Senin, 31 Juli 2017

Cersil Angettt : Pendekar Super Sakti 6

Cersil Angettt : Pendekar Super Sakti 6 Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil Angettt : Pendekar Super Sakti 6
kumpulan cerita silat cersil online
-
Han Han tentu saja maklum bahwa ada senjata rahasia menyambar ke arahnya dari belakang dan maklum
pula bahwa senjata rahasia itu dilemparkan oleh seorang yang memiliki sinkang kuat bukan main. Diam-diam
ia kaget dan tahu bahwa wanita itu sungguh tak dapat disamakan dengan empat orang Kang-thouw Su-liong
(Empat Naga Berkepala Baja) yang brewokan itu. Tidak, wanita ini jauh lebih lihai, belum tentu kalah lihai oleh
murid-murid Ma-bin Lo-mo, melihat dari hebatnya sambaran angin senjata rahasianya.
Namun Han Han yang kini telah memiliki tingkat kepandaian yang luar biasa dan sukar diukur tingginya, masih
belum menoleh dan belum berhenti melangkah, hanya kini tongkatnya bergerak sedikit ke belakang, kemudian
sambil masih meloncat-loncat dengan sebelah kaki, ia mencabut tiga batang senjata rahasia piauw hitam dari
tongkat di mana piauw-piauw itu menancap dan membuangnya ke atas tanah.
Wanita itu menahan seruan kaget. Pemuda pincang itu sama sekali tidak mengelak, bahkan menengok pun
tidak, masih melangkah, akan tetapi dengan amat mudahnya sudah menyambut piauw-piauwnya dan
membuang begitu saja seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa!
“Berhenti dulu...!”
Han Han melihat bayangan berkelebat dan wanita yang dapat bergerak cepat sekali membayangkan ginkang
yang tinggi, kini telah berdiri di depannya. Terpaksa Han Han menahan langkahnya dan memandang tak acuh.
Sebaliknya wanita itu memandang kepadanya penuh selidik, agaknya mengingat-ingat di mana ia pernah
melihat pemuda ini dan kapan ia mendengar akan seorang jago muda yang buntung kakinya. Setelah merasa
yakin bahwa dia belum pernah mendengar tentang seorang tokoh kang-ouw muda yang buntung kakinya, ia
lalu berkata.
“Ternyata engkau memiliki kepandaian. Orang muda, marilah engkau ikut bersamaku menghadap atasanku.
Guruku adalah seorang pembesar di istana, seorang panglima pengawal. Kalau engkau setelah diuji ternyata
memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, engkau tentu akan mendapat kedudukan yang tinggi pula.”
Han Han mengerutkan alisnya dan wanita itu diam-diam amat tertarik. Wajah pemuda buntung ini tampan dan
gagah sekali. Jantung wanita ini mulai tergetar.
“Toanio, harap kau jangan menggangguku. Aku tidak mempunyai urusan dengan toanio, dengan guru toanio
atau dengan siapa pun juga. Harap membiarkan aku mengambil jalanku sendiri dan kita tidak saling
mengganggu.”
“Orang muda, agaknya karena engkau belum tahu siapa aku, dan belum tahu pula siapa guruku maka engkau
memandang rendah dan tidak menaruh perhatian. Ketahuilah bahwa aku adalah Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio,
dan kalau engkau masih belum mengenalku, guruku adalah Hwi-yang Sin-ciang Gak-locianpwe!” Sebagai
murid Gak Liat tentu saja Ma Su Nio tidak mau menyebut nama poyokan gurunya, yaitu Kang-thouw-kwi atau
Setan Botak!
Mendengar disebutnya Gak Liat, Han Han tercengang. Tanpa disadari ia mengangkat muka memandang
wanita itu. Tentu saja ia sudah tahu bahwa Gak Liat Si Setan Botak itu menjadi seorang panglima pengawal
dunia-kangouw.blogspot.com
Kerajaan Mancu, akan tetapi ia tidak menyangka bahwa wanita yang agaknya dipanggil oleh empat orang
brewok ini adalah murid Si Setan Botak.
Melihat pemuda buntung itu akhirnya mengangkat muka memandangnya penuh perhatian, Ma Su Nio
tersenyum dengan bangga, akan tetapi senyumnya membeku di mulut ketika pandang matanya bertemu
dengan pandang mata Han Han yang demikian aneh dan tajam menusuk menembus ke jantung menjenguk
hati! Pandang mata itu begitu aneh dan seperti bukan pandang mata manusia!
Tiba-tiba Ma Su Nio menjerit karena entah bagaimana caranya ia tidak dapat mengikuti dengan pandang mata
saking cepatnya, tahu-tahu pundaknya sudah dicengkeram oleh pemuda buntung itu yang bertanya dengan
suara yang membuat bulu tengkuknya berdiri.
“Hayo katakan apa yang terjadi dengan seorang gadis bernama Lulu yang diculik oleh Ouwyang Seng!”
Ma Su Nio berusaha meronta untuk meloloskan diri dari cengkeraman, akan tetapi betapa kagetnya ketika ia
merasa bahwa tenaganya lenyap dan sama sekali ia tidak mampu melepaskan pundaknya. Ia menjadi marah
dan tangan kanannya menghantam ke depan. Tangan itu sudah berubah merah karena wanita ini telah
menyalurkan sinkang-nya sehingga tangannya berubah menjadi tangan beracun Hiat-ciang (Tangan
Berdarah)!
Pukulan Hiat-ciang dari Ma Su Nio amat berbahaya dan jarang ada orang mampu melawannya. Juga amat
cepat seperti kilat menyambar, padahal tubuh Han Han begitu dekat di depannya. Akan tetapi mata Ma Su Nio
berkunang ketika tubuh pemuda buntung itu berkelebat dan pukulannya mengenai angin, sedangkan tubuh
pemuda itu telah berpindah ke belakangnya, namun tangan yang mencengkeram pundaknya masih berada di
pundak. Sebelum Ma Su Nio dapat bergerak, tiba-tiba tubuhnya terjungkal dan ia jatuh miring karena didorong
oleh Han Han dengan tenaga yang tak tertahankan lagi! Ma Su Nio baru saja berkedip, tahu-tahu dadanya
telah ditodong oleh ujung tongkat sehingga ia tidak berani bergerak, maklum bahwa nyawanya berada di ujung
tongkat itu.
“Hayo katakan, di mana Lulu?”
Ma Su Nio sudah mendengar akan gadis Mancu yang ditawan Ouwyang Seng dan yang kemudian melarikan
dari istana di mana ia dijadikan pelayan istana. Kini seperti terbuka matanya. Pemuda inilah yang disebut Sie
Han, pemuda aneh yang pernah menggegerkan istana! Akan tetapi menurut pendengarannya, pemuda ini
tidaklah buntung kakinya. Dalam keheranan dan kebingungannya, Ma Su Nio menjawab gagap.
“Aku... aku tidak... tidak tahu...!”
Han Han menghela napas, mengeraskan hati dan menyentuh kulit dada wanita itu dengan ujung tongkat. Pada
saat itu empat orang brewok sudah datang menyerang dengan golok mereka dari belakang. Han Han masih
menodong Ma Su Nio dan tanpa menoleh ia menggerakkan tangan kirinya ke belakang.
Terdengar suara hiruk-pikuk, empat buah golok terlepas dari tangan mereka dan tubuh empat orang itu
terjengkang roboh. Kiranya tangan kiri yang lihai dari Han Han telah menyambut terjangan mereka dengan
totokan-totokan pada pergelangan tangan mereka dan sekaligus mendorong mereka dengan hawa sinkang
yang amat dahsyat!
“Lekas katakan!” Han Han mengancam lagi.
Ma Su Nio tak dapat mempercayai matanya sendiri. Dalam segebrakan saja pemuda buntung ini sudah
merobohkannya dan membuatnya tidak berdaya, bahkan tanpa menoleh, entah dengan ilmu apa, telah
merobohkan empat orang pembantunya yang tak dapat digolongkan orang lemah! Ia bergidik dan tengkuknya
terasa dingin saking ngeri dan takutnya. Baru pertama kali ini selama hidupnya Ma Su Nio merasa ngeri dan
takut. Pemuda buntung yang menodongnya ini bukan manusia, melainkan iblis sendiri!
“Dia... dia menjadi pelayan istana...”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tongkat itu ditarik kembali dan Han Han tertawa. Kembali Ma Su Nio bergidik. Pemuda itu tertawa terbahak
seperti orang yang merasa lucu. Dan memang Han Han merasa amat geli hatinya. Tadi ia merasa yakin bahwa
sebagai murid Gak Liat, tentu wanita ini tahu apa yang terjadi dengan Lulu. Keyakinannya terbukti dengan
pengakuan wanita itu, akan tetapi mendengar betapa Lulu, adiknya itu menjadi pelayan istana, ia dapat
membayangkan betapa akan lucunya, betapa akan gegernya istana kalau mempunyai seorang pelayan seperti
adiknya. Tentu kaisar sendiri akan menjadi pening kepalanya! Maka ia tertawa saking geli hatinya, kemudian
membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ.
“Tangkap dia! Bunuh...!”
Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio sudah mendapatkan kembali keberaniannya. Terdorong oleh rasa malu,
penasaran dan marah ia lalu memerintahkan pasukan terdiri dari dua puluh empat orang itu, dibantu oleh
empat orang brewok yang sudah bangun kembali, untuk mengejar dan menyerang Han Han. Akan tetapi, tibatiba
Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio yang mengejar paling depan karena gerakannya jauh lebih cepat dari pada
para pembantunya terbelalak, mukanya pucat lalu seperti orang bingung memandang ke kanan kiri, mencaricari.
Dia tadi melihat tubuh pemuda buntung itu mencelat tinggi ke atas puncak pohon, lalu kelihatan bayangan
putih itu mencelat-celat ke sana-sini dan lenyap!
“Ke mana dia, Sian-li? Di mana...?” Empat orang brewok itu telah datang dan mencari-cari.
Dengan hati sebal Ma Su Nio mengibaskan tangannya dan menghela napas. “Sudahlah, mari kita kembali!”
Pasukan Mancu saling berbisik dan mereka ini setibanya di markas lalu menceritakan pertemuan mereka
dengan Pendekar Buntung Super Sakti! Makin terkenallah sebutan Pendekar Super Sakti yang juga disebut
Pendekar Siluman sebab mereka menganggap pemuda buntung itu seperti siluman.
Sementara itu, Han Han yang sudah berhasil melarikan diri dari pasukan itu karena ia pun hanya menghendaki
keterangan tentang Lulu, melanjutkan perjalanannya, seperti biasa, menyusuri Sungai Fen-ho menuju ke utara.
Ketika ia tiba di luar kota Tai-goan, tiba-tiba ia mendengar suara orang.
“Taihiap, harap suka menunggu...!”
Han Han mengerutkan alisnya dan menengok. Ketika melihat dua orang berlari-lari cepat, ia membalikkan
tubuhnya karena ia mengenal dua orang gagah yang ia lihat di restoran tadi. Mereka itu agaknya berlari cepat
dan napas mereka agak terengah-engah namun wajah mereka berseri gembira.
“Untung kami dapat menyusul taihiap...,” kata yang tua dan mereka berdua serta-merta menjatuhkan diri
berlutut di depan Han Han.
Pemuda buntung ini mengerutkan alisnya makin dalam dan berkata, suaranya penuh wibawa. “Tidak baik
begini, harap ji-wi suka bangun!”
Dua orang itu lalu bangkit berdiri dan memandang kepada Han Han penuh kekaguman dan penghormatan.
“Mohon maaf dari taihiap bahwa kami berdua mempunyai mata akan tetapi seperti buta saja tidak melihat
Gunung Thai-san menjulang di depan mata! Semenjak taihiap keluar dari restoran, kami berdua melihat betapa
anjing-anjing penjilat itu memberi tahu kepada pasukan musuh. Kami berusaha memberi tahu taihiap akan
dihadang, akan tetapi... ah, sungguh kami harus merasa malu. Bagaimana kami akan memperingatkan taihiap,
kiranya mereka itu sekawanan tikus menghadapi kucing ketika bertemu taihiap. Hebat sekali...! Padahal iblis
betina itu adalah Hiat-ciang Sian-li yang lihainya luar biasa...!”
“Dalam segebrakan saja roboh...!” Yang muda berseru, memandang Han Han dengan kagum.
Han Han mengerti dua orang ini tadi telah menyaksikan pertemuannya dengan pasukan Mancu, maka ia lalu
berkata, “Hendaknya ji-wi tidak melebih-lebihkan hal itu. Kini ji-wi mengejar saya ada keperluan apakah?”
“Taihiap, saya bernama Ciang Boan dan dia ini adalah So Pek Kun. Kami adalah dua orang utusan dari Buongya
untuk menyelidiki daerah ini. Melihat kesaktian taihiap, kami segera melakukan pengejaran. Kini kami
mohon sudilah kiranya taihiap membantu perjuangan Bu-ongya melawan penjajah...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemmm, ji-wi Enghiong. Terima kasih atas kepercayaan ji-wi, namun sesungguhnya saya tidak mau terlibat
dalam perang yang tiada habisnya itu. Saya mempunyai banyak sekali urusan pribadi yang harus saya
selesaikan.”
“Taihiap, urusan apakah yang taihiap hadapi? Kami mempunyai banyak sekali sahabat kaum pejuang di
semua daerah, dan kalau kami dapat membantu...”
“Apakah ji-wi pernah mendengar akan seorang wanita bernama Lulu? Dia adalah Adikku dan saya ingin
mencarinya. Dia dulu diculik oleh Ouwyang Seng dan kabarnya Adikku itu berada di istana...”
“Ouwyang Seng putera Pangeran Ouwyang Cin Kok? Wah, ini hebat! Akan tetapi, sungguh pun kami tidak
pernah mendengar tentang Adik taihiap, yang bergerak di daerah kota raja adalah sahabat-sahabat yang
dipimpin oleh Lauw-pangcu. Kalau taihiap bertanya kepadanya tentu akan ada yang tahu. Taihiap, saat ini
seluruh orang gagah telah berkumpul di Se-cuan dan kami siap untuk sewaktu-waktu menghadapi
penyerangan orang Mancu. Kami harap sudilah taihiap ikut mencurahkan tenaga taihiap yang amat lihai untuk
membela nusa bangsa, dan kami percaya bahwa taihiap memiliki jiwa patriot.”
Han Han tidak mau berbantah lebih banyak lagi tentang hal itu, maka ia menghela napas dan berkata, “Saya
tidak berani berjanji terlalu banyak, ji-wi Enghiong. Saya hendak mencari Adikku, kalau sudah bertemu barulah
saya akan memikirkan tawaran ji-wi. Kalau memang kelak aku setuju, agaknya tidak akan sukar untuk pergi ke
Se-cuan. Nah, selamat tinggal!” Han Han tidak menanti bantahan mereka. Tubuhnya mencelat ke belakang,
kemudian dua orang gagah itu melihat bayangan putih berkali-kali mencelat makin jauh dan lenyap dari
pandangan mata mereka.
Kedua orang itu menjadi pucat wajahnya, saling pandang kemudian menarik napas panjang. “Manusiakah dia?”
Yang muda menggumam.
“Entahlah, akan tetapi sungguh sukar dipercaya seorang buntung bisa bergerak seperti itu!”
Keduanya pergi dan makin banyaklah orang yang bercerita tentang kehebatan sepak terjang Pendekar Super
Sakti!
Han Han tidak singgah di kota Tai-goan, melainkan terus keluar dari kota itu melalui pintu kota sebelah timur
untuk melanjutkan perjalanannya ke kota raja melalui Pegunungan Tai-hang-san. Ketika beberapa hari
kemudian ia tiba di lereng Pegunungan Tai-hang-san, ia merasa kagum akan keindahan pemandangan alam di
pegunungan ini, akan penghidupan para petani pegunungan yang aman, damai dan tenteram.
Han Han ikut menjadi gembira melihat para petani yang biar pun pakaiannya sederhana, robek-robek dan
kotor terkena lumpur, bekerja di sawah sambil menyanyi-nyanyi, wajah mereka berseri gembira, tubuh mereka
sehat kuat. Ia kagum sekali dan terkenanglah ia akan filsafat yang pernah dibacanya bahwa ‘kemajuan duniawi’
bahkan menjauhkan manusia dari pada kebahagiaan hidup.
Lihat saja di kota-kota besar. Di kota manusia mengadakan pelbagai kesenangan, makanan enak, pakaian
indah, perhiasan, tontonan dan sebagainya yang dianggap sebagai kemajuan yang akan menyenangkan hidup
manusia. Akan tetapi makin banyak diciptakan hiburan-hiburan dan kemewahan, bukan kebahagiaan yang
didapat, bahkan sebaliknya.
Manusia yang bisa mendapatkan segala kemewahan itu hanya akan menikmatinya sebentar saja lalu menjadi
bosan, sebaliknya betapa banyaknya yang karena tidak bisa mendapatkannya, merasa berduka dan
menganggap hidupnya sengsara. Yang tidak bisa membeli pakaian indah dan perhiasan mewah, melihat
mereka yang memakai segala kemewahan itu menjadi iri hati dan kepingin sekali, maka timbullah perbuatanperbuatan
maksiat, didorong oleh keinginan hendak memiliki benda-benda yang diinginkan.
Akan tetapi, di dusun yang sunyi ini, tidak nampak kemajuan duniawi, tidak nampak kesenangan-kesenangan
yang aneh-aneh dan karenanya, tidak ada seorang pun yang kepingin dan tidak ada seorang pun yang merasa
sengsara. Mereka tidak mabuk pengejaran kesenangan dan kemewahan, mereka tidak butuh akan itu, dan
karenanya mereka pun tidak kekurangan sesuatu!
dunia-kangouw.blogspot.com
Boleh jadi para petani pegunungan ini miskin akan harta benda dan kesenangan duniawi yang sekelumit itu,
namun tanpa disadari telah menemukan kebahagiaan sejati yang memang akan menonjol apa bila manusia
menipis keinginannya untuk mengejar kesenangan.
Kesenangan adalah bayangan yang menyesatkan, makin dikejar makin membuat pengejarnya tersesat jauh
sehingga tidak dapat menemukan kebahagiaan yang sudah ada pada dirinya sendiri. Lupa bahwa kesenangan
itu bergandengan tangan dengan kesusahan. Bahkan merupakan satu badan dengan dua muka, yaitu yang
sebelah kesenangan yang sebelah lagi kesusahan. Maka sudah menjadi kepastian bahwa siapa mencari
kesenangan, dia berarti mencari pula kesusahan, karena yang merangkul kesenangan berarti menggandeng
kesusahan pula.
Karena tertarik dan kagum, Han Han beristirahat di bawah pohon dekat sawah, melihat seorang petani tua
yang sedang mencangkul sawahnya. Petani tua itu memandang ke arah Han Han, menggeleng-geleng kepala
penuh kasihan melihat pemuda yang berkaki buntung itu, lalu melanjutkan pekerjaannya.
“Lopek, maaf kalau aku mengganggu pekerjaanmu. Penduduk di sini kelihatan sehat dan gembira sekali,
alangkah jauh bedanya dengan penduduk kota Tai-goan yang saya lalui beberapa hari yang lalu.”
Kakek itu menunda cangkulnya, menoleh dan tersenyum. “Habis, kalau tidak gembira, apa yang disusahkan?
Bekerja setiap hari mendatangkan kesehatan. Dan berkat kesucian para nikouw yang bersembahyang untuk
kami di Kwan-im-bio di dusun kami, Kwan Im Pouwsat memberi berkah sehingga hasil sawah kami selalu baik.
Memang benar, semenjak Thian Sim Nikouw dan para muridnya membangun kuil Kwan-im-bio di dusun kami,
penghidupan kami lebih tenteram. Sawah ladang subur, kalau ada yang sakit para nikouw cepat turun tangan
mengobati, dan petuah-petuah yang berharga dari para nikouw mengusir semua kemaksiatan di dusun-dusun.”
Han Han tertarik dan makin kagum. Di mana ada penghidupan yang demikian tenang dan damai?
“Selain itu, juga tidak ada orang jahat berani mengganggu pedusunan di sekitar Tai-hang-san, berkat
perlindungan para nikouw Kwan-im-bio yang sakti!”
Han Han makin kagum. Dia menoleh ke arah sebuah dusun yang ditunjuk oleh kakek itu, dan karena hari
sudah menjelang senja, ia mengambil keputusan untuk singgah dan melewatkan malam di dusun itu. Ia lalu
berpamit dan melanjutkan perjalanannya menuju ke dusun yang berada di sebuah lereng di kaki Pegunungan
Tai-hang-san.
Ketika tiba di luar dusun, ia mendengar derap kaki kuda dan seekor kuda yang ditunggangi seorang laki-laki
bertubuh tinggi besar, dengan sebatang golok tergantung di punggung, melewatinya dan meninggalkan debu
yang mengotori pakaian Han Han. Pemuda ini mengebut-ngebutkan pakaiannya dan mengerutkan alisnya.
Jelas bahwa orang tadi yang kini bersama kudanya memasuki dusun di depan bukanlah petani dusun, dan
melihat sinar kejam membayang di wajah itu, diam-diam Han Han merasa khawatir.
Akan tetapi dengan tenang ia melanjutkan perjalanannya, melangkah dengan satu kaki dengan ringan dan
mudah, akan tetapi apa bila bertemu orang ia lalu menggunakan tongkatnya membantu sehingga tidak
menimbulkan curiga dan keheranan. Kalau ia menggunakan ilmunya, bergerak dengan langkah satu kaki
seperti yang ia latih di bawah pimpinan gurunya, tentu ia akan mendatangkan keheranan kepada mereka yang
melihatnya.
Di pinggir dusun itu tampak sebuah bangunan tembok yang dari jauh pun dapat diduga tentu sebuah kuil.
Temboknya setinggi dua meter dan tebal, dan di pintu depan tampak tulisan tangan di atas papan, tulisan yang
bergaya indah: KWAN IM BIO. Tentu saja Han Han tidak berani melihat-lihat karena maklum bahwa kuil itu
adalah kuil yang dihuni para nikouw (pendeta wanita). Akan tetapi ia melihat kuda ditambatkan di pohon tak
jauh dari kuil itu dan penunggangnya tidak kelihatan batang hidungnya. Han Han menjadi curiga dan ia
menyelinap di belakang pohon mengintai.
Tiba-tiba tampak berkelebat bayangan orang yang gerakannya cukup gesit dan tampaklah si penunggang
kuda tadi, agaknya baru turun dari pagar tembok dan wajah yang kasar dan kejam itu menyeringai, matanya
bersinar-sinar. Orang itu berlari menghampiri kudanya, melepaskan tambatan kuda, meloncat dengan sigap
dunia-kangouw.blogspot.com
dan melarikan kudanya memasuki dusun yang kelihatannya cukup besar dengan rumah-rumah yang cukup
baik keadaannya.
Sikap dan gerak-gerik penunggang kuda itu menjadi alasan yang cukup kuat bagi Han Han untuk
memperhatikan keadaan kuil. Timbul kecurigaannya dan keinginannya untuk menyelidiki, maka setelah melihat
bahwa di luar tidak ada orang, tubuhnya sudah mencelat naik dan di lain saat ia telah berada di sebelah dalam
pagar tembok, menyelinap dan bersembunyi di balik semak-semak pohon kembang yang tumbuh di sudut
kebun. Kebun itu luas dan ternyata bahwa kuil itu sendiri tidaklah begitu besar. Agaknya para nikouw
mengerjakan kebun itu, ditanami pohon-pohon buah dan bahan makanan lain.
Selagi Han Han hendak keluar dari tempat persembunyiannya dan mengintai ke dalam kuil melalui pintu atau
jendela belakang karena kebun itu sunyi saja, tiba-tiba ia mendengar suara dan melihat empat orang nikouw
keluar dari pintu belakang. Ia cepat menyelinap lagi, bersembunyi.
Di dalam cuaca yang mulai suram karena matahari sudah tenggelam di barat, Han Han melihat seorang
nikouw tua yang berwajah alim memegang sebatang tongkat bersama tiga orang nikouw yang bersikap halus.
Seorang di antara tiga nikouw ini sudah setengah tua, yang seorang lagi paling banyak berusia tiga puluh
tahun, berwajah cantik dan berkulit putih. Akan tetapi ketika Han Han melihat nikouw ke tiga, jantungnya
berdebar. Nikouw ini masih amat muda dan wajahnya cantik jelita. Kepalanya yang gundul itu berkulit putih dan
licin seolah-olah memang tidak pernah berambut, bibirnya segar merah seperti dicat di tengah kulit muka yang
putih halus.
“Ah, agaknya engkau hanya melihat bayangan burung terbang,” kata nikouw tua dengan lemah lembut.
“Tidak, subo. Teecu yakin ada orang berkelebat meninggalkan kebun ini tadi. Biar teecu periksa sebentar!”
Suara itu! Wajah dan terutama mata dan bibir itu! Dan kini gerakan tubuh nikouw muda yang gesit dan ringan
sekali, berloncatan ke sana ke mari dengan sinar mata tajam mencari-cari. Tidak salah lagi! Ia mengenal
nikouw ini, nikouw yang ia duga sedang mencari bayangan si penunggang kuda yang agaknya mengintai ke
kuil dari kebun ini!
“Kim Cu...!”
Han Han tak dapat menahan lagi hatinya. Sambil melompat keluar dari balik semak-semak ia menghampiri
Kim Cu yang berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat memandang kepadanya, seolah-olah nikouw
muda ini melihat munculnya setan!
“Omitohud...!” Nikouw tua berseru perlahan, juga dua orang nikouw lain mengeluarkan seruan kaget melihat
munculnya seorang pemuda berkaki buntung yang berwajah tampan dan berambut riap-riapan.
“Kim Cu...!” Kembali Han Han berseru dengan suara menggetar. “Ini aku... Han Han...!”
Nikouw muda ini mukanya menjadi seperti muka mayat, mulutnya yang tadinya merah itu menjadi pucat pula,
terbuka sedikit dan matanya terbelalak memandang wajah Han Han, hidungnya kembang-kempis, dadanya
turun naik.
“Kim Cu, lupakah engkau kepadaku...?” Han Han melangkah mendekat dan memegang pundak nikouw itu,
suaranya makin menggetar dan wajahnya juga agak pucat, matanya bersinar tajam penuh selidik.
“Tidak...!” Tiba-tiba bibir itu mengeluarkan suara yang menggetar bunyinya, dengan bibir menggigil. “Tidak...
jangan sentuh aku... ahhh, aku... bukan... bukan dia... aku... seorang nikouw...!”
Nikouw muda itu membuang muka yang ditundukkan, tangannya dengan halus merenggut tangan Han Han
dari pundaknya, tangan yang dingin menggigil seperti seekor burung ketakutan.
“Kim Cu...,” Han Han menahan suaranya yang terisak ketika ia melihat wajah nikouw yang ditundukkan itu
menitikkan dua butir air mata dari mata yang kini dipejamkan dan mulut yang kini berbisik-bisik membaca liamkeng!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Orang muda, perbuatanmu ini tidak patut! Engkau hendak menodai kesucian seorang nikouw dan
mengotorkan Kwan-im-bio?” Suara itu halus, akan tetapi penuh teguran.
Han Han sadar dan cepat memandang nikouw tua itu. Nikouw itu berdiri tegak, kening berkerut dan sepasang
mata yang halus amat berwibawa. Dua orang nikouw lain berdiri menunduk, merangkap kedua tangan di dada
dan mulutnya berkemak-kemik, seperti mulut nikouw muda itu, membaca doa!
“Maaf..., maaf...” Han Han merasa seperti terpukul, meloncat ke belakang dan tubuhnya mencelat ke atas
pagar tembok. Dari atas pagar itu menoleh lagi kepada nikouw muda yang masih menunduk dan meruntuhkan
air mata sambil berkemak-kemik berdoa mohon kekuatan batin kepada Kwan Im Pouwsat.
“Ohhh... Kim Cu...!” Suara Han Han mengandung isak dan tubuhnya berkelebat lenyap dari atas tembok.
Tubuh nikouw muda itu terhuyung kemudian terguling roboh! Pingsan! Sibuklah dua orang nikouw yang lain
mengangkatnya dan nikouw tua berulang kali menghela napas dan menyuruh bawa tubuh nikouw muda yang
pingsan itu ke dalam kamarnya, kemudian menyuruh dua orang muridnya itu keluar dari kamar.
Nikouw muda itu memang Kim Cu. Telah diketahui bahwa setelah kuil di mana nikouw tua itu tinggal
kebanjiran, Thian Sim Nikouw mengajak murid-muridnya yang pada waktu itu telah menjadi sepuluh orang
untuk mengungsi dan akhirnya menetap di lereng Pegunungan Tai-hang-san mendirikan sebuah kuil
sederhana. Selama itu, Kim Cu yang telah memakai nama Kim Sim Nikouw, hidup tenteram dan damai,
bahkan kalau tidak ada gangguan bayangan Han Han tentu dia telah mencapai kebahagiaan seperti yang telah
dicapai Thian Sim Nikouw dan murid-muridnya.
Pertemuan tiba-tiba dengan Han Han yang dianggapnya sudah mati itu menimbulkan gelombang dahsyat
dalam hati Kim Sim Nikouw, merupakan pukulan batin yang amat hebat sehingga ia roboh pingsan. Luka di
hatinya yang tadinya sudah mulai sembuh dan mengering, kini seperti dirobek-robek dan mengucurkan darah.
“Han Han...” Bisikan ini keluar dari bibir Kim Sim Nikouw yang bergerak perlahan, lalu bangkit duduk, pandang
matanya kosong sehingga ia tidak melihat bahwa gurunya duduk di situ. Ia menoleh ke kanan kiri, kembali
memanggil lirih, “Han Han...”
“Omitohud, sadarlah dan kuatkan hatimu, Kim Sim...”
“Han Han...!” Kini panggilan itu merupakan jerit yang langsung keluar dari hatinya.
“Muridku, sadarlah!” Kembali nikouw tua itu berkata halus.
Kim Sim Nikouw menoleh dan... sambil menjerit ia menubruk gurunya, lalu berlutut dan menangis tersedu-sedu
di pangkuan gurunya. “Subo... ampunkan teecu... ahhh, teecu yang lemah berdosa besar...!”
“Menangislah, muridku, menangislah. Pouwsat selalu menaruh kasihan dan memaafkan orang lemah yang
sadar akan kelemahannya....” Nikouw itu memeluk muridnya dan membiarkan nikouw muda itu menangis di
dadanya.
Dia sendiri tergetar hatinya dan tersentuh perasaan harunya, namun bagaikan air telaga yang sudah tenang,
keriput air yang sedikit itu sebentar saja lenyap. Dia sengaja membiarkan muridnya menangis, oleh karena ia
tahu bahwa tekanan batin yang hebat itu akan amat berbahaya bagi kesehatannya kalau tidak diberi saluran
keluar. Dan saluran terbaik pada saat itu hanyalah membiarkannya menangis sepuasnya.
Kim Cu menangis sesenggukan sampai tubuhnya berguncang-guncang, air matanya membanjir bagaikan air
bah menjebol bendungannya, hatinya menjerit-jerit keluar dari tenggorokannya sebagai keluh dan rintih
melengking. Setelah dadanya tidak terlalu terhimpit lagi ia berkata, suaranya serak dan terputus.
“Aduh, Subo.... Apakah yang harus teecu lakukan...? Bagaimana teecu... ini..., Subo... tunjukkanlah jalan...
bagi teecu....”
dunia-kangouw.blogspot.com
Thian Sim Nikouw tersenyum. “Omitohud... puji syukur kepada Kwan Im Pouwsat yang penuh welas asih...!
Tanyalah kepada hati sanubarimu sendiri, anakku. Pinni tidak akan memaksamu, tidak akan menghalangimu.
Engkau ambillah keputusan sendiri, Kim Sim Nikouw!”
“Subo... tolonglah teecu... teecu bimbang... teecu bingung. Kemunculan Han Han bagaikan sambaran petir
mengenai kepala teecu, gelap semua... tolonglah Subo memberi jalan, memberi petunjuk kepada teecu.”
“Baikiah, tenangkan dan sabarlah hatimu. Mari kita bersemedhi sebentar... pinni akan membantumu
memperoleh ketenangan dan kesabaran. Karena hanya hati yang tenang penuh kesabaran sajalah yang akan
mampu menggunakan pikiran dan pertimbangan bersih dan tepat.”
Kim Sim Nikouw melepaskan pelukannya lalu duduk bersila di atas tanah. Sebagai seorang ahli silat tinggi,
bekas murid orang-orang sakti seperti Ma-bin Lo-mo dan Toat-beng Cui-sian-li, tentu saja semedhi merupakan
hal yang sudah biasa ia lakukan. Akan tetapi dalam keadaan batin tertekan seperti itu, kalau tidak dibantu
Thian Sim Nikouw, tak mungkin dia dapat mengheningkan ciptanya.
Tak lama kemudian terasalah olehnya getaran yang halus memasuki dirinya dan ia tahu bahwa gurunya yang
biar pun tidak pandai ilmu silat akan tetapi dalam soal kebatinan jauh lebih tinggi tingkatnya dari pada Toatbeng
Ciu-sian-li, telah membantunya. Sebentar saja Kim Sim Nikouw dapat mengheningkan cipta dan setelah
mereka menghentikan semedhi, Kim Sim Nikouw sudah dapat tenang, sungguh pun pikirannya masih tertekan
dan bayangan Han Han masih belum mau lenyap dari depan matanya.
“Muridku, pinni akan berusaha membantumu memberi petunjuk. Akan tetapi, pinni tidak sekali-kali hendak
mempengaruhimu, karena hal ini menyangkut jalan hidupmu sendiri. Kalau pinni memaksanya, yaitu
memaksakan kehendak hati pinni, hal itu berarti pinni menyalahi hukum yang sudah ditentukan dalam hidup
manusia. Nah, pinni mulai dengan pertanyaan yang hendaknya kau jawab sejujur-jujurnya.”
“Baiklah, Subo.”
“Apakah engkau mencinta Han Han?”
“Teecu mencintanya, Subo. Dahulu, Han Han adalah satu-satunya orang yang teecu cinta. Dan sekarang pun,
hati teecu masih rindu kepadanya, rindu akan cintanya, sungguh pun perasaan itu hanya merupakan lamunan
belaka karena sesungguhnya, setelah mempelajari dan melatih pelajaran dari Subo untuk mengubah cinta
kasih perorangan menjadi cinta kasih alam semesta, mencinta setiap manusia, bahkan setiap makhluk, dunia
dan isinya, teecu menjadi ragu-ragu apakah cinta kasih teecu masih sekuat dulu terhadap Han Han.”
Nikouw tua itu mengangguk-angguk, kelihatannya lega mendengar ini. Akan tetapi ia masih belum yakin benar,
maka tanyanya kembali, “Apakah engkau masih mempunyai keinginan untuk menyerahkan tubuhmu
kepadanya, ingin melakukan hubungan badani dengan dia? Apakah engkau masih ingin untuk menjadi
isterinya dan kemudian melahirkan anak-anak keturunannya?”
Kim Sim Nikouw menundukkan mukanya yang menjadi merah, berpikir sampai lama menjenguk hati dan
pikiran sendiri agar dapat memberi jawaban sejujurnya karena dia maklum bahwa gurunya berusaha keras
untuk menolongnya dan hanya gurunya inilah yang akan dapat menunjukkan jalan yang tepat baginya.
Kemudian ia mengangkat muka, memandang gurunya dengan sinar mata tulus dan berkata.
“Subo tentu maksudkan apakah teecu masih mengandung nafsu birahi terhadap dia? Kalau benar demikian
pertanyaan Subo, maka jawaban teecu adalah tidak! Berkat bimbingan Subo, teecu telah dapat menguasai
dan mengendalikan nafsu birahi. Tidak, Subo, cinta teccu terhadap Han Han bukanlah cinta agar menjadi
isterinya dan agar teecu menjadi ibu anak-anaknya.”
“Omitohud... syukurlah, engkau telah dapat membebaskan diri dari ikatan yang amat kuat. Dan kalau begitu,
maka sebaiknya, bagimu sendiri dan bagi dia pula, engkau harus memutuskan hubunganmu dengan dia. Akan
tetapi, harus engkau sendiri yang mengatakan kepadanya, karena kalau demikian barulah ia akan yakin, dan
hal ini pun merupakan ujian terakhir bagimu. Yang kau nyatakan tadi hanyalah ucapan yang dapat dipengaruhi
oleh pertimbangan, akan tetapi kalau engkau berhadapan sendiri dengan dia dan perasaanmu pun
menguasaimu, nah, dalam keadaan seperti itulah maka pernyataanmu akan merupakan keputusan.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Maaf, Subo. Betapa beratnya kalau harus teecu sendiri yang mengatakannya. Tadinya pun teecu sudah
menganggap dia mati. Begitu dia muncul dengan tiba-tiba, melihat raut wajahnya yang penuh bayangan duka,
melihat kakinya yang buntung... ah, rela rasanya teecu mengorbankan apa pun juga demi untuk
membahagiakan dia!”
“Kemukakanlah kesemuanya ini kepadanya, muridku. Dan jika engkau berhadapan dengan dia, sebutlah nama
Kwan Im Pouwsat di hatimu, mohon kekuatan. Pinni hanya dapat mengatakan bahwa kalau engkau berhasil
memutuskan hubungan dengan dia, maka engkau akan dapat berbuat lebih banyak dari pada kalau engkau
melanjutkan ikatan itu. Engkau akan menderita karena setelah menjadi isterinya, engkau akan selalu teringat
akan keadaanmu yang murni di sini, engkau akan disiksa oleh perasaan berdosa dan dengan demikian engkau
akan menyeret pula dia ke dalam kesengsaraan. Pinni yakin akan hal ini karena engkau telah mencapai tingkat
setinggi itu di mana kasih sayang alam semesta telah menyerap dan berakar di hati sanubarimu. Demikianlah,
muridku. Kini beristirahatlah dan besok engkau boleh menjumpainya.” Setelah berkata demikian, nikouw tua itu
meninggalkan Kim Sim Nikouw dan memasuki kamarnya sendiri.
Kim Sim Nikouw naik ke pembaringannya, berbaring dan berusaha untuk tidur. Akan tetapi ia gelisah, miring ke
kanan, kembali ke kiri, terlentang, tertelungkup dan akhirnya ia bangun duduk bersila dan bersemedhi lagi!
Setelah bersemedhi, barulah ia dapat tenang dan dalam keadaan hening ini ia dapat menenteramkan hati dan
pikirannya, lalu ia terus melatih diri mengumpulkan hawa murni di tubuhnya.
Menjelang tengah malam, tiba-tiba dia terkejut. Ia mendengar suara kaki di genteng. Tentu Han Han, pikirnya
dengan jantung berdebar. Biarlah ia bersemedhi terus, karena menghadapi Han Han, dalam keadaan seperti
ini ia akan merasa lebih kuat batinnya. Ia harus memutuskan hubungan mereka, harus mematahkan ikatan di
antara mereka. Ia harus menolaknya, betapa pun hal ini menyakitkan!
Akan tetapi sampai lama, ia tidak mendengar gerakan lagi. Tiba-tiba ia mendengar suara rintihan perlahan di
kamar seperti rintihan orang tercekik atau terbungkam mulutnya, kemudian diam! Hatinya menjadi curiga dan
kembalilah wataknya sebagai Kim Cu murid In-kok-san!
Sekali mencelat, tubuhnya sudah melayang ke luar dari jendela dan menerobos memasuki jendela Pui Sim
Nikouw, yaitu suci-nya yang berusia tiga puluh tahun, yang cantik dan berkulit putih. Dan apa yang dilihatnya
dalam kamar yang hanya diterangi sebatang lilin itu membuat ia hampir mengeluarkan makian saking
marahnya! Ia melihat tubuh suci-nya itu telanjang bulat, pakaian nikouw telah robek-robek semua di kanan kiri
tubuhnya yang putih mulus. Suci-nya dalam keadaan tertotok, air matanya bercucuran dan seorang laki-laki
tinggi besar sambil menyeringai meraba-raba dada suci-nya dan menciumi bibirnya.
“Manusia jahat!” Kim Sim Nikouw masih dapat menahan makian yang lebih kotor, dan ia meloncat ke dekat
pembaringan.
Laki-laki itu meloncat turun dan menyeringai lebar. “Ha-ha-ha, engkaulah yang kucari sebetulnya. Engkau
paling muda dan paling cantik! Dan engkau... heh-heh, engkau masih perawan. Siang tadi kulihat engkau,
akan tetapi aku salah masuk. Betapa pun juga, dia ini boleh juga!”
“Pergilah!” Kim Sim Nikouw mengayun kakinya dan tubuh laki-laki itu terlempar ke belakang menabrak dinding.
Ia kaget sekali dan cepat merangkak bangun sambil menyambar golok yang tadi ia letakkan di atas meja.
“Ehhh, kiranya engkau pandai silat? Bagus, engkau menyerah atau kupenggal lehermu, kubawa kepalamu
yang gundul dan cantik itu untuk hiasan kamarku, ha-ha!”
Golok lelaki itu menyambar, namun sekali Kim Sim Nikouw menggerakkan tangan, laki-laki itu berteriak.
Goloknya terlepas, tangannya lumpuh karena pergelangan tangannya patah tercium jari tangan Kim Sim
Nikouw yang amat kuat. Kim Sim Nikouw yang sudah marah sekali lalu menubruk maju, kedua tangannya
dengan jari terbuka menghantam ke arah dada laki-laki itu.
Pukulan ini sepenuhnya mengandung pukulan Toat-beng-ciang dan sudah dapat dipastikan bahwa laki-laki itu
tentu mati. Untung sekali baginya, pada detik terakhir, melihat wajah laki-laki yang ketakutan itu, Kim Sim
Nikouw teringat akan sifat welas asih, dan ia menaikkan sasarannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kekkk-krekkkkk!” Bukan dada lelaki itu yang pecah, melainkan kedua tulang pundaknya yang hancur.
“Aduh tobaaat... aduhhh... aduhhh... ampunkah saya, Siankouw...!” lelaki itu mengaduh-aduh sambil
berkelojotan di atas lantai.
“Hemmm!” Kim Sim Nikouw mendengus, lalu cepat menubruk suci-nya, membebaskan totokannya dan
menyelimuti tubuhnya yang telanjang bulat.
Nikouw itu menangis, namun dihibur oleh Kim Sim Nikouw, “Syukur kepada Pouwsat bahwa kedatanganku
belum terlambat, Suci.” Nikouw itu memeluk Kim Sim Nikouw sambil menangis.
Pintu kamar terbuka dan Thian Sim Nikouw masuk sambil memegang sebatang lilin, diikuti oleh para nikouw
karena mendengar suara gaduh dalam kamar itu.
“Apakah yang terjadi di sini?”
“Subo, manusia sesat ini hendak melakukan perbuatan terkutuk,” kata Kim Sim Nikouw.
Nikouw tua itu mengeriing ke arah Pui Sim Nikouw yang berkerudung selimut dan memandang laki-laki yang
patah pergelangan lengan kanan dan remuk kedua tulang pundaknya itu.
“Hemmm, ambilkan tempat obat penyambung tulang,” perintahnya kepada seorang murid yang segera
memenuhi perintah gurunya.
Setelah keranjang obat itu datang, Thian Sim Nikouw lalu mengobati kedua pundak dan pergelangan tangan
laki-laki itu yang terus merintih-rintih dan minta-minta ampun. Setelah selesai membalut, Thian Sim Nikouw lalu
berkata, “Kalau mau minta ampun, mintalah ampun kepada Thian dan jadikanlah pengalaman pahit ini sebagai
obat untuk menyembuhkan penyakit yang menyerang jiwamu. Nah, pergilah!”
Laki-laki itu menjatuhkan diri berlutut di depan Thian Sim Nikouw, kemudian ia diperbolehkan keluar melalui
pintu samping yang dibuka oleh seorang nikouw. Kemudian para nikouw itu kembali memasuki kamar masingmasing.
Akan tetapi Kim Sim Nikouw tidak kembali ke kamarnya, melainkan memasuki ruangan liam-keng dan
berlutut di depan sebuah arca Buddha yang besar.
Ia bersila, bersemedhi dan mulutnya berkemak-kemik membaca liam-keng. Hatinya gelisah sekali karena tadi
ia dikuasai kemarahan, bukan karena melihat suci-nya hendak diperkosa orang, melainkan karena tadinya ia
mengira Han Han-lah yang akan berbuat jahat melakukan perkosaan. Ia merasa makin berdosa dan kasihan
kepada Han Han, juga merasa betapa sebetulnya ia masih amat lemah.
Dia tadi telah dibakar api cemburu, dan cemburu ini hanyalah menjadi bukti bahwa nafsu birahinya terhadap
pemuda itu, yang bergulung menjadi satu dengan cinta kasihnya, sebenarnya masih belum lenyap sama sekali
seperti yang ia katakan di depan gurunya. Ternyata Thian Sim Nikouw kembali betul! Dia harus menyatakan
semua di depan Han Han dan ia bermohon kepada Buddha agar dia diberi kekuatar dan agar Han Han diberi
penerangan suci sehingga pemuda itu akan memudahkan keputusan yang diambilnya ini.
“Kim Cu...!”
Nikouw muda itu terkejut, membuka matanya dan menoleh, ternyata Han Han telah berdiri di belakangnya.
Sama sekali ia tidak mendengar gerakan pemuda buntung itu, dan diam-diam Kim Sim Nikouw kagum bukan
main. Dahulu, sebelum buntung sekali pun, ia tentu akan dapat mendengar gerakannya. Akan tetapi sekarang,
ia sama sekali tidak mendengar apa-apa dan tahu-tahu pemuda itu telah berdiri di situ!
“Omitohud... kenapa engkau berani mengotori tempat suci ini, dan mengapa engkau selalu mengejarngejarku?”
Kim Sim Nikouw berkata, suaranya halus penuh wibawa, akan tetapi mukanya menunduk karena ia
tidak berani bertemu pandang dengan Han Han, yang ia tahu mempunyai sinar mata yang luar biasa tajamnya,
dan yang akan mampu menjenguk isi hatinya!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aku akan terus mengejar dan mengikutimu, biar sampai dunia kiamat sekali pun, selama engkau belum mau
berterus terang karena aku merasa yakin bahwa engkau adalah Kim Cu! Apa kau kira aku tidak dapat
mengenal pukulan Toat-beng Sin-ciang yang kau lakukan untuk membikin remuk kedua tulang pundak jai-hwacat
tadi?”
“Ohhh, jadi engkau tadi melihatnya...? Ya Thian Yang Maha Kasih...! Baiklah... baiklah. Han Han... aku
memang Kim Cu... akan tetapi sekarang aku telah menjadi Kim Sim Nikouw... Engkau tidak boleh mendekatiku,
maka pergilah kau, Siangkong. Pergilah kau... Han Han... kasihani aku dan pergilah tinggalkan aku...”
“Hemmm... ke manakah perginya kegagahanmu, Kim Cu? Manusia tidak boleh membohongi dirinya sendiri,
tidak boleh mengingkari perasaan hatinya sendiri. Ceritakan dulu, mengapa engkau menjadi nikouw dan
mengapa engkau mengusirku, baru aku akan mempertimbangkan permintaanmu itu. Setelah semua yang kita
alami bersama....!”
“Ya, setelah apa yang kita alami bersama...!” Kim Sim Nikouw berbisik dan ia membalikkan tubuh
membelakangi Han Han, lalu jatuh berlutut karena kakinya menggigil, suaranya masih berbisik-bisik namun
terdengar jelas oleh Han Han.
“...engkau tidak tahu betapa aku telah menderita hebat... betapa aku sekarang telah menemukan
ketenteraman kembali... Ketika engkau menolongku, agar aku tak terkena senjata rahasia Toat-beng Ciu-sianli,
engkau menolongku tanpa menghiraukan keselamatan sendiri... kita berdua jatuh ke dalam jurang yang tak
berdasar! Ahhh... betapa senang dan bahagianya hatiku ketika melayang jatuh karena aku yakin bahwa kita
akan mati bersama... Mati bersamamu di waktu itu merupakan kebahagiaan yang tak terhingga bagiku...! Akan
tetapi, ohhh... hancurlah hatiku ketika ada nelayan menolongku dan aku masih hidup! Aku hidup dan engkau
mati! Aduhh, Han Han... tidak ada penderitaan yang lebih hebat dari pada itu, hatiku tersayat-sayat... ohhh...”
Nikouw itu menangis terisak-isak.
Han Han tak dapat berkata-kata, hanya memandang gadis itu dengan wajah pucat dan mata basah,
perasaannya diserang keharuan yang membuat ia tak dapat bicara, melainkan membayangkan penderitaan
batin gadis ini yang amat mencintanya. Dengan ujung lengan bajunya yang lebar nikouw muda itu menyusuti
air mata yang mengalir deras di kedua pipinya, kemudian melanjutkan.
“Aku tidak kuat menahan derita batin itu, dan tentu sudah membunuh diri kalau tidak ada Thian Sim Nikouw
ketua Kwan-im-bio yang menolongku, dan menyadarkan aku... merupakan pelita yang menerangi kegelapan
hatiku... Aku diberi wejangan, aku sadar lalu menjadi muridnya... menjadi nikouw setelah bertahun-tahun aku
sembahyang setiap hari untukmu... untuk arwahmu yang kusangka sudah mati... akhirnya hidupku tenang dan
tenteram, sebagai nikouw...”
“Kim Cu...” Suara Han Han menggetar dan berbisik penuh perasaan haru. “Apakah tidak ada jalan lain...?”
“Jalan lain yang mana? Aku... aku murid seorang wanita jahat..., seorang datuk hitam yang penuh dosa....
Dunia akan mengutuk aku... manusia akan memandang rendah kepadaku... Hanya dengan menjadi nikouw
aku dapat menebus dosa... dan... dan dapat melupakan engkau....”
Han Han tak dapat menahan lagi keharuan hatinya. Air matanya jatuh bertitik. Ia tahu betapa besar, betapa
murni perasaan cinta kasih Kim Cu terhadap dirinya. Dan demi cinta kasihnya itu pula gadis ini melakukan
pengorbanan yang paling besar yang dapat dilakukan seorang wanita. Menjadi nikouw! Pengorbanan nyawa
masih kalah besar, karena sekali kehilangan nyawa habislah sudah. Akan tetapi sedemikian muda dan
cantiknya, berkepandaian tinggi, mempunyai harapan besar untuk menikmati hidup, sudah melempar dirinya
menjadi patung hidup, menjadi nikouw! Betapa besar pengorbanan itu. Patutkah seorang gadis seperti Kim Cu
berkorban sedemikian rupa untuknya?
“Kim Cu, tidak boleh! Engkau tidak boleh berkorban untukku seperti ini! Tidak, tidak...! Kalau memang engkau
mencintaku... setelah semua pengorbanan yang kau lakukan untukku... Wahai Kim Cu, budimu kepadaku
bertumpuk-tumpuk, tidak mungkin dapat kubalas selama hidupku... Mengapa setelah itu semua engkau lalu
mengambil jalan terpendek ini? Kim Cu, engkau mungkin akan mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan
hidup dengan menjadi nikouw... akan tetapi aku..., aku yang kau usir... aku yang merasa terhimpit oleh
budimu... betapa aku akan dapat bersenang hati, mengenangkan engkau yang selalu bersemedhi dan
dunia-kangouw.blogspot.com
bersembahyang di dalam kelenteng yang sunyi? Ah, Kim Cu... jelas bahwa engkau masih mencintaku,
mengapa... mengapa engkau merenggutnya putus membiarkan hatimu terkoyak-koyak berdarah...?”
“Han Han...!” Nikouw itu menjerit, mendekap mukanya dan menangis sesunggukan. Sampai lama ia menangis,
berlutut dan air matanya yang bening seperti mutiara menetes-netes keluar melalui celah-celah jari tangannya
yang kecil meruncing. “Kalau begitu, kalau aku merusak hatimu, kalau aku mendatangkan sengsara kepada
engkau orang yang kukasihi dengan seluruh jiwa ragaku dengan kelanjutan hidupku menjadi nikouw... kalau
begitu..., biarlah aku mati saja...!”
Cepat sekali nikouw muda yang sudah menurunkan kedua tangan dari depan mukanya dan memandang ke
depan dengan muka beringas, meloncat ke depan, ke arah arca Sang Buddha yang tersenyum cerah, hendak
membenturkan kepalanya yang gundul licin itu kepada kaki arca yang terbuat dari pada batu hitam.
“Wuuuuuttttt...!”
Tubuh nikouw itu meluncur ke depan karena dalam kenekatannya nikouw ini sudah mengerahkan ginkang
ketika meloncat dan tidak menggunakan tenaga sinkang untuk melindungi kepalanya karena ia ingin agar
sekali bentur, kepalanya akan pecah.
“Plakkk...!”
Kepala nikouw itu bertemu dengan telapak tangan Han Han yang lunak karena Han Han sama sekali tidak
menggunakan tenaga pula ketika ia tadi cepat meloncat ke depan arca dan menaruh tangannya di depan kaki
arca, telapak tangannya menyambut kepala nikouw itu sehingga tangannyalah yang terhimpit dengan keras ke
kaki arca.
Nikouw itu terpental ke belakang, cepat meloncat berdiri dan memandang dengan mata terbelalak kepada Han
Han. Ia melihat tangan kanan pemuda buntung itu bercucuran darah yang keluar dari luka di punggung
tangannya, darah yang membasahi kaki arca sehingga menjadi merah.
“Kim Sim Nikouw, apa yang kau lakukan ini?” Kini suara Han Han terdengar keras dan pandang matanya
penuh daya pengaruh menundukkan.
Nikouw muda itu seperti terpesona, seperti baru bangun dari mimpi dan ia mamandang wajah Han Han yang
pucat, dahi berkerut, mulut yang membayangkan derita, akan tetapi sinar mata yang tajam berwibawa.
“Han Han...!” Kim Sim Nikouw mengeluh.
“Kim Sim Nikouw, sadarlah bahwa tidak ada dosa yang lebih besar, tidak ada sifat pengecut yang paling
rendah dari pada membunuh diri!” Suara Han Han kini tidak menggetar penuh keharuan seperti tadi, bahkan
keras dan tegas. “Akulah yang salah dan engkau benar. Memang sebaiknya begini. Engkau menjadi nikouw
dan menemukan kebahagiaan. Ada pun aku... hemmm... terus terang saja, Kim Sim Nikouw, aku hanya
kasihan dan ingin membalas budi. Dan melihat engkau berbahagia di sini, aku pun akan merasa lega. Biarlah
kita saling mendoakan saja. Selamat tinggal...!” Tubuh Han Han berkelebat dan lenyap dari ruangan itu.
Sejenak nikouw muda itu berdiri termangu, memandang ke arah lenyapnya bayangan Han Han, kemudian ia
menjerit kecil yang merupakan rintihan dan menubruk depan arca Sang Buddha yang masih tersenyum penuh
pengertian, seolah-olah memandang kelakuan dua orang anak manusia itu sebagai kelakuan dua orang anakanak
nakal. Kim Sim Nikouw merintih dan menangis, menciumi ujung kaki arca yang merah oleh darah Han
Han, mulutnya berbisik-bisik menyebut nama Han Han dan air matanya mencuci noda darah di kaki arca itu.
Darah Han Han!
Han Han sejenak memandang penglihatan yang meremas hatinya itu. Melihat betapa Kim Cu menangis dan
menciumi bekas darahnya, ingin Han Han masuk kembali dan mendekapnya, memaksanya meninggalkan kuil
dan memasuki dunia memeluk kebahagiaan bersama dia. Akan tetapi, kesadarannya membisikan bahwa
perbuatannya itu tidaklah benar. Sudah pastikah bahwa kelak Kim Cu akan hidup bahagia di sampingnya?
Apakah dia mencinta Kim Cu?
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang, mengingat akan budi gadis yang cantik jelita dan amat murni cintanya itu, siapakah orangnya tidak
akan menyatakan cinta kepadanya? Betapa pun juga, Han Han ragu-ragu dan merasa yakin bahwa sebaiknya
ia meninggalkan Kim Cu dalam usaha menemukan bahagia. Tadi ia sengaja keras, sengaja menyadarkan Kim
Cu bahwa dia hanya kasihan dan ingin membalas budi, sama sekali bukan mencinta!
Sekali lagi Han Han memandang Kim Cu, seolah-olah hendak mengusir bayangan nikouw muda itu di lubuk
hatinya, kemudian ia menghela napas dan berkelebat pergi menghilang di dalam gelap. Peristiwa
pertemuannya dengan Kim Cu itu tanpa disadarinya sudah menambah sebuah guratan lagi di dahinya.
Penjahat yang tadi memasuki Kuil Kwan-im-bio dengan niat jahat memperkosa nikouw muda dan telah
mendapat hajaran keras dari Kim Sim Nikouw, malam-malam itu juga meninggalkan dusun menunggang
kudanya perlahan-lahan. Tubuhnya masih lemah dan kedua pundaknya terasa nyeri apa bila terguncang
terlalu keras, maka ia tidak berani melarikan kudanya. Ia menyumpahi nasibnya yang amat buruk.
Siapa kira di dalam kuil sunyi seperti itu terdapat seorang nikouw muda yang demikian lihai? Tadinya ia
mendengar berita bahwa Kuil Kwan-im-bio mempunyai nikouw-nikouw muda yang amat cantik, sehingga
tergeraklah hatinya. Dan sore tadi ia telah menyelidiki dan melihat bahwa memang desas-desus yang
didengarnya itu ternyata benar. Ia melihat nikouw muda yang amat cantik jelita.
“Sialan...!” pikirnya.
Sudah banyak wanita yang ia renggut kehormatannya. Memang dia terkenal sebagai jai-hwa-cat di samping
seorang pencuri ulung. Tetapi belum pernah ia memperkosa seorang nikouw. Tentu seorang nikouw sebagai
wanita yang selalu menjaga kesucian tubuh dan hatinya, akan merupakan mangsa yang hebat, maka ia tidak
peduli lagi apakah dia melakukan pelanggaran yang amat besar, dan malam itu hampir saja terlaksana apa
yang ia sering kali mimpikan.
Akan tetapi, agaknya para dewa tidak mengijinkan perbuatannya sehingga ia bertemu dengan nikouw muda itu.
Hemmm, masih untung, pikirnya. Justru nikouw muda itu ia incar. Kalau ia tidak salah masuk ke kamar nikouw
ke dua yang juga memiliki tubuh yang benar-benar tidak disangka-sangka, amat menggairahkan, kalau ia
masuk ke kamar wanita muda yang lihai itu... ihhh, ngeri ia membayangkan. Agaknya ia belum tentu akan
keluar dari kuil itu dalam keadaan bernyawa!
Tiba-tiba ada bayangan berkelebat, kudanya meringkik dan mengangkat kedua kaki depan ke atas seperti
ketakutan. Ketika penjahat itu berhasil menenangkan kudanya dan memandang dengan bantuan sinar bulan,
ia terkejut melihat seorang pemuda buntung telah berdiri di depan kuda, memandangnya dengan sepasang
mata seperti mata harimau. Karena dia sedang murung, penjahat itu yang memandang rendah si pemuda
buntung.
“Heh, bocah buntung! Minggir! Apa kau ingin mampus diinjak-injak kuda?” bentaknya.
Pemuda yang bukan lain adalah Han Han ini, tersenyum dingin. Dia tadi melarikan diri dari kuil dan hatinya
yang sedang dilanda perasaan duka itu membuat ia berloncatan seperti kilat cepatnya, mempergunakan ilmu
kepandaiannya yang istimewa. Sebentar saja ia sudah dapat menyusul penjahat berkuda itu dan begitu
melihat penjahat ini, Han Han timbul kesebalan hatinya dan ia sengaja menghadang.
“Hemmm, jai-hwa-cat, apakah yang kau lakukan di kuil tadi?”
Penjahat itu pucat wajahnya. Ia membesar-besarkan hatinya, akan tetapi karena kedua pundaknya tak dapat
digerakkan sehingga kedua lengannya pun setengah lumpuh, pergelangan tangan kanannya pun tidak boleh
dipakai bergerak, ia maklum akan keadaan dirinya yang sedang terluka dan lemah.
“Aku... aku terluka... dan aku sudah diampuni para nikouw...,” katanya gagap.
Han Han memandang penuh selidik. “Andai kata aku membantumu mendapatkan nikouw muda itu dalam
keadaan tidak berdaya sehingga engkau akan dapat melakukan apa juga atas dirinya tanpa ia mampu
melawan, engkau akan memberi hadiah apa kepadaku?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Wah, jangan main-main, orang muda. Nikouw yang cantik itu memiliki ilmu kepandaian lihai bukan main,
sedangkan kau seorang buntung kakimu...”
“Hemmm, apakah dia selihai ini?” Han Han mengempit tongkatnya, kedua lengannya dikembangkan secara
tiba-tiba ke kanan kiri.
“Kraaakkk... kraaakkkkk... bruukkk...!” Dan batang pohon di kiri kanannya ambruk dan terjebol akarnya.
Penjahat itu terbelalak, dan wajahnya berubah girang setengah ngeri ketika ia berkata, “Hebat sekali! Orang
muda perkasa, kalau engkau mampu menangkap nikouw itu dalam keadaan tak berdaya sehingga aku dapat...
eh, dapat membalas dendam kepadanya, aku... aku akan memberimu kuda ini, dan sekantung uang perak!”
“Kau tentu hendak memperkosanya?”
Penjahat itu menyeringai. “Akan dia rasakan, sepuasku, sampai dia mampus!”
“Keparat!”
Tongkat di tangan Han Han berkelebat, penjahat itu menjerit dan roboh dari atas kudanya dengan tubuh
terlempar, kudanya meringkik dan melarikan diri. Sejenak Han Han berdiri tegak memandang tubuh yang tidak
berkepala lagi itu, karena kepalanya sudah pecah berantakan tak berbentuk lagi, tercecer ke mana-mana. Han
Han yang tadinya tenggelam dalam kedukaan karena Kim Cu, ditelan keharuan, kemudian menjadi marah
mendengar kata-kata jawaban penjahat yang sengaja dipancingnya, tiba-tiba terisak, air matanya mengucur
turun dan bibirnya terdengar mengeluarkan rintihan, lututnya yang tinggal sebuah itu ditekuk, ia berlutut dan
mengeluh.
“Kakekku seorang jai-hwa-sian! Ahhh, Kong-kong, kenapa engkau begitu sesat? Aku keturunan keluarga
Suma yang jahat, yang sesat! Kalau kakekku masih hidup, akan kubunuh juga... Ahhh, Kong-kong, kenapa kau
sejahat itu...?” Kemudian ia meloncat bangun, wajahnya keruh dan beringas, suaranya keras, “Karena darah
terkutuk itu mengalir di tubuhku, aku dibenci sana-sini, dimusuhi, nasibku selalu buruk... ya Tuhan, ampunilah
hamba...”
Ia lalu mencelat jauh dan seperti gila melanjutkan perjalanan sambil mengerahkan kepandaiannya yang
membuat tubuhnya makin lama mencelat makin jauh dan makin cepat sehingga seolah-olah kakinya tidak
menginjak tanah lagi.....
********************
Puteri Nirahai memenuhi janjinya. Lulu diterima di istana dan tidak dituntut oleh kaisar, bahkan Pangeran
Ouwyang Cin Kok dan puteranya pura-pura tidak tahu bahwa gadis yang menjadi adik angkat Han Han itu kini
kembali ke istana.
Lulu tekun belajar ilmu silat di bawah bimbingan Nenek Puteri Maya yang amat sakti itu, juga Nirahai
digembleng oleh nenek ini. Ternyata bahwa yang dilatih oleh Lulu ketika ia berada di Pulau Es adalah Ilmu
Silat Hong-in-bun-hoat, yaitu ilmu silat yang dasar geraknya mengambil dari coretan huruf-huruf indah. Karena
ketika berlatih di Pulau Es itu tidak ada yang memimpin, maka Lulu hanya mempelajari secara ngawur saja,
sehingga ia hanya menguasai kulitnya, tidak menguasai isinya. Kini setelah digembleng oleh Puteri Mayat baru
ia dapat mengerti inti dari Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat.
Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat adalah ilmu silat sakti yang diciptakan oleh Bu Kek Siansu, seorang manusia dewa
yang selain sakti dalam ilmu silat, juga seorang ahli dalam ilmu sastra. Oleh kakek dewa ini kedua ilmu itu
digabungkan sehingga dalam gerakan ilmu silat itu dimasukkan unsur-unsur keindahan tulisan, seolah-olah
yang menggunakan ilmu silat ini sedang mencoret-coret tulisan huruf indah di udara. Karena inilah maka
disebut Hong-in-bun-hoat (Ilmu Silat Sastra Angin dan Awan).
Dahulu jika Lulu bersilat, kelihatannya hanya indah sehingga oleh Han Han dikatakan sebagai tarian. Kini
setelah mengetahui inti sari ilmu itu, setiap gerakan Lulu adalah didasari goresan menulis huruf. Di jaman
dahulu, Ilmu Hong-in-bun-hoat ini oleh Bu Kek Siansu hanya diturunkan kepada pendekar sakti Suling Emas.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kemudian diajarkan pula kepada muridnya yang terkasih, yaitu Kam Han Ki yang kini menjadi Koai-lojin. Oleh
Kam Han Ki inilah ilmu itu disusun menjadi kitab yang dipelajari Lulu (Kam Han Ki di waktu muda dalam cerita
tersendiri: ISTANA PULAU ES).
Selain dilatih ilmu silat yang pada dasarnya telah dipelajari Lulu ini, juga Nenek Maya menurunkan ilmu yang
amat dahsyat, yaitu ilmu Toat-beng-bian-kun (Ilmu Silat Tangan Kapas) yang kelihatannya dimainkan tanpa
tenaga, dengan kedua tangan berubah sehalus kapas, namun mengandung inti tenaga sinkang yang dapat
menahan tenaga sinkang lawan yang kuat.
Lulu amat berbakat dan juga amat cerdik sehingga dalam waktu singkat, hanya beberapa bulan saja, ia telah
dapat menguasai kedua ilmu itu sehingga tingkat kepandaiannya melonjak cepat bukan main. Hal ini adalah
karena ia telah memiliki tenaga sinkang murni yang ia dapatkan ketika bersama Han Han melatih diri di Pulau
Es.
Ada pun Nirahai yang memang tadinya sudah lihai bukan main sebagai pewaris ilmu-ilmu dahsyat dari Mutiara
Hitam, yang dahulunya menjadi ilmu-ilmu tangguh dari tokoh wanita perkasa Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian ibu
kandung Suling Emas, kini setelah digembleng oleh Nenek Maya, kepandaiannya pun meningkat secara hebat
sekali.
Bahkan ia telah dilatih untuk mainkan ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat yang dimainkan dengan suling emas
yang dipinjamnya dari Gu Toan si kakek bongkok penjaga kuburan Suling Emas. Kini dara perkasa ini
menguasai dua ilmu pedang yang sebenarnya berlawanan, yaitu Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan
Iblis) dan Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa). Dengan penggabungan dari kedua ilmu pedang
yang berlawanan ini dapat dibayangkan betapa lihainya Puteri selir Kaisar Mancu ini.
Makin lama Lulu makin betah tinggal di istana yang indah dan mewah, juga yang mencukupi segala
kebutuhannya. Apa lagi Nirahai amat baik kepadanya, memperlakukannya sebagai adik sendiri. Dan memang
sesungguhnya Nirahai amat mencinta Lulu sehingga Lulu yang halus perasaannya itu membalas kasih sayang
suci-nya. Mereka amat rukun dan kerukunan ini mempengaruhi juga pendirian Lulu tentang pertentangan
antara Kerajaan Mancu dan pemberontak yang berpusat di Se-cuan. Memang pada mulanya, secara terus
terang ia berani menentang Nirahai dengan mengemukakan pendapatnya yang timbul dari pengalamannya.
“Suci, sebetulnya aku tidak ingin mencampuri tugas Suci sebagai puteri Kaisar dan sebagai pemimpin para
pengawal. Akan tetapi karena Suci ingin mengajak aku membantu, perlu kuberitahukan kepadamu bahwa aku
tidak mempunyai kesan baik terhadap sepak terjang bangsaku sendiri!”
Nirahai memandang tajam dan berkata, “Sumoi, lupakah engkau bahwa keluarga orang tuamu dibasmi oleh
para pemberontak? Kalau engkau tidak memiliki kesetiaan dan kebaktian kepada bangsa dan negara, hal itu
masih dapat kumengerti karena sejak kecil engkau hidup sebatang-kara bahkan kemudian menjadi adik angkat
kakakmu Han Han. Akan tetapi, aku tidak percaya bahwa engkau akan melupakan ayah bundamu yang tewas
oleh para pemberontak. Aku tidak percaya bahwa engkau akan tidak berbakti kepada orang tuamu!”
Lulu mengerutkan alisnya yang hitam. Sepasang matanya memandang Nirahai dengan mata terbelalak. “Yang
kau katakan pemberontak itu sebetulnya adalah pejuang-pejuang yang baik, Suci. Sebaliknya, dengan mata
kepala sendiri aku menyaksikan betapa kejamnya tentara Mancu yang membunuhi rakyat yang tak berdosa,
memperkosa, merampok, membunuh seperti sekawanan binatang buas saja.”
“Hemmm, pendirianmu itu salah sungguh pun aku tidak sangsi akan keteranganmu tentang perbuatan
sebagian tentara yang kejam. Akan tetapi, apakah kau anggap bahwa perbuatan para pemberontak yang
membunuhi ayahmu sekeluarga itu juga tidak kejam?”
“Memang kuakui bahwa mereka telah membunuh orang tuaku bahkan telah kudapatkan pembunuhnya. Akan
tetapi ternyata dia seorang gagah yang melakukan pembunuhan itu demi perjuangan, demi pembelaan
terhadap bangsa mereka. Sama sekali tidak terkandung hati benci di dada mereka terhadap perorangan,
bahkan mereka tidak mengenal orang tuaku yang tewas sebagai akibat perang.”
Nirahai mengangguk-angguk. “Memang aku percaya benar demikian. Akan tetapi engkau pun lupa bahwa aku
dan teman-teman yang memimpin usaha penindasan para pemberontak pun terdorong oleh tugas membela
dunia-kangouw.blogspot.com
bangsa dan negara! Aku seorang bangsa Mancu, kalau aku tidak membela bangsa Mancu, habis bagaimana?
Engkau pun seorang gadis Mancu, sudah selayaknya kalau engkau membantu perjuangan bangsa sendiri. Kini
para pemberontak yang bersarang di Se-cuan harus dihancurkan, kalau tidak, perang tidak akan pernah
terhenti dan penderitaan rakyat pun takkan dapat dihabiskan. Kalau kau menganggap bahwa orang tuamu
tewas dalam perang dan engkau tidak menaruh dendam perorangan, engkau pun harus dapat mengerti bahwa
perbuatan tentara-tentara kita itu pun adalah akibat perang dan bukan merupakan perbuatan kejam
perorangan, melainkan kekejaman perang. Akan tetapi percayalah bahwa pimpinan kita tidak menghendaki hal
demikian itu terjadi. Hal itu hanya terjadi sebagai akibat-akibat yang berkelebihan dari perang yang memang
ganas.”
Lulu merasa terdesak karena pikirannya yang cerdik dapat menangkap kebenaran-kebenaran dalam ucapan
Nirahai.
“Apakah engkau percaya bahwa aku adalah seorang manusia yang begitu curang sehingga sudi mengadu
domba Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai kalau bukan karena hal itu kuanggap sebagai taktik perjuangan? Aku
tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan mereka, bahkan aku mengagumi tokoh-tokoh dan pendekarpendekar
dari kedua partai itu. Akan tetapi, sebagai pejuang untuk negaraku, aku melihat bahaya besar kalau
sampai kedua partai yang kuat itu membantu pemberontak, maka jalan satu-satunya adalah mengadu domba
mereka agar mereka tidak berkesempatan membantu pemberontak sehingga kedudukan para pemberontak
tidak begitu kuat, mudah dihancurkan. Aku tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan dua tokoh di antara
Siauw-lim Chit-kiam yang kukagumi karena kegagahan mereka, akan tetapi aku membunuh mereka sebagai
musuh negara, bukan sebagai musuhku!”
“Kalau seorang saudaramu kebetulan memihak pejuang yang menentang kerajaan, apakah engkau juga akan
membunuhnya, Suci?”
“Tentu saja! Kalau dia memihak pemberontak, dia berarti menjadi musuh negara! Bagi seorang pejuang yang
mencinta bangsa dan negaranya, musuh sendiri bisa dimaafkan, akan tetapi musuh negara tidak!”
“Wah, kejinya! Aku benci...! Aku benci perang!” Lulu mencela, teringat akan kakaknya. Kalau Han Han
kebetulan membantu pejuang, apakah dia pun harus memusuhi kakak yang disayangnya itu? Tidak mungkin!
Nirahai merangkul leher Lulu dan mengecup pipinya. “Adikku yang baik, siapakah orangnya yang mencinta
perang? Hanya orang gila yang miring otaknya saja yang tidak membenci perang. Aku pun benci dengan
perang. Aku pun rindu akan perdamaian di mana hidup manusia ini tenang tenteram, di mana nyawa manusia
dihargai, di mana hak hidup seorang manusia lebih terjamin, di mana harga seorang manusia lebih dinilai tinggi.
Akan tetapi, perang timbul bukan atas kehendak seseorang, dan kalau sudah timbul dan kita terseret di
dalamnya, hanya dengan kemenangan saja perang itu dapat dihentikan! Menang atau kalah! Itulah
persoalannya, dan sekuat tenaga tentu saja kita ingin menang. Dengan kemenangan, atau pun dengan
kekalahan, perang baru habis dan timbul perdamaian. Percayalah, aku ingin sekali menikmati masa damai di
mana kita tidak akan bicara tentang bunuh-membunuh, tentang siasat-siasat curang, tentang taktik-taktik
memalukan dan sebagainya. Peri-kemanusiaan akan dijunjung tinggi oleh setiap orang. Akan tetapi untuk
mendapatkan perdamaian itu, sekarang kita semua harus mengerahkan tenaga untuk menumpas musuh
sehingga perang pun terhenti.”
Lulu termenung. Ucapan suci-nya itu meresap ke dalam hatinya dan diam-diam ia kagum sekali. Suci-nya ini
cantik, berkedudukan tinggi, berpengaruh dan berkuasa, juga memiliki pandangan yang luas seperti kakaknya.
Han-koko! Ah, alangkah cocoknya kalau Han-koko dapat menjadi suami Nirahai! Pikiran yang tiba-tiba
menyelinap di kepalanya yang kecil itu membuat ia serta-merta bertanya.
“Suci, kalau begitu engkau tidak mempunyai rasa benci perorangan kepada bangsa pribumi?”
Nirahai mengangkat alisnya. “Eh? Tentu saja tidak!”
“Juga kepada para pejuang kau tidak benci?”
Nirahai tersenyum dan menggeleng kepalanya. “Tidak sama sekali, Sumoi. Bahkan aku merasa kagum akan
kebudayaan mereka, akan kegagahan para pendekar. Bagaimana aku bisa membencinya kalau tokoh-tokoh
dunia-kangouw.blogspot.com
perkasa yang kukagumi seperti Suling Emas, Mutiara Hitam dan lain-lain adalah bangsa Han juga? Malah aku
adalah keturunan Khitan, dan karena Kerajaan Khitan memiliki darah campuran dengan bangsa Han, kaisar
wanita Khitan adalah isteri Suling Emas, sedikit banyak ada pula darah Han di tubuhku.”
“Wah, kalau begitu, tentu engkau tidak akan keberatan kalau menikah dengan seorang bangsa Han, bukan?”
Kembali Puteri cantik itu membelalakkan matanya, lalu tertawa geli mencubit pipi dan Lulu. “Huh, engkau
menggemaskan dan genit, Sumoi. Bertanya yang bukan-bukan!”
Akan tetapi Lulu mendesak, “Aku tidak main-main, Suci, melainkan benar-benar ingin mengetahui isi hatimu.
Bagaimana, andai kata engkau menikah dengan seorang pribumi, apakah engkau akan merasa terlalu
rendah?”
Nirahai menghela napas panjang. “Ratu Khitan dahulu menikah dengan Suling Emas seorang pendekar Han.
Aku tidak memandang rendah bangsa Han, apa alasanku untuk merasa rendah? Akan tetapi adikku yang
nakal, pernikahan harus berdasarkan cinta kasih kedua pihak, tanpa cinta mana bisa hidup bahagia sebagai
suami isteri? Pula, aku seujung rambut pun belum memikirkan hal itu. Perang belum berakhir, mana bisa
berpikir tentang cinta dan pernikahan?”
Lulu memandang dengan wajah berseri. “Wah, engkau tentu akan menjadi seorang isteri yang hebat, Suci!
Dan menurut pandanganku, engkau hanya patut menjadi isteri seorang yang paling mulia di dunia ini!”
“Hi-hik, kau lucu! Siapa yang paling mulia di dunia ini? Raja kahyangan?”
“Bukan, Suci. Bukan raja bukan pangeran. Orang biasa saja, seorang pria sederhana, yang budiman, gagah
perkasa, tampan, seorang yang semulia-mulianya di dunia ini...” Pandang mata Lulu merenung jauh, matanya
bersinar-sinar.
“Siapa dia?”
“Han-koko!”
“Aihhh..., kakak angkatmu itu? Pewaris pusaka Pulau Es? Hemmm, engkau berkelakar, Sumoi.”
“Tidak, suci. Dia seorang yang semulia-mulianya, tiada keduanya di dunia ini. Dan hanya dialah yang paling
patut menjadi suamimu!”
Nirahai tersenyum dan menarik napas panjang. “Sumoi, enak dan mudah saja kau bicara. Aku belum melihat
dia, dia pun belum pernah melihat aku. Andai kata kami saling bertemu, belum tentu pula dia dan aku akan
saling jatuh cinta.”
“Pasti!” Lulu berteriak. “Pria mana yang takkan jatuh hati melihat engkau? Termasuk kakakku. Dan wanita
mana yang tidak akan mencintanya? Sekali bertemu dengan dia, aku tanggung engkau akan terjungkir balik...!”
“Hahhh...? Kau anggap aku selemah itu mudah dijungkir-balikkan?” Nirahai menantang akan tetapi pandang
matanya berseri tanda bahwa dia tidak merasa direndahkan oleh sumoi-nya yang nakal itu.
“Eiiit-eiit-eiiitttt, sabar, Suci! Bukan orangnya yang dijungkir-balikkan, akan tetapi hatimu! Engkau tentu akan
jatuh bertekuk lutut...”
“Heiiiii...?”
“Yang bertekuk lutut hatimu, engkau akan jatuh cinta...”
“Sudah, sudah... Eh, Sumoi, engkau mencinta betul kepada kakakmu itu, ya?”
Lulu mengerutkan keningnya dan menjawab sungguh-sungguh, “Aku mencintanya dengan seluruh jiwa ragaku,
Suci. Tidak ada yang lebih kucinta dari pada Han-koko.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Nah, nah... kalau begitu engkaulah yang patut menjadi isterinya!”
Lulu meloncat bangun seperti diserang ular berbisa. “Suci, engkau gila...?”
Nirahai menuding-nuding telunjuknya ke hidung Lulu. “Eh, eh, beginikah sikap seorang Sumoi? Bocah kurang
ajar, engkau memaki Suci-mu gila?” Akan tetapi mata yang tajam bening itu masih berseri, tidak marah.
“Eh, eh maaf, Suci. Maksudku, perkataan Suci itu benar-benar tidak masuk akal. Dia itu kakakku, ingat?
Jangan bicara begitu, aku marah, Suci!”
“Sudahlah, maafkan aku. Kita lihat saja nanti, apakah kakakmu itu benar-benar sehebat yang kau banggakan
dan pamerkan.”
“Aku tanggung engkau akan kagum! Bahkan wanita-wanita pendekar yang cantik jelita tergila-gila kepadanya.
Seperti Hoa-san Kiam-li, seperti Enci Sin Lian...” tiba-tiba Lulu terhenti dan teringat, wajahnya menjadi seperti
kaget, matanya merenung dan kedua pipinya merah. Ia teringat betapa ia pernah bicara dengan Lu Soan Li
tentang kakaknya, bahkan ia telah menawarkan kakaknya itu menjadi suami Lauw Sin Lian. Kini dia
menawarkan kakaknya menjadi suami Nirahai! Wah, tanpa disadarinya ia telah menjadi perantara dari tiga
orang gadis!
“Ada apakah, Sumoi?” Nirahai bertanya ketika melihat perubahan pada wajah sumoi-nya yang termenung
seperti orang bingung.
“Ti... tidak apa-apa, suci.”
“Engkau memang aneh, mari kita berlatih saja agar kelak kalau kakakmu datang, tidak mudah bagi dia untuk
menjungkir-balikkan aku, hi-hik!”
Akan tetapi Lulu masih termenung. “Suci, bagaimana kabarnya dengan usahamu menyelidiki tentang dia?”
Nirahai menarik napas panjang. Hampir setiap hari ia dibikin repot oleh pertanyaan Lulu. Tentu saja dia sudah
menyelidiki dan malah sudah mendengar tentang keributan yang ditimbulkan oleh Han Han di rumah Pangeran
Ouwyang Cin Kok, betapa kemudian Han Han ditangkap ketika dikeroyok oleh Toat-beng Ciu-sian-li dan Gak
Liat, lalu dibawa pergi oleh nenek itu.
Dia sudah pula menyuruh orang menyelidiki ke In-kok-san, akan tetapi karena keadaan di situ dapat dikatakan
menjadi sarang musuh, amatlah sukar menyelidik ke sana dan tidak ada penyelidik yang tahu apa yang terjadi
dengan diri Han Han. Hanya diketahui bahwa pemuda itu lenyap, entah masih hidup entah sudah mati. Tentu
saja ia tidak menceritakan semua itu kepada Lulu, hanya menceritakan bahwa ketika dikeroyok Oleh Ma-bin
Lo-mo dan Gak Liat seperti yang diketahui Lulu ketika ditangkap Ouwyang Seng, pemuda itu dapat melarikan
diri.
“Sampai sekarang belum ada beritanya, sumoi. Kakakmu itu orang aneh sekali, dan entah menghilang ke
mana. Akan tetapi aku masih mengirim penyelidik ke semua jurusan.”
Demikianlah, Lulu berlatih terus bersama Nirahai dan ilmu kepandaiannya meningkat secara hebat sehingga
diam-diam Nirahai sendiri menjadi kagum. Puteri yang sakti ini maklum bahwa kalau dia sendiri tidak
digembleng oleh Maya, kiranya kepandaian Lulu sekarang sudah melampaui tingkatnya ketika ia belum
menjadi murid nenek sakti itu.
Setahun mereka berlatih tekun. Pada suatu hari, Nirahai pulang dari pertemuannya dengan para pembantunya,
langsung mengunjungi Lulu yang sedang berlatih di depan Nenek Maya di kebun bunga belakang tempat
tinggal mereka di lingkungan istana. Wajah Nirahai tampak tegang dan datang-datang berkata.
“Wah, kembali pasukan-pasukan kita terpukul mundur di Se-cuan! Di sana berkumpul banyak sekali orang
pandai sehingga kini Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri mengirim berita minta bantuan orang-orang pandai.
dunia-kangouw.blogspot.com
Agaknya teecu sendiri harus berangkat ke sana, Subo. Dan mengingat bahwa di pihak musuh banyak terdapat
orang sakti, teecu mengharap Subo dan Sumoi suka pula membantu.”
Nenek Maya tersenyum. “Aku sudah tua untuk berperang. Engkau berangkatlah bersama Lulu, dan aku sendiri
akan keluar dari istana karena sudah bosan di sini. Kelak kalau ada waktu aku akan menyusul ke sana, hanya
untuk melihat-lihat.”
Nirahai tidak berani memaksa. “Sumoi, sekali ini, Suci-mu benar-benar membutuhkan bantuanmu. Tentu
engkau suka membela bangsa dan negara, bukan? Selain itu, hanya daerah barat yang belum diselidiki. Siapa
tahu kita akan dapat mendengar tentang kakakmu di barat.”
Memang Nirahai pandai sekali. Dia mendengar akan munculnya seorang panglima musuh yang berkaki
buntung, yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Dia menduga bahwa pemuda buntung itu
agaknya Han Han, akan tetapi ia ragu-ragu karena kalau Han Han, mengapa kakinya buntung? Pula, kalau ia
menceritakan hal ini kepada Lulu dan sumoi-nya itu kemudian menduga bahwa Han Han membela musuh,
agaknya akan sukar mengajaknya untuk membantu.
Lulu mengangguk. “Baiklah, Suci. Biar pun aku juga seperti Subo, tidak suka perang, akan tetapi biarlah aku
hitung-hitung membalas budimu.”
Nenek Maya lalu meninggalkan istana dan mendapat kehormatan besar karena kaisar sendiri mengantar
keberangkatannya dengan pesta perpisahan. Kemudian tiga hari berikutnya, Puteri Nirahai bersama Lulu
berangkat ke Se-cuan, memimpin sebuah pasukan besar. Puteri Nirahai nampak gagah sekali dengan pakaian
perangnya, gagah dan cantik jelita. Ada pun Lulu yang tidak mau memakai pakaian perang, tidak mau pula
menerima pangkat panglima, berpakaian biasa yang ketat dan dia menunggang kuda di samping Nirahai.
Banyak orang di sepanjang jalan mengelu-elukan keberangkatan Puteri Nirahai yang telah banyak dikenal.
Akan tetapi mereka kagum dan heran melihat seorang gadis cantik berpakaian biasa yang berkuda di samping
puteri itu, karena memang selama berada di kota raja, Lulu tidak pernah keluar dari istana, juga Puteri Nirahai
diam-diam mengatur agar kehadiran Lulu di kota raja tidak sampai diketahui orang. Hal ini untuk menjaga agar
gadis itu tidak dicari oleh Han Han atau oleh para pejuang yang menganggap gadis itu sudah menjadi sekutu
mereka.....
********************
Bagaimanakah ada berita bahwa pemuda buntung yang amat lihai menjadi panglima musuh di Se-cuan?
Siapakah pemuda buntung ini? Dia itu bukan lain adalah Han Han! Seperti kita ketahui, setelah membunuh jaihwa-
cat yang berusaha memperkosa nikouw di Kwan-im-bio, di mana Han Han hancur hatinya menghadapi
pertemuannya dengan Kim Cu, pemuda ini lalu melanjutkan perjalanannya ke kota raja.
Mungkin karena kakinya yang buntung, juga karena ketika dahulu berada di kota raja ia tidak menimbulkan
kecurigaan kecuali hanya rasa kasihan yang timbul di hati orang yang melihat kakinya yang buntung, akan
tetapi kebuntungan kakinya pun tidak menimbulkan keheranan, karena di masa itu perang telah menimbulkan
banyak mala petaka sehingga banyak terdapat orang yang buntung kakinya, tangannya, atau cacat tubuhnya.
Pada malam harinya Han Han mempergunakan kepandaiannya. Tanpa terilhat oleh seorang pun penjaga, ia
meloncat ke atas rumah enci-nya, yaitu rumah gedung Giam-ciangkun, perwira she Giam, kakak iparnya atau
suami enci-nya. Menjelang tengah malam itu keadaan sunyi sekali dan ketika ia mengintai kamar enci-nya
yang ia sudah hafal karena ia pernah tinggal di rumah gedung ini, ia menjadi girang melihat enci-nya tidur
berdua saja dengan Giam Kwi Hong, puteri enci-nya itu yang kini sudah berusia hampir lima tahun. Cepat ia
menyelinap masuk dan dengan hati-hati ia membangunkan enci-nya dengan jalan memijit ibu jari kaki enci-nya.
Sie Leng terbangun, kaget ketika melihat wajah Han Han yang dikenalnya betul, cepat bangkit duduk dan
membetulkan pakaiannya. Han Han menaruh telunjuk ke depan bibirnya dan berbisik.
“Leng-cici, aku datang...”
Sie Leng kini sudah sadar betul, melihat adiknya dan matanya terbelalak ketika melihat kaki Han Han.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Adik Han... kaki... kakimu...!”
“Ssttttt... tidak apa-apa, Enci. Aku hanya ingin bicara denganmu sebentar. Di mana dia... eh... suamimu?” Berat
rasa lidah Han Han untuk menyebut Perwira Giam Cu sebagai cihu (kakak ipar).
“Dia... dia sudah sebulan... berangkat ke Se-cuan...” Sie Leng memandang khawatir sekali karena takut kalaukalau
adiknya masih mendendam.
Han Han bernapas lega, kemudian duduk di atas bangku. Sie Leng duduk di ranjang, menengok puterinya.
Melihat puterinya tidur nyenyak, ia lega dan menoleh kepada adiknya.
“Han Han, engkau pergi tanpa pamit. Kata cihu-mu, engkau mencari adik angkatmu...”
“Cici, kedatanganku ini memang untuk bertanya kepadamu. Pertama, tahukah engkau tentang Lulu, adik
angkatku itu?”
Sle Leng menggeleng kepala. “Adikmu itu aneh seperti engkau. Dia menjadi pelayan istana lalu tiba-tiba
lenyap, melarikan diri! Semenjak itu, tidak ada lagi yang tahu di mana dia berada, dicari oleh sepasukan pun
tidak dapat ditemukan.”
Han Han tersenyum. Lega dadanya bahwa adiknya tidak berada di istana. Memang ia sudah menduga akan
hal ini.
“Sekarang pertanyaan kedua, Enci, dan kuharap Enci benar-benar akan jujur dan memenuhi permintaanku,
menjawab pertanyaanku secara jujur. Di manakah tempat tinggal Giam Kok Ma, bedebah yang dahulu
memperkosa Ibu kita, perwira muka kuning itu?”
“Han-te...! Apa yang akan kau lakukan?”
“Apa yang akan kulakukan tak perlu kau ketahui, Enci, dan juga bukan urusanmu lagi. Aku bersumpah bahwa
engkau tidak akan tersangkut. Katakanlah, di mana dia dan di mana pula lima orang perwira yang lain, yang
dahulu ikut bersama suamimu membasmi keluarga kita?”
Pucat wajah Sie Leng. Ia merasa takut kalau-kalau adiknya itu akan mengamuk. Apa dayanya seorang yang
buntung? Kalau adiknya tertangkap dan dihukum mati, ahhh... ia merasa ngeri dan otomatis ia menggelenggeleng
kepalanya.
“Enci, dengarlah!” Han Han berkata tak sabar. “Aku sudah melupakan perbuatan suamimu terhadap engkau,
aku sudah mengampunkan dia. Akan tetapi aku minta ganti! Enam orang perwira yang lain harus dapat
kuketahui tempat tinggalnya, dan engkau harus memberi tahu aku. Harus, kau dengar? Kalau engkau tidak
mau memberitahukan di mana adanya enam orang perwira terkutuk itu, demi Tuhan, terpaksa aku akan
mencari dan membunuh suamimu!”
“Tidak...! Jangan...!” Sie Leng berteriak, menjerit kecil dan anaknya terbangun. Bocah itu bangkit duduk dan
melihat Han Han ia terbelalak memandang.
“Eh, Ibu? Siapakah dia ini? Apa dia mengganggu Ibu? Awas, siapa yang mengganggu Ibu, akan kubunuh!” Kwi
Hong yang masih kecil itu sudah berdiri dan mengepal tinjunya. Han Han memandang dengan mata terbelalak
penuh kekaguman.
“Lihat, Enci. Puterimu lebih berbakti dari padamu!”
Encinya memangku Kwi Hong, menciumnya dan berbisik, “Husshhhh, dia ini Pamanmu, tidak akan
mengganggu Ibu. Tidurlah, Nak...!” Setelah ditepuk-tepuk pahanya, anak yang masih mengantuk itu tertidur
kembali dan dibaringkan oleh ibunya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Han Han, jangan kira bahwa aku tidak punya semangat. Aku tidak berdaya, akan tetapi kutanamkan sejak
kecil di dalam hati Kwi Hong bahwa dia harus menjadi anak yang berbakti, yang akan membela ayah
bundanya dengan taruhan nyawa, tidak seperti aku...!” Ia menangis pula.
“Syukurlah kalau begitu. Sekarang katakan, di mana adanya enam orang perwira musuh kita itu?”
“Han Han, apa dayamu menghadapi mereka? Apa lagi kakimu sudah buntung...”
“Jangan khawatir, setelah kakiku buntung, aku malah lebih banyak harapan untuk membalas dendam. Di mana
mereka?”
Setelah menarik napas panjang berulang kali, Sie Leng lalu berkata, “Giam Kok Ma berada di kota raja.
Gedungnya tidak jauh dari sini, di sebelah utara, gedung besar yang ada arca singa batu di depannya...” Ia
berhenti sebentar. “Akan tetapi, engkau tidak akan menemukan dia di gedungnya, dia pun bersama cihu... eh,
dengan suamiku, telah berangkat sebulan yang lalu ke Se-cuan. Dia dan suamiku adalah perwira-perwira
pasukan tempur yang kini berangkat untuk menggempur Se-cuan.”
Hati Han Han kecewa sekali akan tetapi ia percaya akan keterangan enci-nya.
“Dan siapakah perwira-perwira yang lain, yang lima orang itu? Di mana mereka?”
“Ohhh... Han Han, mengapa engkau berkeras hendak membalas dendam? Mereka adalah orang-orang yang
memiliki kekuasaan besar, banyak pengawalnya dan... dan engkau sudah... sudah buntung begini...”
“Sudahlah, Cici. Lekas katakan. Di mana mereka yang lima orang itu!”
“Ahhh, aku tidak tahu... aku hanya berhasil tahu dari suamiku bahwa seorang di antara mereka itu adalah Suciangkun
yang kini memimpin pasukan melakukan pembersihan terhadap para pemberontak, entah di mana.
Han Han, sungguh... biar pun aku tidak pernah mempunyai harapan untuk menuntut balas kehancuran
keluarga kita, namun dengan susah payah aku dahulu selalu membujuk suamiku agar menerangkan nama
mereka itu, dan agar suamiku suka membalaskan dendamku. Akan tetapi dia selalu mencelaku dan
mengatakan bahwa peristiwa itu sudah jamak terjadi di dalam perang. Maka aku hanya berhasil mengenal
Giam Kok Ma dan Su-ciangkun yang tak kuketahui nama lengkapnya itu, orangnya tinggi besar, jalannya agak
pincang. ada pun empat orang lainnya aku sungguh tidak tahu.”
Han Han mengerutkan alis. Benar-benar amat sukar membalas dendam keluarganya, pikirnya murung. Yang
seorang adalah suami enci-nya sendiri. Yang ke dua sedang pergi ke Se-cuan, yang ke tiga bernama Suciangkun
tidak diketahui ke mana perginya. Bahkan empat orang yang lain tidak dikenal, tidak diketahui
namanya. Akan tetapi ia merasa yakin bahwa sekali bertemu dengan mereka, dia tentu akan mengenal
mereka, musuh besarnya itu!
Tidak ada jalan lain. Satu-satunya cara adalah menangkap dulu seorang di antara mereka dan memaksanya
mengaku dan menunjukkan siapa adanya teman-temannya yang dahulu melakukan pembasmian terhadap
keluarganya. Kalau dia tidak berhasil menangkap seorang di antara mereka, apa boleh buat, ia akan
menangkap dan memaksa Giam Cu, kakak iparnya sendiri dan memaksa keterangan tentang enam orang
musuh besarnya dari mulut suami enci-nya itu.
“Leng-cici, jagalah dirimu dan anakmu baik-baik. Aku pergi...”
“Han Han...!” Sie Leng mengeluh perlahan, akan tetapi ia hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu
adik kandungnya yang buntung itu telah lenyap dari kamar itu.
Sie Leng lari ke jendela, melongok keluar, akan tetapi sunyi saja di luar jendela dan tidak ada suara sedikit pun.
Mimpikah dia? Atau benarkah Han Han tadi yang datang? Adiknya yang sudah buntung kakinya? Adik
kandungnya yang demikian sengsara dan berkeras hendak menuntut balas atas kehancuran keluarga
mereka? Sie Leng merintih dan menjatuhkan diri di atas pembaringan, merangkul Kwi Hong dan menangis
terisak-isak.
dunia-kangouw.blogspot.com
Han Han keluar dari gedung enci-nya dan cepat berkelebat keluar melalui atap-atap rumah di kota raja, menuju
ke luar kota raja. Di atas atap rumah yang tinggi ia berhenti sebentar, termenung dan bingung. Rumah-rumah
di kota raja demikian indah-indah dan tinggi, namun dalam waktu tengah malam itu amat sunyi seolah-olah
kosong. Ke mana ia harus pergi? Dia tidak berhasil menemukan musuh-musuhnya, juga tidak mendengar
tentang Lulu, hanya tahu bahwa Lulu telah pergi dari istana seperti yang diceritakan enci-nya. Ke manakah
adiknya pergi?
Kalau saja Han Han tahu bahwa pada saat itu, Lulu sedang tidur nyenyak di sebuah kamar di istana bersama
Puteri Nirahai! Ternyata kehadiran Lulu di istana dirahasiakan benar oleh Nirahai sehingga Nyonya Giam Cu
atau Sie Leng itu sendiri tidak mengetahuinya.
Setelah menghela napas berulang kali, Han Han melanjutkan perjalanannya, dengan ilmu kepandaiannya yang
hebat ia berhasil keluar dari kota raja melalui temboknya yang tinggi itu tanpa terlihat oleh para penjaga.
Setelah tiba di luar kota raja sebelah barat, ia berlari terus dan akhirnya ia mengaso di sebuah kuil tua yang
tidak dipergunakan lagi, yang berada di pinggir jalan dekat hutan yang sunyi. Saking lelah dan kecewa hatinya,
sebentar saja Han Han tidur nyenyak.
Menjelang pagi, telinganya yang tajam mendengar suara derap kaki kuda yang membuatnya terbangun. Derap
kaki kuda yang datang dari arah kota raja ini berhenti di depan kuil dan terdengar suara dua orang bicara.
“Kenapa berhenti di sini?”
“Aku lelah sekali, kita mengaso sebentar. Celaka, malam tadi semalaman aku tak dapat tidur dan kalau tidak
mengaso dan tidur sebentar di sini, aku akan mati kelelahan...”
“Ha-ha-ha, agaknya engkau tidak tidur semalam suntuk di rumah selirmu!”
“Tidak salah. Karena menerima tugas berat, aku berpamit dan dia... ha-ha, dia minta ditemani semalam suntuk.
Mana aku tega meninggalkannya?”
“Ha-ha-ha, engkau terlalu. Menghadapi tugas berat masih sempat bersenang-senang. Baiklah, Loheng, akan
tetapi jangan terlalu lama berhenti di sini. Kalau kita diketahui, leher kita akan putus!”
Agaknya mereka mengikat kendali kuda di depan. Tak lama kemudian Han Han yang sudah meloncat ke atas
dan bersembunyi mendengar suara kaki kuda orang itu memasuki kuil. Cuaca masih gelap sekali, akan tetapi
dua orang itu tidak peduli, terus saja masuk dan duduk di ruangan dalam yang merupakan satu-satunya
ruangan yang terlindung dari angin dan debu. Seorang di antara mereka terus saja merebahkan diri dan tidur
mendengkur, sedangkan yang seorang lagi duduk bersandar dinding.
Kira-kira dua jam kemudian, orang yang duduk itu mengguncang-guncang tubuh temannya. “Loheng,
bangunlah. Matahari telah naik tinggi! Ingat, tugas kita amat penting dan kalau kita ketahuan berhenti terlalu
lama, benar-benar kita akan dihukum berat!”
Temannya bangun, menguap dan menggosok-gosok kedua matanya yang merah. “Aaaaahhh... sedang enakenak
mimpi dengan dia kau bangunkan, Sam-te!”
“Wah, engkau benar tidak ada puas-puasnya! Sudah bersenang-senang semalam suntuk masih dilanjutkan
dengan mimpi lagi! Hayo!”
Mereka berdua segera keluar dari kuil tua, melepaskan kendali kuda, meloncat dan membedal kuda mereka ke
selatan. Han Han yang menjadi tertarik melihat bahwa mereka adalah dua orang yang berpakaian pengawal
istana, diam-diam membayangi mereka. Dia tidak tahu mengapa ia membayangi mereka, dan apa perlunya.
Akan tetapi karena dia sendiri pun bingung ke mana harus mencari musuh-musuhnya dan adiknya, maka ia
membayangi dua orang pengawal itu untuk melihat apakah tugas mereka yang begitu penting dan ke mana
mereka hendak pergi. Ternyata kemudian olehnya bahwa dua orang pengawal itu membalapkan kuda melalui
sepanjang Terusan Besar yang menghubungkan kota raja dengan kota Thian-cin, kemudian terus ke selatan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Di kota Thian-cin, dua orang pengawal itu hanya berganti kuda, setelah makan mereka melanjutkan perjalanan
ke selatan. Han Han yang tidak mempunyai pegangan terus membayangi mereka tanpa kesulitan. Biar pun
kakinya buntung sebelah, namun amat mudah bagi pemuda sakti ini kalau hanya membayangi larinya kuda.
Hujan lebat membuat dua orang itu terpaksa menghentikan perjalanan mereka di sebuah hutan. Sebuah
pondok butut yang dibangun secara darurat oleh kaum pemburu kini mereka pakai untuk berlindung dari air
hujan yang turun seperti dituangkan dari langit. Sambil berlindung mereka bercakap-cakap.
“Eh, Loheng, yakin benarkah kau bahwa Su-ciangkun bermarkas di tepi Huang-ho, di pinggir terusan?”
“Tidak salah lagi. Keterangan yang kudapat di Thian-cin meyakinkan. Memang tadinya Su-ciangkun melakukan
operasi di perbatasan Propinsi Shan-tung selatan, akan tetapi kini mulai kembali ke utara dan melakukan
pembersihan di sepanjang terusan yang sering mengalami gangguan para pemberontak.”
“Heran benar itu pemberontak, mengapa tiada habis-habisnya? Mereka berpusat di Se-cuan dan Se-cuan
sendiri selalu dikurung dan digempur pasukan-pasukan kita. Kenapa masih ada di daerah ini? Sungguh
memusingkan!”
“Mereka itu tentulah dikemudikan dari Se-cuan, mereka bertugas sebagai mata-mata dan juga untuk
melakukan kekacauan. Kalau Se-cuan sudah dihancurkan, tentu yang bergerak di luar Se-cuan otomatis akan
berhenti. Dan aku yakin, kalau Puteri Nirahai sendiri yang turun tangan memimpin pasukan menyerbu Se-cuan,
menaklukkan daerah pemberontak itu akan sama mudahnya dengan makan bakpauw!”
“Wah, kau terlalu, Loheng! Sudah terkenal sekali betapa Bu Sam Kwi mempunyai banyak tokoh pandai
sehingga beberapa kali pasukan-pasukan pilihan kita mengalami kegagalan dan jatuh banyak korban. Masa
kalau Sang Puteri yang memimpin lalu begitu gampang seperti makan bakpauw?”
“Sam-te, kau tidak tahu. Puteri Nirahai amatlah sakti. Selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga cerdik sekali.
Tentu dia melakukan siasat, entah siasat apa pula maka beliau secara rahasia mengutus kita menyerahkan
sepucuk surat kepada Su-ciangkun. Hemmm, aku mau membayar dengan tiga bulan gajiku kalau
diperbolehkan membaca isi surat ini!” Orang yang dipanggil Loheng itu, yang bertubuh tinggi kurus dengan
mata lebar, menepuk-nepuk saku bajunya.
“Ihhh, hati-hati, Loheng,” kata kawannya yang lebih muda dan berhidung bengkok. “Siapa tahu di sini terdapat
mata-mata pemberontak!”
“Ah, andai kata ada, berani apa terhadap kita? Dia tidak tahu kita membawa surat yang penting. Kedua kalinya,
dengan golokku ini sepuluh orang pemberontak akan termakan olehku. Belum engkau yang tentu akan mampu
makan sepuluh orang lagi.”
“Betapa pun juga, kita harus hati-hati dan hatiku takkan lega sebelum berjumpa dengan Su-ciangkun dan
menyerahkan surat itu kepadanya!” kata yang muda. “Hujan sudah mereda, hayo kita berangkat lagi, Loheng.”
Akan tetapi alangkah kaget hati kedua orang prajurit pengawal itu ketika mereka melihat seorang pemuda
buntung berdiri di antara kuda mereka. Hanya sebentar mereka kaget karena mereka memandang rendah
ketika melihat kaki buntung itu dan menganggap Han Han seorang pengemis.
“Heh, kau mau apa di sini?” bentak Si Tinggi Kurus.
“Bukankah kalian hendak menghadap Su-ciangkun? Aku adalah kepercayaan Su-ciangkun yang ditugaskan
menyambut kalian. Bukankah kalian membawa sebuah surat dari Puteri Nirahai untuk beliau? Nah, aku yang
disuruh menjemput dan menerima surat itu, karena tempat beliau tidak boleh diketahui orang!”
Dua orang itu terbelalak dan memandang tidak percaya. “Ah, apa tandanya bahwa engkau orang kepercayaan
Su-ciangkun?”
Han Han tersenyum, diam-diam merasa geli karena ia sengaja memancing. “Bukankah Su-ciangkun itu
orangnya kecil pendek?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Dua orang itu kembali saling pandang, kemudian Si Tinggi Kurus membentak, “Dia tinggi besar seperti
raksasa! Engkau palsu!” Sambil berkata demikian, ia mencabut goloknya dan membacok.
Akan tetapi ujung tongkat Han Han dua kali meluncur dan Si Tinggi Kurus berdiri kaku dengan golok diangkat
ke atas sedangkan temannya juga berdiri kaku karena totokan ujung tongkat Han Han. Pemuda itu memang
telah amat tertarik mendengar percakapan dua orang utusan Puteri Nirahai itu, apa lagi ketika mendengar
disebutnya nama Su-ciangkun.
Maka ia sengaja menghadang dan sengaja memancing sehingga ia akhirnya mendapat kepastian ketika Si
Tinggi Kurus menyatakan bahwa Su-ciangkun tinggi besar seperti raksasa. Tidak salah lagi, itulah orangnya
yang dicari-cari. Seorang di antara tujuh orang perwira yang membasmi keluarganya! Cepat ia merenggut ke
dalam saku baju Si Tinggi Besar yang memandang dengan mata melotot, mengeluarkan surat dari kota raja
dan membaca tulisan pada sampulnya. Di atas ditulis dengan huruf-huruf kecil: Perintah Rahasia. Dan di
depan sampul itu tercantum nama si penerima: Su Long Tek ciangkun.
Dengan sikap tenang tapi gembira Han Han membuka sampul surat itu, mengeluarkan suratnya dan membaca
isinya. Ia terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa surat dari Puteri Nirahai itu memerintahkan kepada Suciangkun
untuk mengerahkan pasukan dan menyerbu tempat persembunyian kepala pemberontak Lauwpangcu,
ketua Pek-lian Kai-pang yang bersarang di lembah Sungai Huang-ho, yaitu di seberang kota Cin-an.
Demikian jelas surat perintah itu, bahkan diberi gambar pula yang menunjukkan di mana adanya sarang Lauwpangcu!
Diam-diam Han Han amat kagum akan ketegasan dan ketelitian surat itu. Lauw-pangcu hendak diserbu!
Terbayang ia akan wajah kakek yang budiman itu, kakek yang pertama kali mengambilnya sebagai murid. Dan
otomatis terbayang pula wajah Lauw Sin Lian, gadis yang dahulu merupakan seorang kawan bermain yang
gembira dan lincah, akan tetapi yang pada pertemuan terakhir ini telah menjadi seorang tokoh Siauw-lim-pai
yang berkepandaian tinggi dan yang marah-marah kepadanya.
Girang hati Han Han. Ada kesempatan baik baginya. Pertama untuk membalas dendam kepada Perwira Su
Long Tek yang ia duga tentulah seorang di antara tujuh perwira pembasmi keluarganya, kedua ia akan dapat
menyelamatkan Lauw-pangcu untuk membalas budinya, dan ketiga ia akan dapat menjelaskan persoalan yang
dahulu, kesalah pahaman yang terjadi antara dia dan Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai yang diatur oleh Puteri
Nirahai yang amat cerdik.
Han Han sudah mengangkat tongkatnya untuk membunuh dua orang itu. Dia harus membunuh mereka ini
kalau hendak melakukan siasatnya, akan tetapi dia menahan tangannya, tidak membunuh mereka melainkan
membebaskan totokan mereka. Tak mungkin ia dapat membunuh dua orang lawan yang tak berdaya. Begitu
terbebas dari totokan, dua orang pengawal yang melihat betapa surat perintah rahasia itu dirampas segera
berteriak marah dan golok mereka berkelebat menerjang Han Han.
Pemuda ini menjadi girang. Kalau sekarang ia melawan dan membunuh kedua lawan ini, hatinya tidak akan
menyesal kelak, tidak seperti kalau dia membunuh mereka dengan darah dingin selagi mereka tak mampu
bergerak. Dia teringat akan sepak terjang para prajurit Mancu yang banyak menimbulkan kesengsaraan
terhadap rakyat yang tidak berdosa.
Begitu melihat golok kedua orang itu menyambar ganas, ia meloncat ke belakang. Tongkatnya bergerak
menangkis, menempel kedua golok dan sekali ia menyontekkan tongkatnya, kedua buah golok itu membalik
dan membacok kepada pemiliknya sendiri. Terdengar jerit dua kali dan dua orang pengawal itu roboh dengan
golok masing-masing menancap dada menembus punggung. Karena tangan mereka masih menggenggam
gagang golok, tampaknya mereka itu mati karena membunuh diri!
Sejenak Han Han memandang dan menghela napas. Itulah resiko orang-orang yang menjadi utusan rahasia.
Andai kata mereka tidak tewas sekarang, kalau kemudian diketahui bahwa surat perintah rahasia itu hilang,
tentu mereka berdua akan dihukum mati juga.
dunia-kangouw.blogspot.com
Han Han lalu berkelebat pergi, melanjutkan perjalanan ke selatan sambil membawa surat perintah itu yang
dikantonginya. Memang dua orang pengawal itu mempunyai kuda yang baik, akan tetapi bagi Han Han jauh
lebih leluasa berjalan dengan kaki buntungnya dari pada menunggang kuda.
Dia mengambil keputusan untuk mencari dulu tempat persembunyian Lauw-pangcu di lembah Huang-ho
seperti tersebut dalam surat perintah rahasia itu, maka dengan amat cepat Han Han melanjutkan perjalanan
menuju ke kota Cin-an. Menurut surat itu, sarang dari perkumpulan Pek-lian Kai-pang berada di lembah
Huang-ho, di seberang kota Cin-an.
Ketika Han Han tiba di lembah Huang-ho dan berjalan menyusuri sungai besar itu di pantai utara, masuk
keluar hutan seorang diri sambil menduga-duga di mana kiranya tempat yang dijadikan markas itu, tiba-tiba ia
melihat beberapa orang menuju ke sebuah hutan yang besar dan penuh dengan gunung-gunung karang kecil.
Melihat cara mereka berjalan cepat, pakaian mereka, dan keadaan mereka, ada yang menunggang kuda, dan
sebagian besar berjalan kaki, Han Han dapat menduga bahwa mereka itu tentulah orang-orang kang-ouw.
Tempat yang begini liar dan sunyi, bukan tempat bagi kaum pelancong.
Diam-diam ia membayangi beberapa orang yang bicara sambil bercakap-cakap. Karena gerakan Han Han
amat luar biasa, dia dapat membayangi mereka tanpa ada yang melihat dan hatinya girang bukan main ketika
mendengar percakapan di antara mereka bahwa mereka itu adalah tamu-tamu yang datang berkunjung untuk
memberi selamat kepada Lauw-pangcu yang merayakan hari ulang tahunnya yang ke tujuh puluh!
Tak lama kemudian Han Han yang mengikuti orang-orang itu tiba di tengah hutan lebat. Diam-diam ia kagum
menyaksikan penjagaan-penjagaan yang dilakukan oleh orang-orang berpakaian pengemis, yang boleh dikata
menjaga setiap sudut hutan. Untung bahwa dia datang pada saat lembah Huang-ho itu dikunjungi banyak tamu
sehingga kedatangannya itu tidak dicurigai.
Memang nama besar Lauw-pangcu terkenal sampai di mana-mana, terutama sekali di antara para tokoh kangouw
yang menentang penjajahan bangsa Mancu. Kakek ketua Pek-lian Kai-pang ini selain terkenal sebagai
seorang ketua berpengaruh dari perkumpulan pengemis itu, sebagai seorang pendekar budiman, juga akhirakhir
ini namanya menjulang tinggi sebagai seorang patriot yang menentang kaum penjajah dengan
mengorbankan banyak sekali anggota Pek-lian Kai-pang.
Ketika mereka semua itu tiba di markas kaum Pek-lian Kai-pang, Han Han menjadi kagum dan juga terharu. Ia
kagum menyaksikan kehadiran tamu para tokoh kang-ouw yang ratusan orang jumlahnya, tidak kurang dari
dua ratus orang. Dan ia terharu ketika melihat Lauw-pangcu yang sudah amat tua itu menerima para tamu di
tempat terbuka dalam hutan, hanya duduk di atas rumput saja! Keadaan kakek yang berpakaian butut itu
amatlah miskinnya. Di situ pun hanya terdapat beberapa buah gubuk kecil sederhana. Namun wajah kakek tua
ini tampak berseri gembira menyambut para tamu yang terpaksa juga duduk di atas rumput. Ada yang duduk di
akar pohon, ada pula yang berjongkok, tidak kurang pula yang berdiri saja. Sungguh sebuah pertemuan yang
amat sederhana dan kalau pertemuan ini diadakan untuk merayakan hari ulang tahun, sungguh merupakan
sebuah perayaan yang luar biasa sederhananya!
Amatlah mengharukan menyaksikan betapa kakek itu bangkit dan berkali-kali menyambut para tamu dengan
membungkuk dan mengangkat kedua tangan di depan dada, menghaturkan terima kasih dan minta maaf
bahwa dia tidak dapat menyambut para tamu sebagaimana mestinya, bahkan bangku pun tidak ada!
Akan tetapi lebih mengharukan lagi adanya barang-barang sumbangan yang ditumpuk begitu saja di atas
rumput, padahal di antara barang-barang itu terdapat benda-benda yang amat berharga dan mahal harganya.
Juga Han Han mengenal Lauw Sin Lian yang cantik jelita dan gagah perkasa, berdiri di samping ayahnya ikut
menyambut dan memberi hormat kepada para tamu. Biar pun pakaian Sin Lian juga sederhana, akan tetapi
cukup bersih dan tidak penuh tambalan seperti pakaian ayahnya. Pakaian gadis ini ringkas dan ketat,
membayangkan tubuh yang ramping padat sehingga para tamu pria yang muda-muda memandangnya penuh
kagum.
“Terima kasih... terima kasih, cu-wi sekalian. Cu-wi yang sudi datang dan masih mengingat akan ulang tahun
seorang kakek seperti saya, sungguh budi cu-wi sekalian itu bertumpuk setinggi gunung, lebih tinggi dari pada
tumpukan barang sumbangan yang saya terima. Cu-wi sekalian, barang-barang sumbangan cu-wi ini tidak
akan sia-sia, bukan untuk saya pribadi melainkan akan saya kirimkan ke Se-cuan sebagai penambah biaya
dunia-kangouw.blogspot.com
perlawanan menentang pemerintah penjajah! Saya sudah tua, dan sejak dahulu seorang pengemis seperti
saya tidak membutuhkan apa-apa, yang saya butuhkan hanyalah kebebasan tanah air dari cengkeraman
penjajah.”
“Hidup Lauw-pangcu yang gagah perkasa!”
Teriakan-teriakan ini menggegap-gempita dan banyak di antara para tamu merogoh saku dan menguras isi
saku untuk ditumpukkan pula di tumpukan barang sumbangan setelah mereka mendengar bahwa semua
sumbangan akan dikirim ke Se-cuan untuk biaya perlawanan terhadap penjajah. Melihat ini Lauw-pangcu
memandang terharu sampai basah kedua matanya.
Han Han juga terharu. Ketika ia memandang, di antara para tamu terdapat seorang yang mukanya bopeng,
penuh bekas cacar burik-burik. Jantungnya berdebar. Ia pernah melihat orang ini. Tak mudah melupakan muka
bopeng seperti itu. Akan tetapi ia lupa lagi di mana. Selagi ia mengingat-ingat, Si Muka Bopeng yang
membawa pedang di punggungnya itu tiba-tiba melompat ke tengah lapangan, berhadapan dengan Lauwpangcu,
mengangkat tangan kanan ke atas dan berteriak.
“Saudara-saudara seperjuangan, kalian telah tersesat jauh!”
Mendengar seruan yang nyaring sekali ini, semua orang tertegun dan tidak ada yang mengeluarkan suara.
Semua mata ditujukan kepada Si Muka Bopeng ini. Juga Lauw-pangcu dan Lauw Sin Lian memandang.
Dengan sikap tenang dan sabar, berbeda dengan sikap Sin Lian yang marah, Lauw-pangcu menjura kepada
orang itu dan berkata.
“Mohon maaf jika saya tidak mengenal sicu, akan tetapi saya tidak meragukan bahwa sicu tentulah seorang
saudara sepaham dan seperjuangan yang menentang penjajah, maka sicu sudi datang di tempat kami ini.
Akan tetapi, apakah maksud sicu dengan ucapan tadi?”
“Kita semua adalah kaum pejuang yang gagah perkasa, yang siap mengorbankan apa pun juga demi nusa
bangsa, dan akan berjuang terus sampai penjajah dipukul hancur! Bagaimana mungkin kita harus bekerja
sama dengan Bu Sam Kwi, seorang pengkhianat bangsa?”
Ucapan itu hebat sekali. Pada waktu itu, satu-satunya kekuasaan yang mati-matian menentang pemerintah
Mancu adalah Bu Sam Kwi yang mempertahankan daerah Se-cuan secara mati-matian dan gagah berani,
menimbulkan rasa simpati dan kagum di hati semua pejuang. Sekarang, Si Muka Bopeng ini memakinya
sebagai pengkhianat bangsa, hati siapa tidak akan kaget?
“Aihhhhh, apa yang kau ucapkan ini, sicu? Bu-ongya adalah seorang raja muda yang merupakan satu-satunya
pemimpin kita menentang Mancu! Dan Se-cuan adalah satu-satunya tempat yang dapat menampung kekuatan
pejuang.”
“Heh-heh-heh, sungguh picik sekali pendapatmu, Lauw-pangcu! Apa yang dikatakan Ouw Kian itu tepat sekali!”
Suara ini amat nyaring dan berwibawa.
Tiba-tiba, setelah ada angin besar menyambar, di tengah lapangan itu muncul seorang kakek yang mukanya
seperti muka kuda! Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Lauw-pangcu dan Sin Lian ketika mengenal
kakek itu yang bukan lain adalah Ma-bin Lo-mo!
Lauw-pangcu pernah melihat tokoh ini satu kali sedangkan Sin Lian sudah sering kali mendengar nama besar
datuk kaum sesat ini yang menjadi majikan atau kepala dari In-kok-san (Lembah Mega) di Gunung Tai-hangsan
dan kini dapat menduganya. Tentu saja Han Han segera mengenal Iblis Muka Kuda ini dan sekarang
teringatlah ia akan Si Muka Bopeng yang bernama Ouw Kian itu, seorang di antara pembantu Ma-bin Lo-mo
ketika ia bersama Lulu ditawan di atas perahu dahulu itu.
Beberapa orang di antara para tamu juga mengenal kakek ini karena biar pun kakek ini termasuk tokoh kaum
sesat, namun harus diakui bahwa kakek ini selalu menentang bangsa Mancu sehingga dianggap sebagai
teman seperjuangan.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kiranya Siangkoan Lee locianpwe yang berkenan datang berkunjung! Sungguh merupakan kehormatan besar
sekali bagi kami dan merupakan kebahagiaan besar bahwa kini sekeluarga pejuang dapat bertemu dan
berkumpul di sini.” Mendengar ucapan Lauw-pangcu ini, yang menjura dengan penuh kehormatan kepada
kakek muka kuda, semua tamu menjadi terkejut sekali, terutama sekali mereka yang baru tahu bahwa kakek
bermuka lucu ini adalah tokoh hitam yang sudah amat terkenal itu.
“Memang aku sengaja datang untuk meluruskan yang bengkok, membersihkan yang kotor. Perjuangan kita
tidak boleh diselewengkan, dan pendapatmu tadi benar-benar merupakan penyelewengan besar, Lauwpangcu.
Kuulangi lagi bahwa pendapat Ouw Kian tadi tepat sekali. Merupakan penyelewengan besar kalau kita
membantu si pengkhianat Bu Sam Kwi yang seharusnya malah kita musuhi! Lauw-pangcu, apakah engkau
pura-pura lupa bahwa Bu Sam Kwi merupakan seorang di antara pemberontak-pemberontak dan pengkhianat
besar yang menjadi sebab utama jatuhnya Kerajaan Beng? Apakah engkau lupa akan riwayat hitam yang
menyelimuti diri Bu Sam Kwi?”
Wajah Lauw-pangcu berubah merah. Dia maklum bahwa yang kini menyerangnya dengan kata-kata adalah
seorang di antara datuk-datuk hitam yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, dan maklum pula bahwa Mabin
Lo-mo adalah seorang penentang penjajah yang gigih. Akan tetapi, ia pun mengenal siapa kakek ini, dan ia
cukup mengenal pula siapa Bu Sam Kwi. Maka dengan suara tenang ia menjawab.
“Tentu saja saya tahu, locianpwe. Bu-ongya, yaitu Bu Sam Kwi yang kini merupakan satu-satunya kekuasaan
yang masih sanggup bertahan terhadap penjajah dahulu ialah seorang panglima bala tentara Beng yang
bertugas menjaga dan mempertahankan tapal batas utara. Jasanya untuk Kerajaan Beng sudah amat besar,
jauh lebih besar dari pada jasa para menteri dan pembesar di kota raja yang hanya membesarkan kesenangan
diri sendiri.”
“Akan tetapi apa kau pura-pura menutupi pengkhianatannya? Jauh sebelum bangsa Mancu datang, dia telah
memberontak! Bu Sam Kwi telah memberontak terhadap Kerajaan Beng dan bergerak dari utara bersama
dengan pemberontak Lie Cu Seng yang mengangkat diri sendiri menjadi raja di Shan-si, dan pemberontak
Thio Han Tiong yang bersarang di barat. Apakah engkau hendak menyangkal sejarah?”
“Maaf, locianpwe. Saya mengerti akan semua itu, akan tetapi saya pun mengerti mengapa mereka itu
memberontak. Pada masa itu, pemerintahan Kerajaan Beng amat buruk dan lemah karena kaisar dan para
menterinya mengubur diri dalam kesenangan dan pemuasan nafsu-nafsu duniawi, tidak mempedulikan
keadaan rakyat yang hidup sengsara, dari luar ditindas para perampok dan bajak-bajak, dari dalam ditindas
oleh para pembesar yang lalim. Kerajaan Beng makin suram dan bobrok, bagaikan sebuah bangunan yang
makin lama makin lemah dan rusak karena digerogoti tikus-tikus dan rayap dari dalam! Sebagai orang-orang
gagah yang mengingat akan nasib rakyat jelata, mereka bangkit menentang kaisar, akan tetapi malah
dimusuhi dan terpaksa mereka memberontak terhadap pemerintah yang bobrok!”
“Huh! Omongan orang yang berjiwa pemberontak! Betapa pun juga alasannya, Bu Sam Kwi sudah terang
seorang pemberontak, seorang panglima yang tidak setia kepada rajanya. Dan orang macam itu sekarang
hendak kalian bantu? Penyelewengan besar! Tidak ingatkah engkau bahwa selain dia itu pemberontak, dia
juga seorang pengkhianat bangsa? Lupakah engkau bahwa Bu Sam Kwi si pengkhianat itulah yang bersekutu
dengan bangsa Mancu? Bu Sam Kwi bersekutu dengan Pangeran Dorgan yang waktu itu memimpin barisan
Mancu, kemudian bersama-sama menyerang ke selatan, menduduki kota raja yang telah dirampas
pemberontak Lie Cu Seng!”
“Maaf, locianpwe. Saya kira hal itu terpaksa dilakukan untuk menundukkan Lie Cu Seng. Hal itu termasuk
siasat perang...”
“Ha-ha-ha-ha! Siasat kotor, dan siasat goblok yang sama sekali tidak berhasil! Setelah bersekutu, dia berani
memasukkan serigala ke dalam kandang! Kemudian dia sendiri dimusuhi oleh bangsa Mancu dan dikejar-kejar
sampai lari terbirit-birit ke barat! Ha-ha-ha, dan orang macam itukah yang hendak kalian bantu?”
“Habis, kalau menurut pendapat locianpwe, bagaimana baiknya?” Lauw-pangcu yang terpaksa mengalah
karena terdesak lalu bertanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kita berjuang sendiri! Kita menghancurkan penjajah Mancu, kalau sudah berhasil, kita membasmi
pemberontak-pemberontak macam Bu Sam Kwi. Kita harus menegakkan kembali Kerajaan Beng yang tercinta!”
“Hemmm... kaisar terakhir Kerajaan Beng telah membunuh diri, dan saya tidak melihat adanya keturunan
kaisar yang lolos dari maut ketika bangsa Mancu menduduki istana.”
“Masih banyak tokoh-tokoh Beng yang hidup di saat ini! Termasuk aku! Apa sukarnya kelak menentukan
pilihan baru untuk kaisar Kerajaan Beng?”
Lauw-pangcu tidak dapat menjawab lagi. Keadaan menjadi sunyi, suasana menjadi tegang. Semua orang
menjadi bingung setelah mendengar perdebatan kecil itu, karena sebagian besar dari mereka berjuang matimatian
hanya karena tidak suka melihat tanah air dijajah bangsa asing. Ada pun mengenai urusan Kerajaan
Beng yang sudah runtuh, mengenai urusan pemberontakan-pemberontakan yang lalu, mereka sama sekali
tidak tahu dan tidak pula memperhatikan.
Mereka berjuang dengan dasar mengusir penjajah dari tanah air. Kini muncul urusan berbelit-belit mengenai
negara, mereka tidak mengerti dan menjadi bingung. Apa lagi karena yang berdebat ini adalah Lauw-pangcu
yang selama dalam perjuangan ini merupakan pemimpin pejuang yang gigih dan pandai, berhadapan dengan
seorang tokoh besar pula, bukan hanya tokoh perjuangan yang selalu melakukan perlawanan terhadap
penjajah secara menyendiri sehingga nama pejuang-pejuang In-kok-san amat terkenal, akan tetapi juga
tersohor sebagai seorang tokoh kang-ouw yang dianggap manusia iblis!
Melihat ayahnya tak dapat menjawab, agaknya terdesak oleh alasan-alasan yang dikemukakan Iblis Muka
Kuda itu, Sin Lian cepat melangkah maju, berkata dengan suara tenang namun nyaring berwibawa kepada
kakek itu.
“Siangkoan Locianpwe, sudah lama saya mendengar nama besar locianpwe yang terkenal sebagai Ma-bin Lomo.
Kalau ada perbedaan pendapat antara locianpwe dengan kami, itu tidak perlu dipersoalkan. Kami adalah
golongan pejuang yang tidak mempunyai pamrih untuk diri pribadi, keinginan kami satu-satunya hanyalah
untuk menentang kaum penjajah. Soal siapa yang kelak akan memimpin rakyat setelah penjajah berhasil diusir
dari tanah air, itu soal nanti, terserah kepada kaum cerdik pandai yang ahli mengenai hal itu. Sudah jelas
bahwa Se-cuan merupakan satu-satunya daerah yang menjadi pusat kegiatan menentang penjajah, maka ke
sanalah kita menoleh untuk bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan tanah air. Kalau locianpwe suka
bekerja sama dengan kami, syukurlah. Kalau tidak pun tidak mengapa. Kita mengambil jalan sendiri dan cara
sendiri untuk menghancurkan penjajah!”
Semua tamu mengangguk-angguk mendengar ucapan tegas dari Sin Lian ini. Ma-bin Lo-mo memandang
tajam dan mengerutkan keningnya.
“Nona muda, engkau siapakah?”
“Dia adalah Lauw Sin Lian, puteriku,” kata Lauw-pangcu.
Ma-bin Lo-mo mengangguk-angguk, akan tetapi matanya tidak pernah melepaskan wajah gadis itu. Kemudian
ia berkata, “Di antara orang-orang yang menjunjung kegagahan, segala pertentangan paham dan perbedaan
pikiran hanya dapat diselesaikan melalui pertandingan kekuatan. Siapa kuat dia menang dan benar!”
Lauw-pangcu dan Sin Lian hendak membantah pendapat yang memuja hukum rimba seperti kebiasaan watak
kaum sesat itu, akan tetapi sambil tertawa Ouw Kian si Muka Bopeng sudah meloncat maju menghadapi Sin
Lian dan berkata.
“Ha-ha-ha, memang harusnya begitu! Dan... eh, Lauw-pangcu, maafkan pertanyaanku. Apakah puterimu ini
sudah bertunangan?”
Lauw-pangcu sendiri adalah seorang tokoh kang-ouw yang tidak begitu peduli akan segala sopan santun
kosong, maka pertanyaan ini diterima sewajarnya olehnya, tidak dianggap kurang ajar. “Belum, Ouw-sicu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bagus! Kalau begitu, kebetulan selagi Lauw-pangcu mengadakan perayaan ulang tahun, mengapa tidak
sekalian mencarikan jodoh untuk puterimu? Kulihat puterimu sudah lebih dari cukup dewasa. Bagaimana kalau
sekarang ditentukan bahwa siapa yang dapat menandinginya berhak meminangnya? Heh-heh, aku pun belum
menikah, eh... maksudku sudah duda dan sedang mencari jodoh...”
“Mulut busuk!” Sin Lian membentak marah sekali.
Tadinya, gadis yang sudah menerima gemblengan Siauw-lim Chit-kiam ini, yang sudah matang
pengalamannya dan luas pandangannya, mengambil sikap tidak memusuhi Ma-bin Lo-mo yang betapa pun
juga adalah seorang kawakan. Tetapi kini melihat sikap Ouw Kian, sebagai seorang wanita muda yang masih
panas darahnya, ia menjadi marah sekali dan telunjuknya menuding ke arah hidung yang kulitnya kasar itu.
“Apakah engkau tidak pernah melihat bayangan mukamu yang buruk dan lebih menjijikkan dari pada muka
tikus selokan itu? Cih, tak bermalu! Kalau engkau hendak mencoba kepandaian untuk mempertahankan
pendirian masing-masing, majulah dan jangan terlalu lebar membuka mulut yang berbau busuk!”
Sin Lian memang pada dasarnya galak dan pandai sekali bicara, maka sekali terbangkitkan kemarahannya,
ucapannya amat pedas menusuk jantung, membuat Si Muka Bopeng sebentar merah sebentar pucat. Ia pun
marah sekali, apa lagi melihat betapa para tamu banyak yang menahan tawa dengan menyembunyikan mulut
di balik lengan baju.
“Bocah sombong! Kau mau mengenal kelihaian tuanmu?” Ia membentak.
“Majulah dan cabut pedangmu!”
Sin Lian sudah melolos pedangnya karena gadis ini tidak sudi beradu lengan dengan Si Muka Bopeng. Kalau
ia melayani orang itu bertanding tangan kosong, mau tidak mau ia harus membiarkan lengannya beradu
dengan lengan lawan. Ia pun dapat menduga bahwa sebagai kaki tangan Ma-bin Lo-mo, ilmu silat Si Muka
Bopeng ini tentulah lihai.
Diam-diam Ouw Kian menjadi girang. Memang dia sendiri adalah seorang jago pedang yang menganggap
bahwa ilmu pedangnya adalah yang paling tinggi di dunia. Entah sudah berapa ratus kepala orang terpenggal
oleh pedangnya itu selama ia merantau sebagai perampok tunggal, sebelum akhirnya ia ditundukkan Ma-bin
Lo-mo dan menjadi pembantu Iblis Muka Kuda.
Cepat ia menggerakkan tangan dan dengan aksi yang boleh juga, tubuh tegak kaki kanan diangkat menempel
lutut kiri, tangan kiri menjulang ke atas dengan telunjuk menunjuk langit, tangan kanan mencabut pedang di
pinggangnya. Aksinya memang hebat, sayang dia pakai senyum-senyum segala sehingga mukanya yang
memang tak dapat dikatakan tampan itu menjadi makin buruk.
“Lihatlah kiam-sutku yang tiada tandingan!” Ouw Kian membentak lalu pedangnya berkelebatan menyilaukan
mata. Dia sudah bersilat pedang, tidak langsung menyerang karena pada pendapatnya, kalau melihat ilmu
pedangnya, gadis puteri ketua Pek-lian Kai-pang itu tentu akan menguncup hatinya dan akan menyerah tanpa
bertanding lagi.
“Hemmm...!” Sin Lian mendengus sebal dan membentak, “Sambutlah!”
Pedangnya sudah menusuk dengan kecepatan kilat. Dara ini adalah murid dari Siauw-lim Chit-kiam, tujuh
orang pendekar Siauw-lim-pai yang sudah terkenal sebagai ahli pedang kenamaan dan Sin Lian sudah
mewarisi Ilmu Pedang Chit-seng-sin-kiam (Ilmu Pedang Sakti Tujuh Bintang). Kini menghadapi Si Muka
Bopeng yang sombong, gadis itu sudah menusuk, ujung pedang tergetar dan pecah menjadi tujuh sinar, akan
tetapi dara itu hanya mempergunakan tiga sinar untuk menusuk ke tiga bagian tubuh lawan yaitu tenggorokan,
ulu hati dan pusar. Gerakannya cepat sekali sehingga seolah-olah ada tiga batang pedang yang melakukan
penyerangan.
“Trang-trang-cringgg...! Ehhhhh...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Ouw Kian kebingungan dan ilmu pedangnya yang dipamerkan tadi menjadi kacau-balau karena secara bertubitubi
ia harus menangkis tiga sinar itu! Tangkisannya ngawur, akan tetapi karena memang dia seorang yang
sudah memiliki ilmu silat tinggi, ia berhasil juga menangkis sambil berloncatan ke belakang, tangannya tergetar
setiap kali pedangnya bertemu dengan ujung pedang lawan! Barulah ia terkejut bukan main, sama sekali tidak
mengira bahwa gadis muda yang cantik itu memiliki gerakan sedemikian cepat dan kuatnya, tanda bahwa ilmu
pedang gadis itu hebat bukan main.
Ouw Kian maklum akan kelihaian lawannya, maka ia tidak lagi berani banyak aksi dan cepat ia menggerakkan
pedang, bertanding dengan sungguh-sungguh dan melakukan serangan balasan. Namun tusukan dan
bacokan pedangnya mengenai angin dan di detik berikutnya, kembali ujung pedang Sin Lian seperti berubah
menjadi lebih banyak lagi, kemudian lima sinar menyambar ke arahnya dengan suara mencicit!
“Aahhh... ayaaaaa... trang-trang-trang...!”
Ouw Kian berhasil menangkis tiga kali, akan tetapi tangkisan yang ke tiga membuat tubuhnya terdesak dan
posisinya rusak sehingga susulan dua kali serangan agaknya takkan dapat ia tangkis lagi.
“Hemmm... mundurlah!” Tiba-tiba terdengar seruan Ma-bin Lo-mo dan ujung pedang Sin Lian hanya dapat
merobek sedikit kain baju di bagian dada Ouw Kian karena mendadak tubuh Ouw Kian seperti ditiup angin,
terlempar ke belakang. Ma-bin Lo-mo setelah menggunakan sinkang mendorong tubuh Ouw Kian dan
menyelamatkannya dari pedang Sin Lian, kini berdiri menghadapi gadis itu dengan pandang mata penuh
selidik.
“Nona, bukankah itu Chit-seng-sin-kiam yang kau mainkan? Apakah engkau anak murid Siauw-lim-pai?”
“Tidak salah, locianpwe. Aku adalah murid Siauw-lim Chit-kiam!” jawab Sin Lian tenang.
Ma-bin Lo-mo mengangguk-angguk. “Pantas, kiam-hoat-mu lihai. Dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam
tewas, kabarnya di tangan puteri Mancu, sudah sepatutnya engkau menentang pemerintah penjajah Mancu.
Akan tetapi sungguh sayang sekali kalau murid Siauw-lim-pai sampai menjadi kaki tangan pengkhianat seperti
Bu Sam Kwi. Nona Lauw, kurasa guru-gurumu akan marah jika mendengar engkau akan membantu
pengkhianat Bu Sam Kwi.”
“Siangkoan-locianpwe, guru-guruku pun kini berjuang bersama kekuatan di Se-cuan bersama-sama
menentang Mancu!”
Tiba-tiba Siangkoan Lee tertawa, suara ketawa yang tidak lumrah manusia, lebih mirip suara ringkik kuda
marah.
“Hiiyeeeeeh-heh-heh-heh! Sungguh memalukan! Sungguh tersesat dan menyeleweng jauh! Seorang
pemberontak dan pengkhianat malah dibantu, apakah dunianya tokoh-tokoh kang-ouw yang menyebut diri
kaum bersih dan golongan putih sudah terbalik?”
Sin Lian menjadi marah mendengar guru-gurunya diejek. “Locianpwe, kalau locianpwe tidak setuju dengan
pendirian kami, sudah saja. Locianpwe boleh berjuang sendiri. Apa artinya perjuangan yang liar tanpa
pimpinan? Tidak peduli apa yang dilakukan oleh Bu-ongya dahulu, namun sekarang kenyataan Bu-ongya
adalah satu-satunya tokoh yang gigih melakukan perlawanan terhadap penjajah dan di sanalah berkumpul
seluruh orang gagah yang hendak mempertahankan tanah air. Kalau tidak berjuang di bawah benderanya,
habis siapa yang akan menjadi pemimpin kami?”
Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan tahu-tahu di situ berkelebat bayangan dua orang dan di dekat Sin Lian
sudah berdiri dua muda yang memiliki gerakan cepat sekali, juga mengagumkan karena mereka adalan
seorang pemuda tampan gagah dan seorang dara cantik jelita. Suara ketawa tadi adalah suara mereka berdua
yang meloncat dari kumpulan para tamu, dan kini yang wanita berkata.
“Ma-bin Lo-mo, mengapa engkau memaksa orang lain untuk berjuang demi mencapai cita-cita pribadimu?”
Ma-bin Lo-mo melotot dan membentak. “Bocah lancang mulut! Apa maksudmu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Gadis muda yang bersikap lincah dan masih muda sekali, tidak lebih tua dari Sin Lian, tersenyum mengejek,
lalu menjura ke arah Lauw-pangcu dan Sin Lian, dan berkata lantang.
“Cu-wi sekalian tidak perlu heran mengapa dia ini menentang Se-cuan. Siapakah yang tidak tahu bahwa Mabin
Lo-mo adalah bekas menteri Kerajaan Beng, bernama Siangkoan Lee? Siapa yang tidak tahu bahwa dia
melatih murid-muridnya di In-kok-san untuk membentuk barisan yang kuat? Berbeda sekali dengan kita yang
berjuang tanpa pamrih pribadi, Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee berjuang untuk dapat mengangkat diri sendiri
menjadi kaisar menggantikan Kerajaan Mancu. Tentu saja dia menentang Bu Sam Kwi raja muda di Se-cuan!”
Diam-diam Ma-bin Lo-mo terkejut, akan tetapi dia adalah seorang yang angkuh dan percaya kepada diri sendiri,
maka dengan mata melotot ia membentak, “Memang benar! Dan mengapa tidak? Aku jauh lebih berharga dari
pada si pengkhianat Bu itu! Dan siapa yang menentang pendapat ini, boleh maju membuktikan sendiri bahwa
aku lebih patut dijadikan pemimpin dalam perjuangan menentang penjajah dari pada si pengkhianat bangsa Bu
Sam Kwi!”
Melihat kakek yang menjadi amat marah dan mengambil sikap menantang-nantang itu, Lauw-pangcu cepat
menghadapinya dan menjura penuh hormat. “Harap Siangkoan-locianpwe sudi menghabiskan saja urusan ini.
Marilah, silakan duduk sebagai tamu terhormat dan dalam kesempatan ini kiranya tidak perlu kita melanjutkan
pembicaraan yang hanya menimbulkan pertentangan itu. Yang penting, garis besar kita semua sama, ialah
menentang penjajah Mancu. Silakan!”
“Tidak bisa!” Ma-bin Lo-mo membentak, pandang matanya masih saja membayangkan ketidak-puasan dan
kemarahan ditujukan kepada dua orang muda yang baru tiba itu. “Kalau kalian semua masih melanjutkan
keinginan hendak mengabdi kepada pengkhianat Bu, tak mungkin aku tinggal diam saja! Dengan demikian
kalian berarti menjerumuskan diri ke dalam penyelewengan dan menjadi pengkhianat-pengkhianat bangsa
pula! Bagaimana aku, Siangkoan Lee, boleh tinggal diam saja melihat orang-orang mengkhianati Kerajaan
Beng?”
Kakek yang menjadi datuk golongan sesat ini lalu melangkah maju menghadapi Lauw-pangcu dan berkata,
“Lauw-pangcu, percuma bagiku bicara dengan segala macam bocah lancang. Lauw-pangcu adalah seorang
yang sudah tua dan sudah banyak pengalaman, maka kuminta agar mulai sekarang juga insyaf dan
membelokkan kembali perjuangan ke arah jalan benar. Jangan lagi membantu pengkhianat Bu Sam Kwi dan
marilah kita bekerja sama. Kalau memang ada pahala di kemudian hari setelah perjuangan berhasil, kitalah
yang patut menerimanya, bukan pengkhianat Bu itu. Nah, harap putuskan sekarang juga, Lauw-pangcu.
Bagaimana pendirianmu?”
Lauw-pangcu menghela napas panjang. “Siangkoan-locianpwe terlalu mendesak, apa boleh buat. Kalau
menurut saya pribadi, saya tetap akan membantu Se-cuan, karena berhasil tidaknya perjuangan kita
sesungguhnya tergantung kepada kekuatan Se-cuan sebagai tempat pertahanan terakhir.” Ketua Pek-lian Kaipang
itu berhenti sebentar lalu menoleh ke arah para tamu yang memandang tegang. “Tentu saja pendirian
saya ini merupakan pendirian Pek-lian Kai-pang pula dan kami tidak akan mempengaruhi pendapat para
sahabat pejuang yang saat ini menjadi tamu kami.”
Para tamu berteriak-teriak menyatakan persetujuan mereka dengan pendirian Lauw-pangcu. Mereka bersorak
riuh-rendah dan hal ini membuat wajah Ma-bin Lo-mo menjadi merah. Jelaslah bahwa tidak banyak yang
mendukungnya.
“Lauw-pangcu! Jikalau begitu, engkau ini bukan lain adalah pemimpin pengkhianat! Pantas... pantas...!
Memang semenjak dahulu, jauh sebelum penjajah Mancu datang, Pek-lian Kai-pang (Partai Teratai Putih)
memang terdiri dari orang-orang pemberontak dan pengkhianat! Sekarang, sudah menjadi pengemis jembel
gelandangan pun masih menjadi pengkhianat! Sungguh tak tahu malu!”
“Ma-bin Lo-mo, siapa yang tak tahu malu?” Lauw Sin Lian membentak marah mendengar ayahnya dimaki-maki.
“Engkaulah yang tidak tahu malu! Sebagai tamu seharusnya menghormati dan mentaati peraturan tuan rumah,
kalau tidak cocok boleh pergi karena engkau bukanlah tamu yang diundang!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hi-yeh-heh-heh! Lauw-pangcu, kalau engkau memang gagah, marilah kita mencoba-coba kepandaian agar
semua tamu terbuka matanya dan melihat siapa di antara kita yang lebih pantas menjadi pemimpin!”
“Siangkoan Lee! Biar sudah tua dan lemah, kalau ditantang aku tidak akan mundur...!” Lauw-pangcu menjadi
marah.
“Tahan, Ayah! Biarlah aku yang menghajar anjing tua ini!” bentak Sin Lian dan dia sudah menerjang maju
dengan pedangnya.
Karena ia maklum akan kelihaian datuk kaum sesat ini, tentu saja ia tidak memandang rendah seperti ketika
menghadapi Ouw Kian si Muka Bopeng tadi, melainkan mengerahkan tenaga dan menggerakkan pedang
sehingga ujungnya menimbulkan tujuh sinar yang berturut-turut meluncur ke arah tujuh bagian berbahaya dari
tubuh Ma-bin Lo-mo.
Di antara tokoh-tokoh kang-ouw, agaknya tingkat kepandaian Sin Lian sudah amat hebat dan sebagai murid
Siauw-lim Chit-kiam, agaknya sukar dicari tandingannya di kalangan orang muda. Akan tetapi sekali ini yang
diserang adalah Ma-bin Lo-mo, seorang di antara tokoh-tokoh yang sudah mendapat sebutan datuk, yaitu
datuk golongan hitam atau golongan sesat. Ilmu kepandaian Ma-bin Lo-mo jauh lebih tinggi dari pada tingkat
Sin Lian. Jangankan hanya dara remaja ini, biar Siauw-lim Chit-kiam maju bersama sekali pun, belum tentu
akan dapat mengatasi kepandaian Ma-bin Lo-mo yang tingkatnya dapat disejajarkan dengan ketua Siauw-limpai
yaitu guru Siauw-lim Chit-kiam!
Melihat sinar pedang gadis itu yang memecah menjadi tujuh sinar, diam-diam Ma-bin Lo-mo terkejut dan
kagum, memuji ilmu pedang ciptaan Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai yang telah dikuasai dengan baik
oleh gadis ini. Kalau dia menghendaki, tentu saja dengan mudah Ma-bin Lo-mo akan dapat merobohkan Sin
Lian dengan ilmu pukulan Swat-im Sin-ciang yang dahsyat.
Akan tetapi dia mempunyai cita-cita lain. Kedatangannya sebetulnya bukan hendak memusuhi Pek-lian Kaipang,
melainkan hendak menarik mereka menjadi sekutu dan membantunya. Kini menghadapi puteri Lauwpangcu,
ia tak mau sembrono menurunkan tangan keji, hanya ingin membuktikan bahwa dia patut menjadi
pemimpin dengan kepandaiannya yang paling lihai di antara mereka semua.
“Hi-yeh-heh... kiam-sut yang bagus, akan tetapi tidak ada artinya kalau kau pergunakan untuk menyerangku,
Nona Cilik!” Ia mengejek.
Kedua tangannya bergerak ke depan membuat gerakan melingkar-lingkar dan tujuh sinar pedang itu seperti
diseret angin puyuh yang amat kuat. Betapa pun Sin Lian mengerahkan tenaganya untuk menahan, tetap saja
pedang dan tangannya terseret oleh gelombang hawa yang amat dahsyat dan dingin sehingga gerakan
pedangnya kacau dan semua serangannya gagal dengan sendirinya.
“Ma-bin Lo-mo, sungguh tak patut menghina nona rumah!” Tiba-tiba pemuda yang datang bersama gadis jelita
tadi menerjang maju. Mereka berdua sudah menerjang dengan pedang mereka dan yang amat hebat adalah
ginkang mereka karena gerakan kedua orang muda ini cepat seperti kilat!
Pedang di tangan pemuda dan gadis ini telah menolong Sin Lian karena puteri Lauw-pangcu yang tadinya
terancam untuk terputar tubuhnya oleh hantaman angin pukulan Swat-im Sin-ciang yang amat dahsyat, kini
berhasil meloncat ke pinggir ketika Ma-bin Lo-mo terpaksa menghentikan gerakan tangannya untuk
menghadapi serangan kedua orang muda itu. Ia pun terkejut menyaksikan kecepatan gerakan mereka.
Matanya silau menyaksikan sinar dua pedang yang amat cepat datangnya. Kakek ini mengeluarkan suara
meringkik dan tubuhnya sudah mencelat ke atas menghindarkan diri dari pada sambaran dua pedang.
Akan tetapi kini Sin Lian sudah maju lagi dengan pedang diputar cepat. Kini murid Siauw-lim Chit-kiam ini
bersikap hati-hati karena maklum betapa lihainya kakek bermuka kuda itu. Pedangnya membentuk segulung
sinar yang mencuat ke depan amat terangnya, menusuk dada kakek itu yang baru melayang turun. Dua orang
muda yang lihai itu pun menyambut turunnya tubuh Ma-bin Lo-mo dengan tusukan dan bacokan pedang.
Ma-bin Lo-mo kembali mengeluarkan suara terkekeh seperti bunyi ringkik kuda. Ujung kakinya tiba-tiba
menangkis atau menotol ujung pedang tiga orang muda itu. Dengan ‘meminjam’ tenaga mereka, tubuhnya
dunia-kangouw.blogspot.com
sudah melesat ke belakang tiga orang lawan. Tiga orang muda itu cepat membalikkan tubuhnya. Mereka kaget
sekali karena tidak mengira kakek itu sedemikian lihainya. Juga para tamu terkejut dan menjadi jeri.
Pada saat itu mendadak terdengar suara keras, “Harap hentikan pertandingan! Saya datang membawa berita
penting!”
Semua orang menoleh, dan tiba-tiba Ma-bin Lo-mo mengeluarkan suara meringkik aneh, wajahnya berubah
pucat ketika memandang kepada pemuda berkaki buntung yang jalan terpincang-pincang maju dibantu
tongkatnya. Ma-bin Lo-mo meloncat dan menghadang Han Han sambil berkata.
“Kau... kau masih hidup...?”
Tentu saja Ma-bin Lo-mo sudah mendengar berita di In-kok-san bahwa Han Han dan Kim Cu telah menjalani
hukuman yang dijatuhkan oleh Toat-beng Ciu-sian-li kepada dua orang murid itu. Dia mendengar bahwa selain
dibuntungi, juga kemudian Han Han dan Kim Cu dilempar ke dalam jurang maut yang tak berdasar! Tentu saja
ia menjadi kaget sekali melihat bekas murid ini tahu-tahu muncul di situ!
Karena menyangka bahwa seperti juga dahulu, bocah aneh tentu hanya akan menimbulkan keonaran dan
akan menghalangi cita-citanya, Ma-bin Lo-mo tidak mau banyak cakap lagi, setelah menegurnya lalu mengulur
tangan kanannya yang menuding tadi, mengerahkan Swat-im Sin-ciang menyerang ke arah jantung Han Han
di balik dadanya.
“Siangkoan-locianpwe, engkau banyak baikkah?” Han Han menyoja (mengangkat tangan ke depan dada)
untuk memberi hormat.
Tidak ada seorang pun yang menduga bahwa pada detik itu, dua buah tenaga tak tampak yang amat dahsyat
bertemu di antara mereka dan akibatnya, wajah Ma-bin Lo-mo menjadi pucat seperti kertas dan ia menahan
darah yang sudah naik ke kerongkongannya agar tidak muntah!
Tenaga Swat-im Sin-ciang yang ia lancarkan untuk menyerang Han Han tadi membalik dengan cepat dan tidak
terduga-duga olehnya sehingga melukai rongga dadanya sendiri! Memang ia tahu bahwa bocah bekas
muridnya yang telah menggembleng diri di Pulau Es ini memiliki kepandaian aneh dan tenaga dahsyat. Akan
tetapi ia telah buntung dan betapa dalam waktu tak lama saja telah mampu menangkis Swat-im Sin-ciang
tanpa gerakan memukul melainkan hanya bersoja sudah mampu mengembalikan pukulannya? Hal yang tidak
diduga-duga oleh Ma-bin Lo-mo ini membuat ia terluka dan jeri. Dengan mulut tertutup rapat ia menggapai
Ouw Kian dan pergi dari tempat itu diikuti Si Muka Bopeng yang terheran-heran, juga para tamu menjadi lega
ketika melihat bahwa kakek yang ditakuti itu pergi tanpa pamit.
“Han Han...!” Suara ini keluar dari mulut Sin Lian dan pemuda tampan itu secara berbareng.
“Han-twako...!” gadis yang datang bersama pemuda itu pun berseru. Wajahnya menjadi merah, akan tetapi,
seperti juga Sin Lian dan pemuda yang datang bersamanya tadi, gadis ini pun memandang ke arah kaki
buntung Han Han dengan heran.
Han Han tersenyum, lalu menjura ke arah Sin Lian dan dua orang muda itu yang bukan lain adalah dua orang
murid Im-yang Seng-cu, Wan Sin Kiat dan sumoi-nya, Lu Soan Li.
“Lauw-siocia, Lu-siocia, Saudara Sin Kiat, bagaimana keadaanmu bertiga? Kuharap baik-baik saja.”
Tiga orang muda itu tetap memandang ke arah kakinya dan tak dapat mengeluarkan kata-kata. Melihat betapa
orang yang mereka kagumi itu kini mendadak muncul dengan kaki buntung, mereka bertiga begitu heran dan
kaget sehingga sukar mengeluarkan kata-kata. Leher serasa dicekik keharuan dan kasihan.
“Ah, engkau Sie Han...? Akan tetapi, kenapa dengan kakimu...?” Lauw-pangcu sudah melangkah maju dan
memegang pundak Han Han. “Benar, engkau bocah aneh yang dahulu itu, akan tetapi mengapa kakimu itu,
Han Han?”
Han Han menjura kepada Lauw-pangcu dan berkata tenang, “Karena kecelakaan kaki saya menjadi buntung,
Lauw-locianpwe. Saya merasa girang dapat bertemu dengan locianpwe dalam keadaan sehat dan biarlah saya
dunia-kangouw.blogspot.com
menggunakan kesempatan ini untuk ikut pula mengucapkan selamat ulang tahun ke tujuh puluh tahun,
semoga locianpwe diberkahi panjang usia dan kesehatan!”
Lauw-pangcu tersenyum dan memandang wajah pemuda itu dengan kagum. Ia melihat betapa pemuda ini
telah menjadi seorang yang selain tampan dan gagah juga matang, bahkan ada sesuatu yang amat aneh
terpancar dari pandang mata pemuda itu. Akan tetapi sebelum ia sempat bicara lagi, Wan Sin Kiat sudah
memegang lengan tangan Han Han dan berkata.
“Kebetulan sekali engkau datang, Han Han. Dan di mana... di mana Nona Lulu?”
Ditanya tentang Lulu, wajah Han Han menjadi muram, dan ia menggeleng kepalanya. “Entahlah, aku sedang
mencari dia.”
“Mencari Lulu? Ahhh, tadinya kusangka bahwa engkau datang bersama Lu-moi!” kata Sin Lian dan Han Han
menjadi terheran-heran mendengar gadis itu menyebut Lulu dengan suara demikian akrab.
Melihat ini, Lauw-pangcu tertawa dan berkata, “Marilah kita bicara di dalam!” Ia memberi perintah kepada
seorang anak buah Pek-lian Kai-pang untuk melayani para tamu, kemudian ia mengajak Han Han, Sin Lian,
Sin Kiat dan Soan Li memasuki pondoknya.
Setelah mereka duduk di dalam pondok mengelilingi meja dan disuguhi makanan dan arak oleh anak buah kaipang
yang cepat keluar kembali, Lauw-pangcu lalu berkata.
“Agaknya banyak sekali urusan yang harus kita bicarakan, Han Han. Akan tetapi lebih dulu perkenalkanlah dua
orang muda perkasa yang membantu kami menghadapi Ma-bin Lo-mo ini.”
“Kiranya Lauw-locianpwe dan Lauw-siocia...”
“Iiihhh, kenapa engkau sekarang berubah seperti ini, Han Han? Masa menyebut aku nona-nonaan segala,
apakah aku harus menyebut tuan muda kepadamu?” Tiba-tiba Sin Lian menegur dengan mulut cemberut.
Hati Soan Li yang melirik dan melihat ini menjadi berdebar dan terasa tidak enak. Akan tetapi Sin Kiat dan
Lauw-pangcu tertawa menyaksikan sikap Sin Lian ini.
Merah wajah Han Han ditegur gadis itu. “Eh... baiklah. Kuulangi lagi, agaknya Lauw-pangcu dan Sin Lian
belum mengenal dua saudara ini. Dia adalah Hoa-san Gi-hiap Wan Sin Kiat dan Nona ini adalah Hoa-san
Kiam-li Lu Soan Li!”
“Ah, kiranya murid-murid dari Im-yang Seng-cu? Maaf kalau saya yang tua tidak mengenal dan bersikap
kurang hormat.”
Akan tetapi Sin Lian tidak bersikap seperti ayahnya, bahkan memandang kepada dua orang muda itu dengan
alis berdiri. Betapa pun juga, di dalam hati gadis ini masih ada bekas luka akibat siasat adu domba antara
Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai.
Soan Li yang cerdik tentu saja dapat mengerti akan sikap Sin Lian ini dan ia cepat berkata, “Nama besar Enci
Sin Lian sebagai murid tokoh-tokoh Siauw-lim Chit-kiam telah lama saya mendengarnya. Enci Sin Lian,
kedatangan kami berdua ini adalah hendak menghapus segala peristiwa hitam yang timbul di antara Hoa-sanpai
dan Siauw-lim-pai yang sesungguhnya ditimbulkan oleh siasat buruk adu domba oleh Pemerintah Mancu.
Kiranya Enci sudah pula mendengar akan hal itu, peristiwa yang patut disesalkan sehingga menyeret pula
Han-twako yang sama sekali tidak berdosa. Han-twako yang terseret oleh siasat adu domba di antara kedua
partai, sampai-sampai mendatangi Pek-eng-piauwkiok dan bertemu dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai, bahkan
mengalami penghinaan pula. Sungguh kami merasa menyesal sekali...”
Wajah keruh di muka Sin Lian segera menghilang. Memang pada dasarnya watak Sin Lian adalah lincah dan
peramah. Kalau tadi ia berwajah keruh melihat munculnya dua orang tokoh Hoa-san-pai adalah karena ia
teringat akan kematian dua orang di antara ketujuh orang gurunya. Ia cepat tersenyum dan berkata.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Adik Soan Li, aku telah tahu akan hal itu semua. Aku telah mengetahui betapa kalian berdua sampai bentrok
dengan orang-orang Hoa-san-pai sendiri. Aku telah diceritakan oleh adikku Lulu yang pandai bercerita
sehingga peristiwa di piauwkiok itu seolah-olah dapat kubayangkan dengan mata sendiri!”
“Eh, Non... ehh, Sin Lian, apa artinya semua ini? Adikmu Lulu... bagaimana ini?”
Kembali Lauw-pangcu tertawa, agaknya kakek ini merasa girang sekali dapat bertemu dengan Han Han yang
sudah banyak ia dengar dari Lulu. Ia memandang pemuda ini dan diam-diam kakek yang sudah
berpengalaman ini dapat mempercayai omongan Lulu yang pernah mengatakan bahwa di dunia ini kakaknya
adalah yang paling sakti! Sungguh pun ia maklum bahwa Lulu melebih-lebihkan akan tetapi ia dapat
menangkap wibawa yang amat luar biasa dan sinar aneh terpancar keluar dari sepasang mata pemuda itu.
“Ha-ha-ha-ha, agaknya telah terjadi banyak sekali hal yang amat kebetulan dan yang perlu kita saling tuturkan,
Han Han. Akan tetapi biarlah kita mulai satu-satu dan lebih dulu kiranya lebih baik kalau kita persilakan dua
orang murid Im-yang Seng-cu untuk menuturkan maksud kunjungannya yang terhormat.”
Kini Wan Sin Kiat bicara, suaranya halus dan tegas, “Tadi telah disinggung oleh Sumoi akan maksud
kedatangan kami berdua. Tidak lain hanya untuk menemui Nona Lauw sebagai murid Siauw-lim Chit-kiam
untuk menjelaskan persoalan salah paham akibat adu domba pihak Mancu antara Siauw-lim-pai dan Hoa-sanpai.
Kami tidak berani lancang menghadap ke Siauw-lim-si, maka mendengar bahwa locianpwe dan Nona
Lauw berada di sini dan kebetulan sekali mengadakan pesta ulang tahun, kami sengaja datang menyampaikan
selamat ulang tahun dan ingin penjelasan untuk menghapus permusuhan. Siapa mengira bahwa Nona Lauw
telah mendengar persoalannya. Kami merasa girang sekali kalau Nona Lauw sudah mengerti bahwa yang
melakukan pembunuhan terhadap kedua orang locianpwe dari Siauw-lim Chit-kiam bukanlah orang Hoa-sanpai.”
Sin Lian mengangguk-angguk. “Saya telah menghadap para pimpinan Siauw-lim-pai dan ternyata beliau
semua telah mendengar dari keterangan Han Han sendiri yang datang ke sana. Apa lagi setelah saya
mendengar penuturan siauw-moi, semua permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai telah terhapus
dengan sendirinya dan kini kami hanya ingin membalas kematian kedua orang suhu saya itu kepada pihak
Mancu.”
Lauw-pangcu menghela napas. “Memang perang adalah peristiwa yang menjijikkan dan menyedihkan. Dan
orang-orang Mancu telah menggunakan siasat yang amat busuk! Nah, sekarang biarlah aku menuturkan
tentang adikmu, Han Han. Ketahuilah bahwa adikmu Lulu telah menjadi anak angkatku, dan menjadi adik
angkat Sin Lian.”
“Aaahhh...!” Han Han membelalakkan matanya dan menjadi bengong. Mana mungkin bisa terjadi hal ini?
Bukankah Lauw-pangcu adalah musuh besar Lulu? Bukankah keluarga perwira Mancu, ayah Lulu, telah
terbasmi oleh Lauw-pangcu dan anak buahnya? Dia sejak dahulu mengkhawatirkan pertemuan antara Lulu
dengan Lauw-pangcu, akan tetapi ternyata kini adiknya itu malah menjadi anak angkat musuh besarnya!
“Aku mengerti, tentu engkau bingung dan heran. Semestinya Lulu datang dan membunuh aku untuk membalas
dendam atas kematian keluarganya, bukan? Akan tetapi, ah... adikmu itu adalah seorang manusia yang benarbenar
memiliki watak murni dan bersih, dan aku merasa bahagia sekali bisa menjadi ayah angkatnya....”
Lauw-pangcu lalu menuturkan semua pengalaman Lulu semenjak bertemu dengannya sampai menjadi anak
angkatnya dan betapa sampai setahun Lulu memperdalam ilmu silatnya di lembah Huang-ho itu.
“Enam bulan yang lalu dia berangkat meninggalkan tempat ini untuk mencarimu, bahkan telah berjanji untuk
datang pada saat perayaan ulang tahun Ayah, berjanji untuk datang bersamamu. Akan tetapi mengapa engkau
datang sendiri? Mana Lulu?” Sin Lian menutup cerita ayahnya yang didengar oleh Han Han dengan muka
terheran-heran dan hati terharu, juga girang. Akan tetapi pertanyaan Sin Lian membuat wajahnya muram
kembali dan ia menghela napas panjang.
“Aku mencarinya ke kota raja tanpa hasil...”
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat kesedihan Han Han dan karena tertarik dan kagum mendengar penuturan Lauw-pangcu sehingga
hatinya yang dahulu sudah terpikat oleh Lulu itu kini menjadi makin kagum, Sin Kiat segera berkata.
“Han Han, jangan khawatir. Aku akan membantumu mencari Nona Lulu sampai dapat!”
Han Han tersenyum mendengar janji yang dikeluarkan dengan suara sungguh-sungguh ini. Dia memandang
wajah Sin Kiat, dapat melihat sinar penuh kasih dari mata pemuda gagah itu. Diam-diam ia merasa senang
sekali kalau adiknya yang nakal itu kelak dapat berjodoh dengan pemuda ini!
“Terima kasih, Sin Kiat. Aku hanya khawatir kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan menimpa
diri adikku. Dia itu terlalu berani dan sembrono...”
“Han Han, engkau tidak tahu bahwa semenjak berlatih di sini selama satu tahun, Lulu bukanlah Lulu yang
dahulu lagi. Ilmu kepandaiannya melonjak secara hebat sehingga Ayah sendiri dan aku, kiranya bukan
tandingannya lagi!” kata Sin Lian tentu saja ia melebihkan, karena dalam hal kematangan ilmu silat, tentu saja
Lulu tidak dapat menandinginya.
“Sekarang tiba giliranmu, Han Han. Ketika engkau muncul tadi, kau katakan bahwa engkau datang membawa
berita penting. Akan tetapi sebelum kau ceritakan itu, aku ingin sekali mendengar mengapa... kakimu sampai
buntung, Han Han.”
Han Han tersenyum pahit dan memandang ke arah kakinya yang buntung, menghela napas panjang dan
kemudian berkata, “Urusan kecil... salahku sendiri dan sudah semestinya buntung. Kakiku buntung akibat
hukuman yang dijatuhkan oleh Toat-beng Ciu-sian-li...”
“Iblis betina yang kejam...!” Sin Lian berteriak marah, seperti mengeluarkan api. “Dan... Lulu-moi belum tahu
akan hal itu?”
Han Han menggeleng kepala dan memandang. Alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat mata Sin Lian
merah seperti hendak menahan tangis!
“Hemmm, aku sudah mendengar dari Suhu akan kekejaman iblis betina itu! Sungguh keji sekali! Han-twako,
kenapa dia melakukan hal sekejam itu?” Han Han menoleh kepada Soan Li yang wajahnya menjadi pucat.
Ia tersenyum. “Tidak kejam, melainkan sudah menjadi peraturan di In-kok-san begitu. Murid yang melarikan diri
akan dihukum buntung kakinya. Dan aku pernah menjadi muridnya, kemudian aku melarikan diri. Ketika akhirakhir
ini tertawan olehnya, kakiku dibuntungi sebelah. Sudahlah, hal ini sudah terjadi, tidak ada gunanya
dibicarakan lagi,” Ia terpaksa mengeluarkan ucapan hiburan ini karena melihat betapa Sin Lian dan Soan Li
kelihatan marah dan kebencian hebat terpancar keluar dari mata mereka terhadap Toat-beng Ciu-sian-li. “Yang
penting adalah keperluan yang membawaku datang ke sini. Lauw-pangcu, saya merampas sebuah surat dari
tangan utusan-utusan Mancu yang ditujukan kepada Su-ciangkun, komandan pasukan Mancu yang bertugas
melakukan pembersihan. Inilah suratnya, harap Lauw-pangcu dan cu-wi sekalian membaca agar dapat diatur
bagaimana baiknya.”
Mata Lauw-pangcu terbelalak ketika ia membaca surat perintah rahasia dari Puteri Nirahai itu dan ketika ia
memberikan surat itu kepada Sin Lian, kemudian dibaca pula oleh Sin Kiat dan Soan Li, Sin Kiat berseru,
“Ahhh! Puteri Nirahai inilah orangnya yang menjadi blang keladi permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Hoasan-
pai! Dia kabarnya amat lihai dan amat cerdik mengatur siasat-siasat licik! Lauw-pangcu, kalau begitu,
keadaan pangcu di sini berbahaya, harus cepat-cepat pindah...!”
Lauw-pangcu tetap tenang dan menggeleng kepala. “Wan-sicu lupa bahwa pasukan Mancu belum menerima
surat perintah ini.”
Tiba-tiba kakek itu memukul telapak tangan kirinya dengan kepalan kanannya, wajahnya berseri dan pandang
matanya penuh semangat. Biar pun sudah lama sekali ia tidak lagi aktif dalam perjuangan karena selain
merasa tua juga setelah menjadi ayah angkat Lulu hatinya menjadi hambar terhadap perjuangan, kini agaknya
timbul kembali jiwa kepahlawanannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ah, ini kesempatan bagus sekali untuk menghancurkan mereka! Surat ini harus disampaikan kepada Suciangkun,
biarkan mereka melakukan penyerangan ke sini. Kita mengatur barisan pendam, menjebak mereka
dan dengan mudah kita akan dapat membasmi mereka! Akan tetapi surat perintah ini harus disampaikan
kepada mereka!”
Han Han menerima kembali surat itu dan menyimpannya dalam sampul, kemudian mengantonginya. “Tepat
sekali seperti dugaan saya bahwa pangcu akan mengambil keputusan seperti itu, karena itulah maka saya
lebih dahulu datang ke sini. Biarlah saya menyerahkan urusan memasang barisan pendam itu kepada pangcu,
dan saya akan melanjutkan perjalanan saya mengunjungi Su-ciangkun untuk menyerahkan surat ini.”
“Heeiii...! Ah, itu berbahaya sekali! Han Han, biarlah surat itu diserahkan oleh anak buah Pek-lian Kai-pang!”
“Lauw-pangcu, apakah kalau yang menyerahkan anak buahmu tidak berbahaya?”
“Memang tetap berbahaya, akan tetapi andai kata anak buahku sampai mati sekali pun dia akan mati dengan
rela, mati sebagai gugurnya seorang pejuang.”
“Hemmm, pangcu. Apakah saya takut mati? Tidak, saya sendiri yang harus menyerahkan surat ini, bukan
sekali-kali untuk membantu perjuangan karena saya masih belum bisa mengikatkan diri dengan perang,
melainkan karena alasanku pribadi. Nah, selamat tinggal, aku harus pergi sekarang. Kalau terlalu lama,
khawatir kalau-kalau pihak Mancu tahu bahwa utusan mereka telah kubunuh dan pembawa surat ini bukan
utusan mereka, melainkan palsu!” Setelah berkata demikian, Han Han menjura dan cepat ia terpincangpincang
keluar dari pondok itu.
Setibanya di ruangan depan, para tamu memandangnya dengan penuh perhatian, akan tetapi Han Han tidak
mengacuhkan mereka dan terus keluar dari tempat itu, menuruni puncak. Setelah tiba di lereng puncak itu di
mana tidak ada orang lain lagi yang akan melihatnya, Han Han lalu meloncat dan mengerahkan ilmu
kepandaiannya yang mukjizat, yaitu gerakan-gerakan kilat yang membuat ia dapat bergerak secara luar biasa,
berloncatan seperti terbang.
“Han Han...!” Teriakan ini membuat Han Han cepat membuang ilmunya, mematahkan daya dorongan hebat
yang membuat tubuhnya seperti dapat terbang, cepat ia melayang turun ke atas tanah. Kiranya di situ berdiri
Sin Lian yang memandang kepadanya dengan mata terbelalak penuh kekaguman.
“Han Han... kau... kau ah, betapa hebat gerakanmu tadi...!”
Wajah Han Han menjadi merah. Ia merasa jengah karena ilmunya terlihat oleh Sin Lian. “Ah, kau terlalu
memuji, Si Lian. Ada urusan apakah engkau menyusulku?”
Sin Lian menundukkan muka untuk menghindarkan pertemuan pandang, akan tetapi justru karena menunduk,
ia melihat kaki buntung itu dan seperti diingatkan ia merasa kasihan dan terharu sekali. Kini, di luar tahunya
orang lain, ia tidak memaksa diri mempertahankan air matanya dan dua butir air mata menitik turun ke atas
sepasang pipinya.
“Eh, Sin Lian... kau menangis? Kenapa?”
Sin Lian menggigit bibir. Sukar sekali untuk bicara. Ia hanya dapat menghapus dua butir air mata dari pipinya,
namun tanpa disadarinya bahwa ada dua butir lagi menggantikan yang ia hapus. Akhirnya ia dapat berkata lirih,
“Aku... aku kasihan melihatmu... ngeri hatiku membayangkan betapa kakimu dipotong...”
Han Han tersenyum. “Ah, semenjak kecil engkau adalah seorang gadis yang amat baik hati, Sin Lian. Berkalikali
engkau membelaku dan sampai sekarang pun engkau masih menaruh kasihan kepadaku. Terima kasih,
Sin Lian, engkau benar-benar seorang gadis yang amat berbudi. Aku girang bahwa Lulu telah menjadi adik
angkatmu.”
“Han Han, harap kau maafkan aku...”
“Ehhh? Maafkan? Kenapa?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dahulu, aku telah salah sangka, mengira engkau membantu orang-orang Hoa-san-pai untuk memusuhi
Siauw-lim-pai sehingga aku menghinamu, menyerangmu.”
Han Han menarik nafas panjang. “Akulah yang harus minta maaf kepadamu, Sin Lian. Aku menganggap
saudara-saudaramu orang-orang Siauw-lim-pai sebagai perampok. Ahhhhh, sudahlah, semua adalah akibat
siasat busuk Puteri Nirahai. Percayalah kalau aku dapat bertemu dengan dia, akan kuberi hajaran puteri yang
jahat itu! Nah, sekarang aku harap kau suka pulang, aku hendak melanjutkan perjalananku.”
Pemuda buntung itu sudah membalikkan tubuh ketika ia mendengar suara Sin Lian memanggil, “Han Han...!”
Ia memutar tubuh. Dua pasang mata bertemu pandang, melekat, terpesona dan Han Han terkejut bukan main
melihat betapa sepasang mata Sin Lian itu mengeluarkan sinar yang sama benar dengan sepasang mata Kim
Cu! Salahkah penglihatannya? Ataukah... ah, mungkinkah seorang dara seperti Sin Lian ini mempunyai rasa
kasih sayang kepada dia seorang buntung? Tentu ia salah menyangka.
Hemmm, sungguh-sungguh tak tahu diri, celanya kepada hatinya sendiri sambil cepat mengalihkan pandang,
menunduk. Tak tahu diri, seorang pemuda buntung macammu ini mana mungkin menarik kasih sayang
seorang dara seperti Sin Lian? Kalau Kim Cu memang benar mencintanya, akan tetapi cinta kasih Kim Cu
terhadapnya timbul sebelum kakinya buntung. Hanya Kim Cu-lah satu-satunya gadis di dunia ini yang dapat
mencintanya, tentu saja di samping Lulu, adiknya yang ia tahu merupakan satu-satunya manusia yang ia cinta
dan yang mencintanya sepenuh jiwa! Sin Lian mencintanya? Tak mungkin! Hanya dugaan yang timbul dari
rasa iba diri.
“Ada apakah, Sin Lian?” tanyanya dan ia berani lagi mengangkat muka memandang setelah berhasil
menguasai hatinya. Kini ia tidak melihat lagi sinar aneh dari mata Sin Lian dan diam-diam ia mentertawakan
dirinya sendiri yang ternyata telah salah menduga.
“Han Han, biarkan aku pergi menemanimu mengantar surat itu ke markas pasukan Mancu. Aku sudah bilang
kepada Ayah.”
Han Han terkejut. “Ahhh, tidak mungkin! Semua orang tentu mengenal engkau sebagai puteri Lauw-pangcu
dan hal itu amat berbahaya!”
“Apakah kalau engkau yang pergi ke sana tidak berbahaya? Kalau memang akan menghadapi bahaya, biarlah
kita hadapi bersama. Aku tidak takut!”
Han Han tersenyum di dalam hatinya. Kalau sudah berkeras kepala begini, Sin Lian seperti masih kanak-kanak,
tidak ada perubahan sama sekali sejak dahulu! Akan tetapi ia segera berkata dengan halus.
“Sin Lian, bukan demikian maksudku. Tentu saja engkau pun tidak takut akan bahaya, dan tentu saja kalau
ada engkau, kita berdua akan dapat menghadapi musuh lebih kuat lagi. Akan tetapi, kalau engkau ikut, tentu
rusak rencana kita semua. Mana mungkin orang-orang Mancu itu percaya akan surat yang kubawa ini?
Mereka tentu akan curiga dan semua siasat yang diatur Ayahmu akan gagal. Percayalah, kalau aku sendiri
yang ke sana dan mengaku sebagai kepercayaan Puteri Nirahai, tentu mereka akan percaya dan akan dapat
terjebak oleh barisan pendam Ayahmu. Selain itu, ada lagi alasan pribadi mengapa aku sendiri harus
menghadap perwira she Su itu, Sin Lian.”
“Akan tetapi...”
“Tidak ada tapi, Sin Lian. Engkau tinggallah di sini, dan Ayahmu amat memerlukan bantuanmu untuk
menghadapi para penyerbu nanti.” Ketika melihat betapa sinar mata gadis itu masih berkeras, Han Han cepat
menyambung, “Sudahlah, Sin Lian, kalau sudah selesai tugas kita, kelak kita bicara lagi sepuasnya. Selamat
berpisah!” Setelah berkata demikian, Han Han berkelebat.
Terkejutlah Sin Lian karena tiba-tiba pemuda buntung itu sudah lenyap dari depannya. Ia mengangkat muka,
melihat bayangan pemuda itu mencelat ke atas dan terus berloncatan amat cepatnya seperti terbang saja.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebentar saja bayangan pemuda itu hanya tampak seperti sebuah titik hitam yang bergerak-gerak seperti
seekor belalang berloncatan.
“Han Han...!” Ia mengeluh, penuh kagum, penuh iba melihat kaki buntungnya dan penuh... perasaan aneh di
hatinya.
Sejenak Sin Lian memandang sampai bayangan itu lenyap, lalu ia termenung dan menundukkan mukanya,
teringat ia akan ucapan Lulu tentang Han Han itu. Betapa secara berkelakar Lulu ingin menjodohkan dia
dengan Han Han, betapa Lulu itu secara tepat mengatakan bahwa dia mencinta Han Han. Sin Lian yang
berdiri seorang diri itu tersenyum-senyum malu dengan kedua pipi berubah merah sekali, matanya berseri dan
sampai lama ia berdiri melamun lupa akan segala.
Dia menjadi amat heran akan sikapnya sendiri, heran akan isi hatinya. Betapa pun tampannya, betapa pun
gagahnya, Han Han adalah seorang pemuda cacat, seorang buntung! Mengapa hatinya begini tertarik, lebih
tertarik dan suka dari pada dahulu ketika mereka berdua masih kanak-kanak, bahkan lebih tertarik
dibandingkan ketika ia mendengar cerita Lulu, padahal ketika itu ia membayangkan Han Han seorang pemuda
tanpa cacat? Mengapa tidak ada sedikit pun perasaan kecewa atau terhina melihat pemuda buntung itu,
membayangkannya berada di sampingnya sebagai teman hidup? Bahkan ada rasa bangga di hatinya, bangga
bahwa biar pun kakinya buntung sebelah, namun Han Han memiliki kepandaian yang amat luar biasa, dan hal
itu terbukti dari gerakan pemuda itu yang benar-benar belum pernah ia lihat pada orang lain! Bangga bahwa
sebagai seorang buntung kakinya, seorang penderita cacat, Han Han memiliki kelebihan yang banyak sekali
kalau dibandingkan dengan orang yang utuh badannya.
Sin Lian sama sekali tidak tahu bahwa bukan hanya dia seorang yang mengenang dan memikirkan pemuda
buntung itu. Juga Lu Soan Li, gadis tokoh Hoa-san itu, yang semenjak pertemuan pertamanya dengan Han
Han ketika masih belum buntung kakinya dahulu telah jatuh hati. Kini setelah bertemu lagi dengan Han Han
yang telah buntung kakinya, ia merasa betapa hatinya bagai ditusuk-tusuk penuh rasa iba dan haru melihat
pemuda itu. Dia merasa heran mengapa hatinya seperti itu. Ingin ia menghibur pemuda buntung itu, ingin
membela, ingin membahagiakan hidupnya dan mengusir awan kesengsaraan yang seolah-olah menyelimuti
wajah tampan yang berambut panjang itu.
“Suheng, aku merasa khawatir sekali kalau-kalau dia akan menemui bencana di markas pasukan Mancu. Dia
seorang diri saja dan... kakinya sudah buntung. Ah, Suheng, mengapa kau tadi tidak mencegahnya pergi?
Bukankah lebih baik Suheng atau aku yang pergi mewakilinya? Sungguh kita keterlaluan sekali, membiarkan
seorang buntung menempuh bahaya di sarang harimau!”
“Engkau maksudkan Han Han?” Sin Kiat bertanya, kemudian ia mengangguk. “Memang berbahaya sekali.
Habis, kalau menurut pendapatmu, bagaimana baiknya, Sumoi?”
“Suheng, biarlah secara diam-diam aku membayanginya. Dia berjuang untuk perjuangan bersama, kalau
sampai gagal, bukan hanya dia akan celaka, akan tetapi kita di sini semua pun akan mengalami mala petaka.
Akan tetapi hal ini lebih baik dirahasiakan, Suheng. Suheng membantu persiapan di sini, membantu Lauwpangcu
yang akan mengatur barisan pendam untuk menjebak pasukan Mancu, sedangkan aku membantu
Han-twako...”
Sin Kiat memandang wajah sumoi-nya dengan tajam, kemudian menghela napas dan berkata, suaranya tegas
mengandung pertanyaan yang menuntut jawaban sejujurnya.
“Sumoi, engkau jatuh cinta kepada Han Han, bukan?”
Sunyi sejenak. Soan Li menundukkan mukanya dengan kedua pipi merah sekali, tak berani menentang
pandang mata suheng-nya yang penuh selidik, kemudian sambil menunduk ia menjawab, suaranya juga penuh
tuntutan yang membela diri.
“Suheng, agaknya tidak banyak bedanya dengan perasaan hati Suheng terhadap Lulu.”
Sin Kiat menarik napas panjang, lalu memegang pundak sumoi-nya, memaksa tubuh sumoi-nya menjadi tegak
untuk memandang wajah sumoi-nya. “Soan Li, Sumoi-ku yang manis. Engkau tahu bahwa aku adalah sebagai
dunia-kangouw.blogspot.com
kakakmu sendiri. Aku tidak akan menyalahkan perasaan hatimu, tidak pula hendak menekan kebebasan
hatimu. Bahkan aku tidak akan mencela kalau engkau jatuh cinta kepada Han Han, karena memang dia
seorang pemuda yang hebat! Aku sendiri amat kagum kepadanya. Dan aku tidak akan menyangkal lagi bahwa
aku jatuh cinta kepada Lulu, maka akan amat picik dan liciklah kalau aku mencela Sumoi jatuh cinta kepada
Han Han. Akan tetapi, keadaanmu berbeda dengan keadaanku, Sumoi. Engkau telah ditunangkan dengan
Tan-siucai (Sastrawan Tan) oleh Suhu. Engkau tidak bebas lagi, menjadi calon isteri orang lain! Karena itu,
sebagai wakil Suhu, aku peringatkan kepadamu, Sumoi, agar engkau selalu ingat akan kenyataan itu dan
jangan menurutkan perasaan hati yang akan menyeretmu ke jalan sesat.”
Tiba-tiba Soan Li bangkit berdiri dan memandang suheng-nya dengan mata penuh kemarahan. “Suheng,
apakah Suheng menilai saya serendah itu?”
“Eh, Sumoi, apa maksudmu?” Sin Kiat juga bangkit berdiri, alisnya berkerut.
“Suheng sendiri mengerti bahwa saya ditunangkan oleh Suhu dan sebagai murid yang tidak mempunyai orang
tua lagi, saya harus mentaati kehendak Suhu. Saya belum pernah melihat wajah tunanganku, dan tentu saja
saya tidak mencintanya. Kalau sekarang saya mencinta orang lain, adakah itu merupakan pelanggaran?
Adakah itu merupakan perbuatan atau perasaan sesat? Aku mencinta Han Han, akan tetapi hal ini hanya
merupakan perasaan hati saja. Jangan Suheng mengira bahwa saya akan melupakan kesusilaan, akan
melakukan hal-hal yang rendah dan hina, akan mengkhianati ikatan jodoh yang sudah dilakukan Suhu! Jangan
sekali-kali Suheng mengira bahwa dengan cinta kasihku ini aku lalu akan melakukan hal-hal yang sesat!”
Melihat sumoi-nya berdiri dengan muka mangar-mangar (kemerahan) saking marah dan penasaran, akan
tetapi sepasang matanya mengeluarkan dua butir air mata seperti dua butir mutiara yang perlahan-lahan
menetes turun ke atas kedua pipinya yang kemerahan menandakan bahwa hatinya terluka dan berduka, Sin
Kiat lalu memegang kedua lengan sumoi-nya dan berkata.
“Maafkan aku... maafkan aku... Sumoi. Sungguh tidak patut aku mencurigai Sumoi-ku yang bijaksana. Ahh,
Sumoi, kalau memang sedemikian kuat pendirianmu, aku pun tidak akan ragu-ragu lagi. Memang sebaiknya
kalau Han Han dibantu, karena tugasnya amat penting. Silakan, akan tetapi, hati-hatilah, Sumoi.”
Soan Li terisak, saking girangnya dan saking terharu hatinya. Ia menghapus air matanya dan mencengkeram
lengan suheng-nya. “Suheng,” katanya gemetar, “terima kasih, Suheng. Akan tetapi berjanjilah jangan sampai
rahasia hatiku ini terdengar oleh siapa pun juga... akan kusimpan sebagai rahasia... kubawa mati...”
Melihat sumoi-nya berkelebat hendak pergi, Sin Kiat memanggil. “Sumoi!”
Sumoi-nya menahan kakinya, menengok.
“Sumoi, hati-hatilah, Sumoi...!”
Soan Li tersenyum manis kepada kakaknya, mulutnya senyum akan tetapi berlinangan air matanya. Setelah
sumoi-nya pergi, Sin Kiat termenung. Takkan terlupakan selamanya bayangan wajah sumoi-nya ketika
menengok tadi. Wajah yang tersenyum manis akan tetapi yang diliputi kedukaan besar, kedukaan yang timbul
karena kekecewaan hati, cinta kasih yang takkan dapat tersampaikan karena gadis itu telah terikat oleh jodoh
yang ditentukan oleh suhu mereka. Wajah yang manis, akan tetapi betapa menyedihkan senyum di antara
linangan air mata!
Berulang kali Sin Kiat menarik napas panjang dan diam-diam ia menyesal, mengapa suhu-nya menentukan
jodoh bagi sumoi-nya. Ia merasa yakin bahwa calon suami yang dipilihkan suhu-nya itu tentulah seorang yang
benar-benar baik, akan tetapi apakah artinya kebaikan seseorang sebagai calon suami tanpa disertai rasa
cinta dari pihak calon isteri?
Sin Kiat mencoba melupakan rasa duka di hatinya itu dengan menyibukkan dirinya membantu Lauw-pangcu
yang mulai mengumpulkan anak buahnya bahkan dibantu oleh para tamu mengatur jebakan untuk menyambut
serbuan pasukan Mancu.....
********************
dunia-kangouw.blogspot.com
Tidaklah terlalu sukar bagi Han Han untuk mendapatkan markas pasukan Mancu yang dicarinya. Markas itu
berada di tepi sungai, sebuah dusun yang penduduknya telah diusir dan kini dusun itu diubah menjadi sebuah
markas yang terjaga kuat. Ketika ia berjalan terpincang-pincang dan berhadapan dengan puluhan orang
tentara penjaga yang segera mengurungnya dengan todongan golok dan tombak, diam-diam Han Han merasa
beruntung bahwa dia membawa surat perintah rahasia itu untuk dapat bertemu dengan Su-ciangkun. Tanpa
surat itu, biar pun ia sanggup menerobos memasuki markas, namun hal itu tentu saja akan amat berbahaya
mengingat betapa ketatnya penjagaan dan bahwa markas itu tentu dihuni oleh ribuan orang tentara yang tak
mungkin akan dapat dilawannya sendirian saja.
“Berhenti! Siapa engkau dan mau apa mendekati benteng penjagaan?” bentak seorang pemimpin regu yang
mengurungnya sambil menodongkan ujung goloknya di leher Han han.
Han Han bersikap angkuh dan ia menjawab, “Jangan bersikap kurang ajar kalau kalian tidak ingin dihukum
oleh Su-ciangkun! Aku adalah utusan pribadi Puteri Nirahai dari kota raja, membawa surat pribadi beliau untuk
disampaikan kepada Su-ciangkun!”
Ujung golok itu agak menjauhi lehernya, namun pengurungan masih ketat. Suara kepala regu itu pun tidaklah
galak lagi ketika bertanya.
“Hemmm, bagaimana kami dapat tahu bahwa engkau adalah utusan dari kota raja? Masa kota raja mengutus
seorang... ehh, pincang... dan apa tandanya bahwa engkau adalah utusan kota raja?”
Han Han tersenyum di dalam hatinya. Biar pun masih memperlihatkan keraguan, setidaknya kepala regu ini
sudah berhati-hati sehingga tidak berani menyebutnya buntung, melainkan pincang sungguh pun ia tidak dapat
membedakan mana yang lebih merendahkan antara sebutan pincang dan buntung,
“Hemmm, beranikah engkau meragukan utusan Sang Puteri Nirahai? Tidak tahukah engkau, apa pura-pura
tidak tahu bahwa Puteri Nirahai terkenal mempunyai banyak pembantu orang-orang kang-ouw sebagai
pengawal-pengawal pribadi dan pengawal-pengawal rahasia? Karena sekali ini Puteri Nirahai mengirim
perintah rahasia dan pribadi kepada Su-ciangkun, tentu saja mengutus seorang di antara pembantu-pembantu
pribadinya, dan tidak mengutus utusan resmi. Mengertikah?”
Tentu saja para penjaga itu mengenal atau setidaknya sudah mendengar akan kekuasaan Puteri Nirahai,
karena pemimpin pasukan-pasukan yang bermarkas di situ, Su-ciangkun, adalah anak buah puteri yang amat
mereka kagumi dan hormati itu. Akan tetapi karena Han Han hanya seorang pemuda buntung yang sama
sekali tidak mengesankan, tentu saja mereka pun ragu-ragu apakah benar orang muda macam ini menjadi
utusan pribadi Puteri Nirahai.
“Maafkan kami kalau engkau betul utusan dari kota raja, orang muda. Akan tetapi, betapa pun juga, kami
sebagai petugas-petugas yang melakukan penjagan, tidak akan berani memperbolehkan orang luar lewat
tanpa lebih dulu yakin bahwa engkau benar-benar utusan dari kota raja.”
“Hemmm, kalian boleh juga, tahu akan kewajiban sebagai penjaga-penjaga yang tertib. Nah, sekarang lihatlah
ini, apakah engkau masih ragu-ragu melihat cap dari Sang Puteri?” Ia mengeluarkan surat bersampul dan
memang di bagian depan sampul itu, di atas kiri terdapat cap dari puteri yang berwarna merah.
Tentu saja sebagai tentara biasa, para penjaga itu selamanya belum pernah melihat cap sang puteri, hanya
mereka merasa malu untuk mengakui kebodohan mereka. Kepala regu mengangguk-angguk dengan hati
bingung, lalu berkata, “Baiklah, mari kuajak menghadap Su-ciangkun!”
Dengan hati berdebar Han Han lalu dikawal kepala regu itu memasuki benteng dan diam-diam ia terkejut
melihat banyaknya tentara dengan perlengkapan yang hebat. Tidak mengherankan kalau pasukan-pasukan
Mancu selalu mendapat kemenangan, kiranya selain bala tentaranya banyak, juga perlengkapan mereka
cukup, dipimpin pula oleh orang-orang pandai. Dia dibawa memasuki sebuah gedung besar di tengah markas
dan juga di sini terdapat penjagaan yang ketat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah melalui lima lapisan penjagaan yang makin lama makin kuat, akhirnya Han Han dihadapkan pada
seorang perwira Mancu yang bertubuh tinggi besar, bermata lebar dan alisnya tebal sekali. Seorang laki-laki
berusia lima puluh tahun lebih yang benar-benar patut menjadi seorang pembesar tentara. Melihat wajah
perwira ini, jantung Han Han berdebar dan terbayanglah segala peristiwa yang ia lihat belasan tahun yang lalu.
Tidak salah lagi, inilah wajah seorang di antara tujuh perwira, wajah yang dulu ikut tertawa-tawa ketika
berpesta di dalam rumahnya, dilayani oleh ayahnya yang membongkok-bongkok dan merendahkan diri!
Sungguh pun yang memperkosa enci-nya dan ibunya hanya dua orang perwira yang ia kenal sebagai Giam Cu
yang kini menjadi cihu-nya, dan Giam Kok Ma yang kini ia anggap sebagai musuh nomor satu, namun lima
orang perwira lain takkan pernah terlupa olehnya. Lima orang perwira lainnya itu pun ikut bertanggung jawab
atas terbasminya keluarga orang tuanya! Ia menekan perasaan hatinya yang menegang penuh dendam ketika
tiba-tiba perwira tinggi besar itu menegurnya dengan suara parau dan penuh wibawa.
“Heh, orang muda yang buntung! Engkau mengaku sebagai utusan Puteri Nirahai di kota raja! Kalau benar
demikian, apa yang ditugaskan padamu?”
Han Han sadar dari lamunannya dan mendengar pertanyaan ini, maklumlah ia bahwa kepala regu yang
mengawalnya sudah melaporkan kepada atasannya tanpa ia ketahui karena ia tadi termenung seperti orang
mimpi. Segera ia membungkuk dan menjawab.
“Benarkah saya berhadapan dengan Su-ciangkun yang memimpin pasukan untuk melakukan pembersihan di
sekitar lembah Huang-ho? Karena saya membawa perintah pribadi Sang Puteri untuk menghadap Suciangkun
sendiri, maka saya tidak mau kalau sampai salah alamat!”
“Ha-ha-ha-ha! Bukan aku yang mencurigai engkau apakah betul-betul utusan Sang Puteri, malah engkau yang
mencurigai apakah aku betul-betul Su-ciangkun. Ha-ha-ha, sungguh lucu!”
Perwira tinggi besar itu menepuk-nepuk meja dan tiba-tiba mejanya amblas ke dalam lantai bersama kursi
yang didudukinya dan sebelum ia lenyap ke bawah melalui lantai rahasia, terdengar suaranya, “Tangkap dia
dan rampas suratnya!”
Han Han terkejut sekali dan ketika ia memandang, ternyata ia telah dikurung oleh sembilan orang tinggi besar
yang memegang golok dan bersikap mengancam. Diam-diam ia merasa heran. Apakah perwira itu
mengenalnya sebagai utusan palsu? Kalau benar demikian, mengapa tidak sejak tadi ia ditangkap? Dan kalau
memang benar demikian, mengapa dia dipancing ke sini lebih dulu kemudian hanya dikurung oleh sembilan
orang ini? Mengapa tidak dikerahkan pasukan besar untuk menangkap atau membunuhnya?
Ah, tak mungkin kalau Su-ciangkun mengetahui bahwa dia adalah seorang utusan palsu. Tentu perwira yang
cerdik ini hendak mengujinya karena memang sudah terkenal bahwa para pembantu Puteri Nirahai adalah
orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Teringat ia akan Setan Botak dan tokoh-tokoh aneh lain
yang hadir ketika ia hendak ditangkap oleh Toat-beng Ciu-sian-li dahulu. Ia lalu tersenyum dan memandang ke
sekeliling, kemudian berkata tenang.
“Apakah kalian begini tak tahu diri hendak mengganggu utusan Puteri Nirahai? Apakah kalian ini masingmasing
memiliki nyawa rangkap?”
Sembilan orang itu saling pandang, kemudian seorang di antara mereka yang agaknya menjadi pemimpin
menjawab, “Kami hanya melaksanakan perintah Su-ciangkun yang bertanggung jawab dan kalau memang
engkau benar-benar utusan Sang Puteri, tentu tidak akan gentar menghadapi kami!”
Han Han tertawa dengan hati lega karena yakinlah ia sekarang bahwa perwira tinggi besar itu benar-benar
hanya mengujinya. “Ha-ha-ha! Kalian kira begitu mudah akan merampas surat yang dipercayakan kepadaku?
Surat ini sama dengan nyawaku, kalau kalian akan merampasnya, jangan harap sebelum dapat membunuhku!”
Tiba-tiba pemimpin itu berseru dan serentak sembilan orang itu maju menyerang Han Han. Pemuda ini
maklum bahwa ia harus mengalahkan sembilan orang pengeroyoknya, akan tetapi ia tidak boleh terlalu
menonjolkan kepandaiannya agar jangan mengejutkan hati perwira itu yang ia sangka tentulah mengintai dari
tempat rahasia. Maka ia pun lalu mengerakkan tongkatnya sambil mengerahkan tenaga, tidak
dunia-kangouw.blogspot.com
mempergunakan ilmunya gerak kilat. Ia memutar tongkat menghadapi golok mereka, berpusing pada satu
kakinya. Tongkatnya berubah menjadi segulung sinar yang bagaikan seekor naga melingkar menangkis
sembilan batang golok yang menyerangnya.
Terdengar suara nyaring sekali, sembilan kali berturut-turut, disusul golok-golok itu beterbangan cepat dan
robohlah sembilan orang itu seorang demi seorang karena sambungan lutut kanan mereka telah terlepas
dicium ujung tongkatnya yang bergerak amat cepat sehingga tak dapat diikuti pandang mata para
peiigeroyoknya! Sembilan orang itu saking heran dan kagetnya tidak sempat berteriak dan hanya roboh
memegangi lutut dan memandang Han Han dengan mata terbelalak.
Pintu terbuka dari luar dan muncullah Su-ciangkun sambil tertawa bergelak dan mengangkat ibu jari kanannya
tinggi. “Ha-ha-ha, bukan main! Para pembantu pribadi Sang Puteri benar-benar hebat dan sicu merupakan
seorang di antara yang paling hebat! Merobohkan sembilan orang pengawalku dalam segebrakan saja!
Bagaimana mungkin dapat kupercaya kalau tidak menyaksikan dengan mata sendiri? Hebat... hebat...!”
Menurut keinginan hatinya, Han Han bernafsu sekali untuk bergerak membunuh musuh besarnya ini. Akan
tetapi dia tidak mau sembrono. Pertama, ia tidak mau kesalahan tangan. Setelah banyak peristiwa hebat
terjadi karena kesalahan sangka sehingga akibatnya ia membunuhi orang-orang Hoa-san-pai dan Siauw-limpai,
kini ia tidak mau bertindak sembrono lagi. Kedua, tempat itu merupakan tempat yang amat berbahaya.
Kalau ia dikurung oleh ribuan orang tentara, sangatlah sukar untuk menyelamatkan diri. Maka ia lalu menjura
dan berkata sambil tersenyum.
“Ciangkun terlalu memuji. Apakah kini ciangkun percaya bahwa saya adalah utusan pribadi Puteri Nirahai?”
“Percaya... percaya...! Hanya kepandaianmu yang membikin aku percaya, sicu. Kalau bukan pribadi, tentu
membawa tanda-tanda dari pasukannya. Akan tetapi aku sudah tahu akan pembantu-pembantu pribadi Sang
Puteri yang terdiri dari orang-orang aneh. Hanya di antara mereka itu belum pernah aku mendengar akan
seorang pembantu yang... eh, maaf, yang kakinya buntung seperti sicu. Aku mengenal Gak-locianpwe...”
“Maksudmu Kang-thouw-kwi, ciangkun?”
“Benar, dan masih ada lagi tiga orang murid beliau...” Perwira itu berhenti sambil memandang muka Han Han.
Pemuda ini tahu bahwa perwira itu lagi-lagi mengujinya, maka tanpa ragu-ragu lagi ia berkata.
“Tentu ciangkun maksudkan Hek-giam-ong, Pek-giam-ong, dan Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio?”
“Aha, kiranya sicu telah mengenal pula mereka. Tentu saja, sebagai pembantu kepercayaan Sang Puteri, sicu
tentu mengenal mereka semua. Kini aku tidak ragu-ragu lagi, marilah kita bicara di dalam, sicu.”
Perwira itu lalu menggandeng tangan Han Han dan diajaknya pemuda itu memasuki sebuah kamar di dalam
gedung itu. Han Han melihat bahwa di depan tiap pintu dan jendela kamar ini pun dijaga oleh belasan orang
pengawal, maka ia menjadi makin berhati-hati lagi. Kamar itu besar dan megah, di dalamnya terdapat tiga
orang wanita muda yang pakaian suteranya membayangkan tubuh-tubuh mulus tanpa pakaian dalam.
Mereka itu cantik-cantik, namun begitu memasuki kamar, Su-ciangkun lalu menyuruh mereka pergi. Tiga orang
wanita itu tadinya melempar pandang mata mesra kepada wajah Han Han yang tampan, akan tetapi ketika
melihat ke bawah, ke arah kaki Han Han yang buntung, mereka membuang muka dan segera berjalan pergi
dengan langkah-langkah lemah gemulai seperti menari, tubuh mereka yang membayang dari balik sutera tipis
itu bergerak menggairahkan, lenyap memasuki kamar lain melalui sebuah pintu yang tertutup tirai sutera
merah.
“Silakan duduk, sicu. Siapakah nama sicu?”
“Saya she Suma, ciangkun.” Han Han sengaja menggunakan nama Suma, nama keturunannya yang asli
malah, karena ia khawatir kalau-kalau perwira ini telah mendengar nama Sie Han.
dunia-kangouw.blogspot.com
Agaknya perwira itu tergesa-gesa ingin membaca surat yang dibawanya, maka tidak menanyakan namanya
sehingga legalah hati Han Han yang tidak perlu membohong dan mencari nama palsu lagi. Ia lalu
mengeluarkan surat bersampul itu dari sakunya, menyerahkan kepada perwira itu.
Perwira itu menerima surat, mengamati tulisan dan capnya, kemudian membuka sampul dan mengeluarkan
suratnya. Setelah membaca surat itu, wajah perwira itu berseri dan ia menepuk pahanya sendiri. “Bagus!
Kiranya di sana tempat persembunyian kakek jembel yang telah lama kucari-cari itu? Hemmm, benar-benar
Sang Puteri amat hebat dan cerdik, sudah dapat mengetahui tempat persembunyiannya. Sekarang ini akan
dapat kuhancurkan sisa-sisa Pek-lian Kai-pang yang sudah banyak membikin pusing para petugas keamanan!
Silakan Suma-sicu kembali ke kota raja dan melaporkan bahwa kami akan melaksanakan perintah Sang Puteri
sebaik-baiknya. Dan sebaiknya sicu menunggang kuda, akan kuperintahkan menyediakan kuda terbaik dan
bekal secukupnya!”
Akan tetapi Han Han mengangkat tangan kanannya dan berkata, “Tidak, ciangkun. Saya menerima tugas dari
Sang Puteri untuk menyaksikan sendiri sampai perintah itu dilakukan dengan hasil baik, bahkan saya
diperintahkan membantu. Setelah berhasil, baru saya akan kembali ke kota raja dan menyampaikan laporan
kepada Sang Puteri.”
“Begitukah? Bagus sekali!” Perwira itu menjadi girang dan wajahnya berseri. “Dengan bantuan sicu yang
gagah perkasa, akan lebih cepat para pemberontak itu dihancurkan!” Perwira itu lalu bertepuk tangan dua kali.
Masuklah lima orang pelayan wanita yang cantik-cantik. Dengan suara keras dan singkat Su-ciangkun
memberi perintah untuk mengeluarkan hidangan.
Han Han merasa sungkan sekali, karena ketika perwira itu mengajaknya makan minum telah memanggil tiga
orang wanita cantik setengah telanjang tadi dan menyuruh mereka melayani!
“Ha-ha-ha, jangan sungkan-sungkan, Suma-sicu. Mereka ini adalah selir-selirku yang bertugas mengawani dan
melayaniku di sini. Jangan sungkan, kalau sicu menginginkan seorang di antara mereka, tunjuk saja! Ha-ha-ha,
aku akan merasa bangga kalau ada selirku yang memenuhi selera seorang seperti sicu.”
“Terima kasih, ciangkun. Ti... tidak... saya... saya amat lelah dan setelah makan akan beristirahat. Perjalanan
jauh yang saya lakukan amat melelahkan. Lagi pula, saya rasa ciangkun pasti akan melakukan persiapan
secepatnya untuk segera menyerbu para pemberontak itu.”
“Ha-ha-ha-ha! Suma-sicu benar mengagumkan, begini penuh semangat! Baiklah, kalau sicu ingin beristirahat.”
Ia memberi tanda dengan tangan kepada seorang di antara tiga orang wanita itu. “Kau antarkan Suma-sicu ke
kamar tamu sebelah kanan!”
Han Han menjura kepada perwira itu, menyambar tongkatnya dan terpincang-pincang mengikuti wanita yang
berjalan dengan pinggul menari-nari. Wanita itu membawanya ke sebuah kamar yang indah dan terlalu bersih
bagi Han Han yang semenjak meninggalkan Istana Pulau Es belum pernah memasuki kamar seindah ini.
“Saya akan menemani taihiap semalam di sini...” Wanita itu tersenyum dan membanting tubuhnya ke atas
tempat tidur. Karena ia menjatuhkan diri terlentang, sutera penutup tubuhnya yang memang tidak rapat itu
tersingkap dan tampaklah oleh Han Han kulit paha dan perut yang putih kuning. Matanya menjadi ‘silau’ dan ia
memejamkan kedua matanya.
“Hi-hi-hik-hik... marilah taihiap... apakah seorang gagah perkasa seperti taihiap takut kepadaku? Hi-hik...!”
Han Han merasa betapa kedua lengan wanita yang telah bangkit itu seperti dua ekor ular merayap melingkari
lehernya, tubuh wanita itu menggeser-geser tubuhnya dan bau harum memasuki hidungnya. Han Han
mengeraskan hati dan sekali renggut dan mendorong, tubuh wanita itu terhuyung ke belakang dan wanita itu
menjerit kecil.
“Maaf...!” Han Han membuka matanya. “Aku... aku mau tidur sendiri.”
Wanita itu tertawa. “Hi-hik, taihiap masih... masih jejaka tulen?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Han Han memandang tajam dan berkata agak ketus, “Pergilah, aku mau mengaso!”
Ketika bertemu pandang dengan sinar mata pemuda itu, si wanita kaget dan seperti seekor anjing dipukul dia
tergesa-gesa pergi dari kamar itu melalui pintu, lupa untuk menggoyang kibulnya seperti biasa!
Hari itu juga Su-ciangkun segera mengadakan persiapan, memanggil semua perwira pembantunya dan
mengatur rencana untuk mengirim seribu orang pasukan menyerbu tempat persembunyian Pek-lian Kai-pang
di lembah Huang-ho. Han Han yang diberi kebebasan pura-pura ikut pula melakukan pemeriksaan, bahkan ia
lalu membantu untuk melakukan penjagaan dengan dalih khawatir ada mata-mata musuh yang menyelundup
dan mengetahui persiapan mereka.
Su-ciangkun yang sudah mempercayainya tidak menjadi curiga dan Han Han lalu keluar dari benteng untuk
‘melakukan pemeriksaan’ di luar daerah benteng. Padahal ia hendak mengenal tempat itu sehingga kalau
sewaktu-waktu ia turun tangan membunuh musuhnya, ia akan mengenal jalan untuk menyelamatkan diri. Ia
mengambil keputusan untuk membiarkan Su-ciangkun mengirim pasukannya untuk dibasmi oleh Lauw-pangcu
yang memasang jebakan, kemudian dengan alasan ikut pula menyerbu, ia akan mempunyai banyak
kesempatan ‘membereskan’ musuh besarnya itu.
Hari telah menjadi malam ketika Han Han berjalan-jalan di luar benteng tanpa dicurigai para penjaga yang kini
menganggapnya sebagai seorang utusan kota raja yang menjadi tamu Su-ciangkun, dan bahkan pemuda yang
kabarnya amat lihai itu akan membantu pula penyerbuan sarang pemberontak.
Tiba-tiba Han Han melihat berkelebatnya bayangan orang di antara pohon-pohon di luar benteng. Pandang
matanya yang tajam dapat melihat bahwa bayangan itu adalah orang yang tidak ingin dilihat penjaga. Cepat ia
menengok ke kanan kiri dan setelah merasa yakin tidak ada penjaga yang melihatnya, ia menggunakan
kepandaiannya mencelat ke tempat itu, menyelinap di antara gerombolan pohon, mencelat ke atas dan
tampaklah olehnya bayangan hitam berindap-indap di antara batang-batang pohon. Bagaikan seekor burung
garuda menyambar, tubuhnya menukik ke bawah, ke arah bayangan itu.
Sebatang pedang yang berkilauan sinarnya menyambut tubuhnya. Han Han cepat mengelak dan menangkap
pergelangan tangan yang memegang pedang sambil berbisik, “Sssttttt, aku Han Han, Nona Lu...!”
Lu Soan Li, bayangan itu, kaget bukan main. Kaget karena hampir saja pedangnya melukai atau membunuh
orang yang hendak dilindunginya! Juga ia amat kagum, bahkan tidak mengerti bagaimana pergelangan
tangannya sampai dapat ditangkap oleh orang yang diserangnya itu. Kagum betapa setelah kakinya buntung,
agaknya Han Han kini malah memiliki kelihaian yang amat luar biasa!
“Han-twako... kau... ahhh, betapa gelisah hatiku. Setengah hari lamanya aku berkeliaran di sini, tidak tahu
harus berbuat bagaimana untuk mendengarkan hasil kunjunganmu ke sarang harimau itu!” kata Soan Li sambil
menyimpan pedangnya, setelah menarik napas lega melihat bahwa orang yang dijadikan kenangan ternyata
selamat.
“Nona, mengapa engkau bisa berada di sini? Mengapa pula engkau... ehh, agaknya menyusulku...?”
“Aku... mengkhawatirkan keadaanmu, twako. Dan aku ingin... ingin membantumu...”
Han Han memandang muka yang ditundukkan itu. Cuaca sudah gelap, akan tetapi ia masih dapat melihat
muka tunduk itu di bawah sinar bintang-bintang yang memenuhi langit biru. Heran dia mengapa nona ini susah
payah hendak melindunginya? Ingin ia menegur, akan tetapi melihat gadis itu menundukkan muka dan
bersikap seperti seorang anak kecil takut dimarahi, ia tidak tega untuk menegur, hanya berkata.
“Ah, kenapa Sin Kiat membiarkan engkau menempuh bahaya ini? Kedatanganmu ini amat berbahaya, Nona.”
“Apakah kunjunganmu ke benteng itu tidak kurang berbahaya?”
Han Han menghela napas. “Nona, aku telah berhasil bertemu dengan Su-ciangkun. Besok pagi-pagi pasukan
terdiri dari seribu orang akan diberangkatkan ke sana untuk menyerbu. Lebih baik malam ini juga Nona
kembali ke sana memberi kabar kepada Lauw-pangcu. Aku akan pura-pura ikut menyerbu. Kembalilah...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Akan tetapi... apakah... apakah hatimu sangat yakin bahwa engkau tidak... tidak akan terancam bahaya di
sana...?” Bertanya demikian, saking khawatirnya, Soan Li sampai lupa diri dan kedua tangannya memegang
lengan Han Han.
Han Han merasa betapa dari jari-jari tangan itu tersalur getaran-getaran aneh. Jantungnya berdebar. Apa pula
ini? Mengapa gadis ini begini mengkhawatirkan keselamatannya sehingga melupakan keselamatan diri
sendiri? Apakah yang terjadi dalam hati nona ini? Seperti mimpi, tanpa ia sadari mulutnya mengeluarkan
bisikan hatinya yang penuh dugaan dan pertanyaan.
“Lu-siocia, mengapa tanganmu gemetar...?”
Soan Li yang mendengar ini seperti didongkel isi hatinya, jari-jari tangannya malah mencengkeram lengan Han
Han dan suaranya terdengar penuh perasaan dan gemetar!
“Twako... Han-twako, aku... amat khawatir kalau-kalau engkau akan celaka...”
Han Han tertawa. Teringat ia akan adiknya, Lulu. Dalam keadaan gelap ia merasa seolah-olah gadis ini adalah
Lulu. Bentuk tubuhnya hampir sama, dan harum rambutnya sama dengan harum rambut Lulu, suaranya juga
hampir sama menggetarkan kekhawatiran dengan perhatian sepenuhnya atas keselamatan dirinya. Karena
teringat kepada Lulu, Han Han merasa terharu sekali dan mengangkat kedua tangan, ditaruhnya kedua tangan
ke atas pundak Soan Li dan berkata dengan suara halus.
“Adikku yang baik, jangan engkau mengkhawatirkan aku...!”
Han Han terkejut sekali karena tiba-tiba gadis itu terisak dan ia merasa betapa muka itu menimpa dadanya,
dan bajunya menjadi basah oleh air mata yang menembus ke kulit dadanya! Sejenak ia tertegun, terharu dan
tangannya mengusap rambut yang halus itu. Kemudian ia teringat bahwa bukan Lulu yang dielus rambutnya,
melainkan Lu Soan Li, Hoa-san Kiam-li! Ia menurunkan tangannya dan bertanya.
“Nona Lu... mengapa kau...?”
Soan Li menahan napas, menahan tangis, kemudian merenggangkan tubuhnya. “Twako... aku... aku... akan
merasa sengsara sekali kalau kau sampai celaka... hati-hatilah, twako...!” Tubuhnya lalu berkelebat dalam
gelap dan ia lenyap dari depan Han Han ditelan kegelapan malam.
Sampai lama Han Han berdiri termenung di tempat itu, mengerutkan keningnya dan tiada habisnya
mengherankan sikap gadis itu. Ia benar-benar tidak mengerti dan tidak dapat menduga apa yang
menyebabkan Soan Li berhal seperti itu, menangis di dadanya dan mengucapkan kata-kata seperti itu. Ia
menggaruk-garuk rambut kepalanya. Mimpikah dia? Dirabanya bajunya. Masih basah oleh air mata gadis itu.
Soan Li telah menangis karena mengkhawatirkan keselamatannya! Betapa mungkin ini?
Terbayanglah ia akan wajah Sin Lian. Tak salah lagi, Sin Lian mencintanya, Seperti Kim Cu. Ahhh, Kim Cu, Sin
Lian, dan Soan Li! Tiga wajah gadis jelita itu berganti-ganti terbayang di depan matanya, membuat Han Han
menjadi bingung dan pandang matanya kabur, kepalanya pening. Ia cepat-cepat membalikkan tubuhnya
kembali ke benteng. Lebih baik menghilangkan kebingungan ini dengan tidur nyenyak, untuk menghadapi
peristiwa besok pagi. Besok ia akan membunuh Su-ciangkun, akan tetapi ia harus mendapat kepastian lebih
dulu bahwa perwira tinggi besar itu benar-benar seorang di antara tujuh orang perwira yang menjadi musuh
besarnya.
Soan Li berlari di malam gelap sambil masih terisak-isak. Hatinya penuh dengan dua macam perasaan,
bahagia dan juga berduka. Han Han mencintanya! Terasa oleh hatinya, ketika tangan pemuda itu terletak di
atas kedua pundaknya, ketika jari-jari tangan itu mengelus rambutnya. Dan dia, walau tanpa kata-kata telah
memperlihatkan rasa cintanya terhadap pemuda itu.
Matanya terasa panas ketika ia teringat akan hal ini. Ia merasa malu sekali. Ah, malu apa? Biarlah! Memang
demikian kenyataan hatinya. Dia mencinta Han Han! Biar pun takkan mungkin dia menyambung cinta kasihnya
dengan perjodohan, biar pun dia akan menjadi isteri orang lain, hanya tubuhnya saja yang terpaksa ia
dunia-kangouw.blogspot.com
serahkan kepada suami pilihan gurunya. Akan tetapi hati dan kasih sayangnya telah ia serahkan kepada Han
Han!
Soan Li menjatuhkan diri di bawah pohon. Duduk bersandar pohon mengenangkan semua peristiwa tadi.
Peristiwa yang takkan ia lupakan selama hidupnya. Biarlah, selagi masih jelas terukir di lubuk hatinya, selagi
sentuhan tangan Han Han pada pundak dan rambutnya masih terasa hangat, selagi air matanya yang tadi
membasahi dada pemuda itu kini masih ada sisanya, biarlah ia mengenangkan saat-saat bahagia itu. Gadis itu
tersenyum penuh kebahagiaan, akan tetapi air matanya terus mengalir.
Tak lama kemudian ia meloncat bangun dan melanjutkan perjalanannya. Ia teringat akan tugasnya. Dia harus
segera melapor kepada Lauw-pangcu agar dapat melakukan persiapan sebaiknya. Musuh akan menyerbu,
berangkat besok pagi. Seribu orang banyaknya! Karena malam gelap dan perjalanan itu melalui hutan-hutan di
sepanjang tepi Sungai Huang-ho, Soan Li tidak dapat mempergunakan lari cepatnya. Ia berjalan dengan cepat
menyusuri sungai. Baru nanti menjelang pagi ia akan tiba di sarang Pek-lian Kai-pang. Namun belum terlambat.
Pasukan musuh baru akan berangkat besok pagi, tentu akan menyerbu besok sore.
Lewat tengah malam, selagi gadis ini berjalan dekat sungai, tiba-tiba ia melihat dua buah perahu mendarat. Ia
menjadi curiga, apa lagi ketika melihat betapa orang-orang yang berloncatan ke luar dari dua buah perahu itu
amat gesit dan ringan tubuhnya. Cepat ia menyelinap di antara pohon dan mendekati mereka. Dapat
dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat orang terakhir yang keluar dari perahu adalah Ma-bin Lo-mo!
Ouw Kian si Muka Bopeng juga berada di situ, bersama seorang yang mukanya seperti tengkorak dan seorang
hwesio bertubuh gemuk.
Dia menduga-duga. Apakah Ma-bin Lo-mo dan pembantu-pembantunya itu akan menyerbu pula ke benteng?
Biar pun Ma-bin Lo-mo terkenal seorang pejuang pula, akan tetapi teringat akan sikapnya ketika menghadiri
perayaan ulang tahun Lauw-pangcu, Soan Li menganggapnya sebagai musuh dan ia merasa lega bahwa
kakek lihai itu muncul terakhir sehingga kehadirannya di situ tidak diketahui orang. Kalau Ma-bin Lo-mo yang
meloncat ke darat lebih dulu, besar bahayanya kedatangannya mendekat akan diketahui oleh tokoh In-kok-san
itu. Dari perahu ke dua muncul belasan orang berpakaian... pengawal Mancu! Soan Li memandang dengan
jantung berdebar. Apa artinya ini? Ma-bin Lo-mo datang bersama belasan pengawal Mancu? Sungguh aneh
dan mencurigakan.
“Siangkoan-locianpwe, ada keperluan apakah locianpwe memanggil saya dan Kek Bu Hwesio di tengah malam
begini dan ke mana kita hendak pergi?” Si Muka Tengkorak bertanya kepada Ma-bin Lo-mo.
“Dan mereka itu... kenapa berada di sini bersama locianpwe?” tanya pula hwesio gemuk.
“Hemmm... kalian belum mengerti. Telah terjadi perubahan hebat sekali di kalangan para pejuang. Mereka itu
telah menyeleweng dan malah membantu si pengkhianat Bu Sam Kwi! Aku melihat perubahan besar.
Kekuasaan Mancu seperti munculnya matahari yang tak terkalahkan, dan sebaliknya pertahanan Bu Sam Kwi
memperpanjang perang dan menyusahkan banyak rakyat. Sudah tiba waktunya kita berganti haluan dan
berlaku cerdik. Aku menerima tawaran Kang-thouw-kwi dan Toat-beng Ciu-sian-li untuk membantu pemerintah
menghancurkan Se-cuan.”
“Omitohud...!” Hwesio itu berkata lirih.
“Apa!? Siapa tidak setuju dan siapa tidak suka membantuku?”
“Ohhh, tidak... tidak... pinceng setuju dan suka membantu.”
“Saya pun akan membantu dan selalu siap mengikuti jejak locianpwe,” kata Si Muka Tengkorak.
“Nah, dengarlah baik-baik. Pasukan ini membawa pesan dari Su-ciangkun, yaitu komandan yang bertugas di
daerah ini untuk memanggil aku karena di markas itu muncul seorang mata-mata musuh.”
“Siapa...?” tanya Si Hwesio Gemuk.
“Bocah buntung terkutuk itu. Han Han!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Eh, bukankah dia dahulu yang kita bakar di kapal...?” Si Muka Tengkorak bertanya.
“Tidak ada waktu untuk bercerita panjang. Bocah itu telah mehyelundup ke dalam benteng dan mengingat
bahwa dia kini lihai bukan main, kita harus menyergapnya, dan menurut perintah Su-ciangkun, harus dapat kita
tangkap hidup-hidup untuk memaksa pihak pemberontak agar suka menakluk. Hayo kita berangkat!”
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Soan Li yang mendengarkan semua ini. Tanpa berpikir panjang lagi
gadis itu lalu melesat pergi untuk cepat-cepat kembali ke benteng. Dia harus memberi tahu Han Han. Dengan
cara apa pun juga. Ternyata, entah bagaimana caranya, rahasia Han Han telah diketahui musuh! Betapa
lihainya musuh!
“Heiii... siapa itu? Kejar!”
Ma-bin Lo-mo yang berpendengaran tajam dan bermata jauh lebih awas dari pada yang lain sudah melihat
berkelebatnya bayangan Soan Li dan langkah kaki gadis itu. Dia cepat mengejar, diikuti oleh tiga orang
pembantunya dan para pengawal pasukan yang sudah mendaratkan kuda mereka. Empat ekor kuda
disediakan untuk Ma-bin Lo-mo dan para pembantunya. Terdengarlah derap kaki belasan ekor kuda yang
melakukan pengejaran.
Soan Li juga mendengar derap kaki kuda yang makin lama makin jelas. Dia mengerahkan seluruh tenaganya
dan berlari secepat mungkin. Dia harus mendahului mereka tiba di benteng! Dia akan mengamuk sehingga
Han Han yang mendengar amukannya akan keluar dan akan mendengar peringatannya.
Han Han harus diselamatkan. Kalau ia terlambat, celakalah pemuda itu! Betapa pun lihainya Han Han, tidak
mungkin dapat melawan Ma-bin Lo-mo, apa lagi masih ada empat orang pembantunya dan para pengawal,
ditambah ribuan orang tentara di dalam benteng. Dia harus berlari cepat. Nyawa pemuda yang dicintanya itu
tergantung pada kekuatan kedua kakinya berlari!
Di dalam tubuh setiap orang manusia memang terdapat kekuatan yang maha dahsyat, yang gaib dan sukar
diukur oleh akal manusia. Kekuatan maha dahsyat ini kadang-kadang timbul di luar kesadaran, agaknya selalu
bersembunyi di bawah sadar. Timbul apa bila si manusia berada dalam keadaan tak sadar oleh perasaan yang
menghimpitnya.
Orang yang berduka hebat kadang-kadang dapat bertahan untuk berpuasa sampai berbulan-bulan yang
takkan mungkin dapat tertahan tubuh seorang manusia dalam keadaan biasa. Seorang yang sedang ketakutan
hebat kadang-kadang dapat melakukan hal-hal yang ajaib seperti mengangkat benda yang beberapa kali lipat
lebih dari pada daya kekuatan tubuhnya, dapat melompat jauh lebih tinggi dari pada kemampuannya dalam
keadaan biasa.
Demikian pula dengan Soan Li. Gadis ini sebagai murid Im-yang Seng-cu memang telah memiliki ilmu
kepandaian tinggi, memiliki sinkang kuat dan ginkang yang hebat sehingga memungkinkan dia berlari cepat
sekali. Akan tetapi, dalam keadaan penuh kekhawatiran, ketegangan seperti saat itu, kekuatan maha dahsyat
yang mukjizat itu timbul di luar kesadarannya sehingga membuat kecepatan larinya menjadi berlipat ganda apa
bila dibandingkan dengan kemampuannya yang biasa. Bahkan kejaran kuda yang dibalapkan itu masih tidak
mampu menyusulnya!
Setelah malam terganti pagi, sinar matahari mulai muncul mendahului mataharinya sendiri, Soan Li telah lari
mendekati benteng. Peluhnya membasahi seluruh pakaiannya, napasnya terengah-engah dan kini Ma-bin Lomo
bersama tiga orang pembantunya yang sudah meninggalkan kuda, sudah amat dekat di belakangnya.
“Berhenti...!” Ma-bin Lo-mo berteriak. “Bukankah engkau gadis yang kemarin dulu berada di rumah Lauwpangcu?”
Soan Li maklum bahwa kalau ia sampai tersusul, ia akan celaka. Akan tetapi hal ini sama sekali tidak
menggelisahkan hatinya. Yang amat menggelisahkan hatinya adalah bahwa kalau dia terpegang oleh Ma-bin
Lo-mo, berarti Han Han akan celaka! Maka ia lalu mengerahkan tenaganya dan melompat jauh ke depan. Biar
pun Ma-bin Lo-mo suaranya terdengar dekat, namun sebenarnya masih agak jauh.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Berhenti, kalau tidak pinceng terpaksa merobohkanmu!” terdengar pula bentakan dari belakang. Akan tetapi
Soan Li berlari terus, tidak mempedulikan teriakan-teriakan di belakangnya.
Pada saat itu pintu benteng terbuka dan muncullah sepasukan tentara Mancu didahului oleh dua ekor kuda
yang ditunggangi oleh Su-ciangkun sendiri dan Han Han, di samping tentara yang memegang bendera
kebesaran Su-ciangkun.
“Han Han...!” Jerit suara Soan Li melengking amat nyaringnya. Akan tetapi terdengar bentakan dari
belakangnya.
“Robohlah, bocah keras kepala!”
Serangkum tenaga yang amat dahsyat menyambar dari belakang. Soan Li yang memiliki ilmu kepandaian
cukup tinggi maklum bahwa Ma-bin Lo-mo menyerangnya dengan pukulan sinkang, pukulan jarak jauh yang
amat kuat. Cepat ia mengelak dengan meloncat ke samping, akan tetapi tetap saja hawa pukulan Swat-im Sinciang
menyerempetnya dan ia terhuyung-huyung, merasa betapa tiba-tiba seluruh tubuhnya menjadi dingin
sekali. Pada saat tubuhnya terhuyung itu, terdengar teriakan Han Han.
“Soan Li...!”
“Han Han... awas... tertipu...!”
“Syut-syut-syut-ser-ser-ser...!”
Ketika tangan Kek Bu Hwesio, yaitu hwesio gemuk yang menjadi pembantu Ma-bin Lo-mo bergerak, belasan
batang panah tangan telah beterbangan menyambar ke arah tubuh Soan Li dari belakang. Memang hwesio
yang menjadi pelarian Kong-thong-pai ini memiliki keahlian mempergunakan panah tangan.
Soan Li sedang terhuyung dan perhatiannya tertarik kepada Han Han, maka biar pun ia berusaha melempar
tubuh mengelak, tetap saja ada enam batang anak panah mengenai tubuhnya, menancap di pundak,
punggung dan lengan.
“Aduhhhhh...! Han Han... Han-twako... awas...!”
“Soan Li...!” Han Han sudah sejak tadi mencelat dari atas kudanya dan dengan kecepatan luar biasa sekali
tubuhnya berloncatan ke depan sehingga dalam beberapa detik saja ia sudah tiba di tempat itu. Namun
terlambat. Dengan mata terbelalak pemuda ini melihat betapa tubuh Soan Li penuh dengan anak panah dan
dara ini merangkak ke arahnya dengan tangan terulur ke depan dan bibir mengeluarkan kata-kata.
“Han Han... mereka akan membunuhmu... kau terjebak...!”
Akan tetapi Han Han tidak mendengarkan lagi ucapan gadis itu. Tongkatnya sudah bergerak seperti kilat
menyambar ke arah Ma-bin Lo-mo dan hwesio yang hanya gundul kepalanya akan tetapi di tengkuknya
tumbuh rambut, jenggotnya seperti jenggot kambing dan kumisnya melingkar itu. Kek Bu Hwesio meloncat ke
belakang, lalu melepas anak panah ke arah Han Han, sedangkan Ma-bin Lo-mo cepat mengelak.
Akan tetapi dengan gerakan tongkatnya Han Han berhasil meruntuhkan semua anak panah dan melihat
betapa tubuh Soan Li penuh anak panah, kemarahannya meluap ke arah hwesio itu dan tubuhnya secara tibatiba
sudah mencelat ke depan Kek Bu Hwesio. Ma-bin Lo-mo mendengus dan menerjang dengan pukulan
Swat-im Sin-ciang. Akan tetapi dengan tangan kirinya Han Han menangkis.
“Deessss!!”
Tubuh Ma-bin Lo-mo mencelat sampai hampir sepuluh meter. Kakek ini berjungkir-balik dan matanya
terbelalak saking heran dan gentarnya. Han Han sudah menggerakkan tangannya dan ketika itu ada serangan
dari belakang, yaitu serangan pedang yang dilakukan oleh Ouw Kian dan serangan pecut besi di tangan si
Muka Tengkorak Swi Coan, dua orang pembantu Ma-bin Lo-mo.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Haiiiiittttt...!”
Han Han menggerakkan tongkatnya ke belakang, cepat sekali sampai tak dapat diikuti pandangan mata.
“Prakkkk! Prakkkk!” tanpa dapat mengeluh lagi Ouw Kian dan Swi Coan roboh dengan kepala pecah!
Kek Bu Hwesio sudah dapat melompat mundur dan enam orang pengawal yang berkuda sudah datang
menerjang. Han Han mengamuk. Tongkatnya bergerak sedemikian rupa sehingga enam orang pengawal itu
mencelat dengan tubuh remuk, tiga ekor kuda roboh akan tetapi tongkat Han Han tertinggal di perut kuda
terakhir! Dia terpaksa melepaskan tongkatnya karena pada saat itu belasan batang anak panah yang dilepas
Kek Bu Hwesio datang menyambar.
Dengan kedua tangan kosong Han Han menangkap belasan batang anak panah lalu kedua tangannya
bergerak. Terdengar teriakan-teriakan ketika belasan orang pengawal roboh dan beberapa ekor kuda roboh
pula terkena anak panah yang dilontarkan Han Han. Kini sekali kakinya mengenjot tanah, tubuhnya sudah
menyambar ke depan, tahu-tahu jubah depan Kek Bu Hwesio sudah ia cengkeram dengan tangan kiri.
“Han Han... Twako... awas... larilah...!”
Han Han menoleh dan melihat betapa Soan Li merangkak-rangkak ke arahnya, dan kini menyentuh lututnya,
tak tertahankan lagi air matanya bercucuran. Gadis itu dalam keadaan hampir mati masih saja memikirkan
keselamatannya! Dengan kemarahan meluap, ketika pada saat itu ada seekor kuda yang ditunggangi seorang
pengawal meloncat hendak menubruk, Han Han menggunakan tangan kanan menampar ke arah perut kuda.
“Bukkk!” Kuda meringkik, terlempar ke udara bersama penunggangnya dan terbanting roboh menindih
penunggangnya yang mati seketika karena tulang punggungnya patah.
“Jahanam engkau... penjahat berpakaian pendeta...!” Mulut Han Han mendesis, kedua matanya bercucuran air
mata dan ia membanting tubuh hwesio itu ke atas tanah.
“Prokkk!” Hwesio itu tewas dengan kepalanya hancur tidak merupakan kepala lagi.
“Han-twako...!” Soan Li mengeluh. “Larilah...!”
“Soan Li... ahhh, Soan Li...!” Han Han menyambar tubuh gadis itu, dipanggulnya dan tubuhnya tiba-tiba
mencelat ke atas. Ketika turun, kakinya menendang roboh dua orang pengawal.
“Tangkap... kepung...!” Terdengar suara Ma-bin Lo-mo yang juga mengejar sungguh pun ia terbelalak
menyaksikan sepak terjang pemuda itu. Betapa mungkin pemuda buntung itu menjadi sedemikian lihainya
setelah kakinya buntung?
Han Han menangkap seorang pengawal dengan sebelah tangan dan melontarkannya ke arah Ma-bin Lo-mo
yang mengejarnya. Terpaksa kakek ini mengelak, akan tetapi Han Han sudah merobohkan lagi empat orang
pengawal yang berani membayanginya dan melihat keganasan sepak terjang pemuda buntung itu, para
prajurit menjadi gentar. Han Han terus melompat dan mengerahkan ilmu yang ia pelajari dari Khu Siauw Bwee
sehingga tubuhnya yang memanggul tubuh Soan Li itu sebentar saja mencelat berulang-ulang, makin jauh dan
akhirnya lenyap dari situ!
“Kejar...! Tangkap...!”
Entah mulut siapa yang berteriak-teriak ini, terlalu banyak. Dan mereka memang mengejar, akan tetapi karena
hati telah menjadi gentar, tidak ada yang mendahului kawan dan pengejaran itu sia-sia belaka.
Dengan air mata bercucuran Han Han merebahkan tubuh Soan Li ke atas rumput setelah mencabuti anak
panah yang menancap di bagian belakang tubuh gadis itu. Akan tetapi Soan Li rebah tak bergerak, mukanya
pucat, seluruh pakaiannya berlumuran darah, kedua matanya meram.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Soan Li...! Soan Li... ahhh, Soan Li!” Han Han menangis dan mengguncang tubuh itu, seolah-olah hendak
memanggil kembali nyawa yang sudah hampir meninggalkan raga itu.
Soan Li membuka kedua matanya, memandang Han Han dan... tersenyum! Senyum ini merupakan tangan
maut sendiri yang merenggut jantung Han Han.
“Soan Li...! Mengapa engkau mengorbankan diri untukku...?”
“Han... Twako... syukur engkau selamat... hatiku puas...”
“Soan Li! Soan Li... kenapa engkau begini...? Apa kau kira aku akan bahagia melihat engkau mati karena
hendak menyelamatkan aku? Soan Li... kau tidak boleh mati hanya untuk aku...!” Han Han seperti orang gila,
mengguncang-guncang tubuh gadis itu yang sudah memejamkan mata kembali.
Soan Li membuka mata untuk kedua kalinya. Pandang mata gadis itu persis pandang mata Kim Cu, persis
pandang mata Sin Lian. Begitu mesra! Han Han menangis, mengguguk. Tak mampu ia bicara lagi.
“Han-twako... aku bahagia... aku... aku cinta padamu, Han-twako...”
“Soan Li...!”
Mulut gadis itu megap-megap seperti ikan dilempar ke darat. Han Han menjerit, lalu menutup mulut gadis itu
dengan mulutnya sendiri, seolah-olah ia ingin menyambung nyawa gadis itu, ingin menambah napas gadis itu
dengan napasnya.
“Han-twako...,” gadis itu mengeluh dan Han Han seperti merasa betapa napas terakhir terhembus dari mulut itu
memenuhi dadanya sendiri dan ia tergelimpang, pingsan sambil memeluk Soan Li!
Tentu saja Han Han sama sekali tidak tahu bahwa siasat yang diaturnya bersama Lauw-pangcu itu sebetulnya
telah diketahui semua oleh pihak Mancu! Dua orang utusan yang dibunuhnya dan dirampas suratnya adalah
utusan dari Puteri Nirahai. Puteri ini memiliki kecerdikan yang luar biasa, maka tentu saja ketika mengirim
utusan kepada Su-ciangkun untuk membawa perintah sepenting itu, Puteri Nirahai tidak mau bertindak
sembrono. Setengah hari setelah dua orang utusan pertama itu berangkat, dia mengirim utusan kedua yang
bertugas menyelidiki apakah perintah yang dibawa utusan pertama itu telah tiba di markas Su-ciangkun
dengan selamat.
Tentu saja utusan ke dua ini menemukan mayat dua orang kawannya di tengah jalan, maka cepat ia
melanjutkan perjalanan ke markas Su-ciangkun. Ketika ia menyampaikan laporan tentang terbunuhnya utusan
dari kota raja dan lenyapnya surat perintah, saat itu Han Han sedang mengunjungi Lauw-pangcu.
Demikianlah, ketika Han Han muncul di markas itu mengaku sebagai utusan Puteri Nirahai, tentu saja Suciangkun
sudah tahu bahwa pemuda buntung itu sebetulnya adalah mata-mata pemberontak yang membunuh
utusan kota raja dan merampas surat perintah. Ketika Han Han menyerahkan surat perintah itu kepadanya dan
ia membaca isinya yang tulen, Su-ciangkun sebagai seorang perwira perang mengerti bahwa pihak
pemberontak menggunakan surat perintah itu untuk mengatur jebakan.
Dia lalu sengaja mencoba ilmu kepandaian Han Han, terkejut menyaksikan kelihaian pemuda buntung itu,
maka ia menerimanya dengan baik akan tetapi diam-diam ia mengirim utusan untuk memanggil Ma-bin Lo-mo
agar dengan bantuan orang sakti itu, pemuda buntung yang lihai ini dapat ditangkap dalam keadaan hidup. Dia
ingin menggunakan pemuda buntung itu untuk memaksa para pemberontak agar suka menyerah tanpa perang.
Dan mengapa Ma-bin Lo-mo yang terkenal sebagai seorang pejuang itu tiba-tiba bersekutu dengan perwira
Mancu? Mengapa pula dia mau diundang oleh pasukan utusan Su-ciangkun dan datang menunggang perahu,
bahkan mengajak pula tiga orang pembantunya untuk membantu pasukan Mancu?
Hal ini sebetulnya sudah terjadi jauh sebelum Ma-bin Lo-mo mendatangi tempat tinggal Lauw-pangcu. Jauh
sebelum itu, Ma-bin Lo-mo telah bertukar haluan, diam-diam ia telah membalik dan membantu Kerajaan
Mancu. Hal ini tadinya ia lakukan secara terpaksa sekali karena tekanan yang dilakukan Kang-thouw-kwi Gak
dunia-kangouw.blogspot.com
Liat sesuai dengan rencana yang diatur oleh Puteri Nirahai. Gak Liat telah menemui Ma-bin Lo-mo dan
membujuk Iblis Muka Kuda ini untuk bekerja sama membantu Kerajaan Ceng dan menghancurkan pertahanan
Bu Sam Kwi di Se-cuan. Tentu saja Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee yang dahulu pernah menjadi seorang
menteri di Kerajaan Beng menolak dan memaki-maki Gak Liat.
“Setan Botak tak tahu malu!” Demikian jawabnya. “Engkau telah melupakan bangsa dan mengekor kepada
bangsa Mancu, itu adalah urusanmu sendiri. Mengapa engkau membujuk-bujuk aku? Kalau aku tidak sudi,
engkau mau apa? Hemmm... Hwi-yang Sin-ciang darimu itu sama sekali tidak membuat aku takut!”
“Ha-ha-ha-ha! Si Kuda Iblis, sombong sekali bicaramu!” Kang-thouw-kwi Gak Liat memaki dan tertawa
mengejek. “Siapakah tidak tahu bahwa Siangkoan Lee dahulu adalah seorang menteri Kerajaan Beng? Akan
tetapi siapa pula tidak tahu bahwa Menteri Siangkoan Lee menjadi rusak namanya karena selain tukang
merampas anak bini orang, tukang merampas harta dan tanah ladang, juga tukang korupsi besar-besaran?”
“Setan Botak mau mampus! Mulutmu sama busuknya dengan hatimu! Mari kita tentukan siapa yang lebih
unggul di antara kita!”
Melihat Ma-bin Lo-mo sudah dapat dibikin panas hatinya dan hendak menyerang, Gak Liat cepat berkata,
“Tahan dulu! Sama sekali aku tidak takut kepadamu, kuda iblis! Akan tetapi sayang kalau kau mampus
sekarang, tenagamu masih amat dibutuhkan pemerintah. Sekarang kau boleh pilih, membantu pemerintah
Ceng ataukah engkau mati dikeroyok murid-muridmu sendiri?”
“Hahhh? Apa maksudmu, Setan Botak keparat?”
Gak Liat tertawa. “Ma-bin Lo-mo, marilah kita bicara sebagai orang-orang tua yang sudah matang pikirannya.
Aku tahu, juga pemerintah, bahwa engkau berjuang untuk dirimu sendiri. Engkau bercita-cita mengalahkan
Pemerintah Ceng agar engkau dapat membangun kembali Kerajaan Beng yang sudah runtuh dan engkau
akan menjadi kaisarnya! Hemmm, boleh saja bercita-cita mengejar kemuliaan, akan tetapi jangan terlampau
tinggi. Engkau mimpi di siang hari. Lebih baik engkau mengabdi kepada Kerajaan Ceng dan engkau tentu akan
menikmati kemuliaan dan kedudukan yang cukup tinggi, sesuai dengan kepandaianmu. Pemerintah Ceng
pandai menghargai orang. Kalau engkau menolak, murid-muridmu yang menjadi pasukan In-kok-san akan
tahu siapa sebetulnya yang membasmi keluarga mereka!”
Wajah Ma-bin Lo-mo berubah. Ia pura-pura tidak mengerti dan memaki lagi, “Gak Liat, apa artinya ucapanmu
itu?”
“Wah, engkau masih pura-pura lagi, Siangkoan Lee? Engkau bermaksud membentuk pasukan yang kuat,
terdiri dari murid-muridmu di In-kok-san. Untuk keperluan itu engkau memilih banyak bocah yang berbakat,
diam-diam kau bunuh keluarga mereka dan kau katakan bahwa orang Mancu yang membunuh sehingga
engkau menanamkan benih kebencian di hati para muridmu terhadap Pemerintah Mancu agar kelak dapat kau
pergunakan tenaga mereka untuk membantu kau mencapai cita-citamu...!”
Wajah Ma-bin Lo-mo menjadi pucat. “Setan...! Cukup, tak perlu membuka mulut lagi. Katakan, apa
kehendakmu?”
“Aku hanya melakukan tugas yang diperintahkan Puteri Nirahai.”
“Hemmm, apa kehendaknya?”
“Tidak lain, kau diminta untuk bekerja sama, membantu pemerintah untuk meng-hancurkan para pemberontak,
terutama sekali pemberontak Bu Sam Kwi di Se-cuan. Untuk jasa-jasamu, tentu kaisar tidak akan melupakan
dan kelak kita tentu akan menikmati hari tua yang mulia dan terhormat.”
Demikianlah, siasat yang dijalankan oleh Gak Liat atas perintah Puteri Nirahai itu berhasil baik. Ma-bin Lo-mo
membujuk murid-muridnya yang berjumlah hampir seratus orang untuk membalik dan membantu Pemerintah
Mancu. Tentu saja sebagian besar muridnya tidak sudi karena bukankah keluarga mereka terbasmi habis oleh
orang-orang Mancu? Mereka yang tidak mau mengikuti jejak guru mereka lalu meninggalkan In-kok-san dan
dunia-kangouw.blogspot.com
sebagian menggabung pada para pejuang. Banyak pula yang lari ke Se-cuan untuk membantu Bu Sam Kwi
mengadakan perlawanan terhadap bala tentara Mancu yang berusaha menalukkan Se-cuan.
Ketika tidak berhasil menangkap Han Han, bahkan tiga orang pembantunya yang setia dan pandai itu tewas
secara mengerikan di tangan pemuda kaki buntung yang amat luar biasa itu, Ma-bin Lo-mo menjadi marah dan
menyesal sekali. Juga di dalam hatinya ia merasa heran. Dia maklum bahwa Han Han telah mewarisi ilmu-ilmu
aneh dari Pulau Es, akan tetapi dia pernah bertanding melawan Han Han sebelum kaki pemuda itu buntung,
dibuntungi oleh Toat-beng Ciu-sian-li. Akan tetapi mengapa sekarang pemuda itu setelah kakinya buntung
menjadi makin hebat kepandaiannya?
Bahkan tadi ketika menangkis pukulan saktinya juga membuktikan bahwa tenaga sinkang pemuda itu jauh
lebih matang dari pada sebelum kakinya buntung! Dan ilmunya bergerak seperti kilat itu, berloncatan seperti
terbang saja! Ilmu apakah itu dan dari mana pemuda buntung itu memperolehnya? Diam-diam ia merasa
gentar sekali, maklum bahwa kini tingkat kepandaiannya tidak akan dapat menandingi kepandaian pemuda
yang mukjizat itu!
Pasukan yang dipimpin oleh Su-ciangkun dan dibantu oleh Ma-bin Lo-mo melanjutkan perjalanan mereka
menyerbu sarang Pek-lian Kai-pang. Kekacauan yang ditimbulkan oleh Han Han dan Soan Li tadi tidak
mengubah rencana mereka menghancurkan sarang pemberontak. Su-ciangkun sebagai seorang ahli perang
yang pandai maklum bahwa pasukannya akan menghadapi jebakan kaum pemberontak, maka diam-diam dia
memecah-mecah pasukannya menjadi empat bagian.
Bagian pertama sengaja ia biarkan untuk dijebak, akan tetapi diam-diam dua pasukan menyusul dari kanan kiri
merupakan sayap untuk melindungi induk pasukan yang akan dijebak musuh. Sedangkan bagian ke empat
menggunakan perahu-perahu menyerbu melalui air! Dengan siasat yang lihai ini, bukan pasukan Mancu yang
terancam, sebaliknya malah pihak pemberontak yang berada dalam bahaya.
Lauw-pangcu yang sudah mengatur barisan pendam di dalam hutan menjadi girang sekali ketika melihat
pasukan Mancu terdiri dari dua ratus lima orang memasuki hutan itu, memasuki jebakan, memasuki perangkap
yang dipasangnya! Hari telah menjelang senja ketika pasukan Mancu itu memasuki hutan yang dijadikan
tempat perangkap untuk menyergap pasukan Mancu.
Setelah pasukan Mancu yang megah itu semua memasuki hutan, tiba-tiba terdengar suara melengking dan
itulah tanda yang diberikan oleh Sin Lian. Dari lubang-lubang dalam tanah menyambar ratusan batang anak
panah ke arah dua ratus lima orang tentara Mancu yang menggunakan perisai-perisai dan golok menangkis
anak panah dan melindungi diri. Akan tetapi ada beberapa orang terjungkal dan beberapa ekor kuda roboh.
Selagi pasukan Mancu menjadi bingung karena diserang dari kanan kiri dan muka belakang, para pejuang
bersorak-sorak dan berteriak-teriak, meloncat keluar dari tempat persembunyian mereka dalam tanah
berlubang, dari balik-balik batang pohon dan semak-semak, dari atas pohon dan menyerbu pasukan yang
sedang bingung itu.
Jumlah anak buah Lauw-pangcu tidak kurang dari tiga ratus orang dan hampir semua adalah ahli-ahli silat
yang pandai. Apa lagi di situ, terdapat Lauw-pangcu sendiri yang mengamuk, dan terutama sekali Lauw Sin
Lian dan Wan Sin Kiat yang membabati para prajurit Mancu seperti orang membabati rumput saja. Kalau Suciangkun
tidak mengatur siasat lebih dulu dengan membagi-bagi pasukannya, dan andai kata pasukannya
hanya berjumlah lima ratus dan semua terjebak, tentu akan hancurlah pasukannya. Pasukan induk ini
melawan sekuatnya, namun karena mereka diserbu dari empat penjuru secara tiba-tiba, mereka menjadi
kacau-balau.
Para pemberontak atau pejuang sudah merasa girang sekali dan menganggap bahwa siasat mereka berhasil.
Tidak sampai setengah malam tentu semua pasukan Mancu akan dapat mereka basmi semua, demikian pikir
Lauw-pangcu dan anak buahnya.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara terompet tanduk berbunyi dari empat penjuru di luar hutan itu dan
menyerbulah tujuh ratus lima puluh orang tentara Mancu dari empat penjuru, dipimpin oleh Su-ciangkun sendiri
dan dibantu oleh Ma-bin Lo-mo! Kalau tadi anak buah Lauw-pangcu menyergap dan mengurung, kini mereka
sendiri dikurung dan keadaan menjadi kacau-balau. Perang terjadi amat hebatnya. Anak buah Lauw-pangcu
dunia-kangouw.blogspot.com
yang terjepit itu menjadi nekat dan mengamuk mati-matian. Mereka akan mati seperti tikus-tikus terjepit, maka
lebih baik melawan dan mati sebagai sekumpulan harimau.
Lauw-pangcu terkejut bukan main. Juga Sin Lian dan terutama sekali Sin Kiat menjadi khawatir sekali. Bukan
mengkhawatirkan diri sendiri, melainkan mengkhawatirkan sumoi-nya dan Han Han. Kalau sampai keadaan
berubah seperti ini, hanya berarti bahwa Han Han dan sumoi-nya tentu telah gagal. Namun mereka tidak
sempat banyak berpikir karena pihak musuh datang menyerbu bagaikan air membanjir. Dikeroyok banyak
lawan, satu lawan empat, mulai berjatuhanlah pihak pejuang. Di bawah sinar obor yang dipegang kedua pihak,
tampak darah muncrat, diselingi bunga api berpijar dan teriakan-teriakan bercampur dengan rintihan. Tubuhtubuh
manusia berjatuhan tumpang tindih, mayat-mayat yang mandi darah mulai berserakan.
Lauw-pangcu yang mengamuk hebat, setelah merobohkan tidak kurang dari dua puluh orang lawan dengan
tongkatnya yang lihai, akhirnya roboh juga dengan dada tertembus tombak. Melihat ayahnya roboh, Sin Lian
menjerit dan dengan isak tertahan gadis ini mengamuk. Pedangnya berkelebat seperti naga mengamuk dan
tentara musuh yang berani mendekatinya tentu roboh hanya dalam dua tiga gebrakan saja. Melihat kenekatan
Sin Lian yang mencoba mendekati ayahnya, Sin Kiat menyerbu dan membantunya. Makin mawutlah pihak
musuh.
“Hemmm, kalian sudah bosan hidup!” Bentakan ini disusul dengan menyambarnya angin pukulan dingin dan
ternyata Ma-bin Lo-mo yang menyaksikan sepak terjang dua orang muda ini sudah maju menyerang.
Melihat kakek ini, Sin Lian lalu membentak marah. “Kiranya engkau iblis tua bangka! Kiranya engkau adalah
anjing penjilat Mancu pula!”
Akan tetapi terpaksa Sin Lian harus membuang diri menghindar dari sambaran angin pukulan Ma-bin Lo-mo
seperti yang dilakukan Sin Kiat, kemudian ia membalas dengan terjangan ke depan dan menusukkan
pedangnya ke dada kakek itu. Sin Kiat juga menerjang dari kiri, pedangnya membabat leher.
Ma-bin Lo-mo sudah maklum akan kelihaian ilmu pedang kedua orang muda itu, maka ia tidak berani
memandang rendah. Melihat dua sinar pedang menyambar, ia cepat melompat ke belakang, ujung lengan
bajunya menampar untuk menangkis pedang Sin Lian yang melanjutkan tusukan dengan babatan kilat.
“Brett!” Pedang Sin Lian terpental dan cepat ia memutar tubuh agar pedangnya tidak terlepas, akan tetapi
ujung lengan baju Ma-bin Lo-mo terbabat putus!
Kakek ini marah sekali. Setelah dia mengelak dari tusukan pedang Sin Kiat yang menyambar, secepat kilat
kedua tangannya mendorong ke arah dua orang muda itu. Sin Kiat dan Sin Lian maklum akan kelihaian
pukulan jarak jauh ini. Mereka tidak keburu mengelak, dan menangkis dengan gerakan tangan sambil
mengerahkan sinkang pula. Akan tetapi tetap saja tubuh mereka terdorong hebat ke belakang, membuat
mereka terhuyung dan pada saat itu, dua orang perwira pembantu Su-ciangkun sudah menubruk dan
menusukkan tombak mereka ke arah kedua orang muda yang sedang terhuyung itu.
Sin Kiat yang sedang terhuyung melihat datangnya tusukan tombak dengan tenaga yang kuat itu, cepat
menjatuhkan diri, berguling ke depan sehingga tombak lewat di atas kepalanya, kemudian ia menusukkan
pedangnya yang amblas ke dalam perut lawan. Ketika darah mengucur menyusul pedang yang dicabutnya,
Sin Kiat sudah meloncat kembali sehingga tidak terkena semprotan darah.
Ada pun Sin Lian yang tadinya juga terhuyung, tidak sempat menangkis ketika ditusuk dari arah kanan oleh
perwira Mancu. Ia mempergunakan tangan kiri menyambar leher tombak, meminjam tenaga lawan menarik
tombak sehingga tubuh lawan ikut terdorong ke depan, lalu menggunakan tenaga sinkang ia menekuk tombak
sehingga patah tengahnya, lalu terus ia tusukkan ke lambung perwira itu sehingga tembus!
Melihat betapa dalam keadaan terhuyung kedua orang muda itu masih sempat merobohkan dua orang perwira
menengah, Ma-bin Lo-mo menjadi penasaran dan marah. Ia menerjang maju, bertubi-tubi menggerakkan
kedua tangan ke arah Sin Lian dan Sin Kiat yang menjadi sibuk mengelak dan menangkis, tidak sempat lagi
menyerang, padahal para pengeroyok sudah mengelilingi mereka dan siap-siap menghujankan senjata kepada
dua orang muda lihai ini apa bila mereka roboh oleh desakan Ma-bin Lo-mo. Menghadapi kakek bermuka iblis,
dunia-kangouw.blogspot.com
murid Siauw-lim Chit-kiam dan murid Im-yang Seng-cu benar-benar kewalahan karena Ma-bin Lo-mo
menggunakan Swat-im Sin-ciang yang luar biasa kuatnya.
Tiba-tiba keadaan perang menjadi makin kacau ketika banyak tentara Mancu roboh dan bahkan ada yang
terlempar ke sana-sini seperti diamuk badai. Ternyata yang datang mengamuk itu adalah Han Han! Setelah dia
siuman dari pingsannya dan menangisi Soan Li yang telah tewas, akhirnya Han Han teringat akan bahaya
yang mengancam Lauw-pangcu dan anak buahnya. Teringat akan itu, dengan hati berduka sekali ia lalu
menggali lubang dan menguburkan jenazah Soan Li. Kemudian ia menggunakan kepandaiannya berloncatan
dengan cepat sekali menuju ke tempat tinggal Lauw-pangcu.
“Han Han... mana Sumoi...?” Sin Kiat merasa lega melihat pemuda buntung itu, akan tetapi ia gelisah karena
tidak melihat sumoi-nya datang bersama Han Han.
Ditanya tentang Soan Li, Han Han diingatkan kembali, air matanya mengalir turun dan tanpa menjawab ia lalu
menerjang maju, menghadapi Ma-bin Lo-mo yang sedang mendesak Sin Kiat dan Sin Lian.
Ketika melihat Han Han, Ma-bin Lo-mo yang marah sekali itu lalu menerjang sambil mengeluarkan suara
meringkik keras seperti kuda marah. Ia masih merasa penasaran dan kini ia mengerahkan seluruh tenaganya
yang ada. Terdengar suara bercuitan ketika tenaga Swat-im Sin-ciang dengan kekuatan sepenuhnya
menyambar ke depan! Han Han mengenal pukulan sakti, cepat ia berseru.
“Kalian minggirlah!”
Sin Kiat dan Sin Lian yang sudah berkali-kali mengenal pukulan dahsyat dari kakek itu cepat melompat ke
kanan kiri. Akan tetapi Han Han sama sekali tidak mau melompat minggir. Ia sudah marah sekali,
kemarahannya yang timbul dari kedukaan yang hebat karena kematian Soan Li. Maka kini menyaksikan
betapa Ma-bin Lo-mo mengerahkan pukulan Swat-im Sin-ciang, ia pun berteriak keras dan dengan berdiri di
atas sebelah kakinya, ia mendorongkan kedua tangannya ke depan menyambut pukulan Ma-bin Lo-mo! Han
Han sudah kehilangan tongkatnya yang tertinggal di perut kuda ketika ia mengamuk di depan benteng, kini ia
tidak bertongkat lagi. Akan tetapi sinkang yang keluar dari kedua lengannya adalah inti sari dari tenaga Imkang
yang amat dahsyat, yang sudah dia kuasai ketika ia berlatih di Pulau Es.
“Desssss...!”
Hebat bukan main benturan dua tenaga sakti yang sama-sama mengandung hawa dingin itu. Empat orang
tentara Mancu yang berdiri terlalu dekat memekik ngeri dan roboh tak bernyawa lagi karena jantung mereka
membeku terkena sambaran tenaga sakti yang saling bertabrakan.
Tubuh Han Han mencelat ke atas, tinggi sekali. Akan tetapi ia sudah meloncat lagi ketika kakinya menyentuh
dahan pohon. Kini tubuhnya mencelat ke depan menyambar Ma-bin Lo-mo yang terhuyung ke belakang
dengan mulut muntahkan darah segar!
Melihat betapa tubuh Han Han dari atas pohon menukik ke bawah, Ma-bin Lo-mo mengeluarkan seruan kaget,
cepat tubuhnya melesat ke bawah, bergulingan dan lenyap di antara kaki para pengawal.
“Bressssss...!” Lima orang pengawal roboh dan tewas seketika dengan tulang-tulang remuk ketika terjangan
Han Han dari atas itu menyambar ke arah mereka. Akan tetapi Ma-bin Lo-mo tidak tampak lagi bayangannya.
Han Han mengamuk terus dengan hebatnya. Juga Sin Lian dan Sin Kiat mengamuk dengan pedang mereka.
Setelah kini Ma-bin Lo-mo terluka dan tidak muncul lagi, tidak ada yang dapat mengimbangi amukan tiga orang
muda yang perkasa ini. Akan tetapi, di pihak para pejuang, ternyata hanya tinggal mereka bertiga karena yang
lain-lain semua telah tewas dalam perang tanding yang amat seru di dalam hutan itu. Ada pun di pihak tentara
Mancu juga mengalami kerugian tidak sedikit, kurang lebih sama jumlahnya dengan anak buah Pek-lian Kaipang!
“Han Han, mari kita pergi...!” kata Sin Kiat. “Semua saudara telah tewas, tak perlu melawan lagi!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi Han Han tidak mau mendengarkan kata-kata Sin Kiat. Hatinya sudah terlalu sakit dan ia akan
bertempur sampai mati untuk membalaskan dendam Soan Li. Melihat itu Sin Lian lalu menyambar tubuh
ayahnya yang telah menjadi mayat, sambil menangis terisak ia mendekati Han Han yang masih mengamuk.
“Han Han... bantulah aku... menyelamatkan jenazah Ayah...!”
Mendengar suara wanita menangis, Han Han seperti baru sadar dari keadaan yang tidak wajar itu, yang
membuatnya mengamuk seperti orang gila. Ia menengok dan ketika ia melihat Sin Lian menangis sambil
memondong mayat Lauw-pangcu, Han Han terkejut sekali.
“Ah, Lauw-pangcu...!”
“Dia gugur, Han Han, tolonglah aku membuka jalan ke luar dari sini...!”
Han Han mengangguk, lalu bersama Sin Kiat ia mengawal Sin Lian yang memondong mayat ayahnya keluar
dari kepungan. Sebetulnya hal ini tidak perlu karena para pengepung itu tidak ada yang berani mengganggu
melihat tiga orang muda itu keluar dari hutan. Mereka telah menjadi jeri menyaksikan sepak terjang mereka
tadi, apa lagi sepak terjang pemuda yang buntung kakinya.
Sin Lian yang menangis sambil memondong tubuh ayahnya berlari terus sampai pagi, baru ia berhenti di
pinggir Sungai Huang-ho paling barat, di mana air sungai itu datang mengalir dari utara dan di tikungan itu
membelok ke timur. Daerah ini penuh pula dengan hutan dan amat sunyi.
Setengah malam mereka tadi berlari, tanpa berkata-kata, masih tegang dan berduka menghadapi mala petaka
yang menimpa Pek-lian Kai-pang. Yang paling gelisah adalah Sin Kiat. Pemuda ini ingin sekali mengetahui
akan keadaan sumoi-nya, ia pun ingin tahu bagaimana pihak Mancu sampai dapat melakukan sergapan
seperti itu, bahkan dibantu oleh Ma-bin Lo-mo. Ia menduga bahwa tentu Han Han tahu akan itu semua, akan
tetapi mengingat akan kedukaan Sin Lian, Sin Kiat menahan keinginan tahunya. Setelah dia dan Han Han
membantu Sin Lian mengubur jenazah Lauw-pangcu di dalam hutan itu, barulah Sin Kiat mengajak Han Han
menjauhi Sin Lian yang berkabung dan menangis di depan kuburan ayahnya.
“Han Han, ceritakanlah lekas, bagaimana dengan Sumoi!”
Akan tetapi, mendengar pertanyaan ini Han Han menjatuhkan diri duduk di atas tanah, matanya memandang
jauh dengan sinar muram dan kosong, sama sekali tidak menjawab pertanyaan Sin Kiat. Melihat ini Sin Kiat
berlutut dan menyentuh lengan Han Han, mengguncangnya dan bertanya tegang.
“Han Han, apa yang terjadi dengan Sumoi? Di mana dia?”
Tiba-tiba Han Han mengipatkan lengannya dan Sin Kiat terlempar ke belakang hingga terjengkang. Ia
meloncat lagi dan terkejut melihat Han Han sudah berdiri di atas sebelah kakinya dan menudingkan telunjuk ke
mukanya sambil membentak, “Sin Kiat, kenapa engkau membolehkan sumoi-mu pergi menyusulku? Kenapa
tidak kau cegah dia? Percuma saja engkau menjadi suheng-nya!”
Pucatlah wajah Sin Kiat. Tanpa mempedulikan kemarahan Han Han, ia menubruk maju dan memegang lengan
pemuda buntung itu. “Han Han...!” Sin Kiat menjerit, suaranya gemetar. “Lekas katakan, di mana dia? Di mana
sumoi...? Dia sendiri yang memaksa hendak menyusulmu karena mengkhawatirkan keadaanmu. Han Han, di
mana sumoi?”
Mendengar suara Sin Kiat menjerit-jerit ini, Sin Lian yang menangis di depan kuburan ayahnya menjadi terkejut,
menengok dan cepat ia menghampiri mereka karena ia melihat Han Han berdiri seperti orang marah dan Sin
Kiat menjerit-jerit seperti orang gila.
“Ada apakah? Han Han, apa yang terjadi?”
Suara Sin Lian ini mengusir kemarahan di hati Han Han. Ia menghela napas panjang, menundukkan muka
sehingga air mata yang memenuhi pelupuk mata itu menetes jatuh satu-satu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Soan Li... dia... dia telah tewas...!”
“Sumoi...!” Sin Kiat memekik keras. Matanya melotot, mukanya pucat seperti mayat dan tangannya
mencengkeram lengan Han Han.
“Apa...! Sumoi-ku... mati? Han Han, bagaimana? Siapa yang membunuhnya?”
Han Han menjatuhkan diri lagi duduk di atas rumput. Sin Lian juga duduk di atas tanah, mukanya makin
berduka. Sin Kiat duduk dan mengangkat kedua lutut, menunjang kedua siku dengan lututnya dan menutupi
mukanya mendengarkan penuturan Han Han yang menceritakan semua peristiwa itu dengan suara gemetar.
Setelah habis cerita Han Han, Sin Kiat masih menutupi mukanya. Perlahan-lahan dari celah-celah jari
tangannya keluar beberapa tetes air mata. Dadanya bergelombang, diseling sedu. Hancur hati Sin Kiat.
Teringat ia akan wajah sumoi-nya yang menengok dan tersenyum ketika hendak meninggalkannya. Senyum
manis di antara linangan air mata duka!
“Aduh, Sumoi...! Ah, dia seperti adikku sendiri... ahh, bagaimana aku harus bertanggung jawab terhadap suhu,
terhadap... keluarga tunangannya...?”
Tiba-tiba Han Han menggerakkan kepala, menoleh kemudian memandang Sin Kiat. “Tunangannya?”
Sin Kiat yang maklum akan isi hati sumoi-nya, dan dapat menduga bahwa Han Han yang kelihatan demikian
berduka dan menyesal atas kematian sumoi-nya agaknya juga sudah tahu akan perasaan cinta Soan Li
terhadapnya, tanpa menoleh kepada Han Han berkata lirih, “Ya tunangannya. Beberapa tahun yang lalu, atas
kehendak Suhu, Sumoi telah ditunangkan dengan putera sahabat suhu, seorang siucai she Tan yang tinggal di
Nan-king.”
Han Han menghela napas panjang. “Dan dia mati berkorban untukku...” Ia berbisik lirih. “Betapa mulia hatinya...
dan betapa besar dosaku...!”
Sin Lian melirik dan melihat betapa wajah Han Han lebih muram dari pada biasanya, betapa wajah yang
menarik itu makin bertambah guratannya, ia merasa kasihan dan teringatlah ia akan pernyataan Lulu bahwa
banyak wanita yang jatuh cinta kepada Han Han. Kini mengertilah ia dan biar pun tidak ada yang bicara di saat
itu, Sin Lian dapat menduga apa yang telah terjadi di dalam hati Soan Li. Tentu dara jelita murid Im-yang Sengcu
itu diam-diam jatuh cinta kepada Han Han, akan tetapi karena merasa bahwa dia telah terikat jodoh dengan
orang lain, maka Soan Li menahan diri. Betapa pun juga, cinta kasih membuat gadis itu nekat hendak
menyusul Han Han untuk melindunginya dan akhirnya mengorbankan nyawa sendiri.
“Kasihan Adik Soan Li...!” Sin Lian berkata dan menyentuh lengan Han Han, “Han Han, sudahlah, tak perlu kita
terlalu berduka karena kematian orang-orang yang kita sayang. Ayahku dan juga Soan Li tewas sebagai
orang-orang gagah, tewas dalam pelaksanaan tugas. Perlu apa harus berduka? Tidak, Han Han. Sebenarnya,
menurut patut, kita malah harus bangga bahwa mereka tewas sebagai orang-orang gagah, dan sudah menjadi
kewajiban kita untuk melanjutkan cita-cita dan kegagahan mereka. Kita harus melanjutkan perjuangan
mendiang Soan Li, menentang penjajah Mancu sampai detik hidup terakhir!”
Mendengar ucapan gadis perkasa ini, hati Han Han dan Sin Kiat kagum bukan main. Gadis ini baru saja
kematian ayahnya, satu-satunya orang di dunia ini yang menjadi keluarganya dan mereka dapat mengerti
betapa duka hati Sin Lian. Namun gadis itu masih mampu menghibur mereka berdua, dua orang pria yang
semestinya lebih kuat hatinya!
“Nona Lauw benar-benar mengagumkan sekali dan apa yang diucapkannya tak dapat disangkal
kebenarannya! Hidup atau mati bukanlah urusan manusia, bagi manusia yang paling tepat hanya menjaga
agar hidup atau mati sebagai manusia-manusia yang membela kebenaran dan keadilan! Han Han, marilah
engkau ikut bersamaku ke Se-cuan. Agaknya tinggal di sanalah satu-satunya tempat di mana kita dapat
menyumbangkan tenaga menentang penjajah sampai berhasil atau hancur!”
“Aku... aku harus mencari Lulu...” Suara Han Han masih tidak bersemangat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang Han Han masih sangat merasa tertekan oleh rentetan peristiwa yang amat menyedihkan hatinya.
Urusan Kim Cu, gadis yang berkorban demi cinta kasihnya terhadap dirinya merupakan urusan yang amat
menindih hatinya dan yang takkan pernah dapat ia lupakan, yang membuat ia merasa berdosa, merasa
menjadi penyebab hancurnya kebahagiaan hidup seorang gadis semulia Kim Cu. Kemudian ditambah lagi
dengan lenyapnya Lulu yang amat membingungkan dan menggelisahkan hatinya, lalu kekecewaan karena
belum juga ia berhasil membunuh seorang pun di antara tujuh orang musuh besar keluarganya.
Kini peristiwa yang menimpa diri Soan Li dan menyebabkan dara itu tewas, tewas di depan matanya sendiri
sebagai pengorbanan dalam usaha gadis itu yang hendak menyelamatkannya. Ia merasa berduka sekali,
bertubi-tubi perasaan hatinya mengalami hantaman yang berat, membuat ia kehilangan semangat, merasa
seperti hanyut dalam arus yang penuh kesengsaraan, membuat ia kehilangan pegangan dan dalam keadaan
seperti itu, dia harus cepat bertemu Lulu. Hanya adiknya itulah tempat ia berpegang dalam arus penuh
kesengsaraan ini, hanya adiknya Lulu itulah yang akan dapat menghiburnya, yang akan dapat mengembalikan
semangatnya.
“Aku harus mencari adikku Lulu...,” katanya lagi penuh rindu.
“Han Han, aku pun ingin sekali bertemu dengan adikku itu. Aku pun akan mencarinya. Bahkan aku akan
mengumpulkan sisa teman-teman seperjuangan. Aku akan berusaha mencari Lulu untuk kemudian kuajak
mereka semua ke Se-cuan,” kata Sin Lian.
“Aku pun akan membantumu mencari adikmu itu, Han Han. Akan tetapi, mengingat bahwa adikmu pun tentu
sedang mencari-carimu seperti yang ia katakan kepada Nona Sin Lian, apakah tidak mungkin kalau dia itu pun
pergi mencarimu ke Se-cuan, mengira bahwa engkau berada di sana? Lebih baik kita berangkat ke Se-cuan
sambil mendengar-dengar dan mencari-cari.”
Han Han mengangguk-angguk. “Pendapatmu benar juga, dan aku pun memang harus pergi ke Se-cuan
karena urusan pribadi.” Ia teringat akan penuturan Sie Leng enci-nya bahwa sebagian besar musuh-musuhnya
berada di Se-cuan, yaitu memimpin bala tentara yang ditugaskan mengurung dan menggempur Se-cuan.
“Memang demikian lebih baik,” kata Sin Lian. “Kalian berdua berangkatlah lebih dulu ke Se-cuan, sedangkan
aku sendiri akan mengumpulkan sisa teman-teman dan sekalian mencari Lulu di bagian timur. Kalau bertemu,
tentu akan kuajak menyusul ke barat.”
Setelah mereka melakukan penghormatan terakhir di depan kuburan Lauw-pangcu, Sin Lian lalu meninggalkan
dua orang pemuda itu untuk mengumpulkan sisa teman-teman seperjuangan yang pada malam itu sebagian
besar terbasmi oleh tentara Mancu. Ada pun Han Han, atas desakan Sin Kiat mengantar temannya ini
berkunjung ke makam Soan Li di mana Sin Kiat berkabung dan Han Han juga tak dapat menahan runtuhnya
air matanya.
“Han Han, ketahuilah, hanya kepada aku seorang mendiang sumoi membuka rahasia hatinya bahwa dia
mencintamu.”
Han Han menghela napas. “Sin Kiat, kalau engkau tahu bahwa dia sudah ditunangkan dengan laki-laki lain,
mengapa engkau tidak menegurnya?”
“Sudah kutegur, akan tetapi akhirnya aku harus membela dia. Dia ditunangkan dengan Tan-siucai atas
kehendak Suhu, bahkan ia belum pernah bertemu dengan tunangannya itu. Kalau dia bertemu denganmu dan
jatuh cinta, salahkah itu? Karena itu, aku mewakili mendiang sumoi-ku untuk bertanya terus terang kepadamu,
Han Han. Adakah engkau mencinta sumoi?”
Han Han menundukkan mukanya dan menggeleng kepala. “Manusia cacat macam aku ini bagaimana berani
menjatuhkan kasih sayang kepada seorang wanita, Sin Kiat? Tidak, semenjak kakiku buntung, aku tidak lagi
berani membiarkan hatiku menjatuhkan cinta kepada seorang wanita karena aku maklum bahwa tidak ada
seorang pun wanita di dunia ini dapat hidup bahagia di samping seorang suami cacat memalukan seperti aku.
Tidak, aku tidak berani dan tidak dapat mencinta seorang gadis murni cantik dan perkasa seperti sumoi-mu
itu...”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sin Kiat menarik napas panjang. Di dalam hatinya pemuda ini dapat mengerti akan sikap rendah hati Han Han
ini, sikap yang mungkin timbul karena peristiwa yang menyedihkan di samping buntungnya kaki pemuda ini. Ia
pun tidak mau menyinggung-nyinggung lagi akan hal itu, namun diam-diam timbul rasa khawatir di hatinya,
karena sebagai seorang pemuda yang berpandangan tajam Sin Kiat dapat menduga bahwa Sin Lian pun
seperti adiknya, jatuh cinta kepada pemuda kaki buntung yang mengagumkan ini.
********************
Kaisar Kang Hsi dari Kerajaan Ceng yang didirikan oleh bangsa Mancu adalah seorang kaisar yang benarbenar
pandai sekali, bukan hanya di bidang kemiliteran akan tetapi juga di bidang pekerjaan sipil seperti
pembangunan dan lain-lain. Kaisar yang amat pandai dan amat lama memegang kendali pemerintahan
Kerajaan Mancu ini (tahun 1663-1722) telah berhasil dengan baik menarik bangsa pribumi yang tadinya
menentang penjajahan menjadi tenaga-tenaga yang amat penting dan berguna demi memajukan negara di
bawah pemerintahannya.
Untuk mencapai hasil baik, Kaisar Kang Hsi memajukan kebudayaan pribumi, bahkan mengundang bangsa
pribumi yang terkenal sebagai kaum cendekiawan, kaum cerdik pandai, untuk menduduki jabatan-jahatan
penting dalam pemerintah. Tentu saja kaum sastrawan dan kaum persilatan menyambut undangan ini dengan
gembira sehingga banyaklah sastrawan-sastrawan dan ahli-ahli silat muda mengalir ke kota raja. Mereka
diterima oleh kaisar dan diberi jabatan-jabatan yang penting.
Juga dalam urusan membersihkan negara dari pada para pemberontak, kaisar yang pandai ini berhasil baik
sekali. Dengan bantuan tokoh-tokoh kang-ouw yang kena terbujuk, pula karena memang bala tentara Mancu
merupakan bala tentara yang kuat, tahan uji, dan berdisiplin, maka gerombolan-gerombolan bersenjata yang
menentang Kerajaan Ceng satu demi satu dapat dihancurkan.
Sudah menjadi kenyataan sejarah bahwa di antara gerombolan-gerombolan pejuang yang menentang
penjajah Mancu demi perasaan patriotik, terdapat banyak pula gerombolan yang sebenarnya adalah penjahatpenjahat
dan perampok yang menggunakan dalih ‘perjuangan’ untuk dapat memeras dan merampok rakyat
jelata. Dengan dalih perjuangan, mereka yang mengotorkan dan mencemarkan perjuangan itu mengancam
rakyat yang dipaksa membantu perjuangan mereka dengan menyerahkan harta benda untuk biaya
perjuangan!
Sebetulnya, kenyataan itulah yang merupakan sebuah di antara kelemahan perjuangan kaum patriot di masa
itu. Karena nama perjuangan dibikin cemar, maka ketika tentara Mancu datang dan menyapu para perampok
yang berkedok pejuang itu, rakyat menyambut dengan gembira, menganggap bahwa pemerintah yang baru
berhasil membebaskan rakyat dari pada pemerasan dan penindasan pejuang-pejuang yang kini disamakan
dengan perampok jahat itu! Hal ini adalah satu di antara sebab-sebab mengapa penduduk pribumi dapat cepat
melenyapkan perasaan kebencianhya terhadap bangsa Mancu yang menjajah.
Selain itu juga Kaisar Kang Hsi dengan taktiknya yang tepat dapat menyesuaikan diri dengan keadaan dan
tradisi-tradisi lama di Tiongkok. Para pembesar Mancu diharuskan belajar bahasa dan sastra Tiongkok dan
bahkan diharuskan bicara dalam bahasa pribumi, bukan dalam pertemuan-pertemuan resmi saja, bahkan di
antara keluarga para pembesar Mancu pun mereka menggunakan bahasa pribumi. Hal ini adalah karena
Kaisar Kang Hsi yang bijaksana itu maklum bahwa sekali bangsanya sudah menjadi ‘bangsa asli’, maka dalam
abad-abad selanjutnya tidak akan ada lagi ‘pribumi’ yang menganggap bahwa pemerintah Kerajan Ceng
adalah kerajaan asing!
Biar pun hampir seluruh daerah Tiongkok telah dikuasai, dan semua pemberontak di perbatasan-perbatasan
telah dapat dihancurkan, namun hanya Se-cuan yang masih tetap bertahan. Hal ini adalah karena pemerintah
Ceng yang cerdik memang sengaja membiarkan daerah ini agar menjadi pusat pelarian bagi para
pemberontak. Agar dengan adanya wadah ini, para pemberontak yang sudah kehilangan kesatuannya akan
melarikan diri ke Se-cuan dan kelak akan mudah untuk menyerbu satu tempat saja dari pada kalau harus
mengejar pemberontak-pemberontak yang tersebar di mana-mana. Selain sukar juga membutuhkan benyak
tenaga dan biaya.
Karena sengaja didiamkan, dan hanya sekali-kali diadakan pengepungan dan serangan kecil, maka terjadilah
semacam perang dingin dan tapal batas. Se-cuan merupakan daerah gawat. Pedagang-pedagang petualang
dunia-kangouw.blogspot.com
yang berani hilir-mudik melewati perbatasan yang gawat ini tentu akan memperoleh keuntungan yang besar
sekali, akan tetapi tentu saja dengan resiko perutnya ditembus tombak, baik oleh tentara di pihak Se-cuan mau
pun tentara Mancu, karena dicurigai sebagai mata-mata musuh.
Dan biar pun belum diadakan penyerbuan besar-besaran, namun telah terjadi ketegangan karena di pihak
orang-orang gagah di dunia kang-ouw terpecah dua, ada yang pro Se-cuan, ada pula yang pro Kerajaan Ceng.
Bentrokan-bentrokan kecil terjadi di mana-mana dan tentu saja mata-mata kedua pihak pun disebar dengan
leluasa karena di pihak pemerintah Mancu pun memiliki banyak kaki tangan orang kang-ouw yang terdiri dari
orang pribumi.
Han Han dan Sin Kiat yang melakukan perjalanan ke barat, di sepanjang jalan mereka menyelidiki tentang Lulu.
Akan tetapi tidak ada seorang pun yang dapat memberi petunjuk. Bahkan banyak kaum pejuang yang hilirmudik
ke Se-cuan, yang mengenal Sin Kiat, juga tidak ada yang pernah melihat Lulu. Hati mereka kecewa
sekali, terutama Han Han yang menjadi makin gelisah. Masih hidupkah adiknya itu? Kalau hidup, di mana dan
mengapa tidak ada jejaknya?
Pada suatu pagi, kedua orang muda ini memasuki kota Tiang-koan-bun yang letaknya dekat dengan
perbatasan Se-cuan. Di bagian ini telah ada pelarangan membawa senjata yang dilaksanakan dengan keras
oleh para penjaga, berbeda dengan pedalaman yang biar pun ada pula pelarangan umum itu, namun
pelaksanaannya tidaklah begitu ketat. Karena maklum akan hal ini dan tidak ingin mencari perkara di daerah
gawat, Sin Kiat menyembunyikan pedangnya di balik baju dan ia berpakaian sebagai seorang penduduk biasa.
Han Han masih berpakaian seperti biasa, sederhana dan berwarna putih, tangan kirinya memegang sebatang
tongkat kayu yang dibuatnya begitu saja dari sebuah ranting pohon.
“Malam nanti kita menyelundup lewat perbatasan, masuk daerah Se-cuan,” kata Sin Kiat perlahan ketika
mereka tiba di sudut kota.
Han Han berhenti melangkah dan pandang matanya termenung, keningnya berkerut. Ia menoleh ke kanan kiri
seperti orang mencari-cari, dan memang ia selalu tak pernah berhenti mencari-cari dengan pandang matanya,
seolah-olah setiap saat ia mengharapkan akan melihat berkelebatnya bayangan Lulu.
“Sin Kiat, agaknya yang kau pentingkan hanya perjuangan saja,” kata Han Han lirih.
Sin Kiat memandang heran. “Habis, bagaimana kalau tidak begitu, Han Han? Dalam masa seperti ini, siapa
tidak mementingkan perjuangan?”
Terdengar derap kaki kuda dan seorang penunggang kuda lewat di jalan itu. Han Han tidak mempedulikan,
bahkan menengok pun tidak. Tanpa memandang Sin Kiat dia berkata, “Bagiku, yang terpenting adalah mencari
Lulu sampai dapat ditemukan!”
Sin Kiat juga mengerutkan keningnya. “Hemmm, Han Han, mengapa kau menekankan hal itu? Apakah kau
kira aku pun tidak gelisah memikirkan Nona Lulu? Kiranya tidak perlu kujelaskan lagi bahwa engkau tentu
paham akan isi hatiku terhadap adikmu! Aku pun ingin sekali bertemu dengan dia, ingin melihat dia selamat.
Akan tetapi, kita memiliki tujuan dalam perjalanan ini, yaitu ke Se-cuan! Tentang adikmu yang kau tahu amat
kucinta... hmmm... bukankah kita sudah selalu menyelidiki tentang dia? Bukankah aku pun selama ini
mengerahkan seluruh tenaga untuk mencari dia? Siapa tahu, dia berada di Se-cuan.”
Han Han menarik napas panjang dan kini ia menoleh memandang wajah Sin Kiat yang tampan itu. Tentu saja
dia tahu bahwa pemuda perkasa ini, pemuda yang gagah dan berwatak pendekar, jatuh cinta kepada Lulu.
Dan diam-diam ia pun akan merasa setuju sekali kalau adiknya mendapatkan jodoh seperti Sin Kiat. Akan
tetapi itu adalah perkara nanti. Yang perlu mencari Lulu sampai dapat! Apa perlunya memikirkan perjodohan
Lulu kalau gadis itu sendiri masih belum dapat ditemukan, belum diketahui masih hidup atau sudah mati?
“Begini sajalah. Engkau pergilah dulu ke sana, aku akan mencarinya di sekeliling perbatasan ini. Selain itu,
dulu sudah kukatakan bahwa aku mempunyai urusan pribadi yang harus kuselesalkan sebelum aku
menyusulmu ke Se-cuan. Kita berpisah di sini saja, Sin Kiat.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Selama dalam perjalanan, Sin Kiat sudah mengenal Han Han lebih baik lagi dan ia mengerti bahwa pemuda
berkaki buntung itu sedang menderita tekanan batin hebat sekali sehingga apa yang keluar dari mulutnya
selalu merupakan keputusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Ia maklum bahwa akan percuma saja dia
membantah, maka katanya.
“Baiklah, Han Han. Kalau engkau menghendaki demikian, biar aku yang masuk ke sana lebih dulu dan akan
kucari Nona Lulu di sana. Kalau berhasil, aku akan kembali ke sini dan biarlah tempat ini menjadi tempat
pertemuan kita. Selain itu, harap kau suka melihat-lihat kalau-kalau Nona Lauw Sin Lian tiba di sini. Kalau
Nona Lulu tidak ada di Se-cuan, barangkali dia akan datang bersama Nona Lauw.”
Han Han mengangguk dan mereka lalu berpisah. Baru saja beberapa langkah Sin Kiat sudah membalikkan
tubuhnya. “Han Han, ada urusan apakah sebetulnya? Apakah aku tidak bisa membantumu sebelum kita
berpisah?”
Han Han hanya menggeleng kepala. “Urusan ini adalah urusan pribadiku. Berangkatlah, Sin Kiat dan sampai
jumpa. Percayalah, kalau memang aku memerlukan bantuanmu, tentu aku akan minta bantuan. Sekarang ini,
bantuanmu satu-satunya yang kuperlukan hanya mencari Lulu sampai dapat.”
Sin Kiat menghela napas. “Kau tentu tahu bahwa aku siap mengorbankan apa saja untuk adikmu. Sampai
jumpa!” Sin Kiat lalu pergi meninggalkan Han Han yang masih berdiri termenung-menung di tempat itu.
Aku harus mencari Lulu dan juga mencari musuh-musuhku, pikirnya. Dan menurut enci-nya tidak hanya cihunya
berada di perbatasan Se-cuan, namun juga musuh besarnya nomor satu, Giam Kok Ma, dan mungkin juga
empat perwira lainnya. Ia merasa menyesal kalau teringat betapa dia tidak berhasil membunuh Su-ciangkun
karena pada waktu itu ada Ma-bin Lo-mo dan dia sedang menghadapi pengeroyokan ratusan orang tentara
sehingga Su-ciangkun mendapat banyak kesempatan untuk melarikan diri.
Sekali ini aku tidak boleh gagal, pikirnya. Kembali terdengar derap kaki kuda, kini ada banyak kuda yang
datang ke kota itu. Ketika Han Han menengok, ia melihat pasukan yang terdiri dari belasan orang penunggang
kuda berhenti di tempat ramai dan kepala regu berkuda itu membacakan pengumuman dengan suara lantang
dari atas kudanya yang menggerak-gerakkan kepala. Han Han mendengarkan.
Kiranya pasukan itu adalah pasukan yang bertugas mengumumkan bahwa berhubung dengan ulang tahun ke
sepuluh dari kaisar, yaitu sepuluh tahun semenjak kaisar memegang kendali kerajaan, maka di seluruh negara
diadakan pesta perayaan yang dibiayai oleh pemerintah dan rakyat akan dihibur dengan tontonan-tontonan
gratis, bahkan di beberapa tempat akan disediakan arak dan roti kering yang boleh dimakan dan diminum di
tempat itu secara gratis pula. Pesta akan dimulai malam nanti sampai tiga hari tiga malam lamanya.
“Terutama di daerah ini, akan diadakan pesta besar-besaran, rakyat diberi kesempatan bersuka ria!” Demikian
kepala regu itu menutup pengumumannya dengan suara lantang.
Penduduk kota itu menjadi girang dan bersorak-sorak. Diam-diam Han Han memuji kecerdikan pemerintah.
Justru di perbatasan ini pemerintah agaknya akan membuktikan perbedaan yang menyolok antara kehidupan
rakyat di daerah pemerintah dan di seberang lewat perbatasan, daerah pemberontak. Di samping merayakan
ulang tahun kedudukan kaisar, juga pesta itu dapat dipergunakan untuk mempengaruhi penduduk di daerah
pemberontak agar mereka melihat bahwa peri-kehidupan rakyat di daerah pemerintah lebih makmur! Waktu itu
permulaan tahun 1673 dan memang sudah sepuluh tahun Kaisar Kang Hsi menduduki singgasana pemerintah
Ceng.
Han Han berjalan-jalan di kota sambil menyelidiki adiknya, juga mencari keterangan tentang perwira-perwira
Mancu yang bertugas di perbatasan. Dia melihat persiapan-persiapan yang dibuat untuk pesta malam nanti.
Panggung-panggung dibuka, panggung wayang dan lain-lain, suasana mulai ramai dan meriah karena rakyat
juga menghias rumah-rumah mereka dengan bunga-bunga kertas yang dibagi-bagikan oleh petugas
pemerintah setempat.
Tadinya Han Han hendak mencari tempat penginapan yang tidak usah bayar, seperti di kelenteng atau kalau
perlu di bawah jembatan. Akan tetapi ketika ia merogoh saku bajunya, ia mendapatkan uang di situ dan ketika
dilihatnya, ternyata ada beberapa potong uang perak dan dua potong uang emas!
dunia-kangouw.blogspot.com
Han Han menghela napas dan maklum bahwa tentulah Sin Kiat yang menaruhkan uang di sakunya di luar
tahunya, mungkin malam tadi ketika mereka tidur di hutan di luar kota. Dan ia maklum mengapa Sin Kiat
melakukan hal itu. Pertama, karena Sin Kiat maklum bahwa dia memang tidak beruang sama sekali, kedua
karena kalau Sin Kiat memberi secara terang-terangan, tentu dia akan menolaknya!
Karena mempunyai uang, Han Han tidak jadi mengisi perut dengan roti kering dan arak gratis, juga tidak
mencari penginapan gratis, melainkan menyewa sebuah kamar sederhana di sebuah rumah penginapan kecil
di sudut kota. Setelah mandi dan bertukar pakaian bersih, sore hari itu ia keluar dari kamar, terpincang-pincang
pada tongkatnya, hendak menonton keramaian dengan harapan mungkin Lulu akan datang pula. Adiknya itu
paling suka menonton pertunjukan, maka seandainya Lulu berada di tempat yang berdekatan, tentu adiknya itu
akan datang ke kota Tiang-koan-bun ini untuk nonton wayang!
Akan tetapi sama sekali bukan Lulu yang dilihatnya di antara ribuan orang yang tak dikenalnya yang memenuhi
kota di malam hari itu, melainkan seorang pria muda yang sama sekali tidak pernah disangka-sangkanya akan
dia jumpai lagi, Gu Lai Kwan! Atau suheng-nya, murid Toat-beng Ciu-sian-li, pemuda In-kok-san yang lihai,
yang dulu diperintah oleh Toat-beng Ciu-sian-li untuk membunuhnya! Golok pemuda inilah yang telah
membacok putus kakinya!
Han Han terkejut sekali dan cepat menyelinap di antara orang banyak. Dia tidak membenci Gu Lai Kwan yang
dahulu di waktu kecilnya adalah temannya main-main, juga teman berlatih. Biar pun senjata pemuda ini yang
membuntungi kakinya, akan tetapi pemuda itu hanyalah mentaati perintah Toat-beng Ciu-sian-li, karena murid
yang tidak taat akan menerima hukuman lebih berat lagi. Lai Kwan adalah seorang di antara mereka berempat
yang diambil murid oteh Toat-beng Ciu-sian-li. Lai Kwan, dia sendiri, Kim Cu dan Phoa Ciok Lin yang bermata
tajam dan berwajah serius itu!
Melupakan semua persoalan yang pernah timbul di antara mereka, Han Han yang tadinya girang melihat Lai
Kwan dan hendak menegur, tiba-tiba teringat bahwa Ma-bin Lo-mo kini telah bersekongkol dengan pemerintah
Mancu. Kalau Ma-bin Lo-mo telah menjadi kaki tangan Mancu, sangat boleh jadi Toat-beng Ciu-sian-li juga
menjadi kaki tangan Mancu dan tentu murid-muridnya sama saja.
Mengingat akan hal ini, ia membatalkan niatnya menegur bekas suheng ini dan Han Han malah
membayanginya dengan diam-diam. Ia melihat Lai Kwan dengan senyum-senyum di wajahnya yang tampan
itu berjalan-jalan dan menonton pertunjukan wayang sebentar, kemudian pemuda In-kok-san itu lalu berjalan
lagi memasuki sebuah rumah penginapan besar. Pengurus rumah penginapan itu menyambut dengan
membungkuk-bungkuk penuh hormat. Han Han yang menyelinap di sudut hotel itu bersembunyi di balik
dinding, mendengar suara Lai Kwan bertanya dengan suara angkuh.
“Ouwyang-kongcu sudah datang?”
“Oh, sudah, sudah, Gu-taihiap. Malah semua orang sudah berkumpul, tinggal menanti taihiap dan beberapa
orang tamu agung lagi,” pengurus hotel itu berkata hormat.
Han Han mengangguk-angguk. Tak salah dugaannya. Bila Lai Kwan telah berhubungan dengan Ouwyangkongcu
yang ia duga tentulah bukan lain Ouwyang Seng adanya, jelas bahwa pemuda ini pun mengikuti jejak
Ma-bin Lo-mo dan bersekongkol dengan pemerintah Mancu. Hemmm, dahulu Ouwyang Seng pernah menculik
Lulu dan biar pun tidak mengganggu Lulu, namun dapat diharapkan bahwa pemuda putera pangeran itu kini
mengetahui di mana adanya Lulu. Sungguh pertemuan yang tak pernah disangka-sangkanya!
Hatinya girang sekali dan timbul harapan baru. Dengan cepat tanpa diketahui siapa pun, Han Han menyelinap
ke belakang, menggunakan kepandaiannya bagaikan seekor burung tubuhnya sudah mencelat ke atas. Ia
maklum bahwa di tempat itu terdapat banyak sekali orang pandai, maka ia bersikap hati-hati, dan selain
mempergunakan ginkang-nya sehingga kakinya tidak menimbulkan suara dan tongkatnya tidak pernah
menyentuh genteng, ia juga selalu bersembunyi di dalam bayangan yang gelap sampai ia berhasil mengintai
dari atas ruangan yang dimasuki Lai Kwan.
Ruangan itu merupakan ruangan paling belakang di hotel itu dan dari atas Han Han dapat melihat bahwa hotel
itu ternyata tidak dimasuki tamu lain kecuali rombongan orang-orang penting. Agaknya hotel ini telah diborong.
dunia-kangouw.blogspot.com
Buktinya Li Kwan memasuki hotel itu tanpa memperhatikan keadaan sekelilingnya dan agaknya semua kamar
di hotel itu hanya ditempati oleh orang-orang mereka sendiri. Ketika Han Han melihat mereka yang duduk
memenuhi ruangan itu, sejumlah belasan orang, ia makin kaget mengenal tokoh-tokoh yang ia jumpai dahulu
ketika ia terjebak oleh Giam Kok Ma di kota raja.
Ia mengenal Ouwyang Seng, Kang-thouw-kwi Gak Liat, cihu-nya sendiri Giam Cu, musuh besarnya, Giam Kok
Ma, kemudian tokoh-tokoh aneh seperti Sin-tiauw-kwi Ciam Tek yang kepalanya seperti burung berondol
bulunya itu, kakak beradik Tikus Kuburan Bhong Lok dan Bhong Poa Sik, juga tiga orang murid Setan Botak,
yaitu Hek-giam-ong, Pek-giam-ong, dan Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio! Masih ada beberapa orang perwira dan
tokoh-tokoh aneh yang tak dikenalnya, akan tetapi semua ini sudah cukup bagi Han Han bahwa di situ
diadakan rapat yang amat penting oleh perwira-perwira Mancu dan tokoh-tokoh lihai dunia kang-ouw yang
menjadi kaki tangan pemerintah Mancu.
Dia akan mendengarkan dulu apa yang hendak mereka bicarakan, siapa tahu kalau-kalau mereka akan
menyinggung-nyinggung nama Lulu. Andai kata tidak, masih belum terlambat bagi dirinya untuk mencari
kesempatan menangkap Ouwyang Seng dan memaksa pemuda bangsawan itu bicara tentang Lulu. Kalau dia
turun tangan, ia masih merasa sangsi apakah ia akan mampu menghadapi sekian banyaknya orang-orang
yang memiliki kepandaian tinggi.
Ketika Lai Kwan muncul, sebagian dari mereka berdiri dan menyambut dengan hormat, terutama para perwira.
Hanya Gak Liat dan tiga orang muridnya yang tidak berdiri, bahkan Gak Liat lalu menegur.
“Gu-sicu, mana gurumu dan Si Kuda Iblis?”
Gu Lai Kwan menjura ke arah Gak Liat yang dianggapnya orang yang lebih tinggi kedudukannya, lalu
menjawab sambil duduk di atas kursi yang masih banyak yang kosong.
“Siankouw... eh, maksudku Subo (Ibu Guru) tidak dapat hadir sendiri dan mewakilkan kepada saya, juga
Siangkoan Suhu tidak dapat datang, akan tetapi dalam waktu tiga hari Suhu dan Subo akan datang ke Tiangkoan-
bun.”
Gak Liat mengangguk-angguk. Tak lama kemudian masuklah tiga orang perwira Mancu dan agaknya para
anggota rapat sudah terkumpul semua, buktinya Giam Cu, kakak iparnya bangkit berdiri dan menjura kepada
semua orang sambil berkata.
“Cu-wi sekalian tentu sudah maklum mengapa saat ini kita berkumpul semua di kota ini. Bertepatan dengan
ulang tahun ke sepuluh dari Hong-siang (Kaisar) yang bijaksana dan yang dalam sepuluh tahun telah
mendatangkan kemajuan pesat di negara kita, maka kita dihadapkan pada pemberontak yang kini telah
berkumpul semua di Se-cuan. Menurut perintah dari Hong-siang sendiri, dalam tahun ini juga kita diharuskan
menyerbu dan menghancurkan pusat pemberontak itu dan untuk tugas ini telah diserahkan kepada yang mulia
Puteri Nirahai yang akan memimpin sendiri penyerbuan ke Se-cuan. Kita semua sudah mengetahui akan
kecerdikan dan keahlian Sang Puteri, maka kini beliau telah mengutus Gak-locianpwe yang mewakili beliau
untuk memimpin penyerbuan ke Se-cuan. Maka kami serahkan kepada Gak-locianpwe yang akan
mengemukakan pendapat dan rencananya.” Giam Cu lalu duduk kembali dan menoleh kepada Gak Liat, dan
semua orang pun kini memandang kepada Si Setan Botak itu.
Kang-thouw-kwi Gak Liat menggaruk-garuk botaknya, lalu berkata tanpa berdiri.
“Sesungguhnya, dalam soal ketentaraan saya tidak memiliki pengertian apa-apa dan untuk pelaksanaan
penyerbuan, tentu saja saya mengharapkan petunjuk-petunjuk para perwira tinggi yang sudah berpengalaman
dalam soal perang. Akan tetapi, untuk menghadapi para tokoh pemberontak yang kabarnya memiliki banyak
orang pandai, saya dan teman-teman siap untuk turun tangan. Ada pun Sang Puteri yang menyuruh saya
mewakili beliau hanya mengatakan bahwa penyerbuan harus dilakukan dengan rahasia sehingga pihak musuh
tidak sedang berjaga, dan di dalam suasana pesta ini kiranya mereka tidak akan menyangka akan datangnya
penyerbuan. Maka telah diputuskan oleh Sang Puteri untuk melakukan penyerbuan pertama pada bulan depan
hari ke tujuh.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Han Han kaget mendengar ini. Ah, kiranya tentara Mancu tak lama lagi akan melakukan penyerbuan besarbesaran,
menggunakan kesempatan selagi pihak Se-cuan tidak menduga-duga karena dalam suasana pesta
itu agaknya tidak mungkin tentara Mancu akan melakukan penyerangan. Dan agaknya Kaisar Mancu hendak
mempergunakan penyerbuan Se-cuan ini sebagai hadiah ulang tahunnya!
Han Han tidak begitu peduli akan perang, namun mengingat akan keganasan tentara Mancu, ia dapat
membayangkan betapa akan sengsaranya rakyat yang tinggal di daerah Se-cuan. Ia merasa telah menjadi
kewajibannya untuk memberi tahu ke Se-cuan agar di sana orang dapat berjaga-jaga. Apa lagi kalau diingat
bahwa banyak sahabat baiknya berada di sana, bahkan Sin Lian sendiri pun tak lama lagi tentu akan masuk ke
Se-cuan bersama teman-temannya.
Akan tetapi, tidak mungkin ia meninggalkan Giam Kok Ma begitu saja. Musuh besar yang paling dibencinya itu,
Si Muka Kuning yang dahulu memperkosa ibunya telah berada di situ. Bagaimana ia dapat melewatkan
kesempatan baik ini begitu saja? Dia harus turun tangan melakukan pembalasan terhadap perwira keji ini, baru
ia akan memaksa Ouwyang Seng bicara tentang Lulu. Setelah itu, barulah ia akan pergi ke Se-cuan untuk
menyampaikan berita penyerbuan itu kepada Wan Sin Kiat!
Dengan sabar ia mendengarkan semua percakapan mereka dan mengingat-ingat nama tempat-tempat yang
akan dijadikan dasar tempat penyerangan mereka, tempat-tempat di pihak musuh yang akan diserbu dan lainlain.
Tentu saja Han Han tidak dapat ingat semua, akan tetapi setelah mengingat beberapa nama tempat yang
penting, ia merasa sudah cukup.
Ketika pembicaraan yang penting dihentikan dan pertemuan diubah menjadi pesta di mana mereka silih
berganti mengangkat cawan arak dan minum untuk memberi selamat kepada kaisar, makan minum sambil
tertawa-tawa, Han Han lalu melesat meninggalkan tempat pengintaiannya, turun di belakang hotel lalu berjalan
perlahan keluar dari jalan samping ke jalan besar.
Ia menyelinap di antara para penonton dan menonton pertunjukan silat dan barongsai yang dimainkan di
panggung dekat hotel. Dari tempat ia menonton, di antara ratusan orang penonton, ia dapat melihat ke arah
hotel untuk memata-matai orang yang keluar dari tempat itu.
Betapa mengkal hati Han Han ketika ia menanti hampir tengah malam, belum ada juga yang keluar dari hotel,
apa lagi Giam Kok Ma yang ia tunggu-tunggu munculnya. Ia mulai tidak sabar dan sudah melangkahkan kaki
untuk turun tangan di hotel itu saja, tidak peduli di situ banyak terdapat orang pandai! Untuk membalas
dendamnya, ia tidak takut mengorbankan nyawanya. Kalau tadi ia bersikap hati-hati, bukan karena takut ia
akan celaka. Akan tetapi takut kalau gagal. Ia tidak rela mati sebelum ia mampu membalas dendam ibunya!
Akan tetapi ternyata sampai sekarang perwira muka kuning yang ditunggu-tunggunya belum juga muncul.
Selagi bergerak terpincang-pincang tiga langkah, tiba-tiba ia berhenti dan matanya memandang ke depan hotel.
Sebuah kereta datang dari luar memasuki halaman hotel itu, kereta yang dikusiri oleh seorang berpakaian
pengawal, dan di belakang kereta berdiri pula dua orang pengawal memegang tombak! Cepat Han Han
menyelinap dan mengintai agak dekat pekarangan hotel. Jantungnya berdebar dan diam-diam ia mengharap
mudah-mudahan jerih payahnya bersabar sejak tadi tidak akan sia-sia belaka.
Wajah Han Han berseri ketika tak lama kemudian ia melihat orang yang dinanti-nanti muncul dari dalam hotel
itu. Giam Kok Ma! Pemuda ini menggeget gigi ketika melihat wajah perwira muka kuning yang amat dibencinya
itu. Dan di samping orang ini berjalan cihu-nya (iparnya), Giam Cu, Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan. Agaknya
musuh besarnya itu akan duduk sekereta dengan tiga orang ini. Dugaannya benar, sambil tertawa bebas tanda
pengaruh arak, mereka berempat memasuki kereta dan kusir lalu memecut empat ekor kuda besar yang
bergerak menarik kereta keluar dari pekarangan hotel.
Tanpa diketahui oleh siapa pun, Han Han menggunakan kepandaiannya membayangi kereta itu. Di ujung kota
sebelah barat, kereta berhenti dan Han Han cepat mendekat sambil berjongkok di balik batu di pinggir jalan.
Dia mendengar Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan tertawa-tawa dan dua orang muda itu keluar dari kereta.
Kereta berjalan lagi keluar kota! Han Han girang bukan main. Kesempatan yang amat baik ini sama sekali tidak
disangka-sangkanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi di dalam kereta masih ada cihu-nya dan dia tidak mau membawa-bawa cihu-nya dalam urusan
membalas dendam ini. Dia sudah berjanji kepada enci-nya untuk tidak mengganggu Giam Cu, dan kalau dia
turun tangan di depan cihu-nya lalu Giam Cu membantu musuh, agaknya ia akan bisa lupa diri dan melanggar
janji kepada enci-nya. Biarlah, dia akan tunggu sampai dua orang itu berpisah, baru ia akan turun tangan.
Kalau Giam Kok Ma turun lebih dulu, ia akan menyergap pembesar ini di rumah tempat ia bermalam.
Kereta berhenti pula di depan kelompok rumah besar yang agaknya merupakan rumah-rumah penginapan
perwira. Giam Cu keluar dari kereta sambil tertawa-tawa dan setelah perwira ini disambut oleh pengawal yang
mengantarnya masuk ke dalam, kereta bergerak lagi!
“Thian menghendaki agar manusia terkutuk macam engkau menerima hukuman!” Han Han berbisik dalam
hatinya.
Ketika kereta itu agak jauh meninggalkan rumah itu dan agaknya hendak menuju ke tempat penginapan Giam
Kok Ma, Han Han meloncat ke atas. Sekali ia menggerakkan tangan, dua orang pengawal yang berdiri di
belakang kereta telah tewas dalam keadaan berdiri dan tengkuk mereka patah. Han Han meloncat ke belakang
kereta sambil melemparkan dua tubuh yang tak bernyawa lagi itu, kemudian ia meloncat lagi ke depan kereta.
Kusir kereta yang sedang mencambuki kuda agar berjalan lebih cepat karena ia pun ingin sekali mengaso,
terbelalak kaget ketika melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu ada orang duduk di sampingnya. Namun ia
tidak sempat berteriak, tubuhnya sudah terlempar jauh dalam keadaan tidak bernyawa tagi. Han Han
menyambar kendali kuda dan menggerak-gerakkan cambuk yang mengeluarkan bunyi meledak-ledak. Empat
ekor kuda itu membalap cepat.
“Heiiiii...! Mengapa terlalu cepat? Perlahan-lahan saja, kepalaku pening... ah! Heh, ke mana ini? Kenapa
membelok ke kiri?”
Giam Kok Ma yang tadinya sudah setengah mabuk, tiba-tiba merasa tengkuknya menjadi dingin sekali ketika
mendengar suara tertawa dari tempat kusir kereta. Suara ketawa itu aneh sekali, dan kusirnya tidak akan
berani tertawa seperti itu kalau ia tegur.
“Heh, apa ini? Hayo berhenti...!” Giam Kok Ma memukul-mukul pintu kereta sambil berteriak-teriak marah.
“Pengawal, suruh kusir berhenti dan beri sepuluh kali cambukan pada pantatnya!”
Akan tetapi tidak ada jawaban dari belakang. Giam Kok Ma cepat menyingkap tirai bagian belakang dan...
betapa kagetnya ketika ia melihat tempat pengawal di belakangnya itu sudah kosong! Ia melongok keluar
jendela, akan tetapi tidak dapat melihat wajah kusir karena gelap.
“Berhenti...!” Ia berseru lagi dan kini kusir menahan kuda, kereta pun berhenti.
Dengan kemarahan meluap-luap Giam Kok Ma yang juga memiliki ilmu silat lumayan, meloncat ke luar dari
kereta sambil mencabut pedangnya, pedang kebesaran. Kalau perlu akan membunuh kusir yang lancang ini,
dan ia bisa pulang dengan menunggang kuda! Ia terheran-heran dan menjadi ngeri melihat seorang yang
buntung sebelah kakinya, yang turun dari tempat kusir, dengan sikap seenaknya dan tenang sekali mencabut
lampu kereta dan berjalan menghampirinya, bukan berjalan melainkan meloncat dengan kecepatan luar biasa
sekali.
Han Han memegang lampu kereta, mengangkat lampu tinggi-tinggi sehingga mereka berdua dapat saling
memandang muka masing-masing. Han Han memandang wajah yang kekuningan itu penuh kebencian,
sedangkan Giam Kok Ma agaknya tidak mengenal Han Han. Sungguh pun perwira ini merasa seperti pernah
melihat wajah tampan yang bermata seperti sepasang api bernyala dengan rambut panjang terurai itu, namun
ia tidak ingat pernah bertemu dengan seorang laki-laki buntung seperti ini.
“Siapa... siapa engkau...? Di mana kusirku? Mana pengawal-pengawalku?”
Han Han tersenyum, senyum yang tampak mengerikan dan menyeramkan bagi Giam-ciangkun. “Giam Kok Ma,
tidak perlu mencari kusir dan pengawal-pengawalmu. Mereka telah kubunuh di tengah jalan tadi. Giam Kok Ma,
apakah engkau lupa kepadaku?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Siapa... siapakah engkau...?” Suaranya meragu karena kini ia teringat akan suara ini, suara orang yang
pernah membuat ia tidak enak makan tidak nyenyak tidur.
“Ingatlah baik-baik, pandang mukaku. Lupakah engkau akan peristiwa terkutuk yang kau lakukan di Kam-chi
dekat Nan-king, di sebuah dusun kecil di mana engkau melakukan perbuatan terkutuk di rumah keluarga Sie
Bun An?”
“Kau... kau...?”
“Benar! Kulihat engkau mulai teringat. Tentu engkau ingat akan anak laki-laki yang berteriak-teriak seperti gila
ketika engkau memperkosa ibunya, kemudian engkau membunuh ibu anak itu, kawan-kawanmu membunuh
seluruh keluarga anak itu, merampas barang-barangnya! Akulah anak itu! Akulah anak yang kau lemparkan ke
dinding! Ingat?” Pandang mata Han Han seperti pandang mata beekor harimau marah.
Giam Kok Ma menggeleng-gelengkan kepalanya dan lalu berteriak, “Tidak... tidak...! Ah, tolooonggg...!”
Han Han tersenyum lebar. “Benar kata orang bahwa manusia yang berhati kejam sebenarnya adalah seorang
pengecut besar! Giam Kok Ma, bersiaplah engkau untuk menebus dosamu, menerima hukumanmu atas
perbuatanmu yang terkutuk terhadap Ibuku!”
Han Han melangkah maju karena perwira itu dengan muka sepucat mayat kini mundur-mundur, agaknya siap
untuk melarikan diri. Namun kemudian perwira itu menguatkan hatinya. Orang ini kakinya buntung dan dia
sendiri memegang pedang! Masa tidak akan dapat melawan seorang buntung?
“Mampuslah, buntung!”
Makian ini dikeluarkan oleh Giam Kok Ma untuk membesarkan hatinya dan menggugah keberaniannya.
Pedangnya lalu berkelebat membacok ke arah muka yang mengerikan hatinya itu. Akan tetapi Han Han
menggerakkan tangan dan Giam Kok Ma tidak tahu entah bagaimana, namun pedangnya sudah berpindah ke
tangan kiri Han Han yang memegang tongkat!
Han Han tersenyum, senyum seorang yang dikuasai kemarahan dan kekejaman.
“Bagus, Giam Kok Ma, masih ada lagikah perlawananmu? Jikalau engkau melawan, sedikitnya engkau
memperkecil sebutan pengecut!”
Kedua kaki perwira itu mulai menggigil, mukanya sudah tidak ada sinar merahnya lagi. Ia hendak lari, akan
tetapi kedua kakinya tidak mempunyai kekuatan lagi dan dia menjadi nekat, tangannya dikepal dan
dihantamkan ke dada Han Han.
“Bukkk! Augghhhh...!”
Perwira itu memegangi kepalan tangan kanannya yang terasa nyeri sekali, seolah-olah ia tidak memukul dada,
melainkan memukul baja. Serasa remuk tulang-tulangnya! Saking takutnya tanpa ia sadari lagi celananya
menjadi basah! Kiranya rasa ngeri dan takut membuat perwira yang biasanya galak ini menjadi terkencingkencing!
Tiba-tiba ia menggerakkan kakinya, membalikkan tubuhnya dan hendak lari. Akan tetapi ia terguling
oleh sabetan tongkat pada kakinya. Han Han mengempit tongkatnya, mengangkat lampu kereta dan kini
pedang rampasan di tangannya berkelebat.
“Brettt-brettt...!” Pakaian pembesar itu koyak-koyak dan ia telanjang bulat.
Pedang itu sudah merobek semua pakaiannya tanpa menggores sedikit pun kulitnya! Giam Kok Ma menggigil,
bukan karena dingin setelah ia telanjang bulat, melainkan saking takutnya. Tanpa malu-malu lagi ia merangkak
bangun dan berlutut, bersoja-kwi (menyembah-nyembah) sampai dahinya penuh debu tangan dan ia meratap.
“Taihiap... ampun... ampunkan hamba... ampuuunnnnn...!” Dan ia menangis mengguguk seperti anak kecil!
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi sepasang mata Han Han mengeluarkan sinar yang lebih ganas dan beringas dari pada tadi. Di
bawah sinar lampu kereta ia melihat tubuh perwira yang telanjang bulat itu berlutut dan menyembah-nyembah,
mengingatkan ia akan keadaan perwira itu belasan tahun yang lalu di kamar ibunya! Mengingatkan ia ketika
perwira itu memperkosa ibunya! Ia seolah-olah dapat melihat ibunya di bawah tubuh perwira itu, ibunya yang
meronta-ronta, menggeliat-geliat dan merintih-rintih!
“Bedebah! Keparat! Manusia berhati iblis! Manusia terkutuk! Terimalah hukumanmu!”
Giam Kok Ma mengangkat muka. Saat melihat wajah Han Han yang beringas di bawah sinar lampu kereta,
semangatnya seperti terbang meninggalkan tubuhnya. “Aduhhh... ampunkan, taihiap... apa... apa yang akan
taihiap lakukan...?”
“Apa yang akan kulakukan? Ha-ha, Giam Kok Ma, apa yang dulu kau lakukan kepada Ibuku? Jawablah... hehheh,
jawab!”
“Ampunnn...!”
“Giam Kok Ma, ingatkah engkau betapa tangan-tanganmu yang kotor itu menyentuh Ibuku, menelanjangi
Ibuku? Hemmm, ingatlah peristiwa itu dan rasakan hukumanmu!”
Pedang itu berkelebat, Giam Kok Ma menjerit dan merintih-rintih sambil memegangi tangan kirinya yang tidak
berjari lagi. Kelima jari tangan kirinya telah dibabat putus tanpa ia rasakan dan tahu-tahu ia hanya merasa
perih dan jari-jari tangannya sudah lenyap!
“Ampun... aduh, ampun...!”
“Manusia terkutuk, ingatlah engkau akan ratap tangis Ibuku! Betapa engkau tertawa mengejek ketika
memperkosanya dan dia menjerit-jerit, betapa engkau dan kawan-kawanmu tertawa ketika kau bunuh seluruh
keluargaku! Betapa tanganmu yang menjijikkan mengotori Ibuku kemudian membunuhnya. Terimalah
hukumanmu!”
Kembali tampak sinar pedang berkelebat menyambar dan kini kelima buah jari tangan Giam Kok Ma terbang
lenyap, yaitu jari tangan kanan yang memegangi tangan kiri yang sudah tak berjari itu.
“Aduhhhh... mati aku... aduh, ampunnnn... taihiap...!”
“Mintalah ampun kepada Tuhan, atau mintalah ampun kepada iblis! Akan tetapi jelas aku tidak dapat
mengampunimu!”
Pedang di tangan Han Han berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar, disusul jerit-jerit mengerikan yang
keluar dari mulut Giam Kok Ma! Darah muncrat-muncrat dan keadaan perwira yang bertelanjang bulat itu
benar-benar amat mengerikan. Jari-jari tangannya putus semua, disusul jari-jari kakinya, kemudian alat
kelaminnya dibabat pedang sehingga terputus. Darah muncrat-muncrat, Giam Kok Ma tidak dapat menjerit lagi,
hanya berkelojotan dan mengeluarkan suara seperti seekor babi disembelih.
Han Han tertawa, suara ketawanya tidak lagi seperti manusia, sepertinya iblis telah menguasai dirinya dan
suara itu adalah suara ketawa iblis sendiri yang menyoraki kemenangannya!
“Ha-ha-ha-ha! Rasakan engkau! Hendak kulihat apakah engkau ini akan mampu lagi memperkosa wanita! Haha-
ha!”
Sejenak Han Han seperti menikmati pemandangan yang disinari lampu kereta di tangannya itu. Tubuh
telanjang bulat yang mandi darah, yang menggeliat-geliat dan berkelojotan, sepasang mata di muka calon
mayat yang terbelalak penuh ketakutan, mulut yang menjadi menceng saking menahan rasa nyeri menusuknusuk.
Kemudian Han Han tertawa lebih keras.
“Ha-ha-ha! Lihatlah Ibu! Lihatlah musuh besarmu!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pedangnya yang sudah merah itu bergerak dan kini menyayat-nyayat kulit tubuh telanjang itu. Tidak terlalu
dalam, hanya menggurat-gurat kulit sehingga kulit di seluruh tubuh Giam Kok Ma pecah disayat-sayat, dan
seluruh tubuh dari muka sampai ke kakinya menjadi merah oleh darahnya sendiri! Bukan main rasa nyeri
diderita orang ini karena pedang itu tidak menggurat terlalu dalam sehingga dia tidak pingsan. Dalam keadaan
sadar merasai siksaan seperti itu benar-benar amat mengerikan.
Sambil terus tertawa-tawa pedang Han Han berkelebat, terdengar jerit terakhir Giam Kok Ma ketika ujung
pedang memasuki rongga perut, dari ulu hati terus merobek ke bawah, sehingga terbukalah perutnya, usus
dan semua isi perut yang tidak tertutup lagi itu berhamburan keluar semua! Han Han masih belum puas,
karena iblis kebencian dan dendam masih menguasai hatinya. Pedangnya menyambar-nyambar. Leher itu
putus, disusul pinggang dan dalam sekejap mata saja tubuh Giam Kok Ma sudah putus menjadi beberapa
potong!
Han Han berdiri terengah-engah, tak bergerak seperti patung, memandang daging-daging berdarah yang
berceceran di depannya. Matanya terbelalak, hidungnya kembang-kempis dan pedang bernoda darah di
tangan kiri, lampu di tangan kanan. Tiba-tiba kerongkongannya mengeluarkan suara keluhan aneh, matanya
yang terbelalak dan yang tadi bersinar ganas dan liar, kini kehilangan sinar itu, terganti sinar penuh takut dan
ngeri. Dengan tangan menggigil ia melempar pedang yang berlumuran darah itu ke atas tanah. Matanya tak
pernah berkedip memandang daging berceceran itu, kini kedua pundaknya yang menggigil seolah-olah ia
diserang demam.
“Tidak...! Tidak...!” Ia menggeleng-geleng kepalanya seolah-olah tidak percaya bahwa pemandangan
mengerikan itu adalah akibat perbuatannya. Kemudian ia mengangkat kedua tangan menutupi muka, terus
menggeleng-geleng kepala. Tubuhnya bergoyang-goyang seperti pohon muda terlanda angin besar.
“Tidak...! Tidak mungkin...!” Ia berteriak, kemudian menurunkan tangan dan memandang ke kanan kiri
mencari-cari.
“Iblis...! Iblis menguasai aku! Iblis, di mana engkau...? Harus kuhancurkan engkau!” Tubuhnya melesat ke sana
ke mari, tongkatnya berkelebatan dan terdengarlah suara hiruk-pikuk. Kereta hancur, empat ekor kudanya
terlepas dan lari ketakutan. Pohon-pohon di sekitar tempat itu jebol dan tumbang.
Akhirnya Han Han roboh terkulai di atas tanah dan menangis. “Ibu... Ibu... mengapa aku menjadi begini? Iblis...
mengapa aku begini kejam dan ganas? Ah, Giam Kok Ma, engkau boleh jadi seorang manusia jahat dan kejam,
telah memperkosa Ibuku dan membunuh keluargaku. Akan tetapi... ya Tuhan... yang kulakukan tadi... ah, jauh
lebih kejam...! Giam Kok Ma, engkau manusia keji dan jahat, akan tetapi aku tidak lebih baik dari pada
engkau...!”
Tiba-tiba Han Han mencelat dan lenyap dari situ, di dalam gelap masih terdengar suaranya, “Tuhan...
ampunkan aku... Ayah Ibu, ampunkan aku...!” Disusul suara tangisnya dan tubuhnya berkelebatan ke luar dari
tempat itu, menuju ke kota Tiang-koan-bun kembali.
Peristiwa yang terjadi di hutan itu, yang amat mengerikan, adalah peristiwa yang sering kali terjadi pada setiap
manusia. Manusia adalah makhluk yang sebenarnya amat lemah menghadapi nafsu-nafsunya sendiri. Sekali
nafsu menguasai diri, pertimbangannya menjadi miring. Akal diperalat pemuasan nafsu, dan budi lenyap
sinarnya, tertutup oleh uap hitam dari nyala nafsu yang berkobar.
Han Han dikuasai nafsu dendam kebencian yang bertahun-tahun ditekannya, kini meledak dan sepenuhnya
menguasai dirinya sehingga ia melakukan pembalasan dendam yang amat kejam, tidak kalah kejamnya
dengan perbuatan yang dilakukan Giam Kok Ma sendiri ketika perwira itu pun dikuasai nafsunya. Setelah iblis
atau nafsu meninggalkannya dan ia sadar, penyesalan datang menimpanya. Baru terbuka mata pemuda itu
betapa kejam dan kelirunya perbuatannya tadi, baru teringat olehnya akan wejangan-wejangan kebatinan yang
pernah dibacanya bahwa membalas kekejaman dengan kekejaman, membalas kejahatan dengan kejahatan,
adalah perbuatan manusia yang lemah.
Han Han lupa bahwa dahulu ia menganggap tepat wejangan filsafat yang mengatakan bahwa perbuatan jahat
harus dibalas dengan keadilan! Akan tetapi, keadilan itu sendiri akan menjadi kotor dan tidak murni, tidak adil
lagi kalau pelaksanaannya dikuasai pula oleh nafsu dendam dan kebencian. Dengan demikian bukanlah
dunia-kangouw.blogspot.com
keadilan lagi namanya, melainkan kejahatan dalam bentuk lain! Keadilan hanya murni kalau dilaksanakan
tanpa pengaruh benci dan suka, tidak berat sebelah dan pelaksanaannya hanya demi keadilan itu sendiri yang
sudah ada batas-batasnya dan ada hukum-hukumnya.
Memang tidaklah mudah bagi orang-orang muda seperti Han Han untuk dapat menerima dan menghayati
filsafat itu. Manusia, terutama yang masih muda memang masih amat kuat sifat mementingkan diri pribadi
(egoism) yang tentu saja amat berguna untuk mengejar cita-cita dan mencapai kemajuan duniawi. Karena sifat
ini maka mudah sekali menjadi mangsa nafsu, mudah dikuasai nafsu sehingga lupa diri. Terutama sekali
dalam soal mendendam, bagi orang muda amat sukarlah untuk menekan nafsu amarah dan dendam
kebencian yang menciptakan keinginan melihat orang yang dibencinya itu mengalami siksa sehebat-hebatnya.
Terciptalah sifat kejam (sadistic) yang dibentuk nafsu marah dan benci, ingin melihat orang yang telah
mencelakakan dan menyengsarakan dirinya itu tertimpa mala petaka yang lebih sengsara lagi!
“Lulu... ahhh, Adikku Lulu... di mana engkau...?” Han Han berloncatan dan kini ia mengeluh memanggilmanggil
nama adiknya. Ia merasa seperti hanyut terbawa air yang deras, hanyut tidak berdaya dan tidak ada
sesuatu yang dapat menolongnya kecuali Lulu yang merupakan bayang-bayang di permukaan air yang
menghanyutkan. Kalau berjumpa dengan Lulu, tentu dia tidak akan sengsara seperti ini.
Teringat akan Lulu, hati Han Han berduka dan ia kini berjalan perlahan dibantu tongkatnya, menuju ke Tiangkoan-
bun yang sudah tampak dalam cuaca pagi yang remang-remang.
“Aihhhhh...!”
Jerit yang hanya satu kali ini, seolah-olah mulut yang menjeritnya itu kena dekap, cukup bagi Han Han. Itulah
jerit yang keluar dari mulut seorang wanita! Tubuhnya melesat ke kiri, memasuki hutan kecil dari mana ia
mendengar suara jerit itu. Dan di belakang beberapa buah batu gunung yang besar, ia melihat pemandangan
yang membuat mukanya menjadi merah sekali.
Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan sambil tertawa-tawa sedang mempermainkan seorang wanita muda yang
cantik. Lai Kwan menelikung lengan wanita itu dari belakang dan mendekap mulutnya. Wanita yang
kelihatannya memiliki kepandaian itu meronta-ronta dan sambil tertawa-tawa Ouwyang Seng merenggut
pakaian wanita itu sehingga terlepas dari tubuhnya dan terobek, membuka dan menelanjangi tubuh yang
berkulit kuning langsat! Di atas tanah menggeletak tiga orang laki-laki tua yang sudah tewas.
“Kuda betina ini liar! Lebih baik bunuh saja sekali pemberontak ini!” Lai Kwan berseru karena la kewalahan
juga menelikung gadis yang meronta sekuat tenaga itu.
“Wah, sayang jika dibunuh begitu saja, Lai Kwan. Dia manis sekali, heh-heh!” Ouwyang Seng meraba dada
yang telanjang itu. “Kita permainkan dulu sepuas kita, baru dibunuh. Lai Kwan, apakah engkau tidak mau...?”
Wajah Lai Kwan merah sekali. “Aku... aku... tidak pernah, Kongcu...”
“Ha-ha-ha-ha! Benar-benar engkau masih hijau! Engkau lihatlah aku, sesudah aku, engkau boleh belajar, haha!”
“Akan tetapi... itu... itu perbuatan rendah...,” Lai Kwan berkata lagi.
Ouwyang Seng yang sudah hendak merangkul gadis yang tak berdaya itu, membalik dan memandang Lai
Kwan. “Ucapanmu sungguh tolol, Lai Kwan. Engkau tahu siapa gadis ini? Seorang pemberontak! Dia agaknya
seorang petugas pemberontak yang memata-matai kita, yang hilir mudik lewat perbatasan. Dia ini amat
berbahaya, dia musuh kita! Apa salahnya kalau sebelum dibunuh kita menikmati tubuhnya yang indah,
wajahnya yang manis ini? Sayang bukan kalau kembang yang harum dibuang begitu saja sebelum kita
kenyang menciuminya dan mengambil sari madunya yang manis?”
Gadis itu meronta-ronta dan hampir terlepas dari pegangan Lai Kwan. “Kau totok dia agar lumpuh, Kongcu.
Wah, dia kuat bukan main!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ha-ha-ha, lebih baik dia meronta-ronta begitu dari pada ditotok lumpuh seperti orang mati! Rebahkan dia di
rumput dan kau pegangi kedua tangannya, Lai Kwan. Biarkan kakinya menendang-nendang, ha-ha-ha!”
“Tidak, Kongcu... aku... aku malu melihatnya. Biar kuikat dia... eh, dia terlepas...!”
Lai Kwan yang melepaskan sebelah tangan untuk memegangi tali hitam yang tergulung dan tergantung di
punggungnya, yaitu yang biasanya ia pergunakan sebagai senjata tidak kuasa lagi menahan ketika gadis itu
meronta dan terlepas, kemudian gadis itu membalik cepat, mengirim tendangan ke arah selangkangan Lai
Kwan dengan cepat dan kuat. Lai Kwan terkejut dan terpaksa ia meloncat ke belakang sambil melepaskan
senjatanya, tali hitam.
“Ha-ha-ha, biarkan dia lepas, mari kita kejar dan tangkap lagi, lebih menggembirakan begitu. Ha-ha, lari tanpa
pakaian ia kelihatan menarik sekali!” Ouwyang Seng tertawa.
Gadis yang sudah telanjang bulat itu tersipu-sipu, malu bukan main dan membalikkan tubuh melarikan diri. Lai
Kwan menggerakkan tangan, tali hitam yang dipergunakan sebagai cambuk itu mengeluarkan bunyi meledak
dan meluncur ke depan, hendak menjerat leher si gadis yang melarikan diri.
“Ahhh...!” Tiba-tiba Lai Kwan berseru kaget. Ujung talinya tertahan dalam gigitan seorang pemuda berkaki
buntung yang tahu-tahu telah berdiri di depannya! Gadis telanjang itu lenyap di balik batu besar.
“Engkau... Sie Han sute...?” Lai Kwan berseru kaget.
“Ha-ha-ha, kiranya Han Han si bocah jembel itu masih hidup! Lai Kwan, jadi dia ini sute-mu? Punya sute
kurang ajar macam itu, tangkap saja dia!” Ouwyang Seng bertolak pinggang dan memandang dengan kening
berkerut.
Gu Lai Kwan mengerahkan tenaganya dan membetot-betot tali hitam. Kalau si buntung ini tidak mau
melepaskan gigitannya, tentu akan rontok giginya, pikir pemuda ini. Akan tetapi, betapa pun ia nengeluarkan
semua tenaganya, tali itu tetap tak bergerak sedikit pun dari gigitan Han Han!
“Han Han, lepaskan senjataku!” Lai Kwan membentak. “Kalau tidak...”
Tiba-tiba Lai Kwan terjengkang dan cepat ia menggulingkan tubuhnya. Kalau ia tadi kurang cepat bergerak,
tentu ia akan kena hantaman senjatanya sendiri yang tiba-tiba meluncur ke arah mukanya ketika Han Han
melepaskan gigitannya. Ia sudah meloncat bangun dan menghadapi Han Han dengan muka merah.
“Gu Lai Kwan, sampai begini jauhkah engkau menyeleweng? Engkau tidak saja menghamba kepada
pemerintah Mancu, hal yang masih dapat dimengerti dan di-maafkan, akan tetapi engkau menjadi pembantu
Ouwyang-kongcu, membantunya hendak memperkosa wanita! Ke manakah perginya kegagahanmu sebagai
murid In-kok-san?”
“Han Han, kaki buntung yang lancang mulut dan sombong! Wanita itu adalah seorang pemberontak, seorang
tawanan. Seorang tawanan boleh diperlakukan sesuka hati yang menawannya. Engkau mau apa? Aku tidak
memperkosa wanita!”
“Lai Kwan, bocah buntung ini sudah begitu menghinamu. Perlu apa banyak bicara lagi? Mungkin dia kini pun
sudah menjadi kaki tangan pemberontak. Tangkap saja atau bunuh!” Ouwyang Seng berseru.
Lai Kwan memang merasa agak jerih kepada Han Han. Dia maklum bahwa Han Han telah mewarisi ilmu
kepandaian dari Pulau Es. Akan tetapi karena sekarang Han Han sudah buntung kakinya, biar pun tadi
sinkang-nya masih luar biasa sehingga dia tahu takkan dapat mengalahkan tenaga Han Han, dia merasa yakin
bahwa dalam pertandingan, pemuda yang buntung sebelah kakinya ini tentu tidak lincah dan mudah
dikalahkan. Apa lagi di situ ada Ouwyang-kongcu yang ia tahu memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari
padanya.
“Han Han, engkau menyerahlah agar tidak perlu kami menggunakan kekerasan merobohkanmu!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Han Han menghela napas panjang. “Sayang seorang muda perkasa seperti engkau kini tidak lebih hanya
seperti seekor anjing yang suka menjilat apa saja atas perintah majikannya.”
“Keparat buntung!” Lai Kwan marah sekali dan tali hitam di tangannya bergerak.
“Tar-tar!” Tali hitam itu mengeluarkan suara dan berubah menjadi segulungan sinar hitam yang menyambar ke
arah kepala Han Han.
“Wuuuttttt...!” Han Han menundukkan kepala dan sinar hitam itu menyambar lewat atas kepalanya, membuat
rambutnya berkibar. Dari belakang, sinar hitam itu membalik dan kini ujung cambuk menotok tiga jalan darah di
tengkuk, punggung dan lambung.
Han Han masih tidak bergerak, bahkan tidak mengelak sama sekali. Girang hati Lai Kwan. Ilmu cambuknya
memang lihai dan kalau sekali luput menyerang dari depan, ujung cambuk itu disendal kembali dan dari
belakang tubuh lawan dapat melakukan penyerangan yang lebih dahsyat lagi tanpa diduga lawan sehingga
serangan membalik inilah yang sering kali merobohkan lawan. Kini agaknya Han Han tidak menduganya, maka
ia merasa yakin bahwa tiga kali totokan ujung cambuknya akan mengenai sasaran secara tepat sekali.
“Tes! Tes! Tes!”
Memang tiga kali totokan ujung cambuk itu mengenai sasaran dengan tepat. Akan tetapi Han Han sama sekali
tidak bergeming, apa lagi roboh seperti yang dan disangka Lai Kwan. Malah Han Han sudah menggerakkan
tangan kanan menangkap cambuk itu, dan tongkat di tangan kirinya meluncur ke depan menotok ke arah
pergelangan tangan Lai Kwan yang memegang cambuk.
“Ayaaaaa...!” Lai Kwan cepat meloncat ke belakang dan terpaksa ia harus melepaskan cambuknya.
“Lai Kwan, jangan engkau turut campur. Aku hendak mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh
Ouwyang Seng!”
“Setan buntung sombong kau! Lai Kwan, hayo kita bunuh dia!” Ouwyang Seng berteriak keras dan sekali
tangan kanannya bergerak, ia telah mencabut pedang dari punggungnya dan tampaklah sinar yang
menyilaukan mata. Pedang itu terbuat dari pada logam yang putih dan sinarnya menyilaukan seperti sinar
matahari.
Ketabahan Lai Kwan yang sudah dirampas senjatanya pulih kembali melihat kawannya sudah mencabut
pedang. Ia lalu berteriak keras dan menubruk maju, mengerahkan tenaganya dan memukul dengan pukulan
Swat-im Sin-ciang dari tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala
Han Han dengan ilmu pukulan Toat-beng-tok-ciang yang mengandung racun ampuh. Agaknya karena maklum
akan kelihaian Han Han, sekali menyerang Lai Kwan ingin merobohkannya dan telah mengeluarkan ilmu-ilmu
simpanannya sekaligus, dua macam pukulan sakti yang amat hebat dan sukar dilawan!
Ouwyang Seng bukanlah seorang bodoh. Dia cerdik sekali dan juga dia memiliki kepandaian tinggi. Selain
menerima gemblengan Si Setan Botak yang lihai sehingga ia mewarisi ilmu pukulan Hwi-yang Sin-ciang, juga
pemuda bangsawan yang suka sekali mempelajari ilmu silat ini telah berguru kepada banyak tokoh pandai,
dan ia bahkan memiliki pedang terbuat dari pada logam putih yang luar biasa, pedang yang bernama Jit-kongkiam
(Pedang Sinar Matahari). Gak Liat sendiri telah menciptakan ilmu pedang yang diambil dari inti ilmu-ilmu
pedang yang pernah dipelajari Ouwyang Seng, yaitu ilmu pedang yang diberi nama Jit-kong Kiam-hoat, sesuai
dengan nama pedangnya!
Sekali pandang saja, ketika Han Han menggigit cambuk, kemudian kebal terhadap totokan, bahkan dalam
segebrakan Han Han berhasil merampas cambuk, mengertilah Ouwyang Seng, bahwa Han Han yang dahulu
memang amat lihai sehingga perlu dikeroyok oleh gurunya dan Ma-bin Lo-mo, kini setelah buntung kakinya
ternyata tidak kehilangan kelihaiannya! Maka ia menggunakan saat Lai Kwan menerjang dengan dahsyat itu
untuk meloncat pula dan pedangnya yang berubah menjadi segulungan sinar menyilaukan, menyerang Han
Han dari belakang.
“Syuuutttt... syuuuttt...!” Dua pukulan sakti Lai Kwan menghantam.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ciuuutttt... singggg...!”
“Heiii...! Ayaaaaa...!”
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Lai Kwan dan Ouwyang Seng ketika tiba-tiba tubuh Han Han
melambung ke atas. Karena gerakan Han Han ini amat tiba-tiba setelah serangan dari depan dan belakang
sudah dekat, tak dapat dicegah lagi hawa pukulan Lai Kwan bertemu dengan sinar pedang Ouwyang Seng.
Keduanya kaget dan cepat menahan diri, namun tetap saja mereka terpelanting ke kanan kiri. Dengan enak
saja Han Han yang memegang tongkat di tangan kiri dan cambuk di tangan kanan turun lagi, berdiri di atas
tanah dengan kakinya yang hanya satu tanpa dibantu tongkat.
“Ouwyang Seng, jawablah, di mana adanya Lulu Adikku?”
Ouwyang Seng memandang marah. “Persetan dengan adikmu bocah liar itu!” bentaknya.
Pedangnya sudah meluncur ke depan menusuk dada Han Han. Lai Kwan juga sudah menyerang lagi, lebih
hebat dari pada tadi. Namun, sekali lagi mereka berdua hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu
tubuh Han Han sudah pindah tempat.
“Ouwyang Seng, jawablah. Dahulu engkau menculik Lulu...”
Han Han berhenti untuk mencelat lagi ke lain tempat menghindarkan serangan susulan dua orang
pengeroyoknya, lalu menyambung, “...dan adikku itu lari dari istana. Di manakah dia sekarang...?”
Ouwyang Seng menjadi penasaran bukan main. Dia dan Lai Kwan menyerang dengan hebat secara berbareng,
akan tetapi sampai tiga kali berturut-turut Han Han lenyap begitu saja. Gerakannya demikian cepat seperti
menghilang dan tahu-tahu sudah pindah tempat. Dan semua itu dilakukan oleh Han Han dengan seenaknya,
malah sambil bicara!
“Dia sudah minggat, mana aku tahu?” Ouwyang Seng menyerang lagi mendahului Lai Kwan yang kaget bukan
main menyaksikan kehebatan gerakan Han Han.
Dulu sebelum buntung, kelincahan Han Han tidak sehebat ini. Bagaimana kini setelah buntung malah menjadi
begini lihai? Ia menubruk maju, kini meloncat ke atas karena tadi ia melihat betapa Han Han selalu mencelat
ke atas kalau diserang. Dia hendak memapaki tubuh Han Han jika mencelat lagi ke atas menghindarkan
serangan pedang Ouwyang Seng.
“Ouwyang Seng bersumpahlah....”
Han Han benar saja mencelat lagi ke atas ketika sinar pedang yang menyilaukan itu meluncur ke arah
lehernya. Lai Kwan yang sudah meloncat, dengan girang memapaki tubuh Han Han dengan dua pukulan
saktinya.
“Syuuut... syuutttt...!”
Lai Kwan berseru kaget karena kembali pukulannya itu hanya mengenai angin kosong. Bayangan tubuh Han
Han yang tadi mencelat ke atas itu secara aneh meluncur ke kiri dan dengan enaknya turun dan berdiri lagi
melanjutkan kata-katanya, “...bersumpahlah bahwa kau benar-benar tidak tahu di mana adanya Lulu!”
“Setan! Mampuslah!”
Kembali Ouwyang Seng menyerang. Kini ia tidak mau sembarangan menusuk atau membacok, melainkan
memutar pedangnya sehingga gulungan sinar pedangnya membentuk lingkaran-lingkaran yang makin lama
makin lebar dan lingkaran itu mulai mengurung tubuh Han Han! Lai Kwan juga sudah menerjang maju dan siap
menyambut dengan pukulan maut kalau Han Han mengelak dari sinar pedang Ouwyang Seng yang kini benarbenar
mengerahkan segala kepandaiannya untuk merobohkan Han Han.
dunia-kangouw.blogspot.com
Han Han berdiri tenang saja. Ia menunggu sampai lingkaran sinar pedang itu makin menyempit, makin
menghimpit dirinya. Pada saat pedang meluncur dengan gerakan melingkar hendak membabat pinggangnya,
mendadak Han Han menggerakkan tangan. Seperti seekor ular hidup, pecut yang dirampasnya dari tangan Lai
Kwan tadi bergerak maju, menyambut pedang dan di lain detik pedang itu sudah terbelit oleh cambuk hitam!
Ouwyang Seng berseru kaget dan mengerahkan tenaga membetot untuk merampas kembali pedangnya,
untuk melepaskan libatan atau kalau perlu membabat putus cambuk itu dengan ketajaman pedang pusakanya.
Akan tetapi pedangnya seperti telah melekat dengan cambuk, sama sekali tidak bergerak.
“Bersumpahlah...!” Han Han yang berdiri sambil memegang ujung tali atau cambuk dengan tangan kanan,
mempertahankan dengan menyalurkan sinkang menggunakan tenaga ‘menempel dan menyedot’.
Melihat kesempatan baik selagi Han Han mengadu tenaga dengan Ouwyang Seng, Lai Kwan menerjang dari
belakang menghantam punggung Han Han dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-jiu yang amat kuat. Hawa
dingin sekali menyambar ke arah punggung sebelum kepalan yang memukul itu sendiri tiba.
“Desssss...!”
Lai Kwan merasa betapa hawa pukulan amblas memasuki telapak tangan Han Han yang luar biasa dinginnya,
seperti sebongkah batu dilempar ke telaga.
“Ayaaaaa...!” Ouwyang Seng yang masih membetot-betot gagang pedangnya, tiba-tiba merasa betapa ada
hawa dingin menyerangnya melalui pedang dan tangannya, terus menjalar ke dadanya. Ia terkejut dan cepat
melepaskan pedangnya, terhuyung ke belakang dengan muka pucat.
Lai Kwan yang kaget merasa betapa tenaga sinkang-nya amblas, berseru keras dan tiba-tiba tubuhnya
terlempar ke belakang sampai lima meter lebih. Ia berbanting dan kepalanya pening, tubuhnya menggigil
karena terasa dingin sekali. Tadi ia dilontarkan oleh hawa pukulan yang dingin sekali dari telapak tangan Han
Han. Cepat ia duduk bersila untuk mengerahkan sinkang dan memulihkan kesehatannya, maklum bahwa hawa
pukulannya sendiri ditambah hawa yang amat kuat telah membalik dan melukai dadanya!
“Ouwyang Seng, apa sih sukarnya menceritakan tentang adikku?” Han Han menegur.
Ouwyang Seng bangkit berdiri dengan muka masih pucat. Tahulah ia kini bahwa pemuda buntung di depannya
ini luar biasa lihainya. Dia akan menjadi manusia segoblok-gobloknya kalau masih nekat hendak melawan.
Maka ia tersenyum dan berkata.
“Adikmu itu aneh seperti engkau, tidak mengenal budi orang. Dia diangkat menjadi pelayan istana malah
minggat dan kabar terakhir yang kudengar, dia bersekongkol dengan pemberontak! Malah menjadi anak buah
Lauw-pangcu ketua Pek-lian Kai-pang di lembah Huang-ho. Kini Pek-lian Kai-pang telah berantakan, entah
adikmu itu mati atau hidup, siapa yang tahu?”
Han Han memandang tajam penuh selidik. Tentang keadaan Lulu setelah lari dari istana dan tinggal bersama
Lauw-pangcu, dia sudah tahu. Tapi yang perlu ia ketahui adalah sekarang! Di mana adanya Lulu sekarang?
“Ouwyang Seng, benarkah engkau tidak tahu di mana adanya adikku sekarang?”
Ouwyang Seng menggeleng kepala.
“Bersumpahlah!”
Sepasang mata pemuda bangsawan itu memancarkan kebencian. “Setan engkau, Han Han! Tidak percaya
kepadaku? Baiklah, aku bersumpah bahwa aku tidak tahu di mana adanya adikmu itu sekarang! Dan aku
bersumpah lain kali aku tentu akan berhasil mencabut nyawamu!”
Han Han mengerutkan keningnya. Ia tidak peduli akan ancaman pemuda bangsawan ini. Ia kecewa
mendengar bahwa pemuda itu tidak tahu di mana adanya Lulu. Dengan sembarangan ia melemparkan
cambuk dan pedang ke atas tanah dan ia menghampiri Lai Kwan yang masih duduk bersila.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Lai Kwan, kalau aku mengingat bahwa engkau yang membuntungi kakiku, kalau aku menuruti nafsu dendam,
agaknya sekarang engkau pun akan kehilangan sebuah kakimu. Akan tetapi aku tidak akan melakukan hal
bodoh dan keji itu, Lai Kwan, karena dahulu engkau hanya melaksanakan perintah Toat-beng Ciu-sian-li. Dan
mengingat akan hubungan di antara kita sewaktu kecil, kuperingatkan kepadamu bahwa engkau telah tersesat.
Menjadi sahabat atau kaki tangan seorang pemuda bangsawan seperti Ouwvang Seng amat berbahaya, akan
menyeretmu ke jurang kemaksiatan dan kesesatan! Orang-orang muda yang kaya raya dan putera bangsawan
biasanya mudah tersesat, karena mereka mengandalkan kekayaannya dan kedudukan orang tua, dan semua
ini timbul dari sikap orang tua mereka yang terlalu mementingkan kesenangan pribadi, mabuk pangkat dan
mabuk harta, tidak memperhatikan pendidikan anak-anaknya, atau tidak dapat melarang karena si orang tua
sendiri sudah mencandu melakukan kemaksiatan. Insyaflah engkau Lai Kwan, demi kebaikanmu sendiri!”
“Han Han manusia sombong engkau!” Ouwyang Seng memaki dan menghampiri Lai Kwan, menarik lengan
pemuda itu dan memaksanya bangun berdiri. “Hayo, Lai Kwan, kita pergi. Muak aku mendengar ocehannya,
dan jijik aku melihat kakinya yang buntung!”
Han Han hanya menarik napas panjang untuk menekan kemarahannya oleh penghinaan Ouwyang Seng itu.
Semenjak kecil pemuda bangsawan itu menghinanya. Sampai sekarang pun putera pangeran itu masih belum
mengubah wataknya yang angkuh, sombong dan memandang rendah orang lain. Akan tetapi, apakah dia
sendiri pun seorang yang baik, lebih baik dari Ouwyang Seng? Hemmm, ia kini meragukan hal itu.
Dia keturunan bangsawan yang lebih jahat lagi, yang terkenal sebagai keluarga yang luar biasa keji dan
jahatnya. Keluarga bangsawan Suma sudah terkenal, bahkan kakeknya sendiri dahulu adalah seorang yang
berjuluk Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga). Jai-hwa-sian! Tidak sembarang penjahat cabul mendapat
julukan Sian (Dewa), tentu kejahatannya sudah melewati takaran!
Menurut cerita Im-yang Seng-cu, kakeknya itu sedemikian jahat dan kejinya sehingga tokoh besar Siauw-limpai
yang berniat hendak menyadarkannya masih dia bikin celaka! Keluarganya, kakeknya, demikian jahatnya
dan dia sendiri? Dia telah melakukan hal-hal yang menimbulkan bencana, telah kesalahan tangan membunuhi
orang-orang yang tak berdosa, dan dia telah menyiksa Giam Kok Ma secara kejam sekali, sungguh bukan
seperti manusia lagi. Darah keluarga Sumakah ini? Maka ia menekan kemarahannya dan membiarkan
Ouwyang Seng bersama Gu Lai Kwan pergi setelah mereka mengambil senjata masing-masing.
“Kenapa kau membiarkan mereka pergi? Kejar dan bunuhlah! Mereka itu adalah orang-orang penting dari
kerajaan penjajah! Kalau kau membunuh mereka, kau akan berjasa besar dan Bu-ongya tentu akan berterima
kasih sekali. Si bedebah itu adalah putera Pangeran Ouwyang Cin Kok!” Suara wanita itu nyaring dan penuh
semangat.
Han Han berkata, suaranya lemah, sama sekali tidak bersemangat. “Saya bukan anak buah Bu Sam Kwi.”
“Ehhh! Kalau begitu, kenapa kau menolong aku?”
Mendengar suara yang lincah galak dan nyaring, yang mengingatkannya akan adiknya, Han Han seperti
tergugah dari lamunan dan ia tersenyum sambil membalikkan tubuh. Matanya terbelalak melihat gadis itu yang
muncul dari balik batu besar masih telanjang bulat! Begitu telanjang seperti bayi baru lahir akan tetapi juga
begitu wajar seolah-olah gadis itu lupa bahwa dia tidak berpakaian sama sekali.
Gadis itu memandahg ke arah lenyapnya bayangan Ouwyang Seng dan Gu Lai Kwan. Wajahnya yang cantik
itu kelihatan marah dan penasaran sekali, agaknya ia merasa amat menyesal mengapa dua orang musuh
penting seperti mereka itu, setelah dikalahkan tidak dibunuh.
Han Han masih terbelalak. Selama hidupnya, baru sekali ini ia melihat seorang wanita berdiri telanjang bulat di
depannya, dan baru sekali ini melihat pemandangan yang begini menggairahkan, begini mempesonakan
sehingga dia berdiri melongo seperti terkena hikmat mukjizat.
Tiba-tiba gadis itu seperti merasa ada sinar mata panas merayapi kulit tubuhnya yang halus. Ia membalik,
menghadapi Han Han. Melihat sinar mata pemuda itu, agaknya gadis yang tadi dipergaruhi kemarahan dan
penasaran sehingga lupa akan keadaan dirinya, baru teringat. Ia menjerit kecil, jari-jari tangan kanannya cepat
menutup tubuh bagian bawah sedangkan jari-jari tangan kirinya otomatis berusaha menutupi dadanya yang
dunia-kangouw.blogspot.com
tentu saja tidak membawa hasil baik seperti yang diharapkan. Mata gadis itu yang tajam bersinar-sinar kini
kelihatan marah sekali, wajahnya merah seperti udang direbus dan mulutnya mencaci-maki!
“Laki-laki monyet binatang hutan! Engkau sama saja seperti mereka! Kau biadab, kurang ajar, ceriwis, genit tak
tahu malu...!”
Han Han yang tadinya hanya membelalakkan mata, kini membuka mulutnya pula dan tarpa memindahkan
matanya dari penglihatan yang amat mempesonakan itu ia berkata gagap, “Nona... eh... apa maksudmu...?”
“Matamu itu! Mata jahat! Mata cabul! Matamu melihat apa, heh?!”
Baru sekarang Han Han berkedip, wajahnya pucat. Celaka, ini tentu gara-gara darah kakeknya! Ia menampar
kepalanya sendiri, begitu keras sehingga ia terpelanting!
“Eh...! Eh, apa kau gila...?”
Akan tetapi Han Han tidak mempedulikan teguran ini, tongkatnya bergerak hendak memukul kepalanya. Akan
tetapi tiba-tiba gadis itu meloncat maju dan menangkap tongkat itu. “Eh, kau benar sudah gila! Celaka benar...!”
Han Han teringat bahwa kalau tadi ia melanjutkan pukulannya dengan tongkat ke arah kepalanya, tentu
kepalanya sudah pecah dan nyawanya akan melayang. Ia menghela napas panjang, meloncat bangun
membelakangi gadis itu, tangan kirinya dilonjorkan ke arah tumpukan pakaian gadis itu yang robek-robek dan
sekali ia menggerakkan tangan... pakaian itu seperti hidup, terbang ke arah tangannya! Gadis itu memandang
dengan mata terbelalak penuh kagum. Han Han lalu menyodorkan pakaian itu ke arah Si Gadis di belakang
tubuhnya. Ia berkata tanpa menengok.
“Nih, pakaianmu, pakailah Nona!”
Gadis itu menyambar pakaiannya dan memakainya. Karena pakaian itu robek di bagian depan, maka ia
memakai pakaian dalam berwarna merah muda itu dengan terbalik, yaitu bagian punggung yang tidak robek
ditaruh di depan sehingga yang robek adalah bagian belakang, kemudian menutupi pakaian dalam itu dengan
pakaian luarnya. Biar pun pakaian luar ini robek di bagian depan, akan tetapi tubuhnya sudah tertutup aman
oleh pakaian dalam yang dibalik. Sambil memegangi bagian depan yang robek itu ia berkata.
“Sudah... sudah kupakai...”
Barulah Han Han berani membalikkan tubuhnya dan mukanya kini merah sekali ketika ia bertemu pandang
dengan sinar mata gadis itu. Ia menunduk dan berkata, “Maafkan aku, Nona. Aku tadi telah bersikap tak tahu
malu. Engkau benar, aku... aku memang kurang ajar, biadab... selamat tinggal...!” Ia lalu melangkah pergi,
berjalan terpincang-pincang dibantu tongkatnya dengan tubuh lemas.
“Eh, nanti dulu...!”
Akan tetapi Han Han tidak menoleh dan melanjutkan langkah kakinya. Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti
mendengar suara tangis yang amat memilukan. Hebat bocah ini, pikirnya. Tangisnya pun seperti tangis Lulu! Ia
menghela napas dan menengok. Ketika melihat betapa gadis itu memeluki tubuh seorang di antara tiga buah
mayat yang menggeletak di situ, hatinya terharu. Apa lagi ketika gadis itu dalam tangisnya menyebut “ayah...
ayah...” ia lalu meloncat dan sekali loncat saja ia sudah berdiri di belakang gadis itu.
Dilihatnya bahwa yang ditangisi gadis itu adalah mayat seorang laki-laki tua yang usianya tujuh puluhan tahun,
tubuhnya kurus kecil. Mayat ke dua adalah seorang laki-laki tinggi besar berkulit hitam yang usianya juga lima
puluh tahun lebih, mayat ke tiga seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun yang kepalanya besar.
“Nona, yang sudah mati tiada guna ditangisi, takkan hidup kembali...”
Tiba-tiba nona yang menangis itu membalik dan meloncat bangun. Agaknya ia kaget mendengar suara Han
Han yang disangkanya sudah pergi itu karena kedatangan Han Han sama sekali tidak diketahuinya. Ketika
melihat bahwa yang menegurnya adalah pemuda pincang yang aneh itu, ia marah sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kau...! Aku sudah tahu bahwa orang mati tidak akan hidup kembali, akan tetapi aku menangisi kematian
Ayahku, apa sangkut-pautnya denganmu? Kenapa kau melarang? Aku tidak meminjam air matamu untuk
menangis. Kau benar-benar menjemukan! Agaknya kau mau menghina seorang perempuan yang sudah yatim
piatu, ya?”
Tiba-tiba gadis itu menerjang maju, gerakannya ringan dan cepat sekali dan tahu-tahu jari telunjuknya sudah
menotok jalan darah di dada Han Han. Pemuda ini kaget, bukan karena kecepatan gerak tangan gadis itu yang
cukup mengagumkan hatinya, melainkan kaget karena melihat gadis itu marah-marah seperti itu. Dia tidak
takut menerima totokan jari telunjuk ini, akan tetapi kalau ia menutup jalan darah dan mempergunakan sinkang
menerima totokan, tentu gadis itu akan merasa makin tersinggung di samping telunjuknya yang kecil runcing
bisa patah tulangnya.
Maka Han Han lalu miringkan tubuhnya mengelak. Akan tetapi sungguh di luar dugaannya bahwa tangan yang
luput menotok itu cepat sekali sudah membalik, telunjuk kiri itu kembali menotok lambung, sedangkan telunjuk
kanan menotok pundak! Heran dia, gadis ini dapat bergerak cepat sekali dan caranya menotok jalan darah
juga aneh, hanya dengan sebuah jari telunjuk, tidak dengan dua jari seperti yang lajim dilakukan ahli totok jalan
darah!
“Plak-plak-plak...!”
Han Han menangkis dengan telapak tangannya, menepuk lengan gadis itu dengan pengerahan sedikit tenaga.
Gadis itu kelihatannya penasaran sekali, bergerak lebih cepat lagi dan kini totokan-totokannya mengarah jalan
darah yang mematikan! Han Han tertarik dan kagum.
Gerakan gadis ini benar-benar luar biasa cepatnya dan agaknya dalam hal kecepatan tidak kalah oleh Sin Lian
sungguh pun keistimewaan ilmu sitatnya hanyalah totokan-totokan satu jari. Ternyata gadis ini adalah seorang
ahli totok satu jari yang memiliki ginkang cukup hebat, sungguh pun tentu saja tidak secepat Lulu gerakannya!
Ia pun mengimbangi kecepatan gadis itu dan setelah Han Han mempergunakan ilmunya gerak kilat, gadis itu
menjadi bingung karena berkali-kali pemuda buntung itu lenyap dari depannya!
“Eh, di mana kau...?” Gadis itu membalik sambil menotok tubuh Han Han yang tahu-tahu berada di
belakangnya, akan tetapi kembali pemuda itu lenyap.
“Eh, menghilang? Kau setankah...?” Kembali ia menyerang kalang-kabut begitu tampak berkelebatnya tubuh
Han Han.
Karena gerakan-gerakannya yang cepat, gadis itu lupa bahwa pakaian luarnya masih terbuka di bagian depan.
Biar pun pakaian dalamnya masih menutupi tubuh depannya, akan tetapi pakaian dalam itu tipis, tidak mampu
menyembunyikan lekuk lengkung dan tonjolan-tonjolan tubuhnya. Han Han menjadi silau dan ia meloncat jauh
ke belakang dan berseru.
“Stopp...! Berhenti, Nona. Mengapa engkau menyerangku seperti itu? Aku bukan musuh dan aku tidak
bermaksud menghina. Aku bermaksud menghiburmu.”
Gadis itu cemberut dan teringat akan bajunya lalu menggunakan tangan kiri menutup bagian depan, telunjuk
kanannya yang kecil runcing, yang dapat dipergunakan sebagai senjata penotok yang ampuh, kini menuding
ke arah hidung Han Han sehingga pemuda ini merasa hidungnya gatal seperti akan ditotok!
“Kau hendak menghibur ataukah mengejek? Kalau menghibur mengapa mengatakan mayat takkan hidup lagi
kalau ditangisi? Yang betul kau bicara! Apakah kalau engkau sudah menolongku tadi, pertolongan yang tak
pernah kuminta, kau lantas boleh bicara sesukamu?”
Han Han menghela napas. Kalau gadis ini tidak banyak sekali persamaan dalam wataknya dengan Lulu, tentu
ia sudah pergi. Galak bukan main dan... tidak mengenal budi!
“Maafkanlah Nona kalau kata-kataku kau anggap keliru. Nah, lanjutkanlah tangismu, aku tidak akan
mencegahmu. Menangislah sepuas hatimu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kau mengejek, ya? Biar pun kau sepuluh kali lebih pandai, aku Tan Hian Ceng bukan gadis penakut! Mati
bukan apa-apa bagi seorang gadis pejuang, tahu?”
Celaka, pikir Han Han. Bicara begini salah, begitu pun tidak betul. Lebih baik tak bicara. Dia hanya
mengangkat pundak dan memandang bengong ke arah tiga mayat itu. Tentu mereka itu pejuang-pejuang atau
mata-mata dari Se-cuan, pikirnya. Mereka itu tewas sebagai pejuang. Betapa bahagianya. Dan gadis ini, di
samping kegalakannya yang luar biasa, juga mengagumkan. Bukan mengagumkan kecantikan dan keindahan
tubuhnya, cepat-cepat Han Han membantah pikirannya sendiri, tetapi mengagumkan kegagahan dan
keberaniannya.
Share: