Senin, 18 September 2017

Si Bangau Merah 2 Cersil Kho Ping Hoo Mantab

Si Bangau Merah 2 Cersil Kho Ping Hoo Mantab Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Si Bangau Merah 2 Cersil Kho Ping Hoo Mantab
kumpulan cerita silat cersil online
-
Kalau Gangga Dewi, Ang-I Moli dan dua orang tosu Pek-lian-kauw itu amat tercengang keheranan melihat
peristiwa tadi, Yo Han sendiri tidak merasakan sesuatu yang aneh. Dia memang tidak merasakan apa-apa,
dan kalau tadi dia mentertawakan dua orang tosu itu karena memang dia merasa heran dan geli melihat
tingkah mereka. Sama sekali dia tidak mengerti bahwa dua orang tosu itu melakukan sihir, dan sama sekali
dia pun tidak tahu bahwa suara ketawanya membuyarkan semua pengaruh sihir mereka.
Di luar kesadarannya sendiri, ada kekuatan mukjijat dari kekuasaan Tuhan yang selalu melindungi anak ini.
Kekuatan mukjijat ini mungkin saja timbul karena kepercayaannya yang total kepada Tuhan Yang Maha
Kasih. Bukan sekedar percaya di mulut seperti yang dimiliki kebanyakan orang.
Kita semua mengaku ber-Tuhan, tetapi pengakuan kita itu sungguh amat meragukan, apakah pengakuan
itu timbul dari dalam dan sesungguhnya, ataukah pengakuan itu hanya keluar dari pikiran yang
bergelimang nafsu. Kalau hanya pengakuan mulut dan pikiran saja, tidak ada gunanya sama sekali.
Buktinya, kita mengaku ber-Tuhan tetapi kita masih berani melakukan hal-hal yang tidak benar.
Kita adalah orang-orang munafik yang ingat pada Tuhan hanya bila kita membutuhkan pertolongan atau
perlindungan saja, hanya teringat kepada Tuhan kalau kita sedang menderita. Kita melupakan Tuhan
begitu nafsu sedang mencengkeram kita, begitu kita berenang di lautan kesenangan duniawi.
Sejak kecil sekali, melalui kitab-kitab yang dibacanya, kemudian dikembangkan oleh perasaan yang peka,
Yo Han bukan sekedar mengaku ber-Tuhan, melainkan dia dapat merasakan kekuasaanNya dalam dirinya,
yakin dan selalu ingat, selalu pasrah. Begitu mutlak kepercayaannya kepada Tuhan hingga ia pasrah dan
menyerah. Hanya kepada Tuhanlah dia berlindung karena dia tidak beribu-bapa lagi dan ancaman maut
tak cukup kuat untuk membuat dia takut dan lupa akan kepasrahan dan penyerahannya.
Inilah yang membuat dia di luar kesadarannya, selalu diliputi kekuasaan Tuhan. Dan di dunia ini, kekuatan
atau kekuasaan apakah yang dapat menandingi kekuasaan Tuhan? Apa lagi hanya permainan sihir dari
dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu, permainan sihir yang bersandar kepada kekuasaan iblis, tentu saja
tidak dapat menyentuh Yo Han yang sudah dilindungi kekuasaan maha dahsyat yang tidak nampak.
Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu saling pandang, dan merasa betapa tengkuk mereka dingin. Selama
hidup mereka belum pernah ada orang yang mampu membuyarkan kekuatan sihir mereka tanpa
pengerahan kekuatan batin.
Kalau hanya lawan yang memiliki kekuatan batin tanggung-tanggung saja, tentu akan menyerah dan
tunduk terhadap kekuatan sihir mereka berdua yang disatukan. Akan tetapi anak kecil itu, anak belasan
tahun, hanya dengan ketawa polosnya telah mampu membuyarkan kekuatan sihir mereka?
Ataukah wanita peranakan barat itu yang memiliki kemampuan ini? Akan tetapi mereka lihat betapa tadi
wanita itu sudah hampir menyerah kepada mereka. Diam-diam mereka bergidik dan jeri terhadap anak
kecil itu.
Maka, mendengar permintaan Ang-I Moli, mereka merasa girang. Lebih nyaman di hati menghadapi serta
mengeroyok wanita itu dari pada harus menangkap anak ajaib itu! Mereka lalu meloncat dan menyerang
Gangga Dewi dengan senjata mereka.
Gangga Dewi mengelak dengan lompatan ke samping sambil menggerakkan tangannya melolos sabuk
sutera putihnya.
Akan tetapi dua orang tosu Pek-lian kauw itu mendesak dengan serangan-serangan mereka yang ganas.
Sungguh janggal sekali melihat dua orang berpakaian pendeta kini memainkan golok dan pedang,
menyerang seorang wanita dengan dahsyat dan buas, dengan muka beringas dan nafsu membunuh
menguasai mereka, membuat mereka seperti dua ekor binatang buas yang haus darah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mutu batin seseorang tidak terletak pada pakaiannya atau kedudukannya. Akan tetapi, kita sudah terlanjur
hidup di dalam masyarakat di mana nilai-nilai kemanusiaan diukur dari keadaan lahiriahnya, dari
pakaiannya. Pangkat, kedudukan, predikat dan pekerjaan, harta, bahkan sikap dan kata-kata hanya
merupakan pakaian belaka. Semua itu dapat menjadi topeng yang palsu. Namun, kita sudah terlanjur suka
akan yang palsu-palsu.
Kita menghormati orang karena hartanya, karena pangkatnya. Kita menilai orang dari kedudukannya, dari
sikapnya. Padahal, seorang pendeta belum tentu saleh, seorang pembesar belum tentu bijaksana, seorang
hartawan belum tentu dermawan, seorang yang bermulut manis belum tentu baik hati.
Kita tersilau oleh kulitnya, sehingga tidak lagi mampu melihat isinya. Hal ini disebabkan karena batin kita
sebagai penilai juga sudah bergelimang nafsu, sehingga penilaian kita pun didasari keuntungan diri kita
sendiri. Yang menguntungkan kita lahir batin itulah baik, yang merugikan kita lahir batin itulah buruk!
Karena kita semua tahu bahwa yang dinilai tinggi oleh manusia adalah pakaiannya, yaitu nama besar,
harta dunia, kedudukan tinggi, penampilan dan semua pulasan luar, maka kita pun berlomba untuk
mendapatkan semua itu. Kita memperebutkan harta, kedudukan dan sebagainya karena dari kesemuanya
itulah kita mendapat penghargaan dan penghormatan. Kita lupa bahwa penghargaan dan penghormatan
semua itu adalah palsu, kita lupa bahwa yang dihormati adalah pakaian kita, harta kita, kedudukan kita,
nama kita! Kita semua makin hari makin lelap dalam alam kemunafikan.
Kita seyogianya bertanya kepada diri sendiri. Apakah kita termasuk ke dalam kelompok munafik ini?
Bilakah kita akan sadar dari kelelapan kemunafikan ini, menjadi penganut peradaban yang tak beradab,
kemoralan yang tidak bermoral? Pertanyaan selanjutnya, kalau sudah menyadari keadaan yang buruk ini,
beranikah kita untuk keluar dari dunia kemunafikan ini kemudian hidup baru sebagai manusia seutuhnya?
Manusia yang patut disebut manusia, makhluk kekasih Tuhan, yang berbudi, berakhlak, bersusila, berakal
pikir, dan berbakti kepada Sang Maha Pencipta?
Kesadaran seperti itu hanya dapat timbul apa bila kita mau dan berani mawas diri, bercermin bukan
sekedar mematut-matut diri dan memperelok muka, tetapi bercermin menjenguk dan mengamati keadaan
batin kita, pikiran kita, isi hati kita. Berani melihat kekotoran yang selama ini melekat dalam batin kita. Kalau
sudah begini, baru dapat diharapkan timbulnya kesadaran dan kesadaran ini mendatangkan perasaan
rendah diri di hadapan Tuhan!
Pikiran tidak mungkin membersihkan kekotoran ini, karena pikiran sudah bergelimang nafsu, sehingga apa
pun yang dilakukannya tentu mengandung pamrih kepentingan diri, demi keenakan dan kesenangan diri,
lahir mau pun batin. Akan tetapi, kerendahan diri membuat kita pasrah, membuat kita menyerah total
kepada Tuhan Yang Maha Kasih, menyerah dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan.
Dan Tuhan Maha Kasih! Pasti Tuhan akan membimbing orang yang menyerah bulat-bulat, menyerah
dengan kerendahan diri sehingga di dalam penyerahan ini, pikiran tidak ikut campur. Karenanya,
penyerahan itu mutlak dan tanpa pamrih, penuh kerendahan hati, penuh kerinduan dan cinta kasih kepada
Tuhan yang telah mengasihi kita tanpa batas! Dari sini akan timbul gerak hidup yang wajar, manusiawi,
tidak palsu dan tidak munafik lagi.
Pertempuran hebat segera terjadi setelah Gangga Dewi memutar sabuk sutera putih di tangannya. Kwan
Thian-cu dan Kui Thian-cu mengeroyoknya dan setelah lewat hanya beberapa jurus saja, tahulah Gangga
Dewi bahwa kedua orang lawannya ini lihai sekali. Menghadapi seorang dari mereka saja belum tentu dia
akan menang, apa lagi dikeroyok dua. Namun, bukan hal ini yang merisaukan hatinya, melainkan
keselamatan Yo Han. Anak itu kini menghadapi Ang-I Moli, wanita iblis yang amat berbahaya dan keji itu.
Dan memang Yo Han terancam bahaya ketika Ang-I Moli menghampirinya dengan mata bersinar-sinar dan
mulut menyeringai. Wajahnya yang cantik tampak menyeramkan dan membayangkan kekejaman yang
mengerikan. Yo Han juga maklum bahwa ia terancam bahaya, namun dia sama sekali tidak merasa takut.
Anak berusia dua belas tahun itu sejak mulai ada pengertian, sudah menyerah kepada Tuhan sehingga
tidak mengenal arti takut lagi. Dia yakin benar bahwa nyawanya berada di tangan Tuhan dan bahwa kalau
Tuhan tidak menghendaki, jangankan baru seorang manusia sesat macam Ang-I Moli, biar semua iblis dan
setan menyerangnya, dia tidak akan mati! Keyakinan yang sudah mendarah-daging ini membuat dia tabah,
dan dengan sinar mata yang tenang dan jernih, sekarang dia berdiri menghadapi Ang-I Moli yang
menghampirinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hi-hi-hi-hik, Yo Han, engkau hendak lari ke mana sekarang? Tidak ada lagi yang akan mampu meloloskan
engkau dari tanganku, heh-heh!" Ang-I Moli menghampiri semakin dekat dan mulutnya berliur karena ia
membayangkan betapa seluruh darah dalam tubuh anak ajaib itu akan dihisapnya dan ia akan segera
dapat menguasai ilmu dahsyat yang diidamkannya itu.
"Ang-I Moli, aku tidak akan lari ke mana pun. Kalau Tuhan menghendaki, maka Dia yang akan meloloskan
aku dari tanganmu!"
Mendengar jawaban itu, Ang-I Moli tertawa terkekeh-kekeh. “He-he-heh! Tuhan? Mana Tuhanmu itu?
Suruh dia keluar melawanku, heh-heh!" ia lalu menerjang ke depan, jari tangannya menotok ke arah
pundak Yo Han karena ia bermaksud menangkap anak itu dan perlahan-lahan menikmati korbannya.
Yo Han tidak pernah berlatih silat. Walau pun secara teori dia tahu bahwa wanita itu menyerangnya
dengan totokan, dan dia tahu pula betapa sesungguhnya amat mudah untuk mematahkan serangan ini,
namun karena tubuhnya tak pernah dilatih, maka dia tidak dapat melakukan hal itu dan dia pun diam saja,
hanya pasrah kepada Tuhan.
"Tukkk!"
Jari tangan Ang-I Moli menotok jalan darah di pundak. Tubuh Yo Han tiba-tiba menjadi lemas dan dia
terkulai roboh. Ang-I Moli terkekeh, akan tetapi ketika ia menengok dan melihat betapa dua orang suhengnya
itu, walau pun sudah dapat mendesak Gangga Dewi namun belum berhasil merobohkan dan
membunuhnya, lalu ia meloncat dengan pedang di tangan untuk membantu dua orang suheng-nya.
Tentu saja Gangga Dewi menjadi makin repot melayani pengeroyokan tiga orang lawan yang lihai itu. Tadi
pun dikeroyok oleh dua orang tosu itu, ia telah terdesak dan hanya mampu melindungi diri saja tanpa
mendapat kesempatan untuk balas menyerang.
Tapi, dengan memainkan gabungan dari ilmu Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan Iblis) dan Pat-sian Sinkun
(Silat Sakti Delapan Dewa) melalui sabuk suteranya, serta sambil mengerahkan tenaga Inti Bumi yang
semuanya itu dulu ia dapatkan dari gemblengan ayahnya, ia masih mampu membela diri dan sejauh itu
belum ada ujung senjata para pengeroyok mengenai dirinya. Namun, kalau ia harus terus
mempertahankan diri tanpa balas menyerang, akhirnya ia tentu akan kehabisan tenaga dan akan roboh
juga.
"Heiii, kalian ini tiga orang yang berwatak amat pengecut! Mengeroyok seorang wanita bertiga. Percuma
saja kalian mempelajari ilmu silat kalau hanya untuk mengeroyok secara curang dan pengecut."
Yang paling kaget mendengar bentakan itu adalah Ang-I Moli. Ia cepat membalik dan terbelalak melihat Yo
Han telah berdiri di situ sambil menuding-nudingkan telunjuk dan mencela dia dan kedua orang suhengnya,
seperti seorang kakek yang mencela dan menasehati cucu-cucunya yang nakal dan bandel!
Betapa ia tak akan kaget? Tadi ia telah menotok anak itu, totokan yang ia rasakan tepat sekali. Jangankan
seorang anak kecil yang tidak tahu silat, biar pun lawan yang tangguh sekali pun, kalau sudah tertotok
seperti itu pasti akan terkulai lemas dan paling sedikit seperempat jam lamanya takkan dapat berkutik.
Akan tetapi anak ini tahu-tahu sudah bangkit kembali dan menuding-nudingnya!
"Ehhh, anak setan, akan kubunuh kau sekarang juga!"
Kemarahan membuat wanita iblis itu lupa akan keinginannya memanfaatkan darah anak itu dan saking
kaget dan marahnya, kini ia menyerang dengan bacokan pedangnya ke arah leher Yo Han.
"Singgg...!" Serangan itu luput!
Ang-I Moli terbelalak lagi saking herannya. Anak itu seperti didorong angin ke samping dan jatuh
bergulingan, dan justru hal ini membuat sambaran pedangnya tidak mengenai sasaran. Ia membalik dan
mengejar, akan tetapi mendadak dia terhuyung dan hampir terjungkal karena saking tergesa-gesa dan
marah tadi, dia kurang waspada sehingga kakinya terantuk batu.
Ketika ia bangkit kembali, ia melihat Yo Han sudah duduk dengan sikap tenang sekali di atas tanah. Anak
itu memang sudah tahu bahwa melawan tiada gunanya dan lari pun akan percuma. Maka dia lalu duduk
dan pasrah, menyerahkan nasib dirinya kepada Tuhan.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Anak setan...!" Kini Ang-I Moli teringat lagi bahwa ia membutuhkan Yo Han, maka ia pun meloncat dekat
dan mengayun tangan kirinya, kini menampar ke arah tengkuk.
"Plakkk!"
Tubuh anak itu terguling dan ia roboh pingsan. Setelah memeriksa dan merasa yakin bahwa anak itu
sudah pingsan dan tidak akan mudah siuman dalam waktu dekat, ia lalu meloncat lagi dan kembali
mengeroyok Gangga Dewi yang sudah kewalahan. Namun pada saat itu nampak bayangan orang
berkelebat.
"Dunia tidak akan pernah aman selama ada orang-orang sesat berkeliaran mengumbar nafsunya!"
bayangan itu berkata.
Begitu dua tangannya bergerak, segera nampak sepasang pedang yang bersinar putih mengkilap berada
di kedua tangannya dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu menyerbu ke dalam perkelahian itu dan
membantu Gangga Dewi! Semua orang memandang pada bayangan itu.
Dan ternyata bayangan itu adalah seorang laki-laki yang usianya sekitar lima puluh satu tahun dengan
wajah yang berbentuk bundar, kulitnya agak gelap, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi. Wajah itu
tampan dan mengandung kegagahan, gerak geriknya lembut dan sinar matanya tajam.
Baik Gangga Dewi mau pun tiga orang pengeroyoknya tidak mengenal orang ini, akan tetapi karena jelas
bahwa ia membantu Gangga Dewi, maka Ang-I Moli sudah langsung menyambutnya dengan sambitan
jarum-jarum beracun merah.
"Hemmm, memang keji!" orang laki-laki itu berseru dan sekali tangan kanan bergerak, pedangnya diputar
dan dibantu kebutan lengan baju, semua jarum tertangkis runtuh.
Ang-I Moli sudah menyusulkan serangan dengan pedangnya. Orang itu menangkis dan balas menyerang.
Mereka bertanding dengan pedang, dan ternyata ilmu pedang orang itu lihai bukan main, membuat Ang-I
Moli terkejut dan terpaksa ia harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh ilmu pedang
simpanannya untuk melindungi dirinya dari sambaran sepasang pedang lawan yang lihai itu.
Tentu saja orang itu lihai karena dia adalah Suma Ciang Bun! Pria yang sekarang hidup mengasingkan diri
di Pegunungan Tapa-san ini adalah seorang cucu Pendekar Istana Pulau Es. Biar pun bakatnya tidak
sangat menonjol dibandingkan keluarga Istana Pulau Es yang lain, namun karena dia sudah mempelajari
ilmu-ilmu dari ayah dan ibunya, maka dia juga menjadi seorang pendekar yang sangat lihai. Banyak ilmu
hebat yang dikuasainya, dan sekarang, dengan sepasang pedangnya dia memainkan ilmu pedang
pasangan Siang-Mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) dan dalam waktu belasan jurus saja Ang-I Moli
yang lihai telah terdesak hebat.
Akan tetapi, sambil melawan wanita berpakaian merah itu, Suma Ciang Bun melirik ke arah wanita gagah
yang dikeroyok oleh dua orang berpakaian tosu. Dia melihat betapa wanita itu terdesak hebat dan berada
dalam bahaya karena selain nampaknya sudah lelah sekali, juga paha kirinya sudah terluka dan berdarah.
Maka, setelah mendesak Ang-I Moli, tiba-tiba dia meloncat ke dalam arena pertempuran membantu
Gangga Dewi yang dikeroyok Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu.
Begitu Suma Ciang Bun menerjang dan membantu Gangga Dewi, dua orang tokoh dari Pek-lian-kauw itu
terkejut karena serangan Suma Ciang Bun sangat kuatnya, membuat mereka berdua harus loncat ke
belakang dan terpaksa menghadapinya, meninggalkan Gangga Dewi yang sudah payah dan kelelahan.
Karena kini mendapat bantuan yang kuat, timbul kembali semangat Gangga Dewi.
"Terima kasih, Sobat. Mari kita basmi iblis-iblis Pek-lian-kauw yang jahat ini!" serunya dan meski pun paha
kirinya sudah terluka, dia memutar pedangnya dan bersama Suma Ciang Bun mendesak tiga orang lawan
itu.
Tiba-tiba dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu membaca mantera yang aneh, kemudian Kwan Thian-cu
berseru, "Kalian berdua orang-orang bodoh! Lihat baik-baik siapa kami! Kami lebih berkuasa, hayo kalian
cepat berlutut memberi hormat kepada kami!" Dalam suara ini terkandung kekuatan sihir. Agaknya mereka
berusaha untuk mencoba sihir mereka kembali untuk menundukkan dua orang lawan tangguh itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Gangga Dewi terhuyung. Akan tetapi Suma Ciang Bun adalah cucu Pendekar Sakti Pulau Es, ia sudah
memiliki kekebalan terhadap sihir. Kakeknya, Pendekar Super Sakti, adalah seorang yang memiliki
kepandaian sihir amat kuatnya, dan biar pun ilmu itu tidak dipelajari oleh Suma Ciang Bun, namun dia
memiliki kekebalan terhadap segala macam ilmu sihir. Maka, melihat sikap lawan, Suma Ciang Bun
tertawa halus.
"Hemmm, kalian tidak perlu menjual segala macam sulap dan sihir di depanku.”
Dua orang tosu itu terkejut dan pada saat itu, Gangga Dewi yang sudah tak terpengaruh sihir, menerjang
dengan hebat, disusul Suma Ciang Bun yang menggerakkan sepasang pedangnya. Tiga orang itu terpaksa
memutar senjata sambil mundur.
Akan tetapi, Ang-I Moli yang licik sudah meloncat ke dekat tubuh Yo Han yang masih pingsan. Ia
menyambar tubuh itu dan dipanggulnya dengan tangan kiri, lalu ia berteriak nyaring,
"Hentikan perlawanan kalian atau aku akan membunuh anak ini!"
Mendengar ucapan itu, Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi terkejut, menahan pedang mereka dan
memandang ke arah Ang-I Moli. Mereka melihat betapa wanita iblis itu telah memanggul tubuh Yo Han dan
sedang mengancamkan pedangnya ke dekat leher anak itu. Melihat ini, Gangga Dewi menarik napas
panjang. Dia tahu bahwa kalau dia dan penolongnya ini bergerak, tentu wanita iblis itu tidak akan ragu-ragu
untuk membunuh Yo Han.
"Sudahlah, biarkan mereka pergi," katanya lirih, namun tegas dan penuh wibawa.
Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya. Ketika datang tadi, dia melihat anak itu ditampar pingsan oleh
wanita berpakaian merah dan ia bisa menduga bahwa wanita yang gagah perkasa itu tentu melindungi Si
Anak sehingga ia dikeroyok. Sekarang, setelah anak itu ditawan dan diancam, wanita itu merasa tidak
berdaya dan terpaksa menyerah.
"Mari kita pergi!" Ang-I Moli berkata kepada dua orang suheng-nya dan ia pun meloncat jauh membawa
tubuh Yo Han yang masih pingsan. Dua orang takoh Pek-lian-kauw juga cepat-cepat mengejar karena
mereka juga merasa jeri setelah Suma Ciang Bun muncul membantu Gangga Dewi.
Melihat betapa tiga orang itu melarikan anak yang dipondong Si Iblis Betina berpakaian merah, Suma
Ciang Bun merasa gelisah. "Tapi... mereka membawa pergi anak itu...!" katanya khawatir sambil kakinya
melangkah ke depan dengan maksud untuk melakukan pengejaran.
"Jangan dikejar!" kata Gangga Dewi mantap. "Kalau dikejar justru akan membahayakan keselamatan
nyawanya. Dan lagi, aku percaya Yo Han mampu menjaga dirinya."
"Yo Han? Yo... Han...? Anak itu...?"
Gangga Dewi memandang tajam. "Engkau mengenal Yo Han?"
"Kalau benar Yo Han yang kau maksudkan itu, tentu saja aku mengenalnya. Dia pernah tinggal bersamaku
di sini..."
"Ahhh, kalau begitu engkau tentu Suma Ciang Bun!" kata Gangga Dewi dengan girang.
Suma Ciang Bun menatap wajah wanita yang gagah perkasa itu. "Benar, dan... kalau boleh aku
mengetahui... siapakah... ehhh, Nyonya ini...?"
Gangga Dewi memandang dengan wajah berubah kemerahan, matanya bersinar-sinar dan hatinya
dicekam keharuan yang hampir membuat dia menangis. Ingin memang dia menangis! Suma Ciang Bun
memang nampak jauh lebih tua dari pada tiga puluhan tahun yang lalu. Akan tetapi masih tampan, masih
lembut dan canggung pemalu!
"Ciang Bun... kau... benarkah engkau sudah lupa kepadaku?" tanyanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Wanita yang berhati keras ini telah mampu mengendalikan perasaannya. Meski hatinya menjerit, namun
dia dengan gagah dapat menahan diri. Sungguh hal ini menunjukkan betapa Gangga Dewi kini sudah
menjadi seorang wanita yang lebih kuat hatinya lagi dibandingkan dahulu.
Di waktu mudanya, sebagai seorang gadis yang menuruni jiwa petualang ayah ibunya, dia pernah
merantau ke timur dan dalam perantauannya itulah dia pernah mengalami peristiwa bersama Suma Ciang
Bun, peristiwa yang membuat ia tidak dapat melupakan pria ini selama hidupnya. (baca KISAH PARA
PENDEKAR PULAU ES).
Dalam perantauannya itu, ketika itu ia baru berusia delapan belas tahun, ia menyamar sebagai seorang
pria dan mengganti namanya menjadi Ganggananda. Dan ia bertemu dengan Ciang Bun yang menyangka
dia seorang pria. Diam-diam dia jatuh cinta kepada Suma Ciang Bun yang gagah perkasa.
Mereka bersahabat. Kemudian, ia pun mendapat kenyataan bahwa Ciang Bun ternyata juga mencintanya,
tetapi mencintanya bukan sebagai Gangga Dewi, melainkan sebagai Ganggananda! Ternyata cucu
Pendekar Sakti Pulau Es itu memiliki suatu kelainan, yaitu tidak suka berdekatan dengan wanita,
melainkan suka kepada sesama pria!
Ciang Bun jatuh cinta kepadanya secara aneh, yaitu karena ia disangka pria. Ia tahu akan hal itu dari Suma
Hui, kakak dari Suma Ciang Bun. Ketika ia menyatakan sendiri, membuka rahasia dirinya kepada Suma
Ciang Bun, dan mendengar pengakuan Ciang Bun bahwa pemuda itu mencinta dirinya sebagai pria, bukan
sebagai wanita, Gangga Dewi lalu melarikan diri.
Bagaimana mungkin ia hidup bersama seorang pemuda yang mencintanya sebagai pria, betapa besar pun
ia mencinta pemuda itu? Ia lari meninggalkan Ciang Bun, lalu kembali ke Bhutan dengan hati hancur dan
luka karena cinta yang gagal. Karena itulah, ia menurut saja saat ayah dan ibunya menjodohkan ia dengan
seorang panglima muda di Bhutan, panglima yang masih murid ayahnya sendiri dan seorang pria Bhutan
yang gagah perkasa.
Ia berusaha untuk melupakan Ciang Bun. Sampai suaminya tewas di dalam perang dan ia sudah
mempunyai dua orang anak yang sudah dinikahkannya pula, kemudian sampai ia pergi lagi ke timur untuk
mencari ayahnya, ia sudah hampir tidak pernah ingat lagi kepada Suma Ciang Bun.
Siapa kira, ia lalu bertemu Yo Han dan anak itulah yang mengajaknya menemui Suma Ciang Bun untuk
bertanya di mana ia dapat menemukan ayahnya. Dan ketika Yo Han menyebut nama Suma Ciang Bun,
dapat dibayangkan betapa rasa kagetnya. Dan kini, ia telah berhadapan dengan bekas kekasih hatinya itu.
Suma Cian Bun menatap wajah Gangga Dewi dengan sinar mata keheranan dan penuh pertanyaan. Dia
sudah tidak dapat mengingat lagi wajah wanita perkasa yang berdiri di depannya ini.
Seorang wanita yang cantik dan gagah. Rambutnya sudah beruban, namun wajahnya masih segar dan
nampak muda. Pakaiannya dari sutera kuning, juga rambut beruban yang mengkilap dan tebal panjang itu
ditutup kerudung sutera kuning. Namun hiasan rambutnya yang berbentuk burung merak masih dapat
terlihat karena kerudung itu tipis. Wajah yang cantik, membayangkan ketabahan dan semangat yang amat
kuat.
Akan tetapi, ia tetap tidak dapat mengingat wajah ini, apa lagi karena jarang ia bergaul dengan wanita. Dia
merasa heran sekali mendengar betapa wanita ini tadi menyebut namanya sedemikian akrabnya. Hanya di
dalam hatinya ada keyakinan bahwa ia seperti pernah mengenal sinar mata itu, sepasang mata yang lebar
dan jernih sekali, juga tajam berwibawa.
"Siapa... siapakah Nyonya? Aku... rasanya pernah bertemu, tapi aku lupa lagi di mana dan kapan..."
Gangga Dewi tidak merasa menyesal atau kecewa. Ada baiknya kalau Suma Ciang Bun melupakannya.
Dahulu dia selalu teringat kepada Suma Ciang Bun dengan hati penuh iba dan ia selalu membayangkan
betapa hancur hati pemuda itu akibat ditinggalkannya, betapa pemuda itu tentu merana dan hidup
sengsara. Kalau Suma Ciang Bun dapat melupakannya, maka hal itu sungguh baik sekali.
Akan tetapi, ia melihat betapa sinar mata pria ini jelas menunjukkan betapa dia telah menderita banyak
sekali. Matanya begitu redup dan ada kesedihan mendalam yang tak pernah hapus dari batinnya.
"Ciang Bun, aku dari Bhutan!" ia membantu ingatan bekas kekasih hatinya itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba mata itu terbelalak, sinarnya penuh pengenalan. Wajah itu mendadak menjadi pucat sekali, bibir
itu gemetar dan beberapa kali bergerak tanpa suara, kedua tangan dikembangkan dan agaknya Ciang Bun
harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk akhirnya dapat mengeluarkan suara. Dan bagaikan air bah
yang membanjir karena jebol tanggulnya, dari dalam dadanya menghambur suara yang tidak jelas.
"Gangga... kau Gangga... Gangga Dewi...!" Dan dia pun menubruk wanita itu.
Gangga Dewi membiarkan dirinya dirangkul dan ia pun balas memeluk.
"Ciang Bun...!"
Ia harus mengerahkan tenaga sinkang-nya untuk melindungi tubuhnya ketika merasa betapa dekapan itu
sangat kuatnya. Akan remuklah tulang-tulang iganya kalau ia tidak mengerahkan tenaga, dan dengan hati
penuh iba ia pun berbisik, "... aku Ganggananda, Ciang Bun."
"Gangga Dewi... engkau Gangga Dewi...!" hanya itu yang dapat diucapkan Ciang Bun.
Wanita itu merasa jantungnya seperti diremas-remas ketika ia menengadah dan melihat betapa air mata
bercucuran dari kedua mata pria gagah perkasa itu. Suma Ciang Bun menangis! Menangis seperti seorang
wanita.
Gangga Dewi merasa semakin terharu, Ciang Bun mencium dahi dan rambutnya dan ia dapat merasakan
detak jantung yang penuh kasih sayang dalam dada pria itu.
"Ya Tuhan, terima kasih, terima kasih bahwa engkau telah mempertemukan aku kembali dengan Ganggaku...
Ahhh, Gangga Dewi, betapa aku rindu kepadamu..."
"Aku pun rindu kepadamu, Ciang Bun. Akan tetapi kepada siapakah engkau rindu? Gangga Dewi ataukah
Ganggananda...?"
"Sama saja, Gangga, sama saja. Aku mencintamu, mencinta pribadimu, tidak peduli engkau pria atau
wanita...”
Kembali Suma Ciang Bun mencium dahi Gangga Dewi dengan penuh cinta kasih dan Gangga Dewi
merasa betapa ada air mata membasahi dahinya dan menuruni pipinya. Jawaban itu melegakan hatinya
dan ia pun balas merangkul. Betapa keadaan seperti ini sering kali terjadi dalam mimpinya ketika dulu,
betapa ia merindukan rangkulan pria ini.
Akan tetapi, tiba-tiba Ciang Bun mengeluarkan keluhan perlahan dan dia pun segera melepaskan
rangkulan, kemudian melangkah ke belakang dan pada saat Gangga Dewi memandang, ia melihat wajah
itu basah air mata yang masih menetes turun, dan wajah itu kembali pucat, mulutnya bergerak-gerak
gugup.
"Aih, Gangga Dewi... kau maafkan aku... ya Tuhan! Apa yang telah kulakukan? Gangga, maafkan aku...
maafkan aku..." Dan kini Ciang Bun menangis sambil menutupi muka dengan kedua tangannya.
Gangga Dewi memandang dan wajahnya sendiri berubah pucat. Kiranya Ciang Bun masih seperti dulu!
Masih menangis cengeng bagai seorang wanita lemah, dan agaknya merasa menyesal atas sikapnya yang
penuh kehangatan dan kemesraan tadi karena ia muncul sebagai wanita. Agaknya Ciang Bun teringat lagi
bahwa ia seorang wanita dan menyesali perbuatannya tadi. Perasaan kecewa yang membuat hatinya nyeri
langsung terasa oleh Gangga Dewi.
"Ciang Bun," katanya dan suaranya kini kering dan tegas. "Katakan mengapa engkau minta maaf?
Mengapa? Katakan…"
Ciang Bun menurunkan kedua tangannya dan memandang dengan mata merah. Ia pun sudah bisa
menguasai hatinya, tidak menangis lagi meski kedua matanya masih basah.
"Gangga Dewi, maafkanlah kelemahanku tadi. Sesungguhnya barusan aku telah lupa diri, saking haru dan
girangku bertemu denganmu. Aku telah melakukan hal yang tidak pantas, tidak sopan. Aku lupa bahwa
engkau bukanlah Gangga Dewi yang dahulu lagi, engkau seorang yang telah bersuami, berumah tangga.
dunia-kangouw.blogspot.com
Aku sudah mendengar bahwa engkau kini menjadi seorang isteri yang berbahagia di Bhutan, dengan anakanakmu.
Ahhh, aku ikut merasa girang bahwa engkau hidup berbahagia, Gangga."
Gangga Dewi tersenyum. Hatinya senang karena ternyata Ciang Bun tidak minta maaf sebagai tanda
bahwa penyakitnya yang dulu masih ada, melainkan minta maaf karena teringat bahwa ia seorang yang
telah bersuami. Hal ini wajar, bahkan baik sekali, tanda bahwa pria ini masih dapat menguasai gelora
nafsunya.
"Dan engkau sendiri bagaimana, Ciang Bun?" tanyanya, sikapnya tenang, juga Ciang Bun agaknya sudah
mampu menguasai hatinya dan kini mereka berdiri saling pandang dengan sinar mata penuh selidik,
seolah ingin menjenguk isi hati masing-masing.
Mendengar pertanyaan itu, Ciang Bun menggelengkan kepalanya dan menghela napas panjang.
"Aku masih hidup sendirian, Gangga. Sejak engkau pergi, aku telah kehilangan segala-galanya dan aku
lalu hidup mengasingkan diri di sini. Gangga Dewi, bagaimana dengan suami dan anak-anakmu? Kenapa
pula engkau melakukan perjalanan seorang diri dan bersama Yo Han?"
"Ciang Bun, aku pergi meninggalkan Bhutan. Aku sekarang juga hidup sendirian seperti engkau. Suamiku
telah lama meninggal dalam perang. Kedua orang anakku juga sudah berumah tangga dan hidup
berbahagia dengan keluarga masing-masing. Aku kesepian. Ibu telah meninggal dan ayahku telah lama
meninggalkan Bhutan. Aku lalu pergi untuk mencari ayahku, dan dalam perjalanan aku bertemu Yo Han.
Dialah yang mengajak aku ke sini karena dia berkata bahwa engkau tentu tahu di mana adanya ayahku"
"Ahhh...! Yo Han telah dilarikan orang jahat. Kita harus cepat mengejarnya Gangga. Kita harus
menyelamatkannya dari tangan mereka. Nanti saja kita bicara lagi, yang penting sekarang kita harus
menolong Yo Han!" Suma Ciang Bun yang teringat kepada Yo Han meloncat jauh ke depan untuk
melakukan pengejaran.
"Tahan dulu...!" Suma Ciang Bun melihat bayangan kuning berkelebat mendahuluinya dan Gangga Dewi
sudah berdiri di depannya menghalanginya.
Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya. "Yo Han terjatuh di tangan orang-orang jahat, nyawanya terancam
bahaya dan kini aku hendak mengejar serta menolongnya. Kenapa engkau mencegahku, Gangga Dewi?"
"Kenapa engkau hendak menolong Yo Han?"
“Tentu saja! Aku sayang padanya. Ia pernah tinggal di sini, dititipkan oleh gurunya, Tan Sin Hong. Meski
anak lain yang tidak kukenal sekali pun, sudah sepatutnya kubebaskan dari tangan orang-orang jahat itu.
Apa lagi Yo Han!" Suma Ciang Bun hendak meloncat lagi, akan tetapi Gangga Dewi menghadangnya.
"Nanti dulu, Suma Ciang Bun. Tenanglah dan mari kita bicarakan dengan kepala dingin. Kau kira aku tidak
sayang kepada Yo Han? Walau belum lama kami saling berkenalan, namun anak itu sudah kuanggap
sebagai keluarga sendiri, bahkan aku suka dan ingin mengambilnya sebagai murid. Justru karena kita
sayang kepadanya, kita tidak boleh melakukan pengejaran secara langsung, karena hal ini bahkan akan
membahayakan dirinya. Kalau Ang-I Moli yang jahat itu melihat kita melakukan pengejaran, ia tidak akan
ragu untuk segera membunuh Yo Han! Kau tahu, Ciang Bun, perkenalanku dengan Yo Han justru ketika
aku merampasnya dari cengkeraman Ang-I Moli. Tak kusangka hari ini ia merampas anak itu kembali dari
tanganku, dibantu dua orang tosu Pek-lian-kauw itu. Jadi, kalau hendak menyelamatkan Yo Han, kita harus
menggunakan siasat, tidak boleh sembarangan saja!”
Suma Ciang Bun mengangguk-angguk dan meraba jenggotnya yang terpelihara rapi. Ia berada dalam
pemainan gelombang perasaan. Ketika ia tadi mendengar bahwa Gangga Dewi kini hidup seorang diri,
sudah menjadi janda, dia merasakan suatu kegembiraan luar biasa di hatinya, kegembiraan yang muncul
dengan adanya suatu harapan baru. Akan tetapi kegembiraan ini terganggu oleh kekhawatiran tentang diri
Yo Han. Sekarang menghadapi sikap Gangga Dewi yang sedemikian tegas dan tenang, dia merasa sama
sekali tak berdaya, seperti seorang bawahan menghadapi atasannya!
"Kurasa engkau benar, Gangga Dewi. Baiklah, aku menurut saja bagaimana baiknya untuk dapat
menolong Yo Han."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kita membayangi mereka dari jarak jauh dan menjaga agar mereka jangan sampai tahu bahwa kita
membayangi mereka. Kita mendekati mereka dan mencari kesempatan baik untuk turun tangan, suatu
penyerbuan mendadak sehingga mereka tidak mempunyai kesempatan untuk membunuh Yo Han."
"Akan tetapi, kalau kita berlambat-lambat, aku khawatir mereka akan mengganggu dan membunuh Yo Han
dan kita akan terlambat."
Gangga Dewi menggeleng kepalanya. "Engkau, tidak mengenal betul siapa Yo Han. Aku sendiri pun masih
terheran-heran dan takjub melihat keadaan anak itu. Dia mampu menjaga dirinya sendiri. Dia memiliki
kekuatan yang ajaib. Mari kita mulai membayangi mereka dan akan kuceritakan semua tentang keanehan
Yo Han dalam perjalanan."
"Karena pengejaran ini mungkin makan waktu lama, biarlah aku akan membawa bekal pakaian dulu,
Gangga. Tempat tinggalku tidak jauh dari sini. Mari!"
Keduanya lalu berlari mendaki lereng dan tak lama kemudian mereka tiba di sebuah pondok sederhana
yang kokoh, yang terletak di dataran dekat puncak, sebuah tempat yang amat indah pemandangan
alamnya dan sejuk sekali hawanya.
"Alangkah indahnya tempat ini..." Gangga Dewi memuji.
Dengan wajah berseri ia memandang ke empat penjuru dari tempat ketinggian itu, dan dengan tarikan
napas panjang menghisap hawa udara yang jernih, sejuk dan harum karena di sekitar tempat itu terdapat
banyak sekali pohon dan tumbuh-tumbuhan yang sedang berkembang.
Suma Ciang Bun hanya tersenyum gembira dan mencatat ucapan Gangga Dewi itu di dalam hatinya. Dia
lalu membawa pakaian dalam buntalannya dan tidak lama kemudian mereka berdua sudah menuruni
puncak dengan ilmu berlari cepat mereka. Biar pun tak mengeluarkan suara, keduanya merasa betapa ada
kebahagiaan besar menyelubungi hati mereka ketika mereka melakukan perjalanan bersama seperti itu.
Tanah dalam hati mereka yang tadinya hampir mengering itu seolah-olah tersiram embun pagi yang sejuk,
menerima siraman air yang membuat tanah itu hidup kembali dan bunga-bunga cinta yang tadinya seperti
layu kini mekar kembali.
Mereka melakukan pengejaran dan mencari jejak Ang-I Moli yang melarikan Yo Han dan sepanjang
perjalanan ini, mereka saling menceritakan pengalaman mereka sejak mereka saling berpisah kurang lebih
tiga puluh tahun yang lalu!
Setelah mendengarkan Ciang Bun menceritakan semua pengalamannya, Gangga Dewi merasa terharu
sekali. Sekarang ia merasa yakin bahwa Ciang Bun memang mencinta dirinya. Bukan hanya mencintanya
sebagai seorang pemuda yang dulu memakai nama samaran Ganggananda, melainkan mencintainya
dengan tulus walau pun sudah tahu bahwa ia seorang wanita, bukan pria seperti yang disangkanya
semula.
Ciang Bun rela hidup menyendiri, tidak lagi mau mencari pasangan, baik pria mau pun wanita. Ia merasa
terharu, akan tetapi tidak memperlihatkannya.
"Gangga, sekarang giliranmu untuk bercerita. Semenjak tadi aku ingin sekali mendengar mengenai semua
pengalamanmu mulai kita saling berpisah sampai sekarang."
Mereka bercakap-cakap di dalam sebuah goa di mana mereka terpaksa melewatkan malam. Jejak Ang-I
Moli yang mereka dapatkan melewati bukit itu dan karena malam itu gelap, mereka tidak dapat melanjutkan
perjalanan dan terpaksa melewatkan malam di goa itu. Mereka membuat api unggun, dan setelah makan
malam, yaitu makan roti dan daging kering yang dibawa oleh Ciang Bun dan minum air jernih yang dibawa
Gangga sebagai bekal, mereka lalu bercakap-cakap.
"Baiklah, Ciang Bun. Pengalamanku jauh lebih menyenangkan dari pada pengalaman dirimu, walau pun
berakhir dengan perasaan kesepian juga."
Ia kemudian menceritakan mengenai pernikahannya dengan seorang panglima Bhutan, hidup berbahagia
sampai mempunyai dua orang anak. Akan tetapi setelah kedua orang anaknya berumah tangga, dan
suaminya tewas di dalam medan perang, ia pun merasa kesepian sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sudah bertahun-tahun ayah meninggalkan Bhutan, semenjak ibu meninggal. Aku ingin sekali bertemu
dengan ayah, maka aku lalu meninggalkan Bhutan dan pergi mencarinya di timur. Dalam perjalanan inilah
aku bertemu dengan Yo Han yang sedang terancam keselamatannya oleh Ang-I Moli itu. Aku menolong Yo
Han dan berhasil mengusir Ang-I Moli. Ketika mendengar bahwa guru Yo Han yang pertama yang bernama
Tan Sin Hong itu adalah murid ayahku, tentu saja aku menganggap Yo Han seperti warga sendiri. Dia yang
mengajak aku ke sini untuk menemuimu, karena menurut Yo Han, engkau tentu tahu di mana ayahku
berada. Nah, sekarang katakan, di manakah ayahku, Ciang Bun? Engkau tahu siapa ayahku, bukan?"
Suma Ciang Bun menarik napas panjang. Wajahnya yang tampan itu nampak muram. "Tentu saja aku tahu
siapa ayahmu, Gangga. Ayahmu dahulu terkenal dengan julukan Si Jari Maut, bernama Wan Tek Hoat dan
lalu menjadi hwesio dengan julukan Tiong Khi Hwesio. Benarkah?"
"Benar, dan ayahku selalu memuji-muji keluarga Pulau Es. Di mana dia sekarang?"
"Ketahuilah, Gangga Dewi. Kurang lebih lima tahun yang lalu, ayahmu pergi ke Istana Gurun Pasir, dan
tinggal di sana bersama Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu dengan isterinya..."
"Bibi Wan Ceng, saudara seayah dari ayahku?" Gangga Dewi memotong.
"Benar, Gangga. Tiga orang tua itu tinggal di Istana Gurun Pasir, hidup dengan tenteram dan bahagia,
bahkan mereka bertiga mengambil Tan Sin Hong sebagai murid. Betapa beruntung pendekar itu, sekaligus
menjadi murid mereka bertiga."
"Ahhh! Kalau begitu, ayahku kini masih di sana?"
Ciang Bun menarik napas panjang dan sampai lama tidak dapat menjawab, karena dia merasa ragu untuk
menerangkan keadaan yang sesungguhnya.
"Ciang Bun, jawablah! Aku bukan anak kecil lagi, aku siap untuk mendengar berita apa pun. Masih
hidupkah ayahku? Dan apakah dia masih berada di Istana Gurun Pasir?"
Setelah beberapa kali menarik napas panjang, Suma Ciang Bun lalu berkata, "Terjadi hal yang
menyedihkan dan juga amat menggemaskan, Gangga. Tiga orang tua itu telah mengasingkan diri di
tempat sunyi itu dan tak mau lagi mencampuri urusan dunia, hidup dengan tenang tenteram. Akan tetapi,
orang-orang yang dulu pernah mereka kalahkan atau mereka basmi, yaitu orang-orang sesat dari dunia
hitam, agaknya masih menaruh dendam. Orang-orang Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw, beserta beberapa
orang datuk sesat lainnya, telah menyerbu Istana Gurun Pasir dan mengeroyok tiga orang tua itu.
Akibatnya, meski pun pihak pengeroyok itu banyak yang terluka dan tewas, namun tiga orang Locianpwe
itu juga tewas... ah, maafkan aku, Gangga Dewi, telah menyampaikan berita duka ini."
Akan tetapi Gangga Dewi sama sekali tidak nampak berduka atau terkejut, bahkan ia mengepal tinju dan
bangkit berdiri. Wajahnya yang tertimpa api unggun itu kemerahan dan cantik sekali, gagah pula, dan
matanya bersinar-sinar.
"Bukan berita duka, Ciang Bun! Aku bahkan bangga mendengar ayah tewas seperti itu. Sungguh sesuai
dengan wataknya yang gagah. Apa lagi tewas dalam menentang para datuk sesat bersama Bibi Wan Ceng
dan suaminya, Naga Sakti Gurun Pasir. Tidak, aku tidak berduka, apa lagi ayah memang telah berusia
lanjut. Aku bangga karena dia mati secara gagah perkasa! Akan tetapi aku penasaran kepada mereka
yang melakukan penyerbuan itu. Sungguh pengecut dan curang! Mengeroyok tiga orang yang sudah tua
dan yang sudah mengasingkan diri dari dunia persilatan!"
"Begitulah watak orang-orang jahat dari dunia sesat, Gangga."
"Siapakah mereka itu? Kalau engkau tahu, sebutkan namanya satu demi satu, aku akan pergi mencarinya
dan membunuh mereka!" kata Gangga Dewi dengan marah.
"Tenanglah, Gangga. Mereka semua sudah tidak ada lagi. Seorang demi seorang telah tewas oleh para
pendekar muda, termasuk Tan Sin Hong."
"Oh ya, mengapa Tan Sin Hong diam saja ketika tiga orang gurunya dikeroyok? Apakah dia tidak
membantu, dan kalau demikian, mengapa, dia dapat lolos dan hidup? Apakah dia melarikan diri?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sama sekali tidak. Pada waktu peristiwa penyerbuan itu terjadi, baru saja Sin Hong menerima sebuah ilmu
dari tiga orang gurunya, bahkan menerima pengoperan tenaga gabungan mereka. Selama setahun Sin
Hong harus memperdalam ilmu itu dan ia sama sekali tidak boleh menggunakan sinkang, karena kalau hal
itu dilanggar, dia akan tewas oleh tenaganya sendiri! Itulah sebabnya dia tidak mampu membela ketika tiga
orang gurunya dikeroyok. Dia ditawan, akan tetapi mampu meloloskan diri dan bersembunyi untuk
menyelesaikan ilmu baru itu selama setahun. Setelah itu, baru dia pergi mencari mereka yang membunuh
tiga orang gurunya. Akhirnya, setelah bekerja sama dengan para pendekar muda lainnya, dia berhasil
menewaskan para penjahat itu. Dia bekerja sama dengan para pendekar muda keturunan Istana Pulau Es
dan Istana Gurun Pasir."
Gangga Dewi mengangguk-angguk. "Ahhh puaslah rasa hatiku. Kematian ayah sudah dibersihkan dari
penasaran oleh para pendekar keluarga Istana Pulau Es dan Istana Gurun Pasir! Sungguh merupakan
suatu kehormatan besar sekali dan aku ikut merasa bangga dan berbahagia. Tentu arwah ayah akan
merasa bangga dan puas pula. Ingin aku berjumpa dan mengucapkan rasa terima kasihku kepada Tan Sin
Hong. Dia masih terhitung sute-ku (adik seperguruanku) sendiri. Namun, bagaimana aku dapat bertemu
dengan dia tanpa membawa Yo Han, muridnya yang terculik penjahat? Mari, Ciang Bun, kita percepat
usaha kita mencari jejak iblis betina itu."
Mereka lalu berlari cepat dan tiga hari kemudian baru mereka mendapatkan jejak Ang-I Moli. Mereka
mendapatkan keterangan dari penduduk sebuah dusun di kaki bukit. Tidak begitu sukar mencari jejak Ang-I
Moli dan dua orang tosu itu. Ang-I Moli adalah seorang wanita cantik yang selalu menggunakan pakaian
merah. Keadaannya menyolok sekali dan orang yang berjumpa dengannya tidak mudah melupakannya.
Jejak itu menuju ke Propinsi Hu-nan di sebelah selatan. Mereka melakukan pengejaran terus, sementara
hubungan mereka menjadi semakin akrab. Dua orang setengah baya ini merasa seperti menjadi muda
kembali dan mereka terkenang akan masa lalu ketika mereka masih sama muda dan juga melakukan
perjalanan bersama.
Akan tetapi sekarang perasaan mereka lebih mendalam dibandingkan dahulu karena sekarang agaknya
Suma Ciang Bun telah sembuh dari kelainan yang dideritanya. Atau mungkin juga dia tidak berubah, hanya
karena sifat Gangga Dewi yang gagah perkasa, keras dan bahkan ‘jantan’ itu yang membuat Ciang Bun
semakin jatuh cinta. Andai kata sikap Gangga Dewi lunak dan penuh kewanitaan, belum tentu ia akan
merasa demikian tertarik dan jatuh cinta untuk ke dua kalinya. Kalau dahulu dia mencinta Ganggananda,
kini dia benar-benar mencinta Gangga Dewi sebagai wanita.
Ketika Gangga Dewi menceritakan tentang keadaan Yo Han yang aneh, Suma Ciang Bun termenung.
Mereka menghadapi api unggun di sebuah kuil kosong di luar sebuah dusun di mana mereka terpaksa
harus melewatkan malam karena di dusun itu tidak ada rumah penginapan.
"Sungguh luar biasa sekali anak itu," katanya termenung. "Dahulu ketika dia dititipkan kepadaku oleh Sin
Hong, aku hanya melihat dia sebagai seorang anak yang luar biasa cerdiknya, berwatak halus dan
berpemandangan terlalu dewasa dan luas bagi seorang anak berusia tujuh tahun. Memang sudah
menonjol dan aku amat sayang kepadanya, akan tetapi belum memperlihatkan sesuatu yang aneh. Dia
tidak pernah berlatih silat akan tetapi luka beracun dan kekuatan sihir tidak mempengaruhinya? Hebat!"
"Aku melihat sesuatu yang mukjijat pada diri anak itu, Ciang Bun. Akan tetapi dia tidak mau menceritakan
riwayatnya. Sebetulnya, anak siapakah dia?"
Suma Ciang Bun menghela napas panjang dan sejenak menatap wajah wanita yang sangat dicintanya itu.
"Aihhh, dunia ini penuh dengan penderitaan. Bahkan orang yang baik hati nampaknya lebih banyak
menderita ketimbang orang yang menyeleweng dari kebenaran. Mungkin memang demikianlah
keadaannya yang wajar. Orang jahat menjadi hamba nafsu, dan penghambaan nafsu ini tampaknya
mendatangkan kesenangan. Tentu saja kesenangan duniawi yang palsu. Ayah kandung Yo Han adalah
seorang laki-laki bernama Yo Jin, dia seorang petani yang jujur dan tidak pandai silat. Akan tetapi juga
seorang laki-laki sejati, seorang jantan yang tak berkedip takut menghadapi ancaman maut, berani
menentang kejahatan. Bahkan sikapnya yang jantan itulah yang menjatuhkan seorang tokoh sesat,
seorang iblis betina cantik yang terkenal dengan sebutan Bi Kwi (Setan Cantik). Bukan hanya menjatuhkan
hatinya, akan tetapi setelah mereka menjadi suami isteri, Bi Kwi yang tadinya terkenal sebagai seorang
tokoh sesat yang sangat jahat dan kejam itu menjadi sadar sama sekali! Dia ikut suaminya menjadi
seorang petani di dusun yang mencuci tangannya dari segala macam kekerasan."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Luar biasa dan menarik sekali!"
"Nah, mereka menikah dan lahirlah Yo Han! Suami isteri itu telah bersepakat untuk tidak memperkenalkan
putera mereka itu dengan kekerasan dan kehidupan dunia persilatan. Mereka tidak mengajarkan ilmu silat
kepada Yo Han. Tentu saja hal ini terpengaruh oleh sikap Yo Jin yang tidak suka akan kekerasan, dan juga
oleh pengalaman-pengalaman pahit dari Bi Kwi selama ia menjadi tokoh sesat dalam dunia kang-ouw."
"Keputusan yang bijaksana," Gangga Dewi memuji.
"Akan tetapi, latar belakang kehidupan Bi Kwi tidak membiarkan dia hidup tenang dan tenteram. Ada saja
penjahat yang menginginkan tenaganya, dan orang-orang jahat itu menculik Yo Han yang baru berusia
tujuh tahun, bahkan menculik Yo Jin pula. Karena suami dan puteranya diculik penjahat yang memaksa dia
membantu golongan sesat, terpaksa Bi Kwi terjun lagi ke dunia kang-ouw. Suami isteri itu berhasil menukar
diri mereka dengan putera mereka yang dibebaskan dan Yo Han diserahkan kepada Tan Sin Hong oleh
ayah dan ibunya. Sin Hong menitipkan Yo Han kepadaku, dan dia sendiri bersama para pendekar lalu
membasmi penjahat di mana terdapat pula pembunuh-pembunuh yang membunuh kakek dan nenek
penghuni Istana Gurun Pasir, termasuk ayahmu itu. Dan dalam pertempuran itu, ayah dan ibu Yo Han yang
juga membalik dan membantu para pendekar menentang golongan sesat yang tadinya mereka bantu demi
menyelamatkan putera mereka, tewas sehingga Yo Han menjadi seorang yatim-piatu."
Gangga Dewi berulang kali menghela napas panjang.
"Omitohud...! Betapa penuh kekerasan kehidupan manusia di dunia ini. Sekarang aku mengerti mengapa
Yo Han tidak pernah mau melatih ilmu silat walau pun dia memiliki suhu dan subo yang berkepandaian
tinggi seperti Tan Sin Hong dan Kao Hong Li itu. Hanya yang tetap membuat aku heran, bagaimana dia
dapat mempunyai kekuatan aneh yang dapat menolak pengaruh racun dan ilmu sihir. Sungguh aneh
sekali!"
"Hal itu tentu akan dapat kita ketahui kelak kalau kita sudah berhasil membebaskannya dari tangan Ang-I
Moli," kata Suma Ciang Bun.
"Mudah-mudahan saja kita tidak akan terlambat," kata Gangga Dewi.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah meninggalkan kuil tua itu dan melanjutkan
perjalanan mereka dengan cepat untuk melakukan pengejaran dan mencari Yo Han yang diculik Ang-I Moli
dan dua orang suheng-nya dari Pek-lian-kauw itu…..
********************
Siang itu cuaca cerah sekali di Bukit Naga. Matahari amat teriknya. Bahkan hutan di puncak bukit itu yang
biasanya gelap karena rindangnya pohon-pohon besar yang telah puluhan tahun umurnya, kini nampak
terang ditembusi cahaya matahari yang kuat. Di langit tidak ada mendung, hanya ada awan-awan putih
berserakan di sana sini, tidak menghalangi kecerahan sinar matahari, bahkan menjadi hiasan langit yang
indah.
Tepat pada tengah hari, nampaklah bayangan-bayangan orang berkelebat memasuki hutan itu. Hutan yang
biasanya amat sepi itu tiba-tiba saja diramaikan oleh kunjungan orang-orang yang memiliki gerakan yang
amat ringan dan cekatan.
Mula-mula nampak seorang tosu. Umurnya sekitar lima puluh tahun dengan sebatang pedang di
punggung. Tosu tinggi kurus itu muncul dengan loncatan yang ringan, berada di atas lapangan rumput
yang dikurung oleh pohon-pohon tinggi dan dia memandang ke sekeliling.
Pandang matanya yang tajam sudah melihat adanya beberapa sosok bayangan orang yang bergerak
dengan cepat dan sekarang suasana nampak sunyi kembali. Bayangan-bayangan itu agaknya sudah
menyelinap dan bersembunyi di balik pohon-pohon besar atau semak belukar.
Setelah memandang ke sekelilingnya, tosu ini tersenyum mengejek, dan ia pun berseru dengan suara
lantang karena dia mengerahkan khikang-nya hingga suaranya langsung keluar dari perut dan terdengar
melengking nyaring.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sejak kapan orang-orang Go-bi-pai menjadi pengecut? Sesudah orang yang diundang datang memenuhi
tantangan, kenapa malah bersembunyi-sembunyi? Keluarlah, orang-orang Go-bi-pai. Pinto (aku) dari Kunlun-
pai sudah datang memenuhi tantanganmu!"
Belum lagi lenyap gema suara itu, nampak sesosok tubuh melayang turun dari puncak sebuah pohon
besar. Dengan ringan sekali tubuh itu berjungkir balik beberapa kali dan seorang kakek berusia enam
puluh tahun berpakaian seperti seorang petani sederhana telah berdiri di depan tosu Kun-lun-pai itu.
Tubuhnya tegap dan kaki tangannya kokoh kuat seperti biasa tubuh seorang petani yang biasa bekerja
keras. Kulitnya juga coklat terbakar matahari.
"Siancai...!" Tosu Kun-lun-pai itu berseru, sedang matanya bersinar penuh kemarahan. "Kiranya Go-bi
Nung-jin (Petani Gobi) yang muncul! Hemmm, engkau petani yang biasa berwatak jujur, katakan, sejak
kapan Go-bi-pai memusuhi Kun-lun-pai dan mengirim tantangan? Pinto (aku) mewakili Kun-lun-pai untuk
menyambut tantangan Go-bi-pai itu!"
"Ciang Tosu, apa artinya kata-katamu itu? Kami tidak pernah dan tidak akan memusuhi Kun-lun-pai.
Kedatanganku ke sini pada saat ini bukan sebagai penantang, bahkan aku mewakili Go-bi-pai untuk
menyambut tantangan Bu-tong-pai!" Kemudian kakek petani itu memandang ke sekelilingnya dan dengan
lantang dia pun berteriak, "Di mana orang-orang Bu-tong-pai yang telah berani mengirim tantangan kepada
Go-bi-pai? Nah, aku datang mewakili Go-bi-pai untuk menerima tantangan itu!"
Tentu saja Ciang Tosu dari Kun-lun-pai merasa heran bukan main, akan tetapi sebelum ia dapat berkata
sesuatu, nampak bayangan berkelebat keluar dari balik semak belukar dan di situ telah berdiri seorang
laki-laki gagah perkasa yang berusia empat puluh tahun lebih.
Orang ini berpakaian bagai seorang pendekar dan di pinggangnya tergantung sebatang pedang. Tubuhnya
tinggi kurus dan sikapnya gagah, matanya tajam memandang pada kakek petani yang tadi menantang Butong-
pai. Sikap orang ini hormat, mungkin karena dia merasa lebih muda. Dia lalu mengangkat kedua
tangan di depan dada menghadapi kakek petani Go-bi Nung-jin.
"Go-bi Nung-jin adalah seorang pendekar Go-bi-pai yang amat gagah. Dan selama ini Bu-tong-pai selalu
memandang hormat dan menganggap Go-bi-pai sebagai saudara. Kami tidak pernah menantang Go-bipai,
bahkan saya datang ke sini sebagai wakil dari Bu-tong-pai untuk menghadapi tantangan yang kami
terima dari Siauw-lim-pai! Kami tidak pernah menantang Go-bi-pai atau partai persilatan mana pun juga."
Setelah berkata demikian kepada Go-bi Nung-jin yang menjadi terheran-heran, wakil Bu-tong-pai itu pun
sekarang memandang ke sekeliling lalu berseru dengan pengerahan khikang-nya.
"Orang-orang Siauw-lim-pai, dengarlah baik-baik! Kalian sudah menantang Bu-tong-pai dan inilah aku,
Phoa Cin Su murid Bu-tong-pai mewakili partai kami untuk menerima tantangan kalian!"
Mendengar ucapan wakil Bu-tong-pai ini, Go-bi Nung-jin dan Ciang Tosu lantas saling pandang dengan
heran. Dan pada saat itu terdengar suara halus namun terdengar jelas dan menggetarkan.
"Omitohud...! Agaknya dunia sudah akan kiamat! Apa yang terjadi sungguh aneh!" Dan muncullah seorang
hwesio berusia lima puluhan tahun.
Phoa Cin Su murid Bu-tong-pai segera memberi hormat. "Kiranya Loan Hu Hwesio yang datang mewakili
Siauw-lim-pai yang menantang Bu-tong-pai. Nah, saya yang mewakili Bu-tong-pai untuk menerima
tantangan yang membuat kami merasa penasaran sekali itu!" Karena Phoa Cin Su agaknya sudah
mengenal benar siapa hwesio Siauw-lim-pai ini, dia pun segera meloloskan pedangnya dari pinggang dan
siap untuk bertanding!
Akan tetapi hwesio Siauw-lim-pai itu malah merangkap kedua tangan di depan dadanya. "Omitohud...!
Phoa-sicu harap bersabar dulu. Ketahuilah bahwa Siauw-lim-pai selalu memandang Bu-tong-pai dengan
hormat dan sebagai rekan, bagaimana Siauw-lim-pai dapat mengirim tantangan? Pinceng (aku) datang ini
pun sebagai wakil Siauw-lim-pai yang menerima tantangan dari Kun-Lun-pai!"
Tentu saja wakil-wakil dari empat perkumpulan atau partai persilatan terbesar di seluruh negeri itu menjadi
terheran-heran mendengar ini. Kun-lun-pai menerima tantangan dari Go-bi-pai, lalu Go-bi-pai menerima
tantangan dari Bu-tong-pai, sedangkan Bu-tong-pai menerima tantangan dari Siauw-lim-pai dan kini Siauwlim-
pai menerima tantangan dari Kun-lun-pai Apa artinya semua ini?
dunia-kangouw.blogspot.com
"Siancai...!" Ciang Tosu berseru heran. "Bagaimana kami bisa menantang Siauw-lim-pai yang kami anggap
sebagai sahabat dan juga sumber segala ilmu yang kami miliki? Itu tidak mungkin sama sekali!”
“Omitohud, demikian pula Siauw-lim-pai tak pernah menantang Bu-tong-pai," kata Loan Hu Hwesio dari
Siauw-lim-pai.
"Saya juga berani memastikan bahwa Bu-tong-pai tidak pernah menantang Go-bi-pai," kata Phoa Cin Su.
"Dan Go-bi-pai juga tidak mungkin menantang Kun-lun-pai!" kata Go-bi Nung-jin.
"Omitohud..." Sekarang hwesio Siauw-lim-pai itu mengangkat kedua tangannya ke atas. "Harap Cu-wi
bersabar dulu. Para suhu pimpinan di Siauw-lim-pai tidak mungkin keliru. Ketika mengutus pinceng turun
gunung memenuhi tantangan itu, pinceng sendiri melihat surat tantangan yang ditandai dengan cap dari
Kun-lun-pai."
Ciang Tosu dari Kun-lun-pai, Phoa Cin Su dari Bu-tong-pai, beserta Go-bi Nung-jin dari Go-bi-pai
serempak menyatakan, bahwa mereka pun melihat keaslian surat tantangan yang diterima pimpinan
masing-masing. Surat-surat tantangan itu pun memakai tanda cap dari partai yang menantang.
"Omitohud...! Kalau begitu, tentu ada pemalsuan. Ada pihak lain yang sengaja mengirim surat-surat
tantangan itu untuk mengadu domba atau hendak mengacau keadaan. Kita harus waspada!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak. Suara ini bergema ke empat penjuru sehingga sukar diketahui
dari mana asal suara itu. Empat orang wakil dari empat perkumpulan silat besar itu maklum bahwa ada
orang pandai muncul, maka mereka pun sudah siap siaga.
Phoa Cin Su sudah mencabut pedang. Ciang Tosu juga sudah mencabut pedang dari punggungnya.
Sedangkan Go-bi Nung-jin menyambar senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang cangkul yang gagangnya
lurus seperti toya, dan hwesio Siauw-lim-pai yang tidak pernah bersenjata itu siap dengan pengerahan
sinkang dan setiap urat syarafnya menegang. Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi,
orang-orang yang memiliki tingkat kedua dari perguruan masing-masing.
"Ha-ha-ha-ha-ha...!" Suara ketawa yang bergema di empat penjuru itu disusul oleh kata-kata yang juga
mengandung getaran kuat. "Kalian berempat bagaikan tikus-tikus yang terjepit!"
Tiba-tiba saja muncullah seorang kakek berusia enam puluhan tahun, bertubuh tinggi besar dan bermuka
merah. Dia mengenakan jubah lebar yang berwarna merah pula. Pakaiannya seperti seorang pendeta, tapi
rambutnya digelung rapi dan mengkilap bekas minyak, dan jepitan rambutnya merupakan perhiasan dari
emas permata yang mahal. Akan tetapi di balik jubah merah itu nampak pula baju ketat sulaman benang
perak yang gemerlapan.
Di antara empat orang tokoh partai-partai persilatan besar itu, hanya Loan Hu Hwesio yang mengenal
orang ini. Hwesio ini menjura dengan sikap hormat kepada kakek tinggi besar bermuka merah itu.
"Ahhh, kiranya Lauw Enghiong (Orang Gagah she Lauw) yang datang. Tidak tahu apa alasannya maka
engkau datang-datang memaki kami empat orang wakil partai-partai persilatan?"
"Huhh!" kakek tinggi besar itu mendengus dengan sikap mengejek. "Apa lagi kalian ini jika bukan tikus-tikus
pengkhianat bangsa, atau anjing-anjing, penjilat penjajah Mancu?"
Phoa Cin Su, jago dari Bu-tong-pai itu menjadi merah mukanya karena marah. "Loan Hu Hwesio, siapakah
orang yang sombong dan bermulut lancang ini?"
Hwesio Siauw-lim-pai itu belum menjawab, kakek tinggi besar itu sudah mendahuluinya. "Kalian wakil-wakil
Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, dan Go-bi-pai. Ketahuilah bahwa kini kalian berhadapan dengan aku Lauw Kang
Hui, wakil Ketua Thian-li-pang!"
Tiga orang itu terkejut. Tentu saja mereka sudah mendengar nama besar perkumpulan Thian-li-pang,
sebuah perkumpulan orang-orang yang menamakan diri mereka patriot dan yang dengan gigih menentang
pemerintah, yaitu penjajah Mancu dan memberontak di mana-mana untuk menjatuhkan pemerintah
penjajah. Akan tetapi di antara para anak buah Thian-li-pang, banyak pula yang melakukan
dunia-kangouw.blogspot.com
penyelewengan. Mereka melakukan kejahatan mengandalkan kekuatan mereka, mengganggu rakyat
dengan perampokan dan pemerasan. Maka, dari empat buah perkumpulan persilatan besar itu, tentu
sudah pernah murid-murid mereka bentrok dengan orang-orang Thian-li-pang yang melakukan kejahatan.
"Siancai, kalau begitu agaknya Thian-li-pang yang membuat undangan palsu kepada kami empat
perguruan tinggi. Benarkah begitu?" kata Ciang Tosu dari Kun-lun-pai.
"Ha-ha-ha, memang tepat! Kami yang membuat undangan palsu. Empat perguruan silat seperti
perkumpulan kalian itu hanyalah perkumpulan pengkhianat dan pengecut. Kalian tidak menentang
penjajah, tidak mau bekerja sama dengan kami, bahkan menentang kami dan banyak sudah anak buah
kami yang tewas di tangan kalian!"
"Hemmm, apa anehnya hal itu? Kami bukanlah perkumpulan pemberontak, kami tidak mempunyai urusan
dengan pemberontakan. Kalau murid-murid kami menentang murid-murid Thian-li-pang, tentu bukan
perkumpulan atau pemberontakannya yang ditentang, melainkan perbuatan jahat yang dilakukan oleh para
murid Thian-li-pang. Kami adalah perkumpulan para pendekar yang menentang kejahatan, kapan saja, di
mana saja dan dilakukan siapa saja!" kata Go-bi Nung-jin.
"Benar sekali itu!" kata Phoa Cin Su. "Murid-murid kami pernah menentang anggota Thian-li-pang, bukan
karena mereka memberontak terhadap pemerintah, tetapi karena mereka itu merampok dan memeras
rakyat jelata!"
"Ha-ha-ha, sudah berada di ambang maut, kalian masih berani bermulut besar! Kalian berempat bersiaplah
untuk mampus dan kelak menjadi penyebab pertentangan antara perkumpulan kalian sendiri!"
Lauw Kang Hui tertawa dan pada saat itu muncullah seorang wanita cantik yang bukan lain adalah Ang-I
Moli Tee Kui Cu dan dua orang suheng-nya dari Pek-lian-kauw, yaitu Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu.
Munculnya tiga orang ini disusul munculnya belasan orang Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang yang
mengepung tempat itu!
"Omitohud...!" kata Loan Hu Hwesio pada saat melihat orang-orang Pek-lian-kauw yang dapat dikenal dari
gambar teratai putih di bagian dada mereka. "Kiranya Thian-li-pang bersekongkol pula dengan
perkumpulan siluman jahat dan agama palsu Pek-lian-kauw!"
"Kepung! Bunuh mereka!" Lauw Kang Hui sudah memberi aba-aba.
Dia sendiri sudah mencabut sebatang golok besar dan menyerang Loan Hu Hwesio! Golok besar yang
berat itu menyambar dengan cepat, berubah menjadi sinar perak yang amat kuat menyambar ke arah leher
Loan Hu Hwesio.
Pendeta Siauw-lim-pai ini cepat mengelak dengan menundukkan muka dan menggeser kakinya sehingga
tubuhnya mendoyong ke kanan dan dari jurusan ini, lengan kirinya meluncur dan dari jari tangannya
menghantam ke arah lambung lawan. Lauw Kang Hui mengelebatkan goloknya menyambut hantaman ini
sehingga terpaksa Loan Hu Hwesio menarik kembali lengannya yang diancam babatan golok, lalu kakinya
yang menendang dengan cepat dan kuat ke arah perut lawan.
Hebat memang gerakan silat tangan kosong dari hwesio Siauw-lim-pai ini dan memang ilmu silat Siauwlim-
pai merupakan ilmu silat yang paling tua dan bahkan telah menjadi sumber dari pada ilmu-ilmu silat
lainnya.
Tapi Lauw Kang Hui bukan seorang lemah. Dia juga sudah mempelajari banyak macam ilmu silat, di
antaranya ilmu-ilmu silat Siauw-lim-pai sehingga ia bisa mengenal gerakan lawan, maka dia dapat menjaga
diri dan membalas dengan dahsyat pula.
Terjadilah serang menyerang yang seru antara dua orang ini. Akan tetapi ada beberapa orang anggota
Thian-li-pang yang membantu wakil ketua mereka sehingga hwesio dari Siauw-lim-pai ini dikeroyok dan
terdesak hebat. Dia hanya bersenjatakan kaki tangan dibantu dua ujung lengan bajunya yang longgar dan
panjang.
Ang-I Moli sudah menerjang Phoa Cin Su, jagoan Bu-tong-pai dengan pedangnya. Phoa Cin Su
menyambut dengan pedang pula, maka kedua orang ini pun segera bertarung dengan seru. Seperti juga
Lauw Kang Hui, wanita ini dibantu oleh lima orang anggota Thian-li-pang sehingga tentu saja Phoa Cin Su
dunia-kangouw.blogspot.com
segera terdesak. Menghadapi Ang-I Moli seorang saja dia sudah menemukan tanding yang tidak ringan,
apa lagi kini dikeroyok!
Ciang Tosu dikeroyok oleh Kwan Thian-cu yang menggunakan golok, bersama Kwan Thian-cu yang masih
dibantu oleh lima orang anggota Pek-lian-kauw sehingga tosu dari Kun-lun-pai itu pun terdesak hebat.
Sementara itu, Kui Thian-cu dan lima orang anggota Pek-lian-kauw lainnya telah mengepung dan
mengeroyok Go-bi Nung-jin yang memakai senjata cangkul.
Memang Lauw Kang Hui yang mengirim surat tantangan kepada empat penguruan itu telah merencanakan
siasatnya lebih dahulu sehingga kini empat orang itu terkurung dan dikeroyok sesuai yang telah
direncanakan.
Setelah usaha Thian-li-pang untuk membunuh Kaisar gagal, juga usaha mereka untuk mengajak Siang
Hong-houw bersekongkol membunuh Kaisar tidak berhasil pula bahkan mereka kehilangan Ciang Sun,
tokoh Thian-li-pang yang tewas dalam usahanya untuk membunuh Kaisar, Thian-li-pang kemudian
menggunakan siasat lain. Para pimpinannya berkumpul dan mengatur rencana.
Pertama, mereka mengadakan persekutuan dengan Pek-lian-kauw, agama sesat yang juga merupakan
perkumpulan yang memberontak terhadap pemerintah. Kedua, mereka merencanakan siasat adu domba
untuk mengacaukan dunia persilatan sehingga para pendekar dari empat perguruan silat yang besar akan
saling bermusuhan dan tidak ada kesempatan lagi untuk menentang mereka dan membantu pemerintah
kalau mereka melancarkan gerakan pemberontakan.
Demikianlah, surat tantangan kepada empat buah perkumpulan besar itu diatur dan kini para wakil empat
perkumpulan itu dikepung dan dikeroyok, dipimpin oieh Lauw Kang Hui yang menjadi wakil Ketua Thian-lipang.
Pek-lian-kauw diwakili oleh Ang-I Moli, Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu dengan sepuluh orang anggota
Pek-lian-kauw lainnya untuk membantu gerakan menjebak para tokoh dari empat perkumpulan besar itu.
Seperti kita ketahui, Ang-I Moli dan dua orang suheng-nya itu melarikan diri dari kejaran Gangga Dewi
yang dibantu Suma Ciang Bun. Ia menculik Yo Han dan membawa anak itu melarikan diri. Mereka berhasil
lolos dari pengejaran dua orang sakti itu dan tiba di sarang Pek-lian-kauw yang kebetulan sekali sedang
menerima para pimpinan Thian-li-pang untuk mengadakan persekutuan.
Ketika empat orang wakil pimpinan para perguruan besar itu dikeroyok, Ang-I Moli yang tidak pernah
melepaskan Yo Han dari pengawasannya, menggantung anak itu di atas pohon!
Yo Han dapat melihat dan mendengar semua yang terjadi, akan tetapi biar pun hatinya merasa penasaran
dan marah, dia tidak berdaya. Kaki tangannya terbelenggu dan dia digantung jungkir balik di cabang pohon
yang tinggi itu! Dia hanya dapat menonton dan mendengarkan, dan hatinya seperti ditusuk-tusuk melihat
betapa kejahatan mengganas tanpa dia dapat berbuat sesuatu.
Makin nampak olehnya betapa jahat orang-orang yang memiliki ilmu silat, dan betapa celaka orang-orang
yang berada di pihak kebenaran apa bila mereka menjadi pendekar silat. Andai kata empat orang itu
merupakan orang-orang biasa, petani-petani yang tidak pandai ilmu silat, tidak mungkin kini mereka
dikeroyok oleh orang-orang yang baginya nampak seperti serigala-serigala yang haus darah itu!
Akhirnya terjadi apa yang dikhawatirkan Yo Han yang tidak berdaya itu. Mula-mula Loan Hu Hwesio yang
roboh.
Seperti juga tiga orang tokoh lainnya, setelah dikeroyok selama lima puluh jurus yang dipertahankannya
dengan mati-matian, Loan Hu Hwesio sudah menderita luka-luka. Pada suatu saat yang baik, dia berhasil
memukulkan dua tangannya ke arah dada Lauw Kang Hui dengan pengerahan tenaga sekuatnya tanpa
mempedulikan lagi perlindungan diri sendiri. Dia ingin mengadu nyawa dengan wakil Ketua Thian-li-pang
itu. Pukulannya berhasil mengenai sasarannya dengan tepat sekali.
"Bukkkk...!"
Kedua telapak tangan itu mengenai dada yang bidang dari Lauw Kang Hui. Tetapi dapat dibayangkan
betapa kaget rasa hati Loan Hu Hwesio ketika kedua telapak tangannya bertemu dengan benda yang
keras dan kuat sekali. Ketika dua tangannya menghantam dada, Lauw Kang Hui sama sekali tidak
dunia-kangouw.blogspot.com
mengelak bahkan membarengi dengan gerakan goloknya ke arah lambung lawan. Dan hanya sedetik
setelah kedua tangan hwesio itu menghantam dada, ujung golok juga menyabet lambung dan merobek
lambung perut Loan Hu Hwesio!
Lauw Kang Hui terhuyung ke belakang oleh pukulan itu, akan tetapi Loan Hu Hwesio terkulai roboh mandi
darah! Wakil Ketua Thian-li-pang itu tidak terluka karena di balik jubah merahnya dia sudah menggunakan
baju ketat dari sulaman benang perak yang membuat tubuhnya kebal!
"Jangan bunuh dulu!" bentak Lauw Kang Hui kepada para pembantunya yang tadinya hendak
menghujankan senjata karena marah. Beberapa orang kawan mereka yang mengeroyok juga tadi
dirobohkan hwesio yang lihai itu.
Robohnya Loan Hu Hwesio yang terluka parah disusul robohnya Ciang Tosu oleh Kwan Thian-cu dan
teman-temannya. Ciang Tosu roboh dengan luka parah pada lehernya, membuat dia roboh pingsan
dengan darah mengucur keluar dari luka itu. Phoa Cin Su juga roboh oleh tusukan pedang Ang-I Moli pada
dadanya, sedangkan Go-bi Nung-jin yang tadi mengamuk dengan hebat, roboh pula oleh bacokan pedang
Kui Thian-cu yang mengenai pinggangnya.
Seperti juga Lauw Kang Hui, tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu melarang anak buah mereka membunuh
orang yang dikeroyok dan telah roboh terluka parah. Kemudian, Lauw Kang Hui memberi isyarat kepada
tiga orang sekutunya. Mereka mengangguk.
Kwan Thian-cu lalu mengambil cangkul yang tadi dipergunakan Go-bi Nung-jin sebagai senjata dan
dengan senjata ini dia lalu menghantam ke arah kepala Ciang Tosu, tokoh Kun-lun-pai yang sudah roboh
tak berdaya ini. Tanpa dapat mengeluarkan keluhan lagi. Ciang Tosu yang dihantam cangkul itu tewas
dengan kepala luka besar oleh cangkul.
Kini Kui Thian-cu mengambil pedang milik Phoa Cin Su dan dengan pedang itu dia pun menyerang kepala
Go-bi Nung-jin. Tokoh dari Go-bi-pai ini pun langsung tewas seketika dengan kepala terluka hebat oleh
pedang itu.
Lauw Kang Hui yang tadi merobohkan Loan Hu Hwesio mempergunakan pedang milik Ciang Tosu dari
Kun-lun-pai tadi untuk membunuh bekas lawannya itu dengan melukai kepalanya pula. Kini tinggallah Poa
Cin Su.
Karena mereka mengatur siasat agar empat orang saling bunuh sesuai dengan bunyi surat tantangan
masing-masing, maka seharusnya Phoa Cin Su murid dari Bu-tong-pai terbunuh oleh murid Siauw-lim-pai
yang mengirim surat tantangan. Akan tetapi Loan Hu Hwesio tidak pernah menggunakan senjata, maka
Ang-I Moli merasa ragu-ragu bagai mana harus membunuh murid Bu-tong-pai itu.
"Mudah saja," kata Lauw Kang Hui sambil tersenyum. "Aku pernah mempelajari ilmu pukulan Kang-seeciang
(Tangan Pasir Baja) dari Siauw-lim-pai. Biarlah aku memukul dia dengan ilmu itu."
Lauw Kang Hui lalu menghampiri tubuh Phoa Cin Su yang sudah tergolek dan terluka parah tanpa mampu
bangkit lagi itu. Dia lalu menggerak-gerakkan jari tangan kanannya sehingga terdengar bunyi berkerotokan,
lalu dipukulkannya telapak tangan kanannya ke arah kepala Phoa Cin Su. Terdengar suara keras dan
kepala itu pun menjadi retak, dan Phoa Cin Su tewas seketika. Ada tanda telapak tangan dengan sebagian
jari-jarinya pada pipi dan pelipis yang terpukul!
Walau pun dia harus beberapa kali memejamkan mata karena merasa ngeri, Yo Han dapat melihat semua
itu. Dia seorang anak yang cerdik, maka setelah melihat dan mendengar kesemuanya itu, dia pun mengerti
apa yang menjadi siasat keji dari orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Diam-diam dia merasa
penasaran bukan main.
Bahaya besar mengancam keamanan negeri, pikirnya. Tentu dua gerombolan penjahat yang bersekutu itu
akan mengirimkan mayat-mayat itu sebagai bukti kepada perguruan masing-masing yang telah menerima
surat tantangan, sehingga dengan demikian maka empat perguruan besar itu akan saling bermusuhan!
Sungguh tipu muslihat yang amat jahat dan kejam.
Dia melihat betapa mereka membawa pergi mayat-mayat itu, akan tetapi dia tak dapat menahan
kemarahannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ang-I Moli! Engkau sudah membiarkan dirimu terseret ke dalam perbuatan yang paling keji dan jahat yang
pernah kulihat! Apakah engkau tidak takut akan akibat dari semua perbuatanmu itu? Tuhan pasti akan
menghukummu, Ang-I Moli!"
Suara anak itu lantang sekali, mengejutkan Lauw Kang Hui yang tak pernah tahu bahwa Ang-I Moli datang
membawa anak kecil yang kini digantung di pohon. Dia menoleh dan melihat anak yang tergantung dengan
kepala di bawah itu. Dia pun terbelalak!
"Moli, siapa dia?"
Ang-I Moli tersenyum. "Aihh, jangan perhatikan dia. Dia itu punyaku!”
Wanita ini lalu meloncat ke atas pohon, melepaskan ikatan tangan kaki Yo Han dan mengempit tubuh anak
itu lalu membawanya meloncat turun.
Sementara itu, pada waktu Ang-I Moli sibuk menurunkan Yo Han tadi, Lauw Kang Hui mendengar dari dua
orang tosu Pek-lian-kauw bahwa anak itu adalah seorang anak luar biasa dan Ang-I Moli hendak
menghisap darah anak itu untuk memenuhi persyaratan melatih ilmu rahasianya. Lauw Kang Hui merasa
tertarik sekali, maka ketika Ang-I Moli sudah menurunkan Yo Han, dia cepat menghampiri.
Kini Yo Han sudah diturunkan dan anak itu berdiri dengan gagah walau pun tubuhnya terasa nyeri semua
dan kepalanya masih pening karena terlalu lama digantung terbalik. Lauw Kang Hui melihat sepasang
mata yang begitu jernih akan tetapi juga tajam tanpa dibayangi takut sedikit pun.
“Anak baik, siapa namamu?” tanyanya
“Namaku Yo Han. Locianpwe (Orang Tua Gagah) adalah seorang yang berkedudukan tinggi, memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi pula, tetapi mengapa melakukan perbuatan yang demikian keji dan pengecut?”
Kembali Lauw Kang Hui terbelalak dan memandang penuh kagum. Bukan main anak ini! Begitu beraninya.
Dan sinar mata itu demikian jernih. Suara itu demikian lembut.
“Moli, titipkan anak itu kepada kedua suheng-mu. Aku ingin bicara penting denganmu,” kata Lauw Kang
Hui.
“Ada urusan apakah, Lauw Pangcu (Ketua Lauw)?” bertanya Moli setelah mereka pergi agak jauh agar
percakapan mereka tidak didengarkan orang lain, terutama Yo Han. Biar pun dia wakil Ketua Thian-li-pang,
namun dia selalu disebut Lauw Pangcu.
“Kuharap engkau suka berterus terang saja, Moli. Anak itu, Yo Han itu, untuk apakah kau tawan?”
Ang-I Moli tersenyum dan nampak deretan giginya yang putih. “Aih, itu urusan pribadiku, Lauw Pangcu.
Kenapa sih engkau ingin sekali mengetahui urusan pribadi orang?” Dia tersenyum dan melirik manja.
“Katakan saja terus terang. Bukankah engkau hendak menghisap darahnya untuk dapat memenuhi
persyaratan engkau mempelajari sebuah ilmu rahasia?”
Ang-I Moli terbelalak, lalu menoleh ke arah dua orang suheng-nya yang berdiri di sana sambil menjaga Yo
Han.
“Hemmm, tentu dua orang lancang mulut itu yang membocorkannya kepadamu!”
“Apa salahnya, Moli? Kita bukan orang lain. Katakan saja terus terang.”
“Benar, Lauw Pangcu.”
“Kalau begitu, biarlah kutukar dengan seorang anak laki-laki lain untukmu. Yo Han itu berikan saja
kepadaku!”
Ang-I Moli menatap tajam wajah wakil ketua itu dengan penuh selidik, lalu dengan alis berkerut ia berkata,
“Hemmm, tentu saja aku keberatan, Lauw Pangcu. Anak itu sama harganya dengan dua belas orang
perjaka remaja! Sayang dia masih terlalu kecil. Aku harus menanti satu dua tahun lagi...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kalau begitu, biar kutukar dengan dua belas orang pemuda remaja yang tampan dan sehat! Dan akan
kupilihkan mereka yang telah agak dewasa sehingga engkau tak perlu menanti sampai satu dua tahun lagi.
Anak itu bertingkah aneh, tentu akan repot sekali menawannya selama satu dua tahun. Bagaimana?”
Tawaran ini menarik hati Moli. Memang dia sering kali merasa jengkel dengan Yo Han. Setelah melarikan
anak ini selama kurang lebih tiga bulan, dia sampai bosan mencoba menjatuhkan anak ini ke dalam
pelukannya. Berbagai macam cara sudah dia gunakan. Dengan sihir bantuan dua orang suheng-nya.
Dengan ramuan obat dan racun. Dengan totokan. Dengan siksaan. Semua tidak ada gunanya.
Sihir dan racun agaknya tak mempengaruhi anak itu. Juga ancaman, siksaan dan bujuk rayu tidak
mempan! Untuk mendapatkan darah anak itu melalui penghisapan darahnya melalui mulut begitu saja,
selain ia merasa muak juga daya gunanya banyak berkurang. Ia membutuhkan hawa murni dari tubuh
anak itu.
“Hemmm, usulmu menarik juga, Lauw Pangcu. Akan tetapi kalau aku sudah berterus terang, kuharap
engkau juga suka berterus terang. Untuk apakah engkau menginginkan Yo Han?”
Lauw Kang Hui menghela napas panjang. “Engkau tahu siapa kini yang paling tinggi kedudukan atau
tingkatnya di Thian-li-pang?”
“Tentu saja Ouw Pangcu, suheng-mu,” jawab Ang-I Moli tanpa ragu lagi. “Kalau bukan Sang Ketua yang
paling tinggi tingkat dan kedudukannya, habis siapa lagi?”
“Bukan dia.”
“Ah, aku tahu. Tentu guru kalian, Locianpwe Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Racun)! Akan tetapi dia sudah
tidak lagi mengurus Thian-li-pang, bukan?”
“Memang Suhu tidak lagi mengurus Thian-li-pang dan tingkatnya lebih tinggi dari pada suheng dan aku.
Akan tetapi yang kumaksudkan bukan Suhu.”
“Wah, kalau begitu aku tidak tahu lagi.”
“Yang paling tinggi tingkatnya di antara kami di Thian-li-pang adalah Supek (Uwa Guru) Thian-te Tok-ong
(Raja Racun Langit Bumi)!”
“Ahhh...? Tapi... bukankah beliau sudah... sudah tidak ada lagi?”
“Tidak ada di dunia ramai maksudmu. Akan tetapi beliau masih hidup. Dan Supek yang baru-baru ini
memesan kepadaku bahwa kalau aku bertemu dengan seorang anak yang berbakat luar biasa, aku harus
membawa anak itu menghadap Supek. Nah, ketika aku melihat Yo Han, aku tertarik dan siapa tahu, anak
seperti itulah yang dicari Supek.”
“Lauw Pangcu, aku senang sekali dapat membantu Locianpwe Thian-te Tok-ong! Siapa tahu kelak beliau
suka membantuku kembali sebagai imbalan jasaku.”
“Hemm, bantuan apakah yang kau kehendaki, Moli?”
“Ilmu rahasia yang akan kulatih merupakan ilmu yang mengandung hawa beracun. Aku hendak memohon
bantuan Locianpwe Thian-te Tok-ong supaya mau membuatkan obat penawarnya.”
“Baik, akan kusampaikan kepada Supek kalau dia dapat menerima Yo Han, tentu dia akan suka
membantu.”
Tepat seperti yang sudah diduga oleh Yo Han, mayat keempat orang tokoh perguruan-perguruan silat
besar itu dikirim ke perguruan masing-masing. Hanya bedanya, bukan seluruh mayatnya yang dikirim,
namun hanya kepalanya saja! Kepala-kepala itu diberi obat, dengan cara direndam sehingga tidak
membusuk, lalu dimasukkan ke dalam guci besar dan ditutup rapat, kemudian dimasukkan dalam peti lalu
dikirimkan ke perguruan masing-masing melalui piauw-kiok (kantor pengiriman barang).
dunia-kangouw.blogspot.com
Bisa dibayangkan betapa gemparnya para perguruan itu saat menerima kiriman kepala. Petugas piauwkiok
mengaku sesuai dengan pesanan pengirim peti itu. Pengirim peti ke Siauw-lim-si (Kuil Siauw-lim)
mengatakan bahwa orang yang mengirim peti itu mengaku sebagai seorang murid Kun-Lun-pai. Petugas
pemgirim peti untuk Kun-lun-pai mengaku disuruh seorang murid Go-bi-pai, dan petugas pengiriman peti
untuk Go-bi-pai mengaku disuruh seorang murid Bu-tong-pai, serta petugas pengiriman peti untuk Bu-tongpai
mengaku disuruh seorang murid Siauw-lim-pai.
Tentu saja para murid perguruan-perguruan silat itu menjadi marah bukan main. Mula-mula para ketua
masing-masing memang masih meragukan kebenaran keterangan para pengirim barang itu.
Ketika mereka menerima tantangan-tantangan itu, para ketua lalu mengirim murid-murid terpandai untuk
memenuhi undangan di Bukit Naga, untuk membuktikan sendiri apakah benar ada tantangan seperti dalam
surat yang telah mereka terima. Kini, murid-murid itu kembali hanya tinggal kepala saja dan pada saat
mereka melakukan pemeriksaan, jelas bahwa murid-murid itu memang tewas oleh senjata lawan dari
perguruan yang mengirim tantangan.
Biar pun sudah terjadi hal ini, tetap saja para pimpinan perguruan-perguruan itu masih belum yakin benar.
Mereka adalah orang-orang sakti yang tahu benar bahwa perguruan yang mengirim tantangan adalah dari
golongan bersih, para pendekar yang tidak pernah bermusuhan dengan mereka, bahkan bersahabat erat.
Bagaimana tiba-tiba saja timbul tantangan, bahkan sekarang melakukan pembunuhan terhadap murid yang
mereka utus untuk memenuhi undangan di Bukit Naga itu? Bagaimana pun juga, telah terbukti bahwa
murid mereka tewas.
Biar pun para pimpinan masih ragu-ragu, namun para muridnya tak dapat menahan lagi kemarahan dan
sakit hati mereka. Mulailah terjadi bentrokan-bentrokan di antara empat partai persilatan besar itu. Setiap
kali terjadi pertemuan, maka murid-murid Kun-lun-pai menyerang murid-murid Go-bi-pai, Go-bi-pai akan
menyerang Bu-tong-pai, Bu-tong-pai menyerang Siauw-lim-pai dan sebaliknya Siauw-lim-pai menyerang
Kun-lun-pai.
Terjadi beberapa kali bentrokan yang mengakibatkan jatuhnya korban, baik yang terluka mau pun yang
tewas. Dan sesudah terjadi bentrokan-bentrokan itu, mau tidak mau para pimpinan partai masing-masing
ikut pula terseret. Dan mulailah terjadi pertentangan di antara empat partai persilatan besar itu, persis
seperti apa yang diinginkan Thian-li-pang yang bersekongkol dengan Pek-lian-kauw…..
********************
Yo Han diserahkan kepada Lauw Kang Hui oleh Ang-I Moli. Sebagai gantinya, wanita iblis itu oleh Lauw
Kang Hui disuguhi pemuda-pemuda remaja seperti yang dia janjikan. Remaja-remaja itu satu demi satu
mati kehabisan darah dalam pelukan iblis betina itu.
Yo Han diajak ke pusat Thian-li-pang oleh Lauw Kang Hui. Ia diperlakukan dengan baik, bahkan Lauw
Kang Hui terus membujuknya dan berusaha menyadarkan anak itu bahwa Thian-li-pang adalah
perkumpulan para patriot yang hendak membebaskan bangsa dan tanah air dari tangan penjajah Mancu.
Namun, semua itu percuma.
Yo Han tidak dapat melupakan peristiwa mengerikan yang dilihatnya di Bukit Naga dan bagaimana pun
juga, dia tetap menganggap bahwa orang-orang Thian-li-pang bukanlah orang-orang baik. Penuh tipu
muslihat dan kejam. Dia sudah banyak membaca tentang para pahlawan yang dengan setulusnya hati
berjuang membela tanah air dan bangsa, tanpa pamrih untuk diri sendiri.
Akan tetapi, apa yang diperlihatkan orang-orang Thian-li-pang di Bukit Naga itu tak ada hubungannya
sama sekali dengan perjuangan membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah! Bahkan Thian-li-pang
telah mengadu domba antara perguruan-perguruan silat besar yang terdiri dari bangsa sendiri! Setiap
orang pendekar pasti tidak setuju dengan tindakan Thian-li-pang itu.
Dan Thian-li-pang juga bersekutu dengan orang-orang seperti Ang-I Moli dan dua orang suheng-nya,
tokoh-tokoh Pek-lian-kauw. Padahal, ia sendiri sudah membuktikan sendiri betapa jahatnya Ang-I Moli!
Oleh karena itu, biar pun dia diperlakukan dengan baik oleh Lauw Kang Hui dan dibujuk dengan omongan
manis, tetap saja dia tidak percaya pada perkumpulan ini.
Di dalam perkampungan Thian-li-pang Yo Han melihat bahwa perkumpulan itu nampak kuat, dengan
perkampungan yang dikelilingi tembok tinggi dan tebal laksana benteng. Perkampungan di lereng bukit itu
dunia-kangouw.blogspot.com
luas, di dalamnya terdapat banyak bangunan dan tidak kurang dari tiga ratus orang anak buah Thian-lipang
tinggal di situ. Mereka setiap hari latihan silat dan berbaris.
Ketika dia dihadapkan kepada Ketua Thian-li-pang, yaitu Ouw Pangcu (Ketua Ouw) atau Ouw Ban yang
berusia enam puluh tahun, kakek itu memandang kepada Yo Han seperti orang menaksir seekor kuda
yang akan dibelinya.
“Namamu Yo Han?” tanya Sang Ketua, suaranya parau dan besar.
Yo Han memandang kepada kakek tinggi kurus yang mukanya pucat kekuningan seperti orang
berpenyakitan itu. Dia mengangguk. “Benar, namaku Yo Han.”
“Engkau mau menjadi murid Thian-li-pang?” tanya pula ketua itu.
Yo Han memandangnya dengan sinar mata tajam. Dengan tegas dia menggelengkan kepala, lalu
menjawab. “Tidak! Aku tidak mau menjadi murid Thian-li-pang yang jahat, kejam dan pengecut!”
Ouw Ban membelalakkan matanya dan menoleh kepada Lauw Kang Hui. “Dan kau bilang anak ini luar
biasa?”
Lauw Kang Hui tersenyum. “Suheng, bukankah sikapnya yang luar biasa pemberani ini menunjukkan
keluar biasaannya?”
“Huh, kita lihat saja sampai di mana keluar biasaannya. Bocah sombong, cobalah kau sambut ini!”
Mendadak saja tangan kiri kakek itu bergerak menampar dengan cepat bukan main. Saking cepatnya,
gerakan tangannya itu bahkan tidak nampak dan tahu-tahu telapak tangan itu telah mengenai tengkuk Yo
Han.
“Plakk!”
Tubuh Yo Han yang duduk di kursi itu terjungkal dan anak itu roboh pingsan.
“Suheng! Kau membunuhnya?” tanya Cauw Kang Hui dengan kaget dan dia meloncat lalu berlutut
memeriksa anak itu.
“Hemmm, kalau dia mati pun lebih baik dari pada engkau dimarahi Supek. Lihat, anak macam itu kau
katakan luar biasa?” kata Ketua Thian-li-pang.
Lauw Kang Hui mendapat kenyataan bahwa Yo Han hanya pingsan saja, maka dia pun bangkit lagi berdiri
dan memandang kepada kakak seperguruannya.
“Suheng, keluar biasaan anak ini bukan hanya pada sikapnya yang gagah berani, tabah dan dewasa, akan
tetapi juga menurut keterangan Ang-I Moli, anak ini kebal terhadap racun dan tidak dapat dipengaruhi
sihir.”
“Ha-ha-ha, apakah engkau tidak mengenal orang macam apa adanya Ang-I Moli, Sute? Engkau dikibuli
saja! Masa anak semacam ini ditukar dengan dua belas orang pemuda remaja yang pilihan. Engkau
sungguh bodoh, Sute.”
“Kurasa ia tidak berani mempermainkan aku, Suheng. Bagaimana pun juga, biarlah dia kubawa
menghadap Supek, dan biarlah Supek saja yang menentukan apakah anak ini memenuhi syarat ataukah
tidak.”
“Sute, agaknya engkau berusaha keras untuk menyenangkan hati Supek, ya? Engkau hendak
menyuapnya supaya engkau memperoleh hadiah ilmu baru sehingga tingkat kepandaianmu akan
melampaui aku?”
Lauw Kang Hui yang tadinya sudah duduk kini bangkit berdiri lagi sambil memandang kepada wajah
suheng-nya dengan mata terbelalak. “Ehh? Kenapa engkau menyangka buruk seperti itu, Suheng? Suheng
sendiri juga mendengar pesanan Supek itu, untuk mencarikan seorang anak yang luar biasa supaya Supek
dapat menggemblengnya dan kelak akan makin memperkuat Thian-li-pang.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kalau begitu, biar kucoba lagi dia! Apakah benar dia kebal racun!” Ketua Thian-li-pang itu mengambil
sesuatu dari saku jubahnya.
“Suheng, jangan! Ang-tok-ting (Paku Beracun Merah) itu dapat membunuhnya!” berkata Lauw Kang Hui.
“Lebih baik dicoba kekebalannya terhadap sihir saja.”
Lauw Kang Hui maklum bahwa suheng-nya itu merasa iri kalau sampai ada anak lain yang diterima
menjadi murid Thian-te Tok-ong karena suheng-nya itu ingin sekali agar puteranya sendiri yang mewarisi
ilmu-ilmu yang ampuh dari supek mereka. Akan tetapi supek mereka menganggap bahwa Ouw Cun Ki,
putera suheng-nya yang berusia lima belas tahun itu tidak cukup berbakat.
Akan tetapi Ouw Ban yang memang berniat membunuh Yo Han sudah meluncurkan sebatang paku ke
arah leher anak yang masih rebah di atas lantai itu. Sinar merah kecil menyambar sehingga Lauw Kang
Hui menahan seruannya dan merasa putus harapan karena serangan itu tentu akan membunuh Yo Han.
Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba saja Yo Han siuman dari pingsannya dan anak yang tadinya sama sekali
tidak bergerak itu bangkit duduk dan gerakan yang tidak disengaja ini membuat sambaran paku tidak
mengenai sasaran! Paku itu lewat dekat lehernya dan menancap ke lantai, bahkan amblas ke dalam dan
tidak nampak lagi!
“Ehhhh...?” Ouw Ban terbelalak kaget, akan tetapi dia juga merasa penasaran sekali. Tangannya bergerak
ke saku jubahnya lagi.
“Suheng, tidak cukupkah itu?” Lauw Kang Hui segera memegang lengan suheng-nya, mencegah suhengnya
menyerang lagi. “Tidak kau lihat betapa luar biasanya itu?”
“Huh, hanya kebetulan saja dia siuman!”
“Sama sekali tidak kebetulan. Nampaknya kebetulan akan tetapi justru yang kebetulan itulah yang luar
biasa. Suheng, jangan ganggu dia. Kalau Supek menolaknya, barulah Suheng boleh lakukan apa saja
terhadap dirinya.”
“Sute, aku masih penasaran!” kata Ouw Ban.
“Suheng, jangan!” cegah Lauw Kang Hui.
Suheng dan sute atau ketua dan wakilnya itu bersitegang dan pada saat itu terdengar suara batuk-batuk di
belakang mereka. Dua orang itu mengenal suara ini dan cepat mereka membalik, lalu keduanya
menjatuhkan diri berlutut.
“Suhu...! Sudah lama sekali Suhu tidak meninggalkan kamar...”
Karena Yo Han sudah siuman dan berdiri, dia memandang kepada kakek yang baru muncul. Seorang
kakek yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih. Rambutnya yang sudah berwarna kelabu itu
digelung ke atas seperti rambut pendeta tosu. Yang menyolok pada wajahnya itu adalah sepasang alisnya
yang amat tebal dan panjang. Pandang matanya sayu seperti orang mengantuk.
Mendengar dua orang ketua Thian-li-pang itu murid kakek ini, Yo Han maklum bahwa tentu kakek ini
memiliki ilmu kepandaian yang tinggi!
“Hemm, Ouw Ban dan Lauw Kang Hui,” kata kakek itu sambil mengelus jenggotnya dan memandang
kepada dua orang muridnya itu silih berganti. “Entah mengapa aku ingin sekali keluar kamar, akan tetapi
begitu sampai di sini aku melihat kalian bertengkar dan bersitegang. Heran, kalau Thian-li-pang dipimpin
oleh kalian berdua, lalu kalian saling bertengkar, apa akan jadinya dengan perkumpulan kita?” Suara kakek
itu halus dan ramah, akan tetapi mengandung teguran keras.
“Maafkan, Suhu. Teecu berdua bukan bertengkar, hanya teecu ingin menguji kebenaran keterangan sute
tentang anak ini.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Benar, Suhu. Sebetulnya tadi teecu hanya ingin mencegah suheng membunuh anak ini karena teecu
hendak membawanya menghadap Supek, yang sudah memesan kepada teecu untuk mencarikan seorang
anak luar biasa.”
“Anak luar biasa...?” Ban-tok Mo-ko, kakek itu, sekarang memandang Yo Han penuh perhatian. “Apanya
yang luar biasa pada anak ini?”
“Itulah, Suhu. Teecu juga menganggap bahwa, anak ini tidak ada apa-apanya yang luar biasa. Sekali
tampar saja dia tadi roboh pingsan. Akan tetapi Sute...”
“Suhu, Suheng tidak mau mengerti. Anak ini memang luar biasa. Dia kebal terhadap racun dan pengaruh
sihir,” kata Lauw Kang Hui.
“Ehhh? Benarkah?” kata kakek itu dan kini sepasang mata yang sayu itu mengeluarkan sinar ketika dia
mengamati wajah Yo Han.
“Teecu hendak menguji kekebalannya itu dengan paku merah, tapi Sute mencegahnya, maka tadi teecu
berdua kelihatan seperti bertengkar, Suhu.”
Kakek itu menggerakkan tangan memberi isyarat kepada dua orang muridnya agar tidak bersuara,
kemudian diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya. Sepasang mata yang biasanya sayu itu kini
mencorong penuh wibawa seperti hendak menembus kepala Yo Han melalui sepasang mata anak itu,
kemudian terdengar suaranya menggetar, lirih mendesis, dan jelas sekali.
“Anak baik, siapa namamu?”
Yo Han adalah anak yang sudah mengenal sopan santun. Sudah menjadi kebudayaan sejak jaman dulu
untuk menghormati orang yang lebih tua, apa lagi orang setua kakek itu. Oleh karena pertanyaan kakek itu
ramah dan halus, ia pun menjawab dengan sikap hormat.
“Nama saya Yo Han, Kek.”
Bagi orang yang sudah biasa mempergunakan kekuatan sihir, jawaban ini saja sudah menunjukkan bahwa
korbannya telah masuk perangkap dan tentu akan mentaati segala perintah. Kakek itu memandang lebih
tajam dan suaranya semakin berwibawa ketika dia berkata, dengan nada memerintah walau pun masih
ramah dan halus.
“Yo Han, kuperintahkan padamu. Hayo cepat engkau berlutut dan menyembah padaku!”
Orang yang terkena pengaruh sihir yang amat kuat ini tentu di luar kehendaknya dan kesadarannya sendiri
akan menjatuhkan diri berlutut dan menyembah. Namun betapa kaget dan herannya hati kakek tokoh
besar Thian-lipang itu. Anak itu sama sekali tidak mentaati perintahnya, hanya tetap berdiri dan
memandang padanya dengan sepasang matanya yang lebar dan jernih.
“Maafkan, Kek, kalau aku tidak dapat berlutut menyembah kepadamu. Engkau bukan guruku, bukan orang
tuaku, bahkan bukan pula kakekku.”
Sekarang barulah Ouw Ban percaya akan keterangan sute-nya. Juga Ban-tok Mo-ko menggeleng
kepalanya, tak habis heran. Apa kekuatan sihirnya telah punah dan kini dia telah menjadi lemah? Padahal,
selama dia mengundurkan diri dari urusan perkumpulan dan berdiam di kamarnya, dia memperbanyak
latihan semedhi sehingga sepatutnya kalau kekuatan sihirnya semakin bertambah.
“Lauw Kang Hui dan Ouw Ban, kalian bangkitlah dan pandang aku!”
Dua orang murid itu bangkit berdiri dan memandang kepada suhu mereka dengan patuh. Dan kini kakek itu
berseru dengan nada memerintah.
“Lauw Kang Hui dan Ouw Ban, sekarang kalian duduklah di lantai dan menangis!”
Dalam keadaan wajar, walau pun yang memerintah itu suhu mereka sendiri, tentu dua orang itu tidak akan
mau mentaati begitu saja. Mereka adalah ketua dan wakil ketua Thian-li-pang, tentu mereka tidak mau
kalau disuruh menangis seperti anak kecil tanpa sebab, bahkan seperti orang gila saja. Akan tetapi karena
dunia-kangouw.blogspot.com
mereka sudah dicengkeram pengaruh sihir yang amat kuat, begitu mendengar perintah Ban-tok Mo-ko,
mereka lalu menjatuhkan diri di atas lantai dan keduanya menangis seperti dua orang anak kecil
kehilangan barang mainan!
Tentu saja Yo Han yang tidak mengerti apa artinya itu semua, melihat dua orang kakek berusia enam
puluh dan enam puluh lima tahun sekarang menangis mengguguk seperti anak-anak kecil tanpa sebab,
menjadi terheran-heran dan juga penasaran kepada orang yang memerintah kedua orang ketua itu.
“Kek, sungguh tidak pantas sekali apa yang kau lakukan ini! Mengapa engkau menghina murid-murid
sendiri seperti ini?” Yo Han berkata dengan nada menegur.
Ban-tok Mo-ko terkejut dan merasa heran bukan main. Dia menggerakkan tangannya ke arah dua orang
muridnya dan berkata dengan suara tenang. “Kalian bangkitlah!”
Dua orang pimpinan Thian-li-pang itu bangkit dan mereka seperti baru bangun dari tidur, nampak bingung
dan tidak tahu apa yang telah terjadi.
“Yo Han, katakan mengapa tidak pantas dan menghina?” tanya Ban-tok Mo-ko kepada anak itu.
“Mereka ini adalah ketua dan wakil ketua perkumpulan besar dan juga murid-muridmu sendiri. Akan tetapi
mengapa engkau menyuruh mereka menangis seperti anak-anak kecil? Bukankah itu tidak pantas dan
menghina namanya?”
Barulah dua orang pimpinan itu tahu bahwa tadi mereka digunakan oleh guru mereka untuk menguji
kekuatan sihirnya dan ternyata ilmu sihir suhu mereka masih ampuh. Namun, tadi jelas bahwa ilmu sihir itu
tidak mempan terhadap Yo Han! Ban-tok Mo-ko juga menyadari hal ini dan diam-diam dia merasa heran
dan kagum bukan main.
“Kang Hui, sebaiknya ajak anak ini menghadap supek-mu. Biar dia yang menentukan!”
Mendengar ini, Lauw Kang Hui merasa gembira sekali. Memang benar seperti dugaan Ouw Ban tadi, dia
mengharapkan hadiah dengan menyerahkan anak yang luar biasa ini kepada supek-nya, yaitu hadiah
sebuah ilmu baru. Bukan karena dia ingin mengungguli suheng-nya, melainkan untuk kemajuannya sendiri.
“Mari Yo Han, kita menghadap supek!” katanya sambil menggandeng tangan anak itu dan menariknya
pergi.
Karena tidak berdaya, meski hatinya menolak, namun Yo Han tidak dapat membantah dan dia pun hanya
menurut saja. Anak ini memang memiliki bakat selalu mendekatkan diri kepada Tuhan. Imannya kuat
karena sejak kecil dia ditinggal ayah ibunya dan Tuhan menjadi gantungan hidupnya, menjadi tumpuan
harapannya dan ia selalu menyerahkan jiwa-raganya ke tangan Tuhan, penuh kepasrahan. Maka,
menghadapi apa pun dia tidak merasa gentar karena di dasar hatinya terkandung keyakinan akan
kekuasaan Tuhan, bahwa bila Tuhan menghendaki dia harus mati sekali pun, tidak ada kekuasaan lain
yang akan mampu menghalanginya. Oleh karena dia telah pasrah dan menghadapi maut pun dia tidak
gentar.
Lauw Kang Hui membawa Yo Han ke bagian sudut paling belakang dari perkampungan Thian-li-pang yang
ternyata amat luas itu. Bagian belakang itu merupakan puncak bukit yang penuh dengan jurang dan goa.
Di depan salah sebuah goa besar, Lauw Kang Hui berhenti sambil tetap memegang tangan Yo Han. Dia
tahu akan keadaan luar biasa anak ini, maka dia tidak berani melepaskannya takut kalau-kalau anak itu
akan mampu meloloskan diri.
Setelah tiba di depan goa, Lauw Kang Hui menghadap ke arah goa dan menarik tubuh Yo Han untuk
bersama dia berlutut di atas tanah. Yo Han tidak mampu membantah karena tangannya ditarik ke bawah,
maka ia pun ikut berlutut di sebelah Lauw Kang Hui walau pun ia tidak bermaksud untuk memberi hormat
ke arah goa.
Maka ketika wakil ketua Thian-li-pang itu mengangkat-angkat kedua tangannya di depan dada, dia pun
diam saja, hanya memandang penuh perhatian ke arah goa. Goa itu lebarnya ada sepuluh meter dan
nampak terawat bersih seperti rumah saja. Ada pintu di kanan kiri, akan tetapi di bagian tengah terbuka
dan nampak menghitam gelap.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Supek yang mulia, teecu Lauw Kang Hui datang menghadap!” Tetapi suara itu hanya bergema di dalam
goa dan tidak ada jawaban, juga tidak nampak gerakan apa pun.
Lauw Kang Hui menanti sejenak, maklum bahwa supek-nya memang tidak pernah mau diganggu dan tidak
pernah mau berhubungan dengan dunia di luar goa kalau tidak ada keperluan yang teramat penting.
“Supek, teecu datang mengajak seorang anak luar biasa seperti yang pernah Supek pesan kepada teecu!”
Kembali hening sejenak. Mendadak terdengar suara angin dari dalam goa dan tiba-tiba saja tubuh Yo Han
tersedot ke arah goa. Anak itu mencoba untuk mempertahankan diri, akan tetapi tubuhnya terguling-guling
seperti bola saja menggelinding ke arah goa dan lenyap ditelan kegelapan goa.
Tak lama kemudian terdengar suara yang jenaka dibarengi tawa. “Heh-heh-heh, bagus sekali, Kang Hui.
Engkau boleh pergi sekarang!”
“Maaf, Supek. Teecu mendapatkan anak ini dari Ang-I Moli, dan teecu sudah berjanji kepadanya untuk
mohon bantuan Supek memberikan obat penawar dari hawa beracun pukulan yang sedang dilatihnya.”
“Heh-heh, Si Iblis Betina Cilik Ang-I Moli banyak tingkah! Pukulan apa yang sedang dia latih itu?”
“Katanya ilmu itu disebut Toat-beng Tok-hiat (Darah Beracun Pencabut Nyawa).”
“Wah-wah-wah, keji sekali! Untuk menguasai ilmu itu ia harus memperoleh hawa murni dan darah perjakaperjaka
remaja yang sehat!”
“Tadinya anak ini yang akan dia jadikan korban. Katanya mengorbankan seorang saja cukup karena anak
ini lebih berharga dari pada dua belas orang remaja biasa.”
“Huh, iblis betina licik. Akan tetapi kalau sampai tiga hari anak ini masih di sini, berarti aku merasa cocok
dengan dia dan boleh kau serahkan obat penawar itu kepadanya. Nah, sekarang pergilah!”
“Maaf, Supek. Kalau Supek berkenan dengan anak yang teecu bawa ke sini, teecu mohon sedikit petunjuk
Supek agar supaya teecu mendapat kemajuan dalam ilmu silat teecu.”
“Heh-heh-heh-heh, engkau orang tamak! Tetapi kalau anak ini memang menyenangkan hati, kelak akan
kuajarkan sebuah ilmu kepadamu.”
“Terima kasih, Supek. Terima kasih!” kata Lauw Kang Hui sambil memberi hormat lalu dia bergegas pergi
sebelum kakek aneh itu membatalkan janjinya.
Sementara itu, Yo Han yang menggelinding seperti disedot tenaga yang amat kuat, kini tiba di dalam goa,
masih terduduk di lantai goa di dekat sepasang kaki yang kurus dan telanjang karena celana pemilik kaki
itu hanya sampai ke lutut. Kaki itu memakai sandal yang amat sederhana, hanya sepotong kulit tebal
diikatkan pada kaki secara kasar, di masing-masing kaki.
Yo Han merasa penasaran dan juga marah sekali. Ia adalah seorang anak yang pernah menjadi murid
suami isteri yang sakti, maka biar pun dia tidak pernah berlatih ilmu silat, namun pengetahuannya akan
ilmu silat sudah cukup mendalam.
Dia tahu bahwa pemilik kaki ini telah mempergunakan semacam ilmu yang aneh untuk menariknya dari
luar goa. Semacam sinkang (tenaga sakti) yang sudah demikian tinggi tingkatnya sehingga Si Pemilik
tenaga itu dapat mempergunakan seenaknya saja dapat untuk menyedot seperti tadi! Dan dia pun tahu
bahwa orang ini tentu lihai bukan main.
Akan tetapi dia sama sekali tidak takut, bahkan marah karena merasa dipermainkan. Dia hendak bangkit
berdiri dan memprotes, akan tetapi sungguh aneh, dia tidak mampu bangkit berdiri!
Baru setelah Lauw Kang Hui pergi, kakek itu terkekeh dan tiba-tiba Yo Han merasa leher bajunya
dicengkeram tangan yang kecil, lalu tubuhnya diangkat dan dia pun sudah dijinjing pergi memasuki goa itu
yang ternyata di sebelah dalamnya amat luas, seperti sebuah rumah gedung saja dengan dua buah kamar
dan berikut pula ruangan duduk, dapur dan kamar mandi lengkap! Juga di sebelah dalam goa itu tidak
gelap seperti nampak dari luar karena selain bagian atasnya terdapat lobang sehingga sinar matahari
dunia-kangouw.blogspot.com
dapat masuk. Juga goa itu menembus ke terowongan belakang dari mana datang pula sinar matahari.
Belum lagi adanya lampu-lampu gantung.
Yo Han dibawa masuk ke dalam ruangan yang terang sekali dan dia lalu dilepas oleh tangan yang
menjinjingnya. Ketika dia turun, dia membalik dan menghadapi orang yang membawanya ke dalam goa.
Baru sekarang dia dapat melihat kakek itu dan diam-diam Yo Han terkejut.
Seorang kakek yang tua renta, ada delapan puluh tahun umurnya. Rambutnya putih seperti kapas, tinggal
sedikit saja sehingga di bagian tengah kepalanya botak mengkilat. Tubuhnya kecil pendek. Pakaiannya
sederhana seperti pakaian kanak-kanak, dengan celana setinggi lutut dan baju yang lengannya juga hanya
sampai di sikunya. Kaki dan tangan yang menonjol keluar itu nampak kecil kurus bagaikan kaki tangan
anak-anak. Wajah kakek itu pun kecil tetapi nampak ketuaannya karena keriput. Matanya tajam dan lincah,
dan mulutnya selalu menyeringai, memperlihatkan mulut yang ompong tanpa gigi secuil pun!
Mereka saling pandang, berdiri berhadapan dan kakek itu hanya lebih tinggi sekepala saja dibandingkan
Yo Han. Sampai lama mereka saling berpandangan dan diam-diam Yo Han merasa heran. Kakek ini sama
sekali tidak mendatangkan kesan buruk atau jahat. Sinar mata yang tajam lincah itu nampak demikian
lembut. Bahkan kakek ini jauh berbeda di bandingkan Ban-tok Mo-ko.
“Heh-heh-heh, aku dengar dari sini tadi bahwa namamu Yo Han?” tanya kakek itu, dan suaranya seperti
suara anak-anak pula, demikian ringan dan belum pecah.
Yo Han kagum. Dari tempat ini, cukup jauh dari tempat dia tadi bicara dengan Ban-tok Mo-ko dan dua
orang muridnya, kakek ini dapat mendengarkan!
“Benar, Locianpwe (orang Tua Pandai), namaku Yo Han,” jawabnya dan dia bersikap hormat karena
maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang amat sakti.
“Heh-heh, dan engkau anak luar biasa?” tanya kakek itu pula.
Yo Han merasa kesal. Hanya itu saja yang dibicarakan orang! Tanpa diminta dia pun menghampiri sebuah
dipan dan naik, kemudian duduk bersila di atas dipan itu, mulutnya cemberut.
“Orang-orang itu mengada-ada saja, Locianpwe. Aku bernama Yo Han. Yatim piatu, hidup sebatang kara
saja di dunia ini, tidak bisa apa-apa, dan orang-orang mengatakan aku anak luar biasa, dan aku dijadikan
rebutan! Sungguh aneh orang-orang tua di dunia ini, seperti orang gila saja. Aku ini manusia biasa, hanya
ingin melanjutkan hidup wajar dan tentram, tidak senang diganggu dan tidak senang pula menggangu.”
Kakek itu terkekeh dan tiba-tiba Yo Han melihat hal yang aneh. Kakek itu tidak membuat gerakan meloncat
atau berjalan, akan tetapi tahu-tahu tubuhnya melayang ke atas dipan dan kakek itu sudah pula duduk
bersila di depan Yo Han. Akan tetapi anak itu sudah terlalu banyak melihat kehebatan ilmu kepandaian
yang dipamerkan orang kepadanya sehingga dia tidak kelihatan heran, bahkan acuh saja.
“Heh-heh-heh, aku yakin Kang Hui tidak akan salah pilih. Dia biasanya cermat dan dia haus akan ilmu baru
dariku. Yo Han, engkau diamlah, aku akan memeriksamu.”
Setelah berkata demikian, kakek itu menggerakkan tangannya dan dua tangan itu sudah memegang
kepala Yo Han. Anak ini berniat hendak menolak, akan tetapi sungguh amat aneh. Dia tidak mampu
bergerak!
Tahulah dia bahwa kakek yang katai ini telah mempergunakan semacam ilmu totok yang amat aneh yang
membuat dia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya, seperti menjadi lumpuh.
Thian-te Tok-ong, kakek tua renta itu, kini memijit-mijit kepala Yo Han dengan jari-jari tangannya, pijat
sana, pijit sini, mengelus-elus bagian belakang kepala yang menonjol, mengukur dengan jari dan berulangulang
dia mengeluarkan suara lidah seperti cecak berbunyi. “Ck-ck-ck-ck!”
Kemudian, kedua tangan itu meraba ke seluruh tubuh Yo Han, dari kepala leher, dada perut, kaki tangan
sampai ke ujung jari kaki! Dan suara seperti bunyi cecak itu semakin sering. Lalu kakek itu menempelkan
kedua telapak tangannya di atas dada Yo Han.
dunia-kangouw.blogspot.com
Anak itu merasa betapa ada hawa panas dari telapak tangan itu memasuki dadanya. Ia hanya pasrah saja,
tidak menerima, tidak pula melawan. Dia merasa yakin sepenuhnya bahwa kalau Tuhan tidak
menghendaki, orang yang seribu kali lebih sakti dari kakek ini takkan mampu mencelakainya, sebaliknya
kalau sampai dia menderita celaka, apa dan siapa pun penyebabnya, hal itu hanya terjadi karena Tuhan
memang menghendakinya. Keyakinan ini membuat hatinya tenteram karena untuk berusaha membela diri
pun tidak ada gunanya karena kaki tangannya tidak dapat dia gerakkan.
Yo Han merasa betapa hawa panas dari tangan kakek itu memasuki tubuhnya seperti meraba-raba di
bagian dalam tubuhnya, memasuki kepalanya, berputar-putaran, lalu ke dadanya, juga berputar-putar
kemudian turun ke arah pusarnya.
Tiba-tiba, ketika hawa panas yang dapat bergerak-gerak itu memasuki rongga bawah pusarnya, hawa
panas itu meluncur keluar dan kakek itu pun terlempar sampai ke atas lantai di bawah dipan! Kakek itu
meloncat bangun, terbelalak memandang kepada Yo Han yang kini mendadak mampu bergerak lagi, dan
kakek itu berseru dengan penuh takjub.
“Wah-wah-wah, apa ini? Apa-apaan ini? Sungguh mati, selama hidupku belum pernah aku melihat yang
begini! Heiii, Yo Han! Pernahkah engkau belajar ilmu dan menjadi murid orang-orang pandai?”
Yo Han cemberut. “Locianpwe, aku tahu bahwa Locianpwe adalah seorang tua yang berilmu tinggi. Aku
menghormatimu karena kepandaianmu dan karena ketuaanmu. Tapi apa yang kau lakukan terhadap aku
yang muda? Meski pun aku pernah menjadi murid orang pandai, akan tetapi jika Locianpwe mengira
bahwa aku pernah mempelajari ilmu silat atau ilmu kekerasan lain lagi, Locianpwe keliru. Aku tidak pernah
belajar silat!”
“Tapi... tapi... dari pusat tenaga di bawah pusarmu terdapat tenaga yang amat dahsyat!”
“Aku tidak tahu, Locianpwe. Dan apakah anehnya hal itu? Yang menghidupkan manusia adalah kekuasaan
Tuhan, dan siapa dapat mengukur kekuatan dari kekuasaan Tuhan? Kekuatan yang mampu
menggerakkan bintang dan bulan, mampu menciptakan segala sesuatu di alam maya pada ini? Apa
anehnya kalau hanya kekuatan secuil di dalam tubuhku ini?”
“Wahhh! Luar biasa! Memang engkau anak luar biasa. Engkaulah yang sudah lama kunanti, telah lama
kurindukan! Engkaulah yang pantas menjadi muridku, engkau yang pantas menjadi orang yang kelak akan
mengangkat tinggi-tinggi nama Thian-li-pang, yang akan membersihkan nama Thian-li-pang dan
mengharumkan kembali namanya. Ha-ha-ha-heh-heh!”
“Locianpwe, aku pernah membaca pengalaman orang bijaksana jaman dahulu bahwa yang dirindukan itu
akhirnya menjadi yang mengecewakan! Kalau yang dirindukan itu kesenangan, maka yang merindukan
adalah nafsu pikiran dan di samping kesenangan tentu akan muncul kesusahan, di balik kepuasan
bersembunyi kekecewaan. Menurut pengalaman para orang suci, hanya yang dirindukan jiwa sajalah yang
berharga dan benar.”
Kakek itu terbelalak, lalu terkekeh. “Heh-heh-heh, kalau tidak melihat bahwa engkau ini seorang bocah,
tentu aku mengira yang bicara ini seorang pendeta! Ha-ha-ha! Yo Han, apa itu yang dirindukan jiwa?”
“Apa yang dirindukan oleh setiap tetes air kalau bukan samudera, kembali ke asalnya dan bersatu dengan
samudera? Apa yang dirindukan oleh bunga api jika bukan kepada api yang menjadi pusatnya?
Demikianlah yang sudah kubaca. Hanya persatuan dengan sumber inilah yang akan membahagiakan
hidup, Locianpwe, bukan segala kesenangan yang memuaskan nafsu. Apakah Locianpwe tidak rindu
kepada Tuhan?”
“Kepada Tuhan?” kakek itu memandang heran.
“Tentu saja. Bukankah yang dimaksudkan dengan sumber itu adalah Tuhan Yang Maha Kuasa? Bukankah
segala sesuatu datang dari padaNya dan sudah sepatutnya kembali kepadaNya?”
“Wah-wah-wah...! Engkau ini siapa sih?” katanya setengah berkelakar.
Akan tetapi Yo Han kini turun dari dipan itu, berdiri tegak dan dengan lantang berkata, “Aku ini seorang
anak manusia seperti juga Locianpwe. Aku ini juga setetes air seperti Locianpwe, yang selalu merindukan
samudera!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hahhh?”
Kakek itu kini benar-benar tertegun dan termenung. Dia membayangkan tetes-tetes air yang datang dari
samudera melalui hujan. Semua air itu berasal dari samudera, tetapi setelah terbawa awan dan diturunkan
ke bumi sebagai tetes-tetes air, harus mengalami banyak penderitaan dan kesukaran masing-masing
sebelum bisa kembali ke samudera, tempat asalnya atau sumbernya.
Dan lika-liku perjalanan tiap tetes air tidaklah sama. Ada yang dapat lancar kembali ke samudra, ada pula
yang harus melalui pencomberan, lumpur dan kotoran. Akan tetapi, semua tetes air itu sesudah akhirnya
kembali ke samudra, akan menjadi satu dengan samudra dan tidak ada lagi perbedaan di antara mereka.
“Yo Han, engkau memang bocah ajaib dan aku girang sekali bisa mendapatkan engkau sebagai muridku.”
Locianpwe ingin menjadi guruku, akan tetapi tidak pernah bertanya apakah aku suka menjadi muridmu.”
“Ehh? Hah? Manusia mana tidak suka manjadi murid Thian-te Tok-ong? Bahkan anak Kaisar pun akan
suka sekali menjadi muridku!”
“Akan tetapi aku bukan anak Kaisar dan sebelum aku mengatakan suka atau tidak, aku ingin dulu
mengetahui. Kalau Locianpwe menjadi guruku, Locianpwe akan mengajarkan apakah kepadaku?”
“Ha-ha-ha, apa saja yang kau ingin pelajari!”
Kakek ini memang cerdik sekali. Dia tahu bahwa seorang anak seperti Yo Han memiliki keteguhan hati dan
tidak mengenal takut. Maka dia harus tahu dulu apa yang diinginkan dan tak diinginkan anak ini sebelum
menjawab agar supaya dia tidak sampai bertumbuk keinginan dengan anak luar biasa ini.
“Segala macam ilmu baik untuk dipelajari dan aku suka mempelajarinya, Locianpwe, kecuali satu, yaitu
ilmu silat. Aku tidak suka berlatih ilmu silat.”
Kalau tidak cerdik sekali, tentu Thian-te Tok-ong sudah terkejut mendengar ucapan itu. Dia ingin
mengambil anak luar biasa menjadi muridnya untuk mewariskan seluruh ilmu silatnya dan mendidik murid
itu menjadi calon pemimpin Thian-li-pang yang pandai dan yang akan mengangkat nama Thian-li-pang.
Dan sekarang, anak yang dipilih itu terang-terangan mengatakan bahwa dia suka mempelajari ilmu apa
saja kecuali ilmu silat!
“Heh-heh-heh, bagus! Engkau jujur sekali! Nah, tidak ada orang membenci sesuatu tanpa alasan tertentu.
Kenapa engkau tidak suka berlatih ilmu silat, Yo Han?”
“Aku tidak membenci sesuatu, Locianpwe. Hanya aku tidak mau mempelajari ilmu silat karena aku melihat
kenyataan betapa ilmu itu mengandung kekerasan, bersifat merusak dan hanya mendatangkan
permusuhan dan pertentangan saja dalam kehidupan ini.”
“Heh-heh-heh, cocok! Cocok dengan aku, Yo Han. Tidak, aku tidak mengajarkan ilmu silat kepadamu,
hanya akan mengajarkan ilmu tari dan senam olah raga untuk membuat tubuhmu sehat. Bagaimana?”
Yo Han mengamati wajah yang kecil itu. “Tidak akan mengajarkan cara memukul dan menendang orang,
apa lagi cara membunuh?”
“Ho-ho-ho, sama sekali tidak! Memangnya kau pikir aku ingin melihat engkau menjadi algojo? Aku suka
padamu, maka aku ingin melihat engkau sehat lahir batin dan pandai menari indah!”
Yo Han tersenyum. “Baiklah, kalau begitu aku suka menjadi muridmu.” Dan anak ini lalu menjatuhkan diri
berlutut. “Aku akan belajar dengan rajin, Suhu, dan akan melayani Suhu di sini.”
“Ha-ha-ha-ha, bagus, bagus, muridku. Yo Han, hari ini merupakan hari paling bahagia untukku!”
Mulai hari itu, Yo Han tinggal di dalam goa bersama gurunya. Ternyata untuk mereka sudah dikirim
makanan dari luar sehingga Yo Han tidak perlu lagi mencarikan makanan untuk gurunya. Dan mulailah
Thian-te Tok-ong mengajarkan ‘tari’ dan ‘senam’ kepada Yo Han.
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang kakek ini pandai sekali. Ilmu silat memang mengandung tiga buah unsur, yaitu pertama tentu saja
ilmu bela diri, ke dua ilmu tari dan ke tiga ilmu senam kesehatan, kesehatan lahir batin.
Dia mengajarkan kepada Yo Han gerakan semua binatang yang ada di dunia ini yang dinamakannya
Tarian Harimau, Tarian Naga, Tarian Burung, Tarian Monyet, Tarian Ular dan sebagainya. Padahal, dalam
gerak tari ini terkandung ilmu silat yang dahsyat.
Yo Han tekun melatih diri dengan ‘tari-tarian’ itu, dan tanpa disadarinya sendiri dia telah menggembleng diri
dengan ilmu silat yang tinggi. Dan dalam latihan ini, otomatis ilmu-ilmu silat yang pernah dia pelajari secara
teoritis tanpa disengaja keluar dan terkandung dalam gerak ‘tariannya’.
Kurang lebih seminggu setelah dia berada di dalam goa itu, pada suatu malam Yo Han dikejutkan oleh
suara yang menyayat jantung, suara mengerikan yang merupakan semacam lolong atau lengking
memanjang. Bukan lolong anjing, dan tidak mirip suara manusia, namun dalam lengking itu terkandung
semua perasaan duka dan derita yang amat hebat! Seperti tangis bukan tangis, seperti tawa bukan tawa,
namun dia yang tidak pernah merasa takut itu sempat terbelalak dan merasa betapa tengkuknya dingin
sekali.
Dia segera lari ke kamar Thian-te Tok-ong yang sedang bersemedhi, menjatuhkan diri berlutut di depan
kakek itu.
“Suhu, suara apakah yang terdengar dari arah belakang itu?” tanyanya kepada kakek itu yang sudah
membuka matanya ketika dia berlutut,
“Heh-heh, engkau mendengar juga, Yo Han? Jangan pedulikan. Suara itu sudah sejak lima tahun ini
kadang terdengar keluar dari dalam sumur bawah tanah di ujung belakang terowongan ini.”
“Tapi... suara apakah itu, Suhu?”
Thian-te Tok-ong menghela napas panjang. “Kelak engkau akan dapat mengetahuinya sendiri. Agar
engkau tidak menjadi penasaran, baik engkau ketahui saja bahwa sumur itu merupakan tempat hukuman
bagi seorang manusia iblis yang amat berbahaya. Dan mulai sekarang, setiap hari dua kali biar engkau
mewakili aku menurunkan makanan ke bawah sana. Tiap kita mendapat kiriman makanan dan minuman,
tentu ada sebungkus untuk dia dan biasanya kulemparkan saja ke dalam sumur.”
“Tapi, siapa dia, Suhu? Dan siapa pula yang menghukumnya? Dan mengapa pula dia dihukum?”
“Panjang ceritanya dan engkau tidak perlu tahu. Yang penting kau ketahui, orang itu seperti iblis atau
seperti gila, dengan kepandaian yang dahsyat dan tidak seorang pun mampu menandinginya. Orang lain
tidak mungkin dapat menuruni sumur itu, dan andai kata ada yang dapat turun pun tentu akan mati konyol
oleh manusia iblis itu. Sudahlah, itu bukan urusanmu, tidak perlu engkau mencampuri. Merupakan urusan
rahasia dan pribadi dari Thian-li-pang. Mengerti?”
Yo Han mengangguk kemudian menunduk. Hatinya penuh perasaan iba kepada orang hukuman yang
disebut manusia Iblis itu. Akan tetapi suara itu sudah lenyap lagi dan sejak hari itu, dialah yang setiap hari
dua kali mengirim sebungkus makanan ke sumur itu.
Sumur itu kecil saja, bergaris tengah satu meter, akan tetapi sangat dalam. Ketika dia mencoba untuk
menjenguk ke dalam, yang nampak hanyalah kehitaman belaka, hitam pekat dan gelap sekali. Pernah dia
mencoba untuk memanggil-manggil dengan sebutan ‘locianpwe’ beberapa kali, namun selalu tidak ada
jawaban.
Menurut pesan Thian-te Tok-ong, seharusnya dia melemparkan begitu saja bungkusan makanan ke dalam
sumur. Karena merasa kasihan dan tidak ingin makanan itu rusak kalau jatuh ke dasar sumur, pernah Yo
Han mengikatnya dengan tali dan mengereknya turun. Akan tetapi belum juga dua meter tali yang
ujungnya mengikat buntalan itu turun, tiba-tiba tali itu putus dan makanan itu pun jatuh ke bawah seperti
kalau dia lemparkan!
Terdorong oleh rasa iba kepada orang hukuman itu, pernah Yo Han mencoba untuk mengukur dalamnya
sumur, menggunakan tali panjang. Akan tetapi seperti juga ketika mencoba mengerek bungkusan
makanan ke bawah, tiba-tiba tali itu putus tanpa sebab! Dia pun dapat menduga bahwa siapa pun
dunia-kangouw.blogspot.com
orangnya yang berada di bawah, gila atau tidak, manusia atau iblis, tentu memiliki ilmu yang hebat
sehingga entah dengan cara apa, tali yang diturunkan tentu akan putus seperti digunting!
Karena tidak mungkin baginya untuk turun ke dasar sumur, juga kini tidak pernah lagi ada suara
mengerikan itu, akhirnya Yo Han menganggap hal itu biasa dan setiap hari mengirim makanan dengan
melemparkannya ke sumur.
Yo Han mulai merasa senang di situ karena Thian-te Tok-ong memegang janjinya, yaitu mengajarkan ‘taritarian’
yang dianggapnya amat indah. Juga kakek itu mendatangkan banyak kitab dari luar sehingga di
waktu senggang, Yo Han dapat memuaskan selera bacanya yang tidak kenal bosan. Segala macam kitab
dilahapnya dan di dalam kitab ini dia berkenalan dengan para pahlawan dan para pendekar, juga riwayat
partai-partai besar di dunia persilatan. Akan tetapi, gurunya tak pernah mengajaknya bicara tentang dunia
persilatan, tidak pernah pula bicara tentang ilmu silat…..
********************
Kita tinggalkan dulu Yo Han yang belajar ‘tari’ dan ‘senam’ kepada Thian-te Tok-ong, tokoh paling lihai dari
Thian li-pang dan marilah kita melihat keadaan keluarga Tan Sin Hong yang ditinggalkan Yo Han.
Setelah ditinggal pergi Yo Han, setiap hari Sian Li menangis dan selalu menanyakan suheng-nya yang
amat disayangnya itu. Anak berusia empat tahun itu sejak lahir selalu diasuh oleh Yo Han, selalu bermainmain
dengan Yo Han sehingga ia menyayang Yo Han seperti kakaknya sendiri. Oleh karena itu, begitu Yo
Han pergi meninggalkannya, siang malam ia rewel saja dan minta kepada ayah ibunya supaya mereka
menyusul Yo Han. Bahkan di waktu tidur, sering kali Sian Li bermimpi dan mengigau memanggil-manggil
nama Yo Han.
Tentu saja Tan Sin Hong dan Kao Hong Li merasa prihatin sekali. Mereka berdua pun amat sayang kepada
Yo Han dan kepergian anak itu sungguh membuat mereka merasa kehilangan sekali. Akan tetapi, demi
masa depan Sian Li, mereka terpaksa merelakan Yo Han pergi.
Yo Han bukan anak biasa. Hatinya teguh memegang pendiriannya yang tidak suka akan ilmu silat dan
kalau hal ini sampai menular kepada Sian Li, sungguh akan membuat mereka berdua kecewa sekali.
Bagaimana mungkin sebagai suami isteri pendekar, mereka mempunyai seorang anak yang tidak suka
belajar silat dan menjadi seorang gadis yang lemah kelak?
Hidup memang diisi oleh dua keadaan yang berlawanan. Ada dua kekuatan yang saling berlawanan, akan
tetapi juga saling mengadakan dan saling mendorong di dalam dunia ini. Justru adanya dua kekuatan inilah
yang membuat kehidupan menjadi ada dan dapat membuat segala sesuatu berputar dan hidup. Ada terang
ada gelap, ada panas ada dingin, ada senang ada susah. Ada yang satu tentu ada yang ke dua, yang
menjadi kebalikannya.
Bagaimana mungkin ada yang disebut terang kalau tidak ada gelap. Setelah merasakan adanya gelap,
baru terang dikenal, atau sebaliknya. Setelah orang mengalami senang, baru tahu artinya susah atau
sebaliknya setelah mengalami susah baru mengenal arti senang. Dan segala sesuatu memiliki dwi-muka,
dua sifat yang bertentangan.
Kita sudah terseret ke dalam lingkaran setan dari kedua unsur yang berlawanan ini sehingga kehidupan ini
diombang-ambingkan antara yang satu dari yang lain. Padahal, semua keadaan itu hanyalah hasil dari
pada perbandingan dan penilaian yang selalu berubah-ubah. Hari ini seseorang dapat menerima sesuatu
dengan puas, tetapi lain hari sesuatu yang sama hanya mendatangan kekecewaan. Apa yang hari ini
mendatangkan kesenangan, besok mungkin menimbulkan kesusahan.
Sebetulnya, susah dan senang hanyalah akibat dari pada penilaian kita sendiri. Hati dan akal pikiran kita
sudah bergelimang nafsu daya rendah sehingga pikiran yang licik selalu membuat perhitungan. Semua hal
yang menguntungkan kita berarti senang, sebaliknya yang merugikan kita berarti susah! Banyak sekali
contohnya.
Kalau hujan turun selagi kita membutuhkan air, berarti hujan itu menyenangkan karena menguntungkan
kita. Sebaliknya, jika hujan turun mengakibatkan banjir atau becek atau menghalangi kesenangan kita,
maka hujan itu menyusahkan karena merugikan kita.
dunia-kangouw.blogspot.com
Demikian pula dengan segala peristiwa yang terjadi di dunia ini. Susah senang, susah senang, perasaan
kita dipermainkan antara susah dan senang setiap hari, dipermainkan oleh ulah hati dan akal pikiran yang
bergelimang nafsu daya rendah.
Kalau kita sedang bersenang-senang, kita lupa bahwa kesenangan itu hanya sementara saja, dan
kesusahan telah siap menggantikannya setiap saat. Demikian sebaliknya, jika kita sedang bersusah-susah,
kita merana dan merasa hidup ini sengsara, lupa bahwa kesusahan itu pun hanya sementara saja sifatnya,
dan akan tertimbun kesenangan atau kesusahan lain yang datang silih berganti.
Orang yang bijaksana akan menerima segala sesuatu seperti apa adanya. Segala yang terjadi itu wajar
karena segala yang terjadi itu adalah kenyataan yang tak dapat dirubah atau dibantah lagi. Orang
bijaksana tidak akan menentang arus peristiwa yang datang, melainkan menyesuaikan diri dengan arus itu,
mengembalikan semuanya pada Tuhan, kepada kekuasaan Tuhan karena kekuasaanNya itulah yang
mengatur dan menentukan segalanya.
Hujan? Banjir? Bencana alam? Kehilangan? Keuntungan dan keberhasilan? Sakit dan mati? Semua itu
dihadapi dengan penuh kesabaran dan penuh keikhlasan, berdasarkan kepasrahan, penyerahan kepada
Tuhan! Orang yang sudah pasrah lahir batin, secara menyeluruh kepada Tuhan, tidak akan pernah lagi
disentuh derita yang berlebihan, tidak akan mabok kesenangan.
Setelah lewat beberapa bulan, Sian Li menjadi kurus dan kurang bersemangat. Melihat keadaan anak
mereka ini, Tan Sin Hong serta isterinya, Kao Hong Li, lalu mengambil keputusan untuk mengajak puteri
mereka pergi pesiar supaya terhibur hatinya.
Mereka mengajak Sian Li pergi berkunjung ke kota raja Peking yang besar, megah dan indah. Seminggu
lamanya mereka tinggal di kota raja, bermalam di salah sebuah rumah penginapan dan setiap hari ayah
dan ibu itu mengajak puteri mereka untuk berpesiar mengunjungi tempat-tempat yang indah di kota raja.
Tentu saja Sian Li yang baru berusia empat tahun lebih itu menjadi gembira bukan main dan tak lama
kemudian ia sudah melupakan sama sekali kesedihannya karena ditinggal pergi Yo Han!
Senang atau susah memang hanya permainan sementara waktu dari perasaan. Sang Waktu akan
menelan habis semua kesusahan atau kesenangan sehingga tiada bersisa lagi. Atau perasaan lainnya
akan muncul silih berganti sehingga perasaan yang timbul karena peristiwa lama itu akan tertimbun dan
tidak nampak lagi, terganti oleh perasaan yang timbul karena peristiwa baru.
Sejak kita kanak-kanak kecil sampai dewasa, hati dan akal pikiran kita telah digelimangi nafsu yang selalu
mencari kesenangan dalam hal-hal atau benda-benda yang baru. Kita selalu haus akan yang baru, karena
yang baru selalu memiliki daya tarik yang besar, didorong oleh keinginan tahu. Jika yang didapatkan itu
sudah lama, akan membosankan dan perhatian kita akan tertarik oleh hal lain yang baru.
Sejak kanak-kanak, kita mudah bosan dengan barang mainan lama, dan akan tertarik oleh barang mainan
baru. Setelah kita dewasa, kita tetap tak berubah, tetap saja tertarik oleh barang mainan yang baru, walau
pun bentuk barang permainan itu yang berbeda.
Permainan kita pada waktu masih kanak-kanak tentu saja barang-barang mainan, atau permainan dengan
kawan-kawan. Sesudah kita dewasa permainan kita bukan boneka atau barang-barang mainan lain,
melainkan permainan berupa harta benda, kedudukan, kekuasaan, dan pemuasan nafsu melalui pancaindrya.
Meski pun demikian, tetap saja kita pembosan dan selalu haus akan hal yang baru. Itulah sifat
nafsu! Selalu ingin yang baru, yang lebih!
Setelah berpesiar di kota raja, Sian Li sudah melupakan Yo Han dan sama sekali tidak pernah menangis
lagi. Kegembiraannya semakin besar ketika dari kota raja ayah ibunya mengajaknya berkunjung ke kota
Pao-teng di mana tinggal kakek dan neneknya, yaitu orang tua dari ibunya. Kakek-luarnya itu, Kao Cin
Liong adalah putera Naga Sakti Gurun Pasir penghuni Istana Gurun Pasir, sedangkan nenek luarnya yang
bernama Suma Hui adalah cucu dalam dari Pendekar Super Sakti penghuni Istana Pulau Es!
Suami isteri keturunan keluarga pendekar sakti itu kini tinggal di Pao-teng, berdagang rempah-rempah.
Mereka sudah tua. Kao Cin Liong yang sudah berusia enam puluh tiga tahun sedangkan isterinya, Suma
Hui, telah berusia lima puluh tiga tahun.
dunia-kangouw.blogspot.com
Semenjak puteri mereka yang menjadi anak tunggal, Kao Hong Li, menikah dengan Tan Sin Hong dan ikut
suaminya tinggal di kota Ta-tung, suami isteri ini tentu saja merasa kesepian. Mereka hidup berdua saja
bersama tiga orang yang membantu toko rempah-rempah yang juga membantu rumah tangga.
Namun, suami isteri pendekar itu hidup tenteram karena memang mereka sudah lama mengurung diri dan
tak lagi mencampuri urusan dunia kang-ouw. Juga tak ada golongan sesat yang berani mengganggu
mereka. Bukan saja karena suami isteri ini terkenal lihai sekali, juga karena Kao Cin Liong ketika mudanya
pernah menjadi seorang panglima perang yang telah banyak jasanya.
Kini, suami isteri yang sudah mulai tua dan hidup berdua saja ini memiliki penghasilan yang berlebihan
bagi mereka berdua. Mereka merupakan orang-orang dermawan yang suka menolong orang-orang yang
membutuhkan pertolongan. Maka, seluruh penduduk kota Pao-teng merasa hormat dan segan kepada
mereka.
Dapat dibayangkan betapa gembira rasa hati kakek Kao Cin Liong dan isterinya, nenek Suma Hui, ketika
mereka menerima kunjungan puteri mereka bersama suaminya dan anaknya. Kakek dan nenek perkasa ini
dulu pernah merana dan berduka sekali melihat keadaan puteri tunggal mereka, Kao Hong Li.
Dulu, sebelum menjadi isteri pendekar Tan Sin Hong, puteri mereka itu pernah menjadi isteri dari Thio Hui
Kong, putera seorang jaksa di Pao-teng yang adil dan jujur. Juga Thio Hui Kong merupakan seorang pria
yang tampan dan gagah, pandai ilmu silat dan sastra.
Namun sayang, karena pernikahan di antara mereka itu tidak ada cinta, terutama di pihak Kao Hong Li,
pernikahan itu gagal. Hong Li tidak pernah mencintai suaminya dan bersikap hambar sehingga Thio Hui
Kong yang merasa kecewa kemudian menghibur diri dengan pelesir dan judi. Akhirnya rumah tangga
mereka tidak dapat dipertahankan lagi dan mereka bercerai!
Namun dasar sudah jodohnya. Hong Li kemudian bertemu dengan Tan Sin Hong yang sejak dulu
dicintanya akan tetapi terputus karena Sin Hong menikah dengan wanita lain. Dalam pertemuan kembali
ini, ternyata Tan Sin Hong juga sudah bercerai dari isterinya yang melakukan penyelewengan!
Dua hati yang saling mencinta itu pun bertemu kembali dan menikahlah janda kembang dengan duda
muda itu. Tentu saja peristiwa itu membuat Kao Cin Liong dan Suma Hui merasa berbahagia sekali, apa
lagi setelah lahir Tan Sian Li, cucu luar mereka.
“Sian Li, cucuku yang manis sekali...!” Nenek Suma Hui mengangkat tubuh cucunya itu tinggi-tinggi,
kemudian mendekap dan menciumi kedua pipinya sambil tertawa gembira. “Aduh, engkau makin manis
saja, Sian Li. Dan pakaianmu merah! He-he-heh, engkau seperti seekor bangau merah!”
Kao Cin Liong mengelus rambut kepala Sian Li yang berada di pondongan Suma Hui. “Bangau Merah? Haha-
ha, memang ia puteri Si Bangau Putih Tan Sin Hong. Si Bangau Merah, nama yang indah. Mari, mari
ikut kongkong!” kata kakek itu dan mengambil Sian Li dari pondongan isterinya.
Suma Hui menoleh ke kanan kiri, mencari-cari dengan pandang matanya.
“Ehh? Mana murid kalian? Apakah Yo Han tidak ikut?”
Mendadak Sian Li yang berada di pondongan kakeknya berkata, “Kongkong dan Bo-bo (Nenek), Suheng
Yo Han nakal, dia pergi bersama seorang bibi iblis!”
Kakek dan nenek itu terbelalak memandang kepada Sin Hong dan Hong Li. Suami isteri ini memang selalu
membujuk Sian Li untuk melupakan Yo Han yang mereka katakan nakal karena Yo Han minggat dan ikut
dengan seorang wanita iblis yang jahat. Hal ini mereka tekankan agar Sian Li dapat melupakan Yo Han
dan tidak selalu menagisinya.
“Apa yang terjadi dengan dia?” bertanya Kao Cin Liong. Dia dan isterinya juga merasa sayang kepada Yo
Han, murid mantu mereka itu.
“Ayah dan Ibu, biarlah nanti kami ceritakan tentang dia,” kata Hong Li. “Kami masih lelah karena baru saja
kami datang dari kota raja di mana kami tinggal selama seminggu dan setiap hari kami mengajak Sian Li
pesiar.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka semua lalu masuk dan Sin Hong bersama isterinya mendapatkan kamar yang dahulu menjadi
kamar Hong Li. Ada pun Sian Li tentu saja ditahan oleh neneknya dan diajak tidur di kamar neneknya.
Sesudah beristirahat dan makan malam, dan sesudah Sian Li tertidur pulas di kamar neneknya, barulah
Tan Sin Hong dan Kao Hong Li bercakap-cakap dengan kakek dan nenek itu, menceritakan tentang Yo
Han. Mereka menceritakan semua keanehan yang terdapat pada diri Yo Han, tentang sikapnya yang sama
sekali tidak mau berlatih ilmu silat. Kemudian tentang munculnya Ang-I Moli Tee Kui Cu yang mula-mula
menculik Sian Li, kemudian betapa Yo Han dapat menemukan wanita iblis itu dan menukar Sian Li dengan
dirinya sendiri!
“Demikianlah, Ayah dan Ibu. Yo Han sudah pergi bersama iblis betina itu dan menjadi muridnya. Kami tidak
dapat mencegahnya karena dia sendiri memang sudah berjanji untuk menukar Sian Li dengan dirinya
sendiri.”
“Ahhh, tetapi mengapa begitu?” nenek Suma Hui mencela puterinya. “Apa artinya janji kepada iblis betina
seperti itu? Ia telah berani menculik Sian Li dan kalian membiarkan saja ia pergi membawa Yo Han
sebagai muridnya? Iblis betina itu pantas dibasmi!”
“Tidak boleh kita berpendirian begitu,” kata Kao Cin Liong dengan suara tenang. “Sudah jelas bahwa Yo
Han bukan anak biasa seperti yang diceritakan Sin Hong tadi. Dia tidak suka akan kekerasan, namun
memiliki ketabahan yang luar biasa. Dan kalau dia sudah berjanji kepada Ang-I Moli supaya iblis betina itu
membebaskan Sian Li dan sebagai tukarnya dia mau ikut dengan iblis betina itu, tentu saja Sin Hong dan
Hong Li tidak dapat memaksa dan melanggar janji yang telah dikeluarkan Yo Han.”
“Apa yang dikatakan ayah itu memang benar, Ibu,” kata Kao Hong Li. “Aku pun tadinya tidak mau
mengalah begitu saja dan sudah memaksa iblis betina itu untuk melayaniku bertanding. Dia memang lihai,
akan tetapi kalau dia tidak melarikan diri, tentu aku akan dapat membunuhnya. Tetapi betapa pun juga,
kami tidak mungkin dapat membunuhnya setelah ia mengembalikan Sian Li dan memperlakukan anakku
dengan baik, dan kalau Yo Han ikut dengannya, hal itu adalah karena keinginan Yo Han sendiri. Kiranya
anak yang luar biasa itu juga sudah tahu bahwa kami ingin menjauhkan Sian Li darinya, dan agaknya Yo
Han memang sengaja ikut iblis itu agar dia dapat menjauhkan diri dari kami tanpa harus melarikan diri, atau
tanpa kami harus menitipkannya kepada pendeta kuil seperti yang tadinya kami rencanakan. Dia sudah
tahu semuanya, Ibu.”
Kao Cin Liong dan Suma Hui saling pandang, diam-diam merasa aneh dan amat kagum kepada anak itu.
“Jadi, dia sengaja mengorbankan diri, sengaja meninggalkan keluarga kalian karena tahu bahwa kalian
ingin memisahkan Sian Li darinya?”
Hong Li mengangguk dan menunduk. “Sungguh kami merasa kehilangan dia, Ibu. Kami sayang kepada Yo
Han, juga Sian Li amat menyayangnya sehingga dia rewel terus dan terpaksa kami mengajaknya pesiar ke
kota raja lalu ke sini. Akan tetapi, kami harus mementingkan masa depan Sian Li. Ia pasti akan terbawa
oleh sikap Yo Han bila terus dekat dengan dia.”
Sin Hong menarik napas panjang. “Benar sekali, Ayah dan Ibu. Kami sangat sayang kepada Yo Han,
seperti kepada anak sendiri. Akan tetapi, dia amat aneh dan kami tidak ingin melihat Sian Li menjadi
seperti dia.”
“Tetapi... bagaimana dengan nasib Yo Han? Apakah tidak berbahaya sekali dia terjatuh ke tangan seorang
iblis betina? Jangan-jangan keselamatan nyawanya jadi terancam...” Suma Hui menyatakan
kekhawatirannya.
“Aku juga khawatir sekali, Ibu. Akan tetapi ayah Sian Li mengatakan tak perlu khawatir,” kata Hong Li
sambil memandang suaminya.
Sekarang mereka bertiga semuanya memandang kepada Sin Hong dan mengharapkan penjelasan yang
meyakinkan, karena mereka semua mengkhawatirkan keselamatan Yo Han.
“Sesungguhnya pendapat atau jalan pikiran saya ini saya dapatkan dari Yo Han, betapa pun janggalnya.
Saya harus mengakui bahwa dialah yang memberi teladan atau tanpa disengaja memberi pelajaran
kepada saya, yaitu bahwa nyawa setiap orang berada di tangan Tuhan. Ia amat yakin akan hal ini, maka ia
tidak pernah takut menghadapi apa pun, bahkan ancaman maut sekali pun. Saya merasa yakin bahwa ada
sesuatu yang mukjijat pada diri anak itu. Seolah-olah ada suatu kekuatan gaib yang melindunginya. Seperti
dunia-kangouw.blogspot.com
ketika dia diserang ular berbisa itu. Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, seperti seorang ahli silat
yang pandai, tangannya bergerak menangkap ular itu. Tetapi dia tidak membunuhnya, melainkan bicara
kepada ular itu, melepaskannya lagi dan ular itu menjadi jinak! Seolah-olah dia menguasai pula ilmu
menundukkan ular.”
“Aneh sekali!” kata Suma Hui. “Padahal, walau pun aku sendiri pernah mempelajari ilmu menundukkan
ular, akan tetapi tidak begitu menguasainya, dan aku pun tidak pernah mengajarkannya kepadamu, Hong
Li.”
“Itulah keanehannya, Ibu,” kata Hong Li. “Lebih aneh lagi, ketika kami semua mencari penculik Sian Li.
Kami berdua yang mempunyai kepandaian saja gagal menemukan penculik, akan tetapi kenapa Yo Han
dapat menemukannya? Bahkan lebih hebat lagi, dapat membujuk Ang-I Moli untuk membebaskan Sian Li!”
Kakek dan nenek itu menjadi semakin heran dan kagum. Bagaimana pun juga, mereka menyayangkan
bahwa Yo Han sampai ikut seorang tokoh sesat seperti Ang-I Moli. “Kalau saja kalian membawa dia ke sini,
kami akan suka mendidiknya,” kata Suma Hui dan suaminya juga mengangguk setuju. Akan tetapi semua
sudah terlanjur dan Yo Han sudah pergi bersama Ang-I Moli entah ke mana.
Malam itu, karena lelah oleh perjalanan yang jauh, Sin Hong dan Hong Li tidur pulas di dalam kamar
mereka. Sian Li tidur bersama neneknya di kamar neneknya, sedangkan kakek Kao Cin Liong yang
merasa gembira dengan kunjungan puterinya, mantunya dan cucunya, juga sudah tidur dengan mulut
tersenyum.
Kakek dan nenek itu memang merasa amat berbahagia. Betapa tidak? Mereka hanya mempunyai seorang
anak saja, yaitu Kao Hong Li. Pada saat puteri mereka itu menikah dengan Thio Hui Kong kemudian
bercerai, mereka merasa prihatin dan berduka sekali. Anak mereka satu-satunya, seorang wanita lagi,
dalam usia yang masih demikian muda telah menjadi seorang janda tanpa anak!
Mereka sudah merasa putus harapan karena pada masa itu, derajat seorang janda yang bercerai hidup,
apa lagi tanpa anak, dipandang amat hina dan rendah. Sungguh di luar dugaan mereka, kemudian Kao
Hong Li berjodoh dengan Tan Sin Hong yang berilmu tinggi, bahkan mereka hidup berbahagia dan
mempunyai seorang anak yang menjadi cucu mereka yang mungil!
Menjelang tengah malam, ketika seluruh isi rumah itu tertidur pulas dan juga keadaan sekeliling rumah itu
sunyi karena tidak ada lagi orang berada di luar rumah dalam cuaca yang amat dingin itu, terdengarlah
seruan di atas genteng kamar kakek Kao Cin Liong.
“Taihiap (Pendekar Besar) Kao Cin Liong, tolonglah pinceng (saya)!” terdengar teriakan di atas genteng
kamar itu, lalu terdengar suara gedobrakan di atas genteng itu.
Kao Cin Liong yang sedang duduk bersemedhi bisa mendengar seruan ini dengan jelas. Bahkan dia
mengenal suara itu sebagai suara seorang sahabatnya, yaitu Thian Kwan Hwesio ketua kuil di sudut kota
Pao-teng, seorang murid Siauw-lim-pai yang termasuk tokoh karena tingkat dan kepandaian silatnya sudah
cukup tinggi.
Mendengar suara itu, tubuh Kao Cin Liong meloncat dari atas pembaringan, membuka jendela dan dalam
beberapa detik saja dia sudah meloncat naik ke atas genteng di mana dia melihat seorang hwesio sedang
didesak dan dihajar dengan pukulan-pukulan oleh dua orang berpakaian jubah pendeta tosu (pendeta To)
yang lihai sekali. Karena malam itu bulan hanya muncul secuwil, maka cuaca remang-remang dan dia tidak
dapat melihat jelas wajah tiga orang itu. Akan tetapi dia dapat mengenal Thian Kwan Hwesio yang agaknya
sudah payah, terhuyung-huyung di atas genteng.
“Tahan...!” seru Kao Cin Liong dan sekali meloncat dia sudah mendekati Thian Kwan Hwesio yang
terhuyung, menyambar lengannya.
Hwesio yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun itu nampak lemah sekali dan dia bersandar kepada
rangkulan lengan Kao Cin Liong.
“Thian Kwan Suhu, ada apakah? Siapakah mereka ini?”
“Mereka... mereka... orang-orang Bu-tong-pai... uhhh-uhhh!” hwesio itu terengah-engah. “Kami sudah
mengalah... akan tetapi... seperti pernah kuceritakan... Bu-tong-pai selalu mendesak dan menyerang
dunia-kangouw.blogspot.com
kami...” Tubuh hwesio itu terkulai dan dengan lirih dia masih menyebut “Omitohud...!” dan dia pun lemas
dan tewas dalam rangkulan kakek Kao Cin Liong.
Kao Cin Liong beberapa hari yang lalu pernah bercakap-cakap dengan ketua kuil itu dan mendengar
bahwa kini Bu-tong-pai selalu memusuhi Siauw-lim-pai. Di mana-mana para murid Bu-tong-pai menyerang
para murid Siauw-lim-pai sehingga terjadilah bentrokan-bentrokan berdarah. Menurut keterangan Thian
Kwan Hwesio, Bu-tong-pai menuduh seorang tokoh Siauw-lim-pai, yaitu Loan Hu Hwesio telah membunuh
Phoa Cin Su, tokoh Bu-tong-pai di puncak Bukit Naga. Padahal menurut keterangan kepala kuil itu, justru
Loan Hu Hwesio dibunuh oleh seorang tokoh Kun-lun-pai, juga di puncak Bukit Naga!
Dua orang tosu Bu-tong-pai itu maju mendekati Kao Cin Liong yang masih merangkul Thian Kwan Hwesio.
“Dia ini tentu murid Siauw-lim-pai juga, Sute. Kita bunuh dia!” Dan mereka berdua maju menyerang kakek
itu dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin pukulan yang dahsyat.
Kakek Kao Cin Liong terkejut dan berseru, “Heiii, tahan dulu!” teriaknya sambil mencoba untuk mengelak.
Akan tetapi karena dia sedang merangkul Thian Kwan Hwesio yang agaknya sudah menjadi mayat, tentu
saja gerakannya menjadi lambat. Dia terpaksa melepaskan tubuh hwesio itu dan mengangkat kedua
lengannya untuk menangkis.
“Desss...!”
Kakek itu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa kedua orang tosu itu memiliki tenaga yang kuat
bukan main. Kalau saja mereka tidak maju bersama, tentu dia dapat mengatasi tenaga seorang di antara
mereka. Akan tetapi mereka maju berbareng dan agaknya mereka telah menggabungkan diri dan
mengerahkan tenaga.
Sedangkan ia sendiri karena belum tahu benar akan keadaan dan tak ingin bermusuhan dengan Bu-tongpai
yang para pemimpinnya banyak dikenalnya, dia tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Akibatnya,
kakinya menginjak pecah genteng di bawahnya dan dua tangannya melekat kepada tangan dua orang tosu
itu!
Kao Cin Liong adalah putera Kao Kok Cu, Naga Sakti Gurun Pasir. Meski pun usianya telah lanjut, sudah
enam puluh tiga tahun, namun dia telah mewarisi ilmu yang hebat dari Gurun Pasir. Karena dia maklum
bahwa dua orang lawannya itu lihai, dan kedua tangannya sudah melekat pada tangan lawan dan kedua
kakinya hampir tertekuk, dia lantas mengerahkan tenaga Sin-liong Hok-te (Naga Sakti Mendekam di Bumi).
Ilmu ini merupakan satu di antara ilmu-ilmu yang ampuh dari Istana Gurun Pasir.
“Aaarghhhh...!”
Kakek itu mengeluarkan suara yang menyayat hati dan dua orang tosu itu pun langsung terjengkang! Akan
tetapi pada saat kakek yang sudah tua itu menghentikan pengerahan Sin-liong Hok-te, dari belakangnya
ada dua orang tosu lain yang menghantamkan tapak tangan mereka ke punggungnya.
“Plakkk! Dukkk!”
Dua orang pemukul itu terjengkang dan menjadi terkejut bukan main karena mereka merasa betapa tangan
mereka yang menampar itu menjadi nyeri. Akan tetapi kakek Kao Cin Liong sendiri terpelanting dan
mengeluh karena dua tamparan pada punggungnya selagi dia menyimpan kembali tenaga Sin-liong Hok-te
tadi demikian hebatnya sehingga dia merasa seolah-olah seluruh isi dada dan perutnya dilanda badai
hebat!
“Aiihhh...!” Teriakan ini terdengar dari bawah, disusul teriakan seorang anak kecil.
“Kongkong...!”
Suma Hui tadi keluar bersama cucunya karena terkejut mendengar teriakan suaminya. Ia menjerit karena
sempat melihat suaminya roboh terpukul dari belakang. Tubuhnya cepat meluncur ke atas seperti seekor
burung terbang saja.
dunia-kangouw.blogspot.com
Seorang di antara empat tosu itu, yang tubuhnya kurus jangkung, menyambut Suma Hui dengan serangan
kilat, dan kini dia mempergunakan sebatang pedang. Tubuh wanita itu masih melayang di udara ketika
pedang itu menyambutnya dengan tusukan maut ke arah dada.
Namun, Suma Hui adalah seorang wanita yang lihai sekali. Ia adalah cucu Pendekar Super Sakti dari
Pulau Es, maka serangan yang bagaimana dahsyat pun, bila dilakukan berterang, tentu akan dapat
diatasinya.
“Haiiittt...!”
Suara Suma Hui melengking dan tubuhnya berjungkir balik beberapa kali. Dia berhasil menghindarkan dari
dari tusukan! Gerakan ini sungguh lincah bukan main, membuat penyerangnya terkejut. Akan tetapi Suma
Hui juga kaget karena serangan tadi nyaris mengenai tubuhnya, membuktikan bahwa penyerangnya
adalah seorang yang lihai.
Begitu kakinya menyentuh genteng, ia membalik dan mengelak ketika pedang yang tadi sudah menyambar
pula. Kiranya tosu tinggi kurus itu sudah menghujankan serangan pedang kepadanya. Suma Hui
mempergunakan kegesitan tubuhnya untuk mengelak ke sana sini, lalu membalas pula dengan tamparantamparan
yang mengandung tenaga Swat-im Sinkang yang dingin.
Karena maklum bahwa suaminya telah terluka dan lawan ini amat lihai, maka ia telah mengerahkan ilmu
yang khas dari keluarga Istana Pulau Es itu. Lawannya amat terkejut ketika merasa ada hawa yang amat
dingin menyambar dari kedua tangan lawannya, maka ia bertindak hati-hati dan memutar pedang menjaga
jarak, melindungi diri dengan sinar pedangnya yang bergulung-gulung.
Pada saat tiga orang tosu yang lainnya hendak maju mengeroyok, tiba-tiba dua sosok bayangan
berkelebat dari bawah, melayang ke atas genteng itu seperti dua ekor burung garuda. Mereka ini bukan
lain adalah Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li.
Melihat hal ini, dua orang tosu yang tadi memukul Kao Cin Liong secara curang dari belakang, menyambut
mereka dengan pedang di tangan. Dan mereka terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan betapa
dua orang pria dan wanita muda yang baru datang ini juga amat lihai, terutama sekali yang pria.
Begitu Sin Hong mengelak dan tangannya mendorong, hawa pukulan yang keluar dari tangannya lantas
membuat lawannya terhuyung ke belakang! Seorang tosu lain cepat membantu kawannya, dan baru
setelah dua orang tosu yang berpedang menghadapi Sin Hong, mereka mampu saling menjaga dan terjadi
perkelahian yang agak seimbang.
“Ayah...!” Kao Hong Li yang melihat ayahnya tergeletak di atas genteng, terkejut sekali dan cepat
menghampiri ayahnya.
Dengan napas empas-empis Kao Cin Liong berkata, “Hong Li... cepat... kau… bantu... ibumu...”
Hong Li menoleh dan melihat betapa ibunya memang nampak sibuk sekali menghadapi permainan pedang
seorang tosu. Suaminya, biar pun kini dikeroyok dua, tidak nampak terdesak. Ia pun cepat meloncat,
kemudian membantu ibunya. Kini tosu berpedang itu menjadi repot sekali ketika berhadapan dengan ibu
dan anak itu.
Walau pun mereka berdua tidak sempat membawa senjata, namun mereka seperti dua ekor singa betina
yang marah dan tosu itu terdesak hebat, hanya mampu memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya
dari terkaman dua ekor singa betina itu!
Bahkan tosu itu sempat berteriak. “Sute, bantu...!”
Teriakannya ditujukan kepada tosu ke empat, karena dua orang tosu yang lain hanya dapat berimbang
saja mengeroyok Sin Hong yang bertangan kosong. Bahkan kedua orang tosu ini pun sudah mulai
terdesak pada saat Sin Hong terpaksa memainkan ilmu andalannya, yaitu Pek-ho Sin-kun.
Ilmu ini adalah ilmu yang sangat hebat, ilmu gabungan dari tiga orang pendekar sakti, yaitu mendiang
kakek Kao Kok Cu dan Tiong Khi Hwesio, bersama nenek Wan Ceng. Juga tenaga sinkang yang
terkandung dalam ilmu ini amat hebatnya. Sin Hong sendiri mendapat pesan dari tiga orang gurunya itu
bahwa kalau tidak terpaksa sekali dia tidak boleh mempergunakan ilmu itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sekarang, melihat ayah mertuanya sudah roboh, dan betapa para tosu itu lihai sekali, ia terpaksa
mempergunakan ilmu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih). Dan begitu dia mengeluarkan ilmu ini,
baru beberapa jurus saja, dua orang pengeroyoknya yang berpedang itu sudah terhuyung dan terdesak.
Tiba-tiba terdengar teriakan suara anak kecil, “Ibuuuu...! Ayaahhh...!” Suara ini disusul suara yang parau
dan tegas, penuh ancaman.
“Hentikan perkelahian, atau anak ini akan pinto (aku) bunuh!”
Mendengar teriakan anak itu saja, Sin Hong dan Hong Li sudah terkejut, demikian pula nenek Suma Hui.
Mereka berloncatan ke belakang dan menengok ke bawah. Di sana, di bawah sinar lampu gantung yang
remang-remang, nampak seorang tosu memondong Sian Li dan pedang di tangan kanannya menempel di
leher anak itu! Seketika lemaslah tubuh tiga orang ini dan mereka tidak mampu bergerak, tidak berani
bergerak dan terpaksa membiarkan tiga orang tosu yang tadi sudah mereka desak itu berloncatan dan
menghilang ke dalam kegelapan malam.
“Jangan mengejar kami kalau menginginkan anak ini selamat!” kata pula tosu itu.
Sin Hong dan isterinya seperti terpukau dan tidak berani bergerak, akan tetapi, Hong Li melihat ibunya
yang tadi berada di belakangnya telah tidak berada di situ pula, entah ke mana perginya.
“Uhhh...!” Tubuh kakek Kao Cin Liong menggelundung dan tertahan talang, hampir jatuh ke bawah.
Melihat hal ini, Sin Hong cepat meloncat dan menyambar tubuh ayah mertuanya itu, lalu dipondongnya.
Sementara itu, melihat betapa tosu yang menawan puterinya itu hendak meloncat pergi, Kao Hong Li
meloncat turun dan berteriak.
“Jangan bawa anakku! Kembalikan!”
“Berhenti, atau kubunuh anakmu!” Tosu itu berseru dan mendengar ini, Hong Li yang sudah tiba di atas
tanah itu menjadi pucat dan kedua kakinya menjadi lemas. Tak berani ia mengejar.
Tiba-tiba, dari balik tembok samping rumah itu, Suma Hui meloncat dan menubruk tosu itu dari belakang.
Gerakan Suma Hui cepat bukan main, dan tahu-tahu pundak kanan tosu itu telah dihantamnya sehingga
terdengar tulang remuk dan pedang di tangan yang menjadi lumpuh itu terlepas dari pegangan. Tosu itu
terkejut dan begitu merasa betapa anak di pondongan tangan kiri dirampas oleh penyerangnya, dia
membalik dan tangan kirinya berhasil menjambak rambut Suma Hui! Wanita ini cepat melempar tubuh Sian
Li ke arah Hong Li.
“Terima anakmu!” teriaknya dan tubuh anak itu melayang ke arah Hong Li yang cepat menangkapnya.
“Ibuuu...!”
“Sian Li, engkau tidak apa-apa, nak?” Hong Li memeriksa anaknya dan mendekapnya, menciuminya
dengan hati lega.
Akan tetapi, ia terkejut mendengar ibunya menjerit. Ia terbelalak dan pada saat itu, Sin Hong sudah
melayang, turun memondong tubuh ayah mertuanya. Hong Li menurunkan Sian Li karena di situ sudah ada
Sin Hong dan ia pun meloncat ke arah ibunya yang terhuyung. Empat orang tosu tadi sudah lenyap.
“Ibu...!” Hong Li merangkul ibunya yang terhuyung.
“Aku... berhasil menghajar penculik tadi... tetapi yang lain... membokong dengan curang dari belakang...
ahhh... bagaimana... ayahmu...?” Wanita itu terkulai dan tentu segera roboh kalau tidak cepat dipondong
Hong Li.
“Cepat bawa masuk. Mari Sian Li, masuk ke dalam!” kata Sin Hong kepada isterinya.
Dia masih memondong tubuh ayah mertuanya, dan Hong Li memondong tubuh ibunya. Mereka masuk ke
dalam rumah, diikuti oleh Sian Li. Anak ini tidak menangis walau pun nampak bingung dan masih belum
hilang kagetnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiga orang pembantu dari kakek Kao Cin Liong yang tinggal di bagian belakang rumah menjadi terkejut
mendengar ribut-ribut tadi dan mereka sudah berlarian keluar. Tentu saja mereka kaget bukan main
melihat kedua majikan mereka dipondong masuk dalam keadaan luka dan pingsan.
“Cepat kalian undang tabib yang paling pandai di kota ini,” berkata Sin Hong setelah dia merebahkan tubuh
ayah mertuanya ke atas pembaringan. Juga Hong Li merebahkan tubuh ibunya di atas pembaringan yang
lain.
Sin Hong lalu keluar lagi, melompat ke atas genteng dan menurunkan tubuh hwesio tua yang telah menjadi
mayat. Juga tubuh yang sudah tak bernyawa ini dibaringkan di atas sebuah dipan.
Sin Hong memeriksa luka pukulan di punggung ayah mertuanya. Dia mengerutkan alis melihat dua telapak
tangan membekas di punggung itu, menghitam. Tahulah dia bahwa ayah mertuanya menderita luka dalam
yang amat hebat. Kakek itu masih pingsan, dan napasnya empas-empis, tinggal satu-satu.
Kemudian dia dan isterinya memeriksa luka yang di derita Suma Hui. Keadaan nenek ini tidak lebih baik
dari suaminya. Sebuah luka tusukan pedang di lambung, dan di lehernya terdapat luka kecil-kecil yang
menghitam, tanda bahwa ada dua benda kecil, mungkin senjata rahasia paku atau jarum, memasuki
lehernya, dan jelas bahwa senjata rahasia itu beracun!
Melihat keadaan ayah ibunya, Kao Hong Li mencucurkan air mata tanpa bersuara. Dia terlampau gagah
untuk menangis. Dia berusaha menahan gejolak hatinya yang penuh kekhawatiran dan kemarahan.
Dengan pandang matanya Sin Hong menghibur dan menenangkan hati isterinya, lalu dengan lembut dia
berkata, “Lebih baik bawa Sian Li tidur lebih dulu. Biarlah aku yang berjaga di sini sampai tabib datang.”
Hong Li maklum akan maksud suaminya. Memang kurang baik membiarkan Sian Li di situ. Anak ini
nampak sangat kebingungan memandang ke arah kakek dan neneknya yang rebah di atas dua buah
pembaringan di dalam kamar itu, dengan napas empas empis dan wajah pucat, kadang terdengar suara
seperti rintihan lirih.
“Mari, Sian Li, kita kembali ke kamar untuk tidur.”
Sian Li digandeng ibunya memasuki kamar mereka. Pada waktu Hong Li merebahkan puterinya di atas
pembaringan, anak itu memandang ibunya dan bertanya, “Ibu siapa yang melukai Kakek dan Nenek?”
“Mereka orang-orang jahat, Sian Li.”
“Kenapa Ayah dan Ibu tidak menangkap mereka?”
“Mereka itu lihai dan sempat melarikan diri, bahkan hampir menawanmu, anakku.”
“Tapi, Ibu. Tentu Ibu juga tahu siapa mereka?”
Kao Hong Li menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mengenal siapa mereka, akan tetapi sebelum tewas,
Thian Kwan Suhu sempat berseru bahwa mereka adalah orang-orang Bu-tong-pai. Tentu mereka itu tokohtokoh
Bu-tong-pai tingkat tinggi.”
“Kalau begitu, Kakek dan Nenekku dilukai orang-orang Bu-tong-pai?”
“Begitulah. Kenapa engkau menanyakan hal itu, Sian Li.”
Sekarang Sian Li mengepal tinjunya dan bangkit berdiri di atas pembaringannya. “Kalau begitu, kelak aku
akan membasmi Bu-tong-pai! Mereka orang-orang jahat!”
“Ssttt, sudahlah. Kau tidur dan jangan banyak memikirkan hal itu. Serahkan saja kepada ayah dan ibumu,
Sian Li. Engkau masih terlalu kecil untuk memikirkan urusan macam itu,” ibunya menghibur.
Dan setelah puterinya tidur, Kao Hong Li menemani suaminya yang menjaga ayah dan ibunya. Tabib yang
diundang datang, akan tetapi seperti yang telah dikhawatirkan Sin Hong, tabib itu hanya menggeleng
kepala dan menarik napas panjang. Luka-luka itu selain parah, juga mengandung racun yang amat
dunia-kangouw.blogspot.com
berbahaya. Tentu saja Sin Hong dan Hong Li menjadi gelisah sekali ketika tabib itu angkat tangan
menyatakan tidak sanggup mengobati luka karena racun itu.
Setelah tabib pergi, Hong Li berkata kepada suaminya. “Kiraku hanya ada seorang saja yang akan mampu
menolong, yaitu Paman Suma Ceng Liong. Kita mesti cepat memberi kabar dan mengundangnya ke sini,
juga Paman Suma Ciang Bun yang biar pun tidak memiliki kesaktian seperti paman Suma Ceng Liong,
namun memiliki pengalaman yang luas.”
Sin Hong setuju dengan usul ini. Karena dia dan isterinya harus menjaga dan merawat ayah dan ibu
mertua yang terluka berat, mereka tidak dapat pergi sendiri dan segera mengirim utusan yang melakukan
perjalanan secepatnya dengan kuda pergi ke kota Cin-an untuk mengundang Suma Ceng Liong, dan yang
satunya pergi Tapa-san untuk mengundang Suma Ciang Bun. Sementara itu, Tan Sin Hong yang menjadi
kenalan baik dari Ketua Bu-tong-pai, segera menulis surat protes kepada perkumpulan besar itu tentang
terlukanya ayah dan ibu mertuanya oleh serangan orang-orang Bu-tong-pai.
Setelah tiga orang utusan itu berangkat, Sin Hong menjaga ayah dan ibu mertuanya, bersama isterinya.
Mereka merasa khawatir sekali dan biar pun Sin Hong dan isterinya sudah berusaha untuk membantu
mereka yang terluka itu dengan penyaluran tenaga sinkang, namun mereka berdua tidak berhasil
menyembuhkan, hanya mengurangi rasa nyeri dan memperlambat menjalarnya pengaruh pukulan beracun
itu saja.
Melihat keadaan orang tuanya, Kao Hong Li mengerutkan alisnya dan berbisik kepada suaminya. Mereka
sengaja duduk agak menjauh agar supaya percakapan mereka tidak mengganggu dua orang tua yang
sedang menderita sakit itu.
“Para tosu Bu-tong-pai yang keparat!” desis Hong Li sambil mengepal tangannya “Kalau Ayah dan Ibu
sudah sembuh, aku pasti akan pergi ke sana untuk meminta pertanggung jawaban mereka. Perbuatan
mereka yang melukai Ayah dan Ibu ini sungguh tidak boleh didiamkan begitu saja!”
Tan Sin Hong mengerutkan alisnya. “Kita harus bersabar dan tidak boleh menurutkan nafsu amarah saja.
Kita telah sama mengetahui bahwa akhir-akhir ini memang terdapat pertentangan antara Siauw-lim-pai dan
Bu-tong-pai hingga sering kali terjadi bentrokan di antara murid-murid mereka. Kita belum mengetahui
sebabnya dan ini memang bukan urusan kita. Kalau kini Ayah dan Ibu sampai terluka, hal itu terjadi dalam
perkelahian karena mereka turut terlibat dalam perkelahian antara Thian Kwan Hwesio ketua kuil di Paoteng
yang menjadi tokoh Siauw-lim-pai dengan beberapa orang tosu Bu-tong-pai.”
“Akan tetapi hwesio Siauw-lim-pai itu sahabat Ayah dan sudah lari ke sini minta bantuan Ayah. Kenapa
mereka masih terus menyerang dan tidak mau memandang muka orang tuaku? Ayah dan Ibu tadinya tentu
hanya ingin melerai saja, mengapa Ayah dan Ibu malah mereka serang?”
“Karena itu, aku sudah menulis surat teguran kepada Ketua Bu-tong-pai, dan aku yakin beliau akan
memperhatikan teguranku itu dan akan menghukum murid mereka yang bersalah.”
Akan tetapi isterinya menggelengkan kepala. “Aku masih penasaran. Bagaimana kalau Ketua Bu-tong-pai
membela muridnya dan tidak akan menghukum mereka? Aku harus membalas perbuatan mereka itu. Ingat
saja, mereka itu jahat! Mereka merobohkan Ayah dengan cara yang curang sekali, bahkan merobohkan Ibu
juga dengan serangan gelap. Mereka itu patutnya gerombolan penjahat, bukan murid-murid sebuah partai
persilatan besar seperti Bu-tong-pai! Atau sekarang Bu-tong-pai telah menyeleweng dan murid-muridnya
menjadi pengecut-pengecut yang curang?”
Sin Hong mengangguk-angguk. “Engkau benar. Aku sendiri pun memang ada perasaan curiga terhadap
para tosu Bu-tong-pai itu. Cara mereka mengeroyok hwesio itu saja sudah bukan watak pendekarpendekar
Bu-tong. Kemudian, mereka menyerang Ayah dan Ibu secara menggelap dan lebih lagi, mereka
menawan Sian Li sebagai sandera, ini pun bukan watak pendekar. Karena itu, aku lebih dahulu mengirim
surat kepada Ketua Bu-tong-pai. Kelak, kalau kita sudah selesai di sini, kalau Ayah dan Ibu sudah sehat
kembali, tentu aku akan berkunjung ke Bu-tong pai untuk membikin terang perkara ini.”
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Li sudah memasuki ruangan kamar kakek dan neneknya.
“Ayah dan Ibu, bagaimana dengan Kakek dan Nenek?” tanya anak itu sambil mendekati pembaringan
kakeknya, kemudian neneknya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ssttt, Sian Li. Kakek dan nenekmu masih tidur. Biarkan mereka beristirahat dan engkau bermainlah di
luar.”
Sian Li memandang kepada kakek dan neneknya. Alisnya berkerut, mulutnya cemberut. “Kini Kakek dan
Nenek tak bisa lagi menemani aku bermain-main. Ini semua gara-gara gerombolan penjahat itu. Kelak aku
akan membasmi mereka kalau aku sudah besar!” Setelah berkata demikian, Sian Li berlari keluar.
Ayah dan ibunya saling pandang dan keduanya merasa lega. Puteri mereka itu sudah pasti kelak akan
menjadi seorang pendekar wanita yang hebat, seperti yang mereka harapkan. Kalau dekat dengan Yo
Han, tentu puteri mereka itu akan mengikuti jejak Yo Han, menjadi seorang wanita yang lemah.
Mereka lalu duduk di dekat pembaringan ayah ibu mereka dan dengan prihatin mereka melihat betapa
keadaan kedua orang tua mereka masih seperti malam tadi, dan kembali mereka berusaha untuk
menyalurkan tenaga sinkang dengan telapak tangan mereka ditempelkan di punggung si sakit. Walau pun
usaha ini belum bisa menyembuhkan, tapi setidaknya dapat memperkuat hawa murni di dalam tubuh ayah
dan ibu mereka serta memperlambat kerusakan yang diakibatkan oleh pukulan beracun.
Dua orang yang terluka itu dalam keadaan tidur atau setengah pingsan. Wajah mereka pucat dan
pernapasan mereka lemah. Sin Hong sudah memberi obat luka di lambung dan leher ibu mertuanya. Lukaluka
itu tidak berat, akan tetapi racun yang terkandung di luka bagian leher sangat berbahaya. Sedangkan
pukulan kedua telapak tangan yang berbekas di punggung ayah mertuanya membuat keadaan ayah
mertuanya itu lebih parah lagi.
“Hemm, keadaan mereka ini membuat aku menjadi makin sangsi,” katanya lirih kepada isterinya. “Aku
mengenal Bu-tong-pai sebagai partai persilatan bersih, satu perkumpulan orang-orang suci dengan para
tosu menjadi pimpinan. Murid-murid mereka adalah para pendekar-pendekar gagah. Biar pun mereka
memiliki pukulan ampuh yang mengandung sinkang amat kuat, akan tetapi belum pernah aku mendengar
mereka mempelajari ilmu pukulan beracun. Juga, belum pernah aku mendengar mereka mempergunakan
racun atau paku beracun seperti yang melukai leher ibumu.”
“Akan tetapi, mendiang Thian Kwan Hwesio dengan jelas menyerukan bahwa mereka adalah para tosu Butong-
pai,” kata isterinya dan Sin Hong menjadi bingung.
Memang sukar sekali dimengerti kalau seorang pendeta seperti ketua kuil Pao-teng itu berbohong. Apa
manfaatnya berbohong? Akan tetapi, Thian Kwan Hwesio sudah tewas sehingga tidak mungkin, dapat
diperoleh keterangan yang lebih jelas darinya.
“Kita harus bersabar. Surat yang kukirim kepada Ketua Bu-tong-pai itu sedikit banyak tentu akan dapat
menerangkan kegelapan peristiwa semalam.”
Sementara itu, Sian Li berlari keluar rumah dengan hati kesal. Pada waktu ia datang ke rumah kakek dan
neneknya, hatinya gembira karena kedua orang tua itu amat sayang kepadanya dan mengajaknya
bermain-main. Tapi sekarang, kakek dan neneknya hanya rebah dalam keadaan sakit. Apa lagi bermainmain
dengannya, bicara pun mereka itu tidak dapat lagi. Semua itu gara-gara perbuatan penjahat yang
menyerbu malam tadi. Hatinya kesal dan marah, maka ia pun keluar dari halaman rumah, bermaksud
mencari teman bermain.
Ada beberapa orang pegawai yang biasanya membantu kedua orang tua itu berdagang rempah-rempah.
Mereka, empat orang itu, telah mendengar bahwa dua majikan mereka menderita luka oleh serbuan
penjahat. Mereka membuka toko rempah-rempah mewakili majikan mereka dengan wajah khawatir.
Sian Li tidak mempedullkan mereka yang tidak dikenalnya itu, dan ia pun keluar dari pekarangan dan terus
berjalan-jalan seorang diri di jalan raya. Hatinya tertarik melihat seorang kakek yang berdiri di tepi jalan,
sedang memandang ke arah rumah kakek dan neneknya. Ia pun menoleh dan ikut memandang.
Nampak belasan orang hwesio memasuki pekarangan itu, dan mereka ini adalah para hwesio dari kuil di
kota itu, para murid Thian Kwan Hwesio yang sudah diberi kabar tentang tewasnya guru dan ketua mereka
di rumah keluarga Kao. Tak lama kemudian mereka mengangkut peti mati untuk dibawa pulang ke kuil
mereka. Sian Li melihat pula bahwa ayah dan ibunya mengantar sampai di luar rumah dan belasan orang
hwesio itu meninggalkan pekarangan itu sambil memikul peti mati.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sian Li mengepal kedua tangannya, memandang dan mengikuti perjalanan para hwesio yang mengikuti
peti mati sambil membaca doa sepanjang jalan. Hatinya merasa kasihan dan juga penasaran kepada para
penjahat yang bukan saja telah membunuh seorang hwesio, akan tetapi juga melukai kakek dan neneknya.
“Penjahat-penjahat kejam, tunggu saja kalian. Kalau kelak aku sudah besar, aku akan membalaskan
kematian hwesio itu dan lukanya Kakek dan Nenekku!”
Sian Li tidak tahu betapa kakek yang tadi berdiri memandang ke arah kesibukan para hwesio mengangkut
peti mati, kini memandang kepadanya dengan sinar matanya yang penuh selidik dan mulut tersenyum.
Kakek ini berpakaian seperti seorang sastrawan, akan tetapi jelas bahwa dia miskin melihat betapa
pakaian itu sudah penuh jahitan dan ada beberapa tambalan, walau pun nampaknya bersih. Dia mirip
seorang sastrawan setengah jembel, dengan rambut yang bercampur dengan cambang, kumis dan jenggot
yang sudah berwarna kelabu.
Namun wajahnya masih nampak sehat kemerahan belum dimakan keriput, matanya pun masih terang dan
senyumnya cerah walau pun mulut itu tidak bergigi lagi. Rambut itu dibiarkan awut-awutan, sampai ke
pundak. Tubuhnya jangkung kurus, namun berdirinya tegak. Sebuah caping lebar tergantung di
punggungnya, tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut sedang tangan kirinya membawa
sebuah keranjang obat, terisi beberapa macam akar-akaran dan daun-daunan.
“Nona kecil yang baik, apakah kakek dan nenekmu luka-luka?” Tiba-tiba saja kakek itu mendekat dan
bertanya. Sian Li menoleh dan dia memandang kepada kakek itu penuh perhatian.
“Apakah engkau orang Bu-tong-pai?” tiba-tiba ia bertanya dan alisnya berkerut, matanya memandang
penuh selidik.
“Kalau betul, kenapa?” kakek itu balas bertanya sambil tersenyum.
“Kalau engkau orang Bu-tong-pai, akan kupanggilkan Ayah dan Ibu. Jangan lari, mereka tentu akan
menghajarmu!”
“Kalau aku bukan orang Bu-tong-pai?”
“Kalau bukan, jangan mencampuri urusan kami. Engkau tidak akan dapat menolong, Kek!”
“Ha-ha-ha, anak yang baik, mengapa engkau mengatakan bahwa aku tidak akan dapat menolong?”
Sian Li memandang pada orang itu dengan sinar mata penuh selidik. “Engkau seorang kakek tua, miskin,
dan nampak lemah. Andai kata engkau mempunyai ilmu kepandaian pun, bagaimana cara engkau mampu
menandingi orang-orang Bu-tong-pai yang lihai, sedangkan Ayah Ibuku saja tidak mampu melindungi
Kakek dan Nenekku?”
Kakek itu memandang dengan kagum. Anak kecil ini baru berusia empat tahun, akan tetapi sudah mampu
mengolah pikiran seperti orang dewasa saja. Hal ini menandakan bahwa kelak anak ini akan menjadi
seorang yang cerdik bukan main.
“Anak baik, engkau tadi bilang mengenai kakek dan nenekmu yang luka-luka. Kebetulan sekali aku
mempunyai sedikit ilmu pengobatan. Aku mendengar bahwa ini rumah dari Pendekar Kao Cin Liong, bekas
panglima besar yang sangat terkenal itu. Bagaimana kalau aku mencoba kepandaianku untuk
menyembuhkan kakek dan nenekmu?”
Mendengar ini, Sian Li menjadi girang sekali. Sejenak ia memandang ke arah keranjang obat di tangan kiri
kakek itu, kemudian ia memegang tongkat kakek itu dan menariknya. “Kalau begitu, mari cepat, Kek.
Tolonglah Kakek dan Nenekku!”
Dia pun menarik kakek itu berlarian memasuki pekarangan, langsung masuk ke dalam rumah. Empat
orang pegawai toko rempah-rempah itu memandang heran, akan tetapi mereka tidak berani menegur.
Kakek itu yang merasa rikuh sendiri dan dia berhenti di ruangan depan. “Anak baik, terlebih dulu beri
tahukan orang tuamu bahwa aku datang, tidak sopan kalau aku terus masuk begitu saja.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kakek, memang tidak sopan kalau engkau masuk sendiri. Akan tetapi ada aku yang membawamu masuk,
jadi engkau tidak bersalah. Marilah!” Anak itu menariknya masuk dan Sian Li lalu berteriak-teriak, “Ayah!
Ibu! Aku datang bersama Kakek yang hendak mengobati Kakek dan Nenek!”
Mendengar teriakan anak mereka. Tan Sin Hong dan isterinya, Hong Li segera berlari keluar. Mereka
melihat Sian Li sedang menggandeng tangan seorang kakek tua yang memegang tongkat dan keranjang
obat. Sebagai orang-orang yang berpengalaman, sekali pandang saja suami isteri ini bisa mengenal orang
luar biasa, akan tetapi mereka belum mengenal siapa dia maka keduanya memberi hormat dengan sopan
dan Tan Sin Hong berkata dengan suara lembut.
“Selamat datang, Locianpwe. Kalau benar seperti yang dikatakan puteri kami maka kami berdua
menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan Locianpwe yang hendak mengobati Ayah dan Ibu
kami.”
Kakek itu tertawa bergelak sehingga nampak rongga mulutnya yang sudah tidak punya gigi lagi.
“Siancai... sungguh bukan nama besar kosong belaka bahwa Pendekar Bangau Putih adalah seorang
pendekar perkasa yang sangat pandai membawa diri, rendah hati, dan sopan, ha-ha-ha!”
Sin Hong dan isterinya saling pandang, lalu keduanya menatap wajah kakek jangkung itu. “Maafkan kami
yang tidak ingat lagi siapa Locianpwe, sebaliknya Locianpwe telah mengenal kami.”
“Ha-ha-ha, tentu saja. Rumah ini adalah rumah Pendekar Kao Cin Liong, putera Si Naga Sakti Gurun Pasir,
bekas panglima yang sangat terkenal. Dan isterinya adalah seorang wanita sakti, she Suma masih cucu
Pendekar Sakti Pulau Es! Begitu melihat nona cilik pakaian merah ini, aku sudah menduga bahwa tentu ia
cucu Kao Cin Liong, dan karena kalian adalah ayah ibunya, siapa lagi kalian kalau bukan puteri dan
menantunya bekas panglima itu?”
“Wah, Kakek tidak adil!” tiba-tiba Sian Li berseru, “Kakek sudah mengenal Ayah Ibu dan Kakek, akan tetapi
belum memperkenalkan diri. Mana adil kalau perkenalan hanya sebelah pihak saja?”
“Sian Li, jangan kurang ajar!” bentak ibunya.
“Ho-ho, namamu Sian Li, anak merah. Bagus, engkau memang seperti seorang sian-li (dewi) cilik. Tantaihiap
dan Kao-lihiap, saya ini orang biasa saja, bahkan orang yang kedudukannya amat rendah,
setengah tukang obat, setengah pengemis, ha-ha-ha!”
Kembali suami isteri itu saling pandang. Biar pun suami isteri pendekar ini masih muda, namun mereka
sudah mempunyai banyak pengalaman di dunia kang-ouw dan sudah mendengar akan nama besar
banyak orang pandai walau pun belum pernah berjumpa dengan mereka. Setengah tukang obat dan
setengah pengemis?
“Kalau begitu, Locianpwe ini tentu Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat)!” seru Kao Hong Li.
Kakek itu mengelus jenggotnya sambil tersenyum. “Nyonya muda sungguh mempunyai pemandangan
luas!”
“Aihh, maafkan kami berdua yang tidak tahu bahwa yang mulia Yok-sian (Dewa Obat) datang berkunjung!”
kata Sin Hong dengan kagum karena dia pun pernah mendengar akan nama besar tokoh ini yang jarang
muncul di dunia kang-ouw.
“Ha-ha-ha, alangkah tidak enaknya mendengar nama sebutan Yok-sian (Dewa Obat). Aku lebih suka
disebut Lo-kai (Pengemis Tua) saja. Aku mendengar akan keributan yang terjadi di rumah Taihiap Kao Cin
Liong, maka sengaja hendak melihat apa yang terjadi. Kebetulan di luar tadi aku bertemu dengan anak ini!
Sian Li menarik hatiku dan ternyata ia adalah cucu Taihiap Kao Cin Liong yang sudah kukenal baik. Nah,
mari antar aku melihat dia dan isterinya yang kabarnya terluka.”
Bukan main girangnya hati Hong Li dan Sin Hong. Tanpa banyak cakap lagi mereka lalu mengantar tamu
itu memasuki kamar di mana Kao Cin Liong dan Suma Hui rebah. Sian Li mengikuti dari belakang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kakek itu menurunkan keranjang obat dan tongkatnya yang cepat disimpan oleh Sian Li ke sudut ruangan,
kemudian ia menghampiri Kao Cin Liong, memeriksa denyut nadinya sebentar, kemudian memeriksa
keadaan Suma Hui. Dia mengangguk-angguk.
“Kabarnya yang menyerang orang-orang Bu-tong-pai?” tanyanya kepada Sin Hong.
“Begitulah menurut pengakuan mendiang Thian Kwan Hwesio yang malam tadi dikejar oleh mereka sampai
ke sini. Agaknya hwesio itu hendak minta bantuan Ayah dan Ibu yang sudah menjadi sahabat baik,” kata
Sin Hong.
Yok-sian Lo-kai mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. “Pukulan pada punggung Kao-taihiap ini
adalah pukulan yang mengandung Hek-coa-tok (Racun Ular Hitam), agaknya tidak mungkin orang Bu-tongpai,
apa lagi yang sudah tinggi tingkatnya, mau menggunakan pukulan keji semacam itu. Juga jarum yang
memasuki leher Suma Lihiap itu merupakan senjata rahasia yang biasa dipergunakan orang-orang
golongan hitam. Sebaiknya kucoba mengeluarkan jarum-jarum itu lebih dahulu, karena kalau dibiarkan
terlalu lama maka akan berbahaya. Tan Taihiap, engkau mempunyai kekuatan sinkang yang besar, marilah
kau bantu aku. Kau tempelkan telapak tanganmu ke luka di tengkuk dan menggunakan sinkang untuk
menyedot, sedang aku akan menggunakan totokan dan urutan untuk mendorong keluar jarum-jarum itu.
Jangan terlampau kuat agar tidak merusak jalan darah. Bila telapak tanganmu sudah merasakan gagang
jarum tersembul, langsung hentikan.” Lalu dia menoleh kepada Hong Li dan berkata, “Lihiap, harap kau
rebus sebutir telur, kalau sudah matang, bawa ke sini putihnya saja.”
Hong Li meninggalkan kamar itu untuk pergi ke dapur, sedangkan Sin Hong lalu duduk bersila di atas
pembaringan, lalu menempelkan tangan kanan ke tengkuk yang terluka jarum, mengerahkan sinkang
menyedot. Kakek itu sendiri duduk di tepian pembaringan, jari tangannya menotok di sekitar pundak dan
tengkuk, lalu mengurut tengkuk itu sambil mengerahkan sinkang pula. Sian Li duduk di atas kursi, dia diam
saja dan memandang penuh perhatian.
Tak lama kemudian, Sin Hong merasakan ada dua batang jarum tersembul menyentuh telapak tangannya.
Dia cepat memberi tanda dan Yok-sian Lo-kai menghentikan urutan jari tangannya. Setelah Sin Hong
melepaskan tangannya, nampak gagang dua batang jarum tersembul dan kakek itu lalu mencabutnya.
Bekas luka itu nampak hijau kehitaman dan pada saat itu, Kao Hong Li sudah datang membawa putih telur
yang sudah dimasak. Yok-sian Lo-kai lalu mencampuri putih telur itu dengan obat bubuk, memupukkan
campuran ini di atas dua lubang kecil bekas jarum, lalu membalutnya.
“Dalam waktu satu jam, obat itu boleh diambil dan semua racun sudah akan dihisap keluar,” katanya dan
kini dia mulai mengobati Kao Cin Liong yang masih pingsan. Luka senjata tajam pada punggung Suma Hui
tidak berbahaya dan sudah diobati oleh Sin Hong dengan obat luka.
Akan tetapi, pukulan tangan yang mengandung racun Hek-coa-tok memang berbahaya sekali. Yok-sian Lokai
yang memiliki ilmu pengobatan dengan totokan dan tusuk jarum, lalu mulai bekerja. Dia menotok
banyak jalan darah di seluruh tubuh Kao Cin Liong, terutama di seputar tempat luka di punggung.
Kemudian dia menggunakan tiga batang jarum emas untuk menusuk bagian-bagian tertentu, lalu
menggetarkan jarum-jarum itu dengan tenaga sinkang melalui jari-jari tangannya.
Kurang lebih dua jam kakek ini melakukan pengobatan hingga akhirnya, Kao Cin Liong muntah-muntah
dan keluarlah darah menghitam dari mulutnya. Melihat ini tentu saja Sin Hong dan Hong Li terkejut dan
memandang dengan hati khawatir. Akan tetapi Yok-sian tersenyum nampak lega, dan saat itu terdengar
suara rintihan lirih dari pembaringan di mana Suma Hui berbaring.
Mendengar suara ibunya, Hong Li cepat menghampiri dan ternyata ibunya baru saja siuman. Melihat
ibunya bergerak hendak duduk, Hong Li kemudian membantu ibunya bangkit duduk.
“Ibu, bagaimana rasanya badanmu?” Hong Li bertanya, hatinya gembira karena wajah ibunya nampak
kemerahan.
Suma Hui agaknya baru teringat akan semua keadaan. “Mana ayahmu?”
Ketika ia menengok ke arah kiri, dan mendengar suaminya muntah-muntah, ia hendak meloncat turun dan
tentu akan terjatuh kalau saja tidak ditahan oleh puterinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Perlahan, Ibu. Ayah juga terluka dan baru saja ditolong oleh Locianpwe itu.”
Suma Hui kembali duduk dan kini ia memandang ke arah kakek yang mengurut tengkuk dan punggung
suaminya yang masih muntah-muntah, akan tetapi tidak sehebat tadi.
“Dia... dia... Yok-sian Lo-kai?” Suma Hui mengenalnya.
Pengemis tua ahli pengobatan itu sudah selesai menolong Kao Cin Liong dan dia pun kini menghadapi
Suma Hui sambil tersenyum.
“Suma Lihiap, engkau masih mengenal aku? Bagus! Sudah ditakdirkan Tuhan bahwa kebetulan saja aku
sedang hendak berkunjung ke sini ketika aku melihat engkau dan suamimu terluka.”
“Ahhh, terima kasih Lo-kai. Bagaimana suamiku?”
“Aku juga sudah sembuh. Sungguh besar budi Lo-kai kepada kita!” kata Kao Cin Liong yang kini juga
sudah bangkit duduk.
Yok-sian Lo-kai tertawa gembira. “Ha-ha-ha, kalian ini suami isteri pendekar sungguh lucu. Apa itu budi
dan dendam? Menjadi biang penyakit saja. Kao Taihiap, sejak engkau menjadi panglima dahulu, entah
sudah berapa puluh atau ratus ribu keluarga yang selamat karena sepak terjangmu. Apa artinya
pengobatan yang kuberikan sekarang ini? Pula, kalau bukan Tuhan menghendaki kalian suami isteri
budiman supaya masih hidup, bagaimana mungkin aku dapat kebetulan berada di sini?”
Kao Cin Liong menghela napas panjang dan dia memandang kepada puterinya dan menantunya.
“Ketahuilah, dahulu, ketika aku memimpin pasukan ke barat, pernah aku menderita luka beracun yang
nyaris membunuhku. Untung saat itu aku bertemu dengan Yok-sian Lo-kai ini dan dialah pula yang
menyembuhkan aku.”
“Ha-ha-ha, urusan sekecil itu masih teringat oleh Kao Tahiap, sedangkan cara Taihiap ketika
menyelamatkan puluhan ribu orang di dusun-dusun yang dilanda gerombolan pemberontak sama sekali
dilupakannyal”
“Kongkong...! Bo-bo...!” Sian Li datang menghampiri kakek dan neneknya. Mereka lalu bergantian
merangkul cucu mereka itu. “Kelak aku yang akan membasmi para penjahat yang telah melukai Kongkong
dan Bo-bo!” kata Sian Li penuh semangat.
“Siancai...! Kalian mempunyai seorang cucu yang sehat!” Yok-sian Lo-kai memuji. “Sian Li, anak yang baik,
kalau saja engkau mempelajari ilmu pengobatan seperti itu, tentu engkau akan mudah saja tadi
menyembuhkan kakek dan nenekmu. Apakah engkau tak ingin belajar ilmu pengobatan?”
“Aku suka sekali! Kakek yang baik, kau ajarkanlah aku ilmu mengobati seperti itu!”
“Siancai...! Tentu saja aku suka sekali dan engkau memang berbakat. Akan tetapi, tentu saja keputusannya
tergantung kepada ayah ibumu, Sian Li.”
Kao Cin Liong mengangguk-angguk dan berkata kepada puterinya, “Hong Li, kalau saja anakmu bisa
dididik oleh Yok-sian Lo-kai, bukan hanya ilmu pengobatan yang akan diwarisinya, akan tetapi juga ilmu
totok Im-yang Sin-ci yang tidak ada duanya di seluruh dunia ini!”
Hong Li memandang kepada suaminya. Ia dan suaminya adalah sepasang pendekar yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Bagaimana mungkin mereka menyerahkan anak tunggal mereka kepada orang lain
untuk di jadikan murid? Agaknya Sin Hong dapat mengerti akan isi hatinya, maka Sin Hong cepat memberi
hormat kepada kakek itu.
“Locianpwe, kami sebagai orang tua Sian Li menghaturkan banyak terima kasih atas kemurahan hati
Locianpwe yang hendak mendidik anak kami. Akan, tetapi karena dia masih amat kecil, biarlah kami akan
mendidik dan memberi pelajaran dasar kepadanya lebih dulu. Kelak kalau sudah tiba waktunya, tentu kami
akan membawanya menghadap Locianpwe untuk menerima pendidikan dari Locianpwe.”
Kakek itu tersenyum. “Ahhh, bagus sekali kalau begitu, Taihiap. Memang seorang tua bangka yang hidup
sebatang kara seperti aku ini, bagaimana mungkin dapat mendidik seorang anak kecil? Biarlah, kelak kalau
dunia-kangouw.blogspot.com
usiaku masih panjang, setelah Sian Li menjadi seorang gadis dewasa, aku akan mewariskan kepandaianku
kepadanya.”
Keluarga yang kini merasa gembira karena kesembuhan Kao Cin Liong dan Suma Hui, menjamu tamu
kehormatan itu dengan makan minum dan mereka mempergunakan kesempatan ini untuk bercakap-cakap.
“Engkau adalah orang yang banyak melakukan perantauan, Lo-kai, tentu engkau dapat menjelaskan apa
artinya semua peristiwa yang menimpa kami ini,” kata Kao Cin Liong yang sudah mengenal baik dewa obat
itu.
Yok-sian Lo-kai menghela napas panjang. “Seperti cerita kalian tadi, ketua kuil yang murid Siauw-lim-pai itu
diserang dan dikejar-kejar beberapa orang tosu Bu-tong-pai dan dia lari ke sini sampai akhirnya tewas pula
di sini. Bahkan kalian yang hendak melerai dan melindungi hwesio itu juga hampir menjadi korban.
Memang aneh sekali. Kalian menderita pukulan beracun, padahal setahuku, Bu-tong-pai pantang
mempergunakan ilmu pukulan yang keji, yang hanya pantas dimiliki para tokoh sesat. Bagaimana pun juga,
permusuhan antara Bu-tong-pai dan Siauw-lim-pai memang semakin meruncing, seperti juga permusuhan
di antara keempat perkumpulan besar, yaitu Bu-tong-pai, Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai. Aku
sendiri merasa heran, bagaimana orang-orang yang mengaku pendekar, bahkan para pemimpinnya terdiri
dari pendeta-pendeta, kini bermusuhan, saling serang dan saling bunuh seperti binatang buas, penuh
dendam kebencian. Hayaaa, agaknya memang sudah jamannya begini. Jaman penjajahan yang
mendatangkan segala macam bentuk kekeruhan.”
“Akan tetapi, Lo-kai, apakah kita harus tinggal diam saja? Kalau didiamkan bukankah permusuhan itu akan
makin berlarut-larut dan hal ini amat melemahkan dunia persilatan terutama golongan putih atau kaum
pendekar?” kata Sin Hong sambil mengerutkan alisnya.
“Bukan itu saja, bahkan golongan lain yang tidak ikut bermusuhan, dapat terlibat seperti halnya kami
sekarang ini,” kata Hong Li. “Kalau menurutkan hati panas, salahkah kalau kita mendatangi Bu-tong-pai
kemudian menuntut balas atas apa yang mereka lakukan terhadap ayah dan ibuku yang sama sekali tidak
bersalah terhadap mereka?”
“Dalam urusan ini, hati boleh panas akan tetapi kepala harus tetap dingin,” kata pula Sin Hong. “Kita tidak
boleh tergesa-gesa mengambil kesimpulan bahwa Bu-tong-pai sudah mencelakai orang tua kita. Maka, aku
juga sudah mengirim surat teguran kepada Ketua Bu-tong-pai dan kita lihat saja bagaimana nanti jawaban
dari sana.”
“Siancai... Ji-wi (Kalian berdua) adalah sepasang suami isteri pendekar yang tentu tidak kekurangan
kebijaksanaan dan tidak akan bertindak sembarangan. Memang, di dalam jaman penjajahan ini banyak
terjadi bentrokan disebabkan salah paham. Ada sebagian pendekar yang mendukung pemerintah karena
menganggap pemerintah dapat bersikap baik terhadap rakyat jelata, ada sebaliknya yang membenci
penjajah karena mereka itu orang asing. Aihhh, urusan negara adalah urusan yang ruwet, bagaimana aku
dapat mencampurinya? Biarlah aku sekarang pergi dan kelak, kalau waktunya tiba, aku akan datang
menagih janji untuk mewariskan kepandaian yang ada padaku kepada Sian Li.“
Yok-sian Lo-kai pergi meninggalkan rumah keluarga Kao tanpa dapat ditahan lagi. Oleh karena Kao Cin
Liong dan Suma Hui masih lemah biar pun sudah sembuh, maka Sin Hong dan Hong Li yang mewakili
mereka melayat ke kuil untuk menghadiri upacara pembakaran atau perabuan jenazah Thian Kwan
Hwesio…..
********************
Suma Ceng Liong ialah seorang pendekar sakti yang hidup bersama isterinya di dusun Hong-cun, di luar
kota Cin-an Propinsi Shan-tung, di lembah Huang-ho yang subur dan indah. Pendekar ini adalah cucu
Pendekar Sakti yang paling lihai, putera dari mendiang Suma Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil.
Memang Suma Ceng Liong selain lihai juga amat gagah perkasa. Usianya sudah empat puluh enam tahun
namun dia masih nampak gagah, tinggi besar dengan dagu lonjong dan wajah yang selalu cerah gembira.
Pendekar ini bukan saja mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Istana Pulau Es, akan tetapi juga dia pernah
digembleng oleh Hek I Mo-ong, seorang datuk sesat yang amat lihai.
Juga di samping ilmu silat, dia pernah mempelajari ilmu sihir karena ibunya, Teng Siang In almarhum,
adalah seorang ahli sihir yang ampuh. Oleh karena itu, maka pada waktu itu bisa dianggap bahwa di antara
dunia-kangouw.blogspot.com
semua keturunan keluarga Istana Pulau Es, pendekar Suma Ceng Liong ini merupakan cucu yang paling
lihai di antara tiga orang cucu dalam mendiang Pendekar Super Sakti, yaitu Suma Ciang Bun, Suma Hui,
dan Suma Ceng Liong.
Pendekar Suma Ceng Liong menikah dengan seorang wanita yang sakti pula, bahkan dalam hal
kepandaian silat tingkatnya seimbang dengan tingkat kepandaian suaminya. Wanita ini bernama Kam Bi
Eng, puteri dari Pendekar Sakti Kam Hong, pewaris dari ilmu-ilmu hebat dari Pendekar Suling Emas!
Suami isteri ini semenjak menikah hidup bahagia, saling mencinta, saling menghormat dan saling setia.
Mereka hanya mempunyai satu orang keturunan, yaitu seorang anak perempuan yang bernama Suma
Lian. Puterinya itu juga seorang pendekar yang lihai dan kini sudah menikah dengan seorang pendekar
murid Suma Ciang Bun, bernama Gu Hong Beng yang kini tinggal di daerah Heng-san, sebelah selatan
Pao-teng.
Demikiandah sedikit riwayat pendekar sakti Suma Ceng Liong. Setelah puterinya yang menjadi anak
tunggal itu menikah enam tahun yang lalu, kini Suma Ceng Liong hidup berdua saja dengan isterinya dan
kadang merasa kesepian. Untuk melewatkan waktu menganggur, mereka membuka toko obat di dusun
Hong-cun itu.
Mereka tadinya bertahan tidak mau menerima murid. Mereka merasa sayang kalau ilmu kepandaian yang
mereka peroleh dari keluarga itu, yang merupakan ilmu silat turun temurun, baik dari Suma Ceng Liong
mau pun dari isterinya, Kam Bi Eng, akhirnya bisa dipelajari dan dikuasai orang lain yang bukan keluarga
mereka.
Akan tetapi, setahun yang lalu, terjadi kebakaran hebat di rumah keluarga Liem di dusun mereka yang
menewaskan seluruh isi rumah, kecuali seorang anak laki-laki mereka yang selamat karena kebetulan
berada di luar rumah. Suami isteri pendekar itu merasa kasihan sekali kepada Liem Sian Lun, anak laki-laki
itu.
Melihat betapa anak laki-laki berusia tujuh tahun itu sedemikian tabahnya menghadapi mala petaka yang
menimpa keluarganya sehingga dia menjadi yatim piatu dan sama sekali tidak mempunyai anggota
keluarga lagi, melihat anak itu hanya berlutut di depan makam ayah ibunya seperti patung, tidak menangis,
tergerak hati mereka.
Suami isteri ini kemudian mengajak Sian Lun pulang. Mula-mula mereka hanya ingin menolong saja,
menjadikan Sian Lun sebagai pembantu rumah tangga dan pembantu di toko rempah-rempah milik
mereka.
Akan tetapi, melihat betapa anak itu amat pendiam, penurut dan berwatak baik sekali, juga setelah mereka
mendapat kenyataan bahwa anak itu berbakat dan bertulang baik, keduanya sepakat untuk mengambil
Sian Lun sebagai murid, bahkan dianggap sebagai anak karena setelah Suma Lian pergi mengikuti
suaminya, mereka berdua sering kali merasa kesepian.
Biar pun tahu bahwa dia disayang, digembleng ilmu silat bahkan dianggap sebagai anak angkat, Sian Lun
tetap bersikap rendah hati dan rajin bekerja sehingga pasangan suami isteri pendekar itu menjadi semakin
sayang kepadanya.
Karena sikapnya yang rendah hati ini, walau pun para pegawai toko obat dan rempah-rempah itu tahu
belaka bahwa Sian Lun diperlakukan seperti anak angkat oleh majikan mereka, namun tak seorang pun
merasa iri. Sian Lun membantu pekerjaan di toko, di rumah, tidak malas dan tidak segan untuk melakukan
pekerjaan dan mengepel, bahkan membantu pekerjaan pelayan di dapur. Pendeknya, di mana ada
kesibukan, di situ tentu ada Sian Lun, maka dia pun disayang oleh seisi rumah.
Diam-diam pendekar Suma Ceng Liong dan isterinya merasa sayang sekali pada murid ini dan menaruh
harapan besar kepada diri anak itu bahwa kelak akan dapat mewarisi kepandaian mereka dan menjunjung
tinggi nama mereka sebagai seorang pendekar budiman. Sejak berusia tujuh tahun saja sudah nampak
bahwa Sian Lun selain berotak terang, mudah menghafal pelajaran baik sastra mau pun silat, juga
bertubuh tinggi dan tegap, pendiam serta tabah sekali, wajahnya pun cerah.
Ketika utusan dari Kao Cin Liong tiba, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng sedang duduk di ruangan depan.
Hari masih pagi dan toko obat mereka masih tutup, para pegawai sedang membersihkan toko dan bersiapdunia-
kangouw.blogspot.com
siap untuk membukanya. Sian Lun sejak pagi tadi sudah bangun, sudah menyapu pekarangan dan
sekarang sedang sibuk menyirami tanaman kembang kesukaan subo-nya (ibu gurunya).
Penunggang kuda yang memasukkan kudanya ke pekarangan itu, kemudian meloncat turun tergesa-gesa,
amat menarik perhatian. Melihat betapa pria berusia empat puluhan tahun itu nampak lelah, pakaiannya
penuh debu dan jelas bahwa dia baru melakukan perjalanan yang jauh, Suma Ceng Liong dan isterinya
memandang dengan hati tertarik. Bahkan Sian Lun yang sedang menyiram kembang cepat menurunkan
ember airnya dan lari menghampiri orang yang meloncat turun dari punggung kudanya.
“Paman mencari siapakah, dari mana Paman datang dan siapakah nama Paman? Aku akan melaporkan
kepada Suhu dan Subo,” kata Sian Lun dengan sikap hormat, akan tetapi sepasang matanya yang tajam
mengamati wajah pendatang itu penuh selidik.
Mendengar anak itu menyebut suhu dan subo, utusan ini pun bersikap ramah. “Anak yang baik, tolonglah
beri tahu kepada Locianpwe Suma Ceng Liong dan Nyonya bahwa saya datang sebagai utusan dari
keluarga Kao di Pao-teng dan membawa berita yang sangat penting.”
Dari suhu dan subo-nya, Sian Lun pernah mendengar akan nama para keluarga dan kenalan mereka yang
terdiri dari para pendekar. Mendengar bahwa orang ini utusan dari keluarga Kao di Pao-teng, maka dia
cepat berlari menuju ke ruangan depan di mana suhu dan subo-nya sedang duduk minum teh pagi.
“Suhu dan Subo, maafkan kalau teecu mengganggu. Akan tetapi penunggang kuda itu mengaku utusan
dari keluarga Kao di Pao-teng. Katanya membawa berita yang amat penting untuk Suhu dan Subo.”
Tentu saja suami isteri pendekar itu amat terkejut mendengar bahwa penunggang kuda itu utusan keluarga
Kao di Pao-teng. Kalau tidak ada urusan penting sekali, tentu Kao Cin Liong tidak akan mengirim utusan.
Isteri Kao Cin Liong, yaitu Suma Hui, adalah kakak sepupu Suma Ceng Liong, maka dia pun cepat bangkit
dan memandang ke arah penunggang kuda itu.
“Saudara utusan dari Pao-teng, harap lekas datang ke sini menyampaikan berita itu kepada kami!” Lalu
kepada murid mereka Suma Ceng Liong berkata, “Sian Lun, cepat kau rawat kuda itu, beri makan dan
minum di kandang kuda!”
Sian Lun mentaati perintah gurunya. Dia menerima kendali kuda yang nampak sangat kelelahan itu, cepat
membawanya ke kandang di bagian belakang. Sedangkan tamu itu dengan sikap hormat lalu menghampiri
tuan dan nyonya rumah yang menanti di serambi depan.
Setelah dipersilakan duduk dan memperkenalkan diri, tamu itu kemudian mengeluarkan sesampul surat
yang ditulis oleh Tan Sin Hong, mantu keponakan mereka dan begitu membaca isinya, suami isteri itu
mengerutkan alis dengan kaget. Surat itu memberi tahu bahwa kakak sepupu Suma Ceng Liong, yaitu
Suma Hui dan suaminya, Kao Cin Liong, terluka parah karena pukulan-pukulan beracun dari para tosu Butong-
pai dan bahwa mereka berdua diminta untuk segera datang berkunjung ke Pao-teng untuk memberi
pertolongan.
Suma Ceng Liong memandang utusan enci-nya itu dengan pandang mata penuh selidik dan minta
padanya untuk menceritakan sejelasnya apa yang telah terjadi. Pelayan toko itu tidak dapat bercerita
banyak.
Dia hanya menceritakan apa yang telah didengarnya saja, yaitu bahwa pada beberapa hari yang lalu, pada
waktu malam hari, rumah majikannya diserbu beberapa orang tosu Bu-tong-pai yang berkelahi dengan
ketua kuil, yaitu Thian Kwan Hwesio di atas rumah majikan mereka. Majikan mereka suami isteri berusaha
melerai akan tetapi mereka juga menjadi korban pemukulan para tosu Bu-tong-pai yang marah itu.
Akhirnya Tan Sin Hong dan Kao Hong Li yang ketika kejadian kebetulan berada di sana berhasil mengusir
para tosu Bu-tong-pai. Sekarang kedua orang majikan mereka dalam keadaan terluka parah, sedangkan
hwesio Siauw-lim-pai itu tewas.
“Kami akan berangkat sekarang juga!” kata Ceng Liong.
Kepada utusan itu dia sarankan untuk beristirahat lebih dahulu sebelum pulang, dan dia menyuruh seorang
pembantunya untuk menyambut tamu itu. Dia memanggil Sian Lun dan memesan kepada anak itu agar
baik-baik menjaga rumah karena dia dan isterinya akan pergi ke Pao-teng.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sian Lun mematuhi perintah suhu-nya tanpa berani banyak bertanya. Namun sesudah suhu dan subo-nya
pergi, Sian Lun mendapat banyak kesempatan untuk berbicara dan bertanya-tanya kepada utusan dari
Pao-teng itu.
Karena anak itu merupakan murid tuan rumah, utusan itu tidak menganggapnya orang luar dan dia pun
menceritakan semua hal yang terjadi. Diam-diam Sian Lun mencatat dalam ingatannya dan merasa heran
sekali.
Menurut keterangan suhu dan subo-nya, dalam dunia persilatan terdapat dua golongan, yaitu golongan
putih atau para pendekar, dan golongan hitam atau para penjahat. Dan Bu-tong-pai termasuk golongan
putih. Mengapa sekarang orang Bu-tong-pai membunuh seorang hwesio Siauw-lim-pai, bahkan juga
melukai suami isteri yang terkenal menjadi pendekar itu?
Dia mendengar dari suhu-nya, siapa adanya pendekar besar Kao Cin Liong dan siapa pula isterinya yang
bernama Suma Hui. Pendekar Kao Cin Liong merupakan keturunan keluarga Istana Gurun Pasir, dan
Suma Hui adalah kakak sepupu suhu-nya, keturunan keluarga Istana Pulau Es!
Kedatangan Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, disambut dengan gembira oleh Kao Cin Liong
dan Suma Hui, juga oleh Tan Sin Hong dan Kao Hong Li yang masih berada di situ. Sebaliknya, Suma
Ceng Liong dan isterinya juga girang melihat bahwa kakaknya telah sembuh, demikian pula kakak iparnya.
"Kami masih dilindungi Thian dan bertemu dengan Yok-sian Lo-kai sehingga kami dapat disembuhkan
dengan cepat," berkata Suma Hui kepada adiknya, Suma Ceng Liong, setelah dua orang tamu itu
dipersilakan duduk di ruangan dalam.
"Yok-sian Lo-kai? Ah, sudah pernah kudengar nama besarnya, Enci Hui, akan tetapi aku belum pernah
bertemu dengan dia. Sungguh kebetulan sekali dia dapat mengobati Enci dan juga Cihu. Akan tetapi,
bagaimana mungkin kalian sampai terluka oleh penjahat, padahal di sini terdapat pula puteri kalian dan
mantu kalian yang amat lihai ini?"
Suma Ceng Liong memandang kepada Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, seolah hendak menegur kenapa
mereka itu tidak mampu melindungi orang tua mereka.
Kao Cin Liong menghela napas panjang. "Semuanya terjadi di luar persangkaan. Begitu mendadak. Lima
orang tosu itu memang amat lihai, dan biar pun demikian, mereka pasti tidak akan mungkin dapat melukai
kami kalau saja di samping kelihaian mereka, mereka itu tidak amat licik dan curang. Mereka
menggunakan kecurangan sehingga kami lengah dan terluka."
"Hemm, kalau lain kali aku bertemu dengan mereka, akan kuhancurkan kepala mereka itu satu demi satu!"
kata Suma Hui yang wataknya keras.
"Tidak, Bo-bo. Bo-bo sudah tua, biarlah aku yang akan mencari mereka dan membasmi mereka yang jahat
itu!"
Tiba-tiba terdengar suara anak kecil dan Sian Li memasuki ruangan itu. Semua orang menengok dan
Suma Ceng Liong dan isterinya memandang kagum. Anak berpakaian merah itu biar baru berusia empat
tahun nampak begitu lincah dan gagah.
"Siapakah anak manis ini?" tanya Kam Bi Eng.
Kao Hong Li segera berkata, "Sian Li, hayo cepat memberi hormat kepada kakek dan nenekmu ini. Kakek
Suma Ceng Liong ini adalah adik dari nenekmu dan nenek Kam Bi Eng ini isterinya." Hong Li
memperkenalkan paman dan bibinya.
Sepasang mata yang lebar dan bening itu mengamati Suma Ceng Liong serta Kam Bi Eng dengan amat
heran. "Ibu, mereka itu masih muda dan gagah, bagaimana aku harus menyebut mereka Kakek dan
Nenek? Mereka belum pantas disebut Kakek dan Nenek, pantasnya Paman dan Bibi."
Semua orang tertawa mendengar ucapan yang jujur dan lucu itu. Kam Bi Eng kemudian meraihnya dan
merangkul Sian Li, menciumi pipinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sian Li memandang wajah Bi Eng dan berkata, "Bibi ini cantik dan gagah sekali, seperti Ibu!"
Kam Bi Eng tertawa. "Ih, engkau ini perayu. Aku ini nenekmu, usiaku sudah tua, sudah dua kali ibumu.
Ibumu adalah keponakanku." Ia membelai tubuh anak itu dan berseru kagum, "Aihhh, anakmu ini memiliki
tulang dan bakat yang sangat baik, Sin Hong" Lalu kepada suaminya ia pun berkata, "Cobalah kau periksa
sendiri!" Dan dengan lembut ia mendorong anak itu kepada Suma Ceng Liong yang juga merangkulnya.
Suma Ceng Liong mengangguk-angguk. "Kalian memang beruntung. Anak ini memiliki bakat yang amat
baik. Hemmm, kami akan merasa berbahagia sekali kalau kelak dapat memberi sedikit bimbingan
kepadanya."
"Aihhh, mengapa tidak?" kata Suma Hui. "Kalau adikku Ceng Liong yang memberikan bimbingan, aku
yakin kelak Sian Li akan menjadi seorang gadis pendekar yang hebat dan pantas sekali dijuluki Si Bangau
Merah Sakti! Sian Li, cepat kau memberi hormat dan terima kasih kepada kakek dan nenekmu itu!"
Sian Li memang seorang anak yang amat cerdik. Ia sudah pernah mendengar bahwa ilmu kepandaian
paman kakeknya ini amat hebat, maka mendengar seruan neneknya, ia pun cepat menjauhkan diri berlutut
di depan Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng yang duduk bersanding. "Kakek dan Nenek, aku
menghaturkan terima kasih kepada Kakek dan Nenek!"
Kao Hong Li dan Tan Sin Hong saling pandang, lalu Sin Hong tertawa.
"Ha-ha-ha, anak kami ini masih kecil, baru berusia empat tahun, tetapi sudah banyak yang menjanjikan
akan mengambilnya sebagai murid. Ketika Yok-sian Lo-kai mengobati Ayah dan Ibu, dia pun telah minta
agar kelak Sian Li boleh mewarisi ilmu-ilmunya, dan sekarang ini Paman dan Bibi juga menjanjikan
demikian."
Kao Hong Li cepat memberi hormat kepada Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. "Paman dan Bibi sungguh
berbudi, dan atas nama anakku, aku menghaturkan banyak terima kasih."
Sin Hong juga bangkit memberi hormat dan suasana menjadi gembira sekali. Hal ini tentu saja tak akan
mungkin terjadi kalau Kao Cin Liong dan Suma Hui masih terancam bahaya seperti tempo hari. Mereka lalu
membicarakan tentang permusuhan yang timbul antara para partai persilatan besar.
"Sungguh menyebalkan sekali kalau diingat," kata Suma Ceng Liong. "Bagaimana sih jalan pikiran para
pimpinan partai persilatan besar itu? Bangsa kita dijajah orang Mancu, dan betapa pun besar usaha
pemerintah Mancu untuk memakmurkan rakyat jelata tetap saja bangsa kita dijajah, menjadi budak dan
para pembesar semua adalah orang-orang Mancu, atau kalau ada orang Han juga mereka adalah anjinganjing
penjilat yang tidak segan menindas bangsa sendiri demi kesetiaan mereka pada pemerintah Mancu.
Akan tetapi, kini partai-partai besar bahkan ribut saling bermusuhan sendiri sehingga tentu saja rakyat
jelata menjadi semakin menderita, golongan sesat pun merajalela tanpa ada yang menentangnya. Aihh,
sungguh menyedihkan sekali!"
"Adik Liong, kenapa engkau bisa bilang begitu? Lupakah engkau bahwa darah kita ini pun merupakan
darah campuran. Kakek kita Suma Han memang seorang Han tulen, akan tetapi bagaimana dengan Nenek
kita? Puteri Nirahai, Nenekmu, dan puteri Lulu, Nenekku, bukanlah orang Han." Suma Hui
memperingatkan.
Suma Ceng Liong mengerutkan alisnya. "Tidak kusangkal akan kebenaran hal itu, Enci. Memang
kenyataannya demikian. Akan tetapi, Kakek kita, Ayah kita, semenjak dahulu adalah orang-orang gagah
yang menjadi pembela rakyat jelata walau pun tidak pernah mencampuri urusan kenegaraan. Bahkan
suamimu, Cihu (Kakak Ipar) Kao Cin Liong juga mengundurkan diri dari jabatan panglima karena sungkan
untuk mengabdi kepada orang-orang Mancu. Kita tidak perlu menentang pemerintah Mancu, akan tetapi
kita harus tetap menjadi pendekar yang membela kepentingan rakyat jelata yang tertindas, menentang
semua penindas tidak peduli dari bangsa apa pun! Kalau kini perkumpulan para pendekar seperti Siauwlim-
pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, dan Go-bi-pai saling serang sendiri, bukankah itu amat menyedihkan?"
"Sudahlah, hal itu tidak cukup hanya disesalkan saja. Melihat cara para tosu Bu-tong-pai itu melakukan
kecurangan ketika menyerang kami, aku yakin bahwa ada suatu rahasia yang tersembunyi di balik ini
semua. Aku bahkan mempunyai dugaan bahwa mereka itu bukan orang-orang Bu-tong-pai yang asli!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tetapi, bukankah sudah lama kita mendengar bahwa memang terdapat permusuhan antara Siauw-lim-pai
dan Bu-tong-pai?" Suma Hui mencela. "Sebelum tewas pun Thian Kwan Hwesio sendiri mengaku bahwa
mereka adalah orang-orang Bu-tong-pai. Bagai mana dia bisa keliru sangka?"
"Keadaan itu memang aneh dan mencurigakan," kata Sin Hong. "Harap Ibu dan Ayah mertua suka
menenangkan hati. Sudah menjadi kewajiban saya untuk kelak melakukan penyelidikan. Siapa tahu ada
orang luar yang menyelundup ke dalam Bu-tong-pai. Saya mengenal baik para pimpinan Bu-tong-pai dan
sudah saya surati ke sana untuk minta pertanggungan jawab mereka."
Dua utusan yang lain beberapa hari kemudian pulang. Yang diutus mengundang Suma Ciang Bun tidak
berhasil karena pendekar itu tidak berada di rumah dan tidak seorang pun tahu ke mana perginya. Seperti
kita ketahui, Suma Ciang Bun bertemu dengan Gangga Dewi dan keduanya melakukan pengejaran dan
pencarian untuk menolong Yo Han yang dilarikan Ang-I Moli dan kawan-kawannya.
Akan tetapi utusan dari Bu-tong-pai datang membawa surat dari Ketua Bu-tong-pai. Seperti telah diduga
oleh Sin Hong, di dalam suratnya itu Ketua Butong-pai menyangkal telah menyerang keluarga Kao di Paoteng!
Memang terdapat sedikit pertentangan dan kesalah pahaman antara Bu-tong-pai dan Siauw-lim-pai,
demikian antara lain surat itu mengatakan, akan tetapi itu hanya terbatas di kalangan murid-murid yang
tinggal di luar pusat saja. Para pimpinan kedua pihak sedang melakukan penyelidikan dan belum terdapat
pertentangan resmi atau berterang. Maka, Ketua Bu-tong-pai menyangsikan bahwa yang membunuh Thian
Kwan Hwesio, kepala kuil Pao-teng, bahkan juga melukai pendekar besar Kao Cin Liong dan isterinya,
adalah para murid Bu-tong-pai.
Keluarga pendekar itu kini mengadakan perundingan. "Keadaannya sungguh gawat dan perlu
penyelidikan," kata Suma Ceng Liong. "Kalau dibiarkan berlarut-larut, tentu akan timbul pertentangan hebat
dan akan rusak binasalah para pendekar dari partai-partai besar karena permusuhan yang tidak menentu
ujung pangkalnya ini."
"Pendapat Paman itu memang tepat sekali. Saya sendiri sudah mendengar pula bahwa bukan hanya Butong-
pai dan Siauw-lim-pai saja yang dilanda pertentangan, bahkan juga Go-bi-pai dan Kun-lun-pai.
Agaknya di antara empat partai besar ini timbul suatu kesalah pahaman besar yang membuat mereka
saling curiga, dan di antara murid-murid mereka terdapat permusuhan. Saya kira, sudah sepantasnya bila
kita semua berusaha mendamaikan."
"Tepat sekali!" Kao Cin Liong juga berseru. "Memang kita harus berusaha menjernihkan segala kekeruhan
ini agar tidak berlarut-larut!"
Isterinya, Suma Hui cemberut. "Terlalu enak kalau para pengecut itu didiamkan saja. Bu-tong-pai harus
bertanggung jawab dan mencari para pengecut itu sampai dapat, baru aku mau menghabiskan urusan ini
dengan Bu-tong-pai!"
Suaminya menghiburnya. "Kita harus bersabar dan tidak makin mengeruhkan suasana. Sudah jelas bahwa
Bu-tong-pai dipalsukan orang, tentu saja kita tak bisa menyalahkan Bu-tong-pai. Aku yakin bahwa Bu-tongpai
sendiri akan bertanggung jawab dan akan mencari pengacau itu sampai dapat. Lebih baik kalau kita,
keluarga kita, mengundang mereka semua ke sini."
"Bukankah beberapa bulan lagi merupakan hari ulang tahun Ayah yang ke enam puluh empat? Bagaimana
kalau kita mengundang mereka untuk menghadiri ulang tahun itu? Dengan demikian tak akan menyolok
dan mereka tentu akan datang semua, mengingat akan hubungan baik antara Ayah dan para pendekar,"
kata Kao Hong Li.
Semua orang setuju dan segera mengatur undangan kepada para tokoh persilatan, terutama empat partai
besar itu untuk menghadapi pesta perayaan ulang tahun Kao Cin Liong yang akan jatuh pada tiga bulan
lagi.
Setelah bermalam di situ selama satu minggu, Suma Ceng Liong dan isterinya pulang ke dusun Hong-cun
di kota Cin-an, sedang Tan Sin Hong, isteri dan anaknya kembali ke Ta-tung setelah mereka berjanji
kepada Suma Ceng Liong bahwa kelak puteri mereka Sian Li, akan diantar ke Hong-cun untuk belajar silat
dari pendekar sakti itu…..
dunia-kangouw.blogspot.com
********************
Yo Han menari-nari dengan gerakan yang indah namun aneh. Yang mengiringi gerakan tarinya adalah
suaranya suling yang melengking-lengking secara aneh pula. Yo Han tidak tahu bahwa jika terdengar
orang lain, suara suling ini akan dapat membuat orang yang mendengarnya menjadi tuli atau setidaknya
akan roboh pingsan, karena suara itu melengking tinggi parau dan begitu lembut sehingga dapat menusuk
dan menembus kendangan telinga, menggetarkan jantung dan dapat menguasai semangat orang!
Memang Thian-te Tok-ong bukanlah seorang manusia biasa. Tingkat kepandaiannya sudah amat tinggi,
bahkan bukan hanya ilmu silat, melainkan juga tenaga sinkang-nya yang sangat kuat itu sukar dicari
bandingannya. Suara sulingnya itu saja cukup untuk membuat pendengaran orang menjadi tuli atau mati
karena jantungnya terguncang.
Namun Yo Han memiliki suatu kelainan yang timbul secara mukjijat. Kepasrahannya yang mutlak kepada
Tuhan membuat dia seolah menjadi kekasih Tuhan yang selalu melindunginya dengan kekuasaan Tuhan
yang gaib. Atau lebih tepat lagi, tenaga sakti yang memang sudah terkandung dalam diri setiap orang
manusia sejak lahir, dan yang biasanya terpendam dan tak berdaya karena pengaruh nafsu-nafsu daya
rendah yang menguasainya, pada diri Yo Han timbul dan justru berkembang sehingga seluruh bagian
tubuhnya hidup dan bekerja sesuai dengan tugasnya ketika diciptakan.
Thian-te Tok-ong berusia kurang lebih delapan puluh tahun. Wataknya sudah berubah kekanak-kanakan,
kadang bahkan pikun, akan tetapi dia senang sekali bergurau, dan wataknya juga nakal suka menggoda
orang, seperti kanak-kanak. Tubuhnya pendek kecil seperti tubuh yang sudah mulai mengkerut dan
mengecil saking tuanya, namun gerakannya masih lincah. Matanya kocak, jelas membayangkan
kenakalan, dan mulut yang tidak ada giginya sebuah pun itu selalu menyeringai seperti seringai anak kecil.
Namun, dia ditakuti seluruh orang Thian-li-pang dan agaknya dia tahu benar akan hal ini.
Di pusat Thian-li-pang itu, Thian-te Tok-ong tinggal di bagian paling belakang, bukan merupakan bangunan
lagi, melainkan merupakan sebuah goa besar di bukit. Goa itu luas sekali dan dilapisi dinding buatan
menjadi tempat yang amat kokoh, berikut lubang-lubang angin dan lubang-lubang untuk memasukkan sinar
matahari dari atas.
Setiap hari yang keluar masuk goa itu hanyalah burung-burung walet kalau siang, dan kelelawar-kelelawar
bila malam. Keadaannya menyeramkan sehingga tak seorang pun berani memasuki goa itu tanpa
panggilan Thian-te Tok-ong yang jarang pula keluar dari dalam goa. Makanan dan minuman untuknya
dikirim setiap hari oleh seorang murid Thian-li-pang, akan tetapi itu pun hanya diletakkan di atas batu dan
di ujung depan goa.
Yo Han adalah seorang anak yang jujur dan tidak pernah berprasangka buruk terhadap siapa pun juga,
walau pun hal ini bukan menunjukkan bahwa dia bodoh. Sama sekali tidak. Dia peka rasa dan cerdik
sekali, akan tetapi karena ada perasaan kasih terhadap semua orang, maka dia tidak pernah
berprasangka. Oleh karena itu, ketika Thian-te Tok-ong mengajarkan ilmu ‘tarian’ dan ‘senam’ kepadanya,
dia pun lalu mempelajarinya dengan tekun, sama sekali tidak mempunyai prasangka bahwa semua
gerakan tari dan senam itu sesungguhnya merupakan dasar-dasar ilmu silat yang amat hebat!
Di lain pihak, Thian-te Tok-ong adalah seorang kakek tua renta yang di waktu mudanya merupakan
seorang datuk sesat yang sangat ditakuti orang. Dia bukan saja ahli silat, akan tetapi juga ahli sihir dan ahli
tentang racun sehingga mendapat julukan Tok-ong (Raja Racun).
Setelah merasa bosan merajalela seorang diri saja di dunia kang-ouw, terutama sekali setelah dua kali dia
menelan pil pahit karena dikalahkan dua orang pendekar sakti, dia lalu mengundurkan diri. Dan untuk
melindungi dirinya, dia bersembunyi di balik sebuah perkumpulan yang didirikannya, yaitu Thian-li-pang.
Perkumpulan itu maju pesat berkat kepandaiannya, akan tetapi setelah usianya semakin tua, ia
menyerahkan kepengurusan Thian-li-pang kepada sute-nya, yaitu Ban-tok Mo-ko yang dalam ilmu silat
juga sangat lihai, namun tentu saja masih jauh di bawah tingkat suheng-nya, Thian-te Tok-ong yang
mengundurkan diri dan bertapa di dalam goa itu.
Setelah setahun Yo Han berada di dalam goa itu menjadi murid Thian-te Tok-ong, sedikit demi sedikit
gurunya mulai mengungkapkan tabir rahasianya. Kakek itu semakin percaya kepada Yo Han dan mulailah
dia menceritakan tentang keadaan Thian-li-pang, bahkan mulai membuka rahasia diri pribadinya. Yo Han
juga merasa sayang kepada gurunya ini karena dia menganggap kakek itu sebagai seorang tua renta yang
dunia-kangouw.blogspot.com
hidupnya tidak berbahagia, yang kesepian dan agaknya kenangan-kenangan pahit menekan sisa
hidupnya.
Dari Thian-te Tok-ong, Yo Han mendengar bahwa Thian-li-pang didirikan oleh Thian-te Tok-ong dengan
cita-cita yang tinggi. Bukan saja untuk mendirikan sebuah perkumpulan silat yang ampuh dan memiliki
banyak murid pandai yang akan menjunjung tinggi nama Thian-li-pang, tapi salah satu ciri khas Thian-lipang
adalah bahwa perkumpulan ini anti pemerintah Mancu, anti penjajahan!
Hal ini sebenarnya bukan karena Thian-te Tok-ong berjiwa patriot, sama sekali bukan, melainkan karena
dia pernah merasa sakit hati terhadap pemerintah Mancu. Pernah dulu perkumpulannya cerai berai dan
hampir terbasmi ketika pasukan Mancu di bawah pimpinan Panglima Kao Cin Liong mengadakan
pembersihan! Sejak itu dia bersumpah untuk memimpin perkumpulannya, menjadi perkumpulan anti
pemerintah Mancu.
Tentu saja kepada Yo Han, kakek ini hanya mengemukakan bahwa Thian-li-pang ialah perkumpulan patriot
yang gagah, yang cinta tanah air dan bangsa, dan yang bercita-cita membebaskan tanah air dan bangsa
dari cengkeraman penjajah. Ia berharap anak yang luar biasa ini akan dapat mewarisi ilmu-ilmunya, dan
bahkan kelak menjadi pemimpin Thian-li-pang untuk menghancurkan pemerintah Mancu.
Setelah dua tahun Yo Han menjadi murid Thian-te Tok-ong dan usianya sudah empat belas tahun, pada
suatu pagi sehabis berlatih ‘menari’, dia dipanggil menghadap pada gurunya. Sambil berlutut Yo Han
duduk di depan gurunya yang bersila di atas batu datar.
Kakek itu memandang kepada muridnya, mengangguk-angguk gembira sekali sambil mengelus jenggotnya
yang putih panjang. Muridnya itu kini bukan kanak-kanak lagi. Usianya sudah menjelang dewasa dan
tubuhnya yang sedang itu tegap dan agak tinggi. Mukanya yang lonjong itu nampak gagah tampan dengan
dagu meruncing dan berlekuk. Rambutnya yang hitam panjang dibiarkannya tergantung di belakang
punggung. Alisnya tebal berbentuk golok, dahinya lebar, hidung mancung dan mulut itu membayangkan
senyum yang ramah dan lembut.
"Yo Han, tahukah engkau sudah berapa lama engkau menjadi muridku dan berdiam di sini?"
"Teecu tidak dapat menghitung hari, Suhu. Akan tetapi tentu sudah ada dua tahun."
"Benar, dua tahun telah berlalu dengan cepatnya dan kukira engkau telah memperoleh kemajuan pesat
dalam ilmu tari, senam dan juga bertiup suling. Nah, sekarang aku ingin mengujimu, Yo Han. Engkau
mulailah dengan gerakan senam seperti yang selama ini kau latih. Berdiri dan bersiaplah menanti apa yang
kuperintahkan!"
Yo Han memang amat menyayangi dan menghormati gurunya yang sejak dia berada di situ bersikap amat
baik kepadanya. Mendengar perintah ini, dia pun segera melepas baju atasnya, bertelanjang dada dan
berdiri tegak dengan kedua lengan tergantung di kanan kiri, siap untuk melakukan senam seperti yang
diajarkan oleh gurunya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa gerakan senam itu oleh Thian-te Tok-ong diambil
sebagian dari gerakan silat Thai-kek-koan dan Im-yang-kun.
Mulailah dia bergerak setelah mendengar aba-aba gurunya. Mula-mula dia mengangkat lengan kanan ke
atas, melingkar di bawah pusar, lalu kedua lengan itu diputar perlahan saling bertemu seperti orang
menangkap bola besar di depan dada sambil menarik dan menahan napas, lalu dengan hembusan napas
perlahan, kedua tangan itu digerakkan, yang satu ke atas dan yang satu ke bawah seperti menolak dengan
pengerahan tenaga dalam perlahan-lahan. Inilah gerakan dari Thai-kek-koan.
Kemudian gerakan itu disambung dengan menjulurkan kedua lengan kanan kiri, dengan telapak tangan
agak ke atas, jari-jari menunjuk langit, kemudian siku ditekuk ke atas dan kedua tangan ke pinggang,
dilanjutkan dengan gerakan memutar tangan. Telapak yang tadinya di bawah menjadi ke atas bagai orang
menyodorkan atau menawarkan sesuatu. Gerakan ini oleh gurunya dinamakan ‘Menghaturkan Anggur
Kepada Dewata’.
"Sekarang salurkan tenagamu ke arah pundak, perlahan-lahan sampai seluruh tenaga itu berkumpul di
kedua pundakmu!" terdengar Thian-te Tok-ong berkata.
dunia-kangouw.blogspot.com
Yo Han menurut. Kedua tangan yang dilonjorkan itu ditarik kembali sampai ke bawah ketiak dan dia pun
mengerahkan tenaga dari pusar dan dikumpulkan ke pundak. Kedua pundaknya itu menggembung besar
sekali, seperti punuk onta saja!
"Tarik tenaga itu ke punggungmu dan membuat gerakan menyembah Sang Buddha!" kata gurunya.
Yo Han merobah gerakannya, tubuhnya membungkuk dengan muka hampir menyentuh tanah, kedua
tangan merangkap ke depan dan kini punuk di kedua pundak berpindah ke punggung, membuat dia
menjadi seperti orang yang berpunuk dan bongkok!
Thian-te Tok-ong terus memberi aba-aba dan latihan ‘senam’ ini nampak sungguh amat mengagumkan
bagi orang lain kalau ada yang melihatnya. Anak berusia empat belas tahun itu bisa memindahkan
gumpalan ‘punuk’ yang sesungguhnya merupakan saluran tenaga sakti itu ke mana saja, ke leher, ke
dada, perut, lengan, kaki, bahkan ke tengkuk leher! Yo Han sendiri sama sekali tidak menyadari bahwa
gumpalan yang sebenarnya merupakan hawa sinkang itu dapat membuat tubuh bagian itu menjadi kebal!
"Sekarang kau lihat di dinding itu. Ada gumpalan batu menonjol, bukan? Nah, batu itu mengganggu, Yo
Han. Coba engkau kerahkan kemauanmu pada telapak tangan kirimu lalu mendorongnya ke arah batu itu
dengan mengerahkan tekad untuk memecahkan gumpalan batu yang mengganggu dinding itu agar dinding
menjadi rata!"
Yo Han tidak tahu apa artinya ini dan apa pula gunanya. Akan tetapi karena yang harus diratakan itu hanya
batu dinding, dia pun dengan senang hati melakukannya. Dia mulai menyalurkan tenaga yang
mendatangkan gumpalan pada semua bagian tubuh itu ke arah telapak tangan kirinya, kemudian dengan
kemauan bulat dia mendorong ke arah gumpalan batu menonjol di dinding itu.
Jarak antara tangannya dan dinding itu ada dua meter. Dia tidak menyadari bahwa dari telapak tangannya
menyambar hawa pukulan dahsyat dan terdengar suara keras diikuti pecahnya gumpalan batu dinding
menonjol itu!
"Brakkkk!"
Yo Han sendiri memandang bengong dan matanya terbelalak. Tak disangkanya bahwa gumpalan batu itu
dapat remuk terkena sambaran hawa pukulan tangannya dan hal ini sungguh membuat dia tidak mengerti.
Dia menoleh kepada gurunya ketika mendengar gurunya tertawa terkekeh-kekeh dengan senangnya.
"Suhu! Apa yang terjadi? Kenapa batu itu bisa pecah?" tanyanya.
"He-he-heh-heh, itulah berkat latihan senammu, Yo Han. Jangankan seorang manusia, bahkan batu pun
akan hancur terkena sambaran angin pukulan tanganmu."
"Ihh! Aku tidak mau memukul orang, Suhu!" kata Yo Han marah.
"Hushh, siapa suruh kau memukul orang? Engkau hanya berlatih senam agar tubuhmu sehat, bukan untuk
memukul orang. Tadi pun hanya untuk mengetahui sampai di mana kemajuan latihanmu. Apa kau kira aku
ingin muridku menjadi tukang pukul! Heh-heh, Yo Han, jangan engkau mengira yang bukan-bukan.
Sekarang sudah kulihat kemajuan ilmu senammu, mari kulihat kemajuan ilmu tarianmu Nah, kau pakai
kembali baju atasmu."
Yo Han merasa girang dan dia pun membereskan kembali pakaiannya. Dia tidak tahu bahwa dalam usia
empat belas tahun itu, tubuhnya sudah menjadi atletis dan indah sekali, seperti tubuh seorang dewasa
yang kuat.
"Aku ingin melihat engkau mainkan tari kera dan akan kucoba engkau dengan sambitan-sambitan batu ini.
Seekor kera yang sudah mahir menari, biar disambit bagaimana pun sudah pasti akan mampu mengelak
dan tidak akan dapat kena disambit. Nah, engkau mulailah."
Yo Han sudah mempelajari tarian ini dengan baik. Tubuhnya lantas membuat gerakan-gerakan loncatan ke
sana-sini, dan kedua tangannya membentuk gerakan kedua tangan kera, siku ditekuk, pergelangan tangan
ditekuk serta kedua kakinya sedikit merendah, meloncat ke sana-sini, bahkan mulutnya mengeluarkan
bunyi seperti kera, dan bibirnya diruncingkan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Matanya melirik ke kanan kiri dengan lincahnya. Kadang dia meloncat ke atas, kadang bergulingan,
gerakannya gesit, lincah dan cepat sekali. Dan kakek itu pun tidak tinggal diam. Kedua tangannya
mengambil batu-batu kecil yang sudah dipersiapkan bertumpuk di depannya dan dia pun mulai menyambitnyambitkan
batu-batu itu. Sambitannya cepat dan kuat, namun sungguh mengagumkan.
Yo Han mampu mengelak dan seolah-olah pendengarannya menjadi sangat tajam dan dia sudah dapat
menangkap arah luncuran batu-batu itu tanpa melihat dengan matanya. Sampai puluhan batu kecil
menyambar, dan tak sebutir pun mengenai tubuhnya!
"Bagus sekali! Engkau seperti monyet tulen, muridku. Nah, sekarang ilmu tari harimau!"
Yo Han mentaati dan tanpa dia sadari, dia kini memainkan silat Harimau yang jarang didapatkan keduanya.
Bukan saja gerakannya tangkas, kedua tangan membentuk cakar harimau dan gerakannya sangat hidup,
akan tetapi juga dari mulutnya keluar auman seperti harimau, dan andai kata dia mengenakan pakaian bulu
harimau, tentu orang akan mengira dia seekor harimau sungguh!
Ada suatu keanehan luar biasa pada diri Yo Han yang agaknya juga baru dikenal atau diduga-duga oleh
orang aneh seperti Thian-te Tok-ong. Kakek yang penuh pengalaman hidup ini pun tidak tahu mengapa
ada hal mukjijat terdapat dalam diri anak itu. Kalau dia mengajarkan suatu ilmu silat baru dengan dalih ilmu
tari atau senam, dia mengajarkan gerakan silat tanpa mengatakan bahwa gerakan-gerakan itu selain untuk
memperkuat tubuh, juga mempunyai daya tahan dan daya serang yang ampuh.
Akan tetapi, dia melihat keanehan. Jika Yo Han sudah memainkan tari monyet misalnya, dia melihat anak
itu seolah-olah bukan anak manusia lagi, seolah-olah memang dia seekor monyet! Gerakannya demikian
wajar, tidak dibuat-buat, tidak tiruan, bahkan ada gerakan aneh yang tidak mungkin dilakukan manusia,
kecuali dilakukan monyet asli.
Demikian pula gerakan harimau. Kalau anak itu sudah membuat gerakan tari harimau, suara aumannya
persis harimau asli, bahkan gerakan mulutnya, bibirnya, tiada ubahnya seekor harimau tulen, bahkan
kedua matanya juga mencorong seperti mata harimau!
Ini sungguh sangat ajaib! Kadang-kadang seorang datuk besar seperti Thian-te Tok-ong menjadi ngeri
sendiri! Anak macam apa yang dijadikan muridnya ini?
“Sekarang pelajaran yang paling akhir, gerakan binatang cecak merayap. Yang paling sukar dan paling
baru. Jangan takut, kalau sampai engkau gagal pun aku tidak akan marah, akan tetapi kerahkan seluruh
kekuatan pada telapak tanganmu, Yo Han."
"Walau pun teecu tidak tahu apa maksudnya Suhu mengajarkan ilmu merayap seperti cecak, sudah
mempelajari dengan tekun dan memang amat sukar, Suhu. Akan tetapi, apa sesungguhnya manfaat ilmu
senam meniru akan gerakan cecak seperti itu, Suhu?"
"He-he-he-heh, anak bodoh. Masa engkau yang begini cerdik tak tahu gunanya? Selain bisa menyehatkan
tubuhmu, juga amat penting. Bahkan penting sekali. Bayangkan saja. Suatu hari engkau tak sengaja
terjerumus ke dalam sumur yang amat dalam. Meloncat keluar sudah tidak mungkin, lalu apa yang akan
kau lakukan? Apakah engkau akan mati kelaparan di dalam lubang itu kalau tak ada orang mendengar
teriakanmu minta tolong? Nah kalau engkau pandai menirukan gaya cecak merayap, tentu engkau akan
dapat keluar dari sumur itu dengan merayap melalui dindingnya. Nah, kau masih bilang tidak ada
manfaatnya?"
Yo Han menjadi girang dan dia pun tentu saja dapat mengerti. "Baik, Suhu. Teecu akan mencobanya
sekarang."
Dan seperti yang telah diajarkan gurunya, dia lalu duduk bersila, mengatur pernapasan, menggerakgerakkan
kedua lengannya sampai buku-buku jarinya mengeluarkan bunyi berkerotokan. Kemudian dia
pun bangkit, menghampiri dinding goa dan merayap naik menggunakan kedua tangan dan kedua kakinya
yang tidak bersepatu. Dan ia pun dapat merayap bagai seekor cecak ke atas dan turun ke seberang
dinding yang sana! Setelah turun, napasnya terengah dan keringatnya membasahi seluruh tubuh karena
dia telah mengerahkan seluruh tenaganya.
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Engkau memang muridku yang amat hebat, Yo Han! Sekarang yang terakhir.
Engkau pernah belajar tari lutung hitam yang menggunakan tangan dan kakinya untuk menangkapi semua
dunia-kangouw.blogspot.com
benda yang dilemparkan kepadanya. Nah, aku ingin engkau menarikan itu dan melihat apakah engkau
sudah mahir!"
Sebetulnya Yo Han sudah lelah sekali. Akan tetapi dia memang mempunyai kekerasan hati yang
mengagumkan dan pantang mundur. Apa lagi ia memang patuh pada gurunya yang dianggapnya amat
menyayangnya.
"Suhu, teecu sudah siap!" katanya sambil berdiri dan memasang kuda-kuda di tengah ruangan goa itu.
Dia tahu bahwa jika tadi suhu-nya menghujankan sambitan batu-batu kecil, kini gurunya hendak
menggunakan segala macam ranting untuk menyambitnya seperti hujan anak panah dan dia bukan saja
harus menghindarkan semua luncuran ranting, akan tetapi juga sedapat mungkin harus bisa menangkap
sebanyaknya.
"Awas serangan!" tiba-tiba Thian-te Tok-ong menggerakkan dua tangannya dan puluhan batang ranting
meluncur seperti anak panah ke arah seluruh tubuh Yo Han.
Pemuda remaja ini bergerak seperti seekor lutung, kaki tangannya bergerak dan bukan hanya kedua
tangannya saja yang mampu menangkis atau menangkap ranting, bahkan kedua kaki telanjang itu pun
berhasil menjepit ranting dengan celah-celah jari kaki atau menyepaknya pergi.
Akan tetapi, ketika gurunya menghentikan serangan itu, dia mengeluh dan menjatuhkan diri bersila di atas
lantai goa, menahan sakit sambil memegangi kaki tangannya yang berdarah dan bengkak-bengkak
membiru!
"Suhu, kenapa kaki tangan teecu menjadi begini?" tanyanya, sekuat tenaga menahan agar mulutnya tidak
mengeluarkan keluhan.
Kakek itu menghampiri, langkahnya sudah gontai karena memang dia sudah tua sekali. Akan tetapi
matanya mencorong aneh dan berulang kali dia menggelengkan kepala.
"Luar biasa! Ajaib, seribu kali ajaib! Tahukah engkau, Yo Han, kalau orang lain yang menangkis dan
menangkapi ranting-ranting tadi, tidak peduli bagaimana tinggi ilmunya saat ini dia pasti sudah akan
menjadi kaku dan mampus?"
Yo Han terbelalak memandang wajah tua itu. "Akan tetapi, kenapa, Suhu?"
"Ranting-ranting itu semuanya sudah kupasangi bubuk racun yang paling berbahaya di dunia ini, terdiri dari
racun segala macam ular yang paling ampuh. Ada ular cobra, ular belang hitam, ular merah, ular emas,
bahkan racun kalajengking hijau. Siapa pun yang terkena, pasti mati seketika. Akan tetapi engkau...
engkau hanya luka-luka dan tangan kakimu membiru saja! Bukan main!"
"Tapi, kenapa, Suhu? Apakah Suhu bermaksud untuk membunuh teecu?"
"Ha-ha-ha-ha, aku sayang padamu, aku kagum padamu, kepadamulah seluruh tumpuan harapanku
kuberikan, bagaimana mungkin aku akan membunuhmu? Aku hanya akan mengujimu! Andai kata racunracun
itu mengancam nyawamu, aku sudah menyiapkan obat penawarnya. Sekarang bahkan tidak perlu
lagi. Racun itu hanya berhenti sampai di pergelangan tangan dan kakimu. Entah kemukjijatan apa yang
melindungi dirimu, Yo Han."
"Tidak ada kemukjijatan apa-apa kecuali kekuasaan Tuhan yang teecu yakin akan selalu melindungi teecu,
Suhu."
"Heh-heh-heh, sudah terlalu sering engkau mengatakan begitu. Akan tetapi, bagaimana ada kekuasaan
Tuhan melindungimu, tetapi tidak melindungi orang lain?"
"Suhu, bagaimana teecu bisa tahu? Kehendak Tuhan, siapa yang tahu? Teecu hanya merasakan bahwa
ada sesuatu di luar kehendak akal pikiran teecu, dan teecu hanya menyerahkan kepada Tuhan, menyerah
dengan sepenuh jiwa raga teecu. Apa pun yang dikehendaki Tuhan atas diri teecu, akan teecu terima
tanpa mengeluh."
"Engkau memang anak aneh sekali. Bagaimana rasanya jari-jari tangan dan kakimu?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Rasanya ngilu, nyeri kaku dan gatal-gatal."
"Heh-heh-heh, tidak percuma gurumu ini berjuluk Tok-ong (Raja Racun), tetapi sekali ini, Tok-ong sama
sekali tidak berdaya menghadapi kekuasaan Tuhan yang ada pada dirimu. Buktinya, engkau tidak apa-apa.
Kalau bukan engkau keadaanmu ini merupakan penghinaan besar bagiku dan sekali pukul engkau akan
mampus. Akan tetapi engkau muridku, bahkan engkau akan kuajari bagaimana cara untuk mengobati
pengaruh racun dariku."
"Akan tetapi, Suhu, teecu tidak akan menggunakan racun. Teecu tidak mau mencelakai orang, tidak mau
meracuni orang."
"Ha-ha-ha, engkau tidak mau mencelakai orang, tetapi akan dicelakai orang. Engkau tak mau meracuni
orang, akan tetapi engkau akan diracuni orang. Aihhh, Yo Han, engkau belum tahu apa artinya hidup ini.
Kau kira dunia kita ini seperti sorga? Neraka pun tidak sebusuk dunia, kau tahu? Setan-setan pun tidak
sejahat manusia, kau tahu?"
"Tidak, Suhu! Teecu tidak percaya. Semua manusia pada dasarnya baik. Hanya karena mempelajari ilmu
kekerasan, maka mereka menjadi jahat dan hendak mengandalkan kekerasan untuk mencari kemenangan.
Dan teecu tidak sudi mempelajari kekerasan."
Thian-te Tok-ong tertawa terpingkal-pingkal sesudah mendengar ucapan muridnya itu. Bagaimana dia tidak
akan merasa geli? Selama dua tahun ini dia telah menggembleng Yo Han dengan ilmu-ilmu yang amat
hebat, ilmu yang akan dapat membunuh puluhan orang lawan dan anak ini masih mengatakan tidak sudi
mempelajari kekerasan!
Mereka berada di tengah goa itu, tidak nampak dari luar. Mendadak terdengar suara melengking nyaring
dari luar pintu goa, disusul kata-kata yang lembut seorang wanita, namun yang dapat terdengar sampai ke
dalam goa.
“Thian-te Tok-ong, keluarlah engkau, aku Ang-I Moli ingin bicara denganmu!”
Mendengar suara yang melengking nyaring ini, diam-diam Yo Han terkejut. Tentu saja dia mengenal siapa
itu Ang-I Moli, orang pertama yang memaksanya menjadi murid walau pun dia tidak pernah diajarkan apa
pun. Dia tahu bahwa wanita itu seperti iblis, selain amat lihai, juga amat jahat dan kejam, maka diam-diam
dia mengkhawatirkan keselamatan kakek tua renta yang selama ini bersikap sangat baik kepadanya.
Akan tetapi kakek itu terkekeh. "Ang-I Moli, suaramu sudah cukup nyaring dan dapat terdengar dari sini.
Perlu apa aku harus keluar menemuimu? Kalau engkau mau bicara, bicaralah, dari sini pun aku dapat
mendengarmu dengan baik."
"Thian-te Tok-ong, tidak perlu kujelaskan lagi, tentu kunjunganku ini sudah kau ketahui maksudnya. Aku
datang untuk menuntut janjimu untuk menukar Sin-tong dengan obat penawar racun ilmu yang telah
kusempurnakan."
"He-he-heh, engkau sudah menyempurnakan ilmu Toat-beng Tok-hiat (Darah Beracun Pencabut Nyawa)?
Hebat! Ilmu semacam itu hanya ada seratus tahun yang lalu dan kini engkau berhasil menguasainya?
Perempuan iblis, engkau akan menjadi seorang tanpa tanding, heh-heh-heh! Mari, Yo Han, mari kita keluar
melihat iblis betina itu!" Kakek itu menjulurkan tongkatnya kepada Yo Han.
Anak itu memegang ujung tongkat dan menuntun gurunya keluar dari dalam goa. Dia sendiri sudah sering
keluar goa, akan tetapi kakek itu tidak pernah sehingga setelah kini dia keluar dari goa, matanya disipitkan,
silau, dan mukanya nampak pucat seperti mayat hidup.
Diam-diam Ang-I Moli sendiri bergidik. Kakek ini seperti bukan manusia lagi dan ia pun sudah mendengar
bahwa kakek tua renta ini merupakan tokoh nomor satu perkumpulan Thian-li-pang yang memiliki tingkat
kepandaian tak dapat diukur tingginya.
Setelah Yo Han dan Thian-te Tok-ong tiba di luar goa, mereka melihat ada beberapa orang di situ. Selain
Ang-I Moli yang kini nampak semakin cantik saja, juga di situ terdapat Lauw Kang Hui, wakil ketua Thian-lipang
yang berlutut, dan ada pula lima orang pria lain yang melihat pakaian mereka adalah petani-petani
biasa dan nampaknya mereka itu ketakutan, berlutut pula tanpa berani mengangkat muka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hanya Ang-I Moli seorang yang tidak berlutut. Hal ini tidaklah aneh karena dia bukan anggota Thian-lipang,
bahkan ia adalah pemimpin dari perkumpulan Ang-I Mo-pang di luar kota Kunming.
Dua tahun yang lalu, ketika ia bersekutu dengan Thian-li-pang, kemudian menyerahkan Yo Han kepada
Lauw Kang Hui wakil ketua Thian-li-pang untuk ditukar dengan dua belas orang pemuda remaja, ia lalu
membawa dua belas orang remaja itu pergi. Diam-diam ia mulai melatih diri dengan ilmu kejinya itu, dan
mengorbankan nyawa dua belas orang remaja yang dihisap darahnya. Dan kini, dua tahun kemudian, ia
sudah berhasil dengan ilmunya itu dan datang ingin menagih janji, yaitu untuk minta obat penawar bagi
keampuhan ilmunya yang beracun.
Baginya sendiri, ilmu tanpa ada obat penawarnya amat berbahaya bagi diri sendiri, juga tidak dapat
dipergunakan untuk memaksakan kehendaknya kepada lain orang. Dan di dunia ini, yang mampu
membuatkan obat penawar bagi segala macam ilmu pukulan beracun hanyalah Thian-te Tok-ong seorang!
Begitu kakek tua renta itu muncul, Ang-I Moli membungkuk dengan sikap hormat. Lauw Kang Hui yang
berlutut juga memberi hormat dan berkata, "Teecu mohon Supek sudi memaafkan kalau teecu
mengganggu ketentraman Supek. Teecu mengantarkan Ang-I Moli yang hendak menagih janji dua tahun
yang lalu."
"He-he-heh-heh, Lauw Kang Hui, mulutmu bicara satu akan tetapi hatimu bicara dua. Katakan saja bahwa
engkau pun datang untuk menagih janji minta diajari sebuah ilmu. Benar tidak?"
Wajah Lauw Kang Hui yang biasanya memang sudah merah itu menjadi semakin gelap, akan tetapi dia
menyembah lagi dengan segala kerendahan hati. "Supek, teecu hanya menyerahkan kepada
kebijaksanaan Supek saja, karena semua itu juga demi kemajuan Thian-li-pang kita."
"Baiklah, kau tunggu saja. Sekarang, Moli. Aku bukan orang yang suka melanggar janji. Yo Han memang
menyenangkan dan sudah menjadi muridku. Untuk itu, aku tentu akan memenuhi janjiku. Akan tetapi,
bagaimana aku akan dapat membuat obat pemunah dari ilmu kejimu itu kalau aku tidak melihat dulu
buktinya?"
Ang-I Moli tertawa genit dan memang wanita ini masih manis sekali seperti orang muda saja, walau pun
usianya sudah empat puluh tahun. "Locianpwe Thian-te Tok-ong, aku sudah mempersiapkan segalanya.
Lihatlah lima orang dusun ini. Mereka ini yang akan kujadikan kelinci percobaan. Nah, harap kau lihat baikbaik!"
Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, sehingga yang tampak hanya berkelebatnya bayangan merah
saja, dan tahu-tahu tiga di antara kelima orang itu roboh terpelanting. Padahal, Ang-I Moli hanya
mendorongkan telapak tangannya dari jauh saja, sama sekali tanpa menyentuh orangnya, akan tetapi dari
telapak tangan itu menyambar hawa yang kebiruan ke arah mereka.
"Keji sekali kau!" Tlba-tiba Yo Han berseru.
Dari tempat ia berdiri, Yo Han teringat akan ilmu senamnya dan dia pun mendorongkan kedua tangannya
ke arah dua orang yang belum roboh. Dua orang itu bagaikan kena disambar angin keras sehingga tubuh
mereka terguling-guling sampai jauh, akan tetapi mereka terhindar dari pukulan beracun Ang-I Moli!
Melihat ini, Ang-I Moli marah sekali dan ia pun mengerahkan pukulan kedua tangannya, didorongkan ke
arah tubuh Yo Han. Anak ini pun menyambut dengan gerakan senam yang dinamakan ‘mendorong bukit’.
"Dessss...!"
Yo Han terjengkang dan roboh pingsan. Akan tetapi Ang-I Moli terhuyung, berpusing lalu roboh dan
muntah darah!
Wanita itu terbelalak penuh kekagetan, keheranan dan juga ketakutan sebab ia merasa betapa ilmunya
yang amat keji itu, yaitu yang dia beri nama Toat-beng Tok-hiat, tadi ketika bertemu dengan tenaga dari
kedua tangan anak itu, telah membalik dan melukai dirinya sendiri!
Ia tahu bahwa ia telah menjadi korban pukulannya sendiri yang membalik dan ia sendiri tidak mempunyai
obat penawarnya! Keadaannya sama dengan tiga orang petani yang dijadikan kelinci percobaan. Mereka
dunia-kangouw.blogspot.com
pun roboh dan muntah darah. Baik wajah tiga orang itu mau pun wajah Ang-I Moli berubah menjadi
kebiruan!
Thian-te Tok-ong menghampiri Yo Han dan ia tertawa terkekeh-kekeh saking girangnya melihat betapa
meski pun pingsan Yo Han sama sekali tidak terluka. Dia menotokkan tongkatnya ke tengkuk anak itu dan
Yo Han pun siuman kembali.
Yo Han meloncat bangun dan memandang ke arah Ang-I Moli dengan mata terbelalak. "Suhu... apakah
teecu... membuat ia roboh...?"
Thian-te Tok-ong mengangguk. "Kalau engkau tidak menggunakan senam mendorong bukit, tentu engkau
akan roboh keracunan atau mungkin sudah tewas. Ilmu iblis betina itu keji bukan main."
Ang-I Moli terengah-engah dan bangkit duduk. "Locianpwe, aku yakin bahwa seorang Locianpwe seperti
engkau ini tidak akan menelan ludah sendiri dan akan memenuhi janjinya. Aku menuntut diberi obat
penawar untuk ilmu pukulan ini."
"Ha-ha-ha, sudah lama kubuatkan. Aku mengenal pukulan keji semacam itu, Moli. Akan tetapi engkau
masih untung. Kalau engkau tadi membuat Yo Han tewas, engkau pun tentu akan kubunuh! Nah, inilah
obat penawarnya, berikut catatan cara membuatnya, terimalah dan buktikan kemanjurannya pada dirimu
sendiri."
Kakek itu melemparkan sebuah bungkusan yang diterima oleh Ang-I Moli. Isi bungkusan itu ternyata
belasan butir pel merah dan sehelai kertas catatan resep pembuatannya. Menurutkan petunjuk catatan,
Ang-I Moli menelan sebutir pel merah dan setelah bersila sejenak, wajahnya berubah merah kembali dan
dia merasa betapa pengaruh racun di tubuhnya lenyap. Dia girang bukan main, meloncat berdiri lalu
membungkuk terhadap Thian-te Tok-ong.
"Nama besar Thian-te Tok-ong ternyata bukanlah nama kosong dan bukan pula seorang pembohong. Aku
menghaturkan banyak terima kasih." Lalu kepada Lauw Kang Hui ia pun berkata, "Lauw Pangcu, kita
sudah saling membantu, harap sampaikan hormatku kepada Ouw Pangcu. Aku mohon diri untuk
mengambil jalanku sendiri. Selamat tinggal!"
"Heiiii, nanti dulu!" Tiba-tiba Yo Han berseru keras.
Moli terkejut karena sekali anak itu menggerakkan kaki, tubuhnya sudah melayang dan berdiri di depannya!
Anak ini, entah disadari atau pun tidak, telah memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat bukan
main!
"Huh, mau apa engkau?" bentaknya, tidak berani memandang rendah karena tentu saja ia gentar terhadap
guru anak itu.
Dengan menuding telunjuk tangan kanannya, seperti seorang dewasa menegur seorang anak nakal, Yo
Han berkata, "Ang-I Moli, sejak dahulu engkau sungguh tidak berubah, bahkan menjadi semakin jahat dan
keji. Engkau melukai tiga orang petani yang tidak berdosa itu sampai mereka keracunan dan engkau mau
meninggalkan mereka begitu saja? Mana tanggung jawabmu? Engkau harus menyembuhkan mereka lebih
dulu, baru boleh pergi!"
Ang-I Moli mengerutkan alisnya. Mana ia mau mentaati permintaan bocah itu?
"Huh! Peduli apa aku dengan mereka?" Serunya dan ia pun sudah meloncat pergi.
Akan tetapi Yo Han juga meloncat dan anak ini terkejut sendiri akan tubuhnya melayang dan dia dapat
menghadang di depan wanita pakaian merah itu.
"Aih, kiranya Tok-ong sudah melatihmu, ya? Yo Han, engkau masih kanak-kanak, sama sekali bukan
lawanku, jangan coba-coba menghalangiku. Kalau aku tidak melihat muka gurumu, sekali pukul engkau
akan mampus. Pergilah!"
"Moli, aku tidak mau berkelahi, aku tak mau melawanmu atau melawan siapa saja. Akan tetapi aku minta
pertanggungan jawabmu. Tiga orang itu tidak berdosa. Engkau tidak boleh meninggalkan mereka terluka
tanpa kau obati dulu. Hayo cepat kau sembuhkan mereka!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bocah setan kau!"
Akan tetapi mendadak terdengar suara Thian-te Tok-ong terkekeh-kekeh. "Ang-I Moli, jangan mengira
bahwa aku mencampuri urusan percekcokanmu dengan Yo Han anak kecil. Akan tetapi, dalam dunia kita
sudah terdapat peraturan bahwa siapa yang menang harus ditaati dan siapa kalah harus mentaati. Nah,
sekarang begini saja. Engkau boleh menyerang Yo Han sampai dua puluh jurus, dengan ilmu pukulanmu
yang mana pun, boleh semua kepandaianmu kau keluarkan, kecuali pukulan Toat-beng Tok-hiat itu. Jika
kau pergunakan pukulan itu dan sampai muridku mati, engkau akan kucabik-cabik. Akan tetapi semua
pukulan lain boleh kau lakukan. Kalau sampai dua puluh jurus engkau tak mampu merobohkannya, nah,
engkau harus mentaati perintahnya mengobati tiga orang petani itu. Kalau sebelum dua puluh jurus dia
jatuh, sudahlah, engkau boleh pergi dan aku yang akan menghajar kelancangan mulut muridku."
Mendengar ini, Lauw Kang Hui wakil ketua Thian-li-pang yang datang pula ke situ diam-diam terkejut
bukan main. Bagaimana sih supek-nya itu? Tingkat kepandaian Ang-I Moli sudah tinggi sekali. Apa lagi
setelah sekarang menguasai Toat-beng Tok-hiat, bahkan ia sendiri pun harus berhati-hati kalau melawan
wanita itu.
Dan kini supek-nya menyuruh Moli menyerang Yo Han sampai dua puluh jurus. Mana mungkin anak itu
mampu bertahan? Baru satu dua jurus saja kepala anak itu dapat hancur! Akan tetapi tentu saja ia tidak
berani mencampuri urusan supek-nya yang amat ditakuti dan dihormatinya itu.
Ang-I Moli adalah seorang wanita iblis yang amat licik. Tadinya dengan senang sekali ia berhasil
mendapatkan Yo Han, akan tetapi terpaksa dia melepaskan anak itu kepada Thian-te Tok-ong. Kini,
mendengar tantangan itu, tentu saja ia mendapat kesempatan untuk melampiaskan kemarahannya. Kalau
ia membunuh anak itu, berarti anak itu tidak terjatuh ke tangan orang lain, dan ia pun dapat membalas
penghinaan yang diterimanya ketika Yo Han menangkisnya tadi!
"Bagus sekali! Locianpwe Thian-te Tok-ong, bukan aku yang menantang, tapi syarat itu memang cukup
adil. Nah, Yo Han yang manis, majulah engkau ke sini untuk menerima kematianmu. Sayang masih begini
muda terpaksa engkau harus mampus di tanganku."
"Suhu, teecu tidak sudi berkelahi, biar pun melawan iblis betina itu sekali pun," kata Yo Han kepada
gurunya sambil mengerutkan alisnya.
"Bocah tolol! Siapa suruh engkau berkelahi? Akan tetapi dia hendak membunuh ketiga orang petani itu,
juga hendak membunuhmu. Engkau tidak perlu memukulnya, engkau hanya menari saja seperti yang kau
pelajari tadi. Gunakan tari monyet dan tari lutung, dan hendak kulihat apakah perempuan sombong ini akan
mampu menyentuh selembar rambutmu. Hayo cepat engkau menari!"
Mendengar perintah ini, hati Yo Han tidak ragu-ragu lagi. Ia memang tetap berpendirian bahwa ia tak akan
sudi berkelahi menggunakan kekerasan memukul orang. Akan tetapi kalau hanya menari dan
menghindarkan diri dari serangan orang, itu namanya bukan berkelahi dan bukan menggunakan
kekerasan. Apa lagi ia harus menyelamatkan nyawa tiga orang petani yang tidak berdosa itu. Maka, dia
pun melangkah maju menghadapi wanita itu dengan hati tabah.
Bagaimana pun juga, karena ia segan dan takut kepada Thian-te Tok-ong, Ang-I Moli sekali lagi berkata,
"Locianpwe Thian-te Tok-ong, benarkah aku boleh menyerangnya sampai dua puluh jurus?"
"Perempuan sombong, siapa yang menyangkal? Cepat serang!"
Ang-I Moli memang seorang yang amat licik dan curang. Biar pun yang dihadapinya itu seorang remaja
berusia empat belas tahun, namun begitu mendengar ucapan Thian-te Tok-ong, tanpa memberi peringatan
lagi tiba-tiba saja ia sudah menerjang dengan tiga tamparan yang amat ganas, ke arah kepala Yo Han.
"Wuuut-wuut-wuuuttt...!"
Tiga kali ia menampar susul menyusul dan... luput!
Bagaikan seekor kera yang amat lincah, Yo Han telah menari-nari dan semua tamparan itu sama sekali
tidak mampu menyentuhnya. Dia seperti sudah melihat terlebih dahulu datangnya tamparan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja Ang-I Moli terkejut, heran dan juga penasaran sekali. Kini ia tidak main-main lagi, mengeluarkan
jurus-jurusnya yang paling ampuh, bukan sekedar untuk menampar atau memukul, melainkan mengirimkan
jurus pukulan mautnya! Bahkan, setelah lewat sepuluh jurus, berturut-turut dia memukul dengan pukulan
ampuh Pek-lian Tok-ciang, yaitu pukulan beracun yang amat dahsyat, yang dikuasai oleh para murid Peklian-
kauw tingkat tinggi saja.
Pukulan ini mengandung uap putih dan hawa beracun itu cukup untuk membuat orang yang menghisapnya
roboh pingsan! Namun, dengan gerakannya yang lincah selalu Yo Han dapat menghindarkan diri, bahkan
asap yang menerjangnya dan tanpa disengaja tersedot olehnya sama sekali tak mempengaruhinya. Ia
bahkan masih sempat berseru, "Aih, baunya harum!"
Tentu saja ucapan yang jujur dari Yo Han ini oleh Ang-I Moli merupakan tamparan dan ejekan. Tiba-tiba ia
mengeluarkan suara melengking nyaring. Tinggal sisa tiga jurus lagi karena ia sudah menyerang sampai
tujuh belas jurus tanpa hasil dan yang tiga jurus ini akan dilakukan dengan pengerahan tenaga
sepenuhnya, bukan tenaga sembarangan, melainkan ilmu pukulannya yang baru, yaitu Toat-beng Tok-hiat!
Terdengar suara bercuitan seperti tikus-tikus terjepit pada saat ia melancarkan pukulan ampuh Toat-beng
Tok-hiat itu. Latihan pukulan ini baru saja dirampungkan Ang-I Moli dan merupakan pukulan tingkat tinggi
yang hebat bukan main. Jangankan seorang anak remaja seperti Yo Han yang tidak pernah belajar ilmu
silat, bahkan seorang wakil ketua Thian-li-pang seperti Lauw Kang Hui saja belum tentu akan mampu
menahan pukulan maut itu!
Diam-diam Lauw Kang Hui amat terkejut. Dia sendiri tidak sayang kepada Yo Han, akan tetapi dia tahu
betapa sayangnya supek-nya kepada anak itu sehingga kalau sampai Yo Han celaka, tentu nyawa Ang-I
Moli tidak akan dapat diselamatkan lagi!
Akan tetapi, Yo Han yang sama sekali belum menyadari bahwa semua latihan yang dilakukan secara rajin
selama dua tahun ini adalah gerakan silat tinggi, telah memiliki ketajaman penglihatan yang luar biasa. Hal
ini adalah karena sebagian besar waktunya dia berada di dalam goa yang gelap dan remang-remang.
Maka, kini dia dapat melihat atau mengikuti gerakan tangan dan tubuh Moli dengan jelas sehingga
memudahkan dia untuk berloncatan seperti seekor kera mengelak ke sana sini dan tiga kali hantaman
berturut-turut yang mengeluarkan bunyi bercicit itu tidak ada yang mengenai tubuhnya.
Ang-I Moli penasaran bukan main sehingga ia menjadi lupa diri, lupa bahwa sudah dua puluh jurus ia
menyerang dan kini ia menubruk ke depan untuk menerkam anak yang dianggapnya telah membuat ia
kehilangan muka itu.
"Takkk!"
Tubuh Moli terjengkang dan terguling-guling sampai lima meter jauhnya karena disodok ujung tongkat oleh
Thian-te Tok-ong! Sungguh luar biasa sekali gerakan ini. Kakek itu masih duduk bersila dan jaraknya cukup
jauh. Akan tetapi, entah tongkatnya yang mulur atau lengannya yang memanjang, ujung tongkatnya dapat
menyambut serangan Moli sehingga membuat wanita itu terjengkang.
"Moli, apakah engkau ingin mampus? Sudah dua puluh jurus dan engkau masih ingin menyerang terus?"
bentak kakek itu terkekeh.
Ang-I Moli cepat bangkit dan memberi hormat. "Maaf, Locianpwe, tentu aku sudah salah menghitung."
"Heh-heh-heh, engkau sudah kalah bertaruh. Hayo lekas kau sembuhkan tiga orang itu kemudian cepat
pergi dari sini, jangan sekali lagi sampai bertemu denganku, karena aku tidak akan sudi mengampunimu
lagi!"
Dengan terpaksa Ang-I Moli lalu mendekati ketiga orang petani yang tergeletak dengan muka kebiruan itu.
Dia masukkan tangannya ke dalam saku di balik baju luarnya, tempat ia tadi menyimpan belasan butir pel
merah penawar racun pukulan Toat-beng Tok-hiat yang diberikan oleh Thian-te Tok-ong. Ketika tangannya
keluar dari balik bajunya, tiga butir pel merah sudah berada dalam genggamannya, yang kemudian satu
demi satu dimasukkan ke mulut tiga orang petani korban pukulannya tadi.
Pel penawar bikinan Thian-te Tok-ong memang luar biasa mujarab, serta gelar Raja Racun Langit dan
Bumi terbukti bukan julukan kosong belaka. Setelah masing-masing diminumkan obat, hanya dalam waktu
dunia-kangouw.blogspot.com
sebentar saja tiga orang petani itu telah sadar kembali dan lenyap sudah rona kebiruan pada wajah
mereka.
Tiga orang petani itu segera bangkit dengan perasaan bingung, akan tetapi keheranan mereka tidak
berlangsung lama karena Thian-te Tok-ong cepat berkata kepada mereka, “Kalian berlima lekas pergi dari
sini, pulanglah ke tempat asal kalian.”
Meski pun rasa heran dan bingung mereka belum lenyap sama sekali, namun melihat wajah dan potongan
orang-orang di sekitar itu, ditambah mendengar kata-kata Thian-te Tok-ong barusan, maka tanpa menanti
lebih lama lagi, lima orang petani itu, tiga orang yang baru sadar bersama dua orang lain yang tidak
sempat terpukul oleh Ang-I Moli, kemudian mulai melangkahkan kaki, pergi meninggalkan tempat itu.
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Ang-I Moli. Ia memang tahu bahwa Thian-te Tok-ong adalah
orang nomor satu dari Thian-li-pang, bahkan merupakan seorang tokoh langka yang tak pernah
mencampuri urusan dunia. Dikalahkan Thian-te Tok-ong masih belum merupakan hal yang memalukan.
Akan tetapi, ia, datuk besar yang baru saja selesai menguasai ilmu yang amat hebat, ilmu Toat-beng Tokhiat
yang dianggapnya akan bisa membuat ia menjadi seorang yang paling lihai di dunia, atau setidaknya
seorang di antara yang paling lihai, kini tidak dapat merobohkan seorang bocah berusia empat belas tahun
yang tidak pandai ilmu silat!
Maka, setelah ia memandang kepada Yo Han dengan sinar mata mengandung penuh kebencian, dan di
dalam hatinya ia mencatat bahwa kelak pada suatu hari ia pasti akan membunuh anak ini dan menghisap
darahnya sampai tidak tertinggal setetes pun, ia lalu membalikkan tubuhnya dan sekali meloncat ia pun
lenyap dari tempat itu.
"He-he-heh-heh, Yo Han, kau ingat. Ialah mungkin wanita yang kelak harus kau bunuh, kalau tidak engkau
yang akan dibunuhnya, heh-heh-heh!"
Yo Han mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya. "Suhu tahu, teecu tidak akan mau membunuh
siapa pun juga!"
"Heh-heh-heh, engkau memang anak yang aneh. Nah, Lauw Kang Hui, engkau tentu datang mengantar
perempuan tadi bukan dengan percuma, tentu engkau pun hendak menagih janji, bukan?"
Lauw Kang Hui, seperti juga semua murid Thian-Ii-pang, amat takut kepada kakek ini. Kakek ini bukan saja
merupakan orang pertama yang dipuja-puja dan ditakuti, namun juga terkenal bengis dan entah sudah
berapa puluh orang anak buah Thian-li-pang semenjak dulu dibunuhnya begitu saja dengan kesalahan
yang amat sepele. Maka, dia pun cepat menyembah sambil berlutut.
"Teecu memberanikan diri mengantar Ang-I Moli karena ia desak-desak, Supek. Ada pun tentang Supek
hendak memberi anugerah kepada teecu atau tidak, teecu serahkan kepada kebijaksanaan Supek.
Bagaimana teecu berani menuntut?"
"Ha-ha-ha, engkau memang seorang di antara para murid yang cerdik, Kang Hui, tidak seperti suheng-mu
Ouw Ban yang terlalu keras kepala walau pun kepandaiannya lebih tinggi. Aku sudah mendengar
mengenai siasatmu mengadu domba antara empat partai persilatan besar dan berhasil baik. Ha-ha-ha,
sungguh, aku sendiri tak akan memikirkan sejauh itu. Engkau memang pandai dan aku suka sekali
menambahkan satu dua ilmu pukulan untukmu agar engkau lebih dapat memajukan Thian-li-pang lagi!"
"Terima kasih, Supek. Terima kasih!" Akan tetapi dia lalu menambahkan dengan suara lirih. "Hanya teecu
mohon agar Supek sudi melembutkan hati Suhu bila Suhu memarahi teecu karena urusan ini."
"Gurumu? Ha-ha-ha, gurumu selalu berat sebelah, terlalu mudah dirayu oleh Ouw Ban. Jangan takut, kalau
gurumu berani mengganggumu, akan kupukul pantatnya sampai bengkak-bengkak, he-he-he! Nah, ke
sinilah dan perhatikan baik-baik. Akan kuajarkan ilmu Tok-jiauw-kang (Ilmu Cakar Beracun) dan Kiamciang
(Tangan Pedang) padamu. Hafalkan baik-baik dan kemudian latihlah, sedikitnya satu dua tahun baru
engkau akan dapat mahir."
"Terima kasih, Supek!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Lauw Kang Hui memasuki mulut goa dan Yo Han yang tidak suka melihat orang belajar silat, lalu masuk ke
dalam goa untuk melakukan pekerjaan sehari-hari, membersihkan goa dan mengirim makanan dan
minuman untuk orang hukuman yang berada di dalam sumur.
Sampai tiga hari lamanya Lauw Kang Hui menerima petunjuk dua ilmu itu dari Thian-te Tok-ong tanpa ada
yang berani mengganggu, bahkan mendekat pun tiada yang berani. Setelah dia hafal benar, Lauw Kang
Hui berlutut menghaturkan terima kasih, kemudian meninggalkan goa yang menjadi sunyi kembali.
Dan Yo Han pun mulai lagi setiap hari belajar ilmu menari dan senam, karena sampai hari itu pun Yo Han
tetap berkukuh tidak sudi belajar ilmu memukul orang! Pada waktu usianya sudah lima belas tahun, tetap
juga dia berkeras hati tak mau belajar silat. Habis sudah kesabaran Thian-te Tok-ong. Ia memanggil
muridnya menghadap.
Yo Han berlutut di depan Thian-te Tok-ong.
Waktu itu malam hampir tiba dan di dalam goa sudah mulai gelap. Namun, berkat kebiasaan, mereka
dapat saling melihat dengan tajam. Yo Han memiliki ketajaman mata yang dapat melihat di dalam gelap
seperti mata harimau atau mata kucing.
"Yo Han, apa engkau sudah gila? Kau lihat sendiri, kalau engkau tak pandai mengelak, tentu engkau sudah
mampus diserang Ang-I Moli. Mengapa engkau tetap tidak mau menerima pelajaran silat dariku? Aku akan
membuat engkau orang yang paling pandai di kolong langit ini."
"Tidak, Suhu. Teecu tetap takkan mau belajar memukul orang. Untuk apa? Teecu tidak akan memukul
orang, apa lagi membunuh orang. Hidup ini bukan berarti harus saling bermusuhan dan saling bunuh."
"Tolol! Kau kira ilmu silat itu hanya untuk membunuh orang?"
“Teecu tetap tidak mau! Semenjak kecil teecu tidak suka ilmu silat. Ayah Ibu teecu juga tewas hanya
karena mereka itu ahli-ahli silat. Kalau dulu mereka tidak pandai silat, tidak mungkin mereka itu mati
muda."
"Huh! Hal itu terjadi karena ilmu silat mereka masih rendah, masih mentah! Sudahlah, tidak perlu banyak
berbantah lagi, mari kau keluar bersamaku, dan akan kuperlihatkan bukti-bukti kepadamu!"
Sebelum Yo Han menjawab, tiba-tiba saja punggung bajunya sudah dicengkeram oleh gurunya dan dia
merasa tubuhnya dibawa terbang atau lari dengan kecepatan yang luar biasa. Diam-diam dia merasa
kagum. Gurunya ini bukan manusia agaknya. Hanya iblis yang dapat bergerak seperti itu!
Akan tetapi dia pun diam saja dan hanya melihat betapa mereka melalui lembah bukit, menuruni jurang,
dan akhirnya mereka tiba di luar sebuah dusun. Dari luar saja sudah terdengar suara ribut-ribut di dusun
itu, suara sorak sorai disertai gelak tawa di antara suara tangis dan jerit mengerikan, juga nampak api
berkobar.
"Suhu, apa yang terjadi?" Yo Han bertanya dengan kaget sekali.
Thian-te Tok-ong melepaskan muridnya, kemudian membiarkan muridnya itu menuntun tongkatnya,
diajaknya memasuki dusun itu.
"Tidak perlu banyak bertanya dan kau lihatlah saja sendiri," katanya.
Setelah mereka memasuki dusun, mendadak kakek itu memegang lengan Yo Han dan membawanya
loncat naik ke atas pohon besar. Dari tempat itu mereka dapat melihat apa yang sedang terjadi di bawah.
Yo Han terbelalak, mukanya sebentar pucat sebentar merah. Dia melihat peristiwa yang mendirikan bulu
romanya, perbuatan kejam yang membuat ia merasa ngeri bukan main. Belasan orang laki-laki yang
bengis dan kasar, dengan golok di tangan, membantai orang-orang dusun yang sama sekali tidak mampu
mengadakan perlawanan.
Ada pula yang memperlakukan wanita dengan kasar dan tidak sopan, menelanjanginya, menciuminya dan
memukulinya. Ada pula yang mengusungi barang-barang berharga dari dalam rumah. Tahulah dia bahwa
mereka adalah perampok-perampok yang sedang menyerang dusun itu dengan kejam sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hampir saja Yo Han menjerit melihat itu semua dan tiba-tiba saja tubuhnya melayang turun dari atas pohon
itu. Dia sendiri terkejut karena dia dapat meloncat dari tempat setinggi itu tanpa cidera. Gurunya hanya
melihat sambil tersenyum saja. Yo Han lari ke dusun itu.
"Manusia-manusia jahat, kalian ini manusia ataukah iblis?" bentaknya berkali-kali dan ke mana pun
tubuhnya berkelebat, dia sudah merampas sebatang golok dan mendorong seorang perampok sampai
terjengkang dan terguling-guling.
Melihat seorang anak remaja maju mendorong roboh beberapa orang anak buahnya, kepala perampok
yang brewok menjadi marah dan dia melepaskan wanita muda yang tadi dipermainkannya, lalu dengan
bertelanjang dada dan dengan golok besar diangkat, dia menyerang Yo Han dengan bacokan ke arah
leher anak itu.
Yo Han yang telah mahir ‘menari’ itu dapat melihat dengan jelas datangnya golok, maka dengan gerakan
tari monyet, amat mudah baginya untuk meloncat ke samping sehingga golok itu tidak mengenai sasaran.
Dia tidak bermaksud memukul orang, tetapi karena dia marah melihat orang itu tadi menggeluti seorang
wanita, dan kini melihat orang itu hendak membunuhnya, dia pun mendorong sambil berseru nyaring,
"Engkau orang jahat, pergilah!"
Dan akibatnya sungguh luar biasa sekali. Begitu kena dorongan tangan Yo Han, kepala perampok itu
terlempar bagai daun kering ditiup angin dan tubuhnya menabrak dinding. Dia pingsan seketika karena
kepalanya terbentur pada dinding.
Para perampok menjadi marah dan kini beramai-ramai mereka menggerakkan golok mengepung dan
menyerang Yo Han. Akan tetapi Yo Han berloncatan menari-nari dan semua serangan itu pun luput.
Sayangnya, karena Yo Han memang tak suka berkelahi, tidak suka memukul orang, tidak suka
menggunakan kekerasan dan perasaan ini sudah mendarah-daging sejak kecil, maka dia pun hanya
berloncatan mengelak ke sana sini saja tanpa membalas.
"Huh, orang-orang semacam ini masih kau kasihani?" tiba-tiba terdengar seruan lembut dan Yo Han
melihat betapa belasan orang itu terlempar ke kanan kiri, berkelojotan dan mati semua! Gurunya sudah
berdiri di situ dan kini Yo Han memandang kepada gurunya dengan terbelalak dan alis berkerut.
"Suhu membunuh mereka semua? Suhu kejam! Sungguh kejam!"
Thian-te Tok-ong yang usianya sudah delapan puluh dua tahun itu lalu terkekeh-kekeh. "Dan engkau
hendak bilang bahwa belasan orang yang membunuh, memperkosa dan merampok, membakari rumah
penduduk itu tidak kejam?"
"Mereka juga kejam seperti setan, tapi jika suhu membunuhi mereka, lalu apa bedanya antara mereka
dengan kita? Mereka kejam, kita pun sama kejamnya!"
"Ho-ho-ho, dan kalau menurut engkau, kita harus mengusap-usap kepala dan punggung mereka,
kemudian memuji-muji perbuatan mereka?"
"Bukan begitu, Suhu. Akan tetapi teecu tetap tidak setuju Suhu membunuhi mereka! Teecu tidak sudi
membunuh dan tidak suka menggunakan kekerasan!"
"Hemmm, kau kira engkau ini pintar dan baik, ya? Bocah tolol. Kau lihatlah, mengapa penduduk dusun ini
sampai dibunuh, diperkosa dan dirampok? Karena mereka lemah! Coba mereka itu kuat, coba mereka itu
mempelajari ilmu silat, tentu para perampok itu tidak akan mampu mencelakai mereka. Jangan bilang kalau
hidup tanpa kekerasan itu tidak akan menjadi korban kekerasan!"
Yo Han tertegun, akan tetapi alisnya masih berkerut ketika gurunya mengajaknya pergi. Di sepanjang
perjalanan pulang ke goa, anak itu termenung. Hatinya amat tidak senang. Gurunya membunuhi orang
begitu saja walau pun orang-orang itu perampok kejam.
Mereka sampai di hutan dan tiba-tiba terdengar suara auman harimau. Thian-te Tok-ong menarik muridnya
dan meloncat ke arah suara, lalu bersembunyi di balik semak belukar. Mereka melihat seekor harimau
sedang menubruk seekor kijang, menerkam leher kijang itu yang menjerit-jerit dan meronta-ronta. Namun,
dunia-kangouw.blogspot.com
kuku-kuku dan gigi-gigi runcing tajam itu sudah menghunjam leher dan pundak. Darah dihisap dan rontaan
itu makin lemah. Akhirnya, harimau itu menggondol korbannya memasuki semak belukar.
Thian-te Tok-ong memandang muridnya. "Bagaimana pendapatmu, Yo Han? Apakah harimau itu kejam?
Andai kata kijang itu mampu melawan dan menang, atau mampu melarikan diri, bukankah berarti ia tidak
akan menjadi korban?"
"Harimau itu kejam sekali!" kata Yo Han. "Aku benci padanya!"
"Ha-ha-ha! Anak baik. Kalau harimau itu tidak makan daging hewan lain, dia akan mati kelaparan! Untuk itu
ia telah ditakdirkan lahir dengan dibekali ketangkasan, kuku runcing dan gigi tajam. Harimau tak dapat
hidup dengan makan rumput! Sebaliknya, kijang pun ditakdirkan hidup makan rumput dan daun. Hidup
memang perjuangan, Yo Han. Siapa kuat dia bertahan!"
"Teecu tidak suka! Yang kuat selalu menang dan hendak berkuasa saja. Yang kuat selalu jahat dan ingin
memaksakan kehendaknya kepada yang lemah. Karena itu, teecu tak suka belajar silat, tidak suka
menggunakan kekerasan karena hal itu akan membuat teecu menjadi jahat!"
"Yo Han, kau lihat apa ini?"
"Suhu memegang tongkat!"
"Apakah tongkat ini merupakan senjata untuk melakukan kekerasan?"
"Tentu saja!"
"Jadi engkau tidak suka memegang tongkat?"
"Tidak."
"Kalau kebetulan ada seekor anjing gila yang menyerangmu, dan engkau tidak mampu melarikan diri, lalu
engkau membawa tongkat, apakah tongkat itu pun masih merupakan senjata kekerasan yang jahat?
Ataukah merupakan alat pelindung diri yang akan dapat menyelamatkan dirimu dari gigitan anjing gila?
Hayo jawab!"
Yo Han menjadi bingung. Akan tetapi dia seorang anak yang jujur dan cerdik. "Kalau pun teecu memegang
tongkat itu, teecu hanya mempergunakan untuk membela diri dan mengusir anjing itu, bukan untuk
memukul, melukai apa lagi membunuhnya!"
"Nah, demikian pula dengan ilmu silat, anak keras kepala! Apa kau kira kalau kita sudah mempelajari ilmu
silat lalu kita semua menjadi tukang-tukang pukul, menjadi perampok-perampok, menjadi penjahat dan
tukang menyiksa dan membunuh orang? Kalau kita mempunyai ilmu silat, banyak kebaikan yang dapat kita
lakukan. Pertama, kita dapat membela diri, melindungi keselamatan diri dari serangan orang jahat, ke dua,
kita dapat membantu orang-orang yang ditindas dan disiksa orang lain, dan ke tiga, yang terutama sekali,
kita dapat mengangkat martabat dan kedudukan kita, dapat menjadi orang yang terpandang di dalam
dunia!"
Yo Han mengerutkan alisnya. Ada sebagian yang dianggapnya tepat, akan tetapi yang terakhir itu dia
sama sekali tidak setuju. "Bagaimana pun juga, orang-orang yang pandai silat selalu berkelahi dan
bermusuhan saja, Suhu. Tidak seperti kaum petani yang tidak pandai silat."
"Ha-ha-ha, soalnya para petani bodoh itu tidak mampu membela diri sehingga mereka mudah saja dipukuli
dan dibunuh tanpa melawan!"
"Sudahlah, Suhu. Teecu tidak suka bicara tentang ilmu silat dan teecu tidak pernah mau belajar silat!"
berkata pula Yo Han. "Tentang keselamatan teecu, tentang nyawa teecu, semua berada di tangan Tuhan
dan teecu yakin benar akan hal ini!"
"Huh, bocah aneh, tolol tapi... benar juga..." kakek itu menggumam.
Sudah sering dia melihat Yo Han yang tak pandai silat itu tidak mempan diserang racun, bahkan kebal pula
terhadap sihir, dan selalu selamat! Entah kekuasaan apa yang selalu melindunginya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia sendiri adalah seorang datuk sesat yang sejak muda tidak pernah mau mengakui adanya kekuasaan di
luar dirinya. Kekuasan Tuhan? Dia tidak percaya karena tak dapat melihatnya! Dia sama sekali tidak sadar
bahwa perasaan sayang dan cintanya terhadap Yo Han merupakan dorongan kekuasaan yang tidak
dipercayanya itu…..
********************
Waktu berjalan dengan cepatnya dan setahun telah lewat lagi. Kini sudah tiga tahun Yo Han berada di
dalam goa itu dan usianya sudah lima belas tahun. Dia menjadi seorang pemuda remaja yang bertubuh
tegap dan kokoh kuat karena biasa bekerja keras.
Mukanya yang lonjong dengan dagu runcing berlekuk itu membayangkan kegagahan. Rambutnya gemuk
panjang serta dikuncir besar. Pakaiannya sederhana dan kasar. Alis matanya amat menyolok karena amat
tebal menghitam berbentuk golok. Dahinya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya ramah walau pun dia
pendiam. Sepasang matanya membayangkan kejujuran dan kelembutan.
Dia sudah mulai jemu tinggal di dalam goa itu. Setiap hari selain melayani gurunya yang sudah makin tua
dan lemah, juga selalu mempelajari ilmu tari, senam dan juga siu-lian (semedhi) yang menurut gurunya
berguna untuk kesehatan dan memanjangkan usia.
Tetapi, bila timbul keinginannya meninggalkan tempat itu, dia merasa tidak tega kepada gurunya. Kakek itu
sudah tua sekali. Dia pun merasa kasihan kepada orang hukuman yang berada di dalam sumur. Bahkan
sering kali timbul keinginannya untuk menengok orang itu ke dalam sumur, akan tetapi dia selalu
mengurungkan niatnya karena dilarang oleh suhu-nya.
Akan tetapi pada suatu pagi, ketua Thian-li-pang dan wakil ketuanya, yaitu Ouw Ban dan Lauw Kang Hu,
datang berkunjung dan mereka itu diterima oleh Thian-te Tok-ong di ruangan depan goa. Yo Han disuruh
ke dalam oleh suhu-nya dan tidak diperkenankan untuk menghadiri, bahkan mendengarkan percakapan
mereka pun tidak boleh.
Yo Han masuk ke bagian paling dalam dari goa itu supaya tidak dapat mendengarkan percakapan mereka
dan bagian paling dalam adalah di tepi sumur itu. Selagi dia duduk termenung, matanya yang terlatih itu
dapat melihat keadaan yang bagi orang lain tentu amat gelap pekat itu, dan hatinya terharu melihat
keadaan sumur yang garis tengahnya hanya satu meter dan yang dalamnya tak dapat diukur itu.
Setiap kali memberi makanan dan minuman, dia hanya melemparkan saja ke bawah. Hal ini saja sudah
membuktikan bahwa siapa pun yang berada di bawah, tentu bukan orang sembarangan karena dalam
keadaan yang gelap itu mampu menerima luncuran bungkusan makanan dan poci minuman dari atas.
Sambil menanti percakapan gurunya dengan kedua orang ketua Thian-li-pang, Yo Han lalu duduk di bibir
sumur sambil mencoba untuk menjenguk ke bawah. Akan tetapi amat gelap di bawah sana, tidak nampak
sedikit pun. Juga tidak pernah terdengar apa-apa, kecuali kadang saja terdengar suara yang amat
mengerikan, seperti suara melengking panjang, seperti jerit tangis, seperti tawa, pendeknya bukan seperti
suara manusia!
Tiba-tiba saja Yo Han mendengar suara yang keluar dari dalam sumur. Bukannya pekik melengking
mengerikan seperti biasanya, sama sekali bukan. Bahkan yang terdengar kini adalah suara nyanyian
merdu. Suara seorang pria yang bernyanyi, dan nyanyiannya sederhana akan tetapi suara itu demikian
merdu dan lembut.
Jin Sin It Siauw Thian Te,
It Im It Yang Wi Ci To!
Yo Han mendengarkan. Karena dia memang merupakan seorang kutu buku yang suka sekali membaca,
maka mendengar satu kali saja dia sudah hafal. Tetapi, bagaimana seorang remaja berusia lima belas
tahun akan mampu menangkap arti dari dua baris kata-kata itu? Kalau diterjemahkan kata-katanya, maka
berarti:
Badan Manusia Adalah Alam Kecil,
Satu Im (Positive) dan Satu Yang (Negative) itulah To (Jalan atau Kekuasaan Tuhan)!
dunia-kangouw.blogspot.com
Yo Han menggerak-gerakkan bibir menghafal dua baris kalimat itu dengan heran. Dia lebih kagum
mendengar kemerduan suara itu dari pada isi kata-katanya yang tidak dia mengerti benar. Jika biasanya
dia tak pernah tertarik untuk memeriksa ke dalam sumur, sebab selain dilarang suhu-nya, juga dia tak
pernah menganggur dan suara melengking yang mengerikan itu membuatnya ragu, sekarang mendengar
nyanyian pendek yang bersuara merdu itu membuat hatinya tertarik bukan main.
Apakah si penyanyi adalah orang yang suka menjerit-jerit itu? Perasaan iba memenuhi hatinya. Kenapa
orang itu dihukum di sana? Apakah dosanya? Dan mengingat betapa orang-orang Thian-li-pang adalah
orang-orang sakti yang aneh, juga jahat dan curang, maka timbul niatnya untuk menyelidiki. Kalau gurunya
mengetahui dan marah, dia akan mempertanggung jawabkan perbuatannya itu. Bagaimana pun juga, ia
harus tahu siapa salah siapa benar, dan bila orang di bawah sumur itu tak bersalah, dia tidak sepatutnya
dihukum dan di siksa seperti itu.
Dengan hati yang mantap Yo Han lalu menuruni tebing sumur itu. Pekerjaan yang bagi orang lain tentu
hampir tidak mungkin dilakukan ini, bagi dia tidaklah begitu sukar. Dia telah lama digembleng oleh Thian-te
Tok-ong untuk menirukan gerakan binatang cecak merayap di dinding goa! Dengan latihan semedhi, dia
bisa menggunakan tenaga dalam tubuh untuk menyedot hawa dan kedua tangan serta kakinya yang
telanjang itu dapat melekat di dinding.
Dalamnya sumur itu tidak kurang dari dua puluh lima meter dan meski pun gelap pekat, akan tetapi
pandangan mata Yo Han masih dapat menembus sehingga remang-remang nampak olehnya bahwa
sumur itu agak menyerong. Akhirnya, tibalah dia di dasar sumur yang cukup luas, ada empat meter persegi
dan terdapat sedikit cahaya yang datang dari sebuah lubang sebesar lengan tangan yang datang dari
jurusan lain. Dasar sumur itu becek dan baunya pengap sekali, sungguh orang akan tersiksa hebat bila
harus tinggal di situ.
Ketika dia turun ke dasar sumur, dia tidak melihat ada orang di situ, hanya ada lima buah batu bundar
sebesar guci besar berjajar di sudut. Dia memandang ke sekeliling. Tidak mungkin ada orang bersembunyi
di ruangan persegi itu, atau entah kalau masih ada lorong rahasia lain.
Tiba-tiba saja tubuhnya seperti disedot oleh kekuatan yang amat kuat menuju ke salah sebuah guci yang
berdiri di sudut kiri. Dia mencoba untuk mempertahankan diri, namun sia-sia. Tenaga sedotan itu seperti
besi magnet menarik jarum, angin sedotannya terlalu kuat baginya dan dia pun terhuyung menuju ke guci
besar itu.
Dan guci itu pun bergerak maju menabraknya!
"Desss...!"
Tubuh Yo Han terbentur benda lunak, akan tetapi yang kuatnya bukan main sehingga tubuhnya terlempar
jauh ke belakang sampai menghantam dinding sumur.
"Bressss...!"
Yo Han terbanting roboh, akan tetapi dia bangkit lagi dan kini terbelalak memandang kepada ‘guci’ itu.
Ternyata guci itu berbentuk manusia! Hanya saja tidak memiliki tangan dan tak mempunyai kaki. Tinggal
badan dan kepala saja! Sungguh mengerikan keadaan orang itu, seperti sebuah boneka besar mainan
kanak-kanak yang dapat dibuat jungkir balik, akan tetapi selalu dapat berdiri tanpa kaki.
Sekarang penglihatan Yo Han mulai terbiasa. Cahaya kecil dari lubang kecil itu cukup mendatangkan
penerangan dan dia memperhatikan makhluk itu. Tubuh tanpa kaki atau lengan itu bulat dan cukup gemuk,
agaknya telanjang tetapi kulitnya ditutup ‘pakaian’ lumpur kering. Hanya mukanya yang tidak berlumur
lumpur. Rambutnya terurai panjang sampai ke punggung, putih. Alis, kumis dan jenggotnya juga putih.
Matanya mencorong hijau. Sungguh merupakan makhluk yang mengerikan sekali. Tentu iblis, pikir Yo Han.
Semacam iblis penghuni sumur yang aneh dan berbahaya.
Kini makhluk itu berloncatan, bukan menggelundung, tapi berloncatan menghampiri Yo Han. Anak ini
memang merasa ngeri, akan tetapi tidak takut karena dia memang tidak mempunyai niat buruk. Dia hanya
memandang dengan penuh perhatian.
Wajah itu kini nampak nyata, wajah seorang kakek yang tentu sudah tua sekali. Dan sinar mata kehijauan
itu pun tidak kejam, bahkan mulut yang sebagian tertutup kumis itu seperti menyeringai tersenyum.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kau tidak mati...? Kau... kau tidak terluka dan tidak mati?" Suara itu lembut, seperti suara orang yang
terpelajar, akan tetapi agak aneh terdengar di tempat seperti itu, dan seolah bukan keluar dari mulutnya
melainkan turun dari atas.
Yo Han tidak dapat bicara saking merasa seramnya. Dia hanya berdiri mepet di dinding dan
menggelengkan kepalanya. Akan tetapi karena kini dia merasa yakin bahwa yang dihadapinya adalah
seorang manusia, walau pun aneh, bahkan mungkin sekali seorang tapa-daksa yang patut dikasihani,
maka dia pun berkata,
"Locianpwe, harap suka ampunkan aku. Aku... aku tidak bermaksud mengganggu, aku hanya ingin melihat
karena tadi aku mendengar nyanyianmu yang indah itu."
Dia lalu menyanyi seperti tadi, menirukan suara yang didengarnya tadi.
Jin Sin It Siauw Thian Te,
It Im It Yang Wi Ci To!
"Siancai...! Engkau begini muda sudah pandai meniru bunyi kalimat rahasia itu? Ehh, anak muda, tahukah
engkau apa artinya kalimat itu?"
Yo Han sudah membaca banyak kitab. Selain itu, memang dia mempunyai kelebihan, bahkan keanehan di
dalam dirinya. Kalau membaca kitab yang berat-berat, ketika dia masih kecil sekali pun, ada suatu
pengertian di dalam batinnya, seolah-olah dia pernah mengenal semua kitab itu dan sudah paham benar
akan maknanya. Atau seolah ada yang membisikinya, memberi pengertian kepadanya. Maka mendengar
pertanyaan itu, dia mengangguk.
"Kurasa aku mengerti, locianpwe, hanya mungkin saja keliru."
"Tidak, tidak. Engkau ini yang setiap hari mengirim makanan kepadaku, bukan? Sudah kudengar langkahlangkah
kakimu dari sini kalau engkau menghampiri sumur dan aku sudah tahu, engkau bukan anak
sembarangan. Nah, cepat katakan apa makna yang terkandung dalam kalimat itu."
"Jin Sin It Siauw Thian Te, atau Badan Manusia Adalah Suatu Alam Kecil. Locianpwe, kita dapat melihat
kenyataan bahwa di antara segala makhluk di dunia ini, manusia adalah merupakan makhluk yang paling
unggul dalam kesempurnaannya dibandingkan makhluk lain. Tuhan telah menciptakan manusia sebagai
makhluk yang paling mulia. Dalam tubuh manusia terkandung unsur-unsur yang terdapat di alam besar,
terkandung tanah, air, api, angin dan logam. Bahkan kalau air samudera terasa asin, demikian pula tubuh
manusia mengandung rasa asin apa bila mengeluarkan cairan seperti keringat. Kalau alam tidak pernah
terpisah dari api, maka tubuh manusia pun selalu mengandung panas, api yang apa bila padam berarti
kematian. Seperti yang diketahui oleh para ahli pengobatan, hukum di alam besar akan berlaku pula di
alam kecil. Bukankah, demikian, Locianpwe?"
"Siancai...! Benar, orang muda, Tubuh ini memang sempurna, suci, kalau tidak dirusak atau dikotori oleh
manusia itu sendiri. Lanjutkan, lanjutkan!" Kakek yang tanpa lengan tanpa kaki itu berkata dengan wajah
berseri, suaranya lembut sekali.
"Lanjutannya adalah It Im It Yang Wi Ci To atau Satu Im (Positive) Satu Yang (Negative) itulah To.
Locianpwe, telah menjadi kehendak Tuhan bahwa yang menggerakkan segala sesuatu di dunia ini adalah
dua keadaan yang saling berlawanan, saling bertentangan, akan tetapi saling dorong dan saling
melengkapi, karena tanpa ada yang satu, yang lain menjadi tidak sempurna dan tidak lengkap. Im itu
wanita, dan Yang itu pria. Atau Im itu gelap, Yang itu terang. Im dan Yang terkandung di dalam bawah dan
atas, malam dan siang, lembut dan keras, bumi dan langit, dingin dan panas dan sebagainya. Tanpa ada
Im, bagaimana ada Yang? Tanpa ada Yang, Im pun tak ada. Bagaimana kita mengenal terang tanpa
adanya kegelapan? Bagaimana kita tahu akan yang keras tanpa mengenal yang lembut? Kalau tidak ada
bumi, langit pun tidak ada. Maka, Im dan Yang saling berlawanan, akan tetapi juga saling melengkapi,
saling menyempurnakan dan menjadi inti dari keadaan dan kesempurnaan alam. Kalau Im dan Yang dalam
alam besar tidak seimbang, maka akan timbul kekacauan-kekacauan. Bila dalam alam kecil, yaitu badan
kita, Im dan Yang tidak seimbang, maka akan timbul gangguan penyakit dalam tubuh kita. Kalau Im dan
Yang seimbang, maka To akan bekerja dengan sempurnanya."
dunia-kangouw.blogspot.com
Wajah kakek itu memandang kagum dan beberapa kali matanya terbelalak. Kemudian dia menghela napas
panjang. "Bagus, bagus! Tuhan Maha Sempurna, Maha Bijaksana, Maha Kasih Sayang sekali. Manusia
lebih sering menjadi hamba nafsu sehingga lupa akan adanya To, adanya kekuasaan Tuhan yang menjadi
Hukum Alam, sehingga ulah manusia membuat Im dan Yang menjadi tidak seimbang dan menimbulkan
kekacauan-kekacauan di dunia ini. Ehh, benarkah engkau ini seorang manusia yang masih muda? Ataukah
seorang manusia ajaib yang kelihatannya saja masih muda akan tetapi usianya sudah seratus tahun?"
Yo Han tersenyum. "Harap Locianpwe tidak terlalu memuji. Pengertian seperti itu dapat dimiliki siapa pun
juga asal dia mau belajar. Dan usiaku baru lima belas tahun."
"Baru lima belas tahun? Dan engkau sudah mampu menahan tubrukanku tadi? Padahal, seorang jago silat
yang kenamaan di dunia kang-ouw saja belum tentu akan dapat hidup setelah menerima tabrakan tubuhku
tadi. Dan engkau bahkan pandai mengurai tentang Im-yang dan To? Ha-ha-ha, agaknya Tuhan sengaja
mengirimkan engkau ke sini untuk menjadi murid dan ahli warisku! Siapakah namamu, orang muda?"
Yo Han mengerutkan alisnya. "Locianpwe, namaku Yo Han, akan tetapi aku tidak ingin menjadi murid dan
ahli warismu."
"Ehh? Apa katamu? Seluruh jagoan silat di permukaan bumi sana akan berlomba untuk menjadi muridku,
dan engkau menolak menjadi murid dan ahli warisku? Wah, wah, aku Ciu Lam Hok bisa mati karena
keheranan!"
Kepala dengan tubuh yang buntung itu sekarang berloncatan sehingga terdengar suara dak-duk-dak-duk
seperti orang menumbuk sesuatu dengan amat kuatnya. Yo Han dapat menduga bahwa kakek buntung
kaki tangannya ini tentu menguasai ilmu silat karena tadi beberapa kali menyebut tentang ilmu silat dan
jagoan di dunia kang-ouw.
"Ketahuilah, Locianpwe. Aku tidak ingin berguru kepada Locianpwe karena aku sudah mempunyai guru."
"Ehhh? Engkau kira gurumu akan mampu menandingi aku, ya? Coba katakan, siapa gurumu yang tidak
becus itu!"
"Guruku adalah Thian-te Tok-ong..."
"Uhhhh...!"
Tiba-tiba tubuh itu ‘terbang’ ke atas dan berputar-putar dari dinding kanan ke dinding kiri. Kiranya tubuh itu
membentur dinding kiri, terpental ke dinding kanan dan bolak balik begitu seperti beterbangan saja, kurang
lebih lima meter dari lantai. Akhirnya tubuh itu turun kembali dan berdiri tanpa kaki di depan Yo Han.
"Kiranya engkau datang atas perintah Thian-te Tok-ong untuk membunuh aku, ya?"
"Ah, sama sekali tidak, Locianpwe! Aku tak mau menyerang orang, apa lagi membunuh. Aku benci ilmu
silat, aku benci kekerasan. Maka dari itu aku tidak mau menjadi murid Locianpwe, tidak mau belajar ilmu
silat dari Locianpwe!"
Sepasang mata itu terbelalak, mulutnya ternganga sehingga dalam cuaca yang remang-remang itu dapat
kelihatan oleh Yo Han betapa rongga mulut itu tidak memiliki sebuah pun gigi lagi.
"Engkau? Yang dapat menahan tabrakanku, tidak mau belajar silat? Membenci ilmu silat dan membenci
kekerasan? Engkau yang mengaku murid Thian-te Tok-ong? Ha-ha-ha, engkau boleh membohongi orang
lain, akan tetapi jangan coba-coba untuk membohongi Ciu Lam Hok!"
"Aku tidak pernah berbohong dan tidak akan suka berbohong, Locianpwe."
"Orang muda, omongan apa yang kau keluarkan ini? Engkau mengaku murid Thian-te Tok-ong akan tetapi
mengatakan tidak suka belajar silat? Lalu, apakah Thian-te Tok-ong mengajar engkau menari? Ha-ha-ha..."
"Benar, Locianpwe. Suhu mengajar aku menari dan bersenam."
Kembali sepasang mata itu terbelalak, lalu pecahlah suara ketawanya tergelak-gelak dan tubuh itu pun
bergulingan di atas lantai yang kotor. Tubuh itu baru berhenti di ujung ruangan itu dan tiba-tiba mulutnya
dunia-kangouw.blogspot.com
meniup-niup. Yo Han segera merasa ada banyak benda-benda kecil yang meluncur deras menyambar ke
arah lehernya.
Pemuda ini cepat menggerakkan tubuhnya karena kini banyak benda yang menyambar ke arahnya dan
yang menjadi sasaran adalah jalan-jalan darah. Ia cepat menggerakkan tubuh, menari seperti monyet yang
bergerak dengan cepat dan lincah sekali sehingga dia mampu mengelak dari sambaran benda-benda kecil
yang ditiupkan oleh mulut kakek itu.
"Ha! Engkau pandai ilmu silat Monyet dan Lutung Hitam! Dan kau bilang tidak pernah belajar silat?" kakek
itu berseru, suaranya mengandung kemarahan. "Dan kau bilang tidak berbohong, tidak pernah berbohong?
Hemm, engkau setan cilik, tentu curang dan licik seperti gurumu!"
"Locianpwe, harap jangan menuduh sembarangan saja! Aku tidak bersilat, melainkan menari dan memang
tarian ini disebut tarian monyet dan lutung hitam!"
Tiba-tiba ada sebuah benda kecil menyambar lagi dan sekali ini Yo Han kurang cepat mengelak sehingga
lehernya terkena sambaran benda kecil itu. Dia merasa bagian yang terkena benda itu perih dan agak
nyeri, akan tetapi baginya tidak berapa mengganggu.
"Yang licik dan curang bukan aku, melainkan engkau, Locianpwe. Engkau menyerangku secara
membokong sehingga leherku terkena tiupan benda rahasiamu.”
Tangan Yo Han memijat bagian leher yang terluka dan keluarlah sebatang jarum kecil. Dia mencabut jarum
itu dan melemparkannya ke lantai dengan sikap acuh.
Kini kakek itu melongo. Dia kini tahu bahwa pemuda itu tidak main-main atau mencoba untuk
membohonginya. Agaknya pemuda itu memang mengira bahwa ilmu silat yang dikuasainya itu adalah ilmu
menari! Dan yang membuat dia terkesima adalah cara orang muda itu menyambut jarumnya yang telah
melukai lehernya.
Orang lain, betapa pun lihainya, sekali terluka jarumnya, apa lagi di leher, tentu sudah roboh dan tewas!
Tetapi orang muda itu dapat menarik keluar jarum itu dari lehernya, membuangnya ke tanah dan masih
sempat menegurnya. Jangankan tewas, roboh pun tidak, bahkan mengeluh pun tidak! Hampir dia tidak
mau percaya akan kenyataan yang dilihatnya.
Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan seruan aneh, melengking seperti lolong serigala, dan tubuhnya sudah
bergulingan. Kini rambutnya yang panjang itu menyambar-nyambar ke arah tubuh Yo Han.
Pemuda ini terkejut dan kembali dia ‘menari’, akan tetapi sekali ini, gerakan rambut kakek itu yang
menyerangnya terlalu cepat dan aneh. Dia hanya berhasil meloncat dan mengelak empat lima kali saja,
kemudian tiba-tiba kedua kakinya terkena totokan ujung rambut dan dia pun terpelanting jatuh!
Yo Han meloncat bangkit kembali dan kembali kakek itu menyerangnya dengan rambut. Suara rambut itu
menyambar-nyambar sampai mengeluarkan bunyi bercuitan aneh. Yo Han kini menggunakan ilmu ‘senam’,
berdiri kokoh, mengerahkan tenaga yang dapat membuat tubuhnya keluar semacam tonjolan besar,
kemudian dia menghadapi kakek itu dengan dorongan kedua tangannya dengan senam yang disebut
mendorong bukit.
Pada saat itu, kakek tadi sedang menggelundung dan kembali rambutnya menyambar. Yo Han mendorong
dan tenaganya bertemu dengan tenaga yang luar biasa kuatnya, keluar dari kepala atau rambut-rambut itu
sehingga Yo Han merasa kepalanya seperti meledak, tubuhnya terpental ke belakang dan kembali dia
roboh!
Kakek itu pun terguling-guling ke belakang dan ketika dia sudah bangkit lagi, dia berseru kagum.
"Siancai...! Engkau ini manusia ataukah setan? Heii, Yo Han, katakan sejujurnya, siapa engkau dan apa
pula maksudmu menuruni sumur ini?"
Yo Han yang sudah bangkit berdiri, memandang kepada kakek itu penuh takjub. Kini tahulah dia bahwa dia
berhadapan dengan seorang manusia aneh, yang biar pun tak bertangan kaki lagi, namun memiliki ilmu
kepandaian yang hebat sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ang-I Moli, Si Iblis Betina yang amat lihai itu saja tidak mampu merobohkannya sampai dua puluh jurus
ketika dia mainkan tarian monyet dan lutung hitam, bahkan pukulan iblis betina itu dapat dia tahan dengan
ilmu senam ‘Mendorong Bukit’. Akan tetapi, dalam beberapa gebrakan saja dia roboh oleh kakek yang
tidak mempunyai tangan dan kaki ini. Tarian dan senam yang dikuasainya tidak mampu menolongnya.
Jelas bahwa kakek ini jauh lebih lihai dibandingkan Ang-I Moli!
"Locianpwe, tadi sudah kukatakan bahwa namaku Yo Han dan aku adalah murid Suhu Thian-te Tok-ong,
mempelajari ilmu menari dan bersenam dari Suhu. Sudah tiga tahun aku menjadi muridnya. Aku pula orang
yang diberi tugas oleh Suhu untuk menurunkan makanan ke dalam sumur. Sudah lama aku sangat tertarik
dengan suara tangisan dari dalam sumur, maka hari ini aku tidak mampu lagi menahan keinginan tahuku,
aku turun ke dalam sumur untuk melihat siapa yang menangis, bila perlu aku akan menolongnya. Tahukah
engkau, Locianpwe, siapa yang suka meraung-raung itu?"
"Ahh... ahhh... sungguh aneh sekali. Memang sungguh ini pasti kehendak Tuhan... yang mengirim engkau
masuk ke sini. Dan bagaimana engkau dapat masuk ke sini?"
"Dengan merayap, Locianpwe. Di antara tari-tarian yang diajarkan oleh Suhu, terdapat tarian gerakan
cecak merayap dan aku sudah mempelajarinya.”
"Ahh… ahhh... engkau ini anak tolol ataukah anak yang sungguh luar biasa? Yo Han, mendekatlah, nak.
Aku ingin mengenalmu lebih dekat lagi."
Yo Han maklum bahwa jauh atau dekat, bagi kakek sakti ini sama saja. Kalau kakek ini hendak
membunuhnya, walau pun dia menjauh pun tidak ada gunanya. Maka dengan tabah dia pun melangkah
dan menghampiri kakek itu.
"Diamlah, Yo Han, aku hendak memeriksa keadaan tubuhmu," kata kakek itu.
Tiba-tiba rambut kepalanya bergerak, bagai ular-ular kecil dan tahu-tahu rambut itu telah melibat-libat
seluruh tubuh Yo Han. Pemuda remaja ini bergidik. Dia dapat merasakan betapa rambut-rambut itu bukan
hanya membelit akan tetapi juga memijit-mijit, menotok sana sini. Rambut itu hidup!
Yo Han memejamkan matanya, seluruh jiwa raganya memuji kebesaran Tuhan. Bukan main! Agaknya
karena kakek ini kehilangan kaki dan tangan, maka rambutnya menjadi hidup dan dapat menggantikan
tangan untuk meraba-raba, memijit, bahkan menekan-nekannya.
Berulang-ulang kakek itu mengeluarkan seruan kaget dan heran. Kemudian, ketika dia menggerakkan
kepala dan hidungnya yang menjadi keras itu menotok-notok ke arah pusar Yo Han, dia terlempar dan
bergulingan.
"Locianpwe...! Engkau tidak apa-apa...?” Yo Han cepat menghampiri.
Kakek itu menarik napas panjang dan menggelengkan kepala, lalu menengadah.
"Ya Tuhan, inilah... inilah..." dan tiba-tiba dia pun menangis! Suara tangis yang sering didengar oleh Yo
Han!
Tentu saja Yo Han menjadi heran bukan main. "Locianpwe, ada apakah? Maafkan kalau aku bersalah."
Dan Yo Han memandang terharu. "Jadi... kiranya Locianpwe yang suka meraung dan menangis itu?"
Kakek itu menghentikan tangisnya dan sungguh mengharukan. Rambut itu kini bergerak mengusap air
mata dari mukanya! Melihat ini, Yo Han merasa tidak tega, karena bagai mana pun juga, gerakan rambut
itu canggung sekali.
"Yo Han, bocah ajaib. Setelah engkau tiba di sini dan melihat bahwa akulah orangnya yang suka meraung
dan menangis, lalu apa yang akan kau lakukan?"
"Locianpwe, entah siapa yang begitu kejam membuangmu ke sini. Aku akan mencoba untuk menolongmu
dan membawamu keluar dari sumur ini," dalam suara pemuda itu terkandung ketegasan.
Kakek itu kini tertawa! Baru saja ia menangis, kini sudah tertawa. Memang luar biasa sekali kakek itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Dan begitu keluar dari sini, engkau dan aku akan dibunuh oleh Thian-te Tok-ong? Tidak, Yo Han. Kalau
engkau dibunuhnya, itu masih belum hebat. Akan tetapi kalau aku yang dibunuhnya, apakah
pengorbananku ini akan menjadi sia-sia?"
"Apa maksudmu, Locianpwe?"
"Engkau duduklah, meski pun tempat ini agak kotor, akan tetapi aku akan bercerita, dan agaknya Tuhan
sengaja mengirimkan engkau ke sini untuk mendengarkan ceritaku."
"Aku pun yakin bahwa tentu kekuasaan Tuhan yang telah mendorongku untuk menuruni sumur ini dan
bertemu denganmu. Ceritakanlah, Locianpwe."
Kakek yang lengannya buntung sampai hanya tinggal kedua pundaknya saja, dan yang kakinya buntung
mulai dari pangkal paha itu berdiri di atas pinggulnya sambil bersandar dinding sumur, dan dengan suara
lembut dan lirih dia pun mulai bercerita, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Yo Han yang merasa
amat tertarik.
Delapan tahun lebih yang lalu, kakek itu masih belum berada di dasar sumur itu, Juga kaki dan tangannya
masih lengkap dan utuh. Dia bernama Ciu Lam Hok dan merupakan tiga serangkai kakak beradik
seperguruan dengan Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko. Ciu Lam Hok adalah yang termuda, akan tetapi
dalam hal ilmu silat, tingkat kepandaian Ciu Lam Hok lebih tinggi dari pada tingkat kedua orang suheng-nya
itu. Hal ini adalah karena dia memang suka sekali merantau dan bertualang, menjelajah di seluruh daratan
Tiongkok dan selalu mempelajari ilmu-ilmu silat baru sehingga dia semakin maju dalam ilmu silat.
Pada waktu Thian-li-pang didirikan, pendirinya adalah tiga serangkai bersaudara itu, dan Thian-li-pang
didirikan dengan tujuan untuk menghimpun orang-orang gagah, menjadi sebuah perkumpulan yang kuat.
Tak lama kemudian, Ciu Lam Hok pergi meninggalkan Thian-li-pang untuk kembali bertualang.
Kurang lebih sembilan tahun yang lalu, ketika mendengar sepak terjang Thian-li-pang yang mengarah
kepada kesesatan, dia terkejut dan lebih lagi ketika mendengar betapa dua orang suheng-nya sudah
memperdalam ilmu mereka dengan ilmu mengenai racun sehingga mereka dijuluki Ban-tok Mo-ko (Iblis
Selaksa Racun) dan Thian-te Tok-ong (Raja Racun Langit Bumi). Hatinya merasa khawatir sekali dan dia
pun cepat pulang untuk membuktikan kebenaran berita itu.
Betapa kagetnya ketika tiba di Thian-li-pang dia melihat bahwa berita yang didengarnya memang tepat!
Thian-li-pang memang masih merupakan perkumpulan yang menentang penjajah Mancu, akan tetapi di
samping itu, Thian-li-pang bergaul pula dengan golongan sesat, bahkan bekerja sama dengan Pek-liankauw
dan tak segan melakukan berbagai kejahatan dan kekejaman. Demi perjuangan, mereka sanggup
melakukan apa pun juga, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan!
Ciu Lam Hok dengan berani menemui kedua orang suheng-nya, lalu menegur mereka yang ia anggap
menyeleweng. Dua orang suheng-nya kemudian menjadi marah, terjadi pertengkaran yang berakhir
dengan perkelahian. Tapi bukan hanya Ban-tok Mo-ko yang kalah, bahkan Thian-te Tok-ong juga kalah
oleh Ciu Lam Hok!
Dua orang kakek yang sekarang sudah condong ke arah kesesatan dan tidak pantang melakukan
kecurangan itu berpura-pura menyesal dan bertobat. Dan tentu saja Ciu Lam Hok mau memaafkan kedua
orang suheng-nya itu asal mereka mau mengubah haluan Thian-li-pang yang dibuat menyeleweng,
kembali ke jalan benar yang biasa ditempuh perkumpulan para pendekar.
Dan setelah akur kembali, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong membujuk sute mereka itu untuk
menceritakan, ilmu aneh dan hebat apa yang membuat sute mereka itu dapat demikian lihai sekarang.
"Aku dapat terbujuk oleh mereka," kakek buntung itu melanjutkan ceritanya yang sangat menarik hati Yo
Han. "Aku menceritakan bahwa aku telah menemukan kitab ilmu Bu-kek Hoat-keng yang pernah
diperebutkan para datuk. Itulah kesalahanku. Aku lupa bahwa amat sukar bagi seorang yang sudah
menjadi hamba nafsunya untuk kembali ke jalan benar. Mereka dapat berpura-pura, namun sukarlah bagi
seseorang untuk benar-benar bertobat. Biasanya, pernyataan tobat itu hanya terjadi karena mereka
merasa menderita sebagai akibat perbuatan mereka. Kalau penderitaan itu telah lewat, maka mereka lupa
lagi akan pernyataan mereka untuk bertobat, bahkan melakukan kejahatan lebih besar lagi untuk menebus
kekalahan mereka sebelumnya."
dunia-kangouw.blogspot.com
Yo Han mengangguk-angguk. "Kalau saja mereka memiliki iman kepada Tuhan sampai ke tulang sumsum
mereka, tentu mereka akan menyerah kepada Tuhan dan jika sudah begitu, maka kekuasaan Tuhan yang
akan mampu menuntun mereka kembali ke jalan benar. Hanya kekuasaan Tuhan yang mampu
mengendalikan nafsu yang selalu ingin meliar."
"He-he-heh, engkau memang anak aneh!” kata kakek itu. "Nah, karena kelengahanku, pada suatu hari aku
menjadi korban perangkap mereka. Aku keracunan dan tak mampu lagi menandingi mereka. Dalam
keadaan terluka dan keracunan itu, mereka mendesak untuk menyerahkan kitab ilmu Bu-kek Hoat-keng.
Akan tetapi, kitab itu sudah kubakar, hanya isinya telah kupindahkan ke dalam kepalaku, tercatat dalam
ingatan. Karena aku berkeras tidak mau membuka rahasia Bu-kek Hoat-keng, mereka menjadi marah. Lalu
mereka menyiksaku, bahkan juga membuntungi kaki tanganku dan melemparkan aku ke dalam sumur ini,
delapan tahun lebih yang lalu. Akan tetapi, mereka tidak tahu bahwa ilmu Bu-kek Hoat-keng dapat
kugunakan untuk menyelamatkan nyawaku, bahkan juga membersihkan tubuhku dari pengaruh luka dan
racun mereka, ha-ha-ha!"
Yo Han mendengarkan dengan hati ngeri. "Betapa kejam mereka!" katanya penasaran. "Ahhh, tentu
Locianpwe sudah mengalami penderitaan hebat selama delapan tahun di dalam sumur ini. Akan tetapi,
Locianpwe berilmu tinggi, mengapa tidak berusaha keluar dari sini?"
Kakek itu menghela napas panjang. "Betapa pun hebatnya ilmu Bu-kek Hoat-keng, akan tetapi kalau tanpa
kaki dan tangan, bagaimana aku dapat merayap naik? Loncatanku pun tidak akan mencapai tinggi sumur
ini yang sekitar dua puluh meter. Dan andai kata aku sudah berhasil naik, kalau di sana aku diserang oleh
dua orang suheng-ku, dalam keadaan tak bertangan tak berkaki ini, aku pun pasti kalah."
"Sungguh mereka itu kejam sekali, tega melakukan perbuatan yang begini keji terhadap adik seperguruan
sendiri. Tetapi, Locianpwe, kalau mereka sudah melempar Locianpwe ke sini, berarti mereka menghendaki
kematianmu. Kenapa mereka tidak langsung saja membunuhmu, bahkan setelah melempar Locianpwe ke
sini, setiap hari mereka masih mengirim makanan untukmu?"
"Yo Han, apakah engkau tidak dapat menduganya?"
Pemuda remaja itu mengerutkan alis, kemudian mengangguk. "Aku mengerti sekarang. Bukankah mereka
itu sengaja tidak membunuh Locianpwe, hanya membuat Locianpwe tidak berdaya, dengan maksud
supaya Locianpwe akhirnya menyerah lalu memberikan rahasia-rahasia Bu-kek Hoat-keng kepada
mereka?"
"Engkau benar, Yo Han. Akan tetapi, aku tak pernah mau menyerah. Biar pun siksaan ini kadang membuat
aku menjadi hampir gila, membuat aku meraung dan menangis. Akan tetapi aku tidak mau menyerahkan
ilmu itu, sampai mati pun aku tidak mau. Aku hanya menanti sampai Tuhan mengirim seseorang untuk
mewarisi ilmuku, bukan untuk menolongku. Sesudah ilmuku ada yang mewarisinya, aku lebih suka mati.
Apa artinya hidup bagiku dalam keadaan seperti ini? Kalau selama ini aku bertahan hidup, hanya agar
ilmu-ilmuku jangan sampai lenyap dengan sia-sia. Dan terima kasih kepada Tuhan! Engkau dikirim Tuhan
ke sini, Yo Han! Engkaulah yang akan menjadi muridku, menjadi ahli warisku!"
"Tetapi, Locianpwe, aku... aku… tidak mau belajar silat. Aku tidak mau menggunakan kekerasan, tidak mau
berkelahi..."
"Heh-heh-heh, anak tolol. Siapa bilang aku hendak mengajarkan silat kepadamu?"
"Tapi, ilmu apakah Bu-kek Hoat-keng itu?"
"Ya, semacam ilmu menyehatkan badan, tiada bedanya dengan ilmu tari dan senam yang engkau pelajari
dari Thian-te Tok-ong, hanya jauh lebih tinggi tingkatnya. Yo Han, engkau mau menjadi murid seorang
yang jahat dan kejam seperti Thian-te Tok-ong, dan engkau menolak menjadi muridku? Engkau memilih
menjadi muridnya?"
"Bukan begitu, Locianpwe. Akan tetapi, mengajak Locianpwe naik, tentu akan diserang oleh dua orang
suheng Locianpwe itu. Kalau di sini, bagaimana mungkin aku tinggal di sini bersamamu?"
"Heh-heh-heh, soal itu mudah dibicarakan nanti. Yang terpenting, Yo Han, katakanlah. Maukah engkau
menjadi muridku? Ingat, sisa hidupku ini hanya kupertahankan untuk menanti saat seperti ini! Kalau
dunia-kangouw.blogspot.com
engkau tidak mau menjadi muridku, sudahlah, aku tidak mau hidup lebih lama lagi, meski untuk semenit
pun. Sekali aku menghempaskan diri ke dinding, kepalaku akan pecah dan nyawaku akan melayang!"
Yo Han sangat terkejut. Dia tahu bahwa kakek ini selain amat lihai, juga memiliki watak yang aneh, maka
tentu ancaman itu bukanlah gertak sambal belaka. Mengingat akan pengalaman kakek ini, maka dia tentu
tidak berbohong. Bagaimana pun juga, dia tidak boleh membiarkan kakek ini membunuh diri. Bila dia
menolak dan kakek ini benar-benar membunuh diri, berarti bahwa dialah penanggung jawabnya, dialah
yang membunuh atau menyebabkan kematian kakek itu! Dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut di depan
kakek itu.
"Suhu, teecu akan mentaati petunjuk Suhu."
Tiba-tiba rambut kepala yang panjang itu menyambar, lalu melibat-libat tubuh Yo Han seperti pengganti
kedua lengan, merangkul dan mendekap, dan kakek itu tertawa-tawa bergelak. Akan tetapi, tak lama
kemudian, rambut itu terlepas dan kakek itu pun mulai menangis sesenggukan.
"Ahhh, engkau kenapakah, Suhu?" Yo Han bertanya, kaget dan khawatir.
Kakek itu tertawa kembali. "Ha-ha-ha, tidak apa, muridku. Aku hanya merasa girang dan terharu. Tuhan
sungguh Maha Adil, akhirnya permohonanku dikabulkan! Mari, Yo Han, kita harus cepat-cepat menyingkir.
Kalau terlambat, jangan-jangan kegembiraan hatiku akan berakhir dengan kematian kita berdua."
"Ehh, kenapa begitu, Suhu?"
"Sudah, tidak ada waktu untuk bicara sekarang. Kita harus bertindak. Lihat di sudut itu."
Yo Han menoleh dan dia melihat bahwa di sudut, dindingnya merupakan sebuah batu sebesar gajah yang
menutupi dinding batu padas. Dia melihat kakek itu meloncat-loncat mendekati batu dari dia pun mengikuti.
"Batu ini kutarik lepas dari tanah, menggunakan rambutku dan hidungku saja. Pekerjaan itu berhasil
setelah aku berusaha selama satu tahun! Dan tahun-tahun berikutnya lalu kupergunakan untuk membuat
terowongan yang menembus ke sumur lain, sumur alam. Batu ini menjadi pintunya. Sekarang, sebelum
bahaya menimpa kita, kita harus pindah ke sumur ke dua itu melalui terowongan. Mari engkau bantu aku
menggeser batu ini ke samping, Yo Han."
Sebelum Yo Han mentaati perintah itu, tiba-tiba terdengar suara dari atas lubang sumur. Suara itu nyaring
dan memasuki sumur dengan kuatnya seperti akan membikin pecah anak telinga, serta mendatangkan
gema sehingga suara itu terdengar sangat aneh dan menyeramkan, bukan seperti suara manusia lagi.
"Ciu Sute...!" Panggilan ini terdengar berulang sampai tiga kali.
"Yo Han...!" Kini suara itu, suara Thian-te Tok-ong, memanggil muridnya.
Sebelum Yo Han menjawab, kakek Ciu Lam Hok telah mendahului. "Ha-ha-ha, Thian-te Tok-ong iblis
busuk! Engkau mencari muridmu?"
"Sute Ciu Lam Hok! Engkau hendak murtad kepada suheng-mu sendiri?"
"Ha-ha-ha, sejak kau lempar aku ke sini, sudah tidak ada hubungan persaudaraan lagi di antara kita, Tokong!
Engkau hendak mencari muridmu yang kau suruh turun untuk membunuhku itu? Ha-ha-ha, engkau
sungguh tolol. Jangankan anak ingusan itu, meski engkau sendiri yang turun, engkau akan mampus
olehku. Anak itu sudah kubunuh!"
Mendengar suara ini, di atas sana menjadi sunyi. Lalu terdengar percakapan yang dapat terdengar dari
bawah. Suara Ban-tok Mo-ko terdengar jelas.
"Suheng, muridmu pasti sudah dibunuhnya. Biar aku masuk ke sana. Dia tentu hanya menggertak saja!
Akan kusiksa dia supaya mengaku dan membuka rahasia Bu-kek Hoat-keng!"
"Jangan, Sute. Dia bukan pembual. Kalau dia mengancam demikian, berarti dia sudah siap siaga. Siapa
tahu dia memasang perangkap."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tapi, dia sudah tidak mempunyai kaki tangan, Suheng! Takut apa?"
"Hemm, jangan pandang rendah, Sute. Dia mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Dan di bawah sana gelap,
kita tidak mengenal tempat itu. Kita menggunakan cara lain untuk membunuhnya."
Selagi mereka bercakap-cakap tadi, Yo Han diam saja karena kini dia tahu bahwa gurunya yang baru tidak
berbohong dan memang Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko sangat keji dan jahat. Maka kini dia pun
hendak membela Ciu Lam Hok, dan dia tidak mengeluarkan suara.
Ciu Lam Hok memberi isyarat dengan anggukan kepala agar dia membantu mendorong batu itu. Dia pun
mengerahkan tenaga mendorong batu sebesar gajah itu ke kiri. Dia tentu tidak akan kuat mendorongnya
kalau tidak ada Ciu Lam Hok yang mendorongnya pula dengan pundak yang tidak berlengan. Batu itu
perlahan-lahan bergeser sehingga nampaklah lubang sebesar tubuh orang. Ciu Lam Hok memberi isyarat
untuk berhenti, kemudian dia tertawa.
"Ha-ha-ha, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong! Kalau tidak takut, kenapa tidak kalian berdua saja turun
ke sini supaya kalian dapat menemani nyawa murid kalian?" Dalam suaranya terkandung ejekan dan
tantangan.
Ban-tok Mo-ko sudah marah sekali. Bila tidak ditahan oleh suheng-nya, tentu dia sudah merayap turun
untuk membunuh bekas sute-nya itu. Dulu memang dia harus mengaku kalah terhadap sute-nya itu,
bahkan dia dan suheng-nya ketika mengeroyok pun tidak akan menang. Akan tetapi, kini sute-nya itu
sudah menjadi manusia tapa daksa, sudah kehilangan kedua kaki tangannya. Perlu apa ditakuti lagi?
"Tenanglah, Sute," kata Thian-te Tok-ong. "Dari pada membahayakan diri sendiri lebih baik kita bunuh saja
Si Buntung itu dengan racun."
"Tapi, bagaimana dengan muridmu, Suheng?"
"Yo Han? Ahhh, tentu dia telah dibunuh Ciu Lam Hok yang mengira bahwa Yo Han kusuruh turun untuk
membunuhnya. Dan pula, setelah tiga tahun menjadi muridku, aku semakin putus asa melihat Yo Han. Dia
memang dapat kuakali dan mempelajari ilmu dengan tekun, akan tetapi apa artinya semua itu kalau kelak
tidak dia pergunakan untuk kepentingan Thian-li-pang? Biarlah dia mampus bersama Si Buntung."
Tidak lama kemudian dua orang tokoh besar dari Thian-li-pang itu sudah menghujankan jarum-jarum
beracun ke dalam sumur, juga melemparkan banyak ular dan kalajengking dan segala macam binatang
beracun. Bahkan yang terakhir mereka menyiramkan air yang kehitaman, air yang beracun ke dalam
sumur!
Yo Han dan Ciu Lam Hok sudah cepat menyelinap ke dalam lubang. Kemudian mereka menggeser
kembali batu sebesar gajah agar menutupi lubang sehingga semua benda dan binatang beracun itu tidak
mampu mengganggu mereka. Ketika Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko berteriak-teriak dari atas,
memanggil dan memaki-maki, tidak ada jawaban lagi dari bawah.
Tentu saja demikian karena dua orang yang berada di dalam sumur itu sudah pergi, dan mereka pun tak
lagi dapat mendengar suara setelah lubang itu tertutup batu besar rapat sekali. Karena tidak lagi terdengar
Ciu Lam Hok menjawab, dua orang manusia iblis itu mengira bahwa bekas sute mereka tentu sudah tewas,
maka mereka berdua tertawa gembira.
"Sute, cepat perintahkan Ouw Ban untuk menyuruh anak buahnya menutup sumur itu dengan batu-batu
besar!"
"Tapi, Suheng. Bukankah mereka sudah tewas?"
Thian-te Tok-ong menghela napas panjang. "Mereka berdua adalah manusia-manusia aneh, Sute. Engkau
tahu betapa lihainya Ciu Lam Hok. Biar pun kaki tangannya sudah buntung, akan tetapi dengan Bu-kek
Hoat-keng, kita tidak tahu apa saja yang dapat dia lakukan. Dan anak itu pun seorang anak yang luar
biasa. Siapa tahu dia belum mati dan dapat keluar. Kalau sumur itu ditutup dengan batu-batu besar, biar
bagaimana pun juga mereka tidak akan mungkin dapat hidup lagi."
dunia-kangouw.blogspot.com
Ban-tok Mo-ko mengangguk. Diam-diam dia pun seperti suheng-nya ini, merasa ngeri dan takut terhadap
bekas sute mereka, dan dia pun akan merasa tenang kalau sumur itu sudah ditutup dengan batu-batu
besar. Maka dia pun keluar untuk memberi perintah itu kepada Ouw Ban, Ketua Thian-li-pang.
Puluhan orang anggota Thian-li-pang sekali ini mendapatkan perkenan untuk memasuki goa sambil
membawa batu-batu besar. Mereka melemparkan batu-batu besar ke dalam sumur itu. Jatuhnya batu-batu
besar itu mendatangkan suara hiruk-pikuk bergemuruh.
Mereka, puluhan orang banyaknya dan kesemuanya adalah murid-murid Thian–li-pang yang bertenaga
kuat, harus bekerja sehari penuh baru seluruh sumur itu dapat ditutup. Meski orang memiliki kepandaian
seperti dewa sekali pun, kalau berada di dalam sumur kemudian sumur yang dalamnya dua puluh lima
meter lebih itu ditimbun batu-batu besar sampai penuh, pasti tidak akan mampu lolos lagi.
Yo Han mengikuti kakek buntung itu merangkak melalui terowongan kecil, dan ternyata panjang
terowongan itu hanya belasan meter saja. Yo Han merasa kagum bukan main dan tidak mampu
membayangkan bagaimana caranya seorang yang tidak mempunyai kaki tangan dapat membuat
terowongan sepanjang itu dalam waktu bertahun-tahun!
Akhir terowongan itu merupakan sebuah ruangan yang cukup luas, menjadi dasar dari sebuah sumur yang
mirip sumur pertama. Sumur ini dilihat dari bawah, atasnya tertutup oleh batu-batu dan untungnya, di
antara batu besar yang menutup permukaan sumur, ada yang retak-retak yang lebarnya sejengkal
sehingga dari retakan-retakan batu inilah sinar matahari dapat masuk walau pun tidak banyak dan tidak
lama hanya untuk tiga empat jam saja setiap harinya.
Keadaan dalam ruangan di dasar sumur ini bahkan lebih baik dari pada dasar sumur pertama, karena
dasar sumur ini lebih kering. Ketika tiba-tiba tempat itu tergetar seperti ada gempa dan terdengar suara
hiruk-pikuk, Yo Han sempat terkejut sekali.
“Ahh, apakah itu, Suhu?”
“Ha-ha-ha, mereka sedang menutup sumur kita yang tadi, Yo Han. Dengan batu-batu besar tentu saja.
Sungguh berbahaya sekali! Kalau aku tidak membuat terowongan dan tidak mempunyai sumur ini, tentu
kita berdua sudah tergencet dan terkubur hidup-hidup di sana.”
Yo Han bergidik. Bagaimana ada orang yang bisa berbuat demikian kejamnya terhadap adik seperguruan
sendiri, bahkan juga terhadap muridnya sendiri? Tadinya dia mengira bahwa Ang-I Moli merupakan satusatunya
orang yang paling jahat dan kejam di dunia ini. Siapa kira bahwa orang yang pernah menjadi
gurunya selama tiga tahun, yang bisa bersikap ramah dan lembut kepadanya, ternyata lebih kejam lagi!
"Nah, sekarang kita harus mengatur tempat tinggal kita, Yo Han. Ingat, mulai sekarang kita tidak akan ada
yang memberi makan lagi dan kalau kita tinggal di sini tanpa makan, hanya dalam waktu beberapa minggu
saja kita akan mati kelaparan. Sekarang, pergilah engkau merayap naik dan lakukanlah dengan hati-hati,
jangan sampai engkau ketahuan orang-orang Thian-li-pang. Engkau carilah bahan makanan untuk kita
makan, sedapat mungkin makanan kering untuk ransum kita selama beberapa hari supaya tidak perlu
engkau setiap hari pergi mencari makan. Untuk minum mudah saja. Kalau tanah ini kita gali sedikit saja,
tentu akan bisa mendapatkan air di sini. Kita tidak boleh masak, karena asapnya akan ketahuan oleh orang
di atas."
"Suhu, mengapa susah-susah amat? Biar kubantu Suhu merayap naik, dan di sana kita dapat mencari
tempat tinggal yang baik sehingga lebih enak dan lebih mudah mencari makan."
"Yo Han, sebelum berhasil mengajarkan ilmu-ilmuku kepadamu, aku takkan mau keluar dari sini. Tidak ada
tempat yang lebih aman dari pada di sini. Ketahuilah bahwa sekali aku keluar, seluruh datuk dunia kangouw
akan mencariku dan kita akan menghadapi bahaya yang tiada hentinya! Akan tetapi di sini, siapa yang
akan mengetahui tempat ini? Baru sumur yang pertama saja, yang mengetahuinya hanyalah Thian-te Tokong
dan Ban-tok Mo-ko. Apa lagi di sini, tiada seorang pun yang tahu kecuali kita berdua. Nah, kau
pergilah, Yo Han."
Pemuda remaja itu nampak agak ragu-ragu. "Akan tetapi, ke mana aku harus mencari makanan itu,
Suhu?"
"Aiiihh! Tentu saja ke atas sana, ke rumah-rumah orang yang memilikinya!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tapi... mana mereka mau memberi banyak makanan kepadaku?"
"Hushh! Siapa suruh engkau minta-minta makanan? Kalau engkau minta makanan tentu semua orang
mengenalmu. Engkau tidak boleh memperlihatkan diri kepada siapa pun juga. Mengerti? Sekali saja
engkau memperlihatkan diri, maka celakalah kita. Tempat ini tentu dapat diketahui, atau engkau akan
ditangkap lebih dulu."
"Habis, bagaimana kalau tidak boleh minta, Suhu? Andai kata membeli pun, mereka akan melihatku. Apa
lagi aku tidak mempunyai uang sama sekali, bagaimana dapat membeli makanan?"
"Hemm, mengapa engkau tidak bisa mencari akal, Yo Han? Dengan kepandaianmu itu, engkau dapat
mencuri makanan dengan sangat mudahnya dan membawanya ke sini tanpa diketahui orang."
Sepasang mata Yo Han terbelalak. "Mencuri? Wahhh... aku tidak sanggup, Suhu. Aku tidak mau mencuri!
Itu bahkan lebih jahat dari pada minta-minta. Heran, mengapa Suhu dapat menyuruh aku untuk melakukan
pencurian? Kita bukan maling, Suhu..."
Kalau saja kakek itu masih mempunyai tangan kaki, tentu tangannya akan menampar kepala sendiri dan
kakinya akan dibanting ke tanah saking jengkelnya.
"Waduh! Engkau ini sungguh aneh. Apa engkau ingin menjadi dewa? Dewa pun masih suka mencuri kalau
terpaksa. Nah, baiklah kalau begitu. Engkau mengambil makanan, pakaian dan apa saja yang kau
perlukan dari sebuah toko dan rumah makan, dan kau tinggalkan uang di tempat engkau mengambil
barang-barang itu. Cara ini bukan mencuri namanya! Coba kau dekati dinding sebelah kiri itu.”
Dengan hidungnya, kakek itu menunjuk ke dinding kiri. Yo Han menghampiri dinding itu. "Kau lihat bagian
yang mengkilat itu? Nah, cokel keluar dua buah batu, pilih yang kecil saja, yang sebesar ibu jari tanganmu!"
Sinar matahari yang mendatangkan penerangan dalam goa itu memang terpantul oleh beberapa buah batu
di dinding itu. Yo Han memilih yang kecil-kecil dan mencokel lepas dua buah batu sebesar ibu jari
tangannya.
"Apakah ini, Suhu?"
"Emas."
"Emas? Benarkah?" Yo Han terbelalak memandang kepada gurunya, lalu kepada dua buah batu yang
mengkilap di tangannya, kemudian menoleh ke arah dinding.
"Benar. Aku tidak sudi menipu orang, apa lagi engkau. Dinding itu mengandung batu-batu emas, dan dua
buah di tanganmu itu sudah cukup untuk memborong barang apa saja yang kau kehendaki. Jangan
khawatir, apa pun yang dapat kau bawa dari sebuah toko, tidak cukup berharga untuk ditukar dengan
sebuah batu emas itu. Kau tinggalkan saja salah sebuah di tempat engkau mengambil barang, dan
pemiliknya akan bersorak kegirangan karena dia telah mendapat keuntungan besar. Berarti engkau tidak
mencuri, kan?"
Yo Han mengangguk-angguk. Senang hatinya. Dia tidak sudi kalau harus mencuri, maka dengan adanya
dua buah batu emas ini, dia boleh mengambil milik orang tanpa diketahui dan meninggalkan batu itu di
tempat barang yang diambilnya.
"Kalau begitu, biar aku berangkat sekarang, Suhu."
"Baik, pergilah. Akan tetapi hati-hati, jangan sampai engkau dilihat siapa pun, gunakan kelincahan
gerakanmu. Dan ingat baik-baik, Yo Han. Aku akan selalu menunggumu di sini sampai engkau kembali,
menunggumu dengan rasa lapar dan haus, menunggumu sampai aku mati kalau engkau tidak kembali.
Nah, pergilah."
Yo Han memberi hormat, mengantungi dua potong batu itu, lalu menggunakan gerakan cecak merayap,
dia menanggalkan sepatu yang dia selipkan di ikat pinggang belakang, lalu mulailah dia merayap naik,
menggunakan telapak tangan dan kaki. Tenaga sinkang di tubuhnya dapat dia atur sehingga telapak
tangan dan kakinya dapat menyedot ke permukaan dinding sumur dan melekat di situ!
dunia-kangouw.blogspot.com
Perlahan-lahan dan dengan hati-hati ia mulai merayap naik. Sekali saja keliru mengatur tenaga pada
telapak tangan dan kakinya, tentu dia akan terjatuh kembali ke bawah! Akan tetapi, Yo Han sudah melatih
ilmu yang oleh Thian-te Tok-ong dinamakan ‘tarian cecak’ ini dengan baik sehingga dia dapat terus
merayap ke atas, dilihat dari bawah oleh kakek Ciu Lam Hok yang mengangguk-angguk senang.
Anak muda itu seorang yang memiliki bakat luar biasa, pikirnya. Bahkan di tubuh anak itu terdapat tenaga
sakti yang mukjijat. Dia tidak merasa khawatir kalau anak itu tidak akan kembali. Anak itu bersih, polos dan
jujur, tidak mungkin meninggalkannya begitu saja, apa lagi sudah dia bekali pesan bahwa dia akan menanti
setiap saat sampai ia mati kelaparan. Itu saja pasti akan membuat hati anak itu tidak tega
meninggalkannya.
Ketika tiba di permukaan sumur, ternyata mulut sumur itu tidak tertutup batu-batu retak. Batu-batu itu masih
di atas mulut sumur, ada tiga meter tingginya dan ternyata mulut sumur berada di dalam sebuah goa yang
kecil. Mulut goa nampak di depan sana, akan tetapi melalui terowongan yang hanya dapat dilalui dengan
merangkak oleh orang yang tidak terlalu besar tubuhnya.
Melihat ini, Yo Han merasa girang. Sungguh sangat baik tempat sembunyi gurunya di dalam sumur itu.
Tidak mungkin ada orang memasuki terowongan goa yang demikian sempitnya, dan andai kata ada juga
yang mencoba merangkak memasukinya, orang itu tentu akan segera kembali keluar setelah melihat
bahwa goa terowongan itu berakhir pada mulut sebuah sumur yang amat dalam dan gelap menghitam!
Lebih baik lagi, mulut goa kecil itu tertutup rapat oleh semak belukar dan alang-alang. Dia mengintai dari
mulut goa, di balik semak belukar dan ternyata dia berada di lereng sebuah bukit. Tentu masih termasuk
daerah Thian-li-pang, pikirnya.
Dia harus berhati-hati. Tempat itu sunyi sekali, tidak nampak seorang pun manusia. Dia mengamati dan
mengingat tempat itu supaya tidak lupa kalau akan kembali ke sumur. Kemudian, berindap-indap dia keluar
dari balik semak belukar, lalu berlari cepat sambil menyusup-nyusup di antara pohon dan semak, menuruni
lereng itu, menuju ke sebuah dusun yang telah dapat dilihatnya dari atas, sebab nampak genteng banyak
rumah.
Setelah kini mendapatkan kesempatan, baru Yo Han menyadari bahwa semua latihan yang diberikan
Thian-te Tok-ong kepadanya, yang dikatakannya latihan ilmu menari dan bersenam, sungguh amat
berguna baginya. Kini dia dapat bergerak dengan lincah dan ringan sekali sehingga dia dapat bergerak
menuju ke dusun di bawah itu tanpa dilihat orang.
Dan giranglah dia ketika dia melihat sebuah rumah makan di dusun itu. Dia menyelinap ke belakang dan
menuju dapur. Ketika dalam intaiannya dia melihat pekerja restoran itu mengambil guci-guci arak dan
bahan-bahan masakan dari dalam gudang dekat dapur, dia pun menyelinap dan setelah orang itu keluar,
dia masuk ke dalam gudang. Ternyata apa yang dibutuhkannya berada di dalam gudang itu.
Cepat dia mengambil karung dan menyambar guci berisi kecap, asinan, daging kering, roti kering, telur
asin dan bermacam makanan kering sampai karung terisi penuh. Dia mengambil pula mangkok, piring dan
panci. Setelah merasa cukup, dia meninggalkan sepotong batu emas di atas meja, dan pergilah dia dengan
cepat.
Di sebuah toko kecil yang menjual pakaian, dia pun masuk dari belakang dan berhasil mengambil pakaian,
gunting, jarum dan benang, sepatu, kaos kaki, dan segala macam perkakas seperti catut, kapak, martil dan
sebagainya.
Ia kembali ke dalam goa kecil membawa dua buah karung. Ia membayangkan betapa akan senangnya
pemilik rumah makan dan pemilik toko ketika menemukan potongan batu emas. Seperti juga di rumah
makan, dia pun meninggalkan potongan batu emas di meja di mana dia mengambil pakaian.
Kini dia merangkak di dalam terowongan sempit sambil menyeret dua buah karung itu, kemudian setelah
tiba di mulut sumur, dia merayap turun. Sempat pula dia terlongong sejenak di mulut sumur. Apakah dia
harus kembali ke tempat yang seperti neraka itu? Akan tetapi, bagaimana dia dapat tega meninggalkan
kakek yang tak berdaya itu, yang buntung kaki tangannya dan yang menantinya setiap saat di dasar sumur
dengan perut lapar dan yang pasti akan mati kelaparan kalau dia tidak kembali? Tidak, dia tidak boleh
sekejam itu. Apa lagi kakek itu telah dia angkat sebagai guru.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ha-ha-ha, sudah yakin hatiku bahwa engkau memang seorang anak yang dikirimkan Tuhan kepadaku, Yo
Han. Sedikit pun tidak ada keraguan di hatiku bahwa engkau pasti akan kembali ke sini!" Kakek itu tertawa
gembira dan menyuruh muridnya mengeluarkan semua isi dua buah karung itu agar dia dapat melihat apa
saja yang dibawa turun oleh muridnya.
Ketika dia melihat guci arak, dia menggerakkan kepalanya. Rambutnya menyambar ke arah sebuah guci
dan seperti hidup saja, rambut itu melibat sebuah guci arak, mencabut penutupnya, membawa ke depan
mulut dan dia pun minum dengan lahap.
Yo Han memandang kagum. Gurunya itu memang seorang manusia hebat. Walau pun kaki tangannya
sudah tidak ada, namun dia dapat melayani semua kebutuhan hidupnya dengan rambutnya, mulutnya,
bahkan hidungnya sebagai pengganti tangan. Dan tubuh yang tak berkaki itu agaknya sama sekali tidak
canggung untuk bergerak ke sana sini dengan cara berloncatan seperti katak yang lincah.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru