Selasa, 31 Juli 2018

Pendekar Tongkat dari Liong San

========

baca juga
Koleksi Kang Zusi
LIONG-SAN TUNG-HIAP
Kho ping hoo
“Sungguh mati, Tuan, majikanku tidak berada di rumah. Harap Tuan suka datang lagi
nanti sore atau besok pagi saja!” kata pelayan yang bekerja di perguruan silat Lim Ek
dengan gemas karena telah berkalo-kali ia menyatakan kepada tamu yang datang itu
bahwa majikannya tidak berada di rumah, tapi masih juga tamu itu mendesak dan
tidak percaya.
“Ke manakah perginya Lim-kauwsu (Guru Silat Lim)?”
“Saya tidak tahu, tuan. Majikan saya tak pernah memberi tahu kepada saya ke mana
dia pergi.”
Jawaban yang terdengar kaku ini membuat tamu itu merasa tidak senang. Ia menarik
keluar sebuah toya kecil yang terselip di pinggang, lalu berkata dengan suara
menghina sambil menuding ke arah papan nama yang tergantung di depan rumah silat
itu.
“Hm, papan nama tidak ada harganya!” lalu ia ayun toyanya yang kecil memukul
papan itu dan “krak!” maka papan itupun terbelah dua, bergoyang-goyang di bawah
tali penggantungnya!
Pelayan itu terkeju dan hendak marah, tapi melihat sikap tamu yang mengancam itu,
menjadi takut dan tak berani berbuat sesuatu atau mengeluarkan sepatah katapun.
“Beritahu kepada majikanmu she Lim itu bahwa aku Thio Sui Kiat dari Lam-sai
hendak bertemu dan nanti sore aku akan datang lagi!”
Tamu yang mengaku bernama Thio Sui Kiat ini lalu menyelipkan kembali toyanya di
pinggang dan pergi dengan penuh lagak sambil mengangkat dada.
Tak lama kemudian guru silat she Lim yang memiliki perguruan silat itu datang. Si
pelayan segera memberi laporan akan peristiwa yang terjadi tadi dan memperlihatkan
papan nama yang sudah pecah.
Lim Ek adalah seorang guru silat yang telah bertahun-tahun membuka bu-koan
(perguruan silat) di kota Bi-ciu dan namanya telah terkenal sebagai seorang guru yang
baik dan pandai. Juga ia telah lama merantau di dunia kang-ouw hingga
pengalamannya sangat luas. Wataknya baik dan sabar hingga banyak orang
menyukainya dan memandang hormat kepadanya sebagai seorang yang
berkepandaian tinggi serta beradat sopan dan baik. Karena para murid yang belajar di
bawah pimpinannya merasa puas dan mendapat kemajuan pesat, maka untuk
menyatakan terima kasih mereka, para murid ini membuat sebuah papan nama yang
berbunyi: “Bu-koan ini diasuh oleh Lim-kauwsu, jago toya nomor satu di Bi-ciu.”
Papan nama ini digantung di depan bu-koan dan tak seorangpn berani mencela atau
menyangkal pernyataan itu, karena memang Lim Ek adalah seorang ahli toya yang
mahir sekali.
Kini melihat ada orang yang begitu kurang ajar berani merusak papan nama itu, Lim
Ek merasa sangat terhina dan marah sekalo. Akan tetapi ia masih dapat menindas
perasaannya dan bertanya kepada pelayannya dengan suara tenang, “Siapakah orang
itu? Bagaimana macamnya dan apakah ia meninggalkan nama?”
“Orangnya kurus tinggi, bermuka kuning, matanya lebar dan liar. Ia membawa
sebatang toya kecil dan mengaku bernama Thio Sui Kiat.” Pelayan itu memberi
keterangan.
Terkejutlah, hati Lim Ek mendengar nama ini, karena ia tahu bahwa Thio Sui Kiat
adalah seorang jagoan dari Lam-sai dan terkenal sebagai seorang yang berkepandaian
tinggi karena orang she Thio itu pernah mempelajari ilmu toya dari Liauw In Hwesio,
Koleksi Kang Zusi
yakni saudara tertua dari Kang-lam Cit-hiap atau Tujuh Pendekar dari Kang Lam!
Biarpun belum pernah saling bertemu maka, namun nama Thio Sui Kiat telah lama
didengar oleh Lim Ek dan sungguh tak pernah disangkanya bahwa orang she Thio itu
mau datang di Bi-ciu untuk mengganggunya!
Ketika mendengar dari pelayannya bahwa Thio Sui Kiat hendak datang lagi sore
nanti, Lim Ek berlaku tenang saja dan tidak berkata apa-apa, lalu masuk ke dalam
rumahnya. Kedatangannya disambut oleh isterinya yang memondong seorang anak
kecil berusia setahun. Anak laki-laki ini adalah anak tunggal dan bernama Lim Kong
Lee.
Isteri Lim Ek bernama Kwee Cin Hwa dan nyonya inipun seorang ahli silat toya,
karena mendiang ayahnya adalah susiok (paman guru) dari Lim Ek sendiri, hingga
mereka ini sebenarnya ada hubungan saudara seperguruan. Akan tetapi ilmu
kepandaian Lim Ek lebih tinggi tingkatnya dari kepandaian isterinya.
Begitu melihat suaminya datang, Nyonya Lim segera bertanya, “Siapakah tamu
kurang ajar yang diceritakan oleh A-sam tadi?”
“Dia adalah Thio Sui Kiat dari Lam-sai yang agaknya hendak mengganggu
pekerjaanku,” jawab suaminya sambil menghela napas.
“Memang dulu aku pun sudah menyatakan tidak setuju dengan dipasangnya papan itu
yang bagi mata orang lain tentu dapat menimbulkan sangkaan bahwa kau
menyombongkan kepandaianmu.” Isterinya mencela.
Sekali lagi Lim Ek menarik napas panjang.
“Habis bagaimana baiknya? Para murid itu mempunyai maksud baik dan mereka
menganggap aku sebagai ahli toya nomor satu di kota ini. Apakah salahnya? Thio Sui
Kiat bukan orang Bi-ciu, maka tidak pantas kalau ia merasa tersinggung membaca
papan nama itu. Memang agaknya ia sengaja hendak memusuhi kita!”
“Aku pernah mendengar nama orang she Thio ini dan kalau tidak salah ia pernah
menerima didikan ilmu toya dari Liauw In Hwesio yang lihai, lalu tindakan apa yang
akan engkau ambil?”
“Isteriku, untuk apa kita harus bingung karena soal ini? Kau pun telah cukup maklum
bagaimana kedudukan seorang guru silat. Bukan sekali saja ada ahli silat datang
hendak menguji kepandaianku dan di antara mereka itu ada yang mengandung
maksud baik dan hanya ingin berkenalan atau ingin mengukur kepandaian seperti
lazimnya yang sering terjadi di dunia persilatan, tetapi ada pula yang mengandung
maksud buruk karena terdorong oleh rasa iri hati melihat kemajuanku. Yaah, apa
boleh buat, aku harus menghadapi orang she Thio dengan tenang dan berani, tak
peduli apakah dia mengandung maksud baik maupun buruk.”
“Tapi maksud tamu yang baru datang itu tentu buruk, kalau tidak mengapa ia
pecahkan papan namamu?” berkata isterinya dan Lim Ek hanya menghela napas saja.
Sementara itu, Thio Sui Kiat yang berwatak sombong dan tekebur sekali, seperginya
dari bu-koan Lim Ek, lalu mengunjungi kenalan-kenalannya di kota Bi-ciu, yakni para
piawsu (pengawal-pengawal kiriman barang) dan orang-orang lain yang mengerti
ilmu silat. Memang nama Thio Sui Kiat cukup dikenal oleh orang-orang yang
mengerti ilmu silat. Kepada mereka ini Thio Sui Kiat menceritakan bahwa sore nanti
ia akan mendatangi Lim Ek untuk mengajak pibu.
Tak usah disebutkan lagi bahwa setiap orang yang mengerti ilmu silat, tentu suka
sekali melihat pertandingan silat untuk menambah pengalaman dan pengertian
mereka. Lagipula, di antara mereka memang ada yang merasa iri hati kepada Lim Ek
karena pernah dirobohkan oleh Lim-kauwsu dalam pertandingan pibu. Oleh karena
ini, orang-orang yang mengandung iri hati ini sengaja menambah semangan Thio Sui
Kiat dengan menyatakan bahwa Lim Ek memang pantas diberi pelajaran agar jangan
Koleksi Kang Zusi
terlalu sombong dan menganggap diri sendiri terpandai di kota Bi-ciu.
Demikianlah, Thio Sui Kiat dijamu oleh kawan-kawannya itu dan di antara mereka itu
sengaja menyiarkan berita bahwa sore nanti di bu-koan Lim Ek akan diadakan pibu
yang hebat antara Lim-kauwsu dan Thio Sui Kiat dari Lam-sai, hingga tak lama
kemudian berita itu telah terdengar oleh hampir seluruh penduduk kota Bi-ciu.
Tidak mengherankan bila pada waktu sore hari itu, berbondong-bondong orang
mendatangi bu-koan dari Lim Ek untuk menonton pertandingan itu. Lim Ek dan
isterinya dapat menduga bahwa hal ini tentu sengaja dilakukan oleh Thio Sui Kiat
dengan maksud, apabila Lim Ek berhasil dapat dirobohkan, maka semua penduduk
Bi-ciu akan menjadi saksi akan kehancuran nama Lim-kauwsu!
sAkan tetapi, sebagai tuan rumah yang ditantang pibu, Lim Ek tak dapat menolaknya
dan ia menyambut kedatangan Thio Sui Kiat dengan penghormatan selayaknya.
“Lim-kauwsu, namamu telah terkenal sebagai jago silat toya kelas satu dan belum
bertemu lawan yang dapat menandingimu. Kabar ini sangat menarik perhatianku dan
hari ini aku hendak membuktikan sendiri sampai di mana kehebatanmu!”
Lim Ek tersenyum tenang. “Memang telah menjadi hak setiap orang untuk mengajak
pibu, saudara Thio, dan akupun telah mendengar namamu yang besar. Akan tetapi
sayang sekali, sikapmu yang memukul pecah nama orang itu tak dapat dikatakan
perbuatan yang terhormat!”
Mendengar sindiran ini, Thio Sui Kiat bangun berdiri dari duduknya.
“Orang she Lim! Cobalah kau meraba punggung sendiri sebelum mencela orang lain!
Kalau kau tidak sesombong itu dan memasang papan menonjolkan kepandaianmu,
siapa akan sudi mencampuri urusanmu? Sekarang aku sudah datang, keluarkanlah
toyamu, marilah kita buktikan apakah betual kau adalah jago nomor satu yang tiada
taranya!”
Karena maklum bahwa orang ini sengaja datang hendak mencari perkara, Lim Ek lalu
menyuruh seorang muridnya mengambil senjatanya. Pada saat itu, puluhan anak
murid Lim Ek telah berkumpul di situ karena mereka telah mendengar berita tentang
akan diadakannya pibu itu. Sementara itu, para penonton menyerbu masuk dan oleh
Lim Ek yang peramah mereka dipersilakan berdiri mengelilingi kalangan
pertempuran.
Setelah menerima toyanya yang besar dan beratnya tak kurang dari luma puluh kati
itu, Lim Ek lalu berdiri dengan gagah dan berkata kepada Thio Sui Kiat, “Orang she
Thio, majulah kau!”
Dengan lagak sombong dan dada terangkat tinggi, Thio Sui Kiat melepaskan jubah
luarnya dan mencabut keluar toya kecil yang terselip di pinggang. Kemudian dengan
gerakan Burung Walet Menyambar Kupu-kupu ia melompat ke depan Lim Ek dan
memutar-mutar toyanya dengan cepat di tangan kirinya.
“Lim-kauwsu, sambutlah seranganku!” serta merta tamu ini menggerakkan senjatanya
menyerang dan tak lama kemudian mereka bertempur dengan sengit dan hebat.
Lim Ek memiliki ilmu toya yang hebat, karena suhunya adalah seorang tokoh
kenamaan dari Siauw-lim-si. Tenaganyapun besar sehingga toya yang berat dan besar
itu terputar-putar bagaikan kitiran dan angin dan suaranya bersuitan ketika ia
melakukan serangan balasan!
Akan tetapi Thio Sui Kiat telah mempelajari ilmu toya yang luar biasa dari Liauw In
Hwesio. Dan karena ia menggunakan toya yang kecil dan ringan maka gerakannya
jauh lebih gesit daripada Lim Ek. Selain itu, walaupun toyanya hanya kecil saja,
namun berkat lwee-kangnya (tenaga dalam) yang terlatih baik, maka tiap serangan
yang ia lakukan, tak boleh dipandang ringan, karena ujung toyanya yang kecil itu
mengandung tenaga yang cukup kuat untuk menghancurkan kepala dan mematahkan
Koleksi Kang Zusi
tulang. Juga, dengan gin-kangnya (ilmu meringankan tubuh) yang hebat, ia berkelebat
dan selalu mengerahkan serangan toyanya ke tempat berbahaya yang dapat
mengakibatkan kematian. Ujung toyanya yang kecil itu ia gunakan untuk menusuk
dan menyodok ke arah jalan darah lawan dan ujungnya tergetar-getar sedemikian rupa
oleh lwee-kangnya hingga terpecah bagaikan menjadi belasan buah!
Baru bertempur tiga puluh jurus saja, maklumlah Lim Ek bahwa musuhnya ini benarbenar
hebat dan memiliki kepandaian ilmu toya yang lebih tinggi tingkatnya dari
kepandaiannya sendiri. Akan tetapi, karena tak mungkin untuk mundur lagi, ia
berlaku nekad dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Diputarlah toyanya dan
memainkan gerakan yang disebut Bendungan Baja Menahan Banjir, hingga di
sekeliling tubuhnya seakan-akan tertutup oleh lapisan baja yang kuat, yang dibust
oleh putaran toyanya! Oleh karena inilah maka Thio Sui Kiat belum dapat
mendesaknya, walaupun Lim Ek juga sama sekali tidak ada kesempatan untuk balas
menyerang.
Sementara itu, Kwee Cin Hwa atau Nyonya Lim, juga berdiri di pinggir lingkungan
pertempuran dan menonton dengan hati kuatir. Ia maklum bahwa suaminya
menghadapi lawan yang sangat berat dan yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi
dan suaminya berada dalam bahaya. Akan tetapi, nyonya muda ini tak dapat berbuat
lain kecuali mengepal-ngepalkan kedua tangannya dengan hati cemas.
Gerakan Bendungan Baja Menahan Banjir hanya dapat dilakukan dengan
menggunakan sepenuh tenaga agar toya yang di putar itu benar-benar menjadi
benteng baja atau bendungan yang kuat dan rapat. Kalau mengendur sedikit saja
putaran toya itu, maka akan terdapat lowongan dan dapat dimasuki serangan lawan.
Tapi karena ia selalu dihujani serangan-serangan maut, Lim Ek menjadi lelah sekali
dan gerakannya mulai mengendur!
Tiba-tiba Sui Kiat berseru keras dan ia menggunakan gin-kangnya melompat tinggi
dan menyerang dari atas ke arah kepala Lim Ek!
Lim Ek menjadi terkejut dan cepat-cepat ia merobah gerakannya dan toya yang tadi
berputar melindungi tubuhnya, kini diputar ke atas melindungi kepala. Namun, baru
saja Lim Ek merobah gerakannya, Thio Sui Kiat telah melompat turun kembali dan
mengirim serangan Naga Hitam Terjang Ombak dan ujung toyanya yang kecil
meluncur menusuk leher.
Dengan mengertakkan gigi, Lim Ek mengelak ke samping dan toyanya lalu
menyambar dengan sabetan hebat ke arah pinggang Thio Sui Kiat! Akan tetapi, orang
she Thio yang sangat hebat ini seakan-akan tidak mempedulikan datangnya sabetan
toya ke arah pinggangnya, bahkan secepat kilat ia lalu menggerakkan toyanya
menusuk ke arah ulu hati Lim Ek, sedangkan tangan kirinya menampar ke arah
pundak kanan lawannya itu.
Terdengar Lim Ek berseru kesakitan ketika ujung toya kecil dari Thio Sui Kiat
menotok jalan darah di dadanya. Sementara itu, karena pundaknya telah kena tampar,
maka tenaganya yang digunakan untuk menyerang pinggang Sui Kiat, mengendur
hingga ketika toyanya menyerang pinggul Thio Sui Kiat yang telah mengerahkan
tenaga dalamnya, toya itu terpental dan terlempar dari tangan Lim Ek!
Muka Lim Ek yang sekali serang terkena dua pukulan di ulu hatinya dan pundak itu
menjadi pucat sekali. Ia tersenyum-senyum menahan sakit dan malu, tapi sambil
mendekap dada ia lalu muntah darah dan roboh pingsan!
Thio Sui Kiat menyelipkan kembali toyanya di pinggang dengan lagak sombong dan
mukanya nampak puas sekali.
“Bangsat keji, rasakan pembalasanku!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan
Kwee Cin Hwa, Nyonya Lim Ek, melompat ke depan Thio Sui Kiat sambil
Koleksi Kang Zusi
menyerang dengan toyanya!
Tapi Thio Sui Kiat dengan sikap dingain dan tenang sekali mengulurkan tangan
kanannya dan sekali bergerak ia telah berhasil merampas senjata nyonya muda itu.
“Apa yang harus engkau dendamkan dalam sebuah pibu yang adil?” orang she Thio
ini membentaknya dan karena merasa bahwa ia tidak mampu berbuat sesuatu untuk
melampiaskan dendam hatinya, Nyonya Lim lalu menuburuk suaminya yang rebah
dengan muka pucat. Dengan dibantu oleh beberapa orang murid, Lim Ek digotong ke
dalam rumah. Thio Sui Kiat meninggalkan tempat itu, dipuji-puji oleh para penonton
yang menganggapnya hebat sekali.
Pada keesokan harinya, Lim Ek berkeras mengajak isteri dan anaknya pindah dari Biciu
dan menutup bu-koannya. Para muridnya menahannya dan menyatakan bahwa
kekalahan itu bagi mereka tidak berarti apa-apa. Akan tetapi Lim Ek yang merasa
malu sekali maklum bahwa ucapan ini hanya di mulut saja akan tetapi di dalam
hatinya ia dapat menduga bahwa kejatuhannya yang disaksikan oleh semua penduduk
Bi-ciu tentu membuat namanya merosot dan ia dapat meramalkan bahwa jika ia terus
membuka bu-koannya, tentu jumlah muridnya akan berkurang dan banyak yang
keluar untuk pindak kepada guru silat yang belum jatuh namanya. Pula, ia tentu akan
dijadikan bahan ejekan dan tetawaan. Maka sebelum semu ini terjadi, lebih baik ia
pergi dari situ!
Kwee Cin Hwa menghibur suaminya dan berkata, “Apakah artinya kekalahan dalam
pibu? Kauajak aku pindah, hendak pindah ke mana?”
“Ke mana saja ... asal jangan di Bi-ciu ... ” kata Lim Ek yang masih payah keadaan
tubuhnya yang terluka dalam.
“Tapi, tunggulah dulu sampai kesehatanmu pulih kembali, suamiku,” kata Kwee Cin
Hwa bingung, tapi Lim Ek tidak mau dibantah lagi dan ia paksa isterinya untuk
berkemas dan hari itu juga pindah dari Bi-ciu menuju ke barat!
Sebagai seorang isteri yang setia dan patuh kepada suami, Kwee Cin Hwa akhirnya
menurut. Maka setelah menyerahkan semua sisa perabot rumah kepada pelayan
mereka yang setia, yakni A-sam, untuk dijual, mereka lalu berangkat meninggalkan
Bi-ciu.
Kekerasan hati Lim Ek ini harus ditebus dengan mahal sekali, kerena ketika mereka
tiba di kota Lam-bu, Lim Ek jatuh sakit dan tak dapat bangun lagi. Isterinya merasa
sangat bingung dan cepat-cepat minta pertolongan sinshe (ahli obat), tapi terlambat!
Luka di dalam dada Lim Ek yang cukup berat itu ditambal lagi dengan perasaan sakit
hati dan jengkel yang membuat jantungnya terpukul hebat menjadikan penyakitnya
semakin parah. Guru silat yang berusia tiga puluh tahun ini dapat bertahan untuk
semalam saja dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, ia telah menghembuskan
nafas terakhir!
Sebelum meninggal dunia, ia meninggalkan pesan kepada isterinya.
“Isteriku, kau latihlah anak kita Kong Lee baik-baik. Jadikanlah ia seorang yang
benar-benar gagah perkasa, jangan hanya memiliki kepandaian setengah-setengah
seperti aku! Kalau tidak bisa memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, lebih baik jangan
kau perkenalkan dia dengan dunia kang-ouw agar dia jangan sampai terhina seperti
aku pula. Dan jangan ia kelak mencari Thio Sui Kiat untuk membalas dendam, karena
aku jatuh di tangannya dalam pertempuran yang adil!”
Dapat dibayangkan betapa hebatnya kesedihan yang diderita oleh Kwee Cin Hwa.
Terpaksa nyonya muda ini membawa jenazah suaminya kembali ke Bi-ciu dan ia
disambut oleh penduduk Bi-ciu dengan hati iba. Siapakah orangnya yang takkan
merasa kasihan melihat nasib nyonya muda ini!
Dan semenjak suaminya meninggal, Nyonya Lim jarang sekali kelihatan keluar dari
Koleksi Kang Zusi
rumahnya, seakan-akan mengasingkan diri. Bu-koan ditutup dan untuk belanja
hidupnya sehari-hari ia menerima beberapa orang anak murid wanita dan mengajar
silat dengan diam-diam. Selain itu, di waktu senggang, ia mencurahkan seluruh
perhatiannya untuk mendidik dan memelihara putera tunggalnya, Lim Kong Lee,
yang ditinggal mati ayahnya ketika baru berusia setahun!
Thio Sui Kiat adalah seorang kelahiran Lam-sai dan semenjak kecil memang suka
sekali mempelajari ilmu silat. Ia berguru ke sana sini dan sangat suka mempelajari
ilmu silat toya. Ketika mendengar akan kehebatan Liauw In Hwesio, ia mencari-cari
hwesio itu dan akhirnya, berkat kekerasan dan keteguhan hatinya, Liauw In Hwesio
berkenan memberi petunjuk-petunjuk dan menurunkan beberapa ilmu pukulan toya
kepadanya. Semenjak kecilnya, Sui Kiat memang suka sekali akan sifat kejantanan
dan pergaulannya di kalangan kang-ouw juga cukup luas. Di mana saja ia mendengar
ada muncul seorang jago, terutama jago ahli toya, ia tentu akan mendatanginya dan
mencoba kepandaiannya. Kalau ia kalah ia tidak merasa malu-malu untuk minta
petunjuk dari jago silat yang telah merobohkannya itu!
Akan tetapi, karena ia adalah seorang anak hartawan dan semenjak kecilnya terlalu
dimanja orang tuanya, maka ia mempunyai watak tekebur dan tinggi hati. Ia selalu
ingin menang di dalam segala hal.
Setelah menerima pelajaran dari Liauw In Hwesio, ilmu toyanya maju pesat luar biasa
dan semenjak itu belum pernah ia dikalahkan lawan! Hal ini tentu saja membuat
wataknya yang tekebur menjadi-jadi. Ketika ia berhasil merobohkan Lim Ek, ia
merasa bahwa kini ilmu kepandaian toyanya tak ada bandingannya di muka bumi ini!
Pada waktu itu, Thio Sui Kiat telah beristeri, bahkan telah mempunyai seorang anak
perempuan yang baru berusia beberapa bulan saja. Isterinya adalah seorang terpelajar
yang tidak suka akan segala kekasaran orang bersilat dan beberapa kali ia sudah
memperingatkan suaminya agar jangan suka mencari musuh dan menimbulkan
perkara dengan mengajak pibu orang lain. Akan tetapi ia tidak mau menurut nasihat
isterinya ini. Bukankah ketika ia pergi ke Bi-ciu untuk mengukur kepandaian Lim Ek,
isterinya tak diberitahunya sama sekali!
Dan setelah menjatuhkan Lim Ek, Thio Sui Kiat lalu menjelajahi kota-kota seluruh
propinsi dan di mana saja ia tiba, tentu ia mencari jago cabang atas kota itu dan
diajaknya pibu!
Lebih dari dua puluh tempat telah ia kunjungi dan selama itu ia telah merobohkan
lima belas orang guru silat dan piauwsu dengan ilmu toyanya yang hebat. Juga ketika
ia lewat di sebuah hutan, dengan toyanya ia berhasil mengobrak-abrik kawanan
perampok yang lancang mencegatnya!
Tiga bulan kemudian, barulah ia pulang ke Lam-sai, disambut oleh isterinya yang
telah merasa cemas dan takut kalau-kalau suami yang doyan berkelahi itu mendapat
celaka.
Isterinya segera menegurnya, tapi Thio Sui Kiat tertawa sambil memeluk isterinya,
lalu berkata sombong, “Isteriku, apa yang kau kuatirkan? Suamimu tak mungkin
dapat dicelakakan orang, jangankan hendak membinasakan aku, sedangkan melawan
toyaku saja tak seorangpun mampu!” sambil berkata demikian ia menarik keluar
toyanya yang telah menjatuhkan banyak lawan itu dan mengelus-elusnya dengan
bangga sekali.
Untuk merayakan kemenangan-kemenangannya yang berkali-kali itu, Thio Sui Kiat
mengadakan perjamuan dan pesta ini dikunjungi oleh sahabat-sahabatnya yang
kesemuanya terdiri dari ahli-ahli silat di dalam dan di luar kota. Ia menggunakan
alasan ulang tahun yang ke tiga puluh tahunnya untuk pesta itu. Akan tetapi karena
isterinya tidak menyetujui jika ia mengadakan pesta itu di rumahnya, maka terpaksa
Koleksi Kang Zusi
Thio Sui Kiat meminjam tempat di kelenteng Hok-thian-tang yang letaknya di tengahtengah
kota. Kelenteng ini cukup besar dan mempunyai ruangan tamu yang luas
sekali.
Di antara para tamu yang datang menghadiri pestanya, terdapat kawan-kawan baik
Thio Sui Kiat dan kepada mereka inilah ia berterus terang bahwa pesta ini sebenarnya
khusus diadakan untuk merayakan kemenangan-kemenangannya di dalam
pertarungannya selama tiga bulan!
Pesta berjalan dengan gembira sekali, karena sebagai seorang hartawan, Thio Sui Kiat
dapat menghidangkan arak yang baik serta daging dan sayur yang banyak macamnya.
Para tamu memberi selamat dengan secawan arak hingga Thio Sui Kiat yang terpaksa
melayani sekian banyak tamu itu, telah minum arak banyak sekali hingga menjadi
setengah mabuk!
Kawan-kawan yang mengetahui rahasia pesta kemenangan itu lalu dengan suara keras
berkata sambil mengangkat cawan, “Cu-wi sekalian yang terhormat! Secara kebetulan
sekali siauw-te mengetahui bahwa Thio-taihiap baru saja pulang dari perantauan
selama tiga bulan dan selama dalam perantauannya ini, Thio-taihiap telah
menjatuhkan lebih dari lima belas orang jago-jago ternama! Maka, marilah kita
menggunakan kesempatan untuk mengucapkan selamat kepada Thio-taihiap dan
sudah sepantasnya bila merasa bergembira mempunyai seorang warga kota yang
sehebat Thio-taihiap!”
Ucapan ini disambut dengan sorak memuji dan Thio Sui Kiat dengan gembira sekali
berkata merendahkan diri, “Ah, sebenarnya siauw-te hanya memiliki sedikit
kepandaian yang tak berarti, dan tidak pantas dipuji-puji. Orang-orang yang siauw-te
jatuhkan itu memang sengaja mengalah dan berlaku murah hati!”
“Ha-ha! Thio-taihiap pandai sekali merendahkan diri!” kawan yang tadi berpidato
berkata, “Siapa yang belum mendengar tentang kehebatan ilmu toya dari Thiotaihiap?
Maka, biarlah siauw-te mewakili semua tamu yang terhormat untuk
mengajukan permohonan kepada Thio-taihiap yang gagah perkasa, sukalah kiranya
membuka mata kami dengan pertunjukan sedikit ilmu toyanya yang hebat itu!”
Semua orang bertepuk tangan menyatakan setuju dan terdengarlah desakan-desakan
dan bujukan-bujukan di sana sini yang maksudnya meminta Thio Sui Kiat untuk
memperlihatkan ilmu silatnya. Hal ini memang diharap-harapkan benar oleh Thio Sui
Kiat yang telah mulai mabuk. Kini semua orang minta supaya ia mempertontonkan
kepandaiannya, maka jika ia berdemonstrasi, takkan ada seorangpun dapat
menganggap bahwa ia sombong dan sengaja memamerkan kepandaiannya.
Sambil mencabut toyanya yang kecil itu, ia menjura kepada semua tamu.
“Baiklah, cu-wi yang mulia. Siauw-te hendak memperlihatkan keburukan ilmu
toyaku, akan tetapi mohon jangan ditertawakan karena sesungguhnya siauw-te hanya
bisa memainkan sedikit gerak pukulan belaka!”
Ruang tamu itu memang luas sekali dan kawan-kawan Thio Sui Kiat lalu memindahmindahkan
meja kursi dan membuat kalangan di tengah-tengah ruangan. Di situ Thio
Sui Kiat lalu berdiri dan mulai bersilat. Semua tamu menonton dan berdiri, bahkan
para hwesio kelenteng Hok-thian-teng ketika mendengar bahwa Thio Sui Kiat hendak
mengadakan demonstrasi ilmu silat, keluar dan ikut menonton.
Karena sengaja hendak memperlihatkan kehebatannya, begitu menggerakkan toyanya,
Thio Sui Kiat lalu mengeluarkan kepandaiannya yang ia pelajari dari Liauw In
Hwesio, maka tak lama kemudian tubuhnya lenyap terbungkus sinar yang
ditimbulkan oleh gerakan toyanya yang demikian cepat hingga ia dan senjatanya
lenyap! Tentu saja semua orang memandang dengan mata terbelalak kagum dan di
sana sini terdengar suara orang memuji.
Koleksi Kang Zusi
Thio Sui Kiat bermata dan bertelinga tajam. Biarpun ia sedang bersilat, namun
pandangan dan pujian kagum itu tak lepas dari mata dan telinganya, hingga timbullah
kebanggaan yang besar sekali di dalam dadanya. Setelah beberapa lama ia bersilat, ia
akhiri pertunjukannya dengan menancapkan toyanya di atas lantai sampai
setengahnya lebih. Toya itu bergoyang-goyang bagaikan sebatang anak panah yang
terlepas dari busunya menancap di papan sasaran dan riuh rendahlah tepuk sorak
penonton melihat ilmu toya yang hebat serta tenaga yang mengagumkan itu!
Thio Sui Kiat menggunakan dua buah jari tangannya menjepit toyanya yang tertancap
di lantai, lalu ia tarik perlahan-lahan. Toya itu dapat keluar dengan mudahnya, lalu ia
berkata, “Siauw-te tidak hendak menyombong, akan tetapi semenjak siauw-te
mempelajari ilmu toya, sehingga kini belum pernah siauw-te dapat dikalahkan
orang!”
Demikianlah, pesta itu berjalan dengan penuh kegembiraaan dan semua tamu makin
kagum akan kepandaian Thio Sui Kiat, karena ilmu silat toya yang baru diperlihatkan
itu benar-benar menimbulkan kesan yang mendalam. Thio Sui Kiat maklum akan hal
ini memang inilah yang ia harapkan agar semua tamu ini dapat menceritakan tentang
kehebatannya secara meluas!
Setelah semua tamu meminta diri dan Thio Sui Kiat hendak meninggalkan kelenteng,
tiba-tiba seorang hwesio gundul yang bermuka buruk karena penuh luka bekas
penyakit cacar, berkata kepadanya, “Maaf, sicu, sebelum pergi, pinceng harap sukalah
sicu betulkan dulu lantai kami yang rusak.”
Thio Sui Kiat heran sekali melihat hwesio ini dan ia berpaling kepada hwesio kepala
di kelenteng itu yang ia kenal baik.
“Lo-suhu, siapakah hwesio ini dan apa maksudnya?”
Ceng Sin Hwesio tersenyum, “Dia ini adalah seorang pendeta baru yang belum ada
sebulan bekerja sebagai tukang dapur di kelenteng ini. Harap sicu maafkan kalau
kata-katanya menyinggung, karena dia orang baru.”
“Lantai ruang telah dirusak dan berlubang, pinceng hanya minta dibetulkan, bukankah
itu sudah selayaknya?” hwesio muka buruk yang bernama Ho Sim Hwesio itu
menggerutu.
Thio Sui Kiat menghadapi hwesio tukang dapur itu dan berkata, “Lo-suhu, kau ini
aneh sekali. lantai ini hanya berlubang sedikit bekas tusukan toyaku, mengapa kau
ribut-ribut? Panggillah tukang tembok dan suruh ia menambalnya, berapa biayanya
nanti kuganti!”
Ceng Sin Hwesio juga membujuk hwesio baru itu, “Ho Sim, biarkan saja lantai itu,
nanti kita betulkan sendiri.”
Tapi Ho Sim Hwesio masih saja bersungut-sungut dan berkata perlahan, “Berani
merusak tidak mau membetulkan, ini namanya sewenang-wenang! Lantai tidak
berdosa ditusuk toya, ini namanya tekebur!”
Thio Sui Kiat merasa kurang senang mendengar ucapan ini dan ia lalu berkata kepada
hwesio itu, “Eh, lo-suhu, urusan sekecil ini mengapa harus dibesar-besarkan? Kalau
aku bisa membetulkan kerusakan itu, tentu akan kukerjakan.”
“Mengapa tidak bisa?” tiba-tiba Ho Sim Hwesio berkata dan tangannya terulur ke
arah pinggang Thio Sui Kiat, dan sebelum Thio Sui Kiat dapat melihat apa yang
dikehendaki oleh hwesio buruk itu, tiba-tiba toyanya telah tercabut keluar.
Ho Sim Hwesio memandang toya itu dan berkata perlahan, “Toya buruk, tidak ada
gunanya!” lalu ia bawa toya itu dengan langkah lebar menuju ke ruang tamu di mana
terdapat bekas tusukan Thio Sui Kiat ketika ia mendemonstrasikan kepandaiannya
tadi.
Dengan terkejut dan tercengang Thio Sui Kiat melihat betapa hwesio itu
Koleksi Kang Zusi
menancapkan toyanya di tempat yang berlubang itu dan sekali hwesio itu
menggerakkan tangan maka putuslah toyanya itu, tepat di batas lantai hinga potongan
toya itu menutup lubang dengan rapi!
Thio Sui Kiat melompat dengan muka merah.
“Hwesio kurang ajar, kau berani mematahkan toyaku?”
Ho Sim Hwesio memandang potongan toya itu di tengahnya. “Hm, toya seburuk ini,
untuk apa diribut-ributkan? Toya ini tak ada gunanya!”
“Apa, kau berani mengatakan bahwa toyaku tidak ada gunanya?”
Ho Sim Hwesio mengangguk. “Memang, tidak ada gunanya.”
“Berani kau menghadapi toyaku?” Thio Sui Kiat makin marah.
“Apa yang harus ditakuti? Permainan toyamu hanyalah permainan untuk menakutnakuti
anak-anak kecil belaka!”
Bukan main marah Sui Kiat mendengar ucapan ini.
“Kesinikan toya itu! Biar kau berkenalan dengan pukulan toyaku!”
“Janga kuatir, tunggu sebentar, akan kucarikan toya untukmu!”
Ho Sim Hwesio lalu berlari ke dalam dan tak lama kemudian ia muncul lagi sambil
membawa sebatang toya dan memberikannya kepada Sui Kiat.
“Nah, kalau kau tidak percaya, kau boleh gunakan toya ini untuk menyerangku. Akan
kuperlihatkan betapa toyamu ini memang betul-betul tak berguna!”
Thio Sui Kiat mengertakkan giginya hingga mengeluarkan suara berkeretakan. Belum
pernah selama hidupnya ia menerima hinaan orang seperti ini, dan belum pernah ilmu
toyanya dipandang rendah sedemikian rupa.
“Ambillah senjatamu dan perlihatkan kepandaianmu kalau memang hendak pibu!”
bentaknya.
“Pinceng bukan mengajak pibu, hanya hendak membuktikan bahwa ilmu toyamu
tidak berguna. Untuk melawan ilmu toyamu, pinceng cukup menggunakan potongan
toya ini saja!”
Makin berkobar api yang membakar dada Thio Sui Kiat. Hwesio gundul yang
bertampang buruk ini benar-benar mempermainkan dan menghinanya.
“Kau mencari mampus sendiri!” teriaknya dan menyerang dengan pukulan Raja Naga
Sambar Mustika.
Pukulan ini berbahaya sekali dan tak mudah dielakkan karena selain gerakannya
cepat, juga yang diserang adalah bagian pinggang musuh sehingga terlalu tinggi untuk
dilompati dan terlampau rendah untuk dielakkan ke bawah. Jalan satu-satunya hanya
menangkis dan Sui Kiat sengaja hendak menundukkan hwesio ini, karena ia maklum
bahwa sekali serangannya ditangkis, maka tentu akan berhasil memukul potongan
toya itu terlepas dari pegangan Ho Sim Hwesio.
Akan tetapi, terjadilah hal yang sama sekali di luar dugaannya!
Memang hwesio itu mengangkat tangan menangkis serangan dengan tongkat yang
sepotong itu, akan tetapi begitu potongan toya itu menempel dengan toya Sui Kiat
yang menyambar cepat, tiba-tiba hwesio itu menggunakan tenaga sabetan Sui Kiat
untuk melompat ke atas dan melewati kepala Thio Sui Kiat dengan gerakan gesit
sekali!
Semua hwesio, termasuk hwesio kepala, Ceng Sin Hwesio, menonton pertempuran ini
dengan kagum. Mereka tidak pernah menduga sama sekali behwa hwesio penunggu
dapur yang kerjanya setiap hari hanya mengambil air, mencari kayu dan menjaga api
di dapur ini ternyata memiliki kepandaian silat yang luar biasa tingginya!
Juga Thio Sui Kiat merasa kaget melihat kegesitan hwesio itu yang dengan secara
cerdik sekali dapat meminjam tenaga pukulannya untuk mengelak dan melayang
melewati kepalanya. Ia merasa panas dan hendak menjatuhkan hwesio yang
Koleksi Kang Zusi
dianggapnya kurang ajar ini. Sambil membalikkan tubuh, Thio Sui Kiat memutar dan
mengayun toyanya ke belakang dengan gerakan menyabet. Inilah gerakan Ular Sakti
Gerakkan Kepala. Toyanya dari kiri menyabet ke kanan menyerang leher lawan dan
jika dapat dielakkan maka dari kanan toya itu akan menyambar pula ke kiri agak ke
bawah hingga serangan ini sukar sekali dihindari.
Akan tetapi, kali ini ia menemui seorang yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi
daripada kepandaiannya sendiri. Hwesio itu menggunakan potongan toya menangkis
dan heran sekali, ketika dua toya itu beradu toya Thio Sui Kiat seakan-akan disedot
oleh kekuatan besi sembrani dan menempel pada potongan toya yang dipegang oleh
hwesio itu. Ia berusaha untuk melepaskan toyanya, namun sia-sia belaka. Tiba-tiba
Ho Sim Hwesio mengirim tendangan ke arah pergelangan tangan Thio Sui Kiat.
Tendangan ini keras dan bertenaga sehingga mendatangkan angin, maka Thio Sui
Kiat terpaksa melepaskan toyanya untuk menyelamatkan pergelangan tangannya!
Karena gerakan inilah maka toyanya itu berpindah tangan!
Hampir saja Thio Sui Kiat tak percaya kepada mata sendiri. Di dalam dua jurus saja,
toyanya telah terampas oleh hwesio yang hanya bersenjata potongan toya itu!
“Ha, ha, bukanlah benar kata-kataku tadi bahwa ilmu toyamu sedikitpun tidak ada
gunanya?” Ho Sim Hwesio tertawa geli, dan melihat betapa Thio Sui Kiat
memandangnya dengan mata tak percaya, hwesio itu lalu mengembalikan toya yang
dirampasnya dan berkata, “Kau belum yakin benar? Nah, ini toyamu, kau boleh
serang aku lagi, dalam sejurus toyamu pasti akan dapat kurampas!”
Bagaikan sedang mimpi, Thio Sui Kiat menerima kembali toya itu lalu ia siap hendak
menyerang dengan sebuah pukulan yang dulu dipelajarinya dari Liauw In Hwesio.
“Ha, kau hendak menyerang dengan Tipu Burung Merak Buka Sayap? Bagus,
seranglah!”
Bukan main terkejut dan heran Thio Sui Kiat ketika melihat betapa hwesio buruk rupa
itu dengan sekali pandang dapat mengetahui bahwa ia hendak menyerang dengan
gerak tipu itu! Tapi ia teruskan juga serangannya dengan hati-hati sekali dan
mengerahkan seluruh kekuatannya. Tapi Ho Sim Hwesio mengangkat potongan toya
di tangannya menangkis dan ia membuat gerakan memutar. Thio Sui Kiat hampir
berteriak karena terkejut. Ia merasa telapak tangannya sakit sekali karena tiba-tiba
toyanya dengan tak tertahan lagi ikut berputar hingga membuat tangannya yang
memegang menjadi sakit dan terpaksa ia lepaskan toyanya! Toya itu terlepas dan
terlempar, tapi sebelum tiba di lantai, telah disambar tangan kiri Ho Sim Hwesio
sambil tertawa bergelak-gelak!
Benar saja, dalam satu jurus saja hwesio itu telah berhasil merampas toya Thio Sui
Kiat!
Kini Thio Sui Kiat tidak ragu-ragu lagi. Ia maklum bahwa betapapun buruk rupa
hwesio penjaga dapur ini, namun jelas bahwa ia adalah seorang yang berilmu tinggi.
Maka ia lalu menjatuhkan diri berlutut.
“Lo-suhu yang mulia. Mohon diampunkan mata teecu yang buta hingga tidak
mengenal Gunung Thai-san di depan mata dan telah berlaku kurang hormat. Mohon
sudilah kiranya Lo-suhu menerima teecu sebagai murid!”
“Bagus, bagus, Thio Sui Kiat! Memang kau berbakat sekali dan perlu pula merubah
adatmu yang kurang baik. Sudah menjadi tugasku untuk mendidikmu menjadi
seorang yang berguna dan benar-benar hebat!”
Sejak saat itu, Thio Sui Kiat telah menjadi murid Ho Sim Hwesio dan setiap hari ia
bekerja di kelenteng itu membantu pekerjaan gurunya memikul air, membelah kayu
dan menjaga api! Sebaliknya, hwesio yang aneh itu tiap hari mengajarnya ilmu toya
yang luar biasa tingginya. Pada sore hari itu ia kembali ke rumah, untuk kembali pula
Koleksi Kang Zusi
pada keesokan harinya. Semenjak ia menjadi murid Ho Sim Hwesio, ia telah merubah
wataknya yang sombong, karena selain menerima gemblengan ilmu toya yang tinggi,
ia juga mendapat gemblengan ilmu batin sehingga ia menjadi insyaf dan menyesal
akan perbuatannya yang terlalu tekebur dulu. Akhirnya ia mendengar pengakuan
suhunya, bahwa Ho Sim Hwesio sebetulnya adalah seorang tokoh besar dari daerah
Pantai Laut Timur yang kini mengasingkan diri dan bersembunyi di kota Lam-sai dan
menjadi penjaga dapur kelenteng Hok-thian-tang.
Setelah belajar dengan tekun selama tiga tahun, kepandaian Thio Sui Kiat telah maju
luar biasa. Ia telah memiliki kepandaian ilmu toya yang tinggi sekali. ketika suhunya
meninggalkan Lam-sai untuk melanjutkan perantauannya, Thio Sui Kiat lalu rajin
berdagang dan tidak mau memperlihatkan kepandaiannya lagi. Ia mulai mendidik
anak perempuannya yang bernama Thio Eng. Maka, namanya sebagai seorang ahli
silat lambat laun dilupakan orang dan tak lama kemudian, orang-orang di kota Lamsai
sendiri tidak tahu bahwa di kota itu terdapat seorang ahli silat yang memiliki
kepandaian tinggi sekali!
-***-
Kwee Cin Hwa atau Nyonya Lim, di samping mengajar silat kepada empat orang
anak perempuan di kota Bi-ciu, juga mendidik puteranya sendiri, Lim Kong Lee.
Kong Lee semenjak berusia empat tahun telah mempunyai kesukaan yang aneh, yakni
ia suka sekali memegang-megang toya mendiang ayahnya, hingga ibunya
membuatkan sebatang toya kecil untuknya. Dan ketika Nyonya Lim mulai mengajar
silat kepadanya, ternyata otaknya cerdas dan memang berbakat. Ibunya menjadi
girang sekali dan terus mengajarnya dengan penuh ketekunan dan hati-hati hingga
anak itu cepat sekali maju dalam ilmu silat sehingga tak lama kemudian keempat anak
perempuan yang menjadi murid-murid ibunya tersusul olehnya.
Tubuh Kong Lee seperti ayahnya, tinggi tegap, wajahnya gagah dan tampan. Ketika ia
berusia tiga belas tahun seluruh kepandaian ibunya telah diturunkan kepadanya, dan
bahkan ibunya sendiri sekarang tak sanggup lagi mengalahkannya! Dalam hal ginkang
maupun lwee-kang Kong Lee mempunyai keistimewaan karena anak ini rajin
sekali melatih diri.
Tentu saja hal ini membuat ibunya girang sekali. Kepandaian anaknya yang baru
berusia tiga belas tahun itu telah melampauinya hingga kalau dibandingkan dengan
ayahnya dulu, hanya kalah sedikit saja dan tentu saja, kalah pengalaman. Ia maklum
apabila puteranya itu berlatih terus maka pesan mendiang suaminya bahwa puteranya
harus menjadi seorang yang berkepandaian tinggi, tentu akan terpenuhi! Akan tetapi,
ibu yang mencintai anaknya ini bingung karena ia tak sanggup lagi mengajar silat
kepada Kong Lee karena semua kepandaian yang dimilikinya telah dapat dimainkan
dengan lebih baik oleh anak itu!
Pada suatu hari, sebagaimana biasa seorang anak yang telah menanjak dewasa dan
dapat memikirkan sesuatu secara mendalam, Kong Lee bertanya kepada ibunya
tentang mendiang ayahnya.
“Ibu, aku mendengar dari twa-suci (kakak perempuan seperguruan yang tertua) bahwa
almarhum Ayah adalah seorang jago ilmu toya yang jarang bandingannya, betulkan?”
Ibunya tersenyum sedih, “Ayahmu adalah suhengku dan kepandaiannya hanya sedikit
lebih tinggi dari kepandaianku, mana bisa disebut jago silat yang jarang
bandingannya? Akan tetapi ia mengharapkan agar kau menjadi seorang yang tidak
memiliki kepandaian tanggung-tanggung, maka kau harus melatih diri dengan giat.”
“Ibu, mengapa ayah meninggal dunia dalam usia muda? Sakit apakah dia?”
Koleksi Kang Zusi
Ibunya terharu mendengar ini dan menyeka air matanya yang hendak mengalir keluar.
Tiba-tiba ibu ini merasa bahwa ada baiknya kalau ia menceritakan riwayat suaminya
kepada anak ini agar dapat dijadikan cermin.
“Kong Lee, ayahmu meninggal dunia karena terlalu menuruti hati sedih yang
sebenarnya adalah menjadi akibat dari kesalahannya sendiri. Dan oleh karena insyaf
akan kesalahan itulah maka ia berpesan agar kau menjadi seorang yang berkepandaian
tinggi dan jangan sekali-kali mencari permusuhan dengan orang lain.”
Kong Lee sangat tertarik akan cerita ini.
Ia pegang tangan ibunya dan mendesak, “Ibu, ceritakanlah padaku tentang mendiang
ayah.”
Maka diceritakanlah semua peristiwa yang menimpa mendiang suaminya kepada
anaknya. Tapi untuk menjaga agar anaknya jangan sampai menaruh dendam kepada
Thio Sui Kiat sebagaimana pesan suaminya dulu, ia menutup penuturannya dengan
kata-kata, “Kong Lee, kau dapat mengerti bahwa ayahmu roboh di tangan orang
karena kesalahan sendiri. Kalau ayahmu dapat memperdalam kepandaiannya atau
kalau ia dapat menyembunyikannya, tentu ia takkan mengalami nasib seperti itu. Oleh
karena itu, sudah menjadi kehendak ayahmu agar kau memilih jalan benar dan jangan
berlaku seperti ayahmu. Kalau mungkin perdalamlah kepandaianmu hingga kau
memiliki kepandaian yang tinggi dan tidak mudah dihina oleh orang lain dan kalau
hal ini tidak mungkin, kau harus bersi kap tahu diri dan jangan sekali-kali
memperlihatkan kepandaianmu, apalagi berlaku sombong, karena kalau kau bersikap
seperti itu, tidak urung kaupun dapat dirobohkan lawan yang lebih ulung!”
Akan tetapi, agaknya Kong Lee tidak memperhatikan kata-kata ini, karena tiba-tiba ia
bertanya, “Ibu, apakah kepandaian silat dari Thio Sui Kiat itu hebat sekali?”
Ibunya memandang heran dan timbul kekuatiran dalam hatinya.
“Kalau tidak tinggi kepandaiannya, mana ia mampu menjatuhkan ayahmu? Tapi
betapapun juga, ayahmu dirobohkan dalam sebuah pibu yang adil dan secara sejujurjujurnya
ayahmu telah mengakui kekalahannya.”
Memang ketika menuturkan riwayat itu, Nyonya Lim tidak menyebut-nyebut tentang
sikap Thio Sui Kiat yang sombong ketika bertempur dengan suaminya dulu.
“Tolong tuturkan yang jelas, ibu. Dengan cara bagaimanakah ayah dirobohkannya?”
Terpaksa Nyonya Lim menuturkan tentang jalannya pertempuran antara suaminya
dan Thio Sui Kiat yang masih terbayang jelas di muka matanya.
“Ayahmu memang kalah tinggi ilmu toyanya karena Thio Sui Kiat pernah menerima
pelajaran dari Liauw In Hwesio yang hebat. Karena sudah terdesak setelah bertempur
puluhan jurus, ayahmu lalu menggunakan ilmu toya Bendungan Baja Menahan
Banjir.”
“Ilmu gerakan ini hebat sekali. Aku bersusah payah mempelajarinya dan baru setelah
belajar keras setengah tahun lebih barulah aku dapat memainkannya dengan agak
baik,” kata Kong Lee.
“Ya, dan karena itu maka dapat kau bayangkan betapa tingginya kepandaian Thio Sui
Kiat. Biarpun ayahmu telah memainkan gerakan itu dengan cepat dikalahkannya.
Entah apa namanya gerakan pukulan itu, karena kedua tangannya maju bersama-sama
tangan kanan menusuk dengan toya merupakan totokan di dada, sedangkan tangan
kiri menampar pundak!”
Setelah berdiam untuk beberapa saat, Kong Lee berkata, “Sayang sekali aku tidak
dapat menyaksikan pertempuran itu,” katanya menyesal.
“Mengapa, Kong Lee?” tanya ibunya.
“Aku ingin sekali melihat bagaimana ayah dijatuhkan oleh orang she Thio itu!”
Ibunya lalu memberi nasihat agar ia belajar dan melatih diri lebih rajin agar mendapat
Koleksi Kang Zusi
kemajuan, dan menasihatkan supaya anak itu jangan sekali-kali memamerkan
kepandaian yang tak berapa tingginya itu.
“Anakku, kau harus selalu ingat bahwa di dunia ini banyak sekali orang pandai dan
tak seorang pun berhak menganggap dirinya sendiri terpandai. Betapapun pandainya
seseorang pasti ada yang melebihinya lagi!”
Kong Lee mengangguk-angguk tapi dalam hatinya timbul pertanyaan besar karena ia
masih merasa belum puas bagaimana orang dapat memecahkan gerakan Bendungan
Baja Menahan Banjir!
Pada malamnya, setelah ibunya tidur pulas, dengan diam-diam Kong Lee keluar dari
kamarnya terus keluar dari rumah. Kemudian dengan cepat ia menuju ke rumah Losam,
yakni pelayan tua yang dulu bekerja di bu-koan ayahnya. Ia masih mengenal
orang tua ini, karena ia pernah diajak oleh orang tua itu ketika Lo-sam sengaja datang
mengunjungi bekas nyonya majikannya.
Lo-sam merasa heran melihat Kong Lee malam-malam datang mengunjunginya.
“Eh, kongcu, ada keperluan apa maka kau datang pada saat seperti ini? Apakah kau
disuruh ibumu?”
Kong Lee menggeleng-gelengkan kepala, lalu ia berkata, “Lo-peh, apakah kau dulu
menyaksikan ketika ayahku dirobohkan oleh seorang bernama Thio Sui Kiat?”
Terkejutlah Lo-sam mendenga pertanyaan ini dan ia hanya bisa mengangguk-angguk.
“Nah, aku minta tolong kepadamu, Lo-peh. Di manakah rumah orang she Thio itu? Di
kota mana ia tinggal?”
Lo-sam pernah dipesan oleh Nyonya Lim supaya menyimpan rahasia ini dan jangan
sekali-kali memberitahukannya kepada Kong Lee, maka ia menggeleng-gelengkan
kepalanya yang sudah beruban itu dan menjawab, “Aku tidak tahu di mana rumah
orang she Thio itu.”
Kong Lee lalu memegang pergelangan lengan Lo-sam dan menekannya keras-keras
sehingga orang tua itu meringis kesakitan.
“Lo-sam, jangan kau membohong kepadaku. Kalau kau tidak mau memberi tahu,
akan kupatahkan lengan tanganmu!”
Terpaksa Lo-sam dengan muka ketakutan berkata, “Jangan, kongcu, jangan patahkan
tanganku ... ”
Kong Lee melepaskan pegangannya dan berkata, “Siapa yang suka mematahkan
lenganmu? Asal saja kau mau memberitahukan di mana tempat tinggal orang yang
merobohkan mendiang ayah itu ... ”
“Kongcu, apa perlunya kau hendak mengetahuinya? Ia sangat hebat, ayahmu
sendiripun tak dapat mengalahkannyaa. Kau akan celaka di tangannya, kongcu ... ”
“Sudahlah, Lo-peh, jangan banyak ribut. Beritahukan saja!”
“Dulu Thio Sui Kiat mengaku bahwa ia tinggal di kota Lam-sai. Tapi aku belum
pernah ke sana dan tidak tahu ia tinggal di sebelah mana.”
“Itu tak perlu, dapat kucari sendiri. Nah, terima kasih, Lo-peh, dan maafkan aku!”
Kong Lee lalu berlari pergi menuju ke kota Lam-sai!
Dengan ketakutan, malam hari itu juga Lo-sam berlari-lari menuju ke rumah Nyonya
Lim Ek untuk memberitahukan tentang pengalamannya dengan Kong Lee tadi.
“Celaka! Anak bengal itu tentu pergi ke sana untuk mencari celaka di rumah Thio Sui
Kiat!”
Semalam penuh Nyonya Lim Ek tak dapat tidur dan pada keesokan harinya, pagi-pagi
sekali ia berganti pakaian ringkas dan pergi ke kota Lam-sai menyusul anaknya.
Karena semalam penuh tak berhenti dan berjalan cepat menuju ke kota Lam-sai maka
pada keesokan harinya, menjelang tengah hari, Kong Lee sudah sampai di tempat
tujuannya. Begitu masuk kota itu, ia langsung mencari rumah keluarga Thio.
Koleksi Kang Zusi
Thio Sui Kiat merasa heran sekali ketika diberitahu oleh pelayannya bahwa di luar
ada seorang pemuda berkeras hendak minta bertemu dengan dia. Pada saat itu, Thio
Sui Kiat sedang berada di ruang belakang dan mengajar silat kepada Thio Eng,
puterinya yang baru berusia dua belas tahun.
Dengan hati menduga-duga siapa gerangan anak muda yang hendak bertemu
dengannya, Thio Sui Kiat menuju keluar. Keheranannya bertambah ketika ia melihat
seorang anak laki-laki yang tampan dan bertubuh tegap berdiri dengan tolak
pinggang. Seorang pemuda yang baik pikirnya, sikapnya gagah dan wajahnya tampan.
Begitu melihat seorang tua tinggi kurus yang bermuka kuning keluar dari ruang
dalam, Kong Lee lalu menjura dan memberi hormat sepantasnya yang dibalas oleh
tuan rumah dengan senang.
“Hiante siapa dan ada keperluan apa mencari aku?”
“Apakah Lo-enghiong ini bernama Thio Sui Kiat?” tanya Kong Lee sambil
memandang muka orang itu dengan matanya yang tajam.
Thio Sui Kiat terkejut. Telah lama ia menyembunyikan kepandaiannya dan selama itu
biasanya ia disebut Thio-wangwe (Hartawan Thio) dan jarang orang yang
menyebutnya Lo-enghiong (Orang Tua Gagah), kecuali beberapa orang sahabat lama
yang tahu akan kepandaiannya. Tapi anak ini datang-datang menyebutnya Loenghiong!
“Benar, anak muda. Aku adalah Thio Sui Kiat. Kau siapa?” dalam hatinya timbul
dugaan bahwa anak muda ini tentu hendak minta belajar silat padanya.
“Aku bernama Lim Kong Lee, dan Lo-enghiong tentu masih ingat akan nama Lim Ek
dari Bi-ciu!”
Wajah Thio Sui Kiat berubah mendengar nama ini.
“Ah, jadi kau adalah putera Lim-kauwsu? Bagus! Kau memang patut menjadi putera
guru silat yang gagah itu!”
“Aku tidak tahu apakah Lo-enghiong ini memuji atau menyindir. Sepanjang
pengetahuanku, mendiang ayahku pernah roboh dalam tanganmu. Dan kedatanganku
ini tak lain ialah mohon petunjuk darimu, Lo-enghiong. Akupun ingin sekali
merasakan kehebatan toya yang pernah merobohkan ayahku itu!”
Thio Sui Kiat berdiri dari duduknya. Ia suka sekali melihat anak muda yang selain
tampan dan gagah, juga bersifat jujur dan berani ini. Jarang ada anak muda yang
setabah ini dan diam-diam ia menyesal sekali akan kesombongannya dulu yang telah
menjatuhkan Lim Ek dan menimbulkan sakit hati. Karena ia menduga bahwa anak
muda di depannya ini tentu menaruh dendam karena kekalahan ayahnya dulu!
Tetapi suara Thio Sui Kiat masih mengandung penuh kesabaran ketika ia bertanya,
“Lim-hiante, jadi kedatanganmu hendak membalas dendam yang terkandung di
hatimu karena ayahmu pernah kurobohkan dalam sebuah pibu?”
Muka Kong Lee merah, tapi ia menjawab tegas, “Tidak ada kata-kata dendam dalam
hal ini, Thio Lo-enghiong, yang ada hanya rasa kurang puas. Aku hanya ingin
merasakan sendiri sampai di mana ketinggian ilmu toyamu dan sampai di mana
kehebatanmu agar hatimu puas dan dapat mengerti mengapa ayah dulu sampai kalah
olehmu. Kuharap saja kau orang tua suka memenuhi permintaanku ini!”
Thio Sui Kiat semakin tertarik dan suka kepada anak muda ini. Ternyata anak muda
ini sangat bangga kepada ayahnya dan hatinya kecewa mendengar bahwa ayahnya
pernah dikalahkan orang dan kini anak ini hendak menyaksikan sendiri kehebatan
orang yang pernah menjatuhkan ayahnya dulu! Sungguh seorang anak yang berhati
jantan dan keras!
“Anak muda, kau pernah belajar silat dari siapa?”
“Dari ibuku sendiri,” jawab Kong Lee.
Koleksi Kang Zusi
Thio Sui Kiat makin heran. Ia tahu bahwa ilmu kepandaian Nyonya Lim masih berada
di bawah tingkat kepandaian Lim Ek sendiri, maka bagaimana anak yang hanya
mendapat latihan silat dari Nyonya Lim berani datang menantangnya pibu? Ia
menganggap bahwa Nyonya Lim Ek sangat sembrono hingga membiarkan anaknya
datang mencari ribut.
Akan tetapi Thio Sui Kiat sekarang bukanlah jagoan muda yang sombong seperti
dulu. Ia telah menerima gemblengan ilmu batin dari Ho Sim Hwesio dan
kepandaiannya juga telah mencapai tingkat tinggi. Ia tidak menjadi marah dengan
kedatangan Kong Lee yang hendak menguji kepandaiannya ini, bahkan diam-diam ia
merasa suka sekali kepada pemuda ini.
“Anak baik, kalau kau berkeras hendak menguji aku orang tua, marilah kita pergi ke
lian-bu-thia (ruang berlatih silat) di belakang.”
Thio Sui Kiat mendahuluinya melangkah masuk, dan Kong Lee tanpa ragu-ragu lagi
dan dengan hati tabah sekali mengikuti orang tua itu menuju ke ruang dalam,
melewati ruangan yang penuh dengan perabot-perabot rumah yang indah sekali.
Ketika mereka tiba di lian-bu-thia yang luas dan indah di mana terdapat sebuah rak
senjata baik dan mengkilat, Kong Lee melihat bahwa di tengah ruang tempat berlatih
silat itu terdapat seorang anak perempuan sedang berlatih silat seorang diri. Anak itu
berpakaian serba biru dan dua batang kuncirnya yang panjang diikat pita merah dan
dililitkan di lehernya. Ia sedang berlatih silat dengan siang-kiam (sepasang pedang) di
tangan kiri kanan dan gerakan-gerakannya lincah sekali. Ketika mengetahui bahwa
ayahnya datang bersama seorang lain, anak perempuan itu segera menghentikan
permainannya dan menyimpan siang-kiam itu di rak senjata. Kemudian anak
perempuan itu berdiri di dekat dinding dengan kaki terpentang dan kedua lengan
tersembunyi di belakang punggung, memandang ke arah Kong Lee dengan sepasang
matanya yang lebar dan bening, sama sekali tidak kelihatan malu-malu seperti
biasanya seorang anak gadis bila melihat tamu yang belum pernah dilihatnya, apalagi
seorang pemuda!
Kalau anak perempuan lain tentu akan cepat-cepat lari pergi dan menyembunyikan
diri di dalam kamarnya dengan hati berdebar!
“Eng, ini adalah Lim Kong Lee dari Bi-ciu, putera dari almarhum Lim-kauwsu yang
terkenal di kota Bi-ciu,” kata Thio Sui Kiat kepada puterinya.
Mendengar ini, Kong Lee tahu bahwa Thio Sui Kiat tidak pernah menceritakan
kepada anaknya itu tentang kekalahan ayahnya. Hal ini membuat Kong Lee merasa
lega karena tak usah merasa malu menghadapi gadis itu karena kekalahan ayahnya tak
pernah diketahuinya!
“Hian-te karena kau sudah sampai di sini dan hendak bermain-main sebentar
menambah pengalaman ilmu silat, maka tidak ada salahnya bila anakku Thio Eng ini
melayanimu sebentar memainkan senjata. Ingin kulihat sampai di mana kemajuan
anakku ini.”
Kong Lee tidak berani menolak, karena ia pikir kalau ia telah lebih dulu mengalahkan
anak perempuan ini, maka nanti kalau ia sampai dikalahkan oleh Thio Sui Kiat, ia tak
usah menderita malu yang besar!
Mendengar kata-kata ayahnya ini, Thio Eng tersenyum gembira dan memandang
Kong Lee seperti hendak menaksir-naksir sampai di mana kehebatan calon lawannya
ini.
“Sebagai putera Lim-kauwsu, kau tentu biasa mempergunakan toya, bukan?” tanya
Thio Sui Kiat dan Kong Lee lalu menghampiri rak senjata dan memilih sebatang toya
yang cukup berat.
Sementara itu, tanpa diminta dan tanpa mengeluarkan kata-kata Thio Eng sudah
Koleksi Kang Zusi
mengambil lagi siang-kiam yang tadi ia mainkan. Kemudian, dengan senyum
menghias bibir, gadis kecil itu siap sedia di tengah lian-bu-thia dan menyilangkan
sepasang pedangnya dengan sikap yang hati-hati sekali!
“Lim-hiante, kau perlihatkanlah kepandaianmu dan coba-coba layanilah siang-kiam
anakku!” kata Thio Sui Kiat dengan gembira dan kedua matanya berseri-seri.
Setelah menjura kepada Thio Sui Kiat dan kepada Thio Eng, Kong Lee lalu melompat
ke depan gadis itu dan menggerakkan toyanya. Biarpun baru berusia tiga belas tahun,
namun Kong Lee memiliki tenaga besar dan ia telah mendapat gemblengan ilmu silat
semenjak kecil, maka gerakannya inipun luar biasa hingga ujung toyanya
mengeluarkan angin.
Melihat gerakan anak muda ini, diam-diam Thio Sui Kiat memuji dan sambil
mengangguk-anggukan kepala, ia berkata, “Hati-hati, anakku. Lawanmu bukanlah
orang lemah!”
Tapi Thio Eng juga maklum akan hal ini karena tubuhnya segera melayang ke
samping menghindari sambaran toya, lalu dengan gerak tipu Garuda Sakti Pentang
Sayap, ia balas menyerang dengan sebuah tusukan pedang tangan kanan sedangkan
tangan kiri diluruskan ke belakang.
Kong Lee memutar toyanya untuk menangkis sekerasnya dengan maksud memukul
pergi pedang kanan gadis itu, tapi Thio Eng cukup cerdik dan tahu akan kekuatan
lawan, maka ia tidak mau mengadu tenaga dan cepat menarik kembali pedang kanan
sedangkan secepat kilat pedang kirinya diluncurkan ke depan dalam sebuah tikaman
yang dahsyat!
Kong Lee terkejut sekali karena tak pernah disangkanya bahwa Thio Eng mempunyai
kecepatan sehebat itu. Terpaksa ia melompat mundur untuk mengelak, kemudian
dengan sungguh-sungguh ia lalu menyerang maju sambil memutar toyanya dengan
cepat bagaikan kitiran angin. Thio Eng dengan tenang dan gesit menyambut
serangannya dengan gerakan kedua pedang yang tak kalah hebatnya itu hingga sesaat
kemudian kedua anak muda itu telah bertempur dengan seru dan sengit.
Thio Sui Kiat diam-diam merasa heran sekali karena ternyata bahwa kepandaian anak
muda itu cukup lumayan, bahkan mempunyai bakat-bakat yang lebih baik daripada
Lim Ek sendiri! Ia maklum bahwa Thio Eng takkan dapat mengalahkan Kong Lee,
kecuali kalau anaknya mengeluarkan ilmu pedang Ngo-eng Siang-kiam-hoat. Dan
benar saja, karena mendapat kenyataan bahwa anak muda itu benar-benar kuat dan
hebat, terpaksa Thio Eng mengeluarkan kepandaian simpanan yang baru saja
dipelajari seperempat bagian itu. Ia kini bersilat dengan ilmu pedang pasangan Lima
Garuda, gubahan ayahnya yang merupakan ilmu pedang yang hebat sekali. Tubuh
anak gadis itu berlompat-lompatan ke atas dengan gesitnya hingga laksana garuda
menyambar-nyambar. Kedua pedangnya diputar-putar di kedua tangan dan
menyerang lawannya dari semua jurusan!
Kong Lee mengeluarkan seruan kaget dan cepat-cepat ia rubah tipu silatnya dan
terpaksa keluarkan ilmu toya Bendungan Baja Menahan Banjir!
Thio Sui Kiat kagum melihat gerakan yang telah dikenalnya ini, karena dulu ketika
menghadapi Lim Ek, guru silat itu pernah mengeluarkan ilmu toya ini dan
membuatnya untuk beberapa lama tak berdaya karena ilmu toya pelindung diri ini
memang banar-benar hebat dan sukar diserang!
Demikianlah, kedua anak muda itu bertempur sambil mengeluarkan kepandaian
masing-masing dan agaknya pertempuran akan berjalan lama sekali, karena keduanya
tidak mau mengalah. Pertahanan Kong Lee kuat sekali sedangkan serangan-serangan
Thio Eng pun gencar dan bertubi-tubi hingga anak muda itu tidak mampu balas
menyerang!
Koleksi Kang Zusi
Thio Sui Kiat maklum bahwa jika pertempuran itu diteruskan, maka seorang dari
mereka pasti akan terluka. Maka ia segera melompat ke tengah dan menggerakkan
kedua tangan nya sambil berseru, “Tahan!”
Kong Lee merasakan sebuah tenaga besar sekali mendorongnya ke samping hingga
tubuhnya terhuyung mundur. Untung ia masih dapat mempertahankan kakinya hingga
tidak sampai terguling. Juga Thio Eng segera melompat ke belakan sambil bergulingguling.
“Lim-hiante, kepandaianmu sungguh hebat! Puteriku tidak kuat menghadapimu!”
Kong Lee merasa tidak puas. Menghadapi anak perempuan yang masih kecil itu saja
ia tidak mampu mengalahkannya, apalagi kalau menghadapi Thio Sui Kiat. Dari
tenaganya ketika memisah tadi saja ia maklum bahwa orang tua itu memiliki lweekang
yang luar biasa hebatnya dan sama sekali bukan lawannya!
Akan tetapi semangatnya yang menggelora membuat ketabahannya tebal sekali. ia
lalu menjura dan berkata kepada Thio Sui Kiat, “Thio Lo-enghiong, sesungguhnya
kedatanganku ini dengan maksud ingin merasai dan berkenalan dengan kehebatan
ilmu toyamu, maka harap kau orang tua suka berlaku murah dan memberi sedikit
petunjuk!” sambil berkata demikian, Kong Lee bersiap dengan toya di tangan dengan
sikap menantang sekali!
Thio Sui Kiat tertawa dan di dalam hatinya geli melihat kenekatan dan beraninya
Kong Lee yang dianggapnya seperti seorang anak yang menantang seekor harimau!
Akan tetapi, tiba-tiba ia mendapat pikiran baik. Ia pernah menghina Lim Ek dan boleh
dibilang bahwa ia mempunyai hutang kepada orang she Lim itu. Kini melihat anak
muda ini, hatinya suka sekali, maka apakah salahnya kalau ia mengambil anak muda
ini sebagai murid?
Dengan jalan demikian, berarti ia akan menebus kesalahannya dulu terhadap Lim Ek
dan pula ia tidak mempunyai murid lain kecuali Thio Eng anaknya sendiri. Dan yang
lebih baik lagi, ia dapat melihat bahwa anak muda ini memiliki bakat yang baik
sekali. Ia beranggapan ini adalah pemecahan yang terbaik karena ia kuatir kalau anak
muda ini akan menaruh dendam kepadanya atas kekalahan ayahnya dulu. Maka ia
mengambil keputusan untuk memperlihatkan kehebatannya kepada Kong Lee agar
anak muda ini menjadi kagum dan suka menjadi murdinya.
“Hiante, kau agaknya suka sekali mempelajari ilmu silat toya! Biarlah kau perhatikan
baik-baik cara bagaimana bersilat dengan toya agar kelak kau mudah
mempelajarinya!” sambil berkata demikian orang tua itu mengambil sebatang kayu
kecil yang disandarkan di sudut ruangan itu.
“Nah, kau mulailah menyerang, Hian-te. Dan aku akan mencoba mengalahkan kau
dalam tiga jurus!”
Bukan main panas hati Kong Lee mendengar ucapan ini yang dianggapnya sangat
memandang rendah padanya! Ia masih muda sekali dan pikirannya belum matang
serta pemandangannya belum luas, lagipula darahnya masih sedang panas-panasnya.
Ilmu silatnya telah dipelajari sejak ia bisa berjalan hingga sebetulnya sudah cukup
tinggi. Sekarang orang tua ini hendak menjatuhkannya dalam tiga jurus!
“Baik, Lo-enghiong,” katanya dan ia lalu bersiap sambil memutar otak.
Ia tidak mempunyai harapan untuk dapat mengalahkan orang tua ini, karena baru anak
perempuannya saja sudah berkepandaian sehebat itu. Akan tetapi ia hendak
mengambil keuntungan dari kata-kata orang tua itu. Kalau saja ia bisa bertahan
sampai tiga jurus, bukankah itu berarti ia telah menang dan orang tua itu akan merasa
malu?
Oleh karena pikiran inilah maka ia lalu memutar toyanya dan sengaja memainkan
gerakan Bendungan Baja Menahan Banjir. Pertama-tama karena memang ilmu toya
Koleksi Kang Zusi
inilah yang dianggap terkuat untuk melindungi diri, dan kedua ia hendak mengetahui
dengan cara bagaimana ayahnya dulu yang juga mempergunakan ilmu ini sampai
dapat dikalahkan!
Melihat betapa anak muda itu hanya memutar-mutar toyanya dalam gerakan
Bendungan Baja Menahan Banjir tanpa maju menyerang sedikitpun, Thio Sui Kiat
maklum dan tahu akan akal Kong Lee dan diam-diam ia merasa kagum dan memuji
kecerdikan anak itu.
“Ha-ha! Kau memang cerdik, Hian-te. Nah, awaslah aku hendak menyerangmu
sampai tiga jurus. Kalau dalam tiga jurus aku tak dapat mengalahkan kau, boleh kau
anggap bahwa kepandaianmu sudah jauh lebih tinggi dari kepandaian ayahmu dulu
dan anggap pulalah bahwa aku orang tua tidak berguna dan tidak pantas memberi
pelajaran kepadamu!”
Muka Kong Lee menjadi merah mendengar ucapan orang tua yang menyatakan
bahwa pikirannya dapat dibaca oleh Thio Sui Kiat, tapi ia heran mendengar kata-kata
terakhir seakan-akan orang tua itu hendak memberi pelajaran silat kepadanya! Akan
tetapi, benar ia berlaku hati-hati sekali dan memutar-mutar toyanya dengan gerakan
yang lebih cepat lagi.
“Awas serangan pertama!” tiba-tiba Thio Sui Kiat berseru dan sebatang kayu di
tangannya itu meluncur cepat sekali seakan-akan hendak menerobos bendungan baja
yang dibuat oleh putaran toya Kong Lee!
Anak muda itu mengerahkan tenaganya dan menangkis. Kedua telapak tangannya
tergetar oleh tenaga yang keluar dari kayu itu, akan tetapi ia mempererat pegangannya
hingga kayu itu, dapat tertangkis ke atas!
“Bagus!” Thio Sui Kiat memuji, tapi bersamaan dengan terpentalnya kayu di
tangannya itu ke atas, tubuhnya juga ikut melayang ke atas dan dari atas, orang tua itu
berseru, “Awas serangan kedua!” dan tubuh itu menyambar turun dengan ujung
kayunya meluncur hendak menotok pundak Kong Lee!
Anak muda itu terkejut sekali karena memang gerakan Bendungan Baja Menahan
Banjir hanya digunakan untuk melindungi sekeliling tubuh, tapi tidak melindungi
kepalanya dari serangan yang dilakukan dari atas! Ia lalu menggulingkan tubuh ke
samping dan memutar toyanya ke atas sehingga sekali lagi ia dapat menyelamatkan
diri!
“Pandai sekali kau, Hian-te!” Thio Sui Kiat memuji lagi dan dengan mempergunakan
ilmu meringankan tubuh yang luar biasa sekali, tahu-tahu orang tua itu telah berada di
sebelah kiri Kong Lee!
“Awas serangan ketiga!” teriaknya dan kayu di tangannya kini menyerang dari kiri
dengan gerakan memutar, Kong Lee yang sudah merasa girang karena dapat
menyelamatkan diri dari dua buah serangan dan kini hanya tinggal asatu serangan lagi
untuk mendapatkan kemenangan, segera memutar toyanya menangkis serangan yang
agaknya lambat sekali datangnya itu!
Tapi ketika toyanya menempel tongkat kayu di tangan Thio Sui Kiat tiba-tiba ia
terkejut sekali karena kayu itu lalu berputar cepat dan toyanya tak tertahan lagi ikut
terputar-putar dan ia tidak kuat lagi menahan pegangannya karena kedua tangannya
pun ikut terputar! Toyanya lalu terlepas dan terpental ke udara dalam keadaan masih
terputar-putar, tapi disambut oleh Thio Sui Kiat dengan tersenyum!
“Nah, Hian-te, sekarang bagaimana pendapatmu?”
Setelah berdiri melongo untuk beberapa lamanya, dengan kagum sekali anak muda itu
menjura.
“Lo-enghiong, ilmu toyamu memang benar-benar luar biasa. Tidak heran kalau
almarhum ayahku pernah jatuh di tanganmu! Aku masih bodoh sekali dan biarlah lain
Koleksi Kang Zusi
kali kalau sudah belajar lagi, aku akan kembali ke sini untuk minta pelajaran lebih
jauh!”
Terkejutlah hati Thio Sui Kiat mendengar ini. Benar-benar anak muda ini keras hati
dan masih belum puas sehingga masih mengandung maksud hendak membalas kelak
setelah menambah ilmunya!
Buru-buru ia berkata, “Lim-hiante, ayahmu adalah seorang gagah perkasa dan aku
kenal baik kepadanya. Kalau saja kau ingin belajar ilmu toya, aku bersedia untuk
memberi pelajaran kepadamu. Percayalah, dengan menjadi muridku dan menerima
pelajaran dariku, kau akan menjagoi di seluruh propinsi dan jarang mendapat
tandingan! Aku akan mengajarkan semua kepandaianku kepadamu.”
Kong Lee merasa terharu sekali. Tak ia sangka sama sekali bahwa orang yang pernah
merobohkan ayahnya demikian baik hatinya kepadanya.
Ia menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum.
“Terima kasih banyak atas budi kecintaan Lo-enghiong. Tapi maafkan karena saya
tidak dapat menerima tawaran Lo-enghiong dan saya tidak berani mengganggu lebih
jauh. Harap Lo-enghiong tidak salah paham, bukan sekali-kali maksudku hendak
membalas dendam karena sekali-sekali saya tidak menyimpan dendam atau sakit hati
terhadap Lo-enghiong. Saya hanya ingin sekali memiliki kepandaian yang lebih tinggi
dari Lo-enghiong dan menebus kekalahan ayah yang dulu. Hanya itu saja dan sekalikali
saya tidak bermaksud buruk. Sekali lagi maaf, Lo-enghiong, dan sampai bertemu
pula beberapa tahun kemudian!” setelah berkata demikian anak muda itu melangkah
pergi dengan langkah lebar.
Thio Sui Kiat berdiri tercengang karena ia sama sekali tidak menyangka bahwa anak
muda itu akan menolak tawarannya. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepala dan
menghela napas.
“Ayah, untuk apa orang yang kurang ajar seperti dia itu diberi hati? Kulihat ia sama
sekali tidak memandang hormat kepada kita!” tiba-tiba Thio Eng berkata marah.
Ayahnya hanya memandang puterinya dengan senyum sedih, lalu berkata, “Anakku,
kau tidak tahu bahwa ayahnya dulu meninggal dunia karena malu dan sakit hari
setelah kurobohkan di depan orang banyak!”
“Tapi, bukankah telah ayah katakan bahwa ayah dapat mengalahkan ayahnya dalam
sebuah pibu yang adil?” bantah anaknya.
Thio Sui Kiat mengangguk-angguk dan menghela napas lagi.
“Memang ... memang ... tapi aku dulu tekebur sekali ... ah, kau mau tahu? Aku merasa
kasihan kepada anak muda itu. Ia berbakat baik ... ”
Dan pada sore hari itu, pada saat Thio Sui Kiat sedang duduk termenung memikirkan
Kong Lee, tiba-tiba pelayannya memberitahukan bahwa di luar ada seorang tamu
wanita. Thio Sui Kiat segera keluar dengan heran karena menduga bahwa tamu
wanita itu katanya minta bertemu dengan dia!
Wanita siapakah yang hendak bertemu dengan dia? Sungguh hari ini banyak terjadi
hal-hal yang mengherankan!
Ketika ia keluar, ia berhadapan dengan seorang wanita setengah tua yang cantik dan
gagah. Dari pakaiannya yang ringkas ia maklum bahwa wanita ini tentu seorang ahli
silat, maka ia segera mengangkat kedua tangan memberi hormat yang dibalas
sepantasnya pula oleh nyonya itu.
“Siapakah Li-enghiong dan ada keperluan apa?” tanyanya.
“Thio-taihiap, lupakah kau kepadaku? Aku adalah Kwee Cin Hwa, janda dari Lim
Ek!”
Terkejutlah Thio Sui Kiat mendengar bahwa ia berhadapan dengan ibu anak muda
yang siang tadi mengunjunginya. Apakah artinya ini semua?
Koleksi Kang Zusi
“Lim-toanio, apakah kau juga berpemandangan singkat seperti anakmu?” tanyanya
kemudian.
Muka nyonya itu tampak berubah terang.
“Ah, jadi benar-benar Kong Lee datang ke sini? Thio-taihiap, di manakah anakku?”
Melihat bahwa kedatangan nyonya itu hanya untuk mencari anaknya, Thio Sui Kiat
menjadi sabar kembali dan ia persilakan nyonya itu masuk ke dalam. Thio Sui Kiat
lalu memanggil isterinya dan memperkenalkan Nyonya Lim Ek sebagai ibu Kong
Lee, karena tadi ia telah berbicara dengan isterinya perihal pemuda itu. Nyonya Thio
yang peramah dan terpelajar itu menarik hati Nyonya Lim.
Kemudian, setelah Thio Eng mengeluarkan air teh yang dibawa oleh seorang pelayan,
Thio Sui Kiat lalu menceritakan tentang kedatangan Kong Lee. Ia ceritakan pula
bahwa ia tadinya hendak mengambil anak itu sebgai muridnya, tapi agaknya anak
muda yang keras hati itu tidak suka menjadi muridnya.
“Aku merasa menyesal sekali, Lim-toanio, bahwa anakmu itu agaknya menaruh
dendam dan ingin sekali mengalahkan aku. Ia berjanji hendak kembali dan mengajak
pibu lagi setelah ia belajar lagi beberapa tahun! Hal ini sungguh-sungguh membuat
aku merasa menyesal sekali!”
Nyonya Lim menghela napas.
“Saya sendiripun tidak tahu akan kepergiannya ke sini, karena ia pergi tanpa pamit.
Aah, memang anak itu berhati keras seperti ayahnya ... akan tetapi, saya merasa
bersukur sekali bahwa Thio-taihiap sudi memberi pelajaran kepadanya dan suka
memaafkan kekurang ajarannya.”
Melihat bahwa nyonya ini tidak menaruh dendam kepadanya, hati Thio Sui Kiat
merasa terharu sekali dan juga girang karena ia menganggap wanita ini berhati
bijaksana. Ia lalu memberi isyarat dengan mata kepada isterinya, dan isterinyapun
mengerti akan tanda ini, karena tadi ia telah bicara banyak sekali tentang diri Kong
Lee dengan suaminya. Biarpun ia sendiri belum melihat anak muda itu, tapi ia
percaya kepada suaminya yang memuji-muji Kong Lee.
“Cici yang baik,” katanya kepada Nyonya Lim. “Berapa tahunkah usia puteramu itu?”
Karena menyangka ahwa pertanyaan ini bersifat biasa saja sebagai percakapan antara
nyonya rumah dan tamunya, ia menjawab bahwa anaknya itu berusia tiga belas tahun.
“Apakah anakmu itu sudah kau tunangkan dengan nona lain?” tanyanya.
Mendengar pertanyaan ini, barulah Kwee Cin Hwa merasa terkejut dan memandang
dengan heran sambil menggelengkan kepala.
“Jangan terkejut, cici. Ketahuilah, suamiku dan aku merasa suka sekali kepada
puteramu itu, dan karena kamipun hanya mempunyai seorang puteri yang telah
berusia dua belas tahun dan belum ditunangkan, maka kami telah mendapat pikiran
untuk menjodohkan anak kami yang bodoh itu dengan putera cici. Bagaimanakah
pendapatmu, cici?”
Untuk beberapa lama Kwee Cin Hwa tak dapat menjawab. Hal ini sungguh-sungguh
sama sekali tak pernah disangkanya!
Kalau dulu ia merasa benci melihat kesombongan Thio Sui Kiat, sekarang ia melihat
betapa orang she Thio itu sopan santun, ramah dan pada mukanya terbayang sifat-sifat
sabar. Karena keramahan Nyonya Thio ini, hatinya telah dapat ditundukkan dan
merasa suka sekali. Tadipun ia telah melihat Thio Eng yang selain cantik, juga
bersikap sopan dan sekali pandang saja ia maklum bahwa gadis itu tentu memiliki
kepandaian silat yang tinggi. Kini orang yang dulu menghina suaminya, orang yang
memiliki kepandaian tinggi, hartawan dan mempunyai sebuah gedung dengan
perabotnya serba indah ini, hendak mengambil anaknya sebagai menantu?
Benar-benar Nyonya Lim tak dapat menjawab karena hatinya berdebar-debar dan
Koleksi Kang Zusi
tidak tahu bagaimana harus menjawab! Ia adalah seorang miskin dan seorang janda
pula, sedangkan keluarga Thio begini kayanya!
Tiba-tiba nyonya ini teringat akan suaminya dan tak tertahankan pula ia menangis
tersedu-sedu sambil menggunakan kedua tangan nya menutupi mukanya.
Melihat ini, Thio Sui Kiat lalu mengundurkan diri dan membiarkan isterinya
menghibur nyonya yang sedang bersedih itu. Nyonya Thio pun lalu memeluk pundak
tamunya dan membawanya ke kamar di mana Thio-hujin menghibur tamunya dengan
kata-kata halus. Karena hari telah menjadi gelap, maka malam itu Kwee Cin Hwa
bermalam di situ, dijamu dan dilayani oleh tuan dan nyonya rumah dengan hormat
dan ramah sekali sehingga nyonya janda ini merasa berterima kasih dan terharu.
Sebagai jawaban atas usul perjodohan yang diajukan oleh keluarga Thio, Nyonya Lim
Ek berkata, “Budi kalian sungguh besar sekali hingga aku merasa malu untuk
menerimanya. Orang macam apakah anakku itu dan keluarga apakah kami ini hingga
kalian memberi kehormatan sebesar itu dan sudi menerima Kong Lee sebagai
menantu? Ah, bagaimana aku bisa menolak dan tidak menyetujuinya? Puterimu
demikian cantik jelita dan pandai, sedangkan kalian begini manis budi dan hartawan
besar. Akan tetapi, biarpun aku sendiri menyetujui sepenuhnya atas usul kalian ini,
aku harus bertanya dulu kepada puteraku Kong Lee!”
Thio Sui Kiat dan isterinya membenarkan pernyataan ini dan sementara ini, sebelum
mendapat keputusan tetap, maka kedua anak itu akan dianggap calon tunangan dulu
dan sebelum ada keputusan maka kedua pihak takkan mengikat anak masing-masing
dengan tali perjodohan lain.
Dengan membawa kesan yang mendalam akan kebaikan dan keramahan keluarga
Thio, nyonya janda itu pulang ke Bi-ciu dengan hati girang dan ia mengambil
keputusan hendak membujuk Kong Lee supaya suka menerima ikatan jodoh dengan
Thio Eng itu. Akan tetapi, ketika ia tiba di rumah, ternyata Kong Lee tidak ada di situ!
Anak muda itu benar telah pulang, akan tetapi hanya untuk meninggalkan surat yang
menyatakan bahwa ia hendak pergi merantau mencari guru yang pandai sehingga citacita
almarhum ayahnya tercapai, yakni hendak belajar sampai menjadi seorang pandai
yang tidak hanya memiliki kepandaian serba tanggung-tanggung!
Tentu saja Kwee Cin Hwa hanya menghela napas dan berdoa semoga perantauan
anaknya itu takkan memenuhi rintangan sehingga tercapai cita-citanya.
-***-
Dengan membawa perbekalan tipis tapi dengan semangat dan ketabahan besar sekali,
Kong Lee mulai dengan perantauannya. Banyak tempat dikunjungi dalam
perantauannya yang tidak mempunyai tujuan tertentu ini, dan setiap kali masuk ke
dalam sebuah kota, tentu ia mencari guru silat terpandai di kota itu. Lalu ia sengaja
mengajak pibu!
Ia hendak mencari seorang guru silat yang dapat merobohkannya dalam pertempuran
kurang dari tiga jurus!
Karena dalam pikirannya, jika ada seorang guru silat yang mampu mengalahkannya
dalam pertandingan kurang dari tiga jurus, maka berarti bahwa kepandaian guru silat
itu lebih tinggi dari kepandaian Thio Sui Kiat yang baru bisa mengalahkannya setelah
bertanding selama tiga jurus!
Akan tetapi ternyata ia mengalami kekecewaan, karena setiap guru silat yang
ditemuinya, tidak ada yang dapat merobohkannya kurang dari tiga jurus! Ilmu
toyanya telah cukup kuat dan hebat. Telah ada beberapa orang guru silat yang roboh
olehnya!
Koleksi Kang Zusi
Hal ini membuat Kong Lee merasa kecewa sekali dan makin kagumlah ia akan
kepandaian Thio Sui Kiat. Mulai timbul penyesalan dalam hatinya mengapa ia dulu
tidak mau menerima ketika orang she Thio yang hebat itu hendak mengambil ia
sebagai murid.
Beberapa bulan kemudian habislah segala perbekalannya, bahkan untuk dapat mengisi
perutnya, terpaksa ia menjual pakaiannya yang masih baik dan menukarkannya
dengan pakaian yang buruk. Akan tetapi uang hasil penjualan pakaian inipun habis
dimasukkan perut dan kini ia tak memegang uang sedikitpun. Terpaksa ia mencari
pekerjaan ke sana kemari, tapi pada waktu itu, di Tiongkok terdapat ratusan tibu
orang yang bergelandangan tanpa pekerjaan tetap karena sukarnya mencari pekerjaan!
Kong Lee menjadi bingung. Tak disangkanya bahwa untuk mengisi perut saja
demikian susahnya! Terpaksa ia selalu menahan laparnya dan pada saat ia tak kuat
menahan lagi, ia lalu menebalkan muka dan minta belas kasihan orang. Ia menjadi
pengemis!
Namun berkat tenaganya yang besar, dapat juga Kong Lee membantu pekerjaan
orang-orang, pekerjaan berat yang hanya menghasilkan sedikit uang untuk makan.
Akan tetapi, karena memang bukan cita-citanya untuk tinggal di suatu tempat dan
bekerja di situ, ia selalu tidak dapat tinggal lama di sesuatu tempat dan melanjutkan
perantauannya lagi. Dan kebiasaannya untuk mengunjungi jago-jago silat guna
mencari guru masih harus dilanjutkan sehingga lambat laun namanya menjadi
terkenal!
Bukan terkenal karena kehebatannya, akan tetapi terkenal sebagai seorang anak muda
yang aneh dan berani dan yang selalu mengajak pibu kepada setiap orang yang
dianggapnya mengerti ilmu silat! Banyak guru silat yang melihat keuletan dan bakat
baik yang ada pada dirinya, hendak mengambil ia sebagai murid, tapi karena guruguru
silat itu tidak dapat menjatuhkannya kurang dari tiga jurus, Kong Lee hanya
mengucapkan terima kasih dan selalu menolak.
Kemudian ia mendengar bahwa di daerah barat banyak terdapat ahli silat, maka ia
memutuskan untuk melanjutkan perantauannya ke daerah barat.
Pada suatu hari, Kong Lee tiba di kota Kwi-teng, sebuah kota yang besar. Ia
kemudian mencari keterangan tentang siapa saja guru silat di kota itu dan juga orangorang
yang ahli silat. Setelah mendapat keterangan, iapun memutuskan untuk
mengunjungi Tan-kauwsu.
Ketika sampai di depan bu-koan milik Tan-kauwsu, ia dihadang oleh seorang penjaga
pintu yang sombong.
Penjaga pintu itu ketika melihat seorang pengemis muda datang menghampiri bukoan
milik majikannya, memandang rendah kepada orang itu, lalu menghardik si
pengemis itu dan bertanya apa keinginannya berkunjung ke tempat itu.
“Aku ingin bertemu dan mengajak Tan-kauwsu untuk berpibu!” kata si pengemis itu.
“Ha-ha-ha, jembel busuk, kurang ajar kau! Majikanku adalah seorang yang terkenal,
dan orang seperti kau ini mengajak dia pibu? Ha, ha! Dengan penjaga pintunya saja
tak mungkin kau dapat menang.”
Kini Kong Lee menganggap bahwa orang ini keterlaluan dan patut diberi hajaran agar
lain kali jangan berani mengganggu orang lagi.
“Ah, kalau begitu aku berhadapan dengan seorang penjaga pintu yang hebat ilmu
silatnya? Maaf, maaf, aku berlaku kurang hormat!” kata Kong Lee sambil
memandang tubuh orang yang tinggi besar yang agaknya bertenaga besar pula.
Penjaga pintu itu memang pernah belajar silat maka ia sangat girang mendengar
pujian ini, apalagi melihat ada beberapa orang melihat peristiwa ini.
“Maka jangan kau berani main gila di sini dan lekaslah kau pergi sebelum kepalan
Koleksi Kang Zusi
loyamu (tuan besarmu) menghajar kau!” katanya tekebur.
“Aku sudah datang di sini dan memang aku ingin sekali mencoba kepalan tangan
orang. Cobalah kau jatuhkan kepalanmu yang besar itu kepadaku.” Kong Lee
menantang dengan sikap sabar.
Penjaga pintu itu marah sekali.
“Kau agaknya sudah bosan hidup!” kata-kata ini disusul dengan ayunan kepalan
tangannya yang besar, menghantam dada Kong Lee. Anak muda ini dengan tenang
lalu mengerahkan lwee-kangnya dan memusatkan tenaganya di tempat yang
menerima pukulan.
“Dukk!”
Pukulan itu tepat menghantam dada, tapi Kong Lee masih berdiri tetap bagaikan tak
merasakan sesuatu. Sebaliknya penjaga pintu itu meringis-ringis dan mengaduh-aduh
sambil memegangi kepalan tangannya yang sakit. Ternyata kepalan tangannya telah
menjadi merah biru dan bengkak.
Orang-orang yang menonton peristiwa itu tertawa geli dan penjaga pintu itu memakimaki
Kong Lee tanpa berani mencoba untuk menyerang lagi!
Mendengar ramai-ramai itu, dari dalam rumah keluar seo rang setengah tua yang
bertubuh pendek, tapi bersikap gagah. Melihat keadaan tangan pelayannya dan
mendengar ceritanya bahwa anak muda yang berdiri di depannya ini yang
melakukannya, orang itu memandang anak muda itu dengan pandangan mata tajam
dan menyelidik.
“Siapakah kau anak muda dan apa maksudmu datang di sini dan berbuat keributan
ini?” tanyanya.
“Saya bernama Lim Kong Lee dan saya datang hendak bertemu dengan Tan-kauwsu
dan mengajaknya untuk berpibu. Adapun tentang keributan itu, saya tidak bermaksud
membuat keributan, tapi penjaga pintu itu terlalu sombong dan telah menghinaku,
maka aku hanya memberi sedikit pelajaran kepadanya,” kata Kong Lee sambil
memberi hormat.
“Lim Kong Lee, akulah yang bernama Tan-kauwsu dan engkau hendak mengajakku
berpibu bagaimana? Apakah syaratnya?” tanya orang tua itu yang ternyata adalah
Tan-kauwsu sendiri.
“Syaratku hanyalah kalau kauwsu dapat mengalahkan saya kurang dari tiga jurus,
saya bersedia menjadi murid dari kauwsu,” kata Kong Lee.
“Ha-ha, anak muda, kau yang mempunyai syarat seberat itu! Ha, ha, ha! Dan, kalau
aku sampai dapat merobohkanmu sebelum tiga jurus, dan kau hendak berguru
kepadaku, kau dapat membayar berapa?”
“Siauw-te seorang miskin dan tidak kuat membayar dengan uang. Akan tetapi, siauwte
akan melakukan apa saja perintah kauwsu untuk diterima sebagai murid dan siauwte
tunduk terhadap segala macam syarat yang ada, kecuali membayar uang!”
“Ha, ha! Sungguhpun kau aneh, tapi kau jujur dan keras hati, anak muda. Soal syaratsyarat
itu mudah, sekarang coba hendak kulihat sampai di mana kepandaianmu!”
Kong Lee lalu mengikuti guru silat itu menuju ke lian-bu-thia tempat berlatih silat.
Setelah tiba di situ, Tan-kauwsu lalu memasang kuda-kuda dan berkata, “Nah, maju
dan seranglah, anak muda!”
Tapi Kong Lee menggelengkan kepala dan berkata, “Tidak demikian maksudku, Tankauwsu.
Aku tak hendak menyerangmu dengan toyaku ini dan kau boleh
mengusahakan senjata apa saja untuk melayaniku, atau lebih tepat kau seranglah aku
dengan senjata apa saja sedangkan aku hendak membela diri dengan toya ini.”
Kembali Tan Ngo tertawa lebar dan ia lalu mengambil sebuah golok putul yang biasa
dipakai berlatih dari rak senjata.
Koleksi Kang Zusi
“Kalau demikian maksudmu, baiklah. Bersiaplah aku hendak mulai menyerang!”
Dengan hati gembira Kong Lee lalu menggerakkan tongkatnya dan memutarnya
dengan gerakan Bendungan Baja Menahan Banjir untuk melindungi seluruh
tubuhnya. Perlu diketahui bahwa anak muda ini telah berkali-kali menghadapi guruguru
silat yang pandai dan selama perantauannya yang dua tahun lamanya itu ia telah
memperoleh pengalaman banyak dan ilmu silatnya telah banyak mendapat kemajuan
pula, maka kini gerakannya lebih cepat dan kuat sehingga toyanya berputar-putar
menyelimuti tubuhnya dan agaknya memang sukar untuk diserang. Kalau orang
memercikkan air ke arah pemuda itu, maka sedikitpun takkan dapat membasahi
tubuhnya karena tertahan oleh putaran toya yang telah merupakan dinding baja yang
kuat!
Melihat permainan toya anak muda itu, Tan Ngo menjadi terkejut sekali karena tak
disangkanya bahwa anak muda jembel ini telah memilki kepandaian sehebat itu. Ia
maklum bahwa tidak mungkin baginya untuk dapat mengalahkan anak muda itu
hanya dalam tiga jurus saja. Akan tetapi karena merasa telah berjanji, terpaksa Tan
Ngo mulai menyerang dengan hebat, mengeluarkan ilmu goloknya yang hebat.
Pertama-tama ia menyerang dengan gerak tipu Hong-sauw Pai=yap atau Angin Sapu
Daun Rontok. Ketika goloknya terpukul kembali oleh toya Kong Lee, guru silat itu
lalu menyerang untuk kedua kalinya dengan tipu Hong-cui Pai-hio atau Angin Tiup
Daun Tua. Akan tetapi, kembali goloknya tak dapat menembus bentang baja yang
melindungi tubuh Kong Lee. Tan Ngo mulai merasa panas dan ia lalu mengeluarkan
ilmu golok Lo-han-to dari cabang Siauw-lim. Ilmu golok ini memang hebat akan
tetapi sampai sepuluh jurus lebih belum juga ia dapat menembus pertahanan Kong
Lee!
“Sudahlah, kauwsu, sudahlah ... ” kata Kong Lee dengan kecewa, karena seperti guruguru
silat yang lain, Tan Ngo inipun tidak mampu menjatuhkannya dalam tiga jurus!
Tapi Tan Ngo yang merasa panas sekali, terus saja menyerang sehingga terpaksa
Kong Lee melayaninya dengan sepenuh tenaga. Setelah mereka bertempur sampai
lima puluh jurus barulah Tan Ngo berhasil membabat lengan Kong Lee dengan golok
tumpulnya sehingga anak muda itu merasa kesakitan dan terpaksa ia melepaskan
tongkatnya. Kong Lee menggosok-gosok lengannya yang terpukul golok dan kulit
lengannya menjadi matang biru hingga ia meringis-ringis kesakitan. Kalau golok itu
tajam, tentu sebelah lengannya telah putus!
“Tan-kauwsu, mengapa kau menyerang terus?” tanya Kong Lee sambil menggosokgosok
lengannya.
Tan Ngo menghela napas.
“Anak muda, terus terang saja kukatakan bahwa ilmu toyamu sudah cukup hebat. Kau
mencari orang yang dalam tiga jurus dapat mengalahkan ilmu toyamu itu, kukira
biarpun kau menjelajahi seluruh negeri, kau tak mungkin akan menemukan orang
itu!”
Kong Lee memungut toyanyaa lalu berkata, “Kau tidak tahu, Tan-kauwsu. Ada orang
yang dengan mudah sekali dapat mengalahkan ilmu toyaku ini dalam tiga jurus!”
kemudian ia menjura dan menyeret tongkatnya keluar dari tempat itu.
Biarpun lengan tangannya masih terasa sakit sekali, namun Kong Lee terus saja
mencari guru silat kedua yang bernama Oei Sin. Juga guru silat ini tidak dapat
mengalahkannya dalam tiga jurus, bahkan setelah bertempur seratus jurus, belum juga
Oei Sin dapat merobohkannya. Maka dengan jengkel sekali Kong Lee meloncat
mundur dan pergi dari situ. Kalau saja lengan tangannya tidak kena pukul oleh Tan
Ngo tadi, agaknya ia bahkan akan dapat merobohkan Oei Sin!
Hatinya jengkel dan kecewa sekali karena di dalam kota sebesar Kwi-teng ini hanya
Koleksi Kang Zusi
ada guru-guru silat serendah itu. Pengharapannya kini tinggal pada orang ketiga yang
dianggap gagah perkasa di kota itu, yakni Gan-piauwsu. Ketika Kong Lee tiba di
rumah piauwsu itu, kebetulan Gan-piauwsu berada di rumah dan tidak sedang
mengantar barang kiriman. Ia lalu dipersilakan masuk dan ketika Gan-piauwsu
mendengar bahwa anak muda ini hendak mengajak pibu, ia lalu mengajak Kong Lee
masuk ke dalam kebun bunganya di belakang rumah yang cukup luas dan dikelilingi
pagar tembok.
Gan-piauwsu adalah seorang yang telah berusia hampir lima puluh tahun, tapi
tubuhnya masih tegap dan kuat dan sikapnya peramah. Ternyata piauwsu ini sudah
mempunyai banyak sekali pengalaman karena sudah dua puluh tahun menjalankan
pekerjaan mengantar kiriman barang-barang berharga, ia telah mengalami banyak
sekali pertempuran dan bentrokan-bentrokan dengan para penjahat yang hendak
merampas barang-barang berharga yang berada di bawah tanggung jawabnya itu.
“Anak muda, hatimu keras sekali,” katanya ketika mendengar penuturan Kong Lee
betapa telah dua tahun lebih ia berkelana mencari guru. “Kalau sampai selama itu
belum ada orang yang mampu menjatuhkanmu dalam tiga jurus, maka tentu
kepandaianmu sudah lumayan juga. Aku sendiri tidak mempunyai murid, dan
agaknya akan senang hatimu kalau aku dapat merobohkanmu dalam tiga jurus, karena
kau selain akan menjadi murid, juga dapat kuharapkan menjadi pembantuku yang
kuat!”
Memang dengan pandang matanya yang tajam, Gan Sin Hap ini telah maklum bahwa
anak muda di hadapannya mempunyai bakat yang baik sekali serta memiliki semangat
yang besar. Oleh karena merasa suka kepada pemuda ini, maka sebelum mereka
mengukur kepandaian, Gan-piauwsu memerintahkan pelayannya untuk menjamu
makan kepada Kong Lee, hingga anak muda ini merasa berterima kasih sekali kepada
piauwsu yang baik hati ini.
Hari telah sore ketika mereka berdua memasuki taman untuk mulai mencoba ilmu
kepandaian, Gan-piauwsu memegang sebatang toya kuningan untuk melayani tongkat
Kong Lee.
“Nah, hati-hatilah, anak muda, aku hendak mulai menyerang dengan jurus pertama,”
katanya.
Kong Lee telah siap sedia dan ia mainkan toyanya dengan cepat. Seperti guru-guru
silat yang pernah didatangi Kong Lee, Gan-piauwsu kagum melihat permainan toya
anak muda itu dan merasa bahwa iapun tak sanggup menjatuhkan dalam tiga jurus.
Demikianlah, tiga jurus telah dimainkan dan Kong Lee hanya merasa tiga kali
gempuran yang menyebabkan kedua tangannya merasa gemetar karena kerasnya
sambaran toya orang tua itu, akan tetapi belum cukup untuk menjatuhkannya. Pada
jurus kelima, Gan-piauwsu melompat mundur dan menyimpan toyanya.
“Anak muda, ilmu toyamu sudah cukup baik, hanya perlu diperdalam dengan latihanlatihan
saja. Kalau kau suka, aku akan merasa girang sekali memberi petunjukpetunjuk
padamu dan kau boleh bekerja di sini, mewakili aku mengantar barangbarang
pada jarak dekat.”
“Terima kasih banyak atas budi kebaikanmu, Lo-enghiong,” kata Kong Lee. “Tapi
bukan itu cita-citaku.”
Pada saat anak muda itu hendak mengundurkan diri dan pergi, tiba-tiba dari atas pagar
tembok terdengar bentakan nyaring dan halus, “Orang she Gan! Akhirnya aku dapat
menemukan kau!”
Bentakan itu disusul dengan melayangnya bayangan seorang gadis berpakaian hijau
dari atas tembok dengan gerakan yang ringan dan gesit sekali. gadis baju hijau itu
memegang sebatang pedang di tangannya dan sekali lompat saja ia telah tiba di depan
Koleksi Kang Zusi
Gan-piauwsu dan Kong Lee. Gadis itu cantik sekali dan matanya menyatakan bahwa
ia sangat cerdik, tapi sinar matanya itu membayangkan kegenitan. Ia mengerling
sekilas kepada Kong Lee dan mulutnya terenyum manis. Kemudian ia menghadapi
Gan-piawsu dan bertolak pinggang dengan sikap menantang.
Melihat gerakan-gerakan ini, Gan-piauwsu maklum bahwa ia berhadapan dengan
seorang yang berkepandaian tinggi, maka ia lalu memberi hormat dan bertanya,
“Harap aku orang tua dimaafkan karena tidak mengenal Li-enghiong yang telah sudi
mengunjungi tempatku yang buruk ini.”
“Gan Sin Hap, mana kau kenal aku? Kalau kau kenal aku, tentu ketika lewat di bukit
Kim-ke-san kau takkan lewat begitu saja, bahkan telah melukai beberapa orang dari
anak buah suhengku.”
Terkejutlah Gan Sin Hap mendengar ini. Pada beberapa bulan yang lalu, ia memang
mengantar barang kiriman berharga melewati gunung Kim-ke-san dan di situ ia telah
diserang oleh beberapa orang perampok yang dapat dipukulnya mundur. Akan tetapi,
ketika ia telah turun dari bukit itu, ia mendengar dari seorang kenalan bahwa tai-ong
(raja perampok) dari bukit itu adalah Pauw Kian yang berjuluk Iblis Tangan Hitam,
seorang perampok yang amat terkenal dan ditakuti orang karena selain berkepandaian
tinggi, juga berhati kejam. Ia merasa menyesal sekali karena daripada bermusuhan
dengan orang ini, jauh lebih baik kalau sebelum lewat di situ, ia mengunjunginya
terlebih dahulu sebagai kunjungan kehormatan dan mengirim bingkisan untuk belajar
kenal. Kini sudah terlambat dan bentrokan telah terjadi, maka apa boleh buat, ia hanya
menanti dengan waspada dan hati-hati.
Ternyata kini yang datang adalah sumoi dari Iblis Tangan Hitam itu dan iapun sudah
mendengar akan kehebatan Kim-gan-eng atau Garuda Bermata Emas, yakni julukan
gadis baju hijau ini yang bernama Coa Kim Nio.
Akan tetapi piauwsu tua itu dapat menenangkan hatinya dan ia berkata, “Ah, kiranya
Coa-lihiap yang datang. Maaf bahwa aku orang tua tidak mengetahui lebih dulu dan
tidak siang-siang mengadakan penyambutan sebagaimana layaknya.”
“Orang she Gan! Janganlah banyak menggunakan kata-kata halus untuk
menenangkan keadaan. Tahukah kau akan dosa-dosamu?” gadis cantik itu membentak
sambil menuding dengan pedangnya.
Melihat kegalakan gadis itu, diam-diam di dalam hati Kong Lee timbul niat hendak
membantu tuan rumah yang peramah, karena ia tidak suka akan sikap gadis itu,
walaupun kecantikannya memang mengagumkannya.
“Coa-lihiap, kau tentu maksudkan peristiwa perampokan di bukit Kim-ke-san itu,
bukan? Harap dimaafkan karena sesungguhnya pada waktu itu aku sama sekali tidak
menyangka bahwa yang menjadi pemimpin adalah suhengmu yang gagah perkasa.
Dan anak buah suhengmu itu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk mencegah
terjadinya pertempuran. Akan tetapi, aku orang tua memang tidak suka menanam
permusuhan. Kalau saja kau dan suhengmu dapat memberi maaf, aku Gan Sin Hap
bersedia menganti kerugian yang diderita oleh anak buah suhengmu itu!”
“Enak saja kau bicara! Setelah kau menghina kami, apakah kami mau melepaskan kau
begitu saja? Sampai di manakah kepandaianmu maka kau berani berlagak? Ambil
senjatamu kalau kau memang seorang ksatria, jangan hanya berani berlagak di depan
anak buah kami yang tak berkepandaian!”
Kong Lee tak dapat menahan kesabarannya lagi, sambil memutar tongkatnya ia maju
menyerang sambil membentak, “Dari mana datangnya perempuan hutan yang kurang
ajar?”
Dengan gerak tipu Harimau Lapar Menerkam Kambing ia hantamkan tongkatnya ke
arah leher nona itu, tapi dengan mudah saja gadis baju hijau itu mengelak sambil
Koleksi Kang Zusi
membentak dengan suaranya yang merdu, “Eh, eh, orang she Gan! Apakah pengemis
busuk ini muridmu?” lalu ia balas menyerang yang juga dapat ditangkis oleh toya
Kong Lee.
Akan tetapi, alangkah terkejutnya anak muda itu ketika sebelum toyanya dapat
membentur pedang nona itu, tiba-tiba ujung pedang berkelebat dengan sebuah putaran
yang tak terduga sekali hingga tahu-tahu ujung pedang itu telah mengarah pundaknya.
Sebelum hilang kagetnya, nona itu memiringkan pedangnya hingga ujung pedang
hingga tidak menembus kulit dada Kong Lee tapi hanya menyambar bajunya dan
dengan suara “brett!” pakaiannya telah terobek oleh ujung pedang sehingga
nampaklah dadanya yang bidang!
Dan sebelum Kong Lee dapat bergerak lebih jauh tahu-tahu Kim-gan-eng Si Garuda
Bermata Emas itu telah melompat maju dan tangan kirinya yang berkulit halus
menepuk pundak Kong Lee yang telanjang. Seketika itu juga Kong Lee merasa
seluruh tubuhnya lemas dan pandangan matanya berkunang-kunang lalu roboh tak
sadarkan diri!
Ketika tak lama kemudian Kong Lee siuman kembali, ia teringat bahwa dalam dua
jurus saja nona baju hijau itu telah merobohkannya!
Inilah orang yang dicari-carinya selama ini!
Nona baju hijau ini lebih ulung dan hebat daripada Thio Sui Kiat. Ia cepat bangun dan
berpaling. Ternyata nona baju hijau yang hebat itu tengah berkelahi dengan Ganpiauwsu
dan orang tua itu tampak terdesak sekali. Pada suatu saat, pedang di tangan
nona itu berkelebat cepat sekali dan Gan Sin Hap sambil berteriak kesakitan
melepaskan toyanya dan meloncat mundur. Tangan kanannya berdarah dan lengan itu
telah terluka memanjang sehingga darah mengalir keluar banyak sekali!
“Ha, ha, hanya demikian saja kepandaianmu, orang she Gan. Nah, pelajaran ini harap
kau buat sebagai tanda peringatan agar lain kali kau tidak menghina orang lain pula!”
setelah berkata demikian, nona baju hijau itu meloncat ke atas tembok.
“Coa-lihiap, terima kasih atas kemurahan hatimu!” teriak Gan Sin Hap, tapi nona itu
tidak menjawab, dan terus melompat menghilang.
Kong Lee cepat lari mengejar dan melompati tembok itu.
“Li-hiap, tunggu ... ! Nona, tunggu sebentar ... !”
Kim-gan-eng Coa kIm Nio menahan kakinya dan menengok, Kong Lee lalu
menjatuhkan diri berlutut di depan nona itu dan berkata memohon, “Li-hiap yang
perkasa! Mohon kau sudi menerima aku sebagai murid!”
Nona baju hijau itu memandangnya dengan mata terbelalak heran lalu ia tampak
marah.
“Hai, anak muda, jangan kau berlaku kurang ajar!” lagaknya seperti orang tua saja
yang sedang memarahi seorang anak kecil.
“Li-hiap, aku tidak main-main. Dengan sungguh hati aku mohon diterima menjadi
murid. Apapun yang li-hiap perintahkan tentu akan saya lakukan asal saya boleh
belajar silat kepadamu.”
Tadinya Coa Kim Nio menduga bahwa anak muda itu hendak berlaku kurang ajar
karena melihat kecantikannya, tapi melihat bahwa Kong Lee bersungguh-sungguh,
tiba-tiba ia tertawa dan berkata, “Kau hendak menjadi muridku? Cih! Tak tahu diri,
mukamu kotor dan pakaianmu menjijikkan. Siapa sudi berkenalan dengan kau?”
Setelah berkata demikian, Kim Nio menggerakkan tubuh melompat pergi dan
gerakannya demikian cepat sehingga Kong Lee tak dapat mengejarnya, dan hanya
berdiri melongo dengan hati kecewa. Baru sekarang, setelah lebih dari dua tahun
merantau, ia bertemu dengan sorang yang dapat merobohkannya dalam dua jurus saja,
tapi ia tidak diterima menjadi murid, bahkan dihina!
Koleksi Kang Zusi
Ia lalu teringat kepada Gan-piauwsu yang terluka, maka ia cepat kembali dan
melompat pagar tembok itu. Di situ ia melihat Gan-piauwsu sedang membalut
lengannya dengan sobekan pakaiannya.
“Bagaimana lukamu, Lo-enghiong?” tanya Kong Lee.
Orang tua itu tersenyum.
“Memang hebat sekali Kim-gan-eng Coa Kim Nio. Untung sekali ia berlaku murah
hati, kalau tidak, sedikitnya lenganku ini tentu telah terpotong oleh pedangnya. Ia
sengaja memiringkan pedang sehingga aku hanya mendapat guratan dan terluka di
kulit saja. Kalau Hek-ciu-mo Si Iblis Tangan Hitam yang datang sendiri, belum tentu
aku dapat terlepas dari bahaya maut, karena suhengnya itu sangat kejam!”
“Apakah suhengnya memiliki kepandaian silat yang lebih hebat dari nona tadi?” tanya
Kong Lee dengan kagum.
Gan Sin Hap menghela napas.
“Pada waktu ini banyak sekali terdapat orang-orang hebat, akan teatpi agaknya sukar
mencari tandingan kedua orang itu!”
Dengan hati tetap kecewa karena tidak bisa mengangkat guru kepada nona yang ulung
itu, Kong Lee lalu mengambil keputusan nekad. Ia hendak mencari Hek-ciu-mo Pauw
Kian untuk mengangkat guru kepada Iblis Tangan Hitam itu. Maka ia lalu berpamit
dan menuju ke bukit Kim-ke-san.
Ketika ia tiba di dusun kecil di kaki bukit Kim-ke-san, ia berhenti mengaso di sebuah
kuil rusak. Di situ terdapat beberapa orang pengemis sedang beristirahat. Tubuh
mereka kurus kering dan keadaan mereka sungguh menyedihkan. Akan tetapi yang
mengherankan hati Kong Lee, seorang di antara mereka yang tertua dan paling kurus
tubuhnya sehingga tulang-tulangnya yang menjenguk keluar dari lubang di bajunya
tampak nyata sekali, sedang bernyanyi dengan suara parau dan wajah berseri-seri!
Pengemis-pengemis lain mengelilinginya dengan wajah gembira, agaknya mereka ini
terhibur oleh suara nyanyian yang sama sekali tak dapat dikatakan merdu itu.
Kong Lee tidak memperhatikan mereka karena tubuhnya lelah sekali dan selain
perutnya terasa lapar, ia juga mengantuk sekali karena semalam tadi ia sama sekali
tidak dapat tidur memikirkan nasibnya!
Ia lalu duduk menyandarkan diri pada dinding kuil yang sudah bobrok agak jauh dari
para pengemis yang sedang bersukaria itu. Teringatlah ia kepada ibunya dan tak
terasa pula naik sedu sedan dari dadanya karena ia merasa bersedih. Telah dua tahun
lebih ia pergi merantau meninggalkan ibunya yang sudah janda untuk memenuhi citacita
ayahnya agar ia belajar dan menjadi orang pandai, tapi apa jadinya dengan dia?
Sebagai seorang pengemis terlantar! Apakah ia selamanya akan begini saja? Ia telah
bersumpah bahwa kalau ia belum dapat belajar silat hingga kepandaiannya melebihi
kepandaian Thio Sui Kiat, ia takkan mau kembali ke kotanya.
Ketika dua matanya telah ia pejamkan dan hampir saja ia tertidur, tiba-tiba ia
mendengar suara hiruk-pikuk. Cepat ia membuka mata, ternyata kuil yang bobrok dan
tua itu mengalami keruntuhannya dan pada saat itu sebuah tiang besar yang melintang
di atas para pengemis itu telah patah karena ujungnya yang menyambung kepada
tiang besar telah habis dimakan bubuk! Balok besar yang berat itu jatuh menimpa ke
arah sekumpulan pengemis tadi!
Kong Lee terkejut sekali, tapi ia tak berdaya menolong, maka ia hanya memandang
dengan hati penuh kengerian. Ia dapat membayangkan betapa tubuh-tubuh orang
pengemis itu pasti akan hancur tertimpa balok. Tapi pada saat itu terjadi keanehan
yang luar biasa. Pengemis tua renta yang kurus kering bagaikan kerangka itu dan yang
tadi bernyanyi sambil memukul-mukulkan sebatang tongkat bambu ke atas lantai
untuk memberi irama kepada lagunya, dengan tenang sekali mengangkat tongkat
Koleksi Kang Zusi
bambunya. Dengan ujung tongkat bambu ini pengemis itu menahan jatuhnya balik
besar, lalu ia putar-putar tongkatnya hingga balik itupun ikut terputar-putar.
Kemudian dengan sekali menggerakkan tangan yang memegang tongkat, balok besar
itu terlempar jauh ke depan kuil mengeluarkan suara keras sekali!
Semua pengemis bersorak girang dan berkata, “Bagus, bagus!” mereka menganggap
itu sebuah permainan yang bagus sekali.
Akan tetapi Kong Lee yang bermata tajam dapat melihat betapa hebat tenaga dan ilmu
kepandaian pengemis tua itu, maka ia maklum bahwa pengemis ini tentulah seorang
yang berkepandaian tinggi. Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu berdiri dan menghampiri
pengemis tadi. Akan tetapi, pengemis tua itu sudah bernyanyi lagi seakan-akan tak
pernah terjadi sesuatu dan sama sekali tidak mempedulikan kedatangan Kong Lee!
“Orang tua yang gagah, aku orang muda mengharap dengan sangat sukalah kiranya
kau memberi sedikit petunjuk tentang ilmu tongkat!” kata Kong Lee sambil menjura.
Tapi pengemis itu tidak mempedulikan hingga ia ditegur oleh pengemis-pengemis
lain yang mengatakan bahwa ada seorang muda mengajak ia bicara.
“Ah, dia adalah seorang pemuda yang sesat, yang hendak berguru kepada seorang
perampok jahat, untuk apa kita berkenalan dengan dia?” pengemis tua itu berkata
tanpa memandang kepada Kong Lee.
Terkejutlah anak muda itu mendengar ucapan ini. Bagaimana orang tua aneh bisa
mengetahui maksudnya mencari Iblis Tangan Hitam untuk berguru? Akan tetapi,
mendengar ucapan pengemis tua yang terus terang mencela dan menghinanya itu,
timbul juga rasa ingin tahu di hatinya. Ia minta dengan baik-baik untuk menjadi
murid, tapi jembel tua itu bahkan menghinanya.
Lagipula, apakah pengemis jembel ini akan dapat merobohkannya dalam tiga jurus?
Kong Lee berdiri dan berkata, “Orang tua yang perkasa, kau memaki aku sebagai
seorang sesat, apakah kau dapat merobohkan aku dalam tiga jurus?”
Pengemis itu tertawa, “Apa susahnya merobohkan orang seperti kau? Untuk
merobohkan orang yang keras kepala, sejurus saja sudah cukup!”
Hati Kong Lee merasa panas karena ia anggap pengemis tua yang bertubuh kurus
kering itu terlalu sombong.
“Berdirilah dan coba jatuhkan aku dalam satu jurus saja,” tantangnya sambil
memutar-mutar toyanya.
Tapi jembel tua itu masih saja duduk di atas lantai sambil tersenyum menghina.
Pengemis-pengemis lain melihat betapa Kong Lee memutar-mutar toyanya dengan
gerakan yang kuat dan cepat sekali, hingga mereka menjadi kagum dan berkata
kepada jembel tua itu.
“Awas, Lo-kai (pengemis tua), anak muda ini hebat sekali!”
Akan tetapi kini pengemis tua itu tertawa bergelak-gelak, kemudian dengan tiba-tiba
sekali tubuhnya yang kurus melompat ke arah Kong Lee yang masih memutar-mutar
toyanya. Sekali ia gerakkan tongkat bambunya, maka terdengar suara benturan keras
dan toya Kong Lee terlempar jatuh!
Entah apakah yang telah terjadi. Kong Lee hanya merasa betapa toyanya terbentur
dengan tenaga yang luar biasa sekali hingga ia tak kuasa memegangnya lagi. Benar
saja, dalam satu jurus saja toyanya telah terlempar!
Kini Kong Lee tidak ragu-ragu lagi. Ia lalu maju dan berlutut di depan pengemis itu
sambil berkata dengan mengangguk-anggukkan kepalanya, “Suhu yang mulia,
ampunkan teecu yang berani kurang ajar!”
Pengemis tua itu terbahak-bahak, “Eh, anak bengal. Kapan aku telah ambil kau
sebagai murid?”
Namun Kong Lee berkeras berlutut sambil menyebut-nyebut suhu, sehingga pengemis
Koleksi Kang Zusi
tua itu yang sebenarnya memang suka kepada Kong Lee dan telah tahu akan keadaan
dan riwayat pemuda itu, akhirnya berkata dengan suara tetap.
“Kau ingin menjadi muridku? Baik! Tapi di sini di kelenteng ini dan disaksikan oleh
enam orang kawan-kawanku para pengemis ini, kau harus bersumpah. Ingat, kau tidak
boleh main-main di depan Liong-san Lo-kai (Pengemis Tua dari Liong-san), karena
sekali saja kau melanggar sumpahmu, jangan menyesal aku akan mencari dan
menghukummu!”
Bukan main girang dan terkejut hati Kong Lee mendengar bahwa gurunya ini adalah
Liong-san Lo-kai, seorang tokoh persilatan yang termasuk golongan tua dan sangat
dihormati orang karena kepandaiannya yang luar biasa. Ia lalu berlutut di depan meja
sembahyang yang bobrok dan bersumpah seperti yang diajarkan suhunya, yakni, 1.
Selama belajar ia harus menurut kata gurunya dan sedikitpun tidak boleh membantah.
2. Sebelum disuruh oleh gurunya, ia tidak boleh meninggalkan tempat di mana ia
belajar silat. 3. Setelah turun gunung, ia harus menggunakan kepandaiannya untuk
berbuat kebajikan dalam menolong sesama hidup. 4. Ia dilarang menggunakan
kepandaiannya untuk membunuh orang, betapa jahatpun orang itu.
Setelah bersumpah, Kong Lee lalu diajak pergi oleh suhunya berjalan kaki menuju ke
bukit Liong-san. Di sepanjang jalan, gurunya ini tak pernah mengajak bicara
dengannya kecuali di waktu suhunya ini merasa lapar. Liong-san Lo-kai minta
kepadanya untuk mengemis makanan, atau bahkan mencuri makanan!
Karena biarpun ia seorang pengemis jembel, namun Liong-san Lo-kai bukan seperti
pengemis biasa dan ia teliti sekali dalam memilih makanan. Jangan kata makanan sisa
orang, bahkan makanan yang sederhana saja ia tidak sudi makan! Caranya Liong-san
Lo-kai mengemis makanan dengan minta masakan tertentu yang diingininya.
Pengurus-pengurus rumah makan yang dapat menduga bahwa mereka berhadapan
dengan orang pandai tentu memberinya dan tidak akan ada perkara apa-apa lagi. Tapi
para pengurus rumah makan yang tidak tahu, tentu saja menjadi marah dan
mengusirnya. Kalau diusir Liong-san Lo-kai akan pergi dengan tak banyak cakap, tapi
tak lama kemudian tentu rumah makan itu akan kehilangan masakan yang diingininya
tadi dengan cara yang aneh sekali!
Karena tidak tampak ada orang yang mencuri, tapi makanan itu lenyap begitu saja!
Kini setelah berjalan bersama Kong Lee, Liong-san Lo-kai selalu menyuruh muridnya
ini yang mengemis makanan atau bahkan mencurinya. Tentu saja Kong Lee merasa
heran sekali, akan tetapi ia tidak berani membantah dan melakukan perintah suhunya
dengan patuh.
Karena tidak kuasa menahan keinginan hati hendak mengetahui pikiran suhunya
mengenai hal ini, pernah ia bertanya, “Suhu, mengapa kita harus mencuri makanan?
Bukankah kata orang-orang tua mencuri adalah pekerjaan yang tidak baik?”
Liong-san Lo-kai tertawa geli, lalu menjawab, “Memang, memang tidak baik untuk
menjadi pencuri. Tapi kita bukan pencuri! Orang yang mengambil makanan untuk
mengisi perutnya yang kosong, bukanlah pencuri namanya. Pencuri adalah mereka
yang mengambil barang orang untuk dapat hidup mewah dan senang.”
Di dalam lubuk hatinya, Kong Lee tidak setuju dengan pandangan suhunya ini yang
dianggapnya picik, karena baginya, pencuri tetap pencuri, baik yang dicurinya itu
barang kecil atau besar, berharga mau pun tidak. Akan tetapi karena ia maklum bahwa
gurunya adalah seorang tua yang aneh dan menuntut penghidupan secara luar biasa,
maka ia tak berani banyak cakap. Ia hendak belajar silat, bukan belajar filsafat, juga
tidak hendak belajar mencuri!
Kurang lebih dua bulan kemudian sampailah mereka di kaki gunung Liong-san. Tibatiba
berubahlah sikap suhunya yang tadi seperti tidak bersemangat dan acuh tak acuh
Koleksi Kang Zusi
kepadanya, ketika orang tua itu berkata, “Kong Lee, ayo kau kejar aku naik ke atas
gunung!” setelah berkata demikian, Liong-san Lo-kai lalu lari mendaki bukit itu
dengan tindakan cepat, Kong Lee maklum bahwa suhunya hendak menguji
kepandaiannya, maka ia lalu mengeluarkan gin-kangnya dan menggunakan ilmu lari
cepat Hui-heng-sut yang dulu dipelajarinya dari ibunya.
Akan tetapi, betapa cepatnya ia lari, tetap saja ia tak dapat mengejar pengemis tua
yang kelihatannya hanya berjalan perlahan itu! Liong-san Lo-kai sengaja melalui
jalan yang sukar dan penuh batu-batu karang yang tajam hingga kaki Kong Lee telah
merasa lelah dan sakit sekali. Batu-batu karang telah menembus sepatunya dan
telapak kakinya terluka oleh batu-batu yang runcing itu. Namun, anak muda yag keras
hati itu tidak mau berhenti berlari, dan sedikitpun tidak ada keluhan keluar dari
mulutnya. Semangatnya tetap besar hingga setelah berlari-lari setengah hari,
sampailah ia di puncak bukit itu.
Suhunya telah berdiri di atas sebuah batu karang dengan wajah kemerah-merahan dan
jenggotnya yang putih berkibar-kibar tertiup angin gunung. Sedikitpun orang tua itu
tak nampak lelah. Sebaliknya, Kong Lee ketika tiba di situ, hampir saja tak kuat
berdiri karena lelahnya. Napasnya tersengal-sengal dan ia lalu menjatuhkan diri
berlutut di depan suhunya.
Liong-san Lo-kai lalu mengajak muridnya ke sebuah kuil tua yang berada di puncak
sebelah barat, di mana pengemis tua itu melewatkan waktunya sambil bersamadhi.
Adakalanya sampai bertahun-tahun ia berada di puncak Liong-san dan tidak
meninggalkan tempat itu sebentar pun juga. Tapi adakalanya ia tinggalkan tempat itu
dan merantau sampai bertahun-tahun, dan hidup sebagai seorang pengemis di kotakota
besar. Jika ia berada di puncak bukit itu, ia tak usah kuatir tidak mendapat
makan, karena tanah pegunungan itu subur sekali dan kakek ini telah mengcangkuli
beberapa petak sawah yang ditanami sayur dan lain-lain.
Setelah Kong Lee berada di situ, maka segala pekerjaan harus dilakukan oleh anak
muda itu. Mencari air di lereng gunung, mencangkul dan menebang kayu untuk bahan
bakar dan lain-lain pekerjaan pula. Setiap hari anak muda itu harus mengambil air dari
sebuah pancuran yang berada di lereng gunung, agak jauh dari kuil itu. Dan sampai
setahun lebih Kong Lee tak pernah menerima pelajaran sedikitpun. Jangankan
pelajaran praktek bersilat, teorinya tak pernah dibicarakan oleh suhunya yang aneh
itu.
Akan tetapi, suhunya mengadakan peraturan yang ganjil baginya dalam pekerjaanpekerjaannya.
Pertama kali ketika ia mengambil air dari pancuran di bawah puncak, ia
tidak boleh mempergunakan pikulan biasa, akan tetapi ia diberi pikulan yang terbuat
dari puluhan batang rotan digabung menjadi satu dan diikat kuat-kuat. Dan ia harus
memikul dua kaleng air yang beratnya tidak kurang dari lima puluh kati itu dengan
pikulan istimewa ini. Tentu saja ia harus berlaku hati-hati sekali, karena pikulannya
ini, walaupun sangat kuat dan ulet, namun tetap mempunyai sifat lemas hingga kalau
saja ia berlaku kurang hati-hati maka air di dalam kedua kaleng itu pasti akan habis
tumpah di jalan.
Sedangkan jalan antara kuil sampai ke tempat air terjun itu jauhnya tidak kurang dari
lima li, dan melewati jalan naik turun, juga harus melewati beberapa jurang kecil yang
harus diseberanginya sambil melompat! Selain itu masih juga harus melewati jalan
berbatu-batu yang tajam dan dapat menembus sepatunya.
Pada permulaan kali, sangat sukarlah bagi Kong Lee untuk dapat membawa dua
kaleng air itu sampai ke kuil dengan masih penuh, dan dalam beberapa hari ia hanya
dapat menyelamatkan airnya paling banyak setengah kaleng saja. Padahal keperluan
yang dibutuhkan untuk menyiram tanaman dan untuk keperluan lain tidak kurang dari
Koleksi Kang Zusi
sepuluh kaleng atau lima pikul penuh!
Betapapun sukarnya pekerjaan itu, Kong Lee berlaku sabar dan hati-hati sehingga
dalam beberapa bulan saja ia berhasil membawa air itu dengan jalan agak cepat
dengan selamat sampai di puncak dan air di dalam pikulannya masih penuh tanpa ada
yang tumpah!
Akan tetapi, setelah melihat bahwa anak muda itu dapat membawa air di pikulannya
dengan baik dan tidak ada yang tumpah di jalan, gurunya lalu mencabut sebatang
rotan yang tergabung di dalam pikulan itu!
Dan demikianlah, pada saat Kong Lee berhasil membawa air dengan selamat tanpa
tumpah sedikitpun sampai ke kuil, guru yang aneh ini selalu mencabut sebatang rotan
lagi hingga setahun kemudian, rotan yang berada dalam pikulan Kong Lee hanya
tinggal beberapa belas batang saja!
Namun, berkat keuletan dan ketekunannya, anak muda itu sanggup memikul dua
kaleng air itu dengan pikulannya yang makin mengecil ini dengan selamat, bahkan
kini ia sanggup memikulnya sambil berlari-lari sedang air di dalam kaleng itu tidak
tumpah setetespun!
Selain cara mengambil air yang aneh ini, juga dalam hal membelah kayu, gurunya
mempunyai peraturan yang lebih aneh lagi. Entah untuk apa maka Kong Lee
diperintahkan membelah kayu setiap hati sehingga belahan kayu menjadi bertumpuktumpuk
di belakang kuil. Kayu yang dipilihnya adalah kayu yang terkenal keras dan
ulet, sedangkan kapak yang digunakan adalah kapak tumpul yang sudah tua dan yang
tadinya terletak di dapur kuil hingga mata kapak itu sudah berkarat!
Akan tetapi, ketika Kong Lee hendak mengasah kapak itu, suhunya melarang
sehingga ia terpaksa menggunakan kapak tumpul itu untuk membelah kayu! Mulamula
memang sukar sekali karena dengan sebuah kapak tumpul, sebatang kayu tak
dapat diputuskan dalam tiga puluh kali bacokan! Akan tetapi, lambat laun ia dapat
juga membelah sebatang kayu dengan dua tiga kali bacokan saja, padahal kapaknya
makin hari makin tumpul saja!
Kong Lee bukanlah seorang anak muda yang bodoh. Walaupun mula-mula ia merasa
heran dan tidak mengerti akan peraturan suhunya yang aneh dan yang seakan-akan
sengaja menyiksa dirinya itu, lambat laun ia maklum bahwa pekerjaan-pekerjaan tiap
hari dilakukannya itu, bukanlah semata-mata pekerjaan biasa, akan tetapi adalah
latihan-latihan yang ternyata mendatangkan kemajuan besar pada dirinya.
Pengambilan air dengan menggunakan pikulan rotan itu membuat gin-kangnya maju
pesat dan mengapak kayu dengan kapak tumpul itu mendatangkan tambahan tenaga
yang hebat dan tidak kentara kemajuannya.
Pada suatu hari, setelah ia berada di kuil itu hampir satu setengah tahun lamanya,
Liong-san Lo-kai ikut dengan ia mengambil air. Orang tua itu juga membawa pikulan
dengan dua kaleng kosong untuk mengambil air dan alangkah herannya Kong Lee
ketika melihat bahwa pikulan suhunya hanya terdiri dari sebatang rotan saja!
Ia merasa ragu-ragu apakah sebatang rotan itu akan cukup kuat untuk menahan dua
kaleng air? Sedangkan ia sendiri yang masih menggunakan sepuluh batang rotan pada
pikulannya, harus menggerakkan seluruh tenaga lwee-kangnya untuk dapat memikul
air itu tanpa tumpah di jalan.
Akan tetapi, setelah mereka mengisi air pada kaleng masing-masing, sambil
tersenyum Liong-san Lo-kai berkata, “Muridku, dulu ketika kau pertama kali
mengambil air, pikulanmu terbuat dari empat puluh batang rotan. Sekarang dengan
sepuluh batang rotan saja kau sudah sanggup melakukan pekerjaan ini. Hal ini berarti
bahwa gin-kang dan lwee-kangmu telah bertambah empat kali lipat daripada dulu.
Apa kau kira segala macam pekerjaan yang kaulakukan itu tidak ada gunanya? Ha,
Koleksi Kang Zusi
ha, muridku, kalau demikian halnya, maka aku tentu akan merasa malu menjadi
suhumu!”
Kemudian kedua orang itu memikul air masing-masing dan naik ke puncak, walaupun
Liong-san Lo-kai hanya menggunakan pikulan yang terbuat dari sebatang rotan saja,
namun Kong Lee tidak mampu menyamai kecepatan gurunya yang jauh
mendahuluinya! Hal ini membuat hati anak muda itu makin tunduk dan kagum.
Ketika ia mengapak kayu dengan kapak tuanya yang sudah tua dan tumpul sekali,
dengan sekali ayun saja ia telah dapat membelah sebatang kayu yang besar. Liong-san
Lo-kai tertawa senang melihat kemajuan muridnya. Orang tua ini lalu maju
menghampiri sebatang kayu yang besar dan sekali mengayunkan tangannya yang
dimiringkan, maka kayu itu terbelah menjadi dua!
Kong Lee memandang dengan mata kagum sekali dan ia buru-buru menjatuhkan diri
berlutut di depan gurunya.
“Suhu, teecu mohon petunjukmu lebih jauh,” katanya.
Liong-san Lo-kai mengelus-elus jenggotnya yang panjang. “Muridku, untuk dapat
melakukan apa yang kaulihat tadi, kau harus berlatih ladi dengan rajin. Dan selain itu,
kau harus melatih hawa dan tenaga di dalam tubuhmu dengan jalan bersamadhi dan
mengatur jalan pernapasanmu.”
Kemudian orang tua itu memberi pelajaran kepada muridnya tentang bersamadhi dan
mengatur jalan pernapasan, akan tetapi sama sekali tidak menyebut-nyebut tentang
pelajaran ilmu silat. Biarpun begitu, Kong Lee mendengarkan dengan penuh perhatian
dan semenjak hari itu, ia mempergiat latihan-latihannya yang berupa pekerjaan itu
sambil melatih diri dengan bersamadhi dan mengatur pernapasan!
Setahun telah lewat pula tanpa terasa dan Kong Lee telah berdiam di puncak Liongsan
lebih dari dua tahun bahkan hampir tiga tahun. Akan tetapi kini ia telah dapat
memikul air dengan menggunakan sebatang rotan saja dan dapat membelah kayu
dengan kedua telapak tangannya!
Setelah melihat kemajuan muridnya ini, barulah Liong-san Lo-kai memberi pelajaran
ilmu silat!
Akan tetapi karena Kong Lee telah mempelajari dasar-dasar silat, maka orang tua itu
hanya memberi dua macam ilmu silat saja, yakni ilmu silat tangan kosong yang
disebut Liong-san Kun-hoat, dan ilmu tongkat yang disebut Liong-san Koai-tunghwat
atau Ilmu Tongkat Aneh dari Liong-san! Kalau ilmu silat tangan kosong Liongsan
Kun-hoat sudah aneh dan hebat sekali gerakan-gerakannya, adalah Liong-san
Koai-tung-hwat benar-benar luar biasa! Karena di dalam ilmu tongkat ini terdapat
pukulan dan gerakan mirip dengan gerakan pedang atau toya, hingga boleh dibilang
bahwa ilmu tongkat ini adalah semacam ilmu gabungan dari ketiga macam senjata itu!
Dan karena ilmu ini diciptakan oleh Liong-san Lo-kai sendiri maka hebatnya bukan
main. Ketika mencipta ilmu tongkat ini, Liong-san Lo-kai dengan secara cermat
sekali memasukkan gerakan-gerakan dari semua cabang persilatan hingga dengan
demikian, maka Liong-san Koai-tung-hwat ini dapat memecahkan serangan-serangan
dari ilmu silat terhebat dari cabang-cabang persilatan yang terkenal seperti Siauw-limpai,
Bu-tong-pai dan lain-lain lagi.
Dengan penuh ketekunan, Kong Lee melatih diri sampai dua tahun lagi sehingga ia
telah belajar ilmu silat di atas puncak Liong-san untuk lima tahun lamanya!
Pada suatu hari suhunya memanggilnya, “Kong Lee, muridku. Sekarang telah tiba
waktunya bagimu untuk turun gunung dan mempergunakan ilmu kepandaianmu untuk
kebajikan.”
“Tapi, suhu, kepandaian teecu belum berarti ... ”
“Ha, ha, ha! Muridku, memang seharusnya demikianlah sifat yang kau miliki.
Koleksi Kang Zusi
Sederhana dan merendah. Ingatlah bahwa orang yang bodoh selalu memperlihatkan
dan menyombongkan kebisaannya yang tak lain hanyalah kebodohannya semata. Kau
merasa bahwa kepandaianmu belum berarti? Nah, memang demikianlah adanya.
Kepandaian siapakah yang dapat disebut tinggi dan banyak artinya? Oleh karena itu,
maka dengan kepandaianmu yang tak berarti itu kau jangan sekali-sekali berlaku
sombong dan sewenang-wenang. Tapi betapapun juga, dibandingkan dengan
kepandaianmu sebelum kau datang ke sini dulu kau telah mendapat kemajuan yang
bukan sedikit! Ketahuilah bahwa sebelum aku menerimamu sebagai murid dan
sengaja menunggumu di kuil rusak yang berada di kaki bukit ini, aku telah
menyelidiki keadaanmu dan tahu pula akan riwayatmu. Maka sekarang pulanglah dan
lakukan kewajibanmu sebagai seorang putera terhadap ibunya yang telah janda, juga
sebagai seorang ksatria yang harus selalu mengulurkan tangan menolong sesama
manusia yang ditimpa penderitaan. Tapi jangan sekali-kali melanggar sumpahmu dan
dengan alasan apapun jangan sekali-kali kau membunuh orang!”
Kong Lee berlutut dan menyatakan kesanggupannya untuk mentaati semua nasihat
dan pesan suhunya.
Liong-san Lo-kai lalu mengambil sebuah peti hitam dan membukanya. Kong Lee
tercengang melihat bahwa di dalam peti itu terdapat beberapa potong pakaian yang
terbuat dari sutera indah.
“Muridku, pakaian-pakaian ini dulu sengaja kubuat untuk seorang muridku, tapi
sayang sekali muridku itu telah tewas dalam sebuah pibu. Sayang sekali ... ! Ia
sebetulnya memiliki bakat baik sekali, akan tetapi sayang bahwa kesabarannya kurang
besar sehingga ketika ia mendengar betapa pihak Go-bi-pai menantang-nantangku, ia
lalu pergi dari sini untuk menyambut tantangan itu. Ketika itu aku sedang pergi dan
meninggalkan muridku itu seorang diri di sini. Maka datanglah utusan Go-bi-pai yang
menantangku untuk mengadakan pertandingan silat di kota Lam-sun. Muridku itu
tidak tahan mendengar ucapan-ucapan tantangan yang dianggapnya sangat menghina
sehingga ia mewakili aku pergi ke Lam-sun. Akan tetapi, kepandaiannya belum
tinggi, dan ia tak dapat melawan pihak Go-bi. Dan celakanya, ia berdarah panas
hingga karena kenekadannya, ia tewas dalam pibu itu!”
Kong Lee heran mendengar hal ini. Di dalam hatinya ia merasa heran sekali mengapa
suhunya tidak membalaskan sakit hati muridnya itu?
Agaknya orang tua itu dapat mengetahui suara hatinya, maka lalu berkata, “Aku
sendiri sudah tua dan aku tidak ada nafsu lagi untuk bertempur mencari permusuhan.
Dan pula, pibu itu terjadi dengan jujur, maka soal kalah menang bukanlah apa-apa.
Juga demikian dengan kematian dalam pibu yang sudah sewajarnya. Kau janganlah
salah mengerti, muridku. Memang benar kau kularang membunuh orang, akan tetapi,
yang kumaksudkan membunuh ialah jika kau menjatuhkan tangan maut kepada
seseorang dengan hati sengaja hendak membunuhnya. Kalau kau berada dalam
sebuah pertempuran melawan seorang lawan dan dalam membela diri kau sampai
menewaskan lawan itu, aku tidak menganggap kau melanggar sumpahmu. Akan tetapi
kalau kau membunuh lawan yang sudah tidak berdaya, nah, itulah yang kumaksudkan
membunuh dan melanggar sumpahmu. Mengertikah kau, muridku?”
Kong Lee mengangguk maklum.
“Muridku itu tewas dalam sebuah pibu yang jujur karena ia terlalu terburu nafsu. Oleh
karena itu maka ketika menerima kau sebagai muridku, kau kulatih belajar sabar dan
menahan nafsu agar kelak jangan sampai kau mengalami nasib seperti muridku itu.
Ketika itu, aku pulang ke gunung ini membawa beberapa potong pakaian ini
untuknya, tapi ... ia telah pergi dan takkan kembali lagi. Sekarang pakaian ini
kuberikan kepadamu, Kong Lee. Pakailah ini karena tidak pantas kalau kau pulang
Koleksi Kang Zusi
mengenakan pakaian pengemis, sehingga kau akan membuat malu nama ibumu saja.”
Kong Lee menerima pakaiannya itu dengan terharu dan berterima kasih sekali.
“Dan jika ada kesempatan dan waktu, aku ingin sekali mendengar kau naik ke Go-bisan
dan mencoba kepandaian ahli silat di gunung itu. Aku yakin bahwa kau takkan
kalah, muridku. Dengan jalan itu sedikitnya kau akan menebus hutang mereka
kepadaku dan menggosok namaku yang telah menjadi suram karena jatuhnya muridku
dulu.”
Maka mengertilah Kong Lee bahwa betapapun juga, suhunya ini masih mempunyai
nafsu untuk membalas kekalahan muridnya, hanya saja, orang tua ini tidak mau
bertindak sendiri dan mengharapkan dia untuk mewakilinya.
“Baik, suhu. Akan teecu coba untuk memperlihatkan bahwa ilmu kepandaian suhu
tidaklah serendah yang mereka duga!”
Kemudian, setelah banyak-banyak menerima nasihat dan pesan suhunya yang aneh
tapi baik hati itu, Kong Lee meninggalkan puncak Liong-san. Ia mengenakan pakaian
sutera warna kuning yang indah sehingga tampak seperti seorang putera hartawan
sedang melancong!
Beberapa hari kemudian pada suatu pagi yang terang indah Kong Lee yang
melakukan perjalanan menuju ke Bi-ciu yang sangat jauh letaknya dari Liong-san,
memasuki sebuah hutan setelah singgah di sebuah kampung untuk menanyakan jalan
menuju ke Bi-ciu. Ternyata bahwa perantauannya sebagai pengemis dulu ketika ia
mencari-cari guru, berjalan jauh sekali sehingga untuk pulang kembali ke Bi-ciu, ia
harus melewati dua propinsi yang besar dan luas! Karena ia memang sengaja hendak
meluaskan pengalaman, maka ia berjalan dengan perlahan dan tidak terburu-buru,
sungguhpun hatinya telah sangat rindu kepada ibunya.
Ia meniru kebiasaan suhunya dan sebelum turun dari Liong-san, ia membuat sebatang
tongkat bambu kuning yang tumbuh di puncak Liong-san. Tongkat ini kadang-kadang
ia pegang, kadang-kadang ia selipkan diikat pinggangnya seperti sebatang pedang.
Ketika ia tiba di tengah hutan, tiba-tiba ia mendengar suara beradunya senjata dan
suara teriakan-teriakan. Ia segera menggunakan ilmu kepandaian lari cepat dan tak
lamu kemudian ia telah tiba di tempat pertempuran yang sangat dahsyat. Seorang
gadis cantik berpakaian hijau sedang dikeroyok oleh lima orang yang berpakaian
sebagai piauwsu, dan gadis yang bersenjata sebatang pedang itu nampak terdesak
sekali. Harus ia akui bahwa ilmu pedang nona itu hebat sekali dan ia teringat akan
seorang nona yangg dulu sering ia kenangkan karena pernah menjatuhkannya dalam
dua jurus!
Kong Lee memandang dengan penuh perhatian karena gerakan-gerakan gadis yang
lincah dan gesit sekali itu membuat wajahnya sukar dilihat. Tetapi akhirnya ia kenali
juga gadis itu! Tidak lain adalah Kim-gan-eng Coa Kim Nio Si Garuda Bermata Emas
yang dulu pernah menyerang dan menjatuhkan Gan-piauwsu!
Kelima piauwsu yang mengeroyok gadis itupun rata-rata memiliki ilmu silat tinggi
dan keadaan gadis itu benar-benar berbahaya. Nona yang cantik itu telah mulai
mundur-mundur saja dan mencari jalan keluar untuk melarikan diri, tapi lima orang
pengeroyoknya mengurung rapat sekali sehingga ia tidak mendapat kesempatan untuk
lari. Jidat yang halus kulitnya itu telah mulai berpeluh!
Kong Lee tidak tega melihat keadaan ini, maka ia lalu melompat ke tengah lapangan
pertempuran sambil berkata, “Cu-wi sekalian, harap bersabar dulu dan tahan senjata!”
Akan tetapi, kelima orang piauwsu yang agaknya sedang marah sekali itu tidak
mempedulikan seruan Kong Lee, bahkan karena mereka menyangka bahwa pemuda
ini tentu kawan dari Kim-gan-eng yang mereka keroyok, seorang di antara mereka
menggunakan goloknya menyerang Kong Lee dengan gerak tipu Harimau
Koleksi Kang Zusi
Menyambar Hati!
Kong Lee cepat mengelak dan sekali ia ulurkan tangan kanannya, penyerangnya itu
merasa lengannya yang memegang golok menjadi lumpuh dan goloknya itu telah
berpindah tangan!
Terkejutlah kawanan piauwsu itu melihat kehebatan Kong Lee, dan tiba-tiba mereka
menahan serangan. Kesempatan itu digunakan oleh Kim-gan-eng untuk melompat
keluar dan lari secepatnya meninggalkan tempat itu!
Kawanan piauwsu itu hendak mengejar, tapi gadis yang dikejarnya telah lenyap di
antara pohon-pohon yang memenuhi hutan hingga mereka kembali ke tempat
pertempuran sambil menyumpah-nyumpah.
“Tuan, kau sungguh tidak adil dan sembrono sekali! Apakah kau juga kawan dari
penjahat wanita itu maka berani memusuhi kami?” kata seorang di antara mereka
yang menjadi pemimpin.
Kong Lee cepat-cepat mengangkat tangan memberi hormat.
“Harap cu-wi suka memaafkan karena sesungguhnya siauw-te hanya kebetulan lewat
saja di sini dan tidak mengenal siapa-siapa. Hanya karena melihat betapa seorang
wanita, seorang diri pula, dikeroyok oleh lima orang gagah perkasa seperti cu-wi dan
keadaannya terdesak sekali, maka siauw-te berlaku lancang untuk memisah, bukan
maksud siauw-te membantu siapa-siapa.”
“Kalau saja kau tahu siapa adanya wanita setan yang kami keroyok itu, tentu kau
tidak akan sudi ikut campur apalagi membantunya!”
“Siapakah dia dan mengapa kalian mengeroyoknya?” tanya Kong Lee pura-pura tidak
tahu.
“Dia adalah Kim-gan-eng Coa Kim Nio Si Garuda Bermata Emas yang sangat
terkenal karena kejahatannya.”
“Apakah kejahatannya dan apakah ia mengganggu kalian?”
“Ah, anak muda. Kau nampaknya berkepandaian tinggi, tapi ternyata kau belum
mengenal orang-orang di dunia kang-ouw! Dia telah merampas lima ratus tail emas
yang menjadi tanggungan kami! Dua hari yang lalu, ketika pembantu-pembantu kami
mengawal segerobak barang berharga menuju ke Tit-le, perempuan itu mencegat di
hutan ini dan merampas sekantung emas sebanyak lima ratus tail! Dan kami berlima
sengaja mencarinya untuk menghajarnya. Hampir saja kami dapat membekuknya, tapi
kau yang tidak mengerti apa-apa tiba-tiba telah menggagalkan usaha kami hendak
mendapatkan kembali uang yang menjadi tanggungan kami itu,” pemimpin piawsu itu
menghela napas dan nampaknya jengkel sekali.
Kong Lee buru-buru menjura dan minta maaf, “Ah, sungguh menyesal sekali siauw-te
telah berlaku lancang, dan perbuatan siauw-te ini harus dihukum! Sekarang kuharap
cu-wi suka mengantarkan siauw-te mengunjungi sarang perampok wanita itu dan
siauw-te akan mencoba menebus dosa siauw-te tadi dan mendapatkan kembali emas
kalian itu.”
Kelima orang piawsu itu saling pandang, dan pemimpin mereka berkata, “Kongcu,
kau nampaknya seperti seorang sastrawan, tapi kami telah mengetahui bahwa kau
berkepandaian tinggi karena dalam sekali serang saja dapat merampas golok suteku.
Akan tetapi kau ketahuilah bahwa pada waktu ini penjahat perempuan tadi tentu telah
kembali ke sarangnya dan kau harus tahu bahwa di sarangnya terdapat suhengnya
yang berkepandaian hebat sekali dan sukar dilawan! Kalau tidak mengingat
suhengnya itu, kami berlima tentu sudah siap-siap pergi menyerbu ke sana.”
“Siapakah suhengnya itu?” Kong Lee pura-pura tidak tahu, padahal ia telah dapat
menduga bahwa suheng dari nona cantik itu tentu Hek-ciu-mo Pauw Kian.
“Suhengnya adalah seorang iblis yang amat hebat dan tinggi ilmu silatnya dan kami
Koleksi Kang Zusi
berlima terus terang saja bukanlah tandingannya. Namanya Pauw Kian dan
julukannya Hek-ciu-mo Si Iblis Tangan Hitam.”
Mengingat betapa dulu ia pernah dihina oleh Coa Kim Nio ketika minta berguru
kepadanya, dan betapa ia hendak mencari Si Iblis Tangan Hitam untuk diangkat
sebagai guru, maka makin besar keinginan Kong Lee hendak bertemu kepala rampok
yang ditakuti orang itu.
“Biarlah, akan siauw-te coba menghadapi Pauw Kian. Kalau sampai terjadi
pertempuran, biar siauw-te melawan Pauw Kian dan cu-wi dapat menghadapi nona
tadi,” katanya.
“Tapi harus diingat bahwa mereka itu mempunyai anak buah yang banyak pula,”
seorang piauwsu berkata.
Kong Lee menjadi gemas dan berkata, “Kalau tuan berlima tidak berani, tunjukkanlah
saja tempatnya dan siauw-te akan pergi sendiri. Kalau siauw-te berhasil mendapatkan
kembali lima ratus tail emas itu, akan kuserahkan kepada kalian!”
“Kongcu, siapa sebenarnya engkau maka bicaramu begini besar?” pemimpin piauwsu
itu bertanya.
“Siauw-te she Lim bernama Kong Lee.”
“Dan kepandaian apakah yang kauandalkan untuk menghadapi Pauw Kian?”
Kong Lee tersenyum dan mengeluarkan tongkat bambunya.
“Inilah yang kuandalkan. Marilah kita berangkat kalau kalian memang berani.”
Kelima orang piauwsu itu heran sekali melihat bahwa senjata anak muda itu hanya
sebatang tongkat bambu! Akan tetapi melihat sikap anak muda itu begitu tenang dan
berani, timbul pula semangat dan keberanian mereka lalu mengantar Kong Lee
menuju ke sebuah bukit kecil yang penuh dengan hutan dan tidak jauh dari hutan itu
letaknya.
Memang benar penuturan kelima piauwsu tadi. Dua hari yang lalu, ketika pembantupembantu
mereka mengantarkan barang-barang berharga menuju ke Tit-le dan lewat
di hutan itu, tiba-tiba dari belakang pohon melompat keluar seorang nona berbaju
hijau yang memegang sebatang pedang. Nona ini adalah Coa Kim Nio yang lalu
membentak para piauwsu itu supaya berhenti.
Pembantu-pembantu dari piauw-kiok (Perusahaan Pengantar Barang) Naga Kuning
itu merasa heran melihat pencegat mereka, tapi mereka berhati tabah karena Oei-liong
Piauw-kiok sudah terkenal dan jarang sekali ada perampok berani mengganggu
karena segan berhadapan dengan para pimpinan piauw-kiok itu, yakni lima saudara
seperguruan yang dijuluki Ngo-oei-liong atau Lima Naga Kuning. Akan tetapi,
melihat sikap dan pakaian nona itu, mereka menduga bahwa nona itu tentulah Kimgan-
eng yang terkenal dan yang memang biasa melakukan perampokan seorang diri
saja!
Pemimpin rombongan piauwsu itu menjura dan menegur, “Kalau kami tidak salah
duga, Li-hiap ini tentulah Kim-gan-eng yang terkenal!”
Coa Kim Nio tertawa-tawa.
“Matamu awas juga sahabat. Sekarang setelah kau tahu berhadapan dengan Kim-ganeng,
jangan banyak cerewet lagi dan serahkan kantong yang berisi lima ratus tail emas
itu kepadaku sebagai tanda penghormatan!”
Tentu saja para piauwsu itu tidak sudi mengalah karena walaupun nama Kim-gan-eng
Coa Kim Nio sudah sangat termahsyur, namun pertanggungan jawab mereka berat
sekali kalau harus menyerahkan harta yang mereka kawal itu. Maka terjadilah
pertempuran hebat dan dengan mudah saja Coa Kim Ni menghajar semua piauwsu itu
hingga mereka tak berdaya dan luka-luka.
Dengan enak saja Coa Kim Nio lalu mengambil sekantong emas itu sambil berkata,
Koleksi Kang Zusi
“Katakan kepada Ngo-oei-liong bahwa yang mengambil emas ini adalah Kim-ganeng,
dan jika mereka merasa marah, boleh mereka datang di tempat ini. Aku menanti
kedatangan mereka di sini selama dua hari. Kalau dalam dua hari mereka tidak
muncul, maka emas ini menjadi milikku yang sah!” lalu pergilah wanita itu.
Demikianlah, maka dua hari kemudian, kelima piauwsu itu datang di tempat itu dan
bertempur melawan Kim-gan-eng Coa Kim Nio dan hampir saja mereka dapat
merobohkan wanita itu kalau tidak keburu datang Kong Lee yang menggagalkan
kemenangan mereka. Akan tetapi, karena ia memang jujur, pemuda itu merasa
menyesal sekali atas gangguan yang tidak disengaja dan ia sanggup untuk merampas
kembali emas itu deri tangan Kim-gan-eng, hingga bersama-sama kelima naga kuning
itu ia pergi ke sarang Kim-gan-eng dan suhengnya yakni Hek-ciu-mo Si Iblis Tangan
Hitam.
Kedatangan Kong Lee dan kelima piauwsu itu agaknya telah diketahui oleh Pauw
Kian dan sumoinya, karena ketika mereka tiba di luar hutan yang menjadi sarang
kawanan perampok itu, mereka telah disambut oleh segerombolan perampok yang
dikepalai oleh seorang yang bertubuh pendek gemuk. Pemimpin perampok ini dengan
sikap hormat lalu mempersilakan mereka masuk ke dalam hutan di mana Pauw Kian
dan Coa Kim Nio telah menanti. Coa Kim Nio mengenakan pakaian serba hijau yang
baru dan indah sedangkan dirambutnya terhias bunga warna merah sehingga ia sama
sekali tidak pantas disebut seorang perampok yang ganas.
Kong Lee melihat laki-laki yang berdiri di dekat Coa Kim Nio. Ternyata Pauw Kian
adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, wajahnya tampan
dan cambang bauknya terpelihara baik. Tapi yang paling menyeramkan adalah
telapak tangannya, karena tangan itu dari pergelangan ke bawah berwarna hitam!
Diam-diam Kong Lee terkejut karena ia teringat akan penuturan suhunya bahwa
memang ada orang di rimba hijau (perampok) dan sungai telaga (kaum bajak) yang
memiliki kepandaian-kepandaian tinggi dan melatih tangan mereka sedemikian rupa
sehingga mereka benar-benar hebat dan berbahaya sekali. Di antara ilmu-ilmu yang
aneh itu terdapat ilmu-ilmu untuk membuat kedua tangan menjadi ampuh, kuat, dan
bahkan mengandung bisa yang berbahaya! Latihan-latihan menguatkan tangan ini ada
yang disebut Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah), Pek-see-ciang (Tangan Pasir
Putih), dan lain-lain. Kalau melihat tangan Pauw Kian yang kehitam-hitaman dan
mengeluarkan cahaya terang ini, Kong Lee dapat menduga bahwa kepala rampok ini
tentu telah melatih tangannya dengan ilmu Tiat-see-ciang (Tangan Pasir Besi) yang
sungguhpun tidak mengandung bisa, namun kekuatan dan kehebatannya luar biasa
karena kedua tangan itu dengan tenaga penuh merupakan senjata yang berbahaya dan
bahkan sanggup digunakan untuk melawan senjata tajam tanpa terluka!
Pauw Kian telah mendengar dari sumoinya bahwa kelima Naga Kuning telah
mengeroyoknya dan hampir ia mendapat celaka, tapi untung keburu tertolong oleh
seorang pemuda sasterawan.
Kini melihat betapa pemuda itu datang bersama-sama dengan para piauwsu, tentu saja
Pauw Kian dan Coa Kim Nio menjadi heran sekali.
“Ha, ha, ha! Ngo-oei-liong sungguh tabah sekali, berani memasuki tempatku. Apakah
barangkali karena sudah dapat mendesak sumoiku, lalu kalian menganggap bahwa
kalian boleh saja memperlihatkan kepandaian di sini?” Pauw Kian menyambut
kedatangan mereka dengan kata-kata menyindir.
Ngo-oei-liong memang sudah maklum akan kehebatan kepandaian kepala rampok itu,
maka mereka lalu menjura dan yang tertua berkata merendah, “Pauw-tai-ong, harap
dimaafkan kami berlima yang lancang dan tidak tahu diri. Kedatangan kami ini
sebetulnya hendak mohon kemurahan hati tai-ong untuk mengembalikan emas yang
Koleksi Kang Zusi
menjadi tanggung jawab kami, karena kalau tidak, nama piauwsu kami akan rusak
dan tak seorangpun mau mengirimkan barang melalui kami lagi.”
“Ha, ha, enak saja kau bicara! Kalian tadi sudah berani berlaku begitu kurang ajar
menyerang sumoiku dan hampir saja melukainya. Kalau aku tidak menghajar kalian
untuk kekurangajaran kalian itupun sudah boleh dibilang aku berlaku murah.
Sekarang biarlah emas itu untuk menebus kekurangajaranmu tadi!”
Tentu saja kelima piauwsu itu merasa marah dan tidak senang mendengar ucapan ini,
akan tetapi mereka masih merasa takut-takut terhadap Pauw Kian hingga mereka kini
hanya memandang ke arah Kong Lee untuk minta bantuan.
Ternyata pada saat itu Kong Lee tengah memandang kepada Coa Kim Nio dengan
mata kagum, karena dalam pandangan matanya, tak pantas nona itu menjadi seorang
perampok. Juga ia merasa heran sekali mengapa nona itu tidak kelihatan menjadi tua
dan tetap seperti gadis yang dulu merobohkan Gan-piauwsu ketika ia berusia lima
belas tahun atau lima tahun yang lalu. Masih tetap muda, cantik dan jelita.
Kini melihat semua mata kelima piauwsu itu ditujukan ke arahnya, Kong Lee lalu
menjura kepada Pauw Kian dan berkata dengan suara halus, “Lo-enghiong, aku
sebagai orang luar seharusnya tidak boleh mencampuri urusan ini, akan tetapi karena
kebetulan sekali aku terlibat, apa boleh buat aku berlaku lancang. Memang
sebetulnya, di dalam pertempuran antara kelima piauwsu ini dengan adikmu, adalah
kehendak adikmu sendiri yang menantang kepada mereka. Dan di dalam pertempuran
itu, adikmu yang kalah, maka sudah sepantasnya kalau ia mengembalikan barang
yang dirampasnya. Aku, tanpa kusengaja telah memisah dan karenanya membikin
rugi kepada piauwsu-piauwsu ini, maka untuk menebus kesalahanku ini, kuharap
dengan sangat supaya kau dan adikmu berlaku bijaksana dan adil serta menginsyafi
akan kekalahan adikmu dan mengembalikan emas itu kepada yang berhak.”
Tiba-tiba kedua mata Pauw Kian berputar-putar dan alis mata bangun berdiri. Untuk
sebutan ‘lo-enghiong’ saja ia sudah marah sekali, karena sungguhpun usianya sudah
empat puluh tahun, namun ia belum kawin dan karenanya tidak suka disebut orang
tua. Apalagi mendengar kata-kata Kong Lee yang biarpun halus tapi bersifat
menasihatinya itu, ia menjadi marah bukan main.
“Eh, eh, anak muda kurang ajar. Siapa kau maka berani-berani ikut datang membela
para piauwsu ini?”
Kong Lee tersenyum tenang.
“Aku Lim Kong Lee dan orang biasa saja yang mengharap kejujuran dan keadilanmu
terhadap sesama manusia.”
Pauw Kian membanting-banting kakinya karena gemas. “Kau tadi bilang bahwa
adikku kalah oleh kelima piauwsu ini? Baik, sekarang emas itu telah berada di
tanganku dan jika kelima piauwsu ini dapat mengalahkan aku, baru aku mau
menyerahkan emas itu. Atau barangkali kau sendiri hendak maju? Boleh!” dengan
sikap sombong sekali Pauw Kian Si Iblis Tangan Hitam menantang.
Kelima piauwsu tak berani menjawab karena mereka tidak ada harapan untuk dapat
mengalahkan Pauw Kian.
Dengan sikap masih tenang dan bibir tersenyum, Kong Lee maju dan berkata,
“Biarlah aku yang maju mencoba-coba, karena aku harus menebus kesalahanku
terhadap kelima piauwsu ini.”
“Baik, majulah!”
Pauw Kian tertawa menghina lalu membuka jubah luarnya hingga nampak tubuhnya
yang tegap dan besar hanya terbungkus oleh pakaian yang ringkas dan tipis. Kini
kedua lengannya nampak dan ternyata bahwa lengan itu dari pergelangan tangan ke
atas, berkulit putih bersih sehingga kedua tangan yang hitam itu kelihatan mengerikan
Koleksi Kang Zusi
sekali.
Kong Lee menarik keluar tongkat bambunya dan mengencangkan ikat pinggangnya
dengan gerakan perlahan dan lemah lembut hingga melihat sikap ini, kelima piauwsu
itu berdebar-debar kuatir. Mereka sungguh ragu-ragu untuk percaya bahwa pemuda
yang halus ini akan berani melawan Pauw Kian Si Iblis Tangan Hitam!
Sementara itu Coa Kim Nio yang semenjak tadi memandang kepada Kong Lee
dengan penuh ekakguman akan kecakapan dan kehalusan perangai pemuda itu,
melangkah maju dan berkata kepada Pauw Kian.
“Suheng, biarkan aku sendiri yang menghadapi siucai (pemuda pelajar) ini. Tadi aku
dikalahkan oleh para piauwsu curang itu dengan keroyokan, kalau satu sama satu,
belum tentu aku kalah.”
Pauw Kian maklum di dalam hatinya bahwa sumoinya ini tertarik akan kebagusan
pemuda ini dan selain tahu akan keberanian sumoinya yang memiliki kepandaian
cukup tinggi, juga Si Iblis Tangan Hitam ini menduga bahwa pemuda sasterawan itu
tentu berkepandaian tinggi pula. Maka apa salahnya kalau sumoinya mencoba-coba
dulu agar ia dapat mengukur sampai di mana kehebatang Kong Lee!
Maka ia mengangguk dan berkata sambil tertawa.
“Majulah, sumoi, tapi jangan kauhabiskan sendiri! Biarlah kau main-main dengan dia
sebentar dan nanti biar aku sendiri yang menyelesaikannya!” sungguh ia sangat
tekebur dan memandang rendah, hingga Kong Lee menjadi mendongkol dan
mengambil keputusan untuk memperlihatkan kehebatannya!
“Kongcu, majulah!” dengan suara yang merdu dan kerlingan mata tajam, Coa Kim
Nio mencabut pedangnya dan melintangkan pedang itu di depan dadanya.
“Baik, dan kau hati-hatilah!” kata Kong Lee.
Kemudian ia mengirim serangan pertama dengan tongkat bambunya ke arah pundak
nona itu. Melihat datangnya serangan yang dilakukan dengan sembarangan dan
perlahan ini, tidak saja para piauwsu yang tadinya menaruh harapan besar kepada
Kong Lee menjadi mendongkol dan kecewa, tapi juga Pauw Kian tidak dapat
menahan hatinya untuk tidak tertawa. Sementara itu, Coa Kim Nio juga memandang
ringan lawannya. Sambil tersenyum dan mengeluarkan suara tertawa yang ditahan, ia
mengelak lalu balas menyerang dengan sebuah tikaman ke arah dada Kong Lee.
Sungguh mengherankan sekali, pemuda itu seakan-akan tidak tahu bahwa dirinya
diserang dan sama sekali tidak mengelak!
Coa Kim Nio semenjak tadi telah tertarik sekali hatinya kepada pemuda yang ganteng
ini, maka hatinya tidak tega untuk melukainya. Melihat bahwa pemuda itu sama sekali
tidak mau mengelak atau menangkis, nona ini segera memiringkan pedangnya agar
tidak sampai melukai Kong Lee.
Kong Lee tersenyum dan di dalam hati ia berterima kasih kepada nona ini. Agaknya
Coa Kim Nio ini tidak mau melukainya.
Maka ia lalu berkata, “Nona, seranglah yang betul, kalau tidak, dalam tiga jurus saja
pedangmu akan terampas olehku!”
Terdengar suara tertawa keras dari Pauw Kian karena Si Iblis Tangan Hitam ini
merasa geli sekali mendengar ucapan Kong Lee.
“He, Ngo-oei-liong, mengapa kalian membawa seorang anak yang masih keluar
ingusnya ke sini? Suruhlah ia pulang kepada ibunya untuk minum air susu lebih
dulu!”
Hinaan ini tak dipedulikan oleh Kong Lee dan pada saat Coa Kim Nio menyerang
lagi, seperti tadi ia tidak mengelak, akan tetapi begitu ujung pedang telah mendekati
kulit dadanya, tiba-tiba tongkat bambunya berputar sedemikian rupa dan “traang!!”
pedang di tangan Coa Kim Nio terlepas dan terlempar ke atas!
Koleksi Kang Zusi
Dengan sabar dan tenang Kong Lee menggerakkan tongkatnya yang dapat
“menangkap” gagang pedang itu dan diputar-putarnya sehingga gagang pedang itu
seakan-akan menempel pada ujung tongkat sambil terputar bagaikan sebuah kitiran!
“Mari, terimalah kembali pedangmu, nona!” katanya sambil menyodorkan pedang itu
kepada Coa Kim Nio yang berdiri melongo dengan muka merah.
Sementara itu, Pauw Kian juga memandang dengan heran, karena sesungguhnya ia
tidak tahu bagaiman pedang sumoinya dapat terlepas dan terampas, sedangkan
gerakan-gerakan pemuda itu sungguh aneh, kelihatannya begitu lemah dan perlahan!
Apakah sumoinya yang main gila dan sengaja mengalah?
Akan tetapi, tidak demikian dengan Ngo-oei-liong. Kelima orang piauwsu ini
bertepuk tangan memuji dengan wajah berseri-seri. Kini mereka merasa girang sekali
dan timbullah kembali kepercayaan mereka kepada Kong Lee, sungguhpun mereka
sendiri juga tidak mengerti bagaimana Kim-gan-eng yang lihat itu dapat dikalahkan
dalam dua jurus saja!
“Lim-kongcu, kau sungguh hebat sekali! Aku menerima kalah,” berkata Coa Kim Nio
dengan sinar mata kagum sekali dan bibirnya yang makin tersenyum, ia lalu mundur
sambil mengerlingkan matanya ke arah Kong Lee.
Pauw Kian menjadi marah sekali hingga wajahnya menjadi merah padam.
“Anak kecil yang sombong! Coba kaulayani aku hendak kulihat kepandaian siluman
macam apakah yang kaumiliki!” bentaknya.
Sambil membentak demikian, Pauw Kian lalu mengeluarkan senjatanya yang hebat,
yakni sebuah pian baja lemas yang merupakan cambuk pendek penuh duri-duri tajam.
Senjata ini adalah sebuah senjata yang berbahaya dan ganas, karena tiap duri yang
memenuhi senjata cambuk pendek itu dari gagang sampai ke ujungnya merupakan
kaitan-kaitan kecil hingga kalau duri-duri itu sampai menancap di kulit, maka daging
tubuh akan tertembus dan urat-urat tertarik keluar!
Juga, di dalam tangan Pauw Kian yang hebat, senjata itu dapat menjadi kaku
semacam tongkat yang dipakai menotok jalan darah dan dapat menjadi lemas seperti
cambuk.
Akan tetapi Kong Lee dengan sangat tenang hanya tersenyum memandang, lalu
berkata perlahan, “Kaulah yang sombong, bukan aku. Marilah kita mencoba-coba
kepandaian!”
Pauw Kian menerkam maju sambil menggerakkan cambuk berdurinya menyabet ke
arah leher Kong Lee, tapi pemuda itu mengangkat tongkat bambunya ke atas dan
menangkis. Ia sengaja menangkis untuk mencoba tenaga lawan dan mendapat
kenyataan bahwa tenaga Iblis Tangan Hitam ini jauh lebih tinggi daripada tenaga Coa
Kim Nio, akan tetapi tak cukup besar untuk membuat ia kuatir.
Sebaliknya, ketika cambuknya dapat tertangkis hingga terpental kembali, Pauw Kian
merasa heran sekali dan berlaku hati-hati, karena ketika menyerang tadi ia telah
menggunakan tiga perempat bagian dari seluruh tenaganya. Akan tetapi dapat
tertangkis demikian mudah oleh tongkat bambu itu sehingga ia dapat menduga bahwa
pemuda ini adalah seorang yang memiliki tenaga lwee-kang yang tinggi. Ia lalu
menyerahkan seluruh tenaganya dan memutar-mutar cambuknya sedemikian rupa
sehingga merupakan serangan-serangan bergelombang yang bertubi-tubi menyerang
bagian-bagian berbahaya dari tubuh lawan!
Para piauwsu yang mengetahui betapa hebat serangan-serangan Si Iblis Tangan Hitam
ini, menahan napas dengan cemas. Merka maklum bahwa jika jago mereka sampai
kalah dan dirobohkan, mereka terpaksa harus berkelahi mati-matian, karena tentunya
kepala rampok yang kejam itu tak mau melepaskan mereka begitu saja.
Akan tetapi menghadapi serangan-serangan hebat dari Pauw Kian ini, Kong Lee tidak
Koleksi Kang Zusi
gentar dan berlaku tetapi tenang. Ia mengeluarkan kepandaiannya dan memainkan
ilmu tongkat Liong-san Koai-tung-hwat. Dan ketika ia mainkan tongkatnya, semua
piauwsu menjadi heran sekali, karena tampaknya pemuda itu hanya menggerakgerakkan
tongkatnya dengan perlahan dan lambat sekali, akan tetapi setiap gerakan itu
dapat menangkis dan membentur kembali senjata lawan yang ebrbahaya. Tidak
demikian saja, bahkan dengan tongkat bambunya yang ringan itu, Kong Lee dapat
membalas dengan serangan-serangan dahsyat.
Hal ini tentu saja membuat Pauw Kian terkejut sekali. Ia tidak melihat bagaimana
pemuda itu memutar tongkatnya, akan tetapi ke mana saja pian baja di tangannya
menyerang, selalu bertemu dengan tongkat lawan yang menangkisnya! Maka sambil
mengertakkan gigi karena marah, Si Iblis Tangan Hitam ini menyerang makin ganas
dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk menjatuhkan anak muda yang aneh
itu.
Coa Kim Nio yang telah maklum akan kehebatan suhengnya, mula-mula terkejut dan
kuatir melihat betapa suhengnya tampak marah sekali dan nafsu membunuh terbayang
di mata Iblis Tangan Hitam itu. Ia kuatirkan nasib pemuda yang tampan dan yang
telah menarik hatinya itu. Akan tetapi setelah menyaksikan betapa Kong Lee dengan
tenang dan mudah saja menghadapi kakak seperguruannya, nona baju hijau itu
menghela napas, tidak hanya kagum karena lega, tapi juga karena kagum.
Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan anak muda sehebat ini. Maka
hatinya makin tertarik saja.
Sebetulnya kalau ia mau, Kong Lee sejak tadi dapat merobohkan Pauw Kian dengan
serangan-serangan mematikan, namun ia tidak mau menewaskan kepala rampok itu
karena ia hanya bermaksud merobohkan lawannya tanpa melukainya.
Bukankah maksudnya hanya hendak minta kembali emas yang dirampas?
Oleh karena inilah, maka ia masih belum mengirim serangan-serangan mematikan
dan hanya lebih banyak menangkis saja. Kalau Pauw Kian tidak sedang dibuat mata
gelap oleh perasaan marah dan dendam, tentu ia akan dapat merasai hal ini dan tahu
bahwa anak muda itu memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada
kepandaiannya sendiri dan senhaja berlaku mengalah. Akan tetapi, Iblis Tangan
Hitam itu yang selama bertahun-tahun telah membuat nama besar sebagai seorang
yang berkepandaian tinggi hingga disegani lawan ditakuti lawan, mana mau menyerah
begitu saja tanpa memberi perlawanan? Demikianlah ia berlaku nekad dan menyerang
bagaikan laku seekor kerbau gila.
Sambil bertempur, Kong Lee memikir dengan penuh keheranan mengapa kepandaian
Iblis Tangan Hitam dan terutama kepandaian Kim-gan-eng hanya sedemikian saja,
jauh lebih rendah dari dugaannya dulu. Kalau diukur kepandaiannya, kedua orang ini
masing-masing tidak akan dapat mengalahkan Thio Sui Kiat! Mengapa dulu ketika ia
bertemu dengan Coa Kim Nio, dalam dua jurus saja ia dapat dirobohkan oleh gadis
itu?
Ia tidak mengerti bahwa sebenarnya hal itu tak perlu diherankan, karena ketika ia
menghadapi Thio Sui Kiat dan ia dijatuhkan dalam tiga jurus ialah disebabkan, karena
orang tua itulah yang menyerang dan ia sendiri hanya mempertahankan diri dengan
gerakan Bendungan Baja Menahan Banjir yang memang kuat dan sukar dipecahkan.
Sebaliknya ketika menghadapi Coa Kim Nio, dialah yang menyerang nona itu
sehingga pertahanannya tidak kuat dan mudah saja ia dirobohkan. Kalau saja ia hanya
mempertahankan dan membela diri dengan gerakan Bendungan Baja Menahan Banjir
dan membiarkan nona itu menyerangnya, belum tentu dalam dua puluh jurus gadis itu
akan dapat merobohkannya!
Kini melihat betapa Pauw Kian bertempur dengan nekad, ia lalu merasa gemas juga.
Koleksi Kang Zusi
Dengan cepat ia merubah gerakan tongkatnya dan kini tongkat bambu yang kecil itu
bergerak cepat sekali dan seakan-akan berubah menjadi seekor ular yang masih hidup.
Setiap serangan ditujukan kepada jalan-jalan darah yang melumpuhkan. Pauw Kian
sibuk juga menghadapi serangan yang hebat ini dan mulai terdesak. Pada suatu saat
yang baik, ketika Pauw Kian menangkis tongkatnya dengan keras, Kong Lee
memberikan pukulan tangan kirinya yang dikirim ke arah tangan Pauw Kian yang
memegang cambuk. Melihat datangnya pukulan yang demikian keras dan berbahaya,
Pauw Kian hanya dapat menarik lengannya dan membiarkan cambuknya yang penuh
duri itu terpukul oleh tangan Kong Lee untuk membuat tangan pemuda itu terluka.
Akan tetapi, sungguh mengherankan. Ketika cambuk itu terpukul oleh tangan Kong
Lee yang dimiringkan, Pauw Kian tidak kuat lagi untuk memegang senjata itu lebih
lama, dan dengan keras cambuk itu terpukul dan terlempar dari pegangannya!
Sedangkan tangan anak muda itu sedikitpun tidak luka!
Ketika Pauw Kian memandang ke arah cambuknya, matanya terbelalak kaget karena
ternyata semua duri yang berada di bagian cambuk yang terpukul, telah patah-patah
dan bengkok-bengkok! Dari sini dapat dibayangkan betapa hebat dan kuat tenaga
tangan pemuda ini!
Kelima piauwsu bersorak girang, juga Coa Kim Nio kagum sekali sehingga wajahnya
berseri-seri. Akan tetapi, Pauw Kian dengan muka sebentar pucat sebentar merah,
maju dan membentak, “Anak muda, kini bersiaplah engkau menghadapi serangan
kedua tanganku!”
Kong Lee memandang tajam.
“Orang she Pauw, bukankah tongkat bambuku telah mengalahkan cambukmu? Lebih
baik kita sudahi saja pibu ini dan kau kembalikan emas yang kaurampas dari Ngo-oeiliong
piauwsu!”
“Memang benar cambukku kalah oleh tongkatmu, dan memang ilmu tongkatmu
hebat. Akan tetapi, kedua tanganmu belum mengalahkan kedua tanganku!”
Kepala rampok yang merasa belum puas ini hendak menggunakan kehebatan kedua
tangannya yang hitam untuk mencari kemenangan!
“Pauw-tai-ong, aturan pibu menyebutkan siapa yang kalah dalam satu pertempuran,
maka ia harus menerima kekalahan itu dengan jujur. Kau sendiri yang tadi mengajak
Lim-taihiap bertempur menggunakan senjata, dan kau sudah kalah. Apakah kau
hendak melanggar peraturan itu?”
Bukan main marahnya Pauw Kian mendengar kata ini. Ia memang seorang perampok
yang kejam, ganas, dan suka berkelahi. Akan tetapi ia hargai kejujuran dan tentu saja
ia merasa terhina sekali kalau ia dianggap tidak jujur. Dengan suara parau ia
memerintahkan anak buahnya mengambil kantung berisi emas yang dirampas Coa
Kim Nio itu, lalu ia lemparkan ke arah kelima piauwsu yang menerimanya dengan
girang.
“Ngo-oei-liong!” teriak Pauw Kian, “Kalian lima orang pengecut hanya dapat
mengambil kembali emas itu dengan mengandalkan tenaga anak muda ini. Sekarang,
enyahlah kalian dari sini sebelum kuhancurkan kepala kalian!”
Lima orang piauwsu itu memandang ke arah Kong Lee dan pemuda itu mengangguk
kepada mereka, lalu berkata, “Ngo-wi harap kembali saja, bukankah urusan ngo-wi
sudah beres? Dan siauw-te telah menebus kesalahan siauw-te tadi, bukan?”
Kelima piauwsu itu menjura dengan wajah girang sekali. Yang tertua di antara
mereka berkata, “Baiklah, beritahu taihiap bertempat tinggal di mana dan dari cabang
persilatan mana?”
Kong Lee tertawa, “Siauw-te baru saja turun dari Liong-san!”
“Kalau begitu, taihiap tentulah murid dari Liong-san-pai! Pantas saja begini hebat!
Koleksi Kang Zusi
Biarlah semenjak saat ini, kami berlima mengenangkan sebagai Liong-san Tung-hiap
(Pendekar Tongkat dari Liong-san)!” setelah menjura lagi kepada Kong Lee, kelima
orang piauwsu itu lalu pergi dari situ dengan girang dan membawa pergi lima ratus
tail emas itu.
“Ha, ha, Liong-san Tung-hiap! Pantas sekali nama ini untukmu, karena memang ilmu
tongkatmu hebat! Anak muda, kau sungguh berani sekali. tidakkah kau takut
ditinggalkan seorang diri oleh kawan-kawanmu?”
“Apakah yang kau takuti?” jawab Kong Lee atas pertanyaan Pauw Kian yang
mengandung ejekan itu. “Memang aku sengaja hendak mencoba bagaimana hebatnya
kedua tangan dari Iblis Tangan Hitam!”
“Majulah! Kalau kau bisa merobohkan aku dan mengalahkan kedua tanganku ini,
sudahlah, aku takkan berani menyebut-nyebut namaku di muka umum. Tapi kalau kau
yang kalah, jangan kau menyesal kalau harus menerima kematian di sini!” tiba-tiba
suara kepala rampok itu menjadi menyeramkan. Kemudian, dengan mengeluarkan
seruan hebat, kedua tangannya yang hitam itu menyerang dengan hebat!
Memang benar bahwa kedua tangan hitam Pauw Kian tidak mengandung bisa, akan
tetapi kehebatannya tidak berkurang karenanya. Kedua tangan ini telah menjadi keras
seperti besi dan mempunyai kekebalan terhadap segala macam senjata tajam. Kalau
tangan lawan beradu dengan tangan hitam ini, maka kulit lawan itu akan lecet-lecet
dan tulangnya akan patah-patah. Juga ke sepuluh jari tangan dapat digunakan sebagai
cengkeraman baja yang kuat sekali. Pendeknya, kedua tangan ini telah berubah
menjadi sepasang senjata yang luar biasa hebatnya dan bahkan lebih berbahaya dari
sepasang senjata baja!
Karena, kalau senjata yang terbuat dari logam mati, pergerakannya hanya terbatas dan
menurut keinginan hati si pemegang senjata saja, sebaliknya kedua tangan hitam ini
adalah barang hidup yang mempunyai perasaan dan dapat dirubah-rubah
kedudukannya sesuka hati, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan.
Kong Lee cukup maklum akan hal ini, maka ia berlaku waspada sekali. Ia tahu bahwa
biarpun dalam hal tenaga lwee-kang ia tak usah kalah terhadap Pauw kIan,
demikianpun dalam hal ilmu silat tangan kosong, karena ia memiliki ilmu kepandaian
silat Liong-san Kun-hoat, akan tetapi harus ia akui bahwa kekebalan tangannya tak
mungkin dapat melawan kekebalan tangan lawan ini. Dulu di puncak Liong-san ia
hanya melatih kedua tangannya dengan cara membelah kayu dengan tangan kosong,
akan tetapi Pauw Kian telah melatih tangannya dengan bubuk besi yang jauh lebih
keras daripada kayu!
Akan tetapi, sebagaimana semua orang mengetahui, ilmu berkelahi tidaklah
tergantung semata-mata kepada kekerasan tangan atau pukulan. Betapapun kerasnya
tangan, kalau pukulan tidak mengenai sasaran yang tepat apakah gunanya?
Demikianlah, dengan gin-kangnya yang jauh lebih tinggi daripada gin-kang Pauw
Kian, Kong Lee mempermainkan lawannya. Tidak percuma ia melatih diri bertahuntahun
di puncak Liong-san, memikul air dengan sebatang rotan sambil berlari-lari
naik turun bukit dan melompati jurang sehingga ilmu meringankan tubuhnya telah
mencapai tingkat yang tinggi sekali. Semua serangan Pauw Kian dapat ia patahkan
dengan mudah saja, dan pada tiap kali ia harus menangkis ia selalu menggunakan
tangannya untuk menangkis lengan lawan di sebelah atas sambungan pergelangan
tangan, di bagian kulit yang putih atau sekali-kali ia menangkis sambil menotok
pergelangan siku! Oleh karena itu, maka Pauw Kian menjadi tak berdaya dan
kepalanya pening, karena anak muda yang memiliki gerakan gesit bagaikan seekor
burung itu menyambar-nyambar di sekeliling tubuhnya, membuat ia berputar-putar
tiada hentinya!
Koleksi Kang Zusi
Setelah bertempur lima puluh jurus lebih, tiba-tiba Kong Lee mulai membalas
serangan-serangan lawannya dengan mengeluarkan ilmu silat Liong-san Kun-hoat
yang paling berbahaya. Pauw Kian merasa kewalahan menghadapi serangan-serangan
yang aneh dan memiliki banyak sekali perubahan yang tak terduga ini. Ia sibuk sekali
menghindarkan diri dari kedua tangan Kong Lee yang menyerang bagian-bagian
berbahaya dari tubuhnya dengan totokan jari.
Kemudian, ketika sebuah totokannya dielakkan, tubuh Kong Lee mulai terhuyunghuyung
ke kanan kiri sehingga membingungkan Pauw Kian. Tadinya kepala rampok
ini merasa kaget dan girang karena menyangka bahwa anak muda ini telah lelah, akan
tetapi ternyata di dalam terhuyung-huyung itu, Kong Lee bahkan mengeluarkan
serangan-serangan yang lebih sukar dielakkan pula. Inilah ilmu silat Delapan Dewa
Mabuk!
Menghadapi ilmu silat ini, Pauw Kian tidak berdaya dan tiba-tiba dadanya kena
tertumbuk oleh kepalan tangan Kong Lee! Sebetulnya, menurut gerakan aslinya,
pukulan ini harus disertai tenaga lwee-kang sepenuhnya sehingga biarpun nampaknya
hanya memukul perlahan saja namun akan menghancurkan isi dada dan
mendatangkan luka dalam yang berbahaya sekali. Akan tetapi, dengan sengaja Kong
Lee merubah gerakannya dan memukul dengan keras sekali, menggunakan tenaga
gwa-kang (tenaga luar) sehingga terdengar suara “buk!” yang keras ketika kepalan
tangannya menumbuk dada Pauw kian hingga kepala rampok itu terdorong jauh dan
jatuh bergulingan!
Akan tetapi, karena Kong Lee hanya menggunakan tenaga gwa-kang, maka Pauw
Kian tidka menderita luka dalam, hanya kulit dadanya saja menjadi matang biru!
Setelah dapat berdiri lagi, Pauw Kian menjura ke arah Kong Lee.
“Liong-san Tung-hiap! Kau orang muda sungguh mengagumkan. Aku Pauw Kian
benar-benar tunduk dan takluk!” setelah berkata demikian, Pauw Kian menjatuhkan
diri duduk di atas tanah dengan muka merah.
Coa Kim Nio dengan sangat kagum lalu menghampiri Kong Lee dan berkata dengan
lagak menarik hati, “Lim-kongcu, kau sungguh-sungguh hebat dan membuat aku
kagum sekali! kita harus menjadi sahabat baik!” sambil berkata demikian, gadis ini
menggunakan jari-jari tangannya yang halus menyentuh tangan Kong Lee.
Pemuda ini tersenyum saja lalu berkata perlahan, “Pantaskah aku menjadi sahabat
Kim-gan-eng yang perkasa? Harap kauingat, siocia, lima tahun yang lalu aku berlutut
di depanmu dan mohon menjadi muridmu, tapi kau tidak sudi menerimaku!”
Untuk beberapa lama Coa Kim Nio tidak mengerti maksud kata-kata ini dan
memandang heran dengan kedua matanya yang bagus itu terbelalak lebar, lalu ia
berkata heran, “Lim-kongcu apa ... apakah maksudmu?”
“Siocia, masih ingatkah kau kepada Gan-piauwsu yang dulu kaurobohkan? Dan masih
ingatkah kau akan seorang pengemis muda yang juga kaurobohkan dalam dua kali
gerakan saja? Kemudian pengemis muda itu mengejarmu dan mohon menjadi murid,
tapi kau menolaknya dengan penuh penghinaan? Nah, akulah pengemis itu, maka
jangan kausebut aku kongcu!”
Pucatlah wajah Coa Kim Nio yang cantik!
Hampir saja ia tidak percaya atas keterangan ini, sungguhpun ia masih ingat dengan
samar-samar wajah pengemis muda yang dulu minta menjadi muridnya.
“Ah ... jadi kaukah anak muda dulu itu?” kemudian Coa Kim Nio tertawa. “Nah,
bukankah benar penolakanku dulu? Kalau kau menjadi muridku, maka kepandaianmu
takkan sehebat sekarang ini.”
Kong Lee lalu menjura kepadanya dan kepada Pauw Kian.
“Maafkanlah aku, sekarang aku harus pergi dari sini melanjutkan perantauanku.”
Koleksi Kang Zusi
Pemuda itu lalu membalikkan tubuh dan hendak pergi.
“Lim-taihiap, tunggu ... ” kata Coa Kim Nio yang mengejarnya.
“Ada apa, Nona?”
“Kau ... kau hendak ke mana?”
“Hendak meneruskan perjalananku, sampai aku tiba kembali di kampungku.”
“Di mana kampungmu?”
“Di Bi-ciu!”
“Kalau begitu, kita menuju ke jurusan yang sama. Taihiap tidak keberatankah kau
kalau kita jalan bersama-sama?”
Untuk sesaat Kong Lee merasa ragu-ragu. Ia tidak tahu harus menerima atau menolak.
Untuk menolak, ia merasa tidak enak, pula ia memang tertarik oleh sikap dan wajah
cantik jelita dari nona ini sehingga ia tahu bahwa melakukan perjalanan bersama gadis
ini akan menyenangkan sekali. akan tetapi kalau ia menerima iapun merasa malu.
Maka ia lalu berkata, “Terserah saja kepadamu, nona. Jalan di muka bumi ini bukan
milikku pribadi, siapa saja boleh pakai maka bagaimana aku bisa melarangmu?”
Coa Kim Nio menjadi girang sekali sehingga wajahnya yang cantik berseri
menambah manisnya.
“Sumoi, kau jangan mencari perkara lagi!” kakak seperguruannya menegur. “Tinggal
saja di sini dan bantu pekerjaanku.”
“Ah, aku sudah bosan dengan pekerjaan merampok!” kata gadis itu tak peduli, lalu
menarik tangan Kong Lee mengajak pergi dari situ.
“Baik, kalau begitu, jangan kau kembali lagi ke sini!” teriak Pauw Kian dengan
marah.
Akan tetapi, Kim Nio dan Kong Lee telah pergi jauh dengan berlari cepat.
Coa Kim Nio benar-benar merupakan kawan seperjalanan yang baik dan
menggembirakan. Nona ini selain luas pengalamannya, juga bersikap jenaka dan
dalam segala hal berusaha menyenangkan hati Kong Lee. Sebaliknya Kong Lee
adalah seorang pemuda yang baru berusia dua puluh tahun dan pengalamannya dalam
hal pergaulan, terutama dengan seorang wanita masih dangkal dan hijau. Maka kini
setelah bertemu dengan seorang gadis yang cantik dan pandai mengambil hati, tidak
heran bahwa ia jatuh hati dan timbul rasa sayang dan cinta di dalam hatinya terhadap
Coa Kim Nio. Ia maklum bahwa gadis itu sedikitnya empat atau lima tahun lebih tua
daripadanya, namun dilihat dari luar, tampaknya gadis itu lebih tua darinya, karena
memang Coa Kim Nio memiliki kecantikan yang membuat ia nampak masih muda
sekali.
Mereka melakukan perjalanan dengan gembira dan selama itu Kim Nio
memperlihatkan sikap yang sopan dan mereka berdua selalu menjaga agar di dalam
pergaulan dan hubungan mereka selalu tidak melanggar batas-batas kesusilaan. Hal
ini tentu saja selalu dijaga oleh Kong Lee yang memang masih bersih hatinya dan ia
sama sekali tidak pernah menyangka bahwa di dalam hati gadis itu timbul rasa cinta
yang besar terhadap dirinya! Ia hanya menganggap bahwa nona itu sangat baik hati
dan menganggap ia sebagai seorang saudara atau kawan baik.
Pada suatu hari, pernah Kong Lee menyatakan kekecewaannya mengapa gadis itu
sampai tersesat dan menjadi seorang perampok.
Coa Kim Nio hanya tersenyum dan menjawab, “Bukankah sekarang aku telah tobat
dan belajar menjadi orang baik-baik?”
Mendengar jawaban ini, Kong Lee tertawa dan hatinya merasa girang dan puas.
Ketika gadis itu minta ia menuturkan riwayatnya, Kong Lee lalu menceritakan dengan
terus terang. Kim Nio terkejut ketika mendengar bahwa anak muda itu adalah murid
Liong-san Lo-kai yang termahsyur itu.
Koleksi Kang Zusi
“Pantas saja kau demikain hebat, kiranya kau adalah murid locianpwe itu,” katanya
kagum.
Dan ketika mendengar bahwa suhunya berpesan agar ia menantang pibu dan mencoba
kepandaian para tokoh Go-bi-san, Kim Nio menjadi girang sekali.
“Lim-taihiap,” katanya dengan wajah sungguh-sungguh. “Orang-orang Go-bi-pai
memang terkenal sombong, karena mereka memang memiliki ilmu pedang yang
hebat. Kiam-hwat (ilmu pedang) dari Go-bi sukar sekali dilawan, dan aku sendiri
pernah bertempur melawan seorang anak murid Go-bi bernama Louw Bin Tong.
Walaupun aku dapat menang, akan tetapi hal ini hanya terjadi setelah kami bertempur
lebih dari dua ratus jurus dan hanya karena lwee-kangku lebih tinggi sedikit dari
lwee-kangnya. Kebetulan sekali diapun pernah menantang aku supaya naik Go-bi-san,
maka bagaimana pikiranmu kalau kita sekarang saja langsung naik ke Go-bi-san
untuk sekalian memenuhi perintah suhumu?”
“Tapi aku ingin pulang dulu ke Bi-ciu hendak bertemu dengan ibuku yang telah lama
kutinggalkan,” jawab Kong Lee.
“Kalau kau pulang dulu ke Bi-ciu, maka perjalanan itu akan makan waktu lama sekali
karena ke Go-bi-san jalannya memutar. Sebaliknya kalau sekarang kita langsung
pergi ke Go-bi-san, kita akan menghemat waktu dan perjalanan,” gadis yang sudah
banyak merantau itu lalu menerangkan jalan yang menuju ke Go-bi-san dan Bi-ciu.
Akhirnya Kong Lee setuju dan mereka lalu membelok ke barat untuk menuju ke
pegunungan Go-bi yang luas itu.
Perjalanan ke Go-bi-san memakan waktu dua pekan lebih dan ketika mereka tiba di
bukit itu, tiada habisnya Kong Lee mengagumi pemandangan di perjalanan mendaki
gunung itu. Perjalanan mendaki gunung itu dilakukan dengan mudah dan tidak
banyak mengalami rintangan-rintangan karena mereka berdua memiliki kepandaian
tinggi. Jurang-jurang yang hanya beberapa tombak lebarnya dapat mereka lompati
begitu saja dan mereka mendaki batu-batu karang dengan cepat bagaikan jalan di
tanah datar saja.
Pada waktu itu, di lereng gunung Go-bi-san terdapat sebuah kuil besar dan di sinilah
para pemuda Go-bi-pai berdiam. Yang menjadi ketua pada waktu itu adalah seorang
hwesio bernama Liat Song Hosiang, akan tetapi sudah sepuluh tahun lebih hwesio tua
yang lihai ini menyembunyikan dirinya dalam sebuah kamar di kuil itu dan tak pernah
keluar! Untuk mengurus semua keperluan, diserahkan kepada tiga orang murid
keponakannya, yakni Bok Ti Hwesio, Kim Ti Hwesio, dan Hok Ti Hwesio, muridmurid
dari sute Liat Song Hosiang yang telah meninggal dunia. Adapun Liat Song
Hosiang sendiri tak pernah mempunyai seorang murid.
Ketika masih dipimpin langsung oleh Liat Song Hosiang dan sutenya Hwat Song
Hosiang yang telah meninggal dunia, kumpulan Go-bi terkenal sekali sebagai sebuah
perkumpulan persilatan yang berdisiplin dan maju. Akan tetapi, semenjak
meninggalnya Hwat Song Hosiang dan semenjak Liat Song Hosiang mengundurkan
diri dan mencuci tangan dari segala urusan dunia menyembunyikan diri di dalam
kamar dan tiap hari kerjanya hanya bersamadhi saja, maka di bawah pimpinan ketiga
hwesio yang disebut Go-bi Sam-lojin atau Tiga Orang Tua dari Go-bi itu, keadaan
Go-bi-pai mengalami kemunduran. Hal ini terjadi karena ketiga hwesio itu memang
mempunyai sifat yang sombong dan memandang rendah kepada kumpulan persilatan
lain, sehingga kesombongan ini membuat mereka tidak mau memperdalam ilmu silat
cabang mereka.
Dulu ketika murid Liong-san Lo-kai naik ke Go-bi-san, ia bertemu dengan ketiga
hwesio ini dan dikeroyok tiga hingga mengalami kematian. Biarpun pertempuran itu
merupakan pibu, akan tetapi karena kedua pihak baik murid Liong-san Lo-kai
Koleksi Kang Zusi
maupun ketiga pemimpin Go-bi-pai itu mempunyai tabiat sombong, maka terjadilah
pertempuran mati-matian sehingga mengorbankan jiwa. Dan ketika pertempuran itu
terjadi, Liat Song Hosiang tidak diberitahu sehingga pertapa tua ini tidak tahu bahwa
murid-murid keponakannya telah menewaskan seorang murid Liong-san-pai.
Sebetulnya di atas pegunungan Go-bi-san yang luas sekali itu terdapat banyak orangorang
pandai yang memiliki kepandaian silat dan kesaktian yang berbeda-beda. Juga
keadaan mereka berbeda, ada yang menganut agama To dan menjadi tosu, ada pula
yang menganut agama Buddha seperti Liat Song Hosiang dan semua penghuni kuil
besar itu. Oleh karena itu, maka tentang Go-bi-pai atau perkumpulan persilatan
cabang Go-bi ini seringkali membingungkan orang. Yang mengaku sebagai
perkumpulan persilatan cabang Go-bi saja ada tiga buah yang mempunyai ilmu silat
berlainan sekali, di antaranya Liat Song Hosiang dan dua buah rombongan para tosu.
Sedangkan di samping itu, masih banyak sekali tidak mau mengaku sebagai
perkumpulan Go-bi dan tinggal diam saja sebagai pertapa-pertapa yang saleh!
Oleh karena inilah, maka di dunia kang-ouw, seringkali terjadi ada seorang ahli silat
yang mengaku dari perkumpulan Go-bi-pai tapi berkepandaian rendah sekali, tapi ada
pula muncul ahli silat lain yang juga mengaku anak murid Go-bi, tapi kepandaiannya
berlainan sekali dan hebat!
Perkumpulan Go-bi-san yang dicari oleh Kong Lee adalah rombongan Liat Song
Hosiang inilah, maka ia tidak salah pilih dan datang di tempat yang betul. Akan tetapi,
musuh Coa Kim Nio yang mengaku anak murid Go-bi-pai dan bernama Louw Bin
Tong itu, sama sekali bukan anak murid dari Go-bi Sam-lojin, akan tetapi anak murid
seorang tosu bernama Pek-mau Tosu yang bertapa di puncak lain!
Ketika kedua anak muda itu tiba di depan kuil, mereka disambut oleh anak-anak
murid kuil itu tetapi mereka menyambut dengan ramah tamahh seperti lazimnya
pendeta-pendeta yang menjalani penghidupan suci.
“Ji-wi datang darimana dan ada keperluan apa maka mendatangi kuil kami?” tanya
seorang penerima tamu, yakni seorang hwesio gundul yang sudah lanjut usianya dan
bertubuh kurus tinggi.
“Teecu bernama Lim Kong Lee dan kedatanganku ke sini adalah hendak menjumpai
ketua Go-bi-pai.”
Hwesio tua tinggi kurus itu memandang tajam.
“Ketua kami adalah Go-bi Sam-lojin, entah yang manakah yang hendak sicu jumpai?”
Kong Lee sudah mendengar dari suhunya, bahwa suhengnya yang tewas itu memang
dirobohkan oleh ketiga tokoh Go-bi itu, maka ia menjawab, “Teecu hendak bertemu
dengan ketiga-tiganya!”
Pandangan mata hwesio itu makin heran, lalu katanya, “Tunggulah sebentar, biar
pinceng memberi laporan kepada ketiga ketua kami itu.”
Tak lama kemudian, dari dalam keluar tiga orang hwesio yang usianya kurang lebih
enam puluh tahun. Mereka ini kurus-kurus dan dengan dada terangkat mereka keluar
menemui Kong Lee. Dalam pakaian pendeta dan kepala mereka yang gundul licin itu,
mereka tampak hampir sama, baik bentuk badan maupun wajah mereka.
Kong Lee cepat bangun berdiri dan menjura. “Apakah saya berhadapan dengan Go-bi
Sam-lojin yang terhormat?”
“Betul, sicu. Kami adalah Go-bi Sam-lojin. Pinceng sendiri bernama Bok Ti, ini
suteku Kim Ti, dan itu Hok Ti. Sicu ini siapa dan ada keperluan apa mencari kami?”
“Saya datang dari Liong-san dan kedatanganku ini tak lain karena mengingat akan
kehebatan sam-wi suhu yang dulu pernah memberi pelajaran kepada suhengku, maka
hatiku menjadi kagum sekali dan harap sam-wi suhu suka berlaku murah dan
memberi petunjuk kepada aku orang muda.”
Koleksi Kang Zusi
Ketiga hwesio itu saling lirik dan Bok Ti Hosiang berkata sambil tersenyum, “Ahh,
jadi sicu ini seorang anak murid dari Liong-san? Bagus, bagus! Ternyata Liong-san
Lo-kai mempunyai murid-murid yang muda, gagah, dan bersemangat! Apakah nona
ini juga murid dari Liong-san?” tanyanya sambil melirik Coa Kim Nio.
Nona itu menggelengkan kepala dan menjawab, “Bukan, aku hanyalah seorang
sahabat saja dari Lim-taihiap, akan tetapi akupun mempunyai sedikit urusan dengan
seorang anak murid Go-bi yang bernama Lauw Bin Tong!”
“Kami tidak mempunyai seorang anak murid bernama Lauw Bin Tong di sini,” jawab
Bok Ti Hosiang, lalu hwesio tua ini berkata kepada Kong Lee, “Dan kau, sicu.
Apakah maksudmu hendak mengadu ilmu kepandaian?”
“Saya hanya mohon sedikit pelajaran dari sam-wi suhu.”
“Tapi kami Go-bi Sam-lojin selalu maju bersama-sama,” jawab Bok Ti Hosiang yang
dapat menduga bahwa kepandaian pemuda dari Liong-san itu tentu tinggi, kalau tidak,
maka tak mungkin ia berani naik ke Go-bi untuk mengajak pibu!
Kong Lee maklum akan kelicikan orang itu, maka sambil tersenyum ia berkata,
“Kalau sam-wi suhu hendak maju bersama memberi petunjuk, maka hal itu lebih baik
bagi saya, karena sekali bergerak dapat menerima banyak pelajaran!”
Mendengar jawaban ini, merahlah wajah Bok Ti Hosiang. Untuk menutupi rasa
malunya ia berkata, “Karena nona ini datang bersamamu, maka boleh kalian berdua
maju menghadapi kami. Mari, mari sicu dan kau nona, kita pergi ke lian-bu-thia untuk
bermain-main sebentar!” setelah berkata demikian hwesio kurus ini bersama kedua
sutenya lalu mendahului tamunya menuju ke ruang dalam, diikuti oleh Kong Lee dan
Kim Nio.
Sedangkan para anak murid Go-bi yang telah mendengar bahwa kedua orang muda itu
datang hendak mengajak pibu dengan ketiga ketua mereka, segera meninggalkan
pekerjaan masing-masing untuk menonton!
Ruang tempat berlatih silat itu luas sekali dan kini telah dikelilingi oleh anak murid
Go-bi yang jumlahnya dua puluh orang hwesio lebih. Mereka berdiri diam sebagai
patung, tak berani bergerak atau membuat gaduh karena takut ditegur oleh ketiga
ketua mereka.
Sementara itu, Go-bi Sam-lojin telah membuka jubah mereka dan hanya mengenakan
pakaian yang ringkas, walaupun lengan baju mereka masih lebar. Ikat pinggang warna
kuning mengikat pinggang mereka dan pakaian mereka berwarna putih.
“Anak muda, majulah!” kata Bok Ti Hosiang, sementara itu Kim Ti Hosiang dan Hok
Ti Hosiang sudah berdiri di kanan kirinya dengan kedua kaki terpentang dan tangan
tergantung di kanan kiri.
Akan tetapi Kong Lee memberi isyarat kepada Kiim Nio dan maju seorang diri
menghadapi Go-bi Sam-lojin. Sambil menarik keluar tongkat bambunya, Kong Lee
berkata, “Sam-wi suhu, janganlah berlaku segan-segan, karena sesungguhnya aku
ingin sekali berkenlan dengan kehebatan kiam-hwat dari Go-bi-pai!”
Ketiga hwesio itu saling pandang.
“Sicu,” kata Kim Ti Hosiang. “Betul-betulkah kau hendak pibu dengan senjata tajam?
Ingat, sicu, dulu ketika kami bertiga merobohkan suhengmu hingga tewas, kami
benar-benar merasa menyesal sekali dan tidak ingin mengulangi lagi peristiwa itu!”
Kong Lee tersenyum. “Terima kasih atas kekuatiran ini, tapi aku akan menjaga diri
baik-baik!”
Terpaksa ketiga hwesio itu mencabut keluar pedang mereka dan membuat gerakan
mengurung. Tapi Kong Lee bersikap tenang dan menyilangkan tongkatnya di dada
menanti serangan.
Go-bi Sam-lojin maklum bahwa anak muda yang sangat sopan santun ini tentu tidak
Koleksi Kang Zusi
mau menyerang lebih dulu, maka sambil berseru, “Awas pedang!”
Bok Ti Hosiang mendahului membuka serangan. Melihat datangnya seranganserangan
yang sangat cepat dan kuat ini, diam-diam Kong Lee harus mengakui lawanlawannya
benar-benar memiliki kepandaian tinggi dan ia harus berlaku hati-hati
sekali. maka tanpa berlaku segan-segan lagi ia getarkan tongkatnya dan menangkis
dengan gerakan tongkat menendang.
Bok Ti Hosiang ketika merasa betapa pedangnya terbentur oleh tongkat itu dan
seakan-akan tertendang kembali, merasa kaget dan tahu bahwa anak muda ini
memiliki kepandaian jauh lebih hebat daripada kepandaian murid Liong-san yang
dulu mereka robohkan. Maka ia lalu mengerakkan pedangnya dengan cepat, ditiru
oleh kedua sutenya sehingga tak lama kemudian Kong Lee dikeroyok oleh tiga batang
pedang yang digerakkan secara hebat.
Ilmu pedang dari Bok Ti Hosiang dan kedua sutenya adalah ilmu pedang keturunan
yang disebut Gin-ho Kiam-hwat (Ilmu Pedang Burung Ho Perak) dan diciptakan oleh
guru Liat Song Hosiang, yakni sucouw dari Bok Ti Hwesio dan sutenya. Biarpun
ketiga hwesio ini baru memiliki enam bagian saja dari ilmu pedang yang hebat itu,
namun ilmu pedang mereka sudah hebat sekali, karena memang Gin-ho Kiam-hwat
memiliki gerakan-gerakan yang cepat dan kuat serta mempunyai pecahan-pecahan
yang tak terhitung banyaknya. Maka kini dengan maju bertiga, mereka merupakan
lawan berat bagi Kong Lee!
Akan tetapi, Kong Lee telah mempelajari Liong-san Koai-tung-hwat dengan
sempurna sehingga boleh dibilang sembilan bagian dari ilmu itu telah dapat ia
jalankan dengan baik, ditambah lagi dengan usianya yang masih muda hingga tentu
saja ia jauh lebih kuat daripada ketiga lawannya yang sudah tua. Ia dapat melawan
dengan baik dan belum terdesak walaupun mereka telah bertanding selama ratusan
jurus! Sebentar saja dua ratus jurus telah terlewat dan mash saja mereka bertempur
ramai sekali.
Sementara itu, Kim Nio melihat permainan pedang ketiga hwesio itu merasa heran
karena gerakan-gerakan mereka berbeda sekali dengan gerakan Lauw Bin Tong yang
mengaku anak murid Go-bi itu.
Demikianlah, ia memandang dengan penuh kekuatiran. Ia melihat betapa ketiga orang
hwesio tua itu telah lenyap terbungkus sinar pedang mereka sendiri yang sungguhsungguh
hebatm sementara itu, di tengah-tengah terkurung oleh tiga gulungan sinar
pedang itu, Kong Lee mainkan tongkatnya dengan gerakan yang kelihatan lambat,
tapi yang dapat memunahkan semua serangan pedang yang menuju kepada tubuhnya!
Tiba-tiba Kong Lee berseru keras dan tubuhnya lalu melayang ke atas dan menyerang
dari atas dengan tongkatnya ke arah Kim Ti Hosiang!
Dalam sekejap mata saja anak muda itu merubah ilmu tongkatnya dan kini ia
mengeluarkan gerak-geraknya yang gesit dan gin-kangnya yang hebat! Tadi memang
sengaja ia mainkan bagian yang lambat untuk menghemat tenaga dan napas. Setelah
pertempuran berjalan hampir tiga ratus jurus dan lawannya sudah nampak lelah dan di
jidat mereka telah keluar peluh maka tiba-tiba ia merubah ilmu silatnya dan kini
bergerak cepat sekali, melebihi kecepatan lawan-lawannya. Kini dialah yang
menyerang karena sambil berkelebat ke sana ke mari ia dapat memecahkan kurungan
ketiga lawannya dan menyerang mereka berganti-ganti!
Akan tetapi ketiga hwesio itu bukan orang-orang lemah. Selain memiliki ilmu
kepandaian tinggi, mereka juga mempunyai pengalaman bertempur yang luas
sehingga tidak mudah dibuat kaget begitu saja oleh perubahan gerakan Kong Lee.
Biarpun telah berpencar dan tidak mengurung lagi, namun karena Kong Lee harus
menyerang ketiga-tiganya, maka datangnya serangan itu berkurang cepatnya dan
Koleksi Kang Zusi
mereka tidak terlalu terdesak dan masih dapat menangkis dengan baik. Hanya kini
Kong Lee berada di pihak penyerang karena gerakannya yang gesit menyambar ke
sana ke mari itu membuat para lawannya sukar sekali untuk balas menyerang.
Demikianlah, seratus jurus terlewat pula tanpa ada ketentuan kalah menang dalam
pertempuran yang hebat itu!
Dua puluh orang anak murid Go-bi-pai yang menonton pertempuran itu tak berani
bergerak dan hati mereka berdebar tegang karena selama mereka berada di situ telah
mengalami banyak sekali pertempuran pibu, akan tetapi belum pernah melihat
pertempuran seramai ini. Terutama sekali bagi Kim Nio, ia makin kagum akan
kehebatan Kong Le dan hatinya makin mencintai anak muda yang gagah perkasa itu.
Sementara itu, Go-bi Sam-lojin diam-diam terkejut sekali dan mengeluh, karena Kong
Lee benar-benar merupakan lawan tangguh yang belum pernah mereka temukan
selama hidup mereka.
Sebaliknya, Kong Lee sendiri yang baru kali ini keluar dari perguruan dan
menghadapi lawan-lawan luar biasa uletnya, menjadi penyerang, namun seranganserangannya
selalu dapat dibatalkan lawan dan kalau terus-menerus seperti ini halnya,
maka dia sendirilah yang akan kehabisan tenaga karena ia harus mengeluarkan tenaga
tiga kali lipat dari tenaga yang dikeluarkan oleh masing-masing lawannya! Maka ia
lalu mencari akal dan tiba-tiba merubah lagi gerakan serangannya.
Kini ia tidak menyerang bergantian kepada tiga orang lawannya, akan tetapi
mendesak Hok Ti Hosiang yang paling lemah di antara ketiga orang tua itu. Ia
mendesak terus dan mengirim serangan langsung bertubi-tubi kepada Hok Ti Hosiang
ini yang tidak menyangka akan mendapat serangan bertubi-tubi karena tadinya anak
muda itu hanya memberi bagian sekali atau sejurus serangan lalu berpindah
menyerang yang lain, menjadi sibuk sekali.
Setelah dapat menangkis tiga buah serangan berturut-turut, serangan ke empat yang
dilakukan cepat sekali tak dapat ia tangkis dan pundak kanannya kena ditotok oleh
ujung tongkat bambu anak muda yang hebat itu! Ia terhuyung ke belakang dan
pedangnya terlepas dari pegangan tangannya yang menjadi lumpuh!
Hok Ti Hosiang dengan meringis kesakitan lalu melompat keluar dari kalangan
pertempuran karena tangan kanannya tergantung lumpuh tak dapat digerakkan lagi!
Bok Ti Hosiang dan Kim Ti Hosiang tentu saja merasa terkejut dan marah sekali.
mereka tak berdaya membela sutenya karena serangan Kong Lee dirubah tiba-tiba itu
tak mereka sangka sehingga Hok Ti Hosiang kena tertotok. Kini keduanya maju
bersama-sama dan mengamuk dengan hebat sambil mengirim serangan-serangan
maut. Akan tetapi, dengan mengeroyok bertiga saja mereka tidak mampu
menjatuhkan Kong Lee, apalagi kini hanya berdua!
Dengan tenang dan mudah saja anak muda itu dapat mematahkan semua serangan
yang bergelombang ini dan balas menyerang. Karena tenaga kedua hwesio tua ini
memang telah banyak berkurang, maka dalam saat yang baik sekali Kong Lee
berhasil pula menendang pergelangan tangan Kim Ti Hosiang sehingga pedang
hwesio itu terlempar ke atas dan jatuh di atas lantai mengeluarkan suara nyaring!
Tendangan Kong Lee dilakukan dengan ujung sepatu dan tepat mengenai urat besar
sehingga tangan Kim Ti Hosiang juga terluka hebat karena sambungan tulangnya
terlepas dan dia menjadi tidak berdaya dan tak mampu maju membantu lagi.
Kini Kong Lee hanya menghadapi Bok Ti Hosiang seorang yang memiliki
kepandaian paling tinggi di antara ketiga tokoh Go-bi-san itu. Bok Ti Hosiang
mengumpulkan semua tenaganya dan melawan mati-matian sambil mengeluarkan
ilmu pedangnya yang paling hebat sehingga untuk beberapa lama Kong Lee tak dapat
merobohkannya. Kini Bok Ti Hosiang menggunakan pedang membabat ke arah
Koleksi Kang Zusi
tongkat sehingga kalau saja tongkat ini kena terbabat maka dapat terputuskan oleh
pedangnya yang tajam.
Namun bambu di tangan Kong Lee adalah bambu kering yang ringan sekali hingga
tak mungkin diputuskan begitu saja oleh benturan pedang. Kong Lee menggunakan
tenaga lemas untuk membuat bambunya terpental dan sambil menuruti gerakan
pedang lawan, ia teruskan tongkatnya itu untuk menyerang. Karena gerakan ini tak
terduga sama sekali, yakni ketika bambu itu terbentur dan terpental ke samping tapi
cepat sekali lalu meluncur dari samping ke arah lambung, hwesio ini berseru kaget
dan cepat mengelak ke belakang.
Tapi Kong Lee tidak mau memberi ampun lagi dan ujung bambunya terus mengikuti
tubuh lawannya, menotok punggung dari samping kanan dan dengan tepat menotok
jalan darah siauw-hing-hiat sehingga Bok Ti Hosiang tak dapat mengelak lagi. Sambil
berteriak nyaring tubuh hwesio ini terguling dan pedangnya terlempar!
Masih untung baginya bahwa pemuda itu tidak mempunyai niat membunuh, sehingga
setelah menggunakan tangan kiri mengurut beberapa kali pada punggung yang
tertotok, ia dapat melompat berdiri lagi dengan muka pucat.
Ketiga hwesio ini maklum bahwa betapapun juga, Kong Lee tidak bermaksud jahat
dan hanya ingin mengalahkan mereka belaka, maka diam-diam mereka memuji anak
muda yang berkepandaian tinggi itu.
“Sicu,” Bok Ti Hosiang menjura sambil merangkapkan kedua tangannya,
“kepandaian sicu sungguh tinggi dan kami bertiga mengaku kalah. Biarlah lain waktu
kalau kami masih berusia panjang, kami balas kebaikan sicu ini.”
Sebelum Kong Lee dapat menjawab, tiba-tiba dari dalam kuil itu menyambar
bayangan merah kepadanya. Ia kaget sekali karena bayangan merah itu adalah
seorang kanak-kanak berusai paling banyak dua belas tahun dan datang-datang anak
itu menyerang dengan sebuah pukulan yang berbahaya sekali ke arah lambungnya!
Kong Lee cepat mengelak, tapi sebelum ia dapat menegur, anak berbaju merah itu
menyerangnya lagi dengan pukulan-pukulan aneh yang sukar ditangkis!
“Ang-ji, jangan kurang ajar!” bentak Bok Ti Hosiang kepada anak baju merah itu
yang dipanggilnya Ang-ji atau anak merah.
Akan tetapi anak itu sambil menyerang terus menjawab, “Bok-suhu, orang ini telah
mengacau kuil kita, maka harus dihukum!” dan serangannya makin cepat.
Kong Lee benar-benar heran dan terkejut. Heran karena mengapa di dalam kuil ini
terdapat seorang anak kecil bukan hwesio karena kepalanya memelihara rambut
panjang yang dikepang menjadi dua sedangkan pakaiannya berwarna merah pula!
Anak ini berwajah cakap dan kulitnya putih halus. Ia terkejut karena ilmu silat anak
ini ternyata hebat sekali dan gerakan-gerakannya walaupun terdapat persamaan
dengan ketiga hwesio yang tadi mengeroyoknya, namun lebih cepat dan mengandung
bagian-bagian yang aneh! Kalau saja ia kurang hati-hati, pasti ia telah kena terpukul
oleh bocah ini! Maka ia tidak mau berlaku sembrono melayani anak kecil ini dengan
ilmu silat Liong-san Kun-hwat!
Kong Lee hendak mengalahkan anak ini tanpa melukainya, akan tetapi ia kecele.
Ternyata kepandaian anak ini biarpun belum matang, namun tingkatnya tidak di
bawah ketiga hwesio itu, bahkan lebih sukar dilawan! Dua kali tangan anak itu
berhasil menampar dadanya dan kalau saja lwee-kang anak ini setingkat dengannya,
pasti ia telah roboh olehnya. Kong Lee menjadi panas sekali dan sekarang ia
mengeluarkan serangan-serangan yang hebat, dan kalau perlu ia harus merobohkan
anak ini, asal tidak membunuhnya. Maka bertempurlah keduanya dengan ramai
sekali.
Kim Nio tercengang melihat gerakan-gerakan anak kecil itu karena begitu cepat dan
Koleksi Kang Zusi
gesit, diam-diam ia mengakui bahwa ia sendiri belum tentu dapat mengalahkan anak
baju merah itu!
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar orang batuk dan tahu-tahu di situ telah berdiri
seorang hwesio yang memelihara rambut. Hwesio ini kurus sekali dan wajahnya
pucat, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan cahaya berapi. Semua hwesio
yang berada di sini, termasuk Go-bi Sam-lojin, segera berlutut ketika melihat hwesio
tua itu!
“Ang-ji, mundurlah.”
Hwesio ini berkata dengan halus dan Ang-ji lalu melompat keluar dari kalangan
pertempuran. Kong Lee menghela napas lega karena tadi berada dalam keadaan yang
sulit sekali. Kalau sampai ia kalah oleh anak kecil itu, tentu ia merasa malu sekali
akan tetapi kalau ia terpaksa melukainya, ia akan merasa menyesal, karena iapun
merasa sayang kepada anak yang tinggi ilmu kepandaiannya itu. Kini ia menengok ke
arah hwesio yang menyuruh Ang-ji mundur dan heranlah ia melihat betapa semua
hwesio di situ berlutut di depan hwesio tua renta ini.
Iapun lalu menjura dalam sekali untuk menyatakan hormatnya.
“Bagus, bagus! Si Pengemis tua kini telah memperoleh seorang murid yang baik.
Sicu, kau telah berhasil menjunjung tinggi nama Liong-san-pai yang sesungguhnya
tidak harus kalah oleh Go-bi-pai!” kemudian hwesio itu berkata kepada Ang-ji, anak
merah itu, “Ang-ji, lain kali kau jangan lancang tangan sebelum mendapat ijin
dariku!”
Kong Lee menjura lagi dan bertanya, “Mohon dimaafkan jika teecu mengganggu kuil
ini. Bolehkah kiranya teecu mengetahui nama locianpwe yang mulia dan siapa pulalah
adik kecil ini?”
Hwesio tua itu tersenyum hingga mulutnya yang tak bergigi lagi itu tampak.
“Anak muda, pinceng bernama Liat Song Hosiang dan Ang-ji adalah anak baik yang
melayani pinceng selama pinceng mengasingkan diri.”
Terkejutlah Kong Lee mendengar ini. Suhunya pernah berpesan kepadanya bahwa
jika ia naik ke Go-bi-san dan bertemu dengan seorang hwesio tua bernama Liat Song
Hosiang, maka ia tidak boleh berlaku kurang ajar dan harus menyatakan hormatnya
karena hwesio tua itu adalah ketua Go-bi-pai yang berkepandaian tinggi sekali dan
menjadi sahabat Liong-san Lo-kai!
Kong Lee tadi telah melihat kepandaian Ang-ji yang demikian tinggi, padahal Ang-ji
hanyalah pelayan saja dari hwesio tua ini, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya
Liat Song Hosiang!
Mengingat akan pesan suhunya, Kong Lee lalu menjatuhkan diri berlutut di depan
hwesio itu dan berkata, “Mohon locianpwe sudi memaafkan teecu yang telah berani
berlaku kurang ajar.”
“Ha, ha, Lo-kai ternyata pandai mendidik muridnya. Bangunlah, anak muda!” sambil
berkata demikian, hwesio tua itu menggunakan tongkatnya yang melengkung untuk
mengait pundak Kong Lee dan menariknya.
Kong Lee maklum bahwa orang tua itu hendak mencoba kepandaiannya, maka ia
mengerahkan lwee-kangnya dan tetap berlutut. Heran sekali, biarpun ia masih tetap
berlutut, tapi pendeta tua itu berhasil mengangkat tubuhnya yang masih berlutut itu ke
atas hanya dengan menyongkel perlahan dengan tongkatnya.
“Ha, ha, kau pandai sekali, anak muda. Pantas sekali menjadi murid kawan baikku.”
Tiba-tiba hwesio tua itu berpaling kepada Go-bi Sam-lojin yang masih berlutut dan
menahan sakit karena luka-luka mereka bekas tangan Kong Lee tadi.
“Kalian tiga orang tua yang seperti kanak-kanak! Biarlah hari ini menjadi pelajaran
pahit bagi kalian agar lain kali suka menjaga diri dan menekan nafsu. Masih baik
Koleksi Kang Zusi
bahwa Liong-san Lo-kai mengirim muridnya hanya untuk memperlihatkan bahwa
ilmu silat Liong-san-pai tidaklah serendah yang kalian anggap, dan sama sekali orang
tua itu tidak menaruh dendam atas kematian muridnya yang dulu!” Kemudian Liat
Song Hosiang lalu berkata lagi kepada Kong Lee, “Kalau kau bertemu dengan
suhumu, sampaikan salamku kepadanya.”
Setelah berkata demikian, hwesio tua itu lalu berjalan kembali ke ruang dalam, diikuti
oleh Ang-ji Si Anak Baju Merah.
Go-bi Sam-lojin lalu berdiri sambil menjura menyatakan maaf kepada Kong Lee.
Setelah saling mengucapkan kata-kata merendah, Kong Lee mengajak Kim Nio
meninggalkan tempat itu. Tapi gadis itu masih merasa gemas karena belum bertemu
dengan Lauw Bin Tong yang dulu menantangnya supaya naik ke Go-bi-san.
Nona ini lalu bertanya kepada Go-bi Sam-lojin, “Sam-wi totiang, mohon tanya
apakah benar-benar di sini tidak ada seorang muridmu bernama Lauw Bin Tong?” ia
lalu menuturkan betapa dulu ia pernah bertempur melawan orang she Louw itu yang
menantangnya naik ke Go-bi-san.
“Entahlah, nona. Di sini benar-benar tidak ada orang she Louw itu. Barangkali di
puncak lain di daerah ini masih ada rombongan lain yang mengaku sebagai
perkumpulan cabang Go-bi, karena ketahuilah bahwa Go-bi-san adalah luas sekali
dan banyak didiami orang-orang pandai.”
Terpaksa Coa Kim Nio dengan kecewa sekali mengikuti Kong Lee turun gunung. Di
sepanjang jalan Kim Nio tiada hentinya memuji kepandaian anak muda itu sehingga
Kong Lee merasa bangga dan malu, akan tetapi di dalam hatinya ia merasa girang
sekali mendapat pujian dari nona yang baik hati dan disayanginya ini.
Ketika mereka tiba di bawah bukit, tiba-tiba dari depan datang seorang laki-laki
menunggang kuda. Kuda itu dilarikan cepat sekali, akan tetapi ketika penunggang
kuda itu melihat Kim Nio, ia segera menahan kendali kudanya dan binatang itu tibatiba
berhenti. Dari cara berhenti yang tiba-tiba ini, tahulah Kong Lee bahwa orang itu
bukan orang sembarangan dan memiliki tenaga lwee-kang yang besar, kalau tidak
demikian halnya, tidak mungkin ia dapat menghentikan lari kudanya secara demikian
tiba-tiba.
Laki-laki itu masih muda, usianya paling banyak tiga puluh tahun. Ia segera meloncat
turun dari kuda dan menghampiri mereka. Sementara itu, ketika menengok kepada
Kim Nio, Kong Lee melihat betapa gadis ini dengan muka pucat memandang kepada
laki-laki itu dan jelas tampak bahwa gadis ini terkejut dan bingung sekali!
Ketika laki-laki itu telah berada di depan mereka, ia lalu menuding muka Kim Nio
dan berkata dengan keras, “Hah! Perempuan tak tahu malu! Di manakah kau
sembunyikan Ong Lui si manusia jahanam itu? Dan ini ... ” ia menuding kepada Kong
Lee. “Apakah kau sudah lari pula darinya dan ini adalah kekasihmu yang baru?”
Biarpun Kong Lee merasa betapa hebat penghinaan ini, namun tak dapat merasa
marah karena tidak tahu akan maksud-maksudnya. Ia hanya memandang kepada Kim
Nio yang mukanya menjadi merah sekali dan sebentar menjadi pucat kembali.
“Lu San! Jangan kau ganggu aku karena sudah tidak ada hubungan apa-apa di antara
kita. Kau pergilah!” kata Kim Nio dengan suara gemetar.
“Ha, ha, ha! Perempuan rendah! Perempuan hina! Kau takut kalau-kalau kekasihmu
yang baru ini mengetahui segala rahasiamu yang kotor?”
“Lu San!” Kim Nio berseru sambil mencabut pedangnya.
“Kau mau membunuh suamimu? Ha, ha. Lihat, kekasihmu sudah merasa curiga dan
kalau ia sudah mengetahui segala perbuatanmu yang tidak tahu malu, tentu ia akan
berbalik membencimu!”
“Bangsat yang ingin mampus!” tiba-tiba Kim Nio membentak dan menyerang.
Koleksi Kang Zusi
Akan tetapi laki-laki itu telah mencabut pedangnya juga dan menangkis dengan penuh
kemarahan.
“Memang kita harus mengadu tenaga! Tapi aku takkan puas sebelum membunuh
anjing Ong Lui itu lebih dulu dan kekasihmu yang kepucat-pucatan ini. Setelah kedua
orang itu mampus baru aku akan membunuhmu!” sambil berkata demikian, laki-laki
ini cepat mengelakkan sebuah serangan Kim Nio dan dengan gerakan tak terduga ia
meloncat ke arah Kong Lee dan mengirim sebuah tusukan hebat ke dada pemuda itu!
Tapi ia menemui batu!
Dengan tenang sekali Kong Lee memiringkan tubuhnya, sekali ulur tangan saja ia
berhasil merampas pedang itu. Bukan main terkejut laki-laki itu, karena sama sekali
tidak pernah disangkanya bahwa pemuda yang agaknya lemah ini ternyata demikian
hebat!
“Celaka! Memang nasibku yang sial. Kekasihmu ini ternyata berkepandaian tinggi.
Tapi betapapun tingginya kepandaiannya, ia tetap seorang rendah. Nah, kau mau
bunuh aku, bunuhlah!”
Pada saat itu Kim Nio telah menyerang dengan sebuah tusukan ke arah lambung lakilaki
itu, tapi Kong Lee cepat menangkis dengan pedang rampasan sehingga pedang di
tangan Kim Nio hampir terlepas dari pegangannya!
“Tahan dulu, nona!” kata Kong Lee yang lalu menghadapi laki-laki itu. “Dan kau,
tahanlah sedikit lidahmu yang kotor itu! Kau datang-datang memaki orang sesukamu
tanpa mau memberi penjelasan! Sebenarnya, siapa kau dan apa hubunganmu dengan
nona ini?”
“Ha, ha, ha! Kim Nio, jadi kau belum memberitahukan kepadanya tentang keadaan
dirimu yang kotor? Anak muda, kau tampan dan gagah serta ilmumu tinggi, tapi
sayang kau bodoh sehingga mau saja ditipu oleh perempuan ini! Ketahuilah, dia
adalah isteriku!”
Kong Lee terkejut sekali dan memandang muka Kim Nio meminta penjelasan, tapi
wanita itu kini hanya menangis dan menggunakan kedua tangan menutupi mukanya
yang cantik.
“Aku adalah Ting Lu San, suami wanita ini. Tapi isteriku yang rendah budi ini telah
melarikan diri dengan seorang pemuda yang menjadi kawanku sendiri, yang bernama
Ong Lui! Memang rendah sekali perbuatan mereka berdua! Bertahun-tahun, aku
mencari-cari mereka dan tidak kusangka tiba-tiba bertemu di sini dengan anjing
betina ini. Ternyata ia telah berganti kekasih pula!”
“Lu San, tutup mulutmu!” tiba-tiba Kim Nio meloncat menyerang lagi dan Kong Lee
yang merasa sebal mendengar kata-kata Ting Lu San, lalu memberikan pedang yang
tadi dirampasnya kepada Lu San. Lu San segera menyambut pedang itu dan
menangkis serangan Kim Nio dan tak lama kemudian, suami isteri itu telah bertempur
seru dan mati-matian!
Kong Lee yang menderita pukulan batin, hanya berdiri melongo dan melihat
pertempuran itu dengan kepala kosong. Ia merasa menyesal, kecewa, malu, dan
marah. Gadis yang dicintainya ini, yang disangkanya seorang gadis baik-baik, cantik
jelita, dan gagah perkasa, ternyata adalah seorang isteri yang melarikan diri dengan
laki-laki lain!
Tapi betulkah ini?
Ia harus mendengar sendiri dari Kim Nio dan memaksa gadis ini membuat pengakuan
sejujurnya!
Ketika ia menengok untuk melihat pertempuran itu, ternyata Coa Kim Nio telah
mendesak Ting Lu San dengan hebat hingga laki-laki itu hanya mampu menangkis
sambil mundur berputar-putar, menangkis dan mengelak menghindarkan diri dari
Koleksi Kang Zusi
serangan maut yang dilancarkan oleh Kim Nio dengan gemas!
Melihat betapa laki-laki itu berada dalam keadaan berbahaya, walaupun ia mersa tidak
berhak mencampuri urusan rumah tangga orang lain, namun karena ini menyangkut
perkara jiwa, maka terpaksa Kong Lee bertindak. Ia melompat maju dan
menggunakan tongkat bambunya menangkis pedang Kim Nio.
Melihat betapa Kong Lee maju membantu laki-laki itu, Kim Nio mundur dan tahan
pedangnya sambil berkata, “Lim-taihiap, jangan kau mencampuri urusan ini dan
biarkan aku membikin mampus laki-laki tak tahu malu ini!”
“Tidak bisa, Coa-lihiap, selama aku ada di sini, aku tidak bisa membiarkan saja orang
membunuh tanpa sebab-sebab yang jelas!”
Sementara itu, Ting Lu San yang tak sanggup menghadapi Kim Nio, apalagi melihat
bahwa di situ masih ada Kong Lee yang ulung, ia segera melompat ke atas kudanya
dan pergi dari situ!
Kong Lee berdiri berhadapan dengan Kim Nio dan memandang muka nona itu dengan
mata tajam.
Sementara itu, Kim Nio dengan air mata bercucuran berkata, “Lim ... koko ... jangan
kau pandang aku seperti itu ... jangan kau pandang aku seperti itu ... ”
“Kalau kau menghendaki supaya hubungan kita tetap seperti semula, kau harus
menceritakan segala hal mengenai peristiwa tadi!” kata Kong Lee dengan tandas.
Tanpa menjawab, Kim Nio lalu berjalan dengan langkah lemas ke bawah sebatang
pohon yang tumbuh di tepi jalan, diikuti oleh pandang mata Kong Lee yang tetap
bersikap dingin.
Kim Nio duduk di atas tanah di bawah pohon itu lalu melihat ke arah Kong Lee
sambil berkata, “Lim ... taihiap, kalau kau ingin benar mengetahui halku, duduklah di
sini.”
Kong Lee menghampiri dan duduk di depan wanita itu, agak jauh dan tidak seperti
biasanya. Kemudian dengan kadang-kadang menggigit bibir, dan wajahnya sebentar
pucat sebentar merah serta basah oleh air mata yang mengalir di sepanjang pipinya
dan yang keluar dari kedua matanya yang merah dan memandang sayu, Coa Kim Nio
menceritakan riwayatnya kepada Kong Lee yang mendengarkan dengan sikap masih
dingin.
Coa Kim Nio adalah anak tunggal dari hartawan Coa Keng di kota Tin-si-bun. Pada
suatu hari ketika hartawan Coa membeli barang dagangan dari tempat lain dan
membawanya ke kota Tin-si-bun, di tengah jalan barang-barangnya dirampok habis
oleh para perampok hingga hartawan ini jatuh bangkrut dan miskin. Oleh karena ini,
maka biarpun anaknya hanya seorang anak perempuan, tapi ayah Kim Nio lalu
menyuruh anaknya belajar silat dari seorang hwesio di sebuah kelenteng, agar kelak
dapat membalas sakit hatinya kepada para perampok itu.
Guru Coa Kim Nio adalah Beng An Hosiang, yang berilmu tinggi, tapi sayang sekali
hwesio ini kurang baik perangainya. Selain Kim Nio, Beng An Hosiang masih
mempunyai seorang murid lain, yakni Pauw Kian yang sebenarnya putera seorang
perampok yang ingin melihat anaknya berkepandaian tinggi.
Oleh karena mendapat guru yang berwatak buruk, pula karena suhengnya, yakni
Pauw Kian, memang anak perampok, tentu saja Kim Nio juga terpengaruh oleh
orang-orang sekelilingnya ini dan wataknya yang tadinya halus berubah kasar dan
angkuh. Akan tetapi, ada sesuatu hal yang masih belum lenyap dari sanubari gadis itu,
yakni baktinya terhadap orang tuanya. Biarpun ia telah memiliki kepandaian tinggi,
namun Kim Nio tetap berbakti dan taat akan segala perintah orang tuanya.
Setelah gadis itu menjadi dewasa, ia berhasil membalaskan sakit hati ayahnya dengan
mendatangi gerombolan perampok yang dulu merampok ayahnya dan ia bunuh mati
Koleksi Kang Zusi
beberapa orang pemimpinnya serta mengobrak-abrik sarangnya. Sejumlah besar harta
para perampok itu dirampasnya dan diberikan kepada ayahnya sebagai pengganti
kerugiannya dulu. Sementara itu, para anak buah perampok yang dikalahkan itu,
merasa kagum sekali melihat kehebatan Kim Nio dan ketika mendengar bahwa Kim
Nio adalah sumoi dari Pauw Kian yang pada waktu itu terkenal sebagai kepala
rampok menggantikan ayahnya dan berjuluk Iblis Tangan Hitam, lalu mengangkat
Kim Nio sebagai kepala mereka!
Akan tetapi Kim Nio menolaknya dan ia membawa semua anak buah perampok itu
menggabungkan diri dengan para perampok pimpinan suhengnya.
Adapun barang-barang yang ia rampas dari para perampok itu, telah berhasil
membuat orang tuanya menjadi kaya kembali. Kemudian atas desakan orang tuanya,
Kim Nio dikawinkan dengan seorang pemuda anak seorang berpangkat bernama Ting
Lu San. Sebetulnya pada waktu itu, Kim Nio telah mempunyai seorang tunangan
pilihannya sendiri, yakni seorang pemuda pembantu Pauw Kian yang berwajah
tampan dan berkepandaian silat cukup tinggi. Akan tetapi ia tidak berani melawan
kehendak orang tuanya, apalagi ketika diketahui bahwa Ting Lu San adalah seorang
pemuda yang selain tampan dan terpelajar, juga mengerti ilmu silat cukup baik.
Perkawinan dilangsungkan dengan meriah sekali karena hartawan Coa tidak sayangsayang
membuang uang dengan royal untuk merayakan pesta perkawinan anak
tunggalnya.
Betapapun juga, watak Kim Nio yang sudah terpengaruh oleh watak orang-orang
jahat dan tidak benar di sekelilingnya, membuat ia tak dapat mencinta suaminya
walaupun suaminya itu sangat mengasihinya. Dengan diam-diam Kim Nio masih
merindukan kekasihnya yang dulu, yakni Ong Lui pemuda pembantu suhengnya itu.
Sebaliknya, dasar seorang perampok yang berani mati, Ong Lui secara berani sekali
mendatangi rumah Ting Lu San dan memperkenalkan diri sebagai sahabat Kim Nio,
Lu San adalah seorang yang mengerti ilmu silat dan ia telah tahu pula akan keadaan
hidup orang-orang kang-ouw di mana tidak ada pantangan keras akan pergaulan
berlainan kelamin. Ia maklum pula bahwa suheng dari isterinya yaitu Pauw Kian Si
Iblis Tangan Hitam yang terkenal, maka ia menerima kedatangan Ong Lui dengan
baik, terutama melihat betapa pemuda itu sopan dan tampan. Karena seringnya Ong
Lui mengunjungi rumahnya, lambat laun antara Lu San dan Ong Lui timbul
persahabatan yang erat dan Lu San mulai mempercayai penuh sahabat barunya ini.
Maka datanglah malapetaka menimpa orang tua Kim Nio!
Di antara barang-barang rampasan yang diambil oleh Kim Nio dari sarang perampok,
terdapat barang-barang perhiasan seorang pembesar tinggi yang dulu dirampok. Tentu
saja Hartawan Coa tidak mengetahui hal ini dan karena ia merasa bangga akan
barang-barang berharga yang memang indah itu, tiap kali ada kawan jauhnya datang,
ia selalu mengeluarkan barang-barang itu dan memamerkannya.
Pada suatu hari datanglah seorang kawannya dari kota raja mengunjunginya untuk
urusan dagang. Seperti biasa, Hartawan Coa memamerkan barang-barang perhiasan
itu yang membuat tamunya kagum sekali. Akan tetapi, diam-diam tamu ini merasa
kaget sekali melihat bahwa barang-barang perhiasan itu adalah milik seorang
pembesar tinggi yang menjadi kawannya di kota raja dan yang dulu telah terampas
oleh perampok. Tapi bagaimana sampai barang-barang itu jatuh ke dalam tangan
Hartawan Coa ini?
Diam-diam, setelah kembali ke kota raja ia lalu memberitahukan hal itu kepada
pembesar tinggi pemilik barang-barang itu. Alangkah marahnya pembesar itu. Ia lalu
mempergunakan pangkatnya untuk memerintah pembesar setempat menangkap
Hartawan Coa dan menyita semua harta bendanya! Dan setelah diperiksa, selain
Koleksi Kang Zusi
barang-barang pembesar tinggi itu, terdapat pula barang-barang berharga dari orangorang
yang dulu dirampok hingga mereka lalu datang pula mengajukan dakwaan
terhadap Hartawan Coa!
“Tentu dia seorang pemimpin perampok, lihat saja. Anak gadisnya pun seorang yang
pandai ilmu silat!” kata seorang di antara para pendakwa yang mengenali barang
masing-masing.
Kemudian, Hartawan Coa dan isterinya ditangkap dan Hartawan Coa dijatuhi
hukuman mati, sedangkan isterinya yang merasa malu sekali lalu membunuh diri
dengan membenturkan kepalanya sampai pecah di tembok penjara!
Coa Kim Nio merasa marah dan sedih sekali, tapi apa dayanya menghadapi putusan
pembesar dan pemerintah? Ia lalu mengajak suaminya lari ke dalam hutan minta
perlindungan Pauw Kian. Karena selain kuatir terbawa-bawa dan mungkin juga
ditangkap pula, Kim Nio dan suaminya juga merasa malu sekali atas terjadinya
peristiwa itu. Kim Nio menjadi demikian berduka sehingga ia jatuh sakit sampai dua
bulan lebih. Ia merasa berdosa sekali karena menganggap bahwa orang tuanya binasa
karenanya!
Ia lalu bersumpah untuk memusuhi pemerintah yang menghukum kedua orang tuanya
sehingga semenjak hari itu ia membantu pekerjaan Pauw Kian merampok! Suaminya
Ting Lu San, tidak menyetujui cara hidup semacam ini, tapi apa dayanya? Isterinya
memang tak pernah mau menurut segala nasihatnya, sedang ia sangat cinta kepada
Kim Nio.
Kehidupan di dalam rimba ini membuat Kim Nio mendapat kesempatan lebih banyak
untuk bertemu dengan Ong Lui bekas kekasihnya, dan iman wanita yang lemah ini
tergoda dan gugur oleh bisikan setan. Ia makin benci kepada Ting Lu San suaminya
dan cintanya terhadap Ong Lui makin mendalam!
Dan pada suatu hari, kedua orang yang hatinya telah dikuasai iblis itu, melarikan diri
dari tempat itu sambil membawa semua barang-barang berharga.
Bukan main marah dan malunya Ting Lu San ketika melihat betapa isterinya
melarikan diri dengan laki-laki lain! Hampir saja ia menjadi gila karenanya! Ia lalu
meninggalkan sarang Pauw Kian dan pergi belajar silat lagi sampai pandai, karena
niatnya hanya ingin mencari kedua orang itu untuk dibunuhnya! Cintanya terhadap
Kim Nio telah berubah menjadi kebencian yang hebat.
Coa Kim Nio yang hatinya telah dikuasai iblis, melarikan diri dengan Ong Lui dan
menuju ke selatan. Akan tetapi, beberapa bulan kemudian, terbukalah matanya dan
tahulah ia bahwa Ong Lui bukanlah laki-laki yang menjadi idaman hatinya. Bukanlah
laki-laki yang betul-betul mencintanya karena cinta laki-laki itu palsu belaka. Pada
suatu malam, Ong Lui meninggalkan dia sambil membawa semua barang-barang
yang dulu mereka bawa kabur!
Bukan main marah Kim Nio melihat bahwa dirinya yang sudah berkorban
meninggalkan suami itu ternyata hanya mengorbankan diri untuk seorang penipu
jahat! Ia lalu mencari-cari Ong Lui dan mengejarnya dan beberapa lama kemudian
berhasillah dia mengejar pemuda itu dan membunuhnya!
Setelah itu, Kim Nio lalu merantau ke mana-mana dan pengalamannya menjadi luas
sekali, tapi hatinya menjadi dingin. Adakalanya ia kembali kepada Pauw Kian,
suhengnya yang telah memaafkannya karena pergi membawa barang-barang berharga
itu. Sambil menangis Kim Nio menuturkan kepada suhengnya akan segala riwayatnya
dan walaupun Pauw Kian berhati keras, namun ia memang sayang kepada Kim Nio
dan menganggapnya sebagai adik sendiri. Pada waktu Kim Nio tidak pergi merantau,
ia tentu membantu pekerjaan suhengnya ini. Karena kepandaian Kim Nio memang
tinggi, maka Pauw Kian menganggapnya sebagai tangan kanannya dan dalam waktu
Koleksi Kang Zusi
yang singkat saja barang-barang yang diperoleh wanita itu dalam perampokannya
sudah jauh melebihi harga barang-barang yang dulu dibawanya lari.
Demikianlah riwayat Kim Nio sampai ia bertemu dengan Kong Lee dan hatinya yang
tadinya telah tertutup rapat dan seakan-akan mati itu menjadi terbuka kembali dan ia
jatuh cinta kepada pemuda yang sopan dan gagah perkasa itu.
Setelah mendengar riwayat Kim Nio yang diceritakan oleh gadis itu sendiri dengan air
mata bercucuran, Kong Lee merasa muak dan benci sekali. Ia menganggap bahwa
Kim Nio adalah seorang wanita yang tak tahu malu dan tersesat jauh sekali. Biarpun
merasa sangat kasihan mendengar nasib Kim Nio yang menyedihkan, namun hatinya
yang masih panas merasa jijik melihat segala perbuatan yang dianggapnya tidak
pantas dan tidak layak dilakukan oleh seorang isteri. Cintanya terhadap nona baju hija
itu menjadi lenyap, berganti dengan rasa muak dan jijik.
Setelah Kim Nio selesai bercerita, Kong Lee berdiri dan berkata dengan wajah dingin.
“Siapa menanam pohon, dia sendiri memetik buahnya. Kau telah menanam banyak
pohon dosa, maka kau harus memikul hukumannya sendiri. Nah, selamat berpisah!”
Kong Lee lalu membalikkan tubuh dan melompat terus lari dari situ.
“Lim-taihiap ... Kong Lee ... tunggu ... jangan tinggalkan aku ... ”
Kim Nio menjerit dan mengeluh sambil mengejar secepatnya, akan tetapi karena ilmu
gin-kangnya masih jauh berada di bawah tingkat kepandaian Kong Lee, tak lama
kemudian bayangan pemuda itu lenyap dari pemandangannya.
Kim Nio menjatuhkan diri di atas tanah sambil menangis tersedu-sedu.
“Aku ... aku cinta padamu ... ” demikian keluhnya dengan hati perih dan kalbu remuk
redam.
Kemudian ia menetapkan hatinya dan lari menyusul secepatnya. Ia maklum bahwa
kepandaian pemuda itu jauh lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri dan bahwa tak
mungkin baginya untuk dapat mengejar pemuda yang hebat itu, namun ia mengambil
ketetapan untuk mencari pemuda itu sampai dapat dan minta belas kasihannya!
Sementara itu, dengan hati gemas dan kecewa sekali, Kong Lee lari meninggalkan
Kim Nio dan dengan berkeras hati ia mengambil keputusan takkan menjumpai lagi
wanita itu selama hidupnya! Ia ingin cepat-cepat kembali ke kota raja untuk bertemu
dengan ibunya, akan tetapi karena pikirannya terganggu oleh keadaan Kim Nio,
wanita yang mendatangkan cinta pertama dalam hatinya itu, maka tanpa terasa lagi
Kong Lee tersesat jalan dan masuk ke dalam sebuah hutan yang sangat liar!
Ketika melihat betapa hutan itu sangat liar dan tidak terdapat jalan di situ, Kong Lee
berhenti sebentar dengan ragu-ragu. Dan pada saat itu ia melihat seorang tua sambil
tertawa haha-hihi duduk di atas sebatang cabang pohon, tak jauh dari tempat ia
berdiri. Orang itu berusia kurang lebih empat puluh tahun dan pakaiannya aneh sekali,
karena terbuat dari bermacam-macam kain yang disambung-sambung menjadi satu,
padahal kain itu semuanya masih baru! Dengan demikian maka pakaian itu boleh
dibilang masih baru dan baik sekali, sedang kembangnya luar biasa, beraneka ragam
tidak keruan. Dan yang lebih aneh lagi, orang tua itu sedang nongkrong di atas
sebatang cabang sambil memakan sepotong paha burung yang mentah!
Kong Lee terkejut dan heran sekali mengapa ada orang begitu aneh! Ia lalu memberi
hormat dan bertanya, “Lo-peh yang terhormat, mohon tanya hutan ini hutan apakah
namanya dan manakah jalan yang menuju ke Bi-ciu?”
Tiba-tiba empek yang aneh itu tertawa terbahak-bahak dan terus saja makan daging
mentah itu dengan enaknya. Setelah daging itu bersih tinggal tulangnya saja, ia
lemparkan tulang itu ke bawah dan tulang itu menancap ke dalam tanah dan terus
masuk ke dalam!
Kong Lee makin terkejut melihat bahwa orang ini ternyata memiliki tenaga lwee-kang
Koleksi Kang Zusi
yang tinggi juga!
Tiba-tiba empek itu lalu melayang turun dengan gerakan yang aneh tapi ringan dan
tahu-tahu telah berdiri di depan Kong Lee sehingga sekali lagi pemuda ini terperanjat.
Gin-kang empek inipun hebat sekali. tak disangkanya bahwa di tempat yang sunyi
mati ini ia bertemu dengan orang yang demikian aneh dan berkepandaian tinggi.
“Kau mau tahu nama hutan ini?” kakek itu bertanya dengan suara parau. “Ha, ha, ha!
Ini namanya Hutan Selaksa Siluman! Dan kau tanya jalan? Aku hanya tahu jalan ke
neraka untukmu! Ha, ha, ha!”
Sehabis berkata demikian, orang aneh itu lalu menubruk maju dan memukul dada
Kong Lee dengan hebat! Tentu saja Kong Lee merasa heran dan marah.
Ia mengelak cepat dan membentak, “He, kau ini orang apa? Datang-datang
menyerang orang lain, apa kau gila?”
“Ha, ha, ha! Kau sendiri yang gila memaki orang lain gila! Ha ha!” orang yang
berotak miring itu kembali menyerang.
Terpaksa Kong Lee melayani dengan hati-hati dan sungguh-sungguh ternyata ilmu
berkelahi orang gila ini sungguh-sungguh hebat. Pukulan-pukulannya tampaknya
tidak keruan dan dilakukan dengan menyeruduk saja bagaikan kerbau gila, akan tetapi
di dalam kekacauannya itu tersembunyi dasar ilmu silat yang sulit sekali dilawan.
Selain ilmu silatnya yang aneh, ternyata orang gila itupun memiliki lwee-kang dan
gin-kang cukup tinggi dan hanya sedikit kalah oleh Kong Lee. Oleh karena itu, agak
sukar juga baginya untuk menjatuhkannya!
Telah lama sekali mereka bertempur, lebih dari dua ratus jurus namun Kong Lee tetap
tak dapat mengalahkan orang gila itu, karena ia kalah nekad! Akhirnya terpaksa Kong
Lee mencabut tongkat bambunya dan tanpa malu-malu lagi ia gunakan senjata ini
untuk menghadapi Si Gila.
“Ha, ha, ha! Hayo kuantar kau ke neraka!” orang gila itu berkali-kali berkata dan
tertawa menyeramkan.
Kini melihat betapa anak muda itu memegang sebatang tongkat, ia makin merasa geli
agaknya, karena ketawanya makin sering dan keras. Ia tidak peduli bahwa lawannya
telah bersenjata, dan ia terus maju dan menyerang dengan sengit dan hebat.
Kong Lee lalu mengeluarkan ilmu tongkatnya Liong-san Koai-tung-hwat yang hebat,
dan betul saja, orang gila itu menjadi terdesak dan beberapa kali kena pukul dengan
tongkat sehingga orang gila itu berteriak-teriak menangis dan tertawa berganti-ganti
sehingga terdengar menyeramkan sekali. bahkan sewaktu-waktu ia mengeluarkan
geraman-geraman seperti seekor binatang buas. Kong Lee memang tidak berniat
membunuhnya atau melukainya, maka ia hanya menggunakan tongkatnya untuk
menghajar saja agar Si Gila itu mau tunduk.
Akhirnya, karena tidak kuat melawan ilmu tongkat Kong Lee yang terlalu hebat
baginya itu, Si Gila lau berteriak-teriak keras dan lari masuk ke dalam hutan!
Kong Lee hendak mengejar, tapi pada saat itu terdengar suara wanita berseru, “Limtaihiap
... ! jangan ... ! Jangan kau masuki hutan itu!”
Kong Lee cepat berpaling dan ternyata yang berseru itu adalah Coa Kim Nio! Wanita
baju hijau itu kini berubah kurus dan pucat sehingga untuk sesaat Kong Lee merasa
terharu dan kasihan.
“Jangan masuk ke dalam hutan itu!” katanya lagi sambil maju menghampiri. “Aku
telah melihat kau bertempur melawan orang gila tadi dan aku tahu siapa dia! Dia
adalah Pangeran Gila dan hutan ini tentulah Hutan Seribu Siluman yang amat
berbahaya! Jangan kau masuk ke situ, Lim-taihiap!”
Tapi perasaan iba yang timbul di hati Kong Lee karena melihat tubuh Kim Nio yang
kurus dan wajah yang pucat itu segera lenyap, berganti dengan benci. Ia lalu memutar
Koleksi Kang Zusi
tubuhnya dan cepat mengejar orang gila yang lari memasuki hutan tadi! Kong Lee
memang merasa heran dan ingin sekali mengetahui keadaan orang gila yang memiliki
kepandaian tinggi itu.
Sementara itu, biarpun ia tahu bahwa pemuda itu sudah tidak mau mempedulikan ia
lagi, akan tetapi hatinya yang mencintanya membuat ia merasa kuatir sekali. Kim Nio
telah banyak merantau pernah mendengar tentang Pangeran Gila yang tinggal
bersama kedua orang tuanya yang disebut Raja Gila dan Ratu Gila!
Keluarga yang terdiri dari tiga orang-orang gila ini memang hebat sekali dan tak
seorangpun berani memasuki hutan itu untuk bertempur melawan ketiga orang itu.
Menurut kabar yang didengar oleh Kim Nio, Raja Gila yang menjadi ayah Pangeran
Gila tadi memiliki kepandaian yang setingkat tingginya dengan Liat Song Hosiang
ketua Go-bi-pai dan Liong-san Lo-kai!
Karena merasa kuatir akan keselamatan pemuda yang dicintanya itu, Kim Nio lupa
akan keselamatan sendiri dan dengan nekad iapun lari mengejar ke dalam hutan. Akan
tetapi ia tertinggal jauh oleh Kong Lee yang telah hampir dapat mengejar Si Gila yang
lari bagaikan seekor kijang, menerjang rumpun dan menghindari pohon yang
menghadang di jalan dengan hebatnya. Suara tawanya yang menyeramkan masih
terdengar dan inilah yang membuat Kong Lee dapat mengetahui di mana tempat
orang gila itu.
Setelah mengejar beberapa lama, orang gila itu akhirnya terkejar juga oleh Kong Lee.
Mereka berdua telah tiba di sebuah tempat terbuka yang tidak ditumbuhi pohon,
hanya penuh dengan rumput hijau yang rendah. Di situ, Si Gila berdiri menanti
kedatangan Kong Lee dengan menyeringai aneh. Begitu Kong Lee tiba di situ,
kembali Si Gila menyerang membabi-buta!
Kong Lee melayaninya kembali sambil berkata, “He, Lopeh, apa namamu Pangeran
Gila?”
“Ha, ha! Memang aku pangeran, lihat saja pakaianku! Kau tidak segera berlutut
kepadaku?”
Tapi mana Kong Lee mau berlutut kepada seorang gila? Ia hendak menangkap orang
itu untuk ditanyai lebih lanjut, tapi tiba-tiba dari dalam hutan melayang keluar
seorang kakek tua yang pakaiannya lebih aneh lagi. Kakek ini usianya paling sedikit
tujuh puluh tahun, rambut dan jenggotnya telah putih semua dan bergantungan di
pundak tak terpelihara. Yang mengherankan, biarpun pakaian kakek ini penuh
tambalan macam-macam seperti pakaian Pangeran Gila, tapi dihiasi sulaman benang
emas! Juga, berbeda dengan Pangeran Gila, kakek ini memakai sepasang sepatu
merah dan di kepalanya memakai sebuah benda yang terbuat dari ranting-ranting
pohon, bunga-bunga dan daun-daunan yang menyerupai sebuah mahkota!
Tiba-tiba Pangeran Gila menjatuhkan diri berlutut dan membentak kepada Kong Lee,
“Raja Yang Agung telah tiba, ayo kau berlutut menghaturkan hormat!”
Akan tetapi Kong Lee hanya berdiri dengan mata terbelalak heran. Siapakah kakek
tua ini dan di dunia apakah ia berada? Selama hidupnya belum pernah ia menemui
orang yang lebih gila dari ini.
Tiba-tiba kakek tua itu tertawa dan suara ketawanya lebih menyeramkan dari suara
ketawa Pangeran Gila, karena terdengar seperti suara burung hantu di waktu malam.
“Hi-hi-hi! Bagus sekali. Ki Pok, kau telah pulang membawa daging muda yang
empuk!” sambil berkata demikian, tiba-tiba tangan kakek itu bergerak dan tahu-tahu
di tangannya telah memegang sebilah pedang kuning yang mengeluarkan cahaya
mengkilat!
“Kau majulah, hendak kucoba rasanya sedikit dagingmu!” katanya kepada Kong Lee
dengan dua mata berputar-putar.
Koleksi Kang Zusi
Kong Lee merasa ngeri sekali, dan Pangeran Gila lalu berkata kepadanya, “Ayo, kau
lekas berlutut dan mendengar perintah rajamu!”
“Ji-wi Lo-peh,” kata Kong Lee dengan muka pucat, “janganlah kalian
mempermainkan siauw-te. Apakah artinya semua ini?”
“Ha, ha, kau orang gila!” kata kakek itu dan Pangeran Gila lalu menyambung,
“Memang otaknya rada miring.”
Tiba-tiba kakek itu melangkah maju dan mengayun pedangnya hendak memotong
lengan Kong Lee. Tapi anak muda itu cepat mengelak, akan tetapi alangkah
terkejutnya ketika ujung pedang itu masih berhasil memapas ujung bajunya dan
menyerempet kulit lengannya hingga kulitnya berdarah! Tak disangkanya bahwa
gerakan kakek itu sedemikian cepat dan luar biasa.
Hati Kong Lee berdebar karena ngeri dan takut ketika melihat betapa dengan
lahapnya kakek tua itu menjilat-jilat darah yang menempel di pedang itu.
Kong Lee maklum bahwa ia terjatuh dalam tangan orang gila yang liar dan suka
makan daging manusia, maka ia pikir lebih baik mendahului menyerang dan
menewaskan orang-orang berbahaya ini. Ia lalu maju menyerang dengan tongkatnya.
Ketika itu, kakek gila itu sedang menjilat-jilat darah, dan sama sekali tidak
mempedulikan datangnya tongkat Kong Lee, akan tetapi ketika tongkat itu telah
menempel di kulit dadanya, tiba-tiba daging bagian dada itu melesak ke dalam dan
sebelum Kong Lee hilang kagetnya, Raja Gila itu telah menangkap lengannya dan
sekali pijit lumpuhlah lengan tangan Kong Lee.
“Ha, ha, ha, kau hendak melawan? Ha, ha! Kau berhadapan dengan seorang raja dan
jangan mencoba main gila!” sambil berkata demikian, Raja Gila yang hebat itu lalu
mengangkat pedangnya ke atas hendak diayunkan ke arah leher Kong Lee. Sementara
itu Pangeran Gila memandang dengan mata berputaran dan mulut mengilar hendak
cepat-cepat ikut menikmati daging muda itu!
Akan tetapi, pada saat yang sangat berbahaya bagi jiwa Kong Lee yang sudah tidak
berdaya sama sekali itu, tiba-tiba terdengar pekik nyaring yang memekakkan telinga
dan tiba-tiba datang melayang bayangan merah. Ketika Kong Lee memandang,
ternyata yang datang itu adalah seorang nenek tua yang pakaiannya merah semua, dari
ikat rambutnya sampai ke sepatunya! Merah polos tanpa kembang hingga
menyakitkan mata yang memandang.
Inilah Ratu Gila isteri dari Raja Gila dan ibu dari Pangeran Gila itu!
“Orang rakus!” Ratu Gila itu mencela suaminya, “Daging begini muda dan enak harus
dimakan matang! Biarkan aku masaknya dulu, baru kita makan beramai-ramai. Telah
bertahun-tahun kita tidak mendapat daging seperti ini, maka kali ini kita harus
menikmatinya benar-benar!”
Setelah berkata demikian, nenek serba merah itu lalu mengempit tubuh Kong Lee dan
dibawa lari seperti terbang cepatnya, diikuti oleh suami dan anaknya yang tidak
hentinya tertawa-tawa girang!
Kong Lee mencoba mengerahkan tenaga dalamnya dan akhirnya ia berhasil
melepaskan diri dari totokan Raja Gila dan dapat menggerakkan kembali tangannya
yang lumpuh. Tapi ketika ia mencoba untuk melepaskan diri dari kempitan wanita tua
itu, hasilnya sia-sia belaka!
Lengan kiri yang mengempitnya itu mempunyai tenaga yang luar biasa sekali
sehingga jangankan hendak melepaskan diri, untuk menggerakkan tubuh saja ia tidak
mampu! Bukan main terkejut hati Kong Lee. Baru Pangeran Gila itu tadi saja
kepandaiannya sudah hebat dan hanya dengan tongkat bambunya ia dapat melawan
dan mengalahkannya, apalagi Raja dan Ratu Gila yang agaknya memiliki kepandaian
jauh lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri ini!
Koleksi Kang Zusi
Hatinya berdebar dan ia merasa takut sekali. Baru kali ini seumur hidupnya merasa
benar-benar takut dan ngeri. Ia hendak dimasak, mungkin disembelih dulu baru
tubuhnya dipotong-potong dan dimasak di atas api, kemudian dagingnya dibagi-bagi
untuk dimakan dengan nikmat oleh ketiga orang gila ini! Kong Lee merasa sangat
ngeri dan berdiri bulu tengkuknya. Ia dibawa ke sebuah pondok yang terbuat dari
kayu-kayu hutan dan tubuhnya lalu dilepaskan oleh nenek itu di atas tanah. Kong Lee
merasa betapa tubuhnya menjadi lemas karena kempitan itu hampir mematahkan
tulang-tulang iganya karena kerasnya.
“Ki Pok, kau ikat baik-baik domba ini,” kata Ratu Gila dan Kong Lee melihat betapa
nenek ini dulunya tentu seorang wanita yang cantik sekali, akan tetapi sekarang kedua
mata yang masih bersinar terang itu berputar-putar dengan ganasnya dan bibirnya
yang merah itu kini mengeluarkan air liur ketika memandang kepadanya!
Menerima perintah ini Pangeran Gila lalu berloncat-loncatan seperti anak kecil dan
menghilang ke dalam hutan. Tak lama kemudian, ia kembali sambil membawa
beberapa helai kulit pohon yang agaknya ia kerat dari batang pohon. Kemudian,
dengan cekatan sekali ia ikat tangan dan kaki Kong Lee. Pemuda ini merasa betapa
kulit pohon itu kuat sekali dan memiliki sifat mulur sehingga biarpun ia memiliki
lwee-kang yang tinggi, agaknya tak mungkin ia dapat memutuskan ikatan ini!
“Nah, sekarang kita harus mencari buah merah di puncak bukit selatan. Daging ini
kalau tidak dimasak dengan buah merah itu, rasanya akan masam baunya amis!”
“Aah, sibuk amat. Aku sudah ingin sekali merasai dagingnya yang empuk!” Raja Gila
mencela.
Ratu Gila cemberut, “Kau laki-laki tahu apa? Asal nanti tahu makan enak saja sudah,
jangan cerewet. Ayo ikut aku mencari buah itu, biar Ki Pok menjaga domba ini!”
Sambil bersungut-sungut dan sebentar tertawa sebentar mengomel sehingga nampak
aneh dan lucu sekali, Raja Gila itu mengikuti isterinya pergi dengan lari cepat ke arah
selatan! Pangeran Gila yang ternyata bernama Ki Pok itu tertawa haha-hihi, lalu
duduk di dekat Kong Lee yang sudah diikat seperti seekor ayam hendak direbus.
Pangeran Gila itu tertawa-tawa seorang diri, meringis-ringis dan berbisik-bisik
seakan-akan bercanda dengan orang yang tidak kelihatan, kemudian ia menguap
beberapa kali dan akhirnya tidur mendengkur di dekat Kong Lee.
Pemuda ini menatap wajah orang gila yang tidur di dekatnya itu. Dan alangkah
herannya ketika melihat betapa wajah orang gila itu kini berubah. Wajah yang tadinya
menyeramkan itu kini nampak sehat dan biasa seperti orang waras. Lenyaplah
bayangan kegilaan dari wajah itu dan tampak wajah aslinya yang tidak buruk bahkan
kini pada wajah itu terbayang kesedihan! Kong Lee merasa heran sekali dan ia
maklum bahwa jika sedang tidur, maka orang ini tidak gila! Apakah yang menimpa
ketiga orang ini sehingga mengalami nasib seperti itu?
Pada saat ia termenung dengan bingung tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba
terdengar suara ranting kering terpijak kaki dan tak lama kemudian Kim Nio telah
berada di depannya sambil menaruhkan jari telunjuk di depan mulut untuk memberi
isyarat agar ia jangan keluarkan suara!
Dada Kong Lee berdebar dengan perasaan tidak keruan. Ia merasa girang karena
mengharapkan pertolongan, juga merasa malu karena perempuan yang dihina dan
direndahkannya itu agaknya hendak menjadi penolongnya karena tidak menghiraukan
keselamatan sendiri dan nekad memasuki tempat berbahaya itu semata-mata hendak
menolong dirinya. Alangkah besarnya cinta wanita ini kepadanya. Kong Lee
menundukkan muka dan wajahnya berubah merah. Betapapun juga, sukar baginya
untuk mencintai seorang wanita yang telah melarikan diri dengan laki-laki lain
meninggalkan suami!
Koleksi Kang Zusi
Kim Nio lalu mencabut pedangnya dan hendak diayunkan ke leher Pangeran Gila
yang sedang tidur! Kong Lee cepat memberi isyarat melarangnya dan kembali timbul
kebencian di dalam hati melihat kekejaman Kim Nio. Melihat perasaan yang
terbayang di wajah pemuda itu, Kim Nio lalu mengurungkan niatnya dan sebaliknya
ia menggunakan pedangnya untuk memutus tali yang mengikat kaki dan tangan Kong
Lee.
Akan tetapi, pada saat itu, Pangeran Gila tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Untuk
sesaat ia memandang dengan muka waras, bagaikan seorang yang merasa nanar dan
bangun tapi sejenak kemudian datanglah kembali kegilaannya dan kedua matanya
berputar-putar! Kim Nio terkejut sekali karena ia belum berhasil memutuskan
pengikat kaki Kong Lee, baru pengikat tangannya saja!
Sementara itu ketika melihat betapa Kim Nio berusaha melepaskan belenggu Kong
Lee, Si Gila itu meloncat maju dan berkata, “Jangan lepaskan dombaku ... jangan
lepaskan dombaku ... ”
Akan tetapi ketika matanya yang liar itu memandang wajah Kim Nio, Pangeran Gila
itu tiba-tiba terbelalak dan memandang mata kagum.
“Kau ... kau bidadari cantik sekali ... kau cantik sekali ... ” dan kedua tangan yang tadi
telah diangkat hendak menyerang kini diturunkan lagi!
Kim Nio yang cerdik maklum bahwa ia bukanlah lawan Si Gila itu karena tadi ketika
Si Gila bertempur melawan Kong Lee, ia telah tahu akan kehebatan orang gila ini, dan
ia dapat menduga bahwa Si Gila ini kagum sekali akan kecantikannya. Maka diamdiam
ia melepaskan pedangnya yang jatuh di dekat Kong Lee agar pemuda itu dapat
membuka ikatan kakinya sendiri, lalu ia hadapi orang gila itu dengan mulut
tersenyum-senyum manis dan matanya mengerling menarik hati.
“Kau ... cantik sekali ... ” Pangeran Gila itu mendekat dan meraba-raba seluruh tubuh
Kim Nio, tangannya, lehernya, bahkan kakinya diraba untuk mengagumi kulit yang
putih halus dan potongan tubuh yang indah menarik itu! Dan Kim Nio hanya
tersenyum-senyum saja, bahkan ia merasa bangga bahwa dirinya dikagumi
sedemikian rupa oleh orang gila ini!
Kim Nio sengaja tidak mencegah gila itu mengaguminya agar perhatian Si Gila itu
terlepas dari Kong Lee untuk memberi kesempatan kepada anak muda itu untuk
melepaskan diri. Sementara itu, ketika melihat betapa Kim Nio membiarkan saja
dirinya dipegang-pegang dan diraba-raba oleh kedua tangan orang gila itu dan
mempergunakan kecantikannya untuk menolong dirinya, Kong Lee merasa muak
sekali dan makin membenci Kim Nio!
Tidak tahu diri pikirnya! Biarpun kalah tinggi kepandaiannya, mengapa perempuan
itu mau saja dihina dan diraba-raba? Mengapa tidak mau melawan sekuatnya? Kalau
saja Kim Nio melawan dan terpukul roboh, mungkin kebenciannya akan lenyap dan
rasa cintanya akan timbul kembali karena merasa telah ditolong dengan berani
mengorban jiwa. Akan tetapi perempuan itu dengan cara rendah, yakni dengan
mengorbankan kehormatannya dan menjual kecantikannya, berusaha menolongnya.
Sambil mengertakkan giginya, Kong Lee menggunakan pedang itu untuk
memutuskan tali pengikat kakinya. Kemudian sekali loncat saja ia telah berhasil
berdiri di dekat Si Gila, menangkap tangan yang masih meraba-raba rambut Kim Nio
dan menciumi rambut itu dengan heran dan kagum seperti seorang kanak-kanak
melihat sebuah barang mainan baru, lalu ditariknya sekuat tenaga!
Pangeran Gila itu terlempar dan bergulingan. Ia memandang sebentar kepada Kong
Lee dengan mata marah, akan tetapi perhatiannya kembali tertuju kepada Kim Nio
dan bagaikan besi tertarik oleh besi berani ia menghampiri gadis baju hijau itu,
bagaikan kena pesona!
Koleksi Kang Zusi
“Kau cantik sekali ... cantik sekali ... bidadari ... ” mulutnya berbisik-bisik dan
matanya memandang kagum.
Kedua tangannya telah diulurkan lagi untuk membelai rambut Kim Nio.
Tapi Kong Lee yang sudah menjadi gemas sekali kepada Kim Nio, lalu menyerang
dan menotok iga Pangeran Gila itu sehingga Si Gila tanpa mengeluarkan sepatah kata
pun roboh pingsan karena kena totok jalan darahnya. Kemudian tanpa menoleh
kepada Kim Nio, Kong Lee lari memasuki pondok keluarga gila itu untuk memeriksa.
Ia melihat keadaan pondok itu kotor sekali dan di atas sebuah meja batu ia melihat
sebuah kitab tebal yang masih terbuka. Ia merasa heran sekali melihat tulisan tangan
yang indah di dalam kitab itu. Tanpa banyak pikir, ia mengambil kitab itu karena
menduga bahwa rahasia keluarga gila itu tentu berada di dalam kitab ini.
Setelah ia keluar dari pondok, dilihatnya Kim Nio berdiri menanti dengan muka
kuatir, lalu gadis baju hijau itu berkata cemas, “Lim-taihiap, cepat! Mereka datang ...
cepat ... !”
Kong Lee lalu melompat dan lari pergi, diikuti oleh Kim Nio. Mereka lari secepatnya
keluar hutan yang berbahaya itu.
Dengan napas lega mereka dapat keluar dari hutan siluman, tapi masih saja mereka
berlari terus, takut kalau keluarga gila yang luar biasa hebatnya itu mengejar mereka.
Setelah berada jauh barulah Kong Lee menahan kakinya dan memandang kepada Kim
Nio yang berdiri dengan napas tersengal-sengal karena wanita ini harus mengerahkan
seluruh tenaganya untuk dapat mengejar pemuda yang larinya cepat sekali itu!
Sambil menundukkan muka agar jangan memandang muka Kim Nio, Kong Lee
berkata perlahan, “Kiranya sudah sepantasnya kalau aku ... mengucapkan terima kasih
kepadamu atas pertolonganmu. Dan sekarang ... selamat berpisah, kita harus
berpisah!”
Hancur hati Kim Nio mendengar ini. Ia telah mengorbankan segala untuk menolong
pemuda ini dan bahkan bersedia mengorbankan nyawa untuk pemuda yang dicintanya
ini, tapi kini ... pemuda itu sama sekali tidak mempedulikannya.
“Taihiap ... tidak kasihankah kau kepadaku? Aku ... aku hanya ingin tinggal dekat
denganmu ... akan sunyilah hidupku kalau harus berpisah denganmu ... ” dengan terus
terang Kim Nio membuka isi hatinya dengan mata mencucurkan air mata!
Akan tetapi, Kong Lee yang sudah merasa benci dan tidak suka kepadanya, apalagi ia
mengingat peristiwa tadi, ia merasa muak dan jijik, lalu berkata, “Tidak mungkin,
Nona. Kita tidak sepaham dan biarlah kita saling berpisah sebagai dua orang sahabat.”
Setelah berkata demikian, Kong Lee lalu lari cepat meninggalkan gadis itu!
“Taihiap ... ” Kim Nio mengeluh, tapi ia tidak kuasa mengejar pemuda yang
menggunakan seluruh kepandaiannya untuk pergi meninggalkannya itu dan akhirnya
wanita ini hanya bisa berjalan perlahan sambil menggunakan ujung bajunya menyeka
air matanya!
-***-
Semenjak ditinggalkan pergi oleh putera tunggalnya, Nyonya Lim Ek hidup dalam
kesunyian. Akan tetapi, nyonya yang berhati gagah berani ini dapat menekan
kesedihannya dan dengan penuh harap yang tak kunjung padam ia selalu menanti
kedatangannya Kong Lee. Untuk mengisi waktunya, ia menerima beberapa murid
wanita yang diberi pelajaran silat. Namun, karena murid-murid yang diterimanya
adalah anak-anak orang miskin sehingga tidak dapat membayar biaya pelajaran, maka
keadaan Nyonya Lim Ek sangat kekurangan. Apalagi ada beberapa orang muridnya
yang keadaannya miskin sekali dan bahkan ikut makan di situ pada waktu belajar
Koleksi Kang Zusi
silat, maka Nyonya Lim membutuhkan uang yang agak banyak.
Thio Sui Kiat sering bersama isterinya mengunjungi calon besan ini dan melihat
keadaannya yang susah, Thio-wangwe seringkali mengirim uang dan kebutuhan
sehari-hari sehingga Nyonya Lim Ek merasa berhutang budi. Berkali-kali Thio Sui
Kiat dan isterinya mengajak nyonya janda itu untuk pindah dan tinggal dengan
mereka di Lam-sai, akan tetapi Nyonya Limm tetap menolaknya dengan halus, karena
nyonya ini hendak menanti kedatangan puteranya di rumah.
Akan tetapi, telah dinanti-nanti sampai bertahun-tahun, tak juga Kong Lee pulang.
Setelah menanti selama lima tahun lebih, akhirnya Nyonya Lim merasa kuatir sekali
karena puteranya tak kunjung datang. Kesabarannya hilang dan ia lalu menutup
rumahnya untuk pergi sendiri mencari anaknya itu.
Pada suatu hari, ketika ibu yang mencari anaknya ini tiba di kaki sebuah bukit yang
sunyi, tiba-tiba ia mendengar suara orang menjerit minta tolong. Nyonya yang berhati
tabah dan yang memiliki kepandaian silat cukup tinggi ini segera lari menuju ke arah
suara itu dan segera ia mendengar suara senjata beradu. Ia percepat larinya dan tak
lama kemudian ia melihat betapa seorang wanita muda sedang bertempur melawan
tiga orang laki-laki yang berpakaian sebagai pengawal. Wanita muda itu hebat sekali
dan dengan pedangnya ia mendesak ketiga orang lawannya yang bersenjata golok. Di
dekat tempat pertempuran itu, terdapat sebuah kendaraan kecil yang ditarik oleh
seekor kuda. Dari dalam kendaraan yang tertutup kain terdengar suara wanita
menangis ketakutan.
Nyonya Lim Ek segera melompat menghampiri kereta itu dan menyingkap kain
penutupnya. Ternyata di dalam terdapat seorang laki-laki berpakaian pembesar yang
telah lanjut usianya sedang duduk dengan tubuh menggigil, sedangkan seorang wanita
yang agaknya isteri pembesar itu, menangis ketakutan. Jelas bahwa ini tentu sebuah
perampokan akan tetapi Nyonya Lim tidak tahu siapakah yang merampok. Apakah
wanita muda yang cantik dan hebat itu? Ia heran dan bertanya kepada mereka yang
berada di dalam kereta.
“Kami ... dirampok ... ” pembesar ini menjawab setelah hilang kagetnya karena
tadinya ia mengira bahwa wanita tua yang menjenguk inipun seorang anggota
perampok.
“Mana perampoknya?” Nyonya Lim bertanya.
“Wanita berbaju hijau itu ... ”
Nyonya Lim Ek merasa heran sekali. Ia memandang lagi dan maklum bahwa wanita
itu tentu seorang perampok tunggal dan ternyata kepandaiannya tinggi sekali. Ia
maklum bahwa ia sendiri pun bukan tandingan wanita muda itu, akan tetapi ia tidak
bisa melihat terjadinya perampokan begitu saja tanpa membantu para korban yang
dirampok. Dengan tabah nyonya ini lalu mencabut pedangnya dan melompat ke
medan pertempuran.
“Nona, tahan pedangmu!” serunya kepada wanita baju hijau yang sedang mendesak
hebat ketiga lawannya itu.
Melihat datangnya seorang wanita tua berpedang, perampok wanita tunggal yang
tidak lain adalah Coa Kim Nio, terkejut sekali. Ia tidak tahu dari mananya nyonya ini
dan segera ia memandang. Entah mengapa, tiba-tiba ia mendapat perasaan seakanakan
ia telah mengenal wanita ini dan muka nyonya ini menimbulkan rasa suka di
dalam hatinya. Ia hanya menahan pedangnya dan melompat menghampiri Nyonya
Lim, sedangkan ketiga pengawal yang tadinya sangat sibuk menghadapi nona ini,
segera mundur dan berdiri dengan golok di tangan menjaga kereta.
“Peh-bo (bibi), siapakah kau dan apa maksudmu mencampuri urusanku?” tanya Kim
Nio dengan pedang dilintangkan di dada.
Koleksi Kang Zusi
“Nona, aku hanya kebetulan saja lewat ke tempat ini dan melihat pertempuran tadi.
Aku tak hendak mencampuri urusan orang lain, akan tetapi setelah mendengar bahwa
pertempuran ini adalah karena perampokan, maka aku merasa berkewajiban untuk
maju dan menolong.”
“Ha, bagus! Apakah kau hendak melawanku?” tanya Kim Nio sambil memandang
muka orang itu dengan tajam.
“Nona, terus terang saja kuakui bahwa kepandaianku tidak berapa tinggi dan aku
bukanlah lawanmu. Namun betapapun juga, dengan melupakan kebodohan sendiri
terpaksa aku membela orang-orang yang hendak kau rampok ini, biarpun aku harus
mengorbankan nyawaku yang tak berharga ini!”
Kim Nio heran sekali mendengar kata-kata ini. “Kalau begitu, mengapa tidak tadi-tadi
saja kau mengeroyokku? Untuk apa segala pembicaraan yang tiada guna ini?”
“Nona, kau masih muda sekali dan cantik, juga gerak-gerikmu halus tak pantas
menjadi seorang perampok. Dari kata-katamu aku dapat menduga bahwa kaupun
pernah menerima pelajaran orang pandai. Mengapa kau menjadi perampok? Untuk
apakah harta besar yang kau dapatkan dengan jalan kotor? Nona, orang semuda kau
ini sepantasnya duduk di dalam rumah bersama suamimu dan mendidik anakmu!
Lihatlah aku ini! Aku sudah tua seorang janda miskin yang kehilangan anak
tunggalnya. Ingatlah bahwa kelak kaupun akan menjadi seorang wanita tua seperti
aku. Kalau kau hidup menyendiri dan menjadi perampok, nanti setelah kau menjadi
tua, untuk apa semua harta benda kotor itu? Kau takkan hidup bahagia, bahkan kau
akan selalu menyesal dosa-dosamu. Mengapa kau tidak mengambil jalan benar?”
Kata-kata yang keluar dari mulut Nyonya Lim ini lebih tajam dan runcing daripada
sebatang pedang pusaka dan tepat sekali menikam ulu hati Kim Nio. Wanita muda itu
menjadi pucat dan memandang dengan mata sayu, kemudian tiba-tiba ia tak dapat
menahan kesedihan hatinya lagi lalu menangis tersedu-sedu sambil menutupi
mukanya dengan kedua tangannya!
Nyonya Lim Ek lalu memberi tanda kepada pembesar dan para pengawalnya untuk
melanjutkan perjalanan karena ia dapat menduga bahwa nona baju hijau ini telah
terpengaruh oleh ucapannya dan ia maklum bahwa ia dapat menghadapi nona ini.
Dengan anggukan kepala menyatakan terima kasih, rombongan itu melanjutkan
perjalanannya, sedangkan Kim Nio yang sedang menangis tidak mempedulikan
mereka itu lagi.
Kemudian Nyonya Lim Ek melangkah maju dan memegang pundak Kim Nio dengan
sentuhan halus.
“Nona, janganlah kau bersedih dan maafkan kata-kataku kalau menyinggung
perasaanmu. Kiranya kau berperasaan halus, tapi mengapa kau sampai tersesat seperti
ini?”
Mendengar suara halus penuh perhatian ini dan merasa betapa nyonya itu memegang
pundaknya dengan halus, Kim Nio merasa makin sedih dan ia lalu menangis keras
sambil menyandarkan kepalanya dan mukanya di pundak Nyonya Lim!
“Peh-bo ... kau tidak tahu ... aku yatim piatu ... tak berayah tak beribu tiada kawan
tiada handai taulan ... tidak ada seorangpun manusia di dunia ini yang menyayangi
dan mencintaiku ... aku tidak mempunyai pengharapan lagi, hidup di atas jalan benar
maupun sesat bagiku sama saja hanya kesepian, duka dan derita saja bagianku ... ”
Kim Nio teringat kepada Kong Lee dan tangisnya makin sedih.
“Nona, selama hayat di kandung badan, pengharapan selalu ada dan orang yang
berputus harapan tidak saja bodoh tapi juga kurang kepercayaan kepada diri sendiri.
Coba kau renungkan, bukankah pengharapan nikmat hidup pula? Kita mengharapharapkan
sesuatu, mengharapkan suatu yang indah, yang kita tunggu-tunggu.
Koleksi Kang Zusi
Alangkah senangnya kalau sesuatu yang kita harap-harapkan itu kelak akan tiba dan
mimpi kita itu akan terbukti. Bahagialah orang yang masih mempunyai sesuatu yang
diharapkan! Kau bilang kau tiada handai taulan? Lihatlah, aku, anak! Aku sudah tua,
semenjak muda ditinggal mati suami dan semenjak tujuh delapan tahun yang lalu
anakku yang tunggal meninggalkan aku pula, tidak tahu sekarang ia berada di mana,
entah mati entah hidup. Aku miskin pula, akan tetapi aku masih mempunyai
pengharapan. Yakni pengharapan bertemu kembali dengan anakku itu! Dan sebelum
aku mati, pengharapan itu akan selalu menyala di dalam dadaku, bagaikan sepucuk
api lilin yang biarpun kecil, tertutup angin dan berkedap-kedip, namun takkan lenyap
sebelum lilinnya habis! Demikianlah, pengharapanku takkan lenyap sebelum hayat
meninggalkan tubuhku!”
Kim Nio merasa terharu sekali dan terisak-isak ia peluk Nyonya Lim.
“Aduh, Peh-bo, kau wanita bijaksana sekali! Alangkah beruntungnya aku yang
malang ini bertemu dengan orang seperti kau! Peh-bo ... jangan kau tinggalkan aku.
Kau sebatang kara, aku seorang diri di dunia ini, biar kita hadapi hidup yang penuh
penderitaan dan kepalsuan ini bersama-sama. Dengan kau yang bijaksana sebagai
pembimbing, aku akan hadapi segala rintangan dengan tabah, dan aku takkan
mungkin tersesat lagi, Peh-bo ... ”
Nyonya Lim Ek juga merasa terharu dan bercampur girang. Ia suka kepada gadis yang
hebat ini dan yang bernasib buruk.
“Anak, usulmu ini baik sekali. Akupun pada waktu ini tidak mempunyai tempat
tinggal yang tetap. Langit menjadi atapku dan bumi menjadi lantaiku. Kau sebenarnya
bernama siapa, nona?”
“Aku she Coa bernama Kim Nio, Peh-bo.”
“Aku adalah Kwee Cin Hwa atau Nyonya janda Lim Kong Lee,” kata Nyonya Lim
dengan halus dari Kim Nio yang masih memeluknya.
Kalau saja nona itu tidak menyembunyikan mukanya di dada Nyonya Lim, wanita tua
itu tentu akan melihat betapa muka yang cantik itu tiba-tiba menjadi pucat. Akan
tetapi ia masih dapat merasakan betapa tubuh Kim Nio menggigil ketika mendengar
bahwa Kong Leelah putera janda ini!
“Nona, kenapa kau?” tanya Kwee Cin Hwa sambil memegangi pundak Kim Nio dan
memandangi muka itu. Ia melihat bahwa muka itu pucat sekali dan Kim Nio segera
menutup kedua matanya.
“Ti ... dak apa-apa ... aku hanya pening Peh-bo ... ” jawab Kim Nio yang belum sadar
kembali dari rasa kagetnya.
“Marilah kita duduk dulu, mungkin kau lelah setelah bertempur tadi.”
Nyonya janda yang baik hati itu membimbing Kim Nio dan mereka lalu duduk di atas
rumput di bawah sebatang pohon.
Bergantian mereka saling menuturkan riwayat masing-masing sehingga Kim Nio kini
tahu akan riwayat Kong Lee, sedangkan ia sendiri lalu menuturkan riwayatnya tanpa
menyebut tentang suaminya dan tentang pelanggaran yang ia lakukan sebagai seorang
isteri yang melarikan diri dengan laki-laki lain!
“Berapakah usia anakmu itu Peh-bo? Dan apakah dia telah ... kawin?”
Kwee Cin Hwa tersenyum.
“Anak bodoh! Kalau ia sudah kawin tentu aku takkan telantar seperti keadaanku
sekarang ini. Ia telah berusia dua puluh satu, belum kawin tapi sudah kutunangkan
dengan seorang gadis cantik!”
Kim Nio menggunakan sapu tangannya, untuk mengusap peluh dari mukanya
sehingga muka yang cantik itu tertutup sapu tangan, kemudian nona baju hijau itu
menggunakan kekerasan hatinya untuk menekan perasaan perih dan hatinya yang
Koleksi Kang Zusi
berdebar-debar mendengar bahwa Kong Lee telah ditunangkan dengan gadis lain.
Pantas saja pemuda itu menolak cintanya.
“Ah, kalau begitu kau beruntung sekali, Peh-bo. Begitu dapat bertemu dengan
puteramu, kau tentu segera melangsungkan perkawinannya!” kata Kim Nio dengan
mulut tersenyum, tapi bibirnya gemetar dan hatinya perih.
Muka Kwee Cin Hwa berseri.
“Itulah yang kuharapkan! Akan tetapi Kong Lee sendiri belum tahu bahwa ia telah
kutunangkan dengan gadis keluarga Thio itu!”
“Siapakah gadis itu, Peh-bo? Cantikkah ia?” Kim Nio bertanya secara sambil lalu.
Nyonya janda itu lalu menuturkan tentang keadaan keluarga Thio yang kaya raya di
kota Lam-sai dan ia menuturkan pula tentang pengalaman suami dan puteranya
dengan Thio Sui Kiat, Kim Nio mendengarkannya dengan heran dan kagum.
“Maaf, Peh-bo. Kalau begitu, menurut pendapatku yang bodoh, Thio Sui Kiat itu
adalah musuh keluargamu. Mengapa kau bahkan mengikatkan diri dengan mereka
sebagai besan? Ini benar-benar aneh sekali bagiku, Peh-bo.”
“Memang demikian, anak. Kalau didengar begitu saja memang menimbulkan heran
seakan-akan aku membaiki musuh. Padahal Thio Sui Kiat itu tak dapat disebut
musuh. Ia kalahkan suamiku dalam sebuah pibu yang adil dan suamiku meninggal
dunia karena selalu keras hati dan menyiksa hati sendiri. Bahkan sebelum mendiang
suamiku menutup mata ia telah meninggalkan pesan supaya aku dan anakku tidak
menaruh dendam kepada Thio Sui Kiat. Kemudian ternyata bahwa anakku Kong Lee
itu pergi mencari kepandaian Thio-wangwe dan dikalahkan. Akan tetapi Thiowangwe
tidak benci kepadanya, bahkan mengajukan usul untuk menjodohkan
gadisnya dengan anakku itu. Bukankah ini menunjukkan betapa bijaksananya Thio
Sui Kiat dan isterinya? Pula, gadisnya yang bernama Thio Eng itu selain cantik jelita,
juga pandai ilmu silat sehingga kurasa sudah pantas menjadi isteri puteraku.”
Ketika berbicara demikian, nyonya janda itu memandang ke arah awan yang berarak
di angkasa sehingga ia tidak melihat sinar kemarahan yang menjalar di muka Kim Nio
yang menjadi merah. Akan tetapi Kwee Cin Hwa tidak tahu sama sekali bahwa sedikit
sinar keinsyafan dan kebaikan yang tadi menguasai hati Kim Nio, kini telah lenyap
dan buyar bagaikan awan tipis, tertiup angin. Hatinya telah menjadi kotor lagi penuh
dengan dendam dan sakit hati. Ia mencintai Kong Lee dengan sepenuh hati, tapi
pemuda itu menolaknya, bahkan menghinanya dan kini dari ibu pemuda itu ia
mendengar bahwa pemuda itu telah bertunangan dan betapa gadis tunangannya itu
dipuja-pujanya!
Hm, kalau aku tidak bisa mendapatkan pemuda itu, maka wanita lain pun jangan
harap akan bisa mendapatkannya, demikian hatinya berbisik!
“Peh-bo, biarpun aku sebatang kara, namun aku mempunyai seorang suheng yang
baik hati. Kalau tidak ada dia yang selalu menolongku, entah bagaimana jadinya
dengan aku. Sekarang kita berdua tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan hal ini
tidak baik bagi wanita-wanita seperti kita. Maka kalau kiranya Peh bo tidak keberatan
mari kita untuk sementara tinggal bersama suhengku itu sekalian mencari anakmu.
Siapa tahu, kita akan bertemu di jalan, dan jika tidak bertemu kiranya suheng yang
mempunyai banyak kawan tentu akan membantu mencari. Ia telah banyak
pengalamannya dan kenalannya di dunia kang-ouw. Dengan bantuannya maka takkan
sukar kiranya mencari di mana adanya puteramu itu.”
Tentu saja nyonya janda itu merasa girang sekali dan segera menyatakan
persetujuannya. Mereka lalu berangkat menuju ke hutan di mana Pauw Kian Si Iblis
Tangan Hitam bersarang, sehingga Kim Nio sengaja membawa ibu ini menjauhi
anaknya karena Kong Lee baru saja meninggalkan tempat itu sehingga arah
Koleksi Kang Zusi
perjalanan ibu dan anak itu berlawanan!
Memang demikianlah, segala keputih-bersihan hati nurani manusia selalu berubah
kotor dan hitam, dinodai oleh perasaan-perasaan perseorangan berupa dendam, sakit
hati, iri hati, dan lain-lain yang terdorong semata-mata oleh nafsu mementingkan
kesenangan hati sendiri!
Setelah meninggalkan Kim Nio, Kong Lee melanjutkan perjalanannya menuju ke kota
Bi-ciu. Ketika ia tiba di sebuah dusun ia mengambil kamar di tempat penginapan dan
segera membuka-buka buku tebal yang diambilnya dari pondok keluarga gila dahulu
itu. Ia ingin sekali mengetahui keadaan dan riwayat mereka.
Ternyata bahwa buku itu terbagi menjadi dua. Di bagian depan terdapat catatan harian
yang ditulis dengan tangan dan tulisannya berbentuk indah sekali. Hanya seorang
terpelajar tinggi yang dapat membuat tulisan seindah itu. Dan yang setengah buku lagi
ternyata berisi pelajaran ilmu silat yang aneh sekali gerakan-gerakannya. Kong Lee
terkejut dan girang sekali karena kitab yang dibawanya itu ternyata selain kitab
catatan yang merupakan riwayat hidup ketiga orang gila itu, juga merupakan kitab
pelajaran ilmu silat yang luar biasa dan yang kehebatannya telah dikenalnya sendiri!
Ia merasa malu karena ia telah mencuri kitab pelajaran orang lain, tapi kemudian
timbul pikirannya bahwa biarpun ia mencuri kitab pelajaran, namun jika itu dibiarkan
berada di tangan ketiga orang gila itu, tentu akan berbahaya sekali jika terjatuh ke
dalam tangan orang jahat. Maka ia membatalkan keinginan hatinya yang tadi untuk
mengembalikan kitab itu. Pula bagaimana ia dapat mengembalikan kitab itu? Untuk
memasuki hutan itu lagi saja ia tidak berani karena tahu akan bahaya hebat yang
mengancamnya. Maka ia lalu mulai menelaah lembaran-lembaran kitab itu.
Semenjak membaca halaman pertama, ia telah menjadi demikian tertarik sehingga ia
harus membaca habis riwayat itu sampai pagi!
Catatan harian yang disusun rapi sekali itu ternyata merupakan riwayat yang lengkap
dari ketiga orang gila yang dipanggil Raja dan Ratu Gila serta putera mereka yang
disebut Pangeran Gila.
Orang gila yang sekarang disebut Raja Gila itu dulunya adalah seorang pangeran yang
berpengaruh di kota raja bernama Leng Tin Ong. Pengaruhnya demikian besarnya
sehingga ia ditakuti serta disegani oleh para pembesar dan pangeran lain karena selain
orangnya jujur dan keras hati, juga ia memiliki kepandaian tinggi sekali, karena ia
adalah anak murid langsung dari Jing Li Tosu dari Kun-lun-san. Beberapa puluh
tahun yang lalu ketika putera tunggalnya yang bernama Leng Ki Pok baru berusia tiga
belas tahun, terjadilah malapetaka menimpa keluarga bangsawan ini.
Ketika itu kedudukan Leng Tin Ong sangat kuat dan ia disegani, bahkan mendapat
penghormatan dan kepercayaan dari Kaisar sendiri. Pada masa itu, di dalam istana
sedang terjadi perebutan kekuasaan dan di antara sekian banyak bangsawan yang
memperebutkan kedudukan terdapat seorang pangeran bernama Beng Hwat Ong.
Pangeran ini juga sangat berpengaruh karena adik perempuannya menjadi permaisuri
ketiga dari Kaisar. Diam-diam Pangeran ini mengandung niat untuk merebut tahta
kerajaan dan semua pembesar yang berhati khianat telah menjadi kaki tangannya.
Akan tetapi, rahasia ini diketahui oleh Leng Tin Ong yang jujur tentu saja hal ini
merupakan ancaman besar bagi Beng Hwat Ong. Karena kalau Pangeran Leng Tin
Ong ini menghalangi niatnya maka akan gagallah usaha dan maksudnya. Maka
dimintalah pertolongan kepada seorang tosu yang terkenal memiliki ilmu hitam dan
sihir serta berkepandaian silat tinggi pula. Tosu ini datang dari Tibet dan bernama
Bong Ki Tosu.
Atas nasihat Bong Ki Tosu yang tidak berani secara terang-terangan melawan Leng
Tin Ong yang berkepandaian tinggi itu, maka dengan tipu muslihat licik Beng Hwat
Koleksi Kang Zusi
Ong membujuk Leng Tin Ong untuk mengunjungi sebuah hutan di mana katanya
hendak didirikan sebuah istana tempat beristirahat. Ia minta kepada Leng Tin Ong
untuk memberi pandangan tentang rencananya itu.
Leng Tin Ong adalah seorang jujur maka ia mudah saja masuk ke dalam perangkap
ini. Ia segera mengajak anak isterinya naik sebuah kendaraan dan bersama-sama Beng
Hwat Ong masuk ke dalam hutan itu. Karena selain memiliki kepandaian silat tinggi,
Leng Tin Ong juga seorang sastrawan yang mengerti tentang ilmu melihat hongsui,
yakni memilih tempat yang baik dan yang mengandung pengaruh baik untuk
bangunan yang hendak didirikan, maka Pangeran ini dengan sungguh-sungguh hati
lalu memilihkan sebuah tempat di tengah hutan yang dikelilingi tetumbuhan berbunga
indah dan penuh rumput-rumput hijau yang menyedapkan mata. Beng Hwat Ong
menjadi girang sekali dan untuk menyatakan terima kasihnya, ia lalu mengadakan
hidangan dan jamuan di tengah hutan.
Leng Tin Ong sama sekali tidak menyangka bahwa seorang tosu jahat telah
bersembunyi di hutan itu, yakni Bong Ki Tosu. Ketika sedang makan minum dengan
gembira, di dalam minuman arak telah dicampurkan obat oleh tosu itu. Obat ini
terbuat dari semacam tetumbuhan yang hanya terdapat di puncak pegunungan Tibet
dan yang meminum obat ini, akan menjadi gila. Zat-zat dari tetumbuhan yang terdapat
di obat itu akan merusak urat-urat syaraf dan mendatangkan kegilaan yang tak
mungkin dapat diobati lagi.
Biarpun Leng Tin Ong berkepandaian tinggi dan juga isterinya memiliki kepandaian
tinggi pula karena sebenarnya ia adalah sumoinya atau adik seperguruannya sendiri,
namun pengaruh obat itu tak dapat dilawannya. Mereka berdua dan putera mereka
yang juga tidak luput dari keganasan Beng Hwat Ong dan kaki tangannya lalu roboh
dan pingsan!
Beng Hwat Ong pura-pura merasa bingung dan segera mengirim laporan kepada
pembesar setempat untuk memberi pertolongan. Akan tetapi, ketika sadar dari
pingsannya, Leng Tin Ong dan isterinya mengamuk seperti kerbau gila karena mereka
telah berubah ingatan dan menganggap setiap orang menjadi musuh mereka! Semua
yang tampak dimusnahkannya, bahkan di dalam amukannya ia telah berhasil
membunuh Beng Hwat Ong. Dan yang membuat semua orang segera lari dengan
penuh ketakutan dan ngeri ialah ketika mereka melihat betapa Leng Tin Ong dan anak
isterinya lalu menyerbu mayat Beng Hwat Ong dan ... memakannya!
Demikianlah kehebatan pengaruh obat yang diberikan oleh Bong Ki Tosu itu! Si Tosu
sendiri ketika melihat bahwa muslihatnya mendatangkan peristiwa yang sangat hebat
dan mengerikan itu, segera angkat kaki dan lari!
Setelah mengamuk Leng Tin Ong dan isterinya lalu jatuh pulas dan mendengkur di
tengah hutan. Di dekatnya terdapat sisa-sisa tubuh Beng Hwat Ong dalam keadaan
mengerikan sekali. Juga putera mereka meringkuk tidur dengan nyenyaknya.
Ketika terjaga dari tidurnya, Leng Tin Ong yang sebetulnya telah memiliki lwee-kang
yang sangat tinggi, dengan samar-samar dapat mengingat kembali peristiwa tadi
melihat sisa mayat Beng Hwat Ong. Ia lalu mengerahkan seluruh tenaga batinnya
untuk melawan pengaruh hebat yang merusak pikirannya. Ternyata obat itu keras
sekali dan ketika mereka siuman dari pingsan tadi, obat sedang bekerja hebat
sehingga ia menjadi gila dan ganas. Tapi sekarang setelah dapat mengerahkan tenaga
untuk melawan pengaruh itu, Leng Tin Ong dapat mengingat kembali peristiwa yang
terjadi dan ia merasa menyesal sekali. Ia tahu lalu membangunkan isterinya dan
bersama-sama mereka bersamadhi untuk melawan pengaruh racun yang merusak urat
syaraf mereka. Kemudian mereka lalu mengubur jenazah itu.
Karena peristiwa itu, Leng Tin Ong merasa malu dan tidak berani kembali ke kota
Koleksi Kang Zusi
raja. Ia maklum bahwa racun telah merusak urat-urat syaraf di kepalanya dan ia dapat
menduga dengan penuh kecemasan bahwa lambat laun pikirannya akan rusak sama
sekali. Oleh karena itu ia lalu mengeluarkan sebuah kitab kosong yang selalu
dibawanya karena untuk keperluan perjalanan memilih tanah itu iapun membutuhkan
kertas tulis dan alat-alat tulis.
Setiap hari, sambil mengerahkan lwee-kang untuk melawan pengaruh racun yang
makin kuat mendesaknya ke arah kurang kegilaan, Leng Tin Ong menuliskan
riwayatnya di dalam kitab itu, bahkan ia lalu menuliskan semua ilmu silat yang
dimilikinya. Akan tetapi karena otaknya sudah kurang waras entah bagaimana, ilmu
silat yang pada dasarnya adalah cabang dari Kun-lun-pai itu, kini menjadi tercampur
dengan gerakan-gerakan aneh yang hanya dapat diciptakan oleh seorang gila!
Pangeran yang gila ini hanya dapat mempertahankan desakan racun itu untuk kurang
lebih setahun saja, bahkan isterinya hanya dapat bertahan sampai sembilan bulan.
Setelah itu, mereka benar-benar menjadi gila dan buas, melebihi binatang hutan yang
paling buas! Ada pun putera mereka, Leng Ki Pok, pada hari setelah minum racun itu,
terus saja menjadi gila dan tak dapat diobati lagi! Demikianlah, untuk puluhan tahun
mereka bertiga merupakan keluarga gila yang aneh sekali.
Pernah Kaisar mengirimkan utusan untuk membujuk mereka kembali, akan tetapi
para utusan ini bahkan diamuk oleh mereka dan hampir saja menjadi korban!
Semenjak itu, nama mereka terkenal sekali dan ditakuti oleh semua orang, karena
mereka memiliki tenaga yang luar biasa dan kepandaian yang sangat tinggi.
Ketika utusan Raja datang mereka disambut oleh Leng Tin Ong dengan tertawa
berkakakan dan berkata, “Kalian diutus Raja? Ha, ha, ha! Siapa Raja? Lihatlah,
akulah Raja, ini permaisuriku yang harus disebut Ratu dan ini adalah anakku yang
harus kalian sebut Pangeran!”
Semenjak itu, mereka disebut Raja Gila, Ratu Gila dan Pangeran Gila!
Memang telah ada beberapa ksatria yang mendatangi mereka, akan tetapi semuanya
dipukul mundur dan tak kuat menghadapi serbuan mereka yang benar-benar hebat itu!
Di dalam kegilaannya Leng Tin Ong masih memiliki sifat manusia. Ia dan isterinya
mendirikan pondok dan bahkan mengajar silat kepada puteranya. Yang sangat
mengherankan ialah bahwa ilmu silat mereka semenjak mereka gila menjadi semakin
hebat dan berbahaya, karena sifat-sifat yang gila itu mendatangkan daya cipta baru
yang aneh dan mengerikan.
Semalam suntuk Kong Lee membaca catatan-catatan yang merupakan riwayat ini dan
bulu tengkuknya berdiri karena ngeri. Ia dapat membayangkan betapa hebatnya
penderitaan mereka, karena semenjak Pangeran Gila berusia tiga belas tahun sampai
sekarang telah berusia sedikitnya empat puluh tahun, mereka selalu berada di dalam
hutan dalam keadaan gila! Akan tetapi, apakah betul mereka menderita? Mungkin
karena itu sudah tidak kenal lagi akan apa yang disebut penderitaan oleh orang-orang
waras!
Karena merasa ngantuk sekali, Kong Lee lalu tertidur di waktu matahari telah mulai
muncul. Baru tengah hari ia bangun. Setelah mengisi perutnya, ia lalu membalikbalikkan
lembaran yang berisi pelajaran silat. Ia merasa mendapat kesukaran untuk
mengikuti dan mengerti isi pelajaran yang hebat ini, di mana terdapat gerakangerakan
yang demikian aneh dan tak mungkin dilakukan oleh orang waras! Akan
tetapi, berkat kecerdikannya, akhirnya pemuda ini dapat juga menangkap maksud
penulisnya dan mulai terbukalah matanya untuk mengerti akan pelajaran silat yang
ganas dan aneh ini. Ia mulai bersilat mengikuti petunjuk-petunjuk di situ dan alangkah
girangnya ketika ia merasa betapa ilmu silat itu memang hebat, aneh, dan luar biasa.
Justeru gerakan-gerakan aneh dan yang juga agaknya tak mungkin dapat disebut
Koleksi Kang Zusi
orang bersilat jika digerakkan itu akan membuat lawan menjadi bingung dan tak dapat
menduga perubahan-perubahan yang terdapat di dalamnya!
Oleh karena itu, maka dengan tekun sekali Kong Lee mempelajari ilmu silat baru ini
sambil melanjutkan perjalannya menuju ke kota Bi-ciu. Dan karena berjalan sambil
seringkali berhenti mempelajari ilmu silat ini, baru tiga bulan kemudian ia tiba di Biciu.
Hatinya berdebar dan kerongkongannya serasa tercekik karena keharuan hatinya.
Bagaimanakah keadaan ibunya? Sudah tuakah dia? Ia masih ingat benar akan jalan di
kota itu yang ternyata tidak terdapat banyak perubahan. Hanya kini banyak rumahrumah
baru didirikan orang sehingga keadaan kota itu bertambah ramai.
Akan tetapi, alangkah kecewa dan sedihnya ketika ia mendapatkan rumah ibunya
telah kosong!
Ia bertanya kepada para tetangga yang segera dapat mengenalnya, akan tetapi
tetangganya itupun hanya dapat memberitahu bahwa ibunya telah pergi kira-kira
setahun yang lalu. Tak seorang pun tahu ke mana perginya. Hal ini tentu saja
merupakan pukulan berat bagi Kong Lee. Ia lalu membersihkan rumah tua itu dan
mengambil keputusan untuk menanti kembalinya ibunya sambil mempelajari ilmu
silat baru yang sangat menarik hatinya.
Demikianlah, setelah Nyonya Lim menanti-nanti kembalinya Kong Lee sampai
bertahun-tahun lamanya, kini anaknya itulah yang menanti-nanti di situ menunggu
kedatangannya!
Kong Lee sekarang berbeda dengan Kong Lee dulu ketika masih berusia tiga belas
tahun. Kalau menurutkan hatinya pada saat itu juga ia ingin pergi ke Lam-sai untuk
mencari Thio Sui Kiat. Akan tetapi kini ia telah dapat mengekang dorongan nafsunya
dan ia mengambil keputusan untuk menanti lebih dulu kembalinya ibunya dan
memberitahu ibunya akan maksudnya mengajak pibu kepada Thio Sui Kiat.
Sementara itu, dengan tekun sekali ia mempelajari ilmu silat yang didapatnya dari
buku pelajaran Raja Gila sehingga ia telah dapat memainkan setengah bagian dari isi
kitab itu. Akan tetapi, setelah menanti sampai hampir setengah tahun, belum juga
ibunya datang!
Akhirnya ia menjadi putus asa dan mengambil keputusan hendak pergi menyusul
ibunya! Ia hendak merantau mencari orang tua itu. Akan tetapi, terlebih dulu ia
hendak mengunjungi Thio Sui Kiat di Lam-sai.
Kong Lee melihat bahwa keluarga Thio itu masih sama seperti dulu. Dan seperti dulu
pula, kedatangannya disambut oleh seorang pelayan.
“Kongcu ada keperluan apa dan hendak bertemu dengan siapa?” tanya pelayan itu
dengan hormat.
“Tolong beritahukan kepada majikanmu bahwa seorang she Lim minta bertemu
sebentar,” jawab Kong Lee.
Pemuda itu dipersilakan duduk menunggu di ruang depan dan pelayan itu lalu masuk
ke dalam. Kong Lee merasa yakin bahwa kali ini tentu ia akan dapat menebus
kekalahan ayahnya dan kekalahannya dulu!
Ketika Thio Sui Kiat keluar, Kong Lee segera mengenalinya, karena orang tua ini
tidak berubah, hanya rambut di atas telinganya saja nampak keputih-putihan dan
jenggotnyapun telah berwarna dua. Akan tetapi, Thio Sui Kiat tidak dapat mengenal
Kong Lee, maka orang tua itu lalu menjura dengan hormat sambil berkata, “Tuan
yang terhormat datang dari mana dan ada urusan apa?”
Kong Lee tersenyum.
“Lo-enghiong tentu telah lupa kepadaku, aku adalah Lim Kong Lee ... ”
“Kau ... ??”
Koleksi Kang Zusi
Kedua mata Thio Sui Kiat terbelalak dan ia tercengang memandang kepada pemuda
yang berdiri di depan itu. Tak disangkanya bahwa anak muda Lim Ek telah demikian
besar dan gagah sehingga diam-diam ia merasa kagum dan girang, akan tetapi juga
ada rasa kuatir karena betapapun juga ia dapat menduga bahwa pemuda ini tentu
hendak menebus kekalahannya dulu! Apakah ia harus menghadapi calon menantunya
ini? Ah, sungguh gila, seorang calon mertua berpibu melawan calon menantunya
sendiri. Akan tetapi, iapun ingin sekali mencoba-coba sampai di mana kepandaian
yang telah diperoleh calon menantunya dalam perantauannya.
“Lim ... hiante, duduklah, silakan duduk di dalam saja!” katanya dengan ramah sekali
dan mereka lalu masuk ke dalam.
Dengan manis budi Thio Sui Kiat mempersilakan tamunya mengambil tempat duduk.
“Lim-hiante, pertama-tama aku hendak bertanya tentang ibumu. Telah lama ia pergi
merantau, mencari-cari kau, di manakah dia sekarang dan apakah kau telah bertemu
dengannya?”
Kong Lee merasa heran juga mendengar ini karena tidak disangkanya bahwa orang
she Thio ini agaknya memperhatikan keadaan ibunya dan mengetahui ibunya telah
pergi dari rumah!
“Inilah yang membingungkan hatiku, Lo-enghiong.”
“Jangan kau sebut-sebut Lo-enghiong kepadaku! Panggil saja Susiok (Paman) karena
bukankah kita sudah lama berkenalan?”
“Baiklah, Thio-susiok. Ibu telah hampir dua tahun pergi dan entah di mana ia berada
sekarang. Akupun sengaja pergi hendak mencarinya, dan sebelumnya aku mampir
dulu di sini.”
“Bilakah, kau kembali? Dan mengapa tidak segera datang ke sini?” orang tua itu
memotongnya.
“Aku telah setengah tahun lebih kembali ke Bi-ciu dan menanti-nanti kedatangan ibu.
Tapi ia tak kunjung datang.”
Thio Sui Kiat lalu memerintahkan pelayan mengambil minuman.
“Thio-susiok, harap kedatanganku ini tidak merepotkan kau. Sebetulnya kedatangan
ini tak lain hanya hendak membayar janjiku dulu dan untuk kedua kalinya aku yang
muda mohon petunjuk darimu, karena pengetahuanku masih terlalu dangkal.”
“Ooo, itukah maksudmu? Baiklah, tapi mari silakan minum dulu, Hian-te!”
Sambil berkata demikian orang tua itu menyodorkan secangkir air teh kepada anak
muda itu. Kong Lee dengan sikap hormat menerimanya akan tetapi tiba-tiba ia merasa
betapa cangkir itu berat sekali menekan tangannya!
Ia maklum bahwa tuan rumah sedang mencoba tenaganya maka iapun tidak mau
berlaku segan-segan. Ia kerahkan lwee-kangnya yang ia pelajari di puncak Liong-san,
bahkan ia tambah lagi dengan pelajaran lwee-kang yang ia dapat dari kitab pelajaran
dari Raja Gila.
Thio Sui Kiat tadinya merasa betapa telapak tangan pemuda yang menerima cangkir
itu lemas bagaikan kapas sehingga ia kagum sekali. Tapi setelah Kong Lee menambah
dengan lwee-kang kedua, maka tangan pemuda yang tadinya lemas, tiba-tiba menjadi
keras dan mengalirkan hawa dingin yang seakan-akan menjalar melalui cangkir dan
terus menjalar ke tangan Thio Sui Kiat yang merasa dingin sekali sehingga tangannya
seakan-akan lumpuh! Orang tua itu terkejut sekali dan cepat-cepat melepaskan
cangkir itu sambil melangkah mundur dua tindak! Ia memandang dengan kagum dan
heran kepada pemuda yang kini minum air teh itu dengan tenang.
“Lim-hiante, kau tentu telah mendapat kepandaian yang tinggi, bukan?”
“Ah, Thio-susiok, sukar untuk dikatakan batas kepandaian seseorang, karena sampai
di manakah batas kepandaian? Aku hanya mempelajari sedikit kepandaian dan kini
Koleksi Kang Zusi
mohon petunjuk dari susiok yang telah banyak pengalaman.”
Thio Sui Kiat making girang mendengar kata-kata pemuda yang tahu membawa diri
ini dan ia makin ingin sekali mencoba kepandaian calon menantunya ini. Ia lalu
mempersilakan Kong Lee menuju ke lian-bu-thia yang letaknya di ruang belakang.
Seperti dulu, pemuda ini mengikuti tuan rumah menuju ke belakang. Lian-bu-thia itu
masih tetap seperti dulu dan di rak senjata terdapat senjata-senjata baru yang bagusbagus
karena orang tua ini memang suka mengumpulkan senjata-senjata yang baik.
Thio Sui Kiat sengaja memanggil beberapa orang pelayan yang kebetulan berada di
ruang belakang dan memerintahkan mereka untuk berdiri di pinggir ruang itu untuk
menonton.
“Lihatlah! Hari ini aku kedatangan seorang pemuda gagah perkasa yang mengajak
pibu. Lihatlah kepandaian Lim-kongcu, putera dari almarhum Lim Ek-kauwsu di Biciu!”
Kong Lee merasa heran sekali mendengar ini dan ia masih ragu-ragu apakah maksud
hartawan ini. sementara itu Thio Sui Kiat sudah melepaskan jubah luarnya.
“Marilah, Hian-te, bukalah pakaian luarmu agar lebih leluasa.”
“Tak usah, susiok. Bukankah kita hanya main-main saja?”
Thio Sui Kiat mengambil toya kecil yang dulu juga dan ia kaget dan heran melihat
betapa pemuda itu membawa sebatang tongkat bambu di tangannya.
“Ha, jadi kau rupanya telah memperdalam ilmu tongkat?” tanyanya.
Kong Lee hanya tersenyum.
“Aku hanya mengikuti jejak mendiang ayahku,” jawabnya.
“Nah, marilah kita mulai!” kata Thio Sui Kiat.
Kong Lee sengaja memainkan gerakan Bendungan Baja Menahan Banjir seperti yang
dulu ia mainkan ketika ia dirobohkan hanya dalam tiga jurus oleh orang tua ini sambil
berkata, “Seranglah, Thio-susiok!”
Thio Sui Kiat merasa sangat heran melihat betapa pemuda ini memainkan gerakan itu.
Apakah benar-benar pemuda ini tidak mempelajari ilmu tongkat lain ataukah pemuda
ini hendak main-main dengannya? Akan tetapi, tidak ada waktu baginya untuk
memikirkan hal ini. Ia lalu menggerakkan toyanya dan menyerang sendiri dulu pula
dengan maksud untuk memberi pemuda itu penerangan mengapa dulu ia sampai
terjatuh dalam tiga jurus.
Melihat gerakan-gerakan Thio Sui Kiat, maka terbukalah mata Kong Lee dan tahulah
ia mengapa ia dulu sampai dijatuhkan karena ternyata bahwa di dalam gerakan ini
bagian atas tubuhnya kosong terbuka. Kini pada saat Thio Sui Kiat melompat ke atas
dan menyerang ke arah kepala, ia diamkan saja, tapi pada saat toya tuan rumah sudah
tiba dekat, dengan luar biasa cepatnya Kong Lee memutar tubuhnya dan toya Thio Sui
Kiat mengenai tempat kosong. Orang tua itupun memiliki gerakan cepat sekali dan
dapat meloncat turun dan memutar tongkatnya dengan hebat!
Kong Lee menyambutnya dengan tenang karena memang sengaja hendak mengukur
sampai di mana tingginya kepandaian orang she Thio yang dulu mengalahkan
mendiang ayahnya itu! Melihat betapa ujung toya Thio Sui Kiat bergetar dan terpecah
menjadi berpuluh batang, diam-diam ia memuji dan maklumlah ia bahwa kepandaian
orang ini masih juga melebihi kepandaian Coa Kim Nio, bahkan mungkin tidak kalah
dengan Pauw Kian Si Iblis Tangan Hitam!
Setelah mengukur kepandaian Thio Sui Kiat sampai lebih dari lima puluh jurus, Kong
Lee lalu merubah gerakannya dan kini ia mulai balas menyerang, Thio Sui Kiat
tadinya merasa kagum dan merasai kemajuan anak muda itu karena ia sama sekali
tidak berdaya mendesak pertahanan yang sangat kuat itu. Sekarang melihat datangnya
serangan-serangan Kong Lee, ia terkejut sekali. Belum pernah ia menghadapi
Koleksi Kang Zusi
serangan yang demikian cepat dan bertenaga, maka ia menjadi makin kagum. Ia tidak
mau menyerah begitu saja dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk
mempertahankan diri.
Akan tetapi, Kong Lee segera mengirim serangan-serangan yang paling berbahaya
dari Liong-san Tung-hwat sehingga orang tua itu terdesak mundur demikian cepat.
Sebuah sabetan dengan tongkat yang cepat sekali ke arah leher hampir saja mengenai
sasaran, tapi Thio Sui Kiat dengan cepat menangkis dengan toyanya. Karena kerasnya
tenaga Kong Lee, tangan Thio Sui Kiat terasa tergetar dan sebelum ia dapat
membetulkan kedudukannya, ujung tongkat Kong Lee telah meluncur ke arah
dadanya tepat di ulu hati!
“Celaka!” dengan tak ia sadari Thio Sui Kiat berseru karena ia sudah tak mungkin lagi
mengelakkan bahaya ini, maka ia hanya memandangi kepada anak muda itu dengan
tajam.
Ketika ujung tongkat Kong Lee sudah hampir tiba di ulu hati lawan. Tepat di tempat
dulu ayahnya dilukai oleh she Thio ini. Tiba-tiba ia merubah gerakannya dan ujung
tongkatnya tidak jadi menembus dada, tapi meluncur ke kanan dan terdengar suara
“brett!” maka robeklah baju Thio Sui Kiat sehingga dadanya tampak!
Kong Lee berdiri sambil memandang lawannya dengan sinar mata dingin karena baru
saja dalam sedetik terjadi pertempuran yang lebih hebat lagi di dalam hatinya.
Menurut nafsunya, ia ingin sekali melihat orang she Thio itu roboh karena
tusukannya, atau sedikitnya luka. Namun, hati nuraninya tak mengijinkannya
sehingga ia hanya merobek saja pakaian orang tua itu! Hasilnya membuat ia kecewa
dan juga puas. Kecewa nafsu mudanya yang menggelora dan menuntut balas dan puas
bahwa ternyata ia masih kuat menahan nafsu itu!
Thio Sui Kiat dengan mata terbelalak memandang kepada pemuda itu. Nyawanya tadi
benar-benar tergantung pada seujung rambut! Kalau saja Kong Lee tidak merubah
gerakannya pada saat yang tepat sekali, pasti ia akan roboh binasa.
“Lim-hiante, sungguh kau hebat sekali! Tak kusangka bahwa dalam beberapa tahun
saja kau benar-benar berhasil memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya!
Sungguh-sungguh aku merasa takluk! Bukankah kau berguru kepada seorang tokoh
dari Liong-san?”
Kong Lee memuji ketajaman mata Thio Sui Kiat yang ternyata dapat mengenal
Liong-san Tung-hwat. Ia lalu menjura karena kagum melihat sikap orang tua yang
begitu tenang padahal baru saja terlepas dari bahaya maut.
“Thio-susiok, kau sengaja mengalah. Maafkan kelancanganku dan sekarang aku
mohon pamit.”
Thio Sui Kiat hendak menjawab, tapi pada saat itu dari ruang dalam muncul seorang
gadis berpakaian biru. Kong Lee memandang kagum karena gadis itu demikian cantik
dan sopan sikapnya. Pakaiannya ringkas dan gagang pedang nampak tersembul dari
belakang pundak kirinya. Ikat pinggang dan celananya berwarna merah, dan ikat
pinggang itu bergantungan bagaikan dua ekor ular. Sepatunya yang kecil berwarna
hitam mengkilat. Gadis ini adalah Thio Eng dan Kong Lee segera dapat menduganya.
Akan tetapi, ketika mereka bertemu pandang, ia merasa heran sekali gadis yang
tadinya gagah dan cekatan itu tiba-tiba memerah muka dan nampak gugup!
“Eng-ji,” kata Thio Sui Kiat kepada anaknya, “lihat, Lim-hiante sekarang telah
memiliki kepandaian yang jauh melampaui kepandaian ayahmu!”
“Ayah, kebetulan aku tadi melihat sendiri, betapa bajumu robek oleh tongkatnya,
maka biarlah aku mencoba kepandaiannya dengan pedangku!”
“Hush, jangan kau main gila, Eng-ji!” kata Thio Sui Kiat yang maklum bahwa
gadisnya yang nakal ini merasa gemas mengapa “calon suaminya” berani
Koleksi Kang Zusi
mengalahkan ayahnya yang menjadi calon mertuanya.
Memang Thio Eng telah diberitahu oleh ayahnya tentang ikatan jodoh antara ia
dengan Kong Lee. Sebagai seorang anak yang berbakti ia hanya taat kepada kehendak
ayahnya. Lebih-lebih kini melihat betapa tunangannya telah memiliki kepandaian
tinggi dan pemuda itu kini tampak demikian gagah dan tampan, tentu saja hatinya
menjadi girang sekali. Tiada jalan lain baginya untuk dapat bertemu lebih lama
dengan pemuda tunangannya yang sekaligus menawan hatinya itu, kecuali
mengajaknya berpibu dengan alasan membela ayahnya yang telah dikalahkan!
Akan tetapi, Kong Lee yang juga terpesona oleh gadis itu, segera menjura kepada
Thio Sui Kiat dan Thio Eng sambil berkata, “Kalau aku yang tiada kepandaian ini
hendak diberi kehormatan melayani Siocia barang sepuluh jurus dan mendapat
petunjuk-petunjuk berharga, tak lain aku haturkan banyak-banyak terima kasih.”
Ucapan ini merupakan penerimaan tantangan yang bersifat halus.
Mendengar jawaban ini, Thio Sui Kiat hanya tersenyum dan orang tua ini bahkan
pergi duduk di atas sebuah bangku yang berada di pinggir. Ia ingin melihat anaknya
bertanding dengan calon menantunya yang sangat hebat itu.
Thio Eng sudah mencabut pedangnya dan melintangkannya di depan dada, sedangkan
Kong Lee juga siap sedia dengan tongkat bambunya.
“Seranglah, Nona,” kata Kong Lee dengan halus sambil mengagumi raut muka yang
kini nampak nyata keindahannya itu.
Thio Eng mengerling malu-malu dan ia segera maju menyerang dengan sungguhsungguh.
Ia memang hendak mengukur sampai di mana kepandaian Kong Lee. Akan
tetapi dengan sengaja Kong Lee tidak mempergunakan tenaganya, hanya
mendemonstrasikan kelincahan dan ketinggian ilmu gin-kangnya. Ia bergerak cepat
dan tiba-tiba tubuhnya lenyap dari pandangan Thio Eng dan hanya tampak
bayangannya saja berkelebat mengikuti sinar pedang!
Bukan main indahnya pemandangan ini sehingga semua pelayan yang menonton di
situ bertepuk-tepuk tangan, sedangkan Thio Sui Kiat diam-diam tertawa senang
karena gin-kang dari pemuda itu benar-benar hebat!
Kong Lee menjadi bingung karena tidak tahu bagaimana ia harus bertindak untuk
menjatuhkan gadis itu. Dengan cara bagaimanakah agar gadis itu dapat dikalahkan
tanpa merasa tersinggung dan malu?
Tiba-tiba ia mendapat akal. Dengan segera memainkan ilmu silat yang dipelajarinya
dari kitab pelajaran silat Raja Gila itu. Kini tidak saja Thio Eng, bahkan Thio Sui Kiat
sendiri mengeluarkan seruan tertahan karena terkejut. Belum pernah selama hidupnya
ia melihat ilmu seperti itu! Gerakan-gerakannya aneh sekali dan kelihatan seperti
gerakan seekor cacing terkena abu panas atau seekor kera yang tiba-tiba merasa gatalgatal
di sekujur tubuhnya sehingga kera itu kebingungan menggaruk ke sana-sini!
Gerakan-gerakannya lucu dan aneh, dan setiap gerakan merupakan kebalikan dari
gerakan silat biasa! Dengan penuh perhatian Thio Sui Kiat berdiri dan melihat
gerakan-gerakan aneh dari Kong Lee itu.
Sementara itu, Thio Eng merasa pening menghadapi ilmu silat pemuda ini dan
pandangan matanya mulai menjadi kabur! Tiba-tiba entah bagaimana, ia merasa
pedangnya telah pindah tangan dan sebagai gantinya, ia memegang sebuah tongkat
bambu! Dengan cara yang ajaib sekali Kong Lee telah berhasil menukarkan
senjatanya dengan senjata gadis itu tanpa disadari oleh si gadis.
Kini tidak saja para pelayan, bahkan Thio Sui Kiat sendiri bertepuk tangan memuji. Ia
melihat dengan jelas betapa pemuda itu dengan gerakan yang luar biasa sekali
menggunakan tangan kiri merampas pedang lawan dan tangan kanannya dengan cepat
sekali menyodorkan tongkat sehingga terpegang oleh gadis itu!
Koleksi Kang Zusi
Mengetahui betapa pedangnya telah berganti menjadi tongkat, tanpa ia sadari ia
mengeluarkan seruan perlahan dan wajahnya berubah merah!
Kong Lee menjura dan hendak menyatakan maaf, tapi gadis itu telah membalikkan
tubuh dan lari masuk sambil membawa tongkat bambunya! Kong Lee berdiri dengan
pedang di tangan. Ia merasa bingung sekali dan tak tahu harus berkata apa.
Tiba-tiba Thio Sui Kiat tertawa terbahak-bahak dan menghampiri Kong Lee sambil
memegang pundaknya.
“Hiante, kau sungguh-sungguh hebat! Hai, kalian semua dengarlah. Kalian harus
menyiarkan di kota ini aku telah dikalahkan seorang anak muda yang gagah perkasa
bernama Lim Kong Lee!”
Akan tetapi Kong Lee segera berkata sambil menggoyang-goyangkan tangan
kanannya ke atas sedangkan tangan kiri masih saja memegang pedang Thio Eng.
“Jangan, jangan! Thio-susiok, janganlah membuat aku menjadi malu saja!”
Thio Sui Kiat makin senang dan ia lalu memerintahkan kepada para pelayannya agar
jangan menceritakan hal pibu itu kepada orang lain dan sementara itu minta supaya
mereka menyediakan hidangan. Melihat kebaikan hati dan keramahan Thio Sui Kiat
yang sama sekali tidak merasa sakit hati karena dikalahkannya itu, Kong Lee menjadi
malu hati dan ia tak dapat menolak.
Hidangan dikeluarkan dan mereka berdua menghadapi meja penuh hidangan lezat.
Kong Lee mengembalikan pedang Thio Eng kepada orang tua itu, akan tetapi Thio
Sui Kiat dengan tertawa senang lalu berkata, “Hian-te, simpan saja pedang itu,
memang seharusnya ada sesuatu untuk dijadikan barang tanda ikatan!”
Terbelalak kedua mata Kong Lee mendengar ini. Ia bingung dan tidak mengerti.
“Duduklah, Hian-te,” kata Thio Sui Kiat dengan suara sungguh-sungguh dan halus.
“Karena kau belum bertemu dengan ibumu, tentu saja kau belum tahu akan hal ini.
Dengarlah!”
Orang tua itu lalu menceritakan kepada Kong Lee pada waktu anak muda itu dulu
meninggalkan gedung itu, betapa Nyonya Lim Ek datang mencari anaknya dan betapa
orang-orang tua itu telah setuju untuk menjodohkan Kong Lee dengan Thio Eng.
Bukan main terkejut dan malu sekali mengapa orang tua she Thio yang selain kayaraya
juga memiliki kepandaian tinggi itu sudi mengambil menantu kepadanya yang
waktu itu masih bodoh lagi miskin. Ia merasa malu akan kebaikan hati Thio Sui Kiat,
padahal ia sendiri merantau mencari kepandaian untuk dapat digunakan membalas
dendam kepada orang tua itu!
Karena tidak tahu harus menjawab bagaimana, anak muda itu hanya menundukkan
wajahnya yang merah dan tidak berani menentang muka Thio Sui Kiat.
“Hian-te, walaupun ibumu dulu telah menyatakan persetujuan secara bulat namun ia
mengatakan hendak menanyakan lebih dulu kepadamu. Sementara itu, biarpun
anakku sekarang berusia sembilan belas tahun, namun karena kami telah memberi
janji kepada ibumu, maka akupun tidak mempunyai keinginan untuk mengambil
menantu orang lain. Sekarang karena kita telah bertemu muka, jawablah, Hian-te.
Bagaimana pendapatmu tentang ikatan jodoh itu?”
Untuk sejenak Kong Lee mengangkat mukanya dan memandang orang tua yang
bijaksana ini dengan mata kagum sekali kemudian ia lalu bangkit dari tempat
duduknya, maju beberapa langkah dan berlutut di depan Thio Sui Kiat lalu berkata
perlahan, “Anak ... hanya menurut kehendak ibu saja dan ... dan ... harap ... Gak-hu
(Ayah Mertua) sudi memaafkan kekasaran dan kelancangan tadi ... ”
Bukan main girang rasa hati Thio Sui Kiat mendengar ini. Ia lalu mengangkat bangun
calon menantunya dan memeluknya dan di kedua mata orang tua itu tampak dua butir
air mata berlinang!
Koleksi Kang Zusi
“Kong Lee ... aku puas ... puas sekali!” Lalu orang tua itu tertawa bergelak-gelak. Ia
lalu memanggil seorang pelayan dan berkata dengan suara nyaring dan wajah berseri,
“Ayo panggil Nyonya dan Nona datang ke sini! Pertemuan ini harus kita rayakan!”
Pelayan itu dengan heran berlari-lari masuk dan tak lama kemudian Nyonya Thio
beserta anak gadisnya berjalan perlahan masuk ke ruang tamu itu. Thio Eng telah
berganti pakaian dan kini memakai pakaian yang indah sehingga nampaknya makin
cantik dan lemah lembut. Ia berjalan sambil membimbing tangan ibunya dengan
kepala tunduk. Sifatnya yang angkuh tadi telah lenyap sama sekali.
Nyonya Thio sangat girang menerima penghormatan bakal menantunya yang berlutut
di depannya memberi hormat. Empat orang itu lalu duduk mengelilingi meja dan
makan bersama. Memang, dalam pergaulan, Thio Sui Kiat mempunyai pandangan
bebas, maka ia sengaja mengajak Thio Eng untuk duduk di situ sehingga tentu saja
gadis itu selalu menundukkan muka, sama sekali tidak berani memandang ke arah
Kong Lee. Demikianpun pemuda itu, sehingga keduanya hanya saling mengirim
lirikan kilat saja.
Dengan gembira sekali, Thio Sui Kiat lalu membicarakan tentang penetapan hari
kawin.
Mendengar ini, tiba-tiba Kong Lee teringat akan ibunya dan ia menghela napas.
“Gak-hu, harap hal ini dibicarakan kelak saja apabila ibu telah kembali.”
Kemudian ia mengutarakan keinginannya menyusul dan mencari ibunya dan
berangkat besok pagi. Thio Sui Kiat menyatakan persetujuan dan ia memang
menganggap hal ini sudah selayaknya.
Demikianlah, sampai jauh malam Thio Sui Kiat mengajak calon mantunya bercakapcakap
dengan gembira dan dengan sejujurnya Kong Lee menceritakan pengalamanpengalamannya
sehingga calon mertuanya menjadi kagum sekali. Terutama orang tua
ini mengagumi keadaan keluarga gila itu. Maka mengertilah kini Thio Sui Kiat bahwa
pemuda calon menantunya ini telah memiliki kepandaian yang tinggi karena Kong
Lee menceritakan semua hal, kecuali persoalannya dengan Kim Nio. Ia hanya
menceritakan bahwa ketika tertawan oleh keluarga gila, ia tertolong oleh seorang
pendekar wanita.
Sedikitpun Kong Lee tidak menduga bahwa pembicaraan-pembicaraan yang
dilakukan dengan calon mertuanya itu telah didengar oleh dua pasang telinga yang
secara diam-diam bersembunyi di atas genteng! Ia tidak menduga sedikitpun bahwa di
atas genteng telah mengintai seorang wanita dan seorang laki-laki yang tentu akan
membuatnya kaget sekali karena kedua orang itu tidak lain ialah Pauw Kian dan Kim
Nio!
Setelah puas bercakap-cakap, Kong Lee meninggalkan rumah calon mertuanya dan
bermalam di sebuah rumah penginapan yang telah dipesan oleh pelayan mertuanya. Ia
merasa tidak enak untuk bermalam di gedung itu dan Thio Sui Kiat juga menganggap
bahwa tidak pantas bagi seorang calon menantu bermalam di rumah calon mertuanya.
Akan tetapi, hal ini menjadikan sebab datangnya malapetaka pada keluarga Thio itu.
Seandainya Kong Lee bermalam di gedung itu, tak mungkin malapetaka itu dapat
terjadi!
Pada keesokan harinya, ketika Kong Lee baru saja bangun dari tidurnya, tiba-tiba
datang Thio Sui Kiat dengan wajah pahit sekali.
“Kong Lee, celaka! Thio Eng diculik orang!” hanya demikian orang itu dapat berkata
dengan muka kuatir sekali dan napas terengah-engah.
Kong Lee terkejut sekali, akan tetapi dia dapat menekan perasaannya dan minta
penjelasan dengan suara tenang. Thio Sui Kiat lalu menuturkan pengalamannya
semalam. Setelah Kong Lee pergi meninggalkan gedung keluarga Thio, orang tua itu
Koleksi Kang Zusi
dengan hati puas dan girang lalu menuju ke kamarnya untuk membicarakan hal anak
muda itu dengan isterinya.
Thio Eng sendiri tak dapat tidur. Semenjak pertemuannya dengan pemuda
tunangannya tadi, gadis ini selalu merasa berdebar-debar dan diam-diam ia merasa
bahagia sekali karena ternyata pemuda itu telah menjadi seorang perwira yang
melampaui dugaan dan harapannya semula. Alangkah bahagia dan bangganya dapat
menjadi isteri seorang muda yang tidak hanya berkepandaian tinggi, tapi juga tampan
dan berbudi halus!
Menjelang tengah malam, tiba-tiba Thio Eng mendengar suara kaki di atas genteng
kamarnya. Ia memang berhati tabah dan kecurigaannya timbul karena suara ini. Cepat
ditiupnya api lilin di kamarnya sehingga padam dan gelap, lalu disambarnya pedang
yang tergantung di dinding. Tak lama kemudian ia telah bertukar pakaian ringkas dan
dengan gesit bagaikan seekor burung, ia meloncat keluar dari jendelanya terus
mengayun tubuhnya ke atas genteng. Tak disangkanya sama sekali bahwa Kim Nio
dan Pauw Kian sengaja membuat suara untuk memancing ia keluar!
Melihat bayangan dua orang di atas genteng, Thio Eng membentak, “Bangsat malam
berani mati!”
Tiba-tiba seorang dari dua tamu malam itu yang ternyata seorang wanita cantik,
tertawa, “Inikah macamnya gadis tunangan Kong Lee? Menyesal sekali terpaksa kau
harus mati, kawan!”
Setelah berkata demikian, wanita itu yang tidak lain adalah Kim Nio Si Garuda
Bermata Emas, menyerang dengan pedangnya.
Thio Eng merasa heran sekali mendengar ini, akan tetapi ia tidak diberi kesempatan
untuk banyak bicara karena pedang Kim Nio telah menyerang hebat! Terpaksa ia
menangkis dan balas menyerang dan kedua orang wanita cantik ini saling serang
dalam sebuah pertempuran hebat. Akan tetapi, kepandaian Thio Eng masih berada di
bawah tingkat kepandaian Kim Hio yang mempunyai banyak pengalaman bertempur,
maka setelah bertanding belasan jurus, segera ia terdesak!
Thio Eng menjadi bingung dan ia segera berseru keras dan nyaring, “Ayah! Ada
penjahat!”
Pada saat itu pedang Kim Nio telah mengurungnya dengan hebat dan keadaannya
berbahaya sekali. Tiba-tiba dengan sebuah tendangan kilat, pergelangan tangan Thio
Eng kena tendang dan pedangnya terlempar, jatuh di atas genteng mengeluarkan suara
berisik. Ketika Kim Nio mengangkat pedangnya hendak mengirim tusukan maut.
Tiba-tiba Pauw Kian mencegahnya dan berkata, “Sumoi, jangan bunuh dia!”
Si Iblis Tangan Hitam ini dengan cepat mengirim totokan ke pundak Thio Eng dan
dalam keadaan tidak berdaya Thio Eng lalu dipondong oleh Pauw Kian.
“Apa maksudmu, Suheng?” Kim Nio bertanya heran.
“Ingat, kau belum menpunyai enso (kakak ipar perempuan)!”
Kim Nio dapat menangkap maksud suhengnya dan ia pikir memang lebih baik kalau
gadis ini menjadi isteri paksa dari suhengnya!
Akan tetapi, sebelum mereka sempat pergi dari situ membawa gadis yang mereka
culik, tiba-tiba dari bawah menyambar bayangan seorang tua yang gerakannya gesit
sekali.
“Bangsat, kurang ajar, lepaskan anakku!” teriak bayangan itu dan Thio Sui Kiat
menyerang cepat dengan tongkatnya kepada Pauw Kian yang memondong Thio Eng!
Pauw Kian mengelak dan melihat serangan begitu hebat, ia lalu melempar tubuh Thio
Eng ke arah Kim Nio sambil berseru, “Sumoi, kaubawa dia pergi dulu! Biar aku
hadapi kambing tua ini!”
Kim Nio yang juga dapat melihat kehebatan gerakan Thio Sui Kiat, segera
Koleksi Kang Zusi
menangkap tubuh Thio Eng, dipanggulnya dan dibawanya lari pergi dari situ
secepatnya.
Thio Sui Kiat merasa bingung sekali melihat betapa anaknya dilarikan orang, maka
dengan nekat ia mengamuk dan menyerang Pauw Kian dengan hebat. Pauw Kian
menangkis dan balas menyerang sehingga di atas genteng itu terjadilah sebuah
pertempuran yang ramai dan seru. Akan tetapi, biarpun sudah tua Thio Sui Kiat masih
belum kehilangan kehebatannya. Tongkatnya menyambar bagaikan seekor naga
mengintai korban sehingga Pauw Kian harus mengakui bahwa orang tua ini memiliki
kepandaian yang lebih tinggi darinya! Ia lalu menggunakan seluaruh kepandaian
silatnya untuk membela diri dan mengirim serangan-serangan balasan.
Setelah merasa bahwa kalau bertempur terus akan membahayakan dirinya, Pauw Kian
tiba-tiba berseru, “Awas, piauw!” tangan kirinya bergerak dan tiga batang senjata
rahasia menyambar ke arah Thio Sui Kiat.
Akan tetapi, orang tua ini cukup waspada. Dengan memutar tongkatnya, ia dapat
memukul pergi tiga buah senjata piauw itu sehingga jatuh berantakan di atas genteng.
Kesempatan ini digunakan dengan baik oleh Pauw Kian yang segera meloncat turun
dari atas genteng dan menghilang ke dalam kegelapan malam.
“Bangsat rendah, jangan lari!”
Thio Sui Kiat dengan marah sekali mengejar, akan tetapi malam demikian gelapnya
sehingga ia tidak dapat melihat ke arah mana penjahat itu melarikan diri. Orang tua
ini terus mengejar dan mencari-cari sampai pagi, akan tetapi hasilnya nihil dan ia
pulang dengan hati berat, bingung dan kuatir akan keselamatan puterinya.
Kemudian ia teringat kepada calon menantunya, maka segera ia pergi ke rumah
penginapan Kong Lee untuk menceritakan pengalamannya.
“Gak-hu, bagaimana macamnya penjahat-penjahat itu?”
“Yang perempuan cantik, tubuhnya tinggi ramping dan pakaiannya hijau, sedangkan
yang laki-laki ilmu silatnya hebat dan tubuhnya tinggi besar, memelihara cambang
bauk dan usianya kurang lebih empat puluh tahun.”
Jantung Kong Lee memukul keras mendengar keterangan ini, akan tetapi ia
menghendaki ketentuan, maka tanyanya, “Apakah kedua tangan laki-laki itu berkulit
hitam?”
“Ya, ya, benar! Kedua tangannya hitam seperti seorang yang memiliki kepandaian
Thiat-ciang-kang.”
“Hm, tak salah lagi!” kata Kong Lee dengan marah sekali. “Mereka adalah Kim-ganeng
Coa Kim Nio dan Hek-ciu-mo Pauw Kian.”
“Kau kenal mereka? Mengapa mereka memusuhi aku dan menculik anakku?” tanya
Thio Sui Kiat dengan gemas.
Akan tetapi Kong Lee yang merasa marah dan kuatir sekali telah lari meninggalkan
mertuanya. Ia memasuki kamarnya, menyambar buntalan dan pedang Thio Eng, lalu
lari keluar lagi dengan terburu-buru.
“Gak-hu, nanti saja bila Eng-moi telah tertolong, kuceritakan tentang permusuhanku
dengan mereka!” Setelah menjura sebagai pemberian hormat, pemuda itu lalu lari
cepat pergi dari situ.
“Kong Lee, biar aku ikut pergi!” orang tua itu berteriak.
Kong Lee menahan larinya.
“Tak usah, Gak-hu. Aku sendiri sanggup merampas kembali Eng-moi. Percayalah!”
Terpaksa Thio Sui Kiat membiarkan calon menantunya pergi dan ia segera kembali ke
gedungnya untuk menghibur isterinya yang menangis sedih.
“Tenanglah, isteriku. Calon menantu kita telah pergi menyusul penjahat-penjahat itu
dan aku percaya ia tentu akan berhasil.”
Koleksi Kang Zusi
“Apakah dosa kita maka terjadi hal ini? Siapakah orang-orang jahat yang memusuhi
kita itu? Mengapa mereka tidak mencari harta, tapi menculik Eng-ji yang tidak
berdosa!” Ibu ini dengan sedih meratap dan menangis.
“Aku sendiripun tidak mengenal mereka. Akan tetapi Kong Lee tahu siapa mereka itu.
Mereka tentulah musuh-musuh Kong Lee yang tidak berani mengganggunya, maka
sengaja mengganggu tunangannya. Sudahlah jangan kau menangis, aku menjadi
makin bingung karenanya. Lebih baik kita berdoa kepada Tuhan agar anak kita ini
akan tertolong kembali dengan cepat.”
Demikianlah, kedua orang tua itu, dengan hati kuatir bersembahyang untuk
keselamatan anak mereka.
Biarpun kepandaian silatnya cukup hebat, namun terjatuh ke dalam tangan Pauw Kian
dan Kim Nio, Thio Eng tidak berdaya sama sekali dan ia terpaksa tak dapat
memberontak ketika kedua orang itu membawanya lari dengan cepat sekali. Mereka
menggunakan dua ekor kuda dan Thio Eng duduk di depan Kim Nio di atas seekor
kuda tanpa dapat melawan. Pauw Kian melarikan kudanya di belakang untuk menjaga
pengejaran, karena ia maklum bahwa ayah gadis ini sangat hebat.
Karena mereka tak berhenti-henti maka dua hari kemudian mereka telah masuk ke
dalam hutan di mana Pauw Kian dan kawan-kawannya bersarang. Thio Eng
dimasukkan ke dalam sebuah kamar yang cukup mewah dan diikat kaki tangannya.
Sementara itu, Pauw Kian segera menyuruh kawan-kawannya membuat persiapan
pesta perkawinan karena ia telah mengambil keputusan hendak mengawini gadis
tawanannya itu!
Sekali bertemu dengan Thio Eng, Pauw Kian telah tergila-gila.
Dengan hati marah, gemas dan duka, Thio Eng menanti kelanjutan nasibnya. Ia tak
pernah menangis dan selalu menggertakkan gigi untuk menahan tangisnya. Ia tidak
sudi memperlihatkan kelemahannya di depan musuh-musuhnya. Betapapun juga, Thio
Eng belum putus asa dan masih percaya bahwa ayahnya tentu akan berhasil
menolongnya. Ayahnya tentu memberi tahu Kong Lee dan pemuda itu sendiri akan
menolongnya!
Alangkah senangnya kalau ia sampai tertolong oleh tunangannya sendiri! Akan tetapi,
diam-diam Thio Eng merasa cemburu sekali, karena ternyata bahwa penjahat wanita
yang cantik dan genit itu telah mengenal dengan Kong Lee dan agaknya wanita
membencinya karena ia mencinta Kong Lee!
Ketika Thio Eng sedang melamun sambil berusaha melepaskan ikatan tangannya,
tiba-tiba Kim Nio memasuki kamar itu. Bibir wanita ini tersenyum menghina, “Kau
tahu mengapa kau kutangkap dan kutawan?” tanyanya kepada Thio Eng.
“Siapa dapat mengetahui maksud hati segala macam penjahat perempuan seperti
engkau ini?” Thio Eng menjawab dengan berani.
“Ketahuilah, hai puteri orang kaya. Karena kau telah merampas Kong Lee dariku
maka aku terpaksa menculikmu. Pemuda itu adalah milikku! Ia kekasihku, punyaku,
mengerti?” Wajah Kim Nio merah dan matanya mengeluarkan sinar marah penuh
kebencian.
“Cih! Tak tahu malu!” Thio Eng menghinanya dan kedua orang wanita cantik itu
saling pandang bagaikan dua ekor harimau betina hendak saling terkam!
“Kau hendak kawin dengan Kong Lee?” Suara Kim Nio terdengar penuh ejekan,
“Jangan harap, kawan! Kau tak pantas menjadi isteri pemuda itu. Kau akan kami
paksa untuk kawin dengan suhengku dan menjadi isteri Hek-ciu-mo Pauw Kian.
Adapun Kong Lee hanya boleh kawin dengan aku seorang!”
“Penjahat rendah! Aku lebih baik mati dari pada harus kawin dengan orang macam
itu!” Thio Eng berkata penuh kebencian.
Koleksi Kang Zusi
“Percayalah, akupun lebih senang melihat kau mampus, sobat! Tapi suhengku yang
bertangan hitam itu jatuh cinta padamu, apa boleh buat!” sambil mengangkat pundak
dengan gaya mencemoohkan dan menghina sekali, Kim Nio meninggalkan kamar itu.
Setelah Kim Nio pergi, Thio Eng tak dapat menahan kegemasan dan kemarahannya
maka air matanya mengucur deras dari kedua matanya dan menuruni sepanjang
pipinya. Ia telah mengambil keputusan tetap, yakni apabila ayahnya atau Kong Lee
datang terlambat sehingga ia dipaksa kawin dengan kepala rampok itu, ia akan
membunuh diri!
Setelah hari menjadi malam, pintu kamar Thio Eng terbuka dari luar dan ketika gadis
itu memandang dengan tajam, bukan main girangnya karena melihat bahwa yang
memasuki kamarnya itu adalah ... Nyonya Lim Ek atau Ibu Kong Lee!
“Thio Eng ... !” Nyonya Lim Ek berseru dengan kaget. “Jadi kaukah yang mereka
tawan?”
“Ibu ... ” hanya demikian Thio Eng dapat mengeluarkan kata-kata karena terharu dan
girangnya. Gadis ini terisak-isak menangis sedangkan Nyonya Lim dengan cepat
menggunakan pedang memutuskan semua tali pengikat kaki tangan Thio Eng. Mereka
lalu berpelukan.
Pada saat itu Kim Nio masuk ke dalam kamar dan ia tercengang melihat betapa
Nyonya Lim Ek telah berada di situ pula! Ketika Lim-hujin (Nyonya Lim) melihat
Kim Nio, ia memandang dengan heran.
“Nona, mengapa kau dan suhengmu menawan dia? Dia adalah calon menantuku!”
Kim Nio memandang penuh kebencian kepada Thio Eng.
“Justeru karena ia calon menantumu, maka terpaksa kutawan! Ia tidak boleh kawin
dengan Kong Lee, tidak boleh!”
“Eh, eh, apa maksudmu?” Nyonya tua ini heran sekali mendengar ucapan itu, karena
sesungguhnya ia belum tahu akan perhubungan Kim Nio dengan puteranya.
“Ia tidak boleh menjadi isteri Kong Lee! Tak seorang gadispun boleh merampas Kong
Lee dariku, Kong Lee adalah pujaanku, dan hanya aku yang pantas menjadi
isterinya!”
Lim-hujin memandang dengan mata terbelalak. Ia menyangka bahwa nona itu tentu
sudah menjadi gila.
“Kim Nio! Apa artinya semua ini? Nona Thio ini telah resmi bertunangan dengan
anakku. Apakah ... apakah kau telah mengenal Kong Lee?”
“Kenal ... ?” suara Kim Nio mengandung isak. “Tidak hanya kenal ... aku ... aku cinta
kepada Kong Lee ... !”
“Apa ... ?” Lim-hujin melangkah maju dan memegang kedua pundak Kim Nio lalu
mengguncang-guncangnya. “Kau tahu di mana Kong Lee? Katakanlah! Di mana dia
... ? Di mana anakku?”
Kim Nio tidak menjawab, tapi Thio Eng lalu berkata dengan suara pasti, “Dia telah
kembali ke Bi-ciu dan pada waktu aku diculik oleh penjahat ini, dia berada di Lamsai!
Dia dan ayah pasti akan datang ke sini menolong kita.”
Bukan main girang hati Lim-hujin mendengar ini. Wajahnya berseri-seri dan
mulutnya tersenyum-senyum.
“Kau sudah bertemu dengan dia, Eng-ji? Dia sekarang di Lam-sai? Ayo kita pergi ke
sana!” Nyonya itu memegang tangan Thio Eng untuk diajak pergi dari situ, tapi Kim
Nio telah menghadang di pintu dengan pedang di tangan!
“Jangan harap akan dapat pergi dari sini!” bentaknya.
Lim-hujin memandang heran.
“Kim Nio! Kau ... telah gilakah kau? Ingatlah, Nak, kau kembali menuju jalan sesat!
Insyaflah dan biarkan kami pergi.”
Koleksi Kang Zusi
Wajah Kim Nio yang cantik berubah menjadi dingin dan lenyaplah keramahan yang
selama ini ia perlihatkan di depan Lim-hujin.
“Sesat? Kau bilang aku tersesat karena mencintai anakmu? Sesatkah seorang wanita
jika ia mencintai seorang pemuda seperti puteramu? Aku ... aku cinta padanya dan
akan kukorbankan segala apa untuk menghalangi Kong Lee mengawini seorang gadis
lain!”
“Kau perempuan rendah tak tahu malu!” Thio Eng membentak, sementara itu Limhujin
juga berkata dengan marah.
“Kim Nio, kalau benar kau tidak mau insaf, terpaksa aku orang tua menggunakan
kekerasan untuk keluar dari sini bersama calon menantuku!”
Kim Nio tertawa menghina.
“Aku sesungguhnya tidak suka bertempur melawan ibu pemuda yang kucintai. Akan
tetapi kalau kau memaksaku, apa boleh buat.”
Dengan berseru marah Lim-hujin menggerakkan pedangnya menyerang yang
ditangkis oleh Kim Nio. Thio Eng mengangkat sebuah bangku dan bantu menyerang
sehingga tak lama kemudian di dalam kamar pengantin itu telah terjadi pertempuran
hebat. Thio Eng dan Lim-hujin menyerang dengan nekad sedangkan Kim Nio
membela diri dengan kepandaiannya yang tinggi.
Mendengar suara ribut-ribut ini, beberapa orang anak buah perampok memburu ke
dalam kamar dan segera mereka ramai berseru, “Calon pengantin mengamuk!
Pengantin mengamuk!”
Pauw Kian datang memburu dan menyerbu ke dalam kamar. Melihat betapa Kim Nio
dikeroyok, ia segera membantu dan tak lama kemudian Thio Eng dan Lim-hujin dapat
ditangkap. Lim-hujin lalu diseret ke kamar lain, sedangkan Thio Eng lalu dibelenggu
kembali di atas tempat tidur! Lim-hujin menangis dan memaki-maki.
Memang Lim-hujin telah beberapa hari berada di sarang perampok itu. Melihat bahwa
Pauw Kian walaupun seorang kepala rampok tapi bersikap ramah-tamah dan baik
terhadapnya, ia tidak menolak ajakan Kim Nio untuk tinggal di situ, karena Pauw
Kian juga berjanji hendak membantu mencari Kong Lee. Padahal Kim Nio dan Pauw
Kian diam-diam telah sengaja bersekongkol untuk menahan nyonya itu di situ agar
jangan dapat bertemu dengan Kong Lee. Ini adalah kehendak Kim Nio yang
mempunyai semacam niat buruk. Setelah mengetahui tempat tinggal gadis tunangan
Kong Lee, ia lalu membujuk suhengnya untuk membantunya dan membinasakan
gadis itu. Demikianlah, mereka meninggalkan nyonya itu dengan alasan hendak
menyelesaikan sebuah perkara, akan tetapi sebenarnya mereka pergi ke Lam-sai
mencari rumah Thio Eng.
Kebetulan sekali ketika mereka tiba di Lam-sai, Kong Lee juga berada di situ
sehingga Kim Nio dapat mendengar pembicaraan mereka. Wanita ini menahan-nahan
kegemasan hatinya, dan setelah malam tiba, ia ajak suhengnya datang memancing
Thio Eng keluar dan gadis tunangan Kong Lee itu pasti akan berhasil dibunuhnya
kalau saja ia tidak dihalangi oleh Pauw Kian yang jatuh hati melihat kecantikan Thio
Eng.
Pauw Kian dengan girang sekali lalu mengadakan persiapan dan setelah berhasil
menawan Thio Eng dan Lim-hujin, ia lalu mengatur segala persiapan pesta yang akan
diadakan pada keesokan harinya. Undangan kilat telah disebar oleh anak buahnya
untuk mengundang para kenalan yang bertempat tinggal di sekitar hutan itu dan yang
kebanyakan terdiri dari para penjahat pula.
Pada keesokan harinya, sarang perampok telah dihias dan para anak buah perampok
telah mengenakan pakaian baru untuk merayakan perkawinan kepala mereka.
Semenjak pagi, para tamu telah datang sambil membawa berbagai barang hadiah.
Koleksi Kang Zusi
Pauw Kian dengan mengenakan pakaian serba indah bagaikan seorang hartawan
besar, menyambut para tamu yang memberi selamat dengan gembira sekali. Tadinya
kepala rampok ini memang tiada maksud hendak kawin seumur hidupnya, akan tetapi
setelah melihat kecantikan Thio Eng, ia menjadi tertarik dan jatuh hati. Usianya pada
waktu itu telah empat puluh satu, akan tetapi karena memang tubuhnya gagah dan
wajahnya tampan, ia nampak lebih muda dalam pakaiannya yang mewah.
Akan tetapi, para tamu tidak dapat melihat pengantin perempuan, karena pada saat itu,
Thio Eng bagaikan seekor harimau betina yang tidak mau menurut. Ketika orang
datang hendak mengenakan pakaian pengantin kepadanya, ia memberontak dan tak
mungkin ia dapat dipaksa, sehingga Kim Nio terpaksa menotok jalan darahnya dan
membuat gadis itu lumpuh tak berdaya. Setelah Thio Eng menjadi lemah tak berdaya.
Setelah Thio Eng menjadi lemah tak berdaya, barulah ikatan tangan dan kakinya
dilepaskan dan orang mengenakan pakaian pengantin kepadanya. Thio Eng hanya
bisa mengalirkan air mata akan tetapi tidak berdaya melawan sama sekali. Gadis ini
masih mengharapkan kedatangan ayah atau tunangannya untuk memberi pertolongan,
maka ia masih bersabar dan tidak mengambil keputusan pendek. Ia masih hendak
menanti sampai pada saat Pauw Kian memasuki kamarnya, baru ia akan membunuh
diri.
Sementara itu, di kamarnya, Lim-hujin juga menangis dengan sedih. Ia tidak pernah
menyangka bahwa Kim Nio bisa menjadi begitu jahat, tapi apa dayanya? Kepandaian
gadis itu dan suhengnya jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri atau
kepandaian Thio Eng, sehingga melawan pun takkan ada gunanya. Apalagi sekarang
ia telah dibelenggu di dalam kamar itu sehingga untuk melepaskan belenggunya saja
ia tak sanggup. Maka, seperti Thio Eng, nyonya tua itu hanya mengharapkan
datangnya pertolongan dari Thio Sui Kiat atau Kong Lee.
Setelah melihat bahwa Thio Eng mengenakan pakaian pengantin, maka Kim Nio lalu
berkata kepadanya, “Thio Eng, tak perlu kau melawan lebih jauh. Kau tahu bahwa
terhadap aku, kau tidak berdaya. Kalau kau berlaku manis terhadap suhengku, kau
akan hidup senang. Sekarang aku akan membebaskan kau dari totokan, tapi kau
jangan berani memberontak lagi. Kalau kau memberontak, maka aku akan menotok
kau sehingga selamanya kau akan menjadi lumpuh!”
Kim Nio lalu memunahkan totokannya sehingga Thio Eng dapat bergerak lagi.
Menurut kehendak hatinya yang marah dan gemas, Thio Eng hendak memberontak
akan tetapi pikirannya mencegahnya. Lebih baik ia berpura-pura menurut, agar ia
tidak dibuat tak berdaya seperti tadi, karena kalau ia ditotok seperti tadi, jangankan
hendak memberontak, sedangkan untuk membunuh diri saja ia takkan sanggup pula!
Ia menundukkan muka dan menangis tanpa mengeluarkan suara karena ia tidak sudi
memperlihatkan kelemahannya di depan Kim Nio.
Setelah semua tamu pulang dan meninggalkan hutan itu, dalam keadaan setengah
mabuk Pauw Kian memasuki kamar pengantin. Ia melihat betapa calon isterinya
duduk sambil menundukkan kepala, sedangkan Kim Nio ketika melihat suhengnya
masuk, baru berani meninggalkan Thio Eng yang keras hati itu sambil tertawa-tawa.
Kini Pauw Kian berada berdua saja dengan Thio Eng.
“Isteriku yang manis, jangan kau diam saja. Sambutlah suamimu, ha, ha, ha!”
Pada saat itulah Thio Eng sudah habis harapannya untuk tertolong lagi. Ia telah
mengambil keputusan bulat untuk berdiri dan membenturkan kepalanya pada dinding
supaya hancur dan binasa, akan tetapi pada saat itu, jendela kamar itu terbuka dari
luar demikian kerasnya, hingga daun jendelanya terlepas!
Sebuah bayangan berkelebat masuk dan tahu-tahu Kong Lee telah berdiri di depan
Pauw Kian!
Koleksi Kang Zusi
“Hm, bagus sekali perbuatanmu, manusia busuk!” kata pemuda ini.
Melihat kedatangan Kong Lee, bukan main girangnya hati Thio Eng hingga tak
tercegah lagi ia menangis keras tersedu-sedu!
Alangkah terkejutnya hati Pauw Kian melihat kedatangan pemuda hebat ini.
Wajahnya berubah pucat dan kedua kakinya tak terasa menjadi lemas dan menggigil.
Ia maklum bahwa ia harus bertempur mati-matian karena pemuda ini tentu takkan
mau mengampuni perbuatannya terhadap tunangan pemuda itu.
“Kau datang? Baik, kalau tidak kau tentu aku yang binasa pada hari ini!”
Pauw Kian berkata sambil menarik keluar senjatanya, yakni pian baja lemas yang
merupakan sebuah cambuk penuh duri-duri tajam! Tanpa menanti jawaban lagi, Pauw
Kian lalu melompat menyerbu dan Kong Lee menggunakan pedang di tangannya
menangkis. Pemuda ini mempergunakan senjata pemberian Thio Eng dan
memainkannya dengan hebat sekali karena memang ilmu tongkatnya dapat pula
dimainkan dengan menggunakan pedang.
Dengan kenekatan luar biasa, Pauw Kian memutar-mutar pian bajanya dalam gerak
tipu Raja Naga Atur Barisan. Pian baja yang penuh duri itu berputar menyerang Kong
Lee dari semua jurusan sambil mengeluarkan angin.
“Bagus!” Kong Lee berseru sambil melompat mengelak.
Ia lalu menggunakan gerak tipu Awan Putih Menutup Mega menyerang ke sebelah
kiri dari atas. Tapi Pauw Kian dapat juga menangkap serangan ini yang demikian
hebat datangnya sehingga tangannya yang memegang pian bergetar.
Pauw Kian maklum bahwa ia bukanlah lawan seimbang pemuda yang hebat itu maka
ia berlaku sangat hati-hati sekali sehingga untuk beberapa lama Kong Lee tak dapat
merobohkannya. Tiba-tiba dari pintu kamar melompat masuk Kim Nio dengan
pedang di tangan.
Wajahnya pucat sekali dan ia membentak, “Kong Lee, manusia tak berbudi! Jangan
kau kacaukan hari perkawinan suhengku!”
“Kim Nio, tak kusangka bahwa kau benar-benar sejahat ini!” jawab Kong Lee dan
rasa marahnya melihat wanita ini membuat gerakannya berubah ganas sekali.
Hampir saja leher Pauw Kian menjadi korban pedangnya kalau Si Iblis Tangan Hitam
ini tidak buru-buru menjatuhkan diri ke belakang!
Kim Nio merasa sedih sekali melihat betapa Kong Lee kini tentu membencinya, maka
tanpa berkata apa-apa lagi ia lalu melangkah maju ke arah Thio Eng yang masih
menangis dengan pedang di tangan! Dengan penuh kebencian Kim Nio
menggerakkan pedang menusuk. Akan tetapi biarpun sedang menundukkan muka dan
menangis, Thio Eng cukup terlatih untuk menangkap suara angin serangan ini dan
cepat sekali ia gulingkan tubuh ke kiri sehingga tusukan itu tidak mengenai sasaran.
Sementara itu, Kong Lee melihat betapa Kim Nio hendak membunuh tunangannya,
cepat bagaikan kilat ia membuat gerakan menendang dan aneh sekali. Dua kali kaki
kanan kirinya bergerak dan tahu-tahu Pauw Kian dan Kim Nio telah tertendang
sehingga terpental jauh! Inilah sebuah gerakan dari ilmu silat yang dipelajarinya dari
kitab pelajaran Raja Gila!
“Eng-moi ... kau tidak apa-apa?” tanya Kong Lee dengan penuh perhatian.
Thio Eng mendengar suara pemuda itu menjadi malu dan seketika itu juga tangisnya
berubah menjadi senyum!
“Tidak, Koko ... terima kasih atas pertolonganmu. Ibumu juga berada di sini.”
“Apa katamu? Ibuku? Mana dia?”
Dalam kegirangannya, Kong Lee melompat sambil memegang tangan gadis itu, lupa
akan rasa malu.
“Entah, mungkin di belakang, karena beliau juga ditawan!”
Koleksi Kang Zusi
“Aku pergi mencarinya, Eng-moi!” kata Kong Lee sambil melompat ke belakang dan
keluar dari kamar itu.
Thio Eng tidak mau ditinggal seorang diri, maka iapun melompat keluar. Semua anak
buah perampok yang telah tahu akan kelihaian Kong Lee, tak seorangpun berani
mengganggu. Mereka hanya ramai-ramai maju menolong Pauw Kian dan Kim Nio.
Pauw Kian tertendang dadanya sehingga dua buah tulang iganya patah. Sedangkan
Kim Nio yang hanya kena tendangan yang sengaja dilakukan oleh Kong Lee dengan
tenaga gwa-kang hanya terpental dan membentur dinding sehingga pingsan untuk
beberapa lama. Setelah siuman kembali, Kim Nio mendorong pergi orang-orang yang
menolongnya, lalu sambil menangis ia lari pergi dari situ dan terus keluar hutan, lari
secepatnya sambil terisak-isak!
Kong Lee berhasil mendapatkan ibunya yang berada di dalam sebuah kamar dengan
terikat tangannya, akan tetapi orang tua ini tidak menderita luka sama sekali, sehingga
legalah hati Kong Lee. Ketika Nyonya Lim melhat seorang anak muda memasuki
kamarnya, hampir saja ia tidak percaya. Ini adalah anaknya, Kong Lee! Setelah
melepaskan ikatan tangan ibunya, Kong Lee lalu menjatuhkan diri berlutut sambil
memeluk kedua kaki ibunya.
“Ibu ... ”
“Kong Lee ... benar-benar kaukah ini ... ? Tidak mimpikah aku ... ?”
Mereka berdua berpelukan dengan air mata mengalir.
Air mata yang keluar terdorong rasa girang dan terharu. Thio Eng yang menyusul
masuk juga mengalirkan air mata karena terharu.
Lim-hujin ketika mendengar bahwa Pauw Kian telah dihajar dan dirobohkan sehingga
mendapat luka, membenarkan perbuatan puteranya yang tidak mau membunuh
kepada perampok itu, karena menurut pendapatnya, betapapun besar dosa kepala
rampok itu, namun ia pernah menerima Lim-hujin sebagai tamu dan telah menjadi
tuan rumah yang baik, ada pun kejahatan yang dilakukan atas diri Thio Eng belum
terjadi, maka ada baiknya memaafkan perampok itu dan tidak membunuhnya.
Ketika mendengar bahwa Kim Nio telah pergi, nyonya ini menghela napas berulangulang
dan berkata, “Sayang ... sayang sekali. Aku telah mulai suka kepadanya dan jika
ia tidak tersesat demikian jauhnya tentu ia menjadi seorang yang baik dan berguna.”
Kemudian suaranya berubah tegas ketika ia berkata kepada Kong Lee, “Anakku,
sekarang sebelum kita meninggalkan tempat ini kau harus lebih dulu menceritakan
tentang perhubunganmu dengan nona baju hijau itu. Kau harus menceritakan itu di
depan Thio Eng!”
Dengan muka merah Kong Lee lalu menceritakan perihal pertemuannya dengan Kim
Nio dan betapa gadis itu telah menolongnya dari bencana maut ketika ia tertawan oleh
keluarga gila, kemudian ia menceritakan pula mengapa ia menjadi tidak suka dan
menjauhkan diri dari isteri yang tidak setia itu. Mendengar riwayat Kim Nio yang
telah melarikan diri dengan laki-laki lain dan mencurangi suaminya, Lim-hujin
menghela napas. Thio Eng merasa lega sekali karena tadinya telah ada sedikit
perasaan cemburu mengganggu hatinya. Kemudian ketiganya lalu meninggalkan
sarang Pauw Kian itu setelah Lim Hujin meninggalkan banyak nasihat kepada Pauw
Kian yang hanya mendengarkan dengan muka pucat dan merintih-rintih karena
sakitnya.
Kedatangan mereka disambut oleh Thio Sui Kiat dan isterinya dengan sangat girang.
Terutama ketika melihat bahwa Lim-hujin sudah ditemukan dan datang bersama,
maka kegembiraan mereka tak dapat dilukiskan besarnya.
Nyonya Thio memeluk anaknya dan calon besannya sambil menangis, dan semuanya
berada dalam bahagia sekali. Thio Sui Kiat lalu mengadakan pesta untuk merayakan
Koleksi Kang Zusi
kebahagiaan ini dan ia makin kagum kepada Kong Lee. Pemuda inipun lalu
menceritakan kepada Thio Sui Kiat tentang kedua orang yang telah menculik Thio
Eng dan menceritakan pula sebab-sebabnya.
Sebulan kemudian, dilangsungkanlah perkawinan antara Thio Eng dan Kong Lee, dan
karena nama Thio Sui Kiat sudah banyak dikenal orang, maka perayaan ini dihadiri
ratusan orang dari segala tempat memerlukan datang. Atas persetujuan kedua pihak,
Kong Lee dan ibunya lalu pindah ke Lam-sai dan tinggal bersama dengan Thio Sui
Kiat di dalam gedung yang besar itu sehingga mereka berkumpul merupakan satu
keluarga yang hidup bahagia. Kong Lee mendapat kenyataan bahwa isterinya selain
cantik jelita dan berkepandaian juga berbudi halus dan baik seta sangat berbakti
kepada orang tua, bahkan sikapnya terhadap Lim-hujin sangat baik sehingga Kong
Lee merasa beruntung sekali.
-***-
Kim Nio dengan hati hancur lari terus meninggalkan hutan tempat tinggal suhengnya
sambil menangis. Beberapa kali timbul niatnya hendak menerjunkan diri ke dalam
jurang dan menghabiskan riwayatnya yang penuh derita dan kekecewaan, akan tetapi
ia teringat kembali kepada Kong Lee dan Thio Eng, maka ia lalu merasa bahwa
hidupnya masih mempunyai satu cita-cita terakhir yang terdorong oleh rasa iri hati
dan kebencian yakni cita-cita untuk membalas dendam! Hati dan pikirannya yang
sanat menderita karena sedih dan kecewa ini sekarang dikotori oleh rasa dendam yang
tak kenal batas. Ia akan rela mati asal saja sudah dapat membinasakan kedua orang
itu.
Pikiran ini timbul ketika Kim Nio berdiri di pinggir sebuah jurang yang curam sekali.
Ia berdiri bagaikan sebuah patung batu dan dengan wajah menyeramkan ia berkata
keras-keras kepada diri sendiri, “Kim Nio, kau tak boleh mati! Kau harus
membinasakan mereka dan membawa mereka bersama-sama ke neraka.”
Kemudian, sepasang mata Kim Nio berkilat-kilat ketika ia mengepalkan tinjunya ke
atas dan berteriak-teriak, “Kong Lee, kau laki-laki tak berbudi, aku bersumpah hendak
membunuhmu dengan kedua tanganku sendiri. Hendak kubuka dadanya dan
kukeluarkan hatimu! Ingin kulihat bagaimana macamnya hatimu yang kejam itu! Thio
Eng, awaslah kau! Kau wanita satu-satunya di dunia ini yang paling kubenci, karena
kau telah merampas kekasihku!”
Kemudian bagaikan seorang gila, Kim Nio tertawa dan menangis. Lalu ia lari lagi dari
situ, kini tujuannya tetap, yakni ke arah hutan di mana tinggal keluarga gila!
Ia ingat betapa Pangeran Gila dulu tertarik oleh kecantikannya sehingga dengan
mempergunakan kecantikannya itu, ia dapat menolong Kong Lee, dan ia maklum pula
bahwa dengan tenaga ketiga orang gila itu saja ia akan dapat membalas dendam.
Kepandaiannya sendiri terlampau rendah sehingga tak mungkin baginya untuk
mengganggu Kong Lee yang berkepandaian tinggi. Siapa lagi selain keluarga gila itu
yang dapat menolongnya? Ia tahu pula bahwa keluarga itu sangat berbahaya, akan
tetapi Kim Nio sudah berlaku nekad.
Bulu tengkuknya berdiri dan hatinya merasa ngeri ketika ia tiba di hutan itu dan mulai
masuk ke dalam hutan yang sangat liar dan gelap ini. tapi ia menggigit bibirnya dan
mengeraskan hati, lalu memasuki hutan itu dengan langkah kaki lebar. Tiap kali
mendengar suara atau melihat gerakan-gerakan yang mungkin dilakukan oleh
binatang hutan, ia terkejut dan hatinya berdebar-debar. Ia hanya mengharapkan
supaya bertemu lebih dulu dengan Pangeran Gila, karena kalau ia bertemu dengan
Raja atau Ratu Gila, pengharapannya untuk hidup sedikit sekali. Biarpun ia belum
Koleksi Kang Zusi
pernah membaca buku catatan mereka dan tidak mengetahui riwayat mereka, namun
ia pernah mendengar cerita orang-orang di kalangan kang-ouw betapa kejam dan
ganas kedua kakek dan nenek gila itu. Menurut cerita yang pernah didengarnya, Raja
dan Ratu Gila itu suka makan daging manusia.
Alangkah ngerinya!
Tapi ia mujur sekali, karena pada saat itu kedua Raja dan Ratu Gila sedang tidur
mendengkur di dalam pondok mereka. Ketika Kim Nio dengan hati-hati sekali
menghampiri tempat tinggal keluarga gila itu, ia melihat Pangeran Gila sedang
bersilat seorang diri di lapangan rumput depan pondok! Ketika Kim Nio dengan hati
berdebar-debar mengintai dari balik pohon, ternyata bahwa orang gila itu sedang
bermain-main dengan beberapa ekor lalat yang ditangkapnya, dilepas kembali dan
ketika lalat-lalat itu beterbangan ke sana-sini, ia bergerak cepat dan menangkapnya
kembali untuk kemudian dilepas lagi dan demikian berulang-ulang ia lakukan dengan
gesit sekali. Dalam bermain-main ini, Si Gila tertawa haha-hihi dengan senang dan
geli hati seperti laku seorang anak kecil!
Dibandingkan dengan ayah ibunya, Leng Ki Pok atau Pangeran Gila ini masih dapat
menghargai segala dan suka sekali bermain-main seperti lakunya seorang kanakkanak.
Harus dikasihani nasib orang ini, karena semenjak berusia belasan tahun ia
harus menderita seperti seorang liar yang hidup di dalam hutan. Ia telah lupa sama
sekali akan peradaban manusia dan manusia-manusia yang dikenalnya hanyalah ayah
dan ibunya sendiri. Akan tetapi semenjak kecil ia telah dilatih silat oleh ayah ibunya
sehingga ia menjadi hebat sekali. Ketika dulu melihat kecantikan Kim Nio, sebagai
manusia biasa tertariklah hatinya dan timbul rasa sukanya kepada wanita ini. Akan
tetapi setelah Kim Nio berhasil menolong Kong Lee dan pergi serta lenyap dari
pandangan matanya, Pangeran Gila inipun sudah melupakan perempuan itu.
Melihat betapa Leng Ki Pok tertawa-tawa sambil dengan gesit bergerak ke sana
kemari, Kim Nio lalu menabahkan hati dan maju menghampiri. Telinga Pangeran
Gila ini sudah terlatih hebat maka ia dapat mendengar tindakan kaki Kim Nio dan
dengan cepat ia bergerak dan melompat ke belakang sehingga tahu-tahu telah berdiri
berhadapan dengan Kim Nio. Tadinya seluruh urat-urat di tubuh Pangeran Gila telah
menegang untuk menyerang orang yang datang itu, akan tetapi ketika ia melihat
seorang wanita yang cantik jelita berdiri dengan tersenyum manis sekali, tubuhnya
menjadi lemas. Ia sudah tak ingat lagi siapa adanya perempuan ini, akan tetapi
agaknya potongan tubuh dan bentuk wajah Kim Nio telah meninggalkan kesan
mendalam di hatinya, maka begitu melihat wanita ini, ia pun terus merasa suka.
“Ah, kau ... cantik jelita ... bagus sekali ... ” Si Gila itu berkata sambil menghampiri
Kim Nio.
Kim Nio mengangkat tangan kanannya untuk menahan orang gila itu maju lebih
dekat.
“Pangeran, kau suka padaku?” tanyanya dengan suara yang merdu.
Ki Pok tertawa-tawa girang dan ia berjingkrang-jingkrak.
“Suka, suka! Aku suka padamu, kau cantik!”
Melihat kelakuan ini, mau tidak mau Kim Nio tersenyum geli karena takut dan
ngerinya.
“Kau suka padaku? Suka kepada Pangeran? Ha, ha, ha!”
“Aku juga suka padamu,” kata Kim Nio sambil tersenyum manis dan mengerlingkan
mata tajam.
“Tentu saja kau suka padaku! Aduh, senang sekali hatiku, kau ... kau cantik!”
Setelah berkata demikian, Ki Pok lalu melompat maju, memeluk tubuh Kim Nio
mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala dan menari-nari berloncat-loncatan sambil
Koleksi Kang Zusi
mengayun-ayun tubuh Kim Nio yang tak berdaya sama sekali dalam pegangan kedua
tangan yang kuat itu.
“Pangeran, lepaskan aku!” bentaknya.
“Ha, ha! Kau suka padaku, bukan? Ha, ha, aku pun suka kepadamu, suka sekali!”
jawab Si Gila tanpa mempedulikan bentakan Kim Nio.
Gadis ini menjadi bingung. Celaka, pikirnya.
“Pangeran, kalau kau tidak lepaskan aku, maka aku tidak akan suka lagi padamu, aku
akan benci kepadamu!”
Ancaman ini berhasil baik. Ki Pok lalu menurunkan tubuh Kim Nio dengan perlahan
dan hati-hati sekali ke atas tanah dan berkata sambil menyeringai, “Jangan membenci
aku ... kau cantik, aku suka padamu.”
“Aku juga suka padamu, tapi kau harus selalu menurut kata-kataku. Kalau kau tidak
mau menurut, aku akan membencimu, mengerti?”
“Mengerti, mengerti! Aku menurut, aku suka padamu. Kau cantik sekali!”
“Ingat, nanti kalau Raja dan Ratu marah kepadaku, kau harus membelaku, mengerti?”
“Tentu, tentu! Tidak ada yang boleh marah padamu. Kau punyaku!”
Ngeri juga hati Kim Nio mendengar pengakuan Si Gila.
“Di mana adanya Raja dan Ratu?” tanya Kim Nio.
“Ayah dan ibuku berada di dalam pondok. Ayo kita pergi ke sana.”
“Tak usah, biar kita menanti saja di sini!” kata Kim Nio dengan tegas tapi dengan hati
takut-takut.
Ia girang sekali melihat betapa Pangeran Gila ini benar-benar telah menurut katakatanya
dan kini berdiri memegang tangannya sambil memandangi muka dan seluruh
tubuhnya dengan pandangan kagum. Kim Nio tidak berani menarik tangannya yang
terpegang karena ia maklum bahwa ia sama sekali tidak boleh berlaku keras agar
jangan sampai menyinggung perasaan orang gila ini. Ia harus berlaku sabar untuk
menundukkan orang ini sehingga dapat ia peralat sekehendak hatinya.
Pengharapannya hanya terletak pada orang ini dan berhasil atau tidaknya rencana
untuk membalas dendam tergantung sepenuhnya kepada Pangeran Gila.
Maka ia pun menurut saja dan tidak berani melarang ketika Pangeran Gila itu
menciumi rambutnya sambil tertawa-tawa haha-hihi dan berkata, “Kau cantik ... ha,
ha! Lebih cantik daripada ibu, aku suka padamu, aku cinta padamu!”
Mendengar ini bulu tengkuknya berdiri lebih-lebih ketika merasa betapa jari-jari
tangan Pangeran Gila itu meraba-raba lehernya. Terpaksa ia menggunakan tangannya
untuk mencegah tangan itu karena ia tidak kuat menahan kegelian hati dan
kejijikannya.
“Kau ... kau duduklah di situ dan jangan pegang-pegang aku. Aku juga cinta padamu,
tapi kau jangan pegang-pegang leherku!”
Suara ini diucapkan dengan halus karena sesungguhnya Kim Nio merasa kuatir sekali.
Akan tetapi, ia girang sekali ketika melihat betapa Pangeran Gila menarik kembali
tangannya dan sekarang hanya duduk di dekatnya sambil memandang dengan senang.
Pada saat itu Kim Nio mendengar suara orang tertawa yang datang dari pondok dan
yang membuatnya tiba-tiba menjadi pucat dan tubuhnya menggigil ketakutan. Raja
dan Ratu Gila agaknya telah bangun. Benar saja, mereka berdua tampak muncul dari
balik pintu dengan pakaian mereka yang mengerikan. Ketika kakek dan nenek gila itu
melihat Kim Nio, mereka membelalakkan mata dan sekali lompat saja kedua orang
tua itu telah berada di depan Kim Nio.
“Ha, ha, ha! Ki Pok telah mendapat daging muda. Ah, kita akan berpesta!” kata Raja
Gila dan ia menggerak-gerakkan mulut seakan-akan mengilar sekali, seperti seorang
kelaparan melihat daging panggang yang sedap.
Koleksi Kang Zusi
“Bagus Ki Pok, kau berikan hatinya untukku!” kata Ratu Gila sambil tertawa hahahihi.
Tapi Pangeran Gila segera berdiri menghadang di depan Kim Nio.
“Tidak, tidak! Perempuan ini cantik, aku suka padanya dan ia adalah tunanganku!”
Kedua orang gila itu tertegun.
“Apa katamu?” Ratu Gila bertanya.
“Ibu, ini adalah tunanganku. Aku akan kawin dengannya. Ia cantik dan ia suka
kepadaku!”
Tiba-tiba pada wajah nenek gila itu terbayang keharuan dan ia bersikap bagaikan
seorang permaisuri raja bertanya kepada hambanya ketika ia bertanya kepada Kim
Nio, “Hai, nona muda, benarkah kau suka kepada Ki Pok?”
Kim Nio memiliki otak yang cerdik sekali. Ia telah mendengar cerita orang bahwa
mereka ini dulunya adalah seorang bangsawan, maka bagi seorang wanita bangsawan
tentu saja nenek gila ini merasa heran mendengar bahwa ada seorang wanita suka
pada laki-laki.
Maka ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan mereka dan menjawab dengan suara
perlahan, “Saya ... hanya menurut saja perintah dan kehendak Raja dan Ratu Yang
Mulia.”
Mendengar jawaban ini, kedua orang gila ini nampak senang sekali.
“Ki Pok benar, nona ini baik sekali. Ia cantik dan akan menjadi isteri yang baik!”
Tiba-tiba dengan terkejut dan heran sekali Kim Nio melihat Ratu Gila menangis
tersedu-sedu bagaikan seorang yang terharu sekali.
Nenek gila ini lalu maju dan memeluk Pangeran Gila sambil berkata, “Ki Pok ...
akhirnya kau telah dewasa ... ! Kau telah memilih seorang isteri ... aku girang sekali
Anakku!”
Dan ibu ini berpeluk-pelukan dengan Ki Pok anaknya yang masih dianggap kecil!
Kemudian dengan heran sekali Kim Nio melihat mereka berdua menari-nari dan
berjingkrak-jingkrak, diikuti pula oleh Raja Gila yang tiada hentinya tertawa geli.
“Ki Pok telah mendapat jodoh! Ia akan kawin!” Raja Gila berkali-kali berteriak keras.
“Ki Pok, anakku! Telah lama kunanti-nanti saat girang ini. Kau telah mendapat jodoh
dan akan mendapat putera yang kelak menggantikan kedudukan Raja! Ha, ha, hi, hi!”
Ratu Gila tertawa dan menangis karena girangnya, lalu ia angkat Kim Nio berdiri dan
memeluk serta menciumnya. Kemudian Raja Gila itu pun memeluknya dan berkata,
“Kau harum dan cantik, pantas menjadi menantuku!”
Pangeran Gila tidak mau ketinggalan dan memeluknya juga serta menciumi
rambutnya. Kim Nio hampir pingsan karena tidak dapat menahan kejijikan dan
kegelian hatinya. Ia hanya memeramkan matanya dan menggigit bibirnya. Ingin sekali
ia memberontak dan lari pergi dari tempat gila ini, akan tetapi bayangan Kong Lee
bergandeng tangan dengan Thio Eng membuat hatinya dingin kembali dan ia tidak
pedulikan lagi segala kengerian itu karena melihat betapa rencananya hampir berhasil!
Ia telah berhasil menawan hati mereka dan mulai saat ini ia boleh tinggal di situ
bersama mereka tanpa merasa kuatir akan mereka bunuh. Ia telah diakui sebagai
keluarga mereka, keluarga gila!
Raja Gila tiba-tiba bertanya, “Siapa namamu, mantuku?”
Kim Nio menjawab sambil tunduk karena tak tahan menentang pandangan mata yang
liar, tapi sangat tajam berpengaruh itu, “Namaku Coa Kim Nio.”
“Nama bagus, nama bagus! Perkawinan harus segera dilangsungkan.” Raja Gila itu
menghitung-hitung jari tangannya seperti sikap orang menghitung hari dan mencari
hari baik. “Besok adalah hari baik dan besok boleh dilangsungkan perkawinan ini.”
“Tidak, tidak besok!” Tiba-tiba Ratu Gila mencela. “Harus dilangsungkan sekarang
Koleksi Kang Zusi
juga. Hari ini lebih baik daripada besok! Sekarang kita langsungkan perkawinan anak
kita!”
Kim Nio terkejut sekali mendengar ini. Tak disangkanya bahwa mereka ini masih
ingat akan segala upacara perkawinan segala. Ia menjadi bingung. Haruskah ia kawin
dengan laki-laki gila yang selain mengerikan, juga sudah berusia empat puluh tahun
lebih dan keadaannya menjijikkan ini? Ia buru-buru berlutut lagi di hadapan kedua
orang tua itu.
“Mohon dimaafkan, bukan aku hendak membantah, akan tetapi aku telah bersumpah
takkan kawin sebelum musuh-musuhku kubinasakan. Dan musuh-musuhku berarti
musuh-musuh kita bersama pula,” katanya.
“Musuh kita? Musuh kita si bangsat Beng Hwat Ong sudah mampus! Dia sudah habis
dimakin cacing!” kata Leng Tin Ong atau Raja Gila itu.
“Belum, belum mampus semua!” Tiba-tiba Ratu Gila membantah, “Masih ada tosu
jahanam Bong Ki Tosu yang belum mampus!”
Ternyata mereka ini masih ingat akan musuh-musuh mereka yang dulu mencelakakan
mereka.
“Ya, Bong Ki Tosu belum kita bikin mampus. Tapi selain dia, kita tidak mempunyai
musuh lain lagi,” kata Raja Gila.
“Tapi aku mempunyai dua orang musuh yang telah menghinaku.”
“Apa? Ada orang berani menghina isteriku? Siapa dia? Katakan, akan kupatahkan
batang lehernya!” Tiba-tiba Ki Pok meloncat tinggi sambil mengepalkan tangan.
“Benar! Kita harus basmi musuhmu itu. Siapa dia?” bertanya Raja Gila.
“Dia berada di kota Lam-sai dan untuk membalas sakit hati ini kita harus pergi ke
sana. Ia sangat hebat sekali maka kita beremmpat harus pergi semua mencarinya.”
“Boleh, boleh! Serahkan saja kepadaku!” kata Ki Pok bernafsu sekali.
“Tidak bisa, tidak bisa! Kami tak dapat pergi!” tiba-tiba Raja Gila berkata sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kim Nio terkejut sekali dan cepat memandang.
“Mengapa tidak bisa!” tanyanya kuatir.
“Kami tak dapat meninggalkan kerajaan!”
Kim Nio memandang dengan mata tak mengerti.
“Kerajaan? Kerajaan apa?”
Tiba-tiba kakek tua itu tertawa terkakak-kakak sehingga suara ketawanya itu bergema
di seluruh hutan.
“Anak bodoh! Kerajaan mana lagi? Kerajaan di sini yang indah dan luas, kerajaanku!
Kalau kita pergi, siapa yang akan menjaga kerajaanku?”
Kim Nio terkejut dan tak dapat menjawab. “Kalau begitu, kau tidak suka kepada anak
menantumu.”
“Anak menantu? Hi, hi, anak menantu? Benar, benar! Kau harus kawin sekarang juga
dengan Ki Pok!” Tiba-tiba Ratu Gila berkata sambil tertawa-tawa.
Kim Nio makin bingung, akan tetapi ia pergunakan otaknya yang cerdik. Ia maklum
bahwa biarpun mereka ini gila, namun mereka dapat diajak bercakap-cakap dengan
baik dan di dalam kegilaan mereka, ternyata mereka ini mempunyai jalan pikiran dan
pendapat sendiri-sendiri. Ia harus berlaku sadar dan menenangkan hati mereka lebih
dulu, karena ketiga orang ini di dalam kedewasaan mereka ternyata sangat
terpengaruh oleh pikiran kanak-kanak dan mereka ini masih harus akan kedudukan
tinggi yang mungkin menjadi kenangan mereka yang akan datang dari keluarga
bangsawan!
Oleh karena itu, biarpun dengan hati takut, jijik dan kuatir sekali, Kim Nio
memperlihatkan muka girang dan menurut ketika kedua Raja dan Ratu Gila itu
Koleksi Kang Zusi
memaksa dia menjalankan upacara perkawinan dengan Leng Ki Pok, Si Pangeran
Gila!
Kim Nio dan Ki Pok disuruh menjalankan upacara dengan bersembahyang di depan
sebuh meja batu di mana setelah diatur korban-korban sembahyang berupa buahbuahan
dan binatang-binatang hutan yang telah mereka bunuh. Kemudian kedua
pengantin ini di dalam hutan, Kim Nio dan Ki Pok berjalan di depan sedangkan Raja
dan Ratu Gila itu berjalan di belakang mereka bawa dengan kayu serta berteriakteriak
menyanyi sehingga keadaan di dalam hutan pada hari sungguh ramai dan aneh.
Burung-burung hutan beterbangan dan binatang-binatang hutan berlari pergi karena
terkejut dan ketakutan!
Setelah mengarak sepasang mempelai itu di seluruh hutan yang menurut Raja Gila
hendak memperkenalkan sepasang pengantin kepada seluruh kerajaannya, maka
upacara dianggap selesai!
Untung bagi Kim Nio bahwa ia telah dapat menenangkan hati Ki Pok dan telah dapat
mempengaruhinya sehingga Pangeran Gila ini tunduk dan takut kepadanya, sehingga
dari pihak “suami” ini ia tidak menguatirkan gangguan, asal saja tidak menguatirkan
gangguan, asal saja ia dapat bersikap manis terhadapnya. Hanya terhadap kedua
mertuanya Kim Nio masih belum dapat mempengaruhinya dan ia masih belum dapat
membujuk mereka pergi meninggalkan “kerajaan” mereka untuk menyerbu ke Lamsai
guna membalas dendamnya kepada Kong Lee dan Thio Eng!
Akan tetapi, betapapun juga, lambat laun pikiran Kim Nio yang waras dan cerdik itu
akhirnya dapat menguasai pikiran-pikiran gila itu. Dengan perlahan ia dapat
membujuk bahwa kerajaan mereka takkan terganggu bila mereka pergi
meninggalkannya. Ia membakar hati kedua orang tua dengan menceritakan betapa
musuh besarnya itu sangat kurang ajar, sangat menghinanya dan bersikap tidak
mengindahkan kedudukan Raja dan Ratu itu!
Beberapa kali Leng Tin Ong dan isterinya dapat dibakar hatinya dan mereka
menyatakan siap untuk ikut pergi membalaskan sakit hati menantu mereka. Akan
tetapi niat ini selalu tidak jadi karena mereka agaknya masih takut-takut untuk
meninggalkan hutan yang mereka anggap sebagai kerajaan mereka itu.
Kim Nio lalu mempergunakan pengaruhnya kepada Ki Pok untuk membantunya
membujuk kedua orang tua itu. Pangeran Gila ini telah tunduk benar-benar kepada
Kim Nio dan segala kata Kim Nio tentu ia turut dengan taat. Maka mulailah Ki Pok
membujuk-bujuk ayah ibunya dengan sungguh-sungguh, bahkan sampai menangis
atau marah seperti anak kecil!
Sementara itu Kim Nio menerima pelajaran silat yang hebat dari “suaminya” karena
biarpun kini telah mempunyai keluarga hebat yang dapat diandalkan untuk
membantunya, namun ia ingin mempelajari ilmu silat mereka yang luar biasa itu
untuk menjaga kalau-kalau mereka tidak mau membantunya sehingga ia harus bekerja
sendiri.
Demikianlah, dengan tiada hentinya ia membujuk mereka setindak demi setindak.
Tiga bulan kemudian akhirnya ia berhasil juga membujuk mereka pergi meninggalkan
hutan itu untuk menuju ke Lam-sai dan menyerbu tempat tinggal Thio Sui Kiat!
Mereka pergunakan ilmu jalan cepat mereka yang luar biasa sehingga di sepanjang
jalan orang-orang hanya melihat tiga bayangan orang berkelebat cepat di depan mata
mereka tanpa dapat melihat tegas siapa adanya orang-orang yang seakan-akan terbang
lewat tadi! Kim Nio yang tidak memiliki kepandaian setinggi mereka, digendong oleh
Ki Pok.
Untung di dalam tiga bulan selama Kim Nio tinggal di hutan itu, ia berhasil
memperingatkan mereka bahwa tidak baik sekali makan daging manusia, sehingga di
Koleksi Kang Zusi
dalam perjalanan ini mereka tidak mengganggu orang-orang yang mereka jumpai di
jalan!
Kong Lee semenjak kawin hidup penuh kebahagiaan di rumah mertuanya dan
membantu pekerjaan Thio Sui Kiat. Akan tetapi karena telah lama tidak bertemu
dengan suhunya, Kong Lee merasa rindu kepada orang tua itu. Terutama sekali karena
ia ingin memperkenalkan isterinya yang cantik kepada suhunya itu, sekalian minta
doa restu dari orang tua yang baik budi itu. Ia menuturkan niatnya kepada Thio Eng
dan isteri yang baik inipun menyatakan persetujuannya untuk bersama-sama pergi ke
Liong-san mengunjungi Liong-san Lo-kai. Mereka berdua lalu menghadap kepada
orang tua mereka untuk minta ijin.
“Baik sekali maksud kalian ini,” kata Thio Sui Kiat yang cukup bijaksana untuk
mengetahui bahwa orang-orang muda ini sebagai pengantin baru tentu saja ingin pergi
berdua saja bagaikan sepasang burung merpati terbang bebas di udara. “Dan
sampaikanlah hormatku kepada orang tua yang sakti itu.”
Juga Nyonya Lim tidak merasa keberatan dengan kehendak anak dan menantunya ini.
“Asal saja kau berdua tidak lupa untuk pulang ke sini. Ingat bahwa orang tuamu
sudah tua dan tidak ingin berpisah terlalu lama dengan kalian!” Ibu ini masih takuttakut
melepas Kong Lee pergi.
Maka berangkatlah Kong Lee dan Thio Eng, membawa bekal secukupnya. Mereka
langsung menuju ke Liong-san, gunung yang penuh dengan tamasya alam indah dan
sedap dipandang itu. Tak perlu diceritakan lagi kiranya betapa senang dan gembira
hati mereka. Dunia nampak indah di mana-mana dan apa saja yang nampak di depan
mata seperti khusus diadakan untuk mereka dan untuk menambah kegembiraan
mereka!
Kong Lee dan isterinya sama sekali tidak menduga bahwa beberapa hari semenjak
mereka meninggalkan rumah mereka, di Lam-sai telah datang Kim Nio yang
membawa serta tiga orang luar biasa yang berbahaya sekali!
Alangkah terkejutnya Thio Sui Kiat ketika pada suatu malam, entah dengan cara
bagaimana karena ia sama sekali tidak mendengar suara kaki orang, tahu-tahu di
dalam kamarnya telah berdiri tiga orang aneh dan seorang perempuan cantik! Tiga
orang aneh yang tidak lain adalah Leng Tin Ong, isterinya, dan Leng Ki Pok itu,
hanya berdiri diam bagaikan patung, sedangkan perempuan cantik itulah yang bicara
kepadanya.
“Orang she Thio, kalau kau sayang nyawamu, beritahukan padaku adanya Kong Lee
dan isterinya!”
Thio Sui Kiat memandang tajam dan ia makin terkejut ketika dapat mengenal bahwa
perempuan cantik ini tidak lain adalah Kim Nio, wanita yang dulu pernah menculik
Thio Eng!
“Kau datang ke sini hendak berbuat apa? Mengapa tidak siang hari saja datang,
sebagai tamu baik-baik?”
Thio Sui Kiat dengan tenang turun dari pembaringannya dan berdiri menghadapi
tamu-tamu malam yang tak diundang itu. Ia menduga-duga siapa adanya tiga orang
yang berpakaian dan bersikap aneh ini, dan tiba-tiba bulu tengkuknya berdiri ketika ia
melihat betapa mata mereka mengeluarkan sinar aneh, karena ia teringat akan cerita
Kong Lee tentang keluarga yang mengerikan itu. Inikah mereka itu dan apakah
maksud mereka ikut datang bersama penjahat wanita ini?
“Jangan banyak cakap! Katakan saja di mana Kong Lee dan isterinya?”
Thio Sui Kiat dapat menduga bahwa wanita ini dalam kegilaan cintanya kepada Kong
Lee tentu akan melakukan perbuatan nekad dan mungkin akan membunuh mantunya
dan anaknya dengan pertolongan ketiga orang gila ini.
Koleksi Kang Zusi
Maka ia hanya menggelengkan kepala sambil berkata, “Mereka telah pergi, aku tidak
tahu ke mana!”
“Ha, ha, ha! Orang she Thio! Kau takut aku akan bertemu dengan mereka? Ha, ha!”
Kim Nio tertawa menyindir sehingga Thio Sui Kiat merasa mendongkol sekali.
“Siapa yang takut kepadamu?” serunya dan ia lalu menggerakkan tangan menyerang
Kim Nio.
Akan tetapi, di saat itu juga dari samping telah menyambar tenaga pukulan yang
dahsyat sekali. Thio Sui Kiat terkejut dan mengelak, akan tetapi terlambat. Sebuah
totokan dengan tepat mengenai jalan darahnya sehingga jago tua ini roboh tak
berdaya!
Kim Nio menggeledah seluruh gedung dan menotok roboh semua orang yang tinggal
di gedung itu, akan tetapi ia tidak mendapatkan orang-orang yang dicarinya! Ia
menjadi marah sekali dan akhirnya setelah mengancam dan memaksa seorang pelayan
untuk mengaku, ia mendengar bahwa dua pekan yang lalu Kong Lee dan Thio Eng
benar-benar telah pergi menuju ke Liong-san!
Kim Nio lalu memerintahkan pelayan-pelayan untuk membuat dan mengeluarkan
hidangan-hidangan dan di tengah malam buta itu ia menjamu ketiga orang gila itu.
Leng Tin Ong dan anak isterinya makan jamuan dengan nikmat sekali, kemudian
mereka tidur di atas pembaringan-pembaringan yang berkasur lunak dan bertilamkan
kain bersih sehingga mereka senang sekali. Agak sukar bagi Kim Nio untuk
membujuk mereka meninggalkan gedung itu pada keesokan harinya!
Thio Sui Kiat tak berdaya sama sekali menghadapi mereka. Ia hanya dapat
memandang dengan penuh kekuatiran akan keselamatan Kong Lee dan anaknya,
karena maklum bahwa menantunya itu walaupun tinggi kepandaiannya, agaknya tak
mungkin dapat mengalahkan orang-orang gila ini!
Betapapun juga sebelum pergi dari situ, Kim Nio tidak lupa untuk menyembuhkan
semua orang dari totokan. Ia lalu mengajak ketiga orang gila itu pergi cepat bagaikan
terbang, menyusul ke Liong-san!
Gegerlah seluruh isi rumah Thio Sui Kiat sepeninggal orang-orang gila itu. Thio Sui
Kiat sendiri dengan isterinya dan Nyonya Lim Ek, merasa sangat kuatir. Tanpa
memperdulikan bahaya yang mungkin mengancam dirinya, Thio Sui Kiat lalu
berdandan dan ia pergi pula menyusul ke Liong-san pada hari itu juga.
“Kalau mereka itu mengganggu Kong Lee dan Thio Eng, aku akan mengadu tenaga
dengan Kim Nio Si Perempuan Rendah!” katanya dengan gagah. Sambil menangis
isterinya memesan agar supaya ia berhati-hati.
Ketika Kong Lee dan Thio Eng tiba di puncak Liong-san di mana dulu ia berlatih silat
untuk bertahun-tahun, kebetulan sekali Liong-san Lo-kai baru saja kembali dari
perantauannya sehingga guru dan murid ini dapat bertemu. Liong-san Lo-kai merasa
gembira sekali dan ia menyatakan rasa senangnya melihat muridnya telah hidup
bahagia dengan seorang isteri yang cantik dan berbudi seperti Thio Eng.
“Muridku, kebetulan sekali kau datang karena aku justeru sedang bingung
memikirkan siapa gerangan yang dapat kuminta bantuan untuk melakukan sebuah
pekerjaan penting.”
“Pekerjaan apakah itu, Suhu? Katakanlah dan teecu tentu akan membantu sekuat
tenaga teecu!”
“Ha, ha! Kau memang murid yang baik. Tapi pekerjaan ini berbahaya sekali, apakah
isterimu rela melepaskanmu?” sambil berkata demikian, kakek tua itu mengerling ke
arah Thio Eng.
“Suhu, mengapa teecu takkan rela melepas dia pergi?” jawab Thio Eng. “Sudah
sepatutnya seorang murid membantu suhunya yang boleh disebut sebagai orang tua
Koleksi Kang Zusi
sendiri! Bahkan, biarpun teecu hanya berkepandaian dangkal, namun teecu juga
menyediakan tenaga untuk membantu pekerjaan itu!” kata Thio Eng dengan muka
merah dan suara gagah.
“Ha, ha, ha! Bagus, bagus! Kong Lee, kau ternyata pandai memilih seorang isteri
yang bijaksana dan gagah perkasa!”
“Suhu, sebetulnya pekerjaan apakah yang Suhu maksudkan itu?”
“Dengarlah, ketika aku merantau, terdengar olehku akan adanya seorang tosu yang
tinggal di puncak bukit Si-swe-san. Tosu itu dengan menggunakan ilmu hitamnya
kabarnya telah menipu para penduduk desa di sekitar bukit itu dan bahkan berani
mengorbankan manusia-manusia yang katanya dijadikan hidangan malaikat gunung.
Aku ingin sekali menyaksikan sendiri keadaan di Si-swe-san, akan tetapi aku
mendengar bahwa tosu itu berkepandaian tinggi dan mempunyai banyak kawan yang
pandai sehingga betapapun juga, pergi seorang diri saja aku merasa kuatir. Maka
kedatanganmu ini kebetulan sekali, muridku. Kau bantu aku menyelidiki keadaan tosu
itu. Isterimu boleh turut asal berlaku hati-hati.”
Kong Lee merasa girang sekali.
“Baiklah, Suhu. Teecu tentu akan membantu sekuat tenaga, karena biarpun tidak
diperintah oleh Suhu, jika mendengar akan hal ini, sudah menjadi kewajiban teecu
untuk menyelidiki, bukan?”
Maka berangkatlah Liong-san Lo-kai dengan Kong Lee dan Thio Eng menuju ke
puncak Si-swe-san yang letaknya tidak jauh dari Liong-san.
Ketika mereka tiba di kaki bukit Si-swe-san, mereka menanyakan keteranganketerangan
kepada penduduk desa dan mendapat keterangan yang membuat mereka
merasa heran sekali.
Ternyata bahwa di puncak Si-swe-san terdapat sebuah kuil besar yang pada akhirakhir
ini diperbaiki dan diperbesar lagi oleh seorang tosu. Dan semenjak tosu ini tiba
di situ, maka banyak terjadi keganjilan. Menurut penuturan tosu tadi, Si-swe-san
adalah sebuah gunung yang suci dan yang harus dihormati semua penduduk. Sebagai
buktinya banyak orang sakit telah dapat disembuhkan oleh tosu itu yang katanya
mempergunakan air mujijat yang keluar dari gunung itu. Oleh karena itu, penduduk
desa menjadi percaya sekali menganggap bahwa gunung itu benar-benar gunung
keramat dan tosu itu lalu menjadi “orang perantara” yang menyampaikan perintahperintah
dari malaikat gunung.
Menurut cerita tosu itu, malaikat gunung adalah seorang malaikat yang belum kawin
dan sedang memilih seorang isteri, maka telah beberapa kali ditunjuk dan dipilih
seorang gadis tercantik untuk dijadikan isteri malaikat itu!
Apabila ada seorang gadis yang dipilih atas petunjuk tosu itu, maka gadis yang
malang ini lalu dirias seperti seorang pengantin, lalu ia dimasukkan ke dalam sebuah
lubang yang terdapat di puncak gunung itu! Tadinya orang-orang mengira bahwa
gadis itu tentu terlempar ke dalam kawah gunung dan binasa, akan tetapi alangkah
heran merasa ketika beberapa hari kemudian, gadis yang tadinya dilempar ke dalam
lubang yang agaknya tak berdasar gelap dan dalam itu, muncul kembali di puncak
bukit dalam keadaan tak ingat orang dan setengah gila!
Menurut penuturan tosu tadi, katanya gadis yang di “kembalikan” oleh malaikat itu
tidak diterima dan si malaikat minta ganti seorang calon isteri yang lebih cantik dan
yang akan menyenangkan hatinya.
Hal ini telah berulang kali terjadi sehingga dalam beberapa bulan saja semenjak tosu
itu datang di situ telah ada tujuh orang gadis dijadikan korban dilempar ke dalam
lubang. Akan tetapi, ketujuh orang gadis itu kesemuanya ditolak kembali oleh si
malaikat dalam keadaan tidak ingat orang dan setengah gila! Maka gelisahlah para
Koleksi Kang Zusi
penduduk kampung di sekitar bukit itu. Mereka takut kalau-kalau malaikat sakti itu
menjadi marah dan mengutuk kampung-kampung sehingga sawah ladang akan
berkurang hasilnya dan banyak penyakit akan timbul!
Ketika Liong-san Lo-kai dan Kong Lee berdua tiba di bukit itu, kebetulan sekali tosu
itu hendak mengadakan pemilihan calon isteri baru. Liong-san Lo-kai dan kedua anak
muda itu heran sekali melihat akan ketaatan dan kepercayaan penduduk yang
memaksa para gadis mereka untuk datang menghadap di kuil untuk dipilih! Orangorang
kampung ini akan merasa berbahagia sekali apabila anak mereka sampai
terpilih. Siapa orangnya yang tidak ingin menjadi mertua malaikat gunung yang sakti?
Liong-san Lo-kai bersama Kong Lee dan Thio Eng ikut bersama para penduduk
kampung yang berbondong-bondong menuju ke puncak bukit. Semua orang yang
melihat bahwa orang tua ini datang bersama Thio Eng, mengira bahwa orang tua
inipun hendak mempersembahkan gadisnya yang cantik-jelita itu kepada malaikat
gunung!
Di depan kuil telah dibangun sebuah panggung yang cukup tinggi, dan semua gadis
itu diharuskan berdiri berderet-deret di depan panggung untuk dipilih! Dengan suara
berbisik Liong-san Lo-kai lalu minta kepada Thio Eng untuk ikut berdiri di situ, dan
hal ini disetujui oleh Kong Lee dan Thio Eng sendiri yang dapat memaklumi siasat
orang tua ini.
Berdiri di antara gadis dusun itu, maka tentu saja Thio Eng nampak berbeda sekali.
Tak seorang pun yang berkumpul di situ pernah melihat seorang gadis secantik Thio
Eng, sehingga semua mata memandang ke arahnya membuat Thio Eng merasa malu.
Ia tersenyum-senyum sambil memandang ke arah suaminya yang berdiri dengan hati
berdebar! Betapapun juga, kejadian ini membuat ia merasa gelisah juga.
Para penjaga kuil terdiri dari orang-orang yang menganut Agama To, dan mereka ini
kesemuanya bertubuh kuat dan menyatakan bahwa mereka mengerti ilmu silat. Tibatiba
terdengar suara tambur dipukul dan dari dalam kuil keluarlah seorang tosu yang
sudah tua sekali, tapi yang mengenakan pakaian indah dan rambut serta jenggotnya
yang sudah putih itu terpelihara baik-baik!
Semua penduduk kampung membungkukkan tubuh memberi hormat kepada tosu ini.
Liong-san Lo-kai dan Kong Lee tidak mengenal tosu ini, akan tetapi dari sinar
matanya yang mengeluarkan cahaya berpengaruh, tahulah mereka bahwa tosu ini
tentu berilmu tinggi.
“Kawan, tahukah kau siapa nama tosu itu?” tanya Liong-san Lo-kai kepada seorang
kampung yang berdiri dekat dengan dia.
Orang kampung itu memandang heran, kemudian ia dapat menduga bahwa orang tua
ini tentu datang dari tempat lain dan belum tahu akan nama Si Tosu Sakti.
“Namanya ialah Bong Ki Tosu,” jawabnya singkat lalu memandang ke arah tosu yang
kini berdiri di atas panggung itu dengan penuh penghormatan.
Bagi Liong-san Lo-kai nama ini bukan nama asing, karena ia pernah mendengar
bahwa Bong Ki Tosu adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan datang dari
pegunungan Tibet. Akan tetapi Kong Lee terkejut sekali mendengar nama ini dan ia
memandang dengan penuh perhatian.
Bong Ki Tosu? Ini adalah nama tosu yang mencelakakan Leng Tin Ong dan anak
isterinya, yang membuat pangeran itu serta isteri dan anaknya menjadi gila dan yang
kini menjadi keluarga gila dan berkeliaran di dalam hutan! Inikah tosu jahat yang dulu
membantu Beng Hwat Ong mencelakakan Pangeran Leng Tin Ong sekeluarganya itu?
Sementara itu, setelah mengangkat kedua lengannya untuk memberi tanda bahwa
semua orang boleh berdiri kembali, Bong Ki Tosu lalu memberi tanda dengan
tangannya dan seorang pembantunya yang tinggi besar maju ke arah deretan gadis
Koleksi Kang Zusi
yang berjumlah dua puluh orang lebih itu! Kemudian, seorang demi seorang, gadisgadis
itu disuruh menaiki panggung melalui sebuah anak tangga dan mereka ini untuk
beberapa lama berdiri di depan tosu itu yang memandangnya dengan penuh perhatian!
Dengan hati berdebar Thio Eng juga mengikuti gadis-gadis itu menaiki anak tangga.
Ketika ia berdiri di depan tosu itu, ia melihat betapa mata tosu tua itu memandangnya
dengan tajam tiba-tiba lemaslah tubuh Thio Eng. Seakan-akan ada tenaga gaib keluar
dari kedua mata itu dan tenaga itu dengan kuat sekali menekan dan menundukkan
segala kehendak dan tenaganya!
Thio Eng merasa terkejut sekali dan mencoba untuk melawan, akan tetapi makin ia
lawan makin kuatlah tenaga itu dan akhirnya ia menundukkan muka di depan tosu itu
dan sama sekali tidak membantah ketika tosu itu menaruh tangan kanannya di atas
kepalanya!
Terdengar sorak-sorai ramai sekali karena ternyata bahwa malaikat gunung yang
diwakili oleh tosu itu telah menjatuhkan pilihannya, yakni kepada gadis asing yang
cantik jelita itu! Beberapa orang pembantu lalu naik ke atas panggung sambil
membawa jubah pengantin dan Thio Eng lalu dikerobongi jubah pengantin itu,
sedangkan di atas kepalanya dipasang sebuah mahkota yang indah!
Bukan main terkejut dan heran Kong Lee ketika melihat betapa Thio Eng nampak
lemas dan seakan-akan menurut dengan segala senang hati, kedua matanya
memandang ke bawah seperti mata orang mengantuk dan sedikitpun tak pernah
menengok kepada suaminya!
“Suhu, celaka! Thio Eng tentu kena sihir tosu siluman itu!”
Liong-san Lo-kai tersenyum tenang, “Tenanglah, muridku. Aku tahu akan hal itu.
Biarlah untuk membuka kedok imam durhaka itu, kita harus mendapatkan buktinya.
Kalau kita bertindak sembrono, tentu orang-orang kampung ini akan marah kepada
kita. Biarlah, kita tunggu sampai Thio Eng dimasukkan ke dalam lubang. Kemudian
kau cepat meloncat dan menyusul ke dalam lubang itu sedangkan aku hendak
bergerak dari luar. Mengerti?” kata kakek ini sambil berbisik.
Setelah Thio Eng selesai dirias, dengan diikuti oleh semua penduduk yang berada di
situ, Thio Eng lalu diarak ke atas puncak!
Puncak ini berada tepat berada di belakang kuil dan di situ terdapat panggung kecil
pula, dan di tengah-tengah panggung terdapat sebuah lubang yang garis tengahnya
kira-kira tiga kaki lebarnya! Lubang ini kalau dilihat dari luar tidak nampak dasarnya,
karena gelap sekali.
Di atas panggung ini lalu diadakan sembahyang pengantin yang dipimpin oleh Bong
Ki Tosu. Kemudian Thio Eng dipondong oleh seorang pelayan tinggi besar dan
setelah Bong Ki Tosu membaca doa maka tubuh Thio Eng dilempar ke dalam sumur
yang gelap itu! Semua penduduk kampung lalu berlutut di atas tanah untuk memberi
penghormatan terakhir kepada pengantin malaikat gunung!
Sementara itu, dengan diam-diam Liong-san Lo-kai telah menggunakan
kepandaiannya dan menyerbu masuk ke dalam kuil tanpa terlihat oleh seorang pun.
Sedangkan Kong Lee yang sudah mendapat petunjuk suhunya, ketika melihat betapa
isterinya telah dilempar ke dalam sumur, lalu menggunakan kepandaiannya pula. Ia
menanti sampai Bong Ki Tosu berada agak jauh dari sumur itu agar jangan
menghalang-halangi perbuatannya.
Kemudian ia berseru, “Cu-wi, semua jangan kena ditipu oleh tosu siluman ini!” ia lalu
meloncat dan langsung terjun ke dalam sumur itu menyusul Thio Eng!
Bukan main terkejutnya Bong Ki Tosu melihat ini. Ia hampir saja lupa dan hendak
menyusul ke dalam sumur, akan tetapi ia teringat bahwa orang-orang kampung masih
berada di situ, maka ia lalu berkata, “Lihatlah, tadi itu adalah orang yang dimasuki
Koleksi Kang Zusi
roh jahat dan yang hendak melawan malaikat gunung, akan tetapi akan menemui
kematiannya dan besok kalian akan melihat mayatnya di atas panggung ini! Sekarang
kalian pulanglah karena malaikat gunung tentu tak senang dengan adanya gangguan
tadi!”
Maka pulanglah orang-orang kampung itu dengan rasa takut. Setelah semua orang
pergi, buru-buru Bong Ki Tosu mencabut pedang dan kebutannya dan lari masuk ke
dalam kuil kembali!
Sementara itu, ketika Kong Lee terjun ke dalam sumur, ia terjeblos ke dalam tempat
yang dalam sekali sehingga mau tidak mau hatinya menjadi cemas. Akan tetapi,
seperti yang ia telah duga, tiba-tiba tubuhnya menimpa sebuah jala yang dipasang di
sini. Cepat ia meloncat keluar dan tiba di dalam sebuah ruang yang luas. Di situ ia
melihat betapa tiga orang laki-laki tinggi besar baru saja menurunkan Thio Eng yang
telah pingsan dari jala itu juga.
Ketiga orang laki-laki tinggi besar itu melihat kedatangan Kong Lee, mereka terkejut
dan cepat menyerbu, akan tetapi dalam beberapa jurus saja Kong Lee telah dapat
merobohkan mereka! Sementara itu, Thio Eng telah siuman kembali dan ia
memandang dengan heran bagaikan orang baru saja bangun dari sebuah mimpi yang
menyeramkan. Semenjak berdiri di depan Bong Ki Tosu tadi, ia telah kehilangan
kemauan dan pikirannya dan tidak ingat apa-apa lagi.
Kong Lee lalu mengajak isterinya menyerbu keluar, melalui sebuah jalan di bawah
tanah yang berliku-liku. Kemudian mereka tiba di sebuah kamar yang merupakan
kamar tidur terhias indah dan mewah. Ini agaknya kamar pengantin dari Bong Ki
Tosu sendiri yang tentu mewakili pula malaikat gunung untuk menyambut isterinya!
Di dalam kamar itu terdapat sebuah anak tangga yang tinggi dan Kong Lee serta Thio
Eng lalu menaiki tangga ini ke atas.
Ternyata bahwa anak tangga itu membawa mereka keluar dari dalam tanah dan tiba di
dalam ruang belakang kuil itu!
Tiba-tiba terdengar suara pertempuran hebat di dalam ruang sebelah dalam. Mereka
lalu lari menghampiri dan melihat Liong-san Lo-kai sedang bertempur melawan dua
orang tosu, yakni Bong Ki Tosu sendiri dan seorang tosu lain yang menjadi sutenya,
yakni Bong Bi Tosu. Kepandaian kedua orang tosu ini tinggi juga, dan agaknya
Liong-san Lo-kai terdesak.
Kong Lee memesan isterinya agar supaya jangan ikut bertempur melawan kedua
orang yang hebat itu. Kemudian ia menarik keluar tongkatnya dan menyerbu untuk
membantu suhunya.
Bong Bi Tosu menyambutnya dan segera Kong Lee maklum bahwa kepandaian tosu
ini tinggi juga. Dengan Liong-san Koai-tung-hwat ia membela diri dari pedang dan
kebutan lawan, akan tetapi masih saja ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya
agar jangan sampai terdesak.
Sementara itu, Liong-san Lo-kai yang menghadapi Bong Ki Tosu, dengan mudah
dapat mendesak Bong Ki Tosu ini, karena memang kepandaiannya masih lebih tinggi
setingkat daripada kepandaian tosu siluman ini. Dengan tongkatnya, pengemis tua
dari Liong-san ini mendesak lawannya yang hanya dapat menangkis dan mengelak
saja tanpa dapat balas menyerang!
Thio Eng melihat pertempuran itu dengan hati cemas. Ia tidak dapat menentukan
siapa kalah siapa menang, karena keempat orang itu telah lenyap dari pandangan
matanya dan tertutup oleh sinar-sinar pedang dan tongkat. Demikian hebat mereka
bertempur!
Ketika Thio Eng sedang menonton pertempuran, tiba-tiba ia merasa ada orang yang
menubruknya dari belakang. Ia cukup waspada dan gesit, maka cepat ia mengelakkan
Koleksi Kang Zusi
diri dari tubrukan ini dan ternyata bahwa yang menubruknya adalah seorang
pembantu tosu siluman itu. Thio Eng lalu mengirim tendangan yang hampir saja
mengenai lambung orang itu.
Melihat bahwa Thio Eng pandai ilmu silat, orang itu menjadi marah dan mencabut
pedangnya lalu menyerang. Akan tetapi, ternyata bahwa kepandaian orang itu tidak
berapa tinggi. Tak lama kemudian, Thio Eng berhasil merobohkannya dengan sebuah
tendangan dan merampas pedangnya. Beberapa orang pelayan lain mencoba untuk
mengeroyok dan menangkap Thio Eng, akan tetapi dengan adanya sebuah pedang di
tangan, Thio Eng merupakan seekor harimau betina yang galak. Ia mengamuk dan tak
lama kemudian dua orang pelayan itu roboh mandi darah, sedangkan yang lain lalu
lari ketakutan!
Kong Lee merasa bahwa Liong-san Koai-tung-hwat yang baru dipahami delapan
bagian itu, takkan dapat merobohkan lawan. Maka ia lalu mencampur ilmu
tongkatnya dengan ilmu silat yang dipelajarinya dari kitab Raja Gila!
“Eh, ilmu silat macam apakah yang kau keluarkan ini?” mula-mula lawannya
mengejek melihat betapa Kong Lee bergerak-gerak dengan aneh dan ganjil sekali.
Akan tetapi, segera ia merasa terkejut sekali karena ilmu silat anak muda itu kini
menjadi hebat dan tak terduga gerakan-gerakannya!
Sementara itu, dengan sebuah totokan kilat, Liong-san Lo-kai telah berhasil membuat
Bong Ki Tosu rebah tak berdaya. Kakek tua inipun heran melihat ilmu silat Kong Lee
dan ia menonton dengan kedua mata terbelalak. Akhirnya, Kong Lee berhasil pula
menendang roboh Bong Bi Tosu, tepat di lututnya sehingga sambungan tulang
lututnya terlepas!
Tiba-tiba Bong Ki Tosu mengeluh dan siuman dari pingsannya, lalu tosu tua itu
mengeluh, “Jangan bunuh aku ... jangan bunuh ... ”
Kong Lee merasa jijik melihat sifat pengecut ini, tapi tiba-tiba ia mendapat sebuah
pikiran.
“Kau tidak ingin mati? Baik, kami akan ampunkan jiwamu, akan tetapi kau harus
serahkan obat pemunah gila!”
“Apa ... apa maksudmu?” tanya Bong Ki Tosu yang meringis-ringis karena dadanya
terasa sakit sekali akibat totokan.
Liong-san Lo-kai merasa heran, akan tetapi diam-diam muridnya memberi isyarat
dengan matanya.
“Kau telah menggunakan obat untuk membikin gila orang-orang di kampung maka
kau harus menyembuhkan mereka.”
“Baik, baik ... ” keluhnya, “lepaskan dulu pengaruh totokan ini ... ”
Liong-san Lo-kai lalu menggunakan tongkatnya menotok pula dan sembuhlah Bong
Ki Tosu. Tosu tua ini sudah takluk betul dan ia lalu mengeluarkan sebungkus obat
berwarna putih.
“Inilah obat pemunah itu. Campur dengan arak dan suruh mereka minum, tentu
mereka akan sembuh ... ” katanya.
Kong Lee merasa ragu-ragu. “Apakah kau tidak menipu kami?”
Bong Ki Tosu memandang marah.
“Kau kira aku ini orang macam apa? Tidak percuma aku merantau puluhan tahun di
puncak Tibet! Obat yang membuat orang gila itu terbuat dari akar pohon di Tibet dan
ini adalah otak semacam monyet yang telah dikeringkan. Monyet putih yang memiliki
otak ini hanya hidup di puncak Tibet dan khasiatnya manjur sekali.”
Bong Ki Tosu dan Bong Bi Tosu lalu diarak keluar dari kuil oleh Liong-san Lo-kai
dan muridnya. Guru dan murid ini lalu memberi penerangan kepada orang-orang
kampung yang merasa keheran-heranan dan marah sekali melihat betapa mereka telah
Koleksi Kang Zusi
menjadi korban penipuan. Gadis-gadis yang menjadi gila itu lalu didatangkan, dan
Kong Lee atas petunjuk Bong Ki Tosu lalu mencampurkan otak monyet itu dengan
seguci arak. Benar saja, setelah diberi minum secawan arak obat, gadis-gadis itu lalu
roboh pingsan dan tak lama kemudian mereka sadar kembali dan sembuh!
Kong Lee merasa girang sekali, kemudian ia lalu menceritakan kepada suhunya
tentang keadaan keluarga gila yang menjadi korban dari Bong Ki Tosu pula. Dan
niatnya kini hendak membawa sisa obat itu untuk menyembuhkan mereka karena
menurut kata-kata Bong Ki Tosu, obat itu dapat juga digunakan untuk
menyembuhkan sakit gila yang sudah puluhan tahun akibat bekerjanya racun akar
yang luar biasa itu.
Bong Ki Tosu dan Bong Bi Tosu lalu dilepas setelah mendapat nasihat-nasihat dan
peringatan-peringatan keras, kemudian kuil di puncak bukit itu dihancurkan serta para
pengikut Bong Ki Tosu diusir pergi.
“Muridku, sekarang kita harus berpisah. Aku hendak merantau lagi dan kau bawalah
isterimu pulang. Jangan terlalu banyak membuat musuh-musuh di kalangan kang-ouw
dan jangan bertempur kalau tidak terpaksa sekali. Akan tetapi, jika tenagamu
diperlukan untuk menolong sesama hidup, janganlah kau ragu-ragu untuk menolong.”
Kakek yang sakti itu lalu pergi dari situ, sedangkan Kong Lee mengajak Thio Eng
untuk pulang sambil membawa seguci arak obat.
Kim Nio dengan tiga orang gila berlari cepat ke Liong-san dan alangkah kecewa
mereka ketika mengetahui bahwa tempat pertapaan itu kosong! Mereka lalu turun
gunung dan pergi mencari sambil bertanya-tanya di jalan kalau-kalau ada sepasang
suami-isteri muda lewat di situ.
Pada suatu hari, setelah Kim Nio menyatakan kekecewaannya kepada suami dan
mertuanya, tiba-tiba dari depan tampak mendatangi dua orang, dan ketika dekat,
dengan girang sekali Kim Nio mengatakan bahwa mereka ini adalah Kong Lee dan
Thio Eng!
“Itulah mereka! Itulah musuh-musuhku yang harus dibunuh! Ayo, kita tangkap dia!
tapi jangan dibunuh, tangkap hidup-hidup!” teriak wanita itu dengan girang sekali.
“Kim Nio, tunggu dulu, biarkan aku memberi keterangan penting.”
Akan tetapi, Kong Lee tidak diberi kesempatan bicara lagi, karena ketiga orang gila
itu telah maju menyerbu. Kong Lee merasa terkejut sekali. Tak pernah disangkanya
bahwa Kim Nio berhasil memperalat tiga orang berbahaya dan hebat ini. Ia dan Thio
Eng terpaksa melawan sekuat tenaga, akan tetapi, mana ia dapat melawan tiga orang
hebat yang maju serempak itu? Tak lama kemudian Kong Lee dan Thio Eng telah
tertotok dan roboh tak berdaya serta menjadi orang-orang tawanan!
“Ha, ha, ha! Musuh-musuhmu orang begini lemah!” Raja Gila tertawa tergelak-gelak.
“Telah lama kita tidak makan daging domba, sekarang kita harus mengadakan pesta!”
kata Ratu Gila.
“Isteriku, musuh-musuhmu telah kita tangkap. Lekas bunuh mereka dan berikan
dagingnya kepadaku!” kata Pangeran Gila.
Kong Lee dan Thio Eng telah lumpuh melihat keluarga gila itu dengan hati ngeri.
Pengharapan mereka telah habis dan mereka maklum bahwa kali ini mereka tentu
akan mengalami kebinasaan di tangan orang-orang gila ini. hanya ada satu hiburan
bagi Kong Lee dan Thio Eng, yakni bahwa mereka akan mati bersama!
Tiba-tiba Raja Gila melihat guci arak di dalam bungkusan pakaian Kong Lee yang
tadi dibuka-bukanya.
Ia girang sekali dan sambil mencium tutup guci ia berkata, “Arak ... arak ... ”
Isteri dan anaknya memburu dan mereka ini pun girang sekali. Ketiganya lalu
bergantian minum arak itu tanpa mempedulikan lagi kepada tawanan mereka atau
Koleksi Kang Zusi
kepada Kim Nio!
Melihat kesempatan ini, Kim Nio lalu menghampiri Kong Lee dan tersenyum
mengejek, “Kong Lee, akhirnya kau jatuh juga ke dalam tanganku!”
“Kim Nio kau telah dapat menawan kami, mengapa tidak lekas kaubunuh saja?”
“Untuk apa banyak cakap lagi?” berkata Kong Lee sambil memandang ke arah tiga
orang gila yang sedang bergembira minum arak obat itu dengan penuh perhatian!
“Ha, ha! Tentu saja akan kubunuh! Dan kedua tanganku sendiri yang akan membunuh
kau dan perempuan ini!” kata Kim Nio dengan gemas.
Kim Nio mencabut pedangnya dan mengangkat pedang itu tinggi-tinggi, tapi melihat
wajah Kong Lee yang baginya tampak makin tampan dan menarik hati itu, ia
menurunkan kembali pedangnya.
“Kong Lee, kau tahu betapa aku sangat mencintamu. Ya, aku tak perlu malu mengaku
di depan isterimu. Aku cinta padamu dan dengarlah, kalau kau sudi menerimaku
sebagai isterimu, aku akan bebaskan kalian dan aku turut kalian pergi. Biarlah aku
menjadi pelayan di rumahmu, asal kau suka menerimaku sebagai isterimu.”
“Kim Nio, sudahlah jangan berkata-kata yang tiada gunanya ini.”
Tiba-tiba Kim Nio melihat perubahan pada wajah Kong Lee. Ia cepat membalikkan
tubuh memandang, dan ternyata bahwa ketiga orang gila itu telah rebah menggeletak
di atas tanah! Kim Nio tidak pedulikan mereka ini karena menyangka bahwa mereka
hanya mabuk dan tidur saja. Ia tidak tahu bahwa ketiga orang itu telah pingsan akibat
pengaruh obat! Sementara itu, Kong Lee dan Thio Eng memandang kepada tiga orang
gila itu dengan hati berdebar-debar!
“Kong Lee, pikirkanlah baik-baik usulku tadi,” kata Kim Nio pula tanpa
memperhatikan sedikit pun kepada keluarga gila itu. “Tak mungkin hatimu sekejam
ini dan tidak merasa kasihan kepadaku.”
“Sudahlah, Kim Nio. Tak perlu kau membujuk-bujuk karena takkan ada gunanya.
Apakah kau kira aku seorang yang takut mati dan orang serendah itu? Kau telah
bersuami, lebih baik kau kembalilah kepada suamimu!”
Mata Kim Nio bersinar marah.
“Kong Lee, benar-benarkah kau tidak sayang kepada jiwamu?”
“Kau tahu bahwa aku tidak takut mati, apalagi kalau harus mati bersama isteriku yang
tercinta!”
Sambil berkata demikian, Kong Lee mengerling kepada Thio Eng dengan pandangan
mata penuh cinta.
“Hm, kau sangka akan demikian enak untuk kalian? Dengar, kau akan kubunuh di
depan mata isterimu dan isterimu akan kuberikan kepada Pangeran Gila untuk
menjadi isterinya! Ha, ha!”
Kim Nio lalu berdiri dan pedangnya telah siap di tangan. Kali ini ia takkan ragu-ragu
lagi, karena sudah maklum bahwa betapapun juga Kong Lee tidak mau menerima
permintaannya. Ia pegang gagang pedang erat-erat dan siap menusuk dada Kong Lee.
Orang muda ini sedikitpun tidak gentar, bahkan ia pandang muka Kim Nio dengan
tajam dan dadanya diangkat untuk menerima datangnya tusukan.
Pedang telah digerakkan, tapi ... tiba-tiba tangan Kim Nio gemetar dan ia tak kuat
menentang wajah Kong Lee lebih lama lagi. Sambil mengeluh, Kim Nio melempar
pedangnya dengan wajah pucat, lalu ia jatuhkan dirinya dan memeluk tubuh Kong
Lee sambil menangis sedih!
“Kong Lee ... aku tidak tega membunuhmu ... melukaimu saja aku takkan sanggup ...
Kong Lee ... benar-benar demikian kejam dan keraskah hatimu ... ?”
Kong Lee tidak menjawab hanya membuang muka. Ia tak dapat melepaskan diri dari
pelukan Kim Nio karena tidak kuasa menggerakkan tangan dan kakinya. Sementara
Koleksi Kang Zusi
itu, Thio Eng memandang dengan rasa terharu. Betapapun juga, perasaan hatinya
sebagai seorang wanita lebih halus dan ia dapat membayangkan betapa sedih dan
hancur hati Kim Nio.
Melihat betapa Kong Lee sama sekali tidak mempedulikannya, Kim Nio tiba-tiba
bangkit berdiri.
“Baiklah, Kong Lee. Kau tidak sudi menerimaku dan aku tidak sampai hati
membunuhmu. Akan tetapi kau akan menderita selama hidupmu karena sekarang aku
hendak membinasakan isterimu yang kau cinta!”
Sambil berkata begitu, Kim Nio memungut kembali pedangnya dan kini menghampiri
Thio Eng yang sama sekali tidak gentar. Kim Nio mengangkat pedangnya dan
menusuk!
Tapi pada saat itu, tiba-tiba pedang di tangan Kim Nio terlepas dan suara yang halus
membentaknya, “Eh, menantuku, kau hendak berbuat apa? Jangan kau sembarangan
membunuh orang!”
Kim Nio terkejut sekali dan menengok. Alangkah kaget dan herannya melihat bahwa
yang menghalangi maksudnya dan yang menegurnya itu tidak lain ialah Ratu Gila!
Akan tetapi, betapa nenek ini telah berubah sekali! Gerakannya lemah lembut,
wajahnya nampak sungguh-sungguh dan lenyaplah bayangan-bayangan kegilaannya!
Juga Raja Gila Leng Tin Ong telah siuman kembali, hampir bersama dengan Leng Ki
Pok Si Pangeran Gila! Leng Tin Ong duduk memandang ke kanan kiri sambil berkata,
“Eh, eh, apa yang terjadi!”
Sementara itu, Ki Pok segera maju dan berlutut di depan ayahnya, lalu berkata, “Ayah
... ”
Kedua orang ini lalu berpelukan bagaikan dua orang yang baru saja bertemu setelah
berpisah puluhan tahun! Kemudian mereka teringat akan Ratu Gila dan keduanya
segera melompat menghampiri Ratu Gila yang masih menghadapi Kim Nio dan
mencegahnya membunuh Thio Eng.
Ternyata bahwa obat pemunah racun ini bekerja baik dan ketiganya sembuh dari
pengaruh kegilaan mereka!
“Menantuku, kedua orang ini harus dibebaskan dan marilah kita segera kembali ke
kota raja,” kata Leng Tin Ong yang cepat membebaskan Kong Lee dan Thio Eng dari
totokan.
Kong Lee dan Thio Eng cepat menjura memberi hormat dan menghaturkan terima
kasih.
“Anak muda, tak perlu kau berterima kasih. Seharusnya kami yang berterima kasih
kepadamu, karena kau telah membawa obat penolong kami sekeluarga.
Perkenalkanlah, nona ini adalah menantu kami dan isteri anak kami Ki Pok.”
Kemudian Kong Lee menceritakan betapa ia dapat minta obat itu dari Bong Ki Tosu
sehingga keluarga Pangeran yang bernasib malang itu menjadi kagum sekali dan
menyatakan terima kasih mereka. Kong Lee tidak membuka rahasia Kim Nio dan
wanita ini terpaksa diam saja menyesali nasibnya yang selalu mendapat kemalangan.
Akan tetapi melihat betapa ketiga orang itu kini telah sembuh dan hendak kembali ke
kota raja, diam-diam ia merasa senang juga. Ia telah menjadi isteri Ki Pok, berarti
menjadi menantu pangeran yang berkedudukan tinggi. Ia tentu akan menjadi seorang
nyonya bangsawan yang terhormat!
Dan selain itu, ia pun akan dapat mempelajari ilmu silat tinggi dari kedua mertuanya!
Setelah saling memberi hormat, Kong Lee dan Thio Eng minta diri dan kembali ke
Lam-sai, sedangkan Leng Tin Ong lalu mengajak isteri serta anak dan menantunya
untuk segera kembali ke kota raja di mana mereka disambut dengan segala
kehormatan dan kegirangan oleh para keluarga dan kenalan mereka!
Koleksi Kang Zusi
Sementara itu, dalam perjalanan pulang ke Lam-sai, di tengah jalan Kong Lee dan
Thio Eng bertemu dengan Thio Sui Kiat. Bukan main girangnya Thio Sui Kiat
melihat bahwa anak dan menantunya selamat dan terlepas dari bencana maut.
Ia menghela napas dan sambil mengelus-elus jenggotnya, orang tua ini berkata,
“Memang demikianlah, anak dan menantuku, tidak ada pohon baik berbuah masam
dan juga tak mungkin pohon buruk berbuah manis! Perbuatan-perbuatan baik pasti
akan menghasilkan akibat baik pula dan kejahatan-kejahatan tentu akan
mendatangkan bencana! Siapa menolong pasti tertolong dan siapa berbuat jahat akan
dijahati orang pula! Tuhan memang adil!”
Demikianlah, Thio Sui Kiat beserta anak dan menantunya lalu kembali ke Lam-sai.
Kedatangan mereka disambut dengan girang dan Nyonya Thio dan Nyonya Lim.
Selanjutnya mereka hidup dalam kerukunan dan kebahagiaan sampai di hari tua.
TAMAT
Solo, Hari Lahir Pancasila 1966
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments