Selasa, 29 Mei 2018

Cersil Prasasti Pemberontakan Taipeng 2 Tamat

====

Baca juga

Jilid 10
#Nah, ceritakan, engkau she Lui dan menjadi utusan Sri Baginda Raja di Nan-king,
Maksudmu utusan Ong Siu Coan pemimpin balatentara Tai Peng?#
#Benar, Lee-kongcu.#
#Nah, katakan ada keperluan apa?#
#Kongcu, Sri Baginda sendiri yang memerintahkan aku untuk cepat menolong kongcu
dan semua tamunya, akan tetapi dengan syarat bahwa kalau kongcu dan para tamu
dapat diselamatkan, terutama kongcu sendiri, kongcu harus ikut dengan kami
menghadap Sri Baginda Raja di Nan-king. Beliau ingin sekali bertemu dengan
Thian-he Te-it Bu-hiap yang menjadi bengcu baru!# Song Kim tersenyum dan
membayangkan wajah Ong Siu Coan. Seorang yang hebat, dapat mengangkat diri
sedemikian tingginya sampai menjadi raja besar! Dan terbayang pula wajah Tang Ki
atau Kiki, sumoinya yang manis itu, dan senyumnya melebar.
#Akan tetapi sebelum aku menerima syarat itu, perlu aku mengetahui lebih dahulu,
bahaya apa yang mengancam diriku dan bagaimana engkau akan dapat menyelamatkan
aku?# Song Kim masih tidak percaya dan mengira banwa tentu Ong Siu Coan hendak
menipunya!
#Kongcu, tidak ada banyak waktu. Ketahuilah bahwa tempat ini telah dikepung oleh
pasukan pemerintah Mancu!#
#Apa......!# Song Kim meloncat dan mendekati jendela untuk menjenguk keluar.
#kami akan melawan.......
#Jangan tergesa-gesa, kongcu. Yang dikepung adalah bukit ini dan sebanyak paling
sedikit lima ratus orang perajurit mengepung dari empat penjuru. Berapa
banyaknya anak buah kongcu? Paling banyak seratus orang lebih! Bagaimana akan
mampu menahan serbuan ratusan, mungkin mendekati seribu orang pasukan yang sudah
terlatih perang? Dan jangan lupa, ada pendekar-pedekar sakti yang ikut membantu,
dan pasukan itu sendiri dipimpin oleh Nyonya Yu Kiang yang sudah terkenal
kelihaiannya!#
#Ceng Hiang......!"
#Benar, kongcu.#
#Aku tidak percaya!# Akan tetapi tiba-tiba terdengar lapat- lapat bunyi terompet
dan wajah Song Kim berubah pucat.
#Nah, agaknya tidak banyak waktu pula untuk mengadakan pemilihan, kongcu. Kalau
kongcu menerima syarat itu, aku akan mengerahkan pasukan mata-mata Tai Peng yang
sudah siap untuk membantu sampai kongcu dapat meloloskan diri, kalau tidak, aku
akan meninggalkan kongcu dan teman-teman dibasmi oleh pasukan Mancu, Bagaimana?#
Memang tidak ada pilihan lain bagi Song Kim. Dia tahu benar. Tentu saja dia
merasa sungkan dan khawatir untuk dibawa menghadap Ong Siu Coan yang kini telah
menjadi seorang raja besar, akan tetapi dia adalah seorang yang amat cerdik.
Kalau Ong Siu Coan sampai mau bersusah payah mengirim orang-orangnya untuk
menolongnya dari ancaman bahaya ini, tidak mungkin raja itu mengandung niat
jahat terhadap dirinya. Tidak ada lain pilihan.
#Baik. aku menerima syarat itu, lalu bagaimana sekarang? Bagaimana engkau akan
dapat menolongku?#
#Biarkan para tamu yang rata-rata memiliki kepandaian itu mengadakan perlawanan
dari dalam. Padamkan semua api dan penerangan dan melakukan pertempuran dengan
berpencar agar kekuatan musuh yang lebih besar menjadi kacau. Ingat bahwa
kekuatan kamipun hanya seratus orang lebih pasukan kita melawan musuh yang tiga
empat kali lebih banyak. Kami akan menyerang dari luar sehingga kita menjepit
pasukan musuh. Kongcu sendiri agar menyamar dan menyusup ke arah barat. Dengan
kepandaian kongcu, hal itu tidak akan sukar kalau saja kongcu tidak dikenal. Di
bawah bukit, kami akan menyiapkan kuda untuk kongcu pakai. Ada apalagi yang
ingin kongcu tanyakan?# Suara pasukan musuh kini makin terdengar gemuruh dan
keadaan para tamu mulai panik karena merekapun mendengar suara itu.
#Tidak ada apa-apa lagi,# kata Song Kim.
#Ingat, kalau kongcu melarikan diri lalu tidak memenuhi janji, pasti Sri Baginda
tidak akan berhenti sebelum dapat menangkap kongcu dan menjatuhkan hukuman!#
Setelah berkata demikian, orang tinggi kurus itu meloncat keluar jendela dan
lenyap. Daun pintu diketuk orang dari luar, Song Kim cepat membuka daun pintu
dan Theng Ci sudah berada di depan pintu bersama beberapa orang pembantunya,
yaitu Tiat-pi Kim- wan, Seng-jin Sin-Touw, dan Sin-kiam Mo-li, juga beberapa
orang tamu. mereka nampak gelisah.
#Kongcu, menurut penyelidikan kami, kita telah dikepung oleh pasukan pemerintah
Mancu yang jumlahnya besar sekali, dikepung dari empat penjuru dan mereka kini
sedang mendaki, sudah sampai di lereng terakhir,# kata Theng Ci. Setelah daun
pintu terbuka, nampak oleh Song Kim betapa semua tamu sudah bangkit berdiri
dengan wajah tegang, suara musik dan nyanyian sudah terhenti. Para gadis
penyanyi berjongkok dan berkumpul dengan muka pucat dan tubuh menggigil. Akan
tetapi, para anggauta Ang-hong-pai nampak tetap tenang dan tabah, demikian pula
para tamu walaupun wajah mereka membayangkan ketegangan. Song Kim mengangguk.
#Tenanglah, aku sudah tahu!# katanya dan diapun cepat keluar, berdiri di atas
meja menghadapi para tamunya dan anak buahnya. #Pasukan pemerintah mengepung
tempat ini. Jangan khawatir, walaupun jumlah mereka lebih banyak, kita tidak
perlu takut. Bahkan kita akan memperlihatkan tindakan kita pertama kali sejak
kalian mengangkat aku menjadi bencu! Kita tidak akan kalah, karena kita akan
dibantu oleh pasukan sahabat yang akan bergerak dari luar. Kalau pertempuran
sudah berlangsung, selanjutnya kalian harap bergabung dengan pasukan pembantu
dan bersama mereka melawan pasukan Mancu. Dan kalian harus mentaati siasat yang
diperintahkan oleh komandan pasukan pembantu. Sekarang, padamkan semua
penerangan dan api, kemudian menyebarlah. bersembunyi dan menyerang secara tibatiba
jika ada tentara musuh mendekat. Dengan demikian, mereka tidak akan dapat
melakukan penyerbuan terarah. Sudah mengerti semua?# Semua orang mengangguk.
#Akan tetapi, dalam pertempuran berpencaran, bagaimana kami dapat menghubungi
kongcu?# Theng Ci bertanya khawatir.
#Ikuti saja petunjuk komandan pasukan pembantu dan kita akan bertemu lagi
setelah lolos dari ancaman bahaya. Nah, lakukanlah perintahku sekarang juga,
mereka sudah dekat!# Theng Ci dan para pembantu lainnya, juga para tamu, cepat
memadamkan api dan lampu penerangan, sedangkan Lee Song Kim cepat lari ke dalam
untuk mengumpulkan barang-barang yang perlu dibawa. Akan tetapi karena tempat
itu hanya merupakan tempat sementara yang dipakainya untuk mengadakan pertemuan,
tidak banyak yang dibawanya.
Pedang Giok-liong-kiam disembunyikan di balik jubahnya yang kini ditutup oleh
jubah lain yang agak tua sehingga pakaiannya yang serba indah tertutup. Juga dia
menanggalkan hiasan rambut dari emas permata, lalu mengikat rambutnya dengan
pita biasa, bahkan menyembunyikan sepasang belati dan pedangnya agar dia tidak
dikenal orang. Setelah itu, dia memadamkan lampu di dalam rumah itu dan
menyelinap keluar. Ternyata di luar sudah mulai terjadi pertempuran! Para
perajurit Kerajaan Ceng menjadi terkejut juga menghadapi penyambutan yang gigih
itu. Karena orang-orang yang mereka serbu itu berpencar dan tidak bergerombol,
bahkan menyerang mereka dari tempat-tempat tersembunyi, pasukan itu terkejut dan
banyak di antara mereka yang menjadi korban serangan mendadak dari tempat
tersembunyi. Apalagi keadaan amat gelap sehingga sukarlah mengenal mana kawan
mana lawan.
Menghadapi perlawanan musuh, Ceng Hiang dan para panglima segera memberi aba-aba
kepada para perajurit yang berada di belakang untuk menyalakan obor. Keadaan
menjadi terang dan kini mulailah terjadi pertempuran yang tidak seimbang. Segera
setiap orang dari golongan hitam yang menjadi anak buah Lee Song Kim, dikepung
oleh tiga empat orang dan terjadi perkelahian mati-matian di bawah sinar ratusan
buah obor. Ci Kong, Lian Hong, Thio Ki dan Kui Eng tidak mempedulikan
pertempuran antara pasukan pemerintah melawan orang-orang golongan hitam itu.
Mereka tidak mau membantu, bahkan cepat berloncatan masuk ke dalam perkampungan
itu untuk mencari Song Kim. Setelah mereka tiba di depan rumah, di taman mana
tadi diadakan pesta, rumah yang gelap, Ci Kong membentak,
#Lee Song Kim, keluarlah, dan kembalikan Giok-liong-kiam kepadaku!# Sunyi saja
di rumah yang gelap itu. Thio Ki menyambar sebatang obor dari tangan seorang
perajurit dan berkata,
#Mari kita serbu!# Dia berada di belakang membawa obor agar tidak diserang
secara mendadak dari dalam rumah. Ci Kong menendang daun pintu depan dan mereka
berempat menyerbu masuk. Akan tetapi, rumah itu kosong. Mereka cepat mencari
keluar, di antara mereka yang berkelahi, namun tidak nampak bayangan Song Kim!
Sementara itu, pasukan pemerintah menjadi kacau ketika mendadak mereka mengalami
penyerbuan dari bawah puncak bukit, dan pertempuran menjadi semakin seru.
#Ah, jahanam itu tidak ada lagi!# kata Ci Kong dengan heran, penasaran dan juga
kecewa. #Si licik pengecut itu tentu sudah tahu akan bahaya dan telah melarikan
diri,# kata Lian Hong.
#Bedebah!# Kui Eng memaki dengan kecewa. Mereka berempat masih terus berputarputar
mencari, sama sekali tidak mau mencampuri pertempuran, akan tetapi seperti
yang mereka khawatirkan, sama sekali tidak nampak bayangan Lee Song Kim. Ketika
mereka melihat bahwa dari luar datang pasukan orang-orang lihai menyerbu, dan
biarpun mereka yang jumlahnya kurang lebih seratus orang itu tidak berpakaian
perajurit, dari cara merela melakukan penyerangan dengan teratur menunjukkan
bahwa mereka adalah sebuah pasukan yang terlatih dan teratur.
#Hemm, agaknya mereka adalah pasukan mata-mata Tai Peng,# kata Thio Ki dan yang
lain menyetujui.
#Kita tidak perlu terlibat dalam pertempuran di antara mereka. Mari kita pergi,
turun bukit dan mencari jahanam she Lee itu,# kata Ci Kong. mereka lalu berlari
turun gunung merobohkan siapa saja yang mencoba untuk menghalangi mereka, baik
perajurit Tai Peng maupun perajurit pemerintah. Akan tetapi, usaha mereka
mencari Lee Song Kim sia-sia. Orang itu sudah hilang entah ke mana, mereka sama
sekali tidak menduganya. Akan tetapi, Ci Kong mendekati kenyataan ketika dia
berkata kepada tiga orang lainnya.
#Sungguh aneh sekali munculnya pasukan Tai Peng itu. Mereka membantu Lee Song
Kim dan anak buahnya! Agaknya dugaan Ceng Hiang memang tepat. Lee Song Kim tentu
telah bersekongkol atau menjadi pembantu Ong Siu Coan yang sengaja meminjamkan
Giok-liong-kiam kepadanya untuk dapat menarik tenaga bantuan golongan hitam yang
memiliki ilmu silat tinggi. Kalau begitu halnya, agaknya dia melarikan diri ke
Nan-king!#
#Wah, kalau dia sudah berada di istana raja baru itu, mana mungkin kita dapat
menyusulnya?# kata Thio Ki. Ci Kong mengepal tinju.
#Sungguh merupakan kebodohan besar bagiku yang dulu percaya kepada Ong Siu Coan
dan menyerahkan Giok-liong-kiam untuk dipinjamnya. Bagaimanapun juga, aku harus
dapat merampas kembali pedang pusaka itu, entah dengan cara bagaimana!#
#Kita tidak perlu datang ke sana, karena orang seperti dia berhati palsu. Kalau
kita datang berkunjung dan meminta kembali pedang itu dari Ong Siu Coan, tentu
kita akan ditangkap. Dan diistananya, kita tidak akan mampu berbuat apapun,#
kata Lian Hong yang merasa khawatir kalau-kalau suaminya akan nekat mengejar ke
Nan-king.
#Aku mendengar bahwa kini terdapat gerakan baru dari rakyat jelata yang
menentang Kerajaan Tai Peng karena ternyata pasukan-pasukan Tai Peng banyak
menyengsarakan rakyat dengan perbuatan mereka yang tiada ubahnya seperti para
perampok biasa.# kata Kui Eng. Ci Kong menarik napas panjang.
#Sungguh menyedihkan sekali nasib rakyat jelata. Sudah dihisap oleh pemerintah
Mancu yang menjajah, dirongrong dan diracun pula orang-orang kulit putih dari
barat, kini bahkan ditambah lagi dengan penindasan perampok-perampok Tai Peng.
Begitu banyaknya penindasan yang diderita rakyat. Bangkit dan berjuangpun
amatlah beratnya karena hanya menghadapi tiga kekuatan yang besar dan menekan
itu.# thio ki menarik napas panjang.
#memang berat sekali. Kalau rakyat bangkit berarti ada empat kekuatan yang
saling serang, dan akibatnya, rakyat sendirilah yang paling menderita. Orang
kulit putih yang paling beruntung, menjual senjata je kanan kiri, membiarkan
bangsa kita terpecah belah dan saling bunuh. Ah, kita hanya dapat mengharapkan
munculnya seorang pemimpin besar yang ditunjuk oleh Thian untuk dapat
membebaskan rakyat dari kesengsaraan yang bertumpuk.# Dengan hati kecewa dan
menyesal empat orang itu akhirnya saling berpisah, pulang ke tempat tinggal
masing- masing setelah berjanji untuk bertemu lagi kalau tiba saatnya di mana
tenaga mereka dapat disumbangkan untuk perjuangan membela rakyat. Sementara itu
pertempuran antara pasukan pemerintah Ceng melawan pasukan Tai Peng yang kini
bergabung dengan anak buah Lee Song Kim, berlangsung dengan serunya. Biarpun
para pembantu Lee Song Kim rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi,
Namun di pihak pasukan pemerintah terdapat Ceng Hiang yang mengamuk bagaikan
seekor naga betina, dan jumlah pasukan pemerintah kurang lebih tiga empat kali
lipat banyaknya, akhirnya pasukan Tai Peng bersama golongan sesat terpaksa
melarikan diri meninggalkan lebih dari sepertiga bagian orang mereka yang tewas
dan terluka parah. Juga di pihak pasukan pemerintah banyak korban jatuh dalam
pertempuran hampir setengah malam lamanya itu. Pasukan Tai Peng melarikan diri
ke selatan dan setelah tiba di perbatasan, pasukan Kerajaan Ceng yang melakukan
pengejaran terpaksa mundur kembali karena di perbatasan terdapat penjagaan
pasukan Tai Peng yang kuat. Bagaikan seorang dusun yang baru pertama kali
memasuki kota, Sheila dan Han Le yang dikawal oleh Tang Ciangkun memasuki istana
di Nan-king itu.
Sheila adalah seorang wanita kulit putih yang tenu saja sudah sering melihat
gedung-gedung mewah, bahkan di waktu gadisnya ia tinggal di rumah orang tuanya
yang cukup mewah. Namun, begitu memasuki istana ini, ia takjub bukan main.
segala benda yang berada di dalam istana ini demikian antik dan tentu berharga
mahal sekali. Guci-guci bergambar yang kuno dan indah, tempat-tempat bunga dan
patung-patung dari batu kemala, dinding berukir dan ada pula dari marmer
berkembang mengkilap, cerrnin-cermin besar, lukisan-lukisn kuno dan tulisantulisan
sajak berpasangan yang amat indah. Lantainya dari marmer yang dapat
dipakai bercermin saking mengkilapnya, gantungan kain- kain sutera beraneka
warna dan tirai-tirai yang halus menambah semaraknya ukiran-ukiran pada jendela,
pintu, bahkan langit-langit.
Para pengawal yang berjaga di situpun mengenakan pakaian seragam yang indah dan
mewah, rata-rata memiliki tubuh tegap dan wajah tampan, sedangkan di bagian
dalam nampak pelayan-pelayan wanita yang canti-cantik. Sungguh merupakan sebuah
istana besar yang megah, mewah dan indah. Sheila dan Han Le harus menanti sampai
beberapa lamanya di ruangan tunggu untuk para tamu sebelum akhirnya mereka di
ijinkan masuk dikawal oleh Tang Ciangkun dan beberapa orang pengawal istana
mengiringkan mereka memasuki ruangan besar di mana Sri Baginda Kaisar dari
kerajaan Sorga sudah menanti mereka! hal ini diumumkan oleh pengawal yang
memberitahu kepada mereka di kamar tunggu tadi. Kaisar dari Kerajaan Sorga!
Sheila tersenyum di dalam hatinya. Betapa sombongnya orang yang pernah menjadi
suheng mendiang suaminya itu.
Ketika mereka bertiga, dikawal oleh empat orang pengawal, memasuki ruangan itu,
Sheila merasa jantungnya berdebar tegang. Bagaimana juga, suasana mewah
gemerlapan di dalam ruangan itu sungguh menegangkan dan amat berwibawa. Han Le
nampak gembira sekali, memandang ke kanan kiri penuh kagum. Melihat betapa empat
orang pengawal dan Tang Ciangkun menjatuhkan diri berlutut begitu mereka
melangkahi ambang pintu, Sheila yang sudah mempelajari adat istiadat dan sopan
santun, cepat memegang tangan puteranya dan diajaknya berlutut pula. Dengan
suara sopan dan lantang, kepala pengawal melapor kepada raja Tai Peng itu bahwa
Tang Ciangkun datang membawa dua orang tamu yang bernama Nyonya Gan Seng Bu dan
puteranya, Gan Han Le. Sheila segera mengenal pria yang duduk setengah rebah di
atas kursi panjang berkasur dan berbantal itu. Dia mengenal Ong Siu Coan,
Walaupun sudah belasan tahun berpisah dan kini Ong Siu Coan telah menjadi
seorang pria berusia empat puluhan tahun, bertubuh tinggi besar dan gagah,
mengenakan pakaian raja yang gemerlapan, dan mukanya yang dulu licin kini
dipenuhi cambang, jenggot dan kumis sehingga berwibawa dan menakutkan walaupun
masih menarik dan tampan. Mendengar laporan itu, Ong Siu Coan bangkit duduk dan
dengan alis berkerut memandang ke arah Sheila dengan penuh perhatian, kemudian
kepada Han Le hanya sekelebatan saja, dan mengangguk, memberi isyarat dengan
tangan dan empat orang pengawal itupun mengundurkan diri, keluar dari ruangan
itu dan menutupkan daun pintu. Dua orang pengawal pribadi yang berdiri di sudut
ruangan itu, di belakang sang raja, diam saja tak bergerak bagaikan patung,
namun semua urat syaraf mereka siap siaga untuk bergerak melindungi junjungan
mereka.
#Tang Ciangkun, mendekatlah dan ajak mereka, lalu ceritakan apa artinya semua
ini,# terdengar Ong Siu Coan berkata, dan walaupun dia masih ingat kepada wanita
kulit putih yang menjadi isteri sutenya ini, namun dia merasa acuh saja. Dia
merasa terlalu tinggi untuk berurusan dengan segala macam wanita, walaupun
berkulit putih dan bermata biru sekalipun!
#Ampunkan hamba, Sri Baginda. Hamba melihat ibu dan anak ini tertawan oleh
pasukan kita dan disangka menjadi mata-mata orang asing kulit putih. Akan tetapi
mereka mengaku sebagai isteri dan putera mendiang pendekar pejuang Gan Seng Bu
dan karena hamba mengetahui bahwa mendiang pendekar itu berada di bawah naungan
kemuliaan paduka, maka hamba membawa mereka untuk menghadap paduka. Terserah
kebijaksanaan paduka untuk memutuskan tentang diri mereka.# Hening sejenak dan
Ong Siu Coan menatap ke arah wajah Sheila yang sejak tadi menundukkan mukanya
saja. Laporan Tang Ciangkun dengan suara demikian merendah menambah kewibawaan
raja itu, mengingatkan Sheila bahwa yang berada di depannya bukanlah seorang
suheng dari mendiang suaminya seperti dahulu lagi, melainkan seorang raja yang
berkuasa dan ia merasa menyesal telah datang ke sini karena merasa terasing dan
demikian rendah diri terhadap segala kebesaran ini.
#Hemm, aku ingat sekarang. Engkau isteri Seng Bu yang bernama...... bernama.....
eh, siapa lagi aku lupa......#
#Nama saya Sheila, Sri Baginda,# kata Sheila merendah.
#Oya, Sheila! Hemm, apakah tak pernah kubaca dalam Kitab Suci nama wanita
seperti itu? Hemm, ada Delila, hampir sama akan tetapi berbeda. Dan ini anakmu?
Anak Seng Bu?#
#Benar, Sri Baginda. Dia ini anak hamba bernama Gan Han Le? Kini Ong Siu Coan
memandang kepada Han Le.
#Gan Han Le? Hemm anak muda, coba angkat mukamu agar aku dapat melihatmu.#
#Baik, supek...... #
#Henry......!# Sheila berseru lirih.
#Jangan menyebut seperti itu, beliau adalah Sri Baginda Kaisar! Sebut Sri
Baginda.# Ong Siu Coan mengerutkan alisnya. Di dalam hatinya, dia suka akan
keberanian dan kejujuran anak itu, akan tetapi sebagai seorang kaisar, dia harus
memperlihatkan kewibawaannya.
#Gan Han Le, mukamu memang seperti muka Seng Bu, kecuali matamu yang kebiruan.
Sheila, setelah engkau menghadap kami, apa yang kau kehendaki sekarang ini?#
Dalam keadaan seperti itu, ketika kaisar berkenan menawarkan apa yang
dikehendaki orang yang menghadapnya, tentu biasanya orang-orang akan mengajukan
permintaan-permintaan mereka. Akan tetapi tidak demikian dengan Sheila.
#Ampun, Sri Baginda. Bukan maksud hamba berdua anak hamba untuk mengganggu
paduka. Hamba berdua tidak mohon sesuatu, dan hamba akan merasa berbahagia kalau
anak hamba ini dapat mempelajari ilmu di kotaraja ini, agar kelak dia dapat
menjunjung nama mendiang ayahnya sebagai seorang pendekar seperti ayahnya.#
Ong Siu Coan tersenyum. Ketika berkata-kata, Sheila nampak cantik menarik,
kecantikan yang aneh. Dia sudah jemu dengan kecantikan para selir dan dayang
yang tidak sah karena Kiki tidak mengijinkan dia memiliki isteri lain. Dan
kecantikan wanita ini memang luar biasa. Mata yang biru itu, rambut yang seperti
benang sutera emas! Pada sat itu, muncullah seorang wanita dari pintu belakang.
Seorang wanita yang usianya sebaya dengan Sheila, hanya satu dua tahun lebih
tua, dan melihat pakaiannya yang demikian mewah dan penuh dengan tanda
kebesaran, dapat diduga bahwa ia adalah sang permaisuri sendiri. Berbeda dengan
para puteri bangsawan yang kelihatan lemah lembut dan kalau melangkah perlahanlahan
seperti langkah tarian yang diatur,
Wanita ini melangkah dengan gerakan yang gesit tegap. Wajahnya manis, dengan
tahi lalat di pipi. Inilah Tang Ki atau yang lebih dikenal dengan nama Kiki,
puteri mendiang Hai-tok Tang Kok Bu, seorang di antara empat datuk besar, yaitu
Empat Racun Dunia. Kiki adalah pembantu paling setia dari Ong Siu Coan ketika
berjuang, dan kemudian menjadi isterinya dan kini menjadi permaisuri dari
Kerajaan Sorga! Wanita itu memang Kiki, yang kini menjadi permaisuri. Akan
tetapi, sikapnya terhadap suaminya masih biasa saja, tidak seperti sikap
permaisuri terhadap raja. Tanpa banyak peraturan, ia duduk di dekat suaminya di
atas kursi panjang itu, tanpa mengabaikan penghormatan Tang Ciangkun yag
ditujukan kepadanya. Ong Siu Coan juga bersikap biasa saja, bahan tersenyum
memperkenalkan Sheila kepada permaisurinya.
#Lihat, ia adalah isteri mendiang Gan Seng Bu! Namanya Sheila! Cantik, ya?
cantik seperti Delila! Tahukah engkau siapa Delila? Wanita cantik jelita yang
sudah meruntuhkan iman dan semangat seorang laki-laki gagah perkasa seperti
Samson! Ha-ha-ha!# Kiki cemberut. Sudah lama ia merasa jemu dan tidak suka
kepara pria yang menjadi suaminya dan menjadi raja ini. Suaminya ini sekarang
jarang mendekatinya, bahkan jarang memperhatikan seolah-olah ia hanya satu di
antara perabot kamar saja. Suaminya mabok kemenangan dan mabok kedudukan, gila
hormat dan berambisi, Kini melihat betapa suaminya menaruh perhatian akan
kecantikan seorang wanita lain di depannya, tentu saja hatinya menjadi panas.
#Hemmm, mudah-mudahan ia tidak menjadi Delila baru dan paduka Samsonnya!# kata
Kiki dengan senyum mengejek. Kalau tidak ada orang lain di situ, ia tidak pernah
menyebut paduka, hanya engkau biasa saja! Suami isteri ini memang tidak pernah
merubah sikap terhadap masng-masing biarpun mereka telah menjadi raja dan
permaisurinya, kecuali di depan orang lain. Ong Siu Coan memandang isterinya
dengan mata terbelalak.
#Apa? Gilakah engkau? Aku bukan Samson, melainkan putera Tuhan yang bungsu!
Engkau tahu bahwa aku adalah adik Yesus yang lebih berkuasa daripada segala
macam tokoh dan nabi seperti Samson!# Kiki menarik napas panjang, merasa tidak
ada gunanya dan hanya akan memalukan saja berdebat soal yang kuno itu di depan
orang lain. Suaminya selalu bersikap sungguh-sungguh dan marah-marah kalau
sampai disangkal bahwa dia bukan putera Tuhan, bukan adik Yesus.
#Sudahlah, mau apa wanita ini datang ke sini?# tanyanya sambil lalu, jelas
memandang rendah dan membayangkan sikap tidak suka kepada Sheila.
#Biar ia di sini menjadi dayang, dan anaknya diperbolehkan belajar sastera dan
silat agar kelak dapat menjadi seorang yang tangguh dan berguna bagi kerajaan
kita. Tang Ciangkun, bawalah ibu dan anak ini dan serahkan kepada kepala bagian
rumah tangga, sampaikan perintahku agar Sheila diajari semua pekerjaan agar ia
dapat menjadi dayang dan pelayan dalam yang baik, dan Gan Han Le ini serahkan
kepada bagian pendidikan agar dia dapat belajar surat dan silat.# Ketika Tang
Ciangkun memberi hormat menerima perintah, raja itu menambahkan, teringat bahwa
tentu bukan tanpa pamrih pembantunya yang setia dan baik ini datang menghadapkan
ibu dan anak itu kepadanya.
#Oya, dan sebagai hadiah, engkau kuangkat menjadi komandan pasukan penjaga tapal
batas di utara, menggantikan panglima yang akan kutarik kembali ke kota raja dan
kunaikkan pangkatmu menjadi panglima muda, Besok akan kukirim surat keputusan
dan pengangkatanku itu!# katanya sambil melambaikan tangan mengusir mereka pergi
dari hadapannya. Tang Ciangkun tentu saja menjadi girang bukan main. Selama ini,
dia memperoleh kedudukan yang cukup tinggi, bukan hanya karena ilmu silatnya
yang cukup tangguh dan kesetiannya membantu perjuangan Tai Peng sampai pemimpin
itu menjadi raja, juga karena dia masih bersamaan she (nama keturunan) dengan
permaisuri, walaupun tidak ada hubungan keluarga apapun. Dan kini, mendadak dia
menjadi seorang pamglima muda, seorang jenderal, komandan pasukan penjaga tapal
batas utara!
Maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut dan menghaturkan terima kasih, lalu
dengan wajah berseri mengundurkan diri mengiringkan Sheila dan Han Le. Akan
tetapi, sikap Ong Siu Coan yang ramah dan manis terhadap Sheila, yang memuji
kecantikannya, telah mendatangkan perasaan cemburu dan panas di dalam hati Kiki.
Diam-diam ia memerintahkan orang kepercayaannya untuk mengusahakan agar Sheila
jangan diberi tugas sebagai dayang di dalam istana melayani keluarga raja,
melainkan diberi tugas di dapur dan di bagian belakang yang tidak mungkin wanita
berkulit putih itu memperlihatkan diri di depan kaisar. Tentu saja perintah
rahasia ini tidak ada yang berani membantah karena semua orang tahu belaka
betapa keras dan kejamnya tangan permaisuri itu. Hal ini bahkan melegakan hati
Sheila.
Baginya, yang paling penting adalah kemajuan dan pendidikan puteranya. setelah
anaknya kehilangan gurunya, guru yang paling baik di dunia ini pikirnya dengan
hati duka, maka Henry perlu mendapatkan pendidikan yang baik. Dia kelak harus
menjadi seorang yang pandai. Dirinya sendiri tidak dipikirkannya. Biar ia
dipekerjakan di dapur atau di kebun, bekerja berat sekalipun ia tidak akan
mengeluh asal saja puteranya memperoleh pendidikan yang baik seperti yang
diharapkan. Dan hal ini mungkin dilakukan karena bantuan perwira Tang yang kini
menjadi panglima muda dengan kedudukan komandan di perbatasan. Tang Ciangkun itu
merasa gembira sekali dengan kenaikan pangkatnya, dan ketika dia mengundurkan
diri keluar dari ruangan di mana mereka diterima raja tadi, dia mendengar Sheila
mengeluh.
#Tang Ciangkun, aku merasa menyesal sekali telah ikut bersamamu ke sini. Engkau
melihat dan mendengar sendiri tadi, kehadiranku bahkan mendatangkan suasana
tidak enak saja kepada Sri Baginda dan Permaisuri. Aku sendiri tidak perduli
akan keadaan diriku, akan tetapi aku amat mengkhawatirkan keadaan puteraku.
Ciangkun, aku akan berterima kasih sekali kepadamu kalau engkau suka membantu
sehingga anakku akan dapat belajar bun dan bu (sastera dan silat) seperti yang
kami citakan.# Tang Ciangkun yang merasa gembira dan berterima kasih karena ibu
dan anak ini mendatangkan keuntungan besar dan kenaikan pangkat kepadanya,
segera berkata,
#Baik, jangan khawatir, toanio, Kebetulan sekali kepala pengawal istana adalah
sahabat baikku, Dia memiliki ilmu silat yang lebih tinggi dariku, dan dia dapat
mengajarkan ilmu silat kepada puteramu. Adapun tentang pelajaran sastera, dia
tentu akan bisa mendapatkan seorang guru di antara para karyawan di istana ini.#
Demikianlah, berkat bantuan Tang Ciangkun, kepala pengawal yang bernama Giam Ci,
mencarikan guru sastera dan dia sendiri melatih ilmu silat kepada Han Le.
Melihat ini, Sheila merasa lega sekali, apalagi karena ia jarang atau hampir
tidak pernah diperintah ke bagian dalam istana berhadapan dengan raja dan
permaisuri seperti yang dikhawatirkan. Sudah satu bulan ia berada di situ dan
belum juga ia bertemu dengan raja dan permaisuri. Akan tetapi, pada suatu hari,
ia terkejut sekali ketika ada petugas datang ke bagian belakang dan pengawal ini
menyampaikan perintah Raja bahwa ia diharuskan menghadap sekarang juga! Dengan
hati gelisah dan jantung berdebar Sheila memasuki ruangan di mana Raja Ong Siu
Coan sudah menanti. Begitu melihat Sheila, Ong Siu Coan bangkit dan menyuruh
pengawal itu mundur. Akan tetapi seperti biasa, dua orang pengawal pribadi yang
seperti patung itu tetap berdiri di sudut kamar.
#Aih, kenapa sejak berada di sini, sudah satu bulan aku tidak pernah melihatmu?
Aku sampai lupa bahwa engkau berada di sini!# Sheila berlutut dan memberi
hormat.
#Hamba sibuk bekerja di dapur selama ini.#
#Ah, engkau mana pantas bekerja di dapur?# Dengan hati khawatir sekali Sheila
berkata,
#Akan tetapi hamba sudah merasa suka sekali dengan pekerjaan hamba dan hamba
berterima kasih kepada paduka.#
#Hemm, kalau begitu bolehlah. Akan tetapi sewktu-waktu kalau kupanggil engkau
harus datang. Aku butuh sekali bantuanmu, Sheila.# Kembali Sheila menahan
jantungnya yang berdebar keras.
#Apakah yang dapat hamba lakukan untuk paduka, Sri Baginda?#
#Aku ingin lebih mendalami isi Alkitab, dan karena bahasa Inggrisku masih
dangkal, amat sukar aku mengerti benar isinya. Tejemahan yang ada dalam bahasa
daerah juga tidak lengkap. Kau bangkitlah dan duduklah di kursi di dekatku sini.
Engkau harus membantu aku memahami isi Alkitab.# Sheila tidak berani membantah,
bangkit dan menghampiri kursi lalu duduk tak jauh dari Ong Siu Coan yang sudah
mengeluarkn sebuah kitab, yaitu Alkitab yang sudah lusuh dan usang. Tiba-tiba
Sheila mendapat suatu kekuatan yang keluar dari dalam lubuk hatinya. Raja ini
seperti orang gila saja, menganggap dirinya sebagai putera Allah dan sebagai
adik Yesus. Jelaslah bahwa raja ini mempelajari Alkitab dengan keliru dan
menyeleweng daripada kebenaran, Kalau hanya menterjemahkan dan mengajarkan isi
Alkitab saja, tanpa lebih dahulu mengubah pandangannya yang menyeleweng tentang
dirinya sendiri, kiranya tidak akan ada gunanya.
#Ampunkan hamba, Sri Baginda. Sebelum mempelajari Alkitab, hamba mohon bertanya,
apakah paduka ini pemeluk Agama Kristen?#
#Tentu saja! Kau pikir bagaimana? Bukan saja beragama Kristen, bahkan aku adalah
utusan Tuhan untuk mengamankan dunia dan mendatangkan berkah bagi manusia, aku
adalah putera Tuhan yang diturunkan terakhir, aku adik bungsu dari Yesus
sendiri! Karena itu aku harus mempelajari isi Alkitab dengan sempurna!# Katakata
yang kacau, pikir Sheila. Orang ini mabok dalam kemenangan dan kemuliaan,
memandang diri sendiri sedemikan tingginya sehingga terdengar mengerikan!
#Akan tetapi, yang mulia Sri Baginda. Umat Kristen dalam kepercayaannya
mendasarkan isi Alkitab. Bagaimana paduka dapat mengharapkan agar semua orang
percaya akan keadaan paduka kalau tidak terdapat di dalam Alkitab?#
#Aha, ternyata engkau masih bodoh! Tentu saja ada di dalam Alkitab! Nanti
kuperlihatkan kepadamu, sejak dahulu sudah terlihat tanda-tanda dan ramalanramalan
bahwa aku akan turun ke dunia, walaupun tidak disebut sebagai putera
Tuhan dan adik Yesus. Akulah yang akan mengubah seluruh dunia dengan
kekuasaanku, membasmi yang lalim dan mengangkat yang percaya ke dalam surga!#
Sheila merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Ia merasa seperti berhadapan
dengan seorang yang miring otaknya, seorang gila yang amat berbahaya. Dengan
sekuat keberaniannya iapun mencoba untuk menyadarkan.
#Maaf, yang mulia. Agama Kristen adalah agama yang berdasarkan Cinta Kasih, yang
tidak akan mempergunakan kekerasan, apalagi membasmi......#
#Kau keliru! Yesus sendiri marah-marah melihat kelaliman. Dan kau kira Tuhan
tidak akan marah melihat kelaliman manusia? Lihat saja di dalam Alkitab dan
ingat akan peistiwa Nabi Nuh ketika banjir besar membasmi semua manusia yang
lalim, ingat pula kota Sodom dan Gomorah yang hancur lebur dan semua orang yang
lalim binasa terbasmi habis oleh kemurkaan Tuhan. Akupun menjadi putera utusan
Tuhan yang menjalankan perintah Tuhan, membasmi penjajah Mancu yang lalim, dan
membasmi semua orang lalim di dunia ini! Lihat betapa Tuhan marah dan
menjatuhkan berbagai penyakit kepada manusia, bencana alam, kesengsaraan. Semua
itu untuk menghukum orang-orang yang lalim dan jahat!# Dia berhenti sebentar
untuk mengambil napas dan memandang ke atas, seolah-olah menanti #ilham# yang
datang dari atas dan melanjutkan.
#Tuhan pendendam dan pemarah, dan semua orang akan digilas oleh kemarahanNya dan
akan dihancur-binasakan kalau tidak cepat bertaubat dan percaya kepada Tuhan
melalui aku puteraNya!# Gila, pikir Sheila. Ia mencoba lagi untuk meluruskan
yang bengkok,
#Ampun beribu ampun, Sri Baginda. Bukan hamba membantah atau tidak percaya, akan
tetapi karena hamba paduka panggil untuk bicara soal agama, maka hamba berani
mengajukan pendapat hamba untuk bahan pertimbangan paduka dalam mempelajari
Agama Kristen. Hamba berpendapat bahwa Tuhan bersifat Maha Pemurah, Maha Kuasa,
Maha Adil, dan Maha Pengampun. Seperti telah disebutkan di dalam kitab, demikian
Maha Kasih dan Maha Pemurah sehingga Dia menurunkan puteranya ke dalam dunia
untuk membimbing semua umat manusia, untuk mencuci dosa manusia dengan
darahNya......#
#Memang benar! Akan tetapi sampai kini manusia tidak mau bertaubat. Karena itu,
sekarang Tuhan menurunkan aku sebagai putera kedua, untuk melanjutkan perjuangan
kakakku Yesus, menyelamatkan umat manusia, membasmi sumber kesengsaraan manusia,
membasmi yang berdosa!# Ong Siu Coan memotong. Wah, semakin menjadi gilanya,
pikir Sheila. Sejak memasuki ruangan yang khas di sebelah dalam ini tadi, ia
sudah merasa ngeri dan bergidik. Ruangan itu dibuat seperti keadaan bukan di
bumi lagi, seperti yang pernah ia baca digambarkan dalam kitab Wahyu. Tempat
duduk raja itu terbuat dari emas permata, dan raja sendiri mengenakan sebuah
mahkota tipis dari emas yang gemerlapan dengan taburan batu permata. Di
belakangnya nampak dinding yang dilukisi awan sedemikian indah seolah-olah hidup
dan bergerak, sehingga raja itu nampak seperti duduk di atas awan!
Yang hebat, singgasana raja itu diukir dengan amat indah, berbentuk seekor
binatang yang berkepala tujuh. Binatang itu menyerupai ki-lin atau semacamnya,
tubuh dan kepalanya seperti seekor harimau, kakinya seperti kaki beruang dan
mulutnya seperti mulut singa! Teringatlah Sheila akan bunyi sebuah nubuat atau
ramalan di dalam kitab Wahyu tentang seekor binatang yang keluar dari dalam
laut, keadaannya seperti yang terukir pada singgasana yang diduduki raja itu.
Betapa kemudian binatang yang disebut juga naga itu memerangi dan mengalahkan
orang-orang kudus dan menjadi berkuasa disembah oleh setiap bangsa di dunia!
Teringat akan ini dan mendengar ucapan raja itu, diam- diam timbul rasa takut di
dalam hati Sheila. Apalagi ketika Ong Siu Coan mengambil sebuah pedang yang
berada di atas meja sembahyang, pedang aneh bentuknya ketika dicabutnya dari
sarungnya, karena pedang itu terbuat dari batu giok dan berbentuk Naga.
#Lihat ini, Sheila. Inilah pengganti sabit seperti yang disebutkan di dalam ayat
suci. Bukalah Alkitab itu dan cari dalam kitab Wahyu, yaitu ramalan yang
diberikan kepada Yohanes, dan carilah Wahyu 14 ayat 14 sampai dengan 16.# Dengan
jari agak gemetar Sheila membuka kitab suci itu dan mencari bagian yang
disebutkan Ong Siu Coan.
#Coba baca dan terjemahkan!# kata pula raja itu dengan nada memerintah, wajahnya
berseri, sepasang matanya mencorong dan dia nampak gembira sekali. Sheila
mencoba untuk menenangkan hatinya sehingga suaranya tidak begitu gemetar
walaupun ia merasa serem seperti kalau orang berhadapan dengan seorang gila yang
sukar dimengerti. Iapun membaca sambil menterjemahkan.
#Dan aku melihat dengan sesungguhnya, ada awan putih dan di atas awan putih itu
duduklah seorang seperti anak manusia dengan sebuah mahkota emas di atas
kepalanya dan sebuah sabit tajam di dalam tangannya, Maka keluarlah seorang
malaikat lain dari Bait Suci, dan dia berseru dengan suara nyaring kepada dia
yang duduk di atas awan itu : Ayunkanlah sabitmu dan tuailah, karena sudah
saatnya untuk menuai, karena tuaian di bumi sudah masak. Dan dia yang duduk di
atas awan itu, mengayunkan sabitnya ke atas bumi, dan bumipun dituailah!#
Sheila berhenti membaca, mengangkat muka memandang kepada raja itu dengan mata
terbelalak, tengkuknya terasa dingin. Ong Siu Coan tertawa bergelak.
#Ha-ha-ha, dan akulah anak Allah. Akulah dia yang duduk di atas awan putih itu,
dan naga berkepala tujuh itu sudah kutaklukkan, dan akulah yang akan
melaksanakan perintah Bapakku, akulah yang akan membabat semua yang bersalah,
dan melalui akulah semua manusia akan memperoleh keselamatan, termasuk engkau,
Sheila!# Dan kini berubahlah sikap Ong Siu Coan. Dia sudah meletakkan kembali
pedang Giok-liong-kiam, tentu saja yang palsu karena yang aseli telah dicuri
oleh Lee Song Kim, dan dengan muka kemerahan dan mulut menyeringai dia mendekati
Sheila, lalu merangkulnya. Tentu saja Sheila terkejut bukan main karena hal ini
tak disangkanya. Iapun meronta ketika kedua tangan raja itu bergerak dengan
kasar dan hendak menanggalkan pakaiannya, sedangkan muka raja itu mendekatinya
hendak menciumnya.
#Ah, Sri Baginda! Ingatlah, hamba adalah isteri sute paduka sendiri!# Sheila
memperingatkan sambil meronta dengan sia-sia dari kedua tangan yang amat kuat
kokoh itu.
#Heh-heh, karena itulah engkau harus melayaniku, Sheila. Sute telah tidak ada
lagi, dan engkau begini cantik, matamu begini biru, rambutmu seperti benang
emas, aahhh......!#
#Lepaskan, Sri Baginda, kalau tidak hamba akan menjerit!# kata pula Sheila
ketika pipinya telah diciumi walaupun ia sudah berusaha untuk menjauhkan
mukanya, dan kancing-kancing baju atasnya sudah terlepas.
#Ha-ha-ha, engkau telah dipilih oleh putera Tuhan sendiri, mengapa engkau
menolak? Dan siapa yang akan berani menentang aku kalau aku menghendaki dirimu?#
Ong Siu Coan kini semakin nekat. Pada saat itu muncullah sang permaisuri, Tang
Ki! Wanita ini muncul dari sebuah pintu belakang dan ia mengerutkan alisnya
ketika melihat betapa suaminya sedang berusaha menggauli Sheila dengan paksa.
#Hemmm, bagus sekali!# katanya, suaranya lirih namun mengandung desis kemarahan.
Mendengar suara ini, Ong Siu Coan terkejut dan cepat melepaskan Sheila dan
bangkit lalu undur ke belakang. Sheila sendiri juga bangkit dan cepat
membereskan pakaiannya yang sudah separuh terbuka, mengusap air matanya dengan
ujung lengan baju tanpa mengeluarkan suara tangis.
#Bagaimana engkau berani masuk begitu saja menggangguku?# bentak Ong Siu Coan
marah. Akan tetapi isterinya tidak menjawab, melainkan memandang kepada Sheila
dan membentak.
#Engkau tidak lekas kembali ke dapur?# Dan telunjuknya menuding ke arah pintu.
Sheila menjura dengan wajah penuh duka dan segera meninggalkan ruangan itu.
Setelah tiba di luar, ia cepat berlari menuju ke kamarnya di bagian belakang.
Setelah Sheila pergi, barulah Tang Ki membalikkan tubuhnya menghadapi suaminya
dengan muka merah dan sikap marah.
#Hemm, begini ya kalau engkau berada di belakangku? Sudah berani menghinaku
dengan bermain perempuan di tempat ini!# Kalau mendengar dan melihat sikap
permaisuri itu, tentu para menteri dan hulubalang akan menjadi terkejut dan
heran sekali.
Memang Tang Ki tidak pernah bersikap hormat kepada suaminya ini kalau tidak
hadir orang ketiga. Biarpun Ong Siu Coan telah menjadi raja, namun bagi Tang Ki,
dia hanyalah laki-laki yang telah dibantunya, sejak dari manusia biasa sampai
kini terangkat menjadi seorang raja besar di daerah selatan Sungai Yang-ce. Ong
Siu Coan diam saja, hanya memandang kepada isterinya dengan cemberut. Dia dapat
berlagak di depan orang lain, mengaku sebagai putera Allah, adik Yesus dan
sebagainya, namun di depan Kiki atau Tang Ki, dia mati kutu. Isterinya itu telah
mengetahui akan semua rahasianya, mengalami pahit getirnya semenjak mereka
berjuang dan Kiki selalu menjadi isterinya, pembantu setia, dan tangan kanannya.
#Kenapa diam saja? Katakan saja bahwa engkau sudah bosan padaku!# Tang Ki sambil
menjatuhkan diri duduk di atas kursi di dekat singgasana suaminya. Ong Siu Coan
juga duduk di atas singgasana itu. perlahan-lahan, nafsu berahi yang tadi
menguasai dirinya, menjadi surut dan dia memandang kepada isterinya dengan alis
berkerut.
#Aku ataukah engkau yang bosan? Yang jelas, aku merasa bosan karena sampai
sekarangpun engkau belum mempunyai keturunan! Siapa kelak yang akan menggantikan
aku menjadi raja kalau engkau tidak melahirkan seorang putera? Dan engkau tidak
membolehkan aku mengambil isteri lain untuk menyambung keturunan!# Seperti
biasa, kalau Ong Siu Coan sudah menyinggung soal keturunan dan isteri muda,
terjadilah percekcokan. Sebetulnya, diam-diam Kiki sudah merasa jemu dan tidak
suka kepada suami ini, yang dianggapnya seperti orang yang telah menjadi gila
dan ingin menganggapnya sebagai hamba sahaya saja. Akan tetapi bagaimanapun
harus diakuinya bahwa kini iapun terangkat naik ke dalam kemuliaan, menjadi
seorang permaisuri yang disembah-sembah oleh rakyat jelata!
#Hemm, tak perlu merengek. Kalau memang engkau membutuhkan wanita lain agar
memperoleh keturunan, akupun tidak akan menghalangi. Akan tetapi bukan perempuan
bule itu. Aku yang akan memilihkan, berapa saja kau suka. Akupun sudah bosan
kepadamu!# Biarpun ucapan itu amat menusuk perasaan, karena di situ tidak ada
orang lain dan isterinya menjanjikan untuk membolehkan dia mengambil selirselir,
Ong Siu Coan tidak menjadi marah, bahkan merasa gembira sekali. Akan
tetapi, percakapan mereka atau lebih tepat percekcokan mereka itu terhenti
seketika dengan munculnya seorang pengawal yang melaporkan bahwa Lui-Ciangkun,
seorang kepercayaan Ong Siu Coan yang bertugas sebagai seorang di antara
komandan-komandan pasukan mata-mata yang banyak disebarkan di perbatasan utara,
mohon menghadap.
Ong Siu Coan merasa lega karena kemunculan perwira itu berarti menyudahi kedaan
tidak enak itu, apalagi dia teringat bahwa Lui-Ciangkun pernah mengirim laporan
tentang Lee Song Kim dan dia memerintahkan agar Lee Song Kim dihubungi dan kalau
mungkin dihadapkan kepadanya karena dia ingin menarik orang lihai ini sebagai
pembantunya. Apalagi ketika mendengar dari pengawal yang datang melapor bahwa
Lui-Ciangkun datang dan mohon menghadap bersama seorang yang bernama Lee Song
Kim, raja itu menjadi gembira sekali. Tang Ki yang mendengar disebutnya nama Lee
Song Kim, juga menjadi tegang, gembira dan penuh perhatian. Suhengnya datang!
Dan biarpun ia pernah bermusuhan dengan suhengnya itu, namun ada sesuatu yang
amat menarik pada diri suhengnya,
Dan hal itu sekarang semakin terasa olehnya semenjak timbul perasaan tidak suka
kepada suaminya. Raja dan permaisuri ini lalu membereskan pakaian mereka,
mengatur sikap seanggun-anggun dan seagung-agungnya ketika mereka menanti
munculnya Lui-Ciangkun dan Lee Song Kim. Dengan cerdik Ong Siu Coan tidak
meneima tamunya di ruangan di mana tersimpan Giok-liong-kiam itu, melainkan di
ruangan di mana dia biasa menerima para tamu dan para menterinya. Pedang pusaka
Giok-liong-kiam biasanya kalau malam disimpan di meja sembahyang yang berada di
kamar tidurnya, sedangkan kalau siang disimpan di ruangan yang disebutnya
Ruangan Awan Putih itu. Lee Song Kim semdiri merasa heran akan tetapi juga lega
ketika melihat sikap raja dan permaisurinya itu. Mereka nampak sama sekali tidak
marah, dan tidak kelihatan seperti orang yang membencinya.
Bahkan jantungnya berdebar ketika dia melihat sinat mata Kiki yang masih cantik
jelita seperti dulu, memandang kepadanya dengan sinar mata yang aneh baginya
karena dia melihat kekaguman membayang dalam sinar mata itu! Dan raja itupun
nampak ramah dan tersenyum dengan wajah berseri ketika melihatnya. Seperti juga
Lui-Ciangkun, Song Kim menjatuhkan diri berlutut di depan raja dan permaisuri
itu. Lui-Ciangkun dengan singkat namun jelas melaporkan kepada raja tentang
peristiwa pertemuan di mana Lee Song Kim mengangkat diri menjadi bengcu dengan
julukan Thian-he Te-it Bu-hiap, betapa banyak tokoh persilatan menerimanya
dengan gembira. Kemudian betapa pertemuan itu ditinggalkan sebagian para tamu
yang agaknya tidak menerima Song Kim sebagai bengcu dan kemudian penyerbuan yang
dilakukan oleh pasukan besar pemerintah Mancu.
#Sayang bahwa kekuatan pasukan yang hamba pimpin hanya kurang lebih seratus
orang, sedangkan kekuatan musuh sedikitnya lima ratus orang, dipimpin oleh orang
pandai, sehingga hamba hanya berhasil menyelamatkan sebagian saja dari anak buah
Lee-kongcu yang kini telah berada di markas.# Lui-Ciangkun menutup lapornnya.
Ong Siu Coan mengangguk-angguk,
#Engkau telah melaksanakan tugasmu dengan baik, Lui-Ciangkun. sekarang mundurlah
dan biarkan kami bercakap-cakp dengan Thian-he Te-it Bu-hiap.# Lee Song Kim
mengangkat muka memandang, ingin melihat apakah dalam menyebutkan julukan itu
sang raja hendak mengejeknya, namun dia melihat raja itu mengedipkan sebelah
matanya kepadanya.
Song Kim menunduk dan merasa lega, juga kagum karena Ong Siu Coan ternyata masih
merupakan seorang yang cerdik dan berbahaya, walaupun sudah menjadi raja. diapun
cepat memutar otaknya untuk mengatur siasat, siap menghadapi segala pertanyaan
dengan jawaban-jawaban yang tepat sambil menduga-duga apa yang tersembunyi di
balik sikap yang bersahabat dari raja ini, padahal dia pernah datang dan mencuri
Giok-liong-kiam dari kamar raja. Lui-Ciangkun mengundurkan diri dan raja lalu
memerintahkan semua pengawal, juga para pengawal pribadinya, untuk mundur.
Akhirnya hanya dia, permaisuri dan Lee Song Kim saja yang tinggal di ruangan
itu. Pintu-pintu ruangan itu telah ditutup rapat dari luar oleh para pengawal
atas perintah raja. Setelah mereka tinggal bertiga saja, raja dan permaisuri
seoah-olah baru melepaskan kedok mereka.
#Lee Song Kim, sungguh engkau berani mati sekali muncul di sini! Tahukah kau
bahwa sekali aku memberi aba-aba, seratus orang pengawal akan mengepungmu dan
menghancurkan seluruh tubuhmu sekarang juga?# Permaisuri itu membentak sambil
bertolak pinggang dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Song Kim. Akan
tetapi, Lee Song Kim merasa heran melihat betapa wajah yang cantik itu sama
sekali tidak cocok dengan suaranya. Suaranya seperti orang marah dan benci, akan
tetapi wajah itu, sinar mata itu! Maka diapun maklum. Dia adalah seorang lakilaki
yang berpengalaman, dan melihat sikap sang permaisuri ini, diapun tersenyum
dan dalam keadaan masih berlutut diapun berkata dengan suara halus.
#Hamba telah berada di sini, dan hamba telah menyerahkan jiwa raga hamba di
dalam kekuasaan paduka. Kalau memang paduka tega untuk membunuh hamba, silakan,
hamba akan mati dengan rela dan mata terpejam di bawah tangan paduka.# Mendengar
ucapan itu, dan melihat sikap itu, sang permaisuri menjadi merah mukanya dan ia
tersenyum.
#Mengingat engkau dahulu adalah suhengku, biarlah sekali ini kuampuni kau. Akan
tetapi awas kalau lain kali berani kurang ajar lagi!# Diam-diam Song Kim
tersenyum. Bekas sumoinya itu tentu menyindir perbuatannya mengusap paha ketika
malam-malam datang mencuri pedang itu. Heran! Kenapa bekas sumoi yang dahulu
membencinya itu tidak marah dan agaknya tidak mengatakan hal itu kepada
suaminya?
#Lee Song Kim, kami mengajakmu bicara tanpa dihadiri para pengawal karena aku
hendak bertanya kepadamu. Engkaukah yang malam-malam itu datang mencuri Giokliong-
kiam dari kamar kami?# Tadi ketika berhadapan untuk pertama kali dengan
raja dan permaisuri ini, Song Kim telah mempersiapkan diri untuk menjawab semua
pertanyaan dan pertanyaan yang kini diajukan oleh raja termasuk pertanyaan
pertama yang telah dia persiapkan jawabannya. Maka begitu ditanya, dia tidak
nampak terkejut atau khawatir, melainkan menjawab dengan suara lantang dan
lancar, sedikitpun tidak kelihatan gugup.
#Sebelumnya saya harap dapatkah kiranya paduka memberi ampun kepada hamba atas
kelancangan hamba. Sesungguhnya sejak dahulu hamba merasa kagum sekali atas
kemajuan yang dicapai oleh pasukan Tai Peng dan hamba bercita-cita untuk
membantu gerakan yang paduka pimpin. akan tetapi, hamba belum memperoleh
kesempatan dan timbul gagasan dalam hati hamba untuk mengumpulkan orang-orang
pandai di dunia persilatan. kalau hamba telah nerhasil menjadi bengcu, memimpin
tokoh persilatan, maka baru hamba akan menghambakan diri kepada pasuka berikut
anak buah hamba. Untuk keperluan menghimpun orang-orang di seluruh dunia
persilatan dan kang-ouw, hamba membutuhkan Giok-liong-kiam. Kalau hamba terangterangan
minta pinjam kepada paduka, tentu paduka tidak akan percaya kepada
hamba. Oleh karena itu, mohon ampun sebelumnya, hamba telah berani berlancang
tangan mencuri Giok-liong-kiam untuk hamba pinjam sebentar, yaitu untuk
mempengaruhi para tokoh kang- ouw. semua ini hamba lakukan secara terpaksa,
semata-mata untuk dpat mengumpulkan orang-orang pandai dan kemudian menghambakan
diri, membantu paduka.# Song Kim berhenti sebentar, mencuri pandang ke arah
wajah raja dan permaisuri itu. Melihat betapa Ong Siu Coan tersenyum dan tetap
tidak memperlihatkan kemaraha, bahkan wajahnya berseri cerah, dia menjadi lega
dan melanjutkan.
#Sekarang hamba telah berhasil menghimpun tokoh-tokoh kang-ouw dan hamba
bermaksud menghambakan diri bersama kawan-kawan ke hadapan kaki paduka, dan
hamba tidak lagi memerlukan Giok-liong-kiam. Oleh karena itu, hamba telah
membawa Giok-liong-kiam bersama hamba, hendak hamba kembalikan kepada paduka
dengan terima kasih yang sedalam- dalamnya dan maaf yang sebesar-besarnya.# Lee
Song Kim mengeluarkan Giok-liong-kiam dari balik jubahnya dan menyerahkan pedang
itu dengan gagang terlebih dahulu kepada Ong Siu Coan. Raja ini sambil tersenyum
menerima pedang Giok-liong-kiam, mencabutnya untuk memeriksa sejenak. Dia merasa
yakin bahwa iu adalah pedang yang aseli, maka disarungkannya kembali pedang itu.
#Engkau tidak tahu bahwa pusaka ini adalah pusaka yang telah dikaruniakan dan
diperuntukkan aku oleh Tuhan sendiri, sebagai lambang kekuasaanku untuk
menyelamatkan dunia dan manusianya, Lee Song Kim. Akan tetapi karena engkau
telah mengambilnya dengan niat baik, biarlah aku memaafkanmu. dan sebagai
gantinya, engkau boleh memiliki pusaka tiruannya, dan engkau boleh menyatakan
kepada dunia kang-ouw bahwa itu adalah Giok-liong-kiam aseli agar engkau tetap
menjadi bengcu. Jadilah bengcu, kumpulkan orang-orang kang-ouw dan bawa mereka
kepadaku untuk membantu gerakan Tai Peng, dan engkau akan menjadi pembantuku
yang paling baik. Engkau akan kuberi kedudukan tinggi dan kemuliaan.
Bagaimanapun juga, engkau adalah suheng dari permaisuri kami.#
Lee Song Kim menjadi girang bukan main. Biarpun dahulu ia menganggap Ong Siu
Coan orang biasa, rekan di dunia kang-ouw, bahkan saingannya, namun kini dia
tidak boleh memandangnya sebagai orang setingkat. Ong Siu Coan telah menjadi
seorang raja besar dengan kekuasaan pula, hidup bergelimang kekuasaan, kemuliaan
dan kemewahan. Tentu saja dia tidaklah begitu bodoh untuk menentang seorang
seperti Ong Siu Coan, dan kalau saja dia dapat menjadi orang kepercayaannya,
tentu dia akan ikut pula hidup dalam kemuliaan. Selain itu, di situ terdapat
pula Kiki yang masih demikian menggairahkan, dengan senyum manis dan lirikan
mata yang demikian penuh rahasia dan tantangan! Dengan sikap hormat dan
berterima kasih, Song Kim menerima penawaran raja itu dan mulai hari itu diapun
menjadi orang kepercayaan Ong Siu Coan.
Tugasnya hanyalah melanjutkan kedudukannya sebagai bengcu di antara kaum kangouw,
lalu mengumpulkan orang-orang kang-ouw membujuk mereka agar suka menjadi
para anggauta pasukan istimewa yang membantu gerakan pasukan Tai Peng yang masih
berniat untuk melakukan penyerangan ke utara dan menundukkan seluruh kekuasaan
Kerajaan Mancu yang mulai lemah. Song Kim memperoleh tempat tinggal di kompleks
istana yang megah itu, dan hidup sebagai seorang panglima muda atau juga
pengawal pribadi raja yang memiliki kekuasaan besar. Bahkan dia dapat keluar
masuk istana, di bagian manapun, tanpa larangan dan tidak ada pengawal istana
yang berani melarangnya karena dia telah memperoleh ijin dan tanda kuasa sendiri
oleh raja!
Tentu saja kesempatan ini dipergunakan oleh Lee Song Kim untuk memasuki istana
di bagian paling dalam, mencari dayang-dayang yang paling cantik, merayunya dan
karena hal ini tidak dilarang pula oleh Ong Siu Coan yang memanjakan pembantu
ini, maka banyaklah sudah dayang yang jatuh ke dalam pelukan Lee Song Kim!
Beberapa hari kemudian, ketika Lee Song Kim seperti biasa berjalan-jalan di
seluruh kompleks istana, tibalah dia di dapur istana yang secara kebetulan dia
melihat Sheila bekerja di sana. Dia terkejut, terheran, lalu kagum melihat
wanita kulit putih yang biarpun usianya sudah tiga puluh tahun lebih, namun
masih nampak cantik jelita dan bahkan sudah masak menggairahkan. Hatinya segera
tertarik sekali dan diapun mendekati Sheila, mengajaknya bicara.
#Aih, sungguh mati, kukira di sini aku telah bertemu dengan seorang bidadari!
Nona, engkau tentu seorang bidadari dari sorga, bukan?# demikian Song Kim
menegur Sheila yang sedang berada di luar dapur. Sheila bukan seorang wanita
yang kaku atau pemalu. Ia sudah mendengar akan munculnya seorang panglima yang
tampan dan pandai merayu wanita sehingga banyak dayang yang jatuh hati kepada
pria itu. Kini di depannya berdiri pria yang disohorkan itu, dan harus diakuinya
bahwa pria itu memang ganteng dan gagah dan pandai pula merayu hati wanita.
#Bagaimana Ciangkun dapat menduga bahwa aku seorang bidadari sorga?# tanyanya
dengan suara biasa, tidak nampak genit.
#Tentu saja karena aku sudah mendengar sendiri dari Sri Baginda bahwa para
bidadari itu bermata biru dan berambut kuning emas!#
#Tidak, Ciangkun. aku adalah seorang pelayan biasa yang bertugas di dalam dapur.
Dan maafkan, aku bukan gadis remaja lagi, melainkan seorang ibu dari anak yang
usianya sudah belasan tahun. Maaf, banyak pekerjaan menumpuk yang harus
kubereskan.# dan iapun masuk ke dalam dapur, meninggalkan Lee Song Kim yang
terlongong dan merasa hatinya copot dan keluar dari rongga dadanya, berloncatan
mengikuti bayangan wanita bermata biru berambut kuning keemasan. Song Kim tidak
mau berhenti sampai di situ saja. Dia lalu bertanya-tanya, mulai melakukan
penyelidikan tentang diri wanita kulit putih yang telah menjatuhkan hatinya itu.
Tentu saja dia menjadi semakin tertarik dan kagum ketika mendengar bahwa wanita
itu adalah janda pendekar Gan Seng Bu, adik seperguruan Ong Siu Coan sendiri!
Bahkan wanita itu adalah janda yang selama belasan tahun dapat mempertahankan
diri, hidup menjanda bersama seorang puteranya, dan akhirnya dapat ditemukan
oleh seorang kepercayaan raja, dan dibawa ke istana itu. Karena wanita kulit
putih itu ternyata masih mempunyai hubungan dengan raja, yaitu merupakan adik
ipar seperguruan, Song Kim bersikap hati-hati dan tidak berani lancang
mempergunakan kekerasan. Kalau dia mempergunakan kekerasan, tentu akan membuat
raja merasa tersinggung. Akan tetapi diapun dapat menduga bahwa wanita kulit
putih tidak terlalu dianggap keluarga oleh raja. Buktinya hanya dipekerjakan
sebagai seorang pelayan dapur.
Kalau dia memintanya kepada raja, tentu akan diserahkan kepadanya dengan baik.
Dalam keadaan dimabok cinta, akhirnya Song Kim menyatakan isi hatinya ketika
pada suatu hari dia berkesempatan menghadap raja dan permaisuri seorang diri
saja. Mendengar pernyataan Song Kim bahwa dia suka kepada dayang bernama Sheila
dan mohon perkenan raja untuk dapat mengambil janda itu senagai isteri. Ong Siu
Coan terbelalak lalu tertawa bergelak. Dia sendiri pernah tergila-gila kepada
Sheila, akan tetapi bukan mencintanya, hanya sekedar terangsang berahinya
melihat wanita berkulit putih bermata biru berambut emas itu. Akan tetapi
setelah Kiki mempergokinya dan marah-marah, dan melihat betapa Sheila
menolaknya, berahinya memadam. kini mendengar bahwa seorang kepercayaannya
itupun tergila-gila, dia merasa geli dan juga girang.
#Bagus sekali kalau engkau hendak menikah dengan Sheila!# kata raja sambil
tertawa. #Dia adalah janda suteku, kini pantaslah kalau menjadi isterimu, Lee
Song Kim. Aku setuju sekali!#
#Aku tidak setuju!# Tiba-tiba sang permaisuri berkata, suaranya ketus dan tajam
sehingga Ong Siu Coan dan Lee Song Kim menengok, memandang kepada wanita cantik
itu.
#Aku tidak perduli dan sama sekali bukan urusanku kalau Lee Song Kim hendak
mengambil isteri wanita yang mana saja. Akan tetapi jangan Sheila! Ingatlah
bahwa ia adalah seorang wanita kulit putih! Padahal, Lee Song Kim bertugas
sebagai bengcu dan menarik sebanyak mungkin orang-orang dari dunia kang-ouw
untuk membantu kita. Apakah hal ini tidak akan mendatangkan kesan buruk terhadap
para orang kang-ouw kalau dia mengambil isteri seorang wanita bule?#
#Hamba tidak ada kesan buruk itu, bahkan membanggakan! Dan tentang bagaimana
sikap orang-orang kang-ouw, hal ini hamba sanggup untuk menghadapi dan
mengatasinya,# kata Lee Song Kim dengan alis berkerut. Akan tetapi Ong Siu Coan
sudah mengangguk-angguk, agaknya membenarkan pendapat permaisurinya, dan diapun
menjadi bimbang. Biarpun dia ingin menyenangkan hati pembantu yang amat berharga
ini, namun tentu saja yang paling penting adalah memikirkan akibat yang akan
menimpa kekuatan Tai Peng. Kalau benar pendapat permaisurinya, berarti
pernikahan itu hanya akan merugikan Tai Peng, merugikan kerajaannya, merugikan
dia!
#Hemm, hal ini memang perlu dipikirkan dengan panjang lebar, Lee Song Kim.
Urusan jodoh bukanlah urusan sehari dua hari yang diputuskan dengan terburu dan
tergesa-gesa. Kita tunda dulu dan kita pikirkan bersama baik-buruknya, untung
ruginya. Setelah sebulan kemudian, baru kita akan bicarakan kembali.# Tentu saja
Song Kim tidak berani membantah atau memperlihatkan sikap kecewa walaupun diamdiam
dia merasa kecewa dan marah kepada bekas sumoinya itu. Terpaksa dia
bersikap sabar menanti sampai raja menyetujuinya, hal yang tadinya dia sudah
merasa yakin sekali. Dua hari kemudian, Sri Baginda Raja Ong Siu Coan mengadakan
pertemuan mendadak dengan para penasihatnya di bidang kemiliteran, terutama
sekali panglima yang menangani masalah senjata api. Pada waktu itu, seperti juga
pasukan pemerintah Mancu, pasukan Tai Peng juga melihat kegunaan senjata api
dalam peperangan,
Maka mereka seperti berlomba untuk mendapatkan senjata api dari orang-orang
kulit putih yang menyelundupkannya, seperti halnya dengan candu. Dengan harga
mahal sekali kedua pemerintahan ini berani membeli senjata api dari orang-orang
kulit putih. Tentu saja yang menjual senjata api kepada mereka adalah
penyelundup-penyelundup kulit putih, petualang-petualang yang berani melakukan
pekerjaan-pekerjaan berbahaya demi memperoleh keuntungan besar. Bahkan hal ini
agaknya dilihat dengan mata setengah dipicingkan oleh pasukan orang kulit putih
karena mereka ini mempunyai siasat untuk mengadu domba antara pasukan Mancu dan
pasukan Tai Peng!
(Lanjut ke Jilid 11)
Jilid 11
Sudah barang tentu hanya senjata api yang mereka anggap ringan dan kuno saja
yang boleh diselundupkan dan dijual kepada kedua pihak yang bermusuhan itu.
Persidangan yang dilakukan oleh Sri Baginda Raja Ong Siu Coan itu sehubungan
dengan adanya kontak antara mata-mata yang bertugas mencari dan membeli senjata
gelap ini dengn seorang mata-mata kaki tangan orang kulit putih. Mata-mata orang
kulit putih ini menawarkan sebanyak dua ratus batang senjata api bedil kepada
pihak Tai Peng, bukan dijual dengan harga tinggi, melainkan untuk ditukar dengan
wanita kulit putih bernama Sheila yang berada di istana Nan-king itu! Menurut
mata-mata pasukan kulit putih itu, Nyonya Sheila dicari-cari oleh keluarganya
yang menjadi bangsawan orang kulit putih, dan setelah pihak kulit putih
mendengar dari mata-mata mereka bahwa Nyonya Sheila itu berada di istana Nanking,
maka mereka lalu menawarkan penukaran dua ratus pucuk senjata api itu
dengan diri Nyonya Sheila yang harus dikirimkan kepada pihak kulit putih!
Mendengar pelaporan mata-mata ini, Raja Ong Siu Coan lalu mengadakan sidang itu
untuk minta pendapat para penasihatnya. tentu saja para penasihat itu merasa
setuju sekali. #Adanya wanita kulit putih di dalam istana, hamba kira tidak
mendatangkan keuntungan apapun, baik kepada pasukan kita terutama sekali kepada
paduka. Kalau paduka memenuhi permintaan pihak orang kulit putih, terdapat dua
keuntungan. Pertama, tentu saja dua ratus pucuk senjata api itu akan memperkuat
persenjataan pasukan kita, dan kedua, pihak kulit putih akan berterima kasih
kepada paduka dan selanjutnya akan lebih mudah bagi kita untuk membeli senjata
api dari mereka,# demikian para penasihatnya berpendapat. Bahkan permaisuri
sendiripun mendesak raja sehingga akhirnya, sidang dibubarkan dengan keputusan
bahwa Sheila akan diserahkan kepada mata-mata pihak kulit putih, ditukarkan
dengan dua ratus pucuk senjata api! Setelah bubaran dan berada di dalam kamar
mereka sendiri, Ong Siu Coan berkata kepada isterinya,
#Satu hal yang tidak enak, yaitu Lee Song Kim. Dia tentu akan merasa kecewa
sekali kalau mendengar bahwa Sheila yang dicintanya dan diharapkan menjadi
isterinya itu tahu-tahu telah lenyap, ditukar dengan senjata api. Bagaimana
kalau engkau sendiri yang pergi menemuinya dan membujuknya agar dia dengan rela
melepaskan Sheila demi kepentingan kerajaan, dan untuk menjadi calon isterinya
dia boleh memilih puteri mana yang disukainya? Bujuk dia baik-baik agar tidak
berkurang kesetiannya kepada kita.#
Permaisuri Tang Ki mangangguk setuju dan malam itu juga ia lalu pergi
mengunjungi Lee Song Kim di gedung tempat tinggalnya yang berada di kompleks
istana itu, di ujung timur. Tentu saja Lee Song Kim tergopoh menerima kunjungan
tamu agung ini yang hanya di antar oleh dua orang pelayan wanita. Tak lama
kemudian, Lee Song Kim menerima tamu agung itu di dalam ruangan tamu, dan mereka
berdua duduk berhadapan di ruangan yang kosong itu, karena baik Song Kim maupun
Tang Ki menyuruh pelayan-pelayan mereka untuk keluar dari dalam ruangan itu.
Sejenak mereka duduk berhadapan, saling pandang dan Song Kim yang lebih dahulu
menundukkan pandang matanya. Bagaimanapun juga, dia teringat bahwa yang
dihadapinya ini adalah permaisuri, isteri dari Raja yang menjadi junjungannya,
walaupun wanita ini adalah sumoinya sendiri.
#Kalau boleh hamba bertanya, kepentingan apakah yang membawa paduka Sri Baginda
ratu memberi kehormatan besar kepada hamba dengan kunjungan ini?# akhirnya Song
Kim bertanya. Hening sejenak tiada jawaban, dan ketika dia mengangkat muka
memandang, dia melihat betapa wanita cantik di depannya itu tersenyum geli,
kemudian malah melepaskan suara ketawa kecil.
#Hi-hik, Lee-suheng. Sungguh mati, aku tak dapat menahan rasa geli hatiku
melihat sikapmu yang begini menghormat kepadaku. Tahukah engkau setiap kali kita
bertemu dan engkau bersikap seperti itu, aku selalu merasa bahwa seolah-olah
kita sedang menjadi anak wayang dan bermain sandiwara di atas panggung, hi-hihik!#
Lee Song Kim juga tersenyum, akan tetapi dia masih belum berani bersikap
demikian terbuka dan biasa seperti yang dilakukan oleh Tang Ki. Dia menarik
napas panjang.
#Memang benar pendapat paduka, karena sesungguhnya, hidup di atas dunia ini
tiada bedanya dengan bersandiwara di atas panggung, menjadi anak wayang dan
memegang peran masing-masing. Karena peran kita masing-masinglah dalam kehidupan
ini maka kini paduka menjadi seorang permaisuri dan hamba menjadi pembantu dan
hamba sahaya paduka.#
#Hushh, jangan lanjutkan itu, suheng. Di sini tidak ada orang lain, tidak enak
bicara kalau engkau bersikap hormat-hormatan seperti itu!# Song Kim menjadi
heran, akan tetapi ia masih belum berani mengubah sikapnya. Wanita ini, biarpun
dahulu bermusuhan dengannya, kini adalah seorang junjungannya. Kalau dia
menuruti kemauannya dan mengubah sikap, bagaimana kalau kata-kata Tang Ki itu
hanya merupakan pancingan belaka untuk menjebaknya? Tentu dia akan celaka!
#Habis, bagaimana hamba akan bersikap?# tanyanya, hati-hati.
#Sudahlah, suheng, tanggalkan saja semua topeng sopan santun yang kadang-kadang
amat membosankan hatiku itu. Anggap saja aku ini masih Kiki, sumoimu sendiri.
Ini merupakan permintaanku, juga perintah. Kalau kita berada berdua saja,
bersikaplah biasa seperti suheng dan sumoi.#
#Baiklah...... sumoi.#
#Nah, begini baru enak kita bicara. Suheng, aku datang untuk bicara denganmu
mengenai maksudmu untuk menikah dengan Sheila, perempuan bule itu. suamiku dan
aku sudah sepakat untuk tidak menyetujui terjadinya hal itu, suheng.# Mendengar
ini, Song Kim mengerutkan alisnya dan memandang kepada wajah permaisuri itu
dengan tajam penuh selidik.
#Akan tetapi...... bukankah...... Sri Baginda Raja memberi waktu sebulan untuk
memikirkan hal itu secara mendalam? Bagaimana sekarang tiba-tiba......#
#Tenanglah, suheng,# kata wanita itu sambil menyentuh punggung tangan Song Kim.
#Kami sudah mempertimbangkan untung ruginya maka berani mengambil kesimpulan dan
tidak menyetujui pernikahan itu. Ingatlah bahwa engkau mempunyai kedudukan
penting di sini. Kalau engkau memperisteri seorang wanita kulit putih, hal itu
akan mendatangkan nama buruk dan mencemarkan kewibawaan Sri Baginda sendiri.
Pula, engkau melihat apa sih pada diri Sheila sehingga engkau jatuh cinta kepada
wanita bule itu? Masih banyak wanita cantik di dunia ini, dan engkau boleh
memilih, asal jangan perempuan bule itu.#
#Aku...... aku amat tertarik kepadanya, sumoi. Ia cantik dan lembut, dan
terutama mata dan rambutnya......#
#Hemm, tidak kau lihat betapa kulitnya biarpun amat putih akan tetapi tidak
sehalus kulitku? Hemm, apakah...... apakah ia itu kau anggap lebih cantik dari
aku, suheng? Sudahlah, kaulupakan saja Sheila dan kau boleh memilih seorang
wanita cantik yang mana saja, tentu akan bisa kaudapatkan. Kami bahkan akan
membantu engkau sampai wanita yang kau kehendaki dapat kau miliki.# Tiba-tiba
suatu pikiran menyelinap ke dalam kepala Song Kim. Sumoinya ini bersikap begini
menantang! Dan kalau sampai dia dapat mendekati sumoinya ini, hemmm...... siapa
tahu dia akan dapat merampas singgasana dan menggantikan kedudukan Ong Siu Coan!
#Tentu saja kecantikan Sheila tidak dapat dibandingkan dengan engkau, sumoi.
Akan tetapi......, satu-satunya wanita di dunia ini yang amat kucinta, sejak
dahulu, kini telah menjadi milik orang lain, dan aku hanya mampu memandangnya
dengan penuh kerinduan. Kalau aku tidak boleh menikah dengan Sheila, kiranya
tidak ada wanita lain di dunia ini yang dapat kucinta, karena cintaku telah
terbawa oleh wanita pertama itu. Engkau sendiri tahu betapa sampai sekarang
dalam usia hampir empat puluh tahun, aku masih belum mau menikah, sumoi.#
Mendengar ucapan yang keluar dengan suara mengandung getaran mengharukan itu,
Tang Ki memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, lalu ia mendekatkan
tubuhnya ke arah Song Kim sambil bertanya,
#Siapakah wanita itu, suheng? Kenapa engkau membiarkan ia dimiliki orang lain?#
Ia mengira bahwa tentu suhengnya pernah jatuh cinta mati-matian dan gagal, maka
ia ingin sekali mendengar siapa gerangan wanita yang membuat suhengnya tidak mau
menikah dengan wanita lain itu. Song Kim mengangkat muka memandang wajah yang
cantik manis itu. Tahi lalat yang menghias pipinya itu membuat wajahnya nampak
manis bukan main dan karena wanita itu duduk dekat sekali dengannya, dia dapat
mencium baubsemerbak mengharum yang keluar dari tubuh dan pakaiannya.
#Sumoi, apakah engkau tidak tahu? Siapa lagi wanita yang telah kucinta sejak
belasan tahun yang lalu, sejak kita bersama tinggal di Pulau Layar? Siapa lagi
kalau bukan...... engkau seorang......? Maafkan aku, sumoi......#
#Aihh......!# Tang Ki memandang dengan muka berubah merah sekali, bukan karena
marah melainkan karena terkejut dan juga malu dan senang! Ia memang tahu bahwa
suhengnya pernah tergila-gila kepadanya, bahkan suhengnya sudah pernah mencoba
untuk memperkosanya dan hampir saja berhasil. Malah akhir-akhir ini, ketika Song
Kim mencuri pedang, dia telah meraba pahanya, hal ini menandakan bahwa perasaan
mesra yang dahulu itu masih ada. dan sekarang, suhengnya malah berani mengaku
terus terang. Song Kim melihat sikap ini dan dia bukan seorang laki-laki bodoh,
diapun cepat menangkap tangan yang terletak di atas meja di dekatnya itu, lalu
menciumi jari-jari tangan itu dengan penuh kehangatan dan kemesraan, lalu
menjatuhkan diri berlutut di depan Tang Ki tanpa melepaskan tangan wanita itu
sambil meratap.
#Sumoi...... maafkan aku...... sejak dahulu aku tergila-gila kepadamu. Hanya
untuk dapat berdekatan dengan engkau sajalah maka aku sekarang mau menghambakan
diri kepada suamimu..# Tang Ki yang oleh suaminya diberi tugas untuk membujuk
Song kim agar suka mengurungkan niatnya menikahi Sheila, kini bahkan sebaliknya
jatuh oleh bujuk rayu Song Kim yang amat ahli dalam hal itu. jantugnya berdebardebar,
mulutnya tersenyum kecil, matanya bersinar-sinar.
#Benarkah...... benarkah itu, suheng?# katanya dengan suara berbisik dan pandang
mata sayu. Semua ini dapat dilihat oleh Song Kim dan dapat dimengertinya dengan
baik. Diam-diam dia merasa heran mengapa kini, setelah menjadi seorang
pemaisuri, sumoinya ini agaknya malah bersedia untuk melayani hasratnya! Dia
tidak tahu bahwa semua itu terjadi karena memang ada perubahan terjadi di dalam
hati Tang Ki, setelah ia merasa tidak suka kepada suaminya yang dianggapnya gila
dan tidak lagi mencintanya, apalagi ketika ia melihat suaminya hendak menggagahi
Sheila. Terjadi perubahan di dalam hati Tang Ki dan kini ia memandang pria yang
memang lebih ganteng dibanding suaminya itu dengan gairah membayang pada
sepasang matanya yang indah.
#Engkau...... engkau masih belum percaya kepadaku, sumoi......?# kata Song Kim
tanpa melepas tangan yang kecil mungil itu dari genggamannya. Tang Ki tersnyum
manis.
#Mana percaya kalau hanya kata-kata saja dan tidak ada buktinya?# Mendengar
jawaban ini, Song Kim tidak ragu-ragu lagi. Diapun bangkit dan merangkul.
Tang Ki yang bagaikan setangkai pohon bunga yang kekeringan dan haus siraman air
kasih sayang seorang pria, balas memeluk dan keduanya saling rangkul, saling
cium dan saling belai penuh kerinduan. Berahi merupakan satu di antara nafsu
yang amat kuat. sekali orang berada dalam cengkeraman nafsu berahi, dia akan
lupa segala. Yang teringat hanyalah penyaluran dan pemuasannya. Demikian pula
dengan Song Kim dan Tang Ki. Mereka lupa bahwa mereka adalah seorang permaisuri
dan seorang hambanya! Mereka bahkan lupa akan bahaya kalau sampai ketahuan orang
dan terdengar oleh Sri Baginda. Namun, keduanya adalah orang-orang yang memiliki
kepandaian tinggi sehingga mereka dapat berkencan dan melakukan perjinahan tanpa
diketahui orang lain! Dan sejak saat itu, terjadilah hubungan gelap antara bekas
suheng dan sumoi ini dan keduanya merasa cocok sekali.
***********************
Tentu saja Sheila merasa terkejut dan khawatir ketika ia bersama puteranya pada
sore hari itu dipanggil oleh pengawal untuk menghadap Sri Baginda Raja dan Ratu
yang telah menanti di ruangan dalam. Sheila cepat mengajak puteranya, Gan Han
Le, menjatuhkan diri berlutut di depan mereka.
#Sheila,# terdengar Sri Baginda Raja Ong Siu Coan berkata dengan suara ramah.
#Tahukah engkau dan puteramu mengapa saat ini kami panggil menghadap?# Tanpa
mengangkat mukanya, Sheila menjawab,
#Hamba berdua tidak tahu, Sri Baginda.#
#Ketahuilah bahwa keadaanmu di istana ini telah diketahui oleh bangsamu, dan
kini datang utusan mereka untuk minta agar engkau dan puteramu dikirim kepada
mereka. Ada keluarga orang tuamu yang menuntut agar engkau kembali kepada
mereka. Karena itu, malam ini juga kalian berdua akan kami serahkan kepada
seorang mata-mata pasukan kulit putih agar dibawa dengan kereta ke pelabuhan di
mana telah menanti kapal bangsamu.# Mendengar ini, Sheila merasa terkejut bukan
main. Sama sekali ia tidak pernah membayangkan akan kembali kepada bangsanya.
Pernah ia kembali bersama mendiang suaminya, belasan tahun yang lalu karena ada
undangan bangsanya. Akan tetapi kembalinya itulah yang mencelakakan suaminya.
Suaminya tewas dan hatinya menjadi demikian sakitnya segingga ia rela
meninggalkan bangsanya dan rela hidup di antara rakyat di dusun-dusun bersama
puteranya. Akan tetapi, yang mengirimnya sekarang adalah raja! Dan ia sama
sekali tidak berdaya untuk menolaknya. Dan iapun tidak akan menolak. Memang ia
sudah ingin sekali melepaskan diri dari istana raja yang pernah menjadi suheng
mendiang suaminya ini, apalagi setelah peristiwa di malam itu, setelah sang raja
mencoba untuk menggaulinya dengan paksa. Diam-diam ia bahkan merasa girang bahwa
ia dan puteranya akan dapat lolos dari tempat ini. Ia akan menghadapi komandan
pasukan bangsanya, dan kelak saja kalau sudah berhadapan dengan mereka dan
melihat sikap mereka, ia akan dapat mengambil keputusan apa yang selanjutnya
akan dilakukannya.
#Hamba hanya mentaati perintah paduka, Sri Baginda.# jawabnya tenang. Sementara
itu, jauh di luar tembok kota raja Nan-king, di dalam bayangan tembok benteng
yang agak gelap dan sunyi, tiga orang panglima utusan Raja Ong Siu Coan
mengadakan pertemuan dengan seorang laki-laki yang bertubuh jangkung,
Pakaiannya sederhana serba putih, usianya sekitar lima puluh lima tahun, mukanya
buruk sekali, dengan kulit muka yang rusak seperti bekas terbakar, matanya juga
besar sebelah, hidungnya menceng, mulutnya juga nyerong, telinganya mengecil,
punggungnya bongkok dan lengan kirinya bengkok. Semua keburukan ini ditambah
lagi dengan jalannya yang terpincang-pincang. Orang ini bukan lain adalah Bu
Beng Kwi yang telah kita kenal! Bagaimana secara tiba-tiba saja Bu Beng Kwi
dapat muncul di luar kota raja Nan-king dan mengadakan pertemuan dengan tiga
orang panglima utusan Raja Ong Siu Coan? Seperti telah kita ketahui, ketika
Sheila mengajak Han Le pergi meninggalkannya, hati Bu Beng Kwi hancur lebur. Dia
merasa seolah-olah semangatnya terbang melayang dibawa pergi Sheila,
Seluruh kebahagiaannya lenyap terbawa pergi dan yang ada hanyalah sesosok tubuh
yang terasa lemah dan lelah, sepi dan sunyi tanpa semangat lagi. Ingin rasanya
mati saja. Dia tahu betapa hancur pula rasa hati Sheila, wanita yang dikasihinya
itu, setelah Sheila melihat kenyataan bahwa dia adalah Koan Jit, pembunuh suami
wanita itu, musuh besarnya! Dan dia tidak menyalahkan Sheila, bahkan merasa
terharu dan kasihan sekali. Biarpun dia merasa hidupnya hampa dan tidak ada
artinya lagi, namun dia sadar bahwa Sheila dan puteranya tentu akan menghadapi
banyak tantangan dalam hidup, bahkan tentu akan mengalami banyak rintangan dan
ancaman bahaya. Oleh karena itulah, kekhawatiran dan keselamatan Sheila dan
anaknya itu menggugahnya, menghidupkan kembali tubuhnya yang lunglai dan diapun
cepat membayangi kepergian ibu dan anak itu.
Dialah yang memberikan buntalan pakaian ibu dan anak itu, dia pula yang
menyelimuti mereka, membantu Han Le mendapatkan kelinci dan ayam hutan, bahkan
memberi bungkusan garam. Ketika ketiga orang laki-laki kurang ajar mengganggu
Sheila, Bu Beng Kwi pula yang diam-diam mengusir tiga orang laki-laki itu.
Diapun terus membayangi ketika Sheila dan Han Le dibawa pergi oleh Tan-Ciangkun
menuju ke Nan-king, dibawa masuk ke dalam istana raja Ong Siu Coan! Biarpun
Sheila dan Han Le telah berada di dalam istana, tetap saja Bu Beng Kwi
membayangi. Tentu saja amat sukar untuk menyelundup ke dalam istana. Akan
tetapi, berkat kesaktiannya, diapun pada malam harinya berhasil menyusup masuk
kompleks istana dan bersmbunyi.
Dia melihat pula betapa Sheila diterima dengan baik oleh Ong Siu Coan, akan
tetapi dia melihat bahaya mengancam diri Sheila ketika melihat betapa raja itu
agaknya mulai tergila-gila kepada Sheila. Untung ada Tang Ki yang mencegah
terjadinya pemaksaan yang akan dilakukan raja itu terhadap diri Sheila sehingga
pemerkosaan dapat dicegah. Andaikata tidak muncul Tang Ki, tentu Bu Beng Kwi
akan nekat muncul dan melindungi Sheila pada malam hari itu. Semenjak terjadinya
hal itu dan dia melihat bahaya yang mengancam diri Sheila, Bu Beng Kwi lalu
mencari akal untuk dapat mengeluarkan Sheila dan anaknya dari istana itu.
Kebetulan sekali pada suatu hari dia melihat sebuah kereta yang memuat beberapa
peti besar, dikawal oleh tiga orang berikut kusir. karena sikap mereka bertiga
itu mencurigakan,
Dengan gerak-gerik mereka yang jelas membayangkan kekuatan dan kepandaian silat,
diam-diam Bu Beng Kwi yang telah keluar dari istana untuk mencari jalan
mengeluarkan Sheila dan anaknya, membayangi dan pada malam harinya, ketika tiga
orang itu berhenti dan bermalam di sebuah rumah penginapan, menurunkan peti-peti
yang jumlahnya delapan buah itu ke dalam kamar, diapun melakukan pengintaian.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, akhirnya Bu Beng Kwi dapat membuka sebuah di
antara peti-peti itu di luar tahu pemiliknya dan terkejutlah dia melihat bahwa
setiap peti terisi dua puluh lima pucuk senjata api! Kemudian, pengintaiannya
membuat dia maklum bahwa tiga orang itu adalah kaki tangan orang kulit putih
yang menyelundupkan dua ratus buah senjata api untuk dijual kepada pihak
pemerintah baru di Nan-king.
Tanpa banyak kesukaran, Bu Beng Kwi dapat menyingkirkan dan membunuh tiga orang
itu, yang dianggapnya sebagai pengkhianat-penghianat yang menjual diri kepada
orang kulit putih. Dia merampas kereta berikut delapan peti berisi dua ratus
pucuk senjata api itu, dan dialah yang melanjutkan perjalanan menuju keluar kota
Nan-king seperti yang telah didengarnya dari percakapan antara tiga orang matamata
itu. Dan tepat seperti yang sudah didengarnya, kedatangannya disambut oleh
mata-mata Tai Peng. Akan tetapi, untuk dua ratus pucuk senjata api itu, dia
tidak minta uang. Menyamar sebagai mata-mata pihak kulit putih, dia mengatakan
bahwa dia diperintah oleh para komandan kulit putih untuk menukar dua ratus
pucuk senapan itu dengan diri nyonya Sheila, wanita kulit putih yang berada di
istana Nan-king.
Demikianlah, yang menjadi mata-mata itu adalah Bu Beng Kwi, dan Raja Ong Siu
Coan telah menyetujui penukaran itu. Dan malam itu, seperti telah dijanjikan,
dengan keretanya, Bu Beng Kwi menanti di tempat gelap, siap untuk menukarkan
delapan peti yang masih disembunyikan dengan diri Sheila dan puteranya. Setelah
menanti dengan jantung berdebar penuh ketegangan, akhirnya yang dinantinantikannya
datanglah. Ibu dan anak itu datang dikawal oleh pasukan pengawal,
naik kuda dan begitu tiba di situ, Sheila dan Han Le langsung saja naik ke dalam
kereta tanpa bertanya lagi. Mereka memang sudah diberitahu bahwa mereka akan
dijemput oleh mata-mata orang kulit putih yang akan membawanya pergi.
Dengan pasrah, karena maklum betapa bahayanya kalau ia tetap berada di istana,
Sheila menggandeng tangan puteranya dan naik ke dalam kereta, Karena cuaca di
situ gelap, iapun tidak melihat siapapun juga, kecuali bayangan beberapa orang
di bawah pohon tidak jauh dari kereta itu. Belum nampak ada kusir yang duduk di
depan kereta. Setelah melihat bahwa Sheila dan Han Le memasuki kereta, barulah
Bu Beng Kwi mengambil delapan peti terisi senjata api. Para mata-mata dan
pengawal memeriksa dan menghitung. Setelah mendapat kenyataan bahwa dua ratus
pucuk bedil itu lengkap jumlahnya, mereka mengangguk. Tanpa banyak cakap lagi Bu
Beng Kwi lalu naik ke tempat duduk kusir di depan dan mencambuk dua ekor kuda
yang menariknya. Keretapun berjalan meninggalkan tempat itu melalui jalan yang
gelap.
#Ibu, kita hendak ke manakah?# beberapa kali Han Le mengajukan pertanyaan ini
kepada ibunya. Ada sedikit kekecewaan di dalam hati anak ini. Dia sudah
dipisahkan oleh ibunya dari gurunya yang sangat dihormati dan dikasihinya, yaitu
Bu Beng Kwi. Kemudian, dia mendapatkan guru baru di istana, dan dia mulai
belajar silat dan juga ilmu baca tulis, akan tetapi kembali dia diajak pergi
oleh ibunya!
Beberapa kali Sheila hanya menjawab,#Diam dan tenanglah, Henry, dan tidur
sajalah. Besok engkau akan tahu sendiri ke mana kita pergi.# Sheila agak raguragu
untuk memberi tahu kepada puteranya bahwa mereka akan pergi ke bangsa kulit
putih. Ia dapat membayangkan betapa puteranya, yang hanya warna matanya saja
menurun kepadanya dari darah kulit putih, akan merasa asing di antara bangsa
kulit putih. Apalagi Han Le tidak begitu lancar berbahasa Inggris walaupun sejak
kecil ia sudah mengajarnya. Han Le tidak pernah mendapat kesempatan untuk
berbicara dalam bahasa Inggris dengan orang lain kecuali dengan ibunya. Karena
itu, maka ditangguhkannya keterangan yang sebenarnya kepada anak itu, agar
anaknya tidak gelisah dan dapat tidur di dalam kereta itu.
#Ibu, kenapa ibu tidak memberitahu sekarang saja? Aku akan gelisah dan tidak
dapat tidur, menduga-duga ke mana kita akan pergi. Kemanakah kita pergi, ibu?#
kembali Han Le mendesak.
#Aku sendiri belum tahu, Henry.#
#Belum tahu? Kalau begitu, kenapa kita pergi?#
#Sri Baginda yang memerintahkan. Kita harus pergi dari istana, malam ini juga.
Kita menurut saja kepada kusir kereta ini, kemana kita akan dibawa pergi.#
#Heii, pak kusir! Ke manakah kami akan kaubawa pergi? Ke mana?# Han Le berteriak
ke arah punggung kusir. Akan tetapi, kusir itu tidak menjawab, duduk diam
seperti arca yang hanya nampak punggungnya yang lebar. Beberapa kali Han Le
berteriak dan bertanya, namun tidak ada jawaban. Akhirnya anak itu mengomel.
#Ibu, sungguh jahat sekali raja yang menjadi suheng dari mendiang ayah itu, ya?
Dia mengusir kita tanpa memberi tahu ke mana kita akan dibawa pergi. Sungguh aku
tidak senang mempunyai supek macam dia, walaupun dia telah menjadi raja#
#Husshh, Henry, tidurlah dan jangan banyak cakap lagi.# Sheila berkata dalam
bahasa Inggris kepada puteranya sambil menuding ke arah punggung kusir, seperti
memberi tahu agar puteranya tidak bicara lagi yang bukan-bukan karena ada kusir
itu yang mendengarkan. Han Le bersungut-sungut, akan tetapi diapun lalu
merebahkan diri miring di atas tempat duduk, berusaha untuk tidur. Sheila juga
menyandarkan tubuhnya dan berusaha untuk memejamkan matanya. Namun, tidak
mungkin ia dapat tidur menghadapi keadaan seperti itu.
Nasibnya belum dapat ditentukan akan menjadi bagaimana. Ia tidak begitu perduli
akan dirinya sendiri. Setelah apa yang dideritanya, kehancuran hatinya melihat
kenyataan bahwa pria yang dipujanya, yang bahkan dicintanya, Bu Beng Kwi,
ternyata adalah musuh besar, yaitu Koan Jit orang yang paling dibencinya, iapun
tidak perduli lagi akan apa yang terjadi dengan dirinya. Bahkan rasanya kalau
tidak melihat puteranya, ia ingin mati saja menyusul suaminya. Akan tetapi di
sampingnya ada Henry, puteranya. Tidak, ia tidak ingin mati lebih dulu. Ia harus
mendidik Henry, yang penting adalah nasib Henry, bukan nasib dirinya. Karena itu
ia akan melihat bagaimana nanti keadaan di antara bangsanya sendiri. Kalau Henry
merasa tidak berbahagia berada di antara bangsa kulit putih, ia akan mengajak
Henry pergi lagi, entah ke mana, asal Henry dapat hidup berbahagia.
Terbayanglah di depan matanya peristiwa pembukaan rahasia diri Bu Beng Kwi yang
sudah sering terbayang olehnya. Dan seperti biasa, tak dapat ia menahan
membasahnya kedua matanya. Ia tahu benar betapa besar rasa cintanya kepada Bu
Beng Kwi. Teringat ia betapa laki-laki itu seringkali menangis dan menyesali
diri sendiri, dan iapun merasa terharu Tak mungkin ia dapat membenci Bu Beng
Kwi. Ia merasa kasihan, terharu dan juga kagum yang membangkitkan cinta kasih
yang besar. Akan tetapi kalau ia teringat akan wajah Koan Jit, setelah topeng Bu
Beng Kwi dilepas, ia segera teringat kepada mendiang suaminya dan iapun merasa
benci sekali kepada Koan Jit. Dan ternyata bahwa Koan Jit adalah Bu Beng Kwi,
bahwa Bu Beng Kwi adalah Koan Jit!
Ia terjepit di antara kasih sayang dan kebencian. namun yang jelas, ia amat
berduka dan merasa kehilangan, kehilangan pria yang dikasihinya, Bu Beng Kwi!
Kalau ia masih berada di dekat Bu Beng Kwi, tidak akan begini nasibnya. Ia tentu
masih hidup berbahagia di Bukit Ayam Merah, melayani segala keperluan Bu Beng
Kwi. Mencuci untuknya, memasak untuknya, membersihkan rumahnya, melakukan segala
pekerjaan yang amat disukanya karena dengan pekerjaan itu ia memperlihatkan rasa
cintanya kepada pria itu. Dan kini ia merasa menyesal mengapa Bu Beng Kwi
membuka rahasianya? Kenapa Bu Beng Kwi menghidupkan lagi Koan Jit sehingga
menghidupkan pula dendam dan kebenciannya? Mengapa? Air matanya mengalir turun
di kedua pipinya. Tiba-tiba kereta berhenti. Han Le yang tadinya sudah pulas itu
terbangun.
#Ibu, kenapa kereta berhenti? Sudah sampaikah kita?# tanyanya.
#Ssttt, diam saja kau,# kata Sheila dalam bahasa Inggris, berbisik lirih karena
ia melihat bayangan orang menghadang di depan kereta dan mendengar orang
membentak-bentak di depan kereta itu, agaknya ditujukan kepada kusir kereta.
#Turunlah kalau engkau mau selamat!# terdengan suara kasar membentak. #Kereta
ini dan seisinya untuk kami! Kalau kau membantah, kami akan menyeret dan
membunuhmu lebih dulu!#
#Kalian siapakah? Tidak tahukah bahwa aku melaksanakan perintah Sri Baginda Raja
di Nan-king?# terdengar suara berat dari kusir itu.
#Ha-ha-ha, kami pemungut pajak di jalan tidak mengenal utusan kaisar atau utusan
siapa saja. Harus tunduk kepada perintah kami. Hayo menggelinding turun kau,
atau engkau sudah bosan hidup?# terdengar suara pertama membentak. Terdengar
suara pecut meledak-ledak dan kereta itu berguncang. Sheila yang membayangkan
bahwa kusir itu tentu dikeroyok oleh para perampok itu, memeluk puteranya dan
menanti dengan jantung berdebar penuh kekhawatiran.
#Tenanglah, ibu. aku akan melindungimu......# terdengar Han Le berbisik dan
biarpun kata-kata ini menggelikan, namun cukup mengharukan hati Sheila yang
memeluk lebih keras lagi. Terdengar teriakan-teriakan perkelahian di luar
kereta. Kusir itu bukan lain adalah Bu Beng Kwi, tadi mendengar percakapan
antara Sheila dan Han Le dengan hati terharu. Diapun kagum melihat betapa Sheila
tetap tabah dalam keadaan apapun juga. Dia tidak ingin memperlihatkan diri dan
hanya akan membawa ibu dan anak itu sejauh mungkin dari jangkauan tangan Ong Siu
Coan dan anak buahnya, kemudian akan meninggalkan mereka. Akan tetapi, sungguh
tidak disangkanya sama sekali bahwa di tempat sunyi di luar hutan yang berada di
kaki sebuah bukit itu keretanya akan dihadang oleh perampok yang jumlahnya tidak
kurang dari dua puluh orang.
Bu Beng Kwi menjadi marah dan tentu saja dia tidak sudi menyerahkan kereta dan
isinya. Dia tadi menggunakan cambuknya merobohkan perampok yang mengancamnya,
akan tetapi dia terkejut melihat betapa perampok itu dapat meloncat bangun
kembali. Dia lalu meloncat turun dari kereta. Belasan orang, atau mungkin juga
dua puluh itu, kini mengepungnya dan ketika mereka bergerak menyerang, tahulah
Bu Beng Kwi bahwa mereka bukanlah perampok sembarangan saja. Rata-rata mereka
memiliki ilmu silat yang cukup tinggi! Dan mereka mempergunakan golok atau
pedang yang baik! Diam-diam dia terkejut sekali. Tidak dapat dia menduga siapa
yang mengirim pasukan pilihan ini untuk menghadang keretanya.
Dugaannya memang tepat. Dua puluh empat orang itu bukanlah perampok biasa saja,
melainkan dua lusin perajurit pilihan yang dikirim oleh permaisuri untuk
menghadang kereta dan membunuh Sheila dan Han Le! Melihat betapa Sheila telah
membuat Ong Siu Coan, kemudian bahkan Lee Song Kim, jatuh cinta, timbul perasaan
tidak senang, bahkan kebencian dan iri hati di dalam dada permaisuri itu. Oleh
karena itu, diam-diam ia mempersiapkan dua losin perajurit pengawal pilihan dan
mengutus mereka untuk menghadang kereta itu dan menyamar sebagai perampokperampok,
membunuh ibu dan anak itu, juga kusirnya yang didengarnya adalah
seorang mata-mata bangsa kulit putih. Betapapun lihai dua losin perajurit itu
namun mereka terkejut bukan main menghadapi kusir itu. Sinar bulan tua memberi
penerangan yang cukup sehingga para pengeroyok itu dapat melihat wajah orang
yang mereka keroyok. Dan mereka terkejut setengah mati.
Wajah itu sepeti wajah setan! Lebih lagi rasa kaget mereka ketika melihat betapa
kusir itu berkelebat dan dalam waktu beberapa gebrakan saja, empat orang di
antara mereka telah roboh tak dapat bangun kembali! Si wajah setan ini ternyata
lihai bukan main, pikir mereka. Tadinya mereka mentertawakan perintah
permaisuri. Untuk membunuh seorang kusir, seorang wanita kulit putih dan anaknya
saja permaisuri telah mengutus sebanyak dua losin perajurit pilihan! Akan tetapi
kini mereka terkejut dan mereka memperketat pengepungan, mempercepat dan
memperkuat gerakan senjata mereka. Tak mungkin seorang kusir bertangan kosong
mampu mengalahkan mereka yang jumlahnya dua losin dan semua bersenjata lengkap!
Akan tetapi, kembali empat orang roboh berturut-turut dan tidak mampu bangun
kembali tercium kedua tangan dan kaki kusir itu!
Delapan orang telah tewas dan kini para pengeroyok menjadi marah, penasaran,
akan tetapi juga agak gentar. Bahkan tiga orang di antara mereka, yang menjadi
pemimpin pasukan dan dua orang pembantunya, diam-diam meninggalkan teman-teman
yang mengeroyok dan merekapun menghampiri kereta. Mereka, bagaimanapun juga,
harus dapat melaksanakan tugas yang diperintahkan permaisuri, karena kalau
sampai gagal, mereka tentu akan dihukum mati! Ketika mereka menyingkap tirai
pintu kereta, mereka melihat seorang wanita sedang berpelukan dengan anaknya,
seorang laki-laki belasan tahun. melihat munculnya tiga orang yang memegang
pedang, Han Le terkejut dan marah. Apalagi ketika seorang di antara mereka
menangkap lengan ibunya dan menyeretnya turun dari kereta.
#Jangan ganggu ibuku!# bentak Han Le sambil memukul. Akan tetapi, sebuah
tamparan membuat dia terpelanting keluar kereta. Tiga orang itu lalu menangkap
Sheila, memondongnya dan merekapun melarikan diri menghilang ke dalam gelap, ke
arah hutan yang berada di kaki bukit. Han Le tidak perduli akan kepeningan
kepalanya dan diapun lari mengejar.
#Lepaskan ibuku......!# bentaknya sambil mengejar. Akan tetapi tiga orang itu
berlari cepat ke dalam hutan yang gelap. Han Le nekat, terus mengejar ke dalam
hutan secepat mungkin.
Sementara itu, mendengar teriakan Han Le, Bu Beng Kwi terkejut sekali. Teriakan
itu berarti bahwa Sheila telah ditangkap orang, pikirnya. Hal ini membuat dia
marah sekali. Dari dalam dadanya keluar suara menggereng hebat. Para pengeroyok
yang kini tinggal tiga belas orang jumlahnya itu, terkejut dan gentar. Gerengan
itu seperti mengguncang jantung mereka dan di antaranya ada yang seketika
menjadi lumpuh seperti anak kambing mendengar harimau mengaum. Memang gerengan
yang dikeluarkan Bu Beng Kwi itu mengandung tenaga khikang yang amat kuat. Bu
Beng Kwi mengamuk. kaki tangannya menyambar-nyambar dan demikian cepat
gerakannya seolah-olah dia berkaki enam dan bertangan enam. Dalam waktu sebentar
saja, tiga belas orang itu telah roboh semua. Di tempat itu berserakan tubuh dua
puluh satu orang yang agaknya telah tewas semua!
Sekali loncat, Bu Beng Kwi telah mendekati kereta dan ketika dia menjenguk ke
dalam tidak melihat Sheila dan Han Le, dia mengeluarkan keluhan dalam dan
tubuhnya sudah berkelebat lenyap meninggalkan kereta itu Dan nampak bayangan
putih berkelebat ke dalam hutan, ke arah dari mana dia mendengar suara Han Le
tadi. Dengan kecepatan yang luar biasa, bayangan putih itu berkelebatan ke sanasini
di dalam hutan, dan akhirnya Bu Beng Kwi yang sudah merasa gelisah sekali
melakukan pengejaran ke atas bukit, keluar dari hutan itu. Dan di luar hutan,
nampaklah olehnya Han Le sedang menangis di bawah pohon, dengan pakaian robekrobek
dan tubuh lecet-lecet. Tanpa terasa waktu itu malam telah hampir lewat,
fajar telah menyingsing dan kegelapan telah berobah menjadi keremangan fajar.
#Han Le, mana ibumu?# Bu Beng Kwi berseru sambil cepat memondong tubuh anak itu.
Bagaikan mimpi rasanya, Han Le terbelalak memandang wajah orang yang
memondongnya, kemudian dengan bercampurnya tangis dan tawa dia menuding ke atas
bukit,
#Ibu dilarikan mereka ke sana, suhu......# Tanpa membuang waktu lagi Bu Beng Kwi
melompat dan mendaki bukit itu seperti terbang cepatnya sambil memondong tubuh
Han Le yang masih bengong terlongong karena kaget, heran dan juga girang sekali
mengatasi rasa khawatirnya akan nasib ibunya.
Gurunya telah muncul, itu berarti bahwa ibunya pasti dapat tertolong. Sebuah
kuil tua bobrok yang berdiri miring di lereng bukit itu menarik perhatian Bu
Beng Kwi. Apalagi ketika mendengar jerit tertahan dari tempat itu, disusul suara
ketawa yang parau. Bagaikan terbang dia lari ke arah kuil tua itu. Ternyata
sebuah kuil yang sudah tidak terpakai lagi. Nampak pintu reyot tertutup dan
sekali tendang, daun pintu itu roboh dan apa yang nampak di dalam membuat
sepasang mata Bu Beng Kwi seperti mengeluarkan api. Sheila sedang dipegangi tiga
orang laki-laki dan sudah tertawa-tawa sedang menelanjanginya dan sudah berhasil
merobek hampir seluruh pakaian wanita itu yang meronta-ronta. Agaknya tadi mulut
yang mendekap mulut Sheila pernah terlepas maka terdengar jeritnya yang
tertahan.
#Ibuuu......!# Han Le berteriak. Bu Beng Kwi melepaskan tubuh Han Le di luar
ruangan itu dan tubuhnya sendiri sudah menerjang ke dalam. Tiga orang laki-laki
itu tadi terkejut mendengar hiruk-pikuknya daun pintu jebol dan mereka menjadi
pucat melihat bahwa yang menjebol pintu adalah si muka setan yang tadi mereka
keroyok. Akan tetapi, kekagetan mereka masih terbayang pada wajah mereka ketika
nyawa mereka melayang.
Demikian cepatnya Bu Beng Kwi menerjang dan tiga kali tamparan kedua tangannya
berturut-turut membuat tubuh tiga orang itu terpental dalam keadaan tidak
bernyawa lagi, mati tanpa menderita luka yang kelihatan. Sheila terbelalak
memandang dan melihat bahwa yang menolong adalah Bu Beng Kwi, ia mengeluh
panjang dan tubuhnya terkulai, jatuh pingsan. Tadi, sekuat tenaga ia
mempertahankan diri sehingga tidak sampai pingsan, dan sekarang, begitu terbebas
dari malapetaka yang mengerikan, apalagi melihat munculnya Bu Beng Kwi yang
selama ini tak pernah dapat dilupakannya sedetikpun, perasaannya terguncang
hebat dan iapun roboh pingsan. Bu Beng Kwi cepat memondong tubuh Sheila dengan
penuh kasih sayang. diselimutinya tubuh itu dengan pakaian yang sudah compangcamping,
dan dibawanya keluar,
#Ibu......!# Han Le berseru, khawatir sekali.
#Tenanglah, Han Le. Ibumu tidak apa-apa, hanya pingsan karena cemas dan lelah.
Mari kau naik ke punggungku dan kita cepat kembali ke kereta kita.# Han Le
mentaati perintah gurunya dan ketika suhunya berjongkok, diapun naik ke
gendongan punggung suhunya. Bu Beng Kwi menggendong Han Le dan memondong tubuh
Sheila, lalu berlari cepat ke tempat di mana dia meninggalkan kereta tadi, di
seberang hutan. Han Le bergidik melihat mayat-mayat yang berserakan, akan tetapi
gurunya segera membawa dia ke dalam kereta, lalu merebahkan tubuh Sheila ke atas
bangku kereta pula.
#Kau jaga ibumu baik-baik agar jangan sampai jatuh. Kita harus segera pergi dari
tempat ini.# katanya dan Han Le mengangguk, lalu berlutut dan merangkul tubuh
ibunya. Keretapun bergerak, dikusiri Bu Beng Kwi, meninggalkan tempat itu.
Setelah mereka meninggalkan bukit itu dan jauh dari sana, matahari sudah naik
tinggi dan Bu Beng Kwi menghentikan keretanya di bawah sebatang pohon besar.
Tempat itu sunyi. Ketika dia menjenguk ke dalam kereta, ternyata Sheila masih
pingsan, dijaga puteranya yang kelihatan khawatir.
#Suhu, ibu belum juga sadar,# kata Han Le dengan muka cemas.
#Tenangkan hatimu. Ibumu mendapat guncangan batin yang cukup hebat. Sekarang
pergilah engkau mencari air dalam panci ini, kemudian buatlah api unggun dan
masak air itu sampai mendidih.# Melihat sikap suhunya yang tenang, giranglah
hati Han Le yang tadinya amat mengkhawatirkan keadaan ibunya.
#Baik, suhu,# katanya sambil melompat turun dan membawa panci itu, mencari air.
Bu Beng Kwi naik ke dalam kereta dan memeriksa denyut jantung Sheila melalui
urat nadi tangannya. Denyut itu lemah dan tidak teratur. Wajah wanita itu pucat
sekali dan melihat wajah itu, keharuan menusuk perasaan Bu Beng Kwi. Betapa
besarnya dosa yang ditanggungnya terhadap wanita ini, pikirnya. Dia menghela
napas panjang dan mengeluh di dalam batinnya. Mula-mula, dia sebagai Koan Jit
telah membunuh suami wanita ini. Kemudin sebagai Koan Jit pula dia telah
membunuh Bu Beng Kwi, laki-laki yang dicinta olehwanita ini dengan hati murni.
#Hemm, Koan Jit, engkau harus menerima hukuman yang bagaimana beratnya untuk
menebus dosa-dosamu,# demikian suara hatinya mengeluh. Dan hukuman terberat yang
pernah dirasakan selama dia mengubah jalan hidupnya adalah sekarang ini! Hukuman
ini jauh lebih berat daripada hukuman yang bagaimanapun juga,
Bahkan dianggapnya lebih berat dari siksa yang membawa mati sekalipun. Dia
mencinta wanita ini, dan mencinta puteranya. Dia mencinta mereka berdua dengan
sepenuh jiwanya, ingin membahagiakan mereka. Namun, wanita yang dicintanya itu
membencinya, menjauhinya. Padahal, wanita ini sesungguhnya juga mencintanya,
hanya karena perbuatannya yang lalu maka cinta itu berubah menjadi kebencian
yang amat mendalam. Dan kenyataan ini amat menyiksa batinnya, mendatangkan
penyesalan yang agaknya tidak akan mereda walaupun ditebus dengan nyawa
sekalipun. Ada dua macam penyesalan. pertama adalah penyesalan karena menyadari
akan dosa yang telah dilakukan, penyesalan yang dapat membuat si pelaku
bertaubat dan tidak akan melakukan dosa itu untuk kedua kalinya.
Penyesalan kedua adalah penyesalan yang timbul karena akibat buruk menimpa diri
sebagai akibat perbuatan dosanya itu. Penyesalan yang kedua ini tidak akan
menimbulkan kesadaran dan tidak membuat orang bertaubat. Bu Beng Kwi menyesal
karena keduanya. Dia telah menyadari dosa-dosanya semenjak bertemu dengan
pendeta sakti Siauw-bin-hud dan seketika kesadaran itu merobah jalan hidupnya.
Dia meninggalkan kehidupan bergelimang dosa sehingga sinar cinta kasih dan
keadilan yang berada di dalam batin setiap manusia, kini bersinar terang dan
tidak tertutup oleh debu-debu kekotoran. Namun, siksa batin yang dideritanya
sebagai akibat dosa- dosanya, ketika dia bertemu dengan Sheila dan puteranya,
mendatangkan pula penyesalan yang amat hebat, membuat dia kehilangan gairah
hidup.
Bagaimanapun macamnya, penyesalan tidak ada gunanya sama sekali. hanya permainan
pikiran saja yang mengingat- ingat masa lalu, dan ingatan akan masa lalu ini
hanya membuahkan penyesalan, duka, dendam, kemarahan dan sebagainya lagi. Kalau
kita mau waspada setiap saat, sehingga setiap gerak-gerik kita lahir maupun
batin selalu berada di bawah pengamatan, maka kebijaksanaan akan selalu
menyertai kita sehingga kita tidak akan salah langkah. Namun, betapapun
saktinya, Bu Beng Kwi alias Koan Jit hanyalah seorang manusia biasa. Diapun
menginginkan kesenangan, antara lain kesenangan agar selalu dapat berdekatan
dengan Sheila dan Han Le, dua orang yang dicintanya, keinginan agar cintanya
terhadap mereka dibalas tanpa halangan apapun. Dan keinginan, dalam bentuk
apapun juga, tak terpisahkan dari suka.
Keinginan selalu melahirkan duka, karena keinginan tak ada batasnya, makin mekar
dan sekali waktu pasti keinginan takkan terpenuhi dan timbullah kecewa,
timbullah duka. Lenyapnya keinginan adalah apabila kita hidup saat demi saat,
menikmati yang ada karena keinginan adalah pengejaran hal yang belum ada. Kalau
kita selalu hidup di saat ini, tanpa ikatan dengan masa lalu, tanpa harapan
untuk masa depan, hidup sepenuhnya saat demi saat, maka dalam keadaan apapun
juga kita akan selalu waspada. Waspada dan sadar dalam arti kata tidak tebuai
masa lalu dan tidak terseret keinginan masa depan. Hanya dengan beginilah kita
dapat hidup sesungguhnya, menikmati apa yang ada hidup bahagia saat demi saat,
bagaimanapun keadaan hidup kita di saat-saat itu. Kebahagiaan hanya terdapat di
saat ini, bukan kemarin atau esok, karena hidup adalah saat ini pula, saat demi
saat di mana kita harus sepenuhnya sebagai seorang manusia.
Sayang, sungguh sayang. Kita membiarkan sebagian besar kehidupan kita menjadi
permainan pikiran, dikuasai sepenuhnya oleh pikiran yang selalu sibuk berceloteh
sehingga batin melahirkan emosi. Pikiran menciptakan kemarahan, kekhawatiran,
rasa takut, kebencian, prasangka, iri hati. dan sebagainya lagi. Pikiran mejadi
debu kotoran yang menutupi sehingga cahaya kebahagiaan tidak nampak lagi. Kita
dapat melihatnya dalam kehidupan kita sehari-hari, betapa hidup ini hanya
dipenuhi oleh permainan pikiran yang menciptakan si aku. Aku ingin ini, aku
ingin itu, aku senang lalu bosan, aku kecewa karena tak terpenuhi keinginanku,
aku marah karena terganggu, karena aku dirugikan, aku takut karena aku terancam,
karena ada bahaya aku dipisahkan dari orang atau benda milikku yang kusayang.
Setiap hari kita diombang-ambingkan dari saat ke saat oleh segala macam emosi.
dan semua ini timbul hanya karena kesadaran kita dirampas dan diduduki oleh
pikiran yang selalu mempermainkan masa lalu, masa ini, dan masa mendatang.
Dapatkah kita hidup berbahagia? Dapatkah kita hidup di saat ini? Kalau
pertanyaan ini timbul dari keinginan si aku pula yang mengejar kesenangan dan
kenikmatan, mempergunakan cara#hidup berbahagia saat ini# sebagai suatu cara
untuk memperoleh kenikmatan, maka kita anak terseret dalam lingkaran setan. Itu
masih ulah pikiran yang selalu mengejar kesenangan belaka. Akan tetapi mari kia
buang segala ikatan, kita buang segala kekotoran, kita buang segal gambarangambaran
tentang diri pribadi yang diciptakan si aku dan kita akan waspada
setiap saat,
Dan baru ada arti dalam kehidupan ini, karena kita benar-benar HIDUP, bukan
sekedar seonggok daging yang dipermainkan oleh nafsu-nafsu keinginan! Tuhan Maha
Kasih! Segala isi mayapada, yang nampak maupun yang tidak nampak, dilimpahkan
kepada kita dengan penuh kerelaan, dengan penuh kasih. Kalau kita tidak dapat
menikmatinya, tidak dapat menerimanya sebagai suatu berkah dari saat ke saat,
dan kita membiarkan diri, diseret suara setan dan iblis yang selalu tidak
mengenal puas, bukankah itu merupakan suatu kebodohan? Mari kita nikmati denyut
jantung kita. Kita nikmati setiap hirupan hawa melalui napas kita. Kita nikmati
segala keindahan yang nampak oleh mata kita. Kita nikmati segala kemerduan yang
terdengar oleh telinga kita,
Segala keharuman yang tercium oleh hidung kita, segala kelezatan yang termakan
oleh mulut kita. Dan kalau sudah begitu, yang memenuhi batin kita hanyalah
perasaan syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kasih, perasaan
berbahagia yang keluar masuk dalam batin kita melalui pernapasan kita. Kalau
sudah begitu, kita bebas dari ikatan duniawi yang bagaimanapun juga. Kalau sudah
begitu segala peristiwa yang kita anggap baik maupun buruk hanya merupakan
hembusan angin saja yang wajar, karena segala akibat tentu ada sebabnya walaupun
sering kita tidak mengetahui adanya sebab itu, karena kita sudah buta oleh
pengejaran keinginan. Setelah memeriksa keadaan Sheila dan maklum bahwa wanita
itu telah mengalami pukulan batin yang hebat, Bu Beng Kwi tidak berani
menyadarkan cepat-cepat.
Keadaan pingsan ini bahkan merupakan penyelamatan diri Sheila sendiri, pekerjaan
kekuasaan yang ada dalam tubuh Sheila. Karena pingsan, maka untuk sementara ia
terbebas dari rasa ngeri, kaget, marah, kemudian keharuan melihat Bu Beng Kwi,
dan selamatlah ia. Kalau tidak pingsan, hantaman batin yang mengguncangkan itu
bisa saja membuatnya Sheila menjadi gila, bahkan mati. Karena itu, Bu Beng Kwi
membiarkan saja Sheila dalam keadaan pingsan, hanya menotok beberapa jalan darah
untuk melapangkan pernapasannya dan membantu kekuatan jantung saja. Ketika Han
Le selesai menyediakan air mendidih, dia menggunakan kain yang dibasahi air
mendidih itu untuk mencuci muka dan leher Sheila. kemudian, melihat betapa ada
tanda-tanda Sheila akan siuman, dia cepat meninggalkan kereta.
#Siapkan pakaian ibumu, kalau ia siuman agar berganti pakaian dan kau beri
minuman air hangat-hangat. Ibumu sedang marah kepadaku, aku tidak mau ia
melihatku di sini kalau ia siuman.#
#Tapi, suhu, kenapakah? Mengapa ibu marah kepada suhu?# Justeru hal inilah yang
ingin sekali diketahui Han Le semenjak dia diajak ibunya pergi meninggalkan
suhunya itu. Akan tetapi, seperti juga ibunya, Bu Beng Kwi menggeleng kepala dan
tidak menjawab, melainkan pergi meninggalkan kereta. Han Le melanjutkan
pekerjaan gurunya tadi, menggunakan kain hangat basah untuk membersihkan tubuh
ibunya. Dengan hati iba dia melihat bekas-bekas tangan tiga orang biadab tadi di
lengan dan kaki ibunya, tanda lembam kebiruan dan bekas jari tangan. Untung
suhunya datang tepat pada saat yang amat berbahaya itu, pikir Han Le. Sheila
bergerak lemah, mengeluh panjang dan membuka kedua matanya. Ketika membuka dan
melihat Han Le, ia segera bangkit dan merangkul puteranya.
#Henry, apa yang terjadi? Kita di mana?# Ia terbelalak memandang ke kanan kiri
dan agaknya heran melihat bahwa ia berada dalam kereta bersama puteranya.
#Tenangkan hatimu, ibu. Kita telah selamat terhindar dari pasukan jahat itu,
mereka telah mati semua dan kita telah selamat. Engkau jatuh pingsan dan baru
sekarang siuman, ibu. Engkau bergantilah pakaian dan minumlah air hangat ini.#
Karena masih merasa bingung dan belum sadar betul, Sheila menurut saja dan minum
air hangat. kesadarannya pulih dan kini ia memandang kepada pakaiannya yang
robek-robek, kulit kaki tangannya yang terasa nyeri dan terdapat bekas- bekas
tangan membiru dan teringatlah ia akan peristiwa mengerikan yang dialaminya
semalam. matanya terbelalak dan kembali ia memandang ke kanan kiri, kemudian ia
menubruk puteranya sambil menangis.
#Ahhh...... aku teringat sekarang...... Henry...... Henry, di manakah dia......?
# Sheila teringat betapa ia diseret oleh tiga orang dan ia melawan mati-matian
ketika tiga orang itu hendak memperkosanya di dalam sebuah kuil tua. Kemudian ia
melihat munculnya Bu Beng Kwi yang mengamuk dan menyerang tiga orang itu.
#Siapakah yang ibu maksudkan?# Han Le bertanya, pura- pura tidak mengerti siapa
yang dimaksudkan ibunya.
#Dia...... suhumu, bukankah dia yang menyelamatkan kita?#
#Benar, ibu. Akan tetapi mau apa ibu kini mencari suhu? Bukankah ibu marah dan
membenci suhu?#
#Henry......!# Sheila menangis makin mengguguk sambil merangkul anaknya. Biarpun
tadinya dia merasa tidak senang karena ibunya marah dan membenci suhunya yang
demikian baiknya, bahkan kemudian memaksanya pergi meninggalkan gurunya itu,
kini melihat ibunya menangis demikian sedihnya, hati Han Le menjadi lunak dan
merasa kasihan. seperti menghibur adiknya saja, dia mengusap rambut di kepala
ibunya, rambut yang seperti benang sutera emas dan yang selalu dikaguminya itu.
#Ibu, jangan menangis, ibu. Kita telah selamat dari malapetaka berkat
pertolongan suhu. Ibu, setelah apa yang dilakukan suhu, setelah dia bersikap
demikian baiknya kepada kita, dahulu dia menyelamatkan kita dari serangan
pasukan Tai Peng, sekarang dia menyelamatkan kita pula dari perampok- perampok
jahat. Setelah semua itu, ibu, betapapun marahnya engkau, apakah engkau tidak
dapat memaafkan suhu? Ibu, engkau seorang wanita yang berhati mulia, aku tidak
percaya bahwa engkau tidak dapat memberi ampun kepada suhu, apapun kesalahannya
kepadamu, ibu.. Kalau perlu, biarlah aku yang memintakan ampun untuknya
kepadamu, ibu.# dan tiba- tiba Han Le berlutut di depan kaki ibunya, berkalikali
menyentuh kaki ibunya dengan dahi.
Melihat ini, Sheila mengeluarkan rintihan kecil dan merangkul anaknya,
diangkatnya bangun anak itu dan ia pun menangis tersedu-sedu di pundak Han le
yang juga ikut menangis, bingung melihat kedukaan demikian hebat dari ibunya.
Memang, Sheila merasa betapa hatinya seperti disayat-sayat mendengar kata-kata
anaknya dan melihat betapa Han Le berlutut memohonkan ampun bagi gurunya!
Haruskah ia memberi tahu puteranya bahwa Bu Beng Kwi adalah Koan J it, pembunuh
ayah kandung anak itu? Bahwa Bu Beng Kwi yang kini dianggap orang paling mulia
oleh anaknya itu sesungguhnya adalah musuh besar mereka? Ah, ia tidak tega
memberitahukan hal itu kepada Han Le. Ia sendiri mengalami kehancuran hati
karena mengetahui rahasia itu, dan ia merasa yakin bahwa Han Le juga akan merasa
kecewa dan berduka sekali. Setelah tangisnya mereda, Sheila bertanya dengan
suara lirih,
#Henry, di manakah dia sekarang?#
#Dia tadi meninggalkan kereta setelah melihat ibu tidak apa-apa. Dia bilang.....
dia bilang bahwa lebih baik ketika siuman ibu tidak melihat dia karena...... dia
bilang bahwa ibu sedang marah kepadanya.# Sheila menarik napas panjang. Ia dapat
membayangkan betapa tersiksa hati Bu Beng Kwi, mungkin lebih tersiksa darinya.
Ia sendiri hanya kecewa melihat kenyataan pahit bahwa Bu Beng Kwi adalah Koan
Jit, musuh besarnya. Akan tetapi Bu Beng Kwi atau Koan Jit itu bukan hanya
kecewa, melainkan menyesal setengah mati. sebelum membuka rahasianya saja, ia
sendiri melihat betapa Bu Beng Kwi menangis semalaman seperti anak kecil, dan
hal ini seringkali dilakukannya.
#Dia berada di bawah?# tanyanya sambil berganti pakaian utuh.
#Mungkin, aku tidak tahu pasti, ibu.# Setelah membereskan pakaiannya, Sheila
lalu turun dari atas kereta, dibimbing oleh puteranya. Ketika mereka sudah
berada di bawah dan memandang ke kanan kiri, di situ sunyi saja. Tidak nampak
bayangan Bu Beng Kwi. Dua ekor kuda penarik kereta dilepas dari kendali dan
ditambatkan pada batang pohon, dan dua ekor kuda itu kini makan rumput dengan
tenangnya. Tidak ada tanda-tanda bahwa di dekat situ ada Bu Beng Kwi atau orang
lain. Hanya mereka berdua dan kuda-kuda itu, selebihnya sunyi.
#Dia...... dia tidak ada......# kata Sheila suaranya hampa dan ringan. Han Le
merasa penasaran. Baru saja suhunya masih berada di situ. Dia lalu berteriakteriak
memanggil.
#Suhuuu......! Suhuuuuu.......!# Berulang kali Han Le memanggil, menghadap ke
empat penjuru, namun tidak terdengar jawaban, juga tidak muncul orang yang
dipanggilnya itu.
#Dia...... sudah pergi lagi......# kata pula Sheila, suaranya lirih dan seperti
orang kehilangan semangat atau putus asa. Konflik yang terjadi di dalam batin
Sheila membuatnya menjadi lemah sekali, seperti orang kehilangan semangat.
Kita selalu hidup dengan konflik batin yang tiada hentinya. Konflik antara apa
yang ada dengan apa yang kita inginkan. Keadaan dan kenyataannya begini, kita
ingin begitu. Kita susah, kita ingin melenyapkan kesusahan itu, kalau kita
marah, kita ingin tidak marah dan kita ingin sabar. Kita membenci, demikian
kenyataannya, namun kita ingin tidak membenci. Kita melihat betapa kita dengki
dan iri, akan tetapi kita ingin agar tidak demikian, dan masih banyak lagi
pertentangan yang terjadi setiap saat di dalam batin kita. Konflik itu
menghamburkan kekuatan batin, konflik itu membuat kita lemah. Bahkan konflik ini
memperkuat hal yang buruk itu. Kalau kita marah dan kita ingin agar tidak marah
dan bersabar, maka keingian itu sendiri menjadi minyak yang akan menghidupkan
terus kemarahan itu!
Kita tidak melihat bahwa marah dan keinginan sabar itu sama saja, timbul dari si
aku juga, si aku yang selalu ingin enak, ingin senang. Aku marah karena aku
meresa dirugikan, dan aku melihat betapa merugikan marah itu, maka aku ingin
tidak marah dan ingin sabar, tentu saja dengan pengertian bahwa sabar itu baik
dan menguntungkan! Dalam keadaan marah, mana mungkin sabar? Kalau toh kemarahan
itu mereda, hal itu hanya karena pemaksaan diri. Pemaksaan macam ini tidak
melenyapkan api kemarahan, melainkan hanya menutupinya saja untuk sementara.
Nampaknya saja lenyap, namun api kemarahan itu belum padam, seperti api dalam
sekam, sewaktu-waktu akan menyala lagi bahkan lebih besar dan kuat! Kenapa kita
tidak mau hidup dan menghayati apa adanya, saat demi saat?
Kalau kita marah, kenapa kita tidak membiarkannya saja sewajarnya dan kita
mengamatinya, mempelajarinya, merasakannya, dengan penuh perhatian dan
kewaspadaan? Kenapa harus lari dari padanya? Kemarahan adalah kita sendiri,
betapa mungkin kita lari dari diri sendiri? Pelarian bukanlah untuk mengatasi
kemarahan. Akan tetapi kalau ada pengamatan terhadap diri sendiri di waktu
marah, maka pengamatan inilah yang akan melenyapkan api kemarahan, lenyap bukan
dipaksa lenyap atau ditutupi, melainkan lenyap sama sekali. Dan kalau sudah
tidak ada lagi api kemarahan di dalam batin, apakah kita perlu untuk bersabar
lagi? Yang penting adalah lenyapnya kemarahan dari sumbernya, bukan menutupinya
dengan kesabaran yang dipaksakan. Demikanlah pula dengan duka, takut dan
sebagainya.
Sumber semua perasaan itu berada di dalam diri sendiri, oleh karena itu
penyembuhannya dalam diri sendiri, bukan diusahakan dari luar. Siapakah yang
menyuruh kita takut, susah, marah dan sebagainya? Tidak ada bukan? Jelas,rahasia
sumbernya berada di dalam diri sendiri dan karena itu, untuk mempelajarinya dan
mengatasinya, penyelidikan harus ditujukan ke dalam diri sendiri pula. Kita yang
susah, kita yang marah, kita yang takut, jadi kitalah yang harus diselidiki!
Dengan pengamatan setiap saat, pada saat kita marah, pada saat kita susah, pada
saat kita takut dan seterusnya. Setiap saat! Demikianlah pula dengan keadaan
Sheila. Kenyataan adalah bahwa ia mencinta Bu Beng Kwi. Akan tetapi ia tidak
ingin mencinta, ia ingin agar ia membenci Bu Beng Kwi, karena Bu Beng Kwi adalah
Koan Jit, musuh besarnya, pembunuh suaminya. Ia harus membenci! Ia tidak
mencinta musuh itu.
Demikian, terjadilah konflik yang terus menerus antara kenyataan yang ada dan
keinginan hati yang diciptakan oleh jalan pikirannya. Teringatlah Sheila betapa
begitu ia dan puteranya meninggalkan Bu Beng Kwi maka kesukaran dan ancaman
bermunculan, dan semua bahaya itu baru dapat terhalau setelah Bu Beng Kwi
muncul. Agaknya,..... ia tidak akan dapat hidup aman dan bahagia lagi tanpa Bu
Beng Kwi. Dan kini pendekar itu telah pergi meninggalkannya. Tak terasa lagi air
matanya turun menetes-netes walaupun ia tidak ingin menangis kehilangan Bu Beng
Kwi. Han Le juga merasa penasaran ketika teriakan-teriakannya memanggil suhunya
tidak mendapatkan jawaban. Tidak mungkin gurunya meninggalkan mereka begitu
saja! Dia teringat betapa suhunya tidak berani bertemu dengan ibunya karena
ibunya sedang marah kepadanya. Mendadak timbul sebuah akal.
#Ibu, katakanlah, apakah ibu mau memaafkan suhu?# tiba-tiba dia bertanya dengan
suara nyaring. Sheila memandang puteranya dengan linangan air mata, kemudian ia
mengangguk.
#Ibu, katakanlah dengan jelas agar hatiku menjadi yakin. Apakah ibu mau
memaafkan suhu, mengampuni semua kesalahan suhu kepada ibu?# Dengan bibir
gemetar Sheila berkata,
#Aku...... aku maafkan dia......#
#Dan apakah ibu tidak marah lagi kepadanya?# kembali Han Le bertanya, suatanya
nyaring. Sambil menggeleng, Sheila menjawab,
#Aku tidak marah kepadanya lagi.# Dengan suara girang Han Le lalu berteriak,
membentuk corong dengan kedua tangan di kanan kiri mulutnya.
#Suhuuu! Harap suhu suka ke sini! Ibu tidak marah lagi kepada suhu!# Dan tibatiba
saja nampak bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu Bu Beng Kwi sudah
berdiri di situ, di depan mereka!
#Suhu......!# Han Le berseru dan dia segera menjatuhkan dirinya berlutut
menghadap gurunya. Akan tetapi Sheila hanya berdiri dengan tubuh terasa lunglai,
dan hanya sebentar ia mengangkat muka memandang kepada Bu Beng Kwi dengan
sepasang mata berlinang air mata, kemudian ia menunduk dan air matanya mengalir
turun di sepanjang kedua pipinya yang agak pucat. Bu Beng Kwi tak dapat menahan
keharuan hatinya. Dia tadi merasa seolah-olah hidup kembali ketika mendengar
suara Sheila yang selain menyatakan bahwa wanita itu telah memaafkannya, juga
tidak marah lagi kepadanya. Kini, melihat wanita yang dicinta sepenuh jiwanya
itu berdiri dalam keadaan demikian menyedihkan, hatinya dipenuhi rasa iba dan
sayang diapun cepat melangkah maju lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan
kaki Sheila!
#Benarkah engkau dapat mengampuni semua kesalahan dan dosaku, Sheila? Ya Tuhan,
betapa mulia hatimu, Sheila, dan betapa jahat dan hinanya diriku ini......#
Suara Bu Beng Kwi meng etar penuh perasaan. Bagaikan tiba-tiba lumpuh kedua
lututnya, Sheila juga menjatuhkan diri berlutut dan menangis.
#Taihiap......# Mereka bertiga berlutut dan kini Bu Beng Kwi menggunakan kedua
lengannya untuk merangkul Sheila dan Han Le. Berkali-kali dia berdongak ke atas,
seolah-olah hendak menyatakan terima kasihnya kepada Tuhan dan berkali-kali
mulutnya berkata lirih.
#Sheila...... Han Le...... betapa aku cinta kepada kalian. hanya kalianlah yang
kumiliki di dunia ini......#
Didekapnya ibu dan anak itu, rapat-rapat di dadanya seolah-olah dia tidak ingin
berpisah lagi dan ingin memasukkan kedua orang itu ke dalam rongga dadanya.
Sampai beberapa lamanya mereka berada dalam keadaan yang amat mengharukan itu.
Akhirnya Bu Beng Kwi berkata kepada Han Le, lirih,
#Han Le, bagaimana pendapatmu kalau mulai sekarang engkau bukan hanya menjadi
muridku, melainkan menjadi anakku?# Han Le mengangkat muka memandang wajah yang
buruk namun amat disayangnya itu. Ucapan itu tadi membuat dia bingung, walaupun
amat menggirangkan hatinya.
#Suhu, apa...... apakah maksud suhu......?# Akan tetapi suhunya tidak menjawab,
melainkan berkata kepada ibunya,
#Sheila, sudikah engkau? Kita bukan anak kecil lagi, juga Han Le sudah besar,
oleh karena itu biarlah kesempatan ini kupergunakan untuk melamarmu, Sheila.
Bolehkah aku menjadi ayah Han Le? Maukah engkau...... sudikah engkau menjadi
isteriku?# Han Le terbelalak dan wajahnya berseri gembira. Ingin dia meneriakkan
sebutan ayah kepada gurunya, akan tetapi dia merasa malu dan juga takut kepada
ibunya yang belum menjawab. Sampai lama Sheila hanya menunduk, kemudian menarik
napas panjang, lalu berkata dengan suara halus.
#Marilah kita pulang dulu, kita bicarakan urusan ini dirumah.# Bu Beng Kwi
menarik mereka bangkit berdiri dan diapun tertawa.
(Lanjut ke Jilid 12)
Jilid 12
#Ha-ha, sungguh aku orang yang kasar dan tidak memakai aturan. Meminang orang di
tengah jalan! Mari kita pulang, Sheila! Han Le! Mari kita pulang!# Betapa
indahnya kata#pulang# itu bagi Sheila di saat itu. Betapa ia selama meninggalkan
Bukit Awan Merah merasa amat rindu kepada rumah tempat tinggal mereka itu, rindu
akan #pulang.#
Sheila mendapatkan banyak waktu untuk merenungkan pinangan Bu Beng Kwi. Harus
diakuinya bahwa ia benar-benar mencinta Bu Beng Kwi, dan iapun melihat kenyataan
bahwa orang yang bernama Koan Jit itu telah benar-benar berubah. Bukan baru
sekarang berubah, bukan berubah karena kini bertemu dengannya dan jatuh cinta.
Bukan berubah karena ingin mengambilnya sebagai isteri. melainkan sudah lama
sekali Koan Jit telah berubah menjadi seorang manusia lain yang telah mengubah
jalan hidupnya. Sebelum bertemu dengannya, jauh sebelum itu, Koan Jit telah
menjadi seorang pendekar budiman yang mengorbankan nyawa demi menolong para
pimpinan pejuang yang tertawan.
Dunia menganggapnya sudah tewas dan karena Koan Jit selalu merasa menyesal akan
dirinya, akan dosanya, dia sendiri membiarkan dunia menganggap Koan Jit telah
mati. Dia bahkan lalu meniadakan Koan Jit, memakai topeng buruk dan menjadi Bu
Beng Kwi. Hal ini telah dilakukan jauh sebelum berjumpa dengannya. Kemudian,
setelah bertemu dengannya dan saling mencinta, barulah Bu Beng Kwi membuka
topengnya. Hal ini menunjukkan bahwa Koan Jit adalah seorang manusia yang kini
telah berubah sama sekali, memiliki kejujuran. Kalau tidak begitu, tentu dia
akan diam saja, tidak mau membuka rahasianya yang ditutupnya terhadap dunia
umum. Akan tetapi tidak, dia tidak mau menipu Sheila. Dia memperlihatkan diri
sebagai musuh besar yang dibencinya, dengan mempertaruhkan kebahagiaan dirinya,
kehilangan cintanya!
Mempertimbangkan semua ini, dan bertanya kepada batin sendiri, Sheila
mendapatkan jawaban. Ia mencinta Bu Beng Kwi atau Koan Jit yang sekarang ini.
dan ia pun merasa yakin bahwa mendiang suaminya juga tidak akan dapat membenci
bekas toa-suheng ini, yang telah berubah menjadi seorang manusia yang berhati
mulia. Maka diterimalah pinangan itu! Mereka menikah secara sederhana sekali,
hanya disaksikan beberapa orang penduduk dusun yang berdekatan. Para penduduk
merasa terheran-heran melihat seorang wanita kulit putih yang demikian cantiknya
mau menjadi isteri seorang laki-laki tua yang berwajah seperti setan! Namun
mereka tidak berani berkata apa-apa. Yang paling bergembira adalah Han Le.
Dengan sepenuh hati, Bu Beng Kwi minta kepada Sheila agar keadaan dirinya
sebagai Koan Jit dirahasiakan lebih dulu dari Han Le.
#Jangan mengganggu ketenangan perasaannya,# demikian dia berkata.
#Biarkan dia hidup tenang dan menganggap aku sebagai gurunya dan ayahnya, agar
dia belajar dengan baik. Kelak, kalau dia sudah tamat belajar dan sesudah
dewasa, aku sendiri yang akan membuka rahasia ini. Aku tidak akan mengelak dari
tanggung jawab, Sheila. Aku hanya menjaga agar jangan sampai terguncang
perasaannya dan hal itu akan mengganggu dia belajar.# Sheila merasa semakin
kagum dan hormat kepada bekas musuh besar yang kini menjadi suaminya itu.
Ternyata di balik topeng buruk itu ia menemukan seorang laki-laki yang jantan,
yang lembut, yang penuh cinta kasih, bijaksana dan berhati mulia. Dan ia tidak
merasa enyesal dengan keputusannya menerima pria ini sebagai suaminya. Ia merasa
yakin benar bahwa demi kebahagaian puteranya, ia telah mengambil langkah yang
benar. Ia tahu bahwa di bawah asuhan Bu Beng Kwi, puteranya akan menjadi seorang
laki-laki yang berjiwa pendekar dan menjadi seorang manusia yang berguna bagi
dunia.
Keadaan negara menjadi semakin kalut. Pemerintah Mancu menjadi semakin lemah
dengan adanya pemberontkan Tai Peng. Hanya berkat kegigihan menteri-menteri dan
panglima-panglima setia saja maka gerakan Tai Peng terhenti, akan tetapi daerah
yang luas di sebelah selatan Sungai Yang-ce telah dikuasai #Kerajaan Sorga#,
yaitu kerajaan yang didirikan oleh pemberontak Tai Peng di bawah pimpinan Ong
Siu Coan itu. Selain rongrongan dari pemberontak Tai Peng, juga pemerintah Mancu
selalu dirongrong oleh pasukan orang kulit putih. Kekalahan pemerintah Mancu
dalam perang candu membuat orang-orang kulit putih menjadi semakin berani.
Mereka makin melebarkan sayap untuk mengeduk keuntungan sebesarnya dari negeri
yang luas,
Rakyatnya yang banyak akan tetapi yang lemah karena adanya perang saudara yang
terus menerus di sebelah dalam. Dari menyebaran candu, orang kulit putih
mengeduk keuntungan yang luar biasa besarnya, dengan mengorbankan rakyat yang
menjadi pecandu-pecandu yang tidak ketolongan lagi. Juga orang kulit putih
mengeduk keuntungan besar dari pembelian rempah-rempah, teh, sutera dan barangbarang
lain dari pedalaman. Bahkan adanya pemberontakan Tai Peng yang
menimbulkan perang saudara besar itupun menjadi sumber penghasilan dan
keuntungan bagi orang kulit putih, dengan jalan menjual senjata ke kanan kiri.
Pemberontakan Tai Peng yang melemahkan pemerintah Ceng (Mancu), juga menimbulkan
pemberontakan daerah-daerah lain yang tentu saja merasa tertarik dan
mempergunakan kesempatan selagi pemerintahan menjadi lemah,
Mereka memberontak terhadap pemerintah Mancu. Suku bangsa Nien-fei memberontak
dalam tahun 1853, juga disusul suku Miauw di Kwei-couw Barat yang memberontak
dalam tahun 1854. Payahlah pemerintah menghadapi pemberontakan-pemberontakan
ini. Mereka harus membagi-bagi pasukan untuk memadamkan pemberontakan di sanasini
dan karena kekuatan mereka terpecah, mereka menjadi semakin lemah dan sukar
untuk dapat memadamkan pemberontakan- pemberontakan itu. Dalam keadaan yang
semakin lemah itu, pihak orang kulit putih menjadi semakin berani. Pada suatu
hari dalam tahun 1856, terjadilah peristiwa yang akan mengobarkan perang baru
antara pemerintah Mancu dengan pasukan kulit putih. Banyak candu diselundupkan
ke dalam daerah yang masih dikuasai oleh pemerintah Mancu,
Karena daerah selatan tidak aman bagi penyelundupan candu. Pemerintah baru dari
Tai Peng melarang keras perdagangan candu dan sukarlah menyelundupkan candu di
daerah yang dikuasai Kerajaan Sorga itu. Pada suatu pagi, sebuah kapal berlabuh
di pantai timur. Kapal itu memakai bendera Inggris dan bernama Kapal Arrow (Anak
Panah). Sebetulnya kapal itu milik kongsi pelayaran Cina, segolongan orang yang
rela menjadi kaki tangan orang asing demi memperoleh keuntungan besar. Anak buah
kapal Arrow itu, kesemuanya orang pribumi, tidak tahu bahwa gerak-gerik kapal
mereka itu diamati dengan seksama oleh para penjaga pantai. Ketika kapal itu
sudah berlabuh dan berhenti, sepasukan penjaga pantai menyerbu naik kapal. Anak
buah kapal tidak berani mengadakan perlawanan dan ketika kapal diperiksa,
ternyata membawa barang selundupan, candu dan senapan!
Tentu saja anak buah kapal ditangkap dan kapal itu ditahan di pelabuhan, dan
barang selundupan disita. Peristiwa seperti ini sebetulnya biasa saja dan sudah
wajar. Kapal ditahan dan anak buahnya ditangkap, barang-barang selundupan disita
karena memang perbuatan itu melanggar. Akan tetapi, orang-orang asing kulit
putih yang memang selalu menanti kesempatan itu, mempergunakan peristiwa ini
sebagai alasan mereka untuk bergerak! Orang Inggris menganggap bahwa penangkapan
ini merupakan penghinaan pemerintah Mancu terhadap mereka karena kapal itu
berbendera Inggris.Alasan ini cukup bagi mereka untuk#menghukum# pemerintah
Mancu! Tentu saja hal ini terjadi karena keadaan pemerintah Mancu yang mulai
lemah. Pasukan Inggris mengadakan persekutuan dengan orang- orang asing lainnya,
yaitu terutama sekali perancis, Rusia, dan Amerika.
Mereka berempat menggabungkan pasukan mereka dan menyerbu Kan-ton. Kota ini
berhasil direbut dan diduduki. Perang yang baru muncul semenjak Perang Madat ini
tentu saja menggegerkan Kerajaan Mancu yang sudah dirongrong banyak
pemberontakan. Para pejuang rakyat menjadi gelisah dan bingung, merasa serba
salah. Mereka itu adalah kaum patriot yang hendak membebaskan rakyat dari
cengkeraman penjajah Mancu dan berusaha menggulingkannya, akan tetapi tentu saja
mereka sama sekali tidak ingin melihat tanah air mereka terjatuh ke dalam
cengkeraman bangsa lain yang lebih asing lagi, yaitu orang-orang kulit putih.
Perang yang dikobarkan oleh orang kulit putih ini membuat semua perhatian
dicurahkan kepada mereka karena memang kekuatan orang kulit putih yang
bersenjata lengkap itu sukar dilawan. Tai Peng tidak diperhatikan lagi.
Kalau saja pihak Tai Peng pada suatu saat itu bergerak, mempergunakan kesempatan
itu untuk menyerbu ke utara, tentu dengan mudah Tai Peng akan mampu menguasai
seluruh daratan Cina. Akan tetapi, agaknya Ong Siu Coan sudah keenakan menjadi
raja di selatan sehingga dia seolah-olah tidak perduli akan gerakan yang
dilakukan oleh orang-orang kulit putih itu. Padahal, sepatutnya dia melihat
bahaya besar berkembangnya kekuasaan kulit putih ini yang akan mencengkeram
tanah air dan bangsanya. Betapa banyaknya sudah tercatat dalam sejarah tentang
perjuangan yang dipimpin oleh orang-orang yang menamakan dirinya pahlawan
bangsa, patriot dan pejuang. Selagi mereka ini memimpin perjuangan, merebut
kekuasaan, mereka mempergunakan slogan-slogan yang muluk untuk membangkitkan
semangat rakyat jelata yang menjadi kekuatan mereka.
Segala sepak terjang mereka selalu demi rakyat, demi negara, demi bangsa dan
sebagainya. Dan rakyat terbius oleh kata-kata muluk, terbakar semangat mereka
oleh slogan-slogan sehingga rakyat dengan sepenuh hati, tanpa pamrih, bergerak
mendukung dan terjun membantu gerakan yang dinamakan perjuangan itu. Itu
awalnya. Bagaimana akhirnya? Bagaimana kalau perjuangan itu akhirnya berhasil?
Yang pasti, para pimpinan rakyat itu setelah perjuangan berhasil, saling
memperebutkan kedudukan! Mereka menjadi penguasa- penguasa baru dan hidup
bergelimang dalam kemuliaan, kehormatan dan kemewahan. Bagaimana dengan sloganslogan
yang mereka pergunakan untuk membangkitkan rakyat? Yang mengatakan bahwa
perjuangan itu dilakukan demi rakyat, menolong rakyat dari penindasan,
medatangkan kemakmuran kepada rakyat?
Begitulah! Slogan tinggal slogan dan rakyat tetap dilupakan. Penindasan tetap
ada, walaupun kini berganti bentuk dan berganti orang yang menjadi penindasnya.
Ong Siu Coan menjadi satu di antara pemimpin-pemimpin semacam itu. Mula-mula
memang perjuangannya didengung-dengungkan sebagai perjuangan untuk rakyat. Akan
tetapi setelah dia berhasil menjadi raja? Rakyat tetap saja sengsara. Yang
makmur jelas dia yang menjadi raja dan teman-temannya, kaki tangannya yang
merupakan sekelompok penguasa baru, menggantikan yang telah mereka kalahkan
dengan bantuan darah dan keringat rakyat dalam prjuangan. Masih untunglah bagi
pemerintah Mancu bahwa pada waktu itu, kekuatan pasukan Inggris terpecah karena
adanya pemberontakan kaum Sepoy di India, negara besar yang mulai dicengkeram
penjajah Inggris.
Karena ini, maka pasukan Inggris tidak dapat menyerbu dengan kekuatan penuh
sehingga terhenti setelah menduduki Kanton dan daerahnya ke barat dan utara.
Padahal waktu itu, keadaan pmerintah Mancu sudah lemah sekali. Di utara dan
barat terdapat pemberontakan kaum Nien-fei dan suku Bangsa Miauw, dari selatan
ada pemberontakan Tai Peng, dan dari timur, dari arah laut, terdapat ancaman
orang kulit putih! Kelemahan pemerintah Mancu bukan hanya karena timbulnya
banyak pemberontakan, akan tetapi terutama sekali bersumber dari keadaan di
dalam istana sendiri. Kaisar yang sejak muda hanya menjadi seorang pengejar
kesenangan itu tidak ada perhatian sama sekali atau acuh saja terhadap keadaan
negara. Dia seperti telah buta oleh kesenangan, dan tubuhnya menjadi semakin
lemah.
Bahkan dia tidak tahu betapa diam-diam selirnya tercinta, Yehonala yang kini
telah menjadi permaisuri kedua, bermain gila dengan thaikam (orang kebiri) Li
Lian Ying, merupakan perhubungan jina yang tidak wajar. Kaisar tidak tahu akan
hal itu, tidak tahu pula bahwa kerajaannya mengalami ancaman akan runtuh. Dia
hanya terus mengejar kesenangan biarpun tubuhnya sudah menjadi semakin lemah,
dan dia harus mempergunakan banyak obat kuat untuk membangkitkan kembali
kegairahannya, tidak tahu bahwa hal ini semakin merusaknya lahir batin. Didalam
keadaan negara kacau seperti ini, biasanya menurut sejarah negara di seluruh
dunia, selalu ada saja orang gagah sejati yang tampil menjadi pemimpin rakyat.
Demikian pula, dalam keadaan kacau itu, muncul dua orang pendekar muda yang
berkepandaian tinggi,
Memimpin rakyat petani yang sudah kehilangan segala-galanya karena dusun mereka
dilanda perang, membentuk pasukan-pasukan dan melatih pasukan ini dengan ilmu
berperang dan bekelahi sehingga mereka berdua berhasil membentuk pasukan rakyat
yang makin lama menjadi semakin kuat. Apalagi ketika para pendekar merasa cocok
dan suka melihat gerakan ini lalu mendukung dan menggabungkan diri, pasukan
rakyat yang dipimpin dua orang tu menjadi semakin kuat. Siapakah mereka itu?
Mereka bukan lain adalah Ceng kok Han dan Li Hong Cang, dua orang murid Bu Beng
Kwi yang sudah kita kenal! Akan tetapi, pasukan mereka belum bergerak karena
mereka, dibantu oleh para pendekar, sedang membangun dan memperkuat pasukan
mereka, dan menggembleng para anak buah pasukan.
Mereka baru akan bergerak kalau sudah memiliki pasukan besar yang kuat dan boleh
diandalkan. Sementara itu, di Kerajaan Sorga yang dipimpin oleh Ong Siu Coan,
juga terjadi kemunduran. Ong Siu Coan yang kini sudah menjadi seorang raja yang
hidupnya mulia dan penuh kemewahan, agaknya menjadi semakin gila saja dengan
pikiran-pikirannya yang aneh. Dia diganggu oleh pikirannya sendiri, yang
menghubungkan isi Alkitab dengan dirinya sendiri. Dia semakin acuh, bahkan dia
seperti tidak perduli lagi melihat betapa permaisurinya, Tang Ki, kini terlibat
dalam hubungan gelap bersama Lee Song Kim yang menjadi orang kepercayaannya.
Satu di antara nafsu yang amat kuat dan besar kekuasaannya terhadap diri manusia
adalah nafsu berahi. Tang Ki tadinya merupakan seorang isteri yang mencinta dan
setia dari Ong Siu Coan,
Yang sama sekali tidak pernah mempunyai sedikitpun pikiran untuk menyeleweng dan
suka menyerahkan dirinya kepada pria lain. Akan tetapi, bagaimanapun juga ia
hanyalah seorang wanita biasa saja. Setelah memperoleh kedudukan sebagai raja,
tercapainya ambisi dan cita-citanya, Ong Siu Coan mulai kurang memperhatikan
isterinya. Apalagi karena Tang Ki tidak dapat memberinya keturunan, kemesraannya
terhadap Kiki atau Tang Ki berkurang bahkan hubungan di antara mereka menjadi
agak renggang. Dalam keadaan haus akan rayuan dan belaian pria inilah muncul Lee
Song Kim, seorang laki-laki yang berpengalaman dan pandai sekali merayu wanita,
juga tampan dan gagah. Biarpun dahulu pernah Kiki membenci suhengnya ini, namun
pertemuannya kembali dengan suhengnya itu membawa perubahan.
Ia sedang haus cinta kasih dan kemesraan seorang pria sebagai pengganti suaminya
yang bersikap acuh dan Lee Song Kim yang ahli tentu saja dapat memenuhi
kebutuhan ini. Bahkan ternyata bahwa suhengnya itu dapat memberinya kesenangan
dan kepuasan yang jauh melampaui apa yang didapatkannya dari Ong Siu Coan. Song
Kim melimpahkan rayuan dan kemesraan pada wanita yang sedang kering kehausan
itu. Anehkah kalau Kiki lalu melekat kepadanya? Semenjak dahulu, wanita adalah
mahluk yang selalu mendambakan sanjungan, pujian dan cinta kasih pria. Karena
itulah maka pada umumnya wanita amat lemah terhadap pujian dan rayuan, dua hal
yang memang amat didambakannya. Apalagi kalau yang merayu itu pria yang berkenan
di hati mereka. Akan mudah saja jatuh dan lupa diri kalau menghadapi rayuan
seorang pria yang menarik dan pandai.
Tahun 1859. Biarpun tadinya terhalang oleh pemberontakan di India yang membuat
pasukan kulit putih terhambat penyerbuan mereka dan hanya dapat menduduki Kanton
dan sekitarnya, namun kurang dari dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1858,
setelah berhasil memadamkan pemberontakan di India, pasukan Inggris yang
bergabung dengan pasukan kulit putih Perancis, Rusia dan Amerika, untuk kedua
kalinya melakukan penyerbuan kembali. Dengan tenaga sepenuhnya, tentara kulit
putih gabungan itu menyerbu lewat teluk Po-hai, menyerbu dan menduduki Tien-cin
setelah terjadi perang selama berbulan-bulan. Dan kini mereka bersiap-siap
menyerbu ke Peking! Tentu saja keadaan menjadi geger dan kacau. Pemerintah Mancu
sudah bersiap-siap mempertahankan Peking dari serbuan pasukan kulit putih.
Pada suatu hari, di sebuah kuil Agama To di luar kota Pao-ting, diadakan
pertemuan antara para pendekar yang merasa perlu untuk berunding dan bergerak
menyaksikan kekacauan yang timbul karena penyerbuan pasukan kulit putih itu.
Nampak di antara mereka pendekar Tan Ci Kong dan isterinya, Siauw Lian Hong.
Suami isteri pendekar itu kini tidak muda lagi. Ci Kong sudah berusia empat
puluh empat tahun sedangkan isterinya, Lian Hong sudah berusia empat puluh satu
tahun. hadir pula suami isteri thio Ki dan ciu Kui Eng yang usianya sebaya
dengan suami isteri pendekar pertama.
Tidak kurang dari dua puluh orang pendekar yang berdatangan di kuil itu, atas
prakaesa dan undangan Tan Ci Kong yang merasa delisah menyaksikan keadaan yang
kacau akibat penyerbuan pasukan kulit putih. Para tosu yang berada di kuil itu
adalah sahabat Ci Kong, dan merekapun prihatin akan keadaan negara, maka mereka
membantu dan memperbolehkan kuil mereka dijadikan tempat pertemuan para pendekar
itu. Berkumpullah para pendekar itu di ruangan belakang kuil, di tempat yang
tersembunyi dan tidak akan terlihat atau terdengar oleh mereka yang datang
berkunjung ke kuil untuk bersembahyang. Pertemuan itu dipimpin oleh Ci Kong.
Setelah mereka semua saling memberi hormat dan mengambil tempat duduk
mengelilingi meja, Tan Ci Kong lalu bangkit berdiri.
#Selamat datang, Cuwi Enghiong (para pendekar sekalian), selamat bertemu
kembali. Cuwi (kalian) tentu dapat menduga mengapa kita harus berkumpul lagi di
sini. Semua orang gelisah melihat perkembangan di negara kita. Pasukan kulit
putih yang amat kuat menyerbu dan mengancam Peking, sedangkan pemberontak Tai
Peng tentu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menyerbu pula ke
utara. Bagaimana pendapat cuwi dan apa yang harus kita lakukan?# Para pendekar
itu menjadi gaduh, saling bicara sendiri dan Ci Kong terpaksa minta agar mereka
tenang.
#Apabila di antara cuwi ada yang mempunyai usul, harap suka bicara seorang demi
seorang agar dapat kita pertimbangkan bersama.# Seorang di antara mereka yang
berpakaian tamal-tambalan, seorang tokoh dari perkumpulan Tiat-pi Kai-pang
(Perkumpulan Pengemis Lengan besi) yang muncul selama beberapa tahun ini sebagai
tokoh jembel yang berjiwa pendekar dan patriot, bangkit berdiri dan bicara
dengan suaranya yang parau.
#Dahulu kita membantu gerakan Tai Peng, kemudian kita bersama meninggalkannya
karena Tai Peng menyeleweng. Apalagi sekarang. Orang she Lee itu telah
mengangkat diri menjadi Thian-he Te-it Bu-hiap dan menghimpun orang-orang
golongan sesat untuk membantu Tai Peng. Jelas kita tidak dapat membantu Tai Peng
lagi, bahkan harus menentangnya.# Semua orang mengangguk dan menyatakan setuju.
#Memang benar demikian, dan kita yang selalu memikirkan kepentingan rakyat
jelata yang tertindas, sekarang menjadi serba salah. Jelas tidak dapat membantu
Tai Peng, juga tidak mungkin membantu orang kulit putih, dan sejak dahulu kita
bercita-cita mengusir penjajah Mancu. Apa yang harus kita lakukan sekarang?#
Kini Thio Ki yang telah menjadi ketua Kang-sim-pang, bangkit berdiri.
#Dengan penyerbuan orang kulit putih, keadaan menjadi kacau dan rakyat pula yang
mengalami pnderitaan. Bagaimanapun juga, orang kulit putih dapat menjadi
penjajah yang lebih kejam daripada orang Mancu. Oleh karena itu, untuk sementara
kita harus menentang orang kulit putih......#
#Kalau begitu apakah kita harus membantu pemerintah penjajah Mancu?# tanya
seorang yang bertubuh tinggi besar bermuka merah. Dia adalah seorang murid Kunlun-
pai yang lihai.
#Tidak ada pilihan lain dan kita mau tidak mau harus menyetujui pendapat Thio
pangcu dari Kang-sim-pang itu.# Ci Kong membenarkan.
#Tak mungkin dalam keadaan sekarang kita menentang keduanya. menghadapi dua
orang lawan, bahkan tiga orang dengan Tai Peng, kita harus bersikap cerdik.
Lebih dulu menghalau lawan yang paling berbahaya, dalam hal ini orang kulit
putih dan Tai Peng. Kalau keduanya sudah tidak ada, kiranya tidak sukar
merobohkan kekuasaan penjajah Mancu yang sudah semakin lemah itu.# Ciu Kui Eng
yang juga terkenal di antara para pendekar sebagai seorang pendekar wanita yang
pernah memimpin perjuangan, bangkit dan dengan suara lantang ia berkata,
#Kita boleh saja membantu pemerintah Mancu untuk menyelamatkan rakyat dari
serbuan orang kulit putih, akan tetapi jelas bahwa kita tidak akan menjadi kaki
tangan Mancu! Apakah cuwi belum mendengar akan munculnya pemimpin rakyat yang
baru, yang kini telah menghimpun pasukan yang cukup kuat dan didukung oleh
banyak pendekar?# Ci Kong mengangguk-angguk.
#Kami juga sudah mendengar, akan tetapi belum jelas benar.#
#Aku sudah bertemu dengan mereka dan harus kuakui bahwa dua orang pemimpin itu
agaknya akan menjadi pemimpin besar yang gagah perkasa dan tanpa pamrih. Pasukan
mereka kini sudah berjumlah puluhan ribu orang, dari para petani dan pengungsi,
juga dibantu oleh golongan pendekar. Mereka adalah dua orang pendekar yang
muncul begitu saja, entah dari perguruan mana, akan tetapi aku tahu bahwa mereka
lihai sekali. Usia mereka sekitar tiga puluh tahun, yang seorang bernama Ceng
Kok Han dan yang kedua bernama Li Hong Cang. Mereka telah berhasil menghimpun
kekuatan dan sudah mulai merongrong pemerintah Tai Peng di selatan dan
bentrokan-bentrokan sering terjadi yang merugikan pihak Tai Peng.#
Semua pendekar mendengarkan dengan kagum. Merekapun mendengar akan munculnya dua
orang yang memimpin pasukan rakyat baru, akan tetapi para pendekar itu tadinya
tidak mengambil perhatian karena pada waktu itu memang banyak sekali orang yang
mengangkat diri menjadi#bengcu# (pemimpin rakyat) dan menggerakkan rakyat jelata
untuk menjadi anak buahnya, akan tetpi sebagian besar di antara mereka hanyalah
orang-orang petualang yang bermaksud memperalat kekuatan rakyat demi kepentingan
diri sendiri. banyak di antara para kelompok itu kemudian bahkan hanya menjadi
perampok-perampok. Kini mendengar cerita Ciu Kui Eng yang mereka sudah kenal
baik sebagai seorang pendekar wanita yang berjiwa pahlawan.mereka merasa kagum
dan tertarik.
#Kalau begitu, kiranya tidak keliru kalau kita mengumpulkan teman-teman sehaluan
untuk membantu gerkan Ceng Kok Han dan Li Hong Cang itu.# kata Ci Kong. Semua
orang merasa setuju, akan tetapi Tiat-pi Kai-pang tadi segera berkata,
#Akan tetapi bagaimana kita dapat begitu saja membantu pasukan baru itu sebelum
mengetahui benar tujuan dari gerakan mereka?#
#Aku dapat menerangkan itu, karena aku sudah bicara panjang lebar dengan kedua
orang itu. Mereka tidak hanya pandai sekali ilmu silat, akan tetapi juga
memiliki pemikiran yang mendalam dan pandangan yang luas,# kata Ciu Kui Eng.
#Mereka menjelaskan bahwa sebagai langkah pertama, pasukan mereka akan membantu
pemerintah menenteramkan keadaan, menentang Tai Peng dan membantu untuk
memadamkan pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di utara dan barat. Baru
setelah keadaan tidak kacau lagi, ketika pemerintah penjajah sedang beristirahat
dari perang yang melelahkan, selagi mereka lengah, maka pasukan kita akan
menyerbu dan menggulingkan kekuasaan Mancu untuk selamanya!#
#Kalau begitu kita berarti akan membantu pemerintah penjajah Mancu!# teriak
tokoh Tiat-pi Kai-pang itu.
#Hanya nampaknya saja begitu dan hanya untuk sementara saja.# Ci Kong berkata.
#Itulah satu-satunya jalan. Membantu pemerintah penjajah untuk menenteramkan
keadaan, juga membantu menghadapi orang kulit putih. Setelah itu, tibalah
saatnya yang tepat, selagi penjajah lengah, kita bergerak dan menjatuhkan
mereka. Bukan berarti kita untuk selamanya menjadi kaki tangan mereka. Ini hanya
merupakan siasat belaka. Kalau tidak demikian, bagaimana mungkin kita dapat
berhasil kalau sekaligus kita harus menghadapi dan menentang Tai Peng, orang
kulit putih, pemerintah Mancu, dan para pemberontak lain itu? Kita tidak akan
kuat dan sebelum maju jauh, kita sudah akan tergencet dan dihancurkan oleh musuh
yang terlalu banyak dan terlalu kuat.# Akhirnya semua orang meyatakan
persetujuan mereka setelah mengerti benar akansiasat yang akan dijalankan oleh
pasukan rakyat yang dipimpin oleh Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, dua orang kakak
beradik seperguruan itu.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar. Semua orang bangkit
berdiri dan bersiap-siaga, memandang ke luar pintu masuk ke ruangan belakang
itu. Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di situ berdiri seorang
pemuda yang mengempit tubuh seorang laki-laki setengah tua, kemudian pemuda itu
melemparkan tubuh orang yang dikempitnya ke atas lantai. Orang itu mengeluh akan
tetapi tidak mampu bergerak, tanda bahwa jalan darahnya tertotok sehingga untuk
sementara dia menjadi lumpuh, tak mampu menggerakkan kaki tangannya. Semua orang
memandang kepada pemuda itu dengan pandang mata penuh selidik dan kedurigaan.
Seorang pemuda yang tampan dan gagah, berusia paling banyak delapan belas tahun,
dengan wajah berbentuk bulat putih bersih, alisnya tebal menghitam dan sepasang
mata mencorong namun lembut, pakaiannya sederhana akan tetapi bersih.
#Bun Hong, apa yang kau lakukan ini? Siapa dia?# tiba-tiba Siauw Lian Hong
bertanya kepada pemuda itu.
#Ibu, dia ini seorang mata-mata, entah mata-mata Tai Peng atau pemerintah atau
kulit putih, akan tetapi dia mata-mata!# jawab pemuda itu tenang. Tan Ci Kong
yang juga sudah bangkit, memperkenalkan pemuda itu kepada semua orang.
#Cuwi, harap diketahui bahwa pemuda ini adalah anak tunggal kami bernama Tan Bun
Hong. Harap cuwi maafkan penampilannya dan suka duduk kembali. Nah, Bun Hong,
sekarang ceritakan apa yang terjadi dan siapa orang ini.#
Tan Bun Hong mengangkat kedua tangan dan memberi hormat kepada semua orang yang
hadir, barulah dia bercerita kepada ayah ibunya. Memang pemuda ini ikut orang
tuanya turun gunung dan mengadakan pertemuan di dalam kuil luar kota Pao-ting.
Baru pertama kali itulah dia turun gunung setelah kedua orang tuanya menganggap
bahwa ilmu kepandaiannya sudah cukup untuk dapat dipakai membela diri karena Bun
Hong mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi ayah dan ibunya. Bahkan ketika tiba di
kuil, Ci Kong yang hendak menggembleng puteranya itu, memberinya tugas yang
cukup penting, yaitu agar pemuda itu mengamati dari luar kuil kalau-kalau ada
musuh tersembunyi yang hendak mencelakakan para tokoh kang-ouw yang sedang
mengadakan pertemuan di dalam kuil. Maksud Ci Kong, kalau tidak terjadi sesuatu,
setelah pertemuan itu selesai, barulah dia akan memperkenalkan puteranya kepada
mereka.
Ketika Bun Hong melakukan pengintaian dan pengamatan di kuar kuil, dengan penuh
perhatian dia mengamati orang- orang yang berdatangan ke kuil itu untuk
bersembahyang. Tidak banyak orang yang bersembahyang. Sejak pagi tadi, hanya ada
belasan saja yang datang dan pergi lagi. Dia melihat serombongan keluarga
membawa alat-alat sembahyang memasuki kuil, diterima oleh tosu penjaga di pintu
depan. Keluarga ini terdiri dari seorang ayah, ibu, nenek dan seorang anak lakilaki
berusia enam tahun yang pucat dan nampak baru sembuh dari sakit. Dari
percakapan antara keluarga itu dengan tosu penjaga kuil dia tahu bahwa keluarga
itu datang membayar kaul, dan menghaturkan terima kasih kepada kuil karena
putera mereka yang tadinya sakit keras kini telah sembuh kembali. Ada beberapa
orang lagi memasuki kuil dan di antara mereka, yang menarik perhatian adalah
seorang anak perempuan, seorang gadis remaja yang usianya paling banyak enam
belas tahun.
Bun Hong memandang penuh perhatian, bukan bercuriga melainkan tertarik karena
belum pernah dia melihat seorang gadis remaja yang demikian menarik seperti
gadis itu. seorang gadis yang jelita dan manis, wajahnya berbentuk bulat telur
dengan dagu merincing yang manis sekali karena di sudut bawah dagu itu terdapat
sebuah tahi lalat merah yang kecil. Mulutnya indah dan selalu nampak tersenyum,
membuat wajah itu nampak cerah selalu, dan terutama sekali sepasang mata yang
bening dan taham itu juga selalu bergembira. Pakaiannya ringkas dan rapi. karena
tidak ada lagi lain orang kecuali keluarga tadi, tiga orang laki-laki yang
datang tidak berbareng, dan gadis remaja itu, Bun Hong yang merasa tertarik,
keluar dari tempat dia mengintai dan memasuki kuil itu seperti seorang
pelancong. Dia melihat gadis itu bicara dengan seorang laki-laki tinggi kurus
yang berusia empat puluhan tahun dan bersikap sopan.
#Apakah nona hendak bersembahyang?# terdengar laki-laki itu bertanya. Gadis
remaja itu tersenyum dan nampak kilatan giginya yang putih dan rapi seperti
mutiara dijajarkan.
#Ah, tidak, aku hanya melihat-lihat saja. Aku seorang pelancong.#
#Aih, engkau seorang pelancong, nona? Kalau begitu engkau belum mengenal kuil
ini, sebuah kuil yang amat keramat dan manjur sekali! Sudah banyak orang yang
tertolong diobati penyakitnya, diperbesar rejekinya, memperoleh kemujuran, naik
pangkat, bahkan ringan jodoh! Kenapa nona tidak mencoba-coba bersembahyang?
Meramalkan nasib di Kuil Ban-hok-si (Kuil Selaksa Rejeki) inipun baik sekali!#
kata orang itu dengan ramah.
#Kalau nona belum biasa, aku mau memberi petunjuk kepadamu.# Gadis remaja itu
tetap tersenyum menatap wajah laki-laki itu.
#Terima kasih, paman. Eh, kenapa paman begini baik kepadaku? Apakah paman
termasuk orang yang menjadi pengurus kuil ini?#
#Tidak, tidak, pengurusnya adalah para tosu itu. Aku juga seorang tamu yang
ingin bersembahyang. Akan tetapi ketika melihat nona masuk seorang diri ke dalam
kuil, hatiku tertarik dan mengira nona tentu berada dalam kesukaran. Ketahuilah,
terus terang saja, nona, engkau mirip sekali dengan keponakanku, anak enciku
yang tinggal jauh di utara. Aku sudah amat rindu kepada keponakanku itu, sudah
bertahun- tahun tidak jumpa dan melihat engkau begini mirip dengannya, kalau
sekiranya bisa, aku akan suka sekali menolongmu dalam suatu hal......#
#Ah, begitukah? Terima kasih, engkau sungguh baik, paman. Akan tetapi, aku tidak
mau bersembahyang, aku hanya mau melihat-lihat, Kalau paman mempunyai keperluan
bersembahyang, silakan.#
#Kalau begitu, maafkan aku,# orang itu lalu menjura dan meninggalkan gadis itu,
masuk ke dalam kuil.
Sejenak Bun Hong mengamati dari jauh dan mendengar percakapan itu, timbul curiga
dalam hatinya terhadap laki-laki tadi. Seorang laki-laki berani menegur dan
mengajak bercakap-cakap seorang gadis remaja yang tidak dikenalnya, bahkan
menawarkan jasa-jasa baiknya, sungguh patut dicurigai karena biasanya, sikap
baik itu tentu mengandung pamrih! Dan diapun melihat gadis itu menyelinap masuk
ke dalam kuil dengan gerakan cepat. Hal ini mengejutkan Bun Hong. Gerakan
seperti itu cepatnya bukan gerakan orang biasa, pikirnya dan diapun cepat
meloncat dan menyelinap masuk ke dalam pintu gerbang kuil. Ketika tiba di dalam,
ternyata beranda depan kuil itu luas sekali dan begitu memasuki pintu gerbang,
hidungnya disambut bau dupa yang memenuhi tempat sembahyang di sebelah dalam
dari beranda itu.
Dia celingukan ke sana-sini dan merasa heran. Baik laki-laki tinggi kurus tadi
maupun si gadis remaja, tidak nampak bayangannya. Betapa cepat gerakan mereka,
terutama gadis itu. Baru saja menyelinap masuk dan diapun sudah mengejar
secepatnya, Bagaimana mungkin gadis itu sudah lenyap? Kecurigaannya makin
menjadi-jadi, Akan tetapi agaknya di beranda itu tidak pernah terjadi sesuatu
yang menarik perhatian orang. Buktinya, beberapa orang yang sedang melakukan
sembahyang di situ nampak tenang-tenang saja, demikian pula beberapa orang tosu
yang melayani tamu dan yang melaksanakan pekerjaan mereka. Tidak nampak
seorangpun di antara mereka itu seperti pernah melihat kejadian yang tidak
wajar. Lalu, kemana menghilangnya gadis remaja tadi, dan orang tinggi kurus
tadi?
Bun Hong melakukan penyelidikan dengan cepat dan diapun dapat melihat adanya
sebuah pintu kecil di samping beranda, agak jauh dan tertutup oleh tanaman
bunga-bunga yang lebat daunnya. Kalau orang menyelinap melalui pintu itu, dengan
gerakan secepat yang dilakukan oleh gadis remaja tadi, tentu tidak akan nampak
oleh orang lain. Ke sanakah gerangan mereka tadi? Jantungnya berdebar penuh
keregangan. Di belakang itu, di dalam ruangan belakang, ayah dan ibunya sedang
mengadakan pertemuan dengan para pendekar lain untuk membicarakan urusan negara.
Jangan-jangan dua orang yang mencurigakan tadi menyelinap masuk untuk mematamatai
pertemuan itu! Sangat boleh jadi si tinggi kurus tadiseorang mata-mata,
entah mata-mata Tai Peng, mata-mata orang kulit putih, atau mata-mata pemerintah
Mancu. Akantetapi gadis remaja tadi? Tidak mungkin juga mata-mata!
Akan tetapi, kenapa gerakannya demikian cepat dan ke mana ia sekarang pergi?
Agaknya seorang mata-mata pula, akan tetapi berbeda dengan si tinggi kurus!
Dengan gerakan cepat, mempergunakan ilmunya, Bun Hong menyelinap ke samping
beranda dan melihat betapa pintu pagar taman yang tidak berapa tinggi, diapun
lalu meloncat ke atas pintu itu dan melihat betapa di balik pintu itu benar
merupakan sebuah taman yang luas, diapun meloncat lagi turun ke sebelah dalam.
Dengan berindap-indap diapun mencari-cari. Tempat itu sunyi. Sebelah kiri menuju
ke taman dan kebun sayur, dan sebelah kanan menuju ke ruangan terbuka dari
bagian tengah kuil. Bun Hong meloncat ke dalam ruangan ini dan menyelinap di
antara pot-pot bunga, menuju ke dalam melalui sebuah pintu yang sudah terbuka
daunnya.
Setelah melalui dua ruangan, tiba-tiba dia berhenti dan bersembunyi di balik
tiang. Dia melihat si tinggi kurus tadi keluar dari sebuah tikungan dan menyeret
seorang tosu tua yang agaknya sudah lemas tubuhnya, entah pingsan ataukah
tertotok jalan darahnya. Dengan cepat si kurus itu menyeret tubuh tosu itu ke
balik meja di sudut, mengikat kaki tangannya dengan pakaian tosu itu sendiri dan
mengikat pula mulutnya, lalu meninggalkan tosu itu menggeletak di balik meja
itu, tersembunyi dan tidak mudah nampak dari luar. Kini Bun Hong tidak ragu-ragu
lagi. Jelas bahwa orang itu adalah seorang mata-mata, atau penjahat dan setidaktidaknya
tentu orang yang tidak mempuyai iktikad baik terhadap para tosu atau
para pendekar yang tengah mengadakan pertemuan di ruangan belakang kuil itu.
#Berhenti, siapa engkau?# Bun Hong membentak sambil meloncat keluar, dan
tubuhnya sudah berdiri di depan laki-laki tinggi kurus itu. Orang itu terkejut
bukan main, sama sekali tidak mengira bahwa perbuatannya diketahui orang. Lebih
lagi kagetnya melihat bahwa yang muncul bukan sorang di antara para tosu kuil
itu, melainkan pemuda remaja tampan. Dia memandang rendah dan tersenyum
mengejek.
#Bocah setan, mampuslah!# bentaknya dan dia menyerang dengan kecepatan kilat,
jari tangan kirinya menotok ke arah jalan darah di pundak sedangkan tangan kanan
mencengkeram ke arah lambung. Serangan-serangan itu hebat bukan main dan amat
berbahaya. Namun, pada waktu itu, Bun Hong telah mewarisi ilmu kepandaian ayah
bundaya dan dia memang seorang pemuda yang berbakat baik sekali, memiliki
gerakan yang tenang namun cepat. Dengan mudah dia mengelak dengan melangkah
mudur, dan cepat tubuhnya memutar ke kanan lalu mengirim serangan balasan, yaitu
tendangan ke arah lutut lawan dan tangannya menyusul dengan cengkeraman ke arah
pundak.
#Ehhh......?# Orang itu nampaknya terkejut melihat betapa pemuda yang dipandang
rendah itu bukan saja dapat menghindarkan diri dari serangannya, bahkan dapat
membalas dengan cepat sekali sehingga hampir saja lutut kakinya terkena
tendangan.
Dia meloncat ke belakang, lalu menyerang lagi, kini karena tahu bahwa lawannya
lihai, dia mengerahkan tenaga dan kecepatannya untuk melumpuhkan pemuda yang
telah memergokinya itu. Namun dia kecele. Pemuda itu mampu menangkis dan
membalas dan mereka terlibat dalam perkelahian yang seru. makin kaget dan
gentarlah hati si tinggi kurus dan dia mulai mencari kesempatan untuk melarikan
diri. Akan tetapi betapa kagetnya melihat pemuda itu sama sekali tidak memberi
kesempatan kepadanya dan dia kehilangan jalan untuk lari karena terus terdesak
oleh pemuda itu. Akhirnya, memang karena kalah tingkatnya dan bingung, jari
tangan pemuda itu berhasil menotok pundaknya dan diapun roboh terkulai dalam
keadaan lumpuh kaki tangannya. Pada saat itu ada bayangan biru berkelebat dan
terdengar bentakan halus.
#Engkau orang jahat!# Tahu-tahu gadis remaja yang berbaju biru, yang tadi
menarik perhatian Bun Hong, telah datang dan menyambar ke arah Bun Hong dengan
cepat sekali, menyerang dengan tamparan ke arah kepala Bun Hong dan tusukan jari
tangan yang lain ke arah dada.
#Ehhh......?# Bun Hong mengelak. Aka tetapi, serangan pertama yang luput itu
disusul oleh tonjokan tangan ke arah lambung Bun Hong, cepat dan keras bukan
main serangan susulan ini sehingga tidak ada kesempatan lagi bagi Bun Hong untuk
mengelak. Dia terpaksa menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
#Dukkk......!# Dua lengan bertemu dan gadis itu mengeluarkan jerit tertahan
karena lengannya terasa nyeri. Ia meloncat ke belakang dengan muka merah karena
marah sedangkan Bun Hong sendiri juga harus mengakui betapa lengan yang kecil
berkulit halus itu mengandung tenaga sinkang yang kuat. Akan tetapi, Bun Hong
juga merasa penasaran dan kini timbul dugaannya bahwa gadis remaja yang lihai
itu tentulah seorang mata-mata pula,
Agaknya sahabat dari orang yang telah dirobohkannya. Mungkin saja percakapan
antara mereka di luar kuil tadi hanya sandiwara belaka, atau dalam percakapan
tadi mengandung kata-kata rahasia yang hanya diketahui mereka berdua saja.
Pikiran ini membuat Bun Hong penasaran dan ketika gadis remaja itu menyerangnya
lagi, dia mengerahkan tenaga menangkis dan balas menyerang dengan hebatnya
sehingga gadis itu terkejut, terdorong ke belakang dan terpaksa gadis itu
meloncat jauh ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan susulan.
Agaknya gadis inipun baru sekarang yakin akan kelihaian Bun Hong. Akan tetapi
serangan susulan itu tidak datang karena Bun Hong sudah menyambar tubuh orang
yang dirobohkannya tadi, mengempitnya dan membawanya meloncat dan lari ke
belakang
#Demikianlah, ayah.# Bun Hong mengakhiri ceritanya yang didengarkan oleh ayah
ibunya dan para pendekar.
#Aku membawa mata-mata ini ke sini, aku yakin dia memata-matai pertemuan ini.#
Pada saat itu, terdengar bentakan halus dan nampak bayangan biru berkelebat
masuk,
#Penjahat busuk, engkau hendak lari ke mana?# Dan muncullah gadis remaja yang
tadi dan tanpa memperdulikan banyak orang yang berada di situ ia langsung saja
menyerang Bun Hong. Melihat gadis remaja ini Bun Hong menjadi marah. Dia
menangkis dan balas menyerang sehingga mereka berdua segera bekelahi dan saling
serang dengan seru dan ternyata bahwa gadis itu memang lihai dan dapat bergerak
cepat sekali. Tiba-tiba Ciu Kui Eng sudah meloncat dan menengahi kedua orang
muda yang sedang berkelahi itu sambil membentak.
#Eng Hui, kiranya engkau gadis remaja itu!# Gadis itu terkejut ketika melihat
ibunya tahu-tahu menahan serangannya.
#Ibu......!# Kemudian ia melihat Thio Ki hadir di antara semua orang gagah yang
berada di situ. #Ayah......!# Suami isteri pendekar ini tentu saja merasa heran
bukan main melihat puteri tunggal mereka. tadi mereka mendengar cerita putera
dari sahabat mereka Tan Ci Kong dan Siauw Lian Hong tentang gadis remaja yang
disangkanya sahabat mata- mata, sama sekali mereka tidak menyangka bahwa gadis
itu ternyata adalah Thio Eng Hui, puteri mereka sendiri.
#Ayah! Ibu! Orang ini jahat sekali, membunuh orang tak berdosa!# teriak gadis
itu.
#Nah, inilah gadis yang menjadi mata-mata itu!# Bun Hong yang balas berteriak
dan keduanya sudah saling pandang dengan mata melotot lagi.
#Eng Hui, diam kau!# Ciu Kui Eng membentak puterinya, kemudian menghadapi para
pendekar yang masih memandang bingung dan memperkenalkan.
#Cuwi, gadis ini adalah Thio Eng Hui, puteri tunggal kami. Agaknya terjadi
kesalah pahaman di antara ia dan pemuda ini. Kita sudah mendengar cerita pemuda
ini. Dan biarlah kini giliran anak kami yang bercerita. Eng Hui, hayo ceritakan
mengapa engkau sampai datang ke sini dan tiba-tiba menyerang pemuda ini?# Eng
Hui sejenak memandang Bun Hong, kemudian ke arah orang kurus yang masih rebah di
atas lantai dengan muka pucat dan memandang dengan mata mengandung ketakutan.
#Ayah dan ibu, setelah kalian pergi, aku merasa tidak betah di rumah, maka aku
memberi tahu kepada para murid di rumah untuk menjaga rumah dan aku sendiri
pergi menyusul ayah dan ibu. Tadi, ketika aku tiba di depan kuil, aku bertemu
dengan orang kurus itu yang mengajak bicara dan dia amat ramah dan baik. Karena
aku hendak menyelidiki apakah ayah dan ibu benar berada di kuil ini, diam-diam
aku menyelinap masuk. Ketika sedang mencari-cari di dalam, aku melihat betapa
pemuda ini memukul roboh orang kurus yang ramah itu, maka akupun segera turun
tangan membelanya. Pemuda itu membawa si kurus lari ke belakang dan aku mengejar
sampai sini.# Mendengar penjelasan ini, semua pendekar tersenyum. Memang telah
terjadi kesalah-pahaman di antara dua orang muda itu. Ciu Kui Eng sendiri
tertawa dengan hati lega karena ternyata puterinya tidak melakukan hal-hal yang
dapat menimbulkan keributan. Hanya kesalah-pahaman biasa saja. Siauw Lian Hong
juga girang mendengar penuturan puteri sahabatnya itu, maka iapun lalu
menghampiri puteranya.
#Bun Hong, ketahuilah bahwa gadis manis ini adalah puteri dari sahabat kami.
Ayahnya adalah Thio Ki atau Thio-pangcu ketua Kang-sim-pang, sedangkan ibunya
adalah Ciu Kui Eng yang sudah seringkali kaudengar namanya. Ternyata Thio Eng
Hui ini menyangka engkau seorang penjahat maka menyerangmu.# Bun Hong memandang
kepada Eng Hui dengan muka merah. Sementara itu Kui Eng juga berkata kepada
puterinya.
#Pemuda itu Tan Bun Hong, putera dari Tan Ci Kong dan Siauw Lian Hong, dua orang
sahabat kami yang paling baik dan yang sudah sering kaudengar namanya. Dia
menangkap orang ini karena orang ini agaknya seorang mata-mata yang menyelundup
dan kini kami akan memeriksanya.#
#Ah, begitukah?# Eng Hui juga menjadi merah mukanya dan tidak berani lagi
memandang langsung kepada pemuda itu.
#Eng Hui, engkau yang bersalah dalam hal ini. Lekas minta maaf kepada kakakmu
Tan Bun Hong. Bagaimanapun juga, engkau lebih muda dan engkau yang kurang
teliti.#
#Nanti dulu, ibu,# kata Eng Hui penasaran.
#Orang kurus itu belum diperiksa dan belum ternyata bahwa dia memang bersalah,
jadi masih belum terbukti bahwa dia yang benar dan aku yang bersalah. Kita
tunggu sampai orang ini diperiksa.# lalu ia melirik ke arah Bun Hong.
#Kalau kemudian ternyata aku memang bersalah, biarlah aku akan minta maaf.# Bun
Hong merasa tidak enak.
#Sudahlah, bibi. Sebaiknya urusan ini tidak diperpanjang karena kesalah-pahaman
bukanlah suatu kesalahan, tidak perlu minta maaf. Ayah, sebaiknya orang ini
segera diperiksa,# sambungnya kepada ayahnya. Tan Ci Kong mengangguk, lalu
menghampiri orang yang rebah di lantai itu dan diapun berjongkok di dekatnya.
#Nah, sobat. lebih baik engkau mengaku sekarang, apa artinya perbuatanmu yang
mencurigakan itu? Engkau menyelinap masuk ke dalam kuil seperti seorang pencuri,
dan engkau bahkan telah menotok roboh seorang tosu. Siapa engkau dan apa maksud
perbuatanmu yang mencurigakan itu?# Orang kurus itu kini sudah mulai dapat
menggerakkan kaki tangannya dan dengan agak sukar dia bangkit duduk di atas
lantai, sepasang matanya memandang ke kanan kiri dan melihat betapa dia berada
di tengan kerumunan para pendekar dia merasa gentar sekali. Akan tetapi
mendengar perkataan Ci Kong tadi, dia mendapatkan harapan dan segera berpegang
kepada harapan itu.
#Benar taihiap, saya...... saya memang pencuri, saya masuk ke dalam kuil ini
karena mendengar bahwa di dalam kuil terdapat banyak harta yang disimpan para
tosu. Karena ketahuan seorang tosu, saya merobohkannya, akan tetapi...... sial,
perbuatan saya diketahui oleh orang muda ini......#
#Cukup!# Ci Kong membentak, karena sebagai seorang pendekar yang sudah
seringkali menghadapi mata-mata dan sudah banyak kali terjun dalam perjuangan,
dia sudah berpengalaman sehingga tidak mudah dibohongi begitu saja.
#Mengaku saja terus terang bahwa engkau sudah tahu akan pertemuan kami ini dan
datang untuk memata-matai kami. Hayo katakan, kau mata-mata pihak mana dan siapa
yang mengutusmu, dan apa saja tugasmu?#
#Saya...... saya betul pencuri, akan tetapi belum mencuri apa-apa, harap taihiap
suka memberi ampun dan membebaskan saya......#
#Ah, aku ingat sekarang!# Tiba-tiba seorang di antara para pendekar itu berseru
dan dia bukan lain adalah tokoh Tiat-pi Kai-pang tadi.
#Bukankah engkau ini yang berjuluk Pek-ci Sin-to (Maling Sakti Tikus Putih) yang
terkenal di kota Pao-ting? Tan-taihiap, dia ini jelas mata-mata pemerintah
Mancu! Sudah lama aku mendengar betapa maling hina ini menghambakan diri kepada
pemerintah Mancu dan menjadi mata-mata!# Tan Ci Kong mencengkeram rambut orang
itu dan mengguncangnya.
#Nah, sekarang telah kelihatan belangmu! Hayo mengaku saja apa yang kaulakukan
di sini!# Orang kurus itu kelihatan semakin ketakutan, apalagi ketika dia merasa
betapa kuatnya cenkeraman tangan Tan Ci Kong. Para pendekar ini tentu akan
memaksa dan kalau perlu menyiksanya agar dia mengaku, pikirnya. Tiba-tiba dia
berusaha meronta dan memandang kepada seorang di antara pendekar itu sambil
berseru,
#Toako, kenapa kau diam saja? Tolonglah aku...... aughhhh......# Semua orang,
termasuk Ci Kong terkejut bukan main karena tiba-tiba saja seorang di antara
para pendekar menggerakkan tangannya dan sebuah piauw (senjata rahasia runcing)
telah menyambar dan menancap di ulu hati tawanan itu. Selagi semua orang
terkejut, orang tinggi besar itu telah melompat dan keluar dari ruangan itu.
Semua orang yang terkejut dan bingung itu disadarkan oleh Bun Hong yang
berteriak.
#Dia tentu pemimpinnya. Kejar......!# Semua orang baru sadar bahwa tentu si
tinggi besar yang mereka kenal sebagai Ciang Koai, seorang pendekar yang dulu
pernah berjuang bersama mereka membantu Tai Peng, kini menjadi kaki tangan
pemerintah Mancu dan tentu dia membunuh pembantunya, si kurus itu, agar si kurus
tidak membuka rahasia.
Maka, semua orang lalu berserabutan mengejar keluar kuil. Akan tetapi ketika
semua orang tiba di luar kuil, ternyata kuil itu telah dikepung oleh sedikitnya
seratus orang tentara kerajaan! Ternyata gerakan si kurus tadi memang sengaja
dilakukan untuk memancing kalau-kalau ada penjaga pihak para pendekar di luar
kuil itu tanpa diketahui para pendekar! Melihat hal ini, Ci Kong mengepal tinju.
Baru saja para pendekar mengambil keputusan untuk bergabung dengan pasukan
rakyat yang dipimpin oleh Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, bukan untuk melawan
pemerintah Mancu melinkan untuk menenteramkan keadaan dengan menghadapi Tai Peng
dan para pemberontak lain, dan kini mereka malah dikepung oleh pasukan
pemerintah!
#Kita berpencar dan lari mencari jalan masing-masing! Ingat akan keputusan rapat
pertemuan kita!# teriaknya dan mereka lalu berpencaran. Ci Kong bersama Lian
Hong dan putera mereka, Bun Hong, segera menyerbu ke arah kiri. Mereka disambut
oleh tombak-tombak para perajurit, akan tetapi mereka mengamuk dan menerjang
terus, merobohkan siapa saja yang menghalang jalan keluar mereka. Para pendekar
yang lain juga menyerbu ke semua jurusa. Thio Ki juga disertai Kui Eng, dan
puteri mereka Eng Hui, menerjang ke arah kanan dan mmerekapun mengamuk untuk
membuka jalan keluar. terjadilah pertempuran yang sengit di luar kuil. Para tosu
dan para tamu kuil itu menjadi ketakutan dan berjongkok di belakang meja-meja
sembahyang untuk bersembunyi.
Biarpun jumlah para pendekar itu hanya kurang lebih dua puluh orang sedangkan
para perajurit ada seratus orang, namun tidak mudah bagi pasukan itu untuk
menangkap para pendekar yang rata-rata memiliki kepandaian silat yang tinggi
itu. Setelah terjadi pertempuran yang tidak terlalu memakan waktu lama, sebagian
besar dari para pendekar itu dapat lolos, hanya meninggalkan tiga orang yang
tewas dan beberapa orang di antara mereka membawa lari luka, akan tetapi di
pihak pasukan perajurit Mancu, tidak kurang dari lima puluh orang roboh dan
terluka, bahkan ada beberapa orang yang tewas pula! Karena para pendekar itu
melarikan diri berpencar, sukar bagi para perajurit yang sudah merasa jerih
untuk melakukan pengejaran. Mereka hanya menyerbu kuil, menangkapi para tosu,
bahkan para tamu yang datang hanya untuk bersembahyang, ikut pula ditangkap!
#Han Le, muridku dan juga anakku yang baik, duduklah di sini, aku ingin
membicarakan sesuatu yang amat penting denganmu.#
Han Le tersenyum. semenjak gurunya ini menjadi suami ibunya, selalu gurunya
menyebutnya murid dan anak, dan kasih sayang gurunya menjadi semakin jelas
dilimpahkan kepadanya. Kini dia sudah berusia sembilan belas tahun dan selama
ini dia menerima gemblengan yang tak mengenal lelah dari Bu Beng Kwi. Menurut
keterangan suhunya, hampir semua ilmu silat yang dimiliki suhunya telah dia
kuasai dengan baik. Dan dia amat sayang kepada suhunya, apalagi ketika dia
mendapat kenyataan betapa terdapat cinta kasih yang besar antara gurunya atau
ayah tirinya dan ibunya.. Dia melihat betapa ibunya hidup berbahagia sebagai
isteri suhunya, nampak dari wajah ibunya yang selalu berseri cerah penuh
kebahagiaan, bagaikan setangkai bunga yang terpelihara baik dan tak pernah haus
dari siraman air yang menghidupkan dan menyegarkan.
Untuk ibunya itu saja dia sudah amat berterima kasih kepada suhunya dan diamdiam
dia kagum kepada ibunya, yang demikian waspada dan bijaksana, tidak keliru
memilih walaupun pada lahirnya, ibunya amat cantik dan suhunya amat buruk rupa.
Dia yakin benar bahwa suhunya adalah seorang laki-laki sejati, seorang pendekar
budiman yang sukar dicari keduanya. bahkan kini kedua orang suhengnyapun telah
menjadi pemimpin-pemimpin rakyat yang gagah perkasa, pejuang-pejuang kenamaan
dan patriot-patriot yang membela kepentingan rakyat. Diapun berniat untuk
mengikuti jejak kedua orang suhengnya yang bercerita banyak tentang perjuangan
ketka dua tahun yang lalu berkunjung ke tempat itu.
#Suhu, bagiku, suhu merupakan guru dan ayah yang amat baik dan setiap yang
dibicarakan suhu selalu penting bagiku. Sekarang ada kepentingan apakah yang
membuat suhu bersikap demikian sungguh-sugguh?# katanya sambil duduk di atas
bangku depan suhunya, terhalang sebuah meja di mana terdapat minuman air teh
yang tadi dihidangkan ibunya untuk orang tua itu. Bu Beng Kwi memandang kepada
murid yang juga menjadi anak tirinya itu dengan sepasang mata yang mencorong
penuh kasih sayang, juga penuh perhatian. Anak itu kini telah menjadi seorang
dewasa, pikirnya puas, seorang laki-laki yang gagah perkasa. Dalam hal ilmu
silat, murid ini sudah melampaui tingkat Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, dua
orang muridnya yang kini telah menjadi pejuang-pejuang kenamaan.
Muridnya ini telah berusia sembilan belas tahun, tubuhnya tinggi besar,
tingginya sama dengan dia, dengan dada yang bidang dan perawakan yang gagah
sekali. Bangga dia mempunyai murid seperti Gan Han Le ini. Dan bukan saja Han Le
pandai ilmu silat tinggi, bahkan oleh ibunya dia diajari ilmu mempergunakan
senjata api, yaitu sebuah pistol. Isterinya itu, Sheila, adalah seorang wanita
kulit putih yang pernah mempelajari cara menembak dan ia sendiri yang melatih
puteranya itu menjadi seorang penembak mahir! Bu Beng Kwi berhasil mendapatkan
sebuah pistol dan senjata inilah yang dipergunakan oleh Han Le untuk belajar
menembak sehingga dia menjadi seorang penembak mahir yang amat jitu tembakannya.
Dan pistol itu kini tersimpan oleh Han Le, kadang-kadang diselipkan di pinggang
tertutup baju, dan dengan adanya senjata api ini, tentu saja Han Le menjadi
seorang ahli silat yang amat hebat dan berbahaya bagi lawannya.
#Han Le, ada suatu rahasia besar yang selama ini kusembunyikan darimu, dan aku
sengaja menanti sampai engkau menjadi dewasa baru rahasia itu kubuka dan
kuberitahukan padamu. Akan tetapi sebelum hal itu kulakukan, lebih dulu aku
ingin sekali mengetahui apa yang akan kaulakukan sekarang, setelah kunyatakan
bahwa sudah habis waktunya engkau mempelajari ilmu dariku. Engkau telah dewasa,
telah matang dan cukup kuat untuk membela diri, untuk menentukan langkah hidupmu
nanti, Nah, apakah yang akan kaulakukan, anakku?#
#Suhu, aku ingin sekali pergi turun gunung dan ikut dalam perjuangan membela
rakyat jelata agar segala yang pernah kupelajari dari suhu tidak akan tersiasia.#
jawabnya dengan tegas dan sungguh-sungguh.
#Apa yang mendorongmu untuk berjuang?#
#Suhu, aku...... tertarik untuk mengikuti jejak kedua suheng, dan...... bahkan
mendiang ayah kandungku juga seorang pejuang, bukankah begitu? Jadi, sudah
selayaknyalah kalau akupun menjadi seorang pejuang. Bukankah suhu akan
menyetujuinya?# Bu Beng Kwi mengangguk-angguk,
#Tentu saja, tentu saja aku setuju. Akan tetapi, apakah tidak ada lain cita-cita
lagi dalam hidupmu, hal yang amat ingin kaulakukan?# Bu Beng Kwi ingin
mengetahui semua isi hati muridnya ini, karena sebelum dia membuka rahasia yang
mungkin akan menghabisi hidupnya, dan dia sudah siap siaga menghadapi hal ini,
dia ingin lebih dahulu memberi pengarahan kepada muridnya untuk melakukan apa
yang diinginkannya. Han Le mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat, lalu dia
menggeleng kepala perlahan.
#Kiranya tidak ada lagi, suhu. Aku hanya mempunyai ibu dan suhu, dan kini ibu
telah hidup berbahagia bersama suhu di sini. Dulu, di waktu aku belum
mengetahuinya, ada cita-cita di hatiku untuk membalas kematian ayah! Akan tetapi
setelah ibu memberi tahu bahwa yang membunuh ayah ternyata sudah tewas pula,
padamlah cita-cita itu...... eh, kenapa suhu? Kenapa suhu memandangku seperti
itu?# Han Le terkejut ketika melihat perubahan pada pandang mata suhunya.
Sepasang mata yang besar sebelah yang biasanya mencorong itu kini tiba-tiba saja
seperti lampu kehabisan minyak, dan pandang mata suhunya itu aneh sekali.
#Han Le, tahukah engkau siapa nama ayahmu?#
#Tentu saja! Ayah bernama Gan Seng Bu.#
#Tahukah engkau siapa pembunuh ayahmu, yang masih suheng dari ayahmu sendiri?#
Han Le merasa heran, akan tetapi dia menjawab juga.
#Ibu pernah memberi tahu. Pembunuh ayah itu adalah suhengnya sendiri yang
bernama Koan Jit, akan tetapi ada apakah......?#
#Gan Han Le, apakah engkau ingin melihat bagaimana wajah Koan Jit, pembunuh ayah
kandungmu itu?# Han Le tekejut sampai bangkit berdiri, memandang kepada suhunya
dengan mata terbelalak penuh selidik, alisnya berkerut. Apakah gurunya hendak
main-main dengan dia? Kalau bermain-main, keterlaluan sekali permainan ini!
#Suhu, apa artinya ini? Bukankah di sudah meninggal dunia?# Bu Beng Kwi
menggeleng kepala, meraba mukanya dan berkata.
#Dia masih hidup, sayang sekali, dan kau boleh memandang wajahnya dengan baikbaik.
Inilah orangnya!# Tangannya bergerak cepat dan tiba-tiba saja wajah buruk
Bu Beng Kwi itu berobah sama sekali! Bukan lagi wajah seorang kakek yang mukanya
pletat-pletot, matanya besar sebelah, hidungnya menyerong dan mulutnya mencong
telinganya kecil. Sama sekali bukan, melainkan wajah seorang laki-laki yang
dapat dibilang tampan, dengan muka penuh kerut-merut dan membayangkan kedukaan,
kulit mukanya agak kehitaman dan sepasang matanya yang tajam itu kini diliputi
kedukaan besar.
#Inilah wajah Koan Jit, pembunuh ayahmu itu!# Sampai beberapa amanya Han Le
berdiri terbelalak,wajahnya berubah pucat sekali, tak mampu mengeluarkan katakata.
kemudian dia berteriak,
#Suhu! Harap jangan main-main!# Bu Beng Kwi atau Koan Jit itu tersenyum sedih
dan menggeleng kepalanya.
#Gan Han Le, aku tidak main-main. Aku adalah Koan Jit, pembunuh ayah kandungmu,
dan aku sudah siap untuk menerima pembalasan dendam darimu, aku siap untuk
menerima kematian di tanganmu. Nah, balaslah kematian ayahmu itu dan bunuhlah
aku!# Dengan kakinya, Bu Beng Kwi menendang meja yang menghalangi mereka ke
samping sehingga kini mereka berhadapan. Bu Beng Kwi masih duduk di atas
kursinya dan Han Le sudah berdiri sejak tadi.
#Tapi...... tapi...... bagaimana ini? Apa artinya ini? Mengapa suhu melakukan
semua itu? Mengapa? Ah, suhu...... aku tidak percaya! Jangan permainkan aku,
jangan membikin bingung aku....... dan diapun menjatuhkan diri berlutut di depan
kaki suhunya.
#Bangkitlah, Han Le, dan hadapi kenyataan. Engkau bukan mimpi dan aku tidak
berbohong. Dahulu aku bernama Koan Jit dan aku pernah membunuh suteku yang
bernama Gan Seng Bu. Kemudian, karena malu akan sepak terjangku sendiri aku
mematikan nama Koan Jit dan aku berubah menjadi Bu Beng Kwi. Akhirnya aku
berjumpa dengan ibumu, jatuh cinta dan...... engkau tahu sendiri. Aku sengaja
menunggu sampai engkau dewasa, baru memberi tahu akan hal ini agar engkau dapat
mengambil keputusan secara dewasa pula. Nah, aku sudah siap. Akulah Koan Jit
pembunuh ayahmu dan engkau boleh melakukan apa saja!# Sambil mendengarkan
keterangan suhunya, Han Le menangis dan tiba-tiba dia meloncat berdiri tegak,
memandang wajah orang di depannya itu dengan muka beringas dan sepasang mata
berkilat. Air matanya masih mengalir turun membasahi kedua pipinya ketika dia
menudingkan telunjuknya ke arah muka Bu Beng Kwi.
#Kau......! Engkau telah membunuh ayahku, kemudian...... engkau menggunakan
muslihat...... engkau pergunakan kelemahan hati ibuku dan engkau malah
mengawininya! Engkau sungguh kejam, keji dan tidak berperikemanusiaan!......
Engkau bunuh ayahku dan menipu ibuku!# Han Le mengepal tinju dan napasnya
tersengal-sengal saking marahnya.
#Dan engkau menipu aku, menjadikan aku muridmu...... kau kira dengan kebaikankebaikan
berselubung itu kau sudah menebus dosamu terhadap ayahku? Kau keji, kau
kejam#
(Lanjut ke Jilid 13)
Jilid 13
#Aku siap menerima hukuman, Gan Han Le......# kata Koan Jit dan suaranya lirih
sekali, mukanya kini tunduk dan kedua matanya basah. Bukan main sakitnya rasa
hati dimaki-maki oleh anak yang dicintanya, disayangnya seperti anak sendiri.
Akan tetapi dia merasa bahwa memang sudah semestinya demikian, dan hal ini sudah
seingkali dibayangkannya selama bertahun-tahun ini, bahkan seringkali membuat
dia tidak mampu tidur. Dengan kedua tangan terkepal Han Le memandang wajah lakilaki
tua di depannya itu, penuh kebencian.
#Memang! Engkau harus mampus. Engkau binatang berwajah manusia, engkau iblis
busuk, jahanam keparat, pembunuh ayahku, penipu ibuku......!#
Kedua tangannya sudah menggetar, penuh terisi tenaga sinkang karena Han Le sudah
siap untuk menerjang dan mengirim pukulan maut kepada orang di depannya itu. Dia
lupa bahwa orang itu adalah gurunya. Lupa karena memang wajah orang itu berbeda,
dan yang teringat hanyalah bahwa orang itu pembunuh ayahnya dan penipu ibunya
yang patut dibunuh! Diapun menerjang ke depan dan mengirim pukulan ke arah dada
orang tua itu. Akan tetapi detik terakhir, pakaian serba putih seperti yang
biasa dipakai Bu Beng Kwi, seperti mengingatkan Han Le bahwa orang ini adalah Bu
Beng Kwi, gurunya, maka ditahannya gerakan pukulannya dan dikurangi tenaganya.
namun pukulan itu sudah mengenai dada Bu Beng Kwi alias Koan Jit.
#Bruukkk......!# Koan Jit terkena pukulan, akan tetapi pukulan keras dari tenaga
otot saja, bukan pukulan sinkang sehingga dia tidak terluka parah, hanya
terengah saja dan dia masih bangkit berdiri, diam-diam dia merasa heran mengapa
muridnya yang marah sekali itu memukul seperti itu, bukan pukulan maut yang
sekali saja akan dapat mengantar nyawanya ke alam baka. Dia berdiri dengan
terhuyung dan menghampiri lagi muridnya yang berdiri bingung.
#Hukum dan bunuhlah aku, jangan kepalang tanggung, Gan Han Le,# katanya.
#Baik, aku akan,membunuhmu! Sebagai Koan Jit, engkau telah membunuh ayahku!
Sebagai Bu Beng Kwi, engkau telah menipu ibuku, menodai ibuku!# Sekali ini Han
Le sudah mengambil keputusan untuk membunuh orang di depannya itu. Dia sudah
mengerahkan tenaga dan siap menerjang, akan tetapi pada saat itu dia tersentak
kaget karena jeritan ibunya.
#Henry!!# Ibunya datang berlari dan menubruk Koan Jit yang berdiri limbung
sambil mengusap darah dari ujung mulutnya.
#Henry, apa yang kau telah lakukan? Dan apa yang akan kau lakukan ini?# ibunya
membentak sambil menghadapi puteranya. Tentu saja Han Le merasa heran bukan main
melihat ibunya menubruk Koan Jit dan tidak heran melihat bahwa Bu Beng Kwi telah
berubah menjadi Koan Jit.
#Ibu, tidak tahukah ibu siapa dia ini? Dia ini Koan Jit, pembunuh ayahku,
pembunuh suami ibu! Dan dia menyamar sebagai Bu Beng Kwi, menipu kita, bahkan
menodai ibu dan mengawini ibu!#
#Ahhh, ini semua gara-gara engkau tidak membiarkan aku memberi tahu anakku sejak
dulu, menanti sampai dia dewasa dan engkau sendiri yang memberi tahu keadaanmu.#
Sheila menegur Bu Beng Kwi yang kini duduk kembali dengan kepala ditundukkan
seperti anak kecil yang merasa bersalah.
#Henry, dengarlah. memang dia ini Koan Jit. Ingatkah engkau ketika engkau kuajak
pergi meninggalkan Bu Beng Kwi? Nah, ketika itulah akupun mengajakmu
meninggalkannya. Akan tetapi......engkau tahu sendiri...... betapa baiknya dia,
dan aku...... ibumu ini, maafkan aku, nak, aku telah jatuh cinta kepadanya,
kepada pembunuh ayahmu. Akan tetapi, engkau sendiri mengenal siapa adanya Bu
Beng Kwi, orang macam apa. Koan Jit memang telah mati, yang hidup adalah
tubuhnya, akan tetapi hatinya, namanya telah menjadi Bu Beng Kwi. Bu Beng Kwi
telah membunuh Koan Jit, maka engkau tidak boleh membunuh Bu Beng Kwi, anakku,
karena dia gurumu, dia ayah tirimu, dia mencinta kita berdua dengan sepenuh jiwa
raganya#
#Tidak, ibu! Tidak boleh begitu! Ah, mengapa ibu begitu keji? Mau saja menikah
dengan pembunuh ayah? Ibu tidak cinta padaku, ibu...... kejam dan mengkhianati
ayah kandungku......! Aku harus bunuh dia, ibu. harus!# Dengan tubuh menggigil
Sheila menghadang di depan puteranya.
#Jangan, Henry! Engkau dilatih silat sejak kecil, apakah dengan kepandaian yang
kau peroleh dari dia itu kini hendak kau pergunakan untuk membunuh dia, orang
yang selama ini melatihmu, mengasihimu?#
#Baik, aku tidak mempergunakan ilmu silat yang dia ajarkan kepadaku. persetan
dengan ilmu-ilmunya itu! Aku akan membunuh dengan ini, tanpa kepandaian yang
kuperoleh darinya!# Dan Henry mencabut pistol jenis revolver itu dari balik
bajunya dan menodongkannya ke arah Bu Beng Kwi yang masih diam saja sambil
memandang kepada ibu dan anak itu.
#Henryyyy......!# Sheila menjerit dan mendekat sehingga ujung pistol itu
menempel di dadanya sendiri.
#Engkau tidak boleh lakukan itu! Tidak, dia adalah suamiku yang kucinta, kalau
engaku berkeras hendak membunuhnya, engkau harus lebih dulu membunuhku!!#
Mendengar ucapan ibunya ini, terbelalak mata Han Le dan dia melangkah mundur,
pistolnya menunduk, mukanya pucat
sekali.
#Ibu...... ibu bahkan membelanya, melindunginya? Padahal dia...... dia pembunuh
ayahku......! Ibu...... ibu sungguh tidak patut...... ahhhh......!# Han Le
meloncat keluar dan melarikan diri pergi dari situ tanpa menoleh lagi.
#Henry......! Henry......!# Sheila mengejar, akan tetapi puteranya itu telah
berkelebat cepat sekali dan lenyap dari situ. Sheila yang terus mengejar,
akhirnya terpelanting jatuh ketika kakinya tersentuh batu dan pada saat tubuhnya
roboh, kedua lengan Bu Beng Kwi yang kokoh kuat menyambarnya dan tubuh yang
terkulai pingsan itu lalu dipondongnya masuk kembali ke dalam rumah.
#Henry...... ahh, Henry......!# Sheila mengeluh ketika ia siuman kembali dan
melihat suaminya duduk di tepi pembaringan dengan wajah sedih, wajah Koan Jit
tanpa topeng. Sheila menangis sesenggukan. Koan Jit mengelus rambut kepala
isterinya penuh kasih sayang.
#Kita harus berani menghadapi semua ini, isteriku. Sudah kubayangkan akan begini
jadinya. bagaimanapun juga, dia tidak akan tega membunuhku.#
#Tapi dia..... dia pergi dan lari dari sini...... ah, bagaimana kalau aku
kehilangan anakku lahir batin......?# Koan Jit menggeleng kepala sambil
tersenyum, lalu menarik bangun isterinya yang menyandarkan kepala sambil
menangis di dadanya.
#Jangan khawatir. Biarkan dia mengambil keputusan sendiri. Biar peristiwa hebat
ini menambah kematangan jiwanya, meupakan gemblengan baginya. Tidak, dia tidak
mungkin membencimu, Sheila. Dia hanya merasa bingung, seperti yang kaurasakan
dahulu itu. Biarkan dia melihat kenyataan dan memutuskan langkahnya sendiri. Aku
sudah rela, apapun yang akan dilakukannya. Kita tunggu saja......#
#Tapi...... bagaimana kalau dia tidak kembali ke sini? Aku...... aku akan merana
dan sengsara memikirkan dia. Kalau kepergiannya untuk berjuang dan untuk suatu
tujuan tertentu, aku sudah rela karena dia sudah dewasa. Akan tetapi kalau dia
pergi meninggalkan aku dengan hati mengandung penasaran dan kebencian,
ahhh......# Sheila tak dapat melanjutkan kata-katanya karena ia sudah menangis
lagi dengan sedihnya.
#Baiklah, kita tunggu sampai satu bulan. Kalau dalam satu bulan dia belum
kembali, biar kita juga pergi mencarinya sampai berjumpa dan dia harus mengambil
keputusan tentang diriku, sebagai laki-laki seperti yang selalu kuajarkan
kepadanya.# Dengan janji ini, legalah hati Sheila. Ngeri ia memikirkan bahwa
puteranya itu pergi untuk selama-lamanya dari sisinya, pergi dengan perasaan
benci terhadap dirinya. Mencinta kalau diuntungkan, membenci kalau dirugikan!
Beginilah selalu yang terjadi. Cinta dan benci saling berganti tempat, sebagai
akibat untung dan rugi yang selalu datang silih berganti. Segala perbuatan
seperti itu selalu palsu dan hanya mendatangkan duka belaka.
Selama ada si aku yang menimbang-nimbang untung rugi sehingga menimbulkan cinta
atau benci, maka batin akan selalu diguncang konflik. Kalau sudah tidak ada
pamrih, tidak ada perasaan diuntungkan dan dirugikan, maka perbuatan akan
dituntun oleh cinta kasih, bukan #cinta# yang menjadi kebalikan dari #benci#,
karena cinta seperti itu bukan lain hanyalah nafsu ingin menyenangkan diri
sendiri belaka. Dan justeru keinginan untuk senang inilah yang membawa kita
kepada kecewa, bosan, dan duka. Sekali ini pasukan kulit putih yang menyerbu ke
arah Peking terdiri dari pasukan Inggris dan Perancis yang amat kuat. Perang
terjadi di sepanjang jalan dan karena pasukan kulit putih memiliki persenjataan
yang lengkap, dengan senjata api, maka pertahanan balatentara kerajaan Mancu
mengalami kekalahan di mana-mana.
Apalagi ketika itu pasukan-pasukan kerajaan sudah menjadi lemah dengan adanya
pergolakan sejak Tai Peng memberontak. Dengan cepatnya pasukan kulit putih yang
mendarat di teluk Pohai dan menyerbu ke barat itu telah mengepung kota besar di
Tian-cin. Pasukan Kerajaan Mancu mempertahankan diri sekuatnya. Setelah terjadi
pertempuran berpekan-pekan lamanya, di mana pasukan kulit putih menghujani kota
Tian-cin dengan peluru meriam dan senapan, akhirnya bobollah pertahanan pasukan
kerajaan Mancu. Tian-cin diduduki dengan mengambil korban yang tidak sedikit,
terutama sekali rakyat jelata. Seperti ulah semua anak buah pasukan yang
memperoleh kemenangan, pasukan kulit putih itupun tidak terkecuali, melakukan
pembunuhan, perampokan, pembakaran dan perkosaan yang semena-mena terhadap
rakyat kecil.
Sisa pasukan kerajaan sendiri dapat melarikan diri, mundur dan membuat
pertahanan baru di kota Wu-cing yang menjadi benteng pertama dari pertahanan di
kotaraja Peking. Keadaan pasukan kerajaan Mancu amatlah lemahnya, bukan hanya
karena pada waktu ini terjadi banyak pemberontakan yang didahului oleh
pemberontakan Tai Peng, akan tetapi juga terutama sekali karena pasukan
pemerintah penjajah ini sama sekali tidak memperoleh dukungan dari rakyat
jelata. Dan pasukan yang tidak memperoleh dukungan rakyat tentu menjadi lemah.
Pada waktu itu, rakyat sudah cukup menderita karena kekorupan para pejabat
pemerintah penjajah sehingga diam-diam tertanam perasaan benci yang mendalam
dalam hati rakyat terhadap penjajah. Oleh karena itu, ketika pasukan asing kulit
putih melakukan penyerbuan, rakyat sama sekali tidak mau membantu melainkan lari
cerai berai dan mengungsi.
Pasukan rakyat yang dipimpin oleh Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, yang mendapat
bantuan banyak sekali pendekar yang pandai, tidak dapat membantu pasukan
pemerintah yang terus didesak mundur oleh pasukan kulit putih, karena pasukan
rakyat ini sedang sibuk membendung pasukan Tai Peng yang tadinya berniat pula
menyerbu ke utara mempergunakan kesempatan selagi pemerintah Mancu terancam
pasukan kulit putih itu. Terjadilah perang yang seru antara laskar rakyat ini
dengan pasukan Tai Peng yang juga dibantu oleh orang-orang pandai dari golongan
sesat yang diketuai oleh Lee Song Kim. Dengan dipelopori pasukan gabungan
Inggris dan Perancis, pasukan-pasukan asing itu mendesak terus ke utara, benteng
demi benteng dibobolkan, dan akhirnya dalam tahun 1860, pasukan orang kulit
putih itu, dibantu banyak mata-mata pribumi yang menerima upah besar, berhasil
membobolkan benteng pertahanan terakhir di kotaraja dan mereka menyerbu Peking!
Bagaikan perampok-perampok ganas,
Pasukan itu menyerbu istana, bahkan mereka merampok Taman Terang Sempurna yang
indah, membakarnya dan merampok harta benda istana-istana yang terdapat di situ,
membunuh banyak pengawal, menculik dan memperkosa banyak wanita dayang dan
puteri! Harta benda yang amat luar biasa, yang bahkan belum pernah dilihat oleh
orang-orang kulit putih itu sendiri, dirampok habis-habisan, istana dirusak dan
dibakar. Kaisar Hsian Feng terpaksa melarikan diri bersama dua orang
permaisurinya dan juga pangeran mahkota yang masih kecil, dalam tiga buah kereta
besar, membawa harta benda dan dikawal oleh sepasukan perajurit pengawal.
Rombongan ini keluar dari pintu gerbang sebelah barat ketika pasukan asing mulai
menyerbu kotaraja. Tujuan rombongan kaisar ini adalah Yehol di mana kaisar
memiliki sebuah istana perburuan yang besar.
Akan tetapi ketika rombongan pengungsi ini tiba di tepi sebuah hutan, mereka
tersusul oleh pasukan kulit putih dan mata-mata mereka yang telah mengetahui
akan pengungsian ini dan melakukan pengejaran cepat. Terjadilah pertempuran
sengit di tepi hutan itu. Kaisar dan keluarganya bersembunyi dan berlindung di
dalam kereta-kereta itu, takut kalau terkena peluru nyasar. Biarpun pasukan
asing yang mengejar itu hanya terdiri dari dua puluh empat orang saja, namun
lima puluh orang perajurit pengawal kaisar merasa kewalahan melawannya. Para
pengawal ini membawa senjata api, namun senjata api mereka itu kuno sekali kalu
dibandingkan dengan senapan dan pistol yang dipergunakan pasuka kulit putih yang
lebih modern dan dapat memuntahkan peluru lebih gencar dan tepat. Hal ini
tidaklah aneh, karena senjata api yang dimiliki oleh sebagian keadaan pasukanpasukan
pengawal kaisar itu adalah senjata yang dapat dibeli dari orang kulit
putih,
Dan orang kulit putih yang cerdik itu memang sengaja menjual senjata api dari
mutu yang rendah saja! Dalam waktu sebentar saja, dua ekor kuda penarik kereta
roboh, dan sedikitnya lima belas orang perajurit pengawal roboh, tewas atau
terluka, sedangkan di pihak orang kulit putih belum seorangpun yang terkena!
Selagi keadaan pasukan pengawal itu terancam bahaya yang dapat mengakibatkan
celakanya kaisar dan keluarganya, tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat.
Bayangan putih dari seorang pemuda yang mengenakan pakaian serba putih seperti
orang berkabung. Sejak tadi, tidak ada perajurit pengawal kaisar yang berani
meloncat keluar. Mereka berlindung di balik pohon-pohon, karena begitu keluar
sedikit saja mereka tentu menjadi makanan peluru yang diberondongkan oleh pihak
musuh.
Kini, melihat ada bayangan putih berani keluar bahkan mendekati tempat mereka
bertiarap dan berlindung, senapan-senapan dan pistol-pistol memberondongkan
peluru panas ke arah bayangan itu. Akan tetapi bayangan putih itu memiliki
gerakan yang bukan main cepatnya. Dia menyelinap ke balik pohon, berloncatan
tinggi dan kadang-kadang bertiarap sehingga sukar sekali dijadikan sasaran
peluru dan bayangan itu makin dekat saja. Ketika dua orang serdadu kulit putih
yang merasa penasaran bangkit berlutut dan membidikkan senapan mereka lebih
seksama ke arah bayangan itu, tiba-tiba terdengar letusan dua kali dan nampak
api berpijar di tangan bayangan putih itu, disusul teriakan kesakitan dan
robohnya dua orang serdadu itu yang ternyata roboh karena tembakan pistol yang
dilepas oleh bayangan putih!
Terkejutlah para serdadu itu. Kiranya bayangan itu adalah sorang yang mahir
sekali mempergunakan pistol dan begitu muncul telah merobohkan dua orang di
antara mereka! Sementara itu, para perajurit pengawal kaisar ketika melihat
munculnya si baju putih yang telah merobohkan dua orang lawan, dan kini masih
berloncatan di antara hujan peluru musuh, menjadi girang dan bangkit kembali
semangat mereka. Merekapun kini menggunakan kesempatan selagi pihak musuh
memberondongkan senjata mereka ke arah si baju putih, merekapun menyergap dan
menghujankan peluru senapan-senapan mereka ke arah musuh. Dua orang kulit putih
roboh lagi oleh sergapan ini. Akan tetapi berondongan mereka yang kini ditujukan
kepada pasukan pengawal membuat pasukan itu kembali harus bersembunyi.
Bayangan putih itu lenyap pula di antara pohon-pohon dan tak lama kemudian
terdengar bunyi derap kaki kuda disusul kutukan para serdadu kulit putih karena
tiba-tiba saja semua kuda tunggangan mereka yang tadi ditambatkan pada batang
pohon, tahu-tahu telah terlepas semua dan lari ketakutan! Kiranya ini perbuatan
si bayangan putih tadi yang nampak lagi menyelinap berloncatan di antara pohonpohon!
Kadang-kadang nampak wajah orang itu dan pasukan kedua pihak dapat
melihat bahwa bayangan putih itu ternyata seorang pemuda berpakaian serba putih
yang bertubuh tinggi besar, gagah perkasa dan berwajah tampan. Memang gerakannya
hebat bukan main, cepat seperti seekor burung sehingga dia seperti mampu
mengelak dari sambaran peluru-peluru yang berdesingan!
Bahkan kini kembali dia telah berloncatan mendekati pasukan asing itu dan setiap
kali pistol di tangannya meledak, tentu ada seorang sedadu kulit putih yang
roboh dan tewas! Ternyata kemahirannya menembak cepat amat mengejutkan dan juga
menggentarkan hati para serdadu yang masih terus berusaha memberondongkan peluru
mereka ke arah si baju putih itu. Pembaca tentu dapat menduga siapa adanya si
baju putih itu. Dia adalah Gan Han Le atau Henry! Setelah melarikan diri dari
Bukit Awan Merah, dari gurunya dan ibunya, Henry melakukan perantauan dan
petualangannya. Hatinya masih penuh luka. Dia merasa bingung. Harus diakuinya
bahwa tidak mungkin baginya untuk membenci Bu Beng Kwi yang buruk rupa itu.
Sudah terlalu banyak kebaikan dan kasih sayang dia terima dari kakek buruk rupa
itu.
Akan tetapi, melihat Koan Jit, mengingat bahwa Koan Jit ini musuh besar yang
telah membunuh ayahnya, dia merasa benci sekali. Dan melihat betapa ibunya
mnjadi isteri dari musuh besar itu, hatinya kecewa, penasaran dan juga malu.
Tadinya dia memang berniat untuk mencari kedua orang suhengnya, ingin membantu
perjuangan mereka melawan pasukan Tai Peng. Akan tetapi, setelah melihat
kenyataan bahwa kedua orang suhengnya itu adalah murid-murid dari Koan Jit,
musuh besarnya timbul pula perasaan tidak suka kepada kedua orang suheng itu dan
diapun tidak jadi mencari mereka. Diapun merantau sampai ke kotaraja dan ketika
terjadi penyerbuan pasukan asing kulit putih ke kotaraj a, kebetulan dia berada
di kotaraja. Dari gurunya, Bu Beng Kwi, Han Le banyak mendengar tentang tujuan
perjuangan rakyat.
Tidak suka kepada pemberontak Tai Peng yang ternyata banyak menindas rakyat dan
bersekongkol dengan golongan sesat, juga menentang orang kulit putih yang
menyelundupkan candu dan jelas hendak menguasai bandar-bandar besar, dan tentu
saja menentang pemerintah penjajah Mancu. Oleh karena itu, melihat penyerbuan
pasukan kulit putih ke kotaraja, diapun bersikap dingin saja. Dia tidak membantu
orang kulit putih, juga tidak membantu pemerintah Mancu. Akan tetapi, ketika
melihat sepak terjang para serdadu kulit putih, membakari rumah dan istana,
membunuh orang, merampok barang-barang dan bahkan memperkosa wanita, jiwa
pendekarnya memberontak! Diapun lalu bergerak dan setiap kali melihat serdadu
melakukan kejahatan, dia turun tangan membunuhnya!
Demikianlah, ketika dia melihat istana dirampok dan dibakar, kemudian keluarga
kaisar melarikan diri, diam-diam diapun membayangi. Bagaimanapun juga, dia
merasa kasihan kepada keluarga kaisar yang terancam bahaya. Ketika ada pasukan
kulit putih mengejar dan terjadi pertempuran, dia hanya menonton saja, karena di
situ terdapat lima puluh orang pengawal kaisar. Akan tetapi, ketika melihat
betapa pasukan pengawal itu tidak mampu menang bahkan terdesak dan keadaan
keluarga kaisar terancam, Han Le turun tangan dan memperlihatkan kemahirannya
bermain dengan pistolnya untuk menghadapi pasukan yang bersenjata api dengan
lengkap itu. Han Le mengamuk dengan pistolnya dan sedikitnya tiga belas orang
serdadu kulit putih roboh terkena peluru pistolnya dan peluru yang
diberondongkan pasukan pengawal.
Sisanya menjadi panik dan mereka lalu melarikan diri melalui hutan, berlindung
pada pohon-pohon. Han Le mengejar dan masih merobohkan dua orang lagi sebelum
dia kembali ke tempat pertempuran. Sementara itu, permaisuri kedua, Cu Si atau
Yehonala, sejak tadi mengintai dan menonton pertempuran itu dengan hati gelisah.
Akan tetapi ia sempat melihat bayangan putih yang dengan gagah berani membantu
pasukan pengawal sehingga akhirnya pihak musuh dapat dihalau pergi dan sebagian
roboh. Setelah keadaan aman, ia lalu memanggil pengawal terdekat dan memerintah
agar orang berpakaian putih itu dihadapkan kepadanya di dalam kereta. Ketika Han
Le keluar dari hutan setelah melakukan pengejaran, komandan pasukan pengawal
yang bermuka brewokan telah menantinya dan cepat komandan ini memberi hormat
kepadanya.
#Terima kasih atas bantuan taihiap kepada kami,# katanya agak heran ketika
melihat betapa pemuda tinggi besar yang tampan dan gagah ini memiliki sepasang
mata yang mencorong akan tetapi agak kebiruan seperti mata orang kulit putih!
#Tidak perlu menghaturkan terima kasih,# jawab Han Le dengan sikap dingin saja
karena memang dia tidak ingin bersahabat dengan pasukan pengawal Kerajaan Mancu.
#Sekarang sudah aman, harap lanjutkan perjalanan.# Berkata demikian, dia lalu
membalikkan tubuhnya dan hendak pergi.
#Nanti dulu, taihiap!# tiba-tiba komandan itu berseru. Han Le mengerutkan
alisnya dan membalikkan tubuh menghadapinya. #Taihiap, saya diutus oleh Sang
Permaisuri Kedua untuk memanggil taihiap menghadap, beliau ingin bicara dengan
taihiap.# Makin dalam kerut di antara alis mata Han Le. Dia memandang ke arah
kereta dan pada saat itu, tirai kereta tersingkap dan nampak wajah seorang
wanita yang amat cantik tersembul dari balik tirai, sepasang mata yang jeli dan
berwibawa memandang kepadanya.
#Baiklah,# katanya, tertarik karena dia ingin sekali tahu apa yang hendak
dibicarakan seorang permaisuri kepadanya. Dengan langkah gagah diapun mengikuti
komandan itu dan ternyata dia dihadapkan kepada wanita yang tadi memandang
kepadanya dari balik tirai! Ketika pintu kereta dibuka dan dia berhadapan dengan
wanita itu, dia mendapat kenyataan bahwa wanita itu memang cantik sekali, dengan
pakaian yang mewah, dan usianya kurang dari tiga puluh tahun, cantik dengan
senyum dan pandang mata memikat.
#Paduka memanggil hamba ada keperluan apakah?# tanya Han Le sambil memberi
hormat tanpa berlutut. Dia tidak berpengalaman, namun di samping ilmu silat
tinggi, dia juga diberi pelajaran baca tulis dan tata cara sopan santun oleh
gurunya. Akan tetapi, di depan seorang permaisuri Mancu, tentu saja dia tidak
mau berlutut walaupun kata-katanya cukup sopan sebagai seorang rakyat terhadap
isteri kaisar! Sepasang mata Cu Si bersinar-sinar dan seperti menggerayangi
tubuh pemuda yang berdiri di depannya. Kalau saja bukan pemuda yang tampan dan
gagah perkasa, yang sudah menyelamatkan keluarganya, yang menghadapinya dengan
sikap seperti itu, kurang hormat dan tidak berlutut, tentu ia akan marah. Akan
tetapi ia teringat bahwa saat itu, biarpun masih menjadi permaisuri kedua, ia
hanyalah seorang pengungsi, keluarga kaisar yang sedang kalah dan melarikan
diri!
#Orang muda yang gagah perkasa, engkau telah menyelamatkan kami sekeluarga Sri
Baginda Kaisar dari malapetaka. Harap jangan kepalang tanggung menolong kami,
kawallah kami sampai selamat tiba di Yehol. Untuk itu kami akan memberi hadiah
besar kepadamu.# Karena yang minta pertolongan kepadanya seorang wanita yang
demikian cantiknya, juga dengan suara yang memohon, bukan memerintah seperti
layaknya seorang permaisuri, Han Le merasa tidak enak kalau menolak. Pula,
setelah pasukan pengawal itu kehilangan banyak anak buah, memang berbahaya
sekali bagi keselamatan kaisar itu melanjutkan perjalanan tanpa pengawalan yang
kuat.
#Lihatlah, Sri Baginda sedang sakit dan lemah, harap kau suka mengasihani kami,
orang muda yang gagah.# kata pula Cu Si dengan suara merayu. Han Le melihat
seorang laki-laki yang melihat pakaiannya tentulah kaisar sendiri, duduk
bersandar dengan tubuh lemah, muka pucat dan mata terpejam. Mereka sekarang
hanyalah keluarga lemah yang membutuhkan bantuan, bukan keluarga kaisar penjajah
yang lalim, pikir Han Le.
#Baiklah, hamba akan mengawal sampai ke Yehol,# katanya memberi hormat. Cu Si
girang sekali, meneriaki pengawal agar memberi kuda terbaik kepada pemuda itu
dan membiarkan pemuda itu menjalankan kudanya di dekat kereta yang ditumpangi
keluarga kaisar. Ketika malam tiba, terpaksa keluarga kaisar itu menghentikan
perjalanan di luar sebuah hutan, karena selain kuda mereka sudah lelah, juga
jalan di sepanjang hutan itu buruk sekali, apalagi sehabis hujan kemarin,
Jalan itu berlumpur dan melakukan perjalanan melalui jalan seburuk itu pada
malam hari berbahaya sekali. Kereta bisa terperosok, bahkan terguling kalau
salah memilih jalan. Ketika para pengawal sedang mengaso dan membuat api unggun,
mengelilingi kereta yang ditumpangi keluarga kaisar, juga para pelayan dan
dayang yang berkumpul di dekat kereta, banyak di antara para pengawal saling
mengobati luka yang mereka derita, Han Le duduk menyendiri di luar kurungan
perajurit pengawal. Dia membuat api unggun sendiri dan menerima pembagian
ransum, makan dengan sunyi sambil melamun. Betapa nasib manusia tidak tentu,
seperti hari yang sebentar terang sebantar gelap, sebentar hujan sebentar cerah.
Lihat saja nasib kaisar dan keluarganya, pikirnya. Biasanya mereka itu hidup
bergelimang kemewahan, kemuliaan dan kehormatan.
Akan tetapi sekarang mereka melarikan diri, seperti pengungsi-pengungsi yang
melarikan diri dari bahaya, mencari keselamatan, melewatkan malam di dalam
kereta yang sempit, di tepi hutan yang gelap gulita dan banyak nyamuknya!
Nasibnya sendiripun telah mengalami perubahan hebat sekali. Dia mengenang
ibunya, juga gurunya. Sukar dia membayangkan bagaimana keadaan mereka, apa yang
mereka lakukan semenjak dia meninggalkan mereka. Dia merasa amat kasihan kepada
ibunya, akan tetapi belum juga dia dapat mengerti mengapa ibunya mau saja
diperisteri musuh besar yang dulu membunuh ayahnya! Tiba-tiba terdengar sorak
sorai dan tempat itu telah dikepung oleh banyak sekali orang yang semua memegang
senjata tajam. Ada yang memegang golok, pedang, ruyung atau tombak dan sikap
mereka itu kasar-kasar.
#Bunuh keluarga kaisar Mancu!#
#Permaisuri untuk aku, ha-ha!#
#Barang-barangnya tentu banyak!#
#Bunuh semua anjing-anjing pengawalnya!# Dari ucapan dan melihat sikap mereka,
mudah diduga bahwa mereka itu adalah segerombolan perampok yang jumlahnya
banyak, sedikitnya ada lima puluh orang! Memang pada waktu itu, banyak
gerombolan perampok yang menamakn diri mereka pejuang dan menentang pemerintah
Mancu. Akan tetapi tujuan mereka sesungguhnya bukan demi memebela kepentingan
rakyat, melainkan kepentingan diri pribadi. Dengan menamakan diri #pejuang#
penentang penjajah, mereka dapat mengangkat diri, bukan seperti gerombolan
perampok!
Mereka mendengar bahwa keluarga kaisar melarikan diri dari kotaraja dan mereka
dapat menduga bahwa keluarga kaisar melarikan diri itu tentu membawa banyak
sekali barang berharga, juga puteri-puteri cantik jelita! Karena itu, malam itu
mereka nekat menyerbu. mereka bukanlah gerombolan perampok biasa, kalau demikian
halnya tak mungkin mereka berani menyerang keluarga kaisar yang dilindungi
pasukan pengawal. Mereka itu dipimpin oleh Yan-san Ngo-coa (Lima Ular Gunung
Yan), lima orang kakak beradik seperguruan yang terkenal sekali sebagai perampok
yang malang melintang di sebelah utara kotaraja Peking, memiliki ilmu kepandaian
silat tinggi dan mereka telah berhasil menghimpun anak buah mereka yang ratarata
memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Para perajurit tentu saja terkejut
bukan main. Mereka masih lelah dan kini diserbu secara tiba-tiba, di malam gelap
yang hanya diterangi oleh beberapa buah api unggun di sana-sini.
#Kurung kereta dan pertahankan! Jangan pergunakan senapan, lindungi kaisar
dengan golok!# bentak komandan pasukan yang merasa khawatir kalau anak buahnya
menggunakan senapan. Selain akan terlambat karena perampok sudah menyerbu, juga
peluru bisa kesasar mengenai teman sendiri. Terjadilah pertempuran hebat dan
segera terdengar suara senjata tajam saling beradu, menimbulkan suara nyaring
mengerikan. Apalagi para perampok itu banyak yang mengeluarkan suara ketawa
mengejek, menyerankan dan memang segera dapat dilihat bahwa dalam adu senjata
tajam, para pengawal itu agaknya bukanlah tandingan para anggauta perampok.
#Keparat, perampok busuk!# Han Le memaki dan diapun cepat menerjang ke arah para
perampok. Terjangan Han Le hebat sekali. Biarpun dia bertangan kosong, namun
setiap kali tangannya menampar, tentu ada seorang anggauta perampok yang
berteriak dan terguling roboh. Akan tetapi, para perajurit pengawal juga
terdesak hebat dan banyak di antara mereka yang roboh sehingga Han Le terpaksa
harus berloncatan ke sana-sini untuk membantu perajurit yang kewalahan. Han Le
teringat akan keselamatan keluarga kaisar yang berada di dalam kereta. Yang
terpenting harus melindungi mereka, pikirnya dan diapun mulai membuka jalan
menghampiri kereta yang oleh pasukan pengawal secara mati-matian coba
dipertahankan. Akan tetapi agaknya para perampok lebih kuat dan mereka mulai
mendekati kereta sambil tertawa-tawa dan berteriak-teriak.
Pintu kereta-kereta itu tertutup rapat dan Han Le dapat membayangkan betapa
panik dan takutnya keluarga kaisar yang berada di dalam kereta-kereta itu.
Hatinya merasa lega melihat bahwa tiga buah kereta itu belum terjamah oleh para
perampok, akan tetapi diapun dapat melihat betapa akan repotnya kalau dia
sendiri harus melindungi tiga kereta itu yang dapat diserang dari semua jurusan.
ketika telah tiba dekat, dia terkejut dan tertarik sekali melihat perkelahian
hebat yang terjadi di dekat kereta antara seorang gadis melawan pengeroyokan
lima orang perampok yang memiliki gerakan lihai bukan main. Lima orang perampok
ini masing-masing memegang sepasang golok besar, sedangkan gadis itu, yang
melihat bentuk tubuhnya, hanya seorang gadis remaja, memegang sebatang pedang
tipis.
Akan tetapi, Han Le merasa kagum bukan main melihat cara gadis itu menggerakkan
pedang melawan para pengeroyoknya. Pedang itu diputar sedemikian rupa sehingga
lenyap bentuknya, berubah menjadi segulung sinar putih yang menyilaukan mata
tertimpa sinar api unggun yang masih bernyala terang tak jauh dari situ.
Siapakah gadis lihai ini, pikirnya, dan kenapa tadi tidak nampak? Dan siapa pula
lima orang perampok yang lihai itu? Dia tidak sempat menyelidiki untuk menjawab
kedua pertanyaan itu, melainkan cepat turun tangan, terjun ke dalam perkelahian
karena bagaimanapun lihainya, gadis itu agaknya mulai kewalahan juga menghadapi
pengeroyokan lima orang yang merupakan lawan tangguh. Sepuluh gulung sinar golok
itu mulai menekan dan mengepung dan gadis itu terpaksa harus berloncatan ke
sana-sini untuk menghindarkan ancaman bacokan golok.
#Penjahat-penjahat curang!# bentak Han Le dan diapun menerjang masuk sambil
memainkan Ilmu Silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang gerakannya cepat, berubahubah
dan amat kuat itu. Apalagi dia telah melindungi kedua lengannya dengan
kekebalan sehingga kalau perlu dia berani menangkis golok lawan dengan lengan
tanpa khawatir lengannya akan terluka. Begitu dia menyerbu masuk, buyarlah
kepungan terhadap gadis itu, karena tamparan tangan dan tendangan kaki Han Le
sedemikian cepat dan kuatnya sehingga lima orang perampok itu terkejut sekali
karena hampir saja menjadi korban pukulan dan tendangan, mereka mencelat mundur
dan kini maju lagi terpecah menjadi dua. Dua orang mengeroyok gadis remaja itu,
sedangkan yang tiga lagi mengeroyok Han Le yang bertangan kosong.
Terjadilah perkelahian yang lebih seru lagi. Setelah kini hanya dikeroyok oleh
dua orang lawan, pedang gadis itu mulai beraksi, menyambar-nyambar dengan cepat,
indah dan kuatnya sehingga dalam waktu belasan jurus saja, dua orang
pengeroyoknya yang memegang empat batang golok itu menjadi terdesak hebat dan
mereka lebih banyak memutar golok melindungi diri dari sambaran sinar pedang
yang demikian lihainya. Han Le maklum bahwa tiga orang pengeroyoknya tidak boleh
disamakan dengan para anggauta perampok lainnya yang telah dilawan dan
dirobohkannya tadi. Mereka bertiga itu bermain golok dengan baik sekali, dan
tiga orang itu membentuk semacam barisan segitiga yang saling bantu dan rapi
sekali.
Tahulah dia bahwa mereka ini bukan orang sembarangan dan agaknya menjadi
pemimpin gerombolan perampok itu. Memang duagaannya benar. Dua orang yang
mengeroyok gadis itu dan kini bersama tiga orang yang mengeroyoknya, adalah Yansan
Ngo-coa sendiri, yang memimpin gerombolan perampok terdiri dari lima puluh
orang itu. Karena merasa yakin bahwa orang-orang mereka tentu akan dapat menang
dan menumpas para perajurit pengawal yang jumlahnya lebih kecil dan kelihatan
sudah lelah dan lemah, Yan-san Ngo-coa lalu menerjang masuk dan menghampiri tiga
buah kereta untuk menyerbu keluarga kaisar dan berpesta pora dengan mereka dan
harta mereka.
Akan tetapi, terdengar bentakan nyaring dan entah darimana datangnya, tiba-tiba
saja sudah muncul gadis remaja itu yang memutar sebatang pedang tipis menahan
mereka! Mula-mula Yan-san Ngo-coa memandang rendah dan seorang di antara mereka
maju untuk menangkap gadis itu, bukan untuk membunuhnya melainkan untuk
menangkapnya karena gadis remaja itu cantik manis dan tentu saja mereka merasa
sayang untuk membunuhnya. Akan tetapi hampir saja yang seorang itu celaka karena
pedang gadis itu ternyata lihai bukan main. Seorang lagi maju, tetap saja
terdesak sehingga akhirnya mereka berlima maju semua mengeroyok dan pada saat
gadis itu terdesak, mucul Han Le membantu. Siapakah gadis remaja yang lihai itu?
Tidak mengherankan kalau gadis remaja itu lihai, karena ia adalah puteri tunggal
dari Yu Kiang dan Ceng Hiang!
Ayah gadis itu, Yu Kiang, adalah seorang bangsawan tinggi yang ahli dalam hal
sastera, akan tetapi dapat dikata tidak pandai ilmu silat. Akan tetapi
isterinya, Ceng Hiang, adalah seorang puteri pangeran yang memiliki ilmu silat
hebat! Sebagai puteri pangeran yang menjadi keluarga kerajaan, Ceng Hiang
beruntung sekali mewarisi ilmu-ilmu silat yang istimewa, yaitu beberapa ilmu
silat tinggi peninggalan keluarga Pendekar Pulau Es! Dan lebih dari itu, secara
kebetulan sekali ia menemukan sebuah kitab peninggalan Tat Mo Couwsu yang
bernama Pek-seng Sin-pouw, yang mengajarkan langkah-langkah ajaib. Karena ibunya
seorang ahli silat tingkat tinggi, tidaklah mengherankan kalau gadis remaja yang
menjadi puteri tunggal itu mewarisi ilmu silat yang lihai dari ibunya. Gadis itu
bernama Yu Bwee, berusia kurang lebih tujuh belas tahun dan memiliki bakat yang
amat baik.
Biarpun masih berdarah bangsawan dan dekat dengan keluarga kerajaan, namun sejak
dahulu keluarga Yu Kiang dan Ceng Hiang tidak setuju dengan sikap Kaisar Hsian
Feng yang amat lemah dan yang tidak memperhatikan urusan pemerintahan sehingga
kebanyakan di antara pejabat pemerintah merupakan orang-orang korup yang
menindas kehidupan rakyat. Bahkan diam-diam keluarga ini menaruh penghargaan
kepada para pejuang yang berjuang untuk memebebaskan rakyat dari penindasan kaum
penjajah. Akan tetapi, tentu saja merekapun tidak mau menjadi pengkhianat, tidak
mau mengkhianati kerajaan dan walaupun mereka tidak langsung membantu
pemerintah, namun mereka masih mempunyai perasaan setia terhadap kerajaan dan
tidak mau melakukan hal-hal yang bertentangan dengan pemerintah.
Ayah Ceng Hiang, yaitu Pangeran Tiu Ong, juga hanya mau menjabat kedudukan
sebagai pengurus perpustakaan istana dan sama sekali tidak mau mencampuri urusan
pemerintahan, apalagi yang menyangkut urusan rakyat. Bahkan Yu Kiang sendiripun
tidak mau menjabat kedudukan, melainkan hanya menjadi seorang guru besar sastera
saja. Ketika terjadi penyerbuan orang kulit putih ke kotaraja, tentu saja Ceng
Hiang tidak mau tinggal diam. Ia mempergunakan ilmu kepandaiannya untuk membantu
para perwira mempertahankan kota, dan suaminya, Yu Kiang, juga sibuk membantu
pertahanan kotaraja dengan siasat perang yang kesemuanya sia-sia belaka karena
pihak musuh jauh lebih kuat perrsenjataannya. Yu Kiang merupakan seorang di
antara mereka yang membujuk kaisar agar suka pergi melarikan diri dan mengungsi
ke Yehol bersama keluarganya. Ceng Hiang lalu mengutus puterinya, Yu Bwee, untuk
menyusul dan kalau perlu melindungi kaisar.
#Anakku, Yu Bwee, sekaranglah tiba saatnya engkau memperlihatkan kepandaian yang
selama ini kuajarkan kepadamu. Kejarlah rombongan Sri Baginda ke Yehol dan
lindungilah keluarga itu dalam perjalanan sampai ke Yehol. Engkau tinggallah di
sana untuk sementara waktu, melindungi keluarga Sri Baginda Kaisar sampai aku
datang menyusul ke sana.#
Demikianlah pesan Ceng Hiang kepada puterinya. Sebetulnya, bukan hanya karena
ingin agar puterinya bersetia dan membela keluarga kaisar saja maka Ceng Hiang
menyuruh puterinya yang masih muda itu melakukan pekerjaan berbahaya itu, juga
karena ia ingin menyingkirkan puterinya dari kotaraja! Puteri bangsawan yang
lihai ini maklum bahwa kotaraja tidak dapat dipertahankan lagi dan sebagai kota
yang kalah dan diduduki musuh, tentu kota itu akan mengalami kekacauan, akan
dirampok dan mungkin dibakar, dan amat berbahaya bagi para wanita, terutama yang
muda dan cantik, untuk tetap tinggal di sebuah kota yang diduduki musuh. Inilah
sebabnya mengapa ia ingin agar puterinya itu tidak berada di kotaraja apabila
kota itu terjatuh ke tangan pasukan kulit putih.
Yu Bwee menunggang kuda dan melakukan pengejaran. Baru malam itu ia berhasil
menyusul rombongan kaisar yang tiba di tepi hutan, dan tepat sekali ketika ia
tiba di situ, rombongan pengungsi itu sedang dikepung perampok. Ia segera
meloncat turun, mencabut pedangnya dan menyerbu, melindungi tiga buah kereta
dari serbuan lima orang pimpinan perampok itu sampai muncul Han Le yang
membantunya. Setelah menghadapi dua orang pengeroyok saja, Yu Bwee yang merasa
lega karena tiba-tiba muncul bantuan yang demikian lihai, mempercepat gerakan
pedangnya. Dua orang itu payah mencoba untuk mendesaknya, karena gerakan kaki
gadis itu melangkah secara aneh dan selalu dapat menghindarkan diri dari
sambaran empat batang golok itu.
Gadis ini ternyata telah menggunakan Langkah Ajaib Pek-seng Sin-pouw yang
dipelajarinya dari ibunya. Tubuhnya menjadi ringan sekali dan tubuh itu kadangkadang
dapat berputar sedemikan rupa sehingga semua bacokan dan tusukan hanya
mengenai tempat kosong belaka walaupun tadinya kelihatan sudah tepat pada
sasarannya. Dan sebagai balasan, pedang ditangan gadis itu menyambar-nyambar
dengan cepatnya. Akhirnya, dua orang itu tak mungkin dapat menghindar lagi
ketika dengan kecepatan kilat, setelah kaki kirinya berhasil menendang roboh
seorang pengeroyok, pedang di tangan Yu Bwee menyambar dan merobohkan orang
kedua dengan sabetan yang mengenai leher, kemudan dilanjutkan dengan tusukan
yang mengenai dada orang pertama yang roboh oleh tendangannya.
Ketika Yu Bwee mengangkat muka menendang ke kanan untuk membantu orang
berpakaian putih yang tadi menolongnya, ternyata orang itupun sudah selesai
dengan merobohkan tiga orang pengeroyoknya, hanya dengan tangan kosong saja!
Orang ketiga baru saja dirobohkannya dengan sebuah tamparan keras, hampir
berbareng dengan robohnya dua orang pengeroyoknya. Yu Bwee memandang kagum. Ia
sendiri hanya dapat memenangkan pengeroyokan dua orang dengan sebatang pedang di
tangan, akan tetapi pemuda berpakaian serba putih itu merobohkan tiga orang
pengeroyok dengan tangan kosong saja! Para perampok menjadi terkejut bukan main
ketika melihat robohnya lima orang pemimpin mereka.
Terbanglah nyali mereka melihat ini, maka ketika Yu Bwee dan Han Le seperti
orang berlumba menerjang para perampok yang berani mendekat, merekapun menjadi
panik dan larilah sisa para perampok itu ke dalam hutan! Sekali ini kerugian
yang diderita pasukan pengawal amat parah, lebih dari setengah jumlah mereka
roboh dan sisanya hanya tinggal dua puluh orang lebih saja. Yu Bwee sendiri
cepat menghadap kaisar dan dua orang permaisurinya. Kaisar masih lemah dan
sakit, maka Yu Bwee hanya dapat menghadap permaisuri Cu An dan permaisuri Cu Si
saja. Dua orang permaisuri itu tadi melihat sepak terjang Yu Bwee dan mereka
kagum, juga senang sekali, akan tetapi mereka tidak mengenalnya. Baru setelah Yu
Bwee memperkenalkan diri sebagai puteri guru sastera Yu Kiang dan cucu dari
Pangeran Ceng Tiu Ong, dua orang permaisuri itu girang dan Cu An berkata halus.
#Yu Bwee, engkau naiklah ke dalam kereta ini dan temanilah kami. Dengan adanya
engkau di samping kami, baru kami merasa aman.# Cu Si juga membenarkan
permintaan ini dan terpaksa walaupun hatinya tidak merasa suka, Yu Bwee tinggal
di dalam kereta menemani dan menjaga mereka. Melihat keadaan para pasukan
pengawal, han Le merasa khawatir sekali. kalau terjadi serangan lagi, tentu akan
berbahaya keadaan mereka. di Yehol memang ada pasukan besar, akan tetapi karena
kekacauan itu, agaknya tidak ada hubungan kepada pemimpin mereka sehingga mereka
itu hanya menjaga dan menanti di yehol. han Le lalu menemui komandan dan pasukan
pengawal yang juga sudah terluka pangkal lengan kirinya yang kini dibalut.
#Ciangkun, sebaiknya kalau pejalanan dilanjutkan saja agar cepat dapat tiba di
Yehol sebelum ada serangan lain dari musuh.# Komandan merasa setuju, dan enam
orang disuruh menyalakan obor besar sebagai penunjuk jalan yang kini dijalankan
lagi melalui jalan-jalan yang rusak, becek bahkan berlumpur. Biarpun amat sukar
perjalanan itu, namun akhirnya sampai juga mereka ke perbatasan Yehol dan
disambut oleh pasukan penjaga.
Selamatlah keluarga kaisar sampai di tempat tujuan dan tentu saja keluarga itu
amat bersyukur dan berterima kasih kepada Gan Han Le dan juga kepada Yu Bwee
karena dua orang muda gagah perkasa inilah yang telah menyelamatkan perjalanan
keluarga kaisar setelah pasukan pengawal terancam oleh musuh yang hampir saja
mencelakakan keluarga besar itu. Yu Bwee yang masih berdarah bangsawan kerajaan
itu segera digandeng dan diajak masuk ke dalam istana Yehol oleh permaisuri Cu
An, sedangkan Han Le cepat dipesan oleh Cu Si untuk masuk dan menghadapnya.
Sebenarnya Han Le tidak bermaksud untuk lama tinggal di Yehol. Setelah keluarga
kaisar dapat dengan selamat mencapai Yehol, dia merasa bahwa kewajibannya
selesai dan dia ingin pergi saja. Akan tetapi, komandan yang menemuinya
mengatakan bahwa itu adalah perintah permaisuri dan siapapun tidak dapat
menentang atau membangkang terhadap perintah permaisuri.
Pemuda itu dapat ditangkap dengan tuduhan melawan permaisuri kalau tidak mau
menghadap. Karena tidak ingin mendatangkan keributan, Han Le terpaksa masuk ke
dalam taman yang luas dari istana itu di mana dia diharuskan pergi menghadap
permaisuri kedua itu. Ruangan di tepi taman itu indah bukan main. Lantainya dari
marmer biru dan perabot-perabot rungan itu serba indah, Tirai-tirai sutera
beraneka warna membuat suasana di ruangan itu semakin cerah. Bunga-bunga di
taman menyiarkan keharuman sampai ke dalam ruangan, ditambah lagi dengan bau
dupa harum membuat Han Le seolah-olah memasuki ruangan di kahyangan, merasa
seperti mimpi karena selama hidupnya belum pernah dia melihat tempat seindah dan
semewah itu. Akan tetapi, sunyi saja di tempat indah itu ketika dia bersama
komandan memasukinya. Ketika mereka masuk ruangan, yang nampak hanyalah
permaisuri kedua Cu Si bersama tiga orang dayang.
Nampak beberapa orang pengawal yang berjaga di luar ruangan. Ketika komandan itu
datang bersama Han Le, mereka disambut oleh seorang thaikam yang bermuka buruk
yang bukan lain adalah Li Lian Ying, thaikam (manusia kebiri) yang menjadi
kepercayan Cu Si. Thaikam inilah yang membawa mereka menghadap majikannya dan
melihat mereka muncul, Cu Si bangkit berdiri dari tempat duduknya, dengan mata
bersinar dan wajah berseri ia memandang kepada Han Le. Komandan itu mengajak Han
Le untuk menghadap sambil berlutut, dan terdengar Li Lian Ying melaporkan bahwa
komandan telah datang membawa pemuda Gan Han Le seperti yang diperintahkan
permaisuri itu. Cu Si tersenyum, jantungnya berdebar tegang dan gembira melihat
pemuda yang membuatnya tergila-gila itu.
#Terima kasih, Ciangkun,# katanya kepada komandan pasukan pengawal, #Engkau
boleh pergi sekarang.# Komandan itu mengundurkan diri, meninggalkan Han Le
bersama thaikam buruk rupa itu yang masih menghadap permaisuri. Cu Si memberi
isyarat kepada Li Lian Ying dan tiga orang dayang yang tanpa berkata-kata lagi
lalu pergi meninggalkan ruangan itu, masuk ke dalam. Kini tinggallah Han Le
berdua saja dengan Cu Si. Setelah tidak ada orang lain di situ kecuali para
pengawal yang berjaga di luar ruangan itu seperti patung, menghadap keluar.
Kembali Cu Si tersenyum melihat pemuda itu masih berlutut sambil menundukkan
mukanya. Betapa tampannya pemuda ini, pikirnya. Tampan dan gagah perkasa!
Berbeda jauh dengan kaisar yang lemah dan sakit-sakitan itu. Bahkan perjalanan
melarikan diri itupun telah membuat kaisar jatuh sakit. Han Le sendiri
mengerutkan alis ketika menundukkan mukanya. Dia melihat betapa semua orang
pergi, tinggal dia sendiri yang belum disuruh mundur oleh permaisuri dan dia
merasa tidak enak sekali. Tidak wajar ini, pikirnya dan dia mengharapkan
permaisuri itu akan segera menyelesaikan urusannya dan menyuruhnya pergi. Suara
wanita itu demikian halus merdu dan penuh wibawa ketika menyuruh komandan tadi
pergi. Tiba-tiba terdengar suara itu lagi, merdu dan halus.
#Pendekar muda yang perkasa, siapakh namamu?# Tanpa mengangkat muka, Han Le
menjawab,
#Nama hamba Gan Han Le.#
#Gan Han Le, bangkitlah dan duduklah di kursi depanku ini, agar lebih enak kita
bicara dan angkatlah mukamu agar aku dapat melihat wajahmu.# Berdebar keras rasa
jantung Han Le mendengar perintah yang dikeluarkan dengan suara lembut ini. Dia
meragu, akan tetapi tidak berani membantah dan diapun bangkit dan duduk
berhadapan dengan permaisuri itu, lalu mengangkat mukanya. Cantik sekali wanita
di depannya itu, masih muda dan memiliki pandang mata tajam menantang. Bibirnya
yang tipis merah itu mengulum senyum. melihat betapa mulut dan mata itu seperti
hendak melumatnya, Han Le cepat menundukkan lagi mukanya. Diam-diam Cu Si
tersenyum lebar dan berahinya semakin berkobar. Kini, Cu An dan para keluarga
sedang sibuk mengurusi kaisar yang jatuh sakit, bahkan tadi sampai pingsan.
Semua orang sibuk di dalam sehingga ia memperoleh kesempatan baik untuk berbuat
apa saja di situ tanpa ada yang tahu. Ia tadi hanya mengatakan kepada Cu An
bahwa ia hendak memberi hadiah kepada pendekar baju putih yang telah
menyelamatkan rombongan keluarga kaisar di tengah jalan dan tentu saja alasannya
yang amat kuat ini menjauhkan kecurigaan siapapun juga. Melihat wajah Han Le
ketika memandangnya tadi, hampir tidak kuat ia menahan gairah hatinya. Kalau
menurutkan dorongan gairahnya, ingin ia segera menubruk dan merebahkan dirinya
di dalam pelukan pemuda yang ganteng itu. Akan tetapi tentu saja ia menahan diri
karena mereka berada di ruangan terbuka, dan walaupun di situ tidak ada orang
lain kecuali para pengawal yang berjaga seperti patung, akan tetapi tempat itu
mudah dilihat orang dari luar.
#Han Le......,# suaranya sudah menjadi lain, seperti bisikan, seperti rintihan,
#Kami sekeluarga amat berterima kasih kepadamu......# ia berhenti sebentar untuk
menekan guncangan hatinya, #...... dan aku ingin memberi hadiah kepadamu sebagai
tanda terima kasih......#
#Hamba mohon paduka tidak usah repot memeikirkan hal itu, karena hamba
melakukannya sebagai suatu kewajiban......#
#Biarpun demikian, kami berhutang budi dan nyawa kepadamu, Han Le. Marilah, kau
mengikuti aku ke dalam untuk menerima hadiah itu.# Ia bangkit dengan tergesagesa
dan meninggalkan kursinya. Biarpun hatinya penuh keraguan dan kekhawatiran,
namun melihat permaisuri yang telah mengeluarkan perintah itu melangkah masuk,
mau tidak mau Han Le juga bangkit berdiri dan mengikuti dari belakang. Nampak
olehnya betapa sepasang bukit pinggul itu menari-nari ketika kedua kaki yang
kecil itu berlenggang di depannya, pinggang yang ramping itu meliuk ke kanan
kiri demikian indahnya.
Makin tegang rasa hati Han Le ketika permaisuri itu mengajaknya memasuki sebuah
kamar! Dan dua orang dayang yang tadinya membersihkan kamar itu, segera keluar
dan pergi setelah mendapat isyarat dari sang permaisuri. Begitu mereka masuk ke
dalam kamar, tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi Cu Si lalu menutupkan tirai
tebal yang menutup pintu kamar! Dan sebelum Han Le dapat menenangkan perasaannya
yang terguncang, tiba-tiba saja permaisuri itu membalik dan menghadapinya, dekat
sekali, lalu tiba-tiba kedua lengan yang kecil halus itu melingkari lehernya
seperti dua ekor ular dan hidungnya mencium keharuman yang keluar dari dada dan
rambut permaisuri itu.
#Han Le, pondonglah aku ke pembaringan itu, cintailah aku dan engkau akan kuberi
hadiah apa saja yang kau inginkan......# bisik permaisuri itu dengan suara
gemetar karena gejolak berahinya. Tentu saja Han Le terkejut bukan main. hal ini
sama sekali tak pernah disangkanya! hatinya memberontak dan kalau saja dia tidak
menguasai perasaannya yang terguncang hebat, tentu dia telah menggerakkan tangan
memukul wanita itu! Akan tetapi, untung bahwa dia masih ingat bahwa wanita itu
adalah permaisuri dan akan terjadi geger kalau sampai dia membunuhnya. maka,
dengan lembut dia melepaskan diri dari pelukan dan melangkah mundur.
#Tidak! Paduka tidak boleh begitu. Hamba pergi sekarang!# tanpa menanti jawaban
diapun melompat keluar dari dalam kamar itu dengan langkah lebar dan cepat
diapun keluar dari bagian istana di samping dekat taman itu. Sejenak Cu Si
tertegun. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa pemuda itu akan menolaknya!
Bagaimana seorang laki-laki berani menolaknya? Wajahnya berubah pucat, lalu
menjadi merah sekali melihat betapa pemuda itu keluar dengan cepat. Ia lalu
bertepuk tangan dan isyarat itu mengundang datangnya lima orang pengawal yang
berada paling dekat.
#Kejar orang muda itu, tangkap dia!# bentaknya. Lima orang pengawal itu
berserabutan keluar untuk melakukan pengejaran, akan tetapi di dalam hati mereka
amat gentar. Sudah mereka ketahui betapa pemuda itu dengan gagah beraninya telah
menggagalkan usaha banyak perampok yang menghadang pelarian keluarga kaisar!
Menurut berita yang mereka dengar dari sisa para perajurit pengawal, pemuda itu
memiliki kepandaian silat yang amat tinggi, dan sekarang mereka diutus untuk
menangkap pemuda lihai itu! Sementara itu, dengan menahan tangisnya, Cu Si
memanggil Li Lian Ying yang merasa heran melihat majikannya duduk lesu dan mata
basah air mata.
#Jahanam itu berani menolakku dan agaknya para pengawal jerih untuk
menangkapnya. Aih, hatiku sakit hati sekali, Lian Ying!# Cu Si membantingbanting
kakinya yang kecil di atas lantai.
#Sungguh kurang ajar sekali, berani dia menolak paduka!# Li Lian Ying juga
berseru sambil mengepal tinju. #Tentu saja para perajurit yang tolol itu takut
kepadanya karena memang dia lihai. Akan tetapi ada satu orang yang akan berani
melawannya, agaknya paduka lupa kepada nona Yu Bwee. Kalau mengutus nona Yu Bwee
yang mengejar, tentu orang itu akan dapat ditangkap dan diseret kembali menerima
hukuman#
#Aih, engkau benar, Lian Ying. Kenapa aku melupakan gadis itu? Panggil ia ke
sini!# Li Lian Ying lari ke dalam istana dan tak lama kemudian, Yu Bwee sudah
menghadap permaisuri kedua itu.
#Yu Bwee, pemuda bernama Gan Han Le yang membantu kami di perjalanan itu,
setelah tiba di sini berani sekali kurang ajar kepadaku! Kini dia melarikan diri
dan kiranya hanya engkau sajalah yang akan mampu mengejar dan menangkapnya!
Tangkap dia dan seret di ke sini agar kami dapat memberi hukuman atas kekurangaj
arannya!# Yu Bwee merasa heran dan terkejut, akan tetapi tidak berani
mendesak untuk bertanya kekurang-ajaran yang bagaimana telah dilakukan pemuda
itu. Ia menyanggupi lalu keluar dari istana, menerima petunjuk para penjaga ke
arah mana larinya pemuda berpakaian putih itu dan iapun melakukan pengejaran
dengan cepat. Setelah Yu Bwee berangkat, Cu Si masih merasa gelisah. ia ingin
menangkap Han Le, bukan hanya karena merasa malu dan sakit hati ditolak pemuda
itu, akan tetapi juga khawatir kalau-kalau pemuda itu akan bercerita di luaran
akan rayuannya yang gagal. Karena itu Han Le harus dapat ditangkap, harus
dibunuh!
Munculnya seorang dayang yang melapor sambil menangis bahwa keadaan kaisar
menjadi semakin parah, membuyarkan lamunan Cu Si dan iapun bergegas masuk ke
dalam istana, menuju ke kamar di mana kaisar menderita sakit parah, dirubung
oleh para selir dan dayang dan ditangisi oleh Cu An,permaisuri pertamanya.
Dengan mempergunakan ilmu berlari cepat, Yu Bwee akhirnya dapat menyusul Han Le
setelah matahari condong ke barat. Pemuda itu sedang mendaki lereng sebuah bukit
dan nampak dari jauh oleh Yu Bwee karena pakaiannya yang serba putih itu mudah
dilihat dari jauh. Gadis inipun cepat berlari mendaki bukit dan akhirnya dapat
menyusul di puncak bukit yang memiliki tanah datar penuh rumput hijau.
#Sobat yang berada di depan, perlahan dulu!# Yu Bwee berteriak dari belakang dan
Han Le menghentikan langkahnya, lalu membalikkan tubuh. Dia tersenyum mengejek
karena sejak tadi diapun tahu bahwa ada orang berlari cepat mendaki bukit,
agaknya hendak mengejarnya. Akan tetapi di balik senyumnya, diapun merasa heran
mendapat kenyataan bahwa yag mengejarnya adalah gadis perkasa yang pernah
membantunya melindungi keluarga kaisar, gadis yang amat lihai permainan
pedangnya itu!
#Ah, kiranya engkau yang melakukan pengejaran, nona. Kita tidak saling kenal dan
tidak mempunyai urusan, oleh karena itu, apakah kepentingan yang mendorongmu
untuk mengejarku?# Dua pasang mata bertemu dan sejenak, mereka saling
berpandangan, penuh selidik. Pemuda ini sungguh tampan, dengan mata yang agak
membiru sehingga nampak aneh, pikir Yu Bwee. Ia masih belum mengerti apa yang
telah dilakukan pemuda ini maka permaisuri demikian marahnya, mengatakannya
kurang ajar dan ingin menghukumnya. Kurang ajar sikapnya, ataukah...... hanya
ada semacam kekurang- ajaran seorang laki-laki terhadap seorang perempuan,
apalagi kalau perempuan itu demikian cantik jelita dan menarik seperti
permaisuri Cu Si!
#Bukankah engkau yang pernah melindungi keluarga kaisar, dan baru pagi tadi
meninggalkan istana Yehol?# tanya Yu Bwee, ingin kepastian.
#Benar, dan engkau adalah gadis berpedang yang ikut pula melindungi keluarga
kaisar,# jawab Han Le.
#Aku diutus oleh Permaisuri Cu Si untuk menangkapmu dan membawamu kembali ke
istana! Karena itu, menyerahlah dengan baik daripada aku harus mempergunakan
kekerasan!# kata Yu Bwee, tidak ingin mencampuri urusan antara pemuda itu dengan
permaisuri, juga tidak ingin tahu. Tugasnya hanyalah menangkap dan habis
perkara. Han Le mengerutkan alisnya. Di dalam hatinya dia merasa marah bukan
main. Permaisuri yang tak tahu malu itu kini bukan sadar dan menyesal akan
kelakuannya yang hina dan tidak pantas, malah menyuruh orang untuk menangkapnya!
Dan mengapa gadis yang gagah perkasa ini mau saja diperintah untuk menangkapnya?
Dan tiba-tiba dia merasa jantungnya seperti ditikam oleh kekecewaan. Apakah
gadis yang dikaguminya ini juga seorang wanita semacam permaisuri itu? Alangkah
sayangnya kalau benar begitu.
#Nanti dulu, nona. Aku akan mau saja ditangkap dan tidak akan melawan kalau aku
mengetahui mengapa aku kau tangkap, dan apa kesalahanku maka engkau mengejarku
untuk menangkap.# Yu Bwee memandang dengan tajam.
#Permaisuri kedua memerintahku untuk mengejar dan menangkapmu, membawamu kembali
ke istana karena engkau telah berani kurang ajar kepada beliau!# Makin mengkal
rasa hati Han Le mendengar tuduhan ini. Jelas bahwa permaisuri yang tak tahu
malu itu telah memutarbalikkan kenyataan, atau jangan-jangan gadis ini memang
jahat seperti majikannya dan menganggap bahwa penolakannya terhadap ajakan
permaisuri itu merupakan kekurang-ajaran.
#Nona, tahukah engkau apa yang telah terjadi antara aku dan sang permaisuri?#
Wajah Yu Bwee berubah merah dan ia memandang marah,
#Aku tidak tahu dan tidak perduli apa urusannya! Pendeknya, tugasku hanyalah
menangkapmu dan habis perkara!# Mendengar ini, legalah hati Han Le. Kalau
begitu, gadis ni memang tidak tahu dan bukan membela permaisuri yang jahat,
melainkan hanya melaksanakan perintah saja tanpa mengetahui sebabnya.
#Nona, aku melihat bahwa engkau adalah seorang gadis perkasa, seorang pendekar
yang tentu akan dapat mempertimbangkan dengan adil setelah tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Nah, aku akan menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi
dan kemudian terserah kepadamu apa yang akan kau lakukan. Maukah engkau
mendengar keteranganku?# Sejak semula hati Yu Bwee memang sudah tertarik dan
kagum kepada pemuda berpakaian serba putih itu, dan iapun dapat menduga bahwa
pemuda itu seorang pendekar yang berilmu tinggi. Dan sebagai puteri seorang
bangsawan yang sejak kecil tinggal di kotaraja, tentu saja iapun pernah
mendengar celotehan orang tentang Yehonala, selir kaisar yang kini setelah
melahirkan seorang putera lalu diangkat menjadi permaisuri kedua Cu Si. Ia
pernah mendengar kabar yang buruk tentang permaisuri ini, oleh karena itu,
mendengar kata-kata Han Le, ia menjadi bimbang, tidak menjawab, tidak mengangguk
akan tetapi juga tidak menggeleng, hanya menanti.
#Sesungguhnya beginilah peristiwanya, nona. Ketika menyelamatkan rombongan dari
ancaman para perampok, keluarga kaisar minta kepadaku untuk terus mengawal, dan
hal itu kulakukan sampai mereka selamat tiba di Yehol. Ketika aku hendak
meninggalkan Yehol karena tugas itu telah selesai, permaisuri kedua memanggilku
menghadap. Kemudian ia menyuruh pergi semua orang, dan mengajakku ke dalam kamar
dengan maksud memberi hadiah atas jasaku. Biarpun aku sama sekali tidak
mengharapkan hadiah, aku tidak berani menolak dan mengikutinya masuk ke dalam
kamar. Akan tetapi apa yang terjadi? Ah, sungguh memalukan sekali kalau
diceritakan! Ia bersikap tidak wajar bahkan...... tidak tahu malu, membujuk aku
melakukan hal-hal yang tidak sopan. Aku menolak dengan marah dan aku menggunakan
kekerasan untuk melarikan diri! Nah, begitulah peristiwanya dan kini tahu-tahu
ia telah mengutusmu untuk mengejar, menangkap aku dan membawa kembali ke istana!
# Wajah Yu Bwee menjadi merah. Sebagai seorang gadis, ia merasa malu sekali
mendengar betapa permaisuri membujuk pemuda ini untuk melakukan hal yang tidak
sopan. Tanpa dijelaskanpun ia dapat membayangkan apa yang dilakukan oleh
permaisuri Cu Si. Hatinya menjadi bimbang dan ragu ketika ia menatap wajah
pemuda itu. Sepasang mata yang warnanya seperti warna lautan itu menyinarkan
kesungguhan dan kejujuran.
#Hemm, bagaimana aku bisa tahu apakah ceritamu itu benar ataukah bohong? Siapa
tahu engkau memutarbalikkan kenyataan?# tanyanya dengan alis berkerut.
#Terserah kepadamu untuk percaya atau tidak, nona. Akan tetapi kalau aku
memutarbalikkan kenyataan, kalau aku memiliki niat buruk itu, dengan
kepandaianku, perlukah aku melarikan diri dan dapatkah sang permaisuri lolos
dariku setelah aku diajaknya ke dalam kamarnya?# Kembali sepasang pipi Yu Bwee
menjadi merah sekali. memang tak dapat dibantah kebenaran kata-kata pemuda ini.
pemuda ini lihai sekali. Kalau memang mempunyai niat buruk terhadap permaisuri
itu, apa sukarnya? Dan mengapa pula pemuda itu melarikan diri? Akan tetapi,
biarpun ia mulai percaya akan kebersihan pemuda ini, ia masih belum
melepaskannya. Di samping tugas yang dibawanya dari Yehol untuk menangkap pemuda
ini, juga ada keinginan pribadi yang timbul, yaitu ia ingin sekali menguji
kepandaian pemuda yang menarik hatinya itu.
#Percaya atau tidak bagi sang permaisuri tidak ada pilihan lain. Aku harus
menangkapmu!#
#Hemm, kalau engkau tidak mau melihat kenyataan dan berkukuh hendak melaksanakan
perintah sang permaisuri, berarti engkau membantu yang salah, nona. Dan tentu
saja akupun tidak sudi kalau harus kembali kepada siluman betina itu!#
#Tidak perlu memaki! Aku memang ingin melihat sampai di mana kelihaianmu!#
Berkata demikian, Yu Bwee memasang kuda-kuda, siap untuk menyerang. han Le
melihat dan hatinya senang. gadis itu tidak mencabut pedang, melainkan hendak
mempergunakan tangan kosong dan hal ini hanya dapat diartikan bahwa gadis itu
memang hanya ingin menguji kepandaian, bukan mengajak berkelahi! Walaupun dia
tidak gentar andaikata gadis itu menggunakan pedang sekalipun. Akan tetapi kalau
terjadi demikian, dia akan kecewa dan menyesal. Dia tidak ingin bermusuhan
dengan gadis yang amat jelita ini, bahkan ingin bersahabat dengannya.
#Baiklah kalau memaksa, akupun ingin menguji kepandaianmu, nona,# katanya dan
baru saja dia berhenti bicara, gadis itu telah menerjangnya dengan dahsyat.
Kedua tangan gadis itu mengirim pukulan dengan telapak tangan terbuka seperti
orang mendorong, akan tetapi dari kedua telapak tangan itu timbul kekuatan
dahsyat yang berhawa dingin.
(Lanjut ke Jilid 14)
Jilid 14
#Bagus!# seru Han Le yang mengerti bahwa gadis itu sengaja mengeluarkan tenaga
sinkang dan diapun ingin menguji kekuatan gadis itu dan dia menyambut kedua
telapak tangan itu dengan kedua tangannya sendiri.
#Plak! Pakk!# Tubuh Yu Bwee terdorong mundur, akan tetapi dengan terkejut sekali
Han Le merasakan betapa ada hawa dingin menyusup ke dalam tubuhnya melalui
telapak tangan yang bertemu dengan telapak tangan gadis tadi. Cepat dia
mengerahkan tenaga sinkang dan membendung aliran tenaga dalam yang berhawa
dingin itu agar tidak sampai melukainya. Keduanya merasa kagum, karena Yu Bwee
tadi merasa betapa dorongannya bertemu dengan kekuatan seperti benteng baja yang
membuat ia terdorong mundur. Yu Bwee lalu menyerang lagi, kini tubuhnya bergerak
cepat, kaki tangannya mengirim serangan bertubi-tubi dan setiap serangan
mengandung tenaga yang amat kuat. Diam-diam Han Le kagum bukan main,
Akan tetapi pemuda ini mempergunakan kecepatan gerakan tubuhnya untuk mengelak
atau menangkis. Dia selalu mengalah dan jarang membalas karena memang dia tidak
ingin merobohkan gadis itu. Yu Bwee telah mewarisi ilmu dari ibunya dan Ceng
Hiang adalah seorang wanita yang beruntung sekali mewarisi ilmu- ilmu dari
keturunan keluarga Para Pendekar Pulau Es! Akan tetapi, karena ia bukan
keturunan langsung, maka ilmu-ilmu dari Pulau Es yang diwarisinya itu hanya
merupakan sisa-sisa saja dari ilmu-ilmu aselinya. Bagikan air yang sudah
mengalir jauh, tentu saja tidak dapat disamakan dengan air yang baru keluar dari
sumbernya. Kepandaian yang dimilikinya dari ibunya itu tentu saja belum ada
sepuluh prosen dari ilmu-ilmu Pulau Es! Namun cukup membuat ibunya menjadi
seorang wanita yang amat lihai,
Bahkan ia sendirpun menjadi seorang gadis yang sukar dikalahkan oleh ahli silat
sembarangan saja. Baru tenaga sinkang yang dipergunakannya tadi saja, yang
berhawa dingin, adalah sinkang yang amat hebat, yang dinamakan Soat-im Sin-kang
(Tenaga Sakti Inti Salju) yang merupakan ilmu dari keluarga Pulau Es. Akan
tetapi tentu tidak sedahsyat aselinya. Di lain pihak, Han Le mewarisi ilmu-ilmu
dari Bu Beng Kwi atau Koan Jit yang menjadi murid pertama dari mendiang Thiantok,
seorang di antara Empat Racun Dunia yang sakti. Ilmu silat tangan kosong
Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang telah dikuasainya dengan baik membuat pemuda
berpakaian putih ini lihai sekali. Ketika tiba giliran Han Le untuk mengeluarkan
ilmunya dan membalas, bukan dengan maksud merobohkan, hanya untuk menguji dan
mendesak,
Pemuda ini kaget dan kagum ketika tubuh lawan itu selalu dapat mengelak dan
gadis itu mempergunakan langkah-langkah aneh yang selalu membuat tubuhnya berada
di luar jangkauan serangannya! Itulah Pek-seng Sin-pouw (Langkah Ajaib Seratus
Bintang) yang dimainkan oleh Yu Bwee dari ibunya, yang secara kebetulan
menemukan kitab peninggalan Tat Mo Couwsu yang mengajarkan ilmu langkah ajaib
itu. Mereka saling serang sampai seratus jurus dan Yu Bwee mulai berkeringat.
Belum pernah ia dapat menyentuh tubuh lawan walaupun lawannya juga belum pernah
dapat menyentuhnya. Yu Bwee tidak tahu bahwa sesungguhnya pemuda berpakaian
putih itu selalu mengalah. Walaupun ia memiliki Pek-seng Sin-pouw, kalau Han Le
menyerang dengan sepenuh kemauan, walaupun ia dapat bertahan tidak urung ia akan
dapat dirobohkan oleh pemuda itu.
Han Le sudah merasa cukup menguji ilmu kepandaian gadis itu dan dia merasa kagum
bukan main, juga semakin tertarik, karena gadis itu selain memiliki kecantikan
yang luar biasa, ternyata memiliki ilmu silat yang aneh-aneh dan lihai bukan
main. Juga gadis ini bukan seorang yang ganas, buktinya biarpun tidak mampu
mengalahkannya, belum juga gadis itu mau mencabut pedang. Padahal ketika
menghadapi perampok, begitu terjun ia sudah mengeluarkan pedangnya dan sungguh
amat berbahaya. Ketika tangan kanan Yu Bwee meluncur dan mencengkeram ke arah
dadanya, Han Le sengaja memperlambat gerakan mengelak, akan tetapi diam-diam dia
melindungi kulit dadanya dengan ilmu kebal Kim-ciong-ko sehingga jari-jari
tangan gadis itu meleset dari kulitnya yang menjadi keras dan licin, dan yang
kena dicengkeram hanyalah bajunya saja.
#Bretttt......!# baju di bagian dadanya itupun terobek selebar tangan! Keduanya
melompat mundur dan Yu Bwee masih memegang kain robekan baju putih sambil
tersenyum penuh kemenangan. Bagaimanapun juga, gadis ini merasa girang dan
bangga karena bukankah dengan robeknya baju di bagian dada itu membuktikan bahwa
ia lebih unggul? Han Le yang meloncat ke belakang itu lalu menjura.
#Nona, sungguh lihai sekali, aku mengaku kalah.# Giranglah hati Yu Bwee. Pemuda
ini meupakan lawan yang amat tangguh, dan rendah hati sehingga mudah mengaku
kalah begitu saja, padahal ketika tangannya mencengkeram dada tadi, ia merasa
betapa dada itu keras seperti baja dan licin sekali sehingga tangannya hanya
berhasil merobek baju. Ia menduga bahwa pemuda itu memiliki ilmu kekebalan yang
hebat. Sikap ini mendatangkan rasa suka di hatinya dan ia semakin ragu apakah ia
harus memaksa pemuda ini untuk kembali ke istana.
#Sudahlah, tidak mudah mengalahkanmu. Sesungguhnya, benarkah apa yang kau
ceritakan tentang sikap sang permaisuri tadi?#
#Aku Gan Han Le bukanlah orang yang suka berbohong,# kata Han Le
#Namamu Gan Han Le? Aku bernama Yu Bwee......# Otomatis gadis itu memperkenalkan
diri.
#Aku girang sekali dapat berkenalan denganmu, nona Yu Bwee. Sungguh mengherankan
sekali melihat seorang gadis berbangsa Mancu memiliki ilmu silat yang demikian
lihainya.#
#Aku tidak sepenuhnya keturunan Mancu. Dalam darah ayahku mengalir pula darah
Han. Aku hanya seorang peranakan. Dan engkau? Kulihat engkau berbeda dengan
pemuda Han yang biasa. sepasang matamiu itu......#
#Agak kebiruan?# Han Le berkata dan merasa sebal dengan dirinya sendiri.
#Memang, akupun seorang peranakan. Ayahku seorang Han aseli, akan tetapi ibuku
seorang kulit putih......#
#Ahhh......!#
#Hemm, engkau heran dan......memandang rendah? Tidak aneh karena semua orang
membenci orang kulit putih, akan tetapi biarpun ia seorang wanita kulit putih,
ibuku bijaksana dan membantu perjuangan rakyat, ayahku yang sudah tiada juga
seorang pendekar dan pahlawan rakyat pejuang......#
#Aih, kalau begitu benar! Ayahmu tentu Gan Seng Bu!# Han Le terkejut. Tadi dia
sama sekali tidak menyangka bahwa gadis itu terkejut bukan karena mendengar
ibunya berkulit putih, melainkan terkejut karena agaknya dapat menduga siapa
adanya ayahnya yang menikah dengan wanita kulit putih. Rasa bangga menyelinap di
dalam hatinya.
#Engkau mengenal ayahku?# Yu Bwee menggeleng kepala.
#Tidak mengenal orangnya, hanya mendengar namanya dari cerita ibu. Ibupun,
walaupun puteri seorang pangeran Mancu, amat akrab dengan para pendekar pejuang
dan sering bercerita tentang para pendekar sehingga ketika engkau mengatakan
bahwa ibumu seorang kulit putih, aku teringat akan pendekar Gan Seng Bu yang
menikah dengan wanita kulit putih.# Yu Bwee berhenti sebentar dan mereka kini
saling pandang, dengan sinar mata lain, penuh kagum.
#Aku tahu bahwa ayahmu telah gugur, akan tetapi di mana ibumu?# Pertanyaan ini
bagaikan sebatang pedang menusuk jantungnya. Han Le menjadi agak pucat dan
diapun menarik napas panjang, teringat betapa ibunya telah menjadi isteri Koan
Jit, musuh besar yang telah membunuh ayahnya! Ibunya telah berkhianat.
#Ibu juga sudah meninggal dunia,# jawabnya singkat.
#Ah, kasihan sekali engkau, Han Le. Sekarang, setelah mengenal siapa adanya
dirimu, aku percaya padamu. Memang, sudah banyak kabar desas-desus yang kudengar
tentang permaisuri kedua itu. Biarlah, akan kukatakan bahwa aku tidak berhasil
menyusulmu.#
#Terima kasih, Yu Bwee, aku tahu bahwa engkau memang baik sekali dan seorang
gadis berjiwa pendekar yang gagah perkasa.# Yu Bwee memandang robekan kain putih
yang masih berada di tangannya dan sadar bahwa sejak tadi ia memeganginya, ia
lalu melepaskannya sehingga kain putih itu melayang jatuh ke atas tanah, dan
iapun memandang ke arah baju di bagian dada berlubang itu.
#Maafkan, aku tadi telah merobek bajumu......# katanya.
#Tidak mengapa, Yu Bwee, masih untung bahwa engkau hanya merobek baju, bukan
kulit dagingku.# Tiba-tiba saja terdengar suara bentakan,
#Gan Han Le, menyerahlah sebelum kami terpaksa menembakmu! Menyerah untuk
menjadi tawanan kami!# dan tiba-tiba saja muncul dari balik semak-semak dua
orang perwira tentara kerajaan yang menodongkan dua buah senapan ke arah Han Le!
#Nona Yu, minggirlah dan jauhi pemuda itu!# kata orang kedua. Yu Bwee mengenal
mereka sebagai dua orang perwira pengawal yang tentu diutus pula oleh permaisuri
Cu Si untuk melakukan pengejaran dan mereka membawa senjata senapan! Sungguh
berbahaya, pikir Yu Bwee. Ia sudah tahu akan hebatnya senjata api itu, yang
dalam jarak jauh amat sulit dilawan dengan ilmu silat, lebih berbahaya dari
senjata rahasia apapun juga karena amat tepat dan mematikan. Ia tidak mau
mundur, akan tetapi bahkan Han Le yang melangkah mendekati dua orang itu sampai
jarak antara mereka hanya kurang lebih lima belas meter. Pemuda itu bersikap
tenang sekali, bahkan mulutnya tersenyum ketika dia berkata dengan nada
menentang. Dia menjaga agar gadis itu tidak berada di belakangnya.
#Kalau aku tidak menyerah, lalu kalian mau berbuat apakah?#
#Kami akan menembakmu mampus!# bentak mereka bergantian dan moncong bedil mereka
telah ditodongkan ke arah dada Han Le.
#Han Le, menyerah sajalah, terlalu berbahaya melawan mereka yang memegang
senapan!# kata Yu Bwee dengan khawatir sekali melihat sikap Han Le yang agaknya
tidak mau menyerah itu.
#Tidak! Aku tidak sudi menyerah!# Tiba-tiba Han Le menerjang ke depan dan begitu
moncong sebatang senjata api memuntahkan api, tubuhnya sudah bergulingan.
#Darr......!# peluru itu berdesingan lewat di atas tubuh yang masih bergulingan
dan sambil bergulingan, Han Le sudah mencabut pistol kecil dari pinggangnya.
#Klek-klek!# Dia membuka kuncinya, lalu menembak.
#Darr......!# Penembak pertama tadi terjungkal roboh.
#Darr......!# orang kedua menembak, akan tetapi kembali Han Le sudah bergulingan
dan membuka kunci pistol membuang tempat peluru pertama dan ketika lawannya
sedang sibuk mengisi peluru dia sudah melompat bangkit dan kembali pistolnya
meledak.
#Darr......!# dan perwira kedua itupun terjungkal. Keduanya tewas seketika
karena peluru pistol yang ditembakkan Han Le tepat mengenai kepala sampai
tembus!
Han Le tidak memperdulikan mereka, melainkan memandang ke sekeliling untuk
melihat kalau-kalau masih ada musuh. Akan tetapi sunyi saja di puncak bukit itu,
agaknya hanya mereka berdualah yang tadi datang. Dia lalu melangkah kembali
menghadapi Yu Bwee yang memandang kepadanya denga kagum. Pemuda ini selain lihai
ilmu silatnya, juga amat pandai mempergunakan senjata api. Untung bahwa sejak
semula ia sudah merasa kagum, tertarik dan suka kepada Han Le sehingga ketika ia
hendak menangkapnya tadi, ia tidak mencabut pedangnya. kalau sampai mereka
bermusuhan dan Han Le mencabut pistolnya, tentu ia akan tewas pula dengan amat
mudahnya seperti kedua orang perwira itu.
#Terpaksa aku mendahului mereka, kalau tidak...... tentu aku yang menjadi
korban,# katanya seolah-olah minta maaf kepada Yu Bwee.
#Engkau tahu bahwa bagaimanapun juga, aku tidak sudi kembali ke istana Yehol.#
Yu Bwee hanya mengangguk dan matanya mengamati wajah pemuda itu penuh kekaguman.
#Yu Bwee, aku pergi sekarang, senang sekali telah dapat berkenalan denganmu.
Selamat tinggal, Yu Bwee.#
#Selamat jalan......# Pemuda itu membalikkan tubuh, akan tetapi baru melangkah
tiga langkah, dia berhenti dan membalik kembali menghadapi Yu Bwee.
#Yu Bwee, aku...... aku ingin sekali menyimpan benda milikmu untuk menjadi
kenangan dan peringatan pertemuan ini...... relakah engkau memberikan
kepadaku......?# Sejenak Yu Bwee bingung, tidak tahu apa yang dimaksudkan, akan
tetapi wajahnya menjadi kemerahan ketika ia dapat menyelami maksudnya. Ia
menjadi bingung tak tahu harus menjawab bagaimana.
#Benda...... benda apa maksudmu.#
#Tusuk kondemu yang kiri......# Yu Bwee meraba kepalanya dan matanya terbelalak.
Rambutnya digelung ke belakang dan dua batang tusuk konde dari emas di situ,
akan tetapi kini tusuk konde yang kiri sudah lenyap!
#Tusuk kondeku lenyap.......!# katanya. Han Le mengeluarkan tusuk konde itu dari
saku bajunya.
#Inilah benda itu, Yu Bwee. Maaf, sudah kuambil ketika kita bertanding tadi dan
tadinya hendak kusimpan, akan tetapi aku tidak ingin menjadi pencuri, maka aku
minta dengan terang-terangan. Kalau engkau keberatan, benda ini akan
kukembalikan kepadamu, kalau boleh, akan kusimpan sebagai kenangan.# Berdebar
rasa jantung Yu Bwee dan mukanya sebentar pucat sebentar merah. Betapa bodohnya
menganggap diri lebih pandai dalam ilmu silat daripada Han Le! Kiranya diam-diam
pemuda itu telah berhasil mencabut tusuk konde tanpa ia mengetahui. Padahal,
tusuk konde itu dekat dengan tengkuknya, dan kalau pemuda itu menghendaki, bukan
tusuk konde yang dicabut, melainkan nyawanya melalui totokan pada tenkuk! Dan
pemuda perkasa ini ingin menyimpannya sebagai tanda mata, sebagai kenangan! Ia
berusaha mejawab, akan tetapi lehernya seperti tersumbat rasanya dan ia hanya
dapat mengangguk dan mengeluarkan suara lirih,
#...... simpanlah!#
#Terima kasih, Yu Bwee, aku tidak akan melupakanmu selama hidupku, selamat
tinggal!#
#Selamat berpisah.......#
Sekali dua kali meloncat saja tubuh itu berubah menjadi bayangan putih yang
berkelebatan dan lenyap ke bawah puncak. Sejenak Yu Bwee berdiri termenung, dan
ia merasa heran sekali mengapa tiba-tiba saja hidup ini terasa begini sunyi dan
kosong, Ia merasa seperti kehilangan dan kesepian. Ketika ia menunduk, nampak
robekan kain putih itu dan seperti di luar kesadarannya sendiri ia membungkuk
dan menjumput kain itu, sejenak diamatinya kain putih itu dan sambil menarik
napas panjang, robekan kain selebar tangan itupun dimasukkannya ke dalam saku
bajunya! Iapun pergi meninggalkan puncak dengan cepat, menuju ke Yehol untuk
membuat laporan palsu kepada permaisuri Cu Si. Kalau kedua orang perwira
bersenjata api tadi tidak tewas, entah apa yang harus dilaporkan.
Akan tetapi sekarang ia dapat melapor bahwa usahaya mencari Han Le gagal dan
bahwa ia...... tidak bertemu dengan pemuda itu. Kemalangan yang bertubi-tubi
menimpa Kerajaan Ceng dan hampir saja menghancurkan Kerajaan Mancu itu. Peking
diserbu dan diduduki musuh, yaitu orang-orang kulit putih. Kaisar Hsian Feng
yang usianya baru tiga puluh tahun lebih itu, setelah berhasil mengungsi ke
Yehol, jatuh sakit berat yang membawa kematiannya! Kaisar Hsian Feng meninggal
dunia dalam usia muda dan di dalam pengungsian di Yehol. Tentu saja hal ini
menggegerkan, akan tetapi keluarga kaisar dan para pembesar dapat merahasiakan
hal ini agar tidak membuat kedaan menjadi semakin kacau dan lemah. Pangeran Kung
ditugaskan oleh para pembesar yang mewakili pemerintah untuk membuat perjanjian
pedamaian dengan orang-orang kulit putih.
Dalam hal ini, sebagai negara yang kalah, tentu saja pemerintah Mancu menerima
syarat-syarat yang disodorkan oleh orang kulit putih. Perdamaian yang berat
sebelah dan menguntungkan bangsa kulit putih yang diperbolehkan membuka kantor
perdagangan di manapun juga! Bahkan Peking yang sejak berabad lamanya menjadi
kota terlarang, kini harus dibuka untuk para duta negeri Eropa untuk bertempat
tinggal, dengan dasar persamaan hak. Banyak sekali daerah yang tadinya tunduk
untuk menjadi bagian kekuasaan pemerintah Ceng, kini terjatuh ke tangan orang
kulit putih. Dalam tahun 1862 Bangsa Perancis memperoleh Cochin Cina, kemudian
tahun 1863 menguasai Kamboja dan tahun 1867 menguasai Annam Macao juga resmi
menjadi milik Portugal. Birma menjadi jajahan Inggris.
Bukan hanya negara-negara selatan yang dicaplok oleh orang-orang kulit putih,
akan tetapi semua kota pelabuhan di sepanjang pesisir selatan dan timur harus
dibuka untuk mendaratkan kapal-kapal dagang mereka. Dalam perjanjian yang
diadakan setelah Peking jatuh dalam tahun 1860-1861 itu, Pangeran Kung berjasa
besar. Pangeran Kung adalah adik mendiang Kaisar Hsian Feng, yang memimpin
pasukan kerajaan. Ketika mengetahui bahwa ajalnya akan tiba Kaisar Hsian Feng
lalu mengumpulkan para pembantunya. Tiga orang Menteri dan lima orang Jenderal
yang ikut pula mengungsi ke Yehol untuk mengatur upacara pengangkatan putera
mahkota sebagai pengganti kaisar. Putera mahkota itu adalah Pangeran Cai Chun,
yaitu putera dari Yehonala atau Cu Si, satu-satunya putera Kaisar Hsian Feng,
yang pada waktu itu baru berusia enam tahun!
Cai Chun diangkat menjadi kaisar dengan julukan Kaisar Chi Hsiang, dan delapan
orang pembesar itu oleh kaisar yang telah berada di ambang kematian itu diangkat
menjadi wakil kaisar yang akan mengatur pemerintahan atas nama kaisar cilik yang
tentu saja belum mengerti apa-apa itu. Di antara delapan orang pembesar tinggi
yang diangkat menjadi wakil kaisar cilik itu adalah Su Shun, seorang pembesar
yang cerdik, berambisi besar dan menjadi pucuk pimpinan di antara mereka yang
delapan orang itu. Namanya sudah terkenal sebagai seorang pembesar yang licik,
berkuasa dan banyak sudah dia mengangkat orang-orang Han menjadi pembesar, asal
mampu memeberi sogokan yang besar. Dia terkenal sebagai seorang pembessr yang
korup, namun karena cerdik dan berkuasa besar, tidak ada yang berani
menentangnya.
Sungguh sama sekali tidak disangka oleh Su Shun, pembesar yang sudah
berpengalaman dan cerdik ini, bahwa dia akan medapatkan penentang dan musuh yang
sama sekali tak disangka-sangkanya, dan yang dalam hal kecerdikan bahkan
mengatasinya! Musuh itu bukan lain adalah Yehonala atau permaisuri Cu Si yang
kini, setelah puteranya diangkat menjadi kaisar, otomatis menjadi Ibu Suri Cu
Si! Su Shun tidak megira bahwa dalam kepala cantik yang masih muda itu, terdapat
ambisi yang jauh lebih besar daripada ambisinya, dan terdapat kecerdikan yang
lebih lihai! Niuhulu atau permaisuri pertama Cu An yang kini menjadi Ibu Suri
Pertama, sebagai permaisuri pertama tentu saja memiliki kekuasaan besar. Dengan
cerdiknya, Cu Si minta persetujuan para pembesar bahwa ia dan Ibu Suri Cu An
diangkat menjadi wakil kaisar yang masih kecil itu pula, mewakili kaisar dalam
mengambil keputusan yang diajukan oleh Delapan Wakil Kaisar yag menjalankan roda
pemerintahan.
Dengan demikian, tentu saja seolah-olah Cu Si menempatkan dirinya dan Ibu Suri
Cu An di tempat yang lebih tinggi kekuasaannya daripada delapan pembesar tinggi
itu. Hal ini ditentang oleh Su Shun dan teman-temannya, dengan alasan bahwa
tidak terdapat peraturan seperti itu semenjak Kerajaan Ceng berdiri. Ibu Suri Cu
An sendiri, seorang yang lemah dan tidak berambisi, tidak perduli akan itu
semua. Akan tetapi tidak demikian dengan Ibu Suri Cu Si. Ia segera bertindak,
membujuk Cu An bahwa delapan orang pembesar itu tidak setia dan dapat
mencelakakan kaisar dan keluarganya. Bahkan ia berhasil membujuk Ibu Suri Cu An
untuk mengirim surat kepada Pangeran Kung yang menguasai balatentara untuk
datang ke Yehol dan merundingkan bagaimana untuk meghadapi Su Shun dan kawankawannya.
Su Shun juga tidak tinggal diam. Disebarnya mata-mata dan dilakukanlah segala
usaha untuk memisahkan dua orang Ibu Suri itu dengan Pangeran Kung, yang pertama
tetap di Yehol dan yang kedua di Peking dan tidak memberi jalan kepada mereka
untuk saling bertemu. Segala jalan dilakukan untuk menghalangi pertemuan atau
hubungan di antara mereka. Su Shun dan kawan-kawannya menyatakan bahwa tidak
pantas bagi Pangeran Kung untuk menemui ipar-ipar perempuan dan tidak baik
meninggalkan tugasnya di Peking yang masih dalam keadaan gawat, dan sebagainya.
Karena malu hati, Pangeran Kung juga tidak berani berterang dan menghubungi dua
orang kakak iparnya itu.
Perasaan malu ini oleh Su Shun dan kawan- kawannya dianggap sebagai perasaan
takut dan mereka memandang rendah kepada kekuasaan Pangeran Kung yang mengepalai
balatentara dan yang mendapatkan kesan baik di mata pasukan kulit putih, karena
berhasilnya perjanjian perdamaian itu. Juga pihak ibu suri, terutama sekali Ibu
Suri Cu Si, tidak tinggal diam. Ia berusaha keras untuk menjatuhkan delapan
orang yang dianggap menjadi saingannya itu. Cai Chun yang kini menjadi Kaisar
Chi Hsiang adalah anaknya! Seharusnya ialah yang menjadi wali dan wakil kaisar
selagi kaisar masih bocah, bukan delapan orang pejabat tinggi itu. Dalam usaha
Cu Si untuk berhubungan dengan Pangeran Kung di kotaraja, Yu Bwee berjasa
sekali. Gadis perkasa inilah yang menjadi jembatan dan dengan kepandaiannya yang
tinggi,
Yu Bwee dalam melakukan perjalanan bolak-balik dari Kotaraja ke Yehol dan
sebaliknya, membawa pesan-pesan dan surat-surat antara Ibu Suri Cu Si dan
Pangeran Kung! Tugas ini bukan tidak berbahaya. Beberapa kali Yu Bwee dihadang
dan diserang oleh mata-mata yang disebar oleh Su Shun dan kawan-kawanya, namun
gadis perkasa itu berhasil mengalahkan mereka semua dan melaksanakan tugasnya
dengan baik. Akhirnya, kedua pihak dapat mengadakan perundingan lewat
perantaraan Yu Bwee dan Pangean Kung dapat menghadap kaisar di Yehol, bahkan
kaisar bocah ini, diwakili oleh Ibu Suri, mengangkat Pangeran Kung menjadi
perdana menteri yang bekuasa penuh. Ketika kaisar dan kedua Ibu Suri kembali ke
kotaraja Peking, delapan pejabat tinggi yang dituduh berkhianat itupun
ditangkap!
Su Shun yang melarikan diri dapat dikejar dan ditangkap, dihukum mati, ada pula
yang dihukum minum racun, dipenjara selama hidup atau dibuang. pendeknya, semua
lawan dan kaki tangan mereka tidak ada yang diampuni oleh Ibu Suri Cu Si dan
semenjak itu, Ibu Suri Cu Si seolah-olah memegang kendali pemerintahan mewakili
puteranya! Memang benar di sampingnya masih ada Ibu Suri Cu An yang kedudukannya
lebih tinggi, namun Ibu Suri ini lemah dan tidak pernah mau mencampuri urusan
pemerintahan, berbeda dengan Cu Si yang gila kekuasaan dan mulailah wanita ini
menguasai kerajaan sampai hampir lima puluh tahun lamanya! Namun, di samping
ambisinya yang berkobar-kobar untuk menjadi orang yang paling berkuasa di
seluruh negeri, Ibu Suri Cu Si juga merupakan seorang wanita yang panas, yang
besar sekali nafsu berahinya.
Semenjak gadis ia diperisteri mendiang Kaisar Hsian Feng yang lemah karena
terlalu bayak pelesir, apalagi ia ditinggal mati dalam usia yang amat muda,
bagaikan bunga sedang mekar-mekarnya, sedang haus-hausnya akan kepuasan batin.
Oleh karena itu, kembali ia merasa kesepian, merana dan hiburan yang ia dapatkan
dari Li Lian Ying, thaikam kepercayaannya itu, tidak lagi mampu memuaskan dahaga
yang menyiksanya. Dan melihat junjungannya seperti cacing kepanasan atau ikan di
daratan, kembali Li Lian Ying yang cerdik itu yang datang menolong. Thaikam ini
mengetahui rahasia seorang thaikam lain yang bernama An Tek Hai, seorang lakilaki
tinggi besar yang bertubuh kuat. Rekannya ini sudah dikebiri seperti dia
juga, akan tetapi pengebirian terhadap An Tek Hai belum sempurna benar sehingga
thaikam yang satu ini tidak sepenuhnya mati kejantanannya.
Melihat ini, dengan tujuan menyenangkan junjungannya, Li Lian Ying mulai
mendekati An Tek Hai dan memberi obat-obat ramuan dari Tibet yang dahulu
dipergunakan Kaisar Hsian Feng untuk memperkuat dirinya. Setelah minum obat itu,
terjadilah hal yang luar biasa. An Tek Hai menemukan kembali kejantanan
sepenuhnya, bahkan jauh lebih kuat daripada sebelum di dikebiri! Dengan janji
akan membalas budi Li Lian Ying, diperkenalkanlah keadaan An Tek Hai ini oleh Li
Lian Ying kepada Ibu Suri Cu Si. Tentu saja Cu Si menjadi girang sekali. An Tek
Hai adalah seoang laki-laki yang termasuk tampan, tidak seperi Li Lian Ying dan
tubuhnya begitu kokoh kuat dan jantan. Apalagi ketika An Tek Hai mulai
melayaninya, Cu Si merasa girang bukan main. bagaikan orang yang sedang
kehausan, ia dapat minum sepuasnya sekarang.
Bagaikan tumbuhan bunga yang kekeringan, kini ia memperoleh siraman sehingga
bunga, daun sampai ke akar-akarnya menjadi basah dan segar kembali. Mulailah
hubungan gelap yang dilakukan siang malam antara Cu Si dan An Tek Hai, dan
karena An Tek Hai adalah seorang#kebiri# yang boleh saja keluar masuk di semua
ruangan dalam istana, tidak ada seorangpun yang mencurigai. Dengan leluasa Cu Si
dapat saja memanggil An Tek Hai ke kamarnya setiap kali timbul seleranya.
Betapapun juga, para dayang merasa curiga, namun desas-desus di kalangan mereka
itu sama sekali tidak diperdulikan Cu Si dan Tek Hai yang sedang dimabok nafsu.
Kaisar bocah yang ketika masih pangeran bernama Cai Chun, kemudian ketika
diangkat kaisar di Yehol bernama Kaisar Chi Hsiang, kini setelah menjadi kaisar
di kotaraja mendapat nama lain, yaitu Kaisar Tung Chi.
Kaisar ini biarpun masih amat muda, sudah mendengar pula akan desas-desus bahwa
Ibu Suri Cu Si bermain gila dengan seorang thaikam yang bernama An Tek Hai. Dia
merasa malu dan marah sekali. Memang sejak kecil kaisar ini tidak terlalu dekat
dengan ibu kandungnya yang dianggapnya berwatak buruk, keras dan galak, tidak
seperti watak Ibu Suri Cu An yang lemah lembut dan bijaksana. Biarpun Ibu Suri
Cu Si ibu kandungnya, namun sejak kecil dia merasa lebih dekat dengan Ibu Suri
Cu An! Mendengar akan hubungan gelap itu, dibantu oleh para pengawal thaikam,
pada suatu pagi dia menyuruh tangkap An Tek Hai yang baru saja keluar dari kamar
Ibu Suri Cu Si! An Tek Hai hanya tertawa, mengira bahwa kaisar yang masih bocah
itu main-main. Akan tetapi dengan sikap bengis kaisar bocah itu memerintahkan
orang-orangnya untuk menelanjangi An Tek Hai.
#Kalau dia benar thaikam palsu dan kejantanannya masih belum mati, pukul saja
dia sampai mampus!# kata Kaisar Tung Chi kepada para pengawalnya. Dia berpikir
bahwa kalau An Tek Hai ternyata masih memiliki kejantanan, berarti dia thaikam
palsu dan desas-desus tentang Ibu Suri kedua itu mungkin benar. Sebaliknya,
kalau kejantanan thaikam An Tek Hai itu benar-benar sudah mati, berarti bahwa
desas-desus itu hanya fitnah belaka.
An Tek Hai ketakutan setengah mati, tubuhnya gemetar dan wajahnya pucat, hampir
dia tidak mampu berdiri saking takutnya dan dia hanya berlutut sambil mendekam
dan hampir terkencing di celana. ketika para pengawal itu memaksanya
menelanjanginya untuk memeriksa, tentu saja orang yang ketakutan setengah mati
ini kehilangan kejantanannya sama sekali! Untunglah bagi An Tek Hai, karena hal
ini menghilangkan kecurigaan Kaisar Tung Chi dan An Tek Hai dibebaskan.
Ketika Ibu Suri Cu Si mendengar laporan An Tek Hai tentang peristiwa itu, ia
marah sekali, akan tetapi ia tidak mampu berbuat sesuatu terhadap puteranya
sendiri yang sudah menjadi kaisar, bahkan ia merasa khawatir dan diam-diam ia
menyuruh An Tek Hai untuk meloloskan diri pergi ke Hang-cow, dengan memberi
banyak bekal. Maksudnya agar kekasihnya itu untuk sementara waktu tidak
memperlihatkan diri agar tidak membangkitkan kecurigaan. Akan tetapi, ternyata
An Tek Hai bernasib malang, dan desas-desus tentang dirinya sudah menarik banyak
orang yang menjadi pembencinya. Kepergiannya diketahui dan diapun ditangkap
dengan tuduhan pengkhianat yang hendak meninggalkan kotaraja untuk menjadi matamata
musuh. Dia dijatuhi hukuman mati!
Ibu Suri Cu Si diam-diam menangis sampai beberapa hari lamanya, menangisi
kekasihnya yang telah tiada. Semua hiburan Li Lian Ying tidak dapat mengobati
kerinduannya, dan Li Lian Ying, thaikam yang cerdik ini tahu penyakit apa yang
diderita oleh junjungannya.
Ia mendengar bahwa di waktu masih gadis remaja. sebelum dingkat menjadi selir
kaisar, Cu Si pernah saling mencinta dengan pamannya sendiri, yaitu adik ibunya
yang usianya tidak berselisih banyak dengannya. Hubungan cinta itu terputus
ketika Yehonala menjadi selir kaisar, dan kini pamannya itu, yang bernama Yung
Lu, telah menjadi seorang pejabat pertengahan di Peking. Setelah melakukan
penyelidikan melalui kaki tangannya, Li Lian Ying lalu mengajukan usul kepada
junjungannya.
#Hamba merasa bersedih sekali melihat paduka setiap hari tenggelam dalam
kedukaan. Hamba kira, pertemuan dengan seorang anggota lama akan dapat
menggembirakan paduka, tentu saja kalau paduka menyetujui.# Cu Si dengan malasmalasan
memandang pelayan yang amat setia itu.
#Hemm, Lian Ying, siapa yang kau maksudkan itu?# Tanyanya dengan suara agak
kurang senang. Bagaimanapun juga, sanak keluarganya adalah orang-orang biasa,
dan tidak senang hatinya kalau diingatkan akan keluarganya, sama dengan
mengingatkan bahwa ia adalah keturunan orang-orang biasa!
#Baru-baru ini hamba bertemu dengan seorang sahabat yang menceritakan bahwa
paman paduka yang bernama Yung Lu menjadi seorang pejabat pertengahan di
kotaraja. Lupakah paduka kepada paman paduka itu?# Wajah Ibu Suri Cu Si berseri
mendengar disebutnya nama ini. Tentu saja ia masih ingat kepada Yung Lu,
pamannya itu. Ketika maih remaja, ia pernah jatuh cinta kepada pamannya itu, dan
biarpun hanya merupakan cinta monyet, namun masih menjadi kenangan manis.
Mendengar nama Yung Lu kini berada di kotaraja, terbayanglah wajah yang tampan
itu dan iapun ingin sekali bertemu dengannya. Akan tetapi ia melihat kesulitan
untuk dapat bertemu dengan pamannya itu dan hal ini ia katakan kepada Li Lian
Ying.
#Harap paduka jangan khawatir,# kata Li Lian Ying.
#Kalau paduka berkenan, pertemuan itu dapat hamba atur. Bukankah dia merupakan
paman paduka sendiri? Tidak akan ada salahnya kalau paduka memanggil dia
menghadap untuk dimintai nasihat tentang urusan pemerintahan. Takkan ada yang
mencurigai kehadiran seorang paman yang mengunjungi paduka.# Cu Si girang sekali
dan cepat ia menuliskan surat panggilan itu. Tentu saja Yung Lu merasa tegang
dan dengan jantung berdebar-debar menanti di ruangan tamu yang mewah dan indah
itu. Selama hidupnya, baru sekali ini dia memasuki bagian istana yang demikian
indahnya. Sejak keponakannya menjadi selir kaisar dan kemudian bahkan menjadi
permaisuri kedua dan akhir-akhir ini menjadi Ibu Suri, dia tidak pernah bertemu
dengan Yehonala. Dan kedudukan keponakannya itu bukan tidak ada manfaatnya
baginya.
Dia seorang yang tidak berpendidikan tinggi, akan tetapi kini dapat menduduki
jabatan tinggi pertengahan. Semua itu adalah karena dia dikenal sebagai paman
dari Ibu Suri Cu Si! Dan kini, keponakannya itu memanggilnya! Li Lian Ying
muncul dan tanpa banyak cakap lagi, thaikam ini mengajak Yung Lu masuk ke dalam
dan diantarnya orang itu ke dalam kamar Ibu Suri Cu Si di Istana barat. Di dalam
ruangan kamar yang luas itu, Yung Lu melihat seorang wanita cantik duduk di atas
dipan, dan sukar baginya untuk mengenal wajah gadis remaja Yehonala yang pernah
saling mencinta dengannya. Yang duduk di dipan itu adalah seorang wanita cantik
jelita dan agung, wanita yang sudah matang, dengan pandang mata tajam berwibawa
dan mulut yang kecil tersenyum manis. Dia hendak menjatuhkan diri berlutut, akan
tetapi dengan tangannya, Ibu Suri Cu Si melarangnya.
#Paman Yung Lu, tidak perlu berlutut......!# kataya. pada saat itu, dengan sopan
Li Lian Ying lalu keluar dari kamar, menutupkan tirai sutera berlapis-lapis
untuk menutupi keadaan di dalam kamar itu dari penglihatan orang di luar kamar
dan diapun duduk berjaga di luar kamar.
#Paman Yung Lu, engkau duduklah di sini, di dekatku. Aku sungguh rindu sekali
kepadamu. Lupakah engkau kepada Yehonalamu?# Dengan tubuh gemetar Yung Lu duduk
di atas dipan, di dekat wanita itu dan bagaikan seekor harimau betina yang
kelaparan, Ibu Suri Cu Si segera merangkulnya dan menjatuhkan dirinya di atas
pangkuan Yung Lu.
#Ah, Yung Lu, aku kesepian, aku rindu padamu......# keluhnya. Tentu saja hal ini
sama sekali tak pernah disangka-sangka oleh Yung Lu. membayangkan saja dia tidak
berani bahwa bekas kekasihnya di waktu remaja itu, yang kini telah menjadi orang
paling berkuasa di seluruh negeri, ternyata masih teringat kepadanya, bahkan
masih mencintanya! Dia heran mengapa semalam tidak mimpi kejatuhan bulan! Dan
tentu saja dia menyambut ajakan wanita cantik itu dengan gembira karena Yung Lu
termasuk seorang laki-laki yang mata keranjang dan nafsu berahi merupakan
kesenangan yang selalu dikejarnya. Akan tetapi dia masih merasa khawatir dan
ragu-ragu, takut kalau sampai ketahuan orang lain. Hal ini dirasakan oleh Cu Si
yang tertawa genit.
#Laki-laki tolol, kenapa begini takut-takut? Siapa orangnya yang berani masuk ke
sini tanpa kupanggil?# katanya sambil merangkul. Yung Lu merasa bagaikan dalam
mimpi. Kini tanpa disangkanya, dia mendapatkan segalanya dari wanita ini,
padahal dahulu ketika mereka masih remaja, biarpun mereka saling mencinta, dia
tidak pernah mendapatkannya. Kini wanita itu menyerahkan segalanya dengan rela
dan tentu saja dia merasa seperti melayang ke langit ke tujuh.
Demikianlah, mulai hari itu, Yung Lu menjadi kekasih baru Ibu Suri Cu Si. Dan
untuk memudahkan dua orang ini mengadakan hubungan setiap saat yang mereka
kehendaki dengan leluasa, kembali Li Lian Ying yang mengajukan usul-usul yang
amat cerdik. Kebetulan waktu itu, jabatan pengawas Urusan Rumah Tangga Istana
sedang kosong dan jabatan ini lalu diberikan kepada Yung Lu. Semenjak itu,
sebagai pejabat dalam istana, dengan leluasa Yung Lu mengadakan pertemuan dengan
Cu Si. kehadirannya tidak mendatangkan kecurigaan, karena pertama, dia adalah
paman sendiri dari Cu Si, dan kedua, dia adalah pejabat baru yang mengurus semua
persoalan di dalam rumah tangga istana. Dan kini wajah Cu Si nampak berseri,
tubuhnya nampak segar dan sehat. Dia menemukan kekasih yang hebat dalam diri
pamannya itu, jauh lebih hebat dibandingkan dengan mendiang Kaisar Hsian Feng,
atau dengan An Tek Hai sekalipun!
Ibu Suri Cu Si dapat melakukan segala perbuatan yang disukainya dengan bebas dan
leluasa karena Ibu Suri Cu An yang lebih suka membaca kitab-kitab agama di dalam
kamarnya, menyerahkan segala urusan kepada madunya itu. Akan tetapi, seperti
biasa terjadi di dunia ini, kesenangan tidak pernah meninggalkan saudara
kembarnya, yaitu kesusahan. Hubungan mesra antara paman dan keponakan itu baru
beberapa bulan saja sudah membuat Ibu Suri Cu Si mengandung! Bingunglah wanita
ini. Hanya Li Lian Ying orang yang dipercayainya, di samping Yung Lu tentunya,
akan tetapi kedua orang itu tidak berhasil menggugurkan kandungan dengan obatobat
yang mereka bawa. Untuk mempergunakan obat yang terlalu keras, mereka tidak
berani, takut kalau akibatnya malah berbahaya bagi nyawa Ibu Suri Cu Si.
Dan mengundang tabib pun tidak mugkin karena tentu rahasia itu akan bocor.
Akhirnya Cu Si teringat kepada isteri Pangeran Chun yang merupakan saudara
perempuannya yang boleh dipercaya. Antara mereka memang ada hubungan yang akrab
walaupun tentu saja isteri pangeran itu selalu merasa rendah diri terhadap Ibu
Suri Cu Si. Diam-diam Cu Si memanggil isteri Pangeran Chun dan setelah saudara
perempuan ini datang, Cu Si cepat metangkulnya dan mengajaknya bicara bisikbisik
di dalam kamarnya, berdua saja. Di situ Cu Si menceritakan keadaan dirinya
yang mengandung! Adiknya mendengarkan dengan mata terbelalak, lalu duduk diam
seperti patung karena tidak tahu harus bicara apa. Barulah ia terkejut ketika Cu
Si menyatakan maksudnya mengundang saudara perempuan itu.
#Hanya engkaulah yang dapat menolongku dan mengeluarkan aku dari kesulitan ini,
saudaraku.# kata Cu Si dan selanjutnya, dengan bisik-bisik Cu Si menyatakan
rencana siasatnya.
Adiknya itu, isteri Pangeran Chun, diperintahkan untuk mengaku kepada suaminya
bahwa ia mengandung, berpura-pura mengandung! Dan adiknya itu akan tinggal di
situ bersamanya, dengan alasan agar mendapat perawatan yang baik di samping
menemani Ibu Suri Cu Si. Hari itu juga, Cu Si mengutus Li Lian Ying untuk
berkunjung kepada Pangeran Chun dan menyampaikan kabar itu! Tentu saja Pangeran
Chun terkejut dan terheran-heran mendengar bahwa isterinya mengandung. Akan
tetapi dia percaya dan tidak perduli lagi karena memang dia mempunyai banyak
selir sehingga dia lupa lagi kapan terakhir kalinya dia menggauli isterinya. dan
karena isterinya itu merupakan saudara yang amat akrab dengan Ibu Suri Cu Si,
diapun tidak heran bahwa isterinya lebih suka menceritakan tentang kandungannya
kepada saudaranya itu.
Demikianlah, rahasia ini ditutup rapat dan setelah kandungan itu tiba saatnya
untuk dilahirkan, Ibu Suri Cu Si dan isterinya Pangeran Chun tak pernah berpisah
dari satu kamar. Dua orang bidan dipanggil ketika malam itu Ibu Suri Cu Si
melahirkan. Pada keesokan harinya, diumumkan bahwa isteri Pangeran Chun telah
melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat! Adapun kedua orang bidan yang
membantu kelahiran itu, lenyap tak ada yang tahu ke mana perginya. Mereka itu
diam-diam telah dibunuh oleh kaki tangan Li Lian Ying agar mereka tidak
membocorkan rahasia tenang kelahiran anak itu. Setelah #melahirkan# dan
kesehatannya pulih, isteri Pangeran Chun membawa puteranya pulang, disambut
dengan penuh kegembiraan oleh keluarga Pangeran Chun. Dan anak inilah, anak
kandung Ibu Suri Cu Si, yang kelak setelah Kaisar Tung Ci meninggal,
Oleh Ibu Suri Cu Si yang memegang tampuk kekuasaan, diangkat menjadi kaisar
pula! Memang hebat sekali Ibu Suri Cu Si ini, seperti tercatat dalam sejarah. Ia
seorang wanita yang keras hati, ambisius, dan cerdik bukan main. dari keluarga
bersahaja ia dapat naik menjadi permaisuri dan kemudian Ibu Suri yang memerintah
negara besar itu selama kurang lebih lima puluh tahun! Dan di samping
kekuasaannya yang mutlak, keputusan-keputusan yang keras dan penting, di sebelah
dalam istana tersimpan pula rahasianya, yaitu selalu dirundung kesepian sehingga
ia melakukan hubungan gelap dengan banyak pria, dan ini merupakan kelemahannya,
yaitu menjadi hamba dari nafsu berahinya sendiri. Demikianlah sekedar gambaran
awal keruntuhan Kerajaan Mancu, didahului dengan kekacauan dan lemahnya keluarga
kerajaan itu sendiri.
***********************
Setelah berpisah dari Yu Bwee, gadis yang menarik perhatiannya itu, yang
mendatangkan kesan mendalam, Gan Han Le melanjutkan perjalanannya. Dia telah
melihat keadaan kotaraja, melihat kekacauan yang terjadi, bahkan melihat
penyerbuan pasukan kulit putih yang telah menduduki kotaraja dan yang memaksa
kaisar sekeluarganya melarikan diri ke Yehol. Semua yang telah dialaminya itu
membuat dia lebih bingung lagi. Semenjak dia lari meninggalkan ibunya dan
gurunya, Han Le merasa bingung dan hatinya penuh dengan dendam yang bertumpuk,
Akan tetapi dia sendiri tidak tahu kepada siapa dendam itu harus ditumpahkan,
kepada gurunya? Kepada Ibunya? Ah, tidak mungkin. gurunya kini telah menjadi
ayah tirinya! Akan tetapi, kenyataan bahwa gurunya, Bu Beng Kwi, ternyata adalah
musuh besarnya juga, Koan Jit pembunuh ayah kandungnya, telah menghancurkan
bayangan tentang diri seorang guru yang dicintanya dan dikaguminya. Kini rasa
cinta dan hormatnya berbalik menjadi kebencian. Bahkan diapun kehilangan
perasaan suka kepada kedua orang suhengnya yang menjadi pimpinan rakyat. Tidak,
dia tidak akan mencari mereka, tidak akan membantu mereka! Membantu kedua orang
suhengnya itu sama saja dengan membantu gurunya!
Dalam keadaan bingung ini Han Le meninggalkan Yehol dan diapun teringat kepada
raja baru di Nan-king, pemimpin pasukan Tai Peng, yaitu Ong Siu Coan! Bukankah
Ong Siu Coan itu suheng dari ayah kandungnya? Dan selama dia dan ibunya berada
di sana, di Nan-king, merasa diperlakukan dengan amat baik oleh Ong Siu Coan.
Bahkan mungkin dia dan ibunya masih tinggal di sana dalam keadaan terhormat,
kalau saja tidak muncul Bu Beng Kwi yang membawa mereka lari. Dia bahkan pernah
belajar ilmu silat dari seorang kepala pengawal bernama Giam Ci, seorang sahabat
dari Tang-ciangkun. Di sana dia diperlakukan oleh siapa saja dengan sikap hormat
karena dia adalah sanak dari kaisar, putera dari saudara seperguruan Kaisar Ong
Siu Coan sendiri. Kenangan ini menarik hati Han Le untuk pergi berkunjung ke
Nan-king! Dia akan mengunjungi supeknya yang menjadi kaisar itu, dan melihat
perkembangannya nanti.
Kalau keadaan di sana cocok dengan hatinya, mengapa dia tidak membantu saja
gerakan supeknya itu, gerakan Tai Peng karena bukankah gerakan itu juga
bermaksud menumbangkan penjajah Mancu? Pada suatu sore dia tiba di sebuah kota
yang letaknya di sebelah utara lembah Sungai Yang-ce, dan merupakan perbatasan
kekuasaan Tai Peng dan kekuasaan pemerintah Kerajaan Mancu. Kota ini bernama Cusian
dan karena terletak di perbatasan, maka kota ini selalu berada dalam
keadaan gawat dan di situ berkeliaran mata-mata dari pihak Tai Peng, dari
Kerajaan Mancu, dari golongan-golongan kang-ouw dan bahkan ada mata-mata yang
bekerja untuk kepentingan orang kulit putih. Betapapun juga, perdagangan selalu
ramai di kota ini, karena tempat inipun terkenal sebagai tempat penyelundupan
candu dan senjata api gelap.
Kota Cu-sian ini sudah berada dalam kekuasaan Tai Peng dan karena itu, di manamana
terdapat penjagaan pasukan tai peng yang selalu mencurigai siapa saja yang
memasuki kota. Han Le juga tidak terkecuali. Begitu memasuki pintu gerbang, dia
sudah dihadang oleh belasan orang tentara tai peng yang melakukan penggeledahan.
Akan tetapi Han Le sudah siap siaga sebelumnya sehingga dia menyembunyikan
pistol kecilnya di dalam celana, diikat dengan betis kirinya. Buntalan
pakaiannya tidak terdapat barang mencurigakan kecuali pakaian, maka diapun lolos
dan dibiarkan masuk kota yang ramai itu. Tidak mudah mendapatkan kamar di kota
yang ramai itu, akan tetapi akhirnya dia bisa mendapatkan sebuah kamar di losmen
kecil dan kotor yang berada di ujung kota. Di belakang losmen itu mengalir
sebuah sungai kecil yang airnya kotor karena menampung semua sampah orang-orang
yang tinggal di kota itu.
Biarpun dia mendapatkan kamar terakhir yang paling kecil dan paling kotor, Han
Le mersa lega karena akhirnya dia mendapatkan sebuah tempat untuk beristirahat.
Setelah membayar kamar itu, dia lalu keluar dari kamar dan pergi meninggalkan
losmen untuk mencari rumah makan karena sejak pagi tadi dia belum makan. Hampir
saja kakinya tersaruk sebatang tongkat yang melintang di ambang pintu losmen
itu. Dia terkejut karena tongkat itu tadinya tidak ada dan tiba-tiba saja
meluncur dari samping. Ketika dia menoleh dengan marah, siap menegur orang yang
agakya sengaja melintangkan tongkat, dia melihat seorang pengemis bermata buta
dan kemarahannyapun lenyap. Dia tadi dapat meloncati tongkat itu dan tidak
sampai tersaruk, dan pengemis yang buta matanya ini sudah pasti melakukan hal
itu tanpa sengaja.
#Lopek (paman tua), berhati-hatilah dengan tongkatmu, jangan sampai membikin
jatuh orang lewat,# kata Han Le, menegur halus memperingatkan si buta itu.
Pengemis itu lalu menodongkan tangannya minta sumbangan,
#Yang buta tak melihat, yang bermata harus berhati-hati, tuan yang datang dari
kotaraja harap bermurah hati terhadap seorang pengemis buta.# Han Le
mengeluarkan dua potong uang kecil dan meletakkannya di telapak tangan orang
itu, akan tetapi alisnya berkerut dan dia bertanya,
#Bagaimana engkau bisa tahu aku datang dari kotaraja?# Biarpun kebetulan di situ
tidak terdapat orang lain, pengemis itu menjawab berbisik,
#Suaramu asing, tentu menarik perhatian. Satu petanyaan lagi, apakah pakaianmu
putih?# Han Le menjadi semakin heran. #bagaimana engkau bisa tahu? memang
pakaianku putih.# Akan tetapi pengemis buta itu tidak menjawab, melainkan
bangkit berdiri dan melangkah pergi, menggunakan tongkatnya yang panjang untk
meraba-raba ke atas jalan. Han Le merasa penasaran dan cepat mengejar. Akan
tetapi dia enjadi semakin terkejut dan heran. Biarpun orang itu buta dan
berjalan dengan meraba-raba, namun gerakannya cepat bukan main sehingga diapun
harus melakukan ilmu berjalan cepat untuk menyusulnya! Dan ternyata orang itu
erhenti di belakang rumah kampung yang sepi karena senja telah larut, dan
menantinya.
#Tuan, berhati-hatilah. Nanti malam tepat tengah malam jam dua belas, pergilah
ke kuil tua di luar pintu gerbang sebelah timur. Kami semua berkumpul di sana
dan kedatanganmu amat dinantikan.# tanpa menanti jawaban, pengemis buta itu
meloncat dan agaknya dia sudah hafal dengan jalan di sini karena kini dia
berlari cepat.
Han Le menjadi semakin penasaran dan hendak mengejar. Akan tetapi dia teringat
akan pesan orang itu dan diapun menghentikan niatnya untuk melakukan pengejaran.
Orang pengemis buta itu agaknya telah mengenalnya dan tahu bahwa dia datang dari
kotaraja. Akan tetapi kenapa dia disuruh datang tengah malam nanti di kuil tua
sebelah timur pintu gerbang? Siapakah pengemis buta itu? Dari gerakannya ketika
meninggalkannya, dia dapat menduga bahwa pengemis itu bukan orang sembarangan,
atau mungkin juga hanya pura-pura buta saja. Apakah dia seorang mata-mata
kerajaan yang mengenalnya sebagai pemuda yang pernah menolong keluarga kaisar?
Ataukah seorang utusan dari Permaisuri kedua yang hendak menjebaknya? Apapun
yang terjadi, dia harus menghadiri pertemuan pada tengah malam itu.
Dia sudah tertarik sekali karena tahu bahwa dia menghadapi pengalaman yang
menegangkan, mungkin berbahaya. Han Le bersikap tenang saja dan dia melanjutkan
keinginannya untuk makan di rumah makan. Banyak rumah makan di kota itu, dan dia
memasuki rumah makan yang lezat hidangannya. Setelah makan kenyang dia kembali
ke losmen. Malam itu dia beristirahat tanpa meninggalkan kewaspadaannya, dalam
keadaan siap siaga, bahkan tanpa melepas sepatu dan pakaian luarnya. Sebelum
tiba saat tengah malam, Han Le sudah meloncat keluar dari kamarnya dan
meninggalkan losmen secara diam- diam. Tidak sukar baginya untuk pergi ke
gerbang timur tanpa kelihatan orang. Malam sudah larut dan sunyi. Hanya beberapa
orang laki-laki mabok saja yang berjalan sempoyongan menuju pulang dan rumahrumah
makan yang paling lambat baru saja ditutup.
Han Le mempergunakan kepandaiannya untuk menyelinap di antara rumah-rumah,
pohon-pohon, karena dia dapat menduga bahwa di tempat itu tentu berkeliaran
banyak orang pandai. Dia langsung menuju ke pintu gerbang timur dan memilih
bagian tembok yang tidak terjaga dan gelap untuk melompatinya dan keluar dari
tembok kota. Malam itu gelap sekali. Menguntungkan bagi Han Le yang bergerak
dengan hati-hati mendekati kuil tua terpencil yang berdiri di lereng bukit itu.
Biarpun kuil itu merupakan sebuah kuil kuno yang sudah kosong, namun temboknya
masih nampak kokoh kuat, dan malam ini ada sinar penerangan yang menyorot keluar
dari dalam kuil, tanda bahwa di situ terdapat orang. Kuil ini memang kadangkadang
dipergunakan orang untuk melewatkan malam,
Tentu saja orang-orang yang tidak mempunyai uang untuk bermalam dengan menyewa
kamar losmen. Dilihatnya beberapa sosok tubuh orang berjaga di depan dan di
belakang kuil secara sembunyi. Hal ini sudah diduganya. Pengemis buta itu
mengatakan bahwa #mereka# akan menanti kehadirannya, berarti di situ akan
terdapat banyak orang dan tentu akan membicarakan urusan penting, maka tentu
tempat itu dijaga. Diapun mempelajari keadaan. Kuil itupun cukup besar,
merupakan bangunan induk dan bangunan-bangunan kecil di sekelilingnya. Beberapa
orang penjaga itu hanya mengawasi bagian depan dan belakang kuil, hanya kadangkadang
saja meronda melewati kedua bagian pinggir. Ketika melihat tiga orang
penjaga lewat meronda Han Le cepat menyusup dan begitu mereka lewat,
Diapun meloncat naik ke atas genteng kuil sampai dari pinggir. Gerakannya cepat
dan sudah diperhitungkannya sehingga di dalam kegelapan malam itu, tidak
kelihatan apa-apa dan kakinyapun tidak menimbulkan suara ketika menginjak
genteng.Pakaiannya yang serba putih itu kini sudah tertututp sehelai mantel biru
yang tadi sengaja dipakaianya untuk menutupi pakaiannya yang putih. Han Le
merayap di atas genteng kuno yang tebal itu, menuju ke bangunan induk dari mana
menyorot sinar penerangan yang cukup besar. Dengan hati-hati dia membuka genteng
dan mengintai ke dalam. Ternyata ruangan di bawah itu cukup luas dan agaknya
sudah dibersihkan untuk keperluan ini. Tidak ada meja kursi di situ, dan di
lantai telah dihamparkan tikar yang menutupi lantai dari ujung ke ujung.
Ada lima orang duduk di dalam ruangan itu, dan satu di antaranya segera dikenal
oleh Han Le, yaitu si pengemis buta! Dan dia merasa malu terhadap diri sendiri
yang tadi pernah mengira bahwa pengemis buta itu hanya pura-pura buta, karena
kini ternyata bahwa orang itu memang buta! Kedua matanya yang hampa nampak
putihnya saja itu kelihatan jelas tersorot sinar lampu yang ada empat buah
bergantungan di ruangan itu. Kini nampak si buta itu mengetuk-ngetuk lantai
bertilamkan tikar dengan tongkatnya, seperti ingin minta perhatian. Empat orang
kawannya itu rata-rata berusia empat puluh tahun lebih, sikap mereka gagah,
dengan pakaian sederhana, ada yang menyamar seperti petani, ada pula yang
seperti saudagar, akan tetapi mereka semua memiliki sinar mata yang mencorong
penuh semangat.
#Sudah kukatakan, aku tidak akan keliru. Menurut penyelidikan teman-teman kita,
orang itu berpakaian serba putih dan dia mempunyai sepasang mata yang biru!
Bukti apalagi yang lebih meyakinkan? Tentu dialah orangnya yang kita tunggu, dan
ketika aku mencoba dengan tongkatku, dia mudah saja menghindar. Karena itulah
dia kuundang.# Berdebar rasa jantung dalam dada Han Le , mereka sedang
membicarakan diriya! Kiranya dia disangka orang lain!
#Akan tetapi, lo-kai (pengemis tua), aku masih merasa heran bagaimana orang
kulit putih mau membantu kita? Benar-benarkah mereka itu, ataukah hanya tipu
muslihat belaka?#
#Hemm, kurasa mereka bersungguh-sungguh. Setelah mereka menang perang dan
mengadakan perjanjian damai dengan pemerintah Ceng, mereka memperoleh banyak
keuntungan, mendapat kebebasan berdagang di mana saja. Tai Peng merupakan
ancaman bagi pemerintah kerajaan Ceng, yang berarti juga mengancam kedudukan
mereka. Karena itu, setiap usaha untuk menghancurkan Tai Peng, kini tentu akan
dibantu oleh orang kulit putih!
#Akan tetapi, lo-kai,# kata orang kedua sangsi. #aku mendengar bahwa hubungan
antara kulit putih dan Tai Peng baik sekali, karena mereka itu memiliki agama
yang sama.#
#Benar,# kata orang ketiga, #aku pernah menyelundup ke Nan-king dan melihat
banyak orang kulit putih berkeliaran di sana. Sudah lama Tai Peng bersahabat
dengan orang kulit putih.#
#Sekarang sudah pasti tidak demikian,# kata kakek buta dengan suara yakin.
#Ingat saja tentang candu. Tai Peng melarang candu masuk ke wilayah kekuasaan
mereka. Hal ini saja mendatangkan kerugian besar bagi orang kulit putih. Pula,
kesamaan agama mereka hanya namanya saja, akan tetapi orang kulit putih juga
tahu bahwa agama mereka itu telah dirobah oleh kaisar Tai Peng, dan menjadi alat
untuk mengelabui rakyat, bukan agama yang aseli. Lebih menguntungkan bagi orang
kulit putih kini untuk bersahabat dengan Kerajaan Ceng daripada dengan Tai Peng
yang mulai nampak belangnya.# Diam-diam Han Le mendengarkan percakapan itu dan
dia kagum terhadap si buta yang nampaknya demikian mengenal keadaan
pemerintahan. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau menelan begitu saja
keterangan pengemis buta itu yang membenci Tai Peng dan agaknya orang-orang ini
mau bersekutu dengan orang kulit putih untuk menentang Tai Peng! Dan agaknya di
situ akan diadakan untuk membicarakan urus an politik.
#Akan tetapi, lo-kai. Kalau gerakan kita tidak menentang pemerintah Mancu,
bahkan membantu pemerintah Mancu menentang Tai Peng, dan bekerja sama dengan
orang kulit putih, bukankah berarti kita ini lalu menjadi kaki tangan pemerintah
penjajah? Bagaimanapun juga, Tai Peng adalah gerakan rakyat yang berhasil
menduduki sebagian tanah air dan merampasnya dari cengkeraman penjajah Mancu!#
kata orang keempat. Tiga orang temannya mengangguk-angguk setuju. Pengemis buta
itu menarik napas panjang.
#Pertanyaan itu merupakan hal yang selalu diragukan oleh para pendekar yang
membantu perjuangan rakyat. Akan tetapi, kalian belum tahu akan seluk beluknya
politik dan ilmu perang. Tidak bisa disamakan dengan ilmu silat bela diri. Dalam
ilmu perang banyak lika-likunya. bahkan kalau perlu, golongan yang kemarin
dimusuhi, hari ini dirangkul sebagai sahabat, walaupun mungkin besok sudah kita
pukul lagi sebagai musuh! Kita takkan berhasil kalau haya memeperlihatkan
kepahlawanan saja, mencoba utuk membersihkan tanah air dari musuh-musuh
sekaligus! Bagaimana mungkin kita mengusir sekaligus penjajah Mancu, penjahatpenjahat
Tai Peng, dan pasukan kulit putih? Tidak mungkin sama sekali! Karena
itu , kita harus menghancurkan yang terpenting lebih dulu, dan menggandeng
kekuatan lain untuk membantu kita. Karena itu, tujuan kita sekarang adalah
menghancurkan Tai Peng, dan untuk itu, kita mengulurkan tangan kepada orang
kulit putih, juga kepada pemerintah Kerajaan Ceng. Setelah kelak Tai Peng
hancur, barulah kita mengalihkan sasaran kepada Kerajaan Mancu, atau kepada
orang kulit putih, tentu saja sesuai dengan keadaannya nanti. Mengertikah
kalian?# Empat orang itu saling pandang, akan tetapi mereka masih belum mengerti
benar. Mereka adalah orang-orang gagah yang telah digembleng untuk bersikap
gagah, tidak suka akan siasat-siasat dan muslihat licik. Akan tetapi karena
mereka tahu bahwa mereka menghadapi urusan yang terlalu besar dan berat bagi
mereka, bahwa mereka hanyalah pelaksana-pelaksana, merekapun mengangguk saja.
Tiba-tiba terdengar suara penjaga dari luar berteriak akan datangnya tamu dari
kotaraja!
#Silakan dia masuk!# kata pengemis buta. Dari pintu ruangan itu yang kini
menjadi lebar sekali karena separuh dinding bagian itu telah bobol, muncul tiga
orang laki-laki yang usianya mendekati lima puluh tahun. Mereka masuk dengan
langkah gagah, kemudian mereka menghadapi lima orang yang duduk bersila itu,
seorang di antara mereka berkata,
#Kami diutus oleh Pangeran Kung untuk memenuhi undangan cu-wi (anda sekalian).#
#Bolehkah kami melihat surat perintah dari Pangeran Kung?# tanya si buta. ketika
laki-laki tinggi besar yang mewakili dua orang temannya itu megeluarkan tanda
perintah dari Pangeran Kung yang ada capnya sang pangeran, tentu saja bukan si
buta yang menerimanya melainkan empat orang temannya yang mengembalikannya
kepada tamu itu setelah menelitinya.
#Kami masih belum melupakan sekap pemerintah terhadap teman-teman kami
seperjuangan,# kata pengemis buta itu dengan suara yang angkuh,#dan hanya karena
kami percaya kepada Pangeran Kung maka kami mengirim undangan agar ada wakil
dari kotaraja yang menyaksikan pertemuan penting ini. Kami hanya mengharapkan
persetujuan dari pemerintah tanpa campur tangan dan tanpa menghalangi gerakan
kami untuk memukul Tai Peng.#
#Kami mengerti dan kamipun datang sebagai penonton dan pendengar belaka,# kata
orang tinggi besar. Mereka dipersilakan duduk dan tiba-tiba nampak bayangan
berkelebat dan muncullah seorang gadis di ruangan itu. Tiga orang wakil
pemerintah kerajaan itu terkejut, akan tetapi lima orang itu tidak
memperlihatkan rasa kaget.
#Aih, Thio-siocia (nona Thio)! Mana ayah ibumu?# tanya seorang di antara temanteman
si pengemis buta. Gadis itu berusia kurang lebih delapan belas tahun, dan
tadi Han Le yang melakuan pengintaian, terkejut dan kagum bukan main melihat
betapa gadis itu memiliki gerakan yang amat cepatnya. Kini, dia dapat melihat
wajah gadis itu dengan jelas di bawah sinar empat buah lampu besar. Wajah yang
lonjong dengan dagu meruncing manis, hidungnya agak berjungkat ke atas menambah
kemanisan wajahnya.
Wajah yang ayu itu selalu berseri dan cerah, mulutnya seperti selalu menghias
senyum, matanya berkilauan dan pakaiannya rapi. Tahi lalat merah di sudut bawah
dagu menambah daya tariknya. Seorang gadis yang cantik jelita, dengan bentuk
tubuh yang ramping indah! Gadis itu bukan lain adalah Thio Eng Hui, puteri
tunggal dari Thio Ki dan Ciu Kui Eng. seperti telah diceritakan di bagian depan,
keluarga ini ikut pula terjun ke dalam perjuangan, dan semuda itu, Eng Hui sudah
pula membantu orang tuanya. Mereka bertiga kini menggabungkan diri dengan
pasukan yang dipimpin oleh Li Hong Cang, dan ikut membantu pemimpin rakyat itu
untuk melatih perajurit yang terdiri dari rakyat jelata. Seperti juga Ceng Kok
Han yang membuat persiapan menghimpun tentara atau bekas laskar rakyat di
sebelah barat, Li Hong Cang juga menghimpun laskar rakyat di sebelah timur.
#Ayah dan ibu sibuk, dan akulah yang ditunjuk oleh Li-bengcu (ketua Li) untuk
menghadiri pertemuan ini. Li-bengcu, juga ayah dan ibu, mengirim salam kepada
Pek-gan Lo-kai dan kawan-kawan di sini!# Tiba-tiba kakek pengemis buta itu
tertawa gembira.
#Ha-ha-ha, biarpun wanita, anak naga tentu akan menjadi naga perkasa pula! Nona
yang baik, siapakah namamu?#
#Aku bernama Thio Eng Hui, Lo-kai.#
#Bagus, nona Eng Hui, aku terima salam dari Li-bengcu yang kuhormati, dan orang
tuamu yang kukagumi. Silakan duduk, nona,# dan kepada tiga orang tamu pertama,
kakek pengemis buta itu memperkenalkan, #Nona ini merupakan utusan dari Libengcu,
dan nona Eng Hui, mereka bertiga itu adalah utusan dari pangeran Kung,
yang datang sebagai peninjau saja.# Sambil duduk di atas lantai, tiga orang
laki-laki itu memberi hormat kepada gadis muda itu, yang dibalas dengan sikap
dingin oleh Eng Hui. Sejak kecil, oleh ayah ibunya, gadis ini dididik untuk
membenci pemerintah Kerajaan Mancu, maka, kini berhadapan dengan tiga orang
utusan Pangeran Kung, tentu saja ia merasa tidak senang, walaupun ia juga tahu
bahwa sasaran perjuangan kali ini adalah menentang Tai Peng.
#Di mana wakil dari pasukan kulit putih?# Ia menoleh ke kanan kiri untuk
mengalihkan percakapan agar tidak perlu bicara dengan wakil istana Mancu itu.
#Apakah dia belum datang#
#Jangan khawatir, nona Eng Hui, dia pasti datang,# kata Pek-gan Lo-kai. pengemis
tua ini adalah seorang tokoh kang-ouw yang amat terkenal di daerah selatan dan
biarpun matanya buta, namun dia memiliki kepandaian yang lihai sekali.
Julukannya, Pek-gan Lo-kai (Pengemis Tua Mata Putih) merupakan nama poyokan,
akan tetapi kau m kang-ouw menghormatinya karena dia berjiwa gagah perkasa, dan
biarpun hidup sebagai pengemis, namun dia selalu menentang kejahatan. Matanya
yang putih itu memang tidak dapat melihat, akan tetapi Tuhan Maha Adil, dan
sebagai pengganti matanya, dia mendapat kepekaan yang luar biasa dalam alat
tubuh lainnya, pendengarannya, penciumannya, perasaan dan rabaan tangannya,
Semua amat peka melebihi manusia biasa sehingga semua itu dapat menutup
kebutuhan hidup yang terganggu oleh butanya mata. Karena lihai ilmunya, dalam
pengetahuannya dan banyak pemgalamannya, maka semua tokoh kang-ouw setuju
mengangkatnya menjadi pemimpin kelompok laskar rakyat yang berada di sepanjang
sungai dan di perbatasan antara daerah Tai Peng dan daerah Kerajaan Ceng. Juga
Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, dua orang pemimpin besar yang menghimpun laskar
rakyat, percaya kepadanya untuk memimpin rencana penyerbuan terhadap kota Cusian,
yang merupakan benteng pertama sebelah utara sungai dari pasukan Tai Peng.
(Lanjut ke Jilid 15)
Jilid 15
Malam itu diadakan pertemuan untuk merundingkan urusan besar itu dan tanpa di
sengaja, Han Le menjadi saksi peristiwa yang amat penting ini, yang merupakan
sumbu pertama yang menyulut api peperangan antara laskar rakyat melawan Tai
Peng.
#Dia? Apakah mereka tidak datang semua?# Eng Hui bertanya.
#Mereka? Aku hanya bertemu dengan seorang saja. Bukankah dia berpakaian serba
putih?#
#Benar, akan tetapi dua orang pembantunya berpakaian bisa, seperti pakaian kuli
yang memikul barang-barangnya. Dia menyamar sebagai seorang pelancong. kebetulan
saja aku bertemu dengan mereka di luar pintu gerbang kotaraja.#
#Sebentar lagi tentu dia akan datang,# kata pula Pek-gan Lo-kai. Mendengar ini
Han Le yang merasa semakin tertarik, tahu bahwa saatnya telah tiba untuk muncul.
Dia dengan hati- hati merangkak kembali ke atas wuwungan bangunan samping kuil
itu, dan meloncat keluar dari tembok kuil dan dengan jalan memutar dia
mengampiri pintu depan. Tiba-tiba bermunculan empat orang penjaga yang
meghadangnya.
#Siapa engkau?# bentak mereka. Han Le tersenyum mengejek.
#Kalian tentu siapa aku,# jawabnya.#Katakan saja kepada Pek-gan Lo-kai bahwa aku
si baju putih telah datang memenuhi undangannya.# Seorang di antara para penjaga
segera melapor dan setelah mendapat jawaban dari Pek-gan Lo-kai yang
mempersilakan tamunya masuk, Han Le diperbolehkan masuk dan dikawal oleh para
penjaga menuju ke ruangan di bangunan induk. Sepasang mata Han Le menjadi agak
silau ketika penerangan lampu menyambutnya di ruangan itu. Sembilan pasang mata
dari mereka yang hadir di dalam ruangan itu menyambutnya dan memandangnya penuh
perhatian. Tiba-tiba Eng Hui meloncat dari atas tikar, berdiri menghadapi Han Le
dan berseru dengan suara galak.
#Lo-kai, dia ini bukanlah si pakaian putih yang menjadi wakil orang kulit putih
itu!# Mendengar ucapan Eng Hui, semua orang terkejut, terutama sekali lima orang
yang menjadi tuan rumah. seorang yang mukanya hitam, teman Pek-gan Lo-kai yang
berjuluk harimau Muka Hitam, sudah meloncat dan enghadapi Han Le, siap untuk
menyerang, hanya tinggal menunggu komando di pengemis buta. Pek-gan Lo-kai juga
bangkit berdiri dan menudingkan tongkatnya kepada Han Le.
#Engkau berpakaian putih dan datang dari kotaraja?# pertanyaan yang pernah
diajukan ini diulang kembali sehingga Han Le merasa geli.
#Benar, akan tetapi engkau buta bagaimana bisa tahu?#
#Dan engkau mata-mata dari orang kulit putih yang dikirim ke sini?#
#Siapa bilang aku mata-mata. Ingat, orang tua, kita saling bertemu di pintu
gerbang losmen dan engkau yang mengundangku ke sini, dan aku......#
#Celaka, dia tentu mata-mata Tai Peng!# Eng Hui yang sejak tadi merasa curiga,
membentak marah. Han Le merasa mendongkol.
#Aku bukan mata-mata siapapun juga......# Akan tetapi Harimau Muka Hitam yang
berada dekat di depannya, membentak,
#Orang muda, menyerahlah engkau!# Dan tangannya yang berjari besar dan membentuk
cakar harimau itu telah menambar ke arah pundak Han Le untuk mencengkeram dan
menangkap. tentu saja Han Le tidak sudi ditangkap, dan dengan sedikit miringkan
tubuhnya saja dia sudah dapat menghindarkan terkaman itu.
#Tempat gila apa sih ini? Tanpa dosa tanpa perkara, aku diundang ke sini tengah
malam, dan begitu muncul, aku hendak ditangkap. Enak saja!# Han Le mengomel
walaupun dia tahu bahwa dia dicurigai sebagai mata-mata Tai Peng. Agaknya
percuma saja dia menyangkal dan mestinya dia melarikan diri saja dan tidak
mencampuri urusan mereka. Akan tetapi melihat orang-orang ini, terutama
munculnya Thio Eng Hui, membuat hatinya tertarik dan orang-orang ini tentu
memiliki ilmu silat tinggi, maka diapun ingin sekali menguji kepandaian mereka.
#Tak perlu bersandiwara, engkau tentu mata-mata Tai Peng!# Si muka hitam kini
menerjang lagi, lebih hebat dari tadi karena dia merasa penasaran betapa
mudahnya pemuda itu tadi mengelak dari sambaran cengkeraman tangannya.
Kini dia memajukan kaki kanan yang masih membentuk cakar harimau, mencakar ke
arah muka Han Le sedangkan tangan kiri menyusul dengan tusukan jari terbuka ke
arah perut pemuda itu. Gerakannya cepat dan juga mengandung tenaga yang amat
berbahaya bagi Han Le. Namun, pemuda ini bersikap tenang saja, hanya nampak
kedua tangannya bergerak cepat bukan main dan tiba-tiba Si Harimau Muka Hitam
itu mengeluarkan seruan kaget, kedua lenganya lumpuh karena di sambar jari-j ari
tangan yang menotok jalan darah di atas siku dan selagi kedua lengannya
tergantung lemah tak berdaya, Han Le mengirim tendangan dan tubuh yang tinggi
besar itupun terbanting roboh! Melihat ini, tiga orang yang lain terkejut dan
mereka sudah berloncatan bangun, akan tetapi tiba-tiba Pek-gan Lo-kai membentak.
#Mundur! Biar aku yang menghadapinya!# Biarpun matanya buta, namun sekali
menggerakkan kaki, pengemis buta itu telah berada di depan Han Le. Hal ini saja
sudah menunjukkan betapa lihainya kakek ini dan Han Lepun tidak berani memandang
ringan.
#Orang muda, siapakah sebenarnya engkau? Kalau benar gagah, mengakulah saja
bahwa engkau mata-mata Tai Peng!# Han Le menarik napas panjang, hatinya kesal.
#Pek-gan Lo-kai, engkau seorang tua yang sudah buta, sebetulnya harus
dikasihani, akan tetapi sikapmu malah membikin orang jengkel. Tanpa dosa, ketika
keluar dari losmen, engkau mencoba untuk menjegal kakiku, kemudian engkau
bertanya apakah aku berpakaian putih dan datang dari kotaraja. Karena memang
pakaianku putih dan datang dari kotaraja, tentu saja aku benarkan. Dan engkau
mengundang aku datang di tengah malam begini di sini, akan tetapi hanya disambut
serangan!#
#Hemm, siapa percaya omonganmu? Engkau mencurigakan dan lihai. Siapakah engkau
sebenarnya?#
#Aku seorang perantau biasa, namaku Gan Han Le......#
#Dia tentu mata-mata Tai Peng!# Tiba-tiba seorang di antara tiga utusan Pangeran
Kung berseru. #Kami pernah mendengar tentang dia! Dia pernah menyelamatkan
keluarga kaisar ketika melarikan diri ke Yehol, akan tetapi kemudian dia kurang
ajar dan kabarnya hendak membunuh Ibu Suri kedua. Dia buronan kami dan tentu
mata-mata Tai Peng.
#Bagus, menyerahlah, orang muda!# kata Pek-gan Lo-kai. Kakek ini yang pada saat
ini terpaksa harus berbaik dengan orang kulit putih dan kerajaan, mendengar
betapa pemuda ini pelarian dan buruan tentara kerajaan, hendak mendatangkan
kesan baik dengan ikut menangkapnya.
#Aku tidak sudi menyerah kepada siapapun!# Han Le balas membentak, marah sudah.
Diapun ingin menguji kepandaian kakek buta yang agaknya amat berkuasa di antara
para tokoh yang hadir.
#Kalau begitu, sambutlah tongkatku!# Pek-gan Lo-kai menyerang.
Tongkatnya yang butut dan tidak berapa besar itu menyambar dengan cepat, berubah
menjadi sinar hitam yang mengeluarkan suara angin bersiutan! Namun, Han Le dapat
cepat mengelak. Ketika tongkat itu membalik dan menyambar lagi bertubi-tubi
sampai tujuh kali, Han Le tetap mengelak ke sana-sini. Namun, tongkat itu
menyambar terus. Ketika tongkat menyambar dengan tusukan ke arah dadanya, Han Le
tidak lagi mengelak melainkan menangkis dengan totokan ke arah pundak kanan
dengan maksud agar kakek it melepaskan tongkatnya. Akan tetapi dia terkejut.
Kakek itu tidak mengelak dan ketika totokannya mengenai pundak, ujung jarinya
bertemu dengan daging yang demikian keras dan licin sehingga totokannya meleset
dan pada saat itu tongkat sudah menyambar lagi, menghantam ke arah kepalanya!
Han Le melompat ke belakang dan kini dia tidak berani main-main lagi.
Kakek ini ternyata lihai bukan main dan ketika dia balas menyerang, kakek itu
seperti memiliki mata yang awas saja, tahu ke arah mana lawan mengirim serangan
sehingga dia dapat mengelak atau menangkis dengan totokannya. Han Le mulai
merasa khawatir, Dia telah memasuki guha harimau yang penuh dengan harimauharimau
yang galak dan berbahaya. baru kakek buta ini saja demikian lihainya,
kalau mereka semua maju mengeroyok, dia bisa celaka. Maka, diapun tidak ingin
memperpanjang perkelahian itu. Ketika kakek itu menghantamkan lagi tongkatnya,
Han Le menanti sambil mengerahkan tenaga khikangnya, lalu menyambut tongkat itu
dengan dorongan kedua tangannya sambil mengeluarkan bentakan nyaring,
menggunakan Ilmu Sin-houw Ho-kang, yaitu semacam ilmu serangan melalui suara
yang dapat mengguncangkan jantung lawan!
#Dessss......!# kakek buta itu terpental ke belakang, tubuhnya tergetar oleh
suara melengking yang dikeluarkan oleh Han Le dan tangkisan pemuda itu amat
kuat. Melihat ini, Thio Eng Hui sudah menerjang ke depan dan tangannya menampar
ke arah leher Han Le. Melihat tamparan yang demikian cepat dan mendatangkan
angin pukulan berat, Han Le menangkis sambil mengerahkan tenaga untuk
mengundurkan lawan yang kelihatannya juga amat lihai ini.
#Dukk......!# Keduanya terkejut dan keduanya terdorong ke belakang! Han Le
terbelalak memandang. kiranya gadis ini lebih kuat sinkangnya dibandingkan kakek
buta! Sungguh seorang lawan yang berat! Kini tahu-tahu gadis itu telah memegang
tongkat pendek seperti pedang, kemudian menyerangnya kalang kabut dengan
kecepatan yang membuat Han Le menahan napas! Diapun mengerahkan ginkangnya,
untuk mengimbangi kecepatan gerakan gadis itu. Orang-orang lain termasuk kakek
buta yang mengikuti perkelahian itu dengan telinganya, mejadi kagum. Sungguh
kedua orang muda itu merupakan lawan yang amat cepat gerakannya dan seimbang
kekuatannya! Mereka semua tidak tahu bahwa kedua orang muda itu adalah cucu-cucu
murid dari dua diantara Empat Racun Dunia.
Han Le memainkan ilmu silat tangan kosong Ngo-heng Lian-hoat yang menjadi ilmu
dari Thian-tok, sedangkan Eng Hui memainkan tongkatnya dengan Ilmu Tongkat Cuibeng
Hek-pang (Tongkat Hitam Pengejar Nyawa) dari Tee-tok! Melihat betapa gadis
yang mereka andalkan agaknya tidak dapat dengan cepat merobohkan pemuda baju
putih itu, Pek-gan Lo-kai menggerakkan tongkatnya kembali membantu Eng Hui.
bahkan empat orang kawannnya juga siap-siap melakukan pengeroyokan, sedangkan
tiga orang utusan dari Pangeran Kung sudah gatal tangan pula untuk ikut terjun
dan membantu menangkap mata-mata Tai Peng yang lihai itu! Ketika Pek-gan Lo-kai
maju dengan tongkat panjangnya, Han Le masih mampu memepertahankan diri
menghadapi pengeroyokan gadis dan kakek itu. Akan tetapi ketika empat orang
pembantu Pek-gan Lo-kai maju,
Sedangkan tiga orang utusan kotaraja siap-siap pula dan dari luar berdatangan
belasan orang anak buah Pek-gan Lo-kai yang tadi melakukan penjagaan, Han Le
mulai merasa terkepung ketat dan keadaannya berbahaya. Dia tidak melihat lubang
untuk meloloskan diri kecuali membela diri mati-matian sambil mencari kesempatan
untuk membalas serangan lawan. Keadaan Han Le sungguh terancam bahaya. Biarpun
dia seorang pemuda yang memiliki ilmu silat tinggi, namun para pengeroyoknya
juga orang-orang yang amat lihai. Baru tingkat kepandaian Eng Hui saja sudah
hampir mengimbanginya, apalagi di situ terdapat Pek-gan Lo-kai yang juga tangguh
sekali dan para pembantunya yang cukup lihai. Kalau keadaannya sudah mengancam
benar dan tidak ada jalan keluar lagi, terpaksa dia akan mencabut pistolnya dan
mempergunakan senjata itu untuk meloloskan diri, pikirnya.
#Dar-dar-dar......# Tiba-tiba terdengar ledakan keras tiga kali dan nampak asap
di luar ruangan. Tiga orang penjaga roboh tewas seketika dan semua orang
menghentikan perkelahian, terkejut memandang keluar dan ternyata ruangan itu
telah terkepung oleh puluhan orang pasukan Tai Peng yang diantaranya ada yang
memegang bedil! Pasukan itu dipimpin oleh dua orang laki-laki berusia hampir
lima puluh tahun. Seorang tinggi kurus bermuka pucat, dan yang seorang lagi
tinggi besar bermuka merah. Mereka ini bukan lain adalah Tiat-pi Kim-wan (Lutung
Emas Berlengan Besi) dan Seng-jin Sin-touw (Maling Sakti Dewa), dua di antara
tokoh-tokoh sesat yang menjadi pembantu kanan Ong Siu Coan, raja dari Tai Peng!
#Orang muda, engkau hebat juga,# kata Tiat-pi Kim-wan kepada Han Le, senang
melihat pemuda itu tadi dikeroyok oleh orang-orang yang dia tahu adalah pimpinan
laskar rakyat yang memusuhi Tai Peng. Akan tetapi Han Le mengerutkan alisnya dan
tidak menjawab, walaupun kedatangan orang-orang Tai Peng itu telah
menyelamatkannya.
#Ha-ha, Pek-gan Lo-kai, engkau jembel tua bangka berani mengadakan pertemuan di
sini untuk menentang Tai Peng, ya? Dan kalian bersekutu dengan orang-orang bule
yang berhati palsu itu untuk mengeroyok kami? Ha-ha, tentu kalian sedang menanti
datangnya mereka ini, bukan?# Dia memberi isyarat dan anak buahnya mendorong
tiga orang yang terjatuh ke lantai ruangan itu, seorang laki-laki berusia empat
puluh tahunan yang berpakaian serba putih, dan dua orang berpakaian sebagai
kuli. #Mereka ini mata-mata orang kulit putih yang kalian tunggu-tunggu? Ha-haha!
Orang-orang kulit putih telah mengkhianati kami. Lihat, inilah hukuman bagi
mereka dan kalianpun seorang demi seorang, kecuali si baju putih ini yang tidak
memusuhi kami, akan menerima hukuman yang sama!# Dia memberi isyarat lagi ke
belakang.
#Dar! Dar! Dar!# Tiga kali bunyi tembakan, asap mengepul menggelapkan ruangan
itu dan tiga orang mata-mata orang kulit putih itupun roboh mandi darah,
menggelepar sekarat.
Kesempatan selagi ruangan penuh asap itu dipergunakan oleh yang memutar
tongkatnya, merobohkan empat orang anggauta pasukan tai peng di sebelah kiri dan
meloncat keluar dari ruangan. Juga Pek-gan Lo-kai dan teman-temannya memutar
senjata menghadapi pasukan Tai Peng, mengamuk untuk meloloskan diri. Tiga orang
utusan dari kota raja juga terpaksa membela diri dan mencari jalan keluar.
Terjadilah pertempuran yang kacau di dalam ruangan itu. Han Le hanya berdiri di
pojok, merasa ragu karena dia tidak tahu harus membantu siapa. Dia tahu bahwa
Pek-gan Lo-kai dan teman-temannya itu adalah para pejuang rakyat yang hendak
menentang Tai Peng, sedangkan gadis yang tadi disebut nona Thio Eng Hui oleh si
pengemis buta jelas adalah utusan dari suhengnya,
Yaitu Li Hong Cang yang sekarang telah menjadi bengcu atau pemimpin rakyat yang
berjuang. Tiga orang itu adalah utusan dari Kerajaan Mancu. Dia tidak mau
membantu kedua pihak, juga dia merasa ragu-ragu untuk membantu orang-orang Tai
Peng, sebelum kedudukannya jelas di dalam kerajaan baru yang dipimpin oleh Ong
Siu Coan, bekas suheng mendiang ayahnya itu. Maka diapun tidak mencampuri
perkelahian itu. Perkelahian itu berjalan dengan seru dan kakek pengemis buta
itu memang lihai bukan main. Demikian pula tiga orang utusan dari kotaraja
itupun lihai sehingga banyak pula anak buah Tai Peng yang roboh oleh mereka.
dalam perkelahian yang campur aduk itu, di mana pengeroyokan dilakukan secara
kacau, tidak mungkin lagi bagi para pemegang bedil untuk mempergunakan senjata
api mereka,
Karena kalau hal ini dilakukan, banyak sekali bahaya akan mengenai tubuh teman
sendiri. Akan tetapi, pasukan Tai Peng itu terlalu banyak jumlahnya, dan dua
orang yang memimpin pasukan itu, yaitu Tiat-pi Kim-wan dan Seng-jin Sin-touw,
juga bukan orang sembarangan, melainkan tokoh-tokoh kang-ouw yang lihai dan
banyak pengalaman. Akhirnya, Pek-gan Lo-kai berhasil lolos keluar bersama
seorang pembantunya, sedangkan tiga orang pembantunya yang lain tewas. Di pihak
tiga orang utusan kotaraja, juga hanya dua orang saja lolos sambil membawa luka,
sedangkan seorang lagi roboh dan tewas. Thio Eng Hui sudah lolos lebih dahulu
sejak tadi. Setelah pertempuran berhenti, Tiat-pi Kim-wan dan Seng-jin Sin-touw
lalu menghadapi Han Le dan Tiat-pi Kim-wan yang tadi sudah melihat kelihaian
pemuda ini dan memujinya, kini bertanya dengan alis berkerut.
#Orang muda, tadi engkau dimusuhi mereka, dikeroyok dan hendak dibunuh. Mengapa
setelah kami muncul membantumu engkau malah diam saja dan tidak mau membantu
kami merobohkan mereka? Lihat, di antara anak buah kami banyak yang tewas dan
terluka, sedangkan mereka banyak yang lolos.# Han Le memandang kepada orang
tinggi kurus itu dengan sikap acuh, lalu menjawab seenaknya.
#Aku tidak mengenal kalian, mengapa aku harus membantu dalam pekelahian itu?#
#Akan tetapi kau dimusuhi mereka?#
#Benar, karena aku disangka mata-mata Tai Peng.#
#Dan kami adalah tokoh-tokoh pimpinan pasukan Tai Peng. Kenapa engkau yang kami
tolong malah tidak mau membantu kami?# kini Seng-jin Sin-touw mencela. Han Le
memandang orang tinggi besar itu penuh perhatian beberapa saat lamanya sebelum
dia menjawab.
#Kalian bukan menolongku. Kalian adalah orang-orang Tai Peng dan tentu saja
kalian memusuhi mereka yang menentang Tai Peng. Akan tetapi aku? Aku mereka
serang karena mereka menyangka aku seorang mata-mata Tai Peng. Padahal aku bukan
mata-mata Tai Peng. Kalau sudah jelas kedudukanku di Tai Peng, tanpa diminta
lagi tentu tadi aku sudah membasmi mereka!# Tiat-pi Kim-wan dan Seng-jin Sintouw
saling pandang. Orang muda ini lihai, hal itu dapat mereka saksikan tadi
ketika pemuda ini dapat bertahan dikeroyok oleh demikian banyaknya orang lihai.
Namun, mengeluarkan kata-kata bahwa dia mampu membasmi mereka, sungguh amat
sombong. Pek-gan Lo-kai dan kawan-kawannya tadi amat lihai, dan pemuda itu
dikeroyok banyak orang tentu hanya mampu membela diri saja, mana mungkin
membasmi mereka? Dapat meloloskan diripun sudah untung.
#Hemm, orang muda. Musuh-musuhmu tadi amat lihai, bagaimana engkau seorang diri,
kalau tidak ada petolongan kami, akan mampu membasmi mereka# tanya Tiat-pi Kimwan
sambil tersenyum mengejek.
#Dengan kedua tanganku, kalau aku mau, aku dapat membasmi mereka tadi,# hawab
Han Le sejujurnya, bukan dengan maksud untuk menyombongkan diri. Jawaban ini
membuat Tiat-pi Kim-wan menjadi penasaran sekali.
#Orang muda, engkau boleh jadi memiliki ilmu slat yang tinggi, akan tetapi tidak
mungkin dapat membasmi banyak orang pandai yang mengepung dan mengeroyokmu
demikian ketat. Andaikata kami ini musuh-musuhmu dan kini mengepungmu, bagaimana
mungkin engkau dapat membasmi kami?# Tiat-pi Kim-wan memberi isyarat dan dua
puluh orang pasukan telah mengepungnya, di antara mereka ada pula yang
menodongkan bedil! Dua orang anak buah Lee Song Kim itupun sudah menodongkan
senjata maisng-masing dengan sikap mengeroyok Han Le. Akan tetapi mereka
tersenyum dan tahulah Han Le bahwa mereka memang hanya main-main atau ingin
mengujinya saja. Diapun tersenyum,
#Tidak benar sama sekali!# katanya dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat, tahu-tahu
dia telah berada di belakang tubuh Tiat-pi Kim-wan, mencengkeram leher bajunya
dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanan menekankan mulut pistol kecilnya di
lambung pemimpin pasukan Tai Peng itu.
#Semua lempar senjata atau pimpinan kalian ini akan mati di ujung pistolku lebih
dulu!# bentaknya. Semua anak buah Tai Peng terbelalak. Mereka tidak berani
menyerang karena tubuh pemuda itu terlindung oleh tubuh Tiat-pi Kim-wan,
sedangkan perwira tinggi kurus inipun terbelalak karena sama sekali tidak dapat
mengikuti gerakan pemuda baju putih, bahkan tidak melihat bagaimana pemuda itu
tahu-tahu telah mencabut sebuah pistol. Pasukan itu masih ragu-ragu, dan tibatiba
Han Le berkata lagi.
#Kalian masih belum yakin akan kemahiranku menembak pistol kecil ini? Lihat dua
ekor cecak di atas itu.# dan diapun cepat sekali menggerakkan tangan kanannya
yang memegang pistol.
#Dar! Dar!# Semua orang memandang dan mereka terkejut dan kagum bukan main
melihat jatuhnya dua buah kepala cecak yang tubuhnya sudah hancur dilanggar
pistol! Han Le melepaskan cengkeramannya pada leher baju Tiat-pi Kim-wan, dan
pistolnya telah lenyap lagi seperti disulap saja dan kini dia menghadapi dua
orang tokoh Tai Peng itu dengan sikap tenang,sama sekali tidak memperlihatkan
kebanggaan karena perbuatannya tadi bukan untuk membanggakan kepandaian
melainkan untuk medatangkan kesan agar terpandang oleh orang-orang Tai Peng. Dua
orang itu sejenak terbelalak, kemudian bertepuk tangan memuji, diikuti oleh para
anggauta pasukan mereka yang merasa kagum sekali.
#Bukan main! Orang muda perkasa, engkau bukan hanya pandai ilmu silat, bahkan
ahli memainkan senjata api pula! Siapakah namamu, orang muda?#
#Namaku Gan Han Le......#
#Ah, benar! Tadi aku merasa sudah mengenalnya. Dia adalah murid keponakan dari
raja kita!# terdengar teriakan seorang perajurit yang usianya sudah empat puluh
tahun. Perajurit ini pernah menjadi perajurit pengawal dan dia pernah melihat
Han Le ketika dia bersama ibunya tinggal di istana Ong Siu Coan. Mendengar ini,
terkejutlah dua orang perwira itu. mereka mengenal akan kekerasan hati Raja Ong
Siu Coan terhadap anak buah yang bersalah dan mereka tadi bersikap kurang hormat
kepada murid keponakan raja itu!
#Benarkah...... engkau murid keponakan raja kami?# tanya Tiat-pi Kim-wan. Han Le
mengangguk.
#Benar, mendiang ayahku adalah sute dari Sribaginda Raja Ong Siu Coan.# Dua
orang itu segera memberi hormat dengan sikap merendah, diikuti pula oleh anak
buah mereka.
#Harap Gan-taihiap sudi memaafkan kami yang tidak tahu dan tidak mengenal
taihiap. Marilah kami mengiringkan taihiap untuk menghadap Sribaginda di
istana.#
Han le mengangguk. Memang dia berniat untuk menghadap supeknya yang kini telah
menjadi raja itu. Dahulu supeknya bersikap baik terhadap dia dan ibunya, dan
kini, selagi dia kehilangan pegangan, sebaiknya kalau dia menghambakan diri
kepada raja Tai Peng itu. Bukankah dengan membantu Tai Peng meruntuhkan
kekuasaan penjajah Mancu, sama saja dengan garis tujuan yang pernah
diperjuangkan mendiang ayahnya, yaitu menumbangkan kekuasaan penjajah Mancu?
Untuk apa dia membantu kedua suhengnya yang kini menjadi pimpinan rakyat itu?
Mereka agaknya telah menyeleweng, melakukan persekutuan dengan Pemerintah Mancu!
Kaki tangan Lee Song Kim yang merupakan pasukan rahasia. Walaupun Lee Song Kim
dan kaki tangannya bekerja membantu pemerintah Tai Peng, bahkan Lee Song Kim
kini menjadi kaki tangan Ong Siu Coan,
Dan kekasih dari Kiki atau Tang Ki permaisuri dari raja Tai Peng itu, namun Lee
Song Kim dan kaki tangannya merupakan kelompok rahasia tersendiri yang memiliki
gerakan cepat, penuh rahasia, dan teratur sekali. Oleh karena itu, walaupun
mereka mengajak Han Le sebagai seorang tamu kehormatan pergi ke istana menghadap
Sribaginda Raja, namun diam-diam Tiat-pi Kim-wan dan Seng-jin Sin-touw tekah
mengutus seorang kepercayaan untuk lebih dulu pulang ke Nan-king dan
menyampaikan laporan kepada Lee Song Kim tentang peristiwa yang terjadi di kota
Cu-sian di perbatasan itu, dan tentu saja tentang Gan Han Le yang kini ikut
bersama pasukan untuk pergi mengadap Sribaginda. Mendengar laporan itu, Lee Song
Kim langsung saja pergi menghadap Raja Ong Siu Coan, dan bersama permaisuri tang
Ki mereka lalu membicarakan pemuda itu.
#Tidak disangka bahwa anak itu kini telah menjadi seorang pemuda dewasa yang
lihai,# kata Ong Siu Coan.
#Sungguh menguntungkan sekali kalau dia mau menyumbangkan tenaga membantu kita.
Dia harus diterima denga baik, disenangkan hatinya dan diberi kedudukan tinggi
sesuai dengan kepandaiannya.#
#Akan tetapi, walaupun pendapat paduka itu benar sekali, namun hamba kira
sebaiknya kalau paduka lebih dahulu menguji sampai di mana tingkat
kepandaiannya, dan apakah dia memang cukup lihai untuk diangkat menjadi pembantu
paduka yang boleh diandalkan,# kata Lee Song Kim, bagaimanapun juga sudah
memandang pemuda itu sebagai calon saingannya. Raja Ong Siu Coan tersenyum
lebar, sepasang matanya yang mempunyai sinar aneh itu mencorong, wajahnya
berseri menunjukkan bahwa hatinya bergembira saat itu.
#Tentu saja dia pandai sekarang. Anak itu memang berbakat, dan lupakah engkau
kepada si muka buruk yang mengaku mata-mata orang kulit putih dan yang telah
menukar Han Le dan ibunya dengan dua ratus pucuk bedil itu? Ha, dia itu ternyata
telah merampas senjata-senjata itu dari mata-mata yang sesungguhnya, dan dia itu
lihai sekali. Agaknya Han Le menerima ilmu silat dari orang rahasia itu.#
#Betapapun juga, kita harus berhati-hati,# kata Tang Ki.
#Kita ingat siapa orang tua anak itu. Ayahnya adalah seorang pemberontak yang
gigih, dan siapa tahu diapun condong untuk bersekutu dengan para pemberontak
yang dipimpin oleh Li Hong Cang dan Ceng Kok Han itu. Dan ingat pula siapa
ibunya. Seorang wanita kulit putih. Tidak akan mengherankan kalau diam-diam kini
dipergunakan oleh orang kulit putih untuk mengamat-amati kita,
Raja itu mengangguk-angguk. Dia merasa girang mendengar usul-usul dari
permaisurinya dan tangan kanannya itu, dan makin yakinlah hatinya bahwa mereka
berdua inilah sesungguhnya pembantu-pembantunya yangpalig setia dan boleh
diandalkan. Ong Siu Coan bukan orang bodoh, tentu saja dia tahu apa yang telah
terjadi antara kedua orang ini, apa yang mereka lakukan di belakang punggungnya.
Biarlah, pikirnya. Dia tidak membutuhkan lagi Tang Ki sebgai isteri atau
kekasih, untuk itu dia dapat meguasai setiap orang wanita muda cantik yang
disukainya. Dia membutuhkan Tang Ki sebagai sekutu, sebagai pembantu dan dia
melihat bahwa Tang Ki amat berguna untuk mengikat Lee Song Kim! Biarlah mereka
itu berjina sesuka hati mereka, sepuas hati mereka, karena hal ini merupakan
kelemahan mereka yang menjadi senjata baginya untuk menundukkan mereka berdua!
#Selama ada kalian berdua membantuku, hatiku akan selalu tenang. Sebaiknya
kalian berdua rundingkan bagaimana untuk menghadapinya, Lee-ciangkun, engkau
bertugas untuk menguji kepandaian Gan Han Le itu, dan kalian berdua atur saja
siasat untuk menguji kesetiaannya. Nah, tinggalkanlah aku sendiri, aku hendak
bersembahyang dan menghadap Bapa di Surga untuk memohon petunjuk-Nya.# Tang Ki
dan Lee Song Kim saling lirik, kemudian mengundurkan diri karena raja itu selalu
mempergunakan alasan yang sama kalau hendak menyendiri, dan untuk melakukan apa
saja di luar tahu permaisurinya atau orang lain, kecuali yang dikehendakinya.
Ketika mereka keluar dari dalam ruangan itu, Lee Song Kim berbisik,
#Apakah dia tahu akan hubungan antara kita# Tang Ki tersenyum.
#Kau kira dia bodoh? Tentu saja dia tahu......#
#Aihhh......!# Wajak Song Kim berubah agak pucat. Tang Ki menggandeng tangannya
dan menariknya memasuki sebuah di antara kamanya pribadi. setibanya di dalam, ia
menutup daun pintu dan merangkul leher kekasihnya itu.
#Jangan khawatir! Dia sudah tidak membutuhkan aku sebagai isteri atau kekasih
lagi. Masa itu sudah lama berlalu. Dia hanya membutuhkan aku sebagai sekutu dan
pembantu yang setia.# Mereka berdua tenggelam ke dalam kemesraan di dalam kamar
itu, mencurahkan kasih sayang masing-masing menurutkan gairah nafsu mereka yang
tak kunjung kering dan puas itu. Setelah itu, mereka lalu duduk di tepi
pembaringan, seperti dua orang sahabat yang sedang berbincang-bincang,
membicarakan tentang Han Le dan mengatur siasat untuk menghadapi pemuda itu.
Begitulah, ketika Gan Han Le dibawa menghadap raja oleh dua orang perwira
pembantu Lee Song Kim itu, dia diterima oleh Raja Ong Siu Coan dengan gembira,
namun tidak terlalu lama.
#Ah, engkau tentu Gan Han Le, putera Sheila dan mendiang Gan-sute itu!# kata Ong
Siu Coan sambil tersenyum memandang pemuda yang berlutut di depannya itu.
#Selama ini, engkau telah menuntut ilmu silat, kepada siapa saja engkau berguru,
Han Le?# Han Le tidak ingin menyebut-nyebut nama gurunya yang kini amat
dibencinya itu, dan pula, gurunya ternyata adalah Koan Jit, suheng dari raja ini
sendiri yang tadinya sudah disangka mati, tentu kalau dia mengaku, hal itu akan
mengejutkan raja dan membuat dia repot saja.
#Harap paduka sudi mengampuni hamba yang selama ini hamba tidak ada kesempatan
untuk datang menghadap. Selama ini hamba merantau dan hamba belajar silat di
mana-mana, dari siapa saja tanpa guru tertentu. Ong Siu Coan mengerutkan
alisnya. Dia seorang yang cerdik dan diapun tahu bahwa orang muda ini hendak
menyembunyikan nama gurunya. Tentu ada alasannya yang kuat, maka diapun tidak
mau mendesak.
#Bagaimana dengan ibumu? Di mana ibumu sekarang?# Ditanya tentang ibunya, Han Le
menjadi semakin berduka, akan tetapi ditahannya agar dia tidak terbayang pada
wajahnya.
#Ibu...... ibu telah meninggal dunia......# Suaranya mengandung haru dan
kesedihan, sedih karena dia harus membohong dan mengatakan bahwa ibunya telah
mati, atau lebih baik mati saja daripada hidup menjadi isteri dari musuh besar
yang membunuh ayah kandungnya! Keharuan dan kedukan Han Le itu diterima sebagai
pengakuan yang sebenarnya oleh Ong Siu Coan.
#Ah, engkau anak yang malang,# katanya. #Jangan berduka, Tuhan mencinta orangorang
yang malang.#
#Terima kasih, Sribaginda.#
#Gan Han Le, menurut laporan orang-orangku, engkau bertemu dengan mereka ketika
engkau berkelahi melawan orang-orang yang memusuhi Tai Peng. Dan engkau sekarang
datang menghadap padaku, sesungguhnya, apa yang kau kehendaki?#
#Kalau paduka sudi menerima, hamba ingin mengabdi kepada paduka.# Dia berhenti
sejenak lalu cepat menyambung kembali. #Hamba ingin seperti mendiang ayah, ingin
memebela tanah air dan bangsa, mengusir penjajah Mancu!#
#Bagus!# Ong Siu Coan tertawa girang. #Engkau tepat sekali datang kepadaku kalau
ingin menjadi seorang patriot. Mari kita hancurkan penjajah Mancu! Dan engkau
akan kuangkat menjadi panglima sesuai dengan kepandaianmu. Untuk mengukur sampai
di mana tingkat kepandaianmu, engkau harus menghadap Lee-ciangkun yang bertugas
untuk menguji para perwira baru. Bawa dia menghadap Lee-ciangkun!# kata raja itu
kepada Tiat-pi Kim-wan dan Seng-jin Sin-touw yang mengantar Han Le menghadap.
Han Le menghaturkan terima kasih dan pergi bersama dua orang itu ke tempat
tinggal Lee Song Kim yang berada di bangunan sayap kiri.
Dia disambut dalam sebuah ruangan yang luas di mana dia melihat seorang wanita
berusia empat puluhan tahun yang masih nampak cantik jelita, dengan tahi lalat
di pipi, pakaian yang amat mewah dan indah walaupun nampak ringkas dan agaknya
ia merupakan orang yang paling dihormati di situ. Kursinya paling tinggi, dan
belasan orang yang berpakaian panglima dan perwira duduk di kanan kiri dan
belakangnya, nampak bersikap hormat terhadap wanita itu, dan terhadap seorang
panglima yang duduk di sebelah kiri wanita itu. Sekali pandang saja Han Le
mengenal mereka. Wanita itu adalah Panglima Lee Song Kim, seorang panglima baru
yang datang belum lama setelah dia dan ibunya berada di istana itu. kiranya
panglima itu kini telah menjadi seorang panglima besar yang tentu tinggi
kedudukannya, kalau tidak, tidak duduk sejajar dengan Permaisuri.
Karena di situ terdapat Sang Permaisuri, melihat betapa dua orang pengantarnya
memberi hormat sambil berlutut, diapun memjatuhkan diri berlutut memberi hormat
kepada Tang Ki sebagai seorang permaisuri. Sepasang mata wanita ini berkilat. Ia
membenci ibu anak ini karena ibu itu terlalu cantik sehingga menjatuhkan hati
suaminya, bahkan juga menjatuhkan hati Lee Song Kim yang kini menjadi
kekasihnya. Akan tetapi, ia tidak membenci anak ini. Seorang pemuda yang
memiliki ketampanan yang aneh, dengan sepasang matanya yang kebiruan dan
tubuhnya yang tinggi besar dan tegap gagah. Apalagi kalau pemuda ini memiliki
kepandaian tinggi dan dapat membantu Tai Peng, tentu saja ia tidak membencinya.
Ia tahu bahwa Han Le memberi hormat dengan berlutut untuk menghormatinya, maka
hatinya merasa senang.
#Bangkitlah, orang muda dan duduklah di kursi yang kosong itu. Engkau berada di
antara tokoh-tokoh pimpinan pasukan, tidak perlu terlalu banyak penghormatan
seperti di dalam istana.#
Setelah menghaturkan terima kasih, Han Le lalu duduk, ikut menghadapi sebuah
meja besar dan dia berhadapan dengan Lee Song Kim dan Tang Ki. Dengan pandang
matanya Han Le menyapu mereka yang hadir dan ternyata ada tiga belas orang
berpakaian perwira tinggi duduk di situ, jadi ada lima belas orang dengan Lee
Song Kim dan Permaisuri. Dan ruangan itu dijaga ketat oleh kepungan pengawal,
baik yang nampak terang-terangan maupun yang bersembunyi. Yang terakhir sekali,
pandang mata Han Le bertemu dengan wajah Lee Song Kim dan mereka saling pandang
dengan sinar mata tajam penuh selidik. Seorang pria berusia empat puluh lima
tahun yang memiliki sepasang mata mencorong tajam dan membayangkan kecerdikan
dan kelicikan, pikir Han Le. Dia harus berhati-hati terhadap orang seperti ini.
#Gan Han Le, kami mendapat tugas dari Sribaginda untuk mengenal dirimu lebih
baik,# kata Lee Song Kim dengan suara tegas dan pandang mata penuh selidik.
#Oleh karena itu, harap semua pertanyaan akan kau jawab dengan sejujurnya.
Engkau datang untuk menghambakan diri kepada Kerajaan Sorga dari pasukan besar
Tai Peng, benarkah?# Han Le mengangguk, tanpa menjawab.
#Apa yang mendorongmu bekerja membantu kami di sini?#
#Saya ingin membantu gerakan Tai Peng yang hendak menghancurkan kekuasaan
pemerintah penjajah Mancu, dan membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajah,#
kata Han Le dengan jujur, tanpa ragu sedikitpun.
#Hemm, tahukah engkau siapa ayahmu, orang macam apa dia?# tanya pula Lee Song
Kim. pertanyaan-pertanyaan ini memang sudah diatur sebelumnya, dirundingkan
dengan Tang Ki.
#Mendiang ayah adalah seorang pahlawan, seorang pendekar dan patriot sejati!#
jawab Han Le dengan suara lantang.
#Benar sekali, siapa yang tidak pernah mendengar nama pendekar dan pahlawan Gan
Seng Bu semenjak Perang Madat? Kalau engkau ingin melanjutkan perjuangan
mendiang ayahmu, mengapa engkau tidak mengikuti gerakan mereka yang enamakan
diri pejuang takyat, yang dipimpin oleh Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, dan
diikuti pula oeh banyak pendekar?# Pertanyaan ini merupakan pancingan yang
berbahaya sekali. Kalau saja Han Le tidak merasa begitu membenci gurunya
otomatis juga membenci kedua orang suhengnya itu, dan kalau saja dia disangka
wakil pihak kulit putih sehingga dia melihat bahwa kelompok pejuang rakyat itu
kini bersekongkol dengan pemerintah Mancu dan orang kulit putih, tentu dia akan
terjebak oleh pertanyaan Lee Song Kim itu.
#Tidak!# jawabnya tegas. #Kelompok pejuang itu telah menyeleweng, bahkan kini
bekerja sama dengan penjajah Mancu, dan dengan orang kulit putih. Saya lebih
setuju dengan perjuangan Tai Peng yang jelas menentang penjajah Mancu.# Lee Song
Kim dan Tang Ki saling lirik, nampaknya puas dengan jawaban itu. Lee Song Kim
malah tertawa.
#Ha-ha-ha, engkau memang benar sekali, Gan Han Le. Ceng Kok Han dan Li Hong Cang
itu sesungguhnya hanyalah pengkhianat-pengkhianat bangsa yang menjadi anjing
penjilat bangsa Mancu. mereka bergerak membantu penjajah untuk menentang kami,
dengan dalih perjuangan untuk membohongi dan memikat rakyat. Akan tetapi, Han
Le, engkau tentu ingat bahwa ibumu adalah seorang wanita berkulit putih......#
#Saya harap caingkun tidak bicara tentang ibuku yang'sudah...... sudah
meninggal......#. kata Han Le tak senang.
#Maaf, bukan maksudku untuk mengingatkan engkau kepada ibumu yang telah tiada,
hanya...... karena engkau berdarah orang barat, bahkan melihat warna matamu juga
mudah dilihat bahwa di dalam tubuhmu ada darah orang kulit putih, apakah engkau
tidak mempunyai pikiran untuk mengabdi kepada pasukan kulit putih yang kini
berkuasa di seluruh bandar pelabuhan?# Pertanyaan yang memikat dan juga
menjemukan hati Han Le. Dia paling tidak suka diingatkan bahwa matanya biru,
bahwa ada darah campuran mengalir di tubuhnya.
#Saya terlahir di atas tanah ini, minum air dari tanah ini, biarpun ibuku sorang
wanita kulit putih, namun beliau juga tidak suka kepada penjajah Mancu. Tanah
airku adalah di sini, dan saya bersedia membelanya dengan taruhan nyawa.# Tang
Ki mengangguk-angguk.
#Akan tetapi Gan Han Le, ketahuilah bahwa semua tokoh pasukan Tai Peng, para
panglima yang kini berada di sini, semua memiliki kelebihan dalam kepandaian
khas mereka masing-masing. Untuk menjadi seorang perwira yang memimpin ribuan
orang tentara, dia harus memiliki ilmu kepandaian tinggi, baik dalam ilmu silat
ataupun dalam ilmu perang. Dia harus gagah perkasa dan berani mati. bersediakah
engkau untuk diuji kepandaianmu dalam suatu pertandingan? Akan tetapi ingat,
pertandingan silat dapat saja berakibat luka parah atau kematian!# Han Le sudah
menduga bahwa tentu dia akan diuji kalau hendak mengabdi kepada seorang raja.
#Hamba bersedia,# jawabnya singkat. Kini Lee Song Kim yang bicara,
#Gan Han Le, di antara perwira tinggi, ada tiga tingkat yang biasanya diuji di
sini, dan di sini pula diputuskan tingkat mana yang dapat menerimanya. Tingkat
ketiga diuji menandingi seorang perwira tinggi dan harus dapat bertahan sampai
lima puluh jurus. Ujian tingkat kedua dihadapkan kepada dua orang perwira tinggi
dan dia harus dapat bertahan sampai lima puluh jurus pula, sedangkan untuk
tingkat pertama, dia harus bertahan selama lima puluh jurus menghadapi
pengeroyokan tiga orang perwira tinggi. Tidak tahu tingkat mana yang akan kau
tempuh?# Kalau memang akan menjadi perwira, harus yang tingkat pertama, pikir
Han Le. Pula, di sini dahulu ibunya hanya menjadi seorang pekerja di dapur.
bagaimanapun juga, dia harus mengangkat nama ibunya, dan ayahnya pula! Dan
agaknya tidak percuma selama ini dia digembleng mati-matian oleh gurunya, juga
ayah tirinya, juga musuh besarnya!
#Saya ingin mengikuti ujian untuk tingkat pertama!# jawabnya dengan suara tegas.
Tiga belas orang perwira tinggi itu, yang rata-rata memiliki ilmu silat lebih
tinggi daripada para pembantu Lee Song Kim, saling pandang dan tersenyum
mengejek. Orang muda itu terlalu sombong, pikir mereka. melawan seorang di
antara mereka saja mana mungkin bisa menang? Apalagi harus dkeroyok tiga! Di
antara mereka semua, mungkin hanya Sang Raja, Sang Permaisuri, dan Lee-ciangkun
saja yang akan mampu menang menghadapi pengeroyokan tiga orang di antara mereka!
Juga Lee Song Kim dan Tang Ki terkejut mendengar keberanian Han Le itu. Mereka
sudah mendengar bahwa pemuda ini memang lihai, bahkan lihai memainkan pistol,
tetapi menghadapi pengeroyokan tiga orang perwira tinggi? Sukar untuk dapat
menang! Akan tetapi Lee Song Kim sudah berkata kepada tiga orang di antara tiga
belas perwira tinggi itu.
#Kok-ciangkun, Song-ciangkun, dan Bhe-ciangkun, harap kalian bertiga menguji Gan
Han Le ini selama lima puluh jurus!# Tiga orang perwira tinggi itu bangkit dan
senyum mengejek membayang di wajah mereka. Perwira she Kok bertubuh tinggi besar
dengan perut gendut dan kepala botak, kedua lengannya panjang dan besar, dia
kelihatan seperti seekor biruang ketika bangkit berdiri. Song-ciangkun bertubuh
tinggi kurus, mukanya kuning, kumisnya hanya beberapa lembar berjuntai ke kanan
kiri mulutnya, matanya sipit dan mukanya meruncing model muka tikus, mulutnya
tersenyum mengejek buruk sekali. Perwira ketiga, Bhe-ciangkun, bertubuh tegap
dengan lengan dan leher dilingkari otot-otot yang besar, kelihatan kokoh kuat
seperti batu karang.
#Orang muda, marilah kita main-main sebentar,# kata Kok-ciangkun dan mendengar
ini, Han Le bangkit berdiri dan mengikuti mereka ke tengah ruangan. Para perwira
yang lain pindah ke kursi lain untuk menonton pertandingan ujian itu. Tang Ki
dan Lee Song Kim, sebagai dua orang yang berilmu tinggi, keduanya telah mewarisi
ilmu-ilmu silat tinggi dari Hai-tok, menonton denga mata bersinar-sinar penuh
perhatian. Ingin mereka mengenal ilmu silat yang akan diperlihatkan oleh pemuda
ini. dari ilmu silatnya, mereka berdua tentu akan dapat mengetahui diapa
gerangan guru pemuda ini, atau dari perguruan dan cabang persilatan mana dia
memperoleh kepandaiannya. Kini Han Le sudah berdiri di tengah dan tiga orang
pengujinya itu berdiri di depan, dan kanan kiri agak ke belakang, membentuk
kepungan segi tiga. Tiba-tiba Lee Song Kim teringat akan sesuatu dan dia
berkata,
#Gan Han Le, dalam pertandingan ini boleh dipergunakan senjata, akan tetapi sama
sekali tidak boleh mempergunakan senjata api!# Han Le tersenyum memandang kepada
tiga orang yang telah mengepungnya dan diapun menjawab,
#Pistol saya tidak akan saya pergunakan selama mereka inipun tidak mempergunakan
senjata rahasia, ciangkun.# Kepada tiga orang pembantunya, Lee Song Kim
memperingatkan,
#Sam-wi (kalian bertiga) harap jangan mempergunakan am-gi (senjata gelap),
karena dia memiliki pistol yang tak dapat dilawan oleh senjata gelap apapun.
Jangan sam-wi mencari kematian konyol.# Tiga orang perwira itu tersenyum, bahkan
Kok-ciangkun tertawa.
#Ha-ha-ha, menghadapi seorang muda yang pantas menjadi anak atau murid kami,
kami sudah maju bertiga, bagaimana kami sampai hati menggunakan senjata gelap?
Orang muda, bersiaplah dan jaga serangan kami!#
Mula-mula Bhe-ciangkun yang menyerang dari samping kiri. Pukulan perwira yang
tubuhnya kokoh kuat ini cepat dan terutama sekali kuat bukan main. Terdengar
bunyi berkerotokan dari otot-ototnya ketika lengannya meluncur dengan tangan
membentuk cakar, mencengkeram ke arah pundak Han Le dan serangan ini
mendatangkan angin yang mengeluarkan suara mengiuk. Tahulah Han Le bahwa dia
menghadapi sorang ahli tenaga luar, tenaga otot yang terlatih baik dan dia dapat
menduga betapa jari-jari tangan itu dapat menjadi keras seperti baja! Maka
dengan lincah dan dengan gerakan tubuh yang ringan dia melakukan langkah pat-kwa
seperti yang dipelajarinya dari Bu Beng Kwi dan dengan mudahnya dia
menghindarkan diri dari cengkeraman itu, tubuhnya berputar ke kanan dan kini dia
disambut oleh jotosan dari depan yang dilakukan oleh Song-ciangkun.
Sungguh berbeda sekali serangan Song-ciangkun yang tinggi kurus ini. Tangannya
juga terbuka, akan tetapi tidak mencengkeram melainkan menampar, akan tetapi
walaupun nampaknya saja lengan kecil panjang itu bergerak perlahan dan tangan
itupun melakukan tamparan yang tidak keras ke arah kepalanya, namun Han Le
terkejut karena dia melihat betapa telapak tangan orang tinggi kurus ini
mengeluarkan warna menghijau, tanda bahwa perwira tinggi yang seorang ini
menguasai ilmu pukulan beracun yang sudah terkandung di dalam telapak tangannya!
Diapun tidak berani sembrono menerima atau menangkis tamparan itu, melainkan
membuat langkah Pat-kwa-pouw dan diapun lolos dari tamparan ini dengan mudah.
#Sambutlah......!# Tiba-tiba menyambar angin keras dan kini Kok-ciangkun sudah
menyambut dengan totokan yang keras dilakukan dengan kedua tangan susulmenyusul.
Kok-ciangkun tadi melihat betapa pemuda itu telah berhasil menghindar
dengan mudah dari serangan kedua orang rekannya, berarti telah melewati dua
jurus,
Maka diapun maklum bahwa pemuda itu memang lihai, dan diapun segera maju
menerjang dengan totokan-totokan bertubi. Dalam sejurus saja dia telah menyerang
ke arah lima jalan darah terpenting di bagian depan tubuh Han Le! Pemuda itu
masih melanjutkan langkah pat-kwa, dan dengan lincahnya diapun berhasil
mnghindarkan diri dari totokan-totokan itu. Akan tetapi, kini Song-ciangkun dan
Bhe-ciangkun menyambutnya dari dua jurusan dengan serangan yang lebih berbahaya
lagi. Song-ciangkun melakukan tendangan ke arah lutut Han Le yang dihindarkan
oleh Han Le degan loncatan, akan tetapi Bhe-ciangkun yang memiliki lengan keras
seperti baja itu telah menyambutnya dari belakang dengan pukulan beruntun ke
arah punggung dan lambung. Terpaksa Han Le kini menggerakkan tangan menangkis.
#Duk! Dukk!# Dua pasang lengan bertemu dan akibatnya, tubuh Han Le terpental
saking kuatnya tenaga lawan, akan tetapi tubuh Bhe-ciangkun tergetar hebat oleh
tenaga sinkang yang terkandung dalam sepasang lengan Han Le. Perwira ini seperti
menggigil, kemudian menggoyang tubuhnya memulihkan keadaan tubuhnya, lalu
menyerbu lagi lebih hati- hati. Kok-ciangkun si perut gendut sudah akan
menyerang lagi dengan totokannya yang berbahaya. Orang she Kok ini memang
terkenal sebagai ahli totok yang lihai. Setiap totokannya dengan cepat dan
tepatnya mengarah jalan darah yang melumpuhkan.
Namun, dengan kelincahan gerakannya, Han Le selalu dapat mengelak atau menangkis
biarpun totokan-totokan dari Kok-ciangkun itu masih dibantu oleh cengkeraman
Bhe-ciangkun dan tamparan-tamparan Song-ciangkun. Dikeroyok tiga orang perwira
tinggi yang memiliki tiga macam serangan yang berbeda-beda gayanya itu, Han Le
tidak menjadi gugup. Dia mengandalkan kelincahan gerakannya, kecepatan dan juga
ketenangannya sehingga dia selalu dapat menghindarkan dirinya. Sampai tiga puluh
jurus dia hanya membela diri, kemudian mulailah dia mengeluarkan seruan panjang
dan tubuhnya bergerak lebih cepat lagi, kini dia mulai membalas! Dan begitu dia
membalas serangan tiga orang pengeroyoknya, mereka menjadi repot! Tang Ki
memandang heran dan kagum, berbisik kepada Lee Song Kim,
#Gerakannya mirip gerakan suamiku!# Lee Song Kim mengangguk-angguk. #Tentu saja,
bukankah ayahnya masih sute dari suamimu?#
#Akan tetapi ayahnya telah mati ketika dia dalam kandungan!# bisik pula Tang Ki.
Song Kim teringat akan hal ini dan diapun memandang heran. Kalau ayah anak itu
telah mati ketika dia berada dalam kandungan, jelas bukan ayah itu yang
mengajarkan ilmu silatnya. lalu siapa? Satu-satunya saudara seperguruan yang
tinggal hanyalah Sribaginda Raja! Thian-tok sendiri, guru Gan Seng Bu dan Ong
Siu Coan, telah lama meninggal dunia. Lalu dari mana anak itu belajar ilmu silat
aliran itu? Agaknya, satu-satunya orang yang dapat mengajarkan ilmu-ilmu itu
hanyalah Sribaginda. Hal ini tidaklah mengherankan kalau diingat bahwa Han Le
memperoleh semua ilmu silatnya dari Bu Beng Kwi. Adapun Bu Beng Kwi adalah Koan
Jit, murid pertama dari mendiang Thian-tok yang tentu saja memiliki dasar ilmu
aliran dari datuk persilatan ini. Hanya bedanya, setelah Koan Jit sadar dari
kesesatannya semenjak menjadi murid Siauw-bin-hud,
Dan dia berganti nama menjadi, semua ilmu silatnya telah berubah sifatnya, tidak
lagi mengandung kelicikan dan kekejaman seperti aslinya. Bu Beng Kwi telah
memperhalus ilmu-ilmu silatnya sehingga biarpun dasarnya masih saja merupakan
ilmu silat yang diajarkan oleh Thian-tok, namun memiliki perkembangan lain dan
sifatnya lebih halus dan indah. Karana dasarnya masih sama, maka tentu saja Tang
Ki yang sudah mengenal benar ilmu silat suaminya, segera melihat persamaan itu.
Tiga orang pengeroyok itu kini menjadi kewalahan dan biarpun mereka mengeroyok,
namun desakan-desakan Han Le yang membagi-bagi serangan membuat mereka lebih
banyak menangkis daripada menyerang. Han Le menggunakan akal yang membuat dia
terlepas dari kepungan ketat. Begitu ada yang menyerang, dia tidak menanti
sampai dua orang yang lain juga ikut menyerang,
Melainkan dia membuat gerakan cepat menyambut penyerang itu dan meloncat ke
belakang si penyerang yang terpaksa membalikkan tubuh dan dengan sendirinya, dua
orang kawannya juga berada di belakangnya dan Han Le mendesak satu orang saja
tanpa yang dua orang lagi dapat membantu. Kalau kemudian mereka mengejar dan
datang membantu, dia melompat ke belakang pengeroyok lain dan mendesak orang ini
dan dengan demikian, dia tidak pernah dikurung dan tidak pernah harus menghadapi
tiga orang pengeroyok sekaligus. Dia berloncatan dari satu ke lain orang,
mendesaknya dan dengan cara ini, tiga orang perwira tinggi itu menjadi repot
sekali dan setelah lewat lima puluh jurus, mereka bertiga sudah mandi keringat
dan baju di bagian dada masing- masing telah dapat terobek oleh jari tangan Han
Le.
#Cukup lima puluh jurus!# teriak Tang Ki yang menghitung dan pertandingan itu
memang sudah ada enam puluh jurus lebih. Para perajurit pengawal yang berjaga di
luar, ikut pula menonton dan mereka itu terheran-heran dan kagum bukan main
melihat betapa orang muda itu mampu menandingi pengeroyokan tiga orang perwira
tinggi! Dan tiga orang perwira inipun, melihat terobeknya baju di dada, melihat
pula betapa setelah pertandingan dihentikan mereka mandi keringat dan napas
mereka terengah-engah sedangkan pemuda itu masih nampak enak-enak saja, maklum
bahwa mereka bertemu dengan lawan yang amat angguh!
#Gan Han Le, engkau lulus dan kami akan memilihkan kedudukan yang tepat untukmu.
Yang jelas mulai saat ini engkau adalah seorang panglima kami!# kata Tang Ki
dengan suara gembira memeperoleh seorang pembantu yang demikian lihainya.
#Kionghi (selamat), Gan-ciangkun!# kata Lee Song Kim langsung saja menyebut
ciangkun kepada Han Le.
#Kalau boleh aku bertanya, dari siapakah engkau mempelajari ilmu- ilmu silat
yang tinggi itu? Apakah pernah engkau dilatih secara diam-diam oleh Sribaginda
sendiri?#
Han Le terkejut mendengar pertanyaan ini walaupun dia harus berpikir keras
menghadapi pertanyaan yang tiba-tiba itu. Dia tahu bahwa bagaimanapun juga, ilmu
silatnya yang dia dapatkan dari Bu Beng Kwi, sudah pasti mirip atau banyak
persamaan, bahkan sama dasarnya dengan ilmu silat yang dimiliki oleh Sribaginda
Ong Siu Coan. Ayahnya sendiri telah meninggal dunia, juga Koan Jit dikabarkan
telah tewas, jadi dalam perguruan itu yang tinggal hanya Ong Siu Coan. Dari
siapa lagi dia dapat mempelajari ilmu silat itu kalau bukan dari Sribaginda? Dia
tidak mau membuka rahasia Koan Jit, musuh besar yang menjadi gurunya itu. Dia
cerdik dan dapat mencari jawaban tepat dalam waktu sebentar saja.
#Saya tidak pernah dilatih oleh yang mulia Sribaginda. Ilmu silat yang saya
miliki adalah peninggalan mendiang ayah kandung saya. Ibu telah menyimpan kitabkitab
pelajaran yang ditulis ayah, dan setelah saya besar, saya mempelajari
kitab-kitab itu di bawah petunjuk guru-guru silat yang saya hubungi. Saya
belajar sendiri dengan tekun, ciangkun!# Lee Song Kim mengerutkan alisnya, tidak
puas dengan jawaban itu. belajar sendiri dari kitab, mana mungkin dapat
menguasai sedemikian baiknya? pula, ilmu silat dari Thian-tok, mana mungkin
dapat dimengerti secara baik oleh segala guru silat biasa saja? Akan tetapi,
diapun tidak mendesak karena Tang Ki sudah bicara lagi.
#Ciangkun, untuk menjadi seorang perwira tinggi seorang panglima yang baik dan
dapat dipercaya, bukan hanya bermodalkan ilmu kepandaian silat tinggi. Yang
terutama bagi kami adalah kesetiaan. Oleh karena itu, sebelum engkau membuktikan
kesetiaanmu, tentu saja kami belum dapat menentukan kedudukan apa yang akan kami
serahkan kepadamu. Akan tetapi mengingat bahwa engkau masih murid keponakan
sendiri dari yang mulia Sribaginda, hal itu sudah banyak menjamin. Karena itu,
kami memberi tugas kepadamu untuk melakukan pembersihan tehadap para mata-mata
pihak musuh, baik mata-mata Kerajaan Mancu, mata-mata para pemberontak yang
menentang kami, dan mata-mata pihak kulit putih, yang beraksi di sepanjang
perbatasan di utara. Bagian itu perlu dibersihkan untuk memperlancar gerakan
kita menyerang ke utara. Bagaimana, sanggupkah engkau? Kami akan memberi pasukan
secukupnya untuk keperluan itu.#
#Saya sanggup!# kata Han Le. #Hanya hamba minta agar pasukan itu dipilihkan
pasukan istimewa, tidak perlu terlampau banyak, dan mengenakan pakaian preman.#
Demikianlah, mulai hari tu, Gan Han Le diterima sebagai seorang panglima muda
oleh Raja Ong Siu Coan, bekerja di bawah Tang Ki dan Lee Song Kim, dan diberi
tugas untuk membersihkan mata-mata musuh yang bergerak di bawah tanah di daerah
perbatasan utara. Semenjak Han Le melakukan tugas ini, banyak mata-mata yang
dapat dibunuh atau ditangkap, dan dalam waktu beberapa bulan saja daeah
perbatasan itu menjadi bersih. Nama Gan Han Le dikenal oleh kalangan mata-mata,
baik dari Kerajaan Mancu, dari para pejuang rakyat, maupun dari pasukan kulit
putih dan dia ditakuti. Tentu saja hal ini amat menggirangkan hati Tang Ki dan
Lee Song Kim, karena selain mereka memeproleh seorang pembantu yang cakap, juga
Raja Ong Siu Coan menjadi girang dan puas.
Akan tetapi dalam melaksanakan tugasnya ini, jelas sikap keras tanpa ampun
terhadap mata-mata Kerajaan Mancu, akan tetapi dia lunak terhadap mata-mata
orang kulit putih atau mata-mata para pejuang rakyat. Bahkan kalau ada mata-mata
pejuang rakyat yang tertawan, dia membujuk agar mereka itu sadar dan maklum
bahwa Tai Peng adalah rekan seperjuangan untuk menumbangkan kekuasaan penjajah
Mancu, bukan musuh atau saingan. Dan dia agak lunak terhadap mata-mata orang
kulit putih mengingat bahwa ibunya adalah bangsa kulit putih pula. Yang menjadi
sasaran utamanya adalah Kerajaan Mancu. Banyak orang, di antara mereka bahwa
orang-orang bangsa Mancu sndiri, apalagi orang-orang Han yang merasa terjajah,
merasa muak dengan kehidupan yang diisi dengan cara-cara yang tak tahu malu oleh
Ibu Suri Cu Si. tak dapat disangkal bahwa ia adalah seorang wanita yang penuh
ambisi, keras hati, cerdik, berani dan pandai.
Untuk mempertahankan kedududannya sebagai orang nomor satu yang mewakili kaisar
bocah, puteranya sendiri, ia tidak segan-segan menyingkirkan satu demi satu
lawannya secara kejam dan tak mengenal ampun. Kedudukannya menonjol dan semua
pejabat dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah, tahu belaka bahwa
bagi mereka, tidak ada pilihan lain kecuali mentaati segala perintah yang
dikeluarkan oleh Ibu Suri Cu Si sebagai wakil kaisar. Tidak taat berarti dipecat
atau bahkan mungkin saja dihukum berat. Ada kabar yang bocor dari istana bahwa
karena dalam suatu permainan catur, seorang abdi berani mengalahkan Ibu Suri Cu
Si, langsung saja dia dihukum penggal kepala! Dosanya adalah meremehkan,
merendahkan dan menghina Ibu Suri Cu Si! Dan ini sama pula dengan menghina
kaisar karena Ibu Suri Cu Si adalah ibu kandung kaisar!
Akan tetapi yang membuat Yu Bwee merasa muak dan tidak betah lagi tinggal di
kotaraja, apalagi di dalam istana, adalah melihat cara Ibu Suri Cu Si mengejar
kesenangan, memuaskan nafsu berahinya! Melihat betapa wanita ini tidak malu-malu
untuk berjina dengan seorang thaikam, kemudian berhubungan gelap dengan pamannya
sendiri, Yu Bwee tidak betah lagi dan iapun meninggalkan kotaraja dan pulang ke
rumah orang tuanya. Ayah ibunya menyambut pulangnya sang puteri dengan gembira
dan mendengarkan semua cerita dari pengalaman Yu Bwee. Ketika Yu Bwee
menceritakan tentang peristiwa di dalam perjalanan melarikan diri keluarga
kaisar ke Yehol, dan pertemuannya dengan seorang pemuda yang bernama Gan Han Le.
kedua orang tuanya saling pandang dan mengerutkan alisnya. dari ucapan Yu Bwee,
ayah ibunya ini dapat menduga bahwa puteri mereka tertarik kepada pemuda itu.
#Hemmm, engkau belum tahu benar akan keadaan pemuda itu, bagaimana engkau dapat
mengatakan bahwa dia seorang pendekar perkasa yang lihai sekali?#tanya Ceng
Hiang kepada puterinya.
#Ah, tentu saja aku tahu bahwa dia lihai bukan main, ibu. Ketika rombongan
keluarga kaisar dihadang perampok, dialah yang menyelamatkan keluarga itu dan
aku hanya membantu setelah dia hampir selesai membasmi perampok. Kemudian dia
diminta oleh Ibu Suri Cu Si untuk mengawal rombongan.#
#Dan sampai sekarang dia masih mengabdi kepada Ibu Suri?# tanya Ceng Hiang yang
sudah mengenal benar watak para pendekar. Kalau benar pemuda itu seorang
pendekar, tentu dia tidak sudi mengabdi kepada Ibu Suri Cu Si yang akhir-akhir
ini ia dengar pula berita busuk tentang dirinya.
#Tidak, dia terkena fitnah, ibu, dan hampir saja aku bentrok dengan dia.#
#Hemm, apakah yang telah terjadi, Yu Bwee?# tanya Yu Kiang, ayahnya. Dengan
panjang lebar Yu Bwee lalu menceritakan betapa pada suatu hari, ia diutus oleh
Ibu Suri Cu Si untuk mengejar dan menangkap atau membunuh Gan Han Le karena
pemuda itu berani kurang ajar terhadap Ibu Suri. Tentu saja ia tidak berani
membantah dan iapun lalu melakukan pengejaran sampai akhirnya ia dapat
berhadapan dengan pemuda itu.
#Dan engkau tentu berhasil menangkap pemuda yang kurang aj ar itu, bukan?# tanya
ayahnya.
#Tidak, ayah. Dia tidak bersalah. Bukan dia yang kurang ajar, bahkan dia
melarikan diri karena Ibu Suri Cu Si marah kepadanya setelah dia menolak
kehendak Ibu Suri terhadap dirinya.#
#Kehendak Ibu Suri? Apa kehendaknya?# tanya Ceng Hiang, belum mengerti. Dengan
kedua pipi berubah merah Yu Bwee berkata,
#Ia...... ia mengajak pemuda itu berbuat yang tidak sopan. Dia menolak dan Ibu
Suri Cu Si marah, memerintahkan pengawal menangkapnya akan tetapi dia dapat
meloloskan diri.#
#Hemmm, sungguh tidak tahu malu......!# Ceng Hiang berkata dan kedua pipinya
juga menjadi merah. #Akan tetapi, anakku. Bagaimana kalau pemuda itu berbohong?
Siapa tahu kalau dia memutar-balikkan kenyataan?#
#Akupun sudah menduga demikian dan dia menyatakan bahwa kalau dia yang mempunyai
niat busuk itu, apa sukarnya bagi dia untuk memaksa Ibu Suri? Aku percaya, ibu,
karena memang dia lihai sekali, maka alasannya itu memang tepat. Selain itu,
diapun bukan orang sembarangan, dia putera seorang pendekar dan pahlawan yang
terkenal.#
#Siapa namanya tadi?# tanya pula Ceng Hiang, tidak enak hatinya melihat betapa
puterinya nampaknya benar-benar tertarik.
(Lanjut ke Jilid 16)
Jilid 16
#Namanya Gan Han Le dan dia adalah putera tunggal dari mendiang pendekar Gan
seng Bu......#
#Ahhh......!# Ceng Hiang berseru kaget #Yang isterinya orang kulit putih
itu......?#
#Benar, ibu. Ibu kandung Gan Han Le adalah seorang kulit putih.#
#Hemmm, jangan engkau lupa betapa jahatnya orang-orang kulit putih, Yu Bwee.
Lihat betapa mereka telah menyerbu kotaraja dan merampok istana, membunuh banyak
orang, selain merampok juga memperkosa wanita, dan kini mereka menguasai
pelabuhan-pelabuhan di negara kita. Mereka jahat sekali, menyebar candu kepada
rakyat......#
#Aku mengerti, ibu. Akan tetapi ibu sendiri pernah berkata bahwa kebusukan suatu
pemerintahan sama sekali tidak mencerminkan watak bangsanya. Pemerintahan hanya
dikuasai oleh segelintir orang saja, dan rakyat tidak bertanggung jawab akan
segala hal yang dilakukan oleh beberapa orang yang bertanggung jawab itu. Kurasa
ibu dari Gan Han Le tidak ada sangkut pautnya dengan kejahatan pasukan kulit
putih, buktinya ia menikah dengan seorang pendekar pribumi.# Ibu dan ayahnya
saling pandang dan Ceng Hiang menarik napas panjang.
#Betapapun juga, aku selalu tidak suka dan curiga kepada orang kulit putih
bule......#
#Han Le tidak bule, ibu.#
#Dan matanya yang biru......#
#Memang matanya agak kebiruan.# Makin tidak enak rasa hati Ceng Hiang dan
suaminya. Jelaslah bahwa puteri mereka amat tertarik kepada pemuda peranakan
yang matanya kebiruan itu.
#Akan tetapi, benarkah dia lihai sekali,? Bagaimana kalau dibandingkan dengan
kepandaianmu?#
#Aku kalah, ibu.#
#Ehhh?# Ceng Hiang terkejut. Ia tahu bahwa puterinya ini lihai, hampir seluruh
ilmu kepandaiannya telah diwarisinya.
#Apakah engkau sudah bertanding melawannya?# Yu Bwee mengangguk.
#Biarpun aku percaya kepadanya atas semua keterangannya, aku ingin menguji
kepandaiannya, ibu. Maka aku memaksanya untuk bertanding.# Yu Kiang mengerutkan
alisnya. Dia bukan seorang ahli silat sepeti isterinya, dan berdarah bangsawan,
maka mendengar akan ulah puterinya itu, tentu saja dia terkejut dan tidak
senang. Tak patut seorang gadis, puteri berdarah bangsawan pula, menantang
berkelahi seorang pemuda begitu saja, padahal pemuda itu tidak bersalah!
#Bagus sekali perbuatanmu, ya?# bentaknya. Akan tetapi Ceng Hiang tidak melihat
sesuatu yang buruk dalam kelakuan anaknya itu.
#Ayah, aku hanya ingin menguji sampai di mana kelihaiannya, karena aku tertarik
sekali melihat dia mengamuk ketika dia menyelamatkan keluarga kaisar yang
dirampok itu. Kami bertanding, dan agaknya kami seimbang, ibu. Akan tetapi
akhirnya aku berhasil merobek bajunya di bagian dada.#
#Hemm, kalau begitu dia tidak berapa hebat! Perbuatanmu itu merupakan tanda
bahwa engkau masih menang setingkat, karena kalau kau kehendaki, tentu bukan
bajunya yang robek dan dia akan terluka parah.# Yu Bwee tersenyum dan memandang
ibunya dengan sinar mata nakal.
#Akupun tadinya berpendapat seperti itu, ibu, akan tetapi ternyata pedapatku
seperti itu keliru dan dia jauh lebih lihai dariku.#
#Eh? Maksudmu......?# tanya Ceng Hiang heran.
#Tanpa kuketahui, dia telah berhasil mengambil tusuk sanggulku!#
#Wah......!#
#Dan dia minta kepadaku untuk diperbolehkan menyimpan tusuk sanggul itu sebagai
tanda peringatan......#
#Dan kau perbolehkan?#
#Tentu, ibu. Dia lihai dan baik sekali. Dalam adu ilmu ini, ternyata dia sengaja
mengalah.# Kembali Ceng Hiang dan suaminya saling pandang dan diam-diam mereka
merasa khawatir. Tidak kelirukah pilihan hati puteri mereka itu? Gadis itu telah
berusia tujuh belas tahun, cukup dewasa. Bagaimanapun juga, hubungan antara
puteri mereka dan pemuda peranakan itu masih belum terlalu mendalam, dan
merekapun sudah bersiap untuk meninggalkan kotaraja.
#Yu Bwee, ada hal penting yang ingin kami bicarakan denganmu.# kata Ceng Hiang.
#Ayah dan ibumu telah mengambil keputusan yang mungkin akan mengejutkan hatimu.#
Yu Bwee memandang kepada kedua orang tuanya itu dengan sinar mata penuh
prtanyaan.
#Ada urusan apakah, ibu?#
#Begini, sesuai dengan rencana kami berdua, ayahmu telah mengundurkan diri dari
pekerjaannya kepada pemerintah.# Hal ini memang mengejutkan dan mengherankan
hati Yu Bwee.
#Ah, apa sebabnya dan bagaimana selanjutnya?#
#Kami melihat betapa pemerintah semakin lemah, bukan saja karena ulah Ibu Suri
seperti yang kau lihat sendiri, akan tetapi juga di istana selalu terjadi
perebutan kekuasaan karena Kaisar masih bocah. Sungguh tidak enak menjadi
seorang pejabat di bawah pemerintah seperti sekarang ini. yang setia dan jujur
akan hancur, sedangkan yang dapat hidup hanya mereka yang penjilat dan korup.
Melihat beberapa orang sahabat dan rekannya yang jujur dijatuhi gukuman karena
ingin meluruskan keadaan, maka ayahmu mengambil keputusan untuk mengundurkan
diri saja. Kita semua akan meninggalkan kotaraja dan untuk sementara waktu,
selagi keadaan pemerintah masih begini kacau, kita akan hidup sebagai petani
yang sederhana di dusun. Ayahmu memiliki sebidang tanah yang cukup luas untuk
dijadikan pertanian dan peternakan, di selatan.# Yu Bwee mengangguk.
#Aku juga ikut girang, ayah dan ibu. Aku pun muak melihat keadaan kehidupan yang
bobrok dan busuk di dalam istana.# Demikianlah, beberapa hari kemudian, keluarga
ini meninggalkan kotaraja, dalam sebuah kereta besar yang ditarik empat ekor
kuda. Yu Kiang menjual semua barang-barang berharga yang besar, dan hanya
membawa barang-barang berharga yang kecil saja, dan hasil penjualan barangbarang
miliknya itu dijadikan emas dan perak dan dibawanya pergi, menggunakan
peti-peti yang ditaruh di dalam kereta.
Tidak seperti bangsawan atau hartawan lain, yang kalau pergi keluar kota tentu
mempergunakan pengawalan pasukan ataupun pengawalan para petugas perusahaan
pengawalan, keluarga ini tidak mempergunakan pengawal. Apa perlunya pengawal
kalau Ceng Hiang dan Yu Bwee, ibu dan anak itu sendiri merupakan dua orang
wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi? Mereka berdua saja lebih kuat
dibandingkan dengan sepasukan pengawal yang besar jumlahnya! Akan tetapi karena
pada waktu itu, negara berada dalam keadaan kacau, pemberontakan terjadi di
mana-mana dan kedudukan pemerintah Mancu menjadi lemah sekali dengan penyerbuan
pasukan orang kulit putih yang lalu dan kekuasaan Tai Peng di selatan, maka di
mana-mana bermunculan gerombolan-gerombolan pengacau dan penjahat yang
mempergunakan kesempatan selagi pemerintah dalam keadaan lemah itu untuk
merajalela.
Ketika kereta yang mereka tumpangi, yang dikendalikan oleh seorang kusir tua,
kusir mereka yang sudah menjadi pembantu mereka sejak Ceng Hiang masih kanakkanak,
baru saja meninggalkan kotaraja, semua orang mengenal nyonya Yu Kiang
yang berilmu tinggi, juga puterinya yang lihai, maka tidak ada yang berani
mncoba untuk mengganggu kereta mereka. Akan tetapi, setelah mereka meninggalkan
kotaraja beberapa hari lamanya dan kini sudah jauh dari daerah kotaraja,
mulailah terjadi gangguan-gangguan terhadap kereta mereka. Sebelum terjadi
gangguan, Ceng Hiang maklum bahwa perjalanan yang cukup jauh itu tentu akan
mendatangkan gangguan yang cukup banyak, apalagi kalau diketahui oleh para
penjahat bahwa keluarganya membawa cukup banyak emas dan perak.
#Kita tidak perlu menanam bibit permusuhan dengan orang kang-ouw,# katanya
kepada puterinya. #Oleh karena itu kalau ada gerombolan yang hendak mengganggu,
lebih dulu kita menawarkan sumbangan. kalau mereka tidak mau dan memaksa hendak
merampok, barulah kita turun tangan melawan mereka. Akan tetapi, jagalah agar
jangan sampai engkau melukai terlalu berat, apalagi membunuh. Cukup kalau
membuat meeka ketakutan dan tidak mengganggu lagi.#
#Akan tetapi, ibu. Kenapa kita harus bersikap halus terhadap penjahat yang
kejam?# Yu Bwee membantah.
#Perj alanan kita masih panjang, Yu Bwee. Tidak baik kalau menanam bibit
permusuhan sehingga perjalanan kita selanjutnya akan terus mengalami gangguan.#
Setiap kali mereka bermalam di kota atau dusun, mereka tentu menurunkan barangbarang
berharga dari atas kereta dan membawanya ke dalam kamar, sehingga kereta
itu kosong dan cukup dijaga oleh kusir. Pada suatu malam, ketika mereka
beristirahat dalam sebuah rumah penginapan, datanglah gangguan yang pertama.
Seperti biasa, mereka menyewa dua buah kamar, sebuah untuk Yu Kiang dan Ceng
Hiang, dan sebuah lagi, dekat dengan kamar mereka, untuk Yu Bwee. Peti-peti
berisi emas dan barang-barang berharga ditumpuk di kamar Yu Kiang.
Malam itu, menjelang tengah malam, Yu Bwee terbangun dari tidurnya karena ia
mendengar suara yang tidak wajar di atas genteng kamarnya. Cepat ia turun dari
pembaringan, di dalam gelap meraba-raba dan mencari sepatunya, mengenakan
pakaian luar, kemudian iapun keluar dari dalam kamarnya itu melalui jendela
kamar yang ia buka perlahan-lahan. Kemudian, ia berindap-indap naik ke atas
genteng. Ketika ia mengintai, ia melihat dua bayangan hitam sedang berjongkok di
atas kamar orang tuanya, agaknya sedang mengintai dari genteng yang mereka buka.
Yu Bwee marah dan ingin turun tangan memberi hajaran, akan tetapi ia teringat
akan pesan ibunya dan iapun tersenyum nakal. Tangannya mencengkeram genteng dan
menghancurkannya, lalu menggunakan pecahan kecil dari genteng itu untuk
menyambit dua kali. Dua butir benda kecil menyambar dengan amat kencangnya.
#Tuk! Tuk!#
#Aduhh......!# Dua orang itu memegang belakang kepala mereka dan menahan pekik
kesakitan, lalu menengok ke belakang dan kanan kiri.
#Apa yang mengenai kepalaku?# tanya yang seorang sambil mengelus belakang
kepalanya yang benjol sebesar kacang tanah.
#Aku juga! Apakah ada yang menyambit?#
#Ah, tidak ada orang...... tentu semacam lebah yang menyengat kita.# Mereka
mengintai lagi, tangan mereka masih terus mengelus bagian kepala yang kena
sambit tadi, yang terasa cukup neyeri. Kemudian mereka dengan hati-hati sekali
berloncatan turun, lalu menghampiri jendela kamar Yu Kiang dan isterinya.
#Peti-peti itu tertumpuk di dalam......# kata yang seorang.
#Kita congkel jendela, engkau yang mencari dan mengambil peti yang paling
berharga, aku menjaga sumai isteri itu, kalau ada yang terbangun akan kubacok
mampus sebelum sempat berteriak,# kata orang kedua yang agaknya menjadi
pemimpin. Temannya mengangguk dan mereka lalu menggunakan golok yang sejak tadi
mereka bawa untuk mencongkel daun jendela.
#Tak! Tak!#
#Aduuhhh......!# Kini seruan itu lebih kuat daripada tadi, dan mereka berdua
meraba kepala bagian kanan dan di situ nampak benjolan sebesar telur ayam.
#Ada yang menyambit kita!# bisik yang seorang dan mereka berdua sudah meloncat
berdiri, golok di tangan.
#Tidak ada orang! Apa setan yang mengganggu......?# kata yang kedua.
Mereka berloncatan menuju pekarangan belakang dari mana tadi tentu ada benda
yang menyambar dan mengenai kepala mereka karena mendengar jatuhnya benda-benda
kecil itu ke atas lantai setelah mengenai kepala mereka. Mereka memandang ke
dalam kebun itu, namun gelap dan tidak nampak bayangan manusia lain. Tiba-tiba,
seorang di antara mereka menunjuk dengan mata terbelalak dan tubuh gemetar.
Temannya menengok dan keduanya kini berdiri menggigil, muka pucat dan mata
terbelalak ketika melihat ujud yang menakutkan sekali, mahluk yang berkerudung
putih, tidak nampak mukanya atau kedua lengannya, karena tertutup kain putih dan
mahluk itu melayang menuju ke arah mereka!
#Celaka...... se...... setan......!# kata yang seorang. Akan tetapi, orang kedua
yang menjadi pemimpin, agaknya lebih tabah.
#Setan atau bukan, kalau mengganggu akan kubunuh!# dan diapun menyambut dengan
tusukan goloknya ke arah dada #setan# itu.
#Tranggg......!# Golok itupun terlepas dan jatuh ke atas lantai, dan sebuah
tangan mencengkeram tengkuk si penyerang. Tangan yang dingin seperti es!
#Hiiihhhh......!# Orang itu hampir pingsan saking ngerinya dan diapun lalu
meloncat, menyusul temannya yang sudah lari terlebih dahulu. Mereka lari jatuh
bangun dan babak bundas menabrak pohon, tersandung batu, bangun lagi, lari
sambil merangkak dan menghilang di dalam gelap. Yu Bwee melepaskan kain putih
yang ternyata adalah alas tempat tidurnya, dan tertawa. Daun jendela kamar
ibunya terbuka dan ibunya juga tertawa.
#Bagus, begitu caranya agar mereka ketakutan dan tidak berani lagi mengganggu,#
kata Ceng Hiang yang ternyata sudah siap karena tadi pun ia sudah mendengar
gerakan di atas genteng. Ibu dan anak yang gagah itupun tidur lagi. Yu Kiang
tidak tahu sama sekali akan peristiwa itu dan tentu saja dua orang penjahat itu
menceritakan kepada teman-temannya betapa keluarga itu dilindungi oleh setan
yang amat menakutkan. Mereka memperlihatkan dua benjolan di kepala mereka untuk
meyakinkan teman-teman mereka. Dan selamatlah rombongan keluarga itu keluar dari
kota dan melanjutkan perjalanan.
Masih dua kali mereka mengalami gangguan di jalan. Yang pertama dapat
dihindarkan oleh Ceng Hiang yang memberikan lima puluh tael perak kepada
gerombolan perampok yang jumlahnya belasan orang. Mereka mau menerima sumbangan
itu dan pergi meninggalkan kereta tanpa mengganggu lagi. Akan tetapi, pencegatan
kedua di dalam hutan di lereng sebuah bukit, tidak dapat dihindarkan dengan
sumbangan. Ketika Ceng Hiang bersama Yu Bwee keluar dari kereta dan Ceng Hiang
menawarkan lima puluh tael perak sebagai sumbangan, mereka hanya terkekeh-kekeh
mentertawakan ibu dan anak itu. Jumlah para perampok itu ada lima belas orang
dan tentu saja mereka memandang rendah kepada dua orang wanita itu, seorang
kusir tua dan seorang bangsawan yang agaknya membiarkan dua orang wanita
menghadapi perampok sedangkan dia sendiri tinggal di dalam kereta. Memang Ceng
Hiang membujuk suaminya agar tinggal saja di dalam kereta.
#Ha-ha-ha, nyonya yang cantik dan nona yang mungil! Apa kalian mengira bahwa
kami adalah anak-anak kecil yang merengek minta uang jajan? Ha-ha-ha, kami sudah
lama menanti kalian di sini! kami akan membunuh laki-laki yang berada di dalam
kereta, juga kakek kusir itu, kemudian kami mengambil semua barang yang berada
di dalam kereta, dan.kalian berdua...... hemmm, buah yang masak dan buah yang
ranum segar. Yang sebutir sudah masak manis, yang kedua ranum dan renyah! Ha-haha,
kalian akan menjadi penghibur kami!#
Bukan main marahnya Yu Bwee mendengar ucapan itu. Baru kalimat pertama dan kedua
saja sampai pada kata-kata bahwa orang itu mau membunuh ayahnya, sudah membuat
mukanya merah dan matanya mengeluarkan sinar berkilat. Ucapan selanjutnya
membuat ia tidak mampu menahan kemarahannya dan sekali tubuhnya begerak, ia
telah meloncat ke depan dan menggerakkan tangan menampar muka kepala perampok
itu. Kepala perampok yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam itu melihat
gerakan orang, akan tetapi tidak dapat mengikutinya dengan pandang mata karena
tubuh gadis itu seperti terbang saja. Dia masih berusaha menggerakkan kedua
tangan, untuk menangkis dan sekaligus menyambar dan menangkap.
#Plakkk!# Tamparan itu tiba tanpa dapat dihindarkan lagi, bukan main kerasnya
sehingga kepala perampok itu mengeluarkan seruan keras saking nyerinya, merasa
seolah- olah kepalanya di sambar pertir dan tubuhnya terpelanting, lalu
terjungkal dan tidak mampu bergerak, hanya kedua matanya saja yang bergerak
berputaran, mulutnya mengeluarkan suara mengorok. Kiranya tamparan itu telah
membuat tulang rahangnya patah-patah, berikut giginya rontok dan bibirnya pecahpecah.
Darah muncrat keluar dari bibir yang pecah dan lidah yang terluka oleh
hancurnya gigi dan tulang rahang!
Para perampok terkejut setengah mati. Muka kepala perampok itu seperti dihantam
dengan sebuah kapak saja, bukan ditampar oleh tangan yang demikian kecil dan
lembut! Akan tetapi, dasar perampok-perampok kasar yang biasanya hanya
mengganggu orang lemah, suka mempergunakan kekerasan, mereka tidak mengenal
keadaan dan kini beramai- ramai mereka menyerbu, ada yang hendak menangkap Yu
Bwee yang jelita, ada yang hendak menubruk Ceng Hiang yang demikian cantik
manis, ada yang hendak membunuh kusir dan menyerang ke dalam kereta, untuk
membunuh laki-laki yang berada di kereta, dan ada pula yang hendak memperebutkan
harta benda yang berada di dalam kereta.
#Bwee-ji (anak Bwee), jangan membunuh orang!# Ceng Hiang berseru mendahului
puterinya yang ia tahu amat marah sehingga telah menampar sedemikian kerasnya
sehingga membuat kepala perampok terluka parah. Akan tetapi, kemarahan Yu Bwee
hanyalah kepada kepala perampok itu, karena ucapannya tadi. setelah menampar
seperti itu, kemarahannya mereda dan iapun tersenyum kepada ibunya,
#jangan khawatir, ibu. mari kita hajar anjing-anjing tak tahu diri ini!# Dua
tubuh wanita itu berkelebatan dan kini belasan orang perampok itu merasa seperti
sedang mimpi buruk sekali. Mereka tidak sempat melihat bagaimana dua orang
wanita itu bergerak. Tahu-tahu mereka itu merasa seperti disambar petir dan
belasan orang itupun roboh satu demi satu sebelum mereka.sempat melakukan apa ya
dikehendaki mereka tadi. Ada yang tiba-tiba pening kepalanya dengan pandang mata
berpusing,
Ada yang tiba-tiba saja menerima hantaman yang membuat tulang pundak mereka
terlepas, tulang lengan patah dan tulang kaki retak. Dalam waktu beberapa detik
saja, mereka semua telah roboh dan mengaduh-aduh, ada yang memegangi kepala,
kaki, pundak dan lengan, merangkak bangun dan memandang seperti orang bodoh ke
arah kereta yang kini sudah bergerak lagi melanjutkan perjalanan! Keluarga itu
melanjutkan perjalanan, terus ke selatan. masih tiga kali lagi mereka mengalami
gangguan dan hadangan para perampok, namun Ceng Hiang dan Yu Bwee dapat
mengatasi gangguan itu. Sepak terjang mereka membuat para perampok lari
ketakutan atau roboh tak berdaya dan walaupun tidak pernah ada yang tewas, namun
mereka yang pernah menerima hajaran, sama sekali tiak berani lagi mencoba untuk
melakukan pengejaran.
Dusun yang dimaksudkan oleh Ceng Hiang ketika memberi tahu puterinya, yaitu
dusun di mana terdapat tanah pertanian luas yang telah dibeli suaminya, berada
jauh di selatan, di dekat perbatasan yang menjadi daerah kekuasaan pasukan Tai
Peng! Tanah itu memang subur karena termasuk lembah Sungai Yang-ce-kiang.
Terletak di lereng sebuah bukit yang hijau dan begitu tiba ti tempat itu, Yu
Bwee merasa suka sekali. Tempat itu memang indah, selain tanahnya subur, juga
pemandangan alamnya amat indah, banyak pula terdapat pedusunan yang melihat
keadaan rumah-rumahnya merupakan pedusunan yang cukup makmur. Merek tiba di
dusun itu di suatu sore dan seorang kakek petani yang bertubuh tinggi kurus
menyambut kereta itu dengan gembira sekali. Di belakangnya nampak berlari-lari
beberapa orang penduduk dusun.
#Yu-taijin (pembesar Yu) datang...... Yu-taijin datang!# teiak kakek itu dengan
gembira. Yu Kiang tersenyum melihat kakek itu, juga Ceng Hiang dan Yu Bwee
mengenalnya. Kakek itu pernah bekerja kepada mereka di kotaraja, merupakan
seorang pegawai yang sudah lama bekerja di dalam keluarga mereka sebagai seorang
tukang kebun. Kakek inilah yang mengatur pembelian tanah di pedusunan itu.
Bahkan kusir tua itupun mengenal baik kakek dan mereka saling menyapa dengan
gembira.
#Ciu-lopek, bagaimana kabarnya? Jangan sebut aku taijin lagi, karena aku sudah
bukan seorang pembesar lagi sekarang. Bukankah engkau juga sudah mendengar akan
hal itu?# kata Yu Kiang smbil turun dari kereta, disusul oleh Ceng Hiang dan Yu
Bwee. Penat juga melakukan perjalanan hari itu, karena sejak pagi sekali mereka
berkereta, sampai senja itu baru berhenti. Akan tetapi kakek Ciu tetap saja
menyebut Yu Kiang dengan sebutan taijin, karena memang sudah terbiasa. ceng
Hiang disebutnya toanio (nyonya besar) dan Yu Bwee dia panggil siocia (nona).
#Yu-taijin, syukurlah kalau taijin bertiga dapat tiba di sini dalam keadaan
selamat. Hati saya sudah merasa tidak enak sekali karena suasana sekarang begini
kacau dan banyak perampokan. Bahkan dusun-dusun kini tidak aman lagi, taijin.
Dusun kita inipun selalu terancam dan kami penduduknya hidup dalam keadaan
gelisah. Semoga setelah taijin sekeluarga berada di sini, dusun ini menjadi
aman.# Mereka lalu memasuki rumah ang sederhana namun cukup bersih dan besar,
rumah yang sdah dibeli oleh Yu Kiang dengan perantaraan kakek Ciu, dan yang
selama ini dijaga dan dibersihkan oleh pelayan yang setia itu. Ada tiga kamar
besar di dalam, sebuah untuk Yu Kiang dan isterinya, sebah untuk Yu Bwee dan
sebuah lagi untuk kamar tamu, dan di belakang terdapat pula kamar-kamar untuk
pelayan.
#Paman Ciu, apakah yang telah terjadi? Apakah dusun ini pernah dirampok?#
setelah mereka tiba di dalam rumah dan telah memeriksa keadaan rumah baru mereka
itu, Ceng Hiang bertanya kepada kakek Ciu.
#Dusun ini belum, toanio. Akan tetapi dusun-dusun di sekitar sini sudah pernah
dirampok. kami semua berada dalam keadaan ketakutan.#
#Akan tetapi, apakah tidak ada pasukan keamanan yang membasmi perampok itu?#
#Aih, sudah lama di sini tidak ada lagi pasukan keamanan, toanio. Benteng
pertahanan dari pasukan pemerintah agak jauh dari sini, dan mereka itu tentu
tidak memperdulikan nasib orang-orang dusun seperti kami.#
#Kenapa orang-orang dusun tidak bersatu dan melawan perampok-perampok itu?# Yu
Bwee bertanya sambil mengerutkan alis. Ia benci terhadap para perampok yang
sudah pernah pula mengganggu perjalanan orang tuanya.
#Siocia, siapakah yang berani menentang mereka? Mereka bukan perampok
biasa.....#
#Bukan perampok biasa? Apa maksudmu? Siapakah mereka itu?# Yu Bwee menjadi
penasaran. Kakek itu memandang ke arah jendela dan pintu, seolah-olah ketakutan
untuk menjawab, lalu berkata lirih,
#Mereka adalah pasukan Tai Peng......#
#Hemmm, pasukan Tai Peng# Ceng Hiang bertanya dengan alis berkerut. #Bukankah
dusun ini masih termasuk wilayah kekuasaan pemerintah kita?#
#Benar, toanio, akan tetapi mereka kini semakin berani selama beberapa bulan
akhir-akhir ini. Dengan dalih pembersihan dan mencari mata-mata, mereka menyerbu
dusun- dusun, merampok, membunuh dengan kejam......#
#Keparat!# Yu Bwee mengepal tinju. #Kalau mereka berani menganggu dusun ini, aku
yang akan menghajar mereka#
#Tentu saja kakek Ciu sudah tahu akan kelihaian nyonya majikan dan puterinya,
maka diapun memnadang dengan wajah berseri. #Dengan adanya keluarga taijin di
dusun ini, kami merasa lega.#
Akan tetapi Ceng Hiang dan Yu Bwee tidak tahu bahwa di setiap dusun di sekitar
perbatasan itu tentu ada mata-mata Tai Peng sehingga kedatangan keluarga yang
membawa barang-barang berharga itu telah diketahui oleh para perajurit Tai Peng.
Juga ibu dan anak ini sama sekali tidak menyangka bahwa pasukan Tai Peng yang
suka merampok itu selain amat banyak jumlahnya, juga dipimpin oleh orang-orang
pandai dan cara mereka menyerbu dusun seperti kalau menyerbu musuh dan
mempergunakan siasat perang! Beberapa hari kemudian, para penduduk dusun merasa
lega karena tidak terjadi apa-apa dan mereka percaya kepada kakek Ciu bahwa
keluarga bangsawan yang baru saja pindah dari kotaraja itu merupakan orang-orang
pandai yang tentu ditakuti para perampok.
Malam itu terang bulan dan Yu Bwee bersama ibunya, yang selama beberapa hari ini
berjaga-jaga diwaktu malam, siap menghadapi segala kemungkinan, malam ini tidak
lagi merasa tegang. mereka berdua menganggap bahwa kakek Ciu dan penduduk dusun
itu terlalu ketakutan karena buktinya, tidak pernah terjadi gangguan selama
mereka tiba di situ. Akan tetapi lewat tengah malam, ketika Ceng Hiang,
suaminya, dan juga Yu Bwee sedang tidur nyenyak, mereka dikejutkan oleh suara
gaduh yang makin lama semakin ribut. Teriakan-teriakan #kebakaran# dan #rampok#
mengejutkan mereka. Apalagi ketika Yu Bwee sudah mengetuk pintu kamar orang
tuanya dan ketika ibu dan ayahnya keluar, ia berkata dengan suara gugup,
#Wah, mereka telah datang menyerang dan membakari rumah-rumah di sekitar dusun!#
#Keparat!# Ceng Hiang berseru. #Kita harus basmi mereka.# Akan tetapi ketika ia
dan puterinya hendak keluar, ia teringat kepada suaminya dan menjadi khawatir.
Mungkin sekali para perampok itu akan menyerbu rumah mereka!
#Sebaiknya engkau bersembunyi saja dan mengenakan pakaian seperti penduduk
biasa,# katanya dan pada saat itu, kakek Ciu datang berlari-lari dari belakang
dengan tubuh gemetar.
#Paman Ciu, jangan khawatir. sekarang lebih baik engkau membawa suamiku pergi
bersembunyi di kebun belakang. kami berdua akan membasmi para perampok kurang
ajar itu!#
Melihat Ceng Hiang dan Yu Bwee berpakaian ringkas dan memegang pedang, kelihatan
demikian tenang dan gagah, hati kakek Ciu menjadi lega dan diapun cepat mengajak
Yu Kiang untuk berembunyi di dalam kebun yang gelap karena di situ terdapat
banyak pohon-pohon dan semak-semak. Ceng Hiang dan Yu Bwee lalu berloncatan
keluar dan melihat keadaan di dusun itu, mereka berdua menjadi marah sekali!
Ternyata para perampok itu sebelum menyerbu dusun, lebih dahulu membakari rumahrumah
penduduk. Melihat ini, terpaksa Ceng Hiang dan Yu Bwee berpencaran dan
mereka lalu menyerbu para perampok yang sambil berteriak-teriak dan tertawa-tawa
melakukan kekejaman yang luar biasa. Membunuhi orang-orang lelaki, merampok
barang-barang, ada pula yang memanggul wanita yang menjerit-jerit minta tolong.
#Jahanam busuk!# bentak Yu Bwee dan pedangnya berkelebat, menusuk dada seorang
perampok yang memanggul seorang gadis remaja. perampok itu mengeluh dan roboh,
sedangkan gadis remaja itu sudah disambar oleh tangan kiri Yu Bwee.
#Bersembunyilah!# kata Yu Bwee melepaskan gadis itu yang lari sambil menangis
ketakutan. Melihat betapa ada kawannya yang roboh tewas, dua orang perampok
menjadi marah dan dengan golok di tangan mereka menyerang Yu Bwee.
#Perampok-perampok busuk!# Yu Bwee membentak, pedangnya berkelebat menangkis dan
begitu pedangnya bergerak, terdengar suara nyaring dua kali dan dua orang itupun
roboh mandi darah! Kiranya sambil menangkis, gadis perkasa ini mengelebatkan
pedangnya dan sekali sambar saja, pedangnya sudah membabat batang leher kedua
orang perampok. Gegerlah para perampok melihat ini. Di bagian lain, para
perampok juga menjadi terkejut melihat betapa seorang wanita cantik, dengan
pedangnya, juga mengamuk dan merobohkan beberapa orang perampok.
Segera mereka memberi tanda dengan suitan-suitan dan kini muncul lebih banyak
perampok, dipimpin oleh para perwiranya yang memiliki ilmu kepandaian cukup
tinggi. Yang menerjang Yu Bwee kini adalah seorang perwira yang bermuka hitam,
dibantu oleh belasan orang anak buahnya. Perwira muka hitam itu memainkan siang
kiam (sepasang pedang) dan melihat gerakannya, jelaslah bahwa dia seorang ahli
silat yang cukup lihai. Pantas perampok-perampok Tai Peng ini berani mengganas,
pikir Yu Bwee. selain jumlahnya banyak, terlatih, juga dipimpin oleh perwira
yang lihai. Akan tetapi, begitu ia memutar pedangnya, perwira yang bermuka hitam
itu mengeluarkan seruan kaget karena hampir saja lengan kanannya terbabat pedang
gadis itu. Lengan bajunya robek dicium ujung pedang!
Dia lalu berseru kepada anak buahnya dan Yu Bwee dikeroyok banyak orang yang
menghujankan senjata kepadanya. Namun ia tidak takut dan pedangnya diputar
dengan cepat dan kuat sehingga banyak senjata para pengeroyok yang patah, dan
ada pula beberapa orang yang roboh oleh tendangannya. Ceng Hiang juga menghadapi
pengeroyokan banyak orang. Bahkan ada dua orang perwira yang mengeroyoknya, dua
orang yang lihai sekali, yang seorang bersenjata cambuk baja dan yang kedua
bersenjata sebuah tombak gagang pendek. Selain dua orang perwira yang lihai ini,
masih ada belasan orang mengeroyoknya, namun seperti juga Yu Bwee, nyonya
perkasa ini mengamuk dan sinar pedangnya merobohkan beberapa orang pengeroyok.
Kini hanya dua orang wanita itulah yang menjadi pusat perhatian para perampok
yang jumlahnya tidak kurang dari lima puluh orang itu.
Mereka mengerahkan tenaga untuk merobohkan ibu dan anak itu, namun makin
didesak, makin banyak anak buah mereka roboh sehingga akhirnya mereka menjadi
gentar juga. Perwira muka hitam yang mengeroyok Yu Bwee maklum bahwa kalau
diteruskan, tentu anak buahnya akan habis dibasmi gadis perkasa itu, dan diapun
meloncat keluar kalangan, membiarkan anak buahnya mengepung ketat dan diapun
lari untuk mencari teman-temannya yang boleh diandalkan. Akan tetapi, dia
terkejut melihat betapa tak jauh dari situ, seorang wanita lain mengamuk,
dikepung oleh kawan-kawannya bersama anak buah yang sama banyaknya. Juga keadaan
kawan-kawannya di situ menderita kerugian besar. Dia lalu mengeluarkan sempritan
dan meniupnya berkali-kali, memberi tanda kepada kawan-kawannya untuk mundur.
Apalagi dia melihat kawan-kawan lain sudah banyak yang membawa lari barang
rampokan dan ada pula yang menculik gadis dusun. Mendengar ditiupnya isyarat
untuk mundur ini, legalah hati para pengeroyok ibu dan anak yang amat lihai itu.
Mereka memang sudah merasa jerih terhadap wanita sakti yang mereka keroyok, maka
begitu mendengar suara sempritan, mereka lalu berloncatan pergi, didahului oleh
para perwira yang memimpin pengeroyokan. Baik Ceng Hiang maupun Yu Bwee tidak
mau membiarkan mereka lari begitu saja dan kembali ada beberapa orang perampok
yang roboh oleh pedang mereka! Akan tetapi segera terdengar derap kaki kuda dan
mengertilah Ceng Hiang dan Yu Bwee bahwa perampok itu datang dengan menunggang
kuda yang agaknya mereka tambatkan di luar dusun.
Kini mereka melarikan diri dengan berkuda, dan tidak ada gunanya lagi dikejar.
Yang terpenting adalah membantu para penduduk memadamkan rumah-rumah yang
terbakar. Ceng Hiang dan Yu Bwee teringat akan rumah mereka maka merekapun cepat
berlari pulang. terkejutlah mereka melihat betapa keadaan rumah merekapun moratmarit,
tanda bahwa rumah itupun tadi diserbu penjahat! Dan ketika mereka
memasuki rumah, mereka melihat kakek Ciu memapah Yu Kiang yang terluka. tentu
saja mereka terkejut dan cepat memeriksa keadaan Yu Kiang. Untunglah bahwa luka
itu tidak parah, hanya bacokan pada pundak yang melukai daging pangkal lengan,
tidak membikin putus otot atau mematahkan tulang.
#Bagaimana dapat terjadi?# tanya Ceng Hiang kepada suaminya sambil mengobati
luka itu dan membalut pundak. Yu Kiang yang kesakitan itu sukar menjawab, dan
kakek Ciu yang menjawab dan memberi keterangan.
#Kami bersembunyi di kebun. Ketika taijin mendengar bahwa rumah diserbu, dia
memaksa untuk kembali ke rumah. Saya sudah mencegahnya sehingga terjadi
ketegangan dan pada saat itu, nampak seorang perampok lari menyeret seorang
gadis tetangga. melihat ini, Yu-taijin menjadi marah dan membentak. Perampok itu
membacok dengan golok dan Yu- taijin roboh. Untung bahwa perampok itu sibuk
dengan gadis yang meronta-ronta, maka dia tidak menyerang lagi dan cepat
menyeret gadis itu pergi.# Ketika mereka memasuki rumah dan memeriksa, ternyata
sebagian besar dari harta mereka, sebuah peti berisi emas dan perak yang mereka
bawa dari kota raja sebagai hasil penjualan barang-barang dan rumah mereka,
telah lenyap!
#Jahanam!# bentak Yu Bwee. #Berani melukai ayahku dan merampok barang kita! Aku
harus menghajar mereka dan merampas kembali barang kita!# berkata demikian, Yu
Bwee lalu meloncat keluar dari dalam rumahnya.
#Bwee-ji, jangan......!# teriak ibunya akan tetapi karena ia sedang merawat
suaminya, ia tidak mengejar dan tak lama kemudian terdengar derap kaki seekor
kuda membalap keluar dari dusun. Yu Bwee melakukan pengejaran sambil menunggang
kuda.
Ceng Hiang tidak setuju dengan perbuatan Yu Bwee. Melawan perampok tidak
berbahaya, akan tetapi karena perampok itu adalah pasukan Tai Peng, maka
mengejar mereka sungguh amat berbahaya. Bagaimanapun juga, ibu ini percaya akan
kepandaian Yu Bwee yang tentu akan mampu menjaga diri sendiri. Gadis itu sudah
cukup berpengalaman. Bukankah pernah ia suruh melindungi keluarga kaisar dan
berhasil baik? Yu Bwee tidak dapat melakukan pengejaran dengan cepat karena ia
harus meneliti jejak para perampok yang melarikan diri tadi, di tengah malam
pula. Untung baginya bahwa ada sinar bulan sehingga ia dapat mencari jejak kaki
banyak kuda yang lari ke selatan. Ia melakukan pengejaran terus. Sayang bahwa ia
telah ketinggalan jauh, karena tadi ia membuang banyak waktu untuk pulang ke
rumah. Andaikata ia tadi langsung melakukan pengejaran, tentu ia sudah dapat
menyusul mereka!
Akan tetapi sampai sinar matahari subuh mulai menerangi bumi mendahului sang
matahari sendiri, ia belum berhasil menyusul para perampok. Yu Bwee berhenti di
tepi sebuah hutan, membiarkan kudanya makan rumput dan ia sendiri lalu masuk ke
dalam hutan, encari-cari jejak kaki kuda di situ, bersimpang siur. Apakah ia
salah jalan? Tiba-tiba ia menyelinap di balik sebatang pohon. dari jauh ia
melihat dua orang laki-laki berjalan setengah berlari, tertatih-tatih keberatan
karena mereka meggendong bungkusan- bungkusan besar yang kelihatan berat. mereka
adalah dua orang laki-laki tinggi besar bermuka brewokan dan kasar, dan mereka
lewat tak jauh dari pohon di balik mana Yu Bwee bersembunyi. Terengah-engah
mereka lewat, dan mereka berhenti sebentar hanya untuk menyeka keringat dari
leher dan muka, menggunakan lengan baju mereka,
Kemudian mereka melanjutkan langkah memasuki hutan. Selagi Yu Bwee
mempertimbangkan apa yang akan dilakukan terhadap dua orang yang menurut
pakaiannya adalah anggauta pasukan Tai Peng yang semalam menyerbu dusun, tibatiba
ia mendengar derap kaki kuda dan iapun mengurungkan niatnya untuk keluar
dan bersembunyi lagi. Seorang penunggang kuda yang berpakaian serba putih datang
dari arah lain. Dua orang itu, yang belum begitu jauh dari tempat Yu Bwee
bersembunyi sehingga ia dapat melihat mereka, nampak terkejut dan berhenti
sehingga sebentar saja penunggang kuda berpakaian putih dapat menyusul mereka
dan kini si penunggang kuda menghentikan kudanya di depan mereka. Dua orang itu
yang tadinya terkejut, kini menyeringai.
#Heh-heh, kiranya Gan-ciangkun. kami sampai terkejut!# kata mereka dengan sikap
menghormat. Yu Bwee terbelalak. tentu saja ia mengenal pemuda yang berpakaian
serba putih itu. Gan Han Le! Biarpun masih putih, akan tetapi bentuk pakaian itu
adalah pakaian seorang perwira, dan pemuda itu disebut Gan-ciangkun (perwira
Gan) oleh dua orang anggauta pasukan Tai Peng yang semalam merampok dusun! Akan
tetapi, agaknya sikap Han Le berlawanan dengan sikap dia orang perajurit tai
peng yang menyeringai gembira itu. Sikapnya dingin, dan sepasang matanya yang
kebiruan itu
menyinarkan kemarahan.
#Dari mana kalian dan kenapa kalian tidak bersama pasukan?# Seorang di antara
perajurit itu, yang matanya melotot lebar, sambil menyeringai menjawab,
#Ciangkun, kami baru saja kembali dari penyerbuan sebuah dusun untuk
membersihkan tempat itu dari persembunyian mata-mata. Kami mendapat perlawanan
sehingga pasukan tercecer dan kami tertinggal. Karena tidak kebagian kuda kami
terpaksa menyusul pasukan dengan jalan kaki......#
#Hemmm...... dan barang-barang apa yang kalian bawa itu?, Dua orang itu saling
pandang sambil menyeringai.
#Bukan apa-apa...... Gan-ciangkun. Tahu sendirilah, ini barang-barang rampasan
dari para mata-mata musuh.......#
#Tar-tar......!# Tangan Han Le bergerak dan cambuk kudanya menyambar, mengenai
muka kedua orang itu. Dua orang itu tersentak kaget dan tepekik kesakitan,
buntalan yang mereka bawa di atas punggung tadi terlepas jatuh, bungkusannya
terbuka dan isinya berserakan. ternyata barang- barang rumah yang berharga, yang
terbuat dari perak, gulungan kain dan sebagainya lagi. Muka kedua orang itu
lecet berdarah dan mereka kini memandang dengan mata terbelalak, terkejut, heran
dan juga ketakutan.
#Kalian tadi malam melakukan permpokan dalam sebuah dusun dengan alasan aksi
pembersihan terhadap mata-mata musuh! Kalian membunuh, merampok, dan memperkosa
wanita! hayo mengaku!# Dua orang itu saling pandang dan mereka kini menjadi
semakin takut.
#Tapi, tapi...... kami hanya melaksanakan perintah atasan, ciangkun......#
#Kalian perampok-perampok dan penjahat-penjahat yang berpakaian prajurit!
Sungguh hanya mengotori nama perjuangan saja!# Kembali Han Le menggerakkan
cambuknya dan orang itu berteriak-teriak kesakitan, leher dan muka mereka lecetlecet
berdarah terkena cambuk dan mereka lalu berlutut.
#Ampun, Gan-ciangkun, kami hanya melaksanakan perintah atasan kami, dan para
perwira itupun hanya melaksanakan perintah dari Lee-ciangkun......#
#Tarrr!# cambuk itu menampar mulut sehingga bibir itu pecah. #Cukup! Aku sudah
muak mendengarnya. Hayo angkat barang-barang itu dan ikuti aku!# Dua orang
perampok yang menjadi anggauta pasukan Tai Peng itu tidak berani membantah,
tidak berani melawan karena berdua cukup mengenal siapa adanya Gan Han Le,
seorang panglima baru yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian amat tinggi
sehingga tiga orang perwira tinggi yang mengeroyoknya dalam ujian tidak mampu
menang terhadapnya. Mereka lalu dengan susah payah karena tubuh mereka yang
sudah kelelahan itu kini ditambah lagi oleh penderitaan cambukan, mereka
mengangkat dua buah buntalan setelah membetulkan bungkusan itu, dan berjalan di
belakang kuda yang dijalankan perlahan oleh Han Le, memasuki hutan.
Tentu saja Yu Bwee menjadi bengong keheranan. tadinya ia terkejut dan heran
melihat betapa Han Le kini telah menjadi perwira Tai Peng, akan tetapi ia
menjadi semakin terkejut dan heran pula melihat sikap Han Le terhadap dua orang
anggauta Tai Peng itu. Sikap inilah yang melegakan hatinya, yang tadi khawatir
sekali melihat pemuda yag tak pernah dapat dilupakannya itu menjadi perwira Tai
Peng, dan kini diam-diam ia membayangi dari jauh karena ia maklum akan
keliahaian Han Le dan tidak ingin pemuda itu melihatnya sekarang, Ia ingin tahu
apa yang akan dilakukan Han Le selanjutnya, dan ingin melihat apa rahasia pemuda
itu. Han Le berhenti di tengah hutan di mana terdapat petak rumput di mana
bertumpuk barang-barang rampokan, termasuk sebuah peti milik ayahnya! barangbarang
itu tertumpuk malang melintang.
#Taruh kedua buntalan itu disitu!# bentak Han Le kepada dua orang anak buah
pasukan yang tidak berani membantah. Melihat banyaknya barang rampasan yang
berkumpul disitu, tahulah dua orang anak buah ini bahwa bukan hanya mereka
berdua yang tertangkap basah oleh Gan-ciangkun dan dipaksa menaruh barang
rampasan itu di disitu. Mereka adalah dua orang anak buah tokoh-tokoh sesat yang
menjadi kaki tangan Lee Song Kim, mereka sudah terbiasa melakukan kejahatan,
maka melihat barang-barang itu, mereka lalu mengira bahwa tentu Gan-ciangkun
merampas barang-barang itu untuk dirinya sendiri. Maka, sambil menyeringai, si
muka hitam berkata setelah bersama temannya melempar buntalan itu di atas
tumpukan barang-barang itu.
#Gan-ciangkun, kasihanilah kami yang sudah kelelahan. Ciangkun memperoleh begini
banyak, apakah berkeberatan untuk membagi sedikit saja kepada kami berdua?#
#Benar, ciangkun. Berilah bagian kepada kami dan kami tidak akan melapor kepada
Lee-ciangkun!# kata orang kedua dengan nada memeras.
#Tar-tar!# Cambuk itu melecut-lecut sehingga kedua orang itu kini jatuh
terguling-guling, hampir terinjak kaki kuda yang ditunggangi Han Le. Setelah
puas menghajar Han Le membentak. #Nah, pergilah kalian sekarang dari sini! Lebih
lama sedikit saja aku melihat muka kalian, tentu aku akan membunuh kalian!#
Mendengar ini, dua orang yang kesakitan itu lalu melarikan diri tunggang
langgang. Sejenak Han Le duduk tegak di atas punggung kudanya memandang ke arah
larinya dua orang itu, dan tiba-tiba dia menggebrak kudanya lari ke utara dengan
cepat sekali.
Yu Bwee terkejut, hendak mengejar akan tetapi maklum bahwa selain sukar mengejar
kuda yang dibalapkan itu, juga tidak ingin kelihatan oleh Han Le. Biarlah ia
akan menanti di sini, pikirnya. Bagaimanapun juga, Han Le tentu tidak akan
meninggalkan barang-barang ini begitu saja, tentu akan kembali karena tak
mungkin dia merampas barang-barang itu tanpa ada kelanjutannya. Dugaannya benar.
Tak lama kemudian ia mendengar suara derap kaki kuda tunggal datang dari jauh
dan segera muncul Gan Han Le menunggang kuda, memboncengkan seorang penduduk
dusun yang sudah tua. Orang tua itu kelihatan ketakutan dan ketika Han Le
melompat turun dari kudanya sambil membawa tubuh orang tua itu turun, dia segera
berlutut.
#Ampunkan saya...... jangan bunuh saya......# Han Le mengerutkan alisnya.
#Jangan takut, paman. Aku membawa paman ke sini bukan untuk membunuhmu,
melainkan untuk memberi tahu bahwa sebagian barang milik penduduk dusun yang
malam tadi dirampok, berada di sini. Sayang aku tidak dapat mengembalikan
semuanya. Beritahukan kepada para penduduk bahwa sebagian barang itu berada di
sni dan suruh mereka mengambilnya kembali.#
#Ahhh......!# Petani itu kelihatan terkejut dan girang, lalu memandang tumpukan
barang itu, lalu berlari menghampiri dan mengambil sebuah keranjang berisi
pakaian dan barang- barang lain. #Ini milik kami.......#
#Kalau milikmu ambillah kembali, paman, akan tetapi harap cepat pergi ke dusun
memberi tahu kepada mereka yang kehilangan barang agar cepat mengambilnya ke
sini.#
#Baik, baik...... taihiap...... ah, terima kasih, taihiap......# kata orang itu
memberi hormat, lalu pergi dengan cepat sambil memanggul kembali keranjang yag
terisi pakaian keluarganya yang tadi dirampok.
Sejenak Gan Han Le mengikuti kepergian orang itu, kemudian menoleh ke arah
tumpukan barang-barang, dan menarik napas panjang, Pada saat itu Yu Bwee yang
tidak ingin melihat Han Le pergi lagi sebelum bertemu dengannya, meloncat keluar
dari tempat sembunyinya dan berlari cepat menghampiri. Han Le terkejut bukan
main melihat munculnya orang secara tiba-tiba itu, akan tetapi ketika dia
mengenal siapa gadis itu, dia makin terkejut dan terheran, akan tetapi juga
girang sekali. Dia meloncat turun dari atas kudanya dan memandang wajah gadis
itu dengan mata bersinar-sinar dan senyum berseri. Gadis yang selama ini tak
pernah meninggalkan ingatannya itu kini tiba-tiba saja berdiri di depannya!
#Gan..... ciangkun......!# kata Yu Bwee sambil menjura, kata terakhir terdengar
penuh nada mengejek. Wajah Han Le menjadi kemerahan ketika dia membalas
penghormatan itu.
#Ah,...... nona Yu, harap jangan menyebutku seperti itu. Aku masih tetap Gan Han
Le seperti dahulu......#
#Benar, akan tetapi dengan kedudukan sebagai seorang panglima yang ditakuti dari
pasukan Tai Peng yang....merampok, bukan?# Wajah itu semakin merah.
#Nona, agaknya engkau telah sejak tadi mengintai, maka tentu engkau tahu
bagaimana sikapku terhadap perampok-perampok tak tahu malu itu. Sayang aku hanya
dapat mengumpulkan barang-barang rampasan sebegini saja, karena aku tahu setelah
terlambat. Tak kusangka bahwa pasukan pilihan dari Tai Peng melakukan
perampokan, dan aku akan menuntut Lee-ciangkun mengenai perbuatan yang memalukan
ini! Akan tetapi, bagaimana engkau tiba-tiba saja berada di sini, nona? Bukankah
engkau masih berada di Yehol, ataukah sudah kembali ke kotaraja?#
#Baru beberapa hari aku sekeluarga tinggal di dalam dusun yang dirampok oleh
anak buahmu, ciangkun. Kami melawan dan berhasil mengusir para perampok, akan
tetapi ayah terluka dan barang kami ada yang dilarikan. Aku mengejar sampai di
sini, dan bertemu dengan engkau yang ternyata telah menjadi seorang perwira Tai
Peng, perwira dari pasukan yang merampok dusun kami! Gan-ciangkun, aku minta
pertanggung-jawabanmu atas malapetaka yang meimpa dusun kami, atas tewasnya
beberapa orang dan terlukanya banyakorang termasuk ayahku, juga atas terculiknya
beberapa orang gadis, dan perampokan atas barang-barang penduduk dusun. Kami
berhadapan sebagai musuh!# Han Le kelihatan terpukul dan sedih sekali.
#Dengarlah dulu, nona. Sungguh mati aku tidak tahu sama sekali bahwa pasukan Tai
Peng suka melakukan kejahatan seperti ini, dan baru malam ini aku menhetahuinya.
belum lama aku diterima menjadi panglima oleh raja di Nan-king dan aku
menghambakan diri kepada pasukan Tai Peng yang kuanggap sebagai pasukan kau m
patriot yang hendak membebaskan bangsa dari penjajah. Aku mendapat tugas
melakukan pembersihan di perbatasan utara, menagkap dan membasmi para mata-mata
musuh yang mempersiapkan pemberontakan mengepung Nan-king. Nah, agaknya aku
selalu nampak buruk di depanmu, nona, seperti juga dahulu ketika aku difitnah di
yehol. maukah engkau percaya kepadaku, nona Yu?# Mereka saling pandang dan tentu
saja Yu Bwee percaya kepada pemuda ini. Tadipun ia sudah dapat meduga apa yang
terjadi, dan sikap Han Le terhadap para perampok sudah jelas menunjukkan bahwa
dalam hal perampokan-perampokan itu, pemuda ini sama sekali tidak bersalah dan
tidak tahu-menahu.
#Aku percaya kepadamu. Akan tetapi apa artinya kepercayaan itu? Kalau engkau
tidak keluar dari pasukan yang suka merampok itu, bagaimana aku dapat
mempercayaimu lagi selanjutnya?# Han Le mengepal tinju.
#Andaikata aku tidak berjumpa denganmupun, aku pasti akan mengurus hal ini, akan
kutuntut kepada Lee-ciangkun! Aku bukanlah orang yang suka menjadi perampok,
nona. Aku akan tuntut dia, dan aku akan keluar dari pasukan Tai Peng kalau
ternyata pasukannya melakukan kejahatan!#
Tiba-tiba terdengar suara tertawa keras. Han Le dan Yu Bwee terkejut sekali dan
Han Le sudah meloncat ke dekat Yu Bwee, siap untuk saling melindungi dengan
gadis yang telah menjatuhkan hatinya itu. Dan muncullah seorang panglima yang
bukan lain adalah Lee Song Kim! Dialah yang tertawa tadi dan di belakangnya
ampak para pembantunya, antara lain Tiat-pi Kim-wan, Seng-jin Sin-touw, juga dua
orang wanita pembantunya yang setia, yaitu Theng Ci ketua Ang-hong-pai, dan
Sing-kiam Moli serta beberapa orangtokoh kang-ouw lagi. Akan tetapi, Han Le
tidak merasa takut melihat munculnya panglima yang sebetulnya merupakan
atasannya itu.
#Kebetulan sekali engkau datang, Lee-ciangkun!# katanya dengan suara lantang.
#Memang aku ingin sekali pergi menghadapmu dan ingin mengajukan tuntutan atas
sepak terjang anak buahmu yang memimpin pasukan untuk merampoki dusun-dusun!#
Kembali Lee Song Kim tertawa dan sepasang mataya yang tajam dan genit itu kini
mengamati Yu Bwee yang cantik manis.
#Ha-ha-ha-ha! Sudah lama kuragukan kesetiaanmu, orang she Gan. Ternyata sekarang
terbuktilah bahwa engkau hanyalah seorang pengkhianat yang berpihak kepada matamata
pihak musuh! Kiranya engkau telah menjadi mata-mata musuh yang
diselundupkan ke dalam pasukan kami!#
#Itu bohong!# benak Han Le.
#Bohong? Pasukan kami membasmi para mata-mata musuh yang bersembunyi di dalam
dusun-dusun, merampas barang-barang musuh, akan tetapi engkau malah membela
musuh, memukuli para perajurit sendiri, merampas barang-barang untuk
dikembalikan kepada para mata-mata musuh! Dan lebih hebat lagi, sekarang engkau
berada di sini dengan seorang mata-mata Kerajaan Mancu! Bukankah itu sudah
menjadi bukti yang cukup?#
#Bohong lagi! Nona ini bukan mata-mata Mancu.....#
#Ha-ha-ha, pengkhianat Gan, kau kira kami ini orang-orang bodoh yang dapat kau
bohongi begitu saja? Kami tahu siapa perempuan ini. Ia mata-mata dari Kerajaan
Mancu, seorang puteri bangsawan she Yu.#
#Lee-ciangkun, kiranya tidak perlu banyak perbantahan dengan pengkhianat ini,
biar kami yang menangkap mereka!# kata Tiat-pi Kim-wan yang sudah menerjang
maju,
Diikuti Seng-jin Sin-touw, juga Theng Ci dan Sin-kiam Moli menerjang dan
mengeroyok Han Le dan Yu Bwee dengan pedang mereka. Lee Song Kim sendiripun
cepat menerjang dan menyerang Han Le dengan pedangnya sehingga senjata menyambar
ke arah tubuh Han Le dan Yu Bwee. Namun, dua orang muda ini sudah siap siaga
menghadapi pengeroyokan ini, maka mereka sudah cepat saling membelakangi karena
dengan cara demikian mereka dapat saling melindungi kawan sambil melakukan
perlawanan. Han Le mencabut pedangnya, pedang sebagai tanda kedudukannya dalam
pasukan Tai Peng, sedangkan Yu Bwee juga mengeluarkan pedangnya, mengamuklah dua
orang muda ini menghadapi para pengeroyoknya yang terdiri dari banyak orang
pandai itu.
Yu Bwee dikeroyok oleh dua orang wanita yang amat lihai, yaitu Theng Ci ketua
Ang-hong-pai dan Sin-kiam Moli. Dua orang wanita ini adalah para pembantu Lee
Song Kim yang setia dan lihai bukan main, keduanya merupakan ahli-ahli pedang
yang berpengalaman. Sedangkan Yu Bwee adalah seorang gadis remaja yang usianya
baru menjelang delapan belas tahun, dibandingkan dua orang wanita pengeroyoknya
tentu saja kalah jauh dalam hal pengalaman dan kematangan ilmu silat. Akan
tetapi ia adalah puteri ibunya Ceng Hiang, seorang wanita sakti yang mewarisi
beberapa macam ilmu kesaktian dari Keluarga Pendekar Pulau Es. Biarpun
pengeroyoknya dua orang wanita itu berbahaya sekali,
Namun dengan Ilmu Pek-seng Sin-pouw yang membuat ia dapat mengatur langkahlangkah
ajaib sehingga mudah menghindarkan diri dari ancaman pedang kedua orang
pengeroyoknya, dan dengan ilmu pedangnya yang amat cepat gerakannya, Yu Bwee
dapat mengimbangi mereka, dapat membalas dengan tak kalah dahsyatnya pula. Han
Le sendiri juga repot menghadapi Lee Song Kim yang amat lihai karena Song Kim
masih dibantu oleh orang- orangnya yang berilmu tinggi, terutama sekali Tiat-pi
Kim-wan dan Seng-jin Sin-touw. Akan tetapi, pemuda perkasa ini mengamuk dengan
hebatnya, mengeluarkan semua ilmu kepandaian yang pernah dipelajarinya dari
gurunya, dan mengerahkan seluruh tenaganya. Sukarlah bagi Song Kim untuk
merobohkannya, bahkan banyak sudah mengeroyoknya yang kurang tinggi ilmunya
roboh oleh Han Le, juga oleh amukan Yu Bwee.
Yang lebih repot lagi adalah Yu Bwee. Dua orang lawan utamanya, yaitu Thengtoanio
atau Theng Ci ketua Ang-hong-pai dan Sin-kiam Moli amatlah tangguhnya,
apalagi dua orang wanita ini masih dibantu oleh belasan orang perwira, seperti
halnya mereka yang mengeroyok Han Le, Yu Bwee sudah merasa lelah sekali, gerakan
pedangnya mulai mengendur dan benar-benar terancam bahaya maut. Pada saat itu,
datang pula pasukan yang dipimpin oleh Tang Ki, Sang Pemaisuri! Kiranya
permaisuri ini sedang menemani kaisar yang berburu di hutan tak jauh dari situ
dan begitu mendengar keterangan pasukan bahwa Gan Han Le memberontak dan kini
sedang diserang oleh Lee Song Kim dan para pembantunya, iapun cepat datang ke
tempat itu.
Dilihatnya Gan Han Le dan seorang gadis cantik sedang mengamuk dan dikepung. Ia
marah sekali dan cepat ia menyerbu dan begitu ia meloncat, tubuhnya seperti
terbang saja berada di atas Yu Bwee dan pedangnya berkelebat menyambar-nyambar
dari atas, ia telah mempergunakan ginkang dari Ilmu Hui-thian Yan-cu yang
dipelajarinya dari kitab peninggalan Tat-mo Couw-su itu. Memang ginkang dari
permaisuri ini hebat sekali. Yu Bwee terkejut. Biarpun ia cepat mengelak sambil
mengelebatkan pedangnya menangkis, tetap saja pundaknya tercium ujung pedang
Tang Ki, bajunya robek dan pundaknya terluka. Walaupun tidak parah luka itu,
namun membuat Yu Bwee menjadi semakin terdesak dan repot, apalagi kini Tang Ki
membantu dua orang wanita lihai mengeroyoknya. Lewat belasan jurus lagi, sebuah
tendanga kaki Sin-kiam Moli mengenai lambung Yu Bwee.
Gadis ini sudah melindungi lambung yang tertendang dengan sinkang sehingga ia
tidak menderita luka dalam yang parah, namun tetap saja ia terpelanting roboh!
Kesempatan ini dipergunakan oleh Tang Ki untuk menyerangnya dengan pedang. Yu
Bwee bergulingan menyelamatkan diri sambil menangkis, akan tetapi keselamatannya
terancam hebat ketika TangKi terus emngejar dan menyerangnya bertubi-tubi.
Akhirnya Yu Bwee berhasil meloncart bangun akan tetapi tetap saja pangkal lengan
kirinya terserempet pedang dan kembali darah mengucur dari lukanya. tang Ki
menyusulkan tendangan dan tubuh Yu Bwee terguling lagi, sekali ini agak payah
karena tendangan yang mengenai atas lututnya itu membuat sebelah kaki terasa
nyeri dan kaku. Tang Ki tidak emberi kesempatan lagi dan menubruk dengan
pedangnya.
#Tarrr......!# Tiba-tiba terdengar letusan dan nampak asap mengepul dari sebuah
pistol kecil yang dipegang oleh Han Le. Tang Ki mengeluarkan jerit tetahan dan
roboh terjungkal! Peristiwa ini amat mengejutkan semua orang, terutama Lee Song
Kim yang sama sekali tidak menyangka bahwa Han Le akan mempergunakan pistolnya
menyerang permaisuri sehingga permaisuri itu roboh.
#Pasukan bersenapan, tangkap dia!# teriaknya dengan penuh penyesalan karena baru
sekarang dia teringat untuk mempergunakan pasukan bersenjata api untuk
menghadapi dua orang muda itu. Tadi, dia sudah merasa yakin akan dapat
merobohkan Han Le dan Yu Bwee dengan pengeroyokan itu, maka dia tidak sedikitpun
teringat untuk mempergunakan pasukan bersenjata api, Kini, penggunaan pistol
oleh Han Le seperti mengingatkannya. Terdengar tembakan-tembakan ke atas sebagai
ancaman dan kini belasan orang yang memegang senjata api menodongkan moncong
senjata mereka kepada Han Le dan Yu Bwee.
#Kalian berdua menyerah, lempar senjata, atau kami tembak!# bentak Lee Song Kim,
Han Le tidak melihat jalan lain kecuali menyerah. Tadi dia terpaksa
mempergunakan pistolnya untuk menolong Yu Bwee yang terancam bahaya maut, jatuh
dan diserang oleh Tang Ki. Kini, melihat belasan orang menodong dia dan Yu Bwee,
dia maklum bahwa pemainannya telah selesai dan kalau dia lanjutkan, sama saja
dengan membunuh diri dan membunuh Yu Bwee. Maka diapun melepaskan pistol dan
berbisik,
#Tidak ada jalan lain, kita harus menyerah.# Sebetulnya Yu Bwee tidak ingin
menyerah karena menyerahpun besar sekali kemungkinannya mereka akan dibunuh,
lebih keji lagi. Akan tetapi melihat betapa Han Le telah menyerah, iapaun tidak
dapat berbuat lain kecuali melepaskan pedangnya, akan tetapi pandang matanya
terhadap Han Le berubah menjadi penuh keraguan. Pemuda itu aneh sekali. Jelas ia
melihat pemuda itu tadi mengamuk, membunuh banyak orang, bahkan telah menembak
tewas permaisuri Raja Tai Peng.
Ia sudah banyak mendengar tentang permaisuri ini dari ibunya, maka ketika tadi
Tang Ki terjun ke dalam pertempuran dan melihat akan sikap semua orang pihak
lawan demikian menghormatinya, iapun dapat menduga bahwa wanita itu tentulah
sang permaisuri yang menurut ibunya memiliki ilmu kepandaian yang amat lihai,
bahkan pemaisuri itu dahulu di waktu masih gadis dan belum menjadi pemaisuri
raja pemberontak Tai Peng, pernah bersahabat erat sekali dengan ibunya. Akan
tetapi sekarang, setelah tertodong senjata api pihak lawan, pemuda ini tidak
melanjutkan amukannya, bahkan tiba-tiba saja menyerah! Ia sama sekali tidak tahu
bahwa Han Le menyerah bukan karena takut, melainkan karena ingin menyelamatkan
Yu Bwee. Baru ia tahu akan hal ini ketika Han Le berkata kepada Lee Song Kim
dengan suara lantang.
#Lee Song Kim, dengarlah baik-baik. Nona ini bernama Yu Bwee dan ia sama sekali
bukan mata-mata Kerajaan Mancu. Ia adalah seorang di antara penghuni dusun yang
dirampok oleh pasukan yang menyeleweng dan ia melakukan pengejaran sampai
kesini. Aku sudah memberontak terhadap Tai Peng karena melihat sepak terjang Tai
Peng yang menyeleweng dari kebenaran, dan aku pula yang telah menembak mati sang
permaisuri.
(Lanjut ke Jilid 17 - Tamat)
Jilid 17 (tamat)
Oleh karena itu, aku menyerahkan diri dan berani mempertanggung-jawabkan semua
perbuatanku. Akan tetapi nona Yu Bwee tini tidak bersalah, maka harap dibebaskan
sekarang juga!# Lee Song Kim yang tadi terkejut bukan main, kemudian marah
sekali melihat betapa Tang Ki, permaisuri yang menjadi kekasihnya itu, mati
tertembak oleh Han Le, mendengar ucapan Han Le tertawa mengejek.
#Membebaskan? Tidak begitu mudah, pengkhianat! Tangkap mereka dan belenggu!#
teriaknya dan para anak buahnya lalu membelenggu kedua tangan Han Le dan Yu
Bwee, diikat di belakang tubuh mereka.
Lee Song Kim maju menotok pundak mereka dua kali kanan kiri, membuat Han Le dan
Yu Bwee tidak mampu lagi mengerahkan tenaga menggerakkan kedua lengan mereka.
Dengan kemarahan yang meluap, Song Kim yang merasa sakit hati sekali kepada
mereka, menyeret sendiri dua orang tawanan yang sudah tidak berdaya itu,
memasuki sebuah tenda besar yang didirikan anak buahnya tak jauh dari situ. Dia
menyeret kedua orang tawanan itu masuk ke dalam tenda, lalau melemparkan tubuh
Yu Bwee ke atas sebuah pembaringan darurat sedangkan tubuh Han Le dia kemparkan
ke atas lantai. Dua orang muda itu tidak mampu melawan karena tubuh mereka lemas
tertotok, tidak dapat mereka mengerahkan sinkang mereka. Mereka melihat betapa
wajah Lee Song Kim menjadi beringas merah sekali, sepasang matanya mendelik
menakutkan.
#Keparat busuk engkau Gan Han Le! Engkau telah menembak mati pemaisuri, dosamu
sungguh tak terukur besarnya.#
#Hemm, engkau merasa kehilangan seorang kekasih gelap, bukan seorang atasan,#
kata Han Le, sikapnya masih tenang.
#Plakkk!# Sebuah tendangan mengenai pipi Han Le dan darah mengucur dari bibir
yang pecah. Kalau saja Lee Song Kim tidak begitu marah sehingga dia tidak ingin
membunuh Han Le secara mudah, tentu tendangannya itu akan dapat mematikan. Akan
tetapi tidak. Dia menendang hanya untuk menyiksa, bukan untuk membunuh maka
tendangannya hanya mengandung tenaga kaki biasa, cukup untuk membuat pipi Han Le
menjadi biru lembam dan bibirnya pecah. tidak, dia tidak akan membunuhnya
demikian mudah!
#Benar! Permaisuri Tang Ki adalah kekasihku! Dan engkau telah membunuhnya!
Sekarang, aku ingin membuka matamu melihat betapa kekasihmu juga kusiksa lahir
batinnya!# Berkata demikian, dengan senyum kejam Lee Song Kim mulai menanggalkan
baju luarnya. Melihat ini, seketika wajah Han Le menjadi pucat sekali karena dia
dapat menduga apa yang akan dilakukan manusia iblis itu terhadap Yu Bwee yang
terlentang tak berdaya di atas pembaringan.
#Ha-ha-ha, engkau boleh lakukan apa yang kau suka!# Dia sengaja tertawa
mengejek.
#Kau kira akan dapat menyakitkan hatiku karena melihat ia kau siksa? Ia bukan
kekasihku! Aku hanya ingin melihat ia tidak tersangkut dalam urusanku denganmu.
Ia bukan apa-apaku, percuma saja engkau akan menyiksanya di depan mataku!#
#Cukup!# Song Kim membentak.
#Kau kira aku bodoh dan dapat kau tipu dengan kata-katamu ini? Aku tahu kalian
saling mencinta, mudah dilihat ketika kalian dikeroyok dan saling melindungi
tadi. Bahkan engkau tadi menembak permaisuri sampai tewas untuk melindungi gadis
ini! Engkau telah membunuh wanita yang kucinta, sekarang aku akan memperkosa
gadis yang kau cinta di depan matamu!# Berkata demikian, dengan hanya mengenakan
pakaian dalam, dengan sikap beringas Song Kim menghampiri pembaringan.
#Lee Song Kim, nanti dulu!# teriak Han Le, kini tak dapat lagi berpura-pura
karena ternyata ucapannya tadi tidak dipercaya Song Kim. #Ingat, engkau adalah
pembantu utama dari Raja Ong Siu Coan, alangkah hina dan rendahnya kalau engkau
hendak melakukan perbuatan terkutuk itu! Lepaskan nona Yu Bwee dan engkau boleh
menyiksa aku sampai mati! Lepaskan nona itu!# Akan tetapi Song Kim tertawa
gembira.
#Ha-ha, tidak ada siksaan yang lebih hebat bagimu daripada melihat wanita yang
kau kasihi diperkosa orang di depan matamu tanpa engkau mampu berbuat sesuatu!
Aku akan memperkosanya dan membunuhnya, dan engkau...... bagianmu akan
ditentukan oleh Sribaginda sendiri!# Kini tangan Song Kim meraih ke arah tubuh
Yu Bwee.
#Lee Song Kim.......# Han Le berteriak dan berusaha melepaskan belenggu kedua
tangannya dengan sia-sia.
#Brettt......!# Baju luar Yu Bwee terobek dalam cengkeraman tangan Song Kim dan
gadis itu mengeluarkan jerit ketakutan. Ia menghadapi ancaman bahaya yang amat
mengerikan hatinya. Padahal, ancaman maut tidak akan membat gadis ini berkedip
mata. Pada saat yang amat gawat dan berbahaya bagi Yu Bwee itu, tiba-tiba kain
tenda terobek dari belakang dan berkelebat bayangan dua orang memasuki tenda.
Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis. Pemuda itu dengan sigapnya lalu
menyerang Song Kim dengan sebuah senjata aneh, yaitu senjata kipas yang
gagangnya runcing terbuat dari baja. Serangannya cepat dan kuat sekali. Han Le
tidak lupa kepada gadis itu, karena pernah dia bertemu dengannya, bahkan pernah
pula dia bertanding melawan gadis cantik yang wajahnya berseri cerah itu.
Akan tetapi kini dia tertarik melihat betapa pemuda bersenjata kipas itu
menyerang Lee Song Kim yang sudah membalas serangan dengan pedangnya sambil
bersuit mengeluarkan tanda bahaya, memanggil para pembantunya. Gadis manis yang
mempunyai tahi lalat merah di dagunya bagian bawah itu segera meloncat ke dekat
pembaringan, lalu menggunakan jari tangannya membebaskan totokan yang membuat Yu
Bwee tak mampu bergerak tadi. Begitu ia dapat menggerakkan lagi kaki tangannya,
Yu Bwee lalu mengerahkan sinkangnya dan belenggu kedua tangannya dapat dibikin
putus dengan tidak sukar lagi. Yu Bwee tidak sempat mengucapkan terima kasih
karena gadis itu kini sudah menarik sebatang tongkat dari ikat pinggangnya dan
kini ia membantu pemuda yang mainkan kipasnya,
Lee Song Kim terkejut dan terhuyung ke belakang. tentu saja dia mengenal ilmu
kedua orang lawannya ini. Ilmu kipas itu jelas adalah ilmu kipas dari mendiang
San-tok, sedangkan ilmu tongkat yang dimainkan gadis manis ini tentu ilmu dari
Tee-tok yang disebut Cui-beng Hek-pang (Tongkat Hitam pengejar Nyawa)! Karena
maklum akan kelihaian lawan, apalagi melihat Yu Bwee telah terlepas, diapun
cepat meloncat keluar dari tenda itu, dikejar oleh pemuda dan gadis yang perkasa
itu. Dugaan Lee Song Kim tidak keliru. Pemuda itu bukan lain adalah Tan Bun
Hong. Seperti kita ketahui, Tan Bun Hong adalah putera dari pasangan Tan Ci Kong
dan Siauw Lian Hong dan telah mewarisi ilmu-ilmu San-tok, termasuk ilmu
mempergunakan kipas sebagai snjata itu. Adapun gadis itu adalah Thio Eng Hui,
puteri dari Thio Ki dan Ciu Kui Eng.
Ayahnya, Thio Ki adalah ketua Kang-sim-pang, seorang ahli pedang yang lihai,
sedangkan ibunya adalah murid tersayang dari Tee-tok. Tentu saja Eng Hui
mewarisi ilmu tongkat Cui-beng Hek-pang yang menjadi andalan ibunya. Muda-mudi
ini membantu perjuangan rakyat, dan para pendekar telah bergabung dan membantu
gerakan yang dipimpin oleh Li Hong Cang dan Ceng Kok Han. Seperti diketahui,
gerakan rakyat yang dipimpin oleh dua orang gagah ini sekarang mencurahkan
segenap perhatian dan kekuatan mereka untuk menghadapi pemerintah Tai Peng. Bun
Hong dan Eng Hui ditugaskan untuk melakukan penyelidikan di sepanjang perbatasan
dan kebetulan saja mereka melihat dari tempat pengintaian mereka ketika Han Le
dan Yu Bwee dikeroyok banyak orang Tai Peng yang dipimpin sendiri oleh Lee Song
Kim.
Bahkan mereka melihat sendiri betapa Han Le membunuh Permaisuri Tang Ki dengan
pistolnya dan hal ini saja sudah meyakinkan hati mereka bahwa Han Le dan Yu Bwee
adalah orang-orang yang boleh digolongkan sebagai kawan karena telah bertempur
melawan orang-orang Tai Peng. Apalagi sudah berjasa membunuh permaisuri! Biarpun
hati Eng Hui diliputi keheranan besar tentu saja. Ia pernah bertemu dengan
pemuda bermata biru itu, bahkan pernah bertanding dengannya karena ia dan kawankawannya
menganggap pemuda itu mata-mata Tai Peng. Dan sekarang, ternyata pemuda
itu malah membunuh permaisuri dari Raja Tai Peng! Tentu saja ia dan Bun Hong
tidak mempunyai banyak waktu untuk menyelidiki keanehan ini dan melihat betapa
Yu Bwee terancam bahaya perkosaan oleh Lee Song Kim,
Jiwa pendekar mereka memberontak dan merekapun segera turun tangan mencegah
perbuatan terkutuk itu! Ketika Lee Song Kim meloncat keluar dikejar oleh Bun
Hong dan Eng Hui, Yu Bwee cepat membebaskan Han Le dan mereka berduapun segera
memburu keluar untuk membantu dua orang muda yang telah menyelamatkan mereka
tadi. Akan tetapi, setelah tiba di luar, mereka melihat betapa keadaan di situ
kacau balau dan pertempuran terjadi antara pasukan Tai Peng melawan pasukan yang
datang menyerbu! Melihat betapa pemuda dan gadis yang tadi menolong mereka kini
dikeroyok oleh banyak orang, Han Le dan Yu Bwee segera terjun ke dalam
pertempuran. Dengan mudah mereka merobohkan beberapa orang anggauta pasukan Tai
Peng dan merampas senjata mereka.
Han Le juga merampas sebatang pedang dan ketika hendak keluar dari dalam tenda,
dia telah mengambil kembali pistolnya yang tadi dibawa oleh Song Kim dan
diletakkan di atas bangku di sudut tenda. Kini pistol kecil kesayangannya itu
telah diselipkan di pinggang dan dia mengamuk besama Yu Bwee, dikeroyok banyak
orang. Kemana perginya Lee Song Kim? Ketika dia meloncat keluar dari dalam
tendanya, dia terkejut sekali mendengar ribut-ribut di luar seperti terjadi
penyerbuan. Dia cepat meneriaki para pebantunya yang datang berlarian dan segera
para pembantunya itu mengepung dan mengeroyok Bun Hong dan Eng Hui, sedangkan
Lee Song Kim sendiri cepat lari keluar setelah mendengar bahwa memang terjadi
penyerbuan dari tentara rakyat, dipimpin oleh seorang kakek bermuka buruk yang
lihai sekali.
Ketika dia tiba di tempat di mana pasukan rakyat itu menyerbu, benar saja dia
melihat seorang kakek bertubuh jangkung yang pakaiannya sederhana serba putih,
mukanya penuh cacat dan buruk sekali, tubuhnya agak bongkok, sedang mengamuk!
Kakek itu memimpin pasukan rakyat yang juga mengamuk dan menyerbu pasukan Tai
Peng, dan sepak terjang kakek itu sungguh menggiriskan sekali. Belum pernah Song
Kim melihat sepak terjang oang seperti kakek buruk rupa itu. dengan kedua tangan
kosong, kakek itu menyambut datangnya hujan senjata dan setiap kali ada senjata
bertemu dengan kedua tangannya, maka senjata itu akan terlepas dari tangan
pemegangnya dan kakek itu menangkap-nangkapi orang seperti orang mencabut rumput
saja, melempar-lemparkannya dengan ringan sekali!
Diam-diam Lee Song Kim terkejut dan juga gentar. Mudah sekali diketahui bahwa
kakek itu merupakan seorang lawan yang amat tangguh dan sukar dikalahkan. Akan
tetapi, tiba-tiba dia melihat seorang wanita di belakang kakek itu dan
jantungnya berdebar keras. Sheila! Itulah Sheila! Ibu dari Gan Han Le yang kini
mungkin telah bebas dan ikut mengamuk lagi bersama Yu Bwee dan dua orang anak
muda yang baru datang menyelamatkan mereka. Tahulah Song Kim bahwa keadaannya
amat berbahaya. Kakek ini harus dilenyapkan lebih dulu, kalau tidak, akan
celakalah pasukannya menghadapi amukan seorang kakek yang kekuatannya tidak
lumrah manusia itu. Diapun segera membari isyarat kepada pasukan senjata api
yang sudah siap. Pasukan ini tadi tidak dapat mempergunakan senapan, karena hal
ini akan membahayakan teman-teman sendiri.
#Tembak mampus kakek itu!# teriak Lee Song Kim kepada pasukan senapan yang hanya
belasan orang jumlahnya itu. kini sia merasa menyesal mengapa dia tidak embawa
pasukan senapan yang lebih besar.
#Tapi...... ciangkun, berbahaya sekali, bisa mengenai teman sendiri......# kata
komandan pasukan kecil itu.
#Tidak perduli! Yang penting, kakek itu harus memapus! Tembak dia!# bentak Lee
Song Kim yang merasa semakin gentar melihat betapa kakek itu sudah merobohkan
lagi empat orang dengan beberapa gerakan saja.
Kakek itu bukan lain adalah Bu Beng Kwi! Dia terpaksa memenuhi permintaan Sheila
yang telah menjadi isterinya, untuk pergi mencari Han Le yang telah melarikan
diri meninggalkan mereka karena marah dan menyesal melihat betapa ibunya telah
menjadi isteri dari musuh besar keluarga mereka. Bu Beng Kwi mengajak isterinya
mencari Han Le dan mereka berdua dapat menduga bahwa tentu Han Le telah pergi ke
tempat di mana terdapat pertempuran karena mereka maklum bahwa pemuda itu
bercita-cita untuk mengikuti jejak ayah kandungnya, menjadi seorang pejuang dan
pendekar. Akan tetapi usaha mereka selalu menemui kegagalan dan sampai sekian
lamanya mereka belum juga dapat menemukan jejak Han Le. Akhirnya, Bu Beng Kwi
mengajak isterinya mengunjungi dua orang muridnya yang kini telah menjadi
pemimpin-pemimpin rakyat, yaitu Ceng Kok Han dan Li Hong
Cang.
Dua orang pemimpin pasukan pejuang ini girang menerima kunjungan guru mereka
walaupun mereka merasa agak canggung ketika melihat betapa Sheila, wanita kulit
putih yang pernah membuat mereka berdua tergila-gila ketika mereka masih
merupakan pemuda-pemuda romantis itu, kini telah menjadi isteri guru mereka. Di
tempat inipun Bu Beng Kwi tidak menemukan Han Le, akan tetapi dapat dibayangkan
betapa kagetnya ketika dia mendengar bahwa ada mata-mata pejuang yang mendengar
bahwa kini Gan Han Le telah menjadi seorang panglima di pasukan Tai Peng! Matamata
tu menderitakan pula betapa kini panglima Gan Han Le membawa pasukan dan
mengadakan pembersihan di sekitar perbatasan dan betapa banyak mata-mata pasukan
pejuang dan pasukan pemerintah dibasmi oleh gerakan pembersihan yang dilakukan
oleh Gan Han Le.
#Celaka!# teriak Bu Beng Kwi.
#Hal ini harus dicegah! Dia telah menyeleweng. Aku sendiri yang akan
menyadarkannya!#
#Aku akan ikut, aku akan dapat menyadarkannya!:# kata Sheila. Sebetulnya Bu Beng
Kwi agak keberatan. Dia akan memimpin pasukan untuk mencari muridnya itu di
perbatasan yang berbahaya di mana banyak terjadi pertempuran. Akan tetapi Sheila
tidak mau dibantah dan akhirnya diapun membiarkan isterinya ikut bersamanya, dan
kedua orang muridnya itu menyerahkan sepasukan pejuang pilihan untuk menyertai
guru mereka. Demikianlah Bu Beng Kwi, Sheila dan pasukan itu berangkat ke
perbatasan dan dari mata-mata pejuang dia mendengar bahwa kini pasukan Gan Han
Le sedang mengadakan pembersihan di mana mereka melakukan pembunuhan dan
perampokan terhadap rakyat yang tidak berdosa.
Mendengar ini, Bu Beng Kwi dan Sheila cepat membawa pasukan ke tempat itu dan di
tengah hutan itulah mereka melihat pasukan yang sedang mengeroyok Bun Hong dan
Eng Hui. Bu Beng Kwi yang mendengar dari anggauta pasukan bahwa dua orang itu
adalah dua di antara para pendekar yang bergabung dengan pasukan pejuang rakyat
dan menjadi mata-mata bagi pasukan rakyat, tanpa ragu lagi segera memerintahkan
pasukan untuk menyerbu pasukan Tai Peng dan membantu dua orang pendekar itu.
Sedangkan dia sendiri ikut mengamuk sambil melindungi Sheila yang berada di
belakangnya. Pada saat Bu Beng Kwi mengamuk sambil melindungi isterinya, tibatiba
terdengar letusan dahsyat beruntun. Api menyambar dari asap moncong belasan
buah senapan yang semuanya dibidikkan ke arah tubuh Bu Beng Kwi!
Akan tetapi, ketangkasan ilmu silat telah mendarah daging dalam diri kakek ini,
sehingga begitu telinganya mendengar letusan, otomatis tubuhnya melesat dengan
cepatnya seperti burung walet saja dan semua peluru yang menyambar tubuhnya itu
tidak ada yang mengenainya. Akan tetapi, para perajurit yang memegang senjata
api itu terus memberondongkan senjata mereka ke arah bayangan putih yang
berkelebatan. Bu Beng Kwi terus berloncatan sambil mendekati penembaknya dan dia
berhasil melemparkan dua buah golok yang dirampasnya. Dua buah golok itu terbang
dan menembus dada dua orang di antara para penembak! Tembakan terus berbunyi
gencar dan banyak pula para pengeroyok kakek itu yang terkena tembakan kawankawan
sendiri! Ketika Bu Beng Kwi hendak melanjutkan amukannya, tiba-tiba
terdengar suara rintihan isterinya.
#Sheila......!# Seketika tubuh Bu Beng Kwi lemas ketika dia melihat betapa
isterinya telah menggeletak dengan baju bagian dada penuh darah.
#Sheila......!# Dia menubruk dan cepat memeriksa kedaan isterinya. Dua butir
peluru memasuki dada isterinya dan keadaannya amat parah. #Sheila......
kau...... kau......#
#Dar......!# Letusan pistol kecil dari moncong pistol di tangan Lee Song Kim
tepat mengenai punggung Bu Beng Kwi.
Kakek itu tidak roboh, hanya tersentak kaget, sedikitpun tidak menoleh, masih
berlutut dan memangku tubuh isterinya. Sebelum Lee Song Kim sempat menembakkan
pistolnya lagi, sebuah tendangan mengenai tangannya dan pistol itupun terlepas
dan terlempar. Song Kim cepat membalikkan tubuhnya dan dia berhadapan dengan Han
Le! Ketika Han Le dan Yu Bwee berloncatan keluar dari tenda dan melihat
pertempuran, Yu Bwee langsung saja membantu pemuda dan gadis yang tadi
menolongnya tanpa banyak cakap lagi, sedangkan Han Le segera membawa pedang
rampasannya mencari Lee Song Kim! Dia harus menemukan panglima yang jahat itu
dan membunuhnya, sebagai hukuman atas apa yang telah dilakukannya tadi terhadap
Yu Bwee, hampir memperkosa gadis itu di depan matanya.
Ketika dia mendengar suara tembakan berkali-kali dengan gencar, dia cepat
berlari ke tempat itu dan alangkah kaget hatinya ketika dia melihat ibunya dan
gurunya berada di situ, betapa ibunya telah roboh mandi darah dan gurunya
memangku ibunya. Dia melihat pula betapa Lee Song Kim dengan amat curang
menembak gurunya dari belakang, maka dengan kemarahan berkobar di dalam dadanya,
dia melompat dan tepat dapat menendang tangan Lee Song Kim yang sudah siap
menembakkan pistolnya lagi. Pistol itu terlempar dan kalau dia menghendaki,
dengan mudah saja Han Le dapat membunuh Song Kim dengan pistolnya. Akan tetapi
dia tidak mau melakukan kecurangan seperti itu dan kini dia menghadapi Song Kim
dengan mata mendelik penuh kemarahan. Mengingat betapa orang ini telah menembak
gurunya dan betapa ibunya juga tertembak dan mungkin sudah tewas, kedua mata Han
Le menjadi basah dan dia marah bukan main.
#Jahanam busuk!# Bentaknya dan dia segera menyerang dengan pedangnya.
Song Kim yang kehilangan pistol, menyambut dengan pedangnya pula dan terjadilah
perkelahian yang seru dan mati-matian antara kedua orang itu. Dalam
kemarahannya, Han Le mengeluarkan seluruh kepandaiannya dan mengerahkan seluruh
tenaga, mendesak dan menyerang dengan cepat dan kuat sekali. Namun, Lee Song Kim
memang amat lihai, jauh lebih berpengalaman dan orang yang suka mencuri dan
mempelajari berbagai macam ilmu silat aliran lain ini terlalu tangguh untk dapat
dirobohkan, bahkan sukar bagi Han Le untuk mendesaknya, dan segera dia
sendiripun mulai terdesak oleh permainan pedang Song Kim yang berubah-ubah
secara aneh dan lihai bukan main. Bu Beng Kwi yang merangkul isterinya, malihat
munculnya Han Le yang kini seorang diri melawan Song Kim, merasa terharu sekali.
#Sheila......# bisiknya. # Lihat, itu anak kita......# Sheila belum tewas
walaupun keadaannya sudah payah. Ia membuka mata memandang dan ketika ia melihat
Han Le, Sheila tersenyum, akan tetapi hanya sebentar karena ia segera merasa
khawatir. Karena keadaannya sudah payah, ia tidak mampu lagi bersuara. Akan
tetapi pada saat itu, Sheila dan Bu Beng Kwi melihat seorang gadis yang
menerjang maju membantu Han Le sambil berkata,
#Toako, mari kita bunuh manusia iblis ini!# Melihat munculnya Yu Bwee, giranglah
hati Han Le. Bukan hanya girang karena memeperoleh bantuan menghadapi lawan yang
amat tangguh ini, melainkan terutama sekali girang melihat gadis itu dalam
keadaan selamat dan mau membantunya.
#Yu-siocia, kita basmi orang jahat ini!# katanya dan Yu Bwee segera menerjang
Song Kim dengan pedangnya. Song Kim menyambutnya dengan tangkisan yang
dilanjutkan serangan balasan yang amat dahsyat. Namun, Han Le sudah menerjang
dari samping sehingga terpaksa Song Kim menarik kembali serangannya terhadap Yu
Bwee. Demikianlah, dua orang muda itu mengeroyok Lee Song Kim. Namun, orang she
Lee ini memang lihai bukan main. Biarpun dikeroyok oleh dua orang muda yang
berkepandaian tinggi, tetap saja dia tidak merasa gentar, tidak terdesak, bahkan
dia mengubah ilmu pedangnya menjadi dahsyat sekali dan mampu membendung serangan
Yu Bwee dan Han Le dengan baiknya, mampu pula membalas dengan tidak kalah
hebatnya.
Melihat betapa muridnya dan gadis cantik itu tdak mampu mendesak Song Kim, Bu
Beng Kwi merasa penasaran. Dia dapat melihat betapa lihainya Lee Song Kim dan
tahulah dia bahwa murid pertama dari mendiang hai-tok cu agaknya telah
memperoleh kemajuan yang amat hebat. Agaknya, biarpun mengeroyok dua, muridnya
dan nona itu tidak akan mampu memperoleh kemenangan dalam waktu singkat. Padahal
mereka berada di daerah yang dikuasai musuh, amatlah berbahaya kalau muncul
pasukan Tai Peng yang lebih besar jumlahnya, padahal dia sendiri sudah luka
parah. Sebutir peluru memasuki punggungnya dan bersarang di dalam tubuhnya.
maka, diapun dengan lembut merebahkan isterinya sambil berbisik,
#Aku harus membantu anak kita.# Sheila mengangguk dan Bu Beng Kwi sejenak
mengamati jalannya perkelahian itu, kemudian tiba-tiba dia mengeluarkan suara
melengking tinggi dan panjang, lalu tubuhnya sudah melayang ke arah Lee Song
Kim!
Orang ini terkejut bukan main. Dia tahu betapa lihainya kakek buruk rupa itu,
maka begitu melihat kakek itu menubruk dari atas, dia menyambutnya dengan
tusukan pedang sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Bu Beng Kwi menyambut
pedang itu dengan tangan kanannya, menangkis dengan tangan diputar bagian siku,
dan tangan kirinya tetap melanjutkan serangan dengan tamparan ke arah kepala Lee
Song Kim. Lee Song Kim terkejut merasa betapa pedangnya bertemu dengan tangan
yang kerasnya seperti baja dan dia tahu akan dahsyatnya tamparan itu, maka cepat
dia melempar tubuh ke belakang dengan maksud hendak bergulingan menyelamatkan
diri. Akan tetapi, Han Le yang melihat serangan gurunya, segera siap siaga dan
melihat Lee Song Kim melempar tubuh ke belakang, dia menyambutnya dngan
tendangan.
#Dukkk!# Biarpun Lee Song Kim yang tidak sempat mengelak lagi telah melindungi
pahanya yang tertendang dengan tenaga sinkang, tetap saja tubuhnya terlempar dan
terbanting keras, Dia menjadi marah sekali dan begitu dia meloncat bangun, dia
sudah menodongkan sebuah pistol kepada Han Le! Dia menyeringai beringas.
#Pengkhianat, mampuslah!# dan diapun menarik pelatuk pistolnya.
#Darrr! Darrr!# Dua kali pistolnya meletus, akan tetapi Han Le sudah melempar
tubuh ke atas tanah dan bergulingan, dan sebelum Lee Song Kim sempat menembak
lagi, pistol di tangan Han Le yang dicabut cepat sekali telah memuntahkan peluru
panas dengan suara ledakan keras. Lee Song Kim terhuyung dan saat itu Yu Bwee
menusukkan pedangnya, pertama mengenai pergelangan tangan kanannya sehingga
pistolnya terlepas, kemudian pedang itu menusuk lambung. Robohlah Lee Song Kim
karena dadanya sudah ditembusi peluru, ditambah lagi dengan tusukan pedang di
lambungnya. Orang yang selama ini malang melintang dan menjagoi akhirnya roboh
berkelojotan dan tewas.
#Ibuuuu....... Han Le lari menghampiri ibunya dan dia melihat gurunya sudah pula
berlutut dekat tubuh ibunya. Gurunya juga terluka parah, tertembus punggungnya
dan kini gurunya nampak menggigil ketika berlutut di dekat tubuh Sheila yang
suda terengah-engah.
Tiba-tiba terdengar suara terompet dan tambur, dan pasukan pejuang mundur dengan
gentar melhat datangnya pasukan besar Tai Peng yang dipimpin sendiri oleh Raja
Ong Siu Coan! Kiranya raja ini yang sedang berburu binatang di hutan-hutan
daerah itu, mendengar laporan komandan pasukan tentang pasukan yang dipimpin
oleh Lee Song Kim terlibat pertempuran dengan pasukan rakyat pejuang, bahkan
sang permaisuri juga sudah membawa pasukan membantu Lee Song Kim. mendengar ini,
Raja Ong Siu Coan cepat mengerahkan semua pasukan yang ada utuk mengejar ke
tempat pertempuran. Dia marah sekali mendengar berita bahwa isterinya, sang
permaisuri, telah tewas tertembak oleh panglima Gan Han Le yang memberontak.
Pasukan pengawal Raja Tai Peng ini tentu saja merupakan pasukan pilihan, dan
raja ini memiliki wibawa yang besar sehingga begitu pasukannya menyerbu, pasukan
rakyat pejuang menjadi gentar. Serbuan pasukan yang dipimpin Raja Ong Siu Coan
ini melegakan hati para sisa pasukan Lee Song Kim. Mereka tadi sudah ketakutan
melihat tewasnya para pembantu Lee Song Kim yang lihai, seperti Tiat-pi Kim-wan,
Seng-jin Sin-touw, Sin-kiam Moli, dan Theng Ci di tangan orang-orang muda yang
lihai bukan main. Empat orang pembantu ini tewas ketika tadi mereka berhadapan
dengan Tan Bun Hong, Thio Eng Hui, dan Yu Bwee sebelum Yu Bwee mencari dan
embantu Han Le menghadapi Lee Song Kim.
#Gan Han Le, pengkhianat dan pemberontak jahat! Menyerahlah engkau!# bentak Ong
Siu Coan sendiri sambil mengamangkan pedangnya dengan sikap marah. Raja ini
duduk di atas seekor kuda yang tinggi besar, sikapnya gagah bukan main, di kanan
kirinya terdapat beberapa orang yang menodogkan senapan ke arah Han Le dan yang
lain-lain. Akan tetapi pada saat itu, Bu Beng Kwi mengeluarkan teriakan nyaring
dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang ke arah raja itu. para pengawal yang
memegang senapan tidak sempat menembak, demikian cepat gerakan Bu Beng Kwi dan
dia telah mencengkeram ke arah kepala raja itu. Ong Siu Coan bukan seorang yang
lemah.melihat ada orang menyerangnya seperti seekor burung rajawali dari
angkasa, dia menambut dengan tusukan pedangnya.
#Trakkk!# Pedang itu ditangkis tangan kakek itu dan sebelum Ong Siu Coan
melanjutkan serangannya, kakek itu telah menyambar tengkuknya. Raja itu
terlempardari atas kuda, tengkuknya masih dicengkeram dan mereka bergumul di
atas tanah. Akan tetapi, tubuh Ong Siu Coan seketika lemas karena dia telah
ditotok dan kini Bu Beng Kwi memeluknya sambil bersru nyaring.
#Mundur semua, kalau ada yang menyerang dengan senjata api, akan kubunuh lebih
dulu raja kalian ini!# Pasukan pengawal raja itu menjadi pucat dan tentu saja
mereka tidak berani menyerang, melihat betapa jari-jari tangan yang besar itu
sudah siap untuk berkata dengan nada penuh ancaman di dekat telinga Ong Siu
Coan.
#Ong Siu Coan, suruh mundur semua pasukanmu, atau demi Tuhan, akan kuhancurkan
kepalamu!# Raja ini terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa dia
telah berada dalam kekuasaan kakek buruk rupa yang amat lihai itu. Dia juga
merasa heran bukan main karena dia mengenal semua gerakan kakek itu dan ketika
kakek itu menotoknya,
Lalu mencengkeram dan mengancam dengan cengkeraman pada pelipisnya, maklumlah
dia bahwa kakek ini memiliki ilmu yang sama sumbernya dengan ilmu silatnya
sendiri. Maklum betapa kakek ini tidak menggertak kosong saja dan bahwa nyawanya
berada dalam taruhan, diapun lalu berseru nyaring, menyuruh pasukannya
menghentikan serangan dan mundur! Legalah hati Bu Beng Kwi melihat mudurnya
pasukan Tai Peng dan diapun mengendurkan pelukannya, bahkan kini dia melepaskan
pegangannya dan berdiri menghadapi raja yang masih lemas tertotok itu. Raja Ong
Siu Coan mengamati kakek itu. Teringatlah dia akan pelaporan bawahannya tentang
mata-mata orang kulit putih yang menukarkan dua ratus pucuk senjata untuk
menebus Sheila dan puteranya. Mata-mata itu juga seorang kakek yang amat buruk!
#Siapakah engkau......?# tanyanya, penasaran karena dia seorang raja dan seorang
ahli silat tingkat tinggi, dapat dibuat tidak berdaya hanya oleh seorang kakek
buruk rupa yang tidak terkenal. Bu Beng Kwi meraba mukanya sambil berkata,
#Sute, lupakah engkau kepadaku?# Begitu topeng kulit tipis itu dibuka, Ong Siu
Coan terbelalak dan mukanya berubah pucat.
#Toa-suheng Koan Jit......!#
Dia terbelalak seperti melihat setan saja. #Suheng bukankah engkau......
engkau......# Dia tidak melanjutkan kata-katanya. Dahulu, belasan tahun yang
lalu, sebelum dia menjadi raja, dia melihat dengan mata sendiri betapa suhengnya
ini mengorbankan dirinya untuk menolong para pemimpin pejuang rakyat, betapa
kakak seperguruannya ini tewas, bahkan lenyap teruruk lorong bawah tanah yang
runtuh akibat alat peledak yang diledakkan oleh Koan Jit untuk menutup lorong
itu sehingga para pimpinan pejuang rakyat dapat meloloskan diri. Dia melihatnya
sendiri. Walaupun tidak dapat melihat mayat kakek seperguruannya yang teruruk
reruntuhan tanah dan batu, namun dia sempat menemukan sepatunya dan menangisi
sepatu suhengnya itu. dan kini, suhengnya, muncul! Tentu saja dia tidak mau
percaya ini benar suhengnya.
#Memang, sute. Koan Jit telah mati, namanya saja yang mati. Agaknya Tuhan masih
membiarkan tubuhnya hidup dan dia hidup kembali sebagai Bu Beng Kwi, yaitu aku
ini. Dan engkau...... engkau telah menjadi raja...... akan tetapi engkau
membiarkan pasukanmu menyeleweng! Engkau menjadi raja yang menyeleweng, lalim
dan gila!#
#Suheng......!#
#Sudahlah. sekarang berjanjilah bahwa engkau tidak akan mengerahkan pasukanmu
menyerang kami dan membiarkan kami semua pergi dari sini dengan aman. Engkau
boleh membawa jenazah isterimu, juga para panglimamu. berjanjilah, biar
didengarkan oleh semua orang. Aku masih percaya akan janji seorang bekas suteku,
biar dia sekarang telah menjadi raja sekalipun. Berjanjilah, atau demi Tuhan,
aku terpaksa akan membunuhmu!# Wajah Ong Siu Coan sebentar pucat sebentar merah.
Dia merasa terkejut, heran, terharu, akan tetapi juga marah. Permaisurinya, yang
merupakan pembantu utamanya, tewas, demikian pula Lee Song Kim yang merupakan
pembantu berharga pula. Dan kini dia harus berjanji untuk membebaskan mereka
semua. Akan tetapi, nyawanya lebih berharga daripada nyawa semua orang itu.
#Baiklah, aku berjanji takkan mengganggu kalian dan membiarkan kalian pergi.
Akan tetapi, kelak kalau kalian sampai terjatuh ke dalam tanganku lagi, aku
tidak akan memberi ampun, terutama sekali Gan Han Le!# setelah berkata demikan,
dia lalu memberi isyarat kepada para pembantunya untuk menarik mundur semua
pasukan dan menghentikan pertempuran.
#Aku percaya padamu, sute. Nah, kuharap saja mudah-mudahan engkau akan dapat
mengubah jalan hidupmu dan menjadi seorang pimpinan patriot yang benar-benar
membela rakyat dan mengusir penjajah.# Koan Jit atau Bu Beng Kwi lalu
membebaskan totokan pada tubuh Ong Siu Coan yang segera pergi menunggangi
kudanya dengan muka ditundukkan. Orang-orangnya lalu mengusung jenazah Tang Ki,
Lee Song Kim, dan yang lain-lain sehingga pasukan itu sibuk mengangkuti jenazah
teman-teman mereka. Setelah Ong Siu Coan pergi menunggangi kudanya, Bu Beng Kwi
terhuyung dan tentu dia sudah roboh kalau saja tidak cepat dirangkul oleh Han
Le.
#Suhu......!# Koan Jit memandang wajah Han Le dan dia tersenyum.
#Aku...... aku terluka tembakan...... Han Le......# Diapun merangkul dan kedua
matanya menjadi basah. Han Le juga mengedipkan matanya untuk mengusir air mata
yang membuat pandangannya kabur.
#Suhu......# hanya demikian dia dapat bicara karena keharuan mencekik leher
pemuda ini. Sampai sedemikian rupa suhunya ini membelanya, membela ibunya, dan
kini mengorbankan dirinya lagi, untuk kedua kalinya, demi keselamatan orang
lain. Betapa mulia hati suhunya ini, agaknya untuk menebus semua
penyelewengannya yang pernah dilakukan di waktu mudanya. Tidak mengherankan
kalau ibunya jatuh cinta kepada orang ini. Teringat akan ibunya, dia menoleh dan
mengeluh,
#Ibuuu......!#
#Han Le, bawa aku kepada ibumu......# kini napas kakek itu terengah-engah. Semua
pengerahan tenaga yang dilakukannya tadi menambah parah lukanya, sehingga kini
untuk bernapaspun amat sukar rasanya. Han Le membawanya ke dekat ibunya yang
juga sudah empas-empis napasnya. Bu Beng Kwi rebah miring setengah duduk
memandang isterinya dan Sheila lalu memandang Han Le dengan kedua mata penuh air
mata.
#Henry...... engkau...... engkau maafkan ibumu dan gurumu...... Henry......#
katanya dalam Bahasa Inggris.
#Ibuuuu......!# Han Le atau Henry menubruk dan menciumi wajah ibunya,
membasahinya dengan air matanya sendiri.
#Aku...... akulah yang mohon ampun padamu, ibu......# Ibu dan anak itu saling
rangkul sambil menangis. Pada saat itu, Yu Bwee juga ikut berlutut di dekat Han
Le. melihat gadis ini, Han Le lalu berbisik kepada ibunya dalam bahasa Inggris.
#Ibu, nona ini Yu Bwee, seorang puteri bangsawan peranakan Mancu, akan tetapi ia
berjiwa pendekar dan aku...... aku amat cinta padanya, ibu.# Sheila
membelalakkan matanya, menatap wajah Yu Bwee yang cantik dan iapun tersenyum di
balik air matanya. Tangannya bergerak dan ia memegang tangan Yu Bwee.
#Nona......# katanya, suaranya lirih sekali namun cukup untuk dapat ditangkap
dan dimengerti oleh gadis yang diajaknya bicara,
#Anakku Han Le...... mencintaimu...... maukah engkau...... menjadi
jodohnya......?#
Yu Bwee mengangkat muka memandang wajah yang pucat dan amat cantik itu. Mata
yang sudah sayu itu masih nampak biru bening dan rambut yang sudah mulai
bercampur putih itu seperti benang-benang sutera emas dan perak. Pandang mata
wanita itu demikian penuh permohonan, penuh harapan sehingga biarpun ia merasa
malu dan tidak pantas dalam keadaan seperti itu membicarakan urusan jodoh,
merasa tidak tega untuk menolak. Ia melirik ke arah Han Le yang masih merangkul
ibunya dan air matanya bercucuran, dan iapun menarik napas panjang lalu
memandang lagi kepada wanita itu dan mengangguk!
#Ah, terima kasih, nona..... terima kasih anakku, mantuku......# Ibu itu kini
menoleh kepada Han Le, napasnya memburu,
#Han Le...... berbahagalah...... kalian......# dan tubuhnya terkulai, akan
tetapi pada saat itu Bu Beng Kwi mencengkeram pundaknya dan mengguncangnya.
#Sheila......! Tunggu......!# Aneh sekali. wanita yang sudah di ambang kematian
itu membuka lagi matanya, memandang kepada Koan Jit dan berbisik,
#Marilah...... marilah...... suamiku......# Dan kembali ia terkulai dan napasnya
terhenti.
#Sheila...... tunggu aku......!# Koan Jit berteriak dan dia muntah darah, lalu
terkulai dan tewas seketika.
#Ibuuu......! Suhuuu......!# Han Le merangkul mereka dan pemuda inipun tak
sadarkan diri. Dia merasa menyesal bukan main mengingat betapa kematian dua
orang yang disayang dan dihormatinya ini disebabkan oleh dia! Kalau saja dia
tidak minggat meninggalkan mereka! Kalau saja dia tidak menjadi panglima Tai
Peng. Belum tentu ibu dan gurunya tewas.
Ketika Han Le sadar kembali, Yu Bwee yang menghiburnya. Hanya gadis ini yang
berhasil mengajaknya melepaskan kedua jenazah itu dari tempat berbahaya itu. Tan
Bun Hong dan Thio Eng Hui juga merasa terharu dan mereka pun berkenalan dengan
Han Le dan Yu Bwee, menjadi sahabat karib. Ong Siu Coan memegang janjinya. Para
pendekar itu bersama sisa pasukan rakyat tidak diganggu sampai mereka mengangkut
semua mayat dari teman-teman mereka keluar dari daerah itu. Setelah selesai
mengubur jenazah ibunya dan gurunya, Han Le lalu bersama Yu Bwee ikut Bun Hong
dan Eng Hui, menghadap kedua orang suhengnya, yaitu Ceng Kok Han dan Li Hong
Cang. Dua orang pemimpin pejuang itu merasa berduka mendengar berita dari sute
mereka bahwa suhu mereka telah tewas dalam pertempuran.
#Ibuku juga tewas tertembak, dan suhu meninggal dunia dalam keadaan gagah
perkasa. Beliau mengorbankan nyawanya demi keselamatan kami berempat yang sudah
terancam bahaya maut,# kata Han Le kepada dua orang suhengnya.
#Sute, syukurlah kalau engkau telah sadar akan penyelewengan Tai Peng dan
melihat betapa gagah perkasanya mendiang suhu, kami yakin bahwa engkaupun tentu
akan mengikuti jejaknya. Maukah engkau, seperti para pendekar lainnya, bergabung
dengan kami untuk menghadapi Tai Peng dan menghancurkannya?# tanya Ceng Kok Han
kepada pemuda itu.
#Tentu saja, Ceng-suheng. Memang sejak dahulu aku bercita-cita untuk menjadi
pejuang, seperti mendiang ayahku, seperti mendiang guruku. Setelah mengalami
sendiri, baru aku yakin bahwa Tai Peng telah menyeleweng menjadi penjahatpenjahat
yang bukan membela rakyat, melainkan menindas rakyat jelata dengan
kedok perjuangan. Akan tetapi aku masih mempunyai suatu urusan pribadi yang akan
kuselesaikan lebih dulu, suheng. Setelah itu pasti aku akan datang untuk
membantu gerakan suheng dan para pendekar pembela rakyat.#
Setelah memenuhi upacara berkabung karena kematian suhunya dan ibunya, Han Le
pergi bersama Yu Bwee, mengunjungi rumah orang tua Yu Bwee seperti yang diminta
gadis itu kepadanya. Yu Kiang dan Ceng Hiang tentu saja menjadi girang bukan
main ketika mereka melihat pulangnya Yu Bwee, akan tetapi mereka merasa terheran
melihat puteri mereka itu pulang bersama seorang pemuda tampan. Ketika melihat
pemuda itu, Ceng Hiang dan suaminya sudah dapat menduga bahwa tentu inilah
pemuda yang pernah diceritakan oleh puteri mereka sebagai putera mendiang Gan
Seng Bu itu. Diam-diam mereka mereka merasa tidak senang bagaimana puteri
mereka, seorang gadis, berani mengajak pulang seorang pemuda! Akan tetapi mereka
menahan sabar dan membalas penghormatan Han Le yang bersama Yu Bwee menghadap
mereka dengan sikap hormat.
#Ayah dan ibu, inilah saudara Gan Han Le yang bersama aku baru saja mengalami
peristiwa hebat dan baru saja lolos dari maut karena mengalami hal yang amat
hebat, ayah dan ibu. Bahkan dalam peristiwa ini, Gan-toako berhasil menewaskan
sang permaisuri raja Tai Peng, dan kami semua kemudian berhasil membunuh Lee
Song Kim. Akan tetapi Gan-toako juga kehilangan ibu kandungnya dan gurunya yang
tewas dalam pertempuan itu.# Mendengar ucapan ini, Ceng Hiang dan Yu Kiang
terkejut bukan main. mereka tidak menduga akan terjadi hal yang sedemikian
hebatnya.
#Aih, telah terjadi peristiwa yang demikian hebatnya?# tanya Ceng Hiang sambil
memandang Han Le.
#Kami telah mendapatkan kembali barang-barang yang dirampok pasukan Tai Peng,
dan menurut penuturan seorang penduduk, yang mengembalikan adalah seorang
perwira muda Tai Peng berpakaian putih. Engkaukah orangnya yang melakukan itu,
orang muda?# Han Le merasa malu untuk menjawab dan untung terasa olehnya bahwa
Yu Bwee segera menjawab pertanyaan ibunya itu.
#Benar sekali, ibu. Gan-toako inilah yang mengembalikan barang-barang rampokan
itu. Gan-toako menjadi panglima pasukan Tai Peng karena tertipu. Dia ingin
berjuang dan dia mengira bahwa Tai Peng merupakan pasukan pejuang yang gagah.
Baru setelah dia melihat sepak terjang anak buah Lee Song Kim, dia menyadari dan
dia lalu membalik dan menentang Lee Song Kim sehingga dikeroyok. Aku membantunya
dan kami lalu ditangkap.# gadis itu dengan panjang lebar lalu menceritakan
segala yang telah terjadi, betapa mereka ditawan, ia hampir diperkosa akan
tetepi tertolong oleh munculnya dua orang pendekar muda, yaitu Tan Bun Hong dan
Thio Eng Hui. Betapa kemudian di pihak Tai Peng muncul sang permaisuri dengan
pasukannya sehingga mereka terkepung dan terancam bahaya. Akan tetapi Han Le
telah berhasil menewaskan sang permaisuri dan membebaskannya dari ancaman maut.
Kemudian ia mencritakan tentang munculnya guru dan ibu Han Le yang membawa
pasukan pejuang sehingga terjadi pertempuran yang menewaskan Lee Song Kim, akan
tetapi ibu dan guru Han Le terluka parah.
#Kemudian muncul Raja Tai Peng sendiri, ibu! Dia membawa pasukan besar dan kami
semua tentu celaka, terbunuh atau setidaknya tertawan kalau saja tidak terjadi
hal yang amat luar biasa!#
#Hemm, apakah yang telah terjadi?# tanya Ceng Hiang dan Yu Kiang dengan hati
tertarik dan tegang. Pengalaman puteri mereka memang amat menegangkan dan
berbahaya dan kini mereka memandang kepada Han Le dengan sinar mata kagum dan
suka.
#Locianpwe yang menjadi guru Gan-toako itu, yang telah terkena tembakan dan
terluka parah, tiba-tiba saja dapat menerjang dan menawan Raja Tai Peng,
mengancamnya dan mengundurkan semua pasukan Tai Peng. Dan ternyata locianpwe itu
dapat menguasai Raja Tai Peng yang kelihatan terkejut dan sudah mengenalnya
baik-baik, bahkan memenuhi permintaannya sehingga kami semua dibebaskan!#
#Ah, Gan Han Le, siapakah gurumu itu dan apa hubungannya dengan Raja Ong Siu
Coan?# Han Le menjawab,
#Suhu bernama Koan Jit dan beliau adalah suheng dari Raja Tai Peng.#
#Ahhh......!# Ceng Hiang tekejut bukan main.
#Aku mendengar bahwa tokoh yang bernama Koan Jit telah meninggal dunia, ketika
dia menyelamatkan para pendekar pemimpin pejuang......# Suami isteri itu
mengangguk-angguk.
#Jadi engkau bahkan telah membunuh permaisuri Raja Tai Peng? Ia bernama Tang Ki
dan dahulu pernah menjadi sahabat baikku, bahkan kami seperti saudara
saja......#
#Ibu! Ia jahat sekali, juga amat lihai. Aku dikeroyoknya bersama dua orang
wanita lainnya yang juga lihai. Aku sudah terluka dan tentu tewas di tangan
permaisuri itu kalau saja Gan- toako tidak cepat merobohkannya dengan tembakan
pistolnya. Ceng Hiang mengangguk-angguk.
#Aku sudah mendengar betapa ia kini menjadi permaisuri Raja Tai Peng dan
membantu suaminya yang telah menyeleweng. Engkau berhutang budi kepada pemuda
ini......#
#Bukan hanya sekali, ibu.#
#Hemm, dan apa maksudmu mengajak dia datang menghadap kami?# Wajah kedua orang
muda itu menjadi merah.
#Ibu, kami berdua telah bertemu muka dengan kedua bengcu Ceng Kok Han dan Li
Hong Cang yang menjadi suheng dari Gan-toako.# Kembali Ceng Hiang tercengang,
tak disangkanya bahwa pemuda yang jelas menarik hati puterinya ini adalah sute
dari dua orang pemimpin rakyat yang amat terkenal itu, terkenal pula di kalangan
pemerintahan karena dua orang pendekar itu melakukan gerakan menentang Tai Peng
dan tidak segan-segan bekerja sama dengan pemerintah. Dua orang itu bagi
pemerintah bukan merupakan pemberontak, melainkan pendekar-pendekar yang bahkan
dianggap menguntungkan pemerintah. Rasa suka dan kagumnya terhadap Han Le
bertambah.
#Lalu, apa maksud dia ikut menghadap kami?# desaknya pula.
#Ibu, kami berdua sudah bersepakat untuk membantu perjuangan rakyat menentang
pemberontak Tai Peng yang jahat itu. Sebelum itu, aku ingin pulang dan
memberitahukan kepada ibu dan ayah, dan...... dan...... Gan-toako ikut
karena...... karena# Gadis itu merasa sukar untuk melanjutkan ceritanya. melihat
ini, Han Le merasa kasihan dan diapun menyambung dengan suara yang halus dan
hati-hati.
#Harap paman dan bibi memaafkan saya, sesungguhnya, saya ikut menghadap ke sini
sehubungan dengan pesan terakhir dari ibu saya sebelum beliau meninggal dunia.#
#Pesan terakhir ibumu? Lalu apa pesan itu?# Ceng Hiang bertanya. Kini Han Le
yang tidak dapat melanjutkan keterangannya karena dia merasa sungkan sekali. Dan
Yu Bwee yang kini menolongnya.
#Ibu, sebelum ibu kandung Gan-toako meninggal dunia, beliau menjodohkan kami
dan..... dan saya sudah menyetujuinya. Saya tidak tega untuk menolak
permintaannya terakhir itu......# gadis itu menundukkan muka yang menjadi merah.
Ceng Hiang mengerutkan alisnya, diam-diam ia merasa geli menyaksikan tingkah
polah kedua orang muda itu.
#Bwee-ji (anak Bwee), jadi engkau mau menjadi jodoh Gan Han Le ini hanya karena
ingin memenuhi permintaan terakhir dari ibunya? Tidak ada alasan lain?#
#Sungguh aneh dan tidak baik sekali kalau perjodohan dilakukan hanya karena
tidak tega menolak permintaanseorang yang mau meninggal dunia. Apakah engkau
ingin mengorbankan seluruh kehidupanmu hanya untuk itu?# kata pula Yu Kiang.
#Ibu, ayah, tentu saja bukan hanya untuk itu, akan tetapi kami...... kami
berdua...... telah saling setuju......#
#Paman dan bibi, saya telah berani lancang jatuh cinta kepada adik Yu Bwee,
harap ji-wi (kalian) sudi memaafkan saya.# Gan Le menyambung, tidak ingin
melihat Yu Bwee sendirian saja menghadapi keadaan yang membuat mereka merasa
kikuk dan rikuh itu. Suamii isteri itu saling pandang dan merekapun tersenyum.
melihat ini, Yu Bwee lalu merangkul ibunya.
#Ibu dan ayah...... setuju, bukan?#
#Tentu saja kami setuju kalau kalian berdua sudah saling mencinta,# kata Yu
Kiang.
#Akan tetapi kami berdua tidak akan menikah sebelum Tai Peng dapat dihancurkan!#
kata Yu Bwee dan Han Le mengangguk tegas menyetujui.
#Baiklah, akan tetapi, Han Le. Kami setuju dengan satu syarat, yaitu kalian
boleh membantu gerakan pasukan rakyat untuk menghancurkan Tai Peng. Setelah itu,
kalau timbul perang antara para pejuang dengan pemerintah, kalian tidak boleh
mencampuri. Tentu engkau dapat memaklumi perasaan kami,# kata Ceng Hiang.
Han Le mengangguk. Dia mengerti. Bagaimanapun juga, ibu gadis yang dicintanya
ini adalah keturunan Mancu sehingga tentu amat tidak enak kalau kelak dia
sebagai mantunya ikut memusuhi Bangsa Mancu! Setelah tinggal di dusun itu selama
tiga hari, Han Le dan Yu Bwee berangkat, kembali ke perbatasan untuk membantu
perjuangan pasukan rakyat yang dipimpin oleh Ceng Kok Han dan Li Hong Cang,
bergabung dengan para pendekar, di bawah pimpian Ceng Kok Han. Pasukan rakyat
yang dipimpin Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, dibantu oleh para pendekar, makin
lama menjadi semakin kuat karena para petani banyak yang membantu dan masuk
menjadi sukarelawan. Makin hebat pasukan ini menyerang kedudukan Tai Peng dari
segala penjuru.
Sebaliknya, setelah kematian permaisurinya, Tang Ki, dan panglimanya, Lee Song
Kim dan anak buahnya, kedudukan Tai Peng menjadi lemah. Ong Siu Coan semakin
aneh-aneh tindakannya, semakin gila dan tidak mampu lagi mempertahankan
kekuatannya yang dahulu. Apalagi para perwiranya melakukan penyelewenganpenyelewengan,
hanya mengejar kesenangan sendiri saja dan tidak setia lagi
kepada Tai Peng. Oleh karena itu, hantaman-hantaman yang dilakukan oleh pasukan
rakyat itu membuat pasukan Tai Peng mundur terus dan kedudukan mereka menjadi
semakin lemah. sedikit demi sedikit, daerah yang dikuasai pasukan Tai Peng dapat
direbut oleh pasukan pejuang rakyat, dan pasukan itu terpaksa mengundurkan diri
ke Nan-king, kotaraja mereka.
Akhirnya, Nan-king dikepung oleh pasukan pejuang rakyat yang semakin kuat itu
karena kepercayaan rakyat menjadi semakin besar terhadap pasukan ini. Harga diri
rakyat diangkat, kebanggan mereka bangkit karena yang kini menyerang Tai Peng
bukan pasukan Kerajaan Mancu, melainkan pasukan rakyat jelata. Melihat ini,
orang-orang Barat tidak tinggal diam pula. Mereka memang waspada dan cerdik, dan
dapat mempergunakan setiap kesempatan demi keuntungan mereka. Mereka melihat
betapa lemahnya Tai Peng, oleh karena itu, untuk menyenangkan hati pemerintah
Mancu dan juga rakyat, mereka lalu membantu gerakan pasukan rakyat itu. Seorang
jenderal mereka, Jenderak Gordon, terjun menjadi penasihat dan pelatih pasukan
sejata api yang disumbangkan oleh orang kulit putih kepada pasukan rakyat
pejuang.
Akhirnya, pasukan Tai Peng dapat dihancurkan dan pada tahun 1864, kotaraja Nanking
dikepung. Sebelum kotaraja ini jatuh, lebih dahulu terjadi peristiwa yang
semakin melemahkan perlawanan Tai Peng, yaitu matinya Raja Ong Siu Coan! Raja
gila ini akhirnya mati membunuh diri karena putus harapan.Setelah dia meninggal
dunia karena membunuh diri, pertahanan kotaraja menjadi kacau dan lemah,
semangat para pasukannya hampir padam dan dengan mudah kotaraja Nan-king
diduduki pasukan rakyat pejuang. Habislah sudah riwayat Tai Peng yang cukup
menggemparkan itu. Menurut catatan sejarah, pasukan rakyat yang dipimpin oleh
dua orang pemimpin rakyat ini, bukan hanya berhasil menghancurkan Tai Peng,
melainkan memadamkan pemberontakan-pemberontakan lainnya, di antaranya
pemberontakan Nian-fei yang dipadamkan pada tahun 1867, bahkan pemberontakan
bangsa Turki yang dipimpin Yakub Beg juga dapat dihancurkan dalam tahun 1877.
Akan tetapi, setelah semua pemberontakan dapat dihancurkan, terjadi perbedaan
pendapat antara Ceng Kok Han dan Li Hong Cang, Ceng Kok Han tidak mau
melanjutkan perjuangan dan tidak mau mengganggu pemerintah Ceng (Mancu) lagi.
Ceng Kok Han membubarkan pasukannya. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan Li
Hong Cang. Pendekar ini mempetahankan pasukannya, bahkan kelak pasukannya akan
memegang peranan penting dalam sejarah Cina, bahkan memiliki saham besar sekali
dalam pendirian negara republik dan jatuhnya Kerajaan Mancu kelak. Setelah Tai
Peng jatuh, para pendekar banyak yang mengundurkan diri, termasuk Han Le dan Yu
Bwee. Juga Tan Bun Hong dan Thio Eng Hui, Dua pasangan ini mengundurkan diri
lalu menikah dan selanjutnya hidup dengan tenteram tanpa mencampuri lagi urusan
perang.
Bagaimana dengan Ibu Suri Cu Si? Janda ini sungguh luar biasa sekali. Biarpun
dahulu ia hanya seorang selir, akan tetapi kini ia menjadi seorang yang paling
berkuasa di dalam Kerajaan Mancu dan dengan hati membaja dan otak yang amat
cerdik, ia mampu mempertahankan kedudukannya itu sampai matinya! Setelah Tai
Peng jatuh, ia masih tetap memegang kendali Kerajaan Mancu selama empat puluh
tahun lagi karena ia meninggal dalam tahun 1908! Bagaimana tercela sekalipun
jalan hidupnya, namun tak seorangpin dapat menyangkal bahwa Cu Si merupkan
seorang wanita luar biasa sekali, menguasai negara yang sedemikian besarnya
dengan rakyat sedemikian banyaknya, selama hampir setengah abad, atau kurang
lebih empat puluh tujuh tahun ia menjadi orang nomor satu di negaranya!
Demikianlah, cerita ini berakhir sampai di sini dengan catatan pengarang bahwa
betapapun mulianya sebuah perjuangan dimulai, kalau kelanjutannya meninggalkan
jalan kebenaran dan keadilan, seperti yang dilakukan Tai Peng, akhirnya akan
mengalami kehancuran pula. Berbahagialah bangsa yang dipimpin oleh patriotpatriot
yang dengan murni memegang teguh jalan kebenaran dan keadilan seperti
yang dicita-citakan pada awal perjuangan.Semoga ada manfaatnya, di samping
sebagai bacaan hiburan di kala senggang.
T.A.M.A.T
Lereng Lawu, akhir Mei 1981
ardi4n, 16 Juni jam 9:13 am
http://indozone.net/literatures/literature/1755

Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru