarpun masih muda akan tetapi telah menjadi kokcu atau ketua lembah, dan
sebagai murid seorang yang terkenal sebagai seo-rang bengcu, pemimpin para pendekar patriot,
telah mempunyai pengetahuan luas sekali tentang keadaan di dunia kang -ouw. Maka, ketika dia
dalam pengintaiannya itu melihat keadaan para tokoh sesat yang mengadakan pertemuan di situ,
sejak tadi dia mengerutkan alisnya dan hatinya merasa terguncang dan gelisah sekali. Bukan gelisah
memikirkan nasib dia dan semua kawannya yang pada saat itu berada di dalam kuil sedang di luar
kuil berkumpul demikian banyak tokoh sesat yang pandai, melainkan prihatin memikirkan keadaan
dunia kalau semua orang jahat itu benar-benar bersatu. Tentu akan terjadi kemelut di dunia
persilatan, pikirnya dan teringatlah dia akan penuturan gurunya. Menurut gurunya, di waktu dahulu
pada jamannya Raja Kelelawar menjadi datuk atau raja kaum sesat, para pendekar merasa gelisah
sekali dan juga berduka mendengar akan kejahatan yang merajalela di dunia tanpa dapat berbuat
sesuatu. Sukarlah dicari pendekar yang mampu menandingi Raja Kelelawar ! Hanya ada empat orang
saja di dunia pada waktu itu yang mampu menandingi Raja Kelelawar. Mereka berempat itu adalah
kedua orang datuk, yaitu Bu-eng Sin -yok -ong datuk selatan dan Sin-kun Bu-tek datuk utara, dan dua
orang datuk sesat yaitu Cui -beng Kui -ong pendiri Tai-bong-pai dan Kim-mo Sai -ong pendiri Soa -hu
dunia-kangouw.blogspot.com
-pai. Akan tetapi, dua orang datuk putih dan dua orang datuk hitam ini sudah terlampau tinggi
kedudukan mereka sehingga mereka tidak pernah mencampuri urusan dunia dengan turun tangan
sendiri. Atau lebih tepat lagi, dua orang datuk golongan putih itu tidak mau mencampuri urusan dunia
ramai sedangkan dua orang datuk golongan hitam tidak mengambil pusing dan tidak mau
mencampuri urusan Raja Kelelawar walaupun hal ini bukan berarti mereka tidak berani. Sebaliknya,
biarpun merajalela di dunia dengan congkaknya, namun Raja Kelelawar selalu menghindarkan
bentrokan dengan pihak empat orang datuk itu. Tentu saja karena empat orang datuk itu tidak mau
mencampuri urusannya, Raja Kelelawar malang melintang di dunia kang-ouw dengan leluasa.
Akan tetapi pada suatu hari, Raja Kelelawar melakukan suatu kesalahan besar sekali. Tanpa
disengaja dia bentrok dengan seorang pemuda perkasa dan Raja Kelelawar membunuhnya. Barulah
dia menyesal dan terkejut setengah mati ketika mendengar bahwa pemuda itu bukan lain orang
adalah putera dari Sin-kun Bu-tek, datuk golongan putih dari utara itu. Sin-kun Bu-tek mendengar
akan kematian puteranya, langsung keluar dari tempat pertapaannya, mencari Raja Kelelawar.
Setelah keduanya saling jumpa, tidak dapat dicegah lagi terjadilah perkelahian yang amat hebat,
sampai berlangsung semalam suntuk dan akhirnya, hanya karena selisih sedikit saja tingkat
kepandaian mereka, Raja Kelelawar terluka parah dan beberapa bulan kemudian dia meninggal dunia
dalam keadaan sengsara, tanpa ada seorangpun yang menjaganya.
Demikianlah yang didengar oleh Kwee Tiong Li dari suhunya, oleh karena itu, melihat betapa kini ada
orang mengundang semua tokoh penjahat dari tiga daerah kekuasaan itu, darat, sungai dan lautan itu
berkumpul di situ dan orang itu mengaku sebagai keturunan Raja Kelelawar, tentu saja hati pendekar
ini merasa gelisah sekali. Apa lagi peristiwa ini muncul pada saat pemerintah dipimpin oleh seorang
kaisar yang lalim seperti Kaisar Cin Si Hong -te !
Sementara itu, keadaan di luar kuil itu menjadi semakin menegangkan. Jai -hwa Toat -beng -kwi dan
Pek-pi Siauw-kwi tidak berani membantah ketika Sin -go Mo Kai Ci menegur mereka dan me-lihat
betapa si Maling Cantik itu kelihatan jerih kepadanya, Sin -go Mo Kai Ci yang merasa unggul itu
menjadi bangga dan diapun tertawa menyeringai lalu berkata, "Maling cilik, apakah engkau ingin
mengadu kepada rajamu, si Harimau Hitam Ompong itu ? Ha -ha -ha !" Tentu saja ucapan ini sifatnya
amat mengejek. Maling Cantik disebut Maling Cilik, dan San -hek -houw si Harimau Gunung Hitam
dinamakan Harimau Hitam Ompong.
Biarpun jerih terhadap si gendut pendek itu, namun Pek -pi Siauw -kwi bukanlah orang penakut.
Penghinaan itu, yang didengarkan oleh banyak orang, apa lagi penghinaan terhadap pelin-dungnya, si
Harimau Gunung, membuat mukanya yang cantik menjadi merah sekali. Ia mengeluarkan suara
mendengus, lalu kembali ia melengking nyaring dan tubuhnya berkelebat cepat. Melihat gelagat ini,
orang -orang lain sudah surut ke belakang. Wanita cantik itu lalu meloncat cepat dan tangan
kanannya menampar ke arah kepala Sin -go Mo Kai Ci si Buaya Sakti. Akan tetapi sambil
menyeringai dan memanggul senjata penggadanya yang berat di atas pundak kanan, si Buaya Sakti
mengangkat tangan kirinya dan dengan tangan terbuka didorongkan tangan kirinya ke arah tubuh
wanita yang sedang menerjangnya dari atas itu.
"Ihhh......!" Maling Cantik menjerit, rambut dan bajunya berkibar tersambar angin pukulan itu dan ia
sendiri terpaksa harus berjungkir balik tiga kali ke samping untuk menghindarkan diri dari pukulan
jarak jauh yang amat kuat tadi. Semua orang berseru kagum akan kelihaian tenaga sin-kang dari
Buaya Sakti dan kelincahan tubuh Maling Cantik itu. Akan tetapi, segebrakan itu saja sudah cukup
untuk dimengerti orang bahwa Maling Cantik akan kalah. Melihat ini, terpaksa Tiat -ciang Ciong Lek
dan Jai -hwa Toat -beng -kwi serentak melompat ke depan. Tak mungkin mereka berdiam diri melihat
Maling Cantik diancam oleh Buaya Sakti. Boleh jadi mereka berdua kadang-kadang saling gempur
sendiri, namun betapapun juga, mereka adalah segolongan, yaitu golongan penjahat daratan. Kini
melihat rekannya terancam oleh raja bajak sungai tentu saja mereka tidak tinggal diam. Tiga orang
tokoh sesat golongan darat ini sudah siap sedia untuk mengeroyok Buaya Sakti yang masih nampak
tenang sambil tersenyum mengejek itu.
"Ciiiittt... cuiitttt... plak-plak-plakk..." Suara ini terdengar secara tiba -tiba di angkasa. Semua orang
terkejut sekali ketika berdongak dan melihat ke angkasa. Seekor kelelawar raksasa hi-tam, dengan
panjang sayapnya tidak kurang dari satu setengah meter, beterbangan di atas, berpu-tar-putar di atas
kuil!
dunia-kangouw.blogspot.com
Semua orang yang hadir, baik yang berada di luar maupun yang bersembunyi di dalam kuil, belum
pernah ada yang bertemu dengan Raja Kelelawar. Akan tetapi mereka semua sudah mendengar akan
ciri-ciri kebesaran datuk junjungan dunia sesat itu. Menurut keterangan yang mereka peroleh, dahulu
Raja Kelelawar selalu berpakaian serba hitam dengan jubah kebesaran yang berwarna hitam pula,
jubah hitam yang kabarnya dapat menahan segala macam senjata. Di pinggangnya terselip dua
batang pisau panjang yang gagangnya berbentuk kepala kelelawar. Pisaunya berwarna kuning
keemasan dan gagangnya dihias berpuluh permata berlian sehingga di dalam gelap atau terang,
gagang itu gemerlapan dan berpijar -pijar. Sepasang pisau panjang itu kabarnya mengandung racun
yang tak dapat disembuhkan dengan sembarang obat, kecuali obat dari Kelelawar Hitam itu sendiri
atau mungkin juga hanya Si Tabib Sakti sajalah yang tahu akan obat penawarnya. Dan ada kabar
pula bahwa ke manapun Raja Kelelawar itu pergi, selalu ada seekor kelelawar raksasa yang
mengikutinya dari atas. Tentu saja berita itu ham-pir merupakan dongeng dan mereka hanya percaya
setengahnya saja. Akan tetapi, setelah kini muncul kelelawar raksasa itu, semua orang saling
pandang dan bergidik, bulu roma mereka serentak meremang dan mulailah mereka menduga -duga
dengan harap -harap cemas bahwa pengundang mereka itu benar -benar ada hubungannya dengan
mendiang Raja Kelelawar Hitam !
Hati semua tokoh dunia sesat yang berada di situ mengikuti gerakan kelelawar yang beterbangan di
atas itu. Bermacam perasaan mengaduk di hati mereka. Ada rasa gembira karena kalau betul-betul
ada keturunan Raja Kelelawar yang hebat seperti Raja Kelelawar itu sendiri, maka berarti derajat
mereka akan terangkat tinggi dan dunia hitam akan memperoleh kejayaannya lagi. Akan tetapi juga
ada semacam rasa takut, karena mereka mendengar bahwa Raja Kelelawar berperangai aneh dan
kejamnya tidak lumrah manusia lagi, melainkan seperti setan-setan penjaga neraka!
Sin-go Mo Kai Ci, si Buaya Sakti, raja dari sekalian orang jahat yang beroperasi di sungai -sungai,
merasa betapa jantungnya berdebar kencang dan tubuhnya gemetar. Teringat dia akan pengalamannya
sebulan yang lalu. Dia sedang berperahu di waktu malam, di Sungai Huang-ho. Kemudian,
muncul sesosok tubuh manusia yang hanya nampak sebagai bayangan hitam di tepi sungai.
Bayangan itu mengeluarkan kata -kata yang terdengar seperti bisikan di dekat telinganya bahwa dia
adalah keturunan Raja Kelelawar! Kemudian orang itu melemparkan sesuatu yang ternyata adalah
sehelai gulungan surat undangan. Lemparan dilakukan dari tepi sungai dan yang dilemparkan hanya
benda yang ringan saja. Akan tetapi surat itu dapat meluncur sedemikian cepatnya, merobek layar
perahu dan menempel di tiang perahu! Ke pandaian seperti itu amatlah luar biasa, maka Bua-ya Sakti
ini merasa yakin dan diapun datang ke puncak Merak Putih, memenuhi undangan. Dan kini, benar
saja ada seekor kelelawar raksasa be-terbangan di tempat itu.
Semua mata mengikuti gerakan kelelawar itu, Biasanya, kelelawar tidak muncul di pagi hari se-telah
matahari bersinar terang, karena kabarnya binatang itu tidak dapat melihat di waktu siang. Akan tetapi
kelelawar itu beterbangan mengitari tempat itu sambil matanya yang mencorong ditujukan ke bawah,
kepada orang-orang yang me-mandang ketakutan itu. Kemudian binatang itu menukik ke bawah dan
memasuki kelebatan daun siong yang berdiri di ujung depan kuil, lalu mencengkeram dahan dan
bergantung di tempat itu. Dahan itu melengkung bergoyang -goyang saking beratnya kelelawar
raksasa itu, telinganya yang panjang bergerak -gerak, juga kepalanya bergerak menoleh ke kanan kiri
dan kadang-kadang moncongnya memperdengarkan suara bercicitan nyaring.
Tiba -tiba terdengar auman suara harimau ! Se-mua orang terkejut mendengar auman nyaring yang
tiba -tiba ini, apa lagi karena baru saja hati mereka terguncang penuh kengerian oleh munculnya kelelawar
raksasa. Akan tetapi Sin -go Mo Kai Ci Buaya Sakti lalu tersenyum sendiri. Kenapa dia begitu
bodoh ? Dia tahu bahwa itu adalah pertan-da munculnya tokoh saingannya yang berat, yaitu San -hek
-houw, raja dunia hitam di darat. Di tidak perlu merasa takut karena dia maklum bahwa tingkat
kepandaiannya seimbang dengan tingkat si Harimau Gunung itu. Apa lagi, baru saja dia
mematangkan ilmunya dengan jalan bertapa sampai tiga bulan lamanya. Dia berdiri tenang dan meng
ambil sikap seenaknya, seolah -olah dia memandang rendah dan bersiap menghadapi segala
kemungkinan.
Tak lama kemudian semua orang yang sudah menoleh ke arah datangnya suara auman harimau tadi
melihat munculnya bayangan seorang pria yang tinggi besar, mendaki puncak menuju ke arah kuil. Di
belakang orang tinggi besar ini nampak sepasang harimau kumbang berlari -lari mengikuti, jinak
seperti dua ekor anjing saja, padahal dua ekor binatang itu besar dan nampak kuat sekali. Bulunya
yang berwarna hitam itu mengkilap karena peluh. Sebentar saja, orang tinggi besar itu telah berada di
tengah -tengah halaman kuil. O-rang -orang agak menjauh melihat dua ekor harimau itu yang
dunia-kangouw.blogspot.com
melangkah tenang di kanan kiri majikannya, sepasang mata mereka mencorong dan kadang -kadang
terdengar geraman lirih dari kerongkongan mereka diikuti bibir yang ditarik naik sehingga nampak
taring yang meruncing. Dua ekor binatang itu nampak ganas dan buas, juga kuat sekali. San -hek -
houw yang usianya kurang lebih limapuluh tahun dan nampak gagah perkasa itu gelangkah
mendekati Maling Cantik, Penjahat Ca-bul dan Si Tangan Besi yang tadi sudah siap mengeroyok
Buaya Sakti itu. Mereka bertiga kelihatan pucat dan merasa ngeri berhadapan dengan raja kaum
penjahat di daratan ini, karena merekapun tahu betapa galaknya raja mereka itu.
Tiba-tiba kakek tinggi besar ini menggerakkan lengan kirinya, cepat sekali gerakannya dan tahu-tahu
terdengar suara "plakk!!" dan pipi Maling Cantik telah ditamparnya sampai tubuh wanita itu terhuyung
dan hampir terpelanting.
Pek Lian yang mengintai dari dalam, hampir saja berteriak marah menyaksikan kebiadaban si tinggi
besar ini, yang tanpa alasan tahu-tahu menampar pipi seorang wanita di depan banyak orang.
Sungguh tidak sopan dan keji sekali. Akan tetapi setelah ia teringat bahwa mereka semua itu adalah
orang -orang dari dunia hitam yang tidak beradab, maka iapun menahan kemarahannya dan ha-nya
mengintai dengan penuh perhatian.
"Kau tadi berkata apa ? Berani engkau bicara yang bukan-bukan tentang beliau ? Apa lagi engkau,
sedangkan aku sendiri saja tidak berani melawannya dan semua orang di sini tidak ada yang dapat
dibandingkan dengan beliau. Kepandaian kita semua tidak ada sekuku hitamnya. Engkau berani
memamerkan ginkangmu ? Huh... tidak ada sepersepuluh kepandaian beliau !"
Si Maling Cantik tentu saja merasa malu dan marah sekali, akan tetapi dimarahi oleh "rajanya* tentu
saja ia tidak berani melawan, apalagi mende-ngar betapa rajanya ini memuji-muji pengundang
mereka yang mengaku keturunan Raja Kelelawar itu setinggi langit.
Si Buaya Sakti, sebagai raja dari golongan yang beroperasi di sungai-sungai dan merasa menjadi
saingan berat dari San-hek-houw, diam -diam merasa girang dan juga untuk mengejek saingannya,
diapun mencela, "Sudahlah, kaya anak kecil saja ribut-ribut untuk urusan sepele !"
Si Harimau Gunung merasa tersinggung, matanya mendelik marah ketika dia memutar tubuhnya
memandang kepada saingannya. "Kau bilang apa ? Coba katakan sekali lagi!" Dia menantang sambil
melangkah maju menghampiri.
Ditantang di depan orang banyak oleh saingan-nya, tentu saja Si Buaya Sakti menjadi marah juga.
Dia memanggul penggadanya, kakinya memasang kuda-kuda dan diapun mengejek, "Aku bilang
bahwa engkau bukan harimau melainkan kucing! Nah, kau mau apa ?"
Tentu saja San-hek-houw marah sekali dan semua orang yang hadir memandang dengan jantung
berdebar dan hati penuh ketegangan. Tentu akan hebat sekali kalau dua "raja" ini berkelahi! Tiba -tiba
San -hek -houw mengeluarkan suara mengaum dari mulutnya, diikuti pula oleh dua ekor harimau
kumbangnya itu. Tangan kanannya bergerak dan dari balik jubahnya yang terbuat dari Pada kulit
harimau itu nampak keluar dan dipegang oleh tangannya sebatang rantai panjang yang ujungnya
diberi mata tombak yang ada kaitannya di kedua ujungnya, seperti jangkar kecil.
Sin -go Mo Kai Ci si Buaya Sakti juga siap sia-ga dengan senjata tongkat pendek besar itu tetap
dipanggul di atas pundaknya, pandang matanya bersinar dan mulutnya mengejek. Dia tidak merasa
gentar menghadapi musuh bebuyutan ini. Semua orang sudah memandang dengan hati tegang gembira,
mengharapkan untuk dapat menyaksikan perkelahian yang bermutu dan seru. Akan tetapi, tiba -
tiba saja terdengar suara melengking tinggi seperti suara wanita menjerit, mencicit menyakitkan
gendang telinga, disambung teriakan penuh wibawa, "Tahan ! !"
Kedua orang tokoh jahat itu terkejut dan jantung mereka berdebar karena mereka mengenal suara itu
sebagai ciri khas dari suara si Raja Kelelawar seperti dikabarkan orang dalam dongeng tentang datuk
dunia hitam itu. Di dunia kang -ouw terda-pat kepercayaan bahwa suara si Raja Kelelawar itu menjadi
kecil tinggi dan tajam seperti suara cicitan seekor kelelawar karena ilmunya.
Selagi semua orang, juga kedua jagoan yang sudah berhadapan itu memandang ke sana-sini untuk
mencari suara tadi, terdengarlah suara itu melanjutkan kata-katanya yang melengking tinggi dan
penuh wibawa, "Aku menghendaki agar kalian semua menjadi satu lagi seperti pada jaman kakekku
dahulu, kenapa sekarang belum apa-apa sudah mau saling berhantam sendiri ?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Suara mencicit ini terdengar marah dan aneh, menggetarkan jantung dan mendirikan bulu roma
kedua orang tokoh Sam -ok itu. Dan semua orang juga merasa gentar dan bingung, karena suara itu
seolah -olah datang dari segala penjuru dan sukar untuk menentukan dari jurusan mana datangnya.
Inipun merupakan satu di antara ciri khas ilmu ajaib dari si Raja Kelelawar di jaman dahulu, yaitu ilmu
sinkang tingkat tinggi yang disebut Pat -hong Sin -ciang (Tenaga Sakti Delapan Penjuru). Menurut
dongeng tentang si Raja Kelelawar, Ilmu Pat -hong Sin -ciang ini amat ditakuti oleh orang-orang di
dunia persilatan, karena ilmu ini mengandung semacam tenaga sihir yang mujijat. Seorang lawan
yang tidak memiliki sinkang yang amat kuat akan merasa terhimpit oleh suatu tenaga sakti yang
datang dari delapan penjuru sehingga membuatnya sukar untuk dapat bergerak. Apa lagi bertemu
pandang dengan sinar mata si Raja Kele-lawar yang mencorong seperti mata burung hantu di waktu
malam itu, membuat semua anggauta tubuh terasa lemas dan kehilangan tenaga dan tentu saja
lawan yang berada dalam keadaan seperti ini akan amat mudah dirobohkan.
Ho Pek Lian dan kedua orang gurunya, juga Kwee Tiong Li dan ketiga Yang -ce Sam -lo, saling
pandang dan bergidik mendengar suara itu.
Sebagai orang -orang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi, mereka maklum betapa hebatnya
tenaga khikang yang mendorong suara itu. Suara itu seolah -olah dikeluarkan oleh mulut orang yang
berada dekat sekali dengan mereka, akan tetapi entah di depan, di belakang, atau di samping mereka.
Selagi semua orang, baik yang bersembunyi di dalam kuil maupun yang hadir di luar kuil, menengok
ke sana -sini dan mencari -cari dengan pandang mata mereka untuk menemukan orang yang
bersuara tadi, terdengar lagi suara yang bernada tinggi itu, yang ditujukan kepada si Buaya Sakti dan
si Harimau Gunung.
"Hayo kalian berdua simpan kembali senjata-senjata kalian itu ! Ataukah kalian ingin aku membuangnya
?"
Sin-go Mo Kai Ci dan San-hek-houw adalah dua di antara Sam -ok yang pada waktu itu menganggap
diri mereka bertiga sebagai raja -raja dari para tokoh sesat di dunia hitam. Kini, di depan sekian
banyaknya orang, ada suara yang memerintah mereka, tentu saja kalau mereka mentaati begitu saja,
hal ini sungguh membuat mereka kehilangan muka. Akan tetapi, hati merekapun sudah merasa jerih
akan nama Raja Kelelawar yang walaupun belum pernah mereka lihat, namun sudah mereka kenal
tanda -tanda dan ciri -ciri khasnya. Maka, keduanya merasa ragu-ragu, tangan memegang senjata
masing -masing dengan kuat dan mata mereka jelilatan mencari -cari orang yang berani
mengeluarkan perintah dan memandang rendah mereka itu.
Dan tiba -tiba saja kedua orang tokoh sesat ini terbelalak memandang ke depan, sinar mata me-reka
tertumbuk dengan sinar mata dingin menye-ramkan dari sesosok tubuh yang tiba -tiba saja sudah
berdiri di samping si Maling Cantik Pek -pi Siauw -kwi! Saking kagetnya, hampir saja senjata di tangan
mereka itu terlepas karena tangan mereka tiba -tiba gemetar keras. Yang memiliki mata dingin
menyeramkan itu bertubuh tinggi kurus dengan jubah dan pakaian hitam mengkilat dari sutera halus.
Inilah gambar si Raja Kelelawar se-perti yang pernah mereka dengar dari dongeng !
Pek -pi Siauw -kwi sendiri menjadi kaget setengah mati. Ia terkenal memiliki ginkang yang hebat, akan
tetapi kini ia sama sekali tidak mengetahui akan kedatangan iblis ini, yang tahu -tahu berada di
sampingnya, seolah -olah kemunculannya itu menggunakan ilmu iblis dan pandai menghilang saja.
Iblis berpakaian hitam ini berdiri dekat sekali di sampingnya, antara ia dan Jai-hwa Toat-beng-kwi si
cabul pesolek. Tadi ia mengira bahwa yang berdiri dekat sekali dengannya itu adalah si cabul,
demikian pula dengan Jai -hwa -cat itu, yang mengira bahwa yang berdiri di dekatnya adalah si Maling
Cantik. Maka, setelah kini keduanya mengetahui bahwa si iblis itu yang datang dan berada dekat
dengan mereka, keduanya mundur ketakutan dan cepat-cepat menjauh dengan jantung berdebar dan
muka pucat.
Dari dalam kuil, tujuh orang pendekar itu me-mandang dengan penuh perhatian dan mereka se-mua
merasa betapa darah mereka berjalan ken-cang, jantung mereka berdebar keras. Dari tempat mereka
bersembunyi, mereka dapat melihat jelas. Iblis itu memang mirip gambaran tentang si raja iblis itu,
pergi datang tanpa suara seperti pandai menghilang, saking tinggi ginkangnya. Mereka bertujuh sejak
tadi selalu memperhatikan keadaan di luar kuil, namun merekapun tidak melihat da-tangnya Raja
Kelelawar itu, tahu -tahu tokoh itu sudah muncul di situ.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sementara itu, melihat ke kiri, ke arah Pek-pi Siauw-kwi yang mundur-mundur ketakutan, iblis
berpakaian hitam itu tertawa. Suara ketawanya juga bernada tinggi, seperti suara ketawa wanita lalu
terdengar suaranya yang berwibawa, meme-rintah, "Anak manis, ke sinilah engkau!" Tangan-nya
menggapai ke arah maling wanita yang me-mang berwajah cantik manis itu.
Pek -pi Siauw -kwi adalah seorang wanita to-koh kaum sesat yang sudah lama malang melintang di
dunia kejahatan sebagai maling tunggal dan ia tidak pernah takut terhadap siapapun juga. Akan tetapi
sekali ini, seperti seorang anak kecil melihat sesuatu yang menakutkan, ia mundur-mundur dan
menggeleng -geleng kepala sebagai tanda bahwa ia tidak mau mendekati iblis itu, matanya terbelalak
dan mukanya agak pucat.
Menghadapi penolakan si Maling Cantik, iblis itu mengerutkan alis dan sinar matanya berkilat, lalu dia
menggerakkan lengannya ke arah wanita itu dan biarpun kakinya tidak kelihatan melangkah, tahu -
tahu dia telah berada dekat wanita itu. Pek-pi Siauw -kwi mencoba untuk mengelak dan me-. loncat
untuk menghindarkan diri. Akan tetapi, tiba -tiba saja ia merasa ada tenaga aneh meng-himpitnya dari
semua penjuru, yang membuatnya sukar untuk bergerak. Ketika matanya yang keta-kutan itu
memandang dan bentrok dengan sinar mata iblis itu, tenaganya mendadak menjadi lemas dan
tubuhnya terkulai. Di lain saat tubuhnya sudah dirangkul oleh si iblis yang menggunakan jari -jari
tangannya untuk menggerayangi tubuh yang gempal padat itu tanpa si Maling Cantik dapat mencegah
sama sekali. Ia hanya menangis ketakutan setengah mati.
"Ha -ha, engkau boleh juga..., engkau tidak merusak tubuhmu.... hemm, manis!" Si iblis mencium kulit
yang putih itu dan si Maling Cantik menggigil, seluruh bulu tubuhnya meremang.
Tiat-ciang Ciong Lek, perampok tunggal yang tubuhnya kekar dan tidak berbaju itu merasa panas isi
perutnya melihat betapa rekannya dihina seperti itu. Tadinya dia sendiripun merasa takut dan jerih
terhadap si iblis, akan tetapi melihat betapa rekannya mengalami penghinaan, hatinya terbakar dan
sesaat dia lupa akan rasa takutnya. Dia mengeluarkan suara menggeram dan bagaikan seekor singa
menerkam, dia sudah menggerakkan golok besarnya dan meloncat terus membacokkan golok
besarnya itu ke arah punggung iblis yang masih menggerayangi dan menciumi si Maling Cantik itu. Si
iblis itu diam saja dan agaknya tidak melihat serangan ini, sedikitpun tidak mengelak atau menangkis,
masih menciumi kulit leher yang lunak itu. Semua orang yang melihat serangan ini menahan napas.
"Singgg...... dukkk !!"
Jilid V
BACOKAN golok yang berdesing itu tepat mengenai punggung yang tertutup mantel hitam,
membacok dengan kuat sekali, akan tetapi golok itu mental dan mantel itu sedikitpun tidak robek, apa
lagi punggungnya. Agaknya terasapun tidak oleh si iblis itu. Tentu saja semua orang, termasuk
mereka yang bersembunyi di dalam kuil, terkejut, kagum dan gentar sekali menyaksikan kehebatan
iblis itu. Kiranya, iblis inipun menggunakan mantel pusaka yang menurut dongeng memang kebal
terhadap segala macam senjata. Kembali terbukti ciri khas dari si Raja Kelelawar !
Setelah bacokan itu mental, barulah iblis itu menoleh dan melepaskan tubuh Maling Cantik yang tadi
dipeluknya. Wanita cantik itu terhuyung dan kedua kakinya masih terasa lemas, akan tetapi
semangatnya pulih kembali setelah ia dilepaskan dan ia hanya dapat memandang jerih. Kini Tiatciang
Ciong Lek yang berdiri seperti terpesona memandang iblis itu dan dia bergidik melihat be-tapa
sepasang mata yang mencorong itu dingin sekali terasa menusuk jantungnya. Biarpun iblis itu tidak
membuka mulutnya, akan tetapi terdengar ada suara siulan dari bibirnya. Siulan ini dijawab oleh suara
mencicit dan kelepak sayap. Ternyata binatang kelelawar raksasa yang tadi bergantung di dahan
pohon, sudah terbang ke atas lalu menu-kik ke bawah, ke arah si perampok tunggal Ciong Lek!
Perampok ini tentu saja cepat menggerak-kan goloknya untuk melakukan perlawanan, akan tetapi tiba
dunia-kangouw.blogspot.com
-tiba saja dia tidak mampu bergerak goloknya masih diangkatnya tinggi -tinggi dan tu-buhnya seperti
mendadak menjadi kaku. Kelela-war raksasa itu meluncur dan menyambar.
"Plokk !" Kelelawar itu menerkam ke arah leher si perampok tunggal, mencengkeram leher itu sebentar
dan ketika binatang ini terbang lagi, nampak darah menyembur keluar dari urat nadi leher yang
putus tergigit dan terhisap oleh kelelawar itu ! Si perampok tunggal Tiat -ciang Ciong Lek terbela-lak,
lalu terdengar lehernya mengeluarkan pekik mengerikan dan tubuhnya terguling dan roboh atas
tanah, berkelojotan sebentar lalu terdiam ka-rena darahnya habis, sebagian terhisap kelelawar itu dan
sebagian lagi membanjir keluar. Semua orang memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat.
Kembali si iblis mengeluarkan suara ketawa yang menyeramkan, ketawanya mencicit seperti bunyi
kelelawar atau bunyi tikus -tikus bercanda. "Masih ada lagi yang meragukan kemampuanku dan ingin
melawanku ?" terdengar dia bertanya sambil memandang ke sekeliling.
Tidak ada yang berani menjawab biarpun yang hadir adalah tokoh-tokoh dunia hitam yang biasanya
sewenang-wenang dan tidak mengenal takut. Agaknya, nama Raja Kelelawar sudah sedemikian
besar pengaruhnya, ditambah kekejaman iblis ini yang mengaku sebagai keturunan Raja Kelelawar,
juga kelihaiannya membuat semua orang maklum bahwa mereka berhadapan dengan orang yang
pandai sekali.
Sin -go Mo Kai Ci si Buaya Sakti dan San -hek-houw si Harimau Gunung adalah dua di antara Sam -
ok yang dianggap merajai para anggauta liok -lim di bidang masing -masing. Selama ini, mereka
bertigalah yang berdaulat penuh dan dita-kuti semua penjahat, balikan kalau di antara penjahat timbul
pertikaian, mereka inilah yang dianggap berhak untuk mengadili dan menjatuhkan keputus-an. Kini
muncul si iblis yang mengerikan, dan tentu saja kalau iblis ini hendak mengangkat diri sendiri menjadi
datuk kaum sesat, hal ini sama dengan merendahkan nama Sam-ok sebagai raja-raja kaum sesat.
Akan tetapi, mereka berdua adalah orang -orang yang berilmu tinggi dan yang dapat melihat bahwa
iblis yang baru muncul ini memang hebat bukan main. Si Buaya Sakti dan si Harimau Gunung yang
tadi hampir saja berhantam sendiri kini saling pandang dan dari pandang mata ini mereka sudah
bersepakat untuk bersama -sama menghadapi pendatang baru yang mengancam ke-dudukan mereka
ini.
San-hek-houw lalu melangkah maju dan ran-tai yang ujungnya bertombak itu telah diiilitkan-nya di
pinggang. Dia membungkuk sebagai tanda penghormatan, lalu berkata, suaranya lantang agar
terdengar oleh semua tokoh yang hadir.
"Kami semua tentu saja mengenal nama mendi-ang yang mulia Bit -bo -ong dan menganggap be-liau
sebagai datuk atau raja kami yang kami mu-liakan. Akan tetapi, terus terang saja, kami semua belum
pernah mendengar akan adanya murid atau keturunan beliau, dan bukan sekali -kali kami berani
menentang keturunan beliau. Hanya kami mohon petunjuk apakah benar bahwa locianpwe adalah
keturunan beliau. Kalau memang benar demikian dan kalau memang benar bahwa di antara kami
semua tidak ada yang dapat mengatasi kepandaian locianpwe, tentu saja kami semua akan tunduk
dan dengan suka hati mengangkat locianpwe sebagai keturunan beliau dan menjadi raja baru kami."
Semua orang mengeluarkan suara menggumam menyatakan persetujuan mereka. Si iblis hitam tertawa.
Wajah yang nampak angker itu tidak bergerak kulitnya, tanda bahwa di luar kulit muka itu dia
memakai topeng tipis sehingga mudah diduga bahwa wajah yang menyeramkan ini bukanlah wajah
yang sesungguhnya yang berada di balik topeng tipis.
"Ha -ha -ha, omonganmu memang benar, San-hek -houw. Dan untung engkau berpendapat demikian,
karena kalau tidak, tentu ketiga Sam -ok akan kubunuh lebih dulu. Aku tahu bahwa Tung-hai-tiauw si
Rajawali, Sin -go Mo Kai Ci si Bua-ya Sakti, dan engkau sendiri San -hek -houw si Harimau Gunung,
merupakan Sam -ok, tiga se-rangkai yang merajai bidang masing-masing di Pegunungan, sungai -
sungai, dan lautan. Karena kalian memandang kepadaku maka akupun suka mengangkat kalian
meniadi pembantu -pembantu-ku Dan untuk membuktikan bahwa aku adalah keturunan dari Bit-boong,
biarlah kalian berdua maju menandingiku. Dengar baik-baik. Kalau dalam sepuluh jurus aku tidak
mampu mengalahkan kalian berdua, biarlah aku menarik kembali omonganku dan aku tidak akan
mencampuri dunia kalian. Akan tetapi kalau aku menang, siapapun yang berani membantah akan
kubunuh. Mengerti ? Nah, kalian majulah ! Jangan takut, aku tidak akan Membunuh calon pembantu -
pembantuku !"
dunia-kangouw.blogspot.com
Ucapan ini sungguh tekebur bukan main. Sam-ok terkenal memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan
sekarang, dua orang di antara mereka ditantang oleh si iblis untuk dikalahkannya dalam waktu
sepuluh jurus saja! Si Buaya Sakti dan si Harimau Gunung juga saling pandang dan muka mereka
menjadi merah karena merasa marah dan penasar-an sekali. Iblis ini sungguh sombong, dan lebih
dari itu, kalau sampai mereka berdua yang menge-royok seorang sampai kalah dalam sepuluh jurus
sungguh hal ini akan membuat mereka merasa ma-lu sekali.
"Baiklah, locianpwe. Kami mohon petunjuk un-tuk meyakinkan hati kami semua!" kata si Hari-mau
Gunung yang sudah melolos rantai dari ping-gangnya sedangkan si Buaya Sakti juga sudah melangkah
maju dengan melintangkan senjata tong-kat bajanya di depan dada.
"Bagus, majulah. Aku akan memberi kesempat-an kepada kalian untuk masing -masing menyerangku
selama lima jurus, baru kemudian aku mem-balas, dan kalau kalian dapat bertahan sampai tiga
jurus saja sudah boleh dibilang bagus!" kata si iblis itu dan ini menambah kesombongannya.
"Lihat serangan !" Si Buaya Sakti berteriak ma-rah. Biasanya, dalam dunia hitam tidak berlaku segala
macam aturan sopan santun, bahkan biasa-nya mereka itu melakukan serangan secara meng-gelap,
maka bentakan si Buaya Sakti ini merupa-kan suatu keanehan. Hal ini menunjukkan bahwa biarpun
dia marah, pada hakekatnya si Buaya Sakti ini merasa jerih sekali maka dia mengeluarkan se-ruan
yang di kalangan persilatan, terutama di kalangan para pendekar, sudah menjadi lajim, yaitu sebelum
menyerang, memberi peringatan lebih dulu kepada yang diserang, sebagai tanda kegagahan.
Senjata tongkat pendek besar dari baja putih itu amat berat dan kini digerakkan dengan cepat sekali,
membuktikan besarnya tenaga si Buaya Sakti itu. Tongkatnya menjadi sinar putih yang besar
menyambar ke arah kepala si iblis berpakaian hi-tam, dan tangan kiri si Buaya Sakti masih menyusulkan
cengkeraman ke arah pusar. Serangan pertama ini sungguh merupakan serangan dahsyat
sekali dan dapat mendatangkan maut.
San-hek-houw si Harimau Gunung lebih cerdik. Melihat rekannya sudah menyerang, dia
menggunakan kesempatan ini untuk menggerakkan rantainya dan nampak sinar bergulung -gulung
ketika rantainya itu membuat serangan dari kanan ke kiri, dari bawah menyerang kaki lalu terus
membubung ke atas, merupakan serangan sinar berpusing yang berbahaya dan sukar sekali
dielakkan lawan !
"Satu jurus !" Terdengar suara melengking dari si iblis hitam, akan tetapi hanya suaranya saja yang
terdengar oleh dua orang lawan dan oleh semua orang itu, karena dua orang lawan itu telah kehilangan
orangnya! Kiranya, dengan menggunakan ginkang yang sukar dapat diikuti oleh mata saking
cepatnya, begitu serangan menyambar, tubuh si iblis itu telah mencelat ke atas sehingga serangan
rantai itu tidak mengenai sasaran bahkan kehilang-an sasaran dan tahu -tahu kaki si iblis itu telah
berada di ujung tongkat baja putih yang tadi dipergunakan oleh Buaya Sakti untuk menghantam kepalanya
! Memang sukar dapat dipercaya kalau tidak dilihat sendiri betapa orang yang kepalanya diserang,
tahu -tahu sudah berada di atas dan berdiri di atas tongkat yang tadi menghantam ke arah
kepala itu. Ketika si Buaya Sakti hendak menggerakkan tongkatnya, tiba -tiba saja tongkat yang
diinjak kaki iblis itu menjadi berat dan hampir saja dia tidak kuat menahan lagi. Akan tetapi ti-ba-tiba
iblis hitam itu telah meloncat turun lagi sambil tersenyum.
Dua orang itu merasa penasaran sekali dan me-reka lalu menubruk maju lagi dengan serangan
berganda yang lebih dahsyat lagi. Kini rantai itu mengeluarkan suara meledak -ledak dan menghantam
dari atas dengan lecutan yang membuat ujung-nya berbentuk tombak berkait itu menyambarnyambar
ke arah kepala si iblis hitam, sementara itu, tongkat pendek yang berat itupun sudah menyodok
ke arah perut.
"Dua jurus !" kembali terdengar si iblis hitam berseru dan sekali ini dia tidak mendemonstrasikan
kelincahan gerakannya melainkan ketangkasan ke-dua tangannya. Tangan kirinya bergerak ke atas
dan tangan kanan bergerak ke bawah dan dengan tepat sekali kedua tangan terbuka itu telah
menangkis dua senjata itu. "Plakk! Plaakkk!"
Dua orang raja para penjahat itu berseru kaget karena mereka merasa betapa tangan mereka
menjadi panas dan nyeri sekali, sedangkan sebelah lengan yang memegang senjata terasa seperti
lumpuh. Akan tetapi hal ini hanya sebentar saja dan lenyap setelah si iblis itu menarik kembali
tangannya sambil tertawa dan dia sudah siap lagi menghadapi serangan kedua orang itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dua orang itu kini menggunakan kecepatan, memutar-mutar senjata mereka menjadi bentuk sinar
bergulung -gulung lalu keduanya menyerang dengan cepat. Dan kembali si iblis memperlihatkan
bahwa gerakannya jauh lebih cepat dari pada kedua senjata itu, tubuhnya lenyap berkelebatan seolah
-olah dia dapat menyusup di antara gulungan sinar kedua senjata itu sambil terus menghitung jurus -
jurus penyerangan lawan sampai lima kali dan kedua senjata itu tidak pernah dapat menyentuh ujung
bajunya sekalipun!
Setelah lewat lima jurus, tiba -tiba iblis hitam itu tertawa melengking disambung suaranya yang
terwibawa, "Awas terhadap seranganku!" Dan tiba -tiba saja dua orang raja penjahat itu menjadi
bingung dan silau karena tubuh hitam itu berkelebat sedemikian cepatnya sehingga mereka tidak tahu
ke mana arah penyerangan lawan aneh ini.
"Jurus pertama!" kata raja iblis itu dan dua orang lawannya menggerakkan senjata mereka untuk
menangkis dan melindungi diri. Akan tetapi tiba -tiba saja tangan yang memegang senjata terasa
lumpuh dan mereka melihat sepasang mata, yang mencorong penuh wibawa, membuat mereka
menjadi lemas seketika dan iblis hitam itu hanya sekali menggerakkan kaki, akan tetapi kaki itu sudah
dua kali menendang dan tubuh kedua orang itu terlempar sampai tiga tombak ke belakang dan
terbanting keras! Untung bahwa si iblis tidak mempergunakan tenaga sinkang ketika menendang
sehingga dua orang itu tidak terluka parah, hanya babak bundas saja karena terbanting tadi. Mereka
bangkit berdiri, hampir tidak percaya kalau tidak mengalami sendiri. Mereka telah dirobohkan dalam
satu jurus saja ! Akan tetapi mereka bukanlah orang-orang bodoh dan mereka sudah yakin kini bahwa
orang berpakaian hitam di depan mereka itu memang memiliki ilmu kepandaian, yang muji-jat sekali
dan sudah selayaknya kalau menjadi raja mereka semua. Maka mereka berdua lalu menjatuhkan diri
berlutut, menghadap iblis hitam itu! Melihat perbuatan dua orang yang selama ini me-reka anggap
sebagai raja, tentu saja para tokoh liok-hm yang hadir di situ terkejut bukan main dan satu demi satu
merekapun lalu menjatuhkan diri berlutut, termasuk si Maling Cantik Pek-pi Siauw-kwi dan si penjahat
cabul Jai-hwa Toat-beng-kwi !
"Ha-ha-ha-ha ! Bagus sekali kalau kalian sudah mengakui aku sebagai raja kalian ! Jangan khawatir,
seperti yang telah dilakukan oleh kakek-ku dahulu, aku akan memimpin kalian dan dunia hitam kita
akan menjadi jaya kembali!" Mendengar ini, semua penjahat yang berkumpul di situ bersorak gembira.
Iblis hitam itu mengangkat le-ngan kanannya ke atas dan suara berisik mereka itu tiba -tiba sirap dan
berhenti sama. sekali. "Dan aku tetap melanjutkan julukan kakekku, yaitu Bit-bo -ong dan kalian
semua harus menyebut ong -ya kepadaku!"
Kembali mereka bersorak dan ketika ada yang berteriak, "Hidup ong-ya...!" maka mereka semua
juga ikut berteriak-teriak. Akan tetapi kembali Raja Kelelawar itu mengangkat tangan kanannya ke
atas dan semua orang terdiam kembali. Dengan muka kelihatan marah Raja Kelelawar atau Bit -bo -
ong itu menoleh ke arah kuil dan terdengar suaranya yang melengking tinggi.
"Siapa berani tidak berlutut kepadaku? Kalian yang berada di dalam kuil, tidak lekas keluar ?" Raja
Kelelawar lalu menggerakkan tangannya sambil melangkah mendekati kuil, kedua tangannya
mendorong dan terdengar suara keras ketika sebagian dari dinding kuil tua itu ambruk menge-luarkan
suara gemuruh dan debu mengebul ke atas! Tentu saja Pek kian dan enam orang lainnya ter-kejut
bukan main. Kiranya iblis itu telah mengeta-hui bahwa di dalam kuil ada orangnya dan kalau tadi iblis
itu tidak turun tangan adalah karena mengira bahwa mereka juga anggauta dunia hitam. Setelah
semua orang berlutut dan hanya mereka yang bersembunyi itu saja yang tidak, agaknya barulah iblis
itu tahu dan menegur.
Tentu saja tujuh orang yang bersembunyi di dalam menjadi terkejut dan karena mereka tahu bahwa
tempat persembunyian mereka telah diketahui orang, maka terpaksa mereka lalu keluar dari pintu
kuil, apa lagi karena sebagian tembok dan atap telah ambruk dan tadi terpaksa mereka harus
berloncatan menghindar dan kini mereka semua keluar.
Kwee Tiong Li yang biarpun masih lemah dari belum pulih kembali tenaganya, merasa bahwa dialah
yang menjadi pemimpin dan bertanggung jawab, cepat maju dan memberi hormat kepada Bit -bo -ong
atau Raja Kelelawar. "Harap locian-pwe sudi memafkan kami yang tidak sengaja hendak mengintai.
Kami hanya kebetulan berada di dalam kuil, lama sebelum locianpwe dan para saudara datang
berkumpul di luar kuil."
dunia-kangouw.blogspot.com
Sepasang mata Raja Kelelawar yang mencorong itu menyapu tujuh orang yang keluar dari dalam kuil,
alisnya berkerut dan jelas bahwa dia merasa tidak senang hatinya.
"Kenapa kalian bersembunyi dan tidak keluar ?" bentaknya.
Tag:cersil
cersil indo
cersil mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil langka
cersil mandarin lepas
cerita silat pendekar matahari
kumpulan cerita silat jawa
cersil mandarin beruang salju.
cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia
cerita silat kho ping hoo
cerita silat mandarin online
cerita silat mandarin full
cerita silat jawa
kumpulan cerita silat
cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis
cerita silat jadul indonesia
cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti
cersil indonesia pendekar mabuk
cersil langka
cersil dewa arak
cerita silat jaman dulu
cersil jawa download cerita silat mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil mandarin lepas
cerita silat mandarin pendekar matahari
cerita silat jawa pdf
cersil indonesia pdf
cersil mandarin beruang salju
kumpulan cerita silat pdf
- Cersil Ke 8 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti Cer...
- Cersil Ke Tujuh Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti...
- Cersil ke 6 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti
- Cersil Ke 5 Yoko Bibi Lung
- Cerita Silat Ke 4 Pendekar Yoko
- Cersil Yoko 3 Condor Heroes
- Cersil Yoko Seri Ke 2
- Cerita Silat Cersil Ke 1 Kembalinya Pendekar Rajaw...
- Cerita Silat Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Komp...
- Cersil Ke 25 Tamat Kwee Ceng Bersambung Ke Pendeka...
- Cerita Silat ke 24 Kwee Ceng Pendekar Jujur
- Cersil Ke 23 Kwee Ceng Pendekar Lugu
- Cerita Silat Ke 22 Kwee Ceng
- Cersil Ke 21 Kwee Ceng
- Cerita Silat Ke 20 Cersil Kwee Ceng Rajawali Sakti...
- Cerita Silat Ke 19 Kwee Ceng Jagoan Sakti
- Cersil Ke 18 Kwee Ceng
- Cersil Ke 17 Kwee Ceng Cerita Silat Pendekar Rajaw...
- Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Ke 16 Pendekar Kw...
- Cersil Ke 15 Pendekar Kwee Ceng
- Cersil Hebat Kweeceng Seri 14
- Cersil Cerita Silat Kwee Ceng 13
- Cersil Pendekar Ajaib : Kwee Ceng 12
- Kumpulan Cerita Silat Jawa : Kwee Ceng 11
- Cerita Silat Pendekar Matahari : Kwee Ceng 10
- Cersil Mandarin Lepas :Kwee Ceng 9
- Cersil Langka Kwee Ceng 8
- Cerita Silat Mandarin Online : Kwee Ceng 7
- Cersil Indo Kwee Ceng 6
- Cerita Silat Cersil Kwee Ceng 5
- Cersil Kwee Ceng 4
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 3
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 2
- Cersil Pendekar Kwee Ceng ( Pendekar Pemananah Raj...
- Cersil Seruling Sakti dan Rajawali Terbang
- Kumpulan Cersil Terbaik
- Cersil Jin Sin Tayhiap
- Cersil Raisa eh Ching Ching
- Cersil Lembah Merpati
- Cerita Silat Karya stefanus
- Cersil Pedang Angin Berbisik
- Cersil Sian Li Engcu
- Cersil Si KAki Sakti
- Cersil Bendera Maut
- Cersil Pahlawan Gurun
- Cersil Pedang Pusaka Buntung
- Cersil Terbaik Pendekar Kunang Kunang
- Cersil Mandarin Imam Tanpa Byangan