Selasa, 31 Juli 2018

Cersil Pendekar Pemabuk 3 Tamat

======

baca juga
Gwat Kong berwatak jujur dan sukar sekali baginya untuk membohong atau
menyembunyikan sesuatu, maka ia menjawab perlahan, “Namanya Tin Eng, ia she Liok.”
“Liok Tin Eng? Hm, indah sekali nama ini untuk seorang wanita!”
Muka Gwat Kong menjadi merah, “Memang dia seorang wanita.”
“Hmm, namanya sudah indah, tentu orangnya muda lagi cantik.”
“Eh, Cui Giok. Bagaimana kau bisa mengetahui hal itu?”
“Apakah kau menganggap aku sebodohnya orang? Kau katakan bahwa dia adalah kawan
baikmu. Kalau dia bukan seorang dara jelita, habis apakah kau berkawan baik dengan seorang
nenek-nenek tua yang ompong?”
Mau tak mau Bun Gwat Kong tertawa juga mendengar ucapan jenaka ini. Akan tetapi aneh
sekali, ketika ia memandang muka gadis itu, Cui Giok tidak tertawa geli sebagaimana
dugaannya, bahkan gadis itu nampak tak senang dan cemberut.
“Gwat Kong, apakah aku ..... harus ikut pula mengunjunginya?”
“Tentu saja!” jawab Gwat Kong sambil memandang heran. “Mengapa tidak ikut?”
Cui Giok menundukkan mukanya. “Ah, .... aku khawatir kalau-kalau ..... hanya akan
mengganggunya.”
“Kau benar-benar aneh. Bagaimana seorang sahabat dapat mengganggu pertemuan antara
kedua orang kawan?”
“Jadi kau anggap aku seorang sahabatmu?”
“Tentu saja, habis, bukankah kita memang sahabat karib?”
Diam sejenak.
“Gwat Kong, apakah dia akan suka melihat dan menerima aku kalau aku ikut ke sana?”
“Siapakah yang kau maksudkan? Tin Eng? Tentu saja! Tin Eng adalah seorang gadis
pendekar yang berkepandaian tinggi dan berhati gagah. Dia mempunyai ilmu pedang Sin-eng
Kiam-hoat.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 222
Mendengar ini, Cui Giok memandang cepat. “Oh, jadi dia masih sumoimu sendiri?”
Memang pertanyaan Cui Giok ini sudah sewajarnya oleh karena ia tahu bahwa Gwat Kong
adalah ahli waris Sin-eng Kiam-hoat, maka kalau gadis yang bernama Tin Eng itu pandai ilmu
pedang Sin-eng Kiam-hoat pula, siapa lagi kalau bukan sumoi (adik perempuan seperguruan)
dari Gwat Kong?
“Bukan, bukan sumoiku. Dia itu adalah anak dari bekas majikanku. Tentang kepandaiannya
dalam ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat itu sesungguhnya ada perbedaannya dengan
kepandaianku.”
Gwat Kong lalu menuturkan tentang kitab pelajaran ilmu pedang yang diketemukannya ketika
ia menggali kebun di belakang rumah gedung Liok-taijin dan bahwa Tin Eng hanya
mempelajari ilmu pedang itu dari kitab salinannya yang disalin secara buruk sekali oleh Bueng-
sian Leng Po In.
Sambil bercakap-cakap mereka memasuki kota Hun-lam dan tak terasa pula tahu-tahu mereka
telah berada di depan gedung Lie-wangwe. Hati Gwat Kong berdebar ketika ia melihat
gedung itu. Kegembiraan memenuhi hatinya kalau ia ingat bahwa sebentar lagi akan bertemu
dan berhadapan muka dengan Tin Eng.
Akan tetapi gedung itu nampaknya sunyi saja dan ketika Gwat Kong yang diikuti oleh Cui
Giok telah masuk di ruang depan, seorang pelayan menyambutnya. Pelayan itu masih
mengenali Gwat Kong maka dengan muka girang ia lalu mempersilahkan pemuda itu duduk
untuk menunggu sedangkan ia lalu melaporkan kedatangan tamu ini kepada Lie-wangwe.
Tak lama kemudian pelayan itu keluar lagi dan mempersilahkan kedua orang tamunya masuk
ke ruang tamu di mana Lie-wangwe sendiri menyambut mereka. Gwat Kong terkejut melihat
orang tua itu nampak pucat dan seperti keadaan sakit. Ia buru-buru memberi hormat yang
diturut pula oleh Cui Giok.
“Bun-hiante, kau baru datang?” tanya hartawan itu dengan suara lemah.
“Lie-siokhu, apakah kau selama ini sehat-sehat saja?”
Hartawan itu menghela napas dan memberi isyarat dengan tangannya untuk mempersilahkan
kedua orang tamunya mengambil tempat duduk.
“Semenjak Tin Eng pergi, kesehatanku selalu terganggu. Aku merasa sunyi dan tak ada
kegembiraan sama sekali.”
“Tin Eng pergi? Kemanakah dia siokhu? Apakah dia pulang ke Kiang-sui?” tanya Gwat Kong
dengan hati kecewa.
“Tidak, mana dia mau pulang ke Kiang-sui? Dia pergi bersama seorang sahabatnya, seorang
nona gagah perkasa yang bernama Tan Kui Hwa yang berjuluk Dewi Tangan Maut.”
“Ah, dia??” kata Gwat Kong, teringat bahwa Dewi Tangan Maut adalah anak musuh besar
ayahnya. “Kemanakah mereka pergi, susiokhu?”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 223
“Siapa tahu ke mana anak-anak muda pergi. Mereka hanya menyatakan hendak merantau. Ah
... memang aneh sekali anak-anak muda sekarang. Lebih suka merantau bersusah payah dan
mencari lelah, padahal di rumah lebih senang dan segala apa tersedia.”
Gwat Kong tidak lama berada di situ, karena ia maklum bahwa orang tua yang sedang tidak
sehat itu tidak boleh diganggu terlalu lama. Ketika ia berpamit, Lie-wangwe hanya memesan
bahwa apabila pemuda itu bertemu dengan Tin Eng, minta supaya gadis itu kembali ke Hunlam.
Cui Giok dapat melihat kekecewaan yang membayang keluar dari pandang mata Gwat Kong,
maka ia tidak mau mengganggunya. Hanya berkata sambil berjalan di sebelah pemuda yang
menjadi pendiam itu,
“Aku pernah mendengar nama Dewi Tangan Maut yang terkenal. Bukankah dia itu anak
murid Hoa-san-pai?”
Gwat Kong hanya mengangguk. Kekecewaan membuat ia malas bicara. Cui Giok dapat
merasakan pula sikap Gwat Kong ini. Maka gadis yang berhati polos ini bertanya,
“Gwat Kong, agaknya kau dan Tin Eng saling menyintai.”
Gwat Kong terkejut mendengar ini dan mukanya menjadi merah sekali.
“Cui Giok, bagaimana kau bisa berkata demikian? Tin Eng adalah anak tunggal dari Kepala
daerah di Kiang-sui, seorang bangsawan tinggi yang berpengaruh dan kaya raya. Sedangkan
aku ini orang macam apakah? Aku dahulu hanyalah menjadi seorang pelayan tukang kebon
dari keluarga Liok. Mana ada aturan seperti yang kau duga itu?”
“Jadi kalau begitu, kau dan Tin Eng hanyalah sahabat belaka?”
“Disebut sahabat pun sudah janggal terdengarnya. Aku pernah menjadi pelayannya. Mana ada
pelayan menjadi sahabat puteri majikannya?”
Kini Cui Giok memandang dengan mata berseri.
“Gwat Kong ......” katanya akan tetapi kata-katanya terhenti.
“Kau hendak bilang apakah, Cui Giok?” Gwat Kong bertanya sambil memandang.
“Ada orang yang semenjak bertemu dengan kau ....” ia berhenti lagi.
“Ya ....?” Gwat Kong mendesak.
“Yang tidak memandang rendah kepadamu bahkan yang menganggap kau cukup berharga
untuk menjadi sahabat seorang puteri kaisar sekalipun!”
“Ah, orang itu tentu terdorong hatinya oleh rasa kasihan terhadap anak yatim piatu sebatang
kara yang miskin ini,” cela Gwat Kong.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 224
“Tidak! Orang itu menyatakan dengan sejujur hatinya bahwa kau adalah orang yang jujur dan
mulia. Sifat kebajikan ini tak dapat diukur dengan hanya melihat keadaan lahirnya. Sejarah
menyatakan bahwa tak sedikit jumlahnya orang-orang yatim piatu yang paling miskin
memiliki jiwa kesatria dan hati mulia yang jauh lebih berharga dari pada segala pangkat dan
harta benda orang-orang berhati rendah!”
Maka merahlah muka Gwat Kong. “Aaah, orang itu terlalu melebih-lebihkan!” Diam-diam ia
menjadi bingung dan dadanya berdebar, karena ia maklum bahwa yang dimaksudkan oleh Cui
Giok ‘orang’ itu adalah Cui Giok sendiri.
Nona itu tertawa dan memandang kepada Gwat Kong dengan mata berseri dan gembira.
“Sayangnya kau pemalu dan berpura-pura ....... alim!”
“Haaa .....?” Gwat Kong memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi Cui Giok hanya
tertawa geli lalu berlari cepat sehingga Gwat Kong harus mengerahkan tenaga untuk
menyusulnya.
Beberapa hari kemudian mereka tiba di pinggiran sungai Yung-ting di propinsi Hope.
“Gwat Kong, aku sudah bosan melakukan perjalanan melalui darat. Marilah kita melanjutkan
melalui sungai Yung-ting ini. Aku mendengar kabar bahwa pemandangan di kanan kiri sungai
ini amat indahnya, pula dengan membonceng kepada aliran air, kita menghemat tenaga kaki.”
“Kau pemalas!” Gwat Kong menggoda.
Akan tetapi ia tidak membantah dan keduanya lalu menyewa sebuah perahu kepunyaan
seorang nelayan tua yang berjenggot panjang. Perahu itu kecil saja akan tetapi masih baik dan
kuat. Di sini terdapat sebuah payon dari bilik yang kecil akan tetapi cukup untuk digunakan
sebagai pelindung serangan hujan atau angin. Tiang layarnya dari kayu kasar dan kuat,
dipasang di tengah-tengah perahu.
“Ji-wi jangan kuatir, perahuku ini cukup dan baik, tidak bocor sedikitpun juga seperti mulut
seorang budiman.”
Gwat Kong tersenyum dan sambil memandang air sungai Yung-ting yang sedang pasang, ia
bertanya,
“Apakah tidak berbahaya, lopek? Aku harus akui bahwa aku tak pandai berenang,
sungguhpun kawanku ini seorang ahli berenang yang pandai.” Sambil berkata demikian, ia
mengerling kepada Cui Giok yang tertawa geli karena kata-kata ini mengingatkan ia akan
peristiwa ketika ia berjumpa untuk pertama kalinya dengan Gwat Kong.
“Sama sekali tidak berbahaya. Bahkan kalau air sedang pasang seperti ini, lebih mudah untuk
berlayar. Tidak takut akan bahayanya batu karang yang menghalang di bawah permukaan
air.”
“Apakah tidak ada bajak sungai?” tanya Cui Giok.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 225
Kakek nelayan itu mengerutkan alisnya. “Tak berani aku mengatakan tidak ada. Biasanya sih
aman saja. Hanya kadang-kadang di dekat Kiang-sui suka timbul gangguan bajak sungai.
Akan tetapi setelah Kepala daerah Kiang-sui mengadakan pembersihan, kabarnya banyak
bajak sungai tak berani mengganggu lagi.”
Gwat Kong melompat ke atas ketika mendengar ini. “Apa sungai ini mengalir sampai ke
Kiang-sui?”
“Tidak memasuki kotanya, kongcu. Hanya mengalir di sebelah selatan kota itu. Kira-kira lima
li jauhnya dari batas kota.”
“Bagus!” kata Gwat Kong dengan girang. “Kalau begitu kita dapat berhenti sebentar karena
aku akan mengunjungi Kiang-sui.”
Cui Giok cemberut. “Hmm, kau tentu mencari Tin Eng di rumah ayahnya.”
Gwat Kong tersenyum. “Tidak, Cui Giok, Tin Eng tidak akan ada di rumahnya, karena aku
tahu betul gadis itu takkan mau pulang ke rumah orang tuanya. Aku hanya ingin melihat kota
di mana aku telah tinggal bertahun-tahun di situ, karena bukankah kita kebetulan melalui kota
itu?”
Pada saat kedua orang muda itu hendak naik ke dalam perahu itu, tiba-tiba terdengar derap
kaki kuda dan muncullah lima orang penunggang kuda. Dua di antara mereka adalah Lui Siok
si Ular Belang dan Song Bu Cu, dua orang pemimpin perkumpulan Hek-i-pang. Tiga yang
lain adalah tiga orang anak buah mereka di kota Tong-kwan, pusat perkumpulan itu.
Song Bu Cu dan Lui Siok belum pernah bertemu Gwat Kong, maka mereka hanya melirik
saja dan hendak melarikan kuda mereka melewati tempat itu. Akan tetapi seorang di antara
anak buah mereka pernah melihat Gwat Kong ketika pemuda ini menangkap Touw Cit dan
Touw Tek, pemeras kota Hun-lam dan anak buah Hek-i-pang, maka ia menahan kendali
kudanya dan berseru,
“Kang-lam Ciu-hiap!”
Mendengar disebutnya nama ini, Song Bu Cu dan Lui Siok terkejut dan segera menahan kuda
mereka.
“Mana jahanam itu?” tanya Lui Siok kepada anak buahnya yang berseru tadi. Orang itu lalu
menudingkan jarinya ke arah Gwat Kong dan berkata,
“Itulah dia orangnya, Kang-lam Ciu-hiap yang telah mengacau di Hun-lam!”
Song Bu Cu dan Lui Siok memandang dan ketika melihat bahwa yang bernama Kang-lam
Ciu-hiap seorang pemuda yang nampaknya lemah dan kawan pemuda itupun hanya seorang
dara muda yang cantik. Maka mereka lalu melompat turun dari kuda dan menghampiri perahu
itu dengan lagak sombong.
“Cui Giok,” kata Gwat Kong melihat sikap kedua orang itu. “Kita bertemu dengan orangorang
jahat. Mereka tentu akan mencari perkara.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 226
“Bagus!” kata Cui Giok tersenyum girang. “Mereka akan menyesal hari ini selama hidupnya.”
Bab 25 ...
SEMENTARA itu, nelayan tua ketika mendengar ucapan-ucapan ini dan melihat sikap Song
Bu Cu dan Lui Siok yang galak mengancam menjadi ketakutan. Ia berjongkok di dalam
perahunya dengan tubuh menggigil dan mulutnya tiada hentinya menyebut nama Budha
sambil memohon,
“Omi-tohud! Lindungilah hamba ........”
Dengan sikap tenang sekali Gwat Kong dan Cui Giok lalu keluar dari perahu dan berjalan
maju menyambut kedatangan kedua orang itu. Setelah mereka berhadapan, Lui Siok
menudingkan telunjuknya ke arah muka Gwat Kong dan membentak,
“Bangsat kecil, apakah kau yang bernama Gwat Kong dan yang menyombongkan diri sebagai
Kang-lam Ciu-hiap?”
“Bangsat besar!” Gwat Kong balas memaki. “Memang cocok sekali watakmu sebagai bangsat
besar, datang-datang memaki orang, seperti orang yang miring otaknya.”
“Kang-lam Ciu-hiap! Dengarlah baik-baik. Aku adalah Lui Siok, wakil ketua dari Hek-i-pang
di Tong-kwan, sedangkan twako ini adalah Song Bu Cu, ketua dari Hek-i-pang. Kau telah
berlaku kurang ajar dan telah menghina Touw Cit dan Touw Tek di Hun-lam. Mereka itu
adalah anggauta-anggauta perkumpulan kami.”
“Pantas, pantas!” Gwat Kong mengangguk-anggukkan kepalanya. “Pantas saja nama Hek-ipang
dibenci semua orang. Tidak tahunya yang menjadi ketua dan wakil ketuanya orangorang
macam ini.”
“Akupun pernah mendengar tentang kebusukan nama Hek-i-pang,” tiba-tiba Cui Giok ikut
bicara. “Karenanya sudah lama aku ingin menegurnya. Sekarang pemimpin-pemimpinnya
datang menyerahkan diri. Sungguh bagus, tidak usah aku mencapekkan diri mencari.”
Bukan main marahnya Song Bu Cu dan Lui Siok mendengar ucapan kedua orang muda ini.
“Perempuan busuk!” Song Bu Cu membentak. “Siapakah kau yang lancang mulut ini?”
Cui Giok tertawa. “Mau tahu aku siapa? Aku adalah malaikat penjaga sungai Yung-ting ini
dan aku telah mendapat pesan dari Hay-liong-ong (Raja naga laut yang menguasai air) agar
supaya aku menangkapmu dan melemparkan kau ke air agar dosa-dosamu dicuci bersih
dengan air sungai ini.”
“Anjing betina!” Song Bu Cu memaki dengan marah yang meluap-luap. Belum pernah ada
orang yang berani menghina sedemikian rupa. Apalagi seorang dara muda seperti Cui Giok.
Maka ia lalu bergerak maju hendak menyerang, akan tetapi ia didahului oleh Lui Siok yang
berkata,
“Twako, biarlah aku yang menangkap domba betina yang pandai berlagak ini. Harap twako
membereskan saja Kang-lam Ciu-hiap!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 227
Memang Lui Siok berwatak licik. Ia telah mendengar dari Gan Bu Gi tentang kelihaian Kanglam
Ciu-hiap, maka biarpun dulu di depan Gan Bu Gi ia bicara sombong, akan tetapi karena
kini Gwat Kong berkawan seorang gadis muda, ia hendak mengambil rsiko sekecil-kecilnya
dengan melawan gadis itu. Melawan Kang-lam Ciu-hiap ada bahayanya menderita kalah.
Akan tetapi menghadapi gadis muda ini tak mungkin akan kalah, demikian pikirnya.
Ia bermaksud membikin malu dara muda yang cantik itu, maka begitu ia menubruk maju, ia
mengeluarkan ilmu silatnya yang lihai, yakni ilmu tangkap yang disebut Siauw-kin-na-jiuhoat,
sebagaimana pernah ia pergunakan ketika ia melawan Tin Eng. Siauw-kin-na-jiu-hoat
ini dilakukan mengandalkan kekuatan jari tangan dan kecepatan gerakan. Setiap tangkapan
atau cengkeraman ditujukan kepada jalan darah sehingga sekali saja tangan atau bagian tubuh
lain dari lawan kena tertangkap, maka amat sukarlah bagi lawan itu untuk dapat melepaskan
diri.
Sambil berseru keras, Lui Siok menyerang ke arah kedua pundak Cui Giok dan ia merasa
bahwa serbuannya ini pasti akan berhasil karena selain ia lakukan dengan amat cepatnya, juga
ia melihat betapa gadis itu masih berdiri dengan bertolak pinggang, sama sekali tidak
memasang kuda-kuda.
Sementara itu, Song Bu Cu juga maju menyerbu Gwat Kong. Ketua dari Hek-i-pang terlalu
percaya kepada kepandaian sendiri dan ia memandang rendah kepada Gwat Kong yang masih
amat muda, maka ia menyerang menggunakan kedua tangannya saja. Melihat betapa pemuda
itu dengan sikap sembarangan berdiri dengan kaki kiri di depan dan dua tangan disilangkan di
dada, ia lalu memajukan kaki kanan dan memukul dengan gerak tipu Pek-wan-hian-tho
(Kerah putih persembahkan buah Tho) dengan maksud untuk menipu. Dan apabila lawannya
mengelak sambil mengundurkan kaki kiri, ia akan menyusul dengan kaki kirinya mengirim
tendangan dibarengi dengan pukulan tangan kanan.
Serangan yang dilakukan oleh Lui Siok dan Song Bu Cu datangnya pada saat yang sama, dan
keduanya telah merasa yakin bahwa serangan pertama itu tentu akan merobohkan lawan.
Akan tetapi, tiga orang anak buah Hek-i-pang dan nelayan tua yang menonton pertempuran
itu, tiba-tiba membelalakkan mata dan memandang dengan penuh keheranan ketika serangan
itu bukan mengakibatkan robohnya Gwat Kong dan Cui Giok, bahkan tiba-tiba terdengar
suara kaget disusul oleh melayangnya tubuh Song Bu Cu dan Lui Siok ke sungai.
“Byur........ byur .......!!” air memercik ke atas ketika dua tubuh ketua Hek-i-pang itu menimpa
air. Song Bu Cu masih untung oleh karena ia terjatuh di air dengan kepala lebih dahulu
sehingga ia dapat meluruskan tubuhnya dan kedua tangannya dipergunakan untuk memasuki
air dengan baik. Akan tetapi Lui Siok terjatuh dengan pantat lebih dulu sehingga ia merasa
pantatnya panas dan pedas.
Gwat Kong dan Cui Giok saling pandang dengan alis terangkat dan ulut tersenyum geli.
Sungguh tak pernah mereka duga bahwa mereka mempunyai maksud dan gerakan yang sama
yakni melemparkan kedua lawan itu ke dalam air. Maka tak tertahan pula keduanya tertawa
bergelak sambil memandang ke arah dua orang lawannya yang sedang berenang ke pinggir.
Song Bu Cu dan Lui Siok menjadi marah sekali. Memang tadi mereka telah sangka dan
terlalu memandang rendah kepada lawan yang muda-muda ini. Ketika tadi Lui Siok
mencengkeram ke arah pundak Cui Giok, gadis itu sama sekali tidak mengelak atau
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 228
menangkis, akan tetapi mengerahkan seluruh tenaga lweekangnya ke arah pundak dan
mengeluarkan ilmu sia-kut-hoat (melepas tulang melemaskan tubuh). Sehingga ketika kedua
tangan Lui Siok mencengkeram pundak gadis itu, si Ular Belang terkejut karena kulit pundak
gadis itu terasa amat licin dan tak dapat ditangkap. Sebelum ia menginsyafi bahwa ia telah
melakukan serangan yang amat berbahaya bagi kedudukannya sendiri, tiba-tiba kedua tangan
Cui Giok telah menangkap leher dan bajunya, lalu melontarkan dengan tenaga lweekang
hebat ke sungai.
Adapun Song Bu Cu ketika menyerang Gwat Kong dengan pukulan Pek-wan-hian-tho sama
sekali tidak mengira bahwa Gwat Kong sudah dapat menduga maksudnya, maka dengan
sengaja pemuda itu melangkahkan kaki kiri ke belakang. Song Bu Cu menjadi girang dan
cepat menyusul dengan tendangan kaki kirinya dan pukulan tangan kirinya. Akan tetapi, tibatiba
Gwat Kong berjongkok meluputkan diri dari pukulan lawan. Adapun kaki kiri Song Bu
Cu menyambar kearahnya. Ia menyambut kaki kiri itu dengan tangkapan tangan kanan dan
sambil ‘meminjam’ tenaga tendangan lawan, ia membetot dan melontarkan tubuh Song Bu Cu
ke dalam air.
Demikianlah, maka dengan amarah yang menyesakkan pernapasan dan dengan pakaian basah
kuyup, Song Bu Cu dan Lui Siok berenang ke pinggir dan melompat ke darat.
Cui Giok menyambut Lui Siok dengan tertawa mengejek, “Nah, baru sekali kau mencuci
dosa, masih belum bersih. Masih kurang lama kau mencuci dosamu.”
Gwat Kong menjadi gembira juga mendengar kejenakaan Cui Giok, maka sambil tersenyumsenyum
yang memanaskan hati, ia berkata kepada Song Bu Cu,
“Pangcu (ketua), orang bilang bahwa air sungai Yung-ting ini rasanya asin seperti air laut,
betulkah itu?”
Song Bu Cu dan Lui Siok menjawab ejekan ini dengan mencabut senjata masing-masing.
Song Bu Cu mengeluarkan sepasang pedangnya, sedangkan Lui Siok melepaskan sabuk ular
belang yang tadi melibat di pinggangnya,
Gwat Kong dan Cui Giok maklum bahwa kedua orang lawan ini betapapun juga tak boleh di
pandang ringan dengan senjata-senjata mereka, maka kedua orang muda itupun lalu mencabut
pedang masing-masing. Gwat Kong mengeluarkan Sin-eng-kiam yang bercahaya gemilang
sedangkan Cui Giok juga mengeluarkan sepasang pedangnya yakni Im-yang Siang-kiam.
Berbareng dengan bentakan-bentakan mereka, Song Bu Cu menyerang Gwat Kong sedangkan
Lui Siok menyerang Cui Giok. Pertempuran yang amat seru terjadi di pinggir sungai itu.
Benar-benar hebat dan menarik, karena Gwat Kong yang berpedang tunggal menghadapi
sepasang pedang Song Bu Cu. Sedangkan sabuk ular belang di tangan Lui Siok yang lihai
bertemu dengan sepasang pedang pula di tangan Cui Giok.
Lui Siok adalah seorang murid tertua Kim-san-pai. Maka ilmu silatnya sudah cukup tinggi.
Dibandingkan dengan sutenya, yakni Gan Bu Gi, kepandaiannya masih lebih tinggi dan
ditambah pula dengan pengalaman bertempur berpuluh tahun, maka ia benar-benar tangguh
dan merupakan lawan berat.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 229
Juga Song Bu Cu lebih lihai lagi. Sepasang pedangnya berputar-putar cepat bagaikan
sepasang naga berebut mustika dan sebagai seorang ahli lweekeh yang memiliki ilmu
lweekang amat tinggi, maka gerakan sepasang pedangnya itu mengeluarkan angin dingin
yang mengerikan.
Akan tetapi kini kedua orang pemimpin Hek-i-pang itu benar-benar menjumpai batu karang.
Betapapun lihainya Song Bu Cu, kini menghadapi Sin-eng Kiam-hoat yang dimainkan oleh
Gwat Kong, ia seakan-akan bertemu dengan gurunya. Pedang tunggal Gwat Kong bergerak
lebih cepat dan tiap gerakannya merupakan tangkisan dan serangan balasan yang berbahaya
sekali sehingga dalam beberapa belas jurus Song Bu Cu telah terdesak mundur dan sepasang
pedangnya tertindih, membuat ia sukar sekali mengirim serangan balasan.
Apalagi Lui Siok. Orang ini setelah bertempur belasan jurus, diam-diam mengeluh dan
memaki kepada dirinya sendiri yang dianggapnya goblok dan buta sehingga tadi memilih
gadis ini untuk menjadi lawannya. Biarpun ia belum pernah bertempur melawan Gwat Kong,
akan tetapi menghadapi kelihaian gadis ini, ia berani bersumpah untuk menyatakan bahwa
kepandaian Gwat Kong tak mungkin dapat setinggi gadis ini.
Sebentar saja gerakan sabuknya menjadi kalut sekali. Sepasang pedang dari Cui Giok yang
bergerak dengan tenaga lemas dan keras berganti-ganti membuat Lui Siok menjadi pening
kepala dan pandangan matanya menjadi kabur berkunang.
Cui Giok memang seorang dara yang jenaka sekali dan ia paling suka mempermainkan orang.
Apalagi kalau orang itu seorang penjahat yang dibencinya. Bagaikan seekor kucing betina
menangkap tikus, ia tidak mau menamatkan riwayat tikus itu demikian saja tanpa
dipermainkan terlebih dahulu.
Kalau ia mau, sudah semenjak gebrakan pertama ia dapat membabat putus sabuk lawannya,
atau bahkan melukai tubuh Lui Siok. Akan tetapi ia tidak melakukan hal ini dan sengaja
menanti sampai Gwat Kong mengalahkan lawannya lebih dulu. Maka ujung pedangnya hanya
‘mampir’ saja dipakaian lawannya sehingga baju Lui Siok sudah bolong-bolong dimakan
ujung pedang. Bahkan kulit tubuhnya di beberapa bagian juga terbawa hingga mengeluarkan
darah dan terasa perih sekali.
Di lain pihak, Gwat Kong tidak mau mempermainkan Song Bu Cu sebagaimana yang
dilakukan oleh Cui Giok. Pemuda ini mainkan pedangnya dengan hebat dan mendesak terus
sambil mengirim serangan-serangan yang berbahaya. Sungguhpun ia tidak mau melakukan
serangan yang mematikan atau membahayakan keselamatan lawannya.
Ia hanya ingin merobohkan lawannya dengan luka seringan mungkin. Beberapa kali ia
berusaha membuat kedua pedang lawan terlepas. Akan tetapi ternyata bahwa usaha ini
amatlah sukar. Oleh karena itu Gwat Kong menjadi penasaran sekali. Ia maklum bahwa
berkat keuletan lawannya, maka amat sukarlah baginya untuk dapat merobohkan lawan ini
tanpa mengirim serangan hebat yang dapat mengakibatkan luka berat atau kebinasaan. Maka
setelah berpikir agak lama, Gwat Kong lalu mencabut sulingnya yang disimpan pada buntalan
pakaian yang diikat di punggungnya. Kemudian dengan suling di tangan kiri dan pedang di
tangan kanan, ia mendesak lagi.
Bukan main terkejutnya hati Song Bu Cu melihat gerakan suling ini, karena tidak saja hebat
dan lihai, bahkan lebih berbahaya agaknya dari pada pedang pemuda itu. Ia tidak tahu bahwa
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 230
Gwat Kong mainkan sulingnya dengan ilmu tongkat Sin-hong Tung-hoat, ilmu silat tingkat
tinggi yang dipelajari dari Bok Kwi Sianjin. Dengan suling dan pedang ditangannya, maka
sekali gus pemuda itu telah mainkan Sin-eng Kiam-hoat dan Sin-hong Tung-hoat.
Sudah tentu Song Bu Cu tidak kuat menghadapi dua ilmu silat yang telah menggemparkan
daerah barat dan timur ini. Maka mukanya menjadi pucat dan sepasang pedangnya tak
berdaya sama sekali. Pada saat yang tepat, suling di tangan kiri Gwat Kong bergerak
menyerang dengan totokan jalan darah di bagian pundak dan pedangnya berkelebat
mengancam pergelangan tangan lawan.
Song Bu Cu menjadi bingung oleh karena gerakan kedua senjata lawannya itu benar-benar tak
dapat diduga semula, maka ia terpaksa harus miringkan tubuh ke kiri untuk menghindarkan
totokan suling dan menggerakkan siang-kiamnya untuk menangkis sambaran pedang. Akan
tetapi pada saat itu ketika kedudukan tubuhnya masih buruk dan lemah, tiba-tiba kaki kanan
Gwat Kong menyambar dibarengi dengan ketokan sulingnya pada pergelangan tangan kanan
lawannya.
Song Bu Cu memekik nyaring dan untuk kedua kalinya, tubuhnya yang tinggi itu terlempar ke
tengah sungai.
Cui Giok gelak terbahak melihat hal ini, maka sambil tertawa-tawa ia lalu mempercepat
gerakan pedangnya yang menyambar-nyambar dan mengancam ulu hati dan leher lawan
bertubi-tubi. Lui Siok merasa bingung dan gelisah sekali, terutama karena ia melihat Song Bu
Cu telah dikalahkan, maka sambil menangkis ia main mundur saja tanpa dapat membalas
serangan Cui Giok.
“Hayo mundur! Terus sampai ke sungai. Kau harus mandi sekali lagi!” Sambil berkata
demikian, pedangnya berkelebat menghadang jalan keluar bagi Lui Siok, sehingga si Ular
Belang ini hanya mempunyai sejurus jalan, yakni di belakangnya di mana membentang sungai
Yung-ting. Makin cepat Cui Giok berjalan dan mendesak, makin cepat pula ia mundur
sehingga akhirnya ia sampai di pinggir sungai itu.
“Hayo, lekas lompat ke air! Kau harus mandi lagi seperti kawanmu!”
Karena pedang Cui Giok menyambar-nyambar dengan hebatnya, terpaksa Lui Siok melompat
ke belakang dan “byuuur..!” untuk kedua kalinya iapun dipaksa minum air sungai.
Bukan main hebatnya hinaan yang diderita oleh kedua orang pemimpin Hek-i-pang itu.
Mereka adalah jago-jago silat yang terkenal dan ditakuti, dan banyak orang kang-ouw
menganggap mereka sebagai ahli-ahli silat berkepandaian tinggi. Siapa nyana bahwa pada
hari ini mereka bertemu dengan dua orang muda yang mempermainkan mereka semaunya,
seakan-akan mereka adalah dua ekor tikus kecil berhadapan dengan dua kucing besar.
Lebih-lebih Song Bu Cu. Pangcu ini telah membuat nama besar dan belum pernah ia
dikalahkan orang dengan mudah. Kini setelah dipaksa untuk berenang melawan air sungai
oleh seorang pemuda yang baru saja muncul di dunia kang-ouw, ia merasa gemas dan marah,
sedih, malu dan penasaran sehingga ketika tubuhnya telah timbul dipermukaan air lagi, ia
memekik keras dan pingsan.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 231
Tubuhnya hanyut dibawa air dan baiknya pada saat itu tubuh Lui Siok yang melompat ke air
jatuh menimpa badannya yang mulai hanyut. Lui Siok tadinya merasa terkejut sekali dan
mengira bahwa yang ditimpa oleh tubuhnya adalah seekor buaya atau ikan besar. Akan tetapi
ketika melihat bahwa yang disangka ikan itu bukan lain adalah Song Bu Cu, ia segera
menolongnya dan membawanya ke pinggir.
Ia dan Song Bu Cu lalu ditolong oleh tiga orang anak buahnya dan ketika Lui Siok
memandang ke arah kedua orang muda lawannya, ternyata Cui Giok dan Gwat Kong telah
naik ke atas perahu dan menyuruh nelayan tua itu mendayung perahu ke tengah. Sepasang
anak muda itu berdiri di kepala perahu sambil tersenyum memandangnya. Lui Siok tak dapat
berkata sesuatu hanya mendelikkan mata memandang penuh kebencian dan sakit hati.
Pengalaman dan pertempuran melawan dua orang pemimpin Hek-i-pang itu membuat
pergaulan antara Gwat Kong dan Cui Giok makin erat. Sambil menikmati pemandangan yang
sungguh indah di sepanjang sungai tiada hentinya mereka membicarakan kedua orang itu
sambil tertawa-tawa gembira. Yang lebih gembira lagi adalah tukang perahu yang tua itu.
Tiada habisnya ia memuji dan matanya yang sudah tua itu berseri-seri.
“Seumur hidupku belum pernah aku menyaksikan dua orang muda yang sehebat dan segagah
kalian!” katanya sambil mendayung. “Kalian merupakan pasangan yang paling cocok dan
hebat yang pernah kujumpai, sama gagah, sama elok, pendeknya .... hebat! Anak kalian kelak
tentu seorang yang luar biasa dan ....”
“Hush ....” Lopek jangan bicara sembarangan! Kami bukan suami isteri, juga bukan
tunangan!”
Nelayan itu melongo dan memandang dengan heran. Jelas bahwa ia merasa amat kecewa.
Adapun Cui Giok ketika mendengar ucapan kakek nelayan itu, merahlah wajahnya sampai ke
telinganya. Semenjak saat itu, apabila mata mereka bertemu, Gwat Kong melihat cahaya
gemilang yang aneh di dalam manik mata gadis itu, sinar yang sebelumnya tak terlihat
olehnya.
Dan kalau dulu Cui Giok memandangnya dengan berani dan terbuka, kini gadis itu tidak
berani menentang pandang matanya terlalu lama. Aneh, pikirnya. Akan tetapi sama sekali ia
tidak dapat menduga apakah sebenarnya yang terdapat dibalik sinar mata itu.
Benar sebagaimana keterangan nelayan tua itu, perjalanan melalui air sungai Yung-ting itu
aman dan mnyenangkan. Tidak terdapat gangguan bajak sungai dan mereka kadang-kadang
hanya bertemu dengan perahu-perahu nelayan yang menjala ikan. Akan tetapi ketika telah
memasuki daerah Kiang-sui yang banyak terdapat hutan-hutan lebat, muncullah bajak sungai
yang pernah dituturkan oleh nelayan tua itu kepada mereka.
Perahu mereka sedang berlayar dengan tenang melalui sebuah hutan dan pada sebuah
tikungan yang tajam, ketika perahu mereka baru saja membelok, tiba-tiba mereka berhadapan
dengan lima buah perahu besar penuh dengan bajak-bajak sungai.
“Celaka!” nelayan tua yang mengemudikan perahu kecil itu berseru dengan wajah pucat.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 232
“Minggirkan perahu ke darat!” kata Gwat Kong yang duduk bersama Cui Giok. Kedua anak
muda ini masih tenang saja, bahkan ketika saling pandang, senyum gembira membayang di
bibir mereka.
Perahu-perahu bajak itu ketika melihat calon korbannya mendayung perahu ke pinggir, segera
meminggirkan perahu pula dan terdengar seruan-seruan mereka diselingi suara ketawa.
Mereka merasa gembira melihat betapa korban-korban mereka itu seperti hendak melarikan
diri ke darat. Akan tetapi, alangkah heran mereka ketika melihat sepasang orang muda yang
berada di perahu kecil itu setelah melompat ke darat. Bukannya mereka melarikan diri
sebagaimana mereka sangka, akan tetapi bahkan berdiri di pantai menanti mereka dengan
sikap menantang.
Kepala bajak ini adalah seorang bermuka hitam bertubuh kurus tinggi. Ia bernama Oey Bong
dan telah bertahun-tahun ia hidup sebagai kepala bajak yang ditakuti orang. Tadinya ia
bersama anak buahnya berpangkal di sungai Yung-ting dekat kota Kiang-sui. Akan tetapi
belakangan ini setelah Kepala daerah Kiang-sui, yakni Liok-taijin, mengerahkan tentara di
bawah pimpinan Gan Bu Gi yang pandai untuk menggempurnya, sehingga pasukan bajak itu
menjadi kocar-kacir. Terpaksa ia melarikan diri dan kini melakukan pencegatan dan
pembajakan di dalam hutan itu.
Melihat betapa sepasang muda-mudi yang hendak dirampok itu mendarat, Oey Bong lalu
mengerahkan anak buahnya untuk mengejar dan iapun terheran-heran ketika melihat sepasang
orang muda itu tidak melarikan diri. Maka ia menduga bahwa kedua orang muda itu tentulah
memiliki kepandaian.
Setelah perahunya berada dekat dengan daratan, ia lalu berseru keras dan tubuhnya melompat
ke darat dengan gesit. Beberapa orang pembantunya yang juga pandai ilmu silat, lalu
melompat pula ke darat dan sebentar saja Gwat Kong dan Cui Giok yang masih tersenyumsenyum
itu telah dikurung oleh belasan orang yang dipimpin oleh pemimpin bajak. Para
anggauta bajak hanya berdiri mengurung agak jauh sambil bersorak-sorak. Sementara itu,
kakek nelayan yang mengantar Gwat Kong, duduk mendekam di dalam perahunya dengan
tubuh menggigil ketakutan.
“Kalian ini orang-orang kasar menghadang perahu kami, mempunyai maksud apa?” tanya
Gwat Kong kepada si muka hitam Oey Bong.
Oey Bong tertawa geli dan kawannyapun tertawa bergelak mendengar pertanyaan ini.
“Orang muda,” kata Oey Bong. “Kami adalah orang baik-baik dan kami takkan
mengganggumu, asal saja kautinggalkan semua barang-barangmu, berikut isterimu yang
cantik jelita ini!” Dengan jari telunjuknya yang panjang, kepala bajak ini menunjuk ke arah
Cui Giok.
Merahlah wajah Cui Giok mendengar ini. Telah dua kali orang menyangka ia dan Gwat Kong
sebagai suami isteri. Akan tetapi, kalau persangkaan nelayan tua membuat ia malu dan hanya
diam-diam berdebar girang, adalah sangkaan kepala bajak yang amat kasar dan menghina ini
membuat ia jadi marah sekali.
“Anjing bermuka hitam!” ia memaki sambil menuding ke arah muka Oey Bong. “Apa sih
yang kau andalkan maka anjing buduk macam kau ini berani menjadi kepala bajak sungai?”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 233
“Ha ha ha!” Oey Bong yang dimaki itu tertawa bergelak. “Sungguh galak, makin galak makin
manis! Kau cocok sekali untuk menjadi permaisuriku. Ha ha!
“Kurang ajar!” seru Gwat Kong sambil mencabut pedangnya. Hatinya panas dan marah sekali
melihat kekurang ajaran bajak itu. Akan tetapi Cui Giok berseru menahannya,
“Jangan Gwat Kong! Biar aku yang memberi hajaran kepada anjing buduk ini. Kalau dia
belum melepaskan dua buah telinganya, aku tak mau ampunkan dia!” Cui Giok mencabut
sepasang pedangnya.
Gwat Kong tersenyum. “Ah, dasar kau yang sudah bernasib harus kehilangan telinga! Jagalah
baik-baik daun telingamu, muka hitam!” Sambil berkata demikian, Gwat Kong
menggenjotkan kedua kakinya dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas dan ketika para
penjahat dengan terkejut memandang ke atas, ternyata pemuda itu telah duduk di atas sebuah
cabang pohon yang tinggi.
Mereka merasa kaget sekali karena gerakan itu saja sudah cukup membuka mata mereka
bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada mereka. Akan
tetapi telah terlanjur dan karena pemuda yang lihai itu tidak ikut menghadapi mereka, maka
Oey Bong lalu mencabut goloknya dan mendahului menyerang Cui Giok.
Ia maklum bahwa pemuda itu amat lihai, maka lenyaplah keinginannya mengganggu Cui
Giok. Ia hendak merobohkan gadis itu terlebih dahulu sebelum pemuda itu turun tangan.
Kemudian kalau pemuda itu terlalu lihai baginya, ia akan mengeroyok dengan semua anak
buahnya. Cepat sekali ia mencabut golok dan menyerang Cui Giok dengan sebuah sabetan ke
arah pinggang. Inilah tipu gerakan Hon-cui-pai-hio (Angin Meniup Daun Tua) yang
dilakukan cukup gesit dan kuat.
Akan tetapi dengan tertawa mengejek, pedang di tangan Cui Giok melakukan gerakan
berbareng. Pedang kiri menangkis sambaran golok sedangkan pedang di tangan kanan
menghantam ke arah pergelangan tangan lawan. Oey Bong terkejut bukan main dan cepat
menarik kembali goloknya untuk menghindarkan tangannya terbabat putus. Akan tetapi
percuma saja ia mencoba menghindarkan diri. Oleh karena ujung pedang Cui Giok bagaikan
hidup dan bermata. terus mengikuti pergelangan tangannya dengan kecepatan yang
menyilaukan mata, maka Oey Bong menjadi makin gelisah.
“Lepaskan golok!” Cui Giok membentak dan Oey Bong merasa betapa pergelangan
tangannya menjadi perih sekali karena telah tertempel oleh mata pedang yang tajam. Ia tak
dapat berbuat lain dan terpaksa melepaskan goloknya. Dalam kegugupannya, ia berteriak
memberi komando kepada kawan-kawannya.
“Serbu!”
Setelah berteriak, kepala bajak yang licik ini lalu melompat mundur hendak lari.
Kawan-kawannya yang semenjak tadi telah berdiri dengan senjata di tangan, segera maju
menyerbu, mengeroyok Cui Giok. Akan tetapi gadis itu berseru keras dan begitu tubuhnya
berkelebat, maka terdengarlah seruan kaget dan pedang atau golok di tangan para bajak itu
beterbangan ke atas, ada yang patah, ada yang mencelat berikut jari-jari tangan yang terbabat
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 234
putus. Jerit dan pekik terdengar dan keadaan menjadi amat gaduh. Oey Bong masih mencoba
untuk melarikan diri, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring di belakangnya,
“Anjing muka hitam! Tinggalkan dulu dua telingamu!” Sebelum ia dapat mengelak, tiba-tiba
kedua telinganya mendengar sambaran angin yang luar biasa dan tiba-tiba ia merasa
kepalanya menjadi sakit dan perih di kanan kiri. Ketika ia menggunakan kedua tangan untuk
meraba ia menjerit keras karena daun telinga di kanan kiri kepalanya benar-benar telah
lenyap. Oey Bong berhenti berlari dan membalikkan tubuh. Ia melihat gadis yang luar biasa
itu telah berdiri dengan tertawa bergelak sedangkan daun telinganya telah putus dan kini
berada di depan kakinya.
Melihat ini, makin sakitlah rasanya kepala yang luka itu. Maka tanpa dapat dicegah lagi, ia
lalu menjatuhkan diri berjongkok dan mengaduh-aduh seperti seekor anjing kena gebuk.
“Nah, siapa lagi yang sudah bosan mempunyai daun telinga?” seru Cui Giok sambil
memalangkan pedangnya di depan dada.
Para pemimpin bajak telah merasai kelihaian nona itu karena tadi ketika mereka menyerbu,
dalam segebrakan saja gadis itu telah berhasil merampas senjata dan melukai beberapa orang,
maka kini tak seorang pun berani bergerak. Juga anak buah bajak yang tadinya bersoraksorak,
kini berdiri bagaikan patung, sama sekali tak berani bersuara maupun bergerak.
Nelayan tua yang tadinya ketakutan, dengan memberanikan hati ia merangkak ke pinggir dan
menyaksikan pertempuran itu. Kini ia menjadi lega dan girang bukan kepalang, maka ia lalu
bangun berdiri dan dengan dada terangkat tinggi-tinggi dan kaki melangkah tetap, ia
menghampiri kepala bajak dan kawan-kawannya. Sambil bertolak pinggang ia lalu berkata
dengan suara keras,
“Nah, biarlah kali ini kalian mendapat pelajaran dan kapok. Kalian telah banyak mengganggu
orang, banyak membunuh nyawa orang-orang tak berdosa. Kalau sekarang mendapat
hukuman sebesar ini boleh dikatakan masih ringan dan terlalu murah. Jangan anggap bahwa
di kolong langit ini tidak ada orang yang gagah seperti siocia dan kongcu ini. Tadi baru siocia
sendiri yang turun tangan, kalau kongcu ikut marah, mungkin kepala kalian ini semua telah
putus. Tidak berlutut minta ampun sekarang, mau tunggu kapan lagi?”
Bentakannya terakhir ini amat berpengaruh karena tiba-tiba semua anggauta bajak itu lalu
menjatuhkan diri berlutut dan minta ampun. Bukan main senangnya hati kakek itu. Belum
pernah ia mengalami hal seperti itu dan karena para bajak itu berlutut di depannya, maka ia
merasa seakan-akan menjadi seorang raja. Ia lalu berkata lagi dengan suara gagah,
“Mulai sekarang jangan kalian berani sekali lagi mengganggu lalu lintas di sungai Yung-ting
ini. Ketahuilah aku adalah kawan baik sepasang pendekar ini. Aku tukang perahunya dan
kalau kalian mengganggu perahuku dan perahu kawan-kawanku. Tentu kedua pendekar gagah
ini akan datang untuk menghukum kalian.
Kemudian ia berkata kepada Cui Giok dan Gwat Kong,
“Jiwi yang mulia, marilah kita melanjutkan perjalanan kita!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 235
Melihat sikap nelayan tua ini, Cui Giok dan Gwat Kong tertawa geli dan merasa lucu sekali.
Akan tetapi mereka menganggap bahwa sikap nelayan tua itu bukan tak ada artinya bagi
keselamatan para nelayan. Maka Gwat Kong hendak memperkuat ucapan nelayan tadi. Ia
melompat turun bagaikan seekor burung garuda, kemudian menghampiri sebatang pohon
yang besarnya sepelukan lengan.
“Ucapan lopek ini harus kalian perhatikan dan taati, karena kami tidak mengancam kosong
belaka. Kalau kalian melanggar, inilah contohnya!” Dengan tangan kanannya, Gwat Kong
lalu memukul batang pohon itu dengan tangan dimiringkan sambil mengerahkan ilmu
keraskan tangan Cin-kong Pek-ko-jiu.
“Kraaak!” batang pohon itu terpukul patah dan dengan mengeluarkan suara keras pohon itu
tumbang.
Para bajak melihat ini dengan muka pucat dan mata terbelalak. Batang pohon yang besar dan
kuat itu sekali pukul saja patah, apalagi tubuh atau leher mereka. Maka mereka kembali
mengangguk-anggukan kepala bagaikan ayam mematuk beras dan mulut mereka tiada
hentinya minta ampun sambil berjanji akan mentaati larangan mengganggu sungai Yung-ting.
Gwat Kong, Cui Giok dan nelayan tua itu lalu berjalan kembali ke perahu mereka. Nelayan
tua itu berjalan dengan lenggang dibuat-buat, kepala dikedikkan dan dadanya yang kurus
ditonjolkan dengan perasaan seakan-akan dialah yang menjadi pendekar gagah dan
mengalahkan semua bajak kejam itu.
Pelayaran itu dilanjutkan dengan penuh kegembiraan. Makin lama, hubungan antara kedua
orang muda itu makin erat dan ternyata mereka saling cocok. Terutama sekali Cui Giok. Nona
ini tidak saja merasa kagum melihat Gwat Kong akan tetapi juga api asmara telah membakar
dan berkobar-kobar di dalam dadanya. Kalau dahulu dengan pedang ia sukar dirobohkan oleh
Gwat Kong, sekarang ia roboh betul-betul dan merasa bahwa tanpa Gwat Kong di dekatnya,
hidup akan sunyi tak berarti baginya.
Oleh karena itu semenjak gangguan bajak-bajak sungai, mereka tidak mendapat gangguan
lain, maka pelayaran berjalan lancar dan cepat. Apabila malam tiba, mereka berhenti di
pinggir sungai, membuat api unggun dan tidur di bawah pohon. Kadang-kadang Cui Giok
tidur di dalam perahu.
Bab 26 .....
NELAYAN tua itu membawa bekal beras dan dialah yang masak nasi dan memanggang ikan
yang mereka dapat memancing di sungai. Kadang-kadang Gwat Kong atau Cui Giok pergi ke
hutan dekat sungai untuk mencari binatang hutan seperti kijang, kelinci, ayam hutan dan lainlain
untuk dimakan dagingnya bersama nasi. Memang enak sekali makan di tempat-tempat
terbuka, dekat api unggun itu!”
“Nah, untuk mencari kota Kiang-sui, dari sinilah yang paling dekat.” Ia menunjuk ke arah
bukit di dekat pantai. “Dengan mengambil jalan mengitari bukit di depan itu, lalu membelok
ke kanan, maka paling jauh enam atau tujuh li, kongcu akan tiba di Kiang-sui.”
Gwat Kong memandang kepada Cui Giok dan aneh sekali, kembali gadis itu nampak muram
dan cemberut.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 236
“Cui Giok, apakah kau mau ikut ke Kiang-sui?” tanyanya manis.
Dara itu menggelengkan kepala. “Pergilah, biar aku menanti di sini saja!”
“Apakah kau tidak merasa kesal menanti seorang diri di sini? Tempat begini sunyi, jauh dari
perkampungan,” kata Gwat Kong sambil memandang ke sekeliling. Memang di situ sunyi,
yang nampak hanyalah pohon dan bukit-bukit.
Di dalam hatinya Cui Giok maklum bahwa ia tentu saja akan merasa kesal, akan tetapi
mulutnya berkata, “Mengapa kesal? Di sini ada lopek dan aku bisa memancing ikan!”
Tetap saja Gwat Kong merasa tidak puas dan tidak enak hati untuk meninggalkan Cui Giok,
maka ia membujuk lagi,
“Apakah tidak lebih baik kau ikut saja, Cui Giok? Kau bisa melihat-lihat keindahan kota,
mungkin ada barang-barang yang kau sukai, kau dapat berbelanja dan .....”
“Sudahlah,” Cui Giok memotong. “Kau pergilah sendiri karena kau mempunyai kepentingan
di sana.
“Kau mempunyai sahabat-sahabat baik di sana. Aku tidak mempunyai kenalan, untuk apa aku
harus pergi ke sana pula? Aku akan menunggu di sini saja!”
“Siocia berkata benar,” tiba-tiba nelayan tua itu ikut bicara. “Memang sudah menjadi
kelaziman bahwa wanitalah yang selalu harus menanti dengan sabar.”
Gwat Kong dan Cui Giok memandang kepada kakek nelayan itu.
“Eh, lopek apa maksudmu?” tanya Gwat Kong.
Karena sepasang anak muda itu memandangnya dengan mata tajam penuh pertanyaan, kakek
ini menjadi gugup.
“Aku ..... aku teringat akan permainan anak wayang yang kutonton belum lama ini .... katakata
siocia yang hendak menunggu tadi mengingatkan aku akan nyanyian yang diucapkan
oleh pelaku cerita sandiwara itu.” Kakek itu berhenti dan tertegun karena ia telah
mengeluarkan kata-kata yang makin mempersulit kedudukannya.
Bagaimana nyanyiannya? Coba kau jelaskan lopek,” Cui Giok juga mendesak.
“Ah .... eh ...” Ia ragu-ragu, akan tetapi kemudian berdehem untuk menetapkan hatinya, lalu
berkata, “Cerita itu adalah cerita tentang dua orang sahabat baik seperti kongcu dan siocia ini.
Si teruna hendak pergi meninggalkan si dara dan nyanyian dara itu begini,
“Pergilah kanda, pergilah ke kota raja,
Dinda akan menanti dengan setia,
Pergilah dengan hati ringan, kanda!
Seribu tahun dinda akan menanti juga!
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 237
“Ah, lopek! Gwat Kong mencela. “Aku tidak pergi ke kota raja, juga tidak pergi lama.
Bagaimana kau bisa membandingkan kami dengan mereka?”
“Akupun takkan menanti sampai seribu tahun!” Cui Giok mencela.
Kakek itu hanya tertawa dan karena kata-kata nelayan itu membuat menjadi merah muka,
maka Gwat Kong segera melompat ke darat dan setelah berkata, “Aku pergi takkan lama!” Ia
lalu pergi dengan berlari menuju ke bukit itu.
Nelayan tua itu dan Cui Giok memandang sampai bayangan Gwat Kong lenyap di balik bukit.
Nona itu masih berdiri termenung sehingga ia terkejut ketika nelayan itu berkata,
“Dia seorang pemuda yang baik, seorang calon suami yang sukar dicari bandingannya!”
Cui Giok memandang nelayan itu dengan mata tajam. “Lopek, jangan kau bicara sembrono.
Gwat Kong hanya sahabatku belaka. Sahabat yang kebetulan melakukan perjalanan yang
sama.”
Nelayan tua itu menarik napas panjang. “Aku sudah tua siocia. Mataku menjadi tajam karena
pengalaman. Aku berani menyatakan bahwa siocia tertarik kepada pemuda itu. Tak usah
membantah siocia. Aku pernah mempunyai anak perempuan yang juga jatuh hati kepada
seorang pemuda. Akan tetapi oleh karena aku yang bodoh menghalanginya. Akhirnya ia jatuh
sakit dan ... meninggal dunia ....” Kakek itu menjadi berduka dan wajahnya muram.
Tadinya Cui Giok hendak marah, akan tetapi ketika kakek itu berkata tentang anaknya, gadis
ini menjadi tak tega hati.
“Aku tidak begitu bodoh untuk menyinta seorang pemuda yang sudah mempunyai kekasih,
lopek.”
Mendengar ini, kakek itu memandang dengan sinar mata yang demikian lembut dan penuh
iba, sehingga tanpa disadarinya dua butir air mata menitik turun dari mata Cui Giok. Gadis ini
buru-buru membalikkan tubuh, duduk di tepi perahu dan menatap air sungai dengan pikiran
melayang jauh.
****
Gwat Kong berlari cepat mengitari bukit itu dan benar saja, tak lama kemudian nampaklah
tembok kota Kiang-sui di depan matanya. Hatinya berdebar ketika ia melihat kota yang
pernah ditinggalinya sampai beberapa tahun itu dan teringatlah ia kepada Tin Eng. Bagaimana
kalau ia mengunjungi gedung Liok-taijin? Apakah pembesar itu masih marah kepadanya? Ia
teringat pula kepada Gan Bu Gi yang pernah menyerang dan hendak menangkapnya. Ia lalu
turunkan pedang dan menggantungkan sarung pedang Sin-eng-kiam di pinggangnya. Tadi ia
sengaja membawa pedang yang biasanya disimpan dalam bungkusan pakaian ini, untuk
menjaga kalau-kalau terjadi sesuatu. Ia tak perlu menyembunyikan kepandaiannya lagi,
bahkan kalau perlu ia hendak memperlihatkan kepada Liok-taijin bahwa dia bukanlah Gwat
Kong si pelayan yang bodoh dan lemah.
Kota Kiang-sui tidak banyak berubah semenjak ditinggalkan. Keadaannya masih tetap ramai,
bahkan restoran-restoran besar makin banyak dikunjungi orang. Gwat Kong berjalan-jalan
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 238
melihat-lihat kota, bahkan ia berjalan di jalan raya depan gedung Liok-taijin. Akan tetapi pada
saat ia berjalan lewat di depan gedung itu, ia tidak melihat seorangpun di depan gedung. Ia
tidak berani masuk karena apakah yang akan dijadikan alasan untuk memasuki rumah itu?
Bagaimana kalau ia diusir seperti pengemis?
Gwat Kong lalu menuju ke sebuah restoran besar yang dulu hanya dilihat dari luar saja. Ia
maklum bahwa masakan restoran ini amat lezat dan mahal. Ia dahulu hanya dapat merasai
masakan restoran ini apabila Liok-taijin membeli masakan dari situ dan ia mendapatkan
sisanya. Kini ia ingin masuk dan membeli masakan sendiri, ingin duduk di bangku
menghadapi meja di restoran yang besar dan mewah itu.
Restoran besar itu mempunyai tiga ruang dan karena ruang di sebelah kanan dan tengah sudah
padat dengan tamu-tamu, Gwat Kong lalu melangkah memasuki ruangan sebelah kiri. Baru
saja kakinya melangkah ke ambang pintu, ia mendengar ribut-ribut di ruang itu dan ketika ia
memandangnya, alangkah terkejutnya melihat dua orang pemuda yang masih dikenalnya,
yakni Pui Kiat dan Pui Hok kedua orang murid Hoa-san-pai yang pernah bertemu dengannya
dahulu itu duduk menghadapi meja dan sedang dibentak-bentak oleh seorang setengah tua
yang berjenggot runcing.
“Kalian ini bajingan-bajingan kecil sungguh menjemukan sekali!” si jenggot runcing itu
membentak-bentak. “Tidak tahukah kau siapa aku? Apakah kalian mencari mampus? Aku
tahu bahwa kalian selalu mengikuti rombonganku semenjak dari Keng-hoa-bun sampai ke
Kiang-sui. Aku sengaja mendiamkan saja karena menyangka bahwa kalian hanya dua orang
penjahat tangan panjang. Akan tetapi sampai sekarang kalian tidak bergerak, bahkan masih
terus mengintaiku. Sekarang, katakanlah terus terang apakah kehendakmu? Awas, kalau tidak
berkata terus terang, kepalanku akan meremukkan kepalamu berdua seperti ini!” Sambil
berkata demikian, si jenggot runcing itu menggunakan kepalan tangannya ditekukkan dengan
perlahan pada ujung meja di mana kedua saudara Pui itu duduk dan .... hancurlah kayu tebal
itu bagaikan terpukul dengan penggada baja.
Gwat Kong merasa amat terkejut melihat kehebatan tenaga orang itu dan melihat demonstrasi
ini saja ia maklum bahwa kedua murid Hoa-san-pai itu bukanlah lawan orang yang kosen ini.
Maka ia lalu melangkah maju dan pada saat itu melihat seorang lain duduk menghadapi meja
di belakang si jenggot runcing yang sedang marah itu. Orang ini bukan lain adalah Gan Bu Gi
yang berpakaian sebagai panglima besar yang indah dan mentereng. Akan tetapi Gwat Kong
tidak memperdulikan. Gan Bu Gi hanya langsung menghampiri meja. Pui Kiat dan Pui Hok,
sengaja menuju ke depan si jenggot runcing itu dan berdiri membelakanginya.
“He, saudara2 Pui!” tegurnya keras.
Pui Kiat dan Pui Hok masih duduk dengan muka pucat. Mereka tidak mengira sama sekali
bahwa diam-diam Ang Sun Tek yang memimpin pasukan dan menawan Tin Eng itu mengenal
mereka dan tahu bahwa mereka mengikutinya sampai ke Kiang-sui. Karena terkejut, heran
dan gelisah, mereka tadi duduk diam saja bagaikan patung tak tahu harus berbuat apa.
Melihat pukulan Ang Sun Tek pada meja, mereka terkejut dan percaya kepada penuturan Kui
Hwa bahwa Ang Sun Tek memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada mereka. Maka
mereka berdua menjadi gentar juga. Selagi Pui Kiat dan Pui Hok tercengang dan mencari-cari
alasan untuk menjawab, tiba-tiba muncul Gwat Kong di depan mereka.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 239
Untuk beberapa lama mereka tidak mengenal Gwat Kong, akan tetapi Pui Kiat lalu teringat
akan pemuda aneh dan lihai yang pernah menolong mereka ketika mereka terdesak oleh Bong
Bi Sianjin.
“Ah, Bun-taihiap!” katanya girang sekali. Bagaimana pemuda ini selalu muncul pada waktu
mereka terancam bahaya? “Kau dari mana? Silahkan duduk!”
Sementara itu, Ang Sun Tek menjadi marah sekali melihat pemuda yang tidak
memperdulikannya dan bahkan secara sengaja berdiri menghalanginya dan
membelakanginya.
“Minggir kau, bedebah!” katanya sambil menggunakan tangan kanan memegang siku lengan
kiri Gwat Kong.
Angin gerakan Ang Sun Tek ini membuat Gwat Kong maklum bahwa apabila sambungan
sikunya terpegang, ada bahaya sambungan sikunya akan terluka atau terlepas maka dengan
cepat sekali sehingga tidak terlihat oleh kedua saudara Pui yang memandang cemas, ia
menggerakkan sikunya ke atas mengelak pegangan itu sehingga tangan Ang Sun Tek yang
mencengkeram itu tidak mengenai siku akan tetapi mengenai lengan.
Gwat Kong menggeser kakinya dan membalikkan tubuh sambil mengerahkan tenaga dalam
dengan ilmu Pi-ki-hu-hiat (Menutup hawa melindungi jalan darah), sehingga lengan yang
dicengkeram itu tidak terluka bagian dalamnya. Kemudian ia melangkah ke belakang dengan
cepat sambil membetot lengannya itu terlepas dari pegangan Ang Sun Tek.
Ang Sun Tek terkejut bukan main ketika tangannya yang mencengkeram itu merasa betapa
lengan tangan pemuda itu keras dan licin seperti besi, sehingga tenaga cengkeramannya dapat
terpental kembali. Dan tiba-tiba ia merasa betapa lengan tangan itu licin dan lemas bagaikan
belut sehingga dapat terlepas dari cengkeramannya ketika ditarik kembali oleh pemuda itu.
Inilah ilmu Jui-kut-kang atau ilmu melemaskan tulang yang hebat.
“Bagus!” teriaknya marah sekali. “Tidak tahunya kau memiliki sedikit ilmu kepandaian!” Ia
tahu bahwa pemuda ini lihai dan tindakannya tadi sengaja hendak mencari permusuhan untuk
melindungi kedua pemuda yang mengikutinya. Maka ia lalu menggerakkan tangan memegang
goloknya yang selalu tergantung di pinggang sambil membentak, “Barangkali kau sudah
bosan hidup!”
Dari pegangan pada lengannya tadi Gwat Kong dapat menduga bahwa orang berjenggot
runcing ini seorang ahli ilmu silat yang pandai karena biarpun ia berhasil melepaskan
tangannya, akan tetapi ketika ia membetot lengannya tadi, merasa betapa lengannya panas
tanda bahwa ilmu dan tenaga dalam orang ini tidak berada di sebelah bawah tingkatnya
sendiri. Maka iapun meraba gagang pedang Sin-eng-kiam dan berkata,
“Manusia sombong, apa kau kira, kau seorang saja yang mempunyai senjata tajam? Cabutlah
golokmu dan jangan kira bahwa aku takut kepadamu!”
Dua orang jago silat itu berdiri berhadapan dengan tangan memegang gagang senjata masingmasing,
siap untuk mencabutnya dan mata mereka saling pandang dengan tajam, seakan-akan
dua ekor ayam jago berlaga dan hendak bertempur mati-matian.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 240
Pui Kiat dan Pui Hok memandang dengan penuh kekhawatiran. Dua orang murid Hoa-san-pai
ini yang maklum akan kelihaian Ang Sun Tek, merasa gelisah dan takut kalau-kalau Gwat
Kong takkan dapat melawan ketua Liok-te Pat-mo itu maka Pui Kiat lalu bangun berdiri dan
menghampiri Gwat Kong sambil membujuk.
“Bun-taihiap, sudahlah, jangan kau berkelahi karena urusan kami. Mari kita pergi dari sini.
Ada urusan amat penting yang perlu kami sampaikan kepadamu.”
Sementara itu, Gan Bu Gi juga merasa cemas. Ia maklum pula akan kelihaian Gwat Kong dan
kalau sampai Ang Sun Tek kalah, tentu ia akan berada dalam bahaya menghadapi Gwat Kong
yang membencinya, maka ia membujuk Ang Sun Tek,
“Ang-ciangkun, jangan kau meladeni bocah ini!”
Memang Ang Sun Tek masih ragu-ragu untuk mencabut goloknya. Ia adalah seorang ternama
dan sedang menjalankan tugas sebagai seorang perwira kerajaan, maka di tempat umum ini
kalau sampai ia kalah oleh pemuda ini, tidak saja namanya akan jatuh, akan tetapi biar ia
menang sekalipun, namanya takkan menjadi harum karenanya. Melihat kepandaian pemuda
itu ketika melepaskan tangannya dari pegangannya, maka resikonya terlalu besar untuk
melawan pemuda ini yang sama sekali tidak berdasarkan permusuhan sesuatu. Maka iapun
hanya berdiri saja tak mau mencabut goloknya lebih dahulu.
Sementara itu, Gwat Kong ketika mendengar bujukan Pui Kiat, menjadi tertarik hatinya. Ia
tahu bahwa kedua orang ini bukan tanpa sebab berada di Kiang-sui dan tuduhan orang
berjenggot tadi terhadap kedua saudara Pui membuat ia menduga bahwa tentu terjadi sesuatu
yang hebat. Apalagi ia melihat bahwa orang berjenggot itu bersama Gan Bu Gi, maka ia lalu
melepaskan gagang pedangnya dan berpaling kepada Pui Kiat,
“Akupun tidak hendak mencari permusuhan dan perkelahian, asal saja orang tidak
mendahului dan menyerangku.”
Tanpa banyak cakap lagi, Pui Kiat lalu menggandeng tangan Gwat Kong dibawa keluar dari
restoran. Sedangkan Pui Hok lalu membayar harga makanan kepada seorang pelayan yang
semenjak tadi berdiri di sudut dengan muka pucat melihat pertempuran yang hampir saja
terjadi itu.
Setibanya di luar restoran, Pui Kiat dan Pui Hok membawa Gwat Kong ke tempat yang sunyi.
Mereka sudah mendapat tahu tentang keadaan Tin Eng.
Sebagaimana dituturkan di bagian depan, kedua saudara Pui ini mendapat tugas dari Kui Hwa
untuk mengikuti rombongan Ang Sun Tek yang menawan Tin Eng. Mereka merasa lega
ketika melihat bahwa Tin Eng benar-benar dikembalikan ke rumah orang tuanya dan tidak
mendapat gangguan di jalan.
Akan tetapi mereka masih tidak mengerti apakah sebenarnya kehendak Ang Sun Tek dengan
penangkapan atas diri Tin Eng itu dan mengapa pula Ang Sun Tek yang tadinya hendak pergi
ke Hong-san sampai menunda perjalanannya di Kiang-sui. Kemudian mereka melihat betapa
Ang Sun Tek mengadakan pertemuan dengan Gan Bu Gi dan masuk ke dalam restoran untuk
mencuri dengar pembicaraan mereka.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 241
“Saudara Pui, sebenarnya mengapakah kalian berada di kota ini dan mengapa pula orang itu
hendak menyerangmu? Siapakah dia yang kepandaiannya tinggi itu?”
Pui Kiat lalu menuturkan pengalamannya dengan singkat dan menutup penuturannya dengan
menghela napas,
“Bun-taihiap, memang dia bukan orang sembarangan. Dia adalah seorang yang kini menjadi
pembantu istimewa pada perwira-perwira kerajaan. Namanya Ang Sun Tek. Dialah ketua dari
Liok-te Pat-mo, delapan iblis bumi yang amat terkenal itu!”
Terkejutlah Gwat Kong mendengar penuturan Pui Kiat. Sungguhpun nama Ang Sun Tek ini
membuatnya menjadi tercengang. Karena ini tidak disangkanya sama sekali bahwa ia akan
bertemu dengan orang yang sedang dicari-cari oleh Cui Giok. Namun ia lebih terkejut lagi
mendengar bahwa Tin Eng telah ditawan oleh Ang Sun Tek itu dan dengan paksa
dikembalikan ke rumah orang tuanya.
“Saudara Pui berdua, kalau begitu, serahkanlah urusan ini kepadaku. Kalian telah diketahui
bahwa kalian mengikuti rombongan mereka, dan hal ini berbahaya sekali. Aku kenal baik
dengan nona Liok Tin Eng, bahkan sekarang juga aku akan menengoknya. Tentang Ang Sun
Tek itu, memang sudah lama aku hendak mencoba kepandaiannya, bahkan terus terang saja,
aku ingin menghadapi delapan iblis itu sekali gus. Lebih baik sekarang kalian berdua cepat
pergi dari kota ini, menyusul dan membantu sumoimu itu.”
Pui Kiat dan Pui Hok tercengang mendengar ucapan ini, akan tetapi karena merekapun
maklum bahwa keadaan mereka di kota Kiang-sui akan membahayakan keselamatan mereka,
maka mereka menyatakan setuju dan segera meninggalkan Gwat Kong untuk keluar kota dan
pergi menyusul Kui Hwa ke Hong-san.
Gwat Kong tidak mau membuang banyak waktu lagi. Ia maklum akan kesedihan hati Tin Eng
dan ia merasa gemas kepada Ang Sun Tek yang telah menawan dan memaksa Tin Eng
pulang. Kalau saja ia tidak sedang merasa cemas memikirkan keadaan Tin Eng, tentu ia akan
kembali ke restoran itu menemui Ang Sun Tek dan mengajaknya berkelahi! Akan tetapi, ia
perlu sekali mendapatkan Tin Eng dan menengok keadaan gadis pujaan hatinya itu. Kalau
perlu menolongnya keluar dari gedung Liok-taijin.
Mudah saja bagi Gwat Kong untuk memasuki pekarangan belakang dari gedung keluarga
Liok, oleh karena ia memang hafal akan keadaan dan jalan di situ. Ia maklum bahwa kalau ia
mengambil jalan dari pintu depan dan masuk secara berterang, tak mungkin Liok-taijin akan
suka menerimanya. Atau andaikata pembesar itu suka menerimanya juga, sungguh amat tak
mungkin kalau ia diperkenankan bertemu dengan Tin Eng. Oleh karena itu, Gwat Kong
sengaja mengambil jalan belakang dan masuk ke dalam kebun bunga secara sembunyisembunyi
bagaikan maling.
Ia tidak berani mengambil jalan dari atas genteng, oleh karena maklum bahwa di dalam
gedung itu terdapat orang-orang pandai dan juga Liok-taijin sendiri memiliki ketajaman
telinga yang cukup sehingga hal itu akan membuat ia ketahuan orang sebelum dapat bertemu
dengan Tin Eng. Maka ia hanya bersembunyi dan mengintai menanti saat yang baik.
Kebetulan sekali seorang pelayan yang dikenalnya baik, keluar dari pintu belakang. Pelayan
ini adalah seorang wanita tua yang telah ikut keluarga itu semenjak Tin Eng masih kecil,
bahkan ia menjadi bujang pengasuh dari gadis itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 242
“Bibi Song ......!” Gwat Kong memanggil perlahan sambil keluar dari tempat sembunyinya.
Nenek pelayan itu terkejut memandang. Eh, kau itu, Gwat Kong? Aduh, sampai kaget
setengah mati aku! Seperti setan saja kau muncul tiba-tiba.”
“Ssst ....... jangan keras-keras, bibi Song! Kehadiranku di sini tidak dikehendaki orang!”
Nenek itu mengangguk-angguk. “Aku tahu, aku tahu! Kalau kau terlihat oleh taijin, kepalamu
akan digebuk!”
“Bibi yang baik, tolonglah aku. Aku ..... aku ingin bertemu dengan siocia, di manakah dia?”
Nenek itu mainkan matanya. “Hm, ..... kau main api!”
“Bibi tolonglah! Bukankah siocia sedang berduka? Tolonglah beritahu bahwa aku berada di
sini dan ingin berjumpa dengan dia!”
“Bagaimana kau bisa tahu dia berduka?” nenek itu bertanya heran.
“Bibi lekaslah kau beritahukan padanya. Apakah kau ingin ada orang melihat kita bicara di
sini? Kaupun akan mendapat gebukan kalau taijin melihatnya!”
Terkejut dan takutlah bibi Song mendengar hal ini. “Akan tetapi, tak mungkin siocia dapat
keluar. Ia dilarang keras untuk meninggalkan kamarnya!”
“Kalau begitu, beritahulah saja. Aku menanti di sini untuk mendengar jawabannya.”
Nenek itu lalu masuk ke dalam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya yang sudah putih
rambutnya itu.
Memang semenjak Tin Eng ditawan oleh Ang Sun Tek, gadis ini sama sekali tidak berdaya
dan terpaksa menurut saja dibawa pulang ke rumah orang tuanya dengan paksa. Ketika tiba di
rumah, ia disambut dengan wajah muram dan marah oleh ayahnya. Akan tetapi ibunya segera
menubruk dan memeluknya sambil menangis tersedu-sedu. Tin Eng terkejut melihat betapa
ibunya menjadi kurus sekali dan pucat seperti orang yang bersedih. Ia dibawa masuk ke dalam
kamar oleh ibunya di mana ibunya itu sambil menangis berkata,
“Tin Eng ..... apakah kau tidak kasihan kepada ibumu. Anakku, janganlah kau pergi lagi
meninggalkan ibumu!”
Tin Eng menjadi terharu dan memeluk ibunya sambil menangis pula.
Ayahnya menyusul ke dalam kamar dan pembesar ini marah sekali.
“Tin Eng, bagus sekali perbuatanmu, ya? Kau sebagai puteri tunggal seorang pembesar telah
menodai nama baik orang tuamu! Kau telah membikin malu ayah ibumu dan membikin kami
merasa susah sekali. Apakah benar-benar kau tidak mempunyai rasa sayang kepada orang tua
dan akan menjadi anak yang puthauw (tidak berbakti)?”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 243
Tin Eng melihat betapa di dalam kemarahannya, ayahnya itu nampak amat berduka sehingga
muka ayahnya itu kelihatan makin tua. Ia menjadi kasihan juga dan dengan tangis sedih ia
menjatuhkan diri berlutut di depan ayahnya. Hati seorang ayah betapa bengispun akan
menjadi lunak apabila melihat anak tunggalnya berlutut dan menangis di depan kakinya, maka
pembesar ini lalu mengelus-elus kepala puterinya.
“Tin Eng, jadilah seorang anak yang baik dan jangan kau menyusahkan hati ayah ibumu.”
“Ayah, anak berjanji takkan pergi lagi, asal saja jangan memaksa anak harus kawin dengan
orang she Gan itu! Kalau ayah memaksa, biarlah anak membunuh diri saja!”
Ibunya menjerit dan memeluknya, sedangkan Liok-taijin menjadi pucat wajahnya. Kemudian
ia hanya menghela napas berulang-ulang dan menggelengkan kepala.
“Kau memang keras kepala ..... terlalu dimanja tadinya ....” kemudian ia bicara keras-keras,
“Hal ini kita bicarakan kelak saja. Akan tetapi, mulai sekg kau jangan keluar dari kamarmu.
Berlakulah sebagai seorang gadis bangsawan yang terhormat. Jangan kau berkeliaran di luar
seperti seorang gadis kang-ouw yang liar dan tidak tahu kesopanan!” Ayah ini lalu
meninggalkan anaknya yang masih bertangisan dengan ibunya.
Demikianlah, semenjak saat itu Tin Eng tidak pernah keluar dari dalam rumah. Ia bermaksud
untuk mentaati ayah ibunya, asal jangan dikawinkan dengan Gan Bu Gi.
Pada waktu Gwat Kong datang, Tin Eng sedang berada di dalam kamarnya bersama ibunya.
Gadis ini sedang membaca sebuah kitab kuno untuk menghibur hatinya waktu senggang.
Ibunya menyulam dan duduk di dekatnya. Tiba-tiba pintu diketuk dan bibi Song masuk
dengan membungkuk-bungkuk.
Nyonya Liok mengangkat muka memandang pelayan itu. “Ada keperluan apakah?” tanyanya.
Bukan main bingungnya hati nenek itu. Ia memandang ke arah Tin Eng yang sudah
mengangkat muka memandang nenek itu. “Hamba ........ hamba ....... ada pesanan untuk siocia
......”
Tin Eng lalu berdiri dan menghampiri nenek itu. “Ada apakah bibi Song? Pesanan apa dan
dari siapa?”
Nenek itu ragu-ragu dan memandang kepada nyonya Liok dengan takut-takut. Bagaimana ia
harus menyampaikan pesanan Gwat Kong di depan nyonya majikannya itu?
“Jangan takut, katakanlah bibi Song!” Tin Eng mendesak.
“Gwat Kong .....”
Mendengar nama ini, Tin Eng memegang pundak pelayan itu. “Apa .....? Dia di mana .....?”
Juga nyonya Liok bangun berdiri dari kursinya. “Kau bilang Gwat Kong berada di sini?
Berani betul anak itu! Tin Eng, ada perlu apakah kau dengan bekas pelayan itu?”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 244
“Ibu, Gwat Kong bukan pelayan kita lagi! Dia ..... dia adalah .... guruku yang mengajar ilmu
pedang. Biarkan aku betemu dengan dia!”
Pandangan mata gadis itu kepada ibunya membuat nyonya Liok tertegun dan terkejut sekali.
Sepasang mata gadis itu bersinar dan wajahnya berseri-seri.
“Bagaimana mungkin? Kau tidak boleh keluar dari sini. Kalau ayahmu melihatnya, ia tentu
akan marah sekali. Apa lagi kalau dilihatnya kau bertemu dengan Gwat Kong!”
“Kalau begitu, biar dia masuk ke kamar ini!” Tin Eng mendesak.
“Gila!” Ibunya berseru kaget. “Kau lupa daratan, Tin Eng. Bagaimana seorang laki-laki muda
boleh memasuki kamar kita? Tidak, hal itu tidak boleh jadi!”
Tin Eng membanting-banting kakinya dengan manja. “Akan tetapi, aku harus bertemu dan
bicara dengan dia, ibu!”
Nyonya Liok menarik napas panjang dan ia bingung sekali. Kemudian ia menengok ke arah
jendela kamar yang beruji besi dan berkata,
“Begini saja, suruh dia masuk dan bicara kepadamu dari balik jendela itu!”
Tin Eng memberi isyarat kepada nenek pelayan tadi untuk melakukan usul ibunya ini. Bibi
Song segera keluar lagi menemui Gwat Kong yang masih menanti di belakang rumah.
“Bagaimana, bibi yang baik?” tanya pemuda itu dengan penuh gairah.
“Sssst, jangan banyak ribut. Kau pergilah ke kamar siocia melalui ruang pelayan dan kau
boleh bicara dengan siocia dari balik jendela!”
Gwat Kong sudah hafal keadaan rumah itu. Maka setelah mendengar kata-kata ini, ia lalu
masuk ke dalam rumah itu melalui ruang pelayan dan langsung menuju ke ruang dalam, terus
menghampiri jendela kamar Tin Eng yang menembus di ruang dalam itu. Ia melihat Tin Eng
sudah berdiri di dekat jendela dan memandang keluar.
“Tin Eng ......” bisik Gwat Kong sambil menghampiri dengan cepat.
“Gwat Kong ........” Tin Eng memanggil dengan girang.
Panggilan yang disertai pandangan mata mesra ini sudah cukup bagi keduanya untuk
menyatakan perasaan hati mereka yang girang dan gembira sekali. Wajah Tin Eng menjadi
merah padam, akan tetapi Gwat Kong menjadi pucat ketika melihat bahwa di belakang Tin
Eng itu nampak nyonya Liok duduk sambil menyulam. Nyonya itu mengerling ke arahnya
dan Gwat Kong buru-buru menjurah memberi hormat. Akan tetapi nyonya Liok segera
membuang muka pura-pura tidak melihatnya.
“Tin Eng .... kau .... baik-baik saja?”
Tin Eng mengangguk singkat lalu berkata, “Gwat Kong aku dikalahkan Ang Sun Tek ....”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 245
“Aku sudah tahu akan hal itu. Aku sudah bertemu dengan kedua saudara Pui!”
“Bagus kalau begitu. Kau harus balaskan penasaranku kepada bangsat she Ang itu!”
“Jangan khawatir, memang aku hendak mencari dan mencoba kepandaiannya.”
“Dan ....... Gwat Kong, karena aku tak mungkin melanjutkan tugasku yang sudah kujanjikan
kepada dua orang sdr Pang, kau harus mewakili aku dan meneruskan usahaku. Aku tak dapat
bercerita panjang lebar. Gwat Kong, kau pergi dan carilah sahabatku Kui Hwa, si Dewi
Tangan Maut!”
“Hm, dia .... ?”
“Ya, dia musuh besarmu itu! Akan tetapi, kau tak boleh memusuhinya, biarpun ia anak Tanwangwe
yang menjadi musuh besarmu. Ia seorang baik dan gagah, bantulah dia, Gwat Kong.
Tanpa bantuanmu, tak mungkin ia akan dapat menemukan harta itu.”
“Mengapa?” tanya Gwat Kong yang hanya mengetahui sedikit saja dari kedua saudara Pui
tentang harta terpendam itu.
“Karena dahulu aku belum memberitahukan dengan jelas tempat harta itu tersembunyi.
Majulah dan perhatikan ini!”
Gwat Kong mendekat dan Tin Eng lalu mengeluarkan sehelai saputangan sutera hijau dari
kantong bajunya bagian dalam. Ia memang telah menyediakan sebuah peta yang digambarnya
di atas saputangan itu karena takut kalau-kalau ia akan lupa lagi. Ia membuka sapu tangan
yang berbau harum itu dengan telunjuknya yang kecil runcing. Ia menunjuk sebuah titik pada
saputangan yang bergambar peta itu.
“Tempatnya memang di sini, akan tetapi enci Kui Hwa belum tahu bahwa jalan masuknya
bukan dari kanan atau kiri, melainkan dari atas! Orang harus naik ke atas dan di bawah sebuah
batu besar terdapat jalan masuk itu. Simpanlah saputangan ini, Gwat Kong!”
Bab 27 .....
GWAT KONG menerima saputangan itu yang cepat dimasukkan ke dalam saku bajunya.
Kemudian ia memandang gadis itu dengan sayu.
“Tin Eng .....kau tidak .......... tidak dengan Gan Bu Gi?” Sukar baginya untuk mengucapkan
kata-kata “kawin” yang menikam hatinya.
Makin merahlah wajah Tin Eng mendengar ini dan berbareng dengan perasaan malu yang
menyerangnya, ia merasa amat girang. Teranglah sudah bahwa pemuda yang gagah perkasa
ini masih mencintainya dan kalau saja keadaan tidak seperti itu, ingin sekali ia menggoda
pemuda ini.
“Tidak, Gwat Kong! Apapun yang akan terjadi, aku takkan sudi! Aku lebih suka mati!” Gwat
Kong bernapas lega mendengar ini dan sebelum ia dapat berkata lagi, tiba-tiba nyonya Liok
berkata perlahan.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 246
“Pergilah, Liok-taijin datang ........!”
Gwat Kong mengulur tangan dan memegang tangan Tin Eng yang keluar dari jendela.
“Tin Eng ..... aku pergi .........!”
“Pergilah, Gwat Kong, aku ...... menantimu!”
Gwat Kong menyelinap dari jendela itu dengan hati berdebar. Teringatlah ia kepada Cui Giok
dan nelayan tua itu. Juga Cui Giok berkata seperti yang baru saja diucapkan oleh Tin Eng itu.
Mereka akan menanti! Ia bingung, akan tetapi telinganya masih dapat menangkap suara Liok
Ong Gun berkata,
“Apakah kalian tidak melihat sesuatu? Menurut laporan penjaga, bangsat kecil Gwat Kong itu
tadi kelihatan berada di dekat rumah kita!”
Gwat Kong terkejut sekali dan cepat menuju ke belakang rumah untuk pergi dari tempat
berbahaya itu. Dengan cepat ia dapat keluar dari pintu belakang memasuki taman bunga, akan
tetapi ketika ia tiba di tempat terbuka di tengah taman di mana dahulu dilakukan ujian
terhadap Gan Bu Gi, tiba-tiba saja dari belakang pohon dan gerombolan kembang
berlompatan keluar beberapa orang perwira.
“Ha ha ha! Gwat Kong penjahat rendah!” teriak Gan Bu Gi. “Kau benar-benar berani mati,
masuk ke dalam tempat orang seperti maling!”
Gwat Kong cepat memandang dan ternyata ia telah dikurung oleh sepuluh orang, diantaranya
Ang Sun Tek yang sudah memegang goloknya yang bersinar mengkilap. Tujuh orang lain
juga memegang golok yang sama bentuknya, bahkan pakaian mereka juga sama dengan
pakaian Ang Sun Tek sehingga hati Gwat Kong tergerak karena ia menduga bahwa ketujuh
orang ini tentulah kawan-kawan Ang Sun Tek sehingga mereka ini delapan orang merupakan
Liok-te Pat-mo Delapan iblis bumi yang memiliki ilmu silat Pat-kwa To-hoat dan merupakan
barisan Pat-kwa-tin yang terkenal! Selain Liok-te Pat-mo dan Gan Bu Gi, terdapat pula
seorang perwira yang brewok dan bertubuh tinggi besar, memegang sebatang tombak
panjang. Perwira ini bernama Lim Pok Ki, seorang perwira kerajaan yang berkepandaian
tinggi dan tingkatnya menduduki tempat kedua di kotaraja.
Melihat sikap sepuluh orang ini, Gwat Kong maklum bahwa ia takkan dapat keluar dari
tempat itu tanpa pertempuran mati-matian. Maka ia lalu mencabut pedang Sin-eng-kiam,
memasang kuda-kuda dan berkata dengan senyum sindir,
“Gan Bu Gi! Kau pengecut besar. Apakah kau hendak mengandalkan keroyokan untuk
melawanku?”
“Maling busuk!” Gan Bu Gi memaki. “Kau takut menghadapi kami?”
Gwat Kong tersenyum, sikapnya masih tenang. “Orang she Gan! Biarpun belum tentu aku
akan dapat menang menghadapi keroyokan kau dan kawan-kawanmu, akan tetapi jangan
harap akan membikin aku takut. Biar kau tambah dengan sepuluh orang lagi, aku takkan takut
menghadapinya!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 247
“Bangsat sombong!” teriak Ang Sun Tek yang melompat maju dengan goloknya yang lihai.
Gwat Kong menangkis dan segera ia dikeroyok oleh sepuluh orang kosen itu!
Melihat gerakan senjata mereka, Gwat Kong kaget juga, karena kesemuanya memiliki
gerakan yang amat cepat dan lihai sekali sehingga ia segera berseru keras dan memutar Sineng-
kiam sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Sin-eng Kiam-hoat adalah
ilmu pedang yang menduduki tempat tinggi di kalangan persilatan. Sedangkan Gwat Kong
telah mempelajarinya dengan sempurna, maka pedangnya menyambar-nyambar seperti kilat
dan tubuhnya terbungkus oleh sinar pedang.
Bukan main kagumnya Ang Sun Tek melihat kehebatan ilmu pedang lawannya ini. Sama
sekali ia tidak menduga bahwa pemuda yang pernah ia jumpai di restoran dan yang telah ia
coba pula tenaga dan kelihaiannya, memiliki ilmu pedang yang belum pernah ia lihat selama
hidupnya. Ia teringat akan ilmu pedang yang dimainkan oleh Tin Eng. Akan tetapi
dibandingkan dengan Tin Eng, kepandaian pemuda ini jauh lebih tinggi dan lebih hebat.
Biarpun delapan buah golok, sebuah pedang dan sebatang tombak menyerang bagaikan hujan
lebat. Namun pedang ditangan Gwat Kong dapat melayani dan menangkis semua itu dengan
amat baik dan cepatnya!
Akan tetapi, diam-diam Gwat Kong mengeluh di dalam hatinya. Untuk menghadapi Liok-te
Pat-mo delapan orang itu saja, belum tentu ia akan dapat memperoleh kemenangan, oleh
karena mereka ini benar-benar hebat sekali permainan goloknya. Apalagi di tambah dengan
Gan Bu Gi yang juga lihai ilmu pedang Kim-san-painya, sedangkan perwira tinggi besar
itupun hebat sekali permainan tombaknya. Baiknya bahwa dengan ikut sertanya Gan Bu Gi
dan Lim Pok Ki perwira brewok tinggi besar itu, maka Liok-te Pat-mo tidak sempat untuk
mengatur barisan Pat-kwa-tin mereka dan di dalam keroyokan yang tak teratur ini, kelihaian
mereka banyak berkurang.
Gwat Kong merasa menyesal mengapa ia tidak membawa sulingnya, karena kalau ia
membawa benda itu, ia akan dapat melakukan perlawanan lebih baik lagi dan dapat mainkan
ilmu tongkat Sin-hong Tung-hoat dengan sulingnya. Tentu saja ketika berangkat ke Kiangsui,
ia tidak pernah menyangka akan bertemu dan menghadapi sekian banyaknya lawan-lawan
yang tangguh dan berat.
“Tahan!” tiba-tiba Ang Sun Tek berseru keras. Semua orang menahan senjata masing-masing.
“Apakah kau yang disebut Kang-lam Ciu-hiap?” Ang Sun Tek menegaskan.
“Benar,” jawab Gwat Kong.
“Apakah kau ahli waris dari Sin-eng Kiam-hoat?”
Gwat Kong tersenyum. “Hmm, masih bagus matamu tidak tertutup oleh kesombonganmu,
Ang Sun Tek. Memang aku ahliwaris Sin-eng Kiam-hoat dan tentu kau akan dapat melihat
pedang Sin-eng-kiam ini kalau matamu tidak buta.”
“Bagus!” teriak Ang Sun Tek dengan girang. Aku bersama tujuh orang saudaraku telah
mengalahkan Im-yang Siang-kiam dari selatan, hanya tinggal Sin-eng Kiam-hoat dan Sinhong
Tung-hoat yang belum dicoba!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 248
“Ketahuilah, Ang Sun Tek! Kalau kau hendak mencoba Sin-hong Tung-hoat, kaupun harus
berhadapan dengan aku sendiri.”
“Apa? Kau anak murid Bok Kwi Sianjin pula ......?”
“Benar! Sayang tidak ada senjata tongkat untuk membuktikannya kepadamu!”
“Bagus, bagus! Kalau begitu, cobalah kau hadapi Pat-kwa-tin kami!” seru Ang Sun Tek
dengan gembira.
“Ang Sun Tek, telah lama aku mendengar bahwa Pat-kwa-tin dari Liok-te Pat-mo berbahaya
dan hebat sekali, dan semua golok dimainkan berdasarkan Pat-kwa-tin, ilmu golok yang
menggetarkan daerah utara. Akan tetapi kau dan kawan-kawanmu berjumlah delapan orang
sedangkan aku hanya seorang diri. Kalau kau memang gagah dan hendak mempertahankan
nama barisanmu, beranikah kau menghadapi aku dan seorang kawanku?”
“Ha ha ha! Tentu saja berani. Siapakah kawanmu itu dan di manakah dia?”
Gan Bu Gi dan Lim Pok Ki merasa kurang puas melihat betapa Ang Sun Tek kini bercakapcakap
dengan Gwat Kong sebagai ahli silat menghadapi ahli silat, bukan sebagai perwira yang
hendak menangkap seorang pelanggar hukum, maka Gan Bu Gi berseru,
“Hayo, tangkap maling ini!”
“Gan-ciangkun, jangan bergerak!” seru Ang Sun Tek marah. “Atau barangkali kau mau
menghadapi Kang-lam Ciu-hiap sendiri saja?”
Ditegur secara demikian, Gan Bu Gi tertegun. Tentu saja ia tidak berani menghadapi Gwat
Kong seorang diri saja.
“Ha ha ha, ternyata Ang Sun Tek masih memiliki kegagahan tidak seperti tikus kecil she Gan
yang bersifat pengecut ini,” kata Gwat Kong. “Ang Sun Tek, tadi kau bertanya tentang
kawanku itu. Masih ingatkah kau kepada jago tua Sie Cui Lui di Ciang-si?”
“Pencipta Im-yang Siang-kiam-hoat? Tentu saja, dia pernah menjadi pecundang menghadapi
barisan kami!”
Gwat Kong mengangguk. “Benar, dan karena itulah maka kawanku itu memang sengaja
mencari-carimu di Sian-nang, akan tetapi ternyata kalian telah pergi ke ibukota. Dia adalah
cucu dari Sie Cui Lui Locianpwe, dan sengaja hendak membalas dan menebus kekalahan Sie
locianpwe!”
“Bagus, suruh dia datang ke sini. Biar kau dan dia maju berbareng!” tantang Ang Sun Tek.
Pada saat itu, terdengar ribut-ribut dan dari pintu depan muncullah Liok Ong Gun bersama
perwira dan yang jumlahnya dua puluh orang lebih.
“Tangkap penjahat ini!” teriak Liok-taijin dan menyerbulah semua perwira itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 249
Ang Sun Tek sendiri bersama tujuh orang kawannya ketika melihat munculnya Liok-taijin,
merasa tidak enak hati kalau tinggal diam saja, maka Ang Sun Tek berkata, “Mungkin kau
tidak mempunyai kesempatan lagi untuk menguji barisan kami, Kang-lam Ciu-hiap!” Dan
iapun menggerakkan goloknya maju menerjang, diikuti oleh kawan-kawannya yang lain!”
Kini keadaan Gwat Kong benar-benar berbahaya sekali. Ia telah diserang lagi oleh Ang Sun
Tek dan kawan-kawannya. Sedangkan Liok-taijin bersama pengikutnya telah mengurung dan
siap sedia menyerbu pula.
Akan tetapi, Gwat Kong merasa aneh sekali mendapat kenyataan bahwa gerakan golok Ang
Sun Tek amat berlainan dengan tadi. Kini gerakan golok mereka lemah dan biarpun gerakan
itu masih amat cepat akan tetapi mereka tidak menyerang dengan sungguh-sungguh. Tentu
saja Gwat Kong menjadi girang sekali dan diam-diam ia tahu akan maksud Ang Sun Tek dan
kawan-kawannya. Liok-te Pat-mo ini terkenal sebagai tokoh-tokoh besar dan mereka amat
bangga dengan Pat-kwa-tin mereka sehingga ketika mendengar bahwa Gwat Kong bersama
seorang keturunan Sie Cui Lui hendak mencoba kekuatan barisan mereka, Ang Sun Tek dan
kawan-kawannya telah menjadi gembira. Oleh karena itu, mereka ini sengaja tidak menyerang
sungguh-sungguh dan hendak memberi kesempatan kepada Gwat Kong untuk melarikan diri
agar kelak mereka dapat berhadapan di depan pibu (adu kepandaian).
Akan tetapi agaknya Ang Sun Tek hendak memperlihatkan kepada Gwat Kong akan kelihaian
ilmu goloknya, karena tiba-tiba ia berseru keras,
“Kang-lam Ciu-hiap, aku takkan puas membiarkan kau pergi begitu saja!” Ia memberi isyarat
dengan kata-kata rahasia kepada kawan-kawannya dan dengan amat cepatnya mereka itu lalu
menyerbu, merupakan serangan yang bersegi delapan. Inilah gerakan dari Pat-kwa-tin yang
sengaja didemonstrasikan oleh Ang Sun Tek dan kehebatannya memang luar biasa sekali.
Delapan buah golok yang menyerang Gwat Kong itu tidak dilakukan dalam saat yang sama,
akan tetapi sambung menyambung dan selalu mengarah bagian yang lemah menurut gerakan
Gwat Kong ketika mengelakkan diri dari golok yang menyerangnya. Pemuda ini dengan
kecepatannya masih dapat menghindarkan tujuh batang golok yang menyerang berturut-turut.
Akan tetapi golok Ang Sun Tek yang menyerang terakhir masih dapat menyerempet
pundaknya sehingga bajunya di bagian pundak kiri robek dan kulitnya terbabat berikut sedikit
daging. Darah keluar membasahi bajunya itu.
Terdengar Ang Sun Tek tertawa bergelak, akan tetapi mereka kini menyerang kembali dengan
mengendurkan dan tidak sungguh-sungguh. Gwat Kong terkejut sekali, akan tetapi ia juga
bersyukur oleh karena Ang Sun Tek ternyata tidak hendak mencelakainya, hanya terdorong
oleh karena kesombongannya hendak memberi peringatan bahwa Pat-kwa-tinh tidak boleh
dibuat main-main.
Karena merasa bahwa percuma saja baginya untuk melanjutkan perlawanan lebih lanjut, Gwat
Kong lalu menyerbu keluar hendak melarikan diri. Ia berhasil membabat putus tombak Lim
Pok Ki yang menghadang di jalan. Kemudian ia menyerbu keluar dari bagian yang terjaga
oleh Lim-ciangkun itu. Para penjaga di belakang yang dipimpin oleh Liok Ong Gun segera
menghadang di jalan dengan senjata diputar dan kembali Gwat Kong terkurung.
Akan tetapi kini Liok-te Pat-mo tidak ikut mengurung karena ketika Gwat Kong lari, mereka
sengaja tidak mau mengejar. Biarpun kini dikurung lagi, namun oleh karena para
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 250
pengeroyoknya hanya terdiri dari penjaga-penjaga yang berkepandaian biasa, mudah bagi
Gwat Kong untuk merobohkan beberapa orang dan membikin terpental banyak senjata lawan.
Kemudian ia melompat lagi keluar dari kepungan. Para pengeroyoknya mengejar sambil
berteriak-teriak.
Cepat bagaikan seekor burung walet, Gwat Kong melompat ke atas pagar tembok yang
mengurungi taman bunga itu. Akan tetapi baru saja kakinya menginjak tembok, dari luar
tembok menyambar anak panah dan piauw bagaikan hujan ke arah tubuhnya. Untung baginya,
ia telah berlaku waspada dan tenang sehingga dengan cepat ia lalu memutar pedangnya
dengan gerakan Sin-eng Po-in (Garuda sakti menyapu awan) sehingga seluruh tubuhnya
bagian depan terlindung oleh sinar pedang dan semua anak panah dan senjata rahasia lain
tertangkis runtuh ke bawah tembok.
Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia mendengar suara sambaran angin senjata rahasia
dari belakang. Ternyata bahwa para pengejar di sebelah dalam taman itupun telah
menyerangnya dengan senjata-senjata rahasia pula.
“Pengecut!” Gwat Kong berseru dan menggunakan kedua kakinya menggenjot tubuh dan
melompat ke bagian lain di atas pagar tembok itu. Akan tetapi, oleh karena ia tidak dapat
menggunakan pedangnya untuk menangkis ke belakang pada saat pedangnya digunakan
untuk menangkis senjata rahasia dari depan, maka biarpun lompatannya cepat sekali, namun
masih ada sebatang anak panah yang menancap pada punggungnya.
Baiknya pemuda ini telah siap sedia dan mengerahkan tenaga khikang di bagian tubuh
belakang. Biarpun anak panah itu menancap pada punggungnya, akan tetapi tidak dalam
betul, hanya kepalanya saja yang menancap. Betapapun juga, ia merasa sakit sekali, terutama
karena luka di pundak kirinya dan keroyokan-keroyokan itu membuat ia merasa lelah dan
darah yang keluar dari luka-lukanya membuat ia merasa pening kepala.
Dengan cepat Gwat Kong lalu menyambar turun sambil memutar pedangnya. Ketika para
tentara penjaga di luar tembok itu menyerbu, ia berlaku ganas, dan roboh mandi darah.
Namun, para penjaga masih saja mendesak maju. Pada saat yang amat berbahaya itu, tiba-tiba
terdengar bentakan nyaring,
“Barisan penjaga, mundur!”
Para penjaga mengenal suara ini dan menjadi ragu-ragu. Ketika Gwat Kong menengok,
alangkah kaget dan girangnya karena yang membentak itu adalah Tin Eng yang datang
menuntun seekor kuda putih.
“Gwat Kong, lekas kau lari!” kata gadis itu sambil menyerahkan kendali kuda. Para penjaga
tidak berani menyerang oleh karena gadis majikannya itu berada bersama Gwat Kong.
“Tin Eng,” bisik Gwat Kong. “Jaga dirimu baik-baik. Aku akan kembali kelak .....”
“Gwat Kong, kau terluka ...?”
“Tidak mengapa, hanya luka sedikit!” kata Gwat Kong yang segera melompat ke atas kuda
dan segera membalapkan kuda putih itu dengan cepat.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 251
“Aku menunggu .....” masih terdengar suara Tin Eng dan gadis itu segera melompat kembali
ke dalam pintu depan untuk kembali ke kamarnya, sebelum ayahnya yang masih berada di
dalam taman bunga itu melihatnya. Gadis ini tadi mendengar teriakan-teriakan di luar gedung,
dan karena ia maklum bahwa Gwat Kong sedang dikeroyok, maka dengan nekad gadis ini lalu
berlari keluar, tidak memperdulikan teriakan dan larangan ibunya. Ia melihat betapa Gwat
Kong dikeroyok dan sedang bertempur mati-matian. Maka ia lalu cepat mengambil seekor
kuda yang terbaik dari kandang kudanya kemudian menuntun kuda itu keluar dan menolong
Gwat Kong melarikan diri.
Ketika Liok-taijin berlari keluar, ia masih melihat bayangan Gwat Kong di atas kuda yang
melarikan diri dengan amat cepatnya.
“Keluarkan kuda!” teriaknya. “Kejar bangsat itu sampai dapat!”
Sepasukan berkuda lalu melakukan pengejaran, dipimpin oleh Liok-taijin sendiri.
Gwat Kong membandel kudanya dan ketika ia menengok, ia melihat sepasukan berkuda yang
terdiri dari belasan orang, dipimpin oleh Liok-taijin sendiri melakukan pengejaran. Karena ia
tidak melihat Liok-te Pat-mo di antara para pengejar itu, kalau ia mau, ia akan dapat
menghadapi mereka. Akan tetapi ia telah merasa jemu dan pening. Apalagi karena ia tidak
mau melawan Liok-taijin bekas majikannya sendiri itu.
Baiknya Tin Eng memberikan kuda putih yang paling baik di antara semua kuda di dalam
kandang Liok-taijin. Bahkan kuda putih ini adalah kesayangannya ketika ia masih menjadi
pelayan di gedung itu. Maka ia dapat melarikan kuda itu dengan amat cepatnya sehingga para
pengejarnya tertinggal di belakang.
Anak panah yang mengenai punggungnya masih menancap di punggung. Akan tetapi ia tidak
merasa khawatir karena luka itu hanyalah luka di luar saja yang cukup mendatangkan rasa
panas dan sakit.
Ia hanya mengharapkan untuk cepat sampai di sungai, di mana perahu telah menunggu, di
mana Cui Giok dan nelayan tua telah menunggunya. Mudah-mudahan Cui Giok dan nelayan
itu ada di sana, pikirnya. Bagaimana kalau Cui Giok tidak berada di dalam perahu?
Bagaimana kalau nona itu sedang pergi meninggalkan perahu untuk menghibur diri ke darat?
Ia telah terlalu lama meninggalkan Cui Giok. Ketika ia berangkat tadi, matahari baru saja
muncul. Sekarang matahari telah jauh berada di barat. Hampir sehari penuh ia meninggalkan
perahu. Ah, Cui Giok tentu merasa amat kesepian. Mengingat akan hal ini, Gwat Kong makin
mempercepat larinya kuda yang ditendang-tendangnya sehingga kuda itu membalap bagaikan
terbang cepatnya.
Ketika ia lewat di bukit dekat sungai itu, dan membelok ke kiri, hatinya merasa girang sekali.
Hampir saja ia berseru karena girangnya ketika melihat bahwa Cui Giok sedang berdiri di
kepala perahu. Gadis itu berdiri lurus dan jelas terlihat dari jauh bahwa gadis itu sedang
menungguinya. Angin yang bertiup perlahan membuat ikat pinggang gadis itu melambailambai
seakan-akan menyuruh ia datang lebih cepat.
Gwat Kong telah merasa pusing sekali, akan tetapi ia tersenyum girang.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 252
“Cui Giok,” bisiknya di dalam hati. “Kau benar-benar menungguku .....,” ia memandang
kepada gadis yang berdiri dengan gagah dan cantik menarik itu.
Sementara itu, Cui Giok berdiri dengan mulut merengut. Ia marah sekali setelah melihat
munculnya orang yang ditunggu-tunggu semenjak tadi. Semenjak Gwat Kong pergi, ia duduk
termenung saja, dan setelah hari menjadi siang, ia mulai gelisah karena belum juga melihat
Gwat Kong kembali.
Ketika nelayan tua itu telah memasak nasi dan menyuruh ia makan, gadis itu menolaknya,
menyatakan bahwa ia belum lapar. Nelayan itu menggeleng-gelengkan kepala dan maklum
bahwa gadis ini tak merasa senang karena Gwat Kong tidak berada di situ.
“Kongcu tentu akan kembali, siocia. Makanlah dulu dan jangan khawatirkan dia.”
“Siapa memikirkan dia?” kata Cui Giok marah. “Biar dia tidak kembali sekalipun, aku tidak
perduli.” Akan tetapi ia tahu bahwa ucapannya ini bohong belaka.
Setelah hari menjadi makin gelap, kegelisahannya memuncak. Semenjak tadi ia berdiri di
kepala perahu memandang ke arah jalan tikungan di balik bukit itu dengan wajah sayu dan
muram. Ingin sekali ia menyusul ke Kiang-sui. Akan tetapi ia merasa malu kepada Gwat
Kong dan malu kepada diri sendiri. Ia teringat akan dongengan nelayan tadi, dan diam-diam
di dalam hatinya terdengar nyanyian,
“Seribu tahun dinda akan menanti juga!”
Ketika tiba-tiba Gwat Kong muncul dari balik bukit sambil menunggang seekor kuda putih,
dadanya berdebar dan mukanya terasa panas. Sepasang matanya terasa pedas karena air mata
hampir menitik turun. Sedangkan mulutnya menjadi cemberut. Ia gemas dan marah.
Lenyaplah semua kegelisahannya berganti oleh rasa marah mengapa pemuda itu demikian
lama meninggalkannya.
Akan tetapi, ketika melihat pasukan berkuda yang mengejar dari belakang, kemarahannya
lenyap tersapu angin dan pada wajahnya yang manis itu terbayang kegelisahan hebat. Apalagi
setelah Gwat Kong tiba di depannya dan pemuda itu melompat turun terhuyung-huyung
dengan tubuh lemas. Ia menjadi kaget sekali. Dengan lompatan kilat ia mendarat dan
memegang tangan pemuda itu,
“Gwat Kong, apa yang terjadi ....?” suaranya gemetar ketika ia melihat pundak pemuda itu
yang penuh darah dan terbelalak matanya ketika melihat anak panah di punggung pemuda itu.
“Cui Giok! Syukurlah kau berada di perahu. Lekas kita pergi dari sini. Lopek, lekas lepaskan
tambang perahu dan jalankan perahu.”
Cui Giok menggandeng tangan Gwat Kong masuk ke dalam perahu. Ia penasaran sekali.
“Gwat Kong, kau beristirahatlah dan biar aku menghajar sampai mampus semua pengejarmu
itu.” Sambil berkata demikian, Cui Giok lalu mencabut sepasang pedangnya yang disimpan di
buntalan pakaiannya.
Akan tetapi Gwat Kong memegang tangannya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 253
“Jangan, Cui Giok. Jangan lawan mereka. Pasukan itu dipimpin oleh Liok-taijin dan aku tak
dapat melawan dia. Lopek, hayo cepat jalankan perahu!”
Nelayan itu tak perlu diperintahkan lagi, karena dengan ketakutan ia telah melepaskan
tambang yang mengikat perahu dan cepat mendayung perahu itu ke tengah sungai, yang
menghanyutkan perahu itu dengan cepat, dibantu oleh tenaga dayung nelayan itu.
Cui Giok merasa dadanya panas. “Hmm, kau tidak mau melawan orang she Liok itu, karena
dia ayah .... Tin Eng ...??” Nada suaranya penuh perasaan cemburu.
Gwat Kong menjatuhkan diri di bangku perahu. “Tidak ..., aku, aku .... ah, pening sekali
kepalaku ....”
Lenyap pula kemarahan Cui Giok. Ia berlutut dan menahan tubuh Gwat Kong yang lemah.
Sementara itu para pengejar tiba di pantai sungai dan terdengar mereka memaki-maki marah,
karena mereka tidak berdaya mengejar perahu yang telah jauh itu. Tak lama kemudian mereka
lalu melarikan kuda kembali sambil membawa kuda yang tadi ditunggangi oleh Gwat Kong.
“Gwat Kong, kau terluka ......?” Cui Giok berbisik penuh perhatian. Mendengar pertanyaan
ini, Gwat Kong teringat akan ucapan Tin Eng yang sama pula. Tin Eng juga mengeluarkan
bisikan seperti itu ketika menyerahkan kuda tadi. Gelap kedua mata Gwat Kong dan tak dapat
ditahannya lagi. Ia lalu roboh tak sadarkan diri.
“Gwat Kong ...!”
Cui Giok menjerit perlahan dan ia lalu mencabut anak panah yang masih menancap di
punggung pemuda itu. Ia merasa ngeri melihat dara mengalir keluar dari punggung itu. Tanpa
ragu-ragu lagi ia merobek baju Gwat Kong dan sambil melepaskan kepala pemuda itu di atas
pangkuannya, ia lalu membalut luka pemuda itu dengan ujung ikat pinggangnya yang
diputuskannya. Nelayan tua itupun membantunya dan melihat betapa gadis itu hendak
membalut pundak dan punggung yang luka, ia berkata dengan tenang,
“Tenanglah, siocia. Luka ini tidak besar dan berbahaya. Sebelum dibalut, lebih baik dicuci
lebih dahulu.”
Nelayan itu lalu membuat api di atas perahu dan memasak air sungai, karena menurut
pengalamannya, untuk mencuci luka, lebih baik menggunakan air yang telah matang.
Sementara itu, Cui Giok menutup luka dipunggung dan pundak Gwat Kong dengan sapu
tangannya yang telah basah oleh darah.
Melihat muka Gwat Kong yang pucat dan tak bergerak bagaikan mayat itu, hatinya terasa
gelisah dan terharu. Pikirannya bingung tidak keruan sehingga tanpa disadarinya pula
beberapa titik air matanya menetes turun dan mengenai muka Gwat Kong. Karena sapu
tangannya telah penuh dengan darah, Cui Giok lalu menggunakan ujung bajunya untuk
menghapus air mata yang membasahi hidung dan pipi pemuda itu.
Malam tiba dengan lambat, sama lambatnya dengan perahu kecil yang hanyut oleh aliran air
sungai Yung-ting. Untuk menjaga serangan angin malam, Cui Giok telah memindahkan Gwat
Kong ke dalam perahu, menyelimuti tubuh pemuda itu dengan selimut mantelnya dan
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 254
menggunakan setumpuk pakaian sebagai bantal. Ketika perahu itu tiba di sebuah tempat yang
banyak pohonnya, Cui Giok minta nelayan minggirkan perahu dan nelayan tua itu lalu
mengikat perahu pada akar pohon.
Angkasa penuh bintang gemerlapan membuat langit nampak bagaikan beludru hitam terhias
ratna mutu manikam yang serba indah. Nelayan itu membuat api unggun di tepi sungai dan
karena ia merasa amat lelah, ia tertidur di bawah pohon, dekat api unggun.
Akan tetapi Cui Giok tak dapat tidur. Ia semenjak tadi duduk menjaga di dekat Gwat Kong
setelah mencuci luka-luka di tubuh pemuda itu dan membalutnya dengan hati-hati. Gwat
Kong masih tetap tak sadar, tak bergerak dengan wajah pucat. Akan tetapi pernapasannya
normal dan Cui Giok menjaga dengan hati gelisah. Gadis ini hanya memperhatikan jalan
pernapasan Gwat Kong, seakan-akan khawatir kalau-kalau jalan pernapasan itu tiba-tiba
berhenti.
Beberapa kali ia meraba-raba jidat pemuda itu dan mencoba untuk memanggil-manggilnya.
Akan tetapi Gwat Kong tetap tak sadar, bagaikan seorang yang tidur nyenyak.
Bukan main gelisahnya hati dara itu. Ia tidak mempunyai pengalaman merawat orang sakit,
dan tidak tahu harus berbuat apa. Kadang-kadang ia mencucurkan air mata kalau
kegelisahannya memuncak, takut kalau-kalau Gwat Kong akan mati karena luka-lukanya ini.
Setelah dapat menahan air matanya, ia memandang dengan mata sayu dan menghela napas
panjang berulang-ulang. Menjelang tengah malam, tiba-tiba terdengar keluhan dari mulut
pemuda itu dan tangannya bergerak-gerak.
“Gwat Kong ....” Cui Giok memanggil dengan mesra dan memegang tangan pemuda itu. Ia
merasa betapa Gwat Kong menekan jari-jari tangannya dan memegang tangannya itu eraterat.
“Gwat Kong ....” kembali Cui Giok memanggil perlahan dengan suara gemetar penuh
perasaan. Ia merasa girang karena pemuda itu telah siuman kembali.
Gwat Kong membuka matanya, akan tetapi ia tidak mengenal Cui Giok terbukti dari pandang
matanya yang liar. Penerangan api lilin di dalam perahu itu hanya suram-suram. Akan tetapi
Cui Giok dapat melihat betapa pipi Gwat Kong merah sekali. Ia mengulur tangan menyentuh
jidat pemuda itu. Alangkah kagetnya, ketika merasa betapa jidat itu panas membara. Gwat
Kong telah terserang demam yang timbul karena luka-lukanya. Luka itu memerlukan
perawatan dan pengobatan, akan tetapi Cui Giok dan nelayan itu tidak mempunyai obat dan
tidak tahu pula harus memberi obat apa, maka hanya dicuci dan dibalut. Inilah yang membuat
luka itu membengkak dan menimbulkan panas demam.
“Panas ..... panas ......” Gwat Kong berkata gelisah sambil menggoyang kepala ke kanan kiri.
Cui Giok makin bingung. “Bagaimana Gwat Kong ...? Sakitkah ....?”
“Panas .... minum ....” Gwat Kong berkata setengah sadar.
Cui Giok cepat berbangkit dan mengambil minum yang tersedia di cawan. Ia mengangkat
kepala pemuda itu dan memberi minum yang diminum oleh Gwat Kong dengan lahapnya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 255
Kemudian ia meletakkan kepala pemuda itu di atas tumpukan pakaian lagi. Akan tetapi Gwat
Kong tetap gelisah. Kepalanya berdenyut-denyut, tubuhnya terasa amat panasnya. Bagaikan
seorang gila ia merenggut pakaiannya dan “bret .... bret ...” bajunya terobek dan terbuka
sehingga tubuhnya bagian atas terbuka dan telanjang sama sekali.
“Eh, jangan begitu, Gwat Kong! Kau nanti terkena angin!” kata Cui Giok yang segera
menarik mantelnya untuk diselimutkan kepada tubuh Gwat Kong.
“Panas ......,” Gwat Kong makin gelisah dan kepalanya miring ke kanan kiri sehingga
akhirnya terjatuh dari tumpukan pakaian itu.
“Diamlah, Gwat Kong. Tenanglah!” Cui Giok hampir menangis saking gelisahnya dan
bingungnya. Ia memegang kepala Gwat Kong, mengangkatnya dan meletakkan kepala itu di
atas pangkuannya sambil memeluk kepala itu erat-erat agar jangan tergoyang ke kanan kiri. Ia
menggunakan jari-jari tangannya yang halus itu untuk memijit-mijit kepala Gwat Kong
dengan mesra. Agaknya Gwat Kong merasa nyaman dipijit-pijit dan dipeluk kepalanya itu.
Karena ia menjadi tenang lagi dan sambil meramkan mata ia tertidur pula di atas pangkuan
Cui Giok.
Gadis itu merasa lega dan tidak berani bergerak sedikitpun, khawatir kalau-kalau ia
mengagetkan Gwat Kong. Dengan penuh kasih sayang, ia mengusap-usap rambut kepala
pemuda itu bagaikan seorang ibu mengelus-elus kepala anaknya. Kasih sayangnya terhadap
pemuda ini meluap-luap dan hatinya berdebar penuh kebahagiaan.
Semalam suntuk Cui Giok memangku kepala Gwat Kong dengan hati-hati dan tidak berani
bergerak sedikitpun sehingga kedua kakinya terasa lumpuh dan kaku kesemutan karena
darahnya tidak dapat berjalan dengan baik. Namun ia dapat mempertahankan diri dengan
setia. Tubuh Gwat Kong masih panas sekali sehingga rasa panas yang hebat menembus
pakaian dan membuat kedua paha Cui Giok terasa panas bagaikan dekat api.
Bab 28 .....
KETIKA matahari mulai menyinarkan cahayanya, nelayan tua itu terjaga dari tidurnya.
Melihat betapa Cui Giok masih duduk di dalam perahu sambil memangku kepala Gwat Kong,
ia menggeleng-geleng kepala dan merasa amat terharu, teringat akan anak perempuannya
yang telah mati.
“Siocia, tidurkan kongcu di atas tumpukan pakaian dan kau perlu beristirahat.”
Akan tetapi Cui Giok menggelengkan kepala dan berbisik,
“Tubuhnya panas sekali, lopek. Agaknya ia terkena demam.”
Nelayan itu meraba jidat Gwat Kong dan keningnya berkerut ketika merasa betapa panasnya
jidat pemuda itu.
“Hmmm, benar-benar ia terkena demam,” katanya.
Pada saat itu, Gwat Kong sadar kembali dan menggeliat-geliat karena napasnya. Cui Giok
menaruh kepala pemuda itu di atas bantal pakaian dan memberinya minum lagi.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 256
“Kita berhenti dulu di sini, lopek. Tak perlu melanjutkan pelayaran,” katanya.
Demikianlah dengan penuh perhatian dan amat telaten dan sabar, Cui Giok dan nelayan tua
itu merawat Gwat Kong. Ternyata bahwa luka di bagian punggung yang terkena anak panah
itu membengkak dan berwarna merah sekali. Luka di pundak sudah mulai mengering.
Agaknya anak panah itu telah berkarat sehingga mendatangkan racun dan membuat luka itu
bengkak dan panas.
Sampai tiga hari Gwat Kong terserang demam dan tidak ingat akan keadaan sekelilingnya.
Akan tetapi pemuda itu bertubuh kuat dan darahnya yang sehat ternyata mempunyai daya
tahan yang luar biasa sehingga biarpun luka itu tidak diobati akan tetapi tiga hari kemudian
bengkaknya mengempis dan panasnya turun.
Ia mulai sadar dan teringat akan semua kejadian. Ketika ia membuka mata, sadar dari tidurnya
yang sudah mulai tenang, ia mendapatkan Cui Giok duduk di dekatnya dan kagetlah ia ketika
melihat betapa gadis itu nampak pucat dan kurus, sepasang matanya agak cekung. Ia tidak
tahu bahwa selama tiga hari itu Cui Giok hampir tidak makan sama sekali, hanya makan
sedikit kalau sudah dipaksa-paksa dan diberi nasehat oleh nelayan tua itu.
“Siocia,” nelayan itu memberi nasehat dengan terharu. “Kau benar-benar seorang gadis
berhati mulia dan amat setia kepada kawanmu. Akan tetapi, kongcu telah menderita sakit dan
betapapun juga, kita harus bersabar. Kalau kau menyiksa dirimu sendiri, tidak tidur dan tidak
makan, bagaimana kalau kau sampai menderita sakit pula? Bukankah hal itu membuat
keadaan menjadi makin buruk? Kalau kau jatuh sakit pula, siapa yang akan merawat kongcu?
Aku sudah tua dan bodoh. Bagaimana aku dapat mengurus kalian berdua kalau keduanya
jatuh sakit? Maka dari itu, makanlah siocia, biarpun hanya sedikit!”
Setelah diberi nasehat dan dibujuk-bujuk, barulah Cui Giok mau makan sedikit bubur, akan
tetapi apabila ia memandang ke arah Gwat Kong, ia melepaskan mangkuk buburnya lagi.
Dengan telaten ia menyuapkan bubur ke mulut Gwat Kong dan selama tiga hari itu biarpun ia
makan sedikit bubur, namun ia sama sekali tak pernah tidur.
Ketika Gwat Kong sadar dan melihat keadaan Cui Giok, ia bangun dan dibantu oleh Cui
Giok, ia duduk. Tubuhnya masih lemah, akan tetapi tidak panas lagi dan kepalanya tidak
pusing.
“Bagaimana, Gwat Kong? Apakah masih merasa sakit dan pusing?” tanya Cui Giok penuh
perhatian.
Gwat Kong menggeleng kepalanya. “Aaah, apakah selama ini aku tidur saja? Alangkah
malasnya. Sudah berapa lamakah aku tertidur? Kita telah sampai di mana?” Ia memandang ke
darat di mana nelayan tua itu sedang memanggang ikan.
“Kau menderita demam,” kata Cui Giok dan wajahnya berseri girang karena ternyata bahwa
pemuda itu telah sembuh betul.
“Tubuhmu panas sekali, membikin aku dan lopek merasa gelisah dan bingung.”
“Akan tetapi, kau ... kenapa kau kurus sekali...?”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 257
Dengan penuh perhatian Gwat Kong memandang kepada Cui Giok yang segera menundukkan
mukanya. Setelah hatinya menjadi lapang melihat Gwat Kong sembuh, ia merasa lelah dan
mengantuk sekali.
“Aku mengantuk ..... aku mau tidur Gwat Kong.....,” katanya sambil merebahkan diri dalam
perahu itu, berbatalkan lengan. Ia meramkan mata dan .... sebentar saja ia tidur nyenyak
sekali.
Gwat Kong termenung. Ia tidak tahu berapa lama ia telah jatuh sakit. Ia memandang kepada
wajah Cui Giok yang tidur nyenyak. Gadis itu rebah dengan tubuh miring, menghadap
kepadanya. Ia mengamati wajah yang agak pucat dan kurus itu, dan iapun merasa heran.
Mengapa Cui Giok nampak seperti orang sakit? Dan mengapa pula pada pagi hari gadis itu
demikian mengantuk sehingga jatuh pulas begitu tubuhnya dibaringkan?
Perahu bergoyang sedikit ketika nelayan masuk ke dalam perahu membawa poci teh dan
mangkok bubur.
“Makanlah bubur ini, kongcu. Aku girang sekali kau dapat bangun pagi ini.”
Gwat Kong menjadi amat terharu. “Berapa lama aku menderita sakit dan tidur saja, lopek?”
Kakek itu memandangnya dan mulutnya tersenyum. “Berapa lama? Tak kurang dari tiga
malam, kongcu! Kau selama itu tidak ingat menderita demam panas, membuat kami merasa
khawatir sekali.”
Gwat Kong tercengang dan makin terharu, “Aaah .... dan selama itu kau merawatku, lopek?
Alangkah berbudi hatimu. Aku harus menyatakan terima kasihku kepadamu.”
“Berbudi? Terima kasih kepadaku? Kongcu, kalau mau bicara tentang budi dan terima kasih,
jangan tujukan itu kepadaku, akan tetapi kepada siocia ini. Dialah yang merawatmu selama
itu!”
Gwat Kong memandang ke arah Cui Giok yang masih tidur nyenyak.
“Dia ...?” tanyanya terharu.
Kakek itu mengangguk-angguk. “Belum pernah aku melihat seorang gadis sedemikian setia
dan mulia. Ia pasti menyintaimu dengan sepenuh hati dan jiwanya. Tahukah kau, kongcu
bahwa dia selama tiga malam ini sedikitpun tidak pernah tidur? Bahkan dia hampir tidak
makan sama sekali. Dan tak pernah pergi dari sisimu, menjagamu, merawatmu, menyuapkan
bubur kepadamu. Bahkan ..... tidak jarang ia menangisimu.”
Gwat Kong merasa betapa lehernya seakan-akan tercekik ketika sedu-sedan keharuan naik
dari dalam dadanya.
“Be .... benarkah, lopek?”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 258
“Mengapa tidak benar?” Kakek itu mengangguk-angguk lagi. “Dia menjaga dan merawatmu
bagaikan seorang ibu merawat anaknya, penuh kasih sayang dan kalau tidak ada dia, entah
akan bagaimana jadinya dengan kau, kongcu. Kau benar-benar bahagia mendapat cinta kasih
seorang gadis semulia dia ini ...” Kakek itu mengangguk-angguk lagi, dan keluar dari perahu
itu.
Bukan main terharunya hati Gwat Kong. Ia menatap wajah Cui Giok yang kurus dan pucat.
Tak terasa lagi dua titik air mata turun dan mengalir di pipinya. Alangkah mulia hati gadis ini,
pikirnya. Gadis yang cantik dan luar biasa gagahnya ini, yang berkepandaian tinggi, telah
merawatnya, menjaganya sampai tiga malam tanpa tidur sehingga muka menjadi pucat dan
kurus.
Ah, bukan main. Hampir tak dapat dipercaya. Dengan perlahan Gwat Kong lalu
menanggalkan mantel yang tadinya diselimutkan kepada tubuhnya itu, mantel merah
kepunyaan Cui Giok. Ia lalu menghampiri gadis itu dan dengan hati-hati ia menyelimuti tubuh
gadis itu.
Kemudian ia duduk termenung lagi. Pikirannya bingung. Teringat ia kepada Tin Eng gadis
yang dicintainya itu. Kemudian ia teringat akan penuturan nelayan tadi, tentang kecintaan dan
kesetiaan Cui Giok. Ia menjadi bingung sekali memikirkan ini semua.
Setelah matahari naik tinggi, Cui Giok membuka matanya melihat Gwat Kong duduk di
dekatnya. Ia segera berbangkit dan kata-kata pertama yang keluar dari mulutnya, ialah,
“Gwat Kong, apakah kau sudah sembuh betul? Tidak merasa sakit lagi?”
Ucapan ini mengharukan hati Gwat Kong benar. Dari ucapan yang sederhana ini terjamin
cinta kasih gadis itu yang amat besar. Begitu bangun dari tidur, yang menjadi perhatian
pertama adalah keadaannya. Gwat Kong tak dapat menahan keharuan hatinya. Ia memegang
kedua tangan gadis itu dan sambil memandangnya tajam ia berkata dengan suara gemetar
penuh perasaan,
“Cui Giok, alangkah mulia hatimu. Aku berterima kasih kepadamu, dan aku ... aku berhutang
budi kepadamu. Percayalah bahwa selama aku hidup, aku takkan melupakan kamu dan
hatimu ini ...”
Merahlah wajah Cui Giok. Untuk beberapa lama ia menatap wajah pemuda itu dengan
pandang mata yang mesra sekali, karena seluruh perasaan hatinya terpancar keluar dari
pandang mata ini. Akan tetapi ia segera menundukkan muka dan menarik kedua tangannya.
“Aaah, baru saja sembuh kau sudah berlaku aneh, Gwat Kong. Di antara kita untuk apa
berhutang budi. Gwat Kong mengapa kau sampai terluka? Ceritakanlah pengalamanmu di
Kiang-sui. Aku sudah tak sabar lagi untuk mendengar ceritamu itu.”
Maka berceritalah Gwat Kong tentang pengalamannya di Kiang-sui. Betapa Tin Eng ditawan,
dipaksa pulang oleh Ang Sun Tek. Beberapa lama kemudian Tin Eng minta pertolongannya
untuk membantu anak murid Hoa-san-pai mencari harta pusaka yang juga dicari oleh Ang
Sun Tek bersama kawan-kawannya. Juga ia menceritakan tentang pertempurannya melawan
Liok-te Pat-mo dan perwira-perwira lain.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 259
“Ah, kalau saja aku tahu bahwa Liok-te Pat-mo berada di Kiang-sui, tentu aku akan pergi
mencari mereka di sana,” kata Cui Giok setelah mendengar penuturan ini. “Gwat Kong,
biarlah sekarang aku pergi ke Kiang-sui untuk menantang mereka.”
“Jangan, Cui Giok. Aku telah mengajukan tantangan kepada mereka dan juga sudah
menyebutkan namamu. Agaknya Ang Sun Tek bersedia menghadapi kita di Sian-nang dan
diam-diam aku telah mengadakan perjanjian ini dengan dia. Bahkan ketika aku terdesak, ia
sengaja tidak mau membunuhku, hanya melukai pundakku, agaknya untuk memberi
kesempatan agar aku dan kau kelak dapat bertempur dengan Pat-kwa-tin di Sian-nang. Lagi
pula, sekarang mereka tidak berada di Kiang-sui lagi, karena mereka bertugas pula mencari
harta pusaka itu di Hong-san. Maka dari itu, kalau kau tidak berkeberatan, Cui Giok, marilah
kita pergi ke Hong-san lebih dahulu.”
“Hmm kau hendak mencarikan harta pusaka itu untuk Tin Eng?” Aneh, tiap kali menyebut
nama Tin Eng, suara gadis ini gemetar, dan sinar matanya memancarkan cahaya ganjil.
“Itu hanya soal kedua, Cui Giok. Harta pusaka itu adalah hak milik kedua saudara Phang yang
masih muda, keturunan dari Pangeran Phang Thian Ong. Yang terpenting bagiku adalah
membantu murid-murid Hoa-san-pai, karena apabila mereka bertiga itu, yakni yang bernama
Tan Kui Hwa, Pui Kiat dan Pui Hok, sampai bersua dengan rombongan perwira kerajaan,
mereka tentu akan mendapat bencana besar. Pula, selain maksud tersebut, kitapun akan dapat
bertemu dengan Liok-te Pat-mo di tempat itu sehingga kita sekalian dapat menghadapi
mereka dalam pibu. Bukankah ini berarti sekali bekerja banyak hasilnya?”
Cui Giok terpaksa harus menyatakan setujunya, oleh karena memang alasan pemuda itu kuat
sekali. Liok-te Pat-mo sedang pergi ke Hong-san, maka untuk apa mencari mereka ke kota
raja?”
“Baiklah, Gwat Kong. Akan tetapi, apakah kau sudah kuat betul untuk melakukan perjalanan
ke sana?”
Gwat Kong tersenyum. “Tidak percuma kau merawatku selama tiga malam ini, Cui Giok.
Aku sudah sembuh betul dan kalau digunakan untuk melakukan perjalanan darat, tentu
kekuatanku akan timbul kembali.”
Mereka lalu berkemas dan menyatakan keinginan mereka kepada nelayan tua itu.
“Lopek,” kata Gwat Kong. “Kami terpaksa meninggalkan perahumu untuk melanjutkan
perjalanan melalui darat. Besar jasamu untuk kami, lopek dan tak lupa kami menyatakan
terima kasih kami. Terimalah sedikit uang ini sekedar pembalas jasamu.” Gwat Kong
menyerahkan uang sepuluh tail kepada kakek itu.
Nelayan itu menghela napas. “Kongcu, selama aku menjadi nelayan, baru kali ini aku merasa
beruntung mempunyai penumpang-penumpang seperti kongcu dan siocia. Aku merasa
seakan-akan melakukan pelayaran dengan keluarga sendiri. Mudah-mudahan kalian berdua
selamat dan bahagia, kongcu dan besar harapanku kelak kita akan dapat bertemu pula.”
Juga Cui Giok menyatakan terima kasihnya dan sebagai tanda jasa, ia memberi sebuah hiasan
rambut dari pada emas. Kakek itu menerimanya dengan penuh kegirangan.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 260
Maka berangkatlah Cui Giok dan Gwat Kong meninggalkan perahu itu, langsung menuju ke
selatan untuk pergi ke Hong-san. Pada hari-hari pertama mereka melakukan perjalanan
seenaknya dan lambat karena kesehatan Gwat Kong baru saja sembuh. Akan tetapi, tiga hari
kemudian, Gwat Kong sudah sembuh sama sekali dan mereka dapat melakukan perjalanan
dengan cepat mempergunakan ilmu lari cepat. Setelah mereka tiba di pantai sungai Huang-ho
mereka lalu membelok ke kiri, menuju ke timur karena bukit Hong-san terletak di lembah
sungai Huang-ho sebelah timur.
Pada suatu hari, ketika mereka sedang berlari cepat melalui sebuah hutan, tiba-tiba dari depan
mereka melihat seorang kakek tua yang rambutnya putih, pakaiannya putih bersih penuh
tambalan. Biarpun kakek itu berjalan dibantu oleh tongkatnya, akan tetapi kedua kakinya
seakan-akan tidak mengambah bumi.
Cui Giok mengeluarkan seruan heran dan terkejut menyaksikan ilmu ginkang yang
sedemikian hebatnya, akan tetapi Gwat Kong berseru dengan girang,
“Suhu ........!”
Memang kakek itu bukan lain adalah Bok Kwi Sianjin, pencipta ilmu tongkat Sin-hong Tunghoat,
yang pernah melatih ilmu silat itu kepada Gwat Kong. Sebagaimana diketahui, tempat
pertapaan kakek sakti ini memang dekat sungai Huang-ho.
Melihat Gwat Kong yang berlutut di depannya, dan juga seorang nona cantik jelita yang
gagah berlutut pula di depannya di sebelah Gwat Kong, kakek itu nampak girang sekali.
“Bagus! Memang agaknya Thian menaruh kasihan kepada sepasang kakiku yang tua sehingga
kita dapat bertemu di sini. Gwat Kong, siapakah kawanmu yang manis dan gagah ini?”
“Suhu, dia ini Sie Cui Giok, cucu dari Sie Cui Lui locianpwe. Dialah yang menjadi ahli waris
Im-yang Siang-kiam-hoat!”
Tercenganglah kakek itu mendengar keterangan ini. Tak disangkanya sama sekali bahwa Imyang
Siang-kiam-hoat terjatuh ke dalam tangan seorang gadis muda secantik ini.
“Ah, bagus, bagus! Nona, aku kenal baik kepada kakekmu Sie Cui Lui itu!”
Dengan amat hormatnya, Cui Giok berkata,
“Locianpwe, harap sudi menerima hormat dari aku yang muda dan bodoh.”
Kakek itu tertawa bergelak. “Gwat Kong, apakah kau sudah mencoba Im-yang Siang-kiam
dengan tongkatmu?”
“Sudah suhu. Pada pertemuan teecu dengan nona ini, kami telah bertempur.”
“Bagaimana keadaannya? Kau kalah?”
Gwat Kong hanya tersenyum sambil melirik ke arah Cui Giok. Gadis itulah yang menjawab
sambil tersenyum pula,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 261
“Teeculah yang kalah, Sin-hong Tung-hoat benar-benar lihai!”
“Jangan percaya kepadanya, suhu,” Gwat Kong membantah. Kalau teecu tidak menggunakan
Sin-hong Tung-hoat digabung Sin-eng Kiam-hoat tentu teecu yang kalah.”
Kembali kakek itu tertawa. Ia nampak senang sekali. “Dan apakah kalian pernah bertemu
dengan ahli waris Pat-kwa-tin dan mencoba kelihaiannya?”
Dengan singkat Gwat Kong lalu menuturkan tentang pertemuannya dengan Ang Sun Tek,
bahkan ia menuturkan tentang riwayat jahat dari Ang Sun Tek. Kemudian ia menuturkan pula
tentang perjalanannya menuju Hong-san.
Setelah mendengar semua penuturan itu dengan sabar, kakek itu berkata, “Kalau kalian
berdua yang maju menghadapi Liok-te Pat-mo, kalian takkan kalah. Gwat Kong, kalau bisa
perjalanan ke Hong-san itu baik kau tunda dulu karena ada hal yang lebih penting dari pada
itu. Ketahuilah bahwa murid-murid Go-bi-pai yang dikepalai oleh Seng Le Hosiang telah
mengadakan tantangan untuk bertempur mati-matian dengan anak murid Hoa-san-pai yang
dikepalai oleh Sin Seng Cu dan Thian Seng Cu. Mereka itu hendak mengadakan pertempuran
di puncak Thaysan pada permulaan musim Chun. Hal ini berbahaya sekali dan sudah menjadi
kewajiban kita untuk berusaha mencegahnya. Aku mendapat tahu bahwa tantangan bertempur
mengadu jiwa itu bukanlah kehendak ketua Go-bi-pai atau tokoh besar Hoa-san-pai. Oleh
karena itu, hal ini harus diberitahukan kepada Thay Yang Losu, ketua Go-bi-pai dan kepada
Pek Tho Sianjin ketua Hoa-san-pai. Dengan adanya campur tangan kedua orang tua itu, tentu
pertempuran dapat dicegah dan permusuhan yang bodoh itu akan dilenyapkan. Tadinya aku
sendiri hendak pergi ke Gobi dan Hoasan. Akan tetapi karena ada kau di sini, kau harus
membantuku dan mewakili aku pergi ke Gobi dan Hoasan.”
“Akan tetapi, suhu. Bagaimana dengan anak murid Hoa-san-pai di Hong-san nanti? Mereka
terancam oleh Liok-te Pat-mo dan para perwira kerajaan,” kata Gwat Kong ragu-ragu.
Bok Kwi Sianjin merasa ragu-ragu juga. “Ah, benar sulit.”
“Locianpwe,” tiba-tiba Cui Giok berkata. Karena kita bertiga dan hal yang perlu dilakukan
juga tiga macam, mengapa sulit?” Kemudian ia memandang kepada Gwat Kong dan berkata,
“Urusan di Hong-san itu serahkan saja kepadaku, pasti beres. Kalau kau mewakili locianpwe
ke Hoasan, yang tak berapa jauh dari sini, kemudian kau menyusul ke Hong-san. Bukankah
hal itu akan beres mudah saja?”
Bok Kwi Sianjin tertawa tenang. “Nona Sie, kau benar-benar cerdik seperti kakekmu. Ha ha
ha! Baik, demikianlah harus diatur, Gwat Kong. Aku sudah lama tidak bertemu dengan Thay
Yang Losu di Gobi, maka biarlah aku pergi ke Gobisan, sedangkan kau pergilah ke Hoasan
membawa surat dariku untuk Pek Tho Sianjin. Nona ini bisa mewakili kau pergi ke Hong-san
untuk membantu anak-anak murid Hoa-san-pai apabila mereka terancam bahaya.”
Terpaksa Gwat Kong menerima perintah ini. Kakek sakti itu lalu membuat sepucuk surat
untuk ketua Hoa-san-pai kemudian ia tinggalkan kedua orang muda itu.
Cui Giok, kau berhati-hatilah. Kalau bertemu dengan Liok-te Pat-mo, harap kau berlaku hatihati
sekali, karena mereka itu benar-benar lihai.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 262
Gadis itu tersenyum. “Jangan khawatir, Gwat Kong. Kuharap saja kau tidak terlalu lama di
Hoasan dan segera menyusul ke Hong-san. Oh, ya, siapa namanya ketiga anak murid Hoasan-
pai itu? Aku lupa lagi.”
“Seorang gadis bernama Tan Kui Hwa dan dua orang pemuda kakak beradik bernama Pui
Kiat dan Pui Hok.”
“Nah, selamat berpisah, Gwat Kong.” Gadis itu membalikkan tubuh dan melanjutkan
perjalanan ke Hong-san. Gwat Kong berdiri memandang sampai bayangan Cui Giok lenyap di
balik pohon. Kemudian iapun lalu lari cepat menuju ke Hoasan.
Karena ia amat tergesa-gesa hendak segera sampai di Hoasan dan segera kembali lagi ke
Hong-san, maka biarpun perjalanannya ini melalui Kiang-sui, Gwat Kong tidak berhenti.
Bahkan tidak mau masuk ke kota itu untuk menghindarkan rintangan perjalanannya.
Ketika ia tiba di Hoasan dan mendaki bukit itu, orang pertama yang menyambutnya adalah ....
Sin Seng Cu, tosu yang berangasan dan berwatak keras itu.
“Kau ....?” Tosu itu membentak marah. “Apa kehendakmu naik ke Hoasan?”
Gwat Kong menjura dan memberi penghormatan sepantasnya.
“Totiang, perkenankanlah aku menghadap kepada Pek Tho Sianjin.”
Pek Tho Sianjin adalah susiok (paman guru) dari Sin Seng Cu dan kakek itu pada waktu itu
menjadi orang tertua dan tokoh tertinggi di Hoasan. Heran dan curigalah hati Sin Seng Cu
mendengar bahwa pemuda ini hendak menghadap susioknya.
“Apa kehendakmu minta menghadap kepada susiok?”
“Totiang, maksud kedatanganku ini hanya dapat kuberitahukan kepada Pek Tho Sianjin
sendiri, dan aku datang atas perintah suhuku yakni Bok Kwi Sianjin membawa surat suhu
untuk diberikan kepada Pek Tho Sianjin.”
“Hmm, orang tua itu mau apakah berurusan dengan kami orang-orang Hoa-san-pai?” Akan
tetapi biarpun ia berkata demikian, namun ia tidak berani menghalangi kehendak pemuda itu.
Sebagai tuan rumah, ia masih mempunyai kesabaran dan tahu aturan.
“Ikutlah padaku!” katanya tanpa banyak cakap lagi. Gwat Kong mengikutinya naik ke puncak
dan masuk ke dalam sebuah kuil di puncak.
Mereka masuk ke dalam ruang dalam di mana Pek Tho Sianjin sedang duduk bersila di atas
bangku dan beberapa orang tosu sedang duduk dihadapannya. Agaknya kakek itu sedang
memberi wejangan dan pelajaran ilmu batin tentang agama To kepada murid-muridnya.
“Maaf susiok, teecu berani mengganggu. Ada seorang murid dari Bok Kwi Sianjin datang
menghadap membawa surat dari orang tua itu,” kata Sin Seng Cu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 263
Pek Tho Sianjin memandang kepada Gwat Kong dan pemuda itu tercengang melihat betapa
kakek yang sudah amat tua itu memiliki sepasang mata yang mengeluarkan sinar tajam
berpengaruh. Ia cepat menjatuhkan diri berlutut hormat di depan kakek itu.
“Locianpwe, teecu Bun Gwat Kong murid dari Bok Kwi Sianjin datang menghadap.”
“Ah, sudah belasan tahun pinto (aku) tidak bertemu dengan Bok Kwi Sianjin. Tidak tahunya
ia telah mempunyai seorang murid yang gagah.” Kakek itu menarik napas panjang. Kemudian
ia berkata kepada murid-muridnya,
“Keluarlah kalian dan pikirkan baik-baik semua pelajaran tadi.”
Semua tosu yang tadi duduk di depannya, meninggalkan tempat itu akan tetapi Sin Seng Cu
tetap duduk di tempatnya.
“Sin Seng Cu, kau juga keluarlah dan biarkan pinto bicara sendiri dengan anak muda ini.”
Biarpun hatinya merasa tidak puas sekali, akan tetapi Sin Seng Cu tak berani membantah dan
ia meninggalkan tempat itu dengan penasaran.
“Anak muda, ada keperluan apakah maka suhumu sampai menyuruhmu datang di tempat
ini?”
“Teecu membawa sepucuk surat dari suhu untuk menyampaikan kepada locianpwe,” kata
Gwat Kong yang lalu mengeluarkan surat itu dari saku bajunya dan menyerahkan surat itu
dengan hormat kepada Pek Tho Sianjin.
Kakek itu menerima dan membaca surat itu. Berkali-kali terdengar ia menghela napas.
Kemudian terdengar ia berkata,
“Memang Bok Kwi Sianjin lebih benar, tidak mau mengikatkan diri dengan perguruanperguruan
dan tidak mau mempunyai banyak murid. Eh, Gwat Kong, menurut surat gurumu,
kau dapat menceritakan tentang pertikaian yang timbul di antara golongan Go-bi-pai dan
golongan kami. Sebetulnya, bagaimanakah soalnya?”
Bingunglah Gwat Kong mendapat pertanyaan ini. Sebenarnya ia adalah seorang luar yang
tidak mengetahui sejelas-jelasnya tentang pertikaian itu, yang ia ketahui hanya dari
pengalaman-pengalamannya dan dari penuturan kedua saudara Pui. Maka ia menjawab
dengan hati-hati,
“Locianpwe, semua permusuhan tentu ada sebabnya dan dalam permusuhan Go-bi-pai dan
Hoa-san-pai ini, menurut pendapat teecu yang muda dan bodoh, disebabkan oleh sifat tidak
mau mengalah. Menurut pendengaran teecu, pertama-tama disebabkan oleh pibu yang
dilakukan oleh Seng Le Hosiang dari Go-bi-pai dan Sin Seng Cu dari Hoa-san-pai. Kekalahan
Seng Le Hosiang membuat murid-murid Go-bi-pai merasa penasaran dan menaruh dendam.
Oleh karena sudah ada bahan ini, apabila murid Hoa-san-pai bertemu dengan murid Go-bipai,
keduanya tidak mau mengalah. Murid Gobi merasa penasaran dan hendak membalas
kekalahan sedangkan murid Hoasan merasa lebih tinggi karena kemenangannya, maka
pertempuran-pertempuran tak dapat dicegah lagi. Sekarang menurut penuturan suhu, kedua
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 264
pihak hendak mengadakan pertempuran besar, maka kalau locianpwe tidak turun tangan
mendamaikan, tentu akan jatuh korban di kedua pihak.”
Pek Tho Sianjin mengangguk-angguk. “Aah, anak-anak itu membikin repot orang tua saja.
Sin Seng Cu beradat keras dan ia perlu ditegur.”
Kakek itu lalu memanggil, “Sin Seng Cu .....!” Terkejutlah Gwat Kong mendengar suara
panggilan ini, karena bukan main nyaringnya sehingga ia merasa selaput telinganya
menggetar dan sakit.
Sin Seng Cu datang menghadap dan berlutut di depan susioknya.
“Sin Seng Cu, perbuatan apalagi kau lakukan untuk mengacau dunia yang sudah kacau ini?
Benarkah kau hendak mengadakan pertempuran besar-besaran dengan pihak Go-bi-pai di
puncak Thaysan pada permulaan musim Chun?”
Sin Seng Cu menundukkan kepalanya akan tetapi matanya mengerling ke arah Gwat Kong,
“Maaf, susiok. Bukan pihak kami yang mulai lebih dahulu. Pihak merekalah yang mencari
permusuhan.”
“Bodoh!” Pek Tho Sianjin membentak. “Lupakah kau bahwa api takkan bernyala kalau tidak
bertemu dengan bahan kering? Lupakah kau telapak tangan kiri takkan mengeluarkan bunyi
keras apabila tidak bertumbuk kepada telapak tangan kanan? Tak mungkin akan ada
permusuhan dan pertempuran apabila pihak yang lain tidak melayani aksi pihak pertama.”
“Ampun, susiok ....,” Sin Seng Cu hanya dapat berkata demikian.
“Awas, jangan kau membawa murid-murid lain untuk permusuhan dengan golongan lain.
Pada permulaan musim Chun, kau dan pinto sendiri yang akan naik ke Thaysan untuk
bertemu dengan tokoh-tokoh Gobi dan di sana kami harus minta maaf kepada mereka.
Mengerti?”
“Baik, susiok.” Sungguh menggelikan dan lucu bagi Gwat Kong ketika melihat seorang tua
seperti Sin Seng Cu itu mendapat marah dan kini menundukkan kepala minta maaf seperti
anak kecil.
“Nah, keluarlah!”
Sin Seng Cu meninggalkan ruang itu dengan kepala tertunduk.
Pek Tho Sianjin berkata kepada Gwat Kong, “Orang yang mempunyai watak keras seperti Sin
Seng Cu itu, hanya mulutnya saja berkata baik, akan tetapi hatinya panas terbakar. Betapapun
juga, ia jujur dan baik. Kau pulanglah, Gwat Kong dan sampaikan kepada suhumu bahwa
pinto berterima kasih atas jasa-jasa baiknya mendamaikan urusan ini.”
Gwat Kong memberi hormat dan keluar dari ruangan itu, terus turun gunung. Akan tetapi,
ketika ia tiba di lereng gunung Hoasan, Sin Seng Cu telah berdiri menghadang di jalan. Muka
tosu ini kemerah-merahan, tanda bahwa ia marah sekali.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 265
“Tak kusangka sama sekali bahwa Kang-lam Ciu-hiap tak lain hanya seorang pemuda dengan
mulut tajam bagaikan ular yang hanya pandai mengadukan orang lain. Sebetulnya, kau
perduli apakah dengan urusan kami orang Hoa-san-pai, maka berani lancang mengadukan
urusan kami kepada susiok?”
Gwat Kong maklum bahwa ia menghadapi seorang berwatak keras dan sukar diajak
berunding, maka jawabnya sabar,
“Totiang, harap kau suka berlaku tenang dan sabar. Aku datang bukan untuk mengadu
sebagaimana yang kau kira, akan tetapi aku membawa surat suhu kepada susiokmu. Suhu
melihat bahwa apabila pertempuran yang hendak kau adakan di puncak Thaysan melawan
orang-orang Go-bi-pai itu dilanjutkan, maka akan jatuh banyak korban dan hal ini tentu saja
tidak baik bagi orang-orang dunia persilatan seperti kita.
SEBAB-sebabnya terlampau kecil untuk direntang panjang dan untuk dijadikan alasan
pertempuran mengadu jiwa. Seharusnya kau berterima kasih kepada usaha suhu yang baik ini.
Mengapa kau bahkan marah-marah?”
“Aku tak butuh pendamai seperti suhumu atau kau! Kau mengandalkan apakah maka berani
berlancang mulut? Apakah kepandaianmu sudah cukup tinggi maka kau berani sesombong
ini? Coba kau hadapi tongkatku kalau kau memang gagah! Sambil berkata demikian, Sin
Seng Cu mengeluarkan senjatanya Liong-thow-koay-tung, yakni tongkat kepala naga yang
hebat itu.
“Sabar, totiang. Janganlah menambah kesalahan dengan kekeliruan yang lain lagi!” Gwat
Kong mencoba menyabarkan, akan tetapi ucapan ini bukan menambah kemarahan Sin Seng
Cu reda.
“Anak sombong! Kau mencoba untuk memberi wejangan kepadaku?” Sambil berkata
demikian, tongkatnya menyambar dan memukul ke arah kepala Gwat Kong yang segera
mengelak dan mencabut pedang dan sulingnya sambil berkata,
“Totiang, menyesal sekali aku harus mengadakan perlawanan untuk membela diri!”
“Jangan banyak cakap!” teriak Sin Seng Cu dan menyerang lagi dengan lebih ganas.
Gwat Kong menangkis dan melawan sambil mengeluarkan dua macam ilmu silatnya yang
lihai, yakni tangan kanan memegang pedang mainkan Sin-eng Kiam-hoat, sedangkan suling
di tangan kiri digerakkan menurut ilmu silat Sin-hong Tung-hoat.
Sin Seng Cu dalam kemarahannya merasa terkejut sekali melihat hebatnya suling dan pedang
itu yang menyambar-nyambar bagaikan seekor garuda dan seekor burung Hong,
mendatangkan angin dingin dan sinarnya menyilaukan mata. Karena gerakan suling dan
pedang itu amat berlainan, maka sungguh sukarlah menjaga serangan kedua senjata itu.
Terpaksa ia memutar tongkatnya sedemikian rupa untuk melindungi tubuhnya dan membalas
dengan serangan dahsyat. Namun tetap saja ia terdesak hebat. Dari jurus pertama ia sudah
tertindih dan terdesak oleh gerakan pedang dan suling itu sehingga diam-diam ia merasa
kagum sekali. Tak disangkanya bahwa setelah mendapat latihan dari Bok Kwi Sianjin,
pemuda ini menjadi demikian lihai.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 266
Bab 29 ...
BARU saja bertempur tiga puluh jurus lebih, Sin Seng Cu sudah tak dapat bertahan dan
bersilat sambil mundur. Ketika suling Gwat Kong menusuk ke arah leher, ia menangkis
dengan gagang tongkat yang berbentuk kepala naga, akan tetapi pedang Gwat Kong
menyambar ke arah pinggang. Terpaksa ia membalikkan tongkatnya menangkis dan terdengar
suara keras “Trang!” sehingga bunga api memancar keluar. Alangkah kagetnya Sin Seng Cu
ketika melihat betapa ujung tongkatnya telah putus.
Namun tosu yang keras hati ini belum mau mengaku kalah dan hendak menyerang lagi, akan
tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,
“Sin Seng Cu, mundur kau!”
Sin Seng Cu terkejut karena bentakan ini adalah suara susioknya. Gwat Kong cepat
menyimpan suling dan pedangnya, lalu menjura kepada Pek Tho Sianjin yang tahu-tahu telah
berdiri di situ.
“Mohon maaf sebanyak-banyaknya, locianpwe. Teecu terpaksa berani bertempur dengan Sin
Seng Cu totiang.”
Akan tetapi Pek Tho Sianjin berpaling kepada Sin Seng Cu dengan marah. “Tak malukah
kau? Kau menyerang seorang muda dan akhirnya kau kalah. Orang seperti kau ini benarbenar
membikin malu nama Hoa-san-pai. Hayo naik ke atas dan tutup dirimu di dalam kamar
dan jangan keluar sebelum pinto datang!”
Bagaikan seekor anjing kena pukulan, Sin Seng Cu berlutut di depan susioknya dan berkata,
“Teecu bersedia dihukum, susiok. Akan tetapi, Gwat Kong ini terlalu berat sebelah. Dia hanya
menegur dan memperingatkan teecu sedangkan terhadap Gobi dia menutup mulut.”
“Suhu pergi ke Gobisan untuk mendamaikan hal ini dengan Thay Yang Losu,” kata Gwat
Kong.
“Hm, kau mau berkata apa lagi?” Pek Tho Sianjin menegur Sin Seng Cu.
“Ampun, susiok hendaknya diketahui bahwa penggerak Seng Le Hosiang untuk memusuhi
teecu adalah seorang pembesar di Kiang-sui bernama Liok Ong Gun. Seng Le Hosiang
bersekutu dengan Bong Bi Sianjin dari Kim-san-pai dan mendekati orang-orang besar di
kerajaan untuk memusuhi Hoa-san-pai. Gwat Kong ini dahulunya adalah pelayan dari Liok
Ong Gun dan ia tidak pernah menegur pembesar itu. Bahkan teecu meragukan apakah dia
tidak membantu pembesar itu dengan diam-diam?”
Hal ini benar-benar tak diduga oleh Pek Tho Sianjin, maka ia lalu memandang kepada Gwat
Kong dan bertanya,
“Benarkah ini?”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 267
“Locianpwe, tidak teecu sangkal bahwa dahulu teecu memang menjadi pelayan di gedung
Liok-taijin. Akan tetapi bohonglah kalau dikatakan bahwa teecu membantu usaha Liok-taijin
untuk mengadakan permusuhan dengan pihak Hoa-san-pai.”
“Susiok, Liok-taijin atau Liok Ong Gun itu adalah anak murid Go-bi-pai!” kembali Sin Seng
Cu berkata untuk memanaskan hati susioknya.
“Hm, kalau benar demikian, keadaanmu sulit sekali, Gwat Kong,” kata tokoh besar Hoa-sanpai
itu. “Anak muda, untuk menghilangkan tuduhan Sin Seng Cu sudah sepatutnya kalau kau
menemui Liok Ong Gun itu untuk memberi peringatan dan nasehat agar ia jangan
melanjutkan usahanya yang buruk itu. Beranikah kau?”
Kalau saja Pek Tho Sianjin bertanya, “Maukah kau?” Mungkin Gwat Kong akan menyatakan
keberatannya. Akan tetapi karena tokoh besar Hoasan itu bertanya, “Beranikah kau?” terpaksa
ia menjawab,
“Tentu saja teecu berani, locianpwe.”
“Nah, Sin Seng Cu, kembali kau terpukul kalah. Dengarlah bahwa anak muda itu akan pergi
menemui Liok Ong Gun dan memberi peringatan kepadanya. Maka jangan kau banyak rewel
lagi. Hayo, lekas naik ke atas dan lakukan perintahku tadi!”
Maka pergilah Sin Seng Cu sambil berlari cepat ke atas puncak.
“Gwat Kong, Sin-eng Kiam-hoat dan Sin-hong Tung-hoat yang kau perlihatkan tadi benarbenar
indah dan hebat. Kau benar-benar tidak mengecewakan menjadi murid Bok Kwi Sianjin
dan kau patut pula menjadi pendamai pertikaian antara Go-bi-pai dan Hoa-san-pai. Selamat
jalan, anak yang baik!”
Gwat Kong memberi hormat lalu berlari, turun gunung. Hatinya rusuh dan gelisah. Ia telah
berjanji akan mengunjungi Liok Ong Gun untuk memberi nasehat dan peringatan! Ah,
bagaimana ia dapat melakukan hal itu? Apakah akan kata Tin Eng apabila ia melihat ayahnya
dinasehati dan diperingatkan, yang merupakan hinaan bagi seorang pembesar tinggi seperti
Liok-taijin? Akan tetapi, ia telah berjanji dan sebagai seorang gagah, ia harus memegang
teguh janjinya itu dan menemuinya, apapun yang akan menjadi halangannya.
Perjalanan ke Hong-san melalui Kiang-sui, maka ia hendak mampir di kota itu sebentar,
menemui Liok Ong Gun dan menyampaikan nasehat dan peringatannya. Mudah-mudahan
saja Tin Eng takkan melihatnya. Setelah menyampaikan nasehat itu, tidak perduli diturut atau
tidak, ia akan cepat meninggalkan kota itu menyusul Cui Giok di Hong-san. Ia tidak takut
menghadapi siapapun juga. Yang menggelisahkan hatinya hanya Tin Eng seorang.
Makin dekat dengan Kiang-sui, makin gelisahlah hatinya. Karena ia tiba di kota itu sudah
malam, ia merasa ragu-ragu untuk mendatangi gedung Liok-taijin dan semalam suntuk Gwat
Kong berada di sekeliling gedung itu, tak berani melakukan niatnya, takut kalau-kalau hal ini
akan menyakiti hati Tin Eng, gadis yang dicintainya.
Akan tetapi, pada keesokan harinya, karena ia melihat di gedung itu sunyi saja dari luar, ia
membesarkan hatinya dan dengan gagah ia memasuki pekarangan depan gedung itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 268
Seorang pelayan yang kebetulan membersihkan meja kursi di ruangan depan, ketika melihat
pemuda itu memasuki pekarangan, memandang dengan mata terbelalak. Nama Gwat Kong
menggemparkan seluruh penduduk Kiang-sui, semenjak pemuda itu bertempur dan dikeroyok
pada waktu pemuda itu mengunjungi Tin Eng. Terutama sekali para pelayan di gedung
keluarga Liok.
Mereka terheran-heran karena bagaimana pelayan muda itu kini telah menjadi seorang yang
berkepandaian demikian tinggi? Pelayan yang sedang bekerja itu, ketika Gwat Kong
melangkah masuk dengan gagahnya, menjadi terkejut dan takut. Tak terasa lagi ia bangkit
berdiri dan berlari masuk bagaikan dikejar setan. Ia segera memberi laporan kepada Lioktaijin
yang pada saat itu sedang mengadakan pertemuan dan perundingan dengan Seng Le
Hosiang, Gan Bu Gi, dan seorang muda murid Kim-san-pai, yakni sute dari Gan Bu Gi.
Mereka sedang membicarakan tentang maksud mengadakan pertempuran melawan orangorang
Hoa-san-pai.
Alangkah marah dan herannya Liok-taijin ketika mendengar laporan pelayannya bahwa Bun
Gwat Kong mendatangi dari luar. Ia hendak keluar, akan tetapi dicegah oleh Seng Le Hosiang
yang berkata,
“Biarlah aku menemui anak muda yang lancang itu!”
Dengan tindakan lebar, Seng Le Hosiang keluar dari ruang dalam dan benar saja, ketika ia
tiba di ruangan depan, ia melihat Gwat Kong masuk dengan tenang dan gagah. Biarpun
hatinya tercengang melihat Seng Le Hosiang berada di tempat itu, namun ia dapat
menenangkan hatinya dan berkata sambil menjura dan tersenyum,
“Ah, tidak tahunya Losuhu juga berada di sini. Apakah selama ini losuhu baik-baik saja?”
Seng Le Hosiang telah mendengar tentang keadaan Gwat Kong, maka kini melihat munculnya
pemuda ini, diam-diam ia memuji keberanian anak muda ini.
“Kau ... pelayan muda dahulu itu? Apakah perlumu datang ke sini setelah dahulu membikin
kacau? Apakah kau hendak membuat pengakuan bahwa kau telah membawa lari siocia?”
Bukan main terkejutnya hati Gwat Kong mendengar ini.
“Apa katamu, losuhu? Siapa membawa lari Liok-siocia?”
Pada saat itu, Liok Ong Gun, Gan Bu Gi, dan pemuda sute Gan Bu Gi yang bernama Lui Kun
itu muncul dari pintu.
“Bangsat, kurang ajar!” Liok Ong Gun berseru keras. “Di mana kau sembunyikan Tin Eng?
Kau sungguh seorang yang tak kenal budi. Sudah bertahun-tahun kami memberi tempat
tinggal, makan dan pakaian padamu. Kau diperlakukan dengan baik, akan tetapi apa
balasanmu? Kau menghina kami, mengacau dan menodai nama kami! Bahkan sekarang kau
berani melarikan Tin Eng! Kau benar-benar manusia bo-ceng-bo-gi (tidak punya aturan dan
pribudi), manusia rendah dan jahat.”
Gwat Kong mengangkat muka memandang kepada pembesar itu dengan mata sedih. Ia
kasihan melihat Liok Ong Gun yang nampak sedih, dan menyesal. Pembesar ini memakai
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 269
pakaian biasa saja, berbeda dengan Gan Bu Gi yang berpakaian mentereng dengan tanda
pangkatnya, yang membuat ia nampak tampan seperti seorang pangeran dari istana kaisar.
“Taijin, sebelum hamba mohon maaf sebanyaknya apabila taijin menganggap hamba
mendatangkan bencana kepada keluarga taijin yang benar-benar telah melimpahkan budi,
kepada hamba.”
Gwat Kong bicara dengan suara terharu oleh karena ia memang tidak melupakan budi
pembesar itu dan dengan merendah ia masih menyebut diri sendiri “hamba” oleh karena
selain bekas majikan, Liok-taijin adalah ayah Tin Eng yang harus dihormati.
“Akan tetapi, seorang rendah dan bodoh seperti hamba ini, dapat membalas jasa apakah?
Hamba hanya mohon kepada Thian semoga taijin akan hidup bahagia dan berusia panjang.
Sesungguhnya taijin tidak sekali-kali hamba berani membujuk atau mengajak lari Liok-siocia
dan sungguh-sungguh hamba tidak tahu kemana perginya siocia. Baru sekarang hamba
ketahui bahwa siocia tidak berada di rumah.”
“Dia bohong!” tiba-tiba Gan Bu Gi membentak marah.
“Taijin,” Gwat Kong melanjutkan kata-katanya tanpa memperdulikan Gan Bu Gi. “Terserah
kepada taijin untuk mempercayai kata-kata hamba atau mempercayai ucapan Gan-ciangkun
yang palsu itu. Ketahuilah terus terang saja hamba baru datang dari Hoasan dan menemui Pek
Tho Sianjin, juga suhu hamba, yakni Bok Kwi Sianjin, sedang pergi ke Gobisan untuk
menemui Thay Yang Losu, perlu untuk membujuk agar supaya pertempuran antara muridmurid
Go-bi-pai dan Hoa-san-pai dapat dicegah. Hamba datang ini sengaja dengan maksud
membujuk kepada taijin agar jangan menuruti maksud jahat dari Seng Le Hosiang untuk
mengadakan pertempuran itu. Ini hamba maksudkan sebagai sekedar pembalasan budi, karena
hamba akan ikut bersedih mendengar taijin terbawa-bawa dalam pertikaian yang tidak sehat
itu. Taijin waspadalah terhadap orang-orang seperti Gan Bu Gi, terutama terhadap orangorang
yang memancing permusuhan dengan segolongan orang gagah. Karena hal ini akan
mendatangkan malapetaka dan pertumpahan darah. Adapun tentang nona Tin Eng, kalau saja
benar dia melarikan diri dari rumah, hamba akan mencoba untuk mencarinya dan
membujuknya pulang.”
Seng Le Hosiang marah sekali mendengar ucapan ini.
“Bangsat kecil kau lancang sekali.” Sambil berkata demikian hwesio itu lalu melompat dan
menerjang Gwat Kong dengan serangan maut, yakni dengan menggunakan pukulan Lui-kongtoat-
beng (Dewa geledek mencabut nyawa). Akan tetapi Gwat Kong mengelak dengan mudah
dan berkata kepada Liok-taijin,
“Maaf, taijin. Lihatlah betapa hwesio ini berdarah panas dan selalu menyerang orang
mengandalkan kepandaiannya!”
Gan Bu Gi dan Lui Kun bergerak hendak membantu Seng Le Hosiang, akan tetapi hwesio itu
membentak,
“Jangan ikut campur! Biar aku hancurkan kepala anak sombong ini!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 270
Gan Bu Gi dan sutenya tidak berani melanjutkan niatnya dan hanya berdiri di belakang
hwesio itu, sedangkan Liok Ong Gun masih berdiri di depan melihat betapa bekas pelayan
muda itu berani menghadapi susiok-couwnya yang lihai.
“Seng Le Hosiang, kalau Thay Yang Losu melihat kelakuanmu ini, tentu kau akan mendapat
jiwiran pada telingamu!”
“Bangsat rendah, mampuslah kau!” bentak Seng Le Hosiang yang sudah marah sekali dan ia
lalu menyerang lagi dengan hebat. Tangan kirinya dipentangkan hendak mencengkeram ke
arah leher Gwat Kong, sedangkan kaki kirinya berbareng mengirim tendangan kilat. Inilah
gerak tipu Pek-ho-liang-ci (Bangau putih pentang sayap) yang dilakukan dengan tenaga
lweekang sepenuhnya.
Cengkeraman itu kalau mengenai leher, tentu akan hancur daging dan kulit dan remuk tulang
leher sedangkan tendangan yang diarahkan kepada kaki Gwat Kong itu cukup hebat untuk
membuat tulang kaki Gwat Kong patah-patah. Akan tetapi Gwat Kong telah memiliki
kepandaian tinggi dan melihat betapa hwesio itu menyerangnya dengan tenaga keras, iapun
hendak melawan dengan kekerasan pula.
Untuk menghindari tendangan lawan, ia melompat ke atas dengan gerak kaki Lo-wan-teng-ki
(Monyet tua loncati cabang). Kemudian tangan kanannya menyambar dengan jari terbuka,
memukul tangan kiri lawan itu sambil mengerahkan tenaga Pek-lek-jiu (si tangan kilat). Dua
tangan itu bertumbuk dan dua tenaga raksasa beradu.
Tubuh Gwat Kong yang sedang melompat itu terpental hampir setombak ke belakang.
Sedangkan Seng Le Hosiang juga terhuyung mundur sampai tiga tindak. Dan karena ia tadi
berdiri dekat meja, maka ketika ia terhuyung mundur, tubuhnya menubruk meja. Sebagai
seorang ahli silat tinggi, tangan kanannya memukul ke belakang dan “brak!!” sebagian meja
kayu yang tebal dan besar itu hancur berkeping-keping.
Akan tetapi, biarpun dalam adu tenaga itu ternyata Gwat Kong masih kalah kuat, namun
pemuda itu tidak terluka, bahkan memandang dengan senyum menghias mulut.
“Masih belum cukupkah kau melampiaskan kemurkaanmu, losuhu?” tanyanya.
Dengan muka merah bagaikan kepiting direbus, Seng Le Hosiang membentak,
“Bangsat kurang ajar! Hari ini kau harus mampus dalam tanganku!” sambil berkata demikian,
Seng Le Hosiang lalu mencabut pedangnya dari punggung.
Ketika masuk ke halaman rumah Liok-taijin tadi, Gwat Kong sengaja menyembunyikan
pedangnya di bawah baju. Karena ia merasa tidak pantas untuk mengunjungi bekas
majikannya dengan pedang tergantung di pinggang. Gwat Kong melihat betapa Seng Le
Hosiang mencabut pedang, ia tidak berani berlaku sembrono. Ia cukup maklum bahwa hwesio
ini amat lihai dan ilmu pedang Go-bi-pai sudah cukup terkenal kehebatannya. Maka iapun
mencabut Sin-eng-kiam dan sekalian ia mengeluarkan suling bambunya yang dipegang di
tangan kiri.
“Bangsat, lihat pedang!” Seng Le Hosiang berseru sambil menyerang dengan pedangnya.
Gwat Kong menangkis dan cepat mengirim serangan balasan. Sebentar saja lenyaplah tubuh
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 271
mereka terbungkus oleh sinar pedang yang bergulung-gulung bagaikan awan putih menutupi
matahari.
Bukan main kagum dan herannya hati Liok Ong Gun melihat ini. Dahulu ketika Gwat Kong
dikeroyok oleh perwira-perwira dan dapat melepaskan diri, ia telah merasa heran sekali. Akan
tetapi pada waktu itu ia tidak dapat menyaksikan kelihaian pemuda itu secara jelas. Akan
tetapi sekarang, ia melihat betapa pemuda itu menghadapi susiok-couwnya dengan demikian
hebatnya, maka diam-diam ia menghela napas. Ia melihat bahwa ada persamaan antara ilmu
pedang Tin Eng dengan ilmu pedang pemuda ini hanya permainan pemuda ini lebih hebat dan
cepat.
Seng Le Hosiang juga terkejut sekali karena benar-benar ilmu pedang pemuda ini tidak kalah
tingginya dari ilmu pedangnya sendiri. Bahkan ilmu pedang Gwat Kong ini mempunyai
gerakan-gerakan yang amat aneh dan tidak terduga. Apalagi ditambah dengan gerakan suling
yang demikian cepatnya, yang setiap kali bergerak mengirim totokan ke arah jalan darah
dengan jitu dan berbahaya sekali, membuat ia harus mengerahkan seluruh perhatiannya.
Namun segera ternyata bahwa ilmu pedang Gwat Kong masih lebih tinggi karena setelah
bertempur puluhan jurus, Seng Le Hosiang mulai merasa pening sekali. Pedang dan suling itu
merupakan senjata yang berlainan sifat menyerangnya dan berbeda pula gerakannya, maka
amat sukarlah baginya untuk memecahkan perhatiannya kepada dua senjata itu. Ia merasa
seakan-akan menghadapi dua orang lawan yang luar biasa lihainya dan yang memiliki
kelihaian sendiri. Ia mulai berkelahi dengan hati-hati dan mundur, dan mengerahkan
kepandaian dan tenaga untuk mempertahankan diri saja.
Gwat Kong pun hanya bermaksud untuk memperlihatkan bahwa ia tidak takut menghadapi
pendeta gundul itu dan sama sekali tidak bermaksud untuk mencari kemenangan. Setelah
dapat mendesak, ia mulai berusaha untuk mengakhiri perkelahian ini.
“Losuhu, awas!” teriaknya dan tiba-tiba ia merobah gerakan pedang dan sulingnya. Kini
sulingnya berkelebat bagaikan seekor naga menyambar-nyambar ke depan mata lawan
seakan-akan hendak menyerang mata. Tentu saja Seng Le Hosiang berlaku hati-hati dan cepat
menggunakan pedangnya untuk melindungi matanya. Akan tetapi ini hanya merupakan tipu
dan pancingan belaka dari Gwat Kong karena setelah ia berhasil memancing lawan sehingga
hwesio itu mengerahkan pedangnya di bagian atas, tiba-tiba pedangnya menyambar ke bawah
dan “bret!” putuslah ujung jubah pendeta itu.
“Maaf, aku tak dapat melayani terlebih jauh!” kata Gwat Kong dan sekali ia berkelebat
keluar, tubuhnya bagaikan seekor burung walet terbang menembus pintu depan dan lenyap.
Seng Le Hosiang berdiri dengan muka sebentar pucat sebentar merah.
“Hebat, hebat!!” ia menggeleng-gelengkan kepala sambil memandang ke arah potongan ujung
jubahnya di atas lantai. “Setan itu telah mewarisi dua ilmu silat yang tinggi, yang dapat
dimainkan berbareng.”
Juga Liok Ong Gun terpesona oleh kelihaian Gwat Kong ini, maka diam-diam iapun merasa
ragu-ragu. Apakah usaha susiok-couwnya untuk mengadakan pertempuran di Thaysan itu
akan berhasil baik.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 272
Sementara itu, Gwat Kong pergi dari tempat itu dengan hati gelisah. Ia memikirkan Tin Eng.
Kemanakah perginya gadis itu? Mudah-mudahan ia pergi menyusulku ke Hong-san, pikirnya.
Dengan harapan ini di dalam dada, Gwat Kong mempercepat larinya menuju ke Hong-san
menyusul Cui Giok dan kalau benar dugaannya, mencari Tin Eng pula.
****
Marilah kita mengikuti pengalaman Tin Eng. Sebenarnya bagaimanakah gadis itu bisa pergi
dari rumahnya dan kemana ia pergi?
Semenjak menolong Gwat Kong melarikan diri dan memberi seekor kuda kepada pemuda itu,
Tin Eng selalu termenung memikirkan nasib pemuda itu. Kini ia tidak ragu-ragu lagi, bahwa
ia sebenarnya menyinta pemuda itu. Ia merasa bangga sekali melihat kelihaian Gwat Kong
dan merasa bahagia mendapat kenyataan betapa besar kasih sayang pemuda itu kepadanya.
Akan tetapi, ayahnya makin marah kepadanya dan telah memakinya dengan hebat ketika
mendengar bahwa Tin Eng lah yang menolong Gwat Kong sehingga bisa melarikan diri dari
kepungan.
“Kau benar-benar menodai nama keluarga orang tuamu. Kau telah merendahkan diri dan
menolong seorang bangsat rendah semacam Gwat Kong!” kata ayahnya.
“Ayah!” Tin Eng membantah dengan berani. “Apakah kesalahan Gwat Kong maka ayah
menamainya bangsat rendah dan hendak menangkapnya? Ketika aku lari dulu, bukan
kesalahan Gwat Kong dan ia sama sekali tidak tahu menahu tentang pergiku dari rumah.
Kedatangannya kali ini pun tidak bermaksud buruk, dan hanya hendak menolongku karena ia
mendengar bahwa aku ditawan Ang Sun Tek dan kawan-kawannya. Dosa apakah yang ia
lakukan maka ayah membencinya?”
Liok Ong Gun tak dapat menjawab, karena memang sesungguhnya pemuda itu tidak
mempunyai kesalahan sesuatu, kecuali bahwa pemuda itu telah mendatangkan kekacauan dan
terlalu berani.
“Kau memang anak liar. Orang tua mengatur perjodohan baik-baik, kau tidak mau,
membantah, bahkan melarikan diri. Hmm, dosa apakah yang aku dan ibumu lakukan sehingga
mempunyai anak tunggal macam kau!”
“Ayah, kalau memang ayah dan ibu menghendaki aku hidup beruntung, mengapa memaksaku
kawin dengan Gan-ciangkun? Aku tidak suka kepadanya, aku .... aku benci kepadanya. Kalau
ayah memaksa aku kawin dengan dia, berarti bahwa ayah memaksa aku memasuki jurang
kesengsaraan!”
“Bodoh! Dasar anak puthauw!” Sambil membanting daun pintu keras-keras, pembesar itu
keluar dari kamarnya.
Semenjak itu, telah beberapa hari lamanya sikap pembesar itu berubah terhadap Tin Eng,
sehingga gadis ini merasa heran. Ayah tidak lagi membujuk-bujuk atau memarahinya, tidak
lagi memaksanya kawin dengan Gan-ciangkun, bahkan tidak lagi membicarakan urusan
kawin. Akan tetapi, kini ayahnya minta penjelasan tentang pertemuannya dengan kedua
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 273
saudara she Pang, bahkan akhirnya minta jawaban tentang letak tempat rahasia penyimpanan
harta pusaka itu.
“Ayah, memang betul bahwa kedua orang she Pang dari kota raja itu menaruh kepercayaan
kepadaku tentang hal itu. Akan tetapi aku sudah bersumpah takkan membuka rahasia ini
kepada lain orang. Bagaimana aku dapat menceritakannya kepadamu?”
“Tin Eng, dengarlah baik-baik, nak. Harta pusaka itu sebetulnya menjadi hak milik Pangeran
Ong Kiat Bo. Dan rombongan perwira yang dipimpin oleh Ang Sun Tek juga atas perintah
Pangeran Ong untuk mencari tempat harta pusaka itu. Petanya telah tercuri oleh kedua
saudara Pang yang menjadi anak kemenakan Pangeran Ong dan yang akhirnya dipercayakan
kepadamu. Pangeran Ong telah tahu akan hal ini, tahu bahwa kaulah yang menyimpan rahasia
itu dan tahu pulah bahwa kau adalah anakku. Coba saja kau pikir. Kalau kau berkeras tidak
mau memberi tahukan rahasia itu, tentu orang tuamu yang mendapat marah dari Pangeran
Ong dan hal ini bukan urusan kecil. Kau bisa menyebabkan ayahmu dipecat atau dihukum.
Sebaliknya, kalau kau mengaku, tentu Pangeran Ong akan berterima kasih dan soal kenaikan
pangkat bagi ayahmu menjadi soal mudah. Apakah kau tidak mau menolong ayahmu dan
bahkan akan mencelakakan kita sekeluarga hanya karena memegang teguh rahasia terhadap
dua orang maling kecil itu?”
“Kedua saudara Pang bukan maling, ayah!”
“Hmm, kau memang bodoh. Sudah berapa lama kau mengenal mereka? Mereka adalah
kemenakan Pangeran Ong dan mereka telah mencuri peta itu dari tangan pamannya.”
Tin Eng minta waktu sehari untuk memikirkan hal ini. Ia menjadi serba salah. Membuka
rahasia salah, berkeras juga tidak baik. Ia pikir bahwa Kui Hwa dan Gwat Kong telah
mengetahui rahasia tempat itu, bahkan sekarang mungkin telah mendapatkan harta terpendam
itu. Apa salahnya memberitahukan begitu saja tanpa syarat. Ia merasa ragu.
“Ayah,” katanya pada keesokan harinya, ketika ayahnya datang menagih janji. “Aku mau
membuka rahasia tempat penyimpanan harta pusaka di Hong-san itu, akan tetapi dengan
syarat bahwa ayah harus berjanji tidak akan menjodohkan aku dengan Gan-ciangkun!”
Tentu saja ayahnya tertegun mendengar hal ini.
“Tin Eng, mengapa kau begitu benci kepada Gan-ciangkun?”
Tin Eng tidak dapat menceritakan bahwa kebenciannya terhadap Gan Bu Gi memuncak oleh
karena orang she Gan itu telah melakukan sesuatu yang amat keji terhadap Kui Hwa. Ia tahu
bahwa Kui Hwa adalah anak murid Hoa-san-pai dan kalau ia beritahukan hal ini, ayahnya
yang membenci anak murid Hoasan tentu akan menjadi makin marah. Bahkan takkan
mempercayainya. Maka ia berkata,
“Aku tidak tahu mengapa, ayah. Akan tetapi menurut pendapatku, dia bukanlah seorang
pemuda yang baik!”
“Syaratmu itu aneh,” kata ayahnya. “Aku sudah menerima pinangan Bong Bi Sianjin dengan
perantaraan susiok-couw.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 274
“Ayah dapat membatalkan itu!”
Ayahnya menghela napas dan menggelengkan kepala. Baiklah aku akan merundingkan hal
perjodohan itu dengan susiok-couw. Sekarang katakanlah kepadaku di mana sebetulnya peta
itu.”
“Peta itu telah kubakar, ayah,” kata Tin Eng sejujurnya. “Akan tetapi, aku masih ingat di luar
kepala.
Demikianlah, Tin Eng lalu menggambarkan sebuah peta di atas kertas yang segera diberikan
kepada ayahnya.
Pada malam harinya, tanpa disengaja Tin Eng mendengarkan percakapan antara ayahnya
dengan Seng Le Hosiang yang datang di gedung itu dan apa yang ia dengar membuat ia
merasa kaget sekali, karena hwesio itu berkata cukup keras sehingga ia dapat mendengar dari
balik pintu,
“Jangan kau khawatir, memang demikianlah adat seorang gadis muda yang sedang jatuh
cinta. Menurut dugaanku, anakmu itu tergila-gila kepada Gwat Kong. Kalau kita binasakan
pemuda itu dan berhasil mendapatkan harta pusaka, soal perjodohan anakmu dengan Gan Bu
Gi mudah saja. Tanpa adanya Gwat Kong, tentu hati anakmu akan berubah.”
Lebih kaget lagi ketika ia mendengar ayahnya berkata, “Memang anak itu keras kepala,
susiok-couw. Teecu sudah mers cocok untuk menjodohkannya dengan Gan-ciangkun karena
pemuda itu menurut pandangan teecu cukup baik dan besar pengharapannya di kemudian
hari.”
Ucapan-ucapan kedua orang ini cukup membuat Tin Eng berlaku nekad dan malam hari itu
juga, ia melarikan diri dari rumahnya. Ia pergi menunggang seekor kuda terbaik dan karena
usahanya ini mendapat bantuan dari seorang pelayannya, maka dengan mudah saja ia dapat
melarikan diri dari rumah tanpa diketahui oleh ayahnya. Baru pada keesokan harinya gedung
Liok-taijin geger ketika mereka mendapatkan kamar gadis itu kosong.
Tin Eng membalapkan kuda dan tujuannya hanya satu, yakni menyusul Gwat Kong ke Hongsan.
Ketika tiba di sungai Huang-ho, ia lalu menyewa sebuah perahu dan berlayar ke timur,
menuju Hong-san.
Ketika perahunya tiba di sebuah hutan tak jauh dari bukit Hong-san, tiba-tiba ia mendengar
sorakan ramai di pantai sebelah kiri. Ia melihat pertempuran hebat sedang berlangsung di
tempat itu. Anak perahu ketakutan melihat ini dan hendak melanjutkan pelayaran. Akan
tetapi, Tin Eng membentaknya dan menyuruh ia mendayung perahu ke pinggir. Sebagai
seorang ahli silat, ia tertarik melihat sesuatu pertempuran.
Ketika perahu itu sudah tiba di pinggir pantai, alangkah terkejutnya ketika ia melihat bahwa
yang bertempur itu adalah Kui Hwa, Pui Kiat dan Pui Hok yang lihai itupun sampai terdesak
hebat.
Tanpa membuang waktu lagi, Tin Eng melemparkan beberapa tail perak kepada anak perahu
dan berkata, “Pergilah kau dengan perahumu dari sini!” Sedangkan ia sendiri lalu mencabut
pedangnya dan melompat ke darat.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 275
Dengan keras Tin Eng berseru, “Enci Kui Hwa jangan khawatir. Aku datang membantu!”
Beberapa orang anggauta bajak sungai yang melihat kedatangan Tin Eng, segera menyerbu
akan tetapi dengan beberapa kali putaran pedangnya saja. Tin Eng telah merobohkan tiga
orang pengeroyok sehingga yang lain segera mundur ketakutan. Tin Eng lalu menyerbu dan
membantu Kui Hwa dan kedua suhengnya. Pertempuran makin ramai dan hebat setelah pihak
murid-murid Hoa-san-pai mendapat bantuan Tin Eng.
****
Sebelum kita melanjutkan melihat pertempuran yang amat seru ini, baik kita mundur dahulu
dan mencari tahu bagaimana Kui Hwa dan kedua orang suhengnya she Pui itu dapat berada di
tempat itu dan dikeroyok oleh sekawanan bajak sungai yang dipimpin tiga orang lihai itu.
Sebagaimana dituturkan di bagian depan, setelah menyuruh kedua suhengnya untuk
mengikuti rombongan Ang Sun Tek yang menawan Tin Eng, Kui Hwa lalu melanjutkan
perjalanannya ke Hong-san untuk mewakili Tin Eng mencari tempat harta pusaka itu
tersimpan. Ia dapat sampai di bukit Hong-san tanpa banyak rintangan di jalan. Pemandangan
alam di sekitar Hong-san memang indah. Dari lereng bukit itu nampak lembah Huang-ho
yang kehijau-hijauan. Kemudian sungai itu sendiri nampak bagaikan seekor naga besar
sedang minum di laut.
Ketika ia tiba di puncak bukit, ia segera mencari gua Kilin di antara batu-batuan karang.
Banyak gua terdapat di situ. Akan tetapi menurut peta petunjuk tempat harta pusaka itu
tersimpan adalah sebuah gua yang bentuknya persegi empat seperti muka kilin.
Akhirnya ia dapat juga menemukan gua itu. Akan tetapi Kui Hwa adalah seorang gadis yang
hati-hati dan cermat. Ia tidak segera masuk ke dalam gua, bahkan bersembunyi di balik
gerombolan pohon dan mengintai.
Bab 30 ...
USAHANYA ini ternyata berguna sekali, oleh karena tiba-tiba ia melihat bayangan tinggi
besar keluar dari gua itu. Ketika bayangan itu berhenti di depan gua, Kui Hwa terkejut sekali
karena bayangan itu adalah seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar seperti seorang
raksasa dalam dongeng. Tidak saja tubuhnya yang besar, akan tetapi pakaiannya juga aneh
sekali. Berbeda dengan pakaian orang Han. Kulit mukanya kehitam-hitaman. Celananya
panjang hitam dan bajunya hijau dengan leher baju hitam pula.
Ia memakai kain kepala yang aneh bentuknya dan biarpun di bawah hidungnya tidak ada
kumis, akan tetapi dari bawah kedua telinga ke bawah penuh dengan jenggot hitam yang
lebat. Orang itu memakai ikat pinggang yang luar biasa, yakni rantai baja yang besar dan
berat dilibatkan ke pinggangnya dan ujungnya tergantung ke bawah.
Pada saat itu, orang berkulit hitam ini sedang memanggul sebuah paha kijang yang telah
dipanggang. Dan setelah ia ia tiba di depan gua, ia memandang ke kanan kiri, kemudian ia
duduk di atas batu dan menggerogoti paha kijang itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 276
Kui Hwa berlaku hati-hati sekali, tidak bergerak dari tempat sembunyinya dan hanya
memandang penuh keheranan, juga ia merasa khawatir. Apakah harta pusaka itu telah
ditemukan dan diambil oleh raksasa ini, pikirnya. Ia tidak takut kepada raksasa yang tingginya
hampir dua kali tubuhnya sendiri itu. Akan tetapi lebih baik jangan mencari perkara dan
perkelahian dalam tempat yang aneh ini.
Tiba-tiba dari jauh terdengar suara memanggil dan tak lama kemudian muncullah seorang
gundul kate yang segalanya merupakan kebalikan dari raksasa itu. Kalau raksasa itu kulitnya
hitam, orang ini kulitnya keputih-putihan dan matanya biru. Kepalanya gundul sama sekali
dan tubuhnya pendek kecil. Akan tetapi larinya cepat sehingga Kui Hwa menjadi kaget karena
maklum bahwa ginkang dari orang kate ini masih lebih tinggi dari pada kepandaiannya
sendiri.
“Badasingh!” si kate itu berkata kepada raksasa yang masih enak-enak makan paha kijang
sambil duduk di atas batu. “Kita sudah terlalu lama di sini. Mengapa kita tidak berusaha
mengambil peti-peti itu?”
“Koay lojin,” kata orang aneh yang bernama Badasingh itu dengan bahasa Han yang kaku.
“Tak mungkin diambil sekarang. Tempatnya terlalu dalam dan jauh. Kita harus menanti
sampai ada orang lain yang mengambilnya untuk kita, kemudian kita merampasnya dari
mereka. Bukankah itu lebih mudah lagi? Ha ha ha!”
“Siapa yang mengetahui tempat ini selain kita?”
“Bodoh! Banyak yang tahu, bahkan aku mendengar bahwa dari kota raja akan datang
serombongan orang untuk mengambil harta itu. Kita sendiri takkan mungkin mengambilnya.
Jalan turun tidak ada.”
Si kate itu memandang dengan mata marah dan agaknya tidak percaya kepada si raksasa itu.
“Badasingh! Jangan kau mencoba menipuku! Ini usaha kita berdua maka kau tidak boleh
membohong kepadaku!”
Tiba-tiba Badasingh mengeram bagaikan suara seekor gajah, dan dengan marah sekali ia
membanting paha itu ke atas batu yang di dudukinya sehingga paha itu berikut tulangtulangnya
hancur lebur.
“Koay lojin! Tidak ada manusia yang bisa hidup setelah memaki aku sebagai pembohong!” Ia
bangun berdiri dan menyerang si kate itu dengan hebat! Si kate ternyata juga lihai sekali
karena sekali lompat ke samping ia dapat menghindarkan diri dari serangan itu.
“Badasingh! Aku tidak mau berkelahi dengan kau tanpa alasan. Pendeknya, kalau kita bisa
mengambilnya, kita ambil sekarang. Kalau tidak bisa, mari kita pergi dari sini. Aku sudah
bosan tinggal di tempat asing ini.”
“Kau mau pergi? Pergilah! Siapa melarangmu?” kata si raksasa.
Koay lojin (kakek aneh) itu tertawa bergelak dan dengan jari telunjuknya yang pendek ia
menuding kepada Badasingh,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 277
“Ha ha ha! Jangan coba berlaku licik. Badasingh! Kalau kau tidak mau pergi, itu berarti kau
hendak mengambil sendiri harta itu! Kau benar-benar curang.”
“Sudah kukatakan bahwa aku menanti orang yang dapat mengambilnya. Kemudian aku akan
merampasnya. Kau boleh pergi kalau kau kehendaki. Akan tetapi aku akan menanti di sini!”
“Kau bohong!” Koay lojin dalam marah lupa akan pantangan ini.
Bagaikan harimau terluka Badasingh melompat dan menerkam Koay lojin.
“Kalau aku bohong kau harus mampus!” teriaknya marah.
Kini keduanya tidak main-main lagi, mereka bertempur hebat. Tenaga Badasingh benar-benar
hebat dan batu karang yang terkena sambaran tangannya diwaktu ia menyerang, menjadi
hancur berkeping-keping. Akan tetapi, si kate itu benar-benar lincah dan gesit sekali sehingga
pertempuran itu benar-benar hebat.
Kui Hwa memandang dengan hati berdebar. Ia merasa kagum sekali menyaksikan kelihaian
dua orang aneh ini dan ia mengaku bahwa dia sendiri takkan dapat menang melawan seorang
di antara mereka. Tiba-tiba si kate mengeluarkan senjata, yakni sebatang cambuk lemas yang
berduri. Cambuk itu tadinya digulung dan disimpan di dalam saku bajunya. Akan tetapi
setelah dilepaskan, cambuknya yang berduri itu panjangnya lebih dari empat kaki.
“Bagus, kau memang betul-betul ingin mampus!” seru Badasingh yang segera membuka ikat
pinggangnya, yang terbuat dari pada rantai baja yang besar itu. Rantai ini lebih panjang lagi,
kira-kira ada tujuh kaki panjangnya. Pertempuran hebat dimulai dan Kui Hwa makin bengong
dan kagum melihatnya. Kalau cambuk berduri itu bergerak-gerak dengan gesit dan lihai
seakan-akan ular hidup, adalah rantai baja itu luar biasa dahsyatnya. Angin sambarannya saja
membuat daun-daun pohon bergerak-gerak bagaikan tertiup angin dan tanah di sekitar tempat
pertempuran itu mengebulkan debu ke atas.
Ternyata bahwa si kate itu kalah tenaga dan kalah hebat senjatanya, tubuhnya bergulingan.
Badasingh memburuh dengan cepat dan sekali kakinya menendang terdengar jerit ngeri dan
tubuh Koay-lojin terlempar jauh dan .... masuk ke dalam jurang yang tak terlihat dari atas
dasarnya, saking dalam dan gelapnya.
Kui Hwa bergidik dan merasa bulu tengkuknya berdiri. Dengan adanya raksasa hebat ini
menjaga Gua Kilin, tak mungkin baginya untuk mencari harta pusaka itu. Untuk maju
menyerang, sama dengan bunuh diri, oleh karena maklum bahwa ia takkan dapat menangkan
raksasa hitam ini. Oleh karena itu, Kui Hwa lalu turun lagi dengan diam-diam dari bukit
Hong-san.
Ia hendak menanti sampai datangnya kawan-kawannya, terutama sekali datangnya kedua
suhengnya, Pui Kiat dan Pui Hok. Sungguhpun raksasa itu merupakan lawan yang amat
tangguh, namun bertiga dengan suheng-suhengnya, ia tidak merasa takut.
Oleh karena itu, Kui Hwa lalu tinggal di dusun kecil di lembah sungai Huang-ho yang berada
di kaki bukit Hong-san untuk menanti datangnya kedua suhengnya. Ia menanti beberapa hari
lamanya, akan tetapi kedua suhengnya belum juga datang. Sehingga saking kesalnya ia
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 278
menghibur diri, menyewa perahu kecil, dan mendayung di sungai Huang-ho sambil menonton
para nelayan mencari ikan.
Ketika ia sedang duduk termenung di dalam perahunya, tiba-tiba ia melihat seorang nelayan
tua yang menyebar jala ikan sambil mencucurkan air mata. Berkali-kali nelayan itu
menggunakan ujung lengan bajunya untuk menyusut air matanya yang turun mengalir di
sepanjang kedua pipinya, bahkan kadang-kadang kalau jalanya tidak menghsilkan ikan, ia
menjatuhkan diri di dalam perahu dan menangis tersedu-sedu.
Melihat hal ini tergeraklah hati Kui Hwa. Ia mendayung perahunya mendekat. Setelah
perahunya menempel perahu nelayan itu, ia bertanya,
“Lopek, kau kenapakah? Apakah yang membuatmu demikian berduka sehingga kau bekerja
sambil menangis?”
Nelayan itu menengok dan ketika melihat Kui Hwa yang gagah dan cantik, ia menangis
makin sedih.
Kui Hwa mengikatkan tali perahunya pada ujung perahu nelayan itu, lalu berpindah perahu.
“Lopek, kesukaran apakah yang kau derita? Ceritakan kepadaku, barangkali aku dapat
menolongmu. Aku tidak kaya akan tetapi percayalah, pedangku ini sudah banyak menolong
orang yang tertindas!”
Mendengar ucapan ini, kakek itu lalu mengeringkan air matanya dan berkata dengan suara
ragu-ragu, “Siocia, benar-benarkah kau pandai bertempur menggunakan pedang?”
Kui Hwa tersenyum. “Pandai sih tidak. Akan tetapi sudah banyak penjahat mengakui
kelihaianku sehingga mereka memberi julukan Dewi Tangan Maut kepadaku!”
Mendengar ini, kakek itu segera memberi hormat dan berkata dengan girang, “Ah, tidak
tahunya nona adalah seorang pendekar pedang. Agaknya Thian yang menurunkan lihiap ke
sini untuk menolongku!”
“Sudahlah, lopek, jangan banyak sungkan. Ceritakanlah semua penderitaanmu kepadaku!”
Kakek itu menghela napas berkali-kali, kemudian ia menuturkan keadaannya. “Aku
mempunyai seorang anak perempuan yang sudah remaja puteri, dan sungguhpun aku sendiri
yang menyatakan, akan tetapi anakku itu termasuk golongan gadis cantik. Di dalam hutan
Ban-siong-lim terdapat serombongan bajak laut yang kejam. Sungguh pun mereka itu jarang
sekali mau mengganggu kampung kami yang miskin. Akan tetapi, pada suatu hari kepala
bajak laut yakni kepalanya yang termuda karena mereka itu mempunyai tiga orang pemimpin,
mengadakan perjalanan untuk melihat-lihat di kampung kami. Sungguh tak beruntung sekali,
anak perempuanku berada di luar rumah dan terlihat olehnya. Kepala bajak itu merasa suka
dan tanpa banyak cakap lagi ia membawa pergi anakku!”
“Bangsat kurang ajar!” Kui Hwa memaki gemas.
“Ibu anak itu telah lama meninggal dunia dan aku hanya hidup berdua dengan anakku itu,
maka dapat lihiap bayangkan betapa hancurnya hatiku. Dengan melupakan bahaya, aku lalu
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 279
mengejar sampai ke hutan Ban-siong-lim itu untuk minta kembali anak perempuanku. Akan
tetapi, kepala bajak itu minta uang tebusan sebanyak tiga ratus tail. Darimana aku dapat
mengumpulkan uang sebanyak itu? Maka, aku berusaha untuk menjala terus menerus siang
malam untuk menebus anakku. Akan tetapi agaknya Thian sedang memberi hukuman
kepadaku, lihiap. Buktinya, jalaku jarang sekali menghasilkan sesuatu!” Kakek itu lalu
menangis lagi.
“Lopek!” kata Kui Hwa sambil memegang pundak nelayan itu. “Sudahlah, jangan kau
menangis. Antarkan aku ke tempat bajak sungai itu dan akulah yang akan mengambil kembali
anak perempuanmu!”
Kakek itu memandang dan nampaknya terkejut dan cemas. “Akan tetapi .... mereka itu lihai
sekali, lihiap.”
“Apakah kau tidak percaya kepadaku?”
Kakek itu tidak berkata sesuatu, lalu mendayung perahunya ke pinggir. “Mari kita berangkat
sekarang juga, lihiap,” katanya.
Demikianlah Kui Hwa bersama nelayan tua itu pergi ke hutan Ban-siong-lim yang berada di
tepi sungai. Kedatangan mereka disambut oleh tiga orang kepala bajak yang bertubuh tegaptegap.
Tentu saja tiga orang bajak itu memandang kepada Kui Hwa dengan mata terbelalak
saking kagum. Belum pernah mereka melihat seorang gadis secantik itu.
Sebelum tiba di tempat itu, Kui Hwa telah bertanya kepada nelayan itu tentang keadaan ketiga
orang kepala bajak ini. Ketiganya adalah bajak-bajak sungai Huang-ho yang amat terkenal
dan disebut Huang-ho Sam-kui (Tiga setan dari Huang-ho). Yang tertua bertubuh pendek
tegap berkepala botak bernama Louw Tek, yang kedua Louw Siang dan yang ketiga masih
muda dan tampan juga bernama Louw Liu. Ketiga orang bajak sungai itu bukanlah bajakbajak
biasa, karena mereka benar-benar memiliki ilmu silat yang tinggi. Mereka itu adalah
murid-murid Butongsan yang menyeleweng.
Ketika berhadapan dengan tiga orang kepala bajak itu, tanpa memperdulikan anggautaanggauta
bajak yang jumlahnya belasan itu dan yang mengurung tempat itu sambil tertawatawa,
Kui Hwa bertanya,
“Kalian bertigakah yang disebut Huang-ho Sam-kui?”
Louw Tek melangkah maju dan berkata, “Benar nona manis. Apakah kehendakmu mencari
kami bertiga?”
“Tak lain aku datang untuk mengambil kembali anak perempuan dari nelayan tua ini. Sambil
berkata demikian, Kui Hwa mencabut pedangnya. “Tinggal kalian pilih saja. Kembalikan
anak perempuan itu atau kalian akan berkenalan dengan Dewi tangan maut!”
Huang-ho Sam-kui itu saling pandang, kemudian meledaklah suara ketawa mereka, diikuti
oleh suara ketawa dari sekalian anak buahnya. Untuk daerah ini, nama Dewi Tangan Maut
memang tidak dikenal.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 280
“Sungguh lucu kakek nelayan ini. Agaknya ia merasa kasihan kepada kita, sehingga
mengantarkan seorang anak perempuan yang lebih cantik lagi. Lui-te (adik Lui), jangan kau
iri hati. Kau sudah mendapat bunga harum dari dusun itu dan yang kini adalah bagianku,”
kata Louw Tek kepada adiknya yang hanya tersenyum-senyum memandang kepada Kui Hwa
dengan amat kurang ajar.
Bukan main marahnya Kui Hwa mendengar ucapan yang amat menghinanya itu.
“Kalian memang sudah bosan hidup!” serunya dan ia menerjang dengan pedangnya. Pada saat
itu ketiga kepala bajak itu melompat ke belakang dan melihat lompatan mereka itu bukan
main terkejut hati Kui Hwa. Dari cara mereka melompat ke belakang amat cepat dan
lincahnya itu, tahulah Kui Hwa bahwa ketiga orang lawannya ini adalah orang-orang yang
memiliki ilmu silat tinggi. Sungguh mengherankan, di daerah ini benar-benar banyak terdapat
orang pandai. Baru saja ia bertemu dengan raksasa hitam dan si kate yang berilmu tinggi dan
sekarang ia menghadapi tiga orang kepala bajak yang berkepandaian tinggi pula.
Akan tetapi ia tidak takut dan menyerang dengan pedangnya. Melihat gerakan pedang gadis
itu lihai dan cepat, kepala bajak yang tertua, yakni Louw Tek, segera mengangkat dayungnya
menangkis sambil berkata kepada kedua adiknya.
“Jangan kalian membantu, biar aku sendiri mencoba kepandaian calon nyonyaku!”
Maka bertempurlah Kui Hwa melawan Louw Tek yang benar-benar tangguh. Sebetulnya
dalam hal kepandaian silat, Kui Hwa tak usah kalah oleh Louw Tek, hanya saja dalam hal
tenaga ia masih kalah. Apalagi orang she Louw itu mempunyai senjata istimewa, yakni
sebatang dayung yang panjang dan berat sehingga ia merupakan lawan yang benar-benar
berbahaya.
Pada saat pertempuran berjalan seru, dari tengah sungai tampak sebuah perahu di dayung ke
pinggir dan dua orang pemuda melompat ke darat sambil mencabut pedangnya.
“Sumoi, jangan takut, kami datang membantumu!” Orang-orang ini bukan lain adalah Pui
Kiat dan Pui Hok. Besarlah hati Kui Hwa melihat kedatangan kedua suhengnya ini dan
pertempuran makin hebat, karena kini Louw Siang dan Louw Lui maju menyambut kedua
saudara Pui itu dan pertempuran terjadilah dengan sengitnya. Para anggauta bajak sungai
melihat ketangguhan ketiga orang murid Hoa-san-pai itu, menjadi tidak sabar dan mereka
mulai maju mengeroyok.
Kepandaian Kui Hwa dan kedua suhengnya sesungguhnya berimbang dengan kepandaian
Huang-ho Sam-kui, maka setelah anak buah bajak sungai yang rata-rata memiliki ilmu silat
yang lumayan itu maju membantu, tentu saja ketiga murid Hoasan itu mulai terdesak hebat
dan terkurung rapat. Namun mereka melakukan perlawanan sengit dan mati-matian sehingga
pertempuran berjalan lama dan di antara anggauta-anggauta bajak ada beberapa orang yang
sudah menjadi korban pedang Kui Hwa dan kedua suhengnya.
Betapapun juga, para bajak itu masih mengurung terus, sehingga keadaan tiga orang muda itu
makin berbahaya. Sukar bagi mereka untuk dapat meloloskan diri, karena selain kurungan
amat rapat, juga ketiga Huang-ho Sam-kui itu mainkan dayung mereka dengan amat cepatnya
sehingga Kui Hwa dan kedua saudara Pui harus menggerakkan seluruh kepandaian dan
perhatian.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 281
Pada saat yang amat genting itulah muncul Tin Eng. Dengan amat ganas Tin Eng menyerbu
dari luar kepungan dan dengan ilmu pedangnya Sin-eng Kiam-hoat yang lihai. Dalam
beberapa gebrakan saja ia telah berhasil merobohkan beberapa orang bajak. Hal ini
menimbulkan panik dan kekacauan pada pihak pengeroyok dan memperbesar semangat
perlawanan Kui Hwa dan kedua saudara Pui. Dibantu oleh Tin Eng, mereka lalu menerjang
ketiga orang Huang-ho Sam-kui sehingga mereka ini terpaksa mundur.
Kui Hwa maklum bahwa biarpun Tin Eng datang membantu, namun apabila pertempuran
dilanjutkan, pihaknya tentu akan kehabisan tenaga, maka ia lalu mendekati Tin Eng dan
berbisik,
“Kita tangkap kepala bajak termuda.”
Tin Eng tidak mengerti apakah kehendak kawannya itu dengan usul ini. Akan tetapi oleh
karena ia tidak tahu asal usulnya pertempuran, ia hanya menganggukkan kepala dan menurut.
Demikianlah selagi Pui Kiat dan adiknya menghadapi Louw Tek dan Louw Siang, Kui Hwa
berdua Tin Eng mendesak Louw Lui dengan hebat sekali. Sepasang pedang dari kedua orang
dara itu membabat dan mengurungnya dengan gerakan luar biasa sehingga betapapun
kosennya Louw Lui, ia menjadi bingung dan pening juga melihat sinar kedua pedang itu
berkelebatan bagaikan dua ekor naga sakti mengurung tubuhnya.
Sebelum ia sempat minta bantuan pada kawan-kawannya, tiba-tiba ujung pedang Tin Eng
telah melukai lengannya sehingga terpaksa ia melepaskan dayungnya dan Kui Hwa mengirim
totokan ke arah lambungnya dan robohlah Louw Lui sambil mengaduh-aduh. Kui Hwa
memburu dan menambah dengan totokan pada jalan darah thia-hu-hiat sehingga tubuh Louw
Lui menjadi lemas tak berdaya sama sekali.
Louw Tek dan Louw Siang marah sekali dan sambil memutar dayungnya, kedua kepala bajak
ini menyerbu Kui Hwa dan Tin Eng. Akan tetapi, sambil tekankan ujung pedang pada dada
Louw Lui, Kui Hwa membentak,
“Mundur kalian dan tahan pertempuran ini. Kalau tidak pedangku akan menembus dadanya.”
Louw Tek dan Louw Siang terkejut dan melangkah mundur, lalu memberi perintah kepada
anak buahnya untuk berhenti menyerang.
“Huang-ho Sam-kui!” kata Kui Hwa dengan gagah. “Kami sebetulnya tidak hendak mencari
permusuhan dengan kalian. Kalau kau memang sayang kepada nyawa saudaramu ini, lekas
keluarkan anak perempuan nelayan tua itu untuk ditukar dengan saudaramu ini!”
Karena maklum bahwa nyawa Louw Lui berada di ujung pedang Kui Hwa, terpaksa Louw
Tek dan Louw Siang memberi tanda kepada anggauta-anggautanya untuk mundur. Kemudian
Louw Tek menjura kepada Kui Hwa dan berkata,
“Lihiap, maafkanlah kami yang tadi tidak melihat orang-orang gagah. Kehidupan di tempat
asing ini membuat kami berwatak kasar. Tentang anak perempuan nelayan itu, sesungguhnya
ia menjadi isteri tercinta dari adik kami Louw Lui dan menurut pendapat kami yang bodoh,
agaknya tidak kecewa ia menjadi isteri adik kami. Iapun mencintai suaminya ini.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 282
“Bohong!” tiba-tiba nelayan tua itu berteriak dengan marah. “Anakku dibawa dengan paksa,
siapa bilang tentang cinta? Hayo kembalikan anakku!”
Louw Tek terenyum dan memberi tanda kepada seorang anggauta bajak untuk menjemput
“nyonya muda.”
Tak lama kemudian datanglah seorang wanita muda yang cukup manis diiringkan oleh bajak
tadi.
“Bwee Kim ...!” Nelayan tua itu memanggil dan wanita muda itu cepat berpaling dan berseru,
“Ayah ....!” Ia berlari menghampiri ayahnya dengan kedua tangan terpentang. Akan tetapi
ketika ia lewat di dekat Kui Hwa dan melihat Louw Lui ditodong dadanya dengan pedang dan
lengan Louw Lui terluka mengeluarkan darah, tiba-tiba ia berhenti dan menubruk Louw Lui
sambil menangis.
Hal ini sama sekali tak pernah diduga oleh nelayan tua itu, bahkan Kui Hwa sendiri menjadi
pucat karena terkejut. Sementara itu, Louw Tek dan Louw Siang tersenyum saja melihat
adiknya memeluk isterinya.
“Ah, kalau begitu, aku telah salah duga!” kata Kui Hwa yang lalu menyimpan kembali
pedangnya dan menghampiri kakek nelayan itu.
“Lopek, biarpun mantumu seorang kepala bajak, akan tetapi anakmu telah menjadi isterinya
dan kau lihat sendiri anakmu tidak menyesal menjadi isterinya. Oleh karena itu, kau tak perlu
lagi ribut-ribut!”
Kakek nelayan itu berdiri sambil menundukkan mukanya yang pucat, matanya sayu dan
nampak sedih sekali.
“Aku ditinggal seorang diri .... aku sudah tua ..... siapa yang akan merawatku kalau aku sakit
...?” Setelah berkata demikian, ia menjatuhkan diri berlutut di atas tanah sambil menangis.
Kui Hwa berpaling memandang Louw Tek. “Orang dahulu berkata bahwa mau kepada anak
perempuannya harus mau menerima orang tuanya pula. Oleh karena itu, kuharap sam-wi tayong
suka pula menerima kakek ini agar supaya dia selalu dekat dengan anak perempuannya.
Ketiga kepala bajak menerima baik usul ini dan demikianlah, pertempuran yang hebat itu
berakhir dengan perdamaian yang menyenangkan kedua pihak.
Kui Hwa lalu mengajak kedua suhengnya dan Tin Eng pergi dari situ dan menuju ke bukit
Hong-san. Di tengah jalan mereka saling menuturkan pengalamannya masing-masing.
Setelah menuturkan pengalamannya, Tin Eng bertanya kepada Kui Hwa,
Apakah kau tidak bertemu dengan Kang-lam Ciu-hiap Bun Gwat Kong?”
Kui Hwa menggelengkan kepala, akan tetapi kedua saudara Pui segera menuturkan pertemuan
mereka dengan pemuda itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 283
“Dia tentu sudah berada di tempat ini!” kata Tin Eng penuh harapan, akan tetapi sungguh
heran mengapa ia tidak bertemu dengan kalian?”
Ketika Kui Hwa menceritakan tentang raksasa hitam itu, semua kawannya mendengarkan
dengan terheran-heran.
“Orang itu benar-benar hebat dan mengerikan. Aku sendiri tidak berani untuk mendekati gua
itu karena kepandaiannya amat tinggi dan aku takkan dapat menang. Maka aku sengaja
menanti di sini dan kebetulan sekali ini hari tidak saja ji-wi suheng yang datang, akan tetapi
juga adik Tin Eng. Dengan tenaga kita berempat ku rasa kita tak perlu takut menghadapi
raksasa yang menjaga gua itu!”
Oleh karena pertempuran tadi amat melelahkan Kui Hwa, juga kedua saudara Pui dan Tin Eng
yang baru datang masih merasa lelah, maka mereka mengambil keputusan untuk menyerbu ke
atas puncak Hong-san pada keesokan harinya.
****
Semenjak berpisah dengan Gwat Kong, Cui Giok melakukan perjalanan seorang diri untuk
memenuhi permintaan Gwat Kong yakni menuju ke Hong-san menyusul murid-murid Hoasan-
pai yang sedang mencari gua Kilin tempat penyimpanan harta pusaka. Ia tidak mengambil
jalan air seperti yang lain. Akan tetapi ia melakukan perjalanan darat melalui sepanjang pantai
sungai Huang-ho sebelah kiri.
Pada suatau hari, ketika ia sedang berlari cepat di sepanjang lembah sungai Huang-ho, melalui
bukit-bukit kecil yang ditutup oleh rumput hijau yang indah, tiba-tiba ia melihat seorang anak
laki-laki tanggung berusia kurang lebih sebelas tahun sedang bersilat seorang diri di dekat
pantai. Cui Giok amat tertarik melihat gerakan kaki tangan anak itu amat lincah dan
tangkasnya. Sedangkan wajah anak kecil itu amat tampan dan sepasang matanya bersinar.
Sebelum Cui Giok menghampiri, tiba-tiba ia melihat bayangan seorang hwesio berkelebat
keluar dari belakang pohon. Hwesio ini masih mudah dan wajahnya menyeramkan sekali,
sepasang matanya mengandung nafsu jahat.
“Ha ha ha! Bagus!” kata hwesio itu sambil melompat ke depan anak itu. “Kau tentulah murid
si tua bangka dari Kunlun. Anak baik, bukankah kau murid Kun-lun-pai? Gerakanmu jelas
menyatakan bahwa kau anak murid Kun-lun-pai.”
Anak itu berhenti berlatih silat dan memandang dengan matanya yang tajam.
“Losuhu, siapakah? Teecu memang benar anak murid Kun-lun-pai. Nama teecu Kwie Cu Ek
dan suhu adalah Lo Han Cinjin dari Kun-lun-pai.
Hwesio itu tertawa bergelak dan memandang ke kanan kiri.
“Dimana adanya Lo Han Cinjin?” Dari suaranya ternyata bahwa ia merasa takut.
“Suhu sedang memetik daun obat di bukit itu dan teecu diharuskan menanti di sini berlatih
silat.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 284
“Bagus! Kalau begitu, kau harus ikut padaku!”
“Tidak bisa losuhu. Tanpa perintah suhu, teecu tidak berani meninggalkan tempat ini,” jawab
anak yang bernama Kwi Cu Ek itu dengan tegas.
“Apa? Kau berani membantah kehendakku? Hayo ikut!” Sambil berkata demikian si gundul
itu mengulurkan tangannya hendak menangkap pundak anak itu. Akan tetapi dengan gesit
anak itu mengelak dan melompat ke belakang. Cui Giok diam-diam merasa kagum dan
senang melihat anak yang lincah itu. Akan tetapi hwesio tadi menjadi marah dan terus
menyerang untuk menangkap anak itu.
Tiba-tiba anak itu berseru keras dan tahu-tahu sebatang pedang kecil telah ia cabut dari
punggungnya dan dengan pedang di tangan, ia menghadapi hwesio itu. Sepasang matanya
menyinarkan keberanian luar biasa sehingga hwesio itu menjadi tercengang juga.
“Eh, eh tua bangka itu sudah melatih pedang padamu?” kata hwesio itu yang terus menubruk.
Anak itu menggerakkan pedangnya dan terkejutlah hwesio tadi ketika melihat betapa gerakan
pedang anak itu tak boleh dipandang ringan.”
“Kau sudah dapat mainkan Sin-tiauw-kiam-sut? Hebat!” katanya dan ia lalu meloloskan
sabuknya yang terbuat dari pada sutera hijau. Sekali ia menggerakkan tangannya, sabuk itu
meluncur ke arah leher anak itu, yang segera menangkisnya dengan pedang. Akan tetapi
ujung sabuk melibat pedangnya dan sekali betot terlepaslah pedang itu dari pegangan.
Anak itu terkejut dan hendak melarikan diri. Akan tetapi dengan sekali lompatan saja, hwesio
itu telah mengejarnya dan dapat memegang pundaknya dengan cengkeraman tangan erat
sehingga anak itu meringis kesakitan.
Pada saat itu Cui Giok muncul dan membentak,
“Bangsat gundul, sungguh tak tahu malu!”
Hwesio itu terkejut dan melepaskan cengkeramannya. Ketika melihat seorang gadis cantik
jelita berdiri di depannya dengan pedang di tangan kanan dan kiri, ia terkejut sekali.
“Ha ha ha!” katanya sambil memandang kagum. “Kalau anak setan itu tidak mau ikut, lebih
baik kau saja ikut kepadaku!”
Sambil berkata demikian, ia menggerakkan sabuknya yang lihai itu untuk merampas kedua
pedang di tangan Cui Giok. Dara perkasa ini sengaja tidak mengelak sehingga ujung sabuk itu
membelit pedang di tangan kirinya. Tiba-tiba Cui Giok membetot pedangnya untuk membikin
putus sabuk itu.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika mendapat kenyataan bahwa sabuk itu amat kuat dan
tenaga pemegangnya juga luar biasa besarnya. Tak disangkanya sama sekali bahwa hwesio itu
demikian lihai dan besar tenaga lweekangnya. Maka dengan cepat ia lalu menggerakkan
pedang di tangan kanannya untuk membabat putus sabuk yang melibat pedang kirinya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 285
Hwesio itu ternyata lihai dan cepat gerakannya karena sebelum pedang Cui Giok membabat
sabuknya ia telah melepaskan kembali libatan sabuk dan kini sabuknya bergerak-gerak
bagaikan ular menyerang ke arah jalan darah Cui Giok, merupakan totokan-totokan yang
berbahaya.
Akan tetapi ia mengeluh di dalam hati ketika mendapat kenyataan bahwa gadis itu bukan
merupakan lawan yang empuk baginya. Sepasang pedang ditangan nona itu, yang memainkan
ilmu pedang Im-yang Siang-kiam-hoat benar-benar luar biasa sekali sehingga beberapa kali
hwesio itu harus melompat jauh dengan kaget karena hampir saja ia menjadi korban ujung
pedang.
Juga Cui Giok merasa amat penasaran. Hwesio itu hanya memegang sehelai senjata sabuk,
akan tetapi amat sukar baginya untuk mengalahkannya. Maka ia makin marah dan
mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk mendesak sehingga hwesio itu terpaksa harus
mengakui keunggulan Cui Giok. Ia hanya dapat mengandalkan ginkangnya untuk melompat
ke kanan kiri menghindarkan diri dari bahaya maut yang tersebar dari sepasang pedang di
tangan nona itu.
Setelah bertempur kurang lebih tiga puluh jurus, hwesio itu tak tahan lagi. Tiba-tiba terdengar
suara halus memuji,
“Im-yang Siang-kiam-hoat benar-benar hebat!”
Mendengar suara ini, hwesio tadi menjadi pucat dan ketika pedang Cui Giok agaknya tertahan
karena gadis ini pun mendengar seruan itu. Hwesio itu lalu melompat jauh dengan gerakan
Naga hitam menembus langit. Ia berlompatan beberapa kali dan tubuhnya lenyap di balik
pohon-pohon yang banyak tumbuh di atas bukit.
Cui Giok berpaling dan memandang kepada orang yang berseru memuji tadi. Ia melihat
seorang kakek berjenggot panjang keputih-putihan yang membawa sebuah keranjang obat dan
guci arak tergantung di pinggangnya. Melihat sikap kakek ini, ia dapat menduga bahwa ia
berhadapan dengan seorang sakti, maka ia cepat menyimpan pedangnya dan menjura dengan
penuh hormat. Sementara itu, anak kecil tadi menghampiri kakek itu dan berkata,
Bab 31 ...
“SUHU, ilmu pedang cici ini benar-benar hebat sekali!”
“Nona,” terdengar kakek tua itu berkata dengan suaranya yang halus dan sabar. “Apakah kau
anak murid dari Sie Cui Lui?”
“Sie Cui Lui adalah kakekku, locianpwe. Teecu bernama Sie Cui Giok. Tidak tahu, siapakah
locianpwe yang terhormat dan siapa pula adanya hwesio jahat tadi? Mengapa ia hendak
menangkap adik kecil ini?”
Kakek ini menghela napas. “Biarpun amat memalukan untuk mengaku. Akan tetapi terus
terang saja, hwesio itu adalah muridku sendiri. Lima tahun yang lalu, ia masih menjadi
muridku yang baik, akan tetapi ia menyeleweng dan melakukan perbuatan zinah yang jahat,
sehingga aku terpaksa mengusirnya dan tidak mengakui sebagai murid. Semenjak itu, ia
merasa sakit hati dan karena tidak berani membalas dendam kepadaku, agaknya ia hendak
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 286
menyakiti hatiku dengan menculik muridku yang kecil ini. Nona, ketahuilah aku adalah Lo
Han Cinjin dari Kun-lun-san. Kakekmu Sie Cui Lui itu telah dikenal baik padaku.” Kemudian
ia berpaling kepada muridnya dan berkata,
“Cu Ek, hayo kau menghaturkan terima kasih kepada nona ini yang telah membantu dan
menolongmu.”
Kui Cu Ek lalu menghampiri Cui Giok dan menjatuhkan diri berlutut, akan tetapi Cui Giok
segera mengangkatnya bangun dan berkata sambil tertawa,
“Adik yang baik, ilmu pedangmu benar-benar mengagumkan sekali!”
“Belum ada sepersepuluh bagian dari kepandaian cici yang gagah,” kata anak kecil itu dengan
suaranya yang nyaring.
Lo Han Cinjin berkata lagi, “Dengan sepasang pedang dapat mendesak dan mengalahkan
muridku yang tersesat tadi telah menunjukkan bahwa kepandaianmu sudah cukup tinggi.
Sebenarnya kau hendak kemanakah?”
Dengan singkat Cui Giok menuturkan bahwa ia sedang menuju Hong-san untuk mencari guha
Kilin di mana tersimpan harta pusaka itu.
Kakek itu menarik napas panjang.
“Sayang .... sayang .... agaknya manusia takkan terlepas dari pengaruh harta ...” Ia lalu
merogoh keranjang obatnya dan mengeluarkan sebatang ranting yang penuh daun berwarna
merah.
“Nona, kau telah bertemu dengan aku. Itu berarti ada jodoh. Aku tadi secara kebetulan sekali
mendapatkan daun Ang-giok (daun bermata merah) ini. Karena tidak perlu bagiku, terimalah
daun ini. Jangan kau anggap remeh daun ini karena segala luka di dalam tubuh dapat sembuh
dengan mudah apabila orang yang terluka itu makan sehelai daun ini. Dan karena kau
melakukan perantauan, terimalah lima butir pel ini. Kalau kau berada jauh dari rumah orang
dan kehabisan ransum, sebutir pel ini kalau kau telan akan melindungi pencernaanmu dan kau
dapat bertahan tidak makan sampai sepekan lamanya tanpa merasa lapar.”
Dengan girang Cui Giok menerima obat mujijat itu yang disimpannya di dalam buntalan
pakaian yang diikatkan pada punggungnya, lalu menghaturkan terima kasih. Akan tetapi,
tanpa berkata sesuatu lagi kakek yang aneh lalu menggandeng tangan muridnya dan pergi dari
situ.
Di kemudian hari, anak kecil yang bernama Kui Cu Ek itu, akan menjadi seorang pendekar
gagah perkasa yang menggemparkan dunia persilatan dengan ilmu pedang Sin-tiauw-kiamsut.
Dia inilah yang akan mengharumkan nama Kun-lun-pai di kemudian hari.
Sementara itu, Cui Giok melanjutkan perjalanannya menuju ke Hong-san. Setelah dekat bukit
itu, ia menyelidiki dengan penuh perhatian, akan tetapi tidak bertemu dengan orang-orang
yang dicarinya, yakni anak murid Hoa-san-pai yang bernama Tan Kui Hwa, Pui Kiat dan Pui
Hok itu. Maka, ia langsung mendaki bukit Hong-san untuk mencari di puncak bukit itu. Sama
sekali ia tidak tahu bahwa pada hari itu juga, pagi tadi, tiga orang murid Hoa-san-pai yang
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 287
dicarinya itu telah naik pula ke Hong-san. Bahkan tidak disangkanya sama sekali bahwa di
tempat itu ia akan bertemu dengan Tin Eng, gadis puteri Liok-taijin yang telah seribu kali
membuat ia cemburu itu, karena agaknya Gwat Kong amat memperhatikan gadis itu.
****
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Tin Eng, Kui Hwa, Pui Kiat dan Pui Hok naik
ke Hong-san pada pagi hari itu dengan maksud mencari harta pusaka dan kalau perlu
membinasakan penjaga guha Kilin, yakni raksasa hitam yang menurut Kui Hwa bernama
Badasingh.
Benar saja sebagaimana telah dituturkan oleh Kui Hwa, ketika mereka tiba di puncak itu, di
depan guha Kilin, kelihatan Badasingh, orang tinggi besar yang seperti raksasa itu duduk di
atas batu sambil memukul-mukulkan rantai bajanya ke atas batu karang, menerbitkan suara
keras dan batu karang itu pecah berkeping-keping bagaikan batu merah dipukul oleh besi.
Wajah raksasa hitam itu nampak muram.
“Mari kita hampiri dia!” ajak Kui Hwa dan dengan hati berdebar keempat orang muda itu
berjalan menghampiri raksasa yang mengerikan ini.
Badasingh menengok cepat dan ketika melihat dua orang gadis cantik dan dua orang pemuda
mendatangi, ia segera bangun berdiri. Bukan main tingginya orang ini. Kalau berdiri di dekat
Pui Kiat dan Pui Hok yang sudah cukup tinggi itu barangkali hanya akan setinggi pundaknya.
“Kalian siapakah? Dan mau apa datang ke tempat ini?”
Badasingh bertanya dengan suaranya yang besar dan kaku, sedangkan sepasang matanya yang
hitam bersinar tajam itu ditujukan kepada Kui Hwa dan Tin Eng. Kedua orang gadis ini
merasa bulu tengkuk mereka meremang karena pandang mata itu sungguh-sungguh kurang
ajar, bagaikan pandang mata seorang rakus memandang semangkok masakan yang enak dan
masih mengebul hangat.
“Kami datang hendak menyelidiki guha ini dan mencari tempat penyimpanan harta
terpendam,” kata Kui Hwa terus terang karena tahu bahwa raksasa ini telah mengetahui
tentang harta itu. Ia hendak melihat bagaimana sikap raksasa itu setelah mendengar bahwa
mereka datang untuk keperluan yang sama.
Untuk sesaat, wajahnya yang hitam itu bergerak-gerak marah mendengar ucapan ini. Akan
tetapi kemudian ia tertawa bergelak-gelak sehingga suara ketawanya menggema di empat
penjuru.
“Kalian, orang-orang kecil lemah ini? Ha ha ha! Kalian mau melihat guha Kilin? Boleh,
boleh! Nah, mari lihatlah, kuantarkan!”
Pui Kiat dan Pui Hok melangkah maju ke arah guha diikuti oleh Kui Hwa dan Tin Eng.
Ketika mereka masuk ke dalam guha itu, mereka berseru penuh kengerian karena di dalam
guha itu ternyata merupakan sebuah sumur besar atau jurang yang tak berdasar saking
dalamnya. Yang nampak hanya kehitaman di bawah jurang itu tak dapat diukur berapa
dalamnya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 288
Melihat adanya beberapa kelelawar beterbangan di permukaan jurang, keluar masuk ke dalam
sumur itu, maka dapat diduga bahwa tempat itu tentu amat dalam. Untuk menuruni jurang itu
amat sukar, karena pinggirnya terdiri dari batu cadas yang amat licin dan tajam. Jalan masuk
ke dalam guha itu semuanya penuh oleh jurang itu, hanya sebagian kecil saja di sebelah kanan
terdapat batu karang yang dapat dijadikan tempat untuk berdiri atau duduk. Akan tetapi
lebarnya hanya kira-kira satu kaki saja. Oleh karena itu, memasuki guha Kilin ini pada waktu
gelap sungguh merupakan jalan maut yang mengerikan karena begitu masuk, orang akan
terguling ke dalam jurang.
“Ha ha ha! Kalian mau masuk ke dalam? Masuklah!” Sambil berkata demikian, membuat
gerakan tangan dan menyerang ke arah Pui Kiat dan Pui Hok.
Bukan main kagetnya Tin Eng dan Kui Hwa melihat ini dan untung sekali kedua gadis itu
berdiri di belakang si raksasa sehingga mereka dapat bergerak cepat. Bagaikan sudah diatur
lebih dahulu, Tin Eng menggerakkan tangan memukul ke lambung raksasa itu, sedangkan Kui
Hwa menangkap kedua tangan kedua suhengnya dan menariknya ke belakang.
Raksasa itu dengan amat mudahnya dapat mengelak dari pukulan Tin Eng dan ketika keempat
orang muda itu melompat ke belakang dengan muka pucat dan marah, ia tertawa bergelak dan
melangkah maju mengejar mereka dengan sikap mengancam dan menakutkan.
“Ha ha ha! Kalian orang-orang lemah ini tak mungkin dapat mengambil harta itu untukku.
Karena itu, kalian hrs mati di sini akan tetapi hanya kamu berdua yang harus mati!” Ia
menunjuk kepada Pui Kiat dan Pui Hok.
“Dua orang bidadari manis ini harus mengawani aku di sini. Aku kesepian sekali dan amat
haus. Kalian berdua, gadis-gadis manis, kalian akan dapat menghibur hatiku. Kalian menjadi
pengganti anggur yang segar! Ha ha ha!”
“Siluman jahanam!” bentak Tin Eng dengan marah sekali. Hampir berbareng keempat orang
muda itu mencabut pedang masing-masing dan menyerang dengan berbareng.
Akan tetapi keempatnya terpaksa harus meloncat mundur lagi karena sambil berseru keras,
Badasingh memutar rantainya yang berat dan panjang itu sehingga merupakan segulungan
sinar hitam menyambar di sekeliling tubuhnya. Empat orang muda itu tidak berani beradu
senjata karena takut kalau pedang mereka akan rusak, maka mereka ini hanya mengandalkan
kelincahan mereka untuk memasuki lowongan antara sambaran rantai baja. Namun
kepandaian Badasingh benar-benar luar biasa, terutama sekali tenaganya yang hebat.
Ia melayani empat orang lawannya sambil mengeluarkan seruan-seruan liar bagaikan suara
seekor beruang mengamuk. Kedua matanya terbelalak lebar, mulutnya menyeringai dan
tangan kirinya yang tidak memegang senjata itu tidak tinggal diam, akan tetapi melakukan
serangan-serangan mencengkeram dengan jari-jari tangannya yang panjang berbulu dan
kukunya yang panjang dan tebal.
Badasingh benar-benar hebat. Biarpun yang mengeroyoknya adalah empat orang muda yang
kepandaiannya telah cukup tinggi, namun ia tidak menjadi sibuk bahkan dapat mendesak
dengan senjata rantai bajanya. Berkali-kali empat orang muda itu terpaksa harus melompat
tinggi dan menjauhkan diri dari sambaran rantai yang besar dan berat itu, dan sukarlah bagi
mereka untuk mendekati atau menyerang si raksasa.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 289
Sebaliknya, Badasingh juga merasa penasaran. Jarang ada orang yang kuat menghadapinya
sampai puluhan jurus, maka tiba-tiba ia berseru keras dan dengan langkah lebar ia mendesak
terus kepada Kui Hwa dan Tin Eng sehingga kedua nona itu menangkis pedang mereka
terpental dan terlepas dari pegangan.
Sebelum hilang rasa kaget mereka, lengan kiri Badasingh telah terulur maju dan Kui Hwa
kena ditangkap pundaknya. Saking kaget dan takutnya, Kui Hwa sampai menjadi lemas dan
dengan gerakan luar biasa sekali, jari tangan Badasingh menotok dan menekan jalan darah
gadis itu pada pundaknya sehingga tubuh Kui Hwa seakan-akan menjadi lumpuh.
Badasingh melepaskan Kui Hwa dan kini ia mengulurkan tangan hendak menangkap Tin Eng.
Gadis ini tak mau menyerah begitu saja dan mengirim pukulan ke arah lengan yang terulur
hendak menangkapnya. Akan tetapi jari tangan Badasingh yang panjang-panjang itu bergerak
ke bawah dan tertangkaplah lengan Tin Eng.
“Ha ha ha! Kalian berdua nona manis harus menjadi penghiburku dan mengawani aku di
tempat ini. Ha ha ha!” Juga Tin Eng dibikin tak berdaya oleh totokannya yang lihai.
Pui Kiat dan Pui Hok terkejut sekali dan mereka berlaku nekad. Dengan marah mereka maju
menyerang lagi, akan tetapi agaknya mereka itu hanya hendak mencari kematiannya sendiri
karena sebentar saja rantai baja yang hebat itu telah bergerak-gerak mengancam mereka.
Pada saat terjadinya pertempuran dan tertangkapnya Tin Eng dan Kui Hwa, datanglah Cui
Giok. Dara perkasa ini dari jauh sudah mendengar gerakan-gerakan aneh dari mulut
Badasingh dan mendengar pula suara senjata beradu, maka ia mempercepat larinya bagaikan
terbang menuju ke arah suara itu.
Ketika ia tiba di situ, ia terkejut sekali melihat betapa dua nona muda telah tertangkap dan
kini duduk di atas tanah dalam keadaan tertotok dan tidak berdaya sama sekali. Sedangkan
dua orang pemuda sedang mengeroyok seorang raksasa hitam yang dahsyat dan mengerikan.
Sekali pandang saja, tahulah Cui Giok bahwa dua orang itu tentulah Pui Kiat dan Pui Hok.
Akan tetapi ia merasa heran juga melihat adanya dua orang gadis di situ. Yang manakah
gerangan yang bernama Kui Hwa? Akan tetapi ia tidak mau pusingkan semua itu karena ia
melihat betapa kedua orang muda itu telah terdesak hebat dan keselamatan mereka terancam
bahaya maut. Ia segera mencabut sepasang pedangnya dan melompat dengan gerakan Walet
Hitam Keluar Dari Sarangnya, dan membentak,
“Siluman hitam, lihat pedang!”
Begitu tubuhnya tiba di depan Badasingh, ia lalu menyerang dengan kedua pedangnya ke arah
kedua pundak raksasa itu. Badasingh melihat dua sinar cemerlang menyambar ke arah
pundaknya menjadi terkejut sekali dan cepat berjumpalitan ke belakang sambil memandang.
Alangkah girangnya melihat seorang gadis yang cantik jelita berdiri di depannya.
“Ha ha ha! Datang seorang lagi! Ha ha ha, bagus! Yang ini lebih hebat lagi, ha ha! Sekarang
ada tiga! Cukuplah untukku!”
Sementara itu, Cui Giok bertanya kepada Pui Kiat dan Pui Hok,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 290
“Apakah jiwi yang bernama Pui Kiat dan Pui Hok?”
“Benar, nona,” jawab Pui Kiat sambil memandang heran. “Nona siapakah?”
“Aku datang mewakili Gwat Kong!” kata Cui Giok dan tubuhnya melayang ke arah Kui Hwa
dan Tin Eng. Dua kali tepukan saja ia sudah membikin dua orang gadis itu pulih kembali jalan
darahnya. Kui Hwa memandang kagum sedangkan Tin Eng memandang dengan heran.
Siapakah gadis ini yang menyebut nama Gwat Kong begitu saja?
Akan tetapi mereka tidak mempunyai kesempatan untuk banyak bicara. Karena pada saat itu,
Badasingh yang merasa marah melihat Cui Giok membebaskan dua orang korbannya, telah
datang untuk menangkap Cui Giok.
“Kalian berempat minggirlah, biarlah aku menghadapi siluman ini!”
Sambil berkata demikian, Cui Giok menyambut kedatangan Badasingh dengan sepasang
pedangnya digerakan membuat penyerangan yang hebat dan berbahaya. Badasingh hanya
menyeret rantainya karena tadinya ia hendak menawan hidup-hidup gadis cantik jelita ini.
Akan tetapi ketika sepasang pedang itu menyerang dengan gerakan berlawanan yang aneh
sekali, ia mengelak dan tetap saja ujung pedang di tangan Cui Giok berhasil menyerempet
pundaknya.
Badasingh memekik keras dan mengeluarkan suara aneh, agaknya ia memaki-maki dalam
bahasa yang tidak dimengerti oleh Cui Giok dan kawan-kawannya dan melihat darah
mengalir membasahi baju di bagian pundaknya. Badasingh menjadi marah sekali. Sambil
mengeluarkan seruan-seruan keras, ia memutar-mutar rantai bajanya dan menyerang Cui Giok
dengan hebatnya bagaikan serangan air hujan dari atas.
Kalau Badasingh mengira akan dapat mengalahkan gadis yang baru datang ini dengan
serangan-serangannya yang mengandalkan tenaga besar dan kecepatan, ia kecele. Dara
perkasa ini kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada keempat orang muda tadi dan gerakan
sepasang pedangnya masih melebihi kecepatan rantai bajanya.
Cui Giok yang memiliki ilmu pedang Im-yang Siang-kiam-hoat dan berotak cerdik itu
maklum bahwa kalau ia merasa gentar dan bertempur sambil menjauhkan diri maka tak
mungkin akan dapat menang. Karena senjata lawannya yang panjang dan berat itu lebih
menguntungkan pihak lawan. Oleh karena itu, ia mengandalkan ginkangnya dan sikap kedua
pedangnya yang berdasarkan Im dan Yang yakni tenaga lemas dan kasar. Ia mendesak maju
dan mengajak bertempur dari jarak dekat.
Tentu saja cara bertempur menghadapi seorang raksasa mengerikan seperti Badasingh dari
jarak dekat membutuhkan ketabahan besar. Karena demikian berat dan cepatnya gerakan
rantai itu sehingga angin pukulannya terdengar bersiutan memenuhi telinga dan angin itu
membuat pakaian Cui Giok berkibar-kibar bagaikan tertiup angin badai.
Namun Cui Giok berlaku tabah dan ketika kedua pedangnya digerakkan dengan cepat dan
sinar pedangnya bergulung-gulung dan menyelinap di antara sambaran rantai sehingga
tubuhnya lenyap sama sekali terbungkus oleh gulungan sinar itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 291
Kalau Badasingh menjadi terkejut setengah mati melihat cara bertempur gadis yang lihai ini,
adalah Kui Hwa, Tin Eng, Pui Kiat dan Pui Hok berdiri dengan bengong dan penuh
kekaguman. Bagi Tin Eng dan dan kedua saudara Pui, mereka sudah menyaksikan kelihaian
Kang-lam Ciu-hiap Gwat Kong dan merasa amat kagum. Akan tetapi agaknya gadis yang
baru datang yang mengaku mewakili Gwat Kong ini, agaknya tidak kalah lihainya daripada
Gwat Kong sendiri. Adapun Kui Hwa juga merasa kagum karena selama hidupnya belum
pernah ia menyaksikan permainan pedang sehebat itu.
Tadinya keempat orang muda ini hendak membantu bahkan Kui Hwa dan Tin Eng sudah
mengambil pedang mereka yang tadi terpental dan terlepas dari tangan. Akan tetapi mereka
masih ragu-ragu karena larangan Cui Giok. Kini mereka tidak merasa ragu-ragu lagi akan
kelihaian nona penolong itu dan mereka menonton dengan penuh harapan dan kekaguman.
Lambat akan tetapi pasti, Cui Giok mendesak lawannya dan kini seruan-seruan yang keluar
dari mulut Badasingh adalah seruan-seruan kaget bercampur marah. Ia hanya dapat memutar
rantai melindungi dirinya sambil mundur, akan tetapi masih saja ujung pedang Cui Giok
berhasil melukai lengan kiri dan kulit lehernya.
Cui Giok makin bersemangat. Ia benci kepada raksasa hitam ini karena tadi melihat dengan
jelas betapa raksasa hitam ini bermaksud keji terhadap dua orang gadis itu, dan hal ini
memang amat dibenci oleh Cui Giok. Dengan dada penuh nafsu membunuh, ia terus
mendesak dan menindih senjata lawan tanpa memberi kesempatan sama sekali kepada raksasa
itu untuk balas menyerang atau melarikan diri.
Badasingh bingung sekali. Ia mundur terus dan kini ia telah mendekati guha Kilin di dalam
mana terdapat jurang yang mengerikan dan gelap itu. Tiba-tiba Badasingh yang sudah tak
tahan lagi menghadapi desakan sepasang pedang di tangan Cui Giok, melompat mundur ke
dalam guha. Cui Giok masih sempat mengirim tusukan yang mengenai pahanya sehingga
Badasingh menjerit kesakitan lalu melompat ke dalam mulut guha Kilin.
Cui Giok masih merasa penasaran dan cepat melompat pula ke dalam guha yang gelap.
“Awas, jangan masuk ........!!!” Kui Hwa dan Tin Eng menjerit hampir berbareng. Akan tetapi
Cui Giok yang tidak tahu akan adanya bahaya di dalam guha, sudah melompat ke dalam dan
terdengarlah jerit gadis itu mengerikan sekali ketika tubuhnya melayang ke bawah jurang
yang amat gelap.
Ternyata bahwa Badasingh telah menggunakan akal memancing lawannya. Ia tahu bahwa di
dalam guha itu hanya terdapat sebuah tempat di sebelah kanan, maka ketika ia melompat ke
dalam guha yang gelap, ia melompat ke sebelah kanan, di atas batu karang yang lebarnya
hanya satu kaki itu. Akan tetapi Cui Giok yang tidak tahu akan hal ini, langsung melompat
dan ..... terjerumus ke dalam sumur atau jurang itu.
Setelah gema jeritan Cui Giok itu lenyap, terdengar gema suara ketawa Badasingh yang
bergelak-gelak dari dalam guha. Kui Hwa dan Tin Eng tadinya menutupi kedua matanya
dengan tangan karena merasa ngeri, kini mereka menjadi marah sekali. Tin Eng dengan
pedang ditangan melangkah maju dan memaki,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 292
“Siluman jahanam! Aku harus mengadu nyawa denganmu!” Ia hendak nekad dan menyerang
raksasa itu, akan tetapi Kui Hwa, Pui Kiat dan Pui Hok memegang tangannya dan menariknya
pergi dari situ.
“Adik Tin Eng, tak perlu membuang nyawa dengan sia-sia. Kita berempat bukanlah lawan
siluman itu.”
“Tidak, tidak! Aku harus membalas kematian penolong kita itu!” kata Tin Eng sambil
menangis. Akan tetapi Kui Hwa yang juga mengucurkan airmata itu memeluk dan
menariknya dengan paksa.
Demikianlah keempat orang itu dengan hati sedih sekali turun dari gunung. Mereka tidak tahu
bahwa sebenarnya Badasingh telah terluka berat juga di pahanya sehingga kalau mereka
nekad menyerbu, belum tentu raksasa itu akan dapat mempertahankan dirinya.
Sampai merah kedua mata Tin Eng dan Kui Hwa menangisi nasib Cui Giok, gadis penolong
yang belum mereka ketahui siapa namanya itu. Mereka tidak berdaya dan tak dapat berbuat
lain kecuali menanti datangnya Gwat Kong. Mereka tidak tahu dimana adanya Gwat Kong,
karena nona yang katanya mewakili Gwat Kong itu tak sempat memberi penjelasan sesuatu
kepada mereka.
“Lebih baik kita menanti saja di sini sampai datangnya Kang-lam Ciu-hiap,” kata Pui Kiat.
“Ku rasa betapapun juga dia tentu akan datang di sini!”
Karena tidak mendapat jalan lain, kawan-kawannya menyatakan setuju dan untuk menghibur
hati mereka yang ruwet, mereka menuju ke kota Thay-liok-kwan tak jauh dari situ. Kota ini
letaknya di tepi pantai sungai dan menjadi pusat keramaian yang cukup menarik. Di tepi-tepi
sungai terdapat perahu-perahu besar yang dipergunakan untuk orang berpelesir di sepanjang
tepi sungai, bahkan ada beberapa perahu besar yang dipergunakan sebagai restoran dimana
orang dapat naik perahu sambil memesan makanan.
Ketika empat orang muda itu sedang berjalan-jalan di dekat sungai sambil melihat-lihat
perahu yang dicat indah, tiba-tiba terdengar seruan orang,
“Omitohud, alangkah cantik-cantiknya!”
Mereka segera menengok ke belakang dan melihat seorang hwesio muda yang kepalanya
gundul sedang memandang kepada Tin Eng dan Kui Hwa dengan mata yang kurang ajar dan
mulut menyeringai. Tin Eng dan Kui Hwa hendak marah, akan tetapi Pui Kiat mengedipkan
mata mencegah mereka mencari keributan di tempat itu. Dengan hati sebal mereka lalu naik
ke perahu restoran mengambil tempat duduk dan memesan makanan.
Akan tetapi, baru saja makanan yang mereka pesan itu dikeluarkan, tiba-tiba perahu itu
menjadi miring dan para pelayan berteriak-teriak bingung. Ketika keempat orang muda itu
memandang keluar, ternyata hwesio kurang ajar itu dan sungguh mengherankan karena
biarpun tubuhnya tidak berapa besar dan ia berjalan dengan perlahan namun perahu itu miring
dan bergoyang-goyang seakan-akan ada seekor gajah yang berjalan di situ.
Diam-diam keempat orang muda itu terkejut sekali. Terang sekali bahwa hwesio itu
mendemonstrasikan ilmu Jian-kin-cui (tenaga seribu kati) untuk membuat tubuhnya menjadi
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 293
berat. Akan tetapi, empat orang muda itu maklum bahwa kalau tidak mempunyai ilmu tinggi,
tak mungkin dapat membuat perahu besar menjadi miring dan bergoyang-goyang.
Sambil tertawa-tawa hwesio itu sengaja memilih meja di dekat empat orang muda itu dan
duduk dengan mulut menyeringai dan lagak sombong lalu pesan makanan dan arak kepada
pelayan. Tentu saja keempat orang muda itu merasa sebal dan mendongkol sekali.
Akan tetapi oleh karena hwesio itu tidak melakukan sesuatu, mereka tidak mempunyai alasan
untuk menyatakan kedongkolan hati. Apalagi mereka maklum bahwa hwesio itu
berkepandaian tinggi, maka lebih baik tidak mencari permusuhan dengan hwesio yang aneh
ini.
Hwesio ini bukan lain ialah Tong Kak Hwesio, murid dari Lo Han Cinjin tokoh Kun-lun-pai
itu, dan hwesio inilah yang pernah bertempur dan dikalahkan oleh Cui Giok. Ia pernah
menjadi murid tersayang dari Lo Han Cinjin dan mempelajari ilmu silat Kun-lun-pai yang
tinggi. Akan tetapi karena pada suatu hari ia mengganggu gadis kampung, ia mendapat marah
besar dari suhunya dan kemudian diusir dan tidak diakui lagi menjadi murid kakek sakti itu.
Di dalam perantauannya, Tong Kak Hwesio bertemu dengan Liok-taijinpm dan menjadi
sahabat baik dari Ang-sun-tek. Karena tahu bahwa hwesio ini selain mata keranjang juga mata
duitan serta memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka Ang-sun-tek lalu mempergunakan
tenaganya dan ketika ia sedang berusaha mencari tahu tentang rahasia peta harta terpendam di
Hong-san itu, dari Tin Eng dengan perantara Liok-taijin.
Ia lalu minta pertolongan Tong Kak Hwesio untuk berangkat terlebih dahulu ke Hong-san dan
menyelidiki keadaan murid-murid Hoa-san-paiyang telah berangkat ke tempat itu. Ang-suntek
khawatir kalau-kalau murid-murid Hoasan itu mendahului mendapatkan harta itu.
Demikianlah, pada hari itu Tong Kak Hwesio bertemu dengan bekas suhunya bersama murid
kecil suhunya itu yang hendak diganggunya sehingga ia bertempur dengan Cui Giok. Setelah
ia dikalahkan, ia berlari cepat menuju ke Hong-san. Ia mencari-cari di sekeliling tempat itu.
Akan tetapi ia tidak melihat murid-murid Hoa-san-pai, oleh karena pada waktu itu, Kui Hwa
dan kawan-kawannya sedang bertempur melawan Badasingh di puncak Hong-san. Setelah
Cui Giok terjerumus ke dalam jurang dan keempat orang muda itu turun gunung, barulah
Tong Kak Hwesio melihat mereka sehingga ia menjadi girang sekali.
Tong Kak Hwesio memang mata keranjang dan mempunyai watak yang amat sombong dan
mengagulkan kepandaiannya sendiri. Maka begitu melihat empat orang muda itu ia lalu
mendekati mereka dengan terang-terangan. Kui Hwa dan kawan-kawannya tidak mau
meladeninya, hanya makan dengan diam-diam saja dan cepat-cepat.
Setelah selesai mereka tanpa banyak cakap lalu meninggalkan perahu itu dan turun ke darat.
Agaknya Tong Kak Hwesio maklum bahwa mereka merasa mendongkol kepadanya maka ia
hanya makan minum sambil tertawa-tawa. Ia tidak mau turun tangan, oleh karena Ang-suntek
hanya pesan agar supaya mengikuti dan menyelidiki keadaan mereka dan jangan
mengganggu mereka sebelum melihat bahwa mereka telah mendapatkan harta pusaka itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 294
Kui Hwa, Tin Eng dan kedua saudara Pui itu berjalan-jalan dengan hati rusuh dan bingung.
Gwat Kong yang ditunggu-tunggu belum juga datang. Dalam kesempatan ini, Kui Hwa
bertanya tentang Gwat Kong kepada Tin Eng yang segera menceritakan riwayat Gwat Kong.
“Enci Kui Hwa, harap kau jangan kaget mendengar siapa adanya Gwat Kong itu. Karena ia
telah bercakap-cakap dengan aku tentang dirimu dan berbeda dengan kebiasaan umum,
pemuda itu sama sekali tidak mengandung hati dendam kepadamu.”
Kui Hwa terkejut sekali dan memandang kepada kawannya dengan alis berkerut.
“Apa maksudmu, adik Tin Eng?”
“Enci Hwa, bukankah kau puteri tunggal dari mendiang Tan-wangwe yang tinggal di Lamhwat?”
Kui Hwa mengangguk dengan heran. “Bagaimana kau bisa tahu tentang mendiang ayahku?”
“Gwat Kong yang menceritakannya kepadaku. Kau kenal atau pernah mendengar pembesar di
Lam-hwat itu yang bernama Bun-tihu? Tentu kau tahu pula akan permusuhan yang terjadi
antara ayahmu dengan Bun-tihu?”
Kui Hwa menghela napas panjang. “Aku tidak tahu jelas. Memang aku tahu bahwa mendiang
ayahku pernah melakukan sesuatu dosa terhadap Bun-tihu, karena sebelum meninggal dunia,
ayah seringkali menyebut-nyebut nama Bun-tihu. Akan tetapi entah dosa apa yang
diperbuatnya. Hanya setelah ayah menutup mata, beberapa kali ada orang datang menyerang
rumah ayah dan mereka itu semua terpaksa ku lawan dan aku usir. Memang aku selalu masih
memikirkan mengapa ayah dimusuhi orang-orang kang-ouw, sedangkan ibu juga tidak
memberi keterangan sesuatu. Ada hubungan apakah hal ini dengan diri Gwat Kong?”
Tin Eng mengangguk-angguk. “Kalau begitu, kau sama sekali belum tahu tentang peristiwa
itu, cici. Karena kita sudah menjadi kawan baik, maka tiada salahnya kalau aku
menuturkannya kepadamu. Akan tetapi harap kau jangan salah duga, karena aku sependapat
dengan Gwat Kong, yaitu bahwa perbuatan-perbuatan orang tua tiada sangkut pautnya dengan
keturunannya.”
Kui Hwa mendengarkan dengan wajah berubah agak pucat. “Ceritakanlah, adikku.”
“Menurut penuturan yang kudengar, ayahmu dahulu adalah seorang hartawan besar dan pada
suatu hari, ayahmu berurusan dengan para petani karena berebut tanah. Yang menjadi tihu
ketika itu adalah Bun-tihu dan di dalam pemeriksaan pengadilan akhirnya Bun-tihu
menangkan para petani itu. Ayahmu di denda dan tanah yang diperebutkan itu harus diberikan
kepada para petani.
Hal ini agaknya membuat ayahmu marah sekali. Tak lama kemudian serombongan pencuri
mengganggu Lam-hwat dan mereka ini bahkan berani mencuri cap kebesaran dari pembesar
tinggi. Seorang di antaranya tertangkap. Dalam pengakuannya ia menyatakan bahwa
pemimpin rombongan pencuri itu adalah .... Bun-tihu itulah. Sebagai buktinya, di dalam
kamar Bun-tihu itu, ketika dilakukan penggeledahan, ditemukan cap kebesaran yang tercuri
itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 295
Kui Hwa mendengarkan dengan mata terbelalak.
“Dan kau bilang bahwa semua itu adalah tipu muslihat mendiang ayahku?” tanyanya dengan
bibir gemetar.
“Sabar, cici! Aku sih tidak bisa berkata apa-apa, karena ketika hal itu terjadi, aku mungkin
masih orok dan berada di pangkuan ibuku. Sekarang baik kulanjutkan cerita ini. Bun-tihu
ditangkap dan harta bendanya dirampas. Karena merasa malu atas peristiwa ini, Bun-tihu lalu
membunuh diri dalam tahanan!”
“Kasihan!” kata Kui Hwa. “Ia mati dalam penasaran kalau memang betul ia tidak melakukan
kejahatan itu.”
“Semua penduduk Lam-hwat menyintai Bun-tihu dan tahu bahwa selama menjadi pembesar,
Bun-tihu terkenal adil. Maka biarpun ada pengakuan maling itu, hampir semua orang tidak
dapat percaya akan hal itu,” kata Tin Eng.
“Setelah Bun-tihu membunuh diri, maka isterinya yang sudah jatuh miskin, lalu pergi
bersama seorang puteranya, mengembara dan hidup sengsara sampai tiba masanya ia
meninggalkan dalam keadaan amat menderita.”
“Aduh, benar-benar kasihan nasibnya. Kalau memang ayah yang melakukan fitnah, amat
besar dosa yang diperbuat oleh mendiang ayah!” kata Kui Hwa dengan terharu.
“Nah, demikianlah ceritanya. Dan tentu kau dapat menduga, bahwa putera Bun-tihu itu bukan
lain ialah Bun Gwat Kong sendiri yang semenjak kecil hidup terlunta-lunta sebagai anak
yatim piatu. Kemudian ia menjadi pelayan dari ayah. Kami menganggap ia seorang pelayan
biasa dan aku ... aku bahkan memperlakukan secara sewenang-wenang. Siapa tahu bahwa dia
adalah pendekar perkasa yang berilmu tinggi!”
Menutur sampai di sini, tiba-tiba Tin Eng menjadi terharu karena teringat akan kasih sayang
pelayan itu kepadanya. Ia menggunakan sapu tangannya untuk mencegah runtuhnya dua butir
air mata.
Kui Hwa menarik napas panjang berulang-ulang.
“Dan dia tidak menaruh hati dendam kepadaku?” tanyanya. Guha
Bab 32 ...
TIN Eng menggelengkan kepala. “Dia sudah bicara dengan aku tentang hal ini. Memang
tadinya mendendam kepada ayahmu, bahkan sudah mencari ke Lam-hwat untuk membalas
dendam. Akan tetapi ia mendengar bahwa ayahmu telah meninggal dunia maka ia
menghabiskan urusan itu sampai di situ saja dan biarpun ia ingin bertemu dengan kau untuk
menguji kepandaian, akan tetapi ia sama sekali tidak merasa sakit hati kepadamu.”
“Biarlah, biar dia mendendam kepadaku. Biar kalau dia datang nanti, kami bertempur untuk
menentukan kemenangan. Aku tidak menyesal mati di ujung pedangnya kalau memang ayah
bersalah!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 296
Tin Eng memegang tangan Kui Hwa. “Cici, jangan kau berkata demikian. Apakah kau hendak
memperbesar dosa yang telah dilakukan oleh mendiang ayahmu? Gwat Kong tidak
mendendam kepadamu. Apakah kau bahkan hendak memusuhinya, setelah ayahmu
mencelakakan ayahnya?”
Kui Hwa berdiri dengan muka pucat. “Tin Eng ...!! Benar-benarkah ayah melakukan fitnahan
keji itu?”
Tin Eng menghela napas. “Apa yang harus kukatakan? Itu memang kenyataan, cici Hwa.
Hampir semua penduduk Lam-hwat mengetahui hal itu. Ayahmu telah menyewa penjahatpenjahat
untuk memfitnah Bun-tihu. Akan tetapi, sudahlah. Tidak baik membicarakan
kesalahan orang yang telah meninggal. Apalagi kalau orang itu, ayahmu sendiri.”
Kui Hwa berdiri bagaikan patung, dadanya turun naik dan kedua matanya basah,
“Ayah ..... kau yang berdosa .... aku, anakmu yang terhukum ...,” bisiknya perlahan.
Tin Eng memeluknya dan kedua orang gadis itu sama-sama mengeluarkan air mata. Tin Eng
maklum bahwa yang dimaksudkan oleh Kui Hwa adalah peristiwa yang menimpa dirinya
karena perbuatan Gan Bu Gi. Sungguhpun ia belum tahu dengan jelas apakah yang terjadi
antara kedua orang itu.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan orang dan keadaan menjadi amat ribut.
“Penculik .....!!! Tangkap ... tangkap ..!!”
Orang-orang berlari-lari membawa senjata dan ketika Kui Hwa dan Tin Eng menengok dan
berlari ke tempat itu, diikuti oleh Pui Kiat dan Pui Hok yang juga telah mendengar suara
ribut-ribut itu. Mereka berempat melihat bayangan hitam yang amat tinggi besar berlari
memanggul seorang wanita muda yang menjerit-jerit
“Badasingh ...!!” seru Kui Hwa dan kawan-kawannya.
Ternyata bahwa yang menculik wanita muda itu benar-benar adalah raksasa hitam di puncak
Hong-san itu. Sedangkan keempat pendekar muda itu sendiri tak berdaya menghadapi
Badasingh, apalagi penduduk kota itu. Mereka hanya dapat berteriak-teriak, akan tetapi
gerakan Badasingh yang amat cepat itu hampir tak terlihat oleh mata mereka. Mereka hanya
melihat bayangan hitam berkelebat cepat dan mendengar jerit tangis wanita yang terculik itu.
“Celaka! Si bedebah itu telah berani turun gunung untuk menculik wanita!” kata Pui Kiat.
“Apa yang kita harus lakukan?” tanya Pui Hok dengan muka pucat.
“Kejar dia dan tolong wanita itu!” Tin Eng dan Kui Hwa berkata berbareng sambil mencabut
senjata masing-masing.
Akan tetapi, Pui Kiat menggelengkan kepala. “Dia bukan lawan kita, akan sia-sia saja. Wanita
itu tidak akan tertolong, bahkan kita sama dengan mengantar nyawa!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 297
“Habis apakah kita harus diam berpeluk tangan saja melihat kejahatan ini?” kata Tin Eng
dengan penasaran.
Tiba-tiba Kui Hwa teringat akan sesuatu dan berkata, “Ah, mengapa aku begitu bodoh?
Menanti kedatangan Kang-lam Ciu-hiap belum tentu kapan? Dan kalau didiamkan saja,
kasihan nasib wanita itu. Mengapa kita tidak minta pertolongan Huang-ho Sam-kui? Mereka
cukup gagah dan dengan tenaga kita ditambah lagi dengan mereka bertiga, mustahil kita
takkan dapat binasakan siluman itu, menolong wanita tadi!”
Kawan-kawannya teringat pula akan hal ini. Mengapa tidak Huang-ho Sam-kui? Sungguhpun
kepala-kepala bajak, akan tetapi telah mereka kenal baik setelah mereka bertempur. Dan
agaknya kalau mereka datang minta pertolongan mereka takkan menolak.
Diam-diam dengan cepat mereka berempat lalu berlari menuju ke hutan yang dijadikan sarang
para bajak itu.
Kedatangan mereka disambut oleh para bajak dengan penuh kecurigaan. Mereka itu masih
teringat kepada empat orang muda yang dahulu pernah mengamuk. Akan tetapi dengan cepat
Kui Hwa berkata,
“Kami ingin bertemu dengan pemimpin-pemimpinmu. Di manakah adanya Huang-ho Samkui?
Beritahukan bahwa kami datang untuk sesuatu yang amat penting.
Para bajak itu memberi laporan dan tak lama kemudian muncullah tiga orang kepala bajak itu.
Huang-ho Sam-kui yang gagah, dan tidak ketinggalan mereka membawa senjata dayung
mereka yang lihai.
Melihat kedatangan empat orang muda ini, mereka bertiga menjura dan Louw Tek yang tertua
berkata,
“Saudara-saudara yang gagah mengunjungi tempat kami, ada maksud apakah?”
“Sam-wi Tay-ong,” kata Kui Hwa dengan cepat. “Kami datang untuk minta pertolongan dari
sam-wi yang gagah perkasa. Baru saja terjadi hal yang membutuhkan pertolongan kita, dan
karena kami berempat merasa tidak kuat menghadapi lawan yang amat tangguh, maka sengaja
datang mohon bantuan.”
Dengan singkat ia lalu menceritakan tentang penculikan wanita yang dilakukan oleh
Badasingh itu. Mendengar ini, ketiga bajak sungai itu saling pandang dengan muka berobah.
“Jadi siluman barat itu kini berada di puncak Hong-san?”
“Sam-wi sudah mengenal siluman itu?”
“Siapa yang tidak mengenal Badasingh, siluman hitam dari barat yang amat jahat dan lihai
itu? Beberapa tahun yang lalu, pernah ia membuat geger di daerah ini dan tak seorangpun
dapat melawannya karena ia memang amat lihai.
“Kalau begitu tentu Sam-wi suka membantu kami untuk menggempur dan
membinasakannya,” kata Kui Hwa.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 298
Louw Tek mengangguk-angguk. “Memang semenjak mendengar namanya, kami bertiga ingin
sekali bertemu dengan siluman itu dan membunuhnya. Akan tetapi telah bertahun-tahun ia
tidak muncul, agaknya kembali ke barat. Sekarang setelah ia muncul kembali, sudah tentu
kami akan berusaha membunuh atau mengusirnya. Apalagi mendapat bantuan saudarasaudara
berempat yang gagah.”
“Kalau begitu mari kita berangkat!” seru Tin Eng. “Kasihan wanita itu!”
Untuk mempercepat perjalanan, Huang-ho Sam-kui mengajak empat orang muda itu untuk
menggunakan sebuah perahu besar. Dengan lajunya perahu itu meluncur menuju ke Hongsan.
Setelah tiba di kaki bukit itu, mereka mendarat dan segera berlari-lari ke atas bukit.
Mereka tidak melihat raksasa hitam itu di depan guha Kilin dan selagi mereka menduga-duga,
tiba-tiba terdengar jeritan seorang wanita dari sebuah guha di dekat guha Kilin. Cepat-cepat
mereka lalu berlari memburu ke tempat itu.
Dengan penerangan cahaya matahari yang menyinari guha itu, mereka dapat melihat betapa
wanita yang terculik tadi meringkuk di sudut guha dalam keadaan ketakutan bagaikan seekor
kelinci yang tersasar memasuki lobang harimau. Sedangkan si raksasa hitam sambil tertawatawa
girang duduk memandang wanita itu dan tangan kanannya memegang seguci arak yang
tadi dirampoknya dari kota bersama dengan wanita muda itu.
“Badasingh, siluman jahat! Keluarlah untuk menerima binasa!” Kui Hwa berseru keras sambil
mengacung-ngacungkan pedangnya.
Melihat kedatangan orang-orang yang mengganggu kesenangannya itu, Badasingh
mengeluarkan gerengan marah dan keluarlah ia sambil menyeret rantai bajanya.
“Tin Eng, kaulah yang bertugas menolong wanita itu apabila siluman itu telah bertempur
dengan kami dan bawa wanita itu keluar guha dan suruh dia turun gunung lebih dulu,” Kui
Hwa berbisik.
Badasingh benar-benar marah ketika melihat bahwa di antara tujuh orang yang datang itu,
yang empat adalah orang-orang yang dulu pernah dikalahkannya. Ia tertawa bergelak dan
berkata kepada Kui Hwa,
“Apakah kau datang hendak menemani aku? Bagus, bagus!”
“Bangsat rendah!” Kui Hwa memaki marah dan segera memberi tanda kepada kawannya
yang menyerang maju berbareng.
“Kalian mencari mampus!” Badasingh membentak keras dan menggerakkan rantai bajanya
bagaikan kitiran.
Kui Hwa, Pui Kiat, Pui Hok dan ketiga Huang-ho Sam-kui lalu menyambutnya, sedangkan
Tin Eng segera melompat masuk ke dalam guha untuk menolong wanita itu. Melihat hal ini,
Badasingh berseru keras dan hendak mengejar. Akan tetapi keenam orang lawannya
menggerakkan senjata dan menghalanginya mengejar Tin Eng.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 299
Bukan main marahnya Badasingh dan segera mainkan rantainya makin cepat dan keras pula
sehingga enam orang pengeroyoknya terpaksa berlaku amat hati-hati. Huang-ho Sam-kui
dengan berbareng memukulkan dayungnya yang besar. Akan tetapi dengan mudah saja tiga
dayung itu ditangkis oleh rantai baja sehingga terdengar suara keras dan bunga-bunga api
beterbangan ke atas.
Dayung dari Huang-ho Sam-kui itu bukanlah dayung biasa terbuat daripada kayu, akan tetapi
adalah dayung istimewa yang terbuat dari baja tulen. Karena memang bukan dayung yang
dibuat untuk keperluan mendayung perahu, akan tetapi khusus untuk senjata mereka.
Pertempuran berjalan amat serunya dan biarpun dikeroyok enam orang yang kepandaiannya
tidak rendah, namun Badasingh dapat mempertahankan diri dengan baik. Bahkan ia dapat
membalas dengan serangan-serangan yang sekali saja mengenai tubuh lawan tentu akan
mendatangkan bahaya maut.
Sementara itu, Tin Eng sudah berhasil menolong wanita itu keluar guha. Akan tetapi oleh
karena ia amat lemah sehingga tidak dapat turun gunung seorang diri, pula amat ketakutan
setelah mengalami peristiwa hebat yang menimpa dirinya, terpaksalah Tin Eng mengantarnya
turun dari puncak dan melepaskan di lereng, menyuruh perempuan itu pulang seorang diri.
Kemudian Tin Eng berlari naik lagi ke puncak untuk membantu kawan-kawannya.
Dengan datangnya Tin Eng maka kini Badasingh dikeroyok tujuh. Akan tetapi raksasa hitam
ini makin marah melihat betapa korbannya ditolong Tin Eng. Maka sambil putar-putarkan
rantai bajanya, ia berseru kepada Tin Eng,
“Kau melepaskannya? Baik, sekarang kaulah penggantinya!”
Setelah berkata demikian, dengan amat cepat dan nekad ia menyerbu ke depan tiba-tiba
menyambar ke bawah dan tangan kirinya telah mencengkram beberapa potong batu karang
campur debu yang segera dilontarkan ke arah pengeroyoknya. Kui Hwa dan kawan-kawannya
terkejut sekali dan cepat mengelak sambil memutar senjata untuk menangkis sambitan itu.
Akan tetapi dengan gerakan yang luar biasa cepatnya dan tidak tersangka-sangka, Badasingh
menggulingkan dirinya di atas tanah ke arah Tin Eng dan sebelum gadis itu dapat mengelak,
ia telah dapat memegang kaki kiri Tin Eng dan menariknya ke bawah sehingga gadis itu
terguling di atas tanah.
“Ha ha ha! Kau menjadi penggantinya!” seru Badasingh dengan liar sambil mengulurkan
tangan hendak memeluk tubuh dara itu.
Bukan main terkejutnya Tin Eng mengalami bahaya ini dan Louw Tek yang berdiri terdekat
dengan raksasa itu lalu mengayunkan dayungnya menghantam punggung Badasingh.
“Bukkk!!”
Alangkah terkejutnya hati Louw Tek ketika pukulannya itu seakan-akan mengenai karet saja
dan dayungnya terpental kembali. Ternyata raksasa hitam itu amat lihai dan dapat
mengerahkan tenaga dalam untuk menerima pukulan ini.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 300
Sungguhpun pukulan itu tidak mencelakakannya, akan tetapi tenaga Louw Tek cukup keras
untuk membikin punggungnya terasa sakit, maka pegangannya pada kaki Tin Eng mengendur
dan ia menggereng marah. Kesempatan ini dipergunakan oleh Tin Eng untuk membetot
kakinya sehingga terlepas dan ia lalu melompat cepat ke belakang. Keringat dingin menitik
turun dari jidat Tin Eng karena ia merasa terkejut, takut dan ngeri menghadapi lawan yang
luar biasa tangguh dan kejamnya ini.
Kembali tujuh orang itu mengepung Badasingh. Raksasa hitam ini merasa kewalahan juga
menghadapi tujuh orang pengeroyoknya yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi, maka ia
lalu melompat ke belakang dan berlari. Pengeroyoknya mengejar dengan marah, akan tetapi
raksasa itu lalu melompat masuk ke dalam guha Kilin yang gelap.
“Sam-wi Tay-ong, jangan memasuki guha itu!” Kui Hwa memperingatkan Huang-ho Samkui,
karena ia takut kalau-kalau ketiga orang ini akan mengalami nasib seperti Cui Giok.
Tin Eng yang masih merasa gemas dan marah karena tadi hampir saja menderita malu dan
celaka, segera mengeluarkan piauwnya dan ketika tangannya bergerak tiga batang piauw
menyambar ke dalam guha yang gelap. Akan tetapi, hanya terdengar suara ketawa mengejek
dari dalam guha dan tiba-tiba dari dalam guha itu melayang keluar batu-batu karang kecil,
yang disambitkan dengan menggunakan tenaga luar biasa besarnya. Batu-batu itu menyambar
ketujuh orang itu dengan kecepatan luar biasa sehingga mereka menjadi terkejut dan buruburu
melompat jauh.
“Tidak ada gunanya!” kata Kui Hwa. “Kedudukannya di dalam guha yang gelap itu amat
menguntungkannya. Kita hanya dapat menyerang dengan ngawur karena tidak melihat di
mana ia berada. Akan tetapi ia dapat melihat kita dengan mudah dan dapat menyerang lebih
baik!”
Baru saja ia habis bicara, kembali melayang keluar banyak batu-batu karang bagaikan hujan
lebat sehingga terpaksa ketujuh orang itu melarikan diri dari situ dan bersembunyi di balik
batu-batu karang yang besar dan banyak terdapat di tempat itu.
“Bagaimana sekarang?” tanya Tin Eng dengan hati bingung dan cemas. Ia teringat akan nasib
dara pendekar yang kini terjerumus ke dalam jurang. Bagaimanakah nasib pendekar wanita
yang dulu menolong mereka itu? Sudah empat hari gadis itu terjerumus ke dalam jurang dan
tidak diketahui bagaimana nasibnya, entah hidup entah mati. Tak terasa pula kembali airmata
Tin Eng keluar ketika ia teringat akan nasib gadis yang menolongnya itu.
“Perempuan yang terculik sudah tertolong,” kata Louw Tek. “Untuk apa lagi kita berada lebih
lama di tempat berbahaya ini? Badasingh benar-benar tangguh dan setelah kini ia
bersembunyi di dalam guha, lebih baik kita pulang saja. Tanpa ada sebab yang penting kurasa
tiada gunanya kita bermusuhan dengan seorang liar dan lihai seperti dia!”
Setelah berkata demikian, Louw Tek mengajak kedua adiknya pergi dari tempat itu. Kui Hwa
dan kawan-kawannya hanya dapat menghaturkan terima kasih atas bantuan mereka. Tentu
saja Kui Hwa tak dapat menceritakan tentang alasan mereka memusuhi Badasingh, karena
dengan demikian berarti bahwa ia harus membuka rahasia tentang harta pusaka itu.
Berbahayalah menceritakan berita tentang adanya harta pusaka kepada orang-orang seperti
Huang-ho Sam-kui yang menjadi kepala bajak dan hal ini hanya akan menambah jumlahnya
musuh atau saingan saja.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 301
Dengan hati amat berat, keempat orang muda itupun turun dari Hong-san. Harapan mereka
satu-satunya tinggal Gwat Kong dan mereka hanya bisa menanti kedatangan pendekar muda
itu.
Ketika mereka turun dari Hong-san, tiba-tiba mereka melihat bayangan orang berkelebat, dan
bukan main cemas hati mereka melihat bahwa bayangan itu bukan lain adalah hwesio muda
yang selalu mengikuti mereka.
“Benar-benar bangsat gundul tak tahu malu!” Tin Eng memaki gemas.
“Tentu semenjak tadi dia mengintai kita,” kata Kui Hwa.
“Melihat kita mengeroyok Badasingh tanpa keluar membantu, Hmmm, benar-benar hwesio
itu bukan seorang baik-baik dan kita harus berhati-hati menghadapi dia. Siapa tahu dia
mempunyai maksud buruk terhadap kita,” kata Pui Kiat.
“Akan tetapi, tanpa sebab tak perlu kita bentrok dengan dia. Kepandaiannya tinggi. Di perahu
dulu, ia telah mendemonstrasikan ilmunya Jeng-kin-cui, sekarang ia mendemonstrasikan
ginkangnya,” kata Pui Hok.
Memang hebat benar ilmu lari cepat hwesio itu. Empat orang muda itu hanya melihat
bayangannya berkelebat dan sebentar saja lenyaplah hwesio itu. Kalau bukan empat orang itu
yang melihatnya, orang lain bahkan takkan tahu siap adanya bayangan yang berkelebat
bagaikan setan itu.
Terpaksa keempat orang muda itu menanti lagi, menanti datangnya Gwat Kong karena
mereka tidak berdaya dan tidak tahu harus berbuat apa. Hwesio itu kadang-kadang kelihatan
mendekati mereka tanpa mengeluarkan sepatah kata, hanya memandang ke arah Kui Hwa dan
Tin Eng dengan pandang kurang ajar dan mulut menyeringai. Akan tetapi oleh karena dia
tidak melakukan atau mengucapkan sesuatu, kedua orang dara itu pura-pura tidak melihatnya
dan tidak mau meladeninya.
Diam-diam Tin Eng merasa heran, mengapa rombongan perwira kerajaan yang hendak
mencari harta pusaka itupun belum nampak muncul di tempat itu. Hatinya makin gelisah.
Mengapa Gwat Kong belum juga datang? Ia tidak tahu bahwa Gwat Kong harus pergi dahulu
ke Hoasan dan kemudian sebagaimana dituturkan di bagian depan pemuda itu pulangnya
mampir lagi ke Kiang-sui sehingga ia bertempur dengan Seng Le Hosiang.
****
Marilah kita menengok dulu keadaan Cui Giok, gadis yang malang itu. Apakah dia telah
mati? Apakah ia tewas karena terjerumus ke dalam jurang yang amat dalam dan tidak
kelihatan dasarnya itu?
Syukur sekali tidak demikian. Ketika dara perkasa itu melompat ke dalam guha Kilin untuk
mengejar Badasingh, ia merasa kedua kakinya menginjak tempat kosong dan tak dapat
dicegahnya lagi. Tubuhnya melayang turun ke tempat kosong yang amat gelap. Cui Giok
mengerahkan ginkangnya dan juga segera menggunakan ilmu Pik-hu-hiat, menutup hawa dan
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 302
melindungi jalan darahnya serta mengerahkan lweekangnya agar tubuhnya tidak terluka kalau
tertumbuk batu karang.
Akan tetapi aneh sekali, ketika tubuhnya terbentur pada dinding sumur itu, ia merasa betapa
dinding itu lembek dan empuk lagi basah, sedangkan tubuhnya terus melayang turun lama
sekali. Makin lama makin cepat dan beberapa kali tubuhnya terbentur dinding, melayanglayang
ke kanan kiri di tempat kosong. Kepalanya menjadi pening, pengerahan tenaganya
makin mengurang dan akhirnya lenyap ketika tak dapat ditahannya lagi. Ia menjadi pingsan di
waktu tubuhnya masih melayang-layang turun ke bawah. Kedua pedangnya juga terlepas dari
genggaman dan melayang turun pula di tempat yang gelap itu.
Kalau ada orang yang melihat tubuh Cui Giok melayang jatuh sampai sekian lamanya di
tempat yang demikian dalamnya, tentu ia takkan ragu-ragu lagi menyatakan bahwa gadis itu
pasti akan tewas. Akan tetapi kenyataan tidak demikian, karena ketika tubuh Cui Giok dengan
kerasnya terbanting ke dasar jurang atau sumur itu, tubuhnya tidak remuk dan gepeng,
melainkan melesak ke bawah karena tanah di mana ia jatuh itu merupakan tanah lembek
berlumpur.
Hanya sebuah kenyataan yang membuktikan bahwa Tuhan belum menghendaki tewasnya
gadis itu, yakni bahwa kebetulan sekali jatuhnya dalam keadaan setengah berdiri sehingga
yang masuk ke bawah lumpur hanya kaki dan tubuh bagian bawah. Kalau kepalanya yang
masuk lebih dulu ke dalam lumpur, biarpun bantingan itu tidak menewaskannya, tentu gadis
itu akan mati juga karena tak dapat bernapas.
Ada setengah hari gadis itu diam tak bergerak, tak sadarkan diri bagaikan sudah mati. Akan
tetapi ia membuka matanya. Ia melihat bahwa ruang itu cukup terang, sungguhpun hanya
suram-suram saja. Ia melihat bahwa dirinya terbenam separuh di dalam lumpur, maka dengan
susah payah karena seluruh tubuhnya terasa sakit, ia merangkak keluar dari lumpur itu.
Ternyata bahwa ruang itu amat luas dan di kanan kiri terdapat tanah keras yang berdinding
batu karang yang mengeluarkan cahaya terang.
Cui Giok merangkak dan duduk di atas tanah keras. Tubuhnya yang terasa sakit-sakit itu
menandakan bahwa ia mendapat luka-luka di dalam tubuh karena bantingan dari tempat tinggi
itu. Maka dengan tangan gemetar, ia lalu mencari bungkusan dan sepasang pedangnya di
tempat tak jauh dari situ, untungnya tidak jatuh di dalam lumpur pula.
Jari-jari tangannya menggigil ketika ia membuka bungkusan pakaiannya. Ia teringat akan
obat-obat yang diberikan kepadanya oleh Lo Han Cinjin. Tangkai daun merah itu masih ada,
bahkan tidak layu, satu hal yang benar-benar luar biasa. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu
memetik sehelai daun dan makan daun itu yang rasanya asam sekali.
Benar-benar manjur daun itu, karena tak lama kemudian ia merasa tubunya segar dan rasa
sakit-sakit itu lenyap. Mulailah Cui Giok memperhatikan keadaan di sekitarnya. Ketika ia
memandang ke atas, ia melihat betapa sinar terang masuk bagaikan benang-benang emas,
akan tetapi sinar itu tertutup oleh awan putih yang bergerak-gerak. Itulah embun atau halimun
yang memenuhi sumur itu.
Anehnya dari atas mengalir masuk angin sejuk yang membuat dasar sumur itu mempunyai
hawa udara yang bersih dan segar. Dasar itu merupakan guha yang amat luas, semacam bilik
terkurung batu-batu karang yang bersinar-sinar.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 303
Cui Giok mulai memeriksa ke sekeliling ruangan itu dan mencari jalan keluar. Akan tetapi
hatinya bagaikan disayat pisau ketika ia mendapat kenyataan betapa tempat ini merupakan
kurungan baginya untuk selama hidupnya. Tidak ada terowongan atau jalan keluar sama
sekali dan memanjat ke atas merupakan sebuah ketidak mungkinan yang tak dapat dibantah
lagi. Batu-batu karang itu selain tajam, juga amat licin, maka tak dapat dipanjat. Sedangkan
dinding pada tempat ia jatuh, terdiri dari tanah lembek yang lebih sukar lagi untuk digunakan
sebagai jalan keluar.
Ia memandang lagi ke atas ke arah sinar-sinar itu lalu berteriak memanggil sambil
mengerahkan seluruh khikangnya. Akan tetapi, ketika suaranya kembali lagi ke bawah
meninggalkan gema suara yang amat menyeramkan dan aneh.
Cui Giok menjadi putus asa dan tak terasa lagi ia menjatuhkan diri di atas tanah yang berpasir
lalu menangis.
“Ibu ..... ibu, bagaimana jadinya dengan anakmu ini ....?” ia menangis sambil menjambakjambak
rambutnya. “Apakah aku harus tinggal di tempat ini sampai mati?”
Sampai lama Cui Giok menangis sambil berlutut di atas tanah. Akan tetapi siapakah yang
akan dapat mendengar semua ratapannya? Sampai kering air matanya ditumpahkan. Sampai
parau suaranya karena banyak meratap tangis. Akhirnya timbullah semangat kegagahannya.
Ia duduk dan menetapkan hatinya. Sudah jelas bahwa ia harus mati di tempat ini, karena
siapakah yang dapat menolongnya? Pada saat bahaya maut berada di depan mata terbayanglah
semua peristiwa yang pernah dialami selama hidupnya.
Ia teringat betapa ayahnya meninggal dunia sewaktu ia masih kecil dan kemudian bersama
ibunya ia tinggal di kota Cang-bun di propinsi Ciang-si, tinggal bersama kakeknya, Sie Cui
Lui. Teringat pula ia betapa semenjak kecilnya ia dilatih ilmu silat oleh kakeknya sehingga ia
dapat mewarisi ilmu silat Im-yang-kiam-hoat.
Pada saat itu Cui Giok membayangkan semua ini, terbayanglah wajah ibunya yang amat
buruk nasibnya. Ayahnya meninggal dunia ketika ibunya masih amat muda dan selanjutnya
ibunya hidup dalam kesunyian. Terbayanglah wajah ibunya yang cantik dan halus, dan aneh
sekali, bayangan wajah ibunya itu terdesak oleh bayangan wajah lain, yakni bayangan ....
Gwat Kong. Makin sedihlah hati Cui Giok teringat kepada Gwat Kong, maka kembali ia
menangis tersedu-sedu.
“Gwat Kong ... aku cinta padamu .... aku cinta padamu ...., aku takkan dapat bertemu lagi
dengan kau, Gwat Kong .....!!”
Hebat sekali penderitaan batin Cui Giok di dalam dasar sumur itu. Namun imannya masih
cukup kuat sehingga ia tidak membunuh diri dengan pedangnya. Memang ada keinginan ini
memasuki otaknya. Daripada menderita dan bersedih terlebih lama lagi di tempat ini, lebih
baik sekarang juga mati agar terbebas dari penderitaan, demikianlah bisikan di dalam otaknya.
Akan tetapi Cui Giok dapat menekan perasaannya, dan sebagai seorang gadis yang telah
digembleng kegagahan semenjak kecil oleh kakeknya yang sakti, ia mempunyai keteguhan
iman dan tidak mudah menyerah kalah terhadap kesengsaraan yang bagaimanapun juga
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 304
hebatnya. Ia lalu melepaskan pakaiannya yang penuh lumpur, lalu mengganti pakaian dengan
pakaian bersih yang diambil dari buntalan pakaiannya.
Sementara itu, di dunia luar matahari mulai condong ke barat dan senja hari tiba. Di dalam
sumur itu cahaya yang sedikit menerangi tempat itu mulai menyuram dan kemudian hilang
sama sekali sehingga tempat itu menjadi gelap segelap-gelapnya.
Belum pernah selama hidupnya Cui Giok berada di dalam tempat yang segelap itu. Kegelapan
ini membuat membuat ia bingung dan kepalanya menjadi pening sekali. Akhirnya ia tidak
kuat menahan lagi dan dengan sepasang pedang di tangan ia lalu bersilat di dalam gelap.
Bagaikan orang gila Cui Giok mainkan ilmu pedang Im-yang-kiam-hoat, membacok,
menusuk, dan memutar kedua pedangnya sehingga angin gerakan pedangnya menimbulkan
bunyi yang aneh.
Tiba-tiba tanpa disengaja ujung pedangnya membacok dinding batu karang yang siang tadi
mengeluarkan cahaya. “Prak!” dan silaulah mata Cui Giok ketika tiba-tiba pertemuan antara
ujung pedang dan batu karang itu menimbulkan cahaya api yang besar seakan-akan bintang
dari langit, tiba-tiba jatuh masuk ke dalam sumur itu.
Cui Giok terkejut dan menghentikan permainannya. Akan tetapi ia menjadi girang karena
ternyata bahwa batu karang itu adalah semacam batu api yang mudah mengeluarkan api
apabila terpukul oleh logam keras. Ia dapat membuat api. Api amat perlu baginya, terutama
untuk penerangan di tempat yang amat gelap itu.
Sambil meraba-raba, Cui Giok membuka buntalannya dan mengeluarkan sebuah bajunya
yang terbuat daripada bulu. Baju itu amat disayanginya, karena selain mahal, baju ini adalah
pemberian ibunya dan hanya satu-satunya, dipakai kalau sedang hawa amat dingin.
Akan tetapi pada saat dan keadaan seperti itu, Cui Giok tidak kenal lagi akan sayang kepada
pakaiannya. Ketika ia menggerakkan kedua tangannya, maka “bret!” dirobeklah pinggir baju
itu yang berbulu. Lalu ia memukulkan ujung pedangnya pada dinding batu karang lagi dengan
keras sambil mendekatkan robekan baju bulu.
Sampai dua kali api memancar, akan tetapi belum cukup besar untuk membakar robekan baju.
Pada pukulan yang ketiga kalinya dan yang dilakukan dengan tenaga besar, maka baju bulu
itu terbakarlah. Cui Giok menjadi girang sekali melihat betapa keadaan di situ menjadi amat
terang.
Ia menengok ke kanan kiri dan melihat betapa dinding batu karang itu bersinar-sinar terkena
cahaya api yang membakar robekan baju. Dengan terkejut dan amat tertarik ia melihat sinar
yang paling terang di ujung kanan, sinar yang beraneka warna dan amat indahnya.
Akan tetapi sebentar saja robekan baju itu terbakar habis dan jari tangannya terasa panas.
Maka ia cepat membuang robekan baju yang tinggal sedikit itu dan sebentar saja padamlah
api tadi dan keadaan menjadi gelap lagi, bahkan lebih gelap daripada tadi sebelum ada api
menyala. Lenyaplah segala sinar berikut sinar yang indah di ujung kanan itu.
Cui Giok hendak menggunakan seluruh bajunya untuk membuat penerangan, akan tetapi tibatiba
ia teringat bahwa apabila bajunya itu habis terbakar, ia takkan dapat membuat api lagi.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 305
Baju-baju yang lain hanya terbuat daripada kain biasa dan akan sukarlah terbakar oleh
percikan api dari batu karang itu.
Ia berpikir sebentar, kemudian merobek lagi bajunya di bagian kiri, agak panjang. Sebelum
membuat api lagi, ia menggunakan tenaganya untuk memilin robekan itu menjadi semacam
sumbu panjang. Dengan cara demikian, maka robekan baju itu akan lebih awet dan tahan
lama menyala.
Kemudian ia membuat api lagi dan benar saja, kini robekan baju yang berupa sumbu itu
terbakar dengan baik dan lebih tahan lama, sungguhpun nyalanya tidak begitu besar. Dengan
cerdiknya, Cui Giok lalu membasahi sumbu bagian bawah dengan tanah yang basah agar api
tidak menyala cepat.
Bab 33 ...
SUMBU ini menyala agak lama dan selama itu Cui Giok masih terheran-heran melihat sinar
indah di ujung kanan itu. Ia mendekati dan mencongkel tanah dengan pedangnya. Makin
indahlah sinarnya dan tiba-tiba ujung pedangnya menyentuh benda keras yang ternyata adalah
batu-batu sebesar telur ayam yang mengeluarkan cahaya luar biasa. Ia tertegun dan maklum
bahwa inilah yang dimaksudkan Gwat Kong dahulu itu. Inilah harta pusaka yang tak ternilai
harganya.
Batu-batu permata yang masih aseli dan besar-besar. Banyak sekali jumlahnya. Untuk sesaat
Cui Giok merasa girang sekali, akan tetapi perasaan itu segera terganti dengan kepahitan
ketika ia teringat bahwa ia tak mungkin dapat keluar dari situ.
Setelah api dari sumbunya padam, Cui Giok tidak membuat api lagi dan menanti datangnya
siang sambil merebahkan tubuhnya di atas pasir dekat pendaman harta itu. Karena ia merasa
amat lelah, maka tak lama kemudian ia tertidur.
Pada keesokan harinya ketika sinar-sinar matahari telah memasuki sumur dan mendatangkan
cahaya suram, ia lalu mengeduk batu-batu permata itu. Dengan girang dan heran ia melihat
bahwa tempat terpendamnya batu permata itu terdiri dari tanah pasir yang mudah digali dan
merupakan terowongan.
Setelah batu-batu itu digali habis dan merupakan tumpukan batu-batu permata yang banyak
sekali, ia menggali terus. Terowongan itu menembus tempat kosong. Dengan hati berdebar ia
lalu merangkak memasuki terowongan itu dan alangkah herannya ketika ia mendapatkan
dirinya berada di tempat terbuka yang terang.
Ia keluar dari terowongan itu dan ketika ia memandang ke depan dan ke bawah, ia merasa
pening dan ngeri. Ternyata bahwa tembusan ini membawanya ke lereng gunung yang curam
sehingga tanah di bagian bawah merupakan pemandangan yang luar biasa.
Pohon di bagian bawah itu kelihatan seperti rumput saja. Untuk turun dari lereng ini tidak
mungkin sama sekali, karena lereng itu dari batu-batu karang yang licin dan tajam, juga terjal
sekali. Akan tetapi hatinya agak terhibur karena di dekat lereng itu terdapat banyak tumbuhan,
di antaranya bahkan ada pohon-pohon yang berbuah. Hatinya agak terhibur dan penemuan ini
merupakan penyambungan umurnya, karena ia tidak akan kelaparan lagi.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 306
Memikirkan tentang kelaparan, ia tiba-tiba teringat akan pel pemberian Lo Han Cinjin dan ia
lalu masuk kembali ke dalam guha itu untuk makan sebuah pel. Benar saja, rasa laparnya
lenyap dan perutnya terasa hangat dan enak.
Kini Cui Giok tidak begitu sedih lagi. Ia mulai bekerja, yakni memperlebar lubang yang
menembus ke lereng bukit itu. Cahaya penerangan masuk dari lubang itu membuat dasar
sumur itu makin terang dan hawa masuk makin banyak. Tentang penerangan di waktu siang
dan hawa udara, ia tidak usah khawatir lagi. Juga tentang makanan, ia tak perlu takut
kekurangan. Hanya kegelapan malam masih membuat ia bingung.
Akan tetapi ia mendapat akal juga. Ia melihat burung-burung beterbangan di lereng itu,
bahkan ada yang hinggap di pohon-pohon sekitar lereng itu. Dengan mudah ia dapat
menangkap burung itu mempergunakan kepandaiannya menyambit dengan batu. Gajih
burung itu dapat dipergunakan sebagai bahan bakar yang akan mengawetkan sumbuh
buatannya, sehingga ia bisa membuat penerangan di waktu malam.
Demikianlah, dengan ketabahan yang luar biasa sekali, Cui Giok hidup di tempat yang aneh
itu sampai berhari-hari, tiada hentinya berusaha mendapatkan jalan keluar, akan tetapi selalu
tak berhasil.
****
Kita tinggalkan dulu dara perkasa yang harus dikasihani ini dan marilah kita melihat keadaan
Kui Hwa, Tin Eng, Pui Kiat dan Pui Hok. Empat orang muda yang kegelisahaannya mungkin
tak kalah besar dari pada kegelisahan yang diterima Cui Giok.
Mereka ini menanti kedatangan Gwat Kong dengan hati tidak keruan. Apalagi kalau teringat
akan nasib nona pendekar yang telah menolong mereka.
Akan tetapi, dua hari kemudian, kegelisahaan mereka itu lenyap ketika tiba-tiba Gwat Kong
muncul di situ. Pada waktu itu, mereka sedang berjalan di pinggir sungai. Tiba-tiba terdengar
suara orang memanggil dengan suara girang,
“Tin Eng ........!”
Gadis itu menengok dan ....... alangkah girangnya melihat bahwa yang memanggil itu bukan
lain ialah Gwat Kong.
“Gwat Kong ....” serunya dan kalau saja di situ tidak ada Kui Hwa dan kedua orang
suhengnya, tentu ia telah berlari menghampiri pemuda itu.
“Bun-taihiap!” Kui Hwa juga berseru dengan bibir terkatup erat dan mata memandang tidak
enak, karena bukankah pemuda ini adalah putera dari Bun-tihu yang difitnah oleh ayahnya?
Gwat Kong datang berlari-lari dan karena Tin Eng bukan berada seorang diri, maka pemuda
ini lalu menjura kepada mereka yang dibalas sebagai mestinya.
“Mengapa kalian masih berkumpul di sini? Bagaimana tentang ......tempat itu?” Ia menengok
ke arah puncak Hong-san yang nampak dari situ.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 307
“Sssttt ......” kata Tin Eng. Tidak leluasa bicara di sini. Mari kita pergi ke perahu itu!” Ia
menunjuk ke sebuah perahu restoran yang besar dan kebetulan kosong.
Mereka berlima lalu berjalan menuju ke perahu itu. Wajah Tin Eng kemerah-merahan dan
matanya berseri-seri tanda bahwa pertemuan ini benar-benar amat menggembirakan hatinya.
Kui Hwa ketahui hal ini dan diam-diam ia membenarkan pilihan hati Tin Eng yang amat
tampan dan gagah itu. Akan tetapi, Dewi Tangan Maut ini masih saja merasa tidak enak hati.
Perahu besar itu kosong dan Tin Eng lalu memesan kepada pelayan untuk menyediakan
makanan dan minuman. Mereka duduk mengelilingi dua meja yang dijejerkan. Tin Eng duduk
di sebelah kanan Gwat Kong, sedangkan Kui Hwa mengambil tempat duduk di depan pemuda
yang baru datang itu.
“Bagaimana keadaan di sini?” tanya Gwat Kong begitu mereka duduk. “Mengapa kalian
masih berada di sini?”
“Gwat Kong,” kata Tin Eng yang tak dapat merobah sebutannya terhadap pemuda itu, biarpun
di sini ada orang lain, “Sebelum kami menuturkan lebih jauh, lebih dulu perkenalkanlah
dengan kawanku ini!” Ia menunjuk kepada Kui Hwa, “Dia ini adalah enci Tan Kui Hwa Dewi
Tangan Maut!”
Berobahlah wajah Gwat Kong mendengar nama orang yang sudah lama diharapkannya untuk
bertemu ini. Ia segera bangkit berdiri mengangkat kedua tangannya memberi hormat kepada
Kui Hwa.
”Ah, sudah lama aku mendengar nama lihiap yang menggemparkan dunia kang-ouw.
Sungguh kebetulan bahwa saat ini aku dapat bertemu muka.”
Kui Hwa juga sudah berdiri dan dengan senyum dingin ia berkata,
“Tentu saja taihiap mengharapkan pertemuan untuk dapat melampiaskan dendam dan sakit
hati taihiap, bukan?”
“Enci Kui Hwa! Jangan berkata begitu!” kata Tin Eng yang bangkit berdiri.
Gwat Kong tersenyum lalu duduk kembali.
“Tan-lihiap, kalau urusan lama di bongkar dan permusuhan lama dibangkit-bangkit, maka
kiranya dari pihakmulah datangnya, bukan dari pihakku. Aku sudah menganggap habis
persoalan lama itu dan sudah kupendam.”
Kui Hwa memandang kepada wajah yang tampan itu dengan sinar mata kurang percaya dan
terharu, lalu menjadi kagum dan bertitiklah dua butir air mata dari kedua matanya. Ia
menundukkan matanya dan berkata perlahan,
“Bun-taihiap, ternyata kau bijaksana sekali, seperti mendiang ayahmu, tidak seperti aku yang
jahat seperti mendiang ayahku. Aku hanya bisa mohon ampun atas dosa-dosa ayahku terhadap
ayahmu ....”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 308
“Ah, Tan-lihiap, mengapa berkata begitu? Urusan orang tua kita bukanlah urusan kita. Kalau
ayahmu masih hidup, itu lain lagi barangkali. Akan tetapi antara kau dan aku tidak ada
sesuatu, bahkan ada pertalian persahabatan seperti buktinya sekarang kita bertemu di antara
kawan-kawan di tempat ini. Duduklah dan jangan sungkan-sungkan, kita di antara kawan
sendiri.”
“Sumoi, kata-kata Bun-taihiap benar. Alangkah baiknya kalau permusuhan lama dirobah
menjadi persahabatan!”
Kui Hwa duduk kembali, menyusut air matanya lalu tersenyum dan berkata, “Maaf, aku telah
berlaku seperti anak kecil.”
Pada saat itu, kembali perahu itu miring dan bergoyang dan masuklah Tong Kak Hwesio
sambil tersenyum-senyum. Ia mengerling ke arah lima orang muda yang duduk bercakapcakap.
Kemudian tanpa banyak cakap, ia lalu mengambil tempat duduk di meja dekat mereka,
di sebelah belakang kursi yang diduduki oleh Gwat Kong. Di situ ia duduk memesan makanan
lalu bersedakap sambil tersenyum menyeringai dan kedua matanya memandang kepada Kui
Hwa dan Tin Eng berganti-ganti, seakan-akan anak kecil memandang dua barang permainan
yang indah menarik.
Gwat Kong mengerutkan alis matanya dan memandang kawan-kawannya. Akan tetapi kawankawannya
tidak memberikan reaksi apa-apa atas kehadiran hwesio itu. Maka Gwat Kong lalu
menggunakan ibu jari tangannya digerakkan ke arah di mana hwesio itu duduk sambil
bertanya kepada kawan-kawannya,
“Apakah kalian kenal dia?”
Kui Hwa yang duduk di depannya menjawab,
“Tidak, dan sudah lama dia selalu mendekati kami. Akan tetapi karena dia tidak berkata atau
melakukan sesuatu, maka kami mendiamkannya saja.”
“Kalau begitu, biarlah jangan perhatikan dia dan anggap saja dia seperti patung penjaga
keselamatan kita!” kata Gwat Kong dengan suara mengejek.
Hwesio itu masih duduk diam, akan tetapi tidak menyeringai lagi dan mukanya menjadi
merah, sedangkan matanya memancarkan cahaya merah. Tiba-tiba Gwat Kong merasa betapa
tempat duduknya terdorong dari belakang. Ia tahu bahwa ini adalah perbuatan hwesio itu.
Tempat duduknya menempel pada kaki meja yang berada di depan hwesio itu. Dan agaknya
hwesio itu menggunakan kekuatan lweekangnya yang disalurkan pada kaki untuk mendorong
meja di depannya sehingga kaki meja itu mendorong bangku yang diduduki Gwat Kong.
Tenaga dorongan itu besar sekali dan kalau didiamkan saja tentu Gwat Kong akan terdorong
ke depan dan meja di depannya akan terguling menimpa kawan-kawannya. Akan tetapi
dengan tenang dan masih tersenyum, Gwat Kong mengerahkan lweekangnya sehingga
bangku yang didudukinya itu sampai berbunyi bagaikan ditindih oleh benda yang amat berat.
Tong Kak Hwesio terkejut sekali ketika tiba-tiba meja yang didorong dengan kakinya itu
berhenti bergerak, bahkan tenaganya mental kembali. Ia merasa penasaran dan memperkuat
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 309
tenaganya. Akan tetapi makin keras ia mendorong, makin besar pula tenaganya mental
kembali. Dan tiba-tiba “krek!” meja di depannya patah membuat meja itu terdorong hendak
menimpanya.
“Meja bobrok!” katanya sambil menekan meja itu sehingga pecah. Kemudian tanpa berkata
sesuatu, ia meninggalkan ruangan itu.
Kui Hwa, Tin Eng dan kedua saudara Pui menjadi heran sekali melihat kejadian ini, akan
tetapi Gwat Kong hanya tersenyum saja.
“Nah, sekarang ceritakanlah semua pengalamanmu!” kata Gwat Kong kepada Tin Eng. Ia
merasa heran dan khawatir ketika tiba-tiba melihat wajah Tin Eng menjadi muram.
“Telah terjadi malapetaka hebat sekali,” kata gadis itu. “Gwat Kong, benarkah kau menyuruh
seorang gadis cantik untuk mewakilimu datang membantu kami?”
“Benar!” kata Gwat Kong tanpa ragu-ragu lagi. “Dia adalah nona Sie Cui Giok ahli pedang
Im-yang Siang-kiam-hoat. Di mana dia sekarang?”
“Dia ... dia ...” dan tiba-tiba Tin Eng menangis.
Bukan main kagetnya hati Gwat Kong melihat hal ini.
“Tin Eng! Apa yang telah terjadi dengan Cui Giok?”
Kalau Tin Eng tidak sedang terharu memikirkan nasib Cui Giok, tentu ia akan cemburu juga
mendengar betapa pemuda itu menyebut nama Cui Giok begitu saja dan melihat betapa
pemuda itu menjadi pucat karena mengkhawatirkan keselamatan gadis itu. Akan tetapi ia
sendiri sedang amat terharu dan dengan suara terputus, kadang-kadang dibantu oleh Kui Hwa,
Tin Eng lalu menceritakan semua pengalamannya.
Mendengar betapa Cui Giok terjerumus ke dalam jurang pada seminggu yang lalu oleh
seorang raksasa liar bernama Badasingh, Gwat Kong menjadi terkejut sekali.
“Celaka!” serunya dengan pucat. “Dia datang ke sini karena aku minta padanya. Kalau ia
tewas, berarti aku yang mendatangkan kematiannya. Tin Eng, aku harus pergi ke sana
sekarang juga untuk mencekik leher siluman raksasa itu.”
Sambil berkata demikian, Gwat Kong bangkit berdiri dari bangkunya, akan tetapi Pui Kiat
dan Pui Hok lalu menyambarnya.
“Tenang dulu, Bun-taihiap. Memang kita harus berusaha membunuh raksasa jahat itu. Tidak
saja untuk membalaskan dendam Sie-lihiap, akan tetapi juga untuk menghindarkan rakyat dari
bencana. Badasingh ini benar-benar jahat.”
Kemudian mereka menceritakan betapa raksasa hitam itu telah menculik wanita dan kalau
saja tidak datang mereka dan Huang-ho Sam-kui, entah bagaimana jadinya dengan nasib
wanita itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 310
“Bahkan sumoi dan Liok-lihiap inipun hampir saja celaka ditangannya, kalau saja tidak
datang Sie-lihiap yang bernasib malang itu.” Maka kembali mereka menceritakan pengalaman
mereka ketika Cui Giok datang membantu.
“Guha Kilin adalah guha yang amat berbahaya, Bun-taihiap. Di dalamnya terdapat sumur
yang tak terukur dalamnya. Dan di situlah Sie-lihiap terjerumus karena tertipu oleh
Badasingh. Kalau tidak bisa memancing keluar raksasa itu, sukar untuk mengalahkannya.
Apabila ia telah berada di dalam guha Kilin, tak mungkin menyerangnya.”
Mereka lalu menceritakan betapa sia-sia mereka yang dibantu oleh Huang-ho Sam-kui
mengeroyok setelah raksasa itu bersembunyi di guha Kilin.
Sementara itu, makanan yang dipesan dihidangkan oleh pelayan, akan tetapi sukar sekali bagi
Gwat Kong untuk menelan nasi melalui kerongkongannya. Hatinya penuh kesedihan karena
mengingat akan nasib Cui Giok. Terbayanglah semua pengalamannya ketika ia masih
bersama-sama dengan gadis pendekar itu.
Teringatlah ia akan kata-kata nelayan tua yang menceritakan betapa Cui Giok merawat dan
menjaganya sampai tiga malam tidak tidur dan hampir tidak makan ketika ia jatuh sakit.
Teringat akan hal ini semua, sambil menghela napas Gwat Kong menunda sumpitnya dan
duduk termenung dengan wajah muram.
“Aku harus bunuh jahanam Badasingh itu. Aku harus membunuhnya sekarang juga!” Sambil
berkata demikian, Gwat Kong lalu bangkit berdiri dari tempat duduknya dan melompat ke
darat.
“Gwat Kong ....!” Tin Eng berseru memanggil dengan isak tertahan.
Mendengar suara ini, Gwat Kong menahan kakinya, berpaling dan berkata,
“Tin Eng, marilah kau ikut ke puncak Hong-san. Kita bersama membalas sakit hati yang
hebat ini!”
Keduanya lalu berlari cepat dan tiga orang anak murid Hoa-san-pai itu setelah membayar
makanan juga lalu berlari menyusul.
Lima orang muda itu tidak tahu bahwa pada saat itu, mereka telah didahului oleh Tong Kak
Hwesio yang berlari-lari seorang diri naik ke puncak Hong-san, kemudian oleh tiga Huang-ho
Sam-kui yang juga berlari naik ke puncak sambil membawa senjata dayung mereka.
Mengapa Tong Kak Hwesio berlari-lari cepat menuju ke puncak Hong-san? Dan mengapa
pula Huang-ho Sam-kui berlari-lari naik ke Hong-san sambil membawa dayung mereka dan
dengan muka kelihatan marah?
Sebetulnya ketika Gwat Kong bercakap-cakap dengan kawan-kawannya di perahu tadi, Tong
Kak Hwesio tidak pergi jauh dan masih memasang telinga mendengarkan di luar pintu. Ia
mendengar tentang harta pusaka dan tentang Badasingh yang menjaga guha itu, maka
timbullah hati ingin mencari sendiri harta pusaka itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 311
Di dalam kesombongannya ia tidak memandang sebelah mata kepada Badasingh yang
dianggapnya seorang kasar yang liar dan bertenaga besarnya. Maka ia ingin mendahului
rombongan Gwat Kong itu, mendahului naik ke Hong-san dan kalau mungkin mendapatkan
harta pusaka.
Sementara itu, Huang-ho Sam-kui, tiga kepala bajak dari sungai Huang-ho itu, juga
mempunyai alasan yang kuat untuk naik ke Hong-san dengan marah-marah karena malam
tadi Badasingh yang merasa sakit hati kepada mereka atas penyerangan mereka bersama Kui
Hwa dan kawan-kawannya, diam-diam mendatangi sarang mereka dan berhasil menculik
isteri Louw Lui dan di bawa lari ke puncak Hong-san.
Tong Kak Hwesio, bekas murid Kun-lun-pai itu, ketika tiba di depan guha Kilin, segera
berteriak dengan sombongnya,
“Badasingh, siluman keparat! Keluarlah kau untuk berlutut di depan tokoh Kun-lun-pai, baru
pinceng mau memberi ampun!”
Badasingh sedang berada di guha sebelah guha Kilin. Ketika mendengar suara tantangan ini
segera keluar menyeret rantai bajanya. Melihat seorang hwesio muda berdiri dengan hanya
bersenjata sehelai sabuk sutera, ia menjadi marah sekali.
“Bangsat gundul, kuremukan kepalamu yang licin!” serunya dan ia segera menyerbu.
Sementara itu, ketika menyaksikan kehebatan raksasa itu, diam-diam Tong Kak Hwesio
menjadi terkejut sekali dan lenyaplah sebagian besar kesombongannya. Akan tetapi, ia
terpaksa menyambut serangan raksasa itu dengan sabuknya. Biarpun senjatanya hanya sabuk
lemas, akan tetapi berkat lweekangnya yang tinggi, sabuk itu bisa digerakkan menjadi
sebatang senjata yang kaku. Juga ia tidak takut untuk menangkis senjata lawannya yang berat
karena sabuk sutera itu takkan rusak terkena rantai.
Akan tetapi, ia segera merasa terkejut sekali karena serangan lawannya benar-benar hebat
sekali. Ternyata raksasa ini bukanlah sebagaimana yang ia sangka, bukan hanya seorang yang
mengandalkan tenaga besar akan tetapi memiliki ilmu silat tinggi yang aneh gerakannya. Oleh
karena itu, ia mengeluh di dalam hati dan terpaksa mengerahkan seluruh kepandaiannya dan
mainkan ilmu silat Kun-lun-pai yang hebat. Namun, betapapun juga ia masih terdesak hebat
sebelum melakukan perlawanan dua puluh jurus, bahkan terpaksa ia main mundur.
Akan tetapi Badasingh agaknya tidak mau memberi ampun kepadanya dan mengurungnya
dengan rantai baja itu sehingga Tong Kak Hwesio menjadi kewalahan sekali. Ketika rantai
baja itu bergerak bagaikan seekor naga menyambar ke arah lehernya, Tong Kak Hwesio
mengebutkan sabuknya menangkis dan ketika kedua senjata bertemu, hwesio itu lalu
melepaskan sabuknya yang segera melibat rantai itu.
Mereka saling betot, tidak ada yang mau mengalah dan dalam keadaan yang amat berbahaya
itu Tong Kak Hwesio mengirim pukulan dengan tangan kiri sambil melangkahkan kakinya
maju. Tangan kirinya dengan gerak tipu Pai-in-chut-sui (Dorong awan keluar puncak)
menghantam sekerasnya ke arah dada lawannya. Akan tetapi, Badasingh sama sekali tidak
mau berkelit, bahkan lalu memukul pula dengan tangan kirinya dari atas ke arah kepala Tong
Kak Hwesio.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 312
“Blukkk! ..... “Krakk!” Dua suara terdengar dan tanpa dapat menjerit lagi, Tong Kak Hwesio
yang kepalanya pecah terpukul oleh Badasingh itu roboh tak bernyawa lagi. Adapun
pukulannya yang mengenai dada Badasingh hanya membuat raksasa itu meringis kesakitan
saja, akan tetapi tidak terluka. Ternyata raksasa ini memiliki kekebalan yang luar biasa sekali.
Badasingh tertawa bergelak-gelak dan bagaikan orang gila ia lalu mengangkat rantai bajanya
dan berkali-kali memukul tubuh hwesio ini sehingga remuk semua tulangnya. Kemudian
sambil tertawa-tawa ia menendang tubuh itu sehingga melayang dan masuk ke dalam jurang
di dekat guha.
Pada saat itu, datanglah Huang-ho Sam-kui di tempat itu. Mereka tidak melihat lagi apa yang
menyebabkan iblis itu tertawa-tawa, hanya melihat Badasingh berdiri bertolak pinggang
sambil tertawa bergelak-gelak.
“Badasingh, manusia iblis. Kembalikan isteriku!” teriak Louw Lui dengan marah.
Badasingh menundukkan kepala dan memandang kepada tiga kepala bajak itu. Kemudian ia
tertawa dan berkata keras,
“Eh, eh, ..... datang lagi tiga orang yang sudah bosan hidup? Ha ha ha! Hari ini aku benarbenar
berpesta pora! Anjing-anjing serigala dibawah jurang yang akan kenyang makan
bangkai manusia.” Setelah berkata demikian, ia lalu mengayun rantai bajanya dan menyerang
dengan hebatnya.
Huang-ho Sam-kui lalu menggerakkan senjata mereka dan sebentar saja Badasingh dikeroyok
tiga oleh Huang-ho Sam-kui yang marah dan menyerang dengan nafsu membunuh itu.
Biarpun dahulu Huang-ho Sam-kui mengeroyok Badasingh bukan hanya mengandalkan
tenaga sendiri, akan tetapi dalam keroyokan campuran itu mereka tidak dapat bergerak
dengan leluasa. Kini karena hanya bertiga, mereka dapat menjalankan pengepungan lebih rapi
lagi, disesuaikan dengan kepandaian mereka. Mereka mengambil kedudukan segi tiga
berdasarkan ilmu silat Sha-kak-kun-hoat (ilmu silat segi tiga) dan menyerang dengan teratur
sekali. Tiap kali Badasingh mendesak seorang pengeroyok, dua orang lain lalu menyerbu dari
kanan kiri. Dengan demikian perhatian raksasa itu terpecah menjadi tiga bagian.
Pertempuran kali ini benar-benar hebat sekali. Badasingh mengamuk bagaikan harimau
terluka. Rantai bajanya berputar-putar merupakan pencabut nyawa yang mengerikan. Tiap
kali ujung rantainya menyambar lawan yang dapat mengelak, maka ujung rantai itu
menyambar batu karang yang pecah berantakan atau kalau mengenai tanah, maka
mengebullah debu tebal ke atas.
Ketiga Huang-ho Sam-kui itu jarang berani mengadu senjata. Karena biarpun dayung mereka
cukup kuat, akan tetapi tiap kali terbentur oleh rantai baja, selalu telapak tangan mereka
tergetar dan panas sehingga banyak bahayanya senjata mereka itu akan terlepas dari
pegangan.
Pada saat mereka bertempur dengan seru mati-matian, Gwat Kong dan rombongannya tiba di
tempat itu. Mereka berhenti dan menonton pertempuran itu dan Gwat Kong berkata perlahan,
“Hmm, tiga orang itu takkan dapat menang!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 313
“Mereka adalah Huang-ho Sam-kui yang pernah kuceritakan padamu,” kata Tin Eng.
Sedangkan kawan-kawan yang lain masih berlari-lari di belakang karena mereka kalah cepat
larinya sedangkan Tin Eng karena digandeng tangannya oleh Gwat Kong ketika lari tadi,
dapat lari lebih cepat dari biasanya.
“Gwat Kong, lihatlah, guha yang di kiri itu adalah guha Kilin. Di situlah Cui Giok terjerumus.
Maka hati-hatilah kau. Jangan sampai Badasingh bersembunyi ke dalam guha itu, karena
kalau ia sudah masuk ke situ, sukarlah untuk menyerangnya.”
Gwat Kong mengangguk. “Kau tunggulah saja di sini bersama kawan-kawan lain dan jangan
membantuku. Juga Huang-ho Sam-kui itu lebih baik kau panggil saja apabila aku sudah
berhadapan dengan raksasa itu.”
Setelah berkata demikian, Gwat Kong mencabut pedang dan sulingnya. Tiba-tiba Tin Eng
memegang tangannya dan ketika ia menengok, gadis itu sambil memandang mesra berkata,
“Gwat Kong, hati-hatilah kau!”
Pemuda itu tersenyum dan mengangguk, kemudian sekali ia berkelebat, tubuhnya telah
melompat dan berdiri di depan guha Kilin.
”Badasingh, akulah lawanmu dan aku pulalah yang akan menamatkan riwayatmu yang penuh
dosa!” katanya nyaring.
Sementara itu, Tin Eng berseru kepada tiga orang pengeroyok itu,
“Sam-wi Tay-ong! Tinggalkanlah siluman itu, biar dihadapi sendiri oleh Kang-lam Ciu-hiap!”
Karena mereka memang sudah merasa kewalahan dan payah menghadapi Badasingh yang
benar-benar kosen, ketiga kepala bajak itu lalu melompat mundur dan berdiri di pinggiran
menonton. Hendak mereka lihat siapa orangnya yang akan berani menghadapi Badasingh
seorang diri saja.
Sementara itu, ketika melihat seorang pemuda dengan pedang di tangan kanan dan suling di
tangan kiri berdiri di depan guha Kilin, Badasingh menjadi marah sekali.
“Bangsat kecil! Kau akan kubunuh lebih dahulu!” Sambil berkata demikian ia menggerakkan
rantai bajanya untuk menghantam kepala Gwat Kong dengan maksud mendesak pemuda itu
mundur ke dalam guha agar terjeblos pula ke bawah jurang. Akan tetapi, seperti taktik Cui
Giok dulu, pemuda ini tidak mengundurkan diri, bahkan mengelak ke kiri sambil menggeser
kaki ke depan lalu menyerang dengan pedangnya.
Badasingh terkejut sekali karena tahu-tahu pedang itu telah menyambar di depan dadanya,
maka ia lalu melompat ke samping dan memutar rantainya sehingga senjata yang bergerak
bagaikan ular itu menyambar tubuh Gwat Kong dari belakang. Namun kini Badasingh benarbenar
menghadapi seorang lawan yang lebih tinggi ilmu kepandaiannya. Disambar oleh rantai
dari belakang arah kakinya itu, Gwat Kong tidak menjadi gugup. Dengan ringan sekali, ia
melompat ke atas dan terus menyerang lagi. Kini menggunakan sulingnya menotok pundak
kiri lawannya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 314
Badasingh melihat datangnya totokan itu hanya dilakukan dengan sebatang suling bambu
yang bolong dan tipis. Di dalam hati mentertawakan lawannya dan sambil mengerahkan
tenaga dalamnya ke arah pundak, ia hendak menyambut suling itu dengan kekebalannya agar
supaya suling itu menjadi patah atau pecah. Akan tetapi ia kecele kalau memandang rendah
suling itu.
Ketika ujung suling itu menotok pundaknya, Badasingh mengeluarkan seruan kaget, karena ia
merasa betapa suling itu mendatangkan rasa sakit pada pundaknya sehingga menembus ke
hulu hatinya. Ia cepat melangkah mundur dan tangan yang memegang rantai baja itu meraba
pundaknya yang sakit sekali.
Sebaliknya, Gwat Kong juga terkejut dan diam-diam memuji karena biarpun sulingnya telah
menotok jalan darah dengan jitu akan tetapi hanya dapat mendatangkan rasa sakit saja dan
tidak mempengaruhi tubuh tinggi besar itu.
Namun Badasingh telah mendapat pelajaran keras dan ia tidak berani memandang rendah lagi.
Ilmu silat pemuda ini benar-benar lihai sekali, bahkan lebih lihai dari pada ilmu pedang gadis
cantik yang telah terjerumus ke dalam jurang. Maka ia berseru keras sambil putar rantai
bajanya untuk mengurung dan membikin jerih lawannya.
Badasingh mendesak Gwat Kong sedemikian rupa dengan maksud agar supaya pemuda itu
merobah kedudukannya sehingga ia dapat berputar dan melompat ke dalam guha. Oleh karena
kalau ia sudah bisa masuk ke dalam guha Kilin, ia dapat memancing pemuda itu
mengikutinya dan menjebaknya ke dalam sumur atau jurang yang dalam itu. Atau setidaknya,
kalau usahanya menjebak tidak berhasil, ia dapat bersembunyi di situ tanpa dapat diganggu
atau diserang oleh lawannya yang amat lihai ini.
Akan tetapi Gwat Kong telah dapat maklum akan maksud ini karena ia telah diberi tahu
tentang rahasia guha itu oleh Tin Eng. Maka sambil mainkan Sin-eng Kiam-hoat dan Sinhong
Tung-hoat di kedua tangannya, ia memutar pedang dan sulingnya sedemikian rupa
sehingga Badasingh tak berdaya sama sekali. Tubuh pemuda ini bagaikan segulung asap
bergulung-gulung dan menyelinap di antara sambaran rantai bajanya, mengirim seranganserangan
maut ke arah bagian tubuh yang berbahaya.
Pertempuran sudah berjalan ratusan jurus dan Badasingh yang luar biasa kuatnya itu biarpun
sejak tadi didesak hebat, namun masih belum menyerah dan melakukan perlawanan matimatian.
Sudah beberapa kali suling Gwat Kong menotok jalan darahnya dan ujung pedang
Sin-eng-kiam melukainya, akan tetapi tubuhnya benar-benar kebal dan kuat sekali sehingga
luka-lukanya itu merupakan luka di luar saja yang tidak berbahaya. Pakaiannya telah penuh
dengan darahnya sendiri dan kini ia bertempur sambil menggereng-gereng bagaikan seekor
binatang buas.
Setelah kehabisan daya dan maklum bahwa kalau dilanjutkan ia akan kalah. Badasingh lalu
mengambil keputusan nekad untuk mengajak pemuda ini mati bersama. Ia menyerang dengan
sambaran rantainya sedemikian rupa dan ketika Gwat Kong mengelak, ia lalu menubruk
sambil pentangkan kedua tangannya.
Gwat Kong terkejut sekali dan cepat menjatuhkan diri ke kiri sambil menggunakan
pedangnya masuk ke dalam lambung lawannya. Akan tetapi Badasingh masih dapat
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 315
miringkan tubuh dan dengan nekad tangannya mencengkeram. Pundak kanan Gwat Kong
kena dicengkeram oleh jari-jari tangannya yang berkuku panjang dan raksasa yang telah
mendapatkan luka parah itu hendak menyeretnya untuk bersama-sama masuk ke dalam
sumur. Gwat Kong berlaku tenang dan cepat mengirim tusukan dengan sulingnya ke arah
sambungan tulang pundak lawan.
“Pletak!” remuklah tulang itu dan cengkeraman tangan Badasingh terlepas. Tubuh raksasa itu
terhuyung-huyung ke kiri dan roboh di atas tanah tanpa dapat berkutik pula.
Huang-ho Sam-kui dan lain-lain orang menonton pertempuran dahsyat itu sambil menahan
napas. Louw Lui telah mencari isterinya dan mendapatkan isterinya yang malang itu rebah
pingsan di dalam guha, maka Louw Lui lalu memondongnya dan turun gunung terlebih dulu.
Kini Louw Tek dan Louw Siang serta Tin Eng dan kawan-kawannya berlari menghampiri
Gwat Kong. Ternyata Badasingh telah tewas tak bernyawa pula.
Bab 34 ...
TANPA sungkan-sungkan lagi, Tin Eng memegang tangan Gwat Kong.
“Gwat Kong, kau terluka?” tanyanya sambil memeriksa pundak pemuda itu. Baju Gwat Kong
di bagian pundak itu robek dan kulit pundaknya matang biru akan tetapi tidak terluka parah.
“Jahanam ini benar-benar kuat,” kata Gwat Kong menghela napas. “Akan tetapi aku puas,
sakit hati Cui Giok telah terbalas!”
Louw Tek dan Louw Siang menyatakan kekagumannya terhadap Gwat Kong yang dipujipujinya.
Kemudian untuk menyatakan kegemasan mereka terhadap Badasingh, dengan
dayung mereka sehingga hancur dan mayatnya mereka lemparkan ke dalam jurang di dekat
guha, di mana tadi Badasingh melemparkan tubuh Tong Kak Hwesio. Setelah itu, kedua
kepala bajak itu lalu pamitan dan meninggalkan tempat itu untuk menyusul adik mereka.
“Kita harus bekerja cepat,” kata Gwat Kong kepada Tin Eng. “Rombongan perwira dari
kerajaan tentu akan menyusul kemari dan kalau sampai mereka melihat kita, tentu kita akan
menghadapi pertempuran lagi. Pihak mereka itu bukan lawan ringan, karena di antara mereka
terdapat Liok-te Pat-mo yang lihai.”
Sambil berkata demikian, Gwat Kong terkenang kepada Cui Giok karena tadinya gadis itu
bermaksud mencari Liok-te Pat-mo untuk mengadu kepandaian. Kini gadis itu takkan tercapai
pengharapannya, pikirnya sambil menghela napas sedih.
Mereka lalu mengadakan perundingan dan Tin Eng yang hafal akan isi peta yang dibakarnya,
lalu memberi keterangan.
“Menurut peta itu,” katanya sambil membuat coretan-coretan di atas tanah. “Memang
ditunjukkan bahwa harta terletak di dalam guha Kilin. Akan tetapi ada petunjuk yang
menyatakan bahwa jalan masuk untuk mengambil harta itu adalah dari atas, melalui batu
karang kembar di sebelah kanan guha Kilin. Melihat keadaan guha ini yang isinya hanya
sumur amat dalam, maka tentu jalannya bukan dari situ. Sekarang kita harus mencari batu
karang kembar itu.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 316
Ketika mereka mengambil jalan memutar ke sebelah kanan guha itu, benar saja di situ
terdapat sepasang batu karang yang sama bentuk dan ukurannya, maka mereka lalu memanjat
batu karang itu terus ke atas. Gwat Kong dan Tin Eng berjalan di depan, yang lain di
belakang.
Oleh karena petunjuk peta itu menyatakan bahwa tempat harta terletak tepat di guha Kilin,
maka dari atas itu mereka lalu merayap naik ke atas guha Kilin. Aneh sekali, tepat di atas
guha itu terdapat alang-alang yang hijau dan tinggi, seakan-akan merupakan jambul atau
rambut Kilin dan guha itu merupakan mulutnya. Gwat Kong menyingkap rumput alang itu
dan di situlah terdapat sebuah batu licin yang bentuknya bulat.
Ia mencoba mengangkat batu itu, akan tetapi amat beratnya sehingga setelah kawankawannya
membantu, barulah batu itu dapat digeser. Dan ternyata bahwa di bawah batu
terdapat sebuah lubang yang lebarnya kira-kira dua kaki persegi. Karena lubang itu tidak
seberapa dalam, Gwat Kong lalu turun ke bawah dan kakinya menginjak batu karang pula
sedangkan dalamnya lubang itu sampai sebatas lehernya. Ia memandang ke bawah dan
disekelilingnya. Akan tetapi di situ hanya batu karang semua dan tidak terlihat tanda-tanda
lain yang menarik perhatian.
“Tidak ada apa-apa di sini!” kata Gwat Kong.
“Kalau begitu, mari kita pergi saja dari sini,” kata Tin Eng.
“Hatiku tidak enak sekali untuk berada di tempat aneh ini lebih lama lagi. Tempat ini seakanakan
terkutuk dan sudah banyak orang tewas di sini. Apalagi kalau rombongan perwira
kerajaan datang, tentu akan terjadi hal-hal yang mengerikan.”
“Jangan khawatir, Tin Eng!” kata Gwat Kong tersenyum menghibur. “Kita sudah sampai di
sini, masa harus pulang dengan tangan kosong? Bagaimana nanti kau akan menjawab kepada
kedua saudara Phang yang menyerahkan kepercayaan kepadamu? Soal para perwira, jangan
takut, ada aku di sini dan saudara-saudara yang gagah inipun tentu akan membantu.”
Gwat Kong merasa penasaran lalu menggenjot-genjot tubuhnya dan ia berseru heran, “Ah,
lantai yang kuinjak ini dapat bergoyang!” Ia meraba-raba ke kanan kiri. “Tentu ada
rahasianya di sini!”
Pemuda itu menggunakan jari-jari tangannya meraba-raba di sekitar dinding batu karang,
sedangkan kawan-kawannya yang di atas yang tak dapat melihat apa-apa kecuali kepalanya,
memandang sambil menahan napas.
Tiba-tiba jari tangan Gwat Kong meraba sesuatu yang keras dan ternyata benda itu adalah
sebuah gelang besi yang dipasang di dinding itu.
“Ada gelang besi di sini!” katanya gembira. Karena gelang besi itu letaknya agak di bawah
lutut, terpaksa ia merendahkan tubuh dan menekuk lututnya agar tangannya dapat mencapai
gelang itu. Ia memegang erat-erat dan menarik keras. Benda itu tidak bergerak. Ia
mengumpulkan tenaga dan menarik lagi dan .... benda itu dapat bergerak sedikit.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 317
“Aku hampir dapat membuka gelang ini!” katanya dari bawah sambil menahan napas lalu
menarik lagi sekuat tenaga.
Terdengar suara keras dan tiba-tiba batu karang yang diinjaknya itu nyeplos ke kanan
sehingga tubuhnya yang kini tidak menginjak sesuatu lagi, lalu nyeplos ke bawah. Gelang
besar itu terlepas dan Gwat Kong melayang ke bawah. Ia melihat bahwa tubuhnya melayang
terus melalui mulut guha Kilin dan dalam kengeriannya ia berteriak,
“Tin Eng .....!” Akan tetapi tubuhnya terus melayang turun dengan kecepatan hebat yang tak
dapat ditahannya lagi.
“Gwat Kong ....! Gwat Kong .....!” Tin Eng berteriak-teriak, menjerit-jerit memanggil nama
pemuda itu bagaikan seorang gila dan dengan nekad ia lalu melompat ke dalam lubang itu.
Akan tetapi tiba-tiba sepasang tangan menangkapnya dan ia meronta-ronta dalam pelukan Kui
Hwa.
“Biarkan aku menyusulnya. Lepaskan aku, .... lepaskan!” Ia meronta-ronta bahkan memukul
Kui Hwa, akan tetapi kedua saudara Pui membantu Kui Hwa dan memegang kedua tangan
Tin Eng yang menjadi kalap bagaikan orang gila itu.
“Gwat Kong ...! Gwat Kong .... kau dimana??” Suara Tin Eng makin lemah, tangisnya
tersedu-sedu menyayat hati Kui Hwa dan kedua saudara Pui. Kemudian Tin Eng roboh
pingsan tak sadarkan diri lagi.
“Celaka ......!” kata Pui Kiat yang menjenguk ke dalam lubang. Lubang itu sekarang tak
berdasar lagi dan ternyata menembus ke dalam sumur di guha Kilin itu.
Kui Hwa hanya menangis tersedu-sedu sambil memeluki tubuh Tin Eng. Juga Pui Hok tak
dapat menahan air matanya lagi yang mengalir turun. Mereka lalu mengangkat tubuh Tin Eng,
dibawa turun ke depan mulut guha Kilin yang kini merupakan mulut iblis maut yang haus
akan nyawa manusia.
Pada saat itu, serombongan orang berlari naik ke tempat itu. Ketika Kui Hwa dan kedua
suhengnya menengok, ternyata bahwa mereka itu adalah rombongan perwira yang dikepalai
oleh Liok-taijin sendiri. Selain Liok Ong Gun, nampak juga Gan Bu Gi, Liok-te Pat-mo, Seng
Le Hosiang, Bong Bi Sianjin dan perwira-perwira lain yang jumlahnya semua dua puluh
orang.
Mereka memburu ke arah guha itu dan ketika melihat Tin Eng rebah dipangkuan seorang
gadis dalam keadaan tak bergerak seperti mayat. Liok Ong Gun cepat memburu sambil
bertanya gugup,
“Dia kenapakah ......? Anakku Tin Eng ..... kenapakah dia .....?”
Juga lain orang datang mengepung dan memandang dengan heran. Gan Bu Gi dan Bong Bi
Sianjin yang mengenal kepada murid-murid Hoa-san-pai itu, memandang dengan amat
terheran-heran.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 318
“Taijin, jangan khawatir. Anakmu hanya pingsan saja,” kata Kui Hwa dengan tenang sambil
mengerling ke arah Gan Bu Gi dengan pandang mata yang membuat pemuda itu cepat
membuang muka dengan wajah tiba-tiba menjadi merah.
“Nona siapa dan mengapa anakku berada di sini dalam keadaan pingsan?”
“Dia mencari tempat harta pusaka. Kami membantunya juga Kang-lam Ciu-hiap Bun Gwat
Kong.”
“Bangsat itu berada di sini? Mana dia?” tanya Liok Ong Gun.
“Orang yang taijin maki sebagai bangsat itu kini telah tewas dalam membela anakmu. Baru
saja Bun-taihiap memasuki lubang di atas itu, dan ia menyeplos ke bawah, di dalam sumur
maut itu. Tidak ada harta pusaka di sini, yang ada iblis maut telah makan banyak nyawa.”
Setelah berkata demikian, dengan singkat Kui Hwa menuturkan tentang tewasnya Cui Giok,
juga diceritakannya serba singkat tentang Badasingh. Semua orang mendengarkan dengan
penuh keheranan dan kengerian.
“Inilah anakmu, kami tidak ada keperluan lagi di sini!” kata Kui Hwa yang lalu berdiri dan
memberi isyarat kepada kedua suhengnya untuk meninggalkan tempat itu.
“Taijin, mereka ini adalah murid-murid Hoa-san-pai. Kita Harus bunuh mereka!” kata Gan Bu
Gi tiba-tiba ketika melihat tiga orang itu hendak pergi.
Mendengar ucapan ini, tiba-tiba Kui Hwa berhenti dan memutar tubuh, memandang kepada
pemuda itu dengan mata tajam,
“Orang she Gan, manusia berhati binatang. Kalau kau menghendaki kematianku, cabutlah
pedangmu. Mari kita sama lihat, siapa yang akan mampus di ujung pedang!”
Akan tetapi Liok Ong Gun melangkah ditengah-tengah dan berkata kepada Gan Bu Gi. “Ganciangkun,
betapapun juga, kalau tidak ada nona ini, entah bagaimana nasib anakku.”
Ia menoleh kepada Kui Hwa dan berkata dengan muka menunjukkan betapa kesal dan rusuh
hati serta betapa bosannya menghadapi permusuhan antara kedua cabang persilatan itu.
“Nona, harap kau suka pergi bersama kedua kawanmu. Hatiku sudah cukup menderita.”
Kui Hwa dan kedua suhengnya lalu pergi dari situ. Akan tetapi tiba-tiba Seng Le Hosiang
berkata kepada mereka,
“Hei, anak-anak murid Hoasan. Beritahukan kepada guru-gurumu terutama si sombong Sin
Seng Cu agar mereka jangan lupa untuk pergi ke puncak Thaysan pada permulaan musim
Chun!”
Kui Hwa dan kedua suhengnya belum sempat mendengar cerita Gwat Kong bahwa pemuda
itu telah menemui Pek Tho Sianjin di Hoasan, maka Kui Hwa lalu menjawab,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 319
“Baik, jangan khawatir! Akan kami sampaikan pesan itu!” Mereka bertiga lalu turun gunung
dengan hati mendongkol.
Setelah Tin Eng siuman dari pingsannya dan melihat ayahnya dan para perwira, ia menangis
terisak-isak dengan amat sedihnya.
“Sudahlah, Tin Eng. Jangan menangis. Katakan saja di mana Gwat Kong terjerumus karena
mungkin di situlah tempat harta itu,” kata ayahnya.
Mendengar betapa ayahnya hanya meributkan soal harta terpendam saja dan sama sekali tidak
memperdulikan nasib Gwat Kong, makin hebatlah tangis Tin Eng.
Seng Le Hosiang dapat mengerti perasaan gadis ini, maka ia lalu berkata, “Tidak saja harta
itu, akan tetapi mungkin kita dapat menolong atau setidaknya menemukan jenazahnya.”
Mendengar ucapan ini, terbangunlah semangat Tin Eng. Ia lalu mendekati guha Kilin dan
menuding ke arah sumur, “Disitulah ..... disitulah Cui Giok dan Gwat Kong terjerumus!” Jari
tangannya menggigil dan suaranya gemetar.
“Biar aku memeriksa ke bawah!” kata Ang Sun Tek. Mereka segera mengeluarkan tambang
yang kuat dan amat panjang. Memang rombongan ini sudah mempersiapkan segalanya.
Tambang itu lalu dilepas ke bawah dan diganduli batu. Panjangnya tambang itu tidak kurang
dari seratus kaki. Akan tetapi setelah habis diulur ke bawah, ternyata batu yang
mengandulinya masih dapat digerakkan ke kanan kiri yang berarti bahwa tambang itu masih
belum mencapai dasar sumur.
“Bukan main dalamnya!” kata Ang Sun Tek membelalakkan matanya dengan penuh
kengerian. Sedangkan Tin Eng mendekap mukanya sambil menangis lagi. Tak dapat
diragukan lagi nasib Gwat Kong. Orang yang terjatuh ke dalam tempat sedemikian dalamnya
tentu akan putus nyawanya.
Dibantu oleh kawan-kawannya yang memegang tambang itu di luar sumur, Ang Sun Tek lalu
turun ke bawah melalui tambang. Bagi seorang yang tidak memiliki kepandaian tinggi,
pekerjaan ini amat berbahaya karena tambang itu panjang sekali dan sekali saja pegangan
tangan terlepas sudah jelaslah nasibnya.
Akan tetapi, Ang Sun Tek adalah seorang yang memiliki tenaga daam yang cukup besar.
Maka dengan cepat bagaikan seekor kera, ia meluncur melalui tambang itu ke bawah. Ketika
ia memandang ke bawah, yang nampak hanyalah halimun gelap keputih-putihan dan makin
dalam hawa udara makin dingin sehingga Ang Sun Tek menggigil kedinginan. Akhirnya ia
tiba di ujung tambang karena kakinya menginjak batu kekar pada akhir tambang itu. Benar
saja, batu itu masih tergantung di udara.
Karena keadaan gelap sama sekali dan bukan main dinginnya, Ang Sun Tek tidak mau
berdiam lebih lama lagi di tempat itu, lalu memanjat kembali ke atas dengan cepat. Ia merasa
tak enak dan ngeri sekali. Ketika tiba di atas dan dihujani pertanyaan oleh kawan-kawannya,
ia menarik napas panjang,
“Bukan main dalamnya, dalam, dingin, gelap. Tambang ini masih kurang panjang, kukira
belum setengahnya. Tak mungkin di tempat seperti itu terdapat harta pusaka. Siapa orangnya
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 320
yang menyimpan harta di tempat itu? Seperti lubang neraka. Aku merasa pasti bahwa di
dasarnya tentu air karena halimun bergulung dari bawah dan hawanya amat dingin.”
Tin Eng menahan isaknya dan ia masih saja menangis ketika rombongan ayahnya itu kembali
turun dari gunung. Ia naik kuda dengan lemah tak bergaya sama sekali, lemas lahir batin dan
merasa seakan-akan semangatnya tertinggal bersama Gwat Kong di dalam sumur itu.
****
Pada saat Gwat Kong dan kawan-kawan berada di atas guha Kilin, juga pada saat mereka
masih bercakap-cakap di depan guha, maka suara mereka itu terbawa oleh angin yang
memasuki sumur dan dapat terdengar oleh Cui Giok yang berada di dalam jurang. Memang
sungguh aneh suara dari luar dapat terbawa masuk dan dapat terdengar sampai ke dasar sumur
itu, sungguhpun tidak sangat jelas, bagaikan suara orang dari jauh saja. Sebaliknya suara dari
dalam, sama sekali tak dapat keluar, terbawa kembali oleh angin yang masuk dari atas.
Ketika Gwat Kong berseru di atas guha karena mendapatkan lubang dan gelang besi yang
ditariknya, maka Cui Giok yang mendengar di bawah, di dekat tanah berlumpur di mana ia
terjatuh dahulu, dapat mengenal suaranya. Suara lain orang tak dapat dikenalnya, akan tetapi
suara Gwat Kong biarpun hanya terdengar sayup sampai saja, dapat dia kenal baik.
“Gwat Kong .....!” teriaknya keras ke atas dengan girang sekali.
“Gwat Kong .....!” suaranya kembali merupakan gema yang besar dan menyeramkan.
Percuma saja Cui Giok memekik-mekik dan memanggil-manggil nama Gwat Kong berkalikali,
karena suaranya tak dapat menembus halimun itu bahkan terbawa kembali oleh angin
yang meniup ke bawah.
Ia masih mendengar suara-suara di atas, kemudian terdengar suara keras dan ia mendengar
pula teriakan wanita yang menjerit-jerit memanggil nama Gwat Kong. Ia makin girang karena
tak salah lagi bahwa Gwat Kong telah tiba dan berada di atas. Suara wanita yang memanggilmanggil
Gwat Kong itu adalah Tin Eng yang menjerit-jerit melihat pemuda itu jatuh ke dalam
lubang.
Karena jurang itu benar-benar amat dalam, maka tubuh yang terjerumus ke dalam
membutuhkan waktu lama sebelum mencapai dasarnya.
Seperti juga dulu ketika Cui Giok terjerumus ke bawah, Gwat Kong juga mengerahkan
ginkang dan tenaga dalam untuk melindungi dari benturan hebat pada dinding sumur atau
bantingan pada dasar sumur itu. Akan tetapi, lehernya bagaikan tercekik oleh hawa dingin dan
kelajuan tubuhnya yang meluncur ke bawah membuat ia tak dapat bernapas, maka ia tak
sadarkan diri lagi sebelum tubuhnya mencapai dasar jurang.
Karena suara-suara di atas kini telah lenyap, dan keadaan menjadi sunyi lagi, maka Cui Giok
duduk termenung dan hati yang lebih sunyi. Akan tetapi tiba-tiba ia melompat bangun dengan
mata terbelalak memandang ke atas. Ia melihat sebuah benda panjang turun dari tengahtengah
halimun yang menyusap pandang dari bawah itu. Benda itu terus jatuh ke bawah dan
tepat sekali menimpa tanah berlumpur seperti dulu ketika ia jatuh.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 321
Alangkah kagetnya ketika melihat bahwa benda itu adalah tubuh seorang manusia. Ia
memburu ke depan dan memandang wajah orang yang penuh dengan lumpur karena jatuhnya
dalam kedudukan miring itu.
“Gwat Kong ......!” Untuk beberapa lama Cui Giok berdiri bagaikan patung. Ia takut kalaukalau
ini hanya sebuah mimpi dan mimpi ini akan lenyap kalau ia menggerakkan tubuhnya.
“Gwat Kong .....!” ia berbisik dan tak terasa lagi air mata menitik turun berbaris sepanjang
pipinya. “Be..... benarkah .....???”
Karena air matanya keluar, maka matanya terasa perih sehingga terpaksa ia berkedip.
Alangkah girangnya ketika ia melihat bahwa ini bukan mimpi. Tubuh pemuda itu masih
berada di situ, sungguhpun telah berkali-kali ia berkejap mata. Ia gosok-gosok kedua matanya
dan ketika dibukanya kembali tubuh itu masih berada di tempat itu.
“Gwat Kong .......!” jeritnya penuh perasaan girang, terharu, sedih, lega, campur aduk menjadi
satu. Ia menubruk ke tempat berlumpur itu, mengangkat tubuh Gwat Kong, dibawa keluar
dari lumpur, lalu diletakkan di atas pasir dekat alat penerangan yang dibuatnya secara
sederhana sekali, yakni sumbu terbuat dari robekan pakaian dengan minyak dari lemak
burung dan tempat minyaknya dari batu karang yang dilubangi merupakan mangkok yang
kasar.
“Gwat Kong ....... kau datang ...... menyusulku!” Ia membersihkan muka pemuda itu,
memeluknya, mendekap kepala itu pada dadanya, mencium pipinya dan semua ini dilakukan
sambil menangis, tertawa, menangis lagi.
“Gwat Kong ..... Ya Tuhan, terima kasih ..... Gwat Kong, kekasihku .....!” Tiada hentinya bibir
dara itu berbisik-bisik.
Dapat dibayangkan betapa perasaan gadis itu ketika tiba-tiba melihat pemuda yang
dicintainya berada di situ seakan-akan dilemparkan ke bawah oleh tangan ajaib. Sengaja
dilempar ke bawah agar pemuda itu dapat menemaninya. Tadinya ia merasa bahwa untuk
selama hidupnya ia takkan dapat bertemu dengan manusia lagi, apalagi dengan Gwat Kong.
Oleh karena itu, melihat Gwat Kong, ia merasa seakan-akan seorang yang telah mati dan
jiwanya merana dan terasing di neraka, tiba-tiba bertemu dengan seorang yang selalu
dijadikan kenangan.
Seperti Cui Giok dahulu, pemuda itupun pingsan sampai berapa lama. Cui Giok telah
memetik setangkai daun merah dan karena Gwat Kong masih pingsan, maka ia menjadi amat
bingung dan gelisah. Ia takut kalau-kalau pemuda itu menderita luka berat di bagian dalam
tubuhnya dan lebih-lebih lagi takutnya kalau pemuda itu akan mati.
Pikiran ini membuat ia bergidik. Bagaimana ia harus masukkan daun obat ini kedalam perut
Gwat Kong? Untuk mencampuri dengan air, sukar sekali karena tahu bahwa daun ini kalau
diperas seperti berminyak dan tak dapat campur air.
Dalam kekhawatirannya, Cui Giok mendapat akal. Dalam keadaan seperti itu, ia tidak perlu
merasa malu-malu atau sungkan lagi. Apalagi pemuda itu adalah Gwat Kong, pemuda yang
telah dikasihinya, yang telah menawan hati dan jiwanya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 322
Cui Giok berlutut lagi dan mengangkat kepala Gwat Kong yang lalu dipangkunya. Ia
masukkan daun merah itu ke dalam mulutnya sendiri dan lalu mengunyah daun itu sampai
hancur dan lembut. Kemudian ia merangkul leher Gwat Kong dengan lengan kirinya,
diangkatnya seperti seorang ibu menggendong anaknya. Sedangkan jari-jari tangan kanannya
membuka mulut Gwat Kong lalu ......... ia menundukkan mukanya dan masukkan kunyahan
daun merah itu dari mulutnya ke mulut Gwat Kong.
Ia melakukan hal ini dengan hati tulus dan bersih, tanpa dipengaruhi nafsu birahi sedikitpun,
bagaikan seorang ibu menyusui anaknya, bagaikan seekor burung betina meloloh anaknya,
dengan hanya satu tujuan di dalam pikirannya dan satu kehendak di dalam hati yakni ingin
melihat Gwat Kong terhindar dari pada bahaya maut, maka berhasillah ia memasukkan daun
obat itu ke dalam tubuh Gwat Kong.
Sampai lama Gwat Kong tak sadarkan diri dan selama itu Cui Giok tak pernah
meninggalkannya. Bahkan kepala pemuda itu tak pernah dilepaskan dari pelukannya.
“Gwat Kong ........!” bisiknya berkali-kali memanggil-manggil nama pemuda itu perlahanlahan
di dekat telinganya. Lenyaplah segala keputus harapan, segala kedukaan. Kehadiran
pemuda itu didekatnya membuat tempat yang tadinya seperti neraka berobah menjadi sorga.
Kini ketabahannya timbul kembali. Kegembiraannya hidup lagi. Ia tidak takut mati di situ.
Rela diasingkan selama hidupnya, asal berdua dengan Gwat Kong, pemuda yang dicintainya.
Dengan Gwat Kong disampingnya, jangankan baru penderitaan seperti ini, biarpun harus
memasuki api neraka yang berkobar-kobar mengerikan, ia takkan ragu-ragu, mundur.
“Gwat Kong .......!” kembali ia memanggil mesra sambil mengusap rambut dan jidat pemuda
itu penuh kasih sayang.
Akhirnya Gwat Kong siuman kembali. Ia bergerak dalam pelukan Cui Giok dan hal ini
membuat dara itu tiba-tiba merasa malu. Dengan perlahan dan hati-hati menurunkan kepala
pemuda itu, diletakkan di atas pasir dengan amat perlahan, seakan-akan takut kalau-kalau
gerakannya ini akan menyakitkan Gwat Kong.
Gwat Kong membuka matanya perlahan-lahan. Untuk sesaat lamanya tidak bergerak. Ia
masih bingung dan tidak tahu di mana ia berada. Tubuhnya terasa sakit, akan tetapi sebagai
seorang ahli silat, otomatis ia menahan napas dan mengalirkan jalan darahnya untuk
merasakan apakah ia menderita luka dalam, dan menjadi lega bahwa ia tidak terluka.
Kemudian, dengan mata masih setengah tertutup, ia memusatkan pikirannya dan mengingat.
Tiba-tiba teringatlah ia akan kecelakaan yang telah terjadi itu, dan teringat bahwa ia telah
jatuh ke dalam sumur. Hal ini amat mengejutkan hatinya, dan ketika ia membuka matanya,
cepat ia melompat berdiri. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat seorang gadis bangun
berdiri pula di depannya. Karena matanya masih belum biasa dengan penerangan yang hanya
suram-suram itu, ia tidak melihat wajah gadis itu dengan jelas. Akan tetapi, setelah mengenal
gadis itu, ia menjadi makin terheran-heran.
“Cui Giok .......! Kaukah ini ........???” Ia maju selangkah dan memegang lengan gadis itu.
“Bukankah kau sudah ... sudah mati ....??” Tiba-tiba ia teringat pula akan sesuatu dan
wajahnya berobah menjadi pucat. “Ah, Cui Giok .....aku tahu ....... akupun sudah mati ......!
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 323
Apakah ini yang disebut neraka .......?” Ia memandang ke sekelilingnya dengan mata
mengandung kengerian.
Cui Giok merapatkan tubuhnya dan memeluk pundak pemuda itu. “Benar, Gwat Kong!
Dalam pandangan manusia-manusia di luar tempat ini, kau dan aku memang sudah mati!”
“Akan tetapi kita masih hidup. Sungguh aneh ... kita masih hidup!” Gwat Kong berseru
gembira dan seperti orang yang masih belum mau percaya, ia meraba-raba kepala dan lengan
Cui Giok. “Benar. Kau masih hidup dan aku juga.”
Ia memandang ke sekelilingnya lagi, lalu memandang ke atas, dari mana ia terjatuh. “Benarbenar
menakjubkan. Kita berdua jatuh dari tempat yang tak terukur tingginya. Akan tetapi kita
masih hidup. Bahkan aku tidak mendapat luka.”
“Kita terjatuh ditempat itu, Gwat Kong. Tempat itu lunak dan berlumpur. Karena itulah kita
tidak terbanting hancur.” Cui Giok menunjuk ke arah tempat berlumpur di bawah lubang
sumur itu. Gwat Kong lalu mendekat dan memeriksa tempat itu dengan penuh keheranan.
Kemudian ia teringat bahwa Cui Giok sudah seminggu berada di tempat ini, maka dengan
muka berubah pucat, ia menengok dan memandang ke arah gadis itu.
“Cui Giok ... alangkah anehnya! Mengapa kau berada di tempat ini sampai begitu lama!
Bagaimana kau bisa hidup? Dan mengapa pula kau tidak berusaha untuk keluar dari sini?”
“Aku sudah berusaha, akan tetapi sia-sia Gwat Kong. Tidak ada jalan keluar dari tempat ini.
Kita telah terkubur hidup-hidup. Kita telah terasing dari dunia ramai untuk selama-lamanya!”
Wajah Gwat Kong makin memucat. “Tak mungkin!” serunya. “Pasti ada jalan keluar! Harus
ada jalan keluar!”
Bagaikan orang gila, ia lalu berlari-lari mengitari tempat itu, memeriksa batu dinding, bahkan
lalu keluar dari lubang yang digali oleh Cui Giok. Sambil menghela napas, Cui Giok tidak
berkata sesuatu, hanya mengikuti di belakang pemuda itu sambil membawa penerangan.
“Kita harus keluar dari sini! Harus, kataku!” Gwat Kong membentak-bentak sambil
memeriksa seluruh tempat itu.
“Carilah, Gwat Kong. Dan periksalah! Agar kau merasa puas. Akan tetapi sesungguhnya aku
sendiri telah mencari jalan keluar tiada hentinya, tanpa hasil sedikitpun.”
Gwat Kong masih penasaran. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia memeriksa dinding batu,
mencoba untuk menggunakan kepandaiannya memanjat ke atas, mengetuk-ngetuk batu
mencari terowongan. Sampai sehari penuh ia berusaha dan juga pada keesokan harinya
berusaha lagi sampai lupa makan lupa tidur, akan tetapi hasilnya nihil.
Cui Giok selalu menghiburnya. “Mengasolah, Gwat Kong. Kau terlampau lelah. Aku tahu,
tubuhmu masih sakit-sakit karena jatuh itu. Pikiranmu tidak tenang. Kau tidurlah dan
makanlah daging burung ini. Di sini hanya ada daging burung dan buah di luar lereng itu.
Akan tetapi cukup baik untuk mengenyangkan perut.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 324
“Aku, tidak! Aku tidak mau tidur, tidak mau mengaso, tidak ingin makan! Aku harus mencari
jalan keluar. Kau dan aku harus keluar dari neraka ini!” Gwat Kong membandel dan terus
mencari-cari kemungkinan keluar dari tempat itu.
“Kalau begitu, kau telanlah pel ini. Kau dapat bertahan sampai sepekan, kalau kau menelan
pel ini!” Ia memberi sebutir pel pemberian dari Lo Han Sianjin dulu itu. Gwat Kong
menerimanya dan menelannya. Kemudian tanpa mengaso sedikitpun ia mencari lagi. Kini
menggunakan pedangnya untuk berusaha membuat tangga pada batu karang yang tegak lurus
ke atas itu. Batu karang itu amat keras, akan tetapi pedang Sin-eng-kiam memang tajam
sekali.
“Lihat, Cui Giok! Bantulah aku! Dengan pedang, kita dapat membuat lobang pada batu
karang ini sehingga kita dapat membuat tangga ke atas. Asalkan ada tempat untuk berpegang
dan menaruhkan kaki, mengapa kita tidak dapat mendaki ke atas?”
Cui Giok menggelengkan kepalanya. “Takkan ada gunanya, Gwat Kong. Aku pernah
memikirkan hal itu. Apakah ketika jatuh kau tidak terbentur pada pinggiran sumur?”
Gwat Kong menggelengkan kepalanya.
“Aku terbentur pada pinggir sumur berkali-kali,” kata Cui Giok. “Dan pinggir sumur bagian
atas terdiri dari tanah lembek. Memang kita dapat membuat tangga ke atas pada batu-batu
karang yang keras ini, akan tetapi bagaimana kalau sudah sampai di bagian tanah lembek?”
Namun Gwat Kong tidak putus asa dan tetap hendak mencoba! Terpaksa Cui Giok membantu
untuk jangan mengecewakan hati pemuda yang tak mudah tunduk kepada nasib itu. Sampai
sepuluh hari mereka bekerja membuat tangga, terus ke atas. Dan pada hari kesebelas, tepat
sebagaimana dikatakan oleh Cui Giok, batu padat yang keras itu berubah menjadi tanah lihat
yang amat lembek. Tentu saja tak mungkin memanjat naik melalui tanah selembek itu dan
berair pula. Tanah itu akan melesak kalau diinjak dan licinnya bukan main!
Gwat Kong turun lagi ke bawah dan duduk menutup kedua tangannya pada muka dengan hati
sedih sekali. Air matanya tak dapat tertahan pula mengalir keluar melalui celah-celah jari
tangannya.
“Kita tak dapat keluar .... ah, Cui Giok, begini kejamnya nasib mempermainkan kita ...?
Benar-benarkah kita harus mati di tempat ini .......?”
Cui Giok berlutut di sebelahnya dan tanpa malu-malu lagi memeluk lehernya. Hatinya penuh
keharuan. Akan tetapi ia tidak teringat akan kesedihannya sendiri. Ia kasihan melihat Gwat
Kong yang berduka dan berusaha menghiburnya.
“Gwat Kong, mengapa bersedih?”
Gwat Kong menurunkan kedua tangannya dari depan muka. “Cui Giok, alangkah anehnya
pertanyaanmu ini! Kita terkurung di tempat celaka ini untuk selamanya! Tidak ingatkah kau?
Kita takkan bisa keluar, harus tinggal di sini selama hidup kita sampai mati! Apakah hal ini
tidak menyedihkan hatimu?”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 325
Benar-benar Gwat Kong merasa heran ketika melihat dara itu menggelengkan kepala dan
bibirnya bahkan tersenyum. Mula-mula memang aku bersedih, yakni sebelum kau datang!
Akan tetapi sekarang ..... apakah yang kusedihkan? Ada kau di sini! Dan aku .... aku tidak bisa
merasa berduka selama kau di sampingku, Gwat Kong, biar dimana pun kita berada.
Ditengah-tengah api nerakapun asal bersama kau, takkan merasa berduka, bahkan
berbahagia!”
Bukan main terharunya hati Gwat Kong mendengar pengakuan ini. Ia telah tahu bahwa gadis
ini mencintainya, menyinta dengan penuh kasih sayang. Akan tetapi tak pernah mengira
bahwa cinta kasih gadis ini terhadapnya demikian besarnya, demikian suci murninya! Tak
terasa pula ia mengulurkan kedua tangan memeluk gadis itu yang segera menangis di atas
dadanya, sedangkan Gwat Kong sendiri tak dapat menahan sedu sedan yang naik dari
dadanya.
“Cui Giok, kita serahkan nasib kita kepada Thian Yang Maha Agung,” bisiknya perlahan.
****
Berkat hiburan-hiburan dan sikap jenaka dan gembira dari Cui Giok, terhibur jugalah hati
Gwat Kong. Bahkan timbul pula kegembiraannya. Ia menyerahkan nasib sebulatnya kepada
Yang Maha Kuasa dan karena sudah tidak ada jalan keluar lagi, ia hanya mengharapkan
pertolongan yang datang dari luar sumur. Ini bukan hanya pengharapan kosong belaka, oleh
karena ia telah kenal banyak orang gagah di dunia kang-ouw.
Apabila mereka mendengar tentang nasibnya, mustahil kalau mereka tidak datang
menolongnya atau berusaha menolongnya? Ia tak tahu bahwa tak lama semenjak ia
terjerumus ke dalam jurang itu, namanya dan juga nama Cui Giok telah terhapus dari daftar
orang-orang hidup! Semua orang yang mendengar tentang nasibnya itu telah menganggap dia
tewas di bukit itu.
Bab 35 ...
MEREKA berdua tidak kekurangan makan dan kini Gwat Kong dapat menikmati rasa buah
yang berwarna kuning di lereng itu. Buah yang berbau harum dan lezat dan belum pernah ia
makan selama hidupnya. Juga daging burung itu merupakan makanan yang lezat. Mereka
tidak kekurangan air karena di lereng itu terdapat pancuran air yang jernih dan sering kali
mereka menikmati pemandangan yang amat indahnya di luar lobang yang menembus ke
lereng bukit.
Pemandangan yang amat indah dan juga amat mengerikan. Apabila mereka berdiri di depan
lobang itu, memandang ke bawah, mereka merasa seakan-akan mereka berdiri di tengah
angkasa raya, di atas sebuah bintang yang tidak ada tangganya untuk turun kepermukaan
bumi.
Telah setengah bulan Gwat Kong tinggal di tempat itu. Sikap Cui Giok yang amat
menyintainya menggerakkan hatinya. Kalau tadinya ia masih selalu terkenang kepada Tin
Eng, gadis yang lebih dahulu menawan hatinya itu, sekarang ia berusaha melempar kenangan
ini jauh-jauh!
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 326
Ia tahu bahwa mengenangkan Tin Eng adalah satu perbuatan yang amat bodoh dan hanya
akan mendatangkan kesedihan dan gangguan batin belaka. Ia telah terasing, untuk selama
hidupnya tidak ada kemungkinan sedikitpun untuk bertemu kembali dengan Tin Eng atau
dengan siapa yang di dunia ramai. Maka mengenangkan Tin Eng bukanlah pikiran yang sehat.
Bagi Tin Eng, ia sudah mati dan mungkin gadis itupun telah melupakannya, menganggapnya
mati, dan barang kali kawin dengan lain pemuda. Siapa tahu, mungkin Tin Eng akhirnya mau
juga kawin dengan Gan Bu Gi! Ia sama sekali tidak mau memikirkan hal ini.
Dunianya hanyalah dasar sumur dan lereng itu, dunianya terpisah dari dunia ramai, dan kawan
hidup satu-satunya hanya Cui Giok seorang! Seorang kawan hidup yang amat baik budi, gadis
perkasa dan cantik jelita! Kalau dibuat perbandingan, tentu saja hatinya masih condong
kepada Tin Eng dari pada Cui Giok. Karena sebelum ia bertemu dan berkenalan dengan Cui
Giok, terlebih dahulu hatinya telah tertambat kepada Tin Eng.
Cinta pertama tak mudah dilupakan. Akan tetapi diam-diam ia harus mengakui bahwa selain
gagah perkasa, Cui Giok tidak kalah cantiknya dari Tin Eng, dan dalam hal cinta kasih, Cui
Giok nampaknya bahkan lebih besar cintanya dari pada cinta Tin Eng yang belum pernah
dinyatakan itu.
Pada hari ketujuh belas, ketika Gwat Kong dan Cui Giok keluar dari guha itu dan duduk di
lereng bukit menikmati hawa gunung yang sejuk, melihat sepasang burung yang besar terbang
di dekat lereng. Kemudian burung itu hinggap pada cabang pohon di lereng itu, saling
membelai dengan leher dan saling membersihkan bulu kawannya dengan patuk mereka.
Burung itu adalah burung rajawali yang besar dan bagus bulunya.
“Lihat Gwat Kong!” kata Cui Giok sambil menunjuk kepada burung-burung itu. “Alangkah
senangnya hidup mereka, begitu rukun dan saling menyinta!”
Gwat Kong memandang ke arah burung itu kemudian ia menoleh dan menatap wajah Cui
Giok. Pada waktu itu, senja telah mendatang dan angin yang bertiup perlahan membuat
rambut Cui Giok awut-awutan dan sebagian rambutnya yang halus dan panjang itu melambailambai
di depan jidatnya.
“Alangkah cantikmu, Cui Giok ....” Gwat Kong tak terasa berbisik perlahan.
Cui Giok menengok dan pura-pura tidak mendengar bisikan itu. “Apa katamu, Gwat Kong?”
Merahlah wajah pemuda itu. “Alangkah .... indah rambutmu ...”
Kata Cui Giok tersenyum, “Jangan kau mengatakan sesuatu yang berlawanan dengan hatimu.
Rambutku awut-awutan, tak pernah disisir, tak pernah diminyaki sampai berhari-hari.
Bagaimana kau katakan bagus?”
“Akan kubuatkan sisir untukmu, Cui Giok. Sisir dari kayu pohon itu. Kukira aku akan dapat
membuatnya.”
Tiba-tiba Cui Giok bangkit berdiri, tercium bau daging terbakar hangus. “Celaka! Aku sampai
lupa kepada daging panggang itu!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 327
Ia berlari masuk sambil tertawa-tawa, diikuti oleh pandang mata Gwat Kong yang ikut
gembira. Alangkah cantik menarik dara ini, pikirnya. Heran sekali, dahulu belum pernah ada
perasaan demikian. Akan tetapi semenjak ia masuk ke tempat ini, entah mengapa, darahnya
seakan-akan mendidih tiap kali ia mengagumi kecantikan Cui Giok! Belum pernah ia tergoda
oleh kecantikan Cui Giok! Belum pernah ia tergoda oleh kecantikan wanita. Bahkan Tin Eng
sendiri belum pernah datangkan gelora yang demikian menggelombang hebat di sanubarinya.
“Gwat Kong .....!” terdengar panggilan Cui Giok dari dalam dengan nada mesra. “Daging
sudah matang ...! Mari kita makan!”
Gwat Kong tersenyum. Ia merasa seakan-akan ia berada di rumah sendiri, seakan-akan ia
telah membangun sebuah rumah tangga seperti yang sering ia impikan. Ia dahulu sering
bermimpi mempunyai rumah tangga dengan Tin Eng sebagai isterinya. Dan kini, sungguh
aneh ia merasa seakan-akan ia telah berumah tangga dan hidupnya bahagia.
Sambil tersenyum-senyum ia berbangkit berdiri dan masuk ke dalam lubang yang kini
diperlebar merupakan pintu itu. Bahkan Cui Giok telah membuat tirai pada pintu ini dari
selimutnya. Sebelum masuk pintu istimewa ini, Gwat Kong masih sempat melihat sepasang
burung rajawali itu terbang melayang ke atas, mengembangkan sayap mereka yang lebar dan
besar.
Gwat Kong dan Cui Giok menghadapi makan malam yang terdiri dari daging panggang dan
buah dimasak. Baik Gwat Kong maupun Cui Giok tidak tahu bahwa makanan-makanan ini
mengandung zat yang amat baik dan yang menguatkan tubuh mereka. Memang Tuhan Yang
Maha Adil. Buah-buahan yang berada di lereng itu dan daging burung ayam gunung yang
mereka dapatkan, mengandung zat-zat yang amat dibutuhkan oleh tubuh mereka sehingga
biarpun mereka tak pernah dapat makan nasi dan gandum, mereka tetap sehat, bahkan merasa
kuat.
Akan tetapi, mereka juga tidak tahu bahwa makanan itu mengandung zat yang memanaskan
darah, yang membuat darah di tubuh mereka mengalir cepat dan yang mendatangkan
pengaruh merangsang pada hati mereka. Kalau tadi Gwat Kong mengherankan perasaannya
terhadap Cui Giok, maka jawabannya sebetulnya terletak pada makanan yang sedang
dihadapinya dan dimakan bersama Cui Giok itulah! Daging burung itu mempunyai khasiat
yang aneh dan membuat sepasang mata Gwat Kong memancarkan cahaya berseri dan yang
membuat sepasang pipi Cui Giok menjadi makin kemerah-merahan.
Seperti keluarga di dalam sebuah rumah tangga biasa. Sehabis makan Cui Giok mencuci
tempat-tempat makanan yang terbuat dari pada batu itu pada pancuran di luar guha.
Kemudian keduanya duduk pula di lereng, dan pada malam hari itu bulan memancarkan
cahayanya sepenuh dan sebulatnya, mendatangkan pemandangan yang luar biasa indahnya
dan berbareng mendatangkan suasana yang romantis.
Seperti biasa, pada saat seperti itu, kakek tua yang baik hati, yang bersemayam di atas bulan
yang biasa disebut orang tua yang menjadi penghubung perjodohan menurunkan kesaktiannya
melalui cahaya bulan yang keemasan, menyebarkan sihirnya kepada hati-hati orang muda.
Kedua orang muda itu duduk di atas rumput bersandarkan batu karang. Mereka menikmati
keindahan alam itu dengan hati ikhmat, lupa bahwa mereka berada di tempat yang terasing,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 328
lupa akan kesengsaraan mereka. Bahkan hati mereka penuh dengan kegembiraan yang luar
biasa dan yang mereka sendiri tidak tahu apa yang menjadi sebabnya.
“Aduh ......! Alangkah cantiknya bulan!” kata Cui Giok sambil memandang ke atas.
Akan tetapi tidak terdengar jawaban dari Gwat Kong, bahwa pemuda itu tidak bergerak
sedikitpun juga. Biasanya setiap ucapan yang keluar dari mulut Cui Giok selalu mendapat
sambungan dari pemuda itu. Hal ini terasa aneh bagi Cui Giok yang segera menengok
kepadanya.
“Cui Giok .....” terdengar Gwat Kong berbisik dengan suara gemetar. “Jangan gerakan
mukamu ..... jangan menengok ....!”
“Eh eh, kau mengapa, Gwat Kong?” tanya Cui Giok terheran-heran. Akan tetapi ia mentaati
permintaan ini, tetap memandang bulan, sungguhpun matanya mengerling ke arah Gwat
Kong.
“Alangkah cantiknya kau ........! Dengan mendapat sinar bulan sepenuhnya, mukamu bagaikan
menyinarkan cahaya emas! Alangkah indah dan cantikmu, Cui Giok! Bulan sendiri akan malu
terhadapmu .....” Sambil berkata demikian, Gwat Kong mengulur tangannya hendak memeluk
gadis itu.
Cui Giok tiba-tiba tertawa dan mengelak. Sepasang pipinya menjadi makin merah, sampai ke
telinga-telinganya.
“Ah ... kau gila ...!” katanya dan ia lalu melompat dan berlari ke dalam guha.
Gwat Kong juga berdiri dan mengejarnya. Cui Giok hendak berlari terus, akan tetapi kemana?
Kalau saja mereka berada di dunia luar tentu ia akan berlari terus mempermainkan Gwat
Kong. Akan tetapi tempat terkurung oleh dinding batu karang, maka sebentar saja Gwat Kong
telah dapat menangkap tangannya.
“Cui Giok .... kau .... cantik sekali. Aku cinta kepadamu.”
Tiba-tiba Cui Giok berdiri menghadapinya.
“Kau cinta kepadaku? Benarkah? Seperti cintaku kepadamu?? Katakan sekali lagi, Gwat
Kong!”
“Aku cinta padamu, Cui Giok. Demi Thian Yang Maha Suci, demi bulan yang murni, aku
cinta padamu!”
“Kau tidak ingat kepada Tin Eng?”
Bagaikan terserang seekor ular berbisa, Gwat Kong melangkah mundur. Akan tetapi ia
berkata lagi, “Jangan sebut-sebut nama lain di tempat ini, Cui Giok! Dunia kita bukan dunia
orang lain. Di dunia kita hanya ada kau dan aku, orang lain tak masuk hitungan! Agaknya
Thian memang sengaja menjodohkan kita maka kita berada di tempat ini, terpisah dari dunia
ramai. Cui Giok, kita hanya menanti mati di tempat ini. Sebelum kita mati, maukah kau
menjadi isteriku? Kita hidup berdua di tempat ini, akan mati bersama pula di tempat ini ....
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 329
dan kita akan menghadap kepada Giam-lo-ong (Malaikat pencabut nyawa) sebagai suami
isteri! Cui Giok, kekasihku, maukah kau menjadi isteriku?”
Terdengar gadis itu menarik napas panjang. “Tidak ada yang lebih kuingini selain menjadi
isterimu, Gwat Kong. Tak perlu kujelaskan lagi, kau tahu bahwa aku mencintaimu. Akan
tetapi tanpa saksi, tanpa upacara ... ah, bagaimana kita bisa melakukan upacara pernikahan?”
suaranya mengandung isak.
Gwat Kong memegang tangannya dan menariknya keluar dari pintu guha itu.
“Bulan purnama akan menjadi saksi, kekasihku! Dan Thian yang akan memberkahi kita, yang
akan menjodohkan kita, karena Thian pula yang menjadi perantara perjodohan kita .....”
Demikianlah, kedua orang muda itu berjalan keluar guha, dan mereka berlutut dengan penuh
khidmat, mengucapkan sumpah sebagai suami isteri, disaksikan oleh bulan purnama yang
tersenyum-senyum, disaksikan pula oleh angin yang bersilir perlahan menciptakan janji indah
pada daun-daun pohon. Upacara pernikahan yang amat sederhana, tanpa saksi manusia,
sumpah yang diucapkan dengan bibir gemetar dibarengi mengalirnya air mata keharuan
karena merasa betapa mereka hanya berdua saja di dunia ini. Upacara yang paling sederhana,
akan tetapi yang tidak kurang sucinya!
Sepasang orang muda yang senasib sependeritaan, yang sehidup semati terkurung di tempat
terasing, yang sudah yakin bahwa takkan dapat keluar dari situ sampai hayat meninggalkan
badan. Sepasang hati yang menderita sehebat-hebatnya ini akhirnya bertemu, mencari hiburan
satu kepada yang lain saling meminta, saling mengisi.
Dapatkah kedua orang ini disalahkan? Mereka masih muda, darah mereka sedang
menggelora, ditambah pula oleh khasiat makanan-makanan yang luar biasa. Mereka sama
muda, sama elok, sehingga mudah sekali Dewi Asmara memainkan peranan menguasai hati
mereka.
Bagi Cui Giok hal ini sudah sewajarnya, karena semenjak dahulu ia memang mencintai Gwat
Kong, menyinta dengan sepenuh hatinya dengan sesuci jiwanya. Bagi Gwat Kong,
sungguhpun tadinya hatinya sudah tertambat kepada Tin Eng, namun ia juga tertarik kepada
Cui Giok. Ia kagum kepada gadis itu. Ia merasa bersimpati dan ini sudah cukup untuk
membuka hatinya dan untuk menyambut cinta kasih Cui Giok.
Oleh karena itu, sungguhpun dengan amat sederhana, tanpa hio tanpa meja sembahyang,
tanpa wali dan tanpa saksi, upacara pernikahan mereka sudah syah dan sewajarnya. Upacara
pernikahan yang tercipta dari sepasang hati yang saling menyinta, bukan karena nafsu semata,
bukan karena dorongan birahi yang digerakkan oleh iblis. Adakah yang lebih syah dari pada
ini?
****
Setelah menjadi suami isteri, Gwat Kong dan Cui Giok hidup dengan penuh kebahagiaan.
Mereka lupa akan keadaan mereka, lupa bahwa mereka hidup terasing. Dunia ini tak sunyi
bagi mereka. Setiap lambaian bunga, daun dan rumput merupakan gerakan gembira, seakanakan
tarian indah dalam pandangan mata mereka. Setiap suara yang ditimbulkan oleh daunKang-
lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 330
daun tertiup angin, kicau burung, api membakar kayu kering, mendatangkan irama lagu yang
amat merdu dan menyedapkan telinga, menyegarkan hati dan perasaan.
Mereka saling menyinta, saling mengasihi, saling menghormat dan saling menjaga. Hidup
mereka hanya mempunyai satu tujuan, bagi Gwat Kong untuk menyenangkan hati Cui Giok
dan bagi Cui Giok untuk membahagiakan suaminya. Apakah yang lebih indah, yang lebih
suci dari perasaan ini?
Mereka mendapatkan lagi kegembiraan mereka, kegembiraan untuk hidup, untuk merawat
diri. Kalau tadinya mereka bersikap masa bodoh, acuh tak acuh terhadap kesehatan tubuh,
kini mereka mulai memperhatikan keadaan diri masing-masing. Bahkan mereka mulai lagi
berlatih silat di tempat itu dan karena tiada pekerjaan lain maka mereka makin maju ilmu
silatnya, dapat menciptakan gerakan pedang yang luar biasa.
Waktu berlalu cepat dan tak terasa sehingga berbulan-bulan telah lewat tanpa terasa lagi.
Mereka telah berdiam di tempat itu sampai enam bulan atau setengah tahun. Waktu yang amat
lama bagi mereka yang bersusah hati, akan tetapi amat cepat bagi yang hidup gembira ria.
Akan tetapi, seperti juga kata pribahasa bahwa tiada gading yang tak retak, yang berarti
bahwa tiada keindahan tanpa cacad, demikianpun tidak ada kebahagiaan yang tak bernoda
oleh kekhawatiran atau kesusahan. Telah sebulan lebih Gwat Kong dan Cui Giok menderita
kecemasan dan kegelisahan. Perasaan ini mereka derita semenjak saat Cui Giok menyatakan
kepada suami bahwa ia telah mengandung!
Ketika mendengar hal itu, untuk sekejap wajah Gwat Kong berseri-seri, sepasang matanya
bercahaya gembira dan ia memeluk isterinya penuh kasih sayang. Akan tetapi, tiba-tiba
pelukannya mengendur dan ia melangkah maju mundur sambil menatap wajah isterinya
dengan muka pucat dan mata terbelalak seakan-akan ia melihat setan di tengah hari!
“Kau, kenapakah?” tanya isterinya cemas.
“Cui Giok .... Ya Tuhan ..... Cui Giok .....” Dan Gwat Kong lalu menjatuhkan diri di atas
tanah dan menangis tersedu-sedu.
Isterinya terkejut sekali dan segera memeluknya. “Suamiku, kau kenapa? Sakitkah tubuhmu?”
Gwat Kong menekan perasaannya dan setelah gelora hatinya menjadi tenang kembali, ia
menggeleng-gelengkan kepalanya. Mukanya nampak sedih sekali.
“Cui Giok, mengapa Thian menghukum kita sampai sedemikian hebat?”
“Mengapa Gwat Kong. Kenapa kau berkata demikian? Bukankah Thian telah memberi berkah
kepada kita? Kita akan mendapatkan seorang putera? Bukankah hal ini yang baik bagi kita?”
Akan tetapi, tiba-tiba Cui Giok bagaikan disadarkan ketika pandang matanya bertemu dengan
pandang mata suaminya. Wajahnya memucat dan tak terasa pula tangan kirinya meraba ke
arah perutnya, lalu ia menangis terisak-isak! Gwat Kong segera memeluk dan menyandarkan
kepala isterinya pada dadanya. Kalau tadi dia yang bersedih dan gelisah, kini ia dapat
menghibur kesusahan hati isterinya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 331
“Sudahlah, Cui Giok!” katanya sambil mengusap-usap rambut isterinya yang bagus. “Marilah
kita pikirkan baik-baik dan mencari jalan yang sebaik-baiknya. Memang amat
menggelisahkan keadaan kita ini. Anak kita akan terlahir di sini dan bagaimanakah kita harus
perbuat? Di tempat ini .... ah, tak kuat aku memikirkan dan membayangkan hal itu.
Bagaimana kau akan melahirkan ? Dan anak kita ... anak kita itu .... bagaimana kita akan
dapat mendidiknya baik-baik? Dan kelak ....!
Sudah berbulan-bulan Gwat Kong menyebut tempat mereka itu sebagai surga dan baru
sekarang terlompat kata-kata “neraka” sebagai sebutan tempat ini! Ah, manusia! Memang
aneh sekali! Apa yang kemaren mendatangkan tawa gembira, ini hari dapat menimbulkan
tangis sedih. Kemaren dianggap sorga, kini dianggap neraka.
Cui Giok tak dapat menjawab, hanya tangisnya makin keras sehingga tubuhnya tergoyanggoyang
dalam pelukan suaminya. Gwat Kong perlu mendapatkan hawa segar, maka dengan
perlahan ia menuntun isterinya keluar dari guha itu, diajak duduk di atas rumput di lereng.
Sampai lama mereka hanya duduk bersanding, saling berpegangan tangan. Kesunyian yang
berbicara. Kesunyian yang membisikan seribu satu macam kata-kata yang semuanya hanya
mendatangkan gelisah dan duka. Bisikan angin pada pohon-pohon yang biasanya merupakan
nyanyian gembira, kini terdengar bagaikan suara tangis memilukan. Kicau-kicau burung yang
tadinya terdengar seperti memuji-muji mereka, kini terdengar seakan-akan mereka itu
mengumpat caci, mengejek dan memperolok-olokan mereka!
Tiba-tiba sepasang burung rajawali yang sering mereka lihat dan yang mereka anggap sebagai
simbol dari keadaan mereka berdua itu, nampak berterbangan di angkasa raya, berputarputaran,
kemudian turun dan hinggap di cabang pohon besar. Melihat betapa lebar dan kuat
sayap mereka yang dapat membawa mereka ke mana saja mereka kehendaki, menimbulkan
cemburu dan iri hati dalam dada Gwat Kong yang masih direbahkan kepala Cui Giok pada
pangkuannya, menangis perlahan-lahan.
Ah, kalau saja aku mempunyai sayap seperti rajawali itu, pikir Gwat Kong. Tiba-tiba ia
memandang pundak Cui Giok diangkatnya kepala isterinya itu, dipandang mukanya yang
basah air mata, kemudian ia menciumi pipi isterinya bagaikan gila!
Cui Giok terheran-heran melihat suaminya tersenyum-senyum gembira dan tiba-tiba merasa
khawatir kalau-kalau suaminya ini telah menjadi gila saking sedihnya.
“Cui Giok ...... mengapa kita begitu bodoh? Mengapa tidak terpikirkan olehku akan hal itu?
Ah. Memang patut sekali aku terhukum di sini sampai setengah tahun karena kebodohanku
ini.
“Apa .... apa maksudmu?”
Gwat Kong menunjuk ke arah sepasang rajawali yang masih bertengger pada cabang itu,
matanya bersinar-sinar girang.
“Kau lihat sepasang rajawali itu! Mereka dapat membawa kita keluar dari tempat ini, mereka
dapat membawa kita kembali ke dunia ramai.”
Cui Giok masih bingung dan tidak mengerti maksud kata-kata suaminya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 332
“Kita bisa menangkap mereka dan memaksa mereka terbang keluar dari sini membawa kita!
Kita dapat mengikat kaki mereka dengan kain dan kalau kita bergantung kepada ikatan itu,
bukankah mereka akan dapat mengantar kita turun?”
“Akan tetapi hal itu amat berbahaya!” seru Cui Giok. “Bagaimana kalau mereka tidak kuat?
Bagaimana kalau kita jatuh ke bawah selagi mereka terbang tinggi?” Cui Giok merasa ngeri.
“Lebih baik begitu!” kata Gwat Kong dengan muka muram. “Lebih baik kita berdua, kita mati
bersama, membawa anak kita pula bersama-sama, dari pada kelak kita harus
meninggalkannya seorang diri di tempat ini!”
Ucapan ini membangunkan semangat Cui Giok. “Baiklah, memang jalan ini yang terbaik.
Mari tangkap mereka!” katanya sambil berdiri.
”Nanti dulu, isteriku. Kalau sampai kita gagal menangkapnya, mereka bisa ketakutan dan
tidak mau datang lagi. Kita harus menanti sampai malam. Biasanya mereka tidur di pohon itu.
Kalau mereka sudah tidur, kita menyergap!”
Demikianlah, sore hari itu, sepasang suami isteri ini telah bersembunyi di balik gerombolan
pohon, menanti datangnya sepasang rajawali itu. Menjelang senja terdengar suara mereka di
angkasa dan tak lama kemudian mereka terbang dan hinggap di cabang pohon besar di mana
kedua suami isteri itu bersembunyi. Gwat Kong dan Cui Giok telah membawa tambang yang
amat kuat, yang mereka buat dari semua pakaian mereka, dipintal dan diperkuat dengan kulit
dan akar pohon di lereng itu.
Sore tadi mereka telah mempelajari dan merundingkan cara menangkap dua ekor burung
besar itu, yakni dengan menyergap, membelitkan tambang pada leher dan kaki binatang itu.
Setelah kedua burung akhirnya tertidur, menyembunyikan kepala mereka di dalam pelukan
sayap, Gwat Kong lalu memberi isyarat dengan tangannya.
Dengan gerakan yang amat cepat, kedua suami isteri itu naik ke pohon. Pekerjaan ini mereka
lakukan dengan mudah, karena pada malam hari itupun bulan bersinar penuh dan terang.
Betapapun mereka berlaku hati-hati, namun kedua burung itu mendengar suara mereka dan
dengan kaget burung-burung itu mengeluarkan kepala dari sayap.
Akan tetapi pada saat itu, bagaikan dua ekor ular, tambang di tangan Gwat Kong dan Cui
Giok meluncur dan membelit kaki kedua burung itu. Ketika kedua burung itu dengan kaget
memukulkan sayap dan mengulur leher, tambang-tambang itu cepat pula membelit leher
mereka dan kedua suami isteri itu lalu melompat ke bawah sambil menarik tambang dengan
kuatnya.
Kedua burung itu meronta-ronta dan alangkah besar tenaga mereka. Kalau saja Gwat Kong
dan Cui Giok tidak memiliki tenaga lweekang yang tinggi, tentu mereka takkan dapat
menahan pemberontakan kedua burung itu. Mereka menggelepar-gelepar dan memukulmukul
dengan sayap. Akan tetapi Gwat Kong dan Cui Giok menggerak-gerakan tambang,
sehingga tambang yang panjang itu akhirnya membelit-belit tubuh burung dan tanpa berdaya
lagi kedua burung rajawali itu di seret ke dalam guha.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 333
“Bagaimana dengan harta pusaka itu?” tanya Cui Giok kepada Gwat Kong setelah mereka
berkemas untuk berangkat pada keesokan harinya.
“Kita bawa saja secukupnya saja. Benda itu sudah banyak menimbulkan mala petaka.”
Demikianlah, mereka hanya membawa masing-masing belasan butir batu permata yang
terbesar. Karena kalau terlalu banyak takut kalau-kalau burung-burung itu takkan kuat
terbang. Sedangkan tidak membawa apa-apapun mereka masih ragu-ragu apakah burung itu
akan kuat membawah tubuh mereka.
Mereka lalu membawa burung itu keluar dari guha. Matahari telah mulai tampak di ufuk
timur, kemerah-merahan dan sinarnya masih belum kuat benar. Mereka mengikatkan kedua
ujung tambang pada kedua kaki burung.
Kedua suami isteri itu saling pandang mesra.
“Cui Giok ......”
“Ya, .....”
“Kalau ... kalau usaha kita ini gagal .....”
“Ya, .....”
“Kalau burung-burung ini tidak kuat dan jatuh bersama kita, hancur lebur menumbuk karang
.....”
“Teruskan suamiku .....” Cui Giok berkata sambil berusaha agar supaya suaranya terdengar
tenang, Akan tetapi tetap saja suaranya menggetar tanda bahwa perasaannya tegang sekali.
“Kalau kita tewas dalam usaha keluar dari neraka ini, kau .... kau tunggulah padaku .... kita ...
kita pergi bersama, ya ....?”
Cui Giok menggigit bibirnya dan menahan keluarnya air mata. Namun tetap saja bulu
matanya menjadi basah dan dua titik air mata masih melompat keluar. Sukar baginya untuk
mengeluarkan kata-kata karena hatinya amat terharu. Mereka harus memegang tambang
menjaga kalau burung itu meronta dan terlepas, maka mereka hanya dapat saling pandang.
Cui Giok menganggukkan kepalanya dan menyusut air matanya dengan menundukkan muka
pada lengan bajunya, karena kedua tangannya digunakan untuk memegang tambang itu.
“Mari kita berangkat, Cui Giok!”
Mereka lalu berbareng melepaskan tambang yang membelit sayap dan leher burung.
Kedua burung itu menggerak-gerakan sepasang sayapnya. Agaknya terasa kaku sayap-sayap
mereka karena terbelenggu semalam suntuk. Mereka mengeluarkan teriakan keras seakanakan
merasa girang terlepas dari belenggu itu. Kemudian mengembangkan sayap dan ......
melompatlah mereka dari pinggir jurang yang luar biasa tingginya itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 334
“Cui Giok, selamat berpisah, isteriku .... kekasihku ...!” Gwat Kong masih sempat berteriak
ketika merasa tubuhnya dibawa terbang.
“Selamat sampai bertemu pula, suamiku ... aku cinta padamu!” Cui Giok juga berseru keras,
karena burung yang membawanya melompat itu berpisah dengan burung yang membawa
Gwat Kong.
Kedua burung itu agaknya merasa bingung ketika merasa betapa kaki mereka digantungi
tubuh manusia yang amat berat itu. Mereka hendak terbawa oleh berat beban itu turun akan
tetapi mereka mengerahkan tenaga pada sayap mereka sehingga masih dapat juga mereka
bertahan. Akan tetapi mereka bingung dan ketakutan, memekik-mekik dan terbang tidak
karuan jurusannya! Sayap mereka berbunyi ketika dengan kuatnya sayap itu memukul udara,
menjaga tubuh mereka terbawa turun oleh beratnya tubuh yang bergantung kepada kakinya.
Gwat Kong melihat betapa burung yang membawa isterinya itu terbang ke lain jurusan, yakni
ke arah utara. Sedangkan burung yang menerbangkannya menuju ke timur. Makin lama
burung itu terbang makin rendah karena sesungguhnya beban itu terlampau berat baginya.
Hal inilah yang diharapkan oleh Gwat Kong dan yang memang telah diperhitungkannya. Ia
tidak memperhatikan sekelilingnya, karena perhatiannya ditujukan kepada burung yang
membawa isterinya. Oleh karena tubuh isterinya lebih ringan, maka burung yang
menerbangkan isterinya itu lebih cepat gerakannya dan sebentar saja burung itu lenyap di
utara.
Tak karuanlah rasa hati Gwat Kong melihat hal itu. Ia terpisah dari Cui Giok, akan tetapi ia
masih memperhatikan ke jurusan itu, karena kalau ia dapat selamat mendarat di atas bumi, ia
akan menyusul dan mencari isterinya itu.
Ketika memandang ke bawah maka bukan main besar hatinya. Pohon-pohon yang tadinya
dari atas lereng itu nampak seperti rumput, kini telah nampak nyata. Makin lama makin besar
dan gerakan sayap rajawali itu makin lemah. Tubuhnya makin rendah meluncur ke bawah.
Burung ini agaknya maklum bahwa ia tidak kuat melanjutkan penerbangannya dan kini
menukik ke bawah dengan mengulur lehernya rendah-rendah, yang tujuannya ialah kelompok
pohon-pohon di bawah itu, agaknya sebuah hutan.
Dengan hati berdebar karena tegang, Gwat Kong bersiap sedia. Ia hanya dapat berdoa,
mudah-mudahan burung itu cukup mempunyai kekuatan untuk mendarat aman. Ternyata
doanya terkabul, burung itu kini berada di atas pohon-pohon yang tadinya nampak kecil.
Ternyata mereka berada di atas sebuah hutan yang amat liar, penuh dengan pohon-pohon
besar. Setelah burung itu terbang dekat di atas puncak pohon sehingga daun-daun pohon
bergerak-gerak terkena tiupan sayapnya. Gwat Kong lalu melepaskan tambang yang
dipegangnya dan melompat ke arah pohon itu. Bagaikan batu dilontarkan, tubuhnya masuk ke
dalam daun-daun pohon dan dengan sigap ia dapat menangkap sebatang cabang dan
bergantung di situ. Kemudian ia turun dengan perlahan.
Setelah ia menginjak bumi, tak tahan lagi Gwat Kong lalu berlutut dan menciumi tanah dan
rumput. Alangkah bahagianya dapat berada dipermukaan bumi lagi, dapat berdiri di atas tanah
yang tercinta, seakan-akan kembali kepangkuan ibu yang amat mengasihinya, yang
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 335
mendatangkan rasa aman sentosa. Ia merasa seakan-akan baru bangkit kembali dari lobang
kubur.
Setelah dapat menenangkan hatinya, ia memandang ke arah burung yang kini bertengger di
cabang pohon dengan kedua kaki gemetar karena lelah.
“Terima kasih burung yang mulia!” kata Gwat Kong kepada burung itu.
Kemudian ia teringat kepada Cui Giok. Tanpa membuang waktu lagi ia segera berlari cepat
menuju ke utara. Sambil berlari cepat, ia berdoa memohon kepada Thian agar supaya isterinya
itu dilindungi dan juga mendarat dengan selamat seperti dia. Ia teringat akan ucapan mereka
yang terakhir ketika akan berpisah tadi.
“Cui Giok, kalau kau tewas, akupun akan menyusulmu!” demikian ia berbisik sambil berlari
terus. Ia keluar dari hutan itu dan ternyata bahwa ia telah mendarat di atas sebuah bukit. Ia
terus berlari-lari ke arah utara. Akan tetapi betapapun ia mencari-cari ke atas dan ke bawah, ia
tidak melihat burung rajawali yang membawa isterinya. Hatinya mulai gelisah, dan larinya
dipercepat
Ia sudah turun dari bukit itu dan kini mendaki bukit lain yang berada di sebelah utara bukit
tadi. Kemanakah ia harus mencari? Di manakah burung yang membawa isterinya itu
mendarat? Hatinya berdebar cemas.
Tanpa memikirkan apa-apa lagi, Gwat Kong mencari terus. Terus mencari sambil berlari-lari,
ke sana ke mari. Bahkan kadang-kadang ia menjerit-jerit dan memanggil nama isterinya.
“Cui Giok ....! Cui Giok .......!”
Akan tetapi tidak ada yang menyahut, hanya burung-burung kecil di pohon-pohon
berterbangan karena kaget.
Ia tiba di sebuah dusun. Orang-orang dusun itu heran melihat seorang pemuda yang
pakaiannya compang camping berlari-lari cepat bagaikan kijang.
“Adakah kalian melihat seekor burung rajawali terbang di atas kampung ini?” tanya seorang
pemuda itu berkali-kali kepada siapa saja yang dijumpainya di jalan.
Orang-orang dusun itu menggeleng kepala. Tidak saja mereka tak melihat burung rajawali
bahkan mereka lalu menganggap Gwat Kong seorang yang miring otaknya. Gwat Kong tidak
memperdulikan pandangan orang-orang kepadanya, lalu berlari lagi cepat-cepat ke utara, tak
memperdulikan sesuatu. Ia harus dapat mencari isterinya yang tercinta.
“Cui Giok .........! Cui Giok .............!” suara panggilannya ini terdengar sampai jauh malam
sehingga orang-orang kampung yang mendengar ini merasa heran dan menggelengkan kepala,
kasihan kepada orang muda yang mereka sangka gila itu. Memang Gwat Kong seperti telah
menjadi gila. Ia berlari-lari terus ke sana ke mari, mencari-cari Cui Giok sambil memanggilmanggil,
kemudian melanjutkan larinya ke utara.
****
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 336
Kita tinggalkan dulu Gwat Kong yang mencari isterinya bagaikan gila itu dan marilah kita
menengok Tin Eng yang sudah lama kita tinggalkan. Semenjak di bawa turun dari Hong-san
oleh ayahnya dan menganggap bahwa Gwat Kong yang terjerumus ke dalam jurang itu sudah
tewas, Tin Eng seakan-akan berubah menjadi seorang gadis lain. Kalau dahulu wataknya
gembira dan jenaka, kini ia berubah pendiam, tak mau banyak bicara dan wajahnya yang
cantik itu selalu muram.
Setibanya di rumah, ia menyembunyikan diri di dalam kamarnya. Jarang sekali mau keluar
dan ia lebih suka membaca kitab kuno atau menyulam, atau ..... termenung. Baru sekarang
setelah Gwat Kong tewas, ia merasa betapa besar ia menyinta pemuda itu, dan alangkah
menyesalnya bahwa ia tidak menyatakan perasaan hatinya kepada pemuda itu dulu-dulu
sebelum Gwat Kong tewas. Ia maklum betapa besarnya cinta kasih Gwat Kong kepadanya,
sehingga pemuda itu rela menjadi pelayan yang rendah sampai bertahun-tahun, hanya untuk
dapat dekat dengan dia.
“Gwat Kong .....!” seringkali ia menyebut nama ini sambil menghela napas dan hatinya terasa
makin patah.
Betapapun besar gemas dan marahnya hati Liok Ong Gun karena kebandelan Tin Eng yang
sudah berkali-kali membantah kehendak ayahnya dan sudah dua kali melarikan diri dari
rumah sehingga setidaknya mendatangkan rasa malu kepadanya, namun sebagai seorang ayah
yang hanya mempunyai anak tunggal, Liok-taijin merasa gelisah dan kasihan juga melihat
keadaan anaknya itu. Terutama sekali nyonya Liok dengan segala daya upaya ia mencoba
untuk menghibur hati anaknya.
“Tin Eng, mengapa kau selalu nampak susah hati sehingga membikin orang tuamu ikut
merasa bingung dan susah?” kata Liok-taijin pada suatu hari ketika ia bersama isterinya
mengunjungi kamar anaknya. “Gwat Kong sudah tewas dalam kecelakaan, untuk apa kau
berkabung untuk seorang yang tidak ada hubungannya dengan kita?”
“Aku cinta kepadanya, ayah,” jawab Tin Eng sambil menundukkan mukanya.
Kalau dulu Tin Eng berani mengucapkan pengakuan seperti ini, tentu Liok-taijin akan
menjadi marah sekali. Akan tetapi pemuda itu telah mati, maka ia hanya memandang dengan
penasaran dan berkata,
“Sungguh kau memalukan hatiku, Tin Eng! Kau menyinta seorang pemuda bekas pelayan,
seorang yatim piatu yang tidak diketahui siapa orang tuanya, seorang pemuda keturunan
rendah?”
“Ayah,” kata Tin Eng sambil mengangkat mukanya, memandang ayahnya dengan berani,
“aku tidak mengukur kemuliaan hati seseorang dari pangkat dan kedudukannya. Gwat Kong
seorang pemuda berhati mulia. Dapatkah ayah menyangkal bahwa selama ia bekerja di sini, ia
melakukan sesuatu yang tidak baik? Bukankah ia selalu jujur, sopan-santun dan setia?”
“Betul, ... betul ....... akan tetapi ........”
“Akan tetapi ayah masih menganggap dia seorang rendah! Ayah tahu, bahwa Bun Gwat Kong
itu sebenarnya adalah putera tunggal dari mendiang Bun-tihu yang terkenal adil dan jujur di
kota Lam-hwat!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 337
Benar-benar tercengang Liok-taijin mendengar ini. Ia sudah mendengar dan tahu akan nama
Bun-tihu. “Mengapa, kau tidak menceritakan hal ini dahulu! Akan tetapi .... ah apa gunanya
kita mempercakapkan keadaan Gwat Kong? Dia sudah meninggal dunia, tak perlu dipikirkan
lagi. Kau harus dapat menginsafi keadaan dan melihat kenyataan. Kau harus siap pula
menghadapi pernikahan dengan Gan-ciangkun.”
“Ayah ......!”
“Tin Eng,” kata ibunya. “Ayah dan ibumu sudah tua, kau sudah cukup dewasa. Bahkan sudah
lebih dari cukup usiamu untuk menikah. Aku dan ayahmu ingin sekali melihat kau berumah
tangga dan hidup bahagia. Kau hanya sekali ini dapat berlaku bakti dan menyenangkan hati
orang tuamu, nak.” Suara nyonya Liok tergetar karena keharuan hatinya sehingga Tin Eng
ikut pula terharu. Ia memeluk ibunya dan menangis.
“Ibu, aku tidak ingin menikah biar dengan siapapun juga.”
“Tin Eng, benar-benarkah kau hendak menjadi seorang anak tunggal yang puthauw (tidak
berbakti), yang menghancurkan kebahagiaan ayah-ibumu sendiri?” kata Liok Ong Gun.
Mendengar ucapan ini, Tin Eng hanya bisa menangis, kemudian ia memaksakan diri berkata,
“Betapapun juga, ayah. Berilah waktu kepadaku, berilah waktu setahun lagi!”
“Setahun? Terlalu lama, anakku. Kau harus tahu bahwa yang menjadi perantara adalah
susiok-couw! Pernikahan dilangsungkan setelah selesai diadakan pibu antara Go-bi-pai dan
Hoa-san-pai!”
Tin Eng terkejut. Hampir ia lupa akan hal itu. Telah menjadi cita-citanya dan cita-cita Gwat
Kong untuk berusaha mendamaikan antara dua cabang persilatan ini. Kini cita-cita ini harus ia
lanjutkan, biarpun kepandaiannya tidak mencukupi. Ia dapat bekerja sama dengan Kui Hwa
yang tentu akan datang di tempat itu juga.
“Ayah, bilakah diadakan pibu itu?”
“Apakah kau sudah lupa? Pada permulaan musim Chun, jadi kira-kira sepekan lagi.”
“Apakah ayah juga ikut ke sana?”
“Tentu saja, kita harus kalahkan orang-orang yang sombong.”
“Ayah, aku ikut!”
“Eh??” Liok Ong Gun ragu-ragu karena ia telah melihat betapa puterinya ini bersahabat
dengan orang-orang Hoa-san-pai. “Untuk apa kau ikut?”
“Ayah, aku ingin menonton adanya pibu itu. Ayah harus perbolehkan aku ikut kali ini. Kalau
tidak, aku akan rewel lagi dan takkan menurut kehendakmu.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 338
Terpaksa pembesar itu meluluskan permintaan Tin Eng. Diam-diam pihak Go-bi-pai telah
bersekutu dengan banyak orang. Tidak saja mendapat bantuan dari Kim-san-pai, yakni Gan
Bu Gi dan suhunya, juga suhengnya akan tetapi pihak Go-bi-pai dengan perantaraan dan
pengaruh Liok-taijin telah dapat bantuan dari perwira-perwira kota raja termasuk Liok-taijin
pun! Bahkan Liok-taijin telah menyanggupi permintaan susiok-couwnya untuk bertemu di
puncak Thay-san dan membawa sepasukan perwira Sayap Garuda.
Beberapa hari kemudian, berangkatlah pasukan Liok-taijin dan Tin Eng ikut dalam
rombongan yang berkuda itu. Mereka menuju ke utara dan melakukan perjalanan dengan
cepat.
Pihak Go-bi-pai dan pihak Hoa-san-pai tidak mengira bahwa tokoh-tokoh besar mereka, yakni
ketua Go-bi-pai sendiri, Thay Yang Losu dan ketua Hoa-san-pai, Pek Tho Sianjin akan datang
sendiri ke tempat itu bukan untuk mengadu kepandaian, melainkan untuk mendamaikan
murid-muridnya. Hanya Sin Seng Cu seorang yang mengetahui akan hal ini, karena ketika
Gwat Kong datang menghadap Pek Tho Sianjin, ia hadir pula di puncak Hoa-san-pai.
Demikianlah, setelah kedua rombongan yang bermusuhan itu berkumpul di puncak Thay-san
dan keadaan menjadi tegang oleh karena anak murid kedua pihak sudah merasa “panas”.
Tiba-tiba berkelebat tiga bayangan dan tahu-tahu tiga orang kakek telah berada di tengahtengah
mereka. Mereka bertiga ini bukan lain ialah Thay Yang Losu ketua Go-bi-pai, Pek Tho
Sianjin ketua Hoa-san-pai dan Bok Kwi Sianjin ahli Sin-hong-tung-hoat yang bertindak
sebagai pendamai.
Bab 36 ...
MELIHAT ketua mereka, tentu saja kedua pihak terkejut dan semua orang lalu berlutut.
“Murid Go-bi-pai semua yang hadir di sini!” terdengar Thay Yang Losu berkata dengan
suaranya yang sabar, akan tetapi berpengaruh. “Pinceng sudah maklum akan maksud kalian
mengadakan pertemuan dengan kawan-kawan dari Hoa-san-pai. Semua ini adalah gara-gara
murid Seng Le Hosiang yang biarpun sudah tua akan tetapi masih saja tidak dapat
mengendalikan nafsu hatinya! Dengan perbuatan ini, mengadakan permusuhan dan pibu
dengan golongan lain tanpa memberitahu kepada pinceng, kalian telah melakukan
pelanggaran besar. Mulai sekarang, segala permusuhan pihak manapun juga harus dibikin
habis! Segala peristiwa yang terjadi, yang timbul karena urusan pribadi antara anak murid Gobi-
pai dan anak murid Hoa-san-pai, harus diselesaikan dengan cara damai, atau kalau tidak
mungkin, akan diadili oleh ketua Go-bi-pai dan Hoa-san-pai sendiri. Siapa di antara kalian
yang berani melanggar, pinceng akan turun tangan melakukan hukuman dan pelanggarannya
takkan diaku sebagai anak murid Go-bi-pai lagi. Pinceng selesai bicara, supaya menjadi
perhatian!”
Kini Pek Tho Sianjin yang maju dan berkata dengan suaranya yang tinggi. “Juga kepada
semua anak murid kami dari Hoa-san-pai hendaknya diperhatikan baik-baik apa yang pinceng
akan ucapkan ini. Sesungguhnya kalian semua hanya terbawa-bawa oleh nafsu dan kekerasan
hati Sin Seng Cu, kakek yang sudah berobah menjadi anak kecil ini. Maka, sebagaimana yang
kalian dengar diucapkan oleh Thay Yang Losu, mulai saat ini segala permusuhan dihabiskan
dan dibubarkan. Pinto mengharap kepada kedua pihak, apabila melihat perbuatan-perbuatan
yang melanggar perikemanusiaan atau melanggar watak seorang gagah, baik pelanggar itu
anak murid Go-bi-pai, janganlah hendaknya turun tangan sendiri sehingga menimbulkan
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 339
permusuhan, akan tetapi laporkanlah kepada kami yang wajib menghukum anak murid yang
murtad dan menyeleweng! Untungnya ada Bok Kwi Sianjin yang memberitahukan kepada
pinto dan kepada Thay Yang Losu. Kalau tidak, bukankah hari ini akan terjadi banjir darah di
tempat suci ini?”
Semua anak murid Go-bi-pai dan Hoa-san-pai tentu saja tidak berani membantah atau
membuka mulut mendengar ucapan-ucapan ketua mereka. Bahkan yang mereka tadinya sudah
panas hati dan gatal tangan, kini bungkam dan menundukkan muka tak berani berkutik!
Hanya mereka yang hanya terbawa-bawa dan pada lubuk hatinya tidak menyetujui
permusuhan ini, menjadi lega dan girang.
Bok Kwi Sianjin lalu berkata sambil tertawa bergelak.
“Bagus, bagus! Memang Go-bi-pai dan Hoa-san-pai adalah dua cabang persilatan yang besar
dan anak-anak muridnya terkenal gagah perkasa dan menjunjung tinggi pribadi dan kebajikan.
Mereka ini masih dapat dimaafkan dengan adanya permusuhan ini karena masing-masing
tidak dapat menahan nafsu hati! Akan tetapi yang paling menyebalkan adalah orang-orang
yang ikut membonceng dalam pertikaian ini, pihak-pihak ketiga yang memancing ikan di air
keruh yang mempergunakan kerusuhan ini untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri.
Orang-orang macam itu, kalau ada di sini sungguh-sungguh patut disesalkan!”
Bong Bi Sianjin yang berada di situ menjadi marah sekali karena ia merasa disindir hebat.
Mukanya sudah menjadi merah dan ia telah bergerak hendak menyerang Bok Kwi Sianjin.
Akan tetapi Seng Le Hosiang selain maklum akan kelihaian Bok Kwi Sianjin juga Bong Bi
Sianjin adalah sahabat dan pembantunya. Maka kalau orang tua ini sampai bergerak turun
tangan menimbulkan kekacauan, tentu dia sendiri juga akan terbawa-bawa dan mendapat
hukuman dari supeknya, yakni Thay Yang Losu.
Demikianlah maka segala pertempuran dapat dicegah dan masing-masing lalu turun kembali
dari bukit itu untuk kembali ke tempat masing-masing. Pada kesempatan itu, Tin Eng yang
melihat Kui Hwa hadir pula di situ bersama Pui Kiat dan Pui Hok, lalu menghampiri gadis itu
dan mereka berpelukan dengan girang.
“Enci Kui Hwa, biarpun permusuhan ini telah dapat didamaikan dengan baik, akan tetapi
masih ada satu hal yang amat mengganggu hati dan pikiranku. Ketahuilah bahwa ayah
memaksaku untuk menikah dengan Gan Bu Gi!”
Kui Hwa menjadi pucat mendengar hal ini.
“Jangan takut adikku. Biar aku yang bicara dengan ayahmu!” Setelah berkata demikian,
dengan langkah lebar, Kui Hwa lalu menghampiri Liok-taijin. Tin Eng hanya melihat betapa
Kui Hwa bicara dengan muka merah kepada ayahnya dan melihat ayahnya nampak terkejut
sekali dan pucat.
Kui Hwa menghampiri Tin Eng dan memeluknya. “Adikku, jangan kau khawatir. Kalau
terjadi kau dipaksa menikah dengan Gan Bu Gi, aku yang akan datang menggagalkan
pernikahan itu. Akan kubongkar rahasia pemuda keparat itu. Akan tetapi mudah-mudahan
ayahmu dapat melihat kenyataan yang telah kuceritakan kepadanya.” Setelah itu, Kui Hwa
bersama kawan-kawannya, anak murid-murid Hoa-san-pai yang lain, lalu meninggalkan
tempat itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 340
Demikianlah rombongan Liok-taijin kembali ke Kiang-sui. Bong Bi Sianjin pergi bersama
Seng Le Hosiang dan Gan Bu Gi yang termasuk anggota rombongan Liok-taijin, melarikan
kudanya sejajar dengan Tin Eng. Tin Eng melihat betapa ayahnya melarikan kudanya dengan
cepat mendahului rombongannya. Agaknya amat tergesa-gesa untuk sampai di rumah. Wajah
orang tua ini nampak suram sehingga Tin Eng dapat menduga bahwa tentu ada apa-apa yang
dipikirkan oleh ayahnya, maka heranlah ia apa gerangan yang telah diucapkan oleh Kui Hwa
kepada ayahnya.
Ketika Tin Eng hendak mempercepat jalan kudanya menyusul ayahnya, tiba-tiba Gan Bu Gi
yang melarikan kuda di sisinya itu berkata,
“Tin Eng, nona ..... perlahan dulu, aku hendak bicara denganmu.”
Terpaksa gadis itu menahan kudanya.
“Ada apakah?” tanyanya kaku.
“Nona,” kata Gan Bu Gi sambil menghentikan kudanya sehingga Tin Eng terpaksa
menghentikan kudanya pula. “Permusuhan telah habis, keadaan sudah damai, sungguh
menyenangkan hatiku. Kita telah melakukan perjalanan bersama, maka kesempatan ini jangan
kita sia-siakan. Marilah kita mengambil jalan memutar untuk melihat-lihat pemandangan dan
bercakap-cakap.
“Apa maksudmu? Aku tidak ingin bersama kau? Aku hendak menyusul ayahku.”
“Nona Tin Eng, mengapa kau begitu kasar dan galak terhadap aku? Bukankah kita sudah
bertunangan dan sebentar lagi akan menikah?”
“Cih! Siapa sudi menikah dengan kau?”
“Ha, kau ternyata masih menyinta seorang yang sudah mampus!” Gan Bu Gi menyindir.
“Tutup mulutmu! Kau tidak berhak menyebut-nyebut nama Gwat Kong!”
Tin Eng memandang marah. “Memang, aku menyinta Gwat Kong! Tak perduli ia sudah mati
atau belum. Aku menyinta dia. Dia seribu kali lebih berharga dari pada kau!”
“Ha ha ha! Beberapa bulan lagi, kalau kau sudah menjadi isteriku, kau akan lupa sama sekali
kepada Gwat Kong! Ha ha!”
Akan tetapi Tin Eng tidak menjawab, hanya segera melarikan kudanya dengan cepat
menyusul ayahnya dan rombongan itu. Sambil tertawa-tawa Gan Bu Gi juga melarikan
kudanya menyusul rombongan.
****
Tin Eng dan Gan Bu Gi sama sekali tak pernah mimpi bahwa percakapan mereka tadi dilihat
dan didengarkan orang. Seorang pemuda dengan pakaian compang-camping dan wajah kusut
mengintai dari balik pohon besar. Orang ini bukan lain adalah Gwat Kong.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 341
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Gwat Kong setelah dapat “mendarat” dengan
selamat dari penerbangannya dengan burung rajawali, segera mencari isterinya, Cui Giok. Ia
terus menuju ke utara dan dalam usahanya mencari Cui Giok ini, tiba-tiba di dalam hutan itu
ia melihat rombongan Liok-taijin yang baru pulang dari Thay-san. Ia segera menyembunyikan
diri dan ketika ia melihat Tin Eng berada dalam rombongan itu, wajahnya menjadi pucat dan
dadanya berdebar-debar.
Alangkah kurusnya Tin Eng, pikirnya dengan hati tidak karuan rasa. Terharu, girang, sedih,
semua perasaan tercampur aduk di dalam hatinya, akan tetapi yang terbesar adalah perasaan
cinta kasih dan kasihan. Melihat dara pujaannya itu, timbul kembali cinta kasihnya yang
sudah terpendam. Melihat mata yang jeli itu, bibir yang masih merah biarpun mukanya
sedang marah dan kurus.
Ia mengaku bahwa sesungguhnya rasa cinta kasihnya terhadap Tin Eng tak pernah padam!
Cinta kasihnya dahulu terpendam karena ketika berada di dalam guha itu merasa putus
harapan untuk dapat bertemu kembali. Hal ini menggelisahkan hatinya. Akan tetapi ketika
melihat Tin Eng naik kuda disampingnya Gan Bu Gi, ia menghibur diri sendiri dengan dugaan
bahwa Tin Eng tentu telah menjadi nyonya Gan Bu Gi.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tanpa disengaja, kebetulan sekali, ia mendengar
percakapan antara Tin Eng dan Gan Bu Gi. Celaka, pikirnya, Tin Eng masih menyintainya,
mati atau hidup. Ia amat terharu, dan ingin sekali ia melompat keluar untuk menampar mulut
Gan Bu Gi yang berani mempermainkan gadis yang dicintainya itu. Akan tetapi ia teringat
kepada isterinya. Ia sudah menjadi suami lain orang dan Cui Giok demikian mulia, demikian
berbudi, setia dan merupakan seorang isteri setia.
Ketika Tin Eng dan Gan Bu Gi sudah lama pergi, Gwat Kong masih saja berdiri diam
bagaikan patung. Ia merasa menyesal dan malu kepada diri sendiri. Bagaimana ia masih dapat
mempunyai perasaan cinta kepada Tin Eng, sedangkan ia telah menjadi suami Cui Giok.
Bahkan hampir menjadi ayah? Ingin ia pukul kepalanya sendiri.
“Aku harus mendapatkan kembali Cui Giok!” bisiknya. “Aku harus bertemu dengan dia dan
melupakan Tin Eng, tidak boleh bertemu kembali dengan Tin Eng, biar dia menganggap aku
sudah tewas. Ah, hanya Cui Giok yang dapat menghibur dan menghilangkan pikiran gila di
dalam otakku ini!”
Maka larilah ia kembali mencari isterinya yang hilang.
Pada suatu hari ia tiba di kaki bukit Kam-hong-san, di mana terdapat sebuah dusun yang
ramai. Karena perutnya amat lapar, maka Gwat Kong lalu masuk ke dalam warung itu. Di situ
hanya terdapat dua orang tamu yang menghadapi mangkok mi dan arak. Pelayan yang melihat
seorang laki-laki berpakaian compang-camping dan kotor, memandang dengan curiga, lalu
menegur,
“Kau ada keperluan apakah?”
Gwat Kong yang sedang kesal hatinya, maka jawabnya marah,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 342
“Bukankah kau menjual nasi dan mi di sini? Tentu saja keperluanku masuk ke sini untuk beli
nasi dan makan! Kalau tidak untuk itu, tidak sudi aku memasuki warungmu!”
Mendengar jawaban ketus dari seorang yang disangkanya pengemis ini, pelayan itu menjadi
marah. “Kau mau makan? Apakah kau punya uang?”
Baru teringat oleh Gwat Kong bahwa ia tidak mempunyai uang sepeserpun. Akan tetapi ia
teringat akan batu-batu permata yang disimpan di dalam saku bajunya. Karena mendongkol
sekali, ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebutir batu permata.
“Lihat, apakah ini tidak cukup untuk membeli nasi berikut warung dan kepalamu sekalipun?
Hayo sediakan nasi dan jangan banyak cerewet!”
Pelayan itu adalah seorang kampung yang tidak tahu akan nilai batu permata, maka melihat
batu itu ia tersenyum menghina. “Untuk apakah batu sungai itu? Aku ingin melihat uang,
bukan batu!”
Marahlah Gwat Kong. Ia bangun berdiri dan hendak menampar mulut pelayan itu. Akan tetapi
tiba-tiba dua orang yang tadi duduk di situ lalu menghampiri dan berkata kepada pelayan itu,
“Jangan kurang ajar! Hayo, lekas keluarkan nasi dan arak untuk saudara ini!”
Pelayan itu memandang heran, lalu pergi melakukan perintah itu sambil bersungut-sungut.
Sementara itu, kedua orang itu lalu mengundang Gwat Kong untuk duduk di meja mereka.
Gwat Kong memperhatikan dua orang itu. Ternyata mereka adalah orang-orang yang
mengerti ilmu silat, karena dari gerak gerik mereka dan dari golok yang tergantung di
pinggang. Gwat Kong sendiri menyembunyikan pedangnya di balik bajunya. Dua orang itu
bertubuh tinggi besar, yang seorang bermuka pucat dan seorang bermuka merah.
“Saudara siapakah dan hendak pergi ke mana?” tanya si muka merah dengan senyum ramah.
“Aku seorang pengembara yang sudah lupa akan nama sendiri,” jawab Gwat Kong acuh tak
acuh dan ketika pelayan itu datang membawakan arak, dengan sekali tegak saja lenyaplah
arak secawan penuh ke dalam perut Gwat Kong. Sudah lama sekali ia tidak minum arak dan
kini setelah mulutnya merasa hangat dan harumnya arak, ia lalu menenggak sampai tiga
cawan arak sekali gus. Bahkan lalu minta tambah kepada pelayan yang memandang dengan
bengong!
Mendapat jawaban yang tidak perdulikan itu, kedua orang tadi tidak menjadi marah bahkan si
muka pucat lalu berkata,
“Saudara, batu permata yang kau keluarkan tadi sungguh indah. Bolehkah kami melihatnya
sebentar?”
Diam-diam Gwat Kong merasa geli hatinya. Ia menyangka bahwa kedua orang ini tentulah
bukan orang baik-baik dan mungkin hendak merampas batunya. Akan tetapi ia tidak takut,
bahkan hendak mencoba mereka, kalau mereka berani betul-betul hendak merampas batunya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 343
Ia akan memberi hajaran kepada mereka. Ia lalu keluarkan sebutir batu permata dan
memberikan itu kepada mereka dengan sikap yang masih tidak mengacuhkan sama sekali.
“Luar biasa!” kata si muka merah sambil melirik dan bertukar pandang dengan si muka pucat.
“Sama benar dengan batu milik kami!”
Si muka merah lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan sebutir batu yang serupa benar
bentuk dan warnanya dengan batu yang dikeluarkan Gwat Kong.
Ketika itu Gwat Kong sedang menenggak araknya. Melihat batu yang dikeluarkan oleh si
muka merah itu, tiba-tiba ia membanting cawan itu dan araknya ke atas lantai dan bangun
berdiri memandang kedua orang itu dengan mata terbelalak dan terengah-engah. Hanya ada
dua orang di atas dunia ini yang mempunyai permata seperti itu. Dua orang itu adalah
isterinya dan dia sendiri. Bagaimana orang ini bisa mendapatkan batu permata itu?
“Hayo, kau bilang dari siapa kau mendapatkan batu permata ini!” Sambil berkata demikian,
sekali ia mengulur tangan menyambar, kedua batu permata itu telah berada di tangannya!
“Eh, eh ... kau gila!” kata si muka pucat ketika melihat batu permata itu terampas oleh Gwat
Kong. Sambil berkata demikian, ia memukul dengan tangan kanan ke arah dada Gwat Kong
dan tangan kirinya menyambar ke arah batu-batu permata yang dipegang Gwat Kong. Akan
tetapi, sebelum serangannya ini mengenai sasaran, tubuhnya telah terlempar sampai setombak
lebih dan menimpa meja ketika Gwat Kong dengan sembarangan saja mengebutkan
tangannya.
Si muka merah menjadi marah sekali. Ia mencabut goloknya dan membentak,
“Bangsat rendah, tak tahunya kau adalah seorang perampok!” Lalu ia maju menusuk dengan
goloknya.
Akan tetapi Gwat Kong sudah tak sabar lagi. Sekali saja ia melayangkan tangannya, senjata
golok itu telah terampas dan kemudian ditekuk sehingga patah menjadi dua. Bukan main
terkejutnya si muka merah itu yang memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi, tahutahu
belakang lehernya sudah terjepit oleh jari-jari tangan Gwat Kong sehingga ia merasa
seakan-akan lehernya itu terjepit oleh jepitan baja yang kuat sekali dan yang membuatnya
sukar untuk bernapas. Kawannya yang roboh tadi masih juga pingsan dengan muka makin
pucat.
Mendengar ribut-ribut itu, pelayan tadi datang diikuti orang-orang yang ingin melihat apa
yang telah terjadi. Ketika melihat si muka pucat menggeletak dan si muka merah dijepit
lehernya, pelayan yang tidak mengenal gelagat itu memburu dengan tangan terkepal dan
memaki,
“Sudah kuduga, kau bukan orang baik-baik ......!” Akan tetapi kata-katanya ini tiba-tiba
terhenti dan tubuhnya melayang ke arah dinding membentur dinding dan ia jatuh ketanah
bagaikan lapuk!
Gwat Kong melihat banyak orang datang, lalu mengempit tubuh si muka merah dan sekali ia
berkelebat, ia telah berada jauh sekali dari tempat itu, lenyap dari pandangan mata orangKang-
lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 344
orang yang berdiri bagaikan patung menyaksikan kehebatan orang muda yang pakaiannya
compang camping ini!”
Jauh dari dusun itu, di dalam sebuah hutan di kaki bukit Kam-hong-san, si muka merah itu
berlutut di depan Gwat Kong minta-minta agar supaya diampuni jangan dibunuh!
“Hayo lekas katakan, dari mana kau mendapatkan batu permata ini?”
“Ampun, hohan (orang gagah)! Siauwte mendapatkannya dari dalam kepala seorang kawan
yang mati.”
“Apa katamu? Jangan membohong, aku akan hancurkan kepalamu!”
“Benar, hohan.”
“Ceritakan yang jelas!”
“Tiga hari yang lalu, siauwte bersama dua orang kawan, seorang yang berada di warung tadi
dan yang seorang pula sudah mati, pergi ke puncak Kam-hong-san. Dipuncak terdapat sebuah
kuil kuno yang sudah rusak. Kami masuk dan ...... di situ kami melihat seorang wanita muda
yang nampaknya sedang sakit, akan tetapi ia cantik sekali. Kawan kami yang sekarang telah
mati itu hendak mengganggunya karena tertarik oleh kecantikannya. Akan tetapi wanita yang
kelihatan lemah tak berdaya itu lalu menyambitkan sebuah benda yang mengenai kepala
kawan kami itu. Kawan kami roboh dan binasa disaat itu juga. Aku dan kawanku yang tadi
lalu mengangkat mayatnya dan lari dari situ. Aku tertarik melihat cahaya yang bersinar dari
luka di kepalanya dan ketika kuambil benda itu ......”
Tiba-tiba Gwat Kong mencekik lehernya.
“Cepat ceritakan di mana adanya wanita itu!” teriaknya bagaikan orang kalap.
“Di ..... kuil itu ..... di atas bukit ini ......”
Gwat Kong segera menotok pundak si muka merah yang roboh dengan tubuh lumpuh. “Kau
takkan dapat bergerak selama dua puluh empat jam. Kalau kau ternyata membohong, aku
akan datang lagi untuk mengambil nyawamu!” Setelah berkata demikian bagaikan terbang
cepatnya, Gwat Kong lalu mendaki bukit Kam-hong-san.
Benar saja, di puncak bukit yang sunyi itu ia melihat sebuah kuil bobrok.
“Cui Giok ....! Ia memanggil lalu berlari cepat menghampiri kuil.
“Gwat Kong ......!” Terdengar jawaban lemah. Bukan main girangnya hati Gwat Kong. Hanya
seorang saja di dunia ini yang dapat memanggil namanya dengan nada semanis dan semerdu
itu, Cui Gioklah orangnya. Dengan airmata bercucuran, Gwat Kong mempercepat larinya,
memasuki kuil dan ...... ia melihat isterinya berbaring di atas lantai dengan wajah pucat!
“Cui Giok, isteriku .....!” Ia menubruk dan memeluk isterinya yang membalas dengan pelukan
mesra dan tangis terisak-isak.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 345
“Gwat Kong ...... suamiku yang baik ...... akhirnya kau datang juga ....... akhirnya kita bertemu
juga .....!”
Gwat Kong tak dapat menjawab, hanya merangkul kepala isterinya dan didekap pada dadanya
dengan erat. Sampai lama mereka merangkul itu dengan hati yang hanya Thian saja yang tahu
betapa bahagianya. Sudah tiga bulan mereka berpisah semenjak diterbangkan oleh burung
rajawali itu.
Memang Cui Giok dibawa terbang jauh sekali oleh burung rajawali yang membawanya dan
akhirnya burung itu tak kuat lagi dan jatuh mati di bukit itu. Cui Giok yang ikut jatuh
menderita pada kakinya. Dengan amat lemah dan susah payah, nyonya muda yang sedang
mengandung ini dapat menuju ke kuil itu dan tinggal di situ sampai tiga bulan lamanya. Ia
memaksa diri untuk bergerak mencari makan pada saat ia sudah tak dapat menahan laparnya
lagi. Akan tetapi akhirnya ia tidak tahan dan jatuh sakit di lantai kuil!
Ketika ketiga orang penjahat itu datang mengganggu ia tidak kuasa mempertahankan diri,
maka terpaksa ia menyerang mereka dengan batu permata yang dibawanya dari guha neraka
itu.
Dengan amat gelisah, Gwat Kong merawat isterinya. Biarpun tidak banyak, Gwat Kong
pernah mempelajari ilmu pengobatan dari Bok Kwi Sianjin, maka lambat laun sembuhlah
penyakit isterinya, sungguhpun tubuhnya masih amat lemah. Gwat Kong mengajak isterinya
berpindah tempat ke sebuah kampung kecil di lereng bukit Kam-hong-san. Berbulan-bulan
mereka tinggal di situ dan datanglah saatnya Cui Giok melahirkan seorang anak perempuan
yang mungil dan sehat.
Akan tetapi kesehatan Cui Giok yang memang sudah amat terganggu itu, makin menjadi
buruk setelah ia melahirkan anaknya. Mukanya selalu pucat dan tubuhnya lemah.
Sungguhpun ia selalu tersenyum dan matanya bersinar-sinar gembira melihat anaknya.
“Gwat Kong ....!” katanya pada suatu malam, beberapa hari setelah ia melahirkan. “Kasihan
kau, suamiku ....”
“Eh, aneh sekali kau ini, Cui Giok,” jawab Gwat sambil mengelus-elus rambut isterinya yang
kusut. “Mengapa kau berkasihan kepadaku? Kaulah yang harus dikasihani.”
Cui Giok tersenyum pahit. “Kau, memang seorang suami yang baik! Kau telah mengorbankan
cita-cita dan kebahagiaanmu untukku. Ah, Gwat Kong sungguh aku orang yang paling
berbahagia di muka buni ini!”
“Aku ........ apa maksudmu, isteriku?”
“Gwat Kong, aku tahu kau masih menyinta Tin Eng, bukan?”
Bukan main terkejutnya hati Gwat Kong mendengar ini dan melompat berdiri. “Cui Giok.....!
Apa maksudmu berkata demikian?”
Cui Giok tersenyum dan memegang tangan suaminya. “Tidak apa-apa, jangan kaget. Aku
tahu bahwa kau telah menyinta dia sebelum bertemu dengan aku. Malahan tadi kau mengigau
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 346
dalam tidurmu, menyebut-nyebut namanya, seperti juga yang seringkali kau lakukan ketika
kita berada di guha neraka itu.”
“Cui Giok .......!” Akan tetapi ia melihat isterinya tersenyum tenang.
“Aku tidak cemburu, suamiku. Juga tidak iri hati. Dengarlah, aku minta kau suka bawa Tin
Eng ke sini, aku ..... aku perlu bicara kepadanya, perlu meninggalkan pesanan ......”
“Meninggalkan pesanan ....? Apa maksudmu?” Wajah Gwat Kong menjadi pucat.
“Suamiku, aku tak perlu menyembunyikan lebih lama lagi. Aku mendapat luka di dada yang
amat parah. Ketika aku jatuh dengan burung itu ... ah, kasihan kau, suamiku .... jangan kaget
....., aku .... aku sering muntah darah .....”
“Cui Giok ...........!” Gwat Kong memeluk sambil mengalirkan air mata dari kedua matanya.
“Tenanglah, suamiku. Hadapilah kehendak Thian dengan gagah. Sekarang setelah kau
mengetahui keadaanku, lekaslah kau pergi ke Kiang-sui bawa Tin Eng ke sini. Kecuali ......
kecuali kalau ia sudah menikah dengan lain orang .......“
“Ia belum menikah .......” jawab Gwat Kong tak sadar. “Akan tetapi ..... aku tidak mau
meninggalkan kau dalam keadaan begini!”
“Suamiku, juga kau tidak mau kalau kutekankan bahwa ini merupakan permintaanku .....?
Permintaan terakhir?”
“Cui Giok .........!“ Mereka saling rangkul dan terdengarlah isak dari tenggorokan Gwat Kong.
****
Setelah tiba di rumah, Liok-taijin memanggil Tin Eng. Setelah anaknya datang menghadap, ia
lalu berkata, “Tin Eng, betul seperti dugaanmu dulu. Gan Bu Gi bukanlah manusia baik-baik.
Ia seorang penjahat besar. Nona Tan Kui Hwa telah menceritakan kepadaku betapa jahatnya
dia. Pertunanganan dengan dia kuputuskan hari ini juga!”
“Ayah!” Tin Eng memeluk ayahnya. “Terima kasih, ayah .....”
Dengan perantaraan pembantunya dan penasehatnya, yakni Lauw Liu Tek, Liok-taijin
memberitahukan hal ini kepada Gan Bu Gi, bahkan ia mengusir dan memberhentikan
pekerjaan pemuda itu.
Bukan main marahnya Gan Bu Gi, akan tetapi karena alasan yang dipergunakan oleh Lioktaijin
adalah bahwa hal ini ada hubungannya dengan nona Tan Kui Hwa, pemuda ini tak dapat
berkata sesuatu. Bahkan ia merasa malu untuk menghadap kepada calon mertuanya itu. Ia
pergi tanpa meninggalkan sepatah pun kata.
Akan tetapi, lima hari kemudian pada siang hari datanglah Seng Le Hosiang. Kedatangan
hwesio ini amat aneh, karena ia tidak terus masuk ke gedung itu, melainkan datang dari atas
genteng! Dari atas genteng, ia memaki-maki Liok Ong Gun.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 347
“Liok Ong Gun, manusia tak berbudi! Kau membikin malu susiok-couwmu! Lekas
menghadap kesini untuk menerima hukumanmu sebagai murid Go-bi-pai yang
menyeleweng!”
Bukan main takut dan terkejutnya Liok Ong Gun. Bersama beberapa orang pembantunya dan
perwira sayap garuda, ia naik ke atas genteng, juga Tin Eng ikut melompat naik.
“Kau menyalahi janji, bahkan membatalkan pertunanganan anakmu dengan Gan-ciangkun.
Kau mengusirnya dan memberhentikan jabatannya. Apa maksudmu? Apakah sengaja hendak
membikin pinceng mendapat malu besar?”
Liok Ong Gun terkejut sekali ketika melihat susiok-couwnya itu memegang tongkat
kekuasaan sebagai tokoh Go-bi-pai yang berhak menghukum murid-murid yang murtad.
Cepat ia berlutut dan memberi penjelasan. Menceritakan bahwa Gan Bu Gi telah berlaku keji
terhadap Tan Kui Hwa, murid Hoa-san-pai itu.
“Ah, kau lebih percaya omongan seorang murid Hoa-san-pai dari pada pinceng? Bagus!
Pendeknya, pernikahan itu harus dilanjutkan, ... harus dilangsungkan! Kalau tidak, terpaksa
pinceng akan menghukummu dengan pukulan tongkat ini, demikian juga seluruh
keluargamu!”
Seorang perwira sayap garuda yang belum lama bekerja pada Liok-taijin, amat tidak senang
dengan sikap hwesio ini, maka ia melangkah maju dan berkata, “Losuhu sebagai seorang suci,
losuhu tidak seharusnya bersikap seperti ini!”
Seng Le Hosiang memandang dengan marah. Sekali ia ulurkan tangannya dan mendorong,
tubuh perwira itu terlempar tinggi dan jatuh ke atas genteng. “Pergilah kau, anjing!” maki
Seng Le Hosiang dengan marah, lalu katanya kepada Liok Ong Gun,
“Dengarlah, Liok Ong Gun! Biarpun kau seorang pembesar, namun kau tetap murid Go-bi-pai
dan pinceng berhak menghukummu!” Setelah berkata demikian, hwesio itu berkelebat dan
lenyap dari situ!
Bukan main bingungnya hati Liok Ong Gun menghadapi peristiwa ini. Untuk membantah ia
tidak berani dan untuk menerima Gan Bu Gi sebagai mantu iapun tidak suka.
“Ayah, kita tidak berdaya menghadapi Seng Le Hosiang yang kejam itu. Baik, ayah terima
saja permintaannya dan pernikahan dilangsungkan pada hari itu.”
“Apa? Kau rela melakukan pengorbanan ini?”
Tin Eng tersenyum. “Tentu saja tidak, ayah. Akan tetapi aku mempunyai akal. Dahulu, enci
Kui Hwa sudah berjanji bahwa apabila aku terpaksa kawin dengan pemuda itu, enci Kui Hwa
akan datang dan membuka rahasia Gan Bu Gi di depan umum! Dengan demikian, maka
pernikahan tentu akan bubar dan tidak jadi. Hari kelimabelas masih dua pekan lagi, maka
sekarang aku hendak menulis surat kepada enci Kui Hwa.”
Maka kedua ayah dan anak itu lalu mengadakan perundingan dan sehelai surat lalu ditulis.
Seorang pesuruh yang tangkas diutus mengantarkan surat itu kepada Tan Kui Hwa di Kanglam.
Pesuruh itu kembali membawa jawaban Tan Kui Hwa yang menyanggupi permintaan
tolong Tin Eng, maka keluarga Liok menarik napas lega.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 348
Pesta kawin dilakukan dengan amat meriah dan tamu-tamu dari seluruh penjuruh memerlukan
datang, juga banyak orang-orang dari kalangan kang-ouw datang menghadiri pesta itu.
Penduduk Kiang-sui tentu saja tidak membuang kesempatan ini dan datang menyaksikan dari
luar pekarangan gedung.
Ketika pengantin laki yang nampak gagah dan tampan sudah tiba dan baru saja sepasang
pengantin hendak melakukan upacara sembahyang, tiba-tiba Kui Hwa yang semenjak tadi
sudah berada di situ berdiri dan berseru keras.
“Cuwi sekalian, dengarlah keteranganku. Perkawinan ini tak dapat dilanjutkan! Pengantin
laki-laki sebenarnya telah mempunyai isteri!”
Tentu saja semua orang menjadi gempar mendengar suara ini dan semua mata ditujukan
kepada Kui Hwa yang berdiri dengan gagahnya.
“Kau mau tahu siapa isteri pengantin laki-laki. Akulah orangnya! Aku telah menjadi isterinya
karena kekejian, bukan karena upacara perkawinan yang syah. Ketika cabang persilatan Hoasan-
pai masih dimusuhi oleh Kim-san-pai, aku pernah tertawan oleh pemuda busuk ini. Dan
dalam keadaan tak berdaya, ditambah bujukan-bujukan yang menyatakan hendak
mengawiniku, pemuda berhati binatang ini telah melakukan kekejian terhadapku. Akan tetapi
semua itu hanya merupakan tipuan belaka, dan setelah ia melakukan perbuatan terkutuk, ia
tidak mengawiniku, bahkan menghina dan meninggalkanku! Adik Tin Eng kawin padanya
karena paksaan. Karena pemuda busuk itu dapat membujuk Seng Le Hosiang, sehingga tokoh
Go-bi-pai yang tua tapi bodoh itu memaksa Liok-taijin sebagai murid Go-bi-pai untuk
mengawinkan puterinya kepada pemuda she Gan yang jahanam ini!”
Mendengar ini, Seng Le Hosiang melompat maju dan hendak menyerang Kui Hwa dengan
bentakan, “Perempuan busuk pergi kau dari sini!”
Akan tetapi pada saat itu, bayangan yang amat cepat berkelebat keluar dari kelompok
penonton dan bayangan ini menangkis pukulan Seng Le Hosiang yang ditujukan kepada Kui
Hwa. Orang ini adalah Gwat Kong yang mempergunakan kesempatan itu untuk menolong
Kui Hwa.
“Gwat Kong .....!” Seruan ini terdengar dari beberapa buah mulut, dan yang paling keras
terdengar dari Tin Eng yang memandang dengan mata terbelalak heran, seakan-akan tidak
percaya kepada sepasang matanya sendiri.
Akan tetapi Seng Le Hosiang yang marah sekali telah menyerang kembali. Kini bahkan
mempergunakan tongkatnya yang selalu dibawa, namun Gwat Kong berlaku waspada dan
telah mencabut pedang Sin-eng-kiam dan sulingnya. Keadaan menjadi kacau balau dan saat
itu digunakan oleh Kui Hwa untuk menyerang Gan Bu Gi.
Gadis ini selama berbulan-bulan telah melatih diri dan siap untuk melakukan pembalasan.
Kepandaiannya telah banyak maju. Pertempuran hebat terjadi. Di antara para penonton yang
menjadi panik, tak seorangpun maju membantu, hanya menonton sambil mundur dari tempat
agak jauh.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 349
Hampir berbareng dengan robohnya tubuh Kui Hwa dan Gan Bu Gi, tubuh Seng Le Hosiang
terhuyung-huyung dengan muka pucat, karena dadanya telah kena totokan sulit Gwat Kong
yang mendatangkan luka parah di bagian dalam. Kui Hwa tertusuk dadanya oleh pedang Gan
Bu Gi, akan tetapi sebaliknya, Gan Bu Gi lehernya hampir putus terbabat oleh pedang Kui
Hwa.
Dalam keadaan yang makin panik dan ribut itu, Gwat Kong cepat melompat ke arah Tin Eng
dan berkata, “Tin Eng, hayo kau ikut denganku!” Tangannya menangkap lengan Tin Eng dan
sekali melompat ia telah berada di luar gedung. Bukan main ributnya keadaan pesta itu dan
beberapa orang perwira yang mengejar Gwat Kong terpaksa kembali dengan tangan kosong,
oleh karena kepandaian mereka masih jauh untuk dapat menyusul Gwat Kong!
****
Ketika Gwat Kong dan Tin Eng tiba di rumah Gwat Kong di lereng gunung Kam-hong-san
itu, keadaan Cui Giok makin payah. Tin Eng sudah mendengar penuturan Gwat Kong dalam
perjalanan menuju ke tempat itu dan dengan suka hati Tin Eng memenuhi undangan Cui Giok
itu. Ia amat terharu melihat keadaan nyonya muda itu dan menubruknya sambil menangis.
“Ah, girang sekali hatiku kau datang, adikku yang manis!” kata Cui Giok yang bangkit dari
tidurnya. Anaknya yang masih kecil dipondong oleh pengasuh dari kampung itu.
“Enci Cui Giok, aku telah mendengar semua pengalamanmu bersama Gwat Kong di guha
neraka itu. Kau ..... sungguh patut dikasihani enci .....”
Cui Giok tersenyum, “Kau baik sekali, Tin Eng. Dengarlah, kau juga suamiku. Aku tahu
bahwa kalian masih saling cinta dan aku akan rela melihat kalian terangkap menjadi suami
isteri .....”
“Enci Cui Giok ........!” Tin Eng berseru dengan muka merah, akan tetapi air matanya
mengucur.
“Tentu kau sudah mendengar dari Gwat Kong bahwa keadaanku amat payah. Kematian akan
datang menjemputku tak lama lagi. Tin Eng dan kau juga Gwat Kong, aku hanya akan
menitip Lan-lan kepada kalian. Jagalah baik-baik anak itu. Juga batu-batu permata yang kami
ambil dari guha itu boleh kau berikan kepada kedua orang she Pang atau tidak! Itu bukan
urusanku, dan ....” Sampai di sini ia terisak menangis. “Dan .... sampaikan hormat dan
permintaan ampunku kepada ibu ..... ibuku yang tercinta ..... yang telah lama kutinggalkan!”
“Enci Cui Giok .....!” Tin Eng merangkul dan mencium kening dengan hati amat berat dan
terharu. “Jangan berkata demikian, enci. Kau seorang wanita yang berhati mulia, karenanya
kau akan panjang usia. Kau akan sembuh kembali dan percayalah, aku rela melihat Gwat
Kong menjadi suamimu. Kau ..... kau seribu kali lebih baik dari pada aku .....”
Sementara itu, Gwat Kong hanya dapat duduk dengan kepala tunduk. Hatinya terasa hancur
dan saking terharunya, ia tidak dapat berkata sesuatu.
Pada saat itu, dari luar terdengar teriakan orang, “Hai, Kang-lam Ciu-hiap! Keluarlah kau!
Sekarang tiba saatnya untuk menetapkan siapa yang lebih lihai antara Barat, Timur, Selatan
dan Utara!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 350
Gwat Kong terkejut. Itulah suara Ang Sun Tek, ahli Pat-kwa To-hoat yang dulu dicari-cari
oleh Cui Giok. Cepat ia melompat keluar dan benar saja, di situ telah berdiri delapan orang
yang dikepalai oleh Ang Sun Tek.
“Bun Gwat Kong!” kata Ang Sun Tek sambil tersenyum mengejek. “Kau telah berjanji untuk
mengadu kepandaian, akan tetapi kami tunggu-tunggu tak juga kau datang. Ketika kami
mendengar tentang kematianmu, kami penasaran sekali. Akan tetapi, tiba-tiba kau muncul
lagi dan membawa lari puteri Liok-taijin. Kami sengaja tidak menghalangimu dan diam-diam
mengikuti jejakmu sampai di tempat ini. Nah, sekarang cobalah kau melepaskan diri dari Patkwa-
tin! Apakah ahli Im-yang Kiam-hoat itu masih ada? Suruh dia keluar sekalian!”
“Dia sudah menjadi isteriku dan kini sedang menderita sakit. Jangan kau mengganggu kami,
Ang Sun Tek!”
Akan tetapi pada saat itu, terdengar seruan gembira, “Ah, telah lama aku menanti datangnya
saat ini.”
Dan tahu-tahu Cui Giok telah berdiri di belakang suaminya dengan sepasang pedangnya di
kedua tangannya.
“Liok-te Pat-mo, lekas kalian perlihatkan Pat-kwa-tin itu kepada kami!”
“Cui Giok, kau .......” kata Gwat Kong.
“Biarlah, suamiku. Saat ini merupakan kegembiraan terakhir bagiku!” Cui Giok yang gagah
perkasa itu memotong kata-kata suaminya.
Sementara itu, Ang Sun Tek dan kawan-kawannya sudah mencabut golok masing-masing,
lalu mereka mengurung Gwat Kong dan Cui Giok, merupakan bentuk segi delapan dengan
kedudukan yang kuat sekali.
“Bersiaplah, kami menyerang!” tiba-tiba Ang Sun Tek berseru. Gwat Kong cepat mencabut
keluar Sin-eng-kiam dan sulingnya, sedangkan Cui Giok mainkan sepasang pedangnya
dengan cepat. Sungguh amat mengherankan dan mengagumkan nyonya muda itu. Dalam
keadaan lemah dan sakit tiba-tiba seperti mendapat tenaga dan semangat baru. Gerakannya
bahkan lebih cepat dari biasanya.
Kedua suami isteri ini ketika berada di guha neraka telah melatih diri dengan rajinnya
sehingga kepandaian mereka sudah meningkat banyak. Tadinya Gwat Kong amat cemas
memikirkan isterinya. Akan tetapi ketika melihat betapa gagah Cui Giok menggerakkan
sepasang pedangnya, timbul kegembiraannya. Dan iapun lalu mainkan Sin-eng Kiam-hoat
dan Sin-hong-tung-hoat dengan pedang dan sulingnya.
Pertempuran berjalan dengan amat seru dan hebatnya sehingga sepuluh orang itu seakan-akan
lenyap dalam gulungan banyak sinar senjata yang indah sekali, kelihatannya. Betapapun lihai
Pat-kwa-tin itu, namun akhirnya Ang Sun Tek dan kawan-kawannya harus mengakui
keunggulan ilmu pedang Im-yang Siang-kiam-hoat dan ilmu tongkat Sin-hong Tung-hoat itu.
Setelah bertempur kira-kira lima puluh jurus, tiga orang anggota Pat-kwa-tin roboh. Seorang
tertotok oleh suling Gwat Kong. Orang kedua terbacok lengan kanannya oleh pedang Gwat
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 351
Kong pula dan orang ketiga roboh karena kena disambar pahanya oleh pedang di tangan Cui
Giok.”
Ang Sun Tek marah dan penasaran sekali melihat tiga orang kawannya dirobohkan. Sambil
berseru nyaring, ia lalu mendesak Cui Giok karena ia tahu bahwa nyonya muda ini sedang
menderita sakit. Goloknya menyambar ke arah leher Cui Giok dan ketika Cui Giok
menangkis dengan pedang kirinya, kakinya menendang dengan hebatnya ke arah perut
nyonya muda itu.
Hal ini mengejutkan Cui Giok, maka tangkisan pedang kirinya menjadi lemah ketika ia
menggerakkan pedang di tangan kanannya untuk membacok kaki yang menyambar perutnya
itu. Dua hal terjadi dengan hampir berbareng yang mengakibatkan Ang Sun Tek menjerit dan
roboh dengan paha terbacok putus dan Cui Giok terhuyung-huyung dengan pundak kiri
berlumuran darah karena bacokan golok, karena tangkisannya kurang kuat.
Tin Eng yang menonton di depan pintu karena ketika hendak membantu dilarang oleh Gwat
Kong dan Cui Giok, segera berlari maju dan memeluk nyonya muda itu. Sedangkan Gwat
Kong dengan suara mengguntur membentak empat orang anggauta Pat-kwa-tin,
“Tahan! Setelah Ang Sun Tek roboh, apakah kalian masih mau mencari mampus? Sudahlah,
isteriku terluka dan empat orang kawanmu juga terluka. Ang Sun Tek mendapat luka parah
karena salahnya sendiri. Pergilah kalian dari sini dan jangan mengganggu kami lagi!” Empat
orang itu maklum bahwa mereka takkan dapat mengalahkan orang muda yang lihai itu, maka
lalu menggotong tubuh kawan-kawannya dan pergi dari tempat itu.
Cui Giok dibaringkan di dekat pembaringan anaknya, dijaga oleh Tin Eng dan Gwat Kong.
Keadaannya makin payah.
“Cui Giok, mengapa kau memaksa diri keluar membantuku ....?” Gwat Kong menyatakan
penyesalannya.
Cui Giok tersenyum, “Apakah artinya luka sedikit di pundak ini? Lukaku di dalam dada sudah
tak dapat diobati lagi, dan ..... aku girang dapat membuktikan bahwa Im-yang Kiam-hoat tak
kalah hebatnya oleh Pat-kwa To-hoat!”
Dengan penuh perhatian, Tin Eng merawat Cui Giok. Akan tetapi nyonya muda ini ketika
jatuh dengan burung rajawali yang membawanya dulu, telah menderita luka di dalam tubuh
yang hebat. Darah tubuhnya telah terganggu oleh luka ini dan hanya berkat latihan bertahuntahun
maka ia masih tahan hidup selama ini.
Tiga hari kemudian, pada suatu pagi yang cerah, ia nampak gembira sekali dan menyuruh Tin
Eng membawa Lan-lan, anak kecil itu untuk diletakkan di sebelahnya. Ia menciumi anak itu
dengan penuh kasih sayang, lalu berkata kepada Tin Eng,
“Tin Eng, jadilah seorang isteri yang setia untuk Gwat Kong dan ibu yang bijaksana untuk
Lan-lan ......”
Tin Eng hanya dapat menahan runtuhnya air mata dan menganggukkan kepalanya. Gwat
Kong tidak kuat melihat keadaan ini dan keluar dari kamar, duduk di ruang depan sambil
melamun.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 352
Tiba-tiba terdengar jerit Tin Eng dan ketika Gwat Kong memburu masuk, ternyata Cui Giok
sudah menarik napas terakhir sambil memeluk anaknya. Jerit tangis terdengar memenuhi
rumah kecil di lereng itu dan tetangga-tetangga datang melayat.
Setelah jenazah Cui Giok dirawat dan dikubur, maka Gwat Kong dan Tin Eng yang
menggendong anak kecil itu, pergi dari Kam-hong-san, menuju hidup baru yang penuh
dengan kebahagiaan namun penuh pula dengan kenangan mengharukan.
Beberapa bulan kemudian, Pang Gun dan Pang Sin Lan di kotaraja didatangi Tin Eng yang
membawa batu-batu permata itu. Akan tetapi kedua putera pangeran itu menolak dan
memberikan benda-benda itu kepada Tin Eng, karena mereka telah kawin dengan orang-orang
hartawan di kota raja dan tidak membutuhkan benda-benda berharga itu. Maka pergilah Tin
Eng kembali ke tempat suami dan anak tirinya dan hiduplah ia penuh kebahagiaan sampai di
hari tua.
TAMAT

Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments