Selasa, 31 Juli 2018

cersil Pengemis Tua Aneh Tamat

======
baca juga

Ouw Bin Hiap Kek
Asmaraman S. Kho ping ho
Pengemis Tua Aneh
GEDUNG Lie-wangwe, seorang hartawan bernama Lie Ti, merupakan rumah terbesar
dan terindah di kota Bi-ciu. Temboknya tebal dan tinggi, sedangkan pintunya terbuat
dari kayu gunung yang kuat dan diukir bagus sekali. Tiang-tiang bangunan yang
berbentuk bulat dicat aneka warna dan diukir-ukir pula. Di depan rumah terdapat
emper yang lebar yang berlantai batu licin dan bersih.
Lie Ti adalah seorang hartawan yang lahir kaya. Telah beberapa keturunan keluarga Lie di
kota Bi-ciu terkenal kaya karena majunya perdagangan mereka. Mereka berdagang hasil
bumi dan memiliki banyak rumah dan tanah. Keluarga Lie bukan saja merupakan keluarga
terkaya di kota itu, juga merupakan keluarga tertua. Bahkan banyak orang berkata bahwa
pendiri kota Bi-ciu adalah nenek moyang Lie Ti sendiri.
Lie Ti suami isteri mempunyai dua orang anak. Keduanya laki-laki, yang pertama bernama
Lie Kiat dan yang kedua bernama Lie Bun dan pada waktu itu kedua kakak beradik itu baru
berusia tiga belas dan sepuluh tahun.
Pada suatu hari di musim panas, ketika matahari membanggakan kekuasaannya dan
memuntahkan cahaya dan panas ke muka bumi, seorang pengemis duduk meneduh di
emper gedung Lie-wangwe. Ia duduk bersandar tembok dan lantai batu yang dingin
itu, membuat ia duduk dengan enaknya dan perlahan-lahan datang rasa kantuk, hingga
tak lama kemudian pengemis tua itu melenggut-lenggut tidur ayam sambil bersandar
tembok. Kedua kakinya diselonjorkan dan sebatang tongkat bambu melintang di atas
pahanya.
Pengemis itu sudah tua, sedikitnya berusia lima puluh tahun. Pakaiannya penuh
tambalan-tambalan yang beraneka warna itu telah membuat pakaian itu tampak lucu
karena sukar dicari lagi mana kain aslinya. Karena tambalan itu dilakukan dengan
sembarangan dan bertumpuk-tumpuk, maka bajunya itu menjadi sangat tebal.
Rupanya selama dipakai, baju itu tak pernah dicuci, terbukti dari warnanya yang
kegelap-gelapan, kaku, dan mengeluarkan bau apek. Pengemis itu mengenakan celana
hitam yang tebal juga tapi panjangnya sampai batas lutut. Kakinya yang telanjang dari
lutut ke bawah tampak kurus kering dan betisnya hanya merupakan dua batang tulang
terbungkus kulit seperti kaki burung kuntul. Ia tidak pakai sepatu dan telapak kakinya
yang selalu beradu dengan tanah dan batu-batu yang panas menjadi tebal dan kebal.
Rambut di kepala pengemis itu ganjil dan berbeda dengan orang biasa. Agaknya ia
gunakan pisau untuk memotong rambut sebatas telinga hingga rambut itu menjadi
kacau balau dan ngacung kesana sini. Tapi yang aneh, biarpun pakaiannya kotor, kulit
tubuhnya dari muka sampai ke kaki dan lengan tangannya tampak bersih sekali seperti
orang yang baru habis mandi. Juga muka yang kurus dengan mata tertutup dan mulut
ternganga itu tercukur bersih dan kulitnya kemerah-merahan.
Pada hari sepanas itu jarang tampak orang keluar pintu dan di jalan depan gedung Liewangwe
itu, hanya kadang-kadang saja kelihatan orang berjalan kaki tergesa-gesa
karena panas. Tapi tiap orang yang lewat di situ pasti menengok dan melihat ke arah
pengemis itu dengan heran. Bukan keadaan pengemis itu yang menarik perhatian
mereka, karena sesungguhnya tak seorangpun pernah melihatnya namun tetap saja ia
seorang pengemis seperti yang banyak sekali terlihat di mana-mana. Yang membuat
mereka terheran-heran adalah keberanian pengemis itu.
Lie-wangwe selain terkenal hartawan juga terkenal dermawan. Tapi semua orang tahu
bahwa hartawan itu sekali-kali tidak suka diganggu. Tak seorangpun boleh dengan
sesuka hati saja duduk diemper gedungnya tanpa keperluan penting. Dan sekarang di
situ duduk seorang pengemis kotor yang tidak hanya duduk, bahkan melenggut
seenaknya seperti sedang duduk di atas pembaringan dalam kamar sendiri. Hal ini
merupakan kejadian baru yang dianggap aneh dan luar biasa, maka sekiranya hari tak
sepanas itu, tentu mereka akan berhenti dan menanti disitu untuk melihat apa yang
akan terjadi selanjutnya dengan pengemis aneh itu. Tapi hari terlampau panas dan
pintu yang tebal dari gedung hartawan Lie tertutup rapat hingga mungkin takkan ada
pelayan yang tahu tentang pengemis itu sampai ia pergi lagi dari situ.
Tapi ternyata sampai hari telah menjadi sore, pengemis tua itu tetap duduk melenggut
di situ. Setelah matahari mulai menyingkir ke barat dan udara mulai didinginkan oleh
angin senja, orang-orang yang melihat bahwa pengemis itu masih tetap berada di
emper gedung Lie-wangwe, mulai tertarik dan berdiri di luar gedung. Sebentar saja di
situ berkerumun lebih dari sepuluh orang, mempercakapkan pengemis tua yang ganjil
itu sambil menduga-duga. Tapi yang menjadi percakapan masih tetap enak saja
melenggut.
Tiba-tiba pintu yang berat itu terbuka dari dalam. Telah tiba waktunya pelayan kebun
membersihkan emper sebagaimana yang biasa dilakukannya tiap hari dua kali pagi
dan sore. Alangkah heran dan marahnya melihat betapa seorang pengemis tua enakenak
duduk dan mengantuk di situ.
Segera ia menghampiri dan dengan kasar didorongnya bahu pengemis tua itu sambil
membentak.
“Hei! Enak saja kau duduk di sini, membikin kotor saja. Hayo pergi sebelum
kulempar kau keluar!”
Pengemis yang didorong bahunya itu roboh terguling. Tapi ia tidak bangun bahkan
kini meringkuk, bersungut-sungut bagaikan orang ngelindur, lalu menggunakan kedua
lengan sebagai bantal dan sebentar saja terdengar suara dengkurnya yang keras.
Kelihatannya ia tidur nyenyak dan nikmat sekali. Tentu saja hal itu membikin para
penonton tertawa geli. Tukang kebun itu berpaling dan baru sekarang ia melihat
bahwa pengemis tua itu telah menjadi tontonan orang. Ia merasa gemas karena
seakan-akan ia yang ditertawakan. Tapi ia tahan marahnya lalu bertanya kepada
orang-orang itu.
“Sudah lamakah tikus tua ini tidur di sini?”
“Lama? Ah, semenjak tadi pagi!” jawab seorang yang sengaja melebih-lebihkan
untuk menambah panas isi perut tukang kebun itu.
“Kurang ajar!” seru tukang kebun yang lalu menghampiri lagi tubuh kurus kering
yang rebah miring sambil mendengkur itu. Ia pegang lengan kurus itu dan menariknya
keras. Maksudnya hendak menarik dan menyeret pengemis itu keluar dari situ.
Tapi siapa sangka. Tukang kebun yang bertubuh kuat itu merasa seakan-akan ia
menarik cabang pohon yang besar sehingga sedikitpun ia tidak dapat menggerakkan
tubuh pengemis itu yang masih saja mendengkur, sedikitpun tak merasa terganggu
oleh tarikan tukang kebun itu. Kembali para penonton tertawa sambil mencela
kelemahan tukang kebun itu.
“Tubuhnya saja besar, tapi tenaga tidak punya!” mencela seorang kurus.
“Nafsu besar tenaga kurang!” menyindir seorang gemuk.
Bukan main mendongkol dan marahnya tukang kebun itu. Dengan kedua tangan ia
pegang lengan kiri pengemis itu dan menarik sekuat tenaga. Tapi sia-sia saja, tubuh
pengemis itu seakan-akan melengket pada lantai.
Tiba-tiba saja lengan pengemis yang dipegang dan ditarik-tarik oleh kedua tangan
tukang kebun itu terlepas hingga si tukang kebun tak ampun lagi terjengkang ke
belakang, dari besarnya tenaga tarikannya sendiri. Setelah terlepas, ia terguling-guling
keluar dari emper.
Riuh rendah sorak para penonton yang menganggap tukang kebun itu lucu sekali.
Sedangkan tukang kebun yang sial itu perlahan-lahan merangkak bangun dan merabaraba
belakang kepalanya yang benjol karena terbentur batu. Kedua matanya terbelalak
heran karena ia sama sekali tidak mengerti mengapa lengan yang dipegang dan
dibetotnya tadi tiba-tiba bisa menjadi begitu licin hingga terlepas.
Suara tertawa dan ejekan akhirnya membuat ia sadar dan makin gemas. Tiba-tiba
timbul dugaannya bahwa pengemis itu tentunya seorang yang mengerti ilmu siluman
atau boleh jadi pengemis ini benar-benar siluman yang suka makan orang! Maka ia
segera berkata kepada orang-orang yang berada di situ.
“Hayo, kawan-kawan. Siapa yang bisa seret pengemis ini keluar emper, akan kuberi
uang lima chi!”
Orang-orang tertawa mendengar ini dan mengejek ketidak becusan tukang kebun itu.
“Siapa yang sudi uangmu?”
“Kau juga tidak sanggup tarik dia, maka kau katakan demikian,“ si tukang kebun
menyindir.
“Tidak sanggup? Tanpa kau beri uangpun aku akan dapat keluarkan dia, kau lihat
saja.”
Orang yang berkata itu bertubuh tinggi besar dan tampaknya memang kuat sekali. Ia
ulur tangan dan pegang lengan pengemis yang masih mendengkur keras itu, lalu
dengan keras ia membetotnya. Tapi heran, sedikitpun tubuh pengemis itu tidak dapat
tertarik. Dengan muka merah dan penasaran karena terdengar suara tukang kebun
yang tertawa bergelak untuk membalas dendam dan menertawakannya, orang itu
mencoba lagi dengan kedua tangan, tetapi tetap sia-sia.
Hal ini tentu saja mendatangkan keheranan besar di kalangan penonton. Dengan
beramai-ramai mereka maju dan membantu menarik-narik tubuh pengemis itu, tapi
belasan orang itu ternyata tak berdaya sama sekali, seakan-akan yang mereka tarik itu
bukan tubuh seorang pengemis tua, tapi sebuah patung besi yang beratnya ribuan kati!
Pada saat itu, seorang pemuda tanggung berlari-lari dari dalam karena mendengar
suara ribut-ribut di luar gedung itu. Ia adalah Lie Kiat, putera Lie-wangwe yang
sulung.
Pemuda ini berwajah tampan dan mukanya putih seperti dibedak, bibirnya merah dan
sepasang matanya bersinar cerdik. Melihat banyak orang menarik-narik seorang
pengemis tua, ia bertanya dengan suara keras.
“He, kalian mengapa bikin ribut di sini? Dan gembel tua ini mengapa tidur dan bikin
kotor emperku?”
Semua orang melihat Lie Kiat segera mundur dan memberi hormat, sambil mulut
bergerak minta maaf.
Tukang kebun segera maju dan menceritakan duduk perkaranya, lalu menutup
ceritanya dengan kata-kata, “Pengemis tua ini kurang ajar sekali, kongcu. Barangkali
dia siluman jahat. Buktinya orang begini banyak tidak sanggup menarik bangun dia.”
Setelah memandang pengemis tua itu sejenak, mata Lie Kiat bersinar dan otaknya
yang cerdik segera mendapat akal. Ia berkata kepada orang banyak dengan mulut
tersenyum sindir.
“Kalian besar juga besar kerbau. Masak untuk mengusir seorang gembel tua saja tidak
becus? Lihat aku, tanpa menyentuh lengannya aku seorang diri sanggup mengusirnya
dari sini!”
“Eh, kongcu, jangan main-main. Ia kuat sekali, mungkin dia siluman suka makan
orang,” si tukang kebun mencegah takut.
“Tutup mulutmu, pengecut!” Lie Kiat lalu lari ke dalam.
Orang banyak merasa heran dan penonton bertambah banyak. Orang-orang yang tahu
duduk peristiwanya ribut menceritakan kepada yang baru datang. Semua ingin sekali
melihat bagaimana Lie Kiat akan mengusir pengemis bandel itu.
Tak lama kemudian tampak Lie Kiat mendatangi dari belakang. Di tangan kanannya
terdapat sebuah ceret air besar dan dari mulut ceret itu tampak uap mengepul ke atas.
Orang-orang yang dapat menduga isi ceret itu memuji kecerdasan pemuda tanggung
ini karena isi ceret itu adalah air mendidih yang agaknya hendak digunakan oleh Lie
Kiat untuk menyiram dan mengusir si pengemis tua.
Lie Kiat angkat tinggi ceretnya dan berkata kepada orang banyak. “Lihat, apakah dia
akan tetap membandel terhadapku?”
Kemudian ia membentak kepada pengemis tua itu. “Eh, gembel tua. Hayo kau bangun
dan menggelinding pergi. Kalau tidak, aku akan membuatmu menjadi kepiting
rebus!”
Orang banyak tertawa mendengar kelakar ini, tapi si pengemis agaknya tidak
mendengar dan tetap mendengkur.
Lie Kiat menjadi tidak sabar dan ia tuangkan air mendidih itu sedikit ke atas tubuh si
pengemis. Tapi sebelum air menimpa tubuhnya, pengemis tua itu tiba-tiba seperti
orang yang ngelindur dan berguling ke kiri hingga air itu tumpah di lantai, sedikitpun
tidak mengenai tubuhnya.
Lie Kiat menjadi penasaran dan kini ia tuangkan lagi air mendidih keluar dari mulut
ceret ke arah kepala pengemis. Tapi kembali pengemis tua itu menggelinding kesana
kemari seperti orang ngelindur. Matanya tetap meram, mulutnya mengigau tak tentu
maksudnya, tubuhnya bagai tak sengaja bergulingan, tapi dengan tepat sekali
menghindari serangan air mendidih yang menyiramnya.
Pada saat itu dari dalam gedung keluar seorang anak laki-laki berlari-lari. Ketika
dilihatnya Lie Kiat menyiram tubuh seorang pengemis tua dengan air panas
sedangkan tubuh itu tampak bergulingan seperti orang kesakitan, anak tanggung itu
berteriak keras.
“Twako, jangan berlaku kejam!” dan anak itu segera mencoba untuk merampas ceret
dari tangan Lie Kiat.
Ternyata anak itu adalah Lie Bun, putera kedua dari keluarga Lie. Berbeda dengan
Lie Kiat yang tampan dan ganteng, Lie Bun berwajah buruk karena ketika kecil kulit
mukanya dimakan penyakit cacar. Kulit mukanya menjadi hitam dan bopeng, tapi
sepasang matanya bersinar lembut.
Ketika melihat adiknya datang menghalangi perbuatannya terhadap pengemis tua itu,
Lie Kiat menjadi marah.
“Pergi kau, topeng setan!” bentaknya. Jika sedang bertengkar atau marah kepada
adiknya, Lie Kiat selalu panggil adiknya dengan nama poyokan “topeng setan”.
Tapi Lie Bun tetap hendak merampas ceret itu sambil berkata tetap. “Kesinikan ceret
itu, jangan kau ganggu orang tua tak berdaya.”
Lie Kiat tidak mau memberikan ceretnya hingga kedua kakak beradik itu berebut dan
ceret berisi air panas itu ditarik sana sini. Ceret itu menjadi miring dan airnya tumpah
keluar menyiram muka Lie Bun!
Tapi pada saat berbahaya itu, mendadak pengemis tua yang tadinya tidur mendengkur
loncat dan menyambar tubuh Lie Bun hingga anak itu terhindar dari bahaya air
mendidih yang akan merusak mukanya yang sudah rusak. Semua orang berseru kaget
tapi merasa bersyukur ketika melihat bahwa Ji-kongcu telah selamat. Orang-orang
biasa menyebut Lie Bun Ji-kongcu atau kongcu kedua.
Tapi pada saat itu dari dalam gedung terdengar salak anjing yang ramai karena tiga
ekor anjing yang besar dan galak berlari keluar menyerbu. Lie Kiat telah berada di
belakang ketiga anjing itu sambil menyuruh anjing-anjing itu menyerang si pengemis
tua.
“Hayo, Belang! Gigit orang tua itu! Naga, Harimau, serbu pengemis itu!”
Ketiga anjing yang bernama Belang, Naga dan Harimau itu lari maju dan bingung
melihat demikian banyak orang, karena mereka tidak mengerti harus menyerang
siapa.
“Hush! Belang, Harimau, Naga... Pergi kau!” Lie Bun yang berada di situ
menghadang dan dengan suara keras memerintah binatang-binatang itu kembali.
Ketiga anjing itu makin bingung karena menghadapi dua macam perintah dari dua
tuan muda itu, maka mereka hanya berputar-putar di emper sambil menyalak-nyalak
keras.
Lie Kiat menjadi marah dan mendorong adiknya hingga roboh. Kemudian ia
memerintah lagi. “Hayo, serbu! Gigit pengemis ini!”
Tapi ketiga anjingnya masih saja bingung dan menyerang ke arah orang banyak
hingga orang-orang menjadi panik dan lari berserabutan.
Anjing-anjing itu makin liar melihat orang-orang berlari-lari ketakutan, maka mereka
menjadi sangat galak. Tapi tiba-tiba saja pengemis tua itu loncat dengan tongkat di
tangan kanan. Ia bergerak tiga kali dan tahu-tahu ketiga ekor anjing yang besar dan
liar itu rebah tak berkutik lagi.
Keadaan yang tadinya ramai kini menjadi sunyi. Orang-orang berhenti berlari dan
dengan tindakan kaki perlahan mereka kembali ke tempat itu dengan mata menatap
bangkai-bangkai anjing yang menggeletak di situ.
Dari kepala anjing-anjing mengalir darah dan setelah orang-orang itu dekat dan
memandang dengan penuh perhatian, mereka menjadi heran sekali. Ternyata di kepala
ketiga ekor anjing itu, tepat di tengah-tengah jidat di antara kedua mata, terdapat luka
bekas tusukan tongkat bambu pengemis itu.
Kini perhatian semua orang tertuju kepada pengemis yang aneh itu. Baru terbuka
mata mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang berkepandaian tinggi,
maka pandangan mereka terhadap pengemis tua itu berubah, kini penuh kagum dan
takut.
Lie Kiat memang anak yang bengal dan tabah, juga ia sangat cerdik. Sayang sekali
anak yang tampan ini terlalu dimanja hingga berwatak buruk, sombong dan suka
mengganggu orang. Kini melihat ketiga anjingnya binasa, ia menangis keras lalu
berlari-lari masuk sambil memaki-maki pengemis itu.
“Tolong ...... ada pengemis tua bunuh anjingku ...... tolong ....!” Demikian ia
berteriak-teriak sambil lari ke dalam. Tentu saja teriakannya ini mengejutkan orangorang
dalam gedung hingga semua pelayan keluar dan menunda pekerjaan mereka.
Juga Lie-wangwe keluar dari kamarnya ketika mendengar ribut-ribut ini. Kemudian
semua orang menuju keluar, didahului oleh Lie Kiat yang masih menangis.
Melihat bahwa kakaknya telah menimbulkan keributan, Lie Bun menjadi marah
sekali. Ia memang tahu akan kejahatan dan kenakalan kakaknya itu dan sering kali
semenjak kecilnya ia bertengkar dengan kakaknya. Tak terasa pula ia berpaling
kepada pengemis tua yang sedang memandang dengan senyum manis hingga tiba-tiba
timbul hati iba dan kasih terhadap orang tua itu. Ia maju menghampiri dan memegang
tangan kakek itu, lalu berkata perlahan.
“Jangan takut, kakek tua, biar aku yang membelamu!”
Orang-orang di situ menjadi heran melihat sikap Lie Bun dan makin besar keheranan
mereka ketika tiba-tiba pengemis tua itu gunakan tangan untuk mengelus-elus kepala
Lie Bun sambil menangis sesenggukkan. Juga Lie Bun berdongak memandang muka
pengemis yang sedang menangis sedih itu. Tapi ia tidak mengerti mengapa mulut
kakek itu tetap tersenyum, aneh betul. Belum pernah ia melihat orang menangis
sambil tersenyum.
Sementara itu, Lie Kiat sudah tiba di situ. Sambil menuding ke arah pengemis itu, ia
berkata kepada ayahnya yang menyusul di belakangnya.
“Nah, ini dia pengemis gila itu ayah! Itu lihat di sana yang menggeletak itu adalah
bangkai si Belang, Harimau dan Naga!” kemudian ia menangis lagi.
Lie Ti memandang ke arah bangkai ketiga anjing itu, kemudian ia menatap wajah
pengemis itu dengan penuh perhatian. Kebetulan pengemis itu sedang memandangnya
pula hingga pandang mata mereka bertemu. Lie Ti terkejut dan buru-buru tundukkan
mukanya karena dari kedua mata pengemis itu seakan-akan menyambar keluar cahaya
kilat yang memedaskan matanya. Ia heran melihat puteranya yang kedua masih
berdiri di dekat pengemis itu sambil memeganggi tangan kiri kakek itu.
“Lie Bun, kau sedang apa disitu?” tegur ayah itu.
“Ayah, jangan menyalahkan kakek ini, ayah!” Lie Bun berkata dengan berani sambil
memandang ke arah Lie Kiat dengan marah.
“Kenapa A Bun. Bukankah ia ganggu kakakmu dan membunuh mati ketiga anjing
kita?” tanya Lie Ti pula.
“Semua salah kami, ayah. Salah twako dan aku sendiri. Twako dan aku bertengkar
berebut ceret berisi air panas hingga ceret itu miring dan air panas yang keluar hampir
saja menyiram mukaku. Baiknya ada kakek ini yang menolongku hingga mukaku
tidak sampai tersiram air mendidih. Lalu datang ketiga anjing itu hendak mengamuk,
dan kakek tua ini hanya hendak menolong orang banyak dari amukan anjing-anjing
itu.”
“Benarkah cerita adikmu?” tanya Lie-wangwe kepada Lie Kiat.
“Be ..... benar ..... ayah.” Lie Kiat terpaksa mengangguk karena betapapun juga
adiknya telah membelanya juga. “Tapi, pengemis tua itu sejak tadi siang telah tidur di
emper kita, ayah. Ia membikin kotor tempat ini dan tidak mau disuruh pergi. Semua
orang membantu untuk menariknya keluar, tapi ia tetap berkeras tak mau pergi.
Karena itu aku ... aku ambil air ... dan ... dan ......”
“Kau gunakan untuk apa air panas itu?” Tiba-tiba Lie Ti menegur putera sulungnya
dengan suara keras.
Lie Kiat tak berani mengaku, dan tiba-tiba pengemis itu tertawa bergelak.
“Sudahlah wan-gwe, anakmu mengambil air panas hanya untuk memberi minum
padaku. Urusan anak-anak tak perlu diperpanjang, wan-gwe. Aku tadi terlampau lelah
dan di luar sangat panas, maka aku pinjam empermu sebentar untuk beristirahat. Siapa
nyana tukang kebunmu mengganggu tidurku dan memaksaku pergi. Baiknya
puteramu yang kedua ini cukup berbudi baik.” Kemudian pengemis itu tertawa
bergelak-gelak kembali.
“Meneduh di tempat orang lain perlu permisi dulu, lopeh. Kalau aku tahu lopeh perlu
mengaso, tentu saja aku akan persilahkan kau masuk saja ke dalam.”
“Ha ha ha! Kalau aku mengaso di emper mengapakah? Gedungmu begini besar,
begini mewah, empermu saja begini besar. Kurasa terlampau besar kalau kau tempati
sendiri. Apakah emper yang merupakan lebihan gedungmu yang tidak kau pakai ini
terlalu berharga untuk digunakan sebagai tempat mengaso sebentar saja oleh orang
serendah aku?”
Kedua mata Lie-wangwe memancarkan sinar marah.
“Lopeh, salahkah aku karena aku kaya? Salahkah aku kalau gedungku besar, emper
rumahku lebar? Memang aku mengadakan larangan untuk orang mengganggu
ketentraman rumahku atau membikin kotor gedungku. Kalau memang ada yang
hendak berteduh, silahkan masuk saja, tentu akan kuterima dengan baik. Tapi
janganlah gunakan paksaan untuk melanggar larangan yang telah diadakan.”
Kembali pengemis itu tertawa keras. “Kau bersemangat, wan-gwe. Pantas kedua
puteramu juga berdarah panas! Tapi kau jujur. Hmm, jarang orang kaya seperti kau
memiliki sifat baik ini!” Pengemis itu mengangguk-angguk.
“Lopeh, silahkan masuk dan duduk di dalam. Berilah kesempatan kepada kami untuk
menyatakan terima kasih kami atas pertolonganmu kepada anak kami.”
Pengemis itu angkat kedua lengannya ke atas. “Sayang, ... sayang hari telah malam.
Bukan waktunya bersenang-senang. Lain kali mungkin kau harus sediakan arak
banyak sekali untukku, wan-gwe. Nah, selamat berpisah sampai berjumpa pula!”
Tanpa menanti jawaban, pengemis tua itu angkat kaki pergi dari situ sambil menyeret
tongkatnya.
Lie Ti menegur puteranya yang sulung. “A Kiat, kau belum juga dapat mengubah
adatmu yang kasar dan nakal. Jangan kau kira aku tak dapat tahu atau menduga apa
yang telah terjadi. Anjing-anjing itu takkan dapat keluar kalau tidak ada yang
melepaskannya. Jika kau tidak ubah kelakuanmu yang sembrono ini, lain kali kau bisa
terbitkan bencana besar atas dirimu sendiri. Contohlah adikmu, dia lebih bijaksana.”
Mendapat teguran ini, diam-diam Lie Kiat merasa sakit hati dan gemas kepada Lie
Bun. Memang telah berkali-kali ia ditegur ayahnya yang memuji-muji Lie Bun. Tapi
ia tahu betapapun juga ayahnya lebih sayang padanya dari pada sayangnya pada Lie
Bun, dan hal ini menghibur hatinya yang panas dan dendam.
Malam hari itu Lie Ti tengah bercakap-cakap dengan seorang guru silat yang sengaja
didatangkan dari Lam-bu-koan untuk mengajar kedua puteranya. Guru silat itu baru
saja datang dan disambut oleh Lie Ti dengan girang. Ia telah lama kenal dengan guru
silat itu karena guru silat itu pernah menjadi pemimpin piauw-kiok atau perusahaan
asuransi pengantar barang-barang dagangan (semacam ekspedisi) yang menjadi
langganan ayahnya. Kini setelah menjadi tua, piauwsu itu yang bernama Kong Liak,
mengundurkan diri dari pekerjaannya dan untuk melewati waktu senggang, ia
menerima beberapa orang murid yang berani membayar mahal. Telah lama Lie Ti
yang juga paham ilmu silat, berniat untuk menyuruh kedua puteranya belajar silat.
Kemudian ia teringat akan Kong Liak yang segera diundangnya untuk mengajar Lie
Kiat dan Lie Bun. Kong Liak menerima undangan ini dengan gembira karena ia tahu
akan kebaikan Lie Ti. Maka sore hari itu ia tiba di gedung Lie-wangwe yang lalu
menjamunya dengan hidangan lezat dan mereka mengobrol dengan gembira sekali.
Ketika mereka berdua sedang makan minum dengan gembira, seorang pelayan datang
menyerahkan sehelai surat kepada Lie Ti yang menyambutnya dengan heran.
“Dari siapakah surat ini?” tanyanya.
“Hamba tidak tahu, loya, karena tahu-tahu surat itu sudah terletak di depan pintu luar.
Entah siapa yang menaruhnya di sana.”
Kemudian pelayan itu mengundurkan diri.
Dengan tenang Lie Ti buka lipatan surat dan membacanya.
Tiba-tiba wajahnya berubah dan keningnya berkerut. “Hm, apa artinya ini?” katanya
perlahan hingga membuat Kong Liak memandangnya. Guru silat ini kenal kesopanan
maka tadi ketika Lie-wangwe membaca surat, ia tidak mau melihatnya, hanya
melanjutkan minum arak.
Kini mendengar kata-kata Lie Ti, mau tidak mau ia tertarik juga. Tapi ia hanya
memandang, tidak berani bertanya.
“Kong-kauwsu, sungguh terjadi perkara yang aneh.”
“Apa maksudmu, Lie-wangwe?” tanya guru silat itu heran.
“Ini bacalah sendiri!”
Kong Liak menerima surat itu dan membacanya. Surat itu ditulis dengan coretan yang
bertenaga dan hanya merupakan pemberitahuan pendek saja. Sebagai seorang yang
berpengalaman, Kong Liak berlaku hati-hati dan membaca isi surat itu untuk kedua
kalinya. Surat itu berbunyi demikian,
Lie-wangwe.
Akan terjadi hal yang tak terduga malam ini. Kau dan guru silat she Kong jangan
terlalu banyak minum arak. Bersiaplah.
Surat itu tidak ditandatangani hingga tidak diketahui siapa yang menulisnya.
“Bagaimana pendapatmu, Kong-kauwsu?” Lie Ti bertanya dengan hati tidak enak,
walau sama sekali tidak merasa takut.
Untuk sesaat lamanya Kong Liak tidak dapat menjawab, hanya gosok-gosok
keningnya. Kemudian ia berkata,
“Kalau melihat gaya isi surat ini, penulisnya tak bermaksud buruk. Bahkan surat ini
dibuat untuk memberikan peringatan kepada kita. Tapi apakah yang dimaksud dengan
kejadian tak terduga itu? Apakah malam ini kau telah berjanji hendak bertemu dengan
seseorang?”
Lie Ti gelengkan kepala.
Tiba-tiba Kong Liak bertanya dan memandang tuan rumah tajam.
“Apakah wan-gwe mempunyai musuh yang kiranya malam ini hendak datang
membalas dendam?”
Murid Pengemis Sakti
LIE Ti terkejut. Ia mengingat-ingat, tapi lalu menjawab dengan suara pasti. “Selama
hidup aku belum pernah menanam bibit permusuhan dengan siapa juga. Tapi hal itu
bisa terjadi dalam dunia perdagangan hingga tidak mungkin ada yang menanam
dendam dalam hati.”
“Adakah terjadi hal-hal yang ganjil akhir-akhir ini?” Kong Liak bertanya kembali.
Melihat perhatian besar yang dicurahkan oleh guru silat itu, hati Lie Ti merasa
terhibur juga dan diam-diam ia merasa berterima kasih.
“Memang ada terjadi sesuatu, yakni kalau hal itu boleh dianggap peristiwa ganjil.
Bahkan terjadinya baru saja sore tadi sebelum kau datang.”
Ia lalu menceritakan halnya pengemis tua yang membunuh mati tiga anjingnya. Kong
Liak tertarik.
“Cerita wan-gwe kurang jelas, bisakah tukang kebun itu dipanggil untuk mengulangi
cerita ini?”
Tukang kebun itu lalu dipanggil menghadap dan dengan jelas sekali ia tuturkan
peristiwa yang baru terjadi tadi sore tadi. Setelah mendengar puas, Kong Liak lalu
menyuruh tukang kebun itu pergi. Ia mengangguk-angguk dan berkata sungguhsungguh.
“Kalau mendengar cerita tukang kebun tadi terang pengemis tua itu bukanlah orang
sembarangan. Ia tentu seorang pengembara yang berkepandaian tinggi, kalau bukan
seorang hiapkek budiman, tentu seorang penjahat yang menyamar.”
Kemudian Kong Liak kerutkan kening dan beberapa kali menghela napas. “Ah, kini
setelah mendengar cerita ini, keadaan jadi makin ruwet bagiku. Terang bahwa pada
saat ini di sekeliling kita terdapat dua pihak, yakni pihak yang bermaksud jahat dan
pihak yang bermaksud baik. Dan di pihak manakah pengemis tua itu berdiri? Dia itu
merupakan penulis surat peringatan ini ataukah sebaliknya dia yang akan
menimbulkan hal yang tak terduga sebagaimana yang dimaksud dalam surat ini?”
Kembali guru silat itu menarik napas dalam dan wajahnya menjadi muram. Nafsu
minumnya lenyap.
Namun sebaliknya Lie-wangwe dapat menetapkan hati dan kegembiraannya kembali.
Hatinya memang tabah sekali, maka ia angkat cawan araknya dan berkata.
“Ah, Kong-kauwsu, tak perlu kita pusingkan kepala karena surat begini saja.
Bagaimana kalau surat ini buatan seseorang yang hendak membuat lelucon? Hayo
minumlah arakmu, dan jangan pikirkan hal yang gila ini.”
Tapi Kong Liak cukup banyak mengalami hal-hal yang aneh dan berbahaya hingga ia
selalu waspada dan berhati-hati. Ia geleng kepala dan berkata.
“Lie-wangwe, kalau memang surat ini bohong, besok malam masih banyak waktu
bagi kita untuk minum dan bergembira. Tapi malam ini kurasa lebih baik kita berhatihati
dan menjaga keamanan. Biarlah aku menjaga di atas genteng malam ini, untuk
menjaga kalau-kalau benar datang seorang penjahat yang hendak mengganggu.”
“Tak usah repot-repot, Kong-kauwsu. Tak perlu kita menjaga di atas genteng. Aku
sudah membuat tempat penjagaan yang nyaman dan enak. Kau ikut saja nanti.”
Kong Liak tidak mau mendesak lebih jauh, dan ia terpaksa mengawani hartawan itu
makan minum sungguhpun ia batasi minum dan menjaga agar jangan sampai mabok.
Setelah kenyang dan hari telah mulai malam, Lie Ti ajak Kong Liak ke taman
belakang. Kemudian dari situ mereka loncat naik ke atas genteng rumah belakang
yang pendek.
Di dekat wuwungan yang menyambung dengan genteng rumah besar, Lie Ti buka
sebuah pintu rahasia dan mereka masuk ke loteng tersembunyi yang tak tampak dari
luar. Ketika mereka berjalan menuju ke atas melalui sebuah tangga, ternyata bahwa
loteng itu menembus ke wuwungan yang paling atas, dan di bawah genteng di atas
terdapat sebuah kamar kecil di mana telah tersedia dua buah pembaringan.
Dari tempat itu mereka dapat mengintai keadaan di atas genteng dengan jelas, karena
di situ terdapat lobang-lobang yang tertutup kaca. Dengan sembunyi di situ, mereka
dapat melihat orang-orang yang datang dari segala penjuru di atas gedung tanpa
terlihat sedikitpun oleh lawan atau musuh. Dan pada genteng yang terdekat terdapat
jendela yang dapat dibuka dari dalam hingga mudah bagi mereka untuk menyerbu
keluar kalau perlu.
Kong Liak merasa kagum dan girang sekali melihat tempat persembunyian yang
hebat dan dipasang dengan cerdik ini.
Dengan terus terang ia memuji kecerdikan hartawan itu.
“Aku bukan orang yang memiliki kepandaian silat tinggi, maka bagiku lebih aman
kalau mengintai dan menjaga dari sini,” katanya sambil tertawa.
Di tempat itu mereka dapat melanjutkan percakapan mereka dengan gembira sambil
memandang ke arah mega-mega putih yang tersorot sinar bulan purnama. Dari jendela
di atas itu mereka dapat memandang keadaan sekitar gedung hingga tak sukar bagi
mereka untuk menjaga karena jika ada orang mendatangi gedung itu melalui jalan
atas, pasti akan terlihat oleh mereka.
Lie Ti sengaja membawa arak dan pipa tembakau, hingga mereka bisa mengobrol
sambil minum arak dan isap tembakau. Hawa malam itu dingin, memang selalu pada
musim panas hawa malam sangat dingin.
Pada waktu peronda kota membunyikan tanda waktu yang kesebelas dan waktu
hampir tengah malam, Lie Ti mulai mengantuk dan beberapa kali menguap perlahan.
“Wan-gwe, kalau lelah tidurlah dulu, biarlah aku menjaga sendiri di sini!” kata Kong
Liak.
Lie Ti mengangguk. “Baik, aku memang sudah mengantuk sekali. Tapi kalau ada apaapa
terjadi, jangan lupa bangunkan aku, Kong-kauwsu!”
“Baiklah, Lie-wangwe!”
Tapi belum juga Lie Ti jatuh pulas, tiba-tiba Kong Liak berbisik.
Lie-wangwe, bangun!” dan guru silat itu cepat-cepat padamkan api lilin yang menyala
di kamar kecil itu.
Lie Ti yang belum tidur segera bangun dan langsung mengintai dari balik jendela.
Kong Liak mengintai dari sebelah kirinya. Mereka melihat tiga bayangan yang gesit
sekali gerakannya berlompatan dari jurusan barat melalui genteng-genteng rumah dan
menuju ke arah mereka.
“Ah, kepandaian ginkang mereka tinggi sekali, terutama orang yang lari di tengah!”
Kong Liak berbisik perlahan. Ketika ketiga bayangan itu telah menginjak genteng
gedung keluarga Lie, mereka berhenti. Kini kedua pengintai dapat melihat jelas
karena bulan kebetulan tak terhalang mega.
Ternyata yang di kanan kiri adalah dua orang muda berusia paling banyak tiga puluh
tahun sedangkan yang di tengah adalah seorang tosu berusia kurang lebih lima puluh
tahun dan bertubuh gemuk pendek.
Melihat kakek gemuk pendek itu, Kong Liak mengeluh perlahan.
“Celaka ..... kalau tidak salah, yang datang itu adalah Kiu-thou-lomo!”
Mendengar julukan yang berarti Iblis tua kepala sembilan itu hampir saja Lie Ti
berseru kaget. Tubuhnya menjadi gemetar dan ia merasa khawatir sekali.
“Kita harus keluar dan biarlah aku bertempur mati-matian!” hartawan itu berbisik.
“Kau turunlah dan bawalah kedua puteraku menyingkir dari sini. Mungkin mereka
berdua akan tertolong jiwanya.
Kong Liak mencegahnya. “Sabar, kau bukanlah tandingannya!”
“Aku tahu ... ia ..... ia datang untuk binasakan aku sekeluarga ...... tolonglah
singkirkan anak-anakku ....” dan hartawan itu dengan nekad membuka jendela dan
loncat keluar dengan pedang di tangan.
“Kiu-thou-lomo! Kau orang tua ternyata masih hidup!” Lie Ti menegur dengan berani
dan tabah.
Kakek pendek gemuk itu menatapnya dengan tajam, suaranya agak ragu-ragu ketika
ia bertanya.
“Kau .... apakah kau Lie Ti?”
“Benar, aku adalah Lie Ti. Kehormatan apakah yang hendak kau berikan kepadaku?”
“Ha ha ha! Bapaknya naga, anaknya harimau! Kau sungguh gagah, tak kalah dengan
ayahmu! He, Lie Ti, di mana bapakmu, tua bangka itu? Suruh dia keluar
menjumpaiku, jangan bersembunyi seperti perempuan!”
“Kiu-thou-lomo! Kau telah membuang waktu dengan sia-sia. Kau telah bersusah
payah dengan percuma. Kedatanganmu terlambat. Ayah telah meninggal dunia enam
tahun yang lalu. Kau kurang cepat!”
“Gila!” Kakek gemuk pendek itu tendangkan kakinya ke arah wuwugan genteng
hingga tembokan itu hancur lebur dan berhamburan ke bawah mengeluarkan suara
bagaikan air hujan jatuh di atas genteng. Kemudian ia berkata lagi kepada Lie Ti,
suaranya jelas menyatakan kedongkolan hatinya.
“Tidak apa, biar dia sudah mampus tapi anaknya masih hidup. Dia sudah tidak
sanggup membayar hutang. Biarlah anaknya yang bayar! Lie Ti, dengarlah! Aku
sengaja datang untuk menagih hutang ayahmu kepada kakakku. Kini kau harus
gantikan ayahmu dan membayar hutangnya kepadaku. Hayo majulah dan bersedia
mati!”
“Aku seorang laki-laki sejati. Soal mati hidup adalah soal kecil tak berarti. Tapi kau
harus berlaku sebagai seorang hohan sejati pula. Kau bunuhlah aku kalau kau
sanggup, tapi jangan kau ganggu rumah tanggaku. Mereka tidak mengerti apa-apa.
Kita bikin habis perhitungan di antara kita sendiri.”
Si iblis tua kepala sembilan berpikir sejenak lalu berkata dengan suara menyeramkan.
“Mana ada aturan begitu? Kalau aku hanya membunuh kau, tentu keluargamu dan
anak-anakmu akan menaruh dendam kepadaku. Dan dibelakang hari mereka akan
membikin susah saja. Membasmi pohon harus dengan akar-akarnya kata orang dulu.
Aku juga takkan bekerja dengan kepalang tanggung. Kau dan anak-anakmu harus
mati pada malam ini juga.”
“Sungguh manusia iblis tak kenal perikemanusiaan. Sesuka hatimulah. Biar nanti
sukmaku yang akan membalasmu jika kau ganggu anak istriku!”
Lie Ti lalu gerakkan pedangnya hendak menyerang. “Apakah kau akan maju bertiga?”
serunya menyindir.
“Ha ha ha! Benar-benar aku harus kagumi keberanianmu. Dari gerakanmu aku tahu
bahwa kau tidak pandai silat, tapi kau berani menghadapiku. Jangan penasaran, kedua
orang muridku ini ku bawa hanya untuk menjadi saksi saja. Kita bertempur satu lawan
satu. Hayo majulah Lie Ti, dan tunggulah arwah keluargamu di pintu neraka!”
“Kau iblis bermuka manusia!” Lie Ti berteriak marah dan loncat menusuk.
Sambil tertawa ha ha hi hi, kakek gemuk pendek itu berkelit dan sekali saut saja ia
dapat merampas pedang Lie Ti dan sekali kakinya bergerak kedua kaki Lie-wangwe
kena tersapu hingga hartawan itu roboh di atas genteng.
“Ha ha ha! Lie Ti, terimalah ajalmu!” Iblis tua itu menggunakan pedang yang
dirampasnya menusuk ke arah tenggorokan Lie Ti yang telah memeramkan mata,
terima binasa.
Ketika pedang itu telah menyambar dan hampir masuk menembus tenggorokan Lie
Ti, tiba-tiba dari samping tampak berkelebat sebuah benda hitam yang menyambar
pedang itu.
“Traaang!” dan pedang itu terpental lalu terlepas dari tangan kakek gemuk pendek itu.
“Hayaa...! Si iblis tua ini tidak tahunya hanya iblis kecil yang berlagak gagah di depan
orang muda!” terdengar suara menyindir.
Kiu-thou-lomo terkejut sekali ketika pedang di tangannya tertangkis hingga tergetar
dan terlepas dari pegangannya. Ia loncat mundur dan memandang kepada seorang
pengemis tua yang telah berdiri di situ sambil memanggul tongkat bambu. Melihat
pengemis itu ia menjadi kaget.
“Kang-lam Koay-hiap! Kenapa kau ikut mencampuri urusan orang lain?” tegurnya
dengan tak senang.
“Kiu-thou-lomo! Kau sudah cukup tahu bahwa aku orang tua paling tidak suka
melihat yang kuat menindas yang lemah. Mengapa kau hendak bunuh Lie-wangwe
dan keluarganya?”
Sementara itu Lie Ti yang membuka kembali matanya, melihat dengan heran bahwa
yang telah menolong jiwanya tadi tak lain adalah pengemis tua yang sore tadi
membikin ribut di emper rumahnya. Jadi pengemis ini adalah Kang-lam Koay-hiap
yang termasyhur namanya. Sungguh sedikitpun ia tak pernah menyangka.
Kiu-thou-lomo tersenyum mengejek mendengar pertanyaan pengemis itu. “Kau tahu
artinya hutang jiwa bayar jiwa?” tanyanya.
Kang-lam Koay-hiap pukul-pukul kepala yang berambut pendek itu dengan tongkat
bambunya. “Biarpun aku orang tua bodoh dan pikun, tapi rasanya aku tahu artinya
hutang jiwa bayar jiwa. Dendam apakah yang kau pendam dalam hati terhadap Liewangwe?”
“Ayahnya pernah hutang jiwa dengan membunuh kakakku, dan kini aku datang
menagih hutang. Tapi karena ayahnya telah mampus, maka dia sebagai anaknya harus
membayar hutang itu!”
“Dan kau hendak membasmi semua keluarganya? Apakah ayahnya dulu juga
membasmi semua keluarga kakakmu?
Ditanya demikian ini, Kiu-thou-lomo tak dapat menjawab. Tapi ia tak mau
memperlihatkan kelemahannya, maka dengan berani ia menjawab.
“Harap kau orang tua jangan ikut campur urusan ini, karena apakah sangkut pautnya
hal ini dengan kau?”
Tiba-tiba si pengemis tua itu melempar tongkatnya ke atas hingga tongkat itu
meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya ke atas dan mengeluarkan suara
bersuitan, kemudian ketika meluncur turun disambut dengan tangan kiri.
“Kiu-thou-lomo! Kau kira aku tidak tahu akan persoalan yang terjadi antara kakakmu
dan Lie-enghiong? Hmmm, kalau aku tidak tahu tentu aku takkan berada di sini dan
gunakan tongkatku mencampuri urusan ini. Tapi kebetulan sekali aku menjadi saksi
dari kematian kakakmu di tangan Lie-enghiong! Itu adalah pertempuran yang adil.
Pertempuran satu lawan satu dan kakakmu memang kalah pandai juga kakakmu
memang berada di pihak yang salah. Kakakmu merampok dan Lie- enghiong
membela harta bendanya hingga terjadi pertempuran dan kakakmu binasa dalam
perkelahian itu. Apakah hal itu harus dibuat dendam dan kini kau hendak musnahkan
putera Lie-enghiong sekeluarga? Sungguh kau tak kenal apa namanya keadilan. Kalau
Lie-enghiong masih hidup dan kau hendak membalas dendam dengan mengadu
tenaga dengannya, itu masih boleh dilakukan. Tapi kalau kau sekarang hendak
mengganggu anaknya yang tak tahu apa-apa, bahkan hendak membunuh cucucucunya,
aaahhh, itu adalah kejahatan yang melewati takaran dan aku pengemis tua
yang bodoh mana mau tinggal diam berpeluk tangan!”
“Bagus! Kalau begitu biarlah aku Kiu-thou-lomo mengadu jiwa denganmu pengemis
bandel!” setelah memaki, si gemuk pendek itu segera mencabut pedangnya dan
menyerang dengan hebat!
“Memang! Kejahatanmu sudah cukup untuk mengantar kau ke neraka!” pengemis itu
menyindir dan menangkis dengan tongkatnya.
Iblis tua itu memang lihai sekali. Pedangnya diputar sedemikian rupa hingga
merupakan segulung sinar putih menyambar dan mengurung Kang-lam Koay-hiap,
tapi si pengemis tua ini bukanlah orang sembarangan. Telah berpuluh tahun ia malang
melintang di dunia kang-ouw dan jarang sekali ia mendapat tandingan.
Pada saat itu Kong Liak yang masih bersembunyi di bawah genteng sambil mengintai
merasa girang sekali karena pihaknya mendapat bantuan Kang-lam Koay-hiap yang
telah lama ia kenal namanya yang besar tapi baru kali ini melihat wajahnya. Ia
beranikan diri dan keluar dari jendela itu lalu menarik lengan Lie Ti yang masih
duduk di atas genteng. Keduanya lalu berdiri di tempat aman dan menonton
pertandingan di antara dua jago tua yang luar biasa ilmu silatnya.
Iblis tua itu gerakkan pedangnya dan mainkan tipu-tipu terlihai dari Pat-kwa Kiamhwat,
sedangkan Kang-lam Koay-hiap gunakan tongkatnya sebagai pedang dan
mainkan ilmu pedang Im-yang Kiam-hwat yang luar biasa lihainya karena gerakannya
selalu mengandung dua sari dan dua tenaga. Tiap gerakan tongkatnya selalu
merupakan tangkisan berbareng serangan. Tangkisannya mengandung tenaga dalam
yang meminjam tenaga lawan dan dilanjutkan dengan serangan kuat ke arah lubanglubang
maut.
Sebentar saja kedua orang itu hanya merupakan dua gulung sinar yang saling gulung
dan saling sambar. Tiba-tiba terdengar suara Kiu-thou-lomo berteriak.
“Siong Gak dan Siong Gi! Tidak lekas bantu, mau tunggu apa lagi?” Kedua muridnya
mengerti maksud gurunya maka mereka lalu maju menyerang dan membantu
gurunya. Kini si pengemis dikeroyok tiga, tapi ia hanya tertawa bergelak saja dan
berkata.
“He, siluman kepala sembilan! Pantas kepalamu sembilan, tidak tahunya kau benarbenar
curang. Terpaksa aku harus mengambil jiwamu karena kau hanya mengotori
dunia belaka!” Sehabis berkata demikian, Kang-lam Koay-hiap lalu berseru keras dan
tongkatnya menyambar bagaikan kilat.
Serangan ini luar biasa cepatnya hingga tahu-tahu iblis tua kepala sembilan menjerit
ngeri dan lambungnya kena dihajar hebat oleh tongkat lawannya. Ia kerahkan tenaga
dalam untuk menahan pukulan itu, tapi ia tidak kuat. Ujung tongkat itu hancur ketika
membentur lambungnya yang telah terisi penuh oleh hawa yang ia kumpulkan untuk
menolak pukulan, tapi ia mendapat luka dalam yang hebat dan setelah menjerit sekali
lagi ia roboh dan mati di saat itu juga.
“He, kalian dua orang muda, hentikan seranganmu dan jangan mencari mati dengan
sia-sia!” Kang-lam Koay-hiap menegur dengan suara keren. Kedua murid iblis tua itu,
Siong Gak dan Siong Gi, menjadi keder dan terpaksa hentikan serangan mereka.
“Sekarang bawalah jenazah suhumu dan kuburlah dengan baik sebagaimana mestinya.
Jadikanlah peristiwa ini sebagai contoh dan jangan kalian tiru kelakuan suhumu yang
tak benar ini. Nah, pergilah!”
Kedua murid ini dengan bercucuran airmata lalu mengangkat mayat suhunya dan
pergi dari situ cepat.
Lie Ti segera memburu maju dan jatuhkan diri berlutut di depan Kang-lam Koayhiap.
“Sungguh saya berhutang budi besar sekali kepada locianpwe! Kau telah tolong
jiwaku, itu masih tak berarti banyak. Tapi kau telah menolong jiwa anak-anakku,
keluargaku, ah .....locianpwe. Tak tahu saya harus bagaimana menyatakan terima
kasih saya .... dan tadi .... tadi sore kami telah menghinamu .... ampun. Locianpwe,
ampunkan kami yang bermata buta ......” karena terharu dan berterima kasih sekali,
Lie Ti menangis tersedu-sedu sambil peluk kedua kaki pengemis itu.
Kang-lam Koay-hiap angkat bangun hartawan yang berlutut sambil menangis itu, dan
berkata perlahan.
“Kalau tidak ada putera bungsumu, siapa sudi mencampuri urusan ini?” Kemudian
pengemis tua itu menghela napas dan menambahkan.
“Mari kita turun, tak baik bercakap-cakap di atas genteng!”
Maka turunlah mereka. Di dalam gedung ternyata semua orang sudah bangun dan
berada dalam keadaan ketakutan. Mereka tahu bahwa di atas genteng sedang terjadi
pertempuran dan menyangka bahwa yang datang mengganggu tentu serombongan
perampok.
Kini melihat bahwa Lie Ti dan Kong Liak tak kurang suatu apa, mereka merasa
girang dan lega. Tapi alangkah heran mereka ketika melihat pengemis yang sore tadi
membikin heboh di luar gedung kini turut masuk bersama majikan mereka.
Lie Ti segera menceritakan kepada isterinya tentang kedatangan musuh ayahnya yang
hendak menuntut balas dan tentang pertolongan yang diberikan untuk menolong
mereka sekeluarga oleh pengemis ajaib itu.
Mendengar itu, nyonya Lie tak ragu-ragu lagi segera berlutut di depan Kang-lam
Koay-hiap menghaturkan terima kasih. Juga kedua putera Lie yang berada di situ
disuruh menghaturkan terima kasih.
Lie Kiat lakukan hal itu dengan ragu-ragu dan keningnya dikerutkan. Ia merasa sangat
rendah harus berlutut kepada seorang gembel kotor yang sore tadi membikin ia malu
dan dimarahi ayahnya. Namun karena takut kepada ayahnya ia berlutut juga, namun
kedua matanya memandang kepada pengemis itu dengan marah.
Kang-lam Koay-hiap tahu akan hal ini dan ia menghela napas. Tapi rasa tidak
senangnya lenyap se gera ketika Lie Bun berlutut pula lalu berdiri dan memeluk dia
dengan senangnya.
“Aku sudah duga, kakek tua! Kau tentu gagah perkasa!”
Kang-lam Koay-hiap peluk Lie Bun dengan mesra dan wajahnya berseri-seri.
“Lie-wangwe, puteramu yang ini pantas sekali menjadi cucu Lie-enghiong, ayahmu
yang gagah perwira! Sayang ia tidak belajar silat.”
“Ayahku almarhum biarpun ia sendiri pandai ilmu silat, tapi ia selalu melarangku
belajar silat hingga aku menjadi seorang yang tidak becus apa-apa, biarpun di luar
tahunya aku sudah belajar sedikit ilmu silat. Aku tahu maksud ayahku, yang selalu
menyatakan bahwa ahli silat hanya memancing permusuhan belaka. Tapi sekarang
buktinya, aku yang tidak pandai silat, masih saja didatangi orang jahat. Coba kalau
tidak tidak ada locianpwe, entah bagaimana nasibku sekeluarga. Kalau saja ilmu
silatku setinggi ayah dulu, tidak nanti orang jahat dengan mudah dapat mengganggu!”
Hartawan she Lie menghela napas menyatakan penyesalannya. Lalu sambungnya.
“Karena itulah maka timbul niatku untuk menyuruh kedua puteraku belajar silat dan
aku mendatangkan Kong-kauwsu ini. Dan mulai besok kedua puteraku ini harus
belajar silat dengan rajin.”
“Itu bagus!” Pengemis itu mengangguk-angguk. “Mereka bertulang baik dan berbakat
untuk menjadi ahli-ahli silat tinggi.”
Tiba-tiba Lie Bun majukan diri berlutut di depan pengemis itu. “Aku ingin belajar
silat padamu saja, kakek tua!”
Kejadian yang tak tersangka-sangka ini membuat semua orang tertegun. Lie Ti segera
memberi tanda kepada Lie Kiat untuk meniru perbuatan adiknya, tapi Lie Kiat
menyebirkan bibirnya dan mendekati Kong Liak lalu berkata.
“Aku ingin berguru pada Kong pek-pek saja.”
Kang-lam Koay-hiap angkat mukanya dan tertawa bergelak-gelak. Ia memandang Lie
Bun yang berlutut dan mengusap-usap rambut kepalanya. “Anak baik .... anak baik
...” Lalu ia lanjutkan kata-katanya kepada Lie-wangwe.
“Lie-wangwe, sebelum aku sampaikan permintaanku padamu, puteramu sudah
mendahuluiku. Sebenarnya aku hendak mengajukan sebuah permintaan yakni aku
minta puteramu Lie Bun ini menjadi muridku. Aku hendak ajak dia pergi merantau
sambil mendidik dia menjadi orang pandai.”
“Locianpwe telah menolong jiwa kami sekeluarga, maka sudah tentu permintaan ini
kami terima dengan senang hati, cuma saja, mengapa locianpwe hendak membawa
pergi Lie Bun? Tidakkah lebih baik kau tinggal saja di rumah kami dan menghajar
anak-anakku di sini? Kau takkan bersusah payah lagi merantau, tak tentu tempat
tinggal, disini akan kami sediakan segala keperluan locianpwe.”
Kang-lam Koay-hiap tertawa. “Maksudmu memang baik, wan-gwe. Tapi pendapatmu
keliru. Memang, merantau dan miskin di luar tak tentu makan dan tak tentu tidur,
mengandalkan belas kasihan orang untuk makan, mengandalkan emper rumah orang
untuk tidur, adalah hidup yang tidak enak. Jauh lebih senang tinggal di rumah gedung
yang indah dan mewah ini, tiap hari duduk makan minum menikmati bunga-bunga
dalam taman. Akan tetapi, apa yang tidak enak bagi jasmani, selalu mendatangkan
keuntungan bagi rohani. Dengan mengurungnya dalam gedung indah, dan tidak
mengenal artinya susah dan menderita, orang takkan mengenal sarinya hidup, takkan
mengenal kewajiban hidup, takkan tergerak hatinya mengenal kesengsaraan sesama
manusia, dan tak mungkin orang itu menjadi seorang pendekar budiman dan gagah.
Biarlah Lie Bun ikut aku, aku hendak mengajarnya menjadi seorang manusia sejati,
hendak menggemblengnya lahir bathin.”
Lie-wangwe tak berani membantah, karena dalam lubuk hatinya ia mengakui
kebenaran segala ucapan pengemis aneh itu.
“Tapi aku tidak akan memaksa, terserah yang hendak menjalani.” Kang-lam Koayhiap
berkata lagi, lalu berpaling kepada Lie Bun yang masih duduk mendengarkan
dengan penuh perhatian. “Lie Bun bagaimanakah? Sanggupkah kau pergi merantau
dengan aku, hidup sengsara, kurang makan dan pakaian, tidur di mana saja?”
Wajah Lie Bun berseri. “Bebas lepas bagai burung di udara?”
Pengemis itu memandangnya heran lalu tersenyum senang, tapi ia masih hendak
mencoba berkata.
“Dan kau tidak akan tinggal di rumah gedung lagi, jauh dari ayah ibu, jauh makan
enak, jauh pakaian tebal dan indah. Beranikah kau?”
Tiba-tiba wajah berseri itu berubah muram dan perlahan-lahan air matanya menitik
turun. Lie Bun menengok dan memandang ayah ibunya yang duduk di situ. Melihat
ibunya mulai menangis, Lie Bun bangun dan lari menubruk.
“Ibu ... anak akan kembali kelak ...” Dan ibunya memeluknya dengan terharu.
“Kalau kau tidak tega tinggalkan ayah ibumu, aku takkan memaksamu ikut, A Bun!”
kata Kang-lam Koay-hiap.
Lie Bun mendengar kata-kata ini lalu melepaskan pelukan ibunya, gunakan kedua
tangan menghapus airmata, lalu berlari dan berlutut kehadapan pengemis tua itu
sambil tertawa. Ia lalu berkata dengan suara tetap.
“Aku ikut, suhu! Kemana saja dan bilamana!”
Kang-lam Koay-hiap menjawab. “Kalau begitu, sekarang juga kita pergi!”
“Baik, suhu!”
Semua orang terkejut mendengar ini, terutama ayah ibu Lie Bun.
“Locianpwe, apakah tidak bisa berangkat besok hari saja? Sekarang sudah jam malam
dan hawa di luar sangat dingin,” kata Lie Ti.
Kang-lam Koay-hiap tidak menjawab, hanya bertanya kepada muridnya. “Beranikah
kau berangkat sekarang juga muridku?”
Siapa Kang-lam Koay-Hiap?
“MENGAPA tidak berani, suhu?” jawab Lie Bun gagah hingga gurunya tertawa
senang.
“A Bun, anakku! Kau belum berkemas. Barang-barang yang harus kau bawa sebagai
bekal belum disediakan,” kata ibunya.
“Tidak usah, Lie-hujin. Tak perlu membawa apa-apa. Kami akan berangkat begini
saja,” kata Kang-lam Koay-hiap.
“Begitu saja? Apakah anakku tidak membawa pakaian, tidak membawa selimut, tidak
membawa uang?” nyonya itu bertanya heran dan khawatir.
Pengemis itu menggeleng kepala perlahan dan pasti.
“Hayo! Muridku kita berangkat.”
Lie Bun lalu bangun dan lari ke ibunya. Ia peluk kaki ibunya dan berkata. “Selamat
tinggal, ibu. Anak pasti akan kembali dengan selamat.” Lalu ia berlutut di depan
ayahnya dan berkata singkat. “Ayah, selamat tinggal.” Lalu ia menghampiri pengemis
tua itu.
“Marilah suhu. Teecu sudah siap!” katanya dengan suara tetap.
Diam-diam Kang-lam Koay-hiap kagum dan bangga akan ketetapan hati muridnya.
Iapun lalu lambaikan tangan kepada Lie-wangwe dan berkata.
“Sampai jumpa pula!”
Setelah berkata demikian, Kang-lam Koay-hiap pegang lengan Lie Bun dan sekali
bergerak saja tubuhnya melesat ke atas genteng dan sekejap kemudian murid dan guru
itu sudah lenyap tak tampak bayangannya.
Pada saat itu barulah nyonya Lie menangis tersedu-sedu dan menaggil-manggil nama
Lie Bun. Suaminya menghibur dan berkata dengan halus.
“Sudahlah, Lie Bun bukan pergi untuk selamanya. Ia pergi untuk mengejar ilmu.
Kelak ia pasti kembali sebagai orang pandai.”
“Tapi ....... tapi ia pergi begitu saja! Tanpa bekal secarik pakaian atau sepotong
perakpun. Ia akan hidup terlantar dan terlunta .........”
Lie Kiat mendekati ibunya. “Sudahlah jangan menangis, ibu. Bukankah aku masih
ada di sini? Si topeng setan tentu kelak akan kembali pula.”
“Jangan sebut dia topeng setan, kau setan bengal!” Lie Ti membentak dan Lie Kiat
meleletkan lidahnya dan bersembunyi di belakang tubuh ibunya.
Sampai berbulan-bulan nyonya Lie masih merasa sedih dan tiap kali teringat akan
putera bungsunya, air mata mengalir di sepanjang pipinya. Kepada Lie Kiat ia cinta
dan sayang karena putera sulungnya itu cakap dan ganteng. Tapi sayangnya kepada
Lie Bun tercampur rasa iba karena puteranya ini telah menderita sakit dan mendapat
cacat pada mukanya. Maka, tiap kali teringat hatinya menjadi terharu sekali.
****
Marilah kita ikuti perjalanan Kang-lam Koay-hiap dengan muridnya yang baru
berusia sebelas tahun itu. Ketika meninggalkan gedung keluarga Lie, Kang-lam Koayhiap
gunakan ilmunya loncat ke atas genteng dan berlari-lari dengan cepat sekali
hingga muridnya hanya merasa tubuhnya seakan-akan dibawa terbang oleh seekor
burung besar.
Lie Bun merasa takut dan cemas, tapi kekerasan hatinya membuat ia tutup mulut dan
meramkan mata.
Setelah keluar dari kota, Kang-lam Koay-hiap loncat turun dari atas genteng dan
suruh muridnya berjalan di sampingnya. Malam telah hampir berganti pagi dan hawa
luar biasa dinginnya, tapi anak kecil yang berhati besar itu terus saja jalan tanpa
banyak rewel sambil bersedakap menahan dingin.
Jangankan bagi seorang anak kecil seperti Lie Bun yang biasanya pada waktu
demikian masih enak-enak meringkuk dan mendengkur di dalam kamarnya yang
hangat di atas kasur yang empuk, sedangkan bagi orang buta yang sudah biasa pada
hawa dinginpun pada saat itu tentu takkan kuat menahan dingin yang menyusup
tulang itu. Kang-lam Koay-hiap mengerti akan hal ini, tapi ia pura-pura tidak tahu,
hanya berjalan lambat-lambat sambil tunduk. Padahal diam-diam ia memperhatikan
muridnya.
Beberapa lama kemudian mulailah terdengar gigi Lie Bun mengeluarkan bunyi
berketrukan karena menggigil hingga giginya yang bawah beradu dengan gigi atas
dan kedua kakinya terhuyung-huyung hingga jalannya sempoyongan tak tentu. Masih
saja anak itu tak mau membuka mulut dan gurunya juga masih diam saja pura-pura
tidak tahu. Akhirnya Lie Bun roboh di atas tanah yang basah dan pingsan.
“Anak baik, ujian pertama lulus dengan baik!” kata guru yang aneh itu sambil
berjongkok. Tapi muridnya tak mendengar pujiannya, Kang-lam Koay-hiap keluarkan
sebotol arak yang entah ia dapat dari mana, lalu menuangkan sedikit arak ke dalam
mulut Lie Bun. Kemudian ia gunakan jari tangannya menotok jalan darah pada leher
dan di kedua iga kanan kiri Lie Bun lalu memencet-mencet kedua pundaknya.
Perlahan-lahan Lie Bun buka matanya, tapi sedikitpun tak terdengar keluhan dari
bibirnya yang membiru. Bahkan anak itu melihat gurunya sambil tersenyum karena
kini ia tak merasa dingin lagi. Tubuhnya terasa hangat dan seakan-akan ada sesuatu
yang panas dan enak menjalar di seluruh tubuhnya.
“Bagaimana, muridku? Hilang dinginnya, bukan?”
Lie Bun hendak menjawab tapi kaget ketika mulutnya tak dapat digerakkan. Ia
hendak angkat tangannya, tapi juga tangannya kaku. Biarpun begitu, anak yang keras
hati itu sedikitpun tidak memperlihatkan rasa takut. Ia hanya memandang kepada
gurunya dengan mata mengandung pertanyaan.
“Jangan kaget, Lie Bun. Aku sengaja menotok jalan darahmu bagian tay-twi-hiat agar
perasaanmu berhenti hingga tak terasa dingin di tubuhmu. Tapi jalan darahmu kubikin
cepat agar tubuhmu panas dan kesehatanmu tidak terganggu.”
Lie Bun memandang wajah suhunya dengan berterima kasih. Beberapa lama
kemudian, Kang-lam Koay-hiap menotok pula muridnya hingga tubuhnya dapat
bergerak lagi seperti biasa. Tapi berangsur-angsur rasa dingin datang menyerang.
“Muridku, hayo kau lawan rasa dingin itu. Mari kita balap lari!” Dan guru itu lari
perlahan ke depan. Lie Bun kertak gigi untuk melawan rasa kantuk dan lelah, lalu ia
lari mengejar.
“Jangan cepat-cepat, biasa saja!” gurunya mencegah ketika ia percepat larinya.
Demikianlah, mereka berdua, anak kecil dan pengemis itu berlari-lari menempuh
hawa dingin dan kabut tebal. Perlahan-lahan jalan darah di dalam tubuh Lie Bun yang
mengalir cepat mendatangkan rasa panas yang mengusir hawa dingin. Anak itu
merasa tubuhnya hangat maka timbullah kegembiraannya dan lenyaplah rasa
mengantuk dan lelah.
Siapakah sebetulnya Kang-lam Koay-hiap, pengemis tua yang aneh dan sangat lihai
itu? Untuk mengenal dia, baiklah kita meninjau kembali secara singkat riwayat
pendekar aneh dari Kang-lam itu.
Beberapa puluh tahun yang lalu, ketika pada suatu hari Gwat Leng Hosiang keluar
dari kelentengnya di puncak bukit Hwan-tien-san untuk turun gunung, sebagaimana
yang dilakukannya beberapa tahun sekali. Ia sampai di kota Lok-yang untuk
mengunjungi seorang kenalannya yang tinggal di kota itu.
Kenalannya itu mengajaknya ke rumah makan di mana ia memesan masakan tanpa
barang bernyawa dan dengan gembira mereka makan minum. Kenalannya itu
mengajukan permohonan supaya Gwat Leng Hosiang suka menerima puteranya
menjadi murid karena ia tahu bahwa Gwat Leng Hosiang adalah seorang ahli silat
pendiri Hwan-tien-pai dan selamanya belum pernah mempunyai seorangpun murid.
Tapi Gwat Leng Hosiang dengan halus menolak dan menyatakan bahwa ia tidak niat
menerima murid. Ketika kenalannya itu sedang mendesak dan membujuk-bujuk, tibatiba
di luar terdengar ribut-ribut dan suara anak menangis. Gwat Leng Hosiang paling
tidak kuat mendengar anak menangis, maka bersama kenalannya ia keluar melihat.
Ternyata di luar terdapat seorang pengemis muda yang berusia kira-kira lima belas
tahun dan sedang dipukuli oleh seorang anak berusia paling banyak dua belas tahun.
Anak yang memukuli pengemis itu bertubuh tegap dan nampaknya kuat. Juga dari
gerakan kaki tangannya nyata bahwa ia pernah belajar silat.
Pengemis itu berusaha menangkis. Tapi ia kalah kuat dan kalah gesit, maka tubuhnya
berkali-kali menerima pukulan-pukulan hingga akhirnya ia menjerit-jerit dan
menangis. Penonton bersorak-sorak dan memuji-muji pemuda yang memukuli
pengemis itu.
Gwat Leng Hosiang segera menghampiri. Kenalannya berkata dengan tersenyum.
“Lihat losuhu, anak itulah puteraku. Ia berbakat bukan?”
“Ya, berbakat untuk menjadi tukang pukul!” kata pendeta itu yang lalu mendekati
tempat perkelahian. Kenalannya segera bentak puteranya supaya berhenti memukul.
Pengemis itu jatuh terduduk sambil menyusuti darah yang keluar dari hidungnya dan
ia masih terisak-isak. Matanya memandang liar ke kanan kiri.
“Apakah yang telah terjadi? Mengapa pengemis itu dipukuli?” Gwat Leng Hosiang
bertanya halus. Seorang penonton bercerita.
“Ia mencuri ayam dan ketahuan oleh Ma-kongcu, lalu dipukul. Ia mencoba melawan
tapi mana ia bisa menang. Memang sudah sepantasnya ia dihajar. Ma-kongcu lihai
betul!”
Gwat Leng Hosiang menghampiri pengemis itu dan bertanya dengan suara lembut.
“Eh, anak muda, benarkah kau mencuri ayam?”
Mendengar pertanyaan dengan suara lembut itu, pengemis tadi memandang dengan
heran. Selama hidupnya, selalu kata-kata kasar dan keras saja yang dilontarkan
kemukanya dan baru pertama kali ini ia mendengar orang bertanya kepadanya dengan
suara halus.
Biasanya kalau ditanya orang, ia selalu membohong dan menjawab dengan sangkalan
keras karena kalau ia mengaku selalu orang memukulnya. Kini, mendengar
pertanyaan halus ini, ia menjadi sedih dan menangis lagi sambil menganggukanggukkan
kepalanya.
“Anak muda, mengapa kau mencuri?” tanya Gwat Leng Hosiang lagi.
“Karena ..... perutku lapar ...” pengemis itu menjawab sambil tundukkan mukanya.
“Kenapa kau tidak mau bekerja untuk mencari makan?”
“Sudah kucoba ... sia-sia ... tidak ada yang mau memberi pekerjaan ...” jawabnya
dengan sedih dan sekali lagi matanya jelalatan memandang ke sekelilingnya dengan
takut-takut karena orang-orang makin banyak saja yang mengelilinginya.
“Hm, begitukah? Kalau begitu, mengapa kau tidak mengemis saja dari pada mencuri?
Lebih baik minta dengan baik-baik belas kasihan orang dari pada mencuri,” Gwat
Leng Hosiang berkata lagi, suaranya tetap sabar.
Kali ini pengemis itu memandang pendeta itu dengan pandang mata tajam. Ia heran
sekali mengapa ada orang yang demikian memperhatikan nasibnya. Melihat wajah
hwesio yang alim dan agung itu, ia tiba-tiba maju dan jatuhkan diri berlutut.
“Suhu, aku tidak berani membohong. Aku memang seorang pengemis maka tak perlu
lagi kiranya diberitahu untuk mengemis! Aku mencari pekerjaan tidak dapat,
mengemis juga tidak diberi oleh orang-orang itu, yang kuterima bahkan hanya makian
dan pukulan belaka. Apa dayaku? Aku hendak mempertahankan nafsu agar jangan
mencuri. Tapi ... tapi perutku ... perutku lapar .... mendesak tak dapat ditahan, suhu
....”
Hampir saja Gwat Leng Hosiang mengeluarkan air mata mendengar ucapan ini. Tapi
ia segera tetapkan hati dan meramkan mata. Matanya berkilat mengerling ke arah
orang-orang yang berdiri mengelilingi dia dan pengemis itu. Tiba-tiba timbul sebuah
pikiran dalam kepalanya.
Pengemis muda ini juga manusia, ia juga seperti orang-orang lain menghendaki
kebahagiaan, menghendaki kecukupan, tapi jalannya telah tertutup, telah buntu hingga
kalau tidak tertolong, pengemis itu tentu akan menjadi manusia perusak keamanan
orang lain atau kalau tidak, ia akan mati kelaparan.
Ia perhatikan pengemis itu. Tubuhnya kurus kering dan berpenyakitan karena kurang
makan. Kulit tubuhnya kotor karena tidak dirawat, tapi sepasang matanya yang
membayangkan putus asa dan penderitaan besar itu mempunyai biji mata yang bulat
dan besar. Anak ini sudah cukup menderita hingga batinnya telah mempunyai dasar
yang kuat, pikirnya. Mengapa tidak? Maka ia mengambil keputusan.
“Berdirilah kau anak muda, dan ikutlah padaku jika kau ingin mengubah jalan
hidupmu!”
Pengemis muda itu walaupun tidak mengerti betul apa arti kata-kata pendeta itu, cepat
berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala menyatakan terima kasihnya. Lalu ia
berdiri dan berjalan mengikuti hwesio itu yang bertindak pergi keluar dari kota itu,
tanpa pamit kepada kenalannya yang tadi membujuk-bujuknya untuk menjadi guru
anaknya.
Pengemis muda itu ketika ditanya oleh Gwat Leng Hosiang, mengaku bernama Siok
Ki dan berasal dari Kang-lam. Ia tidak ingat she nya lagi dan tidak tahu siapa orang
tuanya, karena sepanjang ingatannya, ia sudah hidup seorang diri mengemis
sepanjang jalan hingga hidupnya terlunta-lunta sampai ke kota Lok-yang.
Setelah dibawa ke bukit Hwan-tien-san dan menjadi murid tunggal Gwat Leng
Hosiang, Siok Ki bekerja membersihkan kelenteng itu dengan rajin sekali hingga
Gwat Leng Hosiang suka kepadanya. Kemudian setelah diberi pelajaran silat, ternyata
Siok Ki mempunyai bakat yang baik dan tekun belajar. Agaknya pengemis muda
yang telah hidup menderita itu ingin menjadi seorang berguna. Pernah secara iseng
suhunya bertanya.
“Siok Ki, kalau engkau sudah tamat belajar dan menjadi seorang yang berkepandaian
tinggi dan kembali ke masyarakat ramai, kau hendak bekerja apakah?”
Untuk beberapa lama Siok Ki tak dapat menjawab dan berpikir keras. Kemudian ia
menjawab dengan suara tetap.
“Suhu, teecu telah terangkat dari lumpur kehinaan oleh suhu dan menerima budi yang
tak terkira besarnya. Akan tetapi, teecu bersumpah bahwa selama hidup teecu akan
tetap menjadi seorang pengemis, pengemis yang akan menjalankan tugas kewajiban
seorang yang berkepandaian. Teecu akan selalu menjadi pengemis agar teecu
selamanya tak lupa akan budi kecintaan suhu, dan agar teecu selalu ingat bahwa di
dunia ini masih banyak sekali orang-orang yang nasibnya seperti teecu ketika belum
bertemu dengan suhu, hingga teecu akan selalu ingat untuk menolong nasib mereka
yang bersengsara.”
Gwat Leng Hosiang tersenyum. “Aku setuju kepada maksud dan cita-citamu, Siok Ki,
asal saja kau tidak melewati batas-batas yang telah ada pada setiap perbuatan di dunia
ini. Aku yakin kau tidak akan mengganggu atau berbuat jahat terhadap sesama hidup,
karena kau pernah menderita dan merasakan sendiri betapa sengsaranya hidup
menderita. Tentu kau tidak tega untuk membikin orang menderita, bukan? Tapi hanya
satu hal yang harus kau ingat baik-baik, Siok Ki, yaitu sedapat mungkin jangan
sekali-kali kau menerima seorang murid!”
Kaget dan heranlah Siok Ki mendengar pesan suhunya ini.
“Mengapa suhu?” Bukankah suhu juga mengangkat teecu sebagai murid? Kalau teecu
tidak menerima murid kelak, maka kepandaian yang suhu ajarkan akan habis sampai
di tangan teecu saja, siapakah yang akan melanjutkan dan memelihara kepandaian dan
ilmu-ilmu dari Hwan-tien-pai?”
Gwat Leng Hosiang tersenyum. “Memang demikianlah pendapat orang banyak. Tapi
bagiku, baik ilmu silat kita musnah dari pada terjatuh ke dalam tangan orang-orang
jahat yang menggunakan ilmu silat Hwan-tien-pai hanya untuk melakukan kejahatan
belaka. Kalau hal ini terjadi, maka biarpun aku sudah mati, arwahku takkan dapat
tenteram melihat betapa ilmu silat yang kuciptakan digunakan orang untuk melakukan
kejahatan. Dan lagi, aku khawatir kalau-kalau kelak mengalami nasib seperti dongeng
tentang guru silat yang dilawan muridnya sendiri, jika kau menerima murid.”
“Bagaimanakah dongeng itu, suhu?”
“Beginilah dongengnya. Di jaman dulu terdapat seorang gagah perkasa yang sangat
tinggi ilmu silatnya hingga ia terkenal sebagai guru silat yang paling pandai di seluruh
Tiongkok dan mendapat julukan jago silat nomor satu di dunia. Kemudian ia
mempunyai seorang murid yang sangat disayangnya karena murid itu pandai dan
rajin. Semua ilmu kepandaian yang dimilikinya diturunkan semua kepada muridnya
itu hingga pada suatu hari guru silat itu sudah kehabisan ilmu untuk diajarkan pula.
Semua kepandaian yang dimilikinya sudah diketahui oleh muridnya. Hal inipun ia
beritahukan kepada muridnya itu. Tidak disangka sama sekali olehnya bahwa murid
yang diluarnya tampak baik dan taat itu ternyata mengandung niat jahat di dalam hati.
Murid itu merasa iri hati dengan nama julukan suhunya sebagai jago sulat nomor satu
di dunia, dan ingin merebut gelar itu dari tangan gurunya. Ia pikir bahwa setelah
kepandaiannya setingkat dengan gurunya, tentu ia dapat mengalahkan gurunya itu
karena ia menang tenaga dan lebih awas, sedangkan gurunya sudah mulai tua. Dengan
pikiran ini, ia lalu dirikan panggung lui-tai dan menantang gurunya sendiri untuk adu
kepandaian. Tentu saja suhunya merasa terkejut. Ia minta waktu selama tiga hari dan
selama itu ia merasa sedih dan menyesal. Sedih mengapa murid yang disayangnya itu
ternyata hanya seorang manusia durhaka, dan menyesal mengapa ia turunkan seluruh
kepandaiannya kepada murid jahat itu. Pada hari ketiga, tiba-tiba ia teringat bahwa
ada semacam ilmu silat yang belum ia turunkan kepada muridnya itu. Maka pada
waktu pertempuran dilakukan dengan disaksikan oleh ribuan orang, pada saat gurunya
itu terdesak oleh muridnya, ia gunakan ilmu yang belum diajarkan kepada muridnya
karena lupa dan terlewat itu, hingga ia berhasil merobohkan dan membinasakan murid
jahat itu. Semenjak itu maka semua guru silat tidak berani turunkan semua ilmu
kepandaian mereka kepada murid-murid dan selalu menyimpan sepuluh bagian untuk
diri sendiri.”
“Teecu akan perhatikan semua petunjuk dan nasehat suhu, dan teecu takkan
sembarangan menerima murid, kecuali kalau memang teecu lihat ia benar-benar
seorang calon yang baik dan bersih.”
Gwat Leng Hosiang tersenyum. “Aku percaya kepadamu, Siok Ki. Dan jangan kira
bahwa aku setuju dengan pikiran umum untuk menyimpan sepuluh bagian dari
kepandaian untuk diri sendiri. Kalau demikian halnya dengan semua guru silat, maka
tak lama lagi ilmu silat dari bangsa kita akan musnah dari permukaan bumi, atau
setidaknya akan merosot nilai dan tingkatnya. Kau belajarlah beberapa tahun lagi dan
semua ilmu yang kumiliki tentu akan kuturunkan semua kepadamu, muridku.”
Siok Ki berlutut dan menyatakan terima kasihnya. Semenjak saat itu, ia belajar
dengan lebih rajin hingga beberapa tahun kemudian tamatlah ia. Ia telah belajar
sepuluh tahun lebih dan memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya. Tapi ia tidak
mau turun gunung dan selalu melayani suhunya yang sudah tua sampai Gwat Leng
Hosiang meninggal dunia karena usia tua.
Setelah ditinggal mati oleh gurunya, barulah Siok Ki turun gunung sebagai seorang
pengemis. Ia merantau dan mengembara di seluruh propinsi dan malang melintang di
dunia kang-ouw dengan sebatang tongkatnya.
Entah berapa ratus penjahat yang telah dirobohkannya, entah berapa ribu orang yang
telah ditolongnya, tapi selamanya ia bertindak dengan bijaksana dan penuh kegagahan
hingga ia mendapat julukan Kang-lam Koay-hiap atau pendekar aneh dari Kang-lam.
Ia disebut aneh karena selalu muncul sebagai seorang pengemis dan selalu bekerja
seorang diri dengan diam-diam.
Kang-lam Koay-hiap memegang teguh sumpahnya dan selalu hidup sebagai seorang
pengemis. Ia tidak kawin selama hidupnya dan tidak mau menerima murid. Akhirnya
ia bertemu dengan keluarga Lie yang ditolongnya dari pembalasan dendam Kiu-thoulomo
yang telah lama diincarnya karena si iblis tua itu seringkali berbuat jahat dan
sewenang-wenang.
Dalam pertemuan itu, ia melihat Lie Bun yang menarik hatinya.
Pada pertemuan pertama saja ia telah dibikin terharu oleh sikap anak itu yang
membelanya hingga ia mengalirkan air mata. Selama hidupnya, selain suhunya yang
telah meninggal dunia, baru pertama kali itulah ada seorang yang hendak
membelanya. Dan orang itu ialah Lie Bun si anak kecil.
Demikianlah riwayat singkat dari Kang-lam Koay-hiap yang kini tampak sedang
berlari-lari dengan muridnya untuk menghilangkan hawa dingin pada waktu pagi-pagi
sekali sebelum fajar menyingsing itu.
Ketika matahari mulai mengintip di ufuk timur dan burung-burung berkicau di pohonpohon,
Kang-lam Koay-hiap ajak muridnya berhenti di luar sebuah kampung.
Lie Bun berhenti dan mengatur napasnya yang terengah-engah, tapi tubuhnya kini
terasa hangat dan segar.
“Lelah?” gurunya bertanya.
“Sedikit,” jawab murid itu dan mereka duduk di atas akar sebatang pohon.
Sambil beristirahat, Kang-lam Koay-hiap mulai memberi pelajaran kepada muridnya
tentang teori-teori ilmu silat tingkat permulaan. Karena tubuhnya terasa segar pada
pagi-pagi hari itu, pelajaran yang diberikan gurunya kepadanya diterima dengan
mudah dan cepat dimengerti. Melihat kecerdikan muridnya itu, Kang-lam Koay-hiap
sangat gembira. Ketika disuruh mengulang pelajaran-pelajaran itu, Lie Bun dapat
mengingat semuanya di luar kepala. Karena girangnya, pengemis itu memeluk tubuh
muridnya, mengangkatnya tinggi-tinggi dan melemparnya ke udara untuk diterima
dan dilempar kembali ke atas.
Lie Bun sangat senang dan memekik-mekik kegirangan karena iapun hanya seorang
anak-anak yang masih suka bermain-main.
Setelah hari mendekat siang, Kang-lam Koay-hiap ajak muridnya masuk ke kampung
itu untuk mengemis. Tentu saja Lie Bun tidak bisa melakukan pekerjaan ini dan
hatinya merasa perih dan malu sekali.
“Mengapa malu? Kita tidak mencuri, tapi minta dengan jujur. Kita ketuk pintu hati
manusia untuk menguji perikemanusiaan mereka. Kita tidak minta banyak-banyak,
hanya dua mangkuk nasi, semangkuk untukmu dan semangkuk untukku!”
“Tapi, apakah orang lain tidak akan memaki kita malas, suhu?”
Gurunya tersenyum dan teringat masa mudanya. Dulu semua orang juga memakinya
sebagai seorang pemalas.
“Biarlah kita dianggap malas, muridku. Tapi asal saja kita jangan malas. Bukankah
kau tidak malas dan akan rajin mempelajari ilmu silat yang kuajarkan padamu?
Bukankah itu juga pekerjaan yang membutuhkan seluruh tenaga dan pikiranmu?”
“Dan kau sendiri .... kau bekerja apa suhu?”
Kang-lam Koay-hiap tertawa bergelak-gelak. “Kerjaku .... kerjaku tentu saja
menghajarmu dan selain itu, ah, lihat sajalah, nanti kau pun akan tahu sendiri.”
Beberapa hari kemudian tahulah Lie Bun apa yang dimaksudkan oleh gurunya dengan
pekerjaan itu. Ketika itu mereka berjalan memasuki sebuah kampung di dekat hutan.
Ketika mereka mengemis nasi, jangankan mendapat dua mangkuk nasi, sedangkan
minta air saja tidak ada yang mau memberi.
Semua penduduk kampung itu bermuka muram dan mereka itu kebanyakan menutup
pintu dan keadaan di situ miskin sekali.
Kang-lam Koay-hiap merasa heran sekali, kemudian ia mencari dan menjumpai
beberapa orang pengemis tua yang kelaparan di pinggir kampung.
Ia majukan pertanyaan yang dijawab oleh seorang pengemis dengan suara pilu bahwa
kampung itu menghadapi saat kebinasaannya, seperti juga dirinya dan beberapa orang
kawan lain yang sejak kemaren belum makan.
Lie Bun merasa kasihan sekali diam-diam ketika suhunya sedang bercakap-cakap
dengan pengemis itu, ia pergi dan menuju ke sebuah warung nasi. Di situ ia mengemis
dengan suara mohon dikasihani karena ada orang kelaparan yang kalau tidak lekaslekas
ditolong tentu mati.
Tukang warung marah-marah dan mengusirnya, tapi Lie Bun terkenal berwatak keras
hati dan tidak mudah mundur. Ia majukan alasan-alasan, bahkan berani berkata.
“Apa kau bukan manusia? Di sana ada beberapa orang manusia lain yang sedang
kelaparan dan hampir mati. Apakah untuk memberi semangkuk nasi saja kepada
mereka kau merasa keberatan?”
“Anjing kecil tak tahu keadaan orang. Kau kira kami ini hidup makmur? Kami sendiri
terancam bahaya. Siapa yang bisa menolong?”
“Sabarlah, kawan. Sebentar lagi kalian kutolong.” Tiba-tiba terdengar suara dan
orang-orang di kedai itu melihat seorang pengemis tua berdiri di situ. Mereka anggap
pengemis ini gila maka mereka mengomel panjang pendek.
“Mengapa datang lagi pengemis-pengemis yang mengganggu kita? Ah, dunia sudah
penuh segala pengemis dan perampok.”
Kang-lam Koay-hiap yang telah menyusul muridnya dan memberi janji hendak
menolong tak perdulikan sikap mereka, tapi ia langsung memasuki kedai itu dan cepat
sekali ia mengambil lima potong kue kering yang terletak di atas meja. Orang-orang
menjadi marah dan mengejarnya, tapi Kang-lam Koay-hiap rogoh bajunya yang
penuh tambalan dan dari dalam saku dalam ia keluarkan sepotong perak yang
beratnya tak kurang dari lima tail.
“Ah, manusia-manusia mata duitan. Kalian ingin terima uang untuk menolong sesama
manusia hidup yang kelaparan? Hm, kalau hidupmu hanya untuk mengejar uang saja,
akan datang saatnya kalian mendapat celaka. Nah, ini ambillah uang ini untuk
pembayar makanan yang kubawa!”
Ia lempar potongan perak itu di atas tanah dan sambil membetot tangan muridnya. Ia
tinggalkan tempat itu, cepat menuju ke tempat di mana para pengemis itu rebah
kelaparan menanti datangnya maut.
Kue itu dibagi-bagi dan para pengemis itu berlutut menghaturkan terima kasih. Pada
saat itu datanglah orang-orang kampung yang tadi berkumpul di kedai beramai-ramai.
“Losuhu, tunggulah! Maafkan kelakuan kami tadi. Bukanlah kami orang-orang kejam
dan mata duitan, tapi sebenarnya kami sendiri sedang berada dalam keadaan yang
membutuhkan.”
“Aku sudah tahu. Bukankah kalian diganggu oleh perampok-perampok yang tinggal
di hutan itu? Kalian diperas dan dirampok sampai habis? Nah, bukankah tadi aku
sudah berkata hendak menolong kalian?” kata Kang-lam Koay-hiap tak acuh.
“Maafkan kami, losuhu. Kalau memang losuhu ada kepandaian, tolonglah kami demi
perikemanusiaan, demi Tuhan yang Maha Esa.” Orang-orang itu meratap dan kini
bahkan ada beberapa orang yang berlutut memohon-mohon.
Kang-lam Koay-hiap tiba-tiba pukulkan ujung tongkatnya ke atas tanah dan
membentak. “Kalau begitu, mengapa kalian sendiri tidak berperikemanusiaan dan
tidak mau menolong beberapa orang yang sedang kelaparan ini?”
“Ampun, losuhu .... kami sedang bingung dan tak tahu harus berbuat apa ....”
“Dengarlah, kamu semua. Aku mau menolong kalian, tapi kalian harus berjanji bahwa
mulai saat ini kalian harus lempar jauh-jauh sifat kikir dan mementingkan diri sendiri
itu. Kalian harus saling bantu dan menolong mereka yang sengsara. Ingatlah bahwa
tiap manusia ini tak mungkin berdiri sendiri di muka bumi tanpa saling bantu dan
saling tolong. Jangan hanya ingin ditolong oleh orang lain saja tapi diri sendiri tidak
sudi mengulurkan tangan memberi bantuan kepada orang yang sedang sengsara.
Kalau kalian mau berjanji, aku pengemis miskin akan membantumu. Tapi, kalau
tidak, aku bahkan ingin membantu perampok menghabiskan harta bendamu!”
Pekerjaan Pengemis Aneh
DENGAN menangis dan beramai-ramai mereka berlutut dan berjanji, bahkan ada
beberapa orang yang serentak maju dan menarik bangun para pengemis yang
kelaparan tadi dan membimbingnya ke dalam warung untuk diberi makan minum.
“Nah, kalau begitu, sediakan makan minum yang enak untuk aku dan muridku. Soal
perampok-perampok kecil itu serahkan saja kepadaku.”
Beramai-ramai mereka kembali ke warung tadi dan orang-orang sibuk
menghidangkan makanan enak-enak untuk Kang-lam Koay-hiap dan muridnya.
Melihat makanan yang lezat-lezat itu, walaupun di rumahnya dulu Lie Bun sering
makan masakan-akan yang lebih mewah dan lezat, namun karena perutnya sekarang
sedang lapar sekali, ia segera serbu hidangan itu dengan lahap tanpa sungkan-sungkan
lagi. Gurunya pun demikian hingga sebentar saja guru dan murid itu berlomba makan
hingga perut mereka menjadi penuh.
Kang-lam Koay-hiap elus-elus perutnya yang kenyang, lalu ia rebahkan diri di atas
bangku panjang dan tidur mendengkur. Lie Bun tertawa geli melihat suhunya dan ia
sendiri lalu keluar dari warung dan mendekati rombongan anak-anak yang sedang
main-main di luar. Tapi anak-anak itu melihat seorang pengemis kecil mendekati
mereka, lalu pada menjauh dan memandangnya dengan menghina.
Lie Bun biarpun baru beberapa hari saja menjadi pengemis, namun ia sudah biasa
akan pandangan menghina dari orang lain padanya hingga ia tidak menjadi marah.
Bahkan ia lalu ambil sebutir batu yang runcing dan gunakan itu untuk mengguratgurat
tanah. Dulu di rumahnya ia pernah diajar menggambar oleh guru sekolahnya
dan agaknya ia memang berbakat melukis.
Anak-anak yang menjauhkan diri ketika melihat pengemis kecil itu menggurat-gurat
di atas tanah, menjadi tertarik dan ingin tahu. Beberapa orang anak mendekat dan
ketika mereka melihat lukisan kerbau yang indah, mereka maju makin dekat dan
sebentar lagi semua anak yang tadi menjauh telah merubung Lie Bun.
“Bagus ...... kerbau bagus!” mereka bersorak dan seorang anak berkata.
“Gambarkan burung untukku!”
Lie Bun menengok sambil tersenyum girang ketika melihat semua anak-anak
merubungnya, maka ia segera gunakan tangan kiri membersihkan batu-batu kecil dan
daun-daun kering dari permukaan tanah dan mulai menggambar burung yang indah.
Kembali anak-anak bersorak riang.
Tak lama kemudian semua anak minta digambarkan, hingga halaman di situ penuh
dengan lukisan segala macam binatang.
Sorakan yang saling susul dari anak-anak itu tiba-tiba mendapat sambutan sorakan
lain yang keras sekali. Mendengar suara sorakan yang datangnya dari arah hutan itu,
semua anak-anak yang tadi tertawa-tawa lalu menangis dan lari pulang ke masingmasing
rumahnya.
Orang-orang tua juga tampak bergemetaran dan lari masuk ke dalam rumah lalu kunci
pintu rumah dari dalam.
Lie Bun melihat betapa sebentar saja kampung itu menjadi kosong dan sunyi. Cepatcepat
ia masuk ke warung dan mendekati gurunya yang masih mendengkur.
Di dalam warung itupun berkumpul banyak orang, karena sebagian besar orang
kampung sengaja mendekati pengemis tua yang telah berjanji hendak menolong
mereka. Tapi alangkah kaget dan kecewa mereka ketika melihat betapa pengemis itu
masih saja enak-enak mengorok di bangku panjang, sedangkan kawanan perampok
telah datang menyerbu.
Beberapa orang lalu maju menghampiri kakek itu dan berbisik-bisik memanggil.
“Losuhu ... losuhu .... bangunlah, mereka telah datang!”
Lie Bun melihat suhunya diganggu, lalu mencegah mereka dengan berkata keras.
“Kalian ini tidak tahu aturan. Orang sedang tidur diganggu. Tidak percayakah kalian
kepada suhu?”
Tentu saja orang-orang itu tidak puas mendapat jawaban ini karena kini telah
terdengar suara kaki kuda di depan warung itu bahkan terdengar bentakan-akan para
perampok.
“Mana orang? Hayo, lekas keluar!”
Mendengar ini semua orang di dalam warung itu menggigil dan berjongkok sambil
tutupi muka.
Pada saat itu, tiba-tiba dari luar terdengar suara yang parau dan keras tertawa bergelak
dan berkata. “Ha ha ha! Bagus sekali semua lukisan ini. Eh, orang dalam warung,
siapakah yang melukis semua gambar di tanah ini? Pelukisnya lekas keluar!”
Lie Bun memang seorang anak pemberani. Mendengar pertanyaan ini, keluarlah ia
tanpa ragu-ragu dan berjalan tenang menghampiri para perampok itu. Ia melihat
seorang yang bertubuh tinggi besar bagaikan seorang raksasa telah turun dari kuda
dan berdiri menundukkan kepala memandang ke arah lukisan-lukisannya.
Agaknya orang itu adalah kepala perampok, karena para perampok-perampok lain
berdiri agak jauh dengan sikap menghormat, juga pakaian mereka tidak sehebat
kepala rampok tinggi besar ini. Yang membuat ia tampak gagah menyeramkan adalah
cambang bauknya yang kaku dan mengacung ke sana-sini, sedangkan dipinggangnya
tergantung sebilah golok besar yang mengkilap dan tajam, karena golok itu telanjang
tak bersarung.
Kepala rampok itu mendengar ada orang keluar dari warung, lalu memandang.
Alangkah herannya ketika melihat bahwa yang keluar hanyalah seorang anak kecil
berusia belasan tahun. Ia makin tertarik dan heran melihat betapa anak itu dengan
tabah dan tidak ragu-ragu berjalan menghampirinya dengan muka terangkat. Ternyata
muka anak yang agak buruk itu mempunyai sepasang mata yang tajam dan
bersemangat.
“He, anak kecil! Mau apakah kau keluar?” bentaknya dengan suara sengaja
dikeraskan untuk menakut-nakuti.
“Bukankah tadi kau menanyakan pelukis semua gambar ini?” Lie Bun balas bertanya.
Makin heran kepala rampok itu. Ia bongkokkan tubuh untuk dapat menentang mata
anak berwajah buruk itu.
“Apa katamu? Tahukah kau siapa yang melukis semua ini?”
“Tentu saja tahu karena yang melukisnya adalah aku sendiri!”
Kepala rampok itu dongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.
“Anak kecil, kau bohong! Kau lancang sekali. Tahukah kau siapa kami yang datang
ini?”
Lie Bun mengangguk sederhana. “Kalian adalah perampok-perampok jahat!”
Terbelalak mata kepala rampok itu, dan ia mulai menganggap anak ini berotak miring.
“Kalau kau tahu kami perampok, mengapa kau berani main-main? Aku akan
membunuhmu!”
“Mengapa? Karena aku berani keluar?”
“Tidak, karena kau membohong! Mana kau becus membuat lukisan sebagus ini?”
Marahlah Lie Bun. Ia segera membungkuk dan memungut sepotong kayu tajam, lalu
berkata.
“Kau lihatlah. Aku akan melukis kau!”
Kemudian sambil memandang-mandang muka kepala rampok itu, Lie Bun membuat
corat-coret di atas tanah dan sebentar saja ia telah dapat membuat coretan kasar dari
wajah seorang yang mirip wajah kepala rampok itu.
“Lihatlah!” Dan kepala rampok itu lalu memandang lukisan itu dari dekat. Ia heran
sekali karena coretan itu memang menggambarkan wajah orang yang hampir sama
dengan wajahnya sendiri kalau ia sedang bercermin di dalam air.
“Kau pandai melukis anak kecil. Tapi tetap saja kau harus dibunuh, karena kau berani
dan kurang ajar!”
“Kau takkan dapat membunuhku,” jawab Lie Bun tenang.
Kembali orang tinggi besar itu terperanjat. “Apa? Mengapa?”
“Suhuku takkan mengizinkan kau membunuhku!”
“Ha ha! Kau pengemis kecil mempunyai suhu? Tentu suhumu pengemis jembel tua.
Mana dia?”
“Aku ada di sini, siapa mencari pengemis jembel tua?” tiba-tiba terdengar jawaban
dan ketika Lie Bun menengok, maka suhunya telah berjalan menghampiri mereka
dengan tindakan kaki perlahan dan tenang. Nyata bahwa suhunya masih merasa malas
meninggalkan bangku panjang tempat tidurnya tadi.
Melihat seorang kakek pengemis yang pakaiannya penuh tambalan dan celananya
pendek hanya sampai di lutut dan kakinya telanjang itu, kepala rampok memandang
rendah.
“Orang-orang kampung di sini agaknya berani mampus betul, tidak patut
menyambuyt kedatangan kami dengan mengeluarkan para jembel yang berbau
busuk!”
“Monyet besar, kami golongan pengemis masih jauh lebih harum jika dibandingkan
dengan kamu perampok-perampok rendah!” jawab Kang-lam Koay-hiap dengan
senyum menghina.
Mendengar hinaan ini, kepala perampok itu menjadi marah sekali. Matanya melotot
merah dan ia pandang pengemis tua itu dengan marah.
“Apakah kau cari mampus?” bentaknya lalu ia berpaling ke arah anak buahnya.
“Bakar semua rumah dan lempar jembel busuk ini ke dalam api!”
Dari rombongan perampok terdepan maju tiga orang yang menjadi thauwbakthauwbak
atau pemimpin-pemimpin kecil. Mereka siap hendak memberi perintah
kepada para liauwho untuk melakukan tugas ini.
Tapi tiba-tiba Kang-lam Koay-hiap gerakan tangan kanannya ke arah mereka bertiga
sambil berseru.
“Jangan berani bergerak!” Dari tangan Kang-lam Koay-hiap menyambar keluar
beberapa buah batu kecil yang ternyata telah digenggam sejak tadi. Batu-batu kecil itu
menyambar ke arah ketiga thauwbak itu dan heran sekali, tanpa dapat mengeluarkan
sepatah pun kata atau jeritan, tubuh ketiga pemimpin itu menjadi lemas dan roboh,
karena dengan jitu sekali batu-batu itu dapat menotok jalan darah mereka.
Hal ini menimbulkan gempar di kalangan anak buah perampok, bahkan kepala
perampok sendiri menjadi terkejut dan marah. Ia belum dapat menduga bahwa itu
adalah serangan lweekang yang tinggi dan hanya mengira bahwa secara kebetulan
saja kakek pengemis itu dapat merobohkan ketiga pembantunya, atau kakek itu
menggunakan senjata rahasia yang lihai. Dengan teriakan keras, ia cabut goloknya
yang mengeluarkan sinar mengkilap.
“Pengemis tua! Kau berani sekali mengganggu anak buahku. Tidak tahukah kau siapa
yang berhadapan denganmu?”
Kang-lam Koay-hiap geleng-geleng kepalanya dengan perlahan, lalu menjawab.
“Mana aku kenal dengan segala cacing tanah!”
Merahlah wajah kepala rampok tinggi besar itu. “Dengarlah, jembel tua bangka! Tayongmu
ini adalah Koay-to-ong dari Sansee. Kalau kau memang termasuk orang kangouw,
hayo kau merayap pergi sebelum golokku minum darahmu yang tak berharga!”
Kang-lam Koay-hiap pandang tongkat bambu di tangannya sambil berkata perlahan.
“Orang tinggi besar ini julukannya Raja Golok Setan, tidak tahu goloknya itu dapat
bertahan beberapa jurus terhadap kau, tongkat tua!”
Melihat sikap pengemis tua yang sangat memandang rendah padanya itu, Koay-toong
merasa ragu-ragu, maka ia bertanya.
“Sebenarnya siapakah kau orang tua yang usil tangan dan suka mencampuri urusan
orang lain?”
Kang-lam Koay-hiap menjawab tenang. “Koay-to-ong, tak perlu kiranya di sini kita
mengobrol nama kosong. Kau seorang gagah yang telah membuat nama besar di
kalangan kang-ouw. Mengapa kau tidak mau menjaga nama besarmu? Mengapa
sekarang kau begitu rendah hingga mengganggu rakyat jelata yang memang hidupnya
sudah sukar? Kalau kau merampok hartawan-hartawan pelit atau pembesar-pembesar
penindas rakyat, aku orang tua takkan ambil perduli. Tapi, melihat kau telah berubah
menjadi perampok kecil yang rendah dan tidak kenal malu hingga berani menyerbu
kampung yang begini miskin, terpaksa aku biarpun sudah tua, melupakan kebodohan
dan kelemahan sendiri dan akan kucegah perbuatanmu yang hina ini!”
“Jermbel tua sungguh sombong! Kau tahu apa tentang pekerjaan kami? Kau berani
betul menasehati kami dan hendak mencegah pekerjaanku. Biarlah kubikin kau
mampus lebih dulu sebelum aku melanjutkan pekerjaanku!”
“Itu lebih baik, boleh kau cobalah!”
Koay-to-ong tak sabar lagi. Ia putar-putar goloknya yang berat dan besar hingga
menimbulkan suara bersuitan dan angin bertiup di sekelilingnya. Kemudian sambil
membentak keras, ia kirim bacokan ke arah kepala Kang-lam Koay-hiap dengan tipu
gerak Han-ya-pok-cui atau Burung gagak sambar air. Tapi kakek itu dengan
tenangnya berkelit sedikit hingga golok besar itu mendesing menyambar di sebelah
tubuhnya ke bawah. Ternyata Koay-to-ong memiliki ilmu golok yang hebat dan
gerakannya cepat sekali. Ketika serangannya yang pertama ini gagal, maka ia
teruskan Hong-sauw-pay-yap atau Angin sapu daun rontok, hingga golok itu dengan
cepat sekali menyambar kedua kaki lawannya. Gerakan ini bagus dan berbahaya
sekali hingga Kang-lam Koay-hiap memuji. “Bagus!” Lalu loncat cepat berkelit
dengan gerakan Lo-wan-teng-ki atau Monyet tua loncati cabang, hingga sekali lagi
serangan lawannya dapat digagalkan dengan mudah.
Makin marahlah Koay-to-ong betapa serangan-serangan hebat yang ia lancarkan itu
dapat dikelit demikian mudahnya oleh lawannya, maka ia segera putar goloknya
makin cepat dan mulai lakukan serangan bertubi-tubi sambil keluarkan ilmu golok
Lo-han To-hwat dari cabang Siauw-lim-si yang terkenal lihai. Namun Kang-lam
Koay-hiap seorang tokoh kawakan yang sudah mahir sekali akan segala macam ilmu
silat dari cabang manapun juga, tentu saja kenal baik ilmu golok ini hingga tanpa
banyak kesukaran ia dapat kelit semua serangan.
“Orang tua busuk, hanya jangan bisa berkelit, kau balaslah menyerang!” kepala
rampok itu memaki sengit karena merasa gemas sekali betapa kakek itu
mempermainkannya dengan main kelit tanpa membalas sedikitpun juga. Ia ingin
kakek itu membalas agar ia dapat gunakan tenaga tangkisannya membikin terpental
tongkat bambu kecil itu.
Sementara itu Lie Bun yang nonton sambil nongkrong di pinggir, merasa senang
sekali melihat betapa suhunya mempermainkan lawannya, maka tak terasa lagi ia
tertawa terkekeh-kekeh, lalu berkata keras. “Suhu, mengapa kau tidak pukul
pantatnya dengan tongkatmu?”
Mendengar anjuran muridnya, Kang-lam Koay-hiap lalu tertawa dan berkata, “Kau
ingin dibalas? Nah, terimalah!”
Belum habis kata-kata terakhir diucapkan, tahu-tahu Koay-to-ong merasa pantatnya
pedas ketika terdengar suara “plok!” dan tongkat bambu itu menghantam tubuh
belakangnya.
“Kurang ajar!” ia membentak dan menyerang lagi. Tapi kini ia merasa terkejut sekali
karena kakek itu dengan luar biasa sekali telah melakukan serangan balasan hingga
seakan-akan berubah menjadi empat orang yang menyerangnya dari segala penjuru.
Ujung tongkat bambu itu tampak di mana-mana mengancam jalan darahnya, hingga
Koay-to-ong terpaksa gunakan ilmu golok yang dilakukan dengan bergulingan di atas
tanah. Tapi betapapun juga ia menjaga diri, ujung tongkat itu tetap saja mengikutinya.
Bahkan sewaktu-waktu demikian dekat di depan matanya seakan-akan hendak
mencongkel keluar matanya.
Syukur sekali baginya bahwa Kang-lam Koay-hiap tidak hendak mencelakakannya.
Kalau tidak, tentu sudah tadi-tadi ia tewas. Koay-to-ong loncat berdiri dari keadaan
bergulingan, dan ketika tongkat menyambar ia sengaja gunakan goloknya menyabet
sekuatnya.
Kang-lam Koay-hiap maklum akan maksud lawannya, maka ia lalu keluarkan
keandalan dan memperlihatkan kelihaiannya. Ia sengaja adu tongkatnya dengan golok
itu.
Dua senjata yang jauh bedanya, baik dalam ukuran maupun dalam beratnya itu,
beradu dan “cring!” tahu-tahu golok besar itu terlepas dari pegangan Koay-to-ong
yang merasa kulit tangannya seakan-akan dibeset dan golok itu terbang ke atas
terputar-putar. Ketika golok menyambar turun, Kang-lam Koay-hiap gunakan
tongkatnya menyabet miring dan golok itu lalu meluncur dan menancap di atas tanah
sampai lebih setengahnya.
Melihat kehebatan kakek ini, pucatlah wajah Koay-to-ong. Ia segera menjura dalam
dan berkata.
“Sungguh aku bermata buta tidak melihat seorang gagah di depan mata. Bolehkah
siauwte mengetahui siapa nama losuhu yang mulia?”
Kang-lam Koay-hiap sekali lagi geleng-geleng kepala. “Apa perlunya mengetahui
nama? Asal saja kau dapat melihat kembali ke jalan yang benar dan menjaga nama
besarmu sebagai seorang dari kalangan rimba hijau yang gagah dan tahu akan
keadilan dan kejujuran, masak kau khawatir akan terganggu oleh orang-orang tua tak
berharga seperti aku ini? Nah, kalian kembalilah dan kasihanilah orang-orang
kampung yang telah cukup miskin dan menderita ini!”
Kepala rampok dan para anak buahnya masih merasa penasaran karena pengemis tua
yang lihai itu tidak mau memberitahukan namanya. Tapi mereka tidak berani
memaksa. Ketika kepala rampok itu lewat dekat Lie Bun, ia mendumel perlahan.
“Aneh benar kakek itu!”
Mendengar ini, dengan tersenyum Lie Bun berkata kepadanya.
“Memang, ia pendekar aneh dari Kang-lam, tentu saja aneh!”
Mendengar ini, Koay-to-ong terkejut sekali. Ia cepat berpaling dan berkata. “Jadi ia
Kang-lam Koay-hiap? Celaka, aku telah bersalah kepadanya!” Ia cepat putar tubuh
memandang kakek itu, tapi Kang-lam Koay-hiap telah berjalan tereok-seok sambil
menyeret tongkat bambunya, menuju ke warung tadi untuk melanjutkan tidurnya yang
telah terganggu.
“Locianpwe, maafkanlah kami yang tidak mengenal orang tua yang gagah perkasa!”
Kepala rampok itu berteriak. Tapi Kang-lam Koay-hiap seperti tidak mendengar
teriakannya itu dan terus masuk ke dalam warung.
“Tentu saja suhuku suka maafkan kau. Kalau tidak, apa kau kira kau akan dapat pergi
lagi?” Lie Bun berkata.
Kepala rampok itu menghela napas dan ia lalu cemplak kudanya dan memberi tanda
kepada semua anak buahnya untuk cepat-cepat pergi dari situ. Suara kaki kuda yang
gemuruh itu makin lama makin melemah, kemudian hilang di balik bukit.
Penduduk kampung keluar dari tempat persembunyian mereka dan dengan berdesakdesakan
hendak memasuki warung itu. Tapi Lie Bun mencegahnya di depan pintu dan
berkata. “Suhu sedang tidur, jangan ganggu dia!”
Penduduk kampung yang berterima kasih dan anggap Kang-lam Koay-hiap sebagai
dewa penolong, menahan-nahan murid dan guru itu supaya suka tinggal di kampung
itu untuk beberapa lama. Tapi Kang-lam Koay-hiap yang tidak suka akan sikap
mendewa-dewakan dari mereka, segera ajak Lie Bun melanjutkan perjalanan mereka.
Ia meninggalkan pesan kepada para penduduk agar lebih mempererat kerja sama dan
persatuan di antara mereka sendiri, juga agar mereka itu lebih memperhatikan nasib
orang lain yang sedang ditimpa kesengsaraan dan kekurangan hingga dengan jalan
bergotong royong mereka akan merupakan penduduk kampung yang bersatu padu dan
kuat hingga tidak mudah diganggu gerombolan perampok.
Baru setelah terjadi peristiwa itu, tahulah Lie Bun akan pekerjaan suhunya, yakni
mengulurkan tangan mengerahkan tenaga untuk membela mereka yang tertindas dan
membasmi yang jahat. Diam-diam ia kagum sekali dan tekun belajar silat di bawah
bimbingan Kang-lam Koay-hiap yang lihai dan luar biasa.
Kang-lam Koay-hiap melihat ketekunan dan kerajinan murid tunggalnya, merasa
gembira sekali dan ia menggembleng muridnya itu dengan sungguh hati dan tak
mengenal lelah.
Sementara itu, mereka terus merantau dan Kang-lam Koay-hiap sengaja ajak
muridnya itu melalui daerah-daerah yang berbahaya hinga berkali-kali mereka
mengalami pertempuran-pertempuran hebat dan dimana saja mereka berada, selalu
Kang-lam Koay-hiap turunkan tangan besi kepada para penjahat dan ulurkan tangan
hangat kepada mereka yang kedinginan dan kesusahan.
Hal ini memang disengaja oleh Kang-lam Koay-hiap karena ia hendak mempertebal
rasa perikemanusiaan yang memang telah bersemi di dalam jiwa muridnya. Ia hendak
menggembleng muridnya itu supaya kelak menjadi seorang pendekar yang selain
gagah perkasa, juga berjiwa luhur dan pembela keadilan dan kebenaran berdasarkan
rasa perikemanusiaan.
Waktu berjalan cepat sekali hingga tak terasa lagi empat tahun telah lewat. Keadaan
Tiongkok di waktu itu sangat kacau karena kaisar yang memegang tampuk
pemerintahan sangat lalim dan hanya mementingkan pelesir dan senang-senang saja.
Kaisar lalim ini tidak atau sedikit sekali memperdulikan keadaan negara dan
rakyatnya hingga boleh dibilang ia telah melepaskan tangan dari kemudi dan
menyerahkan kemudi pemerintahan kepada para pembesar tinggi yang pandai ambil
muka dan yang berhati srigala.
Dengan sifatnya yang menjilat-jilat, para durna itu dapat merebut kedudukankedudukan
baik dan kepercayaan kaisar hingga mereka dapat meninabobokan kaisar
lalim itu yang tenggelam dalam siraman arak wangi, belaian tangan-tangan halus para
selir yang tak terhitung banyaknya, di tambah pula dengan hiburan-hiburan berupa
tari-tarian dan seni suara yang memabukkan dan membuat ia seakan-akan hidup
dalam surga. Ia tidak sadar sama sekali betapa para durna itu menetapkan bermacammacam
peraturan seperti menambah beban rakyat dengan pajak-pajak yang berat, dan
tidak tahu sama sekali bahwa di bawah matanya terjadi gejala-gejala yang membuat
rakyatnya tertindas dan sengsara sekali.
Para pembesar dari yang tinggi sampai yang paling rendah meniru keadaan kaisarnya,
yakni semua hendak hidup mementingkan diri sendiri, hendak tenggelam dalam laut
kesenangan dan untuk memenuhi nafsu angkara murka ini. Tiada lain jalan bagi
mereka selain memeras rakyat. Lain jalan ialah menghubungi para hartawan dari siapa
mereka mendapat uang sogokan yang besar jumlahnya, dan sebaliknya si hartawan
lalu memeras rakyat dengan jalan menghisap tenaga mereka.
Celakalah rakyat kecil. Mereka bekerja seperti kerbau, membanting tulang memeras
keringat. Para buruh bekerja mati-matian untuk memakmurkan majikannya yang
hanya goyang-goyang kaki sambil isap huncpwe menikmati sedap harumnya
tembakau. Para petani bekerja melebihi kerbau untuk menggendutkan perut tuan
tanah yang sudah gendut. Dan semua itu hanya untuk dapat menerima sekepal
makanan tiap hari untuk mencegah mereka dari pada bahaya maut kelaparan.
Bila musim kering tiba, maka sudah tidak mengherankan lagi bila di sana sini terdapat
orang-orang mati kelaparan. Pada waktu seburuk itu, tidak heranlah hika terdapat halhal
yang ganjil seperti berikut.
Di dalam gudang-gudang para hartawan dan para pembesar bertumpuk padi dan
gandum yang sampai membusuk di makan ulat karena banyaknya hingga berlebihlebihan
sedangkan di luar gudang-gudang itu mayat-mayat rakyat kecil mati
bergelimpangan karena kelaparan.
Ada pula hakim-hakim dan jaksa-jaksa yang menjatuhkan keputusan dari perkara
yang diadilinya bukan berdasarkan duduknya perkara, tapi berdasarkan besarnya uang
sogokan. Yang lebih kuat dan memberi terbanyak, pasti menang dalam perkara itu.
Di tiap kampung muncullah raja-raja kecil, yakni tuan-tuan tanah dan para hartawan.
Mereka ini merupakan raja-raja kecil, karena mereka untuk membela kepentingan
sendiri sengaja membentuk barisan-barisan pengawal atau tukang pukul. Mereka tak
segan-segan membuat peraturan-peraturan yang khusus berlaku bagi daerah atau
kampungnya, peraturan yang dipaksakan kepada rakyat kecil, terutama kepada para
petani miskin.
Demikianlah, maka jika para penindas rakyat itu hidup dalam alam penuh kesenangan
dunia, adalah si rakyat kecil yang hidup dalam neraka dunia. Hanya mata para orangorang
gagah dan patriot sajalah yang dapat melihat betapa keluhan-keluhan dan
jeritan-jeritan rakyat membumbung tinggi ke angkasa meminta keadilan kepada
Tuhan yang Maha Esa.
Kang-lam Koay-hiap dan muridnya termasuk orang-orang yang melihat keadaan
buruk ini dan karenanya orang tua itu makin giat mengulurkan tangan membantu
kehendak Thian yang mendengarkan jerit dan keluh manusia-manusia sengsara itu.
Seringkali Kang-lam Koay-hiap berkata kepada muridnya.
“Lie Bun, kau lihat baik-baik. Beginilah keadaan dunia. Kau lihat saja, masih adakah
orang yang pamntas disebut manusia? Tak usah kita melihat iblis-iblis yang menjelma
menjadi hartawan-hartawan kikir dan pembesar-pembesar curang. Baiklah kita
melihat kepada orang-orang kecil sendiri. Keadaan mereka yang sangat buruk itu
memaksa mereka gunakan kelicikan dan kecurangan untuk dapat sekedar mengisi
perut. Mereka saling tipu untuk dapat memberi makan kepada anak isterinya. Kau
lihatlah! Bukankah ini mengerikan? Kita tidak berdaya, muridku, maka kita harus
bertindak menurut takaran tenaga dan kemampuan yang ada pada kita saja. Pertamatama
kita janganlah sampai terbawa arus berbahaya dan buruk ini. Jangan sampai kita
ikut menurutkan nafsu hati merugikan orang lain. Kedua, kita harus turun tangan dan
membereskan segala yang tampak tidak lurus dan tidak adil. Kalau perlu, untuk
membela keadilan, boleh kita pertaruhkan jiwa kita.”
Lie Bun yang telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia kurang lebih lima belas
tahun, mendengarkan nasehat suhunya dengan hormat. Dalam empat tahun ini, ia
telah mengenal pribadi suhunya sebagai seorang yang tidak hanya memiliki
kepandaian tinggi, tapi juga memiliki jiwa yang luhur dan pengertian tentang hidup
yang dalam.
Selama empat tahun itu, Lie Bun betul-betul memperoleh gemblengan hebat, karena
tidak saja ia digembleng dalam hal pelajaran ilmu silat tinggi, tapi juga ia mendapat
gemblengan ilmu bathin yang dalam dan mendapat pengalaman yang luas karena
biarpun pengalaman itu hanya terjadi selama empat tahun, namun karena selama itu ia
mengalami peristiwa-peristiwa hebat, maka telah membuka matanya dan
mempertajam ingatannya.
Pada suatu hari, di kota Tung-kiang kelihatan ramai sekali dan banyak orang tampak
hilir mudik memenuhi jalan raya. Pada wajah mereka tampak jelas bahwa swsuatu
yang menarik hati terjadi di kota itu. Mereka bergegas-gegas dan nampaknya riang
gembira seperti orang yang hendak menonton sesuatu. Ternyata bahwa mereka itu
sebagian besar menuju ke sebuah kelenteng besar yang mempunyai pekarangan luas
sekali. Orang-orang berjejal-jejal di luar, karena pekarangan itu dipagari kokoh kuat
sedangkan pada pintu pagar ada beberapa orang yang tinggi besar bersenjata di tangan
berdiri menjaga dan melarang orang-orang yang hendak masuk.
“Tidak boleh masuk, di luar saja!” kata mereka sambil mendorong orang yang berani
mendekat.
Di tengah-tengah pekarangan yang luas, tepat di depan kelenteng itu, telah didirikan
sebuah panggung lui-tai yang tingginya tidak kurang dari tiga tombak hingga
kelihatan nyata dari luar pekarangan. Di sekeliling panggung itu terdapat kursi-kursi
yang puluhan jumlahnya.
Pada saat orang-orang berjejal-jejal di luar pekarangan, tiba-tiba tampak seorang
pemuda berpakaian penuh tambalan menyusup di antara orang banyak. Ia adalah
seorang pemuda yang berwajah hitam dan buruk karena kulit mukanya penuh tanda
cacar. Tapi jika orang memandang penuh perhatian, dibalik keburukannya itu tampak
sesuatu yang menyenangkan hati dan menimbulkan sayang pada wajah itu. Entah
karena bibirnya yang berbentuk indah dan selalu tersenyum itu.
Rambutnya digelung ke atas dan diikat dengan sehelai ikat rambut warna kuning.
Bajunya sukar disebut warnanya, segala warna terdapat di situ karena puluhan
tambalan baju itu berwarna berlainan. Celananya pendek hanya sampai di bawah lutut
hingga tampak betisnya yang padat kuat dan berkulit halus, jauh berbeda dengan kulit
mukanya yang buruk.
Kakinya telanjang tidak bersepatu, tapi tampak bersih, bahkan kuku kedua kakinya
terpelihara baik-baik. Pinggangnya yang kecil diikat sabuk kain kuning pula.
Pemuda ini bukan lain ialah Lie Bun. Ia tinggalkan suhunya yang duduk beristirahat
di bawah pohon di pinggir jalan. Kemudian pemuda ini mengikuti orang banyak itu
yang menuju ke depan kelenteng. Ketika Lie Bun sedang mendesak maju, ia kena
desak seorang tua yang memandangnya dengan bersungut-sungut.
“Di mana matamu, anak muda? Kaki orang kau injak saja seenaknya!” dengus orang
tua itu.
Lie Bun terkejut dan menengok ke bawah. Ternyata kaki orang tua itupun telanjang.
Ia tersenyum dan berkata halus.
“Maafkanlah, lopeh, aku tidak sengaja. Kalau kau merasa sakit, kau balaslah injak
kakiku agar hilang marahmu.”
Kata-kata ini diucapkan dengan sewajarnya dan sungguh-sungguh hingga orang tua
itu tidak jadi marah, bahkan ia memandang kepada Lie Bun dengan senang. Jaranglah
dijumpai seorang pemuda demikian sopan santun dan lemah lembut.
“Eh, kau tentu bukan orang sini, suaramu berbeda,” katanya.
Lie Bun hanya mengangguk sambil tersenyum senang melihat bahwa orang tua itu tak
jadi marah.
“Lopeh, sebenarnya aku tadi sedang terheran-heran karena hendak melihat apa yang
terjadi di sini. Sebetulnya ada terjadi apakah maka semua orang berkumpul di sini,
lopeh?”
Permusuhan Bu-gi-hwee dan Sin-seng-hwee
ORANG tua itu agaknya senang sekali melihat ada orang bertanya kepadanya dan
memberi kesempatan kepadanya untuk bercerita, maka ia lalu tarik tangan Lie Bun
diajak keluar dari tempat yang berjejalan itu. Mereka lalu keluar duduk di atas rumput
yang tumbuh di pinggir jalan.
Mula-mula orang tua itu agak heran melihat pakaian dan keadaan Lie Bun, tapi karena
pada masa sesukar itu memang banyak orang kelihatan seperti pengemis. Ia lalu tidak
perdulikan lagi.
“Kelenteng ini adalah tempat berkumpul atau pusat perkumpulan Bu-gi-hwee, sebuah
perkumpulan yang kuat di kota ini, karena Coa-tihu sendiri ikut menjadi pengurus.
Juga banyak hartawan di sini ikut pula menjadi penyokong hingga kedudukan Bu-gihwee
sangat kuat. Untuk memilih anggota, maka selalu diputuskan oleh para
pengurus, karena tidak sembarang orang boleh masuk menjadi anggota. Beberapa
bulan yang lalu, seorang hartawan besar hendak masuk menjadi anggota. Tapi karena
ia orang baru di kota ini dan pula pernah terjadi pertengkaran antara dia dengan
seorang pengurus, hartawan she Kwa itu ditolak. Inilah yang menimbulkan hal
kehebohan hari ini. Hartawan ini lalu masuk diperkumpulan Sin-seng-hwee yang
berada di kota Nam-kiang yang tak jauh dari sini. Dan dengan adanya Kwa-wangwe
di situ, maka perkumpulan itu menjadi besar dan kuat karena Kwa-wangwe selain
kaya, juga ia mempunyai jago-jago silat yang berkepandaian tinggi. Selain itu ia
mempunyai keluarga yang berpengartuh di kota raja, karena anak perempuannya
kawin dengan seorang pembesar berpangkat teetok.”
“Setelah merasa diri kuat, maka mulailah terjadi persaingan di antara Sin-seng-hwee
dan Bu-gi-hwee, yang terjadi karena para anggota dan anak buahnya meniru sikap
ketua masing-masing. Sebenarnya di antara Kwa-wangwe dan para pengurus Bu-gihwee
hanya ada sedikit ketidak cocokan, tapi oleh para anggotanya persaingan itu
dibesar-besarkan.”
Ketika mendengar betapa orang tua itu ceritanya berkepanjangan, Lie Bun bertanya
dengan halus.
“Lopeh, biarlah hal itu tak usah kita percakapkan. Yang hendak kuketahui hanya luitai
ini apa maksudnya dan dibuka oleh siapa?”
Empe itu merasa kurang senang karena ceritanya diputus oleh pendengarnya, tapi
karena pemuda itu bicara dengan gaya sopan dan halus, ia hanya berkata.
“Yang sedang kuceritakan ini langsung berhubungan dengan panggung lui-tai hari ini.
Biarlah kupersingkat ceritaku. Permusuhan antara Bu-gi-hwee dan Sin-seng-hwee
menjadi-jadi dan para hartawan dan bangsawan di kota Tung-kiang ini mengadakan
adu jago dengan taruhan bahwa yang kalah harus membubarkan perkumpulannya dan
menggabung kepada perkumpulan yang menang. Maka didirikanlah panggung lui-tai
ini untuk mengadu jago.”
Lie Bun terheran mendengar ini. “Dan yang mengadakan adu jago ini termasuk
pembesar-besar sendiri?”
Empe itu mengangguk. “Ya, selain pertaruhan di antara kedua perkumpulan, banyak
juga uang dipertaruhkan di antara para hartawan. Kabarnya sampai puluhan ribu tail
perak!”
“Siapakah yang akan diadunya?” Lie Bun bertanya dengan hati tertarik sekali.
“Siapa lagi kalau bukan guru-guru silat kedua pihak? Aku sendiri tidak tahu siapa,
tapi yang pasti tentu akan terjadi pertempuran hebat dan mati-matian karena kedua
pihak mempunyai ahli-ahli silat yang pandai. Kabarnya akan diajukan masing-masing
tiga jago silat!”
Mendengar keterangan ini, Lie Bun merasa tertarik sekali dan mereka berdua segera
mendesak kembali ke tengah untuk menonton pertandingan hebat yang akan
diadakan. Anak muda ini merasa sangat gembira hingga melupakan gurunya dan ia
mendesak sampai di depan sekali, di mana berdiri penjaga-penjaga yang melarang
orang luar memasuki pekarangan itu.
Ternyata kini kursi-kursi di pekarangan yang mengelilingi lui-tai telah penuh
diduduki orang. Bagian kiri diduduki oleh rombongan tuan rumah, pembesar-besar
dan hartawan-hartawan Tung-kiang, sedangkan di bagian kanan diduduki oleh pihak
tamu dari Nam-kiang. Di atas panggung telah berdiri seorang tua berpakaian
bangsawan, dan dibelakangnya berdiri tiga orang-orang tua yang tampak gagah.
Bangsawan itu menjura ke arah tempat duduk para tamu dan berkata dengan suara
lantang tapi hormat.
“Cuwi sekalian yang terhormat. Sebagaimana diketahui, pertandingan yang diadakan
hari ini ialah untuk mengakhiri persaingan yang berbahaya. Agar terdengar jelas oleh
semua yang berkumpul di sini, kami ulangi peraturan-peraturan pertandingan dan
pertaruhan-pertaruhannya yang telah dibuat di atas kertas perjanjian, yakni
pertandingan diadakan tiga kali di antara tiga calon atau jago yang diajukan kedua
pihak. Pertandingan ini diserahkan kepada mereka yang bertanding untuk
mengadakan perjanjian sendiri, hendak pakai senjata atau tangan kosong. Akibat luka
atau mati tidak ditanggung oleh jago masing-masing. Dan yang kalah dalam
pertandingan ini telah berjanji hendak membubarkan perkumpulannya dan sebagai
tanda tunduk, hendak menggabungkan diri kepada perkumpulan yang menang dan
dianggap sebagai cabang perkumpulan itu. Sudah jelaskan?”
Terdengar jawaban-jawaban yang menyatakan bahwa keterangannya telah jelas dan
disetujui. Kemudian pembesar itu melanjutkan kata-katanya.
“Dan sekarang kami perkenalkan jago-jago kami, yakni jago-jago Tung-kiang.
Pertama adalah losuhu Cee Un yang berjuluk It-ci Sin-kang Si jari lihai, kedua adalah
losuhu Bu Swat Kay berjuluk Tiat-tauw-ciang Si kepala besi dan yang ketiga adalah
losuhu Ouw-bin-liong Kwee Ong Si naga muka hitam. Kini kami persilakan cuwi
mengajukan jago-jago dari Nam-kiang.”
Wakil Nam-kiang, seorang hartawan yang bertubuh gemuk dan pandai silat juga,
loncat naik ke panggung. Ia membungkuk dan menjura ke arah rombongan tuan
rumah dan berkata.
“Cuwi sekalian. Kami dari Nam-kiang telah siap dengan tiga jago kami. Pertamatama
akan maju jago ketiga dari pihak kami, yaitu losuhu Teng Ho Kong.” Ia lalu
loncat turun kembali dan pihak tuan rumah juga loncat turun, kecuali jago ketiga yang
menunggu munculnya lawannya. Teng Hok Kong adalah seorang tosu berbaju putih.
Ketika tosu ini loncat ke atas panggung, gerakannya demikian ringan dan lemah
hingga diam-diam Lie Bun kagum, karena ia maklum bahwa tosu ini tentu tinggi ilmu
silatnya.
Kwee Ong yang menjadi jago ketiga dari Tun-kiang, segera menyambut kedatangan
lawannya dengan menjura. Ia sudah cukup kenal nama Teng tosu yang lihai, maka ia
berlaku hati-hati dan bertanya.
“Teng tosu hendak memberi pengajaran dengan cara bagaimanakah? Bersenjata atau
bertangan kosong?”
Teng tosu balas menjura. “Pinto adalah tamu, maka terserah kepada tuan rumah
hendak memberi suguhan bagaimana.” Kata-kata ini halus tapi mengandung
tantangan jumawa hingga Kwee Ong telah dapat dipanaskan hatinya.”
“Kalau begitu, biarlah kita mengadu kepandaian secara bebas,” jawabnya yang lalu
disetujui oleh lawannya.
“Teng tosu, sebagai tamu jangan sungkan-sungkan, mulailah!”
Tosu itupun tidak banyak bicara lagi. Dengan seruan “Awas serangan!” ia maju
menyerang. Gerakannya cepat dan ringan, menandakan ginkangnya yang tinggi. Tapi
Kwee Ong yang mendapat julukan Si Naga Muka Hitam bukanlah lawan yang ringan.
Ia loncat berkelit dan balas menyerang dengan hebat. Suara para penonton yang
tadinya berisik menjadi diam dan sunyi karena semua mata dan perhatian ditujukan ke
arah mereka yang berkelahi di atas panggung.
Ternyata kedua lawan itu berimbang sekali. Teng tosu gesit dan cepat, Kwee Ong
kuat dan gerak kakinya tetap. Mereka tidak berkelahi secara main-main, tapi
mengeluarkan kepandaian simpanan dan berusaha menjatuhkan lawan dengan
pukulan-pukulan maut.
Berpuluh jurus telah dilalui dan belum juga ada yang menang. Tapi karena beberapa
kali beradu lengan, Teng tosu merasa betapa kulit lengannya sakit yang menyatakan
bahwa ia kalah tenaga. Maka tanpa sungkan lagi ia loncat mundur sambil berseru.
“Marilah kita mengadu senjata!” katanya sambil mencabut pedangnya dari punggung.
“Baiklah!” Kwee Ong menjawab dan ia ambil toyanya yang tadi ditaruh di pinggir
panggung. Mereka saling serang lagi, kini lebih hebat karena menggunakan senjata.
Penonton menjadi makin tegang dan silau karena sinar senjata yang diputar cepat itu.
Terutama pedang Teng tosu ternyata hebat dan lihai hingga dengan gerak pedang
Liang-gie-kiamhwat dari cabang Bu-tong-pai, ia berhasil mengurung lawannya dan
mendesak hebat. Hal ini terlihat jelas oleh para penonton di sekeliling panggung,
hingga tentu saja tamu-tamu menjadi girang. Sebaliknya tuan rumah menahan napas
dengan penuh kekuatiran.
Setelah mendesak hebat, maka akhirnya Teng tosu berhasil mengirim tusukan maut ke
arah tenggorokan Kwe Ong.
Tusukan ini sukar sekali ditangkis karena toyanya berada dalam kedudukan yang
sulit, maka terpaksa Kwee Ong ayun tubuh atasnya ke belakang hingga seperti hendak
jatuh.
Dengan gerakan ini ia terluput dari tusukan pedang, tapi secepat kilat Teng tosu kirim
tendangan ke arah lututnya hingga tak ampun lagi Kwee Ong roboh di atas panggung
dan toyanya terlepas. Jatuhnya miring dan karena pening untuk sesaat ia tak dapat
bangun. Ia rasakan lututnya sakit sekali, agaknya putus sambungannya.
“Kwee sicu, maafkan pinto yang kurang ajar!” Teng tosu berkata sambil maju hendak
bantu membangunkan Kwee Ong. Tapi .... pada saat itu, ketika Teng tosu
membungkuk hendak pegang lengan Kwee Ong, dengan cepat dan tak terduga sama
sekali, orang she Kwee itu ..... ayunkan tangannya.
Sebatang piauw menyambar dan tepat menancap ditenggorokan Teng tosu yang roboh
terguling tanpa dapat mengeluarkan suara lagi. Hal ini terjadi cepat sekali hingga
hampir tidak diketahui orang, tapi Lie Bun melihatnya jelas sekali.
Anak muda yang berdarah panas ini segera maju hendak masuk ke pekarangan. Tapi
kelima penjaga mencegahnya dengan lintangan tombak dan golok.
“Minggir kamu!” bentak Lie Bun dan entah bagaimana, tahu-tahu kelima penjaga itu
terlempar kesana kemari dan jatuh tunggang langgang.
Semua penonton di luar pagar heran dan kagum sekali melihat sepak terjang anak
muda itu, terutama kakek yang tadi bercerita kepada Lie Bun merasa terkejut dan
heran. Lie Bun tak perdulikan seruan orang-orang itu, tapi terus saja loncat
menghampiri panggung dan sebelum orang-orang yang duduk di sekitar panggung
tahu apa yang terjadi dengan para penjaga itu, tahu-tahu tubuh Lie Bun telah
melayang ke atas panggung.
Pada saat itu, kedua jago dari Nam-kiang melihat betapa kawan mereka dapat
dirobohkan dengan cara yang sangat curang, merasa marah sekali dan berbareng
meloncat ke atas panggung. Juga kedua jago dari Tung-kiang melihat pihak Namkiang
loncat, ikut enjot tubuh ke atas.
Akan tetapi sebelum keempat jago dari kedua pihak itu sampai ke atas panggung,
tahu-tahu Lie Bun telah mendahului mereka.
Kwee Ong yang berhasil merobohkan Teng tosu dengan cara curang, ketika melihat
berkelebatnya seorang pemuda ke atas panggung, menyangka bahwa itu tentu kawan
Teng tosu hendak menuntut balas, maka ia cepat ayun lagi tangannya dan sebatang
piauw meluncur ke arah tubuh Lie Bun yang belum turun kakinya.
Pemuda itu segera membentak. “Bangsat curang!” dan ia gunakan dua jari tangannya
menyampok piauw yang terbang itu hingga dengan luncuran yang lebih cepat dari
datangnya tadi, piauw itu terbang kembali menyerang tuannya.
Kwee Ong tak keburu berkelit karena hal ini sama sekali tidak disangkanya hingga
tahu-tahu piauwnya sendiri telah menancap di lehernya dan ia berteriak ngeri.
Keempat jago yang kini telah naik ke panggung, dua dari Tung-kiang, dua lagi dari
Nam-kiang, menjadi terkejut dan heran. Mereka tidak tahu dari mana datangnya anak
muda yang lihai ini. Terutama pihak Tung-kiang yang melihat betapa kawan mereka
dilukai, segera membentak nyaring.
“Bangsat kecil berani mati! Siapakah kau yang telah berani membunuh kawan kami?”
Sebelum Lie Bun menjawab, dua orang jago dari Nam-kiang yang juga telah naik dan
marah melihat ada orang luar ikut campur hingga dapat menimbulkan dugaan buruk
terhadap pihak Nam-kiang, membentak marah.
“Pengemis cilik kelaparan! Kenapa kau ikut campur urusan orang lain? Kami tidak
sudi dibantu oleh siapapun juga?”
Lie Bun tersenyum dan memandang orang-orang kedua pihak berganti-ganti, lalu
berkata sambil angguk-anggukan kepala.
“Memang sudah ku duga. Kamu semua bukanlah orang baik-baik, bukan orang-orang
gagah di kalangan kang-ouw yang menjunjung tinggi kegagahan, tentu takkan sudi
diperalat oleh orang-orang kaya dan berpangkat untuk saling menghantam sesama
kaum dan golongan. Tapi aku tidak perduli semua ini. Kalian orang-orang tersesat
mau saling hantam dan bunuh masa bodoh. Tapi di depan mataku jangan sekali-kali
terjadi kecurangan seperti tadi. Biarpun yang bertempur hanya segerombolan anjing,
kalau ada yang bermain curang, aku tak dapat tinggal diam. Aku paling benci melihat
kecurangan!”
Semua orang heran sekali mendengar kata-kata yang sangat berani ini, dan banyak
orang menyangka bahwa anak muda pengemis ini tentu berotak miring atau
setidaknya seperempat gila.
Orang-orang yang tadi menonton di luar pagar, kini melihat betapa kelima penjaga itu
dapat dilempar orang hingga merangkak bangun sambil pegang-pegang kepala yang
bocor, beramai-ramai memasuki pintu pekarangan dan melihat ke atas panggung,
karena mereka tahu bahwa sekarang akan terjadi perkelahian yang lebih hebat lagi.
“Bangsat kecil, kau memang harus dibikin mampus!” bentak jago kedua dari Tungkiang
yang bertubuh pendek besar dan kepalanya gundul. Inilah Tiat-tauw-ciang si
kepala besi yang bernama Bu Swat Kay.
“Benar, sebelum kita melanjutkan pertandingan ini, lebih dulu kita harus bereskan
binatang ini!” jago pertama dari Nam-kiang berseru.
Sementara itu, kedua mayat dari Kwee Ong dan Teng tosu telah diturunkan orang
hingga kini yang berada di atas panggung hanya tinggal Lie Bun yang dikurung oleh
empat orang jago dari kedua pihak.
Lie Bun mendengar betapa jago-jago kedua pihak memusuhinya, tersenyum dan
berkata.
“Memang seharusnya demikian. Kalau kalian berempat tak dapat menjatuhkan aku,
apakah kalian masih ada muka untuk main pencak di sini memamerkan
kepandaianmu yang tiada harganya ini? Hayo majulah kalian berempat, boleh cobacoba
dengan siauw-yamu!”
Bukan main marahnya keempat orang itu. Mereka adalah jago-jago besar yang
ternama dan memiliki kepandaian tinggi.
Jago pertama dari Tung-kiang yang bernama Cee Un dan berjuluk Si jari lihai adalah
seorang tinggi kurus yang mahir sekali ilmu totok It-ci-tiam-hwat dan memiliki
lweekang yang sudah mencapai tingkat tinggi. Selain menggunakan sebuah jari untuk
menotok jalan darah lawan, Cee Un memiliki sebuah senjata yang aneh dan lihai,
yakni sebatang pit kuningan yang dapat ia mainkan dengan berbahaya karena selain
merupakan senjata yang dapat menembus kulit, mematahkan tulang, juga dapat
digunakan untuk menotok jalan darah lawan yang berkulit tebal.
Jago kedua dari Tung-kiang juga seorang yang berkepandaian tinggi. Bu Swat Kay si
kepala besi ini memiliki tenaga besar dan keistimewaannya ialah menggunakan
kepalanya yang gundul licin untuk menghantam tubuh lawan. Jarang ada lawan yang
dapat menahan benturan kepalanya yang lebih berbahaya dari pada serudukan kerbau
jantan.
Juga jago-jago dari Nam-kiang tak boleh dipandang ringan. Yang ketiga saja, Teng
tosu yang tewas karena kecurangan Kwee Ong sudah cukup lihai. Yang kedua ialah
Liok Sat yang dijuluki Lutung Sakti, seorang bekas perampok ulung yang telah
terkenal sekali akan ilmu pedang cabang Kun-lun yang telah tercampur dengan lainlain
cabang.
Yang pertama adalah seorang kang-ouw yang telah membuat nama besar, bukan
karena kegagahannya saja, tapi juga karena kekejamannya. Ia adalah seorang hwesio
cabul yang tersesat bernama Khong Tong Hwesio, seorang ahli dari cabang Siauwlim-
pai, tapi bukan murid langsung, hanya saja ilmu silatnya telah bercampur dengan
ilmu silat Pek-lian-kauw. Khong Tong Hwesio ini masih menjadi murid keponakan
dari Ang-koay-tojin yang terkenal dan ditakuti seluruh tokoh kang-ouw.
Demikianlah empat orang jago besar itu, tentu saja mereka merasa terhina sekali oleh
anak muda yang tak mereka pandang sebelah mata itu.
Si kepala besi tak dapat menahan marahnya lagi, lalu berkata kepada kawan dan
lawannya.
“Saudara-saudara harap turun dulu, biar aku yang mengantar nyawa binatang jahanam
ini ke neraka!”
Karena tidak sudi dianggap mengeroyok seorang anak muda yang usianya tidak lebih
dari lima belas tahun, tiga jago lain lalu loncat turun dengan muka merah karena
marah dan penasaran.
Lie Bun menghadapi si kepala besi. “Kalau tidak salah, tadi kau diperkenalkan
sebagai seorang berkepala besi. Tidak tahu besi di kepalamu itu besi tulen atau
palsu?”
Orang-orang luar yang kini telah mendesak masuk ketika mendengar ini tak dapat
menahan geli hati mereka dan sambil ditahan-tahan mereka tertawa perlahan.
Bukan main marahnya si kepala besi hingga kepalanya yang licin gundul itu seakanakan
mengeluarkan asap. Ia gulung lengan bajunya dan Lie Bun juga meniru
perbuatannya itu, ikut-ikut menggulung lengan baju hingga kembali orang-orang yang
melihat tingkah lakunya yang lucu menjadi tertawa.
“Bangsat kecil, lihat saja dalam sepuluh jurus aku pasti akan menjatuhkan kau ke
bawah panggung dengan napas putus!”
Lie Bun menjawab sambil meniru-niru gaya dan suara si kepala besi.
“Bangsat besar, lihat saja dalam lima jurus aku pasti akan menjatuhkan kau ke bawah
panggung dengan napas empas-empis!”
Kembali para penonton tertawa, mereka ini lupa bahwa yang berada di atas panggung
bukanlah dua orang pelawak yang sedang membadut, tapi adalah dua orang yang akan
bertempur mengadu nyawa.
Si kepala besi yang tadinya hendak tahan harga dan menjaga nama hingga tak mau
menyerang dulu, melihat lagak Lie Bun menjadi tak sabar lagi. Ia mengeram dan
maju menerkam seperti seekor harimau haus darah.
Lie Bun menghitung “satu!” sambil berkelit dan ketika serangan kedua datang, ia
menambah hitungannya “dua!” dan demikianlah, dengan berkelit dan gunakan
ginkangnya hingga ia bergerak lincah sekali. Ia menghitung terus sampai delapan.
Melihat betapa dalam delapan jurus belum juga dapat menjatuhkan anak itu, si kepala
besi menjadi terkejut, heran dan malu. Kalau tidak bisa menjatuhkan dalam dua jurus
lagi, ia akan mendapat malu dan kehilangan muka, pikirnya. Maka ia lalu maju
menyerang dengan tiga pukulannya yang paling berbahaya, yakni Macan hitam
menerkam ular. Pukulan ini selain cepat, juga tidak terduga, karena kedua tangan
digerak-gerakan tak tentu hingga sukar diduga hendak memukul bagian mana.
Namun Lie Bun tidak menjadi bingung. Ia sengaja menanti dengan tenang dan
menghantam lambung yang dapat mendatangkan maut. Ia segera menggulingkan diri
ke belakang sambil menghitung “sembilan!” dan kemudian berdiri lagi sambil
tersenyum-senyum mengejek.
Tentu saja si kepala besi merasa gemas sekali, apalagi ketika mendengar suara ketawa
dari para penonton, baik dari pihak Tung-kiang maupun dari pihak Nam-kiang yang
merasa betapa anak muda itu sikapnya lucu sekali.
Maka nekadlah si kepala besi, ia mundur beberapa langkah dan segera berseru.
“Bersedialah untuk mampus!” kemudian ia lari cepat dengan kepalanya yang gundul
mengkilap di depan, seperti lakunya seekor kerbau gila yang menyeruduk lawannya.
Karena sambil maju menyeruduk, matanya melirik, ia dapat mengejar kemana saja
lawannya lari menghindarkan diri.
Melihat kenekatan lawannya, Lie Bun tertawa keras dan berkata.
“Coba lihat, apakah kepalamu ini benar-benar besi tulen atau hanya kentang busuk!”
Belum habis kata-kata ini dikeluarkan, semua orang menahan napas karena serudukan
ini telah tiba. Tapi Lie Bun dengan tenang sekali enjot tubuhnya ke atas hingga ia
dapat naik ke atas punggung lawannya dan dengan sebelah kaki ia injak belakang
kepala itu sambil kirim satu tabokan dengan tangannya.
“Plak!” kepala gundul itu kena ditampar.
“Ah, bukan besi tulen!” kata Lie Bun yang loncat turun. “Nah, aku sudah menerima
serangan sepuluh jurus, sekarang coba kau terima seranganku lima jurus saja!”
Sehabis berkata demikian, Lie Bun lalu maju menendang dengan kaki kirinya secara
sembarangan ke arah perut lawannya. Tendangan ini agaknya dilakukan sembarangan
saja dan tidak bertenaga hingga si kepala besi pandang enteng. Tapi jago-jago nomor
satu dari kedua pihak khawatir sekali karena mereka maklum bahwa tendangan ini
adalah sebuah gerakan pancingan dari ilmu tendangan Siauw-ci-twie yang lihai.
Benar saja, ketika si kepala besi dengan sembrono gunakan tangan hendak
menangkap kaki yang menendang itu, tahu-tahu kaki itu telah ditarik kembali dan
secepat kilat kaki kedua menyusul dari jurusan lain yang sama sekali tidak terduga.
Kaki kanan Lie Bun yang tak bersepatu tepat sekali mendorong dada si kepala besi
hingga tak ampun lagi Bu Swat Kay terlempar dan jatuh dari atas panggung hingga
mengeluarkan suara bergedebuk keras ketika tubuhnya menimpa tanah.
Kini pujian dari penonton tak disembunyikan lagi. Terdengar tepuk tangan riuh.
Melihat betapa seorang pengemis kecil dapat mengacaukan pertandingan lui-tai itu
yang berarti menghina mereka yang hendak bertanding, maka Liok Sat si Lutung sakti
enjot tubuh naik ke atas panggung. Begitu kakinya menginjak papan panggung, tahutahu
ia telah kirim serangan maut ke arah ubun-ubun kepala Lie Bun.
“Kejam sekali!” Lie Bun berseru keras dan berkelit menghindar serangan itu.
Tapi si lutung sakti tidak mau kasih hati kepada pengemis muda yang ia anggap
sangat kurang ajar itu, dan terus saja ia keluarkan ilmu silatnya yang paling jempolan,
yakni Sin-wan Kun-hwat atau ilmu pukulan lutung sakti yang diciptakannya sendiri
berdasarkan ilmu silat Go-bi.
Ia menafsir dalam beberapa jurus saja pasti ia akan dapat menangkap atau
merobohkan anak itu yang disangkanya hanya memiliki kegesitan belaka. Tidak
tahunya bahwa Lie Bun telah banyak mengalami pertempuran besar bersama suhunya
dan ia mengenal segala macam ilmu silat.
Maka melihat permainan silat lawannya, ia lalu keluarkan ilmu silat Bie-ciong-kun
atau Kepalan menyesatkan dan dengan ilmu silat ini ia dapat membuat lawannya
bingung. Gerak geriknya seperti seorang wanita yang genit hingga nampak menarik
sekali dan menimbulkan buah tertawaan penonton yang makin gembira.
Pertunjukan itu tentu saja merupakan tamparan hebat, baik bagi pihak tuan rumah
maupun bagi pihak tamu, maka dengan berbisik para pengurus kedua pihak lalu
menganjurkan jago-jago ke satu mereka untuk naik dan membereskan pengacau cilik
itu!
Tapi sebelum kedua jago itu naik ke panggung, terdengar teriakan keras dari Liok Sat
dan tubuhnya terlempar di udara. Ternyata ketika ia menggunakan kaki kanan
menendang dengan keras ke arah anggota rahasia Lie Bun, pemuda itu cepat geser
kakinya ke samping, lalu cepat bagaikan kilat ia berhasil menangkap kaki lawan dan
terus saja mendorongnya ke atas.
Tidak ampun lagi tubuh Liok Sat terlempar dan melayang dengan telentang dan
kepala lebih dulu ke bawah panggung. Untung baginya bahwa jatuhnya tepat di mana
jago pertama dari Nam-kiang berdiri hingga Khong Tong Hwesio dapat menjambak
leher bajunya dan mencegah kepalanya membentur tanah.
Khong Tong Hwesio putar-putar matanya yang besar karena marahnya. Selama
hidupnya belum pernah ia merasa terhina seperti pada saat ini. Seorang pengemis
muda berani mengganggu dan membikin malu ia dan kawan-kawannya. Sungguh
harus mampus! Ia telah siap untuk melayang ke atas panggung dan dengan sekali
jotos tewaskan anak muda itu. Tapi pada saat itu tampak seorang dari pihak Tungkiang
loncat naik ke atas panggung sambil membentak.
“Bangsat kecil, kau cari mampus sendiri!” Dan bayangan itu yang mempunyai
gerakan cepat dan ringan sekali langsung menyerang Lie Bun.
Ia adalah Cee Un si jari lihai, jago pertama dari Tung-kiang. Ketika tangan yang
menyerang itu dikelit oleh Lie Bun, cepat sekali tangan itu terbuka jarinya dan terus
menyerang ke arah mata pemuda itu. Gerakannya demikian cepat dan tidak terduga
hingga Lie Bun menjadi kaget sekali. Ia tahu bahwa lawannya kali ini bukan
sembarang orang, maka ia tak berani berlaku sembrono. Namun ia masih berkelakar
untuk menenagkan hatinya.
“Ah, inikah It-ci-sin-kang si jari lihai? Berani betul kau melawan aku. Apa tidak takut
kalah?”
“Setan kecil tutup mulutmu!” Cee Un membentak dan kembali ia menyerang hebat.
Kini ia menggunakan It-ci-tiam-hwat atau ilmu totokan satu jari yang luar biasa
lihainya karena jari telunjuk kedua tangannya itu lebih berbahaya dari pada dua
batang pedang tajam.
Gerakan pedang dapat didengar dan dilihat, tapi senjata hidup berupa jari tangan itu
lihai sekali dan luar biasa cepatnya.
Namun Lie Bun akan memalukan nama suhunya jika ia dapat dibuat gentar oleh It-citiam-
hwat. Ia bergerak lebih cepat dari pada lawannya dan untuk menghindari jari
lawan ia gunakan ilmu pukulan Eng-jiauw-kang. Sepuluh jari tangannya lalu ditekuk
merupakan cakar garuda dan jangan pandang rendah jari-jari tangannya yang kecil itu
karena di situ telah dialirkan tenaga lweekang yang membuat jari-jari itu merupakan
cakar besi dan dapat membeset kulit lawan.
Demikianlah, kedua orang itu saling serang, yang satu menusuk-nusuk dan yang lain
mencakar-cakar.
Menghadapi kelincahan Lie Bun yang ternyata lebih gesit dari padanya ini, Cee Un
merasa penasaran sekali. Ia sebetulnya tidak takut menghadapi cengkraman cakar Lie
Bun karena dengan mengandalkan ilmu kebal dan tenaga dalamnya, paling hebat
kalau sampai tercengkram tentu hanya luka kulit saja yang di deritanya, tapi kalau hal
ini benar. Karena inilah, maka ia berteriak menyatakan kemendongkolan hatinya, lalu
tahu-tahu ia telah mencabut sebatang pit kuningan dari pinggangnya.
Pit ini pjanganya kira-kira satu kaki dan ketika ia telah pegang senjata istimewa ini, ia
lakukan serangan bertubi-tubi dengan cepat dan hebat.
Kini Lie Bun agak terdesak. Tadi memang ia berani mengadu tangan karena sepuluh
jarinya boleh diadu dengan dua jari lawan. Tapi kini jari-jarinya menghadapi sebatang
pit kuningan yang keras dan lihai, maka ia lalu merubah pula caranya bersilat. Dan
kini ia gunakan ilmu silat Im-yang-kun yang diandalkan dan menjadi ilmu simpanan
suhunya.
Benar-benar ilmu silat Im-yang-kun ini luar biasa, karena ilmu silat ini mengandung
kekerasan dan kehalusan secara berbareng. Dengan menggunakan ilmu silat ini Lie
Bun dapat melayani pit dari It-ci-sin-kang hingga ratusan jurus.
Sebetulnya Lie Bun kalah tenaga lweekang, juga kalah ulet dan pengalaman, maka
dapat diduga betapa terkejut dan herannya Cee Un ketika melihat betapa pemuda itu
sukar sekali dirobohkan.
Si Muka Bopeng Jatuh Cinta
KHONG Tong Hwesio melihat bahwa Cee Un belum juga dapat merobohkan anak
itu, menjadi makin marah. Ia enjot tubuhnya yang besar dan sekejap mata ia telah
berada di atas panggung sambil membentak.
“Orang she Cee! Kau serahkan anak ini untuk disembeli olehku!”
Tapi Cee Un yang merasa penasaran tak mau tinggalkan anak itu karena kalau ia
tinggalkan akan kehilangan muka. Itu berarti bahwa ia kalah terhadap Lie Bun dan
jika nanti Khong Tong Hwesio dapat merobohkan anak ini, maka dengan sendirinya
berarti bahwa iapun kalah hebat jika dibandingkan dengan Khong Tong Hwesio.
Karena ini ia menjawab.
“Jangan kau ikut-ikut! Biarlah aku sendiri bikin mampus anak ini!”
Karena keduanya tidak mau mengalah, maka keduanya lalu maju menyerang Lie Bun,
hingga anak muda ini dikeroyok dua oleh jago-jago nomor satu dari Tung-kiang dan
Nam-kiang.
Menghadapi dua jago tua yang lihai dan ganas ini, Lie Bun kewalahan juga dan
biarpun gerakannya lincah dan gesit, namun sukar sekali baginya untuk
menghindarkan diri dari ancaman maut yang dilancarkan oleh dua lawannya itu.
Semua penonton menahan napas dan empe yang tadi bercerita kepada Lie Bun dan
yang semenjak naiknya Lie Bun di atas panggung, telah mendesak berdiri di tempat
paling depan, bertepuk tangan paling keras dan tertawa paling gembira melihat
kemenangan-kemenangan Lie Bun. Kini ia berdiri memandang dengan bibir gemetar
karena mengkhawatirkan keselamatan anak muda yang luar biasa itu.
Pada saat yang berbahaya bagi keselamatan Lie Bun, tiba-tiba kedua pengeroyoknya
terpental mundur dan di antara keduanya berdiri seorang pengemis tua yang
pakaiannya sama benar dengan pakaian Lie Bun. Ia adalah Kang-lam Koay-hiap
sendiri yang keburu datang menolong jiwa muridnya dari bahaya maut.
“Tidak malukah kalian orang tua bangka mengeroyok seorang anak muda? Kalau
kalian mau mengeroyok, keroyoklah aku tua sama tua!”
Ketika melihat siapa yang berada di depan mereka, Khong Tong Hwesio dan Cee Un
berdiri dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.
“Kang-lam Koay-hiap! Kesalahan apa yang telah kami perbuat hingga Koayhiap
sampai turun tangan?” Cee Un bertanya sambil menjura.
“Kau secara pengecut mengeroyok muridku, masih bertanya salah apa lagi?”
Mendengar jawaban ini, Cee Un berdiri bingung. Tidak disangkanya sama sekali
bahwa pemuda itu adalah murid Kang-lam Koay-hiap, pantas saja lihainya luar biasa.
Si jari lihai ini pernah mendapat hajaran keras dari Kang-lam Koay-hiap, maka ia
sangat tunduk dan jeri.
Sebaliknya, biarpun pernah mendengar dan pernah melihat Kang-lam Koay-hiap,
namun belum pernah ia merasai tangannya, maka Khong Tong Hwesio melihat betapa
Cee Un nampak jerih. Ia lalu maju untuk mencari muka terang. Ia menjura sambil
berkata, suaranya biasa, keras dan nyaring, sama sekali tidak menunjukkan takut atau
jerih.
“Kang-lam Koay-hiap! Telah lama mendengar namamu yang besar, maka pinceng
merasa senang sekali dapat bertemu muka. Muridmu ini lihai sekali hingga berturutturut
menjatuhkan jago-jago Tung-kiang dengan mudah. Tapi mengapa dia mengacau
panggung lui-tai kami? Hal ini harap kau orang tua sudi pertimbangkan dan dapat
menegurnya.”
“Khong Tong, hwesio sesat! Tak perlu kau banyak jual lagak, karena aku telah tahu
betul keadaanmu dan orang-orang yang menyebut dirinya orang-orang gagah tapi
sebetulnya hanya gentong-gentong nasi tiada guna belaka!”
“Hayo, Lie Bun, kita tinggalkan tempat kotor ini. Untuk apa meladeni segala macam
anjing penjilat orang-orang kaya ini?”
Bukan main marahnya Khong Tong Hwesio mendengar kata-kata ini, maka ketika
guru dan murid itu balikkan tubuh hendak loncat turun dari panggung, tiba-tiba ia
keluarkan hui-to atau golok terbangnya yang kecil dan tajam sebanyak tiga buah. Lalu
langsung ia sambitkan ke arah guru dan murid itu.
Sambitan ini, yang dilakukan dari jarak dekat, sangat berbahaya dan agaknya Lie Bun
takkan dapat hindarkan dirinya pula. Tapi tanpa balikkan badan, Kang-lam Koay-hiap
putar tongkatnya di belakang tubuhnya dan tubuh muridnya dan dua golok terbang
dapat terpukul jatuh, sedangkan yang sebuah lagi terbang kembali ke arah Khong
Tong Hwesio hingga dengan terkejut sekali hwesio itu loncat menyingkir.
Kang-lam Koay-hiap loncat pergi diikuti muridnya dan sebentar saja mereka lenyap
dari pandangan mata. Semua orang yang melihat mereka dengan perasaan heran,
terkejut dan kagum.
Kang-lam Koay-hiap lanjutkan perantauan mereka dan Lie Bun makin giat belajar
silat karena pengalamannya di kota Tung-kiang menyatakan bahwa ia masih perlu
mempertinggi kepandaiannya, karena ketika dikeroyok oleh Khong Tong Hwesio dan
Cee Un hampir saja ia mendapat celaka.
Pada suatu hari, mereka tiba di kota Bok-chun yang ramai. Seperti biasa Kang-lam
Koay-hiap ajak muridnya mengemis. Ketika mereka lewat di depan sebuah kelenteng
yang besar dan memakai merek Ban-siu-tong di depannya, tiba-tiba seorang hwesio
yang sedang duduk di pekarangan depan kelenteng itu memanggil mereka.
“Sahabat-sahabat mampirlah sebentar jika kalian butuh makan.”
Kang-lam Koay-hiap dan muridnya menengok dengan heran. Selama mereka
merantau belum pernah ada orang menawari makan tanpa diminta. Ternyata yang
menawari makan itu adalah seorang hwesio berusia kira-kira empat puluh tahun dan
hwesio itu berdiri sambil tersenyum lebar kepada mereka.
Mata Kang-lam Koay-hiap sangat tajam, maka segera timbul curiganya melihat sinar
mata hwesio itu. Ia mengangguk-angguk dan tarik tangan muridnya.
“Ah, kau tadi sebut makan?”
Hwesio itu tertawa melihat betapa pengemis-pengemis itu cepat sekali
memperhatikan jika ditawari makan. Ia tidak marah mendengar tutur sapa pengemis
tua yang kasar itu.
Ia mengangguk. “Ya, makan! Kalian tentu lapar, bukan? Nah, marilah masuk dan
kalian boleh makan sekenyangnya!”
Kang-lam Koay-hiap dan Lie Bun masuk ke pekarangan kelenteng itu dan mengikuti
hwesio itu dari belakang. Guru dan murid itu makin curiga ketika melihat bahwa
tindakan kaki hwesio itu sangat kuat dan tegap, tanda bahwa hwesio itu memiliki
kepandaian silat tinggi.
Ketika tiba di ruang tengah, hwesio itu memanggil hwesio pelayan. “Uruslah kedua
sahabat yang perlu ditolong ini dan berilah makan sampai kenyang.”
“Baik, suhu,” jawab hwesio pelayan yang membawa mereka ke ruang belakang. Di
situ mereka berdua diberi makan cukup banyak hingga mereka dapat makan
sekenyangnya. Hwesio pelayan itu digunakan oleh Kang-lam Koay-hiap untuk
bertanya tentang hwesio yang baik budi itu.
“Dia adalah hwesio kepala kelenteng kami ini,” jawab hwesio pelayan. “Kelenteng ini
hanya satu-satunya kelenteng di kota ini dan hwesio kepala memang terkenal baik
budi dan dermawan. Semenjak Kak Pau Suhu ini mengepalai kelenteng kami, maka
keadaan kelenteng menjadi baik dan banyak mendapat sumbangan karena Kak Pau
Suhu terkenal pandai dan suci. Kau lihat, bahkan kepada pengemis-pengemis seperti
kalian ia menaruh hati kasihan dan menolongmu.”
Kang-lam Koay-hiap mengangguk-angguk. “Apakah Kak Pau Suhu ini pandai ilmu
silat?” tanyanya sambil lalu.
“Silat? Ah, setahuku, tidak. Tapi ia pandai tentang segala peraturan sembahyang, juga
pandai liam-keng. Selain itu ia juga suci dan sakti, hingga beberapa kali ia diundang
untuk mengusir siluman di beberapa rumah penduduk kota ini.”
“Apa? Mengusir siluman? Apakah di kota ini ada silumannya?”
Hwesio pelayan itu tampak ketakutan dan menjawab perlahan.
“Banyak siluman, banyak ....” dan ia tutup mulutnya karena pada saat itu Kak Pau
Hwesio muncul lagi dengan senyum manis di bibir.
“Sudah cukupkah, sahabat-sahabat?” tanyanya kepada guru dan murid itu.
“Cukup, cukup .... terima kasih,” jawab Kang-lam Koay-hiap.
“Kalau kalian merasa lapar, maka datang sajalah ke sini tentu kami akan
menolongmu,” kata Kak Pau Suhu dengan ramah.
Setelah meninggalkan kelenteng itu Kang-lam Koay-hiap bersungut-sungut seorang
diri. “Mana ada hwesio sebaik itu? Palsu .... palsu .... selama hidupku belum pernah
kulihat hwesio mengurus pengemis!”
Ketika malam tiba, Kang-lam Koay-hiap berkata kepada Lie Bun.
“Lie Bun, di kota ini tentu terjadi hal-hal yang tidak sewajarnya. Kata hwesio pelayan
tadi, di sini banyak siluman dan bahwa Kak Pau Suhu pandai mengusir siluman. Ini
adalah aneh dan kita harus selidiki!”
Guru dan murid itu lalu naik ke atas genteng rumah-rumah orang untuk menyelidiki.
Setelah puas berkeliling dan bahkan menyelidik di atas genteng kelenteng Ban-siutong
dan tidak dapat sesuatu yang mencurigakan, kedua guru dan murid itu lalu
merebahkan diri di atas genteng rumah gedung besar yang terlindung tembok loteng
dan sebentar kemudian keduanya mendengkur karena telah jatuh pulas enak sekali.
Kira-kira lewat tengah malam, tiba-tiba Lie Bun terjaga dari tidurnya karena tubuhnya
digoyang-goyang oleh gurunya. Ia cepat bangun dan duduk tanpa membuka suara
sedikitpun. Ia telah terlampau biasa menghadapi saat-saat berbahaya hingga biarpun
baru saja bangun tidur, pikirannya telah bekerja dan seluruh tubuhnya telah siap
menghadapi segala kemungkinan.
Suhunya menunjuk ke depan dan terlihat olehnya bayangan seseorang yang
berloncatan di atas genteng dengan gerakan cepat. Bayangan itu mendekat dan ketika
ia loncat ke atas genteng di mana Kang-lam Koay-hiap dan muridnya mendekam.
Tampaklah bahwa bayangan itu adalah seorang tinggi besar yang berpakaian serba
putih, kepalanya memakai kerudung putih dan ia memakai kedok hitam.
Kemudian bayangan itu loncat ke lain genteng dengan gerakan yang cukup
mengagumkan.
“Inilah agaknya siluman yang digemparkan orang,” kata Kang-lam Koay-hiap
perlahan kepada muridnya. Kemudian ia memberi isyarat kepada Lie Bun untuk
mengejar bayangan itu.
Ketika tiba di atas sebuah rumah gedung, bayangan itu berhenti sebentar sambil
memandang ke sekelilingnya. Kang-lam Koay-hiap dan Lie Bun cepat mendekam di
atas genteng sambil mengintai dari balik wuwungan. Mereka melihat betapa orang itu
loncat turun ke dalam pekarangan gedung.
“Kau tunggu di sini dan pasang mata!” kata Kang-lam Koay-hiap kepada muridnya.
Kemudian kakek itu loncat mengejar ke bawah. Lie Bun duduk di atas genteng sambil
pasang mata dan telinga.
Kang-lam Koay-hiap dengan cepat sekali dapat mengetahui di mana adanya tamu
malam itu. Ternyata bayangan itu telah memasuki sebuah kamar dan ketika Kang-lam
Koay-hiap mengintai dari balik jendela, hampir saja ia terjang jendela itu untuk
menyerang penjahat malam yang dikejarnya tadi. Karena ternyata kamar itu adalah
kamar seorang siocia. Baiknya ia masih dapat menahan nafsunya untuk segera
menyerang, dan mengintai lebih lanjut.
Penjahat itu gunakan tangan kiri membuka kelambu dan di dalamnya tampak seorang
gadis sedang tidur nyenyak. Cepat sekali tangan kanan penjahat itu bergerak dan
gadis itu telah tertotok. Kemudian penjahat baju hitam itu mengangkat dan
memanggul tubuh siocia itu, lalu membawanya loncat ke atas genteng melalui pintu
kamar yang terbuka.
“Bangsat, jangan lari!” Kang-lam Koay-hiap membentak marah dan mengejarnya.
Penjahat itu terkejut sekali dan ia cepat berkelit ketika tahu-tahu di depannya ada
seorang anak muda yang menyerang kepalanya. Penyerang itu adalah Lie Bun yang
mendengar teriakan suhunya. Ternyata penjahat malam itu cukup gesit karena mudah
saja ia berkelit dari serangan Lie Bun. Sementara itu, Kang-lam Koay-hiap telah tiba
di situ dan membentak.
“Bajingan, hayo kau lepaskan anak gadis itu!”
Penjahat itu tertawa keras dan melemparkan gadis itu ke atas.
Lie Bun, tolong dia!” kata Kang-lam Koay-hiap yang langsung menerjang penjahat
itu. Pertempuran hebat segera terjadi dan baru saja bertempur beberapa jurus, penjahat
itu kaget sekali karena pengemis tua yang menyerangnya ini benar-benar lihai sekali
hingga ketika lengan mereka beradu, ia merasa betapa lengannya sakit dan panas!
Sementara itu, Lie Bun dengan gerakan gesit dan cepat, loncat ke arah tubuh gadis itu
dilempar dan sebelum tubuh gadis itu jatuh ke bawah, ia segera menangkap dan
memeluknya.
Alangkah terkejut dan malunya ketika ia melihat bahwa tubuh itu adalah tubuh
seorang gadis berusia sepantar dengan dia sendiri dan gadis itu berada dalam keadaan
tertotok. Ia letakkan tubuh itu di atas genteng dan untuk sesaat ia duduk bengong
karena untuk memunahkan totokan ini ia harus totok iga dara itu.
Penjahat malam itu hampir tak kuat menahan desakan Kang-lam Koay-hiap, maka ia
berseru. “Tahan dulu! Siapakah enghiong yang menghalangi pekerjaanku?”
Kang-lam Koay-hiap tahan marahnya. “Bangsat sialan, sebelum kau ketahui namaku,
buka dulu kedokmu dan jangan bersikap pengecut!”
Karena merasa bahwa dengan berkedok ia tak dapat melayani musuh lihai ini dengan
baik, terpaksa penjahat malam itu buka kedoknya. Mereka saling pandang dan Kanglam
Koay-hiap benar-benar heran melihat orang yang berdiri di depannya.”
“Kau .... Kak Pau Hwesio?” tanyanya heran.
“Dan kau .... pengemis siang tadi?”
“Ha ha ha! Sudah kuduga, kau hwesio palsu! Tapi sekarang kau bertemu dengan
Kang-lam Koay-hiap, jangan harap bisa hidup lebih lama lagi.”
“Kang-lam Koay-hiap?” Kak Pau Hwesio menggigil dan dengan nekad ia cabut
pedangnya lalu menyerang mati-matian. Si pengemis sudah siap dengan tongkat
bambunya dan mereka bertempur lagi lebih hebat.
Lie Bun akhirnya kuatkan hati dan menotok iga dara itu yang segera pulih kembali
tenaganya. Dara itu memandang muka Lie Bun dengan penuh terima kasih di
matanya, tapi ia masih takut sekali melihat pertempuran yang terjadi di depan
matanya.
“Tolong inkong, turunkan aku!” katanya perlahan.
Lie Bun ragu-ragu. “Tapi .... tapi ...., aku harus .... memondong kau, nona. Tidak ada
jalan lain lagi .....”
Nona muda itu untuk sesaat juga bingung, merasa malu harus dipondong oleh pemuda
ini, tapi apa boleh buat karena untuk berada di atas genteng yang tinggi ini iapun
merasa ngeri. Apalagi dengan adanya pertempuran di depan.
“Baiklah, tidak apa!” katanya halus. Lie Bun berkata lagi. “Maafkan kelancanganku,
nona.”
Ia lalu memondong gadis itu dan loncat turun. Dara itu menjerit kecil ketika merasa
tubuhnya terjun dari atas genteng yang tinggi itu dan ia memejamkan mata sambil
memeluk leher Lie Bun. Pemuda ini merasa dadanya berdebar dan semangatnya
terbang ketika gadis itu memeluk lehernya dan betapa rambut yang lemas dan harum
itu menyapu-nyapu bibir dan hidungnya.
Mendengar suara pertempuran di atas genteng, penghuni rumah gedung itu terkejut
dan bangun sambil memasang obor.
Tiba-tiba mereka melihat Lie Bun yang memondong gadis itu loncat dari atas genteng
hingga mereka terkejut sekali. Mereka maju mengepung dan hendak menyerang Lie
Bun, tapi gadis itu segera loncat turun dari pondongan Lie Bun sambil berseru.
“Jangan serang dia!”
Seorang setengah tua lari memeluknya. “Kwei Lan! Apa yang terjadi?”
“Ayah!” gadis itu menangis tersedu-sedu dalam pelukan ayahnya. “Ada penjahat
menculikku ayah! Dan inkong (tuan penolong) ini telah menyelamatkan jiwaku.
Sekarang kawannya sedang bertempur dengan penjahat yang menculikku.”
Mendengar kata-kata ini, barulah Lie Bun teringat bahwa suhunya masih sedang
bertempur di atas genteng, maka ia lalu loncat ke atas dengan cepat. Dilihatnya bahwa
penjahat itu telah terdesak hebat oleh tongkat suhunya dan pada suatu saat, pedang
penjahat itu terpental dan jatuh berkerontangan di atas genteng. Ujung tongkat
menyambar dan hwesio jahat itu tertotok jalan darah yang dekat dengan jantungnya
hingga mati di saat itu juga.
“Lie Bun, hayo kita pergi,” ajak Kang-lam Koay-hiap kepada muridnya tanpa
memperdulikan orang-orang yang ada di bawah.
“Nanti dulu, suhu! Kita harus memberi penjelasan untuk menjaga nama baik siocia
tadi.”
Suhunya memandang muridnya dengan pandangan tajam. Tapi karena malam itu
gelap, ia tidak dapat melihat nyata. Ia hanya menghela napas dan sambil menyeret
mayat hwesio itu, ia loncat turun bersama muridnya.
Semua orang terkejut sekali ketika ia melihat bahwa yang menjadi penculik Lo Kwei
Lan siocia bukan lain adalah Pak Kau Hwesio, ketua kelenteng Ban-siu-tong yang
terkenal suci dan sakti. Kini mengertilah mereka bahwa sebenarnya hwesio itu
bukanlah pandai mengusir siluman, tapi semua ini hanya untuk menutupi
perbuatannya yang terkutuk.
Ia sendiri kalau malam menjadi siluman mengganggu orang dan mencuri harta benda.
Kalau siang pura-pura menjadi hwesio alim dan mengusir segala siluman yang
mengganggu.
Segera setelah hari menjadi siang, persoalan ini dilaporkan kepada yang berwajib dan
karena pelapornya adalah Lo-wangwe, seorang hartawan besar, pembesar itu tidak
mengusut lebih jauh dan perintahkan untuk mengubur jenazah hwesio jahat itu.
Lo-wangwe suka sekali kepada Lie Bun dan gurunya. Ia memaksa mereka bermalam
dan tinggal di rumahnya beberapa lama. Sebenarnya Kang-lam Koay-hiap hendak
menolak, tapi melihat wajah Lie Bun yang berbeda dari pada biasa itu, ia merasa
kasihan dan bermalam di situ selama dua malam.
Pada keesokan harinya, ketika Kang-lam Koay-hiap sedang duduk minum arak
dengan Lo-wangwe yang sangat menghargainya itu, Lie Bun secara iseng-iseng
memasuki taman bunga di pinggir gedung. Taman bunga itu luas sekali dan ketika ia
berjalan menikmati bunga-bunga yang mekar indah, tiba-tiba ia mendengar suara
Kwei Lan bernyanyi perlahan.
Ia cepat bersembunyi di belakang gerombolan bunga dan dari jauh tampak dara itu
bernyanyi-nyanyi kecil memasuki taman. Ketika tiba di dekat empang ikan, di mana
terdapat sebuah meja dan empat kursi, gadis itu duduk. Ternyata bahwa Kwei Lan
sedang membawa kipas dan perabot tulis telah tersedia lengkap di atas meja itu. Gadis
ini termenung dan hentikan nyanyiannya, karena agaknya ia hendak menulis syair di
atas kipas itu.
Sambil termenung, dia melihat ke arah air yang jernih dan memandang ikan-ikan
yang sedang berenang kesana kemari. Tiba-tiba ia melihat sepasang ikan sisik emas
berenang berdampingan, tapi ketika tiba di depannya, sepasang ikan itu berpisah,
yang berekor merah ke kanan dan yang berekor kuning ke kiri. Pemandangan ini
membuat Kwei Lan sadar dari lamunannya dan ia mulai menulis dengan huruf-huruf
kecil di atas kipasnya.
Sepasang ikan bercerai
Seekor ke kanan, seekor ke kiri ....
Sampai disini, ia termenung kembali. “Ah!” pikirnya, kenapa syair di mulai dengan
peristiwa menyedihkan?
Tiba-tiba ia mendengar suara kaki orang menginjak daun kering, ia menengok dan
tersenyum.
“Lie-inkong kau datang? Duduklah ...!”
Lie Bun kikuk dan malu sekali. Gadis itu demikian cantik, demikian bersih dan indah
pakaiannya.
“Siocia ..... janganlah sebut aku inkong, tak pantas bagiku. Aku ... aku tak sengaja
mengganggumu di sini. Maafkan aku.”
Kwei Lan tersenyum, ia suka melihat kejujuran dan kehalusan watak pemuda yang
bertampang buruk itu. Bagi Kwei Lan, tampang yang buruk itu tidak menjijikan,
karena ia dapat menangkap sinar mata yang lembut dan selain kulitnya rusak karena
cacar, sebetulnya pemuda itu mempunyai potongan wajah dan tubuh yang gagah.
“Tidak apa, Lie-twako, kau duduklah! Aku sedang bingung bagaimana harus
melanjutkan bunyi syairku ini.”
Gadis itu lalu memberikan kipasnya kepada Lie Bun. Pemuda itu membacanya dan
iapun tidak tahu bagaimana harus menyambung syair itu. Ia dulu hanya sebentar
belajar sastra, yakni sebelum ia ikut suhunya merantau.
“Aku seorang bodoh, nona. Tak mengerti tentang syair. Tapi syairmu ini
menyedihkan. Bukankah lebih baik kalau kipasmu ini digambari saja?”
Wajah Kwei Lan berseri. “Kau pandai melukis? Ah, alangkah baiknya itu! Kau
pandai melukis apa, Lie-twako?”
“Apa saja, yakni binatang-binatang atau apa saja yang bernyawa dan hidup dan dapat
bergerak. Melukis bunga-bunga dan gunung aku tak dapat.”
“Binatang?” Kwei Lan mengerutkan kening dan garuk-garuk belakang telinga. Ia
tadinya mengharapkan untuk digambarkan bunga yang indah dan cantik. Tapi tibatiba
ia berseri kembali.
“Kau tadi katakan bahwa kau dapat melukis segala yang bernyawa? Kalau begitu kau
dapat melukis orang?”
“Sedikit-sedikit akan kucoba,” kata Lie Bun.
Gadis itu melompat turun dari duduknya dan hampir menari kegirangan. “Kalau
begitu kau harus melukis aku di atas kipasku ini!”
Pikiran ini juga menggembirakan hati Lie Bun. Segera ia angkat meja dan sebuah
kursi menjauhi Kwei Lan serta minta gadis itu duduk di dekat empang. Lalu ia
gunakan pit untuk melukis gadis itu di atas kipas putih yang baru ditulis sedikit. Tak
lama kemudian selesailah lukisan itu. Kwei Lan girang sekali karena lukisan itu
biarpun sederhana, tapi jelas menggambarkan wajahnya yang cantik jelita.
“Tapi sebelah belakang kipas ini masih kosong,” kata Kwei Lan. “Apakah kau suka
membuat sebuah lukisan lain lagi?”
“Aku hanya dapat membuat lukisan binatang atau ....”
“Apa saja yang dapat bergerak?” Kwei Lan melanjutkan. “Nah, kau boleh melukis ...
orang lain. Kau sendiri, misalnya ....”
“Melukis aku sendiri? Tapi ... aku tak dapat melihat rupaku, nona.”
“Mudah saja, kau dapat bercermin di air empang.”
Karena di desak berkali-kali, Lie Bun lalu duduk di pinggir empang dan ia mulai
melukis dirinya sendiri, mencontoh bayangannya di dalam empang. Asyik sekali ia
melukis hingga ia tidak tahu bahwa Kwei Lan telah berdiri di belakangnya dan ikut
melihat lukisan itu. Di situ terlukis wajahnya dengan bagus sekali, memang raut
mukanya gagah dan tampan. Mata Lie Bun bersinar-sinar gembira, tapi tiba-tiba ia
melihat ke dalam air dan teringat akan sesuatu. Kerongkongannya mengeluarkan isak
tertahan dan dengan cepat ia gunakan ujung pit untuk membuat totol-totol hitam di
muka lukisannya itu.
“Twako ....!” Kwei Lan menjerit kecil sambil tak sengaja menyentuh pundak Lie Bun.
Pemuda itu menengok dan Kwei Lan melihat betapa kedua mata pemuda itu basah air
mata.
Lie Bun segera banting pitnya dan lari tinggalkan Kwei Lan yang masih berdiri
termangu memandang lukisan di balik kipasnya. Lukisan seorang pemuda yang
bermuka hitam totol-totol buruk sekali. Ia menghela napas dan memungut kipas itu.
Kemudian lama sekali ia memandang kedua lukisan itu. Lukisan gambarnya sendiri
dan gambar pemuda yang telah menolongnya itu. Kemudian ia tutup kipas itu dan
menyimpannya dibalik lipatan lengan bajunya.
Setelah menghaturkan terima kasih kepada tuan rumah atas kebaikan dan keramah
tamahannya, kedua guru dan murid itu berpamit dan melanjutkan perantauan mereka.
Lie Bun merasa seakan-akan jiwanya tertinggal di taman bunga yang indah itu dan
semenjak melangkah keluar dari gedung Lo-wangwe, ia merasa tak gembira dan
pendiam.
Suhunya tahu akan perubahan muridnya, maka ia bertanya.
“Lie Bun, agaknya kau mengalami sesuatu di gedung Lo-wangwe.”
Lie Bun terkejut dan menggeleng-gelengkan kepala.
“Tidak apa-apa, suhu!” biarpun suaranya tetap dan gelengan kepalanya keras, namun
ia tidak berani menentang pandangan mata suhunya.
Kang-lam Koay-hiap tersenyum dan angkat pundaknya. Ia maklum akan hati seorang
muda dan menganggap hal ini wajar. Tapi ia merasa iba kepada muridnya yang
berwajah buruk ini. Ia maklum bahwa wajah muridnya ini agaknya tak
memungkinkan ia untuk dapat hidup berkasih-kasihan dengan seorang wanita cantik.
Maka diam-diam ia menghela napas dan menyedihkan keadaan muridnya yang ia
cinta sepenuh hatinya, bagaikan cinta seorang ayah terhadap putera sendiri.
Dua tahun kemudian, di dalam perantauannya Kang-lam Koay-hiap telah mengajak
muridnya menjelajah hampir seluruh Tiongkok Timur sampai ke pantai laut.
Kemudian mereka kembali ke barat karena kakek pengemis itu berpikir bahwa kini
kepandaian Lie Bun sudah cukup masak dan sudah tiba saatnya pemuda itu kembali
kepada orang tuanya.
Ia ingin menyerahkan anak muda itu kepada Lie-wangwe dan menyatakan terima
kasihnya atas kepercayaan wan-gwe itu, karena dengan ikutnya Lie Bun merantau
menjadi muridnya, maka orang tua yang hidup sebatang kara itu merasa sangat
terhibur dan merasa hidupnya mempunyai tujuan dan cita-cita, yakni menggembleng
Lie Bun menjadi seorang yang berguna.
Tapi malang baginya, ketika mereka berdua sampai di kota Tembok, Kang-lam Koayhiap
yang terkenal gagah perkasa dan berkepandaian tinggi itu terpaksa menyerah
dengan kekuasaan alam dan ia menderita sakit. Tubuhnya panas sekali dan kepalanya
selalu pening hingga ia tak kuat bangun.
Lie Bun menjaganya dengan teliti sekali, bahkan dengan uang simpanan ia membeli
obat di warung obat dalam usahanya menolong suhunya. Seminggu lamanya Kanglam
Koay-hiap yang kosen itu menggeletak di emper sebuah kelenteng dengan lemas
tak berdaya sama sekali dan tidak mau makan, hanya menerima sedikit minum yang
disediakan oleh muridnya. Lie Bun sendiri tidak mempunyai selera untuk makan
karena hatinya sedih dan cemas sekali melihat keadaan suhunya.
Perjalanan Akhir Pengemis Sakti
SETELAH lewat sepekan, penyakit yang mengganggu tubuh Kang-lam Koay-hiap
berangsur-angsur mengurang dan ia sudah mulai suka makan hidangan yang
disediakan oleh Lie Bun.
“Muridku, tubuhku yang telah tua dan lemah ini agaknya tidak kuat menandingi
semangatku yang masih kuat dan gembira. Kalau kupaksa-paksa tentu aku akan
semakin menderita. Mulai besok, kita akan langsung menuju ke kotamu dan
pulanglah ke rumah orang tuamu. Ingatkah kau, sudah berapa lama kau tinggalkan
rumah orang tuamu?
Karena gembira melihat suhunya telah sembuh, Lie Bun menjawab sambil tersenyum.
“Kurang lebih tujuh tahun, suhu, karena dulu teecu baru berusia sebelas tahun dan
sekarang sudah hampir delapan belas tahun.”
“Perjalanan kita sudah jauh juga hingga waktu lewat tidak terasa lagi. Dari sini ke
kotamu masih membutuhkan waktu perjalanan sedikitnya setengah bulan. Tapi dalam
keadaan tubuhku seperti sekarang ini, mungkin dalam satu bulan baru bisa sampai.”
“Tidak apa, suhu. Teecu sabar menanti. Apakah artinya satu atau dua bulan setelah
berpisah selama tujuh tahun?”
Kang-lam Koay-hiap mengangguk-angguk. “Kau benar, muridku. Jadi orang harus
sabar, harus sabar sekali ....”
Lie Bun heran melihat sikap suhunya. Agaknya penyakit itu telah mendatangkan
perubahan besar kepada gurunya yang tadinya bersemangat kini menjadi lemah.
Kemudian ia tinggalkan gurunya untuk mencari hidangan malam. Karena ia masih
ada simpanan uang, maka ia membeli masakan dari rumah makan. Ia tahu bahwa
sehabis sembuh dari penyakitnya, suhunya tentu ingin sekali makan enak. Juga ia
membeli arak wangi satu guci penuh. Dengan hati girang Lie Bun yang setia dan
menyinta gurunya itu lari kembali ke kelenteng rusak. Ia sengaja ambil jalan di atas
genteng agar dapat lari lebih cepat lagi.
Tapi alangkah kagetnya ketika ia loncat turun dari atas genteng kelenteng. Ternyata
gurunya sedang bertempur hebat melawan tiga orang. Dan suhunya terdesak hebat
sekali oleh ketiga musuh yang tangguh itu. Lie Bun banting makanan yang
dipegangnya dan cepat sekali ia menyerbu dengan marah sekali ke dalam medan
pertempuran.
Ternyata olehnya bahwa yang mengeroyok gurunya adalah dua orang berusia kurang
lebih empat puluh tahun dan seorang hwesio gundul yang bertubuh kate dan gemuk.
Kepandaian dua orang setengah tua itu tidak begitu hebat walaupun pedang mereka
cukup cepat, tapi yang hebat ialah hwesio kate gemuk itu.
Biarpun hwesio itu hanya bertangan kosong, tapi jelas bahwa kepandaian si kepala
gundul itu tidak berada di bawah kepandaian Kang-lam Koay-hiap sendiri. Karena ini
maka Lie Bun menyerang dengan hebat dua orang yang bersenjata pedang.
“Lie Bun, kau gempurlah dua tikus ini!” Yang dimaksud dua tikus adalah dua orang
yang bersenjata pedang itu, maka Lie Bun lalu lepas ikat kepalanya dan menyerang
dengan benda itu.
Lie Bun telah maju pesat ilmu silatnya, juga ia telah banyak mengalami pertempuran
selama ikut suhunya merantau, maka ia dapat melayani kedua orang itu dengan baik.
Biarpun ia bersenjata ikat kepala tapi karena ikat kepala itu panjang dan lemas dan
digunakan dengan tenaga lweekang, maka ganas dan kuatnya tidak kalah dengan
pedang lawannya. Bahkan dengan ikat kepala itu ia mencoba untuk membelit pedang
lawan dan merampasnya.
Sementara itu, Kang-lam Koay-hiap melayani hwesio pendek gemuk yang sangat
lihai itu. Mereka sama-sama mahir dan ahli lweekeh yang tinggi ilmu silatnya, hingga
pertempuran mereka merupakan pertempuran yang mati-matian. Sayang sekali bahwa
tubuh Kang-lam Koay-hiap yang baru saja sembuh dari sakit itu masih lemah dan
setelah bertempur ratusan jurus, Kang-lam Koay-hiap merasa lelah sekali dan
kepalanya mulai pening.
Agaknya penyakit yang telah sembuh itu kambuh lagi.
Lie Bun memang tahu bahwa suhunya masih lemah, maka ia menaruh perhatian
sekali dan sambil bertempur ia selalu melirik ke arah suhunya.
Untung baginya bahwa kedua lawannya tidak merupakan lawan terlalu berat hingga ia
dapat bagi perhatiannya. Ketika melihat betapa suhunya telah mandi keringat dan
tampak pucat dan lelah sekali, Lie Bun sangat khawatir. Ia hendak membantu, tapi
kedua lawannya cepat mendesak.
Dengan marah sekali, Lie Bun lalu berseru keras dan berhasil membelit pedang
seorang lawan dengan ikat kepalanya lalu menariknya. Pedang itu dapat terampas dan
Lie Bun segera gunakan pedang rampasan untuk mengamuk kepada kedua
pengeroyoknya. Biarpun keduanya cukup tangguh, tapi karena Lie Bun berkelahi
dengan penuh semangat terdorong oleh kekhawatirannya akan keselamatan suhunya,
sebentar saja ia berhasil menusuk dada seorang lawan hingga roboh binasa. Musuh
kedua sebelum dapat berbuat banyak, telah kena tendang lambungnya hingga
terlempar dua tombak lebih dan tak dapat bangun lagi, hanya merintih-rintih di atas
tanah.
Setelah merobohkan kedua lawannya, Lie Bun cepat berbalik dan membantu gurunya.
Pada saat itu, Kang-lam Koay-hiap telah lelah dan payah sekali. Dua kali ia kena
pukul pada dada kanan dan pundaknya. Tapi biarpun kedua pukulan hebat itu telah
melukainya di sebelah dalam, berkat keuletannya kakek kosen ini masih saja tidak
mau menyerah kalah dan terus melawan dengan tekad bulat.
Lie Bun dengan gemas sekali gunakan pedangnya menyerang hwesio yang lihai itu.
Melihat betapa serangan anak muda yang telah merobohkan kedua kawannya ini
berbahaya sekali, hwesio kate menjadi terkejut. Ia merasa bahwa kini ia menghadapi
dua lawan yang tangguh sekali dan berbahaya sekali kiranya kalau ia melawan terus.
“Kang-lam Koay-hiap, kau telah mendapat luka dalam dan jangan mati penasaran.
Kalau kau tidak mampus dalam pertandingan ini dan dapat sembuh, datanglah kau ke
Thian-siang dan kita lanjutkan pertempuran ini!”
Setelah berkata demikian, hwesio kate gemuk ini cepat meloncat ke atas genteng dan
menghilang dalam gelap.
Lie Bun hendak mengejar, tapi Kang-lam Koay-hiap berkata lemah.
“Lie Bun ....... jangan ....!” Kemudian tubuh kakek itu menjadi limbung dan
terhuyung-huyung, kemudian roboh sambil semburkan darah segar dari mulutnya.
“Suhu .......!” Lie Bun lempar pedangnya dan loncat menubruk lalu memondong tubuh
suhunya ke tempat bersih.
Kang-lam Koay-hiap tersenyum. “Aku puas muridku. Kau telah cukup kuat dan tidak
kalah gesit dengan aku ketika masih muda.”
“Suhu, suhu ..... bagaimanakah rasanya? Kau mendapat luka di mana?” Lie Bun tanya
dengan penuh kekhawatiran, sama sekali tidak memperhatikan pujian suhunya.
“Aku ... aku mendapat luka ... dua kali, yang terakhir hebat sekali ....” kemudian ia
geleng-geleng kepala. “Bok Bu Hwesio itu memang lihai ....”
“Teecu akan mencarinya, suhu! Teecu akan mengadu jiwa dengannya!” Lie Bun
gemas.
“Tahukah kau siapa yang kau robohkan tadi? Mereka adalah Siong Gak dan Siong Gi
kedua murid dari Kiu-thou Lo-mo yang dulu mencari ayahmu dan kubinasakan di atas
rumah orang tuamu dulu! Kini kedua murid itu mencari aku dan membalas dendam
gurunya. Mereka belajar silat lagi kepada Bok Bu Hwesio dan berhasil ajak suhunya
yang baru ini untuk menjatuhkan aku! Tapi mereka sendiri jatuh dalam tanganmu. Ah
.... balas membalas .....agaknya hukum karma terjadi cepat sekali. Lebih baik begitu,
Lie Bun. Hutangku lunas sudah! Kau tak perlu mencari Bok Bu Hwesio untuk
membalas sakit hati. Aku tidak merasa sakit hati padanya. Ingat! Kau tak boleh
mencari dia untuk membalas dendam! Kalau kau bertempur dengan dia karena urusan
lain, apa boleh buat. Tapi jangan sekali-kali karena membalas dendam. Jangan kau
ikat dirimu dengan rantai karma, muridku ..........”
Karena keadaannya memang payah sekali ditambah ia telah mengumpulkan tenaga
terakhir untuk memberi wejangan ini, sehabis bicara, Kang-lam Koay-hiap
muntahkan darah lagi dan napasnya empas-empis.
Lie Bun terkejut sekali, tapi ia tidak berdaya, hanya airmatanya saja menitik turun dan
ia gunakan tangannya mengurut-urut dada suhunya.
Biarpun keadaannya sangat parah, tapi guru yang sangat menyinta muridnya itu
gunakan waktu semalam penuh untuk mengatur napas dan kekuatannya untuk
memberi nasehat-nasehat dan wejangan-wejangan penting kepada muridnya. Lie Bun
dengan terharu sekali bersumpah hendak menjujung tinggi semua nasehat suhunya
dan hendak menjaga nama suhunya sampai akhir hayat.
Agak lega tampaknya orang tua itu, mendengar sumpah Lie Bun. Kemudian sambil
pegang pundak muridnya yang berlutut di sebelahnya, Kang-lam Koay-hiap berkata
lirih.
“Lie Bun, jangan kau membohong pada gurumu. Agaknya kau tidak dapat melupakan
puteri dari Lo-wangwe, bukan? Aku telah beberapa kali melihat kau diam-diam
melukis wajah gadis itu di atas tanah. Lie Bun, jangan kau lemah dan menyerah
terhadap perasaan itu. Bukankah kau laki-laki? Kau pulanglah dan mintalah orang
tuamu untuk melamar gadis itu, kalau kau setuju. Orang tuamu cukup kaya untuk
melamar anak Lo-wangwe. Tapi pesanku, jangan hanya mengutamakan kebagusan
lahir dalam perkawinan, muridku. Kebahagiaan suami isteri tidak tergantung dari
wajah tampan dan cantik! Kau perhatikan ini baik-baik!”
Lie Bun merasa terharu sekali. Sungguh suhunya seorang guru yang mulia dan sangat
memperhatikan muridnya seperti kepada anaknya sendiri. Hal-hal yang begitu
dirahasiakan dapat juga diketahuinya.
Menjelang fajar, Kang-lam Koay-hiap, kakek gagah perkasa yang selama hidupnya
sengaja menjadi pengemis, hiapkek budiman yang telah banyak sekali melepas budi
kebaikan menolong sesama hidup, menghembuskan napas terakhir hanya di jaga oleh
Lie Bun, muridnya yang menangis sedih sambil peluki mayat gurunya yang tercinta
itu.
Betapapun juga kakek pengemis itu boleh merasa bangga dan puas karena setidaknya
ada seorang yang dengan tulus menangisi kepergiannya, tidak seperti tangis-tangis
yang sering terdengar pada upacara-upacara kematian.
Karena kelenteng itu kosong dan tiada penghuninya, maka Lie Bun lalu menggali
tanah di pekarangan kelenteng sebelah belakang dan dengan penuh khidmat ia kubur
jenazah suhunya baik-baik.
Kemudian Lie Bun berangkat menuju ke kota Bi-ciu di mana ayah dan ibunya tinggal.
Ia telah mendapat petunjuk dari suhunya jalan mana yang harus di tempuh untuk
menuju ke kota itu. Tongkat bambu suhunya ia bawa. Ia tempuh perjalanan dengan
cepat dan hanya berhenti bila mana perlu saja hingga lima hari kemudian, ia telah tiba
di kota Tong-kwang yang ramai karena kota di tepi sungai Lung-kiang ini memang
terkenal dengan perdagangan dan hasil bumi.
Karena Lie Bun masih melanjutkan kebiasaan suhunya, yakni mengemis, maka ia
mengikuti orang banyak yang menuju ke satu jurusan. Ia duga tentu ada tempat yang
ramai hingga orang-orang itu pergi ke sana. Tidak tahunya, orang-orang itu menuju ke
rumah Ong-tihu yang penuh dengan para tamu.
Tihu ini sedang merayakan pesta ulang tahunnya dan tentu saja sebagai seorang
pembesar berpengaruh, ia mempunyai banyak kenalan dan yang hadir dipesta itu
terdiri dari orang-orang gagah dan para pejabat pemerintahan.
Melihat ini, Lie Bun sudah hendak pergi lagi, tapi tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh
seorang laki-laki yang berkata kepada kawannya.
“Pertandingan silat nanti tentu hebat dan ramai.”
“Ah, aku sih tidak ingin menonton silatnya hanya ingin melihat keindahan wajah dan
bentuk badan Ong-siocia kalau sedang bersilat,” jawab kawannya.
“Hush! Jangan keras-keras, kalau terdengar oleh mereka, kau akan celaka!”
Mendengar akan diadakan pertandingan silat, Lie Bun menjadi tertarik sekali dan ia
mendesak maju.
Ternyata di ruang depan yang penuh tamu itu, ditengah-tengah telah dibangun sebuah
panggung rendah untuk bermain silat. Tapi berbeda dengan panggung-panggung luitai
yang biasa, panggung ini selain rendah juga dihias segala macam bunga-bunga
kertas yang indah dan beraneka warna hingga kehilangan sifat menyeramkan yang
ada pada panggung tempat mengadu kepandaian yang umum.
Lie Bun merasa heran dan ingin tahu orang macam apakah yang akan bertanding di
atas panggung macam itu.
Tak lama kemudian, terdengar tepuk orang ramai dari para tamu dan dari dalam
keluarlah seorang gadis berpakaian merah.
Lie Bun kagum melihat kecantikan gadis itu dan pakaian gadis yang sangat mewah
dan indah itu menambah kecantikannya.
Sebatang pedang bersarung merah pula tergantung di pinggangnya. Biarpun ia harus
akui bahwa gadis itu cantik sekali, namun lirikan mata dan senyumannya
mendatangkan rasa tidak suka dalam hati Lie Bun. Gadis genit dan manja, pikirnya.
Ong-tihu memperkenalkan puterinya kepada para tamu dan kemudian setelah menjura
kepada semua tamu, Ong-siocia loncat ke atas panggung dan mulai bersilat dengan
tangan kosong.
Gerakan-gerakannya memang indah dan lemas hingga mengagumkan mereka yang
menonton, sedangkan Lie Bun diam-diam merasa tertarik sekali karena ilmu silat
gadis itu bukanlah ilmu silat yang rendah.
Apalagi setelah Ong-siocia cabut pedangnya dan bersilat pedang, mau tidak mau Lie
Bun kagum juga. Ia tahu bahwa ilmu pedang gadis itu adalah dari cabang Hwa-san
yang telah bercampur dengan lain cabang. Tapi geraknya terlatih sempurna hingga
bukan saja indah di pandang, juga cukup lihai kalau dipakai bertanding.
Karena tempat itu berdiri agak jauh dari panggung, maka ketika Ong-tihu berkata
sesuatu sebagai pengumuman. Ia tidak mendengar jelas. Kemudian Ong-siocia
menghentikan permainannya dan mundur ke dalam.
Setelah itu berturut-turut tampil ke panggung orang-orang muda yang muncul dari
para tamu.
Mereka seorang demi seorang bersilat seorang diri. Orang pertama sampai ketiga
hanya memiliki kepandaian silat rendah saja maka setelah mereka bersilat, mereka
dipersilahkan turun kembali.
Tapi orang keempat yang bersilat dengan ilmu silat cabang Siauw-lim, agaknya
menarik hati Ong-siocia yang menonton dari sebelah dalam. Ia lalu keluar dan setelah
saling hormat, keduanya lalu bertanding silat.
Kini mengertilah Lie Bun bahwa anak gadis Ong-tihu itu sombong sekali dan ingin
memperlihatkan kelihaiannya. Agaknya gadis baju merah itu sengaja memilih orangorang
yang agak tinggi kepandaiannya untuk dijajal. Yang berkepandaian rendah
tidak menerima penghormatan untuk beradu tangan dengannya.
Ia tidak tahu sama sekali bahwa di samping ini, gadis itu mempunyai maksud lain.
Gadis yang dimanja ayahnya ini sebenarnya sedang memilih-milih seorang pemuda
yang sekiranya pantas menjadi pasangannya.
Telah berkali-kali ia dilamar orang, tapi selalu ditolaknya. Hal ini diam-diam
diketahui oleh para tamu. Maka pada kesempatan ini pemuda yang memiliki sedikit
ilmu silat tentu tidak menyia-nyiakan waktu. Karena siapa tahu mereka akan
“kejatuhan bintang”, atau setidaknya mereka akan merasa puas kalau bisa bersilat
bersama gadis juwita yang sombong itu.
Karena menganggap bahwa gadis itu sombong dan jumawa, maka timbullah niat
dalam hati Lie Bun untuk mencoba kepandaiannya.
Sementara itu, dengan mudah saja gadis baju merah itu dapat merobohkan lawannya
yang pertama.
Tempik sorak menyambut kemenangannya ini dan pemuda yang tertelentang jatuh
hanya meringis kesakitan dan merangkak dari tempat itu menuju ke sebuah bangku.
Maka pemuda-pemuda lain mulai bersilat pula. Setelah enam orang memperlihatkan
kepandaiannya, pemuda ketujuh baru terpilih dan dianggap cukup pandai untuk
melayani Ong-siocia.
Pemuda itu tampan dan gagah, tapi kepandaiannya juga masih jauh di bawah gadis itu
hingga dalam beberapa puluh jurus saja ia terdesak hebat.
Tapi anehnya, Ong-siocia agak merasa kasihan untuk menjatuhkannya, maka
beberapa kali ia hanya gunakan jari tangannya menowel dan menampar saja. Hal ini
memang tak dapat terlihat oleh orang biasa, tapi bagi Lie Bun tampak jelas hingga
diam-diam ia merasa jengah dan mukanya menjadi merah. Ia anggap gadis itu terlalu
sekali mempermainkan orang. Akhirnya pemuda itupun terdesak ke pojok dan loncat
turun mengaku kalah.
Setelah beberapa pemuda naik dan tidak diterima, yakni tidak dianggap cukup pandai,
Lie Bun tak dapat menahan dorongan hatinya lagi. Ia loncat secepat kilat hingga tak
ketahuan orang dan tahu-tahu ia telah berada di atas panggung setelah pemuda
kedelapan turun.
Orang-orang merasa heran melihat dia. Dari mana datangnya pemuda pengemis ini?
Memang keadaan Lie Bun sangat ganjil. Di antara orang-orang yang berpakaian
mewah dan gagah, ia tampak lucu sekali. Bajunya penuh tambalan, celananya hanya
sampai di bawah lutut, sedangkan kedua kakinya telanjang.
Tiba-tiba terdengar bentakan halus dari dalam.
“Hai, pengemis busuk, siapa suruh kau naik ke panggung?”
Lie Bun berpaling ke arah Ong-siocia yang memakinya itu dan makin gemaslah ia.
“Bukankah kau sedang mencari lawan yang tangguh?” tanya Lie Bun sambil
tersenyum.
Ong-siocia membuang muka dan wajahnya yang cantik itu menjadi merah karena
marah.
“Ha! Siapa sudi bersilat dengan kau yang buruk rupa dan kotor ini!”
Kata-kata itu menikam betul ulu hati Lie Bun. Ia tidak merasa sakit hati disebut buruk
rupa karena ia memang telah maklum betapa mukanya tidak dapat disebut tampan.
Tapi sikap gadis itulah yang memuakkan hatinya.
Dengan sengaja ia berkata keras agar terdengar oleh semua tamu.
“Jadi ujian ini hanya diberikan kepada pemuda-pemuda cakap dan tampan belaka?
Jadi siocia hendak mengadu kepandaian hanya dengan pemuda-pemuda yang tampan
saja, tak mau dengan pemuda yang buruk rupa? Eh, apa-apaan ini? Menguji
kepandaian atau mengukur tampang?”
Ong-tihu mendamprat. “Binatang! Dari mana datangnya pengemis hina yang berani
mengacau? Hayo pergi, kalau tidak akan kuseret kau ke dalam penjara!”
Lie Bun menjura dengan senyum sindir. “Memang beginilah seharusnya sikap
seorang pembesar yang berkuasa. Garang terhadap seorang yang dianggapnya tidak
berdaya. Baiklah kalau siocia yang gagah perkasa itu takut melawan aku si buruk
rupa. Biarlah ia melawan si muka tampan yang tidak becus apa-apa!”
Marahlah Ong-siocia mendengar sindiran ini. “Bangsat, kalau kau memang ada
kepandaian, cobalah kau layani pedangku ini!”
Gadis itu lalu cabut pedangnya. Dengan sengit ia loncat ke arah panggung dan
langsung mengirim serangan kilat. Lie Bun berkelit cepat dan berkata.
“Bagus!” kemudian ia layani gadis baju merah itu dengan tangan kosong.
Memang hebat ilmu pedang gadis itu. Hanya sayang sekali kurang tenaga hingga ilmu
silatnya itu ternyata hanya bagus ditonton saja. Lie Bun di dalam beberapa gebrakan
saja maklum bahwa untuk menjatuhkan gadis ini bukanlah soal yang sukar baginya.
Tapi ia masih merasa kasihan untuk mencelakakan atau membuat malu kepada gadis
yang tiada hubungannya sedikitpun dengan dia itu.
Maka iapun bersilat meniru gerakan gadis itu hingga bagi para penonton kedua orang
bersilat dengan indah dan lemasnya hingga mengagumkan para penonton yang sama
sekali tidak pernah menyangka bahwa pengemis muda itu demikian gagah dan lihai.
Juga Ong-siocia sendiri merasa terkejut sekali karena pemuda muka hitam ini tepat
sekali meniru gerak-geriknya dan bersilat menurut pelajaran dari cabangnya sendiri.
Tapi gerakan pemuda ini demikian cepat dan lihai hingga setiap serangan pedang
dapat dikelitnya dengan lincah seakan-akan pemuda itu telah tahu sebelumnya ke
mana pedangnya hendak menyerang.
Setelah menyerang lebih dari lima puluh jurus tapi belum juga dapat merobohkan
pemuda itu, gadis baju merah itu merasa penasaran dan malu. Terang sekali bahwa
ilmu silat pemuda ini jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri. Tapi sayang
bahwa pemuda ini demikian buruk dan hitam wajahnya. Sedangkan pakaiannya
menunjukkan bahwa ia seorang pengemis pula. Diam-diam Ong-siocia merasa
kecewa sekali.
Pada suatu saat Ong-siocia menyerang dengan tusukan kilat ke arah dada Lie Bun.
Pemuda itu sengaja hendak memperlihatkan kepandaiannya. Ia tidak kelit tusukan itu,
hanya miringkan tubuhnya sedemikian rupa hingga pedang itu tepat sekali menusuk
bajunya dan menyerempet kulit dadanya sebelah kanan, tapi sama sekali tidak
melukai kulitnya. Karena pedang itu tepat memasuki baju, maka baik gadis itu
maupun semua penonton mengira bahwa pemuda itu dada kanannya kena tusuk
hingga semua orang mengeluarkan seruan.
Untuk menghidupkan permainannya, Lie Bun pura-pura berteriak kesakitan dan
gunakan dengan tangannya mengepit pedang itu.
Ong-siocia buru-buru cabut pedangnya karena bukan maksudnya membunuh orang.
Tapi alangkah terkejutnya ketika pedang itu terasa seakan-akan terjepit tulang iga
pemuda itu hingga tak dapat dicabut.
Sementara itu, Lie Bun terhuyung-huyung mundur hingga terpaksa Ong-siocia
lepaskan pedangnya yang kelihatan masih menancap di dada kanan Lie Bun.
Kemudian Lie Bun tertawa geli dan dengan tangan kiri cabut pedang itu. Semua orang
memandang dengan mata melongo karena pedang itu tidak berwarna merah ujungnya
seperti yang mereka sangka. Bahkan pemuda itu kini tertawa geli dan berkata.
“Aku mendengar orang berkata bahwa siapa yang dapat menangkan Ong-siocia, maka
ia akan mendapat hadiah luar biasa besarnya. Hadiah yang tak terbeli oleh harta di
dunia ini. Tapi aku setelah dapat melawanmu bahkan mendapat hadiah pedang.
Terima kasih, terima kasih! Harap saja siocia rela memberikan pedang ini padaku,
ataukah hendak kau minta kembali?”
Ia pegang ujung pedang dan mengangsurkannya kepada Ong-siocia.
Tapi gadis itu dengan merasa malu lalu lari ke dalam tanpa berkata apa-apa.
Ong-tihu dengan diikuti beberapa orang pengawal bersenjata lengkap menghampiri
Lie Bun hendak menangkapnya. Tapi pemuda itu berkata.
“Ong-tihu, tak usah repot-repot melayani aku. Aku bisa ambil sendiri hidanganhidangan
itu.”
Dan dengan sikap yang lucu, Lie Bun loncat ke arah meja paling ujung, melewati
kepala para tamu, hingga orang-orang yang duduk di meja ujung itu menjadi panik
dan tinggalkan mejanya.
Lie Bun lalu duduk di atas sebuah bangku dan mulai makan minum dengan lahap.
Karena memang semenjak pagi tadi belum makan dan perutnya merasa lapar sekali.
Ong-tihu dengan wajah merah dan bersungut-sungut lalu memerintahkan para
pengawal itu untuk mengejar Lie Bun. Tapi sambil bawa mangkok di tangan kanan
dan pedang rampasan di tangan kiri, Lie Bun loncat melewati kepala mereka dan
turun di ujung lain, lalu dududk di sebuah bangku melanjutkan makannya seakanakan
tiada terjadi apa-apa.
Setelah beberapa kali loncat dan pindah-pindah meja hingga membuat para
pengejarnya tidak berdaya karena harus jalan mengitari sekian banyak meja
sedangkan yang dikejarnya dengan mudah dan enak saja melompati kepala para tamu,
akhirnya Lie Bun merasa kenyang dan ia lalu berkata.
“Terima kasih untuk pedang dan makanan!” Ia lalu loncat keluar dan lari pergi.
Tentu saja peristiwa ini menggemparkan semua orang, termasuk para penonton di
luar. Terutama Ong-siocia yang telah lama sekali mencari-cari dan mengharapharapkan
bertemu dengan seorang pemuda yang berkepandaian lebih tinggi darinya,
menjadi bengong dan kecewa.
Mengapa pemuda itu berwajah hitam? Ini tidak begitu hebat, tapi kenapa pemuda itu
hanya seorang pengemis? Ia menyesal sekali, dan setelah diingat-ingat barulah ia
terkejut karena pedangnya telah terampas, sedangkan pedangnya itu bukanlah pedang
biasa, tapi sebilah pedang pusaka pemberian kakeknya. Ia hanya bisa merasa
menyesal dan seringkali ia kenangkan pemuda muka hitam yang memiliki kepandaian
luar biasa itu.
Sepekan kemudian, setelah menempuh perjalanan yang jauh tanpa berhenti kecuali
untuk makan dan tidur, Lie Bun tiba di kota Kwie-ciu yang letaknya hanya beberapa
puluh li saja dari Bi-ciu, kota tempat tinggal orang tuanya.
Karena dulu ia sering pergi ke Kwie-ciu, maka melihat kota ini, Lie Bun merasa
gembira sekali dan ia tunda perjalanannya sambil melihat-lihat bagian kota yang tidak
asing baginya itu.
Ternyata selama beberapa tahun ini tidak banyak terjadi perubahan pada kota ini.
Waktu yang tujuh tahun itu seakan-akan baru tujuh hari saja lamanya. Alangkah
cepatnya sang waktu meluncur.
Ketika ia sering datang ke kota ini, ia masih berusia kurang lebih sebelas tahun. Tapi
kini ia telah menjadi seorang pemuda dewasa. Ia tundukkan kepala memandang
pakaiannya yang buruk penuh tambalan dan kedua kakinya yang telanjang. Lalu
teringatlah ia ketika dulu ia mengunjungi kota ini dengan pakaian mewah. Maka
tersenyumlah dia.
Bagaimana kalau ayah ibu dan kakaknya melihat ia dalam pakaian macam ini? Ah,
mereka tentu takkan mengenalnya lagi. Biarlah aku akan membuat mereka terkejut
dan bingung, pikirnya gembira.
Tiba-tiba terdengar suara gembreng dan tambur dari jauh. Bersinarlah kedua mata Lie
Bun karena ia teringat akan arti bunyi-bunyian itu.
Itulah tambur gembreng di kelenteng Kwan-im-pouwsat di tikungan jalan yang
menuju ke Bi-ciu.
Ternyata musim kering telah lewat dan untuk menyatakan terima kasih kepada Kwanim-
pouwsat, dewi yang murah hati yang selalu menjaga ketentraman dan
kemakmuran para petani dan rakyat kecil itu, penduduk Kwie-ciu lalu mengadakan
keramaian. Seperti biasa di depan kelenteng itu dibangun di mana orang bermain
barongsai dan lion. Juga kadang-kadang di situ dipakai untuk bermain silat
mendemonstrasikan kepandaian guru-guru silat di Kwie-ciu.
Maka tentu saja Lie Bun tertarik sekali, karena dulupun ia selalu dari Bi-ciu sengaja
datang ke kota ini untuk menonton keramaian ini.
Benar saja, ketika ia tiba di depan kelenteng itu, orang-orang yang menonton
keramaian telah penuh.
Kelenteng dihias dengan bunga-bunga, daun-daun dan kertas-kertas beraneka warna.
Di depan kelenteng telah dibangun panggung yang tinggi dan kokoh dan di atas
panggung tampak sedang dimainkan barongsai dengan tetabuhan yang sangat nyaring
dan ramai.
Lie Bun mendesak maju dan berdiri di depan melihat permainan barongsai. Setelah
permainan itu selesai, maka seorang gemuk yang berpakaian sebagai seorang ahli
silat, muncul dari belakang panggung dan setelah menjura ke empat penjuru dengan
kaku karena ketika membongkokkan tubuh, perutnya yang gendut itu mengganjal di
depan. Ia lalu berkata, ternyata suaranya keras dan nyaring.
“Saudara-saudara sekalian, perayaan untuk menghormat Pouwsat tahun ini diadakan
lebih besar dari pada tahun-tahun yang sudah lalu. Bahkan sekarang diadakan
pertunjukkan istimewa, yakni pemilihan jago muda yang paling gagah di kota Kwieciu
dan sekitarnya. Para guru silat di Kwie-ciu dan Bi-ciu menjadi saksi dan juri,
sedangkan yang telah mendaftarkan untuk mengikuti pertandingan ini adalah enam
belas jago-jago muda dari Kwie-ciu dan Lun-kwan.”
“Pertandingan pertama dilakukan delapan kali dan keenam belas orang pengikut itu
namanya akan diundi untuk menetapkan harus berhadapan dengan siapa. Kemudian
delapan orang pemenang dari pertandingan babak pertama ini akan diundi dan dipilih
lagi menjadi empat orang pemenang. Dan demikian selanjutnya sampai terpilih
pemenang pertama yang akan disebut jago muda dari daerah Kwie-ciu.”
Si Topeng Setan Menjadi Si Muka Hitam
PIDATO ini disambut dengan tepuk tangan riuh rendah karena para penonton merasa
gembira sekali hendak disuguhi atraksi istimewa yang belum pernah diadakan.
Juga Lie Bun merasa gembira sekali, karena ia ingin sekali tahu siapakah jago muda
terpandai di kota ini.
Si gendut itu angkat kedua tangannya untuk mencegah orang-orang membuat gaduh,
lalu berkata lagi.
“Nama-nama peserta akan diumumkan dan undian telah dilakukan tadi.”
Pertandingan diadakan dengan cara tangan kosong dan tidak boleh menggunakan
senjata tajam atau senjata rahasia. Luka atau kematian akibat pertandingan ini bukan
tanggung jawab para peserta, dan hal ini telah disetujui oleh para pembesar yang
berkuasa.
“Nah, sekarang peserta nomor satu Kwee Siang In berhadapan dengan peserta nomor
tujuh Mo Kang Lok. Kwee-enghiong adalah jago muda dari Lun-kwan, sedangkan
Mo-enghiong adalah pemuda di kota ini. Kedua enghiong, silahkan naik ke
panggung.”
Dengan disambut tepuk tangan riuh rendah, dua orang pemuda yang berpakaian dan
bersikap gagah naik ke panggung dengan loncatan indah.
Melihat gaya loncatan itu, tahulah Lie Bun bahwa mereka hanya mempunyai
kepandaian silat pasaran saja, maka ia menjadi kecewa. Tapi timbul pula
kegembiraannya ketika mereka berdua mulai bertanding.
Keduanya tampan dan gagah dan kepandaian mereka berimbang. Tapi sebagaimana
dapat diduga oleh Lie Bun pada saat mereka mulai bergebrak, pemuda she Kwee
menang gesit dan pada suatu saat yang tepat ia berhasil mendupak perut lawannya
hingga terhuyung dan akhirnya terguling dari atas panggung.
Kemenangan ini disambut sorak pujian dan pemuda she Kwee itu menjura ke arah
penonton lalu mengundurkan diri untuk mempersiapkan diri menghadapi
pertandingan babak kedua nanti.
Dengan lagak gagah si gendut lalu mengumumkan pertandingan kedua antara seorang
she Oey dari Kwie-ciu dan seorang she Gak dari Bi-ciu. Lie Bun tertarik sekali
mendengar bahwa orang she Gak itu berasal dari kotanya, tapi ia tidak kenal padanya.
Walau demikian, ada juga perasaan membela dalam hatinya hingga ketika dua
pemuda itu bertempur, ia diam-diam mendoakan agar orang she Gak itu yang
menang.
Tapi ia kecewa, karena pemuda she Gak itu akhirnya kena terbanting roboh dan
dinyatakan kalah.
Demikianlah berturut-turut pertandingan diadakan. Ketika tiba giliran pertandingan ke
enam, si gendut mengumumkan dengan suara dibuat-buat untuk menarik perhatian
para penonton.
“Saudara-saudara sekalian. Pertandingan yang keenam ini dilakukan oleh orang-orang
gagah kelas berat. Siapakah yang belum mendengar nama Rajawali Emas dari Bi-ciu
dan Si Tangan Besi dari Kwie-ciu? Nah, kedua jago lihai ini sekarang akan bertanding
di atas panggung ini. Diharap kedua jago ini, si Rajawali Emas Lie Kiat-enghiong dari
Bi-ciu dan Kok Tian-enghiong dari Kwie-ciu suka tampil ke atas panggung.”
Lie Bun merasa betapa dadanya berdebar. Kakaknya akan ikut bertanding. Kakaknya,
Lie Kiat yang bengal dan sering menggodanya itu. Ah, kakaknya itu kini telah
menjadi seorang ahli silat dan bahkan telah mempunyai julukan pula. Si Rajawali
Emas dari Bi-ciu. Alangkah gagahnya.
Dengan mata terbuka lebar Lie Bun memandang ke atas panggung.
Tiba-tiba dari bawah melayang naik seorang pemuda dengan gaya yang cukup indah
hingga tahulah Lie Bun bahwa pemuda itu anak murid Go-bi-pai.
Kemudian dari sebelah kiri melayang pula naik ke panggung seorang pemuda yang
berwajah tampan dan berpakaian kuning emas. Sungguh gagah dan tampan sekali
hingga ia mendapat sambutan tepuk tangan yang luar biasa.
Melihat kakaknya yang telah tujuh tahun ditinggalkan itu, Lie Bun merasa terharu
sekali dan air matanya mengalir di kedua pipinya yang hitam dan bopeng. Kemudian
ia tak dapat menahan gelora hatinya lagi dan loncatlah ia naik ke atas panggung, tepat
di depan Lie Kiat dan berseru.
“Engko Kiat ...... engko Kiat ....”
Lie Kiat bertindak mundur sampai tiga langkah ketika tiba-tiba ada seorang pemuda
yang berwajah hitam dan berpakaian aneh sekali loncat dan berdiri dihadapannya
sambil memanggil-manggilnya. Tapi ia segera kenali wajah adiknya yang telah
bertahun-tahun pergi. Betapapun juga, seringkali Lie Kiat menangis dan rindu sekali
kepada adiknya yang hanya satu-satunya ini. Maka ketika melihat Lie Bun berdiri di
depannya, timbul rasa girang besar sekali dalam hatinya. Ia segera maju dan peluk
adiknya itu sambil berbisik.
“Lie Bun ... kau .... kau kembali?”
Lie Bun peluk kakaknya dengan besar hati, tapi pada saat itu teringatlah Lie Kiat
bahwa ia sedang berada di atas panggung dan ribuan pasang mata memandang ke arah
mereka. Ia ingat pula akan keadaan adiknya yang seperti pengemis itu, maka cepatcepat
ia lepaskan pelukannya dan berkata kepada semua penonton.
“Cuwi yang terhormat. Janganlah cuwi salah sangka. Inilah adikku yang nakal. Belum
lama ini adikku pergi menyelidiki keadaan para pengemis dan perihal kehidupan
mereka. Karena itu ia sengaja menyamar sebagai seorang pengemis tulen. Jangan ia
direndahkan, karena jelek-jelek adikku ini mempunyai kepandaian yang boleh juga
dan ia mempunyai julukan Ouw-bin Hiap-kek, Si Pendekar Muka Hitam. Tapi
biarpun buruk rupa, hatinya baik sekali.”
Semua penonton yang tadinya memandang terharu, kini mengangguk-anggukkan
kepala dan Lie Kiat lalu menyuruh adiknya turun.
“Kau lihatlah permainanku,” katanya.
Lie Bun loncat turun dan di dalam hatinya ia mengaku bahwa kakaknya ini belum
dapat mengubah adatnya yang tinggi dan sombong.
Agaknya kakaknya malu mengaku adik kepada seorang pengemis, maka ia sengaja
mengarang cerita bohong kepada para penonton agar keadaan Lie Bun sebagai
seorang pengemis itu tidak merendahkan namanya sendiri. Dan betapapun juga,
kakaknya itu masih saja suka menggodanya tentang wajahnya yang buruk hingga
terang-terangan memberi ia julukan Pendekar Muka Hitam.
Diam-diam Lie Bun tersenyum. Ah, julukan ini tidak lebih buruk dari pada Si Topeng
Setan, yakni julukan yang dulu kakaknya memberinya. Kemudian ia perhatikan
kakaknya yang mulai bertanding.
Setelah bertempur beberapa jurus, Lie Bun tahu bahwa kakaknya mendapat didikan
seorang guru silat dari cabang Siauw-lim dan bahwa kakaknya ini meyakinkan sedikit
kepandaian lweekang.
Biarpun kepandaian kakaknya tidak berapa tinggi, namun ia memiliki kegesitan dan
dengan tenaga lweekangnya, ia dapat menarik keuntungan dalam pertandingan
melawan seorang yang hanya melatih gwakang seperti Si Tangan Besi itu. Juga Lie
Kiat cerdik, karena ia sengaja tidak mau mengadu lengan dan gunakan telapak tangan
untuk menangkis lalu membalas dengan serangan-serangan kilat.
Telah beberapa kali ia berhasil menyampok dan menyodok tubuh lawannya, tapi
karena kebalnya, belum juga si Tangan Besi dapat dirobohkan.
Pertandingan ini boleh dibilang yang paling menarik di antara pertandinganpertandingan
yang tadi, karena kepandaian kedua orang ini memang lebih tinggi.
Mereka telah bertempur lebih dari lima puluh jurus, tapi belum juga ada yang kalah.
Tiba-tiba Lie Bun yang sengaja berdiri di dekat panggung dan menonton pertandingan
itu mendesak-desak penonton lain, lalu berseru keras.
“He, jangan kau desak-desak orang sampai tersodok mataku. Dan kau, jangan dorongdorong
sampai hampir jatuh.”
Dengan lweekangnya yang sudah sempurna, Lie Bun dapat kirim suaranya itu hingga
terdengar nyaring dari atas panggung.
Lie Kiat tidak kenali suara adiknya, tapi kata-kata yang jelas itu membuat ia sadar.
Kalau ia hanya memukul biasa saja, maka sukar untuk menjatuhkan lawan yang kebal
ini. Mendengar kata-kata “sodok mata” dan “dorong roboh” ia mendapat akal. Maka
ia segera rubah serangannya.
Kini ia tidak mau sembarang menendang atau memukul, tapi percepat gerakannya dan
semua serangannya ditujukan ke mata lawan.
Karena memang ia lebih gesit, lawannya menjadi bingung dan cepat-cepat menangkis
setiap sodokan. Karena kalau sampai matanya tersodok, tak mungkin ia gunakan
kekebalannya ke matanya.
Ia mulai terdesak ke pinggir dan tiba-tiba Lie Kiat ubah gerakannya dan sepenuh
tenaga mendorong ke arah dada lawannya.
Karena serangannya dilakukan tiba-tiba tanpa ampun lagi tubuh si Tangan Besi
terjengkang lalu jatuh ke bawah panggung. Tentu aja hal ini dianggap satu
kemenangan untuk Lie Kiat.
Tepuk sorak riuh menyambut kemenangan ini dan mungkin yang bertepuk paling
keras adalah Lie Bun. Ia segera menghampiri kakaknya yang telah turun dan
memeluknya mesra.
Pada saat itu, pertandingan ketujuh telah dimulai, tapi yang bertempur adalah
pemuda-pemuda biasa saja hingga tidak menarik dan sebentar saja diakhiri dengan
kemenangan pihak Lun-kwan.
Tapi, ketika pertandingan ke delapan dimulai, Lie Bun berkata kepada Lie Kiat.
“Koko, apakah kau nanti bertempur lagi?”
“Tentu saja, dalam babak kedua harus bertempur lagi. Untuk mencapai kejuaraan, aku
harus bertempur tiga kali lagi!”
“Koko, orang tinggi kurus yang sedang bertempur itu boleh juga.”
Lie Kiat memandang dan saat itu orang tinggi kurus yang dimaksudkan Lie Bun
dengan tendangan telah berhasil menendang lawannya ke bawah panggung hingga
pingsan.
“Ooh, dia adalah jago nomor satu dari Lun-kwan. Namanya Biauw Kak dan
julukannya si Tangan Maut. Tapi kukira aku dapat mengalahkannya, ilmu silatnya
tidak seberapa,” jawab Lie Kiat dengan jumawa hingga diam-diam Lie Bun tidak puas
hatinya. Kakaknya ini perlu belajar hati-hati dan jangan memandang rendah lawan,
pikirnya.
Setelah diumumkan pemenang-pemenang babak ke satu, maka lalu dimulai
pertandingan babak ke dua. Untung sekali bagi Lie Kiat bahwa undian membuat ia
berhadapan dengan pemuda she Kwee pemenang pertandingan pertama tadi.
Dengan mudah saja Lie Kiat menggulingkan lawannya. Setelah selesai, maka kini
tinggal empat orang jago yang tinggal sebagai pemenang-pemenang. Lalu diadakan
undian lagi dan sekali lagi Lie Kiat mendapat lawan ringan, maka tinggallah Lie Kiat
dan Biauw Kak si Tangan Maut.
Kini si Gendut naik ke atas panggung dan berkata nyaring dengan muka berseri.
“Cuwi yang mulia! Nah, kalian telah menyaksikan para pemuda kita yang gagah
perkasa. Sekarang tinggal pertandingan babak terakhir antara dua pemenang, yakni
Lie Kiat-enghiong si Rajawali Emas dari Bi-ciu dan Biauw Kak-enghiong si Tangan
Maut dari Lun-kwan. Saudara-saudara tadi telah menyaksikan betapa gagah perkasa
dan lihai kedua enghiong muda ini dan sebentar lagi akan terbuktilah siapa di antara
keduanya yang lebih lihai. Bersiaplah menyaksikan pertandingan ilmu silat kelas
tinggi yang akan dihidangkan dihadapan saudara sekalian.”
Setelah berkata demikian, si gendut itu turun dari panggung dengan langkah dibuatbuat
agar tampak gagah.
“Hati-hati, koko,” Lie Bun berbisik dengan khawatir. Tapi Lie Kiat dengan senyum
sindir telah menggerakkan tubuh dan loncat dengan gerakan It-ho-ciong-thian atau
Burung Ho Terjang Langit ke atas panggung.
Tepuk tangan riuh dan sorakan memuji menyambut anak muda yang tampan dan
gagah ini hingga Lie Kiat segera menjura dan mengangguk keempat penjuru.
Pada saat itu, Biauw Kak juga loncat ke atas panggung dengan tipu loncat Le-hi-tateng
atau Ikan Lehi Loncat Ke Atas.
Juga untuk pemuda tinggi kurus ini para penonton memberi sambutan meriah, hingga
pada saat itu di antara penonton sendiri, terutama mereka yang datang dari Bi-ciu dan
Lun-kwan, terpecahlah menjadi dua kelompok yang saling bertentangan dan membela
jago masing-masing.
Setelah saling memberi hormat, maka Lie Kiat dan Biauw Kak saling serang dengan
hebat. Untuk merebut kedudukan juara, mereka tidak mau saling mengalah dan
mengeluarkan seluruh kepandaian mereka. Bahkan mengirim serangan-serangan
berbahaya yang dapat mendatangkan maut kepada lawan.
Setelah bertempur puluhan jurus, belum juga Lie Bun mengerti mengapa Biauw Kak
mendapat julukan tangan maut. Karena menurut pendapatnya, ilmu silat Biauw Kak
yang mirip cabang Kun-lun itu tidak lebih tinggi dari pada ilmu silat kakaknya.
Bahkan diam-diam Lie Bun menghela napas lega karena ia yakin bahwa akhirnya Lie
Kiat pasti keluar sebagai pemenang dan juara.
Agaknya Lie Kiat juga tahu akan hal ini, maka ia perhebat serangannya dan segera
mendesak Biauw Kak yang berkelahi sambil mundur-mundur dan kebanyakkan hanya
menangkis saja.
Para pendatang dari Bi-ciu dan Lie Bun merasa gembira dan girang sekali. Ketika
tiba-tiba Lie Bun melihat sesuatu yang membuat ia terkejut sekali dan seketika
wajahnya berubah pucat.
Ia melihat sesuatu yang bagi orang-orang lain sama sekali tidak dimengerti. Tapi
baginya merupakan tanda maut bagi kakaknya.
Ketika ia melihat ke arah lengan Biauw Kak, kulit lengan si tinggi kurus itu ternyata
perlahan-lahan berubah menjadi merah seakan-akan darah di tubuhnya dialirkan ke
situ semua.
Lie Bun tahu bahwa orang itu tentu ahli Ang-see-ciang atau Lengan Pasir Merah,
sebuah ilmu yang sangat berbahaya karena lengan tangan yang telah terlatih hebat dan
kemasukkan hawa beracun itu dapat mengirim pukulan yang mematikan. Biarpun
kepalan tangannya tidak menyentuh tubuh lawan, tapi angin pukulannya saja yang
membawa tenaga dalam serta hawa racun dapat merobohkan lawannya.
Inilah yang membuat Lie Bun terkejut dan cemas. Kalau saja kakaknya tahu akan hal
ini masih baik, karena tentu Lie Kiat bisa berlaku waspada dan hati-hati. Tapi
celakanya, agaknya Lie Kiat tidak tahu akan hal ini dan masih merangsek hebat.
Memang kelihatannya Biauw Kak mundur dan repot sekali karena desakan Lie Kiat.
Tapi Lie Bun tahu benar bahwa si tinggi kurus itu mundur-mundur sambil mencari
kesempatan dan menunggu sampai tenaga Ang-see-ciangnya sudah berkumpul penuh
di kedua lengannya, baru mengirim pukulan mematikan.
Karena kepandaian inilah agaknya, maka Biauw Kak diberi julukan si Tangan Maut.
Sekarang barulah Lie Bun mengerti. Tapi sudah terlambat karena tak mungkin ia
memberitahu kakaknya sekarang.
Hal yang dikhawatirkan Lie Bun terjadilah. Ketika Lie Kiat sedang menyerang
dengan pukulan tangan kanan, Biauw Kak tidak mau berkelit dan menerima poukulan
itu dengan dadanya. Tapi berbareng ia pukulkan kedua tangannya yang mengandung
tenaga Ang-see-ciang itu ke dada Lie Kiat.
Terdengar teriakan Lie Bun dan pada saat yang genting itu tiba-tiba Lie Bun ayunkan
tangan kirinya hingga dua sinar hitam yang kecil dan hampir tak terlihat melayang
cepat ke arah sambungan siku Biauw Kak.
Karena kerikil itu tepat mengenai urat terpenting di lengan, maka ketika itu juga,
lengan Biauw Kak menjadi lumpuh dan hilang tenaganya hingga pukulannya
tertunda. Tapi karena ia tadi tidak kelit pukulan Lie Kiat, maka tiada ampun lagi
dadanya kena terpukul hingga tubuhnya terjungkal ke bawah panggung.
Untung baginya bahwa Lie Kiat tadi yang merasa terkejut melihat betapa lawannya
dengan nekad mengadu jiwa dengan membarengi memukul padanya, berubah heran
sekali, karena tangan lawannya menjadi lemas tiba-tiba, membuat ia tercengang dan
pukulannya juga tidak sepenuh tenaga. Oleh karena ini, maka Biauw Kak hanya
mendapat luka ringan saja.
Berbareng dengan tepuk sorak riuh rendah menyambut kemenangan Lie Kiat yang
dengan gagah angkat dada karena bangga, tiba-tiba terdengar teriakan keras dan
marah dari seorang hwesio tinggi besar.
“Bangsat kecil, kau berani betul main curang!”
Hwesio tinggi besar itu lalu menerjang kepada Lie Bun dan anak muda itu cepat
menghindari serangan hwesio yang kalap itu.
Lie Kiat di atas panggung melihat betapa adiknya diserang orang, segera loncat turun
dan menghadang di depan adiknya. Ketika ia melihat penyerang adiknya, ia merasa
terkejut lalu menjura sambil berkata.
“Hok Hwat Losuhu, mengapa kau orang tua menyerang adikku?” tanyanya.
“Setan kecil ini kurang ajar sekali dan berani bermain curang hingga melukai
muridku!” jawab Hok Hwat Losuhu yang bukan lain ialah guru Biauw Kak.
Hwesio yang kosen ini ternyata dapat melihat gerakan tangan Lie Bun ketika
menolong kakaknya dari bahaya maut dan menjatuhkan Biauw Kak dengan dua buah
kerikil kecil. Tapi tentu saja pernyataan ini membuat Lie Kiat heran sekali dan ia
segera membantah.
“Hok Hwat Losuhu, janganlah menuduh sembarangan. Adikku ini walaupun mengerti
sedikit ilmu silat, mana ia dapat melukai muridmu?”
Hok Hwat Hwesio makin marah, sambil gerak-gerakan tangan ia berkata.
“Kau jangan turut campur, lepaskan adikmu untuk kuhajar!”
“Kau orang tua enak saja bicara. Bagaimanapun aku tidak suka melihat adikku dihajar
orang,” jawab Lie Kiat dengan berani, hingga Lie Bun merasa girang sekali. Timbul
hati sayangnya yang besar kepada kakaknya ini. Karena ternyata walaupun sombong
dan bengal, kakaknya ini cukup mempunyai kegagahan dan ketabahan untuk
membela dia.
Lie Bun dari belakang pegang lengan kakaknya seakan-akan minta bantuan. Lalu
sambil kernyitkan hidung, jebirkan bibir ke arah Hok Hwat Hwesio, ia berkata kepada
Lie Kiat.
“Koko, jangan takut, koko!”
“Huah, kau diam saja, Lie Bun!” kata Lie Kiat karena ia melihat betapa hwesio itu
makin marah.
“Lie Kiat, aku masih pandang muka gurumu dan orang tuamu maka aku tidak mau
turunkan tangan padamu. Tapi kalau kau tetap hendak membela anak setan ini,
terpaksa aku turun tangan.”
Lie Kiat angkat dadanya. “Kalau kau orang tua tidak malu hendak menyerang aku,
sesukamulah. Tapi kau pasti akan ditertawai orang-orang gagah seluruh dunia. Kalau
kau memang gagah dan hendak memperlihatkan kelihaian, bukan aku lawanmu!”
“Siapa? Siapa yang hendak kau ajukan? Hayo, suruh dia maju!” tantang Hok Hwat
Hwesio.
“Tadi muridmu menjadi lawanku, maka lawanmu tiada lain orang ialah suhuku!”
jawab Lie Kiat yang sebetulnya jerih terhadap hwesio kosen itu.
“Apa katamu? Kau bawa-bawa gurumu Kong Liak? Aku tidak hendak bermusuhan
dengan dia. Tapi kalau dia tetap membela setan hitam ini, biarlah dia maju.”
Kebetulan sekali pada saat itu terdengarlah orang-orang yang berada di dekat situ
berkata.
“Kong Lo-kauwsu datang ......!”
Benar saja orang tua she Kong yang menjadi guru Lie Kiat itu datang dengan tindakan
lebar. Ia telah mendengar bahwa muridnya ikut memasuki pertandingan itu hingga ia
merasa tidak senang. Karena ia takut kalau-kalau muridnya itu akan mendatangkan
ribut.
Lie Kiat sambut suhunya dengan girang dan bangga. Sebaliknya Kong Liak
memperlihatkan muka tidak senang.
“Lie Kiat, untuk apa kau ikut dalam permainan berbahaya ini?” tegurnya.
“Teecu telah dapat berhasil menjadi juara, suhu,” jawab muridnya dengan bangga.
Tapi suhunya geleng-geleng kepala seakan-akan hal itu tidak penting sama sekali.
Kemudian Kong Liak melihat betapa Hok Hwat Hwesio berdiri di situ sambil
memperlihatkan sikap bermusuhan, maka ia buru-buru menjura.
“Ah, tidak tahunya Hok suhu juga berada di sini!”
Dengan heran Kong Liak melihat betapa hwesio itu membalas salamnya dengan sikap
dingin sekali.
”Suhu, Hok Losuhu agaknya tidak rela muridnya dapat teecu kalahkan,” Lie Kiat
yang cerdik mendahului.
“Kong-kauwsu! Tolong kau suruh muridmu itu jangan mencampuri urusanku,” Hok
Hwat Hwesio berkata marah.
“Eh, eh! Ada urusan apakah, Hok suhu?”
“Aku hendak memberi hajaran kepada setan muka hitam yang jahat itu, tapi muridmu
hendak membelanya. Kalau aku tidak melihat mukamu, sudah tadi-tadi dia kuhajar
sekalian.”
“Lie Kiat, kesalahan apakah yang kau perbuat kepada Hok suhu? Jangan kau kurang
ajar terhadap orang dari tingkatan tua,” tegur Kong Liak kepada muridnya.
“Suhu, lihatlah anak muda ini. Kau kira siapakah dia? Dia adalah Lie Bun, adikku
yang telah tujuh tahun pergi. Dia sekarang telah kembali. Tapi tiada hujan tiada angin
tahu-tahu Hok losuhu hendak menyerangnya. Tentu saja teecu tidak tinggal diam.”
Tercenganglah Kong Liak melihat Lie Bun. Ia telah lupa akan wajah anak kecil yang
dulu dibawa pergi oleh Kang-lam Koay-hiap. Tapi melihat pakaian aneh yang dipakai
oleh Lie Bun, guru silat she Kong ini teringat lagi akan pengemis aneh yang gagah
itu. Ia pandang Lie Bun agak lama, lalu menghela napas.
“Aku menjadi orang selamanya tidak suka mencari permusuhan. Kalau aku sudah
melakukan sesuatu, maka aku akan tanggung semua akibatnya sebagai seorang lakilaki.
Tak perlu menyeret-nyeret orang lain ke dalam urusan itu. Hok suhu, kau tahu
akan aturan kita yang menyebut diri orang-orang kang-ouw. Lihat, lui-tai masih
berdiri teguh. Untuk apa kau mengejar orang di bawah panggung?”
Pada saat itu, si gendut tukang pidato sudah naik ke panggung dan mengumumkan
bahwa yang menjadi juara adalah Lie Kiat-enghiong dari Bi-ciu.
Tapi tiba-tiba dari bawah panggung berkelebatlah bayangan orang dan tahu-tahu
seorang hwesio tinggi besar telah berdiri di depannya dan membentaknya.
“Pergi kau dari sini!”
Si gendut begitu terkejut hingga kedua kakinya lemas dan ia terhuyung-huyung.
Lenyaplah sikap dan lagaknya yang gagah tadi dan ia tinggalkan panggung bagaikan
seekor anjing kena pukul.
Hok Hwat Hwesio berkata kepada semua orang dengan suara keras.
“Muridku telah dijatuhkan orang dalam pertandingan. Ini sebetulnya adalah hal yang
biasa saja dan adalah salah muridku sendiri yang masih bodoh. Tapi dalam hal ini,
tanpa diketahui orang lain, telah terjadi penghinaan terhadap muridku dan aku sendiri.
Karena dengan diam-diam ada orang yang melukai muridku. Maka sekarang, sebagai
seorang laki-laki dan seorang gagah, aku minta orang itu naik ke panggung untuk
mengadu kepandaian dengan terang-terangan. Orang itu adalah pengemis muka buruk
yang tadi mengaku menjadi adik dari Lie-enghiong. Hayo pengemis muda muka
buruk yang berani pakai julukan Ouw-bin Hiap-kek. Kau naiklah, jangan sembunyi di
belakang Lie-enghiong dan Kong-kauwsu sebagai seekor anjing!”
Semua penonton mendengar ini merasa tegang sekali, karena baru mereka tahu bahwa
telah terjadi hal yang aneh dan bahwa kini tentu akan terjadi adu tenaga yang betulbetul
hebat di atas panggung, bukan merupakan demonstrasi atau perebutan
kejuaraan. Tapi yang mengherankan mereka, mengapa hwesio guru Biauw Kak yang
galak dan kuat ini menantang adik Lie Kiat yang masih muda dan berpakaian seperti
pengemis itu?
Sementara itu, mendengar betapa adiknya dimaki orang, Lie Kiat marah sekali dan
hampir saja ia ayunkan kaki naik ke panggung dengan nekat. Tapi Kong Liak
menahannya. Guru silat itu lalu menatap wajah Lie Bun dengan tajam lalu bertanya.
“Ji-kongcu, apakah kau murid Kang-lam Koay-hiap?”
Lie Bun mengangguk.
“Kalau begitu, mengapa kongcu diam saja mendengar tantangan Hok Hwat Hwesio?
Sayangilah nama besar suhumu yang mulia.”
Lie Bun tersenyum.
“Kong suhu, bukan aku jerih kepadanya. Tapi aku sedang gembira sekali melihat
betapa kakakku membelaku. Koko, sekarang kau lihatlah adikmu akan
mempermainkan hwesio gundul yang sombong itu.”
Lie Kiat memandang kaget. Tapi terkejutlah ia karena adiknya telah tidak berada di
situ lagi.
Ketika ia melihat ke atas panggung, ternyata Lie Bun telah berdiri menghadapi Hok
Hwat Hwesio dengan cengar-cengir menggoda.
“Bangsat kecil, sebenarnya aku malu untuk turun tangan di atas panggung untuk
menghajarmu. Tapi kalau tidak dihajar, mungkin kelak kau akan menjadi setan
pengganggu orang. Apakah kau betul-betul terima tantanganku untuk mengadu
tenaga?”
Lie Bun tersenyum dan berkata dengan suara lebih keras dari pada suara Hok Hwat
Hwesio.
“Ah, tidak sangka ada hwesio yang masih malu-malu kucing. Jangan malu-malu,
losuhu. Bukankah dengan menantang aku di atas panggung ini kau tampak gagah dan
jagoan sekali? Lihat, ribuan orang melihatmu. Lihatlah, semua mata ditujukan
kepadamu. Ah, namamu akan termasyur benar kali ini. Angkat sedikit dadamu biar
makin gagah tampaknya. Kau tantang aku? Tentu saja kuterima. Sekarang aku sudah
berada di sini. Kau mau mengajak main apa?”
Mendengar kata-kata yang penuh olok-olok itu, beberapa orang tertawa geli hingga
Hok Hwat Hwesio makin marah.
“Anak kurang ajar, kau murid siapakah maka tingkahmu seperti orang yang tidak
pernah dididik?” bentaknya
“Dan kau murid siapakah? Lagakmu besar amat! Sudahlah tak perlu bertanya guru
segala. Cukup kau ketahui bahwa aku adalah Ouw-bin Hiap-kek dan namaku Lie Bun,
habis perkara!”
Diejek demikian itu, Hok Hwat Hwesio heran sekali hingga untuk sesaat lamanya ia
tak dapat berkata-kata. Mengapa anak ini begini berani? Benarkah anak ini adik Lie
Kiat?
“He, hwesio tinggi besar! Kenapa kau diam saja. Jadi atau tidak tantanganmu? Para
penonton sudah tidak sabar menunggu.”
Kembali terdengar tertawa di sana sini.
“Anak kecil berani mampus! Biar kuberi hajaran beberapa tamparan pada mulutmu
yang kurang ajar!”
Sehabis berkata demikian, tangan Hok Hwat Hwesio menampar ke arah pipi Lie Bun.
Tapi mana anak muda ini mau pipinya ditampar orang? Ia loncat berkelit dengan
cekatan sekali sambil keluarkan suara mengejek.
Hok Hwat Hwesio menjadi marah dan kirim pukulan berat ke arah dada Lie Bun.
“Hwesio besar, kurang rendah pukulanmu!” Lie Bun mengejek sambil bongkokkan
tubuh dan melesat dari bawah lengan lawannya.
Semua penonton tertawa riuh karena pertandingan ini lucu sekali. Sedangkan Lie Kiat
kerutkan alis karena ia khawatir sekali melihat gerakan adiknya yang kelihatannya
seperti bukan gerakan silat itu.
“Ah, celaka, jangan-jangan ia tidak mengerti silat,” katanya perlahan tapi terdengar
juga oleh suhunya yang berdiri di sebelahnya.
“Jangan kau cemas, Lie Kiat. Kepandaian adikmu itu masih beberapa lipat lebih
tinggi dari pada kepandaianku atau kepandaian Hok Hwat Hwesio,” kata Kong Liak
dengan mata berseri dan mulut tersenyum.
Lie Kiat terkejut sekali dan memandang suhunya dengan hati tidak percaya.
Kemudian ia melihat lagi ke atas panggung.
Setelah beberapa kali memukul tapi selalu dapat dikelit oleh Lie Bun dengan
lincahdan lucu. Terkejutlah Hok Hwat Hwesio. Ia merasa penasaran sekali dan sambil
berseru keras ia keluarkan tendangan Siauw-cu-swie, yakni tendangan berantai yang
berbahaya sekali. Kedua kaki hwesio yang besar dan kuat itu seakan-akan berubah
menjadi kitiran dan tiada hentinya bergerak bertubi-tubi menendang ke arah bagianbagian
berbahaya dari Lie Bun. Sambil menggerakkan kakinya menendang, Hok
Hwat Hwesio keluarkan seruan-seruan pendek untuk mengatur tenaga.
Semua orang, termasuk Lie Kiat keluarkan teriakan tertahan dan ngeri.
Kembali Kepangkuan Ibu Yang Bijak
TAPI Lie Bun bagaikan seperti seekor monyet sakti, gerakan tubuhnya dengan cepat
dan imbangi gerakan kaki lawannya hingga dengan cepat sekali ia bisa ambil ketika
untuk berkelit tiap kaki yang datang menendang. Juga untuk mengimbangi tenaga
kelitnya, ia perdengarkan seruan-seruan. “Hai! Yehh! Hayaaaa!!!” berkali-kali hingga
semua orang bersorak riuh karena pemandangan di atas panggung di saat itu memang
dapat menggembirakan orang.
Tampak betapa tubuh hwesio yang tinggi besar ini bergerak-gerak maju sambil kedua
kakinya berganti-ganti terayun keras. Sebaliknya Lie Bun sambil mundur berkelit ke
sana ke mari sambil gerak-gerakkan kedua lengan untuk menjaga keseimbangan
tubuh dan loncatnya mengitari panggung. Dan dari mulut kedua orang itu tiada
hentinya terdengar seruan-seruan yang berlainan hingga tampak seperti dua orang
pelawak yang sedang bermain-main saja.
Juga Lie Kiat merasa kagum dan gembira sekali, hingga hampir saja ia berjingkrak
dan menari kegirangan karena bangga melihat gerak-gerik adiknya.
Setelah mengelilingi panggung tiga putaran, maka tahulah Hok Hwat Hwesio bahwa
tendangannya Siauw-cu-twie yang biasanya sangat dibanggakan dan jarang yang
dapat menahannya ini, ternyata kali ini tak ada gunanya. Maka ia lalu turunkan
kakinya dan karena penggunaan kedua kaki adalah jauh lebih banyak makan tenaga
dari pada penggunaan kedua tangan, maka setelah menurunkan kakinya, Hok Hwat
Hwesio yang sudah agak tua itu terengah-engah menarik napas.
Lie Bun berdiri dan dengan gaya lucu ia meniru hwesio itu dan sengaja terengahengah
seperti orang yang sudah kehabisan napas.
Kembali para penonton tertawa geli dan Hok Hwat Hwesio menjadi marah sekali. Ia
tahu bahwa ia berhadapan dengan murid seorang pandai. Tapi ia sudah tak dapat
mundur lagi, sudah kepalang. Kini ditambah dengan sikap Lie Bun yang sengaja
mempermainkannya. Ia murka sekali dan maju menubruk dengan gemas.
Lie Bun berkelit cepat dan hwesio itu lalu keluarkan ilmu silat Kiauw-ta Sin-na yang
hebat dan berbahaya.
Menghadapi ilmu silat yang juga telah dikenal baik ini, Lie Bun tidak menjadi
bingung dan ia lalu keluarkan Bie-ciang-kun-hwat.
Sebenarnya kalau yang melakukannya orang lain, tentu saja Bie-ciang-kun-hwat tidak
mungkin dapat menandingi Kiauw-ta Sin-na yang mempunyai seratus dua puluh
jurus-jurus yang lihai itu. Tapi karena Lie Bun memang telah digembleng secara
hebat oleh guru yang luar biasa pula, biarpun dengan ilmu silat apapun juga, ia tentu
akan dapat menandingi lawannya yang sesungguhnya masih kalah jauh olehnya.
Pada jurus ke tiga puluh, Lie Bun menganggap telah cukup lama mempermainkan
lawannya, maka ia segera percepat gerakannya dan kini ia mulai menyerang.
Hwesio yang sudah terheran-heran melihat kelihaian anak muda muka hitam itu, kini
terkejut sekali dan mengeluarkan seruan tertahan. Gerakan anak itu demikian cepat
dan tenaga pukulannya demikian keras hingga ia terpaksa mundur terus.
Para penonton yang tadinya bersorak ramai menjadi kesima dan dengan mata
terbelalak dan mulut ternganga mereka lihat bagaimana Hok Hwat Hwesio yang
terkenal gagah itu kini main mundur memutari panggung dan didesak oleh Lie Bun.
Hok Hwat Hwesio mandi keringat dingin dan ia telah menjadi pening dan kedua
matanya berkunang-kunang.
Lie Bun hanya mendesak terus dan mengirim pukulan-pukulan berbahaya, tapi setiap
pukulannya akan berhasil, ia menariknya mundur. Didesak secara begini, akhirnya
Hok Hwat Hwesio tidak kuat lagi dan gerakan kakinya terhuyung-huyung. Maka ia
lalu loncat mundur dan ketika kakinya yang gemetar dan lemas itu menginjak papan
panggung, hampir saja ia terjatuh. Cepat-cepat ia berteriak.
“Tahan, aku menyerah!”
Melihat betapa hwesio tinggi besar itu dengan tak malu-malu menyatakan menyerah,
tiba-tiba berubahlah perasaan Lie Bun. Ia tidak tega lagi untuk mempermainkan. Tadi
ia sengaja mempermainkan karena melihat lagak yang angkuh dari hwesio itu. Tapi
sekarang setelah hwesio itu mengaku kalah, ia menjadi kasihan.
Lie Bun menjura dan berkata. “Losuhu, kau sengaja mengalah.”
Tapi Hok Hwat Hwesio segera balas menjura. “Enghiong yang muda, sungguh kau
gagah perkasa. Sekarang tahulah pinceng bahwa dunia ini lebar sekali dan banyak
sekali terdapat orang-orang gagah yang luar biasa. Bolehkah sekarang pinceng
mengetahui siapakah nama guru enghiong yang mulia?”
“Suhuku adalah Kang-lam Koay-hiap.”
Maka tercenganglah Hok Hwat Hwesio dan setelah berkali-kali ia berkata “Maaf,
maaf!” ia lalu loncat turun dan ajak muridnya cepat tinggalkan tempat itu. Lie Bun
juga loncat turun dan ia dipeluk oleh kakaknya. Lie Kiat girang sekali dan mendesak
agar nanti Lie Bun di rumah suka memberi pelajaran ilmu silat seperti yang
dimainkan tadi padanya.
Lie Bun hanya tersenyum dan mereka lalu pulang bersama Kong Liak. Lie Kiat yang
berwatak sombong, sebelum tiba di rumah mengajak adiknya memasuki sebuah toko
pedagang pakaian dan memaksa adiknya supaya mengganti pakaiannya yang disebut
memalukan itu. Untuk menyenangkan hati kakaknya, terpaksa Lie Bun bertukar
pakaian yang mewah dan baru hingga ia sekarang tampak agak lumayan juga.
Hati dalam dada Lie Bun berdebar-debar dan lehernya bagaikan dicekik karena
terharu ketika ia memasuki rumah gedungnya yang telah dikenal baik itu. Ia tahu
bahwa pada sore hari tentu ayah ibunya berada di dalam kamar mereka, maka begitu
menginjak halaman gedung ia segera berlari-lari masuk.
Lie Ti dan isterinya sedang duduk menghadapi teh wangi. Lie-wangwe sudah tampak
tua dan rambut di atas telinganya telah memutih. Tapi Lie-hujin biarpun mukanya
telah menjadi agak kurus, tapi masih tampak cantik.
Mereka tercengang ketika melihat seorang pemuda lari masuk dan tiba-tiba berlutut di
depan mereka sambil berseru.
“Ayah ...... ibu ..........”
Sebelum kedua orang tua itu kenali Lie Bun, tahu-tahu Lie Bun sudah menubruk dan
memeluk kaki ibunya.
”Ibu ...... anakmu A Bun datang ...!”
“A Bun ......? nyonya Lie memekik.
“Lie Bun .....! Kau ......??” Lie Ti berseru.
Mereka lalu berpelukan dan Lie Bun mencucurkan air mata. Air mata bangga. Lie
Kiat masuk dan tertawa sambil berkata kepada ibunya.
“Nah, apa kataku dulu, ibu? Si Topeng Setan itu pasti akan kembali!”
“Lie Kiat! Jangan kau sebut adikmu demikian!” tegur ibunya.
Tapi Lie Bun dengan air mata masih membasahi pipi tersenyum.
“Biarlah, ibu. Twako memang nakal, bahkan ia telah memberi nama baru padaku,
yaitu Si Muka Hitam.”
“Memang, dia adalah Ouw-bin Hiap-kek yang berkepandaian tinggi sekali. Ayah, kau
akan heran melihat kepandaian silat si Muka Hitam ini!” kata Lie Kiat.
Maka bergembiralah sekeluarga dengan kembalinya Lie Bun hingga pemuda itu yang
telah merantau dan hidup menempuh serta menghadapi kepahitan dan perjuangan
hidup beserta suhunya selama tujuh tahun, kini merasa aman dan tenteram.
Setelah berdiam di rumah beberapa lamanya, tahulah Lie Bun bahwa kakaknya
menuntut hidup yang royal dan mewah sekali. Dan bahwa Lie Kiat selalu dimanja
oleh orang tuanya. Ibunya dengan wajah susah pernah berkata kepada Lie Bun
tentang kakaknya.
“Lie Bun, kakakmu itu memang bandel dan bengal. Ia telah ditunangkan dengan
seorang gadis dari keluarga baik-baik dan kaya, juga gadis itu cerdik dan cantik. Tapi
A Kiat itu masih saja bergaul dengan segala macam perempuan tak keruan di luaran.
Bahkan sekarang ia mempunyai seorang kekasih, kabarnya dari kalangan persilatan,
seorang gadis kasar yang tak pandai bermain jarum, tapi pandai bermain pedang. Ah,
ngeri aku memikirkannya, seorang gadis bermain-main dengan pedang tajam.
Sungguh berbahaya!”
Ibunya yang cantik dan halus gerak-geriknya itu geleng-geleng kepala dengan wajah
susah.
Lie Bun memandang ibunya dengan tersenyum geli.
“Barangkali twako cinta kepada gadis berpedang itu!”
Ibunya hanya geleng-geleng kepala. “Kau jangan tiru-tiru adat kakakmu, A Bun!”
Tapi di depan Lie Kiat, ibu yang menyintai anaknya ini tak pernah membicarakan soal
ini. Karena kasihan melihat ibunya, pada suatau hari Lie Bun dengan berterang
berkata kepada kakaknya.
“Twako, aku dengar kau mempunyai seorang kawan baik yang lihai ilmu pedangnya
dan cantik rupanya.”
Lie Kiat memandangnya dengan mata melotot. “Eh, eh! Kau tahu dari mana?”
“Dari mana aku tahu bukan soal penting, yang terpenting ialah betul atau tidak?” Lie
Bun menggoda sambil tertawa.
Lie Kiat bersungut-sungut. “Ah, kau anak-anak tahu apa! Jangan ikut-ikut urusan
orang dewasa!”
Lie Bun cemberut tak puas. “Twako, jangan lupa, aku telah berusia delapan belas
tahun. Bukankah umur sebegitu itu sudah dewasa namanya?”
“Biarpun sudah dewasa, kau tahu apa tentang perasaan cinta!”
Lie Bun tiba-tiba teringat akan Kwei Lan, gadis Lo-wangwe yang jelita dan belum
pernah terlupa olehnya itu dan ia merasa hatinya seperti tertusuk. Tapi ia cepat tekan
perasaannya dan tersenyum sambil menggoda kakaknya.
“Ah, kalau begitu kau sudah jatuh cinta rupanya? Koko, perkenalkanlah aku kepada
calon sosoku itu!”
Tiba-tiba Lie Kiat termenung. “Itulah yang membingungkan hatiku,” katanya
perlahan.
Lie Bun pegang lengan kakaknya yang berkulit halus putih. “Ada apakah, twako?”
“Aku telah ditunangkan kepada seorang gadis keturunan hartawan oleh ayah dan ibu,
yakni gadis dari kota Lun-kwan.”
“Apakah kau tidak suka kepada gadis itu?” tanya Lie Bun.
“Suka sih suka. Orangnya cantik manis dan terpelajar pula.”
“Habis, mengapa kau mengeluh? Itukan beruntung namanya.”
“Ah, kau tidak tahu! Bukankah kau tadi bilang aku mempunyai seorang kawan yang
pandai main pedang?”
“Ooooo ..... jadi ada gadis lain yang telah mencuri hatimu?” Lie Bun berseru
menggoda.
“Lie Bun, jangan main-main, kupukul kau nanti! Ini bukan urusan kecil. Pikiranku
bingung sekali.”
Lie Bun tidak mau menggoda lebih lanjut dan ia tarik muka sungguh-sungguh.
“Twako, mengapa harus dibingungkan? Kau tinggal pilih mana yang kau sukai dan
kawinilah dia, habis perkara.”
Lie Kiat termenung dan berkata. “Aku ingin ... mengawini dua-duanya, dua-duanya
berat bagiku. Yang seorang terpelajar dan cantik jelita, sedangkan yang lainnya gagah
dan manis.”
Lie Bun pandang kakaknya dengan mata terbelalak dan ia garuk-garuk kepalanya.
“Dua-duanya ....??”
Suara adiknya membuat Lie Kiat memandangnya dengan tajam.
“Ya, dua-duanya! Habis kau mau apa? Siapa yang berhak melarangku? Apa salahnya
kalau aku ambil dua-duanya?”
“Eh, aku sih tidak apa-apa, tapi .... tapi ... ini berabe juga .....!”
“Sebetulnya Cui Im tidak keberatan, tapi tunanganku, pilihan ayah ibu itu tentu
merasa keberatan, dan ayah ibu sendiri .... ah, aku bingung, Lie Bun!”
“Siapa itu Cui Im, twako?”
“Gadis kedua,” jawabnya pendek.
“Twako ...” kata Lie Bun perlahan agar jangan mengagetkan kakaknya yang sedang
termenung dengan wajah murung.
“Ada apa?” jawab kakaknya acuh tak acuh.
“Sebetulnya kau .... beruntung sekali.”
Lie Kiat memandang adiknya dengan heran. “Beruntung? Apa maksudmu?”
“Kau menyinta dan dicinta oleh dua orang gadis cantik.”
Kalau sekiranya Lie Kiat tidak terlalu berwatak mementingkan diri sendiri, tentu ia
akan mendengar betapa di dalam pernyataan Lie Bun ini terkandung rintihan jiwa
menderita rindu. Tapi Lie Kiat yang tak pernah memikirkan orang lain itu hanya
menjawab.
“Cui Im memang cinta padaku. Tapi anak hartawan Lun-kwan itu belum tentu.
Akupun baru satu kali melihat orangnya!” Tiba-tiba Lie Kiat merasa bangga karena
kata-kata adiknya itu dan timbul pikirannya untuk membanggakan nona kekasihnya
kepada adiknya ini.
“Lie Bun, hayo kau ikut aku ke rumahnya!” tiba-tiba ia berkata.
“Ke rumahnya? Rumah siapa, twako?”
“Hayo, ikut saja!”
Keduanya lalu tinggalkan rumah mereka dan Lie Kiat ajak adiknya menuju ke Lunkwan.
Ia sengaja ambil jalan memutar, melalui sawah-sawah yang sunyi karena ia
hendak gunakan ilmu lari cepatnya untuk menguji kemampuan adiknya.
Tapi sebenarnya dalam hal ilmu lari ia masih jauh di bawah Lie Bun, hanya karena
memang Lie Bun beda wataknya jika dibandingkan dengan Lie Kiat. Pemuda ini
selalu merendengi kakaknya dan tidak mau memamerkan kepandaiannya.
Kota Lun-kwan terletak di sebelah selatan Bi-ciu dan jauhnya hanya tiga puluh li.
Maka dengan ilmu lari cepat mereka, tak lama mereka tiba di Lun-kwan dan Lie Kiat
ajak adiknya menuju ke sebuah rumah yang kecil sederhana.
Seorang gadis yang usianya tak lebih dari tujuh belas tahun dan berwajah manis dan
berpakaian sederhana menyambut mereka dengan girang. Lie Bun melihat betapa
sepasang mata gadis itu berseri gembira ketika melihat Lie Kiat.
“Koko, aku telah mendengar tentang kemenanganmu. Kionghi, kionghi! Kau hebat
sekali, koko!” Kemudian setelah mempersilahkan mereka duduk, gadis itu
melanjutkan kata-katanya dengan sikap manja.
“Dan akupun mendengar tentang adikmu yang katanya telah mengalahkan Hok Hwat
Hwesio. Benarkah itu?”
Lie Kiat tersenyum manis. “Cui Im, adikku itu sebetulnya biasa saja kepandaiannya
dan ia banyak mendapat petunjuk dari aku. Nah, ini dia orangnya. Perkenalkan, inilah
Ouw-bin Hiap-kek, adikku, namanya Lie Bun.” Kemudian kepada Lie Bun ia berkata.
“Nah, inilah Cui Im yang kuceritakan padamu tadi!”
Cui Im memandang kepada Lie Bun dengan kagum dan heran, sedangkan Lie Bun
segera berdiri dan angkat kedua tangan memberi hormat. “Cui-siocia, aku merasa
terhormat sekali dapat berkenalan dengan kau.”
“Ah, silahkan duduk. Jangan sungkan-sungkan, Lie-taihiap. Kau sungguhpun masih
muda tapi kepandaianmu hebat sekali. Sungguh membuat aku kagum,” Cui Im
memuji.
Kemudian mereka bertiga mengobrol dengan gembira. Kebetulan sekali Cui-hujin,
yakni janda ibu Cui Im, sedang keluar hingga gadis itu berada seorang diri di
rumahnya.
Lie Bun melihat betapa keadaan gadis itu miskin, tapi ternyata sikap gadis itu ramah
sekali dan pandai bergaul hingga sangat menyenangkan dan cepat sekali ia merasa
tertarik. Pantas saja kokonya jatuh hati kepada gadis itu, pikirnya. Dan ia tidak
salahkan Lie Kiat dalam hal ini.
Ia lalu teringat akan ibunya. Ah, ibunya adalah keturunan bangsawan. Tentu saja ibu
menghendaki seorang anak mantu yang selain cantik jelita juga halus dan pandai
mengerjakan segala macam kerajinan tangan.
Lie Bun ingin sekali melihat sampai di mana tingkat permainan pedang Cui Im. Tapi
ia tidak berani menyatakan keinginannya ini. Hanya berkata dengan menyimpang.
“Cui-siocia, dari saudaraku ini aku mendengar bahwa kau adalah ahli ilmu pedang.
Bolehkah kiranya aku mengetahui siapa gerangan gurumu yang mulia?”
Cui Im tersenyum dan tampaklah dua lesung pipit yang manis di kanan kiri pipinya.
“Lie-koko memang bisa saja memuji-muji orang,” katanya sambil mengerling ke arah
Lie Kiat. “Siapa sih yang pandai silat pedang? Aku hanya bisa gerakkan satu dua
jurus saja dan guruku adalah Leng Leng Nikouw dari kelenteng Hwe-thian-sie.”
Maka timbullah watak Lie Kiat yang selalu ingin memamerkan sesuatu.
“Moi-moi, cobalah kau perlihatkan satu dua jurus ilmu pedangmu yang indah itu
kepada adikku!” katanya gembira.
Cui Im mengerling sambil cemberut. “Ah, mana kebodohanku ada harganya untuk
dilihat oleh Lie-taihiap?”
Lie Kiat berkata sambil tersenyum manis. “Jangan begitu, Im-moi. Tak perlu malumalu,
Lie Bun bukanlah orang lain. Dia adikku sendiri. Apa perlunya sungkansungkan?”
Karena Cui Im memang berwatak bebas dan polos pula, ia memang selalu menuruti
kehendak Lie Kiat, maka segera ia lari ke dalam dan keluar pula sambil membawa
sebatang pedang yang kecil dan tipis tapi cukup tajam gemerlapan karena mengkilap
dan putih bersih.
Mereka bertiga lalu pergi ke halaman belakang dan di situ Cui Im bersilat pedang.
Mula-mula gerakannya indah, lemas dan perlahan, tapi makin lama makin cepat
hingga pedangnya merupakan sinar putih yang bergulung-gulung. Diam-diam Lie
Bun memuji ketangkasan gadis itu yang agaknya kepandaiannya tidak di bawah gadis
baju merah yang sombong dulu itu.
Setelah bersilat beberapa puluh jurus, Cui Im hentikan permainannya dan simpan
pedangnya. Lie Bun tepuk-tepuk tangannya menyatakan bagus.
“Sungguh kau lihai sekali, Cui-siocia. Ilmu pedangmu cukup hebat. Bukankah yang
kau mainkan tadi Tiat-mo Kiam-hwat yang digabung dengan Kiam-hwat dari Go-bipai?”
Terkejut sekali hati Cui Im. Alangkah tajamnya mata pemuda muka hitam ini.
“Lie-taihiap, kau sungguh luar biasa. Sekali lihat saja kau sudah mengenal kiamhwatku.”
Lie Kiat melihat bahwa adiknya puas dan kagum melihat Cui Im. Timbullah watak
gembiranya. Ia pinjam pedang dari Cui Im dan mulai bersilat pedang. Ilmu pedangnya
tidak seindah gerakan Cui Im, tapi cukup kuat dan ganas.
Setelah bersilat pedang, Lie Kiat paksa adiknya untuk bersilat pula menggunakan
pedang itu.
Lie Bun menolak, tapi Cui Im membantu Lie Kiat membujuknya hingga Lie Bun
terpaksa tak dapat menolaknya pula. Ia tak ingin memamerkan kepandaiannya, maka
ia hanya mainkan sebagian dari ilmu pedang Siauw-lim-pai dan sengaja
memperlambat gerakannya. Biarpun demikian, namun ia telah mempesonakan Cui Im
dan Lie Kiat karena sambaran pedangnya mendatangkan angin dingin dan tubuhnya
lenyap dalam sinar pedang.
Belum habis Lie Bun bermain pedang, tiba-tiba terdengar orang tertawa menyindir.
“Inikah yang menjatuhkanmu, sute? Mengherankan sekali!”
Lie Kiat dan Cui Im berpaling cepat dan Lie Bun juga menunda permainannya dan
menengok.
Ternyata di situ telah berdiri Hok Hwat Hwesio dan seorang tosu muka merah yang
bermata jalang. Hok Hwat Hwesio memandang Lie Bun dengan mata merah, tapi ia
paksakan diri menjura dan berkata.
“Lie-enghiong, maafkan pinceng, karena pinceng dengan terpaksa mengganggumu.
Ini suhengku karena tertarik ingin melihat ilmu pedang yang lihai, telah memaksaku
untuk masuk ke sini.”
Tosu itu sebentar-sebentar melirik ke arah Cui Im hingga gadis itu menjadi tidak
senang dan malu, lalu cepat-cepat ia sembunyikan diri di belakang Lie Kiat.
Kemudian tosu itu menghadapi Lie Bun dan berkata dengan sikap memandang
rendah.
“Jadi, kaukah yang disebut Ouw-bin Hiap-kek? Ilmu pedangmu dari Siauw-lim-pai
tadi bagus sekali hingga membuat pinto ingin sekali mencobanya. Tidak tahu apakah
kau mempunyai ilmu pedang lain lagi yang lebih lihai dari ilmu pedang Siauw-lim
tadi?”
Lie Bun tersenyum, ia anggap tidak aneh sikap tosu itu demikian sombong, karena
pendeta ini adalah suheng dari Hok Hwat Hwesio.
“Ilmu pedang apalagi yang kumiliki? Hanya dari Siau-lim inilah!” jawab Lie Bun.
Tosu itu tertawa keras. “Jadi engkau adalah murid Siauw-lim-si? Kalau hanya
memiliki kiam-hwat dari Siauw-lim, bagaimana bisa mengaku menjadi murid Kanglam
Koay-hiap?”
Lie Bun mendengar nama suhunya yang tercinta di bawa-bawa menjadi tak senang.
Tapi wajahnya masih tetap tersenyum.
“Siapakah locianpwe ini? Harap suka memberitahukan nama.”
“Kau mau tahu? Akulah yang benama Hok Liong Tosu. Nah, kau gerakkan pedangmu
untuk melayani pinto.”
Lie Bun tidak mau memperbesar rasa permusuhan, maka ia lalu menjawab.
“Aku yang muda selama hidup tak pernah menyusahkan locianpwe. Mengapa
locianpwe sekarang mendesak dan hendak menghina orang muda?”
“Anak bodoh, siapa yang mendesak dan menghina? Kata suteku, kau mempunyai
ilmu silat yang tinggi maka pinto ingin sekali mencobanya. Kalau kau tidak berani,
maka kau harus minta maaf kepada suteku ini dan menyebut pinto sucouw tiga kali!”
Sebutan sucouw sebetulnya adalah kakek guru atau kakek besar dan seringkali
sebutan ini dipakai untuk mengangkat diri setinggi-tingginya dan dengan demikian
menghina kepada yang menyebutnya. Tapi Lie Bun memang telah dapat menekan
nafsu dan tetap bersabar. Tidak demikian dengan Lie Kiat yang berdarah panas. Ia
melangkah maju dan berkata.
“Lie Bun, kau terang-terangan ditantang. Mengapa tidak maju? Jangan membikin
malu kakakmu! Kalau aku yang ditantang begitu macam, tidak perduli siapa yang
menantang dan biarpun dengan taruhan jiwaku, pasti akan kulayani!”
Tapi Cui Im gadis manis itu pikirannya lebih luas dan cerdik dari pada Lie Kiat. Ia
maklum akan kelihaian Hok Hwat Hwesio yang dianggap guru terpandai di Lunkwan,
maka tentu saja tosu yang menjadi suhengnya ini lebih lihai lagi. Karena itu ia
merasa khawatir kalau-kalau Lie Bun takkan dapat melawannya jika melayani
tantangan Hok Liong Tosu. Maka katanya kepada Lie Kiat.
“Koko, janganlah kau mendesak Lie-taihiap. Dia masih muda dan memang sikapnya
yang mengalah ini baik sekali. Untuk apa mencari permusuhan dengan segala orang?”
Suara gadis ini merdu dan nyaring, tapi mengandung sindiran tajam kepada Hok
Liong Tosu yang disebut “segala orang”, maka tosu itu melirik dengan muka merah
kepada gadis manis itu. Ia lalu tersenyum dan berkata kepada Lie Bun.
“Kalau Ouw-bin Hiap-kek tidak berani melawan pinto, boleh juga diwakilkan. Tapi
jangan kakakmu yang tidak becus apa-apa ini! Boleh diwakili oleh nona ini untuk
bermain-main sebentar dengan pinto!”
“Tosu siluman kurang ajar!” Lie Kiat membentak marah lalu maju memukul dengan
sekuat tenaganya. Tapi tosu itu dengan tertawa menyindir lalu angkat tangan
kanannya bergerak cepat dan tahu-tahu Lie Kiat telah didahului olehnya dan didorong
ke belakang hingga terpental jatuh.
Lie Bun tidak mau tinggal diam dan loncat maju.
“Eh, tosu kasar dan sombong. Kau tidak pantas dihormat oleh yang muda! Percuma
saja kau berpakaian pendeta, kalau tingkahmu tidak lebih baik dari pada seorang
bajingan rendah saja!”
Hok Liong Tosu marah sekali dan ia cabut pedangnya. Lie Bun kaget melihat sinar
pedang itu karena maklum bahwa tosu itu memiliki sebuah pedang pusaka yang tajam
dan kuat. Ia khawatir kalau-kalau nanti pedang Cui Im terusak oleh pedang tosu itu,
maka ia segera memandang ke arah serumpun bambu yang tumbuh di dalam
pekarangan itu.
“Cui-siocia, bolehkah aku mengambil sebatang bambu itu?”
Cui Im yang telah menolong Lie Kiat dan membantu kekasihnya itu berdiri,
memandang heran dan berkata. “Tentu saja boleh!”
Lie Bun lalu berkata kepada Hok Liong Tosu.
“Tahanlah nafsumu sebentar. Aku hendak mencari senjata untuk melayanimu dengan
ilmu pedangku dari Siauw-lim-si!” Kemudian sambil membawa pedang Cui Im ia lalu
menghampiri rumpun bambu lalu membacok putus sebatang bambu kuning yang
sudah tua. Setelah membersihkan daun-daunnya, maka ia lalu bawa bambu yang
panjangnya kira-kira setengah meter itu ke tempat mereka yang melihatnya dengan
heran. Ia lalu mengembalikan pedang Cui Im dan menghadapi Hok Liong Tosu
dengan bambu di tangan.
“Nah, sekarang aku telah siap dan kau boleh mencoba ilmu pedangku,” katanya
dengan tenang.
“Tidak, tidak, Lie-taihiap. Kau pakailah pedangku ini. Aku rela kau pakai pedangku!”
kata Cui Im cepat-cepat.
“Lie Bun, kau pakailah pedang Cui Im!” Lie Kiat juga mendesak.
Tapi Lie Bun hanya menggeleng kepala sambil tersenyum. Tentu saja Cui Im dan Lie
Kiat tidak tahu bahwa Lie Bun memang sengaja memakai bambu itu karena untuk
menghadapi pedang pusaka lawannya ia tahu bahwa pedang Cui Im tentu akan
terbabat kuntung. Sedangkan kalau ia gunakan bambu tua yang lemas dan ulet ia
dapat menghadapi pedang pusaka dengan lebih leluasa.
Pula memang ia lebih biasa menggunakan tongkat bambu dari pada menggunakan
pedang. Dulu ketika ia ikut suhunya, mereka berdua selalu menghadapi lawan-lawan
tangguh hanya dengan batang-batang bambu di tangan.
Yang paling heran dan marah adalah Hok Liong Tosu. Ia adalah seorang tokoh
ternama dari kalangan kang-ouw dan untuk daerah selatan ia telah cukup dikenal,
maka tentu merendahkan dan menghina sekali kalau seorang anak muda yang masih
hijau menghadapi pedangnya hanya dengan sebatang bambu di tangan.
“Ouw-bin Hiap-kek! Jangan kau mencari mampus dengan penasaran! Kau
pergunakan sebatang pedang. Kalau tidak aku tidak sudi melayanimu dan anggap kau
sengaja gunakan akal ini agar aku tidak mau melayanimu!”
“Eh, tosu sombong! Jangan kira aku takuti pedangmu. Hayo kau maju dan coba-coba
bagaimana hebatnya kiam-hwat Siauw-lim-si!”
Kata-kata Lie Bun ini tidak hanya mengherankan lawannya, tapi juga mengherankan
Lie Kiat dan Cui Im. Karena kedua anak muda inipun maklum bahwa ilmu pedang
dari Siauw-lim tidak sangat terkenal dan umumnya menganggap bahwa ilmu pedang
dari Kun-lun dan Go-bi lebih tinggi.
Mereka semua tidak tahu bahwa sebetulnya yang mengangkat tinggi ilmu pedang
bukanlah karena dari mana ilmu itu datang, yang terpenting ialah mereka yang
melakukan ilmu itu. Biarpun ilmu yang bagaimana sederhana, jika digunakan oleh
orang yang memang ahli dan tinggi ilmu silatnya, tinggi ginkangnya dan sempurna
lweekangnya, ilmu silat itu akan menjadi semacam ilmu yang lihai sekali.
Karena Lie Bun memaksa, maka Hok Liong Tosu lalu membentak.
Kehilangan Gadis Pilihan Hati
“BAIKLAH, banyak orang yang menyaksikan bahwa kau mencari mampus sendiri.
Jangan nanti orang katakan pinto keterlaluan!” Setelah berkata begini, tosu itu lalu
mulai membuka serangan hebat.
Lie Bun berkelit cepat dan segera mereka bertempur hebat. Gerakan ilmu pedang Hok
Liong Tosu memang cepat dan lihai. Tapi Lie Bun dengan girang sekali kenali bahwa
ilmu pedang lawannya adalah campuran dari Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai yang telah
digabung hingga terdapat kekurangan-kekurangan karena tidak asli lagi.
Lie Bun pergunakan kegesitannya dan ternyata dalam hal ginkang ia tidak usah
menyerah kalah. Pula senjata di tangannya lebih lemas dan ringan hingga ketika ia
putar bambu itu secvepatnya, tampaklah sinar kuning kehijau-hijauan mengurung
dirinya.
Hok Liong Tosu terkejut sekali, karena ketika ia perhatikan, benar-benar Lie Bun
menggunakan ilmu silat pedang dari Siauw-lim-si! Juga Cui Im dan Lie Kiat kenal
gerakan-gerakan pedang Siauw-lim yang dimainkan Lie Bun. Tapi mereka heran dan
terkejut sekali menyaksikan betapa gerakan-gerakan itu dapat dilakukan sedemikian
hebat!
Hok Liong Tosu segera ubah gerakannya dan kini ia mainkan ilmu pedang Ngo-hengkiam-
hwat yang terkenal berbahaya. Tapi ia tak tahu bahwa ilmu pedang ini adalah
“makanan” bagi Lie Bun. Dulu Kang-lam Koay-hiap telah memberitahu padanya
bahwa di antara ilmu-ilmu pedang yang lihai dan harus berhati-hati menghadapinya,
termasuk Ngo-heng-kiam-hwat. Maka guru dan murid itu lalu bersama-sama mencari
jalan pemecahannya. Kang-lam Koay-hiap lalu menciptakan Im-yang-kiam-sut yang
merupakan kepandaian simpanannya dan bersama muridnya ia meyakinkan ilmu
pedang itu dengan sempurna betul.
Maka dalam menghadapi Hok Liong Tosu tadinya Lie Bun menggunakan ilmu
pedang Siauw-lim-si. Kini melihat betapa lawannya mainkan Ngo-heng-kiam-hwat, ia
berseru.
“Tosu sombong, Ngo-heng-kiam-hwatmu ini tidak ada harganya! Coba kau lihat ilmu
pedangku ini!”
Maka ia lalu putar bambunya dalam gerakan-gerakan dari ilmu pedang Im-yangkiamsut.
Ujung bambunya berputar dalam cara aneh sekali, tapi tiap serangan dari
Ngo-heng-kiam-hwat dapat terpukul buyar.
Yang hebat ialah pada tiap tangkisan, maka bambu itu langsung menyerang kembali
hingga Hok Liong Tosu menjadi terkejut dan bingung sekali.
Ujung bambu itu biarpun lemas dan kecil, tapi digunakan untuk menotok jalan-jalan
darah yang berbahayanya tidak kalah hebat dengan tusukan pedang tajam. Maka
mengertilah kini tosu itu mengapa anak muda ini memilih sebatang bambu untuk
melawannya. Ia tak sangka pemuda ini demikian hebat dan lihai, maka diam-diam ia
akui keunggulan Kang-lam Koay-hiap yang telah terkenal sebagai orang gagah
golongan atas. Kini ia telah menyesal tapi terlambat. Maju berbahaya, mundur malu.
Ia lalu menjadi nekat dan gerakan pokiamnya lebih ganas lagi.
Lie Bun lalu pusatkan seluruh perhatiannya kepada permainan lawan dan pada suatu
saat yang tepat sekali ia berhasil menotok sambungan lutut lawannya hingga Hok
Liong Tosu berseru keras dan jatuh berlutut di depan Lie Bun.
Anak muda itu lalu menghampiri lawannya dan sambil berkata. “Ah, aku yang muda
tidak berani terima penghormatan sebesar ini!” Ia pura-pura balas berlutut. Tapi
sebetulnya cepat sekali ia totok dengan jari lutut lawan itu agar terlepas dari pengaruh
totokan tadi.
Hok Liong Tosu dapat berdiri lagi dan dengan muka merah ia masukkan pedangnya
ke dalam sarung pedang sambil menghela napas.
“Ouw-bin Hiap-kek benar-benar kau gagah dan sakti. Pantas sekali menjadi murid
Kang-lam Koay-hiap yang besar!” Kemudian tanpa pamit lagi ia balikkan tubuh dan
tinggalkan tempat itu diikuti dengan cepat oleh Hok Hwat Hwesio.
Lie Kiat tertawa bergelak-gelak dengan hati puas. Lalu ia peluk adiknya.
“Lie Bun kau harus ajarkan ilmu pedang tadi padaku!”
Cui Im kagum bukan main. “Lie-taihiap, kau sungguh-sungguh hebat sekali.
Kepandaian pedangmu ratusan kali lebih hebat dariku!”
Lie Bun hanya tersenyum dan merendahkan diri.
Setelah ibu Cui Im datang dan Lie Bun diperkenalkan kepada janda yang ramah
tamah itu, kakak dan adik itu pulang. Di sepanjang jalan Lie Bun memuji-muji
kakaknya yang dikatakan beruntung sekali mempunyai seorang kawan baik seperti
Cui Im.
“Twako, aku lihat nona Cui itu cukup berharga untuk menjadi isterimu. Ia cantik,
manis, jujur dan polos. Ilmu pedangnya lihai dan mempunyai watak yang gagah dan
peramah. Ibunya juga seorang baik hati dan ramah tamah, mau apa lagi?”
Lie Kiat mengangguk-angguk. “Tapi belum tentu ibu dan ayah menyetujuinya. Lagi
pula tunanganku yang cantik jelita dan hartawan itupun sangat menarik hati!”
Lie Bun cemberut. ”Ah, kau nakal sekali, twako. Mengapa harus dua-duanya?”
“Eh, eh, kau iri hatikah?” tanya Lie Kiat dengan melotot marah.
Lie Bun buru-buru tersenyum. “Siapa yang iri? Kalau memang kau ingin ambil duaduanya
dan kalau mereka berdua suka, apa sangkut pautnya dengan aku?
Sesukamulah! Asal saja kelak kau jangan minta tolong padaku jika kedua isterimu
saling cakar!”
Lie Kiat tertawa gembira. “Aku dapat mengurusnya, aku dapat mengurus mereka!”
Lie Bun hanya menghela napas melihat sikap kakaknya demikian itu. Tapi biarpun ia
tahu bahwa pendirian kakaknya ini tidak benar dan memperlihatkan watak yang
serakah dan ingat diri sendiri saja, ia tak dapat membenci kakaknya.
Ia tahu bahwa dibalik keserakahan dan kesombongan yang terjadi karena terlalu
dimanja oleh orang tua. Lie Kiat mempunyai jiwa yang setia dan gagah, berani mati
dan tabah dalam menghadapi bahaya untuk membela adiknya. Inilah watak baik Lie
Kiat yang membuat adiknya sangat mencintainya.
Karena ingin membela kakaknya, maka ketika berada berdua dengan ibunya, Lie Bun
menceritakan kepada ibunya tentang Cui Im yang disebutnya seorang gadis baik,
sopan santun dan ramah tamah. Ia ceritakan betapa gadis yang manis itu sangat cinta
kepada Lie Kiat dan sebaliknya Lie Kiat cinta kepada gadis itu hingga dapat
dipastikan bahwa kelak mereka akan menjadi sepasang suami isteri yang bahagia
hidupnya.
“Aku tahu akan hal itu, A Bun. Tapi anak gila itu pernah menyatakan bahwa iapun
suka kepada tunangannya di Lun-kwan! Ah, sudahlah jangan kita bicarakan tentang A
Kiat. Pusing kepalaku kalau memikirkannya. Marilah kita bicara tentang kau,
anakku!”
“Tentang aku, ibu?” tanya Lie Bun dengan dada berdebar.
“Ya, kau sudah dewasa, nak. Sudah pantas pula kau memilih seorang calon isteri. Aku
tahu banyak gadis-gadis keturunan baik-baik di kota Kwie-ciu dan Lun-kwan.
Maukah kau kalau kulamarkan seorang untukmu?”
Kulit muka Lie Bun yang kehitam-hitaman itu menjadi merah ketika ia tundukkan
mukanya.
“Ibu, mukaku begini .... begini buruk .... gadis manakah yang sudi memandangku?”
Untuk sesaat nyonya Lie tak dapat berkata apa-apa, hatinya terharu dan ia merasa
lehernya tersumbat sesuatu. Kemudian ia berkata setelah dapat menetapkan hatinya.
“Jangan kau berkata demikian, anakku. Kebahagiaan bukan didatangkan oleh rupa
tampan. Pula kau tidak seburuk yang yang kau sangka. Kau tampak gagah dan tampan
bagiku, nak.”
Lie Bun angkat muka dan dua titik air mata menuruni pipinya. Ia pandang ibunya
dengan mesra karena selama hidupnya, hanya ibunya saja yang selalu menganggap ia
tampan dan gagah.
“Terima kasih, ibu. Kalau saja ada seorang gadis seperti ibu!”
Cepat-cepat nyonya Lie hapus butir derai air mata yang juga loncat keluar dari
matanya dan pada saat Lie Bun memandang ibunya itu, maka terbayanglah wajah
Kwei Lan yang jelita. Ia lalu tetapkan hatinya dan berkata.
“Ibu, sebenarnya ..... ah..... sukar dikatakan .....”
Ibunya memandang tajam. “Apakah maksudmu, A Bun? Katakanlah! Bukankah di
sana sudah ada gadis yang mengisi lubuk hatimu?”
Lie Bun terkejut. Cerdik sekali ibunya ini. Ia hanya mengangguk dan tundukkan
mukanya.
Terdengar suara ibunya yang berkata girang. “Gadis manakah dia?”
“Dia tinggal jauh dari sini, ibu. Di kota Bhok-chun.”
“Kalau begitu, biarlah aku mencari perantara dan menyuruh orang pergi melamarnya.
Setujukah kau?”
Lie Bun ragu-ragu, tapi ia mendengar kata-kata mendiang gurunya. “Kalau kau setuju
kepada gadis itu, pulanglah dan mintalah kepada orang tuamu untuk melamarnya.”
Demikianlah Kang-lam Koay-hiap sebelum menutup mata pernah meninggalkan
pesan. Maka sekarang mendengar tawaran ibunya, ia lalu mengangguk.
“Baiklah, ibu.”
Nyonya Lie merasa girang sekali. Segera ia menemui suaminya dan menceritakan
maksudnya melamar gadis dari Bhok-chun untuk Lie Bun.
Suaminya hanya menyetujui saja, karena soal perkawinan-perkawinan ini tidak begitu
menarik perhatian Lie Ti. Ia cukup percaya akan pilihan isterinya yang bijaksana.
Hanya pesannya demikian.
“Sesukamulah, asal saja kau pilih mantu perempuan yang seperti kau, pasti aku akan
suka dan cocok!”
Mendengar kelakar suaminya ini, nyonya Lie mengerling dan cemberut.
Kemudian seorang comblang dicari dan Lie Ti memilih seorang comblang yang biasa
menjadi perantara.
Orang ini telah berusia hampir lima puluh tahun dan namanya Lo Sam. Ia seorang
periang dan peramah seperti biasanya seorang comblang yang harus pandai bicara.
Karena perjalanan ke Bhok-chun sangat jauh, pula karena Lo Sam belum pernah pergi
ke sana, maka Lie Bun disuruh oleh ibunya untuk mengantar.
Ketika Lie Kiat mendengar tentang lamaran ini, ia berkata sambil tertawa kepada Lie
Bun. “Jangan kau khawatir. Kalau nanti isterimu tidak suka melihat mukamu, kau
boleh pinjam mukaku!”
Lie Bun hanya tertawa dan sedikitpun tidak merasa sakit hati. Tapi ibunya
membentak.
“Lie Kiat! Tutup mulutmu yang ceriwis itu!”
Setelah berkemas dan membawa barang-barang antaran yang berharga, Lo sam dan
Lie Bun berangkat menunggang kuda. Karena Lo Sam pandai bicara dan selalu riang
gembira maka Lie Bun merasa suka dan perjalanan itu dilakukan dalam suasana
gembira.
Kuda mereka adalah kuda pilihan dan besar-besar hingga perjalanan dapat dilakukan
dengan cepat.
Lima hari kemudian mereka masuk ke dalam sebuah hutan yang sangat besar dan
penuh pohon-pohon raksasa. Melihat keadaan hutan ini, Lo Sam berkata.
“Ah, jangan-jangan di dalamnya ada setan.”
Lie Bun tertawa. “Lopeh, di mana ada setan muncul di siang hari?”
“Setan siang itulah yang lebih berbahaya dari pada setan malam,” kata Lo Sam ketika
mereka melanjutkan perjalanan mereka.
“Apakah setan yang kau maksud itu?”
“Sudahlah, jangan kita bicarakan mereka di sini. Nanti saja kalau kita sudah keluar
dengan selamat dari hutan ini, kuterangkan padamu,” jawab Lo Sam.
Ketika mereka tiba di tengah-tengah hutan, tiba-tiba dari pinggir melayang sebatang
anak panah yang menancap di batang pohon besar di depan mereka.
“Nah, nah ...! Celakalah kita. Setan siang benar-benar muncul!” kata Lo Sam sambil
mendekam di atas kudanya dengan tubuh gemetar.
“Oo, jadi kau maksudkan setan siang itu golongan perampok?”
Pada saat itu dari kanan kiri berlompatan keluar orang-orang tinggi besar yang
kesemuanya memegang golok telanjang. Wajah mereka semua bengis-bengis dan
yang mengepalai mereka adalah seorang tinggi besar yang tampaknya kuat sekali
serta bersenjata sepasang ruyung besi yang besar dan berat.
“Hayo kalian berdua turun dari kuda dan tinggalkan semua barang bawaanmu!”
bentak kepala rampok itu.
Menggigillah seluruh tubuh Lo Sam dan ia segera membaca liam-keng penolak setan.
Mendengar ini, kepala rampok itu membentak.
“Hei, kau orang tua! Lekas turun!”
Lo Sam menjadi pucat dan ia berkata gagap. “Tet .....tet....tetapi ...!”
“Tidak ada tapi, hayo lekas turun dan tinggalkan semua barang dan kuda!
“Ampun tay-ong..... tapi ....ini .... adalah .... adalah barang mas kawin....”
Kepala rampok itu menjadi tidak sabar dan mengangkat ruyungnya hendak
dipukulkan. Lo Sam tiba-tiba menjadi gesit, ketika ia lompat turun dari kudanya
karena ketakutan. Ia lari ke arah Lie Bun dan peluk pemuda itu sambil sembunyikan
muka di belakang tubuh Lie Bun. Lie Bun lepaskan dirinya dan menghadapi kepala
rampok itu.
“Kami adalah pelancong-pelancong bukan pedagang, maka harap saja tay-ong suka
maafkan dan lepaskan kami!”
Kepala rampok itu memandangnya dengan teliti, tapi karena ia belum kenal maka ia
membentak.
“Kau bicara seperti seorang kang-ouw, siapakah nama dan julukanmu?”
“Orang-orang menyebutku Ouw-bin Hiap-kek.”
“Ah, aku tidak kenal. Kau harus tinggalkan semua barang dan kuda. Baru kami dapat
memberi jalan.”
Lie Bun sedang bergembira dan menghadapi urusan lamaran yang menggirangkan
hatinya, maka ia tidak mau mencari permusuhan dan tidak ada nafsu untuk berkelahi.
Maka ia mencari akal lain dan kemudian berkata.
“Tay-ong, sekarang begini saja baiknya. Aku tidak mau menjatuhkan banyak korban
di antara orang-orangmu. Kalau kau bersikeras hendak merampas barang-barang dan
kudaku, sekarang diatur begini saja. Dengan sepasang ruyungmu itu kau menyerang
aku dalam sepuluh jurus. Kalau kau bisa menjatuhkan aku dalam sepuluh jurus, maka
kau boleh memiliki semua ini. Kalau tidak kau harus lepaskan kami. Bagaimana?”
Terdengar suara tertawa di antara para anak buah perampok. Pemuda kecil itu hendak
melayani kepala mereka yang gagah? Ah, mungkin dalam satu kali gebrakan saja
sudah pecah kepala pemuda itu.
“Hei, anak muda! Aku kagum mendengar keberanianmu. Tahukah kau bahwa
ruyungku ini selama bertahun-tahun belum pernah terkalahkan? Kau hendak
menghadapi aku dengan senjata apakah?”
Lie Bun perlihatkan kedua tangannya. “Dengan ini, aku tidak biasa bersenjata.”
Kepala rampok itu tertawa menyeringai. “Anak muda, agaknya kau mencari
mampus!”
Sementara itu, Lo Sam yang sejak tadi menutupi mukanya karena takut dan ngeri, kini
mengintai dari balik celah-celah jarinya. Mendengar bahwa Lie Bun hendak
menghadapi raksasa itu dengan tangan kosong, ia segera berseru. “Ya, Allah, jangan
begitu! Ji-kongcu apakah kau sudah bosan hidup? Kalau kau mati, siapakah yang
akan kulamarkan?”
Kepala rampok itu tertawa geli, kemudian ia berkata.
“Karena kau sendiri yang menghendaki, nah, bersiaplah untuk mampus!”
Lie Bun lalu loncat ke tempat yang agak luas, diikuti kepala rampok itu yang
mengayun-ayunkan kedua ruyungnya. Setelah mereka berhadapan, kepala rampok itu
lalu mengirim serangan pertama. Pukulan ruyungnya begitu hebat dan keras hingga
mendatangkan suara mengaung dan menggerakkan daun-daun pohon yang
berdekatan.
“Satu!” Lie Bun menghitung sambil berkelit cepat hingga ruyung itu menyambar di
dekatnya. Ruyung kedua yang menyusul dapat juga dikelitnya. Kepala rampok
menjadi penasaran sekali dan menyerang bertubi-tubi, makin cepat dan keras. Tapi
Lie Bun dengan tenang dan enaknya loncat ke sana ke mari berkelit sambil
menghitung jurus-jurus lawannya.
Setelah menghitung sampai sepuluh, Lie Bun berkata keras.
“Nah, sepuluh jurus telah lewat, tay-ong. Kau kalah!”
Setelah berkata begitu, Lie Bun lalu berjalan seenaknya ke arah kudanya. Ia tidak tahu
agaknya bahwa Kepala rampok itu dengan marah sekali mengejarnya dan dari
belakang menghantamkan ruyungnya ke arah kepala Lie Bun dengan keras sekali.
Terdengar jerit Lo Sam dari atas kudanya, karena diam-diam ia telah naiki kudanya
pula. Juga semua anak buah perampok merasa pasti bahwa kali ini pemuda muka
hitam itu tentu akan remuk kepalanya.
Tapi kesudahannya membuat semua orang merasa heran. Dengan ringan dan lincah
bagaikan seekor burung walet, Lie Bun miringkan kepalanya dan geser kakinya
hingga ruyung itu menyerempet di dekat tubuhnya, lalu sambil berkata”Kau curang!”
ia gunakan jari tangannya menotok.
Kepala rampok itu tiba-tiba berdiri bagaikan patung dengan ruyung di tangan dan
sikapnya masih seperti hendak memukul.
Ternyata ia dengan tepat dan cepat sekali kena ditotok urat tai-twi-hiat di lambungnya
hingga tubuhnya menjadi kaku.
Para anak buah perampok itu menjadi kaget sekali dan sambil berteriak-teriak ramai
lebih dari dua puluh orang itu menyerbu ke arah Lie Bun.
Anak muda itu berseru. “Hai, mundur kalian! Lihatlah, kalau ada yang berani
menyerang, pemimpinmu ini pasti binasa!” Lie Bun mengambil ruyung dari tangan
kepala rampok dan gunakan senjata itu untuk mengancam di atas kepala pemimpin
rampok itu.
Melihat betapa pemimpin mereka berdiri diam bagaikan patung, seorang anak buah
perampok memberanikan diri bertanya. “Hai, kau apakan pemimpin kami itu?”
Seorang lain berkata. “Ah, ia tentu menggunakan ilmu siluman!”
Lie Bun berkata sambil tertawa. “Aku tidak mencari permusuhan dengan kalian, maka
aku ampuni jiwamu.” Kemudian kepada kepala rampok itu ia berkata. “Dan kau, taiong,
hendaknya ini menjadi pelajaran bagimu. Terserah kalau kau mau merampok.
Tapi janganlah sewenang-wenang. Rampoklah mereka yang curang dan menipu
rakyat. Jangan hantam kromo saja dan mengganggu sembarang orang.”
Setelah berkata demikian, Lie Bun tepuk pundak kepala rampok itu yang segera
terbebas dari totokan. Kepala rampok itu lalu berlutut dan berkata.
“Sungguh mataku buta tidak melihat gunung Thay-san di depan mata. Harap taihiap
sudi memberi tahu nama.”
Lie Bun berkata sederhana sambil bangunkan kepala rampok itu.
“Aku yang muda bernama Lie Bun, karena mukaku begini maka orang-orang sebut
aku Ouw-bin Hiap-kek.”
Kepala rampok itu lalu memberi hormat sambil menjura dan setelah haturkan terima
kasih atas kemurahan hati Lie Bun yang sudah mengampunkan mereka, ia pimpin
anak buahnya menghilang di dalam hutan belukar.
“Aduh .... hebat.... berbahaya sekali ...” Lo Sam mengeluh dengan wajah pucat. Tidak
kusangka sama sekali bahwa calon penganten begitu gagah perkasa! “Untung ada kau,
Ji-kongcu. Kalau aku Lo Sam seorang diri bertemu dengan mereka, ah, tanggung
sekali pukul beres dah!”
“Lho, apanya yang beres, lopeh?” tanya Lie Bun sambil naiki kudanya kembali.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan itu dan pada hari kesembilan mereka tiba di
Bhok-chun. Dada Lie Bun berdebar-debar dengan penuh rasa terharu dan gembira.
Terharu karena kota itu mengingatkan ia akan suhunya dan gembira karena ia berada
di kota Kwei Lan, gadis yang tak pernah meninggalkan ingatannya itu.
Mereka tidak langsung menuju ke gedung Lo-wangwe, tapi atas kehendak Lo Sam
mereka mencari sebuah penginapan yang terbesar. “Kita harus berganti pakaian yang
bersih dan baik sebelum pergi ke sana. Ketahuilah, bukan orang saja membuat
pakaian, tapi pakaian pun membuat orang!”
“Eh, kata-katamu kau jungkir balikkan hingga aku menjadi bingung dan tidak
mengerti artinya, lopeh. Apa maksudmu dengan kata-kata pakaian membuat orang?”
“Aaiih, kau benar-benar bodoh, Ji-kongcu. Apakah kau belum mendengar juga
tentang pakaian yang bisa makan sayur dan pandai minum arak?”
Lie Bun geleng-geleng kepala karena sungguh-sungguh ia tidak mengerti.
“Marilah kita masuk mencari kamar, lalu makan dulu sampai kenyang. Nanti sambil
makan kuceritakan padamu tentang itu.”
Mereka lalu memilih sebuah kamar besar untuk berdua. Setelah bersihkan badan,
mereka memesan makanan dan sambil menanti datangnya makan, Lo Sam bercerita
tentang pakaian yang suka makan sayur dan pakaian minum arak itu.
“Ada seorang kakek pergi mengunjungi seorang sahabatnya di kota lain. Karena
menganggap bahwa sahabatnya itu telah lama dikenalnya hingga tak perlu
menggunakan peradatan lagi. Kakek itu mengenakan pakaian yang sudah lama dan
buruk. Ketika ia sampai di rumah sahabatnya, ternyata ia diterima dengan dingin
sekali dan agaknya sahabat itu tidak suka menerima kedatangannya. Jangankan
hidangan-hidangan lezat, secawan airpun tidak dikeluarkan oleh sahabatnya itu untuk
disuguhkan padanya. Kakek ini pulang dengan hati sakit dan perih.
Beberapa bulan kemudian ia mendapat rezeki besar hingga dapat membeli pakaian
sutera, sepatu baru dan baju luar yang tebal dari bulu yang mahal. Ia teringat akan
sahabatnya itu. Lalu ia pergi mengunjunginya lagi, tapi kali ini ia mengenakan
pakaian yang serba indah dan mahal itu.
Dan bagaimanakah sikap sahabatnya? Ah, ia buru-buru menyambutnya, memberinya
kursi terbesar dan cepat memanggil semua anaknya untuk memberi hormat kepada
tamu agung ini. Lalu ia keluarkan hidangan-hidangan yang paling lezat dan
dipersilahkan kakek itu makan. Kakek itu lalu tanggalkan baju luarnya yang indah,
dan sambil pegang-pegang baju itu dengan tangan kirinya lalu mengambil sayur
dalam mangkok. Lalu ia tuangkan sayur itu ke dalam saku baju sambil berkata dengan
hormat sekali meniru-niru suara sahabatnya,
“Silahkan saudara baju bulu yang terhormat makan sayur!”
Kemudian ia ambil pula secawan arak dan tuangkan arak itu ke dalam saku baju itu
sambil berkata lagi.
“Silahkan saudara pakaian yang mahal minum arak!”
Tentu saja sahabatnya heran melihat kelakuan ini dan menegurnya. Maka dengan
wajah bersungguh-sungguh kakek itu berkata kepada sahabatnya.
“Dulu ketika aku datang dalam pakaian buruk, jangankan sayur dan arak , air putih
secawanpun tidak kau keluarkan. Sekarang aku datang dalam pakaian mewah dan
indah, kau menyambutku begini hormat dan mengeluarkan sayur serta arak, maka
bukankah yang kau jamu ini pakaianku dan bukan aku?”
“Nah setelah berkata demikian, kakek yang telah puas menyindir dan membalas sakit
hatinya itu lalu meninggalkan sahabatnya yang berdiri dengan wajah kemerahmerahan
karena malu.”
Lie Bun tersenyum dan kagum akan isi cerita yang tepat dan menggambarkan tabiat
orang yang sebagian besar memang demikian.
“Jadi sekarang kita berpakaian indah agar mendapat hidangan lezat?” ia menggoda Lo
Sam dan keduanya lalu tertawa girang. Hidangan yang dipesan tiba dan keduanya lalu
makan minum dengan gembira karena menghadapi urusan baik. Lo Sam angkat
cawan araknya dan minum arak dengan harapan agar urusan ini akan berhasil baik.
Setelah makan, mereka lalu mengenakan pakaian-pakaian indah dan Lo Sam minta
pemuda itu membawanya ke rumah keluarga Lo-wangwe.
Ketika mereka keluar dari rumah penginapan itu, dari luar datang tiga orang dan Lie
Bun terkejut sekali karena orang yang berjalan di tengah, seorang hwesio pendek
gemuk, ternyata adalah Bok Bu Hwesio, pertapa kosen yang dulu telah melukai
suhunya dan karenanya menjadi pembunuh Kang-lam Koay-hiap.
Ia rasakan dadanya berdebar dan dendamnya timbul, tapi karena sedang menghadapi
urusan besar, maka ia pura-pura tidak melihatnya dan melanjutkan perjalanan dengan
Lo Sam. Ia anggap bahwa urusan dengan Kwei Lan jauh lebih besar dari pada urusan
dengan Bok Bu Hwesio, dan bukankah suhunya memesan agar ia jangan mencari Bok
Bu Hwesio untuk menuntut balas? Maka ia segera melupakan hwesio itu dan dengan
girang menuju ke rumah gedung tempat tinggal Kwei Lan.
Alangkah terkejut dan menyesalnya hati Lie Bun ketika ia mendengar dari seorang
pelayan bahwa Lo-wangwe telah lama pindah dari rumah itu. Ketika ditanya ke mana
pindahnya keluarga Lo itu, pelayan tadi tidak dapat memberi keterangan. Karena ia
adalah pelayan dari keluarga baru yang menempati bekas gedung Lo-wangwe itu.
Lo Sam dan Lie Bun setengah hari lamanya mencari tahu di seluruh kota kalau-kalau
ada yang dapat menerangkan ke mana pindahnya Lo-wangwe. Tapi tidak ada orang
yang dapat memberitahukan mereka. Dan mereka hanya mendengar bahwa keluarga
Lo telah pindah lebih setahun yang lalu ke tempat yang jauh sekali, tapi entah ke
mana.
Malam hari itu Lie Bun tinggalkan Lo Sam dan ia langsung menuju ke taman bunga
di belakang gedung besar bekas tempat tinggal Kwei Lan dulu.
Taman bunga itu masih seperti dulu, sedikitpun tidak berubah. Karena melihat di situ
sunyi tidak ada orang, Lie Bun lalu duduk di empang di mana dulu ia dan Kwei Lan
duduk berdua sambil melihat lukisannya di atas kipas. Ia teringat betapa Kwei Lan
berdiri di belakangnya sambil melihat lukisannya, dan betapa ia beri totol-totol hitam
di muka lukisan dirinya itu dan Kwei Lan menjerit.
Ia heran dan sampai kinipun tidak tahu mengapa gadis itu menjerit ketika ia beri
warna totol-totol hitam yang merusak mukanya itu.
Apakah kipas itu masih dibawa oleh Kwei Lan? Lie Bun duduk termenung di situ,
tenggelam dalam lamunannya sendiri. Hatinya sedih dan sunyi dan ia melihat seekor
ikan tampak berenang di dalam cahaya bulan di empang itu.
Hanya seekor di situ. Ah, sama benar dengan nasibnya. Lalu teringatlah ia akan syair
yang ditulis oleh Kwei Lan di atas kipas yang digambarnya dulu. Syair itu berbunyi.
“Sepasang ikan bercerai .........”
“Seekor ke kanan, seekor ke kiri ...”
Teringat akan bunyi syair ini, tak terasa lagi Lie Bun angkat kedua tangannya dan
menutupi mukanya. Alangkah sengsara hidupnya. Mukanya yang buruk sukar
mendatangkan rasa kasih dalam hati orang lain, kecuali dalam hati ibunya, kakaknya
dan ayahnya.
Tapi dapatkah ia mengharapkan kasih seorang gadis, apalagi seorang gadis yang
secantik dan sejelita Kwei Lan? Mengapa pula ia tak dapat melupakan gadis itu?
Mengapa ia harus mencintai gadis itu? Ah, beginilah kalau bernasib buruk. Lahir
dengan wajah cacat, hitam bopeng menjijikkan.
Mungkin yang pernah mencinta padanya selain keluarga sendiri, dari orang-orang lain
yang sekian banyaknya di dunia ini hanya suhunya seoranglah. Suhunya yang selama
tujuh tahun mendidiknya, membimbingnya, mengisi jiwa raganya dengan kekuatan
yang menganggap ia seperti anak sendiri.
Tiba-tiba teringatlah ia betapa suhunya tewas dalam tangan Bok Bu Hwesio. Dan
hwesio pembunuh suhunya itu tadi ia lihat di rumah penginapan.
Serentak bangunlah Lie Bun. Semangatnya bernyala-nyala dan rasa dendam dan sakit
hatinya bagaikan api mendapat kayu kering. Ia lalu loncat dan keluar dari taman
secepatnya. Ia tiba dihotelnya dan cepat sekali karena ia lari melalui atap gentenggenteng
rumah.
Setelah tiba di hotel dan ia mengintai ke bawah dan tahu di mana kamar hwesio
gemuk pendek bersama dua orang kawannya itu. Ia segera loncat turun dan dari
jendela kamar ia berseru.
Tak Disangka ........
“BOK BU HWESIO! Kau keluarlah untuk lunaskan perhitungan lama!”
Bok Bu Hwesio adalah seorang tokoh kangouw yang ternama. Mendengar tantangan
orang di luar jendela, ia tenang saja karena baginya tidak aneh untuk sewaktu-waktu
mendapat kunjungan seorang musuh yang hendak menuntut balas. Ia lalu kebutkan
ujung lengan bajunya hingga lampu dalam kamarnya padam seketika.
Kemudian ia berkelebat keluar dan langsung loncat ke atas genteng, diikuti oleh
kedua orang kawannya yang sebetulnya hanya dua orang muridnya yang baru saja
datang dari luar kota.
Ketika hwesio itu tiba di atas genteng, ia melihat seorang pemuda dengan tongkat
bambu di tangannya berdiri menanti kedatangannya.
“Anak muda, dari manakah dan siapakah yang sengaja datang mencari pinceng?”
tegurnya.
Melihat musuh gurunya dihadapannya, hati Lie Bun yang sedang sedih dan risau itu
menjadi panas dan timbullah marahnya. Ia menuding dengan tongkat bambu sambil
berkata.
“Bok Bu! Tidak ingatkah kau, betapa kau telah melukai suhuku ketika ia sedang
menderita sakit? Kau telah berlaku pengecut menyerang seorang yang tidak sehat.
Sekarang kau berhadapan dengan muridnya yang hendak menuntut balas!”
“Bok Bu Hwesio tertawa tergelak-gelak. “Anak muda, orang-orang yang telah kulukai
dan kujatuhkan banyak sekali hingga aku sendiripun tidak ingat lagi ada berapa
banyak. Siapakah kau ini, dan siapakah gurumu yang telah kulukai itu?”
“Suhuku ialah Kang-lam Koay-hiap!”
Terkejutlah Bok Bu Hwesio mendengar pengakuan ini. Ah, kalau benar anak muda ini
murid Kang-lam Koay-hiap, maka tidak boleh berlaku sembrono.
“Kalau kau hendak menuntut balas, mengapa tidak mencari aku di Thian-siang saja?
Di sana aku akan melayani tuntutanmu. Sekarang aku sedang sibuk!” Hwesio gemuk
pendek yang licin ini tahu dan ingat bahwa Lie Bun adalah seorang yang
berkepandaian tinggi dan barangkali tidak banyak bedanya dengan Kang-lam Koayhiap
sendiri, maka berbahayalah melayaninya di sini. Kalau melayani di sarangnya,
yakni di Thian-siang, ia dapat mengharapkan bantuan dari kawan-kawannya.
“Hwesio pengecut! Kau berani berbuat mengapa mundur menghadapi tanggung
jawab? Kau terimalah pembalasanku!”
Lie Bun segera menyerang dengan tongkat bambunya.
“Baiklah, kalau kau sudah kepingin mampus!” jawab Bok Bu Hwesio untuk tidak
kalah garang dan ia segera menyampok dengan ujung lengan bajunya yang panjang.
Pertempuran hebat terjadi di atas genteng rumah penginapan itu. Kedua murid Bok
Bu Hwesio cabut pedang mereka dan membantu hwesio itu. Tapi sebentar saja,
mereka kena terpukul ujung tongkat bambu Lie Bun yang digerakkan dengan gemas
hingga sangat ganas dan lihai.
Tubuh kedua murid Bok Bu Hwesio itu roboh dan membuat pecah banyak genteng.
Bok Bu Hwesio marah sekali dan ia berhasil memungut sebilah pedang muridnya
yang telah dirobohkan. Kini mereka berdua memegang senjata dan pertempuran
dilanjutkan dengan seru sekali.
Harus diakui bahwa kepandaian Bok Bu Hwesio sangat tinggi dan hampir sejajar
dengan kepandaian Kang-lam Koay-hiap. Hanya di dalam ilmu tongkat dan ilmu
pedang, Kang-lam Koay-hiap menang setingkat. Dulu Kang-lam Koay-hiap dapat
dilukai karena kakek pengemis yang lihai itu sedang sakit dan tenaganya lemah.
Kini menghadapi Lie Bun, segera Bok Bu Hwesio merasa bahwa pemuda ini lebih
tangguh dari pada Kang-lam Koay-hiap sendiri. Hal ini karena ketika menghadapi
Kang-lam Koay-hiap dulu, pengemis sakti itu sedang sakit dan kini Lie Bun yang
sedang menderita hati sedih dan risau itu menyerangnya dengan nekat dan tidak kenal
takut hingga Bok Bu Hwesio merasa jerih sekali.
Pertempuran hebat itu berjalan ratusan jurus dan Lie Bun telah berhasil menotok iga
kanan lawannya. Tapi karena Bok Bu Hwesio adalah seorang kebal, totokan itu tidak
melukai hebat hanya membuat sebelah tubuh hwesio itu untuk sesaat merasa linu.
Kemudian hwesio itu loncat ke bawah dan dikejar oleh Lie Bun.
Di tanah mereka lanjutkan pertempuran mati-matian itu. Lie Bun keluarkan ilmu
simpanannya, yakni Im-yang Kiam-sut. Ilmu pedang ini memang sukar dicari
tandingannya hingga setelah bertempur puluhan jurus, Bok Bu Hwesio terdesak hebat.
Ketika Lie Bun menyerang dengan tongkat menusuk perutnya, Bok Bu Hwesio
gunakan pedangnya menekan tongkat itu ke bawah dengan tipu Hui-eng Bok-tho atau
Elang terbang sambar kelinci. Maksudnya hendak menggunakan tenaga gwakang
untuk membuat tongkat itu patah. Tapi tidak tahunya itu memang pancingan Lie Bun.
Ketika merasa betapa pedang itu menggencet tongkatnya, Lie Bun kerahkan
lweekangnya dan tangan kirinya menyambar leher musuh, berbareng tongkatnya ia
tarik cepat. Melihat serangan tangan kiri yang cepat itu Bok Bu Hwesio segera
miringkan kepala berkelit. Tapi karena gerakan ini maka perhatiannya kepada
pedangnya agak mengurang hingga Lie Bun berhasil membetot tongkatnya yang
langsung disodokkan ke arah muka lawannya.
Dua kali serangan masih dapat dikelit oleh pendeta gemuk pendek itu. Tapi serangan
ketiga tepat sekali melukai pinggir matanya karena Lie Bun menyerang mata
lawannya.
Karena luka ini, maka terpaksa Bok Bu Hwesio gunakan tangan kiri untuk menutupi
sebelah matanya. Tapi cepat seperti burung menyambar, Lie Bun sudah kirim
serangan lagi dengan ujung tongkatnya yang menotok uluhati lawannya.
Terdengar jerit ngeri dan menyeramkan, dan tubuh Bok Bu Hwesio yang gemuk
pendek itu roboh di tanah dengan tidak bernyawa lagi.
Habislah riwayat hwesio yang mencemarkan nama golongannya dengan perbuatanperbuatan
yang tak patut dilakukan oleh seorang hwesio yang seharusnya menuntut
penghidupan suci.
Mendengar jeritan itu, semua orang penghuni hotel menjadi bingung dan panik. Tidak
seorangpun berani tongolkan kepala dari jendela semenjak mereka tahu bahwa di atas
genteng ada orang sedang bertempur mati-matian.
Lie Bun masuk ke kamarnya dan seret Lo Sam dari atas pembaringan di mana orang
tua itu sembunyikan diri di bawah selimut. Merasa betapa kakinya di seret orang, Lo
Sam buka mulut hendak berteriak minta tolong tapi Lie Bun cepat bekap mulut orang
tua itu.
“Lopeh, hayo kita pergi!”
“Apa? Bagaimana? Kemana ...? Malam-malam begini pergi?”
“Sudahlah, kau turut saja!”
Dengan diam-diam dan cepat, keduanya lalu keluarkan kuda dan naiki kuda itu
menuju keluar kota dengan cepat.
“Ji-kongcu, apa yang terjadi? Siapa yang bertempur di atas hotel tadi?” tanya Lo Sam
dengan menggigil kedinginan karena memang jauh bedanya hawa di dalam kamar
hotel yang hangat karena berselimut, dengan hawa di luar di mana angin malam
bertiup perlahan-lahan.
“Aku yang bertempur dan aku berhasil membunuh musuh besarku.”
Mendengar pengakuan ini, Lo Sam melirik ke arah Lie Bun dan ia menelan ludah.
Diam-diam timbul hati seram dan takut terhadap anak muda itu. Ia tidak menyangka
sama sekali bahwa pemuda yang hendak dipinangkan seorang gadis itu dapat
membunuh orang dengan demikian enaknya. Maka ia tak berani banyak cerewet lagi
dan selalu menurut kehendak Lie Bun.
Seminggu kemudian mereka telah tiba di kota Bi-ciu dan Lie Bun segera memasuki
kamarnya dan membanting dirinya di atas pembaringan.
Keesokan harinya ia menderita sakit panas yang hebat sekali. Ayah ibunya menjadi
bingung dan tabib yang pandai segera dipanggil.
Lie Bun bergulingan di atas pembaringan dengan gelisah. Tubuhnya panas dan ia
bicara kacau balau. Seringkali menyebut nama suhunya dan berkali-kali ia ucapkan
syair.
“Sepasang ikan bercerai .......”
“Seekor ke kanan, seekor ke kiri ........”
Kedua orang tuanya tidak tahu maksud syair itu dan mereka hanya dapat menjaga Lie
Bun dengan hati cemas.
Dari Lo Sam mereka diberitahu bahwa gadis yang hendak dilamar itu telah pindah
dan tak seorangpun yang tahu ke mana gadis itu pindah.
Ibu Lie Bun segera dapat menduga bahwa anaknya menderita sakit rindu.
Hampir sebulan Lie Bun menderita sakit. Setelah sembuh, tubuhnya menjadi kurus
dan ia jarang sekali keluar dari kamarnya. Berhari-hari ia hanya duduk bersila sambil
bersamadhi di dalam kamarnya, jarang mengeluarkan kata-kata kalau tidak ditanya.
Demikianlah keadaan pemuda yang sengsara itu sampai tiba musim chun di mana
orang-orang menyambutnya sebagaimana kebiasaan mereka setiap tahun. Rumahrumah
dihias dan dikapur dan orang-orang mengenakan pakaian serba baru. Rumah
keluarga Lie tidak ketinggalan. Terutama Lie Kiat, ia gembira sekali dan mengenakan
pakaiannya yang indah berwarna biru dan merah muda hingga ia tampak gagah.
Di depan rumah-rumah dipasangi lampion-lampion yang beraneka macam dan di
sana-sini terdengar suara tetabuhan karena banyak orang-orang mainkan singasingaan
dan barongsai.
Seluruh kota Bi-ciu tenggelam dalam pesta pora dan kegembiraan. Mungkin hanya
Lie Bun seorang yang duduk termenung di taman belakang sambil melihat ikan-ikan
berenang kesana kemari dalam empang. Bunga-bunga teratai warna merah dan putih
tersenyum dengan manis berseri di atas air kehijau-hijauan.
Orang-orang saling kunjung mengunjungi untuk mengucapkan selamat, satu kepada
yang lain berhubung dengan datangnya musim terindah dan terbaik selama setahun.
Lie Kiat berlari-lari mencari adiknya di taman.
“A Bun ...! Lie Bun ...!” teriaknya, dan ketika ia melihat Lie Bun duduk termenung di
pinggir empang, ia segera lari menghampiri.
“Lie Bun, jangan kau termenung saja. Hari ini adalah hari baik dan ayah mengajak
kita pergi mengunjungi rumah tunanganku. Kau harus ikut, A Bun!”
Melihat kegembiraan kakaknya ini, Lie Bun terpaksa senyum lemah. “Untuk apakah
aku harus ikut?” tanyanya halus.
Mata Lie Kiat terbelalak. “Untuk apa? Ampun, anak ini! Untuk apa, katanya!
Bukankah ini hari besar dan kita harus mengucapkan selamat kepada orang-orang
yang kita cinta? Kau harus mengucapkan selamat pula pada calon ensomu! Tidak
maukah kau memberi selamat kepada calon isteriku?”
Tentu saja Lie Bun tidak berani menolaknya.
“Hayo, kau ganti pakaian yang paling indah dan paling baru!”
“Untuk apa berganti pakaian segala?” tanya Lie Bun.
Kakaknya menjadi gemas dan segera menarik tangannya diajak berlari ke kamarnya
sambil berkata.
“Ah, kau ini rewel benar. Hayolah, aku malu kalau calon isteriku melihatmu dalam
pakaian buruk.”
Terpaksa Lie Bun bertukar pakaian. Kemudian ia berkata kepada Lie Kiat.
“Twako, kau hanya teringat kepada tunanganmu saja, apakah kau sudah lupa kepada
Cui-siocia?”
“Bodoh, siapa yang lupa? Kau kira kemanakah aku sehari kemarin? Berpesta di
rumahnya. Sekarang giliran tunanganku!”
Mau tidak mau Lie Bun tersenyum melihat lagak Lie Kiat. Ah, alangkah bedanya
nasibnya dengan nasib Lie Kiat. Kakaknya ini selalu mendapat apa yang
dikehendakinya, karena kakaknya memang tampan dan gagah. Siapa yang tidak suka
melihat pemuda secakap ini? Tapi dia? Ah, orang buruk memang selalu bernasib
buruk pula.
Kemudian ia mencela diri sendiri. Ia memang telah terlahir buruk. Mengapa harus
mengeluh? Kwei Lan pindahpun bukan sengaja menyakiti hatinya. Mengapa ia harus
bersedih? Apakah ini laku seorang gagah? Apakah ia harus tunduk kepada nasib
buruk? Ah, suhunya kalau masih hidup tentu akan marah padanya.
Pada saat itu ayah ibunya datang menghampiri mereka.
Melihat pandangan ayah ibunya yang ditujukan padanya dengan khawatir. Tiba-tiba
Lie Bun insyaf betapa ia telah berdosa besar terhadap mereka. Ia telah membuat
mereka itu bersedih dengan sikapnya yang selalu murung. Ah, sungguh bodoh dan
sesat. Beginikah laku seorang yang uhauw, seorang yang berbakti kepada orang tua?
Lie Bun merasa betapa ia telah bersalah kepada orang tuanya, maka kini melihat
mereka mendatangi dengan pakaian indah dan baru sambil memandang ke arahnya,
hatinya menjadi terharu sekali. Ia maju dan memberi hormat kepada ayah ibunya
sambil menghaturkan selamat.
Lie Ti dan isterinya heran melihat perubahan ini dan mereka gembira sekali. Ternyata
Lie Bun telah sembuh benar-benar sekarang. Ibunya pegang pundak puteranya yang
kedua ini sambil berkata.
“Syukur, anakku, kalau kau sudah dapat menguasai hatimu. Mari kau ikut pergi ke
Lun-kwan. Kita harus bergembira ria, karena kepergian kita kali ini ialah untuk
menetapkan hari perkawinan kakakmu!”
Lie Bun tersenyum dan dengan tenaga luar biasa ia tekan hatinya yang berdebar
mendengar betapa kakaknya akan segera kawin.
“Anak telah berlaku bodoh selama ini. Mohon ayah dan ibu suka memberi ampun,”
katanya.
Dalam suasana gembira, keluarga Lie berangkat menuju ke Lun-kwan. Lie Ti dan
kedua puteranya naik kuda sedangkan nyonya Lie naik sebuah kereta kecil yang
dihias indah. Banyak pelayan ikut sambil membawa barang-barang hadiah yang
hendak diberikan kepada calon besan itu.
Ketika tiba di Lun-kwan dan rombongan berhenti di depan sebuah gedung besar yang
indah. Lie Kiat mendengar tetabuhan ramai di taman yang berada di sebelah kanan
gedung itu. Pemuda itu segera tarik tangan adiknya yang diajak langsung memasuki
taman itu.
“Twako, jangan, nanti kita disebut kurang tahu adat!” Lie Bun mencegah, tapi seperti
biasa Lie Kiat suka membawa kehendak sendiri. Dengan tindakan gagah Lie Kiat
cepat memasuki taman sedangkan Lie Bun setelah itu masuk pula, berhenti dengan
ragu-ragu karena di sebelah dalam taman itu tampak seorang sedang menikmati
pertunjukkan Ki-lin yang agaknya sengaja diundang untuk menghibur keluarga
hartawan itu.
Kalau Lie Bun berhenti dan berdiri ragu-ragu, adalah Lie Kiat langsung menuju ke
taman dan ketika melihat betapa gadis tunangannya menonton pertunjukkan itu dari
sebuah menara kecil yang dibangun di tengah-tengah taman, ia segera menghampiri
dan masuk dari pintu belakang.
Suara tetabuhan gembreng dan tambur yang ramai itu akhirnya menarik pula
perhatian Lie Bun. Dengan tak terasa kakinya melangkah maju mendekat dan ia
menggabungkan diri dengan para pelayan yang sedang mengelilingi pemain Ki-lin
dan menikmati tari-tarian yang lincah dan indah itu.
Kemudian Lie Bun teringat akan kakaknya. Ia menjadi khawatir kalau-kalau terjadi
sesuatu atas diri kakaknya, maka ia segera mengitari lingkungan penari Ki-lin itu
hingga sampailah ia di belakang menara.
Ketika ia sedang mencari-cari Lie Kiat, tiba-tiba ia mendengar suara kakaknya itu di
dalam menara sedang bercakap-cakap dengan seorang wanita.
“Siocia, mengapa kau marah? Bukankah kita telah bertunangan dan apa salahnya bagi
orang yang telah bertunangan untuk bertemu di sini? Ah, siocia, kau cantik sekali dan
perkenankanlah aku untuk mengucapkan selamat kepadamu!”
Kemudian terdengar jawaban seorang wanita, suaranya halus tapi tajam.
“Lie-kongcu, aku mendapatkan bahwa kau adalah seorang terpelajar, tapi ternyata
bahwa kau agaknya memang biasa bergaul dengan segala macam perempuan rendah.
Tapi kau ingatlah, aku belum menjadi isterimu dan kau tak berhak berlaku sesuka
hatimu di tempatku ini. Kau keluarlah, tak pantas kalau sempat terlihat orang
perbuatanmu yang tak pantas ini!”
Suara Lie Kiat terdengar marah dan penasaran ketika ia menjawab.
“Siocia, perbuatan mana yang tidak pantas?”
“Kau masuk ke sini tanpa izin, seakan-akan ini tempatmu sendiri. Apakah itu pantas
namanya? Pula, akupun mendengar bahwa kau telah mempunyai tunangan. Mengapa
kau masih hendak mencari aku? Apakah itupun pantas namanya?”
Celaka, pikir Lie Bun ketika mendengar ini. Agaknya gadis inipun sudah tahu akan
hal hubungan Lie Kiat dengan Cui Im. Nah, berabelah kini!
“Ooo ...... jadi kau cemburu?” terdengar Lie Kiat berkata.
“Aku? Cemburu?? Hah! Peduli apakah aku, biarpun kau mempunyai kekasih puluhan
orang? Hanya saja, aku tak sudi dipermainkan orang! Kau keluarlah dari sini!”
Lie Bun merasa betapa kakaknya harus keluar dari situ karena kalau sampai terdengar
orang, akan mendapat malu besarlah keluarganya. Maka ia lalu masuk ke dalam pintu
yang terpentang itu untuk memanggil kakaknya.
“Twako, mari keluar,” katanya sambil membuka tirai. Dan pada saat itu ia melihat
seorang gadis cantik jelita yang berdiri berhadapan dengan Lie Kiat dan yang pada
saat itu memandang ke arahnya.
Baik Lie Bun dan gadis itu berdiri kesima. Mata mereka terbelalak dan mereka saling
pandang lama sekali.
Tak terasa kaki Lie Bun bertindak maju menghampiri dan tiba-tiba pada wajah gadis
yang tadinya muram dan marah itu tampak senyum menghias bibirnya yang indah.
“Kwei Lan .......!” Lie Bun berbisik bagaikan dalam mimpi dan ia maju mendekat.
Sama sekali tidak melihat Lie Kiat yang berdiri memandang mereka dengan heran.
“Kau .......? Kau ........ di sini??” gadis itu menunjuknya dengan telunjuknya yang
runcing dan mungil ke arah Lie Bun dan mukanya menjadi girang sekali.
“Kwei Lan ...... siocia ...... kau masih ..... masih ingat kepadaku? Aku adalah .....
pengemis dulu itu ......!”
“Lie-inkong ........., Lie-twako ........! Bagaimana aku bisa melupakan kau?”
Tiba-tiba kedua anak muda yang seakan-akan terkena pesona dan lupa segala, saling
pandang dengan mesra. Dan terkejutlah mereka ketika terdengar suara Lie Kiat
tertawa keras. Mereka baru sadar dan merasa malu.
“Ha ha ha! Pantas, pantas! Tahulah aku sekarang mengapa sikapmu kepadaku dingin
dan benci! Tidak tahunya kau sudah mempunyai kekasih. Ha ha! Sungguh
memalukan, sungguh menjemukan! Lie Bun, kau adik yang selama ini kuanggap
seorang gagah dan budiman, ternyata hanya ... seorang tidak tahu malu! Kau
mengadakan hubungan kotor dengan calon iparnya sendiri! Ha ha ha! Kwei Lan
dimanakah kau hendak sembunyikan mukamu yang kotor?”
Lie Bun loncat ke depan kakaknya. “Twako! Aku larang kau maki-maki dia! Kami
tidak melakukan sesuatu yang buruk. Kau salah sangka!”
Lie Kiat gerakkan tangan dan menampar muka Lie Bun dengan keras. Lie Bun tidak
berkelit dan menerima tamparan itu hingga pipinya kena tampar keras sekali hingga
menjadi biru.
“Lie Bun! Kau ....... kau manusia rendah. Kalau kau hendak mencari kekasih,
mengapa justru kau menggoda calon isteriku? Bukankah itu memalukan sekali?”
“Twako! Dengarlah aku! Kami tidak mempunyai hubungan apa-apa. Kami dulu
kebetulan saja pernah bertemu dan berkenalan. Sungguh, twako. Aku tidak
mengganggu tunanganmu dengan ........ Lo-siocia!”
“Bangsat bermulut manis!” dan Lie Kiat kini mengirim pukulan ke mulut Lie Bun.
Sekali lagi Lie Bun tidak menangkis hingga bibirnya berdarah ketika menerima
hantaman Lie Kiat.
Karena merasa cemburu dan panas, Lie Kiat tidak puas dan ia menjadi mata gelap. Ia
kirim lagi pukulan ke dada Lie Bun dan pukulan ini berbahaya sekali karena Lie Kiat
pergunakan seluruh tenaganya.
Lie Bun tidak dapat melawan kakaknya, maka ia hanya kerahkan tenaga dalam untuk
melindungi isi dadanya, maka ketika pukulan Lie Kiat mengenai dadanya,
terdengarlah suara keras dan Lie Bun terlempar jauh menabrak dinding dan jatuh
dengan wajah pucat. Tapi Lie Bun tidak mendapat luka dalam hanya merasa betapa
kulit dan daging di dadanya terasa panas dan sakit. Betapa pun juga, Lie Bun tidak
mengeluarkan sedikit rintihan, hanya memandang kakaknya dengan sedih.
Sementara itu, Kwei Lan menjerit-jerit minta tolong dan menangis sedih hingga
semua pelayan datang berlari-larian.
Beberapa orang pelayan segera memberi laporan kepada Lo-wangwe dan dengan
berlari-lari Lo-wangwe datang diikuti oleh tamunya, yakni Lie-wangwe. Kedua orang
tua itu saling pandang dan heran sekali melihat keadaan yang mereka hadapi.
Lie Kiat sedang berdiri dengan wajah merah dan mata bernyala-nyala sedang dibujuk
oleh para pelayan untuk bersabar. Kwei Lan duduk di atas bangku sambil menutup
mukanya dan menangis sedih sekali. Sedangkan Lie Bun berdiri bersandar pada
dinding dengan wajah pucat dan mulut berdarah. Tapi senyum menyedihkan terlukis
di bibirnya yang pecah-pecah.
“Kwei Lan, apakah yang terjadi?” tegur Lo-wangwe kepada Kwei Lan.
Gadis itu hanya menangis makin sedih dan isaknya membuat seluruh tubuhnya
bergoyang-goyang. Kemudian dengan tiba-tiba gadis itu berdiri dan lari keluar dari
situ memasuki gedung dan membanting dirinya di dalam pembaringan di kamarnya.
Lie-wangwe membentak kedua puteranya. “Lie Kiat! Lie Bun! Apa yang kalian
perbuat? Sungguh memalukan sekali! Hayo keluar!”
Lie Kiat dengan angkat dada dan wajah masih merah segera keluar dengan tindakan
lebar, sedangkan Lie Bun dengan kepala tunduk berjalan keluar pula.
“Eh, bukankah ..... bukankah ..... kau yang dulu pernah datang di rumahku?”
“Lie Bun geleng-geleng kepala. “Wan-gwe salah kenali orang. Siauwte yang rendah
ini tak pernah mengenal siapa-siapa. Harap maafkan, Wan-gwe.” Dan ia lalu keluar
dengan kepala masih tunduk. Ia merasa sedih sekali. Hatinya terasa perih dan sakit.
Bekas pukulan kakaknya tak berarti apa-apa baginya. Tapi kenyataan bahwa tunagan
Lie Kiat bukan lain ialah Kwei Lan. Gadis yang dipuja-pujanya dan dicari-carinya
serta membuat ia sebulan lamanya menderita sakit. Ah ..... hal ini sungguh merupakan
kenyataan yang pahit dan membikin hatinya perih. Kini ditambah lagi dengan dugaandugaan
Lie Kiat yang keji. Ah, mengapa nasibnya selalu sengsara?
Ketika tiba di rumah, Lie Bun segera masuk ke kamarnya dan memikirkan nasibnya.
Ia mendengar betapa Lie Kiat masih marah-marah dan memaki-maki dia di luar
kamarnya. Ketika ayah dan ibunya datang, Lie Bun dipanggil keluar.
“Lie Bun, sebenarnya apakah yang terjadi, nak? Kau ceritakanlah yang sejujurnya
kepadaku karena Lie Kiat sukar diajak bicara,” kata ibunya.
“Ibu, biarlah kalau memang aku yang dipersalahkan dalam hal ini. Hanya Thian yang
tahu bahwa aku tidak bersalah. Memang aku pernah bertemu dan kenal dengan Losiocia.
Tapi kami tak pernah melakukan sesuatu. Bahkan kami baru sekali saja
bertemu.”
“Bohong! Baru sekali bertemu tapi ketika berjumpa tadi kau langsung menyebut
namanya saja! Dan dia menyebutmu Lie-twako. Sedangkan kepadaku sendiri, kepada
tunangannya, calon suaminya, ia masih menyebut kongcu! Mungkinkah ini kalau kau
dan dia tak mempunyai hubungan erat?” teriak Lie Kiat.
“Sungguh, twako. Maki-makianmu, pukulan-pukulanmu, dan fitnah-fitnah keji yang
dilontarkan padaku itu kuterima dengan sabar. Aku tadi terlampau heran dan terkejut
melihat ia di sana karena sama sekali tidak pernah kuduga, maka tak sengaja aku
menyebut namanya. Pikirlah, apa mungkin seorang siocia seperti dia itu sudi
mengadakan hubungan dengan aku yang begini buruk?” Lie Bun mengucapkan katakata
ini dengan terharu sekali.
“Kau sangka aku buta? Pandangan matamu ketika melihat dia tadi .... aku bukan anak
kecil!” Lie Kiat masih saja marah-marah.
Lie Bun tiba-tiba berdiri dan berkata dengan gagah.
“Ya, biarlah aku akui. Semenjak pertemuanku yang hanya satu kali itu, aku telah jatuh
cinta kepadanya! Ya, aku cinta kepada Kwei Lan! Dengarkah kalian? Aku cinta
padanya. Dan tahukah kalian semua bahwa ketika aku pergi dengan Lo Sam dulu itu,
yang hendak kulamar bukan lain ialah Kwei Lan seorang? Tahukah kalian bahwa aku
menderita sakit karena memikirkan Kwei Lan? Dan tadi aku bertemu dengan dia!
Ternyata ia tunangan saudaraku sendiri! Nasib! Nah, aku sudah mengaku, kau mau
apa twako? Membunuhku? Kau tahu baik-baik, bahwa kalau aku mau, tak mungkin
kau dapat memukulku. Apalagi sampai menyakiti badanku. Kau tahu bahwa dengan
sekali bergerak saja, dengan mudah aku dapat membunuhmu. Tapi aku tidak segila
kau! Aku mengalah dan menerima pukulan-pukulan dan makian-makianmu karena
aku kasihan melihat kau. Karena aku tidak ingin melihat kau sakit hati. Nah, aku
sudah bicara. Aku takkan menghalang-halangi perjodohanmu dengan Kwei Lan. Tapi
ingat, kalau kau sampai membuat dia sengsara atau kau menyia-nyiakan Kwei Lan,
biarlah aku melanggar dosa terbesar dengan membunuh kakakku dengan kedua
lengan tanganku sendiri!”
“Lie Bun!” jerit ibunya.
Maka sadarlah Lie Bun dari keadaannya yang seperti bukan maunya sendiri itu dan ia
tubruk dan peluk kaki ibunya.
“Ibu .... ampuni aku, ibu .....!”
Atas desakan Lie Kiat yang semenjak hari itu selalu marah-marah, perkawinan akan
diadakan secepatnya, yakni dua bulan lagi. Pihak keluarga Lo juga telah menyatakan
persetujuannya.
Biarpun Lie Kiat kini tidak berani maki-maki adiknya lagi. Tapi tiap kali ada Lie Bun
di situ, pasti ia bicara tentang perkawinannya itu hingga dengan sengaja ia hendak
menyakiti hati adiknya.
Agaknya Lie Kiat masih tak dapat melenyapkan perasaan cemburunya. Ia maklum
bahwa tak mungkin Kwei Lan mencintai Lie Bun. Tapi ia mengetahui bahwa Lie Bun
mencintai calon isterinya. Cukup membuat ia merasa cemburu sekali.
Karena makin dekat menjelang hari perkawinan itu, hati Lie Bun makin tergoda.
Akhirnya ia berpamitan kepada kedua orang tuanya untuk mengembara barang
setahun.
Ibunya melarang, tapi Lie Bun berkata bahwa ia ingin menengok makam gurunya.
“Biarlah kalau ia mau pergi, tapi jangan lama, Lie Bun. Ingatlah bahwa kami di sini
selalu menanti-nanti kembalimu. Jangan kau pergi lebih dari setahun. Ini merupakan
perintah ayahmu, mengerti?”
Lie Ti cukup bijaksana untuk mengetahui bahwa memang berat bagi Lie Bun untuk
menyaksikan perkawinan kakaknya, maka ia sengaja memberi ijin kepada puteranya
yang kedua ini.
Maka pergilah Lie Bun. Sebelum pergi ia menemui Lie Kiat di kamarnya. Kakaknya
itu sedang duduk dan ketika melihat adiknya masuk ke kamarnya, ia buang muka
sambil bersungut-sungut.
“Twako, aku .... aku pergi ....”
Lie Kiat tidak menjawab dan diam saja.
“Twako, aku tahu, kau tentu marah dan sakit hati kepadaku. Apa dayaku? Agaknya
hidupku ini hanya merupakan gangguan saja bagi orang lain. Mengapa aku yang
buruk rupa ini begini tidak tahu diri dan mencintai orang? Twako, kalau .... kalau kau
kehendaki, biarlah aku minta ampun padamu ... twako ....” Lie Bun tak tahan lagi dan
air matanya keluar membasahi pipinya yang hitam.
Kecintaan Raja Pencopet
Lie Kiat terharu dan rasa sayangnya terhadap adiknya timbul. Tapi ketika ia
memandang Lie Bun, ia teringat pula betapa adiknya itu mendapat perhatian besar
dari Kwei Lan, maka marahnya lebih kuat dari pada rasa sayangnya.
“Sudahlah, sudahlah! Kau mau pergi, pergilah! Siapa yang hendak menahanmu?”
“Twako, kau memaafkan aku?”
“Sudahlah, jangan ulang-ulangi lagi hal itu!” Lie Kiat lalu banting diri di atas
pembaringan sambil gunakan kedua tangan tutupi telinganya.
Lie Bun lalu tinggalkan kakaknya dan setelah berpamit kepada ayah ibunya, ia pergi
dengan cepat.
Keadaannya kini jauh berbeda dari pada dulu ketika ia merantau bersama suhunya.
Dulu ia hidup sebagai seorang pengemis. Tapi sekarang ibunya memaksa ia
membawa cukup uang guna belanja selama ia merantau. Pakaiannya juga bagus dan
di dalam bungkusan pakaian yang berada di punggungnya masih ada barang dua stel
pakaian baru.
Lie Bun menuju ke Timur karena ia ingin menjelajah sepanjang pantai laut timur yang
terkenal indah.
Untuk menghibur hatinya yang terluka, ia sengaja ambil jalan air dan naik perahu
sepanjang sungai Yang-ce menuju ke timur. Makin ke timur, sungai ini makin
melebar dan pemandangan makin indah.
Lie Bun berlayar seorang diri dan membiarkan perahunya dibawa hanyut di pinggir
sungai. Beberapa pekan kemudian, tibalah ia di Nan-king, kota yang sangat besar dan
menjadi pusat kebudayaan itu.
Ia mendarat dan dengan penuh kagum di dalam hati. Ia berjalan sepanjang jalan yang
lebar dan melihat-lihat rumah-rumah dan bagunan-bangunan dengan ukiran-ukiran
indah.
Ketika ia masuk ke dalam sebuah jalan yang ramai dan banyak sekali orang. Tiba-tiba
di tempat yang agak berdesakan ia merasa betapa sebuah tangan dengan cepat sekali
menyambar bungkusannya. Tapi lebih cepat lagi jari telunjuk Lie Bun menyambar
dan dapat menotok pergelangan tangan itu hingga pergelangan itu menjadi lumpuh
dan bungkusan yang telah disambar itu dijatuhkan kembali.
Lie Bun segera pungut buntalan pakaiannya dan ia melihat wajah seorang setengah
tua meringis kesakitan sambil memandangnya dengan heran.
Kemudian copet itu lalu melarikan diri dengan cepat di dalam tempat yang ramai dan
penuh sesak itu.
Lie Bun menghela napas. Ternyata tidak hanya rumah-rumah, jalan-jalan dan barangbarang
yang istimewa di dalam kota besar ini. Bahkan tukang copetnya juga istimewa
karena ia harus akui kelihaian tukang copet tadi yang sekali bergerak saja buntalan
yang diikatkan di punggungnya telah kena disambar.
Untung ia cepat dapat menggunakan totokan dengan satu jari, yakni ilmu totok It-cisian,
untuk merampas kembali buntalannya. Kalau tidak, entah bagaimana kalau
sampai pakaian dan uangnya semua hilang!
Ia tersenyum geli kalau teringat betapa pencoleng itu lari sambil membawa luka di
pergelangan tangannya karena totokannya itu. Kalau bukan orang yang telah melatih
ilmu totok ini dengan sempurna, sukar agaknya untuk memulihkan kembali
pergelangan tangan itu.
Biarlah, tentu ia akan mencari aku dan minta pertolonganku, pikir Lie Bun. Dan
pemuda ini lalu mencari kamar dalam sebuah hotel yang memakai merk “Lo-seng”.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi setelah ia bersihkan badan, pelayan hotel
memberikan sebuah sampul merah kepadanya.
“Surat ini untuk kongcu,” katanya.
Dengan menyembunyikan rasa herannya, Lie Bun menerima surat bersampul merah
itu. Ketika ia buka sampulnya , maka ia mencium bau harum keluar dari sampul itu.
Ia tarik keluar suratnya yang berwarna merah muda. Tulisannya bagus dan halus.
Nyata tulisan tangan seorang wanita. Ia membaca dengan heran.
Lie-taihiap yang terhormat,
Kelihaian taihiap telah kami rasakan melalui seorang anggota kami, maka kami
kagum sekali kepada taihiap.
Sukalah taihiap memberi kehormatan pada kami dengan menghadiri pertemuan yang
kami adakan hari ini di loteng rumah makan Ayam Emas.
Menanti dengan hormat,
Cian-chiu Sin-touw
Lie Bun kagum sekali dengan kelihaian orang yang menulis surat ini. Baru saja ia
datang, orang sudah tahu akan namanya.
Yang menandatangani surat adalah Cian-chiu Sin-touw atau Malaikat Copet Tangan
Seribu, tentu inilah copet di kota ini. Ia lalu bertanya kepada pelayan hotel di mana
letaknya rumah makan Ayam Emas.
“Ah, kongcu belum tahu letaknya Kim-kee-tian? Itu adalah rumah makan terbesar dan
yang paling mahal di kota ini.”
Pelayan itu lalu memberi petunjuk kepada Lie Bun dan ia makin menaruh hormat.
Karena biasanya orang yang mencari dan makan di rumah makan itu tentu tamu yang
padat kantongnya.
Setelah bersiap, Lie Bun pergi ke rumah makan Ayam Emas. Ketika ia tiba di depan
rumah makan itu, seorang setengah tua menyambutnya dengan menjura hormat sekali.
Lie Bun tersenyum karena ia segera kenal wajah ini, yaitu wajah pencopet yang
kemaren mencoba mencopetnya! Ketika ia lirik pergelangan tangan orang itu,
ternyata totokannya telah dibuka orang!
“Siauwte kemarin telah menerima pelajaran dari taihiap, harap taihiap maafkan.
Pangcu kami menanti taihiap di loteng dengan para saudara lainnya.”
Lie Bun balas memberi hormat, lalu ikut pencopet itu naik ke loteng. Ternyata loteng
itu luas sekali. Tapi agaknya perkumpulan copet itu telah memborongnya karena
keadaan sunyi sekali dan para tamu hanya memenuhi ruang di bawah saja.
Ditengah-tengah ruang atas itu tampak sebuah meja yang besar dikelilingi bangkubangku
sebanyak lima belas buah. Meja itu penuh masakan dan arak, sedangkan di
situ telah duduk beberapa orang.
Ketika Lie Bun menghampiri, semua orang berdiri dan alangkah heran dan kagetnya
Lie Bun ketika yang menyambutnya adalah seorang gadis kira-kira berumur dua
puluh tahun yang berwajah cantik. Gadis itu mengenakan pakaian serba hijau dan
sikapnya gagah sekali. Sebuah kantung piauw tergantung di pinggangnya dan wajah
yang cantik itu diberi warnah merah-merah sehingga menambah kecantikannya.
Gadis itu tanpa malu-malu dan dengan ramah tamah mengangkat kedua tangan
memberi hormat dan berkata.
“Lie-taihiap, silahkan duduk di tempat penerimaan kami yang buruk.”
Lie Bun balas memberi hormat. “Bolehkah aku yang bodoh ini mengetahui dengan
siapa aku bertemu?”
Gadis itu tersenyum genit dan matanya mengerling tajam. “Aku yang rendah adalah
Cian-chiu Sin-touw sendiri, pemimpin dari perkumpulan kami di kota ini. Mari, mari
silakan, taihiap!”
Kemudian Malaikat copet tangan seribu yang bernama Swat Cu itu memperkenalkan
Lie Bun kepada orang-orang yang kesemuanya merupakan pemimpin-pemimpin
copet dari berbagai kota!
“Taihiap diundang ini untuk menjadi tamu kehormatan kami, karena kami tahu bahwa
taihiap orang asing di sini. Kami mengagumi totokan It-ci-sian yang lihai dan maklum
bahwa taihiap bukan orang sembarangan. Justru kami paling suka bersahabat dengan
orang-orang pandai. Kebetulan sekali kami sedang mengadakan pertemuan tahunan
untuk memilih pengurus baru, maka mungkin sekali hal ini menggembirakan taihiap.
Karena inilah taihiap kami undang.”
Kemudian mereka makan minum dengan gembira karena ternyata bahwa mereka
kesemuanya terdiri dari orang-orang yang pandai bergaul. Terutama Swat Cu pandai
sekali bergaul dan sangat ramah tamah kepada Lie Bun, yang merasa tertarik sekali
dan seakan-akan telah kenal lama dengan gadis baju hijau ini.
Lie-taihiap, apakah membawa kartu undangan?” tiba-tiba Swat Cu bertanya sambil
memandang pemuda itu sambil tersenyum.
Lie Bun mengangguk dan meraba sakunya. Tapi alangkah herannya karena saku itu
telah kosong dan kartu undangan itu telah lenyap.
“Bukankah ini kartu undangan itu?” Swat Cu berkata sambil mengeluarkan sampul
merah itu dari kantung bajunya yang lebar.
Lie Bun terkejut, karena baru saja ia menduga-duga sampai di mana kepandaian gadis
yang menjadi kepala copet ini. Tahu-tahu dirinya telah dijadikan korban demonstrasi.
Tanpa diketahuinya tahu-tahu kartu itu telah dicopet Swat Cu.
Lie Bun tertawa dengan muka merah dan hanya bisa berkata.
“Kau sungguh lihai sekali, pangcu!”
Kini ia tahu bahwa yang membuka totokannya pada pergelangan lengan pencopet itu
tentu gadis ini juga. Ia kini ingat bahwa tadi ketika mempersilakan ia duduk, gadis itu
berada dekat sekali dan agaknya meraba bajunya sambil mempersilakan. Dan
tentunya ketika itulah digunakan oleh gadis itu untuk mencopet isi sakunya.
Setelah makan-minum cukup, Swat Cu lalu berdiri dan berkata.
“Nah, cuwi yang terhormat. Sekarang tibalah waktunya bagi kita untuk menuju ke
tempat perkumpulan kita dan mengadakan pemilihan. Lie-taihiap, kami tetap
mempersilakan taihiap ikut dengan kami untuk menambah pandangan kami. Taihiap
tetap menjadi tamu kehormatan kami.”
Karena merasa tertarik gembira melihat orang-orang yang begitu ramah tamah tapi
yang sebenarnya adalah kepala-kepala copet yang lihai. Lie Bun mengangguk sambil
mengucapkan terima kasih.
Kemudian mereka beramai-ramai turun dari loteng itu dan menuju keluar kota sebelah
barat.
Dan yang mereka sebut rumah perkumpulan itu bukan lain adalah sebuah perahu layar
besar yang berlabuh di pinggir sungai Yang-ce.
Mereka lalu masuk ke dalam perahu itu yang ternyata cukup besar hingga dalamnya
merupakan ruang yang cukup lebar. Di situ juga telah dipasang meja kursi dan semua
orang lalu duduk mengitari meja. Swat Cu memimpin pertemuan itu dan
membukanya sambil berkata.
“Cuwi, sebagaimana terjadi tiap tahun, kali ini kita bersama hendak memilih ketua
baru di antara kita. Dan tiap orang yang hadir mewakili kota masing-masing. Tahun
yang lalu aku mendapat kehormatan untuk memimpin perkumpulan ini dan sekarang
aku hendak serahkan kedudukan ini kepada siapa yang terpilih.”
Seorang yang telah tua tapi matanya tajam angkat bicara.
“Pangcu, lebih baik kau letakkan kedudukan atau lepaskan kedudukan sebagai ketua
lebih dulu. Kemudian baru dipilih seorang ketua baru dan kau masih berhak juga
untuk menjadi ketua baru itu.”
Semua orang setuju.
“Tapi kalau pangcu melepaskan kedudukannya, siapa yang akan memimpin pemilihan
ini?” tanya seseorang.
Seorang berdiri dan berkata. “Aku tidak setuju kalau ketua lama berhak dipilih lagi.
Pantasnya ketua harus seorang pria!”
Yang berkata ini adalah seorang yang masih muda dan tidak lebih dari tiga puluh
tahun usianya. Tubuhnya tegap dan mukanya kejam.
“Aku setuju dengan pendapat ini!” kata seorang lain yang juga masih muda dan
brewokan mukanya.
Swat Cu berdiri dengan tenang. “Siapa lagi yang setuju dengan pendapat ini?”
Tak seorangpun menjawab.
“Jiwi,” kata Swat Cu kepada dua orang itu. “Jangan kira bahwa akupun terlalu suka
menjadi pangcu. Kalau aku bukan anak pangcu yang lama dan dipilih oleh semua
pemimpin daerah, tak nanti aku mendapat kedudukan ini. Nah, saudara-saudara
sekalian. Karena kita harus berlaku adil, maka tidak tepat kalau kini setelah aku
letakkan jabatan pangcu, lalu memimpin kembali rapat ini. Lebih baik kita minta
tolong kepada Lie-taihiap untuk membantu kita sebentar dengan pemilihan ini.”
Semua orang setuju dan Lie Bun juga tidak keberatan. Ia lalu mendengar suara semua
orang. Seorang demi seorang dan setelah dihitung, maka ternyata bahwa suara
terbanyak memilih Swat Cu! Karena ini dengan gembira Lie Bun berdiri dan
mengumumkan.
“Suara terbanyak jatuh kepada Cian-chiu Sin-touw. Maka dialah yang berhak menjadi
ketua untuk tahun ini! Nah, sekarang kuserahkan kembali pimpinan kepada saudara
ketua.”
Semua orang bertepuk tangan dan kedua orang muda tadi serentak berdiri.
“Aku tidak setuju!”
“Akupun tidak setuju!” teriak yang seorang lagi.
“Jiwi!” Swat Cu membentak marah. “Kalau jiwi tidak suka menjadi anggota
perkumpulan kami, jiwi boleh keluar!”
Marahlah orang yang brewokan. Ia lalu menggebrak meja dan berkata.
“Dulu ayahmu menjadi pangcu karena kami akui bahwa ia lebih cakap dan lebih
tinggi kepandaiannya dari pada kami! Tapi kau, seorang gadis muda, sampai
dimanakah kepandaianmu?”
Swat Cu tersenyum sindir. “Nah, lebih baik berterus terang saja. Kalian berdua
hendak menguji kepandaianku? Boleh, mari kita keluar!”
Dengan tenang dan gagah Swat Cu lalu keluar dari perahu dan loncat ke darat diikuti
oleh kedua orang itu dan oleh semua orang yang berada di dalam perahu.
Lie Bun juga keluar dengan sangat tertarik. Ia kagum melihat sikap gagah dan
ketenangan Swat Cu. Jarang terdapat gadis seperti dia ini!
Melihat Lie Bun berdiri di situ, Swat Cu berkata.
“Lie-taihiap, kebiasaan kami untuk menguji kepandaian ialah dengan tangan kanan
bermain pedang dan tangan kiri mencoba serobot ikat rambut yang dipakai masingmasing.
Siapa yang berhasil menyerobot ikat rambut itu, menanglah dia!”
Swat Cu cabut pedangnya yang tersembunyi di punggung dan menghadapi dua orang
itu.
“Kalian boleh maju berbareng dan mengeroyokku!”
“Tapi itu tidak adil!” Lie Bun berseru.
Tapi Swat Cu berkata sambil tersenyum. “Biarlah, agar urusan ini cepat selesai.”
Kedua orang yang memprotes itu lalu mencabut pedang dan mengikat rambut mereka
erat-erat. Kemudian sambil berseru keras mereka menyerang dengan pedang!
Pertandingan macam ini bukanlah tidak berbahaya, bahkan lebih berbahaya karena
kemenangan bukan didasarkan atas menjatuhkan lawan. Tapi menyerobot pengikat
rambut. Tentu saja bukan mudah mencuri ikat rambut dari seorang yang menjaga
dirinya dengan pedang di tangan!
Tapi setelah Swat Cu bergerak, yakinlah Lie Bun bahwa gadis itu pasti menang.
Gerakan pedang gadis itu cepat sekali, hingga sebentar saja ia berhasil mengurung
kedua lawannya dan berputar-putar sekeliling mereka hingga terpaksa kedua orang itu
ikut berputar.
Pada suatu saat terdengar Swat Cu berseru dan pedangnya berkelebat. Tahu-tahu
sebagian besar rambut si berewok terpapas oleh pedang itu dan pengikat rambutnya
terbawa pula yang segera disambar oleh tangan kiri Swat Cu! Sebelum hilang
kagetnya, kembali pedang gadis itu membabat hingga jari tangan pengeroyok kedua
berdarah dan terpaksa ia lepaskan pedangnya. Pada saat itu si gadis telah berhasil pula
membetot ikat rambutnya hingga beberapa ikat dari rambut kepalanya terbawa
bersama-sama dan menimbulkan rasa pedas dan sakit!
“Bagaimana, sudah puaskah jiwi sekarang?” Swat Cu bertanya kepada kedua orang
itu sambil melemparkan pengikat rambut kepada mereka.
“Memang kau jauh lebih pandai dari pada kami dan pantas menjadi pangcu,” jawab
mereka berdua dengan tunduk.
Pada saat itu terdengar suara orang tertawa mengejek yang disusul dengan ucapan.
“Bagus sekali, mengandalkan kepandaian merebut kedudukan!”
Semua orang memandang dan ternyata yang datang adalah orang-orang yang
berpakaian hitam yang jumlahnya tujuh orang. Di depan sekali sebagai pemimpin
tampak tiga orang tua yang kesemuanya berwajah pucat tapi mempunyai mata yang
tajam dan liar.
“Kawan-kawan dari gabungan Yang-heng-jin mempunyai kepentingan apakah
mengunjungi kami?” Swat Cu bertanya dengan keren.
Ternyata yang datang itu adalah kawanan Yang-heng-jin atau orang-orang jalan
malam, yang bukan lain adalah sekumpulan maling-maling di kota itu!
Memang sejak dulu telah terjadi pertempuran yang sifatnya seperti persaingan di
antara kumpulan copet dan maling ini! Kawanan maling ini selalu berpakaian hitam
dengan ikat pinggang dan ikat kepala warna merah darah.
Ketiga ketua mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, yakni yang
pertama adalah Lui Kian, yang kedua adiknya sendiri bernama Lui Tong, dan yang
ketiga adalah seorang bernama Leng Kak.
Ketiga orang maling ini merupakan tiga tokoh maling yang ditakuti orang.
Sudah lama ketiga orang ini ingin sekali menjatuhkan perkumpulan copet agar dapat
menggabungkan diri dengan perkumpulan mereka. Dan terutama sekali karena Leng
Kak tertarik dan ingin memperisteri Swat Cu yang manis. Maka mereka sengaja
datang pada saat pemilihan ketua ini untuk mengacau.
Leng Kak maju mendekati Swat Cu sambil berkata.
“Jadi kau telah terpilih menjadi ketua lagi? Kurang pantas, kurang pantas! Mana ada
raja copet seorang wanita? Lebih baik aku menjadi rajanya dan kau menjadi
permaisuriku. Bukankah itu lebih baik?”
Swat Cu marah sekali dan menggerak-gerakkan pedangnya.
“Tutup mulutmu dan pergi kau dari sini!”
Tapi Leng Kak hanya tertawa saja, dan memandang dengan mengejek.
“Saudara-saudara, sebenarnya apakah maksud kalian?!” bentak Swat Cu yang telah
marah sekali.
“Kurang jelaskah?” Lui Tong berkata. “Tadi Leng-twako berkata bahwa ia ingin
menjadikan kau sebagai permaisurinya. Nah, lebih baik kau gabungkan
perkumpulanmu dengan kami dan kita bekerja sama. Bukankah itu lebih baik?”
“Apa? Kami tidak sudi bergabung merendahkan diri dengan perkumpulan maling
pengecut!”
Leng Kak tertawa. “Aduh, hebatnya, ha ha! Coba dengarkan nona ini. Dia sendiri
copet, memaki-maki maling! Sungguh lucu. Apakah bedanya copet dan maling?”
“Tentu saja berbeda,” jawab Swat Cu. “Kami mengambil barang orang berdasarkan
kepandaian dan orang yang kami ambil barangnya adalah orang-orang yang sadar.
Sedangkan kalian bangsa maling selalu berlaku curang dan mengambil barang orang
sewaktu pemiliknya tidur pulas! Apakah ini laku orang-orang gagah?”
“Swat Cu! Sampai dimanakah kegagahanmu maka kau berani sombong? Marilah kita
main-main sebentar!”
Dengan kata-kata ini Leng Kak lalu maju menubruk hendak peluk gadis ini. Tapi
Swat Cu cepat berkelit dan menyerang dengan pedangnya. Baru beberapa gebrakan
saja Lie Bun tahu bahwa Swat Cu takkan menang, maka ia segera loncat menghalangi
di antara mereka.
“Pangcu, aku sebagai tamu yang telah kau perlakukan dengan ramah tamah tak enak
melihat gangguan ini dengan peluk tangan saja. Serahkan orang-orang liar ini
kepadaku!” Swat Cu mengangguk dengan wajah berseri.
“Eh, Siapakah kau, anjing keparat? Tak tahukah kau sedang berhadapan dengan
siapa?” Leng Kak membentak marah kepada Lie Bun.
Lie Bun tersenyum. “Aku disebut orang Ouw-bin Hiap-kek, dan tentu saja aku tahu
siapa kalian ini. Kalian adalah tukang-tukang colong ayam yang rendah.”
“Bangsat gila!” Leng Kak memaki dan menyerang dengan pedangnya. Tapi Lie Bun
hanya berkelit sedikit lalu maju menyerang.
Sekali serang saja, Lie Bun telah berhasil menampar pundak Leng Kak hingga kepala
maling ini berseru kesakitan dan hampir saja pedangnya lepas dari pegangan.
Kedua saudara Liu melihat ini terkejut sekali dan mereka berbareng lalu menyerbu
dengan pedang mereka. Tapi segala maling ini mana bisa menandingi Lie Bun?
Pemuda itu dengan tangan kosong melayani mereka dan bergerak bagaikan seekor
capung bermain di antara kembang-kembang teratai. Tiga batang pedang itu tidak
berdaya sama sekali. Bahkan beberapa kali mereka bertiga saling adu pedang.
Tentu saja semua orang, baik dari pihak copet maupun dari pihak maling yang
menonton pertempuran ini dengan kagum sekali, memandang dengan mata terbelalak.
Tak mereka sangka bahwa pemuda muka hitam ini demikian lihai. Bahkan Swat Cu
sendiri tidak menyangka bahwa tamunya demikian hebat ilmu silatnya. Maka diamdiam
gadis manis ini ambil ketetapan dalam hatinya. Ia harus dapat tarik pemuda ini
disampingnya. Kalau saja ia dapat menjadi isteri pemuda lihai ini, maka hidupnya
selanjutnya akan terjamin.
Lie Bun yang sedang gembira, sambil bergerak berkata kepada Swat Cu.
“Pangcu, harus aku apakan ketiga tikus ini?”
Swat Cu menjawab sambil tertawa.
“Tikus-tikus ini biasanya takut akan air. Biarlah kau suruh mereka mandi agar tidak
terlalu berbau busuk!”
Lie Bun mengerti maksud gadis itu, maka sebentar saja terdengar suara teriakan dan
tahu-tahu dengan kedua tangannya Lie Bun berhasil menangkap batang leher kedua
saudara Liu dan dengan cepat ia lempar mereka ke sungai.
Sekali ia bergerak dan dengan sebuah dorongan kuat, Leng Kak terhuyung-huyung
dan akhirnya juga jatuh ke dalam sungai!
Setelah minum banyak air sungai, akhirnya dapat juga ketiga maling itu ditolong oleh
kawan-kawannya dan mereka merangkak ke darat.
Seluruh tubuh dan pakaian mereka yang hitam menjadi basah kuyup hingga benarbenar
merupakan tiga ekor tikus air! Mereka lalu memandang Lie Bun dengan mata
menyala, kemudian tanpa pamit lagi mereka bertindak pergi diikuti kawan-kawannya.
Para pemimpin copet tertawa besar.
“Lie-taihiap, sungguh kau luar biasa dan hebat sekali! Hal ini harus kita rayakan.
Hayo kawan-kawan, sediakan arak wangi untuk Lie-taihiap!” berkata Swat Cu dan
kembali mereka masuk ke dalam perahu besar dan seorang pencopet lalu
mengeluarkan seguci arak wangi yang sangat keras.
Sebetulnya Lie Bun kurang biasa minum arak keras, maka setelah ia minum beberapa
cawan karena gembiranya, ia menjadi mabok dan jatuh tertidur di atas meja! Ia tidak
ingat apa-apa lagi dan tidak tahu betapa ia dipindahkan ke atas sebuah pembaringan
dengan kasur yang empuk.
Menjelang senja Lie Bun terjaga dari tidurnya. Ia merasa kepalanya berat dan
tubuhnya kaku semua. Pada saat ia hendak bangun, tiba-tiba terdengar suara Swat Cu
berkata di luar pintu.
“Hayo lekas periksa dengan teliti dan kalau kau tidak bisa memberi obatnya, awas dan
jaga kepalamu!”
Kemudian pintu kamar itu terbuka dan Lie Bun pura-pura tidur sambil mengintai dari
balik bulu matanya.
Ternyata Swat Cu masuk dan diikuti oleh seorang tua yang berambut putih dan
berpakaian sebagai sastrawan. Wajah kakek itu halus dan gerak-geriknya pun halus
dan terang sekali bahwa ia seorang terpelajar.
Lie Bun tidak tahu bahwa Swat Cu telah memaksa orang tua itu datang ke kamarnya
dan tidak tahu pula bahwa orang tua itu adalah Lie Ban Tong, tabib yang terkenal
sekali di Nan-king sehingga mendapat julukan tabib dewa.
Karena keadaan dalam kamar itu sudah agak gelap, maka Swat Cu lalu menyalakan
sebatang lilin. Tabib itu sambil dekatkan lilin pada muka Lie Bun, mulai melakukan
pemeriksaan dengan teliti. Jari-jari tangannya yang halus itu beberapa kali mengusapusap
kulit muka Lie Bun hingga Lie Bun harus bertahan kuat-kuat karena merasa geli.
Setelah pemeriksaan beberapa lama, tabib itu berkata.
“Kau tenanglah. Aku sanggup obati muka ini!”
Lie Bun berdebar hatinya. Diobati? Apa maksudnya? Tapi kedua orang itu bertindak
keluar dan ia tidak keluar dan tidak mendengar apa-apa lagi.
Tak lama kemudian, seorang pelayan masuk dan membawa makanan dan air dalam
mangkuk.
“Siocia persilakan makan malam, kongcu,” katanya sambil meletakkan hidangan itu
di dekat pembaringan.
“Terima kasih, eh .... di manakah aku sekarang? tanyanya.
Pelayan itu tertawa kecil. “Kau berada di kamar siocia! Sejak pagi tadi kau tidur
saja!”
“Apa? Kamar siocia yang mana? Kau maksudkan pangcu?”
Pelayan itu mengangguk. “Sudahlah, jangan ribut-ribut. Pangcu atau Oey-siocia itu
sudah berlaku baik sekali terhadapmu dan ia bahkan telah menyerahkan kamarnya
untukmu sedangkan ia sendiri tidur di kamar lain. Kau harus berterima kasih atas budi
kecintaannya ini, kongcu!”
Lie Bun tidak jadi berdiri dan ketika pelayan itu meninggalkannya, ia duduk
termenung.
Alangkah baiknya nona Swat Cu itu. Baru saja kenal telah merawatnya begini baik,
bahkan telah bersusah payah mendatangkan tabib untuk mengobati mukanya.
Tiba-tiba ia terkejut ketika teringat akan kata-kata pelayan tadi. Budi kecintaan?
Apakah nona yang gagah dan menjadi pangcu itu cinta padanya? Tak mungkin nona
gagah dan cantik itu cinta padanya, sedangkan ia buruk rupa?
Ia lalu mengenangkan kembali peristiwa-peristiwa pagi tadi.
Cinta Kasih Murni (Tamat)
TIBA-TIBA ia teringat dan ia loncat bangun lagi. Ah, bukankah nona itu tertarik dan
kagum padanya karena pertempuran tadi?
Mungkin nona itu sangat kagum setelah ia mengusir ketiga musuhnya dan jatuh cinta.
Tapi ...... tabib itu? Lie Bun tersenyum pahit.
Tentu saja Swat Cu ingin sekali melihat ia menjadi tampan, jadi betapapun juga, gadis
ini tidak menyukai mukanya yang buruk, dan yang disukai hanyalah kepandaiannya
saja.
Tentu akan lain halnya kalau ia tidak berkepandaian tinggi. Ah ........ dan ia menjadi
kecewa. Tapi karena kepalanya masih terasa berat, ia lalu makan sedikit dan tidur lagi
dengan nyenyaknya!
Pada keesokan harinya, ia mendengar lagi suara tabib yang lemah lembut itu, disusul
suara Swat Cu yang lembut.
“Kau sungguh keras hati, nona. Kau kuat menunggu aku sampai semalam penuh
membuat obat itu, sungguh mengagumkan!” tabib itu memuji.
Lie Bun terkejut, jadi tabib itu dengan Swat Cu telah sibuk semalam penuh dalam
pembuatan obat untuk mukanya! Cepat Lie Bun bangun dan bereskan pakaiannya lalu
ia membuka pintu kamarnya.
Ternyata tabib itu sedang duduk menghadapi secangkir teh dan di depannya duduk
Swat Cu yang rambutnya agak kusut dan mukanya mengantuk. Dan di dekat cawan
teh itu tampak sebuah bungkusan kecil.
Melihat Lie Bun telah bangun, Swat Cu berdiri dan menyambutnya dengan senyum.
“Lie-taihiap, enakkah tidurmu?”
Melihat sikap ini, Lie Bun merasa tidak enak kalau tidak menjawab, maka iapun
berkata.
“Terima kasih atas segala kebaikanmu, pangcu. Sekarang perkenankanlah aku
kembali ke hotelku dan maafkan bahwa selama ini aku telah mengganggumu.”
“Eh, Lie-taihiap, nanti dulu. Silakan duduk dulu, taihiap.”
Terpaksa Lie Bun duduk di atas sebuah bangku.
Tabib itu lalu berkata kepada Swat Cu. “Kau telah tahu cara menggunakannya, nona
yakni kuulangi lagi. Masak dengan air semangkuk sampai airnya habis. Lalu campur
dengan embun yang terkumpul di ujung daun-daun bambu sampai basah betul.
Biarkan menempel di muka sampai satu hari satu malam lamanya, pasti akan berhasil
dan sembuh!”
Setelah berkata demikian, tabib itu lalu berpamitan dan meninggalkan tempat itu
sambil membawa sebuah bungkusan yang tampak berat, agaknya uang perak hadiah
dari Swat Cu.
“Pangcu, sekarang terpaksa aku juga harus pamit,” kata Lie Bun sambil berdiri.
“Tunggu sebentar, taihiap. Aku merasa sangat kagum dan berterima kasih kepadamu.
Untuk menyatakan terima kasihku, maka sukalah kau terima pemberianku ini. Bukan
barang berharga, melainkan semacam obat yang kau telah mendengar sendiri cara
pemakaiannya tadi. Sesungguhnyaaku ingin sekali diberi kesempatan untuk
mengobati mukamu, taihiap. Aku ingin sekali bahwa aku dan tanganku sendiri yang
mengerjakan pengobatan itu, tapi ........” gadis itu menundukkan mukanya dengan pipi
kemerah-merahan.
Celaka, pikir Lie Bun. Dugaannya benar! Ia merasa tidak enak kalau menolak
pemberian ini, karena ternyata betapa gadis ini dengan sabar menunggu tabib itu
mengerjakan dan membuat obat ini sampai semalam penuh. Maka ia lalu berkata
sambil tersenyum.
“Pangcu, kau benar-benar baik hati. Baiklah, pemberianmu kuterima dengan senang
hati dan terima kasih. Tapi aku tidak berani mengganggumu dan membuatmu repot,
pula akupun sebenarnya tidak ingin menjadi tampan. Tapi ......” sambungnya ketika
melihat betapa Swat Cu merasa terpukul dengan pernyataan ini. “Siapa tahu, mungkin
sewaktu-waktu aku perlu dengan obat pemberianmu ini.” Setelah berkata demikian,
maka Lie Bun terima bungkusan obat yang telah diangsurkan oleh Swat Cu itu.
“Nah, selamat tinggal, nona. Aku akan selalu mengingatmu sebagai seorang yang baik
dan ramah tamah.”
“Tapi, tapi ..... kau hendak kemana taihiap? Tidakkah ... kau kembali lagi kesini?”
Lie Bun tersenyum. “Tentu, kalau aku kebetulan lewat kota ini, tentu aku akan
mampir kesini.”
“Ah, alangkah baiknya kalau ..... kalau kau suka di sini, taihiap.”
“Tak mungkin, nona. Aku harus kembali ke tempat tinggalku di Bi-ciu.”
Maka, Lie Bun tinggalkan nona kepala copet yang lihai itu dengan perasaan kasihan,
sungguhpun ia tahu bahwa nona itu mencintainya karena kepandaiannya, bukan
karena sewajarnya.
Setelah tiba dihotelnya, Lie Bun keluarkan bungkusan obat itu dan ia pandang obat
yang ditaruh di atas meja itu lama sekali. Timbul perang di dalam hatinya.
Alangkah baiknya kalau ia pakai obat itu dan ternyata berhasil. Ia akan berubah
tampan, kulit mukanya akan putih dan cakap, seputih Lie Kiat, secakap kakaknya itu.
Ia akan disukai orang, tidak diejek dengan julukan si muka buruk lagi. Ia akan dapat
membanggakan kecakapannya. Ia akan dicintai oleh .... ya oleh siapa? Apa artinya
dicintai seluruh orang di muka bumi ini kalau Kwei Lan tidak mencintainya?
Kwei Lan tidak mungkin mencintainya karena gadis itu kini telah menjadi isteri Lie
Kiat, telah menjadi kakak iparnya. Tapi .... Kwei Lan juga tidak tergila-gila muka
tampan.
Sekarang, setelah tiada seorangpun gadis yang diharapkan olehnya, untuk apa ia
menjadi tampan? Tiada guna! Dengan tak terasa ia ambil obat itu dan masukkan ke
sakunya.
Pada hari itu juga Lie Bun melanjutkan perjalanannya karena ia dengan sengaja
tinggalkan kota itu cepat-cepat agar dapat terlepas dari Swat Cu.
Ia melakukan perjalanan sepanjang pantai laut timur dan tidak lupa tiap kali bertemu
dengan peristiwa yang membutuhkan bantuan tenaganya, ia selalu melakukan
perbuatan-perbuatan gagah perkasa demi membela kebenaran dan keadilan.
Karena sepak terjangnya yang memang menggemparkan berkat kepandaiannya yang
tinggi itu, sebentar saja namanya sebagai Ouw-bin Hiapkek telah menjadi terkenal
sebagai seorang pendekar muda yang budiman, yang selalu membantu orang yang
kesusahan.
Setelah merantau kurang lebih enam bulan, maka Lie Bun lalu putar arah
perjalanannya menuju pulang. Kini ia ambil jalan darat dan tempuh perjalanan yang
sangat jauh itu dengan berkuda.
Juga pada waktu pulangnya, di tiap tempat yang dilewatinya, ia selalu melepas tenaga
membela mereka yang perlu ditolong. Ia sengaja tidak melewati Nan-king, tapi
memutar ke selatan melalui Han-kou.
Beberapa bulan kemudian tibalah ia kembali di kotanya.
Kalau dihitung semenjak ia tinggalkan kota itu pergi merantau, maka ia telah pergi
kurang lebih sebelas bulan. Nyata bahwa ia tidak boleh pergi lebih lama dari pada
setahun.
Ketika ia hendak masuk pekarangan rumah orang tuanya, hatinya sudah dak dik duk
tidak karuan karena ia takut kalau-kalau ia akan bertemu dengan Kwei Lan yang pasti
sudah menjadi isteri Lie Kiat dan tinggal di rumahnya itu.
Tapi ia heran karena di rumahnya sunyi saja. Seorang pelayan yang melihat
datangnya segera lari masuk memberi laporan dan sebentar kemudian ayah ibunya
berlari-lari keluar menyambutnya.
Lie Bun memberi hormat kepada mereka dengan girang dan ibunya senang sekali
melihat puteranya yang kedua ini kembali dengan selamat, bahkan tampak lebih
matang air mukanya.
Karena melihat kesunyian rumah itu, Lie Bun serentak bertanya.
“Ayah, ibu, mana twako?”
Ayah dan ibunya saling pandang hingga Lie Bun merasa terkejut dan menyangka
yang bukan-bukan.
“Dimana dia?” Lie Bun mendesak.
Ayahnya menjawab sambil menghela napas. “Ia di belakang, mungkin di kebon
seperti biasa.”
Lie Bun lalu berlari-lari ke belakang, dipandang oleh ayah dan ibunya sambil gelenggeleng
kepala.
Benar seperti kata ayahnya, Lie Kiat sedang duduk di pinggir empang sambil
melamun. Ia tampak sedih sekali dan ketika ia menengok dan memandang Lie Bun.
Lie Bun terkejut melihat betapa wajah yang tampan itu kini nampak tua. Padahal Lie
Kiat baru juga berusia paling banyak dua puluh tiga tahun.
“Twako, kau kenapa? Dan .... mana isterimu?”
Lie Kiat pada waktu melihat adiknya datang, wajahnya menjadi girang, tapi hanya
sebentar. Apalagi ketika Lie Bun bertanya demikian, mukanya menjadi muram.
“Ah, nasibku memang ternyata lebih buruk darimu, Lie Bun!”
“Kenapa, twako, kenapa? Apa belum juga kau kawin?”
Lie Kiat geleng-geleng kepalanya. “Aku telah minta kepada ayah dan ibu untuk
mengijinkan aku kawin dengan Cui Im, tapi mereka tidak memberi izin, bahkan
marah-marah kepadaku.”
Lie Bun terkejut. “Dengan Cui Im? Mengapa begitu? Ah, apa yang terjadi, twako?
Kenapa kau tidak kawin dengan nona Lo?”
“Dia itulah yang menimbulkan persoalan ini!” jawab kakaknya dengan wajah muram.
“Beberapa bulan yang lalu, ketika perkawinanku dengan dia kurang tiga hari
dilangsungkan, tiba-tiba datang berita dari Lun-kwan yang membuat aku bingung dan
tak tahu harus berbuat apa. Ternyata gadis she Lo itu agaknya membenci aku
sedemikian rupa, atau agaknya ia sakit hati padaku sedemikian hebatnya sehingga ia
mengambil keputusan nekad.”
“Apa?” kedua mata Lie Bun terbelalak dan wajahnya pucat sekali. “Kau maksud .... ia
...ia .....”
Lie Kiat geleng-geleng kepala dengan sedih. “Tidak, ia tidak membunuh diri, tapi
lebih hebat dari pada itu. Ia telah menjadi nikouw di kelenteng Kwan-im di Kwie-cu!”
Lie Bun menghela napas lega. “Ah, tapi mengapa, twako?”
“Mengapa? Siapa yang tahu mengapa!”
“Twako, bukankah ia tunanganmu? Kau harus mencari tahu, kau harus hibur hatinya.
Siapa tahu, mungkin ia marah karena dulu kau maki-maki dia. Mungkin kalau kau
datang minta maaf, dia akan ubah kenekatannya itu!”
“Ah, mana bisa. Sedangkan ayah ibunya sendiri menangis-nangis dan membujuknya,
tapi ia tidak mau menurut.”
“Kenapa mereka tidak mau menggunakan kekerasan?”
“Ah, ayah ibunya terlalu sayang kepada anak tunggal mereka, maka mereka lalu
batalkan perkawinan dan melepaskan ikatan jodohnya dengan aku!”
“Tapi, twako, kau harus kasihani dia. Hayo kuantar kau pergi ke sana untuk
membujuknya. Siapa tahu, ia akan berubah pikiran melihatmu.”
Mendengar bujukan adiknya ini, timbul pula harapan Lie Kiat.
Memang ia telah tergila-gila melihat kecantikan Kwei Lan. Dengan semangat baru,
Lie Kiat kenakan pakaiannya yang terindah dan setelah memberi tahu kepada ayah
ibunya bahwa mereka hendak mengunjungi nona Lo di kelentengnya.
Lie Ti dan isterinya hanya bisa saling pandang saja.”
“Ah, sungguh anak kita Lie Bun itu mempunyai hati dari pada emas, jauh bedanya
dengan watak Lie Kiat,” kata nyonya Lie.
“Memang, kebagusan di luar belum tentu mencerminkan keadaan di dalam,” kata Lie
Ti sambil menghela napas.
Kedua saudara itu dengan cepat menuju ke Kwei-ciu. Mereka tidak tahu bahwa dari
jauh seorang pemuda cakap mengejar mereka dengan diam-diam.
Pemuda cakap itu agaknya tahu bahwa kedua saudara itu lihai, maka ia berlaku hatihati
sekali dan hanya mengikuti mereka dari jauh. Gagang sebatang pedang tampak
menonjol di punggungnya.
Sebetulnya tidak mudah bagi orang luar untuk mengunjungi seorang nikouw dari
Kwan-im-bio, Tapi karena Lie Kiat telah terkenal sekali dan ayah pemuda itu terkenal
sebagai penderma terbesar dari kelenteng ini, maka kedua pemuda itu diperkenankan
masuk dan menanti di ruang tamu.
Kami hendak bertemu dengan Lo-siocia yang masuk menjadi nikouw di sini,” kata
Lie Kiat.
“Tapi kongcu ...... dia tidak mau bertemu dengan siapa juga, bahkan ayahnya yang
kemaren datang ke sini tidak dapat bertemu dengan dia.”
Lie Kiat menjadi marah. “Katakan bahwa aku Lie Kiat dan Lie Bun hendak bertemu.
Kalau ia tidak mau, aku akan memaksa masuk, tak perduli apa yang akan terjadi!”
Nikouw yang menyambut tamu itu menjadi ketakutan dan buru-buru ia lari ke dalam
untuk memberitahukan kepada yang berkepentingan.
Lie Kiat menanti dengan uring-uringan, sebaliknya Lie Bun duduk dengan sabar dan
hati berdebar.
Setelah menanti agak lama, dari dalam terdengar tindakan kaki yang halus dan ringan.
Pintu terbuka dan tubuh seorang nikouw yang sangat ramping muncul dari pintu.
Nikouw itu memakai kerudung sutera hitam di atas kepala sampai ke dada hingga
mukanya tidak tampak. Tapi biarpun demikian, tubuh yang berpakaian sederhana
sekali itu membayangkan bentuknya yang menggiurkan hingga Lie Kiat diam-diam
mengagumi.
Muka yang berkerudung itu memandang kepada Lie Kiat sebentar, kemudian
berpaling dan memandang ke arah Lie Bun dan agaknya ia terkejut dan tidak
menduga bahwa Lie Bun berada pula di situ.
“Lie kongcu, kau memaksa hendak bertemu aku, ada keperluan apakah?” terdengar
suara Kwei Lan yang merdu dan halus tapi terdengar ketus.
“Aku ..... kami ...... eh.......” Lie Kiat berkata gagap hingga diam-diam Lie Bun
menjadi geli.
“Duduklah Lie Kongcu dan katakan dengan tenang,” kata Kwei Lan.
Lie Kiat lalu duduk dan Kwei Lan duduk pula.
“Twako, perlukah aku keluar sebentar?”
“Tidak usah kau keluar, Lie-inkong. Kami tidak akan bicara tentang suatu rahasia.
Kau duduklah saja.” Kwei Lan dengan cepat , berkata.
“Duduklah Lie Bun, tak perlu kau keluar.” Lie Kiat membenarkan. Kemudian setelah
beberapa kali menelan ludah, Lie Kiat berkata.
“Lo-siocia, aku ....... aku datang mohon maaf darimu jika kiranya aku yang
menyebabkan kau mengambil keputusan nekad ini. Aku harap saja, mengingat ikatan
di antara kita, kau akan memaafkan kekasaranku dulu dan jika kau mau .... aku akan
merasa bahagia sekali untuk menyambung kembali ikatan yang kau putuskan itu
.......”
Mendengar kata-kata ini, Kwei Lan tundukan mukanya dan tidak menjawab.
Lie Bun merasa perlu untuk membantu kakaknya karena ia merasa terharu mendengar
kata-kata kakaknya yang menyatakan cintanya terhadap gadis itu.
“Nona Lo, perkenankanlah aku bicara sedikit,” kata Lie Bun.
Kwei Lan gerakan kepalanya dan memandang ke arah Lie Bun melalui sutera hitam
tipis itu, lalu ia mengangguk.
“Nona Lo, kasihanilah kakakku yang mencintaimu dengan sepenuh hatinya.
Semenjak kau masuk kesini, dia bagaikan seorang yang kehilang ingatan. Maka aku
harap kau suka menaruh belas kasihan kepadanya, tidak saja kepadanya, tapi juga
kepada ayah ibuku, kepada orang tuamu sendiri. Maafkanlah dia jika kiranya ia
bersalah kepadamu, nona dan ... dan ... kau terimalah permintaannya.”
Terdengar sedu sedan tertahan dibalik kerudung itu. Agaknya nona ini terharu sekali
mendengar ucapan Lie Bun yang diucapkan dengan suara gemetar. Setelah beberapa
kali mengangkat tangannya dan mengusap mukanya, agaknya menyusut air mata,
terdengar Kwei Lan berkata.
“Alangkah halusnya budi pekertimu, Lie-inkong. Kau katakan bahwa Lie-kongcu
menyintai aku. Ah, Lie-kongcu, benarkah ini?”
Ditanya langsung seperti ini, terkejutlah Lie Kiat dan buru-buru ia berkata. “Tentu
saja aku cinta padamu, nona.”
“Benar-benarkah itu kongcu? Coba kau ulangi lagi kata-katamu. Benar-benarkah kau
cinta padaku?” berkata Kwei Lan dengan keras.
“Haruskah aku bersumpah? Nah, inilah adikku menjadi saksi. Aku benar-benar cinta
sepenuh jiwaku kepadamu, nona Kwei Lan.”
Terdengar ketawa kecil mencemoohkan dari balik kerudung dan Kwei Lan lalu
berdiri mendekati Lie Kiat yang berdiri juga.
Lie-kongcu, sekali lagi aku harap kau nyatakan dengan keras, benar-benarkah kau
cinta padaku? Lihatlah mukaku, lihat!”
Sambil berkata demikian, ia renggut kerudungnya hingga terlepas dan mukanya
kelihatan.
“Nah, kau lihat dan katakan sekarang, betul-betulkah kau cinta padaku?”
Ketika kerudung itu sudah terbuka, Lie Bun menjerit. “Kwei Lan!” suaranya tergetar
mengandung perasaan kaget, heran dan kasihan. Sedangkan Lie Kiat ketika melihat
muka itu lalu terhuyung ke belakang bagaikan kena sambar petir. Ia mundur-mundur
dengan mata terbelalak.
“Lie-kongcu, cepat jawab! Cintakah kau padaku? Hayo katakan, katakan dengan
keras!”
Lie Kiat gunakan tangan kanannya menutupi mukanya dan ia berkata.
“Ya, Tuhan ......... apakah yang terjadi dengan mukamu? Ah ... tidak ...tidak!”
Tiba-tiba Kwei Lan tertawa keras sambil gunakan ujung lengan baju menutup
mulutnya. “Hayo ... kau katakan tentang cinta .... hayo kau bujuk rayu aku, Liekongcu
.... ha ha ha!”
Dan Kwei Lan lalu jatuhkan diri di atas bangku dan menangis terisak-isak sambil
gunakan kerudung yang direnggutnya tadi menutupi mukanya.
Lie Kiat hendak loncat keluar dari ruangan itu, tapi secepat kilat Lie Bun
menghalanginya dan memegang lengannya erat-erat. “Twako, hayo kau katakan
bahwa kau masih tetap cinta padanya! Katakan bahwa apapun yang terjadi dengan
dia, kau tetap mencintainya dan suka ambil dia untuk menjadi isterimu!”
“Tidak ..... tidak .....” kata Lie Kiat dengan pucat.
“Twako! Bukankah kau seorang jantan? Bukankah kau seorang gagah? Apakah kau
akan menjilat kembali kata-kata yang telah kau keluarkan? Twako, berlakulah sebagai
laki-laki!”
“Tidak, Lie Bun! Tidak mungkin aku mengawini seorang cacad mukanya seperti ini.
Tidak!”
Dan pada saat itu tangan Lie Bun sudah jatuh di mukanya hingga Lie Kiat terhuyunghuyung
ke belakang dengan muka berdarah.
“Hayo, kau minta maaf padanya dan menyatakan cintamu. Kalau tidak, demi Tuhan
kubunuh kau, twako!”
“Tidak, tidak ..... Lie Bun. Kau gila!”
“Kalau begitu, kau betul-betul akan mati di tanganku!” kata Lie Bun sambil bertindak
maju dengan wajah mengancam.
Lie Kiat melihat wajah adiknya ini, tiba-tiba menjadi nekad karena takut. Ia loncat
menerjang dengan sepenuh tenaganya. Tapi dengan mudah saja Lie Bun
menangkapnya dan melemparkannya ke dinding hingga ia roboh sambil merintihrintih.
“Twako, dulu aku telah bersumpah. Kalau kau membikin dia sengsara, kau akan
kubunuh!”
Pada saat itu terdengar pekik Kwei Lan. “Lie-koko! Jangan kau menjadi pembunuh
saudara sendiri!”
Dan berbareng pada saat itu, dari luar berkelebat masuk bayangan seorang pemuda
dengan pedang terhunus di tangan. Ia berdiri menghadang di depan Lie Bun dengan
menggertak gigi dan mata menyala.
“Lie taihiap, kalau kau hendak membunuh Lie-koko, kau harus dapat melalui
mayatku lebih dulu!”
“Nona Cui Im ....” Lie Bun berkata terharu.
Tubuhnya menjadi lemas melihat betapa nona itu demikian besar rasa cintanya
terhadap Lie Kiat hingga rela berkorban jiwa untuk membelanya.
Sementara itu, Kwei Lan telah mendekatinya dan memegang lengannya.
“Dengar Lie koko, aku .... aku tidak menderita karenanya, karena aku tidak pernah
mencintainya.”
Lie Bun mendengar kata-kata ini merasa bagaikan dalam mimpi.
“Apa ..... apa katamu?”
Kwei Lan lalu menarik dia duduk di atas sebuah bangku dan nona itu duduk di
depannya.
Sementara itu, Cui Im yang berpakaian sebagai seorang pemuda yang semenjak tadi
mengikuti Lie Kiat dan Lie Bun, kini menarik bangun pemuda kekasihnya itu dan
membantunya keluar dari bio itu.
Lie Bun memandang gadis yang duduk menangis di depannya.
“Nona, betulkah kau tidak menderita karenanya?”
“Tidak, sejak dulu aku tak pernah mencintainya. Setelah kau dipukul dulu itu. Aku
menjadi sangat benci padanya. Karena benci itulah maka aku menjadi nikouw di sini.”
“Dan mukamu itu kenapakah, Kwei Lan?” tanya Lie Bun dengan sangat kasihan.
“Kutusuk-tusuk dengan jarum.”
“Apa? Mengapa?” Lie Bun bertanya dan merasa ngeri.
“Mengapa? Ah, biar aku tidak dicintai oleh orang-orang semacam Lie-kongcu itu.”
Lie Bun merasa heran. “Heran sekali, sungguh aku merasa tidak mengerti mengapa
kau rusak mukamu sendiri yang cantik itu Kwei Lan.”
“Lie koko, bukankah kalau begini aku dapat membuka rahasia hatinya? Aku tahu,
pemuda-pemuda seperti dia itu hanya sampai di kulit saja cintanya. Rusakkanlah kulit
yang dicintainya itu, maka ia akan berbalik muka! Dan bagiku, perasaan suci itu
hanya di kulit, Lie koko. Apa artinya di luar indah kalau di dalamnya busuk?”
Mendengar kata-kata ini, Lie Bun berdebar karena merasa tersindir.
“Kwei Lan, semenjak dulu aku .... aku ..... ah, mukaku buruk sekali. Karena itulah
dulu .... di pinggir empang itu ... aku lari. Aku lari darimu, Kwei Lan karena kau
begitu cantik dan aku .... aku begini buruk. Aku menjadi takut dan aku lari pergi!”
Kwei Lan mengeluarkan sebuah kipas dari lipatan bajunya. Ia buka kipas itu dan Lie
Bun menahan napas ketika ia melihat bahwa kipas itu ialah kipas yang ia lukis dulu!
Gambar wajahnya masih ada di situ, dengan muka totol hitam!
Kwei Lan lalu membalikkan kipas itu dan di situ terdapat gambar Kwei Lan, tapi Lie
Bun melihat betapa wajah di gambar itupun telah ditotol-totol hitam pula.
“Kau lihat koko. Bukankah kita sekarang sudah sama?”
“Kwei Lan, kau maksudkan bahwa aku ..., kau tidak jijik melihat mukaku?”
Kwei Lan buka kerudungnya hingga tampak kedua pipinya yang hitam dan totol-totol
itu, tapi sepasang matanya bening bagaikan mata burung Hong.
“Dan katakanlah, apa kau juga tidak jijik melihat mukaku yang seburuk ini?”
Lie Bun memegang kedua tangan gadis itu.
“Tidak, Kwei Lan, kau masih tetap Kwei Lan bagiku, biar mukamu berubah
bagaimana juga! Aku ... semenjak pertemuan kita dulu telah mencintaimu ....”
“Dan kau .... aku mengagumimu karena kau gagah, berbudi, setia dan berjiwa luhur.
Tiada laki-laki di dunia ini yang melebihi kau bagiku.” Suara gadis yang merdu ketika
mengucapkan kata-kata ini, bagi Lie Bun terdengar bagaikan nyanyian surga yang
membuat ia terayunayun ke surga ke tujuh. Tiada kebahagiaan yang lebih besar
pernah dirasainya seperti pada saat ini!
“Kwei Lan, kalau begitu, aku akan memberitahukan kepada orang tuaku. Mereka
tentu akan datang melamarmu, tapi kau .... kau harus pulang dulu!”
Kwei Lan mengangguk. “Ini hari juga tentu aku pulang dan menanti-nanti berita
girang darimu.”
“Kwei Lan!” Lie Bun hanya dapat berkata demikian sambil pegang jari-jari tangan
gadis itu erat-erat. Kemudian ia tinggalkan gadis itu dan lari pulang secepat mungkin.
Ketika tiba di rumah, ayah ibunya berkata dengan khawatir.
Lie Kiat telah berkelahi dengan orang. Ia pulang dibantu oleh seorang gadis yang
gagah ....”
“Aku sudah tahu, ayah. Dan gadis gagah itu adalah seorang gadis yang betul-betul
mulia hatinya dan patut menjadi isteri twako. Ayah dan ibu, demi kebahagiaan twako,
izinkanlah dia mengawini gadis itu.”
Ayah dan ibunya saling pandang. “Jadi gadis yang membawa pulang Lie Kiat tadi
.....”
“Ya, dia itulah nona Cui Im yang gagah perkasa dan yang telah menolong jiwa twako
dari bahaya maut!”
“Kalau gadis yang tadi akupun setuju. Ia cukup cantik manis. Sikapnya sopan santun
dan untuk membela A Kiat, ia sampai berani keluar menyamar sebagai seorang
pemuda ...” kata nyonya Lie.
“Akupun tidak keberatan,” kata Lie Ti.
Lie Bun girang sekali mendengar keputusan ini.
“Dan sekarang ada kabar baik lain lagi, ayah,” kata Lie Bun.
Ayah dan ibunya memandang heran.
“Ada apa lagi?”
“Aku ..... aku harap, ayah dan ibu suka melamarkan seorang gadis untukku.”
Ibunya girang sekali dan memeluknya. Juga ayahnya tersenyum senang.
“Katakan lekas, siapa gadis itu? Anak siapa dan di mana rumahnya?” kata ibunya
dengan cepat.
“Orang dekat saja, ibu. Bukan lain ialah Lo-siocia, puteri Lo-wangwe di Lun-kwan!”
Wajah ayah dan ibunya menjadi pucat. Bibir ibunya gemetar ketika ia bertanya.
“Lie Bun, gilakah kau? Gadis bekas tunangan saudaramu itu?”
“Benar, ibu.”
“Bukankah ia sudah menjadi nikouw dan sudah memutuskan tali perjodohannya
dengan Lie Kiat?”
“Ya, tapi kini aku yang menggantikan twako, karena twako sendiri tidak mau kawin
dengan dia.”
“Apa?” tanya ayahnya. “Lie Kiat tidak mau kawin dengan dia?”
“Begini, ayah dan ibu. Coba tanyakan hal ini kepada twako. Kalau dia setuju aku
mengawini nona Lo, maka besok pagi harap dilamarkan gadis itu untukku. Kalau
tidak dengan gadis itu, aku tidak akan mau kawin dengan siapa pun juga.”
Dengan heran kedua orang tuanya melihat Lie Bun memasuki kamarnya dan mereka
berdua berlari-lari memasuki kamar Lie Kiat yang masih merintih-rintih karena
pundaknya sakit terbentur tembok tadi.
“Lie Kiat! Adikmu menjadi gila!” kata ibunya begitu masuk ke kamarnya.
Lie Kiat balikkan tubuh dengan malas-malasan.
“Mengapa lagi, ibu?”
“Coba dengar! Ia minta dilamarkan bekas tunanganmu yang telah menjadi nikouw
itu! Kau keberatan tentunya, bukan?”
Untuk sesaat Lie Kiat terbelalak tak percaya. Benar-benar gila anak itu, mau
mengawini seorang gadis yang mukanya telah berubah seperti muka setan! Kemudian
ia tersenyum.
“Boleh saja, ibu. Aku tidak keberatan. Memang nona itu lebih pantas menjadi isteri
Lie Bun.”
“Dan kau ... bagaimana kalau kami lamarkan gadis yang mengantarmu ... eh, siapa
namanya tadi?”
“Cui Im,” kata suaminya.
Serentak Lie Kiat loncat bangun. “Benarkah, ibu?” tanyanya dengan girang. “Siapa
yang memberitahukan kepada ibu?”
“Siapa lagi kalau bukan adikmu, Lie Bun!”
Maka terharulah hati Lie Kiat. Betapapun juga, Lie Bun memang seorang adik yang
benar-benar luar biasa dan setia.
“Ibu, kawinkanlah kami berbareng, Aku dengan Cui Im dan Lie Bun dengan Losiocia!”
Ayah dan ibunya sling pandang, lalu mengangguk-angguk.
Setelah mengadakan perundingan dengan Lo-wangwe, ternyata Lo-wangwe tidak
keberatan menyerahkan puterinya untuk menjadi isteri Lie Bun, apalagi ketika mereka
mendengar dari Kwei Lan bahwa pemuda itu bukan lain ialah penolong mereka di
Bok-chun dulu. Ketika Lo-wangwe dan isterinya minta pendapat tentang lamaran itu,
Kwei Lan hanya menundukkan muka dengan muka merah, maka mengertilah kedua
orang tuanya bahwa gadis itu telah setuju.
Karena mengawinkan kedua puteranya dengan berbareng, maka gedung keluarga Lie
dihias indah sekali.
Di dalam kamar penganten, Lie Bun mendatangi Lie Kiat dan memeluk kakaknya
sambil berbisik.
“Twako, maafkanlah adikmu.”
Lie Kiat balas memeluk. “Akulah yang seharusnya minta maaf, adikku.”
Maka semenjak saat itu, lenyaplah ganjalan hati di antara keduanya.
Setelah penganten bertemu, di mana Cui Im dan Kwei Lan dikerudung seluruh
tubuhnya hingga tak tampak orangnya ditemukan dengan Lie Kiat dan Lie Bun.”
Lie Kiat lalu memboyong pengantennya ke rumah orang tuanya, sedangkan Lie Bun
atas kehendaknya sendiri dan kehendak mertuanya, tinggal di rumah mertuanya di
Lun-kwan.
Malam hari itu setelah semua tamu pulang, Lie Bun memasuki kamar penganten di
mana Kwei Lan duduk di atas pembaringan dengan muka masih dikerudung.
Ketika Lie Bun hendak membuka kerudung itu, Kwei Lan menahannya karena ia
merasa malu.
“Kwei Lan, alangkah bahagianya perasaan hatiku memikirkan bahwa kau kini telah
menjadi isteriku. Kwei Lan aku membawa semacam hadiah untukmu. Bukan barang
berharga, melainkan sebungkus obat, isteriku.”
“Obat? Obat apakah, koko?”
“Obat untuk kulit mukamu. Obat ini mustajab sekali. Kwei Lan, dan setelah dipakai
maka mukamu akan pulih kembali seperti sedia kala, halus dan cantik.”
“Hm, kalau begitu kau tidak senang mempunyai isteri yang mukanya buruk
sepertiku?” tanya isterinya dengan suara manja.
“Hush ...... bukan begitu, Kwei Lan. Kau tahu, betapapun berubah mukamu, aku akan
tetap mencintaimu. Tapi tidak senangkah kau kalau mukamu sembuh kembali?
Pakailah obat ini, Kwei Lan .....!”
“Jangan twako. Kaulah yang harus pakai obat itu!
“Mengapa aku? Apa kau malu melihat mukaku yang buruk?”
Digoda demikian, Kwei Lan mencubit lengan suaminya.
“Bukan begitu, tapi kau pakailah dulu obat itu. Kalau berhasil, mudah saja mencari
lagi untukku”
Maka teringatlah Lie Bun bahwa obat itu adalah buatan seorang tabib di Nan-king. Ia
tepuk-tepuk kepalanya. “Ah, mengapa aku tidak ingat hal ini? Alangkah bodohnya
aku!”
Ia lalu menuturkan kepada isterinya bagaimana cara menggunakan obat itu. Dan Kwei
Lan lalu berkeras menyatakan bahwa Lie Bun harus segera pakai obat itu, malam itu
juga!
“Eh, eh! Mengapa kau begitu tidak sabar? Mengapa harus malam ini? Inikan malam
perkawinan kita!”
“Suamiku, apakah permintaan sedikit saja dari isterimu pada malam pertama ini tidak
kau turuti?” tanya Kwei Lan dengan manja sekali. Lie Bun angkat pundak dan
terpaksa mengalah. Kwei Lan dengan girang lalu masak obat itu dengan air
semangkuk sampai habis airnya. Kemudian ia suruh pelayan mengumpulkan air yang
tergantung pada daun-daun bambu.
Malam itu juga ia berhasil membuat ramuan itu dan ia paksa suaminya berbaring
telentang. Kemudian dengan halus dan hati-hati sekali, kedua tangannya yang halus
lemas itu membedaki kulit muka Lie Bun dengan obat itu sampai tebal.
“Aduh! Gatal-gatal rasanya!” Lie Bun merintih.
“Hush, diamlah jangan bergerak, nanti obatnya jatuh,” tegur Kwei Lan.
Demikianlah sehari semalam lamanya Lie Bun telentang dengan tak berani gerakgerakan
mukanya. Ia makan dan minum dengan disuapi oleh isterinya yang tak
pernah tinggalkan dia. Lie Bun tak dapat membuka mata dan ia hanya merasa puas
dengan pegangan erat isterinya yang halus. Selama itu, Kwei Lan selalu masih pakai
kerudungnya.
Pada malam kedua, maka cukuplah obat itu dipakai sehari semalam. Dengan dada
berdebar-debar dan leher seakan-akan tersumbat karena menahan gelora hatinya,
Kwei Lan mencuci muka Lie Bun. Ketika obat itu sudah tercuci habis dan muka itu
sudah dikeringkan dengan kain, maka Kwei Lan memandang muka suaminya dan .....
ia tak tahan lagi karena girang dan terharunya. Ia tubruk suaminya dan menangis
tersedu-sedu di atas dada Lie Bun!
Lie Bun heran dan bingung. Cepat ia bangun dan mengambil alat cermin untuk
melihat mukanya sendiri. Hampir saja ia berteriak karena ia melihat muka Lie Kiat di
dalam cermin itu! Sungguh ia sama benar dengan Lie Kiat setelah mukanya menjadi
halus dan putih!
Lie Bun peluk isterinya. “Kwei Lan, kini kau harus buka kerudungmu.”
“Koko ...... Apakah kau tidak jijik melihat mukaku yang buruk? Kau kan sudah
menjadi cakap dan tampan sekarang, isterimu masih buruk menakutkan.”
“Kwei Lan, jangan kau berkata begitu. Aku masih tetap Lie Bun yang kemarin, yang
akan mencintaimu sepenuh jiwaku. Tak peduli kau akan berubah menjadi makhluk
seburuk-buruknya di dunia ini!”
Kwei Lan memeluk suaminya. “Kalau begitu, suamiku, aku hanyalah isterimu yang
rendah dan setia .... kau ... bukalah kerudungku ini .........”
Dengan kedua tangan gemetar, Lie Bun buka kerudung yang menutup muka dan
kepala isterinya. Ketika kerudung itu disentakkan ke atas hingga muka isterinya
tampak, Lie Bun loncat ke belakang seperti tiba-tiba diserang senjata tajam. Ia berdiri
kesima dan memandang wajah isterinya dengan mata terbelalak.
Kwei Lan memandangnya dengan bibir tersenyum semanis-manisnya dan mata
cemerlang menatap semesra-mesranya. Dan wajah itu ....... demikian cantik jelita,
lebih cantik malah dari pada dulu ....... kulit pipinya begitu putih kemerah-merahan
dan halus .... rambut yang sebagian menutup jidatnya itu ..... ah! Lie Bun kucek-kucek
matanya, lalu mencubit lengannya untuk menyatakan bahwa ia tidak sedang mimpi.
“Kwei Lan .......!”
“Koko ..........!”
Mereka saling rangkul dan masing-masing mengeluarkan air mata karena terharu dan
girang.
“Kwei Lan .... bagaimanakah ini .....? Sungguh aku tidak mengerti .......”
“Aku hanya pura-pura, koko. Aku hanya memakai kedok pemberian ketua kelenteng
Kwan-im-bio. Aku sengaja pakai itu untuk membuat kakakmu mundur teratur ..... dan
sementara itu ...... aku selalu .... menanti-nantimu ......”
“Kwei Lan, kau sungguh mulia .......”
Dan mereka berdua hidup bahagia sampai hayat meninggalkan badan!
TAMAT
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments