Kamis, 19 April 2018

Cerita Silat Dewasa Jaka Lola 2

-----
baca juga
Meski pun Siu Bi seorang yang amat tabah dan tidak takut mati, namun ia bukan gadis bodoh. la sangat
cerdik dan ia maklum bahwa saat ini ia berada di sarang harimau. la berada di pulau orang, musuhmusuhnya
lihai dan berjumlah banyak. Nekat memusuhi mereka berarti mati. Maka ia lalu menekan
perasaannya dan menjawab,
"Dia adalah ayahku." Segan hatinya menyebut nama The Sun, maka ia hanya menyebut ‘dia’ saja.
Tiba-tiba terjadi perubahan hebat pada muka nenek itu. Sejenak dia memandang Siu Bi dengan mata
terbelalak, mulut ternganga, lalu perlahan-lahan kedua mata itu menitikkan air mata dan ia kemudian lari
merangkul Siu Bi sambil menangis! Tentu saja Siu Bi jadi tercengang keheranan.
"Aihhh, siapa kira... kita adalah orang-orang sendiri, anakku...!"
Meremang bulu tengkuk Siu Bi dan tiba-tiba saja perutnya menjadi mulas mendengar ini karena timbul
dugaan yang mengerikan dalam hatinya. Jangan jangan... jangan jangan... dia tidak saja bukan anaknya
The Sun, akan tetapi juga bukan anak ibunya dan... dan... perempuan mengerikan ini adalah ibu
kandungnya!
Dengan muka pucat diam-diam dia berdoa semoga dugaan ini tidak benar adanya. Akan tetapi hatinya
demikian risau, membuat tenggorokannya serasa tercekik sehingga ia tidak mampu bertanya apa yang
dimaksudkan oleh nenek ini dengan kata-kata ‘orang-orang sendiri’ tadi.
Adalah Ouwyang Lam yang juga amat terheran-heran itu yang mengajukan pertanyaan, "Nio-nio, apakah
artinya ini? Siapakah Nona ini?"
Ang-hwa Nio-nio tersenyum dibalik air matanya, melepaskan pelukan dan menggandeng tangan Siu Bi.
"Mari kita pulang, mari... kita adalah orang sendiri. Mari dengarkan semua keteranganku di rumah... ahhh,
untung tadi kau keluarkan Hek-in-kang itu, anakku..."
Mual rasa perut Siu Bi mendengar nenek ini menyebutnya ‘anakku’. Akan tetapi karena bekas lawan
bersikap begini ramah, tak mungkin ia mempertahankan sikap bermusuhan lagi. Betapa pun juga, ia masih
ragu-ragu. Siapa tahu ada apa-apanya di balik sikap aneh ini. Siapa tahu ada kutang di balik baju… ehh,
udang di balik batu!
"Sungguh aneh sekali sikapmu, Paicu. Kalau memang benar aku ini orang sendiri, masa orang-orangmu
memperlakukan aku sedemikian rupa? Ini penghinaan besar yang tiada taranya, menjadikan aku tawanan
berhari-hari dan membelenggu kaki tangan.”
"Ohhh, mereka tidak tahu...."
"Kalau pun tidak tahu, bila sudah melakukan penghinaan kepada orang sendiri, apa yang akan kau lakukan
kepada mereka?"
Ang-hwa Nio-nio segera sadar dan mengedikkan kepalanya, memutar tubuh memandang ke sana ke mari
mencari-cari. Akhirnya dia dapat menemukan mereka dengan pandang matanya, si rambut putih dan si
brewok. Seakan-akan dari pandang matanya itu keluar perintah, karena tanpa kata-kata lagi kedua orang
ini sudah maju dan menjatuhkan diri berlutut!
"Kami... kami betul-betul tidak tahu...," kata si rambut putih, suaranya sudah gemetar tak karuan.
"Kalian menghina puteri sahabat baikku The Sun, kalian sudah menjadikan cucu murid orang tua Hek Lojin
sebagai tawanan? Ahh, kalau di Ang-hwa-pai masih ada orang-orang macam kalian, perkumpulan kita
takkan dapat lama berdiri tegak."
Tiba-tiba, tanpa peringatan lagi, kedua tangan Ang-hwa Nio-nio bergerak. Terdengar jerit dua kali dan
tubuh dua orang pembantu itu lantas terjengkang ke belakang, mata mereka mendelik, muka mereka
dunia-kangouw.blogspot.com
berubah merah laksana darah dan nafas mereka sudah putus! Kedua orang itu sudah terkena pukulan
jarak jauh yang mengandung tenaga beracun ang-tok sepenuhnya!
Ang-hwa Nio-nio tersenyum ketika menoleh kepada Siu Bi. "Nah, itulah hukuman mereka yang berani
menghinamu, anakku. Mari, mari... marilah ikut bibi Kui Ciauw, sahabat baik ayahmu..."
Siu Bi merasa begitu lega, seolah-olah batu sebesar gunung yang tadi menindih hatinya diangkat orang
ketika mendengar ucapan terakhir itu. Kiranya nenek ini yang bernama Kui Ciauw, berjuluk Ang-hwa Nionio,
adalah sahabat baik ‘ayahnya’, jadi bukanlah ibu kandung seperti yang ia khawatirkan. Oleh karena
hati yang lega dan puas ini, dia tidak membantah lagi ketika digandeng pergi, malah ia tersenyum kepada
‘bibi Kui Ciauw’ dan membalas senyum Ouwyang Lam yang berjalan di sebelahnya!
Sikap Kui Ciauw atau Ang-hwa Nio-nio terhadap Siu Bi itu sebetulnya bukan dibuat-buat, juga tidaklah
aneh. Belasan tahun yang silam wanita ini bersama dua orang saudaranya disebut Ang-hwa Sam-cimoi
(Tiga Kakak Beradik Bunga Merah). Mereka bertiga bekerja sama dengan The Sun dan Hek Lojin,
melakukan perang terhadap Pendekar Buta dan kawan-kawannya.
Kemudian mereka semua ini dikalahkan oleh Pendekar Buta, malah dua orang adiknya tewas, The Sun
terluka hebat dan Hek Lojin buntung sebelah lengannya. Oleh karena itulah, maka begitu mendengar
bahwa gadis ini adalah puteri The Sun dan cucu murid Hek Lojin, sikap Ang-hwa Nio-nio seketika berubah.
la menganggap Siu Bi sebagai orang segolongan yang menaruh dendam kepada Pendekar Buta.
Dia tadi sudah menyaksikan betapa kepandaian Hek Lojin telah diwariskan kepada gadis ini, maka sebagai
orang segolongan, tentu saja dia menganggap gadis ini amat penting untuk bersama-sama menghadapi
musuh besar mereka, yaitu Pendekar Buta. Tentu saja mendapatkan tenaga bantuan seperti gadis ini jauh
lebih berharga dari pada orang-orang seperti si rambut putih dan si brewok, maka sebagai pengganti
mereka, ia rela menerima Siu Bi dan menewaskan dua orang pembantu itu untuk menyenangkan hati Siu
Bi.
Siu Bi kagum bukan main ketika melihat bangunan-bangunan indah di atas pulau dan memasuki gedung
besar tempat tinggal Ang-hwa Nio-nio serta Ouwyang Lam. Perabot rumah serba indah dan mahal,
gambar-gambar indah, tulisan-tulisan dengan sajak-sajak kuno menghias dinding, membuat gedung itu
kelihatan seperti sebuah istana.
Setelah mereka bertiga duduk di ruang tengah dan para pelayan cantik menghidangkan minuman, Anghwa
Nio-nio mulai bercerita, "Anak baik, ketahuilah, aku adalah Ang-hwa Nio-nio atau ketua dari Ang-hwapai,
namun kau boleh menyebutku bibi Kui Ciauw saja, karena aku adalah sahabat baik dan teman
seperjuangan dengan ayahmu. Dia ini adalah muridku, Ouwyang Kongcu atau Ouwyang Lam, muridku
yang tersayang, dan karenanya dia ini masih terhitung saudara segolongan denganmu. Anak baik, siapa
namamu tadi?
"Namaku Siu Bi."
"The Siu Bi, hemmm, bagus sekali. Tak kunyana bahwa The Sun bisa memiliki seorang anak secantik
engkau. Dan ilmu kepandaianmu juga hebat, agaknya bahkan lebih hebat dari pada ayahmu sendiri. Siu Bi,
apakah ayah dan kakekmu sama sekali tidak pernah bercerita tentang aku?"
Dengan jujur Siu Bi menggeleng kepalanya, dan Ang-hwa Nio-nio mengerutkan alisnya. "Ah, bagaimana
mereka bisa begitu cepat melupakan aku? Tidak ingat akan perjuangan bersama dan penderitaan
senasib? Siu Bi, anakku yang baik, apakah mereka juga tidak pernah bicara tentang Pendekar Buta?"
Mendengar disebutnya musuh besarnya ini, bangkitlah semangat Siu Bi. "Aku memang sengaja turun
gunung untuk mencari Pendekar Buta. Aku hendak membalaskan dendam mendiang kakek dan
membuntungi lengan tangan Pendekar Buta sekeluarga."
Berubah wajah Ang-hwa Nio-nio. "Tadi kau bilang... mendiang kakek? Apakah Hek Lojin si orang tua sudah
meninggal?"
Siu Bi mengangguk dan wanita itu meramkan sepasang matanya. "Ahh, sungguh sayang sekali. Akan
tetapi, sekarang ada kau penggantinya, anakku. Biarlah, mari sama-sama kita menggempur Pendekar
Buta, kita hancurkan kepalanya, kita cabut keluar jantungnya untuk kita pakai sembahyang kepada roh-roh
yang penasaran!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Siu Bi boleh jadi seorang gadis yang luar biasa tabah, akan tetapi mendengar ancaman menyeramkan ini
dia bergidik juga. "Bibi, aku sudah bersumpah hendak mencarinya dan dengan tanganku sendiri aku akan
membuntungi lengannya, juga lengan isterinya serta anak-anaknya."
"Aku akan membantumu..."
"Aku tidak perlu bantuan, Bibi. Aku sendiri cukup untuk menghadapinya."
"Dia lihai sekali."
"Tidak peduli. Aku tidak takut!"
Ang-hwa Nio-nio membelalakkan kedua matanya. Dia tak berdaya menghadapi gadis ini yang begini sukar
untuk diajak berunding. Dia mulai tidak sabar dan hal ini dapat dilihat oleh Ouwyang Lam yang segera
berkata sambil tersenyum.
”Tentu saja adik Siu Bi tidak takut. Masa terhadap seorang musuh yang kedua matanya buta saja takut?
Kalau takut kan bukan orang gagah namanya! Akan tetapi kami yang lemah memerlukan bantuan dan kami
mohon bantuan adik Siu Bi yang gagah perkasa untuk bersama-sama menghadapi Pendekar Buta. Kita
memiliki kepentingan bersama dan kita sama-sama bersakit hati terhadap dia."
Enak didengar ucapan Ouwyang Lam ini dan seketika hati Siu Bi pun dapat dikalahkan. Gadis ini menjadi
tidak enak sendiri mendengar dia diangkat-angkat dan mereka berdua yang ia tahu tidak kalah lihai itu
merendahkan diri. Untuk menghilangkan rasa tidak enak ini ia bertanya. "Mengapakah kalian juga
bermusuh dengan Pendekar Buta? Kalau kakek sudah terang dibuntungi lengannya."
Ang-hwa Nio-nio girang melihat hasil bujukan dan kata-kata halus muridnya, maka kini ia yang memberi
penjelasan.
"Siu Bi, agaknya kakek dan ayahmu tidak memberi penuturan yang lengkap kepadamu. Ketahuilah bahwa
belasan tahun yang lalu, sebelum kau dilahirkan, ayahmu merupakan musuh besar Pendekar Buta, dan
karena ayahmu tidak sanggup menangkan musuhnya, maka kakekmu Hek Lojin datang membantu. Tetapi
ternyata kakekmu juga kalah, malah lengannya dibuntungi. Ada pun aku sendiri, bersama dua orang adik
perempuanku, juga memusuhi Pendekar Buta untuk membalas dendam suci (kakak seperguruan) kami,
akan tetapi dalam pertempuran itu, dua orang adikku tewas, hanya aku seorang yang berhasil
menyelamatkan diri. Karena itulah, aku kemudian bersumpah untuk membalas dendam atas kematian
saudara-saudaraku dan juga atas kekalahan para kawan segolonganku, termasuk ayah dan kakekmu.
Dengan demikian, bukankah kita ini orang sendiri dan satu golongan?"
Siu Bi diam-diam terkejut sekali. Tidak disangkanya bahwa Pendekar Buta sedemikian lihainya sehingga
dikeroyok begitu banyak orang sakti masih dapat menang! Dia semakin ragu-ragu, apakah dia akan dapat
menangkap musuh besar itu? Dan mulailah ia melihat kenyataan akan pentingnya bekerja sama dengan
orang-orang pandai seperti Ang-hwa Nio-nio dan muridnya yang tampan ini. Apa lagi dengan adanya Anghwa
Nio-nio akan lebih mudah baginya untuk bisa mengenal kelemahan-kelemahan lawan karena Ang-hwa
Nio-nio pernah bertempur menghadapi Pendekar Buta.
"Kau betul, Bibi. Maafkan keraguanku tadi. Kalau begitu, marilah kita berangkat bersama ke Liong-thouwsan
mencari musuh besar kita."
Ang-hwa Nio-nio tertawa. "Hi-hi-hik, kau benar-benar seorang gadis yang keras hati dan penuh semangat
Siu Bi. Tak mudah menyerbu ke Liong-thouw-san. Kita harus lebih dulu menghubungi teman-teman
segolongan. Banyak yang akan suka ikut menyerbu ke sana untuk menyelesaikan perhitungan lama. Di
antaranya ada pamanku Ang Moko yang telah menyanggupi. Di samping itu, kau harus membantu kami
lebih dahulu, karena pada saat ini kami sedang menunggu kedatangan musuh-musuh kami yang datang
dari Kun-lun. Sebagai orang segolongan, tentu kau tidak suka melihat kami dihina orang dan tentu kau mau
membantu kami, bukan?"
"Tentu saja, Bibi. Akan tetapi tidak enaklah membantu sesuatu tanpa mengetahui pokok persoalannya.
Mengapa kau bermusuhan dengan orang-orang Kun-lun itu? Aku pernah mendengar dari kakek bahwa
Kun-lun-pai adalah sebuah partai persilatan yang besar."
dunia-kangouw.blogspot.com
Ang-hwa Nio-nio menarik nafas panjang dan mengangguk-angguk, "Sebetulnya, dengan Kun-lun-pai
langsung kami tak mempunyai urusan. Yang menjadi biang keladinya adalah Bun-goanswe sehingga
menyeret Kun-lun-pai berhadapan dengan kami."
"Jenderal Bun di Tai-goan?" tanya Siu Bi, kaget.
Tercenganglah Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam mendengar ini. "Kau kenal dia?"
"Tidak kenal, tapi aku tahu. Pernah aku dijadikan tahanan di sana karena aku membantu para petani yang
ditindas."
"Dia memang sombong!" kata Ouwyang Lam. "Puteranya juga sombong sekali. Dumeh (mentangmentang)
jenderal itu putera dari ketua Kun-lun-pai dan sahabat baik Pendekar Buta, sama sekali tidak
memandang mata kepada orang-orang seperti kita!"
Mendengar bahwa Jenderal Bun itu adalah sahabat baik musuh besarnya, tentu saja Siu Bi menjadi makin
tak senang kepada keluarga Bun.
"Apakah yang terjadi?" tanyanya.
"Ketahuilah, adik Siu Bi. Kami dari Ang-hwa-pai selalu melakukan hubungan baik dengan para pembesar,
malah kami tak pernah berlaku pelit. Semua pembesar dari yang rendah sampai yang tertinggi di wilayah
ini, apa bila mengalami kesukaran, tentu minta bantuan kami dan tidak pernah kami menolak mereka. Akan
tetapi, Jenderal Bun dan puteranya itu malah menghina kami, dan ada empat orang anak buah Ang-hwapai
mereka tangkap dan mereka jatuhi hukuman. Tiga orang anak buah kami yang melawan mereka
bunuh. Coba kau pikir, bukankah mereka itu sudah bertindak sewenang-wenang mengandalkan
kedudukan dan kepandaian?"
"Hemmm, lalu apa yang terjadi?"
"Agaknya urusan ini terdengar oleh ketua Kun-lun-pai yang menjadi ayah dari Jenderal Bun. Kun-lun-pai
mengirim utusan memberi teguran kepada partai kami, dinyatakan oleh partai Kun-lun bahwa sesudah
negara menjadi aman, tidak semestinya kami mengacau. Tentu saja aku tidak sanggup menahan
kemarahan mendengar pernyataan yang amat memandang rendah ini, kumaki utusan itu dan terjadi
pertandingan yang mengakibatkan utusan Kun-lun-pai itu tewas. Karena itu, dalam beberapa hari ini
kurasa akan datang pula utusan Kun-lun-pai ke sini. Apa bila terjadi keributan dengan pihak Kun-lun-pai
yang sombong, kuharap saja kau suka membantu kami, adik Siu Bi."
Siu Bi kembali mengangguk-angguk. Dia sendiri memang tidak suka kepada Jenderal Bun, apa lagi karena
jenderal itu adalah sahabat musuh besarnya. Dengan Kun-lun-pai ia tak mempunyai hubungan apa-apa,
sedangkan orang-orang Ching-coa-to ini merupakan orang segolongan dengannya, sama-sama musuh
besar Pendekar Buta.
"Baiklah, tentu aku akan membantu. Setelah melihat lurah Bhong yang jahat itu dan sikap Jenderal Bun,
aku pun tidak suka kepada para pembesar itu. Kalau mereka keterlaluan harus kita lawan."
Hidangan yang mewah dikeluarkan oleh para pelayan cantik dan tiga orang ini berpesta pora. Diam-diam
Siu Bi merasa girang juga karena nenek dan pemuda itu benar-benar sangat ramah kepadanya, bahkan
pesta itu diadakan untuk menghormatinya! la merasa beruntung bisa bertemu dengan Ang-hwa Nio-nio dan
Ouwyang Lam, sebab jelas bahwa pertemuan ini akan mendekatkan ia pada hasil gemilang tujuan
perjalanannya.
Juga di samping ini, ia tertarik dan suka kepada Ouwyang Lam yang tampan, gagah perkasa dan sangat
manis budi terhadapnya. Tidak mengecewakan mempunyai seorang sahabat seperti dia, pikirnya.
Baru saja mereka selesai makan dan minum, seorang penjaga berlari masuk, memberi laporan bahwa ada
dua orang tosu sedang menyeberangi telaga dan datang berkunjung ke pulau.
"Mereka mengaku datang dari Kun-lun-pai dan minta bertemu dengan Paicu," penjaga itu mengakhiri
laporannya.
Ouwyang Lam meloncat berdiri. "Biarkan aku saja yang pergi menemui mereka," katanya kepada Ang-hwa
dunia-kangouw.blogspot.com
Nio-nio, kemudian menoleh kepada Siu Bi. "Adik Siu Bi, adakah hasrat main-main dengan orang-orang
Kun-lun-pai?"
Dasar Siu Bi berwatak nakal dan pemberani. Mendengar bahwa dua orang Kun-lun-pai datang ke pulau ini,
tentu dengan maksud mencari perkara, dia menjadi ingin tahu dan gembira sekali kalau dia dipercaya
mewakili tuan rumah. Dia menoleh ke arah Ang-hwa Nio-nio yang tersenyum kepadanya dan berkata,
"Pergilah, Siu Bi, dan bergembiralah bersama kakakmu Ouwyang Lam."
Pemuda itu sudah meloncat ke luar, diikuti Siu Bi dan dua orang muda ini berlari-lari menuju ke pantai.
Benar saja seperti yang dilaporkan oleh penjaga tadi, di pantai berdiri dua orang tosu setengah tua yang
sikapnya kereng dan angker. Perahu mereka yang kecil telah berada di darat dan tak jauh dari tempat itu
tampak orang-orang Ang-hwa-pai berjaga-jaga sambil memasang mata penuh perhatian.
Semenjak terjadi peristiwa ada utusan Kun-lun-pai tewas di situ, mereka telah menerima perintah dari
ketua mereka supaya jangan bertindak sembrono apa bila bertemu dengan orang-orang Kun-lun-pai, akan
tetapi langsung melaporkan pada ketua. Inilah sebabnya mengapa para anggota Ang-hwa-pai tidak
mengganggu dua orang tosu itu.
Saat melihat munculnya dua orang muda-mudi yang tampan dan cantik jelita, dua orang tosu itu menjadi
tercengang dan saling pandang. Apa lagi ketika melihat dua orang muda itu langsung menghampiri mereka
kemudian menatap mereka sambil tersenyum-senyum mengejek.
Ouwyang Lam segera bertanya, "Apakah Ji-wi (Kalian) tosu dari Kun-lun-pai?"
Tosu yang bertahi lalat besar di bawah mulutnya menjawab, "Betul, orang muda. Pinto (Aku) adalah Kung
Thi Tosu dan ini sute Kung Lo Tosu. Kami berdua mentaati perintah ketua kami mengantar seorang
suheng (kakak seperguruan) kami menyampaikan pesan ketua kami kepada Ang-hwa-pai. Oleh karena itu,
harap kau orang muda suka memberi tahu kepada Ang-hwa-pai bahwa kami datang berkunjung."
Ouwyang Lam tertawa. "Totiang berdua tak perlu sungkan-sungkan. Kalau ada perkara, beri tahukan saja
kepadaku. Aku Ouwyang Lam mewakili ketua kami dan segala urusan cukup kalian bicarakan dengan
aku."
"Hemmm, begitukah?" Kung Thi Tosu berkata sambil menatap tajam wajah Ouwyang Lam. "Sudah lama
pinto mendengar nama Ouwyang Kongcu. Kedatangan kami ini tidak lain akan menanyakan tentang
suheng kami yang beberapa hari yang lalu datang ke sini. Di manakah suheng kami itu?"
Wajah yang tampan itu menjadi muram. "Totiang, apa kau kira aku ini seorang gembala keledai maka kau
tanya-tanya kepadaku mengenai keledai yang hilang? Sudahlah, lebih baik kalian pergi, cari di tempat lain.
Pulau kami bukan tempat bagi para tosu."
Meski pun terdengar lemas akan tetapi jawaban ini sangat menghina dan menyakitkan hati karena
menyamakan suheng mereka dengan keledai! Kung Lo Tosu yang bermuka kuning menjadi semakin pucat
mukanya ketika dia melangkah maju dan berkata dengan suara keras.
"Orang muda she Ouwyang bermulut lancang! Kami dari Kun-lun-pai tidak biasa menelan hinaan-hinaan
tanpa sebab. Ketua kami mendengar tentang sepak terjang Ang-hwa-pai yang mengacau ketenteraman,
kemudian ketua kami mengutus suheng dan kami berdua untuk datang mengunjungi kalian guna memberi
peringatan secara halus, mengingat kita sama-sama partai persilatan. Akan tetapi suheng yang sangat
hati-hati dan tidak ingin kalian salah paham, menyuruh kami menanti di seberang dan suheng seorang diri
yang datang ke sini empat hari yang lalu. Suheng tidak kelihatan kembali, maka kami datang menyusul.
Kiranya datang-datang kami hanya kau sambut dengan ucapan menghina. Orang muda, lekas katakan di
mana adanya Kun Be Suheng”.
Berubah wajah Ouwyang Lam, agak merah karena dia menahan kemarahannya.
”Aku tidak tahu yang mana itu suheng-mu, akan tetapi beberapa hari yang lalu memang ada seseorang
kurang ajar yang mengacau di sini. Karena dia tidak mau disuruh pergi, terpaksa aku turun tangan dan dia
sudah tewas.”
”Keparat! Jadi kau... kau membunuh suheng...?" Kun Thi Tosu kini pun menjadi marah sekali. "Kalau begitu
dunia-kangouw.blogspot.com
Ang-hwa-pai memang benar-benar jahat sekali, membunuh seorang utusan..."
Ouwyang Lam tertawa mengejek. "Tosu bau, dengarlah baik-baik. Kalau terjadi sesuatu pertengkaran atau
pun pertempuran, jelas bahwa yang salah adalah orang yang datang menyerbu. Aku membela tempatku
sendiri yang hendak dikacau orang lain, mana bisa dianggap jahat? Adalah kalian ini yang bukan orang
sini, datang-datang mengeluarkan omongan besar, kalianlah yang jahat!"
"Ang-hwa-pai partai gurem yang baru muncul berani memandang rendah Kun-lun-pai! Benar-benar
keterlaluan. Bocah sombong, kau harus mengganti nyawa suheng!”
Ouwyang Lam menoleh ke arah Siu Bi. "Kau lihatlah, betapa menjemukan. Apa kau mau membantuku
melempar mereka ke dalam telaga?"
Siu Bi sudah biasa dengan watak aneh kasar dan liar. Watak kakeknya, Hek Lojin, jauh lebih kasar, liar dan
aneh lagi. Semenjak tadi dia pun sudah jemu menyaksikan tingkah orang-orang Kun-lun-pai ini dan dalam
pertimbangannya, Ouwyang Lam berada di pihak benar.
Orang dihargai karena sikapnya, karena kebenarannya, dan sama sekali bukan karena kedudukannya,
atau karena partainya yang besar. Dalam urusan ini Kun-lun-pai terlalu memandang rendah terhadap Anghwa-
pai, tidak semestinya mencampuri urusan partai orang lain, apa lagi menegur. Orang-orang Kun-lunpai
mencari penyakit sendiri dengan sikap tinggi hati dan takabur.
"Mari...!" kata Siu Bi, juga dengan senyum mengejek.
Dua orang tosu itu sudah marah sekali mendengar betapa suheng mereka yang datang di pulau ini sebagai
utusan, telah ditewaskan. Serentak mereka menerjang maju, dengan maksud untuk menangkap pemuda
sombong ini untuk ditawan dan dipaksa ikut mereka ke Kun-lun, dihadapkan kepada ketua mereka agar
diadili.
Akan tetapi mereka keliru apa bila mengira bahwa mereka akan dapat merobohkan dan menangkap
Ouwyang Lam dengan mudah. Begitu pemuda itu menggerakkan kaki dan tangan, dia telah menyambut
terjangan kedua orang ini dengan pukulan dan tendangan yang dahsyat, memaksa dua orang tosu itu
mengelak sambil menyusul dengan serangan dari samping.
Akan tetapi, pada saat itu pula Siu Bi sudah membentak nyaring dan menerjang Kung Lo Tosu sehingga
terpaksa tosu ini bertanding melawan Siu Bi. Hal ini tidak mengecilkan hati kedua orang tosu Kun-lun-pai.
Siu Bi hanya seorang gadis remaja, juga Ouwyang Lam yang mereka pernah dengar sebagai Ouwyang
Kongcu yang terkenal kiranya hanya seorang pemuda biasa saja. Dengan cepat mereka memainkan kaki
dan tangan sambil mengeluarkan Ilmu Silat Kun-lun-pai.
Mereka adalah tosu-tosu tingkat ke empat di Kun-lun-pai, ilmu kepandaian mereka tinggi. Meski pun
mereka percaya bahwa suheng mereka tewas, akan tetapi mereka mengira bahwa tewasnya sang suheng
itu adalah karena pengeroyokan, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa tewasnya Kung Be Tosu
adalah karena bertanding satu lawan satu dengan pemuda ini!
Setelah bergebrak beberapa jurus, barulah kedua orang tosu itu kaget dan mendapatkan kenyataan bahwa
kedua orang lawannya ternyata lihai bukan main. Jangankan hendak menangkap, menyerang saja mereka
tidak mampu lagi, hanya dapat mempertahankan diri, menangkis dan mengelak ke sana ke mari karena
kedua orang muda itu mendesak mereka dengan pukulan-pukulan yang cepat dan luar biasa.
Kung Lo Tosu menjadi kabur matanya melihat sinar hitam bergulung-gulung dari kedua lengan lawannya,
dan pukulan-pukulan gadis remaja ini mengandung hawa yang panas bukan main. Ada pun Kung Thi Tosu
juga bingung menghadapi sinar merah dari pukulan Ouwyang Lam, kepalanya pening mencium bau harum
yang aneh.
"Adik Siu Bi, kalau kita bunuh mereka, mereka tidak akan dapat mengingat-ingat akan kelihaian kita. Hayo
berlomba lempar mereka ke telaga!" Ouwyang Lam berkata sambil tertawa.
Siu Bi memang tidak mempunyai maksud untuk membunuh lawannya karena ia sendiri tidak mempunyai
permusuhan apa-apa dengan tosu Kun-lun-pai. Mendengar ajakan ini, ia berseru keras dan tahu-tahu ia
telah berhasil mencengkeram pundak lawannya dan dengan hentakan cepat ia melemparkan tubuh Kung
Lo Tosu ke air telaga di depannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tepat pada saat itu juga, Ouwyang Lam berhasil pula melemparkan lawannya sehingga tubuh dua orang
tosu Kun-lun-pai ini melayang dan terbanting ke dalam air yang muncrat tinggi-tinggi. Mereka gelagapan,
tenggelam dan beberapa saat kemudian timbul kembali megap-megap, berusaha berenang akan tetapi tak
berani ke pinggir karena para anggota Ang-hwa-pai sudah berdiri di situ sambil tertawa bergelak.
"Mereka sudah diberi hajaran, biarkan mereka pergi," kata Siu Bi, kakinya bergerak dan... perahu kecil itu
sudah ditendangnya sampai terbang melayang ke air, dekat kedua orang tosu yang gelagapan itu.
Cepat mereka berenang mendekati dan meraih perahu, terus mendayung perahu dengan kedua tangan
mereka di kanan kiri perahu. Perahu bergerak perlahan ke tengah telaga, diikuti sorak-sorai dan ejekan
para anggota Ang-hwa-pai.
Dapat dibayangkan alangkah malunya Kung Thi Tosu dan Kung Lo Tosu. Mereka terus berusaha sedapat
mungkin menggerakkan perahu tanpa dayung, menjauhi pulau dengan muka sebentar pucat sebentar
merah. Setelah perahu mereka bergerak sampai tengah telaga, jauh dari pulau itu, barulah mereka
menyumpah-nyumpah dan mengancam akan melaporkan hal ini kepada ketua mereka.
"Pemuda jahanam, gadis liar!" Kung Thi Tosu memaki gemas. "Awas kalian orang-orang Ang-hwa-pai,
Kun-lun-pai tidak akan mendiamkan saja penghinaan ini!"
"Sudahlah, Suheng. Mari kita gerakkan perahu mendarat dan cepat-cepat kita kembali ke Kun-lun untuk
melapor kepada sucouw (kakek guru)." Kung Lo Tosu menghibur.
Mereka terus mendayung perahu menggunakan kedua lengan. Karena mereka memiliki kepandaian tinggi
dan tenaga mereka besar, walau pun perahu hanya didayung dengan tangan, perahu dapat meluncur
cepat menuju ke darat.
Tiba-tiba saja dari sebelah kanan terlihat meluncur sebuah perahu kecil. Penumpangnya hanya seorang
wanita muda yang berdiri di tengah perahu dan menggerakkan dayung ke kanan kiri sambil berdiri saja.
Akan tetapi perahunya dapat meluncur laksana digerakkan tenaga raksasa!
Melihat ini saja, dua orang tosu itu dapat menduga bahwa gadis yang cantik dan gagah ini tentulah
seorang berilmu. Sebaliknya, gadis itu pun dapat mengerti bahwa dua orang tosu yang mendayung perahu
dengan hanya memakai tangan itu tentulah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi.
Kung Thi Tosu dan Kung Lo Tosu tidak mempedulikan gadis itu, malah mereka segera membuang muka.
Mereka menyangka bahwa gadis yang lihai ini tentulah juga anggota Ang-hwa-pai, sama dengan gadis
remaja yang tadi merobohkan Kung Lo Tosu. Mereka tak mau mencari penyakit, tak mau mencari garagara,
maka lebih aman membungkam dan pura-pura tidak melihat.
Akan tetapi, tidak demikian dengan gadis itu. la sengaja memotong jalan, menghadang perahu mereka.
Karena tidak ingin perahu mereka bertumbukan, terpaksa kedua tosu itu menahan lajunya perahu dan
memandang.
Yang berdiri di tengah perahu kecil itu adalah seorang gadis yang masih muda, seorang gadis yang cantik
manis. Senyumnya selalu menghias bibir, sepasang matanya nampak tajam serta berpengaruh, dan di
balik kecantikan itu tersembunyi kegagahan. Tubuhnya ramping padat, pakaiannya sederhana dan
rambutnya yang hitam dikuncir ke belakang, melambai-lambai tertiup angin telaga.
Dengan mempergunakan dayung, gadis itu menahan perahunya, memberi hormat sambil membungkuk
dalam-dalam dan mengangkat kedua tangan yang memegang dayung ke depan dada, lalu berkata,
suaranya halus merdu membayangkan watak yang halus pula.
"Maaf, Ji-wi Totiang. Bukan maksudku mengganggu Ji-wi, tetapi saya mohon bertanya, telaga ini telaga
apakah namanya dan pulau di depan itu pulau apa, siapa yang tinggal di sana?"
Kung Thi Tosu dan sute-nya saling pandang, kemudian Kung Thi Tosu bertanya, "Nona bukan orang sana?
Bukan anggota Ang-hwa-pai?"
Sekarang gadis itu yang memandang heran, "Bukan, Totiang. Kalau saya orang pulau itu, masa masih
bertanya-tanya. Saya seorang pelancong yang tertarik akan keindahan telaga ini, dan ingin sekali tahu
dunia-kangouw.blogspot.com
nama telaga dan pulau itu."
"Wah, kalau begitu lebih baik Nona lekas-lekas pergi dari tempat ini. Sangat berbahaya, Nona. Pulau di
depan itu adalah Ching-coa-to, pusat perkumpulan Ang-hwa-pai. Kami berdua tosu dari Kun-lun-pai baru
saja terlepas dari bahaya maut."
"Akan tetapi tidak terlepas dari penghinaan hebat!" sambung Kung Lo Tosu.
Gadis itu tampak mengerutkan alisnya yang hitam dan bagus bentuknya.
"Di sepanjang perjalanan sudah banyak kudengar sepak terjang yang sewenang-wenang dari Ang-hwa-pai.
Siapa sangka sampai-sampai berani melakukan penghinaan terhadap Kun-lun-pai. Kiranya Ji-wi Totiang
adalah anak murid Kun-lun-pai? Harap Ji-wi Totiang sudi menceritakan kepada saya apakah yang telah
terjadi antara Ji-wi dan Ang-hwa-pai?"
"Nona siapakah? Pinto tidak dapat menceritakan hal ini kepada orang luar yang tidak pinto kenal, maaf,"
kata Kung Thi Tosu.
Nona itu mengangguk. "Memang seharusnya begitu. Akan tetapi biar pun Ji-wi Totiang tidak mengenal
saya, tentu Bun Lo-sianjin ketua Kun-lun-pai tak akan asing mendengar nama saya dan tak akan marah
kepada Ji-wi kalau mendengar bahwa Ji-wi menceritakan urusan ini kepada seorang gadis bernama Tan
Cui Sian dari Thai-san."
Dua orang tosu itu belum pernah mendengar nama Tan Cui Sian, akan tetapi tentu saja mereka tahu apa
artinya Thai-san-pai bagi Kun-lun-pai. Ketua Thai-san-pai yang berjuluk Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang
Tiada Lawan) merupakan sahabat baik ketua mereka dan kalau nona ini datang dari Thai-san, berarti
seorang sahabat pula. KungThi Tosu lalu menjura dan memberi hormat.
"Ternyata Nona dari Thai-san-pai, maaf kalau tadi pinto ragu-ragu. Di antara sahabat sendiri, tentu saja
pinto suka menceritakan urusan ini yang membuat hati menjadi sakit dan penasaran."
Kung Thi Tosu lalu bercerita tentang semua peristiwa yang telah terjadi. Suheng mereka yang menjadi
utusan Kun-lun-pai dibunuh, dan mereka sendiri menerima hinaan dari dua orang muda yang amat lihai.
Sepasang mata gadis itu bersinar tajam, kerut keningnya mendalam. "Hemmm, terlalu sekali mereka itu.
Apakah yang Ji-wi Totiang hendak lakukan sekarang?"
"Kami hendak pulang dan melaporkan hal ini kepada ketua kami."
"Memang sebaiknya begitu. Ini adalah urusan antara Kun-lun-pai dan Ang-hwa-pai, tentu saja saya tidak
berhak mencampuri, tapi ingin sekali saya bertemu dengan pemuda dan gadis yang telah menghina Ji-wi.
Mereka itu kurang ajar sekali dan terlalu mengandalkan kepandaian, hemmm..."
"Harap Nona jangan main-main di tempat ini. Mereka itu benar-benar lihai. Baru yang muda-muda saja
sudah begitu lihai, belum lagi ketua mereka, Si nenek Ang-hwa Nio-nio. Juga anggota mereka jumlahnya
banyak sekali, jahat-jahat pula. Lebih baik Nona cepat meninggalkan tempat ini agar jangan sampai
mengalami penghinaan."
Gadis itu tersenyum. "Saya justru ingin mereka itu datang menghina saya. Selamat jalan, Totiang.
Mendayung perahu hanya dengan tangan tentu tidak dapat cepat. Biarlah saya membantu sebentar!”
Sesudah berkata demikian, nona ini menggunakan dayungnya yang panjang itu untuk mendorong perahu
kedua tosu. Tenaga dorongannya kuat bukan main sehingga perahu ini seakan-akan digerakkan tenaga
raksasa, meluncur ke depan dengan amat cepatnya.
Kung Thi Tosu dan sute-nya kaget, heran dan juga girang sekali. Perahu nona itu sudah menyusul dan
terus dia mendorong-dorong perahu di depan. Dengan cara begini, benar saja, dua orang tosu itu dapat
mencapai daratan dalam waktu singkat. Mereka meloncat ke darat, memberi hormat ke arah nona
berperahu yang sudah kembali menggerakkan perahunya ke tengah telaga.
Kung Thi Tosu menarik nafas panjang. "Sute, perjalanan kita kali ini benar-benar sudah membuka mata
kita bahwa kepandaian kita sama sekali belum ada artinya. Dalam waktu sehari kita sudah bertemu dengan
dunia-kangouw.blogspot.com
tiga orang muda yang mempunyai kepandaian jauh melampaui kita. Aku berjanji akan berlatih lebih tekun
lagi kalau kita sudah kembali ke gunung," Mereka lalu membalikkan tubuh dan melakukan perjalanan
secepatnya pulang ke Kun-lun-pai.
Siapakah sebenarnya gadis lihai berperahu itu? Dia bukanlah seorang pelancong biasa. Para pembaca
cerita Pendekar Buta tentu masih ingat akan nama ini, Tan Cui Sian. Gadis ini adalah puteri dari ketua
Thai-san-pai, Si Raja Pedang Tan Beng San dan si pendekar wanita Cia Li Cu yang sekarang sudah
menjadi kakek-kakek dan nenek-nenek, memimpin perkumpulan Thai-san-pai yang makin maju dan
terkenal. Suami isteri ini telah berusia empat puluh tahun lebih ketika Cui Sian terlahir, maka mereka
sekarang menjadi tua setelah puteri mereka berusia dua puluh tiga tahun.
Sebagai puteri sepasang pendekar besar yang memiliki ilmu kesaktian, tentu saja sejak kecilnya Cui Sian
telah digembleng dan mewarisi kepandaian mereka berdua sehingga kini Cui Sian menjadi seorang gadis
yang sakti. Wataknya pendiam seperti ayahnya, keras seperti ibunya, cerdik dan luas pandangannya.
Hanya satu hal yang menjengkelkan ayah bunda Cui Sian, yang membuat ibunya sering kali menangis
sedih, yaitu watak bandel gadis ini mengenai perjodohan. Banyak sekali pendekar-pendekar muda,
bangsawan-bangsawan berkedudukan tinggi yang tergila-gila kepadanya. Sudah banyak pula datang
lamaran atas dirinya dari orang-orang muda yang memenuhi syarat, baik dipandang dari watak baiknya,
kepandaian tinggi dan kedudukan yang mulia. Namun semua pinangan itu ditolak mentah-mentah oleh Cui
Sian!
"Ibu, aku tidak mau terikat oleh perjodohan! Aku... aku tidak mau seperti enci Cui Bi...," demikian keputusan
Cui Sian di depan ayah bundanya, lalu lari memasuki kamarnya.
Ketua Thai-san-pai bersama isterinya saling pandang. Si Raja Pedang ini mengelus-elus jenggotnya yang
panjang sambil berkali-kali menarik nafas, memandang isterinya yang menjadi basah pelupuk matanya.
Teringatlah mereka pada mendiang Tan Cui Bi, puteri mereka pertama yang tewas menjadi korban asmara
gagal.
Dalam cerita Rajawali Emas dituturkan betapa mendiang Cui Bi yang sudah ditunangkan dengan Bun Wan
(sekarang Jenderal Bun di Tai-goan) terlibat jalinan asmara dengan Kwa Kun Hong (Pendekar Buta)
sehingga karena gagal, Cui Bi lalu membunuh diri dan Kun Hong membutakan matanya sendiri! Cerita
tentang Cui Bi ini agaknya membuat hati Cui Sian sekarang menjadi ngeri, membuat dia tidak mau
berbicara tentang perjodohan, bahkan membuat dia seperti membenci perjodohan.
"Dia menjadi takut bayangan sendiri, takut akan terulang kesedihan dan mala petaka yang menimpa diri
cici-nya. Biarlah, kita serahkan saja kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena betapa pun juga, jodoh
adalah kehendak Tuhan, tak dapat dipaksakan. Kalau dia sudah bertemu jodohnya, tak usah kita paksa
lagi, dia tentu akan mau sendiri," demikian kata-kata hiburan ketua Thai-san-pai kepada isterinya.
"Tapi... tapi... tahun ini dia sudah berusia dua puluh tiga tahun..." Isterinya tidak dapat melanjutkan katakatanya,
menahan isak dan menghapus air mata.
Kembali Bu-tek Kiam-ong Tan Beng San menarik nafas panjang. "Di dalam perjodohan, usia tidak menjadi
soal, isteriku. Beberapa kali anak kita itu mohon untuk diberi ijin turun gunung dan kita selalu melarangnya
karena khawatir kalau-kalau terjadi hal seperti yang telah menimpa diri Cui Bi. Kurasa inilah kesalahan kita.
Biarkan ia turun gunung, biarkan ia mencari pengalaman, siapa tahu dalam perjalanannya, ia akan bertemu
|odohnya. Dia kini sudah dewasa dan mengenai kepandaian, kurasa kita tidak perlu mengkhawatirkan
keselamatannya. Cui Sian mampu menjaga diri."
Pernyataan suaminya bahwa si anak mungkin bertemu jodohnya dalam perantauan, melunakkan hati
nyonya ketua Thai-san-pai ini. Dan alangkah girang hati Cui Sian ketika ibunya malam hari itu memberi
tahu bahwa dia sekarang diperkenankan turun gunung melakukan perantauan. Dari ibunya dia menerima
pedang Liong-cu-kiam yang pendek dan dari ayahnya ia dibekali pesan,
"Kau sudah mencatat semua alamat dari sahabat-sahabat ayah bundamu. Jangan lupa untuk mampir dan
menyampaikan hormat kami kepada mereka. Terutama sekali jangan lupa mengunjungi Liong-thouw-san,
Hoa-san, Kun-lun dan kalau kau pergi ke kota raja, jangan lupa singgah di rumah Jenderal Bun."
"Bekas tunangan cici Cui Bi?" Cui Sian mengerutkan kening.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ayahnya tertawa. "Apa salahnya? Dahulu tunangan, tetapi sekarang hanya merupakan sahabat baik,
karena Bun Wan adalah putera Kun-lun, sedangkan ketua Kun-lun-pai itu adalah sahabat baikku."
Setelah menerima nasehat-nasehat dan pesan supaya hati-hati dari ibunya, berangkatlah Cui Sian turun
gunung, membawa bekal pakaian serta emas secukupnya, dengan hati gembira tentu saja.
Demikianlah sekelumit riwayat gadis yang kini berada di telaga itu, dekat Ching-coa-to dan bertemu
dengan dua orang tosu Kun-lun-pai. Karena Kun-lun-pai adalah partai besar yang bersahabat dengan
ayahnya, tentu saja Cui Sian menganggap kedua orang tosu itu sebagai sahabat dan dia ikut merasa
mendongkol sekali ketika mendengar hinaan yang diderita orang-orang Kun-lun-pai dari dua orang muda
Ching-coa-to. Setelah mengantar kedua orang tosu Kun-lun itu ke darat, Cui Sian lalu mendayung
perahunya kembali ke tengah telaga, menyeberang hendak melihat-lihat sekeliling pulau.
Sementara itu, Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa di pulau setelah mereka berhasil melemparkan
kedua orang tosu ke dalam air.
"Jangan ganggu, biarkan mereka pergi!" teriak Ouwyang Lam kepada anggota-anggota Ang-hwa-pai
sehingga beberapa orang yang tadinya sudah bermaksud melepaskan anak panah, terpaksa membatalkan
niatnya.
Siu Bi juga merasa gembira sekali. Dia sudah membuktikan bahwa dia suka membantu Ang-hwa-pai dan
sikap Ouwyang Lam benar-benar menarik hatinya. Pemuda ini sudah pula membuktikan kelihaiannya,
maka tentu dapat menjadi teman yang baik dan berguna dalam menghadapi musuh besarnya.
"Adik Siu Bi, bagaimana kalau kita berperahu mengelilingi pulauku yang indah ini? Akan kuperlihatkan
kepadamu keindahan pulau dipandang dari telaga, dan ada taman-taman air di sebelah selatan sana.
Mari!"
Siu Bi mengangguk dan mengikuti Ouwyang Lam yang berlari-lari menghampiri sebuah perahu kecil yang
berada di sebelah kiri, diikat pada sebatang pohon. Seperti dua orang anak-anak sedang bermain-main,
mereka dengan gembira melepaskan perahu dan naik ke dalam perahu kecil itu. Ouwyang Lam mengambil
dua buah dayung, lalu keduanya mendayung perahu itu ke tengah telaga, diikuti pandang mata penuh
maklum oleh para anak buah Ang-hwa-pai.
"Wah, kongcu mendapatkan seorang kekasih baru," kata seorang anggota yang kurus kering tubuhnya,
jelas dalam suaranya bahwa dia merasa iri.
"Hemmm, tapi yang satu ini sungguh tak boleh dibuat main-main. Ilmu kepandaiannya hebat. Saingan
berat bagi pangcu...," kata temannya yang gendut.
"Sssttttt... apa kau bosan hidup?" cela si kurus sambil pergi ketakutan.
Ouwyang Lam dan Siu Bi tertawa-tawa gembira ketika mendayung perahu sekuat tenaga sehingga perahu
itu meluncur seperti anak panah cepatnya. Pemuda itu menerangkan keadaan pulau dan Siu Bi beberapa
kali berseru kagum. Memang bagus pulau ini, biar pun tidak berapa besar akan tetapi mempunyai bagianbagian
yang menarik. Ada bagian yang penuh bukit karang, ada bagian yang merupakan taman bunga
yang amat indah.
"Lihat, di sana itu adalah pusat ular-ular hijau. Tidak ada musuh yang berani menyerbu ke Ching-coa-to,
karena sekali kami melepaskan ular-ular itu, mereka akan menghadapi barisan ular yang lebih hebat dari
pada barisan manusia bersenjata."
Siu Bi bergidik. Dia melihat banyak sekali ular-ular besar dan kecil berwarna hijau, keluar masuk di lubanglubang
batu karang.
"Apakah binatang-binatang itu tidak berkeliaran di seluruh pulau dan membahayakan kalian sendiri?"
tanyanya.
Ouwyang Lam tersenyum. "Kami mempunyai minyak bunga yang ditakuti ular-ular hijau itu. Sekeliling
daerah batu karang telah kami sirami minyak dan para penjaga selalu siap menyiram minyak baru jika yang
lama sudah hilang pengaruhnya. Dengan pagar minyak itu, ular hijau tidak berani berkeliaran."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tapi... apa perlunya memelihara ular sebanyak itu?"
"Sebetulnya tenaga mereka tidak berapa kami butuhkan. Hanya racunnya... hemm, racun mereka kami
ambil dan Nio-nio amat pandai membuat obat dan senjata dari racun-racun itu."
"Ahhh... hebat kalau begitu!" Siu Bi berseru kagum.
Perahu digerakkan lagi.
"Lihat, di sana itu adalah taman bunga kami. Bukan main senangnya beristirahat di sana, hawanya
nyaman, baunya harum dan keadaan di situ betul-betul dapat menenteramkan perasaan orang."
"Aduh, bagusnya... mari kita mendarat ke sana... wah, indahnya seruni-seruni di ujung sana itu. Beraneka
warna dan sedang mekar...!"
Ouwyang Lam melirik dengan hati gembira ke arah nona cantik di sebelahnya ini. Betapa akan bahagianya
bila tiba saatnya ia dapat bersenang-senang dengan gadis ini di taman, sebagai kekasihnya!
"Nanti saja, Moimoi, kita keliling dulu dengan perahu. Karena kau menjadi orang sendiri, seluruh pulau dan
isinya ini anggap saja tempatmu sendiri. Tetapi untuk dapat menikmati tempat kita ini, terlebih dahulu kau
harus mengenal bagian-bagian yang berbahaya, yang indah dan lain-lain. Jangan khawatir, masih banyak
waktu untuk kau bermain sepuasmu di dalam taman itu. Di sana terdapat beberapa pondok kecil yang
nyaman dan aku akan minta pada Nio-nio agar kau diperbolehkan menempati sebuah di antara pondokpondok
di taman itu. Aku juga tinggal di sebuah di antara pondok-pondok kecil di sana."
Sambil berkata demikian, Ouwyang Lam melirik dengan tajam, ingin melihat bagaimana reaksi dari gadis
itu. Akan tetapi, Siu Bi bersikap biasa saja, hanya dia sangat gembira mendengar ini, namun sama sekali
tidak memperlihatkan tanda bahwa ia mengerti akan isyarat dalam ucapan Ouwyang Lam. Memang, dia
adalah seorang gadis remaja yang masih hijau, mana dia mengerti akan kata-kata menyimpang itu?
Perahu didayung lagi.
"Mari kita sekarang melihat taman air..." ucapan Ouwyang Lam terhenti.
Pada saat itu mereka berdua melihat sebuah perahu kecil yang meluncur laju dari depan. Seorang gadis
mendayung perahu itu sambil berdiri di tengah perahu, memandang pada mereka dengan mata melotot.
Ouwyang Lam merasa kagum, mengapa hari ini peruntungannya begitu baik sehingga matanya kembali
sempat melihat seorang gadis yang begini cantik jelita setelah bertemu dengan Siu Bi. Sedangkan Siu Bi
sendiri juga kagum karena di dalam pandang matanya gadis yang sendirian di perahu itu mempunyai sifat
yang gagah dalam kesederhanaan pakaiannya.
Perahu mereka kini sudah saling berhadapan dan kedua pihak menahan perahu dengan gerakan dayung.
Sejenak tiga orang ini saling pandang, penuh selidik.
Ouwyang Lam yang selalu tidak mau melewatkan kesempatan untuk mencari muka dan bermanis-manis
terhadap gadis cantik, segera mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat sambil
tersenyum dan menegur.
"Nona, aku Ouwyang Lam tidak pernah bertemu muka denganmu. Agaknya Nona adalah seorang tamu
yang hendak mengunjungi Ang-hwa-pai. Kalau memang demikian halnya, dapat Nona bicara dengan aku
yang mewakili ketua Ang-hwa-pai."
Cui Sian sudah menduga bahwa tentu dua orang ini yang tadi telah menghina tosu-tosu Kun-lun-pai.
Sekarang mendengar pemuda itu memperkenalkan nama, ia tidak ragu-ragu lagi.
"Aku seorang pelancong, sama sekali tidak mempunyai urusan dengan Ang-hwa-pai atau perkumpulan
jahat mana pun juga!" Sengaja Cui Sian menjawab ketus karena memang dia hendak mencari perkara
kemudian memberi hajaran kepada orang-orang muda yang dianggapnya jahat itu.
Siu Bi mendengar ini dan tak dapat menahan tawanya. Memang Siu Bi wataknya aneh. Senang ia melihat
gadis itu berani menghina Ang-hwa-pai secara begitu terang-terangan di depan Ouwyang Lam, maka ia
dunia-kangouw.blogspot.com
tertawa, tentu saja mentertawakan pemuda itu.
Mendengar suara ketawa ditahan ini, Ouwyang Lam menjadi dongkol. Alisnya yang tebal berkerut dan
matanya memandang galak kepada Cui Sian. Akan tetapi karena gadis di depannya itu benar-benar cantik
jelita, tidak kalah oleh Siu Bi sendiri, dia masih menahan kemarahannya dan mempermainkan senyum
pada bibirnya.
"Nona yang baik, ketahuilah bahwa telaga ini termasuk wilayah Ang-hwa-pai, jadi kau kini sudah berada di
dalam wilayah kami. Karena itu berarti kau sudah menjadi tamu kami, maka tadi aku sengaja bertanya.
Andai kata kau hanya pelancong biasa dan tidak punya urusan dengan Ang-hwa-pai, akan tetapi karena
tanpa sadar kau telah menjadi tamuku, tiada buruknya kalau kita menjadi sahabat."
Kembali Siu Bi tersenyum dan mengejek, "Wah, kau benar-benar amat sabar dan ramah, Ouwyang-twako!"
Kalau Siu Bi mengejek karena mengira Ouwyang Lam takut-takut dan jeri, adalah Cui Sian yang menjadi
muak perutnya. Gadis ini lebih berpengalaman atau setidaknya lebih mengenal watak pria dari pada Siu Bi
yang hijau maka ia dapat menangkap nada suara kurang ajar dalam ucapan Ouwyang Lam. Dengan ketus
ia menjawab,
"Kau manusia sombong. Kurasa telaga ini adalah buatan alam, bagaimana Ang-hwa-pai berani mengaku
sebagai hak dan wilayahnya? Eh, bocah, apakah kau yang telah berani menghina bahkan membunuh tosu
dari Kun-lun-pai?"
Ouwyang Lam terkejut dan hilang keramahannya. Juga Siu Bi hilang senyumnya. Mereka berdua bangkit
berdiri dan memandang Cui Sian dengan curiga. Kalau gadis ini datang membela Kun-lun-pai, berarti dia
itu musuh!
"Kalau betul begitu, kau mau apakah?" teriak Ouwyang Lam. "Apakah kau anak murid Kun-lun-pai yang
hendak menuntut balas?"
”Aku bukan anak murid Kun-lun-pai, juga tidak tahu-menahu tentang permusuhan kalian dengan Kun-lunpai.
Akan tetapi kebetulan sekali aku berjumpa dengan dua orang tosu Kun-lun-pai yang sudah kalian hina.
Tosu-tosu Kun-lun-pai bukanlah orang-orang jahat, maka kalau kalian sudah berani menghina mereka,
berarti kalian benar-benar merupakan orang-orang kurang ajar dan mengandalkan kepandaian. Jika bicara
tentang kegagahan, agaknya aku lebih condong menganggap kalianlah yang bersalah dan jahat."
"Heei, kau orang liar dari mana datang-datang membuka mulut asal bunyi saja?" Siu Bi berseru marah.
"Dua orang tosu bau itu memang kami berdua yang melempar ke dalam air, habis kau mau apa?!”
"Hemmm, aku tidak akan mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi aku pun tidak biasa membiarkan
orang berlaku sewenang-wenang. Kau menghina dan melempar orang ke air, sekarang aku pun hendak
melempar kalian ke dalam air!"
"Sombong amat! Twako, mari kita lempar bocah sombong ini dari perahunya!" Cepat Siu Bi menggerakkan
dayungnya, diikuti oleh Ouwyang Lam yang bermaksud merobohkan dan menawan gadis cantik yang
sombong itu.
"Plakkk! Plakkkkk!"
Siu Bi dan Ouwyang Lam berseru kaget sekali karena dayung mereka tertangkis oleh dayung di tangan Cui
Sian. Demikian kuat dan hebatnya tangkisan itu sehingga hampir saja Siu Bi dan Ouwyang Lam tak
mampu menahan dan melepaskan dayung. Telapak tangan mereka terasa panas dan sakit-sakit. Hal ini
sama sekali tak pernah mereka duga karena tadi mereka memandang rendah sekali, dan sesaat mereka
kaget dan bingung.
Sebelum mereka dapat memperbaiki kedudukan, perahu mereka tertumbuk oleh perahu Cui Sian dan
dayung di tangan Cui Sian secara dahsyat sekali telah menerjang mereka. Perahu miring, dua orang muda
itu hampir terjengkang ke belakang dan oleh karena kedudukan yang buruk sekali dan lemah ini, sampai
dayung di tangan Cui Sian tak dapat mereka tangkis lagi dan jalan satu-satunya bagi mereka untuk
menyelamatkan diri hanya melempar diri ke belakang.
“Byuurrrrr…! Byuurrrrr…!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Terdengar suara keras dan air memercik tinggi ketika dua orang itu terlempar ke dalam air, juga perahu
mereka telah terbalik!
Ouwyang Lam yang pandai berenang itu cepat menyambar lengan tangan Siu Bi yang gelagapan dan
menarik gadis itu ke arah perahu mereka yang terbalik. Karena dayung mereka terlempar dan mereka
berada di bawah ancaman dayung Cui Sian, mereka tak dapat berbuat sesuatu apa pun kecuali
memegangi perahu yang terbalik dengan muka dan kepala yang basah kuyup!
"Ketahuilah, aku bernama Tan Cui Sian, bukan anak murid Kun-lun-pai, hanya seorang pelancong yang
kebetulan lewat dan tak senang melihat kekurang ajaranmu. Harap kali ini kalian menganggap sebagai
pelajaran agar lain kali jangan kurang ajar dan sombong lagi." Setelah berkata demikian Cui Sian
mendayung perahunya pergi meninggalkan dua orang yang tak berdaya dan memegangi perahu terbalik
itu.
"He, manusia curang!" Siu Bi berteriak marah, memaki-maki. "Tunggu aku di darat kalau kau memang
benar-benar gagah dan kita bertanding sampai sepuluh ribu jurus! Tidak bisa kau menghina Cui-beng
Kwan Im dan pergi enak-enak begitu saja!"
Cui Sian menoleh dan tersenyum mengejek. "Julukannya saja Cui-beng (Pengejar Roh), walau pun cantik
seperti Kwan Im, tetap saja jahat. Bocah masih ingusan, siapa takut padamu? Kutunggu kau di darat dan
aku tanggung kau akan kulempar sekali lagi ke dalam air!"
Siu Bi memaki-maki, akan tetapi apa dayanya? Mengejar perahu itu terang tak mungkin. Lain dengan
Ouwyang Lam. Biar pun amat mendongkol dan malu, tetapi segera bersuit nyaring memberi aba-aba
kepada anak buahnya. Beberapa buah perahu hitam meluncur cepat dari balik alang-alang, menghampiri
Ouwyang Lam dan Siu Bi yang kini sudah berhasil membalikkan perahu dan melompat ke dalam perahu
dengan pakaian basah kuyup.
"Kejar iblis betina itu, gulingkan perahunya dan tangkap dia. Ingat, harus gulingkan perahunya lebih dulu!"
Perintah Ouwyang Lam ini segera ditaati oleh tiga buah perahu yang masing-masing berpenumpang tiga
orang. Sembilan orang ahli air Ang-hwa-pai melakukan pengejaran. Ouwyang Lam dan Siu Bi mengikuti
dari belakang setelah Ouwyang Lam terjun dan berenang mengambil dayung-dayung mereka yang tadi
terlempar.
Cui Sian yang sama sekali tidak menduga bahwa dia akan dikejar, dengan hati puas mendayung
perahunya ke tengah telaga, tidak tergesa-gesa pergi mendarat karena dia ingin melihat-lihat pulau itu dari
dekat. Tak lama kemudian barulah dia melihat tiga buah perahu hitam meluncur cepat mendekati
perahunya.
la dapat menduga bahwa mereka itu tentulah orang-orang Ang-hwa-pai, apa lagi setelah dekat ia melihat
bunga merah tersulam di baju mereka. Akan tetapi tentu saja ia tidak takut, malah menanti kedatangan
mereka dengan dayung di tangan, siap menghantam dan menghajar mereka yang berani mengganggunya.
Akan tetapi, ia mulai terkejut melihat sembilan orang di dalam tiga buah perahu itu semua melompat ke
dalam air dan tidak muncul lagi. Mereka menyelam! Segera Cui Sian dapat menduga apa yang akan
mereka lakukan. Cepat dia mendayung perahunya meluncur pergi, namun terlambat. Perahunya
berguncang hebat.
la berdiri menggunakan ginkang-nya, mengatur keseimbangan tubuh agar jangan sampai terjungkal ke
dalam air. Bahkan dayungnya berhasil mengemplang punggung seorang penyelam yang segera menyelam
dan berenang pergi sambil merintih-rintih. Akan tetapi akhirnya perahunya terguling!
Namun dengan gerakan yang amat indah, tubuh Cui Sian mencelat ke atas dan dengan berjungkir balik
beberapa kali, tubuhnya cukup lama berada di atas sehingga ketika dia meluncur turun, perahunya sudah
terbalik dan terapung lagi. la mendarat di atas perahu yang terbalik itu, siap dengan dayungnya.
Para penyelam melihat ini menjadi kagum sekali, juga penasaran. Mereka menyelam lagi mendekati dan
berusaha menggulingkan perahu yang sudah terbalik agar nona itu ikut tenggelam.
Namun Cui Sian dengan dayungnya mempertahankan perahunya. Dua orang penyelam kena dihajar
dunia-kangouw.blogspot.com
tangan mereka sehingga tulangnya patah, seorang penyelam lagi terpaksa dibawa pergi temannya karena
kemplangan pada kepalanya membuat dia pingsan.
Ouwyang Lam dan Siu Bi sudah tiba di situ. Melihat betapa gadis kosen itu masih belum dapat ditangkap,
malah mengamuk dan mempertahankan perahu yang sudah terbalik itu, melukai beberapa orang
penyelam, dia menjadi marah dan diam-diam kaget juga.
Gadis itu benar-benar lihai. Hatinya tidak enak sekali. Kemudian dia bersuit memberi tanda kepada ternantemannya
yang sudah muncul di permukaan air tetapi tidak berani mendekati perahu terbalik itu. Kini hanya
tinggal empat orang penyelam yang belum terluka, akan tetapi mereka jeri, tidak berani mendekat. Setelah
Ouwyang Lam bersuit, mereka menyelam lagi.
Ouwyang Lam mendayung perahunya yang meluncur cepat mendekati perahu Cui Sian yang terbalik.
"Adik Siu Bi, kesempatan kita untuk membalas!" katanya.
Siu Bi sudah bersiap dengan dayungnya. Ketika perahu mereka sudah dekat, Ouwyang Lam dan Siu Bi
menggerakkan dayung. Kali ini mereka berlaku hati-hati, dayung mereka menerjang hebat dengan
pengerahan tenaga.
Sebaliknya, Cui Sian berada dalam keadaan yang amat buruk. Berdiri di atas perahu terbalik amat licin dan
terlalu sempit, sedangkan dua buah dayung yang menyerangnya itu pun tak boleh dibuat main-main.
Tadi pun ia sudah dapat kenyataan bahwa kedua orang muda ini memiliki kepandaian tinggi, hanya karena
tadi memandang rendah kepadanya maka dalam segebrakan saja ia berhasil melempar mereka ke air. la
maklum bahwa keadaannya berbahaya sekali. Namun, Cui Sian memiliki sifat yang amat tenang, juga
tabah. la tidak menjadi gentar, malah mengejek,
"Beginikah cara orang gagah? Mengeroyok dengan cara yang licik?"
Merah muka Siu Bi. Sesungguhnya ia benci akan cara demikian ini, akan tetapi semua itu yang mengatur
adalah Ouwyang Lam, ia sebagai tamu tak dapat berbuat lain. Untuk diam saja tidak ikut mengeroyok juga
tidak enak, apa lagi ia tadi sudah dibikin basah kuyup dan merasa amat marah kepada gadis bernama Cui
Sian itu.
Dengan tenaga dalamnya yang murni dan sangat kuat serta gerakan dayungnya yang hebat, Cui Sian
masih mampu mempertahankan diri dari desakan kedua buah dayung lawannya. Akan tetapi tiba-tiba
perahu yang diinjaknya berguncang hebat.
Kini ia tidak mungkin dapat melawan orang-orang yang berada di dalam air karena dua batang dayung
yang mengancamnya dari depan sudah cukup berbahaya. la berusaha mempertahankan diri, akan tetapi
ketika tiba-tiba perahu yang diinjaknya itu tenggelam, tak mungkin lagi ia mempertahankan diri.
la ikut tenggelam dan pada lain saat ia gelagapan karena seperti juga Siu Bi, ia adalah seorang puteri
gunung dan tidak pandai berenang! Sungguh pun demikian, ketika dua orang penyelam berusaha
menangkap dan memeluknya, mereka itu memekik kesakitan dan pingsan terkena sampokan tangannya!
Melihat ini, Ouwyang Lam terjun ke air. Cui Sian sudah gelagapan dan menelan air, tentu saja bukan lawan
Ouwyang Lam yang selain berkepandaian tinggi, juga ahli bermain di air. Sebelum Cui Sian sempat
mempertahankan diri, sebuah sapu tangan merah yang diambil pemuda itu dari saku bajunya, telah
menutup mukanya. la mencium bau harum dan... tak ingat diri lagi.
Ouwyang Lam menyeretnya sambil berenang. Ketika sampai di pinggir perahu, pemuda itu
memondongnya naik ke perahu, melempar tubuh yang pingsan dan basah kuyup itu ke dalam perahu.
Siu Bi mengerutkan keningnya. "Mau diapakan dia ini, Ouwyang-twako?"
Mendengar pertanyaan ini dan melihat pandang mata Siu Bi yang tajam penuh selidik, Ouwyang Lam
menjadi agak gagap ketika menjawab. "Diapakan? Dia... ehhh, tentu saja harus ditawan. Soal ini harus
dilaporkan kepada Nio-nio. Gadis ini mencurigakan sekali, Siauw-moi (Adik Kecil). Kepandaiannya amat
tinggi dan andai kata dia betul-betul bukan orang Kun-lun-pai, mengapa ia memusuhi kita? Dan mengapa
pula ia berperahu di sini?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kan ia sudah bilang bahwa ia seorang pelancong...," bantah Siu Bi, tidak setuju melihat gadis ini ditawan
secara begitu.
Ouwyang Lam tersenyum, maklum bahwa gadis ini mulai menaruh curiga. la harus lebih berhati-hati,
pikirnya.
"Jangan kau khawatir, Moimoi. Dia ini ditawan hanya untuk ditanyai kelak. Bila ternyata benar dia itu
hanyalah seorang pelancong yang iseng dan gatal tangan, tentu saja kami akan membebaskannya. Biar
dia ditawan beberapa hari, hitung-hitung untuk membalas penghinaannya atas diri kita berdua."
Puas hati Siu Bi dengan jawaban ini. Sambil mendayung perahu kembali ke pulau, Siu Bi diam-diam
mengagumi kecantikan gadis yang telentang di depannya. Benar-benar cantik jelita dan manis sekali.
Sayang dia sombong, pikirnya, dan pernah menghinaku. Kalau tidak, hemmm, senang juga mempunyai
kawan yang juga memiliki kepandaian tinggi ini.
la melihat ada benda mengganjal di atas pinggang belakang. Dirabanya, ternyata gagang pedang. Dengan
perlahan disingkapnya baju luar itu dan ditariknya pedang itu. Sebuah pedang pendek! Akan tetapi begitu
Siu Bi mencabutnya dari sarung, matanya silau oleh sinar yang putih gemerlapan.
"Wahhh, pedang yang hebat, pusaka ampuh!" seru Ouwyang Lam. "Moimoi, kau benar. Pedang itu harus
dirampas, kalau,tidak dia bisa membikin kacau setelah siuman."
Ucapan ini membikin muka Siu Bi semakin merah. Sama sekali dia tidak mempunyai niat untuk merampas
pedang orang, hanya ingin melihat saja. Akan tetapi tiba-tiba ia berpikir.
Pedang pusakanya sendiri ia tinggalkan kepada Jaka Lola. la tidak bersenjata. Tak ada salahnya ia
menyimpan dulu pedang ini, dan kalau segala sesuatu beres, mudah saja dia kembalikan kepada yang
punya. Dari pada dirampas oleh Ouwyang Lam. Ia masih belum percaya penuh kepada pemuda ini atau
kepada ‘bibi Kui Ciauw’.
Dalam keadaan masih pingsan, Cui Sian dibawa ke daratan pulau, dihadapkan kepada Ang-hwa Nio-nio.
Nenek ini mengerutkan alisnya ketika mendengar laporan Ouwyang Lam. la memeriksa buntalan pakaian
Cui Sian yang juga dibawa ke situ oleh anak buah yang menemukannya dari perahu yang terbalik. Akan
tetapi buntalan itu isinya hanyalah beberapa potong pakaian dan sekantung uang emas. Tidak ada sesuatu
yang membuka rahasia tentang diri gadis aneh itu.
Ang-hwa Nio-nio lalu mengeluarkan sehelai sapu tangan warna biru, mengebutkan sapu tangan itu ke arah
hidung Cui Sian, kemudian dengan sapu tangan itu pula ia menotok belakang leher. Ujung sapu tangan
dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah, hal ini saja membuktikan kelihaian nenek ini.
Kiranya sapu tangan warna biru itu mengandung obat pemunah racun merah. Tak lama kemudian Cui Sian
menggerakkan pelupuk matanya dan pada waktu matanya terbuka, gadis ini sudah melompat bangun dan
berada dalam keadaan siap siaga!
la memandang ke sekelilingnya, melihat muda-mudi bekas lawannya tadi berada di situ bersama seorang
nenek berpakaian serba merah dan beberapa orang laki-laki setengah tua yang memakai tanda bunga
merah di dada. Di pinggir berdiri pelayan-pelayan wanita.
Maklum bahwa dirinya dikepung musuh, Cui Sian meraba pinggangnya. Pedangnya tidak ada! Akan tetapi
gadis ini tenang-tenang saja, sama sekali tidak menjadi gentar atau gugup. la malah tersenyum mengejek
dan berkata,
"Bagus! Kiranya Ang-hwa-pai penuh tipu muslihat. Kalian secara curang sudah berhasil menawan aku,
mau apa?"
Ang-hwa Nio-nio membentak ketus, "Bocah sombong, berani kau berlagak di depanku?! Sudah diampuni
jiwanya masih sombong. Kalau tadi kami turun tangan membunuhmu, kau akan bisa apa?"
Cui Sian memandang nenek itu, pandang matanya tajam bukan main, membuat si nenek diam-diam
tercengang dan menduga-duga, siapakah gerangan gadis yang bernyali besar dan penuh wibawa ini.
"Agaknya kau adalah ketua Ang-hwa-pai. Nah, katakan kehendakmu. Soal mati hidup, kau membunuhku
dunia-kangouw.blogspot.com
pun aku tidak takut, kau membebaskan aku pun tak merasa berhutang budi."
"Bocah, lebih baik larutkan keangkuhanmu ini dan lekas kau mengaku, siapakah yang menyuruh kau
datang memata-matai Ang-hwa-pai dan membikin kacau? Jika tidak ada yang menyuruh, apa maksud
kedatanganmu? Jawab sebenarnya, jangan membikin aku habis sabar. Apa hubunganmu dengan Kun-lunpai?"
"Tidak ada yang menyuruhku, Kun-lun-pai tiada sangkut-pautnya denganku. Aku seorang pelancong,
kebetulan lewat dan berpesiar di telaga, lalu bertemu dengan dua orang tosu Kun-lun-pai. Kuanggap dua
orang bocah ini keterlaluan sekali, maka aku sengaja hendak memberi hajaran. Dengan curang mereka
berhasil menawan aku, terserah kalian mau apa sekarang. Mau bertanding sampai seribu jurus, hayo!"
Kembali Ang-hwa Nio-nio tercengang dan diam-diam harus dia akui bahwa gadis seperti ini tentu tak boleh
dipandang ringan. "Siapakah kau dan dari mana kau datang?"
"Sudah kukatakan pada dua orang bocah ini, namaku Tan Cui Sian dan aku bukan orang Kun-lun-pai,
sungguh pun Kun-lun-pai adalah partai segolongan dengan Thai-san-pai."
Berubah wajah Ang-hwa Nio-nio. "Kau anak murid Thai-san-pai? Dan kau... kau she Tan, apamukah Butek
Kiam-ong Tan Beng San si kakek ketua Thai-san-pai?"
"Dia ayahku..."
"Keparat! Kiranya kini kau menyerahkan nyawa anakmu kepadaku, manusia she Tan?" Sambil berseru
keras Ang-hwa Nio-nio sudah menerjang maju, tangannya menghantam dan sinar merah membayang
pada pukulannya ini.
Cui Sian sudah siap sejak tadi. la maklum bahwa nenek ini tentulah seorang sakti dan alangkah
kecewanya bahwa dia tadi sudah mengaku dan menyebut nama ayahnya dan Thai-san-pai. Ternyata
pengakuan itu hanya mendatangkan bahaya bagi dirinya karena ternyata bahwa nenek ini kiranya adalah
musuh ayahnya.
Ayahnya, Si Raja Pedang Tan Beng San, memang mempunyai banyak sekali musuh, terutama dari
golongan hitam. Setelah terlanjur membuat pengakuan, ia sekarang harus menghadapi bahaya dengan
tabah. (baca cerita Raja Pedang dan Rajawali Emas)
Cui Sian bukan seorang gadis nekat seperti Siu Bi. Dia seorang yang berpemandangan luas, cerdik dan
dapat melihat gelagat. Tentu saja ia maklum bahwa, amatlah berbahaya baginya untuk seorang diri saja
menghadapi orang-orang Ang-hwa-pai di tempat mereka sendiri. Apa lagi ia bertangan kosong, kalau ada
Liong-cu-kiam di tangannya masih boleh diandalkan.
Maka, melihat datangnya pukulan maut yang mengandung sinar merah, dia cepat-cepat miringkan tubuh
dan mainkan jurus Im-yang Kun-hoat yang ia warisi dari ayahnya. Kedua tangannya dengan pengerahan
dua macam tenaga Im dan Yang, menangkis sambaran tangan Ang-hwa Nio-nio yang tak mungkin dapat
dielakkan lagi itu.
"Dukkk!"
Tubuh Cui Sian terlempar sampai ke luar dari pintu ruangan, ada pun ketua Ang-hwa-pai itu kelihatan
meringis kesakitan.
Terlemparnya tubuh Cui Sian memang disengaja oleh gadis itu sendiri karena pertemuan tenaga mukjijat
itu memberi kesempatan kepadanya untuk melarikan diri, atau setidaknya keluar dari ruangan yang sempit
itu agar kalau dikeroyok, ia dapat melawan lebih leluasa di tempat yang luas di luar rumah.
"Bocah setan, mau lari ke mana engkau?" Ang-hwa Nio-nio berseru, kemudian menoleh kepada Siu Bi dan
Ouwyang Lam berkata, "Kejar, ia dan ayahnya adalah sekutu musuh besar kita, Pendekar Buta!"
Mendengar seruan ini, Ouwyang Lam dan Siu Bi cepat berkelebat melakukan pengejaran di belakang Anghwa
Nio-nio. Juga para pembantu pengurus Ang-hwa-pai beramai-ramai ikut mengejar. Tentu saja Anghwa
Nio-nio, Ouwyang Lam dan Siu Bi yang paling cepat gerakannya sehingga para pembantu itu
tertinggal jauh.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ternyata Cui Sian memiliki ginkang yang hebat, larinya cepat seperti kijang. Akan tetapi karena dia tidak
mengenal tempat itu, tanpa dia ketahui dia telah lari ke daerah karang. Melihat ini, Ang-hwa Nio-nio dan
Ouwyang Lam tertawa dan sengaja tidak mempercepat larinya, hanya mengejar dari belakang.
Siu Bi merasa heran, tetapi segera ia melihat kenyataan dan mengetahui persoalannya. Wajahnya seketika
berubah pucat. Gadis yang dikejar itu telah lari memasuki sarang ular hijau! Dia bergidik dan diam-diam dia
merasa tidak senang. Boleh saja mendesak dan menyerang musuh, akan tetapi tidak secara pengecut dan
menggunakan akal busuk.
Melihat di depannya batu-batu karang yang sukar dilalui, apa lagi tiga orang pengejarnya masih terus
mengejar dari belakang, Cui Sian terpaksa berhenti, membalikkan tubuh dan tersenyum mengejek.
"Kalian bertiga hendak mengeroyokku yang bertangan kosong? Bagus, memang benar gagah orang-orang
Ang-hwa-pai! Setelah merampas pedang, kini mengeroyok."
Ouwyang Lam yang tadinya tertarik sekali akan kecantikan Cui Sian sekarang timbul kemarahannya. la
telah dibikin malu, dan sekarang tiba saat baginya untuk membalas. la memang pernah dirobohkan, akan
tetapi hal itu terjadi karena dia memandang rendah dan kejadian itu hanya dapat dialami secara tidak
tersangka-sangka.
Sekarang mereka saling berhadapan dan dapat mengandalkan ilmu kepandaian mereka. la tidak percaya
bahwa dia takkan dapat menangkan seorang gadis! Mendengar ejekan ini dia berkata, "Nio-nio, biarkan
aku menghadapi gadis sombong ini!"
Dia melompat maju dan dengan nada suara mengejek pula dia menjawab Cui Sian,
"Perempuan sombong. Kau kira di dunia ini tidak ada yang dapat mengalahkanmu? Kau bertangan
kosong? Lihat, aku pun akan menghadapimu dengan tangan kosong, kau kira aku tidak berani? Akan
tetapi kalau nanti kau tidak berlutut dan minta-minta ampun tujuh kali kepadaku, aku tidak akan
melepaskanmu!"
Cui Sian menggigit bibirnya saking gemas dan marahnya. Baginya, ucapan pemuda ini pun mengandung
arti yang kotor dan menghina. Tak sudi ia banyak cakap lagi, tubuhnya segera menerjang maju dengan
seruan nyaring. "Lihat pukulan!"
Seruan begini adalah lazim dilakukan oleh pendekar-pendekar yang pantang menyerang orang tanpa
peringatan lebih dulu, berbeda dengan sifat rendah tokoh-tokoh dunia hitam yang selalu menyerang secara
sembunyi, malah menggunakan kesempatan selagi lawan lengah untuk merobohkan lawan itu.
Ouwyang Lam cepat mengelak dan sambaran angin pukulan gadis ini cukup meyakinkan hatinya bahwa
dia tidak boleh main-main menghadapinya. Maka dia pun lalu cepat-cepat menggerakkan kaki tangan,
memainkan Ilmu Silat Bintang Terbang sambil mengerahkan tenaga Ang-tok-ciang sehingga dari dua
tangannya itu menyambar-nyambar sinar merah karena hawa beracun Ang-tok sudah memenuhi pukulanpukulan
itu.
Akan tetapi, Cui Sian bukanlah gadis sembarangan. Dia puteri Raja Pedang dan ketua Thai-san-pai yang
sakti, yang semenjak kecil telah menggemblengnya dengan ilmu-ilmu kesaktian. Raja Pedang cukup
mengenal ilmu-ilmu dari dunia hitam, maka pengertiannya tentang hal ini ia turunkan semua kepada
puterinya sehingga kini, menghadapi pukulan-pukulan yang mengandung hawa beracun bersinar merah,
Cui Sian sama sekali tidak menjadi gentar.
Kalau tadi ia dapat ditangkap, hal itu adalah karena ia tidak pandai berenang. Sekarang, sama-sama
menggunakan tangan kosong, jangan harap Ouwyang Lam akan sanggup mengatasinya.
Dengan jurus-jurus Im-yang Sin-kun yang luar biasa, Cui Sian mampu menolak semua terjangan lawan,
bahkan mulai balas mendesak dengan hebat. Ouwyang Lam terkejut setengah mati. Selama menjadi murid
dan kekasih Ang-hwa Nio-nio dan telah mewarisi ilmu kesaktian wanita ini, belum pernah ia menemui
tanding yang begini hebat selain Siu Bi.
Dia menjadi bingung oleh gerakan Cui Sian yang mengandung dua unsur tenaga yang berlawanan itu. Di
suatu saat, pukulan Cui Sian bersifat keras, di lain detik merupakan pukulan lunak tetapi berbahaya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang di sini letak kehebatan Im-yang Sin-kun, ilmu silat yang berbeda dengan ilmu silat lain.
Ilmu-ilmu silat yang lain hanya mempunyai satu sifat, lembek atau keras, kalau lembek mengandalkan
tenaga Iweekang, kalau keras mengandalkan gwakang. Akan tetapi gadis cantik ini mencampur aduk
Iweekang dan gwakang, mencampur aduk hawa Im dan Yang dalam terjangannya, pencampur adukan
yang sangat rapi karena memang menurut Ilmu Sakti Im-yang Sin-kun yang ia warisi dari ayahnya.
Setelah lewat lima puluh jurus, Ouwyang Lam sudah tidak kuat lagi. Hendak mencabut pedangnya, dia
merasa malu karena di situ terdapat Siu Bi yang turut menonton. Masa melawan seorang gadis, setelah
tadi menyombong sama-sama dengan tangan kosong, kini dia harus mencabut pedang? Memalukan
sekali, lebih memalukan dari pada kalau dia kalah dalam pertandingan ini.
la mengerahkan tenaga mengumpulkan semangat dan menerjang dengan buas. Kini dia menggunakan
jurus Bintang Terbang Terjang Bulan, tubuhnya melayang ke depan, dua tangannya mencengkeram ke
arah dada dan leher. Serangan hebat yang mematikan!
Seketika wajah Cui Sian menjadi merah. Di samping kehebatannya, serangan ini pun tidak sopan. la
membiarkan kedua tangan lawan itu menyambar dekat, memperlihatkan sikap gugup dan bingung.
Ouwyang Lam girang sekali, akan berhasil agaknya dia kali ini.
"Awas...!" Ang-hwa Nio-nio berseru dan melompat ke depan.
Terlambat sudah! Tubuh Ouwyang Lam terbanting dari samping dan pemuda ini roboh bergulingan di atas
tanah berbatu yang keras! Kiranya tadi sikap gugup dan bingung Cui Sian hanya merupakan pancingan
belaka membiarkan lawan menjadi girang berbesar hati dan karenanya lemah kedudukannya.
Secepat kilat Cui Sian membuang diri ke kiri, hanya tubuh bagian atas saja yang meliuk ke kiri, sebatas
lutut ke atas, namun kedua kakinya masih memasang kuda-kuda yang kokoh kuat. Gerakan yang amat
indah. Pada saat kedua tangan Ouwyang Lam sudah menyambar lewat, Cui Sian balas menghantam
dengan sampokan kedua lengannya dari samping, jari-jari tangannya terbuka dan dua tangannya yang
mengandung dua macam tenaga, yang kiri menghentak dengan tenaga Im sedangkan yang kanan
mendorong dengan tenaga Yang.
Tak kuat Ouwyang Lam mempertahankan diri dari serangan balasan yang mendadak dan tidak terdugaduga
ini sehingga dia terbanting cukup hebat. Untung baginya bahwa pada saat itu, Ang-hwa Nio-nio
sudah melompat datang dan menerjang Cui Sian tanpa banyak cakap lagi. Bila tidak demikian halnya,
dalam keadaan terbanting dan kepalanya masih pening tadi, dengan amat mudahnya Cui Sian akan dapat
menyusulkan serangan berikutnya yang membahayakan keselamatannya.
Ouwyang Lam bangun dengan muka merah. Hatinya panas mendongkol, apa lagi ketika dia menoleh ke
arah Siu Bi dilihatnya gadis itu memandang ke arah Cui Sian dengan sinar mata penuh kekaguman. Dia
merasa malu di depan Siu Bi. Terang bahwa dalam pertandingan tangan kosong tadi, dia kalah oleh gadis
lihai puteri Raja Pedang ini.
Dalam marahnya, ingin dia mencabut pedang dan menyerang lagi bekas lawannya, biar pun Cui Sian pada
saat itu sedang bertanding melawan Ang-hwa Nio-nio dengan hebat. Akan tetapi kehadiran Siu Bi di situ
membuat Ouwyang Lam terpaksa menahan sabar dan tidak ada muka untuk melakukan pengeroyokan.
Sementara itu, pertandingan antara Cui Sian dan Ang-hwa Nio-nio sudah berlangsung dengan hebatnya.
Dibandingkan dengan tingkat kepandaian Ouwyang Lam, tentu saja Ang-hwa Nio-nio jauh lebih tinggi.
Cui Sian maklum dan merasakan hal ini, namun gadis perkasa ini mengerahkan seluruh tenaga dan
mainkan ilmu kesaktian Im-yang Sin-kun sehingga biar pun ia tidak mampu melakukan desakan macam
tadi terhadap ketua Ang-hwa-pai ini, namun pertahanannya kokoh kuat laksana benteng baja.
Seperti juga Ouwyang Lam, ketua Ang-hwa-pai ini merasa malu untuk mempergunakan senjatanya, bukan
malu terhadap lawan, melainkan tak enak hati terhadap Siu Bi yang dianggap sebagai tamu dan orang luar.
Jika tidak ada Siu Bi di situ, sudah tentu Cui Sian sejak tadi dikeroyok dan tak mungkin gadis perkasa itu
dapat menyelamatkan dirinya.
Di samping hal ini, juga Ang-hwa Nio-nio merasa penasaran sekali. Ilmu silatnya sudah mencapai tingkat
yang tinggi, malah ia sudah mematangkan kepandaiannya sehingga ia berpendapat bahwa tingkatnya
dunia-kangouw.blogspot.com
sekarang sudah tak berbeda jauh dengan tingkat musuh besarnya, Pendekar Buta. Akan tetapi mengapa
menghadapi seorang gadis muda saja ia tidak mampu mendesaknya?
Memang dia sudah tahu akan kesaktian Raja Pedang. Akan tetapi puterinya ini baru dua puluh usianya,
betapa pun juga baru berlatih belasan tahun, bagaimana dapat menahan dia yang telah melatih diri
puluhan tahun? Inilah yang membuat hatinya penasaran dan ia menguras semua ilmunya untuk
memecahkan pertahanan Cui Sian.
Namun, Im-yang Sin-kun adalah ilmu yang bersumber kepada Im-yang Bu-tek Cin-keng, merupakan
rajanya ilmu silat dan telah mencakup inti sari dari semua gerakan silat. Ilmu silat yang dimiliki Pendekar
Buta sendiri pun bersumber pada ilmu silat ini, demikian pula ilmu-ilmu silat dari semua partai bersih. Andai
masa latihan Cui Sian sedemikian lamanya seperti Ang-hwa Nio-nio, jangan harap ketua Ang-hwa-pai itu
akan dapat menang.
Sekarang pun, karena kalah matang dalam latihan, biar tak dapat mendesak lawan, akan tetapi Cui Sian
masih dapat mempertahankan diri dengan baik. Memang jika dilanjutkan akhirnya dia akan kalah juga
karena terus-menerus mempertahankan diri tanpa mampu membalas, akan tetapi akan memakan waktu
lama sekali.
Siu Bi menonton pertempuran Itu dengan hati tegang. Matanya yang sudah terlatih akan ilmu-ilmu silat
tinggi dapat membedakan sifat-sifat kepandaian kedua orang yang sedang bertanding itu.
Terjangan-terjangan Ang-hwa Nio-nio bersifat ganas dan kasar, ditunjang dengan hawa pukulan bersinar
merah yang menyelubungi seluruh tubuh berpakaian serba merah itu. Sebaliknya, Cui Sian bersilat dengan
gerakan yang sifatnya tenang serta kokoh kuat, indah dalam setiap gerakan dan hawa pukulan dari kedua
tangannya mengandung sinar jernih tak berwarna namun cukup kuat sehingga menolak bayangan sinar
merah lawan.
Saking tegangnya dan memandang penuh perhatian, Siu Bi tidak melihat lagi kepada Ouwyang Lam.
Pemuda ini diam-diam mengeluarkan sebungkus bubuk berwarna putih, menyebarkannya di sekeliling
tempat mereka, kemudian memberi tanda isyarat kepada para anak buah Ang-hwa-pai.
Tidak lama kemudian terdengarlah suara melengking tinggi bagaikan suling ditiup, tiada putus-putusnya
datang dari empat penjuru, makin lama semakin melengking. Beberapa menit kemudian, Siu Bi
mengeluarkan seruan kaget.
Beratus-ratus ekor ular mendesis-desis dan bergerak cepat dari semua jurusan menuju ke pertempuran itu.
Seekor ular hijau yang besar dan panjang, paling cepat sampai di situ dan serta merta binatang ini
mengangkat kepala dan meloncat dengan mulut terbuka ke arah Cui Sian!
Gadis sakti ini pun sudah melihat adanya ular-ular hijau yang datang menyerbu. Maka, begitu mendengar
desis keras dari arah kiri, cepat dia melangkah mundur dan tangan kirinya dengan jari terbuka menyabet
miring, tepat mengenai leher ular.
"Trakkk!"
Ular sebesar pangkal lengan itu terpukul keras sehingga terlepas sambungan tulangnya, tak berdaya lagi,
lalu terbanting dan hanya ekornya saja yang masih menggeliat-geliat, kepalanya tak dapat digerakkan lagi!
Akan tetapi, Cui Sian harus menjatuhkan diri ke belakang dan bergulingan karena pada saat ia
menghadapi penyerangan ular tadi, Ang-hwa Nio-nio sudah melakukan serangan hebat sekali yang amat
berbahaya. Segulung sinar merah menerjang ke arah dada dan lehernya, dan ternyata Ang-hwa Nio-nio
sudah mencabut pedangnya dan menyerangnya pada saat gadis itu tidak kuat kedudukannya.
Hanya dengan cara membuang diri ke belakang dan bergulingan inilah Cui Sian mampu menyelamatkan
diri. Dia segera melompat bangun. Wajahnya merah, sepasang matanya berapi-api saking marahnya.
Biar pun lawan sudah memegang pedang dan di sekelilingnya sudah berkumpul ular-ular hijau, namun
dara perkasa ini sama sekali tidak menjadi gentar! la maklum bahwa tak mungkin melarikan diri setelah
ular-ular itu mendatangi dari segala jurusan, jalan lari selain terhalang ular-ular berbisa dan gununggunungan
batu karang, juga di bagian lain berdiri Ang-hwa Nio-nio dan anak buahnya yang amat banyak.
dunia-kangouw.blogspot.com
Cui Sian maklum bahwa keadaannya amat berbahaya, dan besar kemungkinan ia akan tewas di sini.
Namun ia mengambil keputusan untuk melawan dengan nekat dan sampai titik darah yang terakhir, tewas
sebagaimana layaknya puteri pendekar besar dan ketua Thai-san-pai!
"Ang-hwa-pai tak tahu malu! Mengandalkan pengeroyokan dan bantuan ular-ular berbisa! Ang-hwa Nio-nio,
majulah, jangan kira aku takut menghadapi kecuranganmu!"
Ang-hwa Nio-nio merasa penasaran, malu dan marah sekali. Memang amat memalukan kalau dia tidak
mampu mengalahkan gadis ini, gadis muda tak bersenjata, dan ia masih dibantu ular-ular-hya. Kalau ia
tidak mampu membunuh Cui Sian, sekali ini benar-benar akan rusak nama besarnya.
"Iblis cilik, siaplah untuk mampus!
"Nanti dulu, Nio-nio!" Tiba-tiba Siu Bi berseru dan melompat ke depan.
Ang-hwa Nio-nio kaget dan heran, lebih-lebih herannya ketika Siu Bi berkata lantang,
"Aku tidak suka melihat ini! Aku pun benci dia karena dia adalah sahabat baik Pendekar Buta musuh
besarku, akan tetapi aku tak suka melihat pertandingan yang berat sebelah ini. Ang-hwa Nio-nio, karena
aku dan kau sudah bersahabat, aku tidak mau sahabatku melakukan hal yang tidak pantas. Dia ini boleh
saja dibunuh, akan tetapi sedikitnya harus memberi kesempatan melawan, itulah haknya. Ayah... ayahku
selain menekankan bahwa dalam keadaan bagaimana pun juga, aku harus bersikap gagah dan sama
sekali tidak boleh curang. Hee, Cui Sian, ini pedangmu, kukembalikan. Sebelum mampus, kau boleh
melawan dan jangan bilang bahwa aku menyembunyikan pedangmu. Tetapi berjanjilah, bila mana nanti
kau sudah mati, relakan pedangmu ini menjadi milikku!" Sambil berkata demikian Siu Bi melemparkan
Liong-cu-kiam kepada Cui Sian.
Sejenak Cui Sian tertegun sambil memegangi Liong-cu-kiam di tangannya. Tentu saja hatinya menjadi
sebesar Gunung Thai-san sendiri setelah pedang pusakanya kembali di tangannya. Namun dia menjadi
terheran-heran melihat sikap dan mendengar kata-kata gadis cilik itu.
Tahulah dia bahwa gadis cilik itu sama sekali bukan anak buah Ang-hwa-pai! Seorang tamu agaknya, dan
tentu gadis cilik yang juga lihai itu anak seorang tokoh hitam pula. la tersenyum dan menatap mesra ke
arah Siu Bi.
"Adik manis, kau adalah batu kumala terbenam lumpur, biar sekelilingmu kotor kau tetap cemerlang! Tentu
saja, aku berjanji, rohku akan rela kalau setelah aku mati, pedang ini menjadi milikmu. Namun sayangnya,
aku tak akan mati, Adik manis. Dan kelak akan tiba saatnya aku membalas kebaikanmu ini!"
Sementara itu, Ang-hwa Nio-nio marah sekali. "Siu Bi, kau... kau amat lancang dan tolol!”
Setelah berkata demikian ketua Ang-hwa-pai ini menerjang dengan pedangnya. Sinar merah berkelebat
ketika pedangnya, pedang pusaka ampuh yang sudah direndam racun kembang merah dan diberi nama
sesuai pula, yaitu Ang-hwa-kiam, digerakkan menusuk ke depan. Pada saat yang sama, empat ekor ular
juga sudah menerjang dari belakang, menggigit ke arah kaki Cui Sian.
Akan tetapi, setelah kini Liong-cu-kiam ada di tangannya, Cui Sian seakan-akan menjadi seekor harimau
betina yang tumbuh sayap. Sinar putih berkilat-kilat menyilaukan mata ketika Liong-cu-kiam di tangannya
beraksi. Pedang pusaka ampuh ini sudah menangkis Ang-hwa-kiam dan tenaga benturan itu ia manfaatkan
dengan cara mengayun pedang ke belakang sambil merubah kedudukan kaki dari kuda-kuda melintang
menjadi kuda-kuda membujur.
“Cringgg!”
Tenaga benturan membuat Liong-cu-kiam bergerak cepat, mengeluarkan suara nyaring, dan... empat ekor
ular yang menyerang dari belakang tubuhnya telah terbabat buntung menjadi delapan potong!
"Hebat...!" Siu Bi terbengong-bengong kagum tiada habisnya.
Indah sekali gerakan itu dan ia maklum bahwa dengan pedang pusaka di tangannya, Cui Sian benar-benar
merupakan lawan berat dan ia sendiri masih sangsi apakah ia dengan Cui-beng-kiam akan dapat
dunia-kangouw.blogspot.com
mengimbangi kesaktian nona cantik langsing ini.
"Kenapa kau membantunya...?"
Siu Bi menengok. Alisnya berkerut ketika melihat bahwa yang mengeluarkan pertanyaan dengan suara
ketus itu bukan lain adalah Ouwyang Lam. Pemuda itu sekarang berdiri dengan pedang terhunus, sikapnya
mengancam.
Siu Bi mengedikkan kepalanya. "Siapa membantunya? Aku tidak sudi membantu sahabat baik musuh
besarku, akan tetapi aku pun tidak sudi membantu kecurangan, walau pun yang curang adalah teman
sendiri. Kau mau apa?!"
"Mari kita keroyok dia. Dia lihai sekali dan kalau sampai dia terlepas, tentu hanya akan menimbulkan
kesulitan di belakang hari."
"Kau mau keroyok, terserah. Twako, apakah kau tidak malu? Lihat, ketua Ang-hwa-pai telah melawannya
dengan bantuan ular-ular mengerikan itu. Hal itu saja sudah tidak adil, masa kau mau ajak aku
mengeroyok lagi? Aku tak sudi mengambil kemenangan secara rendah begitu!"
"Tetapi, Moimoi, dia itu termasuk musuh kita. Ayahnya adalah ketua Thai-san-pai, bukan saja sahabat baik
Pendekar Buta, malah masih terhitung gurunya!"
"Ahhh..."
Ouwyang Lam mengira bahwa seruan ini menyatakan perubahan di hati Siu Bi. Akan tetapi sebetulnya
bukan demikian. Siu Bi terkejut memang, akan tetapi ia terkejut karena teringat bahwa gadis itu saja sudah
begitu lihai, apa lagi Pendekar Buta!
"Lihat, Moimoi, dia begitu lihai. Kalau kita tidak turun tangan, bisa berbahaya!"
Sesudah berkata demikian, dengan pedang terhunus Ouwyang Lam lantas menerjang ke medan
pertempuran. Dia sudah menyebar bubuk anti ular pada sepatu serta celananya sehingga seperti halnya
Ang-hwa Nio-nio, dia tak akan diganggu lagi oleh ular-ular itu.
Sesudah Liong-cu-kiam berada di tangannya, Cui Sian memang hebat luar biasa. Boleh jadi dalam hal
keuletan, pengalaman, dan keahlian, dia masih belum mampu menandingi Ang-hwa Nio-nio. Akan tetapi
biar pun belum matang betul karena usianya masih muda, akan tetapi ilmu pedang yang ia mainkan adalah
raja sekalian ilmu pedang, yaitu Im-yang Sin-kiam.
Ilmu pedang inilah yang dulu sudah membuat ayahnya, Si Raja Pedang Tan Beng San, menjagoi di dunia
persilatan dan membuat Raja Pedang itu berhasil mengalahkan semua lawannya yang sakti. Kini, dengan
ilmu pedang sakti itu, ditambah pula dengan pedang pusaka Liong-cu-kiam yang amat ampuh di
tangannya, Cui Sian benar-benar merupakan seorang lawan yang sukar dikalahkan. (baca cerita Raja
Pedang)
Betapa pun juga, keroyokan ular-ular itu membuat Cui Sian repot. Menghadapi Ang-hwa Nio-nio saja dia
sudah harus mengerahkan seluruh perhatiannya karena memang wanita itu amat ganas dan berbahaya,
apa lagi sekarang dibantu oleh Ouwyang Lam yang tidak rendah kepandaiannya.
Oleh karena itu, sambaran ular-ular dari belakang dan kanan kiri benar-benar membuat ia sibuk sekali dan
ngeri. la maklum bahwa sekali saja tergigit ular hijau, maka nyawanya tidak akan dapat tertolong lagi.
Sudah puluhan ekor ular terbabat mati oleh pedangnya, sehingga bangkai ular itu bertumpuk serta
berserakan di sekelilingnya, menyiarkan bau yang amis dan memuakkan, bau yang mengandung racun
pula.
Cui Sian terkejut bukan main. Ia berusaha sedapat mungkin untuk menahan nafas sambil mengerahkan
sinkang melawan bau yang sangat memuakkan itu. Akan tetapi karena di lain pihak ia diserang hebat oleh
Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam dan diancam pula oleh semburan ular-ular beracun, berkali-kali
perhatiannya terpecah dan tanpa sengaja ia menyedot dan terserang bau amis itu.
Kepalanya mulai pening, pandang matanya berputaran. Pedangnya masih dia gerakkan secara cepat,
diputar-putar melindungi tubuhnya. Akan tetapi akibat matanya makin lama semakin gelap, akhirnya dia
dunia-kangouw.blogspot.com
terkena tusukan ujung pedang Ouwyang Lam yang melukai pundaknya.
Dengan hati merasa muak Siu Bi memandang dan hatinya merasa ngeri juga karena sebentar lagi dia akan
menyaksikan gadis perkasa itu roboh mandi darah dan dikeroyok ular-ular hijau. Untuk menolong, dia tidak
sudi karena bukankah gadis perkasa itu masih sahabat bahkan saudara seperguruan dengan musuh
besarnya?
la harus membenci gadis itu, biar pun perasaan hatinya tak memungkinkannya menaruh rasa itu, bahkan
ada rasa kagum di lubuk hatinya. Namun, dia harus membenci semua yang ‘berbau’ Pendekar Buta!
Betapa pun juga, rasa bencinya yang dipaksakan ini tidak melebihi rasa tidak senangnya terhadap Anghwa
Nio-nio dan Ouwyang Lam yang dia anggap berjiwa pengecut dan curang, sama sekali tidak memiliki
sifat-sifat gagah sedikit pun juga.
"Tranggg! Tranggg!" Bunga api berpijar.
Ang-hwa Nio-nio, juga Ouwyang Lam, melompat ke belakang, kaget bukan main karena pedang mereka
tersambar sinar hitam, telapak tangan mereka menjadi sakit dan hampir mereka terpaksa melepaskan
pedang. Sinar hitam masih terus berkelebatan dan matilah ular-ular yang berada di sekeliling Cui Sian
dalam jarak dua meter!
Siu Bi melompat kaget ketika melihat laki-laki yang memegang pedang bersinar hitam itu. Itulah pedangnya
dan laki-laki itu bukan lain adalah Yo Wan!
"Kau...?!?" serunya, kaget dan heran.
Yo Wan cepat merangkul pundak Cui Sian yang terhuyung dan tidak ingat diri dengan Liong-cu-kiam masih
tergenggam erat-erat. Kemudian Yo Wan menoleh ke arah Siu Bi, tersenyum getir dan melemparkan Cuibeng-
kiam. "Nona, ini pedangmu kukembalikan. Terimalah!"
Pedang itu melayang dengan gagang di depan ke arah Siu Bi yang menangkapnya dengan mudah. Mata
gadis ini terbelalak memandang. Entah bagaimana dia sendiri tidak tahu, melihat Yo Wan memondong
tubuh Cui Sian yang pingsan itu dan melangkah pergi dengan cepat, hatinya menjadi panas dan marah!
Sementara itu, Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam sejenak tercengang. Heran mereka mengapa hari ini,
setelah Siu Bi muncul pula orang-orang muda yang amat lihai, padahal orang-orang muda ini sama sekali
tidak terkenal di dunia kang-ouw.
Namun, melihat betapa pemuda sederhana berpakaian putih itu memondong tubuh Cui Sian yang pingsan,
Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam menjadi marah. Sambil berseru keras Ang-hwa Nio-nio melompat
diikuti oleh Ouwyang Lam.
"Jahanam, jangan harap dapat keluar dari Ching-coa-to dalam keadaan bernyawa!" seru Ang-hwa Nio-nio.
Tangannya bergerak dan sinar kemerahan meluncur ke arah punggung Yo Wan. Itulah Ang-tok-ciam
(Jarum Racun Merah) yang ampuh serta tak kalah jahatnya dengan Ching-tok-ciam (Jarum Racun Hijau)
yang dahulu dimiliki oleh majikan pulau itu.
Kedua-duanya memang merupakan senjata rahasia yang ampuh dan sekali menyentuh kulit dan
menimbulkan luka, korban itu takkan tertolong lagi nyawanya. Akan tetapi, tentu saja Ang-hwa Nio-nio lebih
lihai dalam menggunakan senjata halus ini karena memang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi dari
pada mendiang Ching-toanio. Oleh karena itu pelepasan jarum-jarum itu amat berbahaya.
Bagi si penyambit dan orang lain, jarum-jarum yang sudah berubah menjadi segulungan sinar merah itu
agaknya pasti akan mengenai punggung Yo Wan yang lari memondong tubuh Cui Sian. Akan tetapi, aneh
bin ajaib akan tetapi nyata terjadi, pemuda itu masih berlari-lari dan jarum-jarum itu melayang ke depan,
hilang di antara pepohonan, sama sekali tidak menyentuh baju Yo Wan!
Hal ini sebenarnya tidak mengherankan, oleh karena dalam larinya, Yo Wan yang selalu berhati-hati, apa
lagi maklum bahwa dia dikejar orang-orang pandai, telah menggunakan langkah ajaib Si-cap-it Sin-po.
Dengan langkah-langkah ajaib ini, apa lagi ditambah oleh pendengarannya yang sangat tajam karena
terlatih sehingga dia dapat mendengar angin sambaran senjata rahasia, tentu saja dengan mudah dia
dapat menghindarkan serangan gelap dari belakang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Betapa pun lihainya Yo Wan, dia adalah seorang asing di pulau itu, sama sekali tidak mengenal jalan. Dia
hanya berlari dengan tujuan ke pantai telaga, karena itu dalam kejar mengejar ini sebentar saja Ouwyang
Lam serta Ang-hwa Nio-nio yang mengambil jalan memotong dapat menyusulnya. Bahkan dua orang ini
tahu-tahu sudah muncul di depan, menghadang larinya Yo Wan!
Yo Wan mengeluh dalam hatinya. Tadinya dia tidak ingin bertempur, apa lagi dengan tubuh gadis itu dalam
pondongannya. Akan tetapi agaknya dia tak dapat menghindarkan pertempuran kalau menghendaki
selamat.
Segera dia meraih pedang di tangan gadis itu yang walau pun dalam keadaan pingsan masih
memegangnya erat-erat. Sekali renggut dia dapat merampas pedang ini dan tepat di saat itu, pedang Anghwa
Nio-nio serta pedang Ouwyang Lam sudah menyerangnya dengan ganas.
Yo Wan memondong tubuh Cui Sian dengan lengan kirinya. Tangan kanannya memutar pedang dan sekali
bergerak dia berhasil menangkis dua pedang lawannya. Pertempuran hebat segera terjadi dan karena tiga
batang pedang itu kesemuanya merupakan pedang-pedang pusaka, maka berhamburanlah bunga api
setiap kali ada pedang beradu.
”Uuhhh..." Cui Sian mengeluh meronta.
Yo Wan yang memondongnya cepat-cepat melepaskan nona itu sambil menariknya ke belakang agar
menjauh dari sinar pedang dua orang pengeroyoknya.
"Nona, kau sudah kuat betul?"
Cui Sian adalah seorang gadis yang sudah digembleng oleh ayah bundanya sejak kecil. Sinkang di
tubuhnya sudah amat kuat, maka pengaruh racun tadi tidak lama menguasai dirinya. Setelah siuman
hanya sejenak ia nanar, akan tetapi segera teringat akan segala pengalamannya dan seketika dia maklum
bahwa pemuda yang dikeroyok oleh Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam dengan mempergunakan
pedangnya secara aneh itu adalah penolongnya.
"Sudah, terima kasih. Harap kau kembalikan pedangku dan biarkan aku melawan mereka yang curang ini!"
Yo Wan menggunakan tenaganya menangkis dan sekaligus menerjang ganas sehingga dua orang
lawannya terpaksa menghindar ke belakang. Kesempatan ini dia pergunakan untuk mengembalikan
pedang Liong-cu-kiam kepada pemiliknya. Dengan hati gemas Cui Sian lalu memutar pedang itu dan
menerjang kedua orang lawannya.
"Nona, tidak baik mengacau tempat orang lain, lebih baik lari selagi ada kesempatan," kata Yo Wan sambil
mencabut pedang kayu dari balik jubahnya.
Pemuda ini sebetulnya mempunyai sebatang pedang pusaka pula, yaitu pedang pusaka pemberian isteri
Pendekar Buta. Akan tetapi dia tidak pernah mempergunakan pedang ini dan hanya menggunakan pedang
kayu cendana yang dibuatnya sendiri di Pegunungan Himalaya. Ilmu batin yang dalam dipelajarinya dari
Bhewakala membuat hatinya dingin terhadap pertempuran dan permusuhan, maka dia tak akan
menggunakan senjata tajam untuk menyerang orang apa bila keselamatannya sudah cukup dilindungi
dengan pedang kayunya.
Serangan Cui Sian yang dahsyat diterima Ouwyang Lam. Ang-hwa Nio-mo menghadapi Yo Wan yang dia
tahu malah lebih lihai dari pada puteri Raja Pedang itu. Bukan main kaget, heran, dan kagumnya pada saat
dia mendapat kenyataan bahwa pedang kayu di tangan pemuda itu sanggup menahan senjata pusakanya,
Ang-hwa-kiam! Maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan muda yang tingkat
kepandaiannya sudah amat tinggi, merupakan lawan yang amat berat.
Ada pun Ouwyang Lam yang kini menghadapi Cui Sian sendirian saja, dalam beberapa gebrakan sudah
nampak terdesak hebat. Untung baginya, Cui Sian dapat menangkap kata-kata Yo Wan.
Gadis ini diam-diam membenarkan bahwa tiada gunanya melanjutkan pertempuran. Biar pun dia akan
dapat menangkan pemuda ini, akan tetapi tempat itu merupakan sebuah pulau yang terkurung air, dan
anak buah Ang-hwa-pai amat banyak. Selain ini, pulau itu sangat berbahaya dengan ular-ularnya, juga
Ang-hwa Nio-nio dan anak buahnya pandai menggunakan racun-racun jahat. Melanjutkan pertempuran
dunia-kangouw.blogspot.com
hanya berarti mengundang bahaya bagi diri sendiri. la pribadi tidak mempunyai urusan, apa lagi
permusuhan dengan orang-orang ini, apa perlunya bertempur mati-matian?
"Kau benar, Sahabat, mari kita pergi!” katanya.
Yo Wan kagum dan girang sekali. Gadis ini ternyata seorang yang berpengalaman dan berpandangan
jauh, alangkah bedanya dengan Siu Bi yang tindakannya amat sembrono. Mereka berdua lalu melompat
jauh ke belakang, kemudian lari meninggalkan gelanggang pertempuran menuju ke pantai.
Ang-hwa Nio-nio dan Ouwyang Lam maklum bahwa mereka berdua tidak akan mampu menangkan dua
orang itu, maka mereka tidak mengejar. Ang-hwa Nio-nio dengan muka keruh memberi tanda rahasia
dengan suitan nyaring kepada anak buahnya agar supaya menghalangi kedua orang musuh itu, dan
berusaha menangkap mereka di dalam air.
Akan tetapi, Yo Wan dan Cui Sian sudah melompat ke sebuah perahu kecil dan begitu mereka
menggerakkan dayung di kanan kiri perahu, tidak mungkin lagi ada anak buah Ang-hwa-pai yang akan
dapat mengejar mereka. Perahu itu meluncur dengan kecepatan luar biasa karena digerakkan oleh tangantangan
sakti, maka gagallah harapan terakhir Ang-hwa Nio-nio untuk menangkap mereka dengan cara
menggulingkan perahu.
Ketika dua orang ini kembali ke tengah pulau, ternyata Siu Bi sudah lenyap, tidak berada di situ lagi.
Ouwyang Lam kelabakan dan mencari-cari, memanggil-manggil, namun gadis yang dicarinya tidak ada,
karena memang dalam keributan tadi, diam-diam Siu Bi sudah lari meninggalkan pulau itu.
Setelah kedua orang muda pelarian itu melompat ke darat dengan selamat, barulah Cui Sian sempat
berhadapan dengan Yo Wan. Dengan perasaan kagum gadis ini kemudian menjura memberi hormat yang
dibalas cepat-cepat oleh Yo Wan.
"Hari ini saya, Tan Cui Sian, menerima bantuan yang amat berharga dari sahabat yang gagah perkasa.
Saya amat berterima kasih dan bolehkah saya mengetahui nama dan julukan sahabat yang mulia?"
Akan tetapi orang yang ditanya membelalakkan kedua matanya, lalu menatap wajah Cui Sian penuh
selidik. Kadang-kadang kepala pemuda itu miring ke kanan, kadang-kadang ke kiri, wajahnya
membayangkan rasa keheranan dan kegirangan yang besar.
Cui Sian mengerutkan alisnya, dan kecewalah hatinya. Apakah pemuda yang tadinya ia anggap luar biasa,
gagah perkasa dan sederhana ini sebenarnya seorang laki-laki yang kurang ajar? Kedua pipinya mulai
menjadi merah, pandang matanya yang penuh kagum dan hormat mulai berapi-api.
Akan tetapi semua ini buyar seketika dan berubah menjadi keheranan ketika pemuda itu tertawa bergelak
dengan amat gembira, kemudian seperti orang gila hendak memegang tangannya sambil berseru,
"Ya Tuhan...! Benar sekali, tidak salah lagi... ahhh, kau Cui San... ehh, maksudku, kau... ehhh, Tan-siocia
(nona Tan). Ha-ha-ha, sungguh hal yang tidak tersangka-sangka sama sekali. Serasa mimpi!"
Tentu saja Cui Sian tidak membolehkan tangannya dipegang. Dia mengelak dan dengan suara ketus dia
bertanya, "Apa artinya ini? Siapa kau dan apa kehendakmu?"
"Ha-ha-ha, tidak aneh kalau Anda lupa, sudah lewat dua puluh tahun! Nona Tan, saya adalah Yo Wan!"
"...Yo Wan..? Yang mana... siapa...?" Cui Sian mengingat-ingat.
"Wah, sudah lupa benar-benar? Saya A Wan, masa lupa kepada A Wan yang dahulu pernah... ha-ha-ha,
pernah menggendongmu, bermain-main di Liong-thouw-san bersama kakek Sin-eng-cu Lui Bok?"
Mendadak wajah yang ayu itu berseri, matanya bersinar-sinar dan kini Cui Sian yang melangkah maju dan
memegang kedua tangan pemuda itu. "A Wan! Ahh, tentu saja aku ingat...! A Wan, kau... kau A Wan? Ahh,
siapa duga..."
Sejenak jari-jari tangannya menggenggam tangan pemuda itu, namun segera dilepasnya kembali dan
kedua pipinya menjadi merah. "...ahhh... ehh, sungguh tidak sangka... siapa kira kau sendiri yang akan
menolongku? Tentu saja aku tak dapat segera mengenalmu, kau sekarang menjadi begini... begini, gagah
dunia-kangouw.blogspot.com
perkasa dan lihai. Benar-benar aku kagum sekali!"
Wajah Yo Wan juga menjadi merah karena jengah dan malu, biar pun hatinya berdebar girang dengan
pujian itu. "Kaulah yang hebat, Nona... tidak mengecewakan kau menjadi puteri Raja Pedang Tanlocianpwe
ketua Thai-san-pai."
"A Wan, di antara kita tak perlu pujian-pujian kosong itu, dan apa artinya kau menyebut nona kepadaku?
Namaku Cui Sian, kau tahu akan ini. Aku mendengar dari ayah bahwa Pendekar Buta hanya mempunyai
seorang murid, yaitu engkau, akan tetapi mengapa gerakan pedangmu tadi... serasa asing bagiku?"
Yo Wan menarik nafas panjang, "Memang sebetulnya aku adalah murid suhu Kwa Kun Hong, akan tetapi...
aneh memang, aku menerima pelajaran ilmu dari orang lain, yaitu dari mendiang Sin-eng-cu locianpwe dan
mendiang Bhewakala locianpwe."
Sejenak kedua orang muda ini berdiri saling pandang. Yo Wan kagum, sama sekali tidak mengira bahwa
bocah perempuan yang dulu itu, yang sering digodanya akan tetapi juga sering dia ajak bermain-main di
Pegunungan Liong-thouw-san, dia carikan kembang atau dia tangkapkan kupu-kupu, pernah ketika gadis
ini jatuh dia gendong di belakang, bocah yang dahulu itu sekarang telah menjadi seorang gadis yang begini
hebat. Berkepandaian amat tinggi, berpandangan luas, bersikap gagah perkasa, wajahnya cantik sekali,
bentuk tubuhnya langsing dan luwes. Pendeknya, seorang dara yang hebat.
Cui Sian segera menundukkan muka. Kedua pipinya menjadi makin merah, jantungnya berdegupan secara
aneh. Mengapa dadanya bergelora, jalan darahnya berdenyar serta kepalanya menjadi pening? Mengapa
ia yang tadinya berani menghadapi siapa pun juga dengan hati terbuka, tabah dan tidak pemalu, sekarang
tiba-tiba merasa amat canggung dan malu terhadap pemuda ini, yang sama sekali bukanlah seorang asing
baginya? Dia merasa benar-benar bingung dan tidak mengerti. Belum pernah Cui Sian merasakan hal
seperti ini.
Biasanya dia amat pandai membawa diri, pandai bicara dan tidak canggung meski pun berhadapan
dengan siapa pun juga. Akan tetapi sekarang, berhadapan dengan A Wan yang kini telah berubah menjadi
seorang lelaki yang berpakaian sederhana, wajah yang membayangkan kematangan jiwa, dengan
kepandaian yang sudah terbukti amat tinggi, ia benar-benar kehilangan akal!
"Non... eh, adik Cui Sian. Bagaimanakah kau bisa tersesat ke pulau yang menjadi sarang orang-orang
jahat berbahaya itu? Bukankah kau masih tetap tinggal di Thai-san bersama orang tuamu?"
Di dalam hatinya Yo Wan menghitung-hitung dan dapat menduga bahwa usia Cui Sian tentu sekitar dua
puluh tiga tahun. Dalam usia demikian, sudah semestinya kalau puteri ketua Thai-san-pai ini telah menjadi
isteri orang. Mungkin suaminya tinggal tak jauh dari tempat ini, pikirnya. Akan tetapi tentu saja dia tidak
berani bertanya secara langsung dan karenanya dia bertanya dengan cara memutar.
Cui Sian amat cerdik. la setengah dapat menduga isi hati Yo Wan, maka cepat-cepat ia menjawab, "Aku
masih tinggal dengan ayah bundaku di Thai-san dan sekarang ini... aku memang sedang merantau, turun
gunung. Kebetulan di telaga ini aku bertemu dengan dua orang tosu Kun-lun-pai yang dihina orang-orang
Ang-hwa-pai. Karena Kun-lun-pai adalah sebuah partai besar dan kenalan baik ayahku, maka aku tidak
tinggal diam dan membantu mereka. Siapa sangka, dengan cara amat curang Ang-hwa-pai menawanku..."
selanjutnya dengan singkat ia menceritakan pengalamannya di telaga itu.
"Baiknya bagaikan dari langit turunnya, muncul engkau sehingga aku dapat terbebas dari maut. Kau
sendiri, bagaimana bisa kebetulan berada di sini? Apakah tempat tinggalmu sekarang dekat-dekat sini...
ehh, Twako? Kau lebih tua dari padaku, sepatutnya kusebut twako, Yo-twako!"
Yo Wan tersenyum. "Memang sebaiknya begitulah, Sian-moi (adik Sian). Tadi kau tanya tentang tempat
tinggalku? Ahh, aku tiada tempat tinggal, juga tiada sanak kadang, hidup sebatang kara dan merantau
tanpa tujuan."
"Oohhh..." Cui Sian menghela nafas dan hatinya pun berbisik, "Dia masih... sendiri, seperti aku, dia
kesepian, seperti aku pula."
Dengan kepala tunduk Cui Sian lalu mendengarkan cerita Yo Wan.
"Datangku ke Ching-coa-to hanya kebetulan saja, gara-gara... seorang gadis yang aneh. Dia lihai,
dunia-kangouw.blogspot.com
wataknya aneh, akan tetapi sebetulnya berjiwa gagah." Secara singkat Yo Wan bercerita tentang
pertemuannya dengan Siu Bi, betapa gadis lincah galak itu karena menolong para petani yang tertindas,
dimasukkan dalam tahanan, kemudian dia bantu membebaskannya.
"Dia aneh sekali," Yo Wan menutup ceritanya, "tanpa sebab dia menguji kepandaian denganku, tetapi
kemudian setelah terdesak, ia melarikan diri, meninggalkan pedangnya. Aku lalu mengejarnya untuk
mengembalikan pedang, dan ternyata jejaknya membawaku ke Ching-coa-to dan agaknya bukan dia yang
membutuhkan pertolongan, melainkan kau yang sama sekali tak pernah kuduga!"
Cui Sian mengangguk. "Dia memang seorang gadis gagah, sayang dia bergaul dengan orang-orang jahat
dari Ang-hwa-pai. Bagaimana pun juga, dia telah menolongku dengan mengembalikan pedangku ketika
aku dikeroyok ular."
"Aku pun heran sekali, sepak terjangnya gagah. Akan tetapi bagaimana dia bisa berada di sana? Ahh,
agaknya dia memang memiliki hubungan dengan Ang-hwa-pai... sungguh tak kuduga sama sekali!" Wajah
Yo Wan membayangkan kekecewaan besar.
Diam-diam Cui Sian yang menaruh perhatian, perasaannya tertusuk. Menurut cerita Yo Wan tadi, pemuda
ini baru saja bertemu dengan Siu Bi, akan tetapi agaknya telah begitu tertarik dan amat memperhatikan
keadaannya. Cui Sian mencoba untuk membayangkan wajah Siu Bi. Gadis yang masih muda sekali, cantik
jelita, akan tetapi memiliki sifat-sifat keras dan ganas.
"Agaknya dia hanya seorang tamu di sana. Sepanjang dugaanku ketika aku dikeroyok di sana, dia tetap
tidak sudi melakukan pengeroyokan biar pun mereka belum juga berhasil merobohkan aku. Ini saja
menjadi tanda bahwa dia berbeda dengan orang-orang pulau itu. Akan tetapi, jika ia selalu berdekatan
dengan mereka, akhirnya ia pun mungkin akan rusak..."
Tiba-tiba saja Cui Sian dan Yo Wan bergerak berbareng, melompat ke arah gerombolan pohon di sebelah
kiri.
Siu Bi muncul dari balik pohon, pedang Cui-beng-kiam di tangan. Wajahnya keruh dan matanya berapi-api
memandang Cui Sian yang menjadi tercengang setelah mengenal siapa orangnya yang bersembunyi di
balik pohon-pohon itu. Juga Yo Wan tercengang, sama sekali tidak disangkanya bahwa Siu Bi sudah
menyusul.
Sebetulnya bukan menyusul, malah Siu Bi lebih dulu meninggalkan Ching-coa-to. Ketika melihat Yo Wan
menolong Cui Sian dan memondongnya pergi, hatinya menjadi panas dan tak senang. la marah-marah, dia
sendiri tidak tahu marah kepada siapa, pendeknya ia amat marah, kepada siapa saja. Kepada Ouwyang
Lam, kepada Ang-hwa Nio-nio dan kepada semua penghuni Ching-coa-to.
Diam-diam ia lalu pergi dari situ, menggunakan sebuah perahu dan mendayungnya cepat ke darat. Tak
ada seorang pun anggota Ang-hwa-pai melihatnya karena mereka sedang bingung dan bersiap-siap
melakukan pengepungan terhadap musuh apa bila diperintah. Andai ada yang melihatnya pun, mereka
tentu tak akan berani mengganggu. Bukankah gadis ini sudah menjadi ‘orang sendiri’ dan sahabat baik
kongcu?
Setibanya di darat, Siu Bi duduk termenung dan ketika ia melihat munculnya perahu yang didayung cepat
oleh Cui Sian dan Yo Wan, ia cepat bersembunyi di balik pepohonan dan sempat mendengarkan
percakapan mereka. Ucapan-ucapan terakhir yang menyinggung dirinya membuat ia tak dapat tenang,
sehingga gerakannya segera dapat ditangkap oleh pendengaran Cui Sian dan Yo Wan yang amat tajam
dan terlatih.
"Kalian berdua adalah orang-orang yang tak tahu malu! Kalau memang berani, hayo kita bermain pedang,
kalau perlu boleh aku kalian keroyok dua. Apa perlunya bermain mulut, menggoyang lidah tak bertulang?"
"Eh-eh-ehh, Nona. Datang-datang kau marah besar tidak karuan, ada apakah?" Yo Wan mengangkat
kedua alisnya, bertanya.
Cui Sian juga memandang heran dan diam-diam ia harus akui akan kebenaran kata-kata Yo Wan tadi,
betapa aneh watak dara remaja itu. Akan tetapi diam-diam dia juga harus mengakui, betapa cantik
moleknya Siu Bi.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Marah-marah tidak karuan? Pandai memutar balikkan fakta!" Siu Bi membentak marah sekali, pedangnya
yang terhunus itu ia acung-acungkan. "Kalian yang mengumbar mulut jahat, menggoyang lidah
membicarakan orang semaunya dan tidak karuan! Hayo mau bilang apa sekarang, apakah kalian kira aku
tak mendengarkan kasak-kusuk kalian yang busuk? Apakah ini sikap orang-orang gagah, laki-laki dan
wanita kasak-kusuk di tempat sunyi, membicarakan orang lain?"
Seketika wajah Cui Sian menjadi merah. Tadinya ia kagum dan suka kepada Siu Bi, apa lagi dara remaja
itu sudah menolongnya di Ching-coa-to. Akan tetapi ucapan yang galak ini benar-benar menyinggung
hatinya, karena mengandung sindiran tentang dia berdua Yo Wan.
"Nanti dulu, adik yang baik. Kami memang telah bicara tentang dirimu, akan tetapi bukan membicarakan
hal yang buruk..."
"Cih! Bicarakan hal buruk atau pun baik, aku melarang kalian bicara tentang diriku! Apa peduli kalian kalau
aku rusak atau tidak? Apa sangkutannya kalian dengan apa yang aku lakukan, dengan siapa aku bergaul?
Huh, sekarang aku sudah rusak, nah, kalian mau apa? Puteri Raja Pedang, hayo cabut pedangmu, kita
bertanding sampai selaksa jurus, yang kalah boleh mampus!"
"Siu Bi...!" dalam kagetnya Yo Wan lupa menyebut ‘nona’. Dia takut gadis aneh ini akan kumat (kambuh)
lagi penyakitnya, tiada hujan tiada angin menantang orang bertanding. "Sungguh mati, Sian-moi (adik Sian)
sama sekali tidak bicara buruk tentang..."
"Diam kau! Atau... kau hendak membela moimoi-mu yang manis ini? Boleh, boleh, kau boleh maju sekalian
mengeroyokku. Aku tidak takut!"
Celaka benar, pikir Yo Wan kewalahan. Tanpa sengaja dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Melihat ini, Cui Sian menahan senyumnya. Gadis ini sudah cukup berpengalaman, cukup bijaksana
sehingga dia tidak terseret ke dalam gelombang kemarahan akibat sikap gadis muda yang liar ini.
Akan tetapi hatinya terasa perih. Dia harus mengakui bahwa dalam pertemuan yang tidak terduga-duga
dengan Yo Wan ini, hatinya yang selama ini tegak, kini menunduk, runtuh oleh kesederhanaan, kegagahan
dan wajah Yo Wan. Akan tetapi berbareng ia pun dapat menduga bahwa pemuda yang menjatuhkan
hatinya ini agaknya mencinta Siu Bi, dan kini, melihat sikap Siu Bi ia dapat menduga bahwa gadis remaja
ini menjadi marah-marah seperti itu karena cemburu dan cemburu adalah sahabat cinta!
Dengan suara lembut dia lalu berkata, "Bertanding sih mudah, memang bermain pedang merupakan
kesenanganku. Akan tetapi, aku selamanya tak sudi bertanding tanpa alasan tepat. Di pulau tadi, kau tidak
mau mengeroyokku, malah kau telah membantuku dengan mengembalikan pedang ini. Sekarang kau
menantangku, apa alasannya?"
"Peduli apa dengan alasan? Kalau memang kau berani, hayo lawan aku!"
"Berani sih berani, adik yang manis. Akan tetapi tanpa alasan, aku tidak mau bertempur dengan kau atau
pun dengan siapa juga."
Panas hati Siu Bi. Gadis ini demikian tenang, demikian sabar. Tentu akan kelihatan amat baik hati dalam
pandang mata Yo Wan! Atau agaknya karena di hadapan pemuda itulah maka gadis ini bersikap begitu
sabar dan tenang, biar dipuji!
"Kau mau tahu alasannya? Karena kau puteri Raja Pedang, maka kutantang kau!”
"Itu bukan alasan, Biar ayahku berjuluk Raja Pedang, tapi kau tidak kenal dengan ayah, tak mungkin
bermusuhan dengan ayah, mana bisa dijadikan alasan?"
"Aku memusuhi ayahmu!"
"Ihhh, kenapa?"
"Karena ayahmu sahabat baik, bahkan gurunya Pendekar Buta!"
"Ahhh...!" Yo Wan yang mengeluarkan suara ini dan makin panas hati Siu Bi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Apakah nama Pendekar Buta demikian besar dan hebatnya sehingga Yo Wan juga kaget ketika
mendengar dia memusuhi Pendekar Buta? Karena panasnya hati, ia melanjutkan, suaranya lantang dan
ketus.
"Aku telah bersumpah, akan kubuntungi lengan Pendekar Buta, juga isterinya dan semua keturunannya,
dan tentu saja semua sahabat baiknya adalah musuhku. Ayahmu Si Raja Pedang sahabat Pendekar Buta,
kau pun tentu sahabatnya, maka kau musuhku. Hayo, berani tidak? Tak sudi aku bicara lagi!"
Wajah Yo Wan seketika menjadi pucat mendengar ini. Cui Sian maklum akan hal ini dan dapat merasakan
juga pukulan hebat yang diterima pemuda itu. la tahu bahwa Pendekar Buta adalah penolong dan guru Yo
Wan yang amat dikasihi, dan agaknya baru sekarang pemuda ini mendengar kenyataan yang amat
menusuk perasaan, yaitu kenyataan bahwa gadis lincah dan liar ini adalah musuh besar Pendekar Buta.
Oleh karena itu, Cui Sian hanya tersenyum masam dan memberi kesempatan kepada Yo Wan untuk
menguasai perasaannya yang tertikam. la tidak ingin menambah penderitaan Yo Wan dengan melayani
kenekatan Siu Bi.
Sesudah berhasil menekan perasaannya yang kacau balau, Yo Wan segera melangkah maju. Matanya
memandang tajam kepada Siu Bi ketika dia berkata,
"Nona, kau... kau benar-benar sudah tersesat jauh sekali! Harap kau singkirkan jauh-jauh pikiranmu yang
bukan-bukan itu, tidak mungkin itu... Beliau adalah seorang pendekar yang berbudi, seorang gagah
perkasa dan bijaksana yang tiada duanya di dunia ini. Aku tak percaya bahwa kau pernah dibikin sakit hati
oleh Pendekar Buta. Mana mungkin kau bersumpah hendak membuntungi lengannya dan lengan
keluarganya? Tak mungkin ini!”
"Hemmm, begitukah pendapatmu? Kiranya kau hanya berpura-pura berlaku baik padaku karena hendak
mengubah kehendakku? Tidak mungkin ini! Aku sudah mempertaruhkan nyawaku. Biar Pendekar Buta
seorang yang memiliki tiga buah kepala dan enam buah lengan, aku tidak akan mundur setapak pun. Boleh
jadi dia pendekar besar, boleh jadi dia berbudi dan bijaksana terhadap orang lain, akan tetapi terhadap
mendiang kakek Hek Lojin, sama sekali tidak! Lengan Kakek Hek Lojin menjadi buntung oleh Pendekar
Buta, dan karena itu, aku bersumpah hendak membalaskan sakit hati ini, aku telah bersumpah akan
membuntungi lengan..."
"Jangan... jangan kau berkata begitu...,” Yo Wan melompat dan laksana seorang gila dia menggunakan
tangannya mendekap mulut Siu Bi!
"Ahhh... aku... uppp, lepaskan… lepaskan...!"
Siu Bi tentu saja meronta ronta, berusaha memukulkan gagang pedangnya, bahkan dia lalu membalikkan
pedangnya hendak menusuk. Akan tetapi Yo Wan sudah memegangi lengannya dan dia sama sekali tidak
dapat melepaskan diri.
Diam-diam Cui Sian menjadi terharu sekali, berseru nyaring, "Yo-twako, aku pergi dulu ke Liong-thouwsan."
la melompat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu. la memang seorang gadis yang luas dan tajam
pikirannya, dapat menggunakan pikiran mengatasi perasaan hatinya. Cui Sian maklum bahwa dalam
keadaan seperti itu, lebih baik kalau dia pergi meninggalkan dua orang itu.
Siu Bi sedang dikuasai rasa cemburu dan tentu akan makin menggila dan menantangnya sehingga dia
khawatir kalau-kalau dia akhirnya tidak kuat menahan kesabarannya. Juga, tak mungkin ia dapat memukul
Siu Bi, pertama karena gadis liar itu pernah menolongnya, kedua kalinya karena ia tidak mempunyai
permusuhan dengannya.
la pernah mendengar nama Hek Lojin dari ayah ibunya, dan maklum bahwa Hek Lojin adalah seorang
tokoh hitam yang amat jahat seperti iblis, juga berilmu tinggi. Siapa duga, gadis yang tadinya dia sangka
seorang gadis gagah perkasa itu, kiranya cucu murid Hek Lojin. Pantas demikian aneh dan liar seperti
setan!
Yo Wan sedang gugup, bingung, berduka dan kecewa. Karena itulah maka dia hanya menyesal sebentar
dunia-kangouw.blogspot.com
bahwa Cui Sian pergi dalam keadaan seperti itu. Baru setelah Siu Bi mengeluarkan suara seperti orang
menangis terisak, dia sadar akan perbuatannya yang luar biasa ini.
Dia sedang merangkul Siu Bi, mendekap mulutnya dan memegangi lengannya. Setelah sadar, dengan
tersipu-sipu ia cepat melepaskan pegangannya. Mukanya sebentar merah sebentar pucat.
"Kau... kau... mau kurang ajaran, ya? Kau mengandalkan kepandaianmu? Karena kau sudah dapat
menangkan aku, kau lalu mengira boleh berbuat sesukamu kepadaku? Kau laki-laki kurang ajar, kau lakilaki
sombong, kau... kau... jangan kira aku takut, kau harus mampus...!" Serta merta Siu Bi menerjang
dengan pedangnya.
Tentu saja Yo Wan cepat mengelak dan berkata, "Siu Bi... ehh, Nona..., tunggu dulu...”
"Tunggu apa lagi? Tunggu kau kurang ajar lagi? Kau merangkul-rangkul aku, mendekap mulutku, siapa
beri ijin? Kurang ajar! Kau kira aku sama seperti Cui Sian, kau kira aku akan tergila-gila kepadamu, karena
kau tampan, karena kau gagah, karena kau lihai? Cih, tak bermalu!" Pedangnya menusuk leher dan
kembali Yo Wan mengelak.
"Sabar...!" Dia sempat berkata, tetapi cepat mengelak lagi karena sinar pedang hitam itu sudah
menyambar. "Siu Bi, jauh-jauh aku mengejarmu, di sepanjang jalan penuh gelisah setelah menemukan
sapu tanganmu ini..." la mencabut sapu tangan kuning dari sakunya. "Kukira kau terancam bahaya maut...
kiranya kau menyambutku dengan serangan nekat begini. Aku takut kau terancam bahaya, kau malah ingin
aku mati..."
"Makan ini!" kembali pedang Siu Bi menyambar, kini menyabet ke arah hidung.
Cepat Yo Wan meloncat dan menggerakkan kedua kakinya dengan langkah ajaib karena penyerangan
gadis itu benar-benar tak boleh dipandang rendah.
"Kau mau menggunakan lidah tak bertulang? Jangan coba bujuk aku, he... Jaka Lola tak tahu diri. Kau
bilang gelisah memikirkan aku, tetapi kenyataannya, dengan menyolok kau hanya datang untuk membantu
Cui Sian. Wah, kau gendong-gendong dia. Mesra, ya? Cih, tak bermalu! Sekarang kau hendak membela
Pendekar Buta lagi? Nah, matilah!"
Mau tidak mau Yo Wan tersenyum geli. Gadis ini memang luar biasa aneh. Tapi... tapi... agaknya marahmarah
karena dia telah menolong Cui Sian? Hatinya berdebar. Benarkah dugaannya ini? Benarkah Siu Bi
tak senang dia menolong gadis lain? Cemburu? Susah berurusan dengan gadis yang begini galak,
pikirnya.
"Nanti dulu, Siu Bi, berhenti dulu...”
"Berhenti kalau kau sudah mati!" teriak Siu Bi.
Siu Bi mengirim tusukan cepat dan kuat sekali. Kalau terkena lambung Yo Wan, tentu pemuda itu akan di
‘sate’ hidup-hidup. Akan tetapi langkah ajaib menolong Yo Wan dan pedang itu meluncur lewat belakang
punggungnya. Cepat dia memutar tubuh ke kiri dan tangan berikut gagang pedang itu sudah dikempit di
bawah lengannya. Siu Bi tak dapat bergerak lagi!
"Nanti dulu, dengarkan dulu omonganku. Bila sudah dengar dan tetap menganggap aku salah, boleh kau
sembelih aku dan aku Yo Wan tak akan mengelak lagi!"
Tangan kiri Siu Bi tadinya sudah bergerak hendak mengirim pukulan. Mendengar ucapan ini dia tampak
ragu-ragu dan bertanya. "Betulkah itu? Kau tak akan mengelak lagi kalau nanti kuserang?"
"Tidak, tapi kau harus dengarkan dulu omonganku, bersabar dulu, jangan terlalu galak."
"Sumpah?"
"Sumpah...? Sumpah apa?"
"Sumpah bahwa kau tak akan melanggar janji?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Pakai sumpah segala?" Yo Wan melepaskan kempitannya dan menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
"Aku..."
"Tidak usah, bersumpah pun percuma! Mana bisa dipegang sumpah laki-laki? Sebagai gantinya sumpah,
hayo bersihkan tanganku ini!" la mengasurkan tangannya ke depan.
Yo Wan melongo. "Bersihkan tanganmu? Kenapa?" la mengerutkan alisnya. Tak sudi dia demikian
direndahkan, apakah dia akan diperlakukan sebagai seorang bujang?
Siu Bi merengut, marah lagi, terbayang pada matanya yang bersinar-sinar seperti akan mengeluarkan api.
"Memang kau tak bertanggung jawab, berani berbuat tak berani menanggung akibatnya. Kau tadi
mengempit tanganku di ketiakmu, apa tidak kotor?"
Hampir saja Yo Wan meledak ketawanya, begitu geli hatinya sehingga perutnya terasa mengkal dan
mengeras. Gadis ini benar-benar... ah, gemas dia, kalau berani tentu sudah dicubitnya pipi dara itu.
Tapi ia maklum bahwa gadis ini tidak berpura-pura, memang benar-benar bersikap wajar, sikap kanakkanak
yang nakal dan manja. Yo Wan lalu menggunakan ujung baju untuk menyusuti tangan yang berjari
dan berkulit halus itu. Makin berdebar jantungnya hingga jari-jari tangannya agak gemetar ketika
bersentuhan dengan jari-jari tangan Siu Bi yang ‘dibersihkan’.
Tiba-tiba Siu Bi merenggutkan tangannya terlepas dari pegangan Yo Wan. "Sudahlah...! Lama-lama amat
membersihkan saja, agaknya kau memang senang pegang-pegang tanganku, ya?"
Tentu saja kedua pipi Yo Wan seketika menjadi merah sekali saking malu dan jengah mendengar teguran
yang benar-benar tidak mengenal sungkan lagi ini akan tetapi yang langsung menusuk hati dengan
tepatnya.
"Nah, sekarang kau omonglah! Awas, jika dari omonganmu ternyata kau masih bersalah terhadapku,
pedangku akan menyembelih lehermu!" Mata Siu Bi memandang ke arah leher Yo Wan, penuh ancaman.
Akan tetapi Yo Wan sama sekali tidak merasa ngeri. Meski gadis ini merupakan kenalan baru, akan tetapi
dia seperti telah mengenal luar dalam, sudah hafal akan wataknya yang memang aneh itu. Dia yakin
bahwa sampai mati Siu Bi tak akan sudi melakukan hal itu, menyembelih orang yang tidak melawan seperti
orang menyembelih ayam saja!
Dia tersenyum dan duduk di atas rumput. Ketika Siu Bi juga menjatuhkan diri duduk di depannya, dia
merasa gembira dan lega hatinya, timbul kembali rasa aneh yang sangat bahagia di hatinya seperti ketika
dia bersama gadis itu makan berdua menghadapi api unggun.
"Aku tidak berbohong, tak pernah membohong dan juga takkan suka membohong kalau akibat perbuatan
itu aku merugikan orang lain." Yo Wan mulai dengan kata-kata memutar karena dia maklum bahwa
menghadapi seorang seperti Siu Bi, ada perlunya sekali-kali membohong, maka dia tadi sengaja
menambahi kata-kata ‘kalau akibat membohong itu akan merugikan lain orang’! "Pada waktu kau lari itu,
pedangmu tertinggal. Aku menyesal sekali telah membikin kau marah dan kecewa, maka aku mengambil
pedangmu dan lari mengejar. Celaka, kiranya ilmu lari cepatmu luar biasa sekali. Mana aku mampu untuk
mengejar? Aku tidak dapat mengejarmu dan ketika kulihat sapu tangan ini... ada darah di situ... aku
menjadi gelisah bukan main. Aku khawatir kalau-kalau kau terjatuh ke tangan orang jahat...”
"Memang aku terjatuh ke tangan orang jahat, anak buah Ang-hwa-pai yang menculikku setelah membuat
aku pingsan dengan bubuk racun merah yang harum."
"Ahhh...! Sudah kukhawatirkan terjadi hal seperti itu...! Kemudian bagaimana?"
Siu Bi meruncingkan bibirnya. Yo Wan terpaksa meramkan kedua matanya melihat mulut yang kecil itu
meruncing seperti hendak menusuk ulu hatinya. "Huh, yang mau omong ini engkau atau aku? Kaulah yang
harus meneruskan omonganmu. Hayo, lalu bagaimana?"
Yo Wan tersenyum. Timbul lagi kegembiraannya. Ah, alangkah akan nikmat dan bahagia hidup jika bisa
seperti ini terus. Heran dia, kenapa selalu terasa seperti ini, bunga-bunga makin indah, daun hijau makin
segar, bahkan batang-batang pohon bentuknya menjadi penuh keindahan, semua hal aneh ini terjadi apa
dunia-kangouw.blogspot.com
bila Siu Bi berada di dekatnya, dengan sikapnya yang nakal, aneh, menggemaskan dan kadang-kadang
membingungkan.
"Aku lalu menyimpan sapu tangan pembungkus rambutmu ini yang... ehhh, yang harum baunya tapi
ternoda darah... tadinya kusangka darahmu..."
"Bukan darahku. Kupukul seorang penjahat sampai berdarah. Pada waktu aku pingsan, agaknya dia sudah
mengambil sapu tangan itu dan menggunakannya untuk mengusap darahnya..."
"Celaka..." pikir Yo Wan dan hidungnya dikernyitkan, alisnya berkerut.
"Ehhh, kenapa kau? Mukamu seperti... seperti monyet kalau begitu!"
Yo Wan tidak menjawab, hanya cemberut. Celaka, pikirnya. Teringat dia betapa kadang-kadang dia
menciumi sapu tangan berdarah itu, mengira itu darah Siu Bi. Kiranya darah penjahat. Pantas baunya tak
sedap.
"Sudahlah, sapu tanganku itu boleh kau miliki, teruskan omonganmu. Sampai di sini aku belum melihat
kesalahan-kesalahan."
Belum ada kesalahan? Kesalahan besar yang patut diberi hukuman tamparan tiga kali, pikir Yo Wan.
"Aku mengejar terus sampai akhirnya aku berhenti di pinggir Sungai Fen-ho. Di sana aku dihadang oleh
bajak sungai. Kukalahkan tiga orang itu, kutangkap seorang dan kupaksa mengaku. Dari bajak itulah aku
tahu bahwa kau telah menjadi tawanan Ang-hwa-pai dan dibawa ke Ching-coa-to. Aku lalu melakukan
pengejaran, akan tetapi karena aku belum mengenal jalan dan di sepanjang jalan harus berhenti untuk
bertanya-tanya, maka tentu saja bajak itu sampai ke Ching-coa-to lebih dulu."
"Stop dulu! Awas, apakah pada bagian ini kau tidak membohong? Agaknya di jalan kau bertemu dengan
Cui Sian dan itulah yang menyebabkan kau terlambat datang."
"Tidak sama sekali!"
"Kalau tidak, bagaimana bisa begitu kebetulan? Nah, lanjutkanlah,"
"Ketika mendarat di Ching-coa-to, aku sama sekali tidak tahu bahwa di situ ada Cui Sian, malah aku tidak
pernah kenal siapa dia. Yang kukhawatirkan tentu saja kau, karena aku menyusul tergesa-gesa ke Chingcoa-
to adalah karena hendak menolongmu."
"Hemmm..." Siu Bi menggerakkan mulut mengejek, tanda tak percaya. "Teruskanlah..." kata-kata ini
membayangkan bahwa dia amat tertarik. Diam-diam Yo Wan geli hatinya.
"Tapi, ketika aku tiba di tempat pertempuran, aku melihat hal yang amat aneh dan sama sekali di luar
dugaanku."
"Apa itu?"
"Ehh, kulihat kau yang kukhawatirkan setengah mati itu sedang berdampingan dengan seorang pemuda
tampan dan ganteng, sama sekali kau tidak ditawan, apa lagi terancam! Sekali pandang saja aku maklum
bahwa kau memang tidak membutuhkan pertolongan, maka perhatianku lalu tertarik oleh keadaan Cui Sian
yang terancam bahaya maut. Tentu saja aku tidak bisa membiarkan orang-orang jahat menyiksa orang
seperti itu, maka aku kemudian turun tangan menolongnya. Karena maklum bahwa berlama-lama di sana
akan berbahaya, aku lalu membawa pergi Cui Sian yang masih pingsan, melarikan diri dengan perahu
meninggalkan Ching-coa-to."
"Tanpa pedulikan aku lagi, ya?"
"Lho, kau kan tidak apa-apa! Aku sama sekali tidak merasa khawatir meninggalkan kau di sana karena
agaknya kau tidak bermusuhan dengan orang-orang Ang-hwa-pai."
"Hemmm, tadi kau bilang tidak kenal Cui Sian, padahal sesudah kau dengan dia berada di sini, kalian
bicara kasak-kusuk begitu mesra. Kau menyebutnya moimoi segala!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Yo Wan tersenyum dan mukahya menjadi merah. Benar-benar gadis ini belum mengenal sungkan, bicara
secara blak-blakan tanpa malu-malu dan sungkan lagi, malah dia yang menjadi jengah dan untuk sejenak
tak mampu menjawab.
"Pringas-pringis! Hayo beri keterangan, bagaimana? Atau, barang kali kau bohong ketika bilang tidak
mengenal dia?"
"Begini, Nona..."
"Huh, aku yang lebih dulu kau kenal, masih kau sebut nona-nona segala. Dia baru saja kau jumpai, sudah
kau sebut moimoi. Coba pikir, bukankah hal ini sangat memanaskan perut?"
Senyum Yo Wan melebar. Benar-benar seperti anak kecil. "Kalau begitu, biar kusebut kau moimoi. Aku
tadinya takut menyebut kau moimoi, kau begitu galak sih.”
”Siapa kegilaan dengan sebutanmu? Teruskan!”
"Begini sebenarnya. Ketika aku menolong Cui Sian, aku benar-benar tidak mengenal dia, dan aku
menolong hanya karena tidak dapat berdiam diri saja melihat seorang wanita muda terancam maut. Akan
tetapi sesudah kami berdua bercakap-cakap, baru aku tahu bahwa dia itu adalah seorang temanku
bermain ketika kami masih kecil. Ketika itu dia baru berusia tiga empat tahun, dan aku berusia enam tujuh
tahun. Tentu saja pertemuan yang tak terduga-duga itu menggembirakan dan kami bicara tentang masa
lalu."
Siu Bi mengangguk-angguk, wajahnya agak berseri, tidak marah lagi seperti tadi.
"Dan kalian kasak-kusuk? Bicara tentang diriku, ya?"
"Tapi kami tidak bicara buruk. Cui Sian bukan macam gadis yang suka memburukkan orang lain."
"Aku tahu. Dia gagah perkasa memang. Tapi... tapi dia sahabatnya Pendekar Buta. Dan kau...!" Tiba-tiba
Siu Bi berdiri, "Kau juga hendak membela Pendekar Buta? Mengapa? Kau siapa? Apamukah Pendekar
Buta itu?"
"Eeittt, sabar dan tenanglah. Aku sama sekali tidak membelanya. Dengar baik-baik, Siu Bi Moimoi. Aku
mencegah kau memusuhi Pendekar Buta, sama sekali bukan dengan maksud lain kecuali untuk mencegah
kau menghadapi bahaya maut. Kau tahu, Pendekar Buta adalah seorang yang teramat sakti, tak
terkalahkan, dan mempunyai banyak sekali sahabat-sahabat di dunia ini, sahabat-sahabat yang sakti-sakti
pula. Karena itu, harap kau jangan sembarangan bicara dan ingat baik-baik lebih dulu sebelum
memusuhinya, karena hal itu teramat berbahaya bagi keselamatanmu."
Sejenak Siu Bi termenung, kemudian matanya bersinar dan dia menyimpan pedangnya. Yo Wan menarik
nafas panjang, dadanya lapang.
"Yo-twako... nah, aku pun menyebutmu Yo-twako, seperti Cui Sian tadi. Yo-twako..."
“Hemmm…”
"Waduh, kau senang ya kusebut Yo-twako?"
"Tentu saja senang, Bi-moi. Kau hendak berkata apa tadi?"
"Yo-twako, apakah kau suka kepadaku?"
Yo Wan tersentak kaget. Benar-benar gila! Mana ada seorang gadis bertanya tentang hal ini seperti orang
bertanya mengenai perut lapar atau tubuh lelah saja. Begitu biasa dan sederhana! Begitu langsung dan
terus terang. Apakah tidak luar biasa?
"Tentu saja, Bi-moi. Aku... aku… suka kepadamu."
"Betul? Tidak bohong? Jangan-jangan di mulut bilang begitu, di hati berbunyi lain!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sungguh mati, Bi-moi. Aku memang suka padamu, suka betulan, tidak main-main dan tidak bohong!"
"Betul suka? Dan kau mau menolongku, mau membantuku?"
"Tentu saja!"
Siu Bi memegang kedua tangan Yo Wan dan meloncat-loncat kecil seperti orang menari, wajahnya berseri,
matanya bersinar-sinar, kedua pipinya merah, bibirnya yang manis dan merah membasah itu sedikit
terbuka, terhias oleh senyum. Bukan main cantik manisnya, membuat Yo Wan terpesona dan tubuhnya
serasa dingin.
"Yo-koko yang baik, koko yang perkasa. Terima kasih! Aku pun suka sekali kepadamu! Yo-twako, mari kau
bantu aku untuk mencari Pendekar Buta dan membuat perhitungan, membalas sakit hati kakek Hek Lojin!"
Kepala Yo Wan serasa disambar geledek. Mampuslah kau sekarang! Mau rasanya dia menggejil (memukul
dengan buku jari) kepalanya sendiri. Mampus kau si sembrono! Cih, terbujuk dan tertipu oleh kanak-kanak!
Ingin dia marah marah kepada diri sendiri, marah kepada Siu Bi. Akan tetapi dia tidak tega memarahi dara
yang begini gembira ria dan bahagia. Dia harus berlaku cerdik. Boleh juga membohong demi keselamatan
hubungan mereka, demi kesenangan Siu Bi.
"Tentu saja aku akan membantumu dalam segala hal, Bi-moi. Tetapi mari kita duduk dulu dan kau
ceritakan padaku riwayat hidupmu. Siapakah kakekmu yang bernama Hek Lojin itu? Dan mengapa kau
memusuhi Pendekar Buta? Kemudian, kau juga belum ceritakan bagaimana kau yang tadinya terculik oleh
anggota Ang-hwa-pai itu tahu-tahu bisa bebas dan kelihatannya tidak dimusuhi lagi di Ching coa to”.
Siu Bi duduk di atas rumput, wajahnya masih berseri. "Engkau baik sekali, Yo-twako. Aku sekarang takkan
marah lagi padamu. Maafkan kelakuanku yang sudah-sudah, ya?"
Yo Wan terharu. Seorang gadis yang baik, baik sekali pada dasarnya. Kasihan, agaknya tidak
mendapatkan pendidikan sebagaimana mestinya di waktu kecil.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, adikku. Kau seorang gadis yang baik sekali.”
"Sebetulnya aku tidak suka menceritakan riwayatku kepada siapa pun juga, Twako. Akan tetapi
kepadamu... lain lagi."
Aduhhh, jantung Yo Wan serasa cesssss... bagai direndam air es. la memandang wajah itu dan kedua
matanya seakan-akan bergantung pada bibir yang bergerak-gerak lincah.
"Aku mau ceritakan semua, akan tetapi kau harus berjanji akan memberi pelajaran ilmu silat kepadaku,
Twako."
"Ilmu silat? Tapi... ilmu silatmu sudah hebat sekali!"
"Hebat apanya? Cara engkau menghindarkan pedangku tadi. Bukan main! Aku ingin kau mengajarkan aku
cara mengelak seperti itu, Twako."
Yo Wan terkejut, Si-cap-it Sin-po atau ilmu langkah ajaib itu dia pelajari dari Pendekar Buta! Mana boleh
diajarkan kepada orang lain, apa lagi kepada orang yang jelas berniat memusuhi Pendekar Buta? Tetapi
dia segera mendapat sebuah pikiran yang cerdik dan bagus, maka dia mengangguk. "Baiklah, nanti
kuajarkan itu kepadamu!"
Siu Bi mulai dengan ceritanya secara singkat. "Aku anak tunggal seorang janda, sampai sekarang aku tak
tahu siapa ayahku sebab ibu merahasiakannya. Aku lalu diambil anak oleh ayah angkatku, juga aku
menerima pelajaran dari kakek guruku, yaitu Hek Lojin itu. Semenjak kecil aku belajar silat di Go-bi-san
dan kakek Hek Lojin amat sayang padaku. Dia kehilangan lengannya, buntung sebatas siku kiri, dibuntungi
oleh Pendekar Buta saat bertempur melawannya. Karena kakek amat baik padaku, dia sudah menurunkan
semua ilmunya kepadaku dan aku sudah bersumpah sebelum dia meninggal dunia bahwa aku pasti akan
mencari Pendekar Buta kemudian membalaskan dendam hatinya dengan cara membuntungi lengan
Pendekar Buta dan anak isterinya."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Mengapa kakekmu bertempur dengan Pendekar Buta? Apakah dia tidak menceritakan kepadamu sebabsebabnya
sehingga kau dapat mengerti apakah sebetulnya kesalahan Pendekar Buta terhadap kakekmu?"
Dengan hati-hati dan secara berputar, Yo Wan lalu bertanya dengan maksud mengingatkan gadis ini
bahwa tidak baik mengancam hendak membuntungi lengan orang-orang tanpa tahu kesalahan mereka
yang sesungguhnya.
Akan tetapi dia keliru. Siu Bi menggerakkan alisnya yang hitam panjang dan kecil seperti dilukis. "Apa
peduliku tentang itu? Bukan urusanku! Urusan antara mendiang kakek dan Pendekar Buta, tiak ada
sangkut-pautnya dengan aku. Urusanku dengan Pendekar Buta hanya untuk membalaskan sakit hati kakek
yang sudah dibuntungi lengannya, tentu saja berikut tambahan bunganya karena kakek sudah menderita
puluhan tahun lamanya. Ada pun bunganya adalah lengan isteri dan anak Pendekar Buta."
Jawaban ini membuat Yo Wan menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menarik nafas panjang.
"Ehh, kau tidak setuju? Bukankah kau bilang hendak membantuku menghadapi mereka?"
Cepat Yo Wan menjawab. "Memang, aku akan membantumu dalam segala hal, Bi-moi. Akan tetapi, aku
hanya ingin mengatakan bahwa tugasmu itu sama sekali bukanlah hal yang mudah dilaksanakan.
Pendekar Buta Kwa Kun Hong ialah seorang pendekar besar yang sangat sakti. Isterinya pun memiliki ilmu
kepandaian tinggi, juga puteranya. Mereka bertiga merupakan keluarga yang sukar sekali dilawan, apa lagi
dikalahkan secara yang kau katakan tadi, membuntungi lengan mereka. Wahhh, hal ini kurasa tak akan
mungkin dapat kau lakukan."
"Hemmm, Yo-twako, kenapa kau begini kecil hati dan penakut? Aku sih sama sekali tidak takut! Apa lagi
ada kau di sampingku yang akan membantuku, Menghadapi iblis-iblis dari neraka pun aku tidak takut! Kau
tak usah khawatir, Twako. Kalau kita sudah berhadapan dengan mereka, biarkan aku menghadapi mereka
sendiri. Kau tak usah ikut campur atau turun tangan. Terserah kepadamu apakah kau mau membantuku
kalau melihat aku kalah oleh mereka. Aku hanya minta kau temani aku ke Liong-thouw-san. Bagaimana?"
Yo Wan merasa kasihan sekali dan hatinya tidak tega untuk menolak. Sungguh seorang gadis yang patut
dikasihani. Tidak tahu siapakah ayahnya? Adakah kenyataan yang lebih pahit dari ini?
"Bi-moi, aku sendiri merasa heran mengapa ibumu merahasiakan siapa adanya ayahmu. Akan tetapi,
siapakah itu ayah angkatmu?"
"Dia suami ibu!"
"Ahhh...!" Tak dapat Yo Wan menahan seruannya ini, karena memang sama sekali tidak disangkasangkanya.
Melihat gadis itu memandang tajam karena seruan kagetnya, dia cepat-cepat menyambung.
"Kalau begitu, dia itu bukan ayah angkatmu, melainkan ayah tirimu. Begitukah?"
Siu Bi mengangguk, lalu terus menundukkan mukanya. Betapa pun juga, hatinya tertusuk dan merasa
sakit. Semenjak kakeknya terbunuh oleh The Sun dan ia mendengar bahwa orang yang selama itu ia
anggap ayahnya ternyata bukan ayahnya sejati, timbul rasa tak senang, bahkan benci kepada diri ayah
tirinya itu.
"Benar, dia itu ayah tiriku, namanya The Sun. Selama ini aku memakai she The, padahal bukan... ehh, kau
kenapa?”
Ketika mengangkat muka memandang, Siu Bi melihat betapa Yo Wan melompat berdiri tegak, mukanya
pucat bukan main dan sepasang matanya memandang padanya dengan terbelalak. Cepat dia
menghampiri dan hendak memegang pundak pemuda itu sambil berkata gemas, "Yo-twako, kau kenapa?
Sakitkah kau?"
"Tidak... tidak... jangan sentuh aku!" teriak Yo Wan sambil melompat mundur.
"Yo-twako, kenapakah...?” Siu Bi benar-benar gelisah melihat keadaan Yo Wan yang seperti tiba-tiba
menjadi gila itu.
"Kenapa?" suara Yo Wan parau dan tiba-tiba dia tertawa, tetapi seperti mayat tertawa. "Huh-huh-huh
kenapa katamu? Ayah tirimu itu, The Sun itu adalah pembunuh ibuku!" Sesudah berkata demikian, Yo Wan
berkelebat dan sebentar saja dia sudah lenyap dari depan Siu Bi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Gadis ini tercengang, berusaha mengejar, akan tetapi hatinya sendiri terlampau tegang sehingga kedua
kakinya menjadi lemas. la berusaha memanggil, akan tetapi tidak ada suara yang dapat keluar dari
mulutnya. Kemudian ia bersungut-sungut dan berbisik lirih, penuh kemarahan dan kegemasan.
"The Sun, kau benar-benar telah merusak hidupku... aku benci padamu... aku benci...!" dan gadis ini lalu
menangis terisak-isak di bawah pohon.
Sementara itu, dengan hati perih dan perasaan tidak karuan Yo Wan berlari-larian cepat sekali,
menjauhkan diri sejauh mungkin dari gadis yang ternyata adalah anak tiri dari The Sun. Dan anak tiri
musuh besarnya yang sudah menghina ibunya dan menyebabkan kematian ibunya ini, sekarang
bermaksud akan membuntungi lengan suhu dan subo-nya serta putera mereka…..! (baca Pendekar Buta)
********************
Tan Kong Bu bersama isterinya, Kui Li Eng dengan penuh kebahagiaan menikmati hidup mereka di puncak
Min-san. Para pembaca cerita Rajawali Emas tentu sudah mengenal siapa adanya suami isteri pendekar
ini, yang keduanya memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi.
Tan Kong Bu adalah putera Raja Pedang Tan Beng San, sedangkan isterinya, Kui Li Eng adalah puteri dari
Kui Sanjin ketua Hoa-san-pai. Yang laki-laki putera ketua Thai-san-pai, yang wanita puteri ketua Hoa-sanpai.
Tentu saja mereka merupakan pasangan yang hebat. Akan tetapi, suami isteri ini lebih suka bersunyi
diri, menjauhkan keramaian dunia, memperdalam ilmu dan menerima belasan orang murid di Min-san
sehingga kelak akan muncul sebuah partai persilatan baru yang terkenal, yaitu Min-san-pai.
Walau pun belasan orang anak murid Min-san-pai itu merupakan anak-anak pilihan yang berbakat
sehingga rata-rata mereka itu dapat mewarisi kepandaian yang diturunkan oleh kedua suami isteri
pendekar ini, namun mereka itu tidak dapat menyamai kemajuan yang diperoleh puteri tunggal guru
mereka.
Tan Kong Bu dan isterinya memang hanya mempunyai seorang anak perempuan yang diberi nama Tan
Lee Si. Seorang gadis yang kini berusia sembilan belas tahun, cantik dan berwajah agung, berwatak keras
seperti ibunya dan jujur seperti ayahnya. Biar pun merupakan anak tunggal, Lee Si tidak biasa dimanja dan
ia dapat berdiri dengan teguh di atas kaki sendiri, dalam arti kata segala sesuatu ingin ia putuskan dan
laksanakan sendiri sehingga meski pun masih amat muda, namun ia telah mempunyai pandangan luas dan
ketabahan yang luar biasa.
Ilmu silat yang dimiliki Lee Si memang aneh, merupakan percampuran dari ilmu kedua orang tuanya.
Ayahnya, Tan Kong Bu, memiliki ilmu warisan dari mendiang Song-bun-kwi Kwee Lun, terutama sekali Ilmu
Silat Yang-sin-kun! Ada pun ibunya, Kui Li Eng, mewarisi ilmu silat asli dari Hoa-san-kun. Karena dia
menerima gemblengan dari ayah bundanya, maka Lee Si tentu saja paham akan kedua ilmu itu, bahkan
kedua ilmu yang sudah sangat mendarah daging di tubuh dan urat syarafnya itu telah bercampur dan
terciptalah ilmu silat campuran yang aneh dan lihai.
Ayahnya memberi hadiah sebuah pedang yang bersinar kuning, sebuah pedang pusaka ampuh yang
bernama pedang Oei-kong-kiam. Ada pun ibunya yang merupakan seorang ahli senjata rahasia Hoa-sanpai,
setelah melatih puterinya dengan ilmu senjata rahasia, menghadiahi sekantung gin-ciam (jarum perak).
Tidak sembarang ahli silat mampu mempergunakan gin-ciam ini, karena jarum-jarum itu amatlah
lembutnya, jika dipergunakan hampir tidak mengeluarkan suara dan sukar diikuti pandangan mata. Cara
menggunakannya harus mengandalkan sinkang dan latihan yang masak.
Pada suatu pagi yang cerah, Lee Si berlatih ilmu silat pedang di dalam kebun di belakang rumahnya. Sejak
kemarin dia melatih jurus campuran dari Yan-sin-kiam jurus ke delapan dengan Hoa-san Kiam-sut jurus ke
lima. Kedua jurus ini mempunyai persamaan, akan tetapi mengandung daya serangan yang amat berlainan
sehingga kalau kedua jurus ini dapat dikawinkan, akan merupakan jurus yang ampuh.
Akan tetapi Lee Si menemui kesulitan. Setiap kali dia memainkan kedua jurus ini dalam gerakan campuran,
ia merasakan dadanya sesak. Beberapa kali sudah ia mencoba dan akhirnya ia kembali menyarungkan
pedangnya di punggung, kemudian berdiri tegak dan mengumpulkan nafas, suatu ilmu berlatih nafas
secara aneh yang pernah diajarkan oleh ayahnya untuk mengerahkan tenaga Yang-kang. Beberapa menit
kemudian ketika sesak pada dadanya sudah lenyap, dia membuka matanya dan menarik nafas panjang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada saat itu terdengarlah suara orang perlahan,
"Anak baik, mengapa kau tidak mencoba dengan barengi cara Pi-ki Hu-hiat (Tutup Hawa Lindungi Jalan
Darah)? Jurusmu itu terlalu kacau dan berbahaya, jika diulang-ulang bisa membahayakan diri sendiri."
Lee Si menengok dan tampaklah olehnya seorang lelaki berusia kurang lebih lima puluh tahun duduk
berjongkok di atas tembok kebun. Orang itu dapat berada di sana tanpa ia ketahui sudah membuktikan
bahwa dia adalah seorang yang berkepandaian tinggi.
Lee Si berpandangan luas. Walau pun hatinya tidak senang ada orang tak dikenal berani menegur dan
malah memberikan nasehat kepadanya yang berarti bahwa orang itu telah memandang rendah, namun ia
dapat menekan perasaannya dan berkata,
"Orang tua, siapakah kau dan apa perlunya kau berada di sini mengintai orang?"
Laki-laki itu tersenyum dan wajahnya yang tenang itu berseri. "Aku adalah sahabat baik ayahmu, sengaja
datang ke Min-san. Kebetulan tadi aku sempat mendengar sambaran angin pedangmu, membuat aku
tertarik sekali dan secara lancang menonton. Gerakan-gerakanmu menyatakan bahwa kau tentulah puteri
Kong Bu."
Keterangan ini dapat diterima, akan tetapi karena Lee Si belum pernah bertemu dengan orang ini dan
sering kali ia mendengar dari ayah bundanya bahwa mereka dahulu banyak dimusuhi orang-orang jahat di
dunia kang-ouw, maka ia tetap menaruh curiga.
"Maaf, Lopek (Paman Tua), kalau memang kau adalah seorang tamu dari ayah, kenapa tidak langsung
masuk saja dari pintu depan? Sebelum bertemu dengan ayah, maaf kalau saya tidak berani melayanimu
lebih jauh."
Orang itu tertawa. "Ha-ha-ha-ha, bagus sekali! Puteri Kong Bu benar-benar seorang yang berhati-hati dan
tidak sembrono. Ketahuilah, anak baik, aku datang dari Thai-san. Beri tahukan ayahmu bahwa... ahhh, itu
dia sendiri datang!"
Lee Si menengok dan kagumlah dia akan kelihaian orang tua itu. Benar saja, bayangan ayahnya tampak
berkelebat keluar dari pintu belakang. Begitu ayahnya melihat laki-laki yang berjongkok di atas pagar
tembok, dia tercengang sejenak, kemudian terdengar dia berseru girang,
"Haiii... bukankah ini suheng (kakak, seperguruan) Su Ki Han yang datang berkunjung?" Suara Kong Bu
keras dan nyaring.
Pendekar ini biar pun usianya sudah empat puluh tahun lebih, masih tampak muda dan gagah. la tertawa
dan dengan beberapa kali lompatan saja dia sudah berada di dalam kebun. Tak lama kemudian berkelebat
bayangan yang gesit dari seorang wanita cantik.
"Lihat siapa yang datang berkunjung ini!" Kong Bu berseru.
Wanita itu berdiri memandang, lalu tersenyum manis dan sepasang matanya yang masih bening itu
bersinar-sinar. "Ahh, kiranya seorang tamu agung dari Thai-san!" Kui Li Eng wanita ini, juga berlompatan
dalam kebun.
Lee Si menjadi girang sekali. Ia pun cepat memberi hormat kepada laki-laki yang sudah melompat turun
dari atas pagar tembok dan kini berpelukan dengan Kong Bu itu. "Sudah lama saya mendengar nama
Supek, harap maafkan kekurang ajaran saya tadi."
"Wah, kau anak nakal. Apakah tadi kau sudah berlaku kurang ajar kepada Su-suheng?" bentak Kong Bu.
"Ehh, jangan galak-galak, Sute. Dia anak baik, baik sekali, sama sekali tidak nakal atau kurang ajar. Malah
aku yang tidak tahu diri, menerobos memasuki rumah orang melalui kebun belakang seperti maling dan
mulutku yang gatal ini berani memberi komentar atas latihannya bermain pedang."
"Bagus sekali! Hayo cepat kau haturkan terima kasih kepada Supek-mu atas petunjuknya yang berharga!"
kata Li Eng kepada puterinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Lee Si kembali menjura dengan hormat. "Supek, saya haturkan banyak terima kasih atas petunjuk Supek
tadi yang tentu akan saya coba dan saya perhatikan."
Su Ki Han menggoyang-goyang kedua tangannya ke atas. "Wah-wah, kalian ini memang orang-orang yang
berjiwa satria, pandai merendah diri. Pantas saja anak ini demikian maju dan hebat kepandaiannya,
kiranya bermodalkan sikap merendahkan diri yang amat baik untuk mencapai kemajuan! Petunjukku tadi
masih belum nampak buktinya, belum juga dicoba, bagaimana patut ditebus dengan ucapan terima kasih?"
"Supek, sebenarnya telah berhari-hari saya bingung menghadapi dua jurus yang hendak saya satukan itu,
tapi belum menemukan jalan pemecahannya. Malah dada saya terasa sesak ketika bernafas."
"Kau memang sangat bandel!" Kong Bu mencela puterinya. "Ilmu silatku dan ilmu silat Ibumu semenjak
dulu memang berlawanan, sudah berkali-kali Ibumu dan aku bertanding, selalu tiada yang menang tiada
yang kalah. Bagaimana bisa kau satukan?"
"Ayah dan Ibu buktinya bisa bersatu, mengapa ilmunya tidak bisa?"
"Ehh, anak gila...!" Li Eng berseru dengan muka menjadi merah sekali.
"Ha-ha-ha, anak kalian ini memang benar. Meski pun ilmu silat itu berlawanan sifatnya, namun bukan tak
mungkin dapat disatukan, asal pandai mengaturnya. Sifat Im dan Yang memang berlawanan, inilah yang
menjadikan segala apa di dunia ini. Bukankah dalam kitab Ya-keng disebut bahwa IT IM IT YANG WI CI
TO (sebuah Im dan sebuah Yang, itulah yang disebut TO)? Kekuasaaan alam selalu bekerja berdasarkan
Im dan Yang, dua unsur berlawanan yang saling menarik juga saling menolak, saling menghancurkan
tetapi juga saling menghidupkan. Dan dengan adanya perpaduan Im dan Yang, barulah tercipta Ngo-heng,
sari pati dari SUI HO BOK KIM THO (air, api, kayu, logam, tanah). Cara kerja Ngo-heng pun berdasarkan
Im dan Yang, saling menghidupkan juga saling mematikan. Air akan menghidupkan kayu, kayu
menghidupkan api, api menghidupkan tanah, tanah menghidupkan logam, dan logam menghidupkan air.
Sebaliknya, air mematikan api, api mematikan logam, logam mematikan kayu, kayu mematikan tanah, dan
tanah mematikan air. Tentu saja arti kata menghidupkan boleh diganti menghasilkan, ada pun mematikan
boleh memusnahkan atau memakan habis. Wah, aku jadi ngacau terus... ha-ha-ha!"
"Bagus, bagus, Supek. Saya mulai dapat menangkap rahasia Im dan Yang!" teriak Lee Si sambil bertepuk
tangan kegirangan.
"Supek-mu adalah murid tertua dari kakekmu, tentu saja dia telah mewarisi Ilmu Im-yang Sin-hoat," kata
Kong Bu tersenyum.
Kembali sambil tertawa Su Ki Han mengangkat kedua lengannya ke atas menolak pujian itu. "Kalau
tentang ilmu kepandaian silat, mana bisa aku dibandingkan dengan Ayah dan Ibumu? Anak baik, kalau
belajar ilmu silat, ayah bundamu inilah gurunya. Akan tetapi jika hanya mempelajari teori tentang Im Yang,
mungkin aku akan dapat memberi penjelasan. Karena tadi kulihat bahwa gerakanmu dalam
mempersatukan dua jurus itu mengandung hawa Im dan Yang, dua hawa yang berlawanan, maka kau
gagal dan dadamu merasa sesak. Satu-satunya cara untuk mengatasi hal ini hanyalah dengan Pi-ki Huhiat,
karena dengan demikian kau akan dapat mengatur dua hawa yang berlawanan itu secara teratur dan
bergiliran sehingga dapat menghasilkan jurus yang lihai dan sukar diduga lawan."
"Lee Si, sesudah mendapat petunjuk dari Supek-mu, mengapa tidak segera dicoba agar apa bila ada
kekurangannya dapat minta penjelasan lagi?" kata Li Eng kepada puterinya. Ibu yang amat mencinta
puterinya ini tentu saja menggunakan setiap kesempatan untuk kepentingan dan keuntungan puterinya.
"Singgg...!" Sinar kuning berkelebat ketika Lee Si mencabut pedang Oei-kong-kiam.
"Supek, mohon petunjuk Supek apa bila ada kekeliruan," katanya.
Sekali lagi, seperti yang sudah ia lakukan di luar tahu ayah bundanya selama beberapa hari ini tanpa hasil,
ia bersilat mainkan jurus yang digabung itu. la mentaati petunjuk Su Ki Han dan sambil bersilat ia
mengerahkan Ilmu Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah. Gerakan kedua jurus itu ia satukan dan... ia
berhasil melakukannya dengan baik.
"Ehh, seperti Yang-sin-kiam jurus ke delapan!" seru Kong Bu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tidak, seperti jurus ke lima dari Hoa-san Kiam-sut!" seru Li Eng.
Dengan girang sekali Lee Si menghentikan gerakannya lantas bersorak, "Aku berhasil! Ayah, Ibu, memang
itu tadi jurus ke delapan dari Yang-sin-kiam digabung dengan jurus ke lima dari Hoa-san Kiam-sut. Supek,
terima kasih."
Mereka tertawa-tawa dengan girang.
"Wah, kita ini tuan dan nyonya rumah macam apa?" Kong Bu tiba-tiba berseru mencela diri sendiri dan
isterinya "Ada tamu agung yang datang, bukan lekas-lekas disambut dan dijamu, malah direpotkan dengan
anak kita. Inilah kalau kita terlalu memanjakan anak!"
"Ahh, di antara saudara sendiri, mana ada aturan sungkan-sungkan segala macam?" Su Ki Han
membantah.
Akan tetapi dia segera mengikuti mereka memasuki rumah di mana pemilik rumah cepat menyuguhkan
minuman dan menanyakan keselamatan ayah bunda mereka di Thai-san. Tan Kong Bu adalah putera Raja
Pedang Tan Beng San dan mendiang Kwee Bi Goat. Nyonya Tan Beng San yang sekarang, yaitu Cia Li
Cu, ibu Tan Cui Sian adalah ibu tiri Kong Bu.
"Keadaan suhu dan subo (ibu guru) sehat-sehat dan selamat. Juga Thai-san-pai semakin berkembang,
tidak pernah terjadi hal-hal yang buruk."
"Supek, mengapa bibi Cui Sian tidak ke sini? Saya sudah kangen betul. Sepuluh tahun sudah tak pernah
bertemu dengannya. Tentu dia lihai sekali dan cantik jelita, ya?"
"Karena bibimu itulah maka hari ini aku berada di sini. Sumoi sudah sebulan lebih turun gunung ketika
datang putera Bun-goanswe yang mengabarkan bahwa ada anak murid Hek Lojin yang sedang mencari
Pendekar Buta untuk membalas dendam. Malah putera Jenderal Bun itu pun menceritakan pula bahwa kini
ada kawanan penjahat yang bernama Ang-hwa-pai, bermarkas di Pulau Ching-coa-to dan dipimpin oleh
Ang-hwa Nio-nio serta banyak orang sakti lainnya. Mereka juga tengah mengumpulkan tenaga untuk
menyerbu Liong-thouw-san. Dalam perjalanannya ke Liong-thouw-san untuk memberi kabar, putera
Jenderal Bun itu sengaja mampir ke Thai-san, seperti yang dipesankan oleh ayahnya. Mendengar berita
ini, suhu menjadi tidak enak hatinya. Permusuhan berlarut-larut yang kini mengancam keselamatan
keluarga Pendekar Buta sebenarnya terjadi karena suhu, sedangkan Pendekar Buta, Kwa-taihiap, hanya
membantu suhu. Maka aku lalu disuruh turun gunung, mencari sumoi untuk bersama-sama pergi ke Liongthouw-
san, bila perlu membantu Kwa-taihiap menghadapi musuh-musuh yang menyerbu."
Mendengar ini, Kong Bu malah tertawa. "Ah, ayah terlalu mengkhawatirkan keselamatan Kwa Kun Hong,
sungguh lucu! Suheng, di jaman ini siapakah orangnya yang akan dapat mengalahkan Pendekar Buta dan
isterinya? Bila ada yang sakit hati dan ingin membalas dendam, biarkan saja mereka pergi menandingi
Pendekar Buta, biar mereka tahu rasa. Ingin aku melihat mereka itu seorang demi seorang dirobohkan."
"Biar pun Paman Hong sudah buta, tapi penjahat-penjahat itu akan dapat berbuat apakah terhadapnya?
Akan tetapi, ayah mertua benar juga. Adik Cui Sian tentu akan mendapat pengalaman yang amat berharga
bila sempat menyaksikan paman Kun Hong menghajar para penjahat yang hendak menyerbu ke Liongthouw-
san."
Ucapan Li Eng ini disertai suara yang mengandung kebanggaan. Kwa Kun Hong masih terhitung
pamannya seperguruan, oleh karena itu dia patut berbangga akan kelihaian dan ketenaran nama
pamannya.
Su Ki Han tersenyum mendengar kata-kata suami isteri ini. Ternyata mereka ini masih sama dengan
dahulu, tabah, berani dan gagah perkasa, juga jujur kalau bicara. Suami isteri yang cocok sekali, pantas
mempunyai puteri sehebat Lee Si.
"Memang tak dapat disangkal bahwa Kwa-taihiap memiliki kepandaian yang sakti. Suhu sendiri sering kali
memuji-mujinya, apa lagi karena sumber ilmu kepandaian Kwa-taihiap dan suhu adalah sama, yaitu dari
kitab pusaka Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi menurut suhu, sekarang banyak bermunculan orangorang
sakti di dunia hitam, apa lagi yang datang dari barat dan utara. Kaisar sendiri sampai bersusah
payah dalam usahanya memperkuat serta memperbaiki Tembok Besar untuk mencegah perusuh dari barat
dan utara. Namun, banyak tokoh-tokoh sakti mereka itu yang berhasil menerobos masuk dan selain
dunia-kangouw.blogspot.com
melakukan penyelidikan untuk mengukur keadaan, juga mereka banyak menjalin hubungan dengan tokohtokoh
hitam di sini. Karena itulah, menurut suhu, sudah tiba saatnya kita semua harus bangkit, siap sedia
membela negara dan bangsa menghadapi mereka itu. Pada saat ini, agaknya pribadi Pendekar Buta
menjadi pusat perhatian para tokoh hitam yang banyak menaruh dendam. Karena itu, Kwa-taihiap boleh
diumpamakan sebagai umpan untuk memancing datang tokoh-tokoh itu dan kita harus membantunya
membasmi mereka agar negara ini bersih dari gangguan mereka. Bagaimana pendapat, Sute?"
Kong Bu mengangguk-angguk. "Ayah, selalu berpandangan luas. Tentu saja kami di sini, biar pun hanya
terdiri dari kami bertiga dan beberapa belas anak murid yang kaku dan bodoh, selalu siap membantu apa
bila diperlukan."
"Bagus!" Li Eng menyambung. "Belasan tahun pedangku tinggal bersembunyi di dalam sarungnya,
membuat aku menjadi malas. Berilah aku lawan yang jahat dan kuat, dan kegembiraan lama akan timbul
kembali!"
"Wah-wah, kau kambuh lagi? Apa tidak takut ditertawakan anakmu? Kita sudah tua, tidak perlu
menonjolkan semangat seperti di waktu muda." Kong Bu menggoda isterinya.
"Ayah, aku setuju dengan Ibu. Ibu gagah dan bersemangat, mengapa dicela? Dan aku percaya, kalau Ibu
ikut terjun, segala macam penjahat itu mana berani menjual lagak?" Lee Si membela ibunya.
Su Ki Han tertawa bergelak. "Anak baik, apa bila Ibumu tidak begitu bersemangat dan gagah perkasa,
mana bisa menjadi isteri Ayahmu? Sute berdua, kedatanganku ke sini, seperti sudah kukatakan tadi,
adalah hendak mencari sumoi. Tadinya kusangka bahwa sumoi mengunjungi kalian. Apakah sumoi tak
pernah datang ke sini?"
"Tidak, Su-suheng."
"Heran sekali, ke mana dia pergi? Apakah ke Lu-liang-san, ke rumah sute Tan Sin Lee? Ataukah pergi ke
Hoa-san-pai? Dalam penyelidikanku, pernah dia terlihat di dekat daerah Taingpan, malah kabarnya dia
telah pergi mengunjungi Pulau Ching-coa-to! Akan tetapi sekarang dia tidak berada di sana, malah ketika
kutanyakan kepada Bun-goanswe, juga tidak singgah di sana."
"Mana bisa mencari seorang yang sedang merantau? Suheng, lebih baik kau mendahului ke Liong-thouwsan
dan menanti di sana. Akhirnya Cui Sian tentu juga akan singgah ke sana."
"Memang senang sekali melakukan perantauan seorang diri seperti Cui Sian. Dengan sebatang pedang
menjelajah seribu gunung, memberi kesempatan kepada pedang untuk menghadapi seribu macam
kesulitan. Wah, kau takkan berhasil mencarinya, Su-suheng. Memang sebaiknya kau menanti di Liongthouw-
san. Kelak kalau dia muncul di sini, tentu akan kuberi tahu," kata Li Eng dengan wajah berseri.
Nyonya ini dahulunya merupakan seorang gadis yang lincah dan suka sekali merantau. Tadi dia teringat
akan masa mudanya dan timbul kegembiraannya.
"Cui Sian tidak seperti kau!" sela Kong Bu. "Kau dahulu selalu mencari perkara. Kalau semua gadis muda
seperti kau akan kacaulah dunia. Ada gadis seperti kau lima saja, pasti dunia kang-ouw akan geger."
Mereka tertawa-tawa lagi.
Pertemuan dengan murid kepala Thai-san-pai ini ternyata mendatangkan kegembiraan luar biasa dan
mereka bertiga lalu bercakap-cakap sambil tertawa-tawa sampai hampir semalam suntuk. Banyak arak dan
daging melewati tenggorokan mereka, dan ketiganya tidak memperhatikan lagi betapa sore-sore Lee Si
sudah masuk ke kamarnya.
Baru pada keesokan harinya suami-isteri ini mendapat kenyataan bahwa puteri mereka tidak berada di
dalam kamarnya dan bahwa pembaringannya tak pernah ditiduri malam itu. Di atas meja dalam kamar Lee
Si terdapat kertas bertulisan huruf-huruf halus yang berbunyi,
TURUN GUNUNG MENCARI BIBI CUI SIAN
"Bocah lancang!" seru Kong Bu yang cepat memanggil murid-muridnya yang tinggal di puncak dalam
bangunan lain.
dunia-kangouw.blogspot.com
Para murid yang berjumlah tiga belas orang ini juga tidak ada yang melihat bila Lee Si pergi turun gunung,
karena malam hari itu, tahu bahwa suhu dan subo mereka menjamu seorang tamu dari Thai-san, maka
para murid ini tidak berani berada di dalam bangunan tempat tinggal mereka.
"Mengapa ribut-ribut? Biarkan dia turun gunung mencari pengalaman. Dia bukan anak kecil lagi," kata Li
Eng yang tidak puas melihat suaminya seperti seekor ayam kehilangan anaknya.
"Meski pun dia sudah dewasa dan kepandaiannya cukup, tetapi dia masih hijau. Dunia ini banyak sekali
orang jahat, bagaimana kalau dia tertimpa bencana?"
"Ahhh, kau sebagai ayah terlalu memanjakannya! Apa bila dia tidak digembleng dengan kesulitan dan
bahaya, mana patut menjadi puteri kita?"
Su Ki Han menjadi tidak enak. "Ahhh, akulah gara-garanya. Kalau tidak muncul di sini, agaknya Lee Si
tidak akan pergi turun gunung. Biarlah aku minta diri sekarang dan akan kususul dia!"
"Jangan menyalahkan dirimu sendiri, Suheng. Memang sudah lama anak itu ingin sekali turun gunung,
tetapi selalu ditahan ayahnya. Sekarang ada kesempatan dan ada alasan, yaitu untuk mencari bibinya, Cui
Sian, biar sajalah," kata Li Eng menghibur.
Juga Kong Bu menghibur, menyatakan bahwa bukan kesalahan Su Ki Han yang sudah menyebabkan Lee
Si pergi. Akan tetapi Su Ki Han tetap pamit dan segera turun gunung dengan maksud mengejar Lee Si dan
membujuk anak perempuan itu pulang ke puncak Min-san. Atau setidaknya ia bisa mengamat-amati dan
menjaganya. Akan tetapi, betapa pun cepat dia menggunakan ilmunya lari turun gunung, tetap dia tak
dapat menyusul Lee Si.
Gadis ini bukanlah orang bodoh dan ia pun tahu bahwa ayahnya tidak suka membiarkan ia pergi. Oleh
karena itu, malam tadi ia berangkat dengan cepat dan menyusup-nyusup hutan, tidak mau melalui jalan
besar.
Karena baru kali ini ia turun gunung dan ia tidak ingin ayahnya dapat mengejar lantas memaksanya
kembali, ia sengaja turun dari lereng sebelah barat dan sesukanya ia lari tanpa tujuan sehingga tanpa ia
sadari, gadis ini melakukan perjalanan menuju ke barat! Dari Pegunungan Min-san ke barat, melalui
daerah pegunungan yang tak ada habisnya, dan beberapa pekan kemudian gadis ini masih belum
terbebas dari daerah pegunungan karena ternyata ia telah masuk daerah Pegunungan Bayangkara!
Penduduk dusun di pegunungan ini adalah orang-orang gunung yang sama sekali tidak pernah
meninggalkan daerah pegunungan. Karena itu tak seorang pun yang dijumpainya dapat menerangkannya
ke mana jalan menuju ke Liong-thouw-san atau ke kota raja.
Hanya ada dua tempat di dunia ini yang menarik hati Lee Si dan yang mendorong dia turun gunung, yaitu
pertama di Liong-thouw-san karena ia ingin sekali berjumpa dengan paman dari ibunya yang terkenal
dengan nama Pendekar Buta, dan kedua, ia ingin sekali menyaksikan bagaimana keadaan kota raja yang
hanya pernah didengarnya dari cerita ibunya.
Pada suatu hari, ketika ia menuruni sebuah puncak di Pegunungan Bayangkara dan baru saja keluar dari
sebuah hutan, ia mendengar suara aneh. Suara melengking tinggi dan suara seperti seekor katak buduk
‘bernyanyi’ di musim hujan. Sebagai puteri suami-isteri pendekar yang berilmu tinggi, ia segera dapat
menduga bahwa suara-suara itu tentulah suara yang keluar dari mulut orang-orang sakti yang
mengerahkan khikang tinggi.
Cepat dia menyusup di antara pepohonan dan mengintai. Betul seperti telah diduganya, dari balik batang
pohon dia mengintai dan melihat ada dua orang laki-laki aneh sedang berhadapan.
Yang melengking tinggi dan nyaring, lebih nyaring dari pada lengking suara ayahnya bila mengerahkan
khikang, adalah seorang kakek berjenggot pendek yang tubuhnya sangat tinggi, lebih dua meter tingginya.
Laki-laki ini berpakaian seperti orang asing, jubahnya berwarna kuning dan kepalanya dibungkus kain
sorban warna kuning pula. Telinganya memakai anting-anting, dan melihat bentuk hidungnya yang panjang
melengkung serta kulitnya yang agak coklat gelap, terang bahwa si jangkung ini adalah seorang asing.
Ada pun orang kedua yang memasang kuda-kuda dengan kedua lutut ditekuk setengah berjongkok dan
mengeluarkan suara berkokok bagai suara katak buduk, adalah seorang kakek yang tubuhnya pendek
dunia-kangouw.blogspot.com
gemuk berkepala gundul, kumisnya persis seperti tikus dan jenggotnya pendek.
Dengan hati tertarik Lee Si memandang. Pasangan kuda-kuda kakek pendek gendut itu baginya tidaklah
asing. Itu adalah pasangan kuda-kuda yang sangat umum dan banyak dilakukan oleh ahli silat dari utara.
Akan tetapi pasangan kuda-kuda si jangkung itulah yang amat mengherankan hatinya. Si jangkung itu
berdiri dengan kedua kaki terpentang lurus, berdirinya bukan menghadapi lawan melainkan miring
sehingga lawannya berada di sebelah kanannya, kedua lengan dikembangkan dengan jari-jari terbuka.
Mukanya bagai orang kemasukan setan dan dari mulutnya keluarlah bunyi lengkingan yang kadangkadang
mendesis-desis.
Lee Si dapat menduga bahwa kedua orang itu tentu sedang berada dalam tahap awal pertandingan. Dia
tidak mengenal mereka, juga tidak tahu mengapa dua orang aneh ini seperti hendak bertempur, maka dia
hanya mengintai dan menjadi penonton.
Tiba-tiba si pendek gendut makin merendahkan tubuhnya dan terdengar suara berkokok dari mulutnya
semakin dalam, kemudian kedua tangannya mendorong ke depan. Kedua lengan itu tampak menggetar,
penuh dengan tenaga mukjijat yang menerjang ke depan. Si tinggi itu menggerakkan kedua lengan seperti
orang menangkis, namun tetap saja dia terhuyung ke kiri, mukanya berubah merah sekali.
Lee Si terkejut bukan kepalang. Hebat si pendek itu. Entah ilmu pukulan jarak jauh apa yang diperlihatkan
tadi, akan tetapi terang bahwa si jangkung sudah terdesak hebat dan keadaannya berbahaya.
Mendadak si jangkung mengeluarkan suara melengking tinggi. Tubuhnya berjungkir balik tiga kali dan
tahu-tahu dia telah melayang ke tempat yang tadi, kemudian dua lengannya bergerak dari atas kepala ke
bawah seperti orang sedang menekan. Dari kedua lengan yang panjang ini lalu menyambar hawa pukulan
sakti yang membuat debu mengebul di depan kakinya!
Si pendek gendut yang menerima serangan ini dengan dua tangannya, kali ini langsung terdorong mundur
sampai satu meter lebih. Hanya dengan melempar tubuh ke belakang kemudian bergulingan seperti bola
karet ia bisa mematahkan daya serangan lawan yang menggunakan pukulan jarak jauh mengandalkan
tenaga mukjijat.
Keduanya lalu melompat dan berdiri berhadapan dalam keadaan biasa. Keduanya agak pucat dan si
pendek gendut tertawa dengan suaranya yang parau dan dalam.
"Ha-ha-ha-ha, sobat Maharsi, sungguh hebat bukan main pukulanmu tadi. Aha, agaknya inilah Pai-san-jiu
(Pukulan Mendorong Gunung) yang terkenal hebat itu!"
"Hemmm, Bo Wi Sianjin, kami orang-orang barat hanya mempunyai sedikit hasil latihan, mana dapat
disamakan dengan engkau, seorang tokoh utara yang hidupnya menentang keadaan alam yang buas dan
kuat? Sudah lama aku mendengar bahwa Ilmu Pukulan Katak Sakti darimu tiada bandingnya dan ternyata
hari ini aku telah membuktikan sendiri kehebatannya. Kalau kau tidak memandang persahabatan, agaknya
aku tadi takkan kuat menahan!"
"Ha-ha-ha-ha, kau orang barat memang pandai sekali mengelus hati merayu perasaan dengan pujian
muluk! Bagiku, tidak ada kesenangan yang melebihi bertanding ilmu untuk membuktikan sampai di mana
hasil jerih payah yang kita derita selama puluhan tahun. Akan tetapi, karena kita perlu sekali menyatukan
tenaga menghadapi lawan yang lihai, biarlah aku bersabar dan kelak masih banyak waktu bagi kita untuk
memuaskan hati dan menengok siapakah di antara kita yang lebih berhasil."
"Hemmm, aku selalu akan mengiringi keinginan hatimu, Sahabat. Akan tetapi betul sekali kata-katamu tadi,
sekarang kita perlu menghimpun tenaga. Lawan-lawan kita bukanlah orang-orang yang mudah
dikalahkan," jawab si jangkung dengan bahasa yang terdengar kaku namun cukup jelas bagi Lee Si yang
masih mengintai sambil mendengarkan.
"Engkau benar, Maharsi. Kau katakan tadi bahwa kau menerima permintaan bantuan dari adik
seperguruanmu Ang-hwa Nio-nio? Jadi sekarang kau hendak pergi mengunjunginya ke Ching-coa-ouw
(Telaga Ular Hijau)?"
"Betul, Sianjin. Adikku Kui Ciauw itu sekarang sudah menjadi ketua Ang-hwa-pai di Pulau Ching-coa-to.
Memang dulu telah kujanjikan akan membantu dia sebab dua orang adikku Kui Biauw dan Kui Siauw telah
dunia-kangouw.blogspot.com
tewas di tangan Pendekar Buta beserta teman-temannya. Dan kau sendiri, kukira turun dari pegunungan
utara untuk urusan kematian suheng-mu Ka Chong Hoatsu. Bukankah begitu?"
"Betul, Maharsi. Kakak seperguruanku itu tewas di tangan Raja Pedang yang sekarang menjadi ketua Thaisan-
pai.”
"Hemmm, lawan kita memang berat. Pendekar Buta walau pun masih muda akan tetapi kepandaiannya
luar biasa sekali. Untuk menghadapinya maka selama hampir dua puluh tahun aku melatih dengan Paisan-
jiu."
Si pendek gendut itu mengangguk-angguk. "Sama halnya dengan aku, Sahabat. Bu-tek Kiam-ong Tan
Beng San memiliki ilmu kepandaian yang lihai, terutama ilmu pedangnya Im-yang Sin-kiam. Karena itulah
maka aku menyembunyikan diri selama dua puluh tahun lebih, khusus untuk melatih Ilmu Pukulan Katak
Sakti guna menghadapinya. Semoga jerih payah kita tidak akan sia-sia dan roh-roh saudara kita akan
dapat tenteram."
Lee Si yang mendengarkan percakapan ini menjadi terkejut sekali. Baiknya dia seorang gadis yang cukup
cerdik dan tidak sembrono. Dia dapat menduga bahwa dua orang ini merupakan lawan-lawan yang sangat
tangguh, maka dia tidak mau sembarangan keluar dari tempat persembunyiannya.
Pada saat itu pula terdengar suara orang tertawa bergelak, tepat di belakang Lee Si dan sebelum gadis ini
sempat berbuat sesuatu, pundaknya sudah dicengkeram orang dan ternyata yang menangkapnya adalah
seorang hwesio yang sudah sangat tua, mukanya pucat bagaikan mayat, tubuhnya tinggi besar dan kedua
matanya selalu meram seperti orang buta. Bajunya yang terbuat dari kain kasar itu terbuka lebar pada
bagian dadanya sehingga memperlihatkan sebagian perut yang gendut.
"Tokoh-tokoh utara dan barat diintai bocah di luar tahu mereka, benar-benar aneh!" kata hwesio itu dengan
suara tak acuh, kemudian tangannya bergerak dan... tubuh Lee Si melayang ke arah dua orang aneh itu
seperti sehelai daun kering tertiup angin!
Tentu saja Lee Si yang tadinya sudah kaget, kini menjadi takut setengah mati. la maklum bahwa tubuhnya
melayang ke arah dua orang aneh itu dan tidak tahu bagaimana akan jadinya dengan dirinya.
Tentu saja dengan mempergunakan ginkang, setelah kini terbebas dari pegangan hwesio sakti itu, dia
dapat melayang ke samping untuk melarikan diri. Akan tetapi dia pun cukup maklum bahwa hal ini akan
sia-sia belaka. Tak mungkin dia melarikan diri dari tiga orang aneh ini kalau mereka tidak menghendaki
demikian.
Dia teringat akan cerita ayah bundanya tentang keanehan tokoh-tokoh kang-ouw di dunia persilatan. Jalan
satu-satunya bagi dia hanya menyerah tanpa mengeluarkan kepandaian sehingga tiga orang itu akan
merasa malu untuk mengganggu seorang lawan yang tidak memiliki kepandaian seimbang. Ia harus
menggunakan kecerdikan sebab kepandaiannya takkan dapat menolongnya. Oleh karena inilah, ia hanya
memutar agar dalam melayang ini ia dapat memandang kepada kedua orang tokoh dari barat itu.
Siapakah tiga orang sakti ini? Seperti dapat diketahui dari percakapan antara si jangkung dan si pendek
yang didengarkan oleh Lee Si tadi, si jangkung adalah seorang tokoh dari barat berbangsa India sebelah
timur, seorang pertapa dan pendeta yang disebut Maharsi (Pendeta Agung).
Maharsi ini merupakan kakak seperguruan dari Ang-hwa Sam-cimoi, yaitu Kui Ciauw, Kui Biauw dan Kui
Siauw. Sebagaimana kita ketahui, Kui Biauw dan Kui Siauw sudah tewas ketika Ang-hwa Sam-cimoi
bentrok dengan Pendekar Buta beserta teman-temannya, ada pun Kui Ciauw sekarang menjadi ketua Anghwa-
pai yang berjuluk Ang-hwa Nio-nio.
Sudah bertahun-tahun lamanya Ang-hwa Nio-nio menaruh dendam pada Pendekar Buta karena kematian
kedua orang saudaranya, dan untuk membalas dendam dia telah minta bantuan Maharsi. Tetapi, karena
maklum betapa lihainya Pendekar Buta, mereka berdua menunda niat membalas dendam ini dan masingmasing
menggembleng diri lebih dahulu untuk membuat persiapan menghadapi musuh lama yang amat
sakti itu.
Ada pun si pendek itu adalah seorang tokoh dari daerah Mongol. Bo Wi Sianjin dahulu mempunyai seorang
suheng (kakak seperguruan) bernama Ka Chong Hoatsu yang telah tewas di tangan Raja Pedang Tan
Beng San.
dunia-kangouw.blogspot.com
Oleh karena maklum betapa lihainya musuh besar ini, Bo Wi Sianjin tidak tergesa-gesa dan berlaku
sembrono, tetapi dia malah menyembunyikan diri untuk meyakinkan sebuah ilmu ampuh untuk
menghadapi musuhnya. Dia lalu menggembleng diri selama dua puluh tahun lebih dan sekarang dia mulai
turun dari tempat persembunyiannya untuk mencari musuh lamanya, yaitu Raja Pedang ketua Thai-sanpai.
Di tengah perjalanan kebetulan dia bertemu dengan Maharsi dan kebetulan pula terlihat oleh Lee Si.
Hwesio tua renta yang tinggi besar dan amat lihai itu bukanlah seorang yang tak dikenal para pembaca
cerita Pendekar Buta. Dia bukan lain adalah Bhok Hwesio, seorang tokoh yang amat terkenal dari
perkumpulan besar Siauw-lim-pai.
Akan tetapi, berbeda dengan para hwesio Siauw-lim-pai yang terkenal sebagai pendeta-pendeta berbudi
yang hidup suci dan biasanya menggunakan ilmu silat dari Siauw-lim-pai yang hebat untuk membela
kebenaran dan keadilan, Bhok Hwesio ini semenjak dulu merupakan seorang anak murid atau tokoh yang
murtad. Ilmu kepandaiannya memang tinggi dan lihai sekali. Bahkan boleh dibilang bahwa jarang ada
tokoh Siauw-lim-pai yang dapat menandinginya, kecuali para pimpinan dan ketuanya saja.
Di dalam cerita Pendekar Buta diceritakan betapa Bhok Hwesio ini, dua puluh tahun yang lalu, dapat
terbujuk oleh mereka yang memusuhi Pendekar Buta serta kawan-kawannya. Akhirnya dia ditawan oleh
Thian Ki Losu, yaitu seorang tokoh Siauw-lim-pai yang sakti dan menjadi suheng-nya sendiri, lalu dibawa
kembali ke Siauw-lim-pai.
Seperti sudah menjadi peraturan keras Siauw-lim-pai bila ada anak murid menyeleweng, Bhok Hwesio di
‘hukum’ di dalam ‘kamar penunduk nafsu’ selama sepuluh tahun! la tidak boleh keluar dari kamar yang
pintunya di ‘segel’ dengan tulisan ‘hu’ (surat jimat), hanya diberi makan melalui lubang sehari sekali, dan
diharuskan bersemedhi serta menindas hawa nafsu duniawi.
Karena yang menjaga agar hukuman ini terlaksana baik adalah Thian Ki Losu sendiri, Bhok Hwesio tidak
berdaya dan terpaksa dia menyerah. Suheng-nya itu terlampau sakti baginya.
Akan tetapi sesungguhnya hanya pada lahirnya saja dia menyerah. Di dalam hatinya dia menjadi marah
dan sakit hati terhadap Pendekar Buta, Raja Pedang, serta lain-lainnya yang dianggapnya menjadi biang
keladi penderitaannya ini. Diam-diam dia bersemedhi untuk menggembleng diri, memupuk tenaga dan
mendalami ilmu silat dan ilmu kesaktian di dalam kamar kecil dua meter persegi itu!
Saking tekunnya melatih diri, sudah sepuluh tahun lewat dan sudah lama Thian Ki Losu yang amat tua itu
meninggal dunia, akan tetapi dia malah tidak mau keluar dari kamar hukuman ketika pintu dibuka sendiri
oleh ketua Siauw-lim-pai, yaitu Thian Seng Losu. Akhirnya dia dibiarkan saja karena hal ini dianggap malah
amat baik dan bahwa Bhok Hwesio agaknya sudah mendekati ambang pintu ‘kesempurnaan’!
Demikianlah, setelah bertapa menyiksa diri selama dua puluh tahun, pada suatu malam para hwesio
Siauw-lim-pai kehilangan hwesio tua yang mereka anggap hampir berhasil dalam tapanya itu. Tidak ada
seorang pun di antara para tokoh Siauw-lim-si itu menduga bahwa kepergian Bhok Hwesio kali ini adalah
untuk mencari musuh-musuhnya yang dia anggap telah membuat dia menderita selama dua puluh tahun
untuk membalas dendam!
Dan secara kebetulan sekali dia melihat Maharsi dan Bo Wi Sianjin yang sudah dia kenal namanya.
Gembira hatinya mendengar bahwa mereka berdua itu pun mempunyai tujuan yang sama, maka ia
kemudian muncul sambil menangkap dan melemparkan tubuh gadis yang dia ketahui sejak tadi mengintai.
Sengaja dia menggunakan tenaga sakti dalam lemparan itu untuk ‘menguji’ kelihaian dua orang tokoh utara
dan barat yang akan menjadi teman seperjuangan dalam menghadapi musuh-musuh besarnya yang sakti,
yaitu Pendekar Buta, Raja Pedang dan teman-teman mereka.
Maharsi dan Bo Wi Sianjin selama dua puluh tahun bersembunyi di tempat pertapaan masing-masing dan
sudah lama tidak turun gunung. Karena itu mereka tidak mengenal hwesio tua renta yang tinggi besar dan
bermuka pucat seperti mayat itu.
Ketika mereka tadi memandang wajah pucat tak berdarah itu, sebagai orang-orang sakti hanya dengan
sekilas pandang saja mereka maklum bahwa hwesio tua itu benar-benar sudah menguasai ilmu mukjijat
yang dinamakan I-kiong Hoan-hiat (Memindahkan Jalan Darah)! Hanya orang yang sinkang atau hawa
sakti dalam tubuhnya sudah dapat diatur secara sempurnalah yang akan dapat menguasai ilmu ‘hoan-hiat’
dunia-kangouw.blogspot.com
ini yang berarti bahwa hwesio itu sudah mencapai titik yang sukar diukur tingginya.
Sekarang melihat tubuh seorang gadis muda melayang ke arah mereka, tahulah kedua orang itu bahwa
hwesio tua ini hendak menguji kesaktian. Mereka tidak mengenal Lee Si dan biar pun jelas bahwa gadis itu
mengintai, namun mereka tidak tahu apakah gadis ini musuh atau bukan.
Namun karena gadis itu sudah dilontarkan ke arah mereka, Maharsi mengeluarkan suara melengking tinggi
sambil mendorongkan kedua lengannya ke depan, ke arah tubuh Lee Si sambil mengerahkan sinkang
dengan tenaga lembut.
Demikian pula Bo Wi Sianjin yang mengeluarkan suara berkokok sambil mendorongkan lengannya, juga
dengan tenaga lembut karena seperti Maharsi, dia pun tak mau melukai atau mencelakakan gadis yang tak
dikenalnya.
Untung bagi Lee Si bahwa dia telah berlaku hati-hati dan cerdik, tadi tidak menggunakan ginkang untuk
berusaha melarikan diri, karena ternyata Bhok Hwesio hanya sementara saja melepaskan dirinya. Begitu
kedua orang kakek itu menyambut, Bhok Hwesio sudah menggerakkan lengan lagi ke arah tubuh yang
melayang itu.
Lee Si merasa betapa ada tenaga berhawa panas yang hebat sekali datang menyambar dan menyangga
punggungnya dari belakang. Ketika itu, dari depan datang menyambar dua tenaga gabungan dari kakek
jangkung dan kakek pendek. Gabungan tenaga ini lalu bertemu dengan tenaga Bhok Hwesio sehingga
tubuh Lee Si yang tergencet di tengah-tengah di antara dua tenaga sakti yang saling bertentangan itu
berhenti di tengah udara, seakan-akan tertahan oleh tenaga mukjijat dan tidak dapat jatuh ke bawah.
Memang hal ini sebetulnya tampak amat tidak masuk di akal, karena menyalahi hukum alam. Akan tetapi
harus diakui bahwa di dalam tubuh manusia terdapat banyak sekali rahasia-rahasia yang belum mampu
dimengerti oleh manusia sendiri, dan sudah banyak yang mengakui bahwa terdapat tenaga-tenaga mukjijat
yang masih merupakan rahasia di dalam diri manusia. Di antaranya adalah sinkang (hawa sakti) yang
selalu terdapat dalam diri setiap orang manusia. Hanya sebagian besar orang tidak pernah sadar akan hal
ini dan karena tidak mengenalnya maka tidak kuasa pula mempergunakannya.
Sebagai puteri suami-isteri pendekar yang berilmu tinggi, sungguh pun tingkatnya belum setinggi itu,
namun Lee Si sudah maklum apa yang terjadi dengan dirinya. Dia dijadikan alat untuk mengukur tenaga
sinkang. Andai kata diambil perumpamaan, dia merupakan sebatang tongkat yang dijadikan alat untuk
main dorong-dorongan mengadu tenaga otot. Hanya dalam hal ini, bukan tenaga otot yang
dipertandingkan, melainkan tenaga sinkang yang merupakan dorongan-dorongan dari jarak jauh!
Lee Si tidak begitu bodoh untuk mencoba-coba mengerahkan sinkang-nya sendiri dalam arena
pertandingan ini, karena hal ini akan membahayakan nyawanya. Kecuali kalau dia memiliki tenaga yang
mengatasi tenaga tiga orang itu, atau setidaknya mengimbangi.
Dia sengaja mengendurkan seluruh tenaga dan sedikit pun tidak melawan, tetapi dengan penuh perhatian
dia lalu merasakan getaran-getaran hawa sakti yang saling mendorong melalui tubuhnya itu. Segera dia
dapat menduga bahwa di antara tiga orang kakek itu, si hwesio tinggi besar inilah yang paling hebat
tenaganya, juga tenaga sinkang hwesio ini yang mencengkeramnya.
Akan tetapi bila dibandingkan dengan tenaga si jangkung dan si pendek yang digabung menjadi satu,
ternyata hwesio tua itu masih kalah kuat sedikit. Inilah yang perlu diselidiki oleh Lee Si dalam waktu
singkat.
Tentu saja ia tak sudi menjadi ‘alat’ mengukur sinkang seperti itu, karena kalau dibiarkan saja, akibatnya
amatlah buruk. Jika hanya berakibat tenaga sinkang-nya sendiri melemah saja masih belum apa-apa, akan
tetapi kalau ada kurang hati-hati sedikit saja dari ketiga orang itu, ia bisa menderita luka parah di sebelah
dalam tubuhnya.
Lee Si sudah tahu apa yang harus dia lakukan. Setelah mengukur tenaga semua orang yang bertanding,
tiba-tiba saja ia mengeluarkan jeritan keras sekali sambil mengerahkan sinkang di tubuhnya, membantu
atau lebih tepatnya ‘menunggangi’ tenaga gabungan Si Jangkung dan Si Pendek, kemudian dia turut
mendorong hawa hwesio tinggi besar yang mencengkeramnya.
Benar saja perhitungannya. Bhok Hwesio yang sudah merasa lelah dan tahu bahwa jika adu sinkang ini
dunia-kangouw.blogspot.com
dilanjutkan dengan dikeroyok dua dia tentu akan kalah, tiba-tiba menjadi terkejut karena dorongan pihak
lawan menjadi makin kuat. Terpaksa dia mendengus dan menurunkan kedua lengannya.
Begitu terlepas dari gencetan dari kedua pihak, tubuh Lee Si terlempar ke bawah. Namun gadis cerdik ini
sudah menggunakan ginkang-nya dan melompat dengan selamat ke atas tanah. Sedikit pun ia tidak
terpengaruh atau menjadi gugup meski baru saja ia terbebas dari ancaman bahaya maut. la malah segera
menggunakan kesempatan untuk mengadu mereka demi keselamatannya sendiri, karena kalau tiga orang
itu bersatu memusuhinya, terang ia akan celaka.
"Hemmm, hwesio sudah tua renta, mestinya berlaku alim dan budiman terhadap orang muda, kiranya
justru sebaliknya, datang-datang kau menghina. Jelas bahwa kau sengaja hendak menyombongkan
kepandaianmu kepada aku orang muda dan selain itu kau pun memandang rendah pada dua orang
Locianpwe (Orang Tua Gagah) ini. Hemmm, hwesio tua renta, betapa pun ingin kau menyombongkan
kepandaian, kenyataannya dalam adu tenaga tadi kau telah kalah!"
Bhok Hwesio tercengang, demikian pula Maharsi dan Bo Wi Sianjin. Ucapan terakhir dari gadis itu
membuktikan bahwa Lee Si bukanlah orang sembarangan dan malah mengerti akan adu sinkang tadi serta
dapat mengetahui pula siapa kalah siapa menang!
Perhitungan Lee Si memang tepat. Ucapannya tadi membuat kedua telinga Bhok Hwesio menjadi merah
sehingga kelihatannya aneh sekali, mukanya demikian pucat tapi kedua telinga merah seperti dicat!
"Siapa yang kalah? Biar Maharsi dari barat dan Bo Wi Sianjin dari utara terkenal lihai, dikeroyok dua sekali
pun pinceng tidak akan kalah! Bocah liar, kau lancang mulut!" Bhok Hwesio menggoyang-goyang lengan
bajunya.
Akan tetapi Lee Si yang cerdik tidak bergerak dari tempatnya.
"Kalau menyerang dan merobohkan aku orang yang patut jadi cucu buyutmu, apa sih gagahnya? Tetapi
mengalahkan kedua orang Locianpwe yang sakti ini? Huh, omong sih gampang! Kalau kau bisa
menangkan mereka tak usah kau bunuh aku akan menggorok leherku sendiri di depanmu!"
Di ‘bakar’ seperti itu, keangkuhan Bhok Hwesio langsung tersinggung. la tersenyum lebar menghampiri
Maharsi dan Bo Wi Sianjin, mementang kedua lengannya sambil berkata, "Hayo kalian layani aku
beberapa jurus, baru tahu bahwa pinceng (aku) lebih unggul dari pada kalian!" Setelah berkata demikian,
hwesio tua tinggi besar ini sudah menggerakkan kedua lengan bajunya yang meniupkan angin pukulan
seperti taufan.
Maharsi dan Bo Wi Sianjin sangat terkejut. Akan tetapi sebagai orang-orang sakti yang berkedudukan
tinggi, tentu saja mereka tidak sudi dihina oleh hwesio yang tidak mereka kenal ini. Cepat mereka bersiap,
Maharsi menangkis dengan gerakan lengan dari atas ke bawah, ada pun Bo Wi Sianjin telah berjongkok
dan dari mulutnya keluar suara berkokok seperti katak buduk.
Di lain saat, tiga orang sakti ini sudah bertempur dengan gerakan lambat namun setiap gerakan
mengandung sinkang dan Iweekang yang sanggup membunuh lawan dari jarak jauh. Hebat bukan main!
Inilah yang diharapkan oleh Lee Si. Jalan satu-satunya bagi keselamatan dirinya adalah mengadu tiga
orang sakti itu agar supaya dia dapat menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Maka begitu tiga
orang itu saling gempur dengan gerakan lambat namun mengandung tenaga dahsyat, Lee Si segera
menyelinap ke belakang batang pohon dan siap hendak melarikan diri.
"Hendak lari ke mana kau, bocah liar?" Suara ini adalah suara Bhok Hwesio.
Tiba-tiba ada hawa pukulan yang dahsyat menyambar ke arah Lee Si. Gadis ini terkejut bukan main, cepat
mengelak sambil melompat dan...
"Brakkk!" pohon di sebelahnya tadi patah dan tumbang!
Wajah Lee Si menjadi pucat. Bukan main hebatnya hwesio tua itu yang dalam keadaan dikeroyok dua oleh
Maharsi dan Bo Wi Sianjin, tetapi masih tetap dapat melihatnya dan mengetahui niatnya melarikan diri,
bahkan dari jarak jauh dapat mengirim serangan yang demikian dahsyatnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Huh, kau kira dapat lari dari Bhok Hwesio?"
Hwesio tinggi besar itu dengan sebelah tangannya menahan serangan Maharsi dan Bo Wi Sianjin,
sedangkan tangan kirinya kembali melancarkan pukulan-pukulan jarak jauh yang membuat Lee Si
melompat ke sana kemari dengan cepat.
"Ahh, kiranya Bhok-taisuhu (Guru Besar) dari Siauw-lim-pai? Maaf... maaf..."
Bo Wi Sianjin melompat mundur. Juga Maharsi yang sudah mendengar nama ini segera menghentikan
serangannya.
Lee Si terkejut dan gelisah. Celaka, pikirnya. Tiga orang itu sudah saling mengenal dan agaknya tidak akan
bermusuhan lagi, dan hal ini berarti dia akan celaka! Menggunakan kesempatan terakhir selagi Bhok
Hwesio terpaksa membalas penghormatan dua orang itu, ia cepat melompat dan mengerahkan ginkangnya.
Akan tetapi tiba-tiba ada sambaran angin dari belakang. Lee Si secepat kilat membanting diri ke kiri sambil
mencabut pedang dengan tangan kanan dan merogoh gin-ciam (jarum perak) dengan tangan kiri. Sambil
membalik dengan gerakan Lee-hi Ta-teng (Ikan Lele Meloncat) dia segera menggerakkan tangan kirinya,
menyerang dengan jarum perak ke arah bayangan Bhok Hwesio yang sudah melangkah lebar
mengejarnya. Dalam keadaan terpojok ini, Lee Si lenyap rasa takutnya dan siap untuk melawan dengan
gagah berani sebagaimana sikap seorang pendekar sejati.
Penyerangan Lee Si dengan jarum-jarum perak itu bukanlah hal yang boleh dipandang ringan. Ilmunya
melepas jarum perak adalah ilmu senjata rahasia yang dia pelajari dari ibunya dan boleh dibilang dia telah
mahir dengan Ilmu Pek-po Coan-yang (Timpuk Tepat Sejauh Seratus Kaki).
Serangannya tadi sebetulnya lebih bersifat menjaga diri, sambil membalik melepaskan segenggam jarum
sebanyak belasan batang untuk mencegah desakan lawan. Biar pun jarum-jarum itu hanya disambitkan
dengan sekali gerakan, namun benda-benda halus itu meluncur dalam keadaan terpisah dan langsung
menerjang ke arah bagian-bagian yang berbahaya pada perut, dada, leher, dan mata.
Serangan ini masih disusul oleh terjangan Lee Si sendiri yang telah memutar pedangnya melakukan
serangan. Ternyata gadis muda yang cerdik ini, yang sekarang tahu bahwa tidak mungkin dia akan dapat
membebaskan diri kalau hanya lari dari hwesio kosen itu, telah menggunakan taktik menyerang lebih dulu
untuk mencari kedudukan baik sehingga dapat mengurangi besarnya bahaya menghadapi lawan yang
lebih tangguh.
"Eh, kau anak Hoa-san-pai?" Bhok Hwesio berseru pada saat lengan bajunya dikibaskan menyampok
runtuh semua jarum perak dan cepat dia menggerakkan tubuh ke belakang karena melihat bahwa sinar
pedang gadis muda itu tak boleh dipandang ringan.
"Kalau sudah tahu, masih berani menghinaku?" Lee Si menjawab dan kembali tangannya yang sudah
menggenggam jarum perak bergerak menyambitkan jarum.
Sekarang karena berhadapan dan dapat mencurahkan perhatian, Lee Si memperlihatkan kepandaiannya,
yaitu ia telah melepas jarum-jarum peraknya dengan gerakan Boan-thian Hoa-i (Hujan Bunga di Langit),
gerakan yang tidak saja sangat indah, akan tetapi juga hasilnya luar biasa sekali karena jarum-jarum itu
tersebar mekar laksana payung, atau seperti hujan mengurung tubuh Bhok Hwesio. Hebatnya, jarum-jarum
itu kini mengarah jalan-jalan darah yang amat penting.
"Ho-hoh-hoh, siapa takut Hoa-san-pai?" Bhok Hwesio berseru.
Tubuhnya tiba-tiba rebah bergulingan dan di lain saat dia sudah melompat berdiri sambil menggerakkan
kedua tangannya. Benda-benda hijau lalu meluncur ke depan, menangkis jarum-jarum itu sehingga di lain
saat rumput dan daun hijau yang tertancap jarum perak runtuh ke atas tanah.
Kini Lee Si yang kaget setengah mati. Kiranya kepandaian hwesio itu luar biasa sekali, sudah amat tinggi,
bahkan lebih tinggi dari pada ibunya dalam hal menggunakan senjata rahasia.
Baru saja hwesio tua itu mendemonstrasikan kelihaiannya menggunakan senjata rahasia dengan ilmu Cekyap
Hui-hwa, yaitu ilmu melepas senjata rahasia menggunakan bunga dan daun. Tadi hanya dengan
dunia-kangouw.blogspot.com
rumput-rumput dan dedaunan yang direnggutnya sambil bergulingan, Bhok Hwesio berhasil memukul
runtuh semua jarum yang dilepas oleh Lee Si.
Namun Lee Si sama sekali tidak menjadi gentar atau putus asa. Cepat pedangnya sudah bergerak dengan
jurus-jurus yang dia gabungkan dari kedua ilmu pedang warisan ayah bundanya.
Bhok Hwesio tercengang ketika dia mengelak dan mengebutkan ujung lengan bajunya. la mengenal baik
Ilmu Pedang Hoa-san-pai, akan tetapi yang diperlihatkan gadis ini hanya mirip-mirip Ilmu Pedang Hoa-sanpai,
bukan Ilmu Pedang Hoa-san-pai asli, namun malah lebih hebat!
Yang amat mengherankan hatinya adalah hawa pukulan yang terkandung di dalam ilmu pedang ini, karena
kadang kala mengandung hawa Im yang menyalurkan tenaga lemas, akan tetapi di lain detik berubah
menjadi hawa Yang dengan tenaga kasar. Mirip dengan ilmu kepandaian yang dimiliki musuh besarnya,
yaitu Pendekar Buta dan terutama Raja Pedang yang menjadi pewaris dari Ilmu Im-yang Sin-hoat.
Selama dua puluh tahun ini, di dalam kamar kecil yang menjadi tempat dia menderita hukuman ‘penebus
dosa’ dan sekaligus menjadi tempat dia bertapa dan menggembleng diri, memang dia khusus mencari ilmu
untuk menghadapi Im-yang Sin-hoat. Karena itu, sekarang menghadapi ilmu pedang Lee Si yang memang
mengandung penggabungan kedua hawa yang bertentangan ini, dia tidak menjadi bingung. Sepasang
lengan bajunya lantas bergerak seperti sepasang ular hidup yang mengandung dua macam tenaga pula
sehingga sebentar saja Lee Si sudah terdesak hebat!
Memang kalau bicara tentang tingkat ilmu, tingkat Lee Si masih jauh di bawah tingkat kakek ini. Bhok
Hwesio usianya sudah delapan puluh tahun lebih dan selain memiliki ilmu yang amat iinggi dari Siauw-limpai,
juga dia mempunyai pengalaman bertempur puluhan tahun lamanya. Hanya dua hal yang membuat
Lee Si dapat bertahan sampai tiga puluh jurus lebih. Pertama, karena gadis ini memang memiliki ilmu
kepandaian asli yang bersih dan sakti, kedua karena Bhok Hwesio sendiri merasa rendah untuk
merobohkan gadis yang patut menjadi cucu buyutnya seperti dikatakan Lee Si tadi.
Apa bila dia mau mengeluarkan jurus-jurus simpanan yang mematikan, agaknya sudah sejak tadi Lee Si
roboh. Namun, kini Lee Si benar-benar terdesak hebat, pedangnya tidak leluasa lagi gerakannya karena
sudah terbungkus oleh gulungan sinar dua ujung lengan baju Bhok Hwesio.
Gulungan sinar itu bagaikan lingkaran besar yang luar biasa kuatnya, yang meringkus sinar pedangnya,
makin lama lingkaran itu menjadi makin kecil dan sempit. Ruang gerak pedang Lee Si juga makin sempit.
Gadis itu mulailah mengeluarkan peluh dingin. Maklum dia bahwa hwesio ini benar-benar amat kosen dan
sekarang sengaja hendak mengalahkannya dengan tekanan yang makin lama makin berat untuk
memamerkan kepandaiannya. Dia tahu bahwa akhirnya dia tak akan dapat menggerakkan pedangnya lagi
kecuali untuk membacok tubuhnya sendiri!
"Hayo cepat kau berlutut dan minta ampun, mengaku murid siapa dan apa hubunganmu dengan ketua
Thai-san-pai!" berkali-kali Bhok Hwesio membentak.
Karena melihat betapa ilmu pedang gadis ini mengandung gabungan hawa Im dan Yang, dia menduga
bahwa tentu ada hubungan antara gadis ini dengan musuh besarnya, Si Raja Pedang.
Lee Si maklum bahwa hwesio ini tentu bukan sahabat baik kakeknya Si Raja Pedang. Akan tetapi ia pun
mengerti bahwa akhirnya ia akan mati, maka lebih baik baginya mati sebagai cucu Raja Pedang yang
berani dan tak takut mati dari pada harus mengingkari kakeknya yang merupakan seorang pendekar sakti
yang bernama besar.
"Hwesio jahat! Tak sudi aku menyerah. Kalau mau tahu, Bu-tek Kiam-ong Tan Beng San ketua Thai-sanpai
adalah kakekku!"
Bhok Hwesio tidak menjadi kaget karena sudah menduga akan hal ini. Akan tetapi dia girang sekali karena
sedikitnya dia dapat membalas penasaran terhadap Raja Pedang kepada cucunya.
"Bhok-taisuhu, kita tawan saja cucunya!" tiba-tiba Bo Wi Sianjin berteriak.
"Betul kita jadikan cucunya sebagai jaminan!" Maharsi menyambung.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, tepat pada saat itu berkelebat tiga bayangan orang dan terdengar seorang di antara mereka
berseru, "Bhok-suheng, tahan...!"
Bhok Hwesio mengeluarkan seruan rendah bagaikan kerbau mendengus. Akan tetapi dia cepat-cepat
mundur sehingga Lee Si merasa terhindar dari tekanan hebat.
Wajah Lee Si pucat, mukanya yang cantik penuh dengan keringat, akan tetapi sepasang matanya berapiapi
penuh ketabahan. Menggunakan kesempatan ini, Lee Si melompat mundur dan memandang kepada
tiga orang pendatang baru yang menyelamatkannya itu dengan teliti.
Orang pertama yang tadi berseru kepada Bhok Hwesio adalah seorang pendeta pula, seorang hwesio tua,
sedikitnya berusia tujuh puluh tahun. Mukanya hitam dan ada cacat bekas korban penyakit cacar. Biar pun
mukanya bopeng dan buruk, tapi sepasang mata hwesio ini membayangkan kehalusan budi dan
kesabaran seorang pendeta yang sudah masak jiwanya.
Hwesio ini membawa sebatang tongkat kuningan dan kini dia berdiri tegak menghadapi Bhok Hwesio.
Mereka saling pandang seolah-olah keduanya sedang mengukur kekuatan masing-masing dengan
pandang mata.
Hwesio ini memang bukan orang sembarangan, sebab dia adalah Thian Ti Losu, seorang tokoh tingkat tiga
dari Siauw-lim-pai, masih terhitung adik seperguruan Bhok Hwesio. Ada pun dua orang yang lainnya
adalah tosu-tosu dari Kun-lun-pai dan Kong-thong-pai, yaitu Sung Bi Tosu tokoh tingkat tiga dari Kun-lunpai
dan Leng Ek Cu tosu tingkat dua dari Kong-thong-pai.
Thian Ti Losu ini adalah seorang utusan Siauw-lim-pai yang sengaja keluar dari pintu kuil untuk mencari
Bhok Hwesio yang menghilang dari dalam kamar hukumannya. Di tengah jalan dia berjumpa dengan Leng
Ek Cu, sahabat baiknya. Kemudian setelah mendengar bahwa suheng-nya itu tengah dalam perjalanan
melalui Pegunungan Bayangkara, ia lalu mengejar dan ditemani oleh Leng Ek Cu yang maklum betapa
lihai serta berbahayanya suheng temannya itu.
Belum lama mereka memasuki daerah pegunungan ini, mereka bertemu dengan Sung Bi Tosu yang juga
mereka kenal sebagai tokoh Kun-lun-pai. Tosu ini sedang pulang menuju Kun-lun-san di sebelah barat,
maka mereka kemudian mengadakan perjalanan bersama. Kebetulan sekali mereka datang pada saat Lee
Si berada di ambang kematian di tangan Bhok Hwesio, maka cepat-cepat Thian Ti Losu mencegahnya.
"Thian Ti Sute, mau apa kau datang ke sini?" Bhok Hwesio menegur sute-nya dengan pandang mata
penuh selidik dan curiga.
"Bhok-suheng, siauwte diutus oleh ketua kita untuk mencari Suheng, kemudian mengajak Suheng kembali
ke Siauw-lim-si," jawab Thian Ti Losu dengan suara tenang.
Sepasang mata Bhok Hwesio yang biasanya setengah meram itu kini terbuka sebentar, memandang
dengan sinar kemarahan, tapi lalu terpejam lagi, hanya mengintai dari balik bulu mata.
"Sute, pulanglah dan jangan membikin kacau pikiranku. Aku tidak punya urusan apa-apa lagi dengan kau
atau dengan Siauw-lim-si."
"Tapi, Suheng. Siauwte hanya utusan dan ketua kita memanggilmu pulang."
"Cukup! Thian Seng Suheng boleh jadi ketua Siauw-lim-si, akan tetapi aku bukan orang Siauw-lim-pai lagi.
Hukuman yang dijatuhkan padaku telah cukup kujalani sampai penuh. Mau apa lagi? Pergilah!"
"Kau tahu sendiri, Bhok-suheng, apa artinya menjadi utusan ketua. Biar dengan taruhan nyawa, tugas tetap
harus dilaksanakan. Dan kau pun cukup maklum, lebih maklum dari pada siauwte yang lebih muda dari
padamu, apa artinya tidak mentaati perintah ketua kita, berarti penghinaan. Marilah, Suheng, kau ikut
denganku kembali menghadap ketua kita dan percayalah, apa bila kau minta diri dengan baik-baik, Suheng
kita yang menjadi ketua itu tentu akan meluluskanmu."
"Thian Ti! Kautonjol-tonjolkan nama Thian Seng Suheng untuk menakut-nakuti aku? Huh, jangankan baru
kau atau dia sendiri, biar Thian Ki Lo-suheng sendiri bangkit dari lubang kuburnya, aku tidak akan takut dan
tidak sudi kembali ke Siauw-lim-si. Nah, kau mau apa lagi?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Inilah pengkhianatan paling hebat! Suheng, kalau ada seorang anak murid Siauw-lim-pai yang murtad dan
berkhianat, setiap orang anak murid yang setia harus menentangnya. Suheng, sekali lagi, kau mau taat
dan ikut dengan aku pulang atau tidak?"
Bhok Hwesio hanya tertawa mengejek. Dia maklum bahwa sute-nya ini juga mempunyai kepandaian hebat,
terkenal dengan ilmu tongkat dari Siauw-lim-pai tingkat tinggi, terkenal pula sebagai seorang ahli lweekang
yang tenaganya hampir sama dengan tingkat yang dimiliki mendiang Thian Ki Losu sendiri. Akan tetapi dia
tidak takut dan merasa yakin bahwa dia akan dapat mengalahkan sute-nya ini.
"Bhok-taisuhu, mengapa masih terlalu banyak sabar menghadapi adik seperguruan yang cerewet?" tibatiba
Bo Wi Sianjin berseru dari samping kanan Bhok Hwesio. "Kalau mau bicara tentang ketaatan, maka
seorang adik seperguruanlah yang harusnya taat kepada suheng-nya!"
"Ha-ha-ha, benar-benar lucu ini. Bo Wi Sianjin dari Mongol bukannya anak kecil, bagai mana dapat
bersikap begini tidak tahu malu mencampuri urusan dalam dua orang murid Siauw-lim-pai?" Sung Bi Tosu
sudah melangkah maju menghadapi Bo Wi Sianjin dan memandang tajam.
Bo Wi Sianjin si kakek pendek gendut tertawa mengejek. Kenyataan bahwa tosu itu bisa mengenal
namanya sedangkan dia sendiri tidak mengenal tosu itu membuktikan bahwa dia cukup dikenal oleh para
tokoh kang-ouw.
"Ehh, kau ini tosu bau dari mana berani lancang mulut? Aku bicara dengan Bhok-taisuhu, ada sangkut-paut
apa denganmu?"
"Pinto adalah Sung Bi Tosu dari Kun-lun-pai. Memang pinto tidak ada urusan denganmu, akan tetapi kau
juga tidak ada urusan sama sekali untuk mencampuri persoalan saudara seperguruan Siauw-Lim-pai."
”Eh, keparat. Apa yang kau lakukan, bagaimana kau bisa ikut campur? Tosu Kun-lun-pai selamanya
sombong, apa kau kira aku takut mendengar nama Kun-lun? Heh-heh-heh, tosu cilik, berani kau
menentangku?"
"Menentang kelaliman adalah tugas setiap orang yang menjunjung kebenaran! Kalau kau mencari perkara,
pinto tidak akan mundur setapak pun!" jawab tokoh Kun-lun-pai dengan suara gagah.
Si kakek pendek gendut dari Mongol mengeluarkan suara ketawa yang serak. "Bagus, kau sudah bosan
hidup!"
Setelah berkata demikian, dia melompat maju ke depan Sung Bi Tosu, lalu memasang kuda-kuda dengan
tubuh jongkok sehingga tubuh yang sudah pendek itu tampak menjadi semakin pendek lagi. Dari mulutnya
terdengar suara berkokok, sedangkan kedua kakinya berloncatan dengan gerakan berbareng seperti katak
meloncat.
”Hemmm, pendeta liar dari Mongol, apakah kau mau membadut di sini...?" Belum habis Sung Bi Tosu
bicara, tiba-tiba kakek gendut pendek itu menggerakkan kedua tangan ke depan.
Tubuh Sung Bi Tosu terjengkang ke belakang, lantas roboh telentang dan bergulingan. Ternyata dia sudah
terkena pukulan ilmu Katak Sakti yang dahsyat. Akan tetapi, sebagai seorang tokoh Kun-lun-pai yang lihai,
begitu tadi merasai datangnya pukulan jarak jauh yang luar biasa, dia telah mengerahkan sinkang-nya,
sehingga biar pun dia telah terpukul dan roboh terjengkang, dia tidak tewas. Orang lain yang terkena hawa
pukulan sehebat itu tentu akan tewas di saat itu juga, akan tetapi tokoh Kun-lun-pai ini hanya terluka dan
masih kuat melompat bangun dengan muka pucat dan mata merah.
"Iblis jahat!" serunya. Tubuhnya sudah melayang maju, dan sinar pedangnya berkelebat cepat menyambar.
Akan tetapi sekali lagi terdengar suara berkokok dan sambil mengelak dari sambaran pedang, kakek
gendut pendek itu sudah mengirim dua kali pukulannya. Pukulan pertama membuat pedang Sung Bi Tosu
terpental, pukulan kedua membuat tubuhnya terlempar sampai lima meter lebih dan tosu Kun-lun-pai itu
roboh tak bangun lagi karena nyawanya sudah melayang meninggalkan tubuhnya!
Muka Leng Ek Cu tokoh Kong-thong-pai menjadi pucat saking marahnya menyaksikan pembunuhan atas
diri teman baiknya ini. Diam-diam dia juga merasa kagum dan ngeri menyaksikan kehebatan ilmu pukulan
Bo Wi Sianjin yang demikian hebatnya sehingga seorang tokoh Kun-lun-pai yang sudah amat tinggi
dunia-kangouw.blogspot.com
tingkatnya bisa terpukul binasa hanya oleh tiga pukulan jarak jauh.
"Keji... keji sekali...!" katanya sambil melangkah maju. "Mati hidup manusia bukanlah hal aneh, seperti
angin lalu. Akan tetapi mengandalkan kepandaian untuk merenggut nyawa orang lain hanya untuk urusan
tak berarti, benar-benar keji sekali. Apa lagi kalau yang melakukan itu seorang yang sudah menamakan
dirinya tua dan pertapa pula. Bo Wi Sianjin, untuk kekejianmu itulah pinto terpaksa bertindak!" Sambil
berkata demikian, Leng Ek Cu sudah mencabut pedangnya dan bersiap menghadapi lawannya yang
tangguh.
Akan tetapi mendadak dia cepat miringkan tubuh dan menggeser kaki kiri ke belakang sambil mengibaskan
pedangnya karena tahu-tahu dari sebelah kanan menyambar hawa pukulan. Kiranya pendeta tinggi
bersorban itulah yang sudah menggerakkan lengannya yang panjang untuk mencengkeram pundaknya
tanpa berkata sesuatu.
"Heh, siapa kau?! Pendeta asing, jangan mencampuri urusan orang lain!" bentak tokoh Kong-thong-pai itu
sambil melintangkan pedang di depan dada.
Penyerangnya adalah Maharsi. Pendeta India yang jangkung ini lalu mengeluarkan suara tertawa seperti
suara burung hantu, lalu berkata dengan kata-kata yang kaku dan suara asing. "Sudah berani mencabut
pedang tentu berani menghadapi siapa juga, termasuk aku, Maharsi orang bodoh dari barat."
Setelah berkata demikian, dari kerongkongannya terdengar suara melengking tinggi yang memekakkan
telinga. Dua lengannya mendorong-dorong setelah tubuhnya miring-miring dalam kedudukan kuda-kuda
yang ganjil. Akan tetapi dari dua lengannya itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat. Inilah ilmu
Pukulan Pai-san-jiu!
Leng Eng Cu adalah tokoh tingkat dua dari Kong-thong-pai. Ilmu pedangnya merupakan ilmu pedang
kebanggaan partainya, cepat dan bergulung-gulung panjang, lagi pula dia memiliki ginkang yang membuat
dia dapat bergerak cepat sekali. Tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari pada tingkat Sung Bi Tosu.
Melihat gerakan aneh dari pendeta asing ini, Leng Ek Cu tak berani memandang rendah dan tidak mau
menyambut langsung. Dia mengandalkan ginkang-nya, dengan lincah dia mengelak dan tubuhnya meliuk
ke samping, terus balas mengirim tusukan diiringi tenaga Iweekang yang membuat pedang itu berdesing
menuju ke arah sasarannya, yaitu perut si pendeta India!
Maharsi kembali mengeluarkan lengking tinggi dan tubuhnya tanpa berubah sedikit pun juga, agaknya tidak
mengelak dan bersedia menerima tusukan pedang. Namun tidaklah demikian kiranya karena sebelum
pedang itu mencium kulit perutnya lewat baju, tiba-tiba perutnya melesak ke dalam, lalu tangannya yang
berlengan panjang itu telah menyambar ke depan mengarah leher dan kepala lawan.
Hebat memang pendeta ini, sebab begitu dia menjulurkan lengannya dan mengempiskan perutnya, selain
pedang lawan tidak dapat mengenai perutnya, juga lengannya itu lebih panjang jangkauannya. Kalau Leng
Ek Cu melanjutkan tusukannya, tentu lehernya akan patah dicengkeram dan kepalanya akan bolongbolong!
Tentu saja Leng Ek Cu tidak sudi diperlakukan demikian. Andai kata tadi Sung Bi Tosu tidak berlaku
sembrono dan tidak memandang rendah lawannya seperti halnya Leng Ek Cu sekarang, belum tentu dia
dapat dirobohkan demikian mudahnya oleh Bo Wi Sianjin yang memiliki Ilmu Katak Sakti.
Leng Ek Cu amat hati-hati, dapat menduga bahwa lawannya, pendeta asing ini, memiliki kepandaian yang
luar biasa dan aneh. Karena itu dia cepat-cepat menarik pedangnya yang dikelebatkan merupakan
lingkaran membabat kedua lengan lawan. Gerakan ini dia lakukan dengan pengerahan tenaga Iweekang.
"Bagus!" Maharsi berseru gembira.
Memang demikianlah wataknya. Makin tinggi tingkat kepandaian lawan, semakin gembira pula hatinya
untuk melayaninya. Ilmu silatnya yang aneh, sebagian besar mengandalkan tenaga sinkang mukjijat yang
bercampur dengan ilmu sihir, namun harus diakui bahwa tubuhnya yang jangkung itu dapat bergerak lemas
dan lincah, walau pun kedua kakinya jarang sekali dipindahkan dengan cara diangkat, hanya selalu
digeser-geserkan dengan menggerakkan kedua tumit.
Sepasang lengannya yang panjang itu bagaikan sepasang ular hidup, tapi setiap gerakan mengandung
dunia-kangouw.blogspot.com
tenaga dahsyat dari ilmu pukulan sakti Pai-san-jiu. Makin lama makin cepat kedua lengannya bergerak.
Kini kedua tangan dikembangkan jari-jarinya, sepuluh buah jari itu bergerak-gerak bagai ular-ular kecil dan
terbentanglah jari-jemari yang menggeliat-geliat mengaburkan pandangan mata. Sepuluh batang jari itu
bergerak-gerak amat cepat menjadi ratusan dan dari jari-jari itu menyambar hawa pukulan Pai-san-jiu!
Inilah ilmu yang hebat! Leng Ek Cu, tokoh tingkat dua dari Kong-thong-pai yang memiliki kiam-hoat pilihan,
berusaha mengurung dirinya dengan selimut sinar pedangnya, namun dia hanya dapat bertahan sampai
dua puluh lima jurus saja. Pandang matanya kabur, sinar pedangnya makin membuyar dihantam hawa
pukulan yang merayap masuk antara sinar pedangnya bagaikan titik-titik air hujan. Pertahanannya semakin
lemah, kepalanya pusing dan tubuhnya bermandi peluh.
Maharsi makin kuat saja. Kini hawa pukulan yang dapat menyelinap di antara sambaran sinar pedang
makin membesar tenaganya, mengenai tubuh Leng Ek Cu bagaikan ribuan jarum beracun menusuk-nusuk.
Pakaian tosu Kong-thong-pai itu sudah bolong-bolong, kulit tubuhnya yang terkena hawa pukulan
mengakibatkan titik-titik hitam dan makin lama pukulan-pukulan yang sebetulnya hanyalah merupakan
sentilan-sentilan jari tangan yang sepuluh buah banyaknya itu makin gencar datangnya.
Leng Ek Cu seorang gagah sejati, sedikit pun tidak mengeluh biar pun rasa nyeri pada tubuhnya hampir
tidak tertahankan lagi. Akhirnya dia melakukan serangan balasan yang nekat, pedangnya membacok
dengan disertai tenaga sepenuhnya, tubuhnya seolah-olah dia tubrukkan dengan tubuh lawan supaya
bacokannya tidak dapat dihindarkan Maharsi.
Maharsi melengking tinggi. Dua tangannya bergerak dan dari atas dia mendahului lawan dengan pukulan
Pai-san jiu sekerasnya.
"Hukkk!"
Demikianlah suara yang keluar dari mulut Leng Ek Cu. Tubuhnya sejenak berdiri tegak, seakan-akan tubuh
itu kemasukan aliran listrik dari sambaran halilintar, kemudian tubuh yang tegak itu menggigil, makin lama
semakin keras dan robohlah Leng Ek Cu dengan pedang di tangan. Tubuhnya tetap kaku, tapi sudah tak
bernafas lagi!
Dapat dibayangkan betapa marah dan sedihnya hati Thian Ti Losu melihat kejadian ini. Dua orang tosu itu,
tokoh Kun-lun-pai dan tokoh Kong-thong-pai, keduanya merupakan orang-orang gagah yang melakukan
perjalanan bersamanya. Sekarang mereka berdua tewas dalam keadaan yang sangat menyedihkan,
semua gara-gara urusan dia dengan suheng-nya, Bhong Hwesio yang murtad. Kalau tidak ada urusan
Bhok Hwesio, kiranya tidak akan terjadi peristiwa ini dan kedua orang temannya itu tidak akan
mengorbankan nyawa.
"Bhong-suheng, benar-benar kau telah tersesat jauh sekali," serunya dengan suara keras penuh
kemarahan. "Kau membiarkan kawan-kawanmu membunuh dua orang tosu tidak berdosa dari Kun-lun dan
Kong-thong. Bhok-suheng, kau insyaflah, jauhkan dirimu dari pergaulan sesat dan mari pulang bersama
siauwte, menghadap twa-suheng Thian Seng Losu dan menebus dosa menghadap perjalanan ke alam
asal!"
Akan tetapi Bhok Hwesio yang telah menyimpan rasa sakit hati dan juga rasa penasaran terhadap Siauwlim-
pai, mana mau mendengar nasehat ini? la membuka kedua matanya dan menegur,
"Thian Ti Losu, kau dan aku bukan saudara bukan teman bukan segolongan lagi, kenapa banyak cerewet?
Mengingat akan perkenalan kita yang sudah puluhan tahun, mau aku mengampunimu. Lekaslah kau pergi
dari sini dan jangan menggangguku lagi."
"Bhok Hwesio, kau benar-benar tidak mau insyaf? Terpaksa pinceng mentaati perintah twa-suheng,
menjalankan peraturan Siauw-lim-pai yang kami junjung tinggi. Berlututlah!"
Thian Ti liosu mengangkat tangan kanan tinggi di atas kepala sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari
terbuka ditaruh miring berdiri di depan dada. Inilah pasangan kuda-kuda yang sudah biasa dilakukan oleh
seorang tokoh Siauw-lim-pai untuk memberi hukuman kepada murid murtad.
Menurut peraturan, murid-murid yang sudah tak diakui lagi oleh Siauw-lim-pai menerima hukuman yang
paling berat, yaitu dimusnahkan kepandaiannya sehingga ia akan menjadi seorang pendeta cacat di dalam
tubuh yang tak dapat disembuhkan lagi, membuatnya menjadi seorang yang lemah dan tidak memiliki
dunia-kangouw.blogspot.com
sinkang lagi.
"Hu-huh-huh, siapa sudi mendengar ocehanmu?!" bentak Bhok Hwesio marah.
"Bhok-taisuhu, kenapa begini sabar? Biarlah aku mewakilimu memberi hajaran kepada si sombong ini!" Bo
Wi Sianjin si pendek gendut membentak marah, lalu melompat maju menghadapi Thian Ti Losu, tubuhnya
berjongkok dan kedua lengannya didorongkan ke depan sambil mengeluarkan bunyi berkokok dari
kerongkongannya.
"Omitohud, pendeta sesat!" Thian Ti Losu mengeluarkan teguran.
Dia pun mendorongkan kedua lengannya ke depan. Karena si pendek itu mendorong dari bawah ke atas,
untuk mengimbangi tenaganya dari arah yang berlawanan, maka hwesio Siauw-lim ini mendorong dari atas
ke bawah. Dua pasang telapak tangan itu tampaknya perlahan saja bertemu, akan tetapi akibatnya hebat.
Tubuh Thian Ti Losu mencelat ke atas sampai dua kakinya meninggalkan tanah setinggi setengah meter,
ada pun tubuh Bo Wi Sianjin melesak ke dalam tanah sampai pinggang dalamnya! Ini saja telah
membuktikan bahwa Ilmu Katak Sakti yang mengandung tenaga sinkang luar biasa itu ternyata masih
belum sanggup melawan kekuatan si hwesio tokoh Siauw-lim-pai.
"Bi Wi Sianjin, biar pinceng bereskan sendiri bocah ini!" kata Bhok Hwesio.
Bhok Hwesio lalu menggerakkan kedua kakinya melangkah maju menghampiri sute-nya. Mereka berdiri
berhadapan dan saling pandang seperti dua ekor jago tua yang sedang mengukur kekuatan dan
keberanian hati sebelum mulai bertanding.
Ada pun Maharsi cepat menghampiri Bo Wi Sianjin. Sekali kakek jangkung ini menyendal tangan
temannya, tokoh Mongol itu sudah ‘tercabut’ keluar dari tanah. Wajahnya menjadi merah karena dalam
segebrakan tadi saja sudah bisa dibuktikan bahwa ilmu kepandaian tokoh Siauw-lim-pai itu masih
terlampau kuat baginya.
Diam-diam dia harus mengakui kehebatan Siauw-lim-pai yang bukan kosong. Dua orang hwesio ini sudah
cukup menyatakan bahwa tokoh-tokoh Siauw-lim-pai memang hebat.
Sementara itu, Bhok Hwesio dan Thian Ti Losu sudah mulai bertanding. Karena maklum betapa lihainya
hwesio murtad itu, Thian Ti Losu menyerang dengan senjata tongkatnya. Begitu bergebrak, dia telah
mempergunakan ilmu tongkatnya yang amat kuat. Tongkat itu mengeluarkan bunyi mengaung-aung dan
ujungnya bergetar lalu pecah menjadi banyak sekali, langsung menyerang bagian-bagian tubuh yang
berbahaya.
Bo Wi Sianjin dan Maharsi memandang kagum penuh perhatian. Mereka sudah sering menyaksikan ilmu
tongkat dari Siauw-lim-pai yang tersohor dimainkan orang, akan tetapi baru kali ini melihat permainan
tongkat yang demikian dahsyatnya.
Bhok Hwesio sendiri pun maklum akan kelihaian sute-nya ini. Tentu saja sebagai tokoh Siauw-lim-pai, dia
mengenal baik ilmu tongkat dari Siauw-lim, maka dengan tenang tapi tangkas dia melayani tongkat itu
dengan kedua ujung lengan bajunya.
Thian Ti Losu baru merasa terkejut ketika gerakan tongkatnya menyeleweng setiap kali bertemu dengan
dua ujung lengan baju Bhok Hwesio. Hal ini menandakan bahwa bekas suheng-nya itu luar biasa kuatnya
dan dia kalah banyak dalam hal tenaga sakti.
Selain ini, dia melihat gerakan suheng-nya amat aneh. Meski pun dasar-dasarnya masih memakai dasar
Ilmu Silat Siauw-lim-pai yang kokoh kuat, akan tetapi perkembangannya berubah banyak seakan-akan
jurus-jurus Siauw-lim-pai yang tidak asli lagi.
Memang demikianlah halnya. Selama dua puluh tahun menjalankan hukumannya sambil bertapa di dalam
kamar, Bhok Hwesio sudah menciptakan ilmu pukulan dengan kedua lengan bajunya, yang sedianya dia
ciptakan untuk menghadapi musuh-musuhnya yang lihai.
Ilmu pukulan ini dasarnya memang ilmu Silat Siauw-lim-pai yang dia pelajari sejak kecil, akan tetapi
perkembangannya dia ciptakan sendiri, khusus untuk melayani ilmu silat yang mengandung penggabungan
dunia-kangouw.blogspot.com
hawa Im dan Yang, karena kedua orang musuh besarnya, Pendekar Buta dan Raja Pedang, adalah ahliahli
dalam hal ilmu silat gabungan tenaga itu. Kini, menghadapi bekas sute-nya dia malah mendapat
kesempatan untuk sekali lagi, setelah tadi mencobanya atas diri Bo Wi Sianjin dan Maharsi, menggunakan
sekaligus mencoba ilmu ciptaannya itu.
Kepandaian Bhok Hwesio memang amat hebat. Hawa sinkang dalam tubuhnya menjadi berlipat kuatnya
setelah dia bertapa selama dua puluh tahun, berlatih setiap hari dengan tekun. Memang dasar latihan
semedhi dan peraturan bernafas dari Siauw-lim-pai sangat kuatnya, berasal dari sumber yang bersih dan
diperuntukkan bagi para pendeta Buddha untuk menguatkan batin dan mencapai kesempurnaan.
Agaknya dalam hal ini, Bhok Hwesio sudah mencapai tingkat yang amat tinggi, sungguh pun setelah
sampai pada batas yang tinggi, akhirnya ilmunya menjadi menyeleweng dari garis kesempurnaan karena
dikotori oleh rasa dendam dan sakit hati sehingga tak dapat menembus rintangan yang dibentuk oleh
nafsunya sendiri.
Andai kata Bhok Hwesio tidak dikotori oleh dendam dan nafsu, kiranya dia akan mampu mencapai tingkat
yang bahkan lebih tinggi dari pada yang pernah dicapai oleh semua tokoh Siauw-lim-pai karena memang
pada dirinya terdapat bakat yang amat besar.
Thian Ti Losu baru sadar akan kehebatan bekas suheng-nya ini sesudah pertandingan berjalan selama
lima puluh jurus. la terdesak hebat dan sinar tongkatnya selalu terbentur membalik oleh hawa pukulan
lawan yang kuat sekali.
Akan tetapi, bagi tokoh Siauw-lim-pai ini, kiranya membela kebenaran merupakan tugas hidup dan
merupakan pegangan sehingga dia tidak merasa gentar menghadapi apa pun. Mati dalam membela
kebenaran adalah mati bahagia.
la mengerahkan tenaga dan memutar tongkatnya lebih cepat, berusaha sekuatnya untuk menghancurkan
benteng hawa pukulan yang terus menghimpitnya itu. Dengan gerakan melingkar tongkatnya melepaskan
diri dari tekanan ujung lengan baju, lalu dari samping dia mengirim tusukan ke arah lambung. Gerakan ini
boleh dikatakan nekat karena dalam menyerang, dia membiarkan dirinya tidak terlindung. Jika lawannya
membarengi dengan serangan balasan, walau pun tongkatnya akan mencapai sasaran dia sendiri tentu
akan celaka.
Bhok Hwesio mengeluarkan dengus mengejek. la tidak mempergunakan kesempatan itu untuk balas
menyerang, melainkan cepat sekali kedua ujung lengan baju dia sentakkan ke samping dan pada lain saat
tongkat itu sudah terlibat oleh ujung lengan baju, sedang ujung kedua menotok ke arah leher lawannya.
Thian Ti Losu kaget luar biasa, mengerahkan tenaga untuk merenggut lepas tongkatnya. Namun hasilnya
sia-sia, tongkatnya seperti sudah berakar dan tak dapat dicabut kembali. Sementara itu, ujung lengan baju
kiri Bhok Hwesio seperti seekor ular hidup sudah amat dekat meluncur.
Terpaksa sekali, untuk dapat menyelamatkan diri, Thian Ti Losu melepaskan tongkatnya dan melempar
tubuh ke belakang sambil bergulingan. la selamat dari totokan maut, tetapi tongkatnya telah dirampas
lawan. Bhok Hwesio tertawa pendek, tangannya lalu bergerak dan... tongkat itu amblas ke dalam tanah
sampai tidak kelihatan lagi!
"Thian Ti Losu, terang kau bukanlah lawanku. Sekali lagi, cepatlah kau pergi dan jangan menggangguku
lagi, aku akan maafkan kekurang ajaranmu untuk terakhir kali mengingat bahwa kau hanya menjalankan
perintah. Nah, pergilah!"
Namun, mana Thian Ti Losu sudi mendengarkan kata-kata ini? Melarikan diri dari tugas hanya karena takut
kalah atau mati adalah perbuatan pengecut dan akan mencemarkan nama baiknya dan terutama sekali,
nama besar Siauw-lim-pai. Mati dalam menunaikan tugas jauh lebih mulia dari pada hidup sebagai
pengecut yang mencemarkan nama baik Siauw-lim-pai.
Sekarang Bhok Hwesio bekas suheng-nya, menganjurkan dia menjadi pengkhianat atau pengecut. Thian
Ti Losu menengadahkan mukanya ke atas, tertawa bergelak kemudian mengerahkan seluruh lweekangnya
dan di lain saat dia sudah menerjang maju dengan kepala yang mengepulkan uap di depan, menubruk
Bhok Hwesio.
Inilah jurus mematikan yang berbahaya bagi lawan dan diri sendiri! Karena jurus seperti ini, yang
dunia-kangouw.blogspot.com
menggunakan kepala untuk menghantam tubuh lawan, merupakan tantangan untuk mengadu tenaga
terakhir untuk menentukan siapa akan menang dan siapa harus mati. Kalau dielakkan, hal ini akan
menunjukkan kelemahan yang diserang, tanda bahwa dia tidak berani menerima tantangan adu nyawa.
Bagi seorang jagoan, apa lagi seorang tokoh besar seperti Bhok Hwesio, tentu saja ini merupakan hal yang
akan memalukan sekali.
"Huh, kau keras kepala!" ejek Bhok Hwesio sambil berdiri tegak, perutnya yang gendut besar ditonjolkan ke
depan.
Bagaikan seekor lembu mengamuk, Thian Ti Losu menyeruduk ke depan, kepalanya dia arahkan perut
bekas suheng-nya.
"Cappp!"
Kepala hwesio itu bertemu dengan perut suheng-nya dan menancap atau lebih tepat lagi amblas ke dalam
ketika perut itu menggunakan tenaga menyedot. Hebatnya, tubuh Thian Ti Losu lurus seperti sebatang
kayu balok. Kedua tangannya bergerak hendak memukul atau mencengkeram, namun Bhok Hwesio yang
sudah siap mendahuluinya, mengetuk kedua pundaknya.
Terdengar suara tulang patah dan kedua lengan Thian Ti Losu menjadi lemas seketika, tergantung pada
kedua pundak yang sudah patah sambungan tulangnya. Bhok Hwesio masih meneruskan gerakan
tangannya. Tiga kali dia mengetuk punggung Thian Ti Losu dan tubuh yang tegak lurus itu menjadi lemas,
tanda bahwa tenaganya lenyap. Ada pun kepala tokoh Siauw-lim-pai itu masih menancap di ‘dalam’ perut
Bhok Hwesio.
"Nah, pergilah!" seru Bhok Hwesio.
Perutnya yang tadinya menyedot itu lalu dikembungkan dan... tubuh Thian Ti Losu yang sudah lemas itu
terlempar ke belakang sampai lima meter lebih jauhnya, roboh di atas tanah dalam keadaan setengah
duduk.
Thian Ti Losu maklum apa yang telah menimpa dirinya. Bhok Hwesio sudah melakukan tindakan yang
amat kejam, bukan membunuhnya melainkan mematahkan tulang kedua pundak, tulang punggung dan
menghancurkan saluran hawa sakti di punggung sehingga mulai saat itu dia tidak akan mungkin lagi
mempergunakan Iweekang atau sinkang dan sudah menjadi seorang tapa daksa selama sisa hidupnya!
"Manusia keji...!" katanya terengah-engah sambil menahan nyeri, akan tetapi sepasang matanya masih
memandang tajam, "bunuh saja aku sekalian..."
"Huh-hu-huh, Thian Ti Losu. Kau benar-benar seorang yang tak kenal budi. Aku sengaja tidak
membunuhmu agar kau dapat kembali ke Siauw-lim-pai dan membuktikan bahwa kau seorang yang setia
dan dapat menunaikan tugas sampai batas kemampuan terakhir. Dan kau masih mengomel?"
"Lempar saja dia ke dalam jurang!" kata Bo Wi Sianjin yang masih merasa penasaran dan marah karena
tadi dia terbanting masuk ke dalam tanah oleh tokoh Siauw-lim-pai itu.
"Heeeiii...! Mana dia...?!"
Seruan Maharsi itu membuat Bhok Hwesio dan Bo Wi Sianjin menengok. Baru sekarang mereka teringat
akan diri gadis cucu Raja Pedang ketua Thai-san-pai itu.
"Wah, dia melarikan diri. Hayo kejar, dia penting sekali harus kita tawan!" Bhok Hwesio berseru.
Ketiga orang kakek ini segera meloncat dan lenyap dari tempat itu mengejar Lee Si, meninggalkan Thian Ti
Losu yang hanya dapat memandang dengan hati mendongkol. la ditinggal dalam keadaan cacat, bersama
mayat dua orang temannya, yaitu Sung Bi Tosu tokoh Kun-lun-pai dan Leng Ek Cu tokoh Kong-thong-pai.
Ke manakah perginya Lee Si? Apakah betul dugaan Bhok Hwesio tadi?
Pada saat gadis ini melihat bahwa di antara para kakek sakti itu timbul pertengkaran, dia maklum bahwa
kehadirannya di situ sangat berbahaya dan bahwa saat itu merupakan kesempatan baik sekali baginya.
Diam-diam ia menyelinap pergi pada saat pertandingan pertama terjadi. Setelah menyelinap di antara
dunia-kangouw.blogspot.com
pepohonan dia lalu berlari cepat sekali, sengaja mengambil jalan melalui hutan-hutan lebat.
Sepuluh hari kemudian, Lee Si yang kali ini berlari menuju ke timur tanpa disengaja tiba di sebuah kota. Di
tempat ini barulah dia mendapat kenyataan dari keterangan yang dia dapat bahwa selama ini dia telah
salah jalan dan tersesat amat jauh.
Kota ini adalah Kong-goan, sebuah kota di Propinsi Secuan sebelah utara, cukup besar dan ramai, di
lembah Sungai Cia-ling. Karena ketika tiba di kota ini hari sudah menjelang senja, setelah mendapatkan
keterangan itu Lee Si lalu menyewa sebuah kamar di rumah penginapan yang kecil akan tetapi cukup
bersih. Sehabis makan dia berjalan keluar dari kamarnya, terus ke depan rumah penginapan dengan
maksud hendak keliling kota.
Tiba-tiba ia mengangkat muka dan hatinya berdebar. Entah apa sebabnya, saat bertemu pandang dengan
seorang pemuda yang kebetulan lewat di depannya, hatinya berdebar dan mukanya terasa panas. Lee Si
bingung dan heran sendiri.
Pemuda itu tampan sekali, mukanya putih dan halus seperti muka wanita, alisnya hitam tebal. Pakaiannya
sederhana saja akan tetapi tak menyembunyikan tubuhnya yang kuat dan tegap. Gerak-geriknya jelas
membayangkan ‘isi’, yaitu bahwa orang muda ini tentu memiliki kepandaian.
Agaknya yang kemasukan aliran ‘stroom’ aneh bukan hanya Lee Si karena pemuda itu yang tadinya
berjalan dengan kepala menunduk, tiba-tiba saja mengangkat mukanya dan memandang Lee Si, bahkan
setelah lewat, beberapa kali dia masih menengok sehingga dua pasang mata bertemu dan sinarnya
seakan-akan menembus jantung!
Sejenak Lee Si berdiri termenung, memeras otak dan mengingat-ingat di mana ia pernah bertemu dengan
pemuda tadi dan mengapa dia menjadi tertarik seperti ini. Akan tetapi tetap saja dia tidak dapat ingat di
mana dan bila dia pernah melihat wajah itu, wajah yang seakan-akan tidak asing baginya dan yang
membuat darah di tubuhnya berdenyut lebih cepat dari biasanya.
Akan tetapi setelah melihat betapa pemuda itu beberapa kali menengok memandangnya, timbul
kemarahan di hati Lee Si. Betapa pun juga, pemuda itu amat kurang ajar, berani memandanginya seperti
itu. Selain kurang ajar juga mencurigakan.
Lee Si cepat kembali memasuki kamarnya untuk mengambil pedangnya, dan tidak lama kemudian
tubuhnya sudah berkelebatan di atas genteng yang mulai gelap dan langsung mengejar ke arah perginya
pemuda tadi. Gerakannya cepat dan gesit sekali sehingga sebentar saja dia sudah melihat pemuda itu
berjalan perlahan melalui jalan kecil yang gelap, kemudian terus keluar kota sebelah timur.
Siapakah pemuda tampan itu? Bukan pemuda biasa. Pemuda itu adalah Kwa Swan Bu, putera tunggal
Pendekar Buta Kwa Kun Hong. Sudah lama sekali kita meninggalkan Pendekar Buta dan anak isterinya.
Setelah suami isteri beserta putera mereka ini pindah kembali ke tempat lama, yaitu di Liong-thouw-san,
Swan Bu tidak begitu dimanja lagi seperti ketika dia berada di Hoa-san. Dia sangat tekun berlatih ilmu
kepandaian di bawah bimbingan ayah bundanya, terutama sekali ayahnya.
Pada suatu hari, masih pagi-pagi sekali seperti biasa, Swan Bu turun dari puncak Liong-thouw-san dan
pergi ke lereng sebelah kanan di mana terdapat jembatan tambang yang menghubungkan Liong-thouw-san
dengan dunia luar. la duduk di atas sebuah batu besar dan memandang ke timur.
Sudah menjadi kesukaan Swan Bu untuk menanti munculnya matahari yang merah dan besar. Kadang
kala dia memandang dengan hati penuh kerinduan, bukan rindu kepada matahari melainkan kepada dunia
ramai. Bagi seorang pemuda seperti dia, tentu saja tinggal di puncak Liong-thouw-san hanya bersama
ayah bundanya, merupakan keadaan yang kadang-kadang menyiksanya, tersiksa oleh kesunyian dan
rindu dengan keramaian dunia.
Tentu saja Kwa Kun Hong dan isterinya, Kwee Hui Kauw, maklum dan dapat merasakan kesunyian hidup
putera mereka, dan maklum pula betapa besar hasrat di hati Swan Bu untuk meninggalkan puncak itu dan
merantau di dunia ramai. Akan tetapi, mereka selalu melarangnya dengan alasan bahwa tingkat
kepandaiannya masih jauh dari cukup untuk dijadikan bekal merantau di dunia ramai karena di sana
terdapat banyak sekali penjahat-penjahat yang berilmu tinggi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Selagi Swan Bu masih duduk termenung sambil menikmati bola merah besar yang mulai tampak muncul
dari balik puncak sebelah timur, tiba-tiba saja dia dikejutkan oleh sesosok bayangan manusia yang
bergerak cepat meloncat ke sana ke mari. Jelas bahwa orang itu datang mendaki puncak itu yang memang
tidak mudah dilalui.
Swan Bu tetap duduk tak bergerak, memandang penuh perhatian. Dari jarak sejauh itu, dan di dalam cuaca
pagi yang masih remang-remang, dia tidak dapat mengenali siapa adanya orang yang datang ini. Terang
bukanlah penduduk di sekitar Pegunungan Liong-thouw-san, karena tidak ada penduduk gunung yang
dapat bergerak secepat itu.
Timbul kegembiraan di hati Swan Bu. Tentu seorang di antara anak murid Hoa-san-pai! Siapa lagi kalau
bukan orang Hoa-san-pai yang datang berkunjung ini? Hatinya gembira karena semua anak murid Hoasan-
pai telah dia kenal baik.
Swan Bu melihat betapa orang itu meloncat ke atas jembatan tambang. Sesungguhnya bukanlah
jembatan, melainkan sehelai tambang yang direntang dari seberang jurang dan untuk melalui ‘jembatan’
ini, orang harus memiliki kepandaian dan ginkang. Sekali saja terpeleset, mulut jurang yang menganga
lebar mengerikan telah menanti di bawah untuk menelan lenyap tubuh si penyeberang yang jatuh!
Swan Bu dapat melihat betapa tambang itu bergoyang sedikit ketika orang tadi meloncat di atasnya dan
kini berlari melalui tambang. Bergoyangnya tambang ini saja sudah cukup dijadikan ukuran oleh Swan Bu
bahwa ginkang si pendatang ini belum begitu sempurna.
Teringat dia betapa ibunya melatih ginkang dan tambang inilah yang dijadikan ukuran. Selama dia belum
dapat berlari-lari di atas tambang tanpa menggoyangkan tambang itu sedikit pun juga, dia diharuskan terus
berlatih! Tentu saja sekarang dia dapat berlari-lari di atas tambang itu tanpa menggoyangkan tambang itu
sama sekali.
Setelah orang itu datang mendekat, Swan Bu terheran-heran. Orang itu adalah seorang pemuda, sebaya
dengannya. Seorang pemuda yang tampan, pakaiannya indah, pedang yang bersarung indah tergantung di
pinggang, kepalanya ditutup sebuah topi lebar yang dihias sehelai bulu merak, membuat wajahnya tampak
makin tampan.
Yang membuat Swan Bu terheran-heran adalah bahwa dia sama sekali tidak mengenal orang ini. Orang ini
bukanlah anak murid Hoa-san-pai! Dia cepat berdiri dan menghadang di situ.
Sesudah melompat ke seberang setelah melalui jembatan tambang, pemuda itu melihat Swan Bu dan
cepat dia menghampiri. Wajahnya yang tampan itu berseri dan mulutnya tersenyum. Cepat dia
mengangkat kedua tangan memberi salam sambil berkata,
"Kalau tidak salah dugaanku, saudara ini adalah Kwa Swan Bu, putera dari paman Kwa Kun Hong,
bukan?"
Kening Swan Bu berkerut dan dia menjadi makin curiga. Akan tetapi dengan hati tabah dia menjawab,
"Dugaanmu betul. Siapakah engkau dan apa maksudmu mendaki puncak Liong-thouw-san?"
Pemuda itu tersenyum, tidak marah oleh sikap Swan Bu yang tidak manis. "Aku Bun Hui dari Tai-goan,
ayahku adalah sahabat baik ayahmu."
"Ayahmu siapakah? She Bun...? Apakah ada hubungannya dengan Bun Lo-sianjin ketua Kun-lun-pai?"
"Beliau adalah kakekku!" seru Bun Hui gembira. "Ayahku adalah Jenderal Bun Wan yang bertugas di Taigoan,
dengan ayahmu terhitung sahabat baik."
Swan Bu lalu mengangguk-angguk. Tahulah dia sekarang siapa adanya pemuda tampan berpakaian indah
dan mewah tetapi sikapnya ramah dan sederhana ini.
Tentu saja dia telah banyak mendengar tentang tokoh-tokoh di dunia kang-ouw dari ayah bundanya, baik
tokoh-tokoh yang tergolong kawan mau pun yang tergolong lawan. Juga sudah sering kali ayah bundanya
menyebut-nyebut nama keluarga Bun dari Kun-lun-pai, malah dia pun tahu bahwa ibu dari pemuda ini
masih terhitung bibinya sendiri karena ibu pemuda ini adalah adik angkat ibunya. Jadi mereka berdua
masih dapat disebut saudara misan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia segera menjura dan berkata, "Maafkan penyambutanku yang kaku karena aku tidak tahu sebelumnya.
Kiranya saudara adalah puteranya paman Bun Wan. Betul dugaanmu, aku adalah Kwa Swan Bu. Bolehkah
aku mendengar urusan penting apa gerangan yang mendorong saudara datang ke sini jauh-jauh dari Taigoan?
Kuharap saja tidak terjadi sesuatu yang buruk atas diri paman berdua di Tai-goan."
Bun Hui tersenyum, girang hatinya mendapat kenyataan bahwa ternyata Swan Bu tidak sesombong
tampaknya tadi.
"Gembira sekali hatiku dapat bertemu muka denganmu, adik Swan Bu. Sudah lama aku mendengar akan
dirimu dari ayah bundaku, dan aku tahu bahwa usia kita sebaya, hanya aku lebih tua beberapa bulan saja
darimu. Jangan kau khawatir, ayah bundaku dalam keadaan baik-baik saja. Kedatanganku ini diutus oleh
ayah, selain untuk menyampaikan hormat kepada ayah bundamu, juga untuk memberi peringatan bahwa
kini sudah mulai bermunculan musuh-musuh besar yang berusaha membalas dendam."
Berubah wajah Swan Bu yang tampan. Alisnya yang tebal hitam itu berkerut, matanya memancarkan sinar
kemarahan. "Hemmm, kakak Bun Hui, berilah tahu kepadaku, siapa gerangan musuh-musuh yang
berusaha untuk membalas dendam kepada ayah?"
"Ayahku lebih mengetahui akan hal itu dan agaknya ayah telah mencatat secara lengkap dalam suratnya
yang kubawa untuk ayahmu. Sejauh pengetahuanku, agaknya penghuni Ching-coa-to yang telah
mengumpulkan kekuatan untuk memusuhi ayahmu. Juga ada... orang dari Go-bi-san..."
Melihat keraguan Bun Hui, Swan Bu makin tertarik. "Siapakah dia, Twako? Juga musuh besar ayah?"
Bun Hui menelan ludah dan mengangguk. Beratlah hatinya untuk menyebut nama Siu Bi. Dia tidak ingin
melihat Siu Bi bermusuhan dengan Liong-thouw-san, dan terlebih lagi dia tidak ingin dia melihat Siu Bi
menjadi korban karena sudah pasti gadis itu akan menemui bencana kalau berani memusuhi Pendekar
Buta.
"Ia datang dari Go-bi-san di mana terdapat dua orang bekas musuh besar ayahmu, yaitu Hek Lojin serta
muridnya, The Sun. Mereka ini memiliki kepandaian hebat dan agaknya tak akan mau berhenti sebelum
dapat membalas kekalahan mereka belasan tahun yang lalu."
"Hemmm, dan penghuni Ching-coa-to itu, siapakah?"
"Sepanjang pengetahuanku, kini di sana menjadi sarang Ang-hwa-pai yang dipimpin oleh ketua mereka
yang berjuluk Ang-hwa Nio-nio. Juga ada bekas jagoan di istana selatan yang memiliki julukan Ang Mo-ko,
juga amat lihai biar pun tidak sehebat Ang-hwa Nio-nio kepandaiannya. Masih banyak lagi teman-teman
mereka yang tidak kuketahui."
"Twako, di manakah letaknya Ching-coa-to? Di mana pula tempat tinggalnya Ang Mo-ko dan apakah
orang-orang Go-bi-san itu sudah turun gunung? Mereka berkumpul di mana sekarang?"
Bun Hui memandang curiga. "Adikku yang gagah, agaknya engkau bernafsu sekali ingin mengetahui
tempat mereka, mau apakah kau?"
"Tidak apa-apa, twako. Bukankah lebih baik kalau mengetahui kedudukan dan keadaan lawan?"
Bun Hui lalu memberi tahu di mana letak Ching-coa-to. "Mungkin Ang Mo-ko yang tidak tentu tempat
tinggalnya itu pun kini sudah berada di Ching-coa-to. Tentang orang-orang Go-bi-san, aku sendiri tidak
tahu pasti di mana mereka berada. Hanya... kabarnya sudah turun gunung."
Benar-benar berat hati Bun Hui untuk bicara mengenai Siu Bi, dan ini pula yang sangat menggelisahkan
hatinya di dalam perjalanan itu karena dia merasa khawatir kalau-kalau ayahnya memberi tahu perihal Siu
Bi di dalam suratnya kepada Pendekar Buta.
"Twako, silakan kau naik ke puncak menghadap ayah dan ibu. Apa bila mereka bertanya tentang aku,
tolong katakan bahwa aku hendak turun gunung mencegah kutu-kutu busuk itu mengganggu ketenteraman
Liong-thouw-san!"
"Ehh, adik Swan Bu... jangan begitu... tak boleh tergesa-gesa dan berlaku sembrono...!" Bun Hui berseru
dunia-kangouw.blogspot.com
gugup.
Namun Swan Bu tersenyum dan dagunya mengeras membayangkan kekerasan hatinya. "Mengapa
jangan? Bukankah lebih baik kita mendahului lawan supaya jangan memberi kesempatan kepada mereka
untuk bergerak? Apakah artinya aku menjadi putera tunggal ayah ibu jika aku tidak becus membasmi
musuh-musuh ayah dan ibu sehingga bangsat-bangsat itu tidak akan berani mengganggu orang tuaku?
Selamat berpisah, Twako dan terima kasih atas pemberi tahuanmu. Bila mana selesai tugasku, aku pasti
akan mampir di Tai-goan untuk menghaturkan terima kasih kepada ayah bundamu."
Bun Hui menyesal bukan main mengapa dia tadi banyak bicara kepada pemuda yang berwatak keras itu.
Cepat-cepat dia mendaki ke atas puncak agar dapat memberi tahu kepada paman serta bibinya sehingga
mereka akan dapat mencegah Swan Bu turun gunung.
la maklum bahwa Swan Bu tentu memiliki kepandaian yang tinggi, akan tetapi mana bisa pemuda ini
menghadapi musuh-musuh tangguh itu jika hanya seorang diri? Baru Siu Bi, gadis remaja itu saja sudah
demikian hebat kepandaiannya, apa lagi musuh-musuh lain yang lebih tua usianya. Ia juga sudah
mendengar betapa Ang-hwa Nio-nio memiliki ilmu yang amat tinggi.
Tergesa-gesa dia mendaki puncak melalui tangga tambang. Pada saat dia tiba di depan pondok, dia
melihat seorang lelaki berusia sebaya ayahnya sedang duduk di atas bangku menjemur diri di bawah sinar
matahari pagi. Di sebelahnya duduk seorang wanita sebaya ibunya, lebih tua sedikit, cantik sekali,
keduanya bercakap-cakap dengan sikap tenang.
Meski sudah sering kali dia mendengar ayahnya menyanjung-nyanjung dan memuji-muji Pendekar Buta,
namun Bun Hui belum pernah bertemu muka dengan pendekar itu atau pun isterinya. Akan tetapi, melihat
kesederhanaan mereka yang sekarang sedang duduk di depan pondok, dia dapat menduga bahwa mereka
tentulah paman dan bibinya itu.
Apa lagi sekarang jelas kelihatan betapa sepasang mata laki-laki setengah tua itu tidak pernah berkedip
dan ketika dia berjalan mendekat, tampak olehnya betapa kedua mata itu kosong tak berbiji! Sebatang
tongkat kayu yang bersandar pada bangku laki-laki buta itu menarik perhatiannya. Diam-diam tengkuknya
meremang sebab ia sering mendengar dari ayahnya tentang keampuhan tongkat itu yang telah
merobohkan banyak tokoh besar dunia kang-ouw.
Kini mereka berhenti bercakap-cakap dan menengok ke arahnya. Terkejut hati Bun Hui pada waktu
bertemu pandang dengan sepasang mata nyonya itu. Alangkah tajam, penuh wibawa dan seakan-akan
menembus langsung ke dalam dadanya! Seakan-akan mata nyonya itu mewakili pula mata suaminya yang
buta sehingga kekuatan pandangannya bagaikan pandangan mata dua orang digabung menjadi satu.
Segera dia maju dan menjatuhkan diri berlutut di hadapan mereka tanpa mempedulikan tanah yang agak
basah oleh embun pagi dan mengotori celana pakaiannya yang indah.
"Bangunlah, Hui-ji (anak Hui), tak perlu kau terlalu sungkan. Lihat, pakaianmu kotor oleh tanah basah!"
Wanita itu, Kwee Hui Kauw, menegur Bun Hui.
Bun Hui tercengang. Bagaimana nyonya itu dapat mengetahui bahwa dia adalah Bun Hui? Selamanya
baru kali ini dia bertemu muka dengan suami isteri pendekar ini!
"Betul kata isteriku, orang muda. Kau bangkit dan duduklah, mari kita bicara yang enak."
"Paman... Bibi... mohon ampun sebesarnya... saya telah berbicara dengan adik Swan Bu dan..."
Pendekar Buta Kwa Kun Hong tersenyum, menggerakkan tangannya mencegah pemuda itu melanjutkan
kata-katanya. "Dan dia pergi turun gunung? Tidak apa, anakku. Memang sudah waktunya dia turun gunung
dan menambah pengalaman. Lebih baik kau serahkan surat ayahmu kepadaku."
Untuk kedua kalinya Bun Hui tercengang. Bagaimana suami isteri itu dapat mengetahui semuanya? Dapat
tahu bahwa dia datang membawa surat ayahnya, tahu pula tentang perginya Swan Bu turun gunung dan
tahu bahwa dia itu Bun Hui padahal baru kali ini bertemu muka.
Satu-satunya jawaban yang menerangkan keanehan ini hanyalah bahwa suami isteri ini tentu tadi sudah
melihat kedatangannya dan mendengar percakapannya dengan Swan Bu, tanpa dia sendiri mengetahui
dunia-kangouw.blogspot.com
akan kehadiran mereka! Ini saja sudah membuktikan kelihaian mereka!
la segera mengambil surat ayahnya dan menyerahkannya kepada Kwa Kun Hong. Tak enak hatinya,
sebab bagaimana dia dapat menyerahkan surat kepada seorang yang buta kedua matanya? Untuk
memberi tahu bahwa surat sudah dia keluarkan, bibirnya lantas bergerak hendak bicara agar paman yang
buta itu dapat mengetahui.
Tapi sebelum dia membuka mulut, Kun Hong sudah menggerakkan tangannya menerima surat itu dengan
gerakan sewajarnya seperti seorang yang tidak buta. Seakan-akan dia betul-betul melihat surat itu dan
menerimanya tanpa ragu-ragu lagi. Tentu saja Bun Hui menjadi kaget setengah mati dan mulailah dia
meragukan kebutaan Kwa Kun Hong.
Akan tetapi keraguannya lenyap ketika Kun Hong menyerahkan surat itu kepada isterinya untuk dibaca.
Dengan suaranya yang halus dan merdu Kwee Hui Kauw membaca surat itu yang isinya hampir sama
dengan apa yang telah diceritakan Bun Hui kepada Swan Bu tadi, hanya bedanya bahwa di dalam surat itu
juga disebut nama Siu Bi sebagai seorang musuh besar yang mengancam hendak membuntungi tangan
Pendekar Buta serta anak isterinya!
Kwa Kun Hong tersenyum pahit dan berkata lirih sesudah isterinya selesai membaca, "Hemmm, bencimembenci,
dendam-mendendam, permusuhan, bunuh-membunuh, apa senangnya hidup bila dunia penuh
dengan amukan nafsu ini? Isteriku, aku sudah bosan dengan segala urusan itu. Mudah-mudahan saja
Swan Bu akan dapat mengingat semua nasehatku dan tidak suka menanam bibit permusuhan dengan
siapa pun juga di dunia ini..."
"Tak perlu digelisahkan semua itu," jawab isterinya dengan suara tetap tenang, halus dan merdu, "Orang
lain boleh meracuni hati sendiri dengan menanam kebencian, orang lain boleh mengikat diri dengan
dendam dan permusuhan, akan tetapi kita yang sadar akan penyelewengan hidup itu tidak akan menuruti
bujukan nafsu dan setan. Orang membenci kita, orang memusuhi kita, asalkan kita tak membenci dan tidak
memusuhi mereka, maka kitalah yang menang. Bukanlah begitu kata-katamu sendiri? Nah, kalau ada yang
hendak memusuhi kita, biarkan saja mereka datang. Kalau boleh, kita peringatkan mereka, kita sadarkan
mereka, kalau tidak, apa boleh buat, selama masih hidup kita wajib membela diri. Kalau kita yang diberi
anugerah hidup tidak mau melakukan kewajiban membela dan menjaga diri, berarti kita kurang terima dan
tak bisa menghargai anugerah itu. Bukankah begitu apa yang sering kau katakan, suamiku?"
Kwa Kun Hong menarik nafas panjang, kepalanya mengangguk-angguk. Bun Hui berdiri bengong, hatinya
terharu sekali dan tak kuat dia menentang wajah kedua orang itu yang membuatnya tunduk lahir batin.
Baru kali ini selama hidupnya dia menyaksikan keadaan penuh damai, penuh cinta kasih, penuh pengertian
dan penuh kata-kata yang memiliki arti begitu dalam pada sepasang suami isteri. la menunduk dan sikap
serta kata-kata suami isteri itu saja sudah lebih dari cukup untuk membuat hati anak muda ini menjadi
kagum dan tunduk.
"Hui-ji, kami sangat berterima kasih kepada ayahmu yang penuh perhatian dan tentu juga kepadamu yang
sudah melakukan perjalanan sejauh ini. Kuharap kau suka beristirahat di sini barang sepekan, agar kita
dapat bercakap-cakap dan kami bisa mendengar ceritamu tentang keadaan orang tuamu dan juga
keadaan dunia ramai," kata Kwa Kun Hong.
"Saya akan mentaati perintah Paman dan sementara itu, saya yang muda dan bodoh banyak
mengharapkan petunjuk-petunjuk dari Paman dan Bibi."
Senang hati suami isteri itu melihat sikap dan mendengar kata-kata yang amat baik dari Bun Hui.
Begitulah, pemuda ini tinggal sampai sepuluh hari di puncak Liong-thouw-san dan selama itu, selain
menceritakan segala hal tentang keadaan di kota raja dan lain-lain yang ditanyakan kedua orang tua itu,
juga dia menerima banyak petunjuk-petunjuk yang amat diperlukan untuk menyempurnakan kepandaian
silatnya, terutama ilmu pedangnya Kun-lun Kiam-sut banyak mendapat kemajuan oleh petunjuk Kwa Kun
Hong…..
********************
Sementara itu, Kwa Swan Bu sudah berlari cepat sekali turun dari puncak. Dia merasa agak bersalah
karena tidak berpamitan kepada ayah bundanya, akan tetapi dia sengaja meninggalkan pesan saja kepada
Bun Hui karena dia dapat menduga bahwa meski pun ayahnya tidak akan melarangnya, akan tetapi ibunya
dunia-kangouw.blogspot.com
tentu akan menyatakan keberatan. Sudah sering kali dia menyatakan ingin turun gunung dan selalu
dicegah ibunya yang berkata bahwa kepandaiannya kurang cukup untuk dipakai menjaga diri dari
gangguan orang-orang jahat yang banyak terdapat di dunia kang-ouw.
Sekarang Swan Bu tak ragu-ragu lagi. Tadinya, memang dia meragu dan membenarkan ibunya, maka dia
menunda keinginan hatinya untuk turun gunung. Akan tetapi begitu melihat Bun Hui, keraguannya lenyap.
Dari gerakan Bun Hui pada saat menyeberangi jembatan tambang, jelas tampak olehnya bahwa tingkat
kepandaiannya tidak kalah oleh tingkat yang dimiliki Bun Hui. Kalau Bun Hui sudah diperbolehkan ayahnya
melakukan perjalanan jauh seorang diri, mengapa dia tidak boleh? Pendapat ini lebih diperkuat lagi oleh
dorongan hatinya yang menjadi panas mendengar betapa orang tuanya diancam oleh banyak bekas
musuh lama.
Pada suatu hari sampailah dia di kota Kong-goan di tepi Sungai Cia-ling. la bermaksud untuk melanjutkan
perjalanan melalui Sungai Cia-ling, terus ke selatan sampai di Sungai Yang-ce-kiang kemudian
melanjutkan perjalanan ke timur melalui sungai besar itu.
Akan tetapi, pada waktu dia tiba di tepi sungai dan hendak menyewa perahu yang suka mengantarnya
sampai ke Sungai Yang-ce-kiang, dia melihat dua orang pengemis tengah menggotong seorang pengemis
lain yang agaknya sakit keras, wajahnya pucat, tubuhnya lemah dan dari mulutnya keluar darah.
Tadinya Swan Bu tak mau mencampuri urusan orang lain sungguh pun sekilas pandang tahulah ia bahwa
kakek pengemis yang digotong itu telah terluka hebat di sebelah dalam tubuhnya. Akan tetapi perhatiannya
segera tertarik pada waktu dia melihat pakaian para pengemis yang penuh tambalan itu.
Pakaian penuh tambalan itu berwarna-warni dan berkembang-kembang. Teringat ia akan cerita ayahnya
bahwa perkumpulan pengemis Hwa-i Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) adalah suatu
perkumpulan pengemis yang patriotik dan ayahnya sendiri menjadi ketua kehormatan!
"Lopek, berhenti dulu! Biarkan aku mencoba untuk menolong orang tua yang menderita luka pukulan Angsee-
ciang ini!"
Dua orang pengemis yang menggotong si sakit memandang curiga. Akan tetapi kakek pengemis yang
terluka itu membuka mata, memandang heran, lalu berkata dengan nafas terengah-engah, "Turunkan
aku... biarkan Kongcu ini memeriksaku..."
Dua orang pengemis itu terheran, akan tetapi mereka tidak berani membantah. Tubuh kakek itu tidak jadi
dimasukkan ke dalam perahu, akan tetapi diletakkan di atas tanah pasir.
Swan Bu tidak mau membuang banyak waktu lagi. Jalur-jalur merah pada leher itu jelas menampakkan
tanda korban pukulan Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah). Dia segera menghampiri, berlutut dan
menggunakan jari telunjuk serta jari tengah kanannya untuk menotok dua kali pada pundak kanan kiri,
kemudian sekali dia menekan punggung dan mengurutnya ke bawah sambil mengerahkan tenaga, kakek
itu terbatuk dan muntahkan segumpal darah merah yang sudah mengental, sebesar kepala ayam.
Dua orang pengemis yang menggotong tadi terkejut sekali dan mereka melompat maju, malah sudah
mengepal tinju siap untuk menerjang Swan Bu.
"Kau... kau membunuh Susiok (Paman Guru)...!" bentak seorang di antara mereka sambil menubruk maju
dan memukul.
Swan Bu yang maklum bahwa orang ini salah duga, tidak mempedulikannya. Tubuhnya yang masih
berjongkok itu bergerak sedikit dan... penyerangnya langsung terlempar ke depan, melalui atas pundaknya
kemudian terbanting ke air sungai sehingga air muncrat tinggi dan orang itu gelagapan sambil berenang ke
pinggir.
Kawannya hendak menyerang, tapi tiba-tiba kakek yang sakit tadi membentak, "Goblok! Apa mata kalian
sudah buta?"
Si pengemis kedua tidak jadi menyerang, sedang pengemis pertama yang telah berhasil berenang ke
pinggir, sekarang memandang dengan heran, juga girang. Kiranya kakek pengemis yang tadinya sudah
empas-empis nafasnya, sekarang sudah bangkit duduk, malah dengan perlahan lalu bangun berdiri dan
dunia-kangouw.blogspot.com
menjura ke depan Swan Bu!
"Orang muda yang gagah perkasa, kau sudah menolong nyawa seorang pengemis tua bangka yang tiada
gunanya. Sicu, bolehkah aku mengetahui namamu?"
"Lopek, tidak usah banyak sungkan. Bukankah Lopek bertiga ini orang-orang dari Hwa-i Kaipang?"
Pertanyaan Swan Bu ini disambut biasa saja oleh tiga orang kakek itu karena memang Hwa-i Kaipang
bukan perkumpulan yang tidak terkenal, apa lagi mudah saja diketahui dari pakaian mereka. Kakek itu
mengangguk dan menjawab,
"Tak keliru dugaanmu, Sicu. Aku adalah kakek Toan-kiam Lo-kai (Pengemis Tua Pedang Pendek), sebuah
julukan yang kosong melompong, dan dua orang ini adalah murid-murid keponakanku. Sicu masih begini
muda sudah luas pandangannya, sekali pandang tahu akan bekas pukulan Ang-see-ciang, siapakah nama
Sicu yang mulia dan dari perguruan mana?
"Lopek, mari kita bicara di tempat yang enak," kata Swan Bu sambil mengerling ke arah orang-orang yang
banyak berkumpul karena tertarik oleh kejadian ini.
Toan-kiam Lo-kai dapat menangkap isyarat ini, dia lalu menggerakkan kedua lengannya ke arah orangorang
di situ sambil berkata, "Saudara-saudara harap sudi meninggalkan kami agar kami dapat bicara
leluasa."
Heran, orang-orang itu segera pergi tanpa banyak membantah lagi. Hal ini membuktikan kepada Swan Bu
bahwa di daerah ini agaknya Hwa-i Kaipang bukan tidak mempunyai pengaruh. Setelah semua orang
pergi, Swan Bu berkata,
"Lopek, ketahuilah bahwa aku she Kwa bernama Swan Bu, dari Liong-thouw-san...”.
Serta merta kakek itu bersama kedua orang murid keponakannya lalu menjatuhkan diri berlutut di depan
Swan Bu!
"Ah, kiranya Siauwhiap (Pendekar Muda) yang telah menolong saya! Ah, sungguh suatu kebetulan yang
sangat membesarkan hati. Bagaimana kabarnya dengan Taihiap berdua di Liong-thouw-san?"
"Ayah dan ibuku baik-baik saja, terima kasih."
"Kiranya putera ketua kehormatan kita!" Kakek itu hampir bersorak kegirangan. "Kalau begitu tidak heran
jika sekali pandang saja sudah tahu akan luka pukulan Ang-see-ciang! Wah, Siauwhiap tentu telah
mewarisi ilmu kepandaian yang sakti dari Taihiap, ilmu silat dan ilmu pengobatan!"
"Ahh, aku yang muda dan masih hijau mana mampu mewarisi semua kepandaian ayah. Sudahlah, tidak
ada gunanya segala puji-memuji ini. Lopek, lebih baik sekarang engkau ceritakan kepadaku, mengapa kau
sampai terluka hebat oleh pukulan Ang-see-ciang dan siapakah pemukulmu, apa pula sebab-sebabnya?"
Toan-kiam Lo-kai menarik nafas panjang.
"Siauwhiap, perubahan besar telah terjadi pada Hwa-i Kaipang sejak suhu Hwa-i Lo-kai meninggal dunia.
Apa lagi sesudah Kwa-taihiap diketahui tidak pernah turun dari puncak Liong-thouw-san. Hwa-i Kaipang
tidak dipandang mata lagi orang-orang kang-ouw. Tentu kau sudah mendengar dari ayahmu bahwa sudah
semenjak dahulu, perkumpulan Hwa-i Kaipang bukan perkumpulan pengemis biasa saja. Selain itu para
anggotanya memiliki tugas untuk menolong kaum lemah yang tertindas, bahkan ikut pula menjaga
keamanan kota dari gangguan para penjahat. Akan tetapi, dengan kedatangan pembesar dari kota raja
yang bertugas mengumpulkan tenaga-tenaga suka rela untuk membangun terusan dan tembok besar atas
perintah kaisar, banyak anak buah Hwa-i Kaipang ditangkapi dan dipaksa menjadi suka relawan. Orangorang
biasa, terutama yang kaya, dibebaskan asal bisa membayar uang tebusan. Bukankah hal ini
menggemaskan?"
"Hemmm, pembesar macam itu sepatutnya diberi hajaran!" kata Swan Bu.
"Itulah! Kami sudah berusaha memberi peringatan kepada Lo-ciangkun (komandan Lo) yang memimpin
pengerahan bantuan itu, akan tetapi kami malah dianggap memberontak terhadap perintah kaisar! Karena
dunia-kangouw.blogspot.com
percekcokan ini, terjadilah keributan dan pertengkaran yang berekor pertempuran."
"Ahh, kalau begitu keliru juga, Lopek. Tidak baik melawan dengan kekerasan, hal itu bisa menimbulkan
kesan bahwa Hwa-i Kaipang sudah memberontak."
Kakek itu mengangguk-angguk. "Memang benar, tetapi kami pun harus membela anak buah kami yang
sudah ditahan dan dipaksa, serta membebaskan pula orang-orang muda miskin yang tidak mampu
membayar uang tebusan dan ditahan juga. Mereka itu, untuk memberi makan keluarganya saja sudah
setengah mati. Sesudah mereka ditangkap dan dibawa pergi untuk kerja paksa yang disebut suka rela itu,
keluarganya tentu akan mati kelaparan!”
"Akan tetapi kita dapat mengambil jalan lain, misalnya menemui komandan itu secara langsung."
"Hal itu sudah kulakukan dan hasilnya aku terluka parah inilah, Siauwhiap. Komandan itu dibantu oleh
seorang iblis wanita yang sangat lihai, seorang pendatang baru dari barat. Kabarnya karena munculnya
wanita itu maka para pembesar di daerah ini amat berubah, berani berlaku sewenang-wenang. Orangorang
gagah yang mencoba menentangnya, semua tewas atau roboh oleh Ang-jiu Toanio, iblis wanita itu.
Karena ingin menyingkirkan biang keladi penyalah-gunaan kekuasaan dengan mengandalkan orang kuat
itu, sengaja aku mendatangi Ang-jiu Toanio dan kesudahannya aku terluka..."
Sudah bergolak darah Swan Bu mendengar ini. Akan tetapi dia pun terheran, mengapa seorang wanita tua,
seorang tokoh kang-ouw, membantu pembesar she Lo itu.
"Lopek, mari kau antarkan aku pergi menemui Lo-ciangkun itu. Biarkan aku yang bicara dengannya, apa
bila dia masih bertindak sewenang-wenang dan hendak mengandalkan Ang-jiu Toanio, biar aku akan cobacoba
menghadapinya."
Girang hati kakek itu. "Akan tetapi, harap kau suka berhati-hati, Siauwhiap. Ketahuilah, Ang-jiu Toanio
benar-benar luar biasa sekali. Tinggalnya di kuil rusak di sebelah selatan kota, keadaannya penuh rahasia,
seperti iblis saja. Tidak ada orang yang pernah dapat memasuki kuil itu. Semua orang gagah, termasuk
aku sendiri, roboh di halaman kuil oleh pukulan-pukulan Ang-see-ciang yang luar biasa."
"Biar aku akan mencobanya, Lopek. Mari!"
Toan-kiam Lo-kai dengan hati besar lalu mengiringi Swan Bu menuju ke rumah gedung tempat tinggal Lociangkun.
Gedung besar itu dijaga beberapa orang pengawal yang bersenjata tombak dan golok. Begitu
para penjaga itu melihat Toan-kiam Lo-kai, mereka terkejut dan panik. Baru kemarin pengemis tua itu telah
membikin onar dan mereka yang tidak melihat sendiri sudah mendengar bahwa pengemis itu telah
dirobohkan oleh Ang-jiu Toanio, bagaimana sekarang berani muncul di gedung ini lagi?
"He, berhenti! Kalian siapa dan mau apa?" bentak mereka dan berbarislah belasan orang pengawal
menjaga di depan pintu, sebagian lagi lari ke dalam untuk melaporkan kepada Lo-ciangkun.
"Aku hendak bicara dengan Lo-ciangkun. Kalian ini para penjaga harap jangan bikin ribut, aku tidak ada
urusan dengan kalian. Lebih baik lekas melaporkan kepada Lo-ciangkun bahwa aku Swan Bu minta bicara
dengannya," kata Swan Bu dengan tenang, kemudian dia melangkah terus maju melalui pintu gerbang
menuju ke ruangan depan.
Para pengawal itu hanya mengurung, namun tidak berani menghalangi, terutama sekali mereka takut
terhadap Toan-kiam Lo-kai yang diam saja, hanya melirik ke kanan dan kiri dengan matanya yang sipit.
"Orang muda, berhenti, tidak boleh masuk! Apa kami harus menggunakan kekerasan?!" Komandan jaga
membentak dan mengacung-acungkan tombaknya.
"Apa bila Lo-ciangkun tidak mau keluar menemuiku, aku akan terus maju mencarinya ke dalam rumah
sampai ketemu, soal kekerasan, terserah kalau hendak menggunakannya!" jawab Swan Bu, masih tetap
tenang dan kakinya masih bergerak maju.
Pengemis tua itu diam-diam merasa khawatir dan mengikuti dari belakang. Dia anggap perbuatan Swan Bu
itu biar pun gagah berani, akan tetapi sembrono sekali. Bagaimana boleh memasuki mulut harimau secara
begini sembrono?
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja terhadap para penjaga itu dia tidak takut sama sekali, tetapi dia pun maklum bahwa selain Lociangkun
sendiri seorang pandai, juga di situ terdapat banyak jago yang tangguh. Siapa tahu kalau-kalau
wanita iblis itu berada di situ pula.
Para penjaga itu sudah mengurung dan bersiap menerjang dengan senjata mereka yang berkilauan tajam.
Akan tetapi tiba-tiba mata mereka silau oleh gulungan sinar putih yang panjang berkelebatan, disusul suara
nyaring.
Sinar itu segera lenyap dan hanya tampak tangan pemuda itu bergerak mengembalikan pedang ke
belakang punggung dan... belasan batang tombak di tangan para pengawal itu tinggal gagangnya saja!
Dengan gerakan yang sulit diikuti mata saking cepatnya, dan dengan cara yang amat luar biasa, pemuda
itu telah mencabut pedang dan membuntungi belasan batang tombak tanpa mereka ketahui.
Malah cara pemuda itu tadi mencabut pedang, menggerakkan, kemudian menyimpannya kembali, tak
seorang pun di antara mereka dapat melihat jelas. Seperti sulap saja.
Toan-kiam Lo-kai sendiri mengangguk-angguk dan bukan main kagum di hatinya. Itulah gerakan ilmu
pedang yang luar biasa, kesaktian yang hanya mungkin dimiliki oleh putera Pendekar Buta.
"Kalian lihat, aku tidak berniat buruk, buktinya leher kalian tidak putus. Aku hanya ingin bicara dengan Lociangkun!"
kata pula Swan Bu, suaranya tetap tenang.
Paniklah para penjaga itu, untuk mundur mereka takut meninggalkan tugas, maju pun jeri menghadapi
pemuda yang luar biasa itu. Mereka hanya berdiri mengurung di ruangan depan itu, muka pucat dan badan
gemetar. Swan Bu dan pengemis tua itu duduk di atas bangku yang banyak terdapat di ruangan itu.
"Lekas laporkan kepada Lo-ciangkun!" tiba-tiba pengemis itu membentak, suara galak.
"Sudah lapor... sudah lapor...,“ seorang penjaga menjawab ketakutan.
Tiba-tiba pintu sebelah dalam terbuka lebar dan muncullah seorang laki-laki tinggi kurus. Pria berpakaian
perwira ini di dampingi oleh empat orang yang tinggi tegap, berpakaian ringkas dengan sikap seperti
jagoan-jagoan.
"Ada apakah ribut-ribut di sini...? Ehh, kau berani datang lagi? Benar-benar kau hendak memberontak!"
bentak perwira tinggi kurus itu sambil melotot ke arah Toan-kiam Lo-kai.
Swan Bu cepat bangun berdiri, tegak dan gagah. "Kaukah yang disebut Lo-ciangkun?" tanyanya, suaranya
nyaring.
Komandan itu memandang marah. "Betul, aku Lo-ciangkun. Orang muda, kau tampan dan gagah, jangan
kau ikut-ikut jembel pemberontak ini..."
"Lo-ciangkun, Lopek ini hanya mengantar aku ke sini. Akulah yang sengaja datang ingin bicara denganmu
tentang perbuatan sewenang-wenang yang kau lakukan di kota ini dan daerahnya. Kau memaksa orangorang
yang tidak mampu memberi uang tebusan untuk kerja paksa mengerjakan tembok besar dan
terusan, dengan alasan bahwa itu adalah perintah kaisar. Orang-orang miskin, pengemis-pengemis, kau
paksa serta kau tahan, akan tetapi mereka yang mampu membayar uang tebusan, yang mampu menyogok
kau bebaskan. Benarkah ada perbuatan sewenang-wenang macam ini?"
Walau pun sejak kecil Swan Bu tinggal di gunung-gunung, pertama di Hoa-san kemudian pindah ke Liongthouw-
san, namun dia banyak mendengar dari ayah bundanya tentang keadaan kota raja dan sejarahnya.
Wajah perwira itu menjadi merah saking marahnya.
"Keparat, kau ini mempunyai kedudukan apa berani bicara macam itu kepadaku? Anak kecil yang masih
ingusan dan belum tahu apa-apa, sikapmu yang kurang ajar ini akan mencelakakan kau sendiri. Mengingat
akan usiamu yang muda, biarlah kuampuni. Hayo pergi dan jangan banyak rewel lagi!"
Diam-diam Swan Bu berpikir. Melihat sikap ini, Lo-ciangkun bukanlah seorang yang sangat kejam dan
menggunakan kedudukannya bertindak sewenang-wenang. Buktinya masih memperlihatkan kesabaran
terhadap seorang pemuda seperti dia, padahal menurut pendapat umum, sikapnya tadi itu sudah tentu
dunia-kangouw.blogspot.com
merupakan pelanggaran yang tidak boleh diampuni lagi terhadap seorang pembesar pemerintah.
"Lo-ciangkun, para lopek dari Hwa-i Kaipang sudah berusaha untuk memberi peringatan kepadamu bahwa
sepak terjangmu ini sudah melanggar keadilan, akan tetapi kau malah menggunakan kedudukanmu untuk
menindas mereka dengan alasan memberontak. Kau insyaflah dan ubahlah peraturan yang tidak adil itu
sebelum terlambat!”.
“Orang muda sombong!" teriak seorang di antara empat jagoan tinggi besar itu.
Tanpa perlu komando lagi, empat orang itu sudah menerjang maju dengan golok besar di tangan. Jelas
bahwa mereka ini hendak membunuh Swan Bu dan si pengemis tua.
"Lopek, jangan ikut-ikut!" kata Swan Bu.
Mendengar ini, Toan-kiam Lo-kai enak-enakan duduk saja menonton dan tubuh Swan Bu berkelebat cepat
ke depan didahului gulungan sinar perak dan... keempat orang itu roboh malang-melintang, golok mereka
terbabat buntung dan lengan mereka tergurat pedang sampai berdarah, sedangkan dada mereka masingmasing
sudah tercium ujung sepatu Swan Bu.
"Anjing-anjing tukang menyiksa orang!" Toan-kiam Lo-kai berkata sambil tertawa. "Tidak lekas mengempit
ekor dan lari, apa mau tunggu digebuk lagi?"
Empat orang itu masih belum kehilangan rasa kagetnya. Mereka terbelalak memandang ke arah Swan Bu,
kemudian lari tunggang-langgang ke luar!
"Lo-ciangkun, kau saksikan sendiri betapa aku bertekad untuk membela pendirianku, bila perlu dengan
pertumpahan darah, karena yang kulakukan ini adalah demi nasib ribuan orang yang tidak berdosa," kata
Swan Bu, berdiri tegak dan gagah.
Para pengawal yang berdiri di dekat dinding mengurung tempat itu, hanya terbelalak dan tidak berani
berkutik, menanti komando komandan mereka.
Akan tetapi Lo-ciangkun tidak memberi komando itu, malah menarik nafas panjang, lalu menggerakkan
tangan berkata, "Mereka sudah pergi, sekarang boleh kita bicara. Orang muda, kau ini siapakah dan hak
apakah yang kau miliki untuk mencampuri tugasku?"
"Aku Kwa Swan Bu, hanya rakyat biasa. Kau seorang pembesar yang digaji dengan uang hasil keringat
rakyat, karena itu setiap orang berhak untuk menilai dan mencela tugasmu jika kau menyeleweng,
ketahuilah bahwa pada puluhan tahun yang lalu, nenek moyang dan ayahku berjuang mati-matian
membela negara dan rakyat, bahkan ayahku ikut pula membantu perjuangan kaisar sekarang, namun tidak
murka akan kedudukan. Pamanku seorang pejuang yang besar jasanya, sekarang menjadi Jenderal Bun
yang terkenal jujur dan berwibawa sebagai jaksa agung di Tai-goan. Sedangkan kau ini, mungkin tak
pernah ikut berjuang, tetapi setelah sekarang menemukan pangkat sedikit saja lalu kau gunakan untuk
memeras rakyat jelata, berlaku sewenang-wenang mengandalkan kedudukanmu. Hemmm, mana bisa aku
mendiamkan saja kau membunuhi rakyat yang tidak berdosa?"
Pucat wajah Lo-ciangkun. Tentu saja dia amat mengenal siapa adanya Bun-goanswe di Tai-goan. Ternyata
pemuda perkasa ini adalah keponakan jenderal itu! Dengan tubuh lemas dia menjatuhkan diri duduk di atas
bangkunya.
"Siapa membunuh ? Mereka itu disuruh bekerja, dijamin..."
"Omong kosong!" Kini Toan-kiam Lo-kai yang bicara. "Mereka meninggalkan anak isteri yang harus makan
setiap hari. Kalau mereka dibawa pergi, anak isterinya harus makan apa? Pula, di tempat kerja mereka
hampir tidak diberi makan."
"Sudahlah... sudahlah, semua itu terjadi akibat terpaksa..." akhirnya Lo-ciangkun berkata dengan muka
pucat. "Bukan salahku... bukan salahku...." Dia menutupi mukanya seperti orang ketakutan.
"Lo-ciangkun, tidak perlu main sandiwara lagi, apa artinya semua ini?" Swan Bu berkata, keningnya
berkerut.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kau lihat empat orang tadi... mereka bukanlah orangku, mereka adalah orang-orang... dia..."
"Dia siapa?" Swan Bu mendesak, terheran-heran melihat pembesar itu begitu ketakutan.
"Peraturan dari kota raja sudah cukup adil. Memang yang dapat menyumbangkan harta boleh dibebaskan
dari kerja suka rela, dan uang itu diperlukan untuk menjamin para suka relawan serta menjamin keluarga
mereka yang ditinggalkan selama tiga bulan sebelum diganti dengan rombongan lain. Semua sudah diatur,
orang yang sakit tak akan dipaksa, hanya yang sehat dan tidak mempunyai pekerjaan penting... tapi...
tapi... di daerah ini... dikuasai dia... kami terpaksa menyerahkan uang tebusan, bila tidak... ahhhh!"
Pembesar itu tiba-tiba roboh terguling.
Swan Bu cepat-cepat melompat ke luar melalui sebuah jendela sambil menendang daun jendela.
Pedangnya merupakan gulungan sinar putih menerjang keluar dan terdengarlah jeritan di luar jendela.
Seorang bermuka kuning yang kecil pendek roboh mandi darah.
"Siapakah kau?! Mengapa menyerang Lo-ciangkun dengan jarum beracun?" Swan Bu membentak,
"Aku... aku... atas perintah... Toanio...!" Orang itu berhenti bicara dan nafasnya putus.
Kiranya terjangan Swan Bu tadi tidak saja melukai lehernya, akan tetapi juga beberapa batang jarum
beracun yang tadi sudah meluncur masuk, kena ditangkis pedangnya lalu membalik dan melukai si
penyambit sendiri.
Geger di ruangan itu. Lo-Ciangkun rebah dengan muka biru dan nafas putus!
Toan-kiam Lo-kai berkata lirih, "Nah, agaknya Ang-jiu Toanio dan orang-orangnya yang tadi turun tangan.
Siauwhiap, terang bahwa para pembesar itu diperas dan dipaksa oleh Ang-jiu Toanio. Sekarang, apa yang
hendak kau lakukan?"
"Lopek, agaknya wanita yang bernama Ang-jiu Toanio itu memiliki banyak kaki tangan. Yang menyambit
jarum itu tentulah kaki tangannya yang tidak menghendaki Lo-ciangkun membuka rahasia. Lopek, harap
kau suka kumpulkan kawan-kawanmu Hwa-i Kaipang dan kita menyerbu ke kuil itu. Biarkan aku
menghadapi Ang-jiu Toanio dan kalau anak buahnya bergerak, kau dan teman-teman membasmi mereka."
Gembira wajah kakek itu. "Baik, Siauwhiap. Sedikitnya ada tujuh orang temanku di sini, cukup untuk
membasmi setan-setan itu."
Demikianlah, pada petang hari itu juga Swan Bu melakukan perjalanan ke kuil di sebelah selatan kota
setelah siang tadi dia menyelidiki tempat itu. Dan secara kebetulan sekali dia bertemu dengan Lee Si yang
bermalam di kamar hotel.
Swan Bu terkejut sekali dan merasa heran mengapa hatinya menjadi tidak karuan ketika sepasang
matanya bentrok dengan sepasang mata yang seperti mata burung hong itu. Beberapa kali dia menengok,
sehingga akhirnya dia merasa malu kepada diri sendiri dan mempercepat langkahnya meninggalkan nona
cantik jelita yang sedang berdiri di depan pintu rumah penginapan itu.
Dari gerak-gerik si nona dia dapat menduga bahwa gadis jelita itu tentulah bukan orang sembarangan.
Mungkin seorang tamu rumah penginapan itu, dan melihat kebebasannya, tentu seorang wanita kang-ouw.
Akan tetapi karena dia menghadapi urusan besar, Swan Bu mengusir bayangan nona itu dari ingatannya
dan dia langsung menuju ke kuil tua yang berdiri sunyi di pinggir kota.
Setelah tiba di depan kuil yang sunyi itu, dia berhenti. la maklum bahwa di kanan kiri kuil, bersembunyi di
balik pohon-pohon, terdapat Toan-kiam Lo-kai yang berjaga-jaga sambil menyembunyikan diri. Hati Swan
Bu jadi meragu. Kuil itu sudah tua, kotor dan agaknya kosong.
Jangan-jangan Ang-jiu Toanio yang menjadi biang keladi penindasan di kota Kong-goan sudah melarikan
diri. Tak mungkin, pikirnya. Wanita itu tentu memiliki kepandaian tinggi, sebelum bertanding melawannya
mana mungkin mau lari?
Tempat itu menyeramkan, sunyi seperti kuburan akan tetapi tidak gelap karena berada di tempat terbuka
sehingga matahari yang sudah hampir menyelam itu masih menerangi halaman depan. Halaman kuil
tadinya tertutup pagar tembok yang tinggi, tetapi karena pagar tembok itu banyak yang runtuh, sekarang
dunia-kangouw.blogspot.com
menjadi terbuka dan di sana-sini tampak ada pintu yang terbentuk dari tembok runtuh berlubang. Rumah
tua yang menyeramkan, kotor dan sunyi, patutnya menjadi tempat tinggal siluman-siluman.
Tiba-tiba dari pintu yang butut itu keluarlah seorang wanita tua, wanita yang tersenyum-senyum dan
sanggul rambutnya dihias oleh setangkai bunga merah. Wanita itu setibanya di halaman kuil berkata,
suaranya penuh ejekan,
"Bocah she Kwa, kau masih berani datang ke sini? Lihatlah di sebelah kiri kuil di mana teman-temanmu
sudah mendapat hukuman!"
Mendengar ini, Swan Bu terkejut, teringat akan Toan-kiam Lo-kai dan teman-temannya anggota Hwa-I
Kaipang.
Dengan gerakan cepat dia melompat dan berlari ke arah kiri kuil dan... wajahnya berubah merah sekali.
Nenek itu ternyata tidak membohong. Di pelataran pinggir itu tampak tujuh mayat bergelimpangan, di
antaranya adalah Toan-kiam Lo-kai dan yang enam lagi jelas anggota Hwa-i Kaipang karena pakaian
mereka semua penuh tambalan berkembang!
Dengan kemarahan memuncak Swan Bu lari kembali ke depan kuil, berdiri di luar tembok dan menghadap
nenek yang masih berada di situ dari balik pecahan pagar tembok.
"Apakah kau yang bernama Ang-jiu Toanio?" tanya Swan Bu, suaranya ditekan supaya tidak terdengar
menggigil saking marahnya. "Dan kaukah yang membunuh tujuh orang Hwa-i Kaipang itu?"
Nenek itu tersenyum, kembang merah di atas kepalanya bergoyang-goyang. "Dan kau Kwa Swan Bu
putera Pendekar Buta Kwa Kun Hong, bukan? Hi-hik-hik, kebetulan sekali kita berjumpa di sini. Di sini aku
disebut Ang-jiu Toanio, akan tetapi di tempatku aku adalah Ang-hwa Nio-nio, ketua Ang-hwa-pai, musuh
besar ayahmu. Kau berani masuk ke sini dan mengadu kepandaian melawanku?"
Bila tadi Swan Bu sudah marah sekali, sekarang serasa meledak dadanya. Kiranya inilah orang yang
mengumpulkan teman-teman untuk menyerbu Liong-thouw-san? Kebetulan sekali!
"Siapa yang takut padamu? Orang semacam kau inikah yang hendak menantang ayah? Ha-ha-ha-ha,
nenek tua hampir mampus, tidak usah dengan ayah ibu, cukup dengan aku puteranya!"
Sekali menggerakkan kakinya, tubuh Swan Bu sudah melayang masuk dan menghadapi Ang-hwa Nio-nio
yang sudah siap memasang kuda-kuda dengan sikap mengejek itu.
Pembaca tentu heran mengapa Ang-hwa Nio-nio, ketua Ang-hwa-pai di Ching-coa-to itu bisa berada di
Kong-goan? Ini bukanlah hal kebetulan karena memang sengaja Ang-hwa Nio-nio beserta rombongannya
datang ke Kong-goan ini untuk menyambut suheng-nya, Maharsi. Kedatangan Ang Mo-ko, bekas tokoh
pengawal istana dari kaisar sebelumnya, juga ikut, demikian pula Ouwyang Lam dan Siu Bi.
Seperti kita ketahui, gadis ini menangis ketika ditinggalkan Si Jaka Lola Yo Wan setelah dia mengaku
bahwa dia adalah puteri angkat The Sun. Dalam keadaan berduka ini dia diketemukan oleh Ang-hwa Nionio
dan rombongannya yang tentu saja mempergunakan kesempatan bagus ini untuk membujuknya,
kembali menggabungkan diri dengan mereka untuk menghadapi musuh besarnya, Pendekar Buta.
Tadinya Siu Bi menyandarkan harapannya pada bantuan Yo Wan, akan tetapi setelah Yo Wan ternyata
adalah musuh besar ayah tirinya dan tidak mungkin mau membantunya, memang paling baik baginya
adalah menggabungkan diri dengan rombongan Ang-hwa Nio-nio yang kuat.
Kong-goan, Ang-hwa Nio-nio dan rombongannya mengambil tempat di kuil tua itu karena memang di
tempat itulah dia berjanji dalam pesannya kepada Maharsi untuk menyambut kedatangan suheng-nya dari
barat ini. Dan tentu saja, untuk melayani segala keperluan mereka, Ang-hwa Nio-nio diikuti pula oleh
serombongan anak buahnya yang cukup kuat.
Karena pada dasarnya memang penjahat, di Kong-goan Ang-hwa Nio-nio segera melihat kesempatan baik
untuk mendapatkan uang banyak ketika datang pembesar dari kota raja untuk mengumpulkan orang yang
dijadikan suka relawan yang pada masa itu dibutuhkan sekali untuk memperbaiki bangunan tembok besar
dan saluran air.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kong-goan terletak amat jauh dari kota raja, merupakan kota yang terpencil dan dengan kepandaiannya
yang tinggi Ang-hwa Nio-nio mampu menguasai pembesar-pembesar itu, mengancam mereka untuk
melakukan pemerasan dalam kesempatan mengumpulkan tenaga-tenaga kerja paksa. Mudah saja ia
lakukan hal ini tanpa khawatir akan terganggu, sebab ia menaruh beberapa orang anak buahnya untuk
‘menjaga’ para pembesar yang bersangkutan, di antaranya Lo-ciangkun.
Tentu saja mula-mula dia mendapatkan tentangan hebat, namun sesudah banyak orang roboh oleh
pukulan tangannya yang berubah merah, ia mendapat julukan Ang-jiu Toanio (Nyonya Besar Tangan
Merah) dan tak seorang pun beran membantahnya lagi.
Akhirnya para pengemis Hwa-i Kaipang mendengar mengenai hal ini dan turun tangan. Akan tetapi mereka
roboh pula di tangan Ang-jiu Toanio atau Ang-hwa Nio-nio bersama teman-temannya yang amat lihai itu.
Demikianlah ringkasan tentang kehadiran Ang-hwa Nio-nio di Kong-goan. Kita kembali ke depan kuil di
mana Swan Bu sedang berhadapan dengan nenek itu.
Swan Bu maklum bahwa lawannya ini lihai, namun melihat nenek itu tidak menggunakan senjata, dia pun
tak mau mengeluarkan Gin-seng-kiam yang tersimpan di balik jubahnya. Matanya yang tajam memandang
ke arah kedua tangan nenek itu yang perlahan-lahan berubah merah ketika nenek itu mengerahkan Angsee-
ciang.
Swan Bu tidak menjadi gentar, dia telah mendengar banyak tentang Tangan Pasir Merah ini dari ayah
bundanya dan karenanya ia pun maklum bagaimana harus menghadapinya. Cepat-cepat dia menyalurkan
sinkang di tubuhnya dan ‘mengisi’ dua lengannya dengan tenaga lemas yang mengandung Im-kang hingga
kedua tangannya menjadi lunak halus dan gerakannya mengeluarkan hawa dingin seperti es.
Akan tetapi sebelum nenek itu menyerangnya, Swan Bu mendengar ada gerakan orang di sebelah
belakangnya. Segera dia menggeser kakinya, mengubah kuda-kuda menjadi miring dan matanya
mengerling ke arah luar.
Kiranya di tempat itu telah berdiri belasan orang anggota Ang-hwa-pai yang memegang senjata, berjajar
menutup jalan keluar, di antara mereka terdapat empat orang yang dia robohkan di gedung Lo-ciangkun!
Mengertilah dia bahwa dia kini berada di goa harimau dan harus berjuang mati-matian sebab agaknya
lawan berusaha sungguh-sungguh untuk menjebaknya dan tidak memberi kesempatan kepadanya untuk
lolos dari tempat itu.
Pada saat itu juga, muncul pula tiga orang dari pintu kuil. Mereka ini bukan lain adalah Ouwyang Lam, Siu
Bi, dan seorang kakek yang pakaiannya serba merah dan mukanya tersenyum-senyum. Usianya sudah
sangat tua, sedikitnya tujuh puluh lima atau delapan puluh tahun, memegang sebatang tongkat bambu
yang digunakan menunjang tubuhnya yang agak bongkok. Kakek ini bukan lain adalah Ang Mo-ko,
seorang tokoh yang cukup terkenal selama puluhan tahun di kota raja.
Sejenak Swan Bu tertegun ketika bertemu pandang dengan gadis yang cantik jelita itu. Teringat dia akan
pertemuannya di depan rumah penginapan tadi. Hampir serupa gadis ini dengan gadis tadi, tetapi malah
lebih jelita, terutama sepasang matanya yang begitu lincah dan tajam.
Siu Bi juga memandang Swan Bu penuh perhatian, pandang matanya menjadi bimbang dan ragu. Inikah
putera Pendekar Buta? Betulkah seperti yang dia dengar dari Ang-hwa Nio-nio bahwa putera tunggal
Pendekar Buta akan datang menyerbu? Dan pemuda yang luar biasa tampan dan gagahnya inikah musuh
besarnya? Diam-diam Siu Bi tertegun dan terpesona. Belum pernah ia melhat seorang pemuda sehebat ini.
Wajahnya berkulit halus putih kemerahan seperti wajah perempuan, akan tetapi alisnya yang tebal hitam,
dagunya yang berlekuk sedikit tengahnya, pandang mata yang amat berwibawa, dada bidang yang
membayangkan kekuatan, semua itu membayangkan sifat jantan yang mengagumkan. Akan tetapi teringat
lagi bahwa pemuda ini adalah putera musuh besar yang akan dibalasnya, matanya bernyala penuh
kebencian.
Swan Bu dengan tenang menghadapi pengepungan ini, bahkan dia tersenyum karena memang hatinya
girang sekali mendapat kenyataan bahwa musuh-musuh orang tuanya ternyata adalah orang-orang jahat.
"Ang-hwa Nio-nio, memang betul kata-katamu tadi. Amat kebetulan kita dapat bertemu di sini karena
sebenarnya aku hendak pergi ke Ching-coa-to untuk mewakili orang tuaku yang kabarnya hendak kau cari
dunia-kangouw.blogspot.com
dan kau tantang. Sekarang, melihat sepak terjangmu dan kawan-kawanmu, hatiku lega bukan main.
Kiranya macam beginilah musuh-musuh orang tuaku, atau lebih tepat lagi, orang-orang yang memusuhi
orang tuaku karena aku yakin bahwa orang tuaku tidak akan mau mencari permusuhan. Apa bila orangorang
yang memusuhi orang tuaku jahat-jahat belaka, jelas bahwa di waktu dahulu orang tuaku tidak
berada di pihak yang salah."
Baru saja Swan Bu menutup mulutnya, Ang-hwa Nio-nio sudah menerjang maju sambil membentak,
"Bocah sombong rasakan tanganku!"
Kedua tangannya yang sudah berubah menjadi merah itu menerjang maju dan mengirim pukulan beruntun.
Jangan dipandang rendah pukulan ini karena inilah pukulan-pukulan Ang-see-ciang yang amat hebat.
Jangankan sampai tangan-tangan merah itu mengenai tubuh lawan, baru hawa pukulannya saja sudah
cukup untuk merobohkan lawan yang tidak begitu tinggi ilmu kepandaiannya. Kedua tangan yang merah itu
terbuka jari-jarinya, agak melengkung dan hawa pukulan yang menyambar dari telapak tangan itu sangat
panas seperti api membara.
Akan tetapi Swan Bu yang sudah mengerahkan Im-kang pada kedua lengannya, bahkan sengaja kakinya
melangkah maju dan menyambut pukulan-pukulan itu dengan tangkisan lengannya. Dia hendak menguji
kekuatan lawan sambil sekaligus juga memperlihatkan kepandaiannya.
Nenek itu girang, juga heran sekali melihat pemuda ini berani menerima Ang-see-ciang. Ia pastikan bahwa
pemuda itu tentu akan roboh dalam segebrakan saja. la menambah tekanan pada kedua lengannya.
"Duk! Dukkk!!"
Dua kali lengan mereka bertemu susul-menyusul dalam waktu yang singkat sekali dan hasilnya... Ang-hwa
Nio-nio melompat ke belakang dua meter jauhnya sambil meringis kesakitan karena kedua lengannya
serasa akan patah, sedangkan pemuda itu masih berdiri tetap dan tenang, biar pun diam-diam dia kaget
karena kedua pundaknya serasa tergetar, tanda bahwa nenek itu benar-benar hebat kepandaiannya.
"Bibi Kui Ciauw, biarkan aku menghadapi musuh besarku ini!"
Tiba-tiba saja Siu Bi sudah melompat ke depan Swan Bu dengan pedang Cui-beng-kiam di tangannya.
Sikapnya sangat angkuh ketika dia menggerak-gerakkan pedang di depan dada sambil membentak,
"Orang she Kwa, bersiaplah kau untuk menerima hukuman dariku atas dosa ayahmu!"
Swan Bu mengerutkan keningnya. Sombongnya anak ini, pikirnya. Menyebut Ang-hwa Nio-nio bibi, tentu
keponakannya dan karena itu, tentu bukan orang baik-baik. Akan tetapi ucapan Siu Bi tadi membuat dia
penasaran.
"Memberi hukuman adalah urusan mudah, tapi jelaskan apa dosa ayahku dan hukuman apa yang hendak
kau jatuhkan kepadaku," jawabnya tenang.
Tak enak juga hati Siu Bi menyaksikan sikap begini tenang. Segala gerak-gerik pemuda ini membayangkan
seorang gagah yang baik, tiada cacat celanya sehingga hatinya tidak senang. Andai kata putera Pendekar
Buta ini seorang pemuda berandalan dan kurang ajar, hatinya akan lebih senang untuk memusuhinya.
Akan tetapi ia mengeraskan hatinya dan membentak,
"Ayahmu si buta itu sudah membuntungi lengan kakekku Hek Lojin, oleh karena itu aku telah bersumpah
untuk membalas dendam, membuntungi lengan Pendekar Buta beserta anak isterinya. Karena kau adalah
puteranya, sekarang aku akan membuntungi sebelah lenganmu agar roh kakekku dapat tenteram!"
Swan Bu tersenyum mengejek. "Roh orang jahat mana mungkin tenteram keadaannya? Tentu sudah
dilempar ke neraka dan selamanya akan terbakar api derita! Apa bila ayah membuntungi lengan kakekmu,
itu berarti bahwa kakekmu adalah orang jahat...!”
"Setan, lancang amat mulutmu!" Siu Bi menjerit sambil menggerakkan pedangnya disusul dengan pukulan
tangan kirinya. Hebat serangan ini, pedangnya menjadi segulung sinar hitam menuju leher dan tangan
kirinya membayangkan uap hitam menerjang dada.
"Aihhh, ganas...!" Diam-diam Swan Bu mengeluh. Cepat dia melempar diri ke belakang berjumpalitan
dunia-kangouw.blogspot.com
sambil mencabut pedang Gin-seng-kiam.
"Trang! Tranggg!!"
Sepasang pedang hitam dan putih bertemu, bunga api berpijar menyilaukan mata dan Siu Bi, seperti
halnya Ang-hwa Nio-nio tadi, melompat ke belakang dengan lengan kanan serasa lumpuh. Ternyata bahwa
dia kalah kuat dalam tenaga sinkang sehingga dalam pertemuan senjata tadi hampir saja dia melepaskan
pedangnya.
"Jangan takut, Bi-moimoi, aku membantumu!" seru Ouwyang Lam yang sudah melompat maju, siap
mengeroyok.
"Aku tidak membutuhkan bantuanmu!" bentak Siu Bi masih mendongkol dan penasaran karena sekali
tangkis saja ia hampir keok tadi. Kalau dalam segebrakan saja dia sudah dibantu Ouwyang Lan dan
mengeroyok Swan Bu, bukankah hal ini sangat memalukan dirinya?
"Kau akan kalah, dia lihai...!" kata Ang-hwa Nio-nio yang juga melangkah maju.
Swan Bu menggerak-gerakkan pedang di depan dadanya, tersenyum mengejek, "Hayo kalian keroyoklah!
Aku tidak takut dan memang aku tahu, pengecut-pengecut semacam kalian kalau tidak main keroyokan
mana berani maju?"
"Pemuda sombong, lihat tongkat!"
Ang Mo-ko sudah menyapu dengan tongkat bambunya. Biar pun tongkat ini terbuat dari bambu yang
ringan, ketika menyambar mengeluarkan suara bersiutan sehingga Swan Bu tidak berani memandang
ringan. Ia lalu melompat ke atas menyelamatkan diri sambil memutar pedang menangkis pedang Ouwyang
Lam yang sudah menusuknya.
Ouwyang Lam adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Maklum bahwa tadi gurunya dan juga Siu Bi
tidak kuat melawan tenaga Swan Bu, dia tidak mau mengadu pedang, cepat menarik pedangnya dan dari
samping dia mengirim bacokan kilat yang juga dapat dielakkan oleh Swan Bu.
Pemuda Liong-thouw-san ini sudah memutar pedang mendahului Ang-hwa Nio-nio yang sudah
mengeluarkan pedang pula, akan tetapi serangannya dapat ditangkis oleh ketua Ang-hwa-pai itu. Dari luar
mendatangi anak buah Ang-hwa-pai dan sebentar saja Swan Bu sudah dikurung dan dikeroyok banyak
orang lawan.
"Tak sudi aku! Tak sudi! Masa satu orang dikeroyok begini banyak. Aku tak sudi dibantu!" berkali-kali Siu Bi
berteriak-teriak penuh kemarahan, berdiri di pinggir sambil memegangi pedangnya.
Hatinya kecewa bukan main. Biar pun dia tak akan ragu-ragu untuk membalas dendam, membuntungi
lengan kiri pemuda tampan putera Pendekar Buta itu namun ia merasa jijik dan rendah sekali bila harus
mengeroyok seorang musuh dengan begitu banyak teman. Sungguh perbuatan yang amat memalukan dan
rendah sekali.
Diam-diam ia memperhatikan Swan Bu, mengagumi gerakan ilmu pedangnya yang amat aneh dan kuat,
lalu membandingkan pemuda musuh itu dengan Ouwyang Lam. Seperti burung hong dibandingkan dengan
burung gagak. Bagaikan seekor naga dibandingkan dengan ular beracun.
Sebetulnya, biar pun dikeroyok begitu banyak lawan, Swan Bu tidak gentar sedikit pun juga, karena andai
kata dia terdesak menghadapi tiga orang terlihai di antara mereka, yaitu Ang-hwa Nio-nio, Ang Mo-ko, dan
Ouwyang Lam dengan mudah dia akan mampu menerjang keluar menyelamatkan diri.
Akan tetapi, mendengar teriakan Siu Bi tadi, dia tertegun dan merasa bingung. Terang bahwa gadis itu
memiliki watak yang gagah perkasa dan sama sekali tidak patut menjadi anggota gerombolan ini. Dan
mempunyai seorang musuh yang wataknya begitu gagah perkasa, benar-benar malah mendatangkan rasa
gelisah di hatinya.
Ketika Swan Bu mainkan Im-yang Sin-kiam, pedangnya bergulung seperti seekor naga perak menyambarnyambar
dan dalam waktu singkat, lima orang anak buah Ang-hwa-pai roboh terluka tak mampu melawan
lagi. Ang-hwa Nio-nio kaget dan kagum, akan tetapi juga penasaran. Kalau sekarang mereka tidak
dunia-kangouw.blogspot.com
sanggup mengalahkan putera Pendekar Buta, bagaimana mereka akan mampu menyerbu Liong-thouwsan,
berhadapan dengan Pendekar Buta sendiri?
Di lain pihak, Swan Bu harus mengakui bahwa ketiga orang lawannya itu benar-benar tangguh sekali. Ilmu
pedang Ang-hwa Nio-nio hebat serta ganas, ditambah lagi tangan kirinya yang memainkan selingan
pukulan Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) yang sebetulnya adalah Ilmu Pukulan Ang-see-ciang
(Tangan Pasir Merah).
Ilmu silat pemuda tampan pendek itu serupa dengan nenek ini, hanya masih kalah satu tingkat. Ada pun
Ang Mo-ko Si Iblis Merah itu juga tidak boleh dipandang ringan. Tongkat bambunya menyambar-nyambar
laksana kitiran tertiup angin taufan, mengeluarkan bunyi nyaring dan mengandung tenaga besar.
Andai kata tidak dikeroyok, dengan ilmu pedangnya yang hebat, kiranya Swan Bu akan mampu
mengalahkan seorang di antara mereka dengan mudah. Kini, dikeroyok tiga, dia hanya sanggup
mengimbangi saja karena melihat kelihaian daya serangan mereka, dia harus lebih mengutamakan
gerakannya pada penjagaan diri sehingga daya serangannya sendiri menjadi kurang kuat. Akan tetapi
pertahanannya kuat sekali sehingga betapa pun juga kerasnya tiga orang itu menekannya, dia sama sekali
tidak terdesak.
Tiba-tiba saja terdengar bentakan nyaring, "Sungguh tak tahu malu serombongan orang melakukan
pengeroyokan!"
Lalu tampak berkelebat sesosok bayangan yang ringan sekali, didahului menyambarnya sinar pedang
kuning dan robohnya tiga orang anak buah Ang-hwa-pai lainnya. Kiranya yang datang ini adalah seorang
gadis yang cantik jelita yang rambutnya dikuncir dua dan tergantung di belakang punggungnya. Gadis ini
bukan lain adalah Lee Si.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lee Si yang merasa curiga melihat gerak-gerik Swan Bu, juga
sekaligus tertarik hatinya, diam-diam lalu mengikuti Swan Bu menuju ke sebelah selatan kota. Dia
mengintai dari jauh dan ketika Swan Bu melompat masuk ke dalam halaman kuil, kemudian berindap-indap
mendekati dan dapat mendengar semua percakapan.
Bukan main kaget dan girang hatinya ketika mendengar bahwa pemuda yang menarik hatinya itu tidak lain
adalah putera Liong-thouw-san, putera Pendekar Buta. Benar-benar pertemuan yang sama sekali tidak
terduga-duga. Hal ini membuat jantungnya berdebar tidak karuan, membuat la bimbang dan bingung, tidak
tahu apa yang harus ia lakukan.
la dapat menduga bahwa putera Liong-thouw-san tentu saja memiliki kepandaian yang luar biasa, yang
jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri, maka ia merasa serba salah untuk turun tangan
membantu. Ia khawatir kalau hal itu akan merendahkan, tetapi kalau tidak membantu bagaimana? Maka
dia hanya mengintai saja. Kagumlah dia ketika menyaksikan sepak terjang Swan Bu.
Memang sejak kecil Lee Si tidak banyak kesempatan untuk berjumpa dengan keluarga ayah bundanya. Hal
ini adalah karena keluarga itu terpencar dan tempat tinggalnya amat jauh. Hanya dengan putera pamannya
di Lu-liang-san sajalah pernah ia bertemu sampai tiga kali, ketika ia masih kecil dan yang terakhir ketika ia
berusia empat belas tahun.
Putera pamannya di Lu-liang-san itu empat tahun lebih tua darinya, bernama Tan Hwat Ki. Pamannya, Tan
Sin Lee ketua Lu-liang-pai itu hanya mempunyai seorang putera. Ada pun keluarga lainnya, biar pun dia
sudah banyak mendengar penuturan ayah bundanya dan tahu pula akan nama-nama mereka, tetapi dia
jarang sekali, bahkan ada yang tidak pernah bertemu. Di antara mereka yang belum pernah dia temui
adalah Kwa Swan Bu inilah.
Tentu saja ia sudah sering kali mendengar ayah bundanya memuji-muji Kwa Kun Hong Si Pendekar Buta
yang sakti. Oleh karena itu, ia dapat menduga bahwa putera Pendekar Buta tentu lihai pula. Ternyata
sekarang secara kebetulan sekali ia dapat menyaksikan sendiri kepandaian putera Pendekar Buta itu!
Akan tetapi ketika menyaksikan betapa lihainya tiga orang yang mengeroyok Swan Bu, ditambah lagi
banyak anak buah Ang-hwa-pai maju dari belakang mencari kesempatan untuk mengirim serangan
menggelap, ia tidak dapat tinggal diam lebih lama lagi. Dengan pedang Oie-kong-kiam di tangan ia
menerjang sambil membentak nyaring dan akibatnya tiga orang anak buah Ang-hwa-pai roboh oleh sinar
pedangnya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sekilas pandang ia dapat melihat betapa Swan Bu menoleh kepadanya dan memandang dengan sinar
mata penuh keheranan dan juga kaget karena agaknya pemuda itu masih dapat mengenalinya dari
pertemuan di depan losmen tadi. Sedetik wajah yang cantik itu menjadi merah, jantungnya berdebar dan
untuk menguasai rasa jengah ini Lee Si segera memperkenalkan diri,
"Kita masih orang sendiri, aku Tan Lee Si, ayahku ketua di Min-san!"
Kaget dan girang bukan main hati Swan Bu. Tentu saja dia sudah mendengar nama ini dari ayah
bundanya. Ternyata masih saudaranya sendiri. Saudara? Sebenarnya bukan apa-apa. Hanya ayahnya
masih terhitung paman guru ibunya Lee Si, sungguh pun usia mereka sebaya. Sebaliknya, ayahnya
sebagai orang yang pernah menerima pelajaran dari Raja Pedang kakek gadis ini, masih terhitung paman
guru gadis ini sendiri!
"Bagus!" Swan Bu berseru gembira, bukan karena mendapat bantuan melainkan karena mendapat
kenyataan bahwa gadis yang tadi membuat hatinya berdenyut aneh ketika dia melihatnya di depan losmen
itu kiranya bukanlah orang lain!
"Mari kita basmi kawanan penjahat ini!"
Akan tetapi pada saat itu Siu Bi sudah melompat dengan gerakan gesit sekali, dengan pedang
mendahuluinya merupakan sinar kehitaman. Dengan pedang melintang di depan dada Siu Bi menghadapi
Lee Si, sejenak pandang matanya menjelajahi gadis Min-san itu dari atas sampai ke bawah, lalu terdengar
dia membentak,
"Kau tidak suka akan keroyokan, aku pun sangat membenci keroyokan. Hayo sekarang kita sama-sama
muda, sama-sama wanita, tanpa keroyokan, kita mengadu kepandaian!"
Lee Si tadi sudah melihat sikap Siu Bi dan biar pun ia dapat menduga bahwa gadis ini berbeda dengan
orang-orang yang lain, namun tetap saja merupakan musuh dan tentu bukan seorang gadis baik-baik.
Akan tetapi karena ia tidak memiliki permusuhan dengan Siu Bi, juga bahwa ia hanya mau bertanding
untuk membantu Swan Bu yang dikeroyok, maka ia merasa ragu-ragu untuk melayani gadis cantik yang
pedangnya bersinar hitam itu.
"Perempuan liar, di antara kita tidak ada permusuhan, perlu apa aku melayani kau?"
Dimaki perempuan liar, tentu saja Siu Bi seketika menjadi naik darah!
"Kau yang liar, kau yang buas, kau yang ganas! Siapa saja yang menjadi sahabat atau keluarga dia itu
adalah musuhku. Sambut pedangku!" Dengan gerakan yang amat lincah dan kuat Siu Bi sudah menerjang
maju, didahului gulungan sinar hitam pedangnya.
Tentu saja Lee Si juga cepat mengangkat pedangnya menangkis dan beberapa menit kemudian bayangan
dua orang gadis yang sama lincahnya ini sudah lenyap, terbungkus oleh gulungan sinar pedang hitam dan
kuning yang saling libat, saling dorong dan saling tekan. Pertandingan antara kedua orang dara remaja
yang sama gesitnya ini selain amat menegangkan, juga indah sekali dipandang.
Akan tetapi Lee Si segera menjadi kaget sekali ketika beberapa kali tangan kiri Siu Bi melancarkan pukulan
Hek-in-kang yang amat kuat. Segera dia menjadi sibuk mengelak karena maklum bahwa pukulan itu
adalah semacam pukulan jarak jauh yang berbahaya sekali.
Tahulah dia bahwa lawannya ini memiliki kepandaian yang tinggi lagi jahat. Oleh karena itu ia berlaku
sangat hati-hati, kemudian mainkan bagian-bagian Hoa-san Kiam-sut untuk mempertahankan diri serta
bagian Yang-sin Kiam-sut untuk balas menyerang. Sayang bahwa penggabungan kedua ilmu pedang itu
belum sempurna benar sehingga untuk melayani Cui-beng Kiam-sut dan Hek-in-kang yang memang luar
biasa itu ia pun merasa terdesak hebat.
Memang boleh diakui bahwa ilmu silat yang telah dipelajari Lee Si merupakan ilmu silat golongan bersih,
karena itu dasarnya lebih kuat dan sifatnya tidaklah liar seperti ilmu silat yang dimiliki Siu Bi. Akan tetapi
oleh karena memang tingkat kepandaian Hek Lojin jauh lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Tan Kong
Bu dan isterinya, maka tentu saja tingkat Siu Bi juga lebih tinggi dari pada tingkat Lee Si.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kalau saja Siu Bi tidak mempunyai Ilmu Hek-in-kang dan hanya mengandalkan Cui-beng Kiam-sut,
agaknya Lee Si masih sanggup mempertahankan diri. Akan tetapi sekarang Siu Bi mendesaknya dengan
Hek-in-kang yang membuat ia sibuk sekali, harus melompat ke sana ke mari mengelak dari sambaran uap
hitam itu, ditambah lagi harus menghadapi sinar pedang hitam yang mengurung dirinya dan menutup
semua jalan keluar!
Sementara itu, pertempuran antara Swan Bu dengan para pengeroyoknya juga berjalan amat seru.
Sekarang tidak ada anak buah Ang-hwa-pai yang berani maju, mereka hanya berjaga-jaga saja karena
setiap kali ada yang maju, baru segebrakan saja tentu roboh mandi darah disambar sinar pedang putih di
tangan Swan Bu.
Akan tetapi, biar pun pengeroyoknya hanya tiga orang, namun ketiganya adalah ahli-ahli silat kelas tinggi
yang memiliki ilmu kepandaian hebat. Swan Bu memang telah mewarisi kesaktian ayah bundanya, akan
tetapi dia masih kurang pengalaman bertempur. Andai kata ayahnya berada di situ, tanpa turun tangan
membantunya, hanya dengan nasehat-nasehat saja sudah pasti dia akan dapat menangkan pertandingan
ini.
Oleh karena kekurangan pengalaman inilah dia kekurangan taktik sehingga kurang dapat menangkap
dengan cepat kelemahan-kelemahan lawan, dan terlampau hati-hati dalam menjaga diri sehingga walau
pun pertahanannya rapat sekali, namun daya serangannya kurang kuat dan kurang berhasil. Apa lagi pada
waktu dengan sudut matanya dia dapat melihat betapa Lee Si sedang terdesak hebat oleh sinar hitam
pedang Siu Bi, hatinya menjadi gelisah sekali.
Pada saat itu pula terdengar suara ketawa aneh dan muncullah dua orang kakek, yang seorang tinggi
jangkung yang seorang lagi pendek.
"Heh-heh-heh, sudah ada pesta keramaian di sim!" kata si jangkung dengan suaranya yang aneh dan
asing.
"Suheng!" Ang-hwa Nio-nio berseru girang sekali ketika mengenal kakek tinggi jangkung itu, yang bukan
lain orang adalah Maharsi si pendeta dari barat. Ada pun si pendek itu adalah Bo Wi Sian Jin!
"Bantulah kami menangkap dua bocah setan ini!".
"Heh-heh-heh, Sianjin. Ini Sumoi (Adik Seperguruan). Kau tangkaplah yang betina, biar aku tangkap yang
jantan!"
Setelah berkata demikian Maharsi melangkah panjang ke dalam pertempuran, tangannya mencengkeram
dan kagetlah Swan Bu ketika tiba-tiba ada angin keras menyambar dari atas dan tahu-tahu lengan yang
panjang itu mengancamnya. Cepat-cepat pedangnya dia kibaskan ke atas untuk membuat buntung lengan
itu.
"Wah, boleh juga!" Maharsi memuji.
Perlu diketahui bahwa Ilmu Silat Pai-san-jiu dari pendeta barat yang tinggi ini, seperti juga Ilmu Katak Sakti
dari Bo Wi Sianjin, adalah ilmu pukulan sakti yang mengandung sinkang tingkat tinggi sehingga pukulanpukulan
dari dua ilmu silat ini tidak perlu harus menyentuh tubuh lawan, dari jauh saja sudah cukup kuat
untuk merobohkan lawan yang biasa. Akan tetapi pemuda itu bukan saja tidak terpengaruh banyak oleh
sambaran hawa pukulannya, malah masih dapat membabat dengan pedangnya yang cukup berbahaya.
Karena inilah Maharsi memuji.
Akan tetapi sambil menarik kembali lengannya, pendeta jangkung ini sudah mengirimkan serangan bertubitubi,
susul-menyusul dan angin pukulannya menderu-deru seperti angin taufan mengamuk.
Swan Bu benar-benar kaget sekali. Maklumlah dia bahwa si jangkung ini benar-benar amat berbahaya.
Apa lagi pada saat itu, Ang-hwa Nio-nio, Ouwyang Lam dan Ang Mo-ko masih terus menerjangnya dengan
sengit, maka pemuda Liong-thouw-san ini betul-betul berada dalam keadaan yang amat berbahaya.
Ada pun Lee Si yang menghadapi Siu Bi dan terdesak hebat, tiba-tiba melihat munculnya seorang kakek
pendek yang serta merta menggerakkan tangan menyelonong maju dan dengan pukulan-pukulan serta
dorongan-dorongan kuat menerjang... Siu Bi, diiringi suara ketawanya terbahak-bahak. Kakek ini adalah Bo
Wi Sianjin yang memandang rendah lawan karenanya dia tidak menggunakan Pukulan Katak Sakti, namun
dunia-kangouw.blogspot.com
mendesak dengan pukulan-pukulan jarak jauh biasa. Akan tetapi dia salah kira dan bukan menyerang Lee
Si, malah menerjang Siu Bi.
"Eh-eh-ehh, Locianpwe, bukan dia musuh kita. Yang seorang lagi...!" seru Ouwyang Lam kaget sambil
melompat mendekati, meninggalkan Swan Bu yang kini telah terdesak amat hebat itu.
"Hah?! Yang mana?" Bo Wi Sianjin menghentikan serangannya, tertegun dan bingung.
Sementara itu, Siu Bi marah sekali. la tadi sedang mendesak Lee Si, sama sekali tidak membutuhkan
bantuan karena ia berada di pihak yang unggul, maka majunya kakek itu baginya merupakan gangguan
yang menjengkelkan.
”Aku tidak butuh bantuan! Mundur!" serunya dan pedangnya dikerjakan lebih hebat.
Lee Si yang maklum bahwa dirinya tidak dapat tertolong lagi kalau ada orang lain maju mengeroyok,
menjadi gugup dan sebuah pukulan Hek-in-kang dari Siu Bi tidak dapat dia hindarkan, mengenai
pundaknya sehingga dia terhuyung-huyung. Kesempatan baik ini digunakan oleh Siu Bi untuk menyapu
kaki Lee Si sehingga gadis ini roboh dan sebuah totokan membuatnya lemas tak dapat bergerak lagi.
Swan Bu yang sudah terdesak hebat, melihat robohnya Lee Si, menjadi marah sekali. "Keparat, lepaskan
dia!" la membentak.
Tubuhnya laksana kilat menyambar ke arah Lee Si untuk menolong gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba dari
kanan menyambar tongkat bambu Ang Mo-ko menotok lambung. la cepat menangkis dan melanjutkan
gerakannya menolong Lee Si, namun angin menyambar dari kiri dan Swan Bu merasa seolah-olah
tubuhnya didorong oleh tenaga yang amat dahsyat.
Swan Bu terlempar dan sebelum dia sempat bergerak, dua buah lengan panjang Maharsi yang tadi
memukulnya sudah mencengkeram pundaknya dan menotok jalan darah pada punggungnya, membuat dia
tidak berdaya lagi. Sepasang orang muda itu telah tertawan oleh musuh-musuh besarnya.
"Siapakah dia ini?" Maharsi bertanya kepada sumoi-nya sambil menuding ke arah Swan Bu yang sudah
rebah miring di atas tanah. Mau tak mau pendeta dari barat itu kagum bukan main karena semuda itu
Swan Bu telah memiliki kepandaian yang hebat.
"Suheng," kata Ang-hwa Nio-nio dengan muka berseri. "Kebetulan sekali kau datang dan amat kebetulan
memang, karena bocah ini bukan lain adalah putera Pendekar Buta. Ular menghampiri penggebuk,
bukan?"
"Sudah terang anak musuh besar, tidak dibunuh tunggu apa lagi?" Ouwyang Lam yang merasa iri melihat
ketampanan dan kegagahan pemuda itu, jauh melebihi dirinya, cepat mengangkat pedangnya menusuk ke
arah dada Swan Bu.
Swan Bu maklum bahwa nyawanya berada di ujung pedang lawan, namun karena dia tak dapat
menggerakkan kaki tangannya, Swan Bu hanya dapat memandang dengan mata tidak berkedip sedikit pun
juga.
Orang-orang lain yang berada di situ hanya memandang sambil tertawa, karena pemuda Liong-thouw-san
ini memang anaknya musuh besar, berarti musuh pula, apa lagi sudah mengacaukan usaha mereka di
Kong-goan, kalau tidak dibunuh mau diapakan lagi?
"Cringgg...!"
Ouwyang Lam kaget dan melompat mundur. Pedangnya yang hampir menancap di dada Swan Bu telah
terbentur pedang lain yang telah menangkisnya sehingga muncrat bunga api saking kerasnya benturan itu.
Pada waktu semua orang memandang, kiranya yang menangkis itu adalah Siu Bi!
"Eh, kau lagi? Bi-moi, terus terang saja, kau sebetulnya berpihak siapa? Ketika di Ching-coa-to kami
hendak membunuh puteri Raja Pedang, kau pun telah menghalangi maksud kami!” kata Ouwyang Lam
penasaran.
Sepasang mata yang tajam bening itu berkilat, "Aku berpihak pada diriku sendiri. Bocah ini adalah anak
dunia-kangouw.blogspot.com
Pendekar Buta, berarti musuh besarku. Aku sudah bersumpah hendak membuntungi lengan Pendekar
Buta, isterinya serta anaknya, membuntungi lengannya hidup-hidup! Kalau dia dibunuh, apa artinya
membuntungi lengannya lagi?"
"Tapi... tapi bukan kau yang merobohkan dia, kau tidak berhak. Kami yang merobohkan dan menawannya,
maka kami yang berhak melakukan apa saja terhadap dirinya!"
"Siapa saja yang membunuh dia berarti ingin menghalang-halangi aku untuk membalas dendam dan
melaksanakan sumpahku. Tentang siapa yang merobohkan, memang betul kalian yang merobohkan, akan
tetapi perempuan ini aku yang merobohkan. Sekarang aku ingin menukarkan dia dengan anak Pendekar
Buta ini. Ouwyang-twako, kau boleh ambil dia, biarkan aku membuntungi lengan anak Pendekar Buta
tanpa membunuhnya!"
Ouwyang Lam menengok ke arah Lee Si yang menggeletak telentang. Dalam keadaan tertotok dan
telentang di atas tanah itu dengan pakaian kusut, gadis cantik ini kelihatan menarik sekali, sangat
menggairahkan hati Ouwyang Lam yang memang berwatak mata keranjang. Segera dia mengilar ketika
pandang matanya menjelajahi tubuh Lee Si dan sambil menyeringai dia berkata, "Aku... aku boleh...
memiliki dia...?"
Pada saat itu, Bo Wi Sianjin berkata, "Eh, Maharsi, bukankah gadis ini cucu Raja Pedang yang pernah kita
kejar?"
Maharsi memandang. "Aha, betul! Betul dia! Wah, Bhok-losuhu tentu akan girang sekali. Sumoi, benarbenar
kita telah mendapatkan tawanan penting. Seorang putera Pendekar Buta, yang seorang lagi cucu
Raja Pedang. Baiknya kita jangan bunuh mereka, jadikan tangkapan untuk memaksa musuh-musuh besar
itu menyerah!"
"Bagus, itu betul sekali!" seru Bo Wi Sianjin karena baik dia mau pun Maharsi sebetulnya masih merasa jeri
untuk bertanding melawan Pendekar Buta serta Raja Pedang yang terkenal sakti.
"Suheng, kau tadi menyebut nama Bhok-losuhu? Siapakah yang kau maksudkan?"
Maharsi tertawa. "Siapa lagi kalau bukan Bhok Hwesio itu tokoh besar yang sakti dari Siauw-lim-pai? Dia
pun sudah siap untuk membasmi Pendekar Buta dan Raja Pedang dan dia datang bersama kami ke Konggoan,
akan tetapi tentu saja tidak mau ke sini. Kuharap kau suka mengunjunginya di kelenteng sebelah
timur kota, Sumoi."
Girang sekali hati Ang-hwa Nio-nio, apa lagi setelah dia diperkenalkan dengan Bo Wi Sianjin sebagai sute
dari Ka Chong Hoatsu yang menaruh dendam kepada Raja Pedang. Dengan begini banyaknya orang
pandai di pihaknya, tentu akan terlaksana idam-idaman hatinya, yaitu menebus kematian dua orang
adiknya.
Pada saat itu, dengan tergesa-gesa seorang anggota Ang-hwa-pai berlari menghampiri Ang-hwa Nio-nio
dan melapor, "Paicu, seorang yang bernama Tan Kong Bu, kabarnya ketua Min-san-pai, mencari Tan Lee
Si yang katanya adalah puterinya, sedang menuju ke sini!"
Ang-hwa Nio-nio membelalakkan sepasang matanya, lalu tertawa mengikik. "Wah-wahh, sungguh-sungguh
malam baik sekali sekarang. Seorang demi seorang anggota keluarga mereka berdatangan sehingga
membuat kita mudah untuk membasminya. Suheng, aku mempunyai rencana yang bagus sekali. Lam-ji
(anak Lam), kau bawa dua orang tawanan kita itu ke dalam kuil, tapi jangan ganggu mereka!" perintahnya
kepada Ouwyang Lam.
Pemuda ini mengangguk tersenyum, lalu membungkuk, memondong tubuh Lee Si dan menyeret tubuh
Swan Bu dengan menjambak rambutnya.
"Twako, serahkan anak Pendekar Buta itu kepadaku!" Siu Bi melompat maju. "Aku harus melaksanakan
sumpah pembalasanku!"
"Ihhh, Siu Bi. Apakah kau sudah tergila-gila melihat pemuda yang tampan dan gagah itu? Hi-hi-hik!"
Bukan main marahnya hati Siu Bi mendengar ejekan Ang-hwa Nio-nio ini. Seketika itu mukanya menjadi
merah sekali, matanya berapi-api, tangannya yang memegang pedang gemetaran. "Bibi Kui Ciauw! Aku
dunia-kangouw.blogspot.com
bukan seperti engkau"
Ang-hwa Nio-nio juga marah. "Siu Bi, kuperingatkan kau! Kami tidak butuh bantuanmu. Apa bila kau mau
bekerja sama dengan kami untuk menghadapi Pendekar Buta silakan tinggal bersama kami akan tetapi
harus menurut apa yang kami rencanakan. Kalau tidak mau, kami tidak akan menahanmu.”
"Nio-nio... Bi-moi... sudahlah, di antara kita sendiri mengapa mesti ribut-ribut?" Ouwyang Lam cepat
melerai dengan suara halus, kemudian dia melanjutkan pekerjaannya, yaitu memondong Lee Si dan
menyeret tubuh Swan Bu dibawa masuk ke dalam kuil.
Siu Bi merengut, hatinya mendongkol sekali. Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Ia maklum bahwa
untuk melawan pun ia akan kalah. Maka tanpa berkata sesuatu ia lalu berjalan pergi dari depan Ang-hwa
Nio-nio, menahan isak tangis saking gemasnya.
"Siapakah dia?" Maharsi bertanya.
"Ahh, dia...? Cucu Hek Lojin, juga musuh Pendekar Buta."
"Hek Lojin? Pantas dia begitu liar, kiranya cucu iblis itu!" Bo Wi Sian-jin berkata sambil menganggukangguk.
Mereka lalu memasuki kuil dan Ang-hwa Nio-nio memberi perintah kepada anak buahnya untuk mengatur
rencananya yang dianggap amat baik. Apakah yang direncanakan oleh ketua Ang-hwa-pai ini?
Kebenciannya pada Pendekar Buta dan Raja Pedang membuat nyonya tua ini pandai mencari cara yang
paling keji untuk melampiaskan dendamnya. Marilah kita ikuti bersama apa yang direncanakan.
Seperti sudah dilaporkan oleh seorang anak buah Ang-hwa-pai tadi, di kota Kong-goan malam hari itu
kedatangan seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar dan tegap, sikapnya gagah,
bicaranya kasar, keras dan nyaring sekali. Orang ini bukan lain adalah Tan Kong Bu yang sudah
meninggalkan puncak Min-san untuk mencari puterinya yang diam-diam meninggalkan puncak.
Seperti telah kita ketahui, sejak datangnya murid kepala Raja Pedang, yaitu Su Ki Han telah terjadi
Perubahan hebat di Min-san. Lee Si, puteri tunggal itu telah meninggalkan puncak tanpa memberi tahu dan
Su Ki Han sendiri yang merasa tidak enak, segera berpamit turun gunung untuk berusaha mengejar Lee Si.
Seperginya Su Ki Han, Kong Bu merasa tidak enak dan menyatakan kepada isterinya untuk pergi mengejar
puteri mereka itu.
“Tentu saja ia tak boleh dibandingkan dengan adikku Cui Sian," demikian kata pendekar itu. "Kepandaian
Lee Si memang sudah cukup untuk menjaga diri, akan tetapi ia masih hijau dan tidak tahu akan bahayanya
dunia kang-ouw. Sedikitnya ia harus mendengarkan dulu cerita dari kita tentang kejahatan di dunia kangouw
sehingga ia dapat menjaga diri. Tinggal kau pilih, kau atau aku yang pergi mengejar?"
Demikianlah, Tan Kong Bu lalu turun dari puncak, mencari puterinya. Sebagai seorang tokoh kang-ouw
yang ulung, akhirnya Kong Bu pun berhasil mengikuti jejak puterinya dan menuju ke Kong-goan, hanya
selisih setengah hari saja dengan puterinya.
la mendengar tentang keributan yang terjadi di rumah Lo-ciangkun, maka dia mempunyai dugaan bahwa
agaknya Lee Si terlibat dalam hal ini. la mencari sampai ke losmen di mana Lee Si bermalam, dengan cara
kasar dan keras dia mengancam pengurus losmen yang biar mati pun tidak akan mampu memberi
keterangan ke mana perginya gadis itu yang pergi melalui genteng dan tidak terlihat oleh siapa pun juga.
Kong Bu lalu berputar-putar di kota Kong-goan sampai jauh malam, akan tetapi dia tidak dapat
menemukan jejak Lee Si dan tidak ada yang dapat memberi keterangan ke mana perginya gadis itu. Dalam
keadaan gelisah Kong Bu berlari-larian keluar masuk lorong gelap, sementara keadaan kota Kong-goan
sudah sepi.
Tiba-tiba dia cepat menghindar ke kiri. Hampir saja dia bertubrukan dengan seorang pria kecil kurus yang
juga berlari-lari seperti dia dan mereka bertemu di sebuah tikungan jalan kecil. Pria itu kelihatan gugup
sekali, tanpa bicara sesuatu terus melarikan diri dengan cepat.
Kong Bu merasa curiga. Jelas bahwa orang itu memiliki kepandaian silat yang lumayan melebihi orang
biasa. Larinya cepat dan gerakannya gesit. Dengan beberapa lompatan jauh akhirnya Kong Bu dapat
dunia-kangouw.blogspot.com
menyusul dan mengejar orang itu.
Si kecil kurus yang berkumis panjang itu kaget bukan main ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan
tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang laki-laki tinggi besar, apa lagi saat dia mengenalnya sebagai
laki-laki yang hampir bertubrukan dengannya tadi. Tanpa banyak cakap lagi dia membalikkan tubuh dan
lari lagi, akan tetapi dia mengeluh ketika pundaknya tiba-tiba dipegang tangan yang memiliki jari-jari tangan
sekuat cepitan baja.
"Kau siapa dan ada apa malam-malam begini kau berlari-larian seperti pencuri? Hayo mengaku terus
terang, kalau tidak, tulang-tulang pundakmu akan kuhancurkan!" bentak Kong Bu yang sedang gelisah
sehingga menjadi pemarah itu.
"Ampun, Ho-han (Orang Gagah)... ampunkan saya. Saya Ciu Ti, bukan pencuri... saya... saya sedang
bingung dan hendak mencari pertolongan. Ada... ada penjahat menyeret seorang gadis cantik ke dalam
kuil di mana saya biasanya bermalam... maaf, saya tiada keluarga tiada tempat tinggal... saya... saya
berusaha menolong nona cantik itu, tapi... saya kalah. Penjahat muda itu terlampau kuat, dan agaknya
dia... dia seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga)..."
Kong Bu tertarik hatinya. "Di mana dia? Betulkah dia penjahat pemetik bunga?"
"Mungkin, saya... saya tidak jelas. Hanya pada saat dia merobohkan saya tadi, dia... dia mengaku bahwa
dia she Kwa... kemudian mengusir saya pergi. Gadis itu pingsan, pada pinggangnya tergantung pedang...
ehh, pedang kuning seperti emas..."
Cengkeraman pada pundak itu mengeras dan si kecil kurus menyeringai kesakitan.
"Bagaimana kau bisa tahu pedang yang tergantung itu pedang kuning?"
"Aduh... lepaskan pundak saya... aduh, mana saya bisa tahu kalau jai-hwa-cat itu tidak
mempergunakannya untuk melawan saya? Pedang itu ampuh sekali, golok saya lantas patah begitu
beradu..."
Kong Bu tidak sabar lagi, segera menyeret tangan orang itu. "Hayo cepat, antarkan aku ke sana. Cepat...
kubanting mampus kau, hayo cepat"
Orang itu mengeluh dan setengah diseret karena betapa pun dia mengerahkan tenaga dan ilmu lari
cepatnya, agaknya masih kurang cepat saja sehingga dia seperti diseret dan kedua kakinya tidak
menginjak bumi lagi karena tubuhnya seperti menggantung kepada lengan Kong Bu yang kuat.
"Di sinikah tempatnya?" tanya Kong Bu.
"Betul... di dalam... di ruangan belakang, aku... aku takut, harap kau suka masuk sendiri, Ho-han..."
Kong Bu mendorong orang itu sampai terjengkang, kemudian dia melompat naik ke atas genteng kuil tua
itu. Hati jago tua ini berdebar tidak karuan. Di mana pun dia berada dan siapa pun gadis yang menjadi
korban jai-hwa-cat, jika dia mendengarnya pasti dia akan turun tangan membasmi si penjahat.
Akan tetapi sekarang lain lagi halnya. la sedang mencari puterinya yang dia tahu berada di kota itu, akan
tetapi lenyap tak meninggalkan bekas, sedangkan buntalan pakaiannya masih ada di kamar losmen. Dan
gadis yang pingsan serta menjadi korban jai-hwa-cat itu berpedang kuning. Oei-kong-kiam!
Mana lagi ada pedang kuning selain Oei-kong-kiam, pedang yang dibawa Lee Si? Inilah yang membuat
jantungnya berdebar tidak karuan, bahkan kedua kakinya agak menggigil dan hampir dia terpeleset ketika
dia melompat ke atas genteng yang gelap itu.
Dari atas genteng dia melihat api penerangan di sebelah belakang kuil. Cepat-cepat dia melompat dengan
hati-hati ke bagian belakang, di atas tempat yang diterangi lampu di sebelah bawah. Dengan hati-hati dia
membongkar genteng, lalu mengintai ke bawah.
Kong Bu memandang dengan mata melotot, kemudian menggosok-gosok dua matanya, memandang lagi,
otot-otot pada lehernya menegang, wajahnya tiba-tiba pucat sekali, lalu terdengar giginya berkerot-kerot.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bedebah! Keparat biadab...! Kubunuh kau...! Kubunuh...!" teriakan ini mula-mula hanya terdengar
bagaikan gerengan harimau marah, kemudian melengking tinggi dan akhirnya terdengar nyaring sekali.
Apakah yang dilihat oleh jago Min-san ini? Pemandangan di dalam ruangan di bawah itu benar-benar
membuat darahnya mendidih, matanya tiba-tiba gelap dan dadanya serasa meledak.
Mereka berbaring di atas lantai, dua orang itu, seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik jelita.
Siapa lagi kalau bukan Lee Si, puterinya? Betapa tidak akan hancur hatinya melihat puterinya itu rebah
terlentang, dan entah bagaimana keadaannya karena tubuhnya tertutup selimut sebatas leher, akan tetapi
yang jelas puterinya itu menangis terisak-isak dan kelihatan lemah sekali. Tentu dalam keadaan tertotok
jalan darahnya, pikirnya dengan hati hancur.
Dan laki-laki tampan itu mukanya seperti perempuan, terlalu tampan. Patut menjadi muka seorang kongcu
hidung belang atau seorang penjahat jai-hwa-cat yang lihai! Dan yang lebih memanaskan hatinya, laki-laki
tampan itu rebah miring menghadapi Lee Si, tubuh bagian atasnya telanjang.
"Ayaaahhh...!" terdengar Lee Si menjerit, suaranya lemah sekali, bercampur isak.
"Keparat... jahanam...!" Kubunuh engkau, kukeluarkan isi perutmu, kuminum darahmu...!" Kong Bu
berteriak lagi, kini diseling suara melengking tinggi yang menggetarkan kuil itu, seperti bukan suara
manusia lagi.
Akan tetapi selagi dia hendak membongkar genteng dan menerobos ke bawah tiba-tiba beberapa batang
lilin yang menyala di ruangan itu padam, membuat keadaan menjadi gelap pekat. Betapa pun marahnya
hati Kong Bu, dia adalah seorang jagoan kang-ouw yang sudah ulung, tentu saja dia tidak mau secara
membuta melompat ke dalam ruang yang gelap gulita dan tidak dikenalnya itu.
"Paman Kong Bu... dengarlah... saya adalah Kwa Swan Bu... putera ayah Kwa Kun Hong di Liong-thouwsan..,
Paman..."
Teringat Kong Bu akan penuturan si kurus tadi bahwa jai-hwa-cat itu she Kwa. Darahnya makin bergolak.
"Tak peduli kau anak setan dari mana, hayo keluar! Hayo kau lawan aku mengadu nyawa. Penghinaan ini
baru bisa lunas bila ditebus dengan darah dan nyawa! Keluar!! Kurobek dadamu, kukeluarkan jantungmu!"
Tiba-tiba dari dalam gelap di sebelah bawah terdengar desir angin yang sangat halus. Kong Bu cepat
memiringkan tubuh dan pedang yang sudah dicabutnya itu menangkis beberapa batang jarum halus yang
menyambar ke arahnya dari bawah sebelah kiri. Itulah jarum rahasia dan mendengar bunyinya yang halus
berdesir dapat diketahui bahwa penyambitnya tentu memiliki Iweekang yang amat kuat.
Kong Bu cepat melompat ke bawah sambil memutar pedangnya, melayang ke arah dari mana datangnya
jarum-jarum tadi. Akan tetapi baru saja kedua kakinya menginjak tanah, dari arah kanannya menyambar
angin pukulan yang amat kuat dan dahsyat.
Kong Bu cepat menggeser kaki, lalu memasang kuda-kuda yang amat rendah sambil menyampok dengan
lengan kirinya dan mengerahkan sinkang di tubuhnya. Akan tetapi hampir saja dia terguling karena
ternyata bahwa sambaran angin pukulan itu kuat bukan main.
Ia terkejut sekali, akan tetapi tidak heran. Kalau bangsat itu betul putera Pendekar Buta Kwa Kun Hong
tentu saja memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Makin panas hatinya! Bagaimanakah putera Kun Hong
bisa melakukan perbuatan yang begini biadab?
Kong Bu adalah putera Raja Pedang yang dahulu menerima gemblengan ilmu silat dari kakeknya, yaitu
mendiang Song-bun-kwi Kwee Lun. Tentu saja dia mewarisi kepandaian tinggi dan dia tidak gentar meski
menghadapi lawan yang bagaimana sakti pun. Apa lagi sekarang dia sedang marah dan nekat karena ingin
membela kehormatan puterinya.
Akan tetapi, pada waktu ia memutar pedangnya sambil mengeluarkan suara melengking-lengking tinggi
untuk menerjang lawannya yang mengirim pukulan dari tempat gelap, di situ tidak tampak lagi ada orang.
Makin kagetlah dia. Terang bahwa lawannya tadi selain memiliki tenaga kuat, juga memiliki kegesitan yang
luar biasa.
"Jai-hwa-cat biadab! Kalau memang jantan, hayo kau tandingi aku secara laki-laki. Aku Tan Kong Bu ketua
dunia-kangouw.blogspot.com
Min-san-pai, sebelum dapat mengeluarkan isi perutmu, aku takkan berhenti berusaha. Kau atau aku yang
mati untuk mencuci noda ini!" pekiknya sambil membacokkan pedangnya pada sebuah tiang kuil. Tiang itu
terbabat putus dan genteng di atasnya banyak yang rontok karena penahan genteng menjadi miring.
"Hayo keluar! Jangan sembunyi kau, pengecut, jahanam keparat, manusia biadab! Walau pun kau anak
Kwa Kun Hong atau putera malaikat sekali pun, jangan harap bisa terlepas dari tanganku!"
Akan tetapi ketika dia hendak menyerbu ke dalam ruangan belakang itu, mendadak ada sambaran angin
pukulan jarak jauh lagi, dan kini dari arah belakangnya. Cepat-cepat dia menggeser kaki, memutar-mutar
tubuh sehingga pukulan itu meleset.
la melihat bayangan orang berkelebat di belakangnya, cepat dia mengejar. Bayangan itu gesit sekali dan
melompat-lompat ke arah pagar ternbok yang mengelilingi kuil, lalu dia menerobos keluar.
"Keparat, hendak lari ke mana kau?" Kong Bu mengejar, pedangnya diputar dan siap untuk melancarkan
serangan maut.
Di depan kuil yang agak gelap, bayangan itu berhenti dan Kong Bu segera menghujani serangan-serangan
dengan pedangnya. Akan tetapi ternyata bayangan itu gerakannya cepat luar biasa, meski bertangan
kosong, namun selalu dapat mengelak dari sambaran pedangnya.
Keadaan yang gelap membuat Kong Bu tidak dapat mengenal wajah orang ini, namun dia masih dapat
melihat bayangan seorang pemuda yang tampan. Belum sepuluh jurus dia menyerang, pemuda itu
melompat dan menghilang di dalam gelap.
"Jai-hwa-cat, jangan lari kau!" seru Kong Bu sambil mengejar.
Akan tetapi bayangan itu lenyap. Setelah mengejar agak jauh, Kong Bu teringat akan puterinya. Cepat dia
membalik dan lari ke arah kuil kembali, sekarang dengan nekat dia menerobos masuk ke dalam kuil sambil
menjaga diri dengan pedangnya, langsung dia menuju ke ruangan belakang.
Dengan sekali tendangan, pintu ruangan belakang yang memang sudah reyot itu runtuh berantakan. Kong
Bu menerjang lagi ke dalam. Gelap! Dengan kakinya dia meraba-raba, akan tetapi ternyata ruangan itu
kosong melompong. Baik pemuda jai-hwa-cat tadi mau pun puterinya, telah lenyap.
Kong Bu mencari ke seluruh ruangan kuil kuno, akan tetapi tidak menemukan seorang pun. Dia memakimaki,
memanggil-manggil nama anaknya, berteriak-teriak menantang. Sia-sia belaka. Bukan main kecewa
dan menyesalnya.
la telah ditipu oleh pemuda jai-hwa-cat tadi. Terang bahwa tadi dia sengaja dipancing ke luar, kemudian jaihwa-
cat itu tentu telah kembali ke gedung membawa lari Lee Si yang tidak berdaya melawan.
“Keparat jahanam! Kau anak Kwa Kun Hong! Awas kau! Kwa Kun Kong, si buta, keparat, kau harus
mempertanggung jawabkan kebiadaban puteramu. Awas kau!”
Sambil memaki-maki dan menyumpah-nyumpah, Kong Bu lalu berlari seperti orang gila, keluar dari kuil itu.
Tujuan hatinya hanya satu, yaitu ke Liong-thouw-san, dan menuntut kepada Kun Hong agar supaya
puteranya diserahkan kepadanya, untuk disodet perutnya agar terbebas penghinaan yang hebat ini…..
********************
“Wah, baik sekali hasilnya. Sumoi, kau betul-betul amat cerdik dan licin sekali. Ha-ha-ha, antara keturunan
Raja Pedang dan keturunan Pendekar Buta sudah terdapat bentrokan yang agaknya hanya dapat
diredakan dengan darah dan nyawa. Bagus sekali, Sumoi!"
Maharsi tertawa sambil memuji-muji sumoi-nya setelah pada keesokan harinya pagi-pagi mereka
berkumpul di sebuah hutan tidak jauh dari kuil di kota Kong-goan itu. Mereka berkumpul di situ, lengkap
seperti kemarin, kecuali Siu Bi. Gadis ini tidak tampak mata hidungnya.
“Ah, Suheng. Kalau tidak sedemikian besar dendamku terhadap mereka, agaknya takkan terpikirkan akal
seperti itu olehku. Ketika kau dan Ouwyang Lam memancing Tan Kong Bu menjauhi kuil, sengaja
kubebaskan puterinya. Tentu saja gadis itu malu sekali dan tidak ada muka berjumpa dengan ayahnya. Hidunia-
kangouw.blogspot.com
hi-hik, betapa pun dia akan membela diri, siapa percaya bahwa dia tidak tercemar oleh putera Pendekar
Buta?"
"Tapi di mana adanya Kwa Swan Bu, dan mana pula adik Siu Bi?" tanya Ouwyang Lam.
"Huh, gadis tiada guna itu! Tadinya Swan Bu kusingkirkan dalam keadaan tertotok, tapi kemudian ia
lenyap, tentunya dibawa pergi oleh Siu Bi. Gadis tak tahu malu itu jika tidak tergila-gila kepada pemuda
tampan itu, entah mau apa dia...!"
Diam-diam Ang-hwa Nio-nio merasa iri hati dan cemburu kepada Siu Bi karena agaknya kekasihnya,
Ouwyang Lam, tergila-gila kepada gadis Go-bi-san itu, maka kesempatan ini ia pergunakan untuk memakimaki
dan memburukkan nama Siu Bi.
Ada pun Ouwyang Lam diam-diam merasa kecewa sekali karena si jelita Lee Si yang diincar-incar dan
hendak dijadikan korbannya, telah dibebaskan. Ini belum apa-apa, yang menjengkelkan hatinya adalah
perginya Siu Bi! la pun mengomel,
"Ahh, Nio-nio terlalu curiga. Terang bahwa adik Siu Bi membawa pergi Kwa Swan Bu untuk melampiaskan
dendamnya. Kita lihat saja, tak lama lagi kita pasti akan mendengar bahwa putera Pendekar Buta
kehilangan sebelah lengannya."
"Kalau belum menjadi bangkai!" kata pula Ang-hwa Nio-nio. "Orang gila dari Min-san itu mengejarngejarnya.
Aha, betapa ramainya nanti di Liong-thouw-san. Tentu Raja Pedang akan terseret-seret pula.
Dan selagi mereka saling cekcok memperebutkan kebenaran, kita serbu mereka. Suheng, dan Sianjin,
mari kita mengunjungi Bhok-losuhu!"
Biar pun hatinya mendongkol, Ouwyang Lam tidak dapat bicara apa-apa lagi, hanya di dalam hatinya dia
mengharapkan kembalinya Siu Bi menggabung kepada rombongan mereka yang makin kuat ini. la percaya
bahwa lambat-laun dia pasti akan dapat berhasil memikat hati gadis yang mengguncangkan jantungnya itu.
Dugaan Ang-hwa Nio-nio memang tepat. Ketika terjadi tipu muslihat yang dilakukan oleh Ang-hwa Nio-nio,
Siu Bi melihat dengan jelas. Akan tetapi dia tidak ambil pusing, hanya mulutnya tersenyum menghina. la
muak dengan cara-cara yang dikerjakan oleh Ang-hwa Nio-nio.
Akan tetapi ia selalu mencari kesempatan untuk memuaskan nafsu hatinya sendiri, yaitu membalas kepada
Kwa Swan Bu putera Pendekar Buta. Urusan orang lain tidak terlalu dia pedulikan, yang penting ia harus
melaksanakan tugas dan sumpahnya.
Ketika orang yang dinanti-nanti, yaitu yang katanya adalah putera Raja Pedang, ketua Min-san-pai
bernama Tan Kong Bu ayah Lee Si yang tertawan itu datang, ia kagum juga. Bukan main sepak terjang
laki-laki tinggi besar itu. Mengingatkan ia akan kakeknya, Hek Lojin.
Akan tetapi ketika dia melihat laki-laki itu dipancing menjauhi kuil dan melihat Ang-hwa Nio-nio menyeret
Swan Bu keluar dan meninggalkannya di bagian belakang kuil untuk membebaskan Lee Si, diam-diam dia
menyelinap dan mengempit tubuh Swan Bu, terus dibawa lari cepat sekuatnya meninggalkan tempat itu.
Yang lain-lain ia tidak peduli, yang penting baginya hanyalah Kwa Swan Bu, putera Pendekar Buta, musuh
besarnya!
Siu Bi maklum bahwa Ang-hwa Nio-nio dan teman-temannya adalah orang-orang yang amat sakti, bukan
lawannya. Dia akan terpaksa menyerahkan Swan Bu kembali, bahkan dia sendiri mungkin tak bebas dari
hukuman apa bila mereka dapat menyusulnya. Oleh karena inilah maka gadis itu terus lari secepatnya,
menyusup-nyusup ke dalam hutan dan tidak pernah berhenti sampai malam berganti pagi.
Akhirnya dia tidak kuat berlari lagi. Di dalam sebuah hutan kecil ia pun berhenti, nafasnya terengah-engah
lalu melempar tubuh Swan Bu ke atas tanah. Dia berdiri mengatur nafas, menyusut keringat pada leher
dan jidatnya dengan sapu tangan, memandang sekilas ke arah pemuda yang terbanting ke atas tanah itu.
la melihat pemuda itu bergerak perlahan, menggerak-gerakkan lengan dan kaki, agaknya sudah terbebas
dari totokan, lalu mencoba untuk bangun dan duduk. Siu Bi kaget sekali, teringat betapa lihainya pemuda
ini dan kalau tenaganya sudah pulih, tentu sulit baginya untuk mengalahkannya. Segera ia menerjang maju
dan tangannya bergerak cepat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Swan Bu yang tahu bahwa dia diserang, tidak dapat menangkis atau mengelak, karena jalan darahnya
belum pulih seluruhnya. Kembali dia roboh dan tak berkutik karena jalan darahnya yang membuat dia
lemas sudah ditotok oleh gadis galak itu.
Setelah merasa yakin bahwa lawannya tak akan mampu bergerak, Siu Bi yang merasa kedua kakinya
berdenyut-denyut linu dan lelah sekali, lalu menjatuhkan diri duduk di atas tanah berumput, melanjutkan
kerjanya yang tadi tertunda, yaitu menghapus keringatnya. Kemudian ia mengebut-ngebut sapu tangan,
dipakai mengipasi lehernya sambil menatap wajah di depan kakinya itu.
Wajah seorang pemuda yang amat tampan dan gagah. Alis yang hitam tebal berbentuk golok dengan
sepasang mata yang penuh ketabahan. Kebetulan sekali Swan Bu juga memandang kepadanya. Dua
pasang mata itu bertemu pandang, penuh amarah, saling serang dan akhirnya Siu Bi yang menunduk lebih
dulu.
"Perlu apa kau melarikan diriku ke sini?” tanya Swan Bu, suaranya tenang akan tetapi agak ketus.
"Perlu apa lagi? Tentu saja untuk membuntungi lengan kirimu, untuk membalas sakit hati mendiang
kakekku!"
Swan Bu terdiam, memutar otak. Namun dia tidak melihat jalan keluar untuk menolong dirinya. Gadis ini
wataknya keras dan aneh, liar dan ganas. Betapa pun juga, kalau gadis ini tidak menculiknya ke sini
mungkin jiwanya justru terancam bahaya. Bahaya yang lebih mengerikan lagi.
Dia bukan takut mati. Akan tetapi mati di tangan paman Tan Kong Bu dengan tuduhan melakukan tindakan
maksiat, berjinah dengan Lee Si, benar-benar merupakan kematian yang amat pahit dan penasaran.
Betapa pun juga, jika direnungkan benar-benar, gadis liar ini malah sudah menolongnya, menolong
kehormatannya, karena meski pun dia akan dibuntungi lengan kirinya, namun dia tidak mati dan selama dia
masih hidup dia akan bisa membersihkan namanya, akan dapat membuktikan kepada pamannya, Tan
Kong Bu, bahwa dia sama sekali tak berbuat jinah dengan puteri pamannya itu. Juga, walau pun lengannya
tinggal sebuah, dia masih akan mendapat kesempatan membalas kepada Ang-hwa Nio-nio dan kawankawannya
yang telah membuat fitnah keji terhadap dirinya dan Lee Si itu.
"Huh, wajahmu pucat! Kau ketakutan, ya? Ngeri mengingat lengan kirimu akan buntung? Ya, akan
kubuntungi lengan kirimu, biar kau tahu rasa, biar kau merasakan bagaimana sengsaranya kakekku
setelah lengan kirinya dibuntungi ayahmu. Dan setelah kau, ayah dan ibumu akan menerima gilirannya!"
"Hemmm, kau ini bocah bermulut besar, amat sombong dan tak tahu malu. Membuntungi lenganku saja
kalau tidak secara pengecut, tidak akan becus kau lakukan. Macam kau hendak membuntungi lengan ayah
ibuku? Hah, cacing tanah pun akan terbahak geli bila mendengar kata-katamu tadi!"
Tadinya Siu Bi mengira bahwa Swan Bu merasa ngeri serta ketakutan. Hatinya sudah merasa amat girang
sebab ia mendapat kesempatan untuk mengejek. Kiranya sekarang malah ucapan pemuda itu bagaikan
api yang membakar dadanya, membuat ia melompat bangun, berdiri dengan kedua mata mendelik, muka
berwarna merah padam, hidungnya kembang-kempis.
"Nah, marahlah! Hayo, keluarkan kegagahanmu, marahlah sekuatmu kemudian coba kau bebaskan aku
kalau berani. Kalau aku bebas, boleh kau mencoba untuk membuntungi lenganku, hendak kulihat kau
becus atau tidak. Hemmm, meski kau memegang pedang setan hitam itu dan aku bertangan kosong saja
menghadapimu, bukan lenganku yang buntung, melainkan... hemmm hidungmu yang kembang-kempis itu
yang akan kucabut copot dari mukamu!"
Dapat dibayangkan betapa memuncak kemarahan Siu Bi ketika mendengar ejekan yang dianggapnya
penghinaan hebat ini. la membanting-banting kakinya dan hampir menangis pada saat pedangnya
berkelebatan di depan muka Swan Bu dan tangannya menuding-nuding, bibirnya komat-kamit meneriakkan
maki-makian yang tidak keluar dari mulut.
"Kau... kau setan, kau... kau... manusia sombong. Hihh, lehermu yang akan kubuntungi, bukan lenganmu.
Dengar? Lehermu akan kupenggal dengan pedang ini!"
Namun Swan Bu adalah putera tunggal Kwa Kun Hong, seorang yang meski pun masih muda namun
memiliki dasar satria yang tidak takut mati. Selain ini dia pun keras hati dan tidak sudi tunduk kalau merasa
dunia-kangouw.blogspot.com
dirinya benar. Mendengar ancaman dan melihat pedang berkelebatan di dekat lehernya itu, dia malah
tertawa, tertawa nyaring.
"Hee?!"
Siu Bi menahan gerakan pedangnya dan memandang heran. Memang sama sekali ia tidak mengira, orang
yang sudah hampir dipenggal lehernya dapat tertawa segembira itu!
"Wah, kau sudah miring otak, ya? Kau sudah menjadi gila saking takut, ya?"
"He, perempuan liar, kaulah yang gila. Kau boleh mengeluarkan seribu macam ancaman, seperti
kebiasaan setan-setan dan iblis, akan tetapi seorang gagah tidak takut mati. Aku paling ngeri kalau menjadi
pengecut, lebih baik mati dari pada menjadi pengecut macam kau ini. Berani menjual lagak hanya kepada
orang yang sudah tidak mampu melawan. Huh, beri aku kesempatan untuk melawanmu, baru kau tahu
rasa, barulah akan terbuka matamu bahwa kau harus belajar lima puluh tahun lagi sampai kau menjadi
nenek-nenek kempot keriput baru boleh menandingi aku! Mau bunuh, hayo lekas bunuhlah. Sabetkan
pedangmu dengan tanganmu yang curang itu ke leherku, siapa takut?"
Siu Bi tertegun. Kali ini bukan karena marahnya melainkan karena heran dan kagumnya. Belum pernah
selama hidupnya ia melihat orang begini tabah, begini tenang dan penuh keberanian menghadapi
kematian. Hampir dia tidak dapat percaya. Mungkin hanya aksi belaka, pikirnya. Kalau sudah diberi rasa
sakit, tentu akan menguik-nguik minta ampun seperti anjing dipecuti.
"Kau betul tidak takut mampus? Nah, rasakan ini!"
Pedangnya lalu digerakkan perlahan-lahan ke arah leher Swan Bu sambil menatap tajam wajah tampan itu.
Dia melihat betapa wajah itu tetap tenang, sepasang mata tajam itu memandang penuh tantangan,
berkedip pun tidak, sampai ujung pedangnya menggores kulit pundak yang telanjang itu dan kulit pecah
darah merah mengucur. Namun wajah itu tetap tenang, bibir itu tetap dalam senyum mengejek dan mata
menantang, berkedip pun tidak! Bukan main!
"Hayo, kenapa berhenti? Bukan aku yang takut mampus, kaulah yang takut melanjutkan perbuatanmu
yang curang dan pengecut!"
Pucat wajah Siu Bi mendengar ini. "Setan kau!"
Pedangnya kembali diangkat dan kini agak cepat menyambar.
"Crattt!"
Pedang, itu menancap pada pundak beberapa senti meter saja dalamnya karena segera ditahannya, dan
ketika dicabut, darah mengucur banyak. Tapi tetap saja wajah Swan Bu tidak berubah, matanya tidak
berkedip, senyumnya makin mengejek.
”Nah, kembali kau tidak berani. Melawanku dengan pedang sedang aku hanya bertangan kosong pun tidak
berani. Huh, kau pengecut kepalang tanggung!"
Siu Bi menggigit bibirnya. "Sombong! Kau kira aku tidak tahu akan akal bulusmu? Kau sengaja memanasmanasi
hatiku, sengaja membakarku agar aku menjadi panas hati dan membebaskanmu. Huh, siapa yang
tidak tahu bahwa kau lihai dan jika dibandingkan aku takkan menang? Tapi jangan kira aku sebodoh itu,
aku tidak dapat kau pancing! Padahal kalau betul-betul kau bertangan kosong melawan aku bersenjata
pedang, dalam belasan jurus saja kau pasti akan roboh. Kau sengaja membuka mulut besar, dan kalau
sudah kubebaskan dari totokan, kau tentu akan melarikan diri dan aku tidak dapat mengejarmu, sampai
kau mendapatkan senjata dan melawanku. Bukankah begitu akalmu, Bulus?"
Diam-diam Swan Bu mengeluh. Cerdik betul bocah ini. Tidak ada gunanya menipu gadis seperti ini. Akan
tetapi memang ucapannya tadi bukan semata-mata hendak mengejek dan memancing supaya dibebaskan,
melainkan betul-betul keluar dari perasaannya yang penasaran dan marah.
"Bocah, tak perlu menjual lagak. Kau pintar atau bodoh bukan urusanku, yang terang kau pengecut. Aku
seorang laki-laki sejati, ayahku Pendekar Buta terkenal di kolong jagat ini sebagai seorang pendekar besar.
Menyelamatkan diri dengan jalan menipu, apa lagi jika menipu seorang bocah masih ingusan macam
dunia-kangouw.blogspot.com
engkau, bukanlah perbuatan orang gagah. Kau mau melihat bukti bahwa aku mampu mengalahkan engkau
yang berpedang dengan hanya tangan kosong? Bebaskan aku, akan kubuktikan. Aku tidak akan lari, kalau
sudah membuktikan omonganku, boleh kau tawan aku lagi, aku tidak akan melawan."
"Huh, siapa percaya omonganmu?" Siu Bi mencibirkan bibirnya yang merah.
Swan Bu mengerutkan alisnya. Terlalu cantik manis dara liar ini apa bila sudah mencibir seperti itu.
"Percaya atau tidak terserah, aku pun tidak akan memaksa kau percaya. Akan tetapi yang jelas, kau berani
atau tidak melawan aku bertangan kosong?"
Siu Bi duduk termenung. Tanpa disadarinya jari-jari tangan kirinya bergerak-gerak dan ujungnya memukulmukul
pahanya sendiri. la penasaran sekali. la maklum bahwa ilmu pedang pemuda ini hebat sekali, tadi
malam ia sudah menyaksikannya. Akan tetapi kalau bertangan kosong melawan ia berpedang? Ah, tidak
mungkin ia akan kalah!
Lagi pula, kalau membuntungi lengannya dalam keadaan tertotok seperti ini, benar-benar sukar baginya
untuk melakukannya. Lebih baik membebaskan dia dan tantang berkelahi, kemudian pada kesempatan itu
ia akan membuntungi lengannya. Dengan begitu barulah perbuatan gagah.
"Kau tidak akan lari?"
"Kata-kata lari tidak terdapat dalam kamus hatiku."
"Berani sumpah?"
Hampir Swan Bu tertawa. Gadis ini aneh, liar, akan tetapi juga lucu.
"Ucapan yang keluar dari mulut orang gagah dengan sendirinya sudah menjadi sumpah yang lebih
berharga dari pada nyawa."
"Baik, kau kubebaskan dan kau lawanlah pedangku dengan tangan kosong. Bila mana kau melarikan diri,
tidak apa, aku akan menganggap kau seorang yang paling curang dan pengecut di seluruh permukaan
bumi ini."
Sebelum pemuda itu sempat menjawab yang menyakitkan hati, Siu Bi sudah menerjang maju, tangan
kirinya menotok dan terbebaslah Swan Bu.
Pemuda ini bergerak dan bangkit berdiri, kaki tangannya kesemutan dan masih terasa kaku. la menggerakgerakkan
lengan dan kakinya sampai jalan darahnya pulih kembali sambil mengatur nafas mengerahkan
sinkang. Terasa hawa panas mengelilingi seluruh bagian tubuhnya dan beberapa detik kemudian dia
sudah merasa segar kembali. Inilah cara memulihkan jalan darah dan tenaga warisan ajaran ayahnya.
la melirik ke arah pundaknya di mana terdapat guratan dan tikaman pedang. Lukanya tidak berbahaya,
akan tetapi terasa sedikit perih dan darahnya cukup banyak. Swan Bu menggerakkan jari tangan menekan
pinggir luka, darahnya berhenti dan dia menghadapi Siu Bi dengan senyum mengejek tak pernah
meninggalkan bibirnya.
"Kalau kau betul jantan, lawanlah pedangku. Awas pedang!" Siu Bi segera menerjang dengan kecepatan
kilat. la sudah maklum bahwa putera Pendekar Buta ini benar-benar lihai, maka begitu menerjang ia sudah
menggunakan jurus-jurus yang berbahaya sambil membarengi dengan pukulan Hek-in-kang dari tangan
kirinya.
Biar pun baru segebrakan saja Swan Bu pernah melawan Siu Bi, namun dia tahu bahwa gadis itu selain
memiliki ilmu pedang yang aneh dan sangat ganas, juga tangan kirinya mengandung hawa pukulan yang
keji, hawa pukulan beracun yang mengeluarkan uap hitam.
Oleh karena inilah maka serta merta dia menggunakan ilmu langkah ajaib Kim-tiauw-kun dan memainkan
jurus-jurus Im-yang Sin-hoat yang sukar dicari tandingnya itu. Tubuhnya bergerak aneh, kadang-kadang
terhuyung, kadang-kadang jongkok, berdiri miring, lantas membungkuk dan berloncatan, seperti bukan
orang main silat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat gerakan ini, hampir saja Siu Bi tak dapat menahan seruan heran dari mulutnya. la mengenal
gerakan ini.
Pernah dia dibikin tidak berdaya oleh gerakan-gerakan seperti ini, yang dimainkan oleh Yo Wan! Malah
sebelum berpisah dari Yo Wan secara menyedihkan, dia pernah minta supaya Yo Wan mengajarkan ilmu
langkah ajaib itu karena dengan ilmu langkah itu saja ia pernah dibikin tidak berdaya. Dan sekarang
pemuda ini menggunakan ilmu langkah itu! Saking kaget dan herannya, penyerangannya berhenti.
"He, kenapa berhenti? Kau takut?" Swan Bu mengejek.
"Takut hidungmu! Aku hanya heran... apa engkau kenal orang yang bernama Yo Wan Si Jaka Lola?"
Swan Bu tertegun. Gadis aneh, ada-ada saja pertanyaannya, pertanyaan yang aneh dan tak terduga-duga
pula.
"Yo Wan? Tentu saja kenal, dia itu suheng-ku, murid ayahku. Mau apa kau sebut-sebut dia?"
Mampus kau! Hampir saja di depan Swan Bu dia mengeluarkan ucapan ini, dan betapa herannya Swan Bu
ketika melihat tiba-tiba gadis itu menampar kepalanya sendiri
"Ehh, apa kau gila?"
Siu Bi tidak mendengar pertanyaan ini, pikirannya berputaran tujuh keliling. Siapa kira siapa duga, Yo Wan
itu malah murid Pendekar Buta! Dan dia sudah mengajak Yo Wan bersekongkol membantunya melawan
Pendekar Buta. Anehnya, mengapa Yo Wan mau saja? Dan pemuda yatim piatu itu baru marah dan
meninggalkannya setelah mengetahui bahwa ia adalah puteri tiri The Sun yang katanya membunuh ibunya.
Wah, wah, kalau Yo Wan itu murid Pendekar Buta, celaka dua belas. Sampai mati pun mana mungkin ia
menang melawan Pendekar Buta? Tapi, ia sudah menantang pemuda ini, harus dapat memenangkannya,
kalau tidak, lagi-lagi ia akan menderita malu.
"Bagaimana kau mengenal suheng-ku itu? Di mana dia?"
"Aku tidak kenal dia! Kau makanlah pedangku ini!"
Siu Bi menerjang lagi, kini gerakannya lebih dahsyat lagi karena ia telah mengeluarkan jurus yang paling
lihai sesudah maklum bahwa pemuda ini adalah adik seperguruan Yo Wan dan karenanya tentu
mempunyai ilmu yang sakti seperti Yo Wan pula sehingga ia khawatir kalau-kalau ia akan kalah, biar pun
hanya dilawan dengan tangan kosong.
Swan Bu cepat mengelak dan di lain saat mereka telah bertempur lagi dengan seru. Sebentar saja puluhan
jurus telah lewat dan sama sekali Siu Bi belum dapat mendesak lawannya, sungguh pun bagi Swan Bu
juga tidak mudah untuk mengalahkan gadis yang gesit dan memiliki ilmu kepandaian tinggi dan luar biasa
itu.
Kalau saja dia berpedang, agaknya tidak akan begitu sukar baginya untuk menundukkan Siu Bi. Dengan
ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam, kiranya dia akan dapat mengalahkannya. Betapa pun juga, kekerasan
hatinya tak mengijinkan Swan Bu untuk mengalah terhadap gadis liar yang hendak membuntungi
lengannya ini.
Pada saat pertempuran sedang berjalan seru, tiba-tiba terdengar teriakan orang, "Ini dia! Mari bantu nona
The! Serang dan bunuh dia!"
Jarum-jarum halus menyambar ke arah Swan Bu ketika tiga orang yang baru muncul ini menggerakkan
tangan mereka, kemudian menyusul serangan senjata halus itu mereka menerjang maju dengan golok,
menyerang Swan Bu dengan hebat.
Mereka ini bukan lain adalah tiga orang anggota Ang-hwa-pai yang tentu saja tidak tahu akan tipu muslihat
Ang-hwa Nio-nio sebab hal itu memang dirahasiakan sehingga setahu mereka hanya bahwa pemuda
putera Pendekar Buta yang tertawan itu sudah berhasil lolos. Dan kini melihat pemuda itu bertanding
melawan Siu Bi, tentu saja mereka segera membantu karena mereka maklum bahwa nona The Siu Bi
adalah ‘keponakan’ dari ketua mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada saat mereka menyerang dengan jarum-jarum halus itu, Siu Bi sedang mengurung Swan Bu dengan
sinar pedang dan pukulan Hek-in-kang. Swan Bu sibuk menghadapi serangan dahsyat ini, maka betapa
kagetnya ketika dia merasa adanya sambaran angin halus dari sebelah belakang. Cepat dia menggunakan
tangan kirinya menyampok sambil mengerahkan sinkang sehingga angin pukulannya menyambar ke
belakang.
Namun, di antara jarum-jarum halus yang dapat dia sampok runtuh itu terdapat sebatang yang menyelinap
dan menancap pada pundak kanannya. Swan Bu merasa pundaknya kaku dan gatal-gatal, maka tahulah
dia bahwa dia sudah menjadi korban senjata rahasia halus yang beracun!
Namun dengan nekat dia lalu melawan. Cepat dia menghindar dari sambaran tiga batang golok dan pada
waktu tubuhnya miring itu, kakinya lantas melayang sehingga seorang pengeroyok roboh dengan tulang
iga patah!
Sementara itu, Siu Bi juga marah sekali melihat munculnya tiga orang Ang-hwa-pai yang tanpa diminta
telah lancang turun tangan membantunya. Dia lalu berseru keras, "Cacing busuk, siapa butuh bantuan
kalian? Mundur!"
Akan tetapi dua orang Ang-hwa-pai ketika melihat seorang teman mereka roboh, mana mau mundur. Yang
memerintah mereka kali ini bukan seorang pemimpin Ang-hwa-pai, tentu saja mereka tidak peduli dan
terus menerjang Swan Bu dengan hebat.
"Trang-trang...!"
Golok di tangan mereka terpental dan sebelum mereka dapat mengelak, mereka sudah roboh dengan
pangkal lengan dan paha pecah kulit dan dagingnya dimakan pedang Siu Bi! Mereka begitu kaget
sehingga mudah roboh karena sama sekali tidak pernah mengira bahwa mereka akan diserang oleh gadis
itu.
"Lancang!" Siu Bi memaki lagi.
Kini pedangnya bergulung-gulung menyambar ke arah Swan Bu yang cepat menjatuhkan diri ke samping,
lalu bergulingan menyelamatkan diri. Ketika Siu Bi mendesak, pemuda ini sudah berhasil melompat berdiri
dan kembali mereka bertanding hebat.
Ada pun tiga orang Ang-hwa-pai itu, setelah dapat merangkak bangun, segera pergi dari situ terpincangpincang.
Dua orang yang terluka pedang Siu Bi, dengan susah payah dan sedapat mungkin menggotong
temannya yang masih pingsan akibat tendangan Swan Bu mematahkan sedikitnya dua buah tulang iganya.
Mereka bergegas pergi untuk mencari bala bantuan.
Sekarang perlawanan Swan Bu tidak lagi segesit tadi. Pemuda ini tentu saja tidak sudi memperlihatkan
kelemahan, tidak sudi mengaku bahwa dirinya sudah terluka oleh jarum beracun. la melakukan perlawanan
sedapat mungkin meski lengan kanannya kini terasa setengah lumpuh.
Diam-diam Siu Bi merasa amat kagum. Benar-benar hebat pemuda ini dan seperti yang ia khawatirkan,
sama sekali ia tidak mampu merobohkannya. Padahal pemuda ini hanya bertangan kosong dan ia
memegang Cui-beng-kiam, malah menggunakan Hek-in-kang. Bukan main!
Di dalam hatinya, Siu Bi merasa sayang sekali mengapa pemuda sehebat ini ditakdirkan menjadi putera
musuh besar kakeknya yang harus dia buntungi lengannya. Kalau saja tidak demikian halnya, alangkah
akan senangnya memiliki seorang sahabat seperti dia ini, sebagai pengganti Yo Wan yang sekarang telah
memusuhinya akibat perbuatan ayah tirinya.
Siu Bi diam-diam merasa menyesal bukan main. Mau rasanya dia menangis, apa lagi ditambah dengan
kejengkelan hatinya bahwa begitu lama ia masih juga belum berhasil mengalahkan dan membuntungi
lengan Swan Bu.
Akan tetapi tiba-tiba saja Swan Bu mengeluh, terhuyung-huyung ke belakang lalu jatuh terduduk. Siu Bi
menahan pedangnya, kaget dan terheran-heran. Terang bahwa bukan dia yang merobohkan pemuda itu.
Baru saja pemuda itu menangkis pukulannya yang dilakukan dengan pengerahan tenaga Hek-in-kang di
dunia-kangouw.blogspot.com
tangan kiri. Swan Bu tak dapat mengelak dan terpaksa harus menangkis dengan tangan kanan. Dalam
pertemuan tenaga ini, Siu Bi merasa betapa lengan kirinya tergetar hebat.
Ia makin kagum karena jarang ada orang bisa menangkis tenaga Hek-in-kang demikian rupa sampai dia
tergetar ke belakang. Dan sehabis menangkis itulah, ketika ia menerjang lagi dengan pedangnya, Swan Bu
mengelak lantas terhuyung-huyung ke belakang dan jatuh terduduk, meringis menahan sakit sambil
menekan pundak kanannya.
Siu Bi melangkah maju, memandang penuh perhatian. Dilihatnya kulit di pundak kanan yang putih itu
ternoda oleh bintik merah membengkak.
"Kau terluka Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah)!" serunya di luar kesadarannya.
Swan Bu mengangguk lesu. "Tiga orang tadi..."
"Kalau tidak segera dikeluarkan, kau akan mati..."
"Lebih baik begitu, jadi kau tidak usah bersusah-payah lagi..."
Siu Bi maju lagi dan berlutut.
"Kau tidak boleh mati! Kalau mati aku tak akan dapat melaksanakan sumpahku. Jangan bergerak, biar
kukeluarkan jarum itu!”
Siu Bi memegang pedangnya dekat ujung, kemudian dengan hati-hati ia merobek kulit di pundak itu, Swan
Bu menggigit bibir menahan rasa sakit, jantungnya berdebar ketika dia melihat wajah Siu Bi hanya berjarak
beberapa senti saja dari pipi kanannya.
Jelas dia melihat kulit muka yang putih halus, dengan rambut hitam dari sinom rambut kacau terurai di jidat
dan melingkar indah di depan telinga. Melihat bibir yang basah itu bergerak dan saling himpit dalam
ketekunan usaha membedah dan mengeluarkan jarum di pundaknya. Hidung kecil mancung itu menyedot
dan mengeluarkan nafas panas halus yang membelai leher dan pipinya, dua mata seperti bintang itu tanpa
berkedip menuntun jari-jari tangan halus bekerja. Ahhh, wajah seperti ini pantasnya dimiliki oleh dewi
kahyangan, bukan iblis betina yang kejam.
Akhirnya Siu Bi berhasil menjepit keluar jarum halus itu dari dalam pundak Swan Bu. Dibuangnya jarum itu
sambil berkata, "Nah, sudah keluar sekarang. Akan tetapi racunnya tentu telah mengotori darah, sebaiknya
kau mendorongnya keluar dengan sinkang.”
Sebagai putera Pendekar Buta, tentu saja Swan Bu maklum akan hal ini, bahkan andai kata tadi Siu Bi
tidak mengeluarkan jarum itu dengan jalan membedah kulit dan daging pundak, dia sendiri pun sanggup
melakukannya.
Sekarang dia duduk bersila dan meramkan mata, mengerahkan sinkang, tidak saja untuk membersihkan
darah dan mendorong racun merah keluar melalui luka, namun sebagian besar lagi untuk menenteramkan
jantungnya yang bergolak tidak karuan tadi. Gangguan ini membuat usahanya kacau karena sukar baginya
untuk mengerahkan panca indera. Yang terbayang jelas adalah wajah Siu Bi, sinom rambut, bibir, hidung
mancung, mata bintang, serta nafas hangat halus yang membelai leher dan pipinya!
Siu Bi mengerutkan kening. Celaka, pikirnya. Mengapa darah yang teracuni belum juga keluar dari luka?
Apakah pemuda yang memiliki ilmu silat sehebat ini sudah begini lemah sinkang-nya oleh racun jarum
merah itu?
Dia menjadi tidak sabar lagi. Tanpa berkata sesuatu Siu Bi mengulurkan tangan kirinya, menempelkan
telapak tangannya yang halus itu kepada dada kanan Swan Bu, kemudian menyalurkan sinkang dan
membantu pemuda itu mendorong keluar racun jarum merah!
Merasa betapa telapak tangan itu mengeluarkan hawa panas di dadanya, Swan Bu lalu membuka mata
dan memandang heran, akan tetapi kedua matanya segera ditutupnya kembali. Jantungnya makin
berdebar, usahanya mengumpulkan panca indera juga makin kacau-balau.
Gadis itu duduk begitu dekat di depannya! Tangan yang halus itu serasa membakar kulit dadanya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Kemudian dia merasakan betapa hawa panas yang keluar dari telapak tangan halus itu menyusup ke
dalam tubuhnya, semakin lama semakin panas dan seakan-akan hendak membakar jantung. Swan Bu
kaget dan bergidik.
Kiranya gadis yang berwajah bagai dewi kahyangan ini benar-benar seorang iblis betina dan agaknya
malah hendak membunuhnya dengan penyaluran sinkang. Cepat-cepat dia mengumpulkan tenaganya dan
mengerahkan sinkang ke arah dada serta pundak kanan untuk menjaga diri.
Tiba-tiba Siu Bi membuka kedua matanya yang tadi dipejamkan, memandang heran dan kaget. Mereka
berdua merasa betapa tenaga sinkang mereka berhantaman hebat. Dua pasang mata beradu,
mengeluarkan sinar berapi. Tiba-tiba saja Siu Bi menjerit perlahan, badannya serasa terbakar. Swan Bu
bergoyang-goyang badannya, lalu keduanya roboh terguling. Pingsan!
Apa yang terjadi? Kiranya tanpa mereka sadari, dua orang muda ini telah mencelakakan diri sendiri. Dalam
usahanya membantu Swan Bu mengusir racun merah, Siu Bi sudah mengerahkan sinkang-nya, disalurkan
ke dalam dada dan pundak Swan Bu karena dia mengira bahwa pemuda itu kurang kuat untuk mengusir
racun. Sama sekali ia tidak tahu bahwa dasar pelajaran yang dia dapatkan dari kakeknya dahulu sama
sekali berlawanan dengan dasar pelajaran yang dimiliki Swan Bu. Oleh karena ini, hasil kekuatan di dalam
tubuhnya, yaitu hawa sakti yang dimilikinya, juga berlawanan dengan sinkang dari Swan Bu.
Maka ketika ia menyalurkan sinkang ke dalam tubuh Swah Bu, ia sama sekali bukan membantu, malah
merusak dan mengacaukan penyaluran sinkang pemuda itu, sehingga tanpa ia sadari kekuatan mukjijat
dari Hek-in-kang malah menyerang pemuda itu secara hebat.
Inilah yang menyebabkan Swan Bu terkejut dan bahaya maut yang mengancamnya ini membuat
kekacauan perasaannya yang tadi terganggu oleh kecantikan gadis itu segera lenyap dan cepat dia
mengerahkan tenaga dalam untuk menolak bahaya itu. Akibatnya dua macam hawa sakti yang berlawanan
sifatnya, lalu bertemu dan beradu dengan amat hebatnya.
Siu Bi kalah kuat, pada dasarnya memang ia kalah setingkat. Pertemuan tenaga sinkang itu membuat
tenaganya membalik dan menghantam diri sendiri. Sebaliknya Swan Bu yang lebih dulu menerima
serangan, tidak terluput dari luka dalam, sehingga keduanya roboh berbareng dalam keadaan pingsan dan
terluka hebat di sebelah dalam tubuh!
Pada saat Swan Bu tersadar karena kaget mendengar jerit halus, dia membuka matanya. Tadinya dia
serasa mimpi, mimpi sedang tenggelam di antara ombak besar yang hendak menelan dirinya bersama Siu
Bi. la berhasil memeluk gadis itu dan dalam menghadapi maut ditelan ombak, dia merasakan kenikmatan
yang luar biasa, merasakan kebahagian karena gadis itu berada dalam pelukannya.
Kemudian Siu Bi meronta, mengambil pedang dan membacok lengannya! Swan Bu amat marah dan
memukulkan tangannya yang tidak buntung ke dada Siu Bi sehingga gadis itu menjerit dan lenyap ditelan
ombak. Agaknya jeritan inilah yang menyadarkannya.
Dengan nafas terengah-engah Swan Bu membuka matanya. Tubuhnya serasa lemas tak bertenaga.
Sejenak dia bingung, akan tetapi segera dia teringat akan segala yang terjadi. Tadi dia roboh berbareng
dengan Siu Bi, di tengah hutan. Akan tetapi sekarang dia tidak berada di hutan lagi, akan tetapi di dalam
sebuah ruangan yang sangat kasar, ruangan sebuah goa yang kotor dan lembab.
Dan di sudut sana, di dekat dinding batu goa, dia melihat Siu Bi rebah telentang, mata gadis itu
membelalak ketakutan dan bajunya bagian atas robek dekat pundak kiri. Yang membuat Swan Bu terkejut
adalah makhluk yang berdiri dekat Siu Bi.
Makhluk mengerikan, bentuknya setengah manusia setengah monyet. Atau mungkin juga manusia hutan
atau manusia gila. Makhluk ini seorang laki-laki, sukar menaksir usianya, akan tetapi jelas tidak muda lagi.
Bertelanjang, kecuali sehelai cawat dari kulit harimau. Tubuhnya yang tinggi tampak pendek karena agak
bongkok, kedua tangan dan kakinya berbulu. Rambutnya riap-riapan, matanya merah.
"He-heh-heh... ha-hah-hah... cantik... muda...," terdengar dia bicara, suaranya parau dan kata-katanya
kurang jelas.
Tangan yang lengannya berbulu itu meraih ke bawah, mencengkeram baju Siu Bi yang sudah robek. Sekali
tangan itu menarik, terdengar kain robek dan tampaklah baju dalam berwarna merah muda.
dunia-kangouw.blogspot.com
Siu Bi menjerit. Heran, pikir Swan Bu. Suara gadis itu sekarang menjadi lirih sekali dan gerakannya begitu
lemah. Teringatlah dia. Tentu Siu Bi juga terluka parah, sama seperti dia.
Siu Bi berusaha untuk melompat bangun, namun ia roboh lagi dan mengeluh, "Jangan... bunuh saja...
bunuh aku..."
"He-he-he, Sayang! Kau jadi isteriku, cocok, heh-heh-heh!"
"Bedebah! Binatang! Aku tidak sudi... kau bunuh saja aku...!" Dalam kelemahannya, Siu Bi masih galak dan
memaki kalang-kabut.
"Ha-hah-hah, kau perempuan, tidak ada yang punya. Aku laki-laki, aku pun belum punya isteri... apa
salahnya? Kau jadi isteriku... hah-hah-hah, dan dia itu jadi bujang kita..."
"Hee, tunggu dulu!" Swan Bu melompat, akan tetapi seperti juga Siu Bi tadi, dia jatuh terduduk dan
mengeluh.
Dadanya terasa sangat sakit. Maklumlah dia bahwa pertemuan tenaga dalam tadi telah melukai isi
dadanya, luka yang cukup parah. la tahu bahwa hal itu akan membuat dirinya kehilangan tenaga dalamnya
untuk sementara. Mungkin untuk beberapa hari lamanya, sebelum pulih kembali kesehatannya.
Agaknya juga demikian halnya dengan Siu Bi. Dalam beberapa hari lamanya mereka berdua akan menjadi
orang-orang lemah, tidak mungkin dapat menolong diri sendiri, dan orang liar itu kelihatannya kuat sekali.
"Heh-heh-heh, orang muda lemah tiada guna. Kau mau bilang apa? Wah, kau begini lemah, menjadi
bujang pun kurang berharga. Huh!"
Diam-diam agak lega hati Swan Bu mendengar omongan itu. Ucapan itu membayangkan bahwa kakek liar
atau gila itu tidak dapat disebut ahli ilmu silat karena tidak mengerti bahwa kelemahannya ini adalah karena
luka dalam. Hal ini mendatangkan harapan.
Kalau kakek gila ini tidak pandai ilmu silat, biar pun memiliki tenaga besar, lebih mudah dilawan apa bila
dia atau Siu Bi tidak selemah ini. Mungkin istirahat dua tiga hari cukup. Sekarang paling perlu harus bisa
mencari akal, agar supaya kakek itu... agar dia jangan mengganggu Siu Bi.
"Lopek, harap kau jangan mengganggu dia..."
"Eeehhhhh, kau bilang apa? Dia ini akan kuambil sebagai isteriku. Peduli apa kau? Kau menjadi bujang
kami, dan mulai sekarang kau harus hormat dan taat kepada dia ini, dia isteriku yang muda... heh-heh-heh,
yang cantik... heh-heh-heh. Aku laki-laki kesunyian, bertahun-tahun..., dia perempuan... tidak ada yang
punya... cocok sekali...!"
"Lopek, tidak boleh begitu. Dia itu punyaku!"
Tiba-tiba kedua tangan yang tadinya sudah menyentuh pundak Siu Bi hendak merangkul itu, cepat-cepat
melepaskan pundak dan tubuh bongkok itu serentak membalik dengan gerakan yang cepat sekali.
"Apa kau bilang?! Perempuan ini punyamu? Bagaimana...? Apa maksudmu?"
Swan Bu menelan ludah dan memandang kepada Siu Bi yang melotot padanya. "Lopek, dia ini... dia
isteriku yang sangat kucinta, kau tidak boleh mengganggu isteri orang lain!"
"Heh...? Hoh...? Isterimu...?!" Kakek itu nampak bimbang ragu, mukanya yang liar jelas membayangkan
kekecewaan besar.
"Bohong dia!" Tiba-tiba Siu Bi berseru, akan tetapi suaranya tidak seketus dan sekeras biasanya.
Tenaganya sangat lemah sehingga untuk berseru keras saja tidak mampu dia. Namun ucapan ini cukup
membuat Swan Bu merasa kepalanya terpukul, dan pandang matanya gelap. Celaka, pikirnya, gadis tolol!
Sebaliknya kakek liar itu nampak gembira, mulutnya yang lebar, berbibir tebal dan giginya besar-besar
nyongat ke sana-sini, lalu tertawa-tawa girang.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hah? Dia bohong, ya? Bukan isterinya, kan? Ha-ha-hah, kau bukan isterinya? Kau tidak ada yang punya?
Ha-ha-hah! Akulah yang akan memilikimu, kau punyaku, kau isteriku..." Kakek itu menggerakkan
tangannya, hendak meraih tubuh Siu Bi.
Gadis ini menjadi pucat. "Tidak... tidak...! Bukan begitu...! Aku... aku... isterinya!"
Kembali tangan berbulu itu serentak kaget dan tidak jadi ke bawah.
"Apa? Kau betul isterinya? Kenapa bilang bohong?"
"Ohhh..." sejenak Siu Bi bingung dan lehernya serasa tercekik saking gemasnya melihat betapa Swan Bu
tersenyum-senyum!
"Dia tidak bohong bahwa aku isterinya, tetapi... tetapi dia bohong bahwa dia sangat... mencintaiku."
Muka liar itu berkerut-kerut. "Huh...? begitukah? Kalau tidak mencinta lagi, cerai dahulu, baru aku
mengambilmu sebagai isteri dan bekas suamimu itu jadi bujangmu. Senang, kan?"
Kakek itu kini melangkah maju mendekati Swan Bu, berkata dengan suara membujuk, "Orang muda, kau
ceraikan dia, ya? Kau ceraikan dia dan berikan kepadaku, biar dia menjadi isteriku. Kau tidak cinta lagi,
untuk apa? Kau baik, ya? Berikan saja padaku, aku akan mencintanya melebihi diriku sendiri, hah-hahhah!"
Swan Bu tersenyum. Jelas sekarang bahwa kakek ini adalah orang yang berotak miring. Agaknya terlalu
lama terasing di dalam hutan dan berubah seperti binatang. Akan tetapi agaknya masih belum lupa akan
‘kesopanan’ di antara manusia, antara lain bahwa tidak boleh mengambil isteri orang lain sebelum dicerai!
la melirik ke arah Siu Bi yang mukanya pucat dan matanya terbelalak ketakutan seperti mata kelinci dikejar
harimau. Puas kau, pikirnya. Kau yang bertingkah, mengatakan aku bohong tadi.
"Lopek, terserah kepada dia. Terserah kepada isteriku itu, apakah dia sudah tidak suka lagi kepadaku.
Kalau sudah tidak suka dan minta cerai, apa boleh buat, akan kulepaskan dia dan boleh dia menjadi
isterimu."
Kakek itu tiba-tiba memeluk Swan Bu dan... mencium pipinya. "Ha-ha-ha, anak baik! Kau baik sekali.
Terima kasih, ya? Bagus… bagus, dia sudah tidak cinta lagi padamu, boleh menjadi isteriku..."
Setelah berkata demikian dia meninggalkan Swan Bu yang menggosok-gosok pipinya dengan jijik karena
di situ tertinggal ludah dari mulut kakek gila.
Kini Siu Bi yang kelabakan karena kakek itu sudah mendekatinya lagi. Sebelum kakek itu bicara ia telah
mendahului, suaranya penuh rasa takut, "Tidak, dia main-main saja! Aku... aku cinta kepadanya. Kakek
baik, aku isterinya..,.. aku cinta padanya. Dan dia pun cinta kepadaku... kami hanya bertengkar sedikit...
aku tidak mau cerai, juga aku tidak minta cerai."
Kakek itu tersentak kaget dan kecewa bukan main. "Aahhh? Kau lebih suka kepada dia yang lemah itu?
Wah... celaka... aku tetap kesepian..."
"Kakek yang baik. Kau sudah tua, aku lebih patut menjadi anakmu, tidak pantas menjadi isterimu..."
"Heh, kau suka padaku?"
"Tentu saja, aku suka padamu seperti kepada ayahku sendiri. Tetapi aku... aku... cinta padanya, pada
suamiku..."
Biar pun mulutnya berkata demikian, namun sepasang mata Siu Bi memandang melotot marah kepada
Swan Bu yang hampir tak dapat menahan tawanya. Dia tersenyum lebar dan memandang Siu Bi dengan
mata mengejek dan menggoda.
"Bagus! Aku memang tidak punya anak. Heh-heh-heh, bagus!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Dan kakek itu berjingkrak-jingkrak, menari-nari kegirangan! Swan Bu dan Siu Bi saling pandang, bingung
akan tetapi juga lega bahwa mereka terlepas untuk sementara dari bahaya.
Akan tetapi tiba-tiba kakek itu berhenti menari dan menoleh ke arah Swan Bu dengan sikap marah. "Kau
suaminya, kau anak mantuku. Tetapi kau tidak baik kepadanya, ya? Berani kau tidak mencinta anakku?
Dia susah dan marah, tapi kau diam saja? Keparat, hayo kau senangkan hatinya. Awas, ya? Sekali lagi
berani kau membikin marah anakku, kupecahkan kepalamu!"
Kedua tangannya yang berbulu itu diayun ke kanan kiri, tiba-tiba memukul dinding batu padas dan
somplakan dinding itu terkena pukulan tangannya yang kuat.
"Nah, kepalamu akan seperti ini kalau kau berani membikin marah anakku lagi. Dia cinta padamu maka
kau pun harus cinta padanya, kalau dia tidak cinta padamu, dia menjadi isteriku. Huh-huh-huh! Sekarang
aku ingin sekali punya cucu, ha-ha-ha-ha, cucu laki-laki. Sebaiknya kalian lekas punya anak laki-laki
sebelum kesabaranku hilang!"
Swan Bu mengeluh di dalam hatinya. Kakek itu benar-benar gila, bicaranya kacau-balau tidak karuan.
Diam-diam dia merasa kasihan kepada Siu Bi, biar pun tadinya dia merasa geli dan gembira melihat gadis
itu terpojok, akan tetapi kini dia dapat mengerti betapa hebat ucapan si gila itu menyinggung perasaan
seorang gadis.
"Lopek, kami tentu akan perhatikan pesanmu. Sekarang, kuharap kau suka mengasihani. Kami sedang
terluka dan sakit, terutama sekali perlu mendapat perawatan. Kami hampir mati kelaparan..."
Kakek itu mendengus seperti lembu, lalu menoleh ke arah Siu Bi. "Kau benar laparkah, anakku? Kucarikan
buah-buahan untukmu, ya?"
Siu Bi sudah tidak mampu bersuara lagi. Ucapan kakek yang kacau-balau tentang anak segala macam tadi
membuat wajahnya sebentar pucat seperti kertas lalu sebentar merah seperti dicat. la kini hanya mampu
mengangguk-angguk saja.
"Ha-ha-ha, bagus. Tunggulah sebentar, akan kucarikan buah-buahan yang masak dan manis!" Kakek itu
tertawa-tawa lalu berlari keluar dari dalam goa itu. Terdengar suaranya di tempat jauh, tertawa-tawa.
Dari sini saja Swan Bu maklum bahwa kakek itu mampu berlari cukup cepat sehingga dalam keadaan
terluka dan lemah seperti itu, mereka berdua tidak ada harapan untuk melarikan diri, karena tentu akan
tersusul. Kakek itu selain dapat berlari cepat, pasti juga sudah hafal akan keadaan di dalam hutan.
Tiba-tiba dia melihat Siu Bi dengan susah payah berusaha bangun, berdiri dengan tubuh bergoyanggoyang
menahan sakit, lalu berjalan menghampirinya. Pada wajah cantik itu terbayang sikap mengancam
dan kemarahan yang ditahan-tahan. Setelah tiba di depan Swan Bu yang masih duduk bersila, Siu Bi
berteriak-teriak, akan tetapi suaranya seperti orang berbisik karena sesungguhnya ia sudah kehabisan
tenaga.
"Monyet kau! Keledai jahat kau! Penghinaan ini hanya dapat ditebus dengan nyawa! Kau berani bilang
.aku... aku… isterimu...? Keparat!"
Swan Bu tersenyum mengejek. "Kaulah yang bodoh seperti keledai! Satu-satunya jalan untuk menolong
kau terhina oleh kakek itu hanya dengan mengakuimu sebagai isteriku. Kau marah, ya? Hemmm, apakah
kau lebih suka menjadi isteri kakek itu?"
”Keparat! Kubunuh kau...!"
Siu Bi mengepal tinju dan terhuyung maju hendak memukul kepala Swan Bu. Akan tetapi dia mengeluh
dan terguling roboh! Namun dengan terengah-engah dia bangun kembali, berusaha merangkak mendekati
Swan Bu.
"Hemmm, perempuan liar! Kita sama-sama terluka hebat, tidak mampus sekarang pun masih untung. Masa
kau masih banyak lagak lagi? Lebih baik lekas bersila, menyehatkan kembali luka di dalam tubuh dengan
pernafasan baru. Setelah kita sama-sama sehat, baru kita boleh bicara lagi dan bersama-sama mengatasi
kakek gila itu!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah berkata demikian, Swan Bu tidak mempedulikan lagi kepada Siu Bi. Dia bersila sambil meramkan
matanya dan melakukan semedhi. Akan tetapi keadaan gadis itu amat mengganggunya sehingga kembali
dia gagal dan terpaksa mengintai Siu Bi dari balik bulu matanya.
Siu Bi duduk terengah-engah dan kedua pipinya basah oleh air mata. Agaknya ia marah sekali. Bibir yang
agak pucat itu bergerak-gerak dan Swan Bu dapat mendengar suara perlahan, “…kubunuh kau... kubunuh
kau..."
Terpaksa dia membuka matanya dan berkata tenang, "Kau tenanglah dan pikir baik-baik. Aku tidak takut
kau bunuh, tetapi kalau kau membunuhku, kau tentu akan diambil isteri oleh kakek gila itu. Sebaliknya apa
bila aku melawan dan kau yang mampus, aku tentu akan dibunuhnya pula...”
Siu Bi memandang marah. "Kubunuh kau kemudian aku melarikan diri!" katanya sambil merangkak makin
dekat.
Akan tetapi Swan Bu sudah meramkan mata lagi dan tidak mempedulikan Siu Bi. Tentu saja dia hanya
berpura-pura begini karena diam-diam dia siap siaga menjaga serangan tiba-tiba. Betapa pun juga, dia
tidak sudi untuk dibunuh begitu saja.
Agaknya kemarahan Siu Bi sudah bertumpuk-tumpuk kepadanya. Pertama, dia hendak membuntungi
lengan tangannya tetapi belum berhasil, ditambah pertempuran yang juga belum dapat ditentukan kalah
menangnya. Kemudian pengakuan Swan Bu bahwa gadis itu isterinya, ditambah lagi omongan kacaubalau
mengenai anak segala oleh kakek gila. Tentu saja Siu Bi tidak mau menerima hal ini dan
menganggapnya sebagai penghinaan yang tiada taranya. Setelah dekat, Siu Bi lalu mengayun tangan
memukul.
Swan Bu yang tidak meram betul, tapi mengintai dari balik bulu matanya, cepat miringkan tubuh dan
menarik kepala ke belakang. Pukulan mengenai angin dan tubuh Siu Bi yang berjongkok itu hampir
tertelungkup. Begitu lemah dia sekarang.
la menyeringai dan dadanya terasa makin sakit, kemudian ia terbatuk. Darah segar pun muncrat dari
mulutnya.
”Tenanglah, bernafas yang panjang dan kumpulkan sinkang..." Swan Bu berkata khawatir sekali karena
maklum bahwa setiap kali memukul, gadis itu memukul ke dalam dadanya sendiri yang membuat lukanya
semakin parah. la tidak ingat lagi bahwa gadis ini adalah musuhnya, dan tidak ingat bahwa sungguh
janggal betapa ia mengkhawatirkan keadaan gadis ini.
Namun Siu Bi tidak mau menurut, bahkan dengan nekat lalu menerjang lagi. Kini kedua tangannya
bergerak menghantam, yang kiri menyodok ulu hati sedangkan yang kanan mencengkeram ke arah leher.
Swan Bu maklum bahwa jika dia menangkis atau mengelak, maka gadis itu akan terluka semakin parah.
Cepat dia menggerakkan kedua tangannya dan pada lain saat dia telah menangkap kedua pergelangan
tangan Siu Bi.
"Lepaskan... lepaskan...!" Siu Bi meronta-ronta.
Akan tetapi Swan Bu tentu saja tidak mau melepaskannya karena maklum bahwa sekali lepas, gadis itu
akan kembali mengirim pukulan dari jarak dekat. Sekali dia kena pukul, mungkin dia tak akan kuat
menahannya, sebaliknya kalau pukulan itu tidak kena, Siu Bi yang mungkin akan tewas. Maka dia
memegang kedua pergelangan tangan itu erat-erat, tidak mau melepaskannya.
Selagi mereka bersitegang, berkutetan bagai orang bergulat itu tiba-tiba terdengar suara, "Heh-heh-heh,
kalian berkelahi...?"
Siu Bi dan Swan Bu terkejut sekali. Kalau kakek itu tahu mereka berkelahi, hanya dua akibatnya, Swan Bu
akan dibunuh dan Siu Bi akan dipaksa menjadi isterinya!
"Lekas...," bisik Swan Bu.
Mendadak ia melepaskan kedua pergelangan tangan Siu Bi, kemudian kedua lengannya merangkul leher
gadis itu, dipeluk dan didekapnya. Ketika matanya mengerling dan dia melihat kakek itu masih ragu-ragu
dunia-kangouw.blogspot.com
berdiri melihat mereka, Swan Bu lalu menarik kepala Siu Bi ke atas dan... dia menciumi muka Siu Bi.
"Auhhh... ahhh..."
Hampir saja Siu Bi pingsan ketika merasa betapa pemuda itu menciumi pipinya, bibirnya, hidungnya,
matanya. Serasa kepalanya disambar petir menjadi tujuh keliling, matanya melihat seribu bintang menarinari
dan telinganya mendengar seribu suara melengking-lengking, akhirnya… dia roboh pulas atau
setengah pingsan di atas pangkuan dan dada Swan Bu!
"Heh-heh-heh, bagus... bagus. Nah begitulah seharusnya! Kalau begitu aku akan lekas mendapatkan cucu
laki-laki, heh-heh-heh!"
Kakek itu melangkah maju dan menurunkan banyak sekali buah-buah yang baru masak, kemerahan dan
harum baunya. Swan Bu melihat betapa pedang hitam milik Siu Bi kini terselip pada ikat pinggang kakek
itu, berlepotan getah, agaknya pedang itu oleh si kakek dipergunakan untuk menebang pohon!
"Aku memanggang daging di luar, kalian beristirahat. Akan tetapi kelak bila mana sudah sembuh, kalian
yang harus melayani aku. Wah, masa orang tua disuruh bersusah-payah melayani anak dan mantu. Aturan
mana ini?" Kakek itu mengomel panjang pendek.
"Maafkanlah, Lopek. Kini kami berdua sedang sakit dan terluka. Tunggulah paling lama sepekan, kami
tentu akan sehat kembali dan dapat melayanimu."
Kakek itu masih saja tetap mengomel sambil berjalan keluar dari dalam goa. Langkahnya bagai langkah
monyet berjalan. Swan Bu mengusap peluhnya, peluh dingin. Hampir saja, pikirnya. Mereka berdua tadi
sudah berada di ambang jurang maut! la melirik ke arah Siu Bi yang masih ‘pulas’ di atas pangkuannya.
Swan Bu tersenyum pahit dan jantungnya berdetak aneh.
Tanpa dia sengaja atau sadari, jari-jari tangannya membelai rambut halus. Wajah Siu Bi yang pingsan itu
hanya membayangkan kecantikan yang mendatangkan gelora di dada, cantik jelita dan menimbulkan iba.
Sedikit pun wajah itu tidak lagi dinodai keliaran atau kemarahan, tidak lagi galak seperti pada waktu marah.
Swan Bu merasa seakan-akan jantungnya ditusuk-tusuk, perasaannya diremas-remas dan seperti dalam
mimpi dia lalu menunduk dan menciumi muka itu.
"Siu Bi... jangan marah padaku, Siu Bi... jangan memusuhi aku..." la berbisik-bisik dekat telinga gadis itu.
Siu Bi bermimpi. Dalam mimpi yang amat indahnya, ia berada dalam alam di mana tiada permusuhan
antara dia dan Swan Bu, malah ia menjadi isteri Swan Bu. Mereka berada di dalam taman nan indah,
bersendau-gurau, bermain-main dan suami tercinta membelai, mencumbu rayu. la pun membalas dengan
mesra, penuh cinta kasih.
Siu Bi sadar. Pening dan kacau pikirannya, sejenak ia bingung. la berada dalam pelukan Swan Bu, malah
dia sendiri merangkul leher pemuda itu, dan ia diciumi! Hampir Siu Bi menjerit.
Sekarang semua teringat olehnya. Dengan seruan tertahan ia merenggut diri, berusaha melompat mundur
akan tetapi kelemasan tubuhnya membuat ia terguling guling.
"Kau... kau..." la tidak dapat melanjutkan kata-katanya, hanya memandang ke arah Swan Bu melalui
linangan air mata.
"Aku cinta padamu, Siu Bi." Kata-kata ini singkat namun padat, diucapkan dengan penuh perasaan. "Tetapi
sekarang bukan waktunya kita bicara. Kau cepat pulihkan tenagamu, sembuhkan luka di dalam tubuhmu
agar kita dapat menghadapi si gila itu."
Sesudah berkata demikian, Swan Bu yang duduk bersila meramkan matanya, nafasnya panjang-panjang.
Di wajahnya yang tampan itu terbayang ketenangan dan kebahagiaan.
Melihat ini, Siu Bi mengusir semua bayangan yang mengacaukan pikirannya, lalu duduk bersila dan
meramkan matanya pula. Beberapa kali dadanya terisak, dan beberapa kali matanya terbuka memandang
ke arah Swan Bu.
Sukar baginya untuk melakukan siulian. Wajah Swan Bu bergantian dengan wajah kakek Hek Lojin
dunia-kangouw.blogspot.com
terbayang di hadapan matanya. Cumbu rayu pemuda itu bergantian dengan lengan buntung kakeknya,
mengaduk-aduk hati dan perasaannya. Akan tetapi akhirnya ia dapat juga menindas ini semua. Mulailah ia
mengumpulkan hawa sakti dalam tubuh, perlahan-lahan menyalurkan sinkang ke arah bagian dada yang
terluka di sebelah dalam.
Tiga hari lamanya kakek gila itu mencarikan makan minum untuk Swan Bu dan Siu Bi. Dan selama tiga hari
itu, kedua orang muda ini bertekun dalam siulian, menyembuhkan luka masing-masing. Hampir setiap hari
secara terpaksa Swan Bu merangkul dan selalu memperlihatkan sikap mesra terhadap Siu Bi, yaitu di kala
kakek itu kumat gilanya dan menuduh mereka tidak saling mencinta.
Dan Siu Bi menerima kemesraan Swan Bu ini dengan mata meram, hanya diam tanpa memperlihatkan
sikap apa-apa. Semenjak ‘mimpi’ itu Siu Bi menjadi pendiam, bahkan jarang mengadu pandang mata
secara langsung dengan Swan Bu.
Pada hari ke empat, pagi-pagi sekali kakek gila itu sedang tertawa-tawa seorang diri menghadapi api
unggun di depan goa, membakar daging kijang yang ditangkapnya malam tadi. Tiba-tiba dia mendengar
suara di belakangnya.
Pada saat menengok, dia melihat Siu Bi berdiri tegak. Sinar api unggun yang jatuh pada bayangan gadis
itu membuatnya bercahaya merah di antara keredupan embun pagi, luar biasa cantiknya seakan-akan
sang dewi pagi turun dari kahyangan menemuinya. Untuk sejenak kakek itu terpesona, kemudian dia
terkekeh.
"Ha-ha-ha, kau sudah dapat keluar? Hendak menemani aku? Bagus, kau tentu bosan dengan suamimu si
lemah itu. Ha-ha-ha, mari mendekat, Manis..."
Akan tetapi kata-katanya terhenti di situ karena mendadak Siu Bi sudah menerjangnya dengan hebat. Tiga
kali pukulan Hek-in-kang, biar pun hendak ditangkis juga percuma, tepat mengenai dada sedangkan
tangan kiri Siu Bi juga telah berhasil mencabut pedang Cui-beng-kiam yang terselip di ikat pinggang kakek
itu.
"Aduhh... auhhh..." tubuh kakek itu bergulingan, dan sebelum sempat meloncat bangun, Cui-beng-kiam
datang menyambar dan tubuh kakek itu rebah tidak bergerak lagi. Darah menyemprot ke luar dari lehernya
yang sudah putus, kebetulan menyemprot ke arah api unggun yang secara perlahan-lahan menjadi padam.
Dengan pedang Cui-beng-kiam yang berlumuran darah di tangan, Siu Bi segera berlari memasuki goa. Di
bawah cahaya remang-remang dia melihat Swan Bu masih duduk bersila. Wajah yang cantik itu menjadi
sangat beringas, sepasang matanya yang bening mengeluarkan cahaya, bibirnya yang merah digigit.
"Swan Bu, terimalah pembalasan kakekku!" Siu Bi berseru.
Swan Bu terkejut dan sadar, otomatis mengangkat kedua lengannya sambil membuka mata. Sinar hitam
berkelebat, lengan kiri pemuda itu terbabat buntung sebatas sikunya, darah menyembur keluar dan Swan
Bu roboh terguling, pingsan.
Sejenak Siu Bi tertegun, bagaikan kena pesona darah merah yang mengalir keluar dari lengan buntung.
Wajahnya pucat dan kedua kakinya menggigil. Tiba-tiba dia melempar pedang, menjerit lalu berlutut dekat
tubuh Swan Bu yang tidak bergerak dan mukanya pucat seperti mayat.
Dengan gugup dan bingung Siu Bi menotok jalan darah di dekat pangkal lengan yang buntung. Kemudian
dia menangis tersedu-sedu, memangku kepala Swan Bu, menciumi muka pemuda itu yang mengeluh
panjang pendek menyebut namanya.
Kurang lebih satu jam Swan Bu pingsan. Tiba-tiba kepala di pangkuan Siu Bi itu bergerak dan sepasang
mata itu memandang sayu, mulutnya tersenyum mengejek, amat menusuk perasaan.
"Siu Bi... kini kau sudah puas...? Ahh, alangkah cantiknya engkau... alangkah manisnya, alangkah kejam,
kau iblis wanita berwajah bidadari..." Seperti orang gila, mulut Swan Bu tersenyum-senyum.
Siu Bi menahan pekiknya dengan menutup mulut, kemudian dengan sekali renggut dia melepaskan kepala
dari pangkuan, melompat berdiri, menyambar pedangnya lalu berlari keluar dari goa. Isak tangisnya
terdengar bergema di dalam goa ketika Swan Bu dengan gerakan lemah bangkit dan duduk.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sejenak Swan Bu merasa kepalanya nanar, lalu matanya terbelalak memandang lengan kirinya yang kini
menggeletak di atas tanah seperti lengan tangan boneka, dan kemudian dia memegang lengannya yang
tinggal separuh sebatas siku, yang ujungnya terbungkus kain putih halus dan harum, kain pengikat rambut
Siu Bi.
Dengan lemah dia bangkit berdiri dan terhuyung-huyung berjalan keluar. Di luar goa tidak tampak Siu Bi
atau bayangannya, yang tampak hanya mayat kakek gila terlentang di atas tanah, kepalanya terpisah dari
badan. Puing api unggun masih mengebulkan asap dan daging yang dipanggang masih menyebarkan bau
sedap gurih…..
********************
Lee Si melarikan diri di dalam kegelapan sambil menangis tersedu-sedu. Hatinya seperti ditusuk-tusuk
jarum beracun kalau ia teringat akan pengalamannya. la harus lari, berlari cepat meninggalkan semuanya,
bahkan kalau mungkin meninggalkan dunia.
Tak berani ia bertemu dengan ayahnya, malu bukan main. Betapa mungkin dia dapat berhadapan dengan
ayahnya lagi setelah ayahnya itu melihat ia... tidur di bawah satu selimut dengan Swan Bu? Masih jelas
teringat olehnya betapa ia sudah hampir pingsan saking malu ketika dalam keadaan tertotok ia direbahkan
di samping Swan Bu yang juga tertotok, sedangkan Swan Bu tidak memakai baju!
Tadinya ia sama sekali tidak dapat menduga apa maksud dan kehendak orang-orang Ang-hwa-pai itu
dengan perlakuan ini. Mengapa ia dan Swan Bu tidak dibunuh melainkan diperlakukan seperti ini? Akan
tetapi saat tiba-tiba ia mendengar suara makian ayahnya, dan melihat ayahnya muncul di atas genteng,
kagetnya bukan main dan sekaligus dia pun tahu bahwa para penjahat itu agaknya sengaja memancing
ayahnya datang supaya orang tua ini dapat menyaksikan keadaan yang amat memalukan dan menghina
ini.
la mengerti sekarang. la mengerti pula mengapa ia sengaja dibebaskan setelah ayahnya muncul dan
menyaksikan adegan itu. Penghinaan yang luar biasa melebihi maut!
Dia sudah mengenal watak ayahnya yang keras. Tidak mungkin ayahnya dapat diberi penjelasan sesudah
dengan kedua mata sendiri menyaksikan adegan itu. Dan dia malu bertemu Swan Bu, malu bertemu siapa
saja! Lebih baik mati! Mati?
Tidak, belum waktunya. la harus bisa membasmi penjahat-penjahat Ang-hwa-pai berikut teman-temannya
itu sebelum dia sendiri mati. Dengan pakaian kusut serta hati penuh kegemasan dan sakit hati terhadap
Ang-hwa Nio-nio dan kawan-kawannya, Lee Si beriari terus secepatnya.
Tujuan perjalanannya sekarang adalah... ke Liong-thouw-san! Ia harus bertemu dengan Pendekar Buta, ia
harus bicara dengan ayah bunda Swan Bu, harus ia ceritakan tentang semua pengalamannya dengan
Swan Bu. Memang amat memalukan dan ia sudah bisa membayangkan betapa akan sukarnya mulutnya
bercerita tentang semua itu, akan tetapi hal ini penting sekali. Penting untuk membersihkan namanya, juga
nama Swan Bu, dan agar orang tua Swan Bu dapat menghadapi kemarahan ayahnya dengan tenang.
Siapa lagi yang akan dapat mendinginkan hati ayahnya yang panas bergelora itu kalau bukan Pendekar
Buta yang amat dihormati dan dipuji ayahnya? la dapat membayangkan bahwa kalau ayahnya tidak
berhasil mencari dan membunuh Swan Bu, tentu ayahnya akan mendatangi orang tua pemuda itu dan
mengamuk di sana. Alangkah akan hebatnya bencana yang timbul dari urusan ini! Dan mengingat itu
semua makin besarlah dendam dan sakit hati Lee Si terhadap Ang-hwa-pai.
Pada suatu hari, karena hari amat panas terik dan ia sudah merasa amat lelah, Lee Si melangkahkan
kakinya ke sebuah kelenteng kosong yang sudah tua dan rusak. Akan tetapi ketika ia sampai di ruangan
depan, ia kaget dan menjadi ragu-ragu melihat bahwa di situ sudah terdapat belasan orang laki-laki yang
agaknya juga sedang mengaso dan berlindung dari sengatan sinar matahari yang luar biasa panasnya.
Mereka ini sedang bercakap-cakap dan ada yang bersendau-gurau, hanya seorang pria muda dan tampan
duduk menyendiri di satu pojok, melenggut seperti orang mengantuk. Melihat banyak laki-laki di dalam kuil
itu, Lee Si menahan kakinya dan membalikkan tubuh, dia hendak berteduh di luar saja.
"Eh, A-liuk, apakah kita tidak mimpi? Bidadari kahyangan turun di siang hari? Wah-wah... kok pergi lagi...?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"lya... nona manis, kenapa tidak jadi masuk? Di sini teduh nyaman... kita bisa mengobrol, mari ke sinilah!"
kata seorang lain, disusul gelak tawa teman-temannya.
Lee Si yang baru saja mengalami mala petaka, tidak sudi mencari perkara baru sungguh pun hatinya
sudah amat panas dan ingin sekali kaki tangannya memberi hajaran kepada orang-orang kurang ajar itu.
Maklum bahwa kalau ia berada di sana tentu setidaknya telinganya akan mendengar suara-suara busuk,
gadis ini lalu melangkah keluar lagi dari pekarangan kelenteng tua, lalu berjalan cepat meninggalkan
tempat itu untuk mencari tempat peristirahatan lain.
Akan tetapi daerah ini kering, pohon-pohon kehilangan daunnya sehingga tidak ada lagi tempat yang
teduh. Terpaksa Lee Si berjalan terus menuju ke daerah yang dari jauh tampak banyak gundukan batubatu
besar dengan harapan mendapatkan tempat teduh di situ.
“Hee, nona manis, berhenti dulu...!"
Tiba-tiba terdengar seruan keras dan ketika Lee Si menengok, dilihatnya banyak laki-laki yang tadi duduk
di dalam kelenteng kini berlari-lari mengejarnya. Di depan sendiri tampak seorang laki-laki brewok yang
berpakaian seperti tentara, golok besarnya tergantung di pinggang. la ingat bahwa memang tadi di dalam
kelenteng ada si brewok ini yang hanya memandangnya dengan mata melotot dan mulut menyeringai.
"Hemmm, manusia-manusia keparat ini tak akan kapok kalau tidak diberi hajaran!" pikir Lee Si sambil
berhenti dan membalikkan tubuhnya, siap menanti mereka.
Hanya ada enam orang yang mengejarnya, dan biar mereka itu semua adalah laki-laki yang kasar dan
membawa senjata, dia tidak takut. Dia berdiri tenang-tenang saja, berdiri dengan sikap biasa bagai
seorang gadis muda yang hendak nonton lewatnya rombongan arak-arakan.
Mendadak berkelebat bayangan yang gerakannya cepat sekali dan tahu-tahu seorang pemuda sudah
berdiri menghadang larinya rombongan itu.
"Sahabat-sahabat harap berhenti dahulu untuk bicara!" laki-laki ini berkata dengan suara tenang.
Dia adalah pemuda berpakaian putih yang tadi duduk melenggut di pojok. Pemuda ini sikapnya tenang,
namun sepasang matanya memancarkan ketajaman dan ketabahan.
Si brewok yang berpakaian komandan tentara itu membelalakkan mata dan membentak. "Heh, bukankah
kau pengemis muda yang tadi mengantuk di dalam kuil? Mau apa kau?"
Pemuda itu mengangkat sedikit mukanya dan sepasang matanya dipicingkan, pandang matanya tajam
sekali menerobos di antara bulu matanya yang bergetar. Mulutnya agak tersenyum sebelum ia bicara
dengan suara lantang,
"Bukankah kau ini komandan she Gak yang membawa anak buahmu kumpulan tukang pukul ini
menjelajahi ke dusun-dusun untuk memeras rakyat dengan dalih kerja paksa membuat saluran? Orang she
Gak, ketahuilah bahwa semua rahasiamu sudah terbuka, aku sudah tahu bahwa kau bukanlah seorang
komandan tapi seorang kepala perampok yang menyamar sebagai komandan tentara untuk melakukan
pemerasan. Beberapa hari sudah aku mengikuti jejak kalian, sekarang kalian akan menambah kejahatan
pemerasan dengan mengganggu wanita baik-baik. Hemmm, dosa kalian sudah cukup besar..."
"Setan muda, mampuslah kau!”
Tiba-tiba tampak sinar berkilauan menyambar ketika ‘komandan’ itu menggerakkan golok besarnya yang
sudah dicabut cepat dan dipergunakan untuk membacok leher pemuda itu.
Diam-diam pemuda itu terkejut juga. Kiranya si komandan gadungan ini pandai juga ilmu goloknya. Namun
dengan gerakan mudah saja, yaitu dengan sedikit miringkan tubuh dan menekuk sebelah lutut, golok itu
hanya menyambar lewat di atas kepalanya, beberapa sentimeter saja selisihnya.
Akan tetapi tanpa ditarik kembali golok itu sudah langsung memutar ke bawah dan kini membabat ke arah
pinggang, disusul jotosan tangan kiri yang keras sekali menuju kepala pemuda itu. Sebuah serangan yang
hebat juga!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bagus!" Pemuda itu berseru.
Tubuhnya melompat ke atas sehingga golok yang membabat pinggangnya itu meluncur lewat di bawah
kakinya, sedangkan selagi tubuhnya berada di udara, kakinya bergerak menendang ke arah kepalan
tangan kiri lawan!
"Bagus...!" Kini seruan memuji kagum ini keluar dari mulut Lee Si.
Gadis muda ini berdiri menonton dan kagumlah dia menyaksikan gerakan pemuda itu. Menendang untuk
menangkis pukulan selagi tubuh masih berada di udara hanya mampu dilakukan oleh seorang yang ahli.
Namun orang she Gak itu pun ternyata lihai sekali. Cepat dia menarik kepalannya dan sebelum tubuh
pemuda itu turun, goloknya sudah menusuk lagi, kini memapaki turunnya tubuh itu dari bawah seakanakan
goloknya hendak menyate tubuh itu dari bawah ke atas. Serangan maut ini masih dia tambahi dengan
sebuah tendangan kilat yang amat keras.
Agaknya di samping kemahirannya dalam gerakan golok dan pukulan, si brewok ini ahli tendangan pula.
Malah bagi pemuda itu, tusukan golok hendak menyate tubuh itu malah tak sehebat tendangan yang amat
berbahaya ini karena tendangan itu dilakukan dengan gerakan kaki memutar sehingga sukar diduga bagian
mana yang hendak di ‘makan’ oleh tendangan kaki kiri ini!
"Hebat...!" kembali Lee Si berseru sambil menyaksikan gerakan pemuda pakaian putih itu.
Orang tentu akan merasa heran karena pemuda itu baru saja bergerak, belum kelihatan hasilnya, gadis ini
sudah memuji setengah mati. Akan tetapi kiranya pujian itu memang tidak salah karena akibatnya memang
hebat.
Dengan gerakan tangan kiri yang sangat luar biasa, pemuda itu turun dengan tubuhnya miring-miring
seperti mau jatuh, akan tetapi berhasil mengelak dari golok lawan yang menusuknya. Malah tangan kiri itu
sekali berkelebat telah mencengkeram tangan kanan yang memegang golok, dan sekali renggut gagang
golok telah pindah tangan, sedangkan tendangan maut itu diterima dengan tangan kanan yang disabetkan
ke bawah dengan jari-jari tangan terbuka.
"Dukkk!"
Aneh memang, akan tetapi nyata. Tangan kanan yang disabetkan miring itu bertemu dengan kaki yang
besar dan terbungkus sepatu tebal yang berlapis besi. Kalau menurut perhitungan dan logika, tentunya si
tangan yang akan remuk, setidaknya tulangnya tentu akan patah-patah dan kulitnya pecah-pecah. Akan
tetapi kenyataannya tidak demikian.
Tangan itu tidak apa-apa, juga tubuh si pemuda sama sekali tidak bergeming, sebaliknya tubuh si
penendang yang tinggi besar itu terpelanting jatuh, menggelinding dan akhirnya baru berhenti setelah
sebuah batu besar menahannya di tengah jalan dan kepala yang menumbuk batu itu pecah retak-retak,
dan yang punya kepala terhenti menjadi manusia hidup!
Pemuda itu melirik ke arah Lee Si, tersenyum dan mengangguk-angguk. Di dalam hati pemuda ini kagum
juga akan ketenangan gadis itu yang masih berdiri menjadi penonton.
Lima orang tukang pukul itu tentu saja menjadi marah sekali melihat ‘komandan’ mereka tewas. Dengan
teriakan-teriakan marah dan makian-makian kotor mereka lalu menerjang pemuda itu dengan bermacammacam
senjata. Dua orang bersenjata pedang panjang, seorang bersenjata toya, seorang bersenjata golok
dan seorang lagi yang kepalanya botak dan tidak bertopi bersenjatakan sebatang pecut baja. Ketika
mereka ini bergerak, kembali Lee Si terkejut karena lima orang ini kiranya bukanlah orang-orang yang
memiliki kepandaian rendah, boleh dibilang setingkat dengan si komandan gadungan tadi.
Melihat ini, teganglah seluruh urat syaraf di dalam tubuh Lee Si. Tak mungkin ia berdiam diri saja
menonton pemuda itu dikeroyok lima orang yang tak boleh dipandang ringan ini. Pemuda itu tak salah lagi,
berusaha menolongnya. Kalau sampai pemuda itu celaka atau terluka, hal ini sungguh amat tidak baik. la
sudah bersiap untuk segera melayang dan membantu kalau-kalau pemuda itu terancam.
Akan tetapi tiba-tiba hatinya berdebar tegang dan seperti terpaku di tempatnya. Pemuda berpakaian putih
dunia-kangouw.blogspot.com
itu kini bergerak-gerak seperti orang mabuk, menggunakan langkah-langkah aneh sekali yang ia kenal
seperti langkah-langkah yang dipergunakan oleh Swan Bu. Sama sekali pemuda itu tidak terdesak oleh
pengeroyokan lima orang, malah sambil menyelinap di antara senjata-senjata itu dia berkata,
"Tentara gadungan itu sudah sepatutnya mampus. Kalian boleh hidup, akan tetapi harus mengakhiri
kejahatan. Lain kali aku tidak dapat memberi ampun lagi!"
Tiba-tiba pemuda itu berkelebat. Tubuhnya seperti lenyap dari pandangan mata kelima orang
pengeroyoknya, yang tampak hanya sesosok bayangan yang didahului sinar golok rampasan tadi.
Terdengar pekik kesakitan berturut-turut dan senjata-senjata itu berturut-turut melayang runtuh dibarengi
mengucurnya darah dari kedua pundak dan kedua paha. Dalam sekejap mata saja lima orang itu sudah
roboh merintih-rintih.
Kiranya selain senjata merekar terlepas, juga ujung kedua pundak dan atas kedua lutut mereka terluka
oleh golok, luka yang tidak berbahaya tetapi cukup mengeluarkan banyak darah dan membuat mereka
merasa ngeri. Bila mana pemuda itu menghendaki, agaknya menewaskan mereka tidak lebih sukar dari
pada membalikkan telapak tangan.
"Nah, kuharap kalian kapok dan suka menghentikan praktek-praktek jahat!" seru pemuda itu sambil
melempar golok rampasannya ke tanah, kemudian dia membungkuk ke depan Lee Si sambil berkata,
"Silakan Nona melanjutkan perjalanan. Selamat berpisah!" Sehabis berkata demikian, pemuda itu
membalikkan tubuhnya dan berkelebat cepat sekali. Sebentar saja dia sudah lenyap di balik batu-batu
besar.
Akan tetapi, alangkah terkejutnya pemuda itu pada waktu dia mendengar suara orang di belakangnya yang
berseru halus,
"Saudara, harap suka tunggu sebentar!"
Pemuda itu membalikkan tubuhnya, menghadapi Lee Si dan segera mengangkat tangan memberi hormat.
Lee Si cepat-cepat membalasnya dan diam-diam ia memuji kesopanan pemuda ini yang usianya jauh lebih
tua dari padanya.
"Nona ada keperluan apakah Nona mengejar saya?"
"Saudara, kiranya tidak baik kubiarkan saja kau pergi tanpa menyatakan terima kasih atas pertolonganmu
dan..."
Pemuda itu tertawa dan wajahnya yang masak dan agak muram itu tampak jauh lebih muda kalau tertawa.
"Wah, harap Nona jangan memperolokku! Sama sekali aku tidak menolongmu, karena kalau tidak
kebetulan aku turun tangan terhadap mereka, kiranya mereka itu akan menerima nasib yang lebih berat di
tangan Nona. Dengan kepandaian yang Nona miliki, sungguh aku merasa malu kalau aku dikatakan
menolongmu."
"Ah, bagaimana kau bisa bilang demikian? Dengan kepandaianmu yang begitu tinggi dan sikapmu yang
amat merendah, kau sungguh membikin aku yang bodoh menjadi kagum, Saudara."
"Nona, sebelum aku bergerak kau sudah tahu tadi, sekarang dengan mudah kau dapat menyusulku, ini
saja sudah membuktikan bahwa kau seorang yang lihai. Sudahlah, tidak perlu puji-memuji ini. Bolehkah
aku mengetahui siapa gerangan nama Nona? Aku sendiri bernama Yo Wan."
"Yo Wan...? Serasa pernah aku mendengar nama ini..."
Lee Si mengerutkan kening, mengingat-ingat, akan tetapi tidak berhasil. Memang tentu saja dia tidak ingat
karena andai kata pernah mendengar, tentulah dari percakapan atau penuturan ayah bundanya yang
pernah menyebut nama ini sebagai murid dari Pendekar Buta.
"Nona siapakah dan murid siapa?"
"Aku murid orang tuaku sendiri, ayahku adalah Tan Kong Bu, ketua Min-san-pai, dan namaku Tan Lee Si."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ah...! Tentu saja Nona pernah mendengar namaku, tentu dari Tan-loenghiong, ayahmu. Aku sendiri sudah
lupa lagi kepada beliau, akan tetapi antara ayahmu, terutama ibumu dan suhu ada hubungan yang erat
sekali. Ketahuilah, suhu adalah Pendekar Buta..."
"Ahhh...!" Kini Lee Si yang ber ah-ah-ah saking herannya.
Lalu dia teringat akan langkah-langkah seperti orang mabuk yang tadi dilakukan Yo Wan ini dan yang ia
ingat ada persamaannya dengan Swan Bu. Dan sekarang tidak aneh lagi baginya akan kelihaian pemuda
ini. Kiranya murid Pendekar Buta, kepandaiannya tentu saja hebat.
"Kalau begitu... dia... dia itu sute-mu..." Otomatis ingatannya melayang kepada Swan Bu sehingga katakata
itu keluar dari mulutnya.
Yo Wan adalah seorang pemuda yang sudah matang pikirannya dan dia sangat cerdik. Oleh karena itu
sikap dan kata-kata gadis cantik manis itu sudah cukup baginya untuk menduga bahwa tentu ada sesuatu
di antara gadis cucu Raja Pedang ini dengan putera suhu-nya. Siapa lagi kalau bukan Swan Bu yang tadi
disebut ‘si dia’ sebagai sute-nya? Sute-nya memang hanya seorang, yaitu putera suhu-nya itu.
"Nona maksudkan Kwa Swan Bu sute? Apakah dia sahabat baikmu? Di mana adanya sute sekarang?"
Hal yang aneh terjadi, yang membuat Yo Wan sendiri terheran-heran dan terkejut bukan main. Gadis
manis itu tiba-tiba menangis! Air matanya bercucuran dan kedua tangannya sibuk mengusapi air mata
yang mengalir pada kedua pipinya, pundaknya bergerak-gerak dalam isak tangis yang menyedihkan.
Yo Wan berdebar hatinya, kekhawatiran hebat mencekam jantungnya, timbullah dugaan yang bukanbukan.
"Nona, ada apa dengan sute? Apakah yang terjadi?" tanyanya, wajahnya berkerut dalam kegelisahan.
"Malapetaka hebat... dia dan aku... kami berdua celaka..." Lee Si terisak-isak. Semenjak ia mengalami
bencana itu, baru kali ini ia berkesempatan bicara dengan seorang yang ia percaya, karena itu ia tak dapat
menahan kesedihannya.
Di lain pihak, Yo Wan terkejut seperti disambar petir. Dia sampai lupa diri sehingga kedua tangannya
memegang lengan Lee Si, lalu diguncang-guncangnya nona yang menangis itu sambil berkata, "Ada
apakah? Siapa mengganggu sute? Di mana dia dan apa yang telah terjadi?"
Melihat betapa nona itu menurunkan tangan dan dengan kaget memandangnya, Yo Wan melepaskan
kedua tangannya dan berkata,
"Maaf, aku sampai lupa diri. Ahh, kau tenangkanlah hatimu, Nona dan berceritalah yang baik. Ketahuilah,
semenjak kecil aku tidak bertemu dengan sute, hatiku penuh kerinduan, maka mendengar dia ditimpa mala
petaka, hatiku menjadi gelisah bukan main. Apakah dia terluka?"
Lee Si menggeleng kepala. "Tidak terluka, dan sekarang entah di mana, akan tetapi apa yang menimpa
kami berdua lebih hebat dari pada luka atau maut sekali pun."
Dengan muka menunduk dan suara perlahan, kadang-kadang terputus oleh isak tangis, Lee Si akhirnya
menceritakan semua pengalamannya dengan Swan Bu, juga mengenai tipu muslihat penuh fitnah yang
dilakukan oleh Ang-hwa-pai.
"Begitulah saudara Yo Wan, dapat kau bayangkan betapa marah ayah melihat keadaan kami, mendengar
suara ayah agaknya dia takkan puas kalau belum membunuh Swan Bu untuk mencuci penghinaan.
Padahal... padahal Swan Bu sama sekali tak bersalah dalam hal itu."
"Dan kau hendak ke manakah sekarang, Nona?"
"Ke mana lagi? Ke Liong-thouw-san hendak menemui ayah Swan Bu dan menceritakan semua hal itu
kepada ayah bundanya. Harap kau suka membantuku... berat juga mulut ini bercerita kepada paman Kwa
Kun Hong dan istrinya."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Jangan khawatir, aku pasti akan membantumu, Nona, demi kebersihan nama sute pula. Akan tetapi, kau
dan sute yang begitu lihai bagaimana sampai dapat tertawan? Siapakah yang menjadi jago Ang-hwa-pai
ketika itu? Setahuku, yang paling lihai hanyalah Ang-hwa Nio-nio dan pemuda yang bernama Ouwyang
Lam. Akan tetapi aku sangsi apakah dua orang ini dapat mengalahkan kau dan sute."
"Kalau hanya mereka berdua, agaknya kami tidak akan dapat tertawan musuh." Lee Si menarik nafas
panjang penuh sesal. "Selain mereka, masih ada dua orang kakek yang pada saat aku ditawan, kudengar
namanya sebagai pendeta Maharsi dari barat dan yang seorang lagi Bo Wi Sianjin, masih ada lagi seorang
iblis wanita bernama Siu Bi!"
Yo Wan menahan perihnya hati yang serasa tertusuk ketika dia mendengar disebutnya nama ini, nama
seorang gadis yang mendatangkan rasa sayang dan simpati di hatinya akan tetapi berbareng juga
mendatangkan rasa benci karena gadis itu adalah puteri The Sun pembunuh ibunya.
Diam-diam dia merasa menyesal sekali mengapa gadis itu kembali menggabungkan diri dengan pihak
Ang-hwa-pai yang dia tahu adalah golongan penjahat. Akan tetapi Yo Wan segera merenggut ingatannya
keluar dari lamunan tentang diri Siu Bi ini.
"Wah, urusanmu ini memang luar biasa hebat, adik Lee Si." Akhirnya dia berkata sambil menarik nafas
panjang. "Mereka itu memang jahat sekali dan tipu muslihat mereka itu agaknya akan dapat menimbulkan
bencana perpecahan yang sangat besar. Marilah kita jangan membuang waktu lagi, segera berangkat ke
Liong-thouw-san menemui suhu. Aku bisa mengerti betapa beratnya bagimu menceritakan peristiwa itu,
maka biarlah aku yang akan mewakilimu bercerita kepada suhu dan subo."
"Terima kasih, kau baik sekali...," jawab Lee Si sambil menghapus air mata terakhir dari pelupuk matanya.
Hatinya menjadi besar dengan adanya penolong ini, maka harapannya timbul kembali sehingga
kemuraman pada wajahnya mulai menghilang.
Akan tetapi, setelah melakukan perjalanan berpekan-pekan dan akhirnya mereka sampai di puncak Liongthouw-
san, mereka menjadi sangat terkejut dan kecewa sekali melihat bahwa puncak gunung itu sunyi
sepi, tidak ada kelihatan seorang pun manusia di sana. Tidak terdapat tanda sesuatu, juga tidak ada
seorang pun manusia di sana yang dapat menceritakan apakah yang telah terjadi di puncak itu. Tapi
menilik keadaan pondok yang masih bersih, seolah-olah masih ‘hangat’, jelas bahwa tempat yang sunyi ini
belum lama ditinggalkan oleh penghuninya.
Yo Wan berdiri di depan pondok, termenung dan termangu-mangu. Melihat tempat ini, tak terasa pula dua
titik air mata keluar dari pelupuk matanya, karena dia teringat akan keadaannya pada waktu masih kecil
dahulu.
Terbayanglah semua di depan matanya, keadaan dua puluhan tahun yang lalu, ketika dia masih kecil dan
tinggal seorang diri di tempat ini. Dia berjalan hilir-mudik seperti orang kehilangan pikiran, meraba-raba
dengan mesra batu-batu yang berada di depan pondok, membelai dedaunan di pinggir pondok, bibirnya
menyeringai setengah senyum setengah menangis.
la baru sadar setelah mendengar tangis Lee Si dan cepat dia menengok. Melihat gadis itu sudah duduk
dan menangis di atas bangku bambu di depan pondok, dia cepat-cepat menghampiri lalu berkata dengan
suara menghibur,
"Tenanglah, adik Lee Si. Tidak ada perkara di dunia ini yang tak dapat di atasi asal kita tenang dan sabar.
Memang agaknya tidak kebetulan kedatangan kita, agaknya suhu dan subo sedang turun gunung, entah ke
mana. Akan tetapi, sebagai wakil suhu, juga demi menjaga nama baik sute Swan Bu, aku siap untuk
membasmi penjahat-penjahat busuk itu. Marilah, adik Lee Si, kita turun kembali dan kau antarkan aku ke
tempat terjadinya peristiwa itu. Aku akan mencoba untuk menangkap Ang-hwa Nio-nio dan kita menyeret
dia ke hadapan ayahmu agar dia mengakui akan tipu muslihat dan fitnah yang diaturnya. Bagaimana?"
Lee Si hanya mengangguk-angguk, kemudian sesudah menekan perasaan kecewanya dapat juga dia
berkata, "Kau baik sekali, Yo-twako. Terserah kepadamu saja, aku… aku bingung tak dapat memikir
sesuatu...”
Mereka bermalam satu malam di puncak Liong-thouw-san. Pada keesokan harinya baru mereka turun dari
puncak itu, menuju ke kota Kong-goan di tepi Sungai Cia-ling…..
dunia-kangouw.blogspot.com
********************
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru