Minggu, 27 Mei 2018

Cerita Silat Lepas : Pedang Pusaka Naga Putih 1

=====
baca juga


Pedang Pusaka Naga Putih
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 01
Pada suatu pagi, ketika fajar tengah menyingsing dan dari sana sini terdengar ayam hutan berkokok nyaring, di halaman depan sebuah pondok bambu di puncak bukit Kam-hong-san, tampak sesosok bayangan putih berkelebat kesana kemari di antara bayang-bayang pohon yang gelap. Ia adalah seorang pemuda baju putih yang sedang berlatih silat. Gerakan tubuhnya demikian cepat hingga seolah-olah ia bertangan enam berkepala tiga ketika ia bersilat ilmu pukulan Ouw-Wan-Cianghoat (Silat Monyet Hitam). Sambaran kepalan tangannya sampai menggetarkan daun-daun pohon jauh di depan sehingga mutiara-mutiara air di ujung daun-daun itu jatuh berhamburan bagaikan hujan gerimis.
Kakinya demikian ringan meloncat kesana kemari seakan-akan ia tak menginjak tanah! Tiba-tiba di atas pohon terdengar suara sayap bergerak. Anak muda itu menengok sedikit ke atas, kemudian sekali mengayun kakinya, tubuhnya melayang ke atas menuju ke sebuah dahan di mana seekor ayam hutan sedang
2
bertengger. Ayam itu terkejut sekali dan ketika tangan anak muda itu hendak menangkapnya, dengan gesit ayam itu terbang ke bawah. Anak muda itu tak kehabisan akal, ia tadinya telah berdiri di atas sebuah dahan, ketika melihat ayam itu terbang ke bawah, ia segera menjatuhkan dirinya pula ke bawah, tapi kedua kakinya mengait dahan hingga kepalanya menukik ke bawah. Secepat kilat tanggannya terulur dan ia berhasil menangkap ayam hutan. Ayam itu bergerak-gerak hendak melepaskan diri, tapi tak berhasil, kemudian dengan tertawa riang pemuda itu lompat turun.
“Ah, engkau kurus benar,” katanya kepada ayam yang menggelepar-gelepar di tangannya itu. “Bibi tentu akan mengatakan aku bodoh, karena ayam ini hanya berisi tulang belaka, buat apa. Nah, pergilah kau. Kelak kalau sudah gemuk boleh kutangkap lagi!” ia melepaskan ayam itu, yang segera terbang dengan terkeok-keok. Pemuda itu berusia lebih kurang lima belas tahun, berwajah putih, cakap, dengan sepasang mata bersinar tajam, tapi lembut dan dihiasi sepasang alis tebal hitam yang panjang.
Tubuhnya yang sedang besar dan tingginya itu mengenakan pakaian serba putih dengan angkin kuning kepalanya bertopi kuning pula. Di pinggangnya agak di belakang tergantung sekantong kim-chie-piao (senjata rahasia mata uang). Tadi ia telah melatih ilmu silatnya dengan tangan kosong. Kini ia berdiri di bawah pohon itu tertawa-tawa seorang diri karena geli melihat laku ayam hutan tadi. Kemudian ia memungut sebatang dahan kering berwarna hijau di tanah dan segera memulai melatih dirinya lagi.
3
Dahan kering itu dipermainkannya seperti sebilah golok. Sungguhpun yang diayunkan dan digerakkannya itu hanya sebatang dahan, namun sambaran anginnya bersiutan dan dahan itu sendiri tak tampak lagi, hanya kelihatan bayangan putih kehijau-hijauan berputar-putar kesana kemari. Setelah ia bersilat beberapa puluh jurus tiba-tiba terdengar suara pujian,
“Bagus!!” dan tahu-tahu bayangan hitam seorang tinggi besar menerjangnya!
“Lihat pedangku!” bentak bayangan itu sambil menyerang dengan tipu Hui-eng-bok-thou (Biang Terbang Menyambar Kelinci). Ia agak terkejut akan serangan orang yang tiba-tiba tanpa sebab itu, namun pemuda baju putih itu tak kurang waspada. Ia berkelit ke samping, tapi lawannya melanjutkan serangannya dengan tipu Liong-ting-ti-cu (Mengambil Mutiara di Atas Kepala Naga) Pedangnya berpusing-pusing seperti alap-alap menyambar dari atas. Serangan ini sangat cepat hingga pemuda itu tak sempat mengelak lagi, maka terpaksa ia gunakan dahan kering yang masih dipegangnya untuk menangkis.
“Prak!” terdengar suara dahan itu beradu dengan pedang. Pemuda itu merasa telapak tangannya perih. Ia kagum akan tenaga penyerangnya. Tapi biarpun demikian pedang yang tertahan oleh dahannya itu terpental juga.
4
“Hai, mengapa kau menyerangku? Aku Si Han Liong belum pernah punya musuh!” Ia menegur keren, tapi yang ditegurnya tak berkata apa-apa hanya kini berserak kembali menyerangnya dengan hebat!
Pedangnya bergerak seperti baling-baling dan dengan tidak disadarinya ujungnya meluncur ke arah pinggang kanan Han Liong. Anak muda itu masih saja berkelit ke sana sini dengan gesit sampai tujuh jurus. Akhirnya ia merasa bahwa penyerangnya yang berkedok hitam itu bukanlah lawan yang ringan. Segera aa balas menyerang. Saling serang antara pedang dan dahan kering terjadi dengan serunya sampai tiga puluh jurus lebih. Makin lama Han Liong makin merasa heran, karena lawannya itu menggunakan ilmu golok Oei-liong-coan-sin (Naga Kuning Memutar Tubuh) kemudian terdapat pula jurus-jurus ilmu gabungan golok dan pedang ciptaan Bie Kong Hosiang, gurunya sendiri! Ia terkejut, karena ilmu ini menurut gurunya itu tak pernah diturunkan kepada lain orang, tapi mengapa orang ini dapat menggunakan demikian mahirnya! Tak terasa ia berseru,
“Tahan!” Tapi lawannya tak memberi kesempatan padanya dan terus menyerang makin sengit, Han Liong terpaksa menghadapinya pula beberapa puluh jurus dan selama itu ia dapat melayaninya dengan baik.
Semua serangan yang dikenalnya tipu-tipunya itu dapat dipecahkan, malah kalau ia mau, ia bisa menggunakan kegesitan
5
tubuhnya yang melebihi lawannya itu untuk balas menyerang dengan ilmu-ilmu berbahaya. Tapi Han Liong tidak mau melakukan serangan yang mematikan karena ia tak suka mencelakakan lawan yang belum diketahui sebab-sebab memusuhinya ini. Tiba-tiba ia teringat sesuatu setelah mengamat-amati tubuh dan gerakan orang itu, lagi pula keadaan cuaca kini telah agak terang. Ketika lawannya menusuk dengan tipu Raja Naga Menyerbu Goa, sebuah tipu silat gabungan golok pedang yang sangat berbahaya dan banyak perpecahannya, Han Liong menyontak tanah dan melayang jauh ke belakang sampai tiga tombak. Lalu ia melemparkan dahan keringnya dan segera berlutut.
“Suhu (guru)!” teriaknya. Lawannya berdiri, melempar pedangnya, dan sambil tertawa ia membuka kedoknya,
“Ha, ha, ha! Anak baik, muridku yang baik!” Bie Kong Hosiang tertawa lagi dengan gembira lalu menghampiri dan mengangkat bangun Han Liong yang segera dipeluknya. Kemudian ia memegang kedua pundak anak muda itu dan dipandangnya baik-baik.
“Lima tahun kita tak berjumpa dan engkau sudah banyak maju! Bagus sekali, muridku.”
6
“Sungguh berbahaya, suhu. Kalau suhu tidak menyerang dengan tipu terakhir itu, teecu (murid) takkan mengira bahwa suhu sedang mencoba kebisaanku!” jawab Han Liong.
“Aku hanya ingin tahu kemajuanmu.” berkata Kim-too Bie Cong Hosiang si Golok Emas.
“He, hwesio (pendeta) tua! Enak saja engkau memuji murid kami sesukamu. Berilah waktu padaku untuk mengujinya juga!” tiba-tiba terdengar seruan dari atas pohon, dan segera pembicaranya tampak melayang ke bawah. Han Liong segera berlutut dan berseru dengan girang,
“Hee-suhu, selamat datang, teecu menghaturkan hormat!” Bie Kong Hosiang juga merangkapkan kedua tangannya memberi hormat dan berkata,
“Omitohud, kebetulan sekali engkau telah datang. Selamat bertemu, selamat datang!” Hee Ban Kiat membalas hormatnya dengan tertawa, kemudian ia menyuruh muridnya bangun berdiri,
“Han Liong, sudah tiba masanya kini aku harus mengujimu. Ayoh, bersiaplah.”
7
“Teecu tak berani melawan suhu.”
“Apa katamu? Siapa bilang melawan? Ini hanya latihan, anak bodoh!” Kemudian secepat kilat ia menyerang. Han Liong sangat kagetnya dan merasa bahwa ia bersalah dalam jawabannya. Bukanlah lima atau enam tahun yang lalu ia selalu berlatih dan harus melawan bersilat dengan gurunya ini? Segera ia melompat mundur menghindarkan serangan itu dan memasang kuda-kuda menjaga serangan seterusnya.
“Jangan terlalu seeji (segan-segan)!” tegur gurunya yang segera menggeser kakinya maju sambil menyerang dengan tipu Kim-liong tam-jiauw (Naga Mas Mengulur Kuku).
Dengan berturut-turut kedua lengannya meluncur ke arah dada muridnya. Menghadapi serangan hebat ini, Han Liong jungkir balik menghindarinya dengan tipu Koai-bong houn-sin. Demikianlah selanjutnya, Siauw-Io ong Hee Ban Kiat si Giam lo-ong kecil bermata satu itu menyerang muridnya dengan tipu-tipu silat Thai Kek Touw, Kiauw-ta-sin-na dan Ouw-wan-ciang-hoat diselang-seling. Han Liong melayaninya dengan sangat baik hingga tak pernah tampah terdesak. Hanya ia masih ragu-ragu untuk balas menyerang, sehingga kebanyakan ia hanya bertahan saja. Kelincahan dan keringanan tubuh dan kaki tangannya banyak menolong dirinya, karena ternyata gerakannya lebih gesit dari pada gurunya itu! Akhirnya ia menarik nafas lega dan tertawa gembira, karena gurunya menghentikan serangannya,
8
“Bagus, bagus. Tak percuma aku si tua bangka mengajarimu. Eh, bagaimana pendapatmu, Hong Losuhu dan Pouw Losuhu!” tanyanya menoleh ke belakang, matanya yang hanya tinggal sebuah itu bercahaya girang dan bangga.
“Memang bagus, Hee Koanjin (orang aneh).” menjawab Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan dan Pauw Kim Kong si Malaikat Rambut Putih dengan mengangguk-angguk girang. Han Liong tercengang melihat bahwa kedua gurunya itupun telah berada di situ dan juga ie-ienya (bibi) yang tadi turun gunung membeli barang-barang keperluan mereka telah pula berada di situ. Dalam kebingungannya menghadapi serangan-serangan gurunya tadi, ia tak sempat memperhatikan keadaan di sekitarnya. Segera ia berlutut dan menunjukkan hormatnya kepada kedua gurunya yang datang belakangan itu.
“Kami juga datang hendak melihat kemajuanmu, Liong,” kata Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan,
“Nah, cobalah kejar aku seperti permainan kita dahulu.” Tubuh Han Liong segera bergerak ke depan dan dengan gembira mengejar gurunya itu. Sekejab kemudian mereka hanya merupakan dua Sosok bayangan, yang kuning di depan dan yang putih di belakang kejar-mengejar sehingga tak lama kemudian hanya tampak dua titik kecil yang makin jauh.
9
Tak lama antaranya, segera tampak dua orang guru dan murid itu melayang-layang mendekat. Sebuah bayangan kuning gurunya, Si Iblis Daratan berputar cepat dan tiba-tiba berdiri dan beberapa puluh detik kemudian sebuah bayangan putih Han Liong berkelebat dan telah tiba pula menyusul gurunya. Liok-tee Sin-mo Hong In segera melompat ke arah dahan sebuah pohon, ketika Han Liong menyusul, ia telah meloncat pula ke atas dahan yang lebih tinggi dan segera disusul pula oleh Han Liong. Demikianlah gurunya meloncat-loncat ke atas puncak pohon sebagai seekor kupu-kupu kuning disusul oleh Han Liong dengan cepatnya. Akhirnya sang guru melayang turun dan kakinya menyentuh tanah dengan ringan seperti sehelai daun kering jatuh. Perbuatannya ini ditiru oleh Han Liong dengan gerakan serupa pula.
“Cukup muridku, engkau sudah hampir dapat melebihiku.” Tapi diam-diam Han Liong maklum bahwa ia masih kalah setingkat. Kemudian oleh gurunya itu Han Liong disuruh mendemonstrasikan kepandaiannya menggunakan kim-cie-piaow. Liok-tee Sin-mo melempar dengan uang logamnya ke arah sebatang pohon yang jauhnya kira-kira lima tombak lebih. Berturut-turut ia melempar sampai lima kali, kemudian ia menyuruh muridnya menyusul lemparannya itu. Han Liong mengerti maksudnya. Segera dilakukannya dengan sebuah piao. Ketika tangannya terayun, terdengar bunyi nyaring lima kali di batang pohon itu. Ketika diperiksa, ternyata piao sang guru yang tertanam di dalam pohon kena dihantam oleh piao muridnya, sehingga keluar menembus pohon itu. Sang guru tersenyum memuji.
10
“Eh, aku jangan ditinggalkan!” seru Pauw Kim Kong si Malaikat Rambut Putih. “Kemarilah, Liong, dan pegang bambu ini.” Han Liong menghampiri gurunya yang berdiri lurus sambil memegang tongkat bambu itu dan diacungkannya ke depan. Han Liong segera memegang ujung tongkat itu, sehingga mereka masing-masing memegang kedua ujungnya.
“Nah, kerahkan tenagamu menahan, karena aku hendak mengangkatmu!” Han Liong segera mengumpulkan tenaga dalam, memasang bhesinya (kuda-kudanya) dengan kuat sehingga kedua kakinya seakan-akan berakar ke dalam tanah. Tiba-tiba ia merasa ujung bambu itu seakan-akan tergetar dan aliran tenaga gurunya telah menyentuhnya. Bambu itu kini makin bergetar ketika dua tenaga dalam itu bertanding mengadu kekuatan.
“Naik!” Si Malaikat Rambut Putih berseru dan Han Liong merasa betapa tenaga gurunya dengan hebat menggempur pertahanannya hingga bhesinya terasa lemah dan untuk sesaat kedua kakinya terangkat dari tanah kira-kira satu setengah dim! Namun ia masin tetap dalam keadaan memasang kuda-kuda dan memegang ujung bambu itu dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka mengembang di atas kepalanya, sehingga ia merupakan sebuah patung kayu!
11
Ia mengerahkan tenaganya dan perlahan-lahan ia dapat turun kembali. Kini tangan kiri gurunya turun ke bawah, suatu tanda bahwa ia kini yang harus menyerang. Dengan penuh semangat ia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk mengangkat gurunya. Ternyata ia berhasil membuat gurunya menggeserkan kaki depannya yang berarti bahwa ia telah berhasil menggempur bhesi gurunya! Kendatipun ia belum dapat mengangkat si Malaikat Rambut Putih itu ke atas, tapi ia telah memperoleh banyak kemajuan. Ia mengerahkan pula tenaganya dan ditahan oleh gurunya. Dua tenaga dalam bertemu dengan kerasnya dan “brak!!” bambu itu pecah berkeping-keping! Kedua-duanya mundur dan sama-sama memeramkan mata mengatur nafas sebentar,
“Engkau sudah banyak maju, Liong. Ketika latihan yang terakhir beberapa tahun yang lalu, kau masih dapat kuangkat setinggi dua kaki! Kini engkau sudah bisa menggempur kedudukan kakiku. Berlatihlah terus, muridku.” Kemudian ia minta muridnya memperlihatkan pelajaran Sin-kut-hoat yakni ilmu melepas tulang yang segera diturut pula oleh Han Liong. Merela memilih sebuah pohon yang banyak dahannya dan di situ Han Liong memperlihatkan kemahirannya. Ia melayang ke atas dan menerobos diantara dahan-dahan dan cabang-cabang yang demikian rapatnya sehingga tubuhnya seakan-akan melilit-lilit dahan seperti seekor ular besar! Keempat gurunya bukan main girang melihat kemajuan murid mereka itu. Mereka puas dan gembira sekali, lebih-lebih Pauw Kim Kong yang tiada hentinya menepuk-nepuk pundak muridnya dengan kasih sayang.
12
“O ya, dan bagaimana pelajaranmu dalam ilmu surat? Kami ingin sekali tahu,” kata Pauw Kim Kong sambil melirik ke arah Yo Leng In.
“Ah, teecu sangat bodoh dan hanya dapat menulis beberapa patah kata dan beberapa buah huruf saja, suhu,” jawab Han Liong malu.
“Eh, jangan membuat malu aku yang mendidikmu, Liong,” sela bibinya, Yo Leng In.
“Yo Toanio benar, Liong. Di depan orang lain kau boleh merendah, tapi karena hari ini adalah hari ujianmu, kau tak boleh malu-malu. Ayoh perlihatkan kepandaianmu menulis, agar kami puas.” Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat si mata satu mendesak. Dengan terpaksa Han Liong lari mengambil alat tulis dan kertas dari dalam pondok, lalu menulis di atas sebuah batu yang rata, dilihat oleh keempat guru dan bibinya. Setelah selesai, ia perlihatkan tulisannya itu. Semua orang-orang tua itu memuji, kecuali Liok-tee Sin-mo yang berkata sambil tertawa,
“Aku orang tua tak berguna yang harus malu! Setua ini tapi satu huruf pun aku tidak kenal. Coba tolong bacakan tulisan Han Liong itu Yo Toanio!” Yo Leng In mengambil kertas itu lalu membacanya. Ternyata tulisan Han Liong itu berbentuk sajak berbunyi demikian :
13
Kecil lemah tak berdaya
Yatim piatu menderita sengsara
Hidup terancam bahaya gelap gulita
Untung datang lima bintang bercahaya
Aku orang sengsara tiada guna ini
Sampai mati tak mungkin membalas budi
Hanya berjanji mengorbankan nyawa
Menjunjung tinggi nama lima bintang dengan Setia!
Yo Leng In membaca dengan suara merayu, dan semua pendengarnya maklum bahwa yang dimaksud dengan lima bintang itu ialah keempat gurunya dan seorang bibinya yang telah menolong dan mendidiknya. Kemudian, dengan huruf-huruf kecil yang ditulis dengan tangan gemetar, terdapat dua baris syair demikian,
Sebatang kara, yatim piatu
Siapa ayah, siapa ibu??
Dua baris tulisan ini seakan-akan teriakan jiwa anak muda itu yang ingin sekali mengetahui di mana dan siapakah orang tuanya, tapi
14
ia tak berani bertanya, karena dahulu tiap kali ia bertanya, selalu ia dilarang karena belum waktunya. Tulisannya ini membuat keempat guru dan bibinya sangat terbaru, sehingga dikedua pipi bibinya yang membaca sajaknya itu mengalir air mata! Pauw Kim Kong menghela nafas, dan ketika ia memandang Han Liong, ternyata kedua mata pemuda itupun mengeluarkan dua butir air mata.
“Hm, sudahlah jangan bersedih. Mari kita masuk ke dalam pondok, dan di situ nanti akan kami ceritakan padamu sebenarnya tentang engkau dan orang tuamu. Karena hari ini engkau telah tamat belajar, maka sudah sepatutnya pula kalau kau ketahui akan hal Itu.” Semua orang memasuki pondok kecil itu dan di situ Han Liong untuk pertama kalinya mendengar cerita mengenal orang tuanya dan tentang dirinya seperti berikut. Si Han Liong adalah putera tunggal dari Si Enghiong (orang gagah she Si) atau Si Cin Hai yang tak lain adalah seorang siucai (sasterawan) muda patriot sejati yang diangkat menjadi kepala daripada banyak kaum kang-ouw dan liok-lim (kalangan persilatan dan jagoan-jagoan). Si Cin Hai ini adalah putera seorang bekas menteri pemerintah Beng Tiauw bernama Si Kim Pau dan tadinya menjadi kawan baik Gouw Sam Kwie yang ternama itu.
Pada masa Si Kim Pau masih menjadi menteri, kerajaan Beng Tiauw kacau-balau karena ancaman pemberontak Lie Cu Seng. Gouw Sam Kwie yang melihat bahaya ini lalu minta pertolongan serdadu-serdadu Boan dari Mancuria untuk memasuki tembok besar dan membantu usaha menindas kaum pemberontak. Hal ini tidak disetujui oleh Menteri Si Kim Pau dan ia berkata bahwa usaha
15
itu seakan-akan “mengusir serigala dan mendatangkan harimau”. Gouw Sam Kwie yang biasanya menghargai pendapat Si kim Pau, ketika itu karena sedang bingung melihat ancaman dan desakan Lie Cu Seng, tidak memperdulikan nasihat Si Kim Pau sehingga mereka berdua berselisih paham. Akhirnya serdadu-serdadu Boan betul berhasil juga menindas pemberontakan Lie Cu Seng. Namun, setelah melihat keindahan dan kekayaan bumi Tiongkok,
Orang Boan itu menjadi keenakan dan tak mau meninggalkan Tiongkok, bahkan lalu berbalik memukul hancur dan menjatuhkan pemerintah Beng Tiauw, dan semenjak itu bangsa Boan Ciu berkuasa di Tiongkok dan mendirikan pemerintah Ceng Tiauw. Si Kim Pau melihat keadaan menjadi begitu hebat, hatinya bersedih dan menyesal sekali, ia seorang menteri yang setia dan berjiwa patriot, maka karena diri sendiri tidak berdaya, ia mengambil keputusan untuk mengorbankan nyawanya sebagai pernyataan bakti kepada negara dengan membunuh diri. Tapi, ketika ia menghunus pedangnya dan hendak menusuk lehernya sendiri, tiba-tiba sepucuk sinar putih berkelebat, serta merta pedangnya terpotong menjadi dua dan di depannya berdiri seorang tua berjubah putih dan rambut serta jambangnya yang panjang sampai kepinggang semuanya putih melepak!
Ia merasa seakan-akan bermimpi, tapi sebagai seorang yang waspada ia segera maklum bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang suci. Tanpa perdulikan, pangkat dan kedudukan, ia segera berlutut. Orang tua itu mengaku bernama Kam Hong Siansu, seorang suci setengah dewa yang mengasingkan diri di
16
bukit Kam-hong-san. Kam Hong Siansu menyatakan bahwa Si Kim Pau berbakat untuk menjadi seorang pertapa, lalu dengan samar-samar ia meramalkan bahwa untuk sementara ini pemerintah Ceng Tiauw tak dapat dirobohkan, karena sudah takdirnya demikian. Dengan pertolongan Kam Hong Siansu yang menggunakan ilmunya, sekaligus Si Kim Pau, isterinya, dan Si Cin Hai, puteranya yang berusia sembilan belas tahun, dibawa ke puncak Gunung Kam hong-san.
Atas petunjuk Kam Hong Siansu, Si Kim Pau bertapa di situ sambil mendidik puteranya dalam ilmu-ilmu ketatanegaraan dan kesusasteraan. Namun darah patriot yang mengalir dalam tubuh Si Cin Hai membuat ia tak betah tinggal di atas gunung dan tanpa dapat dicegah ia pergi turun gunung. Ibunya sangat sedih karena hal ini lalu jatuh sakit dan meninggal dunia. Si Kim Pau yang ditinggal seorang diri di puncak gunung melanjutkan pertapaannya tanpa memperdulikan urusan dunia. Kadang-kadang, Kam Hong Siansu, entah dari mana datangnya, datang mengunjunginya dan memberi wejangan-wejangan ilmu batin. Si Cin Hai turun dari Kam hong san dan membuat hubungan dengan Enghiong (orang gagah) berjiwa patriot dari seluruh tempat untuk berusaha merobohkan pemerintoh Ceng Tiauw dan mengusir orang-orang Boan, penjajah angkara itu dari permukaan bumi Tiongkok.
Iapun berhubungan pula dengan Gouw Sam Kwie yang bergerak dari Propinsi Hun Lam. Karena ternyata Si Cin Hai seorang terpelajar yang cerdik pandai dan seorang patriot sejati, walaupun ia masih muda dan tak pandai ilmu silat, ia diangkat menjadi
17
Bengcu oleh semua Enghiong dan disebut Si-Enghiong. Sementara itu, ia kawin dengan Yo Lu Hwa, puteri dari Yo Beng Kiat seorang piauwsu (tukang pengantar barang ekspedisi) ternama di kota Liok-cu. Yo Lu Hwa lalu ikut aktip dalam perjuangan suaminya. Pada permulaan tahun Kong Hie ke empat belas, ketika Raja kedua dari pemerintah Ceng Tiauw mulai bertahta, Si Cin Hai bersamaan dengan Gouw Sam Kwie dari daerah lain, mulai bergerak untuk menggulingkan pemerintah musuh. Tapi sayang, karena Gouw Sam Kwie kurang berhati-hati, maka rahasia pergerakan itu bocor,
dan mereka dipukul oleh Pemerintah Ceng Tiauw sebelum mereka sempat bergerak, sehingga banyak kawan-kawan seperjuangannya yang tewas. Ternyata pemerintah penjajah mempunyai banyak panglima jagoan, diantaranya ialah Coan Eng, Ta Hai dan Lie Ban si Naga Tanduk Besi. Di antara para patriot yang gugur, termasuk juga Si Cin Hai dan Ong Kee Lin suami Yo Leng In. Yo Leng In ini adalah adik kandung Yo Lu Hwa. Yo Lu Hwa sendiri tertawan oleh Tiat-kak-liong Lie Ban si Naga Tanduk Besi! Sebetulnya Yo Lu Hwa ingin mengamuk sampai titik darah penghabisan setelah melihat suaminya gugur, tapi apa daya, ia terpaksa menyerah untuk melindungi puteranya dari bahaya maut! Demikianlah, ia dan Han Liong, puteranya yang baru berusia lima bulan itu ditawan musuh. Masih bergema di telinganya pesan suaminya yang terakhir.
“Peliharalah Han Liong baik-baik dan teruskanlah perjuangan kita!” Pesan pertama untuk memelihara Han Liong telah dilaksanakan
18
dengan pengorbanan menyerah kepada musuh, tetapi pesan kedua takkan mungkin dapat ia lakukan. Tiat-kak-liong Lie Ban yang baru setahun kematian isterinya, sangat tertarik melihat kecantikan dan kegagahan Yo Lu Hwa, maka ia sengaja menawannya dengan anaknya.
Kemudian, ia membujuk-bujuk agar nyonya muda itu suka menjadi isterinya. Tentu saja Yo Lu Hwa tidak sudi dan memaki-makinya sebagai seorang tak tahu malu dan rendah budi. Tapi setelah Lie Ban mengancam akan membunuh Han Liong jika ia tidak mau menjadi isterinya, dengan hati hancur luluh nyonya muda itu terpaksa menurut. Ia mau berkorban apa saja asal anaknya terluput dari bahaya maut. Hal ini sangat menyakitkan hati kawan-kawan di kalangan kang ouw dan liok-lim. Mereka anggap bahwa penyerahan Yo Lu Hwa itu sangat memalukan dan merendahkan nama para patriot, terutama nama Si-Enghiong yang mereka hormati. Teristimewa Yo Leng In yang telah menjadi janda pula, ia merasa sangat malu dan telah berkali-kali dicobanya memasuki gedang Lie Ban untuk menculik Han Liong dan kalau mungkin membunuh Lie Ban serta encinya!
Tapi Tiat kak-liong Lie Ban bukan anak kemarin sore. Ia tahu betul bahwa Yo Lu Hwa mau menjadi isterinya karena menjaga keselamatan Han Liong. Kalau Han Liong sampai terculik hilang, tentu isterinya yang baru itu takkan sudi lagi mendekatinya, bahkan mungkin akan menimbulkan keributan! Maka, ia menjaga Han Liong dengan sangat hati-hati, bahkan sengaja ia mendatangkan beberapa orang kawan-kawannya yang juga ahli-ahli silat kelas
19
satu untuk menjaga gedungnya. Karena itu, segala daya upaya Yo Leng In menjadi gagal sama sekali, bahkan beberapa orang kawannya mendapat luka berat di dalam percobaan menculik Han Liong itu. Demikianlah tujuh bulan telah lampau. Peristiwa tewasnya Si-Enghiong dan dirampasnya Yo Lu Hwa oleh Lie Ban telah terdengar oleh semua kawan-kawan di kalangan kang-ouw dan menggerakkan hati para hohan (kesatria) di seluruh pelosok.
Di antara mereka yang tergerak hatinya adalah Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan. Ia meninggalkan guanya di Gunung Kwan lim-san dan memberi kabar kepada beberapa orang sahabatnya untuk mengadakan penemuan di Kam hong-san pada permulaan musim Chun (musim semi)! la sendiri langsung menggunakan ilmunya berlari cepat menuju ke gedung Tiat-kak-liong Lie Ban yang dijaga kuat itu. Malam itu, tidak seperti biasanya, di rumah Lie Ban agak sunyi. Biasanya Tiat-kak-liong Lie Ban dengan ditemani oleh tiga orang kawannya, ialah Oei-kak-liong Lie Kong si Naga Tanduk Kuning adiknya sendiri, dan berdua saudara Beng Liok Hui dan Beng Liok Houw yang dijuluki orang Sankang Jie-pa-cu (Dua Macan Tutul dari Sankang), minum arak atau main maciok sampai tengah malam.
Tapi malam itu Lie Kong dan kedua saudara Beng telah masuk ke kamar masing-masing, sedangkan Tiat-kak-Liong Lie Ban berada di kamar isterinya. Di antara bayang.bayang daun pohon yang ditimpa sinar bulan, berkelebat seSosok bayangan tubuh manusia di atas genteng gedung itu. Gerakannya demikian enteng dan gesit sehingga gerakan seekor kucingpun kalah olehnya! Dengan ilmu
20
meringankan tubuh Keng-kong-tee-sut-hoat ia berlari-lari ke sana ke mari di atas genteng mencari-cari. Tiba-tiba ia berhenti di atas kamar Lie Ban dan kakinya bergerak dalam tipu Ouw liong coan-tah (Naga Hitam Menembus Menara) ia melompat turun ke bawah tanpa bersuara sedikitpun. Kemudian dengan langkah ringan sekali ia menghampiri jendela dan memasang telinga.
“Isteriku, janganlah engkau terlampau makan hati. Kurang apakah engkau jadi isteriku? Aku cinta padamu, hormat padamu, dan menjaga Han Liong seperti anakku sendiri. Bergembiralah isteriku, dan ingat akan kandunganmu,” terdengar suara seorang laki-laki halus membujuk. Lalu terdengar helaan nafas seorang perempuan,
“Memang nasibku yang buruk... nasibku yang sial... ahh...” terdengar isak perlahan.
“Sudahlah, bukankah engkau cinta kepada Han Liong? Dan bukankah aku berlaku baik padamu? Jangan bersedih, supaya lekas sembuh.”
“Memang engkau baik padaku dan Han Liong... dan sekarang aku mengandung pula... mengandung anakmu...”
21
“Bukankah itu baik sekali?” tiba-tiba suaranya terdiam dan dengan gerakan Ouw-liong-chut-tong (Naga Hitam Keluar Gua) ia meloncat keluar pintu dan masih sempat melihat sekelebat bayangan hitam melayang ke atas genteng.
“Bangsat, jangan lari!” la berseru dan mengayun tubuhnya ke atas genteng, mengejar. Tapi ketika kakinya menginjak wuwungan rumahnya dan matanya mencari-cari ke sana ke mari, ia tak melihat sesuatu kecuali bayangan daun-daun pohon yang bermain di atas genteng. Heran, pikirnya, apakah aku tadi melihat kucing? Ia langsung menuju ke kamar adiknya dan kedua saudara Beng. Ternyata mereka sudah tidur, maka segera ia kembali ke kamar isterinya. Alangkah kagetnya ketika ia mendengar Yo Lu Hwa menjerit-jerit.
“Jangan... jangan ambil anakku...!!” Cepat ia meloncat masuk melalui pintu dan melihat seorang laki-laki tua yang mukanya bagian bawah tertutup jambang dan jenggot putih, berpakaian kuning tua. Orang tua itu telah memondong Han Liong, Sedangkan isterinya berusaha merebutnya. Tapi gerakan orang tua itu cepat benar dan isterinya yang sedang sakit tak dapat berbuat apa-apa. Lie Ban amat marah.
“Bangsat tua! Kau berani bermain-main di depan tuanmu! Lepaskan anak itu!”
22
“Ha, ha! Lie Ban orang rendah! Anak ini bukan anakmu, ada hak apakah kau melarang aku membawanya pergi?”
“Kurang ajar!” Dengan kemarahan yang meluap-luap, Tiat-kak liong Lie Ban menyerbu dengan gerakan Go-yang-pok-sit (Kambing Kelaparan Tubruk Makanan) dan mencengkeram ke arah dada orang tua itu. Ketika cengkeramannya ditangkis lawan, Lie Ban merubah serangannya dengan Kim-liong-tam-jiauw (Naga Emas Mengulur Cakar), kedua tangannya maju serentak, yang kanan memukul ke arah muka lawan dan yang kiri mencengkeram hendak merampas Han Liong. Tapi ternyata lawannya lebih tinggi kepandaiannya. Ia meloncat ke sana ke mari sambil ketawa mengejek.
Orang tua itu adalah Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan, menggunakan ilmu silat Jiauw-pouw-poan-toan (Tindakan Mengitar Berputar-putaran), berkelit kian ke mari dan sekali lompat saja ke arah pintu, ia terus menghilang ke atas genteng! Anak yang didukungnya berteriak-teriak menangis hingga membangunkan Lie Kong dan kedua Macan Tutul dari Sankang. Dengan susul-menyusul mereka bertiga memburu ke atas genteng. Si Iblis Daratan yang sedang meloncat dengan tipu Tiang-hong-koan-jit (Bianglala Melintang Langit), tiba-tiba merasa sambaran angin keras ke arah kakinya. Ia tak heran lagi, dan terus menahan kakinya yang hendak turun, lalu berpoksai (jungkir balik) di udara dengan gerak tipu Koai-bong-hoan-sin (Siluman Ular Berputar Balik) ia meloncat secepat kilat ke belakang. Ternyata serangan itu adalah sebuah toya yang menyambar kakinya.
23
“Penculik hina jangan lari!” teriak penyerangnya yang bukan lain adalah Oei-kak-liong Lie Kong. Kemudian dengan tipu Hok houw-kun hoat atau Ilmu Toya Penakluk Harimau, Lie Kong menyerang dengan buasnya, tak peduli lagi bahwa pukulan-pukulannya bisa mencelakakan Han Liong yang berada dalam dukungan orang tua itu.
Namun dengan masih tertawa-tawa kecil orang tua yang bertubuh ringan lincah itu yang sangat mahir dalam berkelit, berpusing-pusing ke sana ke mari di antara sambaran toya. Lie Ban yang tadinya menolong isterinya yang sedang jatuh pingsan, kini tiba-tiba mengejar dan menyerang dengan goloknya. Serangannya ini sangat hebatnya, karena dilakukannya dalam keadaan marah yang sangat memuncak. Lie Ban menyerang dengan ilmunya yang paling diandalkan, ialah Ilmu golok Ngo-houw-bun to atau Lima Harimau Mencegat Pintu. Goloknya yang berat berkeredepan di bawah sinar bulan dan menyerang ke arah tenggorokan lawannya dengan mengeluarkan angin dingin yang berciutan. Karena di dalam hatinya terasa takkan baik jadinya jika menghadapi Kedua bersaudara yang tak boleh diabaikan itu, ia segera meng gunakan ilmunya berlari cepat sambil berkata,
“Lie Ban, aku tak sempat melayanimu lebih lama. Selamat tinggal!” Tetapi dua bersaudara itu lompat mengejar lagi. Ketika Liok-tee Sin-mo Hong In sudah melalui dua wuwungan, tiba-tiba dari depan
24
terlihat dua bayangan orang menghadang. Mereka ternyata adalah dua saudara Beng yang berdiri menanti dengan pedang di tangan!
“Berhenti, bangsat tua bangka!”
Mereka menyerang serentak dengan menggunakan tipu silat pedang mereka yang terkenal yakni Jie-pa-cu Siang-Kiam Hoat (Ilmu Silat Pedang Sepasang Macan Tutul) yang mereka ciptakan berdua. Ilmu ini hebat sekali, teristimewa kalau dilakukan di dalam penyerangan bersama, seakan-akan mereka berdua itu hanya seorang dengan empat tangan dan empat pedang! Belum pernah selama hidupnya Liok-tee Sin- mo Hong In menyaksikan ilmu pedang sebaik ini. Ia merasa kagum serta gembira, kalau saja ia tidak sedang mendukung Han Liong, tentu ia ingin sekali mencoba ilmu pedang istimewa ini. Ia tak usah takut, karena dengan, mengandalkan kelincahan dan ilmu meringankan tubuh yang tinggi, belum tentu dua pasang pedang itu akan dapat melukainya. Tapi kini ia tiada waktu untuk melayani kedua macan tutul itu, maka ia meloncat pergi melayang ke atas pohon dan berkata.
“Bagus benar permainan pedang kalian!” Kedua saudara Lie Ban dan Lie Kong yang mengejar sudah sampai pula di situ, dan mereka berempat ternyata tak mampu mengejar si Iblis Daratan.
Tiba-tiba Beng Liok Hui mengayunkan kedua tangannya dan dua buah benda hitam melayang menyambar ke arah punggung dan
25
pinggang Liok-tee Sin-mo Hong In yang baru saja menurunkan sebelah kakinya di atas cabang pohon yang tertinggi. Baru saja angin senjata rahasia itu terasa olehnya, dengan cepat ia jungkir balik ke bawah pohon, dan benda itu menyambar dengan cepat sekali sehingga terasa dingin sambaran anginnya, Mau tak mau si Iblis Daratan terkejut! Ia maklum kelihaian penyambit piauw tadi, karena sambaran anginnya menunjukkan tenaga dalam yang hebat! Maka segera ia menggunakan ilmu Keng-sin-sut hingga tubuhnya bagaikan melayang-layang di atas rumput, sekejap saja sudah berada jauh dan lenyap dari pandangan mata musuh-musuhnya! Gunung Kam-hong-san yang dikelilingi bukit-bukit kecil berjejer-jejer merupakan seorang jenderal perang yang mengepalai barisan pejuang.
Gunung itu berdiri di tengah-tengah, puncaknya menjulang tinggi menembus awan, bukit-bukit yang mengelilinginya hijau gelap penuh hutan liar. Pada waktu pagi, keadaan di sekitar lereng gunung ini sungguh indah. Bumi yang naik turun tak rata itu dihiasi rumput hijau muda yang membentang luas bagaikan kain beludru menutupi seluruh gunung. Di sana sini tumbuh bunga-bunga hutan beraneka warna dan ragam, bagaikan sulaman-sulaman indah di permukaan beludru hijau itu, menebarkan bau semerbak harum. Hutan-hutan yang penuh dengan pohon Liu, Siong, dipayungi cabang-cabang beberapa pohon raksasa yang telah ribuan tahun usianya. Matahari bersinar merah di timur, menerjang halimun menimbulkan cahaya pelangi beraneka warna yang indah sekali.
26
Suara burung-burung beraneka macam berkicau dan berdendang melakukan puja-puji kepada tamasya alam, suara mereka nyaring merdu diiringi suara anak sungai gemercik tiada berkeputusan menambah sedap pemandangan dan pendengaran. Jika di Sorga terdapat taman, agaknya seperti inilah macamnya! Dari dalam hutan, sayup-sampai terdengar suara geraman binatang buas, yang dibalas oleh auman di lain hutan, sehingga suara gerengan susul menyusul bersahut-sahutan, menggelegar bagaikan bunyi tambur besar yang dipukul riuh rendah menggetarkan ujung-ujung daun yang dihias butiran-butiran air embun. Sungguh benar kata orang bahwa di tempat yang indah merupakan sorga dunia itu ternyata tersembunyi bayangan-bayangan maut yang mengintai mangsanya!
Maka tak heran bila belum pernah ada yang berani menjelajahi tempat yang indah itu, karena semua orang kampung yang tinggal puluhan li dari kaki gunung tahu akan bahayanya memasuki hutan-hutan yang penuh binatang liar itu. Namun, pada pagi hari di permulaan musim Chun, di kala hawa udara sangat sejuknya dan segala taman-tamanan sedang semi berkembang, ketika angin gunung sedang berdesir perlahan menghalau halimun ke arah timur, dari bukit yang terdekat dengan Gunung Kam-hong-san, tampak seSosok bayangan terbang melayang-layang di atas rumput-rumput hijau. Dilihat dari jauh, bayangan itu mungkin akan disangka setan penjaga gunung. Tapi, ketika bayangan itu sampai ke tempat yang agak terang, maka ternyatalah bahwa ia adalah seorang tua yang sedang berlari sangat cepatnya sehingga seakan-akan melayang.
27
Memang ia sedang berlari menggunakan ilmu lari cepat Keng-sin-sut yang telah sempurna diyakininya. Yang mengherankan, adalah kepandaiannya meringankan tubuh. Rumput-rumput yang terinjak oleh kakinya hanya bergerak-gerak sedikit seakan-akan hanya dihinggapi sepasang kupu-kupu. Ujung-ujung rumput rebah sedikit dan segera bangkit kembali setelah kakinya berlalu. Ini menandakan bahwa ilmu meringankan tubuh “Co-siang-hui” dari orang tua itu sudah hampir mencapai puncak kesempurnaannya. Kakak itu berwajah kurus, berusia kira-kira enam puluh tahun. Mukanya hanya kelihatan dari batas hidung ke atas, karena dari hidung ke bawah tertutup oleh jambang dan jenggot putih melepak yang berkilauan laksana benang perak.
Rambutnya yang putih lebat digelung ke atas. Pakaiannya berwarna kuning tua, telah robek dan compang-camping. Leher dan lengan bajunya lebar, berkibar-kibar ditiup angin ketika ia lari. Sepasang kakinya berkasut jerami. Ia menggendong seorang anak kecil dalam lengan kirinya, anak yang berusia kira-kira setahun. Karena kecepatan larinya, sebelum matahari selesai mengusir semua embun di lereng gunung, orang tua itu telah sampai di dekat puncak Kam hong-san dan memasuki sebuah hutan yang besar di puncak. Hutan itu penuh dengan pohon yang aneh-aneh dan jarang terdapat di hutan lain. Ia langsung menuju ke sebuah pondok bambu di tengah-tengah hutan, dan kedatangannya disambut oleh tiga orang kakek lain.
28
“Ha, ha, Hong Losuhu, bagus benar! Kulihat engkau telah berhasil,” kata seorang dari mereka yang matanya buta sebelah. Anak kecil itu lalu didukung bergantian oleh mereka dengan wajah girang dan kagum. Siapakah mereka itu? Anak itu adalah Han Liong dan pendukungnya bukan lain Ialah Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan yang telah berhasil menculik Han Liong. Tiga orang kakek itu ialah kawan-kawan si Iblis Daratan yang ia beri kabar dan diminta datang berkumpul di Kam-hong-san pada permulaan musim Chun. Yang bermata sebelah adalah Siauw- lo-ong Hee Ban Kiat, yang di kalangan kangouw dikenal sebagai Giam lo-ong kecil bermata satu. Tubuhnya kecil kurus kering seperti cecak mati, tetapi matanya yang hanya sebelah kanan itu bersinar-sinar seperti bintang pagi. Rambut dan jambangnya telah berwarna dua, kasar dan kaku, kacau balau tak teratur.
Orang ketiga adalah seorang hwesio (pendeta) gundul bertubuh tinggi besar. Sepasang matanya besar bundar dilindungi alis tebal hitam, tapi mukanya licin seperti kepalanya. Ia adalah Kim-to Bie Kong Hosiang si Golok Emas, ketua kelenteng Kim kee-tang di bukit, Hun-tian-si, seorang ahli silat golok yang kenamaan. Orang keempat adalah seorang tosu (pertapa atau imam). Usianya juga sebaya dengan yang lain, kurang lebih enam puluh tahun, tapi berbeda dengan kawan-kawannya yang sudah tampak tua itu, ia sendiri mempunyai muka seperti kanak-kanak, walaupun rambutnya sudah putih seperti salju, panjangnya sampai ke punggung, diikat menjadi satu. Wajahnya kemerah-merahan dan nampak sehat sekali. Ini adalah Beng-san Tojin Pauw Kim Kong yang dijuluki orang si Malaikat Rambut Putih. Keempat orang tua
29
itu berganti-ganti memegang dan memandang anak kecil itu sambil berkali-kali menyebut,
“Anak baik. Tampang luar biasa. Tulang suci,” dan lain pujian lagi.
“Hong Losuhu,” kata Hee Ban Kiat si mata satu, “sebagai orang tua kali ini kau harus mengalah padaku. Anak ini serahkan saja padaku untuk kudidik. Dengan mempunyai murid seperti ini aku akan dapat mati tenteram!”
“Eh, Hee-koaijin!” bantah Hong In si Iblis Daratan, ia sudah biasa menyebut si mata satu “koaijin” (orang aneh). “Engkau mau enaknya saja. Aku yang memeras keringat engkau yang menjadi tukang tadah. Ini tak mungkin!”
“Jiwi losuhu. Kelentengku kosong. Pinceng si tua bangka belum pernah punya murid. Keadaan pinceng ini cocok dengan anak ini. Memang kedatangan pinceng ke sini hendak menyambut keturunan Si-Enghiong ini untuk diwarisi sedikit kemampuan yang ada pada pincang,” menyambung Bie Kong Hosiang dengan senyum memohon.
“Hm, saudara-saudara, jangan berebut,” sela Pauw Kim Kong yang mempunyai suara halus seperti wanita. “Baiknya diatur begini. Karena semua ingin mewariskan kepandaiannya kepada anak ini
30
yang memang sudah sepatutnya, maka baiklah sekarang diadakan sayembara. Siapa diantara kita yang berkepandaian paling tinggi, dialah yang berhak menjadi guru anak ini!”
“Eh, eh! Pauw Toheng (saudara Pauw) hendak menguji kita semua?” tanya si mata satu, matanya yang tunggal memancarkan cahaya kilat. Beng-san Tojin Pauw Kim Kong mengangkat lengan kanannya yang terbungkus baju putih panjang,
“Jangan keliru sangka kawan. Maksudku hanya untuk memperlihatkan kepunsuan (kepandaian) masing-masing. Yang dianggap paling tinggi kepandaiannya dialah yang menang.” Semua setuju mendengar usul ini.
“Nah, Pauw Toheng, karena kau yang mengusulkan, sudah sepantasnya kalau engkau pula yang membuka pertunjukan sayembara ini dengan mengeluarkan kepandaianmu untuk menambah pengertian kita.” Pauw Kim Kong tidak ragu-ragu lagi. Ia menuju ke lapangan rumput di depan pondok itu dan semua orang mengikutinya. Kemudian, dengan sekali lompat, ia melayang dengan menggunakan gerakan Hui-niauw-coan-in (Burung Terbang Menerjang Mega), dengan gesit dan ringan kakinya turun dan berdiri di tengah-tengah lapangan. Kemudian sambil menghadapi kawan-kawannya, ia mengangkat kedua kepalan tangan di atas dada memberi hormat, dan berkata.
31
“Aku si tua bangka yang tak tahu diri mohon maaf. Karena tulang-tulangku yang tua sudah lemah, dagingku sudah loyo, maka aku tak mempunyai apa-apa yang patut disajikan. Sekarang aku sudah tak berani menghadapi musuh dan menjadi orang penakut. Paling-paling- aku hanya berani melawan pohon yang tak bisa membalas memukul. Maka, cu-wi (saudara-saudara sekalian) maafkanlah, aku mau main-main dengan pohon sion g tua ini.”
Pauw Kim Kong si Malaikat Rambut Putih lalu menghampiri sebatang pohon siong sebesar pelukan lengan. Ia berdiri sejauh dua langkah dari pohon itu, memasang bhesi dengan kaki terpentang merupakan segi tiga, kedua tangan terjulur ke depan, kepala tunduk. Ternyata ia sedang mengumpulkan tenaga dalam dan memusatkan nuitungnya ke dalam lengan. Kini kedua lengan bajunya tampak tergetar-getar dan ia menegakkan kepalanya, lurus memandang sebatang pohon. Kedua lengannya bergerak-gerak bagaikan mendorong, dan... segera datang hujan daun pohon itu yang rontok berhamburan melayang-layang ke bawah, pada hal pohonnya tak bergerak sedikitpun.
“Bagus!” memuji tiga orang kawannya dengan kagum melihat tenaga dalam yang istimewa itu… Pauw Kim Kong segera memberi hormat dan merendah,
“Sepertl tadi telah kukatakan, aku sekarang takut berkelahi, maka aku mengandalkan ilmuku melarikan diri! Janganlah cuwi menertawakanku, tapi kalau untuk meloloskan diri dari musuh saja,
32
aku setua ini masih sanggup. Persilakan cuwi menyaksikan aku yang penakut kalau lari dari muiuh.” Ia berdongak memandang ke atas, dan di antara cabang pohon siong yang sekarang telah menjadi setengah gundul itu, terdapat banyak cabang-cabang besar. Renggang di antara cabang-cabang itu kira-kira hanya setengah kaki lebih, dan terhalang oleh cabang-cabang yang bersimpang siur itu. Si Malaikat Rambut Putih lalu membuka baju luarnya yang lebar dan panjang itu, dan kini hanya memakai baju dalam yang pendek ringkas. Lalu ia menjejakkan kaki ke tanah, dan tubuhnya segera melayang ke atas, tak dinyana telah berdiri di kedua cabang terendah.
Kemudian, setelah sekali lagi bersoja ke arah kawan-kawannya, ia segera meluncur menerobos renggangan-renggangan di antara cabang-cabang itu. Gerakannya demikian bagus, tubuhnya demikian licin den lemas pula, sehingga seakan-akan merupakan seekor ular yang berbelit-belit, meluncur di antara cabang-cabang pohon. Dengan menggunakan ilmu Sin-kut-hoat (Melepas Tulang), ia berhasil membuat tubuhnya seakan-akan tak bertulang dan berhasil lolos dari renggangan-renggangan yang kecil dan sempit itu! Sekali lagi kawan-kawannya memuji. Setelah menyatakan kebodohannya sendiri dengan ucapan-ucapan merendah, Pauw Kim Kong lalu mempersilakan yang lain memperlihatkan kepandaiannya. Bie Kong Hosiang segera maju ke depan. Ia merangkapkan kedua tangan di dada dan berkata kepada Pauw Kim Kong,
33
“Omitohud! Kepandaian seperti Toheng ini sungguh jarang tolok bandingannya. Pinceng benar-benar menyerah dan memang pantas kalau anak ini kau bawa ke Gunung Beng-san untuk kau didik. Tapi pinceng akan memperlihatkan juga sedikit pertunjukan golok yang tak berarti, kiranya boleh juga diwariskan kepada anak ini. Maafkan pincang.”
Hwesio itu dengan sigap lalu loncat ke lapangan sambil menggerakkan tangan kanannya ke arah punggung. Ia melompat dengan gerakan Ang-liong-coan-lah (Naga Merah Menembus Menara). Gerakannya tak kalah lincah dari pada si Malaikat, dan tahu-tahu tangan kanannya telah memegang sebatang golok bergagang emas yang berkilauan hijau karena tajamnya. Ternyata golok itu sangat tipis dan diselipkan di bawah baju belakang, sehingga tersembunyi. Dengan sekali putar, jari-jarinya menyembunyikan golok itu dibelakang lengan dan setelah memberi hormat kepada kawan-kawannya ia segera mulai bersilat. Ia membuka pertunjukannya dengan Ilmu golok Ngo-houw-toan-bun-to (Lima Harimau Memegat Pintu).
Gerakannya mula-mula perlahan, kakinya berkisar ke sana ke mari, kuda-kudanya sangat teguh dan tubuhnya yang tinggi besar itu sangat lemas gerakannya. Goloknya menari-nari dan berputar makin cepat dan akhirnya ketika ia bersilat dengan gerak tipu Ui-liong-coan sin (Naga Kuning Memutar Tubuh), maka bayangan goloknya merupakan bundaran putih yang melindungi tubuhnya! Bayangan tubuhnya lenyap dari pandangan mata, hanya bundaran putih terdiri dari ribuan ujung golok berputar-putar dan orang hanya
34
dapat tahu bahwa di dalam lingkaran mata golok itu terdapat orang yang memainkannya karena kadang-kadang kelihatan sepatu hitam hwesio itu menginjak tanah! Setelah Bie Kong Hosiang berhenti bersilat. Dengan tenang tanpa kelihatan lelah sedikitpun menghampiri kawan-kawannya dan memberi hormat, semua orang memuji.
“Waah, Losuhu terlalu merendahkan diri,” memuji Pauw Kim Kong. “Silat golok seperti yang baru saja kulihat, aku orang she Pauw tak dapat menandinginya!” Ketika Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat si mata satu diberi giliran. Ia segera ayunkan tubuhnya dengan gerakan Yan-cu sip pat-sian-hoan (Burung Walet Terbang Jungkir Balik), dengan indah, tubuhnya berpoksai atau berputar-putar beberapa kali di udara dan turun di tengah-tengah lapangan.
“Cuwi, selama berpuluh tahun berkeliaran di dunia, aku hanya mengharapkan kekuatan kedua tanganku yang tua ini. Karena kepandaianku yang lain tidak ada, terpaksa juga aku mempertunjukkan sedikit kebisaan lenganku yang kurus kering ini untuk diwariskan kepada putera Si Enghiong.” Setelah memberi hormat, ia segera bersilat dengan tangan kosong yang menjadi jaminan hidupnya selama ini di kalangan kang-ouw. Pertama-tama ia bersilat Ouw-wan-ciang-hoat (Ilmu Silat Tangan Lutung Hitam) yang mempunyai tiga puluh enam jalan,
tiap gerakan mempunyai tiga jurus hingga seluruhnya berjumlah seratus delapan jurus, tetapi ia hanya mengeluarkan sepertiganya
35
saja, kemudian mengganti gerakannya dengan tipu-tipu Pat-kwa-mui yang tak kalah hebatnya! Bagi orang biasa, gerakan-gerakannya biasa saja, bahkan agak lambat tak bertenaga, tapi bagi ketiga orang yang melihatnya ketika itu, mau tidak mau mereka harus memuji karena maklum akan luar biasanya kedua lengan tangan itu. Di dalam tiap-tiap tipu dan gerakan berganti-ganti menggunakan tenaga nui-kang dan nge-kang hingga dapat mengimbangi musuh yang bagaimanapun. Bahkan belakangan, si mata satu itu mengeluarkan kepandaiannya menotok dengan jari menurut gerakan Su-sat-chiu yang terkenal kesaktiannya. Jika mempunyai ilmu ini sampai mahir, maka biarpun bertangan kosong, tidak khawatir rasanya menghadapi lawan yang bersenjata!
Tentu saja setelah ia akhiri pertunjukannya, semua kawannya memujinya. Kini tiba giliran Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan. Seperti ketiga orang kawannya, iapun merendah dan kemudian mengeluarkan kepandaiannya yang mengagumkan. Si Iblis Daratan memang terkenal dengan ilmunya meringankan tubuh dan kepandaian melempar dengan kim-chie-piao (senjata rahasia uang logam). Pertama-tama ia keluarkan ilmunya meringankan tubuh Too-tiam-leng-po-pou sehingga tubuhnya bagaikan melayang-layang ketika ia melompat-lompat di antara puncak-puncak pohon. Dari bawah ia kelihatan seperti seekor burung garuda yang bermain-main dengan puncak pohon, membuat setiap ujung daun pohon bagian atas bergerak-gerak, sebentar di pohon ini, sebentar di pohon itu dengan gerakan secepat kilat.
36
Ia menggunakan gerakan Kim-hong-hi-lui (Tawon Gula Bermain di Tangkai Bunga). Kemudian ia mendemonstrasikan ketangkasannya melempar dengan kim-chie-piao. Kedua tangannya masing-masing memegang sepuluh buah uang logam. Ia melemparkan kim-chie-piao itu ke arah batang pohon dengan gerakan bermacam-macam. Langsung, miring, dari bawah lengan, dengan membelakangi, bahkan dengan mendekam di tanah. Gerakan tangannya terus menerus tiada hentinya sampai semua kim-chie itu menyambar ke arah batang pohon. Ketika mereka semua menghampiri batang pohon siong itu, maka terlihat dua puluh buah uang logam itu semua telah memasuki tubuh pohon itu dengan berjajar-jajar rapi bagaikan diatur! Semua uang itu masuk miring dan dalam sekali.
“Dalam hal mengentengkan tubuh dan melempar piao, engkau pasti paling unggul, Hong Losu!” memuji si mata satu.
“Nah, sekarang bagaimana?” kata Hong In, “Ternyata melihat jalannya sayembara, kita masing-masing mempunyai kemampuan tersendiri hingga sukar untuk menentukan siapa di antara kita yang tertinggi ilmunya. Bagaimanakah baiknya ini?”
Sedang empat orang tua itu bingung dan saling pandang, tiba-tiba di atas udara terdengar suara tertawa yang merdu dan halus, suara tertawa itu dari perlahan lalu makin nyaring dan susul-menyusul
37
hingga bergema di seluruh hutan seakan-akan di semua penjuru ada orang yang sedang tertawa! Keempat orang kakek itu maklum bahwa ada seorang wanita yang sedang menunjukkan iweekangnya. Suara ketawa itu digerakkan oleh sebuah tenaga yang keluar dari Tan-tian sehingga dapat dikirim ke tempat jauh dan bergema dengan nyaringnya. Dari suara ini saja seorang ahli dapat mengukur ketinggian ilmu orang. Diantara keempat kakek itu, Pauw Kim Kong yang tertinggi ilmu tenaga dalamnya, maka segera ia dapat menduga di mana adanya orang yang tertawa tadi. Ia menghampiri sebuah pohon besar di samping pondok, dan memberi hormat ke arah daun-daun pohon sambil berkata.
“Li Enghiong, silakan turun. Kami merasa terhormat sekali mendapat kunjunganmu yang mulia.” Dari dalam pohon itu segera melayang turun seSosok bayangan hitam dan seorang wanita muda yang cantik tapi berwajah duka dan berpakaian serba hitam berdiri di hadapan mereka sambil mengangkat tangan memberi hormat berulang-ulang.
“Maaf sebanyak-banyaknya. Saya yang tidak tahu diri dan rendah telah mengganggu losuhu sekalian. Sebenarnya telah sejak tadi saya datang, tapi tak berani turun karena khawatir mengganggu permainan losuhu sekalian. Kemudian karena mendengar tentang hasil sayembara itu, dengan lancang saya telah melepaskan tertawa, mohon Losuhu sekalian sudi memaafkan. Sebetulnya kedatangan saya Ini tak lain juga berhubungan pula dengan puterà almarhum Si-Enghiong dan ingin sekali mendidiknya sekadar
38
membaktikan sedikit tenagaku untuk negara.” Mendengar kata-kata yang bersifat patriotik ini, Hong In bertanya dengan hormat,
“Maaf, Toanio, bolehkah kiranya kami mengetahui namamu yang terhormat?”
“Saya yang rendah adalah Yo Leng In, dan Si-Enghiong almarhum adalah cihuku (kakak Ipar), dan anak ini adalah keponakanku sendiri,” jawab nyonya muda itu. “Saya datang terlambat dan mendengar bahwa keponakanku telah dibawa kemari, maka saya segera menyusulnya.” Keempat kakek itu kini tahu bahwa mereka sedang berhadapan dengan janda almarhum Ong Kee In, kawan seperjuangan Si-Enghiong yang gugur pula dalam usaha mereka meruntuhkan kekuasaan Boan. Maka segera mereka menunjukkan hormat kepada wanita patriot itu.
“Losuhu sekalian,” berkata Yo Leng ln pula, “saya tadi telah mendengar akan kecintaan hati Losuhu untuk mendidik Han Liong. Saya merata terharu dan berterima kasih. Tak perlu kiranya Losuhu sekalian berebut. Karena pondok di Kam-hong-san ini memang kosong dan tadinya hanya dipakai sebagai tempat pertemuan rahasia dari Si-Enghiong dan kawan-kawan lain, apakah salahnya kalau Losuhu dengan bergiliran datang ke sini untuk mendidik Han Liong? Saya sendiri akan merawatnya di sini, karena anak ini harus dididik ilmu surat pula, agar kelak setelah dewasa dapat melanjutkan cita-cita kita semua, menjadi orang Bun-bu-Enghiong (ksatria gagah dan pandai), mewakili kita orang-
39
orang tua menggerakkan sekalian orang gagah membela negara dan bangsa. Bagaimana, Losuhu, dapatkah usulku ini diterima!” Empat orang kakek itu saling pandang dengan tertawa ditahan, kemudian mereka serentak menyatakan setuju sambil menyatakan kebodohan mereka sendiri-sendiri yang sudah berebut dengan kacau balau tak keruan! Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat si mata satu tertawa terbahak-bahak.
“Yo toanio, maafkanlah kami berempat orang, orang kasar yang tolol ini! Baiknya toanio segera datang dengan cepat, kalau tidak, mungkin kami akan tersesat makin jauh. Usulmu baik sekali. Aku yang bodoh setuju sepenuhnya! He, bagaimana pendapat kalian?” tegurnya kepada kawan-kawannya.
“Hee Koanjin bicara betul. Kami setuju. Memang usul Toanio itu wajar sekali,” kata Hong In si Iblis Daratan.
“Nah, marilah kita rayakan hari gemilang ini. Tadi sambil menantikan kembalinya Hong Losuhu, kami bertiga sudah menyediakan arak tua dan makanan. Pinceng sudah merasa lapar sekali!” kata Bie Kong Hosiang si Golok Emas dengan senyum lebar. Bersama-sama mereka melangkah memasuki pondok, didahului oleh Yo Leng In yang mendukung Han Liong. Di tengah-tengah pondok terdapat sebuah meja kayu bundar besar dan dua losin bangku yang mengelilingi meja itu. Memang tempat ini biasanya digunakan untuk rapat para Hohan (orang gagah) dari kalangan kang-ouw dan liok-lim yang berjiwa patriot dari segala
40
pelosok, yang dipimpin oleh Si-Enghiong. Tentang halnya bekas menteri Si Kim Pau, ayah mendiang Si-Enghiong, tak seorangpun tahu di mana tempat tinggalnya kini, bahkan sebelum Si Enghiong gugur, iapun tak pernah berjumpa dengan ayahnya.
Agaknya Si Kim Pau telah pergi mengikuti Kam-hong Siansu, Entahlah! Gua bekas tempat ia bertapapun telah lama sekali kosong. Karena di dalam pondok itu telah tersedia lilin, maka Yo Leng In segera mengatur meja sembahyang, dan kemudian dengan disaksikan oleh keempat Losuhu, ia mengajak Han Liong bersembahyang minta izin roh ayah anak itu, Si-Enghiong, untuk berguru kepada keempat Losuhu yang pandai-pandai itu! Setelah itu, Yo Toanio dengan memangku Han Liong, mengajak anak itu bersama-sama berlutut kepada mereka bergiliran. Keempat orang kakek itu sangat gembira. Lebih-lebih setelah Han Liong diberi makan oleh bibinya, tampak kemungilannya. Ia tertawa-tawa dengan girang sekali, pipinya kemerah-merahan, sepasang matanya yang jeli memandang kepada guru-gurunya dengan bersinar-sinar. Tak sedikitpun tampak takut.
“Anak baik!” memuji guru-gurunya dengan rasa kasih sayang. Semenjak terculik oleh Liok-tee Sin-mo Hong In dibawa ke puncak Gunung Kam-hong-san dan dapat pula kata sepakat antara keempat orang kakek yang kini menjadi gurunya, Han Liong lalu diserahkan dalam asuhan Yo Leng In. Bibinya ini selain tangkas dalam ilmu silat, iapun ahli pula dalam kesusasteraan, pandai menulis sajak-sajak dan pernah membaca habis kitab-kitab kuno.
41
Yo Toanio yang baik ini tiap hari memelihara Han Liong dengan penuh kasih sayang, mengajar anak itu bercakap-cakap.
Tiap pagi dan sore ia melatih tubuh anak itu, memukulinya dari perlahan sampai keras dengan kulit bambu dan rotan sambil memandikannya dalam air tercampur arak hangat dengan ramuan obat buatan Beng-san Tojin Pauw Kim Kong yang pandai pula dalam ilmu pengobatan. Dengan rawatan luar biasa ini, kulit dan daging anak itu tumbuh dengan baik dan mempunyai kekuatan dan keuletan yang sempurna, namun kulitnya tetap lemas halus karena tiap habis mandi, Yo Toanio menggosok seluruh tubuhnya dengan bedak batu kuning yang terdapat di atas Gunung Kam-hong-san. Ketika Han Liong telah berusia empat tahun, ia mulai menerima pelajaran-pelajaran pokok dalam ilmu silat dari bibinya, Yo Toanio mengajar dengan cara halus dan sewajarnya, tidak dengan paksaan. Ajaib sekail, anak kecil itu seakan-akan senang sekali mempelajari kuda-kuda atau bhesi dan mencontoh gerakan-gerakan kaki bibinya dengan gembira.
Alangkah heran dan senang hati nyonya muda itu karena dalam beberapa bulan saja Han Liong telah dapat menirunya dalam gerakan-gerakan bhesi Thiao Ma, Peng Ma dan lain-lain pasangan kuda-kuda yang sulit dengan sempurna! Setahun kemudian, dalam usia kurang lebih lima tahun, Han Liong telah pandai bergerak ke sana ke mari dengan lincah dan sigap dalam segala macam bentuk “pou” gerakan perubahan kaki) yang baik. Selain itu, ia telah hafal dan faham benar akan segala cara menggunakan tangan dan jari dalam ilmu pukulan seperti Houw Jiauw Ciu (gerakan jari telunjuk
42
dan tengah untuk menyodok atau tiam) Yang Ciu, Sam Ciat Ciu dan lain-lain. Pandai pula menggunakan tendangan kaki Heng Tui dan lain-lain, menggunakan siku seperti Teng Tun, In Tun dan sebagainya, dan ia mengerti pula cara yang bermacam-macam dari kepalan tangan (koan).
Sampai sebegitu jauh maka selesailah tugas Yo Toanio membimbingnya dalam pokok dasar ilmu silat dan kini mulai mengajarnya dalam ilmu surat (bun) saja. Juga dalam mata pelajaran ini, Han Liong ternyata sangat cerdas. Tiap harinya ia dapat menghafal lebih dari dua puluh huruf. Anehnya, sekali menghapal, seperti huruf-huruf itu sudah tercetak dalam ingatannya hingga tak bisa lupa lagi! Setelah Han Liong paham benar akan dasar-dasar ilmu silat dan selanjutnya untuk mendapatkan pendidikan
(Lanjut ke Jilid 02)
Pedang Pusaka Naga Putih (Seri 04 - Serial Jago Pedang Tak Bernama)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 02
yang lebih tinggi agar menjadi seorang ahli silat yang sempurna, maka Yo Leng ln menyerahkannya kepada Liok-tee Sin-mo Hong
43
In, karena ilmu silatnya jauh lebih tinggi dari pada ilmu silat Yo Leng In sendiri, seperti yang sudah diajarkannya kepada Han Liong.
Si Iblis Daratan Hong In mulai mengajar Han Liong dari latihan napas (khikang) sampai kepada ilmu meringankan tubuh dan lari cepat. Dasar ia memang berbakat pendekar, dalam setahun saja berlatih siang malam, ia telah mewarisi seluruh dasar-dasar kepandaian Liok tee Sin-mo Hong In, dan setengah tahun kemudian, kepandaian dasar menggunakan dan menyambit Kim-chie-piao telah ia pahami pula. Tentu saja baru dasar-dasarnya dan tinggal meyakinkannya dengan latihan-latihan praktek. Karena masih ada tiga orang guru lainnya, si Iblis Daratan setelah merasa bahwa Han Liong sudah mewarisi seluruh pokok dasar kepandaiannya, lalu menyerahkan anak itu ke dalam asuhan Pauw Kim Kong si Malaikat Rambut Putih. Beng-san Tojin Pouw Kim Kong menerima tugas ini dengan gembira dan segera melatih Han Liong dalam ilmu silat berdasarkan tenaga dalam dan melemaskan tulang.
Ia mendidik anak itu memperkuat tenaga dalamnya dan mengajarnya ilmu le Kin Keng dan cara bagaimana untuk Siulian (semadhi) memperkuat ketabahan batin. Kemudian, selang setahun lebih, Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat mengajarnya ilmu silat tangan kosong yang cekatan. Selama satu tahun, ilmu silat Ouw-wan cianghoat (Ilmu Silat Tangan Lutung Hitam) yang berjumlah seratus delapan jurus, Thai Kek Touw dan seratus dua puluh jurus Kiauw-ta-sin-na ialah gabungan Kim-na-hoat dari Siauw-lim dan Bu-tong pai telah dipelajarinya dengan baik. Gurunya yang terakhir
44
ialah Bie Kong Hosiang) yang mewariskan ilmu goloknya yang tiada taranya itu. Selain ilmu golok, hwesio tinggi besar itu mengajarnya pula ilmu ciptaannya sendiri, ialah gabungan permainan golok dan pedang.
Ilmu ini dapat digunakan baik dengan golok maupun dengan pedang dan gerakan-gerakannya sulit sekali. Sementara itu, Han Liong masih tetap melanjutkan pelajarannya dalam ilmu surat menyurat dengan rajin di bawah bimbingan Yo Leng In seperti sediakala. Keempat orang gurunya masih terus memberi petunjuk-petunjuk berganti-ganti sehingga ketika ia berusia lima belas tahun, Han Liong yang digembleng oleh empat orang ahli itu mewaiisl kepandaian silat campuran yang sangat hebat. Demikianlah penuturan dari guru-gurunya yang didengarkan oleh Han Liong dengan bercucuran air mata. Lebih-lebih ketika ia mendengar tentang kematian ayahnya dan nasib ibunya. Ia menjatuhkan diri dan hampir pingsan karena duka. Baiknya guru-gurunya pandai menghibur, dan di depan guru-gurunya ia bersumpah untuk melanjutkan cita-cita ayahnya dan membalaskan sakit hati orang tuanya.
“Han Liong,” berkata Pauw Kim Kong, “biarpun kini engkau sudah memiliki kepandaian yang lumayan, tapi janganlah sekali-kali engkau takabur dan menganggap dirimu sendiri yang terpandai di dunia Ini. Di dalam dunia masih banyak terdapat orang-orang pandai. Jika kau menyombongkan kepandaianmu, maka engkau akan terjeblos!”
45
“Lagi, jangan sekali-kali menggunakan kepandaian untuk menindas kaum yang lemah, Liong. Ingatlah selalu bahwa kami memberi pelajaran padamu ialah untuk digunakan menolong sesama hidup yang tertindas, untuk membela negara dan membasmi penjahat. Kalau kau tersesat dan menggunakan kepandaianmu untuk keuntungan sendiri, maka kau tak akan selamat,” sambung Siauw lo-ong Hee Ban Kiat.
“Pesanku padamu ialah, jangan terlampau mudah membunub orang, muridku. Jauhkanlah golok dan pedangmu sedapat mungkin dari pertumpahan darah. Kalau tidak sangat terpaksa, janganlah membunuh orang secara serampangan,” ujar Bie Kong Hosiang.
“Dan berlakulah sebagai orang gagah yang kenal pribudi. Harus selalu merendahkan diri dan rajin menambah pengetahuan. Ingat, Liong, sepanjang pengalamanku, yang tidak boleh dipandang ringan adalah orang-orang yang kelihatan paling lemah, misalnya kaum wanita, orang-orang tua, pengemis-pengemis, dan orang-orang lain yang kelihatan sangat lemah. Biasanya lawan yang sangat berbahaya itu aalah mereka yang kelihatan lemah itu, tapi di dalamnya tersembunyi kekuatan dan kepandaian tinggi. Karena tampaknya dari luar lemah, maka orang mudah sekali memandang sepi. Tapi kau jangan sekali-kali memandang rendah orang-orang lemah itu, Liong. Kepandaian orang tak tampak di luar tubuhnya,” kata Hong In si Iblis Daratan. Han Liong menghaturkan terima
46
kasih atas nasehat-nasehat keempat gurunya itu dan berjanji akan memperhatikannya sungguh-sungguh. Kemudian bibinya bicara.
“Han Liong anakku, kami berlima sudah bersepakat untuk menyuruh engkau turun gunung hari ini juga. Kau perlu mencari pengalaman di luar, nak. Dan kau boleh mencari ibumu. Tentang sakit hati terhadap Tiat-Kak-liong Lie Ban terserah padamu. Itu adalah soal pribadimu, kami hanya memesan agar segala sepak terjangmu dilakukan atas dasar prikebenaran yang layak. Engkau sudah tahu ke mana harus mencari ibumu. Tapi, sekali lagi kuulangi nasehat-nasehat guru-gurumu, yaitu engkau jangan mengambil jalan salah karena kalau engkau kelak dikemudian hari ternyata berobah menjadi anak durhaka dan murid yang mencemarkan nama baik guru-gurumu, maka kami berlima tentu akan mencarimu!” Pada saat itu tiba-tiba terdengar bunyi guntur keras menggelegar dan satu tenaga besar menggetarkan bumi yang mereka injak sehingga mereka berenam walaupun memiliki kepandaian tinggi, jadi sempoyongan dan terhuyung-huyung. Semua orang heran karena hari itu langit bersih dan tiada tanda-tanda kemungkinan ada guntur. Kemudian terdengar ledakan keras dan tahulah mereka bahwa suara gemuruh itu bukan sekali-kali suara guntur, tapi adalah suara tanah yang gugur dari pinggir gunung.
Suara “krek-krek” terdengar dan keenam orang itu segera berlompatan keluar pondok. Ternyata pondok itu menjadi miring dan belum lama mereka berada di luar, pondok itu roboh dengan mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Di luar mereka lihat debu
47
mengepul di sebelah kiri bukit dan Pauw Kim Kong segera maklum apa yang telah terjadi. Ketika tanah yang mereka injak tadi tergetar membuat mereka terhuyung-huyung berkali-kali, kenyataan sebenarnya ialah gempa bumi besar di gunung sehingga pondok mereka juga roboh karenanya. Dan suara hebat tadi tentu tanah dan batu-batu gunung yang gugur karena gempa bumi itu dan jatuh ke dalam jurang. Debunya masih tampak hebat! Tanpa mufakat lebih dulu mereka berenam serentak berlari-lari menuju ke kiri di mana nampak debu mengepul tinggi.
“Hati-hati!” Hee Ban Kiat memesan dan betul saja, ketika sampai di sebuah tikungan, dari atas turun menimpa beberapa buah batu besar yang rupanya terlepas dari sandarannya di atas puncak dan berguling-guling ke bawah.
Untungnya mereka telah waspada dan segera meloncat ke belakang menjauhi tempat bencana itu. Betapapun tinggi kepandaian mereka, kalau sampai, tertimpa batu-batu yang berpuluh ribu kati beratnya itu, pasti akan tamatlah riwayat mereka! Han Liong yang belum banyak pengalaman dan ingin sekali melihat sesuatu yang masih asing baginya, tak terasa maju mendekati tempat di mana batu-batu tadi jatuh. Tiba-tiba ia melihat sebuah benda pulih berkilau-kilauan yang bergerak gerak diantara tumpukan batu. Ia heran dan maju mendekat. Tiba-tiba benda panjang itu melayang menyambarnya. Han Liong terkejut dan serangan benda itu demikian cepatnya hingga tak mungkin pula dikelit olehnya. Maka terpaksa ia mengibaskan tangan kirinya
48
untuk menangkis. Alangkah terkejutnya ketika benda itu tidak terlempar, tapi menempel di jari tangan kirinya dan terus menggigit.
“Aduh!” hanya itulah yang dapat diteriakkannya dan ia roboh pingsan. Guru-gurunya dan bibinya dengan terkejut lari memburu. Bukan main khawatir mereka melihat keadaan anak muda itu. Seekor ular berkulit putih berkilau seumpama perak digosok menempel di jari telunjuk tangan kirinya, giginya masih tertanam di jari Han Liong. Yang sangat mencemaskan adalah keadaan tubuh anak muda itu. Seluruh tubuhnya tampak hitam semu hijau. Mulutnya terkancing, matanya tertutup dan nafasnya sengal-sengal, tinggal satu-satu! Yo Toanio tak dapat menahan getaran hatinya. Ia tubruk keponakannya sambil menjerit-jerit! Guru-guru Han Liong pun menjadi bingung, hanya Pauw Kim Kong yang agak tenang. Tapi setelah memeriksa keadaan muridnya dan melihat ular yang masih menggerak-gerakkan ekornya itu, ia menjadi lebih sedih daripada yang lain-lain.
“Bagaimana, Pauw-suhu?” tanya Bie Kong Hosian ketika melihat Pauw Kim Kong berdiri putus asa dan menggeleng-gelengkan kepala sambil menghela nafas.
“Ular berbisa. Bisanya sangat berbahaya. Belum pernah kulihat racun ular demikian luar biasa!” Sambil menangis keras Yo Toanio mencabut pedangnya dan dengan gemas membacok ular yang masih menempel di tangan Han Liong. Sekali bacok uiar itu putus kepalanya dan Yo Leng In agaknya masih belum puas. Dibacoknya tubuh ular itu berkali-kali hingga hancur menjadi berpotong-potong!
49
Kemudian, setelah menubruk dan menangisi keponakannya sekali lagi, ia mengangkat pedangnya dan ditusukkan ke lehernya sendiri! Untunglah Hee Ban Kiat berada di dekatnya dan dengan cepat memegang pergelangan Yo Toanio yang memegang pedang hingga sesaat kemudian pedang itu sudah berpindah tangan!
“Sabar, Toanio. Jangan putus harapan. Han Liong belum mati,” kata Hee Ban Kiat menghibur.
“Belum mati? Lihatlah... lihatlah! Mukanya sudah hitam semua. Siapa bisa memberi obat? Kan, bertahun-tahun kita didik ia, darl anak-anak sampai dewasa. Pengharapan kita semua digantungkan kepadanya... tapi... tapi justeru hari ini,saat ia harus mulai menunaikan kewajibannya... saat seperti ini... ia... ia berangkat mati...”. Dimanakah keadilan Thian (Tuhan)??” Tiba-tiba, bagaikan menjawab keluhan nyonya yang bersedih hati itu, terdengar desis keras di dekat mereka. Mereka terkejut dan menengok ke arah suara itu. Alangkah terperanjat dan marahnya mereka ketika melihat seekor ular lain menggeleser-geleser mendekati tubuh Han Liong! Ular itu sangat hitamnya, dengan belang-belang kuning emas pada kepala dan ekornya. Kelihatannya ganas benar dan beracun pula!
“Kau... binatang!! Siluman!! Engkau mau ganggu anakku juga???” Yo Leng In dalam kemurkaannya menyambar pedang yang sudah diletakkan di tanah oleh Hee Ban Kiat, lalu melompat ke arah ular hitam itu. Heran sekali, ular itu berhenti dan menanti serangan Yo
50
Toanio dengan berdiri di atas ekornya, seperti ular sen duk, tapi lebih tinggi lagi! Kedua matanya mencorong dan lidahnya yang merah menjilat-jilat. Yo Leng ln mengayunkan pedangnya memancung ke arah kepala ular itu, tapi kenyataannya ular itu bukan main gesitnya dan dapat mengelak,
Yo Leng In makin marah dan dengan nafas sesak ia memancung berulang ulang, tapi sekalipun serangannya tak mengenai sasaran. Bie Kong Hosiang berseru keras dan setelah mencabut goloknya ia membantu Yo Toanio untuk membinasakan ular itu, sungguh aneh, bacokan-bacokan Bie Kong Hosiang yang tak mudah dielakkan oleh seorang ahli silat ternyata dapat dihindarkan oleh ular itu, hingga tiada lama kemudian Hong In, Pauw Kim Kong, dan Hee Ban Kiat terpaksa turun tangan mengeroyok ular kecil itu! Karena dikeroyok lima orang ahli silat yang hebat itu ular itu sudah dapat dipastikan nasibnya. Dapat dibayangkan bahwa sebentar lagi ia tentu akan hancur menjadi berpotong-potong, kalau tidak, hancur sama sekali! Tapi, tiba-tiba terdengar deruan angin dan disusul suara yang angker,
“Siancai, siancai Cuwi yang terhormat, hentikan segera serangan itu!” Suara itu sangat berpengaruh dan kelima orang itu segera melompat mundur, sedangkan ular itu berlenggak-lenggok, rupanya sangat kelelahan membela diri, mengelak ke sana ke mari di antara hujan senjata tadi! Suara yang berpengaruh itu disusul dengan munculnya seorang tua berjubah putih dan bertubuh kurus tinggi. Wajahnya kelihatan alim sekali, tapi sepasang matanya yang lembut mengeluarkan cahaya tajam berkilauan. Tampaknya
51
ia berjalan perlahan saja dengan tenangnya, tapi tiba-tiba ia telah berada di depan mereka sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat.
“Cuwi yang terhormat maafkan pinto datang mengganggu.” Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi ia menghampiri tubuh Han Liong yang masih rebah tak bergerak itu, diikuti oleh kelima orang itu dengan was-was dan khawatir. Setelah dekat dengan tubuh Han Liong, ia berjongkok lalu tiba-tiba memberi tanda supaya semua orang mundur. Sepasang matanya dengan tajam memandang ke arah ular hitam tadi. Yo Toanio dan kawan-kawannya menengok dan dengan hati berdebar-debar mereka lihat ular itu bergerak cepat menghampiri tubuh Han Liong.
Tiba-tiba ular hitam itu melihat atau mencium bau darah ular putih yang telah hancur tubuhnya. Ia berdiri di atas ekornya, mendesis-desis mengeluarkan lidah dan ajaib sekali, dari kedua matanya yang merah itu menitik keluar dua butir air mata. Sikapnya jadi makin galak, kepalanya digerakkan ke kanan dan ke kiri seakan-akan mencari orangnya yang membunuh ular putih itu. Ketika sinar matanya beradu dengan sinar mata orang tua yang masih jongkok di dekat tubuh Han Liong, tiba-tiba ia bergerak mundur lalu membalikkan tubuh hendak pergi. Tiba-tiba orang tua itu cepat mengulurkan kedua tangannya dan mengangkat tubuh Han Liong dan dengan sekali lompat ia telah berada di depan ular hitam, mencegat dan jongkok pula sambil memondong tubuh Han Liong. Ular itu segera membalikkan tubuh lagi, tapi orang tua itu segera mengejar dan melompatinya lalu menghadang di depannya.
52
Setelah hal ini terjadi berkali-kali, ular hitam itu rupa-rupanya menjadi marah dan ia berdiri di atas ekornya sambil menjulurkan lidahnya yang merah. Desisnya keras dan tajam menyakitkan telinga. Kemudian setelah menurunkan kepalanya ke bawah untuk mengumpulkan tenaga, ular itu melompat, meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya menuju ke arah leher orang tua itu. Yang diserang tenang saja dan memegang tangan kanan Han Liong dan menggunakan tangan anak muda itu untuk menangkis, dengan gerakan yang sama benar dengan gerakan anak muda itu ketika menangkis serangan ular putih tadi. Yo Toanlo yang dari tadi terheran-heran dan tidak mengerti, kini sangat terkejut melihat betapa ular hitam itu menggigit jari tangan kanan Han Liong dan menempel di situ tidak mau melepaskannya! Yo Toanio tak dapat menahan gelora kemarahan hatinya,
“Siluman tua, apa yang kau lakukan?” Dengan penuh kebencian ia memungut pedang yang diletakkan di atas tanah lalu melemparkan pedang itu dengan sekuat tenaganya.
Ketika itu orang tua yang aneh itu tengah menggunakan tangan kirinya memijit-mijit ubun-ubun Han Liong dan tangan kanannnya memegang leher ular hitam. Agaknya ia sama sekali tidak ambil perduli akan datangnya pedang yang melayang ke arah dadanya! Yo Toanio dengan jelas sekali melihat betapa pedang itu tepat menancap di dada orang tua itu, tapi ajaib, orang tua itu seolah-olah tidak merasa apa-apa, dan melanjutkan pekerjaannya
53
memijit-mijit ubun-ubun Han Liong dan mencekik-leher ular! Sejenak kemudian ia berdiri dan ular hitam itu malah dipegangnya, karena itu dengan mudah saja ia mencabut gigitan ular ular itu dari jari Han Liong. Baru sekarang ia memandang mereka berlima itu dengan sebuah senyum manis tersungging di bibirnya.
“Siancai, siancai! Berkat kemurahan Thian Yang Agung, cucuku Han Liong tertolong jiwanya.” Kemudian ia memandang ular hitam yang di tangannya. “Maafkan pinto, Kim-Ouw-Coa (ular emas hitam), terpaksa pinto melakukan dosa besar. Engkau telah menolong jiwa orang, tapi kau sendiri harus dibalas dengan kematian.” Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Alangkah kejamnya, tapi apa boleh buat, jiwa cucuku lebih penting dari pada jiwamu. Nah, mengalahlah kali ini, Ouw-Coa biarlah di lain penjelmaan pinto balas budimu dan menebus dosa!”
Kemudian dengan perlahan ia mencabut pedang yang masih menancap di dadanya dan sekali pancung saja maka putuslah leher ular hitam itu! Yo Toanio dengan kawan-kawannya terheran-heran melihat kelakuan orang tua itu, lebih-lebih ketika mereka melihat bahwa bekas tusukan pedang di dadanya ternyata tidak mengeluarkan darah, seolah-olah dadanya itu belum tertusuk pedang. Mereka memandang ke arah tubuh Han Liong, dan alangkah girang hati mereka melihat Han Liong bergerak-gerak perlahan-lahan, lalu bangun dan menggosok-gosok matanya seakan-akan baru bangun tidur! Segera mereka berebut
54
menghampiri Han Liong dan serentak bagaikan mendapat komando, mereka berlima menjatuhkan diri berlutut di depan orang tua itu.
“Ah, cuwi, jangan lakukan peradatan tak berarti ini. Silahkan bangun, pinto tak layak menerima kehormatan ini.” Kata-kata ini diucapkan dengan suara demikian halus dan sopan oleh orang tua itu, hingga mereka segera berdiri dan mengangkat tangan memberi hormat!
“Maafkan kami yang buta tak mengenal orang pandai,” kata Pauw Kim Kong mewakili kawan-kawannya bicara, “Dan maafkanlah perbuatan Yo Toanio tadi yang dilakukan terdorong karena kebingungan hatinya melihat keadaan keponakannya. Mohon tanya siapakah toheng yang mulia?”
“Ah, pinto sendiri sudah hampir lupa akan nama pinto. Dan lagi, apakah artinya nama? Diberi tahu juga, cuwi takkan mengenalnya. Rasanya sudah cukup bila pinto katakan bahwa pinto adalah orang yang mengasingkan diri dan menerima berkah dari Kam Hong Siansu. Kedatangan pinto inipun bukannya bermaksud untuk mencampuri urusan cuwi. Tapi tak lain karena menerima perintah dari Siansu untuk membawa cucuku ini. Ketahuilah cuwi, bahwa Han Liong berjodoh untuk berjumpa dengian Kam Hong Siansu. Adapun kedua ular ini, bukannya kebetulan saja mereka datang menggigit Han Liong. Agaknya sudah kehendak Thian bahwa anak ini menerima karunia yang luar biasa. Ketahuilah, racun ular putih
55
yang penuh dengan hawa Yang dapat mematikan seratus orang dengan bisanya. Tidak ada obat di dunia ini yang dapat menyembuhkan pengaruh bisanya yang hebat itu. Sebaliknya, ular hitam inipun penuh dengan racun yang mengandung sari hawa Im, maka apabila ia menggigit orang yang menjadi korban gigitan ular putih, racunnya menjadi saling tolak dan saling memunahkan, bahkan kedua racun yang mengandung hawa Yang dan Im itu kalau bercampur di dalam tubuh menjadi obat yang mempunyai daya luar biasa, memperkuat tubuh dan memperbesar daya tan tian. Dapat cuwi bayangkan betapa beruntungnya Han Liong karena tergigit oleh kedua ular ini.” Tak perlu dikatakan betapa senangnya hati keempat guru itu dan Yo Toanio mendengar keterangan ini, dan pula saat itu Han Liong sudah sadar benar. Segera Yo Toanio memerintahkan keponakannya untuk mengucapkan terima kasih. Han Liong segera berlutut.
“Nah, cuwi, kini perkenankanlah pinto membawa Han Liong kepada Siansu. Bangkai kedua ular ini pinto bawa karena merupakan obat untuk anak ini. Musim Chun tahun depan cuwi boleh menanti di sini untuk menyambut Han Liong kembali.” Dengan tenang ia pungut dua bangkai ular itu dan memegang lengan Han Liong. Yo Toanio penasaran.
“Maaf, suhu. Bukannya saya tidak percaya padamu, tapi Han Liong adalah keponakanku yang kudidik semenjak kecil. Maka perkenankanlah saya mengetahui nama suhu dan ke mana suhu akan membawa Han Liong agar hatiku menjadi tenteram.”
56
“Ha, ha! Memang wanita selalu ingin tahu segala hal! Nah. ketahuilah, aku adalah ayah iparmu Si Cin Hai, jadi Han Liong ini adalah cucuku sendiri. Kemana aku hendak bawa anak ini, tak seorangpun boleh tahu, pendeknya, ke tempat Kam Hong Siansu. Nah, selamat tinggal!” Sebelum mereka dapat berkata sesuatu, orang tua itu segera menarik lengan Han Liong dan membawa pemuda itu lompat ke jurang di mana batu-batu besar tadi berjatuhan! Yo Toanio hendak mengejar, tapi dicegah oleh Pauw Kim Kong.
“Jangan, toanio. Kulihat ia bukan orang sembarangan. Dan lagi, bukankah ayah Si Enghiong itu Menteri Si Kim Pauw yang dulu dikabarkan lenyap setelah bertapa di gunung ini?” Yo Toanio mulai sadar,
“Si Kim Pauw! Betul, betul dia. Biarpun aku belum pernah bertemu denganya, tapi wajahnya serupa benar dengan Si Enghiong. Ya Tuhan, syukur kalau begitu. Han Liong berada di tangan kakeknya sendiri dan pasti sekali Kam Hong Siansu adalah seorang luar biasa dan pandai!” Semua menyatakan kegirangan mereka karena kenyataan itu dan Hee Ban Kiat berkata.
“Kalau bukan Yo Toanio sudah yakin bahwa orang itu adalah kakek Han Liong sendiri, aku masih saja merasa khawatir, karena orang
57
tua itu seperti bukan manusia. Kusangka tadi ia siluman gunung ini.”
“Jangan gegabah, Hee Koanjin,” tegur Hong In. “Orang tua itu sudah tinggi sekali ilmu batinnya. Tidakkah kau lihat betapa tadi ia menerima tusukan pedang yang dilemparkan Yo Toanio? Ia dapat mematikan rasa, dan ilmunya yang sempurna telah dapat menahan jalan darahnya hingga tusukan pedang itu sama sekali tidak dirasanya dan tidak dapat melukainya. Bagi kita yang masih suka berada di tengah-tengah kekotoran dunia ini, jangan harap akan mencapai tingkat setinggi itu.”
Kemudian mereka bermufakat untuk berkumpul kembali pada musim Chun tahun depan seperti yang telah dijanjikan oleh Si Kim Pauw itu. Setelah itu, mereka berpisah dan kembali ke tempat masing-masing. Sekarang marilah kita ikuti perjalanan Si Han Liong yang dibawa oleh kakeknya. Ketika ia dibawa oleh kakeknya melompat ke dalam jurang, diam-diam hatinya cemas karena kakinya menginjak tempat kosong dan mereka berdua meluncur ke bawah dengan amat cepatnya! Ketika memandang ke bawah, terpaksa Han Liong menutup matanya, karena jurang itu seakan-akan tak berdasar karena dalamnya! Tiba-tiba kakeknya memperkuat pegangannya pada pergelangan lengannya dan berbisik,
“Pegang dahan pohon di bawah itu!” Han Liong waspada, ia menggunakan ilmunya meringankan tubuh dengan kegesitannya.
58
Pohon di bawah itu seperti melayang naik menuju dirinya, pada hal tubuhnya sendirilah yang sedang melayang turun dengan cepatnya.
Bagaikan bersayap, kaketnya dapat menggerakkan tubuh hingga mereka meluncur ke samping pohon. Orang tua itu mengulurkan lengan dan tangannya berhasil memegang cabang pohon. Han Liong memperlihatkan pula kegesitannya, ia sambar ujung ranting pohon itu, tapi malang baginya ranting itu patah. Tapi sedikitnya kelajuan luncuran tubuhnya telah tertahan dan dengan gerakan mementangkan kedua kakinya, ia dapat bergerak ke arah cabang rendah dan berhasil memegangnya! Keringat dingin keluar dari keningnya ketika ia duduk di dahan pohon dan memandang ke bawah. Ternyata jurang itu sangat dalam dan tak mungkin orang akan dapat hidup jika jatuh ke bawah. Pohon yang didudukinya itu tumbuh miring. Akar-akarnya berada di tanah gunung yang curam.
“Lompat ke situ!” kakeknya berkata sambil menunjuk ke kiri. Ketika Han Liong memandang, ternyata kira-kira empat tombak dari pohon itu terdapat sebuah gua besar yang hitam dan gelap, bentuknya bagaikan mulut naga sedang menganga dengan batu-batu tajam di atasnya bergantungan ke bawah merupakan taring dan gigi naga. Kakeknya mendahului lompat dan lapun segara mengerahkan tenaganya terjun menyusul dan tiba di mulut gua dengan selamat. Han Liong mengikuti kakeknya memasuki gua itu yang ternyata panjang berliku-liku. Di dalam gua itu tampak sinar terang, dan ketika mereka sampai di situ, ternyata bahwa di atas
59
gua itu ada sebuah lobang yang memasukkan sinar matahari dan menerangi gua itu.
Di sebelah kanan ada pula lobang besar merupakan jendela. Ketika Han Liong menghampiri jendela itu dan memandang. Ia menjadi sangat kagum. Bukan main indahnya pemandangan yang nampak di luar jendela! Tamasya alam yang belum pernah dilihatnya seumur hidupnya. Daun-daun liu di hutan-hutan berkelompok-kelompok, beberapa anak sungai yang berkelak kelok bagaikan ular ular kecil, bukit-bukit yang berjajar-jajar rapi seakan-akan diatur oleh tangan seorang ahli, dihiasi dengan batu batu bundar besar berwarna hijau dan biru karena tertutup lumut, dan warna warni merah, kuning, biru dari bunga-bunga gunung merupakan hiasan terakhir dan terindah. Ia terpesona sejenak oleh lukisan alam yang luar biasa itu. Pikirannya menjadi tenang, tubuhnya terasa segar dan sedap.
“Han Liong, jangan melamun. Menghormatlah kepada Siansu,” kata kakeknya tiba-tiba. Han Liong terkejut dan segera menengok. Terlihat olehnya seorang tinggi besar berjubah putih, berkumis dan berjenggot putih yang panjangnya sampai ke perut. Wajahnya yang tua nampak amat agung, dan entah kapan ia masuk ke situ, karena serta merta ia telah duduk bersila di atas sebuah batu hitam berbentuk pat-kwa (segi delapan). Wajah yang agung itu menjadikan Han Liong merasa dirinya sangat kecil tak beiarti. Dengan penuh khidmat ia maju berlutut. Mulutnya berkata perlahan-lahan dengan penuh hormat,
60
“Teccu menghaturkan hormat.” Kam Hong Siansu membuka kedua matanya yang ternyata sangat bening seperti mata kanak-kanak.
“Anak baik, beristirahatlah dulu untuk mengembalikan tenagamu. Mulai besok sampai setahun penuh, kau akan sibuk belajar menambah pengetahuanmu.” Han Liong memberi hormat sekali lagi, kemudian ikut kakeknya ke ruangan dalam di mana tersedia sebuah kamar tanah kira-kira dua meter persegi,
Di mana tersedia sebuah batu yang rata untuk duduk. Kakeknya memberitahu bahwa ia hanya boleh mengaso atau tidur sambil bersila di atas batu itu! Demikianlah, tiap hari Han Liong menghadap Kam Hong Siansu di mana ia diperintahkan bersilat memperlihatkan segala macam kepandaian yang telah dipelajarinya dari keempat gurunya yang lalu. Untuk tiap ilmu pukulan maupun permainan senjata, selalu Kam Hong Siansu memberi petunjuk-petunjuk yang membuat gerakannya menjadi luar biasa, hingga ilmu silat pemuda itu mengalami perobahan penuh rahasia dan tak terduga. Petunjuk-petunjuk yang diberikan secara sabar dengan suara lemah lembut itu meresap betul ke dalam hati dan pikiran Han Liong hingga ia mendapat kemajuan sangat pesat.
Kam Hong Siansu sangat sayang kepadanya hingga orang tua pertapa yang berilmu tinggi itu turun tangan, menciptakan ilmu silat
61
tangan kosong yang dipetiknya dari semua pelajaran yang diperoleh anak muda itu. Ilmu pukulan ini dinamakannya Ilmu Silat Empat Bintang dan di dalam gerakan-gerakannya terkandung sari-sari pelajaran yang dipelajari Han Liong dari keempat suhunya. Selain dari itu, anak muda ini menerima pelajaran-pelajaran dasar ilmu batin yang tinggi, hingga batinnya menjadi kuat dan tenaga dalamnya mencapai tingkat tinggi. Pada suatu hari Kam Hong Siansu mengeluarkan sebilah pedang mustika yang terbuat dari logam putih laksana perak dan pedang itu ternyata lemas sekali hingga dapat dililitkan di pinggang merupakan ikat pinggang. Ia serahkan pedang itu kepada Han Liong sambil berkata,
“Anakku, kau berjodoh untuk memiliki pedang ini. Pokiam ini disebut Pek Liong Pokiam (Pedang Pusaka Naga Putih). Karena pokiam ini adalah barang pusaka yang suci, maka untuk memilikinya, orang harus terlebih dahulu dikuatkan tubuhnya oleh racun ouw-pek-coa (ular hitam dan putih) serta ia harus bersumpah dulu.” Dengan sangat hormat Han Liong menerima pedang itu lalu bersumpah.
“Teecu akan menjunjung tinggi prikebenaran, dan pokiam ini hanya akan teecu gunakan untuk membela yang lemah dan menindas yang jahat. Jika teecu gunakan pokiam ini untuk maktud-maksud tidak baik atau hanya untuk keuntungan diri teecu sendiri, biarlah teecu mati mendadak di bawah mata pedang ini sendiri!” Kam Hong Siansu tersenyum puas mendengar sumpah pemuda itu.
62
“Han Liong, ketahuilah olehmu, pokiam ini kudapat dari suhuku, dan suhu juga menerima dari gurunya. Maka setelah kau menerima pokiam ini, boleh dikata bahwa kaupun menjadi muridku.” Han Liong segera berlutut dan menyebut.
“Suhu!”
“Muridku, di dunia ini hanya ada dua bilah pokiam yang paling tua dan sempurna, ialah Pek-Liong-pokiam yang kau pegang itu dan yang kedua ialah Ouw-liong pokiam (Pedang Pusaka Naga Hitam). Pek-liong pokiam ini mengandung sari hawa Yang, sebaliknya Ouw-liong pokiam mengandung sari hawa Im. Selain merupakan senjata yang tajam dan ampuh, kedua pokiam itu juga dapat mengobati korban-korban racun jahat. Jika seorang terkena racun hingga mukanya berobah hitam, maka air yang dicelupi Pek-liong pokiam akan dapat menyembuhkannya dengan segera. Sebaliknya, jika racun itu membuat korbannya menjadi pucat seperti mayat, air yang dicelupi Ouw-liong-pokiam akan menjadi obatnya.”
“Bolehkah teecu bertanya, suhu. Di manakah adanya Ouw-liong pokiam itu dan siapa pula yang memilikinya?” tanya Han Liong.
“Ouw liong-pokiam berada dalam tangan sumoiku yang bertapa di Gunung Heng san. Nah, sekarang bersiaplah, muridku. Aku akan memberi pelajaran Pek-liong-kiamsut padamu. Belajarlah dengan
63
rajin, karena ilmu pedang ini walaupun nampaknya mudah, namun jika tidak dipelajari dengan tekun dan sepenuh hati, takkan ada manfaatnya. Tapi bila kau sudah mencapai kesempurnaan dalam ilmu ini, kukira, takkan mudah lain ilmu dapat mengalahkannya. Hanya Ouw liong-kiam-sut saja yang barangkali dapat menandingi!” Han Liong yang masih berlutut mengangguk-anggukkan kepala sambil menghaturkan terima kasih. Demikianlah, untuk beberapa bulan ia mempelajari Ilmu Pedang Naga Putih dengan giatnya hingga tak terasa musim Chun telah tiba pula. Pagi hari di musim Chun itu, ketika Han Liong masuk ke kamar Kam Hong Siansu, ternyata pertapa itu tidak ada dalam kamarnya. Yang ada di situ hanya kakeknya, Si Kim Pauw. Han Liong segera memberi hormat dan bertanya ke mana kakek selama setahun ini pergi hingga tak pernah ia melihatnya.
“Aku bertapa di lain bukit, cucuku. Sungguh kau beruntung, Liong, karena Pek-liong-pokiam menjadi milikmu. Dulu aku pernah mendengar sebuah dongeng tentang pokiam itu. Ribuan tahun yang lalu, di Gunung Kam-hong-san ini bertapa dua ekor naga sakti, seekor jantan berkulit putih dan seekor betina berkulit hitam. Kedua ekor naga sakti itu bertapa dan membersihkan diri untuk menjadi dewa. Hal ini menimbulkan rasa iri hati seorang pertapa yang juga bertapa di gunung itu. Ia merasa iri hati karena ia sendiri gagal dalam pertapaannya dan hatinya mengiri sekali melihat dua ekor naga itu nampak makin hari makin bercahaya karena sudah mendekati kesempurnaannya. Maka rasa iri hatinya menimbulkan pikiran jahat. Dilemparnya dua naga itu, tapi ia tak berhasil karena ternyata dua ekor naga itu amat sakti. Si pertapa menjadi sakit hati dan akhirnya ia berhasil mendapat semacam obat yang jahat dan
64
manjur sekali. Ia masuk dengan diam-diam ke ruang pertapaan kedua naga itu dan menyemburkan obat beracun itu ke arah hidung kedua naga itu. Ketika kedua naga itu mencium bau harum dan tersadar dari samadhi mereka, racun jahat itu telah bekerja. Hebat sekali jalannya racun itu hingga batin kedua naga yang sudah kuat itu tidak tahan menindas pengaruhnya. Mereka berdua dipengaruhi rasa nafsu berahi besar dan keduanya lalu bercampur. Setelah sadar mereka merasa sangat menyesal dan segera mengejar pertapa itu, lalu membunuhnya. Kemudian mereka bertapa kembali dengan hati sedih, tapi karena dosa yang telah mereka perbuat, pertapaan mereka gagal. Maka putuslah harapan mereka, lalu beribu tahun kemudian mereka menjelma menjadi sepasang pedang pusaka dan berniat menebus dosa dengan menjadi pedang guna membantu orang-orang gagah membela keadilan dan kebenaran. Nah, pedang Pek liong-pokiam inilah penjelmaan dari naga putih itu dan naga hitam menjelma menjadi Ouw liong-Pokiam.”
“Kongkong (kakek), benar-benar adakah dongeng itu, maksudku, benarkah terjadi peristiwa aneh itu?” Kakeknya tertawa.
“Aku tadi kan mengatakan bahwa semua itu hanya dongeng. Benar atau tidaknya, siapakah yang dapat menentukan? Kalau benar-benar ada, peristiwa itu telah terjadi ribuan tahun yang lalu. Dan siapakah orangnya di jaman ini dapat mengetahui apa yang terjadi pada waktu itu? Ini hanya dongeng, Liong, namun, sungguhpun hanya dongeng, di dalamnya terkandung arti dan nasehat yang sangat berguna. Maka, kau yang memiliki Pek-liong-pokiam, hati-
65
hatilah dan waspadalah terhadap godaan dari musuh yang tak nampak di mata, musuh yang jauh lebih jahat dan pada musuh yang berupa manusia, yang bagaimanapun buasnya ialah nafsu sendiri! Kuatkanlah batinmu untuk mengalahkan musuh yang seperti ini. Nah, mari kuantarkan kau keluar, karena Kam Hong Siansu kini sedang pergi keluar gunung dengan meninggalkan pesan bahwa hari ini adalah hari terakhir bagimu tinggal di tempat ini. Kau diharuskan keluar gua, turun gunung mulai dengan kewajibanmu.”
Han Liong berlutut memberi hormat ke arah tempat duduk Kam Hong Siansu dengan dilihat oleh kakeknya yang mengangguk-anggukkan kepala memuji kesopanan cucunya. Kemudian mereka keluar gua, melompat ke pohon di depan gua, lalu menggunakan kekuatan mereka melayang ke atas, tiba di tebing jurang dengan selamat. Ternyata keempat suhunya dan ie ienya sudah menanti di situ. Yo Toanio memeluk keponakannya dengan mengeluarkan air mata karena suka cita. Si Kim Pauw tidak lama di situ, setelah minta diri ia lalu terjun ke jurang kembali. Tapi ia tidak lupa untuk memberi nasehat-nasehat terakhir kepada cucunya yang tersayang itu. Han Liong dihujani pertanyaan-pertanyaan oleh kelima orang tua itu. Ia menceritakan pengalamannya dengan ringkas hingga mereka menjadi girang sekali. Pauw Kim Kong menghela napas.
“Tidak percuma Si Kim Pauw lo Enghiong menjadi menteri setia dan Si-Enghiong menjadi seorang patriot yang mengorbankan nyawanya demi tanah air dan bangsa.
66
Ternyata keturunan mereka telah menjadi orang pandai dan beruntung. Han Liong, kami hanya mempunyai satu keinginan, yakni melihat kau melanjutkan usaha ayahmu dan berbakti kepada bangsa. Negara sekarang sedang kacau, para durna memegang tampuk kekuasaan. Pembesar-pembesar rakus merajalela di kota, menindas rakyat sesuka hatinya. Di mana-mana berlaku hukum rimba, yang kuat menindas yang lemah, yang kaya menghisap yang miskin. Kasihan rakyat kecil yang tertindas, tiada pembela. Maka sudah menjadi kewajibanmu untuk membantu mereka yang tertindas yang butuh pertolongan. Kami sudah tua, tenaga kami tak seberapa, usia kami tak lama lagi. Maka, berilah kami kebahagiaan terakhir, yaitu, melihat kau yang menjadi murid kami melakukan tugas mulia mewakili kami.”
“Betul kata Pauw suhu, Liong,” menyambung Hong In sambil mengelus jenggotnya yang panjang.
“Hanya saja, sebagai tanda peringatan bagi kami, cobalah kau perlihatkan Ilmu Silat Empat Bintang ciptaan Kam Hong Siansu itu, kami ingin sekali melihatnya.”
Dengan segera Han Liong menyanggupi, lalu mulai bersilat. Mula-mula gerakannya lambat, indah dan menarik, makin lama makin cepat hingga tubuhnya tak tampak lagi, hanya kelihatan gundukan putih bergerak-gerak ke sana ke mari dengan cepatnya. Tidak
67
sedikitpun debu mengepul dari bawah kakinya, namun kelima orang tua itu merasa betapa angin pukulan yang dingin membuat jubah mereka bergerak-gerak, bagaikan tertiup angin gunung! Empat orang guru itu dengan tegas sekali melihat betapa ilmu-ilmu pukulan mereka digerakkan dalam cio-hwat Han Liong, tapi pecahan-pecahannya demikian ganjil dan cepat hingga mereka merasa betapa sukarnya menandingi seorang yang bersilat dengan cara demikian sulit. Sertamerta mereka bertepuk tangan setelah Han Liong menghentikan gerakannya. Dengan merendah Han Liong berlutut sambil berkata.
“Semua ini berkat didikan suhu sekalian dan ie ie. Teccu tak tahu bagaimana harus membalasnya!”
“Anak baik,” kata Yo Toanio, “Asal engkau menjadi seorang yang kenal pribudi kebaikan dan pembela kebenaran, maka itu sudah merupakan pembalasan budi yang besar terhadap kami.” Kemudian Liok-tee Sin-mo Hong In si Iblis Daratan memberitahu kepada Han Liong bahwa ia mempunyai dua orang murid bernama Bhok Kian Eng dan Lie Kiam yang kedua-duanya kini berada di kota Tong hai. Lain orang murid Pauw Kim Kong adalah Bie Cauw Giok yang berada di kota Lam chiu. Kedua guru ini berpesan agar Han Liong dalam perjalanannya menemui mereka itu. Lain-laln guru tidak mempunyai murid lain kecuali Han Liong. Setelah menerima nasehat-nasehat penting, Han Liong berangkat merantau, menggendong bungkusan kuning pemberian bibinya yang berisi dua pasang pakaian dan beberapa potong perak dan
68
emas. Keempat suhunya serta bibinya melihat ia pergi dengan hati terharu.
Si Han Liong yang sudah mendapat petunjuk dari bibinya, langsung menuju ke kota Lam-ciu di mana ibunya dan musuh besarnya tinggal! Tapi alangkah kecewa hatinya ketika tiba di kota itu ia mendapat keterangan bahwa Tiat-kak-liong Lie Ban telah beberapa bulan yang lalu pindah ke kota Hong-lung-cian beserta keluarganya. Kota ini jauhnya ratusan li dari Lam-ciu dan jika ditempuh jalan darat berkuda kira-kira sepuluh hari baru sampai. Ada jalan yang lebih dekat, yaitu jalan air sepanjang Sungai Lien-ho dengan naik perahu. Karena memang maksudnya pergi merantau meluaskan pengalaman, maka ketika mendengar bahwa jalan melalui sungai lebih indah pemandangannya, Han Liong mengambil keputusan menyewa perahu. Maka pergilah ia ke perkampungan nelayan yang tinggal di dekat Sungai Lien ho,
Perkampungan itu besar juga, dan penduduknya hidup dari hasil ikan sungai dan ada pula yang khusus berpenghasilan dari menyewakan perahu, baik untuk berpesiar maupun untuk menyeberang sungai yang lebar itu.
“Kalau tuan mau pelesir, sekarang ini musimnya baik sekali, air sungai tenang dan jernih. Jika sedang banjir, ah, jangan harap berpelesir naik perahu,” kata seorang nelayan tua sambil menawarkan perahunya. “Tuan hendak pesiar ke mana?” Han Liong tersenyum.
69
“Aku tidak hendak pesiar, tapi hendak menyewa perahu untuk membawaku ke kota Hong-lung cian. Berapakah sewanya?”
“Ke kota Hong-lung cian?” Nelayan tua itu geleng-geleng kepala. “Ah, lebih baik jangan tuan.”
“He, apa maksudmu? Kenapa?” tanya Han Liong.
“Dengar tuan muda. Aku adalah nelayan tertua di kampung ini, dan aku memiliki perahu yang terkuat. Naik perahu Lo Sam sama dengan rasa tidur di ranjang, demikian orang-orang kota di sini berkata. Bukan aku hendak menyombong, tapi selama pekerjaanku mengantar orang-orang dengan perahuku dalam tiga puluhan tahun ini, belum pernah aku mengalami kecelakaan, kecuali ketika bajak sungai Hek Sam Ong mencegatku. Ke mana saja tuan akan kuantarkan dengan jaminan keselamatan penuh, tapi ke Hong-lung-cian? Tidak, tuan muda, aku tak berani.”
“Mengapa? Ada apakah di Hong-lung cian?” tanya Han Liong.
“Di Hong-lung-cian sendiri tidak ada apa-apa!” jawab kakek itu, “Tapi perjalanan dari sini ke Hong-lung-cian harus melalui Gunung Hek-houw-san yang penuh dengan rimba raya. Sungai Lien-ho ini
70
di daerah itu memasuki hutan lebat sejauh sepuluh li lebih, dan tempat itulah yang ditakuti oleh para nelayan dan pelancong, karena penuh dengan bajak-bajak sungai. Di mulut hutan depan terjaga oleh bajak laut gerombolan Hek Sam Ong dan di mulut belakang dijaga oleh Oei-Coa Tai-Ong dengan gerombolannya. Kedua bajak ini sudah terkenal kekejaman dan kejahatannya. Andaikata kita bisa melewati Hek Sam Ong dengan selamat, tapi tak mungkin kita bisa keluar dari hutan itu dan melewati Oei-Coa Tai-Ong si Ular Kuning. Sudahlah, tuan muda batalkan sajalah niat tuan muda itu kalau masih ingin hidup.” Mendengar keterangan ini, Han Liong menjadi gembira. Tugasku pertama untuk menghalau bahaya rakyat ini, pikirnya.
“Lopek yang baik,” katanya tertawa, “kiranya daerah itu aman, bisakah kau antar aku aku ke Hong-lung-cian?”
“Tentu saja bisa.”
“Dan berapa biayanya?”
“Hm, paling sedikit tujuh tail perak.” Han Liong merogoh buntalannya dan ia mengeluarkan sepuluh tail perak.
71
“Nah, ambilah uang ini kalau kau mau membawa aku ke sana. Dan sesampainya di sana nanti aku tambah satu tail lagi.” sambung Han Liong.
“Eh, eh, lupakah kau, tuan muda? Tadi sudah kuceritakan bahwa di daerah Hek-houw-san...”
“Aku sudah tahu, lopek. Tapi aku tidak takut, dan aku berjanji bahwa bajak-bajak itupun takkan mungkin berani mengganggumu seujung rambutpun!” Kakek nelayan itu memandangnya dengan tak percaya, maka Han Liong segera menghampiri sebuah batu kali yang besar dan hitam di dekat itu, ia menggunakan sepuluh jari tangannya menyodok batu itu.
“Nah lihatlah, lopek. Bukan aku hendak memamerkan tenaga, tapi apakah kiranya batok kepala kedua raja bajak itu lebih keras dari batu ini?” Lo Sam tak mengerti maksud pemuda itu lalu datang mendekati Han Liong. Ia sangat kagum dan heran sekali melihat batu hitam yang keras itu berlobang-lobang karena tusukan jari anak muda itu! Ia mengangguk-angguk tapi masih agak sangsi.
“Kau rupanya seorang gagah, tuan muda, tapi jangan lupa, kawan-kawan mereka sangat banyak.”
72
“Jangan khawatir, Lopek yang baik.” Akhirnya Lo Sam terima juga tawaran Han Liong dan mereka berangkat. Perahu Lo Sam walaupun sudah tua, tapi masih cukup kuat dan atapnyapun baru saja diganti hingga jika turun hujan tidak bocor. Betul sebagaimana kata orang, pemandangan di sepanjang jalan sangat indah, hawapun sejuk sekali hingga Han Liong merasa sangat gembira. Apalagi Lo Sam ternyata pandai bicara dan banyak dongengnya, maka pemuda Itu tidak merasa kesepian. Setelah perahu melaju sepanjang tepi sungai sehari semalam lamanya, pada hari kedua pagi-pagi mereka melihat bahwa, sungai itu berbelok memasuki hutan. Di depan mereka nampak gunung kecil tinggi, penuh pohon-pohon belukar.
“Hati-hatilah, kongcu, bukit itu ialah Hek-houw san...” Belum habis Lo Sam bicara, tiba-tiba terdengar suara bersiutnya sebatang anak panah ke atas kepala mereka!
“Celaka, kongcu!!” Lo Sam mengeluh, tapi Han Liong yang sedang membaca buku yang dibelinya di kota Lam-ciu, hanya tersenyum saja sambil melanjutkan bacaannya dengan suara keras. Perahu terus didayung maju menambah kecepatannya hanyut terbawa air sungai. Kedua kali panah melayang di atas kepala mereka, kini lebih rendah.
“Bagaimana baiknya, kongcu?” Lo Sam mulai gemetar dan ketakutan.
73
“Kayuhlah perahu ke tengah,” berkata Han Liong yang masih tenang. Perahu didayung ke tengah, tapi dari arah gerombolan pohon di tepi sungai melayang tiga batang anak panah menuju ke arah mereka! Han Liong menggunakan bukunya mengebut dan angin kebutannya membuat anak-anak panah itu mencong ke samping dan masuk ke air. Gerakannya ini, demikian sewajarnya, seakan-akan tak disengaja hingga Lo Sam sama sekali tidak tahu bahwa pemuda itulah yang membuat anak-anak panah itu tidak mengenai sasarannya. Maka ia menjadi gemetar ketakutan hingga kedua tangannya tak kuat mendayung lagi.
“Masuklah saja, lopek, biar aku yang ganti mengemudikan perahu,” kata Han Liong. Tawaran ini ditolak keras oleh Lo Sam,
“Apa kongcu kira aku ini orang yang serendah-rendahnya? Biar usiaku sudah tua, biar tenagaku sudah lenyap, biarpun telah kukatakan terus terang bahwa aku tangat ketakutan, tani aku tidak sudi meninggalkan kewajibanku!” Dan ia terus mendayung, kini ia mulai berani, agaknya diperkuat oleh pernyataannya yang bersemangat itu. Kemudian dari arah pantai tampak tiga buah perahu dangan sangat laju mengejar mereka. Ketiga perahu itu bercat hitam dan bergambar ular dan kepala perahunyapun merupakan kepala ular yang sedang membuka lebar mulutnya. Dengan cepatnya perahu itu dapat mengejar perahu Lo Sam, dan sekarang terlihat bahwa di tiap perahu duduk tiga orang tinggi besar memegang golok. Perahu pertama berada paling dekat dan
74
di situ berdiri seorang berpakaian hijau membolak-balikkan goloknya.
“He, perahu di depan, ayoh berhenti dan ke pinggir! Tinggalkan dulu barang-barangmu,” teriak bajak itu.
“Yang ada hanya barangku sendiri, kenapa harus ditinggalkan? Kami kan tidak punya hutang padamu.” jawab Han Liong.
“Jangan banyak mulut kau, anjing kecil,” bajak itu mengancam.
“Mulutku hanya satu, anjing besar.” Han Liong mempermainkan bajak itu, hingga ia menjadi marah. Karena perahu mereka kini hanya terpisah paling jauh satu tombak, bajak itu mengayun kakinya meloncat ke arah perahu Han Liong sambil mengangkat goloknya! Han Liong tekankan tangan kirinya pada kepala perahunya yang segera meluncur ke samping seakan-akan terdorong dari sisi oleh tenaga yang kuat sekali. Tidak heran bahwa ketika kaki bajak yang melompat itu turun, ia mencebur ke dalam air karena perahu itu seakan-akan berkelit! Kawan-kawan bajak itu merasa heran, bahkan ada beberapa orang diantara mereka melihat pemimpin mereka begitu bodoh hingga melompat ke perahu begitu dekatpun tidak becus! Sama sekali mereka tidak sangka bahwa bukan pemimpin mereka yang tak dapat melompat, tapi adalah tenaga Han Liong yang kuat telah membuat perahu seakan-akan menyingkir.
75
“Ayoh serbu!” teriak seorang bajak lain yang segera meloncat pula ke arah perahu Han Liong. Tapi kembali ia menginjak tempat kosong dan mencebur juga ke dalam air. Sementara itu Lo Sam terheran heran dan berkaki-kali berteriak,
“Eh, eh, eh!!” dikala perahunya kelihatan seperti berjiwa dan dapat bergerak ke sana ke mari berkelit menghindarkan kaki para bajak yang melompat. Akhirnya semua bajak yang berjumlah sembilan orang itu masuk ke dalam air.
“Teruskan dayung, Lo Sam.” kata Han Liong, tapi di saat itu pemimpin bajak sambil menggigit goloknya telah berenang mendekat dan hendak menggunakan tangannya memegang pinggiran perahu. Lo Sam melihat ini segera mengangkat dayungnya dan memukul tangan yang memegang pinggiran perahunya itu, hingga si bajak menjerit kesakitan karena jari-jari tangannya dipukul keras!
“Bagus, Lo Sam, kau sungguh gagah,” Han Liong memuji dan Lo Sam dengan wajah bangga segera mendayung perahunya laju ke depan, meninggalkan para bajak itu berenang kembali ke arah perahu mereka dan segera mengejar kembali dengan secepat mungkin.
76
“Cepat, Lo Sam, gunakan seluruh tenagamu. Mereka datang mengejar!” kata Han Liong yang lalu mengambil dayung cadangan yang kecil dari dalam perahu dan mulai membantu dengan perlahan.
“Ayoh bantu, jangan perlahan begitu, kuat-kuat!” teriak Lo Sam yang sibuk juga melihat bajak-bajak dengan pakaian basah kuyup itu membalapkan perahu mereka mengejar.
“Aku tidak biasa, kaulah yang harus mendayung kuat-kuat,” jawab Han Liong, tapi sementara itu ia mengerahkan tenaganya. Lo Sam juga menggunakan seluruh kepandaian dan tenaganya yang sudah tua untuk membuat perahu mereka meluncur cepat. Sebentar saja perahu mereka dengan laju dan cepat maju ke muka, dan meninggalkan para bajak itu berteriak-teriak.
“Kau kuat sekali, Lo Sam,” Han Liong memuji dan kendurkan tenaganya. Perahu menjadi perlahan majunya dan Lo Sam mengaso dengan napas terengah-engah.
“Kalau cuma bajak-bajak kecil itu saja mana bisa mengejarku,” katanya sombong.
77
“He, Lo Sam, mengapa bajak-bajak itu berhenti mengejar?” tiba-tiba Han Liong bertanya. Lo Sam menengok ke belakang, tapi matanya yang tua hanya melihat titik-titik hitam jauh di belakang.
“Kau tidak tahu, kongcu, sekarang kita sudah memasuki daerah yang dikuasai Oei-Coa Tai-Ong, maka kita harus hati-hati. Bajak-bajak yang tadi adalah anak buah Hek Sam Ong.” Betul saja, ketika perahu mereka sampai di sebuah tikungan, ternyata di depan telah menghadang sepuluh buah perahu besar yang memenuhi sungai. Tiap perahu memuat lebih kurang dua kelas orang berpakaian kuning yang semuanya memegang senjata tajam. Yang terdepan adalah sebuah perahu besar warna kuning pula, di mana berdiri seorang pendek gemuk yang berwajah seperti kanak-kanak. Di pinggang orang ini tergantung pedang.
“Awas, itu dia Oei-Tai-Ong sendiri mencegat kita,” Lo Sam berbisik dengan suara gemetar. Han Liong melihat bahwa perahunya tak mungkin lewat, bangun berdiri lalu menjura kepada kepala bajak itu.
“Maafkan kami Tai-Ong, apakah sebabnya maka Tai-Ong, mencegat kami?” Kepala bajak itu tersenyum dan balas menjura, “Hohan, kami sudah mendengar akan sepak terjangmu ketika diganggu oleh anak buah Hek sute tadi. Maka kini siauwte sendiri mengundangmu untuk singgah sebentar belajar kenal.” Han Liong heran akan keluar biasaan orang ini. Demikian cepat ia telah tahu akan peristiwa tadi dan dapat menduga bahwa ia adalah seorang
78
yang berkepandaian. Maka tak ragu-ragu lagi ia menjura sambil menjawab,
“Baiklah, Tai-Ong, dan terima kasih atas budimu ini.” Dengan ketakutan, tapi bercampur terheran-heranan. Lo Sam menurut saja ketika perahunya ditarik ke pinggir. Dengan tenang Han Liong melangkah turun lalu bersama-sama Oei-Coa Tai-Ong Si Ular Kuning, berjalan menuju ke tengah rimba. Di sepanjang jalan menuju ke kemah raja sungai itu nampak barisan bajak berdiri rapi berjajar sambil memegang golok atau tombak, merupakan barisan kehormatan.
Ternyata Hek Sam Ong sendiri juga berada di situ. Ia adalah seorang tinggi besar, berkulit hitam dan cambang bauknya lebat menakutkan. Dialah yang mendahului datang ke situ dengan anak buahnya untuk ikut mencegat anak muda yang istimewa itu. Di dalam ruangan kemah telah tersedia meja penuh hidangan. Oei-Coa Tai-Ong duduk di kursi tuan rumah, di kanannya duduk Hek Sam Ong dan di kirinya disediakan kursi untuk Han Liong. Masih ada dua orang lagi duduk di meja itu, ialah Kong Tat dan Kong Ta yang dijuluki orang Sepasang Garuda Sungai Lien-ho dan menjadi pembantu kedua bajak sungai itu. Hek Sam Ong mengambil sepasang sumpit lalu menghampiri Han Liong. Ia tancapkan sumpit itu di depan Han Liong sambil berkata,
“Terimalah sumpit untukmu, tuan yang gagah.” Sepasang sumpit itu menancap di meja sampai satu dim lebih. Han Liong tersenyum
79
melihat demonstrasi tenaga dalam ini dan ia menepuk-nepuk meja sambil berseru,
“Bagus! Bagus!” Sungguh ajaib, biarpun ia hanya menepuk perlahan saja, namun sepasang sumpit gading yang tertancap di atas meja itu berlompatan ke atas dan jatuh kembali tepat di atas lobang yang tadi hingga tetap berdiri di atas meja. Hek Sam Ong menjura dan mundur, lalu duduk kembali ke atas kursinya. Tiba-tiba terdengar suara ketawa Oei-Coa Tai-Ong yang bangun berdiri, sambil menjura ke arah Han Liong.
“Saudara masih muda tapi berilmu tinggi, bolehkah kiranya saya mengetahui namamu?”
“Siauwte yang rendah bernama Han Liong she Si, harap Tai-Ong tidak tertawakan kebodohan siauwte,” jawab Han Liong.
“Ah, ah, sudah pandai, sopan santun pula. Jarang menjumpai seorang muda seperti kau, Si Enghiong. Aku yang kasar sudah sepatutnya memberi hormat dengan secawan arak.” Ia menutup kata-katanya ini dengan menuangkan arak dari guci secawan penuh. Arak di cawan itu penuh sekali hingga hampir melimpah, tapi aneh benar, seakan-akan ada tenaga yang menahan arak itu hingga tak sampai tumpah, si pendek gemuk itu lalu maju selangkah ke arah Han Liong,
80
“Terimalah hormatku melalui secawan arak ini, Si Enghiong.” Ia berikan cawan arak itu kepada Han Liong, tapi diam-diam ia mengerahkan tenaga Iweekangnya menekan ke bawah.
Ketika Han Liong menerima cawan itu, ia merasa suatu tenaga besar menekan ke bawah. Ia tersenyum dan ingin unjuk kepandaiannya, karena kalau sampai tangannya tertekan dan arak yang hampir melimpah itu tumpah, ia akan mendapat malu. Dengan tenang ia terima cawan itu dan pada saat itu juga Oei-Coa Tai-Ong diam-diam merasa terkejut sekali, karena ia merasa cawannya itu seakan-akan menyentuh kapas, namun demikian seakan-akan dasar cawan lekat pada tangan pemuda itu! Oei-Coa Tai-Ong kerahkan tenaganya makin keras, tapi kali ini ia merasa tangannya sakit sekali karena tenaganya sendiri membalik hingga terasa sampai ke tulang-tulangnya! Terpaksa ia lepaskan cawan itu. Han Liong dengan senyum di bibir mengangkat cawan arak itu ke arah mulutnya lalu memiringkan cawan itu untuk menuangkan arak itu ke mulutnya.
“Ah, arakmu terlalu kental, tai ong,” kata Han Liong. Semua orang heran melihat arak itu melimpah ke sisi cawan, tapi tidak juga jatuh atau tumpah. Han Liong tanpa minum araknya meletakkan kembali cawan itu ke atas meja. Ketika ia melepaskan tangannya, maka arak itu tumpah dan membasahi meja. Oei-Coa Tai-Ong tersenyum menyindir,
81
“Rupanya kau pandai ilmu iweekang, anak muda. Entah bagaimana pula ilmu silatmu!”
“Siauwte hanya bisa satu dua jurus ilmu pukulan yang tidak berarti saja,” jawab Han Liong tetap merendah.
“Jangan banyak tingkah. Marilah kau coba ilmu silatmu dengan kami dua saudara Garuda Sungai Lien-ho,” tiba-tiba Kong Tat menantang.
“Satu sama satu juga aku tidak mungkin menang, apa lagi dikeroyok dua.” kata Han Liong, tapi ia bangun juga berdiri dengan sabar. Tiba-tiba di sudut dilihatnya Lo Sam duduk dengan beberapa orang pemimpin laskar bajak yang sedang menggodanya dan melolohnya dengan arak.
“He, Lo Sam, kesinilah kau!” teriak Han Liong. Tapi ketika Lo Sam hendak berdiri, beberapa orang bajak memegang lengannya dan memaksanya duduk kembali. Han Liong segera bertindak menghampiri dan memegang lengan Lo Sam untuk diajaknya pindah duduk. Tapi lengan Lo Sam yang sebelah lagi masih dipegang oleh dua orang berandal. Han Liong menyambar sumpit Lo Sam dan menggunakan sumpit itu untuk mengetok dengan perlahan tangan orang-orang yang memegangi Lo Sam. Terdengar jeritan-jeritan ngeri dan dua orang itu berjingkrak-
82
jingkrak kesakitan sambil memegang lengannya yang terketok sumpit itu. Mulut mereka tiada hentinya mengeluh.
“Aduh, aduh!” Tiga orang bajak lain merasa penasaran dan dengan golok mereka menyerang Han Liong. Han Liong menggunakan sumpit kayu itu menangkis dengan sekali kebut.
“Traang!!” Tiga buah golok itu terpental jauh, bahkan sebuah diantaranya meluncur cepat melukai kaki seorang bajak lain! Melihat kelihaian pemuda ini para bajak sungai itu menjadi takut dan tak berani bergerak. Dengan tenang Han Liong menggandeng tangan Lo Sam dan kembali ke tempatnya. Kemudian ia menghadapi Sepasang Garuda Sungai Lien-ho yang menantangnya tadi sambil tersenyum.
“Bagaimanakah, jiwi, apakah jiwi ingin maju satu-satu atau terpaksa mengeroyok!”
“Kalau kau takut melawan kami sepasang, kami akan maju satu-satu!” kata Kong Tat dengan kesal.
“Bagaimana, Lo Sam? Beranikah kiranya aku sekali tempur melayani kedua Enghiong ini?” Lo Sam kini percaya penuh akan kegagahan Han Liong. Hatinya telah menjadi tetap dan timbul sifat sombongnya.
83
“Jangankan baru mereka berdua, biar semua maju sekali serentak, kurasa kongcu masih sanggup melayaninya.” Demikian ia membual agar jangan “kalah muka” dengan para bajak yang dibencinya itu.
“Mari maju kemari!” Kong Tat menjadi marah mendengar ini, ia menantang Han Liong sambil menuju ke tempat yang lapang dengan Kong Ta, lalu berdiri memasang kuda-kuda dengan berjejer, di tangan masing-masing memegang sepasang golok besar. Han Liong bertindak tenang menghampiri kedua orang itu dengan tangan kosong. Lo Sam melihat jagonya maju tak bersenjata, segera ingat betapa tangkasnya Han Liong tadi memainkan sumpit melayani tiga orang bajak bersenjata golok. Ia meloncat ke arah meja dan memilih sepasang sumpit gading. Diambilnya sumpit itu lalu ia lari ke arah Han Liong.
“Kongcu, kau tak bersenjata, ini senjatamu!” Ia sangka bahwa Han Liong memang biasa bersenjata sumpit! Han Liong tersenyum dan menerima sumpit itu sambil berkata,
“Terima kasih, Lo Sam.” Sepasang Garuda Sungai Lien-ho sangat kesal dan marah melihat betapa lawan mereka itu sangat memandang rendah kepada mereka.
84
“Kau hanya bersenjata sepasang sumpit? Jangan menyesal kalau nyawamu melayang karena keangkuhanmu ini, anak muda!” kata Kong Ta dengan mata merah.
“Silakan maju menyerang, jiwi Enghiong.” tantang Han Liong. Dengan mengeluarkan bentakan keras, Kong Tat mengayun golok di tangan kanan menyerang dengan sabetan Garuda Menerkam Ular. Kong Tat menimpali serangan kakaknya dengan menusukkan goloknya ke arah pinggang lawan dalam tipu Garuda Menyambar Kelinci. Han Liong dengan tenang mengangkat kedua sumpitnya, sumpit kiri menyampok golok yang akan mengenai leher dan sumpit kanan menolak tusukan golok ke pinggangnya. Kedua saudara Kong merasa telapak tangan mereka sakit ketika golok mereka terpental oleh tangkisan anak muda itu. Mereka menjadi hati-hati dan mengurung Han Liong dari kiri kanan. Serangan-serangan mereka diatur bertubi-tubi dan berpasangan.
(Lanjut ke Jilid 03)
Pedang Pusaka Naga Putih (Seri 04 - Serial Jago Pedang Tak Bernama)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 03
Kalau dari kiri menyerang bagian atas, dari kanan menyerang bagian bawah, kalau yang kiri menyerang bagian kanan, yang
85
kanan menyerang bagian kiri, hingga Han Liong seakan-akan terkurung oleh empat buah golok di semua bagian! Tak percuma kedua saudara Kong itu mendapat julukan Sepasang Garuda Sungai Lien-ho, karena gerakan-gerakan mereka yang cepat dan bertenaga serta ganas itu memang seakan-akan merupakan dua ekor garuda yang menyambar-nyambar dan mencakar-cakar dengan empat caka mereka! Tapi sekali ini mereka malang sekali berjumpa dengan Han Liong, seorang muda yang tubuhnya terlatih semenjak kanak-kanak dan dikuatkan oleh darah Ouw-pek coa, kemudian menerima pelajaran dari empat orang guru-guru yang sangat tinggi ilmunya, sekaligus, lalu dimatangkan pula oleh bimbingan Kam Hong Siansu, seorang pertapa berilmu paling tinggi yang jarang ada taranya di masa itu.
Empat buah golok mereka tak berdaya sama sekali terhadap Han Liong. Gerakan anak muda itu terlampau cepat bagi mereka, ditambah dengan gerakan-gerakan ilmu silat yang aneh dan tak terduga pecahannya. Suara trang-treng-trong beradunya golok dengan sumpit makin sering terdengar dan mata kedua saudara Kong itu menjadi silau melihat bayangan Han Liong berkelebat ke sana ke mari diantara sambaran golok mereka. Han Liong melayani mereka dengan gunakan Ouw-wan-ciang-hoat warisan gurunya Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat si mata satu. Sebenarnya ilmu ini adalah ilmu pukulan tangan kosong, tapi karena Han Liong sudah mendapat pimpinan Kam Hong Siansu, maka ia dapat mainkan itu dengan menggunakan sumpit. Bahkan sumpitnya balas menyerang dengan selalu tertuju ke arah jalan darah musuh dengan gerakan Su-sat-chiu.
86
Baru saja pertempuran berjalan kurang lebih tiga puluh jurus, kedua saudara Kong itu sudah menjadi sangat sibuk menangkis serangan balasan Han Liong, karena mereka merasa, yang menyerang mereka seakan-akan bukan dua batang sumpit, tapi lebih dari enam sumpit! Tiba-tiba, ketika Kong Tat dari kanan menyambar kaki Han Liong dengan golok kanan, pemuda itu tidak mengelak atau menangkis, tapi bahkan memapaki golok itu dengan kakinya! Gerakannya demikian cepat dan sebelum Kong Tat tahu bagaimana cara Han Liong melakukan itu, tiba-tiba saja jari tangan kanannya yang memegang golok telah tertendang hingga terpaksa ia melepaskan goloknya dan terlempar jauh! Kemudian menyusul sebuah sumpit menotok tulang pundak kirinya dan ia berteriak keras, golok di tangan kirinya terlepas dan sebelah lengan kirinya menjadi lumpuh! Kong Ta menolong saudaranya dengan memutar goloknya seperti baling-baling menyerang lawannya,
Tapi tiba-tiba Han Liong membalikkan tubuhnya dengan ilmu Oei-liong-coan-sin atau Naga Kuning Memutar Tubuh, satu gerakan dari warisan gurunya Bie Kong Hosiang. Gerakan inipun seharusnya dilakukan dengan menggunakan golok atau pedang, tapi pada saat itu, kekuatan sepasang sumpit Han Liong sudah cukup untuk menggantikan dua macam senjata panjang itu. Terdengar suara benda beradu keras sekali dan tanpa terduga sepasang golok Kong Ta terlempar ke atas, lalu terdengar teriakan Kong Ta karena Han Liong secepat kilat menotok iganya hingga ia terjungkal untuk tak dapat bangun kembali! Kawanan bajak yang
87
dipimpin oleh Oei-Coa Tai-Ong berteriak-teriak marah dan mengurung anak muda itu, lalu atas isyarat kepalanya, mereka menyerbu dengan senjata golok, tombak dan toya! Lo Sam menjadi ketakutan dan bersembunyi di tempat aman.
“He, Oei-Tai-Ong, mengapa tindakanmu rusuh begini?” tegur Han Liong sambil menangkis puluhan tombak dan golok itu. Tapi musuhnya tak menjawab, bahkan segera ikut menyerang dengan pedangnya. Juga Hek Sam Ong memutar toya besinya yang menerbitkan angin menderu-deru karena tenaganya yang besar. Han Liong melayani mereka dengan tenang sebentar saja lima orang bajak tertendang olehnya sampai jatuh bangun. Tiba-tiba di luar kepungan itu terjadi keributan dan beberapa orang bajak menjerit-jerit kesakitan. Ketika Han Liong melirik, ternyata di sana terdapat seorang gadis muda yang berpakaian cara laki-laki tengah mengamuk dengan siang-kiam (sepasang pedang) yang gerakannya sangat gesit dan lincah. Kemudian gadis itu memburu ke arah Han Liong yang sedang dikeroyok dan berteriak nyaring.
“Hei, bangsat Oei-coa dan Hek Sam!! Kembali kamu memperlihatkan sifat pengecut!” Kedua kepala bajak itu heran dan segera membentak semua orangnya agar berhenti. Han Liong yang dilepaskan dari kepungan juga memandang gadis itu dengan berdiri tenang. Lo Sam keluar dari tempat sembunyinya dan mendekati Han Liong.
88
“Eh, eh. Gadis kecil dari manakah berani datang mengacau?” Oei-Coa Tai-Ong menegur.
“Ketahuilah olehmu kepala bajak jahat. Beberapa hari yang lalu ketika pegawai ayahku lewat di sini, kamu telah membajaknya dan barang-barangku juga terbawa dalam rampasanmu. Kamu tidak tahu siapa ayahku dan tidak tahu pula kelihaianku, ya? Nah, hari ini aku datang untuk menghukummu!”
“Hm, anjing betina tak tahu malu!” Hek Sam Ong memaki karena perasaan tak puas melihat lagak gadis itu. “Kau kira kami takut padamu?” Han Liong memandang gadis itu dengan kagum akan keberaniannya, tapi ia berbareng tak senang melihat kelancangan gadis semuda itu berani datang mengantarkan diri memancing bahaya di gua harimau. Mendengar makian keji itu mata gadis yang bening dan bagus seperti mata burung Hong itu bersinar-sinar marah dan seperti hendak mengeluarkan api.
“Kurang”ajar!” hanya demikian ia berseru lalu kedua kakinya bergerak. Kegesitannya hebat juga karena tahu-tahu ia telah melompat ke depan Hek Sam Ong dan menyerangnya dengan tusukan maut! Hek Sam Ong adalah seorang yang telah banyak pengalaman dalam bertempur, dan toyanya adalah toya besi besar dan berat, ditambah pula dengan tenaganya yang sekuat kerbau, maka ia merupakan lawan yang bukan ringan. Segera ia menangkis dengan toyanya dengan sepenuh tenaga. Tapi gadis itu ternyata lihai benar, karena dari sambaran toya ia telah maklum
89
akan kekuatan tenaga lawan, maka ia menarik kembali pedangnya agar jangan sampai beradu dengan toya, lalu pedang kiri menyabet leher dan pedang kanan yang ditarik mundur sudah bergerak maju pula menusuk lambung!
“Bagus!” diam-diam Han Liong memuji karena gerakan pedang Taufan Mengamuk di Lautan ini dimainkan dengan gaya indah sekali, Hek Sam Ong tundukkan kepala dan loncat mundur untuk menghindarkan diri dari serangan berbahaya itu dan si nona mendesak maju. Dua orang bajak yang tak senang melihat gadis itu dan berbareng kagum melihat kecantikannya, menggunakan gagang tombak mereka untuk memukul dari belakang ke arah dua lengan tangan gadia itu. Tapi tiba-tiba si gadis melompat ke atas dan turun kembali sambil kedua pedangnya berkelebat ke kanan dan ke kiri, tahu-tahu kedua bajak itu menjerit sambil roboh karena leher mereka tertusuk pedang sampai tembus!
“Serbu! Tangkap!!” Demikian terdengar teriakan-teriakan dan semua bajak yang tadinya mengeroyok Han Liong, kini berbalik mengepung nona itu dengan teriakan-teriakan riuh rendah. Oei-Coa Tai-Ong menghampiri Han Liong sambil menjura,
“Sobat muda, sekarang lebih baik kau pergi saja, karena urusanmu sudah beres dan kami sedang sibuk dengan kuda betina liar ini!” katanya. Diam-diam Han Liong merasa geli karena ia tahu akan kelicinan kepala bajak ini. Setelah tahu bahwa Han Liong bukan makanan lunak dan tidak membawa harta, maka kepala yang
90
pintar itu mengambil kesempatan ketika semua orang tidak melihat, sehingga ia tidak akan hilang muka, minta Han Liong pergi saja dari tempat itu! Tapi Han Liong bukannya pergi malahan mengambil sebuah kursi dan duduk dengan enak.
“Aku mau nonton dulu,” katanya. “Gampang saja pergi kalau tontonan bagus ini sudah selesai.” Oei-Coa Tai-Ong tidak perdulikan ia lebih jauh karena ia harus membantu Hek Sam Ong yang nampak payah, sedangkan beberapa orangnya telah rebah mandi darah menjadi korban sepasang pedang yang ganas dari nona itu. Karena banyaknya korban, maka akhirnya para bajak hina itu tidak berani lagi mendekati rona yang sedang mengamuk seperti singa betina itu, takut kepada sepasang pedangnya yang berbahaya dan tajam.
Mereka hanya melihat dari tempat aman bagaimana kedua Tai-Ong mereka dengan dibantu tiga orang pemimpin yang agak tinggi ilmu silatnya, mengeroyok gadis itu. Hek Sam Ong memainkan toyanya dengan ilmu toya dari cabang Siauw-lim yang sudah berobah, tapi masih cukup berbahaya, sedangkan Oei-Coa Tai-Ong memainkan pedangnya dengan ilmu silat pedang campuran antara ilmu pedang dari Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) dan kiam-hoat dari Gobi. Permainan silat kedua tai ong ini memang bagus sekali, ditambah dengan tiga pemimpin lain yang lumayan juga permainan goloknya, maka perlahan-lahan si;nona terdesak juga dan lebih banyak menangkis daripada menyerang. Tapi gadis itu meskipun usianya masih sangat muda tapi semangat dan
91
keberaniannya besar sekali. Ia kertakkan gigi dan memutar siang-kiamnya bagaikan kitiran.
Pada saat itu dengan gerakan Burung Kepinis Bermain di Angkasa ia melompat ke atas menghindari sapuan toya dan tikaman pedang kedua Tai-Ong itu, lalu dengan mengandalkan ginkangnya yang tinggi, ia melayang secepat kilat sambil menikamkan pedangnya ke arah leher seorang daripada tiga pemimpin yang mengeroyoknya. Hek Sam Ong menggerakkan toyanya untuk menangkis dan menolong kawannya, tapi tiba-tiba ia merasakan toyanya seakan-akan terbentur sesuatu dan terpental balik, hingga serangan nona itu tidak ada yang menghalangi. Terdengar teriakan ngeri dibarengi dengan tersungkurnya kepala bajak tadi karena lehernya hampir putus oleh pedang si nona! Sisa pengeroyoknya yang tinggal empat orang itu menjadi hilang akal juga melihat kehebatan gadis itu, terutama Hek Sam Ong merasa heran karena tidak mengerti apakah yang telah membentur toyanya tadi.
Karena merasa kebingungan ini, permainan toyanya menjadi kacau dan kesempatan baik itu digunakan oleh si gadis untuk menyerang dengan hebat dalam gerakan tipu Siauw-liong-tiam-jiauw atau Naga Kecil Ulur Cakarnya. Sepasang pedangnya bersamaan menyerang ke arah dada dan leher lawan. Namun ternyata gadis itu sangat terburu nafsu, mungkin karena kelelahan dan ingin segera menghabiskan musuh-musuhnya secepat mungkin hingga ia kurang berlaku hati-hati. Tipu silat yang ia jalankan itu sungguhpun sangat berbahaya bagi seorang lawan, namun demikian berbahaya pula bagi dirinya sendiri karena ia
92
sedang menghadapi keroyokan. Ia tidak ingat bahwa tipu itu hanya boleh dimainkan jika menghadapi lawan seorang saja. Dengan menyerang dengan kedua pedangnya, ia memberi kesempatan terbuka bagi lain pengeroyoknya. Dan Oei-Coa Tai-Ong melihat pula hal ini. Dengan sangat girang, ia menubruk maju sambil menusukkan pedangnya dari belakang nona itu.
Pada saat yang sangat berbahaya bagi nona itu kembali Han Liong mempergunakan batu-batu koral kecil yang sejak tadi ia main-mainkan di tangan. Tadi ia telah gunakan sebutir koral untuk menahan toya Hek Sam Ong, kini terlihat ia menggerakkan tangan kiri dan kanannya dua kali. Batu pertama tepat mengenai jidat Hek Sam Ong hingga si tinggi besar ini tidak berdaya sama sekali ketika pedang nona itu mengarah dadanya. Ia berteriak ngeri dan roboh, dari dadanya mengalir darah segar. Batu kedua tepat menyerang betis kaki Oei-Coa Tai-Ong, hingga biarpun ia memakai kaos kaki duri kulit, namun masih saja betisnya merasa sangat perih dan sakit hingga ia terpaksa berhenti mengejar nona itu dan memegang-megang kakinya dengan rasa takjub. Ketika itu, si nona sudah membalikkan tubuh dan ia makin bersemangat karena musuhnya kini tinggal tiga lagi.
Betapapun juga, ia sudah amat lelah dan mandi keringat, sedangkan di antara semua lawannya. Oei-Coa Tai-Ong adalah yang paling tangguh. Han Liong melihat gerakannya mulai lemah merasa kasihan juga dan kembali ia mengayun tangannya arah lengan Tai-Ong yang pendek itu. Oei-Coa Tai-Ong berseru kesakitan dan pedangnya terlepas dari pegangan! Saat itu pedang
93
kiri si nona membabat pundaknya hingga tanpa ampun lagi ia terguling dengan pundak hampir terbelah dua! Nona muda itu makin ganas dan mendesak dua kepala bajak dengan keras. Tentu saja kedua orang itu bukan tandingannya, maka sebentar saja mereka terdesak sekali. Tiba-tiba seorang di antara mereka melempar goloknya dan berlutut tanda takluk. Kawan-kawannyapun buru-buru turut perbuatan kawannya. Gadis itu agaknya tak hendak ambil perduli, bahkan mengangkat kedua pedangnya untuk membacok.
“Nona, tahan!” Han Liong berteriak. Gadis itu menangguhkan bacokannya dan menengok dengan wajah membenci.
“Bagus! Aku datang menolongmu, sebaliknya kini kau mau membela dua jahanam ini. Ini namanya air susu dibalas dengan air tuba!”
“Bukan begitu, nona,” Han Liong membantah. “Aku merasa berterima kasih sekali mendapat pertolonganmu, karena kalau kau tidak segera datang, tentu aku telah menjadi bangkai! Tapi lihatlah, mereka semua telah menyerah, apakah kau sampai hati dan begitu kejam untuk membunuh orang demikian banyak itu?” Han Liong menunjuk ke sekitar tempat itu. Garis itu menengok dan melihat betapa berpuluh-puluh anak buah bajak itu mencontoh pula perbuatan dua pemimpin mereka dan berlutut sambil melepaskan senjata masing-masing.
94
“Kau hendak mengampuni mereka, tapi kalau di belakang hari mereka membuat onar lagi dan mengganggu rakyat, jangan kau menyesal,” nona itu menggerutu, lalu duduk di atas sebuah kursi dengan muka merengut. Agaknya ia baru merasa lelahnya di saat itu, dan ia duduk meluruskan kakinya untuk menghilangkan lelah.
“Saudara-saudara sekalian,” kata Han Liong sambil menghadap kepada semua sisa anggota bajak itu.
“Lihiap ini telah begitu baik hati untuk mengampuni kalian. Kalau ia berlaku kejam, mungkin kalian pada saat ini telah dibasmi habis dan kalian telah melihat sendiri betapa tangkasnya Lihiap. Maka biarlah ini menjadi satu pelajaran bagi kalian bahwa betapapun juga, perbuatan jahat itu selalu akan hancur. Kalian adalah lelaki-lelaki sehat dan kuat, mengapa memilih jalan sesat? Kalian menjadi bajak untuk merampok rakyat jelata tanpa pilih bulu. Lebih baik kalian mencari jalan benar dan bekerja mencari makan dengan cara halal.” Seorang daripada pemimpin bajak yang menakluk tadi segera menjura dan membantah,
“Tapi, bagaimana kami harus bekerja? Kemiskinan merajalela dan demikian pula para pembesar dan kaum hartawan. Mereka toh kerjanya hanya menindas dan menghisap rakyat miskin. Lapangan pekerjaan amat sempit dan orang yang mencari makan dengan cara halal banyak yang kelaparan.” Han Liong bingung karena
95
sebenarnya ia belum tahu jelas tentang keadaan penghidupan rakyat jelata pada masa itu. Tiba-tiba gadis itu berdiri dan membantunya,
“He, kamu sekalian! Memang benar bahwa sekarang banyak penghisap rakyat, tapi aku tidak larang jika kamu mengganggu para pembesar jahat dan hartawan penghisap darah rakyat. Tapi janganlah merampok tak pilih bulu. Pula, tidak semua hartawan dan pembesar jahat, ada juga yang masih tahu akan perikemanusiaan. Juga, tanah kita lebar dan luas, tenaga kamu sekalian masih dibutuhkan.” Semua bajak bungkam tak ada yang berani membantah.
“Sekarang, bagaimana harus mengatur semua orang ini, Lihiap?” tanya Han Liong dengan hormat. Gadis itu tidak menjawab pertanyaan Han Liong, tapi berkata pula kepada semua orang itu.
“Nah, sekarang kamu semua harus bubarkan sarang bajak ini agar jalan sungai di daerah ini menjadi aman. Semua harta yang terdapat di sini boleh kamu bagi rata dipakai modal, dan sarang bajakmu harus dibakar habis. Awas, lain kali kalau aku lewat sini masih terdapat pengganggu keamanan, jangan katakan aku keterlaluan jika kucabut pedangku dan tidak ada ampunan lagi bagimu!” Bajak-bajak itu menyatakan terima kasih dan bubar untuk segera melakukan perintah itu.
96
Sekejap kemudian keadaan di situ menjadi sunyi. Han Liong merasa kagum sekali melihat sepak terjang gadis itu yang cepat dan tepat. Dalam pandangannya gadis itu ternyata baru berusia paling banyak enam belas tahun, bertubuh ramping dan tampak makin ramping pinggangnya dalam pakaian pria yang serba ringkas itu. Bajunya berwarna merah dan celananya biru. Sepatunya dilapisi besi di bawahnya. Rambutnya yang hitam panjang diikat dengan sutera merah pula. Wajahnya cantik dan menarik. Han Liong masih asing dengan pergaulan, lebih-lebih dengan kaum wanita, maka ia tak dapat banyak bicara. Tiba-tiba ia teringat kepada Lo Sam dan matanya mencari-cari. Ternyata kakek nelayan itu telah bersembunyi di bawah sebuah meja ketika terjadi pertempuran hebat antara gadis itu dan para kepala bajak tadi!
“He, Lo Sam! Keadaan telah aman, keluarlah!” kata Han Liong dan gadis itu tertawa geli melihat tingkah Lo Sam. Kakek itu merayap keluar dan mengusap-usap dadanya.
“Aah, baru kali ini aku yang tua ini melihat peristiwa sehebat ini. Seorang gadis muda dengan kedua tangan membasmi dua gerombolan bajak! Hebat, hebat!” Ia lalu menjura kepada gadis itu dan bertanya hormat,
“Lihiap yang gagah perkasa. Perkenankanlah aku yang tua mengetahui nama Lihiap agar dapat kudongengkan kepada anak cucuku tentang kejadian ini.” Gadis itu tertawa.
97
“Aku dipanggil orang Hong Ing dan she Lie.” Lo Sam memperkenalkan diri tanpa ditanya.
“Aku adalah nelayan tua Lo Sam dan tuan muda ini...eh...namanya...” ia memandang Han Liong dengan bingung karena sesungguhnya ia belum tahu nama pemuda itu. Han Liong tersenyum dan menyambung.
“Namanya Si Han Liong...”
“Bolehkah aku bertanya, kemanakah Lihiap kini hendak pergi?” tanya Lo Sam pula.
“Aku hendak pergi ke Hong-lung cian.”
“Ke Hong-lung cian? Kebetulan sekali, Lihiap, kami berdua juga sedang menuju ke sana ketika dicegat oleh para bajak tadi,” kata Lo Sam.
“Kalau Lihiap sudi, silakan ikut dengan perahu kami, bersama-sama pergi ke Hong-lung cian.” Han Liong menawarkan. Lie Hong Ing tersenyum dan menyatakan terima kasihnya. Han Liong yang
98
belum ada pengalaman itu merasa malu-malu selama di dalam perjalanan membisu saja. Tapi baiknya Lie Hong Ing adalah seorang gadis kota yang terpelajar, hingga tanpa ragu-ragu gadis ini mengajaknya bercakap-cakap dan lama kelamaan pemuda itu hilang rasa malunya. Ternyata Hong lng selain pandai ilmu silat, juga luas pandangannya tentang ilmu sastera.
Gadis ini menganggap bahwasanya Han Liong hanyalah seorang sasterawan yang hanya kenal sedikit ilmu silat saja, maka pembicaraannya kebanyakan mengenai ilmu kesusasteraan, dan mungkin Hong Ing hendak membanggakan kesusasteraannya! Karena perahu itu tidak berapa besar, maka Han Liong mempersilakan Hong lng menempati tempat tidur satu-satunya di dalam perahu itu yang hanya terbuat daripada jerami dibungkus kain, dan ia sendiri duduk di luar kamar perahu mengobrol dengan Lo Sam sambil membantu mendayung. Malam hari itu dilewatkan tanpa kejadian sesuatu. Hong Ing agaknya sangat lelah barangkali setelah pertempuran itu, karena ia pulas dan nyenyak sekali sampai esok harinya. Setelah matahari tinggi, mereka memasuki kolong jembatan pintu kota Hong-lung-cian. Lie Hong Ing ketika mereka sampai di jembatan kedua, lalu menyatakan terima kasihnya dan turun dari perahu.
“Si toako, selamat berpisah sampai berjumpa pula,” kata gadis itu sambil menunduk hormat, tiba-tiba saja ia menggunakan sebutan yang lebih akrab, ialah toako atau kakak.
99
“Lihiap telah banyak memberi petunjuk padaku yang bodoh ini, aku ucapkan banyak terima kasih pula,” jawab, Han Liong. Setelah gadis itu pergi, Lo Sam mengomel pada Han Liong,
“Ah, kongcu, Lihiap sebut kau toako, kenapa kau masih sebut ia Lihiap?”
“Habis bagaimana, Lo Sam?”
“Seharusnya kau sebut ia moi-moi atau siauw-moi...” Han Liong diam saja, tapi mukanya terasa panas karena ia merasa malu kalau harus menyebut demikian.
Atas petunjuk Lo Sam yang telah beberapa kali datang ke kota itu dan mengenal semua jalanannya. Han Liong mendapat kamar di rumah penginapan Cit-seng. Kemudian, setelah menambah uang setail perak, tapi ditolak oleh Lo Sam, kakek nelayan itu kembali ke kampungnya, dan kebetulan ada seorang yang hendak ke Lam-ciu hingga ia mendapat penumpang lagi. Sepeninggal Lo Sam, Han Liong terkenang kepada Hong Ing yang amat menarik hatinya itu. Ia kagum mengenangkan kecerdikan, pengertian dan kepandaian silat gadis itu. Begitu muda tapi sudah demikian luas pengalamannya, pikirnya. Ia baru saja turun gunung lalu mendapat kawan seperjalanan yang menarik seperti Lo Sam yang peramah dan Hong Ing yang pandai itu, betapa genbira hatinya selama dalam perjalanan, tapi sekarang mereka harus berpisah.
100
Dan tinggallah Han Liong seorang diri di kota yang masih asing baginya. Kini ia merasa sangat kesepian. Kemudian, setelah makan siang, ia keluar dari penginapan, berjalan-jalan melihat-lihat kota sembari memasang telinga ingin tahu di mana gerangan tempat tinggal musuh besarnya, yaitu Tiat-kak-liong Lie Ban si Naga Tanduk Besi. Tapi alangkah herannya ketika ternyata tak seorangpun di kota itu yang ditanyainya, kenal kepada Tiat-kak-liong Lie Ban. Atas petunjuk beberapa orang yang ditanyainya, ia mendatangi beberapa cabang atas dan guru silat di kota itu untuk mencari keterangan. Tapi para jagoan di kota inipun tidak kenal nama Lie Ban si Naga Tanduk Besi. Salah seorang guru silat yang berperawakan tinggi besar tapi sombong dengan angkuh menjawab pertanyaannya dengan ketawa.
“Naga Tanduk Besi? Ah, anak muda, barangkali kau salah dengar. Apakah kau mencarinya hendak belajar silat?” Han Liong mengangguk, menyatakan ya.
“Kalau begitu, barangkali yang kau cari itu bukan Tiat-kak-liong, tapi Tiat-thou-liong si Naga Kepala Besi.”
“Tiat-thou-liong? Siapakah dia dan di mana tempat tinggalnya?” Han Liong bertanya penuh harap.
101
“Ha, ha, ha! Kalau kau berguru kepadanya, maka kau takkan kecewa, kongcu.” Tiba-tiba guru silat itu bicara sopan dan ramah, “Pun, ongkos belajarnyapun tidak begitu mahal, pendeknya cukup murah kalau dibandingkan dengan pelajaran ilmu silat tinggi yang akan kau terima.” Biarpun tidak tertarik akan percakapan ini, namun Han Liong terpaksa menunjukkan muka tertarik.
“Di mana tempat tinggalnya?” ulasnya lagi.
“Lihat ini!” tiba-tiba guru silat itu berkata sambil memungut dua potong bata merah lalu memukulkan dua bata itu ke atas kepalanya! Terdengar suara “prok! Prak!” batu bata itu pecah, hancur menjadi beberapa potong kecil! “Nah, lihatlah kekuatan kepalaku. Akulah yang dipanggil orang Naga Kepala Besi. Jadi yang kau cari untuk kau jadikan gurumu tiada lain orangnya ialah aku sendiri!” Han Liong merasa kecewa dan mendongkol sekali.
“O, jadi kau sendirikah kauwsu itu? Baik, aku mau menjadi muridmu dan berapa saja bayaran pelajarannya akan kubayar, tapi aku harus mencoba sendiri kekuatan kepalamu itu.”
“Baik, baik. Silakan!” Han Liong memungut sepotong bata kecil, pecahan dari bata tadi.
102
“Aku hanya ingin melihat dengan mata kepalaku sendiri betapa kuatnya kepalamu. Aku akan menggunakan bata kecil ini untuk menyambit kepalamu,” katanya. Si Naga Kepala Besi tertawa berkakakan karena melihat lengan Han Liong yang halus kulitnya itu bagaikan lengan wanita, membikin ia menjadi geli, mengapa pemuda itu demikian bodoh untuk mencoba kepalanya dengan sepotong bata kecil. Bukankah tadi dua buah bata besar menjadi hancur ketika beradu dengan kepalanya? Berapa kekuatan bata sekecil itu? Ia segera memasang kepalanya ke arah Han Liong dan menantang,
“Nah, lemparlah bata itu sekuat tenagamu!” Karena jemu dan mendongkol, Han Liong menjepit bata itu diantara jari-jari tangannya, lalu menggunakan telunjuknya untuk menyentil bata itu ke arah kepala Naga Kepala Basi itu. Sengaja pemuda itu tidak menggunakan semua tenaga lweekangnya, karena maksudnya hanya memberi sekedar pelajaran untuk kesombongannya. Bata kecil itu melesat dan “pletak!” menghantam si “kepala besi.” Sungguh aneh, bata itu tidak pecah, tapi sebaliknya si Naga Kepala Besi bagaikan menerima pukulan palu baja yang keras! Ia berteriak,
“Aduh!” dan kedua tangannya memegang kepalanya dan terhuyung-huyung, akhirnya jatuh di atas sebuah kursi sambil meringis-ringis. Ia merasa kepalanya sakit sekali sehingga tidak tertahan, kedua matanya mengeluarkan air! Ia meramkan mata menahan sakit.
103
Untungnya rasa sakit itu hanya sebentar saja, dan ketika ia menggunakan jarinya meraba-raba, ternyata di batok kepalanya tumbuh tanduk alias bengkak! Ia sangat heran dan membuka matanya, tapi keheranannya bertambah ketika dilihatnya bahwa pemuda itu sudah tidak berada di hadapannya lagi! Diam-diam dia maklum ia baru berhadapan dengan seorang ahli Iweekeh yang tinggi ilmu silatnya. Maka berjanjilah ia dalam hati untuk tidak bersikap sombong dilain kali. Dengan hati kecewa Han Liong berjalan ke sana ke mari di dalam kota Hong-lung-cian. Ia merasa putus asa. Ke mana lagi ia harus mencari musuh besarnya itu? Kakinya membawanya ke sebuah tempat yang ramai, merupakan pasar kecil di mana banyak terdapat orang-orang berdagang barang-barang yang datang dari luar kota. Secara iseng-iseng ia masuk ke situ dan berdesak-desakan dengan banyak orang.
Tiba-tiba ia merasa ada orang meraba-raba kantongnya yang tergantung di pinggangnya. Cepat sekali gerakan tangan itu hingga tahu-tahu kantongnya telah terlepas dari ikatan! Tapi tangan Han Liong lebih cepat lagi. Pencopet yang licik ttu tanpa disadarinya, ia merasa pergelangan tangannya yang memegang kantong tadi telah dipegang oleh tangan korbannya. Ia berusaha melepaskan pegangannya, tapi sia-sia. Bahkan ketika ia kerahkan tenaganya, ia merasa pergelangan tangannya begitu sakit seakan-akan hendak patah. Mata dengan muka merah dan kebingungan ia menurut saja ketika Han Liong menariknya ke tempat yang agak sunyi. Mereka berdua berjalan seakan-akan dua sahabat karib saling bergandengan tangan. Setelah tiba di sebuah gang sepi Han
104
Liong melepaskan cekalannya. Orang itu mengembalikan kantong yang dicopetnya itu sambil menunduk memberi hormat.
“Kongcu maafkan siauwte yang telah berlaku tak sepatutnya padamu,” katanya. Han Liong melihat orang itu masih muda, kira-kira berusia dua puluh lima tahun, tubuhnya kecil tapi tampak kuat dan dari gerak-geriknya dapat kita ketahui bahwa ia mengerti ilmu silat.
“Tidak apa,” jawabnya, “Tapi barangkali kau bisa menolongku,” kata Han Liong. Orang itu memandang heran.
“Kongcu, aku Tan Sam dijuluki orang Si Copet Tangan Seribu. Belum pernah tanganku gagal, tapi kali ini kongcu telah membuat aku takluk benar-benar, karena tidak sembarang orang dapat memegang lenganku tanpa aku dapat berdaya sama sekali. Aku orang miskin dan tentang kepandaian, kongcu jauh lebih tinggi dariku, maka pertolongan apakah yang dapat kuberikan kepada kongcu?”
“Aku tidak inginkan pertolongan tenaga maupun uang,” kata Han Liong. “Hanya aku membutuhkan keterangan tentang seorang di kota ini.”
105
“Oo, kalau soal itu saja, jangan kongcu khawatir, karena tidak ada seorang juapun di kota ini yang tidak kukenal, kecuali kalau ia orang luar kota.”
“Nah, kalau begitu, kenalkan kau seorang bernama Lie Ban yang disebut orang si Naga Tanduk Besi?” Tan Sam mengerutkan dahinya memikir- mikir.
“Lie Ban Naga Tanduk Besi? Sungguh heran, tidak ada rasanya orang yang bernama itu di sini, kongcu.” Han Liong kecewa, tapi masih mencoba menerangkan. “Ia belum lama ini pindah dengan keluarganya dari Lam-ciu.”
“Dari Lam-ciu katamu, kongcu? Ada seorang she Lie yang baru pindah dari Lam-ciu, tapi namanya adalah Lie Wan-gwa. Tapi aku tidak tahu apakah hartawan itu bernama Lie Ban. Lagi pula, masakan seorang hartawan mempunyai nama julukan seperti seorang ahli silat demikian? Tapi, nanti dulu! terus terang kukatakan bahwa aku pernah mencoba memasuki gedungnya, tapi gagal, aku mendapat genteng yang dilemparkannya padaku yang menyebabkan hampir saja aku dapat ditawannya dan...!”
“Dan... bagaimana maksudmu?” Han Liong tertarik.
“Aku tidak berhasil apa-apa, bahkan hampir aku mati terbunuh!”
106
“Bagaimana bisa terjadi?”
“Tidak kuketahui bahwa di gedung wan-gwe itu ada setannya! Baru saja aku mendarat di atas genteng, tiba-tiba sebuah genteng terbang menyambar kepalaku. Berkali-kali genteng terbang menyambarku hingga tubuh dan kepalaku luka dan mencucurkan darah! Anehnya, sama sekali aku tidak melihat orangnya yang menyambit itu. Maka, kalau bukan setan, siapakah lagi?” Han Liong tak dapat menahan senyumnya,
“Hm, kalau begitu maukah kau menolong aku untuk menyelidiki, apakah hartawan Lie itu yang bernama Lie Ban atau bukan?”
“Baik, kongcu, baik. Sore nanti akan kukirim berita hasil penyelidikanku padamu.” Mereka lalu berpisah dan Han Liong kembali ke kamarnya. Ia masih ragu-ragu apakah hartawan itu benar-benar musuh besarnya yang dicari-carinya itu? Ia harus bertindak dengan hati-hati jangan sampai gegabah yang bisa mencelakakan orang lain yang tak bersalah, karena salah alamat. Sore harinya, betul saja Tan Sam datang, dengan muka berseri-seri, ia menceritakan hasil penyelidikannya.
“Tidak percuma kau minta tolong dan mempercayaiku, kongcu! Hartawan she Lie itu betul-betul Lie Ban Naga Tanduk Besi!”
107
“Bagaimana kau tahu begitu pasti?” tanya Han Liong teliti.
“Karena aku yakin, untuk dapat masuk ke gedung itu tipis benar harapan, karena sangat berbahaya, maka aku gunakan akal. Aku pancing-pancing keterangan di antara pelayan-pelayan gedung itu, dan dari mereka aku tahu bahwa semua pelayannya berasal dari kota ini, di antaranya terdapat seorang pelayan tua yang dibawa oleh Lie wan-gwe dari Lam-ciu. Kebetulan sekali pelayan tua itu keluar dari gedung lalu kuculik. Setelah kupaksa, akhirnya pelayan tua itu mengaku juga, bahwa Lie-wan-gwe itu ialah Lie Ban si Naga Tanduk Besi itu sendiri! Ia bekas panglima perang yang kini telah berhenti. Tapi kalau kau hendak memusuhi orang she Lie ini, hati-hatilah, kongcu, karena aku mendengar bahwa baru beberapa hari ini di rumahnya kedatangan kawan-kawannya yang terdiri dari ahli-ahli silat terkemuka. Bahkan sejak mereka pindah ke sini, selalu gedung itu dijaga oleh adiknya sendiri Oei-kak-liong Lie Kong dan dua saudara Jie-pa-cu yang bernama Beng Liok Hui dan Beng Liok Houw. Mereka ini merupakan penjaga-penjaga yang kuat dan tinggi ilmu silatnya, kini ditambah lagi dengan tamu-tamunya yang datang itu, maka gedung orang she Lie itu merupakan sarang harimau-harimau galak yang tidak mudah dikalahkan. Hm, kalau kuingat aku masih merasa sakit hati, kongcu. Tidak heran ketika aku coba-coba datang ke sana dulu, genteng-genteng beterbangan melukaiku. Aku tidak tahu bahwa di situ bersarang jagoan-jagoan besar. Ah, untung mereka masih mengampuni aku dan tidak membunuhku!”
108
Alangkah lega dan girang hati Han Liong mendengar keterangan-keterangan ini. Ia sekarang tidak ragu-ragu lagi, karena ternyata Oei-kak-liong Lie Kong adik Lie Ban dan dua saudara macan tutul itupun berada di situ, tepat seperti yang diceritakan oleh gurunya Liok-tee-sin-mo Hong In, yang menolong dirinya juga ketika itu bertempur dengan mereka berempat ini di masa lalu! Mendengar penjagaan yang kuat itu, sedikitpun ia tidak gentar, bahkan semangatnya bertambah. Ia yakin, dengan berkumpulnya orang-orang itu, maka pembalasannya akan menjadi lengkap! Ia mengucapkan terima kasih kepada Tan Sam dan memberinya potongan uang emas, tapi hadiah ini ditolak oleh Tan Sam dengan manis.
“Kongcu, kau adalah orang baik. Aku tahu benar bahwa kau seorang berbudi luhur yang pernah kucopet. Aku senang membantumu, kongcu. Jika kau ada apa-apa, carilah aku di jembatan kelima jalan barat sana!” Kemudian ia pergi.
Malam itu kebetulan tanggal empat belas dan sore-sore sang ratu malam telah menampakkan diri, bulan purnama memancarkan sinarnya terang benderang seolah-olah tersenyum manis pada setiap mahluk dan segala benda yang ada di permukaan bumi. Tidak tampak sedikitpun awan gelap yang mengganggu. Suasana tampak menggembirakan, penuh damai dan tenteram, sehingga tak seorang juapun menyangka bahwa di malam itu akan terjadi suatu peristiwa besar yang mengerikan. Di atas genteng-genteng rumah-rumah yang berjajar-jajar di bagian kota itu tampak berkelebat bayangan yang gesit sekali. Jika ada orang yang
109
kebetulan berada di atas genteng rumahnya ia akan melihat bayangan saja yang berpusing tanpa terlihat orangnya, tentu ia akan menyangka bahwa bayangan itu adalah bayangan burung terbang. Sebetulnya adalah Han Liong sendiri yang berpakaian putih dengan ikat pinggang warna kuning panjang berkibar-kibar di belakangnya.
Langsung Han Liong menuju ke rumah Lie Ban yang besar dan mewah itu. Setibanya di luar gedung, Han Liong mengencangkan ikat pinggangnya dan kemudian mengayunkan tubuhnya ke atas genteng. Tindakan kakinya demikian ringan hingga sedikitpn tak mengeluarkan suara. Ia berhenti di atas sebuah kamar besar di mana menyala api lilin yang dipasang lebih dari empat tempat hingga menerangi seluruh kamar. Diam-diam ia membuka genteng dan mengintip ke dalam. Di tengah-tengah kamar itu terdapat beberapa orang sedang duduk mengelilingi meja bundar. Kelihatan seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tegap duduk di kepala meja. Di kanan kiri dan depannya duduk lima orang laki-laki yang semuanya bertubuh kuat menandakan bahwa mereka adalah orang-orang ahli silat yang pandai.
Ternyata mereka tengah asyik bercakap-cakap dan dari kata-kata mereka, Han Liong mendapat kesan bahwa orang-orang itua adalah orang baik-baik yang berbicara tentang silat dan tempat-tempat indah di berbagai tempat. Pemuda itu ragu-ragu, lalu loncat ke tempat lain melanjutkan penyelidikannya, tiba-tiba ia mendengar suara wanita sedang bercakap-cakap. Hatinya berdebar-debar, karena bukankah nyonya Lie Ban adalah ibunya
110
sendiri? Teringat ini hatinya menjadi perih, karena selalu ia mengenangkan ibunya dengan dua perasaan menjadi satu, perasaan cinta dan kecewa. Ia segera melakukan pengintaian lagi. Kamar itu lebih kecil daripada kamar yang lain. Di situ hanya terdapat sebuah lilin yang kecil sehingga keadaan dalam kamar suram. Tampak olehnya seorang wanita setengah tua tengah berbaring dan di sampingnya duduk seorang perempuan muda yang memijat-mijat kakinya.
“Anakku,” terdengar suara wanita setengah tua itu dengan suara halus penuh kasih sayang hingga Han Liong yang mendengarkannya merasa terharu. “Kurangilah kebiasaanmu pergi merantau. Kau adalah anak perempuan seorang bekas pembesar, seorang cian kim siocia yang sepatutnya berdiam di rumah belajar pekerjaan halus-halus. Kalau kau bertemu dan berkenalan dengan segala bangsa kasar, derajatmu dengan sendirinya akan turun.”
“Ah, ibu. Aku bosan kalau terus-terusan berada di dalam rumah. Aku ingin meluaskan pandangan dan menambah pengalaman,” jawab anak perempuan tadi sambil mengelus-elus kaki ibunya.
“Dasar anak sekarang. Tapi, hati-hatilah, nak, karena menurut pengalamanku, lebih banyak orang jahat daripada orang baik. Nah, sekarang mengasolah, ibumu hendak tidur.” Han Liong tidak dapat melihat tegas wajah mereka karena cahaya lilin sangat suram. Ia mellat betapa wanita muda itu turun dari pembaringan dan
111
meninggalkan ibunya, memasuki kamar lain dan wanita itu bangun dari pembaringan lalu duduk di kursi. Ia nampak kurus dan tua. Karena ingin kepastian, Han Liong tidak ragu-ragu lagi lalu melompat turun di depan pintu kamar itu, dan menolak daun pintu perlahan-lahan. Perempuan itu menengok, agaknya terkejut melihat pemuda yang tidak dikenal itu. Tapi ia segera dapat menetapkan hatinya.
“Siapa kau?” tanyanya dengan suara tenang. Han Liong melihat ada sebuah lilin yang agak besar belum dipasang di atas meja, maka tanpa menjawab pertanyaan itu, dengan cepat ia mengambil lilin itu dibakarnya dengan lilin kecil yang masih menyala itu. Kamar menjadi terang dan dengan sekilas pandang Han Liong dapat melihat wajah yang membayangkan kesedihan itu, dan dapat pula dilihatnya dengan nyata bahwa muka itu persis seperti bekas wajah wanita cantik Kemudian sambil memandang dengan tajam, ia menjawab lemah,
“Namaku Han Liong... Si Han Liong!!”
Wanita itu terkejut bagai disentakkan oleh tenaga gaib. Kedua tangannya diulurkannya, sepasang matanya terbelalak memandang seakan-akan melihat setan, penuh pancaran tidak percaya, kedua kakinya tiba-tiba gemetar dan bergerak maju tanpa disengaja. Kemudian secepat kilat ia menangkap tangan kiri Han Liong dan membalikkan telapak tangan anak muda itu. Ia membiarkan saja. Terlihat di nadi Han Liong sebuah titik hitam. Wanita itu memandang Han Liong pula dari kepala sampai ke kaki,
112
kedua mataaya yang terbelalak lebar perlahan-lahan menjadi basah dan air mata menetes turun di sepanjang pipinya. Kemudian ia mundur terhuyung-huyung, tapi kedua lengannya terbuka seakan-akan hendak memeluk.
“Han Liong... Han Liong... anakku...!!” Ia mengharapkan puteranya itu maju menubruk dan memeluknya, tapi Han Liong diam saja, berdiri tegak laksana patung.
“Han Liong...!” nyonya tua itu merasa seluruh anggota tubuhnya lemah dan tangannya meraba-raba ke sandaran kursi mencari pegangan untuk menahan tubuhnya yang hendak roboh karena kepalanya tiba-tiba menjadi pusing. Beberapa saat berlalu sunyi, hanya terdengar suara pernapasan wanita itu yang terengah-engah berat.
“Han Liong... kau datang mencari ibumu...?” tanyanya lemah.
“Bukan,” jawab pemuda itu tegas tanpa pikir lagi, sehingga ia sendiri menjadi heran akan kata-katanya karena mengapa sedang hatinya bagaikan hancur luluh melihat ibu kandungnya sendiri yang sudah lama dirindukannya, dengan seluruh hasratnya yang menggelora ingin memeluk kaki ibunya dan ingin pula menjatuhkan kepalanya di pangkuan ibunya, maka tiba-tiba mengeluarkan kata-kata ketus.
113
“Aku datang hendak mencari pembunuh ayahku. Ibu tentu sudah lupa ayahku orang she Si yang terbunuh oleh suami ibu yang sekarang ini. Tapi aku tidak lupa, dan aku ingin menuntut balas!” Suaranya makin keras dan lantang, semua diucapkannya diluar kesadarannya. Mendengar kata-kata yang bagaikan pisau tajam menusuk hatinya dan yang penuh pernyataan penyesalan dari anak kepada ibunya ini. Yo Lu Hwa, wanita itu, mendekap dadanya dan menjerit ngeri, lalu roboh tak sadar diri! Buyar seketika semua kekerasan hati Han Liong melihat ibunya pingsan.
Ia maju dengan lemah lembut diangkatnya tubuh ibunya ke atas pembaringan. Yo Lu Hwa mulai sadar tapi masih merasa pening dan matanya memandang gelap, lalu dipeluknya leber anaknya dengan hati hancur. Tapi Han Liong melepaskan pelukan ibunya karena pada saat itu ia mendengar suara langkah kaki memasuki kamar. Ia hendak meloncat keluar, tapi ibunya memegang tangannya seakan-akan hendak menahannya, sehingga hal ini membuatnya terlambat untuk keluar dan pada saat itu pintu kamar terpentang lebar. Orang yang memasuki kamar itu adalah seorang gadis muda yang tadi berbicara dengan ibunya, dan ketika ia melihat tegas, hampir saja ia berteriak karena heran. Karena yang berdiri di depannya memegang sepasang pedang itu tiada lain ialah Lie Hong Ing sendiri, gadis gagah yang baru pagi tadi meninggalkan perahunya!
114
“Ibu... ada apa, ibu?” kata gadis itu melihat ibunya dengan cemas. Ibunya yang terserang tekanan batin hebat itu hanya dapat menuding ke arah Han Liong sambil berkata lemah,
“Ia... ia...” lalu menangis tersedu-sedu, Hong Ing cepat menengok dan ketika ia melihat Han Liong, kedua alis matanya bergerak-gerak tercengang.
“Kau...?? Kau... datang ke sini mengganggu ibuku? Berani benar kaul” Segera ia menusuk dengan pedang kanan ke arah leher Han Liong. Pemuda itu kini maklum bahwa Hong Ing adalah anak ibunya dan Lie Ban! Hebat rasanya kenyataan ini. Hong Ing adalah anak musuh besarnya, tapi adalah adiknya sendiri, adik seibu. Dan kini adiknya itu menyerangnya dengan tusukan maut!
“Hong Ing... ia... kakakmu...!” Yo Lu Hwa masih sempat berbisik, tapi tak terdengar oleh Hong Ing yang sedang marah sekali. Tusukannya dapat dikelit Han Liong yang segera turut mundur keluar dengan cepat.
“Bangsat, jangan lari!!” teriak Hong Ing lalu menyusul. Han Liong melompat ke atas genteng, disusul oleh nona itu. Untuk sesaat Han Liong ingin berlari pergi karena ia segan melawan nona itu, tapi sifat jantannya melarang ia pergi sebelum ia membatas sakit hati ayahnya. Maka ia berdiri menanti dengan tenang. Ketika Hong Ing
115
yang tertinggal karena kalah gesit itu tiba di hadapan Han Liong, gadis itu menahan serangannya dan bertanya dengan suara ketus,
“Tak kusangka kau adalah golongan orang jahat! Sekarang terangkan maksud kedatanganmu sebelum kupisahkan kepalamu dari tubuhmu!” Man tak mau Han Liong memainkan senyum di bibirnya mendengar kecongkakan gadis itu.
“Kau hendak tahu maksud kedatanganku? Baiklah aku berterus terang. Kepadamu aku tak bermaksud apa-apa, maka baiknya panggil saja ayahmu keluar. Bukankah ayahmu adalah Lie Ban si Naga Tanduk Besi?”
“Ada urusan apa kau mau berjumpa dengan ayahku?” tanya Hong Ing.
“Ia adalah pembunuh ayahku dan aku datang hendak membalas dendam dan membunuhnya!”
“Bangsat kecil! Kau hendak membunuh ayahku? Bagus, besar sekali nyalimu. Tak perlu ayahku keluar untuk membereskan kau, cukup aku sendiri dengan sepasang pedangku ini!” Terus ia menyerang kembali dengan hebat.
116
“Apa boleh buat! Kau sendiri yang mencari celaka!” kata Han Liong dan tiba-tiba Hong Ing merasa matanya kabur ketika pemuda itu berkelit menghindari serangannya sambil mencabut Pek liong pokiam yang bersinar putih melepak dan menyilaukan mata ketika ditimpa sinar bulan!
Tapi Hong Ing tidak takut, ia segera menyerang kembali dengan gerak tipu Dua Dewa Kecil Bermain-main. Pedang kanannya diputar-putar seperti baling-baling lalu diarahkan ke leher lawan, sedangkan yang kiri langsung menusuk perut lawannya itu. Han Liong kelit tusukan dan menangkis sabetan pada lehernya. Trang! dan tahu-tahu pedang kanan Hong Ing telah putus! Hong Ing terkejut tapi tidak mau mengalah. Pedang kiri segera pindah tangan, lalu ia menyerang pula dengan hebat. Tapi kali ini ia berlaku hati-hati karena pedang lawan luar biasa tajamnya sehingga sebilah pedangnya sendiri yang terbuat dari baja tulen pun dengan mudah dipatahkan lawan. Han Liong banyak mengalah dan berkelit ke sana sini mengandalkan kegesitan tubuhnya yang diwarisinya dari si Iblis Bumi. Tiba-tiba dari bawah melayang keluar enam bayangan dengan sangat gesitnya dan terdengar suaranya berseru,
“Tangkap bangsat itu!” Ternyata mereka ini adalah Lie Ban Naga Tanduk Besi sendiri, diikuti oleh adiknya Lie Kong. Sepasang Macan Tutul she Beng, dan dua orang tua tamu Lie Ban yang dilihat oleh Han Liong tadi ketika keenam orang itu tengah duduk bercakap-cakap. Melihat enam orang itu telah berada di depannya, Han Liong gunakan pokiamnya memapas pedang Hong Ing
117
sehingga terdengar suara “Trang” untuk kedua kalinya dan gadis itu kehilangan pedangnya! Hong Ing menjadi marah sekali, tapi sebelum ia dapat berbuat sesuatu, Han Liong berteriak.
“Tunggu!!” sambil lompat mundur setindak lebih.
“Bangsat dari mana berani membikin kacau di sini?” teriak Lie Ban dengan marah.
“Yang mana di antara kalian yang bernama Lie Ban Naga Tanduk Besi?” tanya Han Liong.
“Aku sendirilah Lie Ban! Kau mau apa?” jawab si Naga Tanduk Besi. Sepasang mata Han Liong menyinarkan penuh kebencian. Ia gunakan ketika itu untuk memandang musuh besarnya dengan teliti. Hm, jadi inikah pengrusak rumah tangga orang tuaku? Inikah orangnya yang membunuh ayahku dan kemudian menawan ibuku serta memaksanya menjadi isterinya?
“Hm, tua bangka she Lie yang rendah budl! Dengarlah baik-baik, aku adalah Si Han Liong!! Ingatkah kau nama ini??” Lie Ban terkejut.
118
“Han Liong?? Kau anakku! Ibumu selalu mengharapkan kedatanganmu.”
“Siluman tua! Jangan sebut-sebut nama ibuku untuk meredakan sakit hatiku! Ayahku telah kau bunuh dan sekarang aku anaknya harus mengambil kepalamu untuk dipakai sembahyang di depan arwah ayahku!”
“Tapi... tapi...” ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu Pek liong pokiam telah menyambar ke arah lehernya! Namun Lie Ban bukanlah orang lemah. Ia bekas panglima yang berkepandaian tinggi, maka dengan melompat ke samping ia dapat mcnghindarkan dirinya dari tusukan walaupun keringat dingin mengucur dari jidatnya karena sinar Pek-liong pokiam yang begitu lebat dan mendatangkan angin dingin!
“Jangan banyak tingkah!” berteriak Lie Kong lalu menyerang dengan toyanya dengan ilmu toyanya yang hebat sekali, yaitu Hok-houw-kun-hoat atau Ilmu toya Penakluk Harimau. Toyanya yang berat itu dimainkan dengan cepat hingga anginnya bersuara. Dengan sengit Han Liong mengayun pokiamnya. Kembang api memancar ketika ujung toya itu terpotong karena tertebas Pek-liong-pokiam.
“Haya!” teriak Lie Kong dengan terkejut sekali. Kawan-kawannya melihat kehebatan pokiam lawan, segera memegang senjata
119
masing-masing dan maju mengeroyok! Kedua saudara Beng dengan pedang di tangan memainkan ilmu Ji-pa-cu Siang-kiam-hoat atau ilmu Pedang Sepasang Dua Macan tutul yang bengis dan dulu dikagumi oleh Liok tee-sin-mo Hong In! Sedangkan Lie Ban sendiri segera mencabut goloknya dan kedua tamunya, yang seorang bernama Ma Kui si jagoan dari Sinkiang dan Ban Cat-lin si orang Tua Dewa Arak, masing-masing bersenjata tombak dan pian baja, maju pula menyerang Han Liong.
“Bagus!” teriak Han Liong dengan gagahnya, lalu Pek-liong-pokiam diputar begitu hebat sehingga tiba-tiba tubuhnya lenyap dari pandangan mata semua lawannya. Hanya cahaya pedang yang putih gemerlapan itu saja bergerak-gerak ke sana ke mari, sinarnya jauh dan panjang sampai tujuh kaki dan gerakan-gerakannya luar biasa sekali!
Baru berjalan belasan jurus saja, Lie Kong yang hanya bersenjatakan toya buntung itu berteriak lalu roboh mandi darah. Ternyata pundaknya luka karena sabetan ujung pokiam lawan! Permainan pedang dari Sepasang Macan Tutul memang hebat, karena pedang mereka juga pedang mustika yang tak mudah terputus oleh Pek-liong-pokiam, mereka memutar-mutar pedang dengan ilmu pedang pasangan hingga mereka merupakan hanya seorang yang memainkan empat pedang. Gerakan mereka demikian teratur, hampir menyerupai gerakan kedua saudara Sepasang Garuda Sungai Lien ho yang dulu dikalahkan oleh Han Liong, tapi Sepasang Macan Tutul ini ilmu pedangnya jauh lebih tinggi dari dua saudara Kong yang dulu itu! Sedangkan ilmu golok
120
Lie Ban sendiri juga tak boleh dipandang ringan, apa lagi ilmu tombak dari Ma Kui dan pian baja dari Bun Cat-lin.
Sungguh kali ini Han Liong menghadapi lima orang lawan yang betul-betul berat dan tangguh. Namun, tak percuma Han Liong diasuh bertahun-tahun oleh empat orang gurunya dan ditambah dengan pengetahuan yang luar biasa dari Kam Hong Siansu. Gerakannya sangat lincah dan gesit berkat dari pimpinan si Iblis Daratan dan ilmu pedang yang ia mainkan tadi adalah Ilmu Pedang Empat Bintang! Tiba-tiba dari bawah tampak dua bayangan melompat naik. Mata Han Liong yang tajam segera dapat mengenali bahwa yang naik itu adalah Lie Hong Ing dan ibunya sendiri! Hong Ing kini bersenjatakan sepasang pedang baru dan ibunya sendiripun membawa-bawa pedang! Perih sekali rasa hati Han Liong melihat ibunya membawa pedang itu. Apakah ibunya sendiri, ibu kandung yang dirindukan bertahun-tahun itu kini hendak ikut mengeroyok dan membunuhnya?
Hatinya sakit sekali dan perasaan ini membuat gerakan pedangnya agak lambat. Tentu saja hal ini dapat dilihat nyata oleh semua pengeroyoknya yang terdiri dari jagoan-jagoan cabang atas yang segara menyerang lebih hebat lagi. Han Liong melihat Hong Ing yang segera ikut menyerbu membuat ia sibuk menangkis. Kini ia dikeroyok oleh enam orang dari segala jurusan. Tapi ibunya hanya berdiri memegang pedang sambil tangannya bergerak-gerak seakan-akan berbicara dan memberi isyarat supaya ia pergi! Hatinya menjadi sangat kecewa dan gerakannya tak keruan. Pada suatu saat ujung pian baja dari Bun Cat-lin si Dewa Arak, tepat
121
mengenai pundak kiri Han Liong. Ia terhuyung-huyung ke belakang, tapi baiknya ilmu dalam dan tenaga tubuhnya sudah demikian kuat hingga pian itu yang bagi orang lain dapat memecah daging, meremukkan tulang, terhadapnya hanya mengakibatkan lecet saja.
Namun darahnya keluar juga membuat bajunya yang putih menjadi merah mengerikan. Han Liong mendengar ibunya mengeluarkan seruan tertahan. Ia menenangkan hatinya dan dengan memusatkan pikirannya, ia berkomat-kamit membaca doa kepada suhunya Kam Hong Siansu, minta ijin untuk menggunakan ilmu pedang Pek-liong Kiam-hoat. Tiba-tiba saja enam orang pengeroyoknya itu hampir semua berseru kaget, karena tiba-tiba saja Pek liong-pokiam mengeluarkan suara bercuitan dan gerakan-gerakannya begitu hebat sehingga dalam beberapa kali serangan saja empat pedang dari Sepasang Macan Tutul terpelanting ke udara, masing-masing terlepas dari pegangan kedua saudara Beng itu! Terpelantingnya pedang diikuti teriakan kedua orang itu yang roboh mandi darah, masing-masing tangan kirinya putus!
“Han Liong, tahan, nak!!” tiba-tiba terdengar jerit Yo Lu Hwa dengan sedih. Nyonya itu dengan nekad masuk ke lapangan pertempuran itu. Han Liong menahan pedangnya sambil memandang tajam,
“Ibu mau apa?” tanyanya ketus.
122
“Sudahilah pertumpahan darah ini, Liong.”
“Tidak, ibu. Sebelum aku membunuh orang she Lie yang menjadi pembunuh ayahku ini, aku tidak mau berhenti. Biar aku mati di sini, tidak mengapa!” katanya gagah. Sementara itu Lie Hong Ing berdiri bingung keheran-heranan ketika mendengar pemuda itu menyebut ibunya sendiri “ibu”. Belum pernah ibunya menceritakan bahwa ibunya mempunyai seorang anak lain! “Han Liong, dengarlah. Lie Ban tidak salah, akulah yang berdosa. Dan kalau ada sebutan membalas sakit hati, maka sebenarnya aku sendirilah yang mempunyai kewajiban itu, bukan kau! Tiba-tiba saja nyonya itu menggerakkan pedangnya secepat kilat. Karena ia juga serang ahli silat yang tidak lemah dan Lie Ban ketika itu sedang berdiri bingung, maka serangan tiba-tiba ini sama sekali tidak disangkanya dan tahu-tabu pedang isterinya sendiri sudah bersarang dalam dadanya!
“Ayah!!” Hong Ing berteriak ngeri dan menubruk ayahnya. Pada saat itu Yo Lu Hwa berseru,
“Ampuni aku, suamiku!” dan tiba-tiba pedangnya sendiri menancap ke dadanya dan iapun roboh mandi darah di samping suaminya!
“Ibu!!” Han Liong berteriak keras dan pilu lalu menubruk ibunya.
123
Ma Kui dan Bun Cat-lin yang hanya menjadi tamu dan sebenarnya tidak ada sangkut-paut dengan urusan itu, hanya berdiri saling pandang. Mereka adalah orang-orang ternama, dan baru saja mereka telah menyaksikan sendiri kehebatan kepandaian silat Han Liong yang ternyata dan jelas sekali berkepandaian jauh lebih tinggi dari merela, maka sebagai seorang panjang pikiran, mereka tidak melanjutkan ikut campur dalam hal ini, hanya menghela nafas dan menggeleng-geleng kepala. Hong Ing ketika mendengar teriakan Han Liong dan melihat ibunya rebah mandi darah dengan kepala di pangkuan pemuda itu, menjerit ngeri sambil menubruk ibunya. Mulutnya hanya dapat menangis dan berbisik sambil menyebut-nyebut dengan penuh kepiluan,
“Ayah... ibu... ayah... ibu...!” tangsnya makin sedih dan akhirnya iapun jatuh pingsan. Kedua orang tua she Ma dan Bun segera menolong gadis itu, dan segera Ma Kui memijit pundak gadis itu, dan dalam beberapa detik saja ia siuman kembali dan... menangis tersedu-sedu. Yo Lu Hwa membuka matanya dan tersenyum ketika melihat Han Liong memangku kepalanya.
“Han Liong... alangkah...alangkah rinduku padamu, nak... sudah besar dan gagah... seperti ayahmu...” Lalu matanya mengerling ke arah Hong Ing yang menangis sambil memegang tangannya. “Hong Ing... kasihan kau, nak... kau terbawa-bawa... menanggung derita karena dosa ibu...”
124
“Liong... kau... kau keliru nak... tidak ada yang beraslah dalam hal ini... hanya akulah yang yang berdosa... tetapi aku terpaksa, Liong... Lie Ban benar membunuh ayahmu... tapi... ingat, hal itu terjadi dalam perang...” sampai di sini napasnya sangat memburu, maka Han Liong segera mengambil sebuah pil obat pemberian gurunya, Pauw Kim Kong. Ia memasukkan pil itu ke dalam mulut ibunya, yang segera ditelan oleh ibunya yang maklum akan maksud anaknya, setelah menelan pil penahan sakit itu Yo Lu Hwa tampak lebih tenang. Ia melanjutkan kata-katanya lagi dengan lebih nyata,
“Pembunuhan dalam perang bukan pembunuhan biasa lagi namanya, Liong. Salahnya ialah bahwa ia mengambil aku sebagai isteri, tapi ini juga karena ia sungguh-sungguh... cinta padaku, Liong. Dan aku... aku terpaksa menjalani karena untuk menjaga... menjaga kau, Liong. Ayahmu serang patriot sejati dan orang baik, Lie Ban hanya bersalah karena ia cinta padaku, dan... dan aku... aku seorang wanita yang berdosa, Liong. Ampuni ibumu, nak,...” Han Liong tak dapat menahan keharuan hatinya. Ia memeluk ibunya.
“Ibu... ibu... bertahun-tahun anakmu ini merindukan pangkuanmu... Hatiku selalu hancur dan iri hati bila melihat semua binatang di hutan mempunyai ayah ibu, tetapi aku sendiri tidak... Aku rindu kepada ibu, tapi sekarang,... sekarang, karena akulah maka ibu membunuh diri...”
125
“Tidak, Liong. Memang sejak dulu aku ingin menyusul ayahmu. Sekarang Lie Ban juga telah mati dalam tanganku. Aku puas nak, biarlah kami bertiga di alam baka membuat perhitungan masing-masing. Hanya...” ia memandang Hong Ing yang masih menangis. “...pesanku, Liong... adikmu ini... Hong Ing... ia yatim piatu... terserah padamu, Liong... Ing... selamat tinggal...” Nyonya yang banyak mengalami kesengsaraan batin ini menghembuskan napas yang terakhir dalam pelukan kedua anaknya! Dalam beberapa hari Han Liong membantu mengurus pemakaman kedua jenazah ibu dan ayah tirinya. Hatinya sangat sedih setelah melihat kenyataan yang sudah terlambat. Ia benci akan sifat balas membalas ini yang sebenarnya tidak perlu, karena hanya menurutkan dengan nafsu saja. Dan Kam Hong Siansu dulu pernah berkata, bahwa segala nafsu itu selalu membuat orang menjadi buta akan segala kebenaran dan membuat orang kehilangan pertimbangan serta keadilan.
Kedua orang tua Ma Kui din Bun Cat-lin itu kembali ke kampung mssing-masing setelah membantu mengurus jenazah Lie Ban dan isterinya. Selama itu Hong Ing tak berani memandang muka Han Liong, dan tidak berbicara sepatahpun kepada pemuda itu, Han Liong mendapat perasaan bahwa adiknya itu benci padanya, tapi ia tidak menyalahkannya karena bukankah karenanya, maka gadis itu kehilangan ayah bundanya? Bukankah ia yang merusak penghidupan gadis itu, tadinya bahagia di bawah lindungan orang tua, kini tiba-tiba menjadi yatim piatu? Ia sendiri juga yatim piatu, tapi ia adalah serang laki-laki, tapi Hong Ing hanyalah seorang wanita. Apakah seorang gadis dapat berbuat sesuatu setelah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya? Setelah kedua jenazah
126
orang tuanya dimakamkan, Hong Ing setelah menyapu air matanya, tiba-tiba Han Liong mendatanginya lalu berkata perlahan.
“...Adikku... aku... aku merasa sangat berdosa dan kasihan padamu...” Baru ia berkata sampai di sini. Hong Ing menangis lagi, entah dari mana datangnya air mata yang seolah-olah tidak mau kering itu. Han Liong menghela nafas,
“Ing... Ing-moi, aku tak dapat terus tinggal di sini, aku tak berumah tak berfamili yang lain, aku seorang kelana, maka sekarang aku harus pergi dari sini.” Baru sekarang Hong Ing mengangkat mukanya dan memandang kakaknya. Pandangan matanya berbeda dari dulu, kini hilanglah pandangan yang menyatakan penyesalan dan kebencian,
(Lanjut ke Jilid 04)
Pedang Pusaka Naga Putih (Seri 04 - Serial Jago Pedang Tak Bernama)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 04
“Koko... kau... kau tidak berdosa padaku. Kau hanya menjalankan kewajiban. Dan lagi... bukan pula kau yang membunuh ayahku.
127
Kalau kau yang membunuh mereka, pasti aku akan benci padamu dan akan mengadu jiwa dengan kau. Tapi...kau kini adalah kakakku, keluarga satu-satunya di dunia ini...” kembali Hong Ing terisak-isak. Kemudian ia bertanya kembali,
“Kau... hendak pergi kemana, koko?”
“Kemana saja kakiku membawaku, adikku.” Hong Ing mengangkat muka memandangnya dari balik air mata.
“Kalau kau pergi, habis aku bagaimana, koko??” Pertanyaan yang diucapkan seperti seorang anak kecil yang tak berdaya ini menusuk perasaan Han Liong. Ia memandang Hong Ing dengan terharu dan dari kedua matanya perlahan-lahan bertitik dua butir air mata. Kedua-duanya merasa betapa mereka hanya hidup berdua, kakak beradik, yatim piatu.
“Koko...”
“Moi-moi...” Dan keduanya saling menubruk dan saling berpelukan seperti lakunya dua anak kecil saja sambil mengalirkan air mata. Setelah agak reda perasaan mereka, Han Liong berkata,
128
“Sudahlah, dik. Tak perlu kita bersedih terus menerus, tiada gunanya. Kau jangan khawatir, pesan ibu masih berkumandang di telingaku. Kalau kau tidak keberatan, marilah ikut aku, adikku. Mari kita merantau berkelana, kita nikmati dunia yang lebar ini bersama-sama.” Adiknya bernapas lega. Sekali lagi Hong Ing mendekap dan memeluk kakaknya dan berkata,
“Koko.”
“Tapi karena kau seorang wanita, baiknya kau berpakaian laki-laki dan menyamar sebagai laki-laki saja, moi-moi, agar tidak mendatangkan prasangka orang.” Timbul kegembirari hati Hong Ing.
“Pantaskah aku menjadi laki-laki?” wajahnya agak berseri sehingga mau tidak mau Han Liong tersenyum.
“Kau akan menjadi seorang pemuda cakap sekali,” katanya.
“Lebih cakap dari kau berpakaian wanita.”
“Tentu saja. Lihat saja nanti.” Dan mereka berdua tersenyum gembira seolah-olah tidak terjadi peristiwa sedih atas diri mereka. Setelah beres semua harta yang akan ditinggalkan dalam
129
pengawasan Lie Kong, yang kini sudah agak mulai sembuh dari lukanya atas rawatan Han Liong dan seorang tabib yang diundang, maka Han Liong dan Hong Ing mulai berkemas.
Tidak lupa mereka memberitahukan kepada kedua saudara Beng yang juga sedang dalam rawatan karena luka di tangan mereka di rumah itu. Han Liong minta maaf yang diterima dengan hati terbuka oleh kedua Macan Tutul itu. Kedua saudara Beng inipun mendapat bagian harta yang diberikan oleh Hong Ing sebagai pembalas budi. Kemudian Hong Ing menyamar sebagai seorang kongcu, menurut anjuran dan nasehat Han Liong. Mereka berkemas sambil bersendau gurau, kemudian dengan menggunakan dua ekor kuda yang dibeli Hong Ing dengan harga mahal, dan berbekalkan pakaian serta uang dalam bungkusan, kedua kakak beradik ini berangkat dan memulai pengembaraan mereka untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman baru.
Pada masa itu keadaan di Tingkok sungguh buruk sekali. Kaisar yang bertahta dan para menterinya yang memegang tampak kerajaan ternyata lalim dan hanya ingat kepentingan serta kemewahan diri sendiri saja. Kalau sebatang pohon sakit, maka cabang-cabang dan rantingnya juga tidak sehat dan daun-daunnya juga pada mati, demikian kata pepatah kuno. Pepatah ini menjadi sindiran, bahwa kalau rajanya lalim dan pembesqr-pembesar tinggi berlaku curang dan korup, maka pembesar-pembesar kecilpun juga tidak jujur dan rakyat kecilpun tentu hidup tertekan dan menderita sengsara. Di kota-kota siapa berpangkat dapat hidup
130
senang karena dengan mengandalkan hartanya dapat menyogok para pembesar itu dan hidup aman.
Sebaliknya rakyat kecil yang miskin dan tidak mampu menggunakan uang untuk menyuap pembesar, hanya dapat menghela napas saja melihat ketidak-adilan yang ditekankan kepada mereka. Pajak diadakan semaunya dan undang-undang negeri seakan-akan dibuat sendiri oleh tiap pembesar setempat yang berwewenang. Lebih-lebih di kampung dan desa, keaadaannya lebih buruk lagi. Orang-orang kaya dan tuan-tuan tanah merupakan lintah-lintah darat yang sangat berpengaruh. Mereka ini dapat berbuat sesuka hatinya terhadap petani miskin. Mau menjadikan anak gadis orang untuk isteri muda, tinggal rampas saja. Mau memfitnah orang kecil, tinggal berkejap mata saja kepada pembesar yang berkuasa di situ. Bahkan orang-orang kaya itu hampir semua mempunyai barisan penjaga atau tukang pukul sendiri, mempunyai peraturan-peraturan sendiri untuk melindungi tanah mereka!
Pendeknya, bagi telinga seorang yang berjiwa patriot, ia tentu memperhatikan jerit-tangis dan keluh-kesah dari rakyat yang memuncak tinggi, tapi mereka atau orang-orang yangs berjiwa patriot itu tak berdaya sama sekali, karena penindasan dan hukum rimba itu yang berantai, dari pembesar terkecil terus sampai ke menteri bahkan sampai ke kaisar sendiri! Siapa berani menentang pembesar kecil maka ia akan berhadapan dengan pembesar tinggi dan pasti akan menemui kehancuran. Karenanya, jerit-tangis rakyat pada waktu itu seakan-akan keluh kesah seorang kehausan
131
di tengah padang pasir, tiada yang mendengar, tiada yang perduli! Karena itu, banyak rakyat kecil yang karena menderita menjadi putus asa, sering mengeluh dan berkata, bahwa tuhan pada waktu itu melupakan manusia ciptaannya yang tengah menderita kesengsaraan!
Han Liong yang baru saja turun gunung, melihat keadaan itu Han Liong menjadi marah sekali. Di setiap tempat, bila menjumpai keadaan yang tidak adil, Han Liong pasti tidak tinggal diam berpeluk tangan. Hong Ing ternyata mewarisi sifat ibunya dan berjiwa patriot pula. Ia secara diam-diam sering menyesalkan perbuatan ayahnya yang telah menjual tenaga kepada pemerintah Ceng-tiauw, satu pemerintahan yang bagi para pahlawan bangsa dianggap pemerintah yang menjajah. Sebaliknya ia memuji sekali ayah Han Liong dan ia iri hati kepada kakaknya itu. Maka, untuk membalas dan menebus dosa ayahnya, ia mencurahkan semua tenaganya untuk menolong rakyat yang tertindas oleh pembesar-pembesar penjilat pemerintah asing itu.
Banyak sudah pembesar-pembesar yang mereka beri hajaran, bahkan ada beberapa pembesar yang mereka anggap terlampau jahat telah tewas dalam tangan mereka. Entah berapa banyak harta benda orang-orang hartawan mereka angkut dan bagi-bagikan kepada rakyat miskin. Baru saja beberapa bulan mereka berkelana, nama mereka menjadi harum dan terkenal sekali, bahkan orang-orang di kalangan kang-ouw menyebut mereka sebagai Thian-jiauw-siang-hiap atau Sepasang Pendekar Garuda Angkasa! Julukan ini diberikan kepada mereka berdua karena
132
gerakan mereka yang datang menolong tak tersangka-sangka. Dan mereka sangat gesit tak ubahnya seperti sepasang garuda menyambar dari angkasa. Mereka disebut siang-hiap karena dalam setiap operasi, mereka selalu berpasangan.
Han Liong yang selalu berpakaian warna putih, disebut orang Pek i-hiap dan Hong Ing yang suka baju warna merah, disebut orang Ang-i-hiap yang artinya bagi Han Liong si Pendekar Btju Putih dan bagi Hong Ing si Pendekar Baju Merah! Tiada seorangpun tahu bahwa Hong Ing adalah seorang wanita. Pernah Han Liong bertanya kepada adiknya tentang pelajaran silatnya dan siapa gurunya. Sebelum menjawab, Hong Ing terlebih dulu minta diceritakan riwayat pelajaran silat Han Liong kepadanya. Ia mengalah dan bercerita lebih dulu. Hong Ing mendengarnya dengan penuh minat dan minta supaya kakaknya itu berjanji akan mengajarnya untuk menambah ilmu silatnya yang sudah ada. Kemudian gadis itu minta diperlihatkan macamnya Pek liong pokiam yang dulu telah ia rasakan sendiri ketajamannya yang luar biasa itu.
Setelah itu, barulah Hong Ing bercerita tentang dirinya sendiri. Ternyata Hong Ing mendapat latihan silat pertama-tama dari ayahnya sendiri, kemudian oleh ayahnya ia dikirim ke Bok sin-tang untuk berguru kepada seorang Nikouw atau pendeta Wanita bernama Seng Bouw Nikouw yang sebenarnya bibi gura dari Lie Ban. Dari pendeta perempuan inilah Hong Ing menerima pelajaran silat yang tinggi sehingga kepandaiannya kini boleh dikatakan setingkat dengan ayahnya sendiri, atau boleh dikata lebih tinggi,
133
terutama dalam permainan siang kiamnya yang luar biasa. Selama lima tahun ia belajar silat dengan nikouw itu. Demikianlah, kedua kakak beradik itu melanjutkan perjalanan dengan penuh kegembiraan. Hong Ing telah lupa sama sekali akan kesedihannya, dan Han Liong juga merasa bahagia.
Sikap adiknya yang manja, nakal, suka menggoda, tapi penuh kejujuran dan keberanian itu membuat ia merasa senang sekali dan lama kelamaan pertalian darah mereka makin erat dan saling kasih mengasihi. Hong Ing pada waktu itu telah barusia enam kelas tahun dan Han Liong delapan belas. Pada satu hari Han Liong dan Hong Ing berkuda sepanjang jalan yang menuju ke kota Tong Hai. Pagi-pagi keduanya berkuda memasuki hutan pohon Liu yang menahan sinar matahari pagi sehingga sinar sang surya merupakan garis-garis kuning bersinar menyorot dari celah-celah daun pohon Liu merupakan pemandangan yang indah sekali. Mereka menjalankan kuda berendeng dan sambil naik kuda yang berjalan perlahan-lahan, mereka menikmati hawa hutan yang sejuk itu, mereka bicara dengan riang gembira.
“Koko, alangkah indahnya sinar matahari itu,” kata Hong Ing sambil mendongak ke atas, “Sungguh senang berada di luar, bebas lepas menyaingi burung-burung di udara. Aah, inilah hidup dan bahagia!”
“Adik Ing,” jawab Han Liong yang sudah biasa menyebut adik saja atau “siauwte” artinya adik laki-laki, karena ia harus membiasakan sebutan ini di muka umum agar melengkapi penyamaran Hong Ing
134
sebagai pria, “Betapapun juga, segala sesuatu itu selalu harus mengalami perubahan. Kita tidak mungkin selamanya begini sampai...” di sini Han Liong menghela napas.
“Mengapa tidak, kakakku yang baik? Apa kau ada pikiran hendak meninggalkan aku?” tanya Hong Ing.
“Sekali-kali tidak. Tapi pada suatu waktu, kaulah sendiri rasanya yang akan meninggalkan aku, bahkan akan melupakan kakakmu ini.”
“Eh, eh! Tiada hujan tiada angin kau bicara tidak keruan juntrungannya, koko. Siapa mau tinggal meninggalkan? Aneh benar bicaramu pagi ini. Dan kau kelihatan sangat muram seperti anak kecil tidak kebagian kue! Sungguh tidak sesuai dengan indahnya cuaca. Mengapakah, koko?” Han Liong memaksa tersenyum.
“Ah, tidak apa-apa, adik Ing.” Hong Ing tiba-tiba menahan kudanya dan tidak mau maju. Han Liong menoleh kepadanya dan berkata,
“Ayoh jalankan kudamu.” Tapi Hong Ing diam saja bahkan menggeleng-gelengkan kepala dengan mulut cemberut.
135
“Eh, eh. Ada apa, adik Ing?”
“Katakan dulu kenapa kau bermuram durja, baru aku mau maju lagi,” kata Hong Ing dengan manja. Han Liong tertawa dan memajukan kudanya menghampiri.
“Jangan marah, adikku yang manis!” Tapi Hong Ing masih saja menggeleng-gelengkan kepala dan pundaknya.
“Ah, adik Ing, kalau kau sudah begini maka tidak pantas menjadi pemuda, lagakmu seperti seorang gadis benar-benar!” Hong Ing mengangkat cambuk kudanya hendak memukul kakaknya yang segera melarikan kudanya dan lalu dikejar oleh Hong Ing. Mereka segera saling kejar berputar-putaran di bawah pohon-pohon Liu.
“Sudah, sudah, adikku. Aku menyerah. Lihat kudaku sampai mengepulkan uap diri mulutnya karena lelah.”
“Biar! Kau jawab pertanyaanku atau kupukul dengan cambuk ini.” Hong Ing mengancam. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar bunyi kaki kuda berlari cepat. Dari sebuah tikungan tampak datang dua orang menunggang kuda yang dilarikan sangat kencang. Karena jalan itu kecil dan tidak cukup lebar untuk tiga atau empat kuda jalan berendeng, maka dari jauh mereka sudah berteriak-teriak,
136
“Minggir! Minggir!!” Han Liong segera meminggirkan kudanya di bawah pohon Liu. Tapi Hong Ing yang beradat keras dan pula sedang kesal kepada kakaknya, membiarkan kdanya melintang jalan dan memaksa kedua penunggang kuda itu harus berhenti! Kedua penunggang kuda itu segera menahan kuda mereka dengan cepat, kalau tidak mereka pasti akan berlanggar dengan kuda Hong Ing. Ternyata kedua-duanya adalah perempuan-perempuan muda yang cantik dan di pinggang mereka tergantung pedang.
“Eh, kurang ajar! Apa maksudmu sengaja menghalang-halangi jalan kami?” Seorang dari mereka yang lebih muda memaki. Hong Ing membalas makian ita dengan mata mendelik.
“Tuan, harap beri jalan kepada kami, karena kami ada urusan penting dan tergesa-gesa,” kata yang seorang lagi.
“Hm, ini baru kata-kata sopan,” jawab Hong Ing. “Dari manakah datangnya orang yang seakan-akan merasa diri menjadi raja dan menganggap jalan ini seperti jalannya sendiri?” ia tujukan kata-katanya ini kepada gadis muda itu. “Apa kau kira semua orang takut akan gertakanmu?”
137
“Sudah, jangan banyak cakap, awas jangan membuat aku menjadi hilang sabar!” Gadis muda itu berkata pula dengan marah. “Pendeknya, lekas kau minggir!”
“Kalau aku tidak mau minggir, kau mau apa, nona galak?” kata Hong Ing dengan aksinya yang menimbulkan kemarahan orang. Bangsat kecil tak tahu diri! Tahukan kamu bahwa kamu berhadapan dengan siapa? Kami Shoatang Ji-Lihiap (Dua Pendekar Wanita dari Shoatang) enci dan aku tidak biasa menerima penghinaan dari siapapun saja, mengerti?” teriak gadis yang muda itu marah. Encinya yang agaknya lebih sabar menarik lengan adiknya, tapi tak diperdulikan oleh adiknya. Hong Ing mengeluarkan suara sumbang.
“Hm! Siapa perduli apakah kalian pendekar-pendekar dari Shoatang ataukah dari Neraka? Aku tidak kenal nama itu!” Mendengar ini, perempuan yang lebih tua merasa tak senang juga. Bukankah mereka berdua telah terkenal di kalangan kang-ouw? Mengapa pemuda kecil ini berani menghina?
“Tuan, jangn mencari perkara. Minggirlah dan kami akan lewat dengan baik-baik. Kami tidak ada waktu melayani segala orang seperti tuan!”
138
“Kami berdua juga mau pergi mau ke depan. Kalian boleh menjalankan kuda di belakang kami.” Sementara itu Han Liong sudah menghampiri mereka.
“Bangsat kecil ingin celaka!” gadis yang termuda itu memaki sambil mencabut pedang dari pinggangnya. Hong Ing hanya tertawa menyindir dan mencabut pedangnya pula.
“Adik Ing sabar dulu,” kata Han Liong untuk mencegah adiknya. Tetapi Hong Ing yang sedang jengkel kepadanya mana mau menurut perintahnya. Ia bahkan mengerling kepada Han Liong dengan marah dan berkata,
“Kalau kau mau membela perempuan-perempuan cantik ini, silakan. Boleh aku dikeroyok tiga!!” tantangnya dengan mata merah karena marah.
“Siapa mau mengeroyok, laki-laki tak tahu malu!” gadis muda itu berteriak marah, “Aku sendiri sudah cukup untuk mengirim jiwamu ke akhirat.” Sehabis berkata begini gadis itu majukan kudanya dan memberi sebuah tusukan berbahaya. Hong Ing menangkis dengan pedangnya yang kiri, lalu dengan pedang kanan balas menusuk. Mereka berdua bertempur di atas kuda, dan karena kuda mereka tidak biasa dipakai bertempur, maka kuda mereka melompat-lompat ketakutan sehingga mereka tidak dapat bersilat dengan
139
leluasa. Hong Ing mendahului lawannya melompat turun dan menantang.
“Turunlah kalau kau benar-benar perempuan gagah!” Lawannya segera melompat turun juga dan mereka meneruskan pertempuran di atas tanah!
Ternyata tenaga dan kegesitan mereka berimbang, tapi karena Hong Ing menggunakan dua pedang dan ilmu pedangnya warisan dari Seng Bouw Nikouw memang lihai sekali, maka setelah mereka bertempur dua puluh jurus, gadis muda itu mulai terdesak. Encinya tidak tega melihat adiknya kewalahan, maka ia segera terjun ke tengah pertempuran itu. Ternyata gerakannya sangat kuat dan gesit sehingga benturan-benturan pedangnya dirasakan oleh Hong Ing sangat kuat dan membuat telapak tangannya panas. Ia mengharapkan bantuan Han Liong, tapi ternyata pemuda itu hanya turun dari kuda dan berdiri melihat jalannya pertempuran! Hong Ing lama-lama terdesak juga dan repot melayani dua lawannya yang ternyata berkepandaian tinggi, lebih-lebih yang lebih tua, pedangnya berputar-putar kuat dan ia pandai sekali. Karena gemas, maka sambil bertempur Hong Ing berteriak ke arah Han Liong.
“He, kenapa kau diam saja? Ayohlah bantu mereka ini, agar sekalian dapat kulayani!!”
140
Han Liong tersenyum geli. Ia memang sengaja membiarkan adiknya agar ia merasa bahwa ada juga orang yang lebih pandai darinya, juga ia melihat bahwa biarpun terdesak, namun siang kiam-hoat dari adiknya itu cukup ulet untuk dikalahkan begitu saja dalam waktu pendek. Selain itu, ia sesungguhnya sangat tertarik oleh gerakan-gerakan kedua nona itu. Kini setelah nendengar teriakan Hong Ing, ia segera meloncat ke tengah-tengah pertempuran dan menggunakan kedua tangannya bergerak-gerak di antara sinar pedang, lalu secepat kilat menahan dua tangan yang memegang pedang dari kedua lawan itu. Kedua nona dari Shoatang itu merasa tangan mereka tergetar dan alangkah terkejut mereka ketika diketahuinya pedang mereka telah pindah ke tangan pemuda itu di kanan kiri! Haa Liong memandang kedua nona itu dengan tajam dan bertanya dengan suara sungguh-sungguh.
“Adakah pertalian kalian dengan Lie Kiam si Angin Ribut?” Gadis yang lebih muda itu menjawab sengit.
“Apa perlunya kau tanya-tanya tentang supek kami?”
“Aha! Kalau begitu kalian adalah murid Bhok Kiam Eng si Garuda Putih? Hm, bagus, kalau aku ceritakan kepadanya akan kelakuanmu hari ini, kalian pasti akan kena marah!”
“He, siapakah kau? Dan apa maksudmu berkata begitu?” tanya gadis yang lebih tua.
141
“Lupakah kau akan ajaran suhumu? Bukankah suhumu sudah pesankan, bahwa kalian tidak boleh mencari-cari musuh jika tidak diserang orang? Mengapa kalian begitu berani dan sembarangan turun tangan karena urusan kecil saja, bahkan mau membunuh orang?”
“Terangkan dulu siapa kau, sebelum memberi nasehat kepada kami,” kembali gadis yang lebih muda berkata dengan suara pedas.
“Ketahuilah, nona-nona, gurumu itu adalah suhengku, jadi kalian harus menyebutku paman guru!” Kedua gadis itu saling pandang dengan heran, kemudian gadis yang muda dan berani itu maju setindak dan memaki,
“Orang tak tahu adat! Sembarangan saja kau mengaku-aku guru kami sebagai suhengmu! Kami belum pernah mendengar bahwa suhu mempunyai adik seperguruan semuda kau! Pula, selain suhu dan Lie Kiam supek, sukong Liok-tee-sin-mo Hong In tidak mempunyai murid lagi. Jangan kau berani membohong!” Han Liong tersenyum. Ia tidak heran bahwa kedua murid suhengnya ini belum mengenalnya. Maka dengan masih tersenyum ia berkata,
142
“Hm, kalian tidak percaya? Ternyata selain berkepala batu, kalian juga kurang rajin mempelajari ilmu silatmu. Gerakanmu ketika menyerang dengan tipu Garuda Menyambar dari Pohon tadi kurang baik, seharusnya kau bertindak maju dengan berdiri di atas ujung kaki, karena bukankah gerakan itu mengutamakan keringanan tubuh dan kegesitan? Juga encimu tadi ketika menangkis dengan tipu Angin Barat Meniup Daun masih kurang sempurna, seharusnya kaki kiri ditekuk sedikit ke dalam agar mudah untuk diganti gerakan selanjutnya ialah tipu Angin Ribut Mengamuk untuk membalas menyerang!” Mendengar pemuda itu menerangkan semua tipu-tipu silat warisan mereka itu, kedua nona tadi agak heran. Han Liong melihat bahwa mereka masih saja kurang percaya, maka ia segera melemparkan dua pedang ke atas lalu menyambut meluncurnya pedang itu dengan memegang ujungnya. Kemudian ia menyerahkan pedang itu kembali kepada pemiliknya sambil berkata,
“Nah, kalau kalian masih tidak percaya, cobalah serang aku serentak. Aku akan menggunakan kegesitan tubuh menurut tipu-tipu ajaran gurumu untuk berkelit.” Karena masih belum percaya dan penasaran karena pedang mereka tadi dirampas, Shoatang Ji-Lihiap maju bersama melakukan serangan!
“Bagus tipu Ular Melintas Sungai dan Harimau Menyabet Dengan Ekornya ini!” Han Liong berseru menyebut tipu-tipu mereka, lalu ia menggerakkan tubuhnya. Kedua nona itu melihat tubuh pemuda itu berkelebat di antara sambaran pedang mereka dan tahu-tahu pemuda itu lenyap dari penglihatan mereka. Mereka membalikkan
143
tubuh dan ternyata Han Liong sudah berdiri di situ sambil tersenyum!
“Kenalkah kalian gerakanku tadi? Itu adalah lompatan Naga Sakti Mengejar Mustika, tentu kalian kenal, bukan? Nah, ayoh, jangan tertegun seranglah lagi!” Kedua kakak beradik itu menyerang dengan lebih hebat, tapi Han Liong dapat berkelit menggunakan kegesitan tubuhnya, sambil berkelit ia sebut tiap tipu kedua nona itu dan sekalian memperkenalkan gerakannya sendiri. Setelah kedua nona itu menyerang sepuluh jurus, maka heranlah mereka. Pemuda itu ternyata dapat menyebut tipu-tipu mereka dengan tepat dan gerakannya ketika berkelitpun adalah gerakan tipu silat guru mereka, namun ternyata pemuda itu jauh lebih gesit dan ringan badannya daripada guru mereka sendiri! Si enci dengan segera menjatuhkan diri berlutut,
“Susiok, ampunkanlah teecu yang berlaku kurang hormat karena tidak tahu.” Si adik yang ternyata sifatnya memang angker dan keras, setelah berdiri ragu-ragu dan setelah encinya membelalakkan matanya, akhirnya ia berlutut juga dan menyebut, “Susiok!” Han Liong tertawa dan menyuruh mereka bangun.
“Tidak apa, nona berdua bukannya sengaja melawan paman guru. Memang kalau tidak bertempur kita tidak akan berkenalan. Hanya pesanku, janganlah terlalu mudah mencari perselisihan dengan orang, karena hal itu hanya akan menimbulkan keributan yang tak perlu saja.” Kemudian Han Liong memperkenalkan Hong Ing
144
dengan kedua nona itu, yang ternyata bernama Bwee Lan dan Bwee Hwa.
“Kailan begitu tersesa-gesa, sebenarnya ada urusan apakah?” kemudian Han Liong bertanya. Bwee Lan berkata dengan sedih. “Susiok, sebenarnya karena kami sedang menghadapi urusan hebat, maka berlaku sembrono dan adikku karena bingung dan sedih menjadi mudah naik darah. Teecu berdua sedang menuju ke kota Tong Hai mencari suhu untuk memohon pertolongannya.”
“Ada apakah?” tanya Han Liong penuh perhatian.
“Celaka, susiok. Supek Lie Kiam telah dilukai orang dan puteranya yang baru berusia lima tahun diculik penjahat. Sampai di sini ia menangis, kemudian setelah reda lagi tangisnya, Bwee Lan menyambung ceritanya, “Penjahat yang menculik itu memberi waktu sampai malam hari ini, jika tidak ada orang datang membawa uang tebusan lima ribu tali perak, maka anak supek itu akan dibunuh!”
“Berapa jauhkah tempat kediaman penculik itu?” tanya Han Liong.
“Ia berdiam di bukit Lui-san, kira-kira perjalanan setengah hari dari sini bila naik kuda cepat. Teecu khawatir terlambat.”
145
“Hm, kalau begitu, biarlah aku mewakili suhumu dan mari kita segera berangkat saja menuju ke Lui san.”
“Tapi... susiok,” kata Bwee Hwa yang sejak tadi diam saja, “Penculik itu adalah Ban Hok si Harimau Hitam. Ilmunya sangat tinggi, sedangkan supek sendiri terluka olehnya dalam pertempuran!” Dengan kata lain, Bwee Hwa sebenarnya merasa sangsi apakah susioknya yang muda itu akan dapat melawan Ban Hok. “Dan lagi, uang tebusannya sangat banyak...”
“Jadi kalian ini pergi mencari Bhok suheng untuk minta diusahakan uang tebusan?” Kedua nona itu mengangguk.
“Apakah Bhok suheng itu orang kaya dan banyak uang?” Dua murid keponakannya iu menggeleng-geleng kepala.
“Habis, darimana suhu kalian bisa memperoleh uang itu?” tanya Han Liong pula.
“Maksud teecu hanya minta nasehat dan pikiran suhu, karena siapa lagi yang harus kami tangisi dan siapa lagi dapat menolong supek dan puteranya,” jawab Bwee Lan.
146
“Nah. kalau begitu sama saja halnya. Suhumu tidak punya uang, sedangkan aku sendiri, terus terang saja juga tidak punya uang sedemikian banyak. Tapi mungkin dapat kuusahakan untuk menolong putera suheng Lie Kiam itu. Dan, kalau kita harus mencari Bhok suheng dulu, dikhawatirkan kita akan terlambat untuk menolong jiwa anak itu.”
Bwee Lan dan adiknya tak dapat membantah legi, maka mereka segera berangkat membalapkan kudanya. Di sepanjang jalan, ternyata Bwee Hwa yang nakal dan suka bicara itu cepat sekali dapat menjadi akrab dengan Hong Ing yang tidak kalah cerewetnya! Kedua enci adik itu sedikitpun tidak menyangka bahwa Hong Ing adalah seorang wanita, karena Han Liong memperkenalkannya sebagai adiknya laki-laki! Tapi diam-diam Bwee Lan agak jemu melihat Hong Ing yang dianggapnya seperti lelaki ceriwis! Ia juga menyesalkan mengapa Bwee Hwa demikian rapat merendengkan kudanya sambil bicara dengan gembira dan diselingi senda gurau! Sebaliknya, melihat susioknya, ia merasa segan karena pemuda itu terlampau pendiam.
Kalau saja Han Liong itu bukan susioknya, demikian pikir Bwee Lan! Terhadap seorang paman guru tentu saja ia tidak berani memperlakukan sebagai seorang kawan, karena dalam tingkatan mereka, Han Liong adalah termasuk “golongan tua!” Ketika mereka tiba di kaki bukit Lui-san hari telah mulai gelap. Bwee Lan mengajak susioknya berhenti di depan sebuah rumah sederhana di kampung Lim-cun di dekat situ, di mana tinggal supeknya yang menderita luka. Kedatangan mereka disambut oleh seorang wanita
147
yang masih merah matanya karena kebanyakan menangis. Ketika diperkenalkan, Han Liong tahu bahwa itu adalah isteri suhengnya, maka ia segara memberi hormat. Segera mereka diantarkan memasuki kamar Lie Kiam yang tampak berbaring di atas tempat tidur dengan wajah pucat.
“Suheng, sutemu datang terlambat sehingga suheng dilukai orang.” Han Liong memberi hormat sambil memandang laki-laki yang sudah setengah tua yang masih tampak gagah itu. Dengan agak payah Lie Kiam bangkit duduk, lalu memandang wajah anak muda itu dengan agak heran.
“Aku telah mendengar dari Bhok suheng bahwa suhu telah mempunyai seoang murid baru, tapi tak kusangka bahwa ia masih semuda ini,” katanya perlahan.
“Siokhu dipukul orang dan putera siokhu diculik, sebenarnya ada perkara apakah?” tiba-tiba Hong Ing yang kasihan melihat keadaan Lie Kiam itu bertanya. Han Liong mengerling adiknya, tapi Lie Kiam memandangnya lalu bertanya,
“Siapakah anak ini, sute?”
148
“Ia adalah adikku, suheng.” Lie Kiam mengangguk-angguk, kemudian hendak mulai bercerita. Tapi Han Liong cepat berkata kepada Hong Ing.
“Adik Ing, kau lihat suheng perlu mengaso, pula, cerita ita dapat ditunda kelak, Kini yang perlu ialah menolong puteranya.” Mendengar orang menyebut puteranya, Lie Kiam timbul rasa khawatir dan sedihnya, maka tiba-tiba ia batuk-batuk dan dari mulutnya keluar darah! Han Liong segera menghampiri.
“Ah, suheng, kau terluka di dalam,” katanya, lalu tanpa minta permisi lagi, ia membuka baju suhengnya dan memeriksa dadanya.
“Suheng, kau terpukul dan mendapat luka dalam yang berbahaya juga, selain itu jalan darah di bawah tulang iga kanan telah terotok. Maaf, suheng, biarlah sute mencoba memulihkan jalan darah itu.” Ia segera menggunakan kedua jari tangan dan telunjuknya mengurut-urut dada di bawah iga lalu menepuk punggung suhengnya. Lie Kiam yang terheran-heran kini merasa sakit di dadanya agak berkurang.
“Nah, ini dua butir obat, harap suheng makan dua kali, malam ini dan besok pagi.” Ia menyerahkan dua butir pil pemberian suhunya yang paham akan ilmu obat-obatan, ialah Pauw Kim Kong.
149
“Eh, sute, darimana kau peroleh kepandaian mengobati ini?” tanya Lie Kiam.
“Dari suhunya yang bernama Pauw Kim Kong!” Hong Ing menyahut. Lie Kiam terheran mendengar ini. Bukankah sutenya itu murid suhunya sendiri? Tapi Han Liong segera berkata.
“Biarlah besok saja kita bicara, suheng. Riwayat sutemu ini panjang untuk diceritakan seketika juga. Yang perlu sekarang adalah urusan anakmu. Biarlah kedua nona Bwee ini mengantarkan siauwte merampasnya kembali dari tangan Ban Hok.”
“Jangan, sute, ia sangat berbahaya. Kau akan mendapat celaka.” Han Liong tersenyum.
“Jangan khawatir, suheng, kurasa ada jalan untuk mengalahkannya. Pula, biar siauwte mendapat celaka sekalipun, siauwte tidak akan menyesal, karena siauwte telah memenuhi kewajiban sebagai saudara seperguruan.”
“Tapi adikmu ini lebih baik tinggal di sini saja dan biar Bwee Lan saja mengantarkan kau. Bwee Hwa juga jangan ikut,” kata Lie Kiam
150
pula. Han Liong mengerling ke arah Hong Ing yang tampak merengut, maka dengan ketawa ia menjawab,
“Biarlah adikku ikut, suheng, karena iapun dapat menjaga dirinya sendiri.” Dengan terpaksa Lie Kiam melepaskan mereka pergi. Hanya Bwee Hwa saja yang dilarangnya pergi, karena ia tahu akan tabiat anak itu dan khawatir akan keselamatannya. Untung saja Han Liong dan dua kawannya bahwa malam itu angkasa diterangi oleh ribuan bintang sehingga mereka dapat maju dengan cepat ke tempat kediaman Ban Hok si Harimau Hitam. Terbukti menurut penuturan Bwee Lan, penculik itu tinggal dalam sebuah kelenteng tua yang telah tak terpakai lagi. Ketika mereka sampai di depan kelenteng itu, Ban Hok telah kelihatan berdiri di depan bertolak pinggang. Tubuhnya tinggi besar dan kulitnya hitam, sehingga di tempat agak gelap itu hanya tampak putih mata dan giginya ketika ia menyeringai. Han Liong maju dan tunduk menghormat dan Ban Hok segera membalasnya.
“Apakah siauwte berhadapan dengan Ban-Enghiong?” tanya Han Liong dengan sopan.
“Betul. Dan saudara ini suruhan Lie Kiam si Angin Ribut?”
“Memang siauwte mewakili Lie Kiam suheng untuk menjumpaimu dan menjemput anaknya.” jawab Han Liong.
151
“Ha, ha! Lie Kiam ternyata berpikiran luas juga. Baik, kau boleh mengambil anak itu, ia sehat dan selamat, tapi lebih dulu serahkan uangnya padaku!” Matanya berganti-ganti memandang tiga tamunya ingin tahu segera apakah mereka ini sudah membawa uang tebusan yang dimintanya.
“Perkara uang mudah, Ban-Enghiong. Tapi cobalah kau sebutkan alasan-alasanmu menggunakan cara penculikan dan minta tebusan ini. Karena caramu ini sungguh membikin aku kecewa. Tak kusangka bahwa namamu yang besar itu tak sesuai dengan perbuatanmu. Maka kuduga pasti ada apa-apanya di belakang perbuatanmu ini.”
“Hm, kau masih muda tapi pandai bicara. Kau tadi bilang bahwa Lie Kiam itu suhengmu? Baik, dengarlah alasanku mengapa aku melakukan semua ini. Lima tahun yang lalu ketika aku mencegat seorang hartawan yang lewat di daerahku dan merampok uangnya sebanyak sepuluh ribu tail perak, Lie Kiam telah turut campur dan membela hartawan itu! Kami bertempur dan Lie Kiam telah memukulku sehingga aku hampir mati. Nah, aku lalu belajar silat lagi dan sekarang aku menagih hutang. Apakah ini perbuatan salah? Hutang uang membayar uang, hutang pukulan membalas pukulan, bukankah ini sudah adil namanya?”
152
“Hm, begitukah? Tapi kenapa kau masih menculik anaknya? Bukankah itu perbuatan rendah?” ujar Han Liong.
“Penculikan ini hanya untuk menagih uangku yang dulu. Lie Kiam telah merugikan aku sepuluh ribu tail, kini aku hanya minta lima ribu, ini masih murah sekali. Sudahlah, jangan banyak cakap, segera bayar uang itu dan anak Lie Kiam akan kuserahkan padamu.”
“Tuan Ban! Kau telah menggunakan kepandaianmu untuk menjatuhkan suhengku dan menculik anaknya, maka bagaimana kalau sekarang suheng menggunakan kepandaian pula untuk mengalahkan kau dan minta kembali anaknya?”
“Boleh, boleh! Kalau ia masih tidak mau mengaku kalah dan ingin mengadu kepandaian, silahkan! Kalau aku salah, biarlah aku bersumpah takkan mengganggunya lagi dan anaknya akan kukembalikan dengan selamat.”
“Bagaimana kalau adik seperguruannya mewakilinya berhadapan dengan kau dan mengadu tenaga?”
“Ha, ha! Sedangkan suhengmu saja tak mampu melawanku, apa lagi sutenya? Silahkan, siapakah yang akan mewakilinya melawan aku?” tanyanya sombong.
153
“Aku sendiri.”
“Kau??” sepasang mata Ban Hok memandang Han Liong dengan tajam seakan-akan menaksir anak muda itu, tapi Han Liong hanya merupakan seorang pemuda yang halus kulitnya dan halus pula gerak-gerik serta tutur sapanya, maka ia sangat mengganggap enteng. “Baik, datanglah besok pagi, kita mengukur kepandaian di waktu terang hari di depan kelenteng ini.”
“Baik, tuan Ban, aku percaya bicaramu. Nah, sampai besok!” Walaupun Hong Ing dan Bwee Lan tidak setuju dengan perjanjian ini, namun Han Liong segera mengajak mereka pergi. Di tengah jalan Han Liong menerangkan kepada mereka bahwa sebagai seorang yang mengerti aturan, ia harus menerima permintaan Ban Hok untuk bertempur besok karena malam itu terlampau gelap untuk orang mengadu kepandaian secara jujur. Sesampainya di rumah Lie Kiam, ternyata suhengnya sedang tidur nyenyak.
“Setelah menelan sebutir pil, ia nampak agak lumayan dan dapat tidar enak” kata isterinya kepada Han Liong dengan pandangan berterima kasih. Maka Han Liong lalu beristirahat pula dalam sebuah kamar yang telah disediakan. Hong Ing pun pergi tidur dalam kamar lain. Ia mendapat kamar sendiri karena ia lebih dulu memajukan alasan bahwa ia tidak bisa tidur sekamar dengan lain orang, walaupun dengan kakaknya sendiri! Keesokan harinya, Han
154
Liong mengajak Hong Ing berangkat. Kedua nona Bwee yang akan ikut, dilarang oleh Han Liong dengan alasan bahwa Ban Hok mungkin akan menganggap ia mengandalkan banyak orang untuk mengeroyok. Dengan cepat mereka tiba di kelenteng tua itu I Betul saja Ban Hok telah menanti kedatangan mereka. Kini mereka dapat melihat orang she Ban itu lebih nyata.
Ternyata ia adalah seorang berusia kira-kira empat puluh tahun, berkulit hitam dengan sepasang mata tajam. Kedua lengan tangannya yang hitam itu berkilap seakan-akan digosok minyak. Diam-diam Han Liong terkejut karena ia dapat menduga bahwa Harimau Hitam itu tentu seorang ahli tangan pasir, ialah ahli silat yang melatih tangannya dengan pasir dan bubuk besi hingga kedua lengan itu menjadi sangat berbahaya dan kuat. Pula tindakan kakinya ketika ia maju melangkah membayangkan sebuah tenaga Iweekang yang tinggi karena tindakan kakinya tetap dan berdirinya seakan-akan kedua kakinya berakar! Han Liong segera memberi hormat yang dibalas oleh Ban Hok. Sebaliknya Harimau Hitam ini diam-diam tidak berani memandang ringan kepada Han Liong ketika ia lihat betapa sepasang sinar mata pemuda itu menyambar-nyambar bagaikan sapasang mata seekor naga sakti!
“Anak muda, betulkah kau hendak mewakili suhengmu melawan aku!” tanyanya.
“Akan kucoba.” jawab Han Liong.
155
“Dengan cara apa kau hendak melawanku? Tangan kosong atau bersenjata?”
“Kaulah yang berhak memilih, tuan Ban, karena kaulah tuan rumahnya. Aku sebagai tamu hanya menurut saja,” kata Han Liong.
“Hm, kau masih muda, tapi tahu aturan. Siapakah namamu dan apa gelarmu?” tanya Ban Hok.
“Aku yang bodoh she Si bernama Han Liong, orang-orang kampung menyebut aku dan adikku ini Thian-jiauw-siang hiap.”
“Eh, jadi adikmu ini juga ahli silat?” tanya Ban Hok dengan pandangan kagum. “Kalau begitu, begini saja, anak muda. Jangan sampai kalangan kang-ouw menyebut aku sebagai orang tua hendak menghina yang muda. Karena suhengmn sendiri tak dapat melawan aku, maka keterlaluanlah kalau aku melawan kau yang menjadi sutenya. Baiknya kau majulah bersama-sama dengan adikmu ini, agar keadaan kita agak berimbang. Nah, marilah kita coba-coba, kepandaian kita, majulah kalian bersama-sama, kita bertempur dengan tangan kosong.” Han Liong ragu-ragu, tapi Hong Ing yang merasa gemas melihat kesombongan orang yang memandang rendah mereka, berkata,
156
“Koko, biarlah aku maju dulu minta pengajaran dari Ban lo-Enghiong ini.” Sebelum Han Liong sempat menjawabnya, Hong Ing sudah maju selangkah, memasang kuda-kuda dan berkata kepada Ban Hok.
“Nah, marilah aku yang muda minta pelajaran barang lima jurus darimu, lo Enghiong!” Sikap yang lucu dan berani dari Hong Ing ini nembuat Ban Hok tertawa lebar, kemudian melompat mendekati dan berkata,
“Baik, baik, seranglah, anak muda!” Hong Ing tanpa membuang tempo lagi, segera menggeser kakinya maju dan secepat kilat melayangkan kepalan kanannya memukul dada lawan dengan tipu Dewa Suguhkan Arak, Ban Hok yang memandang rendah lawannya, melihat datangnya pukulan yang cepat ini segera miringkan tubuh dan menggunakan telapak tangan kiri untuk memukul lengan lawan.
Tapi Hong Ing awas matanya dan cepat gerakannya. Sebelum tangannya terpukul ia robah gerakannya, menarik kembali kepalan tangan dan meloncat ke sebelah kanan musuh lalu melayangkan kepalan kiri dengan tipu Burung Kepinis Mematuk buah. Gerakannya yang sebat dan cepat sekali ini tidak terduga sedikit juga oleh Ban Hok sehingga hanya dengan melompat jungkir balik ke belakang saja, ia dapat menyelamatkan diri dari pukulan. Ia
157
mulai hati-hati dan tidak berani memandang ringan lawannya yang kecil dan muda itu! Hong Ing terus mendesak maju dengan mengeluarkan tipu-tipu yang istimewa dari cabang Siauw-lim. Dikeluarkannya tipu-tipu silat yang berbahaya dan sepasang kepalan tangannya yang kecil meninju tempat-tempat berbahaya dari lawan.
Ban Hok tadinya hanya ingin mempermainkan lawannya saja, tapi melihat bahwa lawan kecil ini sedikitpun tak boleh dipandang ringan, maka ia merasa panas lalu mulai balas menyerang. Ternyata setelah bertempur lebih dari lima belas jurus, pukulan-pukulan silat biasa saja tak dapat mendesak Hong Ing. Ban Hok merasa malu sekali, lalu mulai mengeluarkan kepandaiannya yang ditakuti lawan, yaitu pukulan-pukulan tangan pasir. Ketika ia gerakkan kedua lengannya, terdengar suara berderak-derak dan kulit lengan yang sudah hitam itu kini bertambah-tambah hitam bersemu merah. Pukulannya berat dan mendatangkan angin dingin. Hong Ing sangat terkejut ketika ia berbalik ke samping mengelak, ternyata angin pukulan lawannya itu menyambar dan merasa pundaknya tertimpa tenaga kuat! Ia berhati-hati dan tidak mau menangkis lengan lawannya, tapi karena desakan-desakan Ban Hok yang gerakannya juga gesit sekali,
Hampir tiada ketika baginya untuk selalu mengelak saja. Han Liong melihat dengan khawatir. Ia maklum bahwa Jika Hong Ing menggunakan lengan untuk menangkis, maka sekali saja lengannya beradu dengan lengan lawan, dapat dipastikan ia akan mendapat luka berat, kalau tidak, patah lengannya! Maka pada
158
saat Ban Hok melayangkan pukulan mautnya segera ia gerakkan tubuhnya untuk menangkis dengan tangannya karena Hong Ing sudah terdesak betul-betul sehingga itulah jalan satu-satunya, Han Liong menyambar tangan Hong Ing dan merenggutkannya. Gadis itu merasakan tubuhnya melayang ke atas bagaikan tertiup angin puyuh, tapi ia dapat turun ke tanah dengan selamat. Hampir saja gadis itu menegur kakaknya dengan marah, tapi ia sempat melihat Han Liong berkedip padanya dan Ban Hok berdiri sambil tertawa.
“Bagus sekali gerakanmu. Angin Puyuh Menyambar Pohon itu! Syukur adikmu tertolong oleh gerakanmu yang cepat dan tangkas!” ia memuji. Han Liong menjura.
“Adikku mengaku kalah, lo-Enghiong. Kini siauwte mohon pengajaranmu. Tapi sebelum kita bertanding ilmu silat, bagaimanakan perjanjian kita?”
“Haruskah dijelaskan lagi? Kalau kau kalah, maka kau harus penuhi permintaanku yaitu sediakan uang lima ribu tail perak untuk menebus anak Lie Kiam, sebaliknya kalau aku sampai kalah, kau boleh ambil kembali anak itu dan habis perkara!”
“Terima kasih, lo-Enghiong. Nah, silahkan!”
“Kaulah yang menyerang dulu, anak muda!”
159
Han Liong segera menggunakan tangan kanannya menyerang dengan gerakan sembarangan saja, tapi hal ini tidak membuat Ban Hok berlaku kurang waspada, karena orang gagah ini maklum bahwa kalau adiknya saja sudah demikian pandai, kakaknya tentu lebih pandai lagi. Maka, tanpa pikir panjang lagi ia menggunakan ilmu tangan pasir untuk melayani Han Liong. Pemuda ini sengaja tidak menangkis atau balas menyerang, tapi pergunakan seluruh kegesitan tubuhnya, warisan dari Liok-tee-sin-mo Hong In, untuk berkelit kesana kemari. Ban Hok diam-diam memuji ilmu meringankan tubuh anak muda itu yang bagaikan seekor burung kecil berkelebat ke sana ke mari menghindarkan segala serangannya. Tiga puluh jurus telah lewat tanpa ia mampu menowel ujung baju pemuda itu, hingga ia merasa sangat kesal dan berteriak, “He, jangan licik! Tak beranikah kau menyambut tanganku?”
“Maaf, sekarang akan kusambut. Bersiaplah!” seru Han Liong dan ketika si Harimau Hitam kerahkan seluruh tenaga dalamnya di sepanjang lengan dan tangan kanannya sambil melayangkan pukulan ke arah dada Han Liong, anak muda itu mengerahkan seluruh kekuatannya dan gunakan tangan kiri dengan kepalan terbuka menumbuk kepalan lawan! Terdengar suara “buk” seakan-akan dua benda lunak tapi berat beradu! Han Liong yang sedang memasang kuda-kudanya merasa tergetar dan terpaksa menggerakkan kaki kirinya mundur setindak, tapi kesudahannya sungguh hebat di fihak Ban Hok.
160
Ia terpental ke belakang seolah-olah terdorong oleh tenaga yang luar biasa besarnya sehingga terhuyung-huyung dan hampir saja jatuh terjengkang setelah mundur lebih dari enam langkah! Baiknya Han Liong tidak hendak mencelakakannya dan hanya gunakan tenaga keras lawan keras untuk memunahkan tenaga lawan. Sesungguhnya dalam hal lweekang, anak muda itu jauh lebih tinggi tingkatnya daripada Ban Hok. Kalau saja Han Liong dalam pertumbukan tenaga itu mempergunakan lweekang lemas untuk membuat tenaga Ban Hok mental balik, akan celakalah Harimau Hitam itu. Pasti ia akan terpukul oleh tenaganya sendiri dan ia akan mendapat luka dalam yang dapat membuat jantungnya putus! Setelah Ban Hok dapat tetapkan kakinya, ia menghampiri anak muda itu dengan pandangan heran dan kagum.
“Sungguh tak kusangka Lie Kiam mempunyai sute seperti kau, Si Enghiong,” katanya. “Biar bagaimana jugapun, ilmu silat dan tenagamu itu membuat aku tidak percaya bahwa kau adalah sute dari Lie Kiam. Betul kegesitanmu dan gerakan-gerakanmu sama dengan Lie Kiam, tapi ada juga perbedaannya. Dan tenaga dalammu ketika kau menyambut pukulanku tadi, ah, tak pantas kau menjadi adik seperguruan Lie Kiam.”
“Bagaimanapun, memang benar siauwte adalah sute dari Lie Kiam suheng,” jawab Han Liong.
“Aku tidak malu mengaku bahwa dalam hal ilmu pukulan, kau lebih pandai dari aku, tapi aku belum mau mengaku kalah, anak muda.
161
Marilah kita mencoba kemahiran senjata!” Ia lalu melompat ke dekat pintu kelenteng dan mengambil sebatang toya besi yang berat. Dalam hal ilmu tangan kosong, Ban Hok ini sudah lebih tinggi dari Lie Kiam, karena lima tahun yang lalu ketika ia jatuh di tangan Lie Kiam, ilmu silatnya sudah cukup tinggi dan hanya kalah sedikit saja dari Lie Kiam yang terkenal gesit, tapi setelah menggembleng dirinya selama lima tahun dengan sungguh-sungguh, kini dapat dibayangkan betapa majunya ia. Lebih-lebih dalam ilmu toyanya, jarang ia menemukan tandingan. Ia sangat membanggakan ilmu toya gabungan dari Siauw-lim dan Bhok-san-pai yang dinamakannya Ilmu Toya Lima Iblis Mengamuk.
“Nah, anak muda. Kulihat kau tak bersenjata, maka kau boleh meminjam pedang yang tergantung di pinggang adikmu itu untuk melawanku!” Tapi Han Liong tahu bahwa toya lawannya itu sedikitnya beratnya ada lebih kurang lima puluh kati dan pedang Hong Ing bukanlah pedang mustika, sedangkan kalau menggunakan Pek-liong pokiam yang terlilit di pinggangnya itu, ia merasa belum waktunya. Bila keadaan tidak sangat mendesak dan perlu, ia tidak mau mengeluarkan pedang pusakanya itu. Selagi ia memikir-mikir, Hong Ing yang duduk di bawah sebatang pohon menikmati hawa sejuk sambil nonton pertempuran itu, berkata,
“Koko, ini toyamu tertinggal di tini!” Han Liong menengok heran, dan ia tersenyum ketika melihat adiknya itu mengangsurkan sebatang ranting pohon liu yang panjangnya tidak lebih dari tiga kaki dan besarnya tidak melebihi ibu jari kakinya! Namun ia terima juga “senjata” itu dan berkata,
162
“Terima kasihi adikku.” Lalu dengan tenang ia menghadapi Ban Hok. Si Harimau Hitam melihat anak muda itu dengan mata merah. Ia merasa dihina sekali.
“Jangan takabur, anak muda. Kau hendak melawan toyaku dengan ranting itu?”
“Memang itulah senjatanya, lo-Enghiong!” dari bawah pohon, Hong Ing menjawab sambil tertawa. Gadis ini yakin sekali akan ilmu silat kakaknya, maka ia sengaja menggunakan kesempatan ini untuk menyaksikan kelihaian kakaknya, sambil hendak memperolok-olokkan Ban Hok yang telah mengalahkannya tadi. Jadi dalam hal ini, sebenarnya Hong Inglah yang berlaku sombong. Maka tak heran kalau Ban Hok menjadi marah sekali dan tanpa berkata apa-apa lagi ia segera memutar toyanya sehingga mengeluarkan suara angin mendesir, lalu ujung toyanya melayang ke arah dada Han Liong disertai bentakannya.
“Lihat toya!” Kalau ranting yang diberikan oleh Hong Ing itu sudah kering, tentu Han Liong tidak berani menggunakannya,
Tapi ranting itu masih hijau dan basah, ia yakin bahwa kayu kecil itu merupakan senjata yang ulet dan tidak khawatir terpukul patah. Melihat datangnya luncuran ujung toya lawan, ia segera mengelak
163
ke samping dan menggunakan rantingnya menangkis dengan meminjam tenaga lawan sehingga toya itu meleset arahnya. Namun Ban Hok memutar balik toyanya dan menggunakan ujung sebelah lagi untuk mengemplang kepala! Han Liong memperlihatkan kegesitannya dengan miringkan kepala dan tubuh sambil menggunakan rantingnya dari bawah menotok ke arah iga lawan! Gerakan ini dinamakan tipu Naga Sakti Mengulur Lidah, tubuhnya merendah dengan pinggang tertekuk bagaikan naga menggeliat dan ranting itu seakan-akan lidah naga yang menjulur cepat ke depan! Melihat gerakan yang cepat dan indah ini, tanpa terasa Ban Hok berseru.
“Bagus!” dan ia terpaksa membuang diri ke samping untuk menghindarkan totokan berbahaya itu, karena untuk menangkis ia tiada waktu lagi. Ban Hok segera mengeluarkan ilmu toyanya Lima Iblis Mengamuk dengan mengerahkan semua tenaga dalamnya, hingga sekejap kemudian toyanya terputar-putar merupakan lingkaran hitam yang mengurung tubuh Han Liong! Ujung toya menjadi berpuluh-puluh banyaknya. Tapi dengan menggunakan keringanan tubuh dan kegesitan warisan keempat gurunya. Han Liong dapat melayaninya dengan seimbang, Ilmu Pukulan Empat Bintang dapat ia mainkan di ujung ranting itu dan di sini ternyata betapa hebatnya ilmu gabungan ciptaan Kam Hong Siansu itu, karena menggunakan ilmu silat gabungan ini,
Walaupun hanya menggunakan sebatang ranting kecil saja, namun cukup untuk melayani ilmu Toya Lima Iblis Mengamuk yang demikian hebatnya! Lebih-lebih lagi karena dalam gerakan-
164
gerakan Han Liong digunakan ilmu totok warisan suhunya Hee Ban Kiat si mata satu, maka tak heran bahwa Ban Hok harus berlaku sangat waspada agar jangan sampai dijatuhkan oleh lawan yang muda dan hanya menggunakan ranting itu! Demikianlah, mereka bertempur sampai enam puluh jurus lebih. Mata Hong In yang menonton dari bawah pohon sampai menjadi kabur rasanya, dan diam-diam ia memuji dan kagum melihat kehebatan ilmu silat kakaknya. Matanya berkunang-kunang melihat toya Ban Hok merupakan gulungan hitam bergerak-gerak cepat dan di tengah-tengah gulungan hitam itu tampak berkelebat sinar kecil putih kehihau-hijauan dari ranting Han Liong.
Pada saat itu Han Liong merasa sudah cukup mencoba kepandaian Ban Hok yang telah menjatuhkan suhengnya itu. Iapun diam-diam mengaku bahwa baru sekali ini ia menemukan lawan yang agak tangguh. Maka ia segera mengubah ilmu silatnya. Tiba-tiba Ban Hok terkejut sekali karena ketika ranting berkelebat dan menyambar ujung tovanya, ternyata ranting itu seakan-akan digerakkan oleh tenaga raksasa dan bukan merupakan ranting kecil lemah lagi, tetapi seakan-akan merupakan sebuah senjata yang lebih berat daripada toyanya sendiri. Kemudian ranting itu berkelebat amat cepat dan gerakan-gerakannya tidak terduga sama sekali dan tahu-tahu ranting itu membesit tangan kanannya hingga ia merasa seakan-akan tulang lengan itu akan remuk dan kulitnya bagaikan terbakar! Ia tidak tahan lagi dan tanpa disengaja toyanya terlepas dari pegangan!
“Aku mengaku kalah!” katanya dengan suara penuh kekecewaan dan kemenyesalan, sambil memandang pemuda itu dengan penuh
165
keheranan. Sebenarnya tak usah dibuat heran, karena Han Liong tadi telah menggunakan dua jurus Ilmu dari Pek-liong-kiam-hoat! Gerakan pertama ketika ia menangkis ujung toya lawan adalah tipu Naga Putih Mencakar Gunung dan ketika ia membesit lengan lawan tadi ialah tipu Naga Putih Memukulkan Ekornya. Baru saja ia menggunakan dua jurus tipu dari Pek-liong-kiam-hoat, ia telah berhasil mengalahkan Ban Hok, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya ilmu pedang Pek-liong-kiam-hoat itu! Memikirkan hal ini, Han Liong diam-diam merasa sangat girang dan berterima kasih kepada Kam Hong Siansu yang telah membimbingnya itu.
“Si Enghiong, kau benar pandai dan gagah. Aku terima kalah. Hanya yang membuat aku penasaran, mengapa kau yang menjadi sute dari Lie Kiam setinggi ini ilmu silatmu? Katakanlah, anak muda, siapa yang mengajar kau ilmu silai tadi? Siapakah gurumu, selainnya guru Lie Kiam?”
“Ban lo-Enghiong, jangan terlalu memuji. Karena kau jujur, maka terus terang kukatakan bahwa selain suhuku Lie Kiam, aku masih mempunyai tiga orang guru lain. Tapi yang mengajar aku dalam ilmu silat yang kupakai tadi sehingga akau berhasil membuat kau mengalah, adalah seorang guru lain yang tak dapat kusebut namanya, karena suhuku itu tidak suka namanya diperkenal kepada umum.”
Ban Hok si Harimau Hitam mengangguk-anggukkan kepala.
166
“Pantas..., pantas... Kau jauh lebih hebat dari pada Lie Kiam, rupanya pelajaranmu begitu luas. Aku tidak usah merasa malu jatuh dalam tanganmu. Nah, sakarang kau boleh ambil anak itu dan antar kepada Lie Kiam dan katakan padanya bahwa melihat kau yang semuda ini tapi sudah berkepandaian begitu tinggi, pula sikapmu yang sopan santun ini, aku habiskan saja urusan sampai disini! Biarlah ini menjadi pelajaran bagiku bahwa di dunia ini tidak ada orang yang paling pandai. Pasti ada yang melebihi kepandaian seseorang.” Hong Ing mendengar ini lalu melompat berlari-lari masuk ke kelentang. Tak lam kemudian ia keluar lagi menuntun seorang anak kecil. Ternyata, walaupun bekas seorang perampok tunggal, Ban Hok adalah seorang laki-laki jujur, ia tidak membikin susah anak itu, tetapi dirawatnya baik-baik selama berada dalam tangannya sehingga anak itu tidak mengalami sesuatu kesengsaraan.
Kemudian, setelah menghaturkan terima kasihnya, Han Lion menggendong anak itu, dan bersama Hong Ing meninggalkan tempat itu dengan lari cepat. Ketika mereka sampai di rumah Lie Kiam ternyata suhengnya telah hampir sembuh dan dapat turun dari pembaringan. Alangkah girang hati Lie Kiam dan isterinya melihat putera mereka satu-satunya itu pulang dengan selamat. Dengan ringkas Han Liong menceritakan pengalamannya tanpa menyebut jalannya pertempuran, tapi Lie Kiam yang merasa tidak puas lalu bertanya kepada Hong Ing. Sebetulnya sejak tadi juga Hong Ing merasa tidak puas mendengar cerita Han Liong, tetapi ia tidak berani bicara karena kakaknya itu berkali-kali memberi tanda agar ia tidak berkata apa-apa, tapi sekali ini karena Lie Kiam sendiri
167
yang mengajukan pertanyaan tanpa Han Liong berani mencegah dan melarangnya,
Hong Ing segera buka suara dan menceritakan jelas betapa ia dikalahkan oleh Ban Hok dan betapa dengan sebatang ranting pohon liu, Han Liong dapat mengalahkan Ban Hok dengan mudahnya! Ceritanya ini diucapkan dengan kata-kata menarik diikuti gerekan-gerakan meniru-nirua gerak silat kedua pihak, penuh dengan pujian-pujian bagi Han Liong yang membuat pemuda itu menundukkan kepala dengan kemerah-merahan. Karena kemarin tiada waktu untuk bicara panjang lebar, maka setelah mendengar cerita itu, Lie Kiam terheran-heran karena ia merasa mustahil bahwa suhunya telah berlaku berat sebelah dan memberikan kepandaian istimewa kepada sutenya itu. Maka ia menuntut kepada sutenya agar menceritakan riwayatnya. Terpaksa Han Liong menuturkan riwayat pelajaran silatnya yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Lie Kiam.
Semenjak saat itu, Bwee Lan makin kagum melihat susioknya dan bahkan Bwee Hwa yang tedinya masih raga-ratu menjadi tunduk betul. Kedaan nona dari Shoatang itu bahkan dengan tidak malu-malu minta kepada susioknya untuk memberi mereka pelajaran satu dua jurus ilmu silat untuk memperdalam kepandaian mereka. Tetapi Han Liong dengan halus menolaknya. Ternyata selain nakal dan galak, Bwee Hwa juga cerdik. Ia menggunakan Hong Ing sebagai perantara untuk mendesat Han Liong agar suka memberi pelajaran kepada mereka. Setelah Hon Ing turun tangan, terpaksa, sebagaimana biasa, Han Liong tak dapat melawan kehendak
168
adiknya yang manja itu, dan ia turunkan juga silat yang diwarisinya dari suhunya Hee Ban Kiat kepada mereka sebanyak sepuluh jurus. Tetapi biarpun hanya sepuluh jurus,
Kedua nona itu merasa girang sekali dan belajar dengan rajin dan bersemangat, karena yang mereka pelajari itu adalah sepuluh jurus pilihan dari Kiauw-ta-sin-na yaitu gabungan dari Kim-na-hoat dari
(Lanjut ke Jilid 05)
Pedang Pusaka Naga Putih (Seri 04 - Serial Jago Pedang Tak Bernama)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 05
Siauw-lim-si dan Bu-tong-pai. Kalau sepuluh jurus pukulan ini dipelajarinya dengan sempurna, maka kelihaiannya melebihi ratusan jurus ilmu silat cabang lain. Lagi pula, di dalam pukulan yang paling lihai dari Siauw-lo-ong Hee Bin Kiat si mata ini, Han Ltoug telah mengadakan pecahan-pecahan dan variasi hingga sepuluh jurus ini dapat terpecah menjadi puluhan gerakan. Sebelah tingggal di rumah suhengnya selama setengah bulan, Han Liong dan Hong Ing berpamit untuk meneruskan perantauan mereka. Lie Kiam yang merasa sayang sekali kepada sutenya itu
169
tak dapat menahan, hanya memberi pesan agar sutenya berlaku hati-hati dan jangan mudah mencari permusuhan.
“Sute,” katanya kemudian, “kebetulan sekali aku mendapat undangan dari Siok Houw Sianseng di Kie-lok, Sianseng ini bukanlah sembarangan orang, bahkan ia ini kawan seperjuangan almarhum ayahmu. Ia seorang sasterawan yang tubuhnya lemah tapi pikirannya kuat dan pandai sekali. Tulisannya yang tajam menyerang hebat pemerintah musuh dan membangkitkan semangat perjuangan rakyat sehingga ia menjadi musuh pemerintah. Besok lusa ia merayakan hari perkawinan puterinya. Maka, kau wakililah aku, sute, sekalian kau belajar kenal dengan orang tua bijaksana itu. Selain itu, di sana tentu datang semua hohan dari kalangan kang-ouw hingga kau dapat, memperluas pengalamanmu.” Karena memang tidak mempunyai tujuan tertentu dalam perjalanannya merantau, Han Liong menerima perintah ini dengan gembira. Ia membawa surat dari Lie Kiam dan berangkatlah ia dengan Hong Ing yang masih tetap menyamar sebagai seorang pemuda yang tampan.
Karena sayangnya kepada mereka, Lie Kiam mengusahakan dua ekor kuda yang baik untuk sute dan adiknya ini, sehingga mereka berterima kasih sekali. Jarak antara kota tempat tinggal Lie Kiam dan Kie-lok tidak jauh, hanya lebih kurang delapan puluh li, maka sepasang pemuda pemudi tidak sangat tergesa-gesa. Mereka membiarkan kuda mereka berjalan seenaknya saja. Ketika melalui sebuah jalan gunung yang sempit, tiba-tiba dari belakang mereka terdengar suara kaki kuda yang berlari kencang. Han Liong dan
170
Hong Ing menahan kuda mereka dan menanti di pinggir jalan. Kebetulan di dekat Hong Ing ada bunga mawar gunung yang sedang mekar harum, maka gadis itu tak dapat menahan hatinya untuk tidak memetik bunga itu dan menancapkan di lipatan pengikat rambutnya.
Suara kaki kuda dari belakang makin keras kedengarannya dan sebentar kemudian dua orang penunggang kuda itu dengan secepat kilat lalu dekat merela karena jalan itu memang sempit. Ternyata kedua penunggang kuda itu adalah dua orang perempuan muda yang berwajah hitam dan buruk. Yang menarik perhatian adalah sarung pedang dan hudtim atau kebutan yang terselip di punggung mereka. Han Liong dan Hong Ing mencium bau wangi yang ganjil ketika kedua wanita itu lewat. Tiba-tiba Hong Ing menjerit perlahan. Ternyata ketika mereka itu lewat cepat di dekatnya, seorang diantara mereka mengulurkan tangannya dan sambil tertawa kecil wanita itu menyambar bunga mawar yang tertancap di rambut Hong Ing!. Hong Ing marah sekali dan ia segera menyentakkan kendali kudanya untuk mengejar.
“Sudahlah, adik Ing, biarkan saja. Di sini masih banyak bunga, mari kupetikkan,” cegah Han Liong yang tak ingin mencari onar karena ia maklum bahwa kedua buruk itu memiliki kepandaian tinggi sehingga lebih baik tidak mencari ribut dengan mereka hanya karena setangkai bungai! Tapi mana Hong Ing mau menurut.
171
“Orang itu telah menghinaku, kau suruh aku diam saja? Koko, kalau kau takut, bersembunyilah disini, aku harus memberi tamparan kepada wanita setan itu!”. Dan Hong Ing mencambuk kudanya mengejar. Karena kudanya bagus dan ia memang pandai berkuda, sebentar saja ia dapat menyusul.
“He, perempuan busuk, berhenti dulu!” teriaknya marah. Dua orang perempuan di depannya menahan kuda mereka dan berpaling. Hong Ing terkejut sekali melihat wajah mereka yang buruk menjijikkan itu. Agaknya mereka berdua menjadi korban penyakit kulit yang menyerang wajah mereka sehingga wajah mereka menjadi hitam serta kulitnya bercacat. Tapi sepasang mata merela yang indah, bersinar tajam ketika mereka memandang Hong Ing dengan kagum.
“Siangkong mengapa menahan kami?” tanya seorang diantara mereka yang lebih tua. Hong Ing melihat bahwa bunganya kini telah berada di atas rambut perempuan kedua, maka ia menunjuk sambil membelalakkan mata,
“Perempuan ini berlaku keji sekali! Kembalikan bungaku!”. Kedua perempuan itu tertawa geli melihat sikap Hong Ing yang seperti seorang kanak-kanak direbut bunganya.
“Bunga adalah lambang persahabatan dan rasa suka, mengapa kau tidak rela kembangmu kuminta?” perempuan itu berkata
172
sambil tersenyum genit. “Siapa sudi menjadi sahabatmu? Ayoh kembalikan!” Hong Ing membentak marah.
“Sumoi, kembalikan saja, jangan membikin siangkong yang tampan ini menjadi marah,” kata perempuan pertama. Karena kata-kata sucinya ini, perempuan kembang itu lalu mengambil bunga mawar itu dari kepalanya, lalu mendekatkan kembang itu ke hidung dan bibirnya untuk dicium, kemudian ia lemparkan kearah Hong Ing.
“Ini, terimalah tanda mata dariku, siangkong!” katanya sambil melirik dibuat-buat.
“Cis, tak tahu malu!!” Hong Ing semakin marah dan menyampok kembang itu dengan tangannya hingga berantakan di tanah. “Memang sudah kuduga kalian bukan orang-baik!” Sambil berkata begitu Hong Ing mencabut siang-kiamnya dan menyerang.
“Suci, biar kutangkap sitampan ini untuk teman seperjalanan!” kata perempuan yang muda sambil tertawa genit, tetapi bersamaan dengan ini ia mencabut kebutannya dan menggunakan kebutan itu menangkis pedang Hong Ing. Hong Ing makin marah mendengar kata-kata itu dan kedua tangannya bekerja keras memberi serangan-serangan berbahaya bergantian. Melihat gerakan “pemuda” ini, barulah lawannya tidak berani main-main lagi dan
173
melayaninya dengan hati-hati, bahkan kini ia mencabut pedangnya dan membalas menyerang.
Maka bertempurlah Hong Ing dengan perempuan buruk itu dengan sengitnya. Ternyata lawan ini sangat lihai sehingga sebentar saja Hong Ing terdesak. Ia terpaksa melompat turun dari kuda lalu menyerang lagi. Perempuan itupun terpaksa melompat pula dari kudanya, maka kini mereka berkelahi di atas tanah dengan lebih seru. Selama bersama dengan Han Liong, Hong Ing telah banyak mendapat petunjuk dari kakaknya ini sehingga ilmu silatnya sekarang sudah jauh lebih hebat dari dulu, bahkan ia sudah mempunyai beberapa tipu gerakan dari pelajaran yang didapat Han Liong dari gurunya Kim-to Bie Kong Hosiang. Maka gerakan siang-kiam di tangan Hong Ing sangat hebat, terlebih lagi ketika ia bersilat dengan ilmu golok yang sudah diubah oleh Han Liong dalam tipu gerakan Ngo-houw-toan-hun-to atau Lima Harimau Mencegat di Pintu. Kedua pedangnya berputar-putar cepat.
Pedang kiri merupakan penjaga yang tangguh sedangkan pedang kanan digunakan untuk menyerang, tetapi lawannya tidak kalah hebatnya, terutama geeakan kebutan itu membuat Hong Ing menjadi bingung. Kebutan itu dapat digunakan untuk melilit pedangnya dan beberapa kail pedang kanannya kena terlilit. Kalau tenaga dalamnya tidak begitu terlatih atas bimbingan Han Liong, patti tadi-tadi pedang ditangannya sudah terlepas kena kebutan lawannya! Sementara itu, kuda yang ditunggangi Hong Ing tadi, ketika mendengar ribut-ribut pertempuran itu, menjadi terkejut dan lari sambil meringkik keras! Tetapi Han Liong yang masih berada
174
di atas kudanya mendatangi tempat pertempuran itu, ketika melihat kuda Hong Ing hendak kabur, sekali tubuhnya bergerak ia sudah melayang keatas punggung kuda Hong Ing dan menahan kendalinya.
“Bagus!” terdengar pujian dari suci lawan Hong Ing yang melihat gerakan ini dan menjadi sangat heran serta kagum. Ia maklum bahwa pemuda kedua ini berkepandaian jauh lebih tinggi dari pemuda yang sedang bertempur melawan adiknya itu karena dari gerakannya saja ia sadar bahwa ia sendiri berdua adiknya takkan dapat melawan pemuda ini. Maka ia segera berkata kepada adiknya yang sedang berkelahi.
“Sumoi, mundurlah, ayo kita pergi. Lupakah kau akan pesan subo agar kita jangan mencari onar di jalan? Urusan kecil diperhatikan, urusan besar bisa gagal!” Dan ia gerakkan hudtimnya yang berbulu kuning di tengah-tengah antara pedang adiknya dan pedang Hong Ing. Ujung bulu kebutan yang lemas itu ternyata membawa tenaga besar yang mengeluarkan angin, sehingga kedua orang yang sedang bertempur itu terhuyung mundur! Kemudian ia memberi hormat kepada Hong Ing dan Han Liong sambil senyum, “jiwi Enghiong harap maafkan kami berdua.” Dan dari kedua kepalannya menyambar uap hitam yang kuat sekali kearah Han Liong dan Hong Ing. Han Liong terkejut sekali dan maklum akan keajaiban uap hitam itu, maka ia segera melompat ke depan melindungi Hong Ing. Ia gerakkan tangan kirinya perlahan kedepan dan uap itu membentur balik membuat perempuan buruk itu terhuyung ke belakang!
175
“Maaf tak mengenal Gunnng Thai-san.” Perempuan itu berkata dan menujukan pandang matanya dengan tajam ke arah Han Liong yang berdiri tersenyum saja. Kemudian ia tarik tangan adiknya dan mereka berdua melompat ke atas kuda yang segera dipacunya!
“Koko, kenapa kau tidak basmi saja dua siluman perempuan itu?” kata Hong Ing gemas.
“Buat apa mencari permusuhan dengan segala orang yang tak dikenal? Adik Ing, belajar sabarlah kau. Kau lihat dua orang wanita tadi, mereka begitu berani. Kau anggap baikkah sikap berani mereka itu? Kurasa kau tidak ingin seperti mereka bukan?” Hong Ing hanya melirik dengan merengut, lalu berkata manja.
“Kau mau persamakan aku dengan siluman-siluman buruk itu??”
“Ah, tentu saja tidak, adikku. Kau cantik seperti dewi, sedangkan mereka itu buruk seperti iblis neraka, mana bisa disamakan? Hanya harus kau ingat, ilmu silat mereka, terutama yang tua lihai benar.”
“Memang lihai, memang lihai….” Hong Ing mengangguk-angguk dengan sikap menurut dan sabar, karena sebenarnya semua
176
kemarahan dan kegemasannya telah lenyap musnah mendengar pujian Han Liong yang menyebut ia cantik seperti dewi! Iapun patuh dan tak membantah lagi ketika Han Liong mengajaknya melanjutkan perjalanan. Pada keesokan harinya, ketika matahari telah terbenam, Han Liong dan Hong Ing tiba di Kie-lok dan dengan mudah saja mereka dapat mencari rumah Siok Houw Sianseng yang cukup dikenal. Tuan rumah yang berusia lebih kurang lima puluh tahun itu dan sangat peramah serta halus budi bahasanya.
Ia menyambut mereka dengan gembira. Han Liong menyampaikan surat Lie Kiam dan segera mereka dipersilakan memasuki ruang tamu. Biarpun pesta baru akan diadakan pada esok harinya, namun sudah banyak orang berkumpul di ruang tamu. Mereka ini ialah tamu-tamu yang datang dari tempat jauh. Lebih kurang lima meja dikelilingi para tamu. Ada yang berpakaian seperti jago silat, tapi ada juga yang terdiri dari kaum sasterawan. Tentu saja mereka itu memilih golongan masing-masing, sehingga rombongan tamu terbagi menjadi dua, golongan ahli silat dan golongan ahli sastera. Han Liong dan Hong Ing yang berpakaian seperti kaum sasterawan, lagi pula karena sikap dan bahasa mereka lemah lembut, segera dianggap ahli-ahli sastera dan dipersilakan duduk di bagian kutu buku yang berkumpul di situ sambil mengonol.
Mereka ini ada yang mempercakapkan kitab-kitab kuno, ada pula yang membicarakan tentang syair-syair ternama dan hikayat serta riwayat di tanah air pada zaman dahulu. Ternyata lebih banyak ahli sastera daripada ahli silat yang berkumpul di situ. Ahli-ahli silat yang berkumpul hanya ada dua meja terdiri dari dua belas orang,
177
sedangkan kaum sasterawan mengelilingi tiga meja. Hong log segera tertarik oleh percakapan para ahli tulis itu, karena ia sendiripun suka akan buku-buku dan kesusasteraan. Han Liong diam-diam mengerling ke arah meja di seberang, di mana duduk orang-orang gagah yang sedang bercakap-cakap riuh rendah sambil minum arak sepuasnya. Tiba-tiba di meja sudut terdengar tertawa meriah, bahkan ada beberapa orang yang bertepuk tangan.

Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru