Sabtu, 30 September 2017

Pendekar Sakti 3 New

Pendekar Sakti 3 New Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Pendekar Sakti 3 New 
kumpulan cerita silat cersil online
-
-Toat-beng Hui-houw segera menghentikan tariannya dan memandang heran. Bagaimana ada seorang
anak perempuan kecil berani memakinya?
“Kaukah Toat-beng Hui-houw yang berani menangkap ibuku dan ayah tiriku? Lekas kau lepaskan mereka,
barang kali nona kecilmu masih dapat mengampuni dosa-dosamu!”
Toat-beng Hui-houw menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan. Lagi mimpikah dia?
Ataukah benar-benar ada seorang gadis cilik yang manis dan elok berdiri dengan gagah dan berani serta
mengeluarkan ucapan macam itu kepadanya? Kemudian ia tertawa bergelak.
“Jadi kau memang puteri Pek-cilan? Ha-ha-ha! Memang bunga cantik berbiji manis pula! Agaknya darahmu
lebih segar dari pada darah ibumu. Ha-ha-ha! Mari, mari! Kau hendak bertemu dengan ibumu bukan?”
Sambil berkata demikian, dia cepat menubruk hendak menangkap Sui Ceng, seperti laku seorang kecil
menubruk seekor burung yang indah.
Akan tetapi, betapa heran hati iblis ini ketika tiba-tiba tubuh kecil itu lenyap dan tahu-tahu sebuah kaki yang
kecil mungil dalam sepatu merah bersulam bunga, bahkan menendang mukanya! Toat-beng Hui-houw
terkejut dan heran, cepat dia miringkan kepalanya, akan tetapi ternyata bahwa tendangan ini adalah
tendangan pancingan belaka dan sebelum Toat-beng Hui-houw sempat mengelak, perutnya sudah kena
ditendang oleh sebuah kaki lain yang sama mungilnya!
“Bukkk!”
Kaki Sui Ceng tepat mengenai perut, akan tetapi bukan Toat-beng Hui-houw yang roboh, melainkan tubuh
Sui Ceng sendiri yang terlempar ke belakang! Akan tetapi, bagai seekor burung walet, gadis cilik ini dapat
berpoksai (membuat salto) di udara dan turun dengan ringan sekali.
Apa bila tadi Toat-beng Hui-houw sampai terkena tendangan Sui Ceng, bukan karena dia kurang lihai,
akan tetapi karena kakek ini memandang rendah dan tidak mengira sama sekali bahwa bocah ini akan
dapat melakukan gerakan sehebat itu!
Pada saat ditubruk tadi, secepat kilat Sui Ceng melakukan gerakan melompat Can-liong Seng-thian (Naga
Terbang Naik ke Langit), kemudian disusul oleh tendangan Ji-liong-twi (Tendangan Sepasang Naga) yang
bertubi-tubi sehingga dia berhasil menendang perut lawannya.
Akan tetapi, yang ditendangnya tertawa saja sedangkan dia sendiri terpental jauh. Bukan main kagetnya
Sui Ceng dan anak ini maklum bahwa tenaga dan kepadaian lawannya betul-betul hebat sekali. Sebaliknya
Toat-beng Hui-houw juga amat kagum menyaksikan kegesitan anak perempuan ini, namun kalau saja dia
dunia-kangouw.blogspot.com
tahu bahwa anak ini adalah murid Kiu-bwe Coa-li, tentu akan lenyap keheranannya dan terganti oleh
kekagetan hebat.
“Anak manis, aku harus mendapatkan darahmu!” katanya berkali-kali dan dia menubruk lagi.
Akan tetapi, berkat kegesitan dan ginkang-nya yang luar biasa, Sui Ceng lagi-lagi dapat menghindarkan
diri. Pada waktu itu rombongan piauwsu dan para anak buah Sin-to-pang sudah datang di situ dan mereka
menonton pertempuran dengan mata terbelalak kagum.
Anggota-anggota Sin-to-pang merasa bangga melihat ‘siauw-pangcu’ mereka itu berani menghadapi Toatbeng
Hui-houw dengan tangan kosong. Melihat betapa kakek itu bagai seekor harimau buas yang
menubruk ke sana sini, sedangkan tubuh Sui Ceng bagaikan seekor burung walet beterbangan dan berkelit
cepat sekali, mereka itu tanpa terasa pula meleletkan lidah saking kagum dan tegangnya.
Kalau Toat-beng Hui-houw bermaksud membunuh Sui Ceng, tentu takkan sukar baginya. Biar pun untuk
menjamah tubuh anak ini sulit sekali karena memang kegesitan Sui Ceng dapat mengimbangi kegesitan
lawannya yang berjuluk Harimau Terbang, namun bila dia mau, dengan hawa pukulan tangannya, dia
dapat merobohkan gadis cilik ini.
Akan tetapi pada saat itu, Toat-beng Hui-houw mendapat pikiran lain. Tadi ia menghisap darah Loan Eng
hanya karena hendak membalas sakit hati atas kematian sute-nya dan ingin awet muda. Sekarang melihat
Sui Ceng yang masih terhitung anak-anak, dia takut kalau-kalau dia berubah menjadi anak-anak pula apa
bila dia menghisap darah anak ini! Memang bodoh, gila, dan jahat merupakan satu keluarga, dan kakek ini
telah mempunyai ketiga-tiganya.
“Aku tidak mau isap darahmu! Aku akan menangkapmu, memelihara dalam sangkar, kau burung cantik!”
katanya berkali-kali dan kini dia menyerang dengan kedua tangannya.
Alangkah herannya hati Sui Ceng ketika melihat betapa kini sepuluh jari tangan iblis tua itu seperti tidak
berkuku lagi. Ternyata bahwa kuku-kuku jarinya sudah dapat digulung ke dalam!
Berkali-kali dia mendesak hendak menangkap tanpa melukai tubuh Sui Ceng, namun hal ini benar-benar
tidak mudah. Sui Ceng sudah mendapat gemblengan dari Kiu-bwe Coa-li, dan dalam hal ginkang dan
kegesitan, memang semenjak kecil gadis cilik yang lincah ini berbakat baik sekali.
Ketika melihat betapa Sui Ceng terdesak, sambil berteriak-teriak nekat para piauwsu dan anak buah Sin-topang
lalu menyerbu dengan golok di tangan. Baik anggota Sin-to-pang (Perkumpulan Golok Sakti), mau
pun para piauwsu dari Hui-to Piauwkiok (Expedisi Golok Terbang) adalah ahli-ahli senjata golok, maka
sekarang belasan batang golok berkilauan dan bergerak-gerak mengurung Toat-beng Hui-houw. Otomatis
Sui Ceng juga terkurung karena dua orang ini bertempur begitu cepatnya sehingga mereka seakan-akan
menjadi satu bayangan besar!
Para pengeroyok itu menjadi bingung. Mereka hanya dapat berteriak-teriak saja dan tidak berani
sembarangan turun tangan, karena baru sedetik mereka melihat bayangan lawan, tiba-tiba bayangan itu
lenyap dan berganti dengan bayangan Sui Ceng! Kedua orang ini berputaran, melompat ke sana ke mari,
bagaimana mereka dapat membantu Sui Ceng?
“Jangan bantu aku! Jangan datang mendekat!” Sui Ceng berseru, akan tetapi terlambat.
Ketika tubuh Toat-beng Hui-houw mendadak menerjang ke arah para pengeroyok sambil meninggalkan
Sui Ceng, terdengarlah jeritan berturut-turut dan empat orang pengeroyok roboh tak bernyawa lagi!
“Siluman tua, kau kejam sekali!” teriak Sui Ceng.
Anak ini secepat kilat menyambar sebatang golok dari seorang piauwsu yang roboh, lalu dia segera
menerjang lagi ke depan dengan nekat, memutar golok sehingga merupakan segunduk sinar yang
menyilaukan.
“Ha-ha-ha, burung cantik, kau harus menjadi peliharaanku!” berkata Toat-beng Hui-houw sambil
menghadapi serangan-serangan Sui Ceng dengan tenang.
Ada pun para pengeroyok, ketika melihat betapa empat orang kawan mereka terbunuh dengan demikian
dunia-kangouw.blogspot.com
mudahnya, serta mendengar perintah Sui Ceng, lalu mengundurkan diri dan menonton dari jauh saja.
Mereka bukan merasa takut atau tidak mau membantu, akan tetapi mereka maklum sepenuhnya bahwa
bantuan mereka itu sia-sia belaka dan tidak akan sanggup menolong, bahkan mereka pasti akan
mengantarkan nyawa dengan cuma-cuma saja.
Sekarang gerakan Sui Ceng tidak lagi secepat dan segesit tadi. Hal ini karena sekarang gadis cilik ini
memegang sebatang golok yang besar dan cukup berat. Tadinya Sui Ceng sengaja mengambil golok
karena dia hendak bertempur mati-matian mengadu jiwa, akan tetapi sebaliknya, dengan golok di tangan
justru dia mendatangkan kerugian pada dirinya sendiri. Golok itu terhadap Toat-beng Hui-houw tidak ada
artinya sama sekali, sebaliknya menghambat gerakan sendiri.
Hanya dalam beberapa jurus saja, masih sambil tertawa-tawa, Toat-beng Hui-houw telah berhasil
menangkap pinggangnya dan sekali dia menotok jalan darah thian-hu-hiat pada pundak gadis cilik itu,
lemaslah tubuh Sui Ceng dan golok itu terlepas dari pegangan!
Pada saat itu tampak menyambar beberapa sinar halus sekali. Sinar ini adalah bulu-bulu halus dan
panjang yang sekaligus menyerang Toat-beng Hui-houw di beberapa bagian tubuhnya. Sebagian dari bulubulu
halus ini melibat tubuh Sui Ceng dan sekali renggut, tubuh Sui Ceng sudah terlepas dari pegangan
Toat-beng Hui-houw, kemudian melayang ke depan!
Toat-beng Hui-houw terkejut bukan main menghadapi serangan ini. Dia telah terkejut dan jeri melihat
macam senjata yang menyerangnya, karena dari senjata ini saja tahulah dia bahwa yang datang
menyerangnya adalah Kiu-bwe Coa-li! Kalau ada rasa takut di dalam dada Toat-beng Hui-houw manusia
siluman ini, maka rasa takut itu mungkin hanyalah tertuju kepada lima orang tokoh besar di kalangan kangouw,
di antaranya ialah Kiu-bwe Coa-li ini!
“Kiu-bwe Coa-li, mengapa kau mencampuri urusanku, sedangkan aku selamanya belum pernah
mengganggumu?” katanya penasaran.
Ia cepat melompat ke belakang sebab jeri menghadapi pecut sembilan bulu dari Kiu-bwe Coa-li yang kini
telah berdiri di hadapannya sambil menggandeng tangan Sui Ceng yang sudah dibebaskan dari totokan
pula.
Diam-diam Kiu-bwe Coa-li mengerti mengapa muridnya tadi sampai kalah oleh Toat-beng Hui-houw. Tadi
begitu datang melihat muridnya berada dalam pelukan kakek siluman itu, dia lalu melakukan serangan
pecutnya yang paling dan jarang sekali ada orang mampu menghindarkan diri, yakni ilmu serangan Kiuseng
Kan-goat (Sembilan Bintang Mengejar Bulan).
Sembilan helai bulu pecutnya menyerang dari berbagai jurusan. Akan tetapi dia hanya berhasil merampas
kembali muridnya dan sama sekali tidak dapat melukai kakek itu. Dari sini saja dia ketahui bahwa
kepandaian kakek itu jauh lebih tinggi dari pada kepandaian muridnya.
“Siluman jahat, apa matamu sudah menjadi buta?” jawab Kiu-bwe Coa-li dan sepasang matanya
mengeluarkan sinar membakar. “Kau berani mengganggu murid pinni (muridku), maka sekarang kau harus
mati!”
Bukan main kagetnya Toat-beng Hui-houw.
“Dia ini muridmu...? Ahh, Kiu-bwe Coa-li, sungguh mati aku tidak tahu bahwa dia adalah muridmu. Akan
tetapi, bukankah aku tidak mengganggunya? Kalau aku bermaksud untuk mengganggunya, apakah
sekarang ia masih dapat bernapas?”
“Kau memang tidak melukainya, akan tetapi kau telah menghinanya, berarti kau sudah menghinaku pula.
Maka bersiaplah untuk mati!”
Kembali Kiu-bwe Coa-li menggerakkan pecutnya, melakukan serangan-serangan dengan cara yang ganas
dan tidak mengenal ampun sama sekali. Memang watak Kiu-bwe Coa-li luar biasa ganasnya. Sekali ia
turun tangan, ia tidak akan merasa puas kalau lawannya belum roboh binasa!
Toat-beng Hui-houw bukannya orang lemah. Bangkit rasa penasarannya. Dia memang merasa segan
bertempur melawan Kiu-bwe Coa-li dan tentu dia bersedia mengalah jika berurusan dengan orang yang dia
anggap memiliki kedudukan lebih tinggi itu. Akan tetapi kalau dia didesak, dia terpaksa melawan.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kiu-bwe Coa-li, kau terlalu sekali. Kau kira aku Toat-beng Hui-houw takut menghadapi Kiu-bwe Joan-pianmu
(Pecut Berbulu Sembilan)?”
“Siapa peduli takut atau tidak? Aku hanya ingin kau mampus, habis perkara!” Kiu-bwe Coa-li mendesak
terus.
Toat-beng Hui-houw mengeluarkan suara nyaring dan kini sepuluh kuku jari tangannya telah mulur
kembali, panjang-panjang, tajam dan runcing mengerikan! Ia cepat mengelak dari serangan lawannya
lantas membalas dengan serangan pukulan yang mendatangkan hawa dingin dan berbau amis.
Ternyata bahwa siluman tua ini telah mengeluarkan pukulan-pukulan maut disertai racun yang keluar dari
hawa pukulan kukunya ini! Kalau tadi dia mengeluarkan ilmu ini, dalam beberapa jurus saja Sui Ceng tentu
telah roboh binasa.
Menghadapi pukulan-pukulan hebat ini, Kiu-bwe Coa-li pertama-tama mendorong tubuh muridnya sehingga
Sui Ceng terpental dan terpaksa melompat jauh ke pinggir, kemudian wanita sakti ini lalu memutar
pecutnya sampai berbunyi mengaung dan kadang-kadang diselingi suara bergeletar dan dari pecutnya
yang berekor sembilan ini keluar hawa yang menyambar-nyambar dan yang menolak hawa pukulan
berbisa dari Toat-beng Hui-houw.
Para piauwsu dan anggota Sin-to-pang, semenjak tadi berdiri seperti patung. Munculnya seorang tokouw
yang memegang cambuk ini saja sudah membuat mereka heran sekali, karena tak seorang pun di antara
mereka melihat kedatangannya. Kemudian cara pecut tokouw itu merampas Sui Ceng dan kemudian
mendengar pula bahwa tokouw ini adalah Kiu-bwe Coa-li yang tersohor dan menjadi guru Sui Ceng,
mereka makin terbelalak.
Kini, sesudah pertandingan antara Toat-beng Hui-houw dan Kiu-bwe Coa-li berlangsung, mereka lalu
menjadi bengong dan melongo. Menurut pendapat mereka, pertandingan ini bukan pertempuran orangorang
pandai, karena keduanya berdiri tidak pernah berpindah dari tempat masing-masing dan hanya
kedua tangan mereka saja yang bergerak-gerak luar biasa cepat ke depan. Hampir saja ada yang tertawa
menyaksikan pertandingan ini, karena gerakan kedua orang tua itu seakan-akan mereka sedang
membadut.
Akan tetapi Sui Ceng menonton dengan wajah penuh ketegangan. Ia pun maklum bahwa permainan
cambuk dari gurunya sedang dihadapi oleh lawan dengan ilmu pukulan berisi lweekang yang tinggi sekali
tingkatnya. Pada waktu dua orang tua itu sedang bertempur dengan mengandalkan hawa pukulan
lweekang, maka mereka hanya berdiri berhadapan dan saling memukul dari jauh, sama sekali tidak
mengubah kedudukan kaki.
Akan tetapi, tak beberapa lama kemudian, Toat-beng Hui-houw terpaksa harus mengakui keunggulan
lawannya, oleh karena bulu-bulu pecut Kiu-bwe Coa-li makin lama semakin mendesaknya, makin lama
semakin dekat serangan ujung cambuk itu, terus mendesak hawa pukulannya yang hendak
menentangnya.
Ia maklum bahwa kalau sampai ujung cambuk itu mengenai tubuhnya, sukarlah baginya untuk
menyelamatkan diri lagi. Dia cukup mengenal akan kelihaian totokan ujung cambuk di tangan Kiu-bwe
Coa-li, seorang di antara tokoh besar dunia persilatan.
“Cukup, siluman betina! Kali ini aku mengaku kalah, akan tetapi lain kali aku pasti akan mengalahkanmu!”
kata Toat-beng Hui-houw sambil melompat mundur.
“Keparat pengecut! Kau belum mampus, bagaimana bisa bilang cukup?” berseru Kiu-bwe Coa-li sambil
mengejar dan melakukan serangan kilat.
Toat-beng Hui-houw cepat mengerahkan tenaganya menangkis sambil melompat jauh, namun tetap saja
sebuah dari pada sembilan ekor pecut itu dengan tepat menghantam pahanya. Baiknya dia cepat-cepat
mengerahkan lweekang-nya ke arah bagian tubuh ini sehingga ketika pecut itu dengan suara nyaring
menampar paha, hanya kain dan kulitnya saja yang pecah, akan tetapi dia tidak menderita luka dalam.
Gentarlah hati Toat-beng Hui-houw. Ia cepat melompat dan menyambar sebatang pohon besar. Sekali
cabut saja jebollah pohon itu dan dia melontarkan pohon ke arah Kiu-bwe Coa-li yang mengejarnya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Terpaksa Kiu-bwe Coa-li melompat pergi dari sambaran pohon yang besar itu, dan ketika hendak
melanjutkan pengejarannya, ia teringat pada muridnya.
“Mari, Sui Ceng, kita kejar siluman itu!” katanya sambil menggandeng tangan muridnya.
Akan tetapi Sui Ceng menarik tangannya dan berkata, “Nanti dulu, Suthai. Teecu harus menolong Ibu lebih
dahulu.”
Kiu-bwe Coa-li menghentikan langkahnya. “Ibumu? Di mana dia?”
“Dia telah ditawan oleh Toat-beng Hui-houw. Karena itulah maka teecu datang ke tempat ini. Mungkin Ibu
disembunyikan di dalam goa itu.” Sui Ceng menunjuk ke arah goa.
Kiu-bwe Coa-li mengerutkan keningnya. Dia sudah tahu persis akan kejahatan Toat-beng Hui-houw dan
jika orang sudah terjatuh ke dalam tangan siluman itu, jangan harap akan tertolong lagi jiwanya.
“Kalau begitu, kita harus cepat-cepat melihat dan memeriksa goa itu,” katanya.
Guru dan murid ini kemudian berlari-larian memasuki goa. Para piauwsu beserta anggota Sin-to-pang juga
mendekati goa, akan tetapi mereka tidak berani lancang memasuki goa, hanya menanti dan berkumpul di
luar goa sambil membicarakan pertempuran dahsyat yang tadi mereka saksikan.
Ada pun Sui Ceng dan gurunya yang memasuki goa, mendapat kenyataan bahwa goa itu lebar sekali dan
di dalamnya terbagi-bagi menjadi tiga ruangan. Mereka memasuki ruang sebelah kiri dan membuka pintu
ruangan itu yang terbuat dari pada kayu. Cahaya yang memasuki ruangan ini suram-suram saja, namun
Sui Ceng segera mengenal tubuh yang terbaring membujur di atas pembaringan batu, sebab yang
terlentang itu tidak lain adalah Loan Eng, ibunya sendiri!
“Ibuuu...!” Sui Ceng melompat dan menubruk ibunya.
Kiu-bwe Coa-li yang berdiri di belakang muridnya, segera mengulur tangan dan dengan beberapa totokan
di jalan darah nyonya muda yang nampak lemas dan tidak berdaya lagi itu, dapatlah Loan Eng
menggerakkan tubuhnya. Akan tetapi dia sudah demikian lemas sehingga hampir tidak kuat mengangkat
tangannya. Ternyata bahwa darahnya hampir habis terisap oleh Toat-beng Hui-houw, manusia iblis itu!
“Ibu... kau kenapakah...?” Sui Ceng menggoyang-goyang tubuh ibunya dan memandang dengan mata
terbelalak.
“Sui Ceng... kau datang...?” Suara Loan Eng lemah sekali, dan hanya terdengar seperti bisik-bisik saja,
“Kebetulan sekali... aku ada pesan untukmu...”
“Suthai, tolong Ibuku, mengapa dia begitu lemah?” kata Sui Ceng tanpa mempedulikan kata-kata ibunya,
karena ia tidak mau percaya bahwa ibunya akan mati.
Kiu-bwe Coa-li memegang pergelangan tangan Loan Eng, dan dia nampak terkejut, lalu menggelenggelengkan
kepalanya dan ketika ia memeriksa leher sebelah kiri dari nyonya muda itu, terdengar wanita
sakti ini menggertakkan giginya.
“Jahanam benar...” bisiknya.
Ternyata bahwa kulit leher dari Loan Eng yang putih halus itu kini telah terluka dan di luar luka ini masih
terdapat tanda gigitan dan darah-darah yang telah mengering!
“Ibumu tidak akan tertolong lagi, Sui Ceng. Dia sudah kehabisan darah,” katanya tenang. Mendengar ini,
Sui Ceng menubruk ibunya dan menangis.
“Sui Ceng, anakku selamanya tidak akan menangis sedih,” kata Loan Eng. Mendengar tangis anaknya,
agaknya Loan Eng mendapat tambahan tenaga baru. “Agaknya memang aku harus menebus dosaku pada
kematian ayahmu yang kubunuh sendiri. Aku berpesan kepadamu, Sui Ceng. Kelak kau harus menjadi
jodohnya murid ke dua dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai, karena aku telah menerima pinangan orang tua itu.
Nama murid itu The Kun Beng. Nah... hanya sekian pesanku...!” Loan Eng makin lemas.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ibu..., aku bersumpah untuk membalaskan sakit hati ini. Akan kucincang hancur tubuh iblis itu...!” kata Sui
Ceng di antara tangisnya.
Meski tubuhnya telah lemas sekali, mendengar kata-kata anaknya, Loan Eng memaksa bibirnya
tersenyum. Ia merasa senang dan bangga melihat sikap puterinya yang gagah.
“Kau tentu akan berhasil, Sui Ceng, di bawah pimpinan gurumu yang sakti... dan tentang Sin-to-pang...
kau... kau benar, perkumpulan mendiang ayahmu itu amat baik…, mereka telah berusaha menolongku...
jadilah ketua yang baik kelak...! Sui Ceng, jangan lupa kau tunangan The Kun Beng murid Pak-lo-sian...
nah, selamat tinggal, anakku...”
Habislah tenaga nyonya itu dan Pek-cilan Thio Loan Eng, pendekar wanita yang cantik dan gagah perkasa
itu, menghembuskan napas terakhir dalam pelukan puterinya.
“Ibu...! Ibu...!” Sui Ceng menangis, kemudian dengan mata beringas ia bangkit berdiri dan berdongak ke
atas sambil berkata,
“Toat-beng Hui-houw, manusia iblis. Tunggulah, akan tiba waktunya aku Bun Sui Ceng menghancurkan
kepalamu!”
“Tenanglah, Sui Ceng. Apa sih sukarnya membikin mampus manusia seperti Toat-beng Hui-houw itu?
Sekarang juga aku dapat mengejarnya dan membikin tamat riwayatnya,” kata Kiu-bwe Coa-li yang merasa
kasihan kepada muridnya yang tersayang itu.
“Tidak, Suthai, dia tidak boleh mati di tanganmu atau di tangan siapa juga. Teecu sendiri yang akan
membalaskan sakit hati ini.”
Kiu-bwe Coa-li mengangguk-angguk. “Boleh saja, Sui Ceng. Asalkan kau belajar dengan rajin, tak lama
lagi kau akan dapat melaksanakan cita-citamu ini. Juga baik-baik saja kau menjadi ketua Sin-to-pang.
Hanya aku merasa agak menyesal mengapa ibumu demikian tergesa-gesa menjodohkan kau dengan
murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai.”
Sui Ceng tidak menjawab oleh karena di dalam hati gadis cilik ini sama sekali belum ada pikiran mengenai
jodoh, bahkan ia menganggap ibunya tadi bersenda gurau saja. Ia lalu melanjutkan pemeriksaan di dalam
goa.
Di kamar lainnya mereka mendapatkan tubuh Ong Kiat, juga sudah tewas dengan tubuh penuh luka-luka.
Walau pun ketika Ong Kiat masih hidup, Sui Ceng tidak suka kepada piauwsu ini karena sudah mengawini
ibunya, namun kini melihat piauwsu muda itu yang telah menjadi suami ibunya tewas dalam keadaan
mengerikan dan menyedihkan, ia lalu berlutut pula dan berkata perlahan dengan janji bahwa dia akan
membalaskan sakit hati mendiang ayah tirinya ini.
Lalu Sui Ceng dan gurunya keluar dari goa, disambut oleh para anggota Sin-to-pang dan para piauwsu
yang memandang penuh hormat.
“Saudara-saudara sekalian, Ibu beserta Ayah sudah tewas di tangan iblis itu. Kelak aku sendiri yang akan
membalaskan sakit hati dan membunuh iblis keparat itu, supaya kalian semua bertenang hati. Sekarang,
kalian lakukanlah tugas kewajiban masing-masing, dan tunggu hingga aku datang untuk memimpin Sin-topang.
Ada pun para piauwsu, terserah, hendak menjadi anggota Sin-to-pang baik-baik saja, mau
melanjutkan pekerjaan sebagai piauwsu pun boleh. Hanya pesanku, baik Hui-to Piauwkiok mau pun Sin-topang,
harus bekerja sama dalam segala hal. Ingat bahwa akulah yang mewarisi keduanya dan aku pula
yang bertanggung jawab atas segala sepak terjang kalian!”
Para anggota Sin-to-pang dan anggota Hui-to Piauwkiok menjadi sedih sekali mendengar betapa ketua
mereka telah tewas, akan tetapi melihat sikap dan mendengar ucapan Sui Ceng yang benar-benar gagah
dan bersemangat, yang sesungguhnya mengherankan sekali keluar dari mulut anak yang masih demikian
hijau, terbangunlah semangat mereka dan serentak menyatakan setuju.
Jenazah Loan Eng dan Ong Kiat diurus dan dirawat baik-baik. Setelah memberi hormat terakhir kepada
makam ibu dan ayah tirinya, Sui Ceng lalu melanjutkan perjalanannya mengikuti gurunya.
Sejak saat itu Sui Ceng makin tekun belajar dan semua ilmu kepandaian dari Kiu-bwe Coa-li direnggut dan
dunia-kangouw.blogspot.com
diteguknya seperti seorang kehausan minum air segar. Juga dia dan gurunya sangat tekun mempelajari
ilmu silat aneh yang mereka dengar dari Tu Fu yang membacakan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Sebagaimana diketahui, isi kitab ini sebenarnya palsu, bahkan di dalamnya terkandung pelajaran ilmu silat
dan latihan tenaga dalam secara terbalik. Kalau sekiranya Sui Ceng sendiri yang melatih diri menurut bunyi
kitab ini, tentu ia akan mendapatkan kepandaian palsu yang membahayakan tubuhnya seperti halnya
Kwan Cu.
Akan tetapi, ia berada di bawah asuhan Kiu-bwe Coa-li, seorang tokoh kang-ouw yang sudah amat tinggi
kepandaiannya. Maka tentu saja Kiu-bwe Coa-li tidak dapat tertipu dan nenek yang sakti ini tahu
bagaimana harus melatih ilmu silat aneh ini tanpa merusak tenaga sendiri.
Cara melatihnya bukan seperti yang dilakukan oleh Lu Kwan Cu, yang menjiplak begitu saja dan menelan
semua pelajaran tanpa dipilih lagi. Kiu-bwe Coa-li tidak mau berlaku sembrono dan sebagai seorang ahli
silat tinggi, ia tahu mana yang tidak betul dan mana yang berguna. Oleh sebab itu, di antara pelajaranpelajaran
yang masih ia ingat bersama muridnya, lalu dia saring dan pilih lagi, memilih mana yang
sekiranya berguna dan dapat dipakai untuk mempertinggi kepandaiannya.
Melihat ketekunan muridnya, Kiu-bwe Coa-li menjadi girang sekali dan nenek sakti ini lalu membatalkan
niatnya yang hendak mencoba ilmu silat barunya kepada seorang di antara tokoh-tokoh besar, bahkan ia
lalu mengajak muridnya tinggal di puncak Bukit Wu-yi-san yang berada di Tiongkok Selatan, perbatasan
Propinsi Hok-kian dan Kiang-si.
Kiu-bwe Coa-li memang berasal dari Hok-kian, maka ia disebut tokoh besar selatan yang ke dua.
Sebagaimana diketahui, tokoh besar selatan yang pertama adalah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, yang
selalu merantau di seluruh propinsi selatan dan tak tentu tempat tinggalnya…..
********************
Sementara itu, Hek-i Hui-mo dengan cepat membawa lari Lai Siang Pok yang menjadi ketakutan dan kaget
setengah mati itu. Anak ini menangis dan minta dengan suara amat menyedihkan agar supaya dia
dilepaskan kembali, namun Hek-i Hui-mo menjawab,
“Kau ingat baik-baik semua isi kitab yang di baca oleh Tu-siucai tadi, barulah kau ada harapan untuk hidup
terus!”
Mendengar ini Siang Pok pun mengerti bahwa kakek yang menyeramkan ini benar-benar membutuhkan
bantuan untuk mengingat bunyi isi kitab tadi, maka karena maklum bahwa hal itulah satu-satunya jalan
baginya untuk dapat menolong diri sendiri dari bahaya, dia lalu mengumpulkan seluruh ingatan dan
perhatiannya kepada bunyi isi kitab yang aneh itu.
Lai Siang Pok adalah seorang anak yang amat cerdik luar biasa dan semenjak kecil dia telah digembleng
oleh ayah bundanya dalam ilmu kesusastraan. Oleh karena itu dia telah biasa menghafal, dan meski pun
tadi dia mendengarkan isi kitab yang dibaca oleh Tu Fu dengan setengah hati saja, namun dia telah hampir
dapat mengingat semuanya!
Setelah jauh dari kota Kai-feng, Hek-i Hui-mo menurunkan Lai Siang Pok dan berkata,
“Coba kau sekarang mengulang kembali isi kitab itu, hendak kudengar apakah kau ada gunanya bagiku
atau tidak!”
Siang Pok mengumpulkan ingatannya, kemudian mengulang apa yang tadi didengarnya. Mendengar ini,
Hek-i Hui-mo menjadi girang sekali karena semua yang diingat olehnya sendiri dari isi kitab itu, ternyata
tidak ada seperempatnya dari apa yang dapat diingat oleh Siang Pok!
“Anak baik...! Kau patut menjadi muridku!” katanya girang sambil menepuk-nepuk pundak anak itu.
Tepukan ini bukanlah tepukan biasa, akan tetapi tepukan hendak memeriksa keadaan tubuh dan tulang
dari anak laki-laki ini. Akan tetapi dia mempunyai watak yang tabah dan keras hati, maka digigitnya bibir
untuk menahan rasa sakit.
“Bagus, tidak jelek!” kata Hek-i Hui-mo yang kemudian tertawa bergelak. “Hendak kulihat kelak, siapa yang
dunia-kangouw.blogspot.com
paling pandai memilih dan mengajar muridnya. Ha-ha-ha, Siang Pok, kau menjadi muridku dan kelak
kaulah yang akan menjagoi di antara murid-murid semua orang gila itu. Ha-ha-ha!”
Siang Pok tidak mengerti apa yang dimaksud oleh kakek hitam ini, akan tetapi diam-diam ia menjadi girang
juga. Sering kali anak ini membaca cerita-cerita kuno tentang pendekar dan pahlawan, kemudian diamdiam
dia mengagumi sepak terjang dan kegagahan para pendekar itu.
Sekarang mendengar bahwa dia hendak diambil murid oleh kakek yang telah ia saksikan sendiri
kelihaiannya, tentu saja dia menjadi girang. Cepat dia menjatuhkan diri berlutut di depan Hek-i Hui-mo
sambil berkata,
“Segala petunjuk dari Suhu akan teecu pelajari dengan rajin.”
“Bagus, mari kita cepat pulang agar kau bisa segera berlatih. Kau sudah tertinggal jauh oleh murid-murid
mereka itu.”
“Pulang? Ke mana, Suhu?”
“Ha-ha-ha, tentu saja ke Tibet, ke barat! Hayo!” Sambil berkata demikian, Hek-i Hui-mo menyambar tubuh
muridnya.
Sekejap kemudian terpaksa Siang Pok meramkan kedua matanya karena angin bertiup kencang sekali,
membuat kedua matanya pedas ketika suhu-nya membawanya lari luar biasa cepatnya seakan-akan
terbang!
Walau pun Hek-i Hui-mo melakukan perjalanan cepat sekali dan jarang berhenti di jalan, namun dia harus
menggunakan waktu sebulan lebih baru tiba di Tibet, daerah barat yang jauh itu. Siang Pok diterima
dengan penuh penghormatan dan juga perasaan iri hati oleh orang-orang di barat, karena bila menjadi
murid Hek-i Hui-mo, selain dianggap mendapat kehormatan tinggi, juga dianggap sebagai yang menerima
kurnia besar.
Namun Siang Pok tidak mempedulikan semua itu dan mulai saat gurunya menurunkan pelajaran ilmu silat
kepadanya, dia belajar dengan amat rajin dan tekun sehingga boleh dibilang lupa makan dan lupa tidur!
Melihat ini, Hek-i Hui-mo semakin sayang kepadanya, karena makin besar harapan di hatinya, murid ini
kelak akan menjunjung tinggi namanya dan akan mengalahkan semua murid tokoh-tokoh besar yang
sudah berlatih lebih dulu.
Seperti juga Kiu-bwe Coa-li, Hek-i Hui-mo yang bernama Thian Seng Hwesio ini, jarang sekali keluar dan
bersembunyi saja di kelentengnya, memberi latihan-latihan kepada Lai Siang Pok, karena seperti juga Kiubwe
Coa-li, dia ingin mempelajari isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang didengarnya dari Tu Fu,
kemudian kalau sudah mempelajarinya dengan sempurna, bersama muridnya dia akan mencari tokohtokoh
lain untuk ditantang pibu!
Seperti telah kita ketahui, kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang terjatuh ke dalam tangan Hek-i Hui-mo dan
yang kemudian isinya dibacakan oleh pujangga besar Tu Fu sambil didengarkan oleh Kiu-bwe Coa-li dan
Hek-i Hui-mo bersama murid-murid mereka, adalah kitab palsu. Akan tetapi biar pun palsu, kitab ini ditulis
di jaman dahulu oleh orang yang pandai dan hafal akan isi kitab aslinya, maka biar pun palsu, isi kitab ini
merupakan pelajaran yang aneh dan luar biasa sekali.
Bagi orang yang tidak memiliki ilmu silat tinggi, tentu saja kitab ini tidak ada artinya sama sekali dan jika
orang biasa melatih diri meniru pelajaran isi kitab ini, bukannya mendapat kemajuan dan kepandaian tinggi,
malah tubuh orang itu akan menjadi rusak. Akan tetapi sebaliknya, apa bila yang mendengarnya adalah
orang-orang berilmu tinggi seperti Hek-i Hui-mo dan Kiu-bwe Coa-li, mereka dapat menangkap serta
menerima isi kitab untuk disaring kembali dan untuk dijadikan bahan menyempurnakan kepandaian silat
mereka.
Oleh karena inilah, maka hasil dari pada mendengarkan isi kitab itu bagi Hek-i Hui-mo dan Kiu-bwe Coa-li
sangat jauh berlainan. Pelajaran yang mereka dengar itu, lalu diolah dan disaring sesuai dengan ilmu
kepandaian yang sudah ada pada mereka, maka tentu saja tidak sama.
Bagi Kiu-bwe Coa-li, pelajaran dari Im-yang Bu-tek Cin-keng yang telah didengarnya dari pujangga Tu Fu
itu mendatangkan kemajuan yang hebat sekali dalam hal ilmu lweekang, yakni penggunaan tenaga dalam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Walau pun pelajaran lweekang di dalam kitab itu tidak karuan dan sengaja dibolak-balikkan oleh penulis
kitab palsu, namun sungguh kebetulan sekali perhatian Kiu-bwe Coa-li dan muridnya, Sui Ceng, justru
dikerahkan ke jurusan ini.
Dengan kecerdikannya yang luar biasa, Kiu-bwe Coa-li bertekun mengupas pelajaran ini dan akhirnya ia
dapat menemukan ilmu aslinya dengan jalan meraba-raba dan menduga-duga. Ia lalu memperbaiki dengan
caranya sendiri, sesuai dengan kepandaian yang telah dimilikinya, dan akhirnya dia pun mendapatkan ilmu
silat berdasarkan pelajaran Im-yang Bu-tek Cin-keng yang seluruhnya menggunakan tenaga lweekang
yang hebat luar biasa!
Sebaliknya, setelah mendengar dan mempelajari isi kitab itu, Hek-i Hui-mo mendapatkan gerakan-gerakan
istimewa yang sesuai benar untuk menyempurnakan ilmu tongkatnya. Ilmu tongkat Hek-i Hui-mo, yakni
permainan tongkat Liong-thouw-tung (Tongkat Kepala Naga), memang telah terkenal dan lihai sekali. Kini,
setelah dia mempelajari isi kitab itu, dia mendapatkan sesuatu yang cocok sekali dan yang dapat dia olah
sedemikian rupa sehingga ilmu tongkatnya menjadi maju dengan pesat dan kini merupakan ilmu tongkat
yang aneh dan luar biasa!
Jika biasanya dia mainkan dua senjata, yakni tongkat Liong-thouw-tung di tangan kanan dan tasbih di
tangan kiri, di mana tongkat menjadi alat penyerang dan tasbih sebagai alat penangkis, kini dengan hanya
mainkan tongkatnya saja kelihaiannya sudah berlipat kali melebihi sepasang senjatanya itu. Sebab itu dia
lalu tekun memperdalam kepandaiannya bermain tongkat yang kelak akan diturunkan kepada murid
tunggalnya, yakni Lai Siang Pok.
Sebetulnya, kalau orang mengetahui isi dari pada kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli, orang takkan
merasa heran mengapa isi kitab yang dibaca Tu Fu itu mendatangkan dua macam ilmu jauh berlainan bagi
Hek-i Hui-mo dan Kiu-bwe Coa-li. Kitab asli Im-yang Bu-tek Cin-keng memang merupakan raja kitab ilmu
silat di dunia ini!
Di situ terdapat pelajaran pokok dan dasar dari pada segala macam gerakan ilmu silat di atas dunia. Ilmu
silat dengan tangan kosong mau pun dengan senjata yang bagaimana pun juga, kesemuanya berpokok
dan berdasar sama, yakni berdasarkan menyerang dan bertahan. Ada pun inti sari dari pada dua gerakan
ini memang menjadi isi dari Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli…..
********************
Baiklah kita tinggalkan dahulu Siang Pok yang sedang digembleng oleh suhu-nya, yakni Hek-i Hui-mo di
Pegunungan Tibet, juga kita biarkan dulu Sui Ceng yang tekun menerima latihan-latihan dari gurunya, Kiubwe
Coa-li di Pegunungan Wu-yi-san di daerah selatan. Sekarang lebih dahulu kita menengok keadaan Lu
Kwan Cu yang melakukan perantauan bersama gurunya, Ang-bin Sin-kai.
Kekalahannya yang berturut-turut menghadapi The Kun Beng dan Gouw Swi Kiat, kedua murid Pak-lo-sian
Siangkoan Hai, kemudian kekalahannya pula dari Lu Thong murid dari Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, tidak
mengecewakan hati Kwan Cu, bahkan seakan-akan menjadi dorongan kepadanya untuk berlatih makin
giat dan tekun. Juga dia melanjutkan perjalanan menuju ke Bukit Liang-san untuk mencari goa tempat
mendiang Gui Tin dulu menyimpan buku-bukunya. Ang-bin Sin-kai menuruti saja kehendak muridnya yang
ingin mencari gunung itu.
“Kitab-kitab macam apa yang dapat ditinggalkan oleh seorang sastrawan kepadamu?” hanya demikian
kata-katanya mencemoohkan. “Paling hebat hanyalah kitab-kitab Su-si Ngo-keng dan kitab-kitab kuno
penuh oleh tulisan kosong tentang adat-istiadat, tentang peri kebajikan dan peri kemanusiaan yang kosong
melompong!”
Mendengar omongan gurunya ini, Kwan Cu menyatakan tidak setujunya.
“Suhu, mengapa soal-soal mengenai peri kebajikan dan peri kemanusiaan Suhu anggap pelajaran yang
kosong melompong? Bukankah manusia di dunia ini perlu sekali akan pelajaran serupa itu agar hidupnya
tidak terlalu tersesat dan jahat?”
Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak mendengar ucapan muridnya ini.
“Kwan Cu, pelajaran mengenai peri kebajikan memang kosong melompong dan hanya merupakan
pekerjaan orang-orang malas yang mengaku diri suci dan berjasa terhadap manusia. Siapakah orangnya
dunia-kangouw.blogspot.com
yang tak tahu bahwa mencuri dianggap jahat? Akan tetapi tetap saja mereka mengambil barang lain orang.
Siapa yang tak tahu bahwa membunuh dianggap jahat? Namun tetap saja mereka membunuh sesama
hidup dengan hati enak saja. Apakah dengan munculnya pelajaran-pelajaran mengenai peri kebajikan itu
dunia menjadi makin bersih? Lihat saja, makin kotorlah batin manusia. Jika kitab-kitab itu tidak memberi
pelajaran tentang jahatnya mencuri, manusia juga tak akan mengenal kata-kata mencuri dan tidak akan
ada pencuri di muka bumi ini. Kalau orang tidak membaca dan mendengar tentang pelajaran peri kebajikan
yang menyatakan bahwa membunuh itu tak baik, orang tidak akan mengenal kata-kata membunuh dan
tidak akan ada pembunuh. Kalau saja orang tidak mendengar sebutan kejahatan dari dalam kitab, orang
tidak akan mengenal pula kata-kata kejahatan dan tidak akan ada kejahatan di dalam dunia ini!”
Kepala Kwan Cu yang gundul itu menjadi semakin kelimis karena dia mempergunakan otaknya untuk
membuka arti ucapan gurunya yang sukar dimengerti itu. “Kalau begitu dunia akan kacau, Suhu. Tanpa
ada pengertian tentang kejahatan, orang tak akan takut berbuat sekehendak hatinya!”
“Bodoh, berbuat sekehendak hati bukan perbuatan yang jahat! Kau kira dengan pelajaran yang memenuhi
otak-otak tentang kejahatan dan segala macam omong kosong itu, akan membuat dunia menjadi baik dan
aman? Tengok saja, di manakah terjadinya kejahatan-kejahatan besar? Bukan di dusun-dusun yang
ditempati oleh orang-orang yang pikiran dan hatinya masih amat sederhana, yang belum banyak mengenal
tentang pelajaran peri kebajikan yang di dalam pandangan orang-orang kota masih dianggap bodoh! Di
dalam ketidak mengertian mereka tentang kejahatan itu, mereka bersih!”
“Suhu terpengaruh oleh filsafat Lo Cu!” tiba-tiba saja Kwan Cu berseru karena anak yang cerdik ini
memang sudah hafal akan semua isi kitab kuno dan pelajaran tentang filsafat dan kebatinan.
“Bukan terpengaruh, hanya aku setuju dengan pendirian Lo Cu tentang itu. Orang-orang besar yang
membuat kitab-kitab itu sudah berlaku terlalu sombong, hendak mendahului kehendak alam, hendak
menggantikan kedudukan alam mengadakan perubahan besar dalam watak manusia. Padahal watak
manusia itu memang baik seperti watak seluruh isi alam yang suci. Watak manusia seperti air telaga yang
tenang, bila sekali dikacau, akan bergelombanglah air itu dan menjadi kacau dan tidak aman lagi.
Pengertian tentang apa yang disebut baik dan jahat, menimbulkan nafsu dalam diri manusia dan pada
sekarang ini, dunia kemanusiaan dirajai oleh maha raja nafsu, manusianya sendiri hanya menjadi hamba
sahaya dan hulubalang yang taat dan setia kepadanya! Nafsulah yang menjadi penggerak manusia
mencuri, membunuh, menipu, serta melakukan kejahatan-kejahatan lain, dan nafsu ini dipupuk dan
diperkuat oleh pengertian tentang baik dan buruknya yang diajarkan oleh kitab-kitabmu itu! Anggaplah
emas seperti batu karang, siapa yang sudi mencuri emas? Dengan pengertian tentang baik buruk, tentang
dosa dan suci, manusia telah dibentuk menjadi makhluk yang paling kotor dan jahat di dunia ini.”
Kwan Cu mengerutkan keningnya. “Akan tetapi, Suhu, bukankah itu sebaliknya? Manusia merupakan
makhluk yang paling pandai dan baik. Bukan hanya di antara manusia terjadi saling bunuh, bukankah
binatang juga sering kali membunuh sesamanya?”
Ang-bin Sin-kai memandang kepada muridnya dengan mata terbelalak lebar. “Anak tolol, kau tahu apa?
Binatang-binatang membunuh tidak seperti manusia membunuh! Manusia membunuh sesama manusia
hanya terdorong oleh iblis, terdorong oleh dendam, benci, marah, dan sakit hati karena dirugikan, baik
nama mau pun hartanya. Pernahkah kau mendengar binatang membunuh karena perasaan-perasaan jahat
ini? Harimau boleh jadi setiap hari membunuh binatang lain, akan tetapi itu adalah kehendak alam yang
telah memastikan bahwa harimau tidak bisa makan rumput, melainkan harus makan daging atau darah.”
“Akan tetapi, Suhu. Kalau semua manusia menurutkan ajaran Lo Cu semenjak dahulu, teecu kira dunia
akan menjadi sunyi, dan tidak akan terdapat kemajuan seperti sekarang ini. Manusia mungkin masih
menjadi makhluk-makhluk telanjang yang hidup di goa-goa, tiada lain kerjanya hanya makan dan tidur!”
“Kau sombong!” Ang-bin Sin-kai berteriak dan muka yang merah itu menjadi semakin merah. “Berani kau
mendahului pertumbuhan alam? Memang mungkin sekali tidak akan ada kemajuan duniawi seperti
sekarang, akan tetapi juga tak akan ada kejahatan seperti sekarang! Tentang kemajuan, orang
mengenalnya hanya setelah kata-kata itu diciptakan. Coba kau tengok pohon siong itu. Ribuan tahun yang
lalu keadaannya masih sama saja seperti sekarang, akan tetapi, katakan, hai bocah gundul sombong,
siapakah yang dapat menyatakan bahwa pohon itu tidak mempunyai kemajuan? Lihat burung yang terbang
itu. Seribu tahun yang lalu bangsanya pun berbuat seperti itu. Apakah sekarang dia kelihatan sudah terlalu
kuno dan tidak menarik lagi? Kwan Cu, kau hanya memandang kulit saja, tetapi tidak melihat isi. Kemajuan
lahir saja tiada artinya tanpa dibarengi kemajuan batin, karena lahir itu tidak kekal adanya.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sekarang Kwan Cu benar-benar kelihatan pusing dan teringatlah Ang-bin Sin-kai bahwa Kwan Cu
hanyalah seorang kanak-kanak yang tentu saja masih belum dapat menerima semua filsafat hidup ini. Angbin
Sin-kai menarik napas panjang dan dia seolah-olah baru kembali ke atas bumi dari perantauannya di
awang-awang yang membuatnya lupa akan segala itu.
“Sudahlah, Kwan Cu. Mari kita melanjutkan perjalanan. Kalau dipikir-pikir, aku sendiri pun ingin sekali tahu
buku-buku apa saja yang disimpan oleh mendiang Gui Tin di atas Bukit Liang-san itu.”
“Buku-buku yang lainnya, teecu pun tidak menghendakinya, Suhu. Hanya sebuah buku yang perlu sekali
bagi teecu karena sudah dipesankan oleh Gui-sianseng kepada teecu. Yakni buku sejarah kuno di mana
teecu akan membaca tentang kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli! Dari buku itulah teecu akan
mendapat petunjuk di mana teecu dapat mencari kitab rahasia itu.”
Ang-bin Sin-kai tertegun dan mukanya berubah.
“Kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng?” Ia mengulang setengah tidak percaya.
Kwan Cu mengangguk. “Memang kitab yang dahulu itu adalah kitab tiruan yang sengaja dipalsukan, Suhu.
Aslinya masih disimpan baik-baik, kata Gui-sianseng, kitab itu berada di atas suatu pulau kosong yang sulit
dicari. Hanya bisa didapatkan dengan pertolongan kitab sejarah yang disimpan oleh Gui-sianseng.”
“Kwan Cu, jika begitu kau benar-benar berjodoh dengan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Hayo kita percepat
jalan agar segera dapat menemukan kitab itu, muridku!”
Ketika Ang-bin Sin-kai memandang kepada muridnya dan bertemu pandang, mukanya yang merah
berubah pucat karena dia marah sekali.
“Kwan Cu! Kau kira aku mempunyai pikiran buruk? Aku sudah bersumpah tidak akan mempelajari Im-yang
Bu-tek Cin-keng dan aku Lu Sin selamanya akan memegang teguh sumpahku!”
Kwan Cu kaget sekali dan buru-buru dia berlutut minta maaf. Pandangan mata suhu-nya benar-benar
tajam sekali, karena memang tadi dia memandang dengan curiga kepada suhu-nya yang disangkanya
menginginkan kitab itu.
“Sudahlah, tak ada salahnya kau mencurigaiku, karena kalau tidak ingat akan sumpahku, memang aku
ingin sekali melihat kemudian mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Siapa orangnya yang tidak ingin?
Sudah berpuluh tahun aku merindukan kitab itu, seperti juga tokoh-tokoh persilatan yang lain. Akan tetapi,
aku sudah tua dan tidak ada gunanya aku mempelajari ilmu silat lain lagi. Kaulah yang perlu
mempelajarinya, maka kerinduanku sekarang bukan untuk aku sendiri, melainkan melihat kau dapat
mempelajari kitab aneh itu.”
“Terima kasih atas budi kebaikanmu, Suhu.”
“Phuah, budi kebaikan macam manakah? Hayo kita lekas pergi. Aku tahu di mana kau akan dapat melatih
gwakang dan memperdalam Sam-hoan-ciang dan Pai-bun Tui-pek-to yang sedang kau pelajari.”
Guru dan murid ini kemudian berangkat dan berlari cepat menuju ke Liang-san. Tiga hari kemudian tibalah
mereka di sebuah hutan besar. Ang-bin Sin-kai segera menghentikan larinya dan berkata,
“Nah, di sini kita dapat beristirahat sambil mencari lawan untuk melatih ilmu silatmu.”
Hutan itu besar dan sunyi sekali. Di mana ada lawan untuk melatih ilmu silat? Kwan Cu memandang ke
sana ke mari, akan tetapi keadaan sunyi saja, hanya bergeraknya daun pohon tertiup angin menimbulkan
suara gemerisik. Pohon-pohon raksasa menimbulkan bayangan yang amat teduh dan silir angin membuat
mata mengantuk.
Lapat-lapat terdengar suara binatang hutan. Kwan Cu merasa amat heran kenapa suara binatang hutan,
kecuali burung dan ayam, yang kedengaran hanyalah geraman harimau belaka.
“Heran sekali, ke manakah perginya keluarga raja hutan?” kata Ang-bin Sin-kai perlahan. “Biasanya setiap
kali aku datang, mereka itu sudah beramai-ramai menyambut dengan gigi dan kuku yang runcing!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba, seolah-olah menjadi jawaban dari kata-katanya, terdengarlah bunyi lengkingan suling bambu
yang aneh sekali suaranya. Lengking ini amat tinggi dan panjang, tiba-tiba kemudian berubah menjadi
irama rendah dengan irama terputus-putus seperti geraman harimau marah.
Berubah wajah Ang-bin Sin-kai mendengar ini.
“Ahh, kiranya dia berada di sini. Pantas saja harimau-harimau itu tidak nampak di sini.”
“Suhu, siapakah peniup suling yang aneh bunyinya itu?”
“Orang aneh... orang aneh, dan sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan kita. Dia itulah Hang-houwsiauw
Yok-ong (Raja Obat dengan Suling Penakluk Harimau)!”
Akan tetapi Kwan Cu belum pernah mendengar julukan orang yang terdengar aneh ini. Julukan Yok-ong
(Raja Obat) saja sudah hebat, apa lagi ditambah dengan julukan kedua ini. Bagaimana bisa orang
menaklukan harimau dengan suling? Atau, bagaimana suling bisa dipergunakan menjadi penakluk
harimau?
Jawabannya segera terlihat olehnya. Dari jurusan barat, kelihatan seorang laki-laki tua berpakaian jubah
panjang menutupi kedua kakinya hingga sebagian jubah itu terseret di belakangnya, sedang berjalan
dengan tindakan perlahan. Ia memegang sebatang suling bambu yang ditiupnya sambil berjalan. Kedua
matanya memandang lurus ke depan tidak mempedulikan kanan kiri. Juga sama sekali tidak dia
mempedulikan apa yang terjadi di belakangnya, kejadian yang membuat Kwan Cu membuka mata selebarlebarnya!
Ternyata olehnya bahwa di belakang kakek itu, berbaris belasan ekor harimau besar dan buas. Mereka
berjalan merupakan barisan di belakang kakek ini dan sebentar-sebentar mengeluarkan geraman. Melihat
keadaan ini, tahulah Kwan Cu bahwa binatang-binatang buas itu ternyata telah tertarik dan berada di
bawah pengaruh suara suling yang aneh itu. Pantas saja di sebut Hang-houw-siauw (Suling Penakluk
Harimau).
Kwan Cu benar-benar merasa aneh sekali. Dia sudah sering kali mendengar mengenai suling yang
suaranya dapat mempengaruhi ular, akan tetapi harimau?
“Ha-ha-ha, Hang-houw-siauw Yok-ong betul-betul tabah sekali!” Ang-bin Sin-kai memuji. “Hanya dengan
suara suling mampu menundukkan belasan raja hutan, benar-benar aku Ang-bin Sin-kai tidak mampu
melakukannya!”
Melihat munculnya seorang anak laki-laki gundul bersama Ang-bin Sin-kai, untuk sesaat kakek berjubah
panjang itu lupa meniup sulingnya dan dia memandang kepada kakek pengemis itu.
“Aha, kiranya Ang-bin Sin-kai si manusia sadar!” Memang Yok-ong ini amat mengagumi Ang-bin Sin-kai
dan selalu menyebutnya manusia sadar. “Selagi jalan halus sempat dan dapat dipergunakan, mengapa
memakai jalan kasar?”
Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Hang-houw-siauw Yok-ong! Enak saja kau bicara begitu!
Dengan sulingmu, tentu saja kau sanggup menundukkan harimau dengan jalan halus, akan tetapi aku yang
tak mengerti caranya, bagaimana harus menundukkan harimau? Aku takkan dapat membujuk mereka
dengan kata-kata halus. Lihat, bagaimana aku harus menghadapi mereka ini?”
Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai menunjuk ke arah belakang Hang-houw-siauw Yok-ong. Kakek
ini menengok dan melihat betapa belasan ekor harimau buas itu mulai gelisah dan kini mereka
memperlihatkan gigi runcing dan muka buas, siap siaga untuk menyerang! Harimau-harimau itu kini sudah
tidak berada di bawah pengaruh suara suling lagi dan mereka mengeluarkan geraman hebat lalu menubruk
maju, menyerang Ang-bin Sin-kai, Yok-ong dan Kwan Cu!
Lu Kwan Cu terkejut sekali, akan tetapi dia sudah memiliki ketabahan dan ketenangan, maka ketika seekor
harimau menubruk kepadanya, dia cepat melompat ke pinggir. Lain harimau segera menerkamnya, akan
tetapi kembali dengan menggeser kaki menurutkan gerakan Pai-bun Tui-pek-to, dia dapat menyelamatkan
diri.
Ada pun Hang-houw-siauw Yok-ong, juga berbuat seperti Kwan Cu. Kakek ini memiliki kepandaian tinggi,
dunia-kangouw.blogspot.com
akan tetapi hatinya amat lemah dan tidak tega melukai siapa pun juga. Ia adalah seorang ahli pengobatan
dan hatinya sudah tercurah pada watak menyayang dan memelihara sesuatu yang sakit, mana sanggup
dia melukai harimau-harimau itu? Ia bergerak ke sana ke mari dan sungguh mengagumkan, walau pun
gerakannya nampak lambat saja, namun tak pernah ada kuku harimau yang dapat menyentuh jubahnya
yang panjang itu.
Hebat adalah sepak terjang Ang-bin Sin-kai. Berbeda dengan Kwan Cu yang mengelak terus karena tidak
mampu membalas serangan harimau dan Yok-ong yang sengaja tidak mau mengganggu bintang-binatang
itu, Ang-bin Sin-kai tidak mau mandah saja dirinya diserang. Tiap kali kaki dan tangannya bergerak,
terdengar harimau yang terpukul atau tertendang mengeluarkan gerengan kesakitan, dan tubuh harimau
bergulingan di atas tanah saking kerasnya serangan Ang-bin Sin-kai.
Melihat ini, Hang-houw-siauw Yok-ong berteriak-teriak,
“Ang-bin Sin-kai, jangan berlaku kejam! Ampunkan nyawa harimau-harimau ini!”
Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak. “Aku memandang mukamu dan tak akan mengganggu mereka lagi,”
katanya dan sekali tubuhnya berkelebat, dia telah melompat ke atas dan tahu-tahu dia telah duduk di atas
sebatang ranting pohon yang tinggi!
Ada pun Kwan Cu yang melihat perbuatan suhu-nya, segera melompat pula, akan tetapi dia tidak
melompat ke atas pohon, melainkan melompat ke belakang Hang-houw-siauw Yok-ong mencari
perlindungan!
Raja obat itu lalu meniup sulingnya dan... benar mengherankan sekali, tiba-tiba binatang-binatang yang
buas dan sedang marah itu menghentikan serangan mereka, kemudian berdiri berkumpul di depan Yokong
dengan kepala tunduk dan telinga digerak-gerakkan seakan-akan senang sekali medengar suara
suling yang bagi telinga Kwan Cu terdengar menyakitkan anak telinga!
Suara suling yang ditiup oleh Yok-ong makin lama semakin meninggi, dan makin sakitlah telinga Kwan Cu
sehingga anak ini tidak dapat tahan lagi lalu menggunakan ibu jari untuk menyumpal lubang telinganya.
Dan benar-benar hebat!
Harimau-harimau itu seolah-olah mendengar bunyi perintah yang tak dapat dibantah lagi. Serentak mereka
membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu! Masih agak lama Yok-ong meniup
sulingnya, kemudian setelah tidak terdengar lagi geraman harimau, dia menghentikan tiupannya dan
menoleh kepada Ang-bin Sin-kai yang masih duduk di atas pohon.
“Ang-bin Sin-kai, terima kasih atas kemurahan hatimu terhadap harimau-harimau itu. Jika tadi diteruskan,
tentu aku menjadi sibuk memelihara serta mengobati luka-luka mereka. Untuk kebaikan hatimu itu, kau
patut diberi hadiah. Aku adalah orang miskin yang hanya mempunyai sebatang suling. Nah, terimalah
barang pusakaku ini.” Dia melempar suling yang tadi ditiupnya ke arah Ang-bin Sin-kai yang cepat
mengulur tangan menerimanya.
Hang-houw-siauw Yok-ong lalu berpaling kepada Kwan Cu. Untuk beberapa lamanya dia memandang
anak itu dengan tajam.
“Hebat!” tiba-tiba saja dia berkata. “Dari mana kau memperoleh anak seperti ini?” Ia lalu mendekati Kwan
Cu. “Coba ulur tangamu, anak yang baik.”
Kwan Cu segera mengulur tangan kanannya dan Yok-ong cepat memegang pergelangan tangan Kwan Cu.
Untuk beberapa lamanya dia mengangguk-angguk dan berkatalah dia dengan suara keras.
“Benar-benar hebat! Darah yang luar biasa kuatnya, yang ditambah oleh semacam darah liar yang
mempunyai kekuatan tekanan tiga kali lipat dari pada tekanan darah manusia, membuat seluruh urat di
tubuhmu dipenuhi oleh aliran darah yang kuat dan cepat sekali. Berkat tulang dan dagingmu yang kuat dan
bersih, hal itu akan menguntungkan dalam usahamu mempelajari bu (ilmu silat). Akan tetapi, urat halus
dalam otak dapat terganggu karenanya. Anak baik, aku kasihan kepadamu, maka biarlah aku memberimu
Liong-kak Hian-tan (Pil Darah Tanduk Naga) yang jarang kupergunakan.”
Ia lalu merogoh saku jubahnya yang lebar sekali dan mengeluarkan bungkusan dari kain kuning yang
bersih. Ketika bungkusan itu dibuka, di dalamnya terdapat beberapa butir pil merah yang berbau amis.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Untuk ketabahan dan kemurahan hatimu ketika menghadapi harimau-harimau tadi, kau kuberi hadiah tiga
butir Liong-kak Hian-tan. Telanlah sehari sebutir, dan dalam tiga hari kau akan merasakan khasiatnya.”
Kwan Cu merasa ragu-ragu untuk menerima, tetapi tiba-tiba terdengar suara dari atas pohon,
“Murid goblok! Tidak lekas diterima dan menghaturkan terima kasih, mau tunggu kapan lagi?”
Sebenarnya bukan karena Kwan Cu merasa kurang percaya terhadap kakek Raja Obat itu, melainkan
karena dia menjadi murid Ang-bin Sin-kai, maka dia merasa tidak patut tanpa ijin gurunya jika dia
menerima pemberian orang lain. Sekarang mendengar ucapan suhu-nya, dia menjadi girang sekali, dan
sesudah menerima tiga butir pil itu, dia cepat berlutut di depan Hang-houw-siauw Yok-ong dan
menghaturkan terima kasihnya.
Yok-ong tertawa bergelak dan menengok ke atas pohon. “Ang-bin Sin-kai, muridmu ini benar-benar tahu
menghargai guru dan orang-orang tua. Itu bagus sekali! Nah, sampai bertemu kembali!”
Sesudah berkata demikian, Hang-houw-siauw Yok-ong kemudian menyimpan bungkusan obatnya. Seperti
main sulap saja, ketika dia merogoh saku di tangannya telah memegang sebatang suling lagi! Ia lalu
berjalan pergi sambil meniup sulingnya!
Kwan Cu dan gurunya mendengarkan suara suling itu yang makin melenyap, kemudian terdengar suara
suling lain. Pada waktu Kwan Cu menengok, ternyata suhu-nya sedang meniup suling pemberian Yok-ong
tadi! Kwan Cu tercengang ketika mendengar tiupan suling suhu-nya amat merdu. Ternyata gurunya itu juga
pandai sekali meniup suling melagukan sebuah lagu kuno!
“Bagus, Suhu pandai sekali bersuling!” Kwan Cu memuji.
Gurunya menghentikan tiupannya dan tertawa girang.
“Masih tak sepandai Hang-houw-siauw Yok-ong. Kau telanlah sebutir Liong-kak Hian-tan itu seperti yang
dipesan oleh Yok-ong. Aku mau mencoba memanggil harimau dengan suling ini!”
Kwan Cu cepat-cepat menelan sebutir pil yang terasa masam dan amis sekali, kemudian menyimpan yang
dua butir lagi di dalam saku bajunya. Pada saat itu, gurunya sedang mencoba untuk meniru tiupan suling
Yok-ong ketika menundukkan harimau tadi. Akan tetapi tiupan sulingnya tidak karuan bunyinya sehingga
mengusir burung-burung di atas pohon yang menjadi kaget ketakutan mendengar suara melengking yang
aneh luar biasa itu!
Sampai capai bibir meniup suling, tapi harimau-harimau itu tidak juga datang! Kwan Cu tertawa geli melihat
usaha suhu-nya tidak mendatangkan hasil itu.
“Jangan tertawa, lihat belakangmu!” tiba-tiba Ang-bin Sin-kai berseru.
Kwan Cu terkejut dan cepat menengok. Benar saja di belakangnya telah berdiri seekor harimau muda yang
nampaknya juga terpesona dan bingung mendengar suara suling yang lucu dan aneh tadi. Kini,
menghadapi Kwan Cu, dia mulai merendahkan tubuhnya dan menggaruk-garukkan kakinya, siap untuk
menerkam.
“Kwan Cu, hadapi dia dengan Pai-bun Tui-pek-to! Jangan hanya mengelak saja, lawan dia dan kalahkan
dia. Sekarang waktunya untuk menguji kepandaian. Dia ahli gwakang (tenaga luar), awaslah!” kata Ang-bin
Sin-kai dengan gembira sekali.
Harimau itu mengaum lalu menubruk dengan kuat sekali. Kwan Cu sudah bersiap sedia. Dengan lincahnya
dia melangkah ke kiri, membiarkan tubuh harimau itu menyambar lewat, kemudian memberi pukulan keras
ke arah lambung harimau itu. Harimau terjatuh tunggang-langgang sambil menggereng.
Akan tetapi tubuh harimau muda itu terlampau kuat sehingga baginya pukulan Kwan Cu tadi hanya
merupakan dorongan kuat belaka, sama sekali tidak melukainya. Ia menubruk lagi dan seperti juga tadi,
Kwan Cu menghadapi dengan mengelak sambil memukul atau menendang.
Pertempuran seperti ini berjalan lama. Ang-bin Sin-kai hanya meniup suling seakan-akan mengiringi
dunia-kangouw.blogspot.com
pertempuran itu dengan lagu perang, akan tetapi matanya memandang penuh perhatian. Akhirnya,
sesudah berpuluh kali menubruk tanpa hasil bahkan beberapa kali menerima tendangan atau pukulan,
harimau itu menjadi lelah. Demikian pula Kwan Cu. Ia telah mengerahkan benar tenaga untuk memukul
dan menendang, akan tetapi sedikit pun tak dapat merobohkan lawannya.
“Kau harus dapat mengalahkan dia!” seru Ang-bin Sin-kai berkali-kali dengan suara tidak puas. Masa
muridnya, murid Ang-bin Sin-kai tidak mampu mengalahkan seekor harimau yang masih muda?
Kwan Cu mengerti bahwa apa bila dia melanjutkan perkelahian secara ini, tidak mungkin dapat
mengalahkan harimau itu. Maka dia mencari akal dan ketika harimau itu untuk ke sekian kalinya
menubruknya, dia lalu mengelak dan menyambar ekor harimau.
Sekuat tenaga dia lantas mengayun tubuh harimau itu dan membantingnya. Akan tetapi karena tubuh
harimau itu berat sekali dan dia telah merasa lelah, maka dia terbawa oleh bantingan ini sehingga
terpelanting di atas tanah!
Harimau itu nanar seketika, akan tetapi segera berdiri kembali dan melihat tubuh Kwan Cu di dekatnya, dia
segera menubruk! Kwan Cu sudah siap dan cepat menggulingkan tubuhnya mengelak, kemudian dia
mendahului menerkam dan mencekik leher harimau itu dalam kempitan lengannya yang kecil akan tetapi
kuat!
Harimau itu lalu meronta-ronta, akan tetapi Kwan Cu memutar lehernya sehingga kaki harimau tidak dapat
mencakarnya. Makin lama harimau itu mejadi semakin lemah dan sebentar lagi dia tentu takkan berdaya.
Tiba-tiba terdengar auman keras sekali dan seekor harimau yang besar sekali keluar dari semak-semak,
merunduk dan siap menerkam Kwan Cu yang mencekik anaknya! Ang-bin Sin-kai yang sedang enakenakan
meniup sulingnya saking gembira melihat kecerdikan Kwan Cu mengalahkan lawannya, melihat
harimau besar itu, langsung berseru keras dan tubuhnya melayang turun.
Pada saat itu, harimau besar telah melompat menubruk Kwan Cu. Akan tetapi, tiba-tiba tubuhnya
terjengkang kembali ke belakang akibat dorongan tangan Ang-bin Sin-kai yang memapakinya di tengah
udara! Sekarang pertempuran terpecah menjadi dua. Kwan Cu dengan cepat dapat membuat harimau
muda itu pingsan karena tidak dapat bernapas, kemudian anak ini menonton pertempuran antara suhu-nya
dan harimau besar.
Bukan main kagum hati Kwan Cu ketika melihat betapa suhu-nya menghadapi harimau itu dengan senjata
suling. Ternyata suling yang ditiupnya dengan merdu tadi kini disulap menjadi sebatang senjata yang lihai
sekali. Ke mana juga harimau itu menubruk, selalu dia tertotok oleh suling di bentulan lehernya.
Sesudah empat lima kali tertotok suling, harimau itu merasa kesakitan luar biasa dan segera membalikkan
tubuh lalu berlari cepat sambil menggereng kesakitan! Sementara itu, harimau muda yang tadi pingsan,
juga telah siuman kembali dan kini berlari menyusul harimau besar!
“Suhu, indah sekali permainan suling tadi. Teecu ingin belajar bersilat dengan suling.”
Ang-bin Sin-kai tertawa. “Memang indah dan mudah saja dilihat, akan tetapi jangan kira mudah
dipelajarinya. Ketahuilah bahwa semakin sederhana bentuk senjata, makin sukar dipelajarinya dan
semakin lihai permainannya. Kelak akan tiba saatnya kau belajar ilmu silat dengan suling.”
Guru dan murid ini lalu melanjutkan perjalanan ke Liang-san. Semenjak mengalahkan harimau muda itu,
semangat Kwan Cu menjadi makin besar saja. Dan tiga hari kemudian setelah dia menghabiskan tiga butir
pil merah pemberian Hang-houw-siauw Yok-ong, dia merasa kepalanya dingin dan dadanya tenang.
Pikirannya makin kuat saja dan kini dia tidak terganggu oleh rasa pening yang sering kali datang di kala dia
melatih diri dengan pengendalian napas dalam semedhinya. Dia merasa girang dan Ang-bin Sin-kai
berkata sambil menarik napas panjang.
“Karena itulah ketika dulu aku melihat dia memberi pil ini kepadamu, aku cepat menyuruh kau
menerimanya. Hang-houw-siauw Yok-ong dulunya adalah seorang tabib istana yang amat terkenal, bukan
saja karena ilmu pengobatannya, akan tetapi terutama karena ilmu silatnya yang tinggi dan pribadinya
yang luhur. Mungkin sekali tingkat kepandaiannya tak akan menang dari tokoh-tokoh persilatan dari empat
penjuru, akan tetapi mengenai ilmu pengobatan dan pribadi mulia, kiraku di dunia ini sukar mencari
keduanya!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Yang diberikan kepada teecu itu, disebut olehnya Liong-kak Hian-tan (Pil Darah Tanduk Naga), apakah
benar-benar terbuat dari pada darah yang berada di tanduk naga, Suhu?”
Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak. “Orang-orang pembuat obat dan masakan sama saja, keduanya seperti
orang gila! Untuk memudahkan mereka mengingat namanya dan untuk membuat obat atau masakannya
terkenal, mereka itu suka sekali memberi nama yang aneh-aneh! Nama liong (naga) atau burung hong
(burung dewata) selalu dibawa-bawa dalam pemberian nama pada obat. Siapa percaya tentang liong kalau
belum melihatnya sendiri?”
“Apakah liong itu tidak ada, Suhu?”
“Aku sendiri percaya bahwa naga itu memang ada, hanya terus terang saja aku belum pernah melihat
dengan mata sendiri. Memang telah kulihat banyak ular-ular besar sekali, bahkan ada pernah kulihat ular
bertanduk lunak di kepalanya, akan tetapi, ular itu tidak berkaki seperti naga yang sering kali disebut-sebut!
Betapa pun juga, aku percaya bahwa naga itu memang ada. Kalau tidak ada, kenapa rakyat di empat
penjuru bisa melukiskan rupa dan bentuk tubuhnya? Pasti ada, seperti adanya pula burung hong!”
“Kalau begitu, obat Liong-kak Hian-tan itu benar-benar terbuat dari pada darah tanduk naga, Suhu?” kata
Kwan Cu dengan suara tetap.
Ang-bin Sin-kai kembali tertawa. “Hal inilah yang meragukan, sebab biar pun kepandaian yang dimiliki oleh
Hang-houw-siauw Yok-ong itu cukup lihai, mana dapat dia pergunakan untuk menangkap seekor liong dan
mengambil darah dari tanduknya? Sudahlah, hal ini tidak penting, muridku. Yang paling penting adalah
kenyataan bahwa obat itu memang kupercaya amat baik bagimu.”
Sesudah sampai di lereng bukit Liang-san di sebelah barat, mereka mulai bertanya-tanya kepada orang
kampung mengenai Gui Tin yang di tempat itu dahulu mengaku bernama Gui-lokai.
Beberapa orang sudah ditanya oleh Kwan Cu, akan tetapi tak ada seorang pun mengaku pernah kenal
dengan Gui-lokai (pengemis tua Gui).
“Anak bodoh, mengapa kau tanya hanya orang-orang muda saja? Tanyalah kau kepada orang tua, dan
wanita pula, karena yang biasa memberi derma kepada para pengemis kebanyakan hanya orang-orang
wanita,” kata Ang-bin Sin-kai mencela muridnya.
Kwan Cu menganggap kata-kata suhu-nya benar, maka dia lalu bertanya pada seorang wanita dusun yang
sudah agak tua akan tetapi masih rajin sekali bekerja. Wanita ini tengah memikul air bersama beberapa
wanita lain.
Kwan Cu merasa tidak enak kalau langsung menghentikan orang yang sedang bekerja, apa lagi
nampaknya wanita-wanita itu tergesa-gesa. Maka dia lalu ulurkan tangannya ke arah pundak wanita yang
berada di depan dan dalam sekejap mata saja pikulan itu telah berpindah ke atas pundaknya sendiri! Tentu
saja wanita itu terkejut dan amat heran, akan tetapi bocah gundul itu tersenyum kepadanya sambil berkata,
“Bibi, aku kasihan melihat kau bersusah payah memikul air yang berat ini. Biar aku yang membawakan ke
rumahmu.”
Tentu saja wanita itu girang sekali dan tertawalah dia, memperlihatkan deretan gigi yang jarang dan kecilkecil.
“Anak baik, terima kasih,” katanya sambil melanjutkan perjalanan di sebelah Kwan Cu.
Dua orang wanita di belakangnya juga memandang heran pada Kwan Cu, bocah gundul yang baik hati itu.
Setelah menurunkan pikulan di depan rumah wanita itu, barulah Kwan Cu mengajukan pertanyaan,
“Bibi, pernahkah engkau mengenal seorang pengemis tua di daerah ini yang dipanggil Gui-lokai?”
“Gui-lokai...?” Wanita itu mengerutkan keningnya yang sudah mulai keriputan, “Ah, kakek yang gila itu?
Siapa yang tidak mengenalnya? Dia adalah seorang tua yang malas dan gila, tidak mau bekerja, hanya
menulis dan membaca saja kerjanya. Baiknya dia masih suka memberi pelajaran kepada beberapa orang
anak, akan tetapi pelajaran membaca dan menulis, untuk apakah di dusun ini? Lebih baik belajar
dunia-kangouw.blogspot.com
mencangkul tanah dari pada menggerakkan pit menulis!”
Bukan main girangnya hati Kwan Cu.
“Tahukah kau di mana adanya dia? Dan di mana tempat tinggalnya ketika dia berada di daerah ini?”
“Tempat tinggalnya? Di mana saja orang mau menerimanya. Kadang-kadang dia bahkan tidur di pinggir
sawah, di tempat terbuka. Benar-benar orang aneh. Ehh, anak baik, kau pernah apakah dengan Gui-lokai
maka kau mencarinya?”
Pada saat itu, seorang kakek tua yang mendatangi tempat itu mendengar kata-kata ini lalu menyambung,
“Aneh sekali! Baru kemarin sore ada juga dua orang lainnya yang menanyakan tentang Gui-lokai!”
Mendengar ini Kwan Cu merasa terheran.
“Lopek, siapakah mereka yang bertanya tentang Gui-lokai?”
“Seorang hwesio gemuk sekali dan seorang muridnya. Mereka pergi ke batu karang yang berbentuk
menara dan berada di lereng barat untuk mencari goa yang dulu ditinggali oleh Gui-lokai,” jawab kakek itu.
“Di manakah batu karang itu, Lopek? Aku pun ingin sekali pergi ke goa tempat tinggal Gui-lokai!” Kwan Cu
bertanya cepat-cepat.
Kakek itu ragu-ragu, akan tetapi wanita yang ditolongnya membawa air tadi cepat-cepat menudingkan jari
telunjuknya ke arah puncak bukit yang tidak jauh dari situ. “Di sanalah tempatnya. Di sana terdapat sebuah
batu karang yang menjulang tinggi, bentuknya mirip seperti menara. Di sekitar tempat itulah adanya goa
tempat tinggal Gui-lokai ketika dia masih berada di daerah ini.”
“Terima kasih!” jawab Kwan Cu dan dua orang dusun itu menjadi bengong dan saling pandang ketika tibatiba
Kwan Cu melompat dan lenyap dari depan mereka.
“Suhu, cepat, Suhu! Ada orang mendahului kita!” kata Kwan Cu ketika dia kembali ke tempat di mana Angbin
Sin-kai menantinya.
“Siapa orangnya yang mendahului kita?” tanya Ang-bin Sin-kai dengan muka terheran.
“Entahlah, kata orang dusun itu, ada seorang hwesio gemuk dan muridnya juga mencari goa tempat tinggal
Gui-siucai!”
Berubah wajah Ang-bin Sin-kai mendengar ini.
“Hemm, jangan-jangan Jeng-kin-jiu dan Lu Thong yang mendahului kita.”
“Mari cepat, Suhu. Goanya berada di puncak itu,” berkata Kwan Cu dan bocah gundul ini mendahului suhunya
berlari ke arah puncak itu. Ang-bin Sin-kai menyusul dan guru ini pun merasa gelisah kalau-kalau kitab
yang dikehendaki oleh muridnya itu sudah dicuri orang lain.
Sebentar saja mereka telah tiba di puncak bukit di mana terdapat batu karang berbentuk menara. Mudah
saja mendapatkan goa bekas tempat tinggal Gui Tin, karena goa ini besar dan panjang. Kwan Cu segera
membuat obor dan bersama gurunya dia memasuki goa itu.
Tak salah lagi, inilah bekas tempat tinggal Gui-lokai, karena dindingnya banyak terdapat pahatan dan
ukiran, tentu Gui Tin mempergunakan waktunya untuk membuat sajak-sajak ini. Kwan Cu mencari terus
hingga akhirnya dia mendapatkan lubang di mana tersimpan sebuah peti.
Dengan hati berdebar girang, Kwan Cu mengeluarkan peti itu dan segera membawanya keluar. Setelah
tiba di luar, dia membuka peti tadi, akan tetapi tiba-tiba pundaknya di tarik orang dan ternyata suhu-nya
yang menarik tadi.
“Hati-hati, Kwan Cu. Keliru sekali kalau berlaku tergesa-gesa seperti itu menghilangkan kewaspadaan. Aku
masih bersangsi kenapa Gui-siucai semudah ini menyimpan petinya yang berisikan kitab-kitab yang lebih
dunia-kangouw.blogspot.com
disayangnya dari pada harta benda lain. Aku sangsi kalau-kalau ada orang yang sudah mendahului kita
dan sengaja memasang perangkap. Biarkan aku yang membuka peti ini!”
Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai menggunakan sulingnya untuk mencokel tutup peti dan benar
saja dugaannya, begitu tutup peti terbuka, dari dalam menyambar keluar kepala seekor ular kehijauan yang
mendesis dan menjulurkan lidahnya.
Kwan Cu tertawa. “Ahh, ular kecil seperti itu saja, apa sih bahayanya?”
Ang-bin Sin-kai mengerutkan keningnya dan memandang tajam kepada Kwan Cu.
“Salah, salah! Sama sekali salah kalau kau memandang rendah soal-soal kecil. Kau mau tahu tentang ular
ini? Inilah yang di sebut Jeng-tok-coa (Ular Racun Hijau) yang bisanya jauh lebih berbahaya dari pada
seekor ular sendok. Sekali pagut saja, tidak ada obat di dunia ini yang akan menyembuhkan dan menolong
orang yang dipagutnya! Biar pun kau sendiri yang sudah mempunyai darah penolak racun di tubuhmu,
agaknya akan bergulat dengan maut apa bila tadi kau membuka peti dan kena digigit oleh ular ini!”
Mendengar ini, Kwan Cu meleletkan lidahnya saking kaget dan ngerinya. Sekarang ular itu bergerak-gerak
dan gerakannya betul-betul cepat sekali sehingga dapat dibayangkan kalau ular ini menyerang orang.
Ang-bin Sin-kai menggerakkan sulingnya. Sekali terbentur suling, pecahlah kepala ular itu, mengeluarkan
lendir berwarna hijau yang berbau amis keharum-haruman dan yang membuat kepala menjadi pening
ketika hidung mencium bau itu.
Ang-bin Sin-kai segera mengangkat peti itu menjauhi bangkai ular, kemudian barulah dia memperkenankan
Kwan Cu memeriksa isi peti. Peti itu ternyata terisi banyak buku-buku tebal dan kuno.
Dengan jari-jari tangan gemetar saking menahan gelora hatinya, Kwan Cu memeriksa buku-buku itu satu
demi satu. Buku-buku sajak, buku-buku tentang bintang-bintang dan kitab-kitab kebatinan yang amat kuno.
Tetapi tidak ada sebuah pun kitab sejarah tentang Im-yang Bu-tek Cin-keng!
“Heran sekali..., kitab yang dimaksudkan Gui-sianseng itu tidak ada... !” kata Kwan Cu setelah untuk
kelima kalinya dia membuka dan memeriksa lagi buku-buku itu satu demi satu.
“Hemm, benar ada orang yang mendahului kita,” kata Ang-bin Sin-kai, “kau lihat di sana itu!”
Kwan Cu segera memandang dan dapat melihat bayangan dua orang berlari cepat sekali menuruni gunung
itu. Bayangan seorang berkepala gundul yang gemuk bundar bersama seorang anak laki-laki yang sebaya
dengan dia!
“Keparat!” Kwan Cu memaki dan hendak mengejar. Akan tetapi Ang-bin Sin-kai menahan dan memegang
pundaknya.
Tiba-tiba Kwan Cu membalikkan tubuhnya dan memandang kepada suhu-nya dengan mata basah dan
muka pucat.
“Suhu, kau benar-benar tidak adil dan berat sebelah!” katanya dengan tangan terkepal.
“Ketika Suhu memberi pelajaran Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng (Dengan Tangan Kosong Merenggut
Nyawa) kepada Lu Thong, teecu sudah tahu bahwa betapa pun juga, Suhu lebih memberatkan keluarga
sendiri! Sekarang terbuktilah dugaan teecu. Sudah terang yang mencuri kitab dari Gui-siucai adalah Lu
Thong dan gurunya, akan tetapi Suhu tidak mengejar mereka, bahkan melarang teecu mengejar. Suhu,
sesungguhnya Suhu hendak berlaku bagaimanakah terhadap murid?”
Mendengar ucapan Kwan Cu yang sifatnya menegur dan menuntut ini, sepasang mata Ang-bin Sin-kai
mengeluarkan cahaya berkilat.
“Tutup mulutmu! Bila sekali lagi kau berkata demikian terhadapku, betapa pun besar rasa sayangku
kepadamu dan betapa pun baiknya bakatmu untuk menjadi muridku, kau akan kutinggalkan! Tuduhanmu
hanya karena terdorong oleh rasa iri hati dan putus asa. Iri hati melihat aku menurunkan Kong-jiu Toatbeng
kepada Lu Thong, perasaan iri hati yang tak berdasar. Dia adalah cucu luarku, kenapa aku tidak
boleh memberi sesuatu kepadanya? Dan kau putus asa melihat kitab peninggalan Gui-siucai dicuri orang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Juga perasaan putus asa ini bodoh sekali. Kau tadi melihat sendiri betapa ilmu lari cepat hwesio gundul itu
hebat sekali, tidak kalah olehku? Dikejar pun tidak akan ada gunanya, karena mereka sudah meninggalkan
kita. Aku masih ragu-ragu... apakah betul Jeng-kin-jiu yang mencuri kitab itu, Si Gundul dari selatan itu
tidak demikian hebat lari cepatnya. Aku lebih condong menduga kepada Hek-i Hui-mo!”
Kwan Cu menjatuhkan diri berlutut di hadapan gurunya. “Ampunkan kelancangan mulut teecu, Suhu.
Sesungguhnya, teecu bingung sekali melihat kitab itu sudah tidak ada lagi. Bagaimana kita harus berbuat
sekarang, Suhu?”
“Tenanglah dan kita perlahan-lahan menyelidiki siapakah orangnya yang sudah mencuri kitab itu.
Bukankah kau dulu bilang bahwa kitab itu ditulis dalam bahasa kuno yang sukar dimengerti dan yang
hanya diajarkan mendiang Gui-siucai kepadamu?”
“Memang benar, Suhu. Akan tetapi siapa tahu kalau orang lain yang dapat membacanya. Menurut
mendiang Gui-sianseng, pujangga-pujangga besar seperti Tu Fu dan Li Po pasti bisa membacanya.
Hwesio gundul tadi terlalu jauh dari kita hingga sukar untuk mengenal mukanya, akan tetapi teecu yakin
bahwa dia tentulah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu.”
“Bagaimana kau bisa memastikannya?”
“Karena hanya Jeng-kin-jiu yang memiliki seorang murid laki-laki sebesar teecu. Setahu kita, Hek-i Hui-mo
tidak mempunyai murid.”
Ang-bin Sin-kai mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku pun berpikir demikian. Namun, masih terlalu pagi
untuk menuduh tanpa bukti. Sebaiknya kita menyusul ke kota raja dan bertanya terang-terangan kepada
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu!”
Kwan Cu girang sekali karena ternyata bahwa suhu-nya benar-benar mau membantunya merampas
kembali kitab itu. Mereka lalu berangkat dengan cepat, turun dari Liang-san menuju ke kota raja untuk
mencari Jeng-kin-jiu yang mereka sangka telah mencuri kitab sejarah peninggalan Gui Tin.
Di dalam perjalanan menuju ke kota raja, mereka melalui kota Po-keng yang ramai dan terkenal sebagai
tempat berkumpulnya para sastrawan dan orang-orang gagah.
“Kita mampir dulu ke rumah Kwa-pangcu (Ketua she Kwa), dia seorang sahabatku yang baik,” kata Ang-bin
Sin-kai kepada Kwan Cu.
Yang disebut Kwa-pangcu oleh Ang-bin Sin-kai adalah Kwa Ok Sin, yakni seorang ahli silat Bu-tong-pai
yang di samping memiliki ilmu pedang yang lihai, juga terkenal sebagai seorang ahli sastra terkemuka.
Kwa Ok Sin atau Kwa-pangcu merupakan ketua dari perkumpulan Bun-bu-pang (Perkumpulan Ahli Silat
dan Sastrawan) yang didirikan oleh para ahli sastra dan ahli-ahli silat di seluruh daerah Po-keng. Kwa Ok
Sin dipilih karena memang dia memenuhi syarat, tidak saja ahli dalam bun (sastra), akan tetapi juga tinggi
ilmu kepandaiannya dalam bu (silat).
Kwa Ok Sin yang memang keturunan kaya raya, amat besar rumahnya dan gedung ini selain dijadikan
tempat tinggalnya, juga menjadi rumah perkumpulan Bun-bu-pai. Papan nama yang tergantung di depan
rumahnya benar-benar amat indah.
Papan itu berukir dan berukuran besar sekali, ditulis dengan huruf-huruf yang amat indah dan gagah
‘RUMAH PERKUMPULAN BUN BU PAI’. Hal ini tidak mengherankan, karena sebagai perkumpulan ahli
sastra, tentu saja tulisannya juga hebat!
Tak seorang pun di kota Po-keng yang tidak mengenal rumah ini, karena perkumpulan Bun-bu-pai
memang dihormati oleh setiap orang. Bahkan dengan adanya perkumpulan ini, di daerah Po-keng bersih
dari pada semua penjahat. Penjahat manakah berani main gila di kedung naga dan goa harimau?
Karena itu, tidak mengherankan apa bila nama Bun-bu-pai di Po-keng ini amat terkenal dan namanya
dipuji-puji hingga jauh di luar daerah Po-keng. Bahkan, pujangga-pujangga besar dan ternama semacam Li
Po dan Tu Fu sendiri tidak jarang datang berkunjung ke Bun-bu-pai untuk bercakap-cakap dengan Kwa Ok
Sin dan para anggota lain. Juga para locianpwe, ahli-ahli silat tingkat tinggi dari seluruh Tiongkok apa bila
lewat Po-keng selalu memerlukan untuk mampir.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sungguh sangat kebetulan sekali, ketika Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu tiba di Po-keng, Bun-bu-pai tengah
penuh dengan para anggotanya. Hari itu dari berbagai tempat mereka sengaja datang berkumpul sebab
ada beberapa hal yang amat penting dan mesti mereka rundingkan. Bahkan banyak tokoh-tokoh dari jauh
datang mengunjungi pertemuan itu.
Kwan Cu dan gurunya berdiri di depan gedung Bun-bu-pai, dan Kwan Cu amat kagum melihat papan nama
yang ditulis amat indah itu.
“Alangkah indahnya tulisan itu, Suhu,” kata bocah gundul itu dengan kagum.
Ang-bin Sin-kai tersenyum. “Apa sih indahnya tulisan macam itu? Marilah kita masuk dan kau akan melihat
tulisan yang jauh lebih indah dari pada ini.”
Mereka masuk melalui pintu gerbang dan ketika tiba di ruang depan, benar saja. Di sana tergantung
tulisan-tulisan dan lian-lian (tulisan berpasangan dan merupakan sajak indah) yang ditulis dengan indah
sekali dalam berbagai-bagai bentuk.
Selama hidup belum pernah Kwan Cu menyaksikan sekumpulan tulisan demikian indah, baik gaya mau
pun isinya, maka tiada bosannya dia membaca dan menikmati tulisan itu satu demi satu. Hal ini memang
tidak mengherankan oleh karena yang tergantung di situ adalah hasil karya pujangga-pujangga terkemuka.
Bahkan Tu Fu dan Li Po sendiri pun menyumbang ruangan ini dengan tulisan-tulisan dan sajak-sajak
mereka!
Tidak seperti rumah perkumpulan lainnya, di situ tidak ada penjaga. Memang, siapakah orangnya yang
akan berani mencuri atau membikin ribut di tempat ini? Karena itu tidak perlulah diadakan penjagaan.
Ketika Kwan Cu sedang enak-enak dan asyiknya membaca tulisan-tulisan itu, tiba-tiba terdengar suara
halus, “Anak baik, sekecil ini sudah dapat menghargai tulisan baik!”
Pada saat Kwan Cu menengok, dia melihat seorang laki-laki tinggi tegap berusia kurang lebih empat puluh
tahun dan sungguh pun pakaiannya seperti seorang ahli silat, namun gerak-geriknya sangat halus dan
sopan. Orang itu kini menghadapi Ang-bin Sin-kai, lalu menjura dan berkata,
“Sungguh kebetulan sekali Ang-bin Sin-kai locianpwe datang berkunjung. Memang kami sedang berkumpul
dan ada sesuatu yang hendak disampaikan kepada Locianpwe.”
Ang-bin Sin-kai tertegun. Orang yang menyambutnya ini adalah Kwa Ok Sin sendiri, sang ketua dari Bunbu-
pai. Biasanya, tidak beginilah sambutan Kwa-pangcu yang sudah lama menjadi sahabat baiknya.
Sambutan kali ini mengapa begini dingin dan pada wajah ketua ini seakan-akan terbayang kekurang
senangan dan juga kegelisahan?
“Selamat bertemu, Kwa-pangcu! Apakah gerangan yang telah terjadi?”
“Silakan masuk saja dan kau orang tua akan mendengarnya sendiri nanti,” Kwa-pangcu menjawab dengan
muka masih tetap dingin dan beberapa kali dia melirik ke arah Kwan Cu seakan-akan dia pernah
mendengar sesuatu mengenai bocah gundul yang pandai membaca sajak itu.
Ang-bin Sin-kai lalu memberi tanda kepada muridnya untuk masuk ke dalam. Di ruang ke dua, Kwan Cu
kembali kagum sekali melihat lukisan-lukisan indah tergantung di dinding, ada pun di bawah terdapat
tempat senjata penuh dengan senjata-senjata persilatan yang delapan belas macam banyaknya. Senjatasenjata
yang ada di situ semuanya terdiri dari senjata-senjata pilihan belaka, sehingga bukan hanya Kwan
Cu, bahkan Ang-bin Sin-kai sendiri memandang sambil mengeluarkan suara pujian.
Akhirnya tibalah mereka di dalam ruang tengah. Ruang ini luas sekali, dan di sana telah berkumpul lebih
dari dua puluh orang. Melihat orang-orang ini Kwan Cu tertegun.
Sesungguhnya memang aneh karena tempat itu dipenuhi orang-orang yang berpakaian beraneka macam.
Ada yang mirip seorang sastrawan dan bersikap lemah lembut sekali, ada yang berpakaian seperti ahli silat
atau guru silat, bahkan ada pula pendeta-pendeta dan hwesio kepala gundul atau tosu-tsou yang
rambutnya digelung di atas kepala.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pendeknya, di tempat ini berkumpul ahli-ahli sastra dan ahli-ahli silat yang agaknya tidak memiliki
kepandaian kepalang tanggung. Sikap mereka saja sudah menjelaskan bahwa baik ahli sastra mau pun
ahli silat yang berkumpul di sana rata-rata memiliki kepandaian yang sudah tinggi tingkatnya di bidangnya
masing-masing.
Baik nama mau pun orangnya, Ang-bin Sin-kai sudah amat terkenal di antara para tokoh persilatan dan
sastrawan itu. Akan tetapi, jika biasanya mereka menyambut kedatangan Ang-bin Sin-kai dengan muka
girang dan kata-kata ramah, adalah pada saat itu tidak ada seorang pun yang berdiri dari tempat duduknya
dan hanya memandang dengan sinar mata dingin.
Tentu saja Ang-bin Sin-kai menjadi heran dan tidak enak hati sekali, akan tetapi dia tetap bersikap tenang
dan mengambil tempat duduk di atas sebuah bangku, lalu memandang ke kanan kiri menentang pandang
mata semua orang yang duduk di situ. Pandang mata Ang-bin Sin-kai sangat tajam dan berpengaruh,
karena itu siapa pun juga yang bertemu pandang dengan dia, lalu menundukkan muka atau mengalihkan
pandang matanya.
Kwa-pangcu duduk kembali ke bangkunya yang berada di kepala meja. Di kanan kirinya duduk dua orang
tokoh besar yang sudah amat terkenal, yakni sebelah kiri adalah Pouw Hong Taisu, ketua dari Thian-sanpai
yang berilmu tinggi. Ada pun di sebelah kanannya duduk Bin Kong Siansu, seorang tokoh besar ketua
Kim-pan-sai.
Diam-diam Ang-bin Sin-kai sudah merasa amat heran melihat dua orang tokoh besar ini, karena tidak
biasanya ketua-ketua dari Thian-pan-sai dan Kim-pan-sai duduk di tempat ini. Tidak mungkin kehadiran
mereka itu hanya hal yang kebetulan saja, sebab apa bila memang begitu, tentu dua orang kakek itu telah
menyambutnya dengan ramah sebagai orang-orang segolongan yang bertemu jauh dari tempat kediaman
masing-masing.
“Cu-wi sekalian, karena ada saudara yang baru datang, maka kuharap soal-soal penting yang tadi telah
dibicarakan, diulangi lagi laporannya,” Kwa Ok Sin berkata dengan suara kereng.
Semua orang kemudian menyatakan setuju. Dari ujung kiri berdirilah seorang muda yang nampaknya
gagah. Dia adalah Lie Seng, anak murid Go-bi-pai yang memiliki kepandaian cukup tinggi dan sudah
terkenal sebagai seorang pendekar muda yang banyak menolong rakyat.
Karena semua orang telah mendengar penuturannya, kini Lie Sieng memandang kepada Ang-bin Sin-kai
dan berkata,
“Tadi sudah siauwte ceritakan bahwa kemarin hari ketika siauwte bersama pujangga Tu Fu, tiba-tiba ada
seorang tinggi gemuk yang berkepala gundul, malam-malam datang dan menculik Tu-siucai. Gerakan
orang itu cepat sekali dan ketika siauwte berusaha untuk menolong Tu-siucai, dengan sekali dorong saja
siauwte roboh tak sadarkan diri. Karena cepatnya gerakan orang itu, siauwte tak sempat mengenal
mukanya, hanya tahu bahwa kepalanya gundul dan pakaiannya seperti pakain pendeta. Tubuhnya gemuk
sekali.”
“Apakah bajunya hitam semua?” tiba-tiba Ang-bin Sin-kai bertanya.
Lie Seng menggelengkan kepalanya. “Entahlah, karena sebelum menyerang, orang itu melambaikan
tangan ke arah lampu yang menjadi padam seketika.”
Kwa Ok Sin berdiri kemudian berkata, “Demikianlah persoalan pertama yang kita hadapi. Ternyata bahwa
Tu-siucai telah diculik orang jahat yang lihai, entah dengan maksud apa. Karena kita semua sudah
mengenal Tu-siucai sebagai seorang sastrawan yang berjiwa gagah, maka sudah menjadi kewajiban kita
semua untuk menggunakan kepandaian dan mencoba menolong Tu-siucai dari tangan orang jahat.”
Warta ini menggirangkan hati Kwan Cu. Tanpa dapat ditahan lagi dia berkata dengan suaranya yang kecil
nyaring.
“Penculiknya pasti Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu!”
Semua orang terkejut.
“Ehh, anak gundul, bagaimana kau berani menuduh Kak Thong Taisu?” terdengar suara keras dan yang
dunia-kangouw.blogspot.com
membentak ini adalah Pouw Hong Taisu ketua dari Thian-san-pai yang semenjak tadi memandang kepada
Ang-bin Sin-kai dengan mata membenci.
Tak senang hati Kwan Cu mendengar suara yang galak ini, maka dia menjawab dengan suara kasar juga.
“Karena hanya si gundul itulah yang mempunyai alasan untuk menculik seorang sastrawan besar!”
“Diam kau, Kwan Cu!” Ang-bin Sin-kai menegur.
Ketika guru dan murid ini saling bertemu pandang, tahulah Kwan Cu akan kesalahannya sendiri. Ia maklum
bahwa urusan Im-yang Bu-tek Cin-keng ini tidak perlu diketahui oleh orang lain, maka dia lalu
menundukkan muka dan menutup mulut.
“Muridku ini memang panjang lidah,” kata Ang-bin Sin-kai kepada semua orang.
“Tuduhannya tadi hanya kira-kira saja, karena memang muridku sudah pernah melihat Jeng-kin-jiu Kak
Thong Taisu yang berkepala gundul dan bertubuh gendut. Betapa pun juga, aku akan pergi ke kota raja
untuk menyelidiki apakah benar-benar Jeng-kin-jiu yang menculik Tu-siucai.”
“Syukurlah, memang sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk menyelidiki dan coba menolong Tusiucai,”
kata Kwa Ok Sin, kemudian dia berpaling kepada Pouw Hong Taisu ketua Thian-san-pai sambil
berkata,
“Karena masalah pertama telah dibicarakan, maka lebih baik sekarang Taisu menuturkan lagi persoalan
kedua yang Taisu bawa jauh-jauh dari Thian-san!” Sambil berkata begini, Kwa Ok Sin lalu duduk kembali
dan kini semua mata memandang kepada Pouw Hong Taisu yang sudah bangkit berdiri dengan muka
merah.
Pouw Hong Taisu bertubuh jangkung, mukanya lonjong dan rambutnya yang digelung di atas kepala itu
masih hitam sekali sungguh pun usianya tak kurang dari lima puluh tahun. Di punggungnya kelihatan
gagang sepasang golok, karena memang tokoh Thian-san-pai in terkenal sekali sebagai seorang ahli ilmu
silat siang-to (sepasang golok).
“Cu-wi sekalian, sesungguhnya bukan hanya pinto (aku) seorang saja yang membawa persoalan ini seperti
yang telah kuceritakan tadi. Soal yang kubawa juga persoalan dari sahabatku Bin Kong Siansu dari Kimsan-
pai. Kami mempunyai persoalan yang sama, karena muridnya dan murid pinto sudah terbunuh mati
oleh seorang saja.” Sampai di sini Pouw Hong Taisu memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan mata
bernyala. Agaknya orang tua ini sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi.
Pouw Hong Taisu lantas menggebrak meja dan aneh sekali. Cawan arak yang tadinya disuguhkan kepada
Ang-bin Sin-kai dan berada di hadapan Pengemis Sakti ini, tiba-tiba mencelat ke atas tinggi sekali. Benarbenar
hebat demonstrasi tenaga lweekang dari tokoh Thian-san-pai ini, karena begitu banyak cawan arak
di atas meja, namun begitu dia menggebrak meja yang mencelat hanyalah cawan arak milik Ang-bin Sinkai
saja, tepat seperti dikehendakinya!
Melihat ini, terkejutlah Ang-bin Sin-kai karena dia maklum bahwa orang sedang marah kepadanya. Akan
tetapi dengan tenang sekali dia mengulur tangan menerima kembali cawannya dan meletakkannya lagi di
hadapannya.
“Tenang, Pouw Hong Taisu, ceritakanlah dengan jelas persoalannya lebih dahulu, jangan marah-marah
seperti anak kecil!” kata Ang-bin Sin-kai untuk melampiaskan kedongkolan hatinya.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari Bin Kong Siansu yang juga sekarang telah berdiri di dekat Pouw
Hong Taisu. Tokoh Kim-san-pai ini lalu berkata mengejek.
“Pinto merasa heran sekali melihat ketenanganmu, Ang-bin Sni-kai! Kau bahkan masih dapat memberi
nasehat kepada Pouw Hong Taisu untuk berlaku tenang. Sungguh berani mati dan tak tahu malu sekali!”
Sambil melontarkan kata-kata ini, Bin Kong Siansu mengerakkan tangan kanannya ke arah cawan arak di
depan Ang-bin Sin-kai dan...
“Praaaakk!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Cawan itu pecah berkeping-keping seperti telah dipukul dengan palu besi! Padahal yang menyerang cawan
arak itu hanya angin pukulan tangan saja dari Bin Kong Siansu. Dari sini saja sudah dapat diukur sampai
bagaimana hebatnya kepandaian tokoh Kim-san-pai ini.
Kwan Cu tertawa geli mendengar ucapan suhu-nya. Dia tadi sudah menyaksikan sikap kedua orang tosu
itu, dan sudah mendengar pula kata-kata mereka, maka karena selama ini dia selalu berada dengan suhunya
dan merasa yakin bahwa suhu-nya tidak pernah melakukan hal yang tidak patut, dia dapat menduga
bahwa tentu terjadi kesalah fahaman dari fihak mereka.
Oleh karena ini, anak ini pun merasa tenang-tenang saja, bahkan ada kegembiraan di dalam hatinya. Dia
bahkan mengharapkan agar suhu-nya dapat bertanding melawan dua orang jago tua dari Kim-san-pai dan
Thian-san-pai itu agar di dalam pertempuran yang hebat, dia mendapat pemandangan yang bagus dan
penambahan pengalaman!
“Bin Kong dan Pouw Hong dua tua bangka yang sudah pikun. Apa sih harganya untuk main-main seperti
ini? Lebih baik kau bicara terus terang, sebetulnya ada urusan apakah maka kalian seperti kemasukan
setan dan marah-marah padaku?” kata Ang-bin Sin-kai sambil memandang kepada dua orang tosu itu.
“Pengemis busuk, kau masih berpura-pura tidak tahu? Kau sudah membunuh mati Ong Kiat, murid yang
pinto tahu betul belum pernah melakukan pelanggaran dan yang selalu bersikap sebagai seorang
pendekar yang patut menjadi kebanggan Thian-san-pai. Akan tetapi, mengapa kau seorang tua yang
sudah mendapat nama baik malah menurunkan tangan kejam dan membunuhnya? Tak perlu banyak
cakap lagi, sekarang kebetulan kau datang sehingga memudahkan pinto untuk membalas dendam dan
menagih hutang. Kini bersiaplah! Mari kita mengadu nyawa, tua sama tua, jangan hanya berani
mengganggu orang-orang muda!” Sambil berkata begitu, tokoh Thian-san-pai ini mencabut sepasang
goloknya yang ternyata berwarna kebiruan menyilaukan mata.
Inilah sebuah tantangan terbuka dan kini semuanya memandang ke arah Ang-bin Sin-kai untuk melihat
bagaimana tokoh besar dari timur itu bersikap. Akan tetapi Ang-bin Sin-kai masih bersikap tenang dan kini
kakek pengemis ini memandang kepada Bin Kong Siansu sambil berkata,
“Bin Kong Siansu, baru saja Pouw Hong Taisu dari Thian-san-pai sudah melontarkan tuduhannya. Agar
dapat sekaligus membereskan persoalan ini, cobalah kau menuturkan pula tentang muridmu yang katanya
kubunuh itu.”
Melihat sikap Ang-bin Sin-kai, Bin Kong Siansu merasa ragu-ragu, akan tetapi akhirnya dia menjawab juga.
“Benar-benarkah kau tidak tahu atau hanya berpura-pura, Ang-bin Sin-kai? Seperti juga murid Pouw Hong
Taisu, muridku, atau lebih tepat cucu muridku yang bernama Pek-cilan Thio Loan Eng yang menjadi isteri
dari Ong Kiat anak murid Thian-san-pai, juga terbunuh olehmu secara sewenang-wenang? Karena itu,
sekarang engkau pun harus menghadapi sebatang pedangku untuk menentukan siapa yang harus
membayar nyawa muridku!” Bin Kong Siansu lalu menggerakkan tangan kanannya dan tahu-tahu sebatang
pedang yang mengeluarkan sinar kuning emas telah berada di tangannya.
Tiba-tiba terdengar orang menjerit dan Kwan Cu sudah melompat maju menghadapi Bin Kong Siansu.
“Siapa bilang Thio-toanio mati? Bohong! Bohong semua! Thio-toanio tidak mati...!”
“Hmm, anak gundul, otakmu sudah agak miring rupanya. Kami sendiri telah menyaksikan kuburan dari Thio
Loan Eng. Dia dibunuh oleh gurumu, kau masih mau main sandiwara untuk menutupi kedosaan gurumu?!”
Bin Kong Siansu membentak diikuti tangan kirinya menyambar menempiling kepala Kwan Cu yang gundul.
Gerakan itu cepat sekali sehingga meski pun Kwan Cu mengelak, tetap saja dia terkena kemplangan
tangan kiri tosu itu. Tubuh Kwan Cu mencelat dan bergulingan menabrak meja kursi, akan tetapi anak ini
tidak apa-apa, lalu bangkit berdiri lagi.
“Thio-toanio mati...? Terbunuh...? Ahhh, Suhu, kita harus membalaskan sakit hatinya...” katanya setengah
menangis sambil menghampiri suhu-nya.
“Bocah lancang, kau diamlah saja, jangan turut campur,” kata Ang-bin Sin-kai menghibur.
Kakek ini maklum bahwa mendengar tentang kematian Pek-cilan, kesedihan muridnya mungkin masih
dunia-kangouw.blogspot.com
lebih besar dari pada kesedihan dan kemarahan Bin Kong Siansu, tokoh Kim-pan-sai itu.
“Bin Kong dan Pouw Hong, apa kalian berdua menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa aku
membunuh murid-murid kalian?” tanya Ang-bin Sin-kai.
“Apa bila kami melihat dengan mata kepala sendiri, apakah kau kira masih dapat hidup sampai sekarang?!”
bentak Pouw Hong Taisu marah.
Ketua Thian-san-pai ini memang wataknya sedikit sombong. Berbeda dengan Bin Kong Siansu yang agak
jeri menghadapi Ang-bin Sin-kai, ketua Thian-san-pai ini menganggap kepandaian sendiri akan dapat
mengatasi kepandaian Pengemis Sakti Muka Merah.
“Kalau begitu, siapakah yang memberi tahu kepada kalian bahwa aku sudah membunuh murid kalian?”
Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu saling pandang, kemudian Bin Kong Siansu yang menjawab,
“Ang-bin Sin-kai, kami mendengar dari seorang yang boleh dipercaya benar-benar, dan kami sudah
bersumpah tidak akan memberitahukan namanya kepada siapa pun juga.”
”Hm, hem, hemm, jadi kalian percaya penuh kepadanya?”
“Tentu saja kami percaya! Dia orang terhormat, tidak seperti engkau!” Pouw Hong Taisu membentak
sambil melangkah maju dengan sepasang goloknya siap untuk menyerang.
Bersinar sepasang mata Ang-bin Sin-kai. “Kalau aku bilang bahwa aku tidak membunuh murid-muridmu,
apakah kalian tidak percaya padaku?”
Bin Kong Siansu ragu-ragu, akan tetapi Pouw Hong Taisu membentak,
“Siapa bisa percaya kepada seorang yang telah membunuh mati muridku?”
Akan tetapi Bin Kong Siansu lalu cepat-cepat berkata, “Ang-bin Sin-kai! Orang yang telah memberi tahukan
mengenai pembunuhan itu adalah seorang yang ternama dan dia telah bersumpah. Maka apa bila kau juga
mau bersumpah bahwa kau tidak membunuh anak muridku, aku Bin Kong Siansu berjanji hendak
menyelidiki lebih lanjut urusan ini.”
Ang-bin Sin-kai makin marah. Ia menggebrak meja di depannya dan empat kaki meja itu melesak ke dalam
sampai setengahnya, akan tetapi semua cawan arak yang berada di atas meja tidak ada satu pun yang
terguling!
“Kalian percaya omonganku atau tidak, habis perkara! Kalian kira aku ini orang macam apakah? Kalian
percaya, bagus. Tidak percaya pun boleh, siapa pusing? Hayo Kwan Cu, kita pergi!”
Ang-bin Sin-kai menggandeng tangan muridnya, bangkit meninggalkan bangkunya. Akan tetapi sebelum
dia meninggalkan ruangan itu, tiba-tiba menyambar tubuh dua orang dan tahu-tahu Bin Kong Siansu dan
Pouw Hong Taisu telah berdiri menghadang di depannya.
“Jembel pembunuh! Enak saja kau mau minggat dari hukuman mati!” bentak Pouw Hong Taisu yang
langsung menyerang dengan sabetan sepasang goloknya yang kebiruan.
“Kwan Cu, menyingkir ke sana!” kata Ang-bin Sin-kai.
Secepat kilat kaki kanan Ang-bin Sin-kai menendang pantat muridnya sehingga tubuh Kwan Cu mencelat
seperti bal karet ke pojok ruangan di mana terdapat tumpukan meja yang agaknya memang kelebihan dan
ditumpuk di situ supaya tidak memenuhi ruangan. Sambil berpoksai dan berjumpalitan dengan gerakan
Koai-liong Hoan-sin (Naga Siluman Balikkan Badan), bocah gundul itu lalu mengatur keseimbangan
tubuhnya sehingga dia dapat turun ke atas meja itu dengan baik, lalu menonton dengan enaknya!
Ada pun Ang-bin Sin-kai yang menghadapi sabetan sepasang golok dari kanan dan kiri, berlaku tenang
akan tetapi cepat sekali. Ia maklum akan kelihaian ilmu golok dari ketua Thian-san-pai ini, maka melihat
dua sinar kebiruan menyambar dari kanan kiri mengarah leher dan perut, dia lalu menggenjot tubuhnya
mencelat mundur menghindarkan diri.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ang-bin Sin-kai, makanlah golokku!” Pouw Hong Taisu mengejar sambil menghujankan serangan bertubitubi
yang kesemuanya amat berbahaya.
Permainan golok kakek Thian-san-pai ini memang sangat hebat. Tingkat kepandaiannya sudah mencapai
puncak, maka sepasang goloknya itu menyambar-nyambar merupakan sepasang tangan maut. Nampak
dua gulungan sinar biru yang terang sekali bergulung-gulung mengepung tubuh Ang-bin Sin-kai!
Melihat permainan golok ini, Kwan Cu menjadi kagum sekali dan dia memuji dari tempat duduknya yang
tinggi.
“Bagus, bagus! Sinar golok yang bagus sekali!”
Anak ini terlalu percaya terhadap suhu-nya sehingga seruannya tadi sama sekali tidak tercampur rasa
kekhawatiran terhadap keselamatan gurunya. Dalam hal ini dia memang benar, karena betapa pun hebat
ilmu golok dari tokoh Thian-san-pai itu, namun gerakan Ang-bin Sin-kai lebih hebat dan cepat lagi.
Kakek ini nampaknya seperti tengah menari-nari di antara gulungan sinar biru itu. Yang membuat Kwan Cu
menjadi bengong dan kagum adalah ketika dia mendapat kenyataan bahwa dalam menghadapi sepasang
golok tokoh dari Thian-san-pai itu, suhu-nya hanya mempergunakan Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to (Atur
Pintu Tahan Ratusan Golok) yang telah dia pelajari!
Ahhh, betapa tadinya dia memandang rendah ilmu silat tangan kosong ini! Betapa buta matanya yang
menganggap gurunya berat sebelah karena telah memberi pelajaran Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng
(Dengan Tangan Kosong Mencabut Nyawa) kepada Lu Thong. Dan sekarang dia menyaksikan dengan
matanya sendiri betapa ilmu silat yang telah dia pelajari dengan baik itu, yakni Pai-bun Tui-pek-to, ternyata
oleh gurunya telah dimainkan dan dapat dipergunakan untuk menghadapi amukan Pouw Hong Taisu
dengan sepasang goloknya!
Pada saat dia memperhatikan permainan kedua tangan dan kaki suhu-nya, dia menjadi makin heran. Paibun
Tui-pek-to yang dimainkan oleh suhu-nya itu sama sekali tidak ada bedanya dengan permainannya
sendiri, bahkan gerakan suhu-nya itu nampaknya terlalu lambat. Bagaimana dapat dipergunakan untuk
menghadapi lawan yang begitu tangguh?
Ketika dia mencurahkan perhatiannya, barulah dia tahu. Setiap kali senjata golok Pouw Hong Taisu
menyambar, kalau suhu-nya tidak sempat lagi untuk mengelak, suhu-nya lalu menggunakan tangan untuk
dipukulkan ke arah golok itu dan benar-benar heran sekali, golok itu selalu terpukul oleh angin keras
sehingga menjadi mencong dan menyeleweng arahnya!
Ia maklum bahwa dalam mainkan Pai-bun Tui-pek-to, perbedaan antara dia dan gurunya adalah bahwa
gurunya hanya bergerak dengan perhitungan yang tepat sekali menunggu perkembangan serangan lawan.
Tiap gerakan suhu-nya bukan hanya gerakan percuma, melainkan gerakan yang penuh isi, tak mau
bergerak dengan sia-sia atau untuk selingan belaka. Maka bocah gundul ini mengangguk-anggukkan
kepalanya dan tahulah dia kini akan arti kata-kata suhu-nya yang sering menyatakan bahwa semua ilmu
silat itu lihai, tergantung orang yang menggerakkan atau memainkannya!
Setelah ‘mengukur’ tingkat ilmu golok dari Thian-san-pai itu, Ang-bin Sin-kai sudah dapat menguras semua
gerakan ilmu golok ini dan diam-diam Pengemis Sakti ini mencatat di dalam hatinya beberapa gerakan
golok yang dianggapnya luar biasa serta sangat baik untuk dijadikan penambah pengetahuan ilmu silatnya.
Beginilah sikap seorang jagoan besar. Di dalam setiap pertempuran menghadapi lawan tangguh dia selalu
membuka matanya untuk memetik beberapa gerakan yang baik dari lawannya. Dengan sikap seperti ini
maka tokoh-tokoh besar dunia persilatan selalu makin tinggi saja kepandaiannya dan semakin tenar
namanya.
Kalau Ang-bin Sin-kai mau, sebetulnya dengan mudah saja dia akan dapat merobohkan Pouw Hong Taisu.
Akan tetapi betapa pun juga, tokoh besar dari timur ini dahulunya adalah seorang sastrawan. Maka masih
ada sifat-sifat sopan dan halus di dalam dirinya dan dia merasa tidak seharusnya dia merobohkan tokoh
pertama dari Thian-san-pai di hadapan orang banyak.
Selain hal ini akan menjatuhkan nama Pouw Hong Taisu, juga akan menimbulkan akibat dendam dan bibit
permusuhan dengan partai Thian-san-pai yang besar. Lagi pula, ketua Thian-san-pai ini menyerang dirinya
dunia-kangouw.blogspot.com
karena menduga bahwa dia membunuh anak murid Thian-san, karena itu tidak seharusnya ketua ini
dirobohkan. Ia hanya mau merobohkan seorang yang memang jahat dan ketua Thian-san-pai ini biar pun
agak keras kepala dan sombong, namun sekali-kali bukan orang jahat!
“Pouw Hong Taisu, biarlah pinto menggantikanmu menghadapi Ang-bin Sin-kai!” tiba-tiba Bin Kong Siansu
berkata keras.
Pedangnya berubah menjadi sinar yang panjang dan gemerlapan, mengalahkan cahaya sepasang golok
ketua Thian-san-pai itu. Ternyata bahwa tokoh dari Kim-san-pai itu telah turun tangan menyerang Ang-bin
Sin-kai dengan hebatnya.
Tadi dia telah menyaksikan kehebatan Ang-bin Sin-kai dan tahu bahwa kawannya itu tak akan dapat
menangkan Pengemis Sakti yang benar-benar amat luar biasa itu. Ia sendiri pun masih sangsi apakah dia
akan sanggup mengalahkan Ang-bin Sin-kai, akan tetapi karena dia tidak boleh memperlihatkan
kelemahannya, dia sengaja maju sebelum Pouw Hong Taisu dirobohkan untuk menolong kawan ini.
Akan tetapi Pouw Hong Taisu benar-benar berhati keras. Walau pun dia maklum bahwa lawannya ini lihai
sekali dan sukarlah baginya untuk menang, akan tetapi kalau mundur, berati dia mengalah atau kalah.
“Tidak, Bin Kong Siansu. Aku harus menjatuhkan pengemis ini!” jawabnya dan sepasang goloknya
langsung diputar semakin hebat dalam gerakan-gerakan terlihai dari ilmu golok Thian-san-pai.
“Ha-ha-ha, tua bangka pikun. Majulah kalian berdua, mari kita tua sama tua main-main sebentar!” Ang-bin
Sin-kai tertawa bergelak.
Tiba-tiba tubuhnya lenyap dan berubah menjadi bayangan yang cepat sekali gerakannya menyambarnyambar
di antara sinar golok dan pedang! Baru kini kakek ini menunjukkan kelihaiannya.
Tidak saja dua orang pengeroyoknya yang sangat terkejut karena seakan-akan mereka berdua
mengeroyok sesosok bayangan setan, akan tetapi juga Kwan Cu duduk dengan bengong karena matanya
yang terlatih masih tidak mampu mengikuti gerakan suhu-nya yang demikian cepatnya! Sekarang dia betulbetul
melihat suhu-nya dengan kepandaian yang sesungguhnya, yang membuat hatinya berdebar bangga
dan kagum.
Tiba-tiba Kwan Cu merasa tubuhnya terikat oleh sesuatu yang kuat sekali dan sebelum dia sempat
memberontak, tubuhnya sudah terlempar naik ke atas melalui genteng yang sudah dilobangi dan nyeplos
terus ke atas genteng! Ketika dia membuka matanya yang terheran-heran, ternyata dia telah berdiri di
depan Kiu-bwe Coa-li dan Bun Sui Ceng!
“Ehh..., apa artinya ini...?” tanyanya sambil memandang muka Sui Ceng yang manis dan kini bersinar
seperti sepasang bintang pagi.
“Artinya, jika aku tak memerlukanmu, pada saat ini juga aku tentu sudah menghancurkan batok kepalamu
yang gundul ini sebab ternyata kau adalah seorang penipu cilik, seorang pembohong pandai yang kurang
ajar sekali!”
Kwan Cu memandang kepada nenek sakti itu dengan kedua matanya dibuka lebar-lebar. “Eh, ehh, ehhh…!
Suthai, mengapakah datang-datang marah besar kepada teecu? Apa kesalahanku?”
“Kau tahu tempat kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli, mengapa dahulu tidak mau memberi tahu
kepadaku?”
“Itulah rahasiaku sendiri, Suthai. Kenapa harus dibuka kepada orang lain? Dan aku yang menutup
rahasiaku sendiri, Suthai anggap pembohong dan penipu? Dalam hal apakah teecu membohong dan
perbuatan mana pula yang merupakan penipuan?”
Dilawan dengan amat tabah oleh bocah gundul ini, Kiu-bwe Coa-li tertegun dan tak dapat menjawab!
“Sudahlah tak perlu banyak cakap. Sekarang kau harus ikut pinni dan membawa pinni ke tempat
disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, kalau kau masih ingin hidup lebih lama lagi di dunia ini. Kalau
kau menolak, sekarang juga kuhancurkan batok kepalamu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Teecu masih mau hidup karena di dalam hidup teecu masih ada dua hal yang harus teecu penuhi, yakni
pertama mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng, dan kedua kalinya, membalaskan sakit Thio-toanio yang
telah terbunuh orang!” Sambil berkata demikian, dia memandang kepada Sui Ceng.
Anak perempuan ini tiba-tiba mengucurkan air matanya dan membalas pandangan Kwan Cu dengan
penuh arti. “Terima kasih, Kwan Cu, akan tetapi aku sendiri yang kelak akan menghancurkan kepala si
keparat Toat-beng Hui-Houw!” kata Sui Ceng.
“Apa...?! Pembunuh ibumu Toat-beng Hui-houw?” muka Kwan Cu menjadi girang sekali. “Dan suhu di
bawah dikeroyok orang karena disangka suhu yang membunuh ibumu!”
Mendengar ini, Kiu-bwe Coa-li langsung menotok pundak Kwan Cu yang segera menjadi lemas tak
berdaya lagi!
“Sui Ceng, cepat bawa bocah gundul ini ke luar kota dan tunggulah aku di pingggir hutan sebelah utara.
Biar aku lebih dahulu membereskan Ang-bin Sin-kai si manusia pelanggar sumpah!”
Sui Ceng mengangguk dan dia segera memondong Kwan Cu dan meloncat pergi! Biar pun seluruh
tubuhnya lumpuh, namun panca indera Kwan Cu masih bekerja baik, maka kagumlah dia melihat
kemajuan ilmu lari Sui Ceng yang walau pun menggendongnya, masih dapat berlari dengan ringan dan
cepat sekali.
Ada pun Kiu-bwe Coa-li setelah melihat Sui Ceng membawa Kwan Cu pergi jauh, lalu menyambar turun ke
dalam ruangan di mana Ang-bin Sin-kai masih dikeroyok dengan hebat oleh dua orang kakek tua Kim-sanpai
dan Thian-san-pai.
Menghadapi ilmu pedang Kim-san-pai yang betul-betul ganas dan gerakannya amat kuat, Ang-bin Sin-kai
menjadi kagum dan gembira. Tak mungkin lagi baginya untuk main-main seperti tadi ketika menghadapi
Pouw Hong Taisu seorang, karena kini keroyokan kedua orang tokoh besar itu benar-benar tidak boleh
dipandang ringan begitu saja.
Oleh karena itu, begitu tubuhnya berkelebatan untuk menghindari serangan lawan, ia pun mulai membalas
dengan pukulan-pukulannya yang sangat lihai. Beberapa kali dia hampir saja berhasil memukul runtuh
senjata lawan, akan tetapi kedua orang kakek yang cukup mengenal kelihaiannya, bertempur dengan hatihati
dan saling membantu.
“Tar! Tar! Tar!”
Pada saat itu tiba-tiba saja terdengar bunyi nyaring sekali dan tahu-tahu sembilan sinar menyambar ke
arah medan pertempuran! Inilah pecut ekor sembilan dari Kiu-bwe Coa-li yang telah turun tangan. Bagai
sembilan ekor ular sakti, bulu-bulu cambuk itu melayang-layang dan setiap helai merupakan senjata maut
yang luar biasa lihainya.
Pada saat itu, karena kini Ang-bin Sin-kai membalas serangan kedua orang lawannya, Pouw Hong Taisu
dan Bin Kong Siansu mencurahkan seluruh perhatian pada serangan Ang-bin Sin-kai dan tidak bisa
menjaga datangnya ‘ular-ular hidup’ ini. Maka tanpa dapat dicegah pula, sepasang golok di tangan Pouw
Hong Taisu serta pedang di tangan Bin Kong Siansu, gagangnya telah terkena libatan bulu-bulu cambuk
dan ditarik oleh Kiu-bwe Coa-li sehingga senjata-senjata itu terlepas dari pegangan!
Ada pun Ang-bin Sin-kai, biar pun dia menghadapi keroyokan dua orang yang lihai, tetapi memang tingkat
kepandaiannya masih jauh lebih tinggi, maka kedatangan Kiu-bwe Coa-li ini dia ketahui baik-baik. Apa lagi
saat terdengar bunyi bergeletar tadi, tahulah dia bahwa senjata istimewa dari Kiu-bwe Coa-li telah beraksi.
Ia tidak berani lengah dan ketika tiga helai bulu cambuk menyambar ke arahnya, dia segera
menggulingkan tubuhnya sambil menghantamkan kedua tangannya ke arah tubuh Kiu-bwe Coa-li!
Ang-bin Sin-kai sengaja mengerahkan tenaga membalas dengan pukulan maut, karena tiga helai bulu
cambuk tadi pun menyerangnya dengan maksud membunuh. Dia merasa heran dan juga marah mengapa
datang-datang Kiu-bwe Coa-li hendak membunuhnya, sedangkan terhadap dua orang tokoh Kim-san-pai
dan Thian-san-pai itu, iblis wanita ini hanya merampas senjata mereka saja.
Pukulan yang dilancarkan Ang-bin Sin-kai mengandung hawa yang dahsyat sekali dan biar pun jarak
antara Ang-bin Sin-kai dan Kiu-bwe Coa-li ada tiga tombak, namun nenek sakti itu merasakan datangnya
dunia-kangouw.blogspot.com
hawa pukulan yang menyambar ke arah lambung dan ulu hatinya! Terpaksa ia menarik cambuknya sambil
melompat ke kanan menghindarkan diri dan dengan demikian, dia gagal menyerang Ang-bin Sin-kai,
namun berhasil merampas senjata-senjata Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu!
Ketua Kim-pan-sai dan ketua Thian-san-pai menjadi marah sekali. Akan tetapi mereka juga amat terkejut
menyaksikan kelihaian nenek sakti yang dikenal baik namanya namun belum pernah disaksikan
kepandaiannya itu.
“Suthai, apakah maksud kedatanganmu ini dan mengapa kau mencampuri urusan kami?” kata Pouw Hong
Taisu dengan mata bernyala merah.
Kiu-bwe Coa-li menjebikan bibirnya dengan mengejek, “Hemm, tua bangka tak tahu diri! Kalau aku tidak
datang turun tangan, apakah kau kira akan dapat mengalahkan Ang-bin Sin-kai? Ada dua hal yang
mengharuskan aku turun tangan. Pertama, karena kalian telah menyerang orang yang tidak berdosa, ke
dua, karena aku sendiri yang akan memberi hajaran pada Ang-bin Sin-kai, si manusia pelanggar sumpah!”
“Kiu-bwe Coa-li!” Pouw Hong Taisu membentak marah, “Kau tidak tahu, pengemis jahat ini telah
membunuh murid-murid kami!”
“Bodoh, kalian tua bangka-tua bangka bodoh! Pembunuh Pek-cilan Thio Loan Eng dan Ong Kiat bukanlah
Ang-bin Sin-kai, melainkan Toat-beng Hui-houw dan hal ini pinni (aku) telah menyaksikan sendiri!”
Mendengar kata-kata ini, tentu saja dua orang tokoh persilatan itu kaget sekali dan muka mereka menjadi
pucat. Mereka telah melakukan kesalahan luar biasa besarnya terhadap Ang-bin Sin-kai dan hal itu bukan
urusan yang kecil saja. Akan tetapi pada saat mereka menengok kepada Ang-bin Sin-kai, orang tua ini
hanya tersenyum-senyum saja.
“Nah, terimalah senjata-senjatamu kembali, kalau kalian tidak bisa menerima dan binasa karenanya,
jangan salahkan aku, anggap saja sebagai hukumanmu!” kata Kiu-bwe Coa-li dan begitu ia menggerakkan
cambuknya, sepasang golok itu terlepas dan meluncur ke arah Pouw Hong Taisu sedangkan pedang itu
meluncur ke arah Bin Kong Siansu!
Luncuran ini hebat sekali, cepatnya melebihi anak panah ada pun tenaganya melebihi tusukan seorang ahli
silat! Kedua ketua Kim-san-pai dan Thian-san-pai itu terkejut sekali.
Dengan gerakan Monyet Sakti Memetik Bunga, Bin Kong Siansu dapat mengelak ke kiri dan tangannya
menyambut pedangnya sendiri pada gagangnya. Dia berhasil menerima pedangnya itu akan tetapi dia
merasa telapak tangannya pedas sekali.
Yang lebih hebat adalah Pouw Hong Taisu karena tosu ini menghadapi serangan dari sepasang goloknya
yang meluncur ke arah tenggorokan, akan tetapi tangan kirinya agak terlambat menyambar yang meluncur
ke lambung. Terpaksa dia melemparkan tubuh ke kiri sehingga golok itu meluncur terus mengancam
seorang tamu muda yang duduk di belakangnya!
Keadaan amat berbahaya bagi tamu muda itu, akan tetapi tiba-tiba tubuh Ang-bin Sin-kai berkelebat dan
sekali tendang saja, golok itu terlempar ke atas dan menancap pada tiang melintang di atas hingga
separuhnya. Gagang golok itu bergoyang-goyang, tanda bahwa luncuran tadi amat kuatnya!
Pouw Hong Taisu menjadi pucat, demikian pula semua tamu. Ternyata bahwa gedung Bun-bu-pang telah
kedatangan dua orang tamu yang mempunyai kepandaian luar biasa sekali.
Walau pun mereka sudah mendengar dan mengenal Ang-bin Sin-kai dan Kiu-bwe Coa-li sebagai tokohtokoh
besar yang tiada taranya, akan tetapi baru hari ini mereka kebetulan bisa menyaksikan kepandaian
mereka yang betul-betul hebat. Keringat dingin mengucur pada jidat mereka, terutama sekali Bin Kong
Siansu dan Pouw Hong Taisu yang sudah merasa bersalah terhadap Ang-bin Sin-kai yang mereka tuduh
secara keji sekali.
Kini Kiu-bwe Coa-li menghadapi Ang-bin Sin-kai. Sepasang matanya menyatakan bahwa nenek sakti ini
sedang marah bukan main.
“Ang-bin Sin-kai, pengemis hina dina. Kau benar-benar berjiwa pengemis rendah dan tidak merasa jijik
untuk menelan ludah sendiri yang sudah kau keluarkan di atas lumpur busuk! Orang lain boleh kau bodohi
dunia-kangouw.blogspot.com
begitu saja, akan tetapi pinni tidak sudi kau tipu!” sambil berkata demikian Kiu-bwe Coa-li menggerakkan
cambuknya dan sembilan helai bulu cambuk itu mengancam sembilan jalan darah di tubuh Ang-bin Sin-kai!
Ang-bin Sin-kai kaget sekali menghadapi serangan yang hebat ini. Ia sebenarnya terkejut bukan karena jeri
melainkan heran kenapa iblis wanita ini betul-betul menyerang dengan niat membunuh. Kesalahan apakah
yang sudah diperbuatnya? Agaknya hari ini dia sial benar-benar, semua orang menuduhnya yang bukanbukan
dan menghendaki jiwanya!
Menghadapi Kiu-bwe Coa-li jauh sekali bedanya dengan menghadapi keroyokan Pouw Hong Taisu dan Bin
Kong Siansu, karena dia maklum bahwa nenek ini benar-benar lihai dan sangat berbahaya. Cepat Ang-bin
Sin-kai menggunakan ginkang-nya untuk mencelat mundur sehingga bulu-bulu cambuk yang panjang itu
tidak sampai mengenai tubuhnya.
Ia mengangkat kedua tangan sambil berkata keras, “Eh, ehh, ehhh, nanti dulu, Kiu-bwe Coa-li! Kau
agaknya tidak lebih waras dari dua orang yang menyerang aku tadi. Katakan lebih dulu kenapa kau
menganggap aku si tua bangka ini sebagai si pelanggar sumpah?”
“Bagus, jembel siluman masih hendak berputar lidah! Mengakulah bahwa kau dahulu pernah bersumpah
tidak akan mempergunakan Lu Kwan Cu untuk mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Betul tidak?”
“Betul,” jawab Ang-bin Sin-kai dengan suara tenang.
Kiu-bwe Coa-li tersenyum mengejek. “Dan bila mana kau melanggar sumpahmu itu, kau bersumpah akan
mampus seperti anjing, betulkah?”
“Memang begitulah kira-kira bunyi sumpahku.”
Mata kiu-bwe Coa-li mendelik. “Jahanam! Dan sekarang kau ternyata bersama Kwan Cu mencari kitab
peninggalan Gui Tin untuk mencari tahu di mana disimpan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Karena itu, kau
harus mampus seperti anjing di bawah cambukku.”
Terbelalak mata Ang-bin Sin-kai memandang nenek sakti itu. “Eh, ehh, ehhh, nanti dulu. Dari manakah kau
bisa mengetahui semua ini?”
“Semua orang sudah tahu. Empat tokoh besar di seluruh penjuru sudah tahu, mengapa aku tidak?”
“Kiu-bwe Coa-li, siluman perempuan yang galak. Memang betul Kwan Cu mencari kitab peninggalan itu
atas pesanan mendiang Gui-siucai, apakah hubungannya dengan aku? Ingat, sumpahku adalah apa bila
aku mempergunakan dia mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Kini soalnya lain lagi, bukan aku yang
mencari, melainkan anak itu. Dia berhak mendapatkannya, karena bukankah dia hanya memenuhi
pesanan terakhir dari gurunya yakni Gui-suicai?”
“Bohong! Kau sengaja memutar balikkan kenyataan untuk menutupi kesalahanmu. Apa kau takut
mampus?”
Ang-bin Sin-kai mulai marah. “Kiu-bwe Coa-li, alangkah sombongmu. Kau kira aku takut kepadamu? Kau
boleh menuduh apa pun juga, aku tidak takut dan kau mau apa?”
“Bangsat tua, mampuslah!” Kiu-bwe Coa-li menggerakkan cambuknya.
“Tar! Tar! Tar!”
Cambuknya berbunyi keras sekali sehingga semua orang yang berkumpul di situ menjadi jeri dan tak
terasa pula segera mindur mepet ke tembok, takut kalau-kalau terkena ujung cambuk yang lihai itu.
Kiu-bwe Coa-li mengamuk seperti iblis. Ujung cambuknya kalau mengenai bangku, maka pecahlah bangku
itu seperti dibacok kapak tajam. Sengaja dia menggunakan cambuknya menangkap meja dan bangku, lalu
dilontarkannya meja bangku itu ke pinggir sehingga sibuklah orang-orang yang berada di situ untuk
mengelak dari hujan bangku yang tadi mereka duduki.
Yang celaka adalah kaum sastrawan, karena berbeda dengan kaum persilatan yang bisa menangkis atau
mengelak, mereka ini tertimpa meja serta bangku sehingga menderita benjol!
dunia-kangouw.blogspot.com
Ruangan yang luas itu kini bersih dari meja dan bangku, dan tanpa membuang waktu lagi, Kiu-bwe Coa-li
serentak menyerang dengan cambuknya. Ang-bin Sin-kai yang tahu kelihaian lawan tidak mau berlaku
sembrono menghadapinya dengan tangan kosong.
Memang biasanya kakek ini tidak pernah mempergunakan senjata dalam pertempuran menghadapi siapa
pun juga. Akan tetapi karena dia tahu bahwa cambuk dari Kiu-bwe Coa-li amat berbahaya, sekarang dia
mencabut suling pemberian dari Hang-houw-siauw Yok-ong untuk menangkis.
Pertempuran antara kedua orang tokoh besar ini berlangsung amat hebatnya. Biar pun orang-orang yang
berkumpul di situ telah berdiri mepet pada tembok, namun sambaran angin yang keluar dari cambuk dan
kedua tangan Ang-bin Sin-kai masih terasakan oleh mereka yang membuat rambut dan pakaian mereka
berkibar dan kulit terasa dingin!
Suara yang mengiringi pertempuran ini pun terdengar amat mengerikan. Tidak saja suara bersiutnya bulubulu
cambuk yang sembilan helai banyaknya itu diselingi dengan suara menjetar yang menulikan telinga,
juga suara dari suling yang dimainkan oleh Ang-bin Sin-kai menimbulkan suara angin yang mengerikan.
Karena suling ini digerakkan secara cepat sekali, angin yang memasuki lubang-lubang suling menimbulkan
suara bagaikan seekor binatang buas menangis.
Semua orang bergidik mendengar suara-suara ini dan kaburlah pandangan mata mereka melihat betapa
bayangan dua orang tokoh besar itu lenyap sama sekali. Di ruangan itu kini hanya terlihat gulungan sinar
yang tak tentu ujudnya, yang bergerak-gerak ke sana ke mari sehingga sukar untuk diduga siapa yang
menang siapa yang kalah.
Melihat cara Kiu-bwe Coa-li mainkan cambuknya, Ang-bin Sin-kai merasa terkejut bukan main. Pernah dia
menyaksikan permainan cambuk lawannya ini, yaitu dulu ketika mereka berebutan kitab palsu Im-yang Butek
Cin-keng dan biar pun dia sendiri belum pernah menghadapi Kiu-bwe Coa-li, namun dia sudah dapat
mengukur kelihaian lawan ini. Akan tetapi sekarang permainan cambuk itu sudah maju dengan pesat
sekali. Berat dan aneh.
Tiba-tiba dia teringat akan tenaga lweekang yang pernah didapat bocah gundul itu dalam mempelajari
lweekang dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu. Maka mengertilah dia bahwa entah dengan cara
bagaimana, iblis wanita ini sudah pula mempelajari ilmu lweekang dari kitab palsu itu!
Menduga tentang ini, otomatis Ang-bin Sin-kai menoleh ke arah tumpukan meja di mana tadi dia
melemparkan Kwan Cu supaya terhindar dari pada gangguan lawan. Alangkah kagetnya ketika dia tidak
melihat muridnya berada di situ. Ia sudah tahu akan ketaatan muridnya ini dan tak mungkin Kwan Cu
berani pergi dari situ tanpa perkenannya. Tentu telah terjadi sesuatu dengan anak itu.
Pikiran ini membuat Ang-bin Sin-kai marah sekali dan tiba-tiba dia berseru keras sekali. Begitu kedua
tangannya bergerak dia telah dapat memegang tiga helai bulu pecut dan direnggutnya sekuat tenaga!
Kiu-bwe Coa-li sangat terkejut dan cepat dia mempergunakan bulu pecut yang lain untuk dipukulkan ke
arah kepala Ang-bin Sin-kai. Dia maklum bahwa untuk lain orang, sekali pukulan dengan ujung sehelai bulu
pecut saja sudah cukup untuk merobohkan lawan. Akan tetapi menghadapi Ang-bin Sin-kai, belum tentu
dia mampu merobohkan kakek ini dengan semua bulu pecutnya dirangkap menjadi satu kalau tidak
mengenai bagian yang penting seperti ubun-ubun kepala!
Ang-bin Sin-kai marah sekali dan begitu dia menarik, tiga helai bulu pecut itu copot! Akan tetapi serangan
enam helai bulu pecut sudah menyambar ubun-ubun kepalanya, maka cepat-cepat dia mengelak sambil
miringkan tubuhnya. Betapa pun cepat gerakannya, dia terlambat dan beberapa helai bulu pecut masih
mengenai pundaknya yang menimbulkan rasa sakit dan ngilu.
Dia mengerahkan tenaga lweekang untuk melawan pecutan ini dan tubuhnya mendadak menubruk maju
dengan kedua tangan dipentang. Ternyata dalam kemarahannya Ang-bin Sin-kai sudah mengeluarkan tipu
serangan yang sangat berbahaya, yakni pukulan yang disebut Pukulan Ombak Mengamuk! Kakek muka
merah ini telah dapat menangkap dan meniru inti pukulan serangan ombak terhadap batu karang pada
waktu dia masih suka bermain-main dengan ombak di pinggir Laut Po-hai!
Kiu-bwe Coa-li berseru kaget ketika hawa pukulan lawan membuat semua bulu pecutnya terpental kembali
dan membuat tubuhnya terhuyung ke belakang! Ia kembali berseru dan tiba-tiba tubuhnya melayang naik
dunia-kangouw.blogspot.com
untuk menghindari serangan lawan.
Kesempatan itu dipergunakan oleh Ang-bin Sin-kai untuk melompat naik dan nyeplos dari genteng yang
sudah berlubang, di atas meja di mana tadi Kwan Cu berada. Ia maklum bahwa muridnya keluar dari
tempat ini.
“Kwan Cu...!” Ia berteriak di atas genteng sambil memandang ke kanan dan kiri. Namun keadaan di situ
sunyi saja, tak nampak bayangan seorang pun manusia.
“Kwan Cu...! Hai... Kwan Cu bocah gundul, kau di mana?!” kembali kakek ini berseru memanggil sambil
mengerahkan tenaga khikang-nya sehingga seruan ini tentu akan bisa terdengar oleh Kwan Cu seandainya
anak itu berada dalam jarak beberapa lie saja dari tempat itu.
Dan memang betul, Kwan Cu dapat mendengar suara gurunya yang memanggil ini, akan tetapi dia tidak
berdaya karena dia telah lumpuh dan pada saat itu dia rebah di bawah pohon ditunggu oleh Bun Sui Ceng
yang mendongeng kepadanya tentang Pek-cilan Thio Loan Eng yang terbunuh oleh Toat-beng Hui-houw!
“Jangan kau khawatir, Kwan Cu. Biar pun kelihatan galak, guruku berhati mulia dan kau pasti tak akan
diganggunya, asal saja kau mau memberi petunjuk kepadanya bagaimana untuk mendapatkan kitab Imyang
Bu-tek Cin-keng,” kata Sui Ceng kepada bocah gundul itu.
Ada pun Ang-bin Sin-kai, setelah memanggil beberapa kali dan tidak mendapat jawaban, menjadi semakin
gelisah dan bingung. Ia berpikir sejenak dan timbul dugaannya bahwa Kwan Cu tentu telah diculik oleh Kiubwe
Coa-li pada saat dia masih dikeroyok oleh dua Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu! Akan tetapi,
siapa tahu kalau-kalau anak itu bersembunyi di dalam rumah?
Ia lalu melompat kembali turun ke tengah ruangan itu dan dia tidak melihat lagi bayangan Kiu-bwe Coa-li.
Orang-orang yang berada di situ tadi melihat Ang-bin Sin-kai melayang naik melalui atap yang bolong, dan
Kiu-bwe Coa-li setelah mengeluarkan suara tertawa yang nyaring dan mendirikan bulu tengkuk, lalu
berkelebat pergi dari pintu. Semua orang menahan napas. Dan sekarang melihat Ang-bin Sin-kai melayang
turun kembali, mereka memandang penuh perhatian.
“Di mana adanya muridku?” tanya Ang-bin Sin-kai kepada mereka.
Tak seorang pun menjawab.
“Hai...! Tulikah kalian semua? Di mana adanya Kwan Cu muridku yang tadi duduk di atas tumpukan meja
itu?”
Bin Kong Siansu dan Pouw Hong Taisu melangkah maju. Dua orang kakek ini segera merangkap dua
tangan dan memberi hormat dengan muka nampak malu dan menyesal.
“Muridmu sudah diambil oleh Kiu-bwe Coa-li ketika kau tadi bertempur melawan kami,” kata Pouw Hong
Taisu dengan suara menyesal. “Semua adalah kesalahan kami, Ang-bin Sin-kai dan kami mohon maaf
sebanyaknya. Benar-benar tadi kami semua berlaku amat buruk terhadapmu. Maaf, maaf...,” kata Bin Kong
Siansu dengan hati tidak enak sekali.
“Marah, menyesal! Ahh, orang-orang seperti kalian masih bisa diombang-ambingkan oleh perasaan dan
nafsu, sungguh lucu dan menggelikan sekali!” kata Ang-bin Sinkai gemas. “Ehh, orang she Kwa, apakah
kau pun tidak malu menjadi ketua Bun-bu-pang?” Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai lalu melompat
pergi meninggalkan rumah perkumpulan Bun-bu-pang itu. Semua orang saling pandang dan menghela
napas.
“Biarlah hal ini merupakan pelajaran bagi kita sekalian,” kata Kwa Ok Sin sambil menarik napas panjang.
“Lain kali kita harus berlaku hati-hati sekali dalam memutuskan sesuatu urusan, harus melakukan
penyelidikan sedalam-dalamnya dan tidak percaya begitu saja kata-kata orang lain.”
Pouw Hong Taisu dan Bin Kong Siansu menjadi merah mukanya. Diam-diam mereka mengutuk Hek-i Huimo,
karena sebenarnya Hek-i Hui-mo yang membakar hati mereka dan Hek-i Hui-mo yang memberi tahu
mereka bahwa Ang-bin Sin-kai yang membunuh murid-murid mereka.
“Kiu-bwe Coa-li, hati-hati kau! Apa bila sampai kau ganggu muridku, aku Ang-bin Sin-kai belum mau mati
dunia-kangouw.blogspot.com
sebelum mencabuti sembilan ekormu,” sepanjang jalan Ang-bin Sin-kai berkata begini meski pun hatinya
tak begitu mengkhawatirkan akan keadaan muridnya.
Ia tahu bahwa Kiu-bwe Coa-li menculik Kwan Cu ada maksudnya, yakni hendak mencari kitab Im-yang Butek
Cin-keng. Akan tetapi oleh karena kitab sejarah peninggalan Gui Tin yang dapat memberi petunjuk di
mana adanya kitab sakti itu telah dicuri orang, tentu Kwan Cu akan berkata terus terang dan Kiu-bwe Coa-li
tentu akan berusaha merampas kembali kitab sejarah yang tercuri.
“Betulkah Jeng-kin-jiu yang telah mencurinya? Tak salah lagi, karena Kwan Cu menduga Jeng-kin-jiu, tentu
Kiu-bwe Coa-li akan menyusul pendeta gundul gendut itu ke kota raja. Hemm, tiada jalan lain, aku pun
harus menyusul ke sana. Betapa pun juga, kitab sejarah itu tidak boleh terjatuh ke dalam tangan orang lain,
harus menjadi milik Kwan Cu yang memang berhak.”
Setelah mengambil keputusan begini, Ang-bin Sin-kai lalu berlari cepat menuju ke kota raja…..
********************
Pada masa itu yang menjadi kaisar kerajaan dari Kerjaan Tang adalah Kaisar Hian Tiong yang terkenal
sebagai seorang yang doyan pelesir. Kaisar ini selalu tenggelam dalam kesenangan, memelihara banyak
sekali selir yang cantik-cantik, setiap hari menghibur diri di tengah-tengah selir-selirnya sambil melihat taritarian
dan nyanyian merdu, sama sekali tidak mau peduli akan pemerintahannya dan juga tidak mau peduli
akan keadaan rakyat jelata yang banyak menderita.
Istana-istana indah dan megah dibangun di mana-mana, menghamburkan banyak uang yang mengalir
masuk dari hasil keringat rakyat petani. Istana-istana indah di mana selalu dihias dengan perabot-perabot
mahal dan juga ‘perabot-perabot hidup’ berupa dara-dara jelita yang dikumpulkan dari berbagai daerah!
Tidak mengherankan jika pujangga besar Tu Fu menjadi naik darah dan sedih juga ketika pada suatu hari
di musim dingin dia pulang dari perjalanan dari Tiang-san dan melewati Bukit Li-shan. Di situ, yaitu di
puncak Bukit Li-shan di mana terdapat sebuah di antara istana-istana kaisar yang disebut Istana Hwa
Ceng, Tu Fu mendengar bahwa kaisar Hian Tiong sedang berpesta pora, berpelesir mendengarkan musik
dan nyanyian, menonton tari-tarian dan bersenang-senang dengan para selirnya.
Teringatlah Tu Fu akan keadaan rakyat jelata yang sangat sengsara dan menderita di dalam angin dingin
dan kelaparan, rakyat yang menggeletak kelaparan dan kedinginan di atas jalan-jalan raya di Tiang-san.
Maka menulislah pujangga patriot ini kata-kata yang sampai kini masih dihargai oleh seluruh rakyat.
Di belakang pintu gerbang
merah indah cemerlang
anggur dan daging berlebih-lebihan
hingga masak membusuk!
Di luar pintu gerbang
Kotor sunyi melengang
Berserakan tulang rangka
Sisa korban dingin dan lapar
Memang, Kaisar Hian Tiong terlalu banyak mengumbar kesenangan jasmani atau boleh juga disebut terlalu
menurutkan nafsu hewan. Di dalam istana di kota raja, selirnya tidak terhitung banyaknya, terdiri dari gadisgadis
cantik jelita yang didatangkan dari berbagai daerah.
Ada yang memang diserahkan oleh orang tuanya dengan hati bangga, akan tetapi tidak kurang pula yang
didapatkan oleh kaisar dengan jalan keras, yaitu dengan paksaan dan sebagian besar adalah ‘hadiah’ yang
diberikan oleh para pembesar untuk mengambil hati sang junjungan. Yang paling hebat, di antara sekian
banyaknya selir itu, ada pula yang tadinya telah menjadi isteri orang, yang direnggut dari suaminya untuk
dipaksa melayani kaisar, orang terbesar di dalam negeri, orang yang dianggap sebagai ‘Pilihan Tuhan’!
Di antara para selirnya ini, terdapat seorang wanita muda yang amat cantik jelita. Kaisar pernah tergila-gila
kepada selirnya ini yang diberinya nama Bi Lian atau Teratai Jelita kepada selirnya ini. Untuk
menggambarkan betapa cantiknya Bi Lian, seorang ahli sajak di dalam istana atas perintah kaisar telah
membuatkan sajak pujian kepada Bi Lian yang ditempel di kamar selir cantik ini. Beginilah sajak itu,
dunia-kangouw.blogspot.com
Rambut panjang hitam dan halus.
Melebihi kehalusan benang sutera.
Diikal menjadi mahkota hidup.
Terhias bunga cilan dengan dua kuncup
Sisir emas jadi penahan,
Sedap, wangi, semerbak harum!
Wajah indah jelita berbentuk telur
Berkulit halus dan betapa putihnya,
Putih kuning seperti susu.
Dua alis melengkung hitam
Menghias sepasang mata burung hong.
Kering tajam lunak menikam kalbu
Hidung kecil mancung berbentuk sempurna
Bagaikan ukiran batu kemala.
Mulut kecil mungil, merah membasah
Di balik bibir manis
Tersembunyi gigi mutiara!
Tubuh ramping
Mengalahkan batang yang-liu (cemara)
Tertiup angin
Melenggak-lenggok mempesona
Tangan kaki kecil mungil
Seperti kuncup bunga,
Setiap gerakan
Menyedapkan pandangan mata
Di dalam dunia memang banyak wanita jelita
Namun siapakah dapat menyamai bunga istana
Teratai Jelita (Bi Lian) kekasih raja?
Namun cinta kasih seorang laki-laki seperti Kaisar Hian Tiong tidak bertahan lama, tidak tahan uji. Hanya
dicinta dan dipuja kala masih baru. Setiap kali berganti kekasih, datang yang baru lupa yang lama.
Demikian pun halnya dengan Bi Lian. Belum cukup setahun menjadi kekasih kaisar yang paling dicinta,
kaisar mulai bosan dan kini jarang lagi datang ke kamarnya.
Semenjak dibawa dengan paksa ke kota raja dan menjadi penghuni harem kaisar, remuk redamlah hati Bi
Lian. Dia telah memiliki seorang tunangan, seorang pemuda terpelajar yang sedianya menjadi suaminya.
Akan tetapi nasib buruk menimpa dirinya dan dari kota Hang-ciu ia dibawa secaa paksa, bagai seekor
domba muda dibawa ke penjagalan untuk di sembelih!
Dengan hati hancur dia harus melayani segala kehendak kaisar yang sangat buas dalam pandangannya
itu. Memang tadinya dia agak terhibur ketika dirinya dihujani benda-benda mahal dan indah, ketika dia
hidup dalam kemewahan, selalu dilayani oleh para pelayan. Akan tetapi, setelah kaisar mulai bosan
dengan dia, dia lalu teringat kembali kepada Can Kwan tunangannya. Dia merasa rindu bukan main, dan
setiap hari dia menangis di dalam kamarnya.
Pada malam hari itu, seperti biasa Bi Lian duduk di dalam kamarnya seorang diri. Sore tadi pelayannya
datang dan hendak memandikannya serta membereskan pakaian dan rambutnya seperti biasa. Namun Bi
Lian menolak dan menyuruh pelayan itu mundur.
Dia duduk termenung dalam kamarnya, mendengarkan suara tetabuhan yang dibunyikan orang di bagian
lain dari istana yang luas itu. Bunyi suling dan yang kini membuat hatinya semakin hancur dan berduka.
Dia memandang ke arah sajak pujian untuk dirinya yang tergantung dekat pembaringannya. Bunyi sajak itu
bahkan membuat Bi Lian terharu dan sedih, mengingatkan dia akan sajak yang pernah dibacanya dahulu.
Aduh sayang, setangkai mawar indah
terbawa hanyut oleh air bah!
Air buas mengalir terus tanpa peduli
mawar yang malang
tertinggal di atas lumpur!
Teringat akan bunyi sajak ini, tak terasa pula dua titik air mata bagaikan dua butir mutiara menitik turun di
atas sepasang pipinya yang putih halus kemerahan.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Can Kwan...” keluh-kesah yang berkali-kali dibisikkan oleh hati wanita muda itu sekarang keluar dari
bibirnya, merupakan keluh kesah yang amat menyayat hatinya, dan tak dapat ditahan lagi berderailah air
matanya.
“Cui Hwa...” tiba-tiba saja terdengar suara panggilan perlahan dari luar jendelanya yang menembus ke
dalam taman bunga yang sengaja dibuat oleh kaisar di luar kamarnya atas permintaannya beberapa bulan
yang lalu.
Bi Lian terkejut bukan main. Nama Cui Hwa adalah nama aslinya sebelum ia dibawa ke istana kaisar dan
nama ini hampir setahun tidak pernah disebut orang. Namanya sudah berganti menjadi Bi Lian. Maka
dapat dibayangkan betapa heran dan terkejutnya ketika ia mendengar nama lama itu disebut orang.
Terutama sekali yang membuatnya terkejut adalah suara itu! Suara orang yang tak pernah dapat
dilupakannya, bahkan suara orang yang pada saat itu sedang memenuhi pikiran dan hatinya... Can Kwan!
Seperti dalam mimpi, Bi Lian atau Cui Hwa berjalan menghampiri jendela dan membuka jendela itu.
Sesosok bayangan orang melompat masuk dan dengan cepat telah berada di dalam kamar Bi Lian. Wanita
ini memandang dan...
“Can Kwan...!” serunya sambil berdiri memandang dengan mata terbelalak serta mulut ternganga.
Ada pun orang yang masuk itu, seorang pemuda yang tampan dan berpakaian seperti seorang pelajar,
juga berdiri dengan pandangan mata kagum menyaksikan kecantikan wanita yang berdiri di hadapannya.
“Cui Hwa...”
Walau pun dahulu mereka belum pernah bersentuh tangan, hanya bicara secara sopan sebagaimana
lazimnya orang bertunangan, namun pada saat itu suara hati mereka yang bicara dan perasaan rindu
dendam yang hebat mempengaruhi jiwa raga. Tanpa dapat dicegah lagi oleh akal sadar, keduanya saling
menubruk dan berangkulan.
“Cui Hwa... kekasihku...”
“Can Kwan, alangkah senangnya bertemu denganmu walau hanya dalam mimpi...”
“Cui Hwa, siapa bilang dalam mimpi?” Can Kwan segera melepaskan rangkulannya dan memegang kedua
pundak wanita muda itu, memandang dengan mata penuh cinta kasih mesra. “Kau lihatlah baik-baik,
bukankah aku Can Kwan tunanganmu? Aku benar-benar datang kekasihku.”
Namun Cui Hwa menggeleng-gelengkan kepalanya yang cantik.
“Tidak mungkin! Benar-benar tidak mungkin! Bagaimana kau dapat masuk ke sini? Istana dikurung pagar
tembok yang tinggi, terjaga kuat oleh pasukan! Sedangkan kau adalah seorang pelajar yang lemah, yang
hanya kuat menggerakkan tangkai pena dan membalik lembaran buku. Kau tak mungkin dapat datang ke
sini, kecuali kalau... kalau...”
Tiba-tiba pucatlah muka Cui Hwa atau Bi Lian. Ia hampir menjerit ngeri, tetapi buru-buru menutupkan
mulutnya dengan tangan, lalu bertindak mundur sampai tiga langkah.
“Cui Hwa, mengapa kau?”
“Can Kwan... tak salah lagi... kau tentu telah mati...! Rohmu yang datang mengunjungiku. Ahh, Can Kwan.
Kalau kau sudah mati, tenanglah, aku pasti akan menyusulmu. Sudah tidak tahan lagi aku berada di sini,
terpisah darimu!” Bi Lian lalu menangis tersedu-sedu.
Can Kwan melangkah maju kemudian merangkulnya kembali. Dia tertawa perlahan dan membelai rambut
kepala Bi Lian.
“Cui Hwa, pernahkah engkau mendengar roh dapat memelukmu seperti yang kulakukan sekarang ini?
Lihatlah aku baik-baik, aku belum mati. Aku adalah Can Kwan yang masih hidup, masih berdarah masih
berdaging. Ketahuilah, semenjak kau dibawa ke sini, aku lalu melepaskan pena dan berlatih giat sekali
mempelajari ilmu silat dari seorang gagah. Akhirnya, pada malam ini aku berhasil melampaui penjagadunia-
kangouw.blogspot.com
penjaga itu dan naik melalui pagar, walau pun dengan susah payah namun aku berhasil sampai ke
kamarmu.”
“Can Kwan...! Can Kwan…!” Bukan main girang dan terharunya hati Bi Lian mendengar ucapan kekasihnya
ini. “Akan tetapi, apa gunanya...? Kau bisa masuk ke sini, akan tetapi bagaimana keluarnya? Bagaimana
pula kalau nanti kau ketahuan oleh penjaga? Ssstt... bersembunyilah, pelayanku datang...”
Akan tetapi, Can Kwan tidak bersembunyi, sebaliknya dengan sekali lompatan dia telah berada di depan
pelayan wanita itu dan menotok pundak wanita itu. Pelayan itu roboh tak sadarkan diri lagi.
“Can Kwan, kau... mem... membunuhnya?” tanya Cui Hwa dengan kaget dan ngeri.
Can Kwan tersenyum. Bukan main tampannya wajah pemuda itu dalam pandangan Cui Hwa. “Tidak, Cui
Hwa, aku hanya membikin dia tak berdaya untuk beberapa jam saja. Ia tidak apa-apa.”
“Can Kwan, setelah kau datang ke sini... apa kehendakmu?”
Can Kwan memegang kedua tangan kekasihnya. “Cui Hwa, mari kita pergi dari sini, mari kita mulai hidup
baru sebagai suami istri, jauh dari sorga dunia yang merupakan neraka bagi batin kita ini.”
“Can Kwan! Bagaimana mungkin? Kau… kau pasti akan tertangkap dan mereka akan membunuhmu! Ahh,
Can Kwan... biarlah aku seorang yang menderita, aku tidak tahan melihat kau mereka bunuh! Pergilah,
kau cari seorang isteri lain yang bijaksana, biarlah, aku... aku tak berharga lagi menjadi... isterimu. Tak
boleh kau mendapat bencana karena aku... tinggalkanlah aku, Can Kwan. Kedatanganmu ini sudah
merupakan bahagia yang sebesarnya bagiku dan akan menghiburku sampai aku mati. Akan kuingat
sebagai tanda cintamu...”
“Hushh, Cui Hwa, jangan mengeluarkan omongan bodoh! Kini aku sengaja datang untuk membawamu
keluar dari sini.”
“Bagaimana caranya?”
“Akan kubawa kau melompati pagar tembok, keluar dari istana.”
“Kalau kau diketahui oleh penjaga?”
“Akan kubuka jalan darah, biar mati bersamamu!”
“Tidak, Can Kwan...” Cui Hwa menangis dan memandang dengan muka ngeri. “Kau tidak boleh mati
karena aku...! Apa dayamu menghadapi para pengawal yang jumlahnya amat banyak itu? Biar aku
sengsara, biar aku mati asal kau bahagia, asal kau hidup...”
“Cui Hwa...!”
Pada saat itu pula terdengar bentakan-bentakan dari luar.
“Penjahat! Pencuri!”
“Tangkap, tangkaaaap!”
Cui Hwa menjadi pucat. “Celaka, Can Kwan, mereka sudah datang!”
Wajah Can Kwan yang tampan menjadi beringas dan pemuda ini mencabut pedangnya, lalu melompat
keluar. Ia langsung disambut oleh belasan orang pengawal yang segera mengepungnya.
Can Kwan memang sudah mempelajari ilmu silat dengan tekunnya dari seorang pandai, dan pedangnya
bergerak laksana naga mengamuk. Beberapa orang pengawal sebentar saja sudah roboh mandi darah di
bawah sabetan pedangnya.
Akan tetapi makin banyak pengawal datang mengeroyok sambil berteriak-teriak, dan biar pun Can Kwan
pernah belajar silat secara amat tekun, namun sampai di manakah tingkat kepandaian seorang yang baru
belajar ilmu silat selama setahun? Dia mulai merasa lelah dan telah mendapat beberapa luka ringan.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Can Kwan...!” Terdengar seruan Cui Hwa menyayat kalbu.
Pemuda itu menengok dan alangkah kagetnya melihat tubuh kekasihnya itu terhuyung-huyung mandi
darah! Sebuah pisau menancap di ulu hati Bi Lian atau Cui Hwa.
Ternyata bahwa ketika melihat betapa kekasihnya dikeroyok dan tidak melihat jalan lain untuk melarikan
diri, dan tahu pula bahwa pertemuannya dengan Can Kwan itu tentu akan mengakibatkan bencana hebat
bagi dirinya dan pemuda itu, wanita muda itu telah mengambil keputusan pendek membunuh diri.
“Cui Hwa...!” Can Kwan tak mempedulikan lagi keroyokan para pengawal dan menubruk tubuh kekasihnya
yang segera dipeluknya.
Akan tetapi tubuh Cui Hwa sudah lemas dan manita muda ini hanya dapat membuka mata sebentar
memandang kepada Can Kwan sambil berbisik lemah,
“Aku... menunggumu...” dan tewaslah dia.
“Cui Hwa...!”
Para pengeroyok cepat meloncat maju, beberapa belas batang tombak dan golok datang bagaikan hujan
ke arah tubuh pemuda itu. Sudah jelas nasib Can Kwan, karena biar pun dia mempunyai kepandaian
sepuluh kali lipat dari pada kepandaiannya yang sekarang, belum tentu dia akan dapat menyelamatkan diri
dari serangan hebat itu.
Mendadak berkelebat bayangan yang cepat sekali, menyambar ke arah para penyerang yang hendak
membunuh pemuda itu. Terdengar suara keras sekali, senjata beterbangan dibarengi pekik kesakitan dan
tidak kurang dari tujuh orang pengeroyok terguling roboh! Seorang kakek berpakaian tambal-tambalan
telah berdiri di depan Can Kwan dan dialah yang menolong pemuda ini.
Can Kwan sudah berdiri dan kini dengan muka pucat serta menyinarkan sakit hati yang hebat, dia
menerjang kepada para pengeroyok. Akan tetapi, kakek itu lalu menggerakkan tangannya dan sekali
rampas saja pedang Can Kwan telah berpindah tangan!
“Tak perlu melawan lagi, kau tidak akan menang!” kata kakek ini.
“Kalau tidak bisa menang, biarlah aku mati bersama Cui Hwa kekasihku!” jawab pemuda yang sudah nekat
itu.
“Bodoh!” kakek itu mencela dan tubuhnya berkelebat ke arah Can Kwan.
Pemuda ini hendak mengelak, akan tetapi gerakan kakek itu amat cepatnya sehingga tahu-tahu dia telah
dikempit dan dibawa meloncat tinggi ke atas genteng. Para pengawal istana berteriak mengejar, akan
tetapi sebentar saja kakek itu telah menghilang bersama pemuda yang dikempitnya.
Can Kwan hanya merasa sambaran angin dingin meniup mukanya sehingga dia terpaksa meramkan kedua
matanya. Tak lama kemudian, kakek itu membawanya meloncat turun dan ketika Can Kwan membuka
matanya, tahu-tahu dia telah berada di atas tanah, jauh di luar istana!
“Locianpwe, kenapa kau menghalangi kehendakku mengamuk? Aku ingin mati bersama Cui Hwa!” kata
Can Kwan penasaran, karena dia tidak menghendaki pertolongan kakek ini.
Kakek ini tertawa bergelak. “Pikiran muda mendekati kegilaan, sebab selalu dikendalikan oleh nafsu! Orang
muda, kau benar-benar sudah gila. Aku yang sudah tua bangka, masih tidak begitu gila untuk mengakhiri
hidup yang membosankan ini, apa lagi kau yang masih begini muda. Nyawa adalah kurnia Thian, kenapa
hendak dipermainkan? Kau mengacau di istana kaisar, bukankah itu termasuk pelanggaran dan
pemberontakan?”
“Siapa yang mau menghargai kaisar lalim? Dia sudah merampas tunanganku dan aku memang sudah
setahun mengandung maksud merampas kembali Cui Hwa!”
“Kau keliru! Kalau memang bermaksud melawan kehendak kaisar, mengapa tidak sejak dahulu sebelum
dunia-kangouw.blogspot.com
tunanganmu menjadi selir kaisar? Sekarang tunanganmu sudah menjadi selir terkasih, sudah hidup
bahagia namun kau datang-datang mendatangkan bencana padanya. Kalau kau tidak datang, apa kau kira
tunanganmu itu akan mati? Kau bertindak menurutkan nafsu hati tanpa menggunakan akal budi dan pikiran
sehat. Andai kata kau tadi berhasil membawa lari bekas kekasihmu itu, apa kau kira akan dapat
bersembunyi dari para petugas kaisar? Ke mana pun kau pergi, kau tentu akan bertemu dengan kaki
tangan pemerintah dan akhirnya kau akan dibekuk juga! Kalau kau yang menderita dan kena bencana, itu
tak mengapa karena memang kau sengaja, akan tetapi kau menyeret wanita itu ke jurang kecelakaan!
Bahkan, kalau kau masih mempunyai keluarga, seluruh keluargamu akan terseret juga.”
Mendengar ucapan terakhir ini Can Kwan nampak lemas. Dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu
sambil menangis. ”Teecu memang mengaku bahwa teecu seorang anak puthauw (tidak berbakti), mohon
petunjuk dari Locianpwe.”
“Hmm, bagus! Lebih baik menghadapi seorang yang menyesali perbuatannya yang salah dari pada
menghadapi seorang yang menyombongkan perbuatannya yang baik! Anak muda, jangan dikira bahwa
seandainya kau berhasil membawa lari wanita itu, hidupnya akan bahagia. Ah, orang muda seperti kau
selalu tertipu oleh nafsu hati. Sekarang wanita itu telah tewas, sudahlah. Dia telah terbebas dari pada
penderitaan hidup, yaitu kalau dia memang menderita di dalam istana itu. Lebih baik kau pulang dan rawat
orang tuamu baik-baik, menikah atas pilihan orang tuamu sebagai seorang anak berbakti. Apa bila kau
berjalan di atas kebenaran, pasti kelak kau akan berbahagia.”
“Terima kasih, Locianpwe. Teecu mohon tanya, siapakah adanya Locianpwe yang telah menolong teecu?”
“Aku? Aku adalah pengemis miskin dan orang menyebutku Ang-bin Sin-kai!”
Can Kwan terkejut sekali. Ia sudah tentu pernah mendengar nama tokoh besar ini, maka dengan girang dia
berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kalau Locianpwe sudi, teecu mohon diterima menjadi murid…”
Akan tetapi karena tidak ada jawaban, Can Kwan mengangkat mukanya dan alangkah herannya ketika
melihat bahwa kakek itu sudah lenyap dari situ! Dengan hati kecewa dia lalu berdiri dan berjalan pulang,
kedukaan hatinya banyak terobati oleh nasehat-nasehat dari Ang-bin Sin-kai.
Memang, kakek itu adalah Ang-bin Sin-kai. Seperti sudah dituturkan pada bagian depan, Ang-bin Sin-kai
pergi menuju ke kota raja hendak mencari Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Setibanya di kota raja, diam-diam
dia pergi ke rumah keponakannya, yaitu Lu Seng Hok, karena dia tahu bahwa Jeng-kin-jiu tinggal di rumah
muridnya, Lu Thong atau putera dari Lu Seng Hok.
Akan tetapi dia merasa kecewa sekali sebab Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu dan Lu Thong belum pulang
dari perantauannya. Ang-bin Sin-kai lalu menyelidiki kota raja untuk melihat kalau-kalau Kiu-bwe Coa-li
yang menculik Lu Kwan Cu telah berada di sana, akan tetapi ternyata iblis wanita itu pun belum nampak
berada di kota raja.
Untuk menghilangkan kekesalan hatinya, sambil menunggu kemunculan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu atau
Kiu-bwe Coa-li, timbul seleranya untuk makan hidangan istana serta melihat-lihat kebun bunga di istana
yang luar biasa indahnya itu.
Dahulu memang sering kali dia melancong dan bersuka ria di istana kaisar, tanpa ada seorang pun yang
melihat dirinya. Ia bermain-main di taman bunga, tidur di kamar-kamar besar yang indah sesudah
mengunci dan mengganjal pintu kamar dari dalam sehingga tak ada orang yang dapat membukanya, atau
memasuki dapur istana dan menyikat habis hidangan-hidangan untuk raja yang paling lezat. Ada kalanya
pula dia menikmati bacaan buku-buku di perpustakaan istana atau minum anggur terbaik di gudang
minuman.
Kebetulan sekali pada malam hari itu, ketika memasuki istana, dia melihat Can Kwan di keroyok, maka dia
menolong pemuda itu setelah mengetahui sebab-sebab pertempuran. Diam-diam dia menaruh hati kasihan
kepada pemuda itu, dan makin besar rasa jemunya terhadap kaisar yang merampas tunangan orang lain.
Akan tetapi, kalau dia tidak berlaku keras dan mengeluarkan nasehat-nasehat seperti yang telah diucapkan
kepada pemuda itu, dia tidak akan dapat menimbulkan semangat hidup baru di dalam hati Can Kwan.
Karena itu, setelah meninggalkan Can Kwan, kembalilah Ang-bin Sin-kai ke istana lagi. Keadaan di istana
dunia-kangouw.blogspot.com
untuk sesaat gempar dengan peristiwa tadi dan kini jenazah Bi Lian atau Cui Hwa telah dirawat
sebagaimana mestinya dan kaisar yang diberi tahu tentang hal itu, hanya mengeluarkan perintah untuk
menangkap pemuda yang tidak dikenal siapa adanya.
Ang-bin Sin-kai langsung menuju ke dapur istana. Di depan pintu-pintu dapur itu terjaga kuat-kuat, namun
dengan menggunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi, Ang-bin Sin-kai melompat ke atas genteng dan
membuka beberapa buah genteng, kemudian mengintai ke dalam. Dia melihat tukang-tukang masak
sedang sibuk menyiapkan hidangan malam untuk kaisar. Di atas sebuah meja yang besar sudah berjajar
hidangan yang lengkap, masakan-masakan istimewa dan yang masih mengebulkan asap.
Ang-bin Sin-kai beberapa kali menelan ludahnya. Uap masakan yang sedap menyerang hidungnya,
membuat perutnya yang hampir kempis itu berkeruyukan. Di antara semua masakan yang ada di atas
meja, yang paling menimbulkan air liurnya adalah masakan daging burung dara kebiri dan daging ikan
emas.
Ingin sekali dia cepat-cepat menyerbu ke bawah dan menghabiskan masakan-masakan itu. Akan tetapi dia
tidak mau menimbulkan keributan, karena kalau terjadi hal demikian, tentu para pengawal akan datang
mengeroyok dan akan mengganggu makannya.
Tukang-tukang masak dan pelayan yang bekerja di dalam dapur istana ada lima orang. Semuanya
bertubuh gemuk, oleh karena mereka ini adalah orang-orang yang setiap hari galang-gulung dengan
masakan enak, sehingga banyak juga gajih dan daging memasuki mulut mereka sehingga tubuh mereka
menjadi gendut dan gemuk.
Mereka bekerja sambil bercakap-cakap gembira, diselingi dengan percakapan mengenai Bi Lian. Siapa
orangnya yang takkan merasa sayang melihat selir yang demikian cantik jelita membunuh diri?
Tiba-tiba, lima potong benda hitam melayang cepat dari atas tanpa menimbulkan suara dan sungguh aneh
sekali. Lima orang tukang masak itu mendadak menjadi kaku seperti mereka tiba-tiba menjadi patung!
Yang memegang mangkok masih tetap berdiri dengan mangkok di tangan, yang memasak masih tetap
berdiri di depan api. Bahkan seorang pelayan yang secara diam-diam mencuri sepotong daging, masih
berdiri dengan daging di tangan mendekati mulutnya yang sudah ternganga siap mencaplok daging itu!
Apa yang terjadi? Ternyata bahwa Ang-bin Sin-kai sudah menggunakan kepandaiannya yang luar biasa.
Dengan pecahan genteng, dia menyabit lima orang itu dan dengan tepat sekali menotok jalan darah tai-twihiat
mereka sehingga lima orang itu menjadi kaku dan tak dapat bergerak sama sekali.
Pada saat itu, Ang-bin Sin-kai melayang turun dengan kecepatan seperti seekor burung walet. Gerakannya
sukar diikuti dengan mata dan di dalam kekakuan mereka, lima orang itu hanya melihat bayangan besar
menyambar turun dan lenyap lagi. Kemudian, kembali lima potong benda hitam menyambar dari atas dan
berbareng dengan ini, lima orang itu dapat bergerak kembali! Mereka saling pandang dengan mata
terbelalak.
“Apa yang terjadi?”
“Kenapa tadi semua badanku menjadi kaku?”
“Apakah kau melihat bayangan menyeramkan tadi?”
“Setan! Tentu ada setan yang mengganggu kita...”
Lima orang itu menjadi kacau balau, akan tetapi karena tidak melihat sesuatu, mereka tidak berani
membikin ribut, takut kalau mendapat teguran dari atasannya. Sebaliknya, mereka mempercepat pekerjaan
mereka supaya dapat segera meninggalkan dapur yang luas dan yang kini kelihatan menyeramkan itu.
Tidak lama kemudian, masakan-masakan itu pun sudah selesai. Pelayan-pelayan dipanggil untuk
mengangkut hidangan ke kamar makan kaisar.
“Hee, mana masakan burung dara?”
“Ahh, masakan ikan emas juga telah lenyap!”
“Celaka... tentu iblis tadi yang mengambilnya...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ssttt, jangan keras-keras! Masih bagus dia hanya mengambil masakan, tidak mengambil nyawa kita!”
Dengan cepat, masakan-masakan itu lalu dibawa keluar dan lima orang tukang masak itu bekerja cepatcepat
dengan bulu tengkuk berdiri. Ingin mereka segera pergi dari tempat itu.
Sesudah semua orang pergi dan pintu dapur ditutup kembali, dari atas melayang turun tubuh Ang-bin Sinkai
sambil tertawa-tawa. Pada kedua tangannya terlihat dua mangkok masakan daging burung dara dan
daging ikan emas yang lenyap tadi.
“Ha-ha-ha, sekarang aku bisa berpesta. Sayang masakan-masakan ini telah agak dingin karena dibawa ke
atas. Harus dipanaskan dulu!”
Dengan enaknya, dia lalu menyalakan api dan memanaskan dua macam masakan itu. Kemudian tubuhnya
berkelebat keluar dari atas genteng dan sebentar kemudian dia telah datang kembali membawa tiga guci
arak wangi yang diambilnya dari gudang minuman! Tidak lama kemudian, Ang-bin Sin-kai berpesta-pora,
makan minum di dapur itu dengan senangnya.
Dia sama sekali tidak tahu bahwa seorang di antara para tukang masak tadi, yang agak besar nyalinya,
menyelinap di balik pintu dan mengintai ke dalam. Ketika tukang masak ini melihat seorang kakek sedang
makan minum, diam-diam dia lalu pergi dari sana dan membuat laporan kepada kepala penjaga.
“Di dalam dapur ada seorang maling...” kata tukang masak itu dengan tubuh gemetar dan mukanya pucat.
“Apa? Mengapa tidak kau tangkap?”
Tukang juru masak yang gemuk itu terbelalak matanya. “Ditangkap? Bagaimana aku bisa menangkapnya?
Dia sakti sekali!” Kemudian dia menceritakan bagaimana dia bersama kawan-kawannya telah mengalami
hal yang aneh terjadi.
Kepala penjaga ini adalah seorang tua bernama Song Cin atau yang biasa disebut Song Ciangkun.
Sebetulnya dia memang seorang perwira yang telah banyak berjasa sehingga setelah dia tua, dia lalu
ditarik oleh kaisar menjadi kepala pengawal atau penjaga istana. Song Cin mempunyai kepandaian silat
dan ilmu pedang yang tinggi sehingga di kalangan kang-ouw namanya sudah terkenal sekali. Ketika
mendengar penuturan tukang masak ini, dia mengerutkan keningnya.
“Apakah dia sudah tua, tingkahnya seperti orang gila dan pakaiannya penuh tambalan?” tanyanya
menegas.
“Betul, betul, Song Ciangkun. Pakaiannya seperti pengemis!”
Song Cin mengangguk-angguk. “Sudahlah, jangan ribut-ribut. Kau mengasolah, biar aku yang
membereskan orang itu.”
“Song Ciangkun... apakah... apakah dia adalah setan penjaga dapur?” Tukang masak itu bertanya.
Song Cin mengangguk. “Betul, dan kau tidak boleh mengganggunya kalau kau sayang kepada nyawamu.”
Mendengar ini, tukang masak itu cepat-cepat pergi dan tanpa mencuci tangan lagi, ia lalu merayap ke
bawah selimut di dalam kamarnya!
Ada pun Song Cin sudah merasa yakin bahwa orang yang mengganggu dapur tentulah Ang-bin Sin-kai.
Sudah beberapa kali kakek aneh itu menyerbu dapur dan dia tahu pasti bahwa dia sendiri beserta semua
anak buahnya bukanlah lawan bagi Ang-bin Sin-kai. Oleh karena itu, dia langsung menuju ke kamar makan
kaisar.
Kaisar tengah duduk makan minum dengan beberapa selirnya. Tidak seperti biasanya, pada waktu itu
kaisar sedang menjamu dua orang yang berpakaian layaknya panglima perang besar. Kedua orang ini
berpakaian seperti panglima perang suku Tajik, sebuah kerajaan yang pada masa itu menjadi besar dan
kuat di samping Kerajaan Tibet.
Song Cin tahu siapa adanya dua orang panglima ini, karena sore tadi dia sendiri yang menerima mereka
dunia-kangouw.blogspot.com
dan menghadapkan mereka kepada kaisar. Mereka adalah dua orang panglima-panglima besar dari
Kerajaan Tajik yang datang membawa surat dari Panglima An Lu Shan.
Sudah lama bangsa Tajik mengadakan penyerbuan-penyerbuan ke selatan dan kekuatan mereka memang
besar sekali. Akan tetapi tiba-tiba setelah An Lu Shan diangkat menjadi panglima di utara oleh kaisar,
serbuan-serbuan ini mengecil dan akhirnya, pada hari itu, dua orang panglima bangsa Tajik datang
menghadap kaisar membawa surat dari An Lu Shan yang memberi laporan kepada kaisar bahwa bangsa
Tajik kini sudah menyatakan damai! Dua orang panglima Tajik itu merupakan utusan dari bangsa Tajik
untuk memberi penghormatan kepada kaisar.
Tentu saja kabar girang ini lalu diterima oleh Kaisar Hian Tiong dengan gembira sekali. Ia menganggap
semua ini sebagai jasa besar dari An Lu Shan sehingga untuk menyatakan kegembiraannya, dia
mengundang makan malam kedua orang panglima besar Tajik ini. Oleh karena sedang berpesta gembira,
tentu saja kaisar mengerutkan kening tanda tidak senang ketika Song Cin datang mengganggunya tanpa
dipanggil.
“Song Ciangkun,” kata kaisar dengan suara tak senang, “apa keperluanmu menghadap tanpa dipanggil?”
“Mohon beribu ampun apa bila hamba mengganggu kesenangan Baginda dan para tamu agung,” kata
Song Ciangkun dengan sikap merendah, “tapi hamba terpaksa melaporkan karena pada saat ini, kembali
dapur istana didatangi oleh Ang-bin Sin-kai. Kami menanti keputusan Baginda!”
Berubah air muka baginda kaisar mendengar laporan ini. Sungguh aneh, biar pun Song Cin dan kaisar
tidak melihatnya, namun muka kedua orang tamu agung Panglima Tajik itu juga berubah dan nampak
mereka saling menukar pandang, nampaknya kaget sekali. Namun kaisar dapat menentramkan hatinya
lagi dan tiba-tiba tertawa.
“Bagus! Orang aneh itu menambahkan kegembiraan kami! Song Ciangkun, undang dia secara baik-baik
untuk menemani kami minum arak!”
Song Cin tidak heran mendengar ini, karena memang kaisar mengagumi Ang-bin Sin-kai yang sebetulnya
masih kakak dari menteri setia Lu Pin. Akan tetapi dua orang tamu Tajik itu benar-benar nampak terkejut
sekali. Setelah memberi hormat, Song Ciangkun segera mengundurkan diri dan berlari menuju ke dapur
istana.
Song Cin mengetuk pintu dapur dan berkata keras, “Ang-bin Sin-kai Locianpwe, siauwte Song Cin mohon
bertemu, membawa perintah hong-siang (raja)!”
“Masuklah, Song Ciangkun.”
Song Cin masuk dan dia melihat kakek aneh itu masih duduk menghadapi meja sambil minum arak. Cepat
dia memberi hormat dan berkata,
“Siauwte membawa titah hong-siang mengundang Locianpwe untuk menemani baginda minum arak.”
Ang-bin Sin-kai tertegun, kemudian tertawa bergelak.
“Bagus, memang masakan di sini kurang lengkap. Baik, aku pergi menghadap baginda!” Sehabis berkata
demikian, tubuhnya berkelebat.
Song Cin hanya merasa ada angin menyambar dan bayangan berkelebat di sisinya, dan kakek itu telah
lenyap! Ia menghela napas dan mengagumi kelihaian kakek itu, kemudian melakukan penjagaan seperti
biasa.
Pada saat melihat Ang-bin Sin-kai muncul di ambang pintu, baginda kaisar melambaikan tangan sambil
tersenyum.
“Mari, mari, Lu-koai-hiap (pendekar aneh she Lu), kau duduklah di sini bersama kami.”
Ang-bin Sin-kai menjura tanda menghormat.
“Terima kasih, sungguh merupakan kehormatan besar sekali bahwa Baginda yang mulia sudi mengundang
dunia-kangouw.blogspot.com
hamba.”
Tanpa ragu-ragu lagi dia lalu melangkah maju dan menduduki sebuah bangku kosong, berhadapan dengan
dua orang tamu itu. Sepasang matanya memandang tajam sekali sehingga dua orang Tajik itu merasa
tidak enak sekali.
“Ha-ha-ha, Jiwi Ciangkun. Perkenalkanlah, ini adalah orang aneh dari timur yang disebut Ang-bin Sin-kai.
Dan Lu-koai-hiap, kedua orang tamu ini adalah panglima-panglima Tajik yang mewakili pemerintahannya
menyatakan perdamaian dengan negeri kita.”
Ang-bin Sin-kai hanya menerima perkenalan ini dengan sikap dingin, kemudian tanpa sungkan-sungkan
lagi dia mempergunakan sumpitnya yang panjang untuk menjangkau mangkok-mangkok masakan yang
paling enak. Baginda Kaisar tertawa melihat ini dan memberi isyarat kepada pelayan untuk menambah
arak.
Walau pun nampaknya bersikap acuh tak acuh, akan tetapi diam-diam Ang-bin Sin-kai memperhatikan
gerak-gerik dua orang tamu itu, panglima-panglima yang bertubuh tinggi besar itu. Mendadak mukanya
berubah pucat, kemudian perhatiannya tercurah kepada tangan-tangan kedua orang tamu itu yang
memegang sumpit.
Pada saat mereka telah minum kosong cawan arak dan baginda nampak gembira sekali. Seorang di antara
dua tamu itu mengambil guci arak dengan tangan kanan dan mengisi cawan kosong baginda kaisar.
Kemudian dia pun memenuhi cawan Ang-bin Sin-kai dan cawannya sendiri beserta kawannya.
“Hamba menyuguhkan secawan arak untuk keselamatan kaisar. Hidup Baginda Kaisar, semoga panjang
usianya!” katanya sambil mengangkat cawan araknya.
Kaisar Hian Tiong tertawa sambil mengangkat cawan araknya. Akan tetapi sebelum dia meneguk araknya,
tiba-tiba tangan Ang-bin Sin-kai bergerak dan cawan itu terlempar dari tangan baginda!
“Lu-koai-hiap...!” kaisar menegur marah.
Akan tetapi Ang-bin Sin-kai memandang kepada penyuguh arak itu dengan marah sekali. “Kalian bukan
orang Tajik! Kalian adalah jahanam-jahanam pembunuh! Hayo mengaku, siapa kalian?!” Ang-bin Sin-kai
berdiri dan sikapnya mengancam sekali.
Kaisar Hian Tiong pucat dan mengira bahwa pengemis sakti itu sudah menjadi mabuk. Selagi dia hendak
menegur, tiba-tiba dua orang tamunya itu menggerakkan tangan dan berkeredepan benda-benda yang
menyambar ke arah tubuh kaisar serta Ang-bin Sin-kai. Benda-benda ini adalah pisau-pisau mengkilat,
semacam senjata rahasia yang sangat tajam, runcing dan dilemparkan dengan tenaga kuat sekali.
Kaisar memekik kaget dan hendak membuang diri ke belakang untuk mengelak, namun Ang-bin Sin-kai
sudah mendahuluinya, menggerakkan sepasang sumpitnya mengibas. Maka, runtuhlah empat buah pisau
yang menyambar baginda. Ada pun empat buah lagi yang menyambar ke arah Ang-bin Sin-kai, dipukul
runtuh dengan tangan kirinya!
“Celaka...!” Seorang di antara dua orang Tajik itu mengeluh.
Akan tetapi pada saat itu Ang-bin Sin-kai telah melompat dan tubuhnya menyambar ke arah penyuguh arak
dengan sepasang sumpit menusuk matanya!
Panglima Tajik itu cepat mengelak, tetapi sumpit di tangan Ang-bin Sin-kai seakan-akan bermata, karena
sumpit itu mengejar terus dan akhirnya terdengar jerit mengerikan ketika sepasang sumpit daging itu
menancap pada mata panglima yang tadi menyuguhkan arak kepada kaisar! Tubuhnya terguling dan dia
berkelojotan.
Tiba-tiba kembali menyambar pisau-pisau terbang dan kali ini pisau-pisau itu mengenai tubuh orang yang
sudah terluka matanya ini, menancap di ulu hati dan leher sehingga orang itu seketika tewas tanpa dapat
bersambat lagi. Orang Tajik ke dua itulah yang tadi melepaskan pisau membunuh kawannya sendiri dan
kini tubuhnya berkelebat lari ke arah pintu.
“Bangsat hina, hendak lari ke mana kau?!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Ang-bin Sin-kai melompat mengejar. Akan tetapi gerakan penjahat itu benar-benar cepat sekali sehingga
sebentar saja dia telah melompat ke atas genteng. Namun, mana mau Ang-bin Sin-kai memberi hati
kepadanya? Kakek sakti ini pun melompat dan mengejar terus dengan kecepatan melebihi anak panah.
Kaisar Hian Tiong bertepuk tangan memberi tanda kepada para penjaga, maka tak lama kemudian
ramailah keadaan di situ. Ruangan itu segera penuh dengan para penjaga dan pengawal kaisar. Song Cin
mengepalai para penjaga untuk melakukan pengejaran pula dan dia sendiri lantas melompat ke atas
genteng mengejar Ang-bin Sin-kai yang masih berlari-lari menyusul tamu Tajik tadi.
“Bangsat pengkhianat, kau hendak lari ke mana?” Ang-bin Sin-kai berseru keras, tangan kanannya
menjangkau ke depan hendak mencekik tengkuk penjahat.
Karena merasa tiada gunanya melarikan diri dari kakek sakti itu, penjahat ini mendadak membalikkan
tubuhnya dan dua tangannya terayun. Maka, delapan buah pisau terbang menyambar kepada Ang-bin Sinkai.
Boleh jadi kepandaiannya melempar pisau terbang itu untuk orang lain amat berbahaya, akan tetapi
terhadap Ang-bin Sin-kai, serangan ini tidak ada bedanya dengan permainan kanak-kanak belaka. Dengan
menggerakkan kedua tangannya, delapan pisau itu telah tertangkap semua oleh Ang-bin Sin-kai!
Penjahat itu terbelalak memandang kehebatan lawannya ini dan dia lalu berlaku nekat. Ketika Ang-bin Sinkai
menubruk, tubuh penjahat itu tanpa sebab telah terpelanting jatuh dan menggelundung di atas genteng.
Ang-bin Sin-kai merasa amat heran dan cepat menyambar tubuh orang yang akan jatuh ke bawah itu,
karena dia ingin menangkapnya hidup-hidup untuk ditanyai keterangan. Akan tetapi ternyata bahwa orang
itu telah mati dengan sebatang pisau menancap di ulu hatinya!
Melihat kedatangan Song Cin, Ang-bin Sin-kai lalu melemparkan tubuh penjahat yang sudah menjadi
mayat itu kepada kepala penjaga ini, kemudian dia berlarian kembali ke ruang makan. Ternyata bahwa
penjahat yang pertama juga sudah mati.
“Lu-koai-siap, bagaimana kau bisa tahu bahwa mereka bukan orang Tajik dan mereka mengandung
maksud tidak baik kepada kami?” tanya kaisar kepada Ang-bin Sin-kai.
Kakek ini tersenyum. “Mudah saja. Ketika tadi hamba makan bersama mereka, hamba melihat cara
mereka memegang sumpit tidak seperti kebiasaan orang-orang Tajik yang hamba ketahui baik-baik.
Sumpit ke dua mereka pegang di antara ibu jari dan telunjuk seperti cara kita, sedangkan kebiasaan orangorang
Tajik memegang sumpit ke dua di antara telunjuk dan jari tengah. Kemudian, ketika penyuguh arak
tadi menuangkan arak dari guci ke cawan Paduka, hamba sempat melihat dia melepaskan bubuk putih
secara pandai dan tidak kentara, maka tahulah hamba bahwa dia mencampuri racun ke dalam arak itu dan
hamba segera bertindak mencegah Paduka meminumnya.”
Kaisar mengangguk-angguk. “Sungguh heran sekali mengapa mereka dapat membawa surat dari Anciangkun!”
“Hemm, kalau hamba yang mengurus perkara ini, akan hamba selidiki keadaan An Lu Shan itu! Paduka
terlampau banyak mencari hiburan dan kesenangan hingga lalai dalam memperhatikan keadaan para
petugas. Dan juga kematian selir Paduka belum lama ini, adalah akibat dari kelalaian Paduka sendiri.
Maafkan kelancangan hamba ini, akan tetapi hamba hanya mau membuka mulut bukan semata untuk
mencela, akan tetapi ini demi kebaikan Paduka dan negara! Sekarang ijinkanlah hamba pergi!” Tanpa
menanti ijin dari kaisar, Ang-bin Sin-kai berkelebat dan lenyap dari situ.
Akan tetapi pada keesokan harinya, datang serombongan perwira utusan An Lu Shan yang menyatakan
bahwa cap kebesaran An Lu Shan sudah tercuri orang dan bahwa kini panglima itu meminta cap baru dari
kaisar. Pemberitahuan ini dilakukan karena khawatir kalau-kalau cap yang lenyap itu disalah gunakan oleh
orang lain!
Dengan adanya pemberitahuan ini, lenyaplah semua kecurigaan kaisar terhadap diri An Lu Shan dan inilah
kesalahan kaisar. Kalau saja dia menyuruh orang menyelidiki lebih teliti, tentu akan diketahuinya bahwa
memang diam-diam An Lu Shan memiliki cita-cita memberontak dan sebenarnya kedua orang yang
mengaku sebagai perwira-perwira Tajik itu adalah kaki tangannya yang diberi tugas untuk membunuh
dunia-kangouw.blogspot.com
kaisar…..
********************
Kita ikuti perjalanan Lu Kwan Cu, bocah gundul yang diculik Kiu-bwe Coa-li. Biar pun dia merasa dongkol
sekali atas perbuatan Kiu-bwe Coa-li terhadap dirinya namun berada di dekat Sui Ceng yang bicara
dengan lucu dan menghibur dengan kata-kata membesarkan hati, Kwan Cu berlaku tenang dan mulai
memutar otaknya.
Dia dapat menduga apa maksud wanita sakti itu menculiknya. Tentu ada hubungannya dengan kitab Imyang
Bu-tek Cin-keng, pikirnya. Kalau tidak untuk kitab itu, apa perlunya Kiu-bwe Coa-li menculiknya.
Tak lama kemudian setelah Bun Sui Ceng menggendong dan meletakkannya di pinggir hutan, datanglah
Kiu-bwe Coa-li dan sekali menepukkan tangannya ke pundak Kwan Cu, bocah gundul ini terbebas dari
totokannya. Diam-diam Kiu-bwe Coa-li memuji anak ini, karena begitu terbebas, Kwan Cu sudah lantas
melompat berdiri, seakan-akan dia tidak terpengaruh sama sekali oleh bekas totokannya itu.
Padahal, untuk orang biasa, kalau habis mengalami pengaruh totokannya, tentu sampai beberapa lama
akan menjadi kaku tubuhnya dan setelah digerak-gerakkan beberapa kali baru dapat bergerak seperti
biasa. Akan tetapi anak ini begitu terbebas, lantas saja bisa melompat berdiri.
“Suthai, kau benar-benar keterlaluan sekali!” Dengan mata bersinar marah segera Kwan Cu menegur Kiubwe
Coa-li! “Kalau ada keperluan dengan aku, mengapa tidak bertanya dengan baik-baik saja? Akan tetapi
kau malah tiba-tiba menyerang dan menculik, apakah perbuatan ini boleh dibuat bangga?”
Untuk sejenak Kiu-bwe Coa-li memandang bengong. Selama ini belum pernah ada orang yang berani
menegurnya seperti itu! Kemudian timbul marahnya.
“Anak setan, kau berani menegurku?” Tangan kirinya bergerak dan ujung lengan bajunya yang panjang
menyambar ke arah pipi Kwan Cu.
“Plakk!”
Kwan Cu merasa seakan-akan kepalanya disambar petir dan dia roboh berguling-guling, kemudian dia
melompat dengan berdiri pula dengan tegak, sedikit pun tidak takut. Juga rasa sakit tadi hanya di pipi saja
dan sekarang tidak terasa lagi.
“Kiu-bwe Coa-li merupakan nama besar yang sering kali kudengar dipuji-puji oleh semua orang gagah di
dunia kang-ouw. Akan tetapi, belum pernah aku mendengar bahwa tokoh besar ini hanya mempunyai
kesukaan memukul anak kecil yang tak mampu melawan!”
Mendengar ucapan ini, Kiu-bwe Coa-li menjadi marah dan sepasang matanya memancar sinar yang aneh
sekali. Memang benar-benar hebat sekali keberanian Kwan Cu, dia tidak saja menegur, bahkan sekarang
dia mencela tokoh besar yang ditakuti oleh semua orang gagah di dunia kang-ouw ini!
“Bocah setan penipu busuk!” Kiu-bwe Coa-li memaki sambil melompat maju dan kedua tangannya
menggigil dalam nafsunya hendak menghancurkan mulut kecil yang berani mencelanya itu. “Tidak
kuhancurkan kepalamu juga sudah untung kau! Kau telah berani menipuku, kemudian menegur, bahkan
sekarang mencela! Berapa banyak sih cadangan nyawamu maka berani main gila memutar lidah?”
Pecut di tangan Kiu-bwe Coa-li menggigil dan Sui Ceng memandang dengan khawatir sekali. Gurunya ini
memang baik, akan tetapi kalau sudah marah agaknya tidak ada iblis yang dapat melebihi keganasannya!
Maka ia tahu bahwa kali ini nyawa Kwan Cu takkan tertolong lagi. Cepat ia melompat maju ke depan
gurunya dan berkata,
“Suthai, harap jangan bunuh Kwan Cu. Teecu kasihan padanya, lagi pula, kalau dia mati, siapa yang akan
dapat menunjukkan di mana adanya Im-yang Bu-tek Cin-keng?”
Mendengar ini, cambuk yang sudah diangkat tadi turun kembali dan Sui Ceng bernapas lega. Akan tetapi,
alangkah kagetnya anak perempuan ini ketika tiba-tiba dia mendengar isak tangis dan ternyata bahwa
Kwan Cu kini telah duduk di atas tanah sambil menutup mukanya, menangis!
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja Kiu-bwe Coa-li menjadi terheran, bahkan Sui Ceng sendiri pun merasa heran sekali atas sikap
Kwan Cu. Dipukul, dimaki, dihina tidak pernah meruntuhkan air mata, sekarang tiada hujan tiada angin
menangis sedih!
Memang hal ini aneh sekali, karena tidak biasanya Kwan Cu menangis. Anak ini berhati keras dan amat
berani, bersemangat baja sehingga baginya merupakan pantangan untuk mengeluarkan air mata, apa lagi
air mata karena takut atau bingung. Akan tetapi, pada saat itu, hatinya merasa amat terharu dan berduka.
Kwan Cu masih merasakan kasih sayang yang diberikan oleh Loan Eng kepadanya, dan kepada nyonya
itu dia sudah menganggap seperti ibunya sendiri. Tadinya dia pun sudah merasa hancur hatinya
mendengar betapa Pek-cilan Thio Loan Eng dan suaminya telah terbunuh orang, akan tetapi dia masih
dapat menahan kedukaan hatinya. Kini, tiba-tiba dia melihat Sui Ceng bersikap membela dan berkasihan
kepadanya, maka tanpa dapat ditahan lagi Kwan Cu teringat akan kebaikan dan cinta kasih ibu anak ini
terhadap dia dan keharuan besar karena sikap manis Sui Ceng membuat dia terisak-isak!
Sui Ceng menjadi gelisah sekali dan bingung melihat bocah gundul itu menangis begitu sedihnya. Ia
khawatir kalau-kalau pukulan tangan gurunya tadi telah membuat otak Kwan Cu menjadi rusak dan atau
miring! Ia cukup maklum akan keganasan dan kehebatan tangan gurunya kalau memukul.
Sui Ceng maju mendekat dan mengulurkan tangan untuk meraba kepala Kwan Cu yang gundul, untuk
melihat apakah kepala itu terasa panas. Ternyata tidak terasa panas dan tidak apa-apa!
“Sui Ceng, apa kau mengira bocah ini gila?” Kiu-bwe Coa-li berkata dan hampir tak dapat menahan
senyumnya saking geli melihat perbuatan Sui Ceng.
Akan tetapi Sui Ceng seperti tidak mendengar ucapan gurunya, bahkan dia lalu bertanya kepada Kwan Cu
dengan suara halus,
“Kwan Cu, apamukah yang sakit? Kenapa kau menangis begitu sedih? Sudahlah, Kwan Cu, untuk apa
menangis terus? Sebenarnya dipikir-pikir hidup tidak begitu menyedihkan!” dalam usahanya menghibur
Kwan Cu, anak gadis yang masih kecil ini mengeluarkan kata-kata yang lucu.
Mendengar ini, Kwan Cu mengangkat mukanya. Dengan kekerasan hatinya dia sudah dapat menahan air
matanya dan kini dia berkata perlahan,
“Sui Ceng, aku tidak menyedihkan sesuatu, hanya hatiku merasa sakit apa bila teringat akan kematian
ibumu. Aku harus membalaskan dendamnya, walau aku akan berkorban nyawaku yang tak berharga!”
Sesudah mendengar ucapan Kwan Cu ini, tiba-tiba saja Sui Ceng mengeluh dan anak perempuan inilah
yang sekarang menangis sedih, tersedu-sedu menutupi muka dengan dua tangannya! Sekarang Kwan Cu
yang memegang pundaknya dan menghibur, seperti seorang kakak kepada adiknya.
“Siauw-pangcu, jangan menangis. Tak pantas seorang ketua perkumpulan besar seperti engkau
meruntuhkan air mata!” kata Kwan Cu.
Seketika keringlah air mata di mata Sui Ceng yang bening. Ia memandang Kwan Cu dan kini wajahnya
berseri.
“Kau benar! Aku harus seperti mendiang ayahku. Aku akan menahan derita ini dengan tabah dan sebagai
seorang Siauw-pangcu (ketua cilik), aku tidak boleh menangis. Akan tetapi, bukan kau yang berhak
membalaskan sakit hati ibuku, Kwan Cu. Kedua tanganku sendiri yang akan menghancurkan kepala Toatbeng
Hui-houw!” Setelah berkata begitu, Sui Ceng bangkit berdiri sambil mengepalkan kedua tangannya
yang kecil.
“Cukup semua itu, Sui Ceng! Apa sih sukarnya untuk mencari dan membunuh Toat-beng Hui-houw?
Jangan bersikap lemah seperti bukan muridku saja! Hayo lekas kau ceritakan, Kwan Cu. Di mana adanya
kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang asli? Awas, jangan kau membohong, karena sekali kau membohong,
kepalamu akan hancur oleh cambukku dan pinni tak mau mengampunimu lagi, biar pun Sui Ceng sayang
kepadamu.”
Mendengar disebutnya tentang Sui Ceng sayang kepadanya, Kwan Cu segera menoleh kepada anak
perempuan itu. Dia berkata mesra dengan wajah berseri, lalu mengangguk-anggukkan kepala yang gundul.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sui Ceng memang manis dan baik sekali, seperti ibunya...”
“Bocah gundul, jangan nyeleweng. Jawab pertanyaanku!” Kiu-bwe Coa-li membentak tak sabar.
Kwan Cu memandang kepada wanita sakti itu, sama sekali tidak nampak takut.
Sambil menahan kegemasannya, Kiu-bwe Coa-li berkata, “Di manakah adanya kitab asli Im-yang Bu-tek
Cin-keng?”
“Jika begitu pertanyaan Suthai, teecu tidak bisa menjawab karena memang teecu sendiri tidak tahu di
mana adanya kitab asli Im-yang Bu-tek Cin-keng.” Suara anak ini terdengar tegas, sepasang matanya
memandang jujur dan tabah.
Maka kecillah hati Kiu-bwe Coa-li. Tadinya dia mengharapkan akan mendengar petunjuk anak gundul itu
agar bisa memperoleh kitab pelajaran ilmu silat yang diidam-idamkannya semenjak lama sekali. Akan
tetapi mendengar jawaban Kwan Cu, ia tahu bahwa anak ini tidak membohong dan kecewalah hatinya.
Sesudah menentang pandang mata anak gundul itu sekian lamanya, Kiu-bwe Coa-li lalu berkata,
“Aku mau percaya omonganmu. Akan tetapi, kau dan gurumu mencari apakah di Bukit Liang-san?”
Tertegunlah Kwan Cu mendengar pertanyaan ini.
“Eh, eh, ehh, bagaimana Suthai dapat saja mengerti dan tahu akan segala gerakan teecu dan suhu?
Apakah Suthai selama ini mengikuti kami dan diam-diam menyelidiki segala kelakuan kami?”
Sepasang mata Kiu-bwe Coa-li bernyala lagi. Tangannya sudah merasa gatal-gatal untuk menampar
kepala gundul yang bicaranya selalu menusuk dan mengganggu hatinya itu.
“Kwan Cu, jawablah sebenarnya saja kepada Suthai,” Sui Ceng memberi nasehat karena gadis cilik ini
merasa khawatir kalau-kalau gurunya akan marah dan menyiksa Kwan Cu lagi.
Senang hati Kwan Cu mendengar kata-kata Sui Ceng ini. Betapa pun juga di dunia ini masih ada orangorang
yang menaruh hati kasihan kepadanya. Sepasang matanya yang lebar lalu memandang kepada Kiubwe
Coa-li dan berkata,
“Suthai, agaknya tidak perlu pula kusembunyikan lebih lama lagi. Pertama-tama karena Suthai sangat
bernafsu untuk mendapatkan tempat di mana disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng dan kedua
karena agaknya teecu memang tidak bernasib bagus untuk mendapatkan kitab itu. Ketahuilah bahwa teecu
mengajak suhu ke Liang-san disebabkan teecu hendak mencari kitab sejarah peninggalan guru teecu
mendiang Gui-siucai. Kitab sejarah itu ternyata telah dicuri orang!”
“Hemm, jangan bicara kacau balau! Apa perlunya kau bercerita mengenai kitab sejarah? Apa hubungannya
dengan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng?”
“Sebetulnya, jika orang hendak mencari di mana adanya kitab rahasia yang diperebutkan itu, orang harus
membaca kitab sejarah peninggalan Gui-siucai, karena di situ terdapat petunjuk-petunjuk tentang Im-yang
Bu-tek Cin-keng.”
Kiu-bwe Coa-li nampak bernafsu kembali. “Begitukah? Siapa yang sudah mencuri kitab sejarah itu? Hayo
katakan cepat!”
“Teecu bersama suhu sedang menyelidiki hal ini pula. Menurut penuturan orang dusun di lereng Liang-san,
yang datang adalah hwesio gundul gemuk sekali bersama muridnya, dan teecu sendiri ketika berada di
lereng, juga melihat bayangan mereka. Agaknya, tidak salah lagi, yang mencuri itu tentunya Jeng-kin-jiu
Kak Thong Taisu bersama muridnya. Kalau bukan mereka, siapa lagi?”
Kiu-bwe Coa-li menyumpah-nyumpah. “Keparat gundul!”
“Ehh, mengapa Suthai memaki teecu? Apa salahku?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tolol! Bukan kau yang kumaki. Melainkan Jeng-kin-jiu!”
Sui Ceng tertawa. “Kwan Cu, apa kau kira di dunia ini hanya kau sendiri yang gundul?”
Memang Sui Ceng mempunyai watak jenaka, di mana saja ada kesempatan, dia selalu memperlihatkan
wataknya ini. Kwan Cu juga tersenyum mendengar godaan ini.
“Kwan Cu, coba jelaskan sekali lagi, benar-benarkah di dalam kitab sejarah itu adanya petunjuk-petunjuk
mengenai tempat tersimpannya Im-yang Bu-tek Cin-keng? Kau tidak bohong?” tanya Kiu-bwe Coa-li,
sekarang suaranya tidak begitu galak lagi.
“Teecu bersumpah bahwa demikianlah yang teecu dengar dari mendiang Gui-sianseng. Betul tidaknya,
bagaimana teecu bisa memastikannya kalau teecu sendiri belum pernah melihat kitab sejarah itu?
Sebelum meninggal dunia, Gui-sianseng pernah meninggalkan pesan kepada teecu untuk mencari kitab itu
dan kemudian menurut petunjuk ini mencari tempat disimpannya kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akan
tetapi, sekarang teecu tidak bernafsu lagi untuk mendapatkan kitab aneh itu.”
“Mengapa?” Kiu-bwe Coa-li memandang tajam.
“Karena menurut mendiang Gui-sianseng, Im-yang Bu-tek Cin-keng disimpan di sebuah pulau kosong yang
sukar sekali didatangi orang. Sekarang orang-orang gagah di seluruh dunia yang berkepandaian tinggi
seperti Suthai sendiri dan yang lain-lain, sudah turun tangan memperebutkan kitab itu. Bagaimana seorang
bodoh seperti teecu ada harapan? Tidak, teecu tak begitu bodoh untuk membuang waktu memperebutkan
kitab yang belum tentu berguna bagi teecu sendiri.”
“Bagus, memang sebaiknya kau jangan membuang nyawamu untuk mencarinya. Lebih baik kau membantu
aku mencarinya. Hayo kita menyusul si gundul Jeng-kin-jiu ke kota raja!”
Demikianlah Kiu-bwe Coa-li membawa Kwan Cu dan Sui Ceng menuju ke kota raja. Akan tetapi karena
wanita sakti ini maklum bahwa Ang-bin Sin-kai tentunya tidak akan tinggal diam dan pasti berusaha
mencari muridnya, maka dia mengambil jalan memutar melalui hutan-hutan besar agar jangan sampai
bertemu dengan Ang-bin Sin-kai.
Bukan sekali-kali Kiu-bwe Coa-li takut menghadapi pengemis sakti itu, melainkan dia tak ingin usahanya
untuk mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng terganggu. Kalau dia sudah mendapatkan kitab itu, dia tidak
akan peduli siapa pun juga akan mengganggunya. Dia sedang mencari kitab sejarah yang menurut Kwan
Cu dicuri oleh Jeng-kin-jiu. Sedangkan menghadapi Jeng-kin-jiu seorang pun sudah merupakan hal yang
tidak boleh dipandang ringan, apa lagi kalau harus ditambah gangguan dari Ang-bin Sin-kai!
Karena itulah maka biar pun Ang-bin Sin-kai melakukan perjalanan cepat, pengemis sakti ini tidak bertemu
dengan muridnya yang diculik oleh Kiu-bwe Coa-li.
Pada suatu hari, Kiu-bwe Coa-li mengajak dua orang anak itu berhenti di sebuah hutan yang luas. Kiu-bwe
Coa-li adalah seorang wanita sakti yang memiliki kesenangan aneh sekali, yakni memancing ikan! Dan di
dalam hutan itu terdapat sebuah telaga, terdengar suara air bercipakan dan kelihatan perut-perut ikan yang
mengkilap ketika ikan-ikan itu bercanda dan timbul di permukaan air. Melihat semua ini, keinginan Kiu-bwe
Coa-li untuk memancing tak dapat ditahan lagi!
Kesenangan ini bukan karena Kiu-bwe Coa-li terlampau doyan makan daging ikan, sama sekali bukan. Dia
senang memancing karena kesenangan atau kenikmatan yang hanya dapat dirasa oleh para pemancing
ikan, yakni kesenangan yang dirasakan pada waktu pancing atau kail digondol ikan. Ketegangan, harapan
dan kepuasan terasa di dalam hati apa bila ujung kail disambar ikan.
Kiu-bwe Coa-li membuat gagang pancing dari ranting bambu dan tak lama kemudian kaki wanita sakti ini
duduk di atas sebuah batu besar di pinggir telaga, memegang gagang pancing, diam tak bergerak dan
sama sekali lupa akan keadaan sekelilingnya, juga tidak mempedulikan lagi kepada Sui Ceng dan Kwan
Cu.
Dua orang anak itu menjadi bosan juga menunggui wanita itu memancing ikan, maka keduanya lalu pergi
berjalan-jalan di dalam hutan. Sui Ceng paling suka akan kembang-kembang indah, maka ia mengajak
Kwan Cu mencari bunga-bunga yang banyak tumbuh di dalam hutan. Mereka berjalan-jalan sambil
bercakap-cakap.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Lihat, Sui Ceng... Di sana ada kembang cilan!” tiba-tiba Kwan Cu berseru girang sambil menudingkan
telunjuknya ke arah serumpun pohon bunga cilan.
Akan tetapi kegembiraan hati Kwan Cu segera lenyap dan mukanya menjadi menyesal sekali ketika dia
melihat wajah Sui Ceng. Gadis cilik ini menjadi pucat sekali dan berdiri seperti patung, sedangkan
sekelompok bunga yang tadi dipetik dan dipegangnya, tanpa terasa pula jatuh ke atas tanah.
“Aduh, maaf... Sui Ceng... maafkan aku. Aku tidak sengaja mengingatkan kau...,” berkata Kwan Cu sambil
memegang tangan Sui Ceng. Seperti seorang kakak yang menghibur adiknya, Kwan Cu menggunakan
tangan untuk menghapus air mata yang mengalir di pipi Sui Ceng!
“Sudahlah, Sui Ceng, kematian ibumu tak perlu selalu disedihkan. Aku bersumpah akan mencari kemudian
memecahkan kepala Toat-beng Hui-houw manusia jahanam itu untuk membalas sakit hati ibumu!”
Kwan Cu tahu bahwa tentu Sui Ceng teringat kepada ibunya ketika melihat bunga cilan, karena ibunya
sangat suka akan bunga ini, bahkan ibunya mendapat julukan Pek-cilan (Bunga Cilan Putih) karena sering
memakai bunga cilan sebagai penghias rambutnya.
“Apa yang kau katakan?” Sui Ceng membelalakkan kedua matanya memandang kepada Kwan Cu seperti
orang marah. “Keparat jahanam Toat-beng Hui-houw tidak boleh dibikin mampus oleh orang lain. Aku
sendiri yang akan membelek dadanya dan mengeluarkan jantungnya, lalu memenggal kepalanya untuk
kupergunakan sembahyang kepada ibu!”
“Ha-ha-ha! Dua ekor anak domba berdaging empuk lagi bersombong hendak membunuh seekor harimau
jantan. Ha-ha-ha!” tiba-tiba terdengar suara ketawa.
Suara ini begitu menyeramkan, besar dan serak sehingga Kwan Cu dan Sui Ceng kaget bukan main.
Kedua orang anak ini cepat menengok dan alangkah terkejut hati mereka ketika di hadapan mereka telah
berdiri seorang kakek yang bentuk tubuh dan wajahnya aneh sekali. Apa lagi Sui Ceng yang mengenal
kakek ini, wajahnya lantas menjadi pucat seketika.
Kakek ini tubuhnya agak bongkok, kepala penuh cambang bauk berwarna putih dan yang mengerikan
adalah kedua tangannya, karena sepuluh jari di tangannya berkuku panjang melengkung seperti cakar
harimau. Ada pun kedua kakinya telanjang sama sekali.
“Toat-beng Hui-houw...!” seru Sui Ceng yang pernah bertemu dengan siluman ini.
Mendengar disebutnya nama ini, serentak Kwan Cu mengepal tinjunya dan memandang dengan mata
marah. Sama sekali dia tidak menjadi takut lagi melihat wajah yang sangat menyeramkan itu. Jadi inikah
pembunuh dari Pek-cilan Thio Loan Eng?
Kembali Toat-beng Hui-houw tertawa bergelak.
“Bocah gundul jelek! Kau tadi bilang hendak memecahkan kepala Toat-beng Hui-houw? Ha-ha-ha! Akulah
yang akan memecahkan kepalamu dan kumakan otakmu yang kental membeku! Dan kau... kuncup bunga
yang cantik, jantungmu tentu empuk dan darahmu hangat manis, lebih hangat dan lebih manis dari pada
darah ibumu. Ha-ha-ha!”
Sui Ceng dan Kwan Cu yang sudah tak dapat menahan kemarahannya pula, telah maju berbareng dan
menyerang dengan pukulan mereka yang biar pun dilakukan oleh lengan tangan kecil, namun
mendatangkan angin pukulan yang hebat juga. Melihat gerakan ini, Toat-beng Hui-houw menjadi gembira
sekali.
“Anak-anak baik... bertulang bersih... ha-ha-ha!”
Dia lalu mainkan ilmu silatnya dengan cepat, mempergunakan sepasang tangannya yang berkuku panjang
untuk menangkap tangan kedua anak itu yang menyerang.
Akan tetapi, baik Sui Ceng mau pun Kwan Cu adalah murid-murid orang pandai, maka mereka tidak main
seruduk saja dan di dalam ilmu silat mereka sudah mendapat latihan dasar yang tinggi. Melihat bentuk
kuku dan gerakan tangan manusia yang seperti iblis itu, mereka tidak membiarkan tangan mereka
dunia-kangouw.blogspot.com
terpegang. Keduanya menggunakan ginkang untuk bergerak ke sana ke mari menjauhi jangkauan tangan
lawan sambil menyerang ke arah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dan lemah.
Namun kedua orang anak ini masih terlalu muda dan tenaga mereka kurang kuat. Biar pun sudah dua kali
Kwan Cu berhasil menggunakan ilmu pukulan dari Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to dan menghantam lambung
Toat-beng Hui-houw, akan tetapi pukulannya yang keras dan mengandung tenaga lweekang itu seolaholah
mengenai benda dari karet saja dan terpental kembali membuat tubuhnya sendiri terhuyung-huyung!
Juga Toat-beng Hui-houw terkejut sekali karena pukulan anak ini antep sekali. Baiknya dia telah menduga
bahwa mereka ini adalah murid-murid orang pandai, maka semenjak siang-siang dia sudah mengerahkan
lweekang pada tubuhnya ketika menerima pukulan-pukulan yang cepat itu sehingga dia dapat menolak
pukulan itu dan tidak menderita luka.
Juga Sui Ceng memperlihatkan kecepatannya. Pernah dua jarinya menotok jalan darah di punggung kakek
ini, namun ternyata bahwa jarinya mengenai kulit lemas dan daging yang tak berurat. Ia kaget dan maklum
bahwa kakek seperti iblis ini telah menggunakan Ilmu Pi-ki Hu-hiat (Menutup Hawa Melindung Jalan Darah)
sehingga totokannya itu gagal sama sekali.
Tapi Sui Ceng benar-benar memiliki gerakan seperti burung walet cepatnya. Tangannya yang kecil itu
meluncur laksana seekor ular dan tahu-tahu dua jarinya dipentang lantas menusuk sepasang mata Toatbeng
Hui-houw!
Harimau Terbang Pencabut Nyawa ini mengeluakan seruan tertahan. Hebat bukan main serangan anak
perempuan ini, karena kalau matanya terkena tusukan jari tangan, tentu dia akan menjadi buta. Maka dia
cepat melompat ke atas untuk menghindarkan tusukan ke arah matanya.
Tidak tahunya Sui Ceng benar-benar cerdik sekali. Pada saat tangannya tidak berhasil menusuk mata
lawan yang melompat tinggi, cepat ia menjambret jenggot dan membetot dengan gentakan keras.
“Aduuuuuuhhh...!”
Toat-beng Hui-houw menjerit lalu menggereng bagai seekor harimau dicabut jenggotnya. Sebagian dari
bulu jenggotnya telah tercabut oleh tangan Sui Ceng! Bukan main sakitnya sehingga matanya sampai
mengeluarkan air mata. Pedas dan perih.
Hal ini mendatangkan marah yang luar biasa. Begitu dia menubruk sambil mengeluarkan suara
mengerikan, Kwan Cu dan Sui Ceng tidak dapat mengelak lagi dan kedua orang anak ini telah tertangkap!
Kwan Cu dan Sui Ceng tak mau mengalah begitu saja dan cepat menggerakkan tangan memukul, namun
segera mereka menjadi lemas dan habislah seluruh tenaga pada waktu Toat-beng Hui-houw menekan
pundak mereka dengan tangan yang berkuku panjang.
Toat-beng Hui-houw tertawa bergelak dan beberapa kali dia mempergunakan tangannya mengelus-elus
kulit leher Sui Ceng yang halus, seakan-akan seorang anak kecil melihat kulit buah leeci yang halus dan
menggairahkan!
Sui Ceng yang tidak berdaya menutup matanya dengan ngeri karena dia teringat betapa leher ibunya juga
sudah digigit dan dihisap darahnya oleh manusia siluman ini! Ada pun Kwan Cu yang dielus-elus
kepalanya, merasa bergidik pula karena kepalanya tentu akan dipecahkan dan otaknya dilalap oleh setan
ini seperti ancamannya tadi.
“Ha-ha-ha! Sukar untuk memilih, makan otak dulu atau minum darah dulu. Sama-sama enaknya, samasama
manisnya!” kakek ini bicara seorang diri seperti seorang kelaparan menghadapi arak wangi dan
daging muda, bingung untuk mengambil keputusan, makan dulu atau minum dulu!
“Toat-beng Hui-houw, kau boleh membunuhku, akan tetapi jangan kau mengganggu Sui Ceng. Tidak
kasihankah kau melihat dia? Tidak malukah kau membunuh seorang anak perempuan kecil seperti dia?”
kata Kwan Cu.
Meski dia dan Sui Ceng berada di bawah pengaruh totokan yang lihai sehingga menjadi lumpuh, akan
tetapi kedua orang anak ini tadi mengumpulkan tenaga lweekang sehingga mereka dapat melindungi
penapasan dan tidak kehilangan suara mereka sehingga masih dapat bicara.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwan Cu hendak menolong Sui Ceng, dia sendiri rela mati. Akan tetapi tak disangkanya, anak perempuan
itu mempunyai keberanian yang tidak kalah olehnya. Sui Ceng bahkan menjadi marah dan membentak,
“Kwan Cu, kau kira aku takut mati? Biarkan iblis ini membunuhku, nyawaku akan selalu mengejarnya.
Sebelum menghancurkan kepalanya, nyawaku akan terus menjadi setan penasaran!”
Toat-beng Hui-houw tertawa ha-ha-he-he sambil memandang bergantian kepada kedua anak itu.
“Hemm, aku tidak suka melihat matamu melotot terus memandangku. Kau akan kumakan dulu otakmu!”
katanya kepada Kwan Cu sambil mendekati anak itu.
“Bagus, Toat-beng Hui-houw, mau bunuh lekaslah bunuh, aku tidak takut! Akan tetapi kalau kau berani
mengganggu Sui Ceng, hemm... kurasa kau tidak akan lama sanggup mempertahankan kepalamu yang
botak itu, karena gurunya, Kiu-bwe Coa-li, tentu selalu akan mengejar-ngejarmu!”
Benar saja, mendengar nama ini, berubahlah wajah Toat-beng Hui-houw. Dia memang tahu bahwa Sui
Ceng adalah murid Kiu-bwe Coa-li, nenek sakti yang ditakutinya, dan tadi dia lupa sama sekali akan nenek
ini. Matanya segera jelalatan ke kanan kiri, mencari-cari kalau-kalau nenek itu berada di dekat situ.
“Aku harus cepat-cepat membereskan kalian!” katanya dan tangannya sudah diangkat tinggi untuk
memukul pecah kepala gundul itu.
Akan tetapi, kata-kata Kwan Cu tadi mengingatkan Sui Ceng akan gurunya, maka ia lalu mengumpulkan
tenaga dan menjerit keras sekali.
“Suthai...! Tolong teecu!”
Mendengar jeritan itu, Toat-beng Hui-houw terkejut sekali. Ia tidak jadi memukul kepala Kwan Cu, bahkan
sebaliknya dengan sekali meloncat dia telah berada di dekat Sui Ceng dan kedua tangannya mencekik
leher anak itu.
“Jangan membuka mulut, kau...!”
Akan tetapi, jeritan Sui Ceng tadi sudah membangunkan Kiu-bwe Coa-li dari keadaannya yang seperti
sedang mimpi di pinggir telaga. Pada saat itu, pancingnya sedang digondol ikan dan ia tengah menikmati
perjuangan ikan itu yang hendak melepaskan pancing yang mengait mulutnya. Mendadak dia mendengar
jerit muridnya dan bagaikan seekor burung garuda yang dikagetkan oleh sesuatu, tubuhnya berkelebat ke
arah suara muridnya.
“Toat-beng Hui-houw, lepaskan muridku kalau kau tak ingin mampus!” bentaknya marah dan disusul oleh
bunyi bergeletar keras sekali.
Dalam kemarahannya, Kiu-bwe Coa-li telah mengeluarkan cambuknya dan kini sembilan helai bulu
cambuk menyambar-nyambar mengancam di atas kepala Toat-beng Hui-houw.
Kakek berkuku panjang itu melepaskan cekikannya, akan tetapi dia memegangi tangan Sui Ceng dan
berkata menyeringai.
“Kiu-bwe Coa-li, siapa mau mengganggu muridmu? Aku hanya main-main saja.”
“Bangsat tua bangka! Siapa tidak mengenal watakmu yang curang? Hayo kau lepaskan muridku. Berlaku
lamban berarti kepalamu akan hancur oleh cambukku!” Kiu-bwe Coa-li mengancam dengan sikap garang
sekali.
“Ha-ha-ha! Bila aku curang, apakah kau juga boleh dipercaya? Muridmu berada di dalam tanganku dan
cobalah kau bergerak kalau berani. Sebelum aku terkena cambukmu, pasti nyawa muridmu akan melayang
lebih dulu!”
“Apa yang kau kehendaki manusia jahat?” Kiu-bwe Coa-li ragu-ragu untuk menyerang, karena maklum
bahwa Toat-beng Hui-houw bisa membuktikan ancamannya itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aku mau melepaskan muridmu ini, akan tetapi bocah gundul ini akan kubawa. Otaknya bagus sekali untuk
punggungku yang suka sakit pada musim dingin karena sudah kurang isinya! Dan pula, sebelum aku
melepaskan muridmu, lebih dulu kau harus berjanji tidak akan menyerangku!”
Kiu-bwe Coa-li memutar otaknya. Dia lebih menyayangkan nyawa muridnya dan tentang Kwan Cu, ia tidak
peduli akan anak itu. Maka ia lalu berkata dengan suara dingin,
“Kau mau bawa anak gundul itu, bukan urusanku. Kalau kau melepaskan muridku, aku pun tak sudi
berurusan dengan orang macam kau lagi!”
Tadinya memang Kiu-bwe Coa-li sangat membutuhkan bantuan Kwan Cu. Akan tetapi sekarang anak itu
sudah memberi tahu tentang kitab sejarah yang menjadi petunjuk di mana adanya kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng, dan kitab itu sudah dicuri oleh Jeng-kin-jiu, maka untuk apa lagi membawa anak itu? Membikin
repot saja!
Setelah mendengar kata-kata gurunya ini, Sui Ceng terkejut sekali.
“Suthai, jangan berikan Kwan Cu kepadanya! Siluman itu hendak memecahkan kepala Kwan Cu dan
hendak makan otaknya!”
“Peduli amat! Aku tidak perlu lagi dengan anak itu!” jawab subo-nya.
Ada pun Toat-beng Hui-houw, sesudah mendengar janji yang dikeluarkan oleh Kiu-bwe Coa-li, menjadi
girang dan segera melepaskan Sui Ceng. Kemudian dia melompat dan mengempit tubuh Kwan Cu, pergi
dari situ sambil berkata,
“Selamat tinggal, Kiu-bwe Coa-li!”
“Siluman jahat, lepaskan Kwan Cu!” Sui Ceng membentak dan hendak mengejar.
“Sui Ceng, jangan kejar dia!” Gurunya mencegah.
“Suthai, dia hendak membunuh Kwan Cu! Dan dialah pembunuh ibuku! Bagaimana teecu harus diam
saja?” Kembali Sui Ceng menggerakkan kedua kakinya hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba gurunya
memegang pundaknya sehingga dia tidak dapat bergerak lagi.
“Tidak, Sui Ceng. Aku telah memberi janjiku tak akan mengganggunya. Soal pembalasan dendam, mudah
saja. Lain kali kalau kita bertemu dengan dia, pasti dia tidak akan kuberi ampun lagi. Kali ini aku terpaksa
melepaskannya, karena kalau tidak, kau tadi tentu akan dibunuhnya.”
Sui Ceng memandang ke arah bayangan Toat-beng Hui-houw yang membawa Kwan Cu dan air matanya
membanjir keluar.
“Kwan Cu...! Kwan Cu...!” Ia menjerit-jerit dengan hati perih.
Kwan Cu yang dikempit oleh Toat-beng Hui-houw dan dibawa lari cepat, merasa sangat mendongkol
kepada Kiu-bwe Coa-li.
“Kiu-bwe Coa-li benar-benar orang bong-im-pwe-gi (orang tak kenal budi). Walau pun dia mendapatkan
kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, mana dapat dia membacanya? Dan orang macam Toat-beng Hui-houw ini
dengan kepandaiannya yang rendah dan sifatnya yang pengecut, mana bisa dia menjagoi di dunia kangouw?”
Mendengar kata-kata ini, Toat-beng Hui-houw cepat-cepat melepaskan kempitannya dan menurunkan
Kwan Cu di atas tanah.
“Kau bicara apa tadi?” tanyanya.
“Aku bicara sendiri, apa hubungannya dengan kau?”
“Aku hendak makan otakmu, akan tetapi jika otakmu miring, jangan-jangan aku akan ikut menjadi gila. Kau
bicara seorang diri, bila tidak miring otakmu, apa lagi? Kau sebut-sebut Im-yang Bu-tek Cin-keng, kau tahu
dunia-kangouw.blogspot.com
apakah tentang kitab itu?”
“Toat-beng Hui-houw, kau bermimpi! Kiu-bwe Coa-li membawaku, ada perlu apakah jika tidak
menghendaki kitab itu? Hanya aku seorang yang akan bisa mendapatakan kitab itu. Sayang kitab itu akan
terjatuh ke dalam tangan orang yang tidak pandai membacanya, karena mendiang Gui-siucai hanya
mengajarkan tulisan itu kepadaku seorang,” Kwan Cu dengan cerdik menggunakan akal untuk menarik
perhatian orang menyeramkan ini.
“Apa maksudmu? Apakah di dunia ini sungguh-sungguh terdapat kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng?”
“Tentu saja ada! Lima tokoh besar dunia sedang memperebutkan kitab itu dan siapa saja yang
mendapatkannya dan bisa membacanya, tentu akan mempunyai kepandaian yang tak terlawan oleh siapa
pun juga di dunia ini. Akan tetapi kau, yang mempunyai kesukaan makan otak dan darah, perlu apa
bertanya-tanya? Mau bunuh padaku, lekas bunuh, agar aku tidak dipaksa-paksa oleh para tokoh kang-ouw
untuk mencarikan kitab itu dan untuk menterjemahkannya!”
“Benarkah kau bisa mencarikan kitab itu, bocah gundul? Di mana adanya kitab itu?”
“Mau apa kau bertanya-tanya?”
“Setan cilik! Bila kau sanggup mendapatkan kitab itu untukku, aku mau menukar dengan kepalamu!”
“Sukar, sukar...! Untuk mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, hanya ada sebuah petunjuk yang
terdapat di dalam kitab sejarah peninggalan Gui Tin siucai.”
“Di mana adanya kitab sejarah itu?“ Toat-beng Hui-houw mendesak dan Kwan Cu girang sekali melihat
umpannya mulai berhasil.
“Kitab itu telah dicuri oleh Ang-bin Sin-kai!”
Terbelalak mata Toat-beng Hui-houw mendengar ini.
“Sukar kalau begitu!” Ia menggeleng-gelengkan kepalanya yang botak, lalu memandang ke arah Kwan Cu
yang gundul kelimis, agaknya mulai tertarik lagi dengan otak di dalam kepala gundul itu.
Kwan Cu cepat berkata, “Apa sukarnya! Memang, kepandaian Kiu-bwe Coa-li amat tinggi dan seandainya
kitab itu berada di tangannya, akan sukarlah bagimu merampasnya. Akan tetapi Ang-bin Sin-kai...? Kakek
yang berpenyakitan itu? Ahh, menghadapi Kiu-bwe Coa-li saja dia kalah jauh dan tidak dapat menahan
serangan nenek itu lebih dari sepuluh jurus!”
“Apa katamu? Ang-bin Sin-kai terkenal dengan kepandaiannya yang amat tinggi!”
“Toat-beng Hui-houw, kalau tidak percaya, sudahlah. Aku tidak mau banyak bicara lagi.”
Toat-beng Hui-houw mulai tertarik lagi melihat sikap Kwan Cu.
“Bocah gundul, betul-betulkah kata-katamu itu?”
“Siapa membohong? Ang-bin Sin-kai mendapatkan kitab itu atas bantuanku. Kemudian dia dan aku
bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa dia melarikan
diri setelah dihajar oleh cambuk Kiu-bwe Coa-li. Kini dia lari dan dikejar-kejar oleh Kiu-bwe Coa-li, dan
hanya aku yang tahu di mana Ang-bin Sin-kai dengan kitab sejarah yang dibawanya itu?”
“Di mana?”
“Di kota raja!”
Toat-beng Hui-houw berpikir-pikir sejenak. Apa salahnya kalau dia pun mencoba-coba mendapat kitab
sejarah itu untuk kemudian mendapatkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Sudah lama dia mendengar
tentang kitab pelajaran yang tiada bandingannya di dunia ini dan apa bila benar-benar dia dapat
mendapatkan kitab itu atas bantuan anak gundul ini, bukankah dia akan menjagoi di seluruh permukaan
bumi? Ia tidak akan perlu takut lagi menghadapi Kiu-bwe Coa-li dan tokoh-tokoh lain.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sedangkan anak ini... andai kata dia membohong, masih belum terlambat baginya untuk memecahkan
batok kepalanya dan makan otaknya. Dan lagi, apa salahnya kalau kelak setelah dia bisa mendapatkan Imyang
Bu-tek Cin-keng atas bantuan anak ini, dia makan juga otaknya?
“Kalau begitu, mari kita menyusul ke kota raja,” katanya kemudian.
“Apa kau tidak mau makan otakku lagi?” tanya Kwan Cu berani.
“Tidak, otakmu perlu kupergunakan untuk mencari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi awas, apa bila
tidak berhasil mendapatkan kitab itu, tidak hanya otakmu yang kumakan, juga darahmu kuminum habishabis!”
Kwan Cu mengangkat pundak, acuh tak acuh. “Apa bedanya? Kalau aku mati, otakku akan dimakan cacing
dan darahku diminum semut! Masih jauh lebih baik kalau dimakan dan diminum oleh seorang manusia
seperti kau sekali pun!”
Akan tetapi Toat-beng Hui-houw tidak mau banyak cakap lagi dan setelah membebaskan Kwan Cu dari
totokannya, dia segera menggandeng tangan anak ini dan diajaknya berlari cepat sekali menuju ke kota
raja.
“Kita harus mendahului Kiu-bwe Coa-li ke kota raja, kemudian merampas kitab sejarah itu dari tangan Angbin
Sin-kai!” Kwan Cu berkata
Ucapan ini lalu membuat Toat-beng Hui-houw membawanya berlari seperti di kejar setan cepatnya. Menuju
ke kota raja…..
********************
Ang-bin Sin-kai sudah mulai tidak sabar dan gelisah sekali memikirkan keadaan Kwan Cu, karena selama
dia berada di kota raja, belum juga kelihatan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu datang. Juga belum kelihatan
bayangan Kiu-bwe Coa-li.
Sudah beberapa hari dia berada di kota raja, tiga kali dia masuk ke dalam dapur istana menikmati
masakan-masakan yang langka terdapat di luar istana. Bahkan dia pernah mendatangi gedung Lu Pin
adiknya secara diam-diam untuk melihat apakah Jeng-kin-jiu sudah kembali ke kota raja. Dari gedung
adiknya dia pergi ke rumah Lu Seng Hok ayah Lu Thong, akan tetapi juga di situ sunyi tidak kelihatan Jengkin-
jiu atau Lu Thong.
Ia sudah mulai bosan menanti dan pada malam ke empat, kembali dia memasuki dapur istana lalu mabukmabukan
seorang diri di dalam dapur itu. Tiba-tiba saja dia mendengar suara genteng dibuka orang dan
tahu-tahu berkelebat bayangan seorang kakek yang melayang turun dengan seorang anak laki-laki gundul.
Anak itu bukan lain adalah Kwan Cu dan kakek itu adalah Toat-beng Hui-houw.
“Ang-bin Sin-kai, lekas kau serahkan kitab sejarah peninggalan Gui-siucai itu kepadaku!” Toat-beng Huihouw
membentak.
Kakek berkuku panjang ini masih belum percaya betul kepada Kwan Cu dan ketika dia merhadapan
dengan Ang-bin Sin-kai, dia masih memegangi pergelangan tangan Kwan Cu. Kalau anak ini ternyata
membohong, dia akan membunuhnya terlebih dulu.
Kwan Cu juga maklum akan hal ini. Karena itu dia memandang kepada Ang-bin Sin-kai dengan muka
khawatir sambil memutar otaknya.
“Kitab sejarah yang mana?” Ang-bin Sin-kai menjawab sambil mengerutkan keningnya. “Toat-beng Huihouw,
apakah kau sudah menjadi gila? Kau membunuh anak-anak murid Kim-san-pai dan Thian-san-pai
sehingga menyusahkan kepadaku, sekarang kau datang menuduh yang bukan-bukan lagi! Benar-benar
kau sudah miring otakmu!”
Mendengar jawaban ini, Toat-beng Hui-houw sudah menekan lebih keras di pergelangan tangan Kwan Cu,
membuat anak itu kesakitan sekali dan hampir memekik. Akan tetapi Kwan Cu menahan rasa sakit, lalu
menudingkan jari telunjuknya kepada Ang-bin Sin-kai.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ang-bin Sin-kai, kau orang tua benar-benar licik sekali! Bukankah kitab itu dahulu selalu kau bawa-bawa?
Kenapa sekarang tidak mengaku?”
Selagi Ang-bin Sin-kai memandang terheran-heran, Kwan Cu berkata kepada Toat-beng Hui-houw,
“Locianpwe, mengapa kau begitu bodoh dan mau percaya pada omongannya? Dia telah membohongimu!
Lihat saja, mukanya sudah berubah merah sekali, itulah tandanya dia membohong. Aku percaya bahwa
kitab itu tentu berada di dalam saku bajunya. Lekas serang dia dan rampas kitab itu!”
Toat-beng Hui-houw ragu-ragu dan memang otaknya agak bodoh maka dia mau percaya omongan anak
ini. Dia melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan Kwan Cu dan memandang kepada Ang-bin Sinkai
dengan mata terbelalak.
Sebaliknya, Ang-bin Sin-kai adalah seorang yang cerdik dan sekelebatan saja dia dapat melihat betapa
pergelangan tangan Kwan Cu yang dipegang oleh Toat-beng Hui-houw tadi menjadi matang biru, maka dia
lalu tertawa bergelak sambil berkata,
“Toat-beng Hui-houw, kalau kau goblok, adalah anak gundul itu pintar sekali tidak kena ditipu. Misalnya
benar kitab itu berada di tanganku, habis kau mau apa?”
“Berikan kepadaku!” Toat-beng Hui-houw membentak kemudian serentak menubruk maju sambil mengulur
sepasang tangannya yang berkuku panjang seperti cakar harimau.
Ang-bin Sin-kai mengelak cepat sambil tertawa-tawa.
Sekarang Kwan Cu cepat melompat ke pinggir dan berubahlah air mukanya, kini gembira sekali.
“Suhu, pukul batang hidungnya! Kemplang kepala botaknya! Siluman ini tadinya hendak makan otak teecu,
sehingga terpaksa teecu membawanya ke sini kepada Suhu!”
Dengan keterangan ini, semakin jelaslah bagi Ang-bin Sin-kai bahwa entah bagaimana, muridnya itu
terjatuh ke tangan Toat-beng Hui-houw dan dengan mempergunakan akal, Kwan Cu berhasil memancing
siluman ini untuk mencari dirinya dengan alasan hendak merampas kitab sejarah yang dapat menunjukkan
tempat kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Mengingat akan hal ini, makin besarlah suara ketawa Ang-bin Sinkai.
Ada pun Toat-beng Hui-houw saat mendengar Kwan Cu menyebut Suhu kepada Ang-bin Sin-kai, sadar
bahwa dia telah ditipu oleh bocah gundul itu, akan tetapi sekarang dia tak memiliki kesempatan lagi untuk
menyerang Kwan Cu, karena Ang-bin Sin-kai juga sudah membalas serangan-serangannya dan
mendesaknya dengan hebat.
Segera Toat-beng Hui-houw mengeluh dalam hatinya ketika beberapa kali ia menyerang tetapi selalu
dapat dielakkan oleh Ang-bin Sin-kai dengan amat cepatnya, bahkan kakek pengemis itu melayaninya
sambil tertawa-tawa dan bahkan berani menangkis tangannya yang berkuku panjang dan yang
mengandung racun!
“Ang-bin Sin-kai, kau tua bangka busuk bersama muridmu anjing kecil gundul itu hari ini harus mampus
dalam tanganku!” bentaknya.
Toat-beng Hui-houw lantas menerkam sambil menggunakan ilmu silatnya yang paling dia andalkan, yaitu
Ilmu Silat Hui-houw Lo-lim (Macan Terbang Mengacau Hutan). Sepuluh kuku jari tangannya tiba-tiba mulur
panjang dan runcing, dan gerakkannya tiada bedanya dengan seekor harimau yang ganas sekali.
Tidak hanya kedua tangannya yang bergerak mencakar-cakar seperti harimau, juga dua kakinya yang
telanjang itu menendang-nendang bagai kaki harimau yang mencakar! Dari tenggorokannya keluar suara
gerengan-gerengan yang menggetarkan tiang-tiang dapur istana itu, bahkan Kwan Cu yang berdiri di
pinggir berdebar jantungnya mendengar suara yang mirip suara harimau besar ini.
“Toat-beng Hui-houw, seekor harimau pun tidak sebodoh dan seganas kau tua bangka tak tahu malu!”
Ang-bin Sin-kai balas memaki.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tetapi dia segera menghadapi serangan-serangan yang bukan main ganasnya. Ang-bin Sin-kai memang
belum pernah bertempur melawan kakek berkuku panjang ini. Sungguh pun kedua orang kakek ini sudah
pernah bertemu, namun baru kali ini mereka mendapat kesempatan mengadu kepandaian dan mengukur
tenaga masing-masing!
Kwan Cu menonton pertempuran itu dengan hati gembira. Ia berdiri bertolak pinggang dan berkata, “Suhu,
pukul kepalanya yang botak itu! Dia sudah membunuh Thio-toanio secara keji! Dia benar-benar siluman
jahat yang menjelma manusia!”
Mendengar suara Kwan Cu tadi, bukan main mendongkol dan marahnya hati Toat-beng Hui-houw. Dia
telah dipermainkan, ditipu dan diejek oleh bocah gundul ini. Kalau saja dia bisa merobohkan Ang-bin Sinkai,
dia tentu akan menangkap bocah gundul itu dan akan mencari jalan yang paling mengerikan untuk
membikin mampus setan gundul!
Maka dia kemudian mengeluarkan serangan yang luar biasa cepat dan hebatnya. Kedua tangannya yang
berkuku panjang itu menyerang bergantian secara bertubi-tubi laksana ilmu tendangan Lian-hoan-twi. Dari
sepuluh kuku jarinya itu tersebar bau yang amat amis memuakkan, menyambar ke arah muka Ang-bin Sinkai.
Tetapi Ang-bin Sin-kai yang kini telah dapat mengukur inti kepandaiannya dari lawannya, hanya
tersenyum-senyum saja dan seperti seorang anak kecil, dia menjatuhkan diri ke belakang lantas berpoksai
(membuat salto berjungkir-balik), menggelundung ke belakang seperti bal ditendang.
Inilah gerakan yang di sebut Trenggiling Turun Gunung, yang gerakannya begitu cepat dan wajar sehingga
Kwan Cu merasa amat kagum. Dengan gerakan seperti ini, serangan yang bagaimana hebat pun dapat
dielakkan dengan mudahnya.
Beberapa jurus lamanya Toat-beng Hui-houw terus menerus mengejar dan menyerang, akan tetapi tibatiba
Ang-bin Sin-kai tidak merasa lagi adanya sambaran angin serangan lawan. Pada waktu kakek ini
melompat berdiri, dia terkejut sekali melihat kini Toat-beng Hui-houw melakukan pukulan maut!
“Manusia curang!” Kwan Cu membentak.
Ang-bin Sin-kai mainkan Ilmu Silat Pai-bun Tui-pek-to untuk mengelak, akan tetapi tetap saja dia terdesak
hebat bukan main, meski pun dalam beberapa jurus dia masih berhasil menghindarkan diri dari serangan
lawan yang ganas itu.
“Tua bangka tak tahu diri!” Ang-bin Sin-kai memaki.
Dia menggerakkan dua tangan memukul. Sambaran angin pukulannya hebat sekali dan sambaran ini
mampu mematahkan dan menumbangkan batang-batang pohon dari jarak jauh.
Toat-beng Hui-houw terkejut bukan main ketika merasa pinggangnya sakit, maka cepat dia membalikan
tubuhnya dan mengerahkan lweekang untuk melawan pukulan Ang-bin Sin-kai yang lihai. Kemudian dia
menerkam dan kuku-kukunya mencengkeram hendak mencekik leher kakek pengemis itu.
Akan tetapi Ang-bin Sin-kai sekarang telah menjadi marah sekali. Ia mengibaskan kedua tangannya ke
arah kuku lawan dan…
“Kraakk!” terdengar suara, maka patah-patahlah semua kuku di ujung tangan Toat-beng Hui-houw dan
tubuh kakek ini sendiri terpental, membentur tembok dan roboh pingsan!
Ang-bin Sin-kai memandang kepada Kwan Cu. “Kau mau membalas dendam keamtian Pek-cilan? Nah,
sekarang mudah bagimu untuk melakukan hal itu.”
Kwan Cu menengok dan memandang pada Toat-beng Hui-houw yang masih tergeletak pingsan di atas
lantai. Memang mudah sekali baginya, hanya dengan sekali pukul atau sekali tendang saja dia dapat
membunuh Toat-beng Hui-houw, membalaskan sakit hati Pek-cilan Thio Loan Eng.
Dengan hati gemas Kwan Cu melangkah maju mendekati tubuh Toat-beng Hui-houw yang menggeletak di
situ. Dia memegang leher baju kakek itu dan menyeretnya ke arah meja, kemudian dia menarik tubuh Toatbeng
Hui-houw dan didudukkan di atas bangku menyandar tembok menghadapi meja. Toat-beng Hui-houw
dunia-kangouw.blogspot.com
yang masih pingsan itu tidak berdaya dan kini dia terduduk bersandar tembok seperti orang tidur.
Kwan Cu mengambil semangkok besar masakan. Dengan gemas sekali dia memasang mangkok itu di
atas kepala botak Toat-beng Hui-houw bagai topi! Masakan yang kuahnya kuning itu mengalir turun ke
atas muka kakek ini sehingga kelihatan lucu sekali.
“Tidak, Suhu. Teecu tidak dapat membunuh orang yang sudah tidak berdaya seperti ini,” kata Kwan Cu
sambil meninggalkan musuh besar itu.
Diam-diam Ang-bin Sin-kai menjadi girang sekali mendengar ucapan muridnya ini, sebab tadi dia memang
hanya mencoba saja untuk menguji sifat kegagahan muridnya.
“Jika begitu, hayo kita lekas pergi dari sini. Mungkin Jeng-kin-jiu sekarang sudah pulang.” Setelah berkata
demikian, Ang-bin Sin-kai melompat keluar melalui genteng yang tadi di buka oleh Toat-beng Hui-houw
diikuti oleh Kwan Cu yang merasa girang bisa berkumpul kembali dengan suhu-nya.
Pukulan dari Ang-bin Sin-kai tadi betul-betul hebat sekali dan Toat-beng Hui-houw selain menderita patah
semua kukunya yang diandalkan, juga menjadi pingsan sampai selama satu malam! Hawa pukulan itu
demikian kerasnya sehingga melumpuhkan semua urat di dalam tubuhnya.
Ketika keesokan harinya seorang pegawai dapur istana membuka pintu, dia menjerit dan segera berlari
keluar kembali ketika melihat seorang kakek yang aneh sekali duduk di atas bangku menghadapi pintu!
“Tolong... toloooong... ada siluman!” teriaknya sambil berlari-lari.
Seorang penjaga yang mendengar ini ikut berteriak-teriak hingga sebentar saja keadaan menjadi geger. Di
antara para penjaga yang kini berkumpul, ada juga yang berhati tabah. Sesudah mendengar penuturan
pegawai dapur bahwa di dalam dapur terdapat seorang siluman sedang duduk menghadapi meja dan
makan minum, dia cepat membuka pintu dapur dan sambil memegang goloknya dia melangkah masuk.
Kawan-kawannya menjenguk dari pintu dan tidak berani ikut masuk. Ketika penjaga yang tabah ini melihat
ke dalam dapur, dia terkejut sekali dan meremanglah bulu tengkuknya. Memang menyeramkan sekali
makhluk yang kelihatan duduk menghadapi meja itu.
Seorang kakek botak yang wajahnya menyeramkan dan bersikap aneh sekali, bertopi mangkok dan
mukanya penuh benda cair berwarna kuning, membuat muka itu nampak makin mengerikan.
“Siluman dari manakah yang berani mengacau di dapur istana?” Penjaga ini membentak sambil melangkah
maju, siap dengan goloknya di depan dada.
Akan tetapi pada saat itu, Toat-beng Hui-houw baru saja siuman kembali dari pingsannya dan kepalanya
masih terasa pening. Dia membuka matanya, akan tetapi merasa malas untuk bergerak. Dia terus
mengejap-ngejapkan matanya karena masih mengingat-ingat akan peristiwa semalam.
Munculnya penjaga di depan pintu dan diikuti teguran penjaga yang memegang golok di depannya itu
mengingatkan Toat-beng Hui-houw akan semua pengalamannya dan ingat kembalilah dia bahwa dia masih
berada di dalam dapur istana. Dia merasa heran sekali kenapa Ang-bin Sin-kai atau bocah gundul itu tidak
membinasakannya, padahal dia telah pingsan tidak berdaya!
Sementara itu, ketika penjaga yang memegang golok tadi telah datang dekat dan melihat bahwa ‘siluman’
itu sesungguhnya seorang kakek botak dan bahwa keseraman mukanya diakibatkan oleh kuah masakan
yang mengalir turun dari mangkok yang dijadikan topi, agak lenyap rasa takutnya. Ia menyangka bahwa
kakek ini tentulah seorang yang miring otaknya, kalau tidak bagaimana dia memakai mangkok yang penuh
masakan sebagai topi?
“Bangsat tua, dari mana kau berani sekali mengacau di sini? Hayo lekas berlutut dan menyerah, kalau
tidak golokku akan makan kepalamu!” bentak penjaga itu.
Tetapi Toat-beng Hui-houw masih termenung saja, seakan-akan tidak mendengar seruan penjaga ini. Ada
pun para penjaga lainnya ketika mendengar kawannya memaki-maki ‘siluman’ itu, menjadi besar hati dan
mulailah mereka memasuki dapur.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat kawan-kawannya sudah ikut masuk, penjaga tadi makin tabah hatinya dan kini membentak keras,
“Lihat kupenggal kepala siluman ini!”
Sambil berkata demikian, benar-benar dia mengayunkan goloknya yang tajam itu dan membacok kepala
Toat-beng Hui-houw! Akan tetapi, alangkah terkejutnya dia, juga para penjaga yang sudah memasuki
dapur saat melihat keajaiban yang mengejutkan.
Ketika golok itu menyambar kepala botak yang kelimis, terdengar suara berdetak seperti golok menyambar
batu dan dan bukan kepala botak itu yang terbelah, melainkan gagang golok itu terpental dan terlepas dari
pegangan penjaga yang tadi membacoknya karena penjaga itu merasa tangannya sakit!
Kejadian aneh ini disusul oleh suara kakek itu tertawa bergelak menyeramkan sekali, lalu ketika kakek itu
berdiri, meja yang berada di depannya mendadak terbang melayang ke arah para penjaga yang
berkerumun di depan pintu!
Tentu para penjaga menjadi kaget dan ketakutan. Mereka cepat bergerak mengelak atau menangkis meja
yang tiba-tiba hidup dan menyambar kepala mereka itu. Ketika akhirnya meja itu dapat dilemparkan ke
pinggir dan mereka memandang, ternyata bahwa kakek botak itu telah lenyap dari dapur itu!
“Celaka, benar-benar siluman...!” kata mereka.
Sayang sekali pada hari sepagi itu kepala penjaga Song Cin masih belum hadir sehingga tak dapat
menyaksikan peristiwa ini. Sebenarnya, hanya Song Cin seorang yang kiranya akan dapat menghadapi
siluman itu.
Ketika Song Cin diberi tahu, perwira ini mengerutkan kening dan menggeleng-gelengkan kepala. Ia juga
merasa bingung karena dia tahu bahwa tidak mungkin kakek yang dikira siluman oleh anak buahnya itu
Ang-bin Sin-kai adanya. Siapakah kakek yang aneh ini? Pertanyaan ini selamanya hanya akan tetap
tinggal sebagai teka-teki yang tidak pernah terjawab olehnya…..
********************
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu baru saja datang dari perantauannya bersama muridnya, Lu Thong. Ayah Lu
Thong, yakni Lu Seng Hok dan isterinya, girang sekali melihat putera mereka kembali dengan selamat.
Sesungguhnya, Lu Seng Hok dan isterinya tidak suka melihat putera mereka diajak merantau oleh hwesio
itu, karena tentu saja mereka merasa khawatir kalau-kalau putera tunggal mereka itu tak akan pulang
kembali.
Dengan sikap hormat dan tidak memperlihatkan ketidak senangan hatinya, Lu Seng Hok berkata kepada
Jeng-kin-jiu yang tengah makan minum dengan gembira.
“Twa-suhu, kami harap sukalah kiranya Twa-suhu melatih ilmu silat kepada Thong-ji di sini saja dan tidak
membawanya ke luar kota, karena kami selalu merasa gelisah dan khawatir. Segala keperluan untuk
latihan itu, tinggal Twa-suhu katakan saja maka kami akan sediakan semua.”
Mendengar ini, Kak Thong Taisu tertawa bergelak, lalu minum araknya dari cawan besar sebelum dia
menjawab. “Lu-taijin tidak tahu bahwa ilmu silat baru dapat sempurna kalau latihan-latihan itu disertai pula
dengan pengalaman pertempuran. Apa gunanya memiliki ilmu silat bila tanpa ada pengalamanpengalaman
pertempuran menghadapi orang-orang pandai? Ilmu silat itu akan mentah, tidak berisi.”
“Betapa pun juga, Twa-suhu, kami berdua lebih-lebih ibu anak itu merasa amat gelisah dan rindu kalau
terlalu lama Twa-suhu dan Thong-ji tidak pulang.”
Lu Thong yang hadir pula di situ, lalu berdiri dari bangkunya dan mengerutkan keningnya sambil berkata
manja, “Ayah... kenapa ayah melarangku pergi dengan Suhu? Bila mana Suhu pergi merantau, aku harus
ikut serta! Ayah tidak tahu betapa senangnya merantau di luar, di dunia bebas, tidak seperti di sini,
terkurung dan sempit sekali!”
“Ha-ha-ha!” Jeng-kin-jiu tertawa bergelak, “Memang lebih enak menjadi seperti burung di udara dari pada
terkurung dalam sangkar emas!”
“Thong-ji!” Lu Seng Hok membentak anaknya. “Apakah kau sudah tidak mau menuruti omongan ayahmu
dunia-kangouw.blogspot.com
lagi? Untuk mencapai kedudukan tinggi tidak hanya belajar silat, akan tetapi kau pun harus belajar ilmu
surat dengan baik!” Dengan uring-uringan ayah ini lalu meninggalkan ruangan itu setelah memberi hormat
kepada Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu yang hanya tertawa saja.
Setelah Lu Seng Hok pergi, Jeng-kin-jiu berkata dengan suara bersunguh-sungguh pada muridnya, “Lu
Thong, kata-kata ayahmu tadi ada benarnya. Lihatlah aku ini, selamanya menjadi seorang perantau yang
tidak memiliki rumah tangga yang baik. Bahkan menjadi hwesio pun tidak mempunyai kelenteng untuk
tempat tinggal. Kau keturunan orang besar dan apa bila kelak tidak menduduki pangkat tinggi, tentu akan
mengecewakan hati para leluhurmu.”
“Akan tetapi teecu lebih senang belajar ilmu silat dari pada ilmu surat, Suhu. Teecu ingin mempunyai
kepandaian silat yang paling tinggi!” bantah Lu Thong.
Jeng-kin-jiu tertawa. “Enak saja kau bicara. Apa kau kira belajar ilmu silat itu ada batas tingginya sampai
mencapai tingkat tertinggi? Tak mungkin. Gunung Thai-san yang begitu tinggi pun masih ada langit di
atasnya, apa lagi kepandaian orang. Kecuali kalau kau bisa mempelajari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng...”
Lu Thong tertarik sekali. Akan tetapi sebelum dia mengajukan pertanyaan, tiba-tiba saja terdengar
bentakan halus.
“Tua bangka gundul, lekas kau serahkan kitab sejarah peninggalan Gui-siucai padaku!”
Bentakan ini lantas disusul melayangnya tubuh Kiu-bwe Coa-li bersama Sui Ceng yang memasuki ruangan
itu. Sikap Kiu-bwe Coa-li mengancam sekali, di tangannya telah siap cambuknya yang lihai sehingga Jengkin-
jiu menjadi amat terkejut dan tak berani berlaku sembrono. Dia melompat bangun sambil menyambar
toyanya yang tadi disandarkan di tembok dekat tempat duduknya.
“Kiu-bwe Coa-li, kau setan betina dari selatan! Kau datang-datang bicara mengacau tidak karuan, apakah
aku terlihat seperti seekor cacing buku maka kau bilang aku menyimpan kitab sejarah? Lebih baik simpan
cambukmu yang menjijikkan itu dan mari kita minum arak wangi!”
“Gundul busuk! Siapa sudi minum arakmu yang masam? Tak usah berpura-pura suci dan pinni tidak
mempunyai banyak waktu untuk mengobrol. Kau sudah mencuri kitab sejarah peninggalan Gui Tin di
dalam goanya di lereng Liang-san. Sekarang lebih baik lekas kau serahkan kitab itu kepada pinni kalau kau
tak ingin kepalamu yang gundul itu retak-retak oleh cambukku!”
Mendengar ucapan ini, darah Jeng-kin-jiu langsung naik ke ubun-ubun saking marahnya. Sepasang
matanya yang bundar itu melotot hampir keluar dari ruangnya. Hidung serta bibirnya bergerak-gerak
seperti bibir kuda mencium asap.
“Kau... kau... benar-benar kurang ajar sekali, Kiu-bwe Coa-li! Kau tidak ingat bahwa kita sama-sama dari
selatan? Apa kau mau merendahkan jago-jago selatan?”
“Tutup mulutmu dan serahkan kitab itu!” kata Kiu-bwe Coa-li yang memang wataknya keras luar biasa.
“Ayaaa...!” Jeng-kin-jiu menggelengkan kepalanya yang bundar, “kau benar-benar sudah kemasukan iblisiblis
dari laut selatan! Pinceng tidak membawa kitab itu, juga andai kata ada, tak mungkin kuserahkan
kepadamu!”
Pada saat itu, Lu Thong yang semenjak tadi memandang kepada Kiu-bwe Coa-li dengan mata terbelalak
dan perasaan mendongkol berkata, “Suhu, inikah Kiu-bwe Coa-li yang sering kali Suhu sohorkan? Apa bila
hanya seperti ini, mengapa banyak tanya-tanya lagi, Suhu? Orang sombong biasanya rendah
kepandaiannya!”
Sui Ceng marah sekali dan melompat ke depan Lu Thong, lalu menampar pipi Lu Thong. Oleh karena
pakaian Lu Thong seperti anak bangsawan dan terpelajar, maka Sui Ceng mengira bahwa anak ini tidak
pandai ilmu silat. Akan tetapi siapa sangka bahwa sekali menggerakkan kepalanya saja, Lu Thong telah
dapat mengelak dari serangannya!
“Bangsat mewah, kau memang patut diberi hajaran!” Setelah berkata demikian, Sui Ceng melompat dan
menerjang Lu Thong yang segera menyambutnya gembira.
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang Lu Thong amat suka menghadapi lawan tangguh. Kini bertempur melawan anak murid Kiu-bwe
Coa-li, sungguh merupakan ujian yang bagus sekali baginya. Jeng-kin-jiu memandang kepada dua orang
anak yang sudah bertanding itu, lalu tertawa bergelak-gelak.
“Kiu-bwe Coa-li, kau tunggu apa lagi? Lekaslah turun tangan atau lekas minggat saja dari sini!” sambil
berkata demikian, toyanya digerakkan sehingga meja bangku yang membuat ruangan itu menjadi sempit,
beterbangan ke kanan kiri. Baru sambaran angin toyanya saja sudah dapat membuat meja bangku
terlempar jauh, dapat diduga betapa besarnya tenaga gwakang hwesio gendut ini.
“Jeng-kin-jiu, mampuslah kau hari ini!”
Kiu-bwe Coa-li menggerakkan cambuknya dan sembilan helai bulu cambuk itu memenuhi ruangan karena
menyambar ke arah Jeng-kin-jiu dari segala jurusan! Kakek gundul ini melompat menjauhi lawannya
karena dia anggap tidak baik bertempur di dekat tempat dua orang anak itu bertanding.
Maka pertempuran terpecah pada dua tempat dan begitu Jeng-kin-jiu memutar toyanya, angin dingin
menyambar-nyambar dan selalu mampu menahan datangnya ujung cambuk yang ekornya ada sembilan
itu. Namun sebaliknya, toyanya juga tidak diberi kesempatan menyerang, oleh karena gerakan sembilan
ekor cambuk itu benar-benar cepat sekali dan datang secara bertubi-tubi.
Ada pun Lu Thong yang bertanding dengan Sui Ceng, merasa kagum bukan main. Dari pembawaannya,
Sui Ceng memang anak yang mempunyai kelincahan serta kecepatan gerakan tubuh. Kemudian, sesudah
dilatih oleh Kiu-bwe Coa-li, maka ginkang dari anak perempuan ini menjadi luar biasa sekali. Tubuhnya
berkelebatan menyambar-nyambar laksana seekor tawon yang licah sekali.
Akan tetapi, Lu Thong juga mempunyai kepandaian yang cukup tinggi. Biar pun matanya agak kabur
karena kecepatan gerakan Sui Ceng, namun dia selalu dapat mengelak atau menangkis serangan gadis
cilik itu.
Tadi begitu melihat Sui Ceng serta mendengar gadis cilik ini berbicara, diam-diam Lu Thong merasa
kagum dan sayang. Hatinya yang sudah mulai dewasa itu tertarik oleh Sui Ceng bagaikan sebatang jarum
tertarik oleh besi sembrani. Dia menganggap Sui Ceng demikian lincah, lucu dan sangat manis, apa lagi
sesudah kini dia menyaksikan kelihaian Sui Ceng, benar-benar Lu Thong suka sekali pada gadis ini.
Oleh karena itu, dia tidak mau membalas serangan Sui Ceng dengan hebat dan hanya menangkis atau
membalas sekedarnya untuk menjaga jangan sampai dia terdesak hebat saja. Karena sesungguhnya, biar
pun kepandaian mereka seimbang atau bahkan boleh dibilang Sui Ceng menang cepat, namun tenaga Lu
Thong besar dan kini pemuda cilik ini sudah pandai sekali memainkan Ilmu Silat Kong-jiu Toat-beng
(Dengan Tangan Kosong Mencabut Nyawa), yaitu ilmu silat yang diwarisinya dari Ang-bin Sin-kai melalui
gurunya sebagaimana telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini.
Oleh karena itu, pertempuran antara Sui Ceng dengan Lu Thong juga ramai sekali dan seimbang. Seperti
juga pertempuran antara Kiu-bwe Coa-li dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, sukar dikatakan siapa yang
akan menang di antara dua orang murid ini.
Orang-orang di gedung itu mulai geger setelah mereka mengetahui bahwa di ruangan ini terjadi
pertempuran hebat sekali. Para penjaga datang, akan tetapi Lu Thong membentak mereka supaya jangan
ikut campur. Pula, bagaimana para penjaga itu berani campur tangan kalau dari gerakan toya dan cambuk
itu anginnya saja cukup kuat untuk membuat mereka terdorong mundur? Juga Lu Seng Hok berdiri
menonton dengan hati gelisah.
Sambil menggerakkan toyanya yang hebat, Kak Thong Taisu berkali-kali memaki dan mentertawakan Kiubwe
Coa-li yang dianggapnya sebagai orang yang lagi kemasukan iblis, yang menuduh orang sesuka
hatinya dan lain-lain.
Kalau semua orang yang menyaksikan pertempuran ini merasa gelisah, ada dua orang lain yang berada di
atas genteng dan menyaksikan pertempuran itu dengan hati merasa geli. Mereka ini adalah Ang-bin Sin-kai
dan Kwan Cu!
“Tua bangka-tua bangka di bawah itu sudah gila semua. Ha-ha-ha, kini mereka sedang memperebutkan
sumur tak berair! Tak salah dugaanku, tentu yang mencuri kitab sejarah itu adalah Hek-i Hui-mo. Pantas
saja larinya dahulu itu cepat bukan main,” kata Ang-bin Sin-kai.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Akan tetapi, Suhu. Bukankah Hek-i Hui-mo tidak pernah membawa-bawa muridnya dan sepanjang
pengetahuan kita, dia tidak mempunyai murid?”
“Siapa tahu? Aku pun tadinya tak pernah berpikir punya murid sebelum bertemu dengan kau. Sudahlah,
hayo kita pergi menyusul Hek-i Hui-mo!”
Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai melompat pergi dari situ, diikuti oleh Kwan Cu. Akan tetapi, Kwan
Cu adalah seorang anak yang memiliki pribudi tinggi. Melihat betapa Kiu-bwe Coa-li bertempur mati-matian
dengan Jeng-kin-jiu hanya untuk memperebutkan sesuatu yang kosong, dia merasa tidak tega.
Terutama sekali terhadap Jeng-kin-jiu, hwesio gendut yang dahulu sudah memberi nama kepadanya itu.
Lebih-lebih lagi karena dia pun melihat betapa Sui Ceng ikut bertempur hebat melawan Lu Thong. Maka
sebelum dia melompat untuk menyusul suhu-nya, dia bernyanyi dengan suara keras karena dia
mengerahkan khikang-nya.
Anjing-anjing bodoh berebut tulang
tanpa ingat bahaya kehilangan nyawa.
Tak tahunya serigala belang
membawa lari tulang sambil tertawa.
Tadi ketika Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu berada di atas genteng, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu dan Kiubwe
Coa-li tentu saja dapat mendengar, terutama sekali suara tindakan kaki Kwan Cu yang belum begitu
tinggi ginkang-nya seperti Ang-bin Sin-kai.
Akan tetapi oleh karena kedua orang yang bertempur ini menghadapi lawan yang amat berat, mereka tak
dapat dan tidak berani memecah perhatian yang berarti memperlemah pertahanan sendiri. Mereka hanya
tahu bahwa di atas genteng ada orang-orang pandai yang mengintai dan menonton pertempuran mereka.
Akan tetapi ketika mendengar suara nyanyian Kwan Cu yang keras itu, mereka menjadi terkejut dan
otomatis mereka menarik senjata masing-masing.
“Sui Ceng, berhenti!” seru Kiu-bwe Coa-li kepada muridnya.
Ada pun Jeng-kin-jiu yang juga mendengar nyanyian itu, tertawa bergelak. “Ha-ha-ha! Si gundul Kwan Cu
benar-benar tepat sekali memaki kita! Memang kita anjing-anjing bodoh berebut tulang. Ehh, Kiu-bwe Coali,
apakah kau masih belum insyaf bahwa kau sudah memperebutkan sesuatu yang kosong dan yang
sudah dibawa lari oleh serigala belang seperti dinyanyikan Kwan Cu tadi?”
“Jadi Kwan Cu yang bernyanyi tadi?” Sui Ceng berkata dan wajahnya tiba-tiba berubah girang bukan main.
Cepat anak ini melompat keluar dan melayang ke atas genteng untuk melihat.
“Bodoh, mereka telah pergi!” kata Kiu-bwe Coa-li.
Hal ini memang benar, karena ketika Sui Ceng tiba di atas genteng, di atas sunyi tidak nampak bayangan
seorang manusia pun. Gadis cilik itu pun turun kembali.
Melihat wajah Sui Ceng nampak girang, Lu Thong menjadi iri hati dan cemburu. Ia tidak tahu bahwa Sui
Ceng merasa girang bukan main mendengar suara Kwan Cu, karena itu hanya berarti bahwa Kwan Cu
sudah berhasil menyelamatkan diri dari bahaya maut di tangan Toat-beng Hui-houw yang menyeramkan!
Lu Thong mengira bahwa Sui Ceng suka kepada Kwan Cu, maka dia pun berkata, “Ahh, pengemis kecil
gundul itukah? Sayang, jika dia tidak pergi, tentu akan kuberi kesempatan untuk dia menebus
kekalahannya dariku dahulu.”
“Sombong! Orang macam kau akan dapat mengalahkan dia?” bentak Sui Ceng. Biar pun dia mengerti
bahwa Lu Thong memang lebih pandai dari pada Kwan Cu, namun dia tidak senang mendengar Kwan Cu
dihina.
Ada pun Kiu-bwe Coa-li, sesudah mendengar nyanyian Kwan Cu tadi, timbul keraguan di dalam hatinya.
Siapa tahu kalau dia telah ditipu oleh bocah gundul itu dan sengaja diadu dengan Jeng-kin-jiu Kak Thong
Taisu? Maka ia lalu bertanya dengan suara bersungguh-sungguh.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Jeng-kin-jiu, benar-benarkah pinni telah salah sangka dan telah berlaku sembrono?”
Hwesio itu melebarkan matanya dan tertawa. “Bukan hanya sembrono saja, malahan tadi kukira kau telah
kemasukan iblis laut selatan! Pinceng bukan kutu buku, mana pinceng menyimpan kitab-kitab? Kalau kitab
suci pelajaran Nabi Buddha, tentu saja ada dan jika kau masih ingin memperdalam pengetahuanmu dalam
pelajaran itu, bolehlah kau pinjam dari pinceng dengan cuma-cuma tanpa bayar!”
Mendengar ini, Kiu-bwe Coa-li menjadi merah mukanya. “Kalau begitu, maafkan pinni, Jeng-kin-jiu.
Memang benar pinni sudah tertipu oleh anak setan itu. Sui Ceng, hayo kita pergi!” kata Kiu-bwe Coa-li
kepada muridnya.
Lu Thong buru-buru berkata Sui Ceng. “Nona yang baik, meski pun gurumu minta maaf kepada guruku,
namun aku hendak minta maaf kepadamu bahwa tadi aku sudah berani bertempur melawanmu. Harap kau
tak berkecil hati dan kita dapat menjadi sahabat baik.”
“Cih, manusia tak tahu malu!” jawab Sui Ceng yang segera melompat menyusul gurunya yang sudah pergi
lebih dulu.
Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tertawa bergelak. “Lu Thong, apa kau suka kepada anak itu?” tanyanya.
Tentu saja Lu Thong tak berani menjawab dan mukanya menjadi merah karena malunya. Sementara itu,
ayahnya datang menghampiri mereka dan bertanya dengan muka kurang senang.
“Siapakah mereka tadi dan kenapa kalian bertempur di sini?” matanya tajam memandang anaknya seperti
hendak menyatakan betapa tidak baiknya hidup sebagai ahli silat yang bisanya hanya bertempur dan
membunuh orang.
“Ayah, mereka itu adalah orang-orang gagah. Nenek tadi adalah Kiu-bwe Coa-li yang sudah tersohor
sebagai ahli silat dari selatan yang berilmu tinggi. Kalau bukan Suhu yang menghadapinya, dalam
beberapa jurus saja orang lain tentu akan tewas kalau diserang olehnya.”
Lu Thong mengucapkan kata-kata ini dengan muka girang dan penuh kegembiraan, tadi seolah-olah dia
bukan berkelahi mati-matian, melainkan menari dalam sebuah pesta dan berjumpa dengan seorang anak
perempuan yang manis. Lu Seng Hok ayahnya hanya menggeleng-gelengkan kepala saja dan menarik
napas.
Akan tetapi Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tertawa bergelak lalu tubuhnya ‘menggelinding’ ke kamarnya di
sebelah belakang, di mana dia terus melempar tubuhnya yang bundar ke atas pembaringan dan sebentar
saja terdengar dia mendengkur seperti kerbau.
Ketika melihat kesempatan baik ini, Lu Seng Hok dan isterinya membujuk-bujuk kepada Lu Thong agar
supaya anak ini, biar pun menjadi murid Jeng-kin-jiu dan belajar ilmu silat kepadanya, namun jangan
mencampuri urusan pertempuran hwesio gundul itu.
“Akan tetapi, ingat. Kau adalah seorang anak dari keluarga berpangkat dan bangsawan, bagaimana kau
dapat bercampur gaul dengan segala orang-orang kang-ouw yang kotor dan jahat? Apakah kelak kau akan
mencemarkan nama nenek moyangmu?”
“Ayah, bukankah Ang-bin Sin-kai itu juga keluarga kita?”
“Bodoh, kau mau meniru hal yang buruk? Coba kau lihat, alangkah jauhnya perbedaan antara Ang-bin Sinkai
dan Kongkong-mu Lu Pin!”
“Ang-bin Sin-kai lebih terkenal!” bantah Lu Thong.
“Tetapi bukan terkenal kebaikan dan kebesarannya, melainkan tersohor karena jahatnya dan kurang
ajarnya. Ahh, Lu Thong, jangan kau mengecewakan hati orang tuamu...”
Melihat ayahnya sudah mulai marah dan ibunya meruntuhkan air mata, Lu Thong cepat menutup mulutnya
kemudian menundukkan kepala. Akan tetapi di dalam hatinya, anak ini mentertawakan orang tuanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dan pada malam harinya, pada saat Lu Thong telah tidur, tiba-tiba dia merasa tubuhnya digoyangkan
orang dan ketika dia membuka matanya, ternyata suhu-nya telah berdiri di luar jendelanya yang terbuka
sambil melambaikan tangan, memberi isyarat kepadanya supaya ikut keluar! Lu Thong tidak sangsi lagi,
lalu melompat keluar dari kamarnya.
“Kita pergi sekarang juga!” kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. “Tak usah membawa bekal atau pakaian.”
Melihat kesungguhan muka gurunya yang biasanya selalu tersenyum-senyum dan lucu, Lu Thong agak
tertegun. “Baiklah, Suhu. Akan tetapi, kenapa berangkat malam-malam? Ada keperluan amat pentingkah?”
“Kiu-bwe Coa-li telah datang dan menyerangku mati-matian, tentu kitab yang dicarinya itu amat penting.
Juga Ang-bin Sin-kai berkeliaran, itu berarti di dunia luar ini terjadi sesuatu yang patut diperhatikan. Apakah
kau kira aku suka terbenam di dalam gedung ini saja?”
Maka berangkatlah guru dan murid ini malam-malam, meninggalkan gedung keluarga Lu, tanpa memberi
tahu atau berpamit kepada Lu seng Hok dan isterinya yang tentu saja menjadi gelisah setengah mati pada
keesokan harinya…..
********************
Ang-bin Sin-kai memang benar-benar merasa sayang kepada Kwan Cu. Hal ini terbukti dari usahanya
menyusul Hek-i Hui-mo ke barat, yakni ke Tibet! Baginya sendiri, dia tidak nanti sudi melanggar
sumpahnya dan dia tidak akan mau mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng untuk diri sendiri, melainkan
karena dia ingin agar supaya muridnya itu dapat mempelajari ilmu kepandaian dari kitab itu.
Padahal, perjalanan ke Tibet bukanlah semudah orang melihat gambar peta bumi saja! Apa lagi pada
jaman dahulu, di mana tidak ada jalan sama sekali. Jangankan jalan besar dan rata, bahkan jalan atau
lorong kecil pun belum ada.
Perjalanan ke Tibet merupakan perjalanan yang puluhan ribu li jauhnya, melalui gurun, padang pasir
bergaram, tanah tandus yang beratus atau beribu li luasnya. Juga melalui gunung-gunung yang luar biasa
tingginya, hutan-hutan yang liar dan belum pernah dilalui manusia. Bila sedang melalui gurun pasir, panas
membakar kulit, akan tetapi sebaliknya kalau melalui puncak bukit yang tinggi, hawa dingin menggerogoti
tulang iga!
Guru dan murid ini melakukan perjalanan selama berbulan-bulan. Dengan amat sulit dan banyak susah
payah, akhirnya mereka tiba di Pegunungan Kun-lun-san. Memang kalau orang hendak pergi ke Tibet
melalu jurusan utara, maka dia harus melewati Pegunungan Kun-lun-san yang termasuk daerah Tibet
Utara.
Namun semua kesukaran perjalanan itu sama sekali tidak terasa oleh Kwan Cu. Bahkan anak ini merasa
sangat gembira. Perjalanan yang luar biasa jauhnya ini mendatangkan pengalaman-pengalaman baru yang
hebat-hebat dan di sepanjang perjalanan, Ang-bin Sin-kai tidak pernah lalai untuk melatih ilmu silat kepada
muridnya.
Kni Kwan Cu sudah mulai menerima gemblengan ilmu-ilmu silat tingkat tinggi sehingga kepandaiannya
maju dengan pesat sekali. Di samping itu, juga Ang-bin Sin-kai mengajak muridnya mampir di tempat
tinggal para tokoh besar dunia kang-ouw dan selalu mencari kesempatan untuk memperlebar dan
memperluas pengetahuan muridnya itu tentang ilmu silat.
“Lihatlah baik-baik, muridku,” katanya jika berhasil minta kepada seorang ahli silat untuk menunjukkan
kepandaiannya. “Betapa pun jauh perbedaan gaya dalam permainan silat, tetapi semuanya berdasarkan
kekuatan mereka atas kedudukan tubuh dan pemasangan kaki. Memang ini sangat penting, Kwan Cu.
Betapa pun bagus dan lihai gerakan serta gayanya, tapi tanpa keteguhan dan kedudukan kaki, dia
bukanlah seorang ahli silat yang kuat.”
Pegunungan Kun-lun-san penuh dengan puncak-puncak yang tertutup salju dan di setiap tempat terdapat
sungai-sungai es. Melalui daerah seperti ini orang harus berlaku hati-hati sekali. Hampir saja Kwan Cu
menemui bencana ketika mereka melewati sebuah sungai es yang lebar.
Permukaan es itu tampak mengkilap kebiru-biruan, yaitu bayangan-bayangan langit yang tercermin ke
dalam permukaan es. Pada mulanya Kwan Cu merasa gembira sekali dan berlari-larian di atas es yang
dunia-kangouw.blogspot.com
licin itu. Ia telah memiliki ginkang tinggi dan juga tubuhnya sudah kuat sehingga dia tidak khawatir
terpeleset jatuh.
Akan tetapi, sungguh di luar dugaannya bahwa es itu belum lama membeku sehingga permukaannya
masih tipis. Ketika dia berlari dan tiba di bagian yang amat tipis, tiba-tiba pecahlah permukaan kaca es itu
dan tubuhnya terjeblos ke bawah.
Air yang luar biasa dinginnya menerima tubuh Kwan Cu dan seketika anak ini menjadi kaku seluruh
tubuhnya! Dia cepat menahan napas dan mengerahkan tenaga serta hawa tubuh untuk membuat tubuhnya
hangat dan untuk membuat aliran darah pada tubuhnya menjadi lebih cepat. Akan tetapi, hawa dingin dari
air yang setengah membeku itu luar biasa sekali dan kalau gurunya tidak cepat turun tangan, pasti nyawa
anak ini tidak akan tertolong lagi.
Ang-bin Sin-kai yang sudah banyak pengalamannya tidak mau mengejar ke tempat itu karena kalau dia
sendiri sampai terjeblos, walau pun kepandaiannya tinggi, namun belum tentu dia akan dapat melawan
serangan hawa dingin yang luar biasa itu. Dia lalu cepat mempergunakan lweekang-nya untuk mencabut
sebatang akar yang sangat panjang dari pohon besar yang sudah habis daunnya dimakan salju dan
dengan akar ini dia kemudian menolong Kwan Cu.
Anak gundul ini meski pun tubuhnya sudah hampir beku, namun pikirannya masih sadar. Begitu melihat
akar, dia cepat menangkapnya dan memegangnya erat-erat, sungguh pun jari-jari tangannya sudah kaku
dan sukar digerakkan lagi dan kulit tangannya sudah mati rasa!
Memang, sesungguhnya kakek ini sudah amat tua. Pada waktu Ang-bin Sin-kai masih kanak-kanak, kakek
ini telah menjadi seorang tokoh besar dalam dunia persilatan. Tidak saja ilmu silatnya yang tinggi, juga dia
terkenal sebagai seorang pendeta yang berpribudi tinggi sehingga namanya terkenal di seluruh dunia.
Sudah menjadi lajim pada jaman itu, ahli-ahli silat datang dari atas gunung atau tempat-tempat sunyi, atau
lebih tepat lagi, puncak-puncak gunung yang sunyi paling disuka oleh ahli-ahli silat untuk dijadikan tempat
tinggal mereka. Hal ini sudah sewajarnya, karena pada masa itu, ilmu-ilmu silat yang tinggi dimiliki oleh ahli
tapa dan pendeta suci.
Ilmu silat yang tinggi memang tidak boleh dipisahkan dengan ilmu batin, maka tentu saja para pendeta
yang mempelajari ilmu batin dan memiliki tenaga batin yang kuat dan suci dapat menciptakan ilmu silat
yang tinggi. Dan pendeta-pendeta ini memang paling suka bertempat tinggal di puncak gunung-gunung
yang sunyi untuk bertapa. Di samping ini, mereka tidak mempunyai pekerjaan sehingga dalam mempelajari
ilmu silat, mereka amat tekun dan rajin sehingga memperoleh kemajuan luar biasa.
Seperti juga gunung-gunung besar lainnya, pegunungan Kun-lun-san menjadi perhatian para pertapa. Di
puncak-puncak yang tinggi itu banyak sekali bersembunyi orang-orang yang mempunyai kepandaian lihai.
Di antaranya, puncak yang tertinggi dijadikan tempat tinggal oleh Seng Thian Siansu. Beberapa tahun
kemudian, menyusul tiga orang saudara seperguruannya, yakni Seng Te Siansu, Seng Jin Siansu serta
Seng Giok Siansu atau yang disebut Kun-lun Sam-lojin (Tiga Kakek dari Kun-lun-san).
Seng Thian Siansu sudah sangat tua dan memang kalau dibandingkan, usianya berbeda jauh sekali
dengan sute-sute-nya, ada sekitar lima puluh tahun selisihnya! Bersama para sute-nya ini, Seng Thian
Siansu lalu membentuk partai yang disebut Kun-lun-pai. Mereka telah banyak menerima murid-murid yang
berbakat baik sehingga beberapa belas tahun kemudian, nama Kun-lun-pai meningkat dan menjadi harum
akibat perbuatan-perbuatan para anak murid mereka yang gagah perkasa dan budiman.
Setelah Seng Thian Siansu merasa dirinya terlalu tua, usianya sudah seratus dua puluh tahun, dia mencuci
tangan dan Kun-lun-pai lalu dipegang oleh tiga orang sute-nya yang kemudian terkenal dengan sebutan
Kun-lun Sam-lojin itu. Semenjak saat itu, Seng Thian Siansu hanya bertapa saja di dalam goa, sama sekali
tak mau mencampuri urusan dunia lagi.
Mengapa sekarang kakek yang sudah tua dan lemah sekali ini memaksa diri keluar dari goa dan bertemu
dengan Ang-bin Sin-kai? Mari kita dengarkan percakapannya dengan Ang-bin Sin-kai.
“Benar kata-katamu, Locianpwe. Teecu adalah Lu Sin dan sesungguhnya teecu lewat di Kun-lun-san
karena hendak menuju ke Tibet. Akan tetapi, sungguh teecu merasa heran sekali melihat Locianpwe
berada di sini dalam keadaan hawa yang sedingin ini. Hendak ke manakah Locianpwe, kalau kiranya teecu
boleh bertanya?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Seng Thian Siansu tersenyum dan kembali Kwan Cu terheran. Bukan hanya matanya yang masih nampak
‘muda’, bahkan gigi kakek ini masih lengkap dan putih rapi!
“Ang-bin Sin-kai, kau ternyata masih belum melupakan sifat-sifatmu yang baik! Memang agaknya sudah
dikehendaki oleh Yang Maha Kuasa, maka hari ini pinto terpaksa harus meninggalkan tempat pertapaan
dan nasibkulah yang buruk, sehingga tua-tua terpaksa membereskan urusan penasaran.”
“Ah, Locianpwe, urusan apakah gerangan yang memaksa Locianpwe harus turun tangan sendiri? Kalau
sekiranya teecu boleh membantu, harap Locianpwe beri tahukan kepada teecu, tentu teecu bersedia
membantu sekuat tenaga.”
Kakek itu tersenyum lagi. “Kau masih tetap gagah! Terima kasih, Ang-bin Sin-kai. Marilah kita duduk di
sana, nanti kuceritakan apa yang telah mengeruhkan suasana Kun-lun-san yang sunyi bersih ini.”
Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu mengikuti kakek itu yang duduk di atas sebuah batu hitam yang bertumpuk
pada sebelah kiri lereng itu. Sesudah duduk dan menaruh tongkatnya di sebelahnya, mulailah Seng Thian
Siansu bercerita.
Kurang lebih setahun yang lalu, di Pegunungan Kun-lun-san datanglah lima orang aneh yang memiliki
kepandaian amat tinggi. Mereka menyebut diri sebagai Ngo-eng Kiam-hiap (Pendekar-pendekar Pedang
Lima Garuda) dan sesudah memilih puncak yang berada di sebelah kanan puncak di mana Seng Thian
Siansu mendirikan Kun-lun-pai, mereka lalu menambah sebutan menjadi Kun-lun Ngo-eng (Lima Garuda
dari Kun-lun-san)!
Hal ini masih tidak dapat menggoncangkan hati dan pikiran fihak Kun-lun-pai yang selalu mengutamakan
kebenaran dan perdamaian. Akan tetapi, pihak Kun-lun Ngo-eng ternyata bukanlah orang-orang yang suka
hidup tenteram dan mereka ini tidak puas bahwa di situ ada puncak yang menjadi pusat dari partai Kunlun-
pai yang terkenal.
Beberapa kali mereka sengaja melanggar wilayah atau daerah puncak Kun-lun-san yang didiami oleh Kunlun-
pai, bahkan mereka pernah menghina dan memukul seorang anak murid Kun-lun-pai yang sedang
turun gunung. Akan tetapi, tetap saja Kun-lun Sam-lojin berlaku sabar dan menekan marah, karena mereka
tidak mau cekcok dengan ‘tetangga’!
Agaknya dari fihak Kun-lun Ngo-eng juga tak berani gegabah terhadap Kun-lun-pai. Oleh karena itu,
setelah didiamkan saja, akhirnya mereka juga tinggal diam, tidak melanjutkan kekurang ajaran mereka
terhadap Kun-lun-pai.
Akan tetapi, diam-diam Kun-lun Sam-lojin merasa mendongkol dan marah sekali ketika mendengar laporan
dari para murid Kun-lun-pai bahwa sebenarnya ‘tetangga’ mereka itu bukanlah orang baik-baik. Bahkan
ada beberapa orang anak murid yang melihat dengan mata sendiri betapa kelima orang aneh yang usianya
telah tua-tua itu pernah menculik orang-orang muda, laki-laki dan perempuan, dan dibawa ke atas puncak!
Kun-lun Sam-lojin, yaitu Seng Te Siansu, Seng Jin Siansu dan Seng Giok Siansu, hampir tak dapat
menahan kemarahan hati mereka dan siap untuk menyerbu. Akan tetapi, ketika Seng Thian Siansu
mendengar akan maksud tiga orang sute-nya ini, ia cepat mencegah mereka. Tiga orang tua dari Kun-lunsan
ini memang sangat patuh kepada Seng Thian Siansu yang bukan saja menjadi suheng mereka,
bahkan boleh di bilang menjadi wakil guru mereka, maka mereka menahan sabar dan mencoba untuk
melupakan hal Kun-lun Ngo-eng itu.
Akan tetapi, beberapa hari yang lalu terjadi sesuatu yang menggoncangkan Pegunungan Kun-lun-san. Hal
ini terjadi setelah Hek-eng Sianjin, yakni orang termuda dari Kun-lun Ngo-eng, menculik seorang gadis dari
dusun yang menjadi tempat tinggal suku bangsa Hui, seorang gadis cantik jelita yang menjadi kembang
dusun itu, bahkan ia adalah puteri dari kepala suku bangsa itu.
Tentu saja suku bangsa Hui yang jumlahnya lebih tiga puluh keluarga itu menjadi marah sekali. Mereka
mengumpulkan orang-orang lelaki dan empat puluh orang lebih laki-laki tua muda membawa senjata
menyerbu ke puncak gunung yang ditinggali oleh Kun-lun Ngo-eng. Akan tetapi, mana bisa mereka
menang? Hek-eng Sianjin seorang diri keluar dan begitu pendeta berjubah hitam ini memainkan
pedangnya yang lihai, belasan orang langsung roboh dan tewas, sedangkan yang lain-lain lalu melarikan
diri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tangis riuh-rendah di dalam dusun orang-orang Hui ini menarik perhatian seorang kakek pendek kecil yang
kebetulan lewat di dusun itu bersama dua orang anak laki-laki. Kakek ini bukan lain adalah Pak-lo-sian
Siangkoan Hai bersama Gouw Swi Kiat dan The Kun Beng murid-muridnya!
“Ehh, ada apakah ribut-ribut ini?” tanyanya pada orang Hui itu.
Kepala suku bangsa Hui segera maju dan berlutut kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Ia dapat melihat
bahwa yang datang ini adalah seorang kakek yang luar biasa dan tentunya memiliki kepandaian tinggi.
“Lo-enghiong, kami keluarga Hui tertimpa mala petaka hebat...! Anakku perempuan telah diculik oleh
saikong siluman dari puncak Kun-lun-san, dan pada saat aku serta saudara-saudaraku menyerbu ke sana
untuk menolong, belasan orang saudaraku bahkan tewas oleh saikong siluman...”
Siangkoan Hai mengerutkan keningnya dan memandang tak percaya.
“Aneh, siapa orangnya yang berani berbuat jahat di sini? Bukankah puncak sebelah barat itu pusat dari
Kun-lun-pai yang tersohor? Mengapa kau tidak minta tolong ke sana?”
“Sudah, Lo-enghiong. Kami sudah menghadap Kun-lun Sam-lojin, akan tetapi mereka tak mau turun
gunung menolong...”
Siangkoan Hai membelalakkan matanya. “Aneh, aneh! Mengapa begitu?”
“Suhu, lebih baik kita menolong dulu nona yang diculik itu!” kata The Kun Beng tak sabar.
“Memang kita harus lekas menolong, dan hendak kulihat siapakah orangnya yang berani berlaku jahat
seperti itu. Baru kemudian aku hendak menegur Kun-lun Sam-lojin kenapa tidak mau menolong mereka
ini.” Siangkoan Hai lalu berkata pada orang-orang itu.
“Hayo bawa kami ke tempat saikong siluman itu!”
Demikianlah, beramai-ramai orang-orang Hui itu lalu mengantar Siangkoan Hai dan dua orang muridnya
menuju ke puncak tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng. Di atas puncak itu terdapat sebuah bangunan besar
yang terkurung pagar tembok. Orang-orang Hui yang pernah dihajar oleh Hek-eng Sianjin, tidak berani
datang lebih dekat dan hanya menanti dari jauh. Mereka melihat betapa kakek yang pendek kecil ini
berjalan menuju ke pintu gerbang, diikuti oleh dua orang muridnya yang berjalan dengan gagahnya.
Ketika mereka sudah tiba di dekat pintu, Siangkoan Hai dan dua orang muridnya merasa heran karena
ternyata bahwa pintu gerbang itu terjaga oleh tiga orang pemuda dan dua orang gadis yang semuanya
berwajah elok. Usia mereka antara tujuh belas sampai dua puluh tahun, pakaian mereka mewah sekali.
“Orang-orang muda, beritahukan kepada Kun-lun Ngo-eng bahwa Pak-lo-sian Siangkoan Hai sudah datang
minta bertemu!” kata kakek tokoh besar utara itu kepada para penjaga remaja tadi.
Lima orang muda itu lalu berlari masuk setelah menutup pintu gerbang rapat-rapat!
Pak-lo-sian Siangkoan Hai tertawa tergelak. “Kun-lun Ngo-heng! Apakah pintumu terbuka untuk angin dan
setan yang tak nampak, akan tetapi tertutup bagi tamu manusia? Kalau kalian melarang aku masuk,
keluarlah menemuiku di luar. Aku Pak-lo-sian Siangkoan Hai perlu sekali bicara dengan kalian!”
Tiba-tiba di atas tembok yang mengurung bangunan itu, tersembullah lima buah bendera yang berwarna
putih, kuning, hijau, merah dan hitam! Bendera-bendera ini berkibar-kibar tertiup angin gunung, merupakan
pemandangan yang indah beraneka warna. Kemudian, terdengar suara dari balik tembok itu.
“Kami tak mengenal Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan tidak mempunyai urusan dengan dia! Orang tua
pendek kecil harap jangan mencari penyakit dan lekas pergi dari sini!”
Mendadak kelima buah bendera yang berkibar di atas tembok itu berubah arah kibarnya, yaitu kalau tadi
berkibar ke kanan, sekarang berkibar ke kiri, padahal angin masih jelas terasa berkibar ke kanan!
Siangkoan Hai maklum bahwa orang-orang di bawah tembok sana telah memperlihatkan kepandaiannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia juga tahu bahwa bendera itu berkibar karena ditiup oleh orang yang mempunyai tenaga khikang yang
luar biasa tingginya. Agaknya Kun-lun Ngo-eng hendak menggertaknya dan mendemonstrasikan
kepandaian supaya dia menjadi ketakutan dan segera pergi.
Kembali Pak-lo-sian Siangkoan Hai tertawa bergelak dan sesudah melihat ke kanan kiri, kakek pendek ini
lalu menghampiri sebatang pohon yang tinggi. Sekali dia mengerahkan tenaga, akar pohon itu telah
tercabut dari tanah! Dia lalu menghampiri tembok bangunan itu dan melemparkan pohon tadi ke atas.
Pohon itu melayang dan tepat berdiri di atas tembok di dekat bendera-bendera itu dan tentu saja pohon itu
jauh lebih tinggi dari pada bendera-bendera tadi.
“Ha-ha-ha! Kun-lun Ngo-eng. Jangan dikira bahwa bendera-benderamu itu paling tinggi di dunia ini!”
Perbuatan Siangkoan Hai ini menimbulkan kegemparan pada sebelah dalam bangunan, karena terdengar
seruan-seruan memuji dengan kagum. Siangkoan Hai dan kedua orang muridnya mendengar bahwa yang
memuji itu adalah suara-suara banyak orang-orang muda, bahkan ada yang suaranya menyatakan masih
suara anak-anak.
Lalu terdengar suara wanita yang merdu dan nyaring.
“Pak-lo-sian Siangkoan Hai! Tak perlu kau memamerkan kepandaian seperti anak kecil! Kalau kau mampu,
masuklah saja, tembok kami tidak terlalu tinggi kiranya!” inilah suara Jeng-eng Mo-li, orang ketiga dari Kunlun
Ngo-eng.
Siangkoan Hai tertawa bergelak mendengar ini, kemudian berbisik kepada Kun Beng dan Swi Kiat kedua
orang muridnya.
“Kalau sampai murid-murid mereka menyerang, kalian layani mereka akan tetapi jangan sampai
membunuh orang.”
Kun Beng dan Swi Kiat mengangguk. Mereka sudah mengerti akan kehendak suhu-nya ini. Kemudian, dua
orang anak muda ini lalu ikut suhu mereka melompat ke atas tembok. Dari atas tembok ini mereka
memandang ke bawah dan terlihatlah lima orang aneh serta belasan orang anak-anak muda yang elokelok.
Lima orang ini terdiri dari tiga orang kakek dan dua orang wanita. Usia mereka antara empat puluh sampai
lima puluh tahun, akan tetapi mereka masih nampak muda. Apa lagi dua orang wanita, meski dari muka
mereka mudah dilihat bahwa mereka telah setengah tua, namun muka itu masih dibedaki tebal dan di beri
pemerah bibir dan pipi.
Pakaian mereka juga aneh sekali, karena seorang berpakaian warna putih, orang kedua berpakaian
kuning, lalu hijau, merah dan hitam! Untuk lebih mengenal mereka, marilah kita memperhatikan seorang
demi seorang.
Orang pertama yang berpakaian putih adalah kakek Pek-eng Sianjin atau orang tertua dari Kun-lun Ngoeng.
Pek-eng Sianjin memang usianya paling tua dan rambutnya telah bercampur uban, pakaiannya dan
juga gelung rambutnya menandakan bahwa dia adalah seorang tosu. Pedangnya menempel pada
punggung dan tubuhnya yang jangkung kurus membuat dia nampak amat gesit. Orang tertua inilah yang di
sebut Pek-eng atau Garuda Putih!
Orang kedua adalah seorang wanita berusia kurang lebih empat puluh lima tahun. Inilah Ui-eng Suthai atau
Garuda Kuning, pakaiannya juga berwarna kuning seluruhnya. Akan tetapi bentuk pakaiannya sama
dengan Pek-eng Sianjin, yakni potongan pakaian yang biasa di pakai oleh pendeta atau tokouw. Walau
pun pakaiannya seperti pertapa wanita, namun bedak dan pemerah pipi dan bibirnya menonjolkan sifatsifat
aslinya.
Tak dapat disangkal bahwa sewaktu mudanya, Ui-eng Suthai ini tentulah seorang wanita yang amat cantik.
Mudah dilihat dari bentuk mata, hidung dan mulutnya. Meski sekarang telah ada gurat-gurat usia tua pada
pinggir mata dan mulut, akan tetapi dia masih tetap mempunyai penarik sebagai seorang wanita.
Seperti juga suheng-nya, dia memakai pedang di punggungnya. Hanya bedanya, gagang pedangnya
memakai ronce-ronce benang emas warna kuning, ada pun gagang pedang Pek-eng Sianjin memakai
ronce-ronce benang sutera putih.
dunia-kangouw.blogspot.com
Orang ketiga juga seorang wanita, berpakaian hijau seluruhnya. Usianya beberapa tahun lebih muda dari
Ui-eng Suthai, akan tetapi orang ketiga ini nampaknya jauh lebih muda. Namanya Jeng-eng Mo-li (Iblis
Wanita Garuda Hijau) dan melihat potongan tubuhnya yang langsing, air mukanya yang ramah berseri,
mulutnya yang selalu tersenyum, mudah diduga bahwa dia adalah seorang perempuan yang berwatak
gembira. Akan tetapi, kalau orang melihat sepasang matanya yang liar mengerling penuh nafsu, akan
dapatlah dilihat iblis yang tersembunyi di dalam tubuh lincah ini.
Dandanannya jauh lebih ‘aksi’ dari pada suci-nya yang oleh karena potongan pakaiannya bukan potongan
pakaian pendeta wanita, maka kelihatan lebih menarik dan sangat ketat mencetak tubuhnya yang memang
bentuknya bagus sekali. Rambutnya disanggul bagai dara-dara muda dan pedangnya yang beronce hijau
tergantung di pinggang kirinya.
Biar pun bentuk air muka Jeng-eng Mo-li tidak sebaik muka Ui-eng Suthai, namun karena Jeng-eng Mo-li
lincah, genit dan gembira, maka boleh dibilang dia jauh lebih menarik dari pada suci-nya. Iblis Wanita
Garuda Hijau inilah yang tadi mengeluarkan suaranya ketika menantang Pak-lo-sian Siangkoan Hai untuk
memasuki tempat tinggal mereka.
Orang keempat bernama Ang-eng Sianjin yang berpakaian bagai pendeta tosu, berwarna merah
seluruhnya, usianya sebaya dengan Jeng-eng Mo-li. Demikian pun orang ke lima yang bernama Hek-eng
Sianjin bertubuh gemuk dengan perut besar seperti perut arca penjaga dapur, adalah Hek-eng Sianjin
bertubuh tinggi besar, tubuh seorang gagah yang bertenaga kuat. Keduanya juga memakai pedang pada
punggungnya.
Maka ketahuanlah sekarang bahwa Kun-lun Ngo-eng terdiri dari tiga orang tosu, seorang tokouw serta
seorang perempuan genit. Mereka ini kelima-limanya adalah ahli-ahli ilmu pedang dari satu cabang
perguruan dan kelimanya merupakan ahli Ilmu Pedang Sin-eng Kiam-hoat (Ilmu Pedang Garuda Sakti).
“He-he-he, seperti anak wayang saja!” seru Pak-lo-sian Siangkoan Hai melihat lima orang yang pakaiannya
aneh itu. “Apakah kalian hendak main sandiwara Ngo-koai-jio-kaw-kut (Lima Setan Memperebutkan Tulang
Anjing)?”
Sudah tentu saja tidak ada cerita yang berjudul seperti itu dan ucapan ini dikeluarkan oleh Singkoan Hai
hanya untuk mengejek mereka saja, sebagai pembalasan atas sikap mereka yang sombong. Pak-lo-sian
Siangkoan Hai terkenal seorang kakek gagah yang berwatak sombong dan tidak mau kalah, maka ketika
dia melihat sikap mereka ini, sejak tadi darahnya telah naik ke kepalanya!
Sedangkan orang yang paling galak di antara Kun-lun Ngo-eng, adalah Ui-eng Suthai, pertapa wanita
berpakaian kuning itu. Mendengar ejekan Pak-lo-sian Siangkoan Hai itu, mukanya langsung menjadi merah
dan sekali tangan kirinya bergerak, lantas tersebarlah jarum-jarum rahasia tujuh belas batang banyaknya,
menyambar ke arah Siangkoan Hai dan kedua orang muridnya!
Jarum rahasia yang dilepaskan oleh Ui-eng Suthai bukanlah senjata rahasia biasa saja. Jarum-jarum ini
disebut Toat-beng-ciam (Jarum Pencabut Nyawa) dan amat halus serta kecilnya sehingga apa bila jarumjarum
ini mengenai sasaran, dapat menyusup ke dalam kulit daging dan kemudian masuk ke dalam jalan
darah dan terbawa oleh darah!
Dalam penggunaan jarum-jarum ini, orang yang melontarkannya harus memiliki tenaga lweekang yang
tinggi dan melihat betapa sekali lempar dapat menyerang lawan dengan tujuh belas batang jarum, dapatlah
dinilai betapa hebatnya tenaga lweekang dari Ui-eng Suthai!
Orang biasa saja bila diserang oleh jarum-jarum ini, akan celakalah dia karena nyawanya takkan tertolong
lagi. Bahkan ahli-ahli silat yang kurang pandai sukar membebaskan diri dari sambaran jarum-jarum itu,
terlebih lagi dalam keadaan sedang berdiri di atas pagar tembok yang lebarnya hanya pas saja dengan
kaki!
Namun, yang diserang adalah Pak-lo-sian Siangkoan Hai, Si Dewa Tua dari Utara, mana dia jeri
menghadapi jarum-jarum halus ini? Entah kapan diambilnya, tahu-tahu di kedua tangannya sudah
terpegang sepasang kipas hitam putihnya dan kini sambil tersenyum mengejek, Pak-lo-siang Siangkoan
Hai mengebutkan kipas putih pada tangan kirinya ke arah jarum-jarum yang menyambarnya ke atas itu.
Aneh sekali, ketika terkena sambaran angin kebutan kipas putih, jarum-jarum kecil itu tiba-tiba membalik
dan runtuh semua ke bawah.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ha-ha-ha, siluman rase! Hendak aku mengukur dengan jarum-jarummu sampai berapa dim tebalnya
bedak di mukamu!” Siangkoan Hai tertawa sambil cepat mengebutkan kipas hitam di tangan kanannya.
Hebat sekali akibatnya! Jarum-jarum yang belasan batang banyaknya itu kini terbawa hawa kebutan kipas
hitam dan meluncur, seluruhnya menuju ke muka Ui-eng Suthai!
Ui-eng Suthai menjerit marah dan segera memutar pedangnya, memukul runtuh semua jarum-jarumnya
sendiri. Melihat kelihaian lawan, memang sejak tadi dia sudah mencabut pedangnya dan bersiap sedia.
Kemudian, sambil mengeluarkan pekik nyaring, tokouw ini lantas menggerakkan tubuhnya yang cepat
melayang ke atas dan menyerang Siangkoan Hai dengan pedangnya.
Akan tetapi, terdengar suara ketawa bergelak dan tiba-tiba Siangkoan Hai sudah lenyap dari atas tembok
itu, karena ketika tadi Ui-eng Suthai melayang naik, dia telah membetot tangan kedua muridnya dan
membawa mereka melompat turun ke dalam.
“Bangsat tua, bagus sekali kau mengantarkan nyawa!” Pek-eng Sian-jin membentak dan segera
menyerang dengan pedangnya.
Melihat serangan ini, segera tahulah Siangkoan Hai bahwa ilmu pedang Pek-eng Sianjin benar-benar lihai
dan tenaganya bahkan lebih kuat dari pada Ui-eng Suthai. Maka ia pun tidak berani berlaku ayal.
Tanpa dapat terlihat saking cepatnya, dia sudah menyimpan kembali sepasang kipasnya dan kini Pak-losian
Siangkoan Hai mengeluarkan tombaknya! Ia mainkan tombak itu dan padangan mata Pek-eng Sianjin
segera berkunang-kunang saat melihat ujung tombak di tangan kakek pendek kecil itu berubah menjadi
puluhan banyaknya!
Tombak itu tergetar dan mengaung dengan suara yang menyakitkan telinga, sedangkan setiap kali
pedangnya terbentur oleh ujung tombak, hampir saja pedangnya terpental dan terlepas dari pegangan.
Pada waktu secara nekat Pek-eng Sianjin melompat ke atas lalu menukik ke bawah sambil membabat
dengan pedangnya ke arah leher lawan, Siangkoan Hai memutar tombaknya sehingga pedang lawan
tertempel dan ikut terputar.
“Turun kau!” bentak Siangkoan Hai.
Benar saja, tanpa dapat menahan diri lagi Pek-eng Sianjin terbetot turun dan pedangnya menancap di atas
tanah dengan tubuhnya masih di atas! Untuk sejenak, seakan-akan Pek-eng-Sianjin berubah menjadi
sebatang tongkat panjang, dengan tangan memegang gagang pedang yang tertancap di atas tanah dan
kakinya lurus ke atas. Akan tetapi dia segera dapat melompat dan membalik sehingga dia dapat berdiri
kembali, lalu mencabut pedangnya.
“Nanti dulu sebelum kalian melanjutkan permainan wayang ini!” Pak-lo-sian Siangkoan Hai berseru. “Aku
datang bukan untuk mencari permusuhan, sungguh pun aku tidak akan menolak setiap pertempuran yang
menggembirakan. Namun, sebenarnya kedatanganku ini untuk bertanya kepada kalian, mengapa kalian
suka menculik anak-anak muda? Di mana mereka itu semua dan mengapa melakukan kejahatan itu?”
Pek-eng Sianjin tertawa mengejek. “Hemm, pernah pinto mendengar nama Pak-lo-sian Siangkoan Hai
sebagai seorang gagah, tidak tahunya hanyalah seorang kakek kate yang lancang mulut lancang tangan
dan tukang mencampuri urusan orang lain! Kami memilih dan mengumpulkan murid-murid kami supaya
dapat mewarisi ilmu pedang kami, lalu ada sangkut paut apakah dengan kau orang tua?”
Mendengar ucapan ini. Pak-lo-sian Siangkoan Hai terkejut dan tertegun. Kalau demikian halnya, dia telah
salah duga! Ia melirik ke kanan kiri dan melihat di situ terdapat belasan orang-orang muda laki-laki dan
perempuan yang semuanya berwajah tampan dan cantik sekali. Mereka ini dengan pedang di tangan
sudah pula mengurung Kun beng dan Swi Kiat! Sikap mereka itu semua bermusuh, seolah-olah mereka
tidak suka ada orang-orang mengganggu lima orang guru mereka!
Akan tetapi, pandangan mata Siangkoan Hai amat tajam dan dari sinar mata orang-orang muda yang layu
dan keluar dari wajah yang kepucatan, dia pun tahu bahwa orang-orang muda itu menderita sekali di dalam
batin mereka. Entah apa yang telah terjadi dengan mereka, namun Siangkoan Hai tahu bahwa ada sesuatu
yang tidak wajar dengan semua orang muda itu. Ia segera teringat akan sesuatu dan bertanya lagi,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ah, begitukah gerangan kenapa kalian berlima mengumpulkan pemuda-pemuda tampan dan dara-dara
cantik?” dia menghitung dengan matanya, lalu bertanya lagi, “Jadi semua murid-muridmu berjumlah tujuh
belas orang?”
Pek-eng Sianjin mengangguk sambil tertawa. “Murid-muridku hebat semua, bukan? Hee, Pak-lo-sian, kau
juga mempunyai dua orang murid yang baik, tidak perlu kau merasa iri hati.”
Pak-lo-sian Siangkoan Hai mengangguk-anggukkan kepala seakan-akan merasa setuju dengan omongan
ini. Akan tetapi dia lalu berkata keras sambil menepuk kepalanya.
“Ucapanmu benar sekali! Akan tetapi, melihat murid-muridmu banyak yang perempuan dan manis-manis
pula, tiba-tiba saja timbul keinginanku untuk mempunyai seorang murid perempuan pula! Eh, Kun-lun Ngoeng,
kalian berlima seperti garuda-garuda yang suka menyambar anak-anak ayam, berikanlah seorang
anak murid perempuan kepadaku!”
Kun-lun Ngo-eng main mata dan saling pandang sambil tersenyum. Tidak tahunya kakek pendek kecil
yang lihai ini tidak banyak bedanya dengan mereka! Ang-eng Sianjin yang berpakaian serba merah itu
tertawa bergelak lalu berkata,
“Ha-ha-ha, orang tua pendek kecil, ternyata kau rakus juga ya? Karena kau telah datang dan berhasil
masuk ke sini, nah... kau lihatlah murid-murid kami yang cantik-cantik, dan pilihlah yang paling jelita
menurut penglihatanmu!”
Ang-eng Sianjin memang cerdik dan dapat berpikir cepat. Dia tadi sudah menyaksikan kelihaian kakek
kecil ini dan tahu bahwa biar pun mengeroyok lima, belum tentu dia dan saudara-saudaranya akan
sanggup menang, maka lebih baik kehilangan seorang ‘murid’ dari pada harus menghadapi resiko yang
lebih berbahaya.
Ada pun Kun Beng dan Swi Kiat pada saat mendengar percakapan ini, merahlah muka mereka dan
dengan mata melotot mereka memandang kepada suhu mereka. Dua orang anak ini sudah mengenal baik
kebersihan hati suhu mereka, lalu mengapa suhu-nya kini berkata seperti itu? Sudah miringkah otak guru
mereka ini?
Hampir saja Swi Kiat yang berwatak keras ini membuka mulut, akan tetapi tangannya disentuh oleh Kun
Beng. Bocah ini masih tidak percaya dan menduga bahwa suhu-nya tentu main-main saja dengan lima
orang aneh itu.
Pak-lo-sian Siangkoan Hai memang betul main-main dan sengaja mengeluarkan ucapan tadi untuk
memancing saja. Kini dia memandang kepada murid-murid perempuan yang cantik dan berpakaian mewah
itu, lalu menggelengkan kepalanya dan berkata,
“Tidak ada yang cocok! Kembang-kembang ini sudah terpengaruh oleh pelajaran kalian, aku tidak mau.
Aku ingin yang masih bersih, yang masih baru. Ehh, Kun-lun Ngo-eng, bukankah kemarin kalian menculik
anak perempuan kepala suku bangsa Hui? Di mana dia? Mengapa tidak ada di antara mereka? Coba kau
keluarkan yang itu, mungkin cocok menjadi muridku!”
Berubahlah wajah lima orang aneh itu ketika mendengar ini. Mereka tahu bahwa ternyata kakek ini datang
untuk mencari perkara. Terdengar Kun-lun Ngo-eng berseru keras dan lima batang pedang dicabut
serentak.
“Kau memang mencari mampus!” bentak Pek-eng Sianjin dan segera memimpin empat orang saudaranya
menyerang.
Siangkoan Hai tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, terbukalah kedokmu sekarang! Kau kira aku tidak tahu bahwa
anak-anak ini sudah terpengaruh oleh racun dan kehilangan kehendak sendiri? Kalian benar-benar iblis
yang harus mampus!”
Setelah berkata demikian, dia menggerakkan tombaknya secara luar biasa sekali cepat dan kuatnya
sehingga lima orang lawannya mencelat mundur untuk menghindarkan diri dari sambaran hawa pukulan
tombak itu!
Belasan orang anak murid Kun-lun Ngo-eng juga serentak bergerak menyerang Kun Beng dan Swi Kiat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dua orang anak muda ini cepat melawan. Kun Beng mempergunakan tombaknya dan Swi Kiat
mempergunakan sepasang kipasnya.
Ternyata bahwa orang-orang muda itu merupakan makanan lunak bagi Kun Beng dan Swi Kiat karena
mereka itu hanya pandai beraksi belaka dengan pedang mereka, namun tidak mempunyai ilmu kepandaian
yang berarti. Sebentar saja beberapa orang di antara mereka sudah roboh tunggang-langgang. Baiknya
dua orang murid Pak-lo-sian ini sudah dipesan oleh suhu mereka supaya tidak menewaskan nyawa lawan,
kalau tidak tentulah mereka akan mengamuk, terutama sekali Swi Kiat yang sudah merasa marah sekali.
Ada pun Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang sekarang sudah tahu akan rahasia lima orang lawannya yang
betul-betul jahat dan merupakan penjahat-penjahat cabul yang berkedok pakaian pendeta, menjadi marah
sekali. Permainan tombaknya makin lama makin kuat sehingga lima orang lawannya benar-benar terdesak
hebat.
Ilmu pedang mereka memang luar biasa, namun menghadapi jago tua tokoh besar dari utara ini, mereka
benar-benar kalah pengalaman, kalah latihan dan juga kalah tenaga. Pak-lo-sian memang mempunyai
dasar watak yang amat baik dan berbudi tinggi, namun sekali dia marah, dia bisa berubah menjadi ganas
di samping kesombongannya dan sifat yang tidak mau kalah oleh siapa pun juga dalam hal ilmu silat!
Makin lama, gerakan ilmu pedang lima orang Garuda Kun-lun-san itu makin mengendur dan kini mereka
berkelahi sambil mundur, masuk ke dalam ruangan depan bangunan itu. Akan tetapi Pak-lo-sian
Siangkoan Hai mana mau memberi ampun dan melepaskan lima orang itu?
Dengan ganasnya dia menyerbu terus dan mengejar mereka masuk ke dalam bangunan. Pada saat itu,
kakek kate yang sedang marah ini agak kehilangan kewaspadaannya dan dengan nekat dia menyerbu.
Niatnya hanya satu, yaitu membasmi kelima orang ini dan membalaskan dendam orang-orang muda yang
terjatuh dalam tangan Kun-lun Ngo-eng dan menjadi seperti boneka-boneka hidup itu.
Lima orang Garuda Kun-lun itu tidak kuat menghadapi amukan Siang-koan Hai, maka mereka segera
meloncat ke dalam serta menutup pintunya. Sekali ayunkan tombaknya, terdengar suara keras dan
pecahlah pintu itu!
Pak-lo-sian Siangkoan Hai menyerbu masuk dan mendadak dari atas turun batu besar menimpa
kepalanya! Namun Siangkoan Hai tidak akan mendapat sebutan Dewa Utara dan tidak akan disebut tokoh
terbesar di utara kalau dia tidak dapat menghadapi bahaya serangan mendadak ini.
Batu yang beratnya seribu kati itu menimpa kepalanya dari atas secara mendadak dan agaknya tak dapat
dielakkan pula. Siangkoan Hai tidak menjadi gugup, bahkan dia hanya mempergunakan tangan kirinya,
mendorong batu itu dari samping sehingga batu itu tidak menimpa kepalanya, sebaliknya terlempar ke
depan ke arah lima orang lawannya!
Kun-lun Ngo-eng terkejut bukan main. Mereka cepat meloncat mundur sehingga batu itu menimpa lantai
dan sambil menerbitkan suara gaduh, lantai itu pecah dan berhamburan! Ketika debu yang tebal itu
menipis, Siangkoan Hai tak melihat lawan-lawannya lagi yang sudah melenyapkan diri melalui tirai debu
tadi.
“Lima ekor anjing busuk, kalian jangan harap akan dapat melepaskan diri dari tombakku!” bentak
Siangkoan Hai yang menjadi makin marah.
Kakek ini lantas meloncat dan menendang roboh pintu terusan sehingga daun pintu itu pecah. Ia tiba di
sebuah ruangan yang aneh bentuknya dan yang membuat dia bingung untuk sejenak. Pintu ruangan ini
dipasangi cermin sehingga dia melihat bayangannya sendiri di dalam cermin-cemin itu. Tiba-tiba cermin itu
terbuka dan dari situ menyambar puluhan anak panah.
Siangkoan Hai hendak memutar tombaknya, akan tetapi tiba-tiba lantai yang diinjaknya merosot turun
membawa tubuhnya ke bawah pula! Dia tidak dapat keluar dari kurungan ini, karena semua pintu
menyemburkan anak panah, maka terpaksa dia hanya bersiap sedia menghadapi segala bahaya. Lantai
yang turun ini akhirnya berhenti dan Siangkoan Hai mendapatkan dirinya terkurung di dalam sumur yang
dindingnya terbuat dari pada besi tebal dan keadaan di situ gelap sekali!
Terdengarlah suara orang-orang tertawa, disusul oleh suara Jeng-eng Mo-li yang merdu dan nyaring.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Siangkoan Hai, kau boleh bertapa di situ sampai mampus. Murid-muridmu akan menjadi murid kami dan
sewaktu-waktu kau boleh melihat mereka. Ha-ha-ha!”
Share:

Postingan Cersil Terbaru