Rabu, 18 April 2018

Cersil Raja Pedang 3

Cersil Raja Pedang 3
baca juga

-----
Di masa itu kehidupan rakyat jelata di Tiongkok amat sengsara. Keadaan pemerintahan kacau-balau, para
pembesar hanya mementingkan isi sakunya sendiri tanpa peduli akan keadaan rakyat sama sekali. Pembesarpembesar
saling memperebutkan kekuasaan dan kedudukan dalam kehausan rnereka akan pangkat dan
kemuliaan duniawi.
Pemerintah penjajah kurang memperhatikan keadaan rakyat. Yang kuat menindas yang lemah, yang kaya raya
menggunakan harta kekayaannya untuk menghisap yang miskin, yang berkuasa mempergunakan
kedudukannya untuk mencekik si kecil.
Rakyat yang terkekang oleh belenggu penjajahan bangsa Mongol mulai berteriak dan melakukan perlawanan.
Di mana-mana timbul pemberontakan dan rakyat kecil pulalah yang menderita. Semua ini ditambah lagi
dengan datangnya musim kering yang sangat hebat sehingga kelaparan merajalela.
Di sebelah utara Propinsi Shen-si rakyat amat menderita oleh panjangnya musim kering. Sawah-sawah kering
merekah, pecah-pecah tidak mungkin dapat ditanami. Sungai-sungai kecil kehilangan sumbernya, telagatelaga
kelihatan dasarnya, pohon-pohon kehilangan daunnya. Manusia dan binatang kurus-kurus kekurangan
makanan, setiap hari banyak orang dan binatang mati kelaparan.
Rakyat pun menjerit, ratap tangisnya membubung ke angkasa, bersambat kepada Tuhan. Setiap hari orang
bersembahyang, minta hujan, minta perlindungan, minta-minta dengan ratap tangis yang tak berdaya. Namun
di lain tempat, di kota-kota besar, para pembesar dan hartawan berpesta pora. Mereka seakan-akan berlomba
menghamburkan arak dan gandum, bersenang-senang, seujung-rambut pun tak pernah teringat kepada
Tuhan!
Sayang, Tuhan hanya dijadikan sebagai tempat pelarian bagi mereka yang menderita. Sayang, Tuhan hanya
diingat oleh manusia setelah mereka itu membutuhkan pertolongan dari kesengsaraan duniawi. Lebih patut
disayangkan pula, di dalam keadaan menderita, orang mengeluh mengapa Tuhan meninggalkannya, lupa
sama sekali bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan manusia, sebaliknya manusialah yang meninggalkan
Tuhan sampai jauh, sampai tersesat dan akhirnya mereka kehilangan Tuhan.
Bagaikan orang yang menyia-nyiakan obor dan membuang-buangnya di waktu hari masih terang, kemudian
kebingungan meraba-raba, mencari-cari obor di kala malam gelap tiba.
Penduduk di daerah kering ini sudah banyak yang meninggalkan kampung halaman, dan berbondong-bondong
mengungsi ke selatan di mana daerahnya lebih mendingan apa bila dibandingkan dengan daerah utara.
Akan tetapi sungguh patut dikasihani para petani miskin ini. Di daerah baru mereka justru dianggap sebagai
pengganggu. Mereka itu baru bisa mendapatkan sekedar pengisi perut setelah tenaga mereka diperas
dunia-kangouw.blogspot.com
melebihi tenaga kuda. Tidak heran apa bila dusun-dusun di utara ini banyak yang kosong ditinggalkan
penduduknya sehingga merupakan daerah mati.
Pada suatu pagi, seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa memasuki sebuah dusun yang
cukup besar. la merasa heran sekali melihat dusun ini sunyi senyap, banyak rumah-rumah kosong ditinggalkan
penduduknya. Ia sudah merasa lapar sekali, akan tetapi tidak melihat sebuah pun rumah makan.
Pemuda ini bukan lain adalah Tan Hok. Dipikirnya bahwa penduduk sepagi itu agaknya sudah pergi ke sawah,
maka dia lalu keluar lagi dari dusun itu menuju ke sawah untuk menemui penduduk dan minta diberi makan.
Tetapi apa yang dia lihat di sawah membuat dia bergidik. Sawah mengering, sunyi senyap.
Tiba-tiba dia melihat benda-benda yang membuat dia makin bergidik. Benda-benda yang menggeletak di
sepanjang jalan dusun itu bukan lain adalah mayat orang-orang yang mati kelaparan, bahkan ada yang sudah
berbau busuk. Dengan hati cemas ketakutan Tan Hok menjauhkan diri. la segera berlari menuju ke tengah
sawah di mana dia mendengar suara orang berteriak-teriak. Ketika sudah dekat, pemuda ini berdiri seperti
patung, matanya terbelalak memandang penglihatan di tengah sawah yang tanahnya mengering itu.
Di sana, di tengah sawah, dia melihat seorang kakek berlutut, menangis dan tertawa-tawa tak karuan, jelas
bahwa orang itu sudah berubah ingatannya. Kakek ini kurus bukan main, rambutnya awut-awutan dan
pakaiannya compang-camping, wajahnya seperti tengkorak hidup. Dengan dua tangannya kakek ini
menggenggam tanah kering dan berteriak-teriak.
"Thian (Tuhan), kepada siapa aku harus mengeluh? Kepada siapa lagi aku dapat minta tolong kalau Kau
sendiri sudah menutup telinga, menutup mata terhadap penderitaanku?" Dia menangis terguguk-guguk,
kemudian matanya menjadi beringas dan tiba-tiba saja dia tertawa-tawa terkekeh-kekeh.
"Ha-ha-ha! Ibu tanah... kau yang memberi kehidupan. Kau yang menghasilkan makanan, kau yang
mengeluarkan air. Sekarang engkau tidak mau memberi air dan makanan, apa salahnya kalau aku memakan
kau? Ha-ha-ha-ha, semua bahan makanan datangnya dari tanah, mustahil tanah tidak mengenyangkan perut!"
Sambil tertawa-tawa orang itu lalu makan tanah kering yang dia kepal tadi! Sungguh amat menyayat hati
melihat orang ini. Makan tanah kering sambil tertawa dan kadang-kadang menangis tanpa mengeluarkan air
mata.
Mulutnya sudah mengering karena dijejali tanah kering yang dimakan secara lahap itu, membuat dia tercekik,
terengah-engah, megap-megap seperti ikan dilempar ke darat. Dia memegangi leher, memekik-mekik,
berputaran lalu jatuh berkelojotan!
Tan Hok cepat lari menghampiri dan... dia melihat kakek itu sudah putus nyawanya. Kakek itu mati dengan
mata melotot lebar, dan mulut yang penuh tanah kering itu ternganga menyeringai. Tan Hok merasa ngeri dan
menutupi mukanya, tak terasa air mata mengalir di antara celah-celah jari tangannya.
"Thian Yang Maha Kuasa, mengapa aku yang sudah banyak menderita ini masih harus menyaksikan ini
semua...?"
la berlutut dekat mayat kakek itu dan menangis. Kemudian dia dapat menguasai hatinya, lalu digalinya lubang
di sawah itu dan dikuburnya mayat kakek tadi.
"Kakek, mudah-mudahan tubuhmu akan menyuburkan tanah ini...," doanya.
Kemudian pemuda raksasa ini mengubur pula empat mayat lainnya yang menggeletak di tepi jalan. Selagi dia
mengubur mayat terakhir, tiba-tiba dia mendengar suara keras dan belasan orang dusun datang berlari-lari ke
arahnya. Mereka itu membawa segala macam senjata tajam alat-alat pertanian. Dengan muka mengancam
mereka datang menyerbu sambil berteriak-teriak.
"Siluman pemakan bangkai!"
"Bikin mampus iblis jahat ini!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Belasan batang senjata bagai hujan datang menghantam ke arah Tan Hok yang menjadi terheran-heran. Akan
tetapi, sekali sampok saja dengan lengannya yang besar dan penuh tenaga itu, semua senjata lalu terpental
dan terlempar disusul teriakan-teriakan kaget dan kesakitan. Tan Hok tidak tega menggunakan kekerasan
terhadap orang-orang ini, yang ternyata adalah orang-orang kurus pucat yang mirip setan-setan kelaparan.
"Kalian ini setan-setan gila datang-datang menyerangku apa sebabnya?" tanya Tan Hok dengan suaranya
yang menggeledek.
"Kaulah setan pemakan bangkai!" seorang di antara mereka memberanikan diri memaki.
"Aku tak pernah makah bangkai!" jawab Tan Hok.
Orang-orang itu memandang penuh perhatian, agak ragu-ragu. "Habis, mayat-mayat tadi kau apakan?"
"Aku kubur mereka. Kalian lihat, ini yang terakhir." la menuding ke arah lubang yang dia gali di mana mayat
terakhir telah dia masukkan.
Orang-orang itu lalu melongok ke dalam lubang. "Apa tubuhnya masih utuh? Apa tak ada bagian yang
dimakannya?" Demikianlah mereka bertanya-tanya.
Ketika melihat bahwa mayat itu memang masih utuh badannya, mereka lalu menjatuhkan diri berlutut, ada
yang menangis dan ada pula yang minta ampun.
Seorang kakek yang mengepalai mereka lalu berkata, "Orang muda yang gagah, harap ampunkan kami
sekalian. Kami telah salah sangka..."
”Kasihan kami orang-orang kelaparan...," kata orang ke dua.
Tan Hok menggeleng-geleng kepalanya, lalu mengomel, "Kalian ini orang-orang gendeng, mengganggu saja!"
Dia lalu lanjutkan pekerjaannya, menguruk lubang dengan tanah galian. Orang-orang itu tanpa diperintah
membantu. Akan tetapi tubuh mereka yang lemah itu memang tidak kuat untuk dipakai bekerja berat.
Kakek yang memimpin rombongan ini berkata, "Sudah banyak teman kami mati kelaparan dan sepekan yang
lalu ada orang kelaparan gila yang suka makan bangkai saking tidak kuat menahan laparnya. Kami klra kau
itulah orangnya..."
Tergerak juga hati Tan Hok mendengar ini, meski pun dia tidak dapat mengerti mengapa orang-orang itu
sampai kelaparan dan mengapa ada orang sampai makan bangkai orang dan bahkan tadi dia melihat sendiri
ada orang makan tanah.
"Kalau kalian kelaparan, kenapa tidak makan?”
Orang-orang itu saling pandang, kemudian mereka semua memandang kepada Tan Hok dengan heran.
Melihat wajah Tan Hok membayangkan kebodohan, kakek tua itu menarik napas panjang dan berkata,
"Orang muda, kau menyuruh kami makan, tetapi apa yang dimakan? Musim kering terlalu hebat, tanah
menjadi kering, semua tanaman habis. Yang mempunyai simpanan gandum hanyalah pembesar-pembesar
dan orang-orang kaya. Orang-orang seperti kami ini mana ada simpanan? Semua orang terpaksa mengungsi
ke selatan, hanya kami yang tak punya apa-apa terpaksa tinggal di sini."
"Jadi ada pembesar dan orang kaya di sini?"
"Pembesar sih tidak ada, orang-orang kaya juga tidak banyak. Tapi yang paling kaya dan paling kikir adalah
Kwi-wangwe (hartawan Kwi), tuan tanah terkaya di sini."
"Kenapa tidak minta makan padanya?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Uuuhhh minta makan? Orang muda, dia itu amat kikir, jangankan dimintai, dipinjami saja tidak mau memberi.
Kami bahkan diusir dan dikeroyok oleh anjing-anjingnya, anjing kaki empat dan kaki dua."
"Ada anjing kaki dua?" Tan Hok benar-benar terheran.
Kembali orang-orang itu saling pandang. Agaknya makin jelas bagi mereka bahwa orang muda yang tinggi
besar seperti raksasa ini kelebihan tenaga akan tetapi kekurangan otak.
"Orang muda, Kwi-wangwe selain memelihara anjing-anjing kaki empat, juga dia dilindungi oleh tukang-tukang
pukulnya. Malah semua pembesar di kota-kota yang berdekatan juga melindunginya. Siapa berani
terhadapnya?"
"Hemmm, aku berani! Kalian lapar? Aku pun lapar. Hayo kita pergi ke rumah anjing she Kwi itu. Aku akan
paksa dia keluarkan makanan untuk kita."
Bangkit semangat orang-orang itu. Mereka sudah tahu bahwa pemuda raksasa ini adalah seorang yang kuat
dan pandai ilmu silat, hanya sayang wataknya aneh dan agak bodoh.
"Orang muda, penjagaan di rumah Kwi-wangwe kuat sekali. Apa kau tidak takut?" Kakek itu masih mencoba
untuk menakutinya.
"Aku Tan Hok tak kenal takut. Mendiang suhu bilang bahwa orang tidak perlu takut kalau membela si lemah
dan menegakkan keadilan. Orang she Kwi itu gandumnya berlebihan, kalian sebaliknya kelaparan, ini tidak adil
namanya. Mari, antarkan aku!"
Sikap dan ucapan Tan Hok membangkitkan semangat orang-orang yang kelaparan itu, dan rombongan ini lalu
menuju ke rumah Kwi-wangwe. Di sepanjang jalan yang sunyi rombongan ini terus bertambah besar dan
akhirnya semua sisa penduduk dusun itu yang berjumlah dua puluh orang lebih berada di dalam rombongan.
Orang-orang yang tadinya berputus harapan ini timbul keberaniannya sesudah mereka dibela oleh pendekar
muda Tan Hok. Betapa pun juga, setelah mereka sampai di depan gedung besar milik Kwi-wangwe, gedung
dan pagar tembok yang tinggi tebal, dan melihat empat orang tukang pukul menjaga di depan pintu pagar
tembok, keberanian mereka mendadak lenyap dan orang-orang ini bersembunyi di belakang Tan Hok.
Melihat sikap pengecut ini, lenyap kesabaran Tan Hok. "Hayo kalian maju dan nyatakan kehendak hati kalian.
Takut apa?" serunya.
Kakek tadi bersama dua orang temannya lalu memberanikan diri mendekati pintu pagar tembok.
"Anjing-anjing kelaparan, mau apa kalian ribut-ribut di sini?!" bentak seorang tukang pukul sambil melintangkan
toyanya, sikapnya mengancam dan sombong sekali.
"Kami hampir mati kelaparan...," kata kakek itu merendah, "Kami hendak mohon belas kasihan Kwi-wangwe,
mohon bantuan sedikit gandum untuk penyambung nyawa..."
"Pengemis-pengemis kelaparan, pergi kalian! Kwi-wangwe mana ada waktu buat melayani kalian? Sedang ada
tamu agung dan sibuk. Pergi!"
"Kasihanilah kami... biarlah kami diberi pinjaman gandum, kelak tentu kami bayar dengan tenaga...," kakek itu
mendesak.
"Setan, tidak lekas pergi?!"
Empat orang tukang pukul itu menjadi marah sekali dan serentak mereka menggerakkan toya menerjang maju.
Segera terdengar suara bak-bik-buk disusul pekik kesakitan ketika para petani itu dipukul. Percuma saja
mereka mencoba melawan karena mereka yang di waktu sehat saja tidak mampu melawan tukang-tukang
pukul ini, apa lagi sekarang dalam keadaan hampir mati kelaparan.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kejam sekali! Anjing-anjing penjaga, jangan gigit orang."
Tan Hok melompat ke depan dan sekali dia menggerakkan kedua kaki tangannya, empat orang tukang pukul
itu langsung roboh. Toya mereka ada yang patah dan ada pula yang terlempar jauh.
Bukan main kaget hati mereka. Apa lagi ketika mereka melihat bahwa yang merobohkan mereka begitu
mudahnya hanyalah seorang pemuda yang tubuhnya seperti raksasa.
"Tolong... ada pengacau...!" Mereka berteriak-teriak ke dalam sambil merayap bangun.
Berbondong-bondong dari dalam gedung keluar belasan orang tukang pukul, malah di antara mereka ada yang
berpakaian seperti serdadu pemerintah Goan. Mereka ini ada yang membawa golok, toya, atau pedang dan
dengan sikap mengancam mereka berlari menyerbu keluar.
Para petani yang tadinya berbesar hati melihat betapa dengan amat mudahnya Tan Hok merobohkan empat
orang tukang pukul yang melabrak mereka tadi, sekarang berbalik menjadi ketakutan dan menjauhkan diri.
Tan Hok sendiri sama sekali tidak merasa takut. Malah dia menyambut mereka dengan suaranya yang keras,
"Kalau tidak mau memberi gandum kepada mereka yang kelaparan, kupukul mampus kalian anjing-anjing
penjaga!"
Tentu saja para tukang pukul dan serdadu penjaga itu memandang rendah kepada Tan Hok. Sambil berteriakteriak
memaki mereka menerjang. Hujan senjata menyambar ke arah tubuh tinggi besar itu, namun segera
terdengar teriakan-teriakan mengaduh-aduh dan keadaan menjadi kacau-balau.
Para pengeroyok sibuk menyerang Tan Hok dari empat penjuru, namun pemuda gagah perkasa ini selalu bisa
melindungi tubuhnya dari ancaman senjata dengan jalan mengelak atau menangkis. Malah dia cepat secara
kontan mengirim pukulan-pukulan balasan yang membuat beberapa orang menggeletak pingsan. Melihat
semakin banyak tukang pukul berlarian dari dalam, Tan Hok merampas sebatang toya dan mengamuk dengan
senjata ini. Makin ramailah pertempuran di depan gedung Kwi-wangwe itu.
"Saudara-saudara, Tan-enghiong dikeroyok ketika membela kita. Bagaimana kita bisa tinggal diam saja? Hayo
bantu!" Kakek petani berseru keras.
Memang keberanian para petani itu mulai timbul setelah melihat betapa gagahnya Tan Hok melawan para
tukang pukul.
"Betul... betul... hayo bantu Tan-enghiong...!"
Puluhan orang petani yang kurus-kurus itu dengan semangat menyala lalu menyerbu para tukang pukul yang
mengeroyok Tan Hok. Mereka tidak peduli lagi akan keselamatan diri sendiri. Yang dipukul jatuh, langsung
bangkit lagi dan melawan penuh kenekatan.
Mendapat bantuan ini, tentu saja Tan Hok menjadi makin bersemangat. Toyanya lantas mengamuk dan satu
demi satu para tukang pukul dapat dia robohkan.
Pada saat itu pula, dari sebelah dalam gedung terdengar suara orang berseru, "Mundur semua, biarkan Giamsiauwya
(Tuan Muda Giam) mengusir para pengacau!" Itulah suara Kwi-wangwe.
Mendengar perintah ini, para tukang pukul lalu mengundurkan diri sambil menyereti tubuh teman-teman
mereka yang terluka. Semua orang termasuk Tan Hok lalu memandang ke dalam.
Mereka melihat Kwi-wangwe yang sudah setengah tua, seorang bertubuh tinggi kecil yang berpakaian mewah
sekali, tangan kiri mengisap huncwe berujung emas, berdiri di anak tangga sambil memandang ke luar. Di
sebelahnya berdiri seorang pemuda yang aneh.
dunia-kangouw.blogspot.com
Muka pemuda ini pucat putih, matanya liar tajam, hidungnya mancung. Akan tetapi wajah yang tampan ini
nampaknya aneh dan mengandung sesuatu yang mengerikan, terutama pada matanya. Pakaiannya serba
kuning dan tangan kanannya memegang sebuah suling ular.
Pada saat itu, pemuda yang usianya antara dua belas tahun ini berkata sambil tertawa. "Kwi-wangwe, biarlah
aku mengadakan sedikit pertunjukan yang menarik hati."
Bocah laki-laki belasan tahun itu kemudian mengangkat sulingnya, ditiupnya suling itu. Terdengar suara
melengking yang aneh, naik turun seperti gelombang samudera, makin lama makin tinggi dan nyaring
menusuk anak telinga. Tan Hok yang sudah mempelajari ilmu silat tinggi, kaget sekali karena tahu bahwa
suling itu ditiup dengan kekuatan khikang yang hebat!
"Ular...! Ular...!" Para petani berteriak-teriak ketakutan.
Tan Hok kaget dan cepat memutar tubuh memandang. Ia bergidik melihat banyak sekali ular merayap cepat
menuju ke tempat itu, besar kecil dan datang dari semua jurusan. Tadinya hanya beberapa ekor saja, mungkin
ular-ular yang terdekat di tempat itu, akan tetapi sebentar kemudian menjadi puluhan dan akhirnya ratusan
ekor ular datang dan dari jauh masih kelihatan banyak lagi mendatangi.
Pada saat ular-ular yang amat banyak itu sudah berkumpul dan menggeliat-geliat sambil menujukan mata ke
arah si penyuling cilik yang sudah berjalan keluar dari pintu pagar tembok, suara suling tiba-tiba berubah
menjadi kacau balau dan... tiba-tiba saja ular-ular itu mendesis-desis dan nampak marah, lalu menyerang para
petani.
Segera terdengar jerit-jerit kesakitan bercampur dengan teriakan ketakutan. Para petani mencoba melawan,
namun sia-sia karena jumlah ular terlampau banyak.
Melihat ini Tan Hok marah sekali. Sambil mengeluarkan gerengan seperti harimau terluka orang muda ini
menyambar sebatang toya, kemudian menerjang rombongan ular itu. Dia menggebuk dan memukul,
menghancurkan banyak kepala ular.
Akan tetapi ular itu terlampau banyak dan tidak mungkin dia dapat melindungi dua puluh lebih orang bernasib
malang yang diserbu ular-ular itu. Apa lagi di antara ular-ular itu, juga banyak terdapat ular-ular kecil berbisa
yang amat gesit. Sekali pagut saja ular-ular seperti ini mematikan korbannya.
Melihat betapa para petani itu roboh binasa, Tan Hok menjadi ngeri dan dengan amarah meluap-luap dia
melihat betapa makin banyak dia membunuh ular, maka makin ganaslah ular-ular yang lain dan dalam sekejap
mata saja para petani itu sudah roboh semua. Tak seorang pun tinggal hidup lagi.
"Iblis kecil berhati keji!"
Tan Hok membalik tubuh dan melompat dengan toya di tangan, menyerang bocah kecil penyuling yang aneh
itu. Sama sekali dia tidak tahu bahwa bocah itu bukanlah sembarang bocah. Dia ini bukan lain adalah Giam
Kin, murid Siauw-ong-kwi tokoh besar dari utara yang amat jahat.
Serangan dengan toya yang dilakukan oleh Tan Hok amat dahsyat. Akan tetapi tiba-tiba Giam Kin
menggerakkan tangan kirinya dan sinar keemasan menyambar ke arah muka Tan Hok. Terkejut raksasa muda
ini. Cepat dia menggunakan tangan kirinya menyampok sinar keemasan tanpa membatalkan serangannya
dengan toya yang dipegang di tangan kanan.
Akan tetapi sebelum toyanya mendekati tubuh Giam Kin, dia menjerit kesakitan sambil melempar toyanya,
kemudian tangan kanannya merenggut ular kuning emas yang sudah menggigit tangan kirinya. Rasa sakit,
panas dan gatal-gatal menyerang seluruh tubuhnya.
Sekali remas saja hancur luluhlah kepala dan tubuh ular kecil itu, akan tetapi rasa sakit yang menguasai
tubuhnya tak tertahankan lagi. Sambii memekik-mekik Tan Hok memutar tubuh dan pergi secepatnya dari
tempat itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ha-ha-ha-ha, orang sombong itu tidak akan waras lagi otaknya, dia sudah terkena racun Kim-tok-coa (Ular
Racun Emas)!" Giam Kin tertawa bergelak kemudian meniup sulingnya lagi.
Ular-ular yang tadinya sedang berpesta-pora menggigiti mayat para petani itu sekarang lari ketakutan
mendengar suara suling sehingga sebentar saja di situ tidak ada seekor pun ular, kecuali bangkai-bangkai ular
yang dibunuh Tan Hok tadi dan mayat para petani yang malang melintang.
Kwi-wangwe beserta kaki tangannya yang sudah kerap kali menyaksikan pembunuhan terhadap orang-orang
miskin itu, sekarang bergidik juga menyaksikan kejadian yang amat menyeramkan ini. Dengan penuh hormat
Kwi-wangwe mempersilakan Giam Kin masuk ke dalam gedungnya lagi dan memerintahkan kepada orangorangnya
untuk membersihkan halaman itu, membawa pergi bangkai-bangkai ular dan mayat para petani…..
********************
Tan Hok berlari-lari terus secepatnya. Tubuhnya memang luar biasa kuatnya sehingga biar pun dia sudah
terkena gigitan ular berbisa yang amat berbahaya, dia masih dapat berlari cepat sampai puluhan li jauhnya.
Akan tetapi akhirnya dia terguling roboh di tengah sawah yang tanahnya kering merekah, pingsan.
Matahari dengan cahayanya yang penuh menyinari tubuh Tan Hok yang menggeletak tak berdaya, seolah-olah
hendak membakarnya. Ternyata bahwa racun ular kuning keemasan itu mengandung hawa yang amat panas
sehingga seluruh tubuh Tan Hok menjadi merah kehitaman, apa lagi di bagian tangan yang tergigit sampai
menjadi hitam seperti hangus terbakar.
Pada saat itu, dari jurusan selatan, di atas jalan kecil yang kering kerontang dan sunyi, terdengar suara orang
bernyanyi! Benar-benar amat ganjil mendengar orang bernyanyi di tempat yang diliputi hawa maut kering ini.
Setelah kelihatan orangnya, dia itu adalah seorang anak laki-laki yang baru belasan tahun usianya.
Pakaiannya compang-camping, lebih patut menjadi pakaian seorang jembel yang terlantar. Akan tetapi lengan
dan kakinya berkulit bersih.
Betapa pun juga, jelas bahwa dia itu bukan bocah biasa. Hal ini terlihat dari mukanya yang berkulit aneh, yaitu
berwarna kehijauan seperti hijaunya daun muda. Sepasang matanya juga bukan mata manusia biasa karena
mengandung sinar yang amat tajam, malah terlalu tajam sehingga seperti tidak normal lagi. Wajah yang
berwarna kehijauan dengan mata setajam itu benar-benar akan membikin orang bergidik ketakutan dan
mengira bahwa dia ini tentu bukan manusia.
Apa lagi kalau mendengar kata-kata dalam nyanyiannya. Aneh! Nyanyiannya saja sudah tidak karuan,
iramanya pun bukan nyanyian, lebih pantas disebut ocehan orang gila atau orang mengigau akibat sakit
demam. Dan kata-katanya, dengarkan saja dia bernyanyi,
Heh perut berhentilah merengek!
Tidak malukah kau kepada kaki?
Yang bekerja keras tak pernah mengeluh
Kau tiada guna, tak pernah bekerja,
Kerjamu hanya merengek minta diisi!
Kata-kata aneh ini dia nyanyikan di sepanjang jalan sambil saling memukulkan dua batang kayu yang
dipegang oleh kedua tangannya untuk membuat irama nyanyiannya yang tidak karuan. Selain warna mukanya
yang kehijauan dan sepasang matanya yang luar biasa tajamnya, selebihnya anak ini boleh dibilang tampan,
tubuhnya pun padat berisi dan kuat. Bocah ini bukan lain adalah Beng San.
Seperti sudah diceritakan dalam bagian terdahulu dari cerita ini, secara kebetulan sekali Beng San bocah
korban banjir Sungai Huang-ho yang tak tahu akan nama keturunannya sendiri ini, telah bertemu dengan Hekhwa
Kui-bo dan mendapat Ilmu-ilmu Thai-hwee, Siu-hwee, dan Ci-hwee yang oleh Hek-hwa Kui-bo
dimaksudkan untuk memperbesar daya hawa ‘Yang’ dalam tubuh anak ini dan membunuhnya. Akan tetapi
tanpa disadari ia malah memberi tambahan tenaga kepada anak ini dan malah menyelamatkan nyawa Beng
San dari hawa pukulan Jing-tok-ciang dari Koai Atong.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kemudian secara kebetulan pula Beng San bertemu dua orang kakek aneh, yaitu Phoa Ti dan The Bok Nam
yang mengangkatnya sebagai murid dan kedua orang kakek aneh ini menurunkan atau mewariskan dua
macam ilmu silat yang hebat padanya. Dari Phoa Ti, dia mewarisi Khong-ji-ciang dan Im-sin-kiam, sedangkan
dari The Bok Nam, dia mewarisi Pat-hong-ciang dan Yang-sin-kiam.
Ada pun Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam ini adalah dua bagian yang berlawanan dari Ilmu Im-yang Sin-kiam
yang merupakan pecahan dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, yaitu ilmu silat tertinggi di dunia persilatan yang
dahulu dimiliki oleh Pendekar Sakti Bu Pun Su di jaman pemberontakan An Lu Shan (tahun 755), kira-kira lima
ratus tahun yang lalu.
Ilmu Im-yang Sin-kiam diingini oleh semua tokoh persilatan dari empat penjuru, siapa kira secara tidak
disengaja telah terjatuh ke dalam tubuh Beng San! Lucunya, Beng San yang sudah mempelajari ilmu ini dan
melatihnya setiap hari sampai hafal betul, sama sekali tak pernah tahu bahwa dia sekarang telah mempunyai
ilmu yang hebat. Anak ini hanya tahu bahwa berkat latihan-latihan itu tubuhnya menjadi kuat dan ringan, malah
dia sekarang tidak pernah menderita gangguan lagi dari perasaan panas atau dingin di tubuhnya.
Setiap kali dia menderita panas dari teriknya matahari, secara otomatis tubuhnya akan mengeluarkan hawa
dingin untuk melawannya dan pengerahan hawa ‘Im’ secara otomatis ini hanya dapat diketahui dari wajahnya
yang berubah menjadi kehijauan. Sebaliknya, di waktu dingin secara otomatis pula wajahnya berubah merah
kehitaman, tanda bahwa tenaga dari hawa ‘Yang’ di tubuhnya bekerja.
Hanya apa bila hawa udara biasa, wajahnya berubah putih seperti biasa pula. Selain ini, tanpa dia sadari, apa
bila dia terserang nafsu amarah, wajahnya juga otomatis berubah merah kehitaman, sebaliknya apa bila dia
merasa gembira, wajahnya menjadi hijau!
Pada saat itu hawa udara amat panasnya, maka tak heran kalau muka anak ini menjadi kehijauan, tanda
bahwa hawa ‘Im’ otomatis bekerja di tubuhnya. Perutnya terasa lapar sekali, sejak kemarin tidak kemasukan
apa-apa. Dusun-dusun kosong sunyi, pohon-pohon gundul kering. Untuk menahan rasa lapar perutnya, dia
berjalan sambil bernyanyi-nyanyi mencela perutnya yang selalu merengek-rengek minta isi.
"Ehh, mata yang sial. Di mana-mana melihat mayat orang. Sudah enam belas mayat aku kubur, sekarang ada
lagi di tengah sawah. Sialan benar!" Beng San mengomel ketika dia melihat tubuh Tan Hok menggeletak di
tengah sawah.
Memang, seperti halnya Tan Hok, bocah ini pun semenjak hari kemarin melihat banyak mayat menggeletak di
pinggir jalan, mayat mereka yang kelaparan. Sejak kecil Beng San sudah dijejali pelajaran filsafat-filsafat kuno
tentang peri kebajikan dan peri kemanusiaan, maka melihat mayat-mayat menggeletak terlantar itu, hatinya
merasa tidak tega dan dia pun mengubur setiap mayat yang dijumpainya, dikubur secara sederhana.
Dengan hati agak kesal karena perutnya lapar dan selalu bertemu mayat, Beng San lalu menyimpang dari
jalan kecil memasuki sawah kering menghampiri tubuh Tan Hok yang tak bergerak seperti sudah mati itu.
Setelah memandang wajah dan tubuh Tan Hok, anak itu menarik napas panjang dan berkata,
"Sayang... sayang sekali orang begini gagah dan bertubuh tinggi besar seperti raksasa mati di sini. Anehnya,
orang mati kelaparan mengapa badannya masih tegap dan besar seperti ini? Aneh...aneh..."
Namun Beng San lalu mulai bekerja, menggali tanah kering di sawah itu. Pekerjaan ini dia lakukan dengan dua
batang kayu kecil yang dipegangnya tadi. Benar-benar hebat. Orang tentu takkan percaya kalau tidak
menyaksikannya sendiri. Dua batang kayu ranting kecil itu ketika dia pakai mendongkel tanah, ternyata
berubah seperti dua batang linggis besi yang kuat. Sebentar saja dia menggali tanah sampai satu meter lebih
dalamnya.
Melihat tubuh tinggi besar yang masih dalam keadaan baik itu, Beng San merasa kasihan apa bila
menguburnya kurang dalam, maka dia sengaja menggali sampai dalam. Ternyata bagian bawah tanah itu
merupakan tanah lempung yang kering, akan tetapi halus dan berwarna kemerahan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah menggali cukup dalam, dia meletakkan sepasang rantingnya dan membungkuk, mengangkat tubuh itu.
Badan Tan Hok besar sekali, beratnya takkan kurang dari seratus kilo, akan tetapi benar-benar mengherankan
betapa anak kecil itu dapat memondongnya dengan mudah.
Beng San kaget sekali ketika merasakan betapa kulit tubuh Tan Hok amat panas. la masih kecil, belum dapat
mengerti betul bagaimana keadaan orang mati. Karena tubuh itu kaku dan diam tak bernapas, dia
menganggapnya sudah mati. Dia menganggap panas tubuh Tan Hok disebabkan terik sinar matahari.
Dengan perlahan dan hati-hati Beng San lalu meletakkan tubuh tinggi besar itu ke dalam lubang. Mulutnya
berbisik-bisik "Kembalilah kau ke asalmu, tenteram dan damai."
Kata-kata ini dahulu pernah dia dengar dari seorang hwesio ketika melakukan upacara menguburkan mayat.
Mendadak dia kaget dan melompat mundur, matanya terbelalak. Kalau saja Beng San bukannya seorang anak
luar biasa yang tidak mengenal rasa takut, tentu dia akan lari terbirit-birit menyaksikan pemandangan yang
mengerikan itu. ‘Mayat’ tadi bergerak-gerak dan dengan gerakan liar lalu bangun duduk, matanya melotot
merah, sedangkan mulutnya berteriak-teriak.
"Lapar... lapar...! Tanah menghasilkan segala macam tetumbuhan yang dapat dimakan, masa tanah sendiri tak
boleh dimakan?"
Dan ‘mayat’ itu lalu mencengkeram tanah lempung merah dan... tanah itu dimakannya dengan amat lahapnya.
Untuk sejenak Beng San berdiri seperti patung, matanya terbelalak heran. Mula-mula dia merasa ngeri juga.
Akan tetapi ketika melihat betapa ‘mayat’ itu makan tanah lempung merah dengan enaknya bagaikan orang
makan daging panggang, air liurnya memenuhi mulutnya.
Perutnya memang amat lapar. Sekarang melihat orang makan demikian enaknya, meski pun yang dimakan
hanya tanah lempung, timbul seleranya. la mulai menengok ke bawah, ke arah tanah lempung yang tadi dia
gali dan sekarang bertimbun di luar lubang. Otomatis dia berjongkok, tangannya mengambil segumpal tanah
lempung merah dan... membawa tanah itu ke mulutnya terus digigit.
"Wah, enak..."
Dengan terheran-heran Beng San terus makan tanah lempung itu. Rasanya sih tidak bisa dibilang enak, akan
tetapi juga bukan tak enak, sebab tanah itu halus dan berbau harum. Dan yang jelas, setelah memasuki perut
tanah itu mendatangkan rasa kenyang juga.
Sampai empat gumpal tanah memasuki perut Beng San yang menjadi girang sekali sebab sekarang dia dapat
mengisi perutnya yang tadi merengek-rengek. Sama sekali dia tidak tahu bahwa memang tanah lempung itu
adalah sejenis tanah lempung yang halus dan tak berbahaya kalau dimakan, malah mengandung khasiat
menguatkan badan.
‘Mayat’ itu lalu makan tanah lempung banyak sekali, kemudian mayat yang duduk dalam lubang kubur itu
mendongak dan memandang ke arah Beng San dengan sepasang mata merah. Beng San tersenyum
kepadanya dan mengangguk.
"Twako, jadi kau sebetulnya belum matikah? Syukur kalau begitu!"
Tiba-tiba Tan Hok mengeluarkan suara menggereng, kemudian tubuhnya meloncat keluar lubang sambil
berteriak geram, “Aku tidak mati, kaulah yang akan mampus!"
Serta merta pemuda raksasa ini mengirim serangan memukul ke arah kepala Beng San dengan tangan kanan,
sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah muka Beng San yang kehijauan.
Semenjak mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi dari kedua orang suhu-nya, yaitu kedua kakek Phoa Ti dan The Bok
Nam, belum pernah Beng San mempergunakan kepandaian ini dalam pertempuran. Memang tak dapat
disangkal lagi bahwa dia amat tekun melatih diri, mempelajar semua ilmu itu dengan teliti, namun tanpa
dunia-kangouw.blogspot.com
diketahui apa khasiatnya semua ilmu itu. Sekarang menghadapi serangan bertubi-tubi dari pemuda raksasa
yang seperti tidak waras otaknya ini, dia kaget juga. Namun otomatis gerak silat yang sudah mendarah daging
di tubuhnya bekerja.
"Husss, nanti dulu, Twako. Hidup atau mati bukanlah urusan kita. Bagaimana kau bisa tentukan?" Sambil
mengeluarkan jawaban yang mengandung filsafat kebatinan ini, Beng San memiringkan kepalanya
menghindarkan pukulan tangan kanan Tan Hok, sedangkan tangan kanannya dia angkat untuk menangkis
cengkeraman tangan kiri lawannya yang tinggi besar itu.
"Plakkk!"
Tangan kiri Tan Hok yang berjari panjang besar itu berhasil mencengkeram tangan Beng San yang kecil
sehingga lima pasang jari-jari tangan saling genggam. Beng San merasa betapa dari tangan Tan Hok mengalir
hawa panas yang melebihi api. Otomatis tubuhnya menyambut hawa ini dengan hawa ‘Im’ yang luar biasa
kuatnya, sehingga tangannya yang dicengkeram kini terasa dingin sejuk.
Hebat sekali akibatnya, Tan Hok seketika menjadi kaku tubuhnya. la masih tetap berdiri dengan tangan kiri
mencengkeram tangan kanan Beng San, matanya melotot kemerahan dan kini sekujur tubuhnya menggigil
bagaikan orang terserang demam. Tangannya yang mencengkeram tangan kanan Beng San seperti lengket
dan tidak dapat ditarik kembali, sedangkan dari tangan anak kecil itu mengalir hawa yang dinginnya melebihi
bukit es.
Makin lama tubuh Tan Hok semakin menggigil, mukanya yang merah itu mulai berkurang warnanya. Tiba-tiba
ia muntahkan darah menghitam, juga dari luka di tangan kirinya yang kini menempel pada tangan kanan Beng
San keluar darah hitam.
Tiga kali dia muntahkan darah hitam, dan tubuh yang tadinya panas itu sekarang berubah dingin. Matanya
yang kemerahan dan liar berubah tenang.
"Aduh... aduh... dingin...!"
Tubuh Tan Hok yang tadinya kaku itu sekarang dapat melompat mundur. Beng San juga melompat mundur
sambil melepaskan tangannya. Mereka kini berdiri berhadapan dalam jarak tiga empat meter, saling pandang.
Setelah tangannya terlepas dari tangan Beng San, lenyaplah rasa dingin yang menusuk jantung Tan Hok.
Diam-diam Tan Hok merasa terheran-heran, apa lagi baru sekarang dia teringat mengapa dirinya bisa berada
di situ.
Tiba-tiba dia celingukan memandang ke kanan kiri dengan rasa takut karena dia teringat akan ular-ular yang
tadinya mengeroyoknya. Melihat bahwa dia berada di sawah, sedang berhadapan dengan seorang bocah
bermuka hijau bermata tajam yang memiliki tangan mengandung hawa dingin luar biasa, Tan Hok kembali
memandang Beng San, lalu melirik ke arah lubang kuburan di dekat situ.
"Adik kecil, kau siapakah? Setan atau manusia?"
Beng San tertawa, matanya yang tajam itu berkilat-kilat. "Ha-ha-ha, Twako, kalau satu di antara kita ini bukan
manusia, kiranya kaulah orangnya. Aku manusia biasa, akan tetapi kau... apakah kau bukan siluman?"
Tan Hok yang mengerti akan ilmu silat tinggi, tadi mendapat kenyataan bahwa anak ini bukanlah anak biasa.
Tangannya mengandung tenaga Im yang luar biasa kuatnya. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa tenaga inilah
yang telah menolong nyawanya, yang mengusir racun hawa panas yang tadinya menyerang tubuhnya akibat
gigitan ular Kim-tok-coa.
Tentu saja di pihak Beng San sama sekali tidak tahu akan hal ini. Jangankan mengenai penyembuhan yang
tanpa sengaja dia lakukan, bahkan tentang tenaga-tenaga yang kini telah berada di dalam dirinya saja dia tidak
tahu apa artinya.
"Adik yang aneh, kenapa kau menyangka aku seorang siluman?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kau aneh sekali sih! Sejak kemarin aku mengubur mayat-mayat orang mati kelaparan yang bergelimpangan di
pinggir jalan. Tadi aku mendapatkan kau menggeletak mati di sini, tidak bernapas lagi. Aku menggali lubang
untuk menguburmu. Eh, tahu-tahu di dalam lubang kuburan kau hidup lagi, malah makan tanah, lalu meloncat
dan menyerangku. Dan sekarang, setelah muntah-muntah, kau bicara seperti orang waras. Orang dengan
tubuh raksasa seperti kau, bisa mati dan hidup lagi, benar-benar bukan seperti manusia."
Mendengar hal ini, Tan Hok bengong, lalu menjatuhkan diri duduk di atas tanah. Melihat pemuda raksasa itu
bengong terlongong mengurut-urut dagu, Beng San juga ikut duduk di depannya. Dua orang ini duduk tak
berkata-kata seperti dua buah patung batu. Akhirnya Tan Hok yang menoleh dan bertanya.
"Adik yang baik, siapa namamu? Kau anak siapa, murid siapa dan kenapa bisa sampai di sini?"
Diberondong pertanyaan-pertanyaan ini, Beng San tersenyum nakal, kemudian menjawab secara
memberondong pula. "Namaku Beng San, bukan anak siapa-siapa. Guru-guruku sudah meninggal dan bisa
sampai ke sini karena kedua kakiku berjalan."
Akan tetapi agaknya Tan Hok tidak melayani sendau-guraunya, malah kembali bertanya dengan sungguhsungguh,
"Kau tidak punya orang tua dan guru-gurumu sudah mati? Jadi kau hidup sebatang kara di dunia
ini?"
Beng San mengangguk. "Sejak dulu aku hidup sebatang kara."
"Tidak punya tempat tinggal?"
Beng San menggelengkan kepala.
"Ah, adikku yang baik... sama benar nasib kita..." Tan Hok menubruk dan merangkul Beng San sambil
menangis.
Beng San bingung, lalu karena tidak tahu harus berbuat apa, ia pun ikut-ikut menangis! Dua orang ini
bertangis-tangisan di tengah sawah kering kerontang dan tetes-tetesan air mata mereka diisap cepat oleh
tanah yang kehausan.
"Adik Beng San, aku Tan Hok, dan baru saja ditinggal mati guruku..." Tan Hok menangis sambil merangkul,
"dan aku,... ehhh, celaka! Kau terkena racun!"
Tiba-tiba dia memegang tangan Beng San dan memandang tajam. "Mukamu kehijauan, badanmu
mengeluarkan hawa dingin sekali. Tentu kau sudah terkena hawa pukulan yang mengandung racun dingin...
celaka...!"
Beng San tersenyum. "Tidak, Tan-twako (Kakak Tan). Aku tidak apa-apa."
"Betulkah? Kau tidak merasa sakit?"
"Tidak."
"Aneh... aneh... kukira kau terkena racun, semacam racun ular atau..."
Tiba-tiba saja dia melompat dan mukanya berubah. "Ular! Ahh, sekarang aku ingat. Bocah siluman ular itu
yang melukaiku. Dia harus dibunuh! Celaka para petani malang itu..."
Beng San benar-benar tidak mengerti dan terheran-heran melihat sikap raksasa yang berubah-ubah dan aneh
ini. "Siluman ular? Di mana dia?"
“Dia seorang anak sebaya denganmu. Aku sedang memimpin para petani yang kelaparan untuk minta bantuan
makanan dari hartawan Kwi yang kaya raya. Akan tetapi para petani itu malah diserang oleh kaki tangannya.
Aku lalu membantu dan muncullah siluman ular, mendatangkan ratusan ekor ular yang mengeroyok para
dunia-kangouw.blogspot.com
petani, Banyak yang mati. Aku menyerang dan... aku terluka oleh seekor ular kuning emas. Hayo, kita harus
pergi ke sana. Aku harus bunuh siluman itu!"
"Ratusan ekor ular! liihhhhh, menakutkan sekali!" Beng San bergidik dan kelihatan ngeri, lalu memandang ke
kanan kiri, takut kalau-kalau ratusan ekor ular itu datang ke situ.
"Jangan takut, ada aku di sini. Aku harus basmi ular-ular itu dan silumannya. Hayo, Adik Beng San, kau ikut
atau tidak?" Tan Hok berdiri. "Kalau kau takut, kau tinggal saja di sini, aku harus segera kembali ke dusun itu."
Tan Hok sudah mulai lari.
"Nanti dulu, Twako. Aku ikut!" Beng San segera mengambil dua batang ranting yang tadi dia gunakan untuk
menggali tanah, lalu ikut berlari di belakang Tan Hok.
Karena amat bernafsu untuk segera kembali ke dusun dan membantu para petani yang dikeroyok ular, Tan
Hok mengerahkan kepandaiannya dan berlari cepat sekali. Ia sampai lupa bahwa di belakangnya ada Beng
San, lupa bahwa apa bila dia berlari secepat itu tentulah seorang anak kecil seperti Beng San akan tertinggal
jauh.
Setelah berlari sampai di luar dusun barulah dia teringat dan cepat-cepat dia menengok. Alangkah herannya
melihat anak itu berlari-lari kecil, seenaknya saja tapi masih berada di belakangnya.
“Ehh, kau masih di belakangku?"
"Tentu saja, bukankah kau mengajakku?"
Pada saat itu Tan Hok penuh ketegangan akan bertemu dengan siluman ular, maka dia kurang memperhatikan
Beng San. Dia terus melanjutkan larinya memasuki dusun menuju ke gedung tempat tinggal Kwi-wangwe.
Di depan gedung Kwi-wangwe para tukang pukul sedang duduk dan sibuk membicarakan amukan para petani
yang dibantu seorang pemuda raksasa. Tentu saja mereka menjadi amat kaget ketika melihat pemuda raksasa
yang kemarin telah dilukai dan diusir pergi oleh ‘Giam-kongcu’ itu kini tiba-tiba muncul di depan mereka
bersama seorang anak laki-laki bermuka hijau.
"Anjing-anjing keparat, hayo lekas suruh keluar Kwi-wangwe dan siluman ular itu!" Tan Hok memaki sambil
memegang dua orang tukang pukul dan sekali lempar dua orang itu jatuh bergulingan tiga meter lebih jauhnya.
Yang lain-lain segera mencabut senjata dan sebagian melapor ke dalam.
Sementara itu, pada waktu melihat para tukang pukul mencabut senjata, Tan Hok sudah bangkit amarahnya.
"Di mana paman-paman tani semua? Sudah kalian bunuh, ya? Awas, rasakan pembalasanku!"
Tan Hok lalu mengamuk, menerjang para tukang pukul yang kini hanya membela diri, tidak berani menyerang
karena maklum akan kelihaian Tan Hok. Sebentar saja Tan Hok sudah dikeroyok belasan orang tukang pukul
dan di dalam gedung terdengar ramai-ramai karena semua orang tidak tahu bahwa pemuda raksasa itu telah
datang lagi mengamuk.
Mendadak terdengar tiupan suara suling yang melengking. Suling yang ditiup oleh Giam Kin melengking tinggi
dan mengalun dengan irama yang amat luar biasa. Jantung Tan Hok berdebar, maklum apa artinya tiupan
suling itu.
Betul saja dugaannya. Tidak lama kemudian terdengar bunyi mendesis-desis dan banyak sekali ular
menggeleser datang. Biar pun Tan Hok tidak begitu cerdik, namun karena dia merasa jijik juga melihat banyak
ular, Tan Hok kemudian berkelahi dengan cara menyerbu ke tengah-tengah para tukang pukul. Perbuatannya
ini bukan berdasarkan kecerdikan, melainkan karena takut kepada ular-ular itu.
Akan tetapi untung baginya, Giam Kin menjadi bingung untuk memimpin pasukan ularnya. Bagaimana caranya
ular-ularnya itu bisa disuruh menyerang seorang saja yang berada di tengah-tengah dan dikurung para tukang
dunia-kangouw.blogspot.com
pukul? Baiknya setelah terjadi keributan, yaitu serbuan para petani, Kwi-wangwe mendatangkan lebih banyak
tukang pukul yang pandai sehingga untuk sementara amukan Tan Hok dapat dibendung.
Sementara itu, melihat demikian banyak ular yang datang melenggang-lenggok mendekati dirinya, Beng San
menjadi jijik dan takut bukan main. Dia tidak takut kalau menghadapi orang, akan tetapi menghadapi ular yang
banyak serta amat menjijikkan dan mengerikan itu, dia takut juga.
Pada waktu ular-ular dengan mata merah dan lidah menjilat-jilat keluar itu menyerbu ke arahnya, Beng San
segera lari sambil berteriak-teriak, "Ular...! Ular...!"
Mendadak tubuhnya mencelat ke atas, ke tengah-tengah orang yang sedang berkelahi. Bagaikan seekor
burung terbang, kakinya menginjak kepala orang-orang yang sedang mengeroyok Tan Hok, dan begitu kakinya
menginjak kepala orang, dia meloncat lagi ke sana ke mari, melalui kepala-kepala orang itu hingga akhirnya
dia bisa meloncat ke atas genteng. Di situ dia berjongkok dengan tubuh gemetaran sambil memandang ke
bawah.
Semua orang, terutama sekali Tan Hok, kaget dan heran bukan main melihat perbuatan Beng San ini. Melihat
cara anak itu meloncat, jelas bahwa dia sama sekali tidak mengerti ilmu meloncat tinggi. Akan tetapi mengapa
tubuhnya begitu ringan sehingga seakan-akan dia dapat beterbangan di atas kepala orang-orang?
Tan Hok tidak sempat lagi memperhatikan Beng San karena pengeroyokan para tukang pukul sudah cukup
membuat dia kerepotan juga. Kali ini pun Tan Hok berhasil merampas sebatang toya dan langsung
digunakannya untuk mengamuk. Sudah ada beberapa orang tukang pukul roboh oleh kemplangan toyanya.
Melihat sepak terjang Tan Hok ini, Giam Kin menjadi penasaran dan khawatir juga. Tidak mungkin dia dapat
menyuruh ular-ularnya menyerbu, karena sekali ular-ular itu menyerbu maka para tukang pukul Kwi-wangwe
tentu akan digigit pula. la lalu berseru.
"Paman-paman mundur semua, biar ular-ularku menghabiskannya!"
Tukang-tukang pukul itu memang sudah kewalahan menghadapi Tan Hok. Bukan ilmu silatnya yang hebat,
melainkan tenaganya yang benar-benar sukar dihadapi. Setiap kali toya di tangan pemuda raksasa itu
menangkis, tentu banyak senjata terpental atau rusak. Mendengar perintah ini, mereka lalu meloncat mundur
meninggalkan Tan Hok.
Tan Hok maklum bahwa ia akan dikeroyok ular, maka ia hendak mendahului menyerang Giam Kin. Celakanya,
anak aneh ini sudah meniup sulingnya yang mengeluarkan suara melengking tinggi sehingga ular-ular itu
sudah mulai menyerbu. Di lain saat Tan Hok telah dikelilingi ular-ular yang amat marah, mendesis desis dan
siap menyerangnya.
Tan Hok bergidik. Dia melintangkan toyanya, bingung harus menyerang yang mana dulu karena dia telah
dikurung dalam pagar ular.
"Ha-ha-ha-ha-ha, manusia sombong. Ternyata kau masih belum mampus! Sekarang aku akan melihat kau
mampus digigit ularku. Ha-ha-ha-ha!" kata Giam Kin setelah melepaskan sulingnya. Kemudian dia mulai
menyuling lagi, suara sulingnya melengking-lengking tinggi dan menyakitkan telinga.
Beng San yang berada di atas genteng melihat semua kejadian ini. Dialah yang merasa paling sakit telinganya
mendengar suara suling itu. Saking marahnya dia berteriak-teriak, "Siluman jahat, siluman busuk. Suara
sulingmu sungguh tidak enak. Dengarlah, aku lebih pandai menyuling dari pada suara sulingmu yang seperti
angin kotor itu"
Beng San lalu meniru-nirukan bunyi suling dengan suaranya. Tanpa dia sadari, khikang di dalam tubuhnya
sudah kuat sekali, maka ketika dia meniru bunyi melengking, suara suling itu kalah kuat dan kalah nyaring!
Sekarang terdengar bunyi yang luar biasa dan aneh, suara suling bercampuran dengan suara mulut Beng San
yang meniru-nirukan suara suling. Ketika dia mendapat kenyataan betapa ssudlah dia menjerit-jerit telinganya
dunia-kangouw.blogspot.com
tidak terganggu lagi oleh suara suling yang kalah nyaring, dia makin bersemangat dan teriakan-teriakannya
makin kuat.
Kasihan sekali ular-ular itu. Suara suling merupakan perintah atau dorongan bagi mereka, dorongan yang tak
mungkin terlawan lagi. Akan tetapi, sekarang binatang-binatang buas ini mendengar suara suling yang tidak
karuan, campur aduk bising bukan main. Mereka mulai kacau, tidak tahu harus bagaimana, apa lagi perasaan
mereka tidak karuan dengan ‘perintah’ yang kacau-balau ini.
Makin lama gerakan ular-ular itu semakin kacau. Mereka saling terjang sehingga akhirnya semua ular-ular itu
menjadi marah dan saling terkam! Mereka sama sekali tak mau peduli lagi kepada Tan Hok, sibuk mengigiti
kawan-kawan sendiri yang lebih dekat.
Melihat hal ini, Giam Kin marah sekali. Dibantu oleh Kwi-wangwe sendiri, ia pun memberi perintah kepada para
tukang pukul untuk mengeroyok lagi Tan Hok. Sementara itu, Giam Kin sudah melangkah maju untuk melihat
bocah yang telah meniru bunyi sulingnya dan telah mengacau komandonya atas ular-ular itu.
Akan tetapi, Tan Hok yang sudah marah sekali melihat adanya hartawan Kwi di situ. Dia lalu memberontak dan
cepat meloncat ke arah hartawan itu dengan toya di tangannya.
"Kau hartawan pelit, rasakan ini!"
Toyanya mengemplang kepala hartawan itu yang cepat-cepat mundur ketakutan. Baiknya masih ada beberapa
orang pengawal pribadinya yang menangkis toya sehingga toya itu menyeleweng, tidak mengenai kepalanya
hanya menggebuk pundaknya. Namun gebukan ini cukup keras untuk membuat Kwi-wangwe meringis dan
mengaduh-aduh. Dan sekejap kemudian, Tan Hok sudah dikeroyok lagi oleh para tukang pukul.
Giam Kin sekarang dapat melihat adanya Beng San di atas genteng. Marahnya bukan main.
"Ehh, bocah dusun busuk, kau berani main-main di depan kongcu-mu?" la memaki sambil menuding dengan
sulingnya ke arah Beng San.
Beng San pada waktu itu sudah tidak hijau lagi mukanya, sudah biasa putih dan tampan karena hawa udara
tidak begitu panas lagi. Sekarang dia cengar-cengir mentertawakan Giam Kin.
"Aku tidak main-main di depanmu, melainkan di atasmu. Kau mau apa sih?"
la tidak takut kepada Giam Kin. Anak bermuka pucat itu, apanya yang harus ditakuti?
"Jembel busuk, kau makanlah ini!"
Giam Kin menggerakkan tangannya dan sinar kuning emas menyambar ke atas, ke arah Beng San yang
nongkrong di atas genteng.
Beng San yang sudah menyelipkan dua batang kayu ranting di ikat pinggangnya, sambil tertawa-tawa
menerima sinar kuning emas ini dengan tangan kanan. Sinar itu mengenai tangannya dan Beng San merasa
ibu jari tangan kanannya agak sakit seperti tertusuk jarum. Saat dia melihatnya, ternyata bahwa yang tadi
dilemparkan adalah seekor ular kecil berwarna kuning keemasan yang sekarang menggigit ibu jarinya,
sedangkan tubuh ular itu membelit tangannya.
Diam-diam dia kaget. Akan tetapi dasar dia nakal dan tak sudi memperlihatkan rasa takut atau sakit di depan
Giam Kin. Dia lalu tertawa terbahak-bahak dan teringatlah dia akan pengalamannya dahulu ketika bertemu
dengan Kwa Tin Siong dan Kwa Hong yang dia maki ‘kuntilanak’, teringat dia betapa dia ikut makan daging
ular bersama ayah dan anak itu.
Sekarang, melihat tangannya dibelit ular kuning emas bersih, untuk menggoda Giam Kin, Beng San tanpa
ragu-ragu lagi lalu... menggigit leher ular itu. Hanya dengan sekali gigit saja maka putuslah leher ular.
dunia-kangouw.blogspot.com
”Kau kira aku tidak berani memakannya? Ha-ha-ha!" Beng San mentertawakan Giam Kin yang berdiri
terlongong heran menyaksikan betapa bocah jembel itu benar-benar sudah menggigit mati ularnya.
Akan tetapi dia pun segera menjadi girang karena mendadak muka Beng San berubah menjadi kehijauan.
Beng San sendiri tidak tahu akan hal ini. Dia hanya merasa betapa bekas gigitan ular itu amat panasnya, maka
otomatis tubuhnya mengerahkan daya "Im" yarig kuat, sehingga membuat wajahnya yang putih berubah hijau.
Hal ini disalah artikan oleh Giam Kin. Biar pun anak ini maklum bahwa siapa yang tergigit Kim-tok-coa itu, tentu
akan mati dengan tubuh hangus kemerahan seperti terbakar, tetapi dia menganggap bahwa tanda kehijauan
pada wajah anak jembel itu cukup membuktikan bahwa racun ularnya telah menjalar di tubuh anak aneh itu.
"Hi-hi-hi, kau sudah mau mampus masih banyak tingkah. Sekarang biar aku mempercepat kematianmu!"
Setelah berkata demikian, Giam Kin pun menggenjotkan kedua kakinya dan tubuhnya meloncat ke atas
genteng. Suling ular di tangannya bergerak cepat menyerang ke arah Beng San, memukul kepalanya.
Beng San segera mencabut sepasang ranting kayu dari ikat pinggangnya, lalu dengan masih berjongkok dia
menangkis dari kanan kiri. Sepasang ranting di tangannya membuat gerakan seperti menggunting ke arah
suling.
"Krakkk!"
Suling di tangan Giam Kin patah menjadi dua dan tubuh anak ini terlempar kembali ke bawah!
Tanpa disadari, dalam kegemasannya ketika menangkis tadi Beng San menggunakan dua macam tenaga
pada sepasang rantingnya, dengan pergerakan gabungan dari Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam. Jangankan
baru suling di tangan seorang anak semacam Giam Kin, andai kata yang menyerangnya tadi adalah seorang
ahli silat yang menggunakan pedang atau toya, kiranya akan patah juga.
"Jembel busuk, pengemis bau, kau mematahkan sulingku! Awas kau...! Suhu, suling teecu patah...!" Giam Kin
lari sambil menangis.
Karena dimaki-maki, Beng San pun menjadi marah. Apa lagi dia melihat bahwa anak itu ternyata tidak becus
apa-apa, demikian pikirnya, baru ditangkis satu kali saja suling itu sudah patah. Tanpa pikir panjang dia lalu
meloncat turun dan mengejar Giam Kin.
Giam Kin memiliki kepandaian ilmu berlari berdasarkan ginkang yang tinggi, maka larinya cepat sekali. Beng
San yang belum pernah mempelajari ilmu berlari cepat, akan tetapi karena di luar kesadarannya dia telah
ditempati tenaga Im dan Yang, tenaga yang amat besar mukjijat, maka otomatis dia memiliki keringanan tubuh
dan larinya pun cepat sekali.
Maka kejar-kejaran ini terjadi ramai sekali dan sebentar saja dua orang anak itu telah jauh meninggalkan
dusun tadi. Beberapa kali Giam Kin yang amat marah dan penasaran itu sengaja berhenti dan menyerang
dengan tiba-tiba, akan tetapi setiap serangannya selalu dapat ditangkis oleh Beng San, dan setiap kali lengan
tangan mereka beradu, Giam Kin mengaduh dan kedua lengannya sudah bengkak-bengkak!
Giam Kin menjadi amat ketakutan dan lari makin cepat, dikejar terus oleh Beng San yang berteriak-teriak.
"Kau berlutut dulu minta ampun baru kulepas!"
"Jembel busuk, siapa sudi minta ampun? Guruku akan membikin remuk kepalamu!" jawab Giam Kin yang
berlari terus.
Sampai dua puluh li mereka berkejaran. Akhirnya Giam Kin tidak kuat lagi dan dia kena dipegang pundaknya
oleh Beng San dari belakang.
"Hendak lari ke mana engkau, siluman ular?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Giam Kin melawan dan memukul, akan tetapi pukulannya ditangkis oleh Beng San yang langsung membalas
menampar pipinya.
"Plakkk!"
Giam Kin roboh terguling, merasa betapa tamparan itu membuat matanya berkunang dan kepalanya pening.
"Hayo kau minta ampun dan berjanjilah lain kali tidak akan bermain-main dengan ular-ular jahat!" bentak Beng
San sambil bertolak pinggang.
"Tidak sudi!"
"Kau memang layak dipukul!"
Beng San menjadi marah, kemudian dia memukuli kepala dan badan Giam Kin. Anak itu menjerit-jerit dan
menangis.
"Suhu, tolong... suhu, tolong...!"
Tiba-tiba Giam Kin mengeluarkan suara bersuit nyaring sekali. Akan tetapi, Beng San tak peduli dan memukuli
terus.
"Kau siluman kejam! Dengan ular-ularmu itu kau telah membunuh banyak orang. Lekaslah berjanji tak akan
main-main lagi dengan ular, atau... kupukul kepalamu sampai remuk!" Beng San membentak-bentaknya.
"Heh, bocah kasar, jangan main pukul kepada muridku!” Suara ini terdengar dari tempat jauh.
Beng San menengok ke kanan kiri, tapi tidak melihat orangnya yang berbicara.
"Setan," pikirnya. "Bocah siluman ular, gurunya juga iblis dan setan." Tapi dia tidak takut dan hendak memukul
pula.
Angin bertiup di belakangnya dan ketika Beng San menoleh, tahu-tahu di situ telah berdiri seorang laki-laki
berusia lima puluh tahun lebih. Laki-laki ini tubuhnya sedang saja, tetapi pakaiannya terlampau besar hingga
nampak lucu. Apa lagi lengan bajunya amat panjang menutupi kedua tangannya. Mukanya nampak sabar,
alisnya tebal dan sepasang matanya tajam.
Beng San yang menduga bahwa orang ini tentulah guru lawannya, segera melangkah maju dan memukul.
Namun orang itu menggerakkan lengan kirinya dan tahu-tahu kedua tangan Beng San sudah terlibat ujung
lengan, seperti dibelenggu tak dapat terlepas pula.
Kakek yang luar biasa ini adalah seorang sakti, seorang di antara beberapa tokoh yang dianggap merajai
dunia persilatan, disebut orang Siauw-ong-kwi (Raja Iblis Kecil). Untuk daerah utara nama ini amat ditakuti
orang. Memang kepandaian Raja Iblis Kecil ini hebat sekali, terutama ilmunya menggunakan ujung tangan
bajunya yang dapat menangkap, menusuk, menyabet, sungguh senjata yang lebih ampuh dari pada senjatasenjata
pilihan.
Beng San masih kanak-kanak. Meski pun di dalam dirinya terkandung tenaga dahsyat dan ilmu silat tinggi
sekali, namun dia memiliki semua itu di luar kesadarannya sehingga dia belum dapat mengatur dan
menggunakannya sebagaimana mestinya. Bagaikan sebuah intan cemerlang, Beng San adalah intan yang
masih mentah, belum digosok. Maka tentu saja berhadapan dengan seorang tokoh besar seperti Siauw-ongkwi
ini, dia tidak berdaya sama sekali.
Siauw-ong-kwi menoleh kepada muridnya. Ketika mendapat kenyataan bahwa Giam Kin tidak terluka apa-apa,
hanya benjut-benjut saja dan benjol-benjol saja, dia bernapas lega. Dipandangnya Beng San sekali lagi,
sekarang dengan mata membayangkan kekaguman dan keheranan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sudah sepatutnya kalau di dalam hati tokoh besar ini timbul kekaguman kepada bocah ini, bocah yang kini
mukanya menjadi merah hangus kehitaman akibat kemarahan di dalam hatinya. Muridnya, Giam Kin, jika
dibandingkan dengan bocah-bocah sepantarnya, sudah merupakan seorang anak yang luar biasa cerdik dan
pandainya. Apa lagi sudah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi apa bila dibandingkan dengan anakanak
sepantarnya. Mengapa sekarang Giam Kin kalah dan dipukuli oleh bocah muka hitam ini?
"Kau siapa?" tanyanya tanpa melepas ujung tangan baju yang mengikat dua pergelangan tangan Beng San.
Akan tetapi ikatan itu tidak terlalu erat sehingga Beng San juga tidak mengalami rasa sakit, hanya bocah ini
amat marah saja.
"Beng San!" jawabnya berani sambil menatap muka kakek itu dengan mata melotot.
Memang menakutkan juga muka bocah ini kalau begitu. Biar pun raut wajahnya tampan, matanya lebar dan
alisnya hitam berbentuk pedang, akan tetapi kalau wajah itu berwarna merah kehitaman dan matanya yang
lebar dipelototkan, tentu mukanya ini akan membikin takut setiap orang di waktu malam gelap!
"Mukamu seperti iblis!" Siauw-ong-kwi tertawa mengejek.
"Memang aku iblis!" jawab Beng San, kini sambil menyeringai karena dia mengucapkan kata-kata itu bukan
dengan marah, melainkan bermaksud menggoda kakek itu.
Akan tetapi Siauw-ong-kwi tidak marah, malah tertawa bergelak dan makin kagum kepada anak ini.
"Kau anak siapa?"
Tanpa ragu-ragu Beng San menjawab, "Aku anak Iblis Huang-ho."
Siauw-ong-kwi menggeleng-geleng kepalanya. Benar-benar bocah ini aneh sekali dan luar biasa
keberaniannya.
"Siapa gurumu? Tentu bukan iblis juga, kan?" tanyanya.
Beng San memang belum pernah membohong, kecuali kalau dia sedang main-main. Dan sekarang dia hendak
menghadapi kakek guru Giam Kin yang lihai ini dengan main-main. Diam-diam dia marah kepada kakek ini
yang masih saja membelenggu kedua tangannya dengan ujung lengan baju. la menganggap kakek ini jahat,
dan apa salahnya membohongi dan mempermainkan seorang jahat?
Ketika dahulu dididik di kelenteng, dia memang selalu diajarkan agar jangan membohong, jangan menipu dan
merugikan orang lain. Sekarang dia, andai kata benar membohong, toh tak akan merugikan kakek ini,
sebaliknya dia yang telah dibikin rugi, dibelenggu tanpa dapat melepaskan diri.
"Guruku lihai sekali. Kalau dia datang, sekali ketok kepalamu akan benjut-benjut!"
Siauw-ong-kwi tertawa bergelak. Tentu saja dia berani mengejek karena di dunia ini, siapa orangnya yang
akan mampu sekali ketok membikin kepalanya benjut? Sedangkan yang kepandaiannya boleh disejajarkan
dengan dia pun hanya beberapa gelintir manusia saja.
"Ha-ha-ha, kenapa kau bisa pastikan dia akan menang dari aku?"
"Guruku biar pun iblis, tapi amat lihai dan gagah, tidak seperti kau ini kakek tua beraninya hanya menyerang
dan membelenggu seorang anak kecil!"
Merah wajah Siauw-ong-kwi disindir begini. Di dunia ini, jarang sekali ada orang berani membantah katakatanya,
apa lagi mengeluarkan ejekan dan sindiran seperti bocah ini!
"Bocah edan, siapa sih gurumu itu?"
"Kakek pikun!" Beng San balas memaki. "Lepaskan dulu kedua tanganku, baru aku mau memberi tahu."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kalau tidak kulepas?"
"Biar kau bunuh aku, takkan sudi aku mengenalkan nama besar guruku kepada seorang kakek pengecut yang
beraninya hanya kepada anak-anak kecil."
"Suhu, kenapa melayani monyet gila itu? Gasak saja kepalanya, habis perkara!" tiba-tiba Giam Kin berseru
melihat suhu-nya bercakap-cakap dengan Beng San.
Beng San tertawa mengejek. "Gurunya pengecut, muridnya lebih pengecut lagi. Kalau kau memang berani,
hayo kita bocah sama bocah mengadu kepalan tangan, dan biar gurumu menandingi guruku."
Siauw-ong-kwi adalah seorang tokoh besar dunia persilatan, tentu saja selain ilmunya tinggi, juga batinnya
sudah amat kuat. Akan tetapi sekarang menghadapi Beng San dan mendengar sindiran-sindiran dan ejekanejekannya,
perutnya terasa panas juga.
Beberapa kali dia disebut pengecut. Kalau yang mengucapkan kata-kata ini seorang tokoh kang-ouw, tentu dia
takkan mau mengampuninya lagi. Aka tetapi terhadap Beng San dia kewalahan. Makin dia turun tangan, tentu
pandangan bocah ini terhadapnya juga makin rendah. Apa bila dipikir-pikir memang memalukan sekali bahwa
dia, seorang tokoh besar, membelenggu seorang bocah yang masih ingusan.
"Bocah keparat, siapa pengecut?" la menggerakkan tangannya dan sekaligus terlepaslah kedua tangan Beng
San dari libatan ujung tangan baju. "Nah, kau sudah terlepas, hayo sekarang datangkanlah itu gurumu yang
berbau tahi anjing! Siapa cecunguk yang menjadi gurumu itu?"
Semenjak tadi Beng San sudah berpikir mengenai ini. Sebetulnya dia mempunyai banyak guru, pikirnya.
Pertama-tama tentu saja para hwesio di Kelenteng Hok-thian-si di Propinsi Shan-si yang menjadi gurunya
karena telah mengajarkan tentang membaca dan menulis. Kemudian dia pernah pula belajar tiga macam ilmu
dari Hek-hwa Kui-bo sehingga nenek itu boleh juga disebut gurunya. Setelah itu, yang terakhir dan yang sudah
mengakuinya sebagai murid, adalah kedua orang suhu-nya yaitu Phoa Ti dan The Bok Nam.
Akan tetapi, Beng San adalah seorang bocah yang cerdik.
Dia tidak mau menyebut nama kedua orang gurunya ini karena maklum bahwa keduanya mempunyai rahasia,
yaitu keduanya menyimpan sepasang kitab Im-yang Sin-kiam yang sudah terampas oleh Hek-hwa Kui-bo dan
Song-bun-kwi. Kalau dia menyebut nama Phoa Ti dan The Bok Nam, jangan-jangan kakek aneh ini akan
memaksa membawanya kepada dua orang yang sudah mati itu dan buntutnya akan menjadi panjang. Maka
dia mengambil keputusan dan menjawab.
"Guruku yang kau anggap berbau tahi anjing itu berjuluk Song-bun-kwi!"
Berubah wajah Siauw-ong-kwi ketika mendengar disebutnya nama ini. Akan tetapi hanya sebentar saja karena
dia segera tertawa bergelak.
"Kakek tua bangka baju putih itu gurumu? Hah, jangan kau bohong. Dia yang hampir gila karena anaknya yang
goblok, mana dia punya murid lagi? Andai kata benar, aku pun tidak takut pada..."
"Siauw-ong-kwi, dia tidak bohong, dia benar muridku!" Tiba-tiba terdengar suara dari jauh. Suara ini seperti
suara guntur terdengar dari jauh sekali, akan tetapi tiba-tiba bertiup angin dan sebelum gema suara lenyap,
orang yang bicara tadi sudah berdiri di situ.
Inilah Song-bun-kwi, kakek baju putih yang mukanya masih merah segar padahal usianya sudah tujuh puluh
tahun itu. Inilah si Setan Berkabung, tokoh besar dari dunia barat yang amat ditakuti orang, bukan hanya
karena kepandaiannya yang tinggi, akan tetapi terutama sekali karena hatinya yang kejam tak kenal ampun.
Cepat sekali tangan Siauw-ong-kwi bergerak dan tahu-tahu kedua lengan tangan Beng San sudah
dicengkeramnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Song-bun-kwi, mau apa kau muncul di dunia? Kalau niatmu buruk, muridmu pasti akan kubunuh lebih dulu,
baru kau akan kukirim ke neraka!" kata Siauw-ong-kwi mengancam.
Song-bun-kwi mengeluarkan suara yang mirip suara wanita menangis seperti yang pernah didengar oleh Beng
San ketika manusia aneh ini dahulu datang merampas Yang-sin-kiam dari The Bok Nam kemudian bertempur
melawan Hek-hwa Kui-bo. Mendadak saja tubuh kakek itu melayang ke arah Giam Kin.
Anak yang sudah banyak juga pengalamannya di dunia kang-ouw ini tahu bahwa kakek yang menangis itu
adalah seorang lawan, maka ia pun memapaki dengan pukulan tangan kanannya.
"Kin-ji (Anak Kin), jangan!" teriak Siauw-ong-kwi.
Akan tetapi terlambat. Pukulan tangan kanan Giam Kin sudah bersarang ke dalam perut Song-bun-kwi dan...
tangan kecil itu seperti sudah menancap ke dalam perut, tidak dapat dicabut pula! Giam Kin berdiri dengan
mata mendelik. Tubuhnya kaku tak dapat bergerak. Ternyata dia telah ‘ditangkap’ oleh perut manusia aneh itu.
"He-he-heh, Siauw-ong-kwi. Dulu di puncak salju Gunung Altai-san kita sudah bertanding dua hari dua malam,
sedikitnya sehari penuh aku baru akan dapat mengalahkanmu. Aku tak ada waktu untuk melayani kau orang
buruk. Bocah setan bernama Beng San itu bukan muridku, akan tetapi aku membutuhkannya. Hayo kau
lempar dia kepadaku, akan kutukar dengan muridmu yang tidak becus apa-apa ini. Satu... dua... tiga...!"
Siauw-ong-kwi maklum bahwa manusia seperti Song-bun-kwi tidak pernah main-main dan ucapannya harus
dianggap sebagai keputusan terakhir. Sebab itu cepat dia melemparkan tubuh Beng San ke arah kakek itu.
Berbareng pada saat itu juga, perut Song-bun-kwi melembung dan terlemparlah tubuh Giam Kin ke arah
Siauw-ong-kwi.
Beng San melayang ke arah Song-bun-kwi dan dengan mudahnya kakek ini menangkap lengannya, terus
sambil mengeluarkan suara menangis kakek ini membawanya lari seperti terbang cepatnya pergi dari tempat
itu. Ada pun Siauw-ong-kwi ketika menerima tubuh Giam Kin, sangat terkejut dan mengutuk.
“Song-bun-kwi iblis jahat!"
la melihat bahwa tubuh Giam Kin mati separoh yaitu bagian kanan. Ternyata bahwa ketika melemparkan anak
ini dari perut, kakek itu mengalir hawa pukulan melalui tangan kanan Giam Kin sehingga membuat tubuh Giam
Kin bagian kanan menjadi lumpuh dan mati!
Inilah kekejaman hati Song-bun-kwi yang memang luar biasa. Walau pun Siauw-ong-kwi juga termasuk orang
aneh yang tidak peduli akan kejahatan, akan tetapi masih tidak mau melukai Beng San ketika dia
melemparkan anak itu.
Melihat keadaan muridnya, segera Siauw-ong-kwi menempelkan telapak tangannya pada telapak tangan kiri
muridnya. Dengan pengerahan lweekang-nya dia ‘mendorong’ keluar hawa pukulan Song-bun-kwi dari
sebelah kanan tadi, keluar dari tubuh muridnya. Setelah berusaha kurang lebih lima menit barulah dia berhasil.
Keadaan Giam Kin normal kembali dan sambil menggeleng kepala menyusuti peluh di keningnya, Siauw-ongkwi
mengeluh.
"Berbahaya sekali setan tua bangka itu..." Kemudian tanpa banyak cakap ia lalu mengajak muridnya pergi dari
situ.
Tua bangka itu sekarang lihai luar biasa, pikirnya, jangan-jangan dia telah mendapatkan sumber Im-yang. Dia
merasa khawatir dan berjanji akan menyelidiki akan hal ini, dan jika ternyata dugaannya betul, dia harus
berusaha merampasnya…..
********************
Di puncak Tai-hang-san terdapat sebuah dataran yang luas. Tanahnya subur akan tetapi seperti dibuat oleh
manusia. Dataran itu tidak ditumbuhi pohon, namun hanya diselimuti rumput-rumput pendek yang hijau dan
dunia-kangouw.blogspot.com
segar. Di atas rumput inilah Beng San diturunkan oleh Song-bun-kwi setelah melalui perjalanan ratusan li
jauhnya.
"Kakek Song-bun-kwi, aku bukanlah muridmu dan aku mengaku di depan Siauw-ong-kwi hanya untuk
menakut-nakuti dia. Apakah kesalahan begitu saja membuat kau bingung sampai tidak tahu harus berbuat apa
terhadap aku?" Beng San mencela kakek itu dengan suara kesal. Memang hatinya mengkal dan dia kesal
melihat kakek itu di sepanjang jalan diam saja dan tidak memberi tahu mengapa dia dibawa ke tempat sejauh
itu.
Untuk beberapa lamanya kakek baju putih itu memandang dengan mata liar berputaran, mata orang yang tidak
waras otaknya. Dan tiba-tiba dia tertawa dengan suara menangis. "Hi-hi-hi, kau takut aku membunuhmu?"
Dengan suara tetap Beng San menjawab, "Tidak! Mengapa aku harus takut? Kau tidak akan membunuhku!"
Mata Song-bun-kwi melotot lebar penuh ancaman. "Bocah! Janganlah kau main-main di depan Song-bun-kwi.
Nyawa manusia bagiku tidak ada bedanya dengan nyawa semut, apa lagi nyawamu...!"
"Hanya nyawa seekor semut kecil, bukan? Terima kasih!" ejek Beng San dengan berani. "Akan tetapi aku juga
tidak main-main. Kau sendiri yang memberi tahu bahwa kau tidak akan membunuhku."
"Apa? Aku yang memberi tahu? Setan, bilanglah dengan jelas, jangan main teka-teki."
Beng San tetap tertawa menggoda. "Ini bukan teka-teki. Kau mau mencoba menebaknya? Tak mungkin bisa.
Hayo tebak, ada orang yang segala-galanya besar sendiri, siapa itu?"
Karena terbawa hanyut oleh kegembiraan Beng San, atau mungkin karena Song-bun-kwi sudah terlalu tua
sehingga cocok dengan kata-kata orang bahwa orang yang sudah terlalu tua kembali seperti kanak-kanak,
Song-bun-kwi bersorak.
"Ahh, gampang saja itu. Orang yang besar sendiri adalah raksasa. Hayo, betul tidak?"
Beng San meruncingkan bibirnya. "Uuuhhh, salah sama sekali! Bukan begitu jawabnya."
"Ahh, kalau begitu orang utara. Tubuhnya besar-besar melebihi orang selatan."
Beng San tetap menggelengkan kepalanya.
"Orang dari Shan-tung! Tinggi-tinggi!" kata pula Song-bun-kwi.
Akan tetap Beng San menggeleng lagi.
"Habis orang apa? Terima kalah aku.”
"Orang yang besar sendiri?" berkata Beng San. "Kau inilah, atau aku, pendeknya setiap orang!"
Song-bun-kwi melongo, lalu marah. "Jangan main-main kau, jangan tipu aku.”
"Siapa main-main? Kaulah orang yang besar sendiri, juga aku dan setiap orang tentu besar sendiri. Kalau kau
tidak besar sendiri, siapa yang membesarkanmu? Apa ada yang meniup lubang hidungmu sambil menyumpal
lubang-lubang lain di tubuhmu supaya kau melembung dan membesar?" Beng San tertawa terkekeh-kekeh.
Song-bun-kwi tiba-tiba tertawa pula sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Sekarang lain lagi. Thian (Tuhan) membuat semua anggota tubuh kita dengan sempurna. Akan tetapi
mengapa Thian membuat hidung kita dengan dua lubangnya menghadap ke bawah. Hayo kalau kau memang
pintar, jawablah!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Song-bun-kwi mengerutkan keningnya. Wah, soal pelik nih, pikirnya. Hanya teka-teki tapi sampai membawabawa
nama Thian. Setelah memutar otak, akhirnya dia menjawab juga dengan suara sungguh-sungguh.
"Hidung memiliki dua lubang, kiranya Thian berkehendak untuk membuat keseimbangan. Ada yang kiri, tentu
ada yang kanan sebagai wakil dari Im dan Yang. Dengan menghadap ke bawah lubangnya, maka manusia
dapat menggunakannya lebih baik untuk mencium, karena jika lubangnya tidak di bawah, tentu sulit
dipergunakan untuk membedakan bau." Dia berhenti dan berpikir lagi, tapi tak dapat melanjutkan.
"Hanya begitu?" Beng San mendesak, senyumnya tidak membesarkan hati si penebak.
"Ya, habis apa lagi? Tebakanku sekali ini pasti betul, bukan?" tanya Song-bun-kwi penuh harap.
"Betul apanya? Kau ngawur!"
Song-bun-kwi melengak, kecewa. "Jadi salah lagi? Habis, bagaimana jawabannya?"
"Dengarlah baik-baik," kata Beng San dengan lagak seorang dewasa yang memberi tahu seorang anak-anak.
"Thian memberi hidung dengan dua lubangnya menghadap ke bawah dengan maksud yang amat baik. Jika
hidungmu diberi lubang yang menghadap ke atas, di waktu hari hujan dan kau sedang kehujanan, bukankah
air hujan akan membanjiri lubang hidungmu sehingga membuat kau tersedak, lalu berbangkis dan pilek terusterusan?
Nah, itulah sebabnya makanya lubang hidungmu dihadapkan ke bawah.”
Beng San tertawa. Setelah membayangkan orang dengan lubang hidung menghadap ke atas dan kehujanan,
Song-bun-kwi lalu tertawa juga terkekeh-kekeh sambil berkata, "Kau benar... kau benar..."
"Sekarang ada sebuah lagi pertanyaan yang sangat gawat," kata Beng San, wajahnya bersungguh-sungguh.
Wajahnya yang kini sudah putih lagi itu berseri, sepasang matanya memancarkan kenakalan, akan tetapi
keningnya berkerut.
"Sebuah teka-teki yang menyangkut rahasia Thian!"
Song-bun-kwi kaget dan memandang heran, tak percaya, "Bocah, anak manusia bernama Beng San,
janganlah kau keluarkan omongan gila. Aku sendiri tidak berani mengutik-utik rahasia Thian."
"Aku bersungguh-sungguh, Song-bun-kwi. Kalau kau bisa menjawab teka-teki yang satu ini berarti kau telah
bertemu dengan rahasia Thian!"
"Ehh, bocah aneh. Lekas keluarkan teka-tekimu yang hebat itu."
"Kakek Song-bun-kwi, kau sendiri sudah tua bangka dan tidak lama lagi tentu kau akan mengalami hal yang
sama, yaitu kematian. Sebagai Song-bun-kwi (Setan Berkabung), kau tentu sudah tahu apa artinya orang mati,
dan sudah sering kali melihat keluarga yang kematian. Nah, sekarang teka-tekinya begini. Apa sebab orang
mati sebelum dimasukkan peti mati selalu dimandikan lebih dahulu! Nah, pikirlah baik-baik, karena kau sendiri
kelak juga akan mati dan dimandikan orang."
Kini Song-bun-kwi benar-benar mengerahkan otaknya untuk mencari jawaban teka-teki yang terdengar amat
pelik. la menghubung-hubungkan jawaban dari teka-teki ini dengan Agama Buddha, dengan ajaran Nabi Locu
dan Nabi Khong-cu. Setelah mengumpulkan semua bahan-bahan yang dia ingat, dia lalu menjawab.
"Pertama, badan manusia yang mati ditinggalkan rohnya pasti kotor dan agar roh itu dapat memasuki nirwana
dengan baik, badannya harus pula dibersihkan dari segala kotoran. Kedua, badan manusia bila mati berarti
kembali ke asalnya. Karena ketika dilahirkan dari tempat asal badan manusia dalam keadaan bersih, maka
kembalinya harus pula bersih. Ketiga, badan manusia mati dimandikan sampai bersih sebagai tanda bahwa si
mati telah dibersihkan dari segala dosa dan kesalahan. Keempat, mayat manusia dimandikan hingga bersih
untuk memberi penghormatan kepada Dewa Bumi yang akan menerima mayat itu. Ke lima, mayat dimandikan
sampai bersih untuk mengusir semua penyakit serta hawa busuk agar tidak sampai menular kepada orangorang
yang masih hidup. Keenam, mayat itu dimandikan untuk menyatakan bahwa betul-betul dia telah mati,
karena kalau belum, terkena siraman air tentu dia akan siuman kembali. Ke tujuh, memang semenjak dahulu
dunia-kangouw.blogspot.com
mayat dimandikan sampai bersih sebelum dimasukkan peti dan dikubur, oleh karena itu sampai sekarang pun
orang harus melanjutkan kebiasaan itu dan inilah yang dinamakan mentaati peraturan." Sampai di sini Songbun-
kwi berhenti karena sudah habis semua pengertiannya, dikuras untuk menjawab teka-teki itu.
Mendengarkan jawaban ini, makin lama semakin bersinar mata Beng San, nampaknya girang sekali. Ketika
kakek itu berhenti, dia mendesak. "Hanya tujuh jawabnya? Apakah masih ada lagi? Boleh tambah kalau masih
ada!"
"Sudah habis. Tentu salah satu dari tujuh jawabanku itu benar. Hayo, sekarang katakan, apakah jawabanjawaban
itu ada yang cocok?!"
Beng San tertawa. "Benar kata dalam kitab kuno bahwa mencari sesuatu haruslah dicari di tempat yang dekatdekat
dulu, baru mencari ke tempat yang jauh. Kalau tidak demikian dan langsung mencari di tempat jauh
padahal yang dicari itu dekat saja, kau akan tersasar makin jauh dari pada yang kau cari. Nah, kau juga begitu,
Kakek Song-bun-kwi. Jawaban itu dekat dan sederhana, akan tetapi kau melantur sampai jauh dan memberi
jawaban bertele-tele."
"Apa tidak ada yang cocok?" tanya Song-bun-kwi cemas.
"Bukan tidak cocok saja, malah menyeleweng jauh dari jawaban teka-teki yang dimaksud. Semua jawabanmu
salah!"
Agak berubah wajah Song-bun-kwi, kini penuh penasaran. "Betulkah semua salah? Bocah siluman, kalau
begitu hayo katakan apa jawabnya yang betul. Kalau kau menipu, sekali tampar otakmu akan hancur ceraiberai!"
"Siapa sudi menipumu? Dengarlah baik-baik, Song-bun-kwi. Teka-teki itu bunyinya begini: Apa sebabnya
orang mati sebelum dimasukkan peti mati selalu dimandikan lebih dulu? Nah, sekarang jawabannya,
sederhana saja, begini: Orang mati sebelum dimasukkan peti mati selalu dimandikan lebih dahulu karena DIA
TIDAK BISA MANDI SENDIRI! Kalau dia bisa mandi sendiri, tentu tidak dimandikan orang, dan dengan begitu
dia belum mati. Nah, betul tidak?"
Song-bun-kwi menjadi pucat mukanya yang merah itu, tangannya sudah diangkat hendak menampar kepala
Beng San. Akan tetapi tiba-tiba tangannya itu dia selewengkan, tidak memukul kepala Beng San, melainkan
memukul sebuah batu di dekat Beng San. Batu itu meledak dan hancur. Beng San tidak merasa takut, hanya
kaget dan kagum.
"Anak setan, anak iblis, anak siluman," Song-bun-kwi memaki, kemudian kakek itu tertawa terbahak-bahak
sambil memegangi perutnya. "Beng San, kau tadi bilang bahwa kau tahu aku tidak akan membunuhmu. Malah
kau bilang aku sendiri yang memberi tahumu. Nah, sekarang kau jawablah teka-teki dariku. Mengapa kau
kubawa ke sini? Hayo jawablah, taruhannya kepalamu!"
"Kau menculikku sampai ke sini karena kau menghendaki sesuatu dari aku, menghendaki sesuatu yang ada
hubungannya dengan kitab Yang-sin-kiam yang kau rampas dari suhu The Bok Nam."
Mendengar jawaban ini, Song-bun-kwi mencelat sampai beberapa meter jauhnya saking herannya. Kemudian
dia mendekat lagi, wajahnya membayangkan keheranannya. "Bocah siluman, bagaimana kau bisa tahu?"
"Kau sendiri yang telah memberi tahu, Kakek, bukan melalui mulutmu akan tetapi melalui perbuatanmu. Orang
macam kau ini, kalau hendak membunuhku mengapa harus susah payah, jauh-jauh membawaku ke sini? Bila
mau membunuhku tentu aku sudah kau bunuh begitu saling bertemu. Nah, karena kau belum juga
membunuhku, malah membawaku jauh-jauh ke tempat ini, sama saja dengan kau memberi tahu kepadaku
bahwa kau takkan membunuhku, akan tetapi menghendaki sesuatu dari aku. Mengingat bahwa aku Beng San
selama hidupku tidak pernah ada urusan denganmu, kecuali pertemuan kita ketika kau merampas kitab Yangsin-
kiam dulu, sudah tentu sekali bahwa kau membawaku ini ada hubungannya dengan kitab itu."
Song-bun-kwi memandang kagum. "Kau bocah yang luar biasa. Kau cerdik sekali. Bicara dengan kau sama
saja dengan bicara kepada orang tua. Baiklah, kini aku berterus terang kepadamu. Dalam dunia kang-ouw
dunia-kangouw.blogspot.com
terkenal adanya sepasang ilmu pedang yang disebut Im-yang Sin-kiam. Ilmu pedang Im dan Yang ini adalah
ciptaan Pendekar Sakti Bu Pun Su ratusan tahun yang lalu sebagai pecahan dari Ilmu Im-yang Bu-tek Cinkeng.
Sudah tentu Im-yang Sin-kiam ini menarik perhatian semua tokoh persilatan yang kemudian berusaha
mendapatkannya. Akhirnya aku mengetahui bahwa sepasang kitab itu berada di tangan Phoa Ti dan The Bok
Nam yang terkenal dengan julukan Thian-te Siang-hiap. Aku tahu bahwa pada akhir-akhir ini mereka saling
berlawanan sendiri, maka aku mempergunakan kesempatan itu untuk mencari mereka. Akhirnya aku berhasil
merampas Yang-sin-kiam dari The Bok Nam seperti yang telah kau saksikan pada waktu itu. Celakanya
sebelum aku sempat mendapatkan Im-sin-kiam dari tangan Phoa Ti, aku telah didahului oleh nenek siluman
Hek-hwa Kui-bo yang sudah memukul Phoa Ti dan merampas kitabnya."
Sampai di sini Song-bun-kwi menarik napas panjang. Dia nampak kecewa dan menyesal. Beng San
mengangguk-angguk.
"Sayang aku masih belum mampu mengalahkannya sehingga dia dapat lari membawa kitab Im-sin-kiam.
Mencoba untuk merampas kitab itu dari tangannya bukanlah hal yang mudah, pula dia tidak bodoh dan tak
akan mau memperlihatkan diri. Nah, aku lalu ingat kepadamu, Beng San. Kau yang berada di sana bersama
Phoa Ti dan The Bok Nam. Kau tentu mendapat warisan ilmu silat dari mereka. Siapa tahu Im-sin-kiam telah
kau warisi dari Phoa Ti. Sekarang kau harus buka rahasia Im-sin-kiam itu kepadaku, Beng San."
Beng San mengerutkan keningnya. Biar pun baru belasan tahun usianya, akan tetapi dia sangat cerdik dan
pada akhir-akhir ini sudah sering kali berhadapan dengan orang-orang jahat sehingga membuat dia waspada
dan hati-hati.
"Kakek tua, mengapa kau begitu serakah? Kau sudah mendapatkan kitab Yang-sin-kiam, kenapa masih ingin
mendapatkan kitab Im-sin-kiam pula?”
"Bocah bodoh, masa kau tidak tahu? Yang-sin-kiam memang hebat dan sukar ada tokoh lain yang akan dapat
mengalahkan aku. Akan tetapi celakanya, Yan-sin-kiam tidak akan berdaya kalau bertemu dengan Im-sinkiam,
sebaliknya Im-sin-kiam juga takkan berdaya menghadapi Yang-sin-kiam. Ibarat api dan air, baru berguna
kalau keduanya disatukan dan bekerja sama. Hayo, Beng San anak baik, kau beri tahukan kepadaku
bagaimana pelajaran Im-sin-kiam yang kau terima dari Phoa Ti."
Beng San menggelengkan kepala. “Sayang, Kakek Song-bun-kwi. Aku tidak bisa."
Ia tidak mau menjawab berterang, karena anak ini memang agak sukar apa bila disuruh membohong. Dengan
jawaban ‘aku tidak bisa’, di dalam hatinya dimaksudkan bahwa dia tidak bisa membuka rahasia itu, bukannya
tidak bisa menceritakan isi Im-sin-kiam!
Song-bun-kwi memandangnya dengan mata liar dan amat tajam menusuk, seperti hendak menjenguk isi hati
Beng San. Tiba-tiba dia membentak, "Berdiri!"
Beng San bangkit berdiri dan tiba-tiba kakek itu menyerangnya dengan pukulan tangan kanan yang dikepal
keras dan menumbuk ke arah dadanya. Penyerangan ini dilakukan sungguh-sungguh, akan tetapi gerakannya
sengaja diperlambat sehingga mudah diikuti. Namun demikian, andai kata dibiarkan saja, dada Beng San tentu
akan pecah berantakan kalau terkena pukulan itu.
Beng San sudah mempelajari Yang-sin-kiam dengan tekun. Tubuhnya sudah mempunyai daya tahan dan daya
gerak yang otomatis. Apa lagi setelah matanya melihat bahwa serangan itu adalah sebuah jurus dari Yang-sinkiam,
dengan amat mudahnya dia tahu bagaimana harus melawan dan melayaninya. Untuk melayani
serangan Yang-sin-kiam, paling tepat memang menggunakan jurus Im-sin-kiam, karena dengan demikian
segala daya serangan itu selalu lumpuh, juga akan membuka kelemahan-kelemahan.
Akan tetapi Beng San tidak mau berlaku bodoh. Dengan mengumpulkan semangat dia ‘menutup’ pikiran dan
ingatannya akan Im-sin-kiam, dan mencurahkan ingatannya kepada Yang-sin-kiam sehingga menghadapi
penyerangan ini, dia kemudian menggunakan jurus Yang-sin-kiam yang sesuai untuk menghindarkan diri.
Karena dia sudah hafal benar akan seluruh gerakan Yang-sin-kiam, maka tidaklah terlalu sukar bagi Beng San
untuk menghindarkan serangan itu karena dia sudah tahu ke mana serangan itu akan menuju dan bagaimana
dunia-kangouw.blogspot.com
perkembangan selanjutnya. Tentu saja andai kata kakek itu mempergunakan kecepatan, amat sukar bagi
Beng San yang masih belum berpengalaman dan belum terlatih itu untuk menghadapinya.
Setelah menyerang sebanyak tiga jurus yang semuanya dapat dihindarkan oleh Beng San dengan mudahnya,
Song-bun-kwi menjadi makin kagum dan juga amat penasaran. Tiga macam jurus yang dia gunakan tadi,
walau pun dia lakukan dengan lambat yang memang dia sengaja, tapi belum tentu ada tokoh persilatan yang
akan mampu memecahkannya. Hanya orang yang telah mengenal betul Ilmu Silat Yang-sin-kiam baru bisa
memecahkan semudah yang dilakukan Beng San.
Dari kagum dan heran ia menjadi penasaran sekali, lalu ia melanjutkan penyerangannya secara bertubi-tubi,
mengeluarkan seluruh jurus Yang-sin-kiam yang kesemuanya hanya memiliki delapan belas jurus pokok.
Sebetulnya, baik Yang-sin-kiam mau pun Im-sin-kiam setiap jurus pokoknya masih dapat pula dipecah menjadi
tiga sehingga jumlah seluruhnya adalah lima puluh empat jurus. Akan tetapi oleh karena hanya ingin melihat
apakah betul-betul bocah itu sudah hafal akan jurus-jurus Yang-sin-kiam, kakek ini hanya mengeluarkan jurusjurus
pokok saja. Hebatnya, delapan belas jurus pokok itu dengan amat mudahnya dapat dihindarkan dan
dipecahkan oleh Beng San!
Serangan-serangan yang dilakukan oleh Song-bun-kwi ini bukan semata-mata hendak melihat apakah Beng
San betul-betul sudah hafal akan Yang-sin-kiam, tetapi maksudnya yang tersembunyi adalah hendak
memancing supaya bocah ini dalam keadaan terdesak mau menggunakan Im-sin-kiam. Sesudah dia melihat
bahwa semua gerakan yang dipakai Beng San untuk menghindarkan serangan-serangan itu adalah jurus-jurus
Yang-sin-kiam pula, dia baru percaya akan keterangan anak itu tadi bahwa Beng San hanya mewarisi Yangsin-
kiam saja.
Hatinya mengkal sekali. Tiba-tiba dia tertawa bergelak, lalu menangis.
"Ha-ha-ha-hi-hi! Tebakanmu tadi keliru, Beng San. Aku membawamu ke mari memang hendak membunuhmu.
Kau hafal akan Yang-sin-kiam, ini tidak baik. Hanya aku seorang yang boleh tahu akan Yang-sin-kiam, maka
kau harus mati saat ini juga! Sayang kau tak becus Im-sin-kiam..." Kakek ini mengangkat tangannya ke atas
dan Beng San sudah siap sedia hendak menyelamatkan diri sedapat mungkin.
Tiba-tiba berkelebat bayangan merah dan tahu-tahu di sana telah berdiri seorang bocah perempuan berusia
kurang lebih sepuluh tahun. Beng San sampai bengong terlongong melihat bocah ini. Bukan karena bocah
baju merah itu cantik manis dan mungil sekali, dengan sepasang mata seperti bintang, dengan rambut hitam
panjang yang bergantung di pundak, akan tetapi dia bengong saking kagum menyaksikan gerakan yang bukan
main cepatnya itu.
Bocah itu berdiri memandang kepadanya dan tersenyum! Senyumnya membuat matahari seakan-akan
bersinar semakin terang. Tidak hanya bibir dan gigi yang mengambil peran dalam senyum ini, bahkan mata
dan hidungnya juga ikut tersenyum. Beng San tak dapat menahan hatinya untuk tidak membalas dengan
senyum lebar.
Song-bun-kwi menurunkan tangannya dan menghela napas. "Bocah edan, mengganggu orang tua saja." la
lalu menoleh dan memandang kepada anak perempuan baju merah itu, lalu menggerak-gerakkan kedua
tangannya, sepuluh jari tangan itu bergerak-gerak pula.
Anak perempuan itu kembali tersenyum, melirik ke arah Beng San, mengangguk kepada Song-bun-kwi lalu
meloncat pergi, cepat dan cekatan laksana burung walet.
"Kurang ajar, tentu anak penggembala itu yang mengajaknya main-main sampai ke sini!" Song-bun-kwi
bersungut-sungut dan betul saja dari jauh terdengar bunyi kerbau menguak. "Keparat, harus mampus semua!"
Sekali Song-bun-kwi berkelebat kakek ini sudah lenyap dari situ.
Semua kejadian ini membuat Beng San duduk terlongong. Bocah perempuan| yang aneh dan ternyata gagu
itu, yang begitu cepat gerakan-gerakannya, lalu kakek yang aneh ini. Benar-benar dia terheran-heran dan amat
kagum sampai lupa bahwa dia belum lolos dari ancaman bahaya besar dari si kakek yang seperti gila itu. la
hanya mendengar suara kerbau-kerbau menguak beberapa kali disusul jerit menyeramkan, lalu sunyi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba dia mencium bau harum dan ketika menengok… di belakangnya sudah berdiri Hek-hwa Kui-bo,
wanita tua yang masih cantik itu, dengan sapu-tangan suteranya yang beraneka warna sedang dibuat mainmain
di tangan kiri.
"Kui-bo...!" tak terasa lagi Beng San berseru untuk menyembunyikan rasa kagetnya.
Wanita itu tersenyum manis. "Bagus, anak baik. Kau masih ingat kepadaku yang menjadi gurumu?"
"Kau bukan guruku," jawab Beng San, suaranya dingin.
Hek-hwa Kui-bo memandang tajam. Di dalam hatinya wanita ini sudah amat heran melihat bocah ini masih
belum mati, padahal dahulu dia sengaja memberi pelajaran tiga macam ilmu menguasai tenaga Yang-kang
untuk membunuh Beng San.
"Hei bocah yang tidak kenal budi. Bukankah dahulu aku pernah memberi pelajaran ilmu kepadamu?"
"Memang betul, kau memberi pelajaran Thai-hwee, Siu-hwee dan Ci-hwee padaku. Akan tetapi itu bukan
berarti bahwa kau adalah guruku karena aku tak pernah mengangkat kau sebagai guru. Pula aku tidak tahu
apa gunanya pelajaran-pelajaran itu."
Sepasang mata Hek-hwa Kui-bo bersinar dan senyumnya melebar. Hatinya girang sekali karena sekarang ia
merasa yakin bahwa anak ini tidak tahu akan maksud buruknya ketika menurunkan tiga macam ilmu itu.
"Anak baik, kau tidak tahu bahwa pelajaran yang kuturunkan padamu itu adalah pelajaran yang menjadi dasar
ilmu silat tinggi. Aku suka kepadamu, Beng San, dan aku suka punya murid seperti kau ini. Kalau aku tidak
suka kepadamu, masa aku turunkan ilmu-ilmu itu kepadamu? Justru kedatanganku ini juga karena perasaan
sukaku kepadamu itulah. Kau sedang terancam bahaya, bila Song-bun-kwi iblis itu kembali, kau tentu akan
dibunuhnya. Karena itu, hayo kau ikut aku pergi sekarang juga."
Tanpa menanti jawaban Beng San, Hek-hwa Kui-bo menangkap tangan bocah itu dan di lain saat Beng San
merasa dirinya melayang, persis seperti ketika dia dibawa pergi oleh Song-bun-kwi. la tidak melawan dan
menyerahkan diri saja, maklum bahwa melawan pun tidak akan ada gunanya.
Lagi pula, dia belum tahu apa maksud sebenarnya wanita ini, meski pun dia merasa pula bahwa memang dia
terancam oleh Song-bun-kwi. Kiranya dibawa pergi Hek-hwa Kui-bo belum tentu bahayanya sebesar kalau dia
berada bersama Song-bun-kwi.
Tiba-tiba Hek-hwa Kui-bo menarik tangan Beng San sambil meloncat ke belakang sebuah batu besar yang
berada di pinggir jalan. Nenek ini bersembunyi di belakang batu sambil memegang tangan Beng San erat-erat.
"Kui-bo, ada apa...?" Suara Beng San terhenti ketika tangan nenek itu yang sebelah lagi menotok lehernya dari
belakang.
Beng San marah dan hatinya mendongkol sekali. Dia tidak dapat bergerak, tidak dapat membuka suara, hanya
mampu mendengar dan melihat.
Pada saat itu dia mendengar suara melengking dari jauh, suara tangis memilukan. Segera dia mengenal suara
ini ketika makin lama suara itu makin mendekat. Bukan lain suara yang aneh dari Song-bun-kwi! Sebentar saja
kakek aneh ini sudah lewat jalan itu, dekat batu tanpa menoleh ke kanan kiri. Wajahnya muram, mukanya
tunduk dan tubuhnya yang kecil kurus itu seperti bongkok.
Setelah kakek ini lewat jauh dan tak kelihatan lagi, Hek-hwa Kui-bo menarik lagi tangan Beng San sambil
menepuk belakang lehernya membebaskan totokan.
"Kui-bo, kenapa kau takut pada Song-bun-kwi?" Beng San mengejek untuk melampiaskan kemendongkolan
hatinya. la sudah maklum akan watak nenek ini yang tak mau dikatakan takut, maka dia sengaja berkata
demikian.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bodoh, siapa takut? Aku sedang tidak ada waktu bermain-main dengan tua bangka itu. Hayo ikut!"
Hek-hwa Kui-bo lalu membawa lari lagi anak itu, kini ia sengaja menuju ke arah dari mana Song-bun-kwi tadi
datang. Jelas bahwa ia memang sengaja hendak menjauhkan diri dari Song-bun-kwi.
"Kui-bo, apa itu?" Beng San menuding ke arah lereng gunung yang mereka lalui.
"Apa lagi kalau bukan bekas tangan si tua bangka?" jawab Hek-hwa Kui-bo dingin, malah ia lalu terkekeh dan
berkata. "Tua bangka sudah mau mampus tetapi masih suka main bunuh orang. Heh-heh-heh!"
Ketika melihat lebih dekat dan lebih jelas, Beng San bergidik. Yang tadi dari jauh dia lihat bertumpuk-tumpuk
dan disambari burung-burung hitam di lereng itu bukan lain adalah bangkai belasan ekor kerbau dan mayat
tiga orang anak penggembala yang baru berusia belasan tahun seperti dia.
Tidak salah lagi, tentu dalam kemarahannya tadi Song-bun-kwi telah pergi meninggalkan dia sebentar untuk
membunuhi tiga orang penggembala dengan kerbau-kerbau mereka ini. Alangkah kejamnya hati si Setan
Berkabung itu.
"Tua bangka keji si Song-bun-kwi!" Beng San tak terasa memaki.
Hek-hwa Kui-bo tertawa. Giginya yang masih kuat itu putih berkilat sebentar.
"Apa kau bilang? Keji? Hi-hi-hi, tidak ada artinya itu. Dulu, puluhan tahun yang lalu, untuk merampas seorang
mempelai wanita dia membunuh mempelai pria, seluruh keluarga dan semua tamu yang hadir pada malam
pesta pernikahan itu."
Beng San melototkan matanya, ngeri dia membayangkan. ”Mengapa para tamu dibunuh semua?"
”Goblok kau! Song-bun-kwi tidak sebodoh kau. Tentu saja untuk menutup mulut mereka."
Beng San bergidik. Dua orang ini, kakek Song-bun-kwi dan nenek Hek-hwa Kui-bo, selain setingkat ilmu
kepandaiannya, agaknya setingkat pula kekejamannya. Mulailah ia berpikir tentang diri Hek-hwa Kui-bo.
Kenapa wanita iblis ini membawanya pergi? Betulkah hanya untuk menolongnya dari ancaman Song-bun-kwi?
Mustahil! Orang sekeji ini hatinya mana bisa mempunyai maksud baik?
Beng San terkejut ketika dia teringat bahwa yang mencuri kitab Ilmu Im-sin-kiam adalah Hek-hwa Kui-bo ini!
Celaka, pikirnya. Manusia jahat ini tentu tidak akan jauh bedanya pula dengan Song-bun-kwi. Tentu akan
mencoba untuk mendapatkan isi kitab yang satu lagi darinya.
Benar saja dugaannya. Pada waktu mereka tiba di tempat yang sunyi, di tengah sebuah hutan yang penuh
dengan pohon-pohon tua, Hek-hwa Kui-bo melepaskan tangannya, lalu tersenyum-senyum dan memandang
kepada Beng San.
"Beng San, aku tahu bahwa kau telah menjadi ahli waris dari Phoa Ti dan The Bok Nam, telah mempelajari
dua macam ilmu silat, Yang-sin-kiam dan Im-sin-kiam. Kau memang anak baik dan patut menjadi murid orang
pandai. Karena itu aku ingin sekali memimpinmu lebih lanjut agar kelak kau menjadi seorang jagoan yang tak
terlawan di dunia ini. Nah, sekarang coba kau hadapi serangan-seranganku ini dengan Yang-sin-kiam yang
sudah kau pelajari dari The Bok Nam!"
Tanpa menanti jawaban Beng San, Hek-hwa Kui-bo yang amat bernafsu untuk segera melihat Ilmu Silat Yangsin-
kiam, segera menyerang anak itu dengan jurus-jurus dari Ilmu Silat Im-sinkiam, yang kitabnya dia rampas
dari Phoa Ti.
Biar pun amat terdesak, Beng San yang memang cerdik itu maklum bahwa dia hendak dipancing. Dia segera
menghadapi serangan-serangan itu dengan ilmu yang sama, yaitu Im-sin-kiam, dan sengaja menutup semua
ingatannya akan Ilmu Silat Yang-sin-kiam, juga sebaliknya dari yang dia lakukan ketika dia berhadapan
dengan Song-bun-kwi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi Hek-hwa Kui-bo tidak kecewa, malah tersenyum manis dan berkata, "Aha, kau hendak
menggunakan Im-sin-kiam lebih dulu? Baik, lakukanlah dengan sempurna supaya aku dapat membimbingmu
kalau keliru."
Setelah berkata demikian, ia menyerang terus dengan Im-sin-kiam sampai delapan belas pokok jurus Im-sinkiam
ia mainkan seluruhnya. Diam-diam Hek-hwa Kui-bo kagum sekali melihat gerakan-gerakan Beng San
yang biar pun kurang terlatih namun amat sempurna.
"Hayo sekarang kau gunakan Yang-sin-kiam, ingin kulihat apakah juga sebaik Im-sin-kiam yang kau pelajari!"
serunya sambil mendesak lagi dengan Im-sin-kiam.
Akan tetapi Beng San tetap menghadapinya dengan ilmu silat yang sama. Beberapa kali Hek-hwa Kui-bo
membentaknya, akan tetapi dia tetap tidak mau mengubah ilmu silatnya. Akhirnya Hek-hwa Kui-bo menjadi
jengkel dan berhenti menyerang.
”Ehh, bocah kepala batu, kenapa kau tetap tldak mentaati perintahku?"
”Kau ini aneh-aneh saja, Kui-bo. Bisaku ya cuma itu tadi.”
”Apa kau tidak mempelajari Yang-sin-kiam dari The Bok Nam.”
Beng San tidak mau menjawab pertanyaan ini, bahkan jawabannya menyimpang, "Aku hanya bisa melayanimu
dengan yang tadi, yang lain-lain tidak bisa.”
Keparat, pikir Hek-hwa Kui-bo. Kalau begitu anak ini hanya mempelajari Im-sin-kiam. Ah, untung dia kurampas
tadi dari Song-bun-kwi, kalau tidak, tentu Song-bun-kwi akan dapat menguras Im-sin-kiam dari anak ini. Di
dunia ini mana boleh ada orang lain kecuali dia sendiri yang mengenal Im-sin-kiam?
”Setan kecil, jika begitu kau harus mampus di depan mataku.” Hek-hwa Kui-bo kemudian mengangkat tangan
memukul kepala Beng San.
Bocah ini mana mau menerima mati begitu saja. Ia cepat menjatuhkan diri ke belakang, lalu meloncat dan lari.
Hek-hwa Kui-bo mengeluarkan suara ketawa terkekeh, kemudian mengejarnya. Beberapa loncatan saja sudah
cukup bagi Hek-hwa Kui-bo untuk menyusul Beng San. Sekali lagi ia memukul, kini menggunakan sapu tangan
suteranya yang menyambar ke arah belakang kepala Beng San.
Ujung sapu tangan itu mengancam jalan darah maut. Dalam detik-detik selanjutnya tentu Beng San takkan
dapat terlepas dari cengkeraman maut kalau saja pada saat itu tidak terdengar seruan keras.
"Tahan!" Ujung sapu tangan itu tertangkis oleh sebatang suling dan keduanya terhuyung mundur.
Hek-hwa Kui-bo kaget sekali melihat kelihaian lawan, akan tetapi ia menjadi lebih kaget ketika melihat bahwa
yang menangkis sapu tangannya dengan suling tadi ternyata adalah Song-bun-kwi! Celaka, pikirnya. Kalau
anak ini dapat terampas lagi oleh kakek ini, berarti Im-sin-kiam akan terjatuh ke dalam tangan Song-bun-kwi
dan kalau terjadi hal demikian, takkan berarti pulalah Im-sin-kiam di tangannya.
Dengan penuh kemarahan Hek-hwa Kui-bo menerjang lagi, sekali ini dia menggerakkan sapu tangannya
hendak menghancurkan kepala Beng San yang berdiri bengong melihat tahu-tahu Song-bun-kwi sudah berada
di situ menolongnya.
"Plak! Plakkk!"
Dua kali ujung sapu-tangan bertemu dengan ujung suling. Pada saat keduanya terhuyung mundur lagi karena
dorongan tenaga dahsyat dari masing-masing lawan, Song-bun-kwi meloncat ke depan dan sulingnya
menusuk ke arah leher Beng San. Bocah ini tak dapat mempertahankan dirinya lagi, demikian cepatnya
tusukan itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aihhh, tahan!"
Hek-hwa Kui-bo mengerakkan sapu tangannya yang panjang dan kembali nyawa Beng San tertolong, kali ini
oleh sapu tangan Hek-hwa Kui-bo. Dan keduanya bertanding lagi.
Memang aneh pertandingan itu. Mungkin orang takkan percaya bila tidak melihat sendiri. Mana di dunia ini ada
orang bertanding karena seorang anak kecil, bukan memperebutkan anak itu melainkan berdulu-duluan...
membunuhnya!
Beberapa kali Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi kaget dan heran melihat betapa lawan masing-masing selalu
hendak menyerang Beng San. Akan tetapi, karena curiga dan salah sangka, mengira bahwa masing-masing
itu ingin menjadikan Beng San sebagai pembuka rahasia masing-masing, maka mereka dengan sungguhsungguh
dan sengit saling serang sehingga terjadilah pertempuran yang amat hebat. Pertempuran ini
merupakan kelanjutan dari pertempuran saat mereka memperebutkan kitab dan masing-masing dapat
merampas kitab dari dua orang kakek Phoa Ti dan The Bok Nam.
Sementara itu, melihat betapa dua orang tua yang aneh dan kejam itu saling serang, Beng San
mempergunakan kesempatan ini untuk melarikan diri. Baru saja dia lari belum jauh, Song-bun kwi sudah
membentak.
"Anak iblis, kau hendak lari ke mana?!" Secepat kilat tubuhnya melayang dan sulingnya menyerang dari
belakang.
Akan tetapi serangan ini kembali digagalkan oleh ujung sapu tangan di tangan Hek-hwa Kui-bo.
"Bukan orang lain, akulah yang akan membunuhnya!" Hek-hwa Kui-bo membentak sambil memandang kepada
Song-bun-kwi dengan mata melotot.
"Kau?! Membunuhnya? Apakah sebabnya kau hendak membunuhnya?" Pikiran kakek ini seakan-akan baru
terbuka, dan dia pun bertanya heran.
"Dia tidak boleh hidup di bawah satu kolong langit denganku. Mungkin bagimu berguna, tetapi bagiku tidak!"
jawab Hek-hwa Kui-bo marah. Akan tetapi nenek ini pun bertanya heran, "Dan kau... mengapa pula hendak
membunuhnya?"
Song-bun-kwi tersenyum gemas, merasa diejek. Dikiranya nenek ini sudah tahu bahwa Beng San hanya
mempelajari Ilmu Silat Yang-sin-kiam saja dan sudah mencuri ilmu ini. "Bocah setan itu tidak boleh hidup di
atas satu permukaan bumi denganku, tiada gunanya bagiku dibiarkan hidup!"
Heran dan kagetlah Hek-hwa Kui-bo mendengar ini. Tadinya ia pun sebaliknya mengira bahwa Beng San
hanyalah mempelajari Im-sin-kiam saja dan ilmu ini sudah dioper oleh Song-bun-kwi, mengapa sekarang
kakek ini bicara sebaliknya? Dia memang cerdik, maka tiba-tiba ia tertawa terkekeh-kekeh.
"Bocah iblis, dia mau memperdayakan kita!" Sambil berkata demikian tubuhnya melesat ke depan untuk
mengejar Beng San.
Song-bun-kwi juga bukan seorang bodoh. Sekilas saja dia seperti telah disadarkan. Kalau Hek-hwa Kui-bo
tadinya tidak membutuhkan anak itu dan hendak membunuhnya, tentu akibat anak itu mengaku hanya
mempelajari Im-sin-kiam saja. Tapi sebaliknya, kepadanya membohong hanya mempelajari Yang-sin-kiam.
Celaka, anak itu harus dia tangkap!
la pun melesat ke depan dan kini dua orang sakti itu berlomba untuk memperebutkan Beng San, bukan untuk
membunuhnya seperti tadi!
Kasihan sekali Beng San. Biar pun dia tanpa disengaja dan disadarinya telah mewarisi sepasang ilmu silat
pedang yang luar biasa hebatnya, namun sebagai seorang anak kecil menghadapi dua orang sakti itu, apakah
dayanya? Beng San melarikan diri secepatnya, menyelinap di antara pohon-pohon raksasa yang amat tua.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba kakinya tersandung akar pohon sehingga tubuhnya terguling. Beng San merasa terjatuh di atas
sesuatu yang lunak dan ketika dia dengan terengah-engah memandang, ternyata dia jatuh ke atas pangkuan
seorang kakek yang duduk bersila dengan kedua mata meram.
Kakek ini berpakaian serba hitam, karena itu tadi hampir tidak kelihatan. Di punggungnya nampak gagang
sepasang pedang yang tipis. Jenggot kakek ini luar biasa, panjang sekali sampai ke perutnya. Telinganya lebar
seperti telinga gajah, tubuhnya kurus dan mulutnya sudah ompong sama sekali, tidak ada sebuah pun giginya,
Nampaknya sudah tua sekali.
Selagi Beng San bengong dan lupa bahwa dua orang pengejarnya sudah amat dekat di belakangnya, kakek itu
berkata, suaranya halus lirih seperti berbisik.
"Anak, kau peganglah sepasang pedang ini, dengan tangan kiri mainkan Im-sin-kiam dan tangan kanan
mainkan Yang-sin-kiam, tentu kau dapat menahan mereka."
Beng San sudah putus asa menghadapi dua orang sakti yang mengejarnya. Melawan dengan nekat pun dia
tidak punya harapan. Akan tetapi sekarang, setelah mendengar bisikan kakek ini dan tangannya tahu-tahu
telah memegang sepasang pedang, hatinya menjadi berani dan besar. Apa lagi ketika dia melihat bahwa
sepasang pedang yang tidak sama panjangnya itu berkilau-kilauan seperti mengeluarkan api.
Pada saat itu, hampir berbareng, Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi tiba di depan Beng San. Baiknya mereka
sekarang bukan berlomba untuk membunuhnya, namun berlomba untuk menangkapnya, maka keduanya tidak
mau menggunakan senjata masing-masing yang ampuh.
Melihat dua orang itu sudah datang dan tangan mereka diulur untuk mencengkeramnya, Beng San meloncat.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tubuhnya tak dapat terlepas dari tubuh kakek tua renta itu.
Terdengar bisikan di belakang kepalanya, "Lawanlah mereka dengan tenang, pergunakan Im-yang Sin-kiam,
aku yang mendorongmu dengan tenaga serta mengatur kecepatan gerakan-gerakanmu."
Sudah terlalu sering Beng San bertemu dengan tokoh-tokoh besar yang berwatak aneh dan berkepandaian
tinggi, maka biar pun keadaan kakek tua renta ini amat aneh, tetapi tidak amat mengherankan Beng San. Serta
merta bocah cerdik ini dapat menduga bahwa kakek ini pun seorang sakti, maka dia pun mentaati semua
petunjuknya.
Begitu mendengar bisikan ini, dia lalu mempersiapkan sepasang pedangnya, dan dengan gerakan-gerakan Imsin-
kiam di tangan kiri dan Yang-sin-kiam di tangan kanan, dia lalu memainkan ilmu silat pedang yang sudah
dihafalkannya benar-benar itu dengan kedua tangan.
Hasilnya luar biasa sekali. Segera terdengar seruan-seruan kaget, dan Hek-hwa Kui-bo bersama Song-bun-kwi
meloncat mundur. Hampir saja tangan mereka berdua terbabat oleh pedang-pedang yang berkilauan dan
mendatangkan hawa panas dan dingin sekali itu.
Beng San merasa betapa kedua pundaknya ditempel oleh kedua telapak tangan kakek itu tadi dan betapa di
dalam kedua lengannya seperti ada tenaga lembut yang menjalar sampai ke tangannya. Semangatnya
menjadi besar dan dia tersenyum mengejek ketika melihat dua orang lawannya itu sudah menggerakkan suling
dan sapu tangan. Kedua pedangnya bergerak dengan jurus-jurus terlihai Im-yang Sin-kiam, pedang kiri
bertemu dengan suling Song-bun-kwi sedangkan pedang tangan kanan beradu dengan ujung sapu tangan
Hek-hwa Kui-bo.
Terdengarlah suara keras dan Hek-hwa Kui-bo memekik kaget, sedangkan Song-bun-kwi melompat ke
belakang. Ternyata bahwa ujung sapu tangan Hek-hwa Kui-bo dan ujung suling Song-bun-kwi telah terbabat
oleh pedang-pedang itu.
"Liong-cu Siang-kiam (Sepasang Pedang Mustika Naga)...!" Hek-hwa Kui-bo berseru.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ayaaaaa! Kalau begitu dia ini Lo-tong (Bocah Tua) Souw Lee...!" Song-bun-kwi berteriak kaget sambil
memandang kepada kakek tua renta yang berdiri di belakang Beng San.
Hek-hwa Kui-bo mengeluarkan suara ketawa menyeramkan, lalu berkata, "Betul sekali! Ehh, Song-bun-kwi,
agaknya kita berdua yang selalu mujur. Hayo kita gempur dia dan segala yang kita dapat nanti kita bagi rata
dan adil."
"Bagus! Kui-bo, dengan Liong-cu Siang-kiam dan Im-yang Sin-kiam-sut kita pasti akan menjagoi dunia. Ha-haha!"
Dua orang itu kemudian menggerakkan suling dan sapu tangan, menerjang maju dengan gerakan-gerakan
yang luar biasa cepatnya. Ujung sapu tangan itu mengeluarkan bunyi berdetar-detar seperti sebuah cemeti
sedangkan suling itu mengeluarkan suara tangisan yang mengerikan.
Tergetar juga hati Beng San menghadapi kedahsyatan dua orang itu. Sepasang pedang di tangannya hampir
saja terlepas kalau tidak ada tenaga mukjijat mengalir masuk melalui pundaknya yang dipegang oleh kakek tua
renta itu.
"Anak baik, ingat...," bisik kakek itu di belakangnya, "kita harus dapat mengusir mereka... bukan hanya demi
keselamatanmu, apa lagi keselamatanku, akan tetapi demi... demi keamanan dunia... Jangan sampai terjatuh
ke tangan dua iblis ini..." Terpaksa kakek itu menghentikan kata-katanya karena dua orang itu sudah mulai
dengan terjangan mereka yang dahsyat.
Beng San menggerakkan kedua pedang di tangannya. la belum pernah bertempur, juga ilmu Silat Pedang Imyang
Sin-kiam-sut yang dia miliki hanya dia latih dan hafalkan secara teorinya saja, belum pernah
dipergunakan untuk bertempur.
Memang tidak dapat disangkal bahwa anak ini bakatnya baik sekali. Gerakan-gerakannya dalam memainkan
semua jurus Im-yang Sin-kiam yang digabungkan itu luar biasa dan amat tepat. Namun menghadapi dua orang
kawakan seperti Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo, tentu saja dia merupakan sebuah timun melawan dua
buah duren! Andai kata dia sendiri harus melawan mereka, biar pun dia diberi sepasang pedang Liong-cukiam,
dalam satu jurus saja dia pasti akan terjungkal tanpa nyawa lagi.
Baiknya dalam pertandingan ini Beng San tidak maju sendiri, atau dapat dikatakan bahwa dia ‘dipakai’ oleh
kakek tua renta itu, dipergunakan pengetahuannya mengenai Im-yang Sin-kiam-sut. Beng San hanya
mempergunakan Im-yang Sin-kiam dan tentu saja tanpa disadarinya sendiri, dia pun menggunakan tenaga Im
dan Yang, dua tenaga ampuh yang memang sudah bersarang di dalam tubuhnya.
Dua hal yang dimilikinya ini, Ilmu Silat Im-yang Sin-kiam dan tenaga Im Yang, sekarang dengan hebat
digunakan oleh kakek yang mendorongnya itu sehingga sepasang pedang di tangan Beng San berkeredepan
dan menyambar-nyambar laksana dua ekor naga sakti yang bermain-main di angkasa raya.
Ketika bertemu dengan pedang, berkali-kali sapu tangan dan suling di tangan Hek-hwa Kui-bo dan Song-bunkwi
membalik. Dua orang itu terkejut bukan main.
Mereka maklum bahwa anak ini ‘dipergunakan’ oleh kakek itu. Akan tetapi sama sekali mereka tak pernah
mengira bahwa anak itu dapat mainkan Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam yang digabung menjadi satu sehingga
mereka yang hanya mengerti sebagian-sebagian saja dari ilmu pedang pasangan itu menjadi sibuk dan
kewalahan. Mereka maklum bahwa tentu saja dalam hal ini bukan Beng San yang berjasa, melainkan kakek
tua renta itu.
Memang kakek tua renta itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Akan tetapi andai kata di sana tidak
ada Beng San yang menambah kehebatan kakek itu dengan Im-yang Sin-kiam, dua orang sakti tadi yakin
bahwa mereka berdua pasti akan dapat mengalahkan kakek itu.
Beng San betul-betul bingung ketika melihat bahwa gerakan-gerakan yang dilakukan oleh dua orang tua itu
selalu berubah-ubah, bahkan kemudian sama sekali dia tidak mengenal gerakan-gerakan itu. Hal ini memang
betul demikian, karena dua orang itu sengaja tidak memainkan Ilmu Silat Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam yang
dunia-kangouw.blogspot.com
dikenal baik oleh Beng San. Andai kata dia sendiri harus menghadapi jurus-jurus yang sama sekali asing
baginya itu, tentu dia akan terjungkal dengan sendirinya karena pusingnya.
Baiknya dengan ‘tuntunan’ kakek itu melalui penyaluran hawa pada kedua pundaknya, dia masih mampu
dengan cepat dan tepat memainkan Im-yang Sin-kiam untuk menghadapi semua serangan lawan, bahkan
balas menyerang dengan tak kurang dahsyatnya.
Pertempuran itu berjalan seru dan hebat. Apa bila Beng San terdesak, tiba-tiba kakek di belakangnya berseru
nyaring dan... jenggotnya yang panjang melambai sampai ke perut itu lalu bergerak menyambar-nyambar ke
depan, mengeluarkan suara angin bersiutan dan rambut ini yang tadinya halus sekali seakan-akan telah
berubah menjadi cemeti baja yang menyambar ke arah kedua lawannya!
Setelah hari mulai menjadi gelap, Beng San melihat dua orang lawannya berpeluh dan uap keputihan
mengebul di atas kepala mereka. Ia pun mendengar kakek di belakangnya terengah-engah napasnya, dua
tangan yang mencengkeram pundaknya mulai menggetar. Napas kakek itu mulai meniup-niup kepalanya,
terasa panas sekali.
Dia sendiri belum lelah, maklum karena semenjak pertempuran dimulai, dia seakan-akan selalu
‘menggunakan’ tenaga kakek itu. Peranannya sendiri hanyalah sebagai orang yang mengeluarkan Im-yang
Sin-kiam saja.
Song-bun-kwi mulai tertawa-tawa dan mengejek. "Heh-heh-heh, Lo-tong, napasmu sudah empas-empis,
jangan-jangan akan putus nanti."
"Souw Lee, kau sudah tua bangka mau mampus, lebih baik menyerah dan mati dengan tubuh utuh dari pada
harus mati dengan kepala remuk," kata Hek-hwa Kui-bo.
Dua orang tokoh ini mau mengajak berbicara dan membujuknya, bukan karena mereka merasa amat kagum
kepada kakek tua renta yang ternyata masih amat lihai ini. Memang, betapa pun jahat dan kejam hati seorang
tokoh kang-ouw yang sakti dan aneh, namun ciri khas orang-orang kang-ouw masih ada kepadanya, yaitu
mengagumi serta menghargai kegagahan dan kelihaian orang.
"Song-bun-kwi! Hek-hwa Kui-bo…!” Kakek ini berkata terengah-engah. "Sebelum leherku patah, jangan harap
kalian berdua akan mendapatkan Liong-cu Siang-kiam dan Im-yang Sin-kiam-sut. Tanpa yang dua itu pun
kalian sudah cukup jahat dan sudah terlalu banyak menyebar kekejaman di dunia."
Song-bun-kwi mengeluarkan bentakan marah dan sulingnya mendesak makin hebat. Juga Hek-hwa Kui-bo
memutar sapu tangannya yang mengeluarkan beberapa macam warna yang bersinar-sinar, mengurung diri
Beng San dan kakek itu.
Tiba-tiba Beng San merasa betapa kedua tangan kakek di pundaknya itu menjadi dingin sekali. Dia tidak
mengerti apa sebabnya, tidak tahu bahwa dalam kelihaiannya kakek tua renta itu sudah berlaku cerdik,
menggunakan tenaga Im untuk menarik keuntungan dari pertempuran itu.
Beng San mulai mengerti akan maksud kakek itu ketika dia meminta kepadanya supaya jangan mengalah. Dia
sekarang tahu bahwa Ilmu Silat Im-yang Sin-kiam-sut yang sudah dia pelajari dari dua orang gurunya yang
telah meninggal dunia, ternyata amat dirindukan oleh tokoh-tokoh kang-ouw, seperti halnya sepasang pedang
ini. Ia mengerti bahwa dua orang tua yang kini mengeroyoknya itu adalah orang-orang jahat yang kalau sampai
dapat merampas ilmu dan pedang, akan menjadi makin ganas dan jahat lagi.
Sekarang saja sudah dapat membayangkan kekejian hati mereka. Dua orang tokoh besar dalam dunia
persilatan, tetapi tidak segan-segan dan tidak malu-malu untuk mengeroyok dan mendesak seorang anak-anak
dan seorang kakek tua!
"Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo, kalian benar-benar keji dan jahat!" Baru saja Beng San mengeluarkan
kata-kata ini, kakek di belakangnya mengeluarkan teriakan keras lalu roboh telentang, mulutnya mengeluarkan
darah, matanya mendelik dan tak sadarkan diri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Beng San menjadi merah kehitaman mukanya. la kaget dan menoleh, mukanya menjadi makin hitam saking
marah. la mengira bahwa kakek itu tentu telah jatuh karena pukulan dari dua orang lawannya. Sama sekali dia
tidak tahu bahwa sesungguhnya kakek sakti di belakangnya itu roboh oleh karena dia!
Ketika tadi dia memaki Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo, tanpa dia sadari, Beng San yang marahnya
memuncak itu sudah menyalurkan hawa ‘Yang’ di tubuhnya, membuat mukanya menjadi merah hitam. Tenaga
Yang di badannya memang hebat sekali, tidak sewajarnya. Tenaga inilah yang memukul kakek itu melalui
kedua tangan yang diletakkan di pundaknya. Kakek itu sedang menggunakan tenaga Im, maka pukulan tenaga
Yang dari tubuh Beng San yang amat kuat itu tak tertahankan olehnya, membuat dia terjungkal dan pingsan.
Andai kata tenaga dahsyat dari tubuh Beng San ini tadi dikeluarkan pada waktu kakek itu mempergunakan
tenaga Yang, tentu kehebatan kakek ini akan bertambah dan mungkin sekali mereka berdua mampu mengusir
Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo. Namun, apa hendak dikata, anak itu memang belum mengerti akan
keadaan dirinya sendiri dan belum tahu bagaimana caranya untuk memanfaatkan kekuatan dan kepandaian
yang dia miliki secara kebetulan itu.
Untung bagi Beng San bahwa dua orang sakti di depannya itu memang tidak mempunyai maksud untuk
membunuhnya pada saat itu, karena keduanya membutuhkannya. Hek-hwa Kui-bo dengan suara ketawanya
yang menyeramkan sudah maju menubruknya.
"Kui-bo, perlahan dulu," Song-bun-kwi berseru dan juga menubruk ke depan, mendorong tubuh Hek-hwa Kuibo.
Wanita tua itu marah sekali. Dengan bentakan keras dia membalik badan dan menyerang Song-bun-kwi
dengan sapu tangannya.
Tentu saja Song-bun-kwi tidak rela kepalanya terancam hancur oleh ujung sapu tangan yang amat ampuh itu.
Cepat sulingnya digerakkan menangkis dan di lain saat dua orang ini sudah saling gempur.
Kalau tadi dua tokoh ini bersatu dalam menghadapi sepasang pedang di tangan Beng San yang dibantu oleh
kakek Lo-tong Souw Lee, sekarang mereka bertempur satu sama lain. Bertempur mati-matian untuk saling
memperebutkan Beng San berikut sepasang pedang Liong-cu Siang-kiam.
Pertandingan itu makin lama semakin seru dan dahsyat, sedangkan cuaca makin lama semakin menjadi gelap.
Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo memang sama-sama memiliki ilmu kepandaian yang setingkat, apa lagi
masing-masing telah mendapat kitab Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam. Berulang kali mereka menukar ilmu
untuk merobohkan lawan, namun selalu sia-sia.
Yang terheran-heran adalah Beng San. Kadang-kadang dia tidak dapat melihat dua orang itu yang lenyap
ditelan gulungan sinar senjata mereka, akan tetapi ada kalanya pula dia melihat mereka dengan jelas karena
mereka itu berkelahi dengan gerakan-gerakan yang luar biasa, amat lambat seperti orang main-main saja.
Akhirnya dia tidak dapat melihat mereka sama sekali ketika matahari sudah bersembunyi dan cuaca telah
menjadi hitam gelap. Hanya desir angin pukulan mereka saja yang masih terdengar dan terasa.
Tiba-tiba Beng San merasa tangannya dipegang orang dari belakang, kemudian dia ditarik perlahan ke
belakang. Ketika dia menengok, di dalam gelap itu dia masih melihat tubuh kakek tua renta yang sekarang
telah berdiri dan mengajak dia pergi dari tempat itu.
Beng San maklum akan maksud hati kakek ini. Tentu melihat dua orang sakti itu sedang saling gempur sendiri,
kakek itu lantas mengajaknya menggunakan kesempatan ini untuk melarikan diri di dalam gelap.
Benar saja dugaannya. Tidak lama kemudian dia merasakan tubuhnya seperti terbang, sedangkan tangannya
masih terus digandeng oleh kakek itu. Diam-diam dia kagum sekali. Ternyata bahwa kakek tua ini dalam berlari
cepat tidak kalah oleh Song-bun-kwi mau pun Hek-hwa Kui-bo.
Beng San mendengar teriakan-teriakan marah dari Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo. Lapat-lapat dia
mendengar mereka memaki-maki dan menyuruh dia berhenti. Akan tetapi suara dua orang yang mengejarnya
dunia-kangouw.blogspot.com
itu makin lama semakin jauh, agaknya mereka sesat jalan, tidak tahu ke mana larinya Beng San bersama
kakek tua itu.
Barulah lega hati Beng San setelah suara mereka tidak terdengar lagi. Juga kakek tua itu kini tidak berlari
terlalu cepat lagi, hanya mengajak Beng San berjalan melalui hutan-hutan yang besar.
"Apakah bulan sudah keluar, anak yang baik?" tanya kakek itu, berhenti dan berdongak ke atas.
Beng San terheran. Apakah kakek itu tak dapat melihat sendiri? Kenapa harus bertanya?
"Belum, hanya langit penuh bintang."
"Hemmm, coba kau lihat baik-baik, di mana letak Bintang Kak-seng (Bintang Terompet)?"
"Aku tidak tahu yang mana itu bintang Kak-seng," jawab Beng San.
"Kalau begitu, di mana letaknya Bi-seng (Bintang Ekor)?"
Beng San makin bingung. Matanya menatap bintang-bintang di langit yang tiada terhitung banyaknya.
"Yang mana Bi-seng aku pun tidak tahu."
Kakek itu menundukkan mukanya dan menarik napas panjang. "Kiranya kau memang belum tahu apa-apa.
Ahh, sudahlah. Katakan saja bintang apa yang kau ketahui?"
Beng San kemudian menuding ke atas dan berkata, "Bintang-bintang Gu-seng (Bintang Kerbau) itu aku kenal!"
Memang dahulu pernah dia mendengar dari seorang hwesio di Kelenteng Hek-thian-tong tentang Bintang
Kerbau ini, sekumpulan bintang terdiri dari enam buah menyerupai kepala kerbau dengan tanduknya.
Kakek itu nampak girang. "Bagus! Coba kau tunjukkan, di mana Gu-seng itu?"
"Tuh, di sana!"
"Huh, aku tak dapat melihat. Kau pegang tanganku dan tunjukkan di mana arah letaknya."
Berdebar jantung Beng San. Kiranya kakek ini buta! la menatap wajah kakek itu. Tadinya dia menyangka
bahwa kakek itu bermata sipit sekali, tidak tahunya memang selalu meram tak dapat dibuka, seorang buta!
Timbul rasa kasihan di dalam hatinya, akan tetapi juga kekagumannya makin membesar. Seorang kakek tua
renta lagi buta, akan tetapi bukan main lihainya! Dia lalu memegang tangan kanan kakek itu dan menudingkan
tangan itu ke arah kumpulan Bintang Gu-seng.
"Hemmm, kalau begitu kita harus ke kanan," kata kakek itu sambil menggandeng tangan Beng San dan berlari
lagi. "Beng San, kau ikutlah aku. Biarkan aku menggosok intan yang masih mentah ini!"
Beng San tidak mengerti maksud kata-kata kakek itu dan hendak bertanya, akan tetapi kakek itu sudah berlari
lagi dengan amat cepatnya. Karena maklum bahwa kakek ini tidak jahat seperti Song-bun-kwi atau Hek-hwa
Kui-bo, maka dia tidak banyak membantah dan menurut saja dibawa lari secepatnya…..
********************
Mereka duduk berhadapan di atas batu-batu hitam yang halus di atas puncak yang tinggi, demikian tingginya
sehingga seolah-olah dengan tangannya orang akan dapat menyentuh bintang-bintang di langit. Inilah tempat
sembunyi kakek itu yang disebut Ban-seng-kok (Puncak Selaksa Bintang), sebuah di antara puncak-puncak di
Pegunungan Cin-ling-san. Akan tetapi puncak Ban-seng-kok ini adalah puncak yang tersembunyi karena di
kelilingi jurang-jurang yang tak mungkin dilintasi manusia.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hanya Lo-tong Souw Lee si anak tua itulah yang sudah mendapatkan jalan rahasianya dengan merayap
melalui jurang-jurang yang sangat dalam. Tidak mengherankan apa bila orang tua ini mempergunakan Banseng-
kok sebagai tempat bersembunyi atau tempat bertapa. Puncak ini memang indah sekali, penuh dengan
pohon-pohon liar, bunga-bunga beraneka macam, hawanya sedang dan udaranya bersih.
Setelah melakukan perjalanan lima hari lima malam lamanya, pada senja hari tadi Beng San dan kakek itu tiba
di tempat ini, dan malam ini mereka duduk di luar pondok kecil tempat tinggal Souw Lee. Beng San kagum
bukan main menyaksikan pemandangan yang amat indah di waktu malam ini. Angkasa sedemikian bersihnya
sehingga dia dapat melihat bintang-bintang yang memenuhi langit.
"Beng San, entah apa dosa-dosamu dahulu terhadap Thian maka sekecil ini kau sudah bernasib malang,
menjadi perebutan tokoh-tokoh kang-ouw. Hemmm, kau si kecil dan aku si tua bangka benar tak ada bedanya,
dibenci dan dicari oleh mereka yang selalu kurang puas...," demikianlah kakek tua yang buta itu berkata
kepada Beng San.
Ketika mendengar ucapan kakek itu Beng San sadar dari lamunannya.
"Kakek Souw Lee, tak perlu diherankan kalau orang memperebutkan sepasang pedangmu yang hebat itu.
Hanya anehnya, mengapa agaknya mereka juga hendak membunuhmu? Ada pun aku... ahh tak tahu aku
mengapa mereka mati-matian hendak memperebutkan pelajaran-pelajaran yang tidak ada artinya itu?"
"Tidak ada artinya kau bilang, Heh-heh-heh, Beng San. Dalam hal ini kau lebih buta dari pada mataku. Aku
mengikuti ketika kau berhadapan dengan Song-bun-kwi, kemudian kau menghadapi Hek-hwa Kui-bo. Kau
cerdik sekali sudah menipu mereka. Kecerdikanmu itu menarik hatiku. Memang, tak salah kalau Phoa Ti dan
The Bok Nam mewariskan Im-yang Sin-kiam-sut kepadamu." Kakek itu mengangguk-angguk dan Beng San
membelalakkan matanya saking herannya.
"Kakek Souw, kenapa kau bisa mengetahui semua itu?"
Kakek buta itu tertawa lagi. "Siapa yang tidak tahu bahwa Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam terjatuh ke dalam
tangan Thian-te Siang-hiap? Hanya tidak pernah kusangka sekarang sudah terjatuh ke dalam tangan
sepasang iblis itu! Kebetulan sekali aku mendengar ketika kau diserang oleh Song-bun-kwi. Angin gerakannya
dan angin gerakan tanganmu biar pun lemah dapat terdengar olehku, dan tahulah aku bahwa kalian
memainkan ilmu silat yang belum pernah kudengar sebelumnya. Setelah kalian berbicara baru aku tahu bahwa
itulah Yang-sin Kiam-sut. Pantas begitu hebat." Kembali dia mengangguk-angguk. "Kemudian kau dibawa
pergi Hek-hwa Kui-bo. Aku diam-diam mengikuti dan sesudah melihat sikap iblis wanita itu kepadamu, baru
aku dapat mengetahui bahwa dua orang itu ternyata telah merampas kitab-kitab itu, seorang satu."
"Betul sekali," Beng San menarik napas panjang. "Mereka sudah merampas kitab, bahkan membunuh dua
orang kakek Phoa Ti dan The Bok Nam. Bagiku, apa sih gunanya kedua ilmu itu? Kalau lapar tidak bisa
mengenyangkan perut, kalau haus tidak bisa memuaskan kerongkongan. Paling-paling bisa digunakan untuk
menipu orang dan main gebuk!"
Kakek buta itu tertawa bergelak. "Ha-hah-hah! Ketahuilah Beng San. Dua atau tiga puluh tahun yang lalu, aku
sendiri pun akan memaksa kau mengeluarkan dua ilmu itu kepadaku. Mungkin sekali aku pun akan
memaksamu, kalau perlu menyiksa malah membunuhmu."
Beng San menjadi marah. Ternyata dia salah kira. Disangkanya kakek ini orang baik, tidak seperti Song-bunkwi
atau Hek-hwa Kui-bo, kiranya begini bicaranya!
"Huh, Kakek Souw. Tadinya aku kira hatimu melek, tidak tahunya sama butanya dengan kedua matamu. Kau
yang sudah berilmu tinggi itu dan belum kau ketahui apa semua itu kegunaannya, masih saja menginginkan
ilmu yang lain dengan cara memaksa orang lain? Hemmm, sebetulnya apa sih artinya memiliki ilmu silat
setinggi langit?"
"Ho-ho-ho, anak bodoh. Apa bila aku tidak mempunyai ilmu silat tinggi, apakah tadi tidak mampus di tangan
Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo? Kalau aku tidak memiliki ilmu silat lumayan, apakah dari dulu-dulu tidak
sudah mampus? Kepandaian silat tinggi menjamin keselamatan kita, Beng San. Di dunia kang-ouw, ilmu
dunia-kangouw.blogspot.com
kepandaian adalah hal yang paling penting dimiliki, karena hanya dengan kepandaian tinggi kita bisa terhindar
dari kematian di tangan orang lain."
"Uhhh!" Beng San mencela. "Mana bisa ada aturan demikian? Kakek tua, mati atau hidup bagaimana bisa
tergantung kepada ilmu silat? Kau yang pandai ilmu silat tinggi, apa bila sebentar lagi mati karena tua, apakah
bisa bertukar kulit menjadi muda kembali? Salah, kakek Souw. Menurut kitab-kitab kuno yang pernah kubaca
dan kupelajari, mati dan hidup bukanlah urusan kita untuk menentukan. Kalau Thian menghendaki kematian
kita, walau pun kita memiliki nyawa rangkap selaksa, toh akan mati juga tak usah menanti orang lain
membunuh kita. Sebaliknya, apa bila Thian menghendaki kita masih harus hidup, biar ada selaksa orang
berusaha membunuh kita, kiranya tak akan ada yang berhasil.”
"Ya Tuhan...!" Kakek itu menangkap tangan Beng San dengan kedua tangan menggigil. "Anak baik... kau
mengetahui semua itu dari mana?"
Ucapan yang penuh keheranan dan kekaguman ini membuat Beng San menjadi malu. "Dari hwesio-hwesio di
Kelenteng Hong-thian-tong. Semenjak kecil aku menjadi pelayan di kelenteng itu dan menerima jejalan
pelajaran filsafat dari kitab-kitab kuno."
Kakek buta itu menarik napas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Alangkah ganjilnya. Seorang
anak kecil mempelajari ilmu batin dan mendapatkan inti sarinya untuk dipakai dalam hidup. Manusia-manusia
tua bangka seperti aku dan yang lain-lain, justru mempelajari ilmu kebatinan untuk mendapatkan kekuatan
mempertinggi kepandaian silat. Benar-benar menyeleweng... benar-benar tersesat..." Kakek ini lalu merangkul
Beng San dan menangis terisak-isak!
Tentu saja anak sekecil Beng San belum mengerti betul apa sebetulnya yang dipikirkan dan apa artinya katakata
kakek ini. la malah mengira bahwa kakek itu telah melakukan perbuatan keliru dan kini merasa menyesal.
Maka untuk menghiburnya, dia mengutip ujar-ujar kuno lagi, "Kakek Souw, pernah para suhu mengatakan
kepadaku bahwa insyaf dan menyesal terhadap kesesatan diri sendiri termasuk kebajikan pula. Jauh lebih baik
insyaf dan menyesal dari pada membanggakan dan menyombongkan diri sendiri."
Kakek itu makin terharu, lalu mengusap-usap kepala Beng San. "Anak baik... anak baik... kuharap dalam
beberapa pekan ini kau suka mengulang semua pelajaran yang pernah kau pelajari dari para suhu (guru) di
Kelenteng Hok-thian-tong itu. Phoa Ti dan The Bok Nam benar ketika memilih kau sebagai ahli waris. Sayang
mereka tidak ada waktu untuk menurunkan dasar-dasar ilmu silat. Beng San, kau harus menurut kata-kataku,
kau harus tekun melakukan siulian (semedhi). Semua itu untuk memperkuat tubuh dalammu serta
mengimbangi ilmu-ilmu tinggi yang sudah kau miliki. Bila tidak demikian, kau akan celaka, sebelah dalam
tubuhmu akan rusak binasa."
Tadinya Beng San tidak begitu tertarik. Akan tetapi oleh karena kakek itu bermaksud baik dan memang di
dunia ini dia sebatang kara, untuk menyenangkan hati kakek buta itu dia pun menyanggupi.
Demikianlah, mulai malam itu juga, Beng San mengeluarkan semua hafalannya tentang kitab suci di jaman
dahulu. Sebaliknya, dia menerima petunjuk-petunjuk dari kakek sakti itu mengenai semedhi, latihan napas,
Iweekang, khikang, dan lain-lain yang berhubungan dengan ilmu silat.
Terjadi perubahan amat besar pada diri kakek buta itu setelah setiap hari dia mendengar kata-kata filsafat dari
kitab-kitab kuno yang diucapkan oleh Beng San. Dia nampak lebih tenang, wajahnya selalu berseri dan berkalikali
dia menyatakan bahwa sekarang dia rela mati, tidak takut mati lagi.
Beng San memang banyak menghafal kitab-kitab yang dulu pernah dia baca di Kelenteng Hok-thian-tong.
Selain kitab-kitab Agama Buddha seperti Dhammapada dan lain-lain, dia juga membaca dan menghafal isi
kitab Upanisad dan kitab-kitab Su-si Ngo-keng pelajaran Nabi Khong Cu.
Kurang lebih seratus hari kemudian, Beng San sudah mempelajari semua ilmu yang tiap hari diturunkan oleh
kakek buta itu kepadanya. Tentu saja yang dia pelajari dan hafalkan hanya teorinya, ada pun mengenai
prakteknya, baru sedikit-sedikit yang dia latih di bawah petunjuk kakek Souw Lee.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pagi hari itu kakek Souw Lee berkata. "Beng San anak baik. Semua pengertianku tentang ilmu batin yang
dihubungkan dengan ilmu silat, tentang siulian, Iweekang serta khikang, semua telah kuajarkan kepadamu.
Hanya tinggal kau tekun melatih diri saja. Berkat hawa Im-Yang di dalam tubuhmu yang amat luar biasa,
ditambah bakat dan ketekunanmu, kau tentu akan mendapat kemajuan pesat dan besar, jauh lebih besar dari
pada aku sendiri. Mulai hari ini, kau harus pergi meninggalkan aku."
Beng San kaget. Dia sudah mulai betah tinggal di tempat sunyi itu bersama kakek Souw Lee. Mengapa
sekarang disuruh pergi? Hampir Beng San menangis ketika dia berkata, "Kakek Souw, mengapa kau
mengusirku? Apa salahku? Kakek yang baik, biarkanlah aku berada di sini mengawanimu..."
Kakek Souw Lee mengelus-elus kepala Beng San. "Anak baik, banyak persamaan nasib antara kita. Kau harus
meninggalkan aku, demi untuk kebaikanmu sendiri, dan juga untuk kemajuanku. Aku hendak bertapa untuk
menebus semua penyelewenganku yang dahulu, membersihkan pikiran dan hati. Dan kau, kau masih muda,
kau harus mencari kemajuan dalam hidupmu. Kalau kau tinggal di sini, amat berbahaya. Kau tahu, banyak
tokoh jahat yang amat lihai mencari aku.”
"Kenapakah, Kakek Souw Lee? Kenapa mereka mencarimu?"
Souw Lee mengeluarkan sepasang pedangnya. "Karena inilah, karena sepasang Liong-cu Siang-kiam inilah.
Untuk jaman ini, sepasang pedang ini termasuk pedang keramat yang ampuh dan jarang bisa mendapatkan
tandingnya. Pedang ini dahulu pusaka dari seorang pendekar besar bernama Sie Cin Han yang berjulukan
Pendekar Bodoh. Kau lihat yang panjang ini dan pada gagangnya terdapat huruf JANTAN, nah, inilah yang
dipakai oleh pendekar itu. Ada pun yang pendek dan berhuruf BETINA ini dulu dipakai oleh pendekar wanita
yang terkenal berjuluk Ang I Niocu (Nona Baju Merah). Akan tetapi, hal itu sudah terjadi ratusan tahun yang
lalu. Kemudian, setelah beberapa keturunan, sepasang pedang ini lenyap. Banyak tokoh kang-ouw mencari,
akan tetapi tidak seorang pun tahu di mana lenyapnya pedang itu. Akhirnya akulah yang mendapatkannya,
kucari dari gudang istana kaisar!"
"Ahhh...!" Beng San berseru kaget dan kagum.
"Semenjak itulah aku selalu dicari-cari oleh para tokoh kang-ouw. Yang lain-lain tidak ada artinya bagiku, tetapi
orang-orang seperti Song-bun-kwi, Hek-Hwa Kui-bo, Siauw-ong-kwi dan Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang, mereka
itu amat berbahaya. Karena itu akhirnya aku menyembunyikan diri di sini. Aku pun sudah mendengar tentang
Thian-te Siang-hiap yang telah mendapatkan Im-yang Sin-kiam dan ingin aku mencari mereka untuk
merampasnya. Akan tetapi Thian menghukum aku, agaknya dosaku terlalu banyak. Aku sudah terlalu tua
sampai kedua mataku buta, namun belum juga aku dibebaskan dari dunia ini."
Kakek itu menarik napas panjang dan dia lalu berdongak ke atas, seakan-akan dengan matanya yang buta dia
hendak mencari-cari Thian di atas!
"Kakek Souw, biarlah aku menemanimu di sini. Aku suka tinggal di sini dan aku suka melayanimu."
Kembali Souw Lee mengelus-elus kepala Beng San. "Tidak bisa, Beng San. Hal itu akan berbahaya sekali.
Tadinya Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo menyangka aku sudah mati karena tua. Setelah aku dilihat oleh
mereka, apakah mereka dan yang lain-lain akan mau sudah begitu saja sebelum merampas Liong-cu Siangkiam
ini? Ahh, mereka tentu akan muncul sewaktu-waktu dan aku tidak mau melihat kau terbawa-bawa, apa
lagi memang kau pun dikehendaki mereka."
”Pergi ke manakah? Aku sebatang-kara..." Suara Beng San terdengar sedih dan bingung.
"Tak perlu gelisah. Bukankah sebelum kau bertemu denganku, kau pun sudah sebatang kara? Aku akan
memberi surat, kau berikan suratku ini kepada seorang sahabat baikku, yaitu Lian Bu Tojin ketua Hoa-san-pai.
Kau tentu akan mendapatkan perlindungan di sana dan kau akan aman. Akan tetapi ingat, biar pun terhadap
seorang sahabat lama seperti Lian Bu Tojin, aku tak percaya kepadanya mengenai persoalan Im-yang Sinkiam-
sut dan tentang Liong-cu Siang-kiam. Ingat, semua pelajaran yang sudah kuturunkan kepadamu itu
merupakan kunci untuk membuka pintu gerbang persilatan bagimu. Kau harus melatih siulian dan pernapasan.
Dengan latihan yang tekun, kau akan mampu menguasai tenaga dalam Im dan Yang di dalam tubuhmu yang
sangat kuat itu. Kau akan dapat mengatur tenaga itu menurut sesukamu dan disesuaikan dengan Ilmu Silat Imdunia-
kangouw.blogspot.com
yang Sin-kiam-sut. Akan tetapi, jangan sekali-kali kau perlihatkan kepada orang lain, kau simpan rahasia itu.
Sekali-kali tidak boleh diketahui orang lain sebelum sempurna latihanmu. Apa bila engkau melanggar pesanku
ini dan sampai rahasiamu diketahui orang, ahhh... sudah pasti kau akan menghadapi seribu satu macam
bencana."
Beng San ragu-ragu. "Kakek Souw, aku tidak mengenal ketua Hoa-san-pai itu. Bagaimana kalau aku tidak
betah tinggal di sana? Bagaimana kalau dia tidak mau menerimaku?"
“Mustahil dia takkan mau menerimamu. Dia orang baik dan suratku akan menjamin dirimu. Kau boleh bekerja
apa saja di sana. Atau, andai kata kau tidak suka di sana setelah kau melihat keadaan, kau boleh saja pergi
turun gunung, tapi jangan muncul di tempat umum. Lebih baik kau kembali menjadi kacung di Hok-thian-tong,
bersembunyi sambil melatih diri sampai menjadi kuat betul. Setelah itu, baru kau boleh datang ke sini. Kau
sudah kuberi tahu goa Ular yang berada di lereng itu. Nah, di sanalah kau cari pedang ini. Sementara ini
sebelum kau kuat, kau tidak boleh membawa pedang ini. Apa lagi sekarang masih aku perlukan untuk menjaga
diri. Kelak, pedang ini kuberikan padamu. Nah, kau berangkatlah, Beng San. Letak Hoa-san-pai sudah
kuterangkan kepadamu.”
Sedih hati Beng San. Akan tetapi apa daya? la harus memenuhi permintaan kakek ini. la datang sebagai tamu,
kalau tuan rumah sudah mengusirnya, apa yang dapat dia lakukan?
Setelah menerima sehelai surat yang ditulis secara cakar ayam oleh kakek buta ini, Beng San lalu pergi dari
tempat itu. Dia turun melalui jalan rahasia yang ditunjukkan oleh kakek itu kepadanya…..
********************
Setelah keluar dari tempat persembunyian Lo-tong Souw Lee, Beng San lalu melakukan perjalanan cepat.
Kebetulan dia lewat di dusun tempat tinggal hartawan Kwi di mana dia dahulu bersama Tan Hok menghadapi
serbuan ular yang dikerahkan Giam Kin.
Heran sekali dia melihat dusun yang tiga bulan yang lalu sudah amat sunyi itu sekarang sama sekali kosong.
Rumah gedung Kwi-wangwe? Sudah menjadi puing bekas terbakar! Dia menduga bahwa ini tentulah
perbuatan Tan Hok yang merasa marah sekali kepada hartawan pelit itu. Dugaannya hanya sebagian saja
betul.
Memang ketika Beng San dahulu mengejar Giam Kin, Tan Hok terus mengamuk. Betapa pun juga gagahnya,
dia tentu akan celaka dikeroyok oleh tukang-tukang pukul yang amat banyak itu, jika saja tidak keburu datang
serombongan orang Pek-lian-pai yang kebetulan lewat di situ.
Tentu saja para anggota Pek-lian-pai ini mengenal Tan Hok yang menjadi murid Tan Sam, seorang tokoh Peklian-
pai. Segera mereka menyerbu dan membantu Tan Hok sehingga tuan tanah dan hartawan itu bersama
semua kaki tangannya yang selalu mempraktekkan penindasan dan kekejaman dapat dibasmi, harta bendanya
dirampas sedangkan rumah gedungnya dibakar. Tan Hok lalu pergi ikut rombongan ini meninggalkan dusun
itu.
Memandangi rumah gedung hartawan Kwi yang sudah menjadi tumpukan puing itu, Beng San terkenang
kepada Tan Hok. Dia amat suka kepada pemuda raksasa muda itu yang jujur dan gagah, apa lagi yang
senasib pula dengannya, tiada orang tua dan tiada tempat tinggal. Akhirnya dia menghela napas dan
meninggalkan tempat itu.
Tiba-tiba berkelebat bayangan merah di depannya. Mata Beng San terbelalak pada saat melihat seorang anak
perempuan berpakaian merah berdiri di sana, tersenyum-senyum ramah dan matanya bersinar-sinar seperti
bintang pagi. Beng San terbelalak bukan saking kagum melihat gadis cilik yang mungil ini sekarang, tetapi
saking gelisah dan takutnya.
Dia maklum bahwa bocah ini ada hubungannya dengan Song-bun-kwi, entah muridnya entah anaknya atau
pelayannya. Akan tetapi yang jelas, tiga bulan yang lalu bocah ini muncul, lalu muncul pula Song-bun-kwi.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kau siapakah? Siapa namamu dan kau datang ke sini mau apa?" Beng San bertanya, suaranya halus karena
tak mungkin orang dapat bersikap galak terhadap seorang anak manis yang tersenyum-senyum ramah dengan
matanya yang bersinar gemilang itu.
Anak berbaju merah itu tersenyum lebar dan seketika Beng San teringat akan wajah Kwa Hong. Biar pun ada
perbedaan besar antara Kwa Hong dan anak ini, yaitu Kwa Hong galak sekali tapi anak ini ramah tamah dan
penuh senyum, akan tetapi kalau tersenyum mereka ini itu sama. Sama manisnya, bahkan bentuk wajahnya
hampir sama. Apa lagi pakaian mereka. Agaknya dua orang anak itu mempunyai kesukaan yang sama
terhadap warna merah.
Ditanya oleh Beng San, anak itu hanya tertawa-tawa, kemudian ia menggandeng tangan Beng San, ditariktarik
ke sebuah pohon. Memang di sekitar rumah gedung hartawan Kwi terdapat banyak pohon bunga yang
beraneka warna. Sebagian besar dari pohon-pohon ini ikut terbakar, akan tetapi pohon besar di sebelah kanan
gedung itu masih berdiri tegak dan pada saat itu di puncak pohon terdapat banyak kembangnya yang
berwarna kuning.
Setelah tiba di bawah pohon itu, anak perempuan tadi melepaskan tangan Beng San, lalu sambil tersenyum ia
menunjuk ke atas, ke arah kembang. Dengan jari-jari tangannya yang mungil serta terpelihara bersih itu, dia
memberi tanda supaya Beng San mengambilkan bunga untuknya!
Ada rasa perih menusuk hati Beng San oleh gerakan-gerakan jari tangan ini. Ia menjadi terharu. Memang
ketika pertama kali bertemu dengan anak perempuan ini serta melihat Song-bun-kwi memberi tanda dengan
tangan, dia sudah menduga bahwa anak ini gagu.
Sekarang melihat anak ini mengajak dia ‘berbicara’ dengan gerakan-gerakan tangan, dia menjadi terharu
sekali. Akan tetapi di samping keharuan ini, dia pun amat terheran-heran karena dia sudah pernah
menyaksikan sendiri betapa gadis ini sangat lihai. Gerakannya cepat laksana burung, dan untuk mengambil
bunga di pohon sedemikian saja tentu akan dapat dilakukannya sendiri, mengapa sekarang minta dia yang
memetikkannya?
Betapa pun juga, melihat sepasang mata itu memandang penuh permintaan, dengan sinar yang lembut dan
luar biasa itu, dia tidak kuasa menolaknya. la pun mengangguk sambil tersenyum, lalu seperti seekor kera,
Beng San memanjat pohon itu naik ke atas.
Gerakannya ringan dan dia merasa amat mudah memanjat pohon Itu. Sebentar saja dia sudah sampai di
puncak, lalu memetik setangkai bunga yang dianggapnya paling segar dan baik.
Sepasang mata anak itu bersinar-sinar ketika dia menerima kembang dari tangan Beng San. Dengan cekatan
dipakainya kembang itu di atas rambutnya yang hitam, kemudian ia memasang gaya di depan Beng San,
membalik ke sana ke mari seakan-akan hendak memamerkan kecantikannya dengan hiasan bunga di
kepalanya itu. Setelah berputaran di depan Beng San, kemudian dia berdiri menghadapi Beng San, dan
sepasang matanya seolah bertanya bagaimana pendapat Beng San setelah ia memakai kembang.
Mau tak mau Beng San tersenyum. Alangkah akan bahagianya kalau dia bisa mempunyai adik atau seorang
teman semanis ini, semanja ini, yang begitu mengharukan sikap dan gerak-geriknya. Dia lalu tersenyum dan
mengangkat ibu jari tangan kanannya tinggi-tinggi, tanda bahwa gadis cilik itu benar-benar jempol.
Gadis cilik itu mengerti gerakan ini. Sambil mengeluarkan suara yang mirip tawa, dia memegang kedua tangan
Beng San, lalu mengajak Beng San berputar-putar menari di bawah pohon. Bukan main gembiranya gadis cilik
itu, dia menari-nari dengan gerakan lincah sehingga mau tidak mau Beng San ikut pula menari-nari dan
tertawa-tawa.
Selama hidupnya belum pernah dia merasakan kegembiraan seperti kali ini dan tak terasa pula dua butir air
mata menitik turun ke atas pipinya. Kegembiraan dan kebahagiaan yang luar biasa mendatangkan keharuan
yang tak dapat ditahannya pula.
Tiba-tiba gadis itu berhenti, memandang kepada Beng San dengan matanya yang bening, penuh keheranan
dan pertanyaan. Kemudian jari-jari tangannya diangkat ke atas, dengan halus diusapnya dua butir air mata itu
dunia-kangouw.blogspot.com
dari pipi Beng San, lalu dia menggeleng-gelengkan kepala perlahan, seakan-akan hendak berkata bahwa
Beng San tidak boleh menangis.
Dalam keadaan yang aneh ini, di mana tidak ada sepatah pun kata-kata keluar dari mulut kedua orang anak
itu, Beng San seakan-akan dapat mengerti semua, seakan-akan dapat menjenguk isi hati dan membaca
pikiran gadis cilik itu, bahwa gadis itu dapat pula merasai kesengsaraan dirinya, kesunyiannya, bahkan mereka
itu senasib sependeritaan serta ada kecocokan yang membuat keduanya menaruh kasihan satu kepada yang
lain.
Dari jauh terdengar suara melengking tinggi, suara tangisan. Gadis cilik berbaju merah itu menjadi pucat,
tangannya dingin menggigil dan cepat sekali ia menarik tangan Beng San, diajaknya berlari-lari ke arah bekas
rumah gedung yang sudah menjadi tumpukan puing. Dengan gerakan tiba-tiba gadis itu mendorong tubuh
Beng Sang menerobos ke bawah tumpukan kayu-kayu hangus sambil menunjuk-nunjuk supaya anak itu
bersembunyi.
Tadinya Beng San bingung tidak mengerti, akan tetapi setelah suara melengking itu makin dekat, dia mengerti
apa artinya itu. Song-bun-kwi datang! Cepat dia lalu menyelundup ke bawah kayu dan arang, bersembunyi di
bawah puing. Akan tetapi dasar dia seorang anak yang tabah dan nakal, dalam bersembunyi dia mengintai ke
luar.
Suara melengking seperti orang menangis itu makin lama makin keras, lalu tiba-tiba saja berhenti, dan tahutahu
di depan gadis itu sudah berdiri seorang laki-laki, Song-bun-kwi dengan muka kelihatan tak senang!
Mukanya merah dan matanya melotot, dua tangannya menggerak-gerakkan jari-jari tangan sambil menatap
wajah gadis cilik itu.
Anak perempuan itu nampak takut-takut, berkali-kali menggeleng kepalanya. Kembang di rambutnya ikut
bergoyang-goyang dan ini agaknya yang menarik perhatian Song-bun-kwi. Sekali renggut dia telah menjambak
rambut anak itu dan ditariknya kembang tadi.
Anak itu terpelanting dan tentu akan terbanting keras kalau saja tidak cepat-cepat poksai (bersalto) sehingga ia
hanya terhuyung-huyung dan kaget saja. Matanya memperlihatkan sinar duka ketika kembang tadi hancur di
tangan Song-bun-kwi.
Agaknya Song-bun-kwi tertarik sesuatu. Tanpa mempedulikan lagi anak perempuan itu, ia memandang ke atas
tanah. Tiba-tiba dia membanting kaki. Demikian kerasnya bantingan kaki ini sampai Beng San yang berada di
tempat yang jauhnya ada sepuluh meter dari situ merasa betapa tanah di bawahnya tergetar sehingga
reruntuhan kayu di atasnya rontok ke bawah.
Kakek itu nampak semakin marah. Sambil menuding-nuding ke bawah kembali dia bicara dengan gerakan jari
tangannya, agaknya ia memarahi anak perempuan itu atau bertanya tentang sesuatu. Anak itu kembali
menggeleng-geleng kepalanya sambil menggerakkan jari tangannya.
Mendadak Song-bun-kwi menjambak rambut anak itu, mengguncang-guncang kepalanya sampai rambut anak
itu terurai lepas, dan setelah itu kepala itu ditempeleng keras. Anak itu terpelanting roboh, akan tetapi cepat
meloncat bangun.
Kedua mata anak itu mencucurkan air mata, mulutnya mengeluarkan suara ah-uh-ah-uh... Hampir tak
tertahankan lagi oleh Beng San. Kemarahannya memuncak dan andai kata dia tidak ingat akan ajaran-ajaran
Lo-tong Souw Lee, pasti dia sudah meloncat keluar dan membela anak perempuan itu.
Walau pun dia dipukul mampus, asal dia sudah dapat memaki-maki Song-bun-kwi atas kekejamannya
terhadap anak itu, puaslah dia. Giginya dikertakkan, bibirnya digigit sampai terasa sakit.
Saking marahnya, Song-bun-kwi sampai lupa bahwa anak perempuan itu gagu, dan dia membentak, "Beng
San, di mana dia?!" Kembali dia mengancam dengan tangan hendak menggampar anak itu.
Tiba-tiba anak itu mengedikkan kepala dan seakan-akan rasa takutnya telah lenyap sama sekali. Matanya
mengeluarkan sinar berapi, mulutnya setengah terbuka, kedua tangannya dikepal, napasnya terengah-engah,
dunia-kangouw.blogspot.com
dan dengan beraninya dia maju menantang kakek itu. Mulutnya mengeluarkan suara ah-uh-ah-uh, akan tetapi
nadanya berbeda dengan tadi, kini penuh tantangan!
Beng San tadinya kagum bukan main. Tapi sekarang dia melongo karena melihat betapa kakek itu mendadak
menjadi lemas, menjatuhkan diri berlutut kemudian memeluk anak itu sambil menangis tersedu-sedu!
Dan anak perempuan itu pun hilang kemarahannya. Dia memeluk kepala kakek itu sambil menangis tanpa
bersuara. Pemandangan yang luar biasa mengharukan melihat kakek itu berlutut memeluk si gagu sambil
menangis mengeluarkan suara yang tidak karuan, akan tetapi sayup-sayup terdengar juga oleh Beng San.
"... kau seperti ibumu... seperti ibumu..."
Dan anak perempuan yang tadi dijambaki dan ditempeleng kakek itu, yang tadinya amat marah seperti hendak
melawan, sekarang menangis dan memeluk kepala kakek itu penuh kasih sayang.
“Bi Goat, lekaslah beri tahu di mana adanya anak setan itu," Song-bun-kwi berkata sambil mengelus-elus
kepala anak perempuan yang gagu itu.
Anak itu menggelengkan kepalanya. Kakek itu kemudian menudingkan telunjuknya di atas tanah seperti
hendak mendesak dengan pertanyaan bahwa ada bekas kaki Beng San di situ.
Semua kejadian ini terlihat oleh Beng San dan dengan hati berdebar dia mengintai terus. Anak perempuan
yang bernama Bi Goat itu menggerak-gerakkan tangannya, kemudian menuding ke arah selatan. Kakek itu
pun berdiri, menatap wajah itu tajam penuh selidik, agaknya tidak percaya. Tetapi anak itu menentang
pandang matanya dengan tabah dan berani. Akhirnya kakek itu menggandeng tangan Bi Goat dan diajak
berjalan pergi dan situ ke arah selatan.
Diam-diam Beng San memperhatikan terus. Ia melihat kakek itu dengan sudut matanya memperhatikan Bi
Goat. Anak itu menoleh dan memandang ke arah bunga-bunga di atas pohon, agaknya teringat ketika Beng
San memetikkan bunga untuknya tadi. Akan tetapi lirikan ini cukup untuk membuat Song-bun-kwi curiga.
Tubuhnya berkelebat dan sulingnya diputar. Bunga dan daun terbang berhamburan dan ketika tubuh kakek itu
sudah kembali ke sebelah Bi Goat, pohon tadi telah gundul dan andai kata di dalamnya bersembunyi Beng
San, tentu akan kelihatan jelas. Kakek itu lalu mengangguk-angguk kepada Bi Goat dan melanjutkan
perjalanan sambil menggandeng tangan anak gagu itu.
Beng San bergidik. Bukan main lihainya kakek itu. Kalau saja tadi Bi Goat melirik ke tempat dia bersembunyi,
sekali saja, tentu kakek itu akan dapat menemukannya. Ia tahu bahwa dialah yang sedang dicari.
Bukan hanya Song-bun-kwi yang mencarinya dan membutuhkannya, juga bukan Hek-hwa Kui-bo. Menurut
dugaan Lo-tong Souw Lee, setiap orang kang-ouw apa bila mendengar bahwa Beng San mewarisi Im-yang
Sin-kiam-sut dan tahu di mana adanya Lo-tong Souw Lee, pasti akan berusaha menangkap anak ini.
Tidak hanya hendak memaksanya membuka rahasia Im-yang Sin-kiam-sut, akan tetapi juga hendak
memaksanya membuka rahasia tempat persembunyian kakek yang buta itu. Untung anak gagu itu ternyata
amat baik, dan sengaja melindunginya.
Diam-diam Beng San berterima kasih sekali kepada Bi Goat. Juga dia amat kasihan pada anak gagu itu yang
agaknya diperlakukan dengan kejam dan keras oleh Song-bun-kwi Malah menurut dugaannya, anak itu
dilarang bermain dengan siapa pun juga.
Buktinya, dahulu ketika anak itu diajak bermain-main oleh beberapa anak penggembala, Song-bun-kwi marahmarah.
Penggembala-penggembala itu bersama kerbau-kerbaunya lantas dibunuhnya semua! Beng San
menarik napas panjang dan diam-diam dia berjanji kepada diri sendiri bahwa kalau dia mempunyai kepandaian
melawan Song-bun-kwi, dia akan menolong anak gagu itu.
Tentu saja Beng San sama sekali tidak tahu bahwa renungannya ini sebetulnya sangat menggelikan.
Mengapa? Karena anak itu, yang bernama Kwee Bi Goat, bukan lain adalah anak Song-bun-kwi. Bukan murid,
dunia-kangouw.blogspot.com
bukan pula anak angkat, melainkan anak kandung dari isterinya sendiri yang telah meninggal dunia, selagi Bi
Goat berusia kurang dari tiga tahun.
Ternyata Bi Goat, anak cantik mungil berbaju merah itu, yang senyumnya begitu manis, ramah dan menawan,
adalah anak kandung Song-bun-kwi, Setan Berkabung yang kejam luar biasa…..
********************
Song-bun-kwi sebetulnya adalah seorang she Kwee bernama Lun. Kwee Lun atau yang berjuluk Song-bun-kwi
(Setan Berkabung) ini mendapat julukannya semenjak kematian isterinya, yaitu ibu Bi Goat yang amat
dicintainya.
Seperti pernah disinggung oleh Hek-hwa Kui-bo kepada Beng San, Kwee Lun ini pernah merampas seorang
pengantin wanita dan dalam perbuatannya yang sangat jahat ini dia telah membunuh pengantin pria dan
semua tamu yang berada di situ! Pengantin wanita inilah yang kemudian melahirkan Bi Goat.
Akan tetapi, karena wanita ini selalu berduka dan putus asa semenjak dirinya dirampas oleh Song-bun-kwi,
setelah melahirkan anak kesehatannya menjadi amat buruk. Akhirnya, ketika Bi Goat berusia kurang dari tiga
tahun, ibu muda ini meninggalkan anaknya, bebas dari penderitaan dunia.
Kwee Lun amat cinta kepada isteri rampasannya itu, juga dia amat cinta kepada Bi Goat. Akan tetapi, begitu
isterinya yang tercinta meninggal, timbul kembali sifat-sifatnya yang kejam dan jahat. Malah kadang-kadang
kalau teringat kepada isterinya, dia menjadi benci kepada Bi Goat.
Begitu isterinya meninggal, dia menyalahkan hal ini kepada Bi Goat dan hampir saja dia membunuh anaknya
sendiri. Anak yang baru berusia tiga tahun itu dia pukuli, dia banting dan dia cekik hampir mati. Akan tetapi dia
segera teringat kepada pesan isterinya supaya menjaga Bi Goat baik-baik, maka segera dia menghentikan
kekejamannya ini dan malah mengobati Bi Goat.
Kalau saja bukan dia yang mengobati, anak yang sudah dipukul dan dibanting itu tentu akan mati. Bi Goat
tidak sampai mati, akan tetapi mungkin saking kaget, atau juga karena sakit, anak ini lalu menjadi gagu!
Dan demikianlah, Song-bun-kwi Kwee Lun yang sakti dan menjadi tokoh terbesar dari barat, setiap kali dapat
bersikap kejam dan menyiksa Kwee Bi Goat, akan tetapi kadang kala dia teringat kepada isterinya dan kasih
sayangnya tumpah kembali kepada anaknya itu.
Beng San sama sekali tidak tahu akan riwayat ini. Ia hanya menganggap bahwa Bi Goat, anak gagu itu,
hidupnya tersiksa oleh Song-bun-kwi yang kejam dan jahat.
Beng San baru berani keluar dari tempat persembunyiannya dan melanjutkan perjalanan setelah Song-bun-kwi
pergi jauh. Dia berjalan terus ke barat dan mengalami penderitaan yang hebat. Ada kala nya bocah belasan
tahun ini dalam dua tiga hari tidak makan dan baru bisa mengisi perutnya kalau ada orang menaruh kasihan
kepadanya atau kalau dia bisa mendapatkan buah-buahan di dalam hutan liar.
Baiknya dia memiliki tubuh yang kuat dan gerakannya cepat sehingga kadang-kadang dia bisa mendapat
binatang-binatang hutan kecil untuk menjadi pengisi perutnya. Sementara itu, tak pernah dia lupa untuk melatih
diri dengan ilmu yang dia pelajari dari Lo-tong Souw Lee.
Pandai sekali Beng San menjaga rahasianya sehingga tak pernah ada orang mengetahui bahwa anak ini
mempunyai ilmu yang luar biasa. Semua orang yang bertemu dengannya hanya mengira bahwa ia adalah
seorang anak jembel yang terlantar dan patut dikasihani.
Banyak pula hinaan-hinaan dan ejekan-ejekan yang diderita oleh Beng San, akan tetapi anak ini menerima
semua itu dengan sabar. Seperti yang pernah dia dengar dari Lo-tong Souw Lee, dia maklum bahwa semua
penderitaan hidup merupakan gemblengan yang paling baik untuk seseorang, merupakan latihan rohani yang
amat berharga.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sementara itu, hawa Im dan Yang di dalam dirinya makin hari makin menjadi kuat dan teratur. Dan betul saja
seperti yang diajarkan oleh Souw Lee, semakin tekun dia belajar, makin terasa olehnya betapa tubuhnya
menjadi makin kuat dan sama sekali tidak pernah menderita lagi dari perasaan panas atau dingin akibat dua
macam hawa yang tadinya meracuni darahnya tapi yang sekarang setelah dapat dia kuasai merupakan tenaga
yang maha kuat…..
********************
Sungguh patut disayangkan bahwa kesalah pahaman antara Kun-lun Sam-hengte dengan Hoa-san Sie-eng
makin membesar dengan adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi antara mereka.
Seperti diketahui, sesudah melaporkan semua peristiwa yang menimpa dirinya di depan gurunya, yaitu ketua
Hoa-san-pai Lian Bu Tojin, Sian Hwa serta ketiga orang suheng-nya pergi turun dari Gunung Hoa-san untuk
mencari tiga orang bersaudara murid Kun-lun-pai untuk memprotes perbuatan Kwee Sin. Sesuai dengan
petunjuk guru mereka, keempat orang murid Hoa-san-pai lalu pergi mengunjungi orang tertua dari Kun-lun
Sam-hengte, yaitu Bun Si Teng di Sin-yang.
Kedatangan mereka berempat disambut oleh Bun Si Teng dan adiknya Bun Si Liong yang sudah sembuh dari
luka-lukanya. Dua orang saudara Bun ini sudah pernah bertemu dengan Sian Hwa, dan biar pun di antara tiga
orang jago Hoa-san yang lain baru Kwa Tin Siong yang pernah mereka lihat, namun dua orang lagi, Thio Wan
It dan Kui Keng, pernah mereka mendengar namanya.
Karena yang datang adalah jago-jago ternama dari Hoa-san, dua orang saudara Bun ini menyambut dengan
penuh penghormatan. Akan tetapi saat melihat wajah para tamu yang nampaknya mengandung sesuatu yang
tidak puas dan marah, mereka menjadi heran dan berlaku hati-hati.
Bun Si Teng beserta Bun Si Liong segera menyambut kedatangan mereka dan memberi hormat. Bun Si Teng
sambil menjura berkata, "Ah, kiranya Hoa-san Sie-enghiong (Empat Orang Gagah dari Hoa-san) yang datang
mengunjungi gubuk kami yang buruk. Selamat datang! Adik Sian Hwa, mari silakan duduk." Kepada tunangan
sute-nya ini, Bun Si Teng bersikap manis. "Liong-te, lekas beri tahu soso-mu (kakak ipar-mu) untuk menemani
Adik Sian Hwa."
"Tidak usah repot-repot, Ji-wi tak perlu repot-repot. Kami datang untuk minta keadilan dan minta
dibereskannya sebuah urusan besar, bukan datang untuk bercakap-cakap kosong atau minum arak!" Ucapan
ini dikeluarkan oleh Thio Wan It, orang ke dua dari Hoa-san Sie-eng yang terkenal berangasan.
Dua orang saudara Bun mengerutkan kening. Benar-benar tak sopan tamu ini, pikir Bun Si Liong sambil
memandang kepada orang pendek gemuk berbaju hitam itu dengan mata menaksir-naksir. Akan tetapi Bun Si
Teng yang lebih tua dan berpengalaman, segera bisa menduga bahwa tentu sudah terjadi hal yang amat
gawat sehingga orang-orang gagah ini bersikap seperti itu.
"Saudara-saudara berempat jauh-jauh datang membawa urusan penting apakah? Tentu kami selalu siap untuk
membantu kalian. Harap Sie-enghiong segera menceritakan pada kami berdua," kata Bun Si Teng, masih
ramah-tamah.
Bu-eng-kiam Thio Wan It yang sudah sangat tidak sabar karena marahnya menghadapi urusan sumoi-nya,
segera melangkah maju dan berkata kasar. "Sekarang ini, Hoa-san Sie-eng berhadapan dengan Kun-lun Samhengte
sebagai sesama orang gagah yang hendak membereskan urusan penasaran! Kedatangan kami ini
adalah karena perbuatan yang sangat tidak patut dan keji dari orang termuda dari Kun-lun Sam-hengte. Kwee
Sin harus mempertanggung jawabkan segala perbuatannya dan Ji-wi berdua ini harus pula bertanggung jawab
dan dapat segera menyeret Kwee Sin kepada kami!"
Kata-kata ini seperti halilintar menyambar bagi dua orang saudara Bun itu. Bun Si Teng yang lebih sabar
menekan dada dan mukanya agak pucat, ada pun Bun Si Liong sudah meraba gagang pedang dan goloknya
sambil mengeluarkan suara gerengan bagaikan harimau terluka, matanya tajam menyapu keempat orang tamu
itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Baiknya Bun Si Teng memberi isyarat kepada adiknya supaya bersabar dan dia sendiri lalu berkata, "Segala
urusan dapat diurus, segala penasaran dapat diadili, akan tetapi seharusnya diberi penjelasan lebih dahulu
apa sebabnya Sie-wi (Tuan Berempat) seperti marah-marah. Sute kami, Kwee Sin, bukan kami hendak
menyombong, tetapi Kwee-sute telah terkenal di empat penjuru langit sebagai orang gagah yang tak pernah
meninggalkan sifat-sifat satria. Siapakah yang tak pernah mendengar nama Pek-lek-jiu Kwee Sin murid
termuda Kun-lun-pai yang selalu menjunjung tinggi keadilan dan membela kebenaran? Sekarang Sie-wi
datang-datang menyatakan sute kami itu melakukan perbuatan yang amat tidak patut dan keji. Hemmm, tentu
saja sukar bagi kami untuk dapat mempercayai. Tidak ada perbuatan Kwee-sute yang tidak patut!"
Liem Sian Hwa tidak dapat menahan kemarahannya lagi. "Seorang yang bergaul dengan siluman betina dari
Pek-lian-pai, setelah terlihat oleh ayahku kemudian bersama siluman itu datang membunuh ayahku yang tua
dan tak berdaya, apakah hal ini kau anggap patut dan tidak keji?"
Bun Si Teng melengak, lalu saling pandang dengan adiknya. Bun Si Liong marah sekali, mulutnya telah
bergerak-gerak hendak membantah dan memaki. Akan tetapi orang gagah ini mempunyai sifat yang lucu
sekali, yaitu dia sangat takut kalau berhadapan dengan wanita. Andai kata yang mengeluarkan tuduhan itu
bukan Sian Hwa melainkan seorang di antara suheng-suheng nona itu, tentu Si Liong sudah memaki dan
marah.
Sekarang dia hanya berdiri dengan kedua tangan terkepal, kedua mata melotot, akan tetapi tidak melotot
kepada Sian Hwa, melainkan kepada Kwa Tin Siong bertiga! Bun Si Teng sudah dapat menguasai hatinya
pula. la kini menghadapi Kwa Tin Siong yang sejak tadi diam saja hanya memandang dengan mata tajam
penuh selidik.
"Hoa-san It-kiam, namamu di dunia kang-ouw sudah tersohor sebagai seorang pendekar gagah dan adil.
Kuharap saja sekarang kau pun akan bersikap seperti seorang yang adil. Adikku Kwee Sin tertimpa tuduhan
yang amat berat. Tetapi setiap tuduhan harus disertai bukti-bukti dan dasar. Tanpa dasar dan bukti maka
tuduhan itu adalah fitnah yang amat jahat. Apakah bukti dan dasarnya tuduhan terhadap Kwee-sute itu?"
Hoa-san It-kiam Kwa Tin Siong menarik napas panjang sebelum menjawab.
"Saudara Bun, aku pun merasa menyesal sekali dengan terjadinya hal yang menimpa sumoi-ku. Apa bila
kalian merasa penasaran karena sute kalian tertimpa tuduhan berat, bagaimana dengan kami? Sumoi kami
tertimpa mala petaka yang lebih berat dan hebat lagi. Karena itu, kita harus berani mempertanggung jawabkan
secara adil. Harus berani membela yang benar dan menghukum yang salah. Sikap begini sudah menjadi tugas
kita sebagai orang gagah, bukan? Siapa saja yang salah harus dihukum, baik dia itu orang lain mau pun adik
sendiri. Sebaliknya siapa saja orangnya, asal dia itu berada di pihak kebenaran, haruslah kita bela. Bukankah
begitu juga pelajaran yang kalian terima dari suhu kalian?"
Bun Si Teng mengangguk-angguk. "Kau betul. Hoa-san It-kiam, Kami pun tidak akan membela sute kami
sendiri kalau dia betul-betul bersalah. Hanya kami amat sangsikan apakah sute kami bersalah, karena kami
percaya, bahkan yakin bahwa Kwee-sute bukanlah seorang yang demikian jahat dan keji. Dia pun sudah
membuat nama besar di dunia kang-ouw. Oleh karena itu, tuduhan berat tadi harap kau jelaskan dan kau beri
dasar-dasar atau bukti-bukti."
Kwa Tin Siong tersenyum pahit. "Seorang yang sudah mempunyai kepandaian setingkat dengan kita, kalau
sudah melakukan sesuatu, bagaimana bisa dicari buktinya? Kadang kala kejadian tanpa sebuah bukti pun
sudah jelas, cukup jelas untuk ditarik kesimpulan dan diambil keputusan siapa yang bersalah. Nah, kau
dengarlah baik-baik. Pada suatu hari, beberapa pekan yang lalu, ayah dari Liem-sumoi yaitu Liem Ta lopek,
pulang ke rumah sambil marah-marah dan menyatakan kepada Liem-sumoi bahwa dia melihat Kwee Sin
berpelesir bersama seorang perempuan cabul dari Pek-lian-pai, kemudian Liem-lopek menyatakan hendak
memutuskan tali perjodohan antara Liem-sumoi dengan Kwee Sin. Liem-sumoi merasa penasaran dan diamdiam
ia pergi ke Telaga Pok-yang di mana Kwee Sin terlihat oleh ayahnya. Sayang ia tidak dapat melihat
dengan mata kepala sendiri, akan tetapi dari keterangan tukang-tukang perahu di sana ia mendapatkan
keterangan bahwa memang betul Kwee Sin dan seorang perempuan berada di situ beberapa hari lamanya.
Dengan hati berat Liem-sumoi pulang ke rumahnya, dan dia mendapatkan ayahnya telah luka-luka hebat.
Sebelum meninggal dunia, Liem-lopek masih sempat menyatakan bahwa yang menyerangnya adalah Kwee
Sin dibantu seorang perempuan cantik.”
dunia-kangouw.blogspot.com
"Penasaran... penasaran...!" Bun Si Liong berteriak-teriak. "Tidak mungkin Kwee-sute bisa melakukan
perbuatan semacam itu. Tak mungkin! Mana buktinya bahwa yang melakukan pembunuhan itu adalah Kweesute?"
"Twa-suheng!" Kui Keng sudah meloncat maju. "Mengapa Suheng masih simpan-simpan keterangan?
Jelaskan saja sekalian. Ehh, Kun-lun Sam-hengte, jangan coba-coba untuk menutupi kesalahan sute kalian.
Kesalahannya sudah jelas, karena menurut keterangan Liem-sumoi, di tubuh Liem-lopek itu terdapat pakupaku
Pek-lian-ting dan bekas pukulan Pek-lek-jiu! Nah, mau bilang apa lagi? Paku-paku Pek-lian-ting tentulah
paku-paku yang dilepas oleh perempuan siluman dari Pek-lian-pai itu dan pukulan Pek-lek-jiu... hemmm,
bukankah julukan Kwee Sin adalah Pek-lek-jiu?"
"Bohong! Bukan bukti itu!" Bun Si Liong membanting-banting kakinya. "Siapa saja yang pernah mempelajari
Pek-lek-jiu tentu bisa menggunakannya. Apakah hanya sute sendiri? Tentang paku-paku Pek-lian-ting, aku
mau percaya kalau Pek-lian-pai memusuhi kalian, karena Pek-lian-pai juga memusuhi kami. Akan tetapi
tentang Kwee-sute, tetap aku tidak mau menerima kalau dia dituduh!"
"Ha-ha-ha, rupanya Kun-lun Sam-heng-te mau menang sendiri saja! Agaknya hanya mau mengandalkan
kegagahan sendiri dan tak memandang kepada orang lain. Suheng, Sute, dan Sumoi, agaknya urusan ini
hanya bisa dibereskan di ujung pedang!" kata Thio Wan It mengejek sambil meraba gagang pedangnya.
"Boleh sekali!" Bun Si Liong berteriak sambil tangannya mencabut sepasang senjatanya, yaitu sebatang
pedang dan sebatang golok. “Apakah Hoa-san Sie-eng berempat datang hendak mengeroyok kami berdua?
Jangan dikira kami takut! Kun-lun Sam-hengte takkan pernah mundur setapak pun menghadapi pengeroyokan
siapa saja!"
"Ho-ho sombongnya! Kami Hoa-san Sie-eng bukanlah tukang keroyok! Untuk menghadapi kalian berdua cukup
dengan pedangku saja. Orang she Bun, kalau kau ada kepandaian, keluarlah!" Thio Wan It berkata mengejek
dan begitu kakinya bergerak, tubuhnya melesat keluar.
"Baik, hendak kukenal kelihaian Bu-eng-kiam!" berseru Bun Si Liong yang meloncat keluar pula.
Semua orang mengejar keluar dan ternyata bahwa dua orang jago itu sudah bertanding dengan hebat. Suara
beradunya senjata tajam berdenting-denting nyaring disusul bunga api berpijar-pijar, gerakan dua orang jago
ini gesit dan tangkas dan amat kuat. Di antara debu yang berhamburan berkelebat ujung pedang dan golok
mencari nyawa.
Thio Wan It, sesuai dengan julukannya, Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan) sangat cepat gerak-geriknya.
Pedangnya diputar demikian cepat sehingga lenyap dari pandangan mata dan bagi lawan yang telah tinggi
ilmunya, pedang ini hanya bisa diduga dari mana datangnya dengan mendengar suara anginnya saja.
Gerakan-gerakan Thio Wan It yang mainkan Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-hoat, boleh diumpamakan seekor
burung walet yang menyambar-nyambar ke sana ke mari, perubahan-perubahan gerakannya sangat sukar
diduga.
Di lain pihak, Bun Si Liong adalah murid ke dua Kun-lun-pai. Tentu saja kepandaiannya sudah mencapai
tingkat yang tinggi pula. Seperti juga dengan Hoa-san-pai, Kun-lun-pai juga amat terkenal dengan ilmu
pedangnya.
Maka yang berhadapan dan bertanding sekarang ini adalah dua orang jago pedang dari dua partai yang
mewakili Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. Thio Wan It hanya menggunakan sebuah pedang saja, pedang panjang
tipis yang dapat melengkung pada saat digerakkan secara cepat dan kuat.
Ada pun Bun Si Liong bersenjata pasangan, yaitu sebatang pedang dan sebatang golok. Inilah keistimewaan
Bun Si Liong. Dua buah senjata yang berlainan itu akan membuat lawan menjadi bingung, seakan-akan
dikeroyok oleh dua orang lawan yang senjatanya tidak sama.
dunia-kangouw.blogspot.com
Thio Wan It itu cepat dan lincah, pedangnya menyambar-nyambar. Bun Si Liong tenang dan kokoh kuat
kedudukannya seperti seekor banteng sakti yang siap menanti serangan lawan untuk ditangkis dan dibalas
dengan serangan-serangan yang tak kalah ampuhnya.
Pedang di tangan Thio Wan It mengancam semua bagian tubuh. Akan tetapi sepasang senjata Bun Si Liong
yang jarang bergerak itu selalu dapat menangkis, kemudian kalau ada saat baik membalas dengan tusukan
atau bacokan. Dilihat sekelebatan, Thio Wan It seperti menari-nari mengelilingi Bun Si Liong yang berdiri teguh
sambil menggeser-geser kakinya untuk mengikuti pergerakan lawan yang amat lincahnya itu.
Pertempuran yang sengit dan seru itu ditonton oleh semua orang dengan hati berdebar. Pertempuran
seimbang seperti ini tak mungkin berakhir tanpa membawa korban di satu pihak, hanya dapat diputuskan
dengan menggeletaknya salah seorang. Padahal dalam urusan ini, baik Thio Wan It mau pun Bun Si Liong
tidak ada sangkutan apa-apa, tidak ada kesalahan apa-apa.
Orang yang langsung tersangkut, Kwee Sin, belum diajak bicara, tapi keduanya sudah main hantam sendiri.
Hal ini tidak betul. Demikianlah jalan pikiran Kwa Tin Siong dan juga Bun Si Teng.
"Urusan gelap belum dibikin terang, tidak perlu ditambah keruh dengan lain pertumpahan darah," kata Kwa Tin
Siong sambil memandang kepada Bun Si Teng.
Orang tertua Kun-lun Sam-heng-te ini mengangguk. "Betul. Urusan ini harus diselidiki, tak akan beres kalau
menurutkan nafsu dan sakit hati."
Dua orang itu seperti telah bermufakat, meloncat maju dan menahan adik masing-masing. Dua orang jago
yang sedang bertanding itu terpaksa mundur dengan dada turun naik, mata melotot lebar dan sikap
menantang.
"Aku masih belum kalah!" Thio Wan It berkata penasaran.
”Aku juga belum kalah," kata Bun Si Liong.
"Kalau begitu hayo teruskan sampai salah seorang di antara kita mampus!" kata pula Thio Wan It.
"Hayo, majulah!" tantang Bun Si Liong.
Kwa Tin Siong dan Bun Si Teng sibuk mencegah dua orang jago yang sudah panas perutnya itu supaya tidak
bertanding lagi.
"Yang menjadi pokok persoalan ini adalah Kwee Sin, sebelum dia ditemukan dan ditanya, amatlah jelek apa
bila kita menyerang orang-orang lain," berkata Kwa Tin Siong kepada sute-nya sambil menyabarkan dan
memaksa sute-nya menyimpan kembali pedangnya.
"Liong-te, sabarlah," kata Bun Si Teng kepada adiknya. "Simpanlah kembali senjatamu. Urusan ini tidak bisa
dibereskan hanya dengan mengangkat senjata. Kwee-sute ternyata telah terkena fitnah yang hebat dan hal ini
harus kita bersihkan." Dia lalu membalik dan menghadapi Kwa Tin Siong.
"Hoa-san It-kiam, terus terang saja, aku tidak akan meragukan semua ceritamu tadi. Hanya yang kuragukan
bahkan tidak dapat kuterima adalah bahwa sute-ku melakukan semua perbuatan itu. Hal itu tidak mungkin
sekali."
"Hemmm, saudara Bun. Urusan sumoi-ku yang ayahnya dibunuh mati orang ini kiranya takkan puas jika hanya
kau beri keyakinan bahwa sute-mu tidak mungkin melakukannya. Habis, karena hal ini menyangkut nama baik
sute-mu, apa yang selanjutnya hendak kau lakukan? Kami masih memandang muka Kun-lun Sam-hengte,
juga memandang muka Kun-lun-pai ciangbunjin (ketua Kun-lun-pai) maka kami tidak tergesa-gesa dan secara
sembrono mencari dan mengadili sendiri kepada Kwee Sin."
dunia-kangouw.blogspot.com
Bun Si Teng mengangguk-angguk. "Baiklah. Kami akan mencari Kwee-sute dan dalam waktu lima bulan kami
bertiga Kun-lun Sam-hengte akan menghadap ke Hoa-san. Kami harus membersihkan nama baik Kwee-sute
di depan ketua Hoa-san-pai sendiri."
"Bagus. Lima bulan sesudah hari ini, Hoa-san Sie-eng akan menanti kedatangan Kun-lun Sam-hengte di
puncak Hoa-san," kata Kwa Tin Siong yang segera mengajak pergi tiga orang adik seperguruannya,
meninggalkan tempat itu.
Setelah ditinggal pergi para tamunya, Bun Si Teng dan Bun Si Liong duduk dengan hati berat.
"Heran sekali mengapa ada peristiwa seperti ini," kata Bun Si Teng. "Kita harus menyusul Kwee-sute ke Kunlun.”
"Memang urusan ini harus dibikin terang, karena menyangkut nama baik dan kehormatan Kwee Sin," kata Bun
Si Liong, mukanya yang hitam makin hitam karena kemarahannya.
“Kau tinggallah di rumah mengurus pekerjaan kita, Liong-te. Biar aku saja yang pergi ke Kun-lun. Lim Kwi akan
kuajak serta agar anak itu berdiam dan belajar di sana, dipimpin langsung oleh suhu. Aku akan segera kembali
bersama Kwee-sute."
Demikianlah, pada keesokan harinya, Bun Si Teng bersama puteranya, Bun Lim Kwi, berangkat ke Kun-lunsan
untuk mencari Kwee Sin dan menitipkan Lim Kwi di Kun-lun-san supaya menerima gemblengan ilmu silat
dari ketua Kun-lun-pai sendiri, yaitu Pek Gan Siansu…..
********************
“Minggir, jembel-jembel busuk, minggir!”
Suara kaki banyak kuda berdetakan, didahului bentakan-bentakan dan teriakan-teriakan kasar dari para
penunggangnya. Orang-orang dusun yang sedang berjalan menuju ke sawah ladang, cepat-cepat berlari ke
pinggir supaya jangan sampai diseruduk kuda yang berlari cepat di jalan dusun yang kecil itu. Ternyata barisan
kuda ini adalah sepasukan berkuda tentara negeri yang berpakaian keren dan bersenjata lengkap.
Tinggi besar kuda-kuda itu, gagah dan tinggi besar pula para penunggangnya. Sambil tertawa-tawa para
serdadu Mongol ini mempergunakan cambuk untuk secara main-main mencambuk kanan kiri kepada orangorang
desa yang sudah menjauhkan diri sampai ada yang kesakitan dan ketakutan sehingga terjatuh ke dalam
selokan sawah!
Seorang kakek kena didorong oleh seorang penunggang kuda dan kakek itu terjengkang roboh ke dalam tanah
berlumpur. Ketika dia merangkak bangun, tubuhnya yang kurus itu terbungkus lumpur, menakutkan. Semua
kejadian ini disambut gelak terbahak dari pada serdadu itu.
Seorang wanita muda menjerit-jerit ketika tubuhnya disambar oleh tangan yang kuat dan tahu-tahu ia telah
berada di atas kuda, dipeluk oleh seorang serdadu yang kurang ajar. Wanita itu meronta-ronta, menjerit-jerit
sedangkan serdadu yang menangkapnya itu terus tertawa-tawa menggoda, sikapnya kurang ajar dan tidak ada
kesopanan sama sekali. Di depan dan belakang, para serdadu lainnya tertawa-tawa gembira.
Saking takut dan jijiknya, wanita muda itu akhirnya pingsan di atas pangkuan serdadu itu. Setelah wanita itu
pingsan, agaknya tidak ada kegembiraan lagi bagi serdadu itu, maka tubuh wanita itu lalu didorong turun dari
atas kuda, jatuh berdebuk di atas tanah berdebu.
"Setan! Iblis kejam!" Seorang anak laki-laki berlari menolong wanita itu.
"Jembel cilik, minggir kau!" Seorang serdadu mengayun cambuknya.
"Tarr! Tarr!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Cambuk menghantam muka anak itu yang berdiri dengan berani dan matanya melotot. Cambukan dua kali itu
seperti tak dirasainya dan dia memandang serdadu-serdadu yang melarikan kuda sambil mengepal-ngepalkan
tinjunya yang kecil. Wanita itu masih saja menangis terisak-isak di depannya. Akhirnya debu tebal saja yang
ditinggalkan serdadu-serdadu itu yang jumlahnya tiga puluh orang lebih.
"Keparat...!” Beng San, anak berpakaian jembel itu, memaki dan membangunkan wanita tadi, "Sudahlah, Cici,
jangan menangis dan pulanglah. Masih baik kau tidak mereka culik tadi."
Para penduduk yang melihat sikap Beng San, merasa heran dan juga kagum.
"Anak, kau berani sekali," seorang kakek berkata sambil mengangguk-angguk. "Bila saja pemuda-pemuda kita
seperti kau ini, takkan sukar membebaskan tanah air dari penjajah-penjajah keji seperti mereka..." Sambil
terbungkuk-bungkuk kakek itu melanjutkan langkah kakinya menuju ke sawah ladang.
Beng San masih terengah-engah saking marahnya. Baru kali ini dia menyaksikan sendiri keganasan serdaduserdadu
Mongol kalau beraksi di dusun-dusun. Seorang petani lain berjalan di sisinya dan bercerita betapa
serdadu-serdadu itu menjadi lebih kejam lagi bila bermalam di suatu dusun. Mereka merampoki bahan makan,
merampas segala benda berharga, menculik gadis-gadis dusun dan isteri orang, membunuh pemuda-pemuda
yang berani melawan.
Pendeknya, rakyat kecil mengalami neraka dunia kalau kedatangan serdadu-serdadu ini. Apa lagi mereka itu
biasanya lalu disambut oleh pembesar setempat dan tuan-tuan tanah setempat yang mempergunakan
kekuasaan mereka untuk memeras para petani yang sudah amat miskin.
"Keparat," pikir Beng San. "Kalau aku sudah kuat, kuhajar mereka itu."
Setelah meninggalkan perkampungan ini, Beng San lalu berlari cepat mengejar ke arah perginya barisan
berkuda tadi. Ia telah berada dekat kaki Gunung Hoa-san dan kebetulan sekali barisan berkuda itu sejurusan
dengan dia. Menjelang tengah hari dia memasuki sebuah hutan besar di kaki Gunung Hoa-san.
Ia mendengar suara berisik dari dalam hutan. Ketika dia mendekat, jelas terdengar pekik kesakitan bercampur
teriak kemarahan diselingi suara senjata tajam beradu. Jelas bahwa terjadi pertempuran besar-besaran di
tengah hutan itu.
Beng San cepat menyelinap di antara pohon-pohon besar, mendekati tempat pertempuran sambil mengintai.
Ringkik banyak kuda mengingatkan dia akan barisan serdadu-serdadu Mongol.
Celaka, pikirnya, tentunya setan-setan Mongol itu kembali mengganggu penduduk dekat hutan sini. Akan
tetapi, mengapa penduduk berada di dalam hutan besar? Ahh, mungkin pemburu-pemburu.
Dia cepat berindap ke tengah hutan dan akhirnya terlihatlah olehnya pertempuran hebat sudah terjadi di
tempat terbuka. Benar saja dugaannya. Para serdadu Mongol itu tengah bertempur melawan sekumpulan
orang-orang yang bersikap gagah dan rata-rata pandai ilmu silat. Jumlah orang-orang gagah itu hanya belasan
orang sehingga tiap orang harus menghadapi keroyokan dua atau tiga orang serdadu Mongol.
Perang tanding itu hebat sekali. Banyak serdadu Mongol sudah roboh mandi darah. Akan tetapi mereka adalah
serdadu-serdadu yang terlatih dan rata-rata sangat kuat sehingga belasan orang gagah itu terdesak juga,
malah di antaranya ada yang terluka.
Tiba-tiba terdengar aba-aba keras. Para serdadu Mongol itu mengeluarkan panah tangan, lantas serentak
menyerang dengan anak-anak panah mereka yang terkenal berbahaya. Serangan mendadak ini membikin
para orang gagah menjadi kacau-balau dan tiga orang terjungkal roboh.
"Anjing-anjing Mongol rasakan pembalasan kami!" Tiba-tiba terdengar bentakan keras dan muncullah seorang
pemuda tinggi besar bersama enam orang lain dari jurusan selatan. Mereka datang dan terus menyerbu.
Hebat sekali serbuan pemuda tinggi besar serta kawan-kawannya ini. Sisa orang-orang gagah yang dikeroyok
tadi timbul kembali semangat mereka saat melihat datangnya bala bantuan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Perang tanding makin berkobar dan kini giliran para serdadu Mongol yang dihantam dari kanan kiri sehingga
kocar-kacir. Mereka sudah mulai ketakutan dan mencoba-coba untuk melarikan diri. Akan tetapi, tiap seorang
serdadu Mongol berhasil meloncat ke punggung kuda dan melarikan kuda itu, tentu dia disambar oleh
beberapa buah senjata rahasia paku dan robohlah dia dari atas punggung kuda.
Beng San yang sedang mengintai dan menonton semua pertandingan ini, menjadi girang dan berdebar hatinya
ketika melihat pemuda tinggi besar itu.
"Dia adalah Tan Hok," pikirnya gembira. "Benar-benar dia gagah perkasa."
Memang hebat sepak terjang Tan Hok. Dia paling besar di antara teman-temannya dan golok di tangannya
mengamuk bagai seekor naga. Mayat serdadu-serdadu Mongol roboh bergelimpangan dan sebentar saja,
setelah datang Tan Hok beserta teman-temannya ini, serdadu-serdadu itu dapat dirobohkan semua.
Beberapa orang serdadu dapat melarikan diri dengan kuda mereka yang kuat dan cepat. Biar pun mereka
tidak terluput dari luka-luka, akan tetapi mereka tidak mengalami nasib seperti kawan-kawan mereka yang
bergelimpangan tak bernyawa lagi di hutan itu.
"Pasukan besar musuh tentu akan segera menyusul ke sini, kita harus cepat-cepat pergi. Lekas kumpulkan
teman-teman yang tewas. Cepat, saudara-saudara!" Tan Hok memberi aba-aba.
Dari tempat sembunyinya, Beng San memandang dengan kagum. Kini pemuda raksasa itu tidak kelihatan
bodoh lagi, melainkan tangkas dan dihormati teman-temannya.
Semua orang gagah itu bekerja. Ada yang mengubur mayat teman-temannya, ada yang merawat teman-teman
yang terluka, ada yang mengumpulkan senjata-senjata rampasan, ada yang mengumpulkan kuda-kuda tinggi
besar tunggangan para serdadu tadi. Ada pun Tan Hok sendiri memasang sebuah bendera kecil di batang
pohon, bendera kecil tanda perkumpulan Pek-lian-pai, bendera kecil bergambar teratai putih!
"Tan-twako...!" Beng San meloncat keluar dan memanggil.
Semua orang terkejut. Seorang anggota Pek-lian-pai cepat melompat mendekati Beng San dan membentak,
"Mata-mata Mongol, tangkap!"
Akan tetapi Tan Hok segera berseru, "Ahh, bukankah kau Adik Beng San?"
Dia berlari menghampiri dan mencegah kawan-kawannya menangkap Beng San, malah segera
memperkenalkan, "Inilah anak ajaib Beng San, adikku yang sangat gagah berani. Ehh, Adik Beng San, kau
dari mana tiba-tiba muncul di tempat ini?"
"Tan-twako, aku tadi melihat semua kejadian ini. Tadinya aku tidak tahu kenapa kau dan teman-temanmu
mencegat dan membunuh serdadu-serdadu ini biar pun aku tahu betapa kejam dan jahatnya mereka. Akan
tetapi... jika kau dan teman-temanmu hanya mengubur mayat kawan sendiri ini di sini, kau telah melakukan
dua macam kesalahan.”
Semua anggota Pek-lian-pai melengak mendengar ini. Masa seorang anak kecil hendak menasehati orangorang
Pek-lian-pai?
Akan tetapi Tan Hok yang sudah banyak melihat keanehan pada diri anak ini, dengan sabar berkata, "Kau
jelaskanlah, Adik Beng San. Kesalahan-kesalahan apakah itu?"
"Pertama, kau melanggar peri kemanusiaan kalau kau tidak mau mengubur mayat para serdadu ini. Bukankah
dahulu kau mengubur semua mayat orang-orang kelaparan yang menggeletak di pinggir jalan?"
Tan Hok menarik napas panjang. "Lain lagi. Mereka itu adalah mayat-mayat bangsaku yang sengsara, yang
kelaparan karena pemerasan kaum penjajah seperti anjing-anjing Mongol ini. Sebaliknya, mereka ini adalah
musuh-musuh besar rakyat, untuk apa aku harus mengubur mereka?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tan-twako, kau keliru. Yang kau benci adalah perbuatan mereka. Sekarang mereka sudah mati, tidak bisa
berbuat apa-apa lagi, apakah mayat-mayat itu pun masih dibenci?"
"Kau memang aneh. Di dalam perang, kalau orang harus mengubur mayat musuh, bisa kehabisan waktu untuk
mengubur saja! Dalam perang memang begitu, adikku, jangankan mayat musuh, bahkan mayat teman-teman
sendiri kadang-kadang tidak ada waktu untuk mengurusnya. Dan apakah kesalahanku yang ke dua?"
"Kalau kau tidak mengubur mayat-mayat ini dan membiarkan mereka berserakan di sini, kau akan membikin
celaka Hoa-san-pai pula. Bukankah mayat-mayat serdadu ini berada di kaki Gunung Hoa-san? Kalau sampai
terlihat oleh pasukan negeri, sudah tentu mereka akan mengira bahwa Hoa-san-pai yang melakukannya..."
"Kan sudah kuberi tanda bendera kecil di sini," bantah Tan Hok.
"Betapa pun juga, kejadiannya di kaki Gunung Hoa-san, tentu Hoa-san-pai akan terlibat. Kalau mereka ini
dikubur, tidak akan ada bekasnya lagi dan Hoa-san-pai akan terbebas dari sangkaan." Sambil berkata
demikian Beng San lalu mulai menggali lubang untuk mengubur mayat sebanyak dua puluh orang lebih itu.
Ada pun Tan Hok dan kawan-kawannya, dengan kagum sekali mendengar ucapan Beng San tadi. Akhirnya
mereka harus pula membenarkan ucapan itu. Bukankah ada golongan yang memang sengaja hendak
memburukkan nama Pek-lian-pai dan kemudian mengadu Pek-lian-pai dengan lain-lain perkumpulan?
Memang tidak baik sekali kalau kelak pemerintah penjajah memusuhi Hoa-san-pai karena urusan perang di
kaki Gunung Hoa-san ini. Tidak baik membuat Hoa-san-pai mengalami bencana karena perbuatan Pek-lianpai.
"Saudara-saudara, hayo bantu Adik Beng San mengubur bangkai-bangkai anjing penjajah ini!" kata Tan Hok
dengan suaranya yang keras.
Mereka segera turun tangan dan sebentar saja mayat-mayat itu sudah dikubur semua. Tiba-tiba seorang di
antara mereka berlari datang dan berkata. "Sepasukan anjing Mongol sudah datang!"
Mereka semua mendengarkan dan betul saja, dari jauh terdengar derap kaki kuda yang banyak sekali. Tan
Hok segera berunding dengan teman-temannya.
"Kita pancing mereka memasuki Lembah Pek-tiok-kok (Lembah Gunung Bambu Putih). Cepat kumpulkan
semua kuda!" Akhinya keputusan ini diambil dan beramai-ramai mereka meninggalkan tempat itu.
"Adik Beng San, kau harus ikut kami kali ini!" kata Tan Hok sambil menggandeng tangan anak itu.
Karena Beng San amat tertarik dan kagum kepada rombongan orang-orang gagah ini dan ingin melihat apa
yang hendak mereka lakukan terhadap para pengejar, pasukan musuh itu, maka dia menurut saja dan ikut
berlari-lari dengan yang lainnya. Hati Beng San lega melihat orang-orang gagah ini berlari meninggalkan
Gunung Hoa-san, kemudian mendaki gunung kecil yang gundul dan banyak batu-batu karangnya yang tinggi
meruncing.
Derap kaki kuda dari belakang makin lama semakin terdengar dekat dan ketika mereka sudah mulai mendaki
bukit, dari atas terlihatlah oleh mereka pasukan berkuda terdiri dari sedikitnya enam puluh orang mengejar
mereka dari belakang!
Melihat ini, diam-diam Beng San khawatir. Sisa teman-teman Tan Hok termasuk pemuda raksasa itu sendiri
hanya ada dua belas orang. Bagaimana mereka akan dapat melawan enam puluh orang serdadu musuh?
Jalan yang dilalui rombongan Tan Hok amat sukar, banyak lubang-lubang sehingga tak mungkin dilalui kuda.
Tan Hok memimpin teman-temannya berloncatan melalui jalan ini dan setelah sampai di tempat yang agak
tinggi, baru Beng San tahu bahwa kuda-kuda rampasan tadi tidak ikut dibawa ke tempat itu, entah sudah
disembunyikan di mana oleh teman-teman Tan Hok. Anak ini sekarang mengerti, atau demikian dia mengira,
dunia-kangouw.blogspot.com
bahwa Tan Hok dan teman-temannya memilih jalan ini supaya lawan yang berkuda tidak dapat mengejar
mereka.
Akan tetapi, setelah mereka sampai di tempat yang lebih tinggi, Beng San kaget melihat betapa pasukan besar
di belakang itu pun kini telah turun dari kuda dan terus mengejar mereka sambil berloncat-loncatan dan
berlarian. Dilihat dari atas, enam puluh orang itu seperti semut yang merayap-rayap naik!
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru