- Pendekar Budiman 4 Tamat
- Cerita Silat Pendekar Budiman 3
- Cersil Pendekar Budiman Kho Ping Hoo
- Pendekar Budiman Serial Terbaru Kho Ping Hoo
- Cerita Silat Rajawali Hitam 3 Tamat
- Cersil Rajawali Hitam 2
- Rajawali Hitam 1 Lanjutan Dewi Ular Serial Gelang ...
- Dewi Ular 3 Full Tamat Komplit Baca Online disini
- Dewi Ular 2
- Dewi Ular 1 Cersil Serial Gelang Kumala Kho Ping H...
(SIN KIAM HOK MO)
Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Ebook ini dibuat dengan sumber hasil scan djvu oleh :
syauqy_arr kredit 4 him
Convert & edit : MCH
Final edit & Ebook by : Dewi KZ
Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://cerita-silat.co.cc/ http://ebook-dewikz.com
Jilid I
“SINCHUN Kionghi Thiam-hok Thiam Siu! Selamat tahun baru,
panjang umur banyak rejeki!"
2
Ucapan ini bergema di seluruh Tiongkok. di dusun dan kota, di
mana saja manusia berada. Ucapan yang menjadi inti dari pada
perayaan hari Tahun Baru yang telah menjadi tradisi di seluruh
Tiongkok semenjak tahun diperhitungkan, berapa orang takkan
gembira ria menyambut hari itu? Tidak saja sebagai hari pertama
dari tahun yang baru, akan tetapi juga hari pertama dari musim
semi yang gilang-gemilang, yang memberi harapan baik bagi semua
manusia, baik ia pedagang, petani, maupun buruh, pendeknya
rakyat jelata. Tanaman akan tumbuh subur, hawa udara segar dan
bersih, pemandangan alam indah permai. Olch karena inilah maka
upacara selamat menjadi Sin-chun Kionghi yang berarti Selamat
Musim Semi Baru.
Semua orang merayakannya. Besar kecil kaya, miskin mereka
bergembira menyambut datangnya musim semi dengan cara dan
kebiasaan masing-masing. Orang-orang mengadakan pesta, segala
mata pertunjukan, seni budaya rakyat muncul meramaikan pesta
tari-tarian, nyanyi, tari, barongsai, kilin, hong dan lain-lain
memenuhi sepanjang jalan besar.
Anak-anak lebih gembira lagi. Mereka pergi ke sana ke mari,
menghaturkan selamat kepada keluarga dan tetangga yang lebih
tua, menerima angpauw (bungkusan merah berisi uang atau
hadiah) menonton pertunjukan dan di hari itu mereka akan terbebas
daripada hukuman dan omelan orang tua. Di sana-sini mengebul
asap hio mengharum, karena orang-orang pada mengadakan
sembahyang untuk memperingati nenek moyang mereka yang telah
meninggal dunia.
Suara petasan menambah kegembiraan penduduk. Tiadi hentinya
suara mercon ini susul-menyusul seakan-akan berlomba. Kadangkadang
kelihatan di udara meluncur roket-roket kecil dari kertas.
Pendeknya, semua orang menabung setahun penuh untuk
menghabiskan uang tabungannya di hari-hari tahun baru itu,
berpakaian baru, makan minum sampai mabok dan
menghamburkan uang tak mengenal sayang.
Pada pagi hari tahun baru itu seorang laki-laki tinggi besar
berwajah tampan dan gagah akan tetapi seperti orang yang
menanggung banyak penderitaan batin, berusia kurang lebih tiga
3
puluh lima tahun, bcrjalan perlahan-lahan memasuki kota Keng-sinbun
yang berada di kaki Bakit Hoa-san. Laki-laki yang gagah ini
berjalan sambil menuntun seorang anak kecil berusia kurang lebih
tujuh tahun. Pakaian mereka jauh berbeda dengan pakaian orangorang
yang sedang merayakan tahun baru. Kalau semua orang
besar kecil memakai serba baru, adalah dua orang ini berpakaian
amat sederhana dan sudah kotor, bahkan laki-laki itu sudah ada
tambalan pada bajunya.
"Gi-hu, semua orang merayakan hari musim semi, mengapa kita
tidak?" Suara anak ini lemah lembut dan kata-katanya teratur rapi
seperti ucapan seorang anak yang mempelajari bun (sastra) dan
tata susila, akan tetapi terdengar nyaring bersemangat. Ia
menyebut "gi-hu" yang berarti ayah angkat kepada laki-laki itu.
Orang gagah itu memandang dan senyum sedih muncul di
bibirnya.
"Hong-ji (Anak Hong), kita sedang dalam perjalanan, bagaimana
bisa merayakan hari tahun baru? Sebentar lagi kalau kita sudah
sampai di tempat tinggal Sucouwmu (Kakek Gurumu) barulah kita
bisa merayakan hari baik ini. Atau barang kali kau ingin
merayakannya di kota ini? Kalau demikian, kita bisa mampir di
rumah makan dan berpesta berdua, bagaimana pikiranmu?"
Pada saat itu mereka telah memasuki kota dan bocah itu
memandang ke kanan kiri dan melihat setiap rumah memasang
meja sembahyang dengan segala macam masakan di atas meja dan
hio mengebulkan asap harum.
"Gi-hu aku tidak ingin makan minum, aku ingin dapat
menyembahyangi Ayah Ibuku..." Suara anak ini terputus-putus dan
biarpun matanya tetap bening dan tajam, namun suaranya
menunjukkan bahwa ia menahan isak tangis yang naik mendesak
dari dada ke lehernya.
Mendengar ini, hati orang gagah itu merasa perih sekali saking
terharunya. Ia menghentikan tindakan kakinya dan membawa anak
itu ke pinggir jalan di mana ia berdiri sambil mengelus-elus kepala
anak itu. Ia termenung dan terbayanglah semua pengalamannya.
Laki-laki tinggi besar yang gagah perkasa ini bukan lain adalah Lie
4
Bu Tek, seorang gagah yang dijuluki Hui-liong (Naga Terbang)
karena kalau ia mengamuk, pedangnya berkelebatan laksana seekor
naga terbang yang menyambar leher para penjahat. Adapun anak
kecil itu sebagai-mana dapat diketahui dari cara ia memanggil Lie Bu
Tek, adalah Wan Sin Hong anak angkat dari Lie Bu Tek. Kata-kata
anak tadi membuat Lie Bu Tek termenung dan terbayang akan
semua pengalamannya.
"Baiklah, Hong-ji. Mari kita menyembahyangi Ayah Bundamu
secara sederhana saja."
Dengan girang dan berterima kasih Sin Hong ikut ayah angkatnya
itu menuju ke sebuah toko yang menjual lilin, hio, dan segala
keperluan sembahyang. Setelah membeli alat-alat untuk
bersembahyang secukupnya, Lie Bu Tek lalu mengajak anak
angkatnya pergi ke sebuali tempat yang sunyi. Di tempat ini Lie Bu
Tek memasang alat-alat sembahyang, menyalakan membakar hio
dan bersembahyanglah dua orang itu dengan cara masing-masing.
Bu Tek memegang hio di tangan sambil berdiri seperti patung,
bibirnya tidak bergerak, akan tetapi dua titik air mata yang
menurum pipinya menyatakan bahwa hatinya amat terharu. Wan
Sin Hong berlutut di depan lilin dan mulutnya bergerak-gerak
mengeluarkan bisikan,
"Ayah dan Ibu yang tak pernah kukenal, aku anakmu Wan Sin
Hong menghaturkan hormat dan selamat tahun baru. Mohon restu
Ayah Ibu agar aku kelak menjadi seorang gagah dan pandai seperti
Gi-hu...."
Lie Bu Tek ikut berlutut dan memeluk anak angkatnya itu. Entah
mengapa, begitu dipeluk Sin Hong merasa sesuatu yang amat
menyedihkan hatinya sehingga tak tertahankan lagi la menangis
terisak-isak di dada ayah angkatnya. Sampai api hio habis dan lilin
kecil itu padam baru mereka berdiri lagi.
"Mari kita melanjutkan perjalanan, Sin Hong. Sucouwmu di
Puncak Hoa san sudah menanti-nanti."
"Apakah Sucouw sudah tahu akan kedatangan kita?" tanya Sin
Hong.
5
"Tahu sih belum, akan tetapi sebagai orang tentu dia
mengharapkan kedatangan orang-orang muda di hari tahun baru."
Kembali mereka melalui jalan-jalan besar yang ramai sekali.
Karena saat itu memang tiba waktunya menyalakan asap, hio
mengepul memenuhi kota. Sambil berjalan di sebelah ayah
angkatnya Sin Hong memandang ke kanan kin, melihat orang-orang
yang sedang bersembahyang. Tiba-tiba sambil menarik-narik tangan
Bu Tek, ia mengajukan pertanyaan,
"Gihu biarpun aku sudah membaca dan mengerti tentang
peraturan sembahyang akan tetapi maksudnya aku masih belum
tahu. Mengapakah nenek moyang yang sudah mati disembahyangi?
Mengapa disediakan hidangan dan masakan enak-enak bagi orang
yang sudah mati? Apakah mereka itu benar-benar mempunyai roh,
dan kalau benar, apakah roh-roh itu dapat datang untuk makan
hidangan-hidangan itu?"
Lie Bu Tek tersenyum dan diam-diam ia memuji kecerdasan otak
anak angkatnya yang dalam usia sekecil itu sudah dapat
mempergunakan pertimbangan akal budinya.
"Tentu saja roh halus tidak bisa makan hidangan-hidangan itu,
Hong-ji. Akan tetapi, bukan itulah maksud daripada
menyembahyangi nenek moyang kita. Orang bersembahyang untuk
menyatakan cinta kasih dan penghormatan, sebagai tanda bakti
kepada nenek moyang, bakti yang tak kunjung padam, baik moyang
yang masih hidup maupun sudah meninggal dunia. Seorang anak
yang berbakti dan mencinta orang tuanya, tentu selalu akan
membikin senang hati orang tuanya, dan jalan satu-satunya untuk
menyenangkan hati orang tua adalah menjaga baik-baik nama
keluarganya. Untuk dapat melakuan hal ini, orang itu harus
berperilaku baik, karena seorang yang melakukan kejahatan tak
mungkin dapat menjaga nama baik keluarga. Kebaktian yang
sesungguhnya takkan lenyap bersama dengan matinya orang tua,
biarpun orang tua sudah mati, tetap saja anak yang berbakti
menghormat dan mencinta orang tuanya dan selalu ia akan
menjaga perilaku hidupnya untuk menjaga nama baik orang tuanya
yang sudah mati itu. Karena itulah maka setiap orang
meyembahyangi nenek moyangnya, untuk mempertebal rasa
6
kebaktian ini sehingga mereka selalu takut untuk melakukan
kejahatan karena tidak ingin mencemarkan nama orang tuanya."
Sin Hong memang seorang anak yang cerdik luar biasa, maka
kata-kata ini dapat ditangkap artinya dan ia mengangguk-angguk.
"Aku pun selalu akan mengingat orang tuaku yang sudah mati
dan mengingat kepada Gi-hu yang masih hidup agar selama hidup
aku takkan melakukan perbuatan buruk yang dapat mencemarkan
nama baik Ayah Bunda dan Gi-hu."
Lie Bu Tek girang sekali dan ia mengelus-elus kepala anak
angkatnya.
"Bagus sekali prasetyamu ini, Hong-ji. Memang sudah menjadi
kenyataan bahwa nama baik orang tua akan terbawa-bawa kalau
anaknya berbuat. Bahkan nama baik orang tua yang sudah
meninggal akan terseret pula karena sekali menyebut nama
anaknya, berarti menyebut pula nama ayahnya. Sebaliknya, kalau
anaknya menjadi seorang manusia yang berprilaku balk, nama
ayahnya akan terangkat baik dan menjadi harum."
Ini pun Sin Hong dapat mengerti karena ia sudah tahu bahwa
she (nama keturunan) orang tua selalu dibawa-bawa oleh anaknya.
Percakapan mereka terhenti ketika tiba-tiba serombongan anakanak
kecil berlan-lari ke arah barat sambil berteriak-teriak girang.
"Ang-bwe-sai (Singa Buntut Merah) datang ... !!"
Benar saja serombongan pemain barongsai mendatangi di jalan
raya itu dari barat. Suara gembreng dan tambur sudah ditabuh
ramai sekali dan dari jauh sudah terlihat barongsai yang besar dan
indah sekali berlenggang-lenggok di sepanjang jalan raya. Orangorang
hartawan, pemilik-pemilik toko segera menyambutnya dengan
mercon (petasan) dan sebagian pula menggantungkan "angpauw"
(bungkusan merah terisi uang atau hadiah) di depan pintu.
Barongsai itu berlagak, main di depan pintu setiap rumah dan
dengan cara amat indah menyambar angpauw itu dan memberi
hormat kepada tuan rumah sambil mendekam-dekam dan berlutut.
7
"Di rumah Gan-wangwe (Hartawan Gan) disediakan angpauw
besar yang dipasang tinggi sekali!" terdengar beberapa orang
berteriak dengan girang.
Sebagai seorang anak-anak, Sin Hong tentu saja ikut gembira. la
menarik tangan ayah angkatnya untuk mendekati barongsai itu dan
mengagumi cara orang mainkan tari barongsai. Karena anak ini
sudah menerima latihan dasar ilmu silat dari Lie Bu Tek, maka ia
dapat mengagumi jurus permainan kaki dari pemain barongsai yang
bergerak menurut jurus-jurus permainan silat. Sekali pandang saja,
Lie Bu Tek tahu bahwa pemain barongsai ini tentulah murid dari
Siauw-limpai. Ketika ia memandang ke arah rumah gedung
Hartawan Gan, diam-diam ia menjadi gembira juga. Ang-pauw dari
hartawan Gan ini benar-benar besar, tentu terisi uang banyak atau
hadiah yang amat berharga. Akan tetapi hartawan itu sengaja
memasang ang-pauw di tempat yang amat kurang lebih tiga tombak
tingginya. Padahal, biasanya kalau ang-pauw digantungkan di atas
pintu, barongsal akan meloncat dan menyambar ang-pauw. Apakah
Barongsai Buntut Merah itu sanggup melompat setinggi itu?
Tiba-tiba dari timur terdengar suara gembreng dan tambur yang
lain lagi. Anak-anak dari timur berlarian datang dan terdengar anakanak
berterlak,
"Pek-bwe-sai (Singa Buntut Putih) datang...!"
Riuh rendah suara gembreng dan tambur kedua barongsai itu
dipukul pada saat yang sama dan di jalan raya yang sama pula. Kini
kedua barongsai yang bermain di depan setiap rumah, mulai
mendekati gedung Hartawan Gan, serombongan dari barat dan
rombongan Barongsai Buntut Putih dari timur!
Melihat suasana dan cara kedua pihak memukul tambur seperti
tambur perang. Lie Bu Tek berdebar hatinya. Dapat diramalkan
bahwa tentu akan terjadi keributan di jalan raya ini. Tidak biasa dua
Barongsai bertemu di jalan raya pada saat yang sama. Biasanya
diadakan perundingan lebih dulu dan diatur jalannya sehingga tidak
sampai bertemu di jalan.
Akan tetapi dua rombongan ini agaknya sengaja hendak bersaing
dan mencari keributan. Ketika rombongan Pek-bwe-sai sudah dekat,
8
Lie Bu Tek menjadi gelisah karena dari gerak kaki pemain-pemain
barongsai ini, tahulah ia bahwa mereka adalah anak murid dari Butong
pai.
Akan tetapi para penduduk yang sedang berpesta pora itu tidak
ada yang mempunyai dugaan seperti Bu Tek. Mereka bahkan
bergembira sekali, karena sekaligus ada dua rombongan barongsai
yang berlumba memperlihatkan permainan mereka yang indah
menarik. Terutama sekali anak-anak kecil bukan main senangnya. Di
sana-sini orang melempar lemparkan petasan ke arah dua barongsai
yang datang dari dua jurusan yang berlawanan itu. Suara tambur
dan gembreng bercampur-baur dengan suara petasan dan teriakanteriakan
anak-anak serta gelak tawa orang dewasa, benar-benar
menambah kegembiraan suasana. Tanpa disengaja para penonton
memperbesar api persaingan di antara kedua rombongan itu dengan
kata-kata demikian.
"Pek-bwe-sal lebih bagus. Lihat matanya berkilauan seperti
hidup'"
"Tidak. Ang-bwe-sai lebih indah, mulutnya bergerak-gerak dan
rambutnya lebih panjang'"
"Pek-bwe-sai lebih bagus mainnya, kakinya berloncatan dan
ekornya bergoyang-goyang, seperti singa hidup'"
"Benar, akan tetapi Ang-bwe-sai mempunyai pemain-pemain
yang pakaiannya lebih indah dan orang-orangnya lebih tegap dan
gagah."
Demikianlah, suara orang-orang yang menilai dua rombongan
barongsai itu seakan-akan menambah sakit hati dan kebencian di
antara kedua pihak. Apalalagi ketika ada yang menyatakan bahwa
permainan Pek-bwe-sai lebih indah dan permainan Ang-bwe-sai,
pihak Ang-bwe-sai tentu saja menjadi marah dan penasaran.
Memang mereka harus akui bahwa permainan barongsai Pek-bwesai
lebih indah mainnya, karena memang permainan anak murid
Butong-pai itu mengutamakan gerakan indah, sedangkan anak
murid Siauw-lim-pai mengutamakan gerakan-gerakan yang kuat.
Sebetulnya masing-masing memiliki gaya dan keindahan sendiri,
9
den kalau ditinjau oleh orang ahli silat, tentu saja permainan anak
murid Siauw lim-pai lebih baik.
Kini dua rombongan barongsai itu telah tiba di depan gedung
Gan-wangwe. Mereka agaknya sengaja mengatur agar supaya tiba
di tempat itu dalam waktu yang bersamaan. Orang-orang yang
menonton dua rombongan itu kini berkumpul menjadi satu, keadaan
ramai bukan main. Gan-wangwe sudah menyuruh para pelayan
untuk menghujankan petasan ke arah dua barongsai itu yang
seakan- akan kini menjadi "keranjingan" dan bermain dengan hebat
penuh semangat. Karena kedua barongsai itu bermain di bawah
gantungan ang-pauw, maka kelihatan seolah-olah mereka adalah
dua ekor singa yang hendak berkelahi, bukan main bagusnya.
Apalagi, dua rombongan itu sengaja pada saat memasuki gedung
itu, menyerahkan barongsai kepada ketua atau guru masing-masing
yang tentu saja lebih pandai bermain barongsai daripada anak
buahnya.
Pada saat yang telah tepat di bawah gantungan ang-pauw,
Barongsai Buntut Putih melakukan gerakan melompat ke atas.
Barongsal Buntut Merah tidak tinggal-diam melihat ang-pauw itu
hendak “dimakan” lawannya, maka ia pun melompat cepat. Indah
sekali dua gerakan itu, akan tetapi karena mereka melakukan
gerakan hampir berbareng, mulut barongsai itu saling beradu dan
tidak berhasil mencapal ang-pauw.
"Duk!” dan keduanya kembali turun ke bawah menari-nari lagi
dengan berangnya.
"Duk-duk-ceng! Duk-duk-ceng! Duk-duk ceng!” Tambur dan
gembreng kedua rombongan dipukul gencar seakan-akan mereka
memberi semangat kepada barongsai masing-masing.
"Dar-dar-dor-dor! Blung...!"
Suara petasan juga tidak kalah gencarnya dilepas oleh keluarga
dan pelayan Gan-wangwe yang tentu saja menjadi gembira sekali
melihat pertunjukan istimewa ini.
"Bagus! Hayo berlumba, siapa yang lebih pandai!"
10
"Pek-bwe-sat, tangkap ang-pauw itu lebih dulu!" Demikian
terdengar sorak sorai penonton. Tahun baru kali ini benar-benar
luar biasa dan ramai dengan adanya pertunjukan yang menarik dari
dua barongsai yang bersaingan ini.
Lie Bu Tek menahan napas. "Sin Hong, sebentar lagi mereka
akan bertarung. Alangkah bodoh dan memalukan orang-orang ini,
memperebutkan ang pauw dan lupa akan peraturan kang-ouw dan
persahabatan!" .
Akan tetapi Sin Hong tidak menjawab, karena anak ini juga amat
tertarik, memandang permainan kedua barongsai itu dengan wajah
berseri dan sepasang mata bersinar-sinar. Lie Bu Tek menunduk
dan memandang kepada anak angkatnya, dan ia tersenyum. Ia ikut
girang melihat bocah ini bergembira.
Tiba-tiba para penonton yang berada di luar sendiri berseru.
"Kim-gan-sai (Barongsat Mata Emas) datang...!"
"Aduh, bakal ramai Ini...!" teriak seorang penonton lain.
Lie Bu Tek menoleh. Ia melihat rombongan pemain barongsai
baru datang dengan cepat ke tempat itu. Rombongan ini berbeda
dengan dua rombongan yang saling berebut ang-pauw. Lebih
garang dan indah. Barongsai ini besar dan berat. Gembreng dan
tamburnya besar-besar dan suaranya amat nyaring sehingga setelah
dekat mengalahkan suara tambur dan gembreng dari dua
rombongan terdahulu.
Juga para pemainnya kelihatan gagah dan angker. Melihat gerak
kaki pemain yang menjalankan barongsai mata emas ini, diam-diam
Lie Bu Tek terkejut. Bukan orang sembarang yang memainkan
barongsai ini, akan tetapi orang yang memiliki kepandaian silat yang
berarti.
"Benar-benar bakal ramai sekarang!" PIkir Lie Bu Tek karena ia
maklum bahwa rombongan baru ini tentu bukan kebetulan datang di
tempat itu pada saat yang sama. Apalagi rombongan ini tidak
bermain di depan rumah-rumah yang dilalui melainkan langsung
menuju ke rumah Hartawan Gan!
11
Yang menarik hati Lie Bu Tek adalah ketika ia melihat betapa dua
rombongan yang sedang berebut ang-pauw itu rata-rata kelihatan
pucat dan gelisah. Apalagi para pemukul tambur dan gembreng
mata mereka tertuju ke arah barongsai mata emas yang baru
datang sehingga mereka menabuh asal bunyi saja, sama sekali tidak
mengikuti gerak-gerik barongsai masing-masing sehingga keadaan
menjadi makin ramai dan lucu! Pada saat itu Barongsai Mata Emas
telah tiba di tempat itu. Para penonton otomatis memberi jalan dan
dengan sebuah lompatan yang amat dahsyat sehingga menakutkan
sebagian penonton, barongsai ini telah tiba di bawah tempat
gantungan angpauw di mana dua barongsai buntut putih dan merah
sedang berlumba mendapatkan ang-pauw yang dipasang di tempat
tinggi itu.
Sekarang para penonton disuguhi pemandangan yang benarbenar
hebat, akan tetapi mereka kini agak merasa takut,
sungguhpun tak seorang juga mau meninggalkan tempat itu untuk
melihat pertandingan barongsai yang benar-benar tak pernah
terjadi.
Barongsai Mata Emas yang lebih besar ini ternyata dapat
bergerak jauh lebih gesit. Dengan gerakan kaki yang amat kuat, ia
menyeruduk ke kanan dan Barongsai Buntut Putih terkena
serudukan ini menjadi terjengkang ke belakang! Hampir saja
pemegang kepala barongsai jatuh kalau saja ia tidak cepat-cepat
ditolong oleh pemegang ekor barongsai. Kemudian dengan gerakan
yang serupa, sambil membalikkan tubuh dengan indahnya.
Barongsai Mata Emas menyeruduk Barongsai Buntut Merah dan
kembali barongsai ini terjengkang ke belakang.
Pengurus rombongan Barongsai Putih dan Barongsai Merah
menjadi penasaran, lalu mereka maju memprotes. Akan tetapi,
pemimpin rombongan Barongsai Mata Emas, seorang yang usianya
ada lima puluh tahun dan bertubuh jangkung kurus, melangkah
maju dengan sikap tenang akan tetapi mulut tersenyum mengejek.
"Mengapa ribut-ribut?" katanya. "Marilah kita sama lihat, siapa di
antara tiga barong barongsai yang sanggup mengambil ang-pauw
itu."
12
Agaknya pemimpin Barongsai Mata: Emas ini sudah dikenal baik
oleh rombongan Barongsai Putih dan Merah, mereka menjura
dengan sikap takut-takut lalu seorang di antara mereka berkata.
"Ciok-loya, harap maafkan kami, akan tetapi kami dengan
rombongan kami yang datang lebih dulu."
"Hm, begitukah. Kalau begitu, mengapa kalian berebut?
Sekarang begini saja, kita adukan tiga barongsai kita dan siapa yang
terjatuh dianggap kalah dan tidak berhak mengikuti perlumbaan
mengambil ang-pauw dari Gan-wangwe!"
Sambil berkata demikian, tanpa menanti jawaban ia lalu memberi
tanda kepada kawan-kawannya penabuh gembreng dan tambur.
Mereka ini agaknya sudah berunding lebih dulu karena tiba-tiba
tambur dan gembreng itu dipukul gencar, melagukan tambur
perang.
Tentu saja dua barongsai yang lain maklum akan tanda ini,
apalagi karena pihak mereka juga memainkan tambur dan
gembreng tanda bertempur, maka tiga barongsai itu lalu siap sedia
dengan gaya dan aksi masing masing. Para penonton menjadi
gembira bukan main. Sudah banyak mereka menonton pertandingan
pibu (adu kepandaian) antara ahli-ahli silat di panggung luitai
(panggung tempat adu silat), akan tetapi mengadu barongsai?
Sungguh kejadian yang amat aneh dan tak pernah terjadi!
Gan-wangwe adalah seorang yang gembira dan juga tabah. Ini
tidak mengherankan karena dia adalah seorang harlawan besar
yang selain mempunyai hubungan dengan para jagoan juga ia
menjadi kesayangan para pembesar setempat. Juga dia sendiri
memelihara jago-jago dan tukang-tukang pukul. Melihat betapa tiga
barongsai itu akan "bertanding", ia lalu memberi perintah kepada
para pelayan untuk mengeluarkan lebih banyak petasan lagi dan
sebentar saja tempat bertanding tiga barongsai itu dihujani petasan.
Benar-benar luar biasa sekali tahun baru ini!
Lie Bu Tek sendiri, biarpun ia seorang yang banyak pengalaman
dan sudah menghadapi hal yang aneh-aneh, selama hidupnya baru
kali ini melihat barongsai bertanding tiga buah banyaknya sekaligus!
la maklum bahwa pertandingan macam ini jauh lebih sulit daripada
13
pertandingan pibu biasa, karena sebagaimana diketahui, pemain
barongsai terdiri dan pada dua orang, seorang pemegang kepala
dan seorang memegang ekor. Keduanya tertutup oleh kain yang
merupakan "tubuh" barongsai sehingga sukar sekali melihat ke
depan.
Pemegang kepala yang selalu di depan, tak dapat menggerakkan
kedua tangan untuk bertempur, karena kedua tangannya sudah
dipergunakan untuk memegang kayu pegangan di dalam kepala
barongsai. Hanya kedua kaki mereka yang bebas, sedangkan
pandangan mata mereka pun amat terbatas dan terhalang yakni
melalui mulut barongsai. Dengan berdebar dan tegang Lie Bu Tek
menonton dengan asyiknya, bahkan ia lalu memanggul Wan Sin
Hong di pundaknya agar bocah ini dapat menonton dengan leluasa,
tidak terhalang oleh lain orang penonton.
Maka terjadilah "pertempuran" yang hebat. Kalau saja
pertempuran itu hanya merupakan permainan tiga barongsai
sekaligus, biarpun sudah amat indah, agaknya tidak menimbulkan
suasana yang demikian tegangnya. Tambur dan gembreng dipukul
sekeras-kerasnya, petasan hujan di atas kepala tiga barongsai itu.
"Hem, pertempuran yang curang," kata Lie-Bu Tek dalam
hatinya. "Terang sekali barongsai Mata Emas dikeroyok dua."
Memang demikianlah keadaannya. Barongsai bermata emas yang
kepalanya lebih besar dan berat dan gerakan-gerakan kakinya
demikian teratur tanda bahwa yang memainkannya memiliki ilmu
silat yang tinggi dikeroyok dua oleh barongsai Pek-bwe-sai dan Angbwe-
sai. Agaknya dua orang yang memainkan Barongsai Buntut'
Putih dan Buntut Merah ini tahu aka kelihatan lawan, muka mereka
yang tadinya berebut ang-pauw kini menjadi kawan mengeroyok
Barongsai Mata Emas. Namun, sebentar saja pertandingan itu
berakhir. Ketika Barongsai Buntut Putih dan Barongsai Buntut Merah
menyerang dari kanan kiri, menyecruduk ke arahb pemain
Barongsai Mata Emas, tiba-tiba Barongsai ini melompat keras sekali
ke belakang sehingga dua barongsat yang mengeroyoknya saoling
beradu kepala sendiri. Tiba-tiba pemain Barongsai Mata Emas
menggerakkan kakinya susul-menyusul. Terdengar suara "tak! tak!"
dan, dan pemain-pemain barongsai yang mengeroyok itu roboh
14
sambil berteriak kesakitan. Ternyata bahwa tulang kering mereka
telah patah oleh tendangan lawan tadi.
Baiknya mereka cepat-cepat melepaskan kepala barongsai
masing-masing, karena pemain Barongsai Mata Emas itu cepat
menghampiri kepada
Barongsai Buntut Putih dan
sekali ia menendang, pecahlah
kepala barongsai ini. Setelah
itu, ia menggerakkan
barongsai dan memukulkan
kepala barongsai ini ke atas
Barongsai Buntut Merah,
terdengar suara keras dan
kepala barongsai ini pun
hancur!
Otomatis penabuh-penabuh
gembreng, tambur dan
barongsai-barongsai yang
terkalahkan menghentikan
permainan mereka. Semua
orang menjadi pucat dan
semata yang terdengar
hanyalah permainan tambur dan gembreng dari Barongsai Mata
Emas, dipukul perlahan-lahan sedangkan barongsai itu sendiri
menari-nari dengan gaya sombong sekali. Kepala barongsai
diangkat tinggi-tinggi, diputar ke kanan kiri seakan-akan seekor
singa hidup mencari lawan baru! Dalam mengangkat barongsai ini
kelihatanlah muka si Pemain, dan terkejutlah Lie Bu Tek. la
mengenal muka ini, muka seorang penjahat besar di daerah selatan
Sungai Huang-ho yang bernamu Lee Kan Sek, berjuluk Thiat-say
atau Singa Besi! Agaknya dua rombongan yang dikalahkan juga
mengenal orang ini karena mereka menjadi makin ketakutan dan
gelisah sekali.
Hartawan Gan, seorang, yang gemuk pendek dan bermuka
periang, merasa hawatir juga melihat kesudahan dari permainan
ketiga barongsai ini. la lalu keluar dan dengan suara ramah-tamah
berkata.
15
"Cuwi sekalian, kami merasa terima kasih sekali bahwa cuwi dan
ketiga rombongan telah sudi meramaikan rumahku dengan
permainan barongsai yang amat indah. Karena sudah jelas bahwa
rombongan Kim-gan-sai menang ia berhak mencoba untuk
mengambil ang-pauw yang saya gantungkan di atas. Agar dapat
diketahui oleh umum, di dalam ang-pauw itu terisi emas sebanyak
lima tail. Akan tetapi, bagi rombongan yang barongsai yang
dikalahkan, saya akan menyumbang masing-masing dua tail emas
untuk memperbaiki barongsai mereka yang rusak. Harap saja
urusan ini dibikin habis sampai di sini saja."
Para penonton bersorak girang memuji kebaikan hati hartawan
itu, yang sesungguhnya melakukan sumbangan bukan karena
kebaikan hatinya, akan tetapi untuk mencegah terjadinya kerilbutan
dan terutama sekali untuk mencari nama baik dengan sumbangansumbangannya
yang royal atau tegasnya, sebagai reklame saja!
Tiba-tiba Tiat-sai Lee Kam Sek berseru keras dan sekali ia
melompat, barongsainya telah berhasil "menggigit” ang-pauw yang
tergantung setinggi tiga tombak itu.”
"Gerakan Pek liong-seng-thian (Naga Putih Naik ke Langit) yang
indah!" Tak terasa pula Lie Bu Tek memuji. Mendengar ini, dari
lubang mulut barongsai Lee Kan Sek mencari-cari siapa orangnya
yang mengeluarkan pujian ini, akan tetapi oleh karena tempat itu
penuh dengan penonton, ia tidak dapat mencarinya. Dengan
gerakan yang kuat sekali, ia melontarkan barongsai ke atas setinggi
tombak sambil berseru,
"Cong-te (Adik Cong), terimalah!"
Dan rombongan pemain Kim-gan-sai melompat seorang laki-laki
bertubuh kate dan dengan cekatan sekali ia menerima kepala
barongsai itu, demikian pula seorang pemain lain menggantikan
kedudukan pemain buntut barongsai. Demontrasi ini disambut
dengan tepuk tangan riuh oleh penonton.
Tiat-sai Lee Kan Sek lalu menghampiri rombongan Pek-bwe-sal
dan Ang hwe-sai sambil berkata sombong.
"Kalian sudah menjadi pecundang, dan lekaslah enyah dari sini!
Sebelum kami berhenti bermain di kota ini, kalian tidak boleh
16
muncul, juga tidak boleh menerima sumbangan dan siapapun juga.
Karena itu sumbangan dan Gan-wangwe juga boleh kalian terima.
Ada yang tidak setuju?" Kata-kata ini merupakan tantangan terbuka.
Akan tetapi rombongan Pek-bwe-sai dan Ang-bwe-sai yang sudah
tahu bahwa perkumpulan yang mengeluarkan Kim-gan-sai amat
kuatnya, juga di situ terdapat pula jagoan ini menjadi gentar dan
dengan kepala tunduk mereka bersiap-siap untuk pergi. Ganwangwe
yang melihat ini diam saja, karena hal itu dianggap bukan
urusannya. Juga hartawan ini tahu diri, ia tidak mau menanam bibit
permusuhan dengan perkumpulan Bu-cin-pang yang mengeluarkan
Kim gan-sai itu.
Akan tetapi pada saat itu tiga orang pengemis yang berpakaian
baru akan tetapi penuh dengan tambalan melompat maju sambil
berkata,
"Tidak adil! Tidak adil' Dari pada emas dan sumbangan diberikan
kepada jagoan-jagoan sombong yang pada hakekatnya tak lain
daripada perampok-perampok keji, lebih baik disumbangkan kepada
jembel-jembel seperti kami!" Sambil berkata demikian, seorang di
antara mereka yang bertubuh jangkung bermuka kuning bergerak
cepat sekali dan tahu-tahu ia telah merampas ang-pauw yang tadi
disambar oleh barongsai Kim-ga sai!
Bungkusan ang-pauw ini telah dipegang oleh seorang anggauta
rombongan sebagai bendahara dan orang ini tidak dapat mengelak
lagi karena gerakan pengemis itu benar-benar cepat sekali.
Bukan main marahnya rombongan Kim-gan-sai dan orang-orang
yang tadinya menonton, cepat-cepat menyingki karena maklum
bahwa tentu akan terjadi keributan hebat. Semua orang kini
mencurahkan perhatian mereka kepada tiga orang pengemis aneh
itu. Keadaan mereka benar-benar aneh. Perampas ang-pauw tadi
bertubuh kurus jangkung, bermuka kuning dan biarpun pakaiannya
penuh tambalan, akan tetapi terbuat dari kain yang baru semua!
Demikian juga dua orang kawannya memakai pakaian penuh
tambalan, yang seorang kurus kecil seperti orang cacingan, yang
kedua bertubuh gemuk dan bundar seperti katk dan mulutnya selalu
tersenyum lebar.
Ketika Lie Bu Tek ikut memandang, menjadi tertegun dan heran.
17
"Hemm, mereka ini dari Hek in-kai-pang (Perkumpulan Pengemis
Sabuk Hitam), mengapa muncul di sini?" pikirnya.
Sementara itu, pengemis kurus yang meraumpas ang-pauw, lalu
membuka bungkusan itu dan memberi dua tail kepada Pek-bwe-sai
dan Ang-bwe-sai, katanya tertawa,
"Gan-wangwe telah berbaik hati mengganti kerugian kalian, nah,
terimalah bagian kalian dan segera pergilah. Sisanya yang satu tail
untuk kami jembel-jembel miskin."
Dua rombongan yang barongsainya rusak, menerima dengan
takut-takut, akan tetapi mereka tahu diri dan cepat-cepat pergi dan
tempat itu. Hanya sebagian yang tabah saja diam-diam
mencampurkan diri dengan penonton untuk mengetahui bagaimana
kelanjutan pertengkaran itu.
Tiat-sai Lee Kan Sek menjadi merah mukanya. Alisnya berdiri dan
giginya dikerutkan. Kalau tadi ia tidak segera turun tangan, adalah
karena ia mengenaI pula pengemis-pengemis yang pada
pinggangnya diikat sabuk hitam. Ia menjura kepada Si Jangkung
sambil berkata,
"Tuan-tuan dari Hek-in-kaipang mengapa mencampuri urusan
permainan barongsai? Kalau Cuwi hendak mencari nafkah di saat
tahun baru ini, mengapa tidak mengambil jalan lain?"
Pengemis jangkung itu tertawa. "Sudah lama kami mendengar
nama perkumpulan Bu-cin-pang di kota Keng-sin-bun yang tersohor
galak dan mempunyai banyak pengurus yang gagah perkasa.
Bahkan sudah lama kami kagum akan nama ketuanya, yakni Ma Ek
Lo-eng-hiong yang berjuluk Siang-pian Giam-ong (Raja Maut
Bersenjata Sepasang Pian). Akan tetapi tidak tahunya pada hari baik
ini kami menyaksikan perbuatan yang amat galak dari Bu-cin-pang.
Perbuatan sewenang-wenang, tapi apakah tanggung jawab Bu-cinpang
ataukah kau orang she Lee yang sengaja hendak
membusukkan nama Bu-cin-pang dan memperlihatkan kegagahan?"
Thiat-sai Lee Kan Sek marah sekali, mukanya yang sudah merah
itu menjadi makin merah, matanya mendelik.
18
“Kalau aku orang she Lee memandang muka Nona Kiang Cun
Eng yang menjadi Pangcu (Ketua) Hek-in-kaipang, apa kalian kira
aku dapat menahan sabar lagi? Hai, orang-orang Hek-in kaipang!
Kalau kalian perlu sumbangan, tidak apa uang lima tail emas itu
kalian ambil, akan tetapi jangan kalian menghina nama Bu-cin-pang!
Hinaan harus dibayar dengan pukulan kecuali kalau si penghina
minta maaf sambil berlutut. Pilih saja sekarang, minta maaf atau
dihajar?"
Pengenns jungkung itu tertawa terbahak-bahak.
"Aku Hek-lo-kai (Pengemis tua Hitam) selamanya memang
menjadi pangemis, akan tetapi minta maaf kepada seorang
pencoleng? Aha, hal ini selamanya aku tidak pernah dan tak sudi
lakukan! Bagaimana dengan kalian!" Ia bertanya kepada dua orang
kawannya.
"Pengemis makan pun dari seorang pencoleng aku Siauw-mo-kai
(Pengemis Setan Cilik) tak sudi lakukan, apalagi minta maaf?" jawab
pengemis yang bertubuh kurus kecil.
"Ha, ha, ha, perutku penuh makanan dari orang-orang yang
menaruh hati kasihan kepadaku. Akan tetapi aku belum pernah
minta apa-apa dari pencoleng, apalagi minta maaf, jangan harap
Oei-bin-kai (Pengemis Muka Kuning) sudi lakukan!" jawab pengemis
gendut yang memang bermuka kuning itu sambil tertawa-tawa.
"Kurang ajar, kalau begitu kalian sudah bosan hidup!" bentak
Tiat-sai Lee Kan Sek dan di lain saat ia telah mencabut sebatang
golok besar sambil memberi tanda kepada kawan-kawannya.
Sebentar saja tiga orang pengemis itu sudah dikurung oleh sebelas
orang Bu-cin-pang yang memegang senjata tajam. Akan tetapi tiga
orang pengemis itu tidak gentar biarpun mereka hanya memegang
sebatang tongkat hitam yang tidak karuan macamnya, ada yang
bengkok-bengkok ada yang lurus.
"Serang!" Lee Kan Sek memberi aba-aba sambil menerjang
pengemis jangkung dengan goloknya. Hek-lo-kai menangkis dan
membalas dengan totokan tongkatnya. Ternyata ia lihai sekali dan
begitu menangkis dapat membalas serangan lawannya. Akan tetapi
Lee Kan Sek juga lihai ilmu goloknya, cepat dapat menangkis dan
19
terus membabat. Kawanan Bu-cin-pang sudah serentak maju dan
terjadilah pertempuran yang hebat dan mato-matian. Suara senjata
beradu dengan tongkat menerbitkan suara nyaring, tanda bahwa
ternyata tongkat-tongkat itu pun terbuat daripada logam keras
seperti baja.
Gan-wangwe cepat memasuki gedungnya, mempersiapkan
orang-orangnya untuk menjaga pintu depan, sedang dia sendiri lalu
naik ke loteng untuk menonton pertempuran itu dari atas. Orangorang
yang tadi mengerumuni tempat itu lalu bubar dan hanya
menonton dari jauh dengan hati berdebar-debar. Kalau
pertempuran sudah demikian hebat berarti akan ada nyawa
melayang dan tentu saja mereka merasa ngeri. Hanya Lie Bu Tek
memondong Wan Sin Hong masih berdiri tenang.
"Gihu, aku benci pemain-pemain barongsai itu. Mereka orangorang
jahat. Mengapa Gi-hu tidak membantu para pengemis yang
dikeroyok?" kata Sin Hong penasaran.
"Tak perlu, Kepandaian tiga orang pengemis Hek-kin-kaipang itu
tak boleh dibuat main-main dan mereka tak kan kalah kalau hanya
dikeroyok oleh sebelas orang itu," Jawab Lie Bu Tek dan melihat
pada pengemis anggauta Hek-in-kaipang itu teringatlah ia akan
semua pengalamannya dahulu dengan Nona Kiang Cun Eng, ketua
dari Hek-kin-kaipang yang cantik dan genit. Tak terasa lagi
merahlah mukanya saking malu dan jengah. Di dalam cerita
Pendekar Budiman (Hwa I Enghiong) telah diceritakan, bagaimana
Lie Bu Tek pernah terjatuh dibawah pengaruh kecantikan Kiang Cun
Eng dan menjadi seorang tak berdaya, dipermainkan seperti
boneka. Baiknya akhirnya ia dapat melepaskan diri dari pengaruh
Nona Ketua Perkumpulan Hek-kin-kaipang itu. Sekarang tak
terduga-duga ia bertemu dengan anggauta-anggauta Hek-kinkaipang,
tentu saja semua pengalaman itu terbayang kembali dan ia
merasa malu kepada diri sendiri.
Akan tetapi ucapan Lie Bu Tek tadi ternyata tidak keliru.
Kepandaian tiga orang pengemis itu benar-benar lihai. biarpun
dikeroyok oleh sebelas orang, mereka tidak terdesak, bahkan
berturut-turut telah berhasil merobohkan enam orang! Yang masih
dapat mengimbangi kepandaian mereka hanya Tiat-sai Lee Sek dan
20
empat orang kawannya, akan tetapi Singe Besi ini dengan kawankawannya
juga sudah mulai terdesak oleh permainan tongkat yang
lihai dari tiga orang pengemis itu.
Pada saat pertempuran sedang ramai-ramainya, tiba-tiba
berkelebat bayangan yang gesit sekali dan tahu-tahu di situ telah
berdiri seorang laki-laki tinggi kurus yang bermuka pucat. Laki-laki
memandang marah dan membentak,
"Berhenti! Tahan semua senjata!"
Bagi Lee Kan Sek dan kawan-kawannya yang mengenal suara ini
sebagai suara ketua mereka, tentu saja tidak berani membantah
dan cepat melompat ke belakang, Adapun tiga orang pengemis itu
pun terkejut karena bentakan nyaring sekali, tanda bahwa orangnya
memiliki lweekang yang tinggi. Mereka cepat melompat mundur dan
memandang. Orang itu mengeluarkan kata-kata yang tegas.
"Selamanya Bu-cin-pang tidak pernah ada urusan dengan Hekkin-
kaipang. Pada hari baik ini mengapa orang Hek-kin-kai- pang
sengaja menghina kami? Apakah orang Hek-kin-kaipang sudah tidak
memandang mukaku lagi ataukah sengaja hendak mencari
permusuhan?"
Hek-lo-kai yang agaknya menjadi wakil dua orang kawannya,
segera maju dan berkata. "Ma-lo-enghiong harap suka memaafkan
kami bertiga. Sesungguhnya bukan kami yang " mencari
permusuhan, tetapi karena kami melihat sepak-terjang orang she
Lee dan kawan-kawannya amat jahat dan sewenang-wenang,
terpaksa kami berlancang tangan, membantu Lo-enghiong untuk
memperingatkan mereka. Harap Lo-enghiong suka menegur mereka
itu agar mereka tidak menyeret nama Bu-cin-pang yang harum ke
lembah pecomberan."
Orang itu memang Siang-pian Ciam, Ma Ek, ketua Bu-cin-pang
yang tadi menerima laporan dari seorang anak buahnya tentang
peristiwa yang terjadi di depan gedung Gan-wanggwe. Mendengar
pengemis tinggi itu bukan minta maaf atas kesalahan mereka akan
tetapi sebaliknya menjelekkan nama baik para anggautanya, bahkan
menyuruh ia menegur anggauta-anggautanya sendiri, bukan main
marahnya. Kumisnya yang pendek itu seakan-akan berdiri dan sekali
21
tangannya bergerak tahu-tahu ia telah memegang siang-pian
(senjata ruyung lemas) yang arnanya kchijauan.
"Hm, hem, memang aku harus menegur mereka yang tidak
punya guna, mudah saja terhina oleh tiga orang pengemis
sombong. Biarlah aku yang akan menebus kebodohan mereka itu.
Sambutlah!"
Tiga orang pengemis itu terkejut sekali ketika melihat dua sinar
hijau menyambar. Mereka cepat mengangkat tongkat untuk
menangkis.
"Krak! Krak! Krak!" tiga batang tongkat itu patah pada tengah
tengahnya! Tiga orang pengemis itu menjadi terkejut sekali dan
melompat mundur dengan muka pucat.
"Kami orang orang Hek-kin-kaipang hari ini menerima pelajaran
dari Ma Ek Lo-enghlong dan mengaku kalah. Biar lain kali ketua
kami akan datang menghaturkan terima kasih," kata Hek-lo-kai
sambil menjura.
Akan tetapi sekali menggerakkan kakinya, Siang-pian Giam-ong
sudah melompat menghadapi mereka.
"Enak saja kalian ini, sudah menghajar orang-orangku akan
angkat kaki dengan mudah! Agar ketuamu Nona Kiang Cim Eng
percaya akan penuturanmu, kalian harus meninggalkan sebelah
telinga di sini.” Setelah berkata demikian, sepasang piannya
bergerak cepat hendak menghancurkan sebelah telinga tiga orang
itu.
"Traaang! Traaang!" Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika
pian itu beradu dengan sebatang pedang yang menangkis serangan
dua senjata pian itu. Lie Bu Tek ketika melihat bahaya meugancam
tiga orang pengemis itu, telah melemparkan tubuh Sin Hong ke atas
lapangan pertempuran sedangkan ia sendiri lalu melompat dan
menangkis sepasang pian itu.
Selagi Siang-pian Giam-ong yang kaget melompat ke belakang,
Lie Bu Tek berseru keras.
"Turunlah, Hong-ji!"
22
Tubuh Sin Hong tadi dilontarkan ke atas dan kini meluncur ke
bawah dan Anak yang sudah terlatih baik ini dapat meluncur turun
dengan kedua kakinya di bawah. Akan tetapi, melihat ayah
angkatnya hendak menyambut kedua kakinya ia merasa kurang ajar
sekali kalau ia membiarkan kedua tangan ayah angkatnya menerima
telapak kakinya yang kotor. Maka dengan gerakan loh-be (semacam
salto) atau poksai di tengah udara sehingga kini ia meluncur dengan
kepala di bawah. Para penonton yang melihat hal ini menahan
napas, khawatir kalau-kalau anak itu akan mendapat bencana. Akan
tetapi dengan tenang Sin Hong menggunakan kedua tangannya ke
bawah, diterima oleh kedua tangan Bu Tek yang sudah
menancapkan pedang di atas tanah dan sekali gerakan tangan
orang gagah ini membuat Sin Hong berjumpalitan dan tiba di atas
tanah dalam keadaan berdiri tegak, sedikit pun tidak bergoyang
atau kehilangan keseimbangan badan.
"Lie Bu Tek Taihiap...!" Hek-lo-kai mengenaI pendekar ini yang
dulu pernah menjadi kekasih Kiang Cun Eng ketua Hek-kin-kaipang.
"Kalian pulanglah, biarkan aku menghadapi Bu-cin-pang dan
mintakan maaf untukmu." kata Lie Bu Tek. Pertemuan dengan
anggauta-anggauta Hek-kin-kai-pang tidak menyenangkan hatinya
karena mengingatkan ia akan pengalamannya yang memalukan
dengan ketua perkumpuim pengemis itu.
Hek-lo-kai dan kawan-kawannya menjura menghaturkan terima
kasih, lalu berjalan pergi menyelinap di antara ratusan orang yang
berkumpul di tempat itu.
Lie Bu Tek mencabut pedangnya dari tanah, lalu menjura kepada
Siang-pian Giam-ong Ma Ek yang memandang dengan mata merah.
"Siang-pian Gian-ong Ma Ek Lo-enghiong siauwte Lie Bu Tek
mohon dengan hormat, sukalah Lo-enghiong menghabiskan urusan
ini sampai di sini saja dan suka memaafkan tiga orang tua dari Hekkin-
kaipang itu. Mengingat akan hari baik ini, tentu Lo-enghiong sudi
memandang muka siauwte dan memaafkan mereka."
Siang-pian Giam-ong tahu bahwa orang yang menangkis siangpiannya
ini memiliki kepandaian tinggi, maka ia berlaku hati-hati dan
biarpun ia marah sekali, bertanya.
23
"Kau ini dan golongan mana dan murid siapakah berani
mencampuri urusa Bu-cin-pang?"
Kalau Bu Tek ingin mencari perkara, tentu ia takkan
memperkenalkan perguruannya, akan tetapi oleh karena ia benarbenar
mengharapkan perdamaian, ia lalu menjawab terus terang.
"Siauw te adalah anak murid Hoa-san pai. Sehingga kita boleh
dibilang masih tetangga dekat. Sekali lagi, kalau Lo-enghiong tidak
mau memandang muka siauwte, harap mengingat perhubungan
dengan guruku, Liang GI Tojin."
Mendengar bahwa Lie Bu Tek adalah anak murid Hoa-san-pai,
Siang pian Giam- ong Ma Ek lalu tertawa bergelak dengan suara
menghina sekali.
"Aha, tidak tahunya murid Hoa-san pai. Sudah lama aku
mendengar murid-murid Hoa-san-pai banyak yang melakukan
perbuatan memalukan. Saudara Lie Bu Tek, tidak tahu apakah
benar berita-berita yang kudengar tentang anak murid Hoa-san-pai
yang tidak tahu main? Kabarnya ada seorang murid perempuan
yang telah menikah dengan seorang pangeran bangsa Kin. Menikah
dengan pangeran musuh pada saat rakyat sedang berjuang matimatian
mengusir bangsa Kin, benar-benar luar biasa sekali. Ada lagi
yang selalu menimbulkan kerusuhan, memusuhi tokoh-tokoh dari
lain partai persilatan, mengandalkan kepandaiannya sendiri.”
"Ma-enghiong, harap kau jangan menghina kami orang-orang
Hoa-san!" kata Lie Bu Tek menahan marahnya. TeIinganya sudah
panas mendengar betapa perbuatan saudara-saudara
seperguruannya dikecam demikian pedas.
"Siapa menghina aku hanya mengatakan hal yang sebenarnya
belaka, bagaimana dianggap menghina? Kaulah yang, menghina
kami, kau berlancang mencampuri urusan kami. Sekarang aku
percaya bahwa memang anak murid Hoa-san-pai sombongsombong.
Agaknya Liang Gi To-jin sudah tak dapat mengajar muridmuridnya
lagi."
"Tutup mulutmu!" Lie Bu Tek membentak marah mendengar
nama suhunya dibawa-bawa. "Tarik kembali omonganmu menghina
Suhu, kalau tidak aku akan memaksamu!"
24
"Bocah sombong sambutlah siang-pian ku!" Sambil berkata Ma Ek
tertawa mengejek. "Hendak kulihat bagaimana kehendak
memaksaku?" demikian Ma Ek lalu menggerakkan kakinya maju dan
mainkan siang-pian melakukan serangan hebat.
"Hong-ji, mundur kau!" seru Lie Bu Tek kepada putera
angkatnya. Anak ini melompat mundur, akan tetapi tidak terlalu
jauh karena ia ingin sekali melihat bagaimana ayah angkatnya
memberi hajaran kepada manusia sombong itu. Sementara itu,
dengan pedangnya, Lie Bu Tek menangkis datangnya siang-pia lalu
membalas dengan serangan yang tidak kalah hebatnya. Selama
beberapa tahun ini, kepandaian Lie Bu Tek telah meningkat cepat
karena segala pengalamannya yang sudah lalu mengingatkannya
bahwa kepandaiannya masih amat rendah tingkatnya.
Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-hoat memang indah dan cepat.
Sungguhpun sepasang pian di tangan Ma Ek bergerak cepat dan
kuat, namun ia masih kalah kalau dibandingkan dengan Lie Bu Tek.
Pertempuran hebat terjadi dan beberapa kali terdengar suara
nyaring kalau pedang bertemu dengan pian, dan bunga api berpijar
ke sana ke mari. Dalam pertemuan senjata ini, Ma Ek selalu merasai
tangannya tergetar dan piannya tertolak kembali. Memang Lie Bu
Tek adalah seorang murid Hoa-san-pai yang memiliki tenaga
lweekang paling tinggi. Ia langsung menerima latihan dari Liang Gi
Tojin, tokoh pertama dari Hoa-san-pai.
Lie Bu Tek tahu bahwa kalau ia memperoleh kemenangan,
akhirnya ia tentu akan dikeroyok oleh orang-orang Bu-cin-pang.
Pengeroyokan ini tentu saja tidak ia takuti kalau saja ia tidak
mengingat bahwa ia berada di situ bersama Wan Sin Hong putera
angkatnya. Kalau sampai terjadi pengeroyokan, tentu keselamatan
puteranya itu akan terancam dan ia belum tentu dapat melindungi
dengan baik.
"Lepaskan senjata!" Lie Bu Tek tiba- tiba berseru keras sambil
mengerahkan seluruh tenaganya, menghantam pian kanan
lawannya dengan pedang. Terdengar suara nyaring dibarengi pekik
Siang-pian Giam-ong Ma Ek yang benar-benar tak dapat menahan
hantaman ini dan pian di tangan kanannya telah terlepas dari
pegangan!
25
Lie Bu Tek cepat menjura dan berkata, "Ma-lo-enghiong, harap
maafkan sauwte dan terima kasih bahwa kau orang tua sudah
mengalah!" Tanpa menanti jawaban lagi, Lie Bu Tek menyambar
tubuh Sin Hong dengan tangan memondong anak itu dan melompat
pergi cepat sekali.
Tepat seperti dugaannya, Ma Ek tidak mau sudah sampai di situ
saja dan kalau sekiranya Lie Bu Tek tidak lekas-lekas lari tentu ia
akan dikeroyok. Kini Ma-Ek hanya dapat menyambitkan tiga batang
piauw ke arah punggung Lie Bu Tek. Pendekar ini sudah menduga
akan hal itu, maka ia belum menyimpan pedangnya. Tanpa
menoleh, ia menggerakkan pedang ke belakang dan berhasil
menyampok runtuh tiga batang piauw itu. Di lain saat ia telah
lenyap dan sebuah tikungan jalan dan cepat-cepat ia lari keluar
kota, terus mempergunakan ilmu lari cepat mendaki Bukit Hoa-san.
"Gi-hu, kau menang mengapa melarikan diri?" tanya Wan Sin
Hong dengan suara mengandung penasaran.
"Kalau tak lari mereka akan mengeroyokku, Hong-ji."
"Lebih balk lagi! Kau bisa menghajar semua buaya darat itu Gihu.
Membasmi penjahat harus sampai dengan akar-akarnya.
Lie Bu Tek tersenyum. Kata-kata yang diucapkan oleh Sin Hong
ini adalah kata-katanya sendiri yang pernah diajarkan kepada
anaknya itu. Memang Lie Bu iek telah banyak menjejalkan sifat-sifat
pendekar kepada anaknya ini dan ternyata bahwa otak anak ini luar
biasa tajamnya, dapat mengingat setiap pelajaran, baik pelajaran
bun maupun bu.
"Mereka belum tentu penjahat-penjahat yang harus dibasmi,
Hong-ji. Keributan yang baru saja terjadi hanya disebabkan oleh
persoalan kecil belaka, tak perlu menanam bibit permusuhan hebat
karena persoalan kecil."
"Akan tetapi Ma Ek tadi telah menghina Hoa-san-pai seperti yang
Gi-hu katakan sendiri! Penghinaan bukanlah kecil. Dia mengatakan
fitnah yang keji-keji terhadap anak murid Hoa-san-pai!"
"Bukan fitnah Hong-ji, memang yang ia katakan tadi semua betul
dan pernah terjadi."
26
"Apa? Murid perempuan Hoa-san-pai menikah dengan pangeran
bangsa Kin? Tak mungkin! Bukankah menurut Gi-hu, semua murid
Hoa-san-pai membantu perjuangan mengusir orang-orang Kin?
Betulkah itu? Murid Hoa-san-pai yang mana yang telah menikah
dengan pangeran bangsa Kim?"
Lie Bu Tek menahan napas. Apa yang harus ia jawabkan? Anak
ini sudah mulai besar dan telah dapat mempergunakan akal budi
dan pikirannya. Lebih baik ia berterus terang. Ia lalu menurunkan
anak itu dan mengajaknya duduk di bawah pohon.
"Jangan kau kaget Hong-ji. Murid perempuan yang menikah
dengan Pangeran Kim itu bukan lain adalah mendiang ibumu
sendiri, Thio Ling In sumoi!"
Sin Hong melompat berdiri seperti diserang ular. Wajahnya yang
tampan Menjadi pucat sekali dan matanya memandang kepada Lie
Bu Tek seperti memandang iblis yang muncul di tengah hari.
"Gihu... kalau begitu... kalau begitu mendiang ayahku... dia...."
Lie Bu Tek mengangguk. "Mendiang ayahmu adalah pangeran
Kin itulah, namanya Wan-yen Kan dan telah menikah dengan
Ibumu, menjadi Wan Kan dan menjadi seorang Han."
"Tak mungkin! Gi-hu bilang bahwa orang-orang Kin jahat. Tak
mungkin orang Kin jahat menjadi Ayahku!" Anak ini mengeluarkan
kata-kata sambil berteriak-teriak marah, mukanya merah sekali
sekarang dan dua titik air mata mengalir ke atas pipinya, dua
tangannya yang dikepalkan erat-erat.
Lie Bu Tek menangkap tangan anak itu dan menariknya ke atas
pangkuannya lalu ia mengelus-elus rambut itu penuh kasih sayang.
"Tidak semua orang Kin jahat, anakku, seperti juga tidak semua
bangsa kita baik. Ada orang jahat tentu ada orang baik, demikian
sebaliknya. Ayahmu, biarpun seorang pangeran Kin, namun ia
benar-benar seorang gagah yang berbudi mulia. Kau tak usah
kecewa atau malu mempunyai seorang ayah seperti dia, biarpun dia
seorang pangeran musuh."
Tak tertahankan lagi menangislah Wan Sin Hong di atas
pangkuan ayah angkatnya.
27
"Hong-ji, tak baik seorang laki-laki menangis." kata Lie Bu Tek
setelah ia membiarkan anak itu menangis beberapa lamanya.
Wan Sin Hong cepat menyapu matanya dengan ujung bajunya
dan memandang kepada ayah angkatnya dengan mata memohon.
"Gihu, ceritakanlah semua tentang mendiang Ayah Bundaku,
ceritakanlah tentang Hoa-san-pai dan anak-anak muridnya.”
"Baiklah, Sin Hong. Kau akan kubawa menghadap kepada
Sucouwmu, memang baik kalau kau mendengar tentang keadaan
Hoa-san-pai agar kau tahu jelas segala persoalannya." Kemudian Lie
Bu Tek menceritakan semua kejadian yang lalu sebagaimana yang
telah dituturkan di dalam cerita “Pendekar Budiman”. Akan tetapi
bagi para pembaca yang belum pernah membaca cerita Pendekar
Budiman, baiklah kita rnendengarkan penuturan singkat dari Lie Bu
Tek.
"Tokoh Hoa-san-pai ada empat orang." Lie Bu Tek mulai
bercerita, "Pertama adalah guruku sendiri yakin Liang Gi Tojin, ke
dua Liang Bi Suthai yang sudah gugur dalam pertempuran. Liang Bi
Suthai seorang murid wanita, yakni Thio Ling In sumoi."
"Ibuku?" tanya Sin Hong.
"Ya, Ibumu. Tokoh ke tiga adalah ang Siang Tek Sianseng yang
mempunyai murid Gan Hok Seng sute."
"Kau maksudkan Paman Hui-houw (Macan Terbang) yang tinggal
di Kanglam?"
"Benar, dialah Hui-houw Gan Hok Seng yang sekarang menjadi
kepala Piauwsu di Kanglam. Kemudian, tokoh ke empat adalah Tan
Seng. Dia ini membawa seorang anak perempuan bernama Liang Bi
Lan yang kemudian menjadi murid dari semua tokoh Hoa-san,
memiliki kepandaian paling tinggi, bahkan kemudian menjadi murid
orang pandai dan akhirnya menikah dengan pendekar besar Go
Ciang Le."
"Apakah kau maksudkan Hwa I Enghiong (Pendekar Baju
Kembang))"
28
"Benar dia. Sayang sudah lama aku tidak bertemu dengan dia
dan lebih sayang lagi kau belum pernah melihatnya. Dialah
pendekar yang sudah menggemparkan dunia kang-ouw beberapa
tahun yang lalu. Kelak tentu aku akan membawamu menghadap
pendekar besar itu, karena kalau kau bisa menerima bimbingan ilmu
silat dari dia, kau akan beruntung sekali."
"Lalu bagaimana dengan Ibuku? Bagaimana dia bisa menikah
dengan seorang pangeran Kin?"
"Pada masa itu, kami semua anak murid Hoa-san pai berjuang
untuk menggulingkan pemerintah Kin. Akan tetapi ibumu bertemu
dengan seorang pemuda, yakni Ayahmu yang pada waktu itu
mempergunakan nama Han yakni Wan yen Kan. Dalam pertemuan
ini mereka saling mencintai. Ibumu sama sekali tidak tahu bahwa
Wan Kan adalah Pangeran Wanyen Kan. Setelah mereka menikah,
barulah Ibumu tahu. Hampir saja ayahmu dibunuh oleh Ibumu
sendiri, akan tetapi baiknya cinta kasih mereka terlalu mendalam
sehingga hal itu tidak pernah terjadi." Lie Bu Tek menarik napas
panjang dengan terharu sekali mengenangkan nasib sumoinya yang
ia cintai itu.
"Memang Ayah salah! Mengapa tidak secara laki-laki mengaku
bahwa dia seorang pangeran Kin? Dia mcnipu Ibu'"
"Tidak boleh kau berkata demikian, Hong-ji. Ayahmu benar-benar
seorang baik dan biarpun dia pangeran Kin, namun ia tidak suka
akan pemerintahnya sendiri. Oleh karena itulah maka ia rela
meninggalkan kedudukan sebagai pangeran, hidup sebagai orang
biasa menikah dengan lbumu. Bahkan ia boleh dibilang diusir oleh
kaisar karena nekad hendak mengawini seorang wanita Han. Namun
Ayahmu lebih memberatkan Ibu mu dari pada kedudukan dan harta
benda. Dia seorang mulia!"
Untuk beberapa lama keduanya berdiam diri. Di dalam hati Sin
Hong, kalau tadi ia membenci ayahnya, kini diam-diam merasa
bangga karena ayahnya dipuji-puji oleh ayah angkatnya.
"Mengapa kemudian Ayah Bunda mati Gi-hu? Mereka tentu masih
muda mengapa mati keduanya?"
29
Lie Bu Tek menarik napas panjang, masih berduka kalau
mengingat akan keburukan nasib Thio Ling In, sumoinya yang amat
dicintainya itu.
"Ayahmu dibunuh oleh gurunya sendiri yang bernama Ba Mau
Hoatsu. Ibumu juga."
"Mengapa, Gi-hu? Mengapa Ba Mau Hoatsu membunuhi
muridnya sendiri?"
“Ba Mau Hoatsu termasuk seorang pembela pemerintah Kin dan
memusuhi para pejuang rakyat. Melihat muridnya yang sebetulnya
seorang pangeran Kin telah lari menyeberang, yakni menikah
dengan seorang wanita pihak musuh. Ba Mau Hoatsu menjadi
marah dan juga merasa malu. Oleh karena itu, ketika kau masih
berusia setahun. Ba Mau Hoatsu datang ke rumah orang tuamu dan
membunuh mereka. Baiknya kau sedang keluar bersama inang
pengasuh sehingga kau terluput daripada bahaya maut."
Sampai lama anak itu diam saja, tangannya terkepal dan
matanya mengeluarkan sinar. Kemudian ia berkata,
"Gi-hu pada suatu hari, aku pasti akan dapat menewaskan Ba
Mau Hoatsu itu untuk membalas dendam Ayah-bundaku.” Suaranya
tenang dan tetap, biarpun diucapkan oleh anak kecil, namun
mendatangkan keseraman.
"Bagus kalau kau mempunyai pikiran demikian, Nak. Akan tetapi
kau harus belajar ilmu silat sampai tinggi. Harus jauh lebih tinggi
darit kepandaianku, malah lebih tinggi daripada kepandaian
Sucouwmu, karena ilmu kepandaian dari Ba Mau Hoatsu amat lihai.
Hanya Tayhiap (Pendekar Besar) Go Ciang Le dapat
mengalahkannya, oleh karena itu kalau saja kau dapat menghadapi
Ba Mau Hoatsu."
Mendengar ini Sin Hong kecewa dan mengerutkan kening.
"Begitu lihaikah Ba Mau Hoatsu? Pantas saja Ayah dan Ibu kalah
dan tewas. Gi-hu, kalau dia lebih lihai daripada Gi-hu atau Sucouw,
habis untuk apakah Gi-hu membawaku ke Hoa-san-pai?"
"Sin Hong, biarpun tingkat kepandaian Ba Mau Hoatsu amat
tinggi dan memang dia akan dapat mcngalahkan Sucouwmu, akan
30
tetapi, kepandaian Sucouwmu juga hebat. Untuk tingkat pertama
kau cukup menerima pelajaran daripadaku kemudian kau menerima
pula petunjuk-petunjuk dan Sucouwmu. Selain daripa itu Ayah
Bundamu dahulu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian bun
di bu, apalagi Ayahmu. Maka kau pun harus menjadi seorang yang
pandai ilmu silat dan ilmu surat. Di Puncak Hoa-san-pai. Masih ada
Liang Gi Tojin yang dapat melatih ilmu silat padamu, Juga ada
Paman Guruku, yakni Liang Tek Sianseng, seorang sasterawan yang
pandai. Dari Susiokku (Paman Guruku) inilah kau menerima
pelajaran ilmu surat."
Girang hati Sin Hong mendengar bahwa ia akan menjadi murid
Hoa-san-pai. Bagaimanapun juga, ia telah melihat sepak terjang
ayah angkatnya dan merasa kagum. la menganggap Lie Bu Tek
gagah perkasa dan ia pandai, maka kalau ia menjadi murid dan
Liang Gi Tojin, tentu ia akan menerima pelajaran ilmu-ilmu silat
yang hebat. Apalagi di sana ada Liang Tek Sianseng yang akan
mengajarnya tentang kesusasteraan, gembira hatinya.
"Kalau begitu, hayo kita melanjutkan perjalanan, Gi-hu!"
Lie Bu Tek dan Sin Hong melanjutkan perjalanan mereka
mendaki Bukit Hoa-san. Karena pemandangan alam di pegunungan
itu amat indahnya, Sin Hong merasa senang sekali. Beberapa kali
mereka berhenti di jalan untuk menikmati tamasya alam. Lie Bu Tek
yang sudah beberapa tahun tinggal di pegunungan ini ketika ia
belajar di Hoa-san-pai, menunjukkan tempat-tempat yang indah
kepada anak angkatnya.
"Di lereng depan itu terdapat tanah datar yang amat baik untuk
berlatih silat. Dahulu aku dan Ibumu, juga saudara saudara
seperguruan lain sering kali berlatih ilmu silat di situ."
Sin Hong tertarik. "Mari kita ke sana, Gi-hu."
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid II
Lie Bu Tek membawa anak itu ke tempat yang membangkitkan
kenang-kenangan lama. karena sesungguhnya hubungannya
31
dengan Thio Ling In, paling mesra adalah kalau mereka bertanding
ilmu pedang sebagai latihan di tanah datar itu.
"Gi-hu, ada orang bertempur!" tiba-tiba Sin Hong berseru sambil
menudingkan telunjuknya ke arah tanah datar itu. Memang betul, di
sana terdapat dua orang yang sedang bertempur hebat. Orang
pertama adalah seorang tosu setengah tua, dan orang ke dua
adalah seorang laki-laki bertubuh kecil yang usianya tiga puluh
lebih. Keduanya bertempur mempergunakan sebatang pedang. Akan
tetapi betapapun gesit dan lihai permainan pedang laki-laki itu, ia
masih terdesak hebat oleh lawannya.
"Ah, dia adalah Liok San!" kata Lie Bu Tek setelah ia memandang
penuh perhatian.
"Yang mana, Gi-hu?" tanya Sin Hong. "Dan siapakah Liok San
itu?"
"Yang terdesak itulah Liok San, tak salah lagi. Dia anak murid
dari Kwan-im-pai. Pernah dia berjuang melawan penjajah bersama
dengan kami. Aku harus membantunya!" Setelah berkata demikian
Lie Bu Tek lalu mencabut pedangnya dan melompat ke kalangan
pertempuran.
"Lie Bu Tek Toako...! Bagus kau datang, bantulah aku
membunuh anjing Im-yang-bu-pai ini!" seru Liok San gembira ketika
melihat Bu Tek.
Lie Bu Tek sudah mendengar tentang perkumpulan baru yang
bernama Im-yang-bu pai ini. Di Tiongkok terdapat aliran yang
menganut pelajaran atau filsafat Im-yang, sebuah pelajaran filsafat
atau kebatinan yang bersumber pada pelajaran Lo Cu. Menurut apa
yang di dengar oleh Lie Bu Tek, pada tahun-tahun terakhir ini, sifat
dari Im-yang-bu-pai sudah banyak berbeda dengan dahulu, bahkan
kalau dulu nama perkumpulannya Im-yang-kauw (Perkumpulan
Agama Im Yang) sekarang diubah menjadi lm-yang-bu-pai atau
Perkumpulan Silat Im Yang. Buruknya bahwa perhimpulan ini
setelah menjadi perkumpulan yang amat kuat, lalu berubah tinggi
hati dan memandang rendah kepada golongan lain, apalagi
terhadap perkumpulan-perkumpulan agama lain mereka amat
menghina dan memandang rendah.
32
Oleh karena inilah, maka begitu mendengar Liok San minta
tolong tanpa ragu-ragu lagi Lie Bu Tek lalu menyerbu dan
menangkis pedang tosu itu dengan pedangnya sendiri. Beradunya
dua pedang menerbitkan suara nyaring dan tahulah Lie Bu Tek
bahwa lawannya ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Maka ia
segera mainkan pedangnya dan mengeluarkan jurus-jurus ilmu
pedang Hoa-san-pai yang paling lihai. Liok San tidak tinggal diam
dan membantunya.
Adapun tosu itu, setelah merasa bahwa kepandaian Lie Bu Tek
tak boleh dipandang ringan dan ia takkan dapat menang
menghadapi dua orang ini, lalu tertawa dan berkata,
"Bagus. Hoa-san-pai memang tukang mencampuri urusan orang!
Biarlah, Pinnie memberi ampun kali ini. akan tetapi tunggu saja
hukuman dari Im -yang-bu-pai." Setelah berkata demikian ia
melompat mundur dan lari pergi dari situ.
Liok San hendak mengejar akan tetapi lengannya dipegang oleh
Lie Bu Tek. "Saudara Liok, musuh yang sudah lari tak perlu dikejar."
Liok San menghela napas. "Sayang kita tak dapat bikin mampus
keparat itu. Sekarang aku telah membawa-bawa Hoa-san-pai
sehingga dimusuhi oleh Im-yang-bu-pai, sungguh membuat hatiku
tidak enak sekali terhadap Liang Gi Totiang."
"Saudara Liok, jangan kau berkata begitu. Sejak lama kami
mendengar keburukan nama Im-yang-bu-pai, kalau sekarang
mereka memusuhi partai kami itu sudah sewajarnya. Akan tetapi,
siapakah tosu tadi dan bagaimana kau dapat bertempur dengan dia
di lereng Bukit Hoa-san ini?"
Kembali Liok San menarik napas panjang. "Kalau diceritakan
sungguh membikin hati sakit sekali. Aku telah mengantarkan
keponakanku untuk belajar di Hoa-san-pai dan telah diterima oleh
Liang Gi Totiang. Bahkan aku tinggal di puncak Hoa-san-pai selama
satu pekan. Ketahuilah, Saudara Lie, Kakakku perempuan telah
tewas bersama suaminya dalam pertempuran, dikeroyok oleh orangorang
Im-yang-bu-pai. Mula-mulanya terjadi bentrokan antara
anggauta-anggauta Kwan-im-pai kami dan anggauta-anggauta Imyang-
bu-pai sehingga tak dapat dielakkan lagi terjadinya
33
pertempuran hebat. Kami dipukul hancur, Kakakku dan suaminya
tewas dan aku sendiri dikejar-kejar. Untuk menjaga keselamatan
keponakanku, putera tunggal dari Kakakku, aku membawanya
kepada Liang Gi Totiang untuk belajar ilmu silat. Keselamatan anak
itu terancam karena selama masih ada orang Kwan-im-pai, tentu
pihak Im yang-bu-pai tidak akan mau sudah begitu saja. Buktinya,
ketika tadi aku turun gunung aku telah diserang oleh seorang di
antara mereka dan tentu aku akan tewas kalau kau tidak datang
menolong. Karena itu Lie Toako, harap kau merahasiakan adanya
Liok Kong keponakanku itu di Puncak Hoa-san. Nah, sekarang
selamat tinggal, aku harus mengumpulkan lagi kawan-kawanku
yang cerai-berai. Betapapun juga, Kwan-im-pai harus dibentuk lagi
dan memperkuat diri."
Liok San menjura lalu pergi dari situ dengan langkah cepat, Lie
Bu Tek menggeleng-geleng kepalanya.
"Kasihan sekali. Aku masih ingat akan Kakaknya yang bernama
Liok Hui seorang wanita yang gagah perkasa."
“Gi-hu, siapakah ketua dari Kwan-im-pai?" tanya Sin Hong.
"Dahulu ketuanya adalah Sin-kun Liu-toanio, seorang nenek yang
gagah perkasa dan yang membantu perjuangan merobohkan
pemerintah Kin, akan tetapi nenek itu gugur oleh seorang tosu
bernama Giok Seng Cu, murid dari seorang tokoh besar dari Tibet
yang bernama Pak Hong Siansu. Setelah Sin-kun Liu toanio
meninggal dunia, perkumpulan dipimpin oleh dua orang muridnya
yakni kakak beradik Liok Hui dan Liok San tadi. Sepak terjang kaum
Kwan-im-pai selama ini amat baik dan nama mereka harum di dunia
kang-ouw, sekarang mereka dihancurkan oleh Im-yang-bu-pai maka
dapat dinilai betapa jahatnya orang-orang Im-yang-bu-pai itu."
Lie Bu Tek lalu membawa Sin Hong naik ke puncak. Perjalanan
kali ini amat sukarnya. Tidak saja tanah yang diinjak terdiri dari batu
karang yang amat tajam, akan tetapi juga jalan yang naik amat
terjal, licin dan terhalang oleh banyak jurang-jurang yang dalam.
Kepandaian Sin Hong dalam ilmu silat masih amat rendah, maka
tentu saja ia tidak sanggup melalui jalan yang demikian sukar dan
berbahayanya. Biarpun ia memaksa untuk terjalan di dekat Lie Bu
34
Tek sehingga sepatunya pecah dan kakinya berdarah, amkhirnya ia
harus menyerah dan tak anggup berjalan lebih jauh lagi.
"Gi-hu, aku tidak kuat lagi.....” keluhnya.
Liu Bu Tek tertawa. Ia amat kagum melihat kekerasan hati anak
ini, baru menyerah kalah setelah kedua kakinya berdarah dan tak
dapat berjalan lagi. Kalau sekitranya kedua kaki yang kecil itu tidak
terluka dan biarpun sudah amat lelah, ia percaya anak ini tentu
takkan mau menyerah begitu saja. Semenjak kecilnya, Sin Hong
yang pada luarnya kelihatan lemah-lembut ini memang mempunyai
kekerasan hati yang amat luar biasa.
"Mari kau kupondong biar cepat kita tiba di puncak." katanya.
Tanpa menanti jawaban, ia menyambar tubuh anak angkatnya dan
berlarilah Lie Bu Tek cepat-cepat ke puncak. Dengan ilmu
meringankan tubuh yang sudah tinggi dan dengan pengerahan ilmu
lari cepat Cho-sang-hiu (Terbang di Atas Rumput), tanpa
banyak`susah Bu Tek telah melalui bagian yang paling sukar dari
puncak Hoa-san.
Ketika mereka tiba di puncak Hoa-san, Bu Tek melihat seorang
anak laki tengah duduk melamun di depan pondok suhunya. Anak
ini usianya kurang lebih sepuluh tahun, berwajah bersih dan
bermata cerdik. Akan tetapi. melihat keadaan anak itu, Bu Tek
mengerutkan keningnya. Ia dapat menduga bahwa anak itu tentulah
Liok Kok Ji, putera dari Liok Hui yang dibawa oleh Liok San ke atas
Hoa-san. Yang membuat hati Bu Tek tak senang adalah karena ia
melihat anak itu duduk melamun saja di dekat ladang sayur
tanaman suhunya, sedangkan cangkul dan keranjang digeletakkan
saja di atas tanali, itulah tanda kemalasan, pikir Bu Tek.
"Kau sedang bikin apa di situ?" Bu Tek menegur keras. Anak itu
terkejut sekali karena memang Bu Tek sengaja meringankan
tindakan kakinya sehingga tahu-tahu telah berada dekat dengan
anak itu. Dalam kekagetan serta kegugupannya, anak itu cepatcepat
memegang cangkul dan keranjang dan hendak mulai bekerja!
Bu Tek tersenyum dan menegur lagi. "Bukankah kau yang
bernama Liok Kong Ji?”
35
Anak itu kini melihat bahwa yang menegurnya tadi bukanlah
Liang Gi Tojin seperti yang tadi dikiranya. Pada wajahnya yang
tampan kelihatan tanda kemendongkolan hatinya, akan tetapi ia
pandai menyembunyikan perasaan dan balas menegur.
"Kau ini siapakah berani datang tempat suci! Kalau Suhu
melihatmu mengotori tempat ini, kau tentu akan mendapat marah.
Tidak tahukah bahwa kau berada di tempat kediaman tokoh besar
Hoa-san-pai. Guruku Liang Gi Tojin?
Melihat mata yang bersinar-sinar dan tabah itu, diam-diam Lie Bu
Tek memuji bahwa anak ini betapapun juga memiliki semangat
besar dan keberanian yang cukup. Sebelum ia menjawab, tiba tiba
terdengar suara halus.
"Kong-Ji, jangan kau kurang ajar terhadap Suhengmu!" Maka
muncullah seorang tosu tua di dalam pondok.
"Suhu...!" Bu Tek lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek
ini sambil menurunkan Sin Hong dari pondongannya.
"Bu Tek, alangkah lamanya kita berpisah. Selama ini, apa saja
yang kau alami?" Liang Gi Tojin, kakek itu yang menjadi tokoh
pertama dari Hoa-san-pai maju dan memegang kedua pundak
muridnya.
Adapun Liok Kong Ji ketika mendengar bahwa orang yang datang
bersama anak kecil tadi adalah Lie Bu Tek, suhengnya yang pernah
ia dengar namanya dari Liang Gi Tojin segera maju memberi hormat
dan berkata,
"Suheng, harap maafkan siauw-te yang bodoh dan tak mengenal
kakak seperguruan sendiri."
"Tidak apa, Siauw sute.” Kemudian Bu Tek memperkenalkan Sin
Hong kepada suhunya dan menuturkan semua pengalamannya.
Pada akhir penuturannya ia berkata,
"Wan Sin Hong ini adalah putera tunggal dari Sumoi Thio Ling In
dan Wan-yen Kan."
"Di mana mereka sekarang?" tanya Liang Gi Tojin.
36
"Mereka telah dibunuh oleh Ba Mau Hoatsu. Baiknya anak ini
sedang dibawa keluar oleh pelayannya. Karena teecu menganggap
bahwa anak ini harus mendapat pendidikan sebaiknya, maka teecue
membawanya pergi dan sekarang dia sudah cukup besar untuk
menerima latihan dari Suhu, oleh karena itu teecu mohon sudilah
suhu membimbingnya."
Liang Gi Tojin mengangguk-angguk dan memandang tajam
kepada Sin Hong yang berdiri di hadapannya. Mata kakek yang
tajam ini dapat melihat bakat yang amat baik dalam diri anak itu. Ia
menghela napas panjang.
"Sudah dapat dibayangkan bahwa nasib Ling In akan
menghadapi banyak rintangan dan bahaya dalam perjodohannya
dengan Pangeran Wan yen Kan. Ternyata kekhawatiranku terbukti
dan guru suaminya sendiri yang datang membunuh mereka. Ah...."
Kakek itu memandang kepada Sin Hong. "Anak, apakah kau suka
belajar ilmu silat di sini, belajar dari pinto?"
"Locianpwe adalah Suhu dari Gi-hu dan Supek dari mendiang
Ibuku, jadi adalah Sucouwku sendiri. Bagaimana teecu tidak suka
belajar ilmu silat di sini? teecu suka sekali!"
"Sin Hong, kau ingin belajar ilmu silat untuk apakah?" Tiba-tiba
kakek itu bertanya sambil memandang tajam.
Tanpa ragu-ragu Sin Hong menjawab sambil mengangkat
kepalanya.
"Seperti seringkali teecu dengar dari Gi-hu, teecu mempelajari
ilmu silat untuk dipergunakan menolong orang-orang yang
mcmbutuhkan pertolongan. Akan tetapi terutama sekali agar teecu
kelak dapat mencari musuh besar Ayah Bundaku dan memhalas
dendam!"
Liang Gi Tojin tersenyum kemudian menarik napas panjang lagi.
"Aah, Sin Hong, musuh besarmu itu adalah Ba Mau Hoatsu yang
kepandaiannya amat tinggi. Pinto sendiri takkan sanggup
mengalahkannya, apalagi engkau. Dengan menguras seluruh
pengertianku, kau masih jauh untuk dapat mengalahkannya."
37
Kata-kata ini memang sesungguhnya dan Bu Tek juga mengerti
bahwa suhunya berkata benar. Oleh karena itu ia memandang
kepada putera angkatnya dengan hati duka. Tiba-tiba di dalam
keadaan sunyi itu, terdengar Liok Kong Ji berkata riang.
"Suhu, mengapa putus asa? Adik Hong setelah tamat belajar dari
Suhu dapat melanjutkan pelajarannya, dan teecu akan
membantunya, mencari guru-guru yang pandai agar kelak dapat
merobohkan Ba Mau Hoatsu!"
Sin Hong melirik ke arah Kong Ji dan melihat pandang mata Kong
Ji penuh harapan, ia menjadi girang dan berkata.
"Teecu merasa cocok dengan pernyataan tadi. Teecu takkan
berhenti belajar untuk kemudian mencari Ba Mau Hoatsu yang
sudah membunuh Ayah Bundaku."
"Bagus, bagus, pinto berjanji akan menghabiskan waktu hidup
yang tinggal sedikit ini untuk mendidik kalian anak-anak yang
malang," kata Liang Gi Tojin dengan girang.
Demikianlah, semenjak hari itu, Kong Ji dan Sin Hong menerima
latihan-latihan ilmu silat Hoa-san-pai dari Liang Gi Tojin, dibantu
dengan penuh perhatian oleh Lie Bu Tek.
Empat tahun kemudian, tanpa ada gangguan sesuatu, dua orang
anak itu menerima gemblengan dari kakek ini dan memperoleh
kemajuan pesat sekali. Yang menggirangkan hati Liang Gi Tojin
adalah kecerdikan mereka yang luar biasa sehingga kalau
dibandingkan dengan murid Hoa-san-pai yang dahulu, mereka
berdua menang banyak. Adapun Lie Bu Tek juga tidak menyianyiakan
waktunya di gunung itu. Ia menerima pelajaran lanjutan
dari gurunya sehingga dalam waktu empat tahun, semua ilmu silat
Hoa-san-pai telah ia miliki. Liang Gi Tojin sengaja menurunkan
seluruh kepandaiannya kepada Bu Tek dan kelak kalau ia sudah
meninggal dunia, Lie Bu Tek yang berhak menjadi ketua Hoa-sanpai.
Tiga orang laki-laki dengan gerakan kaki seakan-akan terbang
naik ke Hoa-san. Yang seorang adalah Siang-pian Giam-ong Ma Ek
yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat. Orang kedua dan
ketiga adalah kakek-kakek berjubah putih. Yang pertama adalah
38
seorang kakek bongkok yang memegang tongkat hitam di tangan
kanan dan tongkat putih di tangan kiri, sedangkan orang kedua
adalah seorang kakek botak yang pada punggungnya tergantung
sepasang pedang. Yang bongkok itu adalah tokoh ketiga Im-yangbu-
pai, bernama Kwa Siang berjuluk Thian-te Siang-tung (Sepasang
Tongkat Langit Bumi). Yang kedua dan bertubuh besar pendek
adalah tokoh kedua dari Im-yang-bu-pai bernama Lai Tek berjuluk
Siang-mo-loam (Sepasang Pedang Iblis). Mereka ini memiliki
kepandaian yang amat tinggi dan tidak saja di perkumpulan Imyang-
bu-pai mereka menduduki tempat ke dua dan ke tiga dari
perkumpulan Im-yang-bu-pai juga di dunia kang-ouw nama mereka
amat terkenal karena mereka memiliki kepandaian yang amat tinggi.
"Kenapa keadaannya begini sunyi?” tanya Thian-te Siang-tang
Kwa Siang sambil berlari.
"Di dalam dunia ini, yang paling miskin anggauta dan boleh
dibilang sudah hampir bangkrut adalah partai Hoa-san-pai." kata
Giam-ong Ma Ek ketua Bu-cin-pai. "Dahulu memang Hoa-san-pai
termasuk partai yang besar dan berpengaruh, ketika empat orang
tokohnya masih hidup, yakni Liang Gi Tojin, Liang Bi Suthai, Liang
Tek Sian-seng, dan Tan Seng Lo-enghiong. Akan tetapi sekarang di
antara empat orang tokoh itu hanya tinggal Liang Gi Tojin seorang.
Dahulu empat orang tokoh itu pun mempunyai banyak sekali anak
murid, akan tetapi sekarang para murid itu banyak yang sudah
tewas, dan hanya ada beberapa gelintir orang saja yang tinggal jauh
dari Hoa-san-pai. Agaknya Liang Gi Tojin tidak mau mengumpulkan
murid-muridnya dan kalau tidak salah, sekarang orang tua itu hanya
tanggal bersama muridnya, yaitu Hui-hong Lie Bu Tek.
"Hm, sudah hampir bangkrut masih saja sombong dan suka
mencampuri urusan orang lain." Siang-mo-kiam Lai Tek tokoh ke
dua dari Im-yang-bu-pai berkata kurang senang.
"Itulah sebabnya maka mereka harus dibasmi sama sekali agar
kelak tidak menyusahkan partai kami saja," kata Giam-ong Ma Ek.
Orang tua ini memang menaruh hati dendam kepada Hoa-san-pai
setelah ia kena dikalahkan oleh Lie Bu Tek dalam keributan di hari
tahun baru sebagaimana telah dituturkan di bagian depan. Adapun
dua orang tokoh 1m yang bu-pai itu karena mendengar dari anak
39
murid mereka bahwa Liok San tokoh Kwan-im-pai melarikan diri ke
Hoa-san dan dibantu oleh Lie Bu Tek, kini datang untuk membalas
dendam pula. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Giam-ong Ma
Ek, maka ia lalu mengajak mereka untuk bersama pergi naik ke
Hoa-san.
Memang betul apa yang diceritakan oleh Ma Ek tadi. Liang Bi
Suthai tokoh ke dua dari Hoa-san-pai telah tewas oleh tokoh-tokoh
pembantu pemerintah Kin, Liang Tek Sianseng juga telah meninggal
dunia karena sakit. Sedangkan Tan Seng meninggal dunia karena
usia tua. Tinggal Liang Gi Tojin seorang diri, yang tiada nafsu lagi
untuk berurusan dengan keramaian dunia. Memang kakek ini lebih
mengutamakan ilmu batin. Banyak hal-hal yang menyakitkan hati
membuat ia makin tidak mempunyai semangat untuk membangun
kembali partai Hoa-san-pai. Harapan satu-satunya hanya tergantung
kepada mitridn}a, Lie Bu Tek, maka setelah Lie Bu Tek datang
membawa Wan Sin Hong, kakek ini mengerahkan seluruh
kepandaian dan tenaganya untuk mewariskan kepandaiannya
kepada murid tunggal ini, juga tentu saja ia memberi bimbingan
kepada dua orang murid cilik yang baru, yakni Wan Sin Hong dan
Liok Kong Ji.
Pada saat tiga orang kakek yang mempunyai maksud tidak baik
terhadap Hoa-san-pai itu berlari-lari naik bukit, melompati jurangjurang
dengan gerakan laksana burung terbang, Liang Gi Tojin
sedang duduk di luar pondok bersama Lie Bu Tek dan dua orang
murid cilik. Kini Liok Kong Ji telah berusia empat belas tahun dan
Wan Sin Hong sudah dua belas tahun, mereka kelihatan bersikap
gagah. Akan tetapi, biarpun Sin Hong lebih muda, ia ternyata lebih
halus sikapnya dan lebih luas pandangannya. Hanya dalam
kecerdikan ia tidak lebih unggul daripada Kong Ji, bahkan dalam
latihan ilmu silat, ia ketinggalan oleh suhengnya ini. Sebaliknya,
kalau Sin Hong amat tertarik dan suka mempelajan ilmu surat dan
kebatinan, adalah Kong Ji sama sekali tidak mempunyai bakat untuk
kepandaian ini.
Empat orang itu sedang menikmati hawa udara yang amat sejuk
dan segar di waktu pagi itu, dan menikmati sinar matahan yang
menyehatkan tubuh. Liang Gi Tojin bermain catur bersama Sin Hong
40
adapun Kong Ji mendengarkan keterangan tentang ilmu silat dari
Lie Bu Tek.
Tiba-tiba Lie Bu Tek berkata, "Ada tamu datang!"
Liang Gi Tojin mengangguk-angguk karena kakek ini juga sudah
tahu, adapun dua orang pemuda cilik itu celingukan mencari-cari,
karena mereka belum mengetahui akan hal ini.
Baru saja Sin Hong hendak bertanya, berkelebat tiga bayangan
orang dan sekejap kemudian tiga orang kakek berdiri di pinggir
lapangan di depan pondok sambil tersenyum menyindir.
"Aha, tak kusangka bahwa nama besar Hoa-san-pai akan
berakhir di tangan seorang kakek tiada guna tukang main catur
dengan seorang bocah," Giam-ong Ma Ek berkata mengejek.
Dua orang tokoh lm-yang-bu-pai tidak berkata apa-apa, akan
tetapi mereka lalu menggerakkan lengan baju dan bagaikan dua
ekor burung garuda saja mereka melayang ke atas pondok,
menginjak pecah genteng dan mengintai ke dalam, juga melihat
dari tempat tinggi ke sekeliling pondok. Mereka mencari Liok San
yang disangkanya berada di situ. Kemudian mereka melayang
kembali ke bawah dan berdiri di belakang Siang-pian Giam-ong Ma
Ek.
Melihat gerakan dua orang kakek tadi, diam-diam Lie Bu Tek
terkejut sekali demiklan pula Liang Gi Tojin. Menghadapi ketua Bucin-
pai tidak mengkhawatirkan hati Lie Bu Tek, akan tetapi gerakan
yang diperlihatkan oleh dua orang tadi benar-benar hebat sekali.
Liang Gi Tojin berdiri dan menjura ke arah Ma Ek. "Selamat
datang di puncak Hoa-san, Sam-wi Bengyu (Tiga Sahabat). Pinto
mengenaI Siang-pian Giam-ong Ma Ek ketua Bu-cin-pai sebagai
orang gagah perkasa, akan tetapi pinto yang sudah tua dan kurang
awas pandangan mata, belum pernah berkenalan dengan Jiwienghiong
(Dua Orang Gagah) yang ikut datang pula. Keperluan
apakah gerangan yang membawa Sam-wi datang di sini?"
Mata Siang-pian Giam-ong Ma Ek menyapu tempat itu dan
akhirnya ia memandang kepada Lie Bu Tek dengan mendelik.
41
"Lebih baik kau bertanya kepada muridmu itu, karena dialah
yang memaksa. kami datang menagih hutang kepada Hoa-san-pai."
Liang Gi Tojin tak perlu bertanya karena sesungguhnya ia telah
mendengar dari Lie Bu Tek tentang pertempuran antara muridnya
itu dengan Siang-pian Giam-ong Ma Ek, dan kemudian betapa Lie
Bu Tek menolong Liok San dan serangan anak murid Im-yang-bupai.
Mengertilah tokoh Hoa-san-pai ini bahwa mereka memang
sengaja hendak mencari keributan dan dengan dalih menagih
hutang mereka hendak merusak nama baik dan menghacurkan Hoasan-
pai.
Sebelum gurunya sempat menjawab, Lie Bu Tek yang merasa
bertanggungjawab penuh atas semua perbuatannya, melangkah
maju dan berkata kepada ketua Bu-cin-pang itu,
"Siang pian Giam-ong, untuk peristiwa kecil dahulu itu, aku yang
bodoh membantu pihak Hek-kin-kaipang yang diperlakukan
sewenang-wenang oleh murid-muridmu, dan untuk itu aku pun
sudah minta maaf kepadamu. Apakah kau masih penasaran dan
hendak menarik panjang perkara itu? Kalau demikian kehendakmu
marilah aku bersedia memenuhi kehendakmu dan untuk perkara ini
aku Lie Bu Tek yang bertanggung jawab, jangan kau membawabawa
nama Guruku dan Hoa-san-pai."
Ma Ek tertawa bergelak dengan lagak mengejek sekali. "Ha, ha,
ha, kalau buahnya pahit, pohonnya pun buruk. Kalau muridnya tidak
baik, gurunya tentu tidak benar. Membasmi pohon busuk harus
mencabut sampai dengan akar-akarnya.
"Ma Ek! Kau orang tua tidak putus menerima penghormatan yang
muda! Tutup mulutmu yang kotor, sekarang kau sudah datang, mau
apakah?" Lie Bu Tek tak dapat mengendalikan kemarahannya lagi,
tangannya bergerak, pedang dicabut dan ia berdiri dengan pedang
melintang di depan dada.
"Lihat, Jiwi-cianpwe, betapa sombongnya orang Hoa-san-pai!"
kata Siang pian Giam-ong Ma Ek kepada dua orang tokoh Im-yangbu-
pai.
42
Siang-mo-kiam Lai Tek berkata dengan muka marah, "Ma
enghiong, mengapa banyak cakap dengan orang muda ini. Lekas
bereskan dia agar jangan memerahkan telinga."
Lie Bu Tek maklum bahwa ketua Bu-cin-pai ini sengaja hendak
minta pertolongan dua orang Im-yang-bu-pai itu maka ia menyindir,
"Betul, Ma Ek. Mengapa kau seperti anak kecil merengek-rengek,
tidak mau turun tangan sendiri? Apakah kau takut padaku?"
Diejek demikian itu, Ma Ek menjadi marah dan ia mencabut
siang-piannya. Semenjak kalah oleh Lie Bu Tek, ia memperdalam
ilmu silatnya, dari tadi kalau ia sengaja membakar hati dua orang
tokoh Im-yang-bu-pai, adalah karena ia merasa gentar melihat
Liang Gi Tojin yang sikapnya demikian agung dan tenang.
"Bangsat kecil, kaurasakan pembalasanku!” bentaknya dan
sepasang pian di tangannya bergerak ganas menyerang Lie Bu Tek.
Jago dari Hoa-san-pai ini tidak menjadi gentar dan menangkis
dengan pedangnya. Terdengar suara nyaring dan bunga api
beterbangan ketika dua senjata bertemu.
Ma Ek terkejut sekali. Dibandingkan dengan empat tahun yang
lalu, tenaga lweekangnya sudah meninigkat tinggi, akan tetapi
mengapa kini tangkisan Lie Bu Tek membuat tangannya tergetar? Ia
tentu saja tidak tahu bahwa selama empat tahun itu. kalau ia
memperdalam ilmu silatnya dengan tekun, musuhnya ini bahkan
telah menguras semua ilmu silat dari Hoa-san-pai dan kini telah
memiliki kepandaian yang amat tinggi, bahkan hampir setaraf
dengan kepandaian Liang Gi Tojin sendiri. Akan tetapi ia cepat
dapat menguasai hatinya dan sepasang pian tangannya diputar
cepat sekali, melakukan serangan yang mematikan ke arah bagian
tubuh yang berbahaya dari lawannya. Sepasang pian itu bergerak
dari jurusan yang berlawanan sehingga merupakan dua gulung sinar
yang membungkus tubuhnya, angin sambaran senjata berkesiur
mendatangkan hawa dingin.
Namun Lie Bu Tek tidak menjadi gentar. Ila mengimbangi
serangan lawan dengan gerakan pedangnya yang lihai. Jurus jurus
yang tersulit dan paling berbahaya dari ilmu pedang Hoa-san Kiam
hoat ia keluarkan untuk mendesak lawan yang lihai ini. Diam-diam
Bu Tek harus akui bahwa kalau saja selama empat tahun ini ia tidak
43
memperdalam kepandaiannya dengan berlatih secara rajin dari
suhunya, agaknya ia takkan mampu menghadapi ketua Bu-cin-pai
ini. Karena tahu bahwa pihak lawan masih ada dua orang yang
kelihatannya amat tangguh, Lie Bu Tek tidak mau membuang
banyak tenaga agar dapat menghadapi lain lawan dengan tenaga
masih kuat. Ia segera menggerakkan pedangnya dengan kecepatan
luar biasa serta mengerahkan seluruh tenaga lweekangnya.
"Gi-hu pasti menang!" teriak Sin Hong penuh semangat.
Kong Ji yang berdiri di dekatnya tidak berkata apa-apa, hanya
diam-diam ia memandang pertempuran itu dan kadang-kadang ia
melirik ke arah dua kakek yang pakaiannya hitam itu dengan
pandang mata penuh kekhawatiran.
Baru saja Sin Hong mengeluarkan kata-kata itu, terdengar suara
keras disusul oleh teriakan Ma Ek yang tubuhnya terguling roboh.
Ternyata bahwa pedang Bu Tek telah berhasil membabat putus pian
di tangan kanannya dan kaki pendekar Hoa-san-pai ini telah mampir
di dadanya sehingga tak dapat dicegah lagi kena dikalahkan.
Akan tetapi, sebagai ketua dari sebuah perkumpulan yang
berpengaruh dan besar. Siang-pian Giam-ong Ma Ek tidak mau
kalah muka dan cepat ia melompat berdiri dengan meringis karena
dadanya telah terluka lumayan juga. Dengan siang-pian yang
tinggal satu, yakni yang dipegang oleh tangan kiri. ia menyerang
lagi! Tiba-tiba tubuhnya terhenti di tengah serangan ini karena
lengan kanannya dipegang orang dari belakang pegangan yang
amat kuat dan juga membuat ia tidak berdaya.
"Cukup, Saudara Ma Ek, biarkan pinto yang berkenalan dengan
pedang Hoa-san-pai yang ganas!" kata orang yaitu memegang
tangannya dan ternyata orang itu adalah tokoh ketiga dari Im-yan
bu pai, yakni Thian-te Siang-tung Kwa Siang. Ma Ek diam-diam
menarik napas lega. tadi pun ia telah merasa bahwa ia bukan
tandingan jago dari Hoa-san pai itu, dan kini biarpun ia
mengundurkan diri, namun ia masih dapat menjaga mukanya,
karena ia berhenti bertempur bukan karena takut, melainkan karena
dibujuk oleh Thian-te Siang-tong Kwa Siang. Sementara itu, tokoh
ketiga dari Im-yang-bu-pai ini segera melepaskan pegangannya dan
sekali ia menggerakkan tubuh, ia telah berhadapan dengan Lie Bu
44
Tek. Dengan tongkat kanan yang hitam, serta tubuhnya
membongkok-bongkok menjadi rendah sekali, kakek ini menuding
ke arah muka Lie Bu Tek.
'Orang Hoa-san-pai, ketahuilah bahwa aku Thian-te Siang-tung
Kwa Siang dan suhengku Siang-mo-kiam Lai Tek datang untuk
menagih hutang. Kau telah berani membela keparat Liok San dan
pukul anak murid kami. Sungguh perbuatan yang amat sombong!
Bukankah selamanya Im-yang-bu pai tak pernah pagganggu Hoasan-
pai? Agaknya kau amt menyomhongkan kepandaianmu, maka
cobalah kauterima sepasang tongkatku ini!"
Sebelum Lie Bu Tek sempat menjawab, kakek ini sudah
menggerakkan tongkat kirinya yang berwarna putih menotok jalan
darah Tai-hwi-hiat di tubuh Bu Tek. Tentu saja Lie Bu Tek tidak
mudah diserang begitu saja dan cepat mengelak. Akan tetapt tibatiba
berkelebat sinar hitam dan tongkat hitam tangan kanan
lawannya sudah menyerang dengan tusukan ke arah lambungnya.
Inilah serangan yang amat lihai dan berbahaya sekali dan tahulah
dia bahwa kakek ini menyerang dengan maksud membunuh.
"Kwa-lo-enghiong, kau menghendaki pertempuran mati-matian?
Baiklah, bukan aku yang mulai lebih dulu'" bentaknya dan sekali lagi
Bu Tek mainkan pedangnya dengan hebatnya.
Namun kali ini ia menghadapi lawan yang memiliki kepandaian
amat lihai. Begitu terbentur dengan tongkat putih ia merasa telapak
tangannya dingin. terkejutlah hati Lie Bu Tek. Ia tahu bahwa
lawannya itu adalah seorang ahli lwee- keh yang sudah pandai
membagi tenaga lweekeh antara keras dun lembek. Tongkat hitam
di tangan kanan itu mengandung tenaga lweekang yang keras dan
panas, yakni tenaga Yang, sedangkan tongkat kiri yang putih itu
mengandung tenaga Im yang lembek. Akan tetapi bahayanya sama
saja karena kalau tongkat hitam Itu dapat merusak kulit daging,
adapun tongkat putih itu dapat memutus urat dan jalan darah'
"Pergunakan Ngo-heng Kiam-hoat!" Liang Gi Tojin berseru
kepada muridnya, karena ia maklum bahwa dengan ilmu pedang
biasa saja muridnya tak mungkin dapat membuat kemenangan. Bu
Tek segera merubah ilmu pedangnya dan kini pedangnya bergerakgerak
dari lima jurusan dan tenaganya juga berubah-ubah. Baru
45
beberapa belas jurus saja ia dapat mengakui keunggulan lawannya
yang benar-benar lihai sekali. Sepasang tongkat hitam dan putih itu
memiliki gerakan yang amat aneh dan dua macam hawa sambaran
tongkat yang berlawanan benar-benar membingungkan hati Bu Tek.
Ngo-heng Kiam-hoat ternyata tidak dapat menahan datangnya
desakan dari ilmu tongkat Thian-te Siang-tung, betapapun cepat Bu
Tek menggerakkan pedangnya, namun pada jurus ke tiga puluh
tongkat putih di tangan kiri lawannya dengan tepat telah menotok
dada kanannya di bagian jalan darah besar. Bu Tek mengeluarkan
seruan kesakitan dan separuh tubuhnya seperti lumpuh, pedangtnya
terlepas dari pegangan. Sebelum ia roboh, tongkat hitam lawannya
menotok lambungnya dan tubuh Bu Tek terkulai!
"Jangan bunuh Gi-hu!" Sin
Hong berseru marah dan
melompat ke depan sebelum
gurunya sempat mencegahnya.
Dengan kepalan tangannya yang
kecil ia menerjang dan menyerang
Thian-te Sian Tung Kwa Siang,
yang tertawa-tawa dan sekali ia
menendang, tubuh anak itu
terpental dan bergulingan sampai
empat tombak jauhnya! Namun
Sin Hong biar pun sakit-sakit
tubuhnya, melompat lagi dan
hendak menyerang, akan tetapi
Liang Gi Tojin membentaknya.
"Sin Hong, mundur!"
Setelah membentak muridnya, kakek Hoa-san-pai ini lalu
melangkah maju dan berkata kepada Thian-te Siang tung,
"Setelah kau berlaku kejam kepada muridku, terpaksa pinto
harus meIupakan usia tua dan minta pelajaran dari Im yang-bupai."
"Sute, biar aku menghadapinya." kata Siang-mo-kiam Lai-Tek
yang sudah mencabut sepasang pedangnya. Seperti juga tongkat
46
yang dipegang oleh Kwa-Siang, pedang ini ternyata adalah pedang
hitam dan putih dan berkilauan cahayanya.
"Liang Gi Tojin, dilihat dari sepak terjang Hoa-san-pai yang
semenjak dahulu hanya mengacau dan mencampuri urusan orang
lain, mudah diduga bahwa kalau kau bukan seorang tolol, tentu
seorang yang tidak bersih. Oleh karena itu setelah Im-yang-bu-pai
muncul menjagoi dunia kang-ouw, kami tak dapat membiarkan
partai persilatan seperti Hoa-san-pai hidup terus."
Luang Gi Tojin tersenyum, lalu mencabut pedangnya. Dengan
tenang ia berkata, "Biarpun kepandaian Hoa-san-pai tidak seberapa,
namun dalam pengertian tentang perikebajikan kiranya tidak akan
kalah oleh Im-yang-bu-pai. Sejak dahulu punto sudah mendengar
tentang lm-yang-kauw (Agama Im Yang), yang sesungguhnya
masih merupakan cabang daripada To-kauw, jadi sealiran dengan
kebatinan yang kami pelajari. Akan tetapi, semenjak Im-yang-kauw
merubah nama menjadi Im-yang-bu-pai, kiranya perkumpulan
agama ini berubah menjadi perkumpulan tukang pukul dan ahli-ahli
berkelahi yang suka membunuh orang. karena kalian sudah datang
di puncak Hoa san pai dan sudah mencelakai muridku, marilah kita
main-main sebentar."
Siang-mo-kiam Lai Tek tertawa mengejek. Ia menggerakkan
pedang kanan yang hitam terdengar suara mengaung seperti
harimau mengaum. Pedang kirinya yang putih digerakkan,
terdengar suara angin mengiuk yang amat tajam menusuk telinga.
Dengan dua kali gerakan ini saja tokoh Im-yang-bu-pai sudah
memperlihatkan kelihaiannya dan diam-diam Liang Gi Tojin terkejut.
Ia makum bahwa tenaga dari orang besar pendek ini besar sekali
dan juga sepasang pedang itu merupakan pasangan pedang
mustika. Yang putih terbuat daripada pek-kim (emas putih) dan
yang hitam terbuat daripada batu hitam yang lebih keras daripada
besi. Namun ia tidak menjadi gentar.
"Kau lihai Siang-mo-kiam akan tetapi untuk membela nama Hoa
san-pai sampai mati pun pinto takkat melangkah mundur."
"Ha-ha-ha, kau sudah bosan hidup dan ingin mampus? Baiklah,
mari kuantar kau menghadap Giam-kun (Raja Maut)!" kata Siangmo-
kiam Lai Tek yang menyerang dengan cepatnya. Sepasang
47
pedangnya berubah menjadi dua gulung sinar hitam dan putih, yang
putih bergerak dari atas dan yang hitam bergerak dari bawah atau
sebaliknya. Inilah ilmu pedang berdasarkan ilmu pedang Lo-haikiam-
hoat (Ilmu Pedang Mengamuk Lautan) dari Kun-lun-pai yang
telah dioper dan dijiplak oleh Im-yang-bu-pai dan diubah setelah
dtsesuaikan dengan ilmu silat Im yang-kiam-hoat mereka.
Liang Gi Tojin sebagai seorang tokoh yang kenamaan tentu saja
mengenal Ilmu Pedang Lo-hai-kiam-hoat dari Kun-lun pai ini, akan
tetapi oleh karena ilmu pedang ini sudah disatukan dengan Im-yang
kiam-hoat serta tokoh ke dua dari Im yang-bu-pai ini memang
memiliki kepandaian amat tinggi, kakek Hoa-san-pai ini menjadi
kewalahan sekali. Biarpun ia mengerahkaii tenaga dan kepandaian,
mainkan Hoa-san-kiam-hoat yang paling tersembunyi dan lihai,
namun tetap saja ia tidak berdaya menahan gelombang desakan
sepasang pedang lawan yang amat luar biasa. Dengan nekat kakek
Hoa-san-pai ini lalu membarengi serangan lawan. Ketika pedang
hitam di tangan kanan lawannya menusuk ke arah perutnya, ia
cepat mengelak, miringkan tubuhnya sambil membarengi membabat
ke arah leher lawan. Gerakan ini adalah gerakan nekad, karena
kalau lawan melanjutkan serangannya, tentu ia akan mati akan
tetapi di lain pihak pedangnya tentu akan mengenai sasaran pula!
Siang-mo-kiam Lai Tek tentu saja tidak sudi mengadu nyawa.
Cepat sekali menarik pulang pedang hitamnya dan pedangnya yang
putih menangkis dengan tenaga "menempel". Dua pedang itu
menempel menjadi satu dan tak dapat dipisahkan lagi! Liang Gi
Tojin cepat menggerakkan tangan kiri menonjok dada lawan. Akan
tetapi ternyata Siang-mo kiam Lai Tek lihai luar biasa. Dengan
membagi tenaga lweekangnya, ia menerima pukulan ini dan
membarengi mengayun pedang hitamnya.
"Duk!" tubuh Lai Tek terpental setombak lebih akan tetapi tangan
kiri kakek Hoa-san-pai itu putus sebatas sikunya! Darah mengalir
dengan semburan mengerikan. Sin Hong menjerit ngeri melihat
suhunya putus lengannya.
Namun kakek Hoa-san-pai ini benar- benar hebat. Tanpa
memperlihatkan sedikit pun rasa sakit, ia mengempit pedangnya
dan menggunakan tangan kanan untuk menotok pangkal lengannya,
48
menghentikan darah yang mengalir keluar. Pada saat itu, Lai Tek
sudah dapat berdiri kembali dengan wajah pucat. Biar pun ia, telah
mengerahkan lweekangnya untuk menahan pukulan tadi, namun
masih merasa betapa dadanya sakit dan sukar untuk bernapas.
Setelah napasnya normal kembali, dengan amat marah menyerbu
lagi!
Kasihan sekali Liang Gi Tojin. Dengan dua tangan masih utuh
saja ia sudah terdesak hebat. Apalagi kini ia telah kehilangan tangan
kirinya. Biarpun sambil menggigit bibir mempertahankan diri dengan
pedangnya, namun dalam jurus ke sepuluh, pedang hitam menusuk
dadanya dan pedang putih amblas ke dalam perutnya. Tanpa
mengeluarkan sedikit pun suara, kakek ini roboh tak bernyawa lagi.
"Kau... kau membunuh Suhu dan mencelakakan Gi-hu...!" Sambil
menangis Sin Hong lalu melompat dan menyerang Lai Tek. Akan
tetapi sebelum anak itu dekat dengan Lai Tek, Kwa Siang telah
menendangnya lagi dan kini tendangannya jauh lebih keras
daripada tadi sehingga tubuh Sin Hong terlempar jauh sekali,
bergulingan seperti sebuah bal karet. Namun anak ini tabah sekali.
Tanpa memperdulikan rasa sakit ia bangkit lagi dan dengan air mata
berlinangan, ia lari menyerbu lagi sambil mengepalkan dua
tangannya yang kecil.
"Kubunuh kalian!" serunya, dan kini ia menyerang Kwa Siang.
Dengan tingkat kepandaiannya yang sekarang, anak yang usianya
baru dua betas tahun ini dengan mudah akan dapat merobohka
seorang dewasa biasa. Akan tetapi ia menghadapi Thian-te Siangtung
Kwa Siang, tokoh ke tiga dari Im- yang bu-pai, tentu saja ia
tidak berdaya sama kali. Sebuah totokan yang dilakukan dengan
sebuah jari, yakni ilmu totok It-ci tiam-hoat (Totokan Satu Jari) dari
Go-bi-pai, Sin Hong seketika menjadi kaku dan berdiri seperti
patung. totokan itu ditujukan pada jalan darah yang tidak saja dapat
membikin orang menjadi kaku, akan tetap, juga mendatangkan rasa
sakit yang menusuk jantung. Tiga orang tamu yang menghancurkan
Hoa-san-pai itu menduga bahwa mereka akan melihat anak bandel
ini menjerit-jerit kesakitan dan minta ampun, akan tetapi, aneh
sekali. Anak itu berdiri seperti patung dan sepasang matanya yang
masih dapat bergerak, memandang dengan mendelik dengan
bibirnya digigit sampai berdarah tanda bahwa anak ini, menahan
49
rasa sakit yang amat hebatnya! Totokan tadi dilakukan pada pusat
jalan darah di pundak kanan, di bagian tai-hiat yang melumpuhkan
kaki tangan akan tetapi dari leher ke atas masih dapat digerakkan.
"Kau tidak minta ampun?" tanya Lai Tek dengan heran dan
kagum sekall. Sin Hong tidak menjawab, hanya mendelikan
matanya.
"Ha, ha, ha! Biar kita lihat saja sampai di mana dapat bertahan!"
kata Kwa Siang. "Sebelum minta ampun kau tak-kan kubebaskan."
"Monyet tua, jangan harap aku minta ampun!" kata Sin Hong.
Semua orang tercengang. Akibat totokan ini, kalau orang
menutup mulut masih kurang hebat, akan tetapi begtu orang yang
tertotok bicara, rasa sakit luar biasa sekali. Akan tetapi anak ini
masih berani memaki!
Adapun Thian-te Siang-tung Kwa-siang yang dimaki monyet tua
oleh Wan Sin Hong, menjadi marah sekali.
"Bocah setan kau harus mampus!" kayanya sambil
menggerakkan tongkat hitamnya ke arah kepala Sin Hong.
"Sute jangan...!" Lam Tek mencegah sambil memegang pundak
kakek bongkok itu.
"Suheng, mengapa kau melarang membunuhnya?"
"Anak ini mempunyai keberanman luar biasa, patut ia menjadi
anggauta dan calon jago Im yang-bu-pai!" Sambil berkata demikian,
Lam Tek memberi isyarat dengan matanya kepada Kwa Siang.
Thian-te Siang-tung Kwa Siang maklum akan maksud suhengnya.
Memang perkumpulan mereka selalu memandang tinggi orangorang
gagah dan anak ini kalau sampai bisa menjadi anggauta
perkumpulan mereka, berarti akan bertambah kuatlah perkumpulan
lm-yang bu-pai. Ia pun dapat melihat bahwa dalam diri anak kecil ini
terdapat bakat yang luar biasa sekali.
"Kau betul, Suheng." Kemudian menotok bebas tubuh Sin Hong
sambil berkata, "Anak baik, aku tadi hanya main-main saja."
Rasa sakit lenyap dari tubuh Sin Hong, akan tetapi anak ini
sekarang menjadi lemas dan tidak dapat mengeluarkan suara.
50
Memang Kwa Siang sengaja menawannya agar anak ini mudah
dibawa, tidak gaduh dan rewel di tengah jalan.
Selama itu, Liok Kong Ji hanya berdiri dengan muka pucat. la
dapat melihat bahwa para tamu tak diundang ini benar-benar lihai
sekali dan ia pun merasa gelisah. Biarpun ia masih kecil sekali ketika
ayah bundanya tewas dalam pertempuran melawan Im-yang-bu-pai,
namun ia masih ingat dengan baik bahwa musuh-musuh besar ayah
bundanya adalah orang-orang inilah. Mereka tentu akan
membunuhnya kalau mengetahui bahwa dia adalah putera dari
ketua Kwa-im-pai.
"He, kau... siapakah namamu? Apakah kau juga murid Liang Gi
Tojin?" tanya Lam Tek kepada Kong Ji.
Diam-diam Sin Hong memandang dan hendak melihat sikap
suhengnya itu. Alangkah heran clan kagetnya ketika ia melihat Kong
Ji tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan Lam Tek sambil
menangis.
"Locianpwe, teecu adalah seorang anak sebatangkara yang
dipaksa oleh bangsat Lie Bu Tek dibawa naik ke gunung ini dan
dijadikan pelayan! Orang tua teecu bahkan dibunuh olehnya.
Dendam teecu setinggi langit, maka sekarang Samwi Locianpwe
datang ke sini membasmi Hoa-san-pai berarti teecu terbebas dari
kesengsaraan! Teecu mohon sudilah Locianpwe menerima teecu
sebagai murid Im-yang-bu-pai. Teecu berjanji untuk belajar dengan
baik dan kelak dapat menjunjung tinggi nama baik Im-yang-bu-pai!"
Sin Hong hampir tak dapat mempercayai telinganya sendiri.
Kalau saja dapat bicara tentu akan memaki Kong Ji.
"Hmm, begitukah?" kata Lai Tek sambil memandang tajam. Ia
dapat melihat pula bahwa Kong Ji mempunyai tubuh yang amat baik
dan bakat besar untuk menjadi ahli silat, terutama sekali sepasang
mata anak itu membayangkan kecerdikan luar biasa. "Siapa
namamu?"
"Teecu bernama Kong Ji, she Lui. Ayah telah dibunuh oleh Lie Bu
Tek yang tergila-gila kepada lbu teecu. Akhirnya, karena Ibu tidak
sudi menuruti kehendaknya, Ibu pun dibunuh...." Kembali Kong Ji
menangis sedih.
51
Tiba-tiba Lai Tek mencabut pedangnya. Sin Hong sudah merasa
girang karena mengira bahwa Lai Tek tentu tahu akan kebohongan
Kong Ji dan hendak membunuh anak durhaka itu. Akan tetapi Kong
Ji tidak takut sama sekali dan memandang dengan matanya yang
tajam. Lai Tek bukan hendak membunuhnya, bahkan memberikan
pedang itu yang berwarna hitam kepada Kong Ji sambil berkata.
"Kau benar-benar telah dibikin sengsara oleh Lie Bu Tek. Nah, ambil
pedang ini dan balaslah sakit hatimu. Kau boleh membunuhnya!"
Kong Ji menerima pedang itu dan berjalan menghampiri tubuh
Lie Bu Tek yang masih menggeletak dalam keadaan tidak berdaya
lagi. Setelah terkena totokan-totokan tongkat Kwa Siang, Lie Bu Tek
tak dapat bangun kembali dan biarpun pancainderanya masih
bekerja, ia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya. Ia pun
mendengar akan semua yang dikatakan oleh Kong Ji dan kini ia
melihat anak itu mendekati sambil membawa pedang hitam dari Lai
Tek!
Sin Hong membuka matanya dan mukanya pucat. Apakah yang
akan dulakukan oleh Kong Ji? la melihat Kong Ji mendekati Lie Bu
Tek dan mengangkat pedang hitam! Kemudian pedang itu
digerakkan dengan cepat dan kuat ke bawah dan... lengan kanan
Lie Bu Tek terbabat putus pada pangkalnya dekat pu dak! Lie Bu
Tek tak mengeluarkan suara akan tetapi rasa sakit membuatnya
jatuh pingsan. Wan Sin Hong merasa begitu kaget, marah, dan sakit
hati sampai-sampai ia pun roboh tak sadarkan diri, melihat peristiwa
hebat yang mengerikan hatinya itu.
Lai Tek melompat dan sekali tangannya bergerak, ia telah
merampas pedang dari tangan Kong Ji.
"Kong Ji, mengapa kau tidak menebas batang lehernya dan
hanya memotong lengannya?" bentaknya menegur.
Kong Ji cepat berlutut di depan Siang-mo-kiam Lai Tek. "Mohon
ampun sebanyaknya, Locianpwe. Ada dua hal yang memaksa teecu
tidak mau membunuh jahanam itu. Pertama karena teecu merasa
malu dan tidak sampai hati membunuh seorang yang sudah tak
berdaya biarpun dia musuh besarku. Ke dua, karena teecu
selamanya akan masih merasa penasaran kalau teecu
membunuhnya sekarang karena ia roboh bukan karena oleh teecu.
52
Teecu ingin belajar ilmu kepandaian yang kelak akan dapat teecu
pergunakan untuk membalas dendam dan mengalahkannya dengan
kedua tangan teecu sendiri."
"Ha-ha-ha-ha! Lai-suheng, kau benar. anak ini amat
mengagumkan. Aku sendiri yang akan membimbingnya agar ia
dapat memiliki kepandaian yang melebihi semua orang Hoa-san-pai.
Lagi pula, kalau satu-satunya keturunan Hoa-san-pai dibinasakan,
siapa kelak yang akan menggembirakan hati kita? Biarkan Lie Bu
Tek hidup dan kita sama lihat saja apakah kelak dia masih berani
menjual kepandaian. Ha-ha-ha! Akan luculah kalau. Lie Bu Tek yang
tinggal sebelah tangan itu berani mencari kita untuk membuat
perhitungan terakhir!"
"Sute, urusan sudah beres. Mari kita segera kembali!" kata Lai
Tek yang segera menjura ke arah Siang-pian Giam-ong Ma Ek. "Maenghiong,
kita berpisah di sini saja. Pulanglah ke Keng-sin-bun dan
setiap kali perkumpulan Bu-can-pang hendak mengadakan atau
melakukan sesuatu, jangan lupa memberi laporan kepada kami!"
Di dalam hatinya Ma Ek merasa mendongkol sekali. Bu-cin-pai
atau Bu-cin pang adalah perkumpulannya yang besar dan ternama,
sekarang eleh pihak Im-yang-bu-pai dipandang sebagai
perkumpulan kecil saja. Akan tetapi, ia tidak dapat berbuat apa-apa
melainkan membalas dengan penghormatan dan menganggukkan
kepala. Kemudian ia pergi dari situ dengan hati puas, karena ia telah
berhasil membasmi Hoa-san-pai, yang takkan mungkin ia lakukan
tanpa bantuan dua orang tokoh Im-yang-bu pai ini.
Thian-te Siang-tung Kwa Siang memondong Kong Ji sedangkan
Lai Tek juga mengempit tubuh Sin Hong dan kedua orang kakek
yang lihai ini cepat berlari seperti terbang turun dari Hoa-san,
meninggalkan Liang Gi Tojin yang sudah tewas dan Lie Bu Tek yang
berada dalam keadaan setengah mati.
Lie Bu Tek menderita kesakitan hebat. Baiknya tubuhnya telah
terlatih baik sehingga tak lama kemudian ia dapat siuman kembali
sebelum darahnya habis mengalir keluar dari luka di pangkal
lengannya. Ia menahan napas dan mengerahkan tenaga dalam.
Dengan amat susah payah barulah ia berhasil membebaskan diri
53
dari totokan yang lihai dari sepasang tongkat Thian-te Siang-tung
Kwa Siang.
Sambil menggigit bibir, ia menggerakkan tangan kirinya dan
menotok jalan darah di pundak kanan untuk nienghentikan
darahnya yang terus mengalir keluar. Dengan jalan ini barulah ia
dapat mencegah darahnya mengalir habis. Kemudian dengan susah
payah ia bangun dan duduk bersila, mengatur pernapasannya untuk
mengobati luka yang dideritanya di dalam tubuh. Ia berusaha
sekeras mungkin untuk melupakan keadaan suhunya yang mati
berbaring di atas tanah tidak jauh dari tempat ia duduk. Pada saat
seperti itu ia harus dapat melapangkan dada dan mengosongkan
pikiran. Ia harus hidup bukan saja untuk membalas penghinaan dari
Im-yang-bu-pai, akan tetapi juga untuk mencari Sin Hong yang
dibawa lari oleh musuh.
Tak lama kemudian sesosok bayangan yang gesit dan ringan
sekali berlari-lari naik ke puncak Hoa-san. Bayangan ini adalah
seorang wanita yang berusia kurang lebih empat puluh tahun akan
tetapi masih nampak nyata kecantikannya. Ketika melihat keadaan
di tempat pertempuran tadi, wanita itu mengeluarkan seruan
tertahan dan cepat-cepat ia berlari menghampin Lie Bu Tek.
"Lie Bu Tek Taihiap... kau kenapakah?"
Bu Tek membuka matanya dan melihat wanita ini, wajahnya
berubah.
"Kiang Cun Eng, kau datang mau apakah. Apa kau juga hendak
memusuhi Hoa-san-pai?"
Kiang Cun Eng mengerutkan kening melihat betapa tangan Bu
Tek tinggal sebelah, ketika ia mengikuti pandang mata pendekar itu,
ia lebih terkejut lagi lihat mayat Liang Gi Tojin di atas tanah.
'Taihiap...!' Apakah yang terjadi? Siapa yang begitu kurang ajar
melakukan semua ini? Siapa yang memhunuh Liang Gi Tojin dan
melukaimu? Katakan, aku bersumpah untuk mengejar dan
membinasakannya'" seru wanita itu yang bukan lain adalah Kiang
Cun Eng ketua dari Hek-kin Kaipang.
54
Bu Tek menggelengkan kepalanya. "Takkan ada gunanya.
Mereka amat lihai. Yang datang adalah Siang-pian Giam-ong Ma Ek
ketua Bu-cin-pang. Akan tetapi, yang lebih lihai adalah dua orang
kawannya, yakni Thian-te Siang-tung Kwa-Siang dan Siang-mo-kiam
Lai Tek, tokoh kedua dan ketiga dari Im yang-bu pai."
"Keparat! Aku akan mengerahkan kawan-kawan untuk membalas
dendam ini!" seru Kiang Cun Eng, kemudian wanita ini berlutut dan
memegang pundak Bu Tek sambil berlinang air mata. "Taihiap,
alangkah buruk nasibmu……. Sudah bertahun-tahun aku mencarimu
tanpa hasil. Baru-baru ini aku mendengar dari anggauta-anggauta
Hek-kin-kaipang bahwa kau menolong mereka dari tangan orangorang
Bu-cin-pang. Oleh karena itu aku segera menyusul ke sini
untuk menyatakan terima kasihku. Tak tahunya aku terlambat... kau
telah dicelakai orang. Aku bcrsumpah untuk membalaskan sakit
hatimu ini, Taihiap..."
Melihat orang menangis sambil megangi pundaknya, Bu Tek
terharu sekali. Teringatlah ia akan semua pengalamannya di waktu
mudanya. Pernah ia terlibat dalam urusan asmara dengan ketua
Hek-kin-kaipang ini, dan biarpun wanita ini mempunyai watak yang
buruk dan mata keranjang, namun belum pernah Kiang Cun Eng
melakukan perbuatan jahat. Sekarang ia tidak berdaya, dan orang
satu-satunya yang dapat diminta tolong hanya Hwa I Enghiong Go
Ciang Le. Akan tetapi ia tidak tahu di mana adanya pendekar besar
itu, maka sekarang harapan satu-satunya tinggal pada ketua Hekkin
kaipang ini.
"Cun Eng, sudahlah jangan menangis. Apakah benar-benar kau
sudi menolongku?”
"Tentu saja! Tidak saja aku mengingat perhubungan kita yang
lalu," sampai di sini merahlah mukanya dan biarpun ia sudah
setengah tua akan tetapi masih kelihatan cantik, "akan tetapi juga
pihakku kini sudah menjadi musuh Bu-cin-pang dan lm-yang bu-pai.
Katakan saja cara bagaimana aku dapat menolongmu, Taihiap.
Apakah aku harus merawatmu dan mengurus jenazah Gurumu?”
"Bukan, Cun Eng. Kautinggalkan saja, aku sendiri akan sanggup
mengurus jenatah Suhu. Akan tetapi... yang amat menggelisahkan
hatiku, adalah nasib Wan Sin Hong, anak angkatku. Dia dibawa
55
pergi oleh orang-orang Im-yang-bu-pai. Kuakejarlah mereka, akan
tetapi jangan kau turun tangan, karena kau takkan menang. Mereka
amat lihai. Pergunakan akal agar supaya kau dapat rampas kembali
anak itu. Kasihan dia...”
"Balk. Taihiap. Akan kulakukan sekarang juga. Akan tetapi Kau
perlu dirawat..."
"Tak usah, kau pergilah, Cun Eng. Aku Lie Bu Tek akan berterima
kasih sekali kepadamu kalau kau dapat menolong Wan Sin Hong.
Setelah kau berhasil merampasnya dari tangan orang-orang, Imyang-
bu-pai, kau bawalah dia ke Gunung Lu-liang-san, hadapkan dia
kepada Luliang Sam Lojin (Tiga Kakek dari Gunung Luliang), mohon
perlindungan kepada tiga Locianpwe itu. Hanya di sanalah Sin Hong
akan selamat dan terbebas dari ancaman orang-orang Im-yang-bupai."
Mendengar disebutnya Luliangsan, Kiang Cun Eng kelihatan
terkejut. "Kesana...? Taihiap, tidak tahukah kau bahwa sekarang ini
Luliangsan sedang menjadi buah bibir semua tokoh kang-ouw?
Bahwa kukira tak lama lagi semua orang gagah akan menyerbu ke
sana untuk mencari dan merampas kitab peninggalan Pak Kek
Siansu?"
Bu lek mengangguk. "Aku sudah mendengar akan hal itu.
Menurut desas-desus, mendiang Pak Hong Siansu membuka rahasia
bahwa Pak Kek Siansu meninggalkan sebuah pedang yang disebut
Pak-kek-sin-kiam (Pedang Sakti daei Kutub Utara) dan sebuah kitab
pelajaran Ilmu Pedang Pak-kek Kitam-sut dan Ilmu Silat Pak kek
Sin-ciang. Akan tetapi hal itu kebetulan sekali. Kalau kau membantu
Sin Hong ke sana. tidak saja ia berada di tempat yang aman karena
kepanddian ketiga Luliang Sam-lojin amat tinggi. Juga kalau Luliangsan
diserang orang, tentu Taihiap Go Ciang Le akan melindungi
gunung itu dan karenanya. Kalau ia melihat Sin Hong tentu ia akan
membela anak itu."
"Lie Bu Tek Taihiap, kau tadi katakan bahwa anak yang bernama
Wan Sin Hong itu adalah anak angkatmu. Sebenarnya putera
siapakah?"
56
"Dia itu putera sumoiku yang telah tewas oleh musuh. Sudahlah,
Cun Eng, kalau memang berkemauan baik, lekas susul orang-orang
Im yang-bu-pai itu dan tolonglah Sin Hong...." Kiang Cun Eng lalu
bangkit berdiri dan berkata perlahan.
"Lie Bu Tek Tai-hiap, mengingat hubungan kita dahulu, aku akan
menolong anak itu dan kalau perlu akan menyediakan nyawaku
untuk menolong dia memenuhi permintaanmu. Selamat tinggal....”
"Cun Eng, kau benar-benar mulia. Semoga Thian melindungi...."
kata Lie Bu Tek terharu sambil memandang tubuh wanita itu yang
mulai berlari cepat turun gunung.
Kiang Cun Eng adalah ketua dari Hek kin-kaipang, sebuah
perkumpulan pengemis yang amat besar dan berpengaruh.
Anggauta-anggauta Hek-kin-kaipang tersebar luas di seluruh kota
dan jumlah mereka sampai ribuan orang. Oleh karena itu, begitu
turun dari Hoa-san, Cun Eng dapat mengumpulkan orang-orangnya.
Mudah saja baginya untuk mencari tahu ke jurusan mana orang
orang Im-yang-bu-pai itu lari, dan cepat ia lalu mempergunakan
seekor kuda yang baik untuk mengejar. Di samping ini ia pun
memberi perintah kepada anak buahnya untuk melakukan persiapan
dan menyelidiki keadaan dua orang tokoh besar itu. Ia maklum
bahwa kalau sampai dua orang tokoh besar itu membawa Sin Hong
ke kota Lam-si di kaki Bukit Kim-san yang menjadi pusat
perkumpulan Im- yang bu-pai, akan sukarlah baginya merampas
anak itu. Jalan satu-satunya adalah berusaha merampasnya di
tengah perjalanan.
Tanpa mengingat lelah, siang malam Kiang Cun Eng
membalapkan kudanya, bertukar-tukar kuda di tiap kota di mana
anak buah Hek-kin-kaipang sudah siap untuk membantu ketua
mereka. Dengan cara inilah ketua Hek-kin-kaipang ini berhasil
mendahului perjalanan Thian-te Siang-tung Kwa Siang dan Siangmo-
kiam Lai Tek yang membawa dua orang anak dan sedang
menuju ke Lam-si.
Kiang Cun Eng menyebar mata-mata di setiap kota dan gerakgerik
kedua orang ini diawasi baik-baik oleh semua pengemis
anggauta Hek-kin kaipang. Dari penyelidikan ini tahulah Kian Cun
Eng, yang mana adanya Wan Sin Hong, karena tadinya ia ragu-ragu
57
melihat bahwa dua orang tokoh itu membawa dua orang anak kecil.
Ketika mendengar pelaporan dari para penyelidiknya, terharulah hati
Cun Eng.
Di sepanjang jalan, Sin Hong diperlakukan buruk sekali. Hal ini
adalah karena sikap yang keras kepala dari anak ini, sama sekali
tidak sudi memperlihatkan sikap tunduk. Biarpun disiksa, tidak diberi
makan dan diancam, tetap saja memperlihatkan sikap bermusuhan
kepada dua orang tokoh 1m yang-bu-pai itu. Apa lagi terhadap
Kong Ji, Sin Hong memperlihatkan sikap membenci dan menghina
sekali. Tak pernah ia mau bicara dengan Kong Ji, dan pandang
matanya seakan- akan ia hendak menghancurkan kepala Kong Ji.
Sebaliknya, Kong Ji amat cerdik. Ia pandai mengambil hati dua
orang tokoh Im-yang-bu-pai itu sehingga ia makin disayang. Bahkan
atas bujukan Kong Ji, Sin Hong amat dibenci oleh kedua orang tua
itu sehingga kalau saja Lui Tek tidak sayang melihat keberanian Sin
Hong, ia tentu sudah dibunuh di tengah perjalanan.
"Kalian boleh lakukan apa yang kalian suka kepadaku, akan
tetapi dengarkanlah. Aku Wan Sin Hong bersumpah bahwa aku akan
membalas kejahatan Im yang-bu-pai, Bu-cin-pang dan anjing hina
dina ini yang mengaku bernama Lui Kong Ji!” Suara ini adalah
makian yang keluar dari mulut Wan Sin Hong ketika untuk ke sekian
kalinya Kong Ji memukul sesuka hati atas perintah kedua orang
tokoh Im-yang-bu-pai.
Mereka berempat telah tiba di dalam sebuah hutan di sebelah
barat daerah gunungan Kim-san dan bermalam di sebuah kuil tua
yang sudah kosong. Seperti biasa, Sin Hong memperlihatkan sikap
bermusuhan dan kali ini secara main-main Lai Tek menyuruh Kong
Ji yang mencoba untuk memaksa Sin Hong hertekuk lutut dan minta
ampun. Akan tetapi, biarpun pukulan-pukulan Kong Ji telah
membuat darah keluar dari bibirnya yang pecah-pecah, hasilnya
malahan membuat Sin Hong naik darah dan ia memaki-maki serta
menyumpah nyumpah.
"Ha-ha-ha, Sin Hong. Kau benar-benar tak tahu diri. Sebentar
lagi akan mampus, bagaimana kau masih dapat bersumpah untuk
membalas dendam,” kata Kong Ji tak kenal malu. Anak ini benarbenar
cerdik, ia tak khawatir kalau-kalau Sin Hong akan membuka
58
rahasianya bahwa dia adalah keturunan ketua Kwan-im-pai, karena
ia tahu akan kejantanan hati Sin Hong. Pantang bagi Sin Hong
untuk mengkhianatinya, biarpun ia telah berlaku jahat kepada Sin
Hong. Hal ini ia yakin betul apalagi kalau dipikir bahwa ia telah
berhasil merebut hati kedaua orang tokoh Im yang-bu-pai sehingga
kalau sekiranya Sin Hong membuka mulut membongkar rahasianya,
dua orang itu tak mau percaya kepada murid termuda dari Hoa-sanpai
itu.
"Kong Ji, baik masih hidup maupun sudah mati, aku selalu akan
mengejarmu dan membalas dendam. Kalau masih hidup, kelak
kedua tanganku sendiri yang akan merenggut nyawamu, kalau aku
sudah mati nyawaku akan menjadi setan penasaran yang akan
mengejarmu selama kau masih hidup!"
Pucat wajah Kong Ji mendengar ini. Biarpun kata-kata ini
dikeluarkan oleh seorang anak kecil, akan tetapi kehebatannya
membuat bulu tengkuknya merenung saking seramnya. Juga dua
orang tokoh Im-yang-bu-pai saling pandang dan merasa mengkirik.
Hebat sekali keteguhan hati anak ini dan mereka mau tidak mau
memandang kagum kepada anak kecil yang usianya paling banyak
baru dua belas tahun itu. Sin Hong dengan muka benjol-benjol dan
bibir berdarah, berdiri dengan kedua kaki dipentang lebar, dalam
bayangan api lilin ia kelihatan amat gagah dengan sepasang mata
bersinar-sinar, kedua tangan dikepal.
"Suheng, kalau tidak dihabiskan, anak ini benar-benar merupakan
bahaya besar di kemudian hari," kata Kwa Siang samhil
menundukkan muka, tidak kuat menentang pandang mata Sin Hong
yang berapi-api dari sepasang mata kecil yang jarang berkedip itu.
Siang-mo-kiam Lai Teak menarik napas panjang. "Sayang bahan
yang sebaik ini terpaksa harus dilenyapkan. Tunas begini baik
terpaksa harus dicabut. Tak kusungka hatinya sekeras baja,
pendiriannya sekokoh bukit. Memang tidak ada jalan lain kecuali
melenyapkannya, karena dia ini kelak memang merupakan bahaya
besar bagi Im-yang-bu-pai."
-oo0mch-dewi0oo59
Jilid III
“JIWI Locianpwe, biarkan teecu membunuh tikus bermulut jahat
ini!" kata Kong Ji girang. Anak ini memang akan -merasa amat lega
dan gembira kalau Sin Hong sampai tewas, karena bahaya satusatunya
bahwa rahasianya akan terbongkar berada di tangan Sin
Hong. Kalau Sin Hong mati, tentu ia akan aman dan dapat
melanjutkan cita-citanya, yakni ilmu silat dari Im-yang-bu-pai, yang
mempunyai banyak orang pandai.
Kwa Siang mengangguk. "Lakukanlah!” Biarpun Kwa Siang sudah
amat biasa membunuh orang tanpa berkedip mata, -melihat
kegagahan Sin Hong yang sedemikian rupa ia menjadi lemah dan
tidak tega untuk menjattuhkan tangan maut kepada anak luar biasa
ini.
Kong Ji pernah belajar ilmu silat, tidak saja dari orang tuanya,
juga pamannya yaitu Liok San, dan paling akhir ia belajar dari Liang
Gi Tojin, oleh karena ini, tanpa sebuah senjata pun di tangan, tentu
saja ia tahu bagaimana harus mengirim pukulan tangan kosong
untuk merenggut nyawa. Selama ini ia berhati-hati sekali sehingga
dalam setiap gerakannya, tidak terlihat ilmu dari Kwan-im-pai dan ia
hanya memperlihatkan ilmu silat Hoa-san-pai yang memang tidak
mengherankan orang karena ia sudah berada empat tahun di
puncak Gunung Hoa-san. Sambil tersenyum mengejek dan matanya
yang tajam itu berapi dan kejam sekali, Kong Ji berjalan perlahan
menghampiri Sin Hong. Sebaliknya, Wan Sin Hong berdiri dengan
tenang dan tabah. Ia maklum bahwa kalau saja ia tidak menderita
luka-luka akibat siksaan yang diterimanya selama ini, akan dapat
menghadapi dan melawan Kong Ji. Ia tak usah kalah oleh Kong Ji
dalam hal ilmu silat sungguhpun tidak dapat memastikan apakah ia
akan menang. Akan tetapi, pada waktu itu tubuhnya sudah amat
lemah. Tidak saja menerima siksaan dan luka-luka, juga ia tidak
diberi makan sudah dua hari sehingga tubuhnya lemah sekali.
"Anjing tak berjantung, kau mau membunuh aku? Bunuhlah,
sama saja bagiku, hidup atau mati aku tetap akan membalasmu
kelak!" kata Sin Hong samhil berdiri tegak.
60
Kong Ji menjadi semakin marah mendengar makian ini. Dengan
tangan kanan dikepalkan sambil mengerahkan semua tenaganya, ia
menghantam ke arah pelipis Sin Hong. Kalau pukulan ini tepat
mengenai sasaran, tak dapat diragukan lagi Sin Hong tentu akan
putus nyawanya. tidak saja pukulan ini mengandung tenaga yang
dahsyat, juga yang dipukul adalah bagian kepala yang paling lemah
dan yang menjddi pusat semua urat syarat.
Sin Hong maklum pula bahwa ia tidak berdaya melawan, namun
tentu saja tidak mau mampus begitu saja. biarpun ia tidak
mengenal takut dan tidak takut mati, namun ia akan membela diri
sedapat mungkin. Melihat datangnya pukulan ke arah pelipisnya, ia
menggerakkan kepalanya ke belakang sehingga pukulan itu
melayang di depan matanya dan menyambar tempat kosong.
Kong Ji marah sekali dan untuk kedua kalinya ia melayangkan
pukulannya kini ia menonjok ke arah dada kiri Sin Hong. Pukulan ini
pun merupakan pukulan maut karena kalau mengenai sasaran
jantung anak itu akan tergoncang dan dapat menyebabkan
kematiannya, Sin Hong miringkan tubuhnya, akan tetapi karena
tubuhnya sudah lemas kurang bertenaga, maka gerakannya itu
kurang cepat sehingga pukulan yang dahsyat itu masih mengenai
lengannya di atas siku.
"Krak...!" Patahlah tulang lengan dari Sin Hong. Anak ini meringis
kesakitan dan air mata terloncat keluar saking hebatnya rasa sakit
yang dideritanya. Namun tidak sedikit pun keluhan keluar dari
mulutnya dan biarpun kedua kakinya gemetar, ia masih dapat
menjaga keseimbangan tubuhnya dan tidak roboh terguling.
Pada saat itu, sebelum Kong Ji menyerang lagi untuk
menewaskan Sin Hong, terdengar suara halus dari luar.
"Tahan...! Jangan mendahului kami membunuh musuh besar
kami!"
Kong Ji kaget dan menengok, demikian pula dua orang tokoh Im
yang bu-pai memandang ke arah luar kuil bobrok. Ternyata bahwa
yang datang adalah Kiang Cun Eng, anggauta-anggauta Hek-inkaipang!
Kuil itu telah dikurung oleh seratus orang pengemis Hekkin-
kaipang dan kedatangan ketua perkumpulan pengemis itu
61
benar-benar tepat sekali, karena terlambat satu menit saja, tentu
nyawa Sin Hong sudah melayang akibat serangan serangan Kong Ji
yang ganas dan keji.
Ketika mengenal siapa orangnya yang menahan Kong Ji
membunuh Sin Hong, dua orang tokoh Im-yang-bu-pai itu saling
pandang dan muka mereka menjadi merah. Lalu melompat berdiri
dan tangan kanan mereka meraba gagang senjata.
'Biarpun perkumpulan kami jauh lebih tinggi kedudukannya
daripada Hek-kin-kai-pang, namun kami masih mengingat bahwa
Hek-kin-kaipang adalah perkumpulan tua yang ternama juga, maka
kami tidak pernah mengganggu. Sekarang Kek kin-kaipang dengan
puluhan orang anggautanya mengepung dan mengganggu kami,
apakah artinya ini?”
Kiang Cun Eng memberi hormat dan tersenyum manis. "Jiwi
Locianpwe, mohon maaf sebanyaknya. Kalau tidak ada setan cilik ini
di situ, mana kami berani mengganggu Jiwi? Perkenalkanlah, aku
adalah Kiang Cun Eng ketua Hek-kit kaipang yang bodoh dan
rendah. Kami telah mendatangi Hoa-san-pai untuk membasmi partai
yang telah berkali-kali menghina kami dan menjadi musuh besar
kami, akan tetapi ternyata kami didahului oleh Jiwi Locianpwe yang
gagah perkasa. Oleh karena setan cilik ini adalal ahli waris terakhir
dari Hoa-san-pai, maka kami mohon kepada Jiwi sudilah
memberikan anak ini kepada kami untuk kami bikin korban
sembahyang, guna menyembahyangi roh-roh para anggauta kami
yang ditewaskan oleh orang-orang Hoa-san pai. Bagi Jiwi, kiranya
membunuh Liang Gi Tojin dan Lie Bu Tek saja sudah cukup. Harap
sudi mengalah kepada kami dan memberi kesempatan kepada kami
untuk membalas dendam kami kepada keturunan Hoa-san-pai yang
terakhir ini."
Thian-te Siang-tung Kwa Siang yang tadi menegur, memandang
kepada suhengnya dan mereka berdua merasa curiga. Sudah lama
mereka mendengar nama Kiang Cun Eng sebagai ketua Hek-kinkaipang
yang lihai ilmu silatnya dan banyak akal. Tentu saja mereka
berdua tidak takut menghadapi ilmu silat ketua Hek-kin-kai-pang ini,
akan tetapi mereka merasa curiga kalau-kalau mereka akan ditipu.
62
"Hm, siapa percaya omonganmu?" kata Siang-mo-kiam Lai Tek
sambil, memandang tajam. Di bawah sinar api penerangan yang
suram, wajah Kiang Cun Eng masIh nampak cantik jelita seperti
gadis berusia remaja saja. "Bagaimana kalau kami menolak
permintaanmu?"
Kiang Cun Eng menjura. "Locianpwe, bagi aku sendiri, ditolak
masih tidak apa-apa, akan tetapi para anggauta Hek-kin-kaipang
yang seratus orang banyaknya ini sudah tidak sabar lagi. Mereka
semua haus darah anak Hoa-san-pai itu, maka terserah kepada
Locianpwe apakah hendak mengalah atau tidak. Akan tetapi, aku
tidak tanggung kalau semua kawanku ini tidak mau menerima begini
saja dan ramai-ramai akan menyerbu untuk berebut membinasakan
anak itu.”
Kwa Siang hendak marah akan tetapi Lai Tek memberi isyarat
dengan matanya. Tokoh ke dua dari Im-yang-pai ini bukan orang
bodoh. Ia pikir tidak ada untungnya untuk memperebutkan tentang
siapa yang akan membinasakan anak Hoa-san-pai itu. Alangkah
bodohnya kalau tidak mau mengalah dan kemudian bentrok dengan
Hek-kin-kaipang yang pada saat itu terdiri dari seratus orang. Siepa
saja yang membunuh anak ini, apa bedanya? Pihak Im-yang-bu-pai
hanya ingin melihat anak ini binasa agar kelak tidak menimbulkan
bencana.
"Kiang-kaipangcu, biarlah kami mengalah. Akan tetapi kau harus
membinasakan anak ini di tempat ini juga, disaksikan oleh kami!"
katanya. Mendengar ucapan ini, Kwa Siang mengangguk-angguk
menyatakan setuju. Memang kalau anak itu dibunuh di sini, apa
bedanya?
"Baik dan terima kasih!" kata Kiang Cun Eng sambil membentak.
"Anak setan, kau ke sinilah!" Sekali saja ia menjambret, ia telah
dapat menjambak rambut Sin Hong dan diseretnya anak itu
mendekat.
Sin Hong menggigit bibirnya menahan rasa sakit dan pedas pada
kulit kepalanya.
"Siluman perempuan, kau hendak membunuh lekas bunuh! Siapa
takut mampus?" ia balas membentak sambil iiendelikkan matanya.
63
"Bocah setan, pernah apa kau dengan Lie Bu Tek ?" tanya Kiang
Cun Eng memperkeras jambakannya sehingga dua orang tokoh Imyang-
bu-pai menjadi girang dan hilang kecurigaannya. Ternyata
bahwa ketua dari Pek-kin-kaipang ini lebih keras hati lagi dan
mereka tentu akan melihat kematian yang amat menarik hati dari
anak kecil itu!
"Lie Bu Tek adalah ayah angkatku, kau siluman perempuan
tanya-tanya ada perlu apakah?"
"Bagus, kalau begitu kau harus mampus?" bentak Kiang Cun Eng
sambil mencabut pedang di tangan kanan. Akan tetapi bukannya ia
menggunakan pedang untuk menabas batang leher Sin Hong,
sebaliknya ia lalu menyambar tubuh anak itu dengan lengan kirinya,
memondongnya lalu meloncat cepat sekali keluar dari kuil!
"Celaka, kita tertipu!" teriak Kwa Siang dan cepat menggerakkan
tangan kanannya yang sejak tadi telah memegang tiga pelor besi.
Tiga buah senjata rahasia itu menyambar ke arah Kiang Cun Eng,
akan tetapi wanita gagah ini memutar pedangnya. Terdengar suara
nyaring dan tiga buah' pelor besi itu terpental. Akan tetapi Cun Eng
merasa betapa telapak tangannya yang memegang pedang tergetar
dan kesemutan!
Kwa Siang dan Lai Tek mencabut senjatanya dan meloncat untuk
mengejar. Akan tetapi baru saja tiba di depan pintu, mereka telah
dihadang oleh seratus orang anggauta Hek kin-kaipang.
"Bagus mulai hari ini Im-yang-bu-pai akan membasmi Hek-kinkaipang!"
teriak Kwa Siang marah sekali dan bersama suhengnya ia
lalu mainkan senjata dan mengamuk hebat. Kepandaian dua orang
kakek ini memang lihai sekali. Andaikata Kiang Cun Eng ikut
mengeroyok, ketua Hek-kin-kaipang ini pun takkan menang
menghadapi mereka. Apalagi sekarang Hek-kin-kaipang telah
banyak kehilangan jago-jagonya. Dahulu Kiang Cun Eng masih
mempunyai pembantu-pembantu yang amat sakti ketika Cun Eng
masih muda. Akan tetapi para pembantunya itu telah tua sekali dan
sekarang semua anggauta Hek-kin-kaipang pandai ilmu silat, namun
menghadapi dua orang tokoh Im-yang-bu pai yang amat lihai itu,
mereka roboh seorang demi seorang bagaikan rumput dibabat.
64
Naintin para anggauta Hek-kin-kaipang sudah amat terkenal
sebagai orang-orang yang setia sampai mati kepada perkumpulan
dan ketua mereka. Biarpun maklum bahwa dua orang itu sama
sekali bukan lawan mereka, namun mereka taat akan perintah yang
dikeluarkan oleh Kiang Cun Eng untuk menghalangi dua orang
musuh itu melakukan pengejaran terhadap ketua mereka. Biarpun
banyak sekali kawan-kawan mereka yang roboh binasa, namun
mereka sama sekali tidak mau memberi jalan dan terus mengepung
Kwa Siang dan Lai Tek. Dua orang tokoh Im-yang-bu-pai itu
menjadi makin marah. Benar-benar mereka tak berdaya untuk
mengejar Cun Eng, dan terpaksa mereka mengamuk terus sehingga
puluhan orang anggauta Hek-kin-kaipang roboh, terluka atau tewas.
Baiknya mereka bertempur di luar kuil dan keadaan malam hari itu
gelap sehingga hal ini mengurangi banyakn)a korban yang jatuh.
Setelah mengurung dan mengeroyok dua orang Im-yang-bu-pai
itu cukup lama dan yakin bahwa ketua mereka sudah melarikan dan
cukup jauh hingga tak mungkin akan tersusul oleh pengejarpengejarnya,
para anggauta Hek-kin-kaipang tiba-tiba melenyapkan
diri di dalam gelap. Hebatnya dan rapinya barisan pengemis ikat
pinggang hitam ini adalah ketika mereka melenyapkan diri, tiap
orang menyambar tubuh seorang kawan yang terluka atau tewas
sehingga ketika lenyap, mereka yang jadi korban juga lenyap dari
tempat itu!
Akan tetapi, seorang anggauta Hek-kin-kaipang tak dapat
melarikan diri cukup cepat karena ia berada di dekat Lai Tek. Sekali
saja Siang-mo-kiam Lai lek menggerakkan tangannya, ia telah dapat
menangkap pundak orang ini yang segera dibantingnya ke bawah.
Pengemis itu mengeluh dan tak dapat berdiri lagi.
"Hayo katakan ke mana perginya ketuamu Kiang Cun Eng," kata
Lei Tek tiambil mengancam dengan pedangnya. Akan tetapi
pengemis itu diam saja tidak menjawab dan tidak bergerak.
"Bangsat rendah, kau ingin disiksa?" Kwa Siang ikut mengancam
dengan marah sekali.
"Sahabat, kalau kau mengaku dan memberi tahu kepada kami ke
mana perginya ketuamu, kami akan mengampuni nyawamu," kata
pula Lai Tek. Namun pengemis tetap menutup mulutnya.
65
"Jiwi locianpwe, mengapa tidak memanggang hidup-hidup agar
dia suka mengaku?" tiba-tiba Liok Kong Ji yang sudah keluar dari
kuil memberi usulnya.
Melihat tiga musuh besar ini, pengemis yang tertangkap itu
tersenyum mengejek. "Kau kira aku orang macam apa? Biar kau
akan membunuhku, aku takkan mengkhianati perkumpulan dan
pangcu. Mau bunuh boleh bunuh, tak sudi aku mengobrol lebih lama
dengan anjing-anjing besar kecil screndah kalian!"
"Krak!!" Kepala pengemis itu pecah dan isi kepalanya hancur
berantakan ketika tongkat Kwa Siang melayang dan menghantam
kepalanya. Kwa Siang yang berhati keras dan berangasan itu tak
dapat menahan sabar lagi.
"Ah, mengapa kau terburu nafsu, Sute? Ke mana kita harus
mengejar ketua Hek-kin-kaipang?" Lai Tek menyesal.
"Apa sih perlunya dikejar-kejar, Suheng? Kelak apa sukarnya bagi
kita untuk memenggal leher ketua Hek-kin-katpang untuk membalas
dendam atas hinaannya kali ini. Tentang setan cilik yang dibawanya
pergi, andaikata Kiang Cun Eng menipu kita dan tidak
membunuhnya, apa sih yang patut ditakuti? Lebih baik kita lekas
pulang ke Lam-si melaporkan semua hal ini kepada bengcu
(pemimpin) kita."
Siang-mo-kiam Lai Tek menarik napas panjang. Ia tahu akan
watak suhengnya yang selain keras juga amat berani. Lagi pula,
kalau dipikir-pikir, memang mereka tidak mempunyai lain jalan
untuk mengejar Kiang Cun Eng. Kalau mereka berusaha
mencarinya, tentu berarti akan terlambat tiba di kota Lam-si yang
sudah dekat dan hal ini amat berbahaya. Bengcu mereka adalah
seorang yang jauh lebih keras hati daripada Kwa Siang. Sekali ia
marah, ia mampu membunuh seorang anggauta atau murid seketika
itu juga kalau si murid ini salah atau melanggar perintahnya!
"Baiklah, Sute. Marl kita langsung ke Lam-si saja. Bengcu tentu
sudah menunggu-nunggu kita."
Demikianlah, Thian te Siang-tung Kwa Siang, Siang-mo-kiam Lai
Tek, dan Liok Kong Ji atau sebaiknya kita sebut Lui Kong Ji karena
anak yang berhati keji dan khianat ini sudah mengganti she (nama
66
keturunan), berangkat cepat-cepat ke kota Lam-si di kaki bukit Kimsan.
Pada keesokan harinya, tibalah mereka di kota Lam-si. Kong Ji
merasa kagum melihat sebuah gedung yang kokoh kuat dan besar
sekali di sebelah barat kota. Di depan gedung ini tergantung papan
nama perkumpulan Im-yang-bu-pai dengan tulisan yang merah,
besar dan gagah. Di depan pintu gerbang duduk beberapa orang
penjaga yang pakaian aneh, yakni seperti yang dipakai oleh Kwa
Siang dan Lai Tek, setengah hitam setengah putih'
Melihat Kwa Siang dan Lai Tek, semua penjaga berdiri tegap
memberi hormat.
"Di mana bengcu?" tanya Lai Tek.
"Bengcu sedang berlatih silat di lian-bu-thia (ruang berlatih silat),
melarang orang mendekati tempat itu," seorang penjaga memberi
keterangan.
Lai lek maklum bahwa larangan ini berlaku untuk semua
anggauta kecuali dia dan Kwa Siang yang merupakan "tangan kanan
kiri" dari ketua Im-yang-bu-pai. Maka ia mengajak Kong Ji dan
sutenya memasuki gedung, terus menuju ke lian-bu-thia. Ruangan
ini lebar dan dikurung oleh empat pintu tertutup daun pintunya.
Tiba-tiba mereka mendengar sambaran-sambaran angin yang
dahsyat sekali sehingga daun-daun pintu tergetar seakan-akan
didorong dari sebelah dalam. Dua orang tokoh lm yang-bu-pai itu
saling pandang dengan heran dan kagum.
"Kong Ji, kau tinggal di sini saja, sekali-kali tak boleh ikut masuk
ke dalam," kata Lai Tek kepada anak itu yang tidak mengerti apa
yang terjadi di sebelah dalam ruangan lian-bu-thia atau di balik
empat pintu itu.
Adapun Lai Tek dan Kwa Siang berlutut di luar sebuah pintu
kemudian Lai Tek berseru,
"Bengcu yang mulia, hamba berdua datang menghadap."
Sambaran angin pukutan makin menghebat dan tiba-tiba pintu di
depan dua orang tokoh Im-yang-bu-pai itu terpentang lebar dan
67
angin pukulan masih menyerang keluar, membuat Kwa Siang dan
Lai Tek jatuh bergulingan! Dapat dibayangkan betapa hebatnya
pukulan itu yang anginnya saja dapat membuat pintu terpentang
dan dua orang lihai seperti Lai Tek dan Kwa Siang sampai tak dapat
menahan dan bergulingan.
Lai Tek dan Kwa Siang terkejut bukan main. Mereka bangkit dan
duduk lagi dengan muka pucat, akan tetapi keduanya tersenyum
girang.
"Bengcu telah berhasil melatih ilmu pukulan dengan tenaga Tinsan-
kang (Tenaga Menggetarkan Gunung)!" kata Lai Tek.
Terdengar suara ketawa menyeramkan dari balik pintu dan tibatiba
bagaikan bayangan seorang iblis, di depan dua orang tokoh Imyang-
bu-pai itu telah berdiri seorang kakek yang menyeramkan.
Kakek ini rambutnya panjang terurai ke pundak, matanya lebar dan
tubuhnya tinggi besar. Pakaiannya seperti pakaian seorang tosu,
bertangan lebar dan amat longgar nienutupi tubuhnya. Inilah
bengcu atau ketua dari Im-yang bu-pai atau boleh juga disebut
pendiri dari Im-yang-bu-pai karena sebelum dia datang yang ada
hanya Im yang-kauw. Setelah kakek yang sakti ini datang dan
mengusai Im-yang-kauw, dia lalu mendirikan Im-yang-bu-pai yang
amat berpengaruh.
Bagi pembaca yang sudah membaea cerita Pendekar Budiman,
orang ini tidak asing lagi, karena ia sesungguhnya adalah Giok Seng
Cu, tosu yang nenjadi murid dari Pak Hong Siansu tokoh terbesar
dari Tibet. Ilmu kepandatan Giok Seng Cu amat tinggi, apalagi
akhir-akhir ini ia selalu memperdalam ilmu silatnya setelah ia kena
dikalahkan Go Ciang Le yang berjuluk Hwa I Enghiong. Sebetulnya
pendekar besar Go Ciang Le masih terhitung saudara
seperguruannya. Karena guru dan Go Ciang Le adalah Pak Kek
Siansu yang menjadi suheng dari Pak Hong Siansu. Hanya bedanya,
kalau Pak Kek Siansu, menjadi seorang pertapa suci, adalah Pak
Hong Siansu tersesat jauh, memasuki hek-to (jalan hitam).
Melihat kedatangan dua orang kaki tangannya, Giok Seng Cu
tertawa. Ia merasa grrang sekali bahwa ilmu pukulan yang sedang
dilatihnya itu berhasil baik.
68
"Masih jauh daripada memuaskan. katanya berulang-ulang.
"Sedikitnya naik dua tingkat lagi baru dapat menghadapi Hwa I
Enghiong!"
Dua orang tokoh lm-yang-bu-pai terkejut mendengar ini. Ketua
mereka sudah demikian dahsyat kepandaiannya hingga kalau
dibandingkan dengan kepandaian mereka, mereka bukan apa- apa.
Masa sekarang ketua ini harus naik dua tingkat kepandaiannya baru
dapat menghadapi Hwa I Enghiong? Hampir mereka tak dapat
percaya.
"Sesungguhnyakah?" Kwa Siang yang kasar menyatakan
keheranannya, "Sampai dimanakah lihainya Go Ciang Le?"
Giok Seng Cu tertawa terbahak, suara ketawanya memecahkan
telinga rasanya sehingga Kong Ji tak terasa lagi menutup kedua
telinganya dengan tangan, baru berani membukanva kembali
setelah orangtua itu menghentikan ketawanya.
"Kau tahu apa? Go Ciang Le telah mewarisi kepandaian Pak Kek
Siansu, ilmu silatnya lihai luar biasa. Kalau aku tidak dapat
merampas pedang Pak-kek-sin-kiam dan kitab rahasia dari Supek
yang ditinggalkan di Luliang-san, aku masih belum mampu
mengalahkannya. Namun menghadapi Luliang Sam-lojin pun bukan
hal yang amat mudah. Setahun lagi kalau Tin-san-kang yang kulatih
sudah sempurna, barulah aku akan menyerbu ke Luliang-san!"
Kemudian kakek berambut panjang ini menahan kata-katanya dan
merasa bahwa ia telah bicara terlalu hanyak, maka sambungnya,
"Eh, Lai Tek dan Kwa Siang, bagaimana dengan tugas kalian
menghukum Hoa-san pai? Dan siapa anak setan ini?"
“Hoa-san-pai telah hamba basmi, Liang Gi Tojin dapat
ditewaskan, dan Lie Bu Tek menjadi orang cacad tiada guna selama
hidupnya. Adapun anak bernama Lui Kong Ji, Ayah Bundanya tewas
dalam tangan Lie Bu Tek. Karena melihat dia berbakat, hamba lalu
membawanya untuk menjadi murid hamba," kata Kwa Siang.
Adapun anak itu ketika tadi melihat Giok Seng Cu bertanya tentang
dia, menjadi ketakutan dan siang-siang sudah berlutut tanpa berani
mengangkat mukanya.
69
Kwa Siang dan Lai Tek lalu menuturkan semua pengalaman
mereka, juga tentang anak angkat dari Lie Bu Tek yang tadinya
mereka bawa akan tetapi
kemudian dirampas oleh
Kiang Cun Eng.
"Mengapa kalian
menguruskan anak kecil
itu? Hek-kin-kaipang tak
boleh dipandang ringan,
anggautanya banyak
sekali. Belum waktunya
bagi kita untuk menanam
permusuhan dengan
mereka.” Giok Seng Cu
menegur setelah
mendengar semua
penuturan mereka.
"Menurut keterangan
Kong Ji, anak itu bukan
orang sembarangan,
melainkan keturunan dari
Wan-yen dan murid
wanita Hoa-san-pai, kalau tidak dibinasakan, tentu kelak akan
mendatangkan bencana," kata Lai Tek.
Giok Seng Cu menggerakkan tangannya. “Hah, takut apa
menghadapi bocah itu? Biar dia dibawa oleh Kiang Cun Eng, biar
ada seratus Kiang Cun Eng melatihnya, dia akan bisa berbuat apa
terhadap kita?" Kemudian kakek berambut panjang yang
menyeramkan itu memandang ke arah Kong Ji.
"Angkat mukamu!" bentaknya. Kon Ji terkejut dan menurut.
"Kwa Siang, kau tidak salah, anak ini berbakat. Akan tetapi kita
tidak tahu akan wataknya. Kau boleh mendidiknya, akan tetapi
kalau kelak kulihat dia berbahaya, aku akan melenyapkannya."
Kwa Siang menyatakan baik dan Kong Ji yang tahu diri segera
mengangguk-anggukkan kepalanya, menghaturkan terima kasih
70
kepada kakek berambut panjang yang galak itu. Anak ini cerdik
sekali, maka ia menjaga sedapat mungkin untuk menarik hati semua
orang dan beberapa bulan kemudian ia telah dapat mengambil hati
Giok Seng Cu sendiri sehingga ia diakui sebagai murid termuda dari
lm-yang-bu-pai.
--oo0mch-dewi0oo--
Gunung Luliang-san menjulang tinggi, puncaknya tertutup oleh
mega-mega putih. Akan tetapi kalau orang berada di puncak itu, ia
akan melihat mega yang berwarna semu hijau. Oleh karena puncak
Luliang-san ini oleh mendiang Pak Kek Siansu, dinamakan Jeng inthia
(Ruangan Mega Hijau). Di puncak ini terdapat sebuah bangunan
pondok sederhana dan kuat, pondok yang sudah kosong. Di
halaman pondok terdapat dua makam yang letaknya berhadapan,
kurang lebih lima tombak jarak antara dua makam ini. Itulah makam
Pak Kek Siansu dan sutenya, Pak Hong Siansu yang tewas dalam
pertandingan ilmu kepandaian secara hebat di depan pondok.
Setelah keduanya tewas Go Ciang Le mengubur jenazah kedua
orang tua sakti itu.
Semenjak Pak Kek Siansu tewas, Jeng-in-thia tidak pernah
ditinggali orang. Adapun ketiga murid Pak Kek Siansu yang juga
merangkap menjadi pelayan- pelayannya, kini tinggal di lereng
gunung, dan hanya sekali waktu datang ke Jeng-in-thia untuk
membersihkan bekas tempat tinggal guru mereka.
Tiga murid ini adalah Luliang Sam to-jin, tiga orang kakek dari
Gunung Luliang san. Yang tertua adalah Luliang Ciangkun atau
Panglima Luliang-san, kedua Luliang Siu-cai atau Sasterawan
Luliang-san, sedangkan ke tiga adalah Luliang Nungjin atau Petani
Luliang-san. Mereka telah berusia lanjut, telah menjadi kakek-kakek,
namun mereka dianggap sebagai locianpwe yang dihormati dan
disegani oleh semua golongan dalam dunia persilatan. Namun,
mereka telah lama mengasingkan dirie selalu tinggal di lereng
Luliang-san dan tidak pernah turun ke dunia ramai. Bahkan watak
mereka amat aneh, Sama sekali mereka tidak mau berhubungan
dengan manusia.
71
Kalau ada yang berani mendaki bukit Luliang-san, setiba di lereng
tempat tinggal mereka, pasti orang itu akan mereka usir, secara
halus maupun kasar!
Oleh karena inilah maka tidak ada orang kang-ouw yang berani
naik ke sana, karena mereka segan menghadapi Luliang Sam-lojin
yang memiliki kepandaian amat tinggi. Ketika Pak Hong Siansu
menyerbu Luliang-san (diceritakan dalam Pendekar Budiman), tiga
orang kakek ini terluka hebat oleh Pak Hong Siansu yang menjadi
susiok (paman guru) mereka sendiri, Luliang Ciangkun patah-patah
lengan kanannya sehingga kini lengan kanan itu menjadi bengkok
dan tak dapat dipergunakan untuk mainkan pedangnya yang lihai
dan ia terpaksa bermain pedang dengan tangan kiri. Luliang Siu-cai
patah tulang pundaknya sehingga kini tulisannya yang biasa indah
sekali menjadi coret-coretan jelek, juga menyebabkan gerakan ilmu
silatnya kaku, Luliang Nungjin patah-patah kakinya sehingga kini
kalau berjalan menjadi terpincang-pincang.
Akan tetapi, biarpun telah menjadi orang-orang bercacad,
kepandaian mereka tidak berkurang, bahkan kini makin matang dan
berisi. Mereka memang sudah memisahkan diri dari dunia ramia,
akan tetapi oleh karena pengalaman yang dulu-dulu membuat
mereka maklum bahwa pengasingan diri itu belum tentu berarti
mereka terbebas daripada gangguan orang-orang jahat, maka
mereka tidak lupa untuk melatih diri dan memperdalam ilmu
kepandaian mereka.
Luliang Sam-lojin maklum bahwa suhu mereka meninggalkan
sebatang pedang pusaka dan kitab pelajaran ilmu silat yang
disembunyikan di puncak Luliang-san. Suhu mereka pernah
berpesan sebelum meninggal dunia kepada mereka.
"Pedangku Pak-kek-sin-kiam dan kitab ilmu silat Pak-kek-sinkiamsut
serta Pak kek-sin-ciang kusembunyikan di sekitar Jeng-inthia.
Akan tetapi kalian takkan dapat mempelajarinya, karena untuk
mempelajari ilmu itu, harus ada seorang yang masih bersih lahir
batinnya, seorang anak yang berbakat baik dan bertulang pendekar
budiman. Kiranya hanya Ciang Le yang akan dapat mewarisinya.
Akan tetapi biarlah kita serahkan jodoh pedang dan ilmu itu kepada
Thian. Jangan beritahukan kepada siapapun juga, biarkan orang
72
yang berjodoh menemukannya sendiri. Akan tetapi hati-hati dan
jagalah jangan sampai dua benda itu terjatuh ke dalam tangan
orang jahat."
Pesanan ini ditaati betul oleh mereka. Memang mereka pernah
mencarI di dalam pondok, akan tetapi tidak dapat menemukan
pedang dan kitab itu dan akhirnya mereka hanya menjaga di lereng
bukit dengan penuh kewaspadaan. Bagi mereka yang sudah tua,
memang sudah kurang nafsu untuk memiliki pedang pusaka dan
kitab rahasia itu, karena untuk apakah? Luliang Ciangkun sudah
cukup berbahagia kalau ia bisa bersilat pedang di tangan kiri pada
malam terang bulan sambil diselingi minum arak sampai mabok.
Luliang Siu-cai biar pun tulisannya sudah buruk, cukup berbahagia
untuk menulis sajak-sajak indah sambil minum arak di bawah sinar
bulan purnama. Adapun Luliang Nungjin dapat tertawa sepuas
hatinya kalau ia melihat hasil pertaniannya amat subur dan baik,
melihat ladang tanamannya menghijau dan berombak seperti lautan
teduh kalau tertiup angin gunung. Memang beberapa kali sute
mereka yakni Go Ciang Le, datang mengunjungi mereka dan
bersembahyang di depan makam Pak Kek Siansu, namun Ciang Le
tidak pernah bertanya tentang pedang dan kitab, juga tak pernah
menemukan benda-benda itu. Maka mereka juga diam saja, taat
akan perintah suhu mereka.
Pada suatu pagi sejuk dan bersih, dari kaki Gunung Luliang-san
berjalan seorang wanita yang menuntun seorang anak laki-laki,
mendaki gunung. Mereka ini adalah Kiang Cun Eng dan Wan Sin
Hong. Setelah berhasil merampas Wan Sin Hong dari tangan dua
orang tokoh Im-yang-bu-pai, Kiang Cun Eng langsung membawa
anak itu menuju ke Luliang-san, untuk memenuhi pesan Lie Bu Tek,
yakni menghadapkan anak itu kepada Luliang Samlojin.
Kiang Cun Eng telah merawat luka-luka Sin Hong di dalam
perjalanan. Tulang lengan kiri yang patah akibat pukulan Kong Ji,
telah disambung dan diobati. Karena Sin Hong masih anak-anak dan
tulangnya masih dalam masa pertumbuhan, maka penyambungan
itu mudah dilakukan dan setelah bersambung, menjadi putih seperti
sediakala. Kalau saja luka itu terjadi setelah ia dewasa, agaknya ia
akan menderita cacad untuk selamanya.
73
Sin Hong tadinya membenci Kiang Cun Eng yang dikiranya juga
seorang jahat seperti yang lain-lain. Akan tetapi betapa wanita itu
merawatnya, memperlakukan dengan sikap manis dan baik dan
ternyata bahwa perampasan itu dilakukan dengan maksud
menolongnya, menjadi amat berterima kasih dan terharu. Apalagi
setelah ia mendengar laporan pengemis Hek-kin-kaipang yang
bertemu di jalan bahwa ketika menghadapi dua orang tokoh imyang-
bu-pai, tiga puluh orang anggauta Hek-kin-kaipang tewas dan
luka-luka, hati Sin Hong menjadi perih sekali.
"Kiang-pangcu, mengapa kaulakukan semua uni untukku?
Mengapa Hek –kin- kaipang membelaku sampai mengorbankan
puluhan nyawa orang?" tanya Hong ketika ia mendengar akan
laporan anggauta perkumpulan itu dan Cun Eng sedang mengobati
luka-lukanya.
Cun Eng mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang, lalu
menarik napas sambil berkata, "Anak yang baik, agaknya memang
aku harus menebus semua dosa dengan jalan menolongmu, biarpun
harus mengorbankan nyawaku sendiri. Aku lakukan semua ini untuk
memenuhi permintaan Ayah angkatmu dan aku sudah berjanji akan
memenuhi permintaannya itu biarpun dengan taruhan nyawaku dan
nyawa kawan-kawanku."
Berlinang air mata anak itu mendengar keterangan ini. "Budimu
besar sekali, Pangcu, Aku Wan Sin Hong bersumpah akan membalas
budi terhadap Hek-kin-kaopang …..”
"Hush... kalau ada persoalan budi, terima kasihmu harus kau
tujukan kepada Lie Bu Tek. Dia sekarang menjadi manusia bercacad
dan hidup sengsara di Hoa-san....."
"Gi hu...!" Sin Hong menangis ketika diingatkan kepada ayah
angkatnya yang ia lihat dirobohkan oleh musuh-musuhnya.
"Apakah... apakah Gihu tidak mati…..?”
Cun Eng menggelengkan kepalanya. "la tidak mati," lalu
menuturkan perjumpaannya dengan Lie Bu Tek di puncak Hoa-san.
“Kalau Gi-hu belum tewas, aku mau kembali saja ke sana.
Kasihan dia terluka hebat, siapa yang merawatnya?" kata Sin Hong
yang segera bangun dari pembaringannya.
74
Cun Eng, memegang pundaknya. "Tenanglah, Sin Hong. Ayah
angkatmu tidak apa-apa biarpun ia telah terluka namun pihak Im
yang-bu-pai sudah puas dan kiranya takkan mengganggunya. Kau
menurutlah saja padaku, karena seperti sudah kukatakan tadi, aku
melakukan semua ini untuk memenuhi pesanan Ayah Angkatmu itu.
Kau tentu seorang anak yang patuh kepada kehendak Gihu-mu itu,
bukan?"
Sin Hong mcngangguk sambil menahan air matanya, dan
demikianlah, ia ikut dengan Cun Eng menuju ke Luliang-san. Karena
kesehatannya telah pulih kembali, ia dapat melakukan perjalanan
berlari-lari cepat sambil dituntun oleh Cun Eng.
Melihat gunung besar di mana Cun Eng mengajaknya naik, Sin
Hong tak dapat menahan keinginan tahunya, maka bertanyalah dia,
"Kiang-pangcu, kita sedang menuju ke manakah?"
Kiang Cun Eng menghentikan perjalanan dan menjawab,
"Sin Hong, kiranya perlu kau ketahui akan rencana dari Ayah
angkatmu dan mengapa kita berada di sini. Menurut kehendak Ayah
angkatmu, aku harus membawamu ke Gunung Luliang-san ini dan
menyerahkan kau ke dalam perlindungan Luliang Sam-lojin, tiga
orang kakek yang berilmu tinggi. Hanya dalam perlindungan
merekalah kau akan aman dan pihak Im yang-bu-pai takkan berani
mengganggumu lagi"
"Siapakah Luliang Sam-lojin?" tanya Sin Hong.
"Mari kita lanjutkan perjalanan dan sambil berjalan akan
kuceritakan padamu." Mereka berjalan lagi dan sedapat mungkin
Cun Eng menuturkan tentang keadaan Luliang Sam-lojin. Tentu saja
penuturannya kurang jelas karena sesungguhnya Kiang Cun Eng
sendiri belum pernah bertemu muka dengan tiga orang kakek itu,
hanya mendengar saja nama mereka yang terkenal. Namun
mendengar tentang Luliang Sam lojin yang oleh Cun Eng dituturkan
memiliki kepandaian yang luar biasa lihainya sehingga orang-orang
Im-yang-bu-pai takkan berani mengganggunya, Sin Hong merasa
senang sekali. Ia memang ingin belajar ilmu silat tinggi dan kiranya
hanya tiga orang kakek itulah yang boleh diharapkan untuk
membimbungnya sehingga tercapai cita-citanya.
75
Sejak dari kaki gunung, mereka tidak melihat dusun atau orang
yang tinggal di daerah itu. Keadaannya amat sunyi hanya
diramaikan oleh suara burung. Perjalanan makin sukar, menanjak,
dan melalui jalan yang licin dan juga berbahaya. Terpaksa Cun Eng
menggendong Sin Hong di punggungnya, karena amat berbahaya
bagi orang yang tidak memiliki ilmu silat tinggi untuk melalui jalan
seperti itu. Sekali saja terpeleset orang akan terguling ke dalam
jurang!
Ketika mereka mendekati lereng gunung, jalan mulai penuh batu
karang dan di kanan kiri menjulang tinggi dinding-dinding batu
karang, tiba-tiba Sin Hong berseru,
"Kiang-pangcu, lihat. Batu karang ini penuh tulisan yang aneh"
Kiang Cun Eng menghentikan kakinya dan menengok ke kiri.
Betul saja, dinding batu karang itu penuh dengan coretan hurufhuruf
yang menggores dalam-dalam seperti dipahat. Ketika
menengok ke kanan, di situ pun terdapat banyak tulisan. Heranlah
ia bagaimana orang dapat menuliskan huruf-huruf di tempat seperti
itu. Selain batu karang itu keras sekali sehingga untuk memahat
huruf itu tentu akan memakan waktu lama sekali, juga tulisantulisan
itu ada yang terdapat di dinding bagian atas. Kalau tiada
mempergunakan tangga yang tinggi bagaimana menuliskannya?
"Alangkah buruknya tulisan itu......” kata Kiang Cun Eng. Sebagai
seorang wanita, biarpun ia pernah mempelajari sastera yang
diperhatikan hanya dari pandangan sudut keindahan.
“Hebat sekali tulisan itu" Hampir berbareng Sin Hong berseru.
"lh, apanya yang hebat? Hurufnya petat-petot, coretannya
mcncong dan tidak rata, apanya yang indah?” Kiang Cun Eng
mencela.
"Tulisannya memang buruk, Pangcu. Akan tetapi coba baca!"
Kiang Cun Eng menurunkan Sin Hong dari gendongan dan
membaca tulisan yang berada paling dekat. Tulisan itu demikian
buruknya sehingga Cun Eng membaca lambat dan penuh perhatian.
“Menyerah berarti akan terpelihara.
Bengkok berarti akan menjadi lurus.
76
Kosong berarti akan menjadi penuh.
Rusak berarti akan diperbaiki.
Sedikit berarti akan menjadi cukup.
Mempunyai banyak berarti akan menjadi bingung.
Maka orang bijaksana menggenggam Kesatuan.
Dan menjadi tauladan bagi manusia di dunia.
Ia tidak menonjolkan diri.
maka jelas kelihatan.
Ia tidak membenarkan diri.
maka kebenarannya terkenal.
Ia tidak menyomhongkan diri,
maka dihargai orang.
Ia tidak memuji diri. maka terpuji.
Justru ia tidak pernah bermusuh.
Maka tiada orang di dunia dapat
bermusuh padanya.
Tepat sekali ujar-ujar kuno bahwa:
Menyerah berarti akan terpelihara.
Yang menyerah akan terpelihara sepenuhnya.
Dan dunia akan memuji tinggi padanya.”
'Sajak apakah ini, begini sulit dimengerti?" Kiang Cun Eng
kembali mencela. Memang, ketika mempelajari ilmu surat, ketua
Hek-kin-kaipang ini tidak pernah membaca kitab-kitab kuno karena
ia memang tidak suka akan isi kitab yang dianggapnya hanya
memusingkan otaknya belaka.
“Pangcu, bagaimana kau tidak mengenalnya? Itulah sebuah sajak
dari dalam kitab To Tek Kheng!" kata Sin Hong.
"To Tek Kheng? Hm, pernah aku mendengar nama kitab ini, akan
tetapi tak pernah aku membaca isinya, Nah, kalau sajak yang di
sana itu, baru baik namanya," kata Cun Eng.
Sin Hong menengok ke kanan dan melihat sajak yang ditulis atau
lebih tepat diukir di dinding kanan. Tulisannya tetap buruk sekali,
akan tetapi susunan sajaknya benar-benar indah, dan romantis,
sungguhpun isinya hanya merupakan pujian terhadap sinar bulan,
air telaga, arak dan wanita cantik sebagaimana seringkali ditulis oleh
penyair dan pujangga kuno.
77
"Sin Hong kau mengerti bahwa tulisan yang kubaca tadi dari
kitab To Tek Kheng. Apakah juga kau mengerti juga artinya yang
demikian sulit?" tiba-tiba Cun Eng bertanya.
Merah wajah Sin Hong, seorang anak kecil seperti dia,
bagaimana dapat menyelami arti daripada ujar-ujar yang demikian
sulit? Ia tersenyum dan menjawab,
"Kiang-pangcu aku sendiri sesungguhnya amat bodoh. Aku hanya
mengerti dari keterangan guru-guru sastera yang pernah
mengajarkan isi dari semua sajak itu yang pada pokoknya hanya
nasihat dari Pujangga Besar Lo Cu yang menyuruh orang
mengosongkan diri, menyerah, merendah dan tunduk kepada
Hukum Alam atau To, membiarkan diri bersikap seperti air pula
yang mencari jalan kembali ke samudera, atau yang terkenal
dengan istilah mencari diri pribadi. Maksudnya entahlah, aku sendiri
belum mengerti." Sesungguhnya, biarpun masih kecil namun otak
Sin Hong cerdik sekali dan ia sudah dapat menangkap maksud
daripada filsafat ini, hanya ia tidak berani menyatakan kepada Cun
Eng. Baginya ia lebih tertarik akan ujar-ujar dari Guru Besar Khong
Hu Cu, karena baginya, ujar-ujar Lo Cu terlalu dalam dan terlalu
muluk, di luar daripada kenyataan hidup yang membutuhkan
dorongan semangat dan kemajuan menurut jalan yang benar dan
baik.
Mereka melanjutkan perjalanan. "Heran sekali, siapakah yang
begitu iseng menuliskan segala macam sajak kuno di tempat seperti
itu?" Sin Hong berkata perlahan, "Dia itu biarpun tulisannya buruk,
tentulah seorang saterawan besar."
Mendengar ini, kembali Cun Eng menghentikan kakinya. "Ah,
sekarang aku ingat. Penulisnya tentulah Luliang Siucai!"
"Siapa dia?"
"Dialah orang ke dua dari Luliang Sam lojin. Yang pertama
adalah Luliang Ciangkun, ke dua Luliang Siucai, dan ke tiga Luliang
Nungjin."
Sin Hong menjadi heran dan kagum. Benar-benar aneh, pikirnya.
Tiga kakek Luliang-san itu memakai nama Panglima, Sasterawan,
dan Petani. Tak lama kemudian, jalan batu karang telah dilalui dan
78
mereka tiba di lereng bukit yang hijau dan penuh tanaman segar.
Jauh sekali bedanya dengan daerah yang baru saja dilalui.
"Pangcu, di lereng ini tinggal banyak sekali petani!" tiba-tiba Sin
Hong yang berpemandangan awas itu berseru.
"Mengapa kau berkata demikian?"
"Lihat sawalt-sawah itu!. Demikian lebar dan luas. Kalau bukan
banyak petani rajin yang mengerjakannya, siapa lagi?"
Kiang Cun Eng mumbenarkan pendapat ini. Akan tetapi mereka
memandang ke sara ke mari, di daerah itu sunyi sepi tidak kelihatan
sebuah pun rumah orang. Di manakah tinggalnya para petani itu?”
Tiba-tiba entah dari mana datangnya, seorang berpakaian petani
jalan mendatangi sambil memanggul cangkul. Kiang Cun Eng dan
Sin Hong memandang dengan mata menyatakan kaget dan heran.
Mereka sama sekali tidak tahu dari mana datangnya orang itu dan
yang amat mengherankan mereka adalah pacul yang dipanggul oleh
orang itu. Pacul itu gagangnya hanya sebatang akan tetapi amat
panjang dan ujung gagangnya itu ada cabangnya sebanyak enam
dan di setiap ujung cabang terdapat sebuah pacul! Jadi pada
hakekatnya pacul yang segagang itu mempunyai mata cangkul
sebanyak enam buah yang jauhnya dari satu kepala yang lain ada
tiga kaki. Benar benar pacul yang amat aneh.
Petani yang sudah tua itu berjalan terpincang-pincang, ternyata
kakinya bengkok-bengkok. Hal ini dapat dilihat nyata karena
celananya hanya sebatas lutut dan kedua kakinya berkulit putih
bersih, berbeda dengan petani biasa. Tanpa menoleh, petani itu lalu
masuk ke dalam sawah berlumpur dan cepat mengerjakan paculnya
yang aneh.
"Hebat sekali orang itu…..!" Kiang Cun Eng berseru perlahan
ketika ia melihat bagaimana petani itu bekerja. Ayunan cangkulnya
cepat dan keras dan tiap kali ia menarik paculnya, enam mata
cangkul itu telah mencabut atau memacul rumput-rumput liar yang
mengganggu sayur-sayuran yang ditanamnya. Biarpun sayursayuran
itu tumbuh dekat, namun ke enam mata cangkul itu
mengenai tepat pada sasarannya, yakni rumput-rumput liar dan
sama sekali tidak mengganggu tanamannya sendiri!
79
Biarpun Cun Eng bicara perlahan sekali, namun tiba-tiba petani
itu menunda pekerjaannya dan sekali ia melompat ia telah berdiri di
hadapan Cun Eng dan Sin Hong! Gerakan ini luar biasa sekali
cepatnya, dan jarak antara mereka lebih dri lima tombak, namun
sekali melompat kakek pincang itu telah berada di situ. Dan yang
lebih mengagumkan hati Cun Eng dan Sin Hong adalah kaki kakek
itu masih bersih dan sama sekali tIdak terkena lumpur padahal
kalau orang menginjak sawah berlumpur itu, kedua kakinya tentu
akan amblas sedikitnya sampai pergelangan kaki!
"Kalian ini siapakah? Apakah datang hendak mencuri sayur
mayur yang kutanam?" tegur kakek petani pincang itu. Ia
memandang kepada Cun Eng hanya sebentar saja akan tetapi
matanya kini menatap wajah Sin Hong penuh perhatian.
"Penghuni gunung ini benar amat aneh," kata Sin Hong sebelum
Cun Eng menjawab, membikin kaget kepada ketua Hek-kin-kaipang
itu, "Lopek yang baik, kau menanam begini banyak sayur-mayur,
dimakan sendiri takkan habis. Mengapa demikian pelit dan takut
orang mengambilnya? Apakah sekian banyaknya sayur dapat kau
makan habis?"
Kalau Kiang Cun Eng amat terkejut dan khawatir, adalah petam
itu tertawa berkakakan mendengar pertanyaan Sin Hong. "Ha, ha,
ha, kau tahu apa, bocah? Tentu saja aku tidak makan habis sayuran
ini, aku menanamnya hanya untuk melihat hasil kerjaku. Asal
tanamanku hidup subur dan indah, aku sudah puas, siapa
menginginkan hasilnya untuk dimakan?"
Sin Hong melongo. "Jadi sayur-sayuran yang ditanam ini akhirnya
akan membusuk begitu saja?"
"Tentu saja! Tidak ada sesuatu yang takkan tua layu dan mati di
dunia. Akan tetapi itu yang menyenangkan hatiku, kalau sudah mati,
aku dapat mencangkul dan menanam lagi, bukankah itu amat
menggembirakan hati? Soal mencuri, biarpun hanya mencuri sayur,
namanya tetap mencuri dan aku paling benci kejahatan!”
Cun Eng tak sangsi lagi dengan siapa ia berhadapan, maka ia
membentak Sin Hong. "Jangan kurang ajar, Sin Hong'" Setelah itu ia
lalu menjatuhkan diri berlutut di depan petani itu sambil berkata,
80
"Locianpwe, mohon maaf sehanyaknya atas kelancangan teecu
berdua."
Kakek petani itu nampak kaget lalu tersenyum.
"Eh, apa-apaan sih ini? Aku seorang petani bodoh yang hanya
bisa mencangkul dan menanam mengapa kausebut locianpwe
segala'"
"Mohon Locianpwe sudi memaafkan kalau tadi teecu buta tidak
tahu bahwa teecu berhadapan dengan Luliang Nungjin yang mulia."
Mendengar sebutan ini, Sin Hong tercengang dan perlahan-lahan
ia lalu menjatuhkan diri berlutut pula, akan tetapi ia mengangkat
mukanya memandang kepada kakek petani itu penuh selidik.
Kakek petani itu memang Luliang Nungjin. la tertawa, kemudian
memandang tajam kepada Cun Eng. "Siapakah kau yang bermata
tajam? Kita belum pernah bertemu dan sudah lama sekali aku tak
meninggalkan gunung, bagaimaa kau bisa mengenalku?"
Sebelum Cun Eng menjawab, kembali Sin Hong saking herannya
mengeluarkan kata-kata yang keras, "Aneh, aneh! Para Locianpwe
di Luliang-san memang orang-orang aneh. Tadi aku sudah melihat
hasil pekerjaan Luliang Siucai, yang menggunakan pahat mengukir
huruf huruf jelek menuliskan sajak-sajak indah. Sekarang Locianpwe
ternyata adalah Luliang Nungjin, petani yang menanam banyak
sekali sayur mayur tanpa memakan hasil sawah ladangnya!"
Melihat kejujuran dan ketabahan Sin Hong, Luliang Nungjin
gembira sekali. "Anak goblok, Luliang Siucai tak pernah memegang
pahat. Ia menulis huruf-huruf itu dengan coretan jari telunjuknya!"
Mendengar ini Sin Hong menjulurkan lidahnya dan menjadi
bengong. Bahkan Cun Eng sendiri bergidik memikirkan betapa
lihainya orang yang menggunakan jari tangan mencoret-coret di
dinding batu karang setinggi itu! Buru-buru ia menganggukanggukkan
kepala dengan hormat dan berkata,
"Sekali lagi mohon Locianpwe memaafkan kami, terutama atas
kelancangan mulut anak ini. Teecu adalah Kiang Cun Eng….."
81
"Hm, Jadi kau ketua Hek-kin-kaipang" Luliang Nungjin memotong
kata-kata orang.
"Benar demikian, Locianpwe."
"Hm, kau tentu menghadapi kesulitan. Makin besar
perkumpulannya, makin pusing mengurusnya."
"Memang betul seperti yang dikatakan Locianpwe, teecu datang
ini hendak memohon pertolongan. Teecu...."
"Stop...! Tak perlu menceritakan urusanmu. Urusanmu bukan
urusanku. Aku tidak ingin mendengar lebih lanjut. Kau dan bocah ini
lekas-lekas turun gunung. Kami tidak membolehkan siapa juga
mengganggu ketenteraman di Luliang-san."
"Locianpwe, mohon belas kasihan dari Locianpwe, teecu bukan
datang untuk keperluan teecu sendiri, melainkan...."
"Sudah, sudah! Kalau aku membiarkan kau bicara juga, tentu dua
orang Suhengku takkan mau membiarkan."
"Locianpwe...."
"Diam, lihat mereka sudah datang! Kau boleh mendengar
sendiri."
Tanpa dapat diketahui sebelumnya, tahu-tahu dua orang kakek
telah berada di situ. Cun Eng dan Sin Hong memandang. Yang
seorang adalah seorang kakek bertubuh tinggi besar yang
berpakalan seperti panglima perang. Jenggotnya panjang dan
wajahnya yang gagah membuat ia kelihatan seperti Kwan In Tiang
atau Kwan Kong tokoh besar di jaman Sam Kok. Orang ke dua
adalah seorang yang halus gerak-geriknya, berpakaian sebagai
seorang sasterawan dengan kuku tangan terpelihara baik-baik.
"Sute, siapakah mereka ini?" Luliang Ciangkun bertanya dengan
suara yang besar.
"Kiang Cun Eng ketua Hek-kin-kai-pang dan bocah ini... entah
siapa," Jawab Luliang Nungjin.
Tiba-tiba tubuh tinggi besar dari Panglima Bukit Luliang itu
bergerak dan ia telah menubruk Kiang Cun Eng! Wanita ini kaget
sekali dan hendak mengelak karena mengira bahwa kakek itu
82
menyerangnya. Akan tetapi, tahu-tahu ia merasa sesuatu bergerak
di punggungnya dan ketika ia merabanya ternyata bahwa pedang
yang tadinya tergantung di punggungnya telah dirampas oleh
Luliang Ciangkun!
Cun Eng terkejut sekali, akan tetapi Luliang Siucai dengan
suaranya yang halus berkata, "Orang yang datang di Luliang-san
tidak boleh membawa-bawa senjata."
Sementara itu, Luliang Ciangkun memandang pedang rampasan
dengan senyum mengejek. "Pedang apa ini? Ha percuma saja
dibawa-bawa!" Ia lalu bersilat dengan pedang itu. Bukan main
cepatnya gerakan pedangnya dan angin dingin menyambarnyambar
dari gerakan pedang. Cun Eng dan Sin Hong melongo
menyaksikan ilmu pedang yang hebat ini. Tiba-tiba pedang itu
meluncur menyambar batu karang dan menimbulkan suara keras
sekali. Batu karang sebesar dua tubuh orang itu terbelah akan tetapi
pedangnyapun patah menjadi dua!
"Pedang buruk, pedang tiada gunanya..." Luliang Ciangkun
berkata sambil melemparkan gagang pedang dengan gaya jijik dan
tidak senang.
"Hebat," pikir Cun Eng. Tiga orang kakek ini benar-benar lihai.
Sasterawan itu dapat menulis di batu karang dengan mencoratcoretkan
telunjuknya, tanda bahwa lweekangnya sudah tinggi sekali.
Petani itu pun dapat mempergunakan pacul sedemikian rupa
sehingga pacul itu dapat menjadi senjata luar biasa lihainya.
Sedangkan Panglima ini sudah tak dapat disangsikan lagi kelihalan
ilmu pedangnya dan besarnya tenaga.
"Sam-wi Locianpwe mohon sudi meng-ampunkan teecu yang
bodoh. Sesungguhnya teecu berani datang ke tempat ini untuk
memenuhi permintaan Lie Bu Tek dari Hoa san-pai."
"Hoa-san-pai? Apa yang terjadi dengan Hoa-san-pai?" Luliang
Ciangkun melangkah maju. Tiga orang kakek ini memang
mempunyai hubungan yang amat baik dengan Hoa-san-pai dan di
antara semua partai persilatan hanya kepada Hoa -san pai mereka
menaruh hati suka. Hal ini adalah karena sute mereka yang
terkasih, yaitu Go Ciang Le, termasuk keturunan dari Hoa san-pai,
83
bahkan isteri dari Go Ciang Le yang bernama Liang Bi Lan juga
seorang anak murid Hoa-san-pai yang terkasih.
Mendengar pertanyaan ini, Cun Eng Ialu menuturkan
pengalamannya.
"Ketua Hoa-son.pai, Liang Gi Tojin, telah tewas oleh dua orang
tokoh Im-yang-bu pai, yaitu Thian-te Siang tung Kwa Siang dan
Siang-mo-kiam Lai Tek, dibantu oleh Siang-pian Giam-ong Ma Ek
ketua Bu-cin-pai. Juga Lie Bu Tek Taihiap telah terluka hebat dan
menjadi penderita cacad. Anak ini adalah murid termuda dari Hoasan-
pai, juga menjadi anak angkat dari Lie Bu Tek Taihiap. Dia ini
bernama Wan Sin Hong, putera tunggal dari Wan Kan dan Ling In
yang tewas oleh Ba Mau Hoatsu." Kemudian Cun Eng menuturkan
tentang pesanan Lie Bu Tek dan menutup penuturannya dengan
suara memohon.
"Sam-wi Locianpwe, oleh karena keselamatan anak ini selalu
terancam oleh pihak Im-yang-bu-pai, maka untuk memperkuat
pesanan Lie Bu lek Taihiap, teecu mohon dengan hormat sudilah
Sam-wi Locianpwe menaruh hati kasihan dan menolong anak ini.
Hanya di tempat inilah Sin Hong dapat terhindar dari kekejaman Imyang-
bu-pai."
"Tidak bisa! Kami bukan pengasuh anak-anak!" bentak Luliang
Ciangkun dengan suara keras sambil membuka lebar matanya.
"Dengan Im-yang-bu-pai kami tidak ada sangkut paut kami
sudah mengasingkan diri dari dunia ramai!" kata Luliang Nungjin.
Liuliang Siucai juga menyambung tenang, "Kiang-pangcu, kami
sudah mencuci tangan dari urusan dunia dan tidak mau terlibat
dengan permusuhan dan urusan orang-orang kang-ouw. Menyesal
sekali kami tak dapat menerima permintaan Hoa-san-pai atau
permintaanmu.”
"Sam-wi Locianpwe..., harap Sam-wi tolonglah! Im yang-bu-pai
amat jahat dan menjagoi di dunia kang-ouw. Banyak yang sudah
menjadi korban keganasan mereka, teecu tidak minta banyak,
hanya minta perlindungan dan tempat bagi anak ini...."
84
"Sekali tidak bisa tetap tidak bisa!" Luliang Ciangkun membentak
marah., "Kalian berdua pergilah!”
Kiang Cun Eng tak dapat menahan kekecewaan hatinya, sampai
dua butir air mata menitik turun di atas pipinya. Ia hendak
memohon dan membantah lagi, akan tetapi tiba-tiba Sin Hong
bangkit berdiri dan menarik bangun Kian Cun Eng sambil berkata
keras,
"Pangcu, mengapa begini merendahkan diri seperti pengemispengemis
kelaparan?" Tidak saja Cun Eng yang terkejut, bahkan
tiga orang kakek itu mengerling ke arah Sin Hong. Anak itu berdiri
tegak dengan kedua kaki terpentang lebar dan dua tangan terkepal,
matanya tertuju ke arah tiga orang kakek itu dengan pandangan
marah.
"Kiang-pangcu, Gihu telah menjatuhkan kepercayaan dan
harapannya di tempat yang salah dan pada orang-orang yang bukan
semestinya. Mencari perlindungan dari orang orang jahat harus
datang pada orang-orang bijaksana dan gagah perkasa, bukan pada
orang-orang jahat pula!"
Cun Eng menjadi pucat. "Sst, Sin Hong, jangan kurang ajar!"
Luliang Ciangkun menggerakkan tangannya dan dalam sedetik
saja leher baju Sin Hong sudah ia pegang dan anak itu kini
tergantung pada tangan Panglima Luliang-San, seperti seekor kelinci
dipegang pada kedua telinganya.
"Setan cilik, kau bilang apa? Kauanggap kami orang-orang
jahat?"
"Locianpwe," kata Sin Hong dengan suara sama sekali tidak
takut, "kalau kau membantingku sekali saja kau dapat
membunuhku?"
“Tentu, setan cilik. Sekali banting kaupasti mampus!" kata
Luliang Ciangkun marah.
"Nah, kalau terjadi demikian, bukankah kau jahat sekali? Seorang
tua gagah menangkap dan membunuh anak kecil.”
85
Mendengar ini, lemaslah tangan Luliang Ciangkun dan ia
melepaskan Sin Hong.
"Bocah kurang ajar. Lekas kaukatakan mengapa kau anggap
kami jahat. Tanpa alasan berarti kaulah yang jahat, menuduh orang
sesuka hati."
"Tentu saja teecu mempunyai alasan yang kuat. Locianpwe tidak
memandang persahabatan dengan Hoa-san-pai dan tidak mau
membantu Kiang-pangcu yang memohon tolong, itu boleh dibilang
belum jahat. Akan tetapi, Locianpwe bertiga tahu bahwa Im-yangbu-
pai jahat sekali, akan tetapi berpeluk tangan saja tidak mau
membantu mereka yang tertindas. Ada pepatah kuno yang
menyatakan bahwa orang yang tidak mau mencegah dilakukannya
perbuatan jahat, orang yang melihat seorang penjahat tanpa turun
tangan dan membiarkan saja berarti bahwa orang itu membantu
penjahat dan dengan sendirinya menjadi penjahat juga. Teecu
mendengar bahwa para pendekar perkasa di dunia kangouw siap
mengorbankan nyawa sendiri untuk memberantas kejahatan dan
menolong orang-orang yang menjadi korban kejahatan. Akan tetapi
Sam-wi Locianpwe tinggal diam saja bahkan menolak permohonan
tolong, tentu saja mendatangkan kesan bahwa Sam-wi juga jahat."
Tiga orang kakek itu saling pandang dengan alis terangkat.
Mereka merasa "bohwat" (Tak berdaya membantah) terhadap katakata
Sin Hong dan kemudian mereka tertawa bergelak.
"Ha, ha, ha, setan cilik ini lihai sekali lidahnya!" kata Luliang
Ciangkun.
"Biarkan dia di sini membantu mencangkul sawah!" kata Luliang
Nungjin.
“Tidak, kalau dia di sini, berarti kita akan mengundang keributan
saja," kata Luliang Siucai yang berpikiran lebih luas, "biarlah ia
tinggal di Jeng-in-thia di puncak, mengurus makam dan
membersihkan pondok. Di sana takkan ada orang dapat
melihatnya."
"Bagus, begitupun baik. Kita tak usah repot setiap hari
membersihkan tempat itu. Biar dia menjadi bujang kecil!'" kata
Luliang Ciangkun dan Luliang Nungjin.
86
"Teecu mohon belajar silat dari Sam-wi Locianpwe!" Sin Hong
membantah. "Untuk apa kalau hanya menjadi bujang? Teecu kelak
akan menuntut balas, kalau tidak ada yang memberi pelajdran ilmu
silat dan kelak tak dapat menuntut balas, lebih baik sekarang juga
musuh-musuh teecu mendapatkan teecu agar tee-cu dapat
mengadu nyawa. Apa artinya
tinggal di tempat ini kalau tidak
diberi pelajaran ilmu silat?"
Kiang Cun Eng merasa
gelisah sekali menyaksikan
kekebalan dan keberanian Sin
Hong, akan tetapi Luliang
Ciangkun sambil tertawa
bergelak, kembali menangkap
leher baju Sin Hong dan
membawanya berlari seperti
terbang menuju ke puncak.
"Belajar silat? Lihat dulu
sampai di mana
kemampuanmu!" kata Panglima
dari Luliang-san ini.
"Pangcu, sekarang lebih baik
kau lekas lekas pergi dari sini dan jangan kau memberi tahu kepada
siapapun juga bahwa anak itu berada di sini,” kata Luliang Siucai.
Kiang Cun Eng berlutut dan menghaturkan terima kasihnya. Akan
tetapi ia teringat akan anak itu dan setelah melakukan perjalanan
dengan Sin Hong, ia merasa sayang dan suka kepadanya.
“Locianpwe, anak itu mempunyai penasaran besar, maka teecu
mohon kemurahan hati Sam-wi Locianpwe untuk memberi
bimbingan kepadanya," katanya.
"Bodoh!" Luliang Nungjin membentak. "Anak itu sudah berada di
sini, kalau ia menjadi orang bodoh kelak, apakah kami tidak akan
malu?"
87
Bukan main girangnya hati Cun Eng mendengar ini, ia
menghaturkan terima kasihnya lagi, lalu cepat-cepat turun dari
lereng Gunung Luliang-san.
Sin Hong adalah anak yang jujur, tabah dan mempunyai banyak
sifat sifat baik. Ia juga amat cerdik dan tahu bahwa biarpun tiga
orang kakek Luliang-san itu wataknya aneh, namun mereka amat
lihai dan memiliki kepandaian tinggi. Oleh karena itu, setelah ia
dibawa oleh Luliang Ciangkun ke Jeng-in-thia (Ruang awan hijau), ia
tidak memperlihatkan sikap melawan lagi, bahkan tanpa diperintah
lagi ia lalu bekerja, membersihkan ruangan yang berupa pondok
sederhana itu. Juga ia merasa amat hormat kepada dua buah
makam tua yang berada di depan pondok. Ia tidak tahu makam
siapakah itu, akan tetapi ia merawat kedua makam itu, mencabuti
rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar makam dan menanam
bunga-bunga yang indah.
Setelah membawa dia ke puncak, Luliang Ciangkun lalu
meninggalkannya tanpa pesanan sesuatu. Akan tetapi Sin Hong
tidak merasa takut ditinggalkan seorang diri di puncak. Biarpun ia
tidak diberi makan dan tidak diberi tahu ke mana harus mencari
makan, anak ini mempergunakan akalnya sendiri. Ia mencari dan
mendapatkan pohon-pohon berbuah di puncak itu dan ia dapat
mencari makannya sendiri, sungguhpun hanya berupa buah-buahan
belaka.
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid IV
SETELAII sepekan lebih tinggal di Jeng-in-thia, Sin Hong merasa
heran dan juga girang sekali. Entah mengapa, biarpun hanya makan
buah-buahan. la tidak merasa perutnya lapar dan perih, bahkan ia
merasa tubuhnya sehat dan selalu segar. Tentu saja ta tidak tahu
bahwa pohon-pohon berbuah yang berada di puncak itu adalah
tanaman dari mendiang Pak Kek Siansu yang menanam buahbuahan
yang amat besar khasiatnya bagi kesehatan tubuh. Juga
hawa di puncak itu bersih serta baik sekali, maka anak ini merasa
semangatnya terbangun dan tubuhnya tak pernah terasa lesu.
88
Saking gembira berada di tempat aman dan menyenangkan, Sin
Hong setiap hari melatih ilmu silatnya yang empat tahun lamanya ia
pelajari di Hoa-san. Tidak lupa setiap pagi, sambil menghadapi
cahaya matahari, ia bersilat di Jeng-in-thin, di atas tanah datar yang
bersih dan sepenuhnya menerima cahaya matahari. Di belakangnya
menjulang tinggi batu karang, dan di sebelah kanannya terdapat
jurang yang amat curam dan dalam. Di sebelah kirinya terdapat dua
makam yang berhadapan di belakang makam-makam itu adalah
pondok bekas tempat tinggal Pak Kek Siansu yang kini ia jadikan
tempat bermalam. Kalau sudah berlatih silat, Sin Hong lupa waktu.
Baru ia berhenti setelah sinar matahari membakar kulitnya sehingga
peluhnya memenuhi seluruh tubuh serta membuat pakaiannya
basah semua. Biasanya, sudah dekat tengah hari baru ia berhenti
dan merasa lapar lalu makan buah-buah yang mudah didapat di
puncak itu. Oleh karena ini, Sin Hong tak pernah merasa sunyi dan
bosan, bahkan ilmu silatnya dari Hoasan-pai maju pesat sekali.
Sebulan kemudian, pada suatu hari Sin Hong asyik bersilat di
tempat biasa, yakni di pinggir jurang. Matahari sudah naik tinggi
sehingga bayangannya menjadi pendek. Saking asyiknya ia tidak
tahu bahwa sejak tadi tiga orang kakek Luliang-san tengah
memandang ke arahnya dengan kagum. Setelah Sin Hong berhenti
bersilat dan duduk bersila sambil mengatur pernapasan
sebagaimana diajarkan oleh mendiang Liang Gi Tojin kepadanya,
barulah tiga orang kakek Luliangsan itu bertindak menghampirinya.
Melihat mereka, Sin Hong segera menjatuhkan diri berlutut.
"Sam-wi Locianpwe, banyak terima kasih teecu haturkan atas
kebaikan budi Sam-wi membolehkan teecu tingggal di sini. Teecu
merasa seperti tinggal di dalam sorga."
"Bocah gendeng, apakah kau pernah melihat sorga?" Luliang
Ciangkun mencela, akan tetapi kini kakek ini tidak marah lagi,
bahkan matanya memandang dengan penuh rasa suka kepada Sin
Hong. Memang, tiga orang kakek itu merasa suka sekali kepada Sin
Hong. Hal ini tidak mengherankan karena tadi pagi-pagi benar
mereka sengaja naik untuk melihat anak yang mereka perbolehkan
tinggal di puncak sampai sebulan lamanya.
89
Hal pertama-tama yang menyambut mereka adalah
pemandangan indah di sekitar pondok. Apalagi di depan pondok di
mana terdapat dua makam, terjadi perubahan istimewa. Rumputrumput
liar dan alang-alang telah dilenyapkan dan sebagai gantinya,
di situ tertanam bunga-bunga yang mulai mekar. Juga batu-batu
putih dikumpulkan dan diatur di sepanjang pingir lorong dan pondok
ke makam sehingga merupakan jalan kecil yang amat manis dan
indah. Ketika mereka mendekat, makam-makam itu sendiri amat
bersih dan terpelihara. Demikian pula pondok kecil bekas tempat
tinggal suhu mereka itu terawat baik-baik dan amat bersihnya.
"Hm, benar-benar tidak rugi membolehkan anak itu tinggal di
sini," kata Luliang Ciangkun.
"Bukan tidak rugi, malah menguntungkan. Memang anak itu tahu
diri dan berbakat baik," kata Luliang Nungjin.
"Akan tetapi di manakah dia? Mengapa tidak kelihatan? Di dalam
pondok pun tidak ada," kata Luliang
Kemudian mereka mencari dan kemudian mereka melihat anak
itu sedang berlatih silat di dekat jurang. Diam-diam tiga orang kakek
itu melihat dan memuji bahwa anak itu memang memiliki bakat
yang amat baik. Ilmu silat Hoa-san-pai yang dimainkan tidak ada
yang tercela, bahkan gerakan-gerakannya mengandung dasar yang
amat kuat.
"Hm, tidak percuma anak itu menerima latihan dari mendiang
Liang Gi Tojin sendiri. Di antara murid-murid Hoasan-pai, boleh
dibilang tidak ada yang sebaik dia bakatnya. Biarpun kembangankembangan
ilmu silat Hoa-san-pai masih belum dikuasai
sepenuhnya, akan tetapi gerakan kaki tangannya sudah mempunyai
dasar yang amat kuat," kata Luliang Ciangkun yang memang amat
suka melihat tunas baik.
"Kalau diberi pelajaran, anak itu tentu dapat menerima dengan
amat mudah dan baik," kata Luliang Nungjin perlahan sambil
menonton terus.
"Aku memang hendak memberi pelajaran satu dua ilmu pukulan
padanya, hitung-hitung untuk upahnya merawat tempat ini," kata
Luliang Ciangkun gembira.
90
"Aaah... apakah kiranya dia ini yang berjodoh dengan Suhu?"
kata Luliang Siucai perlahan. Dua orang saudara seperguruannya
tertegun mendengar ini dan mereka saling pandang penuh arti.
"Siapa tahu...." kata Petani Luliang-san.
"Betapapun juga, biarkan Suhu sendiri memberi keputusan. Kalau
memang ia berjodoh, seperti pesan Suhu, tentu ia akan bisa
mendapatkan pusaka peninggalan Suhu." kata Luliang Ciangkun.
Tiga orang kakek ini menonton terus. sampai anak itu berhenti
berlatih kelelahan. Diam-diam mereka kagum sekali melihat betapa
anak itu berlatih dengan penuh ketekunan dari pagi sampai hampir
tengah hari. Jarang terdapat seorang anak kccil berlatih ilmu silat
seorang diri tanpa ada yang memberi bimbingan dengan demikian
rajin. Apalagi kalau mendapat bimbingan guru pandai!
"Sin Hong, suka benarkah kau belajar ilmu silat?" tanya Luliang
Ciangkun.
Dengan wajah berseri girang Sin Hong yang masih berlutut
mengangkat kepalanya. "Tentu saja, locianpwe. Teecu akan belajar
dengan giat dan rajin dan teecu berjanji kelak akan menjunjung
tinggi semua perintah dan nasihat serta pelajaran Sam-wi
Locianpwe dengan sumpah bahwa teecu akan mampus sebagai
seorang rendah kalau teecu melanggarnya, asal saja Sam-wi
Locianpwe sudi memberi bimbingan kepada teecu yang bodoh."
"Hm, hm, kau mudah sekali bersumpah dan berjanji. Akan tetapi,
tidak apa, kaulah sendiri yang bersumpah, bukan kami yang minta.
Memang kami bermaksud memberi pelajaran kepadamu, karena kau
sudah berada di sini."
"Samwi Suhu yang mulia, teecu memberi hormat!" kata Sin Hong
sambil berlutut dan mengangguk-angguk delapan kali sebagai tanda
pengangkatan guru.
"Eh, eh, nanti dulu. Kau boleh belajar ilmu silat, akan tetapi kau
harus menganggap kami sebagai saudara-saudara seperguruan!"
kata Luliang Ciangkun.
Sin Hong mengangkat muka memandang heran. Luliang Siucai
memberi penjelasan,.
91
"Jangan kau heran atas ucapan Suheng tadi, Sin Hong.
Ketahuilah bahwa kami bertiga memang tidak berhak mengangkat
murid. Hanya mendiang Suhu yang berhak mengambil murid, kami
tidak! Oleh karena kau sudah berada di sini dan merawat makam
Suhu, kau boleh dianggap sebagai murid Luliang-san dan berhak
pula mempelajari dasar ilmu silat kami. Akan tetapi, kau boleh
menganggap sebagai murid bungsu dari mendiang Suhu Pak Kek
Siansu, sedangkan kami hanya Suheng-suhengmu yang memberi
bimbingan mewakili Suhu yang sudah tidak ada lagi. Nah, kalau
hendak berjanji, berjanjilah di depan makam Suhu."
Sin Hong melirik ke arah dua makam di depan pondok. "Yang
manakah makam Suhu? Dan makam yang satu lagi, makam
siapakah?"
Luliang Siucai menarik napas panjang. "Kau agaknya memang
berjodoh untuk tinggal di sini dan mengetahui semua. Ketahuilah,
yang berada di sebelah kanan itu adalah makam Suhu Pak Kek
Siansu, adapun yang di sebelah kiri adalah makam Pak Hong Siansu,
yakni Susiok (Paman Guru) kita. Suhu dan Susiok saling serang dan
saling bunuh di tempat ini.” Kemudian dengan singkat Luliang Siucai
menceritakan peristiwa yang dahulu terjadi (Baca Pendekar
Budiman) yakni tentang Pak Hong Siansu yang menyerbu ke
Luliang-san dan bertemu dengan Pak Kek Siansu sehingga keduanya
mengalami kebinasaan.
"Susiok telah menempuh jalan sesat. Suhu takkan dapat
dikalahkannya kalau saja Susiok tidak berlaku curang. Dan sampai
sekarang, dari pihak Susiok masih saja terdapat ancaman, yakni
muridnya yang bernama Giok Seng Cu. Tahukah kau siapa Giok
Seng Cu? Bukan lain adalah ketua dari Im-yang-bu-pai yang
sekarang, yang sudah menghancurkan Hoa-san-pai."
Pucat wajah Sin Hong mendengar Kalau begitu, musuh besarnya
yang membunuh Liang Gi Toon adalah anak buah dari Giok Seng Cu
yang menurut hubungan sekarang masih terhitung saudara
seperguruan dengan dia!
"Giok Seng Cu yang kini menjadi ketua Im-yang-bu-pai amat
lihai, karena dia telah mewarisi kepandaian Susiok Pak Hong Siansu.
Akan tetapi biarpun ia tersesat seperti gurunya, kita harus
92
memandang muka Suhu dan jangan bermusuhan dengan dia. Oleh
karena itulah kami juga tidak mau turun gunung untuk
memperbesar permusuhan yang mula-mula terjadi antara Suhu dan
Susiok. Amat tidak pantas permusuhan antara keluarga sendiri
diperbesar," kata Luliang Siu-cai.
"Teecu dapat inengerti ucapan dan pendirian Sam-wi Suhu.
Teecu berjanji akan mentaati dan takkan mencari permusuhan
dengan Im-yang-bu-pai, kecuali kalau mereka yang mulai terlebih
dahulu. Adapun tentang sakit hati Hoa-sanpai, hanya akan teecu
balas kepada mereka yang bersangkutan, yakni Than te Siang-tung
Kwa Siang dan Siang-mo-Thian Lai Tek, juga Siang-pian Giam-ong
Ma Ek," kata Sin Hong.
Mendengar kata-kata ini, tiga orang kakek itu menjadi girang
sekali. Tak mereka duga bahwa biarpun masih kecil, Sin Hong
ternyata memiliki pemandangan luas dan pertimbangan yang
matang. Demikianlah, sejak hari itu, Sin Hong menerima latihan dan
gemblengan ilmu silat dari Luliang Sam-lojin. Dasar anak ini memiliki
kecerdikan otak yang luar biasa, maka biarpun ia menerima latihan
dan tiga orang, akan tetapi karena tiga orang ini memang memiliki
kepandaian dan sumber yang sama, ia dapat menerima dengan
baik. Dasar ilmu silat Luliang-san yang diciptakan oleh Pak Kek
Siansu telah dipelajarinya dan dengan amat girang anak ini
mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang baru ini jauh lebih hebat
deripada ilmu silat Hoa-sanpai yang pernah dipelajarinya. Kini
kerajinannya makin menghebat. Tidak hanya di waktu pagi ia
berlatih, bahkan setiap saat kalau ia sudah selesai mengerjakan
tugasnya merawat tempat itu, ia berlatih ilmu silat. Tidak jarang di
waktu malam gelap ia berlatih ilmu silat seorang diri.
Tiga orang kakek itu secara bergiliran naik ke puncak dan setelah
memberi petunjuk serta melihat anak itu berlatih, mereka turun lagi.
Tidak pernah mereka bermalam di puncak dan meninggalkan anak
itu berlatih seorang diri.
Setahun berjalan dengan amat cepatnya dan kini kepandaian Sin
Hong sudah maju pesat. Selain dasar-dasar ilmu silat tinggi dari
Luliang-san, juga Sin Hong dalam waktu setahun itu menerima
pelajaran istimewa dari ketiga suhengnya. Dari Luliang Nungjin ia
93
menerima latihan ilmu menimpuk dengan "senjata rahasia" yang
aneh, yakni tanah lempung yang menempel di kakinya, sudah cukup
tangguh untuk menghadapi lawannya. Biarpun hanya tanah
lempung, akan tetapi kalau sudah ia pergunakan sebagai senjata
rahasia, kehebatannya sama dengan pelor besi. Sin Hong melatih
diri dengan ilmu menimpuk ini dan karena tenaga lwekangnya
memang belum hebat, tentu saja ia tidak dapat meniru Luliang
Nungjin yang mampu menembus kulit dan daging lawan dengan
tanah lempungnya! Sin Hong sebaliknya melatih diri menimpuk
dengan jitu ke arah jalan darah-jalan darah dari tubuh lawan
sehingga biarpun "pelor lumpur" di tangannya takkan menembusi
kulit lawan, namun dapat dipergunakan untuk menimpuk jalan
darah'
Dari Luliang Ciangkun, ta menerima latihan ilmu silat pedang dan
untuk latihan ini, Sin Hong mempergunakan sebaang ranting pohon
sebagaimana disuruh oleh suhengnya itu. Ia mempelajari Ilmu
Pedang Soan Hong-kiam hoat (Ilmu Pedang angin Puyuh) dan kini
mengertilah Sin long mengapa Panglima Gunung Luliang demikian
hebat kalau main pedang karena pedangnya itu mengeluarkan angin
berputar-putar yang dahsyat sekali. Ia ahu bahwa kalau ia sudah
mahir mengatur tenaga lweekang dan gwakang (halus dan kasar),
ia pun akan dapat main pedang sehebat suhengnya.
Sebaliknya, Luliang Siucai memberi pelajaran ilmu silat yang
berdasarkan huuf-huruf tulisan indah! Biarpun pelajaran ini
kelihatannya lucu namun justeru pelajaran inilah yang akan
membuat Sin Hong cepat maju. Sasterawan Gunung Luliang itu
memberi tahu bahwa gerakan ilmu silat mempunyai keselarasan
dengan gerakan menulis huruf. Sebagai contohnya sasterawan tua
ini dengan ke dua tangannya menuliskan huruf-huruf pertama dari
ayat kitab Tiong Yong (Se buah di antara Empat pelajaran dari Nabi
Khong Hu Cu).
Thian Beng Ci Wi Seng
Siu Seng Ci Wi To
Siu To Ci Wi Kouw
Dalam gerakan menuliskan huruf-huruf ini yang dilakukan amat
indah, kaki tangan Luliang Siucai teratur rapi sehingga merupakan
gerakan ilmu silat yang luar biasa. Coretan-coretan diganti dengan
94
pukulan atau tangkisan, coretan pertama dilakukan dengan tangan
kiri sedangkan coretan berikutnya dengan tangan kanan. Kedudukan
kaki disesuaikan dengan huruf yang sedang ditulisnya. Misalnya
menulis huruf pertama yang berbunyi "Thian", kuda-kuda kaki
dipentang, tubuh tegak tangan kiri melakukan pukulan rata dengan
kepala sedangkan tangan kanan menyusul pukulan sebatas pundak.
Demikian pula dengan gerakan selanjutnya, menurutkan sifat
coretan dari huruf yang dituliskan dengan gerakan silat. Pelajaran ini
amat menarik hati Sin Hong, karena di waktu dahulu ia memang
pernah mempelajari dan membaca kitab Tiong Yong. Oleh karena ia
sudah hafal akan bunyi ayat-ayat di dalam kitab Tiong Yong, maka
lebih mudah baginya untuk mempelajari ilmu pukulan ini. Teringat
akan coretan hurufnya saja memudahkan dia untuk mengingat
gerakan silatnya. Ia pun tahu akan maksud ayat pertama tadi yang
artinya kurang lebih seperti berikut,
Karunia Tuhan adalah Watak Aseli.
Selaras dengan Watak Aseli
disebut Jalan Kebenaran
Mencari Jalan Kebenaran disebut Pelajaran.
Anak yang amat cerdik ini setelah menerima pelajaran ilmu silat
berdasarkan huruf-huruf indah ini, diam-diam mengerti bahwa kalau
ia sudah mahir dalam ilmu silat tinggi, tentu ia dapat menggubah
ilmu silat sendiri berdasarkan huruf-huruf lain. Tentu saja ia harus
mencari ayat atau sajak yang kiranya takkan dikenal oleh orang lain,
karena kalau sekali saja lawan mengenaI barisan sajak atau hurufhuruf
yang dimainkan sebagai ilmu tentu gerakan-gerakannya sudah
diketahui lebih dulu oleh lawan!
Tiga orang kakek Luliangsan itu, ketika melihat betapa cerdik dan
luar biasa adanya "sute" mereka, diam-diam merasa makin kagum
dan girang sekali. Mereka hampir yakin bahwa inilah orang atau
anak yang dimaksudkan oleh suhu mereka dalam pesanannya,
agaknya anak inilah yang patut menerima warisan ilmu silat dan
pedang dan Pak Kek Siansu. Akan tetapi, sesuai dengan pesanan
suhu mereka, mereka tidak berani membuka rahasia. Hanya mereka
telah memberi jalan kepada Sin Hong, yakni dengan memberi tahu
kepada anak itu bahwa anak itu kini boleh mencari tahu keadaan di
puncak, boleh melihat dan membuka apa saja, bahkan kalau anak
95
itu mendapatkan sesuatu, yang didapatkan itu boleh menjadi milik
dan haknya.
Tentu saja biarpun amat cerdik, Sin Hong sama sekali tak pernah
menduga bahwa tiga orang "suheng" itu menyindirkan sesuatu.
Anak ini sudah merasa amat puas karena dapat belajar ilmu silat
tinggi, hanya satu hal yang membuat hatinya penasaran, yakni
tentang Inti Ilmu SIlat Pak-kek Sin-ciang. Menurut tiga orang
suhengnya, ilmu silat ini turunan dari Pak Kek Siansu. Akan tetapi,
tiga orang kakek itu hanya baru mempelajari tiga bagian saja dan
Pak-kek- Sin-ciang, bahkan menurut mereka Hwa I Enghiong Go
Ciang Le yang kepandaiannya jauh lebih tinggi dari mereka pun
baru menerima enam bagian saja dari Pak-kek Sin-ciang!
"Bagaimana siauwte dapat mempelajari Pak kek Sin-ciang?"
tanya Sin Hong.
Tiga orang suhengnya saling pandang.
"Kiranya hanya Sute Go Ciang Le yang dapat mengajarkannya
kepadamu," kata Luliang Siucai.
"Akan tetapi Suheng Go Ciang Le hanya memiliki enam bagian.
Bagaimana caranya kalau siauwte ingin mempelajari Pak -kek Sinciang
sampai sempurna dan lengkap?" mendesak anak itu.
Luliang Siucal menarik napas panjang. Ia maklum bahwa untuk
dapat mempelajari ilmu itu selengkapnya, harus mendapatkan kitab
yang disembunyikan dan dirahasiakan oleh suhunya, pula dengan
bantuan kitab itu pun belum tentu orang dapat mempelajari
selengkapnya karena Ilmu Silat Pak- kek Sin-ciang bukan
sembarang ilmu. Amat sukar dan membutuhkan ketekunan luar
biasa.
"Hanya mendiang Suhu yang mempunyai ilmu itu selengkapnya.
Pada masa ini tidak ada seorang pun di dunia yang dapat
memainkan Pak-kek Sin-ciang," kata Luliang Siucay.
"Suheng, kalau begitu, selain mendiang Suhu, apakah tidak ada
orang lain yang lihai sekali seperti Suhu kepandaiannya?" tanya Sin
Hong.
96
Luliang Ciangkun tertawa, demikian Luliang Nungjin dan Luliang
Siucay.
"Jangan melantur!" kata Panglima Luliang san. "Gunung Thai-san
yang tersohor tinggi pun, tak berani menganggap diri sendiri paling
karena di atasnya masih ada awan. Di atas awan masih ada bulan,
di atas bulan masih ada matahari dan bintang. Tentu saja ada
banyak sekali orang-orang lihai yang kepandaiannya setingkat
dengan Suhu akan tetapi karena kami sudah lama tidak turun
gunung, kami tidak tahu lagi si-apakah jago-jago ternama di waktu
ini."
"Menurut pendapatku, kiranya tidak ada lagi locianpwe yang
kepandaiannya setingkat dengan Suhu," kata Luliang Siucay, "kalau
pun ada, tentu dia sudah tua atau sudah mati. Di antara jago-jago
sekarang, kiranya sukar mencari tandingan seperti Sute Go Ciang
Le."
Sin Hong menjadi makin kagum. Kalau Suhengnya, Go Ciang Le
yang baru mempelajari enam bagian dari Pak-kek Sin-ciang sudah
dapat menjagoi dunia, apalagi kalau sudah mempelajari ilmu silat itu
sepenuhnya!
"Bagaimana dengan kepandaian Ba Mau Hoatsu?" tanyanya tibatiba.
Luliang Siucai mengerutkan alisnya. "Hm, kau teringat akan
musuh besarmu? Kepandaian Ba Mau Hoatsu amat tinggi, kiranya
tidak kalah oleh kepandaian Giok Sang Cu ketua Im-yang-bu-pai.
Akan tetapi dibandingkan dengan kepandaian Go sute, ia tentu
masih kalah."
"Bicara tentang Go-sute, mengapa sudah tiga tahun lebih dia
tidak datang ke Luliang-san?" tanya Luliang Nungjin dengan suara
kecewa dan menyesal.
Tiba-tiba terdengar suara keras sekali dan sekaligus percakapan
itu berhenti. Semua orang memasang telinga baik-baik. Suara itu
terulang lagi dan kini terdengar lapat-lapat suara orang berteriak,
"Luliang Sam-lojin...! Keluarlah menemui kami...!"
97
"Ada orang naik Luliang-san!" Pang-lima Luliang-san berkata
sambil mengerutkan ails. "Sin Hong, kau jangan pergi ke manamana.
Kiranya bukan orang baik yang berani naik ke sini!" Ia lalu
berkelebat dan lenyap dan diikuti oleh dua orang sutenya yang
turun dari puncak sambil mengerahkan ilmu lari cepat mereka. Sin
Hong berdiri dengan bengong, hatinya berdebar. Siapakah mereka
yang datang ke gunung ini? Ia merasa menyesal sekali bahwa
kepandaiannya masih jauh daripada sempurna, sehingga ia tidak
dapat membantu tiga orang suhengnya untuk bersiap sedia, kalaukalau
yang datang adalah pihak musuh.
Luliang Sam-lojin yang herlari cepat, seperti terbang menuruni
puncak Jeng-in-thia, sudah maklum bahwa yang datang adalah
orang berkepandaian tinggi. Baru suara yang dapat dikirim dari
lereng sampai terdengar ke puncak itu saja sudah menyatakan
betapa tingginya Ilmu Coan im-jip-bit (Mengirim Suara dari Tempat
Jauh) dari orang itu.
"Ji-sute dan Sam-sute, hati-hatilah. Kurasa kedatangan mereka
bukan mengandung maksud baik," kata Luliang Ciangkun.
Ketika mereka telah tiba di lereng, mereka melihat dua orang
kakek berdiri tegak.
"Hm, sudah kuduga, tentu dia yang datang," kata Luliang
Ciangkun perlahan.
"Benar, Giok Seng Cu datang tentu tak mengandung maksud
baik. Apalagi dia datang dengan Ba Mau Hoatsu!" kata Luliang
Siucai.
"Celaka," kata Luliang Nungjin, "Jangan-jangan Ba Mau Hoatsu
sudah tahu bahwa putera Wanyen Kan berada di sini."
"Kita harus membelanya mata-matian!" kata Luliang Ciangkun
yang sudah merasa sayang sekali kepada Sin Hong. Dua orang
sutenya menyatakan setuju.
Mereka kini telah berhadapan dengan dua orang kakek itu yang
bukan lain adalah Giok Seng Cu ketua Im-yang-bu-pai dan Ba Mau
Hoatsu seorang hwesio tinggi besar, tokoh Tibet yang kenamaan.
98
Karena tidak ada hubungan sesuatu dengan Ba Mau Hoatsu,
ketiga Luliang Sam lojin tidak memperdulikannya akan tetapi Luliang
Ciangkun menegur Giok Seng Cu yang bagaimanapun juga masih
sutenya sendiri, yakni murid dari Pak Hong Siansu, paman gurunya.
"Giok Seng Cu sute, tidak sari-sarinya kau datang ke Luliang-san,
tidak tahu ada keperluan apakah?" Sambil berkata demikian Luliang
Ciangkun dan dua orang saudaranya memandang kepada Giok Seng
Cu dengan penuh keheranan. Alangkah besar perubatan pada diri
murid Pak Hong Siansu ini setelah menjadi ketua lm-yang-bu-pai.
Wajahnya jadi amat menyeramkan dengan rambutnya yang
panjang, seperti seorang iblis saja.
Giok Seng Cu tertawa bergelak dan dari suara ketawa ini timbul
getaran yang hebat, tanda bahwa kakek ketua lm-yang -bu-pai ini
sekarang telah memiliki khikang yang jauh lebih tinggi daripada
dahulu.
"Ha, ha, ha! Luliang Sam-lojin, apa-apaan kau menyebutku Sute?
Gurumu dan Guruku sudah bermusuhan, tidak ada alasannya
mengapa kita masih ada ikatan saudara seperguruan lagi.”
Luliang Ciangkun mendongkol sekali, akan tetapi ia menahan
sabar. "Baiklah, sesukamu Giok Seng Cu. Akan tetapi ketahuilah
bahwa biarpun dari pihakmu ada perasaan bermusuh, dari pihak
kami tidak ada perasaan seburuk itu. Sekarang katakan, apakah
maksud kedatanganmu dan mengapa pula Ba Mau Hoatsu ikut
datang ke tempat ini? Kami sudah lama mencuci tangan dan tidak
mau berhubungan dengan dunia ramai, oleh karena itu kami harap
kalian suka pergi dan jangan mengganggu kami lagi."
Ba Mau Hoatsu mengeluarkan suara di hidung bernada mengejek
sekali. "Aha, benar-benar Luliang Sam-lojin bukan merupakan tuan
rumah yang ramah tamah,", katanya menyindir.
Adapun Giok Seng Cu yang mendengar pengusiran ini, menjadi
marah dan sepasang matanya yang lebar itu menjadi makin
melotot.
"Luliang Ciangkun, omongan apakah yang kau keluarkan itu? Aku
sengaja datang untuk menengok makam Guruku, apakah engkau
berani melarangku?"
99
Kata kata ini disusul oleh suara ketawa mengejek dari Ba Mau
Hoatsu sedangkan Luliang Sam-lojin itu saling pandang dengan tak
berdaya. Alasan yang diambil oleh Glok Seng Cu memang tepat dan
mereka bertiga merasa tidak enak hati untuk melarang orang ini
naik ke puncak menengok makam suhunya yang memang berada di
dalam ruang puncak Jeng-in-thia.
Pada saat itu, terdengar suara orang berkata dari bawah, "Aha,
di atas sudah ramai kiranya'"
Semua orang memandang dan ketiga Luliang Sam-lojin tertegun
ketika mereka melihat tiga orang kakek berlari naik dengan
kecepatan seperti terhang saja. Setelah tiga orang itu dekat mereka
mengenal bahwa mereka bukanlah orang-orang sembarangan,
melainkan ciang-bu-jin (ketua) dari partai-partai besar. Orang
pertama adalah seorang tosu berjenggot panjang yang tubuhnya
tinggi kurus dan dia ini bukan lain adalah Bu Kek Siansu ketua dari
Bu-tong-pai. Orang ke dua adalah seorang hwesio gundul, yakni
Kian Hok Taisu ketua dari Go-bi-pai, sedangkan orang ke tiga adalah
tosu jenggot pendek bertubuh gemuk yang terkenal sebagai ketua
Teng-san-pai bernama Pang Soan rojin.
Luliang Sam-lojin benar-benar kaget sekali mehhat kedatangan
tiga orang ketua partai-partai besar karena mereka tahu bahwa
mereka adalah ketua-ketua partai yang berkepandaian tinggi dan
yang jarang sekali mau meninggalkan gunung apabila tidak
menghadapi urusan besar. Ada keperluan apakah gerangan maka
tokoh-tokoh besar dunia persilatan itu turun dari pertapaan dan
datang ke Luliang-san?
Juga wajah Giok Seng Cu dan Ba Mau Hoatsu berubah ketika
mereka lihat orang-orang yang baru datang. Juga mereka ini masih
belum tahu apakah gerangan maksud kedatangan tiga orang ketua
partai persilatan yang kepandaiannya tak boleh dipandang ringan
ini.
"Luliang Sam-lojin, kebetulan sekali Sam-wi berada di sini.
Semoga semua sehat-sehat saja selama ini," kata Bu Kek Siansu
sambil menjura, diikuti oleh dua orang yang lain.
100
Tiga orang kakek Luliang-san itu membalas penghormatan
mereka, lalu Luliang Ciangkun bcrtanya,
"Sungguh kunjungan dari tamu-tamu agung yang tak terduga
dulu oleh kami. Para ciangbujin dan Bu-tong, Gobi, dan Teng-san
datang memberi penghormatan yang besar, tidak tahu apakah yang
dapat kami lakukan untuk Sam wi yang terhormat"
Bu Kek Siansu dengan muka merah menjawab gagap, pinto
(aku)... pinto hanya ingin melihat dan menikmati keindahan puncak
Luliang-san yang tersohor!"
"Pinceng (Aku)... ingin menyaksikan makam dari Pak Kek Siansu
yang mulia," kata Kian Hok Taisu ketua Go-bi-pai dan seperti juga
Bu Kek Siansu, jawabannya ragu-ragu dan gugup serta mukanya
merah.
Ketiga kakek Luliang-san yang benar-benar tidak dapat menduga
apakah gerangan maksud kedatangan mereka semua, menjadi main
heran dan mereka kini memandang kepada orang ke tiga, yakni
Pang Soon Tojin, mengharapkan jawaban yang lebih terus terang
dan jujur. Pendeta ketua Teng-san-pai ini terkenal sebagai seorang
kasar yang jujur sekali, akan tetapi pada saat itu ia pun agaknya
merasa ragu-ragu untuk berterus terang, maka jawabnya,
"Maksud kedatangan pinto…. hemm, agaknya tidak jauh bedanya
dengan maksud kedatangan ketua lm-yang bu-pai!" Sambil berkata
demikian, ia memandang kepada Giok Seng Cu dan Ba Mau Hoatsu.
Giok Seng Cu menjadi marah. "Kau... pemakan rumput dan
Teng-san-pai, apakah hubungan Im yang-bu-pai dengan Teng-sanpai?
Aku datang untuk menengok makan guruku, tak seorang pun di
dunia ini boleh melarangku! Akan tetapi kau... tentu mempunyai
maksud tertentu yang tidak baik” Setelah berkata demikian, Giok
Seng Cu lalu berlari cepat menuju ke puncak gunung.
Luliang Sam lojin saling pandang dan Luliang Ciangkun menghela
napas. "Dia berkata benar. Kami tak dapat melararig seorang murid
mengunjungi makam Suhunya. Akan tetapi untuk orang lain,
menyesal sekali kami tidak membolehkan naik ke puncak. Harap
Cuwi suka kembali saja dan membatalkan niat Cuwi mengganggu
ketentraman Puncak Luliangsan."
101
Sebelum ada yang menjawab, tiba-tiba dari bawah naik pula
serombongan orang dan mereka ini ternyata adalah tokoh-tokoh
dan Siauw-lim, Khongtong-pai, Thian-san-pai, dan Kun lun-pai!
Bahkan ada pula beberapa orang gagah dan dunia kung-ouw
seakan-akan mereka naik ke Luliang san untuk memenuhi undangan
pesta'
Melihat mereka tiba-tiba Ba Mau Hoatsu tertawa bergelak sampai
perutnya yang gendut itu tergoyang-goyang.
"Ha, ha, ha, Luliang Sam-lojin. Karena semua orang sudah
datang lebih baik aku terus terang saja. Aku yakin bahwa mereka
semua ini naik untuk mencari pusaka peninggalan Pak Kek Siansu,
yakni pedang pusaka Pak-kek Sin-kiam, kitab rahasia Pak-kek Sinciang!"
Tiga orang murid Pak Kek Siansu berubah air mukanya.
Bagaimana rahasia ini dapat bocor dan diketahui orang-orang gagah
di dunia? Kemudian mereka teringat kepada Giok Seng Cu. Ah,
tentu Giok Seng Cu telah mendengar dari Pak Hong Siansu dan
orang itu secara sembrono telah membuka mulut sehingga semua
orang mengetahuinya dan kini, mereka berbondong-bondong
datang untuk mencari pusaka itu. Luliang Ciangkun dan dua orang
sutenya maklum pusaka itu memang tak ternilai harganya bagi ahli
silat. Siapa yang memilikinya akan menjagoi di dunia kang-ouw!
"Bohong belaka berita itu!" kata Luliang Ciangkun. "Tidak ada
apa-apa di sini dan terus terang saja, kami sendiri pun tidak tahu
apakah betul-betul ada -pusaka itu. Kalaupun ada, bukan
diperuntukkan seorang di antara Cuwi, bahkan kami sendiri tidak
melihatnya."
"Berani kau bersumpah bahwa pusaka itu tidak berada di
tanganmu?" tanya seorang pendatang baru, murid Kun-lunpai.
Luliang Ciangkun memandangnya dengan mata mendelik. "Aku
tidak biasa bersumpah, juga tidak biasa membohong' Mungkin Suhu
meninggalkan pusaka, akan tetapi bukan untuk kami, juga bukan
kau atau siapa saja' Pendeknya, kami melarang siapapun juga naik
ke puncak mengotorkan tempat peristirahatan Suhu" Sambil berkata
demikian, Luliang Ciangkun menghunus pedangnya, Luliang Nungjin
102
siap dengan paculnya dan Luliang Siucai telah mengeluarkan
senjatanya yang berupa alat tulis (pit).
Ba Mau Hoatsu tertawa bergelak dan sekali tangannya bergerak
ia telah mememegang sepasang senjata roda yang menyeramkan.
Pendeta murtad ini memang lihai sekali dengan senjata rodanya itu
dan ia berkata.
"Cuwi sekalian. Sudah terang bahwa Pak Kek Siansu
meninggalkan pusaka, dan kalau pusaka itu tidak diwariskan kepada
Luliang Sam-lojin, berarti bahwa siapa pun yang mendapatkan
pusaka itu berarti menjadi ahli warisnya pula. Oleh karena itu,
sudah menjadi hak kita untuk mencari pusaka itu, untuk melihat
siapa yang berjodoh. Tentang Luliang Samlojin, bagaimana mereka
bisa melarang kita kalau aku sudah mengeluarkan senjataku? Ha,
ha, ha!" Suara ketawa dari Ba Mau Hoatsu terdengar sampai jauh
dan menyakitkan anak telinga.
Tiba-tiba suara ini dijawab oleh suara lain, suara yang nyaring
dan keras sekali, yang mengatasi suara ketawa Ba Mau Hoatsu.
Semua orang memandang ke atas karena suara itu datang dan atas.
Tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat luar biasa, terbang di
atas kepala mereka. Itulah seekor burung raksasa, seekor rajawali
emas (kim-tauw) yang indah dan kuat. Tanpa menoleh ke bawah,
sambil mengeluarkan pekik yang keras tadi, burung itu meluncur
cepat menuju ke puncak Luliang-san!
Orang-orang yang berada di situ tidak mengenaI burung ini, akan
tetapi Ba Mau Hoatsu berubah air mukanya. "Celaka kalau dia
datang juga, habis harapan kita…,” tanpa terasa dia berkata
perlahan.
"Siapakah yang kau maksudkan, Ba Mau?" Kian Wi Taisu dari Gobi-
pai bertanya.
"Kim-tiauw itu adalah binatang peliharaan See-thian Tok-ong...."
jawab Ba Mau Hoatsu dan suaranya agak gemetar. Semua orang
terkejut sekali. Biarpun nama See-thian Tok-ong (Raja Racun dari
Dunia Barat) baru beberapa tahun muncul di dunia kang-ouw,
namun setiap orang sudah mendengarnya. Tokoh besar ini datang
dari barat dan kini tinggal di Tibet. Pengaruhnya luar biasa besarnya
103
sehingga sekarang pun dapat dilihat betapa Ba Mau Hoatsu yang
datang dari Tibet pula kelihatan jerih melihat burung kim-tiauw itu.
Kalau seorang tokoh seperti Ba Mau Hoatsu sampai takut, apalagi
yang lain!
"Pinto pernah mendengar bahwa See-Thian Tok-ong Locianpwe
kalau bepergian menunggang kim-tiauw. Akan tetapi burung tadi
tidak ditunggangi orang," kata Pang Soan Tojin ketua Teng-san-pai
hati-hati.
"Mungkin akan datang belakangan...." kata Ba Mau Hoatsu
perlahan.
Tiba tiba di antara para pendatang yang berdiri paling belakang,
tersentak kaget dan melompat menjauhkan diri dari jalan kecil yang
membawa mereka ke lereng itu.
"Ular... ular berbisa...!" ceriak mereka. Serentak mereka
mencabut senjata untuk membinasakan ular-ular itu.
Serombongan ular yang banyaknya tidak kurang dari tiga puluh
ekor merayap naik dengan cepat luar biasa. Ular-ular itu macammacam
warna kulitnya, ada yang merah, loreng-loreng hitam putih,
kuning, dan lain-lain. Akan tetapi semuanya kecil-kecil, tidak lebih
satu setengah kaki panjangnya. Biarpun demikian, uap kehitaman
yang tersembur keluar dari mulut mereka menandakan bahwa ularular
ini adalah ular-ular berbisa yang amat berbahaya.
Ular-ular itu melihat banyak orang, tidak menjadi takut, bahkan
lalu bergerak siap-siap hendak menyerang. Kepala mereka diangkat
tinggi dari tanah dan sikap mereka seperti hendak menyerbu.
"Jangan turun tangan...!" tiba-tiba Ba Mau Hoatsu berseru dan
mukanya menjadi pucat. Semua orang terkejut dan memandang
kepada hwesio Tibet ini dengan heran. "Ban-beng Sintong putera
dari See-thian Tok-ong telah datang..." kata pula Ba Mau Hoatsu.
Sebelum semua orang tahu siapa adanya Ban-beng Sin-tong (Bocah
Sakti Bernyawa Selaksa)
Ba Mau Hoatsu sudah menghadap ke bawah dari mana ular-ular
itu merayap naik samba berkata,
"Ban-beng Sin-tong, sejak kapan menyusul ke sini?"
104
Hening sesaat dan ular-ular itu seperti patung, tidak bergerak.
Semua orang memandang dengan hati berdebar. Pemandangan ini
memang amat menyeramkan. Tak lama kemudian terdengar suara
ketawa anak kecil, disusul dengan teguran,
"Paman Ba Mau ternyata telah tiba di sini!" Kata-kata ini disusul
dengan suara mendesis yang aneh. Lebih aneh lagi, setelah ularular
itu mendengar suara mendesis, lalu mereka bergerak dan
berkumpul menjadi satu, melingkarkan tubuh dan tidak bergerak.
Lalu muncullah seorang anak tanggung yang berkepala gundul.
Anak ini usianya ada lima belas tahun,. akan tetapi tubuhnya
pendek seperti orang yang sudah matang pikirannya, mulutnya
tersenyum mengejek. Melihat kepala yang gundul, orang akan
mengira dia seorang hwesio kecil. Dengan tindakan perlahan lahan
melewati kumpulan ular tadi dan menghadapi Ba Mau Hoatsu.
"Paman Ba Mau, aku mewakili Ayah untuk menyampaikan
pesannya yang ditujukan kepadamu atau kepada siapa saja yang
berada di Luliang-san," katanya tanpa memperdulikan sekian
banyaknya tokoh kang-ouw yang berada di situ:
"Apakah pesannya?" tanya Ba Mau Hoatsu dengan suara
merendah.
"Ayah pesan bahwa siapa saja yang mendapatkan pedang atau
kitab, harus diserahkan kepadaku untuk kubawa pulang ke barat."
Kata-kata yang sederhana ini membuat para tokoh kang-ouw
yang berada di situ menjadi merah mukanya. Mereka amat marah
mendengar kesombongan luar biasa ini. Apalagi kalau dilihat bahwa
yang mengeluarkan kata-kata itu hanya seorang bocah gundul yang
berusia belasan tahun. Biarpun See-thian Tok-ong terkenal sekali,
namun di antara mereka kecuali Ba Mau Hoatsu, belum ada yang
membuktikan sendiri, bahkan bertemu dengan orangnya pun belum.
Kalau saja See thian Tok-ong sendiri yang datang dan bersikap
sesombong itu belum tentu mereka mau menurut, apalagi sekarang
yang datang hanya seorang anak kecil yang sombong? Seorang
kakek dari Khong-tong-pai yang bernama Ciu Kak, berjuluk Sinciang
(Tangan Sakti), melompat maju dan membentak,
105
“Kau ini badut cilik dari mana mau menjual lelucon di sini?
Pergilah, siapa takut ular-ularmu."
"Jangan kurang ajar...!" Ba Mau Hoatsu membentak marah dan
hendak menampar kakek itu, akan tetapi bocah gundul itu
tersenyum dan mengangkat tangannya mencegah Ba Mau Hoatsu
membelanya. Dengan senyum sindir ia menghadapi Ciu Kak dan
bertanya,
"Kau betul-betul tidak takut kepada ular-ularku? Berani
kauperlihatkan bahwa kau tidak takut?"
Ciu Kak adalah seorang tokoh Khongtong-pai yang sudah
memiliki kepandaian tinggi, selain ilmu silatnya yang tinggi juga ia
terkenal pandai mempergunakan senjata rahasia piauw.
"Mau bukti? Lihat kubunuh seekor ularmu!" katanya dan ketika
tangan kanannya bergerak, berkelebatlah sebatang piauw, meluncur
ke arah ular-ular yang masih melingkar dan tidak bergerak di atas
tanah!
Akan tetapi, berbareng dengan suara mendesis yang keluar dari
mulut Ban-beng Sin-tong, serentak ular-ular itu bergerak. Ular yang
terserang piauw, tiba-tiba melejit dan dengan cepat luar biasa dapat
mengelak dari serangan piauw yang kini menancap dan amblas di
dalam tanah. Kemudian ular itu bergegerak dan... bukan main
hebatnya. Ular berwarna kehitaman yang kecil itu melakukan
gerakan menyambar, melompat seakan-akan terbang dan bagaikan
sebatang anak panah ia menuju ke arah leher Ciu Kak. Tokoh
Khong-tong-pai ini sudah tinggi kepandaiannya maka biarpun amat
terkejut, ia mengelak dan tangan kirinya menyambar untuk
memukul ular itu. Namun pada saat itu ia membuka lebar-lehar
matanya dan wajahnya menjadi pucat sekali. Ternyata bahwa ketika
ular itu menyerangnya, ular-ular yang lain serentak melompat dan
menyambar ke arahnya, berjumlah tiga puluh ekor. Kini tak
mungkin lagi ia mengelak, tubuhnya penuh dengan ular yang
menggigit. Jangankan digigit demikian banyak ular, baru seekor dari
sekian banyaknva ular itu saja kalau menggigit akan mendatangkan
maut yang merampas nyawa. Sambil mengeluarkan teriakan
menyayat hati, Ctu Kak roboh. Seluruh kulit muka dan tubuhnya
berubah hitam, busa hitam pula keluar dari mulutnya dan ia tidak
106
bernyawa lagi! Ular-ular itu merayap turun dan kembali berkumpul
di tempat yang tadi seperti anjing-anjing peliharaan yang
mendekam puas dan bangga setelah memenuhi perintah tuannya.
Semua orang memandang dengan mata terbelalak dan merasa
ngeri sekali. Seorang laki-laki gemuk dan rombongan Khong-tongpai
melompat maju dengan marah sekali. Dia adalah Song Can Gi,
suheng dari Ciu Kak dan di dalam Khong tong-pai ia terhitung tokoh
ke lima yang amat lihai. Sambil membentak keras ia mengeluarkan
senjatanya, yakni sebatang toya yang berat dan besar. Telunjuknya
yang besar dan bergajih menuding ke arah muka anak gundul itu
dan ia memaki.
"Iblis kecil kau sungguh keji! Kau datang-datang membunuh
orang! Biarpun kau putera See-thian Tok-ong atau anak siluman
siapapun juga. aku tidak takut. Song Can Ci memang mempunyai
kebiasaan membunuhi iblis-iblis macam kau!" Tanpa memberi
peringatan toya besarnya menyambar ke arah kepala Banbeng Sintong.
Semua orang terkejut karena keadaan itu benar-benar amat
menggelisahkan. Song Can Gi adalah seorang tokoh besar dari
Khong-tong-pai dan tentu saja mereka dapat memaklumi
kemarahan Song Can Gi melihat sutenya tewas oleh keroyokan ularular
itu. Sebaliknya, anak itu adalah putera dari See-thian Tok-ong,
maka semua orang tidak ada yang berani campur tangan. Mereka
hanya memandang dengan hati berdebar karena toya di tangan
Sung Can Gi sudah terkenal kehebatannya.
Akan tetapi anak itu sambil terseyum mengejek, bahkan
memasukkan ke-dua tangan di saku bajunya dan mengelak dengan
gerakan kaki yang amat ringan. Toya yang mengenai tempat kosong
itu menyambar lagi, kini terputar bagaikan ombak mengamuk,
mengancam tubuh anak itu yang masih saja mengelak ke sana ke
mari.
Ba Mau Hoatsu merasa khawatir sekali. "Saudara Song Can Gi,
melihat mukaku, jangan kau teruskan seranganmu itu" Beberapa
kali ia berseru. Ia tahu bahwa kalau sampai anak itu mendapti
celaka sedangkan dia berada di situ tanpa membantu atau
107
mencegah orang mencelakakannya, pasti ia akan mendapat marah
besar dari See-tlitan Tok-ong!
Akan tetapt Song Can Gi sudah naik darah. Melihat beberapa
belas jurus serangannya gagal mengenai tubuh Ban bong Sin-tong,
ia menjadi amat penasaran dan makin marah, toyanya kini
menyambar-nyambar hebat, mengeluarkan angin dan bunyi
bersuitan, mengancam hebat tubuh bocah gundul itu. Akan tetapi
benar-benar gerakan Ban-beng Sin-tong amat mengagumkan.
Dengan amat gesitnya ia dapat selalu meluputkan dari ancaman
toya. Kini kedua tangan anak itu tertarik keluar dari saku bajunya
dan di kedua tangannya kelihatan dua ekor ular kecil yang berwarna
merah.
"Celaka...." seru Ba Mau Hoatsu dan kakek luar biasa ini
meloncat maju, sepasang rodanya bergerak ke atas.
"Praaang...!" Song Can Gi berseru kaget dan toyanya patah
menjadi dua bertemu dengan senjata roda di tangan Ba Mau
Hoatsu. Ia melompat mundur dengan kaget sekali, lalu menegur.
"Ba Mau Hoatsu, mengapa kau mencampuri urusanku?"
Ba Mau Hoatsu tidak menjawab, sebaliknya ia menjura kepada
anak gundul itu dan berkata, "Ban-beng Sin-tong, harap kau suka
menahan marahmu dan jangan menimbulkan urusan besar. Khongtong-
pai selama ini tidak pernah memusuhi kami, tidak perlu
menanam bibit permusuhan besar dengan mereka."
Semua orang memandang kepada Banbeng Sin-tong yang berdiri
tegak. Dua tangannya masih terangkat dan kini kelihatan dua ekor
ular merah yang panjangnya hanya setengah kaki itu menggeliatgeliat
di antara jari-jari tangannya. Sepasang mata bocah gundul ini
bagaikan mengeluarkan api, memandang kepada Song Can Gi yang
menjadi bergidik ngeri. Mata itu seperti bukan mata manusia, mata
siluman agaknya yang dapat memandang seperti itu.
Anak itu ragu-ragu mendengar omongan Ba Mau Hoatsu. "Hm,
melihat muka Paman Ba Mau aku mau mengampunt nyawa anjing
tua itu. Akan tetapi sekali Ang-coa-ong (Raja Ular Merah) dan
isterinya keluar dari saku, sebelum makan jantung musuhku ia akan
gelisah." Semua orang berdiri bulu tengkuknya mendengar ini.
108
Pandangan mata bocah itu beredar, menatap muka para tokoh itu
seorang demi seorang.
"Kwan-kongcu (Tuan Muda she Kwan), harap kau jangan mencari
korban lain orang...." kata Ba Mau Hoatsu. Mendengar ini, bocah
gundul itu tiba-tiba memandang kepada mayat Ciu Kak. "Ah,
biarpun sudah hitam, jantungnya belum busuk." Ia lalu melepaskan
sepasang ular merah itu ular itu terbang ke arah mayat Ciu Kak.
Benar-benar ular itu terbang karena dari dekat punggungnya
kelihatan sepasang sayap merah yang kecil seperti ikan. Inilah
semacam hut-coa (ular terbang) yang terdapat di pegunungan barat
dekat Go-bi san, ular yang jarang sekali terlihat manusia, namun
terkenal amat jahat dan bisanya tiada obat penolaknya lagi.
Sepasang ular merah itu luncur dan seperti berebutan mereka
nienyerang dada kiri mayat Ciu Kak dan... tak lama kemudian
mereka telah membuat lubang pada dada itu dan lenyap ke dalam
dada! Semua orang me mandang dengan muka pucat. Ketika dua
ekor ular Itu keluar mulut mereka menggigtt benda merah
kehitaman yang telah terbagi dua oleh mereka.
Ternyata bahwa benda itu adalah jantung dari mayat Ciu Kak!
Dengan lahapnya kedua ekor ular itu makan jantung itu,
menelannya habis lalu, mengembang kan sayapnya, terbang
kembali ke tangan Ban-beng Sin-tong yang mengangkat ke dua
tangannya. Setelah sepasang ular itu dimasukkan ke dalam saku
dan lenyap dari pandangan mata, barulah para tokoh bernapas lega.
Pertstiwa tadi benar- benar mendebarkan jantung karena selama
hidup belum pernah mereka menyaksikan pemandangan yang
demikian mengerikan.
"Bagaimana, Paman Ba Mau. Sudah adakah di antara kalian
mendapatkan pedang dan kitab?" bocah itu bertanya sambil
memandang ke sekelilingnya. Pandangannya tajam menyelidik dan
seandainya di antara mereka ada yang sudah mendapatkan bendabenda
yang disebutkannya tadi, agaknya dia akan menjadi gentar
dan mungkin akan menyerahkan benda benda itu.
"Belum Kwan-kongcu. Kami bahkan sedang berunding, karena
kami tidak diperbolehkan naik ke puncak oleh Luliang Sam-lojin."
109
Mata kecil yang bundar itu mencari-cari. "Luliang Sam-lojin? Yang
manakah mereka? Mengapa mereka melarang?"
Luliang Ciangkun dan dua orang sutenya setelah menyaksikan
peristiwa tadi, merasa amat benci dan muak di dalam hati terhadap
bocah gundul ini. Bocah seperti ini adalah calon siluman jahat yang
kelak hanya akan menimbulkan bencana di dunia, pikir mereka.
"Kami bertiga yang disebut Luliang Sam-lojin. Sesuai dengan
nama sebutan ini, kami bertigalah yang tinggal di sini dan
berkewajiban menjaga ketenteraman Luliang-san."
"Oho, jadi kalian bertiga yang disebut Luliang Sam-lojin? Ayah
sering kali menyebut nama kalian sebagai orang-orang gagah
ternyata benar kata Ayah. Kalian adalah tiga orang yang aneh,
seorang panglima, seorang petani, dan seorang sasterawan. Ha, ha,
benar-benar hebat! Ah, Luliang Sam-lojin, aku bernama Kwan Kok
Sun, putera dan Ayah yang disebut See-thian tok-ong. Benar sekali
pendapatmu bahwa orang-orang yang hanya membikin ribut ini
kalian larang naik ke puncak, bukan?" kata-kata bocah ini terclengar
manis budi. akan tetapi mengandung tantangan dan ancaman
hebat.
Biarpun hatinya berdebar, Luliang Ciangkun membusungkan
dada dan berkata, "Sudah menjadi tugas kami menjaga keteraman
puncak Luliang-san. Oleh karena puncak itu menjadi puncak
peristirahatan mendiang Suhu di waktu hidup dan sesudah mati,
maka kami terpaksa melarang siapapun juga pergi ke sana, biarpun
untuk itu kami mempertanggung dengan nyawa kami. Maaf saja,
Siauhiap, kami tak dapat membiarkan siapapun juga naik ke
puncak!"
Terdengar suara ketawa ganjil dari anak itu, akan tetapi sebelum
ia melakukan sesuatu tiba-tiba terdengar pekik burung kim-tiauw,
dan burung itu terbang cepat sekali, lalu turun di depan Ban beng
Sin-tong Kwan Kok Sun. Burung ini besar sekali, kepalanya hampir
setinggi kepala orang dewasa dan paruhnya yang kuat kini
menggigit sebatang pedang dengan sarungnya.
110
"Kim-tiauw yang baik, ternyata kau telah berhasil mendapatkan
pokiam (pedang pusaka)!" kata Kwa Kok Sun sambil mengambil
pedang itu dari paruh kim-tiauw.
"Pak-kek Sin-kiam...'" tak terasa lagi Luliang Ciangkun berseru
heran ketika melihat pedang ini. Dia dan dua orang sutenya tentu
saja mengenaI pedang pusaka milik suhunya ini dan alangkah besar
keheranan mereka mengapa pedang yang disembunyikan oleh
suhunya itu kini bisa berada di paruh kim-tiauw.
Mereka sendiri sudah pernah mencoba untuk mencari kitab dan
pedang, namun sia-sia. Bagaimana pedang itu kini berada di paruh
kim-tiauw? Untuk mengetahui hal ini baiklah kita menengok
keadaan di puncak Luliang-san dan peristiwa yang terjadi di situ
semenjak terjadi keributan di lereng gunung.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, setelah melihat bahwa
Luliang Sam-lojin tak dapat melarangnya, Giok Seng Cu berlari cepat
sekali naik ke puncak Luliang-san. Baru satu kali ia naik ke sini akan
tetapi ia sudah tahu di mana letak pondok dari Pak Kek Siansu yang
berada di Jeng-in-thia (Ruang Awan hijau).
Pandangan pertama yang dilihat oleh matanya mengherankan
dia. Beda benar keadaan Jeng-in-thia di waktu sekarang dengan
dulu. Apalagi ketika ia melirik ke arah dua makam yang berada di
depan pondok. Ia tertegun. Tak disangkanya bahwa bukan saja
makam Pak Kek Siansu terawat baik-baik, bahkan makam Pak Hong
Siansu gurunya juga terawat sekali.
Tadinya ia hendak nielewati saja dua makam itu karena
sesungguhnya ia naik ke Jeng-in-thia bukan bermaksud menengok
kuburan suhunya seperti yang dikatakan di lereng gunung terhadap
Luliang Sam-lojin, melainkan untuk mencari peninggalan Pak Kek
Siansu, yakin pedang Pak-kek dan kitab Pak-kek Sin-ciang. Akan
tetapi ketika ia melihat seorang anak berusia kurang lebih sembilan
tahun sedang mencabuti rumput-rumput di sekitar dua makam itu,
ia menghentikan tindakan kakinya dan memandang dengan mata
melirik.
"Eh. kau siapakah?" bentaknya mendekat
111
Anak itu adalah Wan Sin Hong. Ketika tiga kakek Luliang-san
turun dari puncak, hati anak ini penasaran sekali dan- menyesal
mengapa ia tak diperbolehkan ikut. Untuk menghilangkan kekesalan
hatinya, ia mencabuti rumput membersihkan makam. Kini tiba-tiba
saja, tanpa diketahui, di situ muncul seorang kakek berambut
panjang yang berwajah menyeramkan. Ia segera bangun berdiri dan
membalas pertanyaan orang.
"Locianpwe, kau siapakah? Bagaimana bisa naik ke sini? Di mana
adanya Luliang Sam-lojin?" la menyebut Locianpwe karena ia dapat
menduga kakek ini tentulah seorang tokoh kang-ouw yang lihai dan
ia cukup berhati-hati untuk tidak tidak menyebut "suheng" kepada
Luliang Sam-lojin.
Mendengar anak itu balas bertanya tanpa menjawab
pertanyaannya, Giok Seng Cu bergerak maju dan di lain saat Sin
Hong sudah tertangkap baju lehernya. Gerakan ini luar biasa
cepatnya namun kalau Sin Hong mau, tentu saja ia dapat mengelak
karena anak ini pun tidak percuma menerima latihan-latihan selama
setahun di puncak Luliang san. Akan tetapi ia amat cerdik dan
sengaja tidak mau mengelak agar jangan menimbulkan kecurigaan
di hati Giok Seng Cu. Benar saja, kakek menyeramkan ini ketika
mendapat kenyataan bahwa anak itu tidak bisa silat sama sekali,
hilang kecurigaannya dan memandang rendah. Ia mengira bahwa
anak ini tentulah anak dusun yang dipekerjakan di situ untuk
membersihkan tempat ini. Maka dengan sebal ia lalu melemparkan
tubuh anak itu ke atas tanah sehingga Sin Hong jatuh bergulingan.
"Ha-ha-ha, seorang kacung berani kurang ajar, ditanya tidak
menjawab sebaliknya balas bertanya. Bocah nakal, hayo bilang apa
kerjamu di sini"
Sin Hong memutar otaknya, lalu menjawab berani, "Seperti
Locianpwe katakan tadi, aku bekerja sebagai kacung tukang
membersihkan kedua makam ini. Locianpwe siapakah dan mau apa
datang ke sini?"
"Anak setan, kau tidak tahu dengan siapa berhadapan maka
berani bersikap kurang ajar! Hayo lekas berlutut di depan Giok Seng
Cu Sucouw, ketua Imyang-bu-pai dan beritahukan namamu!"
112
Bukan main kagetnya hati. Sin Hong mendengar bahwa kakek ini
adalah ketua Im-yang-bu-pai, musuh besar perkumpulan yang
sudah membinasakan dan membasmi Hoa-san-pai. Wajahnya merah
dan ia harus menekuk perasaan hatinya yang ingin sekali
memberontak dan menyerang kakek ini. Ia maklum bahwa kakek ini
lihai sekali, maka ia harus berlaku hati-hati. Akan tetapi berlutut? Ia
tidak sudi!
"Aku bernama Tan A Kai dan aku tidak kenal apa itu Im-yang-bupai.
Dimana adanya Luliang Sam-loheng?" Sin Hong terkejut bukan
main. Perasaan hatinya yang marah itu ternyata membuat ia lupa
akan sebutannya terhadap Luliang Sam-lojin yang hendak
disembunyikan sehingga tanpa disadarinya ia menyebut Samloheng!
Giok Seng Cu tentu saja juga terkejut. "Apa? Jadi kau adalah sute
dari Luliang Sam-lojin?" tiba-tiba ia mendapat pikiran lain. Kalau
anak ini menyebut loheng atau suheng kepada Luliang Sam-lojin,
berarti anak ini pun menjadi murid Pak Kek Siansu yang sudah
tewas. Hal ini hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa anak ini
agaknya akan mempelajari ilmu silat dari kitab Pak kek Sinciang!
Tiba-tiba ia menubruk ke depan hendak menangkap Sin Hong.
Akan tetapi anak ini sekarang karena kesalahan lidahnya, maklum
akan datangnva bahaya, lalu cepat mengelak sehingga Giok Seng
Cu menubruk tempat kosong. Memang Sin Hong memiliki tubuh
yang ringan dan gerakan yang cepat sekali, apa lagi ia memang
berbakat baik maka setelah menerima gemblengan ilmu silat dari
Liang Gi Tojin kemudian dari Luliang Samlojin, ia telah memiliki
kepandaian yang lumayan.
Kecurigaan Giok Seng Cu makin menebal melihat anak "dusun"
itu dapat mengelak dari tubrukannya. Ia menubruk lagi dengan
cepat akan tetapi dengan mainkan Ilmu Silat Jiauw pouw-poan-Soan
(Tindakan Kaki Berputaran) ia selalu dapat meluputkan diri dari
terkaman kakek itu. Namun tentu saja ia kalah jauh oleh Giok Seng
Cu dan hal ini Sin Hong maklum amat baiknya, maka ia cepat
melarikan diri setelah mendapat kesempatan.
113
"Setan cilik, lekas serahkan Pak kek-Sin kiam dan Pak-kek Sinciang-
pit-kip (Kitab Rahasia Ilmu Silat Pak-kek Sinciang), baru aku
mengampunimu!" bentak Giok Seng Cu sambil mengejar.
Sin Hong menjadi bingung. Dengan beberapa lompatan saja Giok
Seng Cu sudah mendahuluinya dan menghadang di depannya, lalu
cepat menubruk lagi. Kini tubrukannya bukan tubrukan
sembarangan, karena kakek ini sudah merasa tidak sabar lagi dan
mempergunakan tenaganya. Hampir saja tubuh Sin Hong dapat
diterkam, baiknya anak ini cepat sekali mempergunakan Ilmu Silat
Juikut-kang (Ilmu Lemaskan tulang), sehingga begitu diterkam,
kulitnya menjadi licin dan gerakannya yang gesit membuat ia dapat
membebaskan diri lagi. Giok Seng Cu yang tadinya sudah merasa
girang dapat menangkap anak itu, terkejut sekali ketika tiba-tiba
anak itu terlepas dan ia kena peluk sebuah batu karang yang berada
di belakang Sin Hong. Terdengar suara keras dan batu karang itu
remuk dalam pelukan Giok Seng Cu. Inilah kehebatan tenaga Tinsan-
kang dari kakek itu yang amat mendongkol kena memeluk batu
karang sehingga ia menge rahkan tenaga membikin remuk batu itu.
Sementara itu, Sin Hong sudah berlari cepat naik ke atas puncak.
Giok Seng Cu mengejar terus dan kini kakek ini makin marah.
“Setan cilik, apa kau ingin mampus?" bentaknya dan dengan
ginkangnya yang sudah sempurna itu tentu saja ia kembali dapat
menyusul Sin Hong. Kini anak ini sudah tiba di tebing jurang di
puncak bukit, tempat di mana ia biasa berlatih silat.
“Kau mau lari ke mana?" tiba-tiba Sin Hong mendengar bentakan
ini dan sebuah tangan yang besar menyambar ke arah lehernya. Sin
Hong maklum bahwa ia harus melawan mati-matian dan tahu pula
akan kekejian kakek ini, maka cepat ia menyelundup ke bawah
untuk menghindarkan diri dari tangkapan ke arah leher ini. Ia
berhasil mengelak, akan tetapi tangan kiri Giok Seng Cu menyambar
dari belakang dan sebelum Sin Hong dapat mengelak, pundaknya
sudah kena dicengkeram.
Sin Hong meringis dan mengigit bibir agar mulutnya jangan
mengeluarkan jeritan. Bukan main sakitnya pundaknya yang
dicengkeram itu, serasa tulang-tulangnya hancur dan rasa sakit
menembus sampai ke dalam tulang-tulangnya.
114
“Anak setan, lekas katakan dimana adanya pedang dan kitab
peninggalan Pak Kek Siansu?" bentak Giok Seng Cu. Kalau
menurutkan wataknya, karena ia sudah marah dan dibikin jengkel
oleh Sin Hong, tentu ia akan membunuh anak ini tanpa banyak
cingcong lagi. Akan tetapi oleh karena ia naik ke puncak ini adalah
hendak mencari pedang dan kttab itu, maka ia tidak membunuh Sin
Hong. Ia kini menaruh harapannya pada keterangan anak ini.
Sin Hong menggeleng kepalanya. "Aku tidak tahu tentang
pedang dan kitab!" suaranya masih lantang dan penuh ketabahan
sungguhpun rasa sakit membuat wajahnya penuh peluh.
"Bohong...! Kau menjadi sute Luliang Sam-loan, tentu kau
mempelajari ilmu peninggalan Pak Kek Siansu!"
"Aku tidak bohong!" kata Sin Hong, kini keberaniannya meluapluap
karena rasa sakit dan kekejaman kakek ini membuatnya marah
dan membangkitkan semangat perlawanannya. "Memang betul aku
belajar ilmu silat peninggalan Suhu Pak Kek Siansu, akan tetapi aku
dibimbing oleh Suheng-suhengku. habis kau mau apa? Aku tidak
tahu tentang kitab dan pedang yang kau obrolkan!"
"Bangsat cilik, kau benar-benar tidak takut mampus!"
"Siapa takut mampus kalau semua keluargaku sudah habis?
Kalau semua orang yang kucinta sudah kaubasmi? Kau penjahat
terbesar di dunia ini!"
Tangan Giok Seng Cu sudah diangkat ke atas untuk menjatuhkan
pukulan, akan tetapi ia menahan tangannya dan memandang
dengan mata terbuka lebar.
"Eh, eh, kau mengacobelo! Baru kali ini kita hertemu. Kapan aku
membinasakan keluargamu?"
"Giok Seng Cu, bukan tanganmu, akan tetapi anak buahmu yang
membunuh Liang Gi Tojin dan melukai Lie Bu Tek. Liang Gi Tojin
adalah Suhuku dan Lie Bu Tek adalah ayah angkatku."
"Kau... kau siapakah? Dan bagaimana bisa berada di sini?"
"Tentang bagaimana aku bisa berada di sini bukan urusanmu.
Aku bernama Wan Sin Hong dan Lie Bu Tek adalah ayah angkatku."
115
Tiba-tiba Giok Seng Cu tertawa bergelak. "Ha, ha, aku sudah
mendengar tentang kau! Bagus, sekarang kau berada di sini,
sebetulnya aku harus membunuhmu, akan tetapi kalau kau bisa
memberi petunjuk kepadaku di mana adanya pedang dan kitab, aku
takkan membunuhmu."
"Aku tidak tahu!"
Giok Seng Cu maklum dari pandangan mata anak ini bahwa ia
menghadapi seorang anak yang bersemangat baja dan memiliki
keberanian besar, maka sambil menyeringai masam ia
menggerakkan tangan menekan pundak kiri Sin Hong.
Kim Sin Hong tak dapat menahan lagi rasa sakit yang menembus
jantungnya.
Seakan-akan ia merasa sesuatu yang amat dingin menusuk
jantungnya dan seketika itu ia menggigil kedinginan dan mukanya
menjadi biru.
"Aduh...." ia mengeluh dan ketika Giok Seng Cu melepaskan
tangannya, Sin Hong roboh terguling dan duduk dengan tubuh
terasa dingin sekali. Anak ini diam-diam merasa terkejut karena ia
sudah pernah mendengar dari Luliang Sam-lojin bahwa di antara
tokoh-tokoh kang-ouw, terdapat orang-orang yang memiliki
pukulan-pukulan keji sekali, di antaranya pukulan yang penuh
dengan tenaga "yang" sehingga lawan yang terkena pukulan ini
akan terbakar oleh tenaga yang membikin darah menjadi panas dan
korban ini akan tewas di saat itu juga. Akan tetapi pula pukulan
yang mengandung tenaga "im", yang merangsang ke dalam tubuh
dan menghancurkan tenaga "yang" di dalam tubuh, memperbesar
tenaga "im" sehingga jalan-jalan darah terpengaruh dan akibatnya
orang itu akan terserang rasa dingin. Di dalam tubuh terdapat dua
macam hawa panas dingin yang bertentangan. Kalau dua tenaga
yang bertentangan ini seimbang kekuatannya, orangnya akan sehatsehat
saja. Sebaliknya kalau tenaga "im" jauh lebih besar, orang itu
akan menderita kedinginan hebat dan akhirnya ia akan menjadi
penderita yang takkan dapat hidup lama. Sekarang Sin Hong dapat
menduga bahwa ia terserang oleh pukulan yang mengandung
tenaga "im" dan pukulan ini ia rasakan sedemikian hebatnya
116
sehingga ia merasa tubuhnya kaku-kaku saking dinginnya. Ketika ia
melihat ke arah tangannya, kuku jari tangannya sudah menjadi biru!
Melihat bahwa dirinya takkan tertolong lagi, Sin Hong menjadi
nekad.
"Bangsat tua bangka yang keji seperti siluman. Biar hari ini aku
Wan Sin Hong bertempur mati-matian dengan kau!" Ia menggigit
bibir, sedapat mungkin menahan serangan hawa dingin di tubuhnya
dan melompat lalu menyerang kakek itu dengan pukulan-pukulan
yang ia pelajari dari Luliang Siucai. Ia mainkan pukulan yang
digerakkan dari tulisan huruf-huruf sehingga Giok Seng Cu
memandang dengan kagum dan juga kaget. Sekecil ini sudah dapat
mempelajari ilmu silat huruf, benar-benar menunjukkan bahwa
kelak anak ini akan menjadi seorang yang lihai. Biarpun Sin Hong
baru berusia sembilan tahun, namun pukulan seorang anak yang
telah melatih diri dengan ilmu silat tinggi tak boleh dibuat mainmain,
apalagi pukulan itu ditujukan kepada jalan darah kematian di
dada Giok Seng Cu.
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid V
MENGHADAPI serangan Sin Hong, Giok Seng Cu tertawa
bergelak. Tentu saja sebagai seorang tokoh besar, dapat
menghadapi serangan ini dengan mudah. Ia menangkap tangan Sin
Hong yang memukulnya, memegang tangan itu erat-erat sambil
mengerahkan tenaga. “Krak!” Tulang lengan Sin Hong patah!
"Ha-ha-ha, biarlah kau setan cilik sekarang menjadi setan
penasaran di lembah Luliang-san... ha-ha-ha!" Sambil berkata
demikian, Giok Seng Cu lalu melepaskan anak itu ke dalam jurang
dari tebing yang amat curam itu!
Tubuh Sin Hong melayang ke bawah dan sungguhpun
pengalaman ini membuat nyawanya seakan-akan sudah
meninggalkan tubuhnya dan semangatnya juga terbang, namun
kesadaran anak ini masih penuh! Ia tidak mau pingsan dan
kemauannya yang keras ini benar-benar luar biasa dan mengatasi
117
perasaannya sehingga ia masih dapat bertahan! Anak ini ingin
menghadapi kematian dengan kedua mata terbuka.
Pada saat itu, selagi Giok Seng Cu tertawa bergelak, tiba-tiba dari
atas terdengar pekik yang nyaring dan seekor burung yang besar
menyambar turun menyerang dengan paruhnya yang kuat itu ke
arah kepala Giok Seng Cu! Kakek ini kaget sekali, cepat ia melompat
ke samping sambil menangkis dengan tangannya.
"Plak!" Tubuh Giok Seng Cu terhuyung saking kerasnya gerakan
burung akan tetapi burung itu sendiri terpental jauh dan beberapa
helai bulunya rontok, melayang-layang ke bawah. Hajaran yang
keras dari tangan Giok Seng Cu membikin binatang itu menjadi
jerih. Sambil mengeluarkan pekik keras ia melayang terus dan
terbang meluncur ke bawah mengejar tubuh Sin Hong yang sedang
melayang turun.
Binatang tetap binatang. Betapapun ia dilatih oleh orang-orang
pandai, kim-tiauw itu tetap saja seekor binatang yang bodoh.
Melihat ada sesuatu melayang turun, ia hanya menurutkan nalurinya
dan cepat ia menyambar turun, tidak tahu apakah yang melayang
itu. Pada saat itu, Sin Hong sudah hampir pingsan karena sukar
baginya untuk bernapas dalam keadaan melayang cepat sekali itu.
Tiba-tiba ia merasa pundaknya sakit dan tubuhnya seakan-akan
dirobek menjadi dua, tersentak keras sekali, akan tetapi kini ia tidak
melayang ke bawah. Ketika ia memandang, ternyata ia berada
dalam cengkeraman seekor burung kim-tiauw yang besar sekali. Ia
kaget akan tetapi berbareng girang, karena ia mendapat harapan
untuk hidup. Kalau ia terbanting ke bawah, tak dapat disangkal lagi
bahwa ia tentu akan mati dengan tubuh hancur lebur. Kini di dalam
cengkeraman kim-tiauw, belum tentu ia akan mati. Memang Sin
Hong amat pemberani dan berhati keras, tidak mudah putus asa.
Sebaliknya, ketika burung itu melihat bahwa yang
dicengkeramnya adalah seorang anak manusia, ia lalu melayang
turun perlahan di dasar jurang, melepaskan tubuh itu setelah
berada tiga kaki di atas tanah. Tubuh Sin Hong terbanting perlahan
di atas tanah yang lunak hingga ia kaget dan heran. Ternyata
tempat itu bukan merupakan dasar jurang yang menyeramkan,
sebaliknya merupakai tempat yang indah sekali. Ia terjatuh di atas
118
tanah yang mengandung rumput hijau dan tebal. Keadaan di situ
terang karena mendapat sinar matahari dan atas dan dari sebelah
kanan, sedangkan di sana-sini tumbuh pohon-pohon yang
mengandung buah-buahan. Dasar jurang itu ternyata merupakan
sebuah lereng bukit Luliang-san yang tak dapat didatangi orang dari
kaki gunung, karena terhalang oleh jurang-jurang yang luar biasa
dalamnya dan lebarnya. Agaknya jalan satu-satunya untuk tiba di
tempat itu hanyalah dari atas tebing itulah!
Sin Hong teringat akan burung itu, maka buru-buru ia
menghampiri sambil menjatuhkan diri berlutut di depan kim-tiauw.
“Kim-tiauw-koko, aku Wan Sin Hong telah menerima budi
pertolonganmu dan nyawaku telah kau selamatkan. Mudah -
mudahan kelak aku dapat membalas budi-mu ini, tiauw koko!"
Burung itu agaknya terlatih sekali dan aguknya mengerti akan
maksud anak ini. Akan tetapi ia hanya mengeluarkan bunyi tidak
karuan lalu beterbangan berputar-putar di sekitar tempat itu,
mencari sesuatu. Melihat burung itu kebingungan dan seperti
mencari sesuatu, Sin Hong lalu bangun berdiri.
"Tiauw-ko, apakah yang kaucari?" tanyanya berulang-ulang, akan
tetapi tentu saja burung itu tidak dapat menjawab.
Memang burung ini sedang mencari sesuatu. Majikan kecilnya,
yaitu Ban-beng Sin-tong Kwan Kok Sun, berkali-kali menyuruhnya
mencari sebatang pedang dan sebuah kitab agar burung ini
mengerti maksudnya. Kim burung itu terbang ke sana ke mari
melihat-lihat kalau-kalau di tempat itu ada dua barang yang
dikehendaki majikannya.
Melihat burung itu terus mencari-cari biarpun tubuhnya sendiri
terasa sakit-sakit dan hawa dingin terus menerus menyerang
dadanya, Sin Hong lalu bangkit berdiri dan ikut pula mencari. Anak
ini memang berperasaan halus, mudah dendam dan mudah
mengingat budi. Ia berjalan terhuyung-huyung ke sana-sini akhirnya
ia melihat sebuah gua di depan.
"Hm, siapa tahu kalau-kalau di dalam gua itulah benda yang
dicari oleh tiauw-ko," pikirnya. Tanpa takut-takut atau ragu-ragu ia
lalu memasuki gua itu dan berjalan perlahan ke dalam. Ternyata
119
gua itu merupakan terowongan yang tidak begitu gelap. Ia masuk
terus dan berjalan maju. Setelah berjalan ada seratus tindak, tibalah
ia di sebuah ruangan gua yang lebar dan berbentuk bundar. Disitu
terdapat sebuah batu yang sudah licin agaknya dahulu seringkali
dipakai duduk orang, dan di sebelah baru itu terdapat sebuah peti
hitam. Sin Hong tertarik sekali dan ia lalu menghampiri peti itu. Ia
membuka tutupnya, akan tetapi tidak kuat, ia menjadi penasaran
dan mengerahkan tenaga, namun tetap saja tidak dapat ia
membuka tutup peti itu. Bahkan dadanya terasa sakit. Akan tetapi
setelah ia mengerahkan tenaga lweekang, biarpun dadanya sakit,
rasa dingin yang menyerang jantungnya berkurang. Ini adalah
karena pengerahan tenaga itu mempercepat jalan darahnya
sehingga biarpun hanya sedikit, ada hawa "yang" mengalir di jalan
darahnya.
"Aku telah berada di tempat ini secara kebetulan sekali, dan tidak
mati terbanting juga karena kehendak Thian. Masa aku tidak dapat
membuka peti ini?" Kembali Sin Hong mengerahkan tenaganya dan
kali ini berhasil. Peti itu memang tidak dikunci hanya agak sukar
dibuka karena sudah terlalu lama tidak dibuka sehingga berkarat.
Ternyata bahwa peti itu terbuat daripada besi.
Setelah peti terbuka Sin Hong melihat dua benda di dalamnya,
yaitu sebatang pedang dan sebuah kitab yang sudah kuning!
Hatinya berdebar keras.
"Ah... inikah agaknya dua macam benda yang dicari oleh Giok
Seng Cu... ? Dia bilang... dua benda ini peninggalan dart Pak Kek
Siansu…… guruku...."
Dengan hati gembira, lupa akan tubuhnya yang sudah terluka
berat dan tidak ada harapan untuk hidup lagi itu Sin Hong lalu
menjatuhkan diri berlutut di depan peti yang terbuka itu.
"Suhu, banyak terima kasih atas kemuliaan Suhu yang sudah
meninggalkan pedang dan kitab ini untuk teecu...."
Karelia di dalam ruangan itu agak gelap, tak mungkin baginya
membuka dan membaca kitab itu, maka ia lalu mengambil
pedangnya dan membawa pedang itu keluar. Biarpun ia belum
mempelajari isi kitab, akan tetapi ia sudah belajar ilmu pedang dari
120
Luliang Ciangkun dan dengan adanya pedang itu di tangannya, ia
akan mempunyai pembantu yang boleh diandalkan. Ia tidak tahu
keadaan di tempat aneh itu, maka untuk melindungi dirinya, ada
baiknya kalau ia membawa pedang itu keluar.
Ketika ia mencabut pedang itu dari sarugnya, ia terkejut dan
matanya menjadi silau. Di tempat agak gelap, pedang itu
mengeluarkan cahaya yang menyilaukan mata. Girang sekali
hatinya.
"Pedang pusaka yang hebat...." pikirnya cepat ia memasukkan
pedang itu ke dalam sarung dan menalikan tali sarung ke
pinggangnya. Setelah itu Sin Hong berjalan keluar. Kegirangan
besar membuat ia melupakan serangan hawa dingin yang seperti
hendak membikin tubuhnya kaku.
"Hee, tiauw-koko, apakah kau belum menemukan barang yang
kaucari-cari?" tanya Sin Hong sambil berdiri dan tiba-tiba ia
mengeluarkan bunyi ke arah Sin Hong. Anak itu masih tertawa-tawa
dan mengira bahwa burung itu hendak turun di dekatnya. Akan
tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba burung itu menyerangnya
dengan pukulan sayap!
Andaikata Sin Hong tahu bahwa ia akan diserang dan sudah
berjaga diri, agaknya ia pun takkan dapat menghadapi burung ini
dan takkan dapat mengelak dari serangannya, karena burung itu
amat kuat dan serangan sayapnya benar-benar cepat sekali. Apalagi
Sin Hong tidak mengira sama sekali, maka tubuhnya terkena
pukulan sayap yang besar sehingga sambil berseru kesakitan dan
kaget anak ini terguling sampai jauh. Dalam bergulingan ini, ia
merasa sesuatu direnggut dari tubuhnya dan ketika ia dapat
mclompat berdiri, ia melihat bahwa pedang dan sarungnya yang tadi
diikatkan di pinggang, telah dirampas oleh burung itu dengan
cakarnya dan kini pedang itu telah berada di paruh kim-tiauw.
"He, tiauw-ko, itu pedangku...! Kembalikan...!" Sin Hong
menahan rasa sakit-sakit pada tubuhnya dan mengejar, tetapi
burung itu sudah mementang sayap dan sekejap mata saja ia telah
terbang tinggi, lalu lenyap dari pandanga mata.
Sin Hong membanting-banting kakinya lalu menangis!
121
"Sin Hong, kau manusia gublok! Kau tak berotak!" ia memaki diri
sendiri berkali-kali. "Seharusnya kau tahu bahwa Kim-tiauw itu
mencari-cari pedang dan kitab...." Teringat akan kitab, hatinya
terhibur. Baiknya kitab itu tidak dibawa ke luar. Akan tetapi hatinya
juga menjadi gelisah. Tentu burung aneh itu dipelihara oleh seorang
kang-ouw yang berkepandaian tinggi pula. Kalau burung itu
membawa pedang kepada majikannya, tentu majikannya itu akan
tahu bahwa kitabnya pun berada di situ, lalu datang mengambilnya.
Berpikir demikian, anak ini cepat berlari masuk ke dalam gua, akan
tetapi kelelahan dan sakit di tubuhnya demikian hebat sehingga
setibanya di dekat peti, ia terhuyung-huyung dengan kepala terasa
pening, tubuh sakit-sakit dan dada dingin bukan main. Ia cepat
menghampiri batu licin itu dan merebahkan diri di situ. Pada saat itu
ia roboh pingsan di atas batu!
-oo0mch-dewi0oo-
Kim-tiauw yang berhasil merampas pedang Pak kek Sin-kiam,
terbang keluar fari jurang. Pada saat itu, Giok Seng Cu masih berdiri
di tebing bertolak pinggang dan memandang ke bawah, ke dalam
jurang yang tidak kelihatan dasarnya itu. Hatinya juga gelisah sekali,
karena ia sekarang teringat bahwa kim-tiauw itu tentu binatang
peliharaan dari See-thian Tok-ong, tokoh di Tibet yang seringkali
disebut-sebut oleh sahabatnya Ba Mau Hoatsu. Burung rajawali
emas mana lagi yang dapat membuat ia terpental dalam sekali
serangan?
Tiba-tiba ia melihat burung itu terbang dari bawah dan di
paruhnya terlihat sebatang pedang dengan sarungnya yang buruk.
"Celaka, burung keparat itu telah mendapatkan Pak-kek Sin
kiam," kata Giok Seng Cu dan ia cepat berlari turun dari puncak.
Akan tetapi secepat-cepatnya seorang dapat berlari
mempergunakan ilmu lari cepat, tak mungki ia dapat mengejar
seekor burung rajawali terbang. Maka burung itu tentu saja sudah
lama tiba di lereng sebelum Giok Seng Cu keluar dari puncak.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, burung rajawali
emas telah memberikan pedang itu kepada Ban-beng Sin-tong Kwan
122
Kok Sun. Bocah gundut yang aneh itu mencabut pedang dari
sarungnya. Semua orang menjadi silau melihat cahaya keemasan
keluar dari pedang yang amat indah itu.
"Kau telah mencuri pedang Guru kami!" Luliang Ciargkun berseru
marah. Sambil berkata demikian ia mencabut pedangnya dengan
sikap hendak menyerang. Gurunya sudah berpesan agar ia dan
sutenya menjaga supaya pedang dan kitab jangan terjatuh ke dalam
tangan penjaat. Dan anak siluman ini benar-benar jahat dan
berbahaya sekali kalau Pak-Sin-kiam terjatuh di dalam tangannya.
Ban-beng Sin-tong Kwa Kok Sun tertawa menyeringai, akan
tetapi pandangan matanya penuh ancaman.
"Luliang Ciangkun, pedang ini disembunyikan oleh Gurumu dan
kau sendiri mengaku tidak mengetahui tempat penyimpanannya.
Sekarang ditemukan oleh burungku, berarti bahwa aku berjodoh
dengan pedang ini. Kau ribut ribut mau apa sih?”
Lain-lain tokoh yang berada di situ juga memandang kepada
pedang itu dengan mata mengilar. Akan tetapi mereka tidak berani
bergerak karena maklum akan kelihaian anak gundul itu dan ularularnya.
Bahkan Ba Mau Hoatsu memandang dengan hati berdebar.
Ingin sekali ia mengulur tangan merampas pedang. Kalau ia lakukan
hal ini, ia percaya bahwa ia sanggup merampas pedang. Ia tahu
bahwa kepandaiannya sendiri jauh melampaui kepandaian bocah
gundul itu, akan tetapi kalau ia teringat akan ayah dan ibu anak ini
ia bergidik dan membuat ia ragu-ragu untuk turun tangan.
Sementara itu, Luliang Sam-tojin sudah memegang senjata
masing-masing, dan Luliang Ciangkun membentak,
"Bagaimana juga. tidak boleh orang mengambil pusaka Luliangsan
begitu saja dari tempat ini. Kembalikan pedang Pak kek Sinkiam,"
Kwan Kok Sun sambil tersenum sindir menggerak-gerakkan
pedang pusaka itu di tangan kanan sedang tangan kirinya sudah
dimasukkan ke dalam saku baju dimana tersimpan sepasang ular
merah tadi, lalu melirik ke arah Bau Hoatsu.
123
Paman Ba Mau, kau pikir bukankah kakek Luliangsan ini tidak
tahu aturan sama sekali?"
Ba Mau Hoatsu semenjak tadi memandang ke arah pedang di
tangan bocah gundul itu, dan ia hampir tidak mendengar kata-kata
ini. Memang dia sendiri ingin sekali merampas pedang itu, maka
jawabnya perlahan dan ragu-ragu.
"Hmm...."
Luliang Ciangkun sudah tidak dapat menahan sabar lagi.
"Serahkan pedang kami!" bentaknya sambil menyerang ke depan,
berusaha merampas Pak-kek Sin-kiam.
Akan tetapi, biarpun sikapnya tenang, bocah gundul itu ternyata
gesit luar biasa. Sekali tangannya bergerak berkelebat bayangan
keemasan dan pedang Pak-kek Sin-kiam sudah digerakkan dari
samping, memapaki dan menyabet pedang besar di tangan Luliang
Ciangkun.
Panglima Gunung Luliang ini terkejut sekali karena gerakan lawan
yang masih muda ini benar-benar cepat luar biasa. Ia tahu bahwa
sekali saja pedangnya ber temu dengan Pak-kek Sin kiam,
pedangnya yang besar dan juga bukan sembarangan pedang itu
pasti akan terbabat putus! Ia menarik kembali pedangnya dan kini
menyerang dengan sambaran dari bawah.
Lagi-lagi Kwan Kok Sun menangkis, lalu membalas menyerang.
Luliang Ciangkun kembali menghindari pertemuan pedang dan
sekarang kedua orang ini bertanding pedang dengan hebatnya.
Sama sekali di luar dugaan para tokoh kang-ouw yang berada di
situ, ilmu pedang dari Ban-beng Sin-tong benar-benar luar biasa
sekali. Memang dia telah mendapat gemblengan dari ayah
bundanya, maka tentu saja ia memiliki kepandaian tinggi. Apalagi
sekarang dia memegang Pak-kek Sin-kiam, kelihatan bertambah
hebat. Luliang Ciangkun yang tidak berani mengadu pedang, segera
didesak dengan hebat oleh bocah itu. Yang lebih hebat Kwan Kok
Sun sama sekali tidak mengeluarkan tangan kiri dari saku bajunya.
Oleh karena ini, gerakan pedang di tangan kanannya kelihatan kaku
tidak ada imbangannya. Akan tetapi, hal ini tidak mengurangi
kehebatan gerakan pedangnya, bahkan Luliang Ciangkun dan yang
124
lain-lain maklum bahwa tangan kiri itu lebih berbahaya daripada
tangan kanan. Sekali tangan kiri itu keluar, tentu akan membawa
sepasang ular terbang dan hal itu benar-benar merupakan bahaya
maut yang mengerikan sekali!
Melihat suheng mereka terdesak, Luliang Nungjin dan Luliang
Siucai tidak tanggal diam.
"Kembalikan pedang kami, kalau tidak kita harus bertempur
mengadu nyawa di sini!" kata Luliang Nungjin sambil menggerakkan
pacutnya yang aneh, disusul oleh Luliang Siucai yang menggerakkan
pitnya.
Pacul dari Luliang Nungjin berujung enam dan sekali gagangnya
digerakkan, enam mata cangkul menyerang tubuh Kwan Kok Sun
dari enam jurusan! Bocah gundul itu terkejut sekali, apalagi ketika
pedang Luliang Ciangkun dan pit Luliang Siucai menyusul pula
dengan serangan dari ilmu silat tinggi yang amat berbahaya!
Biarpun ia berpedang pusaka, namun bagaimana ia dapat
menangkis sekaligus senjata-senjata hebat ini? Sambil memutar
pedangnya, ia melompat mundur, dan terdengar suara keras.
Ternyata bahwa di antara enam mata cangkul, dua buah terbabat
putus oleh Pak-kek Sin-kiam. Akan tetapi pit di tangan Luliang Siucai
hampir saja mengenai sasaran, dan baju Kwan Kok Sun robek di
bagian pundaknya.
Bocah gundul itu menjadi pucat. Ia melirik ke arah Ba Mau
Hoatsu, akan tetapi hwesto tinggi besar ini diam saja tidak bergerak
membantunya. Hal ini membikin mendongkol hati Kwan Kok Sun. Ia
mengeluarkan suara keras seperti pekik seekor binatang buas, lalu
pedangnya diputar sedemikian rupa, tangan kirinya mengeluarkan
dua ekor ular merah. Pada saat itu juga, atas perintah pekikan tadi,
burung kim-tiauw ikut menyerbu dan puluhan ular yang tadi
melingkar di tanah, mulai bergerak menyerbu ke arah Luliang Samlojin!
Inilah serangan yang hebat sekali! Ketiga kakek dari Luliang-san
ini cepat memutar senjata mereka. Luliang Nungjin mengajukan diri
menghadapi kim-tiauw, karena dengan paculnya yang masih
bermata empat itu ia dapat menghadapi serangan burung itu dari
atas. Beberapa kali ia terhuyung-huyung karena beturan pacul
125
dengan sayap burung, akan tetapi ia berhasil membuat rontok
beberapa helai bulu sayap dari burung itu sendiri berkali-kali
memekik kesakitan.
Luliang Ciangkun dan Luliang Siucai sibuk sekali menghadapi
serbuan puluhan ekor ular itu. Mereka melompat ke sana ke mari
untuk menghindarkan diri dari gigitan ular dan pedang serta pit
kedua kakek ini telah berhasil membunuh beberapa ekor ular. Tibatiba
dua bayangan merah berkelebat ke arah mereka. Ternyata
bahwa Ban-beng Sin-tong telah melepaskan sepasang ular
terbangnya yang langsung menyerang dengan luncuran hebat ke
arah Luliang Ciankun dan Luliang Siucai.
Dua orang kakek ini maklum akan bahaya besar ini. Cepat
mereka melompat jauh sambil memutar senjata, tetapi Kwan Kok
Sun tidak tinggal diam. Anak gundul ini segera melompat maju dan
menggerakkan pedang pusaka membantu perjuangan anak-anak
buahnya yang mengerikan itu.
Keadaan Luliang Sam lojin benar-benar terdesak hebat kali ini.
Juga Luliang Nungjin sudah pening kepalanya karena sebuah
tamparan sayap telah nyerempet pelipisnya, terasa bagaikan dipukul
oleh palu godam dan sakitnya bukan main. Tenaga pukulan itu
sedikitnya ada lima ratus kati dan kalau orang lain yang terkena
sambaran ini tentu sudah pecah kepalanya.
Pada saat itu sesosok bayangan yang cepat sekali gerakannya
terbang berlarian dari puncak gunung. Dia bukan adalah Giok Seng
Cu. Setelah tiba ditempat pertempuran, ia melihat semua tokoh
kang-ouw menonton pertempuran yang sedang berjalan dengan
amat seru dan hebatnya. Namun Giok Seng Cu tidak memperhatikan
semua itu. Seluruh perhatiannya ditujukan kepada pedang Pak Sinkiam
yang terpegang dan dimainkan oleh seorang bocah gundul.
Melihat bocah ini, biarpun belum bertemu muka, dapat menduga
bahwa ini tentulah putera See-thian Tok-ong karena ia pernah
dengar penuturan Ba Mau Hoatsu.
Tiba-tiba ia melompat maju ke dalam medan pertempuran.
126
"Sahabat kecil bukankah kau putera dari See-thian Tok-ong yang
mulia? Pinto adalah Giok Seng Cu ketua Im yang-bu-pai. Marilah
Pinto bantu kau menghabiskan Luliang Sam-lojin yang sombong itu"
Tentu saja Ban-beng Sin-tong Kwan kok Sun menjadi girang
sekali. Memang ia ingin melihat ketiga orang lawannya itu lekaslekas
binasa karena ia mendongkol melihat ular-ularnya banyak
yang mati.
"Terima kasih, Totiang. Ayah tentu akan berterima kasih
kepadamu," jawabnya gembira.
Giok Seng Cu sengaja melompat di dekat Kwa Kok Sun,
kemudian ia merendahkan tubuhnya dan mengerahkan tenaga Tin
sang-kang yang hebat. Sambil mengeluarkan seruan dahsyat kedua
tangannya memukul ke depan, ke arah Luliang Nungjin yang sedang
sibuk menghadapi serbuan kim-tiauw. Angin pukulan yang hebat
sekali menyambar ke arah dada Luliang Nungjin. Kakek ini tahu
akan datangnya serangan pukulan, akan tetapi oleh karena
perhatiannva ditujukan kepada kim-tiauw yang menyambarnyambar
di atasnya, ia tidak sempat mengelak dan tiba-tiba ia
merasa dadanya digempur oleh tenaga tidak kelihatan yang hebat
sekali. Ia menahan napas dan mengerahkan lwee-kangnya, namun
terlambat. Tubuhnya tersentak dan ia muntah-muntah ….. darah
merah tersembur keluar dari mulutnya. Pada saat itu, seeker ular
merah menyerbunya dan sekali patok pada lehernya, robohlah
Luliang Nungjin dan tubuhnya seketika itu juga berubah menjadi
merah! Ia tewas dalam saat itu juga dan ular merah itu lalu
merayap masuk dari mulutnya untuk segera keluar kembali
menggigit sebuah jantung yang masih berlepotan darah!
Pemanclangan ini mengerikan sekali hingga semua orang
menjadi pucat. Adapun Kwan Kok Sun mengeluarkan suara seperti
iblis. Pada saat itu, terjadilah hal yang sama sekali tidak didugaduga
olehnya.
127
Giok Seng Cu melihat kesempatan baik, kembali menggerakkan
kedua tangannya. Tangan kanan memukul dengan tenaga Tin-sankang,
sedangkan tangan
kiri maju merampas
pedang Pak-kek Sin-kiam!
Kwan Kok Sun mana
kuat menghadapi pukulan
Tin-san kang? Ia sudah
berusaha mengelak, akan
tetapi pundaknya masih
terkena pukulan itu dan
sebelum ia tahu apa yang
terjadi, pedangnya
dirampas oleh gerakan
tangan kiri Giok Seng Cu
yang mainkan ilmu Silat
Kin-na-jiu!. Kwan Kok Sun
terhuyung-huyung
dengan muka pucat.
Bocah gundul ini telah
menderita luka di dalam
tubuh maka ia cepatcepat
bersila untuk mengumpulkan napas dan mengerahkan tenaga
dalam. Giok Seng Cu melompat jauh dan berlarit seperti terbang
cepatnya turun gunung!
“Giok Seng Cu, kau curang...!" bentak Ba Mau Hoatsu dan
hendak mengejar, akan tetapi melihat Kwan Kok Sun terluka, ia
khawatir akan keadaan anak itu. Kalau sampai terjadi apa-apa
dengan anak itu, ia ikut bertangung jawab di hadapan See-Thian
Tok-ong, maka ia membatalkan niatnya mengejar Giok Seng Cu.
Lagi pula, andaikata ia dapat mengejar, apakah dia dapat
mengalahkan ketua Im-yang-bu-pai itu? Tadi ia melihat kehebatan
Tin-san-kang. Kalau kiranya Giok Seng Cu tidak memegang Pak-kek
Sin-kiam, mungkin ia masih dapat melawannya. Akan tetapi dengan
pedang pusaka itu di tangan, berbahaya sekali!
Semua tokoh kang-ouw melihat Giok Seng Cu kabur membawa
pedang serentak berlari mengejar. Kini setelah pedang itu berada di
128
tangan ketua Im-yang-bu-pai, mereka berani untuk mencoba-coba
merampas.
Adapun Ba Mau Hoatsu setelah melihat Kwan Kok Sun bersila
meramkan mata, lalu mengeluarkan sepasang rodanya. Ia melihat
Luliang Ciangkun dan Luliang Siucai mengamuk hebat membunuhbunuhi
ular itu, sedangkan sambaran-sambaran ular merah tak
pernah mengenai sasaran.
Tanpa banyak cakap lagi, Ba Mau Hoatsu lalu menggerakkan
sepasang rodanya dan menyerbu, menyerang dua orang kakek
Luliang-san itu.
"Ba Mau Hoatsu, semenjak dahulu kau memang iblis jahat!" seru
Luliang Ciangkun marah sekali. Pedangnya berkelebat menyambarnyambar
dan kini ia benar-benar nekad. Tanpa memperdulikan
serangan-serangan ular ia menyerbu dengan hebat kepada hwesio
gundul itu. Ba Mau Hoatsu menyambuti serangannya dan kedua
orang ini bertempur seru. Memang tingkat kepandaian Ba Mau
Hoatsu masih lebih tinggi daripada Luliang Ciangkun, maka sebentar
saja Si Gundul mendesaknya. Apalagi Luliang Ciangkun sudah lelah
dan ular-ular yang telah dididik dapat membedakan kawan atau
lawan itu masih tetap menyerangnya dari bawah. Luliang Siucai kini
menghadapi kim-tiauw yang dibantu oleh beberapa ekor ular pula.
Dalam keadaan amat terdesak ini, kedua kakek itu masih
mengamuk hebat. mereka tidak mengharapkan hidup lagi setelah
melihat kematian Luliang Nungjin yang amat mengerikan. Cita-cita
mereka hanya membasmi lawan sebanyak-banyaknya. Akan tetapi,
pada saat itu Kwan Kok Sun sudah berdiri lagi. Lukanya biarpun
cukup hebat namun tidak membahayakan jiwanya. Kini melihat Ba
Mau Hoatsu membantunya dan melihat dua orang kakek Luliang-san
masih mengamuk, semua kemarahannya akibat hilangnya pedang,
dijatuhkan kepada dua orang kakek itu.
"Paman Ba Mau, minggir...! serunya sambil menggerakkan kedua
tangannya, Ba Mau Hoatsu cepat melompat ke samping dan dari
kedua tangan Kwan Kok Sun tersebar debu hijau yang menyambar
ke arah Luliang Siucai dan Luliang Ciangkun. Dua orang kakek ini
cepat mengelak, akan tetapi mereka segera terbatuk-batuk karena
debu itu ternyata dengan cepatnya telah mempengaruhi mereka.
129
Sedikit saja debu itu memasuki mulut, celakalah orangnya. Luliang
Siucai dan Luliang Ciangkun merasa tenggorokan mereka gatal-gatal
sekali dan tak tahan pula mereka terbatuk-batuk dan tak dapat
menggerakkan senjata. Pada saat itu, tentu saja ular-ular tidak
tinggal diam dan menyerbu. Juga sepasang ular terbang itu
menyambar seperti kilat dibarengi dengan sambaran kim-tiauw dari
atas!
Dalam sekejap mata saja, Luliang Ciangkun dan Luliang Siucai
roboh tak bernapas lagi. Kepala mereka pecah terhantam sayap
kim-tiauw, kaki mereka bengkak-bengkak tergigit oleh ular dan dada
mereka bolong disambar oleh sepasang ular merah!
"Sin-tong, apakah kau terluka berat?” Ba Mau Hoatsu cepat
menghampin Kwan Kok Sun.
Bocah gundul itu menggeleng kepala sambil mengerutkan
keningnya. "Kurang ajar sekali bangsat tua Giok Seng Cu! Aku
bersumpah untuk membasminya!"
"Tenanglah, Sin-tong. Tadi pun aku hendak mengejarnya, akan
tetapi aku tidak tega meninggalkan kau yang terluka. Apalagi
kepandaian Giok Seng Cu amat tinggi, lebih-lebih setelah ia dapat
merampas Pak-kek Sin-kiam. Mari kita pulang saja, agaknya Ayah
Bundamu akan mudah sekali merampas pedang itu dari tangan Giok
Seng Cu."
Kwan Kok Sun mengangguk-angguk. “Seluruh Im-yang-bu-pai
harus dibasmi habis sampai ke akar-akarnya'"
Diam-diam Ba Mau Hoatsu bergidik. Ia kenal watak anak ini,
kenal pula kehebatan orang tuanya, maka ia merasa beruntung
bahwa bukan dia yang diancam. Baiknya aku tadi membantunya
pada saat terakhir, pikirnya puas. Akan tetapi alangkah kagetnya
ketika bocah itu menegurnya,
"Paman Ba Mau, mengapa tidak sejak tadi-tadi kau membantuku
menghadapi Luliang Sam-lojin?”
Ba Mau Hoatsu dengan muka merah dan hati berdebar-debar
cepat menjawab, "Ah, Sin-tong. Mengapa aku harus turun tangan?
Hal ini hanya akan merendahkan namamu dan nama besar Ayah
130
Bundamu. Tanpa aku pun kau tidak akan kalah. Akan tetapi tentu
saja aku seta siap sedia dan pasti akan niembantumu kalau tadi kau
terdesak oleh Luliang Sam-lojin. Serangan Giok Seng Cu kepadamu
sama sekali di luar dugaanku. Siapa yang mengira demikian
sedangkan tadinya ia membantumu"
Kwan Kok Sun puas dengan jawaban ini. Ia lalu mengumpulkan
ular-ularnya yang masih hidup, mengantongi sepasang ular merah
yang sudah kenyang makan jantung manusia, kemudian bersuit
memanggil kim-tiauw yang turun di depannya.
"Kim-tiauw, kau terbanglah pulang dan berikan surat kepada
Ayah Bundaku," kata Kwan Kok Sun setelah mencoret-coret
sepotong kertas. Kim-tiauw menerima kertas itu yang oleh Kwan
Kok Sun diikatkan kepada kakinya, kemudian setelah menganggukanggukkan
kepalanya, rajawali besar itu terbang melayang dan
sebentar saja lenyap dari pandangan mata.
"Eh, Ban-beng Sin-tong, apakah kau sendiri tidak pulang?"
Bocah itu menggelengkan kepalanya. “Mengapa pulang? Nanti
tentu harus kembali ke Tiong-goan (pedalaman Tiongkok). Daripada
membuang waktu, lebih baik Ayah dan Ibu yang datang ke sini,
sementara itu kita dapat menyelidiki di mana adanya Giok Seng Cu!"
"Akan tetapi, yang didapatkan oleh kim-tiauw hanya pedang saja,
di mana adanya kitab ilmu silat itu? Apakah tidak lebih baik kalau
kita mencoba mencari kitab itu di puncak?"
"Kau benar, Paman Ba Mau! Mengapa aku sebodoh ini'?" Kwan
Kok Sun timbul kembali kegembiraannya dan kedua orang ini lalu
mendaki puncak Luliang-san, sama sekali tidak memperdulikan
mayat-mayat yang bergelimpangan di situ dalam keadaan
mengerikan sekali.
Ban-beng Sin-tong dan Ba Mau Hoatsu mencari-cari di puncak
Luliang-san, membongkar pondok bekas tempat tinggal Pak Kek
Siansu. Pondok itu didirikan di bawah puncak batu karang yang
menjulang tinggi, kokoh kuat seperti sang raksasa hitam. Yang amat
mengagumkan, batu karang ini berbentuk seperti kepala naga
sehingga setelah kini pondok yang merupakan penutupnya
terbongkar, batu karang ini nampak dari jauh amat menyeramkan.
131
Ba Mau Hoatsu meraba-raba batu karang itu dan matanya
memandang penuh perhatian.
"Agaknya bentuk kepalanya ini buatan manusia," katanya, "Lihat,
bukankah bentuk mata dan tanduk di atas itu ada bekas guratan
senjata tajam?"
Kwan Kok Sun memandang, kemudian tubuhnya bergerak
melompat ke atas Dalam sekejap mata ia telah berada di puncak
batu karang itu dan memeriksanya.
"Benar, memang buatan manusia. Akan tetapi entah apa
maksudnya maka batu karang ini diukir sebagai kepala naga, lalu
ditutup dengan bangunan pondok," katanya.
Mereka memeriksa dengan teliti karena menduga bahwa di dalam
batu karang ini agaknya terletak tempat rahasia penyimpanan kitab.
Akan tetapi, biarpun dengan sepasang rodanya Ba Mau Hoatsu
sudah memecahkan bagian-bagian batu karang, sia-sia saja
hasilnya. Akhirnya Kwan Kok Sun berkata gemas,
"Setan tua itu pintar sekali menyembunyikan kitabnya. Siapa tahu
kalau-kalau ia bawa kitab itu ke dalam lubang kuburannya?"
Ba Mau Hoatsu ragu-ragu dan merasa ngeri. Betapapun jahatnya,
selama hidupnya belum pernah ia menggalil kuburan orang. Anak
ini, yang usianya masih begitu muda, sudah mengusulkan
membongkar kuburan dengan suara demikian dingin, seakan-akan
membicarakan sebuah hal biasa saja. Akan tetapi ia harus akui
bahwa usul itu baik sekali, karena siapa tahu kalau-kalau kitab
rahasia itu benar-benar disembunyikan di dalam kuburan. Kalau tadi
ketika masih melihat pedang pusaka, biarpun hatinya ingin
merampas, Ba Mau Houtsu belum berani melakukannya, karena
biarpun ada pedang itu di tangan, percuma saja ia menghadapi See-
Thian Tok ong dan isterinya serta anaknya ini. Akan tetapi, kalau ia
dapat memiliki kitab kek-sin-clang-pit-kip dan telah mempelajari
isinya sampai tamat, kiranya ia tidak usah takut lagi menghadapi
Raja Racun itu. Ia tahu bahwa ilmu silat dari Pak Kek Siansu sangat
tinggi, kalau ia dapat mewarisi ilmu silat dari Pak Kek Siansu, ia
tidak takut lagi menghadapinya.
"Baik sekali Sin-tong. Mari kita mencari di dalam kuburan itu."
132
Demikianlah, dua orang manusia jahanam ini tanpa ragu-ragu
lagi lalu membongkar kuburan Pak Kek Siansu dan Pak Hong Siansu.
Dengan sepasang rodanya Ba Mau Hoatsu menghantam batu-batu
nisan sampai hancur, kemudian dibantu oleh Kwan Kok Sun, ia
mulai menggali tanah bergunduk yang saling berhadapan.
Berkat kepandaian dan tenaga mereka yang sudah tinggi,
sebentar saja dua buah makam itu sudah terbongkar. Dahulu ketika
mengubur jenazah Pak Kek Siansu dan Pak Hong Siansu, pendekar
besar Go Ciang Le tidak sempat mempergunakan peti mati karena di
tempat seperti puncak Gunung Luliang-san itu, dari mana bisa
mendapatkan peti mati? Maka Hwa I Enghiong Go Ciang Le hanya
mengubur mereka begitu saja dengan penuh penghormatan dan
kesedihan.
Kini setelah kuburan dibongkar, Ba Mau Hoatsu dan Kwa Kok Sun
hanya mendapatkan tulang belulang yang hampir sama besar dan
bentuknya sehingga mereka tidak dapat membedakan mana tulang
kerangka Pak Kek Siansu dan yang mana Pak Hong Siansu. Dilihat
begitu saja, selain tulang-tulang ini, tidak terdapat apa-apa lagi di
kuburan itu. Namun Kok Sun masih merasa penasaran. Ia tanpa
ragu-ragu lagi menggunakan kakinya untuk menendang tulangtulang
itu keluar dari lubang kuburan lalu memeriksa dasar lubang.
Namun kembali usahanya sia-sia karena di situ betul-betul tak
tersembunyi sesuatu.
"Jahanam betul, kita bersusah payah tanpa guna!” Kok Sun
memaki dan menyepaki tulang-tulang itu sehingga berserakan ke
mana-mana. Diam-diam Mau Hoatsu mengutuk Kok Sun. Anak ini
terlalu keji hatinya, pikirnya. Betapa pun juga, ia tidak sampai hati
memperlakukan tulang-tulang manusia seperti itu, setidaknya ia
masih menghormati bekas-bekas terakhir dari tubuh orang-orang
besar seperti Pak Kek Siansu dan Pak Hong Siansu.
"Lebih baik sekarang kita mencari Giok Seng Cu," katanya
perlahan. Anak gundul itu mengangguk dan keduanya lalu berlari
cepat turun dari puncak Lulian-san, meninggalkan tulang-tulang
yang berserakan itu. Ketika mereka tiba di lereng tempat
pertempuran tadi, Kok Sun masih dapat menyeringai dan melempar
133
ludah ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan di situ dan yang
mengeluarkai hawa busuk.
Tentu saja mereka tidak pernah mimpi bahwa di balik batu
karang yang mereka amuk di puncak terdapat terowongan yang
menuju ke bawah dan yang tersambung dengan terowongan di
mana Sin Hong menemukan pedang dan kitab.
Anak ini setelah sadar dari pingsannya, merasa tubuhnya dingin
sekali. Ia teringat bahwa ia telah menderita luka hebat akibat
pukulan Giok Seng Cu. Ia merasa malas untuk bangun. Alangkah
nikmatnya tidur di atas batu itu, nikmat sekali dan kalau ia teruskan
tak lama lagi ia akan terbebas daripada hidup yang penuh
pendentaan dan kekecewaan. Akan tetapi aku harus berusaha
menghajar yang berkeliaran di muka bumi sebelum melakukan halhal
yang merusak manusia-manusia lain yang tidak berdosa.
Sin Hong merayap keluar dari gua dan mencari buah-buah dari
pohon yang banyak tumbuh di sekitar lereng tersembunyi itu.
Setelah makan beberapa butir buah yang manis rasanya, ia merasa
tubuhnya tidak begitu sakit-sakit dan tidak terlalu dingin lagi. Ia
cepat kembali ke gua dan dibawanya keluar kitab dari dalam peti
itu. Sin Hong mulai membalik-balik lembaran kitab yang berisi
pelajaran Pak-kek Sin-ciang dan alangkah girangnya ketika ia
melihat bahwa dalam buku selain ilmu silat juga terdapat petunjukpetunjuk
untuk melatih lweekang yang tinggi.
Hlarapannya untuk sembuh timbul kembali. Ia pernah
mendengar dari Liang Gi Tojin, juga dari Luliang Sam-lojin bahwa
kalau orang sudah melatih diri dengan ilmu lweekang yang
sempurna, tubuhnya akan dapat terlindung dari pada pukulan
lweekang dan dapat memperkuat hawa di dalam tubuhnya. Maka
pertama kali yang dilatihnya adalah lwee-kang dan cara-cara
bersamadhi serta peraturan bernapas. Benar saja, beberapa pekan
kemudian setelah melatih diri dengan tekun dan rajin, dapat
menahan rasa dingin sehingga tidak sangat menderita, biarpun tidak
dapat mengusir rasa dingin itu yang berarti bahwa racun atau luka
yang diderita oleh bagian dalam dadanya ternyata masih belum
lenyap. Berkat latihan lweekang yang tinggi, ia dapat bertahan terus
dan racun pukulan Giok Seng Cu itu tidak dapat menjalar. Ia dapat
134
hidup akan tetapi mukanya selalu pucat seperti tidak berdarah dan
sekali-sekali ia mengalami serangan hawa dingin yang membuatnya
menggigil kedinginan di dalam gua yang sudah diterangi oleh api
unggun besar yang dibuatnya.
Demikianlah, terasing dari dunia ramai, Wan Sin Hong melatih
diri dengan amat tekunnya. Di luar gua ia melatih ilmu silat Pak-kek
Sin-ciang yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus. Akan tetapi setiap
jurus mempunyai pecahan yang bermacam-macam dan tanpa
disadari anak ini telah melatih bagian-bagian tertinggi daripada ilmu
silat dari berbagai cabang persilatan. Memang, Pak Kek Siansu
menciptakan ilmu silat ini berdasarkan pengalaman-pengalaman dan
pengertiannya akan ilmu silat tinggi dari berbagai cabang. Ia
mengumpulkan jurus-jurus terlihai dari cabang persilatan yang ada,
kemudian menggabung jurus-jurus ini menjadi Ilmu Silat Pak-kek
Sin-ciang. Setiap jurus ilmu silat ini, baru dapat dimainkan masakmasak
oleh Sin Ho setelah dilatihnya setiap hari selama sebulan
lebih,
Setiap hari di depan gua yang merupakan terowongan itu Sin
Hong bermain silat. Gcrakannya perlahan agar setiap gerakan tidak
salah, lambat-lambat dan diperhatikannya baik-baik. Akan tetapi
kalau jurus ini sudah dihafal dan dikuasainya benar-benar ia bersilat
dengan cepat dan orang yang melihatnya akan merasa kagum sekali
karena tubuh anak kecil ini sukar dlikuti gerakannya dengan mata
saking cepatnya!
Tanpa ia ketahui sendiri, ia telah memperoleh kemajuan yang
luar biasa sekali dan berkat latihan lweekang dan khikang menurut
petunjuk kitab itu, telah mempunyai sinkang di dalam tubuhnya,
yakni tenaga sakti yang telah terkandung dalam jalan darahnya
sehingga tenaga ini telah ada dalam setiap gerakannya tanpa ia
mengerahkan lwekang. Akan tetapi tentu saja semua ini tidak
diketahui oleh Sin Hong sendiri. Yang membuat anak ini kecewa
adalah pedang pusaka yang telah dirampas oleh burung rajawali
emas, karena justeru di dalam kitab pelajaran ilmu silat itu terdapat
pelajaran ilmu pedang yang luar biasa dan sukar dipelajari. Biarpun
jalan gerakan dan ilmu pedang itu didasarkan Ilmu Silat Pak kek-sinciang-
hoat, namun akan lebih sempurna kalau ia berlatih
mempergunakan pedang yang aselinya, yakni Pak kek Sin-kiam
135
yang memang disesuaikan dengan ilmu pedang itu. Sebagai
gantinya, ia mempergunakan sebatang ranting pohon dan berlatih
dengan amat tekunnya.
-oo0mch-dewi0oo-
Kita tinggalkan dulu Wan Sin Hong yang tanpa diketahui oleh
seorang pun berlatih ilmu silat tinggi di tempat tersembunyi itu, dan
mari kita menengok keadaan Liok Kong Ji yang kini sudah berganti
nama keturunan, yakni menjadi Lui Kong Ji untuk menyembunyikan
keadaan sebenarnya.
Seperti telah kita ketahui, putera dari ketua Kwan-im-pai dengan
amat licik dan curangnya, telah dapat mengangkat diri dan
dipercaya oleh tokoh-tokoh Im-yang-bu-pai. Untuk menyelamatkan
diri sendiri, Kong Ji tidak segan-segan untuk membabat putus
sebelah lengan Lie Bu Tek dan menyiksa Sin Hong. Memang dalam
diri Kong Ji terdapat watak yang luar biasa jahatnya, sungguh hal
yang amat aneh apabila diingat akan watak ibunya yang gagah
perkasa dan mulia. Kong Ji merupakan seorang anak yang luar biasa
sekali, tidak saja hatinya kejam, curang dan jahat, akan tetapi ia
memiliki kecerdikan yang luar biasa, serta bakat yang tinggi untuk
menjadi seorang ahli silat.
Dengan kecerdikannya, Kong Ji dapat menyesuaikan diri dengan
apa saja yang berada di sekitarnya. Ia pandai membawa diri
sehingga kalau tadinya para tokoh Im-yang-bu-pai dan juga
ketuanya masih menaruh curiga kepadanya, sekarang kecurigaan
mereka lenyap dan berganti oleh kasih sayang besar. Karena Giok-
Seng Cu sendiri tanpa ragu-ragu mengangkatnya menjadi murid
sehingga mulai saat itu Kong Ji menjadi murid termuda dari Imyang-
bu-pai. Akan tetapi, biarpun paling muda, ilmu kepandaiannya
meningkat jauh lebih cepat dari pada yang lain-lainnya, karena ia
berkenan mendapat pimpinan dan latihan-latihan dari Giok Seng Cu
sendiri! Kecerdikan dan bakat yang luar biasa membuat ia mudah
saja memahami pelajaran ilmu silat partai ini dan melihat
kemajuannya, tokoh-tokoh lm-yang-bu-pai makin sayang
kepadanya.
136
Dalam waktu setahun ia telah menerima dasar-dasar ilmu silat
yang diturunkan oleh Giok Seng Cu, kemudian ketika Giok Seng Cu
pergi ke Luliang san, Kong Ji menerima latihan-latihan dari Siangmo-
kiam Lai Tek dan Thian-te Siang-tung Kwa Siang, tokoh ke dua
dan ke tiga dari Im-yang-bu-pai. Dalam menerima pelajaran dari
dua orang tokoh ini saja Kong Ji telah dapat mempergunakan
kecerdikan serta kelicinannya sedemikian rupa sehingga dua orang
tokoh itu seakan-akan berlumba menuangkan segala kepandaian
mereka kepadanya. Caranya demikian. Pada suatu hari dengan
sengaja ia memancing percakapan dengan Thian-te Siang-tung Kwa
Siang dengan sebuah pertanyaan.
"Ji-suheng (Kakak Seperguruan dua), di antara saudara saudara
di perkumpulan kita yang kepandaiannya paling tinggi di bawah
Suhu hanya kau dan Twa-suheng (Kakak Seperguruan Pertama).
Akan tetapi mengapa Twa-suheng bersenjata pedang dan kau
bersenjata sepasang tongkat? Siapakah yang terlebih lihai antara
kau dan Twa-suheng?"
Kwa Siang tidak sadar bahwa dia sedang "dibakar", maka sambil
tersenyum ia menjawab "Siauw-sute, kau ini aneh aneh saja.
Biarpun Suheng lebih tua menjadi murid Suhu daripadaku, namun
kami memilika keahlian masing-masing. Pedangnya lihai, namun
tongkatku yang sepasang ini pun jarang menemukan tandingan."
'Aku percaya, Ji-suheng, kepandaian dalam ilmu silat memang
hebat sekali dan aku tidak percaya bahwa pedang Twa suheng akan
dapat menangkan sepasang tongkatmu. Akan tetapi Twa-suheng
berulang-ulang menyatakan bahwa raja sekalian senjata adalah
pedang dan karenanya Twa-suheng memaksaku untuk lebih
memperhatikan pelajaran ilmu pedang."
Kwa Siang menjadi penasaran dan mengerutkan kening. Biarpun
terhadap suhengnya sendiri, merasa tidak senang kalau ilmu
tongkatnya direndahkan dan dianggap kalah oleh ilmu pedang.
"Siapa bilang? Aku berani menghadapi lawan berpedang yang
manapun juga!" serunya tak senang.
Kong Ji cepat-cepat memegang lengan Kwa Siang. "Aku percaya
sepenuhnya, Ji-suheng. Oleh karena itu, biarpun di depan Twa137
suheng aku menyatakan kesanggupanku untuk memperhatikan
nasihatnya, namun di dalam hatiku aku mengambil keputusan untuk
mempelajari tongkat dengan mendalam. Dengan memiliki
kepandaian ilmu tongkat seperti kau, kelak aku akan
memperlihatkan kepada Twa-suheng bahwa ilmu tongkatmu tak
boleh dipandang ringan!"
Girang hati Kwa Siang mendengar ini dan tanpa ragu-ragu lagi ia
mulai mempelajari ilmu tongkat yang menjadi kebanggaannya itu
kepada Kong Ji. Harus diketahui bahwa baik Kwa Siang maupun Lai
Tek menjadi murid Giok Seng Cu setelah mereka tua dan telah
memiliki kepandaian tinggi. Mereka hanya menerima tambahan ilmu
silat dari Giok Seng Cu, sedangkan ilmu tongkat dari Kwa Siang itu
pun hasil pelajaran yang dahulu, bukan yang didapatkannya dari
Giok Seng Cu. Oleh karena itu, tentu saja Kong Ji menjadi untung
dan menerima pelajaran-pelajaran tinggi dari Kwa Siang.
Demiklanlah, di hadapan Lai Tek, anak ini bicara lain dan ia pun
berhasil membakar hati Lai Tek sehingga twa- suhengnya ini betulbetul
mencurahkan tenaga untuk membimbingnya mempelajari ilmu
pedangnya agar tidak kalah oleh Kwa Slang! Dengan siasat yang
amat licin, Kong Ji dapat membuat dua orang tokoh itu seakan-akan
bersaingan dan berlumba menurunkan kepandaian masing-masing
kepadanya dan hal itu sudah tentu dia yang untung dan menjadi
tukang tadah!
Kedatangan Giok Seng Cu dari Luliang-san disambut dengan
gembira oleh anak buahnya. Akan tetapi tosu rambut panjang ini
datang dalam keadaan kelihatan amat lelah dan wajahnya
memperlihatkan tanda bahwa ia amat gelisah dan khawatir. Ia
segera mengumpulkan murid-muridnya yang paling tua, yakni Siang
mo-kiam Lai Tek, Thian-te Siang-tung Kwa-siang, dan dua orang
murid lain yang kepandaiannya sudah tinggi. Juga Kong Ji tidak
ketinggalan karena biarpun ia murid termuda, namun ia amat
disayang dan Giok Seng Cu tahu bahwa kelak yang boleh
diharapkan hanyalah Kong Ji ini. Semua orang duduk menghadap
guru besar itu yang berkata dengan suara lambat.
"Mulal saat ini, kalian jangan lengah. Semenjak dari Luliang-san,
aku telah dihejar-kejar oleh banyak sekali tokoh kang-ouw yang
138
lihai. Mungkin sekali di antara mereka ada yang terus mengejar ke
sini, biarpun aku masih bersangsi apakah mereka begitu tidak tahu
malu untuk mengacau Im-yang-bu pai di sarang sendiri. Betapapun
juga, kalian harus menjaga dan mengerahkan kawan-kawan untuk
menyelidik. Rumah perkumpulan ini pun harus dijaga siang malam
secara bergilir. Pendeknya, sekarang kita menghadapi bahaya dan
sekali-kali jangan lengah."
"Suhu, mengapa mereka itu memusuhi Suhu? Mengapa mereka
mengcjar-ngejar terus secara tak tahu malu'" tanya Kwe Siang. Lai
Tek juga memandang dengan mata mengandung pertanyaan. Akan
tetapi sebelum Giok Seng Cu menjawab, Kong Ji mendahuluinya.
"Tentu untuk merampas Pak-kek Sin-kiam, apa lagi?"
Semua orang terkejut, termasuk Giok Seng Cu yang menoleh
kepada murid cilik yang berdiri di sebelah kirinya ini. Tangannya
terulur dan tahu-tahu pergelangan tangan Kong Ji sudah dipegang
erat-erat. "Bagaimana kau bisa menduga begitu?” tanyanya keras
dengan mata memandang tajam.
Kong Ji tidak takut, bahkan tersenyum. “Suhu, apa sih sukarnya
menebak teka-teki ini? Teecu sudah mendengar bahwa Suhu pergi
ke Luliang-san untuk mencari pedang dan kitab dan teecu sudah
tahu pula bahwa pedang itu adalah Pak-kek Sin-kiam sedangkan
kitab itu adalah kitab rahasia peninggalan Pak Kek Siansu. Kemudian
Suhu pulang dengan pakaian kusut dan tubuh lelah serta
membayangkan kegelisahan, tanda bahwa Suhu menghadapi
sesuatu yang memusingkan. Akan tetapi suara Suhu itu tenang dan
sinar mata Suhu membayangkan kegembiraan. Mudah bagi teecu
untuk menduga bahwa Suhu tentu telah berhasil mendapatkan dua
benda itu. Hanya teecu masih belum mengerti mengapa Suhu
kelihatan gelisah. Kemudian Suhu menyatakan bahwa orang-orang
kang-ouw mengejar-ngejar Suhu, maka apa lagi kehendak mereka
itu kalau bukan mengejar Suhu untuk merampas sesuatu yang
bcrharga? Karena inilah tee-cu menduga bahwa Suhu tentu telah
berhasil dan mereka itu mengejar untuk merampas pedang Pak-kek
Sin-kiam!"
139
Giok Seng Cu menjadi kagum luar biasa. Ia melirik ke
pakaiannya, akan tetapi dari luar pedang pusaka yang
disembunyikan di balik baju itu tidak kelihatan.
"Di antara kedua benda berharga mengapa kau menyangka
bahwa pedang pusaka yang kau dapatkan?" tanyanya curiga.
"Teecu menduga sembarangan Suhu. Karena bagi teecu, apa sih
artinya kitab ilmu silat bagi Suhu yang sudah berkepandaian tinggi?
Tentu bagi Suhu pedang itu yang lebih penting, maka teecu
menduga bahwa Suhu tentu telah mengambil pedangnya."
Giok Seng Cu melepaskan cekalannya tertawa girang dan
memandang kepada murid-muridnya. "Di antara kita, tak seorang
pun yang mampu menandingi kecerdikan Kong Ji! Kau benar sekali
Kong Ji, dan aku girang melihat kecerdikanmu. Akan tetapi
bagaimana dengan ilmu silatmu? Apakah selama aku pergi, kedua
Suhengmu telah melatihmu baik-baik?”
Kwa Siang ingin memamerkan hasil latihannya kepada sute yang
disayang itu, maka ia berkata. "Sute, mengapa kau tidak
niemperlihatkan ilmu tongkat yang telah kaupelajari kepada Suhu?"
"Haruskah teecu memperlihatkan sedikit kepandaian yang teecu
terima dari Jiwi-suheng?" tanya Kong J i kepada gurunya. Anak ini
sengaja berkata "sedikit kepandaian" agar suhunya tidak puas dan
menurunkan ilmu silatnya yang lihai, terutama Tin san-kang!
Giok Seng Cu mengangguk-anggukkan kepalanya yang
rambutnya riap-riapan itu. "Coba kauperlihatkan kepandalanmu."
Kwa Siang melemparkan sepasang tongkat hitam putih ke arah
Kong Ji yang menerimanya dengan gaya indah. Kemudian anak ini
bersilat di ruangan itu, bersilat dengan cepat dan baik sekali sesuai
dengan petunjuk dan ajaran Kwa Siang. Thian-te Siang-tung ini
melirik-lirik ke arah Lai Tek sambil tersenyum-senyum bangga.
Sebagai penerima ilmu silatnya ternyata sute yang kecil itu tidak
mengecewakannya. Biarlah Lai Tek melihat bahwa ilmu tongkat
yang ia turunkan kepada Kong Ji tak boleh dipandang rendah.
Giok Seng Cu mengangguk-angguk. "Hmm, Kwa Siang baik sekali
sehingga mau menurunkan kepandaian tunggalnya kepadamu, Kong
140
Ji. Akan tetapi, apa yang kaupelajari dan Lai Tek?" tanyanya setelah
anak itu berhenti bersilat dan mengembalikan sepasang tongkat itu
kepada Kwa Siang.
"Teecu juga mempelajan sedikit ilmu pedang dari Twa suheng."
"Kaumainkan Sute, agar Suhu dapat memeriksa dan menilainya."
Lai Tek mendesak sambil meloloskan pedangnya untuk
dipergunakan oleh sutenya. Akan tetapi Kong Ji pura-pura tidak
melihat twa-suheng ini menyodorkan pedang. Ia bahkan
menghampiri Giok Seng Cu dan berkata, "Bolehkah teecu
memperlihatkan ilmu pedang dan Twa-suheng dengan
mempergunakan Pak-kek Sin-kiam, Suhu?"
Tiba-tiba Giok Seng Cu meloncat dan menangkap leher baju
Kong Ji dan diangkatnya tubuh anak itu ke atas. Hampir saja ia
membanting bocah ini dan semua sudah menjadi pucat. Kwa Siang
dan Lai Tek cukup mengenaI watak suhu mereka, yakni kalau sudah
marah, belum puas kalau belum membunuh orang. Akan tetapi
aneh, anak itu diturunkan lagi dan Giok Seng Cu duduk sambil
menarik napas panjang.
"Kong Ji jangan sekali-kali kau menyebut-nyebut Pak-kek Sinkiam
lagi. Mengerti?"
Kong Ji yang sudah pucat itu mengangguk-angguk dan berlutut
di depan suhunya. Kemudian ia menerima pedang dari Lai Tek dan
bersilat pedang, ditonton oleh Giok Seng Cu.
"Hm, kau sudah mendapat kemajuan lumayan. Kau harus lebih
banyak berlatih lweekang agar siap sedia menerima latihan-latihan
langsung dari aku sendiri."
Kong Ji menjadi girang sekali dan buru-buru berlutut
menghaturkan terima kasth kepada gurunya.
Semenjak hari itu, benar saja rumah perkumpulan Im-yang-bupai
yang amat besar itu dijaga rapi dan kuat oleh para anggauta Imyang-
bu-pai. Sedangkan Giok Seng Cu selalu mengeram diri di
dalam kamarnya dan pedang Pak-kek Sin kiam tak pernah terpisah
dari tubuhnya. Yang dipercaya hanya Kong Ji seorang. Hanya murid
termuda inilah yang mengawaninya tidur di kamarnya.
141
"Kong Ji, aku sewaktu-waktu perlu beristirahat dan tidur. Kalau
aku tidur pulas, kau berjaga dan cepat membangunkan aku kalaukalau
ada musuh datang," katanya. Oleh karena itu, semenjak hari
itu Kong Ji tidur di dalam kamar itu bersama Giok Seng Cu. Bahkan
guru besar ini sudah demikian percaya sehingga ia pernah
memperlihatkan Pak kek Sin-kiam yang membuat anak itu bergidik
ketika melihat cahaya terang keluar dari mata pedang itu.
Biarpun Kong Ji berwatak jahat dan curang, namun ia tak dapat
melupakan pembunutian kepada ayah bundanya dilakukan oleh
orang-orang Im-yang-bu-pai. Dengan amat cerdik, ketika bercakapcakap
dengan Lai Tek dan Kwa Siang. Ia memancing percakapan
tentang perkumpulan-perkumpulan kang-ouw dan menyinggungnyinggung
perkumpulan Kwan-im-pai. Akhirnya ia berhasil
memancing dan mendapat keterangan bahwa yang membinasakan
ayah bundanya adalah seorang tokoh Im-yang-bu-pat ang berjuluk
Sin chio (Tombak Sakti), Thio Seng juga murid dart Giok Seng Cu
dan dalam urutan murid-murid Giok Seng Cu, ia terhitung murid ke
lima dan kepandaiannya tidak kalah jauh oleh Kwa Siang atau Lai
Tek.
Semenjak mendapat keterangan bahwa suheng yang inilah
pembunuh ayah bundanya, diam-diam Kong Ji mencari ketika untuk
membalas dendam. Akan tetapi tentu saja amat sukar baginya,
karena selain ia kalah jauh dalam hal kepandaian silat, juga tak
mungkin ia membunuh suheng sendiri di Im-yang-bu-pai. Kini
setelah suhunya pulang dan ia mendapat kepercayaan tidur di
dalam kamar suhunya, diam-diam otaknya yang penuh akal itu
bekerja.
Pada siang hari diam-diam ia menemui Sin-chin Thio Seng dan
mengajaknya bercakap-cakap.
"Ngo-suheng (Kakak Seperguruan Lima), setiap malam aku
merasa ngeri tidur di kamar Suhu," katanya perlahan setelah
mereka bercakap-cakap agak lama dan suasana sudah hangat dan
ramah-tamah.
Thio Seng memandangnya heran. "Eh mengapa, Sute? Apakah
Suhu suka mengigau? Ataukah dengkurnya terlalu keras?"
142
Kong Ji tersenyum, menggelengkan kepala. "Bukan demikian,
yang membikin aku merasa ngeri adalah... Pak-kek Sin-kiam
itulah...." Anak ini sengaja memperlihatkan sikap ketakutan.
Sin-chio Thio Seng tertarik sekali. Kalau tidak dimulai oleh Kong Ji
bicara tentang pedang pusaka itu saja ia tidak akan berani,
mengingat akan larangan suhunya.
"Kenapa sih?” Ia mendesak.
"Kalau diceritakan kepadamu kau tentu tidak percaya, Suheng.
Pedang itu di waktu tengah malam buta, bisa keluar dari sarungnya
dan beterbangan seperti naga bernyala-nyala di dalam kamar...."
Kembali Kong Ji bergidik dan mukanya menjadi pucat. Inilah
kelihaian anak itu, setelah mempelajari lweekang ia dapat menahan
jalan darah yang mengalir naik ke mukanya sehingga wajahnya
menjadi pucat. Tentu saja kepandaian ini dimiliki pula oleh Thio
Seng yang sudah lihai namun pada saat itu ia mengira bahwa
sutenya benar-benar merasa ngeri dan pucat.
"Aah, mana ada kejadian seperti itu? Kau terpengaruh oleh
dongeng, Sute."
"Aku berani bersumpah, Ngo-suheng. benar-benar hal itu terjadi,
kalau kau tidak percaya, kau boleh membuktikan sendiri.”
Thio Seng makin tertarik akan tetapi tentu saja ia tidak berani
membuktikan, karena tidak ada jalan untuk dia membuktikan
peristiwa itu.
"Tak mungkin, Suhu tentu akan marah besar kalau tengah
malam buta aku datang ke kamarnya," katanya menyesal.
Sebenarnya ia pun merasa iri hati melihat suhunya demikian sayang
dan percaya kepada Kong Ji.
"Mengapa harus masuk ke kamar? Aku mau menolongmu, Ngosuheng.
kalau kau benar-benar hendak mcmbuktikan omonganku
tadi. Malam ini Suhu tentu akan tidur nyenyak, karena malam tadi
dia tidak tidur sama sekali. Nah, lewat tengah malam kau boleh
datang dan berdiri di luar jendela kamar. Aku akan membuka daun
jendela kalau pedang itu sudah beterbangaan di dalam kamar nanti
kau dapat melihat sendiri."
143
"Bagaimana kalau Suhu mengetahui aku berada di sana?"
"Tak mungkin. Suhu setelah percaya bahwa aku berada dan
menjaga di sampingnya, kalau tidur pulas sekali. Dan pula, apa
salahnya kalau kau hanya menyaksikan keanehan itu? Mungkin
Suhu sendiri kalau bangun dan melihat pedang itu beterbangan,
takkan memperhatikan hal yang lain lagi."
Karena amat tertarik, Thio Seng menyanggupi dan berjariji akan
datang dan berdiri di luar jendela menjelang tengah malam hari itu.
Kong Ji girang bukan main di dalam hatinya dan diam-diam mencaci
maki suhengnya ini, "Jahanam keparat, sekarang tibalah saatnya ku
membalas dendam atas kematian Ayah Bundaku!"
Malam hari itu, ketika suhunya hendak tidur ia berbisik,
"Suhu, malam ini harap Suhu jangan tidur." Giok Seng Cu
terkejut sekali. “Eh, mengapa? Apa yang terjadi?"
Kong Ji menjatuhkan diri
berlutut di depan suhunya.
"Mohon ampun kalau tee-cu kali
ini salah menduga, Suhu. Akan
tetapi teecu mempunyai dugaan
bahwa seorang murid Suhu
sedang merencanakan untuk
mencuri Pak-kek Sin -kiam Selain
ini...."
“Gila! Siapa dia? Hayo lekas
ceritakan!"
"Harap Suhu bersabar. Teecu
hanya menduga saja dan kalau
tidak ada buktinya tidak enaklah
kalau Suhu terburu nafsu
memanggilnya. Ada seorang murid
yang selalu bertanya tentang Pak-kek Sin-kiam, bahkan
menanyakan apakah malam hari ini Suhu akan tidur dan pada saat
apa Suhu biasanya tidur pulas. Ia bertanya pula di mana Suhu
menyimpan pedang itu, pendeknya sikapnya amat mencurigakan.
144
Oleh karena itu, harap Suhu jangan tidur dan kita lihat bersama
siapa orangnya yang akan muncul."
Giok Seng Cu marah sekali. "Baik aku akan pura-pura tidur
mendengkur dan dia yang berani datang akan kupenggal lehernya
dengan pedang ini!" Kakek itu naik ke pembaringan dan pedang
Pak-kek, Sin-kiam telah dilolos dari sarungnya dipegang olehnya.
Kong Ji menunggu dengan hati berdebar. Bagaimana kalau Thio
Seng tidak berani datang? Menjelang tengah malan Giok Seng Cu
memperkeras dengkurnya dan tiba-tiba Kong ji mendengar tindakan
kaki yang amat ringan di luar jendela kamar itu. Ia berdebar girang,
diam-diam mendekati suhunya dan menowel lengannya. Suhunya
masih mendengkur, akan tetapi membuka mata dan berkedip
kepadanya. Kong Ji berjalan ke jendela dan membuka daun jendela
itu. Di luar berdiri seorang laki-laki dan bukan lain orang itu adalah
Thio Seng.
Begitu jendela dibuka dan melihat bahwa yang datang adalah
muridnya ke lima, yakni Sin-chio Thio Seng, Giok Seng Cu tak dapat
menahan kemarahan hatinya lagi. Sambil berseru keras ia melompat
dan tubuhnya melayang melalui jendela. Memang benar pada saat
itu Thio Seng melihat pedang terbang Pedang Pak-kek Sin kiam
yang sudah terhunus dari sarungnya, mengeluarkan cahaya terang
dan kini pedang yang berada di tangan Giok Seng Cu itu seakanakan
terbang keluar jendela, dan dalam sekelap mata saja
menggelindinglah kepala Thio Seng yang sudah terbabat putus
lehernya oleh Pak-kek Sin-kiam'
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid VI
ADA saat itu tiba-tiba terdengar seruan, "Giok Seng Cu, serahkan
pedang Pak-kek Sin kiam itu kepada kami!" seruan ini disusul oleh
melayangnya lima bayangan orang yang gesit sekali dari atas
genteng.
Giok Seng Cu menggerakkan pedangnya. Sinar emas berkelebat
di antara cahaya penerangan yang keluar dari jendela kamar.
145
Terdengar suara "Trang! Trang! Trang!" dan tiga batang golok yang
dipegang oleh para penyerang itu telah terbabat menjadi dua
potong! Tiga orang ini terkejut sekali dan cepat melompat ke atas
genteng, akan tetapi yang dua orang lagi tak sempat melarikan diri
karena kembali Pak-kek Sin kiam telah digerakkan dan kini yang
terbabat bukan senjata mereka, melainkan tubuh mereka! Seorang
terbabat putus pinggangnya dan yang ke dua terbelah dadanya.
Demikian hebatnva Pak-kek Sin-kiam pedang pusaka itu.
Pada saat itu, di atas genteng terdengar sayap burung
menggelepar dan bayangan burung yang amat besar meluncur
lewat. Melihat ini tiba-tiba Giok Seng Cu memegang tangan Kong Ji,
“Lekas siapkan diri, kita pergi malam ini juga!"
Dengan cepat Giok Seng Cu mengumpulkan anak buahnya yang
sudah datang ke tempat itu. "Thio Seng hendak berkhianat dan dua
mayat ini adalah mayat musuh yang hendak merampas pedang. Aku
akan pergi bersama Kong Ji. Kalau ada orang-orang kang-ouw
datang, jangan mencari permusuhan dengan mereka. Bilang saja
aku pergi membawa pedang Pak-kek Sin-kiam, kalau tidak percaya
mereka boleh menggeledah. Akan tetapi sekali lagi, jangan
menyerang mereka, apalagi kalau ada bocah gundul membawa ular
dan burung rajawali, jangan sekali-kali mencari permusuhan dengan
mereka. Nah, urus mayat-mayat ini dan jaga perkumpulan baikbaik.
Untuk sentara, Lai Tek boleh memimpin saudara-saudaramu."
Setelah berkata demikian, Giok Seng Cu lalu menyambar tubuh
Kong Ji yang sudah membawa buntalan pakaian, dan lenyap di
dalam gelap malam. Lai Tek, Kwa Siang dan yang lain-lain tahu
bahwa tentu telah terjadi penyerangan dari luar, akan tetapi biarpun
mereka akui akan kelihaian para penyerang yang dapat menerobos
masuk tanpa diketahui oleh penjaga, sudah terbukti suhunya
menang. Mengapa sekarang suhunya melarikan diri seperti orang
ketakutan? Mereka tak menemukan jawaban, maka setelah pagi
tiba, mereka diam-diam mengurus jenazah Thio Seng dan dua
orang yang ternyata adalah orang-orang muda dengan tubuh
gagah.
-oo0mch-dewi0oo146
"Suhu dengan mudah merobohkan lima orang lawan. mengapa
takut menghadapi seekor burung?" tanya Kong Ji pada keesokan
harinya ketika suhunya mambawanya berlari jauh sekali
meninggalkan kota Lam-si di kaki Bukit Kim-san. Setelah setengah
malam Giok Seng Cu berlari cepat sambil menggendong Kong Ji.
"Anak bodoh, aku tidak takut menghadapi tokoh kang-ouw dari
manapun juga, akan tetapi kau tak tahu. Burung kim-tiauw yang
terbang di atas rumah kita malam tadi adalah milik dari Ban-beng
Sin-tong Kwan Kok Sun, bocah gundul yang seperti iblis!”
''Ban-beng Sin tong? Bocah sakti macam apakah dia, Suhu?"
"Dia benar-benar lihai, memelihara ular-ular berbisa dan burung
kim-tiauw. Akan tetapi aku tidak takut menghadapinya, yang harus
ditakuti adalah ayah bundanya, kabarnya kepandaian mereka luar
biasa tingginya."
"Suhu, kepandaian Suhu sudah menjulang setinggi langit.
Dengan Tin-san-kang dan pedang pusaka itu di tangan, siapakah
kiranya yang dapat menandingi Suhu ?"
Giok Seng Cu tertawa sambil melepaskan lelah, duduk di bawah
pohon besar, "Kong Ji, jangan kau bermimpi di tengah hari!
Kepandaian manusia tidak ada batasnya dan biarpun Gunung Thaisan
amat tinggi, masih saja ada awan dan langit di atasnya, belum
bicara tentang bulan, matahari dan bintang-bintang! Memang belum
tentu aku kalah oleh iblis tua See-thian Tok-ong ayah dari Ban-beng
Sin-tong, akan tetapi aku ngeri mendengar namanya. Dugaanmu
dahulu bahwa aku lebih mementingkan pedang Pak-kek Sin-kiam
tidak betul. Kalau saja aku bisa mendapatkan kitab yang berisi ilmu
silat dari Pak Kek Siansu dan sudah mempelajari isinya aku tak usah
berlari pergi dari ancaman siapapun juga" Kakek ini lalu
menceritakan tentang kitab peninggalan Pak Kek Siansu seperti
yang pernah ia dengar dari mendiang gurunya, yakni Pak Hong
Siansu.
"Kepandaian Pak Kek Siansu yang masih terhitung Supekku (Uwa
Guruku) sendiri itu dahulu itu terhitung di tingkat paling atas. Oleh
karena itu, siapa yang dapat menemukan kitabnya dan mewarisi
ilmu silatnya, tentu akan menjagoi dunia. Melihat betapa putera
147
See-thian Tok-ong jauh-jauh dari Tibet datang mencari kitab itu,
dapat dibayangkan betapa hebatnya kitab itu dan ajarannya. Tentu
lebih tinggi dan kepandaian See-thian Tok-ong sendiri. Sayang aku
tidak dapat menemukan kitab itu."
Kong Ji kagum bukan main. Tadinya ia mengira bahwa suhunya
adalah orang yang paling lihai, tidak tahunya masih ada See-thian
Tok-ong dan anak isterinya, bahkan kini masih ada yang lebih hebat
lagi, yakni kitab pusaka peninggalan Pak Kek Siansu. Mendengar
adanya sekian banyak orang-orang lihai di dunia Kong Ji menjadi
mengilar dan nafsunya untuk menjadi murid Giok Seng Cu agak
mendingin. Ia inginl menjadi orang yang menjagoi seluruh dunia
kang-ouw, akan tetapi cita-citanya takkan tercapai kalau ia hanya
terima menjadi murid kakek ini, pikirnya.
"Suhu apakah Pak Kek Siansu tidak meninggalkan muridmuridnya?"
tanyanya hati-hati agar suara hatinya tidak ddengar oleh
suhunya.
"Ada, Luliang Sam-lojin adalah muridnya, akan tetapi tiga orang
tua dari Luliang-san itu biarpun lihai belum mewarisi Ilmu Silat Pakkek
Sin ciang seluruhnya."
"Kalau begitu, di dunia tidak ada yang dapat mainkan Pak-kek
Sin-ciang?"
"Ada, yakni murid termuda dan Pak Kek Siansu bernama Go
Ciang Le dan disebut Hwa I Enghiong. Dia pun baru mempelajari
setengahnya lebih namun ia sudah bisa menjagoi dunia kang-ouw
sampai bertahun-tahun."
"Apakah dia lebih lihai dan See-thian Tok-ong?"
"Mungkin, dahulupun ilmu silatnya sudah hebat sekali. Hayo kita
lanjutkan perjalanan." kata Giok Seng Cu dan kini tidak
menggendong Kong Ji lagi karena merasa bahwa ia sudah jauh
meninggalkan orang-orang yang mengejarnya.
Kong Ji makin kagum. Tak disangkanya bahwa di atas See-thian
Tok-ong masih ada Go Ciang Le yang dipuji-puji gurunya, padahal
Go Ciang Le mempelajari setengahnya dari Ilmu Pak-kek Sin-ciang!
Alangkah beruntungnya kalau dia bisa mempelajari ilmu silat itu.
148
Sepekan kemudian mereka tiba di sebuah kota kecil dan Giok
Seng Cu mengajak Kong Ji bermalam dalam sebuah hotel. Mereka
lelah sekali karena melakukan perjalanan jauh siang malam jarang
beristirahat. Dalam perjalanan ini, Giok Seng Cu selalu berlaku hatihati
juga ketika bermalam di hotel. Ia tidur bergantian dengan
muridnya.
Menjelang tengah malam, telinga Kong Ji yang sudah tajam
pendengarannya, tiba-tiba menangkap suara tindakan kaki di atas
genteng. Ia cepat menggoyang-goyang tubuh suhunya, akan tetapi
ternyata Giok Seng Cu juga sudah bangun dan menaruh jari tangan
di depan mulut.
"Shh, sejak tadi aku sudah mendengar," bisik kakek ini. Kong Ji
menjadi merah mukanya. Dia baru saja mendengar akan tetapi
suhunya sudah sejak tadi tahu bahwa ada orang datang di atas
genteng hotel.
Mereka diam tak bergerak, menahan napas dan memasang
telinga. Di atas genteng terdengar gerakan kaki tiga orang dan
gerakan itu amat lincah dan ringan tanda bahwa orang-orang itu
memiliki kepandaian tinggi sekali. Yang terdengar hanya gerakan
antara sepatu dan genteng kalau orang-orang itu tidak bersepatu,
tentu takkan mengeluarkan suara sedikit pun juga.
Terdengar bisik-bisik di atas genteng. Kong Ji tak dapat
mendengar jelas, akan tapi Giok Seng Cu segera tertawa bergelak,
"Tua bangka-tua bangka dari Bu-tong, Go-bi dan Teng-san,
kalian benar-benar tak tahu malu. Malam-malam seperti maling
datang di sini mau apakah?" bentaknya sambil melompat bangun
dengan Pak-kek Sin-kiam di tangan.
Tadinya Giok Seng Cu bersangsi dan amat gelisah karena
mengira bahwa yang datang adalah See-thian Tok-ong, akan tetapi
setelah mendengar bisik-bisik mereka dan tahu bahwa yang datang
adalah Bu Kek Siansu ketua Bu-tong-pai, Kian Hok Taisu ketua Go-bi
dan Pang Soan Tojin ketua Teng-san-pai, ia memandang rendah
dan berani menegur mereka.
149
Setelah mengeluarkan kata-kata itu, Giok Seng Cu melompat
keluar dari kamarnya dan terus berlari keluar hotel. Kong ji
mengikutinya dari belakang.
Di luar hotel, di bawah penerangan lampu di depan pintu
pekarangan hotel berdiri tiga orang kakek. Seorang tojin tinggi
kurus berjenggot panjang, yakni Bu Kek Siansu ketua Bu-tong-pai,
seorang hwesio tinggi besar ketua Go-bi-pai yang bernama Kian Hok
Taisu dan orang ke tiga adalah Pang Soan Tojin, tosu jenggot
pendek bertubuh gemuk, ketua Teng-san-pai.
Kian Hok Taisu ketua Go-bi-pai menjura kepada Giok Seng Cu.
"Toyu (sahabat), kami datang hanya untuk bertanya secara
terang-terang kepadamu tentang kitab Pak-kek Sin ciang-pit-kip."
Giok Seng Cu mengeluarkan senyuman menyeringai. "Siapa yang
tahu tentang kitab itu? Kalau kalian datang hendak merampas
pedang, boleh kalian coba. Ini dia pedangnva sudah kupegang!"
Mendengar tantangan ini, tiga ciangbunjin (ketua partai besar)
menjadi merah mukanya. "Giok Seng Cu, kau sombong," kata Pang
Soan Tojin. "Kami tidak begitu tertarik oleh pedang, di tempat kami
sendiri sudah banyak. Yang membuat kami datang ini adalah untuk
bertanya apakah benar-benar kau tidak mendapatkan kitab itu
ketika naik ke puncak Luliang-san?"
"Aku tidak mendapatkan kitab itu. Nah, kau percaya atau tidak
bukan urusanku, akan tetapi aku tidak sudi kalian minta aku
bersumpah. Habis kalian mau apa?" Giok Seng Cu tetap bersikap
menantang.
“Nanti dulu, Toyu," kata Kian Hok Taisu yang lebih sabar, "Kami
sama sekali tidak bermaksud bermusuhan denganmu. Kalau betul
kau tidak mendapatkan kitab itu, marilah kita berempat membawa
pedangmu itu kembali ke Luliang-san. Hanya dengan pedang itu
kiranya kita akan dapat menemukan kitab peninggalan Pak Kek
Siansu Locianpwe."
Giok Seng Cu mengerutkan kening. "Omongan apa ini? Mengapa
harus membawa pedang ini untuk mendapatkan kitab itu?"
150
Kian Hok Taisu menarik napas panjang. "Kabar tentang pedang
dan kitab amat bersimpang siur. Boleh jadi sekarang apa yang kami
dengar berbeda dengan apa yang kaudengar, Giok Seng Cu. Akan
tetapi kami mendengar bahwa pedang dan kitab itu tak pernah
berpisah. Sekarang pedang sudah di tanganmu, untuk mencari
kitab, sebaiknya kau bersama kami membawa pedang itu naik
kembali ke puncak Luliang-san."
Giok Seng Cu berpikir sejenak, kemudian berkata, "Pedang sudah
di tanganku, yang berhak mencari dan mendapatkan kitab hanya
aku seorang. Andaikata kita berempat naik ke sana kemudian kitab
itu kita dapatkan, siapakah yang akan berhak memiliki kitab itu?"
Tiga orang kakek itu saling pandang dengan tersenyum, lalu
dengan suara tegas Kian Hok Taisu berkata. "Tentu saja akan kita
bakar musnah sesuai dengan rencana tokoh-tokoh kang-ouw dan
ketua-ketua partai persilatan besar."
'Gila...!" Giok Seng Cu membentak marah. "Apakah kalian sudah
gila? Semua orang mencari dan memperebutkan kitab itu dan kalian
hendak membakarnya kalau dapat menemukannya?”
Kian Hok Taisu mengangguk. "Pak Kek Siansu adalah seorang
tokoh besar yang budiman dan seorang guru besar yang patut
dihormati dan patut dijadikan locianpwe yang nomor satu di dunia.
Ilmunya yang terdapat dalam kitab itu amat tinggi dan memang
tepat kalau dimiliki oleh seorang gagah seperti Pak Kek Siansu. Akan
tetapi siapa berani tanggung kalau ilmu itu terjatuh ke dalam tangan
orang yang tidak cocok? Bagaimana kalau kepandaian itu terjatuh
ke dalam tangan yang berwatak jahat? Bukankah itu hanya akan
menimbulkan kekacauan dan akhirnya akan memusingkan kami
semua?"
"Gila...! Aku tidak setuju. Kitab kelak pasti akan terjatuh ke dalam
tanganku, seperti halnya pedang ini,” kata Giok Seng Cu.
Diantara tiga orang kakek itu, paling berangasan wataknya
adalah Bu Kek Siansu ketua Bu-tong-pai. Mendengar ini lalu
mengeluarkan suara di hidung berkata, "Lebih celaka lagi kalau
jatuh ke dalam tanganmu." Biarpun kata-kata ini sangat singkat
saja, namun mendengar ucapan yang tadi dikatakan oleh Kian Hok
151
Taisu, sama halnya dengan memaki Giok Seng Cu sebagai seorang
jahat yang berbahaya!
Naik darah Giok Seng Cu mendengar itu. “Ini pedangku, dan
akulah yang berhak membawanya ke mana saja. Aku tidak mau ikut
kalian ke Luliang-san habis kau mau apa?"
Kian Hok Taisu melangkah maju "Kalau begitu, berlakulah baik
kepada kami, memandang persahabatan lama. Toyu, Berilah kami
pinjam Pak-kek Sin-kiam itu untuk sementara waktu, kami
bersumpah bahwa pedang ini pasti akan kami kembalikan apabila
kami sudah berhasil membasmi kitab peninggalan Pak Kek Siansu."
"Ha-ha-ha, enak saja kau bicara, Kian Hok Taisu. Mulut manusia
bisa didengar, akan tetapi siapakah yang bisa mendengar suara hati
manusia? Sedangkan biasanya, suara mulut dan hati selalu
bertentangan! Tidak, pedang ini adalah milikku, siapapun juga tidak
boleh pinjam." Sambil berkata demikian Giok Seng Cu
menyarungkan pedang itu kembali di balik bajunya yang lebar.
"Giok Seng Cu, kau sendiri merampas pedang itu dari tangan
Ban-beng Sin-tong secara curang" teriak Pang Soan Tojin.
Sinar mata Giok Seng Cu penuh ancaman dan sindiran. "Habis
kau mau apa" Kalau kau mampu merampas dari tanganku, baik
dengan jalan curang atau tidak, kau boleh coba-coba"
"Kau menantang?"
Sambil berkata demikian, Pang Soan Tojin lalu bergerak
memukul, ke arah dada Giok Seng Cu.
Giok Seng Cu tidak inengelak, sebaliknya lalu menangkis sambil
mengerahkan tenaganya. Dua lengan yang kuat bertemu dan Pang
Soan Tojin terhuyung-huyung tiga tindak ke belakang.
"Ha, ha, tidak berapa berat tenagamu!" Giok Seng Cu mengejek
dan cepat seperti kilat ia mengirim pukulan dengan tubuh hampir
berjongkok. Inilah ilmu pukulan dengan tenaga Tin-san-kang yang
hebat!
152
Sebagai ahli-ahli silat tinggi, Bu Kek Siansu dan Kian Hok Taisu
maklum akan hebatnya serangan ini, maka keduanya sambil berseru
keras maju menangkis untuk menolong Pang Soan Tojin.
"Duk...!" Sepasang lengan Giok Seng Cu yang dipukulkan
tertangkis oleh ketua Bu-tong dan ketua Go-bi dan akibatnya Bu Kek
Siansu dan Kian Hok Taisu terjengkang hampir roboh. Baiknya
mereka telah memiliki tenaga lweekang yang tinggi, kalau tidak
mereka tentu akan mendenta luka atau tulang lengan mereka akan
sakit dan dingin sekali, maka cepat-cepat mereka menggunakan
tangan kiri untuk mengurut pangkal lengan ini membereskan jalan
darah masing-masing.
"Lihai sekali..." kata Pang Soan Tojin pucat. Baru sekarang tiga
orang tokoh ini mengenal Tin-san-kang dan tahu bahwa kepandaian
Giok Seng Cu masih lebih tiggi daripada mereka. Maka ketiganya
cepat mengeluarkan senjata masing-masing. Pang Soan Tojin
mengeluarkan sebuah pian baja, Bu Kek Siansu mengeluarkan
sebatang pedang yang dipegang tangan kiri sedangkan Kian Hok
Taisu mengeluarkan sepasang senjata kaitan.
"Ha. ha, ha! Hendak mengadu senjata? Bagus. majulah!" Giok
Seng Cu menantang tanpa mengeluarkan senjata.
Tiga orang ketua partai besar itu maju menubruk dan
menggerakkan senjata mereka yang lihai. Tiba-tiba berkelebat sinar
keemasan dan terdengar suara keras. Tahu-tahu sebuah pian baja
dan sebuah senjata kaitan terbabat putus sedangkan Bu Kek Siansu
sendiri kalau tidak cepat-cepat menarik kembali pedangnya, tentu
akan terbabat putus pula pedangnya oleh pedang Pak-kek Sin-kiam
yang dengan cepat sekali telah dikeluarkan oleh Giok Seng Cu dan
digerakkan sekaligus membabat senjata- senjata lawan!
Bukan main kagetnya tiga orang kakek itu. Dalam ilmu silat,
mungkin mereka tidak kalah jauh oleh Giok Seng Cu dan dengan
melakukan pengeroyokan mereka tentu akan menang. Akan tetapi
tanpa senjata, amat berbahaya menghadapi ketua Im-yang-bu-pai
yang memiliki tenaga Tin-san-kang yang ganas itu, sedangkan
dengan senjata juga payah menghadapi pedang Pak-kek Sin kiam
yang ampuh sekali. Mereka berseru dan sekali berkelebat tiga orang
kakek itu melarikan diri, lenyap ditelan gelap malam.
153
Giok Seng Cu tertawa berkakakan lalu membetot dengan tangan
Kong Ji dan pada saat itu juga ia kabur pergi meninggalkan hotel
itu. Ia tidak takut akan datangnya lawan-lawannya, hanya ia merasa
khawatir kalau-kalau tersusul oleh Ban-beng Sin-tong dan ularularnya
apalagi kalau ayah bunda anak iblis itu datang!
Suhu, Tin-san-kang dan Pak-kek Sin-kiam hebat sekali...." Kong
Ji mecmuji suhunya setelah mereka pergi jauh.
Giok Seng Cu menarik tangan Kong Ji dan berkata.
“Muridku, kau sekarang menghadapi tugas berat. Kau tidak boleh
ikut dengan aku, karena ada pekerjaan yang harus kau lakukan. Kau
dengar tadi bahwa para tokoh kang-ouw dengan mati-matian
mencari kitab peninggalan Pak Kek Siansu. Kalau mereka merampas
dan memilikinya saja masih tidak apa, aku dapat mencoba
merampasnya kembali. Akan tetapi celakalah kalau sampai mereka
membakarnya. Karena itu, kau harus kembali ke Lam-si. Kau
membawa suratku dan mulai saat ini kaulah yang mewakili aku
memimpin kawan-kawan lm-yang-bu-pai."
"Akan tetapi, Suhu, kepandaianku masih amat rendah ..... "
"Tidak apa-apa, bukankah ada aku di belakangmu? Selama aku
masih hidup, siapa yang berani membantahmu?"
"Biarpun demikian, sedikitnya Suhu harus menurunkan Tin-sankang
ke teecu agar teecu tidak malu untuk mewakili Suhu."
Giok Seng Cu tersenyum. "Bocah tolol. Kau kira gampang saja
memiliki Tin-san-kang? Kau harus melatih diri sampai bertahuntahun.
itu pun kalau kuat."
"Tidak apa, Suhu. Biarlah teecu mempelajari kauw-koat (teori)
saja dulu, perlahan-lahan teecu akan melatih diri."
"Baiklah, baiklah. Sebentar kau akan kuajar kauw-koatnya.
Sekarang dengarlah pesanku dan perhatikan baik-baik. Orang-orang
kangouw berusaha mendapatkan kitab itu. Aku tidak dapat keluar
karena See-thian Tok-ong tentu mencariku untuk merampas pedang
ini. Maka aku akan bertapa di Lembah Maut.
"Lembah Maut? Di manakah itu, Suhu?"
154
"Lembah Maut yang kumaksudkan berada di lembah Sungai Weiho
di barat kota Sian, di kaki Gunung Cin-leng-san. Adapun kau
kembali ke Lam-si, kumpulkan kawan-kawan dan suruh mereka
menyelidiki ke Luliang-san. Suruh kedua Suhengmu, Thian-te Siang
tung Kwa Siang dan Siang-mo-kiam Lai Tek untuk memimpin
kawan-kawan ke Luliang-san. Syukur kalau kalian dapat mencari
sendiri kitab peninggalan Pak-kek Siansu, kalau sampai terdapat
oleh tokoh kang-ouw, rampas saja. Kemudian setelah berhasil, bawa
kitab itu kepadaku di kaki Gunung Cin-leng-san di Lembah Maut.
Mengerti?”
"Baik, Suhu. Teecu mengerti." Kong Ji lalu mengulang pesan
suhunya ini dengan cermat sehingga Giok Seng Cu menjadi puas.
"Awas, di antara semua murid lm-yang bu-pai kalau sampai
berani mengkhianatiku dan tidak menjalankan perintah, aku akan
datang menghancurkan kepalanya. termasuk kau, Kong Ji"
Kong Ji berlutut, "Mana berani tee-cu mengkhianati Suhu? Teecu
bahkan akan membela dengan selembar nyawa teecu agar cita-cita
Suhu ini tercapai."
"Bagus sekali, muridku. Memang, terus terang saja kunyatakan
kepadamu bahwa apabila kitab itu sudah terdapat olehku, kelak
kaulah orang yang akan mewarisi pedang dan isi kitab. Aku sudah
tua dan hanya kau muridku yang akan menjadi ahli warisku dan
menjagoi di dunia kang-ouw. Nah, sekarang perhatikan baik-baik
Ilmu Silat Tin-san kang yang hendak kuajarkan kauw-koatnya
padamu."
Di dalam hutan itu Kong Ji mendengarkan ajaran suhunya.
Otaknya memang cerdik luar biasa sehingga seluruh teori Tin-sankang
dapat dihafalkan baik baik diluar kepala dalam waktu dua hari!
Kemudian gurunya bersilat memperguna Tin-san-kang, juga
gerakan-gerakan untuk memudahkan latihannya, dapat dihafalkan
dalam waktu sehari. Tentu saja kalau ia yang bersilat tenaga Tinsan-
kang belum timbul, hal ini membutuhkan latihan lweekang yang
lama.
Gtok Seng Cu puas sekali, lalu membuat surat yang menyatakan
bahwa selama ia tidak ada, maka mengangkat Ko Ji menjadi
155
wakilnya di Im-yang-bu-pai sehingga boleh dibilang Kong Ji yang
masih kecil itu diangkat menjadi ketua sementara! Setelah
menerima pesanan- pesanan suhunya, Kong ji dengan hati girang
lalu meninggalkan suhunya, pulang ke Lam-si.
Thian-te Siang tung Kwa Siang, Siang-mo-kiam Lam Tek dan
yang lain-lain menyambut kedatangan Kong ji dengan gembira
karena mendengar bahwa suhu mereka selamat, akan tetapi diamdiam
kedua tokoh ini mendongkol juga melihat bahwa suhu mereka
lebih percaya kepada Kong Ji daripada kepada mereka sehingga
mengangkat anak itu menjadi wakil ketua. Akan tetapi, mereka
tentu saja tidak berani membantah kehendak suhu mereka dan
beramai-ramai mereka menjura tanda menghormat kepada Kong Ji.
Tentu saja anak itu menjadi girang bukan main.
"Sebelum aku menyampaikan pesan dari Suhu, lebih dulu aku
ingin tahu apakah yang telah terjadi semenjak Suhu pergi," tanya
Kong Ji kepada Lai Tek, dengan lagak seorang atasan bertanya
kepada bawahannya.
Lai Tek terpaksa menceritakan bahwa ada beberapa tokoh kangouw
yang datang, akan tetapi sesuai dengan nasehat Giok Seng Cu,
mereka tidak mencari permusuhan dengan orang-orang kang-ouw
itu bahkan memberi kesempatan kepada mereka untuk melakukan
penggeledahan, kemudian orang-orang kang-ouw itu pergi lagi
tanpa terjadi sesuatu keributan.
"Bagus, dengan demikian untuk sementara waktu kita aman,"
kata Kong Ji. "Akan tetapi kita tidak boleh tinggal diam. Mereka itu
semua berdaya mencari kitab peninggalan Pak Kek Siansu, dan
menurut pesan Suhu, kita pun harus mencari kitab itu mendahului
mereka." Anak ini lalu menceritakan semua pesanan suhunya yang
didengarkan dengan penuh perhatian oleh para anggauta Im-yang
bu pai. Kong Ji berulang-ulang menekankan ancaman Giok Seng Cu
kepada mereka yang berkhianat dan tidak menurut kepadanya
sehingga semua anak murid, termasuk Lai Tek, menjadi gentar dan
biarpun mendongkol terhadap Kong Ji, mereka tidak berani
menyatakannya berhadapan.
156
"Kalau begitu biarlah aku dan Kwan Jiwi memimpin saudarasaudara
kita pergi ke Luliang-san untuk mencari kitab itu," kata Lai
Tek menyatakan usulnya.
Akan tetapi Kong Ji menggeleng-geleng kepalanya, "Tidak Twasuheng.
Tidak demikian caranya mendapatkan kitab rahasia itu." Lai
Tek dan semua orang memandang kepada anak itu dengan heran
dan juga tak mengerti. Anak sakecil ini menjadikan pemimpin partai
demikian besar. Ah, celaka, salah-salah samua bisa kacau-balau,
pikir mereka.
"Sute, bagaimana pendapatmu?” tanya Lai Tek. Di antara mereka
semua hanya Lai Tek dan Kwa Siang saja yang berani menyebut
sute kepada Kong Ji. Yang lain-lain, biarpun Kong Ji terhitung
saudara muda seperguruan, menyiebutnya Siauw-pangcu (ketua
kecil).
"Begini, kita harus menyebar beberapa orang kawan dan mereka
ini harus mendesas-desuskan di luaran bahwa Suhu tidak saja
mendapatkan pedang Pak-kek Sin-kiam, akan tetapi diam-diam juga
telah mendapatkan kitab peninggalan Pak Kek Siansu."
Tiba-tiba Kwa Siang bangkit berdiri dan mengeluarkan sepasang
tongkatnya:
"Sute, kau hendak mengkhianati Suhu?" bentaknya.
Kong Ji tersenyum dan memandang rendah. "Ji suheng, apakah
kau hendak membantah pesan Suhu bahwa kau harus tunduk
kepada perintahku? Kau ingat akan ancaman Suhu?"
Kwa Siang menjadi pucat. Ia kalah gertak dan duduk kembali.
"Akan tetapi kau.... usulmu ini...?
"Tenang dan dengarkan baik-baik. Aku sama sekali tidak
mengkhianati Suhu. Pertama, karena sesungguhnya Suhu tidak
mendapatkan kitab itu, ke dua, karena selain aku, tidak ada orang
lain yang mengetahui dimana tempat Suhu bersembunyi. Aku
sengaja hendak menyebarkan berita ini sehingga tokoh-tokoh
kangouw tidak ribut mencari kitab di atas puncak Luliang-san, akan
tetapi perhatiannya terpecah dan kini mereka mencari Suhu yang
tidak mereka ketahui tempatnya! Dengan akal ini, bukanlah kita
157
akan lebih mudah mencari kitab itu di Luliang-san, tanpa ada
saingannya?"
Semua orang melongo. Benar-benar seperti siluman anak ini,
pikir Lai Tek. Bagaimana seorang bocah belasan tahun mempunyai
siasat yang demikian lihai? Memang tepat sekali siasat ini. Kalau
semua tokoh kang-ouw, apalagi See-tin Tok-ong, ikut mencari ke
Luliangan tentu pihak lm-yang-bu-pai akan menghadapi saingan
hebat dan sukarlah mendapatkan kitab itu. Andaikata terdapat oleh
tokoh lain lalu mereka merampas, juga hal ini bukan pekerjaan
mudah, karena tokoh yang berhasil mendapatkan kitab tentulah
seorang yang berkepandaian amat tinggi.
“Kau memang benar, Sute. Baiklah dan Sute Kwa Siang
menjalankan tugas menyebar berita palsu ini," katanya.
Kembali Kong Ji menggelengkan kepala menyatakan tidak setuju.
"Keliru, Twa-suheng. Kau keliru. Kalau kau dan Ji-suheng yang
keluar mengabarkan berita ini, para tokoh kang-ouw pasti takkan
percaya. Bahkan kau dan Ji-suheng yang menjadi tokoh-tokoh
utama di Im-yang-bu-pai, akan menimbulkan kecurigaan mereka
dan tentu mereka akan mengira bahwa ini hanya siasat belaka. Hal
ini amat berbahaya. Lebih baik menyuruh kawan-kawan tingkat
rendah sehingga para tokoh kang-ou mengira bahwa mereka itu
bocor mulut.
Kembali semua orang kagum sekali. Pantas saja Giok Seng Cu
memberi kekuasaan kepada anak ini untuk memimpin Im-yang-bupai
karena memang otaknya cerdik luar biasa.
Namun, seorang di antara para murid Im-yang-bu-pai yang
bernama Sio Cin, menjadi penasaran dan marah sekali. Ia tidak
percaya bahwa bocah kecil ini mampu menjalankan kemudi
perkumpulan mereka yang demikian besar dan berpengaruh. Tibatiba
ia melompat berdiri dan berkata,
"Aku Siong Cin hanya menduduki tingkat ke delapan, akan tetapi
kiranya kepandaianku tidak akan kalah oleh Lui Kong Ji Sute yang
masih bocah. Apakah - kita semua kaum tua bangka yang sudah
kenyang makan asam garam dunia harus menuruti segala ocehan
seorang bocah yang masih hijau? Hm, bagaimana kalau orang158
orang kang-ouw mendengar tentang ini? Kita mesti menjadi buah
tertawaan belaka"
"Siong-suheng apakah kata-katamu ini berarti bahwa kau hendak
mengingkari perintah Suhu?" tanya Kong Ji dan sepasang matanya
bercahaya.
"Sudah bertahun-tahun aku ikut Suhu dan selalu setia. Aku sudah
membuktikan bahwa aku seorang Im-yang-bu-pai tulen, setia lahir
batin dan siap sedia mengorbankan nyawa demi kebaikan
perkumpulan kita. Akan tetapi kau ini siapakah? Baru juga setahun
lebih berada disini. Kepandaian apa yang kauandalkan sehingga kau
berani menerima menjadi wakil ketua Im-yang-be-pai? Bagaimana
kalau ada musuh datang? Kiraku kau akan bersembunyi terlebih
dulu. Ha, ha, ha!"
Merah wajah Kong Ji. Ia melompat turun dari bangkunya,
memandang tajam kepada Siong Cin.
"Begitu anggapmu, ya? Siong-suheng, tahukah kau kepandaian
apa yang paling hebat dari Suhu?"
"Tentu saja aku tahu. Baru saja Sughu mendapatkan Ilmu
Pukulan Tin-san-kang. Kiraku melihat saja kau pun belum
pernah...!"
"Hm, tua bangka bodoh. Kaulihat baik-baik, kenalkah kau ini...??"
Setelah berkata demikian, Kong Ji menggerakkan tubuhnya yang
berputar-putar sebentar di atas tumitnya. kemudian tubuhnya itu
hampir berjongkok dan kedua tangannya mendorong ke depan, ke
arah Siong Cin sambil mengeluarkan seru "haaaiii...!"
Siong Cin adalah murid Giok Seng dan kepandaiannya sudah
tinggi, biarpun tidak selihai Lai Tek atau Kwa Siang, namun jarang
ada orang dapat menang darinya. Kini dengan mata terbelalak
melihat gerakan sutenya yang kecil dan tahu-tahu ia merasa
dadanya terdorong hebat sekali. Ia mengerahkan tenaga dan
mencoba menerima tenaga ini, namun ia tidak kuat dan roboh
terjengkang! Inilah pukulan Tin san-kang, gerakan ke tujuh. Kong Ji
memang cerdik sekali!. Setelah halal akan kauw-koat (teori) Ilmu
Silat Tin-san-kang, disepanjang jalan ia melatih diri terus menerus
pada bagiaan ke tujuh ini, bagian yang dianggap paling mudah.
159
Oleh karena itu, ia mendapatkan hasil dan apabila mainkan jurus ke
tujuh ini, ia telah dapat mengeluarkan tenaga Tin-san-kang,
walaupun tentu saja belum hebat. Namun cukup kuat untuk
merobohkan seorang seperti Siong Cin.
Bukan main kagetnya semua orang, terutama sekali Lai Tek dan
Kwa Siang. Mereka sendiri belum pernah diberi pelajaran Tin-sankang,
namun mereka sudah tahu bahwa gerakan tadi benar-benar
ilmu Tin-san-kang dari suhu mereka. Biarpun tenaga pukulan Kong
Ji belum hebat, masih kalah jauh lweekangnya dengan mereka,
namun mereka harus akui bahwa mereka tidak dapat melakukan
gerakan tadi dan tidak dapat memiliki atau membangunkan tenaga
Tin-san-kang.
"Itulah Tin-sang-kang...!" Lai Tek berkata kagum.
Siong Cm merangkak bangun. Baiknya tenaga dari Kong Ji masih
belum hebat, sehingga ia hanya terdorong dan roboh terjengkang
saja, tidak sampai mengalami luka di dalam dadanya. Akan tetapi
wajahnya menjadi pucat sekali keringat dingin mengalir dari
dahinya.
"Maaf, Siauw-pangcu. Mataku seperti buta. Biarpun masih kecil,
ternyata kau patut sekali menjadi ketua mewakili Suhu," katanya
sambil duduk kembali, tidak berani berkutik lagi.
Kong Ji tersenyum lalu duduk kembali "Masih baik aku
mengetahui bahwa bukan maksudmu mengkhianati Suhu, kalau
tidak, aku tadi dapat mempergunakan seluruh tenagaku dan kiranya
kau tak kan hidup lagi." Kata-kata ini tentu saja bohong belaka,
karena tadi ia sudah mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi
tak seorang pun mengetahui dan semua orang memandangnya
makin kagum. Benar-benar lucu sekali, para anggauta pengurus
yang rata-rata sudah berusia empat puluh tahun ke atas itu
sekarang tunduk terhadap bocah berusia tiga belas tahun!
"Nah, sekarang harap lekas-lekas bersiap-siap. Aku tugaskan
Siong Cin Suheng dan empat orang kawan lain untuk menyiarkan
berita bohong itu, kemudian kita menanti sampai sebulan barulah
kita mencari kitab di Luliang-san. Untuk tugas ini, aku sendiri
160
bersama Twa-suheng dan Ji-suheng akan berangkat ke Luliangsan."
Kim tak ada yang berani membantah dan Siong Cin segera
berangkat mengajak empat orang saudaranya.
-oo0mch-dewi0oo-
Sambil menanti hasil daripada siasatnya Kong Ji tidak membuang
waktu secara sia-sia. Ia melatih diri dengan Ilmu Pukulan Tin-sankang,
dan tentu saja bocah yang cerdik ini melatih diri di tempat
yang tersembunyi agar jangan ada lain orang dapat melihatnya.
Berkat keuletan, dan ketekunannya, dalam beberapa hari saja ia
telah memperoleh kemajuan yang pesat. Ia melatih ilmu pukulan ini
sejurus demi sejurus, tidak meningkat kepada yang lain jurus
sebelum yang sejurus itu baik betul gerakannya. Juga ia dengan
rajin melatih lweekangnya agar dapat segera memiliki sinkang
sehingga dapat melakukan pukulan Tin-san-kang sebaiknya.
Kong Ji maklum akan kehebatan ilmu pukulan ini, buktinya baru
saja mempelajari sejurus, dan jarak setombak lebih ia telah berhasil
merobohkan Siong Cin. Padahal kalau ia bertanding silat dengan
suhengnya itu, belum tentu ia dapat bertahan dua puluh jurus!
Maka ia berlatih dengan amat rajin tak kenal lelah.
Berita bohong sebagai siasat yang di sebarkan oleh Siong Cin dan
kawan-kawannya, ternyata berhasil baik sekali sebagaimana
diperhitungkan oleh Kong Ji. Para tokoh kang-ouw yang tadinya
masih ubek-ubekan mencari di sekitar Luliangsan, kini menujukan
perhatiannya kepada Giok Seng Cu. Mereka tahu bahwa ketua Imyang-
bu-pai ini tidak berada di sarangnya, maka mereka mulai
mencari tempat persembunyian kakek ini. Akan tetapi siapakah yang
mengira bahwa Seng Cu bersembunyi di Lembah Maut, sebuah
tempat yang kabarnya menjadi tempat tinggal siluman dan iblis
belaka. Jarang ada orang berani masuk ke lembah karena andaikata
berhasil masuk, belum tentu dapat keluar kembali dengan tubuh
masih bernyawa.
161
Tempat itu menjadi sarang dari binatang buas dan ular-ular serta
binatang berbisa yang lain, belum terhitung rawa-rawa beracun dan
jurang-jurang dalam yang berbahaya sekali.
Kurang lebih sebulan setelah berita itu tersiar luas, Kong Ji
dengan gembira dan bangga mendapat berita dari penyelidiknya
bahwa kini Luliang-san telah kosong ditinggalkan oleh para tokoh
yang hendak mencari kitab rahasia. Ia telah bersiap-siap dengan Lai
Tek dan Kwa Siang untuk segera berangkat ke bukit itu.
Akan tetapi, pagi-pagi hari sebelum ia berangkat, terjadilah
peristiwa hebat sekali. Pada pagi hari itu, seperti biasa para
anggauta Im-yang-bu-pai siap sedia menjalankan tugas masingmasing.
Mereka ini memang masing-masing mempunyai pekerjaan,
ada yang menjadi piaw-su (pengawal barang antaran), ada yang
menjadi pegawai, ada pula yang mengurus kelenteng dan
sebagainya. Nama Im-yang-bu-pai sudah amat terkenal, maka
untuk menjaga keselamatan harta benda dan nyawa, banyak kaum
hartawan mempekerjakan anggauta Im-yang-bu-pai, biarpun
dengan bayaran tinggi.
Matahari belum kelihatan, namun sinarnya telah mengusir embun
pagi. Keadaan di luar Im-yang-bu-pai masih sunyi. Bahkan jalanjalan
di kota Lam-si masih sepi. Rumah dan toko-toko masih belum
membuka pintu. Dari jauh terdengar suara anjing menggonggong
riuh-rendah, akan tetapi tiba-tiba suara anjing itu berhenti dan
lenyap, seakan-akan leher anjing-anjing itu dicekik. Dan kalau
kiranya ada orang yang datang di tempat anjing-anjing itu
menggonggong, yakni pintu gapura kota, orang itu tentu akan
ketakutan setengah mati melihat beberapa ekor anjing menggeletak
di jalan dengan tubuh hitam seluruhnya dan sudah mati.
Pagi hari itu memang terjadi hal yang paling aneh dan
mengerikan sekali. Seorang penduduk kota yang bangun terlalu
pagi, keluar dari rumah hendak mengeluarkan kuda yang
kandangnya berada di belakang rumahnya. Tiba-tiba ia mendengar
suara menggeleparnya sayap burung yang keras sekali. Ketika ia
menengok ke atas, ia menjadi pucat melihat seekor burung rajawali
besar sekali melayang di atasnya. Yang membikin ia ketakutan
162
hebat adalah ketika ia melihat bahwa di atas punggung burung itu
ada seorang nenek tua yang duduk!
"Ada siluman...!" la berteriak keras. Tiba-tiba burung itu
menyambar turun dan sekali mengulur kuku, leher orang itu sudah
kena dicengkeram oleh burung rajawali, tubuhnya dibawa terbang
agak tinggi, lalu dilemparkan ke bawah. Orang itu jatuh di atas
tanah dengan leher hampir putus dan kepala pecah!
Seorang lain yang pagi-pagi menunggang kudanya hendak keluar
kota setibanya di dekat pintu gapura, terkejut sekali melihat anjinganjing
kota menggeletak tak bernyawa di tengah jalan. Ia menarik
kendali kudanya hendak melompati bangkai-bangkai anjing itu akan
tetapi tiba-tiba kudanya berjingkrak sambil mengeluarkan ringkik
ketakutan mengangkat kedua kaki depan. Tiba-tiba beberapa ekor
ular meluncur cepat menggigit kuda itu yang meringkik-ringkik lalu
roboh, berkelojotan lalu mati. Penunggang kuda itu terlempar dan
mukanya pucat sekali. Ia melihat belasan ekor ular mengeroyok
kuda itu, seakan- akan berpesta hendak menikmati daging kuda.
Orang itu melompat bangun dan hendak lari. Pada saat itu ia
melihat seorang bocah gundul memandang kepadanya dengan
menyeringai. Bocah ini biar pun sikapnya aneh, tidak begitu
menakutkan boleh dibilang bersih dan tampan akan tetapi seorang
kakek yang berdiri belakang bocah gundul itu benar-benar
membuatnya terbelalak dan tak dapat bergerak seperti patung,
hanya berdiri memandang,. Kakek ini kepalanya juga gundul seperti
botak, hidungnya panjang sekali, matanya lebar dan mulutnya
besar, kulitnya kehitaman dan yang paling menakutkan adalah sinar
matanya yang berwarna kebiruan!
Bocah gundul itu tertawa, "Ayah, ada santapan pagi yang baik
untuk siang-coa-ong (sepasang raja ular)." Kakek itu hanya
menyeringai sehingga wajahnya menjadi makin menakutkan.
Bocah gundul itu lalu mengeluarkan sesuatu dari sakunya, dan
ternyata bahwa yang dikeluarkan adalah dua ekor ular merah yang
amat kecil. Ia menggerakkan tangan, dua ekor ular itu terbang
meluncur dan tahu-tahu sudah menempel di dada penunggang kuda
tadi. Orang ini menjerit merasa dadanya sakit. Ia masih sempat
melihat dua ekor ular itu masuk ke dalam dadanya, melalui lubang
163
yang entah kapan terdapat di dadanya. Orang itu merasa sakit luar
biasa. Ia memegang dan membetot buntut ular akan tetapi tiba-tiba
ia merasa sakit yang membuat semua uratnya pecah kepalanya
pening, lalu jatuh dan nyawanya melayang pada saat dua ekor ular
itu memperebutkan jantungnya yang masih hidup'
Keadaan sunyi kembali. Bocah gundul itu dan kakek yang
menyeramkan tadi berjalan dengan tenang menuju ke rumah besar
perkumpulan Im-yang-bu-pai. Ketika mereka tiba di depan rumah
itu, dari atas melayang turun seekor burung rajawali merah yang
ditunggangi oleh nenek tadi. Sebelum burung tiba di tanah, nenek
itu sudah meloncat ke bawah dan gerakannya bahkan lebih gesit
dan ringan dan pada burung itu sendiri. Nenek ini ternyata tidak
menyeramkan. Bahkan masih jelas kelihatan bahwa dahulunya tentu
cantik molek. Hanya sekarang di dahi dan pipinya terdapat lekuklekuk
dan keriput-keriput yang membuat wajah yang cantik itu
menjadi aneh dan galak. Sepasang matanya seperti kunang-kunang,
kecil dan bergerak selalu.
Mereka inilah See-thian Tok-ong (Raja Racun dari Negara Barat),
seorang manusia iblis yang luar biasa kejamnya. Bersama isterinya
yang bernama Kwan ji Nio dan puteranya yang bernama Kwan Kok
Sun yang dalam hal keganasan tidak kalah oleh See than Tok-ong
sendiri.
See-thian Tok ong adalah tokoh besar dari dunia barat yang
melawat ke timur dan ketika ia tiba di Tibet, dengan cepat ia
menjagoi di daerah itu. Bahkan Ba Mau Hoatsu sendiri ketika
menyaksikan kelihaiannya, tidak berani turun tangan dan secara
pengecut sekali menyembah dan mengangkatnya menjadi tokoh
pertama di Tibet! Karena Ba Mau Hoatsu memang cerdik dan pandai
mengambil hati, maka begitu lama ia masih selamat, bahkan
dianggap sebagai pembantu yang baik hati oleh See-thian Tok-ong.
Dari Ba Mau Hoatsu inilah ia mengetahui keadaan Tionggoan
(pedalaman Tiongkok) serta semua hal tentang dunia kang-ouw di
Tionggoan.
Adapun isterinya yang bernama Kwan ti Nio sebenarnya adalah
seorang wanita Han. Ayah dari Kwan Ji Nio adalah seorang penjahat
besar yang dimusuhi oleh pemerintah dan tokoh-tokoh kang-ouw
164
sehingga penjahat she Kwan ini melarikan diri bersama isterinya ke
dunia barat. Di sana isterinya melahirkan anak perempuan, yakni
Kwan Ji Nio yang akhirnya menjadi isteri dari See thian Tok-ong.
Kwan Ji Nio memiliki ilmu silat yang amat tinggi pula biarpun tidak
dapat menang dari suaminya namun dalam hal ilmu ginkang
(meringankan tubuh), suaminya masih kalah olehnya! Wanita ini
sudah memiliki ilmu Tee in-ciang (Lompatan Tangga Awan)
sehingga di udara dapat menggerakkan tubuh untuk mumbul lagi
atau berganti arah lompatan. Ilmu ini hanya dapat dilakukan oleh
seorang ahli silat yang sudah tinggi sekali ginkangnya.
Pada saat ayah bunda dan anak ini tiba di pintu pekarangan
rumah perkumpulan Im-yang-bu-pai, beberapa ekor ayam telah
keluar dan berkokok sambil berkejar-kejaran di halaman itu. Tibatiba
terdengar bunyi. "Keok! Keok! Keok" dan ayam-ayam itu diam
tak bergerak lagi, menjadi makanan dua puluh ekor lebih ular-ular
beracun yang berjalan mendahului majikan mereka.
Mendengar suara ayam yang aneh ini, lima orang anggauta Im
yang bu-pai memburu keluar. Mereka menjadi pucat sekali melihat
ayam-ayam itu mati dikeroyok ular. Ketika mereka mengangkat
kepala mereka melihat tiga orang aneh memasuki pintu pekarangan.
Sebagai ahli-ahli silat tentu saja mereka tidak takut dan cepat berlari
keluar untuk menegur siapa gerangan orang-orang aneh yang
membawa ular-ular jahat itu.
"Siapa kalian? Hayo usir ular-ular jahat kalian itu dan...."
Baru saja berkata sampai di sini, See-thian Tok-ong
menggerakkan kedua tangannya berulang-ulang ke depan dan lima
orang itu roboh terjungkal tak bernapas lagi!
Lima orang anggauta Im-yang-bu-pai itu telah terkena pukulan
maut dari See-thian Tok-ong yang disebut Hek-tok ciang (Pukulan
Racun Hitam). Begitu mereka roboh, seluruh tubuh mereka menjadi
hitam dan mereka tewas pada saat itu juga, tanpa mendapat
kesempatan berteriak sama sekali.
See -thian Tok-ong dan anak isterinya berjalan perlahan, terus
maju menghampiri rumah perkumpulan Im-yang-bu-pai. Burung
rajawali merah berloncat-loncatan di belakang mereka, sedangkan
165
ular-ular yang kini sudah kenyang makan bangkai-bangkai ayam,
mulai merayap menghampiri mayat lima orang anggauta Im-yangbu-
pai itu.
Mendengar suara orang jatuh di luar, beberapa orang anggauta
Im-yang-bu-pai memburu keluar dan alangkah terkejut hati mereka
melihat lima orang kawan mereka telah tewas dengan muka hitam,
sekali, menggeletak di pekarangan dan ular-ular yang menjijikkan
merayap-rayap di sekeliling mayat-mayat itu. Mereka juga
memandang kepada tiga orang pendatang yang sikapnya tenang
itu, maka tahulah mereka bahwa yang datang adalah musuhmusuh.
Cepat mereka berlari masuk dan tak lama kemudian
gembreng tanda bahaya dipukul gencar di ruang -belakang.
Dalam sekejap mata saja, pekarangan rumah perkumpulan Imyang-
bu-pai telah penuh orang. Ada empat puluh lebih anggauta
Im-yang-bu-pai berkumpul di situ, mengurung pekarangan dan di
tangan mereka terlihat bermacam senjata.
See-thian Tok-ong dan anak isterinya tidak bergerak, hanya
berdiri di tengah pekarangan sambil tersenyum-senyum dan
memandang ke sekeliling mereka. Makin banyak anggauta Im-yangbu-
pai yang datang, makin bersinar-sinar mata mereka.
"Datanglah yang banyak! Datanglah semua jangan ada yang
ketinggalan!" berkali-kali Ban-beng Sin-tong Kwan Kok Sun berkata
perlahan.
Im-yang bu-pai adalah perkumpulan yang amat berpengaruh dan
besar serta memiliki anggauta yang ratusan orang jumlahnya. Akan
tetapi anggauta-anggauta itu tidak semua berada di Lam-si dan
pada waktu itu yang berada di situ hanya lima puluh orang lebih.
Kemudian munculiah Lui Kong Ji bersama Lai Tek Kwa Siang dan
beberapa orang pengurus Im-yang-bu-pai atau murid-murid Giok
Seng Cu. Melihat ular-ular dan burung kim-tiauw, semua pengurus
dapat menduga bahwa mereka berhadapan dengan See-thian Tokong
sehingga mereka rata-rata menjadi jerih dan wajah mereka
pucat. Hanya Kong ji seorang yang bersikap tenang dan bocah ini
bertindak maju dengan tabah sekali, bahkan berada di tempat
terdepan menghadapi See-thian Tok-ong. Hal ini tidak saja
mengagumkan para anggauta Im-yang-bu-pai, bahkan See-thian
166
Tok-ong dan isterinya juga memandang dengan kagum atas
keberanian bocah tampan itu.
"Sam-wi yang baru datang ini bukankah See-thian Tok-ong
Locianpwe bersama isteri dan putera yang terhormat? Kami dari Imyang-
bu-pai tak mengetahui lebih dulu akan kunjungan ini dan
terlambat menyambut, mohon maaf sebesarnya," kata Kong Ji.
Kwan Kok Sun cemberut, lbunya memandang dengan mata
bersinar marah, akan tetapi See-thian Tok-ong tiba-tiba tertawa
bergelak "Ha-ha-ha, alangkah lucunya mendengar kata-kata tadi
keluar dari mulut seorang bocah. Ha-ha-ha … bocah ini lucu
sekali...!"
Akan tetapi isterinya membentak sambil mendelik kepada Kong
Ji.
"Setan cilik! Mulutmu lancang sekali. Mana ketuamu? Hayo suruh
dia keluar!"
Dengan tenang Kong Ji menjura. "Mohon maaf, ketua kami tidak
ada di sini, dia sedang pergi...."
Tiba-tiba See-thlan Tok-ong yang tadi tertawa-tawa membentak
keras,
"Tutup mulutmu! Kaukira aku tidak tahu bahwa Giok Seng Cu
pergi melarian diri secara pengecut sekali? Yang kami maksudkan
adalah ketua yang menjadi pemimpin di saat ini, atau wakil dari
Giok Seng Cu." Suaranya mengancam dan wajahnya nampak bengis
sekali jauh berbeda dengan tadi ketika ia tertawa-tawa.
Namun Kong ji memiliki ketabahan luar biasa. Ia menghadap ke
arah See-hian Tok-ong dan berkata, suaranya tegas dan sedikit pun
tidak gemetar.
"Terimalah hormatku, Locianpwe. Pada saat ini, boanpwe (aku
yang rendah) yang menjadi ketua lm-yang-bu-pai menggantikan
Giok Seng Cu pangcu kami yang sedang pergi."
See-thian Tok-ong, Kwan Ji Nio dan Kwan Kok Sun tertegun.
Mereka sudah seringkali mendengar dan melihat hal yang anehaneh
di dunia kang-ouw, akan tetapi melihat seorang bocah paling
167
hanya berusia dua-tiga belas tahun mengaku menjadi ketua Imyang-
bu-pai, mereka benar-benar merasa geli, heran, aneh dan
tidak percaya.
"Jangan main gila, bocah nakal. Apakah kau sudah bosan hidup
berani mempermainkan See-thian Tok-ong?" bentak tokoh barat itu.
"Ayah, biar Ang-coa-ong mengambil jantung!" kata Kwan Kok
Sun sambil merogoh saku hendak mengeluarkan ular merah. Akan
tetapi ayahnya mencegah.
"Nanti dulu, Kok Sun. Aku hendak mendengar apakah dia benarbenar
berani membohongi kita."
Melihat keberanian Kong Ji, Lai Tek menjadi kagum sekali dan
kini ia khawaIir kalau kalau anak ini dibunuh oleh tiga orang tamu
aneh itu, maka ia lalu maju menjura.
"Saya bernama Lai Tek dan menjadi murid tertua dari Suhu Giok
Seng Cu. Memang benar bahwa anak ini adalah Siauw-pangcu kami,
menggantikan Suhu. Dia tidak membohong. Mohon Locianpwe sudi
memaafkan kalau ia terlalu berani bicara mengingat usianya yang
masih muda. Perkenankan saya mewakili Im yang-bu-pai bertanya
kepada Sam-wi apakah gerangan maksud kedatangan Sam-wi di
sini?”
Dengan matanya yang bundar, See-hian Tok-ong menyapu
semua orang yang berada di situ, kemudian mulutnya menyeringai
kejam ketika ia berkata,
"Pertama-tama, si jahanam Giok Seng Cu telah berani merampas
pedang dari tangan anakku, maka kami harus mengambil pedang
itu kembali berikut kepalanya."
Tiba, tiba suara ketawa Kong Ji menjawab kata-kata ini.
"Locianpwe," Kata Kong Ji selagi semua orang heran
memandangnya, "Boanpwe rasa Locianpwe takkan dapat
membuktikan ancaman itu."
Kembali See-thian Tok-ong melengak "Setan cilik, apa
maksudmu? Hati-hati menjaga mulutmu, kau!"
168
"Kalau Locianpwe tahu di mana adanya Suhu pada saat ini, masa
Locianpwe bertiga susah payah datang ke sini'? Di dunia, betapa
pun lihai dia, tak mungkin ada orang mengetahui di mana adanya
Suhu."
Sepasang mata See thian Tok-ong terputar-putar, kemudian ia
berkata lagi kepada Lai Tek, "tadi maksud kedatanganku yang
pertama sudah kunyatakan, adapun yang ke dua, karena ketua Imyang-
bu-pai telah berani menghina puteraku, maka hari ini Im-yangbu-
pai harus terbasmi sampai ke akar-akarnya. Kami datang untuk
membinasakan kalian semua... kecuali dia ini!" Berbareng denga
ucapan terakhir ini, tangan kirinya menyambar dan tahu-tahu Kong
Ji telah dipegang tengkuknya oleh See-thian Tok-ong. Kong Ji
merasa tubuhnya lemas seluruhnya. Percuma saja ia mencoba
untuk mengerahkan lweekang agar terlepas dari pegangan kakek
ini. Ia tidak berdaya sama sekali bagaikan sehelai rumput kering
dalam tangan See thian Tok-ong. Kakek ini melemparkan tubuh
Kong-Ji ke dekat burung rajawali sambil berseru.
"Kim-tiauw, kau jaga dia jangan boleh lari!"
Kemudian, didahului oleh bentakan-bentakan menyeramkan,
See-thian Tok-ong, Kwan Ji Nio dan Kwan Kok Sun mulai
mengamuk. Semenjak tadi, Lai Tek, Kwa Siang dan kawankawannya
sudah siap sedia mendengar omongan See-thian Tokong.
Lai Tek dan Kwa Siang dapat -menduga bahwa di antara tiga
orang aneh ini, yang paling berbahaya tentulah See-thian Tok-ong
sendiri, maka Lai Tek segera mencabut sepasang pedangya. Kwa
Siang mencabut sepasang tongkatnya. Mereka berdua lalu
menyerbu dan menghadapi See-thian Tok-ong. Adapun anggautaapggauta
Im-yang-bu-pai lainnya yang kepandaiannya sudah tinggi
mengurung Kwan Ji Nio.
See-thian rok-ong tertawa bergelak sama sekali ia tidak
mengeluarkan senjata dan menghadapi dua orang tokoh Im-yangbu-
pai itu dengan tangan kosong saja. Lai Tek berjuluk Siang-mokiat
(Sepasang Pedang Iblis) sedangkan Kwe-Siang berjuluk Thiante
Siang-tung (Sepasang Tongkat Langit Bumi). Ilmu kepandaian
mereka sudah amat tinggi dan ini sudah terbukti ketika mereka
berdua menyerbu ke Hoa-san-pai, Liang Gi Tojin ketua Hoa-san-pai
169
sendiri tidak kuat menghadapi mereka dan sampai tewas demikian
pula Hui-liong Lie Bu Tek Naga Terbang sampai roboh terluka berat.
Kini menghadapi See-thian Tok-ong tokoh baru yang menggegerkan
dunia kang-ouw, mereka mengerahkan seluruh tenaga dan
kepandaian.
Akan tetapi, See-thian Tok-ong hanya menghadapi mereka
dengan tangan kosong belaka. Tentu saja Lai Tek dan Kwa Siang
menjadi penasaran sekali. Mereka merasa dipandang rendah dan
dihina. Masa mereka berdua dengan senjata mereka yang sudah
terkenal itu kalah dikeroyok seorang lawan bertangan kosong?
Mereka berbesar hati karena pihak lawan hanya ada tiga orang
ditambah ular-ular kecil dan seekor burung, sedangkan mereka
berkawan sampai lima puluh orang.
Akan tetapi, ilmu silat dari See-thian Tok-ong benar-benar hebat.
Tidak saja gerakannya amat lihai dan kuat serta gesit, juga ilmu
silatnya yang dimainkan untuk menghadapi desakan dua orang
tokoh Im-yang-bu-pai itu amat luar biasa, jauh berbeda dari ilmuilmu
silat yang pernah dilihat oleh Lai Tek dan Kwa Siang. Juga
dalam menggerakkan tangan kaki, tiada hentinya Raja Racun ini
mengeluarkan suara yang aneh, memekik-mekik dan menggereng
seperti seekor binatang buas. Setiap gerakan tangan dilakukan
sambil mengeluarkan pekik yang berlainan, akan tetapi dari suara ini
seakan-akan timbul tenaga mujijat yang menahan gerakan senjata
lawan, bahkan kadang-kadang membuat kacau gerakan ilmu silat
Lai Tek dan Kwa Siang. Akibatnya, beberapa kali dua orang tokoh
Im-yang-bu-pai ini beradu senjata dengan kawan sendiri. Jari-jari
tangan See-thian Tok-ong amat cekatan dan kuat, juga orang ini
berani mati sekali sehingga beberapa kali ia berani menerima
sabetan pedang Lai Tek dengan tangan! Jari-jari tangannya dengan
tepat dapat menyentil pedang itu sehingga terpental membalik atau
menyeleweng menghantam tongkat Kwa Siang yang sudah
menyambar pula. Benar-benar hebat dan sukar untuk dapat
dipercaya.
Kwan Ji Nio, isteri dari See-thian Tok-ong dikeroyok oleh lima
orang. seperti juga suaminya, nyonya tua ini tidak mempergunakan
senjata, akan tetapi melihat gerakannya, ia lebih mengagumkan
daripada suaminya, walaupun tentu para pengeroyok tidak selihai
170
Lai Tek dan Kwa Siang yang mengeroyok See thian Tok-ong.
Gerakan nyonya ini cepat bukan main, sebentar-sebentar melompat
dan terapung di udara bagaikan seekor burung menyambar. Karena
kegesitannya yang luar biasa, ia lebih cepat berhasil daripada
suaminya. Baru belasan gebrakan saja ia telah berhasil menjambret
kepala seorang pengeroyok dan entah dengan pukulan apa, orang
ini roboh terguling dengan tubuh tak berdaya lagi. Ternyata bahwa
jalan darah dan urat terpenting di kepalanya telah kena ditotok
putus oleh nyonya lihai ini! Gentarlah para pengeroyoknya, namun
anggauta- anggauta Im-yang-bu-pai tidak mundur, bahkan kini ada
sepuluh orang maju membantu untuk mengeroyok nyonya tua yang
lihai sekali ini.
Tiba-tiba terdengar jerit dan pekik menyeramkan dari para
anggauta Im-yang bu-pai. Anak-anak murid yang kepandaiannya
kurang lihai, bagaikan rumput dibabat roboh menjerit-jerit dan
tubuh mereka menjadi hitam. Inilah akibat yang hebat dan
perbuatan Ban-beng Sin-tong Kwan Kok Sun. Bocah gunclul ini
setelah melihat ayah bundanya mengamuk, sambil tersenyumsenyum
menyeringai sehingga wajahnya yang tampan itu ada
persamaannya dengan ayahnya, lalu mengeluarkan suara mendesis
dengan mulutnya. Serentak ular-ular kecil yang tadinya
menggerogoti mayat lima orang anggauta Im-yang-bu-pai, bergerak
dan menyerang orang-orang yang masih hidup. lebih hebat lagi. Kok
Sun mengeluarkan sepasang ular merah dari sakunya dan sekali
melepas ular-ular itu terdengarlah pekik menyeramkan dari orangorang
yang terkena gigitan ular merah berbisa ini. Para angauta Imyang-
bu-pai seorang demi seorang roboh dalam keadaan yang
mengerikan.
Kong Ji memandang semua ini dengan hati berdebar. Ia tadi
dilempar jatuh dan sudah duduk, akan tetapi ia tidak berani
bergerak karena di dekatnya berdiri burung kim-tiauw yang besar
dan kelihatan galak itu, yang memandangnya tanpa berkedip. Anak
ini tadi sengaja mengeluarkan kata-kata yang terdengar kurang
ajar, akan tetapi sebetulnya melakukan semua itu dengan siasat
yang rapi, Kong Ji ketika mendengar bahwa See- thian Tok-ong
hendak merampas pedang dan membunuh Giok Seng Cu, maklum
bahwa tentu Raja Racun ini belum mengetahui di mana tempat
171
sembunyi Giok Seng Cu. Kemudian ia mendengar bahwa tiga orang
luar biasa itu datang hendak membasmi Im-yang-bu-pai maka
sengaja menyindir kepada See-thian Tok-ong bahwa Raja Racun ini
tak mungkin dapat merampas pedang karena tidak tau di mana Giok
Seng Cu bersembunyi. Dengan kata-kata ini, sama halnya dengan
menyatakan bahwa di dunia tidak ada orang lain yang mengetahui
di mana adanya Giok Seng Cu, kecuali dia sendiri! Kata-kata ini
sengaja ia keluarkan untuk menolong diri sendiri, untuk melepaskan
diri dari bahaya maut. Otaknya yang cerdik sudah memperhitungkan
bahwa dia takkan dibunuh karena See-thian ok-ong pasti akan
membutuhkannya untuk mencari Giok Seng Cu. Ia yakin bahwa
yang menyindir tadi dapat dimengerti oleh See-thian Tok-ong,
bahwa hanya anak inilah yang tahu tempat persembunyian Giok
Seng Cu. Dan perhitungannya memang tidak meleset. Buktinya ia
mendengar sendiri bahwa See-thian Tok-ong hendak membunuh
semua orang Im-yang-bu-pai, kecuali dia sendiri.'
Kini melihat sepak terjang See-thian Tok-ong dan anak isterinya,
diam-diam Kong Ji merasa kagum sekali. Inilah baru pantas disebut
orang-orang berkepandaian tinggi, pikirnya. Aku harus dapat
mewarisi kepandaian See-thian Tok-ong. Maka sambil menonton
pertempuran otak anak ini bekerja dan ia sudah mempersiapkan
siasat untuk dapat mempelajari ilmu silat dari See-thian Tok-ong.
Pertempuran berjalan makin seru dan hebat. Orang-orang Imyang-
bu-pai yang menjadi korban bertumpuk-tumpuk, mayat
bergelimpangan di sana-sini, menimbulkan pemandangan yang
amat mengerikan. Lam Tek dan Kwa Siang tahu bahwa mereka
menghadapi bencana hebat sekali, akan tetapi karena tidak ada
jaIan keluar, mereka mengamuk dengan nekad mendesak See-thian
Tok-ong dengan sekuat tenaga. Betapapun juga dua orang tokoh
lm-yang-bu-pai ini memang berkepandaian tinggi, maka tiba-tiba
See thian Tok-ong yang mulai marah karena belum juga dapat
mengalahkan mereka, berseru keras sekali. Tahu-tahu ia telah
mengeluarkan dua buah senjata yang amat aneh. Senjata ini
merupakan sepasang tangan manusia yang sudah kering, dengan
kuku-kuku panjang. Kedua tangan ini dalam keadaan
mencengkeram, seperti kuku-kuku burung garuda yang sedang
menyerang. Adapun kuku pada jari-jari tangan itu berwarna macam172
macam, ada yang hitam, putih, kuning, merah dan hijau. Inilah
sepasang senjata yang oleh pemiliknya dinamai Ngo-tok-mo-jiauw
(Cakar Iblis Berbisa Lima), sepasang senjata dari See-thian Tok-ong
yang amat lihai dan jarang sekali dikeluarkan.
Begitu sepasang tangan ini menyambar, Lam Tek dan Kwa Siang
mencium bau yang busuk sekali dan mereka cepat melompat ke
belakang dan kepala mereka terasa pening karena bau yang keras
itu. Akan tetapi, tiba-tiba sepasang tangan itu "terbang" mengejar,
terlepas dari pegangan See-thian Tok-ong! Inilah kejadian yang
amat tidak mereka duga dan kedua orang tokoh lm-yang-bu-pai
saking kagetnya tidak keburu menangkis lagi. Mereka hanya
mengelak cepat namun masih saja sepasang tangan itu menyerang
mereka, Lai Tek kena tergores pundaknya, sedangkan Kwa Siang
tergores oleh kuku tangan kedua pada tangannya.
Seketika itu juga, Kwa Siang menjerit dan roboh. Tubuhnya
berubah merah sekali dan ia berkelojotan terus mati. Ia terkena Ang
tok (Racun Merah) dari kuku merah, sedangkan Lai Tek tak sempat
menjerit lagi karena ia sudah roboh, dengan tubuh berubah kuning,
terkena guratan kuku yang mengandung Oei-tok (Racun Kuning),
See-thian Tok-ong tertawa bergelak dan sepasang cakar iblis itu
tiba-tiba tersentak dan terbang kembali kepadanya, disambut oleh
kedua tangan dan disimpan kembali ke dalam saku bajunya!
Pertunjukan yang diperlihatkan oleh See-thian Tok-ong ini
sebetulnya tidak aneh. Bagi orang yang melihatnya, memang tentu
mengira bahwa sepasang cakar iblis itu dapat "terbang" menyerang
musuh dan terbang kembali kepada pemiliknya, akan tetapi
sebetulnya bukan demikian. Sepasang tangan itu bukanlah tangan
iblis, melainkan tangan manusia biasa yang secara kejam dipenggal
di tengah-tengah bagian lengan oleh See-thian Tok-ong. Raja Racun
ini memilih tangan yang kuat tulangnya dan sehat kulit serta uraturatnya,
memotongnya, lalu mengeringkannya. Memang sebelum
pemilik tangan itu dipotong lengannya, kuku-kukunya dibiarkan
panjang lebih dulu. Setelah kedua tangan itu kering, kuku-kukunya,
juga jari-jarinya lalu direndam air racun, setiap kuku semacam racun
yang amat luar biasa. Kemudian, See-thian Tok-ong
mempergunakan sehelai tali hitam yang halus sekali, besarnya
hanya serambut, akan tetapi kuat dan tak dapat putus. Dengan tali
173
ini ia dapat membuat tangan itu seakan-akan terbang. Ujung tali
yang agak panjang terikat pada kancing di saku bajunya dan apabila
ia melemparkan dua tangan itu lenyap. Juga dengan menggerakkan
tali-tali halus itu ia dapat menarik kembali senjatanya.
Setelah Lai Tek dan Kwa Siang roboh binasa keadaan orangorang
lm yang-bu- pai makin kacau-balau. Berturut turut mereka
roboh binasa dan akhirnya sebagian kecil tak dapat menahan
ketakutan mereka lagi, terus melarikan diri tunggang-langgang.
Akan tetapi, suami isteri dan anak-anak itu memang berwatak
kejam seperti iblis.
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid VII
MEREKA tidak membiarkan orang-orang Im-yang-bu-pai itu
melarikan diri, cepat mengejar dan menjatuhkan serangan maut
sehingga akhirnya habislah semua orang Im-yang-bu-pai yang
jumlahnya ada lima puluh orang itu. Semua menggeletak tak
bernyawa lagi, kecuali Kong Ji yang mau tak mau terpaksa
memandang semua itu dengan kedua matanya sendiri. Akan tetapi,
benar-benar aneh dan luar biasa, melihat kejadian yang bagi orang
lain akan menimbulkan kengerian hebat di dalam hati ini, bagi Kong
Ji sama sekali tidak demikian. Di dalam hatinya, bocah ini bahkan
bersorak girang karena ia memang selalu menganggap lm-yang-bupai
sebagai musuh-musuh yang membinasakan ayah bundanya. Ia
bahkan girang dan puas, serta memuji tinggi kegagahan See-thian
Tok-ong dan anak isterinya. Sesungguhnya, betapapun kejamnya
ayah ibu anak itu, kalau dibandingkan dengan watak dasar di dalam
dada Kong Ji mereka masih kalah jauh.
Kong Ji selalu memperlihatkan sikap baik hanya dengan satu
maksud, yakni mencari ilmu yang tinggi untuk diri sendiri. Orang
lain, baik orang itu memusuhinya maupun melepas budi baik
kepadanya, ia tidak ambil perduli sama sekali. Kekejian See-thian
Tok-ong dan anak isterinya hanya ditujukan kepada musuhmusuhnya
atau kepada mereka yang dianggap merintangi
kehendaknya. Sebaliknya kekejian Kong Ji tidak memilih bulu, sudah
174
dibuktikan betapa ia dapat berlaku keji terhadap Lie Bu Tek, orang
yang telah menolongnya!
Setelah semua orang lm-yang-bu-pai tewas, tiba-tiba Kwan Ji Nio
melompat dan menyambar leher Kong Ji. "Ini yang paling jahat
harus dibikin mampus!" bentaknya sambil mengangkat tangan
kanan. Kong Ji terkejut sekali, akan tetapi ia tidak berdaya dan
hanya memandang kepada nenek itu dengan mata tak kenal takut.
“Isteriku jangan bunuh dia!" Tiba-tiba See-thian Tok-ong berseru.
Tangan yang sudah diangkat ke atas diturunkan kembali, juga
tubuh Kong Ji dilepas ke bawah dan nyonya tua itu menoleh kepada
suaminya.
"Kenapa setan cilik ini tidak boleh dibunuh?" tanyanya.
"Ibu, dia harus membawa kita ke tempat persembunyian Giok
Seng Cu," kata Kok Sun dengan suara menyesal, seolah-olah ia
kecewa melihat kebodohan ibunya.
See-thian Tok-ong tertawa bergelak. “Nah, kaulihat. Bukankah
Kok Sun sekarang sudah cerdik sekali! Ia telah melampaui Ibunya
dalam kecerdikan. Ha, ha, ha !"
Kwan Ji Nio cemberut dan mendelik kepada puteranya, kemudian
ia menudingkan ke telunjuknya di depan hidung Kong Ji. "Setan
cilik, benarkah kau dapat menunjukkan tempat persembunyian Giok
Seng Cu? Hayo mengaku yang betul, kalau tidak kuhancurkan
kepalamu."
Menghadapi tiga orang aneh yang amat ganas itu, tentu saja
Kong Ji merasa berdebar hatinya. Akan tetapi ia memang seorang
bocah yang memiliki kecerdikan luar biasa sekali. Dengan
tersenyum- senyum ia mengelus-elus leher kim-tiauw yang berdiri di
dekatnya, lalu berkata,
"Sungguh tidak enak bicara di dekat mayat-mayat yang
bercumpukan ini. bagaimana kalau kita pergi dari sini dan mencari
tempat yang enak untuk bicara. Lagi pula, aku ingin sekali naik ke
punggung burung ini."
175
Kwan Ji Nio marah sekali mendengar kekurangajaran Kong Ji,
akan tetapi See- thian Tok-ong tertawa bergelak, "Bocah ini ada
isinya. Kepalanya tidak kosong!”
Adapun Kok Sun juga tertarik sekali melihat keberanian Kong Ji.
Sambil tersenyum mengejek ia berkata, "Benar-benar kau berani
naik ke punggung kim-tiauw bersamaku?"
"Mengapa tidak berani? Aku pun laki- laki," jawab Kong Ji.
"Ayah mari kita bicarakan saja di luar kota ini, di hutan sebelah
selatan. Biar dia merasai dijungkir-balikkan oleh kim-tiauw!" kata
Kok Sun sambil tertawa. Ayahnya tertawa juga dan menganggukanggguk.
Kwan Ji Nio mengomel, "Anak ini kalau tidak dibikin
mampus kelak akan menimbulkan kerewelan belaka." Diam-diam
Kong Ji mencatat semua ini dan ia telah mendapat kepastian bahwa
di antara tiga orang itu, yang paling bahaya baginya adalah Kwan Ji
Nio, maka diam-diam ia telah berjanji kepada diri sendiri bahwa
kelak ia harus melenyapkan wanita tua ini lebih dulu dari muka
bumi!
"Isteriku, sabarlah. Pedang dan kitab belum terdapat, mengapa
tidak bisa bersabar?” kata See-thian Tok-ong yang memberi tanda
kepada Kok Sun untuk melanjutkan niatnya.
Kok Sun tersenyum dan berkata kepada Kong Ji. "Kalau kau
benar-benar bukan perempuan, hayo naiki punggung kim-tiauw dan
terbang bersamaku."
Kong Ji tanpa memperlihatkan muka takut, segera melompat ke
atas pungung kim- tiauw, akan tetapi baru saja ia tiba di punggung,
burung itu menggoyang badannya dan... tubuh Kong Ji terlempar
seakan-akan dilontarkan oleh tenaga kuat sekali. Baiknya Kong Ji
sudah melatih diri dengan tekun sehingga ia memiliki kepandaian
yang boleh juga, maka ia dapat mengatur keseimbangan badannya,
mempergunakan gerakan Lee-hi-ta-teng (Ikan Lee Meloncat) dan
dapat tiba di atas tanah pada kedua kakinya.
"Berbahaya sekali...." tak terasa lagi ia berkata perlahan. Kok Sun
tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya.
176
"Kau curang!" Kong Ji berkata marah. "Mengapa tidak menyuruh
burungmu diam?"
"Naiklah lagi, tadi aku hanya ingin melihat apakah kau takkan
terbanting matang biru oleh kim-tiauw," kata Kok Sun dan kali ini ia
memegangi leher burung itu. Kong Ji tanpa ragu-ragu melompat lagi
dan kali ini burung itu tidak bergerak. Kok Sun juga melompat
duduk di belakang Kong Ji, kemudian menepuk leher burung itu.
"Kim-tiauw, terbanglah ke selatan!"
Sebelum Kong Ji dapat bersiap-siap, tahu-tahu burung itu telah
membuka sayapnya dan Kong Ji merasa seperti jantungnya ditariktarik
ketika tiba-tiba ia mumbul ke atas cepat sekali. Hampir ia
terengah-engah karena sukar bernapas ketika angin bertiup keras
dari depan. Ketika ia memandang ke bawah, semua tampak kecil.
Kepalanya pening akan tetapi ia memiliki kekerasan hati. Sambil
menggigit bibir ia menekan perasaannya. Masa ia harus kalah oleh
bocah gundul yang duduk di belakangnya?
Tiba-tiba terdengar suara See-thian ok-ong dan bawah, "Kok
Sun, jangan sampai ia jatuh terbanting mampus, kita masih
memerlukan bantuannya!"
Terdengar Kok Sun tertawa dan berdebarlah jantung Kong Ji. Kini
setelah berada di punggung burung, dibawa terbang di angkasa, i
merasa tak berdaya sama sekali. Akan tetapi, burung ini takkan
dapat menggangguku, pikirnya. Aku berada di punggungnya dan
kalau ku mau, aku dapat memukul lehernya dengan tenaga Tin-sankang,
masa ia tidak mampus? Ia menjadi lega dengan pikiran ini,
dan dengan erat ia memegang leher burung kim-tiauw.
Sebentar saja mereka telah tiba di atas hutan kecil di sebelah
selatan kota Lam-si. Tiba-tiba Kok Sun tertawa dan mengeluarkan
suara bersuit tiga kali. Ini merupakan perintah bagi kim-tiauw
karena burung itu segera menukik ke bawah kepala di bawah ekor
di atas! Hampir saja Kong Ji terjungkal dari tempat duduknya. Ia
memegang erat-erat leher burung dan hatinya berdebar keras.
Terpaksa ia meramkan matanya ketika melihat betapa pohon di
bawah seakan-akan terbang naik hendak menubruknya.
"Ha, ha, ha, kau takut?"
177
"Siapa takut? Kalau kau tidak takut masa aku harus takut?"
jawab Kong Ji sambil membuka matanya.
"Bagus, awas kali in'!" seru Kok Su yang kembali bersuit pandang
dua kali Burung itu kini memukulkan sayapnya dan tahu-tahu
berjungkir balik dengan punggung di bawah! Hal ini sama sekali
tidak terduga oleh Kong Ji. Ia mempererat pelukannya pada leher
burung, akan tapi karena pelukannya mencekik leher burung itu
menggerakkan lehernya dan terlepaslah pegangannya. Tubuh Kong
Ji melayang ke bawah!
Ketika tubuh Kong Ji berputaran dari atas ke bawah dan hatinya
tidak karuan rasanya, semangatnya sudah terbang, tiba-tiba ia
merasa kakinya dipegang orang dan terdengar suara Kok Sun,
"Sekarang masih tidak takut?"
Kong ji berada dalam keadaan berbahaya dan menakutkan sekali.
Kini burung itu telah biasa lagi terbangnya. Kok Sun duduk di atas
punggungnya dan sebelah tangannya memegangi Kong Ji yang
berada dalam keadaan tergantung di bawah. Namun Kong Ji yang
cerdik masih teringat akan teriakan Tok-ong. Dirinya dibutuhkan
oleh keluarga iblis ini dan takkan dibunuh, maka dengan suara keras
ia menjawab.
"Seorang gagah tidak takut mati!"
Kok Sun benar-benar kagum. Dia sendiri kalau dibegitukan tentu
akan merasa amat takut.
"Kau benar-benar patut dijadikan kawan. Siapa namamu?"
"Namaku Lui Kong Ji.”
Burung itu telah turun dan hampir mendarat, Kok Sun
menggerakkan tangannya dan tubuh Kong Ji terdorong oleh tenaga
besar, lalu tiba di tanah dengan kaki di atas. Diam-diam Kong Ji
kagum sekali. Hebat sekali tenaga Kok Su dan ia masih kalah
dengan pemuda gundul ini.
Yang membuat Kong Ji lebih terheran dan kagum adalah ketika
ia melihat bahwa See-thian Tok-ong dan Kwan Ji Nio telah berada di
situ pula! Dapat berlari cepat mendahului seekor kim-tiauw yang
178
terbang, benar-benar dapat dibayangkan betapa tingginya ginkang
dua orang aneh ini.
"Nah, bocah yang tabah, sekarang ceritakan di mana tempat
sembunyinya Giok Seng Cu," kata See-thian Tok-ong kepada Kong
Ji.
"Nanti dulu, Locianpwe. Boanpwe Lui Kong Ji sama sekali bukan
hendak membangkang terhadap perintah Locianpwe. Akan tetapi
kalau Locianpwe ada permintaan terhadap boanpwe, agaknya sudah
sepatutnya pula kalau boanpwe juga mengajukan permintaan
sebagai imbalannya kepada Locianpwe."
Sepasang mata yang bundar dari See-thian Tok-ong memandang
tajam dan hatinya mulai curiga.
"Hemm, siapa bisa percaya omonganu? Kau agaknya licik dan
cerdik sekali Lui Kong Ji, coba kau ceritakan dulu hubunganmu
dengan Giok Seng Cu. Kamu pernah apakah dengan dia dan
bagaimana kau bisa dipilih menjadi wakilnya di Im-yang-bu-pai?"
"Boanpwe adalah muridnya. Dan boanpwe suka menjadi
muridnya bukan sekali-kali karena boanpwe suka kepada Im-yngbu-
pai, akan tetapi oleh karena boanpwe sengaja hendak mencari
ilmu kepandaian agar kelak dapat membalas musuh besar boanpwe.
Dengan susah payah boanpwe melayani Suhu sehingga mendapat
kepercayaan dari Suhu, akan tetapi sebelum boanpwe mendapatkan
ilmu kepandaian, keburu datang urusan pedang dan kitab sehingga
boanpwe menjadi gagal dalam cita-cita boanpwe. Ada pun tentang
pedang Pak-kek Sin-kiam dan kitab peninggalan Pak-kek Sianseng
boanpwe sudah mendengar keterangan sejelasnya dari Suhu, oleh
karena itu kalau Locianpwe menghendaki dua benda itu kiranya
boanpwe seorang yang akan dapat memberi petunjuk."
See-thian Tok-ong mengelus-elus jenggotnya. Bocah ini benarbenar
cerdik sekali dan berbahaya, pikirnya.
"Kong Ji, kau bicara berputar-putar. Katakan apa kehendakmu
untuk penukaran petunjuk tempat sembunyi Giok Se Cu?"
Tiba-tiba Kong Ji menangis dan jatuhkan diri berlutut di depan
See-thu Tok-ong. "Boanpwe tidak minta banyak hanya mohon
179
imbalan sedikit berupa pelajaran ilmu silat tinggi agar kelak
boanpwe dapat membalas dendam kepada musuh besar boanpwe."
"Hm, hm, jadi kau minta diterima menjadi muridku?"
“Demikianlah permohonan teecu. Kalau Locianpwe sudi
menerima teecu menjadi murid tidak saja teecu akan menunjukkan
di mana tempat persembunyian Giok Seng Cu, bahkan teecu akan
membantu sampai Locianpwe mendapatkan pedang dan kitab."
"Enak saja kau bicara!" Kwan Ji Nio membentak. "Aku bahkan
akan membunuhmu!"
See-thian Tok-ong memberi tanda dengan matanya kepada Kwan
Ji Nio, kemudian ia bertanya kepada Kong Ji, "Bagaimana kalau aku
menolak permintaanmu?"
"Terpaksa teecu pun akan membungkam."
"Bangsat, kau harus mampus!" kembali Kwan Ji Nio membentak,
akan tetapi pandang mata suaminya mencegah turun tangan.
"Kong Ji, kau mendengar sendiri. nyawamu berada di tangan
kami, dan kalau kau menolak memberi tahu di mana tempat
sembunyi Giok Seng Cu, kami akan membunuhmu."
"Akan menyiksamu sampai mati," kata Kwan Ji Nio.
"Ayah, kalau ular-ular disuruh mengeroyoknya, tentu ia akan
mengaku," kata Kok Sun.
Akan tetapi Kong Ji sama sekali tidak takut. "Locianpwe, sudah
teecu nyatakan tadi bahwa hidup teecu hanya untuk membalas
dendam terhadap musuh besar. Kalau Locianpwe tidak mau
menerima teecu sebagai murid dan teecu tidak bisa memiliki
kepandaian tinggi untuk dapat membalas dendam terhadap musuh
besar, hidup juga percuma. Teecu lebih baik mati. Mati sekarang
atau besok sama saja. Mati sekaligus atau siksa pun sama juga.
Kalau Locianpwe menolak mau membunuh teecu, mau mengubur
hidup-hidup, diberi makan ke ular atau membakar hidup-hidup
teecu akan terima. Teecu tidak takut mati.”
Tertegun juga See-thian Tok-ong mendengar ini. Tiba-tiba Kok
Sun bicara dalam bahasa asing dengan ayahnya untuk beberapa
180
lama tiga orang itu bercakap-cakap dalam bahasa yang tidak
dimengerti oleh Kong Ji. Mereka ini bicara dalam bahasa India dan
Kok Sun menuturkan bahwa Kong Ji memang benar-benar tidak
takut mati, hal ini sudah dibuktikannya ketika mereka naik di
punggung kim-tiauw. Kemudian mereka bertiga berunding
bagaimana untuk menghadapi bocah bandel ini.
Akhirnya See-thian Tok-ong tertawa bergeIak dan berkata
kepada Kong Ji.
“Eh, Lui Kong Ji. kau ini memang bocah cerdik dan licik seperti
iblis. Akan tetapi jangan kaukira bahwa kami takut kepadamu.
Sekarang begini saja. Kami menerima permintaanmu, akan tetapi
kami anggap bahwa kau menggadaikan nyawa kepada kami selama
lima tahun. Bagaimana?"
Kong Ji terkejut. Ia maklum bahwa ia pun menghadapi tiga orang
yang cerdik sekali, maka ia harus berlaku amat hati-hati.
"Menggadaikan nyawa bagaimana maksud Locianpwe?"
"Begini. Kau menunjukkan tempat persembunyian Giok Seng Cu
dan membantu kami mencari kitab dan pedang. Sementara itu, kami
tidak membunuhmu menitipkan nyawamu kepadamu selama lima
tahun. Dalam waktu lima tahun itu kau boleh menerima pelajaran
ilmu silat dariku. Akan tetapi, selewatnya lima tahun, kami tidak
bertanggung jawab atas nyawamu lagi dan kau sudah bukan
muridku lagi."
Kong Ji berpikir keras. "Jadi kalau sudah lewat lima tahun,
Locianpwe akan membunuh teecu?"
See-thian Tok-ong bergelak. "Hal itu tidak dapat dibicarakan
sekarang. Mungkin sekali tergantung sepenuhnya kepadamu sendiri
dan baru lima tahun kemudian aku dapat memastikan apakah harus
dibunuh atau tidak."
"Kalau teecu menolak syarat mi?"
"Kau dibunuh sekarang juga dan kami akan mencari sendiri
tempat sembunyi Giok Seng Cu," kata See-thian Tok-ong dengan
suara dingin, hatinya sudah mendongkol sekali terhadap bocah yang
selalu cerdik dan licik ini.
181
Kong Ji bukan seorang bocah luar biasa kalau ia tidak dapat
menangkap nada suara Raja Racun maka cepat-cepat ia
mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata, "Teecu terima
syarat itu!"
"Kau harus bersumpah!" kata See-thian Tok-ong dan suaranya
terdengar gembira.
"Bersumpah bagaimana, Suhu?" tanya Kong Ji yang menyebut
"suhu" kepada See thian Tok-ong.
"Bersumpah bahwa kau benar-benar akan membantu mencari
pedang dan kitab, bahwa kau tidak akan menipuku dan benar-benar
menerima penggadaian nyawa selama lima tahun!"
Kong Ji berpikir cepat. Celaka, tua bangka ini benar-benar pintar
sekali dan mengikat diriku. Kalau begini aku tigi besar, pikirnya.
"Suhu untuk bersumpah teecu tidak keberatan, akan tetapi teecu
juga minta imbalannya untuk sumpah
"Anak setan! Kau berani supaya aku bersumpah pula? Kau tidak
percaya bahwa aku telah menerimamu sebagai murid?" bentak Seethian
Tok-ong dan kedua tangannya terkepal keras. Kalau Kong Ji
membenarkan dugaan ini, tentu ia akan memukul hancur kepala
bocah ini.
"Mana teecu berani tidak percaya pada Suhu? Hanya teecu minta
Suhu berjanji akan menurunkan ilmu-ilmu tinggi kepada teecu
selama lima tahun itu."
See-thian Tok-ong menghela napas panjang, "Kau memang
pintar dan cerdas. Baiklah, aku berjanji akan menurunkan
kepandaian tinggi, tentu saja kalau otakmu tidak terlalu tumpul."
Dengan girang Kong Ji lalu bersumpah. Kemudian menceritakan
semua pengalamannya dengan Giok Seng Cu, menceritakan pula
akan pertemuan Giok Se Cu dengan ketua ketua partai besar.
"Kitab rahasia itu hanya dapat dicari dengan menggunakan
pedang Pak-kek Sinkiam!" tambahnya, "dan teecu yakin pula bahwa
agaknya pedang itu merupakan kunci yang dapat membawa Suhu
ke tempat tersimpannya kitab rahasia peninggalan Pak Kek Siansu."
182
See-thian Tok-ong girang sekali. "Bagus, mari kita menyusul Giok
Seng Cu di Lembah Maut!"
-oo0mch-dewi0oo-
Giok Seng Cu bersembunyi di dalam sebuah gua yang terdapat di
Lembah Maut. Ia merasa aman dan setiap hari Giok Seng Cu
berlatih ilmu silat dengan pedang Pak-kek Sin-kiam. Kepandaiannya
memang tinggi sekali maka setelah memiliki pedang pusaka itu,
dengan mudah ia dapat menciptakan semacam ilmu pedang yang
lihai. Ia hendak mempertinggi kepandalannya karena ia maklum
bahwa sebelum mendapatkan kitab rahasia peninggalan Pak Kek
Siansu, keadaannya masih berbahaya. Di dalam lembah ia boleh
merasa aman. Memang keadaan lembah itu bukan main
berbahayanya. Letaknya di tepi Sungai Wei-ho, di kaki bukit Cinleng
san. jarang ada orang berani memasuki Lembah Maut, karena
biarpun ia berkepandaian tinggi, sekali saja kurang hati-hati, ia
dapat tewas terjerumus ke dalam jurang atau rawa tertutup rumput.
Baiknya Giok Seng Cu pernah satu kali datang ke tempat ini dengan
gurunya, Pak Hong Siansu. Kalau bukan gurunya itu yang
mencarikan jalan, biar Giok Seng Cu sendiri agaknya akan ragu-ragu
untuk memasuki daerah ini.
"Takkan ada musuh berani memasuki Lembah Maut." pikirnya,
"biarpun andai kata See-thian Tok-ong yang lihai sanggup
memasuki daerah ini, belum tentu ia dapat menemukan tempat
sembunyiku."
Pada suatu hari, ketika ia sedang berdiri di depan guanya, ia
mendengar suara sayup-sayup sampai, datang dari luar hutan.
“Suhuuu...!"
Giok Seng Cu tidak mengenaI suara itu, karena hanya terdengar
lapat-lapat. Hm, agaknya ada musuh datang mencariku, pikirnya.
Akan tetapi ia tidak takut, bahkan lalu menyelundup dan dengan
jalan bersembunyi di balik rumpun, ia berindap indap menghampiri
tempat dari suara itu datang.
183
Suhu... teecu Lin Kong Ji berada di sini...!" kembali terdengar
suara itu. Giok Seng Cu girang sekali dan cepat ia melompat keluar
dari tempat persembunyiannya, lalu berlari cepat menghampiri Kong
Ji.
"Kong Ji, kau sudah datang?" serunya dan diam-diam kakek ini
merasa kagum melihat muridnya yang kecil itu sudah berhasil tiba di
tempat ini. "Baiknya kau tidak lancang masuk ke dalam lembah ini,
sungguh berbahaya kalau kau masuk ke sini."
Dengan matanya yang tajam Kong Ji melihat bahwa Giok Seng
Cu tidak membawa pedang Pak-kek Sin-kiam. Anak ini dengan
siasatnya telah berunding dengan See-thian Tok-ong untuk
memancing keluar suhunya, karena daerah itu amat sukar lagi
berbahaya.
"Suhu, lekas bawa teecu ke tempat yang aman, teecu ada
pembicaraan yang amat penting bagi keselamatan Suhu!"
Giok Seng Cu kaget mendengar ini. Tanpa banyak cakap lagi ia
lalu memegang tangan muridnya dan dibawa ke dalam hutan, terus
menuju ke goa tempat sembunyinya.
"Ada apakah? Ceritakan lekas!" katanya setelah mengambil Pak
kek Sin-kiam yang disembunyikan di dalam gua. Giok Seng Cu
memang berlaku hati-hati sekali. Tidak berani ia membawa-bawa
pedang itu keluar lembah agar jangan menimbulkan perhatian orang
lain yang melihatnya.
"Celaka, Suhu. See-thian Tok-ong telah membunuh semua
saudara di Lam-si dan sekarang ia bersama anak isterinya yang lihai
telah mengejar ke sini dengan napas terengah-engah dan cepat
Kong Ji menuturkan betapa Lai Kwa Siang dan semua murid Imyang-
bu-pai yang berada di Lam-si telah dibunuh oleh keluarga Seethian
Tok-ong.
"Baiknya teecu sempat melarikan terlebih dulu untuk memberi
tahu kepada Suhu. Kalau tidak tentu teecu akan tewas pula dan
tidak ada orang yang memberi tahu kepada Suhu."
Pucat wajah Glok Seng Cu mendengar ini. "Di mana mereka
sekarang?"
184
"Mereka kabarnya mengejar teecu, karena mereka tidak tahu
tempat Suhu bersembunyi. Akan tetapi teecu rasa ada baiknya kalau
Suhu lekas-lekas keluar dari tempat ini dan mencari tempat -
persembunyian lain."
"Kalau begitu, hayo kita pergi cepat-cepat, Kong Ji."
"Suhu, janganlah Suhu repot-repot karena teecu. Pergilah Suhu
sendiri. Dengaan adanya teecu, Suhu hanya akan terhalang dan tak
dapat bergerak cepat. Kalau sampai teecu menjadi penghalang dan
Suhu dapat dikejar oleh mereka, apakah artinya teecu bersusah
payah mencari Suhu? Biarlah, tinggalkan teecu di sini. Kalau mereka
mendapatkan tee-cu, mereka toh tidak mempunyai kepentingan
apa-apa terhadap diri teecu?"
Giok Seng Cu terharu. "Anak baik... murid yang berbakti! Kau
melepas budi sar untuk membela Suhumu. Apakah yang dapat
kuberikan untuk membalas jasamu."
"Sudah menjadi kewajiban seorang murid untuk berbakti kepada
gurunya. Teecu tidak mengharapkan sesuatu, hanya teecu minta
sedikit petunjuk tentang ilmu mempergunakan Tin-san-kang, karena
telah teecu latih namun masih teecu belum dapat mainkan dengan
sempurna. Mempelajari kauw-koat (teori) saja benar-benar sukar."
Giok Seng Cu tertawa. "Memang dulu aku belum
memberitahukan rahasia pukulan itu. Nah, sekarang dengar baikbaik
dan lihat!" Giok Seng Cu lalu memberi petunjuk dan bersilat di
depan Kong Ji, diperhatikan baik-baik oleh anak yang cerdik ini.
Setelah Kong ji mengerti betul, Giok Seng Cu lalu meninggalkannya.
"Biar teecu tinggal di sini seorang diri untuk melatih Tin-sankang,"
kata Kong Ji sebelum ia berangkat.
Sambil berlari cepat, Giok Seng Cu keluar dari Lembah Maut itu.
Akan tetapi, alangkah kagetnya tiba-tiba dari balik pohon-pohon
besar melompat keluar tiga bayangan orang dan tahu-tahu Seethian
Tok-ong, Kwan Ji Nio, Kwan Kok Sun, burung rajawali emas
dan puluhan ekor ular berbisa telah berjejer menghadang
perjalanannya! Inilah siasat yang dijalankan oleh Kong Ji. Dengan
cerdik ia memancing Giok Seng Cu keluar dari lembah untuk
dihadapi oleh See-thian Tok-ong, sedangkan untuk
185
pengkhianatannya, ia tidak dicurigai oleh Giok Seng Cu, sebaliknya,
malah mendapat tambahan pelajaran ilmu silat dan dipuji-puji!
Sampai saat itu pun, Giok Seng Cu tak pernah mengira bahwa
muridnya itu yang mengkhianatinya. Setelah Giok Seng Cu pergi
diam-diam Kong Ji juga keluar dari gua itu dan mengikuti perjalanan
suhunya ini, maka kini ia yang bersembunyi di balik rumpun alangalang
dapat melihat apa yang terjadi di situ.
"Siapakah kalian yang berani menghadang perjalanan pinto?"
tanya Giok Seng Cu dengan suara dibikin tenang sedapatnya. Ia
sudah pernah melihat Kwan Kok Sun, akan tetapi belum pernah
bertemu dengan See-thian Tok-ong dan isterinya. Biarpun iz
sekarang dengan mudah dapat mengerti bahwa yang dihadapinya
adalah keluarga iblis itu, namun ia pura-pura tidak tahu.
Kwan Kok Sun tertawa menyeringai, "Giok Seng Cu, apakah kau
sudah lupa lagi kepadaku atau pura-pura lupa? Kau telah merampas
pedang itu dari tanganku, sekarang kami datang untuk
mengambilnya kembali berikut kepalamu!"
"Hm, agaknya pinto berhadapan dengan See-thian Tok-ong dan
keluarganya,” kata pula Giok Seng Cu.
See-thian Tok-ong mengeluarkan suara di hidungnya, lalu
berkata,
"Giok Seng Cu pernah satu kali bertemu dengan mendiang
Suhumu, Pak Hong Siansu. Dia adalah seorang yang mengutamakan
persahabatan. Aneh sekali kau ini muridnya mengapa begitu curang
dan sampai hati menipu puteraku pura-pura membantu kemudian
bahkan merampas pedang dan memukulnya. Kau sudah terang
harus dihukum, mau kata apa lagi?"
Merah muka Giok Seng Cu. Memang dalam hal berebut pedang
dengan Kok Sun ia telah berlaku licik. Kalau saja dalam perebutan
dahulu itu ia berlaku secara laki-laki dan mengandalkan kepandaian,
belum tentu See-thian Tok-ong hendak membunuhnya. Akan tetapi,
sudah menjadi bubur, hal itu telah terjadi dan tak dapat diubah
pula, maka ia tidak dapat mundur lagi.
"Sesukamulah, See-thian Tok-ong. Hanya hendaknya kauingat
bahwa pedang ini adalah peninggalan Supek Pak Kek Siansu, maka
186
akulah yang berhak mewarisinya. Sekarang pedang sudah di
tanganku, kalau ada yang menghendakinya, boleh mencoba
mengambilnya dan tanganku."
Inilah sebuah tantangan. Kwan Ji Nio sudah tak sabar lagi dan
hendak menyerang, akan tetapi suaminya mengangkat tangan
mencegahnya. See-thian Tok-ong maklum bahwa sebagai murid Pak
Hong Siansu, Giok Seng Cu memiliki kepandaian tinggi, apalagi
pedang pusaka di tangan, ia merupakan lawan berbahaya bagi
isterinya.
"Kim-tiauw, rampas pedangnya'" bentaknya kepada burung yang
berdiri di dekat Kok Sun.
Burung itu mengeluarkan pekik yang nyaring sekali, membuka
sayap terbang ke atas lalu menyambar ke arah Giok Seng Cu. Kakek
ini tidak gentar dan cepat mengerahkan tenaga, memukul dengan
tenaga Tin-san-kang.
"Bruk!" Tubuh burung itu terpental sebelum bertemu dengan
tangan Giok Seng Cu. Beberapa helai bulu sayapnya rontok dan
sambil mengeluarkan bunyi cecuitan, burung itu tidak berani maju
lagi hanya terbang berputaran di atas.
See-thian Tok-ong marah sekali, mengeluarkan suara mendesis
sebagai perintah kepada ular-ular yang berada dibelakang Kok Sun.
Empat puluh lebih ular merayap cepat dan menyerang Giok Seng
Cu. Kakek ini bergidik dan jijik sekali melihat sekian banyaknya ular
menyerangnya. Kembali ia mengerahkan tenaga, kedua tangannya
didorong ke depan, ke arah ular-ular itu.
Hebat sekali tenaga Tin-san-kang. Debu mengepul, batu-baru
kecil terlempar dan sedikitnya ada tujuh ekor ular yang hancur
tubuhnya terkena hawa pukulan Tin-san-kang! Ular- ular yang lain
terlempar ke belakang dan mereka juga jerih menghadapi kakek
yang berkepandaian tinggi itu.
Kong Ji yang mengintai dari balik rumpun alang-alang, kagum
bukan main dan ia merasa girang bahwa kini ia telah dapat memiliki
Tin-san-kang yang sempurna, tinggal melatihnya saja. Ia
memandang terus dan kali ini Kok Sun rogoh sakunya. Agaknya
bocah gundul ini hendak mengeluarkan sepasang ular merahnya
187
yang lihai, akan tetapi See-thian Tok-ong mencegahnya. Raja Racun
ini maklum, bahwa betapapun lihai Siang ang-coa, tak mungkin
dapat melawan Giok Seng Cu dan ia merasa sayang kalau sepasang
ular itu akan mati.
"Biarkan aku sendiri menghadapinya!” Tiba-tiba tubuh See-thian
Tok-ong bergerak dan ia telah menyerang dengan pukulan berat ke
arah dada Giok Seng Cu.
Kakek rambut panjang ini tidak berani berlaku ayal karena ia
dapat menduga akan kehebatan lawannya. Cepat ia merendahkan
tubuh dan mendorongkan kedua tangan ke depan, mempergunakan
hawa pukulan Tin-san kang untuk memukul lawan. Giok Seng Cu
yang sudah berpengalaman maklum bahwa ia tidak boleh beradu
tangan dengan kakek ini, karena ia mehhat bahwa kedua tangan
See-thian Tok-ong mengeluarkan sinar menghitam yang
mencurigakan, tanda bahwa sepasang tangan itu tentu
mengandung racun jahat.
Dua hawa pukulan yang dahsyat bertemu di udara dan akibatnya
Giok Seng Cu terhuyung tiga tindak, akan tetapi See-thian Tok-ong
juga terdorong ke belakang. Tenaga mereka seimbang! Bukan main
kagetnya Kong Ji yang menonton dari tempat sembunyinya. Tenaga
sin-kang dari Giok Seng Cu sudah hebat, akan tetapi kini dapat
dilawan See-thian Tok-ong. Ia makin gembira karena ia telah
menjadi murid See-thian Tok-ong yang ternyata memiliki
kepandaian yang tinggi pula.
"Biar kita mengadu nyawa di sini seru Giok Seng Cu marah. Ia
maklum bahwa lawannya tidak dapat dirobohkan dengan Tin-sankang
dan kalau ia melayani dengan tangan kosong, ia tentu akan
kalah, karena lawannya itu bertangan maut. yakni kedua tangannya
mengandung hawa pukulan yang berbisa. Cepat dicabutnya pedang
Pak-kek Sin-kiam dan berkelebatlah sinar yang menyilaukan mata
ketika ia melakukan serangan pertama.
See thian Tok-ong terkejut melihat hebatnya serangan ini, cepat
ia membanting tubuh ke kiri dan di lain saat ia telah mencabut
sepasang tangan, senjatanya yang mengerikan itu. Baru saja kedua
tangan kering itu digerakkan, Giok Seng Cu sudah mencium bau
yang amat keras sehingga ia menjadi gentar. Ia teringat akan nama
188
julukan lawannya, yakni Raja Racun, maka tahulah ia bahwa
sepasang tangan kering itu tentu mengandung bisa yang amat
berbahaya. Cepat ia menggerakkan pedangnya, diputar sedemikian
cepatnya sehingga merupakan segulungan sinar yang menyelimuti
tubuhnya.
Kong Ji makin kagum dan diam-diam timbul keinginannya untuk
memiliki pedang luar biasa itu. "Benar-benar senjata pusaka yang
ampuh," pikirnya.
Namun, betapapun hebat gerakan pedang Giok Seng Cu, ia
menghadapi lawan yang amat tangguh. Ilmu silat dari See-thian
Tok-ong amat luar biasa dan aneh gerakannya, sepasang tangan
kering itu bergerak-gerak ke atas dan ke bawah, bahkan tidak takut
kadang-kadang beradu dengan pedang! Hal ini adalah karena
gerakan yang amat tepat sehingga tiap kali bertemu dengan
pedang, tangan itu beradu dengan pinggiran pedang, bukan dengan
mata pedang, karena kalau bertemu dengan tajamnya pedang tentu
akan terbabat putus. Pertempuran berjaIan amat serunya dan Giok
Seng Cu harus mengakui bahwa kalau ia tidak memegang Pak-kek
Sin-kiam, tentu ia takkan dapat bertahan demikian lamanya.
"Aku harus dapat lari dari sini...,” pikirnya sambil memutar
pedang makin cepat.
Akan tetapi, tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat sekali
gerakannya dan tahu-tahu sebatang tongkat kecil menyambar ke
arah kepala Giok Seng Cu. Hampir saja ujung tongkat itu mengenai
kepalanya. Bukan main kagetnya ketua Im-yang-bu-pai ini. Sudah
terasa ujung tongkat itu menggores rambutnya ketika ia cepat
mengelak. Ketika ia melihat bahwa penyerangnya itu adalah Kwan Ji
Nio, hatinya makin gentar. Dari gerakan serangan tadi ia menduga
bahwa kepandaian Kwan Ji Nio ini kiranya lebih lihai daripada
kepandaian suaminya! Padahal sebenarnya tidak demikian. Kwan Ji
Nio memang lebih lihai dalam hal ilmu meringankan tubuh, maka
penyerangannya cepat bukan main dan kelihatannya memang lebih
lihai dari suaminya, akan tetapi sebetulnya tingkat kepandaiannya
masih kalah jauh oleh See-thian Tok-ong.
Karena hatinya sudah gentar, permainan pedang Giok Seng Cu
agak kalut dan tiba-tiba sebuah kuku senjata tangan dari See-thian
189
Tok-ong berhasil menggoes kulit lengan kanannya. Giok Seng Cu
merasa kulit lengannya gatal-gatal bukan main sehingga hampir
saja pedangnya terlepas. Ia cepat memutar pedang dengan tangan
kanan sedangkan tangan kirinya melancarkan pukulan-pukulan Tin
san-kang ke arah dua orang musuhnya.
Kwan Ji Nio telah maklum akan kehebatan Tin-san-kang dan tahu
pula bahwa ia takkan kuat menahan pukulan-pukulan ini, maka
cepat ia meloncat mundur mengandalkan ginkangnya yang luar
biasa. Adapun See-thian Tok-ong juga menggerakkan tangan kiri
untuk menolak hawa pukulan lawan.
Akan tetapi kesempatan itu tidak dilewatkan percuma oleh Giok
Seng Cu. Sekali ia melompat, ia telah berlari masuk hutan.
"Tinggalkan pedang!" teriak See-thian Tok-ong mengejar. Juga
Kwan Ji Nio ikut pula mengejar.
Giok Seng Cu tadinya hendak mengandalkan keadaan di lembah
itu untuk menyelamatkan diri. Ia sudah mengenal baik keadaan di
lembah yang liar itu dan kalau ia dapat masuk ke dalam hutan yang
lebat, agaknya dua orang lawannya takkan berhasil mengejarnya.
Akan tetapi tiba-tiba ia mendengar suara sayap burung dan ketika ia
memandang ke atas, ia melihat kim-tiauw tadi beterbangan di atas
dan mengeluarkan bunyi nyaring.
"Burung jahanam...!" makinya. Ia menahan gemas dan menyesal
mengapa ia tak mempunyai gendewa dan anak panah untuk
membunuh burung itu. Dengan adanya kim-tiauw yang terus
mengikutinya, tak mungkin lagi ia bersembunyi. dan dua orang
suami isteri itu telah menyusulnya dan mengirim serangan-serangan
hebat. See-thian Tok-ong menyetang dengan tangan berbisa,
sedangkan Kwan Ji Nio menggerakkan tongkat bambunya dengan
cepat sekali.
"Celaka aku kali ini...." Giok Seng Cu mengeluh ketika tiba-tiba
merasa tangan kanannya makin gatal-gatal, dan rasa gatal itu
menyerang sampai ke pundaknya. Ia maklum bahwa itu tentulah
akibat dari serangan tangan berbisa yang dipegang oleh See-thian
Tok-ong dan kini racunnya telah masuk ke dalam lengannya. Tibatiba
ia berseru keras dan dari tangan kanannya menyambar sinar
190
keemasan ke arah leher See-thian Tok-ong. Kakek ini terkejut sekali.
Cepat ia mengelak akan tetapi tetap saja sinar itu telah melanggar
ujung baju di lengannya sehingga ujung baju itu terbabat putus.
Baiknya ia cukup cepat mengelak sehingga tidak terluka. Ketika ia
memandang ke depan, Giok Seng Cu telah lari jauh masuk ke dalam
hutan.
See-thian Tok-ong tidak mau mengejar. "Tidak perlu mengejar
dia, pokiam (pedang pusaka) telah diberikan kepadaku. Ia
menghampiri pedang Pak-kek Sin-kiam yang tadi dilontarkan
kepadanya dan kini pedang itu tertancap ambles ke dalam batang
pohon. Dicabutnya pedang itu dan dipandanginya dengan penuh
kesayangan.
"Kau yang akan membawaku ke tempat kitab dan akulah yang
akan dapat mewarisi Ilmu Silat Pak-kek Sin-ciang hoat. Ha, ha,
ha...!" See-thian Tok-ong tertawa gembira.
"Suhu, teecu menghaturkan kionhi (selamat)!" Tiba-tiba Kong Ji
keluar dari tempat persembunyiannya berlutut di depan See-thian
Tok-ong.
"Ha, anak baik, kau telah membantu banyak." Tentu saja Seethian
Tok-ong dan isterinya sudah tahu bahwa Kong Ji bersembunyi
di situ. "Mari sekarang kita mencari kitab di puncak Lulilang-san,”
ajaknya.
Siasat Kong Ji untuk memancing keluar Giok Seng Cu, oleh Seethian
Tok-ong dianggap sebagai bukti kebaktian anak itu
kepadanya. Oleh karena itu, ia makin merasa suka kepada Kong Ji.
Bahkan anak ini dengan sikapnya yang mengasih dan pandai
mengambil hati, akhirnya dapat juga menangkan hati Kok Sun yang
menganggapnya sebagai seorang sahabat yang baik sekali. Hanya
Kwan Ji Nio seorang yang masih bersikap dingin kepadanya,
sungguhpun rasa benci dari nenek ini tidak sehebat dulu.
Rasa sayang dari See-thian Tok-ong kepadanya terasa oleh Kong
Ji karena ia dapat mengetahui hal ini dari cara Raja Racun itu
memberi pelajaran silat kepadanya. Kini mulailah See-thian Tok-ong
menurunkan rahasia latihan ilmu lwee kang dari barat dan di
191
sepanjang perjaianan menuju ke Luliang-san tiap kali ada
kesempatan. Kong Ji selalu melatih diri dengan pelajaran baru ini.
Setelah tiba di puncak Luliang-s See thian Tok-ong dan isterinya
merasa amat kagum dan suka sekali melihat puncak yang indah itu.
"Benar-benar tempat yang amat menyenangkan," katanya,
"pantas sekali tempat seperti ini disukai oleh mendiang Pak Kek
Siansu. Memang amat baik untuk menjadi tempat bertapa dan
istirahat." Ia segera mengambil keputusan untuk tinggal di puncak
itu. Bahkan lalu memperbaiki bekas pondok Pak Kek Siansu yang
sudah diobrak-abrik dan dirusak oleh Kok Sun, puteranya sendiri
ketika bersama Ba Mau Hoatsu mencari kitab rahasia.
-oo0mch-dewi0oo-
Agar tidak membingungkan pembaca baik diceritakan bahwa Ba
Mau Hoatsu telah kembali ke Tibet seteLah See-thian Tok-ong
menyusul puteranya ke Tiong- goan. Dengan adanya See-thian Tokong
sekeluarga turun dari Tibet untuk mencari kitab, Ba Mau Hoatsu
merasa ada harapan baginya lagi untuk ikut-ikut mencari kitab itu,
maka ia pun lalu berpamit dan kembali ke Tibet, di mana melatih
diri dengan ilmu silatnya.
See-thian Tok-ong dan anak isterinya, dengan bantuan Kong Ji
mulailah mencari kitab peninggalan Pak Kek Siansu. Akan tetapi
usaha mereka sia-sia. Seluruh puncak telah mereka jelajahi dan
periksa, namun tidak ada hasilnya. Kitab rahasia itu tak dapat
ditemukan.
Berbulan-bulan mereka mencari dan selama itu Kong Ji mulai
menerima latihan-latihan ilmu silat dari See-thian Tok-ong. Raja
Racun ini tertarik sekali melihat kecerdikan Kong Ji dan setelah
melatih beberapa bulan, ia mendapat kenyataan bahwa bakat dalam
diri anak ini bahkan lebih besar daripada puteranya sendiri. Setiap
gerakan dan latihan lwee-kang dapat ditangkap dengan mudah oleh
Kong Ji. Akan tetapi tentu saja See-thian Tok ong belum berani
menurunkan kepandaiannya yang sejati dan hanya memberi
pelajaran ilmu-ilmu silat yang tidak begitu hebat. Namun Kong Ji
tetap sabar. Anak ini pandai sekali menyembunyikan lepandaian192
kepandaian yang pernah dipelajarinya, bahkan suhunya sendiri tidak
tahu bahwa ia kini telah mulai dapat menjalankan Ilmu Pukulan Tinsan-
kang dari Giok Seng Cu! Dalam pandangan See-thian Tok-ong,
Kong Ji masih dangkal Ilmu pengetahuannya dalam ilmu silat,
padahal anak ini diam-diam telah memiliki ilmu-ilmu silat, dari
Kwan-im-pai dari Hoa-san-pai, dan juga dari Giok Seng Cu.
Pelajaran lweekang yang agak dalam telah mulai diturunkan oleh
See-thian Tok-ong kepada Kong Ji setelah hampir setahun mereka
tinggal di puncak Jeng in-thia (Ruang Awan Hijau). Lweekang ini
berbeda cara melatihnya dengan lweekang di Tiong-on karena
untuk siulian (bersamadhi), Kong Ji harus berdiri dengan kaki di atas
dan kepala di bawah. Mula-mula hal ini amat sukar. Baru sebentar
saja kepalanya terasa pening dan darah turun ke bawah membuat
mukanya merah sekali. Juga ia tak dapat tahan lama membiarlan
kakinya lurus ke atas, sehingga ia harus mencari bantuan batu
karang untuk menyangga kedua kakinya. Namun berkat latihan
yang amat tekun, beberapa bulan kemudian ia telah dapat berdiri
berjam-jam dengan kepala di bawah dan kaki di atas. Kemudian ia
diberi pelajaran melakukan gerakan kaki tangan dengan keadaan
tubuh berjungkir balik, yakni kepala di bawah dan kaki di atas. Ini
adalah gerakan-gerakan untuk melatih tenaga dalam tubuh dan
untuk memperkuat lweekangnya.
Semenjak menerima pelajaran itu, setiap pagi, tanpa mengenaI
lelah, Kong Ji terlihat berlatih seorang diri di dekat jurang di Jeng-inthia,
dengan kepala di bawah, kedua kali di atas, kedua lengan
dibentangkan kemudian ia bergerak-gerak dan berputar-putar cepat
sekali! Hatinya penuh cita-cita yakni untuk menjadi jagoan nomor
satu di dunia persilatan. Ia tidak tahu bahwa tempat di mana ia
berlatih, kadang-kadang seorang diri dan kadang-kadang berdua
dengan Kok Sun, dahulu adalah tempat berlatih Wan Sin Hong di
bawah pimpinan Luliang Sam lojin. Juga, ia tidak pernah mengimpi
bahwa pada saat ia berlatih di tempat itu, tak jauh dari situ, yakni di
dalam jurang, kurang lebih seratus tombak dalamnya dari tepi
jurang, seorang anak laki-laki lain tengah berlatih ilmu yang
dilatihnya, dan anak itu bukan lain adalah Wan Sin Hong yang
sedang berlatih ilmu silat menurut petunjuk kitab peninggalan Pak
Kek Siansu!
193
-oo0mch-dewi0oo-
Tiga tahun telah berlalu amat cepatnya. Selama itu, See-thian
Tok-ong dan anak isterinya tinggal di puncak Luliang san dan
mereka tiada henti dan bosannya mencari kitab peninggalan Pak
Kek Siansu yang tanpa hasil. Mereka mulai putus asa dan sikap Seethian
Tok-ong terhadap Kong Ji mulai berubah, kini seringkali ia
mengeluarkan kata-kata kasar.
Namun kakek ini menepati janjinya. Ia melatih Kong Ji dengan
sungguh-sungguh sehingga anak ini mewarisi ilmu silat yang amat
tinggi. Kong Ji tidak menyia-nyiakan waktunya, siang malam tiada
bosannya ia melatih diri sehingga biar lambat akan tetapi tentu ia
mulai mengejar kepandaian Kwan Kok Sun si Bocah Gundul yang
kini telah menjadi orang pemuda, namun tetap saja kepalanya
selalu digunduli. Kong Ji sendiri pun sudah menjadi seorang pemuda
tanggung yang tampan dan bertubuh jangkung. Memang kalau
dilihat begitu saja agaknya Kong Ji masih kalah oleh Kok Sun, akan
tetapi andaikata mereka bertempur, sudah dapat dipastikan bahwa
Kok Sun akan kalah. Hal ini adalah karena di samping pelajaran ilmu
silat yang ia dapat dari See-thian Tok-ong, juga Kong Ji diam-diam
telah menyempurnakan ilmu-ilmunya yang lain yang didapat dari
ajaran mendiang Liang Gi Tojin dan Giok Seng Cu, terutama sekali
ilmu pukulan Tin-san-kang dari Giok Seng Cu. Akan tetapi dengan
amat cerdiknya, ilmu ini ia simpan rapat-rapat dan keluarga itu tidak
mengetahuinya.
Pada suatu malam Kong Ji mendengar percakapan antara Seethian
Tok-ong dan isterinya, percakapan yang amat mengejutkan
hatinya.
"Kita membuang waktu percuma saja, dasar kau yang mudah
ditipu oleh anak setan itu!" kata Kwan Ji Nio kepada suaminya.
"Ahh, kau tahu apa?" jawab See-thian Tok-ong sambil tertawa.
"Kalau ada dia, bagaimana kita bisa mendapatkan pedang pusaka
dari Pak Kek Siansu.”
"Untuk apa pedang pusaka itu? Yang penting adalah kitab itu,
ternyata tidak ada di sini." Kemudian Kwan JI Nio menyambung
194
dengan suara perlahan, "bocah setan itu kulihat amat maju. Kelak
kalau hatinya membalik, kitalah yang akan bertambah seorang
musuh yang membahayakan."
"Ha, ha, isteriku, kau terlalu kecil hati. Apa sih bahayanya bocah
itu? Tidak bisa didapatkannya kitab sungguh-sungguh bukan
salahnya. Dan aku sudah berjanji menerimanya sebagai murid
selama lima tahun. Masih setahun lebih aku harus melatihnya,
kemudian, andaikata kau hendak membunuhnya, apa sih sukarnya.
Biar dia belajar dua atau tiga tahun lagi, menghadapi Kok Sun saja
belum tentu menang. Apa yang perlu kita takuti?"
Percakapan itu terhenti dan Kong Ji menjauhkan diri. Ia duduk
termenung di pinggir jurang tempat ia berlatih silat. Celaka,
pikirnya. Apa artinya aku belajar setahun dua tahun lagi kalau
akhirnya aku akan mereka bunuh juga? "Ah, kalau saja aku bisa
mempelajan ilmu dari kitab peninggalan Pak Kek Siasu, aku tidak
akan takut menghadapi mereka!" Sudah lama bocah yang cerdik ini
sering kali memandang ke dalam jurang dan timbul pikirannya
bahwa besar sekali kemungkinan kitab rahasia itu disembunyikan di
dasar jurang. Bukankah pedang itu pun menurut Kok Sun,
didapatkan oleh kim-tiauw di dasar jurang?
Ia sengaja tidak menyatakan dugaannya ini kepada See-thian
Tok-ong, karena memang ia tidak ingin keluarga iblis itu
mendapatkan kitab yang ia sendiri ingin memilikinya. Akan tetapi
setelah mendengar percakapan antara suami isteri itu, ia
mendapatkan akal. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri
untuk menarik simpati dan kasih sayang mereka, adalah membantu
mereka mendapatkan kitab, sehingga dengan jalan ini ia dapat
membuktikan kesetiaan dan kebaktiannya.
"Suhu," katanya pada keesokan harinya kepada See-thian Tokong,
"bagaimana dengan hasilnya mencari kitab rahasia itu?"
Kening kakek itu berkerut dan sepasang matanya kelihatan
marah,
"Perlu apa kau bertanya-tanya? Membantu pun tidak becus!"
tegurnya marah.
"Maaf, Suhu. Sudahkah dicari di dasar jurang itu?"
195
"Kau ngelindur! Jurang yang tidak kelihatan dasarnya itu,
bagaimana bisa periksa?"
"Teecu sanggup menuruni jurang itu!”
See-thian Tok-ong tertegun, demikian juga Kwan Ji Nio dan Kok
Sun.
"Jangan kau main-main, kupatahkan batang lehermu nanti!"
bentak Kwan Ji Nio.
"Subo, mana teecu berani main-main Dulu yang mendapatkan
Pak-kek Sin kiam adalah kim-tiauw, kalau sekarang teecu naik di
punggung kim-tiauw dan menyuruh burung itu terbang turun ke
jurang apakah sukarnya? Siapa tahu kalau-kalau di dalam jurang
itulah tempat disimpannya kitab rahasia peninggalan Pak Kek
Siansu."
"Bagus, bagus! Kau betul sekali, muridku yang baik!" kata Seethian
Tok-ong dan sepasang matanya yang lebar itu memandang
kepada isterinya seakan-akan berkata bangga. "Apa kataku?
Muridku ini bukannya seorang yang tidak ada gunanya!”
Kim-tiauw dipanggil dengan siutan keras. Burung yang sedang
beterbangan di atas itu meluncur turun dan hinggap di atas tanah,
di depan See-thian Tok-ong.
"Kim tiauw, kaubawa Kong Ji ke dasar jurang, ke tempat di mana
dahulu kau mendapatkan pedang ini!” kata See-thian Tok-ong
sambil memperlihatkan Pak-kek Sin-kiam kepada burung itu.
Adapun Kong Ji sudah meloncat ke atas punggung kim-tiauw dan
berkata, "Kim-tiauw yang baik, hati-hatilah kau terbang ke dalam
jurang." Anak ini kelihatannya gembira sekali, memang sebenarnya
dia gembira karena ia memang ingin sekali mendapatkan kitab yang
dicari-cari oleh semua orang kang-ouw itu.
Burung rajawali emas itu mengeluarkan pekik nyaring, lalu
membuka sayap dan terbang tinggi. Setelah berputar beberapa kali
di atas jurang, ia lalu menukik turun dengan cepatnya. Kong Ji
hampir tak berani membuka matanya saking ngeri melihat betapa
burung itu membawanya meluncur turun ke dalam jurang yang
tidak kelihatan dasarnya itu.
196
Akan tetapi, ia segera berseru girang dan heran ketika burung itu
tiba di atas sebuah lereng Bukit Luliang-san yang indah sekali
pemandangannya. Burung itu turun dan Kong Ji juga meloncat
turun dari punggungnya sambil memandang ke kanan kiri,
mengagumi keindahan tamasya alam di sekitar itu.
"Kim-tiauw, di manakah kau dahulu mendapatkan pedang?"
tanyanya berulang ulang.
Burung itu tentu saja tidak dapat menjawab, akan tetapi agaknya
ia mengerti akan maksud pertanyaan Kong Ji.
Ia meloncat-loncat dan tiba di depan gunung karang di mana
terdapat sebuah batu besar sekali tersandar pada lamping batu
karang yang menjadi gunung itu. Ia berbunyi berkali-kali dan
kelihatan bingung. Memang, dahulu ia merampas pedang dari
tangan anak kecil yang keluar dari gua, akan tetapi sekarang di situ
tidak kelihatan ada gua lagi.
Kong Ji amat cerdik. Agaknya burung ini memberi tanda bahwa
pedang didapatkan di batu ini, pikirnya. Ia lalu mendorong batu
besar itu akan tetapi berat batu itu ada seribu kati kiranya maka
biarpun ia mendorong kuat-kuat, batu itu tidak bergeming. Kimtiauw
itu mengangguk-angguk dan berbunyi terus, maka makin
curigalah Kong Ji.
"Mundurlah, Kim-tiauw!" bentaknya. Burung itu sudah pandai
mendengar perintah dan suara Kong Ji sudah dikenal olehnya, maka
ia cepat meloncat dan terbang menjauhi tempat itu,
Kong Ji berjumpalitan, berdiri dengan kepala di bawah dan kedua
kaki di atas, berlatih sebentar mengumpulkan lweekangnya.
Sekarang, setelah jauh dari See-thian Tok-ong dan anak isterinya
barulah ia mendapatkan kesempatan untuk mencoba kepandaian,
yakni Tin sa kang yang ia pelajari dari Giok Seng Cu.
Setelah tulang-tulang berbunyi berkerotokan. Kong Ji meloncat
berdiri seperti biasa, merendahkan tubuh, mengerahkan seluruh
tenaga lweekang yang ada di tubuhnya, lalu mendorong batu yang
bersandar pada gunung karang itu sambil mengeluarkan Ilmu Tinsan-
kang.
197
Dan dia berhasil! Batu itu bergoyang- goyang, namun tidak dapat
menggelinding pergi. Kong Ji merasa yakin bahwa di balik itu atau
bawahnya terdapat rahasia yang akan membawariya ke tempat
penyimpanan kitab peninggaian Pak Kek Siansu. Ia berhenti untuk
bernapas dan beristirahat.
"Masa aku kalah oleh batu ini?" pikirnya. Dengan sekuat tenaga,
kembali ia mendorong batu itu, melakukan gerakan mendorong
Ilmu Tin-san-kang jurus terakhir yang paling besar tenaganya yakni
dengan kedua kaki menjejak tanah dan kedua tangannya
mendorong ke depan, kepala tunduk dan tubuh hampir jongkok.
Kini ia berhasil! Batu itu bergeser sedikit dan alangkah girangnya
ketika ia melihat bahwa di belakang batu itu terdapat sebuah gua
yang gelap! Biarpun batu penutup gua itu hanya tergeser sedikit,
akan tetapi cukup lebar untuk dia menyelinap masuk.
Tanpa ragu-ragu dan tidak kenal takut, Kong Ji masuk ke dalam
gua. Akhirnya ia tiba di sebuah ruangan yang cukup luas, dan
alangkah girangnya ketika ia melihat di dalam ruangan itu ada batubatu
licin seperti tempat duduk, dan sudut ruangan terdapat sebuah
peti! Berdebarlah hatinya. Tak salah lagi, inilah tempat rahasia itu,
pikirnya. Ia memandang sekeliling dengan siap sedia, kalau-kalau
ada orang di dalam gua itu, akan tetapi keadaannya sunyi sekali.
Kong Ji sudah memiliki kepandaian yang tinggi sehingga kalau di
dekat situ terdapat orang tentu ia akan dapat mendengar jalan
pernapasan orang itu.
Dengan hati kebat-kebit ia menghampiri peti dan membuka
tutupnya. Tutup peti itu berat sekali, akan tetapi dengan
lweekangnya yang sudah tinggi, ia berhasil membukanya tanpa
banyak sukar. Hampir saja ia berteriak girang ketika ia melihat
sebuah kitab tebal di dalam peti' itu. Kegirangannya meluap-luap
karena ia dapat membaca huruf-huruf sampul buku yang ditulis
besar-besar dengan jelas dan berbunyi : PAK KEK SIN CLANG HOAT
PIT KIP (Kitab Pelajaran Ilmu Silat Pak-kek-sin-ciang).
Akan tetapi ia merasa menyesal sekali ketika membuka kitab itu,
karena ia tidak dapat membacanya. Hanya beberapa buah huruf
saja dapat dibacanya karena sesungguhnya Kong Ji sudah banyak
198
lupa akan huruf-huruf yang belum lama dipelajari dan tidak pernah
ia pergunakan.
Ia termenung sebentar, kemudian mengembalikan kitab di dalam
peti, menutupnya kembali, kemudian ia memeriksa keadaan di
dalam gua. Setelah merasa yakin bahwa ia tidak mendapatkan apaapa
lagi, ia lalu keluar dari dalam gua. Dari luar gua ia
mempergunakan kepandaian dan tenaganya untuk menggeser
kembali batu itu menutupi gua dan sama kali tidak kelihatan dari
luar. Dipandang dari luar batu itu tidak menimbulkan kecurigaan,
seperti batu besar biasa yang terletak di dekat batu karang seperti
gunung itu.
Dengan kakinya Kong Ji meratakan tanah di mana jejak kakinya
nampak, kemudian ia memanggil kim-tiauw dan melompat ke atas
punggungnya. "Kim-tiauw, mari kita naik lagi ke tempat Suhu,”
katanya.
Kim-tiauw terbang ke atas dan di -sepanjang penerbangan naik
Kong Ji memperhatikan pinggiran jurang, karena sudah mengambil
keputusan untuk kelak kembali seorang diri di dalam jurang ini dan
mempelajari isi kitab itu setelah ia pandai membaca.
Setelah tiba di depan See-thian Tok-ong dan anak isterinya yang
menanti sampai kehilangan sabar, Kong Ji berkata.
"Tidak ada apa-apa, Suhu. Hanya lereng bukit kosong, penuh
batu karang besar-besar. Kim-tiauw juga kelihatan bingung,
agaknya pedang Pak-kek Sin-kiam itu ia pungut begitu saja dari
dasar jurang yang ternyata merupakan lereng juga itu. Kitabnya
kalau memang ada tentu tidak disimpan di tempat seperti itu."
See-thian Tok-ong nampak kecewa sekali. Kwan Ji Nio
menyumpah-nyumpah lalu berkata kepada suaminya,
"Kalau kitab itu memang tidak ada mengapa susah-susah
dipikirkan? Dengan kepandaian yang ada pada kita, siapakah yang
mampu mengalahkan kita?"
Tiba-tiba Kok Sun berkata, "Ayah siapa tahu kalau Kong Ji kurang
teliti mencarinya. Biar aku sendiri yang melihat keadaan di bawah
sana bersama kim-tiauw."
199
Kong Ji terkejut sekali akan tetapi dengan cerdiknya ia dapat
menekan perasaan hatinya sehingga mukanya tidak menunjukkan
sesuatu, bahkan ia berkata dengan lagak mendongkol, "Kalau Kok
Sun Twako tidak percaya kepadaku, baiklah kaulihat sendiri!"
Kok Sun hanya tertawa dan cepat melompat ke punggung kimtiauw
dan menyuruh burung itu terbang masuk kedalam jurang.
Hati Kong Ji berdebar. Celaka, pikirnya, kalau sampai setan gundul
ini mendapatkan kitab, tidak saja kitab itu akan terjatuh ke tangan
See-thian Tok-ong, bahkan dia sendiri tentu akan dibunuh oleh Raja
Racun.
"Kau bilang tidak menemukan apa-apa di bawah sana? Betulkah
itu? Hm, kau akan melihat sendiri akibatnya kalau kau membohongi
kami." Kwan Ji Nio berkata sambil tersenyum dan memandang
kepada Kong Ji. Nyonya ini merasa benci kepada Kong Ji, benci
yang ditimbulkan oleh iri hati, karena bocah ini lebih tampan
daripada puteranya sendiri.
"Subo, memang teecu tidak mendapatkan sesuatu. Kalau teecu
mendapat sesuatu di bawah sana, tentu sudah teecu bawa naik.
Andaikata Kok Sun Twako mendapat kitab itu di bawah sana, itulah
karena Twako memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada
teecu," jawab Kong Ji merendah. Ia pikir bahwa jawaban ini
mungkin akan menolongnya terbebas daripada kecurigaan
andaikata benar-benar Kok Sun mendapatkan kitab rahasia itu.
Di dalam hati Kong Ji timbul ketegangan luar biasa selama
menanti munculnya kim-tiauw dan Kok Sun. Ia gelisah sekali, akan
tetapi diam-diam ia berpikir, takkan mungkin Kok Sun kuat
mendorong batu besar itu. Ia tahu bahwa tenaga lweekang dari Si
Gundul itu sudah kuat sekali, akan tetapi tidak banyak selisihnya
dengan tenaganya sendiri. Tadi pun kalau tidak mengerahkan Tinsan-
kang takkan mungkin ia dapat menggeser batu. Dengan pikiran
ini, hatinya menjadi lega.
Tak lama kemudian terdengar suara kim tiauw dan muncullah
burung besar itu. Kok Sun duduk di atas pungungnya dan dari muka
Si Gundul ini dapat diduga bahwa ia pun gagal dalam usahanya
mencari kitab.
200
"Benar, Kong Ji, di sana tidak apa-apa melainkan batu-batu besar
dan batu karang," kata Kok Sun setelah melompat turun.
Kong Ji tanpa disadarinya tersenyum mengejek dan merasa
girang sekali, hanya dia masih khawatir kalau-kalau See-thian Tokong
sendirilah yang mencoba karena Raja Racun itu pasti dapat
meggeser batu yang menutupi gua di mana tersimpan kitab itu.
Tiba-tiba Kwan Ji Nio menyambar memegang pundaknya dengan
kuat sekali. Kong Ji terkejut dan memandang.
"Bocah setan, mengapa kau tersenyum sindir melihat kegagalan
anakku? Kau senyembunyikan rahasia apakah? Hayo mengaku!”
Kong Ji terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa nenek ini
demikian cerdik dan demikian tajam pandangan matanya. Kalau ia
tidak dapat memberikan alasan, tentu mereka akan menjadi curiga
dan akan memaksanya mengaku akan rahasia hatinya.
"Maaf...," ia sengaja berkata gagap, "teecu... teecu tadi merasa
penasaran karena Kok Sun Twako tidak percaya kepada teecu dan
pergi memeriksa sendiri. Sekarang melihat Twako tidak
mendapatkan apa-apa, tanpa disengaja teecu tersenyum, mohon
Subo sudi memaafkan."
"Kau anak setan, kau sekarang saja sudah berani menghina
anakku, apalagi kelak kalau sudah pandai. Kok Sun, hayo beri
hajaran kepadanya yang sudah berani mentertawakanmu!" kata
nyonya tua itu dengan marah.
See-thian Tok-ong diam saja, bahkan membuang muka ketika
Kong Ji memandang kepadanya untuk minta bantuan. Hati Kong Ji
mulai gelisah. Setan tua ini karena sekarang melihat aku tak dapat
membantunya mendapatkan kitab, tak mau perduli lagi kepadaku.
Ia memandang kepada Kok Sun. Si Gundul ini hanya tersenyum saja
dan memandang juga kepadanya dengan mata menyelidik.
"Kong Ji kau memang kurang ajar kepadaku. Akan tetapi aku
sebenarnya takkan melakukan sesuatu. Hanya karena Ibu yang
minta maka terpaksa aku harus mentaatinya. Bangunlah, dan mari
kita berlatih sebentar!"
201
Kong Ji tidak mengerti akan maksud Kok Sun. Biasanya Si Gundul
ini amat baik terhadapnya dan ia pun sudah merasa yakin bahwa ia
telah berhasil menarik hati Kok Sun dan mendapatkan kasih
sayangnya sebagai saudara. Tiba-tiba mata Kok Sun berkejap. Kong
Ji memang cerdik, maka tahulah ia akan maksud Kok Sun. Si Gundul
ini mengajak ia mengadu kepandaian untuk menghilangkan
kemarahan hati ibunya dan kalau Kong Ji sudah terkalahkan
olehnya, agaknya kemarahan ibunya akan berkurang terhadap Kong
Ji. Memang hal ini perlu sekali karena kalau kemarahan ibunya tidak
dipadamkan, ada kemungkinan Kong Ji akan dibunuh pada saat itu
juga.
"Baiklah, Twako, kalau kau hendak memberi hukuman padaku,
silakan," kata Kong Ji sambil melompat berdiri.
"Kong Ji kaulawan dia. Tidak boleh puteraku memukul lawan
tanpa lawannya itu membalas," tiba-tiba See-thian Tok-ong berkata.
Kakek ini biarpun tentu saja membela putera sendiri, namun ia
merasa tersinggung kehormatannya kalau melihat Kong Ji dipukul
tanpa memperlihatkan perlawanan. Setidaknya anak ini pernah
belajar kepadanya dan sekaranglah waktunya untuk menguji sampai
di mana hasil pelajaran itu. Memang aneh watak orang seperti Seethian
Tok-ong. Ia tidak akan peduli andaikata isterinya membunuh
Kong Ji, ia tidak ingat sama sekali tentang nasib anak ini. Akan
tetapi ia ingin melihat hasil daripada ajarannya dan dapat bangga
karena hasil yang baik.
"Nah, Kong Ji, Ayah sudah mengijinkan kita mengadu
kepandaian, hitung-hitung latihan!” kata Kok Sun gembira, memang
Si Gundul ini tidak mempunyai maksud buruk terhadap Kong Ji,
hanya ingin mengalahkan dalam pertempuran agar ibunya puas.
Terpaksa Kong Ji bersiap sedia menanti serangan Kok Sun.
Serangan tiba ketika Kok Sun berseru keras dan memukul dengan
tangannya yang kecil tetapi kuat. Kong Ji cepat mengelak dan
membalas serangan lawan. Bertempurlah dua orang pemuda
tanggung ini dengan seru dan hebatnya. Masing-masing
mengeluarkan tipu-tipu dan gerak silat yang mereka pelajari dari
See-thian Tok-ong. Kakek ini berdiri tegak menonton dan mulutnya
tersenyum, kepalanya beberapa kali mengangguk-angguk. Dan
202
sambaran angin pukulan-pukulan kedua orang pemuda itu, tahulah
ia bahwa kepandaian mereka sudah amat maju dan mengagumkan.
Setiap gerakan tidak ada yang salah. Akan tetapi diam-diam ia
terkejut sekali. Tidak pernah disangkanya bahwa Kong Ji yang
secara terpaksa menjadi muridnya itu, benar-benar hebat sekali.
Gerakannya tenang, tetap, dan penuh tenaga. Tipu-tipunya amat
licin dan cerdik sehingga kalau saja Kok Sun tidak mewarisi
kepandaian ginkang (ilmu meringankan tubuh) dari ibunya, tentu
sudah terkena tipu dalam pertempuran itu.
Memang Kong Ji dalam pertempuran ini tidak mau mengalah.
Inilah penyakitnya. Kalau saja ia mengalah dan mandah dipukul dan
dikalahkan dalam pertempuran ini, agaknya kemarahan Kwan Ji Nio
akan padam dan ia akan selamat. Akan tetapi, selain cerdik sekali,
Kong Ji mempunyai kelemahan, yakni tak mau menyerah kalah
terhadap siapapun juga. Biasanya, di dalam menyerah ia
menyembunyikan siasat yang membuat ia menarik keuntungan
besar, yakni yang disebut siasat mengalah untuk menang. Akan
tetapi menghadapi Kok Sun ia lupa akan siasat ini. Darah mudanya
membuat ia tidak mau kalah begitu saja terhadap Kok Sun.
Nafsunya untuk menjadi jagoan dan menangkan semua orang,
menguasai seluruh tubuhnya. Ia bertempur dengan hati-hati dan
penuh semangat. Hanya kecerdikan otaknya saja yang menahannya
sehingga ia tidak mempergunakan Tin-san-kang terhadap Kok Sun
melainkan mainkan ilmu silat yang ia pelajari dari See-thian Tokong.
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid VIII
KWAN Kok Sun merasa penasaran sekali. Kong Ji baru paling
lama, empat tahun belajar silat dari ayahnya, sedangkan ia
digembleng sejak kecil. Bagaimana sampai lima puluh jurus belum
juga ia dapat mengalahkan Kong Ji? Tentu saja ia tidak tahu bahwa
sebelum belajar kepada See-thian Tok-ong, Kong Ji sudah menerima
latihan sejak kecil dari ayah bundanva, kemudian menerima latihan
Liang Gi Tojin dan yang terakhir dari Giok Seng Cu.
203
Kok Sun mulai marah. Beberapa kali ia mengejapkan mata
kepada Kong Ji akan tetapi Kong Ji agaknya tidak mengerti dan
selalu menghadapi serangannya dengan sungguh-sungguh. Padahal
Kok Sun hanya main-main saja dan ingin mengalahkan Kong Ji
dengan menolongnya. Melihat bahwa sudah terang Kong Ji tidak
mau mengalah, timbul kemarahan di dalam hati pemuda gundul ini.
Ia mengeluarkan seruan keras dan kini ia menyerang dengan
sungguh-sungguh. Kagetlah Kong Ji karena kini sambaran angin
pukulan Kok Sun amat berbahaya ditujukan kepada anggauta
tubuhnya yang lemah dalam pukulan-pukulan maut. Tadinya,
biarpun ia juga bersungguh-sungguh tentu saja tidak bermaksud
bertempur sampai dapat membinasakan lawan, cukup kalau ada
yang kalah saja. Akan tapi sekarang Kok Sun bertempur untuk
membunuhnya. Perubahan gerakan Kok Sun int tentu saja membuat
ia terdesak.
Kok Sun mendesak terus dan pada suatu saat, pemuda gundul ini
melakukan pukulan dengan kedua tangan, setelah tendangan
berantai yang ia lakukan dapat ditangkis oleh Kong Ji. Pukulan
kedua tangan ini amat cepat, kuat dan ganas sehingga tidak
mungkin dapat ditangkis lagi oleh Kong Ji. Pukulan ini mengarah
dada dan kalau ia sampai terkena pukulan ini, ia tentu akan tewas
atau sedikitnya akan menderita luka di dalam tubuh yang amat
berbahaya.
Dalam keadaan yang amat terdesak itu, Kong Ji tidak mempunyai
daya lain kecuali mempergunakan Tin-san-kang dan menangkis
pukulan tadi. Dua pasang telapak tangan bertemu amat kerasnya
dan tubuh Kok Sun terjengkang ke belakang. Begitu ia melompat
bangun, darah segar keluar dari mulut Kwan Kok Sun!
"Jahanam, kau telah melukai anakku!" bentak Kwan Ji Nio dan
cepat ia menyerang dengan sebuah totokan ke arah kepala Kong Ji.
Kali ini Kong Ji tidak dapat berpura-pura lagi, untuk melinclungi
tubuhnya, kembali ia mempergunakan Tin-san-kang memukul ke
arah nyonya tua itu. Baiknya kepandaian Kwan Ji Nio sudah amat
tinggi sehingga cepat sekali ia dapat menghindarkan diri, akan
tetapi diam-diam ia terkejut sekali karena pukulan Kong Ji tadi
204
benar-benar berbahaya sehingga ia masih dapat merasai sambaran
angin yang luar biasa ketika mengelak.
"Dari mana kau mempelajari pukulan itu?" See-thian Tok-ong
berseru dan sekali ia bergerak, ia telah berhasil menotok pundak
Kong Ji sehingga tubuhnya menjadi lemas dan ia roboh duduk tanpa
berdaya lagi.
"Teecu mendapatkan pelajaran dari Suhu Giok Seng Cu," katanya
perlahan.
"Celaka dia memperdayai!" kata Kwat Ji Nio. "Dengan
kepandaian yang ia dapat dan sana-sini, ia kelak merupakan orang
yang berbahaya bagi kita. Baik bikin mampus saja bocah ini!"
See-thian Tok-ong merasa setuju dengan maksud isterinya. ia
pun tadi terkejut sekali. Ternyata bahwa kepandaian Kong Ji sudah
demikian tangguhnya sehingga bocah ini dapat menghadapi
isterinya dengan Tin-san-kang sehingga hampir saja istennya roboh
pula. Ia tidak berkata apa-apa hanya menghampin puteranya dan
menotok dada puteranya di bagian tai-kong-hiat untuk
menyembuhkan luka bekas akibat benturan tangan Kong Ji yang
mengandung tenaga Tin-san-kang.
"Tahan dulu, Ibu!" Kok Sun tiba-tiba berseru ketika melihat
ibunya mengangkat tangan hendak membinasakan Kong Ji. "Aku
yang ia hina, aku pula yang berhak membunuhnya. Biar ia dijadikan
makanan untuk ang--coa (ular merah)." Sambil berkata demikian,
Kok Sun merogoh saku baju mengeluarkan sepasang ular merah
yang membelit-belit di antara jari tangannya.
Kong Ji maklum bahwa nyawanya takkan tertolong lagi, akan
tetapi ia memandang dengan berani kepada Kok Sun. Hampir saja ia
membuka mulut dan membuka rahasia tentang kitab yang berada di
dalam gua di dasar jurang, Akan tetapi ia menahan mulutnya. Apa
gunanya? Ia telah yakin bahwa biarpun ia memberi kitab itu kepada
See-thian Tok-ong, harapannya sedikit sekali baginya untuk dapat
membebaskan diri dari mereka itu. Akhirnya ia pun akan dibunuh
juga dan kalau sampai terjadi demikian dia yang rugi besar.
"Kwan Kok Sun, kau sudah kalah olehku, sekarang hendak
membunuh secara curang. Baik, lepaskan ang-coa itu, aku tidak
205
takut mati. Aku mati sebagai seorang gagah, akan tetapi kau,
kecuranganmu ini akan membikin busuk namamu selama kau
hidup!"
Kok Sun menjadi merah mukanya. Dengan gemas ia lalu
melepaskan ular-ularnya ke arah Kong Ji yang memandang
datangnya dua ekor ular merah terbang itu dengan mata terbuka
lebar. Nasib Kong Ji sudah tak dapat diulur lagi agaknya'
Akan tetapi, pada saat yang amat berbahaya itu, tiba-tiba
berkelebat bayangan merah dan tahu-tahu seorang anak
perempuan kecil dengan sebatang ranting bambu di tangan telah
berdiri di dekat Kong Ji. Dengan dua kali menggerakkan ranting
bambu, ia dapat memukul sepasang ular merah itu. Dua ekor ular
itu terpelanting dan tak bergerak lag' karena kepala mereka telah
remuk Hanya ekor mereka yang bergerak-gerak lemah dan
menggeliat-geliat sebelum nyawa mereka meninggalkan tubuh.
Semua orang, termasuk Kong Ji terbelalak memandang ke arah
anak perempuan itu. Dia adalah seorang anak perempuan berusia
paling banyak sepuluh tahun, rambutnya diikat dengan pita dan
dibagi dua sehingga rambut yang panjang itu tergantung di atas
pundak, yang satu di belakang yang satu di depan. Mukanya mungil
dan lucu, mulutnya selalu tersenyum akan tetapi sepasang matanya
amat tajam. Bajunya berwarna merah dan pakaiannya longgar
sekali dengan baju lebar, akan tetapi tidak mengganggu gerakannya
yang amat lincah. Gadis cilik itu memandang kepada dua bangkai
ular, lalu dengan muka memperlihatkan kejijikan, ia membuang
ranting itu jauh-jauh.
"Siauw Suhu, kau benar-benar curang dan betul kata Saudara ini
bahwa namamu akan membusuk sepanjang masa kalau tadi kau
jadi membunuhnya!" katanya kepada Kok Sun. Dan sebutannya
terhadap Kok Sun, ia mengira bahwa Kok Sun yang berkepala
gundul adalah seorang hwesio cilik.
"Kau siluman cilik dari manakah berani mencampuri urusanku?"
bentak Kok Sun dengan marah sekali melihat sepasang ular yang
disayanginya telah mampus. Sikapnya seperti hendak menerjang
gadis cilik itu.
206
“Hm, kau kok galak amat? Tentu kau hwesio jahat!" kata anak
perempuan itu sambil tersenyum mengejek. "Kalah menang dalam
pertempuran bukan hal aneh akan tetapi membunuh lawan dengan
cara keji seperti yang akan kaulakukan tadi siapakah yang tidak
penasaran hatinya? Ular-ular itu busuk dan jahat akan tetapi yang
melepasnya lebih busuk dan jahat lagi."
"Siluman bermulut kotor, kau minta dihancurkan kepalamu!" Kok
Sun membentak sambil memukul.
Akan tetapi, sekali kedua kakinya digerakkan, anak perempuan
itu telah lompat ke belakang jauh sekali, gerakannya gesit seperti
seekor burung walet saja sehingga Kok Sun menjadi melongo,
bahkan Kwan Ji Nio yang memiliki gin-kang tinggi tak terasa
mengeluarkan suara pujian.
"Kaukira aku takut padamu"
Aku hanya merasa jijik beradu
tangan dengan kau manusia
busuk dan jahat!" gadis cilik itu
melakukan gerakan seperti
orang menari, akan tetapi
dalam pandangan mata Seethian
Tok-ong dan Kwan Ji Nio,
gadis itu bukannya menari,
melainkan melakukan ilmu silat
yang luar biasa sekali dan telah
siap menghadapi lawannya.
"Kok Sun tahan dulu...!" kata
See thian Tok-ong kepada
puteranya. Puteranya itu telah
terluka oleh Tin-san-kang dari
Kong Ji, dan anak perempuan
agaknya bukan bocah
sembarangan, maka ia khawatir kalau Kok Sun akan kalah. Juga ia
tertarik sekalI kepada bocah ini.
"Anak, siapakah kau? Dan dengan siapa kau datang?" tanyanya.
Sebelum anak itu menjawab, dari jauh terdengar suara keras.
207
"Hui Lian, kautunggu kami...!`
Baru saja suara itu lenyap gemanya tiba-tiba berkelebat
bayangan dua orang dan di situ telah berdiri sepasang suami isteri
setengah tua yang amat gagah. Yang laki-laki berusia kurang lebih
tiga puluh enam tahun dan wajahnya tampan sikapnya gagah sekali,
biarpun nampak kehalusan budi dari gerak-geriknya yang halus.
Pakaiannya sederhana, ditutup oleh baju luar yang lebar, yang aneh
sekali sedikit baju dalamnya yang kelihatan di dekat leher, berwarna
dan berkembang-kembang seperti baju wanita! Adapun yang wanita
juga amat gagah sikapnya, wajahnya cantik manis dan lemah
lembut, akan tetapi bibirnya yang bentuknya indah itu
membayangkan kekerasan hati. Di punggungnya kelihatan gagang
pedang dengan ronce-ronce berwarna merah.
Sepasang suami isteri ini, begitu tiba di tempat itu, lalu mcnyapu
keadaan di situ dengan pandang mata mereka. Laki-laki gagah
berbaju kembang itu memandang tajam kepada See-thian Tok-ong.
Kwan Ji Nio, dan Kwan Kok Sun, kemudian matanya bercahaya
seperti berapi. Ia melangkah malu menghampiri See-thian Tok-ong
dan berkata, suaranya lemah lembut akan tetapi matanya berkilat.
"See-thian Tok-ong, kiranya kau dan anak isterimu berada di
puncak Luliang san. Tentu kau dapat menceritakan kepadaku siapa
orangnya yang telah menewaskan ketiga Luliang Sam-lojin?"
See-thian Tok-ong terkejut. Bagaimana orang ini dapat
mengenalnya begitu bertemu muka? Ia selamanya belum pernah
melihat suami isteri ini, akan tetapi melihat sikap mereka, ia hampir
dapat menduga. Untuk melenyapkan keraguannya ia balas
bertanya,
"Kau telah tahu bahwa aku adala See-thian Tok-ong, sebaliknya
kau ini siapakah? Ada hubungan apa kau dengan Luliang Samlojin?"
Laki-laki itu menjawab, "Aku bernama Go Ciang Le, dia ini
isteriku dan Hui Lian itu adalah puteri kami, Lulian Sam-lojin adalah
suheng-suhengku...."
"Ah, jadi kau yang disebut Hwa Enghlong (Pendekar Baju
Kembang) dan isterimu ini Sianli Engcu (Bayangan Bidadari)?"
208
Tanya See-thian Tok-ong dengan terheran-heran dan sikap
mengejek. Ia sudah mendengar nama besar Hwa I Enghiong atau
Go Ciang Le sebagai seorang pendekar besar dan jarang
tandingannya pada masa itu, akan tetapi ia tidak mengira sama
sekali bahwa pendekar besar ini ternyata hanyalah seorang yang
masih muda dan kelihatannya tidak mengesankan sama sekali.
"See-thian Tok-ong, kau tentu sudah mendengar bahwa aku
adalah murid Pak Kek Siansu dan sute dari Luliang Sam-lojin, oleh
karena itu aku berhak untuk bertanya mengapa kau berada di sini
dan apakah kau yang telah menewaskan ketiga orang suhengku?"
kata pula Ciang Le.
Sebelum See-thian Tok-ong menjawab, Kwan Ji Nio
mendahuluinya. Nenek ini melangkah maju, menudingkan telunjuk
tangan kirinya ke muka Ciang Le sambil nemaki, "Macam inikah
yang disebut Hwa I Enghiong? Kiraku orangnya hebat seperti
namanya, tidak tahunya hanya seorang yang sombong dan tak tahu
aturan. Kalau kami tanggal di sini kau mau apa? Andaikata benar
Luliang Sam-lojin kami yang menewaskannya, kau mau apa?'"
Baru saja nyonya tua ini habis mengucapkan kata-kata itu,
terdengar bentakan nyaring dan Liang Bi Lan, isteri dari Go Ciang
Le, melompat maju dan menampar dengan tangannya ke arah
muka Kwan Ji Nio!
Kwan Ji Nio merasa ada sambar angin ke arah mukanya, cepat ia
menangkis sambil mengerahkan tenaga.
"Plak!" Dua tangan beradu, disusul suara "plak" yang lain dan
tubuh Kwan Ji Nio terhuyung ke belakang. Ternyata bahwa biarpun
tamparan tangan kanan dapat ditangkis, tangan kiri Liang Bi Lan
dapat menyusul cepat dan tanpa dapat dicegah lagi, pipi kanan
Kwan Ji Nio telah kena ditampar'
"Kau ini siluman wanita tua sungguh tak tahu malu!" Bi Lan
memaki sambil tersenyum sindir. "Dengarlah jawabanku. Kalau
memaksa hendak merampas tempat tinggal orang, kami akan
mengusir kalian dari Puncak Luliang-san. Adapun andaikata benarbenar
kalian telah membunuh Luliang Sam-lojin, kami akan
menghancurkan kepala kalian sebagai pembalasan dendam!"
209
Berbeda dengan suaminya yang tenang dan sabar sekali, Bi Lan
memang berwatak keras, mudah gembira dan mudah marah.
Kwan Ji Nio marah dan juga terkejut sekali. Ia merasa heran
bagaimana lawannya itu berhasil menamparnya, gerakan tangan
lawannya benar-benar amat aneh dan tidak terduga. Dia tidak tahu
bahwa Bi Lan adalah murid Hoa-san-pai yang paling lihai, selain itu
ia pun menjadi murid dan Coa-ong Sin-kai dan telah mempelajari
pula ilmu silat dan ilmu pedang dari Thian-te Siang-mo.
Kepandaiannya amat tinggi dan gerakannya tadi adalah jurus dari
ilmu Silat Ouw-wan ciang yang lihai.
"Bangsat, kau hendak bertempur? Baik, bersiaplah untuk
mampus" Kwan Ji Nio sudah mengeluarkan tongkatnya yang kecil
dan berbahaya, akan tetapi pada saat itu, See-thian Tok-ong
memegang lengannya, mencegahnya memulai perketahian. Seethian
Tok-ong adalah seorang yang cerdik. Ia dapat melihat
kelihaian Bi Lan dan melihat sikap yang tenang dari Ciang Le, ia pun
agak keder juga. Dengan tersenyum ia menjura kepada Ciang Le
dan berkata,
"Hwa I Enghiong, memang pihakku yang tak tahu diri. Tempat ini
adalah bekas tempat tinggal Pak Kek Siansu kau sebagai murid
Luliang-san tentu saja berhak menyuruh kami pergi. Kami pun
hendak pergi karena di tempat ini kami tidak ada urusan apa-apa.
Adapun tentang tewasnya Luliang Sam-lojin, See-thian Tok-ong
tidak tahu menahu bukan aku yang membunuh mereka."
Ciang Le melangkah maju. "See-thin Tok-ong. Kita berdua adalah
laki-laki sejati dan bukan anak-anak yang suka membohong. Benarbenarkah
kau tidak membunuh ketiga suhengku'"
"Kau tidak percaya kepadaku? Aku bersumpah bahwa bukan aku
yang membunuh mereka. Selamat tinggal!" See thian Tok-ong
mengajak isteri dan puteranya untuk pergi meninggalkan tempat
itu.
Ciang Le tak dapat berbuat sesuatu dan hanya memandang
dengan kecewa. Telah bertahun-tahun pendekar ini tak pernah naik
ke Luliang-san. Sekarang selagi ada kesempatan, sambil membawa
isterinya ia naik ke Luliang-san untuk mengunjungi ketiga orang
210
suhengnya, akan tetapi alangkah marah, menyesal dan dukanya
ketika ia menemukan ketiga suhengnya telah menjadi rangka yang
berserakan di lereng gunung. Adapun puterinya Hui Lian yang
merasa amat gembira melihat pemandangan alam yang amat indah
di puncak, mendahului ayah bundanya dan berlari-lari naik bagaikan
seekor burung cepatnya. Kebetulan sekali Hui Lian melihat Kong Ji
yang hendak dibunuh oleh Kok Sun, maka ia lalu menolongnya.
Ketika mehhat See-thian Tok-ong dan anak isterinya pergi, Ciang
Le hanya berdiri memandang. See-thian Tok-ong telah bersumpah
bahwa ia tidak membunuh Luliang Sam-lojin, maka Ciang Le merasa
bahwa tak pantas sekali kalau mendesak dan mencari permusuhan
dengan tokoh yang amat terkenal itu.
Akan tetapi, tiba-tiba Kong Ji berseru keras,
"Go-locianpwe, jangan percaya kepada Raja Racun itu. Dia telah
membawa pergi pedang Pak-kek Sin-kiam dari puncak ini!"
Mendengar seruan ini, Ciang Le tidak membuang waktu lagi,
cepat melompat dan lari mengejar See-thian Tok-ong. Liang Bi Lan
dan puterinya juga berlari cepat mengejar.
"See-thian Tak-ong, tunggu dulu!" seru Ciang Le ketika ia sudah
hampir dapat menyusul rombongan See-thian Tok-ong.
See-thian Tok-ong terkejut dan berhenti. Ia tidak takut karena ia
yakin bahwa pendekar besar itu tentu percaya kepada sumpahnya.
Lagi pula, biarpun yang mcmbunuh Luliang Sam-lojin adalah
puteranya, namun ia tidak membohong kalau ia bersumpah bahwa
ia tidak membunuh mereka.
"Hwa I Enghiong, ada urusan apa maka kau menyusulku?"
tanyanya.
"See-thian Tok-ong, kau telah mengambil dan membawa pergi
pusaka Luliang- pai, harap kau suka mengembalikannya kepadaku,"
kata Ciang Le dengan suara tenang.
See-thian Tok-ong cukup cerdik. Ia dapat menduga bahwa
tentulah Kong Ji telah membuka rahasia dan memberi tahu kepada
Ciang Le tentang Pak-kek Sin kiam, maka ia pun tidak mau berpurapura
lagi dan bertanya,
211
"Apakah kaumaksudkan Pak-kek Sin-kiam?"
"Betul! Pedang itu adalah pusaka peninggalan Suhu Pak Kek
Siansu, maka tidak boleh kau membawanya pergi dari sini."
"Hwa I Enghiong, kau benar-benar keterlaluan. Apakah kau purapura
tidak mendengar bahwa Pak Kek Siansu diam-diam
meninggalkan sebatang pedang dan sebuah kitab? Apakah kau tidak
mendengar bahwa semua orang di dunia kang-ouw berebutan untuk
mendapatkan dua benda itu? Siapa yang mendapatkannya, berarti
sudah berjodoh. Aku memang mendapatkan pedang Pak-kek Sinkiam,
akan tetapi bukan mencuri darimu. Itu menandakan bahwa
akulah yang berjodoh memiliki Pak-kek Sin-kiam."
“Hm, See-thian Tok-ong, enak saja kau bicara, seolah-olah kau
tidak mengerti akan peraturan dan kesopanan kang-ouw. Pedang itu
adalah milik Suhu dan sebuah pedang pusaka partai persilatan
takkan jatuh ke dalam tangan orang lain, melainkan kepada murid
atau cucu muridnya. Apakah kau sengaja hendak melanggar
peraturan ini`"
"Ha-ha-ha, Hwa I Enghiong, kau bukan bicara dengan seorang
bocah! Kalau memang Pak Kek Siansu meninggalkan pedang dan
kitab untuk murid-muridnya mengapa disembunyikan sehingga
Luliang Sam-lojin sendiri tidak tahu di mana tempat
penyimpanannya? Kalau andaikata Pak Kek Siansu meninggalkan
untukmu, mengapa dua macam benda itu tidak berada di
tanganmu?"
"Sungguhpun begitu, See-thian Tok- ong, akan tetapi tak seorang
pun boleh membawa pergi pusaka Luliang-pai begitu saja. Kau telah
melanggar wilayah Luliang-pai, bahkan telah mencuri pedang kalau
sekarang kau tidak mau mengembalikan sama halnya dengan kau
mencari permusuhan dengan Luliang-pai."
"Perduli apa?" Kwan Ji Nio membentak marah. "Kalau kau becus,
kau boleh merampas pedang itu kembali dan kami"
"Hm, kalau begitu maafkan aku yang muda terpaksa
menggunakan kekerasan!" kata Ciang Le dan sebelum See-thian
Tok-ong dapat menjawab, tangan kanan Ciang Le telah
menyerangnya dengan sebuah dorongan kuat sekali dan tangan
212
kirinya meluncur ke arah pinggang di mana tergantung pedang Pakkek
Sin-kiam.
Bukan main kagetnya See-thian Tok-ong. Gerakan dari Ciang Le
demikian kuat dan cepat, baru anginnya saja sudah terasa olehnya.
Cepat ia melompat ke belakang sambil menangkis dan begitu kedua
kakinya menginjak bumi ia terus saja mencabut keluar Pak-kek Sinkiam.
Ciang Le kagum sekali melihat pedang itu, pedang suhunya yang
belum pernah dilihatnya. Akan tetapi ia tidak dapat mencurahkan
perhatiannya kepada pokiam itu karena segera sinar pedang itu
telah menyambar-nyambar menyerangnya. Namun dengan amat
gesitnya Ciang Le dapat mengelak, bahkan beberapa kali kedua
tangannya yang kosong bergerak merampas pedang. Dihadapi
dengan tangan kosong, See-thian Tok-ong terkejut dan juga kaget.
Tak disangkanya bahwa ilmu kepandaian pendekar Luliang-san ini
benar-benar hebat. Siapa orangnya yang dapat menghadapinya
dengan tangan kosong apalagi kalau mempergunakan pedang Pakkek
Sin-kiam?
Sebaliknya, Ciang Le diam-diam harus mengakui pula kelihaian
ilmu pedang lawannya. Ia sengaja bertangan kosong dan mainkan
Ilmu Silat Thian-hong-ciang-hwat yang ia pelajari dari Pak Kek
Siansu karena ia tidak bermaksud membunuh lawannya, hanya akan
merampas kembali pedang suhunya.
Tetapi tiba-tiba terdengar seruan nyaring dari Kwan Ji Nio telah
bergerak menyerang dengan sebatang ranting bambu. Serangannya
cukup berbahaya, lagian amat cepatnya sehingga Ciang Le benarbenar
merasa tak sanggup lagi menghadapi dengan tangan kosong.
Terpaksa ia mencabut keluar pedang Kim-kong-kiam. Kilauan sinar
keemasan yang hanya kalah sedikit oleh sinar Pak-kek Sin-kiam
nampak bergulung-gulung. Kwan Kok Sun yang melihat dua orang
tuanya sudah mengeroyok Ciang Le, hanya berdiri menonton. Ia
maklum bahwa kepandaiannya masih terlampau rendah untuk
mencampuri pertempuran itu.
Tak lama kemudian, datanglah Liang Bi Lan dan Go Hui Lian di
tempat itu. *Melihat suaminya telah dikeroyok, Bi Lan segera
mencabut pedang dan menggempur Kwan Ji Nio. Terpaksa nyonya
213
tua ini menghadapi Bi Lan dan kini pertempuran terbagi menjadi
dua.
"Hwesio cilik, apakah kau juga ingin kepalamu benjut? Majulah,
tanganku sudah gatal-gatal!" kata Hui Lian sambil mengejek kepada
Kok Sun.
Kok Sun tidak meladeni bocah perempuan ini, pura-pura tidak
melihatnya dan asyik menonton orang tuanya. Akan tetapi. Hui Lian
sambil tertawa-tawa mengejek, melompat di depannya, menaruh
telunjuk di pucuk hidung dan menjulurkan lidahnya.
"Aha, hanya galak menghadapi orang yang lemah, akan tetapi
pengecut kalau bertemu dengan lawan yang gagah," kata Hui Lian.
Kok Sun merasa panas perutnya. Ia bersuit keras dan serentak
ular-ularnya merayap maju mengepung Hui Lian. Bahkan burung
kim-tiauw yang tadinya beterbangan di atas kini turun menyambar
ke arah nona cilik itu dengan sepasang kaki siap mencengkeram dan
patuknya yang besar terbuka mengerikan.
Hui Lian tidak takut menghadapi kim-tiauw, akan tetapi ia merasa
jijik dan ngeri melihat puluhan ekor ular itu.
"Kau memang siluman ular!" bentaknya dan tangannya cepat
merogoh dan beberapa kali tangannya bergerak. Jarum-jarum halus
yang bersinar emas melayang ke arah ular-ular itu. Sebentar saja
enam ekor ular menggeliat-geliat dengan kepala tertembus jarumjarum
Kim-kong-touw-kut-ciam (Jarum-jarum Sinar Emas Penembus
Tulang), kepandaian tunggal dari ayahnya yang telah diwarisinya
semenjak ia masih sangat kecil!
Ular-ular yang lain menjadi marah sekali, akan tetapi kembali
beberapa ekor ular mampus terkena sambaran jarum-jarum itu.
Kim-tiauw pada saat itu menyambar.
"Lian Jl, awas dari atas...'" teriak Bi Lan yang biarpun sedang
menghadapi Kwan Ji Nio, namun masih memperhatikan keadaan
puterinya.
Hui Lian tentu saja sudah tahu akan .datangnya sambaran
burung, cepat ia mengelak sambil menangkis dengan tangan
kirinya.
214
"Jangan...!" Bi Lan berseru namun terlambat, Hui Lian sudah
menangkis sambaran burung. Lengannya yang kecil bertemu
dengan sayap burung itu dan tubuh Hui Lian terpental jauh
bergulingan bagaikan seekor trenggiling.
Ciang Le mengerti bahwa kini kalau pertempuran dilanjutkan, ia
harus terpaksa membunuh tiga orang lawannya ini, maka dengan
gerakan yang cepat sekali, pedangnya membuat lingkaran
menyerang See-thian Tok-ong yang cepat meloncat mundur.
Kcsempatan itu dipergunakan oleh Ciang Le untuk meloncat ke
dekat Kok Sun. Sekali tangannya bergerak, bocah gundul itu telah
ditotok lemas dikempit tubuhnya. Kemudian Ciang Le meloncat lagi
mendekati puterinya yang ternyata telah bangun berdiri, tidak
menderita luka hanya kaget saja. Bi Lan sudah meloncat mendekati
puterinya.
"See-thian Tok-ong, aku tidak kalau permusuhan dilanjutkan
sampai berlarut-larut karena urusan pedang saja. Kau telah mencuri
pedang Luliang pai, sekarang terpaksa aku menangkap puteramu."
"Hwa I Enghiong, mengapa kau demikian curang? Lepaskan
putera kami!" seru Kwan Ji Nio.
"Kembalikan dulu pedang Pak-kek Sin-kiam," kata Ciang Le. "Aku
berlaku sabar dan menghendaki kembalinya pedang itu dengan
jalan damai."
See thian Tok-ong tersenyum mengejek, lalu melemparkan
pedang itu kearah Ciang Le yang menyambut dengan tangannya.
Setelah itu, Ciang Le membebaskan totokannya pada Kok Sun dan
melepaskan Si Gundul itu yang cepat-cepat berlari mendekati orang
tuanya.
“Untuk apa pedang macam itu? Tanpa pedang pun kalau aku
mau, aku masih mampu mengalahkanmu!" kata See-thian Tok-ong.
Ciang Le tersenyum. "Mungkin juga, See-thian Tok-ong.
Kepandaianmu memang tinggi."
Mendengar jawaban ini, merahlah muka See-thian Tok ong. Sikap
Ciang Le benar-benar amat mengherankan hatinya dan bahkan
memukul kesombongannya. Dalam jawaban yang sederhana dan
215
memuji ini tersembunyi ejekan yang bahkan lebih menikam hati
daripada kalau Ciang Le menjawab dengan sombong.
"Hayo kita pergi!" katanya dengan hati mengkal kepada anak
isterinya. "Kok sun, kauseret dan bawa bajingan kecil itu!"
Kok Sun tidak menjawab, melainkan berlari cepat naik ke puncak
untuk mengambil Kong Ji yang masih duduk dalam keadaan tidak
berdaya karena telah tertotok jalan darahnya.
"Jangan ganggu dia...!" tiba-tiba Hui Lian berseru keras dan
dengan tiga kali loncatan jauh ia telah mendahului Kok Sun dan
menghadang di tengah jalan sambil bertolak pinggang. "Kalau kau
terus naik dan hendak mengganggu korbanmu itu, lebih dulu
kepalamu yang gundul akan kuhajar!"
Merah sekali muka Kok Sun, akan tetapi ia tidak berani berlaku
lancang menyerang bocah perempuan yang galak ini. Ia hanya
menoleh kepada ayahnya untuk minta pertimbangan.
“Lian-ji, anak di atas itu tiada sangkut pautnya dengan kita,
biarkan mereka membawanya pergi!" kata Hwa I Enghiong Go Ciang
Le kepada putennya.
"Tidak, Ayah! Tak dapat kita biarkan saja orang disiksa dan
dibunuh oleh mereka ini," bantah Hui Lian yang memang manja dan
berani membantah orang tua kalau ia menganggap dia sendiri betul.
"Bagus. bagus!" See-thian Tok-ong mengangguk-anggukkan
kepala sambil tersenyum mengejek. "Hwa I Enghiong berkata tidak
mencari permusuhan, akan tetapi sengaja hendak menghina kami!
Bocah setan di atas puncak itu adalah muridku, apakah aku sebagai
gurunya tidak boleh membawanya pergi?"
Ciang Le tak berdaya, pula tadi sekali saja melihat wajah Kong ji
yang tampan dengan sepasang mata yang aneh, ia sudah
mempunyai perasaan tidak suka yang ias sendiri tidak tahu apa
sebabnya.
"Hm, kalau dia muridmu, ambillah," katanya. Kok Sun hendak
melangkah lagi, akan tetapi Hui Lian tetap menghadangnya.
216
"Siapa saja yang maju, baik kau setan gundul atau Ayah maupun
Ibumu; harus merobohkan aku lebih dulu!" bentak Hui Lian marah
sekali.
"Hwa I Enghiong, bagus sekali sikap putrimu……” Kwan Ji Nio
menyindir dan nyonya tua ini sebetulnya sudah marah sekali, hanya
ia tidak berani mendahului suaminya bertindak.
"Hui Lian...!" Ciang Le membentak telinganya merah.
"Ayah, aku tidak lega melihat mereka membunuh orang yang
tidak berdaya." Hui Lian berkata kepada ayahnya dengan suara
memohon.
"Bodoh, bocah di atas itu adalah muridnya. Kita tidak berhak
mencampuri urusan mereka. Mau dibunuh atau tidak terserah
kepada gurunya, apa hubungannya dengan kita!"
"Akan tetapi, Ayah...."
"Hui Lian, jangan kau membantah Ayahmu!" Ciang Le mulai
marah.
"Akan tetapi, anak tidak suka kalau kelak ada yang mengira
bahwa kita adalah orang-orang yang bong-im pwe-gi (tidak
mengenaI budi)."
Ciang Le membuka lebar matanya bahkan Bi Lan caper bertanya,
"Lian-ji (Anak Lian), mengapa kau berkata demikian?"
"Ayah dan Ibu, bukankah tadi orang di puncak itu yang memberi
tahu tentang pedang Pak-kek Sin-kiam? Bukankah dia telah melepas
budi kepada kita sehingga pedang pusaka Luliang-pai telah dapat
dirampas kembali? Masa sekarang melihat dia terancam bahaya
maut, kita diam saja. Anak khawatir sekali kelak dunia kang-ouw
akan mencela nama kita.”
Ciang Le tertegun. Benar juga kata-kata puterinya! Apalagi ketika
tiba-tiba See-thian Tok-ong mengeluarkan makian keras,
"Anak setan tak kenal budi! Jadi dia pula yang membuka rahasia
tentang pedang? Anak macam itu harus kucekik lehernya!" Ia
melompat hendak menuju ke puncak, akan tetapi tiba-tiba
217
bayangan Ciang Le berkelebat dan tahu-tahu pendekar ini telah
berdiri di depannya.
"Sabar See-thian Tok-ong! Daerah ini termasuk daerah Luliangpai,
dan aku tidak memperbolehkan kau naik ke puncak. Sudah
terlalu lama kau mengacau dan mengotorkan tempat kami."
"Jadi kau tetap hendak melindungi -muridku, hendak
mencampuri urusan antara guru dan murid?"
Sebelum Ciang Le menyahut, kembali terdengar kata-kata Hui
Lian yang nyaring.
"Biarpun dia itu muridnya, kurasa dia jauh lebih baik daripada
gurunya. Aku pernah mendengar bahwa siapa yang dimaki-maki
dan dicela orang jahat, itu adalah seorang baik-baik, sebaliknya
siapa yang dipuji dun disayang oleh orang jahat, dia itu pun seorang
yang busuk!"
"Hui Lian, diam kau!" bentak Ciang Le, kemudian ia berkata
kepada See thian Tok-ong, "See-thian Tok-ong, jangan katakan
bahwa kami yang mencari gara-gara. Kau sendiri yang sudah
melakukan pelanggaran di tempat kami. Sekarang aku tidak
memperbolehkan kau naik ke puncak. Kalau kau mau panggil anak
itu turun ke bawah aku takkan ambil peduli lagi."
See-thian Tok-ong maklum bahwa alasan ini hanya dicari-cari
saja, akan tetapi kuat juga, dan ia tidak berdaya untuk
melanggarnya. Maka ia lalu berseru, ditujukan ke arah puncak,
"Kong Ji, hayo kau turun dan ikut aku pergi dari sini!"
Sunyi sesaat lalu terdengar jawaban Kong Ji, "Suhu, teecu tidak
dapat menggerakkan tubuh'"
"Bergulinglah ke kanan, benturkan jalan darah di pundak kanan
ke atas batu runcing setelah tangan kananmu dapat -bergerak
pijatlah jalan darah di punggung!"
Sunyi pula agak lama, dan semua orang tahu bahwa Kong Ji
tentu sedang melakukan perintah gurunya membebaskan diri
daripada totokan itu. Tak lama kemudian, terdengar Kong Ji berkata
dengan nada suara girang.
218
"Teecu sudah bebas!!"
"Lekas kau turun ke sini dan berangkat turun gunung
bersamaku!"
Kong Ji tertawa dan tetap tidak mau memperlihatkan dari.
"Suhu, apakah Suhu kira teecu tidak tahu? Begitu teecu berada di
depan Suhu, tentu nyawa teecu akan dicabut!"
“Turunlah dan jangan banyak cakap! Aku, gurumu yang
memerintah supaya kau turun!"
"Tidak mungkin, Suhu. Bagaimanapun juga, teecu masih suka
hidup!" Memang Kong Ji amat cerdik. Ia tadinya merasa heran
mendengar suara suhunya menyuruh dia membuka totokan dan
menyuruhnya dia turun gunung. Kemudian ia dapat menduga
bahwa tentu Hwa I Enghiong tidak mengijinkan mereka naik ke
puncak, maka ia juga mempergunakan kesempatan ini untuk
menolong nyawanya.
"Kong Ji, kau hendak murtad terhadap Gurumu sendiri? Tidak
ingatkah kau betapa kami selalu sayang kepadamu dan telah
menurunkan banyak ilmu silat kepadamu?"
Kembali Kong Ji tertawa lalu berkata, "See-thian Tok-ong,
sekarang aku bukan muridmu dan kaukira aku tidak tahukah bahwa
selama ini kau tidak menganggap aku sebagai murid yang betul?
Kau mau mengajarku hanya karena telah berjanji. Orang gagah
bilang bahwa It-gan-ki-jut, su-ma-lam-twi (Sekali perkataan keluar,
empat ekor kuda tak dapat menarik kembali)' Akan tetapi, apa yang
kaulakukan? Baru empat tahun lebih dengan keji kau dan anak
isterimu tadi hendak membunuhku. Siapa mau turut mengantarkan
nyawa padamu?"
Mendengar jawaban Kong Ji yang berkukuh tidak mau turun dari
puncak Luliang-san dan tak mau menurut kehendaknya untuk pergi
bersama dari situ, See-thian Tok-ong menjadi mendongkol sekali. Ia
merasa telah ditipu oleh Kong Ji dan kini ia baru merasa menyesal
mengapa dulu-dulu ia tidak bunuh mampus saja bocah yang cerdik
itu.
219
Sementara itu mendengar kata-kata Kong Ji, timbul rasa suka di
hati Ciang Le terhadap bocah yang dtanggapnya berani dan tabah
itu. Ia melangkah maju menghadapi See-thian Tok-ong dan berkata,
"See-thian Tok-ong, kau sudah mendengar sendiri bahwa anak
itu tidak mau turun dari puncak, dan kau tidak bisa memaksanya.
Oleh karena itu, kuharap kau dan anak isterimu segera turun dari
sini, jangan sampai terjadi salah paham diantara kita."
See-thian Tok-ong membanting kakinya dan sebuah batu yang
berada di bawah kakinya menjadi hancur. Ia menyeringai pahit dan
sambtl memandang tajam ia menjawab.
"Bukan karena kami takut kepadamu, Hwa I Enghiong, hanya
karena kami tidak mau disebut pendatang yang mengacaukan
tempat tinggal orang lain maka kali ini aku mengalah. Biarlah lain
kali kita bertemu kembali dalam keadaan yang lebih baik dan di
sana kita akan menentukan siapa yang lebih unggul antara kita."
"Hm, soal nanti tak usah dibicarakan sekarang," Bi Lan
menyahut, "kami akan selalu melayani tantanganmu, di manapun
juga kami berada, See-thian Tok-ong.
Terdengar Kwan Ji Nio tertawa bergelak, suara tertawa yang
mengandung kemaralian besar, kemudian menarik tangan putranya
dan berlari turun gunung, Suaminya lalu menggapai ke arah ularular
dan kim-tiauw, lalu dia pun menyusul istri dan anaknya. Ularular
merayap cepat turun gunung dan di atas, kimtiauw terbang
meluncur dengan gagah.
Ciang Le menarik napas panjang. "Mereka itu benar-benar
merupakan lawan-lawan yang tangguh. Baiknya tidak terjadi
pertempuran yang lebih hebat. Aku khawatir sekali, karena kalau
sampai terjadi demikian tidak ringan menghadapi racun-racun."
Baru saja kata-kata ini habis diucapkan, tiba-tiba terdengar suara
gaduh di puncak gunung. Ciang Le, Bi Lan dan Hui Lian cepat berlari
naik dan mereka melihat Kong Ji seperti orang gila mencabut
beberapa batang pohon muda.
"Eh, apa yang kaulakukan?" Hui Lian bertanya heran.
220
Kong Ji menoleh dan melihat Ciang Le dan anak isterinya, Kong Ji
serta merta menjatuhkan diri berlutut sambil menangis!
"Locianpwe, kalau tidak Iocianpwe bertiga yang datang
menolong, pasti tee-cu sudah mampus sekarang. Terima kasih
banyak atas budi pertolongan Locianpwe. Sungguh tidak salah kalau
dulu Ayah Bunda teecu, juga Ayah angkat teecu serta Guru teecu
sendiri menyatakan bahwa Go-locianpwe adalah seorang pendekar
yang paling mulia dan gagah di waktu ini."
Mendengar kata-kata ini, Ciang Le mengerutkan kening. Anak ini
mempunyai sifat penjilat, pikirnya.
"Kaucabuti pohon-pohon itu ada apakah?" tanyanya.
"Locianpwe, See thian Tok ong yang jahat itu telah menyebar
racun pada pohon-pohon ini. Lihat saja, pohon-pohon ini telah layu
dan kering, kalau sampai pohon-pohon ini membusuk di sini, maka
racunnya akan menjalar dan akhirnya seluruh tetumbuhan di puncak
Luliang- san ini akan musnah!"
Ciang Le melihat dan ia terkejut sekali. Sebagai seorang kangouw
yang telah berpengalaman luas ia pernah mendengar akan
adanya racun yang dapat membasmi tetumbuhan dengan jalan
menyebarkan semacam penyakit pohon yang menular. Memang
betul bahwa pohon-pohon kecil yang dicabuti oleh Kong Ji telah
pada kering dan layu. Yang berbahaya sekali, kalau tetumbuhan di
situ sudah dijalari penyakit ini, siapa saja yang makan daun pohonpohon
yang sakit, baik manusia maupun binatang akan tewas
terkena racun yang amat berbahaya!
"Hayo kita kumpulkan pohon-pohon, sekitar tempat ini dan bakar
habis!" kata Ciang Le cepat-cepat. Tanpa banyak cakap lagi mereka
lalu bekerja dan berkat kepandaian Ciang Le dan Bi Lan yang tinggi,
sebentar saja pohon-pohon di sekitar tempat yang disebari racun itu
telah bersih tercabut, ditumpuk disitu. Ciang Le lalu membakar
semua pohon yang sebentar saja sudah menjadi kering itu dan tak
lama kemudian asap hitam mengepul di puncak Luliang-san.
Keadaan di puncak menjadi gundul dan buruk, akan tetapi bersih
daripada bahaya racun yang sengaja disebar oleh See-thian Tok-ong
sebelum ia meninggalkan puncak itu. Kong Ji yang amat cerdik
221
sudah dapat mempelajari sedikit banyak tentang racun yang
menjadi keistimewaan suhunya, maka melihat keadaan beberapa
batang pohon di tempat itu, ia dapat menduga bahwa See-thian
Tok-ong telah menyebar racun. Apalagi kalau ia teringat bahwa
memang See-thian Tok-ong tadi berdiri di dekat pohon-pohon itu.
Maka untuk mencari muka baik, ia segera turun tangan mencabuti
pohon-pohon itu sebelum Ciang Le naik ke Luliang-san.
Setelah pekerjaan membasmi racun pada pohon-pohon itu beres.
Kong Ji kembali berlutut di depan Ciang Le.
"Oleh karena See thian Tok-ong tentu akan selalu berurusan
untuk membunuh teecu, maka teecu mohon dengan sangat sudilah
kiranya Locianpwe menaruh belas kasihan kepada teecu dan sudi
menerima teecu menjadi murid."
Sudah berada di ujung lidah Cia Le untuk segera menolak
permintaan ini karena selain ia memang timbul rasa tidak suka
kepada pemuda cilik ini, juga memang tidak berhasrat menerima
murid baru. Akan tetapi ia merasa kasihan juga melihat keadaan
bocah ini, apalagi kalau ia teringat betapa anak ini tadi menyatakan
bahwa ayah bunda dan gurunya pernah mengenalnya.
"Kau siapakah dan putera siapa? Mengapa bisa menjadi murid
See-thian Tok ong?" tanyanya.
Sambil kadang-kadang mengusap kedua matanya dengan ujung
lengan baju Kong Ji menjawab,
"Teecu bernama Liok Kong Ji. Mendiang ibu teecu pernah
mengenaI Locianpwe dan Ibu teecu bernama Liok Hui, ketua dan
Kwan-im-pai." Kemudian Kong Ji menuturkan betapa ibu dan
ayahnya itu terbunuh oleh orang-orang Im-yang-bu-pai dan betapa
ia dibawa lari oleh pamannya, yakni Liok San dan dibawa mengungsi
ke Hoa-san di mana ia belajar ilmu silat kepada Lie Bu Tek dan
Liang Gi Tojin.
Baru bercerita sampai di sini, Ciang Le sudah memegang
pundaknya dan bertanya dengan suara bergetar, "Apa yang terjadi
di Hoa-san dan ke mana perginya Liang Gi Tojin dan Lie Bu Tek
Twako?" Juga Bi Lan ingin sekali mendengar tentang bekas gurunya
dan suhengnya itu. Sebelum naik ke Luliang-san, memang mereka
222
telah mengunjungi Hoa san, akan tetapi mereka tidak menemukan
seorang pun di puncak Hoa-san dan keadaan di situ yang sudah
rusak tak terpelihara membuat mereka merasa bingung dan juga
sedih sekali.
Mendengar pertanyaan ini, Kong Ji mengucurkan air matanya
dengan deras. "Ah, Locianpwe, memang orang-orang jahat
merajalela di dunia ini dan karenanya teecu bersumpah untuk
belajar ilmu silat setinggi-tingginya agar kelak dapat membasmi
musuh-musuh besar itu!"
Bi Lan tidak sabar lagi. "Hayo ceritakan apa yang terjadi di
puncak Hoa-san!"
"Suhu Liang Gi Tojin yang sudah menerima teecu sebagai murid
telah... telah tewas oleh dua orang anggauta Im-yang-bu-pai, juga
Twa-suheng Lie Bu Tek; terluka hebat, barangkali sudah tewas
pula."
Bi Lan tak dapat menahan air matanya, sedangkan Ciang Le
menjadi pucat.
"Keparat betul Im-yang-bu-pai. Awas, akan kubasmi kalian!'
teriak Hui Lan.
"Teruskan ceritamu, Kong Ji. Apa, yang terjadi selanjutnya?"
Kong Ji lalu bercerita betapa ia dipaksa oleh orang-orang Imyang-
bu-pai untuk menjadi pelayan. Kemudian ia bercerita pula
tentang usaha Giok Seng Cu ketua Im-yang-bu-pai untuk mencari
pedang dan kitab peninggalan Pak Kek -Siansu di puncak Luliangsan.
"Jadi Giok Seng Cu yang menjadi ketua Im-yang-bu-pai? Pantas
saja kalau begitu...!" kata Bi Lan sambil mengerling ke arah
suaminya. Diam-diam Ciang Le merasa tidak enak sekali karena
biarpun telah mengambil jalan masing-masing yang bertentangan.
Giok Seng Cu adalah murid Pak Hong Siansu.
"Teruskan!" katanya singkat kepada Kong ji.
Kong Ji melanjutkan ceritanya. Ia menuturkan betapa Giok Seng
Cu berhasil merampas pedang, kemudian menyembunyikan diri.
223
Betapa See-thian Tok-ong dan anak isterinya yang marah kepada
Giok Seng Cu lalu membasmi orang-orang lm-yang bu-pai, akan
tetapi memaksanya ikut untuk menunjukkan tempat sembunyi Giok
Seng Cu.
"Teecu terpaksa membawa mereka ke tempat sembunyi Giok
Seng Cu, oleh karena biarpun ketua lm-yang-bupai itu telah berlaku
baik dan tidak membunuh teecu, namun anak buahnya yang
membanasakan Ayah Bunda teecu, maka ia pun merupakan musuh
besar teecu pula. Selain ini, teecu juga dipaksa oleh See thian Tokong
bahkan diberi janji bahwa teecu akan diberi pelajaran ilmu silat
selama lima tahun."
Kemudian ia menuturkan betapa Giok Seng Cu terpaksa
menyerahkan pedang Pak-kek Sin-kiam kepada See-thian Tok ong
dan betapa See-thian Tok-ong dan anak isterinya mencari-cari kitab
peninggalan Pak Kek Siansu dengan sia-sia belaka sehingga
akhirnya marah kepadanya dan hendak membunuhnya, akan tetapi
baiknya keburu datang Hui Lian yang menolongnya.
"Kalau begitu, kau juga tahu pula apa yang terjadi dengan
Luliang Sam-lojin. Siapa yang telah membunuh mereka?” tanya
Ciang Le.
Kembali sepasang mata Kong Ji bercucuran air mata ketika ia
mendengar pertanyaan ini, sehingga sukar baginya untuk bicara.
Akhirnya dengan suara terputus-putus ia berkata,
"Locianpwe, kalau diingat sungguh. membikin sakit sekali hati
teecu. Sakit hati teecu bertumpuk-tumpuk setinggi langit dan teecu
bersumpah kelak akan menuntut balas. Hanya seorang bodoh
macam teecu bagaimanakah dapat memenuhi harapan itu? Kecuali
kalau Locianpwe menaruh hati kasihan kepada teecu dan sudi
menurunkan sedikit ilmu kepada teecu yang bodoh...."
"Soal itu kita bacarakan nanti, sekarang ceritakan dulu apa yang
telah terjadi dengan Luliang Sam lojin" tanya Ciang Le kurang sabar.
Dengan pandai sekali Kong Ji mengarang cerita, agar ia dapat
terlibat ke dalam penstiwa pembunuhan itu dan agar ia menarik
perhatian Ciang Le. Memang dia sudah mendengar dari Giok Seng
Cu sendiri bagaimana Luliang Sam-lojin terbinasa oleh Kwan Kok
224
Sun atas bantuannya dan bantuan Ba Mau Hoatsu ketika mereka
semua memperebutkan pedang Pak-kek Sin-kiam.
"Ketika itu, teecu diajak oleh Giok Seng Cu naik Luliang-san,"
Kong Ji mulai menutur dengan gaya sedemikian rupa sehingga ia
nampak bersungguh-sungguh dan berduka sekali. "Akhirnya dengan
bantuan Kim-tiauw, rombongan See-thian Tok-ong berhasil
mendapatkan pedang Pak-kek Sin-kiam dalam perebutan pedang
dan usaha mencari kitab itu. Melihat ini, Giok Seng Cu merampas
pedang itu dan tangan putera See-thian Tok-ong sehingga akhirnya
menimbulkan sakit hati dan pihak See thian Tok-ong. Dalam
keributan itu diam diam teecu memberi tahu hal perebutan pedang
kepada Luliang Sam-lojin yang berada di puncak bukit, karena teecu
merasa tidak patut sekali pedang pusaka Luliang-san diperebutkan
oleh orang luar. Juga teecu yang menganggap Giok Seng Cu
sebagai musuh besar, tidak rela melihat dia mendapatkan pedang
itu. Akan tetapi, sayang sekali Giok Seng Cu mengetahui perbuatan
teecu itu dan teecu pasti akan dibunuh mati kalau saja tidak Luliang
Samlojin yang menolong teecu. Kemudian terjadi pertempuan
antara Luliang Samlojin melawan orang-orang jahat yang hendak
merampas pedang itu. Giok Seng Cu, Ba Mau Hoatsu, Kwan Kok Sun
dibantu oleh ular-ular clan burungnya mengeroyok sehingga
akhirnya Luliang Sam-lojin tewas. Pedang dibawa pergi oleh Giok
Seng Cu, dan teecu juga dipaksa olehnya dibawa pulang. Hanya
nasib baik saja yang mencegah teecu terbunuh mati oleh Giok Seng
Cu. Selanjutnya, seperti sudah teecu ceritakan tadi, pedang itu
terampas olah See-thaan Tok-ong, dan teecu juga dtbawa ke
tempat ini."
Setelah menuturkan semua ini, kembali Kong Ji menangis. Kong
Ji tahu bahwa dalam semua penuturan itu, banyak membohong.
Akan tetapi ia berani melakukan itu karena ia merasa aman. Wan
Sin Hong bocah satu-satunya yang mengetahui rahasianya, telah
mampus dilemparkan ke dalam jurang. Hanya Lie Bu Tek orang ke
dua yang kiranya tahu akan perbuatannya di puncak Hoa-san. Akan
tetapi tak mungkin, ketika mempergunakan pedang membabat
putus pangkal lengan Lie Bu Tek, jago Hoa-san itu sedang pingsan
dan tidak akan tahu siapa yang membabat putus lengannya.
225
Andaikata Lie Bu Tek tahu akan hal ini dan akhirnya Ciang Le
atau orang-orang lain mendengar pula, Kong Ji juga tidak amat,
khawatir karena ia telah mempunyai alasan dan jawaban yang tepat
untuk membela. Memang anak ini luar biasa sekali cerdik dan
licinnya, akan tetapi biarpun Ciang Le sendiri yang biasanya bermata
tajam dan berperasaan halus, dapat ditipu oleh Kong Ji yang
wajahnya tampan dan halus sehingga kalau tadinya dalam hati
Ciang Le timbul sedikit rasa curiga dan tidak suka, perasaan itu
lenyap oleh cerita dan penuturan Kong Ji yang menarik hati.
Hui Lian mewarisi hati budiman seperti ayahnya, maka
mendengar semua penuturan Kong Ji yang tentu saja menonjolkan
penderitaannya, menjadi kasihan sekali sampai mengucurkan air
mata. Kalau ayah bundanya berlinang air mata karena menyedihi
kematian Liang Gi Tojin, Lie Bu Tek yang tak ada beritanya lagi,
kematian Luliang Sam-lojin dan kehancuran Hoa-san-pai dan
Luliang-pai, Hui Lian menyedihi nasib buruk Kong Ji. Memang anak
ini belum pernah bertemu lengan orang-orang tua yang sudah
tewas itu, maka bagaimana mana bisa merasa sedih?
"Ayah, nasib Kong Ji ini amat menyedihkan, mengingatkan aku
akan nasib Enci Soan Li," katanya dan dalam suaranya mengandung
permohonan agar ayahnya suka menolong bocah ini.
Ciang Le menarik napas panjang. ' "Terlalu banyak orang
bersengsara karena perbuatan jahat orang-orang yang rendah budi.
Kalau aku menerimanya sebagai murid, bukan karena ia bernasib
buruk, melainkan mengingat bahwa ia adalah putera dari ketua
Kwan-im-pai, apalagi ia telah berguru kepada Liang Gi Tojin
sehingga anak ini boleh dibilang masih terhitung sute (adik
seperguruan) dari Ibu mu."
Hum l_ian melompat kegirangan dan menghampiri Kong Ji. "Kau
diterima menjadi murid Ayah. Kau kini menjadi Suhengku!"
Kong Ji berlutut dan mengangguk- anggukkan kepala delapan
kali di depan Ciang Le sambil menyebut "Suhu"! Kemudian ia pun
berlutut di depan Bi Lan yang disebut sebagai "Subo" olehnya.
"Orang-orang jahat terlalu banyak. Sudah bertahun-tahun aku
mengasingkan diri dari dunia kangouw karena merasa jemu
226
mendengar kejahatan-kejahatan yang tiada habisnya itu. Akan
tetapi orang-orang seperti Giok Seng Cu, Ba Mau Hoatsu, See-thian
Tok-ong dan kaki tangan mereka memang patut dibasmi. Belajarlah
baik-baik, siapa tahu kaulah orangnya yang akan mampu
membasmi, mereka."
Bukan main girangnya hati Kong Ji. "Teecu akan perhatikan baikbaik
ajaran Suhu, bahkan kalau Suhu sudi, teecu juga ingin sekali
belajar ilmu surat agar kelak tidak tersesat menjadi orang jahat."
Biarpun mulutnya bicara demikian, namun hati Kong Ji berpendapat
lain. Ia ingin belajar ilmu surat hanya dengan maksud agar kelak ia
dapat membaca dan mempelajari ilmu di dalam kitab peninggalan
Pak Kek Siansu yang ia dapatkan di dalam gua di dasar jurang di
puncak Luliang-san itu!
Semenjak saat itu Kong Ji ikut dengan Ciang Le, dibawa ke
selatan untuk belajar ilmu silat dari pendekar besar ini, bersamasama
dengan Go Hui Lian. Kong Ja sama sekali tidak tahu bahwa
diam-diam Ciang Le bersama isterinya merencanakan untuk
menjodohkan dia dengan Gak Soan Li, murid dan suami isteri
pendekar ini.
-oo0mch-dewi0oo-
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Wan Sin Hong yang berada
di dasar jurang di puncak Luliang-san. Baiklah kita tinggalkan dulu
Kong Ji yang demikian baik nasibnya sehingga setelah menjadi
murid dan Liang Gi Tojin, Giok Seng Cu, dan See thian Tok-ong, kini
kembali dengan kecerdikannya diterima menjadi murid dari Ciang
Le! Mari kita ikuti perjalanan Wan Sin Hong, bocah yang benarbenar
telah mengalami penderitaan hebat itu.
Sebagaimana telah diceritakan di bagian depan, Sin Hong yang
dilempar jatuh ke dalam jurang oleh Giok Seng Cu telah tertolong
oleh kim-tiauw, kemudian secara kebetulan sekali anak ini
mendapatkan gua di mana ia melihat pedang Pak-kek Sin-kiam dan
kitab peninggalan Pak Kek Sian-su. Sudah dituturkan di bagian
depan betapa pedang itu dibawa keluar gua oleh Sin Hong dan
227
kemudian dirampas oleh kim-tiauw yang membawanya terbang
pergi.
Tubuh Sin Hong terluka hebat. Tulang lengannya telah patah
oleh pukulan Giok Seng Cu, bahkan tubuhnya dibagian dalam telah
menderita luka hebat akibat pukulan tenaga lweekang sehingga
anak ini merasa seringkali terserang demam yang membuat tulangtulangnya
dingin sekali.
Berkat latihan-latihan ilmu silat dan cara bersamadhi dan
pengaturan napas yang ia pelajari dari kitab peninggalan Pak Kek
Siansu, ia memperoleh kemajuan yang amat luar biasa tanpa
disadarinya sendiri. Luka di dalam tubuhnya telah terusir dan ia
telah memperoleh hawa sinkang di dalam tubuhnya, bahkan tulang
lengannya yang patah dapat tersambung kembali dalam keadaan
baik dan wajar.
Bertahun-tahun ia berlatih dengan rajin dan tekunnya. Seluruh isi
kitab telah dihafalkannya diluar kepala dalam waktu dua tahun,
setelah hafal ia lalu membakar habis kitab itu, karena di halaman
terakhir dari kitab itu terdapat tulisan Pak Kek Siansu yang berbunyi,
"Setelah isi kitab habis dipelajari, bakarlah kitab ini agar jangan
terjatuh ke dalam tangan orang jahat."
Sin Hong adalah seorang anak cerdik. Ia tahu bahwa kitab ini
dicari oleh orang-orang kang-ouw, maka setelah hafal betul-betul ia
membakar kitab itu sambil berlutut menghaturkan terima kasih
kepada Pak Kek Siansu. Kemudian ia menaruh kitab tebal sebagai
penggantinya di dalam peti dan disampul kitab yang sebetulnya
hanya sebuah kitab sejarah ia tulis huruf-huruf besar, PAK KEK SIN
CIANG HOAT PIT KIP'. Memang di dalam gua itu terdapat beberapa
jilid kitab tebal dan kuno peninggalan Pak Kek Siansu.
Pada suatu hari, baru saja ia selesai berlatih di lereng bukit yang
tersembunyi itu, terdengar suara keras dan dari puncak gunung
kelihatan debu mengepul dan terdengar suara hiruk-pikuk. Tiba-tiba
Sin Hong melihat sebuah batu yang besar sekali menggelinding
turun dengan kecepatan luar biasa, menghancurkan batu-batu kecil
yang tertimpa di bawahnya. Ketika tiba di dasar jurang yang
sebetulnva merupakan lereng itu, batu besar itu masih terus
228
menggelundung ke arah dia sendiri! Sin Hong terkejut sekali.
Tempat di mana ia berdiri sempit sekali, di kanan kirinya terdapat
jurang, maka tidak mungkin baginya untuk menghindarkan diri dari
serbuan batu besar yang memenuhi tempat itu. Terpaksa ia lalu
memasang kuda-kuda dan sesuai dengan petunjuk di dalam kitab, ia
melakukan dorongan ke depan. Inilah gerakan yang disebut Sinciang-
tut-san (Tangan Sakti Mendorong Bukit). Melihat bahwa pada
waktu itu Sin Hong baru berusia kurang lebih sebelas tahun,
tubuhnya kecil dan batu itu amat besarnya yang menggelundung
dengan kekuatan ribuan kati, gerakan Sin Hong ini menggelikan
hati.
Akan tetapi, dengan latihan yang tekun berkat petunjuk dan kitab
yang mengandung ilmu luar biasa sekali, di dalam tubuh Sin Hong
telah mengalir hawa sinkang yang hebat dan gerakannya adalah
gerakan dan ilmu mendorong yang amat tinggi, maka ketika batu
besar itu telah dekat dan bertemu dengan kedua telapak tangannya,
batu itu tertahan dan diam tak bergerak!
Sin Hong girang sekali dan dia lalu mendorong dan bermain
dengan batu besar itu. Akhirnya dia mendapat pikiran yang baik
sekali. Gua itu terbuka saja, mudah dilihat dan dimasuki orang.
Maka ia lalu mendorong batu besar itu dan pergunakan sebagai
penutup gua.
Semenjak pengalaman ini, terbukalah mata Sin Hong bahwa
latihan-latihannya di tempat itu telah menghasilkan tenaga yang
luar biasa. Cepat ia mengingat ingat bagian latihan sinkang dan
mulai hari itu, ia tekun mempelajari dan memperdalam latihan
dengan jalan bersamadhi, mengatur pernapasan dan berlatih
sinkang. Ia rajin sekali dan tidak jarang ia kelihatan duduk
menghadapi batu karang, bersamadhi dan menahan napas. sampai
akhirnya napas yang keluar dari lubang hidungnya mendatangkan
getaran aneh. Sampai sehari penuh ia duduk bersila menghadapi
batu karang. Tidak jarang timbul kenakalannya sebagai kanak-kanak
ketika ia merasa bahwa tenaga sinkang sudah berkumpul di dalam
tubuh berputar-putar cepat merupakan bola api panas yang dapat
perintah dengan daya cipta ia menyalurkan hawa ini ke jari-jari
tangannya dan menggunakar jari-jari tangan menggurat-gurat batu
karang. Hebat sekali akibatnya. Setelah tenaga sinkang itu
229
terkumpul di jari tangannya, baginya batu karang itu merupakan
tanah lempung yang lunak sekali!
Pakaiannya sudah sobek sana-sini. Kadang-kadang ia memotong
bagian bawah untuk menambal bagian yang sobek sehingga
pakaiannya itu tidak karuan macamnya. Namun semua
kesederhanaan pakaian ini tidak mengurangi ketampanan wajahnya
yang berkulit putih dengan sepasang mata yang bersinar sinar
bagaikan bintang.
Tiga tahun lewat dengan cepatnya dan selama itu, Sin Hong
hidup di tempat rahasia ini seorang diri, tak pernah bertemu dengan
seorang pun manusia. Akan tetapi anak ini biarpun hidup dalam
keadaan kesepian dan sengsara, namun tidak kecil hati. Semangat
dan cita-citanya besar sekali. Kalau ia teringat akan nasibnya,
teringat akan kematian orang tuanya, kemudian tentang Hoa-sanpai
yang rusak oleh orang-orang lm-yang-bu-pai, teringat betapa
ayah angkatnya yang tercinta, yang menjadi pengganti orang
tuanya itu telah dihina dan disiksa oleh orang Im-yang-bu-pai,
kematian Liang Gi Tojin, kemudian teringat pula akan kekejian Kong
Ji, semua ini membangkitkan semangatnya. Bangkitnya rasa
penasaran dan menguatkan cita-citanya untuk membalas semua
kejahatan yang dilakukan orang kepadanya dan kepada orang-orang
yang dikasihinya.
Setelah tinggal empat tahun lebih di dalam gua itu, pada suatu
hari selagi Sin Hong bersamadhi di sebelah dalam dari gua yang
ditutupnya dengan batu besar, ia mendengar suara di luar gua.
Cepat ia masuk ke dalam terowongan dan bersembunyi, menanti
dengan hati berdebar. Apakah yang akan terjadi.' Manusia manakah
yang dapat datang di tempat itu? Tak lama kemudian, ia melihat
batu penutup gua bergeser sedikit, seperti didorong orang dari luar.
Kemudian ia melihat tubuh seorang pemuda tanggung memasuki
gua. Sebagaimana pembaca dapat menduga, yang masuk itu adalah
Kong ji yang turun ke dalam jurang naik kim-tiauw.
Keadaan di situ suram, maka Sin Hong tidak dapat mengenal
siapa orang yang masuk ke dalam gua. ia mengintai saja dan
dengan hati geli ia melihat orang itu membuka peti dan melihat
kitab sejarah yang ia letakkan di dalam peti untuk menipu orang. Ia
230
melihat anak tanggung itu mengembalikan buku, berjalan keluar
dan menutupkan kembali batu penutup gua. Diam-diam Sin Hong
memuji, karena tidak sembarang orang, apalagi masih pemuda
tanggung, dapat mendorong batu itu. Setelah terjadi peristiwa ini,
legalah hatinya. Biarkan semua orang kang-ouw datang ke sini dan
mendapatkan kitab itu. Kitab aselinya toh sudah ia bakar, sudah ia
"pindahkan" isinya ke dalam otaknya. ia berlatih makin giat karena
maklum bahwa kalau ia sudah keluar dari tempat sembunyi ini
kelak, ia akan mejumpai orang-orang yang pandai dan jahat.
Setelah tinggal bertahun-tahun di tempat itu, Sin Hong sering kali
melakukan pemeriksaan di daerah yang terasing ini. Benar-benar
daerah itu tak mungkin dapat didatangi orang lain. Untuk keluar dari
jurang itu, biar orang memiliki kepandaian tinggi, kalau dia tidak
bersayap, tak mungkin dilakukannya. Jalan keluar dari lereng itu
sama sekali tidak ada karena lereng itu dikelilingi oleh jurang yang
amat curam. Pendeknya tempat ini merupakan tempat terkurung
yang memisahkan orang dari luar. Tidak ada jalan keluar lagi bagi
mereka yang jatuh ke dalamnya.
Akan tetapi Sin Hong tidak merasa khawatir. Ia maklum bahwa
pasti ada jalan keluar, karena kalau tidak, bagaimana Pak Kek
Siansu dapat menyimpan pedang dan kitab di dalam gua itu?
Setelah hapal akan semua isi kitab ia mulai mencari rahasia jalan
keluar itu. Ia berjalan terus ke dalam gua yang di sebelah dalamnya
merupakan terowongan itu. Memang tidak mudah berjalan melalui
terowongan yang demikian gelapnya. Namun berkat kemauannya,
Sin Hong sekarang dapat bergerak dengan ringan dan panca
inderanya luar biasa tajamnya. Dari suara angin ia dapat
menangkap lubang manakah yang membawa dia ke arah
pembebasan. Di dalam terowongan itu terdapat lubang-lubang yang
menjurus ke lain tempat dan orang lain pasti akan tersesat jalan dan
sukar untuk keluar kembali.
Akhirnya Sin Hong tiba di jalan buntu setelah melalui jalan
terowongan yang menaik. Ketika ia meraba dengan tangannya,
hatinya berdebar. Ternyata bahwa akir jalan terowongan ini adalah
sebuah daun pintu! Ia mendorong terus dengan pengerahan
tenaga. Daun pintu terbuka dan ia berada di balik sebuah
pembaringan, dalam sebuah kamar! Akan tetapi, ketika ia mencoba
231
untuk mendorong pembaringan itu, ia gagal. Pembaringan itu
terbuat daripada baja dan agaknya dipasangi alat rahasia sehingga
tak mungkin dapat dipindahkan dari depan pintu rahasia ini. Ia
mencoba lagi namun tetap saja sia-sia.
Sebagai seorang anak yang cerdik, Sin Hong tidak mau
mengerahkan semua tenaga untuk merusak pembaringan itu,
melainkan ia masuk kembali ke dalam terowongan.
"Kalau Pak Kek Siansu bisa mondar-mandir di tempat ini,
mengapa aku tidak? Tentu ada rahasianya untuk membuka
penghalang pikirnya. Sin Hong memang amat tekun dalam
menghadapi sesuatu. Ia meraba-raba di dalam gelap di sepanjang
dinding terowongan di belakang daun pintu itu. Lama sekali setelah
mencari dengan susah payah, akhirnya ia mendapatkan pemecahan
rahasianya. Ternyata bahwa tempat tidur ini mempunyai palangpalang
baja yang menancap dan menembus ke dalam gua dan
dipalang dari dalam sehingga tentu saja takkan dapat dibuka dari
luar. Palang itu pun tertutup oleh batu karang dan berada di tempat
yang bersembunyi sekali. Dengan merogohkan lengan sampai ke
siku, barulah Sin Hong dapat menyentuh palang itu dan menariknya
ke atas. Terdengar suara bergerit dan terbukalah jalan keluar
karena tempat tidur itu bergeser ke kanan!
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid IX
“BAGUS, jalan keluar ke dunia ramai, terbuka bagiku!" seru Sin
Hong girang sekali. Ia tidak ingin kembali, karena di dalam jurang
itu tidak ada apa-apanya lagi yang penting baginya. Seluruh isi kitab
telah pindah ke dalam kepalanya, kitab itu sendiri telah dibakarnya
habis.
Di dalam peti bekas tempat kitab rahasia, kini terletak sebuah
kitab sejarah kuno yang tiada artinya, sedangkan gua tempat
penyimpanan kitab itu pun telah tertutup dengan batu besar yang
dulu menggelinding dari atas. Orang biasa saja takkan mungkin
dapat menggeser batu itu dan mendapatkan gua. Andaikata ada
232
yang mendapatkan gua itu pun, apa artinya? Paling-paling
mendapatkan kitab sejarah!
Sin Hong melangkah keluar melalui pinggir tempat tidur yang
sudah tergeser ke kanan. Dengan tangannya ia lalu mendorong
tempat tidur itu kembali ke tempat semula dan terdengar suara
hiruk-pikuk di balik gua terowongan itu Sin Hong terkejut dan ia
hendak melihat apa yang terjadi. Ditariknya tempat tidur itu, akan
tetapi sia-sia! Ternyata bahwa palang yang berada di dalam gua
telah turun sendiri mengunci ke bawah sehingga sekarang tempat
itu takkan mungkin dapat dibuka orang dari luar.
“Lebih baik lagi," kata Sin Hong. "Tempat ini takkan dapat
diganggu orang lain."
Ia lalu berjalan ke arah pintu kamar itu dan ketika ia membuka
daun pintu, kembali ia tertegun. Ternyata bahwa kamar itu berada
pula di dalam sebuah gua. Akhirnya ia teringat dan dengan girang ia
berjalan keluar gua. Tidak salah dugaannya, ia telah berada di
puncak Luliang-san, di Puncak Jeng-in-thia (Ruang Awan Hijau)
sebelah timur! Dahulu sering kali melihat-lihat gua dan tempattempat
lain di sekitar Jeng-in-thia, bahkan pernah ia masuk ke
dalam gua ini. Ia teringat akan penuturan Luliang Sam-lojin bahwa
gua ini adalah tempat bersamadhi Pak Kek Siansu. Siapa mengira
bahwa di dalam gua yang sederhana yang hanya terdapat sebuah
tempat tidur kuno yang kotor, terletak rahasia daripada tempat
penyimpanan kitab dan pedang? Seorang pun takkan dapat mengira
bahwa di belakang dinding batu kurang di mana tempat tidur itu
berada, terdapat pintu rahasia yang dapat membawa orang ke
dasar jurang yang berada di Jeng-in-thin!
Sin Hong berlari masuk kembali ke dalam gua, lalu menjatuhkan
diri berlutut di depan tempat tidur yang dahulu dipergunakan oleh
Pak Kek Siansu untuk bersamadhi.
"Suhu Pak Kek Siansu, teecu Wan Sin Hong menghaturkan terima
kasih atas segala kemurahan hati Suhu."
Setelah bersamadhi beberapa lama, ia lalu keluar dari gua. Angin
puncak yang sejuk menampar mukanya dan ia merasa sehat dan
segar. Melihat keadaan di puncak Luliang-san yang dikenalnya amat
233
baik ini, teringatlah ia akan Luliang Sam-lojin. Hatinya berdebar
kalau ia teringat akan peristiwa empat tahun lebih yang lalu. Puncak
ini diserbu oleh orang-orang jahat seperti Giok Seng Cu dan yang
lain-lain, dan kalau sampai Giok Seng Cu dapat tahu di puncak, pasti
Luliang Sam lojin niengalami bencana ia maklum akan watak ketiga
orang kakek itu yang pasti takkan memperbolehkan siapapun juga
naik ke puncak Luliang-san.
Teringat akan semua ini, Sin Hong lalu berlari cepat turun dan
puncak. Baru beberapa langkah saja ia berhenti dan merasa heran
sekali. ia telah berlatih lweekang dan ginkang menurut petunjuk dan
kitab peninggalan Pak Kek Siansu, akan tetapi tak disangkanya
bahwa tubuhnya sekarang demikian gesit dan ringan sehingga baru
melompat beberapa kali saja ia sudah berada di tempat jauh dari
puncak! Tentu saja Sin Hong menjadi girang sekali dan anak ini
sengaja mengambil jalan yang sukar. ia melompati jurang yang dulu
dianggapnya tak mungkin ia lompati, bahkan Luliang Sam Lojin
sendiri kalau melompati jurang ini mengerahkan tenaga ginkang
mereka. Akan tetapi sekarang dengan amat enak dan mudah ia
melompat dan di lain saat ia telah berada di seberang jurang!
Sambil menari kegirangan Sin Hong berlari terus ke arah lereng
gunung di mana dahulu menjadi tempat tinggal Luliang Sam-lojin.
Di sana sunyi saja, tidak kelihatan bayangan seorang pun manusia.
"Apakah mereka pergi turun gunung? Ataukah … ada sesuatu
yang hebat terjadi?” tanya Sin Hong di dalam hatinya sambil
memandang ke sekeliling tempat itu. Sunyi saja di situ, dan biarpun
biasanya Sin Hong berada di dasar jurang yang amat sepi, namun
pada saat itu ia benar-benar merasa betapa sunyi tempat itu, sunyi
yang mendebarkan hati. Biasanya ia mendengar Luliang Siucai
bernyanyi atau membaca sajak,. mendengar Luliang Ciangkun
tertawa-tawa sambil minum arak atau mainkan pedang, melihat
Luliang Nungjin bekerja rajin di sawahnya. Kini semua itu lenyap
dan keadaan di situ seperti mati.
"Luliang Sam-loheng...'" tak terasa lagi Sin Hong berteriak
dengan hati duka. Hanya gema suaranya saja yang menjawabnya
dari jurusan hutan batu karang.
234
Dengan hati berat Sin Hong berlari naik ke atas dan melompat ke
atas sebuah batu karang yang tinggi. Dari tempat tinggi itu ia
memandang ke sekelilingnya, dan tiba-tiba ia melihat gundukan
tanah sebanyak tiga gunduk! Itula tanda bahwa ada tiga makam di
tempat itu!
"Sam-loheng...." dan ia melompat turun dari batu karang dan
terus berlari menghampiri tempat itu.
Benar saja, di depannya terdapat kuburan berjajar dan biarpun di
situ tidak terdapat tanda sesuatu maupun bongpai (batu nisan)
namun Sin Hong seakan-akan melihat mayat tiga orang tua yang
dikasihinya itu membujur di bawah tanah. Memang sesungguhnya
tempat ini adalah tempat di mana Ciang Le mengubur jenazah
Luliang Sam Lojin yang telah menjadi tulang-tulang berserakan
ketika pendekar besar itu tiba di Luliang-san.
"Sam-loheng, siauwte bersumpah akan mencari orang-orang
yang membunuh Sam-wi Lo-heng dan akan membalas sakit hati
ini..." Sin Hong menangts di depan tiga kuburan itu. Betapa ia
takkan merasa duka? Di dalam dunia ini, selain Luliang Sam-lojin,
tidak ada lagi orang yang menaruh perhatian kepadanya, kecuali
Liang Gi Tojin dari Hoa-san-pai yang sudah tewas dan Lie Bu Tek,
ayah angkatnya. Tiba-tiba Sin Hong melompat berdiri ketika teringat
kepada ayah angkatnya.
"Gihu telah dianiaya oleh orang-orang Im-yang-bu-pai dan
lengannya dibacok putus oleh jahanam keparat Kong Ji Bagaimana
sekarang keadaannya? Apakah masih hidup?" Setelah bertanyatanya
di dalam hatinya sendiri dengan perasaan gemas terhadap
Kong Ji, ia lalu melompat dan berlari turun dari bukit Luliang-san
bagaikan terbang cepatnya.
Setelah melakukan perjalanan jauh, makin terbuka mata Sin
Hong bahwa sungguhnya ia telah mewarisi ilmu yang amat luar
biasa dari kitab peninggalan Pak Kek Siansu. Di antara ilmu-ilmu
silat tinggi yang ia pelajari, terdapat pula pelajaran ilmu lari dan
ilmu melompat jauh yang disebut Liok-te-hui-teng-kang hu. Ketika
berada di dasar jurang tidak ada tempat yang cukup luas bagi Sin
Hong untuk mencoba kepandaian ini akan tetapi sekarang setelah ia
keluar dari tempat itu, ia mendapat kesempatan banyak untuk
235
mencobanya. Dan ia sendiri merasa tertegun ketika melihat hasil
daripada latihan-latihannya selama. tiga tahun lebih itu. Ilmu
melompat jauh ini setelah ia coba, tubuhnya bagaikan dilemparkan
oleh tenaga yang kuat sekali sehingga ia setengah melayang-layang
di udara!
"Alangkah senangnya hati Gi-hu kalau ia melihat kemajuanku,"
katanya perlahan dan kembali air matanya berlinang dengan penuh
keharuan kalau ia teringat akan nasib Lie Bu Tek. Maka
dipercepatlah larinya untuk segera dapat tiba di Hoa-san karena ia
berniat pergi ke Hoa-san untuk mencari ayah angkatnya itu.
Pada suatu pagi, setelah keluar dari drretan hutan-hutan besar,
tibalah ia di sebuah dusun yang rumah-rumahnya amat sederhana.
Tak sebuah pun di antara rumah-rumah itu yang beratap genteng,
semua beratap daun kering. Alangkah miskinnya penduduk dusun
ini, pikir Sin Hong. Akan tetapi, setelah ia memasuki dusun, ia
menjadi heran sekali. Ternyata bahwa dusun itu kosong, tidak ada
seorang pun kelihatan diluar pintu yang terbuka, dan keadaannya
amat sunyi. Akan tetapi, jelas nampak bahwa rumah-rumah ini
belum lama ditinggalkan para penghuninva. Pelatarannya masih
bersih bekas disapu.
Sin Hong merasa perutnya lapar sekali. Semenjak kemarin sore ia
tidak bertemu dengan dusun dan tidak bisa mendapatkan pohon
bcrbuah di dalam hutan yang dilaluinya. Harapannya akan
mendapatkan makan di dusun itu lenyap seketika setelah ia melihat
bahwa dusun itu benar-benar kosong melompong. Apa akal? Ia
tidak bisa membiarkan saja perutnya yang kelaparan. Kalau ia tidak
mempergunakan hawa di dalam tubuh melindungi perut dan
dadan)a, mungkin sekali ia telah terserang penyakit.
"Sebetulnya amat memalukan, akan tetapi apa daya, terpaksa
kulakukan juga...." Dengan muka merah, Sin Hong mulai mencari
cari di dalam rumah-rumah kosong itu, untuk melihat kalau- kalau
ada sesuatu yang dapat dimakan.
"Sial dan memalukan sekali...." gerutunya berkali-kali ketika ia
keluar-masuk rumah tanpa mendapat apa-apa. üntuk minta-minta
seperti pengemis, ia tak merasa hina dan rendah apabila ia merasa
perutnya lapar, akan tetapi untuk mencari-cari makanan di dalam
236
rumah orang seperti seorang maling, benar-benar Sin Hong merasa
rendah dan malu sekali.
Akan tetapi setelah memasuki sepuluh buah rumah lebih. Sin
Hong tak menemukan sesuatu kecuali seguci arak yang dibawanya
keluar. ia merasa amat lapar dan haus dan juga terheran-heran
mengapa sedikit sisa makan yang ia lihat ternyata sudah merupakan
abu di depan setiap rumah, agaknya ketika para penghuni rumah
pergi, mereka membakari makanan yang ada di situ. Terlihat periukperiuk
hangus dengan isinya yang sudah menjadi abu dan arang di
depan pintu.
"Apa yang terjadi di tempat ini?" pikirnya. Kemudian karena ia
tak mungKin dapat memecahkan teka-teki ini, ia lalu mengangkat
guci araknya dan menempelkan mulut guci pada bibirnya, siap
hendak minum araknya.
Tiba-tiba ia mendengar
desir angin dan dengan tenang
Sin Hong menggerakkan
tangan yang memegang guci
ke samping, menunda
minumnya. Sebatang senjata
rahasia piauw meluncur lewat
di samping guci. Kalau ia tidak
menggerakkan guci, pasti guci
arak itu akan terpukul pecah
oleh piauw tadi. Ia heran
sekali. Sudah jelas bahwa
pelempar piauw itu seorang
ahli yang pandai, akan tetapi
kalau mau menycrang secara
menggelap kenapa piauw itu
ditujukan kepada guci arak?
la mendengar seruan keheranan dan cepat Sin Hong
membalikkan tubuhnya. Yang berseru keheranan adalah seorang
tosu berjenggot dan berambut hitam, orang yang agaknya
melepaskan piauw tadi dan kini terheran karena melihat piauwnya
tidak mengenai sasaran. Adapun di sebelah tosu ini berthri seorang
237
tosu lain, seorang tosu yang rambut dan jenggotnya sudah putih
semua akan tetapi mukanya demikian sehat dan segar sehingga
kulit mukanya itu nampak kemerahan. tosu tua ini berseru,
"Anak yang baik, lekas kaulempar jauh-jauh guci arak itu dan
jangan minum isinya!"
Telinga Sin Hong tajam luar biasa setelah ia berlatih ilmu silat
tinggi dari kitab peninggalan Pak Kek Siansu. ia mendengar suara ini
amat mengandung perasaan ngeri dan cemas luar biasa. Maka
otomatis ia cepat melempar pergi guci arak itu ke tempat jauh. Guci
itu pecah dan isinya mengalir keluar.
"Bagus! Senang hatiku melthat kau baru. saja terlepas daripada
bahaya maut yang mengerikan," kata pula kakek berjenggot putih
itu dan kini mukanya menunjukkan keramahan yang sekaligus
menawan hati Sin Hong.
Anak ini cepat menghampin mereka dan menjura.
"Jiwi Totiang (Bapak Pendeta Berdua) siapakah dan mengapa
aku harus membuang guci arak itu pada saat aku merasa amat
lapar dan haus?" tanyanya. Sin Hong pernah belajar ilmu surat dari
Luliang Siucai dan telah banyak membaca kitab tentang sejarah dan
kebatinan, telah pula mendengar banyak nasihat dari Luliang Siucai
tentang pribadi dan sopan santun, maka sikapnya tidak
mengecewakan sebagai seorang bocah yang tahu akan aturan.
Kakek berjenggot itu tersenyum mengangguk-angguk dan
mengelus-elus jenggotnya sambil berkata, "Aneh... aneh... kau
bukan bocah dusun! Dari manakah kau? Dan siapa namamu, bocah
yang kelaparan akan tetapi baik budi bahasamu?"
Sin Hong tidak ingin namanya diketahui orang karena ia maklum
bahwa banyak sekali musuh yang pasti akan mencari dan
menewaskannya kalau mengetahui bahwa ia masih hidup, maka ia
lalu menjawab,
"Aku bernama Tan A Kai, seorang anak perantau yang tak tentu
tempat timggalku. Aku kebetulan lewat di sini lalu perutku lapar
sekali, maka karena tidak ada seorang pun di dusun ini, aku… aku
238
lancang memasuki rumah untuk mencari makanan." Muka Sin Hong
menjadi merah sekali ketika mengucapkan pengakuan ini.
Kakek itu tertawa terbahak-bahak. "Anak baik, kau masih dapat
merasa malu untuk perbuatan itu, bagus sekali! Nah, kaumakanlah
ini kalau lapar!" Dari saku bajunya, kakek itu mengeluarkan sebutir
buah berwarna merah yang diberikannya kepada Sin Hong. Sambil
mengucapkan terima kasih Sin Hong menerima buah itu dan segera
dimakannya. Alangkah girangnya ketika mendapat kenyataan bahwa
buah itu amat manis dan wangi dan yang lebih mengherankan lagi
habis satu saja perutnya menjadi kenyang!
"Bolehkah aku mengetahui nama Ji wi Totiang?" tanya Sin Hong
seteLah menghabiskan buah itu.
"Untuk apa kau tanya-tanya? Pergilah, kanii ada pekerjaan!" Tosu
berjenggot hitam membentaknya. Sin Hong melirik. Baru sekarang
ia memperhatikan tosu ini, karena tadi seluruh perhatiannya tertarik
oleh keadaan tosu yang ramah tamah dan bermuka terang itu.
Sekali lihat saja Sin Hong merasa tidak suka kepada tosu ini. Alis
tosu ini tebal, matanya tajam dan wajahnya cukup tampan akan
tetapi tekukan bibirnya membayangkan sesuatu yang tak
disukainya. Dari sikap dan kedudukan kedua kakinya, Sin Hong
dapat menduga bahwa tosu nil adalah seorang ahli silat kelas tinggi.
"Maaf kalau aku berlancang mulut," jawabnya tenang, "Aku
bertanya karena aku ingin sekali mengetahui keadaan di dusun ini
yang amat aneh. Aku adalah seorang bocah perantau, bagaimana
akan jawabku kalau kelak ada orang bertanya?, Sebuah dusun
kosong, lalu ada dua orang pendeta datang dan melarang aku
minum arak dari guci yang kudapatkan di dusun. Benar-benar bisa
bikin orang lain menaruh hati curiga. Akan tetapi, kala Ji-wi tidak
mengaku, sudahlah, biarkan aku pergi dan sini pun tidak apa!"
Akan tetapi sebelum Sin Hong berjalan pergi, kakek tua yang
berjenggot putih itu menahannya dengan ketawanya yang ramah
tamah dan suaranya yang halus.
"Anak, tidak baik bagi seorang anak kecil untuk marah-marah
dan mendongkol. Kau ingin tahu siapa kami? Dengarlah, aku disebut
orang Kwa Siucai (Sasterawan she Kwa) tukang mendongeng dan
239
juga tukang mengobati orang sakit. Adapun toyu (Sahabat) ini baru
kemarin kujumpai dan kenal, namanya Kim Kong Tojin, menurut
keterangannya seorang tosu dan Kun-lun-san. Adapun tentang
dusun ini, juga menurut penuturan Kim Kong To-yu ini, telah
kedatangan iblis penyebar racun dan maut, maka aku diminta
datang untuk menyelidiki dan kalau perlu menolong mereka yang
menjadi korban." Sambil berkata demikian, dengan wajahnya yang
jujur dan ramah tosu berjenggot putih itu memandang kepada Kim
Kong Tojin dengan tajam.
Sin Hong adalah seorang anak yang mempunyai kecerdikan dan
kecepatan berpikir. Melihat sikap Kim Kong Tojin, dapat menduga
bahwa tosu ini bukan seorang baik, sebaliknya mellhat sikap Kwa
Siucay' yang ramah tamah ia dapat menduga pula bahwa ahli
pengobatan tentu secara terpaksa berada di tempat ini, dipaksa oleh
Kim Kong Tojin.
"Akan tetapi ke mana perginya semua penghuni dusun, dan
siluman apakah yang mengganggu tempat ini?" Sin Hong pura-pura
ketakutan dan memandang ke kanan kiri.
"Sebagian besar penghuni dusun telah tewas dan yang lain telah
melarika diri karena takut," kata Kim Kong Tojin dengan sikap
menakut -nakuti Sin Hong sungguh pun ia merasa mendongkol
sekali terpaksa harus bercakap-cakap dengan seorang bocah di
tempat itu. "Segala sesuatu di tempat ini mengandung racun, kalau
tadi terus minum arak itu, sekarang kau tentu sudah menjadi
mayat!"
"Dan tidak dapat mengganggu engkau …." di dalam hatinya Sin
Hong berkata. "Tosu ini tentu mengandung maksud tertentu.
Dengan adanya aku di sini, ia akan bercuriga dan akan melakukan
sesuatu dengan bersembunyi. Agaknya ada sesuatu yang
mengancam kakek sasterawan ini. Lebih baik aku mengamati dari
jauh." Setelah berpikir demikian ias lalu berkata dengan suara takuttakut.
"Aduh celaka! Kalau begitu apa perlunya aku lama-lama berada
di tempat terkutuk ini. Terima kasih Ji-wi Totiang, aku mau pergi
saja!" Tanpa menanti jawaban, ia lalu berlari-lari seperti seorang
240
anak yang ketakutan. Terdengar kedua orang kakek itu tertawa
melihat ia lari ketakutan.
Memang apa yang diduga oleh Sin Hong tidak meleset jauh.
Sebagaimana mungkin masih ada pembaca yang ingat. Kwa Siucai
adalah seorang tersohor sebagai seorang ahli dongeng cerita-cerita
rakyat dan juga amat tinggi ilmunya dalam hal pengobatan. Di
dalam cerita Pendekar Budiman, Kwa Siucai ini pernah menolong
jiwa pendekar besar Ciang Le ketika pendekar ini terluka oleh
senjata rahasia beracun.
Kwa Siucai adalah seorang perantau dan ketika merantau sampai
di dekat dusun itu, ia bertemu dengan Kim Kong Tojin yang
menceritakan bahwa di dusun itu berjangkit penyakit yang aneh.
Banyak penduduk tewas karena siapa pun juga yang tinggal di
dusun itu sehanis makan atau minum lalu mati. Hal ini tentu saja
menarik perhatian Kwa Siucai sebagai ahli pengobatan, akan tetapi
mata kakek ini masih tajam dan ia merasa bercuriga terhadap Kim
Kong Tojin. Ia sudah luas pengalamannya dan banyak tokoh-tokoh
kang-ouw yang dikenalnya, namun belum pernah ia mengenaI tosu
ini yang mengaku sebagai orang dari Kun-lun san. ia hendak
menolak, akan tetapi Kim Kong Tojin berkata dengan nada suara
tidak senang,
"Kwa Siucay kau sebagai seorang ahli pengobatan, mendengar
akan adanya malapetaka ini bagaimana bisa menolak permintaanku
untuk menyelidiki dan memberi pengobatan? Orang yang mati telah
kusingkirkan, bahkan yang masih hidap sudah pada pergi
meninggalkan dusun. Kalau racun atau siluman penyebar racun itu
tidak dibasmi, bagaimana aku bisa disebut ahli silat yang
menjunjung tinggi kegagahan dan kau sebagai seorang ahli
pengobatan yang suka menolong orang?"
Kwa Siucai dapat mendengar nada ancaman dalam kata-kata ini
maka ia tertawa dan berkata. "Baiklah, To-yu, aku akan ikut kau ke
sana. Akan tetapi, biarpun soal pengobatan adalah tanggunganku,
namun kalau muncul siluman-siluman jahat kaulah yang
menghadapinya."
"Jangan khawatir, Kwa Siucai, siluinan-siluman jahat adalah
makananku sehari-hari. Akan tetapi apakah kiranya kau dapat
241
membereskan wabah yang aneh itu? Apakah betul-betul kau ahli
dalam hal pengobatan racun seperti yang sering kali kudengar?
Menurut pendengaranku di dunia kang-ouw banyak sekali tokoh
tokoh mempergunakan ribuan macam bisa yang aneh-aneh seperti
halnya tokoh besar See-thian Tok-ong."
Kwa Sweat mainkan bibirnya dan sepasang matanya bersinarsinar.
“Hmm, orang semacam See thian Tok-ong amat sombong.
Biarpun aku belum pernah melihat mukanya, namun aku dapat
membayangkan bahwa orang-orang yang memakai nama Raja
Racun bukanlah orang yang baik, mungkin bukan manusia.
Penggunaan racun untuk merobohkan orang lain adalah kejahatan
yang securang-curangnya."
"Akan tetapi dapatkah kiranya Kwa Siucai menyembuhkan dan
menolak semua racun dari Raja Racun itu dengan pengobatan?"
"Mengapa tidak?" jawab Kwa Siucay menantang. "Semua racun
yang ia keluarkan akan dapat kulawan dengan pengetahuanku
tentang obat-obatan pemberian alam yang maha kuasa."
Demikianlah, dua orang itu berangkat ke dusun dan kebetulan
sekali mereka melihat Sin Hong hendak minum arak dari guci-guci
yang didapatkannya dari dalm rumah. Kwa Siucai cepat menyuruh
Kim Kong Tojin mencegah bocah itu melanjutkan minumnya dan
Kim Kong Tojin cepat melemparkan piauwnya, akan tetapi tak
tersangka-sangka bocah itu menggerakkan guci sehingga piauwnya
tidak mengenai sasaran. Mula-mula Kim Kong Tojin merasa terkejut
dan heran. Ia telah terkenal dengan ilmunya menimpuk dengan
senjata rahasianya, mengapa dalam jarak yang paling jauh empat
puluh kaki ia tidak dapat menimpuk guci yang demikian besarnya?
Akan tetapi ia segera mendapat pikiran bahwa gerakan bocah itu
adalah kebetulan saja, bukan karena ia kurang pandai menimpuk
atau karena bocah itu memiliki kepandaian, semua tentu hanya
kebetulan saja.
Setelah Sin Hong lari pergi dari situ Kwa Siucai bersama Kim
Kong Tojin lalu masuk ke dalam dusun dan sasterawan itu mulai
melakukan pemeriksaan. Dalam rumah pertama, begitu masuk ia
menggerakkan hidungnya dan mengerutkan kening.
242
"Hm, aneh sekali. Bagaimana di tempat seperti ini bisa terdapat
seekor Pek-gan-coa (Ular Mata Putih)?"
"Apa maksudmu, Kwa Siucai?" tanya Kim Kong Tojin dan air
mukanya berubah.
"Diam dan tunggulah saja," kata sasterawan itu yang segera
duduk bersila di tengah ruangan rumah yang berlantai tanah itu.
Dari dalam sakunya ia mengeluarkan sebuah bungkusan besar yang
ketika dibuka terisi beberapa puluh macam bungkusan kertas kecilkecil.
ia memilih sebuah bungkusan kecil setelah membaca tulisantulisan
di atas setiap bungkusan. Bungkusan itu dibukanya dan ia
menjemput sedikit bubuk warna biru yang disebarkan di depannya.
Tercium bau yang wangi oleh Kim Kong Tojin ketika sasterawan itu
menyebarkan bubuk biru ini, dan kepalanya menjadi pening. Buruburu
ia melangkah mundur menjauh dan menonton semua itu dari
jarak jauh dengan hati berdebar.
Sunyi beberapa lama. Kwa Siucai duduk tak bergerak sambil
meramkan mata seperti orang bersamadhi. Kim Kong Tojin juga
tidak berani bergerak. Tak lama kemudian terdengar suara
mendesis dari atas. Kwa Siucai tetap tidak bergerak, akan tetapi Kim
Kong Tojin menggerakkan mata memandang ke atas. Alangkah
ngerinya ketika ia melihat seekor ular yang kecil akan tetapi
panjangnya tidak kurang dari dua kaki, merayap turun tiang. Ular itu
warnanya biru, akan tetapi sepasang matanya putih mengerikan.
Lidahnya yang hitam terjulur keluar masuk dari mulutnya. Dengan
perlahan ular itu merayap turun terus menghampiri Kwa Siucai!
Kim Kong Tojin tetap tidak bergerak, akan tetapi diam-diam ia
telah memegang sebatang senjata rahasia piauw di tangan kanan,
siap untuk memmpuk ke arah ular itu kalau binatang berbisa ini
menyerang Kwa Siucai. Akan tetapi ular itu tidak menyerang Kwa
Siucai, melainkan menghampiri bubuk biru yang tersebar di depan
sasterawan itu lalu... bagaikan seekor binatang yang jinak ia
menjulurkan lidah dan menjilati tepung biru itu! Kelihatan enak
sekali ia makan tepung itu sehingga sebentar saja tepurg itu sudah
habis. Ular itu masih menggunakan lidah untuk menjilati tanah
bekas tempat tepung tersebar, akan tetapi tiba-tiba ia diam tak
bergerak'
243
Kwa Siucai tertawa dan melompat berdiri. "Hm, seekor ular ini
saja sudah cukup membunuhi semua penghuni dusun, ia lalu
membungkuk dan memegang ular itu pada lehernya. Ular itu masih
hidup akan tetapi tubuhnya lemas tak bertenaga sedikitpun juga.
"Eh, Kwa Siucai, bagaimana ia bisa menjadi begitu lemas?" tanya
Kim Kong Tojin dengan kagum.
"To-yu, kau tidak tahu. Pek-gan-coa ini adalah ular yang paling
berbahaya dan gigitannya sukar diobati. Entah bagaimana ia dapat
datang ke suni, pada hal biasanya ular macam ini hanya hidup di
daerah utara yang dingin. Kau lihat bukankah dengan obatku aku
mampu bikin dia tak berdaya? Juga orang yang menjadi korban
gigitannya, kalau belum lewat sehari semalam, aku sanggup
mengobatinya."
Kim Kong Tojin mengangguk angguk kagum. "Apakah namanya
obat tadi, Kwa Siucai? Bolehkah aku bertanya agar kelak kalau ada
aku dapati orang tergigit olehnya, boleh aku mencoba
menolonginya?"
Kwa Siucai tersenyum. "Tidak mudah, To-yu. Tidak mudah untuk
mempelajari ilmu pengobatan, jauh lebih sukar daripada
mempelajari ilmu silat. Kalau tidak demikian, mengapa aku lebih
suka mempelajari ilmu pengobatan? Obat tadi adalah sari bunga
bwee biru dari utara. Sudahlah, kita bertmtung sekali bertemu
dengan ular ini. Memanggangnya sampai hangus, arangnya dapat
menjadi obat penawar racun yang manjur." Kwa siucai memasukkan
ular itu ke dalam saku bajanya yang lebar, lalu menyimpan kembali
bungkusan obatnya.
Di rumah ke dua dan ke tiga, ternyata bahwa racun yang
tersebar di situ adalah racun ular mata putih juga. Akan tetapi di
rumah ke empat, baru saja memasuki rumah, Kwa Siucai
mengeluarkan seruan tertahan.
"To-yu, mundurlah, Jangan masuk dalam rumah ini. Berbahaya
sekali!" serunya.
Kim Kong Tojin melompat mundur akan tetapi mengintai dari
balik daun pintu, melihat apa yang hendak dilakukan oleh
sasterawan tua itu. Kwa Siaucai berhenti di tengah ruangan rumah
244
yang agak gelap ini, lalu mengeluarkan sebungkus garam dan
mencampur garam halus itu dengan obat bubuk warna putih.
Kemudian ia menyebarkan bubukan ini ke sudut-sudut ruangan, ke
atas dan ke tempat-tempat yang dapat dipakai bersembunyi
binatang kecil.
Bau apek memenuhi ruangan itu tiba-tiba melayang sebuah
bayangan kecil yang berwarna kuning emas dan sebelum ia dapat
mengelak, tahu-tahu lengan kiri Kwa Siucai telah tergigit oleh seekor
kelabang yang besarnya melebihi Ibu jari kaki! Kelabang itu
menggigit lengan di bawah saku dan tidak mau melepaskan lagi.
Baju Siucai bukan apa-apa baginya dan segera gigitannya telah
mengenai kulit.
Kwa Siucai terhuyung-huyung dan cepat ia berlari keluar. Sampai
di luar, ia cepat menjatuhkan diri duduk dan dengan langan kanan,
ia mengeluarkan bungkusan obatnya. Kim Kong Tojin memburu dan
bendak mencahut pedangnya, akan tetapi Kwa Siucai berseru.
"Jangan sentuh!!"
Kwa Siucai mengeluarkan sebungkus obat bubuk warna putih,
mengambil guci araknya dan menuangkan sedikit arak ke dalam
tutup guci. Obat bubuk warna putih itu ia tuangkan pula
setengahnya ke dalam tutup guci yang dijadikan cawan, kemudian
ia mengambil pula sebutir pil warna merah yang segera ditelannya.
Setelah itu ia minum arak yang bercampur obat itu.
Sehabis minum obat itu ia menjadi tenang. Sambil tersenyum ia
mengamat-amati kelabang yang masih melingkar di lengannya dan
ia mengangguk-angguk.
"Benar-benar aneh. Apakah dunia utara dan selatan sudah
kiamat sehingga binatang-binatang berbisa macam ini bisa
berkumpul di sini?" Ia menengok ke arah Kim Kong Tojin yang
memandang kepadanya dengan gelisah.
"To-yu, tahukah kau binatang apa ini? Inilah kelabang kulit emas
yang hanya terdapat di daerah selatan yang panas. Sekali gigit saja
ia mencwaskan orang dan setiap makanan yang dilaluinya juga akan
mengandung racun jahat."
"Akan tetapi kau... kau telah digigitnya, Kwa Siucai...."
245
"Tidak apa, bukankah aku tukang mengobati gigitan-gigitan
binatang berbisa? Aku takkan apa-apa, sebaliknya binatang ini akan
menjadi milikku." Sambil tertawa-tawa girang Kwa Siucai lalu
menjatuhkan beberapa banyak bubuk obat putih itu ke arah kepala
dan tubuh kelabang yang masih menempel pada lengannya. Tibatiba
kelabang itu melepaska gigitannya. Jatuh di atas menggeliatgeliat
dan kemudian diam tak bergerak, mati!
"Ha, minyak dari tubuhnya akan menjadi obat yang manjur bagi
penyakit gatal," kata Kwa Siucal girang dan cepat ia masukkan
kelabang yang sudah menjadi bangkai itu ke dalam saku bajunya
yang lain lagi.
Semua rumah itu dimasuki oleh Kwa Siucai dan makin besar
keheranannya ketika di rumah-rumah ia mendapatkan binatangbinatang
berbisa yang amat berbahaya seperti kalajengking, segala
macam ular dan kumbang. Baiknya Kwa Siucai benar-benar ahli
dalam hal pengobatan, bahkan beberapa kali ia terkena gigitan
binatang berbisa. Dalam menghadapi binatang-binatang berbisa
yang datang dari segala penjuru itu memang aneh dan berbahaya,
ia sampai beberapa kali membuka kitab tebal kecil yang selalu
dibawanya di dalam saku untuk mempelajari kembali agar jangan
sampai salah memperrgunakan obat penolaknya.
“Heran, heran, apakah yang terjadi di dusun ini? Apakah benarbenar
ada siluman yang datang mengganggu? Tak mungkin
binatang-binatang itu dapat datang dari jarak yang ribuan lie
jauhnya!" Beberapa kali sasterawan itu menggeleng-gelengkan
kepalanya akan tetapi tiba-tiba ia melangkah mundur ketika
pandangan matanya bertemu, dengan pandang mata Kim Kong
Tojin. Ia melihat sesuatu yang mengerikan dalam pandang mata
tosu itu.
Tosu itu tersenyum menyeringai. "Kwa Siucai, bukankah kau tadi
menantang See-thian Tok-ong? Nah, sekarang kau telah mencoba
kelihayannya, apakah kau merasa ngeri? Ha, ha, ha!"
Kwa Siucai menjadi pucat. "Jadi. semua ini adalah perbuatan
See-thian Tok-ong? Jadi dia sengaja mengorbankan dusun ini untuk
mencoba kepandaianku? Dan kau... tentu bukan bernama Kim Kong
Tojin! Celaka, aku telah tertipu...!”
246
"Ha- ha-ha, kau benar-benar pandai sekali menerka, Kwa Siucai.
Aku memang bukan bernama Kim Kong Tojin, melainkan Tek Goan
It dari Im-yang-bu-pai.”
"Apa kehendak See-thian Tok-ong? Apa kehendakmu dariku?"
"Kehendak kami? Ini!" Secepat kilat Tek Goan It memukulkan
tangan kanannya ke arah dada Kwa Siucai sedangkan tangan kirinya
merampas kitab kecil dan bungkusan obat. Kejadian ini terjadi
dengan cepat dan tak terduga sekali dan tahu-tahu Kwa Siucai
sudah roboh.
Sin Hong yang semenjak tadi mengintai dari jauh, tadinya
terheran-heran dan ngeri menyaksikan semua binatang berbisa itu
dan kagum bukan main melihat kepandaian Kwa Siucai. Dia masih
kecil dan biarpun semenjak kanak-kanak ia telah mengalami banyak
penderitaan akibat perbuatan orang -orang jahat, namun ia masih
tidak mengira bahwa akan ada orang yang dapat berlaku securang
tosu yang datang bersama Kwa Siucai itu. Oleh karena inilah maka
ia tidak sempat mencegah terjadinya penyerangan Tek Goan It
kepada Kwa Siucai.
Setelah Kwa Siucai terpukul jatuh, Sin Hong melompat keluar dan
membentak,
"Bangsat berbatin rendah!"
Akan tetapi, sebelum ia turun tangan ia melihat wajah Tek Goan
It menjadi pucat sekali dan terhuyung-huyung lalu roboh. Ketika Sin
Hong mendekati, ia segera melompat mundur kembali dengan
penuh keheranan dan kengerian. Ternyata bahwa entah apa
sebabnya Tek Goan It telah tak bernyawa lagi. Kitab dan bungkusan
obat masih dicengkeram oleh tangan kirinya!
Terdengar keluhan perlahan dan Sin Hong cepat menghampiri
Kwa Siucai, lalu berlutut.
"Sayang sekali aku datang terlambat Kwa Siucai. Apakah lukamu
hebat?"
Kwa Siucai mencoba untuk bangun akan tetapi tak dapat karena
tulang-tulang iganya telah remuk terkena pukulan Tek Goan It. Kwa
Siucai sudah tua dan memang tidak mengerti ilmu silat maka mudah
247
saja ia terpukul, sedangkan Tek Goan It adalah tokoh lm-yang-bu
pai yang berkepandaian tinggi. Mungkin pembaca masih ingat
bahwa dulu Tek Goan It inilah yang mengejar Liok Sun, dan
kemudian bertempur dengan Lie Bu Tek di Bukit Hoa-san.
Sin Hong membantu Kwa Siucai duduk. Sasterawan ini
muntahkan darah segar, kemudian napasnya terengah-engah.
Setelah ia melihat tubuh Tek Goan It rebah tak bernyawa lagi. Kwa
Siucai tertawa! Sin Hong merasa heran atas kematian Tek Goan It,
kini melihat sastewan itu tertawa, ia merasa makin heran lagi.
"Ha, dikira aku seorang sasterawan yang lemah dan tak mampu
membalas? Sayang hanya orang macam Tek Goan It ini yang
bertukar nyawa dengan aku, sungguh tidak berharga! Kalau saja
See-thian Tok-ong yang mati bersamaku, aku tidak akan
penasaran!"
Kwa Siucai memandang dan agaknya baru sekarang ia
memperhatikan bocah itu.
"Kau bocah aneh, kau bukan bocah sembarangan. Matamu
tajam, kau cerdik dan wajahmu membayangkan budi yang luhur.
Eh, siapakah kau sebenarnya? Nama Tan A Kai tentu palsu!"
Merah wajah Sin Hong. "Sesungguhnya, Kwa Siucai, aku adalah
Wan Sin Hong, seorang anak perantau. Aku adalah murid Pak Kek
Siansu."
"Apa...? Pak Kek Siansu sudah meninggal dunia...."
"Betul, akan tetapi akulah yang mewarisi kitabnya."
Wajah Kwa Siucai menjadi terang dan ia nampak girang sekali.
"Bagus! Pak Kek Siansu adalah sahabatku yang baik. Bagus, Sin
Hong, kau pun menjadi muridku pula. Terimalah kitab ini, ambil
bungkusan obat-obat itu Pelajari baik-baik... tolonglah orang-orang
yang menderita sengsara dengan kepandalanniu dari Pak Kek
Siansu dan dari aku...." Tiba-tiba tubuh saterawan itu menjadi
lemas, ia muntahkan daral segar lagi dan matanya tertutup untuk
selamanya.
248
Sin Hong menjadi terharu sekali, dan juga ia merasa bingung.
Sasterawan ini mengangkat ia sebagai murid dan memberi warisan
berupa kitab pengohatan dan sebungkus obat-obatan yang amat
manjur dan yang tadi sudah ia saksikan kehebatan khasiat obatobat
itu. Akan tetapi, ia pun mcnyaksikan betapa tosu yang
bernama Tek Goan It itu terus saja tewas begitu menyentuh kitab.
Ia dapat menduga bahwa tentu sampul kitab itu diberi racun yang
amat hebat. Bagaimana ia dapat menyimpan kitab itu tanpa terkena
racunnya? Memang bisa mengambil dengan tangan ditilami kain,
akan tetapi selanjutnya bagaimana ia dapat membaca kitab itu kalau
ia takut terkena racunnya?
"Bagaimana nanti sajalah, sekarang paling perlu menyimpannya,"
pikir Sin Hong. ia lalu mengambil kain pembungkus obat-obatan itu
dan menghampiri mayat Tek Goan It. Akan tetapi alangkah
kagetnya ketika ia merasa tangannya panas seperti terbakar. Ia
telah memberi tilam kain itu pada tangannya namun begitu
menyentuh kitab, ia merasa jari-jari tangannya seperti dibakar api
yang luar biasa panasnya!
"Celaka, racun ini hebat sekali!" serunya sambil melepaskan lagi
kitab itu yang jatuh di atas tanah. Ketika ia melihat tangannya,
ternyata kulit tangannya menjadi hangus. Cepat Sin Hong
mengeruhkan tenaga simkang di tubuhnya ke arah jari itu dan
akhirnya ia berhasil mengusir hawa panas yang membakar
tangannya.
"Lihai sekali..."...... katanya perlahan sambil menengok ke arah
jenazah Kwa Siucai. "Suhu, maafkan teecu. Terpaksa teecu tidak
berani membawa kitab dan akan teecu tanam saja di sini agar
jangan terjatuh ke dalam tangan orang lain. Hanya obat-obat ini
saja yang akal teecu bawa, sungguhpun tanpa kitab itu teecu tidak
tahu bagaimana harus mempergunakannya."
Sambil berkata demikian, Sin Hong lalu mengumpulkan
bungkusan kecil dari obat-obatan itu untuk dimasukkan ke dalam
kain pembungkus besar yang tadi dipakai untuk mengambil kitab.
Dalam pekerjaan ini ia melihat tulisan-tulisan di atas kertas
pembungkus dari tiap bungkusan. Ia segera meneliti tulisan dan
alangkah girangnya ketika ia melihat tulisan pada sebuah
249
bungkusan yang berbunyi : PENAWAR RACUN SAMPUL KITAB.
Dengan gtrang ia membuka bungkusan ini yang terisi bubuk warna
hijau. Ia menjemputnya sedikit dan menggosok-gosokkan obat int
pada tangannya yang terbakar. Seketika itu juga hangus pada
tangannya lenyap dan tangan itu terasa nyaman dan sejuk sekali.
"'Terima kasih, Kwa Siucai. Kau benar benar seorang suhu yang
baik!"
Sin Hong mempergunakan bubuk obat hijau itu untuk menggosok
kedua tangannya dan kini tanpa ragu-ragu lagi ia mengambil kitab
kecil yang terlempar di atas tanah. Tak terjadi sesuatu pada kedua
tangannya. Sin Hong tidak mau bekerja kepalang tanggung,
sebelum ia mempelajari tentang pengobatan dan penolak racun,
untuk menjaga keselamatan, ia lalu mempergunakan obat hijau itu
untuk dibalurkan kepada seluruh permukaan sampul buku sehingga
kini ia akan selalu aman kalau menjamah kulit buku itu.
Setelah melakukan semua ini, ia menyimpan kitab dan obatobatan
di dalam saku bajunya, kemudian ia menggali untuk
menanam jenazah Kwa Siucai. Kebaikan dasar watak Sin Hong
terbukti ketika tanpa ragu-ragu ia menggali lubang untuk mengubur
jenazah Tek Goan It.
Akan tetapi baru saja ia menyelesaukan penggalian lubang untuk
tokoh Im-yang-bu-pai ini, tiba tiba terdengar bentakan keras,
"Bocah lancang kau berbuat apa?” Pada saat itu menyambar
angin dari belakangnya. Sin Hong cepat miringkan tubuh dan
bersiap sedia untuk menjaga diri. Akan tetapi orang yang baru
datang itu tidak jadi menyerangnya ketika melihat bahwa ia hanya
seorang bocah biasa saja. Yang datang ternyata adalah kakek
tanggi besar yang berwajah bengis.
Sin Hong tidak kenal siapa adanya orang ini, akan tetapi ia dapat
menduga bahwa yang berhadapan dengan dia ini tentu bukan orang
baik-baik. Maka sambil tersenyum ia menjawab tenang,
"Orang tua, aku melihat dua orang ini saling bunuh di tempat ini,
maka karena kasihan aku lalu mengubur jenazah mereka. Apakah
ini salah dan lancang?''
250
Kakek tinggi besar yang kepala gundul dan berhidung panjang
bengkok itu memandang dengan matanya yang tajam, kemudian
membentak bengis, "Jembel cilik, hayo katakan siapa namamu!"
"Namaku? Aku bernama Tan A Kai."
"Apa kerjamu di sini?"
“Suda kukatakan tadi, aku mengubur mayat ini, adapun
pekerjaanku, karena kau bilang aku jembel tentu saja seorang
jembel pekerjaannya mengemis."
"Kau hilang tadi! mereka itu saling bunuh? Betulkah? Awas,
jangan kau membohong!"
"Bagaimana aku berani membohong? Aku melihat dengan kedua
mata sendiri betapa kakek tua itu dipukul dadanya oleh tosu jahat
ini."
"Kwa Siucai tak mungkin mampu membunuh Tek Goan It!" kata
kakek gundul yang baru datang.
Sin Hong memang cerdik, maka ia tidak menyebut nama dan
pura-pura ttdak tahu siapa adanya dua orang yang saling
membunuh. ia hanya berkata,
"Memang Kakek tua itu tidak balas membunuhnya, akan tetapi
begitu pembunuh itu merampas kitab milik Si Tua, ia lalu jatuh dan
mati scketika."
Kakek gundul nampak kaget sekali.
"Apa...? Di mana kitab itu? llayo katakan, di mana kitab itu
sekarang?"
Sin Hong memang cerdik, akan tetapi di samping kccerdikannya,
ia pun tabah dan jujur. Ia menjawab dan masih kelihatan tenang
saja, "Kitab itu oleh Kakek Tua telah diwariskan kepadaku."
Mendengar ini, tiba-tiba kakek gundul itu mengulurkan tangan
hendak memegang pundak Sin Hong. Akan tetapi sebelum
sambaran tangannya mengenai sasaran, dengan enak Sin Hong
sudah meloncat setombok ke belakang, gerakannya seperti kapas
ringannya.
251
Kakek itu melongo, akan tetapi tadi ia memandang rendah
kepada anak ini dan sama sekali tidak mengira bahwa anak itu
mengerti ilmu silat, maka bentaknya,
"Kau sebenarnya siapakah?"
"Tan A Kai namaku, anak jembel....!
"Setan, berani kau main-main terhadap See-thian Tok-ong? Kalau
tidak melihat kau akan mengubur mayat Tek Goan It, sudah taditadi
kau kubikin mampus. Berikan kitab itu kepadaku?
Kini Sin Hong benar-benar terkejut. inikah orangnya yang
bernama See-thian Tok ong, yang amat terkenal dan juga yang
sudah ia saksikan kekejian dan kejahatan bekas tangannya? Untuk
memancing keluar kepandaian Kwa Siucai See-thian Tok-ong telah
membasmi sebuah dusun dengan mempergunakan binatang berbisa
yang amat keji.
Akan tetapi Sin Hong memang tidak kenal takut. ia merasa
dirinya tidak bersalah, maka perlu apa ia harus takut?
"See-thian Tok-ong atau siapapun juga tidak boleh minta kitab
yang sudah diwariskan oleh Kwa Siucai kepadaku. Dan aku tidak
ada urusan apa-apa dengan See-thian Tok-ong." Sehabis berkata
demikian, Sin Hong lain melompat pergi.
"Bocah Setan. perlahan dulu!" Tubuh See-thian Tok-ong bergerak
cepat, melompat sambil menggerakkan tangan kanan memukul ke
arah punggung Sin Hong. Namun karena See thian Tok-ong masih
belum mengenal siapa sebetulnya anak ini dan hanya mengira
bahwa bocah ini tentu murid seorang pandai yang kalau
dibandingkan dengan tingkatnya sendiri tentu amat jauh, ia tidak
mempergunakan seluruh tenaga, bahkan pukulannya juga tidak
amat bcrbahaya bagi Sin Hong.
Sin Hong mendengar sambaran angin pukulan yang tidak berapa
hebat, cepat membalikkan tubuh dan mengangkat tangan kirinya
menangkis, sambil mengerahkan tenaga lweekang dan berbareng
kedua kakinya menotol tanah dengan gerakan Garuda Terbang ke
Langit, semua gerakan yang disertai ginkang amat tinggi
252
"Plak!" kedua lengan, yang satu besar yang satu kecil itu beradu
amat kerasnya.
"Ayaaa...'" See-thian Tok-ong berseru saking terkejutnya. Ia
merasa betapa lengan bocah yang kecil itu empuk seperti kapas dan
amat dingin seperti salju sehingga tenaganya sendiri lenyap disedot
oleh hawa dingin yang keluar dari lengan kecil itu. Ia menjadi
terkejut dan amat terheran oleh karena maklum bahwa itulah
penggunaan lweekang tingkat tinggi. Orang yang dapat
mempergunakan lmkang (tertaga Im) sampai mengeluarkan hawa
dingin, atau mempergunakan Yang-kang sampai mengeluarkan
hawa panas, bukanlah orang sembarangan, dan hanya dapat
dilakukan oleh ahli silat kelas tinggi. Bagaimana seorang bocah
sekecil ini dapat menangkis serangannya dengan tenaga Im-kang
dengan hebatnya? Lebih-lebih ketika ia melihat betapa sambil
menangkis tadi, tubuh bocah itu telah mencelat seperti kilat
cepatnya, melompat dengan kedua tangan dikembangkan seperti
sayap dan berapa kali kedua lengan bergerak sehingga tubuh yang
kecil itu pun terapung sebelum kedua kaki menginjak tanah. Benarbenar
seperti seekor burung garuda yang sedang terbang dan
menggerak-gerakkan sepasang sayapnya. Hal ini tentu saja bukan
hal yang amat aneh bagi seorang sakti seperti See-thian Tok-ong,
Akan tetapi yang bikin ia bengong terlongong adalah karena bocah
yang sekecil itu mana mungkin melakukan hal ini semua?
Sebaliknya, Sin Hong juga terkejut sekali ketika merasa lengan
tangan kirinya yang bertemu dengan lengan See- thian Tok ong,
terasa gatal, dan sakit. Ketika ia melihat tangannya, ternyata kulit
lengannya telah menjadi merah sekali, tanda bahwa pukulan lawan
tadi mengandung hawa beracun yang amat berbahaya! Ia diamdiam
bergidik. Ia maklum bahwa kakek gundul itu tadi memandang
rendah kepadanya sehingga tidak mengerahkan seluruh tenaga
serta tidak mempergunakan ilmu pukulan yang berbahaya. Akan
tetapi baru sedikit tenaga dan semacam ilmu pukulan biasa saja
akibatnya telah membuat ia terluka oleh hawa beracun, apalagi
kalau kakek itu menyerangnya sepenuh hati! Maka ia tidak berani
lagi mencoba untuk mengadu kepandaian, dan melarikan din
secepat mungkin. Girang hatinya karena ternyata bahwa dalam hal
ginkang, ia masih mengatasi kepandaian kakek itu.
253
See-thian Tok ong mengejar terus akan tetapi makin lama makin
tertinggal jauh. Akan tetapi, sambil mengejar, See-thian Tok-ong
berseru berkali-kali.
“Ji Nto..., Kok Sun...! Anak itu membawa kitab Kwa Siucai,
tangkap...!"
Mendengar ini, Sin Hong maklum bahwa See-thian Tok-ong
masih mempunyai kawan-kawan yang tentu berkepandaian amat
tinggi pula, maka ia lalu mempercepat larinya sehingga tak lama
kemudian ia telah jauh meninggalkan See-thian Tok-ong yang
menjadi bingung karena kehilangan jejak bocah yang dikejarnya.
Akan tetapi, tiba-ttba Sin
Hong mendengar bentakan keras
dari belakang, "Bocah nakal
tinggalkan kitab dan kepalamu!"
Ia menoleh dan melihat
seorang perempuan tua yang
berwajah cantik mengejarnya
dengan lari cepat seperti
terbang, di tangannya
memegang sebatang tongkat
kecil!. Sin Hong terkejut
menyaksikan cara nenek itu
berlari cepat. ia telah
mempelajari ilmu berlari cepat
dari kitab peninggalan Pak Kek
Siansu, akan tetapi sebetulnya
biarpun anak ini sudah
menghafal seluruh isi kitab di
luar kepala, namun dalam waktu empat tahun saja, bagaimana ia
dapat melatih diri dengan sempurna?
Sebaliknya, Kwan Ji Nio adalah seorang tokoh kang-ouw yang
memang amat terkenal akan kepandaiannya berlari cepat dan dalam
hal ginkang suaminya sendiri pun tidak dapat menangkan dia. Kini,
biarpun ia amat terheran-heran menyaksikan bocah yang dapat
berlari cepat, akhirnya ia setelah mengerahkan seluruh tenaga dapat
juga menyusul Sin Hong.
254
"Jangan harap dapat melarikan diri!” Kwan Ji Nio berseru keras
dan rantingnya bergerak cepat, menotok ke arah pinggang Sin
Hong. Seperti juga kesalahan suaminya tadi, Kwan Ji Nio ternyata
amat memandang ringan kepada bocah ini, yang dikiranya hanya
pandai berlari cepat saja. Oleh karena itu, totokan rantingnya juga
tidak berbahava, hanya cukup untuk merobohkan bocah itu.
Sin Hong yang sudah tajam sekali pendengarannya, tahu bahwa
totokan ranting itu tidak berbahava baginya, maka ia mengerahkan
sinkangnya sambil berlari terus. Ujung ranting mengenai jalan darah
di pinggangnya, akan tetapi alangkah terkejutnya hati Kwan Nio
ketika merasa betapa rantingnya itu melengkung dan terpental
seakan-akan menotok baja!
Akan tetapi dengan pekik nyaring nyonya tua ini telah mencelat
lagi dan tahu-tahu sudah berada di hadapan Sin Hong, mencegat
larinya. Adapun Sin Hong pada saat itu sudah memegang sebatang
ranting yang dipungutnya di bawah pohon ketika ia tadi melarikan
diri lagi. Kini menghadapi Kwan Ji Nio yang gerakannya luar biasa
cepatnya itu, ia tidak membuang waktu lagi dan cepat ia
menggerakan rantingnya dengan tipu terlihai dari Pak-kek-sin-kiamsut!
Kwan Jii Nio memutar rantingnya, akan tetapi segera ia berseru
kaget ketika tiba-tiba tangannya terasa lemas dan ranting yang
dipegangnya terlepas dari tangan. Ternyata bahwa dalam
segebrakan itu Si Bocah yang aneh telah dapat menotok urat
nadinya secara demikian ajaib. Hal ini tentu saja amat mengejutkan
hati Kwan Ji Nio sehingga ia berdiri bengong dan tidak mengejar
lagi ketika melihat Sin Hong melarikan diri lebih cepat lagi.
Di sepanjang jalan, Sin Hong merasa menyesal dan kecewa
bukan main.
'Mengapa aku berani-berani keluar dari gua sebelum
kepandalanku sempurna? Hm, benar-benar seperti katak dalam
sumur. Baru saja bertemu dengan dua orang, haI tenaga dan ilmu
silat sudah terang aku bukan tandingan See-thian Tok-ong,
sedangkan dalam ilmu ginkang aku tak mampu mengatasi nenek
tadi!" Ia berlari terus dan berjanji di dalam hatinya bahwa kalau
sudah selesai tugasnya mencari ayah angkatnya. ia akan kembali ke
255
dalam gua di jurang Jeng-in-thia di puncak Luliang-san untuk
menyempurnakan ilmu kepandaiannya.
Anak yang baru berusia kurang lebih tiga betas tahun ini tidak
sadar bahwa di dalam tuhuh dan otaknya, ia telah memiliki dasar
kepandaian yang jauh melebihi kepandaian See-thian Tok-ong
maupun Kwan Ji Nio. Ilanya tentu saja kurang matang melatihnya,
apalagi ia berlatih ilmu tanpa ada yang memberi petunjuk, kecuali
sebuah kitab peninggalan Pak Kek Siansu.
Setelah jauh meninggalkan Kwan Ji Nio dan See-thian Tok-ong
yang mengejarnya, Sin Hong merasa lega. ia berhenti di bawah
pohon dan membuka-buka kitab peninggalan Kwa Siucai. Dengan
cepat matanya menelan huruf-huruf yang tertulis di dalam kitab,
terutama sekali ia mencari cara-cara pengobatan untuk luka akibat
pukulan beracun. Alangkah girangnya bahwa di dalam kitab itu
terdapat daftar yang menuturkan tentang ratusan macam luka
akibat pukulan beracun. Dengan mudah ia mendapatkan catatan
tentang luka yang dideritanya ketika lengannya bertemu dengan
lengan See-thian Tok ong tadi. Kulit lengannya merah sekali dan
berbintik-bintik terasa gatal dan perih. Berkat petunjuk di dalam
kitab, ia dapat mengambil obat penawarnya dari bungkusanbungkusan
obat dan benar saja, sekali dioleskan, obat itu telah
mengusir rasa gatal dan warna merah.
Sin Hong lalu menjatuhkan diri berlutut menghadapi kitab dan
bungkusan berisi obat itu.
"Suhu Kwa Siucai, teecu menghaturkan terima kasih atas warisan
yang Suhu tinggalkan untuk teecu. Teecu bersumpah akan
mempergunakan kepandaian dan obat-obat serta petunjuk kitab ini,
bukan saja untuk menjaga diri, juga untuk .mengobati orang lain
yang perlu dengan pertolongan teecu."
Baru saja Sin Hong menyimpan kitab serta bungkusan obat,
hendak melanjutkan perjalanannya menuju Hoa san, tiba-tiba
terdengar pekik nyaring dan dari atas menyambar turun seekor
rajawali yang amat besar!
Sin Hong mengelak cepat dan debu mengebul tinggi ketika
burung itu menghantam tanah dengan sayapnya. Kembali burung
256
itu menyerang Sin Hong dengan sepasang cakarnya yang berkuku
tajam meruncing, dan dengan sepasang sayapnya yang lebar lagi
kuat. Juga paruhnya mengancam hebat.
"Kaukah ini, kim-tiauw yang baik...?"
Sin Hong berseru girang ketika mengenal burung rajawali yang
dahulu telah menyelamatkan nyawanya ketika ia dilemparkan ke
dalam jurang oleh Giok Seng Cu.
Akan tetapi burung itu tidak mengenalnya lagi, dan tentu saja
kim-tiauw ini hanya tunduk akan perintah See-thian Tok-ong dan
anak isterinya. ia memang disuruh mencari Sin Hong, maka begitu
bertemu ia menyerang dan hendak mencengkeram bocah itu.
Sin Hong mengelak ke sana ke mari. Kalau ia mau, dengan
pukulan ia akan dapat menghancurkan kepala burung atau
memecahkan dadanya akan tetap ia tidak tega melakukan ini. Ia
telah di tolong oleh burung ini dan tentu saja masih ingat baik akan
budi ini, bahkan ingin sekali membalas. Ketika burung itu terus
menerus menyerangnya, Sin Hong mendapatkan akal. ia mengelak
dan tiba- tiba dengan gerakan kilat, tubuhnya telah berada di atas
rajawali, duduk di punggung di antara sayap-sayap!
Kim-tiauw kebingungan. Tidak dapat menyerang bocah yang
sudah duduk di atas punggungnya itu. Akan tetapi ia tidak bodoh.
Cepat ia meniekik dan terbang tinggi, lalu bergulingan di udara'
Kalau saja Sin Hong bukan anak yang tabah, tentu ia akan jatuh
terguling, atau akan takut setengah mati. Akan tetapi Sin Hong
cepat memegang leher kim-tiauw dan ketika tubuh itu bergulingan,
ia tidak meramkan mata, bahkan tertawa-tawa.
Kim-tiauw menjadi kewalahan. Akhirnya ia berlaku cerdik dan
cepat terbang, hendak membawa bocah ini ke hadapan majikannya.
Sin Hong yang tahu ke mana arah terbang burung ini terkejut
sekali. Ia teringat bahwa burung yang dapat merampas pedang Pakkek
Sin-kiam ini, tentulah bukan sembarangan dan mungkin sekali
peliharaan orang pandai. Kini burung itu menyerangnya, bahkan
membawanya kembali ke tempat See thian Tok-ong berada. Tentu
burung ini binatang peliharaan See-thian Tok-ong, pikirnya.
257
"Kim-tiauw, jangan terbang ke sana. Bawa aku ke Hoa-san!"
serunya keras di dekat kepala burung itu. Akan tetapi mana burung
itu mau mendengar perintahnya? Ia bahkan terbang makin cepat.
Terpaksa Sin Hong menepuk punggung binatang itu yang tibatiba
kehilangan tenaga sepasang sayapnya sehingga ia meluncur
jatuh ke bawah seperti sebuah batu. Cepat Sin Hong membebaskan
totokannya dan membentak lagi. "Bawa aku ke Hoa-san!"
Begitu punggungnya ditepuk, kim-tiauw itu sembuh kembali dan
mendapatkan kembali tenaganya yang hilang, maka cepat terbang
menuju ke tempat See-thian Tok-ong sambil memekik ketakutan.
Akan tetapi Sin Hong tentu saja tidak mau membiarkan hal ini
terjadi. Berkali-kali, asalkan burung itu membawanya terbang ke
tempat musuh, ia menepuk punggungnya, dan baru membebaskan
setelah mereka meluncur ke bawah mendekati pohon-pohon.
Akhirnya kim-tiauw itu maklum bahwa bocah yang
menunggangnya harus diturut perintahnya. Binatang hanya mau
mngerti dan tunduk kepada kekerasan. Kali ini kim-tiauw tidak
melanjutkan terbang membalik dan berputaran di udara. Sin Hong
masih ingat jurusan mana yang harus ia ambil, maka sambil
menunjuk ke utara ia berkata, "Hayo bawa aku terbang ke sana!"
Kim-tiauw itu tidak banyak rewel lagi dan segera terbang ke arah
yang dikehendaki oleh Sin Hong. Alangkah senangnya hati bocah
itu. Ia merangkul leher kim-tiauw, menepuk-nepuk dan mengeluselus
kepalanva sambil berkata,
"Kim-tiauw yang balk. Kita telah menjadi sahabat sekarang.
Percayalah, aku takkan melupakan budimu dan kelak mudah
mudahan aku akan dapat membalasmu."
Kim-tiauw tidak dapat menjawab, hanya mempercepat
terbangnya karena takut kalau-kalau anak itu akan mencuri tenaga
sepasang sayapnya lagi. Kalau ada orang yang kebetulan melihat
Sin Hong naik di atas punggung seekor burung rajawali yang
demikian besarnya, tentu orang itu akan menyangka bahwa ia
melihat dewa atau iblis. Karena, siapakah pernah melihat atau
mendengar, kecuali dalam dongeng, orang menunggang burung?
Akan tetapi burung kim-tiauw itu memang bukan sembarangan
258
burung, melainkan binatang peliharaan See thian Tok-ong yang
sudah jinak dan lagi memang ia seekor burung besar yang amat
kuat. Adapun penunggangnya, Wan Sin Hong, juga bukan
sembarangan bocah, melainkan murid dari mendiang Pak Kek
Siansu, bocah yang sudah mewarisi kitab peninggalan dari pertapa
sakti itu. Dengan amat tepatnya Sin Hong dapat mengarahkan
terbangnya burung kim-tiauw menuju Hoa-san.
-oo0mch-dewi0oo-
Lie Bu Tek telah semhuh dari luka- lukanya dan kini ia menjadi
seorang yang buntung sebelah tangannya, yakni pada pangkal
lengan kanan dekat pundak. Dengan kekuatan batin yang luar biasa
Lie Bu Tek berhasil juga menahan semua kesengsaraan. ia harus
hidup terus tidak untuk membalas semua perbuatan jahat dari
orang-orang lm-yang bu-pai, akan tetapi terutama sekali untuk
mencari Wan Sin Hong, anak angkatnya. Seringkali ia turun gunung
dan bertanya-tanya di dunia kangouw kalau-kalau ada orang yang
mellhat anak itu, akan tetapi usahanya sia-sia belaka. Tak seorang
pun dapat memberi keterangan kepadanya di mana adanya anak
itu.
Di dalam usahanya mencari Sin Hong, Lie Bu Tek mendengar
pula banyak hal terjadi di dunia kang-ouw, di antaranya mendengar
betapa Luliang Sam-lojin tewas ketika orang-orang kang-ouw
menyerbu ke gunung itu untuk mencari pusaka peninggalan Pak Kek
Siansu. Ia hanya bisa menarik napas panjang dengan duka sekali,
karena dengan kepandaiannya yang terbatas, apalagi setelah
sebelah lengannya putus, ia bisa berbuat apakah? Yang membikin ia
merasa duka sekali adalah keadaan Sin Hong yang masih belum
diketahuinya sama sekali. Tak seorang pun tokoh kang-ouw pernah
melihat anak itu, dan sudah lama ia mencari Kian Cun Eng ketua
Hek-in-kaypang, namun sia-sia belaka. Bahkan para anggauta Hekkin-
kaipang yang dijumpainya, mempunyai kedukaan yang sama
yakni mereka kehilangan ketua itu yang tidak mereka ketahui ke
mana lenyapnya!
Dalam pikiran Lie Bit Tek, tentu Kiang Cun Eng membawa Sin
Hong ke tempat rahasia dan hal ini merupakan hiburan baginya.
259
Selama ia tidak mendengar bahwa anak itu telah binasa, masih
mempunyai harapan untuk kelak berjumpa pula. Ia percaya penuh
akan kesetiaan Kiang Cun Eng yang agaknya merasa lebih aman
untuk menyembunyikan sendiri anak itu dari ancaman malapetaka
musuh-musuhnya.
Setelah bertahun-tahun mencari, Lie Bu Tek mendengar berita
tentang dibasminya Im-yang-bu-pai oleh See-thian Tok ong, dan hal
ini amat menggembirakan hatinya. Apalagi ketika ia mendengar
bahwa dua orang musuh besarnya, yakni Lai Tek dan Kwa Siang,
tokoh ke dua dan ke tiga dari Im-yang-bu-pai yang telah menyerbu
Hoa-san, tewas pula oleh See-thian Tok-ong, hatinya memuji
keadilan Thian yang membasmi orang-orang jahat. Tanpa turun
tangan ada orang lain yang membalaskan sakit hati Hoa-san-pai. Ia
merasa puas, lalu ia kembali ke Hoa san-pai di mana Lie Bu Tek
mengasingkan diri dari dunia ramai, bertapa untuk memperdalam
ilmu batinnya.
Lie Bu Tek adalah seorang ahli pedang tunggal dari ilmu pedang
Hoa-san-pai. Sekarang setelah tangan kanannya tidak ada lagi dan
ia sudah malas berlatih, tentu saja ilmu silatnya banyak mundur.
Akan tetapi sebaliknya, oleh karena tekun bersamadhi dan
memperkuat tenaga batin, lweekangnya otomatis maju dengan
pesat.
Lima tahun lewat dengan cepat. Lie Bu Tek tak pernah
meninggalkan tempat pertapaannya di puncak Hoa-san lagi,
sungguhpun ia masih belum melupakan Sin Hong dan selalu kalau ia
tidak bersamadhi, pikirannya penuh dengan bocah yang dikasihinya
itu. Pada suatu hari, selagi ia duduk di depan tempat pertapaannya
sambil merenungkan nasib dan pengalaman yang lalu, tiba-tiba dari
udara terdengar pekik keras. Lie Bu Tek memandang ke atas dan
amat heranlah ketika melihat titik hitam jauh di angkasa yang
bergerak-gerak dan kemudian meluncur turun. Kini baru ia melihat
bahwa titik itu adalah seekor burung rajawali yang besar dan indah.
Makin besar keheranannya ketika burung itu sudah terbang dekat,
ia melihat bahwa di punggung burung raksasa itu duduk seorang
pemuda cilik.
-oo0mch-dewi0oo260
Jilid X
“GIHU...!" sebelum burung itu hinggap di atas tanah, Sin Hong
sudah mendahuluinya melompat turun dan langsung berlutut di
depan Lie Bu Tek yang duduk di atas batu. Burung itu setelah bebas
dari penunggangnya, memekik keras dan terbang tinggi, kemudian
menghilang di balik puncak.
Lie Bu Tek duduk bengong, hampir tak dapat percaya kepada
mata sendiri. Bahkan beberapa kali ia menggosok kedua matanya
merasa seperti dalam mimpi.
"Sin Hong...?" suaranya setengah berbisik.
"Gi-hu, ampunkan anak yang tidak berbakti, baru sekarang dapat
menghadap Gi-hu, membiarkan Gi-hu hidup dalam kesengsaraan,"
kata Sin Hong yang tak dapat menahan keharuan hatinya sehingga
air matanya bercucuran.
"Hong ji, anakku...!" Lie Bu Tek menubruk dan di lain saat
mereka berpelukan, tanpa dapat mengeluarkan kata-kata.
Lie Bu Tek dapat menekan perasaannya lebih cepat, dan tiba-tiba
ia tertawa di antara air matanya.
"Sin Hong' Ha-ha-ha, mengapa kita bertangisan? Ahh... lima
tahun lebih ku menanti dan kini kau tiba-tiba jatuh dari udara! Kau
benar-benar mengejutkan hatiku, anakku. Biarkan aku melihatmu
baik-baik!" Ia berdiri dan memegang dua pundak Sin Hong,
menjauhkan tubuh anak itu agar la dapat memandang wajahnya.
Keduanya berpandangan, wajah mereka penuh keharuan akan
tetapi dua pasang mata berseri penuh kebahagiaan.
"Sin Hong, lima tahun... aku hampir putus asa... dan sekarang,
kau sudah begini besar...!" Kembali pendekar Hoa-san pai ini
mendekap dan memeluk anak angkatnya.
"Gi-hu, apakah kau sehat-sehat dan balk-baik saja" Sin Hong
bertanya sambil memandang ayah angkatnya dengan penuh
keharuan, apalagi ketika tak disengaja ia memandang ke arah
261
lengan kanan yang sudah buntung sehingga lengan baju yang
kanan tergantung kosong di samping pinggang.
Bu Tek tersenyum. "Baik-baik dan sehat anakku. Eh, ke mana
perginya burung rajawali tadi?"
`Burung itu bukan punyaku, Gi-hu. Dapat kupinjam dari See
thian Tok-ong."
Lie Bu Tek terkejut. "Apa? Kau bersahabat dengan siluman tua
dari barat itu?”
Sin Hong tersenyum. "Jangan khawalir, Ayah. Aku dapat mcmilih
siapa yang patut dijadikan sahabat dan siapa pula yang tidak. Aku
meminjamnya tanpa ia ketahui."
"Mari kita masuk ke dalam, Nak. Aku ingin sekali mendengar
semua pengalamanmu." Mereka berdua sambil bergandengan
tangan lalu masuk kembali ke dalam pondok kecil di puncak Hoasan
itu. Sin Hong lalu menuturkan semua pengalamannya dengan
sejelasnya.
Bukan main girangnya hati Lie Bu Tek mendengar betapa anak
angkatnya telah menjadi ahli waris dari Pak Kek Siansu. Ketika ia
mendengar tentang Kwi Siucai yang terbunuh oleh Im-yang-bu-pai
yang bernama Tek Goan It, ia mengerutkan kening.
"Sudah kudengar bahwa lm-yang-bu pai dibasmi oleh See-thian
Tok-ong, akan tetapi sekarang seorang tokoh Im-yang-bu-pai
bekerja sama dengan siluman dari barat itu, benar-benar aneh.
Apakah bisa jadi See thian Tok-ong mempergunakan orang-orang
bekas anggauta Im-yang-bu-pai? Sin Hong, biarpun kau sudah
mempelajari ilmu yang tinggi, namun kita terkurung oleh orang
orang jahat yang berilmu tinggi dan keselamatanmu masih
terancam. Apalagi kalau Ba Mau Hoat tahu bahwa kau adalah
keturunan dari Wan-yen Kan tentu kau akan dibunuhnya. Oleh
karena itu mari kita pergi mencari Hwa I Enghiong Go Ciang Le,
hanya dia lah kiranya yang akan dapat melindugimu. Apalagi, dia
juga murid Pak Kek Siansu, jadi masih terhitung Suhengmu. Dia
pasti akan suka memberi bimbingan padamu kalau kau ceritakan
bahwa kau yang mendapatkan kitab peninggalan Pak Kek Siansu."
262
Akan tetapi Sin Hong menggelengkan kepalanya. "Tidak Gi-hu.
Sudah terang bahwa sehingga kini Hwa I Enghiong yang tersohor
sebagai pendekar gagah budiman, tidak muncul, biarpun dunia
sudah kotor oleh orang-orang jahat. Untuk apa kita mencari-cari dia.
Aku bahkan ingin memperdalam kepandaianku di tempat
persembunyianku itu, karena aku sudah merasa bahwa kepandaian
See-thian Tok-ong dan yang lain-lain amat tinggi. Marilah kau ikut
dengan aku, Gi-hu.”
Lie Bu Tek tentu saja tidak mau berpisah lagi dari putera
angkatnya setelah kini bertemu, maka ia tidak membantah ketika
Sin Hong mengajaknya pergi ke Luliang-san. Tadinya Lie Bu Tek
masih ragu-ragu untuk percaya bahwa anak angkatnya ini, memiliki
kepandaian tinggi, akan tetapi setelah Sin Hong membawanya lari
cepat, terutama sekali ketika mereka harus melompati jurang –
jurang lebar, bukan main kagumnya hati pendekar Hoa-san-pai ini.
Tidak saja kepandaian anak itu jauh melebihi dirinya sendiri bahkan
Sin Hong tanpa ragu-ragu memegang tangannya dan menariknya
melompat, jurang yang terlalu lebar dan berbahaya bagi Lie Bu Tek.
"Hebat sekali, anakku. Memang Suhu Liang Gi Tojin sendiri
agaknya takkan mampu melompat sambil menarik aku seperti yang
kaulakukan ini." Sin Hong tersenyum bangga dan girang mendengar
pujian ayah angkatnya.
"Gihu, aku telah menerima budi mendiang Pak Kek Siansu.
Kepandaian Suhu Pak Kek Siansu tak terbatas, dan kitab
peninggalannya itu mengandung sari pelajaran yang takkan ada
habisnya biarpun kumelatih diri sampai puluhan tahun. Oleh karena
itu, biarlah kita berdua bersembunyi di sana dan selain aku
memperdalam ilmu silatku, Gi-hu bisa mempelajari ilmu silat yang
sesuai de ngan Gi-hu."
Lie Bu l ek menarik napas panjang mukanya memperlihatkan
sinar kecewa.
"Tak mungkin, Hong-ji. Ilmu silat mengandalkan kecepatan gerak
kaki tangan, terutama sekali gerakan kedua tangan untuk
mengimbangi gerakan tubuh. Dengan tanganku tinggal sebelah,
biarpun andaikata aku mempelajari ilmu silat amat tinggi, kiranya
takkan dapat mainkan ilmu silat itu dengan sempurna."
263
"Gi-hu terlalu memandang rendah kepada diri sendiri. Mengapa
Gi-hu harus berputus asa? Ilmu yang ditinggalkan Suhu Pak Kek
Siansu, jangankan dipelajari oleh seorang seperti Gi-hu yang
biarpun sudah kehilangan sebelah lengan, akan tetapi memiliki
bakat dan kepandaian silat, bahkan andaikata dipelajari oleh
seorang yang sudah buntung dua lengannya dan tidak sepandai Gihu,
orang itu tentu akan memetik sari pelajaran yang amat berguna
bagi dirinya.”
Lie Bu Tek tertegun. la mcndapat kenyataan bahwa biarpun anak
angkatnya ini masih belum dewasa, namun cara bicaranya demikian
keras, bersemangat, dan juga berisi. Ia dapat menduga bahwa ini
semua dilahirkan oleh pengalaman pengalaman dan derita-derita
pahit getir yang dialami oleh anak itu.
"Baiklah, Hong-ji," katanya dan memaksa supaya suara dan
mukanya mengandung kegembiraan. "Aku akan belajar lagi dan
kaulah sekarang yang harus memberi pimpinan kepadaku dalam
ilmu silat'"
Padahal kata-kata ini bagi Lie Bu Tek hanya untuk menghibur
dan menyenangkan hati Sin Hong belaka, karena ia masih tidak
percaya kalau ia akan dapat mewarisi ilmu silat tinggi setelah
tangan kanannya buntung.
Setelah tiba di puncak Luliang-san Sin Hong mengajak Lie Bu Tek
menuju ke Jeng-in-thia (Ruang Awan Hijau), dan jago Hoa-san-pai
ini mengagumi keindahan tempat itu.
"Benar-benar patut menjadi tempat kediaman seorang sakti dan
suci seperti Pak Kek Siansu," ia memuji berkali-kali. "Sin Hong, di
manakah tempat rahasia yang menjadi tempat tinggalmu selama
lima tahun itu?"
"Di sana, Gi-hu. Di dasar sana itu." Sin Hong menunjuk ke jurang
yang tidak kelihatan dasarnya.
Lie Bu Tek terkejut. "Jadi kau telah dilempar oleh Giok Seng Cu
ke dalam jurang ini?" Ia memandang ke dalam jurang dan bergidik.
"sekarang... bagaimana kita bisa masuk ke sana? Kau sendiri bilang
bahwa jalan menuju ke sana sudah tertutup ketika kau keluar dari
gua."
264
"Memang tadinya aku berpikir demikian, Gi-hu. Akan tetapi aku
telah mempelajari keadaan di dasar jurang dan kurasa dengan
menggunakan akal, aku dapat turun ke dasar jurang ini."
"Apa katamu? Turun dari sini? Kau bilang dasar jurang ini dari
sini jauhnya tak dapat diukur!"
"Memang betul demikian, Gi-hu. Ketika kim-tiauw terbang
membawaku ke dalam jurang, mengingat waktunya yang lama
sebelum ia tiba di dasar, kiranya dalamnya jurang ini tidak kurang
dari pada setengah li! Akan tetapi, aku mempunyai akal untuk turun
ke bawah, mempergunakan sebatang tambang yang kuat dan
dibantu dengan sebatang pedang yang tajam."
"Tentang pedang, kiraku pedang ini cukup tajam, kalau
dugaanku cocok bahwa pedang itu hendak kaupergunakan untuk
membacok batu karang atau pohon di lereng jurang. Akan tetapi
tentang tambang di manakah kita bisa mendapatkan tambang yang
panjangnya sampai tengah lie" tanya Lie Bu Tek sambil lebarkan
matanya, karena ia menganggap akal dari anak angkatnya itu tak
masuk akal dan tak mungkin dilaksanakan lagi pula amat
berbahaya.
"Di sini terdapat akar pohon yang amat kuat, Gi-hu. Memang
panjangnya tidak mungkin ada yang sampai setengah lie, akan
tetapi kiranya ada yang panjangnya sampai lima tombak. Dengan
akar itu pun sudah cukup bagiku. Harap Gi-hu jangan khawatir, aku
sudah perhitungkan masak-masak bahwa aku pasti akan dapat
mencapai dasar jurang dengan aman dan selamat. Kemudian aku
akan membuka gua itu dari terowongan agr Gi-hu dapat masuk.
Baiklah sekarang Gi-hu melihat gua rahasia tempat bertapa
mendiang Suhu Pak Kek Siansu dan menunggu aku di sana."
Dengan perasaan tidak nyaman, Lie Bu Tek mengikuti Sin Hong
ke gua yang menjadi pintu masuk ke tempat persembunyian dan
yang kini tertutup oleh tempat tidur baja yang tak mungkin digeraki
dan dipindah karena menjadi satu dengan palang baja penutup
pintu gua itu.
265
"Harap Gi-hu menanti di sini, dengan sabar dan tenang, tak lama
tentu aku akan datang membukakan pintu rahasia untuk Gi-hu,"
kata Sin Hong.
Akan tetapi ketika ia hendak meninggalkan ayah angkatnya, Lie
Bu Tek berkata,
"Sin Hong, biarpun aku percaya penuh akan kecerdikan dan
kemampuanmu, namun usaha menuruni jurang yang hendak
kaulakukan itu amat berbahaya. Bagaimana kalau... sampai terjadi
sesuatu yang mengerikan? Apakah tidak lebih baik kita tanggal di
puncak yang indah ini saja dan kau pun dapat menyempurnakan
pelajaranmu di sini? Bukankah seluruh isi kitab itu telah kauhafal
semua?"
"Maksud Gi-hu ini memang baik. Akan tetapi kurang tepat. Gi-hu
sendiri maklum bahwa orang-orang jahat seperti See thian Tok-ong
itu amat berbahaya. Kita tidak tahu apakah mereka takkan
menyusul ke tempat ini, dan kalau sampai mereka mendapatkan
kita di sini sebelum kita membuat persiapan dan kepandaian kita
belum maju, apakah hal itu takkan lebih berbahaya lagi? Tidak, Gihu
harap tenang. Lebih baik kita menyembunyikan diri di dasar
jurang. Di sana aman, buktinya aku berada di sana sampai lima
tahun tanpa ada gangguan dari siapapun juga."
"Akan tetapi kalau gagal... kalau tambang itu putus...."
Sin Hong tersenyum. Sepasang matanya yang tajam itu bersinarsinar
penuh semangat. "Jangan khawatir, Gi-hu. Aku akan menjaga
diri baik-baik dan bukankah ujar-ujar kuno menyatakan bahwa,
siapa yang bercita-cita dan berkemauan baik, selalu akan mendapat
perlindungan dari pada Thian Yang Maha Kuasa?"
Akhirnya Lie Bu Tek tak dapat membantah lagi dan ia hanya
menarik napas panjang dan diam-diam berdoa untuk keselamatan
anak angkatnya itu ketika dengan gerakan lincah sekali Sin Hong
berkelebat pergi dari situ.
Sin Hong membawa pergi pedang Lie Bu Tek, sebuah pedang
yang cukup baik dan tajam. Ia mencari sebatang akar pohon yang
kuat dan ulet, memilih yang paling panjang. Betapapun panjangnya
sebatang akar, tidak lebih dari empat tombak. Dengan hati tabah ia
266
lalu menghampiri jurang, mencari batu karang yang kuat lalu
membuat pengait. Ujung akar itu ia talikan sedemikian rupa
sehingga merupakan lingkaran yang dapat dikaitkan pada batu
karang. Kemudian ia merayap turun melalui tambang akar itu.
Setelah tiba di ujung akar yang tergantung di udara, ia lalu
mempergunakan kakinya menginjak batu karang di lereng jurang,
dengan pedangnya ia membuat tempat untuk mengaitkan tambang.
Pedang yang tajam itu baik sekali untuk membacok batu karang
sehingga terdapat tempat untuk mengaitkan akar yang cukup kuat.
Setelah kepastian bahwa tempat itu kuat, ia lalu menancapkan
pedang pada lereng jurang, bergantung dengan tangan kiri pada
gagang pedang kedua kaki menekan batu karang di lereng jurang
dan tangan kanan digerakkan sedemikian rupa pada akar yang
masih bergantung sehingga ujung akar atas yang tadi dikaitkan
pada batu karang terlepas ke bawah.
Dengan amat cekatan, Sin Hong kembali memasang ujung
tambang itu pada batu karang ke dua dan meluncurlah ke bawah
seperti tadi. Usaha ini ia lakukan berulang kali, lebih dari lima belas
kali sebelum ia berhasil menginjakkan kaki di dasar jurang.
Pekerjaan sehebat itu memang amat berbahaya. Sekali saja
tambang putus atau kakinya tergelinci pasti tubuhnya akan hancur
di bawah jurang. Untuk dapat melakukan hal seperti itu, tidak hanya
membutuhkan kecerdikan, keuletan dan kepandaian tinggi, akan
tetapi juga membutuhkan ketabahan yang luar biasa. Agaknya sukar
mencari orang ke dua, apa lagi yang masih belum dewasa seperti
Sin Hong yang berani melakukan pekerjaan seperti itu.
Lie Bu Tek merasa tidak enak sekali menanti di gua itu.
Tubuhnya sebentar panas sebentar dingin kalau ia membayangkan
bahaya yang dapat mengancam diri anak angkatnya selagi
menuruni jurang yang demikian curamnya. Hatinya angin sekali
membawa dia keluar dari gua, berlari ke tepi jurang untuk melihat
keadaan Sin Hong, akan tetapi ia menguatkan hatinya dan tetap
menanti di situ sambil berdoa kepada Thian agar supaya anak
angkatnya itu selamat.
Tentu saja ia harus menunggu lama. Tidak saja pekerjaan
menuruni jurang dengan cara seperti yang dilakukan oleh Sin Hong
itu memakan waktu lama juga setelah anak itu berhasil mendarat di
267
dasar jurang, ia harus mempergunakan waktu yang cukup lama
untuk berjalan memasuki terowongan sehingga tiba di gua di mana
Lie Bu Tek menantinya dengan hati tidak karuan rasanya.
Akhirnya Lie Bu Tek mendengar sesuatu di balik tempat tidur
bekas tempat Pak Kek Siansu. Batu karang yang menjadi dinding di
belakang tempat tidur bergerak dan terbuka dan... muncullah Sin
Hong dengan wajah berseri.
"Hong-ji...!" Lie Bu Tek melompat dan memeluknya dengan
kedua mata basah dan muka pucat.
"Gi-hu, kau amat khawatir dan cemaskah? Lihat, anakmu Sin
Hong tidak kurang sesuatu!" kata anak itu dengan jenaka, padahal
kedua telapak tangannya masih ada tanda darah karena betapa pun
kuatnya, kulit telapak tangannya lecet-lecet ketika ia menuruni
tambang dari tempat setinggi itu.
Cepat mereka masuk ke dalam pintu rahasia dan Sin Hong lalu
menutup kembali pintu rahasia gua itu dari sebelah dalam.
Lenyaplah mereka dari pandangan mata, bahkan lenyap dari dunia
ramai, berada di tempat yang tak mungkin didatangi oleh manusia
lain.`
-oo0mch-dewi0oo-
Sebagaimana telah dituturkan di dalam cerita Pendekar Budiman,
pemerintah penjajah Kin makin lama menjadi makin lemah karena
gempuran- gempuran perjuangan rakyat jelata yang patriotik yang
dipimpin oleh orang-orang gagah di seluruhnya propinsi yang
terjajah.
Serangan dari barisan-barisan rakyat yang memberontak di mana
mana membuat pemerintah Kin menjadi lemah sekali sehingga
terpaksa Raja Kin menarik kembali bala tentaranya dari selatan,
timur dan barat, lalu mengumpulkan kekuatan induk pasukan untuk
menjaga keselamatan istana dan daerahnya yang terdekat. Hanya di
daerah utara saja mereka aman.
Akan tetapi, pemerintah Kin yang sudah berada di jurang
keruntuhan itu tidak tahu atau tidak mengira sama sekali bahwa
268
justru dari daerah utara inilah datangnya malapetaka yang akan
menamatkan sejarah kejayaan mereka. Bagaikan awan-awan hitam
yang kecil-kecil bertemu dan berkelompok lalu berkumpul menjadi
satu gumpalan awan besar menghitam, kekuatan baru ini
mengancam angkasa di sebelah utara.
Kekuasaan baru ini bukan lain adalah orang-orang Mongol yang
tadinya tidak dipandang mata oleh pemerintah Kin. Bangsa Mongol
adalah suku bangsa pengembara dan pemburu yang gagah berani.
Mereka hidup berkelompok, tidak mempunyai tempat tanggal
tertentu, melainkan menjelajah di sepanjang tapal batas Mongol.
Mereka hidup bebas menguasai daerah yang amat luas, daerah
yang dijadikan tempat mereka mendapatkan makanan, daerah di
mana mereka hidup berkeluarga berpindah-pindah, sesuka hati
mereka, menurut keadaan. Apabila di suatu tempat mereka
mendapatkan penghasilan cukup, pindahlah mereka di daerah lain
dalam wilayah itu juga untuk mencari hasil yang lebih mencukupi
untuk keluarga mereka. Wilayah mereka ini, dari Pegunungan Altaisan
di barat sampai ke pegunungan yang subur dan yang cocok
untuk pekerjaan mereka.
Suku bangsa Mongol ini, sebagaimana telah dituturkan di atas,
adalah pemburu-pemburu yang gagah berani. Di samping memburu
binatang hutan, mereka melihara hewan ternak, terutama lembu,
domba dan kuda. Oleh pekerjaan inilah mereka rata-rata merupakan
penunggang kuda yang pandai.
Keadaan hidup mereka yang boleh di bilang sukar kalau
dibandingkan dengan orang-orang di pedalaman Tiongkok sebelah
selatan, penghidupan yang penuh kekerasan dan penderitaan itulah
agaknya yang menjadikan mereka sebagai bangsa yang keras hati,
bersatu dan kuat. Kekuatan mereka semata-mata hanyalah hewan
ternak dan kuda. Makanan mereka yang terutama adalah daging
sapi atau domba dan susu merupakan kegemaran mereka pula,
terutama sekali susu domba.
Betapapun kasar dan keras hati, suku bangsa Mongol ini harus
diakui mempunyai semangat persatuan yang kokoh kuat, berdisiplin
dan jujur. Semboyan mereka "bersatu kita kokoh, bercerai kita
roboh". Hal ini memang bukan hanya semboyan kosong belaka,
269
namun sudah sering kali terjadi sebagai kenyataan. Daerah itu
merupakan daerah pegunungan yang amat sukar, dan agaknya
orang akan sukar hidup menyendiri saja, selain sukar mendapatkan
makan, juga sukar karena bahaya mengintai dari mana-mana,
bahaya diterkam binatang buas, diterkam kelaparan dan kehausan.
Tadinya suku bangsa Mongol memang tidak begitu kuat, bahkan
bisa disebut lemah. Bukan lemah saja, melainkan suku bangsa
Mongol pernah tunduk kepada suku bangsa lain yang lebih besar
dan kuat seperti suku bangsa Kerait dan Naimad. Akan tetapi,
semenjak akhir abad ke sebelas terjadi perubahan hebat pada suku
bangsa Mongol yang tadinya hidup berkelompok-kelompok dan
berpencar itu. tiba tiba saja mereka menjadi amat kuat bahkan
suku-suku bangsa lain satu demi satu digempur dan ditundukkan
dan ditarik menjadi anggauta sehingga suku-suku bangsa itu
bersatu dan menjadi satu bangsa!
Mengapa demikian? Tak lain oleh karena di dalam keluarga suku
bangsa Mongol ini lahir seorang Mongol yang berjiwa besar seorang
yang oleh mereka dianggap mendapat wahyu dari sekalian Dewa.
Orang inilah yang dalam usia kurang lebih lima belas tahun, sudah
dapat merampas kekuasaan dan menjadi pimpinan suku bangsa
Mongol dan membawa bangsanya itu ke arah kemajuan dan
kekuatan yang maha hebat. Siapakah dia? Bukan lain adalah Temu
Cin, pemuda perkasa yang bercita-cita tinggi. Temu Cin inilah
pemuda yang kelak akan menggemparkan dunia Tiongkok dan
namanya takkan pernah terhapus dari catatan sejarah, karena
dialah kelak terkenal sebagai Khan atau raja besar, raja pertama
dari sekalian suku bangsa di wilayah Mongol!
Pada suatu hari, ketika matahan baru saja muncul dan
memancarkan cahayanya yang kemerahan di permukaan Padang
Pasir Gobi, kelihatan serombongan manusia berjalan, didahului oleh
bayangan mereka. Dari letak bayangan yang berada di depan
mereka, dapat diketahui bahwa rombongan ini sedang menuju ke
barat.
Mereka itu terdiri dan seratus orang lebih, semua laki-laki dan
masih muda-muda. Melihat dan cara mereka berjalan, dapat diduga
bahwa mereka adalah sebarisan orang muda yang terlatih baik.
270
Biarpun pakaian mereka tidak seragam namun jelas tampak dan
mudah diduga bahwa mereka adalah sepasukan tentara atau orangorang
yang sedang dalam perjuangan.
Memang benar demikian. Mereka itu adalah rombongan orang
Mongol dan ialah pasukan pilihan yang dipimpin sendiri oleh Temu
Cin, seorang pemuda yang berusia paling banyak dua puluh tahun.
Temu Cin kelihatan gagah sekali dengan tubuhnya yang kekar kuat,
wajahnya yang segi cmpat dengan dagu jelas memperlihatkan
kekerasan hatinya. Dadanya membusung, pundaknya bidang dan
langkahnya seperti seekor harimau. Sepasang matanya sipit dan
kecil, namun selalu seperti ada dua titik api bernyala dalam
sepasang mata itu. Telinganya lebar dan panjang dan biarpun
wajahnya tak dapat disebut tampan, namun ia benar-benar
kelihatan gagah.
Rombongan itu nampak lelah. Biarpun pagi hari itu matahari
belum naik tinggi, namun hawa panas dart lautan pasir itu
membakar dan membuat napas menjadi sesak. Telah semalam
penuh mereka berjalan, didahului oleh Temu Cin yang berjalan terus
tanpa berhenti, juga tak pernah mengeluarkan kata-kata.
Seorang Mongol yang tinggi besar akan tetapi kurus, dengan
jenggot pendek, mendahului kawan-kawannya menyusul Temu Cin.
"Kawan-kawan sudah kelihatan lelah sekali. Apakah tidak baik
kalau kita beristirahat sebentar?" ia melapor sambil mengusulkan
kepada pimpinan muda itu.
Tanpa menghentikan langkahnya, Temu Cin menjawab, matanya
mengerling tajam penuh celaan kepada kawan yang melapor ini,
"Obika, kita takkan mengaso sebelum sampai di Telaga Gasyun
Nor, di mana kawan-kawan kita menanti dengan kuda-kuda yang
sudah dipersiapkan. Kalau kita berjalan cepat, menjelang tengah
hari kita akan sampai di sana."
"Akan tetapi lihatlah, kawan-kawan kita sudah lelah…. Boleh jadi
kita berdua kuat, akan tetapi mereka tidak sekuat kita. Apakah kau
tidak kasihan?" kata-kata ini diucapkan keras oleh Obika sehingga
terdengar oleh semua anak pasukan yang segera mengeluarkan
suara menggumam, tanda setuju dengan usul Obika.
271
Temu Cin ketika mendengar betapa suara derap kaki pasukannya
menjadi kacau dan mehhat mereka ragu-ragu untuk melanjutkan
perjalanan tiba-tiba berhenti dan membalikkan tubuhnya. Ia melihat
beberapa orang sudah amat payah dan kelelahan, akan tetapi masih
saja terus berjalan. Tiba-tiba tangan kanan Temu Cin bergerak dan
tahu-tahu telah mencabut sebatang golok yang bersinar merah.
Semua orang terkejut, terutama sekali Obika, akan tetapi sebelum
ada yang sempat menduga-duga, golok itu bergerak dan leher
Obika telah putus kena sambaran golok. tubuhnya terhuyung dan
sebuah tendangan dari Temu Cin membuat tubuh itu terlempar.
Darah mengalir keluar, diisap oleh pasir yang kehausan.
"Dia ini pengecut dan pengacau. Kata-katanya beracun,
melemahkan semangat kawan-kawan, tak patut pengecut ini berada
di barisan kita! Kita terkalahkan oleh musuh yang ribuan jumlahnya,
yang sampai sekarang masih mengejar kita. Kalau kita beristirahat
berarti kita akan mampus semua di tangan musuh. Kita berjalan
cepat selama setengah hari lagi dan kalau kita sudah tiba di Telaga
Gasyun Nor, tidak saja kita akan selamat, bahkan kita akan dapat
menggempur dan menghancurkan musuh yang telah menghina kita.
Siapa sekarang mau bicara tentang mengaso? Siapa.??"
Semua orang diam, tak berani bergerak. Mereka semua tahu
bahwa tak seorang pun yang mampu melawan Temu Cin, baik
dalam ilmu berkelahi, dalam ilmu berperang, maupun dalam
perdebatan.
"Yang masih kuat bantu kawan yang lemah, kalau perlu yang
sudah tidak kuat boleh digendong, dipanggul, atau di seret.
Betapapun juga, kita harus cepat-cepat tiba di Gasyun Nor!"
Kembali rombongan itu maju, bahkan lebih cepat dari tadi. Katakata
pemimpin muda itu membangkitkan semangat anak buah dan
jenazah Obika ditinggalkan di situ, terlentang dengan leher putus,
membuat tempat yang sesunyi itu nampak makin sepi.
Ketika rombongan ini tiba di dekat Telaga Gasyun Nor, dari jauh
Temu Cin sudah melihat bahwa di situ terjadi suatu. Ia melihat
orang-orangnya bertempur, mengeroyok beberapa orang yang
bermain pedang secara luar biasa hebatnya. Banyak sudah kawankawannya
yang mengeroyok menggeletak mandi darah. Temu Cin
272
yang biarpun sudah melakukan perjalanan semalam suntuk dan
setengah hari, masih dapat berlari cepat menghampiri tempat
pertempuran di dekat telaga itu. Dan ia melihat pertempuran yang
amat menarik hatinya. Sepasang orang muda bangsa Han sedang
dikeroyot oleh puluhan orang anak buahnya, akan tetapt anak
buahnya itu dapat diumpamakan sebagai nyamuk-nyamuk
menyerang dua nyala api lilin. Pemuda dan gadis bangsa Han itu
bukan main hebatnya, di mana juga pedang mereka berkelebat,
tentu seorang pengeroyok roboh.
"Tahan semua senjata...!" Suara Temu Cin memang amat
berpengaruh dan seketika itu juga, semua pengeroyok
mengundurkan diri.
Siapakah adanya pemuda dan gadis yang demikian luar biasa
ilmu silatnya hingga anak buah Temu Cin yang terkenal gagah
perkasa itu seakan-akan nyamuk menghadapi api bagi mereka?
Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh tahun, tubuhnya
jangkung kurus wajahnya tampan akan tetapi kepucatan, sepasang
matanya bersinar-sinar dan selalu bergerak-gerak bola matanya,
menandakan bahwa ia amat cerdiknya, pakaiannya mewah dan
menambah anggun sikapnya yang memang gagah. Adapun gadis itu
paling banyak berusia tujuh belas tahun, lincah dan manis, pada
wajah yang jelita itu terbayang kejenakaan dan kegembiraan hidup,
sepasang matanya bersinar terang membayangkan hati yang jujur
dan terbuka, mulutnya mungil kemerahan selalu tersenyum akan
tetapi kadang-kadang tertarik garis yang membayangkan kekerasan
hati luar biasa. Kadang-kadang sikap gadis cilik ini agak kasar dan
tidak pedulian, bahkan masih kekanak-kanakan, namun semua ini
tidak mengurangi kelucuannya dan membikin orang menaruh rasa
sayang.
Pemuda ini bukan lain Liok Kong Ji, sedangkan gadis itu adalah
Go Hui Lian. Bagaimanakah dua orang muda ini bisa tiba-tiba
berada di dekat Telaga Gasyu Nor, di tempat yang demikian
jauhnya, jauh di utara di perbatasan Negara Mongol? untuk
mengetahui semua ini baiklah kita mundur dulu dan mengikuti
perjalanan Liok Kong Ji, anak yang amat cerdik itu.
273
Telah dituturkan di bagian depan betapa dengan akal dan
kecerdikannya Kong Ji dapat menarik hati Pendekar Besar Go Ciang
Le dan isterinya sehingga dia kemudian dibawa oleh Ciang Le untuk
dididik sebagai muridnya! Dengan hati girang sekali Kong Ji ikut
dengan Ciang Le dan isterinya, juga bersama Hui Lian, menuju ke
tempat tinggal pendekar besar itu.
Ciang Le tinggal bersama isteri dan puteri tunggalnya di atas
sebuah pulau kecil di selatan. Pulau ini disebut Pulau Kim-bun atau
Pulau Pintu Emas karena pulau ini memang seakan-akan merupakan
pintu dari daratan Tiongkok sebelah selatan. Disebut pintu emas
karena para saudagar yang datang berlayar membawa barangbarang
dagangan yang amat berharga yang membuat perdagangan
di situ ramai sekali sehingga pintu berupa pulau ini amat penting
kedudukannya, amat berharga seperti emas. Di atas pulau ini
tinggal seratus lebih keluarga dan merupakan tempat yang ramai.
Rumah pendekar ini berada di sebelah utara dari pulau itu,
dengan pekarangan yang amat luas karena Cilang Le sengaja
membeli tanah yang luas di mana ia menghibur diri dengan hidup
bercocok tanam. Selain itu, ia memang memilih tempat yang sunyi,
jauh dari kota dan di tempat ini ia hidup berbahagia dengan
isterinya yang tercinta, yakni Liang Bi Lan, dan puterinya yang
mereka sayang Go Hui Lian. Selain mereka bertiga masih ada
seorang gadis cantik yang bernama Gak Soan Li karena memang
bakatnya besar luar biasa. Juga anak ini amat penurut, dan biarpun
ia seorang murid terkasih dari Ciang Le dan isterinya, namun ia
seorang anak tahu diri dan hidup di dalam rumah gurunya tak
pernah menganggur. Setiap saat orang melihat dia bekerja
membantu pekerjaan para pelayan sehingga boleh dibilang bahwa
semua pekerjaan rumah tangga berada di tangan Soan Li. Bi Lan
atau. Nyonya Go suka sekali melihat kerajinan anak itu, dan semua
pekerjaan rumah tangga beres oleh Soan Li tanpa dia sendiri turut
campur, sedangkan semua pelayan amat taat kepada gadis ini yang
memang manis budi dan pandai mengatur rumah tangga.
Seringkali, kalau sedang bercakap-cakap, Ciang Le menyatakan
kekagumannya terhadap murid tunggalnya ini dan di samping ini ia
menyatakan kekerasan hatinya melihat puterinya sendiri semakin
manja dan malas, sungguhpun harus mereka akui bahwa watak Hui
274
Lian jauh lebih gembira dan jenaka daripada Soan Li yang pendiam.
Tanpa adanya Soan Li di situ, pekerjaan rumah tangga akan repot
sekali. Sebaliknya tanpa adanya Hui Lian di situ, kegembiraan akan
lenyap karena kejenakaan anak ini seakan-akan cahaya matahari
yang menyinar dan menggembirakan hati semua orang. Kalau Hui
Lian anaknya gembira dan jenaka, cerewet dan manja, adalah Soan
Li amat pendiam, halus gerak geriknya, dan amat sopan santun
terhadap suhu dan subonya.
Gak Soan Li adalah seorang anak yatim piatu. Rumah ayah
bundanya yang bekerja sebagai buruh di Pulau Kim-bun, pada
waktu ia baru berusia enam tahun, terbakar dan kedua orang
tuanya tewas dalam malapetaka ini. Hanya Soan Li seorang diri
yang selamat. Karena menaruh hati kasihan terhadap anak yatim
piatu ini, Bi Lan dan Ciang Le lalu mengulurkan tangan dan
menolong anak ini membawanya ke rumah mereka dan Ciang Le
yang melihat bakat baik anak ini lalu mengambilnya sebagai murid.
Peristiwa itu terjadi belum lama sejak Ciang Le dan isterinya
tinggal di pulau itu dan pada masa itu, Hui Lian baru berusia
setengah tahun. Soan Li memperlihatkan sikap baik sekali dan ia
mencinta Hui Lian setelah Hui Lian menjadi besar. Akhirnya, setelah
Ciang Le dan Bi Lan berkali-kali menegurnya, baru ia mau menyebut
"sumoi” kepada Hui Lian, sedangkan Hui Lian menyebutnya "suci”
(kakak seperguruan).
Bakat Soan Li dalam ilmu silat luar biasa sekali sehingga ia
mendapat kemajuan pesat. Bersama dengan Hui Lian ia berlatih
silat, juga ia menerima pelajaran pekerjaan kerajinan tangan seperti
nyulam dan lain lain. Hui Lian selalu mendapat petunjuk dari Soan
Li, maka tidak mengherankan apabila hubungan kedua orang gadis
cilik itu menjadi makin erat saja. Di luar dugaan semua orang makin
besar Soan Li kelihatan makin cantik manis, dan Ciang Le serta Bi
Lan sendiri menjadi kagum dan girang. Mereka mempunyai seorang
murid yang tidak mengecewakan. Slapakah yang takkan bangga dan
girang melihat dua orang gadis cilik itu? Masing-masing memiliki
keistimewaan sendiri. Soan Li lemah lembut tidak akan ada yang
menduga bahwa dia mempunyai kepandaian silat yang tinggi,
gerak-geriknya halus, pakaiannya seperti wanita lemah, bicaranya
halus dan sikapnya pendiam. Sebaliknya, Hui Lian lincah sekali, baru
275
dari gerak-geriknya saja. orang tentu akan tahu bahwa gadis ini
memiliki kepandaian tinggi, bicaranya terus terang dan jujur, suka
ketawa mudah menangis. Kalau Soan Li boleh diumpamakan
setangkai bunga teratai putih yang indah dan tenang, adalah Hui
Lian seperti setangkai mawar hutan yang merah, penuh semangat.
Ketika Ciang Le dan Bi Lan sambil mengajak Hui Lian pergi
meninggalkan pulau untuk merantau dan mengunjungi Luliang-san,
Soan Li menunggu di rumah untuk menjaga rumah. Hati gadis amat
kecewa dan berduka. Baru kali ini ia ditinggal seorang diri dan ia
merasa amat kehilangan. Setelah tiga orang itu pergi barulah ia
tahu bahwa mereka bertiga itu amat disayangi, bahwa ia merasa
seperti menjadi sebagian daripada keluarga Go, dan hidupnya akan
sengsara tanpa mereka.
Oleh karena itu, alangkah girang hati Soan Li ketika beberapa
bulan kemudian Ciang Le bersama anak isterinya datang kembali
dari perjalanan mereka. Dan bersama tiga orang ini, Soan Li melihat
seorang pemuda tanggung yang sebaya dengan dia, yakni Liok
Kong Ji. Pada waktu itu, Kong Ji telah berusia empat belas tahun
dan Soan Li telah berusia lima belas tahun, sedangkan Hui Lian baru
berusia sepuluh tahun. Kalau Soan Li menyambut kedatangan guru
seanak isteri itu dengan penuh kegembiraan akan tetapi sama sekali
tidak memperhatikan kepada Kong Ji, adalah sebaliknya Kong Ji
berdebar hatinya dan diam-diam pemuda cilik ini mengaku bahwa ia
berhadapan dengan seorang bidadari yang lemah lembut. Ia
menduga-duga siapakah gerangan gadis yang cantik dan halus
gerak-geriknya ini.
Hui Lian yang amat gembira bertemu dengan Soan Li segera
memeluk dan berkata, "Soan Li Suci, lihatlah dia ini adalah murid
baru dari Ayah. Namanya Liok Kong Ji, orangnya cerdik dan
kepandaiannya sudah lihai sekali. Eh, Kong Ji Suko, inilah Gak Soan
Li Su-ci, murid Ayah Ibu yang cantik lemah lembut dan dalam hal
kepandaian, ia tidak kalah olehmu'"
Ciang Le hanya menggeleng-geleng kepala saja menyaksikan
kejenakaan putrinya sedangkan Bi Lan hanya tersenyum akan tetapi
diam-diam ia memperhatikan muka kedua orang murid itu.
276
Kong Ji berseri wajahnya dan dari sinar matanya dapat
tertangkap kekaguman besar, sebaliknya Soan Li bersikap dingin,
bahkan tidak melirik ke arah Kong Ji. Akan tetapi ia balas menjura
ketika Kong Ji memberi hormat dan berkata.
"Gak-sumoi, aku yang bodoh kelak mohon banyak petunjuk
darimu."
Soan Li tidak menjawab, hanya tersenyum hormat. Di dalam
hatinya ia tidak senang mendengar sebutan sumoy yang diucapkan
dengan nada manis dibuat-buat itu.
-oo0mch-dewi0oo-
Hui Lian menghadapi Kong Ji sambil tertawa. "Kong Ji Suko,
bagaimana sih kau ini. Biarpun kau nampaknya lebih jangkung,
namun kau bilang bahwa usiamu lebih tua empat tahun dari aku,
sedangkan Suci lebih tua lima tahun, jadi kau lebih muda setahun
dari Suci. Maka kau harus menyebut Suci pula, tidak boleh Sumoi.
Apalagi baru sekarang kau menjadi murid Ayah, sedangkan Suci
sudah delapan tahun'"
"Benarkah begitu?" Kong Ji berkata sambil tersenyum, lalu
menjura kepada Soan Li. "Suci, mohon maaf sebanyaknya atas
kekeliruan siauwte."
Soan Lt merah mukanya, dan ia hanya menjawab lambat, "Tidak
mengapa." Kemudian gadis ini berpaling kepada Ciang Le dan
berkata,
"Suhu kemarin ada datang seorang tamu yang mengaku sebagai
kenalan baik dari Suhu. Sekarang dia menanti di kamar tamu.
Namanya...."
Tiba-tiba dari dalam rumah gedung keluar berlari seorang lakilaki
setengah tua dan begitu melihat Ciang Le, ia berseru girang.
"Go-taihiap, akhirnya kau pulang juga...!"
Ciang Le menengok, demikian pun semua orang dan yang hebat
adalah Kong Ji. Begitu melihat orang ini, mukanya berubah pucat,
namun dengan ketabahannya yang luar biasa serta tenaga lwee277
kang yang sudah dimilikinya, ia dapat menekan perasaannya dan
dapat menyalurkan darah ke mukanya sehingga muka ini menjadi
merah kembali.
"Liok San-twako, kiranya kau yang datang? Kebetulan sekali. lihat
siapa yang ikut datang bersama ini!" Ciang Le menunjuk kepada
Liok Kong Ji. Liok San laki-laki setengah tua menengok ke arah Kong
Ji dan kalau sekiranya ia melihat iblis, agaknya ia tak demikian kaget
seperti ketika ia memandang kepada Kong Ji.
"Kau...??" Tiba-tiba, bagaikan seekor harimau ganas yang
melihat mangsanya, ia menubruk dan mengirim pukul keras ke arah
dada Kong Ji yang sedang berdiri tegak.
Ciang Le dan Bi Lan
terkejut sekali. Ciang Le
hendak mencegah, namun
tidak keburu karena serangan
ini memang tidak terduga
sama sekali. Sedangkan Kong
Ji semenjak tadi sudah
mengawasi gerak- gerik
pamannya ini, akan tetapi
melihat cara Liok San
memukul, ia tidak
menghindar dan memasang
dadanya.
"Bukk...!" Dada Kong Ji
terpukul keras dan akibatnya,
anak itu terpental dan
bergulingan sampai dua
tombak lebih, akan tetapi Liok
San meringis kesakitan sambil
memegangi tangan kanannya.
Liok Kong ji tidak terluka hanya terpental saja. Ia lalu melompat
berdiri maju menghampiri Liok San dan menjatuhkan diri berlutut
sambil menangis. "Siokhu (Paman), kalau anak bersalah,
bunuhlah...."
278
Liok San memandang dengan mata terbelalak. Dari pukulannva
tadi maklumlah ia bahwa kepandaian keponakan ini sudah amat
tinggi, jauh leblh tingi daripada kepandaiannya sendiri!
"lblis…. setan...." Kemudian ia berpaling kepada Ciang Le yang
memandang keheran-heranan "Go taihiap, harap maafkan aku akan
tetapi... bolehkah bicara dengan kau dan anak ini bertiga saja?" Ia
lalu berpaling kepada Bi Lan dan menjura. "Go-hujin, maafkan aku
sebanyak-banyaknya atas tingkah laku yang, amat tidak sopan ini."
Liang Bi Lan nampaknya tidak senang akan tetapi ketika melihat
isyarat mata suaminya, ia menggerakkan pundak. "Tidak apa... mari
Hui Lian, dan Soan Li kita masuk ke dalam dan istirahat!" Maka
tanpa mengeluarkan sepatah kata terhadap tamu itu, Bi Lan lalu
berjalan masuk diikuti oleh Hui Lian dan Soan Li, juga para pelayan
yang tadi ikut menyambut, sekarang disuruh masuk semua. Hanya
Hui Lian yang mengomel panjang pendek, terdengar oleh Liok San
karena cukup keras, "Benar-benar tamu yang aneh dan kasar!" Akan
tetapi Bi Lan mendelik kepadanya dan gadis cilik tidak berani
membuka mulut lagi.
Kini Ciang Le tinggal di luar bersama Liok San dan Liok Kong ji.
Anak ini masih berlutut sambil menangis sedih, tidak berani
mengangkat mukanya. Hatinya berdebar penuh kekhawatiran
karena masih belum tahu apa sebabnya pamannya datang-datang
memukulnya. Namun otaknya yang licin bekerja keras dan tangisnya
itu adalah siasat untuk melemahkan pamannya yang sedang marah
itu.
Liok San tidak mempedulikan keadaan Kong Ji sebaliknya lalu
berpaling kepada Ciang Le sambil berkata, "Go-tayhiap, tentu kau
merasa heran melihat perbuatanku." Ia menghela napas dan
memandang ke arah Liok Kong ji yang masih berlutut sambil
membuka telinganya baik-baik, "Sebetulnya kedatanganku ke pulau
ini untuk mencarimu justru hubungan dengan setan ini, siapa ia
malah datang bersamamu."
"Apakah yang terjadi, Liok-toako. Terangkanlah dulu apa
sebabnya kau datang mencariku dan apa sebabnya marah-marah
kepada Kong Ji.”
279
"Belum lama ini aku naik ke Hoa-san untuk menengok bocah ini
yang sudah lama kutinggalkan untuk berguru kepada Liang Gi Tojin
dan Lie Bu Tek Taihiap. "Siapa kira di Hoa-san telah kosong aku
tidak mendapatkan siapapun juga di puncak itu. Tidak kusangka
bahwa Hoa- san-pai yang begitu besar telah musnah.
"Aku pun tahu akan hal itu, Liok twako," kata Ciang Le karena
melihat tamunya itu menunda bicaranya.
"Kemudian aku mendengar Hoa-san-pai telah dimusnakan oleh
dua orang tokoh Im-yang-bu-pai. Liang Gi Tojin telah tewas oleh
mereka dan Lie Bu Tek Taihiap …...." Liok San memandang kepada
Kong Ji dengan sinar mata penuh kebencian.
Kong Ji diam-diam terkejut sekali. Dengan kepala tunduk ia
mendengarkan semua cerita ini dan kini otaknya yang sangat cerdik
dapat menduga bahwa pamannya tentu telah mendengar tentang
perbuatannya membuntungi lengan Lie Bu Tek. Akan tetapi secepat
kilat, otaknya sudah mempersiapkan jawaban yang tepat. Memang
anak ini lihai luar biasa.
Adapun Ciang Le yang mendengar kata-kata Liok San kemudian
melihat orang itu memandang kepada Kong Ji menjadi terheran,
maka ia lalu berkata, "Bukanlah Lie Bu Tek Toako juga telah terluka
hebat? Tahukah kau di mana adanya dia sekarang?"
Liok San menggeleng kepalanya dengan sedih, "Aku tidak tahu
dia berada di mana, akan tetapi yang hebat sekali adalah berita
yang kudengar bahwa ketika orang-orang Im-yang-bu-pai itu
menyerbu ke Hoa-san dan membasmi Hoasan-pai, anak ini, iblis
kecil yang tak berjantung ini, dia telah... telah membuntungi sebelah
lengan kanan Lie Bu Tek Taihiap!"
Kembali Liok San bernafsu sekali dan amarahnya meluap-luap.
Scpasang matanya menjadi merah dan ia seperti hendak menelan
bulat-bulat bocah yang berlutut di depannya. "Kau keparat jahanam.
Ketika masih kecil, Ayah Bundamu tewas oleh orang-orang Im-yangbu-
pai, kemudian kau kubawa ke Hoa-san-pai, ditolong oleh Liang
Gi Tojin dan Lie Bu Tek Taihiap, diterima menjadi murid. Bagaimana
kau begitu keji untuk membantu orang-orang Im yang bu pai
musuh-musuh besarmu dan bahkan kau berani sekali membuntungi
280
lengan Lie Bu Tek Taihiap?" Setelah berkata demikian, Liok San
sudah mengangkat tangannya untuk memukul kepala Kong Ji yang
masih tunduk.
Akan tetapi Ciang Le cepat menangkap tangannya dan
mencegahnya. Pendekar ini juga berubah air mukanya. Hatinya
berguncang dan berita ini adalah berita yang luar biasa hebatnya.
"Kong Ji, kau bangkitlah. Berdirilah dan jawab tuduhan Pamanmu
tadi. Benar-benarkah kau telah melakukan hal keji itu?" kata Ciang
Le.
Dengan perlahan Kong Ji bangun berdiri. Lalu ia berdiri tegak
dengan tenang menghadapi Ciang Le dan Liok San. Ia telah mencari
jalan dan otaknya yang cerdik sudah mendapat siasat yang
berbahaya namun berani sekali. Dengan pandang mata tenang
penuh keberanian untuk membuktIkan kejujuran hatinya, ia
menghadapi Ciang Le. Anak ini maklum bahwa Ciang Le memiliki
pandangan mata yang tajam dan seandainya mulutnya dapat
membohong, namun kalau pandang matanya tidak diatur lebih dulu,
mungkin akan dapat diketahui oleh Ciang Le. Maka sebelum
membuka mulut, lebih dulu ia menenteramkan hati dan
mengerahkan tenaga sehingga sepasang matanya memandang
tenang penuh kejujuran. Bahkan kini bibirnya tersenyum sedikit
sehingga wajahnya nampak cakap dan senang.
"Suhu dan Siokhu, seorang laki-laki harus berani bertanggung
jawab atas semua perbuatannya, apalagi kalau perbuatan itu
berdasarkan sesuatu yang memaksanya melakukannya. Teecu juga
tidak akan menyangkal, memang teecu telah mempergunakan
pedang dari Siang mo-kiam Lai Tek tokoh Im-yang-bu-pai untuk
menabas putus lengan kanan dari Lie Bu Tek Twa-suheng!" Katakata
ini diucapkan dengan sikap begitu sewajarnya dan berani
sehingga Ciang Le dan Liok San berdiri ternganga keheranan.
"Setan jahat, kau benar-benar keji dan tidak punya liangsim!"
Liok San membentak, suaranya tergetar saking marahnya.
Akan tetapi Ciang Le berkata dengan suaranya yang
mengandung pengaruh hebat. "Kong Ji mengapa kaulakukan itu?
Hayo lekas katakan apa alasannya dan bagaimana hal itu terjadi!"
281
Liok Kong Ji merasa lebih gentar menghadapi kata-kata Ciang Le
ini dari pada bentakan Liok San, namun ia dapat menguasai diri dan
tetap tenang.
"Suhu dan Siokhu, andaikata jiwi (Anda berdua) yang menjadi
teecu pada waktu seperti itu apakah yang jiwi lakukan? Anak
tanggung ini bertanya, sikapnya seakan-akan dia bukan sedang
diperiksa dan dituntut, melainkan seperti ia bercakap-cakap
seenaknya dengan dua orang tua itu.
“Lebih baik aku mati daripada berlaku pengecut'" Liok San
berseru marah.
“Teruskan saja ceritamu dan majukan alasanmu, Kong ji, dan
jangan menyinggung yang bukan-bukan!" Kini suara Ciang Le mulai
mengancam.
"Suhu, agaknya Suhu lebih mengerti akan keadaan daripada
Siokhu yang tak dapat mengendalikan hawa kemurahan. Seperti
telah teecu tuturkan kepada Su-hu, dua orang tokoh Im-yang-bupai,
yakni Siang-mo-kiam Lai Tek dan Thian-te Siang-tung Kwa
Siang, tokoh ke dua dan ke tiga dari Im-yang-bu-pai, menyerbu
Hoa-san-pai. Suhu Liang Gi dan Suhu Lie Bu Tek membela diri,
namun mereka kalah. Suhu Liang Gi Tojin tewas Sian Suheng
sendiri terluka hebat. Tinggal teecu dan Sin Hong yang berada di
sana menghadapi mereka."
"Kau maksudkan Sin Hong putera angkat Lie Bu Tek Toako?"
tanya Ciang Le penuh perhatian.
"Ya, betul dia, Suhu. Karena Adik Sin Hong yang dibawa ke Hoasan
untuk belajar bersama-sama teecu."
"Hayo teruskan!" Ciang Le mendesak. "Setelah begitu, mengapa
kau membuntungi lengan Suhengmu itu dengan pedang lawan?"
"Suhu, teecu seringkali mendengar nasehat dari Suhu Liang Gi
Tojin dan Suheng Lie Bu Tek bahwa siapa yang lemah harus
berakal, sehingga kekalahan tenaga dapat ditebus dengan
kemenangan siasat. Teecu pada saat itu maklum bahwa nyawa
Suheng takkan dapat ditolong lagi dan pasti akan terbunuh oleh dua
orang Im-yang-bu-pai itu, demikian pula nyawa teecu dan Sin Hong
282
pasti akan tewas. Oleh karena itu terpaksa teecu mempergunakan
siasat, menyatakan kepada dua orang lm-yang-bu-pai itu bahwa
teecu dan Sin Hong menaruh hati dendam kepada Hoa-san-pai,
teecu sengaja memutar balikkan kenyataan dan menyatakan hendak
berguru kepada Im- yang-bu-pai."
"Bangsat rendah!" Liok San memaki marah, akan tetapi Ciang Le
memberi isyarat agar supaya Kong Ji melanjutkan ceritanya.
"Sebelum mereka itu menyatakan sesuatu teecu mendahului
mereka agar mereka jangan membunuh Suheng, akan tetapi agar
mereka memberi kesempatan kepada teecu untuk membunuhnya
membalas sakit hati teecu."
"Keparat jahanam!" kembali Liok San memaki.
"Teecu lalu dicoba oleh dua orang takoh lm yang-bu-pai, diberi
pinjam pedang oleh Siang-mo-kiam Lai Tek untuk melakukan
pembunuhan itu. Teecu tidak membunuh Suheng Lie Bu Tek,
melainkan membuntungi sebelah lengannya yang sudah terluka itu."
"Setan kecil, kau memang jahat!" Liok San tak dapat menahan
kemarahana lagi. "Kalau kau memang seorang yang mengenal budi,
seharusnya kau melawan sekuat tenaga dan lebih baik kau mati
dalam membela Hoa-san-pai daripada kau melakukan hal yang amat
pergecut dan khianat itu!"
Adapun Ciang Le memandang kepada Kong Ji penuh kekaguman.
Ia heran sekali melihat keberanian anak ini, berani mengaku semua
perbuatan itu seakan-akan tidak merasa bersalah. Apakah anak ini
mempunyai alasan yang kuat mengapa ia melakukan semua itu.
"Kong Ji, sekarang ceritakan mengapa kau lakukan hal yang
sekeji itu."
"Suhu, seperti sudah teecu sebut tadi, seorang yang lemah harus
dapat mempergunakan siasat halus. Pada waktu itu, Suhu sudah
tewas dan Suheng terluka berat. Teecu sendiri bersama Sin Ho ada
mempunyai daya apakah? Kalau teecu menurutkan nafsu seperti
dinyatakan oleh Siokhu tadi, tentu teecu dan Sin Hong dalam
sejurus saja akan tewas pula, dan Suheng Lie Bu Tek juga tentu
akan mereka bunuh. Kalau terjadi demikian, bukankah itu berarti
283
bahwa semua murid Hoa-san-pai akan terbinasa dan siapakah kelak
yang akan membalaskan sakit hati itu? Harap Suhu suka
pertimbangkan dengan adil. Kalau teecu menurutkan nafsu hati dan
melawan, tidak akan ada gunanya sama sekali kecuali
mengantarkan nyawa dengan sia-sia. Sebaliknya, dengan siasat
yang telah teecu lakukan, tidak saja Suheng Lie Bu Tek terlepas
daripada bahaya maut dan hanya kehilangan lengan sebelah, juga
tee-cu dan Sin Hong selamat."
"Akan tetapi, dengan berbuat demikian kau telah merendahkan
diri dan menyeret namamu ke dalam lumpur kehinaan, Kau dapat
dianggap pengecut besar dan orang berkhianat yang amat rendah!
Ini lebih hebat daripada maut!" kata Ciang Le dan hati pendekar ini
berdebar, heran dan kagum ia mendengar siasat yang amat cerdik
itu, namun ia pun ragu-ragu karena hanya orang yang rendah budi
saja yang kiranya dapat mempergunakan dan menjalankan siasat
seperti itu.
"Apa boleh buat, Suhu. Sakit hati teecu terhadap Im-yang-bu-pai
begitu besar, cita-cita teecu untuk kelak membalas dendam
demikian hebat sehingga tee-cu berani mengorbankan apa saja.
Teecu berani mengorbankan nama baik, berani mengorbankan
perasaan yang hancur ketika teecu membuntungi lengan Suheng.
Bahkan kalau sekarang Suhu dan Siok menganggap teecu berdosa
dan harus bunuh, teecu rela karena dalam kematian ini pun
merupakan pengorbanan teecu yang hendak membalas dendam
kepada musuh-musuh kita itu. Suheng sendiri pasti akan
memaafkan teecu karena dengan perbuatan itu tidak saja Suheng
bebas dari kematian, juga telah memberi kesempatan kepada
Suheng, teecu dan Sin Hong untuk kelak mencari musuh- musuh
besar dan membalas dendam."
Ciang Le kini merasa kagum sekali. Liok San sendiri bengong,
karena setelah ia pikir-pikir, memang apa yang dilakukan oleh Kong
Ji itu masuk akal dan bahkan cerdik sekali! Oleh karena itu sekarang
ia tidak dapat mengeluarka kata-kata, hanya memandang kepada
keponakannya dengan mata terbelalak dan kadang-kadang ia
menoleh kepada Ciang Le untuk melihat apa yang akan dikatakan
oleh pendekar besar ini.
284
"Kong Ji, jadi kau melakukan semua itu bukan karena kau ingin
hidup dan menyelamatkan diri sendiri?"
"Bukan, Suhu. Demi Tuhan Yang Maha Kuasa, teecu melakukan
itu bahkan demi kelamatan Suheng, keselamatan Sin Hong, dan
agar teecu mendapat kesempatan membalas dendam."
"Jadi kau benar-benar bercita-cita membalas dendam atas
kehancuran Hoa-san-pai?"
"Teecu bersumpah, bukan hanya untuk membalas dendam atas
kehancuran Hoa-san-pai, akan tetapi juga untuk luka yang diderita
oleh Suheng Lie Bu Tek, untuk kematian Suhu Liang Gi Tojin, untuk
kematian Ayah Bunda teecu dan untuk kejahatan orang- orang Imyang-
bu-pai." kata Liok Kong Ji penuh semangat, kemudian ia
menjatuhkan diri berlutut lagi dan menangis. Tangisnya demikian
sedih dan sama sekali tidak kelihatan dibuat-buat sehingga Ciang Le
yang demikian awas pandangan matanya, masih kalah dan dapat
tertipu oleh anak yang memang lihai dan berbahaya sekali itu.
"Liok toako, kau mendengar sendiri keterangan Kong Ji. Anak ini
bersemangat besar, dan menurut pendaputku. perbuatannya atas
diri Lie Bu Tek Toako itu bukanlah hal yang jahat, bahkan
menunjukkan bahwa ia cerdik sekali. Aku berani tanggung bahwa
Lie Bu Tek Toako pasti takkan marah kepadanya.
Liok San menarik napas, kelihatan lega sekali. "Sesungguhnya,
Taihiap, tiada kesenangan yang lebih besar bagiku daripada
mendengar keponakanku bebas dari kesalahan. Akan tetapi, tidak
ada kedukaan yang lebih besar bagiku dari pada mendengar dia
berdosa. Kalau dia dianggap berdosa, aku sendiri yang akan
membunuhnya, akan tetapi sukurlah kalau Taihiap berpendapat
demikian. Aku hanya menyerahkan anak kakakku ini kedalam
bimbingan Taihiap."
Ciang Le memandang kepada Kong Ji yang masih berlutut. "Kong
Ji, selanjutnya apa yang terjadi dengan Lie Bu Tek Toako dan
dengan Sin Hong?"
"Tentang Lie Bu Tek Suheng, teecu tidak tahu lagi karena
semenjak itu, teecu dibawa pergi oleh orang-orang Im-yang-bu-pai
dan ketika teecu pergi, Suheng masih rebah di puncak Hoa-san
285
dalam keadaan pingsan. Adapun Adik Sin Hong memang karena
tertarik dan percaya kepada teecu, dua orang tokoh lm-yang-bu-pai
itu membawa teecu dan Sin Hong pergi, dengan maksud untuk
diambil murid. Akan tetapi Adik Sin Hong ternyata tidak dapat
menahan nafsunya. sepanjang jalan ia memaki-maki dua orang
tokoh Im-yang-bu-pai itu sehingga mereka menjadi hilang
kesabaran. Tentu Adik Sin Hong dibunuh oleh mereka kalau saja
tidak keburu datang orang-orang Hek-kin-kaipang yang
menolongnya dan membawanya pergi."
"Hek-kin-kaipang? Siapa yang memimin mereka?" Ciang Le
bertanya.
"Teecu tidak kenal, hanya pemimpinnya seorang wanita cantik,
dan pemimpin itu berhasil membawa lari Sin Hong, akan tetapi anak
buahnya, puluhan orang yang tewas dalam tangan kedua tokoh Imyang-
bu-pai itu."
"Kiang Cun Eng….” Ciang Le berkata lirih dan terkenanglah ia
akan pengalamannya ketika masih muda. Pernah ia digoda oleh Cun
Eng yang cantik genit (baca Pendekar Budiman). Ia menarik nafas
panjang dan merasa bersukur bahwa akhirnya wanita itu melakukan
sesuatu yang baik, yakni menolong Sin Hong putera dari Wan-yen
Kan.
"Jadi kau selama ini menjadi murid Im-yang-bu-pai?" tanya Liok
San di hatinya tetap saja tidak senang kalau mengingat betapa anak
ini, yang orang tuanya terbunuh oleh Im-yang-bu-pai, bahkan
menjadi murid musuh besar mereka.
"Tidak, Siokhu, anak hanya sebentar saja tinggal di sana.
Kemudian datang See-thian Tok-ong yang menghancurkan Im-yangbu-
pai." Ia lalu menceritakan secara singkat kepada pamannya ini
tentang semua pengalamannya tentu saja ia atur demikian rupa
sehingga ia tidak melakukan sesuatu pelanggaran yang
memburukkan namanya. Ia bahkan menceritakan betapa dengan
akalnya ia dapat membikin musuh besar yang membunuh ayah
bundanya, yakni Sin-chio Thio Seng, tokoh ke lima dari Im-yang bupai,
terbunuh sendiri oleh Giok Se Cu.
286
"Demikianlah, Siokhu. Dengan masuknya anak di dalam Im-yangbu-
pai, tidak saja anak dapat membalas dendam kepada orang yang
membunuh Ayah Bunda, juga dengan pertolongen See-thian Tok
ong, Im-yang bu-pai dapat dihancurkan." Selanjutnya ia
menceritakan pengalamannya ketika ikut See-thian Tok-ong dan apa
kemudian ia tertolong oleh Go Ciang Le ketika hendak dibunuh oleh
Raja Racun itu dan kemudian ikut dengan Ciang Le sebagai
muridnya.
Liok San menarik napas panjang, hatinya lega sekali. "Sudahlah,
baiknya Go Taihiap berpemandangan luas. Aku merasa tenteram
hatiku kalau kau berada di bawah pengawasannya. Belajarlah baikbaik
dan kau harus taat kepada Suhumu."
Ciang Le yang masih teringat akan nasib Lie Bu Tek dan Sin
Hong berkata kecawa. "Sayang sekali kita tidak tahu bagaimana
dengan nasib Lie-twako dan anak Sin Hong. Apakah mereka masih
hidup? Kalau masih hidup di mana mereka bersembunyi?"
"Go-talhiap, biarlah aku akan mengembara dan mendengardengar.
Kita agak mudah untuk mencari Sin Hong, biarlah aku
mencari di mana adanya Kiang-kaipangcu, ketua Hek kin-kaipang
itu. Mungkin anak itu dapat ditemukan, hanya aku masih bingung ke
mana harus mencari Lie Bu Tek Taihiap."
Ciang Le girang sekali. Ia baru datang di rumah dan tak dapat ia
pergi lagi dalam waktu dekat.
"Terima kasih kalau kau mau menyelidiki tempat mereka,"
katanya.
Liok San hanya satu hari tinggal di Pulau Kim-bun, dan pada
keesokan harinya setelah banyak meninggalkan nasihal bagi
keponakannya ia lalu pergi. Sebelum ia pergi, lebih dulu Ciang Le
diam-diam mengajak ia berembuk tentang maksud hati Ciang Le
dan isterinya, yakni hendak menjodohkan Liok Kong Ji dengan Gak
Soan Li. Tentu saja Liok San menerima dengan girang dan segera
menyetujui, maka antara dua orang tua ini telah mengadakan ikatan
perjodohan yang belum saatnya diberitahukan kepada dua orang
muda yang bersangkutan.
-oo0mch-dewi0oo287
Kong Ji berlatih ilmu silat di bawah gemblengan Ciang Le dengan
penuh ketekunan. Sebegitu jauh ia dapat menyembunyikan
kepandaiannya sehingga Ciang Le sendiri tidak tahu bahwa anak itu
telah pandai ilmu silatnya, bahkan telah dapat mempelajari Ilmu
Pukulan Tin-san-kang yang lihai dan ilmu silatnya yang aneh dari
See-thian Tok-ong. Bersama-sama Hui Lian dan Soan Li, Kong Ji
berlatih siang malam dan ketekunannya benar-benar mengagumkan
hati Ciang Le dan isterinya. Dalam kelicinan dan kecerdikan, Kong Ji
dapat membuat dirinya seakan-akan paling bodoh antara tiga orang
anak muda yang belajar ilmu silat dari Hwa I Enghiong Go Ciang Le.
Makin lama, Kong Ji merasa makin tertarik kepada Soan Li akan
tetapi sebaliknya gadis ini entah mengapa mempunya i rasa tidak
suka kepada pemuda mi. Kalau dekat dengan Kong Ji, ia merasa
seakan-akan dekat dengan seekor ular yang berbahaya dan sukar
dimengerti isi hatinya. Namun di luarnya ia tentu saja bersikap biasa
seperti lajimnya seorang terhadap saudara seperguruannya.
Kong Ji adalah seorang yang cerdik, biarpun Soan Li tidak
menyatakan isi hatinya namun pemuda ini dapat menduga bahwa
gadis cantik itu tidak suka kepadanya. Maka ia pun dapat
membatasi diri, dan pada umumnya, sikap Kong terhadap siapapun
juga amat sopan dan menghormat serta taat terhadap Ciang-Le dan
Bi Lan, pendiam dan tak pernah berkelakar di hadapan Soan Li,
akan tapi ia amat rapat hubungannya dengan Hui Lan. Memang Hui
Lan berwatak gembira dan jujur dan Kong Ji adalah seorang ahli
dalam mengatur sikap, seorang yang dapat menyesuaikan diri
dengan siapapun juga ia berhadapan, maka ia dapat mengambil hati
semua orang. Bahkan Soan Li sendiri tidak mempunyai alasan
mengapa ia tidak suka kepada Kong Ji. Pemuda itu cukup tampan,
sikapnya baik dan sopan santun, namun ada sesuatu yang
mengganjal hatinya dan membuat ia merasa tidak enak kalau
berhadapan dengan Kong Ji.
Setelah mendengar penuturan Kong Ji tentang peristiwa di Hoasan.
Ciang Le berlaku amat hati-hati. Diam-diam ia sering kali
mengamat-amati kelakuan Kong-Ji, dan biarpun selama bertahuntahun
Kong Ji tidak pernah memperlihatkan watak yang jahat,
288
namun pendekar ini tetap berlaku hati-hati dalam memberi
pelajaran ilmu silat. Kalau ia mwnurunkan seluruh kepandaiannya
kepada puterinya dan kepada Soan Li, dan bahkan menurunkan ilmu
silat Pak-kek Sinkang kepada dua orang gadis ini, adalah pada Kong
Ji ia hanya memberi latihan ilmu silat. Ia tidak berani menurunkin
Pak-kek Sin-ciang kepada murid ini, hanya menurunkan Ilmu Silat
Thian-hong ciang-hoat yang juga lihai. Namun selihai-lihainya Thianhong-
ciang-hoat, tentu saja tidak dapat menyamai kehehatan ilmu
Silat Pak-kek Sin-Ciang. Sebagaimana telah dituturkan di dalam
cerita Pendekar Budiman. Go Ciang Le hanya menerima sedikit saja
Ilmu Silat Pak-kek sin-Ciang, namun bagian yang tidak seberapa ini
sudah cukup untuk mengangkat tinggi namanya dan jarang ada
orang kang-ouw yang dapat menghadapi ilmu silat ini.
Kong Ji bukan seorang yang mempunyai kccerdasan luar biasa
kalau ia tidak tahu.bahwa ia dibeda-bedakan oleh gurunya. Namun
ia tidak berkecil hati.
-oo0mch-dewi0oo-
Jilid XI
KU sudah tahu di mana tempat penyimpanan kitab peninggalan
Pak Kek Siansu, biarpun aku tidak diberi pelajaran Ilmu Silat Pak-kek
Sin-ciang, kelak ia dapat mempelajari sendiri." pikirnya. Akan tetapi
ia masih belum puas kalau belum dapat "mencuri" pelajaran ini,
maka ia pada suatu hari mendekati Hui Lian. Bercakap-cakap di
dalam taman yang luas sambil berlatih silat seperti biasa.
"Sumoi, aku heran sekali mengapa sampai sekarang aku belum
mendapat latihan Ilmu Silat Pak-kek Sin-ciang," demikian Kong Ji
memancing.
"Jangan kecil hati, Suheng. Ilmu silat itu tidak mudah. dan untuk
dapat mainkan ilmu silat itu, diperlukan dasar yang kuat. Kau baru
beberapa tahun berlatih di bawah bimbingan Ayah, tentu saja belum
waktunya bagimu untuk mempelarinya. Menurut Ayah, ilmu silat ini
kalau dipelajari oleh orang yang belum kuat dasarnya, bukannya
mendatangkan keuntungan, bahkan amat berbahaya, akan merusak
dasar yang sudah ada dan yang masih lemah."
289
Melihat betapa gadis itu bicara sunguh-sungguh, tidak seperti
biasanya bergurau, Kong Ji percaya bahwa Hui Lian bicara
sebenarnya.
"Sumoi, biarpun aku tidak akan berlatih ilmu silat itu, akan tetapi
aku ingin sekali mempelajari kauw-koatnya (teori silatnya). Apa sih
salahnya mempelajari teorinya saja? Sumoi, bcrlakulah murah
kepadaku dan harap kau suka mengajarkan teorinya kepadaku."
"Aku tidak berani, Suheng."
"Tidak berani? Mengapa tidak berani Sumoi?"
"Ayah akan marah. Aku dan juga Suci sudah bersumpah takkan
membuka rahasia Pak-kek Sin-ciang kepada orang lain."
"Akan tetapi, Sumoi, aku toh bukan orang lain? Kelak aku pun
tentu akan menerima ilmu itu dari Suhu. Kalau kau memberi tahu
tentang teorinya kepadaku, itu bukan berarti kau melanggar
sumpah, karena aku bukan orang lain"
Hu Lian orangnya jujur sekali. Memang ia berotak terang dan
cerdik, akan tetapi bukan kecerdikan seperti yang dipunyai oleh
Kong Ji, yakni kecerdikan yang sifatnya curang. Kecerdikan Hui Lian
hanya untuk mempelajari sesuatu, dan karena wataknya jujur, maka
sekali ia percaya orang ia akan percava habis-habisan. Demikian
pun terhadap Kong Ji yang pandai membawa diri, ia sudah menaruh
kepercayaan sebulatnya.
"Kalau dipikir-pikir memang betul kata-katamu, Suheng. Akan
tetapi sebaiknya kutanyakan dulu kepada Ayah."
"Tak usah, Sumoi. Kalau begatu lebih baik kau jangan
mengajarku. Suhu tentu akan marah kepadamu dan kepadaku yang
dianggap lancang. Sebetulnya aku pun tak amat terburu-buru,
karena...." Kong Ji menghentikan sebentar kata-katanya dan
memandang kepada Hui Lian seakan-akan hendak menyampaikan
sesuatu yang penting. "Sumoi, dapatkah kau menyimpan rahasia?"
"Tentu saja!" Pada waktu itu, Hui Lian baru berusla empat belas
tahun sifatnya masih kekanak-kanakan, maka ia ingin sekali
mendengar apa yang akan dikatakan oleh Kong Ji.
290
"Sumoi, harap jangan katakan kepada siapa juga. akan tetapi
sebetulnya, ketika ikut dengan See-thian Tok-ong, aku pun
menerima beberapa pelajaran ilmu silat yang kiranya tidak kalah
lihai oleh Pak-kek Sin-ciang. Kalau kau mau menuturkan kepadaku
tentang teori Pak-kek Sin-ciang aku akan mengganti dengan
beberapa ilmu pukulan yang aneh-aneh. Boleh kaupilih, kalau kau
menolak, bagiku tidak ada ruginya karena kelak aku pun pasti akan
menerima Ilmu Pak-kek Sin ciang dari Suhu, sebaliknya kaulah akan
rugi karena kau tidak jadi mempelajari ilmu dari See-thian Tok-ong."
Hui Lian bukan anak bodoh, dia maklum bahwa kepandaian Kong
Ji masih jauh kalau hendak dibandingkan dengan kepandaiannya
sendiri, maka kata-kata ini tentu saja menimbulkan senyumannya.
"Suheng, ilmu aneh apakah yang kau sebutkan tadi? Coba
kauperlihatkan dulu, hendak kulihat apakah cukup berharga untuk
ditukar dengan Pak-kek Sin-ciang?"
Kong Ji menunjuk kepada sebatang pohon yang berbunga.
Bunganya berwarna, putih dan berada agak tinggi, paling rendah
tiga tombak dari tanah.
"Sumoi, kalau kau mengambil bunga di tangkai pohon itu,
bagaimana caramu yang terbaik?" tanyanya.
Hui Lian menggerakkan sepasang alisnya sambil memandang ke
atas, lalu tersenyum. "Banyak caranya, Suheng. Pertama kali
dengan jalan memanjat pohonnya."
"Tidak pantas bagi seorang gadis memonjat pohon!" Kong Ji
mencela.
"Aku dapat melompat ke atas dan memetik bunga-bunga itu
sambil duduk di atas cabang." Hui Lian berkata lagi.
"Memang bisa dengan jalan itu, akan tetapi cabang pohon itu
basah dan kotor, pakaianmu tentu akan kotor. Belum lagi banyak
semutnya, kau dikeroyok dan digigit."
"Habis, kalau kau bagaimana akan kaulakukan, Suheng?" tanya
Hui Lian.
"Itulah, aku mempunyai semacam ilmu pukulan yang sambil
duduk di sini aku dapat dipergunakan untuk memukul runtuh semua
291
bunga yang kauinginkan tanpa memanjat pohon atau membiarkan
diri dikeroyok semut."
Hui Lian tertawa dan merasa kasihan kepada Kong Ji. Baru
kepandaian seperti itu saja dibanggakan, pikirnya. "Ah, Suheng. Apa
sih sukarnya itu? Kalau yang kaumaksudkan aku pun dapat
runtuhkan semua kembang itu dengan pukulan-pukulan lweekang
dari tempat ini.”
"Dengan pukulan Pak-kek Sin-ciang?” tanya Kong Ji tertarik.
"Ya, dan kau boleh saksikan ini!" Hui Lian menggerak-gerakkan
kedua lengannya secara aneh, tiba-tiba ia memukul ke arah atas
pohon. Angin pukulan dahsyat menyambar, cabang- cabang pohon
bergoyang-goyang seperti ada tangan kuat yang menggoyangnya.
Beberapa kembang jatuh ke bawah, bersama banyak yang
melayang-layang.
“Tidak baik, tidak balk!" Kong Ji menggeleng-geleng kepalanya
mencela.pukulan itu terlalu kasar, hanya baik untuk membinasakan
musuh dan mengusir ulat dari pohon. Kalau untuk memetik bunga
terlalu kasar dan merusak bungga-bunga. Lihat bunga-bunga yang
runtuh itu pada rusak, bukan?"
"Apa kau bisa memukul dan menjatuhkan kembang-kembang
seperti yang lakukan tadi, Suheng?" Hui Lian penasaran karena
dicela, padahal pukulannya hebat sekali dan patut dipuji, sedangkan
ia tahu bahwa ilmu kepandaian Kong Ji belum sampai pada tingkat
penggunaan tenaga lweekang seperti tadi. Ia telah mempergunakan
jurus pukulan dari Pak-kek Sin-ciang yang disebut Angin Laut
Memukul Ombak", dan dengan tenaga lweekang yang dikerahkan,
hawa pukulannya telah berhasil merontokkan bunga-bunga dan
daun.
"Kau!that saja Sumoi, dan nanti boleh menilai sendiri apakah ilmu
pukulanku ini patut untuk ditukar dengan teori Pak- kek Sin-ciang!"
Sambil berkata demikian, Kong Ji duduk bersila di bawah pohon,
menahan napas, mengerahkan tenaga Tin-san-kang, kemudian dua
tangannya digerak-gerakkan mengeluarkan bunyi seperti tulang
patah patah setelah itu, dengan gerakan halus dan lambat ia
292
meluncurkan tangan dengan telunjuk ke atas, gerakannya cepat dan
ia hanya menudingkan telunjuknya ke arah setangkau bunga.
Benar-benar aneh dan seperti ilmu sihir apa yang dilakukan oleh
pemuda itu. Tiap bunga yang ditunjuk oleh jarinya, segera patah
tangkainya dan melayang perlahan ke bawah, lalu diterima dengan
tangannya dan benar saja bunga-bunga itu masih utuh! Kong Ji
dengan gerakan seperti itu telah meruntuhkan sepuluh tangkai
bunga, kemudian ia tersenyum, memegang bunga-bunga itu pada
tangkainya menjadi satu dan memberikannya kepada Hui Lian.
“Kaulihat, bukankah bunga-bunga ini seperti baru habis dipetik
saja!"
Hui Lian menerima bunga-bunga itu dan terkejut dan heran
bukan main. tidak percaya bahwa apa yang diperlihatkan tadi
adalah demonstrasi tenaga lwekang yang luar biasa, dan mengira
bahwa Kong Ji memang mempelajari ilmu sihir.
"Itulah hoatsut (ilmu sihir)!" seru gadis cilik ini.
Kong Ji tertawa. "Boleh kausebut apa saja, akan tetapi bukankah
ilmu ini berguna sekali dan sukakah kau mempelajarinya untuk
ditukar dengan teori Pak-Sin-ciang"
"Iloatsut termasuk ilmu sesat atau ilmu hitam, dan Ayah
melarangku mempelajari ilmu sesat!" katanya dengan mata masih
terheran-heran.
"Jangan bilang begitu, Sumoi. Yang kuperithatkan tadi sama
sekali bukan hoatsut, melainkan ilmu pukulan yang amat berguna."
"Berguna untuk pertandingan? Bukan hanya untuk mengambil
kembang?"
"Ya, berguna untuk menghadapi yang bagaimanapun juga."
"Bagus, kalau begitu, mari kita coba. Kau hadapi Pak-kek Sinciang
dengan ilmu yang aneh tadi, kalau benar-benar kulihat ilmu
itu berguna, aku tidak keberatan untuk menukar dengan teori Pakkek
Sin-ciang."
Sebetulnya Kong Ji hendak menyembunyikan kepandaiannya dan
ia merasa takut sekali kalau-kalau suhunya melihat dia telah mahir
293
ilmu Tin-san-kang Giok Seng Cu dan ilmu silat barat dipelajarinya
dari See-thian Tok-ong. Akan tetapi ia tidak takut kalau Hui Lian
akan membocorkan rahasianya ini karena kalau gadis itu sudah
menukarnya dengan Pak-kek Sin-ciang, bukankah berarti gadis itu
melanggar larangan ayahnya dan tentu tidak berani membocorkan
rahasia itu?
"Baik, marilah kita main-main sebentar, Sumoi. Akan tetapi, Pakkek-
sin-ciang amat berbahaya dan hebat, jangan kau memukul
benar-benar sehingga aku akan tewas dt tanganmu!"
Hui Lion tersenyum manis. "Orangnya gagah akan tetapi takut
mati! Suheng, kau belum tahu akan sifat Pak-kek-sin-ciang. Ilmu ini
adalah ilmu bersih, ilmu silat yang luar biasa ciptaan seorang suci
seperti Sucouw Pak Kek Siansu, mana dapat disamakan dengan ilmu
memukul dan membunuh orang? Jangan kamu khawatir, aku hanya
akan melihat sampai di mana gunanya ilmu yang hendak kau
ajarkan kepadaku itu. Bersiaplah!”
Kong Ji slap dengan kuda-kuda yang dipelajarinya dari See-thian
Tok-ong. Ia gemmbira sekali karena sebelum mempelajari kauwkoat
dari Pak--kek Sin-ciang, ia memang hendak lebih dulu menguji
sampai di mana kehebatan ilmu yang amat terkenal namun amat
dirahasiakan ini. Pertama-tama ia hendak menghadapi Hui Lian
dengan ilmu silat barat yang empat tahun lamanya ia pelajari dari
Raja Racun itu. Kuda-kudanya kuat sekali dan tubuhnya miribf,
kedua lengan diatur sedemikian rupa sehingga seluruh bagian tubuh
yang berbahaya atau lemah terlindung rapat-rapat.
Hui Lian memandang sebentar, kemudian Kong Ji mehhat
sesuatu yang aneh. Gadis itu berdiri tegak lalu meramkan mata, tak
bergerak seperti patung untuk beberapa detik, kemudian tanpa
membuka matanya ia berseru, "Suheng, terimalah seranganku!"
Baru saja kata-kata ini habis diucapkan, tubuhnya bergerak
secepat kilat dan sebelum Kong Ji tahu apa yang terjadi, telinganya
terasa pedas dan panas karena sudah kena disentil oleh tangan Hui
Liab! Ia kaget setengah mati, gerakan gadis itu tidak terduga sama
sekali dan biarpun matanya masih belum dibuka gadis itu ternyata
telah dapat menyentil telinganya!
294
Hui Lian sudah melompat mundur dan berkata, "Hati-hatilah,
Suheng, jaga baik- baik dan pergunakan ilmumu yang tadi!"
Kong Ji mendongkol sekali kepada See-thian Tok -ong. ia sudah
melatih diri selama empat tahun dengan ilmu silat yang diajarkan
oleh See-thian Tok-ong akan tetapi sekarang ilmu silat itu sewaktu
menghadapi Hui Lian, baru segebrakan saja sudah kelihatan tidak
ada gunanya!
Tentu saja ia tidak tahu bahwa bukan ilmu silat dan See thian
Tok-ong yang kurang lihai, yang menjadi sebab adalah karena dia
belum tahu akan sifat Ilmu silat Pak Kek Sin-ciang. Kalau ia tidak
berlaku sembrono, baru melihat Hui Lian bergerak dengan mata
meram saja, ia sudah akan berlaku lebih hati-hati. Memang Ilmu
Silat Pak kek Sin-ciang bukanlah ilmu silat biasa saja. Latihannya
amat berat dan benar seperti dikatakan oleh Hui Lian, tidak
sembarangan orang dapat mempelajarinya. Harus memiliki dasar
yang kuat dulu, bukan dasar jasmaniah saja melainkan terutama
sekali dasar yang kuat dalam batinnya.
Ketika Soan Li dan Hui Lian mulai melatih untuk mempelajari ilmu
ini, dengan susah payah barulah mereka berhasil. Tiga hari tiga
malam tak pernah bergerak pindah dari tempatnya, hidup hanya
dari udara yang dihisap saja, ini masih belum hebat, yang paling
berat adalah menjalankan latihan menghindarkan cahaya matahari
selama tiga hari tiga malam. Si murid harus tinggal dalam kamar
atau gua yang gelap dan tidak dapat ditembusi sinar matahari, dan
bersamadhi di situ. Dan di dalam latihan itu, yang menjadi guru lalu
menggoda murid itu dengan berbagai jalan.
Setelah kuat menghadapi semua ini dan karenanya kekuatan
batin si murid sudah cukup teguh, barulah perlahan-lahan ia boleh
menerima latihan Ilmu Silat Pak-kek Sin-ciang! Inilah sebabnya
maka tadi Hui Lian bersilat sambil menutup matanya, oleh karena
tingkat gadis ini masih rendah dalam ilmu ini. Tanpa menutup
matanya, ia kurang dapat memusatkan perhatiannya dan makin
rapat matanya ditutup, gerakan ilmu silatnya makin sempurna.
Seluruh panca indera dapat dipusatkan dan dengan pendengaran
dan perasaan saja ia sudah dapat menghadapi lawan yang
295
bagaimana tangguhpun. Oleh karena itu, biarpun matanya meram,
dengan mudah ia dapat menyentil telinga suhengnya!
"Balk, Sumoi, kau boleh menyerang lagi." kata Kong Ji dan kini ia
memasang kuda-kuda rendah sekali dan mulailah mainkan Ilmu Silat
Tin-san-kang! Hui Lian mulai menyerang lagi, cepat dan dahsyat
sekali, akan tetapi sifatnya lemah dan lembut. Memang Ilmu Silat
Pak-Sin-ciang itu dapat dimainkan menurut sikap pemainnya, dan
sesuai pula dengan wataknya. Hui Lian seorang wanita, maka sifat
ilmu silatnya itu lemah-lembut, namun ia berwatak gembira dan
jenaka, maka cepat dan dahsyat gerakan kaki tangannya.
Kong Ji cepat mengelak dan menggerakkan lengan untuk
menangkis, sambil mengerahkan tenaga Tin-san-kang, namun tidak
sepenuh tenaga. Dalam gebrakan pertama ini, akibatnya keduanya
terkejut bukan main. Biarpun sudah mengelak dan menangkis, tetap
saja tangan Hui Lian menyerempet pundak Kong Ji, demikian cepat
dan tidak terduga serangan ilmu dilat itu. Sebaliknya, ketika hawa
tangkisan tangan Kong Ji menolaknya Hui Lian merasa ada tenaga
luar biasa mendorongnya, sehingga kuga-kuda kakinya sang teguh
itu menjadi miring.
Hui Lian tidak membuang waktu dan menyerang terus karena
tangkisan tadi membuat ia penasaran, juga gembira. mulai
menduga bahwa ilmu silat yang diperlihatkan oeh Kong Ji ini "ada
isinya” juga ia heran melihat ilmu silat yang dilakukan dengan kudakuda
demikian rendahnya sehingga kadang-kadang Kong Ji sampai
hampir menyentuh tanah.
Kini terjadilah pertandingan yang hebat sekali. Biarpun hanya
latihan yang sifatnya main-main atau hanya menguji ilmu silat,
namun keduanya benar-benar bersilat dengan baiknya sehingga
bagi orang yang tidak begitu paham dengan ilmu silat tinggi pasti
mengira bahwa mereka sedang bertempur mati-matian!
Kong Ji kagum bukan main oleh ilmu silat itu. Gerakannya
demiklan sepat dan aneh, sama sekali tidak dapat diduga
perubahannya dan tahu-tahu setiap gerakan merupakan ancaman
hebat. Kalau saja tidak memiliki tenaga Tin-san- kang yang memang
sudah ia pelajari secara mendalam dan sempurna pasti takkan
mampu menghadapi Hui Lian secara berimbang. Tidak ada ilmu silat
296
yang pernah dipelajarinya, yang akan dapat menandingi Pak-kek
Sin-ciang ini. Sebaliknya Hui Lian juga kagum dan terheran-heran.
Memang, gerakan dari Kong Ji tidak begitu lihai, kurang cepat dan
banyak terdapat lowongan-lowongan, namun yang membikin ia
terkejut dan heran adalah hawa pukulan yang keluar dari sepasang
lengan suhengnya. Hawa itu demikian kuat sehingga tanpa
menyentuh tangannya, suhengnya sudah dapat menangkis dan
menolak semua serangannya!
Hal ini tIdak aneh, Kong Ji pernah diberi penjelasan yang amat
lengkap dari Giok Seng Cu tentang Tin-san-kang dan pemuda Ini
sudah melatih diri dengan amat tekun sehingga biarpun belum
boleh dikatakan bahwa ilmunya Tin-san-kang sudah dapat
mengimbangi Giok Seng Cu, namun sedikitnya ia telah mempelajari
delapan bagian dan tenaganya sudah terkumpul sedikitnya enam
bagian. Kalau dia mau, dengan pukulan maut agaknya ia dapat
merobohkan Hui Lian. Sebaliknya, biarpun sudah bertahun-tahun
belajar Pak-kek Sin-ciang, namun ilmu ini amat luas dan sukar
dipelajari sehingga kepandaian Hui Lian, dalam ilmu ini masih
kurang baik. Ilmunya bermain pedang warisan ayahnya jauh lebih
baik dari ilmunya bertangan kosong.
Ilmu Silat Pak-kek Sin-ciang bukan sembarang ilmu, Go Ciang Le
sendiri yang mendapat julukan pendekar besar dan semua orang
takluk menghadapi ilmu silatnya Pak kek Sin-ciang, sebetulnya,
belum mempelajari seluruh ilmu silat hebat ini. Ketika ia berguru
kepada Pak Kek Siansu dan menerima latihan ilmu silat ini, ia
mencapai tingkat enam atau tujuh bagian, karena keburu disuruh
turun gunung oleh suhunya (baca Pendekar Budiman). Apalagi,
setelah mendekati kematiannya, Pak Kek Siansu memperbaiki lagi
ilmu silatnya yang semuanya ia tuliskan di dalam kitab rahasia yang
akhirnya ditemukan oleh Wan Sin Hong.
Kembali pada pertandingan antara Kong Ji dan Hui Lian,
keduanya saling mengagumi dan pada suatu detik, Hui Liang
mendesak hebat dengan pukulan kearah lambung Kong Ji dengan
tangan kanan, dibarengi dengan tangan kiri menotok pundak. Kong
Ji terkejut menghadapi serangan hebat ini, terpaksa melompat ke
belakang dan mendorong dengan kedua tangannya ke depan.
namun kurang cepat, pundaknya masih terkena totokan, namun
297
meleset dan hanya bajunya di pundak yang robek, sedangkan Hui
Lian terkena dorongan hawa pukulan itu sehingga tersentak mundur
sampai tiga tindak!
Kong Ji tertawa sambil memegangi baju yang robek di bagian
pundaknya. "Sumoi, benar-benar hebat Pak kek-Sin- ciang tadi. Aku
takluk benar-benar!"
Akan tetapi Hui Lian tidak tertawa, bahkan memandang dengan
tajam dan sikapnya sungguh-sungguh. "Suheng, kau hebat.
Bagaimana kau dapat
menyembunyikan ilmu
kepandalanmu yang sudah tinggi
itu? Kalau kau mau memukul
kiranya aku takkan kuat
melawanmu, bahkan Suci Soan
agaknya tidak bisa menangkan
kau! Ilmu silat apakah yang
dimainkan sambil merendahkan
tubuh seperti itu?"
Kong Ji tertawa sambil
memegangi baju yang robek di
bagian pundaknya.
Kong Ji berpikir bahwa kalau
dia menyebut Tin-san-kang dari
Giok Seng Cu, boleh jadi gadis
ini akan terkejut, maka sengaja memutarbalikkan kenyatan dan
membohong, "Ah, itulah ilmu silat yang dipelajari dari Sce-thian Tok
ong, entah apa namanya, akan tetapi ilmu silat ini dari barat
datangnya dan sama sekali bukan ilmu sesat."
Memang, Tin-san-kang bukan ilmu sesat, berbeda dengan ilmu
silat yang ia pelajari dari See-thtan Tok-ong, karena pukulan dari
ilmu silat Raja Racun itu mengandung hawa beracun yang jahat dan
yang tentu saja tidak diperlihatkan oleh Kong Ji.
"Hebat benar ilmu silat itu, hawa pukulannya tidak kalah oleh
Pak-kek Sin-ciang." Hui Lian memuji.
298
"Sumoi, kuharap dengan sangat kau sudi memegang teguh
perjanjian, dan jangan membocorkan hal ini kepada Suhu. Aku takut
Suhu akan marah. Bagaimana sekarang pendapatmu? Sukakah kau
belajar ilmu silat ini dan sebagai gantinya kau memberi tahu
kepadaku tentang teori Pak-kek Sin-ciang. Setujukah?"
Tag:cersil
cersil indo
cersil mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil langka
cersil mandarin lepas
cerita silat pendekar matahari
kumpulan cerita silat jawa
cersil mandarin beruang salju.
cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia
cerita silat kho ping hoo
cerita silat mandarin online
cerita silat mandarin full
cerita silat jawa
kumpulan cerita silat
cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis
cerita silat jadul indonesia
cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti
cersil indonesia pendekar mabuk
cersil langka
cersil dewa arak
cerita silat jaman dulu
cersil jawa download cerita silat mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil mandarin lepas
cerita silat mandarin pendekar matahari
cerita silat jawa pdf
cersil indonesia pdf
cersil mandarin beruang salju
kumpulan cerita silat pdf
- Cersil Ke 8 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti Cer...
- Cersil Ke Tujuh Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti...
- Cersil ke 6 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti
- Cersil Ke 5 Yoko Bibi Lung
- Cerita Silat Ke 4 Pendekar Yoko
- Cersil Yoko 3 Condor Heroes
- Cersil Yoko Seri Ke 2
- Cerita Silat Cersil Ke 1 Kembalinya Pendekar Rajaw...
- Cerita Silat Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Komp...
- Cersil Ke 25 Tamat Kwee Ceng Bersambung Ke Pendeka...
- Cerita Silat ke 24 Kwee Ceng Pendekar Jujur
- Cersil Ke 23 Kwee Ceng Pendekar Lugu
- Cerita Silat Ke 22 Kwee Ceng
- Cersil Ke 21 Kwee Ceng
- Cerita Silat Ke 20 Cersil Kwee Ceng Rajawali Sakti...
- Cerita Silat Ke 19 Kwee Ceng Jagoan Sakti
- Cersil Ke 18 Kwee Ceng
- Cersil Ke 17 Kwee Ceng Cerita Silat Pendekar Rajaw...
- Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Ke 16 Pendekar Kw...
- Cersil Ke 15 Pendekar Kwee Ceng
- Cersil Hebat Kweeceng Seri 14
- Cersil Cerita Silat Kwee Ceng 13
- Cersil Pendekar Ajaib : Kwee Ceng 12
- Kumpulan Cerita Silat Jawa : Kwee Ceng 11
- Cerita Silat Pendekar Matahari : Kwee Ceng 10
- Cersil Mandarin Lepas :Kwee Ceng 9
- Cersil Langka Kwee Ceng 8
- Cerita Silat Mandarin Online : Kwee Ceng 7
- Cersil Indo Kwee Ceng 6
- Cerita Silat Cersil Kwee Ceng 5
- Cersil Kwee Ceng 4
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 3
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 2
- Cersil Pendekar Kwee Ceng ( Pendekar Pemananah Raj...
- Cersil Seruling Sakti dan Rajawali Terbang
- Kumpulan Cersil Terbaik
- Cersil Jin Sin Tayhiap
- Cersil Raisa eh Ching Ching
- Cersil Lembah Merpati
- Cerita Silat Karya stefanus
- Cersil Pedang Angin Berbisik
- Cersil Sian Li Engcu
- Cersil Si KAki Sakti
- Cersil Bendera Maut
- Cersil Pahlawan Gurun
- Cersil Pedang Pusaka Buntung
- Cersil Terbaik Pendekar Kunang Kunang
- Cersil Mandarin Imam Tanpa Byangan