Jumat, 20 April 2018

Cerita Silat Panas Sedikit Darah Pendekar 6

------------

Terjadilah perkelahian yang amat hebat. Diantara berkobarnya api yang membakar pesanggrahan,
mereka berkelahi. "Tahan mereka!"
Pek-lui-kong Tong Ciak berbisik kepada Bhong Kim
Cu. "Aku akan menyelamatkan!" Dia tidak berani melanjutkan, akan tetapi murid Liong-i-pang itu
sudah mengerti. Tentu si cebol itu akan menyelamatkan jenazah sri baginda. Maka, kini Bhong Kim
Cu dan sutenya yang juga berjubah co-klat, dibantu oleh dua orang berjubah biru dan empat orang
berjubah hijau, mengamuk dan me-nahan serbuan para pengeroyok yang jumlahnya banyak itu.
Tong Ciak sendiri cepat menyelinap dan me-nyusup ke hutan lebat di sebelah utara danau. Di
sanalah dia menyembunyikan pedatinya dan peti mati kaisar berada di dalam pedati, dicampur dengan
keranjang-keranjang ikan asin. Bulan ber-sinar cukup terang dan dari jauh dia melihat pedatinya
masih berdiri dengan selamat. Dengan ha-ti girang Tong Ciak lalu berlari cepat, akan tetapi
ketika dia tiba di dekat pedati, tiba-tiba terdengar suara ketawa mendengus. Dia terkejut dan cepat
menoleh. Ternyata di situ telah berdiri seorang laki-laki tinggi kurus memakai pakaian dan jubah serba
hitam, mukanya seperti mayat akan tetapi matanya mencorong mengerikan. Jantung di dalam dada
jagoan istana cebol itu berdebar tegang.
"Raja Kelelawar!" bentaknya.
"Ha-ha-ha, cebol sombong engkau mengan-tarkan nyawa!"
Biarpun sudah mendengar akan kelihaian iblis ini namun Tong Ciak tidak gentar. Jagoan istana ini
adalah seorang ahli waris Soa-hu-pai (Par-tai Persilatan Danau Pasir), mewarisi ilmu ketu-runan dari
Kim-mo Sai-ong. Dia sudah mema-tangkan ilmu-ilmu kesaktian dari perguruan itu dan dia berhak
mengaku sebagai ahli waris tung-gal atau yang paling lihai dari Soa-hu-pai. Keti-ka dia mendengar
munculnya Raja Kelelawar, bah-kan hatinya merasa penasaran dan dia ingin sekali bertemu dengan
raja iblis itu untuk mengadu ilmu. Maka kini, begitu melihat Raja Kelelawar berada di situ, diapun
menjadi marah sekali. Jelaslah bah-wa Raja Kelelawar hendak merampas jenazah sri baginda.
"Engkaulah yang datang mengantar nyawa!" bentaknya dan si cebol ini langsung saja menye-rang
dengan ganasnya. Begitu menyerang, dia su-dah mainkan ilmu inti dari perguruannya, yaitu Ilmu Silat
Teratai atau Soa-hu-lian. Begitu dia mainkan ilmu ini, kedua lengannya bergerak sede-mikian
cepatnya sehingga dilihat oleh mata biasa kedua lengannya berobah menjadi puluhan, bahkan
ratusan banyaknya! Dan setiap pukulannya men-datangkan angin halus yang bersiutan!
Tentu saja Raja Kelelawar tidak berani meman-dang rendah karena diapun sudah tahu akan kelihaian
lawan ini. Maka, begitu melihat lawan lang-sung mengeluarkan ilmu simpanannya, diapun ti-dak
segan-segan untuk mainkan ilmu simpanan-nya pula, yaitu Pat hong Sin-ciang (Silat Sakti Delapan
Penjuru Angin). Karena dua macam ilmu silat itu sama-sama mengandalkan kecepatan, ma-ka tubuh
kedua orang sakti itupun lenyap dan yang nampak hanya bayangan mereka berkelebatan dan
bayangan banyak sekali lengan dan kaki sehingga kalau ada yang menonton, dia tentu akan bingung
mengenal mana Pek-lui-kong dan mana Bit-bo-ong.
Si cebol yang segera merasa betapa hebatnya lawan, cepat mengeluarkan tenaga sakti yang am-puh,
yaitu Pukulan Pusaran Pasir Maut yang men-datangkan angin puyuh dan hawa dingin itu. Na-mun,
lawannya mendengus dan Raja Kelelawar-pun mainkan Kim-liong Sin-kun yang tidak kalah hebatnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Terjadilah perkelahian yang amat he-bat, kadang-kadang mereka mengandalkan kece-patan
sehingga tubuh mereka lenyap, ada kalanya mereka bahkan tidak bergerak atau hanya berge-rak
sedikit sekali karena mereka saling dorong dan saling serang dengan menggunakan kekuatan sinkang!
Diam-diam Raja Kelelawar terkejut juga me-nyaksikan kehebatan si cebol ini. Sejak tadi dia
mempelajari gerakan lawan dan tahulah dia bah-wa ilmu-ilmu yang dikeluarkan oleh si cebol ini
memang hebat, setingkat dengan ilmu perguruan-nya sendiri. Hanya dalam kecepatanlah dia ung-gul.
Oleh karena itu, setelah perkelahian berlang-sung seratus jurus lebih, Raja Kelelawar menge-luarkan
bentakan nyaring dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat sedemikian cepatnya sehingga Pek-lui-kong Tong
Ciak mengeluarkan seruan kaget karena sukarlah baginya untuk mengikuti gerakan lawan yang
sedemikian cepatnya seperti pandai menghi-lang itu. Kecepatan luar biasa inilah yang membu-at
Tong Ciak akhirnya terkena tamparan pada tengkuknya dan diapun roboh terguling. Pada saat itu
terdengar suitan nyaring dan dari jauh nampak berkelebatan tiga bayangan orang. Melihat ini, Raja
Kelelawar maklum bahwa yang datang ada-lah orang-orang yang tinggi ilmunya. Dia tidak merasa
gentar untuk menandingi siapapun juga, akan tetapi urusan yang lebih penting harus dise-lesaikannya
dahulu. Maka diapun mengeluarkan suara mencicit seperti kelelawar sebagai tanda ke-pada anak
buahnya untuk mundur, sedangkan dia sendiri membuka pintu pedati, tanpa memperduli-kan bau
busuk yang menyambut hidungnya, dia lalu menyambar peti jenazah sri baginda dan mem-bawanya
pergi dengan kecepatan luar biasa. Pa-kaian dan jubahnya yang serba hitam itu membuat dia seperti
menghilang saja ditelan kegelapan malain. Anak buahnya yang dipimpin oleh San-hek-houw dan Si
Buaya Sakti, mendengar isyarat pim-pinan mereka itupun lalu berloncatan pergi diikuti oleh anak buah
mereka.
Ketika terjadi perkelahian, Liu Pang dan Pek Lian sudah keluar dari tempat persembunyian me-reka di
bawah bangunan pesanggrahan yang ter-bakar itu. Mereka lalu bersembunyi di balik se-mak-semak
belukar dan dapat menyaksikan semua hal yang terjadi di situ, yakni penyerbuan para kaum sesat
yang dilawan oleh para tokoh Liong -pang. Mereka tidak dapat mengikuti Tong Ciak dan tidak tahu
bahwa si cebol yang lihai itu sudah terluka oleh Raja Kelelawar dan bahwa jenazah sri baginda telah
terampas oleh raja iblis itu.
Tiga bayangan yang datang dengan cepat se-kali itu ternyata adalah kakek Kam Song Ki, ber-sama
Kwee Tiong Li yang menjadi muridnya, dan Seng Kun. Seperti telah diceritakan di bagian de-pan,
mereka bertiga ini sedang mencari jejak San-hek-houw dan Si Buaya Sakti yang menculik Bwee
Hong. Akhirnya mereka terbawa oleh jejak kedua orang tokoh jahat itu ke tempat itu dan ke-datangan
mereka menyelamatkan nyawa Tong Ciak yang sudah roboh. Kalau mereka tidak da-tang, tentu Raja
Kelelawar akan memberi pukulan terakhir kepadanya.
Tiga orang itu datang terlambat juga karena peti mati berisi jenazah kaisar telah dilarikan Raja
Kelelawar. Akan tetapi, Seng Kun segera ber-lutut memeriksa keadaan Tong Ciak yang mengge-letak
pingsan. Ternyata si cebol menderita luka hebat sekali oleh pukulan tangan ampuh Raja Ke-lelawar
dan kalau saja dia sendiri bukan orang yang memiliki kesaktian, pukulan itu telah meram-pas
nyawanya.
"Kita lihat dulu apa yang telah terjadi di pe-sanggrahan yang terbakar itu," kata kakek Kam Song Ki.
Seng Kun memondong tubuh Tong Ciak dan merekapun pergi menghampiri para murid Liong-i-pang
yang sedang sibuk berusaha me-madamkan api yang tadi dipergunakan oleh para anak buah
penjahat untuk membakar pesanggrah-an.
Melihat betapa mereka sibuk memadamkan api yang membakar dan menjalar ke ruangan tengah,
kakek Kam Song Ki lalu meloncat dan sekali ber-gerak saja tubuhnya sudah melewati para murid
Liong-i-pang, kemudian dia melakukan gerakan seperti mendorong dengan kedua tangan dirangkapkan
ke depan dada. Angfn kuat menyambar ke arah api yang segera padam! Melihat gerakan ini,
Bhong Kim Cu dan para sutenya terkejut sekali karena mereka mengenal ilmu pukulan paling he-bat
dari perguruan mereka, yaitu Ilmu Pai-hud-ciang, akan tetapi dilakukan dengan tingkat yang amat
tinggi! Bhong Kim Cu cepat memandang dan begitu melihat tanda-tanda pada kakek itu, diapun cepat
menjatuhkan diri berlutut, diturut oleh para sutenya.
"Ah, kiranya Kam-susiok yang datang. Harap maafkan bahwa teecu sekalian tidak tahu akan kedatangan
susiok!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Kam Song Ki tersenyum dan menggoyangkan tangannya. "Sudahlah, tidak perlu banyak sungkan,
kedatanganku inipun kebetulan saja. Jadi kalian adalah murid-murid Ouwyang-suheng yang menjadi
ketua Liong-i-pang? Ini adalah Kwee Tiong Li muridku dan pemuda itu adalah"
"Adalah orang yang hendak membalas kematian kakek Bu Kek Siang dan isterinya!" Seng Kun berseru.
Dia sudah menurunkan tubuh Tong Ciak dan kini dengan muka merah saking marahnya dia
mencabut pedang dan siap untuk menyerang Bhong Kim Cu dan para sutenya yang menyebab-kan
tewasnya kakeknya dan neneknya.
"Hemm, kiranya engkau!" Bhong Kim Cu berseru kaget dan siap melayaninya. Melihat ini, kakek
Kam Song Ki terkejut dan cepat melang-kah maju untuk melerai.
"Hemm, apa-apaan ini? Kita semua masih satu keturunan perguruan, kenapa harus bentrok sendiri?
Aku sudah mendengar tentang kematian Bu Kek Siang, dan murid-murid Liong-i-pang ini hanya
mentaati perintah guru mereka. Di mana guru kalian, Ouwyang-suheng? Akupun hendak minta
pertanggungan jawabnya atas perbuatannya terhadap Bu Kek Siang."
Melihat sikap paman gurunya ini, Bhong Kim Cu menundukkan muka. "Teecu tidak tahu di ma-na
suhu sekarang, tadinya suhu pergi untuk men-cari dan menandingi Raja Kelelawar dan kami diperintahkan
untuk membantu melindungi jenazah sri baginda "
"Jenazah sri baginda? Di mana?" tanya kakek Kam Song Ki.
"Di sana " Bhong Kini Cu tertegun memandang kepada Tong Ciak yang masih menggeletak pingsan.
Baru dia teringat akan jenazah itu dan tanpa mengeluarkan kata-kata lagi tubuhnya melesat ke depan,
lari memasuki hutan. Sebagai
cucu murid Raja Tabib Sakti Tanpa Bayangan tentu saja ginkangnya hebat. Tak lama kemudian dia
kembali dengan mata terbelalak dan muka pucat.
"Celaka jenazah itu telah dicuri orang ....!"
Dengan singkat dia lalu menceritakan tentang jenazah kaisar itu, didengarkan oleh mereka ber-tiga
dengan kaget. "Kalau begini, teecu sekalian harus cepat pergi mencari suhu untuk melaporkan
peristiwa ini, susiok."
"Baiklah, akan. tetapi, apakah kalian melihat penjahat-penjahat San-hek-houw dan teman-temannya?
Mereka telah menculik Bwee Hong ......" tanya kakek itu.
"Baru saja kami berkelahi melawan mereka! Merekalah yang tadi menyerbu dan membakar pesanggrahan.
Kini mereka telah melarikan diri, ten-tu setelah jenazah itu berhasil mereka curi!" kata
Bhong Kim Cu penuh geram. Setelah memberi hormat kepada susiok mereka, para murid Liong-ipang
itu segera pergi dari situ. Mereka merasa tidak enak untuk berlama-lama berada di suatu tempat
bersama Seng Kun.
Setelah dapat menyabarkan hatinya karena bu-jukan susioknya, Seng Kun lalu mengobati Pek-luikong
Tong Ciak. Sementara itu, Pek Lian membuat gerakan hendak keluar dari tempat persembunyiannya.
Melihat ini, gurunya cepat me-nyentuh lengannya dan memberi isyarat kepada
muridnya untuk mengikutinya meninggalkan tem-pat itu. Setelah mereka pergi jauh dari situ, dia
menegur, "Nona Ho, apa yang hendak kaulakukan tadi?" Di dalam percakapan resmi atau serius, Liu
Pang selalu menyebut muridnya ini nona Ho. Ha-nya kadang-kadang saja dia menyebut nama muridnya
seperti tak disadarinya.
"Suhu, teecu mengenal baik mereka itu. Mereka bukan musuh, dan teecu mendengar betapa enci
Bwee Hong diculik oleh San-hek-houw. Teecu ingin membantu mereka mencari enci Hong"
Gurunya tersenyum dan menggeleng kepala. "Ingat, pada saat ini kita bukanlah bertugas seba-gai
pendekar, melainkan memiliki tugas perjuangan yang lebih penting lagi sehingga urusan-urusan
pribadi harus disingkirkan atau dikesampingkan lebih dulu. Kalau engkau keluar dan terlihat oleh Tong
Ciak atau orang-orang Liong-i-pang, ten-tu engkau akan ditangkap. Lupakah engkau bah-wa kita ini
telah dianggap pemberontak?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Pek Lian termangu-mangu dan terpaksa membenarkan ucapan gurunya. Ia menarik napas pan jang.
"Kasihan enci Bwee Hong"
"Kita harus berhati-hati. Kurasa yang meng-gerakkan orang-orang jahat tadi adalah Raja Ke-lelawar
sendiri. Siapa lagi yang akan mampu me-robohkan Tong Ciak kalau bukan raja iblis itu? Jangan
sampai kita bertemu dengan dia. Mari kita mencari jejak pemuda Tai-bong-pai itu untuk menyelidiki
keadaan pasukan asing yang berse-kongkol dengan para pengkhianat."
Guru dan murid itu melepaskan lelah sambil menanti datangnya fajar. Liu Pang segera dapat tertidur
dan Pek Lian duduk termenung. Ia sendi-ri tidak dapat tidur, memikirkan keadaan Bwee Hong,
sahabat yang disayangnya itu. Kalau Bwee Hong diculik San-hek-houw, di mana nona itu
ditawannya? Tadi San-hek-houw menyerbu pe-sanggrahan bersama teman-temannya tanpa membawa
Bwee Hong sebagai tawanan. Jangan-ja-ngan sudah dibunuhnya! Ia bergidik dan menge-pal
tinju. Kalau saja tidak ada tugas perjuangan yang mengikatnya tentu ia akan membantu Seng
Kun mencari Bwee Hong dan membalaskan den-dam kepada para penjahat itu kalau benar Bwee
Hong sudah terbunuh.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali me-reka telah melanjutkan perjalanan, menuju ke arah
larinya Kwa Sun Tek, pemuda Tai-bong-pai se-malam. Menjelang senja, setelah melalui bebera-pa
buah bukit dan banyak hutan liar, di dalam se-buah hutan mereka mendengar derap kaki kuda.
Mereka menyelinap bersembunyi dan dengan gi-rang mereka melihat belasan orang penunggang
kuda yang dipimpin oleh Kwa Sun Tek sendiri, menuju ke depan. Segera mereka membayangi dari
jauh dan setelah matahari mulai tenggelam ke barat, akhirnya mereka menemukan barisan yang
mereka cari-cari. Di sebuah lembah barisan itu berkemah. Menurut taksiran Liu Pang yang sudah
berpengalaman, jumlah pasukan asing yang dibantu oleh orang-orang lihai dari golongan sesat itu
berjumlah paling sedikit seribu orang. Dan di dalam pasukan itu terdapat banyak orang lihai dan
berbahaya seperti pemuda Tai-bong-pai dan pa-ra iblis Ban-kwi-to itu.
Setelah membuat perhitungan dan penggam-baran dalam benaknya, Liu. Pang mengajak murid-nya
untuk pulang ke beteng mereka. Akan tetapi mereka telah pergi jauh dan untuk pulang ke ben-teng
mereka, tentu mereka harus melakukan per-jalanan kurang lebih dua hari dua malam!
Malam itu mereka bermalam di hutan yang Se-pi. Ketika mereka sedang mencari tempat yang enak
untuk beristirahat, tiba-tiba terdengar suara halus memanggil, "Hei, sobat tukang kayu. Ke si-nilah apa
bila kalian hendak beristirahat."
Liu Pang dan Pek Lian terkejut, akan tetapi mereka datang juga menghampiri sebuah gua. Dan di situ
terdapat dua orang kakek yang berpakaian seperti tosu sedang duduk bersila menghadapi api
unggun. Gua itu cukup luas dan memang meru-pakan tempat yang cukup enak untuk melewatkan
malam. Maka Liu Pang lalu menurunkan pikulan kayunya, lalu masuk ke dalam gua dan bersama
muridnya duduk bersandar dinding guha sambil memandang kepada dua orang tosu itu.
"Terima kasih, ji-wi totiang," katanya. "Kami ayah dan anak memang kemalaman dan sedang mencari
tempat untuk berteduh dan melewatkan malam."
Dua orang pendeta itu ramah sekali. Mereka bahkan membagi roti kering kepada Liu Pang dan Pek
Lian. Guru dan murid ini menerima dan me-makannya, tidak berani mengeluarkan perbekalan mereka
berupa roti dan daging kering yang tidak sesuai dengan keadaan mereka sebagai orang-orang miskin.
Sekali ini, Pek Lian dapat mengaso dan tertidur pulas di sudut guha, membelakangi mereka yang
sedang bercakap-cakap. Liu Pang berlagak bodoh seperti penghuni dusun pencari kayu. Dia mengatakan
bahwa dia dan puterinya terpaksa lari mengungsi karena ancaman perang, dan kini hidup
dari mencari dan menjual kayu kering.
"Siancai !" kata tosu yang matanya sipit sekali. "Dunia memang sedang kacau oleh ulah orang-orang
jahat. Kami sendiri terpaksa turun gunung untuk membantu gerakan para pendekar yang dipimpin
oleh Liu-bengcu. Kabarnya pasu-kan Liu Pang bengcu berada di dekat tempat ini."
Tentu saja Liu Pang tidak berani memperkenal-kan diri karena dia tidak boleh percaya begitu sa-ja
kepada dua orang tosu ini. Siapa tahu mereka ini malah mata-mata pihak musuh? Maka diapun lebih
banyak mendengarkan dari pada bicara. Dari percakapan itu Liu Pang mendapat kenyataan bah-wa
dunia-kangouw.blogspot.com
dua orang tosu itu amat membenci pasukan asing dan para tokoh sesat yang membantu para
pengkhianat.
Pada keesokan harinya, dua orang tosu itupun berangkat pergi, dan Liu Pang bersama muridnya juga
meninggalkan tempat itu, melanjutkan per-jalanan mereka kembali ke induk pasukan mereka.
Malam berikutnya mereka tiba di sebuah pa-dang rumput yang sebenarnya sudah tidak jauh dari
lembah di mana pasukan mereka berkumpul. Akan tetapi melanjutkan perjalanan di malam hari
amatlah berbahaya. Bukan saja jalan pendakian ke bukit di depan itu cukup licin dan banyak terdapat
jurang-jurang berbahaya, akan tetapi juga padang rumput itu sendiri dihuni banyak ular se-hingga
berjalan melalui tempat itu di malam hari juga berbahaya dan mengerikan. Mereka tahu bahwa di
dekat padang rumput sebelah barat terdapat sebuah kuil tua yang sudah kosong maka ke sanalah
mereka menuju untuk melewatkan ma-lam agar besok pagi-pagi dapat langsung kemba-li ke lembah
tempat pasukan mereka berada.
Ketika mereka mendekati kuil, tiba-tiba Liu Pang memberi isyarat. Mereka berhenti karena hidung
mereka mencium bau yang membuat mulut mereka berair, bau sedap daging dipanggang! Selama
beberapa hari ini mereka melakukan per-jalanan sukar dan mereka tidak memperoleh ke-sempatan
untuk makan enak! Dan kini, sudah de-kat dengan tempat sendiri, dalam keadaan letih dan lapar,
mereka mencium bau yang demikian sedap. Siapa orangnya tidak mengilar!
Seperti ditarik oleh tenaga sembrani, guru dan murid ini mendekati kuil. Akan tetapi, agaknya
kedatangan mereka sudah diketahui orang dalam kuil. Buktinya, tidak ada api bernyala di dalam kuil
dan keadaannya sunyi saja. Bagaimanapun juga, bau sedap daging panggang tadi tidak mung-kin
mereka hilangkan dan masih mengambang di udara, dengan mudah dapat dicium.
"Hati-hati," bisik Liu Pang. "Siapa tahu me reka adalah pihak musuh "
Karena jelas bahwa orang yang berada di da-lam kuil bersembunyi. Liu Pang dan Pek Lian ti-dak
berani sembarangan memasuki kuil. Mereka bahkan mengambil keputusan untuk bermalam di tempat
lain saja. Akan tetapi, pada saat mereka hendak membalikkan tubuh pergi dari situ, tiba-tiba nampak
dua sosok bayangan berkelebat kelu-ar. Mereka adalah dua orang gadis cantik.
"Lian-moi, kiranya engkau !." teriak gadis yang berbaju merah sedangkan gadis baju putih
memandang Liu Pang dengan sinar mata penuh selidik.
"Ah, Pek-cici dan Ang-cici !" Pek Lian berseru girang ketika mengenal dua orang gadis itu
ternyata adalah Pek In dan Ang In yang bebe-rapa hari yang lalu telah dilihatnya menghadap Yap-lojin
di dalam pesanggrahan. "Perkenalkan, ini adalah paman Kiang, seorang sahabat yang boleh
dipercaya. Paman, mereka ini adalah enci Pek In dan enci Ang In, dua orang murid Siang Houw Nionio
yang lihai. Eh, enci, kenapa ka-lian berada di sini? Hendak ke manakah?"
Pek In memandang ke kanan kiri, kemudian menggandeng tangan Pek Lian. "Mari kita bicara di
dalam saja."
Mereka berempat masuk ke dalam kuil kosong itu. Api unggun dinyalakan lagi dan sebelum bi-cara,
Pek Lian dan gurunya mendapat bagian daging panggang yang sedap tadi. Mereka berempat makan
tanpa berkata-kata. Setelah kenyang, Pek In melirik ke arah Liu Pang dan berkata ke-pada Pek Lian,
"Adik Lian, aku mau bicara pen-ting denganmu, akan tetapi jangan sampai terde-ngar orang di luar
kuil. Maukah pamanmu ini ber-jaga di luar agar diketahuinya kalau ada orang da-tang?"
Liu Pang maklum bahwa gadis baju putih ini masih belum percaya kepadanya, maka diapun bangkit
dan berkata, "Biarlah aku berjaga di luar." Diapun melangkah keluar, duduk di depan kuil yang gelap
dan sunyi, akan tetapi tentu saja dia memasang telinga karena biarpun nanti muridnya bisa bercerita
kepadanya, namun hatinya sudah ti-dak sabar, ingin mendengar apa yang akan diceri-takan oleh
gadis yang baru keluar dari istana ini. Tentu terdapat berita yang amat penting sehu-bungan dengan
lenyapnya jenazah kaisar yang di-duganya tentu dicuri oleh Raja Kelelawar atau anak buahnya, kaum
sesat yang membantu para pengkhianat.
Setelah Liu Pang keluar, Pek In berkata, "Maafkan kami, adik Lian. Yang akan kami ceritaka ini
penting sekali dan terus terang saja, hatiku tidak enak kalau terdengar orang lain. Kepadamu kami
sudah percaya penuh, akan tetapi temanmu itu, kami belum tahu benar siapa dia"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tidak mengapa, enci. Padahal, pamanku itu amat boleh dipercaya. Sudahlah, ada baiknya dia
berjaga di luar. Nah, ceritakan, mengapa kalian di sini dan apa yang telah terjadi?"
Pek In lalu bercerita yang membuat Pek Lian dan Liu Pang yang ikut mendengarkan di luar, menjadi
terkejut bukan main. Hal-hal yang amat hebat telah terjadi di istana! Pek In menceritakan dari awal,
dimulai dengan kepergian kaisar yang melakukan perjalanan sendirian untuk mencari il-mu hidup
abadi! Semua pembesar yang bersih, bahkan mereka yang telah diangkat kembali oleh kaisar,
dipecat oleh komplotan Perdana Menteri Li Su dan kepala thaikam Chao Kao. Kemudian, dengan
dalih berbakti kepada negara, mendapat dukungan para pembesar yang menjadi antek me-reka,
putera mahkota diperintahkan menyusul Jen-derai Beng Tian ke garis depan.
Dalam keadaan istana kosong inilah, karena kaisar tidak diketahui, ke mana perginya, Li Su dan Chao
Kao berkuasa di dalam istana! Kemudian terjadi kegegeran ketika Li Su menyatakan kaisar telah
tewas dan dapat membuktikannya dengan je-nazah kaisar yang telah mulai membusuk!
Gegerlah seluruh pejabat istana. Mereka ber-kumpul dan bersidang. Di dalam persidangan ini,
Perdana Menteri Li Su mengusulkan agar dilaku-kan pengangkatan kaisar baru agar kedudukan jangan
berlarut-larut kosong. Nenek Siang Houw Nio-nio mengusulkan agar ditunggu kembalinya
pangeran mahkota. Akan tetapi usul ini ditentang oleh Li Su yang mengatakan bahwa adanya pangeran
mahkota di garis depan amat perlu untuk membangkitkan semangat barisan. Dan kini pi-hak
pemberontak telah mulai mendekati kota raja, maka perlu segera diangkat kaisar baru. Karena Li Su
memang menang suara dan memperoleh du-kungan terbanyak, akhirnya pangeran muda yang
pandainya hanya bersenang-senang itupun diang-kat menjadi kaisar dengan julukan Cin Si Hongte
Ke Dua!
Tindakan pertama yang dilakukan oleh kaisar muda ini dapat diduga. Dia mengangkat Li Su menjadi
wakil penuh kaisar, dan Chao Kao diang-kat menjadi kepala istana! Para pejabat yang be-rani
memprotes, ditangkap dan dipecat. Yang le-bih hebat lagi. para datuk sesat diberi pangkat dan
kedudukan! Raja Kelelawar diangkat menjadi panglima! Dan orang-orang macam San-hek-houw
diangkat menjadi perwira yang berkuasa.
"Adik Lian, pendeknya gegerlah istana yang berobah seperti neraka. Tentu saja subo mempro-tes
keras dan akibatnya beliau kini ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara!"
"Ahhh !" Pek,Lian berseru kaget. Nenek
itu adalah pengawal kaisar nomor satu dan masih bibi dari kaisar lama, jadi nenek kaisar baru, akan
tetapi toh ditangkap.
"Kami berhasil melarikan diri dan melapor ke-pada suhu. Kini kami diutus suhu untuk memberi kabar
kepada Yap-suheng dan ji-suheng tentang hal itu sedangkan suhu sendiri berusaha untuk
membebaskan subo," kata Pek In dengan suara duka. "Akan tetapi kami mendengar bahwa kedua
suheng kami itu telah bergabung dengan pasukan para pendekar di bawah Liu-bengcu!"
"Kebetulan sekali! Kami juga mau pulang"
Tiba-tiba terdengar suara dan Liu Pang melangkah masuk, wajahnya masih tegang mende-ngarkan
penuturan tadi akan tetapi matanya me-mandang dua orang gadis itu dengan ramah. Pek Lian juga
tahu bahwa kini tidak perlu lagi mera-hasiakan keadaan gurunya.
"Pek-cici dan Ang-cici, kalian maafkanlah a-ku yang tadi berbohong. Beliau ini adalah Liu-bengcu,
juga guruku!"
Dua orang gadis itu terkejut bukan main. Cepat mereka bangkit berdiri dan memandang dengan
tajam. Sudah lama mereka mendengar nama Liu Pang atau Liu-bengcu. Tak disangkanya mereka
akan dapat bertemu dengan pemimpin besar itu di sini dan melihat pemimpin besar itu mengena-kan
pakaian sederhana seperti seorang petani bia-sa! Mereka lalu memberi hormat dan dibalas oleh Liu
Pang.
"Ji-wi lihiap, mari kita duduk dan bicara," ajaknya dan mereka kembali duduk mengelilingi api unggun.
"Aku tadi sudah ikut mendengarkan dari luar, maafkan kelancanganku itu dan keadaan di istana itu
sungguh mengenaskan dan mengge-maskan. Dua orang pengkhianat Li Su dan Chao Kao itu harus
dunia-kangouw.blogspot.com
dibasmi. Akan tetapi ke mana pergi-nya Pek-lui-kong Tong Ciak? Dan juga Jende-ral Beng Tian yang
kabarnya sudah meninggalkan posnya di barat? Mereka berdua adalah jagoan-jagoan Kaisar Cin Si
Hongte yang setia dan lihai!"
"Entahlah, Liu-bengcu, karena keadaan amat kacau pada waktu itu dan mereka berdua itu tidak ada
kabarnya lagi," jawab Pek In, yang kemudian menyambung cepat, "Benarkah pemberitahuan suhu
kepada kami bahwa kedua orang suheng ka-mi telah menggabungkan diri dengan pasukan bengcu?"
Liu Pang tersenyum dan mengangguk. "Bukan hanya menggabungkan diri, bahkan kini selagi ka-mi
pergi, yang menjadi wakil kami memimpin pa-sukan adalah saudara Yap Kim dibantu oleh suhengnya,
saudara Yap Kiong Lee."
Tentu saja dua orang gadis itu tercengang, akan tetapi juga merasa girang. Ketika untuk pertama
kalinya mereka mendengar dari suhu mereka bah-wa kedua orang suheng itu membantu pasukan
pemberontak Liu Pang, mereka hampir tidak mau percaya. Subo mereka adalah kepercayaan kaisar,
bahkan suhu mereka akhir-akhir ini juga mem-bantu kaisar, bagaimana mungkin dua orang su-heng
itu menjadi pembantu-pembantu para pem-berontak? Akan tetapi, setelah melihat suasana di istana,
kini mereka malah menjadi gembira men-dengar bahwa dua orang suheng mereka itu malah menjadi
pembantu-pembantu pemimpin besar, Liu Pang!
Sikap kedua orang gadis ini sama sekali tidak perlu diherankan. Kalau kita mau membuka mata,
memandang dengan waspada segala hal yang ter-jadi baik di dalam maupun di luar diri kita sendi-ri,
maka akan nampaklah dengan jelas betapa si-kap dan perasaan kita, seperti dua orang gadis itu,
selalu dikendalikan oleh pementingan diri pribadi atau ke-aku-an. Kita selalu amat mudah memaafkan
kesalahan sendiri, siap membela diri sendiri untuk menutupi kesalahan yang kita perbuat. Ki-ta
selalu menentang segala sesuatu yang merugikan diri kita, dan membantu sesuatu yang menguntungkan
diri kita, karena yang menguntungkan itu, lahir maupun batin, adalah menyenangkan dan
sebaliknya yang merugikan itu selalu tidak menye-nangkan. Aku yang paling benar, aku yang paling
baik, aku yang harus menang. Siaku ini bisa melu-as menjadi anakku, keluargaku, sahabatku, kelompokku,
bangsaku dan selanjutnya. Seorang yang berada di suatu kelompok, selama memperoleh
keuntungan dan merasa disenangkan dalam kelom-pok itu, pasti akan membelanya mati-matian. Bukan
karena setianya kepada si kelompok, melainkan karena setianya kepada diri sendiri, karena di
situ terdapat kesenangan. Akan tetapi, begitu dia disi-sihkan dari kelompok, begitu dia tidak lagi memperoleh
keuntungan, apa lagi begitu dia dirugikan dan tidak disenangkan, maka seketika dia akan
berobah dan akan menentang kelompok itu dan memilih kelompok lain yang menentang kelompok
lama! Pengejaran kesenangan dapat menyeret ma-musia menjadi munafik, palsu, pengkhianat, kejam
dan curang, dan segala macam, kejahatan lain.
"Kalau begitu kami berdua akan mengikuti bengcu ke tempat kedua orang suheng kami!" kata Ang In
dengan, wajah cerah, lalu ia menoleh kepa da Pek Lian. "Apakah apakah Kim-su-heng baik-baik
saja?"
Pek Lian tersenyum. "Dia dalam keadaan se-hat dan semakin gagah!" katanya sambil terse-nyum,
penuh arti dan wajah Ang In yang manis itu berobah kemerahan.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mere-ka berempat meninggalkan kuil itu dan berangkat
menuju ke perkemahan para perajurit pendekar di balik bukit. Dari puncak bukit itu tidak nam-pak apaapa
dan memang inilah yang dikehendaki oleh para pimpinan pasukan itu dan baru setelah mereka
menuruni bukit, mereka memasuki daerah perondaan pasukan dan bertemulah mereka de-ngan dua
orang peronda. Liu Pang dan Pek Lian segera mengenal dua orang pendeta atau tosu yang mereka
jumpai di dalam guha, maka mereka segera menegur. Akan tetapi dua orang tosu itu meng-ambil
sikap keras.
"Kalian telah melanggar wilayah kami, harus menyerahkan diri untuk kami tangkap dan kami bawa ke
benteng!"
"Ehh? Liu Pang berseru heran.
"Apakah ji-wi kini sudah menjadi anggauta pasukan Liu-bengcu?" Pek Lian bertanya.
"Benar, karena itu, dalam tugas pertama kami, kalian harus kami tangkap sebagai orang-orang yang
melanggar wilayah kami tanpa ijin."
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebelum Pek Lian menjawab, Liu Pang menda-huluinya bertanya, "Kalau aku tidak mau ditang-kap?"
Suaranya mengandung tantangan, akan te-tapi sinar matanya dan wajahnya berseri.
"Kami akan menggunakan kekerasan!" jawab tosu yang bermata sipit.
"Totiang, aku sangsi apakah engkau akan mam-pu menangkap aku!" kata Liu Pang sambil melangkah
maju. Tosu sipit itu memandang tajam, kemudian diapun melangkah maju.
"Boleh kita coba!" Dan diapun sudah menu-bruk maju mencengkeram ke arah pundak Liu Pang.
Pemimpin besar ini cepat mengelak dan ba-las menyerang karena dia memang ingin sekali mencoba
kepandaian dua orang tosu yang baru sa-ja masuk menggabungkan diri dengan pasukannya itu. Dan
hatinyapun puas dan kagum. Tosu si-pit ini lihai sekali sehingga kalau Liu Pang benarbenar
menghendaki, belum tentu dia akan mampu mengalahkan tosu ini dalam waktu seratus jurus!
Gerakannya cepat dan tangkas, tenaganyapun kuat. Perkelahian itu amat seru dan semakin ramai.
Tiba-tiba terdengar bentakan, "Berhenti .... " dan muncullah Yap Kim.
Dua orang pertapa itu menghadap Yap Kim dan memprotes. "Mereka adalah pelanggar-pe langgar
wilayah tanpa ijin !" .
"Ji-wi totiang, beliau ini adalah Liu-bengcu, pemimpin kita!" kata Yap Kim.
"Siancai siancai ...Dan dia sudah bercakap-cakap semalam suntuk dengan pinto!" kata tosu ke dua
yang lebih tua. Mereka lalu memberi hormat yang dibalas oleh Liu Pang sambil tertawa dan memujimuji
kepandaian mereka.
Sementara itu, Yap Kim sudah saling bertemu dengan Pek In dan Ang In. Pertemuan yang menggembirakan,
juga mengharukan sekali. Apa lagi Ang In yang tiada kedip-kedipnya menatap wajah
pemuda itu sehingga Pek Lian merasa geli hatinya. Ketika Yap Kim mendengar bahwa ibu kandungnya
ditawan di istana, dia mengepal tinju dan mu-kanya berobah pucat, kemudian merah karena
marah.
"Mari kita bicara di sana!" kata Liu Pang dan mereka semuapun pergilah ke perkemahan pasu-kan.
Pertemuan antara Yap Kiong Lee dan Pek In yang memang sejak dahulu sudah ada rasa sa-
Darah 25 ling sayang, amat menggembirakan. Segera diada-kan pertemuan antara para pemimpin
dan para pendekar, bukan hanya untuk menyambut kemba-linya Liu Pang akan tetapi juga untuk
mengatur siasat selanjutnya. Situasi di kota raja sudah demi-kian berobah, maka harus diatur siasat
yang sesu-ai dengan keadaan itu. Yap Kiong Lee tidak me-rasa ragu-ragu lagi untuk mencurahkan
seluruh tenaganya membantu gerakan pasukan ini. Kini subonya ditawan. Kini kota raja dikendalikan
oleh pengkhianat-pengkhianat yang menjadi musuh-nya. Juga Pek In dan Ang In bertekad untuk
membantu gerakan pasukan para pendekar di ba-wah pimpinan Liu Pang.
Kita kembali menjenguk keadaan A-hai yang kini berada seorang diri saja di dalam ruangan ru-mah
tua mendiang Gu-lojin. Dia ditinggalkan oleh semua orang dalam keadaan masih pingsan atau tertidur
karena pengaruh totokan Seng Kun ketika mengobatinya. Pengaruh totokan itu ma-kin menghilang
dan akhirnya A-hai sadar. Begitu dia sadar dan dapat bergerak, dia segera bangkit duduk dan
mencari kakak beradik yang tadi meng-obatinya. Akan tetapi tidak ada orang lain di situ. Dia berteriak
memanggil.
"Saudara Kun ......! Nona Hong ......!"
Tidak ada jawaban. Dia melihat pakaian Bwee Hong bertumpuk di sudut ruangan itu. Apakah nona itu
berganti pakaian? Kalau benar demikian, kenapa pakaian yang kotor dibiarkan saja bertum-puk di
situ? Mencurigakan benar keadaan ini, pikirnya dan kembali dia memanggil-manggil.
Setelah yakin bahwa tidak ada suara jawaban, baik dari Seng Kun maupun dari nona itu, dia lalu
bangkit berdiri dan mencari ke luar. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika dia melihat
mayat si pemilik warung, dan di situ nam-pak bekas-bekas perkelahian. A-hai menjadi pa-nik dan dia
dunia-kangouw.blogspot.com
memanggil-manggil lagi sambil men-cari ke sekeliling rumah itu. Namun, tidak ada yang menjawab.
Dengan hati penuh kekhawatiran dia lalu berlari mencari, menuju ke perkampungan ne-layan dengan
melewati jalan setapak dalam hutan. Tiba-tiba dia memperlambat larinya dan hidung-nya kembangkempis,
mendengus-dengus karena dia mencium bau harum yang aneh. Dia semakin terheran-heran
karena tidak ada apa-apa di situ, cuaca yang suram karena hanya mendapat pene-rangan bulan
lemah itu mendatangkan suasana menyeramkan. Setelah menoleh ke kanan kiri dan belakang, dia
memandang ke depan lagi untuk melanjutkan perjalanan. Begitu dia membalik, hampir dia menjerit
kaget karena tiba-tiba saja di depannya kini sudah berdiri dua orang yang muka-nya pucat seperti
mayat! Seorang kakek dan seorang nenek. Kalau saja mereka itu tidak bergerak, tentu A-hai mengira
berhadapan dengan mayat yang mengingatkan dia akan mayat tukang wa-rung yang menggeletak di
luar rumah mendiang Gu-lojin itu.
Ketika laki-laki setengah tua itu bertanya, su-aranya juga kosong dan mengambang seperti bu-kan
suara manusia! "Sobat, apakah engkau melihat seorang gadis cantik di sekitar tempat ini? Seo-rang
gadis cantik dengan kulit putih dan keringat-nya berbau harum dupa?"
Pertanyaan itu saja sudah membuat A-hai serem.
Gadis cantik putih pucat berbau dupa hanyalah
siluman! "Tidak ada aku tidak tahu "
jawabnya dengan suara gemetar. Dia tidak tahu bahwa laki-laki dan wanita yang berdiri di depan-nya
itu adalah Kwa Eng Ki dan isterinya. Kwa Eng Ki adalah ketua Tai-bong-pai yang jarang keluar pintu
dan kini keluar bersama isterinya un-tuk mencari anak-anak mereka.
"Huhh!" Laki-laki setengah tua bermuka pu-cat itu mendengus dan berkata kepada isterinya, "Orangorang
dusun itu berkata bahwa anak kita menuju ke tempat ini. Mari kita cari di tempat lain dan
bertanya kepada orang yang lebih cerdik!" Mereka berkelebat dan lenyap. A-hai yang di-anggap tidak
cerdik itu tidak marah, bahkan mera-sa lega bahwa dua orang manusia yang seperti mayat hidup itu
pergi meninggalkannya. Diapun melanjutkan perjalanan menuju ke dusun nela-yan.
Keadaan dusun itu masih ribut. Para pendu-duknya masih diliputi suasana tegang dengan pe-ristiwa
aneh yang terjadi berturut-turut itu. Me-reka dipaksa keluar dengan ancaman rumah diba-kar, lalu ada
pemilik perahu yang perahunya di-rampas. Melihat para penduduk belum tidur dan berkelompok
sambil bicara secara serius dan geli-sah, A-hai lalu menghampiri mereka dan berta-nya apa yang
telah terjadi.
"Ada terjadi apakah? Dan apakah kalian me-lihat sahabat-sahabatku, pemuda tampan dan ga-dis
cantik itu?"
Dari orang-orang ini A-hai mendengar bahwa Seng Kun pergi bersama seorang kakek dan seo-rang
pemuda, katanya untuk mencari adik perem-puannya yang diculik penjahat. Mendengar ini, A-hai
terkejut. Ah, dia sendirian sekarang. Bwee Hong diculik orang dan Seng Kun melakukan pe-ngejaran.
"Dan di sana kulihat pemilik warung sudah menjadi mayat, entah siapa yang membunuhnya," katanya.
Kini para penghuni dusun itulah yang terkejut dan merekapun lalu ikut dengan A-hai menuju ke rumah
mendiang Gu-lojin. Benar saja, pemilik warung itu mereka temukan tewas dalam keadaan
mengerikan. Beramai-ramai mereka lalu mengurus mayat itu.
A-hai duduk termenung sampai fajar menying-sing. Dia bingung sekali. Dia sekarang beristirahat
seharian, dan kalau pengobatan itu tidak dilanjutkan, dia akan celaka. Mungkin ingatannya semakin
mundur, atau mungkin dia akan mati. Ah, dia kini hidup sendiri lagi, harus mengembara ke sana ke
mari bertahun-tahun sambil bekerja sedapatnya, dengan tujuan musta-hil, yaitu mencari seseorang
yang akan dapat me-ngenalnya dan menceritakan siapa sebenarnya dia? Di mana keluarganya?
A-hai menengadah. Kini dia duduk di luar rumah tua itu, memandang langit yang mulai me-rah
terbakar sinar matahari pagi yang baru terbit. Agaknya tidak ada seorangpun mengenalnya, mengenal
keluarganya. Agaknya dia sekeluarga da-hulu hidup terasing dari pergaulan umum.
Tak terasa lagi kedua matanya basah. Dia mengusap air matanya dengan punggung tangan yang
dikepal. Hatinya penasaran sekali. Masa ada orang tidak tahu siapa dirinya sendiri, siapa ayah
dunia-kangouw.blogspot.com
bundanya? Ketika lengannya bergerak, tanpa di-sadarinya tangannya menyentuh boneka batu giok
yang tadi dibawanya keluar. Boneka yang tadi di-temukannya melalui nalurinya di rumah mendiang
Gu-lojin. Kini sinar matahari memungkinkan dia memandang boneka itu dengan jelas. Ada sesuatu
pada boneka itu yang seperti membuka ingatan-nya. Batu giok yang berkilauan terkena cahaya
matahari pagi itu seperti menyihirnya dan secara samar-samar ia membayangkan pemilik boneka ini.
Seorang anak perempuan kecil yang lincah, yang suka berlari-lari dengan penuh kebahagia-an,
berlarian di alam terbuka. Suka mengejar ku-pu-kupu. Anak perempuan kecil yang manja, ber-larilarian
di dekat sebuah rumah yang bersih in-dah, di tepi sungai yang airnya jernih. Banyak ba-tu
menonjol tersembul di sana-sini. Sungai itu mengalir mengeluarkan dendang dan terjun ke ba-wah,
tak jauh di belakang rumah itu. Anak pe-rempuan itu gemar sekali bermain ke tepi sungai, berlarilarian
biarpun sudah sering dilarangnya. Pada suatu hari, anak perempuan itu kembali ber-lari-lari dan
kakinya tersandung, tubuhnya tergu-ling dan jatuhlah anak perempuan itu ke dalam lubuk air terjun
yang sangat dalam. Badannya yang mungil tenggelam, membuat pelayannya menjerit keras.
"Lian Cu!!" Tiba-tiba A-hai menjerit dan tubuhnya meloncat ke depan, tangannya menyambar ke
depan secepat kilat dan ternyata tangannya itu telah menangkap seekor burung ke-cil yang kebetulan
terbang lewat!
A-hai sadar. Dengan terheran-heran dia me-lepaskan burung kecil itu bepat-cepat. Burung itu terbang
menggelepar sambil mencicit ketakut-an. A-hai mengamati tangannya yang tiba-tiba saja menjadi
amat cepat gerakannya itu. Lalu dia menarik napas panjang dan duduk kembali.
"Hemm, aku melamun. Tempat itu, rumah itu kenapa aku seperti mengenalnya? Dan .... anak
perempuan itu Lian Cu, ahhh!"
Dia membalik boneka yang masih berada di tangan kirinya, lalu membaca tulisan yang terdapat di belakangnya.
"HADIAH ULANG TAHUN UNTUK PUTERIKU LIAN CU." Berkali-kali dibacanya tulisan
itu.
"Lian Cu, Lian Cu? Benarkah anak itu ada?" A-hai merasa pusing. Ingatan yang serba suram tentang
anak perempuan itu, rumah dekat sungai dan air terjun itu, memusingkan ke-palanya. Akhirnya dia
bangkit berdiri.
"Aku harus mencari rumah itu! Rumah indah bersih di tepi sungai jernih yang ada air terjunnya. Aku
akan menyelusuri setiap sungai di dunia ini sampai kutemukan rumah itu," tekadnya.
Pikiran ini membuat hatinya tenang. Dia lalu mengumpulkan sisa uangnya, juga buntalan pakai-annya
dan buntalan pakaian Seng Kun dan Bwee
Hong yang ditinggalkan. Sisa uangnya masih cu-kup untuk membeli sebuah perahu kecil sederhana
dari para nelayan di dusun itu. Dengan semangat besar diapun meninggalkan rumah tua mendiang
Gu-lojin dan pergi menuju ke dusun. Ketika pen-duduk dusun mendengar bahwa A-hai hendak
menyusul sahabat-sahabatnya mencari nona yang diculik penjahat, mereka memberikan sebuah perahu
kecil sederhana dengan harga murah. A-hai girang sekali, berterima kasih lalu berangkat dengan
perahu kecilnya menyusuri sungai itu. Biar-pun perahunya mudik dan melawan arus, akan tetapi
dia mendayung penuh semangat, menggerak-kan perahunya di sepanjang pinggiran sungai di
mana arusnya tidak sekuat di tengah. Setiap kali dia kelelahan dan hendak beristirahat, dia membawa
perahunya ke tepi dan menariknya ke darat, mengaso di tepi sungai. Biarpun ingatannya sudah
tertutup rahasia gelap yang membuatnya tidak ingat apa-apa tentang masa lalunya, akan tetapi pada
dasarnya dia memiliki kecerdikan. Kini dia mempunyai pegangan, yaitu bahwa dia harus men-cari
sebuah rumah indah mungil di tepi pantai se-buah sungai kecil yang jernih airnya dan yang ter-dapat
air terjunnya di belakang rumah. Dia merasa yakin bahwa sungai di dekat rumah itu tentu ada
hubungannya dengan sungai yang ditelusurinya ini. Buktinya, bukankah rumah mendiang Gu-lo-jin
juga dekat dengan sungai ini dan bahwa anak kecil yang namanya terukir di belakang boneka giok
itupun menurut mendiang pemilik warung se-ring pula datang ke situ? Setidaknya, antara sungai kecil
di dekat rumah mungil dengan sungai ini ten-tu ada hubungannya.
Karena perahunya mudik, maka perahu itu ha-nya dapat maju perlahan saja. Namun A-hai ti-dak
pernah kehilangan kesabaran. Dia sudah meng-ambil keputusan untuk mencari terus di sepanjang
sungai ini, kalau perlu sampai selama hidupnya! Tiga hari sudah dia mendayung sambil memperhatikan
keadaan di kanan kiri sungai. Kalau ada tempat yang agak mirip-mirip saja dia tentu ber-henti
dan mendarat untuk melakukan penyelidikan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hari telah menjelang sore ketika perahunya me-masuki bagian sungai yang lebar dan di sini airnya
tenang sehingga dia dapat mendayung lebih cepat. Beberapa kali sejak pagi tadi dia berpapasan dengan
perahu-perahu lain yang lebih besar. Tiba-tiba muncul tiga buah perahu besar yang bergerak
mudik dengan dorongan layar, juga dibantu de-ngan dayung-dayung anak buah perahu-perahu itu.
Sinar matahari senja membuat layar-layar itu berwarna kemerahan.
Dengan cepat tiga buah perahu itu mendahu-lui perahu A-hai. Dia melihat beberapa orang dengan
sikap yang keren dan wajah serem berdiri di atas geladak, memandang kepadanya dengan si-nar
mata tajam, A-hai tidak perduli, akan tetapi hatinya tertarik juga karena dapat menduga bah-wa orangorang
yang berada di perahu-perahu itu tentulah bukan nelayan atau pedagang biasa.
Bulan menggantikan matahari dengan sinarnya yang cerah, membuat permukaan air nampak se-perti
perak. A-hai tidak mendarat. Malam terlalu indah dan terang, sedangkan air sungai tenang, enak
untuk mendayung perahu. Malam sungguh indah. A-hai mendayung perahu sambil membuka
matanya memandang ke sekeliling. Matanya ber-sinar-sinar, ada rasa bahagia yang aneh meme-nuhi
hatinya. Ataukah sinar bulan itu, keheningan yang mendalam itu yang menerangi batinnya?
Keindahan terdapat di setiap tempat dan di se-tiap saat bagi mata yang waspada dengan batin yang
kosong dari pada segala kesibukan pengejaran kesenangan. Keindahan menggetarkan jiwa yang
bersih dari pada segala kesibukan senang susah, puas kecewa dan segala perasaan yang timbul
karena pertentangan antara dua keadaan. Di seti-ap pucuk daun, di setiap sudut awan, di setiap batang
rumput, di setiap tetes air, di dalam setiap helai rambut kita, di mana-mana terdapat kea-gungan,
keindahan dan kemujijatan itu. Namun sayang, mata kita telah menjadi buta, dibutakan oleh pikiran
yang selalu mengejar-ngejar kese-nangan sehingga bertemulah pikiran dengan kesu-sahan,
kekecewaan, iri hati, kebencian, permusuh-an, pemuasan nafsu dan sebagainya. Batin menjadi lelah
dan lumpuh oleh hempasan-hempasan pe-rasaan itu dan mata menjadi buta, tidak dapat lagi melihat
keindahan, keagungan dan kemujijatan yang amat besar itu.
Selagi A-hai tenggelam ke dalam keindahan dan keheningan yang maha besar itu, tiba-tiba
perhatiannya tertarik oleh banyak benda yang mengapung di permukaan air. Dan terkejutlah hatinya
ketika dia melihat bahwa benda-benda itu adalah pecahan-pecahan perahu yang hanyut dan lebih
kaget lagi rasa hatinya ketika dia melihat betapa di antara pecahan-pecahan perahu itu ter-dapat pula
beberapa mayat manusia mengambang. A-hai bergidik ketika mengenal mayat itu seperti wajah orang
yang tadi dilihatnya di atas tiga buah perahu yang mendahuluinya. Karena merasa nge-ri, A-hai lalu
mempercepat gerakan dayungnya dan perahunya meluncur cepat mendahului benda-benda
mengerikan yang terbawa arus air itu.
Tak lama kemudian perahunya memasuki dae-rah yang berbukit-bukit dan kedua tepi sungai terdiri
dari tebing-tebing yang terjal menjulang tinggi. Tempat ini memiliki keindahan yang lain lagi, yang
megah dan jelas memperlihatkan keper-kasaan alam. Akan tetapi, perhatian A-hai terta-rik oleh tiga
buah perahu yang berlabuh di sebuah lekukan bukit atau tebing karang. A-hai merasa tertarik sekali,
apa lagi ketika dia mendengar ge-muruh suara air memantul di-antara tebing-tebing terjal itu,
membuat dia teringat akan gemuruhnya air terjun dalam lamunannya. Diapun segera mengarahkan
perahunya ke pinggir mendekati ti-ga buah perahu yang disangkanya tentu perahu-perahu para
nelayan.
Akan tetapi, begitu perahunya tiba di tepi dan berada di antara tiga buah perahu itu, tiba-tiba muncul
belasan orang dari dalam perahu-perahu itu dan perahu-perahu mereka bergerak menge-pung
perahu A-hai. Sebatang tombak panjang yang dipegang oleh seorang di antara mereka yang berdiri di
kepala perahu, meluncur ke arah dada A-hai yang masih duduk dengan kaget. Melihat ini, secara
otomatis, di luar kesadarannya, tangan A-hai bergerak cepat meraih ke depan. Gerakan-nya persis
seperti ketika dia menangkap burung kecil yang sedang meluncur terbang di depannya tempo hari, di
depan rumah tua mendiang Gu-lojin.
Dengan amat tepatnya, tombak itu tertangkap ujungnya oleh tangan A-hai. Pemilik tombak ter-kejut
dan tentu saja menahan tombaknya, lalu ber-usaha membetotnya kembali. A-hai juga otoma-tis
berusaha merampas tombak yang dapat berba-haya bagi dirinya itu. Dia mengerahkan tenaga dan
menggerakkannya melanjutkan gerakan me-nangkap tadi. Tanpa disadarinya, tenaga sinkang
mengalir dari pusarnya, otot lengannya menggem-bung dan ketika tangannya menyentak, terdengarlah
jeritan ketakutan! Tubuh pemilik tombak itu terpental dan terlempar tinggi ke udara, seperti
dilempar oleh tangan raksasa yang amat kuat saja. Belasan orang yang berada di atas tiga perahu
dunia-kangouw.blogspot.com
yang mengepung itu terbelalak kaget dan ngeri melihat betapa tubuh teman mereka itu terlempar
begitu tingginya, kemudian terbanting jatuh ke atas batu-batu tebing, mengeluarkan bunyi mengerikan
karena tulang-tulang pecah dan patah. Orang itu tak dapat bergerak lagi.
A-hai sendiri menjadi terkejut dan ngeri. Dia memandangi tangannya seperti orang tidak per-caya.
Memang terjadi keanehan pada dirinya. Tanpa disadarinya sendiri, pengobatan yang dila-kukan oleh
Seng Kun dan Bwee Hong telah mem-perlihatkan hasilnya. Sedikit demi sedikit A-hai mulai dapat
mengingat masa lalunya, juga ilmu yang pernah dipelajarinya. Memang baru sedikit sekali yang
diingatnya itu karena otaknyapun baru saja kealiran darah kembali, itupun belum lancar. Kebetulan
sekali yang mula-mula dirangsang dan dihidupkan kembali sehingga dapat bekerja, ada-lah otak di
bagian dia menyimpan kenangan ketika berada di rumah indah di tepi sungai bersama se-orang anak
perempuan bernama Lian Cu. Dia mengajarkan ilmu silat kepada bocah itu sambil menangkap kupukupu
dan burung-burung." Ba-gian inilah yang teringat sehingga bagian ini pula dari ilmu silat yang
dapat diingatnya.
Kini muncullah dua orang dari dalam bilik perahu lawan. Perahu A-hai kini sudah menempel dengan
perahu lawan, bahkan sudah dikait sehing-ga tidak dapat melepaskan diri lagi. Melihat mun-culnya
dua orang itu, A-hai mengerutkan alisnya, tahu bahwa dia berada dalam bahaya. Dua orang itu bukan
lain adalah Pek-pi Siauw-kwi, Si Ma-ling Cantik berusia tigapuluhan yang selain can-tik juga cabul dan
sesat itu. Sedangkan orang ke dua adalah Jai-hwa Toat-beng-kwi, si penjahat cabul tukang
pemerkosa yang amat keji.
A-hai kini mulai sadar bahwa seperti pernah didengarnya dari orang-orang lain, dia sebetulnya
mempunyai ilmu kepandaian silat. Maka diapun mulai memeras otaknya untuk mengingat-ingat. Dan
mulailah dia melihat bayangan-bayangan ingatan dalam otaknya, dan dia mengerahkan tena-ga
otaknya sekuatnya dan sedapatnya. Ya, dia tahu bagaimana harus melayani pengeroyokan. Hemm,
dia harus bersikap begini. Menurutkan jalan pikir-annya, A-hai lalu bangkit berdiri. Tubuhnya yang
tegap jangkung itu kelihatan gagah sekali ketika dia berdiri tegak dengan kedua kaki dipentang le-bar,
lutut agak ditekuk, tubuh tidak bergoyang dan kedua lengan ditekuk pula, yang kiri menyilang di depan
dada dan yang kanan dengan jari terbuka menyentuh ujung hidung sendiri, matanya menger-ling dari
bawah ke arah lawan!
Biarpun Pek-pi Siauw-kwi dan Jai-hwa Toat-beng-kwi merupakan dua orang tokoh sesat yang amat
lihai, namun mereka kini meman-dang kepada pemuda itu dengan sikap ragu-ragu dan agak gentar.
Mereka tadi telah melihat sen-diri betapa hanya dengan satu sentakan saia, seo-rang anak buah yang
sebetulnya bukan orang le-mah sampai terpental tinggi sekali dan terbanting tewas. Maka kini mereka
berdiri di kepala perahu mereka dengan sikap hati-hati.
Jilid XXVI
EMPAT orang yang berada di perahu sebe-lah kiri, kini serentak meloncat dan menye-rang dengan
tombaknya ke arah A-hai. A-hai membuat gerakan otomatis dengan tubuhnya dan ketika tangannya
bergerak ke kiri, ada hawa atau angin pukulan yang dahsyat menyambar keluar.
"Wuuuttt prakkkk !!" Empat batang tombak itu patah-patah dan empat orang peme-gangnya
terjengkang kembali ke dalam perahu me-reka!
Si Penjahat Cabul dan Si Maling Cantik saling pandang dengan mata terbelalak. Mereka tidak ta-hu
siapa pemuda ini yang tak dapat mereka lihat jelas mukanya karena bulan tertutup awan. Akan tetapi
harus mereka akui bahwa pemuda ini memi-liki ilmu yang amat dahsyat. Angin pukulan ketika
pemuda itu menangkis tadi, sampai terasa oleh mereka berdua, membuat mereka berdua bergidik
ngeri.
Akan tetapi kini mereka melihat hal yang aneh. Tadi, gerakan tangan pemuda itu selain dahsyat, juga
gerakannya indah dan gagah. Akan tetapi, begitu menangkis, pemuda itu agaknya menjadi bi-ngung,
menggerakkan tangan ke kanan, agaknya untuk menghantam ke arah perahu di kanan.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Wutt!" Tidak ada apa-apanya dalam pukul-an ini dan si pemuda sendiri agaknya menjadi bi-ngung
dan kaget, bahkan lalu terpelanting jatuh ke dalam perahunya sendiri! Memang A-hai me-rasa
bingung bukan main. Tadi, secara otomatis tangannya bergerak menyambut empat batang tombak
dan dia ingat benar akan gerakan ini dan merasakan betapa tangannya yang menangkis di-penuhi
tenaga yang amat kuat dan hangat. Akan tetapi setelah tangkisannya berhasil membuat o-rang-orang
yang menyerangnya terjengkang dan tombak-tombak mereka patah-patah, dia menjadi bingung, tidak
tahu harus melanjutkan bagaimana. Dia tidak ingat lagi, maka diapun membuat gerak-an ngawur saja
dengan menghantamkan tangan-nya ke arah perahu ke dua di sebelah kanan. Akan tetapi dia
semakin bingung karena kini tangannya itu kosong melompong tidak ada hawa saktinya, dan
pukulannya ini bahkan membuat tubuhnya terpelanting ke dalam perahunya sendiri. Cepat dia
merangkak bangun. Tepat pada waktunya ka-rena pada saat dia terpelanting tadi, Si Maling Cantik
dan Si Penjahat Cabul sudah melayang ke atas perahunya dan menyerangnya.
Kini, dalam keadaan terjepit, kembali A-hai ingat akan gerakannya. "Plak! Plak!" Dua orang lawannya
berteriak kaget dan meloncat mundur karena tangkisan A-hai itu membuat mereka me-rasa betapa
kedua lengan mereka tergetar hebat dan nyeri. A-hai membalas dengan serangannya. Dua orang
lawan yang lihai itu tidak berani me-nyambut dan melangkah mundur, sedangkan dua orang anak
buahnya yang lancang menyambut de-ngan golok, berteriak kaget dan terlempar ke da-lam air karena
dorongan tenaga dahsyat yang ke-luar dari tangan A-hai.
Kini A-hai dikeroyok dan terjadilah perkelahi-an yang seru, lucu dan aneh. Kadang-kadang ge-rakan
A-hai demikian indah dan dahsyat sehingga dua orang lihai macam Si Penjahat Cabul dan Si Maling
Cantik sekalipun tidak kuat menahan. A-kan tetapi, kadang-kadang gerakan A-hai demi-kian
kacaunya dan dari kedua tangannya sama sekali tidak keluar tenaga sakti sehingga bukan ha-nya
lawan yang menjadi bingung, bahkan A-hai sendiripun bingung.
Kini tiga perahu itu sudah menempel semua dan perahu A-hai dikurung. Para pengeroyok kini tinggal
tigabelas orang, akan tetapi yang be-rani menyerang dekat hanyalah dua orang tokoh sesat itu
sedangkan anak buah mereka hanya me-nyerang dari jauh dengan tombak panjang.
Memang hebat sekali kalau pemuda itu sedang "ingat" akan ilmunya. Bukan hanya gerakannya yang
hebat dan tenaganya yang dahsyat, bahkan tubuhnya juga dialiri tenaga sinkang amat kuat yang
membuat tubuhnya kebal dan mata-mata tombak yang berhasil menusuknya, membalik, bahkan ada
pula yang patah!
Kini Jai-hwa Toat-beng-kwi yang mulai me-ngerti bahwa pemuda yang lihai itu ternyata ma-sih
"mentah" ilmunya, mendesak maju. Mula-mula dia melakukan tendangan kilat, dibarengi oleh
hantaman tangan Pek-pi Siauw-kwi dari samping, ke arah tengkuk A-hai. A-hai bergerak otomatis,
merendahkan tubuhnya dan membiarkan pukulan dan tendangan lewat, lalu tangannya me-nyambar
dan dia berhasil menangkap pergelangan kaki Jai-hwa Toat-beng-kwi yang menendang tadi. Tentu
saja penjahat cabul itu terkejut dan ketakutan. Tubuhnya sudah diangkat, akan tetapi, tiba-tiba saja Ahai
kehilangan ingatannya lagi, menjadi bingung harus bergerak bagaimana dan otomatis tenaga
saktinya lenyap, seperti sebuah ba-lon yang tadinya ditiup mengembung, mendadak menjadi gembos
kehilangan anginnya. Dan sekali menggerakkan kaki yang ke dua, menendang ke arah dada A-hai,
jai-hwa-cat itu berhasil mele-paskan kakinya dari cengkeraman.
Beberapa kali A-hai berhasil mendesak lawan, akan tetapi karena tidak ingat lagi akan kelanjutan
gerakan silatnya, dan tidak dapat menahan tenaga saktinya agar tetap di dalam kedua lengannya,
semua gerakannya mandeg di tengah jalan dan dari keadaan mendesak, berbalik dia malah
menerima beberapa kali hantaman, tendangan dan gebukan yang membuatnya jatuh bangun di
perahunya. Biarpun tubuhnya secara otomatis dilindungi sin-kang yang kuat sehingga tidak terluka,
akan tetapi hantaman bertubi-tubi itu membuatnya babak bundas dan benjut-benjut juga! Masih
untung baginya bahwa yang menghajarnya hanyalah dua orang itu, kalau saja yang muncul orangorang
macam San-hek-houw atau Si Buaya Sakti, tentu dia akan celaka, tewas atau setidaknya
terluka parah.
Karena kini mengetahui rahasia A-hai, kedua orang sesat itu bersikap cerdik. Mereka tidak ter-lalu
mendesak dan kalau melihat pemuda itu ber-gerak hebat, mereka malah menjauh dan mundur. Akan
tetapi begitu melihat gerakan pemuda itu terhenti tiba-tiba dan pemuda itu nampak bi-ngung, mereka
menyerbu dan menghajarnya. A-khirnya, A-hai tidak dapat tahan juga dan sebuah tendangan
membuatnya terjungkal keluar dari pe-rahunya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Byurrr !"
A-hai yang merasakan seluruh tubuhnya me-mar dan perih-perih, membiarkan dirinya hanyut terbawa
arus air. Untung bahwa permukaan air itu cukup gelap, tidak memungkinkan musuh-mu-suhnya untuk
menemukannya dan sebentar saja
A-hai sudah hanyut jauh. Sial baginya, air sema-kin dalam dan semakin kuat arusnya sehingga ke-tika
dia berusaha berenang ke tepinya, dia terse-ret terus semakin jauh dan kadang-kadang tubuh-nya
dihantamkan pada batu-batu besar. Tadi dia dihajar oleh pukulan-pukulan dan tendangan-ten-dangan,
kini dihajar oleh batu-batu yang meng-hadang, sungguh sial dan dia merasa tubuhnya se-makin
lemas, bahkan beberapa kali dia terpaksa menenggak air!
Tiba-tiba A-hai yang sudah merasa betapa tubuhnya lemas itu, terkejut dan girang. Tadinya dia
mengira bahwa yang menyambar dan meng-angkat tubuhnya ke atas perahu itu musuh dan dia
sudah siap untuk melawan lagi mati-matian. A-kan tetapi ketika dia melihat bahwa yang berada di
perahu itu adalah Bwee Hong dan seorang gadis lain, dia merasa gembira bukan main sehingga ingin
rasanya dia bersorak dan menari-nari!
"Ha-ha-ha, sungguh beruntung aku!" A-hai bangkit duduk dan tersenyum lebar, wajahnya yang basah
kuyup itu berseri-seri. Melihat kegi-rangan meluap-luap pada diri pemuda itu, Bwee Hong dan Kwa
Siok Eng, gadis yang menemani Bwee Hong di perahu itu, memandang dengan alis berkerut.
Terutama sekali Bwee Hong. Jangan-ja-ngan pengobatan yang diberikan kakaknya dan ia sendiri
kepada A-hai mendatangkan akibat sam-pingan dan membuat pemuda ini benar-benar menjadi
miring otaknya, pikirnya dengan gelisah. Pemuda ini baru saja terbebas dari maut, tubuh-nya memarmemar
dan babak bundas, hampir saja tenggelam dan kelihatan begitu kehabisan te-naga, akan
tetapi dapat tertawa-tawa gembira seperti itu.
"A-hai, apa saja yang kaulakukan di sini? Ba-gaimana engkau tahu-tahu hanyut di sungai ini?" Bwee
Hong bertanya. Akan tetapi pada saat itu A-hai memandang kepada Siok Eng dan hidung-nya
kembang kempis.
"Aih, nona yang berbau dupa harum! Kita berjumpa lagi di sini, sungguh senang hatiku. Bu kankah
nona bernama eh, nona Kwa Siok Eng?"
"Benar sekali. Aih, ingatanmu sudah mulai baik, A-hai," kata Bwee Hong girang karena ter-nyata kini
A-hai memperlihatkan kekuatan ingat-annya, tanda bahwa pengobatan itu memperlihat-kan hasilnya.
Juga Kwa Siok Eng yang sudah banyak tahu tentang keadaan A-hai yang aneh itu, tersenyum
mengangguk. "Saudara A-hai, bagaimana engkau dapat berada dalam keadaan seperti ini?"
A-hai lalu bercerita sambil memeras ujung ba-ju dan celananya, juga rambutnya yang basah ku-yup.
"Ketika engkau hilang dan kemudian kakak-mu juga pergi, agaknya mencarimu, aku bingung sekali,
nona Hong. Aku tidak tahu harus mencari atau mengejar ke mana. Maka aku lalu mengumpulkan
ingatanku tentang boneka itu. Dan aku mulai dapat membayangkan adanya sebuah rumah indah di
tepi sungai, dekat air terjun. Di tempat itu aku pernah bermain-main dengan seorang anak
perempuan bernama Lian Cu "Ah, nama yang terukir pada boneka itu." kata Bwee Hong.
"Benar. Aku belum ingat betul apa hubunganku dengan Lian Cu, akan tetapi aku ingat bermain-main
dengannya. Lalu aku mengambil keputusan untuk mencari tempat itu, mencari rumah indah mungil
dekat air terjun di tepi sungai. Aku hendak menyusuri seluruh sungai sampai dapat kutemukan tempat
itu. Dan aku dihadang orang-orang jahat aku dikeroyok, untung aku masih teringat akan beberapa
jurus ilmu silat, sayang hanya sepotong-sepotong; dan akhirnya aku ter-lempar keluar perahu dan
hanyut sampai ke sini."
"Aih, untung kami menemukanmu," kata Bwee Hong menarik napas panjang, merasa kagum dan
heran akan keadaan dan nasib pemuda itu yang aneh.
"Dan engkau sendiri, kenapa pergi meninggal-kan aku setengah jalan dalam pengobatan itu, no-na?"
A-hai bertanya, alisnya berkerut sedikit tanda bahwa kenyataan itu tidak menyenangkan hatinya.
"Aku diculik orang, A-hai."
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba A-hai meloncat berdiri, lupa bahwa dia berada di perahu sehingga perahu itu menjadi miring
dan Siok Eng berteriak mengingatkan.
"Heiii, hati-hati ...... kita bisa terguling dan engkau hanyut lagi!"
"Wah, maaf " A -hai duduk kembali dan memandang Bwee Hong. "Siapa yang berani menculikmu,
nona Hong?"
"Tenanglah." Bwee Hong tersenyum dan pipi-nya berobah merah. Pemuda ini begitu marah
mendengar ia diculik orang dan sikap ini membuat jantungnya berdebar karena pemuda aneh ini
memperlihatkan saja perasaan hatinya yang demi-kian jelas menaruh perhatian besar terhadap dirinya.
"Baik kuceritakan saja apa yang telah kua-lami sejak kita terpaksa saling berpisah dari dalam
pondok mendiang Gu-lojin itu."
Bwee Hong lalu bercerita, didengarkan oleh A-hai penuh perhatian. Juga Siok Eng mendengarkan
sambil mendayung perahunya dengan hati-hati agar jangan sampai menabrak batu-batu yang
menonjok di sungai itu.
Mari kita ikuti pengalaman Bwee Hong sebelum ia lenyap dari rumah mendiang Gu-lojin. Seperti kita
ketahui, setelah melakukan pengobatan atas diri A-hai yang kemudian tidur nyenyak, Seng Kun keluar
dari dalam rumah, meninggalkan Bwee
Hong yang masih berjaga-jaga di dalam membe-nahi perabot-perabot pengobatan.
Tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat memasuki ruangan itu. Bwee Hong oepat melon-cat
dan membalikkan tubuhnya. Wajahnya ber-ubah pucat ketika dia melihat seorang kakek ber-tubuh
tinggi besar dan sikapnya kasar dan kokoh kuat, mengenakan jubah kulit harimau dan pada
pinggangnya nampak sehelai rantai baja yang ujungnya dipasangi tombak jangkar. Kakek itu bukan
lain adalah San-hek-houw, Si Harimau Gunung! Bwee Hong maklum bahwa dia berha-dapan dengan
datuk sesat yang kejam, maka tanpa banyak cakap lagi iapun menyerang dengan tangan kosong.
Pedangnya tidak ada pada tubuhnya, maka ia tidak sempat mengambil pedang yang disimpan di
sudut ruangan. Karena maklum bah-wa lawannya ini tangguh, Bwee Hong mengerah-kan tenaga
sinkang ketika melakukan pukulan ke arah leher lawan. Akan tetapi, kakek tinggi besar itu tertawa dan
sama sekali tidak mengelak, me-lainkan menggerakkan tangan menyambar ke de-pan untuk
menangkap pergelangan tangan gadis itu. Bwee Hong terkejut, menarik kembali tangan-nya dan
menyusulkan tendangan kilat dari samping mengarah lambung.
"Bukkk!!" Tendangan itu tepat mengenai lam-bung, akan tetapi Bwee Hong menjerit karena tahu-tahu
pundaknya sudah dirangkul dan di lain saat ia sudah dipondong dan ditekan pundaknya sehingga
tidak mampu bergerak lagi. Kiranya, ia tadi gugup sehingga tergesa-gesa. Kegugupan-nya
dimanfaatkan lawan yang lebih tangguh itu. Tendangannya diterima begitu saja sambil melin-dungi
tubuh dengan pengerahan sinkang dan se-baliknya, sambil menerima tendangan, Si Harimau Gunung
sudah menangkap dan mencengkeram pundak Bwee Hong seperti seekor harimau men-cengkeram
anak domba saja. Sebetulnya, biarpun ia kalah lihai, akan tetapi kalau Bwee Hong tidak gugup atau
terlalu bernapsu menyerang, melain-kan lebih mencurahkan kepandaian untuk berjaga diri,
mengandalkan ginkangnya yang membuat tu-buhnya jauh lebih cepat dan ringan dari pada la-wan,
belum tentu Si Harimau Gunung akan mam-pu menangkapnya dengan cepat.
"Ha-ha-ha-ha!" Harimau Gunung tertawa bergelak dengan girang sekali. Dia sudah meno-tok jalan
darah di tubuh Bwee Hong, membuat gadis itu tidak mampu melawan lagi, dan sambil tertawa-tawa
dia lalu melucuti pakaian Bwee Hong, dengan gerakan kasar sekali! Bwee Hong hendak melawan,
hendak meronta, namun ia tidak mampu membebaskan diri dari totokan dan meli-hat betapa dirinya
terancam malapetaka, agaknya akan diperkosa oleh iblis itu di depan A-hai yang masih tidur atau
pingsan itu, ia mengeluarkan keluhan dari rongga dadanya kemudian lemas terku-lai dan jatuh
pingsan!
Melihat gadis itu terkulai lemas dan pingsan, San-hek-houw mendengus tak senang. Watak manusia
ini memang sudah mendekati harimau, mendekati binatang buas. Seperti juga harimau yang
menerkam domba, dia tidak akan merasa pu-as kalau tidak melihat korbannya menggelepar-gelepar
di dalam gigitannya. Dia ingin korbannya meronta melawan, ingin melihat darah segar yang panas.
Maka begitu gadis itu terkulai pingsan, dia lalu menggeram, dan tubuh Bwee Hong lalu di-panggulnya
dunia-kangouw.blogspot.com
dan sekali meloncat dia sudah keluar dari dalam rumah dan membawa lari gadis itu de-ngan maksud
akan diperkosa kalau gadis itu sudah siuman dari pingsannya, di tempat lain.
Akan tetapi, tiba-tiba Bwee Hong menjerit. Si Harimau Gunung terkejut. Tak disangkanya gadis itu
akan siuman sedemikian cepatnya. Dia lalu menekan leher Bwee Hong untuk membuat gadis itu tidak
mampu berteriak lagi, dan melem-parkan gadis itu ke atas rumput. Dia sudah lari agak jauh dari
rumah dan kini melihat Bwee Hong sudah siuman, hatinya girang dan diapun hendak memperkosa
gadis itu di tepi jalan, di lereng gu-nung itu!
Jeritan melengking yang hanya satu kali keluar dari mulut Bwee Hong itu telah didengar oleh Seng
Kun, akan tetapi karena pada saat itu Seng
Kun sendiri sedang berkelahi melawan Sin-go Mo Kai Ci Si Buaya Sakti, maka kakak ini tidak dapat
menolong adiknya. Akan tetapi, bukan hanya Seng Kun yang mendengarnya. Seorang gadis lain juga
mendengar jeritan ini dan cepat gadis itu berlari mendekat. Gadis itu adalah Kwa Siok Eng! Da-pat
dibayangkan betapa kaget hati gadis ini ketika melihat Bwee Hong yang sudah tidak mengenakan
pakaian luar itu rebah terlentang pingsan di atas rumput dan kakek raksasa Harimau Gunung agaknya
sedang bermaksud untuk memperkosanya. Kwa Siok Eng, gadis itu, maklum akan kelihaian
Harimau Gunung dan mungkin saja datuk sesat itu masih mempunyai kawan-kawan lain seperti
biasanya. Untuk melawbn kakek itu ia tidak takut, akan tetapi bagaimana mungkin melawan kakek
yang amat tangguh berbareng harus menyelamat-kan Bwee Hong? Ia lalu mempergunakan akal.
Siok Eng bersembunyi di tempat gelap, kemu-dian mengerahkan tenaga sakti Asap Hio sehingga
terciumlah bau dupa harum yang amat menyolok keluar dari tubuhnya, lalu ia menirukan suara
ayahnya menggumam, "Hemrn, siapa berani meng-hina orang Tai-bong-pai dengan melakukan kecabulan
di depan mataku?"
Ketika hidungnya mencium bau dupa harum yang menyengat hidung itu, dan mendengar suara ini,
terkejutlah Si Harimau Gunung. Dia sendiri belum pernah bertemu dengan Kwa Eng
Ki, ketua Tai-bong-pai akan tetapi dia sudah banyak mendengar tentang tokoh aneh itu. Tai-bong-pai
adalah perkumpulan aneh, tidak con-dong kepada para pendekar akan tetapi juga tidak pernah mau
merendahkan diri memasuki golongan kaum. penjahat. Dan kabarnya Tai-bong-pai memiliki
kekejaman yang tiada taranya di sam-ping kelihaiannya yang mengerikan. Tak disang-kanya bahwa di
tempat ini dia akan bertemu de-ngan ketua Tai-bong-pai, dan dia mengerti bah-wa perbuatannya
hendak memperkosa gadis can-tik itu tentu dianggap penghinaan karena tanpa disengajanya hal itu
hendak dilakukan di depan si ketua Tai-bong-pai yang dia tidak tahu entah berada di mana.
Lebih baik mencari rekannya, Si Buaya Sakti, baru dia akan menghadapi orang Tai.-bong-pai itu dan
melanjutkan pemuasan nafsunya terhadap si gadis cantik, pikirnya. Maka tanpa banyak ca-kap
Harimau Gunung membatalkan maksudnya dan meninggalkan Bwee Hong, pergi dari situ un-tuk
mencari Buaya Sakti yang dia yakin tidak ber-ada jauh dari tempat itu. Tak lama kemudian terdengarlah
aumannya memanggil rekannya.
Begitu melihat kakek raksasa itu pergi, Siok Eng cepat meloncat keluar dan memondong Bwee Hong,
dibawa lari ke belakang semak-semak. Di sini ia membebaskan totokannya. Bwee Hong sa-dar dan
terkejut, juga girang melihat Siok Eng.
Akan tetapi, gadis Tai-bong-pai ini menutupi mulutnya, berbisik.
"Enci Hong, lekas kaupakai pakaianku ini, dan kita harus cepat pergi dari sini," katanya.
Bwee Hong yang melihat bahwa tubuhnya hampir telanjang bulat, menjadi merah mukanya dan iapun
cepat mengenakan pakaian cadangan dari Siok Eng yang diberikan kepadanya. Ia bersyukur sekali
bahwa dirinya belum ternoda oleh Si Harimau Gunung dan kalau membayangkan apa yang akan
terjadi andaikata tidak muncul Siok Eng yang menyelamatkannya, ia bergidik ngeri.
"Mari kita pergi"
"Akan tetapi, A-hai dan kakakku mereka di rumah mendiang Gu-lojin"
dunia-kangouw.blogspot.com
'"Kita pergi dulu, baru nanti mencari jalan" kata Siok Eng yang sudah menarik tangannya dia-jak lari.
Pada saat itu terdengar bentakan keras dari Harimau Gunung yang agaknya kembali ke tempat tadi
dan tidak lagi menemukan tubuh ga-dis yang hendak diperkosanya.
"Ketua dari Tai-bong-pai, harap keluar untuk bicara!" terdengar bentakan suara Harimau Gu-nung.
Mendengar ini, Siok Eng lalu menarik ta-ngan Bwee Hong dan merekapun melarikan diri. Agaknya
berkelebatnya bayangan mereka nampak oleh San-hek-houw yang cepat melakukan pe-ngejaran
sambil berteriak-teriak. Dua orang gadis itu bergegas lari menyusup-nyusup di antara pohon-pohon
dan semak-semak sehingga sukar-lah bagi San-hek-houw untuk dapat mencari me-reka. Raksasa ini
marah sekali. Dia tahu bahwa dia tadi telah dipermainkan orang. Tidak mungkin ketua Tai-bong-pai
lari terbirit-birit seperti itu. Tadi, ketika dia meninggalkan korbannya, dia me-rasa menyesal dan sambil
menanti datangnya re-kannya yang sudah dipanggilnya melalui auman-nya, dia hendak menemui dulu
ketua Tai-bong-pai untuk diajak berdamai. Akan tetapi, ternyata gadis itu telah lenyap dan dia melihat
berkelebat-nya dua bayangan gadis yang bertubuh ramping maka segera dikejarnya.
Dengan hati mengkal San-hek-houw berpu-tar-putar di dalam hutan itu, mencari-cari kor-bannya.
Akhirnya, dengan kesal dia lalu mening-galkan hutan, hendak kembali ke dusun mencari Buaya Sakti
yang belum juga datang membantu-nya. Ketika dia berlari sampai di luar dusun, tiba-tiba dia melihat
bayangan dua orang dari jauh. Timbul lagi harapannya, dan dia mempercepat larinya mengejar. Akan
tetapi setelah dekat, hati-nya menjadi semakin kesal karena dua orang itu bukanlah dua orang gadis
yang tadi dikejarnya, melainkan seorang laki-laki dan seorang perempu-an setengah tua, keduanya
mengenakan pakaian putih sederhana.
"Heh, petani-petani busuk!" bentaknya dengan sikap kasar sekali. "Hayo katakan apakah kalian
melihat dua orang gadis cantik lewat di sini. Kalau tidak bicara dengan baik kalian akan kuha-jar dan
kupatah-patahkan tulang punggungmu!" Memang sengaja Harimau Gunung yang sudah marah ini
mencari gara-gara agar ada tempat untuk melampiaskan kemarahannya. Dia mengha-rapkan dua
orang itu marah-marah agar dia da-pat membunuh mereka seperti ancamannya tadi! Siapapun
orangnya tentu akan marah kalau men-dengar ucapan seperti itu. Dan dua orang setengah tua itupun
marah, walaupun kakek pakaian putih itu tidak berkata apa-apa. Si neneklah yang ma-rah dan
melangkah maju.
"Harimau iblis, agaknya engkau sudah ingin disembahyangi!" katanya dan tiba-tiba saja ne-nek itu
menerjang ke depan dan mendorongkan telapak tangannya ke arah Si Harimau Gunung. Hawa
pukulan yang kuat menyambar dan tercium bau dupa harum yang amat keras. San-hek-houw terkejut
dan cepat dia menangkis.
"Desss !" Dia terhuyung ke dekat kakek itu dan tubuhnya terasa panas seperti dibakar.
"Huhh!" Kakek itupun mendengus dan tangan-nya menampar. Tercium bau hio yang lebih keras lagi.
Melihat tangan yang menyambar ke arah ke-palanya, Si Harimau Gunung cepat menangkis sambil
mengerahkan tenaganya walaupun kepala-nya masih pening dan tubuhnya terasa panas.
"Blarrrr !" Harimau Gunung mengeluh
dan tubuhnya terpelanting. Seluruh tubuhnya kini terasa dingin sekali. Dia bergidik dan cepat menggulingkan
tubuhnya, meloncat bangun dengan mata terbelalak memandang kepada kakek dan nenek
itu. "Kiranya kau kau’ dan diapun meloncat ke belakang sambil bergidik, me-nyusut sedikit darah dari
ujung mulutnya dan lari secepatnya. Sialan, pikirnya, kiranya dia benar-be-nar bertemu dengan ketua
Tai-bong-pai! Siapa lagi kalau bukan ketua Tai-bong-pai, mungkin dengan isterinya, yang memiliki
kepandaian sehe-bat itu? Kembali dia bergidik. Masih untung bahwa mereka tidak berniat
membunuhnya! Kini dia maklum bahwa biar dibantu Si Buaya Sakti sekalipun, dia tidak akan kuat
menandingi kakek dan nenek pakaian putih itu. Kecuali kalau Raja Kelelawar sendiri yang datang
membantunya.
Kakek dan nenek berpakaian putih itu memang suami isteri Kwa Eng Ki, ketua Tai-bong-pai. Mereka
berdua sedang mencari puteri dan putera mereka. Hati mereka kesal, maka mereka meng-hajar Si
Harimau Gunung, walaupun mereka tidak bermaksud bermusuh dengan kaum sesat. Oleh karena
itulah mereka tidak mengejar datuk itu dan melanjutkan perjalanan mereka menyelidiki dan mencari
anak-anak mereka.
Sementara itu, Siok Eng dan Bwee Hong sudah keluar pula dari dalam hutan. Dari jauh saja, Siok
dunia-kangouw.blogspot.com
Eng telah dapat mencium bau hio keras itu ketika suami isteri Kwa Eng Ki menghajar Si Harimau
Gunung. Gadis ini nampak terkejut dan cepat ia menarik tangan Bwee Hong, diajaknya gadis itu
masuk ke dalam hutan.
"Wah, enci Hong, itu ayah dan ibu telah datang pula ke sini! Aku pergi dari rumah tanpa perse-tujuan
mereka dan sudah beberapa bulan aku ti-dak pulang. Mereka tentu sedang mencariku dan aku belum
mau pulang sekarang. Kita bersembu-nyi dulu di sini sampai mereka pergi."
Bwee Hong mengangguk. Ia dapat mengerti keadaan Siok Eng. Sahabatnya ini adalah puteri dari
ketua Tai-bong-pai dan iapun mendengar bahwa keluarga Tai-bong-pai adalah orang-orang yang
dianggap iblis oleh dunia kang-ouw. Tidak heran kalau cara hidup merekapun aneh sekali sehingga
seorang anak perempuan pergi tanpa pamit dan takut ditemukan ayah bundanya, takut dipaksa dan
diajak pulang. Sungguh aneh! Akan tetapi ia tidak mau menyinggung hati sahabatnya dengan
menyatakan keheranannya, dan iapun ikut bersembunyi. Pengalamannya ketika terculik oleh Harimau
Gunung tadi saja sudah amat mengerikan, dan ia takut kalau-kalau bertemu lagi dengan iblis itu.
Tentang keadaan A-hai, ia tidak khawatir karena bukankah di sana terdapat kakaknya? Ma-lam itu
mereka berdua bersembunyi di dalam hu-tan, tidak berani banyak bersuara, bahkan tidak berani
membuat api unggun. Mereka hanya meng-andalkan tenaga sinkang untuk melawan dinginnya sang
malam.
Pada keesokan harinya, barulah kedua orang gadis itu berani keluar dari dalam hutan. Dengan hatihati
mereka menuju ke rumah mendiang Gu-lojin. Akan tetapi, ternyata rumah itu kosong. A-hai
maupun Seng Kun tidak nampak berada di da-lam rumah. Bwee Hong lalu mengajak Siok Eng pergi
ke dusun nelayan untuk mencari mereka. Namun di dusun ini juga mereka tidak menemukan dua
orang pemuda itu. Dan dari para nelayan ini-lah mereka mendengar akan apa yang terjadi ma-lam
tadi. Mereka mendengar akan munculnya dua orang kakek iblis yang mereka dapat menduganya
tentulah Si Harimau Gunung dan Si Buaya Sakti. Kemudian datangnya seorang kakek dan seorang
pemuda bersama Seng Kun yang mencari dua orang kakek iblis itu, kemudian betapa tiga orang ini
melakukan pengejaran menggunakan perahu ketika mendengar betapa dua orang kakek iblis itu
merampas perahu seorang nelayan. Kemudian mereka mendengar akan munculnya A-hai yang juga
membeli sebuah perahu dan mendayung pe-rahu itu seorang diri.
"Demikianlah, kami berdua lalu menggunakan perahu melakukan pengejaran karena menurut para
penghuni dusun, engkau pergi belum lama," kata Bwee Hong menutup ceritanya kepada A-hai.
""Dan akhirnya kami dapat menemukanmu dalam keadaan hanyut dan hampir tenggelam."
"Wah, wah, engkau selalu menjadi bintang pe-nolongku, nona Hong." A-hai berkata dengan ter-haru.
Dia teringat betapa baiknya gadis ini dan kakaknya, yang bahkan berjasa pula dalam mengo-bati
dirinya dan berusaha memulihkan ingatannya.
"Aih, jangan berkata demikian, A-hai. Bukan-kah engkau sebaliknya yang sudah berkali-kali
menyelamatkan diriku dari bencana?"
Melihat betapa dua orang ini saling merendah dan saling memuji, Siok Eng terbatuk-batuk. Ka-rena
batuknya ini batuk buatan, Bwee Hong me-noleh dan menegur dengan pipi merah, "Ih, apa artinya
engkau batuk-batuk itu, adik Eng?"
Siok Eng menutupi mulut dan tersenyum. "Kalian saling berebutan merendahkan diri dan saling
memuji. Sudahlah, anggap saja kalian saling hutang budi dan saling berkewajiban untuk memba las
budi hi-hik "
Bwee Hong mengerutkan alisnya. "Maksudmu?"
"Maksudku adalah seperti yang kaumaksudkan di dalam lubuk hatimu, enci"
Kedua pipi itu menjadi semakin merah. "Adik Eng, jangan main-main kau. Dan jangan bicara seperti
main teka-teki. Apa yang kaumaksudkan?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Siok Eng hanya tertawa dan sikap inilah yang membuat Bwee Hong tiba-tiba mengerti apa yang
dimaksudkan sahabatnya itu, maka di dalam, gelap ia mencubit lengan Siok Eng dengan keras, akan
tetapi tidak berkata apa-apa karena takut kalau A-hai akan tahu apa yang dimaksudkan oleh Siok Eng
dengan godaannya itu. Siok Eng telah me-nyindir dan menggoda mereka, menjodohkan me-reka!
Memang sesungguhnya A-hai tidak mengerti akan kelakar dua orang gadis itu dan diapun ber-tanya,
"Kita ke mana sekarang?" Pertanyaannya diajukan kepada Siok Eng yang mengemudikan perahu.
"Sebaiknya kita pergi ke tempat A-hai dikero-yok orang. Tentu ada sesuatu di tempat itu dan siapa
tahu kalau-kalau kakakku juga berada di sana."
"Baik, kita ke sana sekarang juga!" Tiba-tiba Siok Eng berkata dengan tegas sambil mendayung
perahunya. Melihat ini, Bwee Hong tersenyum dan mendekati Siok Eng, berkata lirih di dekat te-linga
gadis itu.
"Engkau tentu sudah ingin sekali segera ber-jumpa dengan kakakku, bukan?"
Akan tetapi, sejak kecil Siok Eng mempunyai lingkungan hidup yang berbeda dengan Bwee Hong.
Sebagai puteri ketua Tai-bong-pai, ia su-dah biasa bergaul dengan orang-orang aneh yang hidupnya
tidak begitu terbelenggu oleh segala macam sopan santun dan kepura-puraan yang mu-nafik. Apa
yang berada dalam hatinya tidak ditutup-tutupinya dengan malu-malu lagi, maka iapun mengangguk
dan menjawab dengan suara serius,
"Benar, enci Hong. Aku harus cepat bertemu dengan dia dan melihat dia dalam keadaan selamat,
barulah hatiku akan merasa tenteram."
Jawaban ini sudah jelas sekali bagi Bwee Hong, akan tetapi A-hai hanya termangu-mangu di ujung
perahu, masih berusaha mengeringkan baju-nya yang basah. Dia mendengar ucapan itu da-lam arti
kata-kata biasa saja, sama sekali tidak me-lihat bahwa ucapan itu mengandung perasaan hati gadis
Tai-bong-pai itu terhadap Seng Kun.
Perahu didayung oleh A-hai menurut petunjuk Siok Eng dan menjelang sore hari tibalah mereka di
tempat pengeroyokan itu. Akan tetapi tempat itu sunyi saja dan nampak perahu A-hai di tepi sungai.
"Itu perahuku!" kata A-hai yang mendayung ke pinggir. Dengan girang dia mengambil buntal-an
pakaiannya. "Aku mau berganti pakaian kering!” katanya sambil lari ke belakang semak-se mak. Tak
lama kemudian diapun keluar dan su-dah memakai pakaian kering dan sikapnya gembira sekali.
Memang hatinya gembira setelah dia dapat berkumpul kembali dengan Bwee Hong.
"Di sini sunyi tidak ada seorangpun manusia," kata Siok Eng.
"Tapi ini banyak bekas kaki orang," kata Bwee Hong.
Mereka lalu melalui jalan setapak, mengikuti jejak kaki banyak orang yang menuju ke bukit-bukit di
depan. Ketika melihat sebuah pondok bambu yang kosong, mereka masuk. Banyak ter-dapat bekas
kaki di situ, juga di atas meja kasar terlihat corat-coret gambar semacam peta dan ada tulisan
Pesanggrahan Hutan Cemara.
"Wah, aku mengenal tempat itu!" Tiba-tiba A-hai berkata. "Telah beberapa kali aku ke sana
mengantarkan arak!"
Hari telah malam, akan tetapi karena menge-nal jalan, A-hai dapat membawa kedua orang te-mannya
menuju ke pesanggrahan yang dimaksud-kan itu. Mereka melewati kedai arak yang pernah menjadi
langganan A-hai. Kedai itu tertutup ra-pat, dan nampak bekas keributan dan perkelahian yang
membuat beberapa bagian dari kedai itu je-bol dan rusak. Agaknya keributan besar terjadi di situ.
Sama sekali tidak mereka ketahui betapa di dalam kedai itu telah terjadi keributan dan perke-lahian
antara rombongan para penjahat melawan para anggauta Liong-i-pang dan di kedai itupun hadir pula
Liu Pang dan Ho Pek Lian seperti yang telah diceritakan di bagian depan. Tiga orang itu melanjutkan
perjalanan, dengan A-hai sebagai pe-nunjuk jalan, menuju ke Pesanggrahan Hutan Cemara, yaitu
pesanggrahan, kaisar yang hanya diper-gunakan di waktu kaisar mengadakan perburuan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Malam sudah larut,-sudah lewat tengah malam ketika mereka bertiga tiba di pesanggrahan itu. Dan di
sinipun mereka melihat bekas-bekas per-tempuran hebat yang membuat bangunan pesang-grahan
yang mungil itu porak-poranda. Melihat akibat yang demikian parah, dapat diduga bahwa pertempuran
yang terjadi di tempat itu amatlah hebatnya. Sebagian bangunan nampak bekas ter-bakar dan darah
masih nampak berceceran di sa-na-sini, berwarna kehitaman dan sudah menge-ring.
"Ssttt , ada orang !" kata Siok Eng
berbisik dan mereka bertiga lalu menyelinap ke belakang semak-semak. Muncullah seorang laki-laki
bertubuh pendek dari dalam bangunan yang bekas terbakar dan sinar bulan membuat wajah laki-laki
pendek itu nampak pucat sekali. Meli-hat wajah itu, Bwee Hong segera mengenalnya. Orang itu
bukan lain adalah Pek-lui-kong Tong Ciak, jagoan istana yang setia itu. Tentu orang itu tahu akan
semua hal yang terjadi, mungkin tahu pula di mana adanya kakaknya. Maka Bwee Hong lalu keluar
dari tempat sembunyinya, diikuti oleh Siok Eng dan A-hai. Dua orang inipun telah mengenal muka
cebol yang lihai itu dan mereka merasa agak khawatir. Tadinya Tong Ciak nampak terkejut, akan
tetapi ketika dia mengenal Bwee
Hong, diapun merasa lega dan menghampiri me-reka.
"Ah, kiranya nona Chu yang datang," katanya.
"Tong-ciangkun, kenapa ciangkun berada di sini dan apakah yang telah terjadi di tempat ini? Kulihat
ada bekas-bekas pertempuran."
Si pendek itu menarik napas panjang dan nam-pak berduka. Dia mengepal tinju yang diamang-kan ke
arah bulan, menahan diri yang agaknya ingin menyumpah-nyumpah, lalu berkata, "Su-dahlah, apa
artinya dipertahankan lagi? Nona Chu, kalau nona bertemu dengan ayahmu, tolong sam-paikan
bahwa aku Tong Ciak mengirim hormat dari jauh dan bahwa aku tidak akan kembali lagi ke istana."
Bwee Hong mengerutkan alisnya. Ia tahu bah-wa panglima ini menghormati ayahnya, yaitu Bu Hong
Tojin dan ia tidak perduli apa yang akan dikerjakan oleh orang ini. Akan tetapi ia ingin ta-hu apa yang
sebenarnya telah terjadi maka pangli-ma cebol yang lihai ini kelihatan murung, berduka dan putus
harapan, maka iapun menjawab, "Baik, ciangkun, akan kusampaikan. Akan tetapi apakah yang terjadi
dan ciangkun hendak pergi ke mana-kah?"
"Aku akan kembali ke Bawa Pasir. Tidak ada gunanya lagi mengabdi di istana setelah kaisar terbunuh.
Yang berada di istana sekarang adalah kaum pencoleng dan penjahat, begundal-begundal
Perdana Menteri Li Su yang lalim dan Chao thai-kam yang korup." Si cebol menarik napas pan-jang.
"Mereka, dipimpin oleh Raja Kelelawar, telah berhasil merampas jenazah sri baginda. Kakakmu
dibantu oleh dua orang temannya melakukan pe-ngejaran karena mereka mengira bahwa para penjahat
itu membawamu, nona. Akan tetapi sungguh perbuatan mereka itu amat berbahaya. Raja Kelelawar
sungguh amat lihai sekali dan dia masih di-bantu oleh pentolan-pentolan kaum sesat yang
berilmu tinggi."
"Kalau begitu, aku harus menyusul Kun-koko," kata Bwee Hong.
"Akupun akan pergi sekarang juga, harap eng-kau suka berhati-hati, nona. Kaum sesat itu se-lain
kejam dan jahat, juga amat lihai. Aku sendiri sudah terluka, dan perlu beristirahat untuk memu-lihkan
tenaga dan kesehatan."
Mereka lalu berpisah dan Bwee Hong, Siok Eng dan A-hai malam itu juga meninggalkan tempat itu.
Mereka lebih suka melewatkan malam di tem-pat lain dari pada di bekas pesanggrahan yang terbakar
itu. Mereka bermalam di tepi hutan dan pada keesokan harinya barulah mereka melanjut-kan
perjalanan ke kota raja, untuk menyusul Seng Kun.
Tiga orang itu melakukan perjalanan cepat, akan tetapi kadang-kadang mereka terpaksa me-ngurangi
kecepatan karena kalau dua orang gadis itu mengerahkan ilmu lari cepat mereka, tentu A-hai akan
tertinggal. Selain itu, juga sering kali secara tiba-tiba A-hai berhenti dan termenung, memeras otaknya
untuk mengingat-ingat ilmu si-lat yang pernah dipelajarinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Perlu apa melelahkan pikiran dengan mengi-ngat-ingat ilmu silat yang pernah kaupelajari dalam
keadaan seperti sekarang ini, A-hai?" Per-tanyaan Bwee Hong ini dimaksudkan bahwa me-reka
bertiga sedang tergesa-gesa mencari dan me-ngejar Seng Kun, maka bukanlah waktunya yang tepat
untuk sering kali berhenti dan mengingat-ingat ilmu silat.
Akari tetapi A-hai salah mengerti dan menja-wab dengan sungguh-sungguh, "Justeru dalam keadaan
seperti sekarang ini maka perlu aku meng-ingat semua ilmu yang pernah kupelajari, nona Hong. Di
mana-mana terjadi kekalutan dan aku melihat betapa ilmu silat amat diperlukan pada waktu sekarang
ini. Orang-orang jahat berkeliar-an, kalau tidak memiliki kepandaian silat, tentu ce-laka karena tidak
mampu melindungi diri sendiri. Maka perlu sekali aku mengingat-ingatnya, dan agaknya samar-samar
aku mulai teringat akan ge-rakan ilmu silat yang pernah kupelajari." Sambil berkata demikian, kaki
tangannya bergerak-gerak secara aneh dan mulutnya bicara kepada diri sendiri,
" setelah kaki digeser ke kiri, tangan harus mencengkeram ke arah ubun-ubun lawan.
Begini! Ah, benar " Dia melakukan gerakan kaki menggeser ke kiri itu dan tagannya mencuat
dengan cengkeraman aneh ke atas.
Sebagai ahli-ahli silat kelas tinggi Bwee Hong dan Siok Eng dapat mengenal ilmu silat yang amat
aneh dan hebat. Sayang hanya sepotong-sepotong, akan tetapi gerakan yang kelihatan sederhana itu
memiliki dasar kecepatan yang mengerikan, bahkan setiap kali tangan digerakkan, terdengar suara
me-ngaung atau berdesing seperti sebatang pedang yang baik disentil atau diayunkan. Tenaga
sinkang yang hebat tersembunyi di dalam gerakan itu tan-pa disadari oleh A-hai sendiri!
Siok Eng yang bahkan memiliki tingkat kepan-daian lebih tinggi dari Bwee Hong, juga meman-dang
kagum lalu mengajukan usulnya, "Alangkah baiknya kalau engkau merangkai gerakan-gerakan itu,
dari awal mula. Tentu saja yang engkau ingat, saudara A-hai. Tanpa dirangkai, gerakan-gerak-an itu
menjadi kacau tidak karuan ujung pangkal-nya."
A-hai yang mendengar usul ini termenung, mengangguk-angguk, lalu kedua alisnya yang te-bal itu
berkerut, tanda bahwa dia mulai menge-rahkan ingatannya. "Baiklah, akan kucoba. Akan tetapi harap
nona berdua tidak mentertawakan."
Siok Eng dan Bwee Hong lalu duduk di bawah pohon dengan hati gembira. Mereka ingin sekali
melihat A-hai, dalam keadaan sadar, dapat meng-ingat dan menguasai ilmu-ilmunya yang mujijat.
Setelah memandang kepada dua orang gadis itu dengan malu-malu, A-hai lalu agak menjauh dan
mulailah dia memasang kuda-kuda.
Mula-mula A-hai berdiri tegak, menghadap ke arah dua orang nona yang menjadi penonton itu, lalu
mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai tanda penghormatan. Kemudian dia me-nurunkan
kedua tangannya, terus kedua lengan di-buka dan dipentang ke kanan kiri dengan jari-jari terbuka
membuat gerakan seperti burung terbang dan kedua lengan itu seperti menjadi sepasang sa-yapnya,
perlahan-lahan kaki kanan diangkat dan diturunkan lagi ke depan dalam keadaan berjung-kit. Tibatiba
saja terdengar suara berkerotokan dari tulang-tulang di tubuh pemuda itu dan sepa-sang matanya
mencorong menakutkan, sedangkan dari ubun-ubun kepalanya nampak uap tipis me-ngepul. Bwee
Hong terbelalak dan tak terasa lagi ia memegang lengan kawannya erat-erat saking tegang hatinya
dan khawatir kalau-kalau A-hai kumat lagi! Tenaga dahsyat yang seolah-olah bangkit dalam diri Ahai
itu, makin lama nampak semakin hebat sehingga mempengaruhi keadaan sekeliling. Bahkan dua
orang nona itu merasakan getaran yang aneh walaupun A-hai belum menggerakkan kaki tangannya
dan baru mulai dengan pemasangan kuda-kuda saja.
Sepasang mata yang sudah mencorong hebat itu kini perlahan-lahan menjadi redup kembali, uap di
atas kepalanyapun lenyap dan sikap A-hai nampak kebingungan dan ketolol-tololan lagi. Diapun
menurunkan kedua tangannya dan nampak lesu.
"Wah, sudahlah, aku lupa lagi bagaimana un-tuk melanjutkan!" katanya dengan nada suara ke-sal.
Tentu saja Siok Eng dan Bwee Hong yang tadi-nya sudah merasa tegang sekali dan juga gembira,
menjadi kecewa dan ikut lemas seperti balon kem-bung kini dikempiskan.
A-hai, jangan putus harapan. Cobalah lagi. Engkau sudah hampir berhasil tadi!" Bwee Hong
membujuk.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Benar, saudara A-hai, engkau sudah berhasil dengan pasangan kuda-kuda itu," Siok Eng juga
memuji.
"Cobalah lagi, A-hai dan karena kuda-kuda-mu sudah benar, jangan terlalu kerahkan pikiran mu untuk
itu, melainkan untuk mengingat gerak lanjutannya," sambung Bwee Hong.
Didorong semangat oleh dua orang gadis itu, akhirnya A-hai meniadi gembira juga dan dico-banya
lagi berkali-kali, kalau lupa dia mulai lagi dari permulaan. Akhirnya berhasil juga!
Ketika dia melakukan gerakan pertama mema-sang kuda-kuda, agaknya kini gerakannya itu benarbenar
sempurna. Uap yang mengepul di atas kepalanya semakin tebal dan tiba-tiba ter-jadilah
keanehan yang membuat kedua orang dara itu terbelalak dan wajah mereka berobah. Mata mereka
memandang kepada A-hai seperti orang yang tidak percaya akan apa yang mereka saksikan. Uap
yang mengepul di atas kepala A-hai itu kini terbagi menjadi dua warna. Yang sebelah kiri ber-warna
putih seperti uap tebal biasa, akan tetapi yang sebelah kanan berwarna kemerahan! Uap itu mengepul
ke atas setinggi satu meter. Tentu saja dua orang dara yang selama hidupnya belum pernah melihat
hal seperti itu, bahkan mendengar pun belum, menjadi melongo dan dapat menduga bahwa tenaga
sinkang yang dimiliki oleh A-hai sungguh luar biasa anehnya dan amat hebat. Akan tetapi, mereka
sengaja menahan mulut dan tidak mengeluarkan kata-kata agar A-hai tidak men-jadi bingung atau
kikuk. Mereka diam saja dan memperhatikan dengan kedua mata terbelalak, mengikuti setiap gerakan
kaki dan tangan A-hai.
Kini gerakan A-hai mulai lancar, walaupun masih dilakukan dengan perlahan dan lambat. Bi-arpun
begitu, dua orang dara itu memandang de-ngan melongo dan semakin takjub melihat keadaan yang
benar-benar amat luar biasa dari pemuda itu. Kini perlahan-lahan anggauta tubuh A-hal juga
mengalami perobahan warna. Agaknya warna pada uap yang mengepul di atas kepala pemuda itu
kini mempengaruhi tubuhnya sehingga separuh tubuhnya yang sebelah kiri menjadi keputih-pu-tihan,
sedangkan separuh tubuh sebelah kanan menjadi kemerah-merahan. Tentu saja wajah yang tampan
itu nampak aneh dan mengerikan ka-rena menjadi dua warna, merah dan putih seperti dicat saja
dengan warna muda.
Dari perasaan takjub dan kagum, kini dua orang dara itu merasa khawatir juga. Bahkan Bwee Hong
menjadi gelisah karena biarpun ia mengikuti ka-kaknya mengusahakan pengobatan terhadap A-hai,
namun ia sama sekali tidak dapat mengetahui de-ngan pasti, apa yang sedang terjadi dan berobah di
dalam tubuh pemuda itu dan iapun merasa ti-dak berdaya untuk menghentikannya. Kalau saja di situ
terdapat kakaknya. Kakaknya adalah seo-rang ahli pengobatan yang sudah mewarisi kepan-daian
mendiang kakek mereka, sedangkan ia sen-diri hanya mengetahui cara pengobatan umum sa-ja,
tidak terlalu mendalam seperti kakaknya. Kalau kakaknya berada di sini dan menyaksikan keadaan Ahai,
tentu akan tertarik sekali dan mungkin da-pat menerangkannya.
Kini A-hai mengeluarkan suara mendengus beberapa kali dan gerakan tubuhnya sangat aneh. Dia
hanya menggerakkan kaki dan tangan kirinya saja, bahkan yang bergerak hanya tubuh bagian kiri.
Mata kirinya melirik-lirik akan tetapi mata kanannya bengong dan diam saja! Bagian tubuh kiri yang
putih itulah yang bergerak, sedangkan bagian tubuh kanan yang merah hanya terseret, tidak ikut-ikut
bergerak. Tentu saja dua orang dara itu terbelalak dan bulu tengkuk mereka me-remang menyaksikan
keanehan yang menggiriskan dan menakutkan ini. Bwee Hong makin gelisah. Gerakan itu kini terasa
mendatangkan hawa dingin yang luar biasa sekali, yang seperti terasa menyu-sup tulang oleh dua
orang dara. Uap berwarna putih di atas kepala A-hai itupim menghilang, tinggal yang berwarna merah
saja yang mengepul. Akan tetapi, biarpun yang bergerak itu hanya ang-gauta tubuh kiri, hebatnya
bukan kepalang. Seti-ap jari tangan kiri yang bergerak melakukan totok-an-totokan dan mengeluarkan
bunyi mendesis-desis seperti bara api tersiram air hujan.
Agaknya, kelancaran gerakannya membual A-hai menjadi semakin bersemangat. Kadang-ka-dang
pemuda itu menghentikan gerakannya, meng-ingat-ingat sebentar lalu melanjutkan lagi. Akan tetapi,
pada suatu gerakan yang nampak aneh dan indah, ketika dia menggeser kakinya ke kiri, dia
termangu-mangu dan tidak mampu melanjutkan lagi, tubuhnya masih condong ke depan dan karena
dia mengingat-ingat dan menghentikan gerakan nya, dia menjadi seperti patung yang lucu. Akhirnya
dia menyerah karena tidak mampu mengingat kelanjutan gerakan ini.
"Wah, sudahlah cuma sampai di sini saja ingatanku." Dan diapun menghentikan permainan
silatnya dan duduk di atas rumput dengan hati ke-sal.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pagi telah menjelang. Kabut pagi yang dingin membuat dua orang dara yang seperti baru sadar dari
mimpi itu kedinginan. Mereka menarik napas panjang, seperti baru kembali dari alam khayal yang
mentakjubkan. Mereka disuguhi tontonan il-mu silat yang langka dan yang hebat luar biasa.
"Ehh ? Putih-putih di rambutmu itu apakah hujan salju?" tiba-tiba Siok Eng menun-juk ke arah
rambut Bwee Hong. Dara ini meng-angkat muka memandang dan iapun melihat beta-pa di rambut
Siok Eng terdapat benda-benda pu-tih seperti kapas, bahkan di puncak-puncak daun dan rumput di
sekitar mereka terdapat salju.
"A-hai, apakah hujan salju? Pantas begini di-ngin!" kata Bwee Hong sambil menoleh kepada A-hai.
"Hujan salju? Entahlah, aku tidak tahu, nona," kata A-hai yang masih tenggelam ke dalam la-munan,
mengingat-ingat ilmu silatnya.
"Hei, kenapa tidak ada salju di rambut A-hai?" Bwee Hong berseru sambil bangkit dan mendekati
pemuda itu. Siok Eng juga memeriksa sekitar situ, yang kini tidak begitu gelap lagi karena fajar mu-lai
menyingsing.
"Eh, di sinipun tidak ada salju, yang ada hanya kabut dan embun di puncak-puncak daun." Siok Eng
juga berseru. Mereka memeriksa keadaan yang aneh itu dan akhirnya mereka sadar dengan penuh
takjub bahwa salju itu tercipta sebagai aki-bat dari pada pengaruh ilmu silat aneh dari A-hai! Kiranya,
pukulan-pukulan yang dilakukan A-hai mengandung tenaga sinkang mujijat yang dingin, yang
agaknya dapat membuat embun-embun tipis di sekitar tempat itu berobah menjadi salju. Luar biasa
sekali!
Sambil menanti datangnya pagi, mereka duduk dan dua orang gadis itu memuji-muji ilmu silat yang
baru saja diperlihatkan oleh A-hai. Akan tetapi A-hai menggeleng kepalanya. "Masih kacau balau,
belum tersusun baik," katanya, bukan untuk merendah melainkan karena dia memang belum merasa
puas dan tahu bahwa ilmu yang diingatnya itu tidak lengkap.
"Sungguh mati, selama hidupku belum pernah aku mendengar, apa lagi melihat, ilmu silat seperti
yang kaumainkan tadi, saudara A-hai. Hanya sa-yang sekali, mengapa engkau bersilat hanya dengan
sebelah kaki dan sebelah tangan? Kalau saja eng-kau menggunakan semua kaki tanganmu, tentu ilmu
itu akan menjadi semakin hebat dan ampuh."
A-hai menunduk dari mukanya berobah me-rah, lalu dia mengangkat mukanya lagi, meman-dang
kepada Siok Eng sambil tersenyum sedih. "Akan tetapi yang kuingat memang hanya digerak-kan oleh
satu tangan saja."
"A-hai, tadi engkau mengatakan sebelum eng-kau mulai bersilat, bahwa ketika kakimu bergeser ke
kiri, seharusnya engkau mencengkeram ke arah ubun-ubun lawan. Apa yang kaumaksudkan de-ngan
itu?" Bwee Hong mengingatkan.
A-hai meloncat bangun, menepuk kepalanya. "Aih, benar! Seharusnya jurus terakhir tadi dilan-jutkan,
ketika kaki bergeser ke kiri, tangan kanan-ku harus mencengkeram ke arah ubun-ubun la-wan dengan
jurus Pai-in-jut-sui (Mendorong Awan Keluar Puncak). Ya, begitulah!" katanya dengan girang seperti
seorang anak kecil yang me-nemukan kembali mainannya yang hilang.
Dengan semangat baru yang meluap-luap A-hai kembali memainkan ilmu silatnya, melanjutkan
dengan gerakan yang terlupa tadi setelah keadaan-nya kembali seperti tadi, yaitu tubuhnya berobah
menjadi dua warna. Dengan suara menggeram dahsyat, ketika kakinya bergeser ke kiri, tiba-tiba
tangannya mencuat ke depan dan mencengkeram ke atas. Terdengar suara mendesis dan pohon di
depan A-hai tergetar keras, air embun yang tadi-nya menempel di ujung daun-daun berhamburan ke
bawah dalam keadaan berobah menjadi salju yang melayang turun seperti kapas. Sampai di sini, Ahai
berhenti dan mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. Tiba-tiba, kaki kanannya yang sejak tadi
seperti mati atau hanya mengikuti ge-rakan kaki kiri dalam keadaan terseret, kini dite-kuk dan
melangkah ke depan. Tangan kanannya dengan terbuka kini mencengkeram ke depan.
"Wuuuuttt !" Hawa panas menyambar
keluar dari telapak tangan itu dan uap merah yang mengepul di atas kepalanya lenyap. Cengkeraman
dunia-kangouw.blogspot.com
tangan kanan itu menyambar ke atas dan
butiran-butiran saliu yang teriadi oleh tenaga pu-kulan tangan kirinya tadi kini lenyap dan menguap
menjadi seperti kabut. Lebih hebat lagi, daun-daun yang tergantung paling rendah di pohon itu
menjadi layu seperti terlanda hawa panas yang hebat.
"Bukan main !" Siok Eng berbisik kagum.
Ia adalah puteri ketua Tai-bong-pai dan sudah banyak melihat ilmu-ilmu aneh dan hebat dari orangorang
pandai. Akan tetapi apa yang disak-sikannya ini sungguh membuat ia takjub. Bagai-mana
seorang bisa bersilat seperti itu? Kedua ka-ki dan kedua tangan itu membuat gerakan sendi-ri-sendiri,
seperti dikemudikan oleh dua otak. Bahkan kedua mata pemuda itupun bekerja sendi-ri-sendiri,
melirak-lirik mengikuti gerakan bagi-an masing-masing.
"Hebat sekali permainanmu, A-hai!" Bwee Hong juga memuji. Pujian ini membuat ingatan A-hai
menjadi buntu lagi dan betapapun dia mengingat-ingat, tetap saja dia tidak mampu me-lanjutkan.
Akan tetapi dia tidak kecewa lagi kare-na hasil ingatannya sekali ini sudah baik sekali. Me-reka lalu
beristirahat sambil makan pagi yang dike-luarkan oleh Siok Eng dan A-hai, yaitu roti kering dan
dendeng asin. A-hai masih mempunyai arak untuk menghangatkan perut melawan hawa dingin.
Setelah makan pagi, mereka bertiga melanjut-kan perjalanan. Kini pandangan Siok Eng terha-dap Ahai
lain. Ia bersikap hormat dan di dalam hatinya ia memandang pemuda itu sebagai seorang yang
lebih pandai dari padanya, sama sekali tidak memandang rendah sebagai seorang pemuda yang
kehilangan ingatannya.
Ketika mereka tiba di dataran rendah, dari jauh nampak iring-iringan tandu dikawal oleh belasan orang
perajurit yang gagah perkasa. Mereka cepat menyelinap bersembunyi dan memperhatikan ke-tika
iring-iringan itu lewat di depan tempat per-sembunyian mereka. Diam-diam Bwee Hong ter-kejut.
Tidak salah lagi. Tandu-tandu yang terisi wanita-wanita tua muda dan anak-anak itu tentu datang dari
kota raia, agaknya meranakan keluarga bangsawan. Timbul pertanyaan di hatinya. Meng-apa mereka
meninggalkan kota raja dan siapakah mereka? Akan tetapi ia tidak mau mencari perkara dengan
banyak bertanya, khawatir kalau-kalau dicurigai dan malah bentrok dengan para penga-wal itu.
Mereka sedang meninggalkan kota raja dan nampak tergesa-gesa, tentu banyak kecuriga-an mereka
kalau ada orang bertanya-tanya di jalan.
Mereka bertiga melanjutkan perjalanan dan di sepanjang perjalanan Bwee Hong selalu mencari
keterangan tentang Raja Kelelawar yang membawa jenazah, juga tentang kakaknya yang ditemani
dua orang yang belum diketahuinya siapa. Menurut keterangan yang diperolehnya dari penghuni dusun
nelayan, yang menemani kakaknya adalah se-orang pemuda tampan dan seorang kakek tua memegang
tongkat. Biarpun Bwjee Hong selalu berta-nya kepada orang-orang di dalam perjalanan tentang
mereka itu, tidak ada seorangpun yang dapat memberi keterangan, tidak ada yang melihat
orang-orang yang ditanyakannya itu.
Pada suatu pagi perjalanan mereka terhalang oleh sebuah sungai. Mereka berhenti di dusun
penyeberangan. Untuk menyeberang, orang harus naik perahu penyeberangan yang disediakan di
dusun itu. Akan tetapi pada saat itu, tidak terda-pat perahu di tepi sini karena semua perahu dikerahkan
untuk menjemput orang-orang yang ber-jubel di seberang sana dan hendak menyeberang ke
sini. Melihat keadaan ini, A-hai mendekati se-orang anak laki-laki belasan tahun yang berada di situ.
Anak inipun membantu para tukang pe-rahu dan nampaknya cerdik.
"Adik kecil, kenapa banyak sekali orang-orang menyeberang dari sana, sedangkan aku tidak me-lihat
seorangpun yang hendak menyeberang dari sini ke sana?"
"Mereka adalah para pengungsi," jawab anak itu.
"Pengungsi dari mana dan kenapa mengungsi?" tanya pula A-hai. Anak itu memandang wajah A-hai
seperti merasa heran mengapa ada orang yang tidak tahu akan keadaan geger pada waktu itu.
"Kabarnya pasukan pemerintah telah mundur, dan pasukan pemberontak sudah mendekati kota raja.
Pasukan yang mundur sudah sampai di sebe-rang sana. Para pengungsi itu datang dari utara hendak
ke selatan."
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar jawaban ini, Bwee Hong dan Siok Eng saling pandang dengan A-hai. Kalau begitu, iringiringan
tandu yang mereka jumpai itu tentu-lah para pengungsi dari bangsawan atau pejabat kota raja
yang hendak menyelamatkan diri karena kota raja sudah terancam oleh para pemberontak.
Sebuah perahu dari seberang yang padat peng-ungsi tiba di tepi. Rombongan ini tentu keluar-ga
hartawan, pikir Bwee Hong dan dua anak muda ini malah hendak menuju ke sana? Ketika perahu
menye-berangi sungai yang lebar itu, A-hai sempat meng-ajak tukang perahu bercakap-cakap.
"Kami sudah lama meninggalkan utara dan ki-ni hendak pulang ke keluarga kami," demikian A-hai
bicara dan Bwee Hong melihat kenyataan bahwa setelah ingatannya agak dapat bekerja kem-bali,
sikap A-hai sungguh amat berbeda dan kini nampaklah bahwa dia adalah seorang pemuda cer-dik,
sama sekali tidak tolol. "Kami sama sekali ti-dak tahu bagaimanakah keadaan di sana. Apakah yang
telah terjadi, lopek?"
Tukang perahu menarik napas panjang. "Mem-banjirnya para pengungsi sungguh membikin pa-nik.
Kalau kami tidak ingat akan tugas, juga kare-na kami orang-orang miskin yang tidak mungkin pergi
membawa bekal, tentu kamipun akan ikut-ikut lari. Kabarnya pasukan pemerintah yang di-pimpin oleh
Jenderal Beng Tian telah dipukul mun-dur oleh pemberontak. Dan kini setelah kaisar le-nyap dan
kabarnya ditemukan tapi sudah tidak ada, juga kabarnya kaisar baru diangkat, keadaan di kota raja
menjadi kalut. Kabarnya kaum pen-jahat merajalela di kota raja, para petugas keaman-an tidak
berdaya, rakyat tidak terlindung sama sekali dan peraturan-peraturan dilanggar secara berani.
Kabarnya kini para pejabat malah bertin-dak sewenang-wenang dan bersekongkol dengan para
penjahat, bahkan banyak keluarga istana dan pejabat dihukum gantung dan dibunuh. Aku ha-nya
mengumpulkan percakapan para pengungsi, aku sendiri tidak tahu apa-apa." Tukang perahu menutup
ceritanya dan mengelak dari pertang-gungan jawab.
"Lopek, aku mencari tiga orang. Yang seorang adalah pemuda yang usianya duapuluh tahun lebih,
bertubuh jangkung, wajahnya tampan dan gagah"
"Di dagunya sebelah kanan ada tahi lalatnya" Siok Eng menyambung, kemudian mukanya menjadi
agak merah ketika Bwee Hong menoleh kepadanya sambil tersenyum.
"Ya, dan orangnya pendiam. Dia ditemani oleh seorang kakek yang bertongkat, juga seorang pemuda
yang usianya agak lebih tua dari pada pemuda pertama, tubuhnya tegap sedang dan muka nya agak
kemerahan "
"Ah, jangan-jangan mereka yang nona mak-sudkan!" Tukang perahu berseru kaget. "Baru ke-marin
ada tiga orang seperti yang nona gambarkan tadi. Akan tetapi mereka itu menjadi tawanan.
Tangan mereka dibelenggu kuat-kuat dan dijaga oleh beberapa orang yang bertampang bengis dan
menakutkan, seperti tampang penjahat. Orang-orang bengis ini dipimpin oleh seorang kakek yang
tinggi kurus dan pakaiannya serba hitam, juga mantelnya hitam dan mukanya hihhh, menyeramkan
sekali, seperti topeng mayat. Mereka menumpang perahu ini dan aku tidak berani berkutik
atau bicara sedikitpun, bahkan memandangpun tidak berani"
Tukang perahu itu tidak tahu betapa berita yang diceritakannya ini membuat tiga orang penumpangnya
terkejut setengah mati. Mereka tahu bahwa orang yang dicari-cari itu ternyata telah
terjatuh ke tangan Si Raja Kelelawar dan anak bu-ahnya. Mereka itu tidak dibunuh, melainkan ditawan
dan diajak menyeberang, maka mudahlah di-duga bahwa Seng Kun dan dua orang kawannya itu
tentu dibawa ke kota raja. Bwee Hong sudah mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalan-an ke
kota raja, dan ia harus dapat menolong kakak-nya. Keputusan hati ini terjadi juga di dalam ba-tin Siok
Eng. Gadis puteri Tai-bong-pai ini telah jatuh cinta kepada Seng Kun, pemuda yang pernah
menyelamatkan nyawanya. Kini, mendengar bah-wa pemuda yang dicintanya itu terjatuh ke tangan
Raja Kelelawar dan dibawa ke kota raja, iapun mengambil keputusan untuk mencari sampai ke kota
raja dan berusaha menolongnya. Hanya A-hai yang tidak berpikir apa-apa. Dia akan pergi ke mana
saja Bwee Hong mengajaknya. Dia mera-sa seolah-olah dia menjadi bagian tak terpisahkan dari gadis
itu, atau gadis itu merupakan bagian tak terpisahkan darinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kini perahu mereka sudah tiba di tengah-te-ngah sungai dan dari depan nampak beberapa bu-ah
perahu yang penuh dengan para pengungsi dari seberang. Tiba-tiba A-hai menunjuk ke arah hi-lir
sungai.
"Lihat, di sana ada beberapa buah perahu besar juga sedang menyeberang!"
Dua orang gadis itu memandang dan benar sa-ja, di sana nampak beberapa buah perahu besar
sedang menyeberang. "Lopek, apakah di sana ter-dapat tempat penyeberangan lain?" tanya Bwee
Hong.
"Tidak ada. Di bagian sana kedua tepinya ha-nya hutan belukar, tidak ada perkampungan. En-tah
perahu siapa itu," jawab si tukang perahu.
"Lopek, seberangkan kita di bagian sana juga." Tiba-tiba Siok Eng berkata. Tukang perahu ke-lihatan
tidak setuju.
"Akan tetapi aku harus sampai ke seberang sana untuk mengangkuti orang-orang yang masih
berjubel "
"Nih sebagai pengganti kerugianmu," kata pu-la Siok Eng sambil mengeluarkan beberapa keping
uang perak. Melihat ini, si tukang perahu tidak banyak cakap lagi dan mengerahkan perahunya ke
hilir. Biarpun dia mengangkuti para penumpang hilir-mudik seharian, dia tidak akan bisa memper-oleh
hasil sebesar seperti yang diberikan nona ini kepadanya. Maka dia lalu menerima uang perak itu dan
perahunya meluncur cepat. Bagaimanapun juga, tidak lebih cepat dari pada perahu-perahu besar
yang sudah lebih dulu mendarat di seberang sana.
Ketika melihat bahwa para penumpang perahu besar itu berpakaian seragam, Bwee Hong berbisik
kepada Siok Eng, "Adik Eng, mau apa kita ke sana?"
"Mereka mencurigakah, sebaiknya kita selidiki."
"Kalau begitu, kita menyeberang agak jauh dari perahu-perahu itu," kata Bwee Hong dan Siok Eng
setuju. Perahu itu lalu mereka suruh daratkan di seberang yang agak jauh. Mereka berloncatan ke
darat yang ternyata merupakan bagian hulan belukar.
Setelah mendaratkan tiga orang itu, si tukang perahu menggerakkan perahunya kembali dan dia
hanya menggeleng kepala keheranan melihat kela-kuan tiga orang muda itu yang memilih pendaratan
di tengah hutan! Akan tetapi hal itu bukan urusannya dan yang terpenting dia sudah meneri-ma
upah yang besar.
Tiga orang muda itu menyusup-nyusup di an-tara pohon-pohon menuju ke tempat di mana pe-rahuperahu
'besar itu mendarat. Akhirnya mere-ka melihat banyak orang di sebuah lapangan ter-buka di
tengah hutan. Mereka itu berpakaian se-ragam perajurit dan bersenjata lengkap. Jumlah mereka tidak
kurang dari limapuluh orang dan yang membuat tiga orang muda itu terkejut sekali adalah ketika
mereka mengenal seorang kakek ting-gi besar yang memakai pakaian perwira dan agak-nya menjadi
pemimpin pasukan itu karena perwira ini bukan lain adalah San-hek-houw Si Harimau Gunung! Tentu
saja tiga orang muda itu terkejut bercampur heran. Mereka tahu bahwa San-hek-houw adalah
seorang datuk sesat, seorang di antara Sam-ok. Bagaimana kini tiba-tiba saja berpa-kaian perwira
dan memimpin pasukan pemerintah?
"Kalau dia berada di sini, besar kemungkinan kakakku juga ditahan di tempat ini," bisik Bwee Hong
kepada dua orang temannya. Akan tetapi karena mereka maklum akan kelihaian San-hek-houw yang
ditemani anak buah puluhan orang ba-nyaknya, apa lagi kalau diingat kemungkinan ada-nya pula Si
Raja Kelelawar di hutan itu, tiga orang muda itupun tidak berani terlalu mendekat.
"Mari kita mencoba untuk mencari sendiri di mana adanya sarang mereka di hutan ini dan me-nyelidiki
kalau-kalau kakakku berada di hutan ini pula."
Dua orang kawannya mengangguk dan mereka lalu menyusup-nyusup ke dalam hutan, di antara
pohon-pohon dan semak-semak. Mereka naik turun bukit kecil dan tiba di daerah yang banyak
rawanya. Ketika mereka berdiri di puncak bukit kecil sambil meneliti ke sekitar tempat itu, mereka
melihat seorang gadis kecil asyik menjala ikan di rawa yang tidak begitu dalam itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Menimbulkan perasaan aneh dan curiga melihat seorang gadis kecil menjala ikan seorang diri saja di
tempat yang sunyi seperti itu. Gadis itu masih kecil, paling banyak duabelas tahun usianya. Wajahnya
cantik manis dan rambutnya dikepang dua, di pinggangnya tergantung kempis yang terisi ikanikan
yang didapatkannya dalam menjala. Dengan heran dan menduga-duga, mereka bertiga lalu
menghampiri tepi rawa. Pada saat itu, mereka me-lihat seekor ular yang meluncur di atas air rawa itu
menghampiri dan menyerang gadis nelayan tadi yang berdiri di dalam air setinggi pinggang! Ten-tu
saja tiga orang itu terkejut sekali. Untuk meno-long agak sukar karena jarak antara mereka dan gadis
cilik yang berada di dalam air itu cukup jauh.
Akan tetapi, ternyata gadis itupun sudah tahu akan bahaya yang mengancam dirinya. Ular itu
menyerang dari kanan dan dengan sigapnya, gadis itu memutar tubuhnya dan tangan kanannya yang
membawa jala itu bergerak menyabet ke arah ular.
"Plakkk!" Ular itu terpukul keras, terlempar jauh dan jatuh ke air, mengambang dan tidak ber-gerak
lagi karena mati. Jatuhnya ular itu agak di tepi rawa, tidak jauh dari kaki A hai. Pemuda ini segera
menghampiri, membungkuk dan ketika me-nyentuh bangkai ular, dia mendapat kenyataan bahwa ular
itu mati dengan tulang-tulang remuk!
"Wah, adik kecil, engkau sungguh hebat! Bo-lehkah kami berkenalan denganmu? Namaku A-hai.
Siapakah engkau, adik kecil?"
Gadis cilik itu menoleh dan memandang kepa-da mereka bertiga dengan alis berkerut tanda cu-riga.
Ia tidak menjawab pertanyaan A-hai, akan tetapi ia menyudahi pekerjaannya menjala ikan dan
berjalan menuju ke tepi. Celananya basah ku-yup dan tentu saja paha dan kakinya nampak
membayang ketat di balik celana yang basah. A-kan tetapi gadis cilik itu bersikap biasa saja, tidak
kikuk.
Bwee Hong maklum bahwa gadis itu belum percaya kepada mereka dan merasa curiga, maka iapun
melangkah maju menghampiri dan merang-kul anak perempuan itu. "Siauw-moi, jangan cu-riga dan
khawatir. Kami bertiga bukanlah orang-orang jahat dan kami hanya kebetulan saja lewat di sini dan
melihatmu tadi. Kalau engkau tidak suka berkenalan dengan kami, kamipun tidak akan memaksa."
Agaknya wajah cantik dan sikap halus dari Bwee Hong menimbulkan kepercayaan pada anak
perempuan itu. "Namaku Cui Hiang, tinggal ber-sama ayah ibuku dan adikku yang masih kecil. Kami
hidup terpencil dan setiap hari mencari ikan di rawa. Kami hidup dengan tenteram. Akan teta-pi
beberapa hari ini kami didatangi orang-orang yang sikapnya kasar dan jahat. Mereka agaknya
mencari seseorang yang mereka kira bersembunyi di daerah ini. Bahkan mereka mengira ayah menyembunyikan
orang itu dan menanyai ayah. A-yahku melawan, akan tetapi para penjahat itu berkepandaian
tinggi. Ayah dihajar babak belur dan menderita luka parah. Ibuku yang menolong ayah
juga dihajar dan terluka parah. Ayah dan ibu ham-pir dibunuh, akan tetapi baiknya muncul seorang
kakek berjubah hitam yang sakti dan menghajar semua penjahat itu. Kakek itu mengatakan bahwa
orang yang dicari-cari berada dalam lindungan-nya dan dia malah menantang agar mereka menyuruh
pemimpin mereka sendiri datang menghadapi-nya. Para penjahat itu lalu pergi membawa temanteman
mereka yang terluka."
Anak itu melanjutkan ceritanya. Setelah para penjahat pergi membawa teman-teman yang ter-luka,
kakek itu lalu mengobati ayah ibunya. Dan karena ayah ibunya terluka parah, sedang diobati dan
perlu beristirahat, maka mereka tidak dapat mencari ikan seperti biasa.
"Akulah yang menggantikan mereka mencari ikan." Ia menutup ceritanya.
Bwee Hong, Siok Eng dan A-hai merasa ter-haru dan kasihan sekali kepada gadis cilik ini. Bwee
Hong berpikir keras dan menduga-duga. Siapakah orangnya yang dicari-cari oleh para pen-jahat itu?
Siapa pula kakek jubah hitam yang li-hai itu, yang selain mampu memukul mundur pa-ra penjahat,
juga berani sekali menantang pemim-pin kaum sesat?
A-hai lalu bertanya, "Adik kecil, apakah eng-kau melihat rombongan pasukan belum lama ini?"
Yang ditanya menggeleng dan kelihatan kha-watir sekali, "jangan-jangan ada lagi orang jahat yang
mengganggu ayah dan ibu yang belum sem-buh," katanya dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu
menggerakkan kedua kakinya yang kecil untuk berlari pulang. Bwee Hong, Siok Eng dan A-hai
mengikuti dari belakang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ternyata bahwa larinya gadis cilik secara tiba-tiba untuk pulang itu digerakkan oleh suatu pera-saan
yang tidak enak. Ketika ia tiba di rumahnya, ternyata rumah itu telah menjadi abu! Masih ada arangarang
membara mengepulkan asap. Se-dangkan ayahnya, ibunya dan adiknya yang masih kecil tidak
nampak. Tentu saja Cui Hiang mena-ngis tersedu-sedu dan memanggil-manggil ayah bundanya,
dengan bingung lari ke kanan kiri se-perti seekor anak ayam mencari-cari induknya sambil berkotekkotek.
Melihat ini, tak terasa lagi kedua mata A-hai menjadi basah dan diapun menghampiri anak perempuan
itu, lalu berlutut dan dirangkulnya anak itu.
"Diamlah, nak, tenanglah besarkan hatimu. Karena tidak nampak jenazah mereka, maka aku yakin
ayah ibumu dan adikmu masih hidup. Sudahlah, jangan terlalu berduka "
Anak perempuan itu merangkul A-hai dan menangis terisak-isak di dada pemuda itu yang juga
merangkul dan mengusap rambutnya.
"Mari kita ikuti jejak iblis-iblis itu," kata Siok Eng melihat jejak banyak kaki orang yang masih baru.
Tentu ini jejak kaki para penjahat yang membakar rumah keluarga itu. A-hai menggan deng tangan
Cui Hiang dan mereka berempat, di-pimpin oleh Siok Eng, lalu mengikuti jejak para penjahat. Jejak itu
nampak jelas dan mudah dii-kuti.
Dari jauh sudah dapat mereka dengar suara pertempuran itu. Siok Eng mempercepat langkah-nya
sehingga Bwee Hong juga berlari. A-hai me-mondong tubuh Cui Hiang dan dibawanya lari pula
mengikuti. Mereka tiba di daerah yang la-pang di mana terdapat batu-batu besar berserak-an. Dan di
atas batu-batu itu, sambil berloncatan, duabelas orang sedang dikeroyok oleh puluhan orang yang
dipimpin oleh San-hek-houw. Pasukan seragam itu mengeroyok sambil berteriak-teriak dan
pertempuran itu sungguh tidak seim-bang sama sekali. Apa lagi karena di antara dua-belas orang itu,
hanya dua orang saja yang lihai ilmu silatnya sedangkan yang sepuluh orang me-miliki ilmu
kepandaian yang biasa saja. Maka seo-rang demi seorang, sepuluh orang itu pun roboh dan tewas.
Kini tinggal dua orang itu saja, seo-rang pemuda gagah dan seorang kakek berjubah hitam, yang
masih bertahan dan mengamuk.
Tiba-tiba Cui Hiang melepaskan diri dari gan-dengan A-hai dan berlari menghampiri ke arah mayatmayat
yang bergelimpangan itu, kemudian ia menjatuhkan diri, menjerit dari satu ke lain ma-yat
karena ia mengenal mayat keluarganya! Seje-nak ia menangis mengguguk, kemudian matanya
menjadi beringas ketika ia bangkit berdiri dan me-mandang ke arah pertempuran, di mana dua orang
itu masih dikeroyok oleh Harimau Gunung dan anak buahnya.
"Mereka membunuh keluargaku!" teriaknya dan tiba-tiba anak perempuan itu dengan wajah beringas
lari ke medan perkelahian. Pada saat itu, San-hek-houw terhuyung mundur oleh desakan kakek
berjubah hitam yang lihai. Anak perempuan itu sudah mengenal San-hek-houw sebagai pe-mimpin
gerombolan penjahat yang pernah melukai ayah bundanya dan mengenal pula kakek jubah hitam
yang pernah menolong orang tuanya, maka dengan kemarahan meluap karena kedukaan gadis cilik
itu menyerang San-hek-houw dengan pu-kulannya. Melihat ini, Bwee Hong, Siok Eng dan A-hai
terkejut, akan tetapi untuk mencegahnya sudah tidak keburu lagi.
Apa artinya serangan seorang gadis cilik seper-ti Cui Hiang? Tanpa menoleh ke belakang dia su-dah
tahu akan datangnya serangan lemah itu. Ti-ba-tiba rantai baja di tangannya berkelebat ke belakang
dan tombak jangkar di ujung rantai itu membabat ke arah lengan Cui Hiang yang menye-rangnya. Cui
Hiang hendak mengelak dengan mi-ringkan tubuhnya, akan tetapi tentu saja gerakan-nya kalah cepat.
"Crakkkk ! Aduuuhhhh !" Tombak
jangkar itu membabat lengan kiri Cui Hiang seba-tas pundaknya dan lengan itu putus seketika! Tubuh
Cui Hiang terguling pingsan.
Potongan lengan kecil itu terlempar dan melayang, tepat mengenai muka A-hai! Darah berceceran
mengenai sebagian pakaian, leher dan dagunya. "Uhh uhhh!" A-hai terbelalak dan tiba-tiba dia
merasa betapa darahnya bergo-lak. Matanya terbelalak memandang ke arah Cui Hiang yang
menggeletak pingsan dan darah me-nyembur-nyembur dari luka menganga di pundak-nya. Rasa
haru, kasihan dan kemarahan membuat darah di tubuhnya mendidih, makin lama makin hebat
sehingga dia merasa matanya menjadi kabur, kepalanya berdenyut-denyut dan pening, akan
dunia-kangouw.blogspot.com
tetapi dia tetap menyadari dirinya. Tubuhnya menggigil menahan aliran darahnya yang seperti
membanjir, seperti air bah melanda turun karena bendungannya jebol. A-hai masih tetap sadar,
bahkan kini dia sadar bahwfei dia akan kumat seperti yang sering diceritakan oleh kawan-kawannya
kepadanya. Teringat akan ini, yaitu bahwa dia akan kumat, dia merasa ngeri dan bingung juga, maka
dia menoleh kepada Bwee Hong sambil ber kata, "Nona Hong ahhh aku badanku ini seperti akan
terbang melayang rasa-nya"
Sejak tadi Bwee Hong memang telah mengeta-hui akan keadaan A-hai. Dilihatnya tubuh pemu-da itu
menggetar hebat dan sepasang matanya mencorong seperti mata naga. Bwee Hong maklum bahwa
A-hai mengalami guncangan hebat yang membuat saluran darahnya membobolkan semua perintang,
yang akan membuatnya kumat. Akan tetapi berkat pertolongan Seng Kun, pemuda itu akan tetap
sadar walaupun dalam keadaan kumat. Dan dara inipun ingat akan penjelasan kakaknya bahwa pada
saat kumat seperti itulah terbuka ke-sempatan untuk menggali dan mengorek masa lalu A-hai, karena
saat itu A-hai seperti berpijak kembali kepada alam aselinya. Dan biasanya, wak-tu dalam keadaan
seperti itu tidaklah lama. Apa bila gejolak darahnya sudah normal kembali, dia akan kembali dalam
keadaan semula, yaitu sebagi-an besar masa lalunya terlupa sama sekali. Kesem-patan yang baik
sekali. Akan tetapi, gadis cilik itupun harus ditolong sekarang juga. Inilah yang paling perlu, dan juga
pihak musuh harus dibasmi lebih dulu.
"A-hai, cepat bereskan pasukan jahat itu!" te-riaknya dan iapun cepat meloncat ke depan, menyambar
tubuh Cui Hiang yang pingsan dan mem-bawanya ke tempat aman, lalu tanpa memperdulikan
apa-apa lagi, dijaga oleh Siok Eng, Bwee Hong mulai mengobati Cui Hiang, menghentikan darah
yang keluar lalu membubuh obat pencegah rasa nyeri dan membalut luka itu dengan kain ber-sih
yang dirobeknya dari bajunya sendiri.
Sejenak A-hai ternanar dan membiarkan ke-palanya yang pening itu menjadi ringan, barulah dia
meloncat ke depan dan menghadapi San-hek-houw yang sudah berkelahi lagi melawan kakek jubah
hitam. "Iblis keji!" dia memaki dengan su-ara menggeledek, "Siuuuuttt !" Tangannya bergerak menampar
ke arah San-hek-houw yang sudah kewalahan menghadapi kakek jubah hitam, walaupun dia
dibantu oleh para pembantunya yang juga lihai dan yang jumlah semua anak buahnya lebih dari
limapuluh orang itu. Melihat serangan ini, San-hek-houw cepat menangkis dengan rantai bajanya
yang menyambar ganas ke arah lengan A-hai. Akan tetapi, A-hai tidak perduli, agaknya yakin akan
kekuatan tangannya sendiri.
"Plakk!" Tangan A-hai bertemu dengan tom-bak jangkar di ujung rantai baja dan akibatnya, rantai itu
terpental dan tombak jangkar hampir menghantam kepala pemiliknya!
"Uhh !" San-hek-houw berseru kaget dan meloncat mundur. Lima orang temannya me-nubruk ke
depan untuk menolong pemimpin me-reka ketika melihat A-hai hendak menyerang lagi. Mereka
menggunakan tombak panjang menyerang A-hai sedangkan San-hek-houw memperbaiki posisinya
yang tadi terhuyung karena terkejut. Terdengar suara lantang ketika A-hai menyambut pengeroyokan.
Tombak dan pedang beterbangan dan dua orang pengeroyok kena ditangkapnya, la-lu dibanting
sehingga tewas seketika. Sementara itu, Siok Eng juga sudah meloncat ke dalam ge-langgang
perkelahian dan sepak-terjangnya sung-guh menggiriskan. Gadis ini berkelebatan, kedua tangannya
menyebar maut dengan gerakan aneh dan juga luar biasa ganasnya. Dari tubuhnya ke-luar bau dupa
harum yang menyeramkan.
Menjatuhkan kakek jubah hitam yang amat li-hai dan yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi
darinya itu saja sudah sukar sekali, kini mun-cul orang-orang muda yang lihai. Tentu saja San-hekhouw
menjadi gentar. Apa lagi melihat beta-pa di antara limapuluh orang lebih anak buahnya, kini
tinggal setengahnya lagi, dari mereka inipun sudah kelihatan gentar dan semangat mereka me-nurun.
Kalau dilanjutkan semua anak buahnya akan terbasmi dan dia sendiripuri tidak mungkin dapat
meloloskan diri dari tangan orang-orang lihai ini. Maka, seperti biasa menjadi watak orang-orang yang
licik, kejam dan pengecut, San-hek-houw lalu meloncat dan melarikan diri. Setelah dia memberi
perintah agar anak buahnya mundur. Pa-sukan yang sudah kocar-kacir itu kini melarikan diri dengan
kacau-balau.
Kakek berjubah hitam itu tidak mengejar. Dan pemuda yang tadi bertempur di sampingnya, yang
sebenarnya tidak begitu tinggi kepandaiannya dan selalu dilindungi oleh kakek jubah hitam, kini juga
berdiri mengamati tiga orang yang baru muncul. A-hai makin lama semakin lemas, kehilangan te-naga
dunia-kangouw.blogspot.com
karena dia kembali ke dalam keadaan semula sebelum kumat. Mukanya yang tadinya merah se-kali
itu perlahan-lahan menjadi pucat, peluhnya berleleran di lehernya. Setelah darah di tubuhnya berjalan
normal, ingatannyapun kembali seperti semula dan dia berdiri agak termangu-mangu, me-rasa seperti
orang baru sadar dari mimpi akan te-tapi lupa lagi apa yang diimpikan itu.
Kakek jubah hitam itu mengamati mereka de-ngan sinar mata penuh takjub. Sungguh tak disangkanya
dia bertemu dengan tiga orang muda yang begini aneh dan hebat. Gadis baju putih yang
mukanya pucat itu tadi menyerang para pengero-yok dengan jurus pukulan ampuh dari Tai-bong-pai.
Dia mengenal pukulan itu, dan mengenai pula bau dupa harum yang keluar dari tubuh Siok Eng.
jelaslah bahwa dara yang masih muda ini telah menguasai ilmu dari Tai-bong-pai dengan amat
baiknya. Dan gadis ke dua yang cantik jelita itupun dapat melakukan perawatan dan pengobat-au
yang amat baik terhadap anak perempuan yang buntung lengannya. Caranya menghentikan darah,
caranya menotok, mengobati dan membalut, semua membuktikan bahwa gadis ini adalah seorang
ahli ilmu pengobatan yang mengagumkan. Kemudian pemuda tinggi tegap ini! Bukan main! Dia sendiri
adalah seorang "golongan atas" akan tetapi harus diakui bahwa dia sama sekali tidak mengenal
ilmu pukulan yang diperlihatkan oleh pemuda itu ketika mengamuk tadi.
Akan tetapi, kakek berjubah hitam ini menjadi semakin heran dan terkejut ketika dia melihat gadis
cantik jelita yang menyelesaikan pengobatannya terhadap anak perempuan itu kini bangkit berdiri,
dan ketika memandang kepadanya, gadis itu terbelalak dan pandang matanya terhadap dirinya penuh
kemarahan dan kebencian! Apa lagi ketika Bwee Hong melangkah maju dan menudingkan
telunjuknya kepadanya sambil berkata marah,
"Kau ...kau.... pembunuh keluarga kakekku!"
"Eh eh nanti dulu !" Kakek berjubah hitam itu berseru kaget ketika tiba-tiba Bwee Hong
menyerangnya kalang-kabut. Bwee Hong tidak perduli dan terus menyerang, meng-gunakan jurusjurus
simpanan dan setiap pukulan tangannya merupakan pukulan maut. Dan si kakek jubah hitam
semakin tercengang mengenal jurus-jurus pukulan ini sebagai jurus-jurus pukulan per-guruannya
sendiri!
"Tahan! Tahan!" teriaknya sambil mengelak ke sana-sini. Bwee Hong yang hatinya dipenuhi dendam
dan kebencian itu, tentu saja tidak mau berhenti dan terus menyerang kakek berjubah hi-tam yang
diketahuinya tentu seorang tokoh besar Liong-i-pang itu, melihat dari gambar naga yang samar-samar
nampak di jubah hitamnya. Karena Bwee Hong mendesak terus, kakek itu yang ter-nyata adalah
Ouwyang Kwan Ek ketua Liong-i-pang, terpaksa turun tangan, membalas serangan gadis yang masih
terhitung cucu murid keponakan itu. Menghadapi serangan susiok-couwnya, tentu saja Bwee Hong
tidak dapat bertahan dan ia segera terkena totokan dan terkulai lemas di atas tanah.
Tiba-tiba terdengar suara menggeram dahsyat. A-hai yang tadinya sudah "loyo" itu setelah me-lihat
Bwee Hong dirobohkan orang, secara men-dadak menjadi kumat kembali! Badannya tergetar hebat
dan matanya mencorong mengawasi dara yang disayangi dan dihormati, yang kini terkulai
lemas ke atas tanah dalam keadaan tertotok. Ke-mudian dia berteriak dengan lengking nyaring dan
diapun menerjang kakek itu dengan pukulan dah-syat. Siok Eng juga menerjang maju, menyerang
kakek jubah hitam.
"Eh, nanti dulu !" Kakek jubah hitam yang sudah mengenal kehebatan dua orang muda ini, cepat
meloncat ke belakang dan menghindar-kan serangan mereka yang amat berbahaya. Tu-buhnya
berkelebatan cepat bagaikan terbang dan Siok Eng sampai menjadi bingung karena tubuh kakek yang
diserangnya itu tiba-tiba saja meng-hilang, tahu-tahu muncul di belakang dan setiap kali diserang
dapat menghilang saking cepatnya kakek itu bergerak dan mengelak.
Akan tetapi, kakek jubah hitam yang seperti para ahli silat lain kalau sudah menghadapi per-tandingan
lalu kumat keinginan tahunya untuk mengukur dan menguji kepandaian lawan, menjadi terkejut. Dua
orang lawannya itu, biarpun masih muda, ternyata memang telah memiliki kepandai-an yang tinggi
dan aneh. Dia bergembira mem-peroleh kesempatan menguji ilmu dari Tai-bong-pai dan
berkesempatan pula untuk menyelidiki dan mengenal ilmu aneh dari pemuda itu.
"Hyeeeehhhh !" Suara yang dikeluarkan
dunia-kangouw.blogspot.com
oleh A-hai itu demikian hebat getarannya sehing-ga mengguncangkan perasaan kakek Ouwyang
Kwan Ek, dan gerakan pemuda itu membuat dia
lebih kaget lagi. Dia menggunakah Pek-in Gin-kang atau Ginkang Awan. Putih yang membuat tubuhnya
ringan dan dapat bergerak cepat, dan de-ngan langkah ajaib Ilmu Silat Kim-hong-kun dari
perguruan Tabib Sakti, dia menghindarkan diri dari pukulan-pukulan kedua orang muda itu. Akan
tetapi, sambil berteriak tadi, tahu-tahu tu-buh A-hai melengkung dan dengan gerakan aneh sekali,
tubuhnya sudah melingkar ke samping dan meluncur cepat memotong jalan! Seolah-olah de-ngan
gerakan ini A-hai telah tahu ke mana arah dari langkah ajaibnya sehingga memotong jalan kakek itu
sehingga tubuh mereka kini saling berten-tangan dan hampir bertubrukan. Kakek itu terke-jut sekali,
apa lagi ketika melihat betapa pemuda itu mendorongkan kedua telapak tangannya dengan hantaman
dahsyat.
Jilid XXVII
TIDAK ada jalan lagi untuk menghindarkan tabrakan atau benturan itu dan satu-satu-nya jalan hanya
menyambut hantaman pemuda itu karena kalau dia melempar tubuh ke samping, dia akan terancam
oleh gadis Tai-bong-pai itu dan hal ini akan lebih berbahaya lagi. Terpaksa dia lalu mengerahkan
tenaga sakti Pai-hud-ciang (Tangan Menyembah Buddha) dan kedua tangan-nya didorongkan ke
depan dengan gerakan seperti menyembah, menyambut dua telapak tangan A-hai. Akan tetapi,
kembali kakek itu terkejut ketika da-lam sekejap mata melihat dua warna kabut merah dan putih
membungkus badan pemuda itu, yang kanan merah dan yang kiri putih. Benturan dua pasang tangan
itu tak terelakkan lagi.
"Blarrrrr !!"
Ouwyang Kwan Ek, kakek tua renta berusia tujuhpuluh tahun itu adalah murid ke dua dari da-tuk sakti
Bu-eng Sin-yok-ong (Raja Tabib Sakti Tanpa Bayangan), dan dia adalah ketua dari Liong-i-pang yang
terkenal. Akan tetapi, pertemuan tenaga melalui telapak tangan melawan pemuda itu mebuat dia
terhuyung ke samping sampai be-berapa langkah dan apa bila tangannya tidak ce-pat memegang
ujung sebuah batu besar yang ber-diri di situ, agaknya dia tentu akan terjatuh! Se-baliknya, tubuh
pemuda itu terpental ke atas, akan tetapi tubuh itu dapat berpoksai (bersalto) sampai tiga kali dengan
indahnya di udara, kemudian tu-buh itu meluncur ke bawah, hinggap di atas se-buah batu dengan
ringannya. Kabut yang menye-limuti tubuhnya tidak nampak lagi, matanya men-corong dan tidak ada
tanda-tanda bahwa dia terguncang oleh pertemuan tenaga tadi.
Tentu saja hal ini membuat Ouwyang Kwan Ek terkejut setengah mati. Dia tadi sudah amat khawatir
akan akibat pertemuan tenaga itu. Dia sendiri merasakan akibatnya, membuat dia hampir terbanting
jatuh dan dia khawatir kalau-kalau pemuda itu tidak akan mampu bertahan dan akan tewas atau
setidaknya menderita luka dalam yang parah. Akan tetapi ternyata pemuda itu sama se kali tidak
terpengaruh. "Gila" pikirnya penuh takjub. "Anak ini benar-benar mempunyai keku-atan seperti iblis.
Siapakah orang ini dan dari per-guruan mana?"
A-hai sudah siap untuk mengadu kekuatan me-lawan kakek jubah hitam, sedangkan Siok Eng yang
menyaksikan adu tenaga yang amat hebat tadipun berdiri termangu-mangu, semakin takjub melihat
keadaan A-hai. Dara ini maklum bahwa kakek jubah hitam itu lihai bukan maui, jauh lebih ting-gi ilmu
kepandaiannya dibandingkan dengan ia sendiri. Akan tetapi, bentrokan tenaga sinkang an-tara kakek
itu dan A-hai nampaknya membukti-kan bahwa pemuda aneh itu ternyata lebih unggul!
Pada saat suasana sudah menegangkan karena semua menduga bahwa tentu akan terjadi perkelahian
yang lebih hebat lagi antara kakek berjubah hitam itu dengan A-hai, tiba-tiba laki-laki muda yang
menjadi teman kakek jubah hitam yang tadi selalu dilindunginya, kini melangkah maju dan berseru
nyaring, "Tahan! Siapakah kalian? Kena pa setelah tadi menolong kami, sekarang berbalik kalian
dunia-kangouw.blogspot.com
menyerang kami? Apakah maksud kalian? Inilah aku, putera mahkota! Apa bila kalian men-cari putera
mahkota, inilah aku. Apakah kalian orang-orang yang ingin mencari hadiah bagi ke-palaku?"
Semua orang terdiam dan terkejut. Kakek jubah
hitam cepat memperingatkan, "Pangeran, harap paduka berhati-hati !" Dianggapnya pangeran
yang membuka rahasianya itu amat sembrono karena pihak istana sudah menyebar orang-orangnya
untuk mencarinya, tentu bukan dengan maksud baik karena pangeran mahkota ini tentu saja akan
menjadi penghalang bagi mereka yang sudah mengangkat kaisar baru setelah mereka berusaha
menyingkirkan pangeran mahkota ini ke garis depan.
Bwee Hong yang masih rebah dalam keadaan tertotok, tak mampu bergerak atau bicara, hanya
memandang dengan hati tegang dan cemas, me-mandang ke arah A-hai yang ia tahu berada da-lam
keadaan kumat kembali. Kini A-hai yang biarpun dalam keadaan kumat itu masih sadar, ketika
mendengar bahwa dia berhadapan dengan pangeran mahkota, agaknya mampu bersikap wa-ras dan
tidak menuruti dorongan ilmu yang seperti akan membuatnya meledak-ledak itu.
Dengan sikap tenang dan penuh wibawa, A-hai melangkah maju menghadapi kakek jubah hitam yang
kini sudah berdiri berdampingan dengan sang pangeran mahkota. Sikapnya hormat dan lemah
lembut, suaranya dalam dan serius, sungguh ber-beda dengan sikap dan suaranya yang biasa setiap
hari.
"Kami adalah perantau-perantau yang kesa-sar sampai di tempat ini. Namaku adalah Thian Hai. Dua
orang nona ini adalah sahabat-sahabat baikku. Kenapa locianpwe menyerang dan menja-tuhkan
sahabatku itu?"
Ouwyang Kwan Ek adalah seorang datuk besar, ketua Liong-i-pang pula. Tentu saja diapun ber-sikap
agak tinggi, tidak mau mengaku salah, apa lagi karena dia memang tidak merasa bersalah. "Hemm,
orang muda yang lihai. Nona itulah yang menyerangku, dan aku hanya mempertahankan diri saja."
A-hai mengerutkan alisnya, agaknya tidak pu-as dengan jawaban itu. Akan tetapi sang pangeran
yang melihat betapa suasana dapat menjadi gawat lagi, lalu melerai. "Sudahlah, tidak perlu diribut-kan
siapa yang bersalah dalam hal ini. Agaknya telah terjadi kesalahfahaman di antara kita. Lo-cianpwe,
harap suka membebaskan nona itu lebih dulu."
Ouwyang Kwan Ek menghampiri Bwee Hong dan sekali menotok ke arah pundak nona itu, Bwee
Hong sudah pulih kembali. Siok Eng memandang kagum. Tadi ia sudah berusaha membebaskan totokan
itu, akan tetapi tanpa hasil. Tahulah ia bah-wa totokan kakek itu merupakan ilmu istimewa yang
hanya dimiliki oleh perguruan kakek itu, de-mikian pula cara membebaskannya.
Setelah membebaskan totokannya, Ouw yang Kwan Ek lalu memandang kepada Bwee Hong dan
berkata, "Jadi engkaukah seorang di antara dua anak angkat, juga murid mendiang Bu Kek Siang?
Ketahuilah bahwa mendiang Bu Kek Siang adalah murid keponakanku sendiri. Dia murid suheng
ku"
"Aku sudah tahu!" jawab Bwee Hong dengan suara keras dan sedikitpun ia tidak menaruh hor-mat
walaupun ia tahu bahwa ia berhadapan de-ngan susiok-couwnya. Kakek di depannya ini ada lah adik
seperguruan dari kakek gurunya! "Dan aku tahu pula bahwa kakekku, juga guruku atau ayah
angkatku, tewas di tangan murid-muridmu, tewas bersama isterinya. Padahal dia adalah mu-rid
keponakanmu sendiri!"
"Dan ketika itu aku sedang diobati oleh keluar-ga Bu, dan aku menjadi saksinya bahwa kedua
locianpwe yang menjadi penolongku itu tewas oleh tangan-tangan jahat orang-orang Liong-i-pang!"
kata Siok Eng.
Ouwyang Kwan Ek menarik napas panjang. "Aaah, dunia menjadi kacau-balau, kesemuanya oleh
ulah manusia yang didorong oleh keserakahan, oleh keinginan untuk senang sendiri yang menimbulkan
permusuhan, dendam-mendendam, balas-membalas, bunuh-membunuh! Ahhh, anak yang
baik, agaknya engkau hanya tahu ujungnya akan tetapi tidak tahu pangkalnya. Tahu akibatnya ti-dak
dunia-kangouw.blogspot.com
tahu sebab-sebabnya. Pertikaian di antara sesama perguruan kita agaknya sudah demikian berlarutlarut
dan sudah terjadi sejak lama sekali sebelum kau lahir. Engkau begitu membenci aku dan muridmuridku,
karena engkau belum menge-tahui persoalan yang sebenarnya. Aku juga merasa heran
mengapa kakekmu yang juga menjadi ayah angkat dan gurumu itu tidak menjelaskan persoal-an yang
sebenarnya kepadamu dan kepada kakak-mu. Kalau tidak salah, engkau berdua dengan seo-rang
kakakmu, bukan?"
Bwee Hong diam saja, tidak menjawab, hanya mendengarkan sambil menatap wajah kakek jubah
hitam itu dengan sinar mata tajam penuh selidik, seolah-olah hendak meneliti kebenaran omongan
kakek itu. Iapun tadi sudah melirik ke arah A-hai dan melihat betapa pemuda yang bernama Thian Hai
ini sekarang telah kembali ke dunia keduanya, membuat dia agak ketololan dan pemuda itupun ikut
mendengarkan. Demikian pula Siok Eng yang maklum bahwa urusan ini adalah urusan antara
keluarga seperguruan, tidak berani banyak men-campuri dan hanya mendengarkan. Juga sang pangeran
yang menghendaki agar mereka itu tidak lagi saling serang, ikut pula mendengarkan.
Dengan sabar Ouwyang Kwan Ek lalu berceri-ta, suaranya tegas dan disingkat, terbuka dan je-las.
Bwee Hong diam mendengarkan, akan tetapi hatinya masih panas oleh dendam.
"Dahulu, limapuluh tahun lebih yang lalu, mendiang suhu Bu-eng Sin-yok-ong memberi pelajaran
kepada kami bertiga sebagai murid-muridnya. Suhu memberikan ilmu-ilmunya kepada kami, sesuai
dengan bakat kami yang berbeda-beda pula. Mendiang suhengku siika bertapa dan mengasingkan
diri, dan sesuai dengan bakatnya, suheng menerima pelajaran khusus tentang lweekang yang
kemudian diturunkan kepada puteranya, yaitu Bu Kek Siang. Sayang suheng Bu Cian telah
meninggal" Sejenak kakek itu terhenti dan nampak berduka sekali. Akan tetapi dia mengheia napas
panjang menenteramkan batinya lalu melanjutkan, "Aku sebagai murid ke dua suka belajar ilmu silat,
maka akupun diberi pelajaran khusus dalam ilmu silat. Sedangkan suteku yang bernama Kam Song
Ki yang bertubuh kecil dan gesit menerima waris-an ilmu ginkang yang khas. Dengan demikian, kami
bertiga menerima ilmu-ilmu keistimewaan masing-masing, suheng mahir dalam sinkang, aku sendiri
mahir dalam ilmu silat, dan sute mahir da-lam ginkang,"
"Akupun sudah mendengar akan hal itu," kata Bwee Hong penasaran. "Akan tetapi kenapa eng-kau
masih juga tidak mau menerima dengan hati rela? Mendiang sucouw sudah membagi-bagi semua
ilmunya dengan adil, akan tetapi kenapa engkau masih hendak merebut hak orang lain?"
Kakek itu mengangguk-angguk. "Aku menger-ti mengapa engkau penasaran. Dan itulah yang
membuat aku terheran-heran. Kenapa kakekmu, Bu Kek Siang itu, tidak mau menceritakan hal yang
sebenarnya sehingga terjadi kesalahfahaman ini? Apakah dia ingin agar kita saling bermusuhan dan
berbunuh-bunuhan terus?"
"Berbunuh-bunuhan? Apa maksudmu?" Bwee Hong bertanya sambil mengerutkan alisnya dan
memandang tajam.
"Apakah kakekmu atau ayah angkatmu itu tidak pernah bercerita bagaimana dia memperoleh kitab
wasiat ilmu pengobatan itu?"
"Tentu saja kitab itu diwarisinya dari sucouw!" jawab Bwee Hong cepat karena ia tak mungkin dapat
berpikir lain.
"Memang, akan tetapi kitab itu bukan hanya diwariskan kepada seorang murid saja! Mendiang suhu
dahulu merupakan datuk nomor satu di du-nia. Keahliannya dalam ilmu sinkang telah diwa-riskan
kepada suheng, keahliannya dalam ilmu silat diwariskan kepadaku dan keahliannya dalam gin-kang
kepada sute. Di samping semua ilmu itu, su-hu yang berjuluk Tabib Sakti Tanpa Bayangan itu juga
memiliki keahlian dalam ilmu pengobatan. Suhu adalah seorang yang bijaksana dan adil. Ma-ka
kelebihan satu ilmu ini, yang dianggap amat berguna bagi semua muridnya, akan diberikan ke-pada
tiga muridnya. Semua muridnya diberi ke-sempatan untuk belajar. Sebelum meninggal dunia, suhu
meninggalkan sebuah kitab ilmu pengobatan dan beliau memesan agar semua muridnya mempelajari
kitab itu secara bergilir. Dengan keras be-liau melarang murid yang hendak mempertahankan
ilmu itu untuk diri sendiri. Maka, kitab itu dise-rahkan kepada suheng dengan pesan sesudah se-puluh
tahun dipelajari, harus diserahkan kepadaku untuk kupelajari selama sepuluh tahun, baru kemu-dian
kuserahkan kepada sute. Akan tetapi ternyata suheng yang pendiam itu menjadi serakah! Setelah
sepuluh tahun, buku itu tidak diserahkan kepadaku. Aku memperingatkannya dan mencelanya,
namun dia tetap tidak mau memberikan. Kami bercekcok dan akhirnya berkelahi. Akan tetapi aku
dunia-kangouw.blogspot.com
tidak mampu menandingi tenaga saktinya yang hebat itu. Demikianlah, aku selalu belajar dengan
tekun dan sekali-kali aku datang untuk minta kitab itu yang berakhir dengan perkelahian dan aku
selalu berada di pihak yang kalah. Melihat kami berdua selalu cekcok dan berkelahi, sute menjadi
tidak senang dan diapun pergi menjauhkan diri sampai sekarang tidak pernah kembali. Sudah
empatpuluh tahun dia pergi"
Kerut di antara alis Bwee Hong makin menda-lam. Benarkah cerita kakek ini? Benarkah kakek
gurunya yang bernama Bu Cian, ayah Bu Kek Siang, demikian serakah? Akan tetapi ia tidak menyela
lagi, melainkan memandang kakek itu dan sinar matanya menuntut dilanjutkannya cerita itu.
"Karena bertahun-tahun usahaku minta kitab itu gagal dan aku selalu dikalahkan oleh suheng, aku
patah semangat, mengasingkan diri dan mem-perdalam ilmu silat, juga menerima murid-murid dan
mendidik putera tunggalku, mendirikan per-kumpulan Liong-i-pang dan tidak mau lagi mengganggu
suheng dengan urusan kitab itu. Akan tetapi setelah puteraku dewasa, pada suatu hari dia pergi tanpa
pamit. Agaknya dia yang tahu akan peristiwa kekeluargaan perguruan itu telah pergi seorang diri
mendatangi suheng dan mohon keadilan, meminta kitab itu. Agaknya, menghadapi keponakannya,
suheng yang biasanya keras hati itu menjadi lunak, hatinya terharu dan kitab ilmu pengobatan itu
diserahkan oleh suheng kepada pu-teraku. Puteraku girang bukan main dan pergi
membawa kitab itu. Akan tetapi " Kakek itu
berhenti lagi dan kini wajahnya diliputi kedukaan hebat, mukanya diangkat menengadah memandang
langit dan matanya menjadi basah! Tentu saja Bwee Hong terkejut sekali melihat ini dan iapun mulai
percaya akan cerita kakek yang sebenarnya masih susiok-couwnya sendiri ini.
"Lalu ...lalu bagaimana?" tanyanya, suaranya juga lunak.
"Suheng juga mempunyai putera, yaitu Bu Kek Siang. Di waktu mudanya, Bu Kek Siang berwatak
keras berangasan. Agaknya dia tidak rela bahwa kitab pusaka ilmu pengobatan itu, yang sudah
puluhan tahun dianggap sebagai pusaka perguruan ayahnya, jatuh ke tangan orang lain. Dia
menghadang perjalanan anakku, dan kitab itu dimintanya. Tentu saja puteraku tidak mau
memberikannya dan terjadilah perebutan dan perkelahian. Keduanya terluka, akan tetapi karena Bu
Kek Siang mewarisi ilmu sinkang, tenaga dalamnya lebih kuat dan luka dalam yang diderita anakku
amat parah. Ketika bertemu denganku, keadaannya tak tertolong lagi"
Bwee Hong menahan napas. Tak pernah di-sangkanya bahwa riwayat perguruannya demikian hebat,
terdapat perebutan dan permusuhan yang memalukan di antara saudara-saudara seperguru an
sendiri.
"Dia dia mati?" tanyanya, suaranya berbisik
Kakek itu memandang kepadanya, tersenyum pahit dan mengangguk. "Dia mati dan tentu saja aku
marah sekali. Urusan kitab, sudah kupendam dan aku tidak berniat merampasnya dari tangan suheng
lagi. Akan tetapi sekali ini adalah urusan matinya putera tunggalku! Aku datang kepadanya dan
minta pertanggungan jawabnya atas perbuatan puteranya, yaitu Bu Kek Siang. Suheng amat se-dih.
Dia merasa menyesal sekali dengan terjadinya peristiwa itu dan sadar bahwa semua itu timbul karena
keserakahannya sendiri. Akan tetapi dia amat menyayangi putera tunggalnya itu dan tidak tega
untuk menghukumnya. Kemudian, melihat putera-ku yang sudah hampir mati itu kubawa di depannya
dan kini puteraku menghembuskan napas terakhir di depan hidungnya, suheng lalu membunuh diri
untuk menebus kesalahan puteranya! Dan dia ber-pesan sebelum menghembuskan napas terakhir,
minta kepadaku agar permusuhan dan dendam-mendendam itu dihabiskan sampai di situ saja. Pa-da
saat itu aku amat berduka atas kematian pute-raku, juga tersentuh oleh pengorbanan suhengku,
maka akupun mengangguk dan menuruti pesan-nya. Aku tidak memperdulikan lagi urusan kitab, dan
membawa pergi jenazah puteraku."
Bwee Hong merasa betapa bulu tengkuknya meremang mendengar cerita ini. Kalau saja kakak-nya
ikut mendengarkan! Pandangannya terhadap kakek jubah hitam yang sudah banyak menderita
tekanan batin itu kini berobah. Ia percaya akan kebenaran cerita ini, karena apa perlunya kakek ini
membohong dan bercerita begitu panjang lebar kepadanya?
dunia-kangouw.blogspot.com
Kakek itu menarik napas panjang. "Sayang sungguh sayang agaknya Thian tidak menghendaki
urusan itu berhenti sampai di situ saja ....!
Kalau aku sudah dapat menerima keadaan, tidak demikian dengan murid-muridku. Mereka itu
mendendam atas kematian suheng mereka dan diam-diam mereka berusaha menuntut balas, atau
setidaknya berusaha untuk merampas kitab ilmu pengobatan itu. Beberapa kali usaha mereka gagal
dan aku memberi hukuman kepada mereka. Akan tetapi mereka itu nekat terus sampai akhirnya Bu
Kek Siang menjauhi pembalasan mereka dan menyembunyikan diri. Hingga belasan tahun kemu dian
murid-muridku itu menemukan tempat persembunyiannya dan terjadilah peristiwa yang kaualami itu."
Kakek itu menghentikan ceri-tanya dan memandang kepada Bwee Hong dengan mata sedih sekali.
"Demikianlah ceritaku selengkapnya, nona.
Dendam dendam balas-membalas! Apakah sekarang engkau dan kakakmu hendak melanjutkan
lingkaran dendam itu? Engkau dan kakakmu membunuh aku atau muridku, kemudian kelak anak
mereka akan mencarimu untuk membalas dendam lagi, disambung oleh keturunanmu yang kembali
membalas dendam kepada keturunan me-reka. Begitukah yang kaukehendaki? Ah, betapa
menyedihkan…!” Kakek itu menundukkan mukanya.
Bwee Hong tak dapat bicara. Hatinya tersen-tuh. Tak mungkin dunia ini terdapat kedamaian dan
ketenteraman selama hati selalu diracuni den-dam dan kebencian. Mula-mula sekali kakek gu-ru Bu
Cian yang memulainya, dengan keserakah-annya tidak mau membagi-bagi ilmu pengobatan seperti
pesan mendiang Bu-eng Sin-yok-ong. Kemudian, ayah angkatnya, Bu Kek Siang yang membunuh
putera kesayangan kakek ini. Akibat-nya, murid-murid kakek ini datang membalas dendam. Kalau
menurut cerita ini, pihak kakek-nyalah yang menjadi biang keladi permusuhan. Akan tetapi benarkah
cerita yang baru didengar-nya dari kakek jubah hitam itu?
Agaknya Ouwyang Kwan Ek dapat menduga keraguan hati Bwee Hong.
"Kalau engkau tidak percaya akan kebenaran ceritaku, engkau boleh bertanya kepada tokoh-tokoh
tua dunia persilatan yang kini masih hidup dan yang mengetahui peristiwa keributan dalam pergu-ruan
kita itu. Di antara mereka adalah Yap-lojin ketua Thian-kiam-pang dan Siang Houw Nio-nio pengawal
kaisar."
"Kata-katanya itu benar belaka " tiba-tiba
terdengar suara seorang wanita dari balik batu be-sar. Semua orang menengok dan nampak seorang
kakek dan seorang nenek keluar dari balik batu. Mereka adalah Yap-lojin ketua Thian-kiam-pang
bersama isterinya, yaitu Siang Houw Nio-nio! Melihat Siang Houw Nio-nio, Bwee Hong cepat memberi
hormat.
"Dia tidak membohong dan memang semua itu telah terjadi pada keturunan Bu-eng Sin-yok-ong,
sungguh patut disesalkan sekali," kata pula nenek Siang Houw Nio-nio kepada Bwee Hong.
"Akupun menjadi saksi akan kebenaran cerita susiok-couwmu itu, nona Chu. Karena itu, semua
permusuhan antara keluarga perguruan sendiri yang tiada gunanya itu seyogianya dihadapi de-ngan
kesadaran dan kebesaran hati sehingga dapat berakhir." Yap-lojin juga berkata.
"Kalau memang demikian riwayatnya, sayapun tidak akan melanjutkan dendam yang tiada guna-nya
ini, locianpwe," kata Bwee Hong menunduk.
Yap-lojin dan isterinya lalu memberi hormat sambil bermuka sedih kepada pangeran mahkota. Siang
Houw Nio-nio menjatuhkan dirinya berlutut dan berkata, "Pangeran, hal-hal yang hebat terjadi tanpa
saya mampu menolong, dosa saya besar sekali "
Pangeran mahkota cepat-cepat mengangkat bangun wanita itu yang masih terhitung nenek sendiri
karena mendiang ayahnya adalah keponak-an nenek ini. "Harap jangan bersikap demikian, Nio-nio.
Bukan salahmu, bukan salahku, bukan salah kita semua. Segala hal yang terjadi adalah kehendak
Thian."
Ketika Ouwyang Kwan Ek yang merasa amat takjub kepada A-hai mencari pemuda itu untuk diajak
bicara dan berkenalan lebih dekat, ternyata pemuda itu kini telah bersikap biasa, bahkan nam-pak
dunia-kangouw.blogspot.com
bodoh. A-hai telah duduk mendekati Cui Hiang yang buntung lengan kirinya itu. Cui Hiang menangis,
bukan menangis karena nyeri melain-kan karena kematian keluarganya. Memang luka di pundaknya
yang kehilangan lengan kiri itu tera-sa nyeri, akan tetapi berkat pengobatan Bwee Hong, tidaklah
begitu hebat dibandingkan dengan rasa nyeri di hatinya. A-hai merangkulnya dan menghiburnya
dengan terharu.
"Adik kecil, kita sama-sama yatim piatu, seo-rang diri saja di dunia ini, tiada sanak saudara la-gi.
Maukah engkau bersama-sama dengan aku?"
Dengan terharu Cui Hiang mengangguk. Air matanya bercucuran, sebentar menoleh ke arah jenazah
keluarganya, kemudian menoleh ke arah lengan yang menggeletak di atas tanah, Ia merasa seolaholah
lengannya yang buntung itu, yang ki-ni merupakan sepotong lengan yang menggeletak tak
bergerak dan pucat di atas tanah, seperti sebu-ah mayat pula. Kemudian, tanpa berkata apa-apa, ia
menghampiri potongan lengannya sendiri itu, diambilnya dengan tangan kanan, lalu dibungkus-nya ke
dalam baju luarnya, semua ini dilakukan dengan agak sukar karena hanya menggunakan satu tangan
saja, lalu bungkusan lengan kiri itu di-peluknya dengan lengan kanan. Semua orang me-mandang
dengan terharu dan merasa bergidik, akan tetapi tidak ada yang bertanya karena merasa kasihan dan
tidak mau menyinggung hati anak pe-rempuan itu.
Bagaimanakah pangeran mahkota muncul di tempat itu dan bersama dengan Ouwyang Kwan Ek,
ketua Liong-i-pang? Seperti pernah dice-ritakan di bagian depan, pangeran mahkota telah
disingkirkan oleh komplotan Perdana Menteri Li Sn dan kepala thaikam Chao Kao, dikirim ke garis
depan untuk membantu Jenderal Beng Tian me-mimpin pasukan menghadapi para pemberontak.
Pada mulanya, pasukan pemerintah ini bertugas di sepanjang Tembok Besar melawan bangsa
nomad Hun (Siung Nu), akan tetapi kemudian pindah ke barat untuk menghadapi pemberontakan
yang di-pimpin oleh Chu Siang Yu. Karena pasukan itu tidak mendapat bantuan lagi dari pusat, seolah
olah dibiarkan saja, maka pasukan pemerintah ini terus terdesak mundur oleh kaum pemberontak.
Pangeran mahkota yang bukan seorang ahli perang dan hanya maju memimpin pasukan atas desakan
istana, menjadi putus asa dan dia menyerahkan sisa pasukannya kepada Jenderal Beng Tian. Dia
sendiri lalu melakukan perjalanan pulang ke sela-tan. Akan tetapi, di tengah perjalanan dia mendengar
tentang kematian kaisar dan tentang peng-gantian yang dilakukan pada waktu dia tidak ada dan
yang diangkat menjadi kaisar adalah adiknya, putera kaisar yang ke dua. Tahulah pangeran mahkota
bahwa terjadi pengkhianatan dan kecu-rangan, akan tetapi setelah lama berada di luar is-tana, ikut
bertempur bersama Jenderal Beng Tian, pangeran ini telah terbuka matanya. Dia melihat kebobrokan
pemerintahan ayahnya, melihat betapa rusaknya pemerintah akibat kelaliman para pejabat tinggi yang
mempengaruhi ayahnya. Setelah mata-nya terbuka, dia merasa malu dan jijik, bahkan tidak
mempunyai minat untuk menjadi kaisar, se-perti orang yang jijik melihat sesuatu yang penuh
kekotoran diserahkan kepadanya untuk diurus. Ngeri dia kalau harus bekerja dibantu oleh orangorang
yang demikian jahat, licin dan curangnya. Maka, mendengar bahwa adiknya yang naik tahta,
diapun tidak menjadi penasaran.
Akan tetapi, para pendekar yang tahu bahwa sang pangeran hendak kembali ke kota raja,
memperingatkannya bahwa kaisar baru, dikuasai oleh pejabat-pejabat lalim, telah mengirim jago-anjagoan
untuk mencari putera mahkota ini, sete-lah kaisar baru mengirim utusan ke garis depan untuk
menangkapnya mendengar bahwa pangeran itu telah pergi meninggalkan pasukan. Kini pange-ran
dicari oleh jagoan-jagoan istana, maka sang pangeran lalu menyembunyikan diri. Untung dia bertemu
dengan kakek Ouwyang Kwan Ek yang kemudian melindunginya.
Sementara itu, Siang Houw Nio-nio meru-pakan tokoh yang paling tidak setuju akan adanya
penggantian kaisar oleh pangeran ke dua itu. Ia-pun dapat menduga bahwa surat wasiat kaisar lama
telah dipalsukan. Akan tetapi apa dayanya seorang wanita yang pangkatnya hanya pengawal pribadi
kaisar yang sudah mati, walaupun ia masih terhitung bibi dari kaisar itu sendiri? Karena me-rasa tidak
suka akan tetapi juga tidak berdaya, ia hanya memprotes yang akhirnya hanya membuat ia ditahan
dan dijebloskan ke dalam penjara. Se-perti diceritakan di bagian depan, Pek In dan Ang In, dua orang
murid Siang Houw Nio-nio, berhasil lolos dan melaporkan hal itu kepada Yap-lojin. Kakek ini segera
terbang ke kota raja dan hanya dengan susah payah dan mengandalkan kepandai-annya dan
bantuan para pendekar di kota raja sa-jalah akhirnya Yap-lojin berhasil membebaskan isterinya. Akan
dunia-kangouw.blogspot.com
tetapi mereka menjadi buruan pe merintah, dan mereka harus cepat-cepat pergi karena kini istana
memiliki jagoan-jagoan dari kaum sesat yang dipimpin oleh Panglima Kelela-war Hitam!
Setelah mendengar para pendekar itu saling menceritakan pengalamannya, putera mahkota menarik
napas panjang. "Aih, betapa bobroknya keadaan di istana, baru sekarang aku menyadari. Kiranya
sejak lahir aku sudah berada di dalam du-nia yang mewah dan mulia namun penuh dengan
kebobrokan!" Dia makin tidak bernafsu lagi untuk kembali ke istana, apa lagi untuk memperebutkan
kedudukan kaisar. Dia akan membantu gerakan para pejuang dan semua itu dilakukan bukan un-tuk
memperebutkan kedudukan, melainkan untuk membantu melenyapkan kekuasaan sewenang-wenang
dan jahat yang menguasai negara dan rakyat.
Tiba giliran Bwee Hong untuk menceritakan pengalamannya di depan Ouwyang Kwan Ek. Yap-tajin,
Siang Houw Nio-nio, dan sang pangeran itu. Ia menceritakan tentang tugas dari kaisar yang dipikul
kakaknya, tugas mencari Menteri Ho yang ternyata gagal karena Menteri Ho yang setia itu keburu
dibunuh oleh para penjahat kaki tangan menteri lalim. Kemudian, kakaknya hendak ke kota raja untuk
melaporkan hasil tugasnya itu. A-kan tetapi dia malah ditawan oleh kaki tangan kaisar baru yang
dipimpin oleh Kelelawar Hitam atau Raja Kelelawar.
"Padahal, Kun koko yang sudah melihat sen-diri keadaan pasukan para pendekar yang dipim-pin oleh
Liu-bengcu, ingin pula melaporkan ke kota raja tentang kesalahpahaman antara, pemerin-tah dan
pasukan itu. Liu-bengcu bermaksud membersihkan negara dari para pengkhianat dan penjual bangsa,
akan tetapi oleh pemerintah malah dimusuhi dan dicap sebagai pemberontak," kata-nya.
"Tentu saja!" kata Siang Houw Nio-nio. "Pe-merintah sudah dikuasai oleh para pengkhianat itu sendiri,
tentu saja Liu-bengcu dimusuhi!"
Yap-lojin menarik napas panjang. "Kaisar bo-neka diangkat, kekuasaan berada di tangan pem-besarpembesar
lalim dan korup, malah kaum se-sat yang dipimpin raja iblis seperti Raja Kelelawar diangkat
sebagai panglima dan perwira-perwira. Aih, adakah yang lebih gila dari pada ini?"
"Menteri-menteri dan pejabat-pejabat yang jujur dipenjarakan atau dibunuh," Siang Houw Nio-nio
berkata lagi. "Setan-setan dan iblis-iblis berkeliaran di istana, menguasai negara, jenderal Beng Tian
seorang diri dibiarkan mati-matian me-nahan majunya para pemberontak yang melanda negara
seperti air bah, sedangkan mereka yang di istana hanya bersenang-senang belaka. Padahal, pasukan
Liu-bengcu sudah mendesak dari selatan dan timur, sedangkan pasukan Chu Siang Yu men-desak
dari barat."
"Kami berdua tidak berdaya. Kami sendiri men-jadi buronan, terpaksa meninggalkan kota raja,"
sambung Yap-lojin. "Di tengah jalan kami sudah berpapasan dengan sebagian pasukan Jenderal
Beng Tian yang kalah berperang. Mereka mundur untuk mempertahankan benteng terakhir, yaitu kota
raja sendiri. Kota raja sudah terhimpit dari em-pat jurusan, tak tertolong lagi!"
"Ah, apa akan jadinya dengan negara kita? Apakah akan terjatuh ke tangan pemberontak dan
terobek-robek dipakai berebutan?" Sang pange-ran ikut bicara, suaranya sedih. Semua orang terdiam,
tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tak seorangpun nampak gembira, walaupun kesedihan
yang membayang di wajah A-hai dan Cui Hiang berbeda dengan kesedihan orang-orang lain itu.
Bagaimanapun juga, orang-orang yang masih setia kepada negara ini masih mempunyai sisa keinginan
untuk dapat menyelamatkan negara dari pada bencana, kalau mungkin.
Akan tetapi sampai lama mereka tidak dapat melihat jalan yang baik. Kekuatan pasukan yang dapat
diharapkan hanyalah tinggal satu-satunya pasukan Jenderal Beng Tian yang sudah menga-lami
pukulan berkali-kali dan semakin menipis, baik jumlah maupun semangatnya itu. Pasukan-pasukan
para kepala daerah sudah jatuh ke tangan para pemberontak dan banyak pula pasukan-pa-sukan
kecil yang bertugas di luar kota raja, kalau tidak dihancurkan oleh para pemberontak, juga menyeberang
dan bergabung dengan para pemberon-tak. Menteri-menteri dan para pejabat yang jujur
sudah dihalau dari kedudukan mereka. Apa lagi yang dapat dilakukan?
Ouwyang Kwan Ek menarik napas panjang. "Pangeran, agaknya tidak terdapat jalan yang baik untuk
menolong negara pada waktu seperti seka-rang ini. Andaikata kita mampu menghalau para
pemberontak, tetap saja kita harus menghadapi para pengkhianat yang sudah bercokol dan mencengkeram
istana. Dan melawan kekuasaan mere-ka, selain membutuhkan kekuatan besar, juga berarti
menentang kekuasaan yang ada, sama dengan memberontak pula. Sebaiknya kita bergabung
dunia-kangouw.blogspot.com
saja dengan sisa pasukan Jenderal Beng Tian. Kita ba-wa sisa pasukan menghindar dan menyusun
keku-atan baru. Biarlah para pengkhianat itu mengha-dapi pasukan pemberontak dan biarlah para
pem-berontak yang menggulingkan mereka. Kelak apa bila kekuatan kita sudah cukup, kita gempur
kem-bali pasukan pemberontak itu. Kiranya hanya ini-lah satu-satunya jalan."
Sang pangeran dan semua orang mengangguk membenarkan. Kemudian mereka bubaran. Tiga
orang locianpwe itu akan mengawal sang pangeran bergabung kepada pasukan Jenderal Beng Tian
yang sudah mundur ke benteng kota raja. Sedang-kan Bwee Hong, Siok Eng, dan A-hai yang
mengajak Cui Hiang yang masih perlu perawatan Bwee Hong dan yang sejak saat itu tidak mau
berpisah dari A-hai, hendak melanjutkan perjalanan mere-ka ke kota raja untuk mencari Seng Kur.
Sebelum berpisah, mereka beramai-ramai mengubur semua jenazah dan Cui Hiang diberi
kesempatan untuk menyembahyangi makam keluarganya. Anak kecil ini meratap dan menangis,
membuat terharu semua orang karena selain kehilangan ayah bunda dan adiknya, juga anak
perempuan ini kehilangan le-ngan kirinya.
Sebelum meninggalkan orang orang muda itu, nenek Siang Houw Nio-nio berkata kepada Bwee
Hong, "Nona Chu, kalau engkau mencari kakak-mu, janganlah mencari di kota raja, akan tetapi carilah
di benteng kuno di luar pintu gerbang kota raja sebelah selatan. Semua tawanan pemerintah
dikumpulkan di sana."
Bwee Hong mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Keterangan ini amat penting karena
mencari seorang tawanan di kota raja memang ti-dak mudah, apa lagi kota raja kini dikuasai oleh
kekuatan kaum sesat yang lihai.
Malam itu mereka bermalam di bekas rerun-tuhan rumah keluarga Cui Hiang yang telah diba-kar para
penjahat. Cui Hiang duduk termenung mengawasi bekas rumah dan tempat di mana ia biasa bermainmain
dengan adiknya. Wajahnya pucat akan tetapi ia tidak menangis lagi. Anak ini maklum bahwa ia
telah ditolong oleh orang-orang gagah dan ia merasa malu kalau selalu memperli-hatkan tangisnya.
Keluarganya sendiri hanyalah keluarga sederhana yang hanya memiliki ilmu si-lat biasa saja, akan
tetapi dari ayahnya ia sudah banyak mendengar tentang kegagahan para pen-dekar di dunia kangouw.
Ia tidak ingin menge-cewakan hati orang-orang gagah, para pendekar yang telah menolongnya
itu.
Melihat anak perempuan itu tidak tidur melain-kan duduk termenung dengan sedih. A-hai yang
merasa kasihan dan suka sekali kepada Cui Hiang, mendekati dan mereka duduk di atas batu di luar
bekas rumah itu.
"Cui Hiang, kenapa engkau tidak mengaso dan tidur? Kita besok akan melanjutkan perjalanan yang
amat jauh dan melelahkan," kata A-hai de-ngan suara lembut.
Anak itu menggeleng kepala. Aku belum me-ngantuk dan biarlah malam ini kulewatkan untuk melihatlihat
tempat di mana aku dipelihara sam-pai besar dan yang akan kutinggalkan untuk sela-manya."
"Anak yang baik, mari kutemani kau. Kita bi-cara. Siapakah nama marga keluargamu? Aku hanya
tahu namamu Cui Hiang, akan tetapi tidak tahu siapa she-mu."
"Keluarga yang terbasmi penjahat itu she Gan, akan tetapi aku sendiri she Pouw."
"Eh? Kenapa begitu? Bukankah engkau anak mereka?"
Gadis cilik itu menggeleng kepalanya dan wa-jahnya menjadi muram. "Aku hanya anak angkat
mereka, akan tetapi mereka begitu baik kepadaku sehingga kuanggap mereka sebagai ayah dan ibu
kandung sendiri. Aku mereka pelihara sejak bayi."
A-hai mengangkat alisnya dan merasa tertarik sekali. "Ah, sungguh tak kusangka. Maukah eng-kau
menceritakan riwayatmu kepadaku, Cui Hiang?"
Anak itu menoleh dan memandang wajah A-hai yang hanya nampak remang-remang di bawah sinar
bintang-bintang di langit dan iapun memegang tangan orang muda itu. "Tentu saja, in-kong (tuan
dunia-kangouw.blogspot.com
penolong), aku suka menceritakan riwayatku kepadamu. Sekarang aku hanya mempunyai engkau
seorang yang mau menolongku di dunia ini " Suaranya terhenti karena haru.
A-hai memecahkan keharuan itu dengan se-nyum dan merangkul pundaknya. "Ihh. kenapa menyebut
in-kong? Tidak enak sekali sebutan itu."'
"Habis aku harus menyebut apa? Kongcu? A-tau taihiap?"
"Wah, wah bisa ditertawakan semut kalau engkau menyebutku kongcu. Masa ada kongcu (tuan
muda) macam aku ini. Dan taihiap (pende-kar besar)? Wah, kepalaku bisa mengembung dan
hidungku bisa mekar nanti. Sebut saja eh, bagaimana kalau aku menjadi kakakmu?"
"Baik, aku menyebutmu twako. Aku mendengar namamu disebut A-hai, biarlah kusebut kau Haitwako!"
Melihat gadis cilik itu sudah pulih lagi kegem-biraannya dan percakapan itu mengusir kedukaan-nya,
A-hai lalu berkata, "Nah, sekarang ceritakan-lah riwayatmu, adikku yang manis."
"Ketika itu aku masih kecil, baru berusia tiga atau empat tahun," Cui Hiang mulai mencerita-kan
riwayatnya. "Kalau ayah angkatku tidak men-ceritakan riwayat itu kepadaku, tentu aku akan lupa dan
tidak mengetahui keadaanku yang sebe-narnya. Menurut cerita ayah angkatku, aku datang dibawa
oleh ayahku yang terluka parah kepada mereka, keluarga Gan suami isteri yang belum mempunyai
anak. Mereka sudah saling mengenal sejak lama. Oleh ayahku, aku diserahkan kepada suami isteri
Gan yang sudah belasan tahun meni-kah tapi belum mempunyai anak. Karena lukanya yang parah
akhirnya ayahku itu meninggal dunia, dan sebelum mati dia menyerahkan aku kepada suami isteri itu
dengan pesan agar suami isteri itu membawaku bersembunyi karena ayahku dan juga aku sebagai
anaknya sedang dicari-cari musuh besar yang telah melukainya."
A-hai mendengarkan dengan tertarik. Tak di-sangkanya bahwa anak ini membawa rahasia yang
demikian menarik. "Lalu bagaimana?" tanyanya ketika anak itu kelihatan mengingat-ingat.
"Ayah dan ibu Gan amat suka kepadaku, maka aku lalu diambil anak. Dua tahun kemudian
merekapun dikurniai seorang anak yang menjadi adikku. Dan mentaati pesan ayahku, keluarga kami.
hidup di dekat rawa sebagai penangkap ikan, karena memang keluarga Gan adalah keluarga
sederhana yang miskin. Kehidupan kami sederhana namun cukup berbahagia dan ayah angkatku
melatih ilmu silat sedikit-sedikit kepadaku. Akan tetapi, siapa kira akan datang malapetaka yang
menewas kan mereka sekeluarga, kecuali aku" Gadis cilik itu menahan kesedihannya dan
memandang ke arah pundak kirinya yang tak berlengan lagi itu.
A-hai merangkulnya. "Sudahlah, sebagai gan-tinya kan ada aku yang menjadi kakakmu! Biarlah aku
menggantikan mereka, menggantikan ayahmu, ibumu, saudaramu!"
Cui Hiang memandang wajah yang tampan itu, "Hai-twako, mungkin engkau bisa menggantikan ayah
angkatku, akan tetapi mana mungkin engkau menggantikan tempat ibu angkatku dan adikku laki-laki
yang masih kecil?" katanya sambil ter-senyum.
"Siapa bilang tidak bisa?" A-hai lalu bangkit berdiri dan bergaya sebagai seorang wanita, berlenggaklenggok
dan mukanya dimanis-maniskan lalu bicara dengan suara dikecilkan, "Cui Hiang, anakku
yang baik, apakah engkau sudah ma kan?"
Melihat gaya itu, Cui Hiang tertawa geli dan lupa akan kedukaannya.
A-hai menghentikan gayanya dan tertawa pu-la. "Nah, apakah tidak pantas aku menjadi ibu-mu?
Sekarang menjadi adikmu." Dan diapun ber-gaya lagi, dengan sikap kekanak-kanakan sehing-ga
nampak lucu seperti monyet menari. Suaranya dibikin pelo seperti suara anak kecil, "Enci Hiang
sekalang aku minta endong, minta endong hu-huh "Dan dia pura-pura mau menangis seperti anak
kecil yang manja.
Melihat ini, tawa Cui Hiang makin geli. Gi-ranglah hati A-hai dan diapun bernyanyi, seperti nyanyian
anak-anak akan tetapi kata-katanya sungguh bukan kata-kata yang pantas dinyanyi-kan anak kecil.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Apa yang terjadipun terjadilah dewa dan iblis tak dapat mencegahnya tawa dan tangis tak dapat
merobohnya!
Akan tetapi sama-sama menggerakkan mulut mengapa menangis dan tidak tertawa saja?
Tangis mengeruhkan hati dan pikiran tawa menjernihkannya!
Tangis mengundang kesedihan tawa mendatangkan kegembiraan! Tangis memperburuk muka tawa
mempercantiknya! Hentikan tangis, hayo tertawa!!"
Dan keduanya lalu tertawa-tawa dengan be-bas, merasa betapa rongga dada menjadi longgar dan
langit penuh bintang nampak indah berseri. Akan tetapi, tawa juga mendatangkan lelah.
"Aku lapar! Cui Hiang berkata.
"Sama !" kata pula A-hai dan merekapun tertawa lagi.
"Di kebun belakang ada tanaman ubi, biar ku-ambilkan dan kita bakar," kata pula Cui Hiang dan anak
inipun berlari menuju ke ladang di bela-kang reruntuhan rumah. Ia melupakan kesedihan-nya, bahkan
melupakan hilangnya lengan kiri ke-tika dengan tangan kanannya ia mencari dan men-dapatkan
beberapa batang ubi yang segera diba-wanya kepada A-hai sambil berlari-lari. Mereka lalu membuat
api unggun dan membakar ubi itu lalu sama-sama makan ubi. Lezat rasanya makan ubi bakar
sewaktu perut lapar dan hati masih di-liputi kegembiraan yang timbul karena percakapan tadi. Kalau
pada saat itu Bwee Hong melihat kea-daan A-hai, tentu ia akan merasa terheran-heran. Belum pernah
A-hai memperlihatkan sikap seper-ti itu, pandai bermain-main dengan anak kecil, pandai menghibur
dan pandai pula melucu!
"Eh, Cui Hiang, siapakah ayah kandungmu itu? Engkau belum memberitahukan namanya kepada-ku,"
tiba-tiba A-hai teringat dan bertanya. Me-reka duduk menghadapi api unggun, merasa ha-ngat dan
nyaman sehabis makan ubi dan minum air.
"Menurut ayah angkatku, namanya adalah Pouw Hong!"
"Pouw Pouw Hong? Pouw Hong, hemm, aku seperti pernah mengenal nama itu." A-hai
mengerutkan alisnya dan mengerah-kan ingatannya.
Wajah Cui Hiang berseri. "Twako, engkau me-ngenal mendiang ayah kandungku itu?"
"Entahlah, akan tetapi aku benar-benar
merasa seperti pernah mendengar nama itu, tidak asing bagiku"
Pada saat itu, Bwee Hong keluar dari dalam rumah yang sebagian besar sudah terbakar. Meli-hat Ahai
dan Cui Hiang duduk bercakap-cakap dekat api unggun, Bwee Hong menghampiri.
"A-hai, malam ini kalau kita sudah berkumpul kembali dengan Kun-koko."
A-hai tidak membantah lagi dan merekapun memasuki bekas rumah keluarga Gan yang sudah porakporanda
itu. A-hai rebah di atas lantai yang sudah dibersihkan. Di bawah penerangan api yang dijaga
oleh Siok Eng dan Cui Hiang. Bwee Hong mulai dengan pengobatan itu, dengan penusukan jarumjarum
di beberapa tempat, di pelipis, tengkuk dan pundak. Mendapatkan peng-obatan itu, A-hai
merasa tubuhnya enak dan nya-man, maka diapun segera tertidur dengan nye-nyaknya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali begitu bangun tidur, A-hai sudah cepat-cepat mencari Cui
Hiang. Bwee Hong dan Siok Eng sedang mandi di pancuran, dan Cui Hiang sedang duduk melamun
seorang diri di tepi rawa, memandang ke tengah rawa yang menjadi sumber nafkah keluar-ga Gan
selama ini.
"Hei, baru apa engkau? Melamun di sini!" tegurnya dan begitu melihat A-hai, wajah gadis cilik itupun
berseri dan wajah yang tadinya mu-ram menjadi terang seperti segumpal awan tipis tertiup angin.
A-hai lalu duduk di atas rumput di sebelah Cui Hiang. "Malam tadi aku bermimpi dan aku bertemu
dengan ayah kandungmu 1"
dunia-kangouw.blogspot.com
Cui Hiang tersenyum dan menyangka bah-wa A-hai menggodanya. "Ah, mana mungkin ber-temu
dengan orang yang belum kaukenal dalam mimpi, Hai-twako?"
"Benar! Aku teringat sekarang. Dia selalu ber-sama denganku. Tidak salah lagi, agaknya kami pernah
bersahabat karib, bahkan dia juga tinggal di rumahku. Rumah pesanggrahan kecil mungil di
dekat sungai, di mana terdapat air terjun yang indah itu"
Cui Hiang tetap kurang percaya dan tersenyum seperti mentertawakan orang yang menggoda dan
membohonginya ini. Melihat ini, A-hai berkata, "Engkau masih tidak percaya kepadaku? Nah, bukankah
ayahmu itu tubuhnya pendek bulat dan kepalanya kecil? Dan kakinya agak timpang dan
bengkok? Maaf "
Cui Hiang terbelalak memandang wajah A-hai.
"Eh be benar " katanya. "Aku masih ingat bahwa ayahku itu memang bertubuh pendek
bulat ....... akan tetapi aku tidak ingat lagi wajahnya. Ketika itu aku baru berusia tiga empat tahun . . ."
"Ha-ha, itulah!" kata A-hai dengan gembira, "Jelas bahwa aku bersahabat karib dengan ayah
kandungmu itu. Nah, kalau begitu engkau sebut saja paman kepadaku, anggap saja aku adik ayah
kandungmu!"
Cui Hiang juga menjadi gembira dan me-angguk taat. "Baiklah, paman."
"Nah, mari kita mandi."
"Di pancuran belakang rumah "
"Aku sudah tahu. Dua orang nona itupun tadi mandi di sana."
Mereka lalu berlari-lari kecil menuju ke pan-curan. Bwee Hong dan Siok Eng sudah selesai mandi.
Seperti biasa, sebelum mandi pagi, Cui Hiang berlatih silat. "Ayah angkatku selalu meng-haruskan
aku berlatih silat sebelum mandi pagi," katanya. "Dan aku ingin mencoba apakah dengan satu tangan
saja aku masih bisa berlatih silat."
Akan tetapi saat itu di dalam suara Cui Hiang tidak terkandung kesedihan dan iapun segera ber-silat
dengan sebelah tangan. Tentu saja kaku ge-rakannya, karena di bagian gerakan tangan kiri, ia harus
berhenti sebentar dan hanya membayangkan saja tangannya itu bergerak, memukul, menangkis atau
mencengkeram. A-hai diam-diam menga-mati gerakan anak itu dan hatinya terharu. Tanpa
disadarinya, kini dia dapat meneliti ilmu silat de-ngan baiknya seolah-olah dia seorang ahli silat yang
pandai! Di luar kesadarannya bahwa telah terjadi perobahan lagi pada ingatannya, A-hai ber diri dan
mendekati Cui Hiang yang sedang ber-latih itu.
"Cui Hiang, langkahmu itu lemah dan gerakan tangan kananmu itupun salah. Wah, ilmu silatmu itu
hanya baik untuk pamer saja, hanya kelihatan-nya saja bagus akan tetapi tidak ada gunanya untuk
menghadapi lawan. Mari sini, kuajari engkau il-mu silat yang lebih berguna bagimu."
Karena menduga bahwa penolongnya ini seo-rang ahli, seorang pendekar yang berilmu tinggi seperti
juga dua orang gadis pendekar tu, Cui Hiang menjadi girang sekali. Memang tadi ia ber-latih silat
dengan suatu niat di hatinya, yaitu untuk memancing perhatian A-hai karena ia sudah ber-niat minta
diajari ilmu silat. Ia harus pandai ilmu silat agar kelak ia dapat membalas kepada orang yang
membuntungi lengan kirinya. Ia sudah tahu dari Siok Eng siapa orang itu. San-hek-houw Si Harimau
Gunung!
"Terima kasih, paman. Aku suka sekali belajar ilmu silat darimu!"
"Nah, ikuti gerakanku. Mula-mula kedua kaki dibentangkan selebar ini, tenaga tubuh berada di
tengah-tengah, seimbang, perhatian ke depan dan sikapmu kokoh seperti benteng, seimbang seperti
orang menunggang kuda. Nah, begitu, lalu kaki di-geser ke depan, mula-mula yang kanan, jatuhkan
perlahan saja, disusul yang kiri dan tanganmu itu begini!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan patuh Cui Hiang mengikuti gerakan A-hai. Hebatnya, A-hai dapat saja mengajarkan ilmu silat
yang cocok untuk seorang yang hanya berlengan tunggal! juga dia memberi petunjuk tentang gerak
napas sewaktu bersilat.
Akan tetapi, baru beberapa gerakan saja, gadis cilik itu sudah menjadi pening sekali dan terhu-yung,
hampir pingsan. A-hai cepat menangkap dan merangkulnya, melihat wajah yang pucat itu. Biasanya,
menghadapi peristiwa begini, A-hai yang ketolol-tololan itu tentu akan menjadi bi-ngung. Akan tetapi
sekali ini ternyata tidak. Dia bersikap tenang saja.
"Ah, aku lupa. Tenaga dalammu belum kuat untuk mempelajari ilmu silat ini. Mari duduklah, akan
kuajarkan ilmu menghimpun tenaga dalam dan akan kubantu engkau dengan penyaluran te-naga
dalam tubuhku."
A-hai lalu tanpa ragu-ragu lagi seolah-olah memang sudah pekerjaannya sehari-hari melatih silat,
duduk bersila dan diapun menyuruh Cui Hiang duduk bersila di atas pangkuannya! De-ngan
meletakkan kedua telapak tangannya, yang kiri di punggung anak itu, yang kanan di tengkuk-nya, dia
lalu berbisik-bisik memberi petunjuk agar anak itu dapat menerima penyaluran sinkang dari tubuhnya
lewat kedua telapak tangannya, dan menyalurkan seperti yang dibisikkannya.
Cui Hiang yang menaruh kepercayaan sepenuh-nya itu mentaati semua petunjuk orang yang men-jadi
gurunya. Hawa yang panas memancar dan memasuki tubuhnya. Tiba-tiba darah mengucur keluar
dari luka di pundaknya yang dibalut oleh Bwee Hong, Melihat ini, A-hai sama sekali tidak rnenjadi
gugup. Tangannya yang tadi menempel di tengkuk kini bergerak, sebuah jari telunjuknya menekan
pundak dan darah itupun berhenti me-ngucur! Secara tiba-tiba saja A-hai menjadi se orang ahli yang
bukan main lihainya.
Mereka berdua tenggelam clalam latihan itu sehingga mereka tidak tahu bahwa Bwee Hong dan Siok
Eng muncul dan memandang ke arah mereka dengan mata terbelalak penuh rasa heran dan ka gum.
"Apakah kesadarannya telah pulih kembali?" tanya Siok Eng, berbisik penuh harap.
"Entahlah, aku belum yakin benar. Agaknya eh, lihatlah !" '
Kedua orang dara pendekar yang lihai itu ter-kejut ketika nampak uap mengepul dari kepala A-hai dan
Cui Hiang. Uap itu makin tebal dan ber-warna putih dan merah. Kemudian muka dan tu-buh A-hai dan
Cui Hiang juga perlahan-lahan berobah, separuh merah dan separuh putih, per-sis keadaan A-hai
ketika kumat tempo hari.
"Hebat !" Bwee Hong berbisik. "Cui Hiang telah diberi pelajaran ilmu sinkang yang amat hebat!"
"Lebih hebat lagi, kenapa sekecil itu Cui Hiang sudah mampu menerimanya?" bisik Siok Eng yang
juga merasa kagum. Mereka tetap menonton tanpa mengeluarkan suara berisik. Lambat-laun uap di
atas kepala mereka itu makin menipis, lalu lenyap. Dan A-hai menyudahi latihannya, menyuruh Cui
Hiang turun dari atas pangkuan. Keduanya lalu bangkit berdiri. A-hai menoleh kepada dua orang dara
itu dan mereka berdua segera melihat pero-bahan itu. Sikap ketololan seperti biasa lenyap da-ri wajah
tampan itu. Sikap A-hai kini tenang dan pandang matanya penuh wibawa dan kekuatan dahsyat.
Seketika timbul rasa hormat dan segan di hati kedua orang dara itu!
"Nona berdua sudah selesai berkemas? Aku sedang berlatih dengan Cui Hiang," katanya so-pan dan
lembut.
"Saudara A-hai keh'hatannya sudah ingat kem-bali akan masa lalumu?" tanya Siok Eng sedang-kan
Bwee Hong hanya memandang seperti orang kesima.
Mendengar pertanyaan itu, A-hai mengang-guk-angguk. "Agaknya begitulah. Akan tetapi masih belum
semua dapat kuingat. Berkat pengo-batan nona Bwee Hong yang bijaksana, aku dapat mengingat
lebih banyak tentang masa laluku. Sa-yang, aku masih belum dapat teringat siapa kelu-argaku dan
dari mana aku berasal. Aku hanya bi-sa mengingat lebih banyak tentang ilmu silat. Ya, sekarang aku
ingat bahwa memang dahulu aku dapat bermain silat."
"Saudara Thian Hai, apakah engkau sudah teringat akan nama margamu?" Bwee Hong bertanya dan
tiba-tiba saja dara ini menyebut saudara Thian Hai, bukan lagi A-hai seperti bia-sanya. Dan agaknya
dunia-kangouw.blogspot.com
pemuda itupun tidak menjadi kikuk dengan sebutan itu. Dia memandang Wajah Bwee Hong dengan
pandang yang masih sama, penuh dengan rasa kagum, hormat dan sayang, akan tetapi sikapnya
sungguh jauh berbeda dengan A-hai yang biasa. A-hai yang biasa itu agak ke-tololan, bahkan
kemanjaan. Yang sekarang ini be-nar-benar seorang laki-laki jantan yang dewasa dan matang!
"Sayang, nona. Aku masih belum mampu mengingat nama margaku. Aku hanya lebih banyak teringat
akan ilmu silat yang pernah kupel ajari. Aku memang bisa silat "
"Bisa silat?" Bwee Hong tersenyum. "Bukan hanya bisa, engkau malah seorang datuk ilmu silat,
seorang ahli yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali dalam ilmu silat."
"Ah, nona berolok-olok."
"Tidak, aku bersungguh-sungguh. Lihat saja adik kecil ini. Kalau kelak engkau melatihnya se-tahun
saja, kami berdua ini sudah bukan tanding-annya lagi!" kata pula Bwee Hong dengan suara serius.
"Engkau sudah begini hebat, entah bagaimana pula kelihaian orang yang menjadi gurumu, saudara
Thian Hai," kata Siok Eng yang juga ikut-ikut mengganti nama A-hai menjadi Thian Hai.
Mendengar kedua orang dara itu menyebutnya Thian Hai, pemuda itu tersenyum. "Hendaknya nona
berdua jangan bersikap sungkan. Aku masih tetap A-hai bagi kalian yang menjadi sahabat-sa-habat
baikku. Aku tidak mempunyai guru, yang mengajarkan silat kepadaku adalah ayahku sen-diri."
"Ayahmu? Siapakah ayahmu dan di manakah beliau sekarang?" Bwee Hong yang tertarik itu cepat
bertanya.
"Ayahku, ayah ibuku ah, entahlah, aku sudah lupa lagi," A-hai menutupi muka de-ngan kedua telapak
tangannya. Melihat ini, Bwee Hong merasa kasihan dan ia memberi isyarat ke-pada temannya agar
jangan bertanya lagi. Semen-tara itu, melihat A-hai menutupi mukanya, Cui Hiang menghampiri dan
menyentuh lengannya.
"Paman Hai, engkau kenapakah? Jangan berduka, paman "
Mendengar ini, A-hai menurunkan kedua ta-ngannya. Dia lalu memandang Cui Hiang dan ter-senyum.
"Mengapa menangis dan tidak tertawa saja?" tiba-tiba Cui Hiang berkata, mengutip sebaris sajak
yang pernah dinyanyikan A-hai. A-hai tertawa dan memondong tubuh anak perempuan itu ke atas dan
dia melempar-lemparkan tubuh itu seperti sebuah bal ke atas, lalu menerimanya lagi dan
melemparkannya lagi. Melihat ini, Bwee Hong dan Siok Eng ikut gembira dan setelah menerima
kembali tubuh Cui Hiang, A-hai berkata, "Lihat, aku sudah tertawta, bukan?"
Mereka berempat lalu melanjutkan perjalanan menuju ke arah kota raja atau ibu kota Sian-yang di
Propinsi Shen-si. Di sepanjang perjalanan, A-hai selalu mengajak Cui Hiang bergurau dan
menghiburnya, juga setiap kali ada kesempatan, ia melanjutkan melatih sinkang kepada gadis cilik itu.
Beberapa hari kemudian, tibalah mereka di se-buah dusun kecil di lereng bukit. Kota raja tidak begitu
jauh lagi. Mereka berempat melepaskan le-lah di tepi hutan kecil. Bwee Hong dan Siok Eng
mengeluarkan buntalan yang terisi perbekalan yang mereka beli di perjalanan, yaitu roti dan da-ging
kering, sedikit bumbu dan juga arak ringan. Akan tetapi, Cui Hiang tidak mau makan. Ia ma-lah
bangkit berdiri dan berjalan perlahan menuju ke puncak bukit. Bwee Hong hendak memanggil dan
menegurnya, akan tetapi A-hai memberi isya-rat kepada dara itu, kemudian diapun bangkit dan
mengikuti Cui Hiang yang berjalan seperti orang kehilangan akal menuju ke puncak bukit. Akhir-nya
Cui Hiang berhenti di tepi jurang dan berdiri termenung, memandang jauh ke bawah.
"Cui Hiang, kenapa engkau tidak mau makan roti? Apakah engkau tidak suka roti? Kalau eng-kau
tidak suka, biar kucarikan binatang buruan."
Mendengar kata-kata yang begitu halus penuh kasih sayang, Cui Hiang menoleh dan memandang
wajah A-hai dengan air mata berlinang-linang, kemudian ia menunduk. Begitu ia melihat lengan
kirinya yang buntung, tangisnya meledak. Ia menubruk A-hai dan menangis mengguguk, "Paman!"
dunia-kangouw.blogspot.com
A-hai membiarkan anak itu menangis. Dia tahu bahwa selama ini Cui Hiang menahan-nahan
tangisnya, mencoba menghibur kedukaannya. Dan kini, agaknya bendungan itu bobol dan sebaiknya
kalau gadis cilik ini menangis sepuasnya agar se-mua ganjalan di hati itu dapat ikut terseret oleh arus
air mata. Dia sendiri tersentuh oleh tangis Cui Hiang, Hatinya seperti diremas-remas dan matanya
sendiripun menjadi basah. Tiba-tiba saja kepalanya berdenyut-denyut. Mata yang ta-dinya berkacakaca
itu kini tiba-tiba bersinar dan mencorong mengerikan. Darahnya yang mengalir keras itu seperti
berkumpul di kepalanya sehingga wajahnya berobah menjadi kemerahan. Dia me-ngepal tinju kanan
sampai terdengar suara berke-rotokan.
"Jahanam yang membuntungi lenganmu itu ten-tu akan kubunuh apa bila bertemu denganku!"
katanya penuh geram, suaranya juga berobah men-jadi menggetar penuh kemarahan.
Tentu saja Cui Hiang menjadi terkejut bukan main dan ketakutan melihat perobahan pada wa-jah dan
sikap A-hai.
"Paman Hai ...... engkau kenapakah, paman? Jangan memandangku seperti itu aku takut "
A-hai terharu dan merangkulnya. Setelah di-rangkul, Cui Hiang kembali merasa tenang. "Paman, aku
ingin membunuh orang itu dengan ta-nganku sendiri. Akan tetapi bagaimana aku dapat melawan dia
dengan tanganku yang hanya sebelah ini?"
"Jangan takut! Masih ada aku di sini!" kata A-hai geram. "Aku mempunyai ilmu silat yang amat hebat
dan yang akan kuajarkan kepadamu. Ilmu itu disebut Thai-kek Sin-ciang. Aku perca-ya engkau akan
mampu melawan dan mengalah-kannya. Akan tetapi engkau harus lebih dahulu mematangkan tenaga
sinkang yang kita latih itu. Hayo kita latihan lagi!"
Didorong semangat untuk segera dapat menga-lahkan musuh yang telah membuntungi lengannya,
kini dengan penuh semangat dan ketekunan, Cui Hiang mulai berlatih lagi. Mereka latihan sedemikian
tekunnya sehingga ketika Bwee Hong dan Siok Eng tiba di situ, keduanya tidak tahu dan te-tap
tenggelam dalam latihan.
Melihat betapa A-hai melatih Cui Hiang de-ngan tekunnya, dua orang gadis itu menjadi terha-ru dan
juga bersyukur bahwa anak kecil yang ber-nasib malang itu, yang kehilangan keluarganya dan juga
lengannya, telah memperoleh seorang guru yang luar biasa.
"Enci Bwee Hong, agaknya saudara Thian Hai itu sudah hampir sembuh. Perawatanmu nampak-nya
berhasil."
"Mudah-mudahan begitulah. Mudah-mudah-an dengan beberapa kali perawatan dengan tusuk jarum
dia akan sembuh sama sekali, tapi "
Bwee Hong berhenti bicara, lehernya terasa seperti tercekik. Hatinya dipenuhi keraguan dan
kekhawatiran. Ia merasa khawatir kalau yang sudah didengarnya tentang A-hai itu ternyata benar.
Bagaimana kalau ternyata kemudian seperti yang didengarnya dari tukang warung yang terbunuh
oleh para penjahat itu bahwa A-hai adalah seorang kongcu yang sudah beristeri, bahkan mempunyai
seorang anak perempuan? Kalau A-hai sudah berkeluarga, tentu ia ia tidak ingin merusak
rumah tangga orang lain. Akan tetapi kalau benar dia sudah beristeri, kenapa sampai sekarang
isterinya itu tidak mencarinya?
Keraguan ini membuatnya termenung dan meli-hat perobahan pada air muka sahabatnya itu, Siok
Eng memandang dengan heran. Sahabatnya itu hampir berhasil mengobati dan menyembuhkan Ahai,
mengapa tidak nampak gembira malah se-perti orang gelisah?
"Enci Bwee Hong, engkau kenapakah?" Bwee Hong tergagap mendengar pertanyaan yang
mengandung teguran itu. "Ah, tidak apa-apa, adik Eng aku aku merasa kasihan kepada anak
perempuan itu!”
Siok Eng mengangguk dan memandang kepada Cui Hiang yang sedang berlatih sinkang secara aneh
bersama A-hai itu dan iapun menarik napas panjang. "Kalau dilihat, sukar mengatakan apakah harus
merasa kasihan ataukah bersyukur. Enci, banyak kejadian di dunia ini membuktikan bahwa peristiwa
yang nampaknya buruk sering kali malah mendatangkan berkah. Coba saja lihat Cui Hiang itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Andaikata ia tidak kematian keluarganya ke-mudian buntung lengan kirinya, kukira belum tentu A-hai
akan tergerak hatinya sehingga dia menu-runkan ilmunya yang hebat kepada anak itu."
Bwee Hong mengangguk. "Kalau direnungkan, memang ada kenyataannya dalam kata-katamu itu,
adik Eng."
Setelah selesai berlatih, A-hai yang melihat dua orang gadis itu segera menghampiri dan wa-jahnya
berseri. "Nona Hong, agaknya kesehatanku sudah semakin baik. Aku makin banyak dapat mengingat
ilmu silatku."
Mereka melanjutkan perjalanan dan tiba-tiba setelah mereka keluar dari hutan kecil itu, nampak debu
mengepul di kejauhan dan terdengar bunyi terompet. Empat orang itu lalu bersembunyi, tidak ingin
bertemu dengan pasukan yang lewat itu.
Tak lama kemudian, pasukan itupun lewat. Jumlah mereka antara dua sampai tigaratus orang dan
mereka nampak kelelahan. Dari pakaian me-reka, tahulah Bwee Hong bahwa mereka adalah pasukan
pemerintah yang agaknya mengundurkan diri karena terdesak oleh pasukan pemberontak Chu Siang
Yu. Wajah mereka muram, pakaian me-reka kotor berdebu dan di antara mereka terdapat orangorang
yang luka, ada yang dibalut lengan-nya, ada yang dibalut kepalanya, ada yang pucat wajahnya
dan ada yang jalannya terpincang-pin-cang. Pasukan itu lewat dan memasuki dusun kecil yang
pernah dilewati Bwee Hong dan kawan-ka-wannya, agaknya pasukan itu hendak beristirahat di sana.
"Hemm, mereka itu pasukan pemerintah yang agaknya kalah perang. Entah apa yang telah ter-jadi di
depan," kata Bwee Hong yang nampaknya ingui sekali mengetahui. "Aku akan menyelidiki-nya
sebentar."
"Jangan, nona Hong. Biar aku saja yang melakukan penyelidikan. Mereka itu pasukan yang kalah
perang, dapat melakukan apa saja untuk melampiaskan kekesalan hati mereka dan nona adalah
seorang gadis eh, cantik "
Bwee Hong senang mendengar ini akan tetapi tentu saja. tidak dinyatakannya pada wajahnya.
Bagaimanapun juga, karena pujian atau pernyataan bahwa ia cantik itu membuat jantungnya
berdebar dan mukanya agak merah, ia cepat menutupinya dengan berkata, "Aku dapat menyamar
sebagai seorang gadis dusun.".
"Sebaiknya tidak, nona. Perajurit-perajurit itu lelah dan kesal hatinya, dalam keadaan seperti itu
mereka bisa saja mengganggu setiap orang wanita. Biar aku saja yang pergi menyelidikinya. Akupun
ingin tahu apa yang telah terjadi."
Diam-diam Bwee Hong kagum. A-hai yang sekarang ini benar-benar amat berbeda dengan A-hai
tempo hari. Kini A-hai bersikap jantan dan juga tenang dan cerdas, seperti sikap seorang, pen-dekar
tulen. Dan di dalam suaranya terkandung ketegasan yang sukar untuk dibantah. Maka iapun
mengangguk. "Baiklah kalau begitu."
Cui Hiang. minta kepada A-hai untuk diper-bolehkan ikut. A-hai tidak merasa keberatan ka-rena
ikutnya anak itu malah mempermudah penya-marannya sebagai seorang perantau dan keponakannya.
Bwee Hong dan Siok Eng berjanji akan menanti di dalam hutan itu sampai mereka kembali
dari penyelidikan ke dusun.
A-hai bersama Cui Hiang lalu berangkat me-masuki dusun. Nampak pasukan yang kepayahan itu
tersebar di rumah-rumah penduduk dusun, di pelataran-pelataran, Mereka menggeletak di ma-namana
melepaskan lelah. Mereka minta makan-an dan minuman dari penduduk dusun itu. Pen-duduk
dusun yang ketakutan itu tidak berani mem-bantah dan sibuklah mereka hilir-mudik di jalan melayani
para perajurit itu dengan makanan dan minuman seadanya.
Munculnya A-hal dan seorang anak perempu-an kecil yang buntung lengannya tidak mencuri-gakan.
Selain pasukan mengira bahwa mereka itu-pun anggauta penduduk dusun, juga melihat seo-rang
anak perempuan buntung lengannya adalah pemandangan biasa'di waktu perang seperti itu. Di
mana-mana terlihat orang-orang terluka dan pengungsi-pengungsi kelaparan.
A-hai yang menggandeng tangan kanan Cui Hiang, memasuki dusun itu dan tiba-tiba saja si-kapnya
berobah. Dia kelihatan seperti orang ter-mangu-mangu, memandang ke sekitarnya, bukan kepada
dunia-kangouw.blogspot.com
para perajurit, melainkan kepada rumah-rumah dan pohon-pohon di dusun itu. Kadang-kadang dia
berhenti dan termenung. Melihat ini, tentu saja Cui Hiang merasa heran dan setelah me-reka melewati
sekelompok perajurit, di tempat yang sunyi, Cui Hiahg bertanya, "Paman Hai, eng-kau kenapakah?"
A-hai yang sedang melamun itu terkejut.
"Ehh ? Aku? Tidak apa-apa, hanya aku merasa heran sekali mengapa aku seperti pernah
mengenal tempat ini. Padahal ketika kita mele-watinya aku sama sekali tidak memperhatikannya.
Kenapa sekarang aku seperti merasa bahwa tempat ini sama sekali tidak asing bagiku? Kaulihat
pohon siong besar di sana itu? Aku pernah memanjat di sana! Cuma pohon itu tidak sebesar
sekarang ini.
”Dan aku pernah tinggal di tempat seseorang yang letaknya di dekat pohon itu. Akan tetapi, entah
siapa aku tidak ingat lagi" kata A – hai dengan suara lirih dan matanya termenung meman-dang ke
arah pohon itu.
Dari depan muncul beberapa orang perajurit dan seorang perwira. Agaknya mereka itu mela-kukan
tugas meronda dan meneliti keadaan. Ke-tika perwira itu melihat A-hai, alisnya berkerut dan diapun
menegur, "Hei, kenapa engkau enak-enakan saja di sini dan tidak membantu saudara-saudara lain
untuk sekedar meringankan penderi-taan pasukan kami? Apakah engkau pemberon-tak? Atau orang
yang pro kepada pemberontak?" Perwira itu sudah meraba gagang goloknya. Jelas-lah bahwa sekali
saja A-hai mengeluarkan kata-kata atau memperlihatkan sikap menentang, golok itu akan dicabut dan
dibacokkan!
"Harap tai-ciangkun tidak salah duga," A-hai berkata, suaranya tenang saja dan sikapnya sung-guh
berbeda dari biasanya. Kalau dia masih seper-ti A-hai biasanya, tentu dia akan marah dan me-makimaki,
A-hai tempo hari hanya menurutkan perasaannya saja. Kinipun A-hai mendongkol, akan tetapi
dia dapat mempergunakan kecerdikan-nya dan menjawab dengan tenang. "Aku bukan pemberontak,
malah aku menjadi korban perang, terpaksa merantau kehilangan keluarga. Bahkan keponakanku ini
kematian semua keluarganya dan lengannya juga terluka oleh penjahat."
Perwira itu memandang tajam penuh selidik, akan tetapi mengangguk-angguk percaya. "Kalau begitu,
bantulah kami. Kami mencari sumber air yang berada di dusun ini, kami perlu air untuk mandi
menyegarkan badan."
Seketika A-hai teringat di mana adanya sum-ber air itu. "Mari kutunjukkan di mana adanya sumber air
itu, ciangkun."
Perwira itu lalu memanggil anak buahnya, disu-ruh mengambil bak-bak air dan merekapun mengikuti
A-hai dan Cui Hiang mendaki bukit. De-ngan cekatan A-hai menjadi penunjuk jalan dan dia sama
sekali tidak mencari-cari, seolah-olah. dia sudah biasa pergi ke sumber air itu. Melihat ini, pasukan itu
makin percaya bahwa A-hai ten-tulah seorang penduduk dusun itu pula. Jalan ke sumber air itu licin
dan agak sulit. Dan perwira itu girang melihat betapa A-hai dengan cekatan dapat membantu para
perajurit mengusung bak-bak air ke atas dan ternyata bahwa pemuda itu memiliki tenaga yang besar
sekali.
"Nah, itulah sumber air yang mengalir ke du-sun. Di bawah pohon itu, ciangkun." kata A-hai. Benar
saja, di situ terdapat mata air yang deras airnya dan para perajurit dengan gembira lalu mandi,
didahului oleh sang perwira. A-hai sendi-ri lalu berdiri menjauh, termangu-mangu.
"Paman, apakah engkau lelah sekali? Mengapa engkau termenung lagi?" Cui Hiang yang memperhatikan
sekali setiap gerak-gerik A-hai, men-dekat, menyentuh tangannya dan bertanya dengan
suara penuh sayang.
A-hai menarik napas panjang dan duduk di atas batu gunung, diikuti oleh Cui Hiang yang duduk di
sampingnya. Para perajurit tentu akan mengira pemuda ini mengaso karena lelah. "Tidak, Cui Hiang,
aku. tidak lelah. Aku sedang berusaha mengumpulkan ingatanku. Aku sungguh telah mengenal
daerah ini dengan baik. Rasanya aku pernah menolong seorang kawan wanita yang di-larikan
orang ke tempat ini. Orang itu adalah adik seperguruanku sendiri yang murtad. Eh benar
begitu, aku ingat sekarang. Benar! Aku mem-punyai seorang saudara seperguruan yang kelakuannya
jelek, suka menghina wanita. Tapi ilmu si-latnya amat lihai. Untung ayahku siang-siang su-dah
dunia-kangouw.blogspot.com
melihat keburukan wataknya itu sehingga ilmu silat simpanan keluarga tidak diajarkan kepadanya.
Agaknya suteku itu pun merasakan hal ini. Dia minggat meninggalkan ayah, tapi ayah diam saja.
Bagaimanapun juga, ketika mendengar bahwa suteku itu melakukan kejahatan-kejahatan di luar, ayah
menjadi marah. Akan tetapi ayahku telah bersumpah tidak akan keluar dari daerah pertapaannya,
maka dia lalu lalu wah, aku lupa lagi ."
Cui Hiang yang mendengarkan dengan penuh perhatian itu, kini tersenyum. "Paman, tidak sukar
melanjutkan ceritamu itu. Aku dapat menebaknya. Ayahmu tentu mengutus paman untuk pergi
mencari adik seperguruan paman itu. Di jalan agaknya paman berkenalan dengan seorang wanita
yang kemudian menjadi kawan. Lalu pada suatu hari kawanmu diculik oleh sutemu itu. Bukankah
begitu? Lalu paman mengejarnya dan paman lalu menghajarnya habis-habisan di sini, di tem-pat
ini! Benarkah begitu?"
Wajah A-hai berseri gembira dan dia menepuk pahanya sendiri. "Benar sekali! Engkau benar. Kami
berkelahi dengan sengit, di di lereng sana itu!" A-hai menudingkan telunjuknya ke arah lereng
di sebelah. "Adikku itu sungguh bertambah lihai bukan main setelah berkelana di dunia luar. Dan
hebatnya, dia dapat pula memain-kan beberapa ilmu silat simpanan keluarga kami. Agaknya dia telah
mencuri lihat ketika aku berla-tih. Mari, kita melihat tempat kami bertempur dahulu. Kalau tidak salah,
di sana terdapat ba-nyak bekas-bekas perkelahian kami."
Mereka berlari-lari ke arah lereng itu. Ternya-ta tempat itu adalah sebuah lereng datar di mana
terdapat banyak batu-batu besar. Seperti orang yang sudah hafal akan tempat itu dan keadaannya, Ahai
menghampiri sebuah batu besar dan ber-kata, "Lihat batu ini! Aku terjatuh ke sini ketika terkena
pukulan pada pahaku. Ketika aku terlen-tang di batu ini, suteku melancarkan pukulan-pu-kulan maut
yang dapat kuelakkan dan pukulannya itu mengenai batu ini. Lihat!"
Cui Hiang memandang dan mulutnya ternga-nga keheranan melihat bekas-bekas di atas permu-kaan
batu itu. Bekas-bekas itu tidak menyerupai bentuk jari tangan, melainkan seperti tapak kaki anjing
atau kucing, dan dalamnya ada lima senti! "Paman, kenapa pukulan tangan macamnya seperti ini?"
Cui Hiang bertanya heran.
A-hai tersenyum. "Itu adalah bekas jari-jari tangan yang disatukan membentuk paruh burung. Itulah
pukulan sakti pemutus urat dari ilmu kelu-argaku, disebut Thai-kek Sin-ciang. Apa lagi kalau
dilontarkan dengan tenaga sinkang Merah Putih seperti yang kaupelajari, akibat pukulan itu hebat
bukan main. Untung bagiku bahwa suteku itu tidak mempelajari sinkang itu."
"Bukan main hebatnya " Cui Hiang membelalakkan matanya dan memandang ngeri.
"Ini masih belum seberapa. Ada ilmu andalan keluargaku yang disebut Thai-lek Pek-kong-ciang, lebih
hebat lagi!"
"Wah, Thai-kek Sin-ciang itu masih ada yang lebih hebat lagi?"
"Ya, Thai-lek Pek-kong-ciang adalah ilmu yang dilakukan dengan Khong-sin-kang, yaitu Tenaga Sakti
Kosong!"
"Eh? Tenaga kosong? Bagaimana itu, pa-man?"
"Hanya keturunan langsung saja yang bertulang baik diwarisi ilmu mujijat ini. Tenaga Sakti Ko-song
adalah tenaga sakti yang benar-benar kosong sehingga tidak dapat dirasakan oleh panca indera.
Tanpa mengandung hembusan angin sedikitpun se-hingga apa bila dipukulkan kepada segumpal kapas
yang ringan sekalipun, kapas itu tidak akan bergoyang. Padahal tenaga ini mempunyai daya yang
amat hebat dan sukar dicari bandingnya di dunia ini. Yang nampak kosong itu sesungguhnya penuh,
dan yang kosong itu lebih kuat dari pada yang isi. Ruangan di jagad raya inipun kosong dan yang isi
hanya merupakan bagian saja dari pada kekosongan luas itu. Seperti juga suara hanya me-rupakan
sebagian kecil dari pada keheningan yang maha luas."
"Wah, aku bingung, paman. Apa sih artinya semua itu?"
A-hai tersenyum dan bergurau. "Jangankan engkau, aku sendiripun bingung kalau sudah bicara
tentang filsafat kekosongan. Mungkin hanya omong kosong belaka! Kembali kepada ilmu itu,
dunia-kangouw.blogspot.com
sesungguhnya amat hebat. Tergantung dari besar kecilnya tenaga lawan. Kalau lawan bertenaga
besar, maka tenaga itu otomatis menjadi lebih be-sar lagi. Kalau lawan bertenaga kecil, tenaga
Khong-sin-kang itupun menjadi kecil, hanya le-bih besar sedikit sekedar untuk melebihi lawan. Kalau
tidak menemui lawan, tenaga itupun tidak nampak sama sekali, tidak ada pengaruhnya sama sekali
seperti udara hampa. Itulah sebabnya dina-makan Tenaga Sakti Kosong. Tenaga ini tidak da-pat
dipergunakan untuk melukai atau menyerang orang, melainkan menerima dan membalikkan serangan
orang lain saja."
Cui Hiang terbelalak heran dan bingung. "Apakah apakah paman sudah menguasai ilmu aneh
ini?"
"Tentu saja. Aku adalah keturunan tunggal yang terakhir dari keluargaku. Ayahku bilang bah-wa aku
memiliki bakat yang lebih baik dari ayah atau bahkan dari kakek-kakekku, jadi aku berhak
mempelajarinya."
"Kalau begitu maukah paman memperlihatkan ilmu itu kepadaku? Aku ingin sekali
menyaksikannya."
"Baiklah, agar engkau mengenal ilmu simpanan keluargaku. Nah, bersiaplah, aku memukulmu dengan
Tenaga Sakti Kosong!" kata A-hai. Dia berdiri lurus dengan kedua kaki dirapatkan. Tidak terjadi
keanehan apa-apa, tidak ada pembahan wajahnya, tidak ada suara, bahkan tidak ada sedi-kitpun
angin menyambar ketika dia menekuk se-dikit lututnya dan kedua tangannya mendorong ke depan, ke
arah Cui Hiang. Perlahan sekali, gerakan itu, seolah-olah dia hanya mengulurkan tangan kepada Cui
Hiang. Tidak terasa apapun oleh Cui Hiang, bahkan rambut anak itupun tidak sampai bergerak. Tentu
saja Cui Hiang menjadi terheran-heran. Tadinya ia bersiap menyambut serangan orang yang tanpa
upacara telah menjadi gurunya itu akan tetapi karena ternyata pemuda itu sama sekali tidak
menyerangnya, iapun termangu-ma-ngu dengan heran. Disangkanya bahwa A-hai ra-gu-ragu untuk
menyerangnya, takut kalau ia ter-luka.
"Mari, paman, cepat menyerang. Aku sudah siap menyambut. Kenapa paman tidak melanjut-kan?"
"Anak bodoh, aku. sudah memukulmu sejak tadi. Inilah maka ilmu ini dinamakan Tenaga Sak-ti
Kosong. Engkau memang tidak merasakan apa-apa, karena engkau tidak mengerahkan tenagamu.
Coba engkau menangkis, tentu engkau akan meli-hat buktinya."
Tentu saja Cui Hiang menjadi penasaran. Ten-tu A-hai telah mempermainkannya. Mana mung-kin
serangan itu sudah dilakukan kalau ia tidak merasakan apa-apa? Kenapa yang begini dina-makan
ilmu yang hebat? Dengan alis berkerut karena mengira dipermainkan ia menepiskan ta-ngannya ke
arah A-hai dan bermaksud untuk menjauhkan diri. Akan tetapi, apa yang terjadi? Ketika ia
menepiskan tangannya, tiba-tiba saja dirinya didorong oleh tenaga luar biasa yang mem-buatnya
terjungkal ke belakang!
Cui Hiang bangkit dan matanya terbelalak ke-takutan. Tubuhnya terasa lemas seperti baru saja
dilanda angin yang amat kuat.
"Paman, apa yang kaulakukan?"
A-hai tersenyum dan mengulurkan tangan, membantu gadis kecil itu bangun. "Nah, engkau sudah
merasakan sekarang? Kalau tangkisanmu tadi lebih kuat, engkaupun akan lebih keras ter-banting.
Ilmu ini hebat karena tak dapat dirasakan, di situlah letak keampuhannya. Dengan ilmu ini-lah maka di
jaman dahulu terdapat dongeng-do-ngeng yang aneh, di mana seorang sakti sendirian saja mampu
menghancurkan sebuah kerajaan yang mempunyai pasukan laksaan orang. Dan ini pula sebabnya
mengapa di jaman dahulu terdapat do-ngeng akan kesaktian manusia yang seperti dewa."
"Hebat !" Cui Hiang kagum sekali. "Oya ...... setelah paman berkelahi melawan sute paman itu lalu
bagaimana?"
"Adikku benar-benar hebat kepandaiannya. Aku hampir terbunuh olehnya. Ilmu silatnya seperti iblis,
kecepatannya seperti setan. Akan teta-pi setelah aku mempergunakan ilmu simpanan ke-luargaku,
barulah dia kewalahan. Dia jatuh ba-ngun melawan Khong-sin-kang yang kupergunakan untuk Ilmu
Thai-lek Pek-kong-ciang. Tubuh-nya yang kebal itu akhirnya terluka dan dia dapat kuringkus dan
kubawa menghadap ayahku."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Wah, hebat sekali cerita itu, paman. Lalu ba-gaimana jadinya dengan wanita sahabatmu itu, paman?"
tanya Cui Hiang tertarik.
"Tentu saja ia menjadi isteri Souw-kongcu. Masa hal itu perlu ditanyakan lagi?' tiba-tiba terdengar
suara orang dan muncullah seorang la-ki-laki tua yang tergopoh-gopoh menghampiri mereka. Laki-laki
tua yang kurus ini dengan wa-jah berseri-seri memandang kepada A-hai.
"Souw-kongcu! Telah sepuluh tahun kita ti-dak saling bertemu. Apakah kongcu baik-bauk saja?
Kenapa lama benar tidak berkunjung ke si-ni? Dan bagaimana dengan puterimu yang mu-ngil itu?
Tentu sudah besar sekarang," Berkata demikian, kakek itu melirik ke arah gadis kecil berlengan
buntung sebelah dengan ragu-ragu.
A-hai bengong memandang kepada kakek itu. Lagi-lagi ada orang yang menyebutnya kongcu,
seorang tuan muda she Souw! Benarkah dia seo-rang she Souw? Akan tetapi kenapa dia tidak mengenal
kakek ini sama sekali? Secara tak terduga-duga, proses penyembuhannya berjalan dengan
cepat, akan tetapi ternyata masih banyak hal-hal lalu yang sama sekali tidak diingatnya, agaknya
termasuk orang tua ini. Siapakah kakek ini? Nam-paknya orang ini selain sangat mengenalnya, juga
sangat menghormatnya. Telah dua orang bersama tukang warung itu yang mengenalnya sebagai seorang
kongcu yang telah mempunyai isteri dan anak. Kalau benar demikian, di manakah adanya
isterinya dan anaknya itu? Dan di mana pula ru-mahnya? Hatinya terguncang keras dan biarpun dia
belum yakin benar bahwa dia memang Souw-kongcu, melihat ada orang yang mengenalnya, dia lalu
menangkap tangan kakek itu.
"Lopek, katakanlah. Apakah wajahku benar-benar wajah Souw-kongcu seperti yang kaukenal itu?
Benarkah? Lalu lalu di manakah tinggalnya Souw-kongcu?"
Kakek itu terbelalak kebingungan. "Eh, bagai-mana ini? Souw-kongcu, apakah yang telah ter-jadi
denganmu sehingga sikapmu seaneh ini?"
"Lopek, maafkanlah aku. Aku sendiri tidak tahu betul siapa sebenarnya aku ini, apakah Souw-kongcu
ataukah orang lain. Ketahuilah, aku telah terserang penyakit sehingga aku lupa segala-galanya
tentang masa laluku. Justeru sekarang ini aku sedang melakukan penyelidikan untuk dapat
mengingat kembali masa laluku, Tempat ini kukenal baik akan tetapi maaf, aku lupa sama sekali
kepadamu, tidak mengenal wajahmu."
Kakek itu mengangguk-angguk dan memandang dengan sinar mata menaruh kasihan. "Ah... kiranya
begitu? Souw-kongcu, aku adalah kepala kampung di dusun ini. Tentu saja aku sangat mengenalmu
karena engkau telah menikah dengan puteri angkatku sendiri. Aku adalah mertua angkatmu sendiri,
kongcu. Marilah ikut aku ke rumahku dan aku akan menceritakan segalanya dan kongcu akan dapat
melihat gambar-gambar lama. Mudah-mudahan kongcu akan dapat teringat lagi akan semua masa
lalumu. Marilah "
Pada saat itu nampak beberapa orang perajurit menghampiri tempat itu. "Nah. itu dia di sana! Hei,
monyet. Kenapa kau pergi tanpa pamit? Mau lari, ya?' Hayo, bantu kami mengangkut bak air itu turun.
Komandan kami perlu air untuk mandi'"
"'Wah, ini kepala kampung di sini pula!", tegur seorang lain di antara mereka. "Kenapa engkau di sini?
Kenapa engkau meninggalkan komandan kami di rumahmu sendirian saja? Apakah engkau tidak
suka kepada kami para perajurit kerajaan ya? Mau berontak, ya? Mau jadi kaki tangan pemberontak
asing?"
Kakek kepala kampung; itu menjawab halus, "Saya tidak berniat buruk. Saya hanya ingin membuktikan
laporan orang bahwa ada beberapa orang perajurit menawan rakyatku. Maka saya mengikuti
kalian sampai ke sini. Dan ternyata orang-orang-ku ini hanya kalian mintai bantuan mencari sum-ber
air."
"Wah, kaukira perajurit-perajurit kerajaan adalah perajurit brengsek yang suka mengganggu rakyat,
ya? Gila kau. Hayo pulang ke rumahmu lagi. Komandan kami ingin sekali mandi secepat-nya dan kita
bisa didamprat kalau terlambat."
dunia-kangouw.blogspot.com
Kepala kampung memberi isyarat agar A-hai menurut saja. Mereka lalu turun dari tempat itu dan A-hai
membantu mereka memikul bak air ke rumah si kepala kampung di mana sang komandan sudah
menunggu, dengan baju atas terbuka. Nam-paklah dadanya yang bidang berbulu dan menye-ramkan.
"Kenapa lama benar kalian? Ingin dihukum cambuk, ya?" bentaknya marah. Tentu saja para anak
buahnya menjadi ketakutan dan mereka ce-pat mempersiapkan segalanya untuk sang koman-dan
yang kegerahan dan ingin mandi itu. Sebelum menuju ke tempat mandi, komandan itu berteriak ke
arah kepala kampung, "Siapkan makanan enak untukku. Carikan ayam gemuk dan masak yang
enak!"
Si kepala kampung hanya mengangguk lalu me-merintahkan orang-orangnya untuk mempersiap-kan
permintaan sang komandan. "Inilah akibatnya perang," katanya lirih kepada A-hai. "Kalah atau
menang, tetap saja rakyat yang menderita akibat-nya. Penindasan selalu terjadi dengan sewenangwenang,
Tentu saja, kadarnya yang berbeda. Di bawah telapak kaki musuh, tentu lebih hebat dan
lebih celaka."
A-hai mengangguk. Teringat dia akan keadaan para penduduk dusun yang kelaparan dan terpak-sa
lari mengungsi. Dan kini penduduk dusun itu dipaksa melayani para perajurit dan mengeluarkan
seluruh miliknya untuk menyenangkan para pera-jurit agar mereka tidak mengamuk dan menghu-kum
para penduduk yang dapat dituduh sebagai berpihak kepada musuh atau pemberontak. Sete-lah
selesai membantu para perajurit, A-hai dan Cui Hiang lalu diajak masuk oleh kepala kampung.
Mereka memasuki rumah melalui pintu samping dan memasuki bangunan samping di mana tuan
rumah biasa minum teh dan membaca kitab.
Jilid XXVIII
KETIKA mereka memasuki ruangan di maña tergantung sebuah lukisan besar seorang wanita yang
berpakaian puteri istana, A-hai ber-lari menghampiri dan berdiri memandang gambar itu dengan muka
pucat dan mata terbelalak. Cui Hiang juga berdiri mendekat dan gadis cilik ini terkejut sekali melihat
betapa gambar wanita itu wajahnya persis wajah Bwee Hong. Gambar wani-ta ini nampak lebih agung
dan anggun, mungkin karena pakaiannya seperti puteri istana. Akan te-tapi wajahnya sungguh mirip
sekali wajah Bwee Hong.
A-hai berdiri memandang dengan peluh bercucuran. Jelas dia nampak amat terpengaruh oleh
gambar itu, dan keharuan membayang di wajahnya. "Lopek siapa ...... siapakah wanita dalam
gambar ini? Aku seperti sudah sangat mengenalnya aku merasa sangat dekat dengan wanita ini,
akan tetapi ...... aku lupa lagi siapakah ia "
"Wanita ini adalah puteri angkatku sendiri, isteri dari Souw-kongcu."
"Hahhh ......? Isteri ...... Souw-kongcu? Dan kalau aku Souw-kongcu ia isteriku?"
"Benar, itulah gambar puteri angkatku"
"Akan tetapi kalau ia puteri kakek, kenapa ia mengenakan pakaian seorang puteri istana?" tiba-tiba
Cui Hiang bertanya. Gadis cilik ini sudah "pernah" melihat gambar puteri istana, maka ia me-nyatakan
keheranannya.
Kakek itu tertegun sebentar dan mukanya men-jadi kemerahan. Mendengar pertanyaan yang diajukan
Cui Hiang, A-hai juga memandang kakek itu. "Memang aneh sekali kalau engkau mempu-nyai
anak berpakaian seperti itu, lopek, dan aku .... mana mungkin aku mempunyai isteri puteri ista-na?" Ahai
juga bertanya, mendesak. Siapa tahu penjelasan kakek ini akan merupakan kunci pem-buka
rahasia masa lalunya yang dilupakannya.
Kakek itu menarik napas panjang, setelah ter-menung sejenak lalu berkata, "Mendiang isteriku adalah
bekas selir kaisar. Belum lama menjadi is-teriku, ketika pada suatu hari kaisar dalam peran-tauannya
dunia-kangouw.blogspot.com
lewat di dusun kami, beliau tertarik ke-pada isteriku dan direbutnya kekasihku dari ta-nganku, dan
dibawa ke istana. Aku tidak bisa ber-buat apa-apa. Setelah kekasihku itu mempunyai anak, ia dan
anaknya dikembalikan kepadaku dan anak itu dibesarkan di istana. Jadi sebenarnya, puteri angkatku
itu adalah anak isteriku dan kaisar."
"Ahh maafkan aku, kek" Cui Hiang berkata menyesal telah mengajukan pertanyaan tadi.
"Tidak apa. Peristiwa itu sudah lama berlalu, isteriku telah meninggal dunia. Mari kuperlihatkan
sebuah gambar lagi."
Cui Hiang menahan teriakan heran ketika me-lihat gambar besar itu. Jelas bahwa pria gagah yang
berpakaian sasterawan dan memegang ken-dali kuda putih mulus itu adalah A-hai! Dan di atas pelana
kuda duduk seorang anak perempuan yang tersenyum manis sambil memeluk sebuah bo-neka indah
berupa seorang puteri istana, terbuat dari pada batu giok.
A-hai sendiri memandang lukisan itu seperti berobah menjadi patung, kemudian dia melangkah maju
mendekati gambar, tangannya terjulur ke depan, gemetar. "Bukankah bukankah ini
gambarku?" teriaknya. "Dan ini boneka ini. . . . . . " Suaranya gemetar dan tangannya merogoh ke
dalam buntalannya. Dikeluarkannya sebuah boneka batu giok yang ternyata persis dengan bo-neka
yang dibawa anak perempuan dalam lukisan itu.
Kini kakek itu yang memandang kaget. "Ah, boneka itu boneka itu adalah hadiah dari Souw-kongcu
untuk cucuku itu, pada hari ulang tahunnya. Kenapa sekarang kaubawa? Di mana-kah cucuku itu?"
"Lopek, sudah kukatakan bahwa aku lupa akan masa laluku. Boneka ini kutemukan di rumah Gu-lojin,
sebuah rumah tua di luar dusun yang sunyi. Di sana pula untuk pertama kalinya aku mende-ngar
tentang Souw-kongcu itu. Ketika pertama kali melihat patung ini, aku terkesan dan dan nama
yang terukir pada boneka ini "
"Lian Cu? Itulah nama cucuku dan Gu-lojin yang kongcu sebut itu, bukankah dia seorang pelukis
yang hidup menyendiri?"
"Benar "
"Dia adalah kakakku sendiri, kongcu." Kakek itu nampak terharu sekali. "Kakakku bernama Gu-Toan
dan aku sendiri bernama Gu Tek. Anak angkatku itu, yang sebenarnya puteri kaisar dan isteriku,
bernama Gu Yan Kim dan cucuku bernama Lian Cu, Souw Lian Cu."
A-hai mendengarkan semua ini seperti dalam mimpi. Kemudian dia menarik napas panjang.
"Agaknya aku memang benar-benar Souw-kongcu seperti dugaan paman itu. Aku juga mahir
ilmu silat tinggi, biarpun entah karena apa aku telah lupa sebagian dari ilmu itu, dan lupa akan masa
laluku sama sekali, lupa akan keluargaku "
Tiba-tiba kepala kampung itu memandang de-ngan wajah berseri. "Aku ingat akan adanya suatu
tanda untuk meyakinkan apakah kongcu benar-be-nar Souw-kongcu atau bukan."
"Benarkah itu? Bagaimanakah maksudnya?" teriak A-hai sambil mencengkeram tangan kakek itu
sehingga kakek itu meringis kesakitan. A-hai cepat melepaskan cengkeramannya dan kakek itu
tersenyum.
"Karena aku beruntung mempunyai mantu seo-rang keturunan keluarga Souw, maka aku tahu akan
rahasia keluarga itu. Sejak turun-temurun, keluarga Souw adalah keluarga pendekar yang memiliki
ilmu silat maha hebat! Dan sebagai tan-da pengenal, semua anak keturunan mereka diberi tanda
merupakan bekas luka jahitan yang meman-jang dari ubun-ubun sampai ke belakang kepala dekat
tengkuk. Selain luka jahitan memanjang ini, juga luka akibat totokan dari ciri perguruan keluar-ga sakti
itu pada sebelah tulang punggung di ka-nan kiri, tepat di bawah pinggang. Setiap bay'i keturunan
mereka, setelah berusia satu tahun, ten-tu mendapat tanda itu. Aku sebagai kakek Lian Cu diberi tahu
dan ternyata tanda itu bukanlah sekedar tanda belaka, melainkan ada hubungannya dengan ilmu
mereka. Semua itu dimaksudkan un-tuk membuka jalan darah penting di tubuh anak itu agar setelah
besar nanti sudah siap untuk mene-rima pelajaran ilmu keturunan mereka yang hebat. Tanpa
dilakukan pembedahan pada kepala dan totokan di pinggang itu sewaktu masih bayi, tidak mungkin
dunia-kangouw.blogspot.com
mereka dapat melatih ilmu mujijat ketu-runan keluarga itu. Bagaimana jelasnya tentang ilmu itu, tentu
saja aku tidak mengerti."
A-hai mendengarkan dengan terheran-heran.
"Luka bekas jahitan dan bekas totokan? Apakah itu?"
"Aku pernah melihatnya sendiri ketika cucuku Lian Cu menjalani upacara keluarga itu setelah berusia
setahun. Mula-mula di pinggangnya, se-belah kanan dan kiri tulang punggung, ditotok dan daging di
bagian itu menjadi hangus melepuh se-perti dibakar. Setelah sembuh, bekas totokan itu
meninggalkan bekas dengan nyata. Kemudian, ku-lit kepala bayi itu diiris dengan ujung pedang,
membujur dari ubun-ubun sampai ke tengkuk. Entah apa yang mereka lakukan setelah kulit kepa-. la
dibuka karena aku sendiri tidak tega untuk me-nonton terus. Kemudian kulit itu dijahit kembali dan
setelah sembuh meninggalkan bekas luka me-manjang. Nah, demikianlah. Maka untuk menen-tukan
apakah kongcu keturunan keluarga Souw atau bukan, amatlah mudah. Selain tanda-tanda di badan
yang tidak nampak dari luar itu, juga se-mua keturunan keluarga Souw memakai sebuah cincin batu
giok yang ada huruf Souw diukir di situ."
A-hai mendengarkan dengan bengong. Oto-matis, matanya mengerling ke arah jari-jari ta-ngannya
dan dia merasa kecewa tidak melihat sebuah cincinpun di jari tangannya. Apa lagi cincin batu giok
yang diukir huruf Souw, bahkan cincin kuninganpun tak pernah dia memakainya. Kemu-dian,
lengannya bergerak dan tangannya merayap menuju ke pinggangnya di belakang, meraba-raba dan
mencari-cari tanda di kanan kiri tulang pung-gung seperti yang diceritakan oleh kakek itu. Akan tetapi,
alisnya berkerut dan kembali dia merasa kecewa karena tangannya tidak merasakan adanya bekas
luka-luka akibat totokan yang membakar itu. Dengan penasaran dia lalu meraba-raba ke-palanya, jarijari
tangannya menyusup ke bawah rambutnya yang tebal, mencari-cari luka bekas jahitan yang
menjadi ciri khas keturunan keluarga Souw.
Kakek Gu Tek menanti dengan wajah tegang, sedangkan Cui Hiang juga ikut-ikutan meraba-raba
kepalanya sendiri di bawah rambut karena ia merasa amat tertarik oleh cerita aneh kakek kepala
kampung itu. Selagi A-hai sibuk mencari-cari di bawah rambutnya, Cui Hiang berteriak membuat
keduanya terkejut.
"Haiii ! Kepalaku ! Di kepalaku juga ada bekas luka memanjang dari depan ke be-lakang!
Lihatlah ini, kek!" Gadis cilik itu berseru gembira sambil menyodorkan kepalanya yang ke-cil itu ke
arah kakek kepala kampung. Tentu saja kakek yang tadinya bersikap tegang itu kini tersenyum geli.
Ada-ada saja ulah gadis cilik yang buntung lengan kirinya ini, pikirnya.
"Aih, nona, jangan main-main. Nona menge-jutkan saja. Sungguh lucu kau ini, dan ada-ada saja.
Mana bisa nona mempunyai ciri tanda itu? Apa hubunganmu dengan keluarga Souw? Ha-ha, kalau
toh ada bekas luka di kepalamu, kiranya itu tentu hanya akibat pukulan dengan sendok nasi atau
sumpit oleh ibumu karena kenakalanmu." Kakek itu tertawa geli sampai terguncang perut-nya, bukan
untuk menghina atau mentertawakan, melainkan karena benar-benar merasa lucu sete-lah dicekam
ketegangan tadi.
Akan tetapi Cui Hiang tidak ikut ketawa, malah matanya melotot. "Kek , tapi di kepalaku benarbenar
ada bekas luka yang memanjang! Coba saja kauraba sendiri, panjang bersambung dari muka
ke belakang!" Suaranya mengandung rasa penasaran sehingga menarik perhatian kakek itu.
Kakek Gu Tek masih menahan ketawa dan ter-senyum lebar ketika terpaksa meluluskan permin-taan
Cui Hiang. Jari-jari tangannya meraba se-kenanya saja ke arah kepala anak itu, hanya untuk memberi
kepuasan saja. Akan tetapi, tiba-tiba se-nyumnya sedikit demi sedikit menghilang dari pa-ras
mukanya, dan kini wajahnya dibayangi kehe-ranan yang besar, matanya terbelalak. Jari-jari
tangannya kini meraba-raba dan jelas terasa oleh ujung jari-jarinya adanya bekas luka memanjang
dari ubun-ubun sampai ke tengkuk. Cepat dia menyibakkan rambut yang hitam itu dan alang-kah
kagetnya ketika di situ dia benar-benar meli-hat tanda luka bekas jahitan!
"Kau .. kau ...... siapa?" Akhirnya kakek itu bertanya dengan suara gemetar, dan ta-ngannya yang
agak menggigil itu kini meraba ping-gang. Cui Hiang mendiamkannya saja ketika ba-junya disibakkan
agar kakek itu dapat memeriksa punggungnya. Dan kakek Gu Tek semakin terbe-lalak ketika melihat
betapa di kanan kiri pinggang gadis cilik itu benar-benar nampak adanya bekas totokan yang mirip
jejak kaki kucing itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kau ....... engkau benar-benar keturunan keluarga Souw" teriaknya dengan muka berubah agak
pucat.
"Hemm " Tiba-tiba A-hai berseru lirih.
"Lopek, di kepalaku juga seperti ada bekas jahitan, akan tetapi hanya pendek saja, tidak sampai ke
ubun-ubun dan tengkuk."
"Ah, mana mungkin, kongcu? Maaf, biarkan aku memeriksanya!" Dengan hati penasaran ka-kek itu
lalu memeriksa kepala dan pinggang A-hai. Semakin penasaran hatinya ketika menemukan bahwa
memang benar di kepala A-hai ada tanda jahitan itu, akan tetapi tidak begitu panjang seperti tanda
pada kepala Cui Hiang, bahkan tanda pada pinggangnya juga tidak sedalam dan sejelas seperti yang
terdapat pada pinggang anak perempuan itu.
Biarpun demikian, jelas bahwa tanda-tanda itu ada pada A-hai, maka kakek itu menjadi girang sekali.
Dirangkulnya pemuda itu dengan hati terharu. "Engkau benar Souw-kongcu ah, Souw-kongcu
betapa girang hatiku "
A-hai bersikap tenang. Bagaimanapun juga, semua ini belum meyakinkan hatinya karena ingat-annya
belum pulih. "Lopek, harap maafkan aku. Sekarang aku baru dapat teringat sebagian-seba-gian, dan
aku sedang dalam pengobatan. Mudah-mudahan tak lama lagi aku akan dapat teringat semuanya.
Aku sendiri juga mulai agak yakin bah-wa aku sebenarnya adalah orang she Souw, mantu-mu. Akan
tetapi harap jangan bertanya apa-apa tentang masa laluku. Aku belum ingat semua itu bahkan aku
belum ingat tentang keluargaku. Tidak ada sedikitpun yang kuingat tentang isteri atau anakku. Bahkan
setelah berhadapan dengan lo-pek sendiri yang agaknya tidak salah lagi tentulah ayah mertuaku,
akan tetapi aku sama sekali tidak ingat dan tidak mengenal wajah lopek. Maafkan-lah dan harap lopek
bersabar sampai aku memper-oleh kembali ingatanku."
Dengan wajah sedih kakek Gu Tek hanya mengangguk-angguk. Kini A-hai menoleh kepa-da Cui
Hiang. Sama sekali tidak pernah disangka-nya ada hal yang begini kebetulan. Dia merasa kasihan
kepada Cui Hiang dan mengajaknya hidup bersama, bahkan telah menurunkan ilmu silatnya yang dia
tidak tahu betul adalah ilmu simpanan keluarganya dan siapa kira, ternyata gadis ini mem-punyai ciriciri
keturunan keluarga Souw seperti yang dituturkan oleh kakek itu!
"Cui Hiang, jika dilihat dari adanya tanda-tanda di tubuhmu, ternyata di antara kita masih ada hubungan
keluarga. Entah hubungan yang bagaima na aku belum dapat memastikannya. Mungkin
antara paman dan keponakan atau antara saudari sepupu, atau bahkan antara kakak dan adik."
Cui Hiang mengangguk-angguk, menunduk dan beberapa butir air mata menitik turun ke atas
sepasang pipinya yang agak pucat. Tentu saja da-ra kecil ini merasa gembira dan terharu sekali
Pendekar yang amat dikaguminya dan disayang-nya ini masih ada hubungan keluarga dengannya!
A-hai kini menjura kepada kakek Gu Tek ke-pala kampung itu. "Lopek, tolong beri tahu kepa-daku, di
manakah tempat tinggal keluarga Souw itu? Aku harus pergi ke sana karena aku yakin bahwa kalau
aku pergi ke tempat keluarga itu, aku akan lebih mudah mengingat masa laluku."
Kakek itu mengembangkan kedua lengannya dan menggerakkan pundaknya, menarik napas pan-jang
penuh sesal. "Wah, inilah celakanya. Aku sendiri belum tahu tempat tinggal keluarga pen-dekar itu.
Keluarga Souw benar-benar merahasia-kan tempat mereka, bahkan aku sendiri sebagai mertuanya
tidak boleh tahu. Mereka tidak mau dikenal orang, tidak ingin diganggu dengan urusan kaum
persilatan. Itulah sebabnya ketika tiba-tiba mantuku dan puteriku pergi selama sepuluh tahun dan
tidak pernah datang berkunjung, aku sama se-kali tidak tahu ke mana harus mencari mereka.
Sampai-sampai isteriku, bekas selir kaisar itu, meninggal dunia karena duka. Hanya secara sa-marsamar
aku pernah mendengar dari puteriku, bahwa tempat tinggal mereka itu terdapat di se-buah
pulau penuh bunga yang indah. Rumah mereka didirikan di tepi sungai kecil yang airnya jernih, yang
mengalir di tengah pulau kecil itu dan di belakang rumah mereka...... terdapat sebuah air terjun
yang sangat indah!" A-hai melanjutkan, seperti dalam mimpi rasanya.
"Benar!" seru kakek itu gembira. "Ah, engkau benar-benar mantuku! Ya Tuhan, di manakah adanya
isterimu dan cucuku yang mungil itu?' Kakek itu tidak dapat menahan runtuhnya bebera-pa butir air
matanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
A-hai tertegun dan seluruh tubuhnya terasa lemas, wajahnya membayangkan kesedihan mendalam.
"Entahlah ...entahlah, aku tidak ingat lagi " katanya kecewa sekali.
Pada saat itu terdengar teriakan beberapa orang perajurit di halaman samping rumah, "Hai, kepala
kampung! Di mana engkau? Mana masakan ayam itu? Apakah sudah siap?"
Tergopoh-gopoh kakek Gu Tek menemui ko-mandan pasukan dan menjura dengan sikap hor-mat.
"Maaf, tai-ciangkun, saya harus mencarikan ayam dulu karena kami sendiri tidak mempunyai-nya,
harap ciangkun bersabar."
Komandan itu menjadi marah dan membentak, "Hemm, jangan mempermainkan aku. Siapkan secepatnya,
juga untuk sore nanti karena ada seorang panglima kerajaan yang akan datang
berkunjung.''
"Baik, ciangkun." Dan kakek Gu Tek lalu mengatur orang-orangnya untuk mempersiapkan makanan
yang dipesan oleh komandan itu.
Malam itu komandan pasukan menjamu seorang panglima yang datang bersama dua orang kakek
berjubah coklat. Panglima ini adalah Lai-goan-swe dan dua orang kakek berjubah coklat itu ada-lah
dua orang tokoh Liong-i-pang, dikawal pula oleh belasan orang perajurit pengawal. Setelah makan
hidangan yang disuguhkan, panglima itu bertanya dengan suara lantang kepada sang ko-mandan.
"Ma-ciangkun, sekarang ceritakan kepadaku tentang keadaan di garis depan dan terangkan
mengapa engkau membawa sisa pasukanmu me-ninggalkan Jenderal Beng dari daerah pertempuran?"
Komandan pasukan itu menarik napas panjang. "Lai-goanswe, keadaan semua pasukan kerajaan di
garis depan sudah amat payah. Pasukan-pasukan pemberontak Chu Siang Yu yang dibantu pasukanpasukan
bangsa liar sungguh terlalu amat kuat. Jumlah mereka bertambah terus sedangkan jum-lah
pasukan kita semakin berkurang tanpa adanya bala bantuan dari kota raja. Saya membawa pasu-kan
mundur sampai ke sini karena perintah lang-sung Beng-goanswe sendiri. Beliau kini bertahan di
sepanjang Sungai Ular, sedangkan kami diutus untuk mempersiapkan jalan mundur pasukan induk.
Juga kami diutus untuk mencari tambahan ransum karena persediaannya sudah menipis dan tidak
per-nah ada kiriman bantuan ransum dari kota raja Kekuatan musuh hampir tiga kali lipat jumlahnya.
Jenderal Beng Tian bermaksud untuk mengumpul-kan sisa pasukan yang ada, bertahan di benteng
terakhir sampai titik darah terakhir."
"Apakah Jenderal Beng sudah mendengar bah-wa di daerah selatan dan timur juga muncul baris-an
pemberontak Liu Pang yang tidak kalah kuat-nya?"
"Sudah, Beng-goanswe sudah mendengar be-rita itu. Hal itu pulalah yang membuat Beng-goanswe
menjadi patah semangat. Beliau berpen-dapat bahwa kalau sampai pasukan yang paduka pimpin itu
sampai kalah, itu berarti bahwa barisan pemberontak Liu Pang itu tentu kuat sekali. Mungkin lebih
kuat dari pada pasukan pemberontak Chu Siang Yu. Kalau sudah muncul dua pasukan pem-berontak
yang masing-masing memiliki kekuatan melebihi kekuatan pemerintah, apa yang mesti di-perbuat
lagi? Paling-paling kita bertahan sam-pai kita gugur sebagai bunga bangsa!" kata ko-mandan pasukan
she Ma itu dengan sikap gagah.
Jenderal Lai menarik napas panjang. "Betapa menyedihkan melihat banyaknya orang yang men-jadi
perajurit setia seperti engkau ini telah tewas dengan sia-sia. Ma-ciangkun, maksudmu untuk gugur
sebagai bunga bangsa memang menjadi wa-tak seorang perajurit sejati. Akan tetapi ada suatu hal
yang lebih penting lagi untuk dipikirkan. Ka-lau tekad itu dilakukan demi membela tanah air dan
bangsa, memang tepat dan sudah menjadi ke-wajiban setiap orang wuiga negara. Akan tetapi lebih
bijaksanalah kalau kita melihat dulu untuk siapa kita berjuang. Benarkah untuk negara dan bangsa,
ataukah hanya untuk segelintir manusia di istana yang merupakan manusia-manusia lalim dan tidak
patut kita bela?"
"Apa ... apa maksud paduka?" Ma-ciangkun memandang heran. Dia adalah seorang perajurit tulen
yang setia dan dia mengenal benar Jenderal Lai ini yang selama puluhan tahun pernah menjadi
atasannya. Seorang jenderal yang setia! Akan tetapi mengapa kini mengeluarkan kata – kata yang
membingungkan hatinya itu?
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ma-ciangkun. Aku haru saja dari kota raja. Kaisar baru dan para pembantunya sungguh mem-buat
kita prihatin. Mereka itu sama sekali tidak memperdulikan keadaan pasukan yang didesak mu-suh.
Mereka bersenang-senang, berpesta-pora dan melakukan segala macam kemaksiatan yang
menjijikkan. Pembesar-pembesar penjilat dan ko-rup dinaikkan pangkat, kaum sesat yang amat kejam
dijadikan pengawal-pengawal dan panglima, sedangkan pejabat-pejabat yang setia dan jujur
malah dipecat, dipenjarakan atau dibunuh. Istana seperti menjadi sarang penjahat yang paling keji.
Ketika aku menghadap kaisar yang masih muda itu, sama sekali tidak ada penghargaan melihat
betapa aku dan pasukanku telah membela kerajaan mati-matian, bahkan hampir saja aku dibunuh
oleh be-gundal-begundal kaisar yang terdiri dari datuk -datuk sesat yang lihai itu. Apakah sekarang
eng-kau masih mau gugur sebagai bunga bangsa demi sekumpulan manusia lalim dan sesat seperti
mere-ka itu?"
Wajah perwira Ma menjadi pucat. "Be benarkah itu?" Dia bertanya gagap.
Jenderal Lai menatap tajam. "Ma-ciangkun, engkau mengenal aku, bukan? Puluhan tahun aku
menjadi atasanmu, pernahkah aku bicara semba-rangan kepada bawahanku? Atau engkau ingin
membuktikan sendiri kata-kataku dan pergi ke ko ta raja?"
"Maaf, goanswe. Mana saya berani? Akan tetapi, kalau begitu keadaannya lalu ....... lalu apa yang
harus saya kerjakan?"
"Begini. Engkau tidak perlu membawa pasu-kanmu ke kota raja. Kau tetap saja di dusun ini. Aku akan
pergi menghadap Jenderal Beng Tian untuk merundingkan langkah-langkah selanjutnya. Engkau
menanti perintah saja di sini."
"Baiklah, goanswe!" kata Ma-ciangkun dengan lega karena tugas itu ternyata ringan saja. Malam itu
juga Jenderal Lai pergi bersama para penga-walnya dan pasukan itupun mengaso.
Setelah pertemuan penting itu bubaran, A-hai yang juga mendengar percakapan itu dari lain ruangan,
lalu bertanya kepada kakek Gu Tek, "Lo-pek, aku mendengar tentang adanya sebuah benteng
tua yang kini dipergunakan sebagai tempat tawanan. Di manakah letak benteng itu dan bagaimana
keadaannya? Apakah terjaga kuat dan sukar dimasuki?"
"Ah, benteng itu? Sekarang menjadi tempat pembuangan para pejabat istana. Tempatnya ku-rang
lebih sepuluh li dari sini, terletak di atas pun-cak sebuah bukit gundul yang terjal. Tempat itu sukar
didekati, tak dapat dicapai lewat samping atau belakang. Jalan satu-satunya hanyalah dari depan,
jalannya lebar dan baik. Akan tetapi kena-pa kongcu menanyakan tempat itu?"
"Hemm, aku hendak ke sana, lopek."
"Ah, apakah ada seorang kerabat yang dibuang di sana?"
A-hai hanya mengangguk dan tahulah Gu Tek bahwa dia tidak boleh banyak bertanya. Maka diapun
lalu memberi keterangan tentang jalan yang menuju ke benteng itu. A-hai merasa girang se-kali.
"Lopek, karena tempat itu cukup berbahaya, maka aku ingin menitipkan Cui Hiang agar berdi-am di
sini lebih dulu. Aku akan menjemput dua orang wanita yang menjadi sahabatku dan yang
kutinggalkan di hutan. Kalau sudah selesai urusan kami, aku akan datang ke sini untuk menjemput
Cui Hiang."
Kakek itu girang sekali. Bagaimanapun juga, gadis berlengan buntung sebelah ini adalah ketu-runan
keluarga Souw pula, maka termasuk sanak-nya juga melalui puteri angkatnya. "Baik, jangan khawatir,
kongcu. Kami akan menjaganya baik-baik."
"Kakek Gu. jangan kaget kalau kelak engkau melihat seorang di antara dua nona itu. Wajahnya mirip
sekali dengan gambar puterimu itu," kata Cui Hiang dan kakek itu mengangguk-angguk, dalam
hatinya terheran-heran mengapa begini banyak hal-hal yang "kebetulan". A-hai lalu berangkat keluar
dari dusun, meninggalkan Cui Hiang di rumah si kepala kampung karena dia merasa kurang leluasa
kalau harus rttengajak anak itu, padahal dia dan teman-temannya akan menyerbu benteng
menyelamatkan Seng Kun dan yang lain-nya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika A-hai berjalan keluar dari dusun, bebe-rapa orang perajurit peronda menegurnya. "Hei,
berhenti! Siapa itu?"
A-hai berhenti dan dua orang peronda itu menghampiri. "Ah, kiranya engkau!" kata mereka yang
sudah mengenal A-hai yang pernah mem-bantu mereka mencari air, pemuda yang berada di rumah
kepala kampung dan menjadi keluarga kepala kampung itu. "Hendak ke mana engkau?"
"Aku disuruh oleh Gu-lopek untuk mencari ayam."
"Bagus! Cari yang banyak, kalau ada telurnya juga, ya? Sudah lama aku tidak makan telur ayam!"
A-hai melanjutkan perjalanan dengan cepat, menuju ke hutan di mana dia meninggalkan Bwee Hong
dan Siok Eng. Ketika dia sudah jauh me-ninggalkan perajurit: perajurit itu, dia berpikir bahwa dia
harus mempergunakan ilmu berlari ce-pat agar kedua orang gadis itu tidak menunggu terlalu lama.
Akan tetapi ketika dia hendak me-ngerahkan tenaganya tiba-tiba saja dia lupa sama sekali bagaimana
harus mengerahkan tenaga sak-tinya. Lupa sama sekali cara atau jalannya. Dia berdiri tegak dan
menggerak-gerakkan perut dan dadanya, namun hasilnya sia-sia karena memang belum ditemukan
kembali jalannya. Dia menjadi uring-uringan dan menyumpahi diri sendiri. "O-tak udang!" Tanpa
disadarinya, sikapnya kembali seperti A-hai yang ketolol-tololan. Hal ini ada-lah karena dia masih
sedang dalam proses pengo-batan. Kalau terlambat jalan darahnya diperlancar dengan bantuan
jarum yang tepat, maka darahnya tidak lancar lagi dan ingatannyapun semakin bun-tu lagi. Dia belum
sembuh, dan masih tergantung kepada bantuan Bwee Hong yang sewaktu-waktu harus
mempergunakan jarum-jarumnya agar jalan darahnya lancar kembali. Selagi dia berkutetan dan
memarahi dirinya sendiri itu sehingga dia ke-lihatan lucu dan aneh, tiba-tiba terdengar suara orang
tertawa, suara ketawa yang ditahan-tahan akan tetapi tetap memberobot keluar sehingga ter-dengar
agak cekikikan.
Tentu saja A-hai menjadi terkejut dan juga marah. Dia memaki-maki dan memarahi diri sen-diri, akan
tetapi sekarang malah ada orang menter-tawakannya! Itu penghinaan namanya. Akan te-tapi ketika
dia membalikkan tubuh dan meman-dang, dia terbelalak dan bujlu tengkuknya mere-mang. Di
depannya berdiri dua orang kakek dan nenek yang pakaiannya serba putih dan wajahnya juga putih
seperti mayat! Bau harum semerbak tercium olehnya dan diapun bergidik. Sinar bin-tang-bintang di
langit menyinari dua wajah yang. pucat seperti mayat itu. Karena keduanya mena-han tawa dan
bergerak, mereka kelihatan seperti sepasang mayat hidup.
Akan tetapi, kakek itu lalu berkata, suaranya halus, "Saudara yang gagah perkasa. Tak dapat kami
menahan tawa melihat tingkah lakumu yang aneh dan konyol itu. Agaknya engkau baru saja
memperoleh pelajaran lweekang dari gurumu, akan tetapi kini engkau sudah lupa lagi sehingga gagal
ketika mencobanya. Benarkah?"
Mendengar pertanyaan ini, tentu saja seketika wajah A-hai menjadi merah sekali, merah karena malu
rahasianya dapat diterka sedemikian tepatnya dan marah karena orang ini sungguh telah mencemoohkannya
dengan sikapnya yang dianggapnya sombong sekali. Karena malu dan marah, juga karena
merasa tidak berdaya setelah sama sekali ti-dak mampu mengingat ilmunya, dia mendengus dan
membalikkan tubuhmu, melangkah lebar me-ninggalkan dua orang aneh itu.
Akan tetapi tiba-tiba kakek aneh itu menahan-nya, "Saudara yang baik, jangan engkau pergi dulu!"
"Huh!" A-hai tidak perduli dan mempercepat langkahnya, bahkan mulai menggerakkan kakinya untuk
lari. Akan tetapi mendadak dia merasa ada angin bertiup di dekat tubuhnya dan terpaksa dia berhenti
karena tahu-tahu kakek itu sudah bera-da di depannya sambil menyeringai! Dengan men-dongkol Ahai
hendak membalikkan tubuhnya, akan tetapi ternyata nenek itupun sudah berada di belakangnya
dengan tatapan mata yang dingin menyeramkan. A-hai menjadi marah sekali dan tiba-tiba saja dia
teringat akan semua ilmu silat-nya. Agaknya, kemarahannya membuat jalan da-rah ke otak yang
mulai menciut itu menjadi lancar kembali. Dia lalu mengerahkan tenaga saktinya dan seketika kedua
orang suami isteri aneh itu ter-kejut sekali. Uap merah putih mengepul dari ke-pala pemuda yang
mereka anggap lucu tadi.
"Awas, itu adalah Tenaga Sakti Merah Putih!"
teriak kakek itu kepada isterinya. "Eh, orang muda, siapakah engkau ?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi A-hai tidak memperdulikan kekagetan mereka. Telapak tangannya sudah bergerak
menyerang ke arah kakek itu, bukan maksudnya untuk menyerang sebenarnya, melainkan mendorong
dengantangannya.
Sementara bau dupa harum semakin menusuk hidung. Teringatlah dia kepada Siok Eng yang juga
memiliki ilmu seperti itu. Ah, pikirnya, jangan-jangan kedua orang ini masih keluarga nona Siok Eng.
Maka diapun lalu melangkah mundur lagi sambil berseru, "Berhenti!"
Kakek itupun sudah dapat menekan hatinya yang terguncang. Dia memandang tajam penuh selidik,
dan tidak menyembunyikan keheranannya. "Orang muda, engkau sungguh hebat! Siapakah engkau?"
A-hai tidak menjawab pertanyaan ini, melain-kan mengamati kedua orang itu bergantian, lalu
bertanya, "Apakah ji-wi locianpwe ini dari Tai-bong-pai?"
"Orang muda, aneh kalau seorang dengan ting-kat kepandaian sepertimu masih belum mengenal
kami. Aku adalah ketua Tai-bong-pai dan ia ini adalah isteriku."
"Ah, kiranya ji-wi locianpwe adalah ayah dan ibu nona Kwa Siok Eng?" seru A-hai dengan gi-rang.
"Hemm, engkau mengenalnya? Di manakah anak kami itu sekarang?" Nenek itu bertanya, si-kapnya
masih dingin.
"Kami bersahabat baik sekali! Ia kini sedang menantikanku di dalam hutan. Apakah ji-wi hen-dak
mencarinya? Mari, ikut bersamaku."
Karena memang dua orang itu sudah amat mengkhawatirkan anak gadis mereka dan sudah lama
mencarinya, tentu saja mereka girang sekali mendengar keterangan A-hai. Akan tetapi kegi-rangan
hati mereka itu tidak nampak pada wajah mereka yang pucat dingin, dan kakek Kwa Eng Ki, ketua
Tai-bong-pai itu berkata, "Mari antar ka-mi bertemu dengannya!"
Kakek Kwa Eng Ki dengan isterinya, sebagai ketua Tai-bong-pai, tidak pernah mencampuri urusan
dunia. Mereka telah mewarisi ilmu-ilmu mujijat dari Tai-bong-pai dan mereka tidak ingin melihat Taibong-
pai terseret ke dalam suatu kelompok atau golongan. Karena watak mereka yang aneh dan
kadang-kadang dalam melakukan hukuman dan balas dendam mereka amatlah keras dan kejam,
maka golongan pendekar menganggap mereka sebagai kaum sesat. Sebaliknya, golongan sesatpun
tidak bersahabat dengan mereka karena Tai-bong-pai tidak pernah mau bergaul dengan mereka, Jadi
Tai-bong-pai merupakan perkum-pulan yang berdiri di tengah-tengah, tidak ber-sahabat dengan
kedua golongan, juga tidak bermu-suhan secara terbuka. Pendeknya, Tai-bong-pai ingin berdiri
sendiri dan tidak mau tunduk, tidak mau dijajah. Mereka terkenal sebagai orang-orang yang keras hati
dan bersikap dingin seperti ma-yat, tidak perdulian. Kalau mereka tidak diganggu, merekapun tidak
akan memperdulikan apapun yang terjadi asal bukan urusan mereka. Karena, itu. kini mereka
menjadi pusing sekali karena kedua orang anak mereka, yaitu Kwa Sun Tek dan Kwa Siok Eng, lebih
sering berkelana dan mencampuri urusan luar sehingga terbuka bahaya terlibatnya Tai-bong-pai. Hal
ini memusingkan mereka dan setelah gagal mengutus murid-muridnya untuk memanggil pulang
kedua orang anak itu, kini me-reka berdua berangkat sendiri untuk mencari dan memaksa kedua
orang anak mereka pulang!
A-hai lari ke dalam hutan, diikuti oleh suami isteri itu. Setelah tiba di tempat dia meninggalkan Bwee
Hong dan Siok Eng, A-hai berseru, "Nona Hong dan nona Eng, aku sudah datang! Keluar-lah dan
temuilah dua orang tamu kita ini!"
Tentu saja Siok Eng sudah tahu akan kedatang-an, ayah bundanya. Ia terkejut dan mendongkol
kepada A-hai. Mengapa si tolol itu pulang meng-ajak ayah bundanya? Ia sudah selalu berusaha
menghindarkan diri agar jangan bertemu ayah bundanya. Eh, kini tahu-tahu mereka malah dia-jak
oleh A-hai ke tempat itu. Akan tetapi, iapun maklum bahwa kalau ia tidak mau menjumpai me-reka,
tentu A-hai yang akan dipersalahkan, maka dengan cemberut iapun keluar menyambut bersa-ma
Bwee Hong.
Melihat puterinya bersama Bwee Hong, nenek itu lalu menjura ke arah Bwee Hong. "Ah, kiranya nona
penolong juga berada di sini bersama Siok Eng. Suamiku, inilah nona Bwee Hong dari kelu-arga Bu
yang telah menyelamatkan puteri kita de-ngan berkorban nyawa itu!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwa Eng Ki sudah banyak mendengar penu-turan isterinya tentang keluarga Bu Kek Siang yang telah
menyelamatkan puterinya dengan mengor-bankan nyawa kakek Bu dan isterinya, bahkan membuat
putera mereka yang bernama Bu Seng Kun terluka parah, maka diapun mengangguk ke arah Bwee
Hong. "Nona, aku girang sekali dapat bertemu dengan penyelamat nyawa puteri kami."
Disebut nona penolong dan penyelamat nyawa, Bwee Hong merasa kikuk sekali. Ia cepat mem-balas
dengan penghormatan kepada kakek dan ne-nek itu sambil berkata, "Harap ji-wi locianpwe tidak
bersikap sungkan. Adik Eng adalah seorang sahabat baikku, di antara kita tidak ada lagi tolongmenolong,
melainkan hanya merupakan kewajiban hidup yang lumrah saja."
Kini Kwa Eng Ki memandang kepada puteri-nya dan menghardik, "Eng-ji, kenapa engkau ti-ada
hentinya membikin pusing orang tua, selalu pergi tanpa pamit? Apakah engkau tidak betah tinggal di
rumah sendiri? Ke mana lagi engkau hendak pergi? Hayo ikut kami pulang!"
Kwa Siok Eng menggeleng kepalanya dan mu-lutnya cemberut, alisnya berkerut "Ayah, aku be-lum
ingin pulang!"
"Siok Eng, jangan kauhantah ayahmu yang su-dah pusing karena kepergianmu. Sudah lama kami
mencarimu, setelah bertemu, tak mungkin engkau menolak ajakan kami untuk pulang."
"Tidak, ibu, aku belum mau pulang. Aku harus membalas budi orang. Aku tidak mau hidup seba-gai
orang yang tidak mengenal budi. Aku sudah diselamatkan nyawaku, bahkan dengan pengorban-an
dua orang tua yang berbudi mulia seperti men-diang kakek Bu Kek Siang dan isterinya. Apakah
sekarang aku harus berdiam diri saja melihat pu-tera angkat mereka, juga cucu keponakan atau murid
mereka, terancam bahaya?"
Ayah dan ibu yang biasanya tidak mau mem-perdulikan urusan orang lain itu, saling pandang dan
kemudian menoleh lagi kepada puteri mereka. "Apa yang kaumaksudkan? Siapa yang terancam dan
hendak kautolong itu?"
"In-kong (tuan penolong) Chu Seng Kun, ka-kak kandung cnci Bwee Hong ini yang harus kuselamatkan.
Baru aku mau pulang."
Ibunya yang sudah mengenal Seng Kun dengan baik terkejut. "Apa? Tuan penolong kita terancam
bahaya? Apa yang terjadi dengan dia?"
Kini Bwee Hong yang memberi penjelasan, menceritakan bahwa kakaknya telah tertawan oleh Raja
Kelelawar dan anak buahnya dan sekarang kemungkinan besar kakaknya itu ditawan di dalam
benteng kuno yang kini menjadi semacam penjara.
Kami bertiga malam ini juga akan pergi ke benteng itu untuk berusaha menolong saudara Chu Seng
Kun keluar dari sana. Aku sudah menyeli-diki dan tahu di mana adanya tempat itu," kata A-hai yang
menceritakan kepada dua orang gadis itu bahwa dia menitipkan Cui Hiang kepada kepala kampung di
dusun. Akan tetapi dia tidak mence-ritakan tentang keadaan dirinya dan pertemuan-nya dengan kakek
Gu Tek yang membuka rahasia hubungannya dengan keluarga Souw.
"Kalau begitu, aku harus ikut dengan kalian dan membantu usaha membebaskan in-kong!" kata ibu
Siok Eng penuh semangat. Suaminya mengangguk.
"Memang dia harus diselamatkan," kata ketua Tai-bong-pai. "Akan tetapi, Eng-ji apakah eng-kau tahu
di mana adanya kakakmu.? Kami pun mencarinya sampai hampir putus asa tanpa hasil."
Tiba-tiba Siok Eng cemberut dan kelihatan tak senang. "Ayah, perlu apa mencarinya? Orang macam
dia tidak perlu dicari lagi!"
"Eh, Siok Eng, kau bicara apa itu?" Ibunya membentak marah.
"Ibu, puteramu itu telah melakukan penyele-wengan besar dan hanya membikin malu keluarga kita
saja. Dia telah menyeret nama Tai-bong-pai ke dalam lumpur!"
"Hemm, jelaskan ucapanmu itu!" Ayahnya juga membentak.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ayah, kakak Sun Tek telah bersekongkol de-ngan pasukan asing dan membantu pemberontak. Dia
merendahkan diri menjadi kaki tangan penju-al negara!" Dara itu lalu menceritakan tentang kakaknya
seperti yang diketahuinya. Mendengar ini, ayah ibunya menjadi marah sekali.
"Hemrn, anak itu perlu dihajar! Aku akan mencarinya sendiri. Akan tetapi sekarang mari kita berangkat
untuk membebaskan dan menyelamat-kan tuan penolongmu itu."
Berangkatlah mereka berlima menuju ke ben-teng tua dengan A-hai sebagai penunjuk jalan. Dia
sudah memperoleh keterangan secara jelas se-kali dari kepala kampung, maka tanpa ragu-ragu
diapun memimpin teman-temannya memasuki hutan cemara. Setelah mereka keluar dari hutan itu,
nampaklah benteng tua itu. Malam gelap gu-lita, hanya diterangi bintang-bintang di langit. Benteng itu
memang besar dan kokoh kuat, juga dijaga dengan ketat. Tidak ada jalan lain mema-suki benteng,
kecuali dari pintu gerbang di depan yang terjaga kuat itu. Sisi benteng yang lain me-rupakan dindingdinding
karang, jurang yang amat terjal dan tak mungkin dilalui manusia. Dan satu-satunya jalan
menuju ke pintu gerbang me-rupakan sebuah lorong anak tangga yang kadang-kadang terputus dan
disambung jembatan-jem-batan gantung besar. Sehingga dengan adanya lo-rong ini, maka setiap
orang luar yang naik ke bukit menuju ke benteng yang berada di puncak, baru tiba di kaki bukit saja
tentu sudah diketahui oleh para penjaga.
Melihat sulitnya jalan naik dan mereka tentu akan ketahuan dan diserang sebelum sempat me-masuki
benteng sehingga usaha mereka akan sia-sia, ketua Tai-bong-pai lalu mengajak mereka berunding di
kaki bukit, duduk bersembunyi di balik semak-semak di bawah pohon-pohon cema-ra. Di sini terdapat
tanah kuburan tua dan di tem-pat inilah mereka berlima duduk untuk mengada-kan perundingan.
Anehnya, kalau Bwee Hong dan A-hai merasa seram dan ngeri berada di tanah, kuburan di waktu
malam gelap seperti ;tu, adalah ayah ibu dan anak dari Tai-bong-pai itu merasa betah dan enak!
Tidaklah mengherankan karena memang mereka berasal dari perkumpulan Makam Kuburan!
"Tempat itu sungguh terjaga ketat dan sukar dimasuki," kata Kwa Eng Ki. "Andaikata kita nekat
mendaki dinding karang yang terjal itu dan berhasil mencapai tembok, tentu setibanya di atas tembok
kita akan diketahui oleh para penjaga di sana. Ki-ta belum tahu di mana para tawanan itu berada,
maka kalau sampai kita ketahuan sebelum berha-sil membebaskan tawanan, tentu mereka akan
bersiap-siap dan penjagaan diperkuat sehingga makin sulit bagi kita untuk membebaskan tawan-an!"
Selagi lima orang itu berunding dan belum me-nemukan jalan baik, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh
suara hiruk-pikuk dan sorak-sorai di antara bunyi terompet. Jelas bahwa itu adalah suara
pertempuran! Dan suara itu makin jelas terdengar, mendekati ke arah hutan cemara itu.
Kwa Eng Ki, ketua Tai-bong-pai itu berkata, "Sebaiknya kita berlindung dan bersembunyi ke atas
pohon!" Berkata demikian, kakek ini lalu me-loncat ke atas, diikuti oleh isterinya dan puterinya.
Bagaikan burung saja mereka bertiga melayang ke atas dan hinggap di dahan pohon cemara. Bwee
Hong juga meloncat dengan ringannya, dan gerak-annya amat indah. Akan tetapi baru saja ia tiba di
atas dahan pohon dan melihat ke bawah, dara ini sudah berjungkir balik dan meloncat turun lagi. Dari
atas ia melihat A-hai berdiri bengong dan ragu-ragu, maka iapun turun lagi dan meng-hampiri pemuda
itu.
"Kau kau kenapakah?" tanyanya.
A-hai menghela napas panjang. "Ah, sungguh celaka, nona aku aku telah mulai lupa lagi, tidak ingat
lagi bagaimana harus mengerah-kan tenaga agar dapat meloncat ke atas."
Bwee Hong teringat bahwa sudah tiba waktu-nya pemuda itu harus menerima bantuan pengo-batan.
Maka iapun cepat mengeluarkan jarum-ja-rumnya dan dengan meraba-raba, ia menusukkan jarumjarum
itu pada pelipis, tengkuk dan pundak A-hai. Dan seperti biasa setelah menga-lami
pengobatan ini, A-hai tertidur pulas di ba-wah pohon! Bwee Hong duduk tersimpuh menja-ganya.
"Ssttt, enci Hong, cepat naik " terdengar
suara Siok Eng, Akan tetapi Bwee Hong tidak menjawab. Bagaimana ia dapat meninggalkan A-hai
dalam keadaan tidur seperti itu?
dunia-kangouw.blogspot.com
Akhirnya Siok Eng dan ayah bundanya turun kembali. "Ada apakah dia itu?" tanya ketua Tai-bong-pai
dengan terheran-heran melihat pemuda yang pernah dirasakan kehebatannya itu kini enak-enak tidur
pulas.
"Locianpwe, saudara A-hai selalu tertidur se-tiap kali habis diobati. Untuk membantu ingatan-nya yang
selalu lupa, aku dan kakakku melakukan penusukan jarum, dan baru saja aku melakukan penusukan
lagi dan akibatnya dia tertidur."
"Sampai berapa lama dia akan tidur?" tanya Kwa Eng Ki sambil mengerutkan alisnya. Suara
pertempuran itu makin mendekat, agaknya ada pi-hak yang dikejar-kejar dan lari masuk ke dalam
hutan sambil melakukan perlawanan.
"Biasanya agak lama, sedikitnya satu jam."
"Wah, kalau begitu biar kita bawa dia bersem-bunyi di atas pohon saja. Pertempuran itu sudah dekat
dan tentu akan memasuki hutan ini!" kata ketua Tai-bong-pai dan dia lalu memanggul tu-buh A-hai
lalu didudukkan di atas dahan dan cabang, bersandar batang pohon. Bwee Hong me-megang pundak
dan menjaganya.
Karena pohon cemara itu bukan pohon yang terlalu kuat untuk ditempati terlalu banyak orang, maka
ketua Tai-bong-pai, isterinya dan puteri-nya bersembunyi di pohon lain dan membiarkan Bwee Hong
berdiam di pohon itu bersama A-hai yang dijaga agar tidak sampai terguling ke bawah.
Agaknya karena posisi yang tidak menyenang-kan itulah yang membuat A-hai terbangun atau sadar
lebih cepat dari pada biasanya. Ketika per-tempuran itu mulai memasuki hutan, diapun ter-jaga. Dari
atas pohon dapat dilihat pertempuran yang tidak seimbang dari dua pasukan yang sama-sama
berpakaian seragam. Pasukan yang jumlah-nya hanya duaratus lebih itu diserbu dan didesak oleh
pasukan lain yang juga berpakaian seragam perajurit pemerintah daerah yang jumlahnya seribu orang
lebih! Dan kini jumlah pasukan yang dike-jar-kejar itu sudah banyak berkurang, agaknya sudah
banyak yang roboh dan tewas sejak mereka diserbu kemudian dikejar sampai ke hutan itu. Pa-sukan
kecil ini mati-matian mempertahankan diri, akan tetapi karena mereka itu sudah nampak kele-lahan
sekali dan satu orang dikeroyok oleh lebih dari lima orang, maka apa yang terjadi di hutan itu bukan
lagi pertempuran, melainkan pemban-taian.
Lima Orang yang berada di atas pohon, terma-suk A-hai yang kini sudah sadar kembali, menon-ton
pertempuran itu dengan penuh keheranan. Mengapa dua pasukan yang sama-sama pasukan
pemerintah itu saling gempur sendiri?
"Ah, pasukan kecil itu adalah pasukan yang berada di dusun itu!" A-hai berbisik kepada Bwee Hong.
"Dan lihat, komandan pasukan itu .... ah, bukankah dia itu kakak nona Eng? Dan di sana itu, mereka
adalah pasukan asing yang pernah kita jumpai "
Bwee Hong mengangguk. Iapun mengenal Kwa Sun Tek yang berpakaian perwira, dan melihat pula
adanya pasukan orang-orang asing bukan Bangsa Han yang berada di antara pasukan yang sedang
melakukan pembantaian. Tahulah mereka bahwa yang dibantai itu adalah pasukan kecil anak buah
pasukan induk dari Jenderal Beng Tian, yaitu pasukan yang setia kepada kerajaan, sedangkan
pasukan besar itu adalah pasukan dae-rah yang bersekongkol dengan pasukan asing.
Akhirnya, pasukan kecil yang bertahan itu ha-bis dibasmi dan mungkin hanya beberapa orang saja di
antara mereka yang berhasil meloloskan diri di dalam kegelapan hutan. Setelah musuh-tidak ada
yang bergerak melawan lagi, pasukan asing itupun berhenti dan melepaskan lelah di hutan. Kebetulan
sekali para pimpinan pasukan yang me-nang itu, terdiri dari beberapa orang pembesar kepala daerah
dan beberapa perwira, beristirahat dan berkumpul di bawah pohon di mana lima orang itu
bersembunyi. Mereka membuat api unggun dan kini lima orang yang bersembunyi di atas po-hon itu
dapat melihat wajah mereka. Terheran-heranlah lima orang itu. Jelas bahwa pasukan ini menang
perang, akan tetapi kenapa wajah para pemimpinnya nampak tidak bergembira, seperti orang
berduka dan gelisah, bahkan dua orang dj antara para pembesar sipil itu nampak mengha-pus air
matanya?
A-hai membuat gerakan, mendekatkan mulut-nya ke arah telinga Bwee Hong. Dia ingin menga-takan
atau membisikkan sesuatu, akan tetapi begi-tu dia mendekatkan mulutnya dengan kepala dara itu,
dunia-kangouw.blogspot.com
hidungnya mencium bau sedap khas wanita yang membuat dia merasa jantungnya berdebar keras
dan diapun tidak mampu mengeluarkan kata-kata, dan mukanya menjadi merah sekali.
Melihat betapa A-hai mendekatkan mulutnya dekat telinga akan tetapi tidak jadi mengeluarkan katakata
itu, Bwee Hong terheran-heran dan berbisik," Engkau kenapakah? Apa yang akan kaukatakan?"
A-hai tergagap "Anu ..eh, aku heran sekali kalau tidak salah ingat, pasukan asing dan komplotannya
itu tadinya berjumlah banyak sekali. Kenapa kini tinggal sekian?"
Bwee Hong mengangguk-angguk dan memandang penuh perhatian. Tiba-tiba seorang di antara dua
kepala daerah yang nampak menghapus air mata itu bangkit berdiri dan wajahnya merah padam,
tangan kanannya dikepal dan dipukulkan ke telapak tangan kirinya sendiri penuh geram dan
penyesalan. "Sungguh kurang ajar! Tak kusangka Liu Pang dan pasukannya itu sedemikian cerdik
dan kuatnya. Sebenarnya, pasukan gabungan kita itu lebih kuat dari pada mereka. Akan tetapi karena
kelalaian kita, kita menjadi buruan seperti ini! Untung yang kita temui tadi hanya sebagian kecil saja
pasukan pemerintah. Andaikata kita bertemu dengan pasukan besar Jenderal Beng Tian, kita akan
hancur lebur. Aihhh kita telah gagal, hancurlah semua rencana dan cita – cita kita "
Seorang perwira menarik napas panjang. "Kita memang bernasib malang. Bukan hanya kehilangan
pasukan, bahkan semua anak isteri dan keluarga dan harta benda kitapun musnah "
Apakah yang telah terjadi dengan pasukan ga-bungan yang tadinya amat kuat itu? Seperti telah kita
ketahui, Liu-bengcu atau Liu Pang, berdua dengan muridnya, Ho Pek Lian, melakukan penye-lidikan
terhadap pasukan gabungan antara pasu-kan pemerintah daerah dan pasukan asing yang menjadi
sekutunya. Pasukan itu amat kuat, bukan hanya terdiri dari pasukan para kepala daerah dan pasukan
asing, akan tetapi mereka dibantu dan di-perkuat pula oleh para iblis Ban-kwi-to dan anak buah
mereka. Akan tetapi, setelah Liu-bengcu mengetahui tempat mereka berkumpul, tempat itu dikepung
dan dengan cara perang gerilya, sergap dan lari, kekuatan mereka itu dapat diceraibe-raikan dan
akhirnya mereka mengalami kekalahan besar terhadap penyerbuan pasukan pendekar. Me-reka
dapat dibuat cerai-berai dan akhirnya mere-ka dikejar-kejar sampai ke tempat itu.
Selagi para pimpinan pejabat daerah yang ber-khianat itu bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar derap
kaki kuda dan muncullah seorang perajurit yang segera memberi laporan dengan napas tere-ngahengah,
"Pasukan Liu Pang makin dekat, tinggal dua dusun lagi dari sini. Mereka beristira-hat di sana
dan menjelang fajar nanti akan berang-kat melanjutkan pengejaran mereka."
"Keparat! Tiba-tiba Kwa Sun Tek bangkit berdiri dan mengepal tinju. "Biarkan mereka da-tang, kita
akan hadapi mereka di sini!"
Seorang perwira yang berada di antara para pimpinan itu melangkah maju dan suaranya lan-tang
terdengar oleh semua rekannya, "Cu-wi (tuan sekalian), bagaimanapun juga, agaknya kita tidak
mempunyai jalan keluar, dan terpaksa kita harus menghadapi mereka. Kekuatan mereka jauh lebih
besar dan melakukan pertempuran secara terbuka berarti menghancurkan diri sendiri bagi kita. Di
depan terdapat sebuah benteng tua, di puncak bukit itu. Tempat itu sekarang dijadikan tempat
tahanan dan tempat itu amatlah baik untuk dipergunakan sebagai benteng pertahanan. Mari kita
kuasai tempat itu dan kita jadikan sebagai tem-pat pertahanan menghadapi pasukan-pasukan Liu
Pang. Mereka tidak akan mampu mengalahkan kita dengan mudah kalau kita bertahan di sana."
"Akan tetapi kalau tempat itu sukar diserbu, bagaimana mungkin kita dapat merampasnya?" kata Kwa
Sun Tek.
"Aku mengenal baik para komandan di sana karena aku pernah bertugas di sana selama bebe-rapa
tahun. Biarlah aku membawa pasukan dan mengatakan bahwa kita adalah pasukan pembantu dari
ibu kota untuk memperkuat penjagaan di tem-pat tawanan ini. Mereka tentu akan percaya dan setelah
berada di sana, kita kuasai benteng itu," kata si perwira. Semua orang menyetujui.
"Mari kita laksanakan rencana itu sebelum ba-risan Liu Pang tiba di sini," kata seorang pembesar sipil
yang sudah merasa ketakutan.
Sementara itu, tiba-tiba A-hai dan Bwee Hong mendengar bisikan suara ketua Tai-bong-pai yang
agaknya dikirim dengan kekuatan khikang sehingga biarpun kakek itu berada di pohon lain, suaranya
dunia-kangouw.blogspot.com
dapat terdengar oleh mereka dengan je-las tanpa terdengar oleh mereka yang berada di bawah
pohon.
"Kebetulan sekali bagi kita rencana mereka itu. Mari kita mencari pakaian perajurit dan menya-mar
sebagai anggauta pasukan mereka. Kita me-nyusup di bagian pedati-pedati perbekalan agar tidak
mudah mereka ketahui. Jangan bertindak apa-apa, dan kita ikut menyelundup ke dalam benteng itu."
Bwee Hong lalu memberi isyarat kepada A-hai dan keduanya lalu meloncat ke pohon lain. Mempergunakan
kegelapan malam, mereka berloncatan dan setelah berada di tempat sepi, mereka dapat
mencari pakaian dari perajurit-perajurit yang te-was dalam pertempuran tadi. Mereka melucuti pakaian
mayat perajurit yang cocok besarnya untuk mereka, lalu menyamar sebagai perajurit. Karena malam
itu gelap dan semua perajurit sedang sibuk dan tegang mendengar betapa para penyerbu su-dah
semakin dekat, dengan mudah Bwee Hong dan A-hai menyusup di antara kereta-kereta perbe-kalan
dan bersikap sebagai pengawal-pengawal. Mereka juga dapat melihat kakek dan nenek Tai-bong-pai
bersama puteri mereka. Bahkan kakek itu kini memegang kendali kuda yang menarik ke-reta
perbekalan. Entah apa yang telah mereka la-kukan dengan kusirnya.
Berkat akal si perwira, dengan mudah pasukan yang berjumlah seribu orang lebih itu dapat memasuki
pintu gerbang benteng dan begitu mereka berada di dalam, segera mereka menyergap dan
melucuti para penjaga. Tentu saja para penjaga yang jumlahnya hanya seratus orang dan yang
mengandalkan kekuatan benteng itu, tak berani melawan dan akhirnya menyerahkan benteng untuk
dikuasai para pendatang baru ini. Segera pasukan itu diatur untuk melakukan penjagaan sekuatnya di
benteng yang amat kokoh itu. Hati mereka agak lega karena kini mereka memperoleh tempat perlindungan
yang boleh diandalkan.
Sementara itu, lima orang perajurit palsu yang ikut menyelundup masuk, kini berpencar untuk
menyelidiki keadaan benteng penjara itu. Bwee Hong pergi bersama A-hai, Siok Eng bersama
ibunyanya sedangkan ketua Tai-bong-pai yang lihai itu pergi menyendiri. Mereka tentukan tem-pat
untuk pertemuan mereka setelah penyelidikan masing-masing, yaitu di bagian belakang benteng, tak
jauh dari sumber air yang berada di sebelah belakang di balik tembok belakang.
Bwee Hong dan A-hai menuju ke belakang bangunan benteng, ke bagian dapur. Karena yang
bertugas di dapur adalah perajurit-perajurit lama dan mereka tidak dapat membedakan mana kawan
dan lawan, apa lagi melihat betapa di antara pasu-kan baru yang mengambil alih benteng itu terda-pat
banyak pula orang-orang liar atau orang asing, maka kemunculan Bwee Hong dan A-hai yang
menyamar sebagai perajurit-perajurit itu tidak menimbulkan kecurigaan.
"Sobat baik, tolonglah beri makanan kepada kami yang kelaparan ini," kata A-hai dan diam-diam
Bwee Hong melihat betapa kawannya itu telah mendapatkan kembali kecerdikannya, bukan seperti Ahai
yang biasanya ketololan itu.
Dua orang petugas dapur itu memandang ke-pada A-hai dan agak lama memandang wajah "perajurit"
yang bertubuh kecil ramping itu. Seo-rang di antara mereka tersenyum dan tangannya diulur untuk
menyentuh lengan Bwee Hong sam-bil berkata, "Anak masih begini kecil dan tampan sudah menjadi
perajurit."
A-hai memegang tangan orang itu dan pura-pura marah. "Jangan goda adikku! Dia tidak bisa pisah
dariku, maka terpaksa ikut menjadi perajurit. Dan jangan tertawakan dia, karena dia dia gagu."
Gagu? Wah, sayang begini tampan gagu"
"Sudahlah, kami lapar, tolong beri makanan."
"Sebentar lagi, belum matang roti yang kami masak," kata seorang di antara mereka. "Duduk-lah dulu
dan ceritakan jalannya pertempuran me-lawan pemberontak."
A-hai lalu bercerita bahwa dia ikut pula ber-tempur melawan para pemberontak di daerah se-latan.
Akan tetapi karena selalu kalah, pasukannya ditarik kembali ke kota raja dan pagi tadi menda-dak
pasukannya menerima perintah untuk menduduki benteng itu dan mempertahankannya dari
pemberontak Liu Pang yang menuju ke situ.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba terdengar suara derap kaki dan Bwee Hong bersama A-hai sudah siap-siap menghadapi
segala kemungkinan. Yang muncul adalah dua orang perajurit lagi yang berjalan sempoyongan, tanda
bahwa mereka sedang mabok.
"Ha-ha-ha kepala jaga penjara itu selalu mempunyai arak dan kami diberi seguci arak yang
amat baik. Tapi eh, mereka minta tukar dengan roti. A-khun, tolonglah beri roti kepada-ku untuk
kepala jaga."
"Tunggu sebentar, rotinya sedang dipanaskan," kata si tukang masak. Dua orang perajurit itu du-duk
dan menghabiskan arak mereka. Ketika roti yang diminta akhirnya sudah siap, seorang di an-tara
mereka sudah rebah tidur mengorok, yang se-orang mencoba untuk membangunkannya namun siasia
karena orang itu sudah tidur seperti bang-kai. Melihat ini, A-hai menghampiri. "Sobat, te-manmu itu
sudah tidur pulas, mana mungkin bisa disuruh bangun? Kalau ada tugas, biarlah aku dan adikku ini
membantumu, menggantikan temanmu yang tidur." Melihat wajah yang mabok itu me-mandang ragu,
A-hai cepat menyambung, "Dan engkau sendiripun perlu mengaso, kalau kami ber-dua dapat
menggantikan, engkau kan dapat tidur pula di sana."
Mendengar bahwa ada orang mau mengganti-kannya berjaga sehingga dia dapat mengaso dan tidur,
perajurit itu nampak girang. Dia mengang-guk-angguk. "Baik, sungguh membosankan me-mang
berjaga di penjara itu. Apanya sih yang di-jaga?"
A-hai dan Bwee Hong lalu mengikuti penjaga itu sambil membawakan roti. Mereka berdua me-rasa
betapa jantung mereka berdebar tegang keti-ka perajurit yang jalannya sempoyongan itu mem-bawa
mereka memasuki sebuah bangunan besar yang terjaga oleh pasukan yang nampak tak acuh.
Mereka bertiga terus masuk ke lorong dalam pen-jara itu, melewati kamar-kamar tahanan. Di da-lam
sebuah ruangan tahanan yang besar dan agak gelap nampak tiga orang tahanan yang diborgol kaki
tangannya. Tiba-tiba Bwee Hong mencubit lengan A-hai. Pemuda ini memandang dan diapun
mengenal Seng Kun bersama seorang kakek dan seorang pemuda lain. Melihat betapa keadaan tiga
orang tawanan itu diborgol dengan ketat dan pen-jagaan di situ amat kuat, A-hai memberi isyarat
kepada Bwee Hong agar tidak melakukan tindakan sesuatu.
Yang berada di dalam ruangan itu memang Seng Kun dan dua orang penolongnya, yaitu kakek Kam
Song Ki dan muridnya, yaitu Kwee Tiong Li bekas pemberontak yang kini telah meninggalkan
pasukannya dan menjadi murid kakek sakti itu.
Mereka bertiga melihat adanya dua orang peraju-rit penjaga yang datang bersama perajurit mabok,
akan tetapi karena penyamaran kedua orang itu amat baik dan mereka hanya melihat dari jauh,
mereka tidak mengenal dua orang itu. Apa lagi karena memang mereka bertiga tidak menaruh
perhatian terhadap para perajurit penjaga.
Bwee Hong juga cerdik dan ia tidak memperli-hatkan sikap yang mencurigakan, pura-pura tidak
perduli dan tidak mengenal tiga orang tawanan itu walaupun ingin ia cepat turun tangan menolong
kakaknya. Ia harus menahan kesabarannya. Biar-pun saat itu amat berbahaya kalau ia dan A-hai
mencoba untuk menolong tawanan, melihat pen-jagaan yang cukup kuat. namun setidaknya ia su-dah
tahu benar di mana tempat kakaknya ditahan.
Setelah perajurit mabok itu menyerahkan roti yang dimintanya dari dapur kepada kepala jaga dan dia
sendiri lalu tertidur di tempat penjagaan dengan membiarkan A-hai dan Bwee Hong menggantikannya,
A-hai lalu mengajak Bwee Hong diam-diam meninggalkan tempat itu dan menye-linap
pergi untuk menemui teman-temannya. Di tempat yang sudah ditentukan, tak lama kemudian
merekapun sudah berkumpul kembali dengan Kwa Eng Ki ketua Tai-bong-pai, Siok Eng dan ibu-nya.
Mereka bertiga tidak berhasil mencari di mana adanya tiga orang yang ditahan itu dan tentu saja
mereka girang mendengar akan hasil pe-nyelidikan A-hai.
"Mereka ditahan di dalam ruangan tahanan yang menembus ke dapur," kata A-hai. "Kami sudah tahu
tempatnya dan kami sudah melihat me-reka di ruangan itu, diborgol kaki tangan mereka."
"Akan tetapi penjagaan di situ amat kuat, agak-nya amat sukar kalau kita menyerbu dengan kekerasan.
Sebelum kita berhasil melepaskan mereka, terdapat bahaya kalau-kalau para perajurit penjaga
menyerang mereka yang diborgol," sambung Bwee Hong.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tadipun kita beruntung karena dapat pergi bersama seorang perajurit penjaga mabok. Kalau bukan
perajurit penjaga penjara itu, agaknya sukar untuk dapat masuk, dan kita tidak tahu pula siapa
pemegang kunci-kunci pintu besi dan kunci-kunci borgol besi itu. Padahal, memasuki ruangan itu saja
harus melalui lima pintu besi yang hanya dapat dibuka dengan kunci," A-hai menerangkan lebih
lanjut.
Ketua Tai-bong-pai mengangguk-angguk. "Kita harus pergi ke sana dan membebaskan mere-ka
sekarang juga."
'Tapi tapi itu membahayakan kakakku " Bwee Hong membantah.
"Nona, harap jangan khawatir. Percayalah ke pada suamiku. Dia tidak akan bertindak sembrono dan
dia pasti akan berusaha sampai berhasil." Is-teri ketua Tai-bong-pai menghibur Bwee Hong ketika
melihat suaminya mengerutkan alisnya, tan-da tidak senang hatinya karena dibantah. Memang sudah
menjadi watak ketua Tai-bong-pai ini yang akan merasa terhina kalau sampai tidak di percaya orang,
apa lagi kalau sampai dibantah ke-hendaknya dia akan marah sekali. Andaikata bu-kan Bwee Hong
yang membantahnya, yaitu nona keluarga penolong puterinya, tentu dia akan mem-beri hajaran!
Mendengar kata-kata nyonya itu, hati Bwee Hong menjadi lega. Bagaimanapun juga, ia sudah
mengenal Siok Eng dan tahu betapa lihainya te-mannya itu, dan kini, ayah temannya itu yang akan
turun tangan membantunya membebaskan kakak-nya, tentu saja ia percaya akan kesaktian kakek
ketua Tai-bong-pai itu.
Dipimpin oleh kakek Kwa Eng Ki, mereka de-ngan hati-hati lalu bergerak menuju ke bangunan depan,
bersikap sebagai serombongan perajurit yang sedang meronda. Tiba-tiba mereka melihat adanya
kesibukan. Beberapa orang perwira nam-pak bergegas memasaki sebuah ruangan. Kwa Eng Ki
memberi isyarat dan mereka cepat menyelinap dan melakukan pengintaian ke dalam ruangan itu
karena mereka dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang penting. Dan ternyata di dalam
mangan itu berkumpul para pimpinan pasukan yang menguasai benteng itu. Para gubernur
pelarian beserta para perwiranya sudah berkum-pul. Mereka mendengarkan pelaporan seorang
perwira yang bertugas menyelidiki keadaan di luar dan wajah mereka berobah tegang ketika mendengar
bahwa barisan pemberontak yang dipimpin oleh Liu Pang telah menuju ke benteng itu.
"Ah, barisan orang she Liu itu benar-benar datang!" kata seorang gubernur. "Mereka agaknya tidak
berhenti malam ini dan terus melakukan pe-ngejaran, langsung menuju ke sini. Kalau begitu, malam
ini juga tentu mereka akan sampai di sini. Kita harus cepat mengatur penjagaan yang kuat. Untung
bahwa benteng ini merupakan tempat ber-tahan yang amat baik."
Kwa Eng Ki memberi isyarat kepada teman-temannya dan mereka menyelinap pergi menjauhi
ruangan itu. Di tempat sunyi mereka berkumpul dan membuat rencana.
"Wah, kita akan terlibat dalam pertempuran lagi malam ini. Dan mereka ini pasti akan mempertahankan
diri mati-matian di benteng ini se-dangkan pasukan-pasukan Liu-bengcu juga tentu akan
mengerahkan kekuatan untuk menghancurkan musuh."
"Locianpwe, apa yang akan kita lakukan seka-rang?" tanya Bwee Hong, hatinya tidak sabar dan
penuh ketegangan. Ia mengkhawatirkan terjadinya perobahan kalau sampai pasukan Liu-bengcu
menyerbu. Kalau terjadi pertempuran yang kacau-balau, tentu keselamatan kakaknya terancam. Kakaknya
harus dapat dibebaskannya sebelum terjadi pertempuran, pikirnya.
"Kalian berempat tetaplah menanti di sini. Aku akan menyiapkan rencanaku. Nanti tepat tengah
malam kalian harus menyerbu dan membersihkan sudut pojok tembok belakang bagian barat itu dari
para penjaga. Aku telah menyelidiki bagian itu. Hanya ada belasan orang penjaga saja, tempatnya
sunyi dan di belakang tembok itu tebingnya biar-pun curam akan tetapi terdapat banyak tonjolan-nya
sehingga kita akan dapat menuruninya. Di bawah tebing terdapat sebuah sungai yang dang-kal
sehingga mudah bagi kita untuk menyeberang-inya dan menghilangkan jejak."
"Akan tetapi apa yang akan locianpwe lakukan? Agar kami dapat mengetahuinya sehing-ga hati
kami menjadi tenang," kata A-hai.
Ketua Tai-bong-pai itu tersenyum dan wajah-nya yang pucat seperti mayat itu nampak semakin
menyeramkan. "Tentang cara-caraku untuk me-nyelamatkan kawan-kawan kita, kalian tidak perlu
dunia-kangouw.blogspot.com
turut campur. Aku yakin pasti usahaku akan ber-hasil. Mungkin bagi orang-orang golongan bersih
seperti kalian, cara-caraku itu akan kelihatan agak mengerikan. Bagaimanapun juga, aku merasa
yakin akan dapat membebaskan tiga orang tawanan itu."
Beberapa orang perajurit muncul di tempat itu dan mereka berlima menghentikan percakapan
mereka. Seorang di antara perajurit-perajurit itu, yang agaknya memiliki pangkat, melihat lima orang
"perajurit" bergerombol itu, menegur, "Hei, apa yang kalian lakukan di sini? Kita semua sedang sibuk
melakukan persiapan untuk menghadapi pe-nyerbuan musuh, kalian malah enak-enakan di sini.
Hayo, kembali ke induk pasukan kalian dan mem-persiapkan diri!"
A-hai mendahului kawan-kawannya, meng-ambil sikap tegak dan menjawab, "Siapp!!" Lalu mereka
berlima pergi meninggalkan tempat itu. Setelah memberi isyarat dengan tangannya, ketua Tai-bongpai
lalu menggerakkan tubuhnya dan lenyap di tempat gelap.
"Di mana kita harus menanti ayah? Kalau kita ikut berkumpul dan berbaris, ada bahayanya penyamaran
kita akan ketahuan," kata Siok Eng.
"Kita ke dapur saja! Aku telah mereka kenal dan kita dapat membohong, mengatakan bahwa kita
diberi tugas memperkuat penjagaan di dapur," kata A-hai dan mereka semua tidak mempunyai pilihan
lain yang lebih baik, maka pergilah mereka ke dapur.
Menjelang tengah malam yang menyeramkan dan menegangkan. Para perajurit yang berjaga di
benteng itu merasa betapa waktu merayap amat lambatnya, semakin lama semakin menegangkan
hati. Sedikit suara saja sudah membuat mereka terperanjat dan jantung mereka berdebar-debar
penuh rasa gelisah. Mereka secara bergilir mela-kukan penjagaan di atas tembok benteng, di seki-tar
pintu gerbang dan bagian-bagian yang seki-ranya akan menjadi sasaran penyerbuan musuh.
Tiba-tiba, seorang perajurit yang berjaga di menara membunyikan terompet. Itulah tanda ba-haya,
tanda bahwa pihak musuh sudah nampak! Seperti berebutan, para komandan pasukan berla-ri-larian
ke atas tembok benteng untuk menyak-sikan sendiri dan mereka semua menahan napas ketika
melihat cahaya terang dari kejauhan yang semakin lama semakin terang, seolah-olah mata-hari terbit
di fajar menyingsing. Padahal, saat itu masih menjelang tengah malam! Dan tak lama ke-mudian,
terdengarlah derap kaki yang membuat benteng itu seperti tergetar dan nampaklah barisan obor yang
memenuhi lembah dan kaki bukit yang luas itu. Tentu saja semua perajurit yang berjaga di benteng
merasa ngeri. Kekuatan pihak musuh itu tentu puluhan kali lebih besar dari pada keku-atan mereka
sendiri.
Kini ribuan obor yang berada di lereng itu per-lahan-lahan terpencar dan tersebar mengepung
benteng Itu. Bukan main banyaknya, kemudian terdengar bunyi terompet yang memecah kehe-ningan
angkasa malam. Begitu terompet terdengar, semua obor yang bergerak naik ke atas bukit itu padam!
Keadaan menjadi gelap pekat dan tidak terdengar suara sedikitpun. Derap kaki musuhpun lenyap
seolah-olah mereka itu barisan setan yang pandai menghilang.
Tentu saja keadaan ini membuat semua peraju-rit yang berjaga di atas tembok benteng menjadi
tegang hatinya dan ketakutan. Mereka menjadi kebingungan, tidak tahu apa yang harus dilakukan
karena pimpinan merekapun tidak memberi isya-rat apa-apa, agaknya sama bingungnya dengan
mereka menghadapi siasat musuh yang luar biasa ini. Bagaimana kalau musuh itu tahu-tahu mun-cul
di depan hidung mereka? Malam demikian gelapnya! Untuk memasang penerangan di atas tembok
benteng, sama saja dengan membuat mere-ka menjadi sasaran anak panah pihak musuh. Sung-guh
celaka, belum apa-apa, sebelum bertempur, nyali para perajurit di benteng itu sudah hilang se-paruh.
Segerombolan perajurit yang berjaga di be-lakang pintu gerbang, berkelompok dan biarpun hawa
malam itu tidak begitu dingin, mereka itu sering kali menggigil seperti orang kedinginan.
"Kawan-kawan," kata seorang di antara mereka setelah mereka turun lagi dari atas benteng untuk
melihat keadaan di luar tembok benteng, mereka itu seperti setan saja! Mereka menggunakan akal
busuk, membikin kita tegang dan ketakutan terlebih dahulu dengan cara memadamkan obor – obor
itu. Kita menjadi seperti menanti musuh yang seperti iblis bangkit dari kuburan, menanti munculnya
mereka yang siap untuk mencekik leher kita, entah dari arah mana , huh, sungguh gila....!"
"Ahhh jangan bicara tentang iblis dan setan , aku juga takut. Siapa tahu tiba-tiba mereka muncul
di sini dan hiiiihhh...... sssettt ...... sseeetann !" Dan orang itupun jatuh terduduk dengan
dunia-kangouw.blogspot.com
celana basah, mukanya pu-cat dan matanya terbelalak, telunjuknya menuding ke arah depan, yaitu di
arah belakang teman-te-mannya. Semua orang membalikkan tubuh dan merekapun terbelalak, ada
yang menahan jerit, bahkan ada yang langsung roboh pingsan.
Apakah yang mereka lihat? Sungguh pengli-hatan yang mendirikan bulu roma dan amat menakutkan,
apa lagi terjadi di malam sunyi yang menegangkan itu, di mana mereka semua berada
dalam keadaan dicekam ketakutan. Siapa yang ti-dak akan merasa takut kalau di malam gelap itu
mereka melihat seorang perajurit berdiri, hanya tiga meter jauhnya, dengan dadanya masih ditem-busi
tombak? Jelaslah bahwa orang itu tidak mungkin dapat berdiri, bahkan bergerakpun tak mungkin,
karena orang yang dadanya tertembus tombak seperti itu tentu sudah mati. Pakaiannya berlepotan
darah kering, dan mukanya putih pucat, mulutnya ternganga dan matanya mendelik, juga bau bangkai
busuk menyerang hidung mereka. Yang membuat mereka semua amat ketakutan adalah ketika
mereka mengenal perajurit ini seba-gai seorang teman mereka yang tewas dalam per-tempuran di
lereng bukit melawan sisa pasukan Jenderal Lai itu. Dan kini mayat hidup itu melang-kahkan kaki,
menghampiri mereka dengan gerak-an meloncat-loncat kaku!
Ternyata bukan di tempat itu saja muncul ma-yat hidup. Juga di atas tembok benteng, bermun-culan
mayat-mayat hidup, mayat para perajurit yang tewas di dalam pertempuran, baik perajurit dari
pasukan Jenderal Lai maupun perajurit te-man-teman mereka yang berjaga di benteng itu. Mayatmayat
hidup berkeliaran, gentayangan de-ngan bau busuk dan tubuh masih berlepotan da-rah kering,
Gegerlah tempat penjagaan. Siapa ti-dak akan merasa ngeri melihat mayat-mayat itu berjalan, ada
yang lengannya buntung, bahkan ada yang tanpa kepala.
Para perajurit penjaga yang panik ketakutan itu ada yang berlaku nekat, menyerang mayat-ma-yat
hidup itu dengan golok dan pedang, juga me-nusuk dengan tombak. Akan tetapi, mayat-mayat itu
tidak mengenal sakit. Biarpun tubuh mereka ditembusi senjata tajam dan leher mereka putus ditebas
golok, tetap saja mereka itu tertatih-tatih berjalan, ada yang meloncat-loncat dan bau busuk amat
memuakkan perut.
Banyak sekali mayat-mayat itu, seperti tiada habisnya bermunculan dari luar tembok benteng.
Tadinya para komandan jaga mengira bahwa ini tentu siasat musuh yang melakukan penyamaran,
akan tetapi betapa ngeri rasa hati mereka ketika mereka merobohkan dan menangkap sebuah mayat
hidup dan memeriksa, ternyata yang diperiksanya itu benar-benar mayat yang sudah hampir busuk!
Benar-benar mayat hidup yang gentayangan dan berkeliaran menyerbu benteng itu! Bukan hanya
puluhan, bahkan ratusan banyaknya. Mayat-mayat itu terus bergerak dengan kaku menuju ke penjara!
Dapat dibayangkan betapa panik dan takutnya para perajurit yang berjaga di penjara. Keadaan
menjadi kacau-balau. Memang sebelumnya me-reka sudah ketakutan mendengar bahwa benteng
diserbu oleh ratusan mayat hidup dan kini tahu-tahu mayat-mayat itu bermunculan di tempat ja-ga
mereka. Tanpa banyak cakap lagi merekapun melarikan diri ketakutan, ada yang terkencing-ken-cing.
Sebentar saja, penjara itupun kosong diting-galkan para penjaga. Betapapun gagahnya, para penjaga
yang hanya manusia-manusia biasa itu tentu saja tidak mempunyai nyali yang cukup be-sar untuk
melawan pasukan mayat hidup!
Mayat-mayat itu menyusup ke mana-mana. Bahkan dapurpun mereka masuki A-hai, Bwee Hong,
Siok Eng dan ibunya yang ikut berjaga di dapur, melihat kawan-kawan mereka lari ketakut-an dan
merekapun bangkit dan keluar dari dalam dapur untuk menyaksikan apakah benar ada ma-yat-mayat
mengamuk seperti yang diteriakkan orang-orang itu. Dan baru saja mereka keluat pintu dapur,
mereka berhadapan dengan beberapa sosok mayat hidup yang berjalan dengan gerakan kaku dan
ada yang berloncatan.
"Heiii itu be..benar mayat-mayat hidup ......!" A-hai berseru, matanya terbelalak karena selama
hidupnya belum pernah dia me-nyaksikan keanehan seperti itu.
"Hiiihhhh , mengerikan !" Bwee Hong memandang pucat dan ketakutan.
Akan tetapi, Sok Eng dan ibunya nampak tenang-tenang saja, bahkan mereka berdua lalu meloncat
ke depan menghadapi lima sosok mayat hidup itu dan mereka lalu merangkapkan kedua tangan di
depan dada seperti orang-orang mem-beri hormat, mulut mereka berkemak-kemik dan mayatmayat
itupun lalu membalikkan tubuh dengan kaku, kemudian melangkah pergi mening-galkan tempat
itu! Tentu saja A-hai dan Bwee Hong memandang dengan mata terbelalak heran.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Jangan takut," kata isteri ketua Tai-bong-pai. "Semua itu adalah perbuatan suamiku. Dia
menggunakan ilmunya untuk membangkitkan mayat-mayat perajurit yang tewas dalam pertempuran,
mengerahkan mayat-mayat itu untuk mengacau musuh dan kesempatan ini harus kita pergunakan
untuk membebaskan tawanan, sebelum pengaruh Ilmu 'Memanggil Roh' itu habis."
Mendengar ini, Bwee Hong dan A-hai merasa girang sekali dan mereka berempat lalu cepat-ce-pat
memasuki penjara. Akan tetapi, baru saia me-reka tiba di pintu penjara, mereka bertemu dengan
Seng Kun, kakek Kam Song Ki dan Kwee Tiong Li. Belenggu mereka telah lepas dan di kanan kiri
mereka berjalan belasan sosok mayat hidup yang membebaskan mereka. Tiga orang itu adalah
orang-orang yang berilmu tinggi, akan tetapi me-rekapun kagum dan juga merasa ngeri menyaksikan
sepak terjang para mayat hidup itu. Akan tetapi, melihat munculnya Bwee Hong, Seng Kun terbe-lalak
dan wajahnya memperlihatkan rasa girang dan haru, hampir tidak peroaya dia bahwa dia akan dapat
bertemu dengan adiknya di tempat berbahaya dan mengerikan itu.
"Hong-moi !"
"Koko !"
Keduanya berangkulan dan Bwee Hong yang masih memakai pakaian perajurit kedodoran itu
menangis di dada kakaknya. A-hai memandang dengan hati terharu. Sementara itu, kakek Kam
Song Ki yang sakti itu bengong memandang ke arah mayat-mayat yang berkeliaran di situ.
"Ya Tuhan! Hanya orang-orang dari Tai-bong-pai sajalah yang akan mampu bermain-ma-in dengan
mayat-mayat seperti ini! Demikian banyaknya mayat yang berkeliaran. Aku berani bertaruh bahwa
yang bermain-main ini tentulah tokoh Tai-bong-pai yang berkedudukan tinggi!"
Mendengar ucapan itu, ibu Siok Eng menjura kepada kakek itu dan berkata, "Maafkan, locian-pwe.
Suamikulah yang membuat onar di sini ka-rena kami ingin membebaskan locianpwe bertiga dari
penjara ini."
Kam Song Ki cepat membalas penghormatan nyonya itu dan hidungnya kembang kempis. Dia dapat
mencium bau harum dupa dari tubuh nyo-nya yang berwajah pucat ini, maka diapun terta-wa gembira.
"Ha-ha-ha, di tempat seperti ini dapat bertemu dengan isteri ketua Tai-bong-pai, sungguh
menggembirakan sekali! Bukankah toa-nio ini nyonya Kwa Eng Ki ketua Tai-bong-pai dan dia yang
mempunyai ulah begini?"
"Benar, locianpwe," jawab nenek itu. "Dan menurut penuturan puteri kami, locianpwe adalah Kam
Song Ki, murid bungsu dari mendiang locianpwe Bu-eng Sin-yok-ong."
Kembali kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha, hanya nama kosong belaka, mana mampu menandingi ilmu
mujijat dari perguruanmu ini?"
"Sementara itu Siok Eng berkata, "Sebaiknya kita menyelamatkan diri dulu melalui tebing sebelah
barat seperti telah dipesan oleh ayah."
Semua orang lalu berangkat menuju ke tembok benteng sebelah barat dan dengan kepandaian tinggi
yang mereka miliki, tidak sukar bagi mereka untuk menuruni tebing curam itu hanya dengan bantuan
obor yang mereka pegang. Akhirnya de-ngan selamat mereka tiba di dasar tebing di mana terdapat
sebuah sungai dangkal dan merekapun menyeberangi sungai dan tiba di tepi sebelah se-berang
dengan selamat.
"Mari kita mencari suamiku. Dia tentu berada di bekas pertempuran itu, di mana dia mengerah-kan
mayat-mayat untuik menyerbu benteng," ka-ta nyonya Kwa dan dengan petunjuknya, mereka semua
lalu menuju ke tempat dari mana mayat-mayat hidup itu berasal. Dan benar saja, di tem-pat itu, di
sebuah lereng yang amat sunyi, seorang kakek sedang duduk bersila menghadapi sebong-kok besar
dupa wangi yang mengepulkan asap te-bal ke udara. Kakek ini agaknya sedang menge-rahkan
tenaga batinnya, duduk bersila dalam sa-madhi. Seorang pria tinggi tegap nampak berdiri di
belakangnya, seperti sedang menjaganya. Dan memang orang itu sedang menjaga keselamatan kakek
yang raganya seperti sedang kosong ini, dan orang itu bukan lain adalah Liu Pang atau Liubengcu,
pemimpin besar barisan yang sedang bergerak menuju ke kota raja itu dan yang kini sedang
mengepung dan hendak menyerbu benteng!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Suamiku, bangunlah, usahamu telah berha-sil," kata nenek itu dengan girang. Kwa Eng Ki menarik
napas panjang beberapa kali, dari mulut-nya keluar suara bisikan membaca manteram dan membuka
matanya, lalu bangkit berdiri. Kiranya ketika ketua Tai-bong-pai ini pergi ke tempat mayat-mayat
bergelimpangan untuk memulai usa-hanya membangkitkan mayat-mayat itu untuk mengatur
siasatnya mengacau benteng, dia bertemu dengan Liu Pang dan anak buahnya. Mendengar rencana
kakek itu, Liu Pang lalu memerintahkan anak buahnya untuk membiarkan mayat-mayat itu memasuki
benteng, sedangkan dia sendiri men-jaga tubuh kakek Kwa kalau-kalau ada yang akan
mengganggunya selagi dia menjalankan ilmunya memanggil roh dan menghidupkan orang-orang
mati.
Bwee Hong, A-hai dan Siok Eng memberi hormat kepada pemimpin pemberontak itu, dan Seng Kun
bersama dua orang kawannya yang baru saja dibebaskan dari penjara itupun memberi hor-mat, lalu
menghaturkan terima kasih kepada Kwa Eng Ki.
"Ha-ha-ha, tepat dugaanku bahwa tentu to-koh besar Tai-bong-pai yang bermain-main dengan mayatmayat
itu. Kiranya malah ketuanya yang maju sendiri menolong kami. Ha-ha, terima kasih, pai-cu!"
Beberapa lamanya Kwa Eng Ki menatap wajah kakek sederhana itu lalu menarik napas panjang.
"Kalau ada orang-orang mampu menawan seorang murid mendiang Bu-eng Sin-yok-ong, dapat
dibayangkan betapa lihainya orang-orang itu!"
Kakek Kam menarik napas panjang. "Tidak aneh kalau yang menjadi lawan itu iblis macam Raja
Kelelawar dan anak buahnya yang terdiri da-ri datuk-datuk kaum sesat yang amat lihai."
"Ayah, inilah dia tuan penolongku yang berna-ma Chu Seng Kun atau Bu Seng Kun, berdua de-ngan
enci Bwee Hong dan mendiang suami isteri Bu Kek Siang telah menyelamatkan selembar nya-waku
yang tidak berharga, bahkan dengan pengor-banan nyawa suami isteri Bu Kek Siang."
Kakek yang berwajah mayat itu memandang kepada Seng Kun dengan sepasang mata tajam penuh
selidik, kemudian diapun tidak segan-segan untuk menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat
kepada Seng Kun! Tentu saia Seng Kun menjadi kaget dan cepat -cepat diapun membalas dengan
menjatuhkan diri berlutut pula.
Tiba-tiba terdengar bunyi terompet yang diti-up oleh Liu Pang. Kiranya pemimpin besar ini sudah
berdiri di tempat tinggi sambil meniup te-rompetnya yang menjadi tanda bagi barisannya untuk
memulai dengan penyerbuan mereka! Dan terjadilah geger di benteng musuh. Sebelumnya memang
pasukan yang berada di dalam benteng sudah kacau-balau ketakutan oleh sepak terjang para mayat
hidup. Baru saja mereka dikejutkan dan dibikin ngeri lagi ketika mayat-mayat hidup itu secara tiba-tiba
saja, seperti kemunculan me-reka tadi, berjatuhan dan mati kembali, seolah-olah tenaga penggerak
mereka dicabut serentak dan mereka itu terpelanting semua tanpa nyawa lagi.
Bukan hanya para perajurit yang menjadi panik. Bahkan para pimpinannya termasuk Kwa Sun Tek
yang amat diandalkan oleh para pembesar itu menjadi ketakutan. Tentu saja pemuda ini menge-nal
ilmu yang menggerakkan mayat-mayat itu dan tahulah dia bahwa ayah dan ibunya juga da-tang ke
benteng itu dan menjadi musuh! Tahulah dia bahwa dia tidak mempunyai harapan lagi un-tuk
melaksanakan cita-citanya memperoleh kedu-dukan tinggi karena pihak yang dibelanya itu agaknya
telah mendekati jurang kehancuran dan kegagalan. Maka diapun diam-diam berusaha meloloskan diri
bersama anak buahnya.
Pada saat mereka diliputi kekhawatiran, tiba-tiba saja, dalam keadaan gelap gulita itu, pintu gerbang
benteng didobrak dari depan. Terjadilah pertempuran hiruk-pikuk dan kacau-balau. Pa-sukan Liu
Pang yang menyerbu mengenakan tanda ikat pinggang putih di pinggang mereka sehingga mereka
dapat bergerak dengan leluasa, dapat membedakan mana kawan mana lawan. Sebalik-nya,
pasukan yang mempertahankan benteng yang sudah dicekam ketakutan dan dalam keadaan gu-gup
tidak dapat membedakan lawan dan kawan, dihantam dan didesak, sebentar saja banyak ang-gauta
pasukan mereka yang roboh dan benteng itupun jatuh. Semua perajurit pasukan asing di-hancurkan
dan terbunuh, karena semua perajurit Liu Pang menerima pesan khusus bahwa mereka harus
membunuh semua perajurit asing dan boleh mengampuni dan menerima kalau ada perajurit para
gubernur yang menakluk dan menyerahkan diri. Belum sampai pagi, pertempuran berhenti dan
benteng itupun jatuh ke tangan pasukan pem-berontak.
dunia-kangouw.blogspot.com
Jilid XXIX
BEBERAPA orang gubernur yang ketakutan membunuh diri, ada pula yang ikut melawan dan tewas.
Akan tetapi ada pula yang menakluk dan mereka ini bersama keluarga mereka diterima oleh para
pimpinan pemberontak. Juga para pe-rajurit yang menakluk diterima untuk dibentuk menjadi pasukan
khusus yang masih berada di bawah pengawasan. Semua perajurit kini bertugas membersihkan
benteng itu, menyingkirkan mayat-mayat dan merawat mereka yang terluka. Para tawanan yang
tadinya ditahan di penjara itu dibe-baskan. Pada keesokan harinya, semua mayat di-kuburkan dengan
rapi dan sederhana, dan pada malam harinya, Liu Pang mengadakan pesta seder-hana, sekedar
untuk menghibur hati para anggauta pasukan, merayakan kemenangan itu.
Pada waktu itu, Liu Pang dan barisannya telah menguasai hampir seluruh bagian negara. Bengcu
atau pemimpin pemberontak itu kini tidak diang-gap sebagai bengcu lagi, melainkan sebagai seorang
raja baru! Hal ini tidak mengherankan. Perjuangannya berhasil dengan baiknya. Banyak kota jatuh ke
tangannya dan pasukannya menjadi semakin besar dan kedudukannya menjadi semakin kuat. Kini,
kota raja sudah berada di depan mata. Liu Pang ingin membiarkan pasukannya memperoleh istirahat
secukupnya untuk menyusun kekuatan se-baik-baiknya agar pasukan dalam keadaan segar ketika ia
menggerakkannya untuk tujuan terakhir, yaitu menghantam kota raja, mendudukinya dan merampas
singgasana kaisar.
Sambil makan minum berpesta sekedarnya untuk merayakan kemenangan, Liu Pang duduk di atas
kursi kepemimpinan, dikelilingi para perwira dan pembantunya yang kini telah mulai mengena-kan
pakaian seragam sesuai dengan pangkat yang diberikan oleh pemimpin itu kepada mereka. Di antara
para perwira ini terdapat pula Yap Kim yang tampan dan gagah. Sambil bercakap-cakap
membicarakan semua pengalaman pertempuran mereka, semua orang nampak bergembira.
A-hai dan teman-temannya juga ikut berpesta, berkumpul dengan perwira-perwira muda. Kare-na Ahai,
Seng Kun, Bwee Hong, Tiong Li, kakek Kam Song Ki dan suami isteri Kwa merupakan ta-mutamu
kehormatan, mereka mendapatkan sebu-ah meja kehormatan yang ditempatkan tak jauh dari
tempat duduk Liu Pang dan para perwiranya. Sejak tadi, A-hai celingukan memandang ke kanan kiri
dan akhirnya dia berbisik kepada Bwee Hong yang duduk di sebelah kirinya.
"Sejak pagi tadi aku mencari-cari nona Ho Pek Lian, akan tetapi ia tidak kelihatan. Mengapa ia tidak
menemui kita dan ke manakah perginya? Bukankah ia merupakan seorang tokoh penting dalam
barisan ini, bahkan menjadi murid paling dipercaya dari Liu-bengcu?"
"Ah, engkau benar! Aku sampai lupa saking gembiraku melihat Kun-koko dalam keadaan se-lamat."
"Biar kutanyakan kepada Liu-bengcu "
kata A-hai, akan tetapi seorang perwira muda yang duduk tidak berjauhan dengan mereka dan
mende-ngar percakapan itu segera menoleh. Perwira muda ini dahulunya adalah seorang pendekar
ternama di daerah pantai timur. Ketika dia menoleh dan melihat wajah Bwee Hong, dia seperti silau
oleh kecantikan nona itu. Dengan sikap hormat diapun lalu berkata, ditujukan kepada A-hai karena dia
kurang patut kalau bicara kepada seorang gadis yang belum dikenalnya.
"Agaknya ji-wa (anda berdua) adalah sahabat baik dari Ho-siocia. Memang saat ini ia tidak berada di
dalam-barisan ini. Ia mendapat tugas dari Liu-bengcu untuk melakukan penyelidikan ke kota raja,
ditemani oleh Yap-taihiap. Kita ha-rus mengetahui dengan baik keadaan di kota raja sebelum
melakukan penyerbuan, dan karena itulah benteng ini kita kuasai secepatnya agar kita dapat
beristirahat dan mengumpulkan kekuatan. Kalau tidak ada halangan, menurut perhitungan, hari ini
juga Ho-siocia akan kembali dari kota raja."
"Terima kasih, ciangkun," kata A-hai girang. "Memang kami bersahabat baik dengan nona Ho. Kota
raja sudah dekat, hanya tiga empat jam per-jalanan dari sini. Tentu ia akan kembali nanti. Kami akan
menanti sampai ia pulang."
dunia-kangouw.blogspot.com
Bwee Hong menarik napas panjang, hatinya terasa sedih. Bagaimanapun juga, sedikit banyak ada
hubungan darah antara ia dan keluarga kaisar. "Aahh, agaknya kota raja sudah benar-benar akan
runtuh!"
Perwira muda itu menggeleng kepala. Dia tidak perlu merahasiakan kepada tamu-tamu pemimpin-nya
ini, karena diapun sudah mendengar bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi, bahkan kakek dan nenek yang bermuka seperti mayat itu sudah berjasa besar dalam
penyerbuan ke benteng malam tadi. "Saya kira tidaklah begitu mudah, nona. Selain di kota raja
masih ada Beng-tai-ciangkun yang pandai, juga kami masih mempunyai musuh besar, yaitu barisan
yang dipimpin oleh pemberontak Chu Siang Yu yang kabarnya juga sudah menguasai hampir selu-ruh
daerah utara dan barat."
A-hai dan teman-temannya tidak melanjutkan percakapan mengenai perang karena sesungguhnya
mereka tidak ingin terlibat. Kalau sampai selama ini mereka kadang-kadang terlibat adalah karena
kebetulan saja dan bukan karena mereka memang ingin membantu suatu pihak tertentu. Seng Kun
dan Bwee Hong memang pernah dekat dengan kaisar yang telah meninggal dunia, akan tetapi pendekatan
itupun hanya karena mereka bertemu de-ngan ayah kandung mereka yang menjadi orang
penting di istana saja, dan Seng Kun juga tidak ter-jun ke dalam pertempuran, melainkan hanya bertugas
menyelidiki hilangnya mendiang Menteri Ho Ki Liong, ayah Pek Lian. Di dalam hatinya, pendekar
inipun tidak suka akan peperangan, apa lagi perang antara bangsa sendiri yang merupakan perang
sau-dara yang amat kejam.
Tak lama kemudian terdengar orang-orang bersorak di luar benteng. Seorang pengawal me-laporkan
kepada Liu Pang dengan suara nyaring dan gembira bahwa rombongan Ho-siocia telah tiba kembali.
Nampaklah Ho Pek Lian menung-gang kuda, diiringkan oleh seorang pemuda yang berpakaian putihputih
dan nampak gagah perka-sa penuh wibawa. Pemuda ini bukan lain adalah Yap Kiong Lee yang
amat dihormati oleh para pe-rajurit karena pemuda ini memiliki ilmu kepandai-an yang amat hebat dan
walaupun Kiong Lee juga tidak mau terlibat secara resmi dalam barisan itu, namun dia terpaksa
membantu karena sutenya menjadi orang penting di situ. Di belakang kedua orang ini nampak
perajurit-perajurit yang me-nyambut dan mengelu-elukan mereka dengan gembira. Kedua orang
muda itu memang amat po-puler di kalangan mereka dan mereka amat me-nyayangi mereka berdua
yang sudah banyak ber-jasa namun selalu bersikap ramah dan rendah hati.
Dapat dibayangkan betapa gembiranya hati Pek Lian bertemu dengan kawan-kawannya di tempat itu.
Pertemuan yang tak disangka-sangka-nya. Apa lagi mendengar bahwa Seng Kun telah dapat
ditemukan dalam keadaan selamat. Ia me-rangkul dan mencium pipi Bwee Hong dan Siok Eng,
memberi hormat kepada suami isteri Tai-bong-pai, bergembira menyambut penghormatan Seng Kun
dan Tiong Li yang sudah dikenalnya sejak dahulu, dan disambutnya uluran tangan A-hai dengan
hangat. Bagaimanapun juga, pemuda ini masih meninggalkan guratan istimewa di dalam hati
pendekar wanita muda ini. Kemudian, sete-lah meluapkan kegembiraannya di depan teman-teman
lamanya, Pek Lian lalu melapor kepada pe-mimpin dan gurunya, dengan suara nyaring men-ceritakan
hasil penyelidikannya sehingga dapat didengar oleh semua anggauta pimpinan pasukan yang
berkumpul di situ.
"Saya dan Yap-taihiap sudah berhasil menye-lundup ke kota raja. Wah, kami menemui keadaan yang
kacau-balau di dalam kota raja. Penduduk kota sudah banyak yang lari mengungsi ke luar kota, akan
tetapi mereka itu tidak dapat memba-wa secuilpim harta kekayaan mereka karena diha-langi oleh
para penjaga. Bagaimana kota raja tidak akan menjadi kacau-balau? Penjahat-penjahat besar,
pencoleng, perampok dan maling-maling berkumpul di sana. Datuk-datuk seperti San-hek-houw, Singo
Mo Kai Ci, Pek-pi Siauw-kwi Si Maling Cantik, Jai-hwa Toat-beng-kwi Si Pen-jahat Cabul, dan
orang-orang sebangsa itu yang jahat dan kejam, yang menjadi anak buah Raja Kelelawar, semua
berkumpul di sana dan mereka malah diberi kedudukan! Orang-orang macam itu diberi kedudukan
dan kekuasaan! Bagaimana ti-dak akan kacau? Seolah-olah harimau ganas di-beri tambahan sayap
saja. Dan yang paling gila lagi, kini kaisar baru mengangkat Raja Kelelawar menjadi Panglima Besar
Kerajaan, menggantikan kedudukan Beng-goanswe!"
Semua orang terkejut, dan Liu Pang mengerutkan alisnya. "Ah , dia malah diangkat menjadi
panglima besar? Lalu di mana adanya Jenderal Beng Tian?"
"Sisa pasukan kerajaan di bawah pimpinan Jen-deral Beng Tian telah dipukul mundur dan porak
peranda oleh pasukan Chu Siang Yu kemarin dulu. Jenderal Beng pulang ke kota untuk melapor ke
dunia-kangouw.blogspot.com
istana. Akan tetapi dia malah ditangkap dan di-anggap bersalah karena kekalahan itu, dan ka-barnya
besok dia akan dihukum mati!"
"Kaisar gila !!" Liu Pang bangkit berdiri dan mengepal tinju. Pemimpin ini mengenal betul orang
macam apa adanya Jenderal Beng Tian. Se-orang panglima besar, seorang perajurit sejati yang amat
setia dan pandai. Kekalahan yang diderita-nya itu bukan kesalahannya, melainkan karena kelemahannya
kerajaan. Jenderal itu sudah berusaha mati-matian untuk menghalau semua musuh negara.
Akan tetapi dia bekerja sendiri, sama sekali tidak memperoleh dukungan dari pusat, bahkan
tidak didukung rakyat yang sudah marah terhadap kelaliman kaisar dan para pengikutnya. Akhirnya
Liu Pang teringat akan keadaannya dan dia duduk kembali, memandang muridnya dan berkata, "La-lu
bagaimana?"
Pek Lian menarik napas panjang. "Pagi tadi pasukan Chu Siang Yu sudah mengepung kota ra-ja.
Kami melihat pasukannya yang amat besar dan kuat, bercampur dengan pasukan asing di luar tembok
besar. Kami bergegas kembali ke sini sesuai dengan rencana sehingga kami tidak tahu apa yang
terjadi sekarang di kota raia."
Liu Pang mengerutkan alisnya. "Benarkah se-mua keterangan itu, Yap-taihiap?" tanyanya ke-pada
Kiong Lee.
Kiong Lee mengangguk. "Benar semua, dan sa-ya kira saat ini tentu sedang terjadi pertempuran di
benteng kota raja."
Liu Pang menundukkan kepalanya. "Ahh, kita telah didahului oleh Chu Siang Yu. Tak kusangka dia
akan lebih dulu sampai di kota raja dari pada kita. Hemm, kita harus bergerak, tidak boleh
membiarkan dia mendahului kita."
Selagi Liu Pang dan para pembantunya ber-bincang-bincang dengan sikap dan suara serius, diamdiam
A-hai meninggalkan ruangan itu. Munculnya Pek Lian mendatangkan perasaan ti-dak karuan di
dalam hatinya. Teringat dia akan masa lalunya ketika dia masih berada dalam kea-daan hilang
ingatan. Mula-mula nona Ho Pek Lian itulah yang menggugah perasaannya. Harus diakuinya bahwa
dalam keadaan hilang ingatan, dia pernah bergantung secara batiniah kepada Ho Pek Lian dan dalam
pertemuan tadi, dia masih da-pat menangkap sinar mata nona Ho itu kepadanya. Sinar mata yang
mengandung rasa kasih sayang! Tak salah lagi, Pek Lian pernah jatuh cinta kepada-nya. Setelah Pek
Lian, lalu muncul Bwee Hong dalam hidupnya. Diapun dalam keadaan hilang ingatan pernah
bergantung secara batiniah kepada Bwee Hong, apa lagi karena wajah Bwee Hong se-rupa benar
dengan wajah isterinya! Kini, setelah dia mulai memperoleh kembali ingatannya, tentu saja dia harus
menjauhkan perasaannya terhadap dua orang dara itu. Dia sudah mempunyai isteri, bahkan sudah
mempunyai seorang anak. Kenyata-an ini membuat A-hai merasa berdosa, walaupun tidak sengaja
dia menggoda hati dua orang dara perkasa yang cantik jelita dan berbudi mulia itu. Betapa baiknya
kedua orang dara itu terhadap di-rinya! Dan dia hanya dapat membalas mereka de-ngan melukai hati
mereka, pikirnya. Hal inilah yang membuat A-hai tidak betah tinggal lebih lama di dalam ruangan itu
dan diapun keluar ber-jalan-jalan.
Malam itu amat cerah. Bulan sepotong naik tinggi dan A-hai sengaja mencari tempat yang se-pi di
sudut benteng itu. Yang menjaga benteng hanyalah para petugas jaga di atas benteng dan semua
perajurit lainnya menikmati istirahat setelah merayakan kemenangan mereka.
Selagi A-hai berdiri termenung di bawah po-hon yang membentuk bayangan gelap, tiba-tiba dia
melihat berkelebatnya dua bayangan orang. Dua orang itu berhenti tidak jauh dari pohon itu dan
heranlah dia ketika melihat bahwa mereka itu berpakaian tosu. Teringat dia bahwa memang ada dua
orang tosu yang membantu perjuangan barisan Liu Pang dan kabarnya dua orang tosu itu lihai ilmu
kepandaiannya. Agaknya dua orang tosu ini-lah orangnya, pikir A-hai. Akan tetapi, dari da-lam gelap
bermunculan beberapa orang berpakaian perajurit dan mereka bercakap-cakap dengan dua orang
tosu itu dengan bahasa daerah utara! A-hai mendengarkan dan ternyata dia mampu menang-kap dan
mengerti bahasa itu! Dia sendiri merasa heran dan tidak ingat bahwa dia mengerti bahasa daerah
utara, maka dengan gembira dia lalu meng-intai dan mendengarkan.
"'Sudah tiba saatnya bagi kita untuk bergerak," terdengar seorang di antara dua tosu itu berkata. Tosu
ini membawa sebatang tongkat, rambutnya digelung ke atas dan memakai jubah kotak-kotak,
sikapnya berwibawa, "Nanti tengah malam, kalian kumpulkan semua teman di tempat ini dan kami
dunia-kangouw.blogspot.com
berdua akan keluar dari benteng dan langsung melapor akan keadaan barisan Liu Pang kepada Chutaijin."
Ucapan ini saja cukup bagi A-hai. Kiranya mereka adalah mata-mata musuh, anak buah pemberontak
Chu Siang Yu, karena yang disebut Chu-taijin tadi tentulah Chu Siang Yu. Dan pemberontak
Chu Siang Yu merupakan musuh dan saingan Liu Pang. Kiranya mereka itu memang sengaja
menyelundup ke dalam barisan ini untuk menga-mati gerak-geriknya dan kemudian memberi pelaporan
kepada Chu Siang Yu sehingga tentu akan memudahkan fibak musuh untuk mengatur
perang-kap! Dengan hati-hati, menggunakan ilmu ke-pandaiannya yang tinggi, A-hai menyelinap pergi
dan langsung dia memasuki ruangan di mana Liu Pang masih berbincang-bincang dengan para pembantunya.
Seperti tidak disengaja, A-hai yang merupakan seorang di antara para tamu terhormat,
mengambil tempat duduk agak dekat di belakang
Liu Pang. Kemudian, setelah dia mengingat kem-bali ilmunya, bibirnya bergerak-gerak perlahan dan
terkejutlah Liu Pang ketika dengan jelas sekali dia mendengar suara A-hai di samping telinganya!
"Dua orang tosu pembantu ternyata adalah dua orang mata-mata anak buah Chu Siang Yu yang
menyelundup. Tengah malam ini mereka akan mengadakan gerakan, harap Liu-bengcu waspada dan
siap siaga."
Tentu saja Liu Pang terkejut bukan main men-dengar suara A-hai ini. Dia maklum bahwa A-hai yang
aneh itu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, dan tidak mengherankan kalau A-hai pandai
mengirim suara dari jauh seperti itu. Yang mengejutkan hatinya adalah berita itu sendiri. Ma-ka dia
lalu mengusap mukanya yang sama sekali tidak memperlihatkan kekejutan hatinya dan me-ngatakan
kepada semua pembantunya bahwa dia merasa lelah dan ingin beristirahat dulu.
"Kita harus beristirahat dan besok pagi-pagi aku akan mengadakan rapat lagi," katanya.
Rapat itu bubaran dan Liu Pang berkata kepa-da A-hai, "Saudara A-hai, aku ingin sekali men-dengar
ceritamu”.
Ketika mendengar penuturan A-hai tentang dua orang tosu yang ternyata mata-mata musuh yang
menyelundup itu.
"Biarlah saya menangkap dan menghajar mere-ka!" katanya.
Liu Pang tersenyum. "Aku sendiri ingin meng-hadapi mereka. Engkau siapkan saja pasukanmu untuk
menangkap anak buah mereka." Pemimpin besar ini lalu mengatur siasat bersama Yap Kim dan A-hai
untuk menghadapi dua orang mata-ma-ta dan anak buah mereka yang akan beraksi men-jelang
tengah malam nanti.
Menjelang tengah malam itu keadaan semakin sunyi di dalam benteng. Para perajurit yang tidak
sedang tugas jaga sudah tidur mendengkur mele-paskan lelah setelah pertempuran. Juga para perwira
yang memperoleh kesempatan tidur itu me-muaskan badan yang sudah kelelahan. Suasana
amat sunyi. Tidak ada seorangpun yang tahu be-tapa dalam keadaan yang amat sunyi itu, pemimpin
besar mereka sendiri sedang sibuk mengatur para pembantunya mengepung tempat yang akan dijadikan
pertempuran para mata-mata itu!
Untuk memudahkan gerakannya, Liu Pang menanggalkan pakaian kebesarannya dan hanya
memakai pakaian biasa, pakaian petani seperti ke-tika dia masih memimpin barisannya melintasi gunung-
gunung selama ini. Hanya sebatang pedang tergantung di pinggang sehingga dia lebih mirip
seorang pendekar dari pada seorang pemimpin dan calon kaisar!
Tiba-tiba terdengar suara suitan-suitan lirih dan mulailah bermunculan beberapa orang. Ada dua
orang berpakaian perwira, belasan orang ber-pakaian perajurit dan dua orang tosu itu. Hanya kini
para perajurit itu mengenakan topi khas, topi ciri bahwa mereka itu adalah perajurit-perajurit asing dari
utara! Kiranya mereka adalah pasukan istimewa dari barisan asing yang bersekutu dengan Chu Siang
Yu dan yang dikirim untuk menyelun-dup ke dalam barisan Liu Pang dan selain mema-ta-matai juga
mengatur siasat.
Liu Pang sendiri, diikuti Yap Kim, menggu-nakan kepandaiannya untuk menyusup dekat se-hingga
mereka berdua selain mampu melihat ge-rak-gerik mereka, juga dapat mendengarkan per-cakapan
dunia-kangouw.blogspot.com
mereka dengan jelas. Sedangkan anak buah Yap Kim tetap berjaga di tempat pengepung-an, siap
menanti komando.
"Petugas pembakaran!" tiba-tiba seorang di antara dua tosu itu berkata lirih namun tegas.
"Siap!" Tujuh orang perajurit maju.
"Kalian sudah tahu benar akan tugas kalian?" tanya si tosu yang menjadi pimpinan.
"Kami akan berpencar, mempergunakan minyak yang sudah tersedia membakar gudang-gudang
makanan dan perlengkapan," jawab seorang di an-tara mereka.
"Bagus! Petugas racun!"
"Siap!" Dua orang perajurit maju.
"Bagaimana tugas kalian?"
"Kami sudah mempersiapkan empat guci air beracun untuk dituang ke dalam sumber dan sim-panan
air minum, juga ke dalam guci-guci arak, akan dilakukan pada saat pembakaran terjadi."
"Baik sekali. Kini regu panah!"
"Siap!" Lima orang perajurit yang membawa busur maju. "Selagi terjadi kebakaran dan keribut-an,
kami akan berbaris pendam menanti orang she Liu keluar untuk kami serang dengan anak panah dari
tempat gelap. Mudah-mudahan usaha kami berhasil!"
"Ya, mudah-mudahan semua kita berhasil. Ingat, kalau semua rencana ini berhasil baik, ka-lian akan
menerima hadiah yang amat besar dan pangkat yang tinggi. Sesudah melaksanakan tugas masingmasing,
kalian sudah tahu harus berkum-pul di mana di luar benteng, kami akan mendahu-lui kalian
untuk memberi pelaporan tentang kedu-dukan musuh kepada induk barisan yang berada dekat kota
raja."
"Baik!"
Akan tetapi, sebelum mereka sempat bergerak, Liu Pang sudah melompat ke depan dengan pe-dang
terhunus, lalu menudingkan telunjuknya ke-pada tosu pemimpin mata-mata itu.
"'Bagus, kalian berdua telah membuat dua ma-cam dosa tak berampun. Pertama, kalian memal-sukan
pendeta-pendeta dan ke dua, kalian men-jadi pengkhianat-pengkhianat dan mata-mata busuk!"
"Serbu !" Tosu itu yang menjadi terkejut sekali berteriak. Anak buahnya bergerak, akan tetapi pada
saat itu, Yap Kim dan kawan-kawan-nya bermunculan! Liu Pang sendiri segera mener-jang tosu
pemimpin dengan pedangnya setelah merobohkan seorang perajurit mata-mata yang membawa
sebuah bendera asing, agaknya untuk memberi semangat kawan-kawannya.
"Tranggg !" Tosu itu menangkis dengan tongkat di tangan kirinya, dan dengan dahsyat ta-ngan
kanannya menghantam dengan jari-jari ter-buka dan dimiringkan.
"Dukkk!" Liu Pang menangkis dengan tangan kiri, dan pedangnya membabat lagi dengan gerak-an
yang amat cepat. Segera terjadi perkelahian yang amat seru di antara mereka berdua.
Sementara itu, anak buah mata-mata yang hendak mengamuk, ternyata menghadapi kepungan
pasukan yang jauh lebih besar jumlahnya. Apa lagi di situ terdapat Yap Kim yang dibantu oleh
perwira-perwira yang lihai ilmu silatnya sehingga sebentar saja, semua mata-mata roboh dan tewas
kecuali dua orang tosu yang dihadapi oleh Liu Pang dan Yap Kim sendiri! Dua orang tosu itu terdesak
hebat dan sudah luka-luka. Akan tetapi agaknya mereka tidak mau menyerah karena mak-lum bahwa
bagaimanapun juga, mereka tidak mungkin dapat diampuni. Dari pada tertawan da-lam keadaan
hidup dan disiksa untuk mengaku, lebih baik melawan sampai mati, demikian pikir mereka. Dan
memang Liu Pang dan Yap Kim tidak ingin membunuh mereka, hendak menangkap hi-dup-hidup agar
dapat mengorek keterangan dari mulut mereka. Maka, Liu Pang dan Yap Kim ber-usaha sedapat
mungkin untuk merobohkan lawan tanpa membunuh mereka. Akhirnya, pedang Liu Pang berhasil
membacok kaki kanan lawannya se-hingga orang itu terpelanting roboh dan pada saat yang hampir
dunia-kangouw.blogspot.com
berbareng, Yap Kim juga sudah me-robohkan lawannya dengan tendangan. Akan teta-pi, begitu
roboh, dua orang tosu itu menggerak-kan tongkat mereka sendiri. Liu Pang dan pem-bantunya
hendak mencegah namun terlambat ka-rena dua orang tosu itu telah tewas dengan kepala pecah oleh
hantaman tongkat sendiri. Mereka membunuh diri agar jangan tertawan musuh!
Liu Pang memandang mayat-mayat yang ber-gelimpangan itu dan menarik napas panjang. "Pan-tas
Chu Siang Yu mampu mendahului kita ke kota raja. Kiranya dia dibantu oleh orang-orang pandai dan
gagah seperti mereka ini!!"
Karena penundaan rapat tadipun hanya dilaku-kan untuk menghadapi mata-mata ini, maka Liu Pang
lalu memerintahkan agar semua pembantu-nya dipanggil, yang tidur digugah, untuk melan-jutkan
rapat mereka! Rapat dilanjutkan lewat te-ngah malam dengan penuh kesungguhan hati, ka-rena
semangat mereka bangkit oleh adanya peris-tiwa tadi.
"Bagaimana kalau kita terus saja menyerbu ko-ta raja pada besok pagi-pagi?" Yap Kim meng-ajukan
usulnya. Setelah membantu perjuangan Liu Pang, kini Yap Kim mencurahkan seluruh per-hatiannya
terhadap perjuangan itu dan dia meru-pakan orang terpenting di dalam barisan Liu Pang.
"Saya kira tidak tepat waktunya," kata seorang perwira yang berpengalaman karena dia merupa-kan
bekas perwira kerajaan yang sudah menakluk. "Pada saat ini, terdapat dua kekuatan besar, yaitu
barisan kerajaan yang sedang bertempur melawan barisan Chu Siang Yu. Kalau saat ini kita menyerbu,
bukan tidak mungkin mereka berdua itu ber-henti perang dan keduanya malah menggencet kita.
Kalau sudah demikian, alangkah berbahaya-nya."
"Akan tetapi, kalau kita diamkan saja, barisan Chu itu akan mendahului kita merebut kota raja .... dan
kita ketinggalan " Yap Kim membantah.
Ucapan Yap Kim itu membuat semua orang mengerutkan alis dan hati mereka menjadi gelisah. Kalau
kedahuluan musuh, berarti akan sia-sia gerakan mereka selama ini yang sudah mengorban-kan
banyak tenaga dan nyawa.
"Pasukan kita selama tiga hari tidak pernah beristirahat. Kalau sekarang diharuskan bertempur lagi,
hal itu sungguh berbahaya dan terlalu memeras tenaga, apa lagi kalau diingat betapa kuatnya fihak
musuh " kata seorang pembantu lain.
Banyaklah di antara mereka yang mengemuka-kan pendapatnya dan selama itu Liu Pang hanya
mendengarkan tanpa membantah. Dia mendengar-kan dan mempertimbangkan semua usul dan pendapat.
Setelah semua orang mengajukan usulnya dan agaknya menemui jalan buntu, akhirnya Liu
Pang bangkit berdiri.
"Saudara sekalian. Sesungguhnya, memang saat inilah yang paling tepat untuk menyerbu kota raja,
selagi dua kekuatan itu saling bertempur. Akan tetapi mengingat keadaan kita yang sudah lelah, besar
bahayanya kalau kita menyerbu sekarang. Oleh karena itu, sebaiknya kita. membiarkan mere-ka
saling gempur sehingga kedudukan mereka ke-dua pihak itu menjadi semakin lemah. Sementara itu,
kita menyusun kekuatan dan beristirahat. Nah, setelah satu di antara mereka kalah, kita menyerbu
dengan keadaan segar bugar!"
"Akan tetapi, bagaimana kalau barisan Chu Siang Yu sudah lebih dahulu merebut kota raja sehingga
keadaan mereka lebih baik, memiliki per-lengkapan yang lebih kuat, dan posisi mereka men-jadi
semakin baik? Kita akan ketinggalan dan le-bih sukar menyerang mereka yang sudah bertahan di
benteng kota raja."
"Saya kira hal itu tidak perlu dikhawatirkan," tiba-tiba Yap Kiong Lee ikut bicara. "Bagaima-napun
juga, kalau mereka sudah berhasil mema-suki kota raja, tentu korban di antara mereka amat besar
dan jumlah mereka menjadi kecil dan lemah. Selain itu, rnerekapun tentu dalam keadaan lemah,
semangat tempur mereka menurun, apa lagi mere-ka tentu masih mabok kemenangan."
"Bagus sekali! Pendapat Yap-taihiap tepat!" kata Liu Pang.
Lalu diambil keputusan untuk membiarkan pa-sukan mereka beristirahat, akan tetapi mereka ha-rus
dapat mengikuti perkembangan dan terutama sekali dapat mengetahui besarnya kekuatan musuh.
Untuk itu, mereka lalu mencari orang-orang yang dapat ditunjuk sebagai penyelidik. Memang ba-nyak
dunia-kangouw.blogspot.com
terdapat orang-orang lihai di antara mereka, akan tetapi tidak mudah untuk menunjuk siapa orangnya
yang patut melakukan tugas berbahaya itu. Liu Pang sendiri dalam waktu itu tidak mung-kin
meninggalkan pasukannya. Kehadirannya amat diperlukan karena segala macam keputusan yang
diambil pada saat itu dapat menjadi kunci sukses atau gagalnya gerakan mereka. Yap Kim harus
membantunya, dan Ho Pek Lian bersama Yap Kiong Lee baru saja pulang. Ketua Tai-bong-pai dan
anak isterinya tak mungkin mau menjadi pe-nyelidik karena mereka adalah orang-orang "be-bas" yang
tidak mau melibatkan diri dengan pe-rang. Demikian pula kakek Kam Song Ki dan mu-ridnya, Kwee
Tiong Li, walaupun pemuda ini se-belum menjadi murid kakek Kam juga seorang ke-tua lembah
pemimpin para pemberontak yang menjadi anak buah Chu Siang Yu akan tetapi se-menjak menjadi
murid kakek sakti itu juga men-jadi orang "bebas". Masih ada orang-orang lihai lainnya seperti Seng
Kun, Bwee Hong dan juga A-hai yang kadang-kadang masih meragukan kese-hatan ingatannya.
Akhirnya, tidak ada orang lain lagi yang lebih tepat, kakak beradik Seng Kun dan Bwee Hong dipilih!
Usulnya datang dari Pek Lian yang lang-sung disetujui oleh Liu Pang dan semua orang yang sudah
mengenal baik kakak beradik ini, mengenai kelihaian mereka dan juga mengenal watak mereka
sebagai orang-orang gagah perkasa. Hanya satu hal yang meragukan, yaitu bahwa Seng Kun dan
Bwee Hong juga tidak mau telibat dalam perang. Apa lagi mereka itu masih merupakan keluarga
kaisar, walaupun agak jauh, dan Seng Kun bahkan pernah menjadi utusan kaisar tua yang sudah meninggal.
Melihat semua orang memilih dia dan adiknya, Seng Kun menarik napas panjang. "Seperti sau-dara
sekalian telah mengetahui, aku dan adikku tidak suka terlibat dalam perang, oleh karena itu
sesungguhnya tidak tepatlah kalau anda sekalian memilih kami. Akan tetapi, kami telah lama mengenal
barisan para pendekar ini dan tahu bahwa cita-cita kalian mulia. Selain itu, kami berduapun
mempunyai kepentingan di kota raja. Kami ingin mencari ayah kandung kami, maka biarlah dengan
senang hati kami menerima tugas untuk melakukan penyelidikan itu."
Semua orang bersorak mendengar ucapan Seng Kun itu dan setelah sorakan itu mereda, terdengar
A-hai berkata, "Akupun akan menemani kalian berdua!"
Seng Kun dan Bwee Hong saling pandang, dan khawatir kalau-kalau kakak beradik itu menolak, A-hai
berkata cepat, "Tanpa kalian berdua, ba-gaimana aku akan dapat sembuh?"
Sesungguhnyalah, pemuda sinting ini memang masih amat memerlukan pengobatan mereka dan
kesembuhannya belum sempurna. Maka, kedua-nyapun tidak dapat menolak. Selain itu, dengan ilmu
kepandaiannya yang amat luar biasa, A-hai dapat menjadi seorang pelindung yang amat baik dan
boleh diandalkan.
Persiapan diadakan dan malam itu A-hai men-dapat perawatan tusukan jarum dari Seng Kun dan
Bwee Hong. Pada keesokan harinya, sebelum fajar menyingsing, tiga orang muda itupun
berangkatlah meninggalkan perkemahan mereka. Mereka me-motong jalan, melalui sawah ladang
dan ke-bun-kebun para penduduk dusun. Di mana-mana mereka bertemu dengan orang-orang yang
pergi mengungsi menjauhi tempat pertempuran. Semua orang yang sedang bergegas mengungsikan
keluarga dan harta milik mereka itu memandang dengan terheran-heran kepada tiga orang muda ini.
Semua orang berbondong-bondong dan ter-gesa-gesa pergi menjauhi kota raja, akan tetapi ti-ga
orang muda ini malah menuju ke sana!
Karena para pengungsi itu rata-rata tergesa-gesa ketakutan, tidak mudah bagi Seng Kun berti-ga
untuk mencari keterangan tentang keadaan di kota raja. Baru setelah mereka bertemu dengan
serombongan pedagang yang juga melarikan diri dan mereka mengaso di luar hutan saking lelahnya,
Seng Kun memperoleh kesempatan ber-cakap-cakap dengan seorang di antara mereka, seorang lakilaki
setengah tua yang nampak ge-lisah.
"Kalian bertiga hendak mencari keluarga di kota raja? Aih, orang-orang muda, kalau boleh kunasihati
kalian, jangan mendekati kota raja.
Tempat itu telah menjadi seperti neraka!" kata se-orang di antara mereka.
"Seperti neraka? Apa maksudmu?" Seng Kun bertanya. "Memang ada perang, akan tetapi yang
perang adalah pasukan dan kita tidak ikut-ikut dengan mereka!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ahhh, enak saja engkau bicara karena belum melihat sendiri. Di sekitar kota raja terjadi pertempuran
yang amat hebat dan mengerikan. Ribuan, bahkan laksaan tentara bertempur di sana dan pasukan
pemberontak amat banyak dan pasukan kerajaan hiiihh, amat mengerikan."
"Kenapa?"
"Mereka itu kejam sekali, seperti bukan manusia lagi, seperti iblis! Mereka itu lebih patut menjadi
penjahat-penjahat keji, mereka suka makan daging dan minum darah! Apa lagi para komandan
mereka, seperti bukan manusia lagi, seperti binatang tidak, bahkan lebih pantas seperti iblis
mereka itu. Mereka membunuh tidak memandang bulu, bukan hanya pihak perajurit musuh saja yang
mereka bunuh, akan tetapi juga rakyat jelata yang mengungsi, kalau bertemu mereka tentu dibunuh
dan dirampas barang-barangnya. Huh, sungguh menakutkan sekali sepak terjang mereka itu."
Tiga orang muda itu sesungguhnya tidak ter-lalu heran mendengar berita ini. Mereka sudah
mendengar bahwa istana kini dibantu oleh para tokoh kaum sesat, bahkan dipimpin oleh datuk se-sat
Raja Kelelawar yang sakti itu. Akan tetapi Bwee Hong pura-pura bertanya kepada pedagang itu.
"Sungguh aneh dan sukar dipercaya! Kenapa orang-orang jahat seperti iblis diangkat menjadi perajurit
pemerintah, bahkan menjadi komandan?"
Mendengar pertanyaan ini, rombongan peda-gang itu makin percaya bahwa tiga orang muda ini tidak
tahu apa-apa maka berani hendak pergi menuju ke kota raja. "Ah, mana kami mengerti? Sejak kaisar
baru naik tahta, bermunculan banyak perwira dan perajurit kejam, seperti itu, berkeliaran di kota raja.
Maka, sebaiknya kalau kalian bertiga cepat-cepat pergi dari sini dan jangan mendekati kota raja."
"Apakah pertempuran masih berlangsung di sa-na?" A-hai bertanya sambil menunjuk ke depan.
"Tentu saja masih! Makin hebat tentunya. Pertempuran dimulai malam tadi dan tentu kini masih
berlangsung dengan hebatnya. Untung ka-mi dapat segera melarikan diri, akan tetapi banyak teman
kami yang terkurung di kota raja dan tidak sempat lagi melarikan diri. Entah bagaimana nasib mereka
itu. Kalau mereka tidak kehilangan nyawa saja masih untung akan tetapi tidak mung-kin dapat
diharapkan mereka akan dapat memper-tahankan barang dagangannya dan semua harta milik
mereka."
Setelah secara omong-omong sambil lalu, tiga orang muda itu berhasil memperoleh gambaran
sekedarnya tentang keadaan di kota raja, mereka lalu meninggalkan tempat itu dan melanjutkan
perjalanan menuju ke kota raja dengan cepat. Ma-kin dekat dengan kota raja, mulailah terdengar sayup
sampai terbawa angin suara gemuruh dan ri-uh-rendah, tanda bahwa jauh di depan terjadi
pertempuran hebat. Dan makin tinggi lagi, mulai nampaklah debu mengepul tinggi.
Mereka bertiga cepat mendaki bukit yang ber-ada di luar benteng kota raja. Kini nampak debu tebal
dan asap api bertebaran, menghalangi pan-dangan mereka sehingga pertempuran itu tidak kelihatan
jelas. Dari tempat sejauh itu, orang-orang yang bertempur hanya kelihatan kecil seperti se-mut yang
bergerak dan berlarian ke sana-sini. Nampak panji-panji, bendera-bendera bercampur baur dengan
kereta perang, kuda dan manusia. Suara bising memenuhi udara. Teriakan manusia diseling bunyi
terompet komando dan tambur. Da-ri atas bukit itu, sukar dikenal mana pasukan pe-merintah dan
mana pemberontak. Juga belum nampak tanda-tanda siapa yang berada di pihak unggul.
Tiba-tiba A-hai berseru, "Lihat di luar pintu gerbang sebelah barat itu! Pertempuran di sana sungguh
luar biasa!" Pemuda ini menunjuk ke de-pan. Dua orang temannya cepat menengok dan memandang
ke arah yang ditunjuk. Dan nampak-lah apa yang dimaksudkan oleh A-hai. Ada seo-rang penunggang
kuda yang dari situ, hanya keli-hatan sebesar lengan, membawa panji besar dan penunggang kuda ini
dikepung oleh banyak sekali pasukan lawan, mungkin ada ratusan orang ba-nyaknya. Para
pengeroyok itu mengepungnya dan bahkan ada pasukan anak panah menghujaninya dengan
serangan anak panah. Akan tetapi, jelas nampak oleh tiga orang muda di atas bukit itu betapa dengan
benderanya yang besar, penunggang kuda itu mengebut runtuh semua anak panah yang menyambar
ke arah d'rinya. Dan anehnya, penge-pung yang jumlahnya demikian banyak itu tidak ada yang berani
mendekatinya karena siapa berani agak terlalu dekat pasti roboh. Orang lihai ini ten-tu merupakan
seorang tokoh besar yang amat lihai dari kota raja, mungkin seorang panglima.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Heii! Itu di sana juga ada dua orang dikepung ratusan orang perajurit!" tiba-tiba Bwee Hong berseru
sambil menuding ke arah kiri. Yang di-maksudkan itu adalah dua orang yang berdiri membelakangi,
dikepung dan dikeroyok oleh ra-tusan orang perajurit seperti keadaan penung-gang kuda itu.
"Dan itu di sana ! Dia sendirian ah, ada dua ekor harimau, wah siapa lagi kalau bukan Sanhek-
houw? Hemm, kiranya datuk-datuk sesat mereka itu dan kini mereka sedang menghadapi
pengeroyokan pasukan anak buah Chu Siang Yu!" kata Seng Kun.
"Ah, benar!" kata Bwee Hong. "Para datuk sesat telah turun tangan menghadapi pasukan yang
mengepung kota raja. Akan tetapi di mana pemim-pin mereka yang kabarnya diangkat menjadi panglima
kerajaan itu? Di mana dia Raja Kelelawar?"
Kini tiga orang muda itu mencari-cari dengan pandang mata mereka, mencari iblis itu di antara orangorang
yang sedang bertempur. Akan tetapi mereka tidak dapat menemukan raja iblis itu.
"'Ha-ha, mana ada kelelawar muncul di siang hari? Kalau kalian ingin melihatnya, datang saja kembali
ke sini malam nanti. Ha-ha, lihat betapa pasukan kerajaan mulai terdesak. Paling lama so-re nanti
mereka tentu akan dapat didesak mundur sampai ke dalam benteng kota raja. Kalau sudah begitu,
tentu Iblis Kelelawar itu akan muncul, tunggu saja malam nanti!"
Tiga orang muda itu terkejut dan memandang ke sana-sini mencari siapa orangnya yang tiba-tiba
bicara kepada mereka itu. Suara itu seperti terdengar dari atas, akan tetapi mereka tidak da-pat
menemukan pembicara itu. Akhirnya mereka tidak perduli lagi karena keadaan jauh di bawah sana itu
amat menarik hati mereka. Mereka ber-tugas melakukan penyelidikan dan kini mereka memperoleh
tempat yang amat baik untuk dapat melihat jalannya pertempuran antara para pemberontak anak
buah Chu Siang Yu melawan pasukan pemerintah. Kini, setelah melihat jalannya pertem-puran,
mulailah mereka dapat membedakan mana pasukan pemerintah dan mana pasukan pembe-rontak.
Dan memang tepat seperti yang dikatakan orang yang tak dapat mereka temukan tadi, kini pihak
pemerintah terdesak hebat. Pada saat ma-tahari terbenam, pihak pasukan pemerintah sudah
terdesak semakin hebat dan akhirnya mereka itu meninggalkan teman-teman yang tewas, lari memasuki
pintu gerbang yang segera mereka tutup dan pasukan anak panah menghujankan anak panah
dari atas tembok benteng. Tentu saja pertem-puran otomatis berhenti dan pihak pemberontak
juga menarik pasukannya agar mengepung tembok benteng akan tetapi tidak terlalu dekat agar
jangan menjadi korban anak panah yang turun bagaikan hujan. Pasukan pemberontak yang berhasil
men-desak pasukan pemerintah itu kini memperkuat kedudukan dan membuat perkemahan di kaki
bu-kit, mengepung tembok benteng kota raja.
Karena pertempuran berhenti, Seng Kun bertiga lalu turun dari puncak untuk beristirahat pula dan
mengisi perut. Mereka mengambil keputusan un-tuk kembali lagi malam nanti, sesuai dengan an-juran
suara tanpa rupa tadi.
Malam itu sunyi, akan tetapi bulan muncul di langit yang bersih. A-hai mencari sepotong kayu cabang
pohon untuk membantunya mendaki bukit sampai ke puncak. Walaupun pendakian ke pun-cak itu
merupakan jalan liar yang harus dicari sendiri, namun mereka bertiga dapat mendakinya dengan
mudah, apa lagi ada sinar bulan menerangi permukaan puncak. Seng Kun dan Bwee Hong berjalan di
depan, sedangkan A-hai yang meme-gang tongkat kasar dengan tangan kirinya, mengi-kuti dari
belakang. Agaknya pasukan kedua pihak malam itu tidak melanjutkan pertempuran. Agak-nya
masing-masing pihak hendak menyimpan te-naga sambil mengatur siasat malam itu.
Ketika tiga orang muda itu tiba di puncak, me-reka berhenti dan memandang ke bawah pohon di
mana berdiri seorang laiki-laki yang amat gagah! Pria itu berdiri dengan tegak, kedua tangan bersedekap
dan tidak bergerak seperti sebuah arca. Ju-bahnya panjang berwarna putih terbuat dari sutera
halus. Di pinggangnya tergantung sebatang pe-dang. Sepatunya mengkilap dan kuat, rambutnya
digelung ke atas, dihias dengan semacam hiasan berbentuk mahkota kecil. Wajahnya tampan dan
sikapnya agung, menunjukkan bahwa pria ini ada-lah seorang bangsawan yang memiliki wibawa
kuat. Dari tempat itu, Seng Kun bertiga dapat melihat perkemahan para pemberontak, dan lebih jauh
lagi nampak benteng kota raja.
"Selamat malam!" Orang berjubah putih itu menyambut mereka dengan sikap angkuh, tanpa menoleh
dan melanjutkan pandang matanya yang sejak tadi memeriksa keadaan di bawah sana pe-nuh
perhatian.
dunia-kangouw.blogspot.com
Seng Kun bertiga terkejut mendengar suara ini, suara yang segera mereka kenal baik sebagai suara
orang yang tidak mau memperlihatkan dirinya si-ang tadi. Karena keadaan orang itu menimbulkan
rasa hormat, merekapun membalas salam orang itu dan menghampirinya, lalu berdiri di dekatnya
sambil ikut pula memandang penuh perhatian ke bawah puncak. Setelah dekat, nampaklah bahwa
laki-laki ini berusia hampir empatpuluh tahun dan wajahnya gagah dan tampan.
"Kalian lihatlah!" Orang itu berkata seolah-olah mereka adalah kenalan lama. "Perkemahan itu
demikian luas, tidak kurang dari seribu buah banyaknya, dan setiap kemah kecil itu menam-pung
duapuluh lima orang perajurit, belum ke-mah yang besar. Kekuatan pemberontak Chu ini sungguh
tidak kecil, bukan?"
Seng Kun mengangguk-angguk membenarkan. "Kami juga menduga bahwa kekuatan pasukan pemerintah
tidak akan dapat bertahan terlalu lama."
"Bertahan terlalu lama? Ha-ha, kau lihat sa-ja, besok, sebelum matahari terbenam, benteng itu akan
jatuh dan dapat dikuasai, kota raja akan dapat diduduki oleh pasukan-pasukan Chu yang hebat!"
Tiga orang muda itu tertegun dan saling pan-dang. Diam-diam mereka menduga-duga. Siapakah
gerangan orang ini? Dari golongan mana dan bagaimana orang ini dapat meramal dengan suara
demikian penuh keyakinan?
'"Eh locianpwe siapakah?" A–hai yang sejak tadi sudah ingin tahu sekali tidak da-pat menahan
pertanyaannya.
Pertanyaan itu membuat si jubah putih mem-balik dan menatap mereka dengan langsung. Ti-ga orang
muda itu kembali terkejut. Kini nampak jelas wajah yang gagah penuh wibawa itu, dan se-pasang
matanya tajam bersinar tanda bahwa dia memiliki kepandaian yang tinggi.
"Kelak kalian akan tahu sendiri siapa aku. Ti-dak layak aku memperkenalkan diri kepada orang-orang
yang aku sendiri tidak mengenalnya dengari betul. Siapa tahu aku berhadapan dengan pihak musuh?
Suasana begini kacau dan kita harus ber-sikap curiga dan hati-hati."
A-hai mengerutkan alisnya. Orang ini bicara begini terus terang tanpa menjaga perasaan orang lain
sehingga kata-katanya terdengar kasar dan tidak enak, walaupun suaranya tetap halus dan sopan.
Diapun sudah siap untuk membalas ucapan tidak enak itu, akan tetapi sebelum dia sempat membuka
mulut, orang itu sudah mengangkat ta-ngan mencegah mereka membuat berisik.
"Sstt, harap perhatikan. Inilah saatnya Raja Kelelawar keluar dari sarangnya!"
Tentu saja ucapan itu membuat mereka bertiga terkejut dan juga merasa serem sehingga tanpa dapat
mereka cegah, mereka merasa betapa tengkuk mereka menjadi dingin. Mereka semua kini memandang
penuh perhatian ke bawah, ke segenap penjuru, terutama ke arah benteng kota raja yang
nampak sunyi itu.
Tiba-tiba A-hai menyentuh lengan Seng Kun, "Lihat di atas tembok sebelah barat itu, di dekat menara
penjaga. Ada orang berlompatan di sana hemm , ada lima orang banyaknya"
Seng Kun dan Bwee Hong mengerahkan keku-atan pandang mata mereka ke arah yang ditunjuk Ahai
itu. Tentu saja keduanya menjadi terkejut dan heran. Dari puncak bukit itu, benteng kota raja
hanya kelihatan kecil, seperti tembok rumah biasa saja, dan bangunan-bangunan di bagian da-lamnya
hanya sebesar kotak-kotak kertas. Bagai-manakah A-hai dapat melihat orang-orang yang tentu saja
amat kecil, di waktu malam lagi, hanya dengan penerangan bulan saja? Kalau waktu si-ang dan
mereka mengerahkan sinkang, mungkin mereka masih akan mampu melihat orang-orang yang
dimaksudkan oleh A-hai. Seng Kun dan Bwee Hong menoleh dan memandang kepada A-hai dan
mereka berdua terkejut bukan main. Se-pasang mata A-hai mencorong seperti mata ha-rimau di
dalam kegelapan. Bukan hanya kakak beradik itu yang menjadi kagum, juga orang ber-jubah putih itu
diam-diam terkejut bukan main.
Pemuda mi memiliki ketajaman mata yang luar bi-asa, pikirnya sehingga dia sendiripun kalah kuat!
"Pemuda ini bukan orang sembarangan dan memiliki tenaga sinkang yang sukar diukur kehebatannya,"
demikian dia berkata di dalam hatinya dan sikapnya menjadi semakin waspada.
dunia-kangouw.blogspot.com
Di dalam keheranan dan kekaguman mereka, kakak beradik itu diam-diam merasa girang bu-kan
main. Mereka tahu bahwa keadaan A-hai semakin membaik dan ternyatalah bahwa A-hai benar-benar
seorang pemuda yang amat lihai. Si-kap A-hai saja menunjukkan bahwa pemuda itu sudah mulai
pulih kembali ingatannya, tidak lagi kelihatan ketololan. Hanya ada hal-hal yang be-lum diingatnya dan
mungkin hal-hal yang ter-amat pentinglah yang dilupakannya itu, dan siapa tahu, hal-hal penting ini
yang menjadi penyebab dia kehilangan ingatan. Kalau peristiwa penting ini teringat, bukan tidak boleh
jadi kalau dia akan menjadi waras kembali.
Seng Kun meraba tangan adiknya dan diajak-nya minggir agak menjauhkan diri. "Hong-moi, aku tibatiba
mendapat pikiran bahwa jalan satu-satunya untuk membuat dia sembuh sama sekali adalah
memberinya guncangan batin hebat dengan jalan mempertemukannya dengan tempat dan orang
yang membuat dia kehilangan ingatannya. Ingat, totokan tiga jari di pelipisnya itu. Kalau saja dia
dapat berhadapan dengan orang yang menotoknya, aku berani bertaruh bahwa guncangan batin akan
mampu menembus semua penghalang dan dia akan pulih kembali sama sekali."
"Akan tetapi," Bwee Hong juga berbisik, "ba-gaimana hal itu dapat dilaksanakan? Kita tidak tahu
siapa yang melakukan perbuatan keji terha-dapnya, bahkan diapun tidak ingat di mana tem-pat
tinggalnya dahulu.*"
Seng Kun menarik napas panjang. "Engkau be-nar. Kita hanya boleh mengharapkan terjadinya suatu
keajaiban, yaitu musuhnya itulah yang da-tang mencarinya!"
"Harapan itu bukan kosong belaka, koko. Ka-lau musuhnya melihat bahwa dia masih hidup, tentu
musuhnya itu akan datang untuk mencoba membunuhnya."
"Betapa mengerikan! A-hai yang demikian saktinya saja sampai kalah dan dibuat tidak ber-daya.
Kalau musuh yang sedemikian saktinya muncul dan menyerangnya, bagaimana kita akan mampu
menolongnya?"
Pada saat itu, terdengar suara orang berjubah putih, "Nah, tepat dugaanku! Si Raja iblis Kelelawar itu
keluar dari sarangnya. Dia menyeberangi parit yang mengelilingi tembok benteng!"
Setelah berkata demikian, dia bertepuk tangan dan terkejutlah tiga orang muda itu ketika melihat
munculnya beberapa orang dari tempat gelap dan melihat kecepatan gerakan mereka, mudah
diketahui bahwa mereka terdiri dari orang-orang yang berilmu tinggi! Yang membuat Seng Kun dan
Bwee Hong memandang dengan kaget adalah ketika mereka mengenal dua orang di antara me-reka
itu. Dua orang itu bukan lain adalah Kim I Ciangkun dan Gin I Ciangkun, dua orang pangli-ma yang
menjadi komandan pasukan pengawal istana dan mereka adalah tangan kanan dari Pek-lui-kong
Tong Ciak, jagoan di istana kepercayaan kaisar lama!
Beberapa orang itu menghadap si jubah putih dan memberi hormat. "Si iblis sudah muncul, te-pat
seperti yang kita perhitungkan. Dia membawa empat orang teman yang berkepandaian tinggi. Beri
tahu teman-teman dan jalankan siasat yang telah kita rencanakan!"
"Akan hamba laksanakan perintah Ong-ya!" jawab seorang di antara mereka.
"Ji-wi Tai-ciangkun, bagaimanakah ji-wi dapat berada di sini selagi kota raja terancam oleh pasukan
musuh? Mengapa dua orang ini malah berada di sini dan agaknya menjadi pembantu orang asing
ini?"
Mendengar teguran si gadis, orang yang berju-bah putih itu nampak terkejut. Tadinya dia me-mang
sudah curiga dan menduga-duga siapa ada-nya tiga orang muda yang amat lihai itu dan ter-nyata
gadis itu malah sudah mengenal dua orang pembantunya yang dipercaya! "Kalian mengenal mereka
ini?" tanyanya kepada Kim I Ciangkun dan Gin I Ciangkun.
"Maaf, Ong-ya. Mereka berdua itu adalah ke-luarga kaisar lama, masih keponakan kaisar lama.
Mereka adalah putera Bu Hong Seng-jin, ketua kuil istana Thian-to-tang yang kini telah dipen-jara
oleh kaisar baru itu."
"Ayah dipenjara?" Kakak beradik itu bertanya, hampir berbareng. Memang, hubungan antara me-reka
dan ayah kandung mereka tidaklah demikian erat karena sejak kecil mereka telah berpisah dari ayah
kandung mereka, namun tentu saja mereka menjadi terkejut dan penasaran sekali mendengar betapa
ayah kandung mereka yang tidak berdosa itu, yang hanya menjadi ketua kuil di istana, kini ditangkap
dunia-kangouw.blogspot.com
dan dijebloskan pula ke dalam penjara. "Tai-ciangkun, di mana ayah ditahan dan meng-apa?" Seng
Kun mendesak.
Akan tetapi orang yang berjubah putih dan disebut Ong-ya itu menggerakkan tangan mena-han.
"Hendaknya kalian berdua bersabar dan menunda pertanyaan kalian itu. Keadaan amat men-desak,
Raja Kelelawar telah keluar dari sarangnya. Mari ikut kami, menyongsong Raja Kelelawar yang
menjadi panglima dan mungkin pula penyebab ditangkapnya ayah kalian."
Seng Kun dan Bwee Hong tidak dapat mem-bantah lagi dan mereka, tentu saja diikuti pula oleh A-hai,
mengikuti orang itu pergi dari puncak bukit. Mereka semua pergi dengan jalan me-nyebar, dan tiga
orang muda itu mengikuti si ju-bah putih.

Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru