Selasa, 24 April 2018

Cersil Gelang Kemala 1

----
Jilid 1________
Bangsa Mancu merupakan bangsa yang gagah berani dan sepak terjang mereka ketika
menaklukkan dan menguasai seluruh Cina sungguh menakjubkan. Sulit untuk dapat dipercaya
bahwa bangsa yang dibandingkan dengan jumlah rakyat bangsa yang dijajahnya itu amat kecil
dapat berkembang sedemikian cepatnya. Semua itu karena mereka memiliki pemimpinpemimpin
yang pandai.
Dimulai dari Raja Nurhacu yang dalam tahun 1616 mulai bangkit, dalam beberapa tahun saja
menguasai seluruh Mancuria. Kemudian dalam tahun 1637, dengan bantuan bangsa Mongolia
merebut Korea. Penggantinya adalah Kaisar Abahai yang rnenggerakkan pasukannya ke
selatan, menyerbu Shantung dan bahkan mendekati Peking. Dalam usaha ini, Kaisar Abahai
meninggal dan karena puteranya masih amat muda, maka kekuasaan dipegang oleh
saudaranya, Pangeran Dorgan. Kerajaan Beng waktu itu amat lemahnya dan biarpun ada
beberapa orang panglimanya berusaha untuk menahan gelombang serangan bangsa Mancu,
namun usaha itu sia-sia belaka. Peking diduduki dan bangsa Mancu mendirikan dinasti Ceng.
Ketika Kaisar Kang Hsi (1663-1722) bertahta, Kaisar Mancu ini mengeluarkan peraturanperaturan
yang amat bijaksana sekali. Bintang KeraJaan Ceng naik dengan pesat di bawah
pemerintahannya.
Pemerintah Mancu berusaha keras untuk membaurkan diri dengan rakyat yang dijajahnya.
Memang, pemerintah ini memaksa rakyat untuk memelihara ram-but mereka menjadi panjang
dan menguncir rambut itu seperti kebiasaan bangsa Mancu, bahkan juga mengharuskan
penduduk pribumi berpakaian seperti mereka. Akan tetapi di lain pihak mereka sendiri,
mereka ipenyesuaikan diri dengan kebiasaan bangsa pribumi. Bahkan dalam banyak hal
bangsa Mancu bersikap .ebih Cina daripada bangsa pribumi Cina sendiri! Di rumah pun
mereka berbahasa Cina, mendidik anak-anak mereka dengan kebudayaan Cina. Bukan itu
saja, kaum cendekiawan, para cerdik pandai di seluruh Tiongkok diundang dan ditawari
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 2
kedudukan di pemerintahan sehingga lima puluh persen dari para pejabat tingg. dan
menengah di Peking dan daerahnya terdiri dari bangsa pribumi. Di selatan, jumlah pejabat
pribumi ada dua puluh lima prosen dari jumlah seluruh pejabat. Kaum terpelajar ahli sastra
dan ahli silat semua dipersilakan menduduki jabatan penting.
Banyak kaum cerdik pandai berbondong datang memenuhi undangan dan menghambakan diri
kepada pemerintah penjajah itu. Hal ini tidaklah mengherankan. Sejak dipegang Kaisar Kang
Hsi, pemerintah telah melakukan banyak hal yang r.senarik hati rakyat jelata yang dijajah.
Para penjahat dan pemberontak dibasmi bersih sehingga negara menjadi aman dan ini
menyenangkan hati rakyat. 3uga pemerintah Mancu pandai mengambil hati para bangsawan
Beng, dan para tuan tanah dan pedagang. Tidak terjadi perampasan tanah. Milik mereka sama
sekali tidak diganggu dan ini menumbuh-kan kepercayaan dari rakyat kepada pe-merintah
yang baru itu. 3uga korupsi dan penyuapan, suatu kebiasaan buruk yang sudah dikenal rakyat
selama kekuasaan Beng memegang pemerintahan, diberantas. Pemerintah menyusun
pemerintahan yang sehat dan jujur di kota raja Peking, bebas dari pengaruh golongangolongan
yang suka mencari keuntungan sendiri dan saling berebutan pengaruh dan
kekuasaan. Inilah yang dulu melemahkan pemerintah Beng.
Karena pandainya para pimpinan Mancu menyusun pemerintahan yang hebat dan jujur, juga
memberantas kejahatan, mengundang dan memberi kedudukan kepada pribumi yang pandaipandai,
maka sebentar saja rakyat mulai lupa bahwa mereka dijajah oleh bangsa Mancu!
Apalagi kebudayaan rakyat diserap oleh bangsa Mancu, bahkan para bangsawan Mancu mulai
menggunakan nama Cina! Semua ini mendapat sambutan hangat dan rakyat merasa puas.
Kaisar Kang Hsi berhasil menindas gerombolan-gerombolan bersenjata, mengembalikan
keamanan. Memang benar bahwa di antara gerombolan ini terdapat patriot-patriot yang
berjuang untuk mengusir penjajah, yang menentang pemerintah Mancu demi cintanya pada
tanah air dan bangsa, akan tetapi sebagian besar dari gerombolan-gerombolan itu terdiri dari
kaum perampok. Pada umurnnya mereka itu mengganggu keamanan dan merugikan kaum
bangsawan, pedagang bahkan petani. Karena itu, mereka menyambut dengan gembira ketika
pemerintah Mancu menghancurkan mereka, dan hal ini memperkuat pemerintah Man-cu
karena kebencian rakyat kepada pen-jah Mancu menghilang dengan munculnya kepercayaan
bahwa Pemerintah Ceng menguntungkan dan memakmurkan kehidupan mereka.
Kaisar sendiri yang menganjurkan agar para pejabat menyesuaikan diri dan membaur dengan
rakyat jelata, mempergunakan kebudayaan Cina yang lebih tinggi itu ke dalam kehidupan
mereka sehari-hari, Anak-anak mereka berbicara berbahasa pribuml sehingga dalam waktu
beberapa puluh tahun saja, anak-anak Mancu sudah tidak pandai berbicara bahasa Mancu
lagi!
Pemimpin negara yang baik selalu memberi contoh dengan perbuatan, bukan sekedar
mengeluarkan perintah saja. Rakyat di manapun juga tidak mudah ditipu dengan slogan
kosong, melainkan memperhatikan cara hidup para pemimpinnya. Kalau ingin rakyat bekerja
keras, para pemimpin harus bekerja keras. Kalau ingin rakyat berhemat, para pemimpin harus
lebih dulu berhemat. Pemimpin menjadi contoh dan selalu dicontoh rakyat karena itu kalau
para pemimpinnya melakukan penyelewengan, berkorupsi, bagaimana dapat mengharapkan
rakyat tertib dan jujur?
Para pimpinan Kerajaan Ceng melakukan hal ini, memberi contoh yang baik maka tldak
mengherankan apabila pemerintah mereka berjalan baik dan rakyat pun taat kepada mereka.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 3
Setelah pemerintah dipegang oleh Kaisar Kang Hsi selama lima puluh sembilan tahun,
Kerajaan Ceng mengalami masa gemilang dan jaya. Walaupun para penggantlnya tidak
secakap dia memegang pemerintahan, akan tetapi bintang Kerajaan Ceng naik kembali dengar
cepatnya ketika pemerintah dikuasai oleh cucunya yang bernama Kian Liong (1736-1796).
Kaisar Kian Liong ini sejak kanak-kanak telah hidup sebagai seorang pemuda pribumi.
Pengetahuannya tentang sastra dan kebudayaan Cina amat mendalam dan sejak muda dia
gemar berkeliling dan bergaul dengan para sastrawan dan para pendekar. Maka tidak
mengherankan setelah dia menjadi kaisar, para sastrawan dan para pendekar dengarn senang
hati membantunya sehingga pemerintahannya menjadi semakin kuat.
Kisah ini terjadi ketika Kaisar Kian Liong berkuasa. Biarpun keadaan dalam negeri aman,
namun jauh di perbatasan terjadi pergerakan-pergerakan. Daerah barat bergolak dan
memberontak terha-dap kekuasaan Mancu. Kaisar Kian Liong segera mengirim pasukan besar
diperkuat oleh para panglimanya yang terdiri dari ahli silat dan ahli perang, dan daerah barat
itu ditundukkan kembali, lalu diberi nama Sin-kiang (Daerah Baru) yang langsung
dimasukkan dalam wilayah kerajaan.
Di Tibet juga timbul kerusuhan dengan adanya serbuan bangsa Gurkha dari Nepal. Kaisar
Kian Liong mengirim pasukan besar ke Tibet dan kerusuhan dapat dipadamkan. Bahkan
pasukan Mancu melintasi Pegunungan Himalaya dan menyerbu Nepal! Bangsa Gurkha dapat
ditundukkan dan dipaksa mengakui kekuasaan Kerajaan Ceng. Bahkan ketika di Birma
memasuki daerah Yunnan bagian barat-daya, Kaisar Kian Liong mengirim pasukan pula
untuk menyerbu Birma.
Biarpun di perbatasari yang jauh terjadi pergolakan sehingga harus ditundukkan, namun di
dalam negeri suasana aman dinikmati oleh rakyat jelata.
Biarpun demikian, masih banyak terdapat pribumi yang menganggap diri mereka bangsa Han
dan Kerajaan Ceng adalah Kerajaan Mancu, kerajaan yang menjajah bangsa mereka. Mereka
ini diam-diam membenci Pemerintah Ceng.
Di dusun Teng-sia-bun terdapat seorang pendekar bernama Bu Cian. Bu Cian seorang murid
perguruan Bu-tong-pai, berusia tiga puluh tahun. Pekerjaannya sebagai pemburu binatang
hutan dan dia seorang yang berwatak keras, namun disegani oleh penduduk dusun karena dia
bersikap baik sekali kepada semua orang, bahkan suka menolong. Dan karena adanya
pendekar inilah maka keadaan dusun Teng-sia-bun terasa aman, tidak ada penjahat yang
berani sembarangan melakukan kejahatan di situ. Kepala dusun juga amat menghormati Bu
Cian.
Bu Cian sudah hampir dua tahun menikah dengan seorang gadis yang menjadi kembang
dusun Teng-sia-bun. Setelah menikah dengan gadis itu, Bu Cian lalu menetap di dusun itu,
hidup berbahagia dengan isteri tercinta. Kebahagiaannya bertambah ketika isterinya
melahirkan seorang anak perempuan, tiga bulan yang lalu. Anak itu diberi nama Cin Lan, Bu
Cin Lan.
Pada suatu pagi, datanglah seorang laki-laki yang berusia tiga puluh tahun lebih ke rumah
pendekar Bu Cian. Kebetulan pendekar itu berada di rumah dan melihat kedatangan pria itu,
dia melompat bangun dan dengan gembira menyambut. Pria itu adalah seorang sa-habat
baiknya, juga seorang pendekar murid Kun-lun-pai yang berdagang rempa-rempa di kota raja.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 4
Dusun Teng-sia-bun juga terletak tidak jauh dari kota raja Peking. Sahabatnya itu pun tinggal
di dusun, yaitu dusun Tung-sin-bun yang letaknya di sebelah barat kota raja. Dari dusunlah
rempa-rempa itu dikumpulkan untuk dijual ke kota raja.
"Song-toako, apa kabar? Girang sekali engkau datang berkunjung!" kata Bu Cian setengah
berteriak. Mereka saling memberi hormat, ialu saling rangkul.
"Bu-te, lama kita tidak berjumpa, sejak engkau menikah! Sudah dua tahun lebih, betapa
cepatnya terbangnya waktu. Dan aku mendengar bahwa engkau mempunyai seorang anak
perempuan, karena itu aku sengaja datang hari ini untuk menengokmu dan keluargamu!" kata
Song Tek Kwi dengan girang.
Dengan gembira Bu Cian lalu meng-ajak isterl dan anak mereka keluar untuk menemui Song
Tek Kwi. Tek Kwi adalah seorang sahabat baik sekali dari Bu Cian, dan ketika mudanya
mereka berdua suka berburu bersama. Dan keduanya adalah orang-orang yang berjiwa patriot,
yang merasa tidak suka kepada pemerintah penjajah Mancu. 3uga dalam hal ilmu silat
keduanya memiliki tingkat yang se-imbang, oleh karena itu keduanya dapat menjadi sahabat
yang akrab.
Melihat anak perempuan Bu Cian, Song Tek Kwi merasa kagum.
"Anakmu sehat, mungil dan manis sekaii!" katanya memujir
"Aih, engkau terlalu memuji. Dan aku mendengar engkau pun sudah mempunyai seorang
anak laki-laki. Berapa usianya sekarang dan mengapa tidak kauajak dia ke sini?"
"Anak kami sudah setahun usianya, terlalu kecil untuk diajak bepergian tanpa ibunya," jawab
Tek Kwi.
Karena girangnya menerima kunjungan sahabat karibnya, Bu Cian lalu menyuruh isterinya
menyediakan masakan dan mengajak sahabatnya itu makan minum untuk merayakan
pertemuan itu hamba makan minum dengan gembira, dan setelah minum arak cukup banyak,
Song Tek Kwi tertawa gembira.
"Ha-ha-ha, pertemuan ini mengingatkan aku akan persahabatan kita yang lalu. Penuh
kegembiraan!" katanya.
"Engkau memang sahabatku yang baik, Song-toako," kata Bu Cian.
"Kalau begitu, mengapa klta tidak mengekalkan persahabatan ini menjadi pertalian keluarga?
Aku dan isteriku telah mengambil keputusan ketika kami nnendengar bahwa engkau
mernpuhyai seorang anak perempuan. Bu-te, bagaimana pendapatmu dan isterimu kalau kita
ikatkan tali perjodohan antara anak kita? Dengan demikian, persahabatan kita tidak akan
putus selamanya!"
"Bagus sekali! Aku akan memanggil isteriku untuk mendengarkan usulmu yang amat baik
ini!" kata Bu Cian gembira dan dia segera inemanggll isterinya. Karena sudah lama
mendengar dari suaminya bahwa Song Tek Kwi adalah seorang sahabat yang amat baik, juga
seorang saudagar rempa-rempa yang berhasil» maka mendengar usul perjodohan anaknya itu,
isteri Bu Cian juga tidak merasa berkeberatan.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 5
"Kalian setuju? Ha-ha-ha, bagus! Kedatanganku ternyata mendapat sambutan yang baik
sekali. Anakku bernama Song Thian Lee, dan siapakah nama anak kalian?"
"Anakku bernama Bu Cin Lan"
Song Tek Kwi lalu mengeluarkan sepasang gelang kemala dari saku bajunya. "Lihat, aku
memang sudah mempersiapkan segalanya. Gelang kemala ini adalah milik isteriku. la
menyuruh aku membawanya dengan pesan kalau kalian menyetujui usul perjodohan ini, agar
yang sebuah diberikan kepada anak kalian. Gelang ini serupa benar tidak mungkin ada gelang
lain di dunia ini yang serupa seperti sepasang gelang kemala ini. Nah, ini merupakan tanda
pengikat. Biarlah yang sebuah dipakai anakmu, yang sebuah lagi disimpan anakku sebagai
tanda bahwa mereka sudah terikat perjodohan."
"Bagus sekali, kami setuju!" kata Bu Cian yang segera menerima pemberian sebuah gelang
itu. Gelang kemala itu merupakan gelang kembar, yang persis sama ukirannya dan bahkan
warnanya yang hijau kecoklatan."
Bu Cian menyerahkan gelang itu kepa-da isterinya yang menerimanya sambU tersenyum
girang. Pada saat itu terdengar teriakan suara kanak-kanak di luar rumah, "Paman Bu,
toloonggg....!"
Mendengar teriakan ini, Bu Cian dan isterinya berlari keluar, diikuti Song Tek Kwi. Dari luar,
seorang anak laki-laki berusia kurang lebih dua belas tahun menerobos masuk dan begitu
melihat Bu Cian dia segera menghamplri dan menangis. "Paman Bu, tolonglah enciku....!
Enci Kim dipaksa naik kereta, dibawa pergi orang... tolonglah Paman Bu....!"
Mendengar ini, Bu Cian lalu berlarl' keluar diikuti Song Tek Kwi. Bu Cian mengenal anak itu
dan mengenal pula encinya, seorang gadis manis puten te-tangga sebelah. Begltu dia lari ke
rumah $ebelah, dia melihat sebuah kereta dan dari dalam kereta itu jelas terdengar tangis
seorang wanlta. Cepat dia melompat dan membuka pintu kereta dengan paksa. Dia melihat
dua orang pengawal kereta hendak melarangnya, akan tetapi dua kali dia menggerakkan
tangannya, dua orang itu terlempar dan dia membuka pintu kereta. Di dalamnya duduk em-pat
orang gadis dusun yang cantik-cantik. Di antara mereka duduk Kim Hong yang menangis,
dihibur oleh tiga orang gadis yang lain.
"Kim Hong, hayo keluarlah kalau engkau tldak mau dibawa'" kata Bu Cian sambil membantu
gadis itu keluar dan turun dari kereta.
Pada saat itu muncul seorang yang berpakaian bangsawan. Usianya sudah empat puluhan
tahun dan bangsawan ini menudingkan telunjuknya kepada Bu Cian sambil membentak,
"Siapa engkau berani mencampuri urusanku? Hayo suruh naik kembali gadis itu!"
Pada dasarnya Bu Cian memang membenci bangsawan Mancu. Kini meli-hat bangsawan
Mancu bersikap demikian sombong, dia pun menghardik, "Siapapun juga tidak boleh
membawa paksa gadis ini'"
"Bangsat, tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan?"
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 6
"Tidak peduli siapa. Biar raja iblis sekalipun aku tidak takut dan tetap akan melarang
membawa pergi gadis ini de-ngan paksa!" jawab Bu Cian tegas.
Bangsawan itu menjadi marah sekali. Dia menoleh ke belakangnya di mana terdapat selosin
orang pengawalnya. "Tangkap dan hajar orang kurang ajar ini!" teriaknya.
Dua belas orang pengawal itu lalu mengepung Bu Cian dan segera serentak menyerangnya
dengan pukulan. Akan tetapi Bu Cian melawan dan dalan beberapa menit dia sudah
merobohkan empat orang pengawal. Para pengawal itu menjadi marah dan mereka semua
mencabut senjata golok mereka. Melihat Bu Cian dikeroyok dua belas orang yang sudah
mencabut senjata, Song Tek Kwi tidak tinggal diam. Dia pun meloncat dan membantu
sahabatnya mengamuk.
Amukan dua orang pendekar ini membuat para pengawal kocar-kacir. Biarpun dua orang itu
tidak memegang senjata, namun dengan kaki tangan mereka yang ampuh, mereka dapat
membuat para pe-ngeroyok jatuh bangun dan sebagian golok mereka telempar!
Melihat ini bangsawan itu menjadi ketakutan dan hendak melarikan diri, Bu Cian
meninggalkan para pengeroyoknya dan sekali meloncat dia sudah dapat mengejar dan
mencengkeram tengkuk bangsawan itu. Sekali menampar dengan tangannya, bangsawan itu
terpelanting dan bibirnya berdarah. Bu Cian sudah akan memberi hajaran ketika seorang lakilaki
berusia lirpa puluh tahun menarik bajunya dari belakang. Dia membalik dan melihat
bahwa yang menarik bajunya adalah tetangganya, yaitu ayah dari gadis Kim Hong itu.
"Bu-sicu, jangan... jangan pukuli dia....!"
"Akan tetapi dia yang hendak memaksa anak perempuanmu untuk ikut, paman!" bantah Bu
Cian.
"Tidak ada paksaan, Sicu. Kami telah menyetujui anak kami dibawa ke kota raja, menjadi
selir Pangeran." Bu Cian tertegun. "Paman sudah setuju....?"
"Tentu saja! Siapa tidak setuju anak perempuannya menjadi selir seorang pangeran? Martabat
kami akan terangkat. Hayo, Kim Hong! Cepat naik kembali ke kereta!" Orang itu membentak
kepada anaknya dan gadis itu dengan sesengguk-an berjalan menghampiri kereta lalu naik
tanpa mengeluarkan sepatah pun kata bantahan. Melihat ini, Bu Cian hanya tertegun dan tidak
dapat melarang lagi.
Sementara itu, mendengar percakapan antara sahabatnya dan ayah gadis itu, Song Tek Kwi
juga menghentikan amukannya dan para pengawal yang babak belur itu pun mengundurkan
diri, merasa jerih terhadap dua orang pendekar yang tangguh itu. Sang bangsawan yang
ternyata adalah seorang pangeran dari kota raja itu mengusap bibirnya yang berdarah dengan
saputangan, nnemandang tajam kepada dua orang pendekar itu. Dla lalu naik pula ke dalam
kereta dan berkata kepada para pengawalnya, "Hayo cepat berangkat!"
Kereta pun bergerak pergi dikawal dua belas orang perajurit itu. Bu Cian dan Song Tek Kwi
tidak dapat berbuat apa-apa, hanya di dalam hati mereka menyesal mengapa ada orang tua
yang menjual anak gadisnya kepada pembesar Mancu!
"Paman, kenapa Paman menjual puteri Paman kepada bangsawan itu?" Bu Cian masih
penasaran bertanya kepada tetangganya.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 7
Tetangga itu menghela napas. "Bukan menjual, Sicu, melainkan dengan sukarela kami
berikan ketika pangeran itu memilih anak kami sebagai satu di antara para gadis yang terpilih
untuk menjadi selir Pangeran. Orang tua mana yang tidak akan menyerahkan puterinya
menjadi selir Pangeran? Cucu kami kelak akan menjadi putera dan puteri Pangeran, menjadi
bangsawan! Hati siapa tidak akan senang? Sicu terburu nafsu memukuli para pengawal,
bahkan memukul sang Pangeran!"
Song Tek Kwi menggandeng tangan sahabatnya diajak pulang.
"Sungguh penasaran sekali!" Bu Cian mengomel. "Bangsa kita sudah tidak memiliki harga
diri lagi. Begitu saja menyerahkan anak gadisnya menjadi, selir seorang pangeran Mancu!"
"Aih, kenyataan ini memang pahit, akan tetapi apa yang dapat kita lakukan? Rakyat agaknya
sudah lupa bahwa bangsawan itu adalah bangsa Mancu yang menjajah kita. Akan tetapi aku
merasa khawatir, Bu-te. Kita telah melawan pasukan pengawal, bahkan engkau telah
memukuli seorang pangeran."
"Aku tidak takut, Song-toako. Para bangsawan Mancu itu memang sudah sepantasnya
dihajar!"
"Aku juga tidak takut, Bu-te. Akan tetapi kita harus berhati-hati dan waspada. Siapa tahu
Pangeran itu tidak akan tinggal diam menyudahi urusan itu sampai di sini saja."
"Biarkan dia mau apa! Akan kulayani dia!" kata Bu Cian dengan nada suara penasaran.
Peristiwa itu mendatangkan suasana yang tidak enak dan Song Tek Kwi segera berpamit
kepada Bu Cian dan isterinya.
Apa yang dikhawatirkan Song Tek Kwi memang menjadi kenyataan. Bahkan kepala dusun
Teng-sia-bun yang mendengar akan peristiwa pemukulan terhadap seorang pangeran yang
dilakukan oleh Bu Cian, mendatangi pendekar itu dan menyatakan kekhawatirannya,
"Bu-sicu, sebaikhya kalau engkau membawa keluarga meninggalkan dusun ini sebelum
terjadi apa-apa. Kami merasa khawatir sekali kalau-kalau pangeran itu akan membalas
dendam kepadamu," bujuk Sang Kepala Dusun.
"Apa? Pergi melarikan diri dari anjing itu? Aku tidak akan lari, biar anjing itu menggonggong
keras. Kalau dia berani menggigit akan kutendang moncongnya!" jawab Bu Cian yang masih
merasa pena-saran dan marah kepada pangeran itu.
Kepala dusun itu tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menghela napas dan pergi. Hatinya
merasa tidak enak sekali, khawatir kalau-kalau terjadi keributan di dusunnya yang biasanya
tenteram dan aman. Gara-gara Pangeran yang mencari gadis-gadis dusun yang manis-manis
maka terjadilah keributan ini.
Dan tiga hari kemudian, seorang panglima dengan lima puluh orang perajuritnya, memasuki
dusun Teng-sia-bun.
Pasukan itu mengepung rumah Bu Cian dan panglima itu, di depan pintu rumah berteriak,
lantang, "Atas perintah kejak-saan di kota raja, Bu Cian dinyatakan sebagai pemberontak dan
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 8
diminta untuk menyerah! Kalau tidak mau menyerah, kami terpaksa menggunakan
kekerasan!"
Di dalam rumah terdengar tangis bayi. Bu Cian berdiri dengan pedang di tangan, dirangkul
isterinya yang mena"
"Jangan melawan....! Suamiku, menyerahlah saja dan mintalah ampun kepada Pangeran agar
engkau dibebaskan. Aku juga akan mintakan ampun untuku ....!" Sang isteri menangis dengan
gelisan sekali, tidak mempedulikan puterinya yang menjerit-jerit di atas pembaringan.
"Bwe Si, jangan bersikap pengecut! Engkau tahu, aku bukan seorang penakut. Lebih baik
engkau pondong anak kita itu, dan kaurawatlah baik-baik anak kita. Aku harus menghajar
pasukan itu!" Dia me-maksa diri lepas dari rangkulan isterinya lalu melompat keluar dari
pintu dan mengamuk dengan pedangnya!
Panglima itu terkena tendangan Bu Cian dan terlempar ke belakang. Dia menjadi marah
sekali. "Bunuh pemberontak'" Dan Bu Cian lalu dikeroyok, Pendekar ini memang gagah
perkasa. Dia mengamuk bagaikan seekor harima dan pedangnya sudah merobohkan beberapa
orang. Dengan ilmu pedang "Sin-Kiam-jip-pek-to" atau Pedang Sakti Menasuki Seratus
Golok dia mengamuk dan setelah melalui suatu pertempuran yang amat seru, sedikitnya dua
belas orang penge-royok telah roboh mandi darah disambar pedangnya! Akan tetapi pihak
musuh terlampau banyak. Apalagi, ilmu golok Panglima itu pun cukup lihai maka akhirnya
Bu Cian terkena sambaran golok dan tubuhnya sudah penuh dengan luka-luka. Akan tetapi
dia tetap mengamuk. Ketika golok Panglima itu menyambar dan tidak dapat dielakkan lagi,
terpaksa dia menangkis dengan tangan kirinya. Tangan kiri sebatas pergelangan menjadi
putus disambar golok, akan tetapi pada saat itu, dengan jurus Burung Walet Keluar Guha,
pedangnya sudah meluncur ke depan menembusi dada seorang pengeroyok dan kakinya
mencuat ke samping menendang dada Panglima itu sehingga untuk kedua kalinya Panglima
itu terjengkang. Akan tetapi pada saat itu, tiga batang golok menyambar mengenai tubuh
belakang Bu Cian dan robohlah pendekar gVtu dengan badan mandi darahnya sendiri.
"Suamiku....!!" Lu Bwe Si, sambil menggendong anaknya, tanpa mempedulikan para
perajurit, lari dan menubruk tubuh suaminya yang mandi darah. la merintih dan menjerit
memanggil suaminya.
Bu Cian membuka matanya. "Bwe Si... jaga... anak kita... baik-baik...." katanya dan tubuh itu
pun diam, matanya masih terbuka seolah pendekar itu mati dalam keadaan penasaran.
Lu Bwe Si menjerit dan terguling pingsan. Anak dalam gendongannya juga menjerit-jerit
dalam tangisnya.
"Bawa perempuan dan anaknya itu. Keluarga pemberontak harus dihadapkan ke pengadilan!"
kata Sang Panglima dan tubuh Lu Bwe Si yang pingsan lalu diangkat dan dimasukkan dalam
gerobak tahanan yang sedianya diperuntukkan suaminya. Kepala dusun dipanggil dan oleh
panglima diperintahkan untuk me-ngurus mayat-mayat yang bergelimpangan. Kemudian,
panglima itu membawa pasukannya yang mendorong gerobak tahanan meninggalkan dusun
Teng-sia-bun, kembali ke kota raja.
Setibanya di luar kota raja, rombongan pasukan itu bertemu dengan rombongan lain, yaitu
selosin pengawal yang mengiringkan sebuah kereta yang indah. Yang berada di dalam kereta
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 9
itu adalah Pangeran Tang Gi Su, yang hendak berburu binatang di luar kota raja. Ketika
Pangeran Tang Gi Su mendengar tangis wanita dari dalam gerobak tahanan yang dikawal
puluhan orang perajurit, dia ter-tarik sekali dan menyuruh pengawal menghentikan pasukan
itu.
Panglima pasukan lalu menghampiri kereta dan ketika dia mengetahui siapa yang berada
dalam kereta, dia pun berdiri tegak menunggu dengan sikap hormat.
Seorang laki-laki yang jangkung kurus keluar dari dalam kereta. Laki-laki itu berusia kurang
lebih empat puluh tahun, wajahnya lembut dan tampan berwibawa, matanya bersinar tajam
menunjukkan kecerdikannya. Inilah Pangeran Tang Gi Su yang memegang jabatan sebagai
seorang pengawas terhadap para pejabat, pembantu Kaisar. Karena kedudukannya ini,
Pangeran Tang Gi Su disegani oleh para pejabat tinggi. Kalau ada pejabat tinggi, yang
menyeleweng melakukan penyelewengan dalam tugasnya, maka pangeran inilah yang akan
memeriksanya dan kalau bersalah, mengajukannya ke pengadilan di istana yang dipimpin
Kaisar sendiri.
Panglima pasukan ini cepat memberi hormat kepada Pangeran Tang Gi Su.
"Siapa dalam gerobak tahanan itu dan mengapa ia ditahan?" tanya Sang Pangeran, sambil
menghampiri gerobak itu. Dia melihat seorang wanita menggendong bayinya sedang
menangis dan hatinya tergerak oleh pemandangan ini.
"la isteri seorang pemberohtak, Pangeran. Pemberontaknya sendiri telah berhasil kami bunuh
dan kami menangkap isteri dan anaknya untuk dihadapkan ke pengadilan
"Di mana ada pemberontak?" "Di dusun Teng-sia-bun, Pangeran."
"Hemm, berapa banyak jumlah pemberontak?"
"Hanya satu orang, Pangeran."
"Apa? Hanya seorang dan kalian membawa pasukan sekian banyaknya?"
"Pemberontak itu lihai sekali dan kami kehilangan belasan orang perajurit, Pangeran."
"Bagaimana mungkin pemberontakan hanya dilakukan oleh seorang saja? Dalam hal apa dia
memberontak?"
"Tiga hari yang lalu, ketika Pangeran Bian Kun mengambil beberapa orang gadis dusun itu
untuk dijadikan selir, Pangeran Ban Kun dipukul oleh pemberontak itu, Pangeran. Dia
melapor kepada jaksa dan kami diutus menangkap si pemberontak akan tetapi dia, melawan
sehingga terjadi pertempuran dan dia tewas."
Mendengar nama Pangeran Bian Kun, Pangeran Tang Gi Su mengangguk-angguk. Dia sudah
mengenal watak Pangeran yang mata keranjang itu.
”Hemm, pelanggaran itu belum dapat dinamakan pemberontakan. Dan ketika terjadi
pertempuran, apakah wanita ini pun ikut bertempur melawan pasukan?"
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 10
"Tidak, Pangeran."
"Kalau begitu, mengapa ia ditangkap? Apa kesalahannya? Suaminya itu hanya melawan
seorang pangeran, bukan pemberontak. Bebaskan wanita ini dan anaknya!"
"Tetapi, Pangeran...."
"Jangan membantah. Bebaskan dan aku yang bertanggung jawab!"
"Baik, Pangeran." Panglima itu lalu memerintahkan anak buahnya untuk membuka gerobak
tahanan dan membiarkan Bwe Si keluar menggendong anaknya. Kemudian, atas perintah
Sang Pangeran, panglima itu melanjutkan perjalanannya bersama ke kota.
Demikian baikkah hati Pangeran Tang Gi Su? Memang pangeran ini terkenal sebagai seorang
yang memegang kedilan dan tegas, akan tetapi dalam hal ini ada sesuatu yang mendorongnya
menolong Lu Bwe Si. Ketika dia melongok ke dalam gerobak tahanan, dia melihat wajah
Bwee Si dan hatinya tergerak. Timbul perasaan iba dan juga suka sekali kepada wanita yang
menjadi ibu muda itu. Dalam panjang matanya, wajah itu demikian elita dan patut disayang
dan dikasihani; dan bentuk tubuh ibu muda itu dennikian menggairahkan hatinya sehingga dia
me-ngambil keputusan untuk melindungi dan menolong wanita ini!
Kita menganggap bahwa sudah semestinya pertolongan itu berpamrih. Akan tetapi, benarkah
itu dapat dinamakan pertolongan kalau berpamrih? Ataukah perbuatan yang dinamakan
pertolongan itu bukan sekedar cara untuk mendapatkan pamrih yang diinginkannya? Pada
mulanya, Pangeran Tang Gi Su memang tidak mempunyai keinginan apa-apa sebagai pamrih
atas perbuatannya. Dia hanya terdorong rasa iba dan ingin menegakkan keadilan belaka
seperti yang sering kali dilakukannya. Akan tetapi begitu dia melihat wajah dan bentuk tubuh
Lu Bwee Si timbul keinginan di hatinya untuk memilikl wanita itu dan keinginan itu menjadi
pamrih pertolongannya.
"Nyonya, masuklah ke dalam keretaku. Jangan khawatir lagi, kalau ada aku di sampingmu,
tak seorang pun akan berani mengganggu selembar rambutmu!" kata pangeran itu sambil
menuntun Bwee Si memasuki keretanya. Setelah duduk di dalam kereta bersama pangeran itu,
Bwe Si baru teringat untuk menghaturkan terima kasih.
"Hamba menghaturkan terima kasih "atas pertolongan Paduka, akan tetapi suami hamba...
ahhh....!" Bwe Si lalu menangis sambil memeluk puterinya.
"Jangan menangis, Nyonya. Suamimu telah meninggal dunia ditangisi pun tidak ada gunanya
lagi. Engkau harus ingat kepada anakmu. Kalau sampai engkau tuh sakit, anakmu akan ikut
sakit pula. Sekarang engkau ikutlah tinggal d! ru-mahku...."
"Saya... hamba... ingin pulang, mengurus jenazah suami hamba dan ber-kabung...." Bwe Si
terisak.
"Nyonya, kalau engkau kembali ke rumahmu, tentu engkau akan ditangkap lagi oleh perwira
itu. Suamimu dituduh pemberontak dan ketahuilah, keluarga pemberontak harus ditangkap
pula. Kalau tidak ada aku yang menanggung, apa kaukira dapat dibebaskan demikian
mudahnya? Satu-satunya jalan agar engkau tidak ditangkap hanya ikut aku pulang."
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 11
Bwe Si menjadi bingung sekali. "Akan tetapi... suamiku... rumahku...."
"Jangan khawatir, Nyonya. Aku akan mengutus orang-orangku untuk mengurus jenazah
suamimu, memakamkannya dengan baik-baik dan aku akan menyuruh ambil semua milikmu
dari rumahmu. Akan tetapi untuk sementara engkau harus tinggal di rumahku kalau engkau
tidak ihgin ditangkap lagi."
Bwe Si masih meragu dan pangeran itu berkata, "Ingat, Nyonya harus mengingat akan
keselamatan anakmu andaikata Nyonya tidak mempedulikan keselamatan sendiri. Bagaimana
nasib anakmi. kalau engkau dihukum? Alangkah sengsaranya, kasihan sekali...."
Bwe Si mendekap puterinya dan menangis. Tidak ada jalan lain lagi baginya kecuali menurut
saja diajak pergi ke rumah Pangeran Tang Gi Su. la tidak tahu bahwa ia bagaikan seekor
domba gemuk dan muda masuk ke dalam rumah Jagal! .
Song Tek Kwi pulang dengan hati yang tidak enak sekali. Dia mengkhawa-tirkan keselamatan
sahabatnya. Dan pada keesokan harinya baru dia mendengar berita menyedihkan itu, yaitu
tentang diserbunya rumah Bu Cian oleh pasukan yang mengakibatkan matinya sahabatnya itu.
"Celaka, sudah kukhawatirkan hal itu akan terjadi. Kita harus cepat meninggalkan dusun ini,
isteriku!" katanya kepada isterinya yang menggendong Song Thian Lee, putera mereka yang
baru berusia setahun.
Isteri Song Tek Kwi bernama Kwa Siang dan wanita ini tidaklah lemah seperti Lu Bwe Si.
Kwa Siang sejak kecil mempelajari ilmu silat dan setelah menjadi isteri Song Tek Kwi,
kepandaiannya bertambah cepat karena ajaran suaminya. Kini ia merupakan seorang wanita
yang gagah perkasa dan tangguh ilmu silatnya.
"Suamiku, kenapa kita harus pergi? Siapa yang akan mengancam kita?" tanyanya dengan
tenang, sedikit pun tidak menjadi gugup.
"Kemarin Bu Cian menghajar para pengawal pangeran itu bersama aku. Sekarang Bu Cian
dibunuh, tentu mereka akan mencari aku pula. Mari kita berkemas dan pergi secepatnya dari
tempat ini!"
Suami isteri itu berkemas membawa harta mereka yang ringkas, lalu keduanya, pergi dari
dusun itu. Kwa Siang menggendong anaknya, dan suaminya menggendong buntalan besar.
Akan tetapi, baru saja mereka tiba di luar dusun, mereka telah berhadapan dengan pasukan
yang mengepung mereka! Kiranya sejak tadi sudah ada pasukan datang ke dusun Tung-sinbun,
jumlah mereka lima puluh orang dipimpin oleh dua orang perwira yang bertubuh tinggi
besar.
Melihat ini, Song Tek Kwi mencabut pedangnya, juga isterinya, Kwa Siang telah mencabut
pedangnya dan memperkuat ikatan gendongan puteranya. Suami isteri ini sudah bertekad
untuk membela dirl.
"Pemberontak Sdng Tek Kwi! Lebih baik engkau dan isterimu menyerah untuk kami tangkap
dan bawa ke kota raja daripada kami harus menggunakan kekerasan!" kata seorang di antara
dua orang perwira itu.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 12
"Aku bukan pemberontak, dan aku tidak akan menyerah!" kata Song Tek Kwi dengan suara
lantang. Akan tetapi diam-diam pendekar ini, mengkhawatirkan keadaan puteranya dalam
gendongan is-terinya, maka dia lalu berkata kepada isterinya, "Lari! Cepat, selamatkan anak
kita'"
Kwa Siang tidak takut menghadapi pasukan itu untuk membela suaminya, akan tetapi ia pun
memikirkan keselamatan puteranya. Oleh karena itu, seruan suaminya membuat ia bimbang.
la tidak tega meninggalkan suaminya seorang diri menghadapi pasukan itu, akan tetapi kalau
ia tidak pergi, berarti ia mendatangkan bahaya maut bagi anaknya. Mementingkan suaminya,
atau anaknya? Setelah ditimbang-timbang, ia memilih menyelamatkan anaknya. Kalau ia
meninggalkan suaminya belum tentu suaminya akan celaka. Mungkin suaminya juga akan
dapat membebaskan diri. Akan tetapi kalau ia kukuh membantu suaminya, besar
kemungkinan anak dalam gendongan itu akan celaka terkena senjata lawan yang demikian
banyaknya.
Sementara itu, mendengar suami yang menganjurkan iste inya untuk melarikan diri itu, dua or
ng perwira itu lalu memberi aba-aba agar anafe1 buahnya menyerang. Mulailah pengeroyokan
terjadi dan suami isteri itu menggerakkan pedangnya melawan mati-matian. Kwa Siang yang
berusaha melarikan diri, menyerang dengan dahsyat ke satu jurusan, membubarkan
pengepung di jurusan itu dan merobohkan empat orang. Suaminya juga mengamuk,
pedangnya berkelebat seperti angin topan dan enam orang berpelantingan disambar
pedangnya.
Melihat kehebatan pendekar yang mereka pandang sebagai pemberontak itu, dua oraog
perwira lalu mencabut pedang mereka dan keduanya mengeroyok Song Tek Kwi, dibantu
pula oleh banyak anak buah. Song Tek Kwi melawan dengan nekat karena yang 'terutama
baginya adalah membiarkan isterinya lolos.
"Siang-mo, pergilah....!" teriaknya dan tiba-tiba dia meloncat dan menyerang mereka yang
mengepung isterinya sehlngga terbuka jalan bagi Kwa Siang.
"Kwi-ko, jaga dirimu baik-baik!" kata Kwa Siang, lalu wanita ini memutar pe-dangnya dan
ketika pengeroyoknya mundur, ia lalu meloncat jauh. Di depannya sudah ada beberapa orang
perajurit lagi dan ia mengamuk lagi. Setelah mendapatkan kesempatan ia nnelompat lagi dan
akhirnya ia berhasil lolos dari kepungan dan melarikan diri memasuki hutan.
Melihat ini, Song Tek Kwi menjadl lega sekali dan dia pun mengamuk lebih hebat lagi.
Namun, bagaimana mungkin satu orang melawan puluhar» orang pera-.jurit, apalagi di situ
terdapat dua'orang perwira yang cukup lihai ilmu pedang-nya? Setelah merobohkan belasan
orang pengeroyok, akhirnya Song Tek Kwi roboh juga dengan tubuh penuh luka. Dia tewas
sebagai seorang gagah perkasa, hal yang selalu diidamkan oleh para pendekar. Dua orang
perwira lalu mengerahkan para perajuritnya untuk melakukan pengejaran terhadap Kwa
Siang, akan tetapi ibu muda itu telah lenyap dan tidak berada lagi dalam hutan itu. Tepaksa
pasukan itu lalu kembali membawa teman-teman yang terluka dan menyuruh kepala dusun
Tung-sin-bun agar mengerahkan pendu-duknya untuk mengubur semua jenazah para
perajurit.
Jauh dari dusun Tung-sin-bun, dl dalam sebuah hutan di lereng bukit, Kwa Siang duduk
memangku puteranya, dan ia menangis terisak-isak. Setelah tadi ber-hasil melarikan diri, ia
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 13
tidak segera pergi melainkan mengintai dari dalam hutan, melihat kalau-kalau suaminya akan
dapat melarikan diri pula. Akan tetapi apa yang dilihatnya? Suaminya merobohkan belasan
orang perajurit dan kemudian roboh dengan tubuh penuh luka dan tewas di bawah hujan
senjata. Terpaksa ia lalu melarikan diri dengan cepat. Yang terngiang dalam telinganya
hanyalah pesan terakhir suaminya agar ia menye-lamatkan anaknya.
Kini, setelah jauh dari tempat itu dan tidak ada lagi yang mengejarnya, wanita itu duduk di
atas akar pohon dan menangis dengan sedih, menangisi kematian suaminya. Baru saja ia
masih bersama suaminya, dalam keadaan sehat dan hidup. Dan kini, suaminya telah tewas
tanpa ia dapat menolongnya! Kaiau saja di situ tidak ada Thian Lee, tidak mungkin ia akan
melarikan-diri. la tentuakan membela suaminya dan kalau perlu mati bersama suaminya.
"Ohh, suamiku..., anakku....!" la mendekap Thian Lee dan anak itu seolah mengerti kedukaan
ibunya dan ikut menangis.
Khawatir kalau tangis puteranya yang nyaring itu akan terdengar orang, Kwa Siang
menghentikan tangisnya dan meng-Nbur puterinya sehingga anak itu berhen-ti menangis.
Hancur luluh rasa hati Kwa Siang. Mengapa nasib sedemikian buruknya menimpa dirinya?
Nasib berada di tangan Tuhan dan di-tentukan oleh kekuasaan Tuhan. Memang benar. Akan
tetapi baik buruknya nasib tergantung dari si manusia sendiri. Manusia diberi peralatan
selengkapnya untuk berusaha memperbaiki keadaan dirinya. Tidak mempergunakan segala
daya yang ada padanya berarti menyia-nyiakan pemberian anugerah dari Tuhan berupa
kehidupan sempurna itu. Nasib yang rnenimpa seseorang pasti ada sebabnya dan sebab itu
berada di tangan si manusia sendiri. Setiap orang akan memetik bunuh dari hasil tanamannya
sendiri. Karena itu, orang yang mengerti benar akan nikmat ini, selalu menanam bibit yang
baik, yaitu melakukan semua perbuatan yang baik sehingga buahnya kelak pun baik.
Sebaliknya, kalau tertimpa suatu peristiwa, menyenangkan atau menyusahkan, tidak akan
menyesal karena maklum bahwa semua itu adalah hasil tanaman-nya sendiri. Wajarlah kalau
yang bersalah menerima hukumannya. Mengapa menye-sal? Penyesalan yang perlu kita
.miltki adalah bertaubat atas kesalahannya dan tidak akan mengulang kembali. Tidak akan
menanam bibit yang buruk lagi, melainkan menanam bibit yang baik-baik saja tanpa pamrih,
yaitu pamrih untuk kesenangan diri sendiri. Pamrih adalah harapan mendapatkan sesuatu, dan
hanya orang yang mengharapkan mendapat sesuatu sajalah yang akan merasa kecewa.
Kecewa kalau yang diharapkan itu tidak tercapai, kemudian menjadi bosan dan tidak puas
kalau harapan itu terpenuhi, karena yang diharapkan itu kemudian setelah tercapai tidaklah
seindah seperti yang dibayangkan semula.
Duka datang bersama perasaan iba diri. Aku ditinggal, aku kehilangan, aku kesepian, aku
dirugikan dan semua kenangan mengenai aku yang dirugikan itulah yang mendatangkan rasa
iba diri dan menjurus kepada kedukaan. Duka ini dapat pula memperbesar rasa benci terhadap
sesuatu yang rnenjadi penyebab datangnya kerugian itu.
Demikian pula dengan Kwa Siang. Ibu muda ini akhirnya menggendong putera-nya dan
meninggalkan tempat itu, men-daki bukit dan hatinya penuh dengan duka, penuh dengan
dendam. Kalau bisa, ingin ia membunuh semua pangeran Man-cu yang ada! Bahkan
menghancurkan kekuasaan penjajah Mancu. "Kau yang kelak akan melakukannya, Thian Lee.
Kelak engkau yang akan membalaskan kcmatian ayahmu!" bisiknya kepada anak-pya sambil
memeluk anak itu dan nieT lanjutkan perjalanannya. Suaminya benar Kalau ia tidak lari, tentu
ia akan tewas pula bersama Thian Lee. Dan, kalau hal itu terjadi, siapa yang akan
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 14
membalaskan sakit hati ini? la harus merawat Thian Lee dan mendidiknya sampai dia kelak
menjadi seorang pendekar yang berilmu tinggi dan dapat melaksanakan pembalasan dendam
ini. Dengan pikiran itu, langkahnya semakin tegap dan kedukaannya pun terhibur oleh
harapan baru. Biarpun harapan akhirnya mendatangkan kekecewaan atau ketidak-puasan,
namun dalam keadaan hati direndam duka, harapan tu menjadi teramat penting. Harapan
bagaikan sepucuk obor yang menerangi batin yang sedang digelapkan duka. Dengan adanya
harapan, maka timbul semangat baru untuk meninggalkan duka dan menghadapi kehidupan
selanjutnya.
Dalam pakaian wanita bangsawan, dengan dandanan rambut digelung ke atas dan dihias tusuk
rambut dari emas memang Lu Bwe Si nampak cantik sekali. Cantik lembut dan anggun, memang
wanita ini pantas menjadi seorang wanita bangsawan. la tidak dapat menolak semua
pemberian Pangeran Tang Gi Su kepadanya berupa pakaian dan perhiasan.
"Engkau telah tinggal dl sini, harus Tnenyesuaikan dandananmu agar jangan membikin malu
kepadaku, Bwe Si," kata pangeran itu yang kini tidak menyebut nyonya kepadanya,
melainkan nama kecilnya.
"Akan tetapi saya bukanlah anggauta keluarga,. saya hanyalah seorang tamu yang sementara
tinggal di sini, Pangeran," bantah Lu Bwe Si.
"Bukan hanya tamu sementara, Bwe Si. Ingatlah baik-baik, engkau dapat pergi ke mana
kecuali tinggal di sini? Begitu engkau keluar darl perlindunganku, engkau akan ditangkap
sebagai seorang keluarga pemberontak."
"Aduh, kalau begitu bagaimana baiknya, Pangeran? Bagaimana dengan diri saya dan anak
saya? Apakah selamanya saya tidak dapat memperoleh kebebasan dan selalu menjadi buruan
pemerintah?" keluh Lu Bwe Si sambil mendekap anaknya, tidak dapat menangis lagi karena
air matanya telah habis ditumpahkan selama satu bulan berada di gedung pangeran itu.
"Tentu saja, selama engkau masih menjadi Nyonya Bu Cian, engkau akan selalu menjadi
orang buruan. Kebebasan hanya bisa kaudapatkan di sini, Bwe Si. Dan pemerintah akan
menghentikan buruan itu kalau engkau sudah menjadi selirku dan tinggal di sini, menjadi
keluargaku."
Bwe Si terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa di balik pertolongan yang diberikan oleh
pangeran yang baik hati ini kepadanya tersembunyi niat untuk memperisterinya, untuk
mengambilnya sebagai selir!
"Akah tetapi, Pangeran. Saya isteri Bu Cian....!"
"Dia sudah mati, Bwe Si."
"Ya, saya adalah seorang janda dan mempunyai seorang anak lagi."
"Apa salahnya: Engkau akan menjadi istenku, dan anak ini akan menjadi anakku. Namanya
Cin Lan, bukan? la akan menjadi Tang Cin Lan, seorang isteri pangeran!"
"Tapi, Pangeran....
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 15
"Pikirkan baik-baik dan jangan ragu, Bwe Si. Aku cinta padamu. Sejak pertemuan pertama
kali aku sudah tertarik sekali kepadamu, kecantikanmu, sikap dan kelembutanmu. Aku ingin
engkau selamanya tinggal di sini bersama anakmu, engkau menjadi selirku dan Cin Lan
menjadi anakku. Sekarang, aku beri waktu semalann ini. Pikirkanlah baik-baik. Engkau lebih
suka keluar dari sini menjadi buruan pemerintah, kalau tertangkap menjadi orang hukuman,
mungkin dihu-kum mati bersama anakmu, atau tinggal di sini menjadi selirku dan anakmu itu
menjadi puteri pangeran. Nah, besok pagi-pagi engkau harus sudah mengambil keputusan,
mau tinggal di sini atau keluar dari rumah ini!" Setelah berkata demikian, Pangeran Tang Gi
Su meninggal-kan wanita itu yang mulai menangis sesenggukan sambil mendekap anaknya.
Malam itu teramat menyiksa bagi Bwe Si. Terjadi perang dalam otaknya, dalam hatinya. Baru
saja ia ditinggal suaminya, mati dalam keadaan demikian sengsara. Bahkan la tidak diberi
kesempatan untuk berkabung atas kematian suami yang dicintanya itu, dan malah dilamar
menjadi selir pangeran! Hatinya berontak. Tidak ingin la menjadi selir pangeran atau isteri
siapapun juga. Ia ingin bersetia kepada suaminya sampai matl. Akan tetapi, bagaimana
dengan anaknya. Suaminya, dalam saat terakhir pesan kepadanya agar ia menyelamatkan anak
mereka dan menjaganya baik-baik kalau ia nekat menolak lamaran llalu harus keluar dari
rumah itu, pasti ia ditangkap dan dihukum. Lalu bagaimana dengan anaknya?.
Cin Lan aahh, Cin Lan, apa yang harus ibu lakukan, Nak....?" la memeluk, menciumi anaknya
sambil menangis. Ia meratapi suaminya seolah minta petunjuk, akan tetapi tiada jawaban. Dan
malam rasanya demikian cepat berlalu, tahu tahu sudah terdengar ayam jantan berkeruyuk
tanda bahwa pagi telah menJelang tiba.
Dan pagi yang menakutkan itu pun tiba. Dengan hati berdebar-debar Bwe Si menunggu,
masih belum dapat mengambil keputusan. Akan tetapi yang jelas, ia tidak ingm melihat
anaknya ikut terhukum dan mat. Tidak, ia sendiri tidak takut dihukum, tidak takut menyusul
suaminya mati. Akan tetapi, ia amat takut kalau membayangkan nasib Cin Lan puterinya. Ia
rela berbuat apa saja bahkan lebih dari kematian, demi menyelamatkan Cin Lan.
Dengan pakaian pagi yang indah, sudah nampak segar habis mandi, Pangeran Tang Gi Su
memasuki kamar itu, seorang diri. Biasanya, kalau pangeran itu datang, Bwe Si pasti
menyambutnya dengan salam hormat. Akan tetapi sekali ini Bwe Si tidak dapat bergerak,
tidak pula dapat mengeluarkan sepatah pun kata. la terdiam dan memandang pangeran itu
bagaikan telah berubah menjadi putung'
Pangeran Tang Gi Su memandangnya dan alisnya berkerut melihat wajah yang pucat, rambut
yang kusut dan mata yang agak bengkak kemerahan bekas tangis itu. Dia melangkah maju
menghampiri lalu berkata, "Bwe Si, kenapa engkau menyiksa dirimu sendiri begini rupa?
Agaknya semalam engkau tidak tidur! Begitu sulitkah menerimaku sebagai suamimu, Bwe
Si? Begitu burukkah rupaku atau kelakuanku bagimu sehingga engkau tidak sudi menjadi
isteriku? Engkau memilih dihukum mati daripada hidupseba-gai isteriku7"
Akhirnya Bwe Si dapat menghela napas panjang dan menggeleng kepalanya. "Pangeran, saya
tidak takut mati, akan tetapi saya tidak ingin melihat anak saya ikut mati...."
"Jadi... lalu apa jawabanmu terhadap lamaranku? Maukah engkau menjadi isteriku?"
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 16
Kembali Bwe Si menghela riapas panjang. "Pangeran, demi keselamatan anakku, aku tidak
dapat menolak....."
"Bapus! Untuk sementara engkau boleh menerimaku demi anakmu. Cinta datangnya
perlahan-lahan bagi wanita yang berkeadaan sepertimu. Akan tetapi kelak aku mengharapkan
cinta itu akan datang padamu terhadap diriku. Nah, mulai hari ini engkau adalah selirku dan
Cin Lan adalah anakku. Dalam keadaan seperti sekarang, air susumu tidak sehat bagi Cin Lan.
Aku tidak ingin melihat anakku menjadi sakit karena minum air susumu. Biarlah wanita
pengasuh yang akan menyusuinya dan merawatnya, seperti anak-anakku yang lain. Cin Lan
akan menjadi seorang anak yang sehat dan kuat."
Pangeran Tang Gi Su lalu bertepuk tangan memanggil pelayan, lalu mengutusnya memanggil
inang pengasuh yang segera datang. Pangeran berkata, "Rawat baik-baik anakku ini agar ia
sehat dan kuat seperti kakak-kakaknya. Ia adalah anakku, mengerti?"
Tergopoh-gopoh inang pengasuh mene-runa anak. itu dari tangan ibunya dan membawanya
pergi. Setelah mereka semua pergi, Pangeran Tang Gi Su lalu memegang kedua tangan Bwe
Si, mendekatkan mukanya dan mencium dahi yang putih halus terhias anak rambut itu, lalu
berkata, "Nah, sayang. Sekarang engkau tidurlah. Engkau harus mengaso karena semalam
engkau tidak tidur. jangan sampai engkau jatuh sakit." Pangeran itu menuntunnya ke
pembaringan, mendesaknya untuk rebah dan dia sendiri yang menutupi tubuh Bwe Si dengan
sehelai selimut, dengan sikap dan gerakan menyayang sekali.
"Tidurlah, Bwe Si dan senangkan hatimu. Cin Lan berada di tangan pengasuh yang ahli.
Engkau dan anakmu aman di sini dan kehidupan yang tenteram bahagia dan terhormat
menanti kalian berdua. Tidurlah." Pangeran itu lalu meninggalkan kamar dan menutupkan
daun pintunya dari luar.
Bwe Si menangis. la merasa telah berkhianat terhadap almarhum suaminya. Ia telah
menyerahkan dirinya kepada pangeran itu. Akan tetapi ini demi Cin Lan, anak kita, suamiku,
demikian bisiknya berulang kali akhirnya ia lalu membayangkan kembal sikap pangeran itu
yang demikian rrunyayang dan lembut.
Setelah ia menerima pinangan, pangeran itu tidak segera melampiaskan berahinya kepadanya
melainkan bersikap baik dan sopan sekali, amat menyayangnya. Hal ini mengharukan hatlnya
dan sedikit menghiburnya. la merasa terhormat setelah tadi merasa terhina karena merasa
berkhianat terhadap suaminya. Tidak, ia tidak berkhianat. la melakukan demi keselamatan Cin
Lan. Dan pangeran itu pun bukan seorang yang kasar, tidak ingin mengambilnya sebagai selir
hanya karena nafsunya, melainkan nampaknya pangeran itu benar-benar cinta kepadanya.
Akhirnya, ia pun tertidur nyenyak dan sampai siang hari baru terbangun.
Mulai hari itu, Lu Bwe Si menjadi selir Pangeran Tang Gi Su. Tidak terlalu berat bagi Bwe Si
untuk melayani suaml-nya yang baru karena Sang Pangeran , benar-benar bersikap lembut
dan penuh kaslh sayang kepadanya. Juga sikap suaminya terhadap Cin Lan nampak begitu
menyayang, tidak berbeda dengan anak-anaknya yang lain. Hal ini lebih-lebih
menggembirakan hati Bwe Si sehingga tak lama kemudian, ia sudah melupakan bahwa Cin
Lan adalah puteri suan inya yang dahulu. Bahkan sudah Jarangteringat kepada mendiang Bu
Cian.
Perasaan hati memang condong untuk berubah setiap waktu. Karena itu, tidak mungkin hal itu
dalam satu keadaanfl terus menerus tanpa perubahan. Duka tidak dapat mengekang hati
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 17
terlalu lama, apalagi suka. Sebentar saja perasaan itu sudah terganti oleh perasaan lain.
Karena itu, tidak keliru kalau ada yang menga-takan bahwa pada saat suka menduduki hati,
duka sudah antri di belakangnya dan demikian sebaliknya. Suka dan duka lewat bagaikan
angin lalu, semua akan tei-lena oleh Sang Waktu.
Pangeran Tang Gi Su memang men-cinta Bwe Si dan lambat laun, belum genap setahun, telah
mulai tunnbuh perasaan cinta dalam hati Bwe Si terhadap suaminya yang baru itu. Kini ia
tidak lagi melayani suaminya karena terpaksa, demi keselamatan Cin Lan, melainkan dengan
gairah yang menggelora karena api cinta kasih mulai menyala dalam dadanya terhadap
pangeran yang menjadi suaminya dan yang memberinya segala-galanya itu. Ia menjadi
seorang wanita terhormat, bebas tidak diburu lagi, berkecukupan bahkan mewah. Juga Cin
Lan terawat dengan baik, sekarang nampak gemuk dan sehat dan sewaktu-waktu dapat saja
memerintahkan pengasuh membawa anaknya kepadanya. Bahagia, itulah yang dirasakan oleh
Bwe Si. Sa-lahkah sikap Bwe Si ini? Kalau ada yang menyalahkannya dan menganggapnya
rendah, anggapan seperti itu tidaklah adil. Tidakkah sebagai seorang manusia, Bwe Si juga
berhak untuk meraih kebahagiaannya? Kalau ia mendapatkan itu sebagai isteri muda
pangeran, apa salahnya? 5uarrunya sudah tiada, dan ia dapat pula membahagiakan puterinya,
di sampine membahagiakan diri sendiri. Roh suaminya tentu akan senang melihat orangorang
yang dikasihinya ity dalam keadaan bahagia!
Biarpun merasa amat berterima kasih kepada suaminya yang baru, Bwe Si tidak melupakan
kenyataan bahwa puterinya itu adalah ariak seorang pendekar. Karena itu, setelah Cin Lan
berusia lima tahun, di samping memberi pelajaran baca tulis, ia pun memanggil seorang guru
silat untuk puterinya. Dan Pangeran Tang Gi Su juga tidak berkeberatan, apalagi ketika guru
silat menyatakan kekagumannya akan bakat ilmu silat yang ada pada diri anak itu. Pangeran
Tang Gi Su bahkar mendorong dengan mengundang guru silat yang lebih pandai untuk
mengajar puterinya.
* * * *
Kwa Siang, atau nyonya janda Song Tek Kwi, adalah seorang wanita yang penuh semangat
dan pemberani. Biarpun ketika melarikan diri ia tidak membawa banyak bekal karena bekal
itu kebanyakan berada daiam buntalan suaminya yang terpaksa ditinggalkan, namun ia tidak
takut. la mengembara sambil meiarikan diri. khawatir kalau-kalau akan dikejar oleh pasukan.
la berpindah-pindah dari satu ke lain dusun, terus menjauhkan diri dari kota raja sampai jauh
ke selatan. Akhirnya, setahun kemudian ia sudah tiba di tepi Sungai Kuning. la tinggal di
sebuah dusun kecil yang dihunU beberapa ratus kepala keluarga yang bekerja sebagai petani
dan nelayan. la pun bekerja sebagai nelayan mencari ikan untuk menghidupi dirinya dan
Thian Lee, puteranya.
Setelah Thian Lee berusia lima tahun, mulailah ibu muda ini menggembleng puteranya
dengan ilmu silat dan betapa girang hatinya melihat bahwa Thian Lee memiliki bakat yang
baik sekali. Dalam hidupnya selama ini, banyak terjadi gangguan terhadap dirinya, dari para
pria hidung belang dan mata keranjang, namun berkat ilmu silatnya, ia menghajar setiap orang
laki-laki yang berani kurang ajar kepadanya. Demikian puJa di dusun tepi sungai itu, setelah
semua penduduk mengetahui bahwa janda muda beranak satu ini pandai ilmu silat, tidak ada
se-orang pun berani mengganggunya.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 18
Ketika Thian Lee berusia sepuluh tahun, terpaksa Kwa Siang rriengajak anaknya
menyeberangi sungai dan melarikan diri ke selatan. Pada suatu hari ia melihat serombongan
pasukan lewat di dusun itu dan ia menjadi curiga. Jangan-jangan mereka itu sudah mendengar
bahwa ia tinggal di dusun itu! Maka sebelum terjadi sesuatu, diam-diam ia lalu naik perahu
menyeberangi sungai dan melarikan diri, membawa segala miliknya berupa pakaian dan
sedikit uang yang berhasil ia kumpulkan selama bekerja sebagai nelayan di tepi sungai itu.
Akhirnya ia merasa suka dengan dusun Nan-kiang-jung, sebuah dusun yang makmur karena
tanahnya subur dan berada di sebelah selatan Sungai Kuning, di luar kota Lok-yang.
Dengan uangnya, Kwa Sing membeli sebidang tanah dan mendirikan sebuah pondok
sederhana, lalu mulai hidup bagai petani.
Thian Lee sudah berusia sepuluh tahun menjadi seorang anak yang tinggi tegap dan cerdas.
Pada suatu malam, Thian Lee bertanya kepada ibunya, "Ibu, sejak dulu kalau aku bertanya
kepada Ibu tentang Ayah, Ibu mengatakan bahwa Ayah telah meninggal dunia. Ha-tiku
merasa penasaran sekali, Ibu. Ibu masih muda, tentu Ayah masih muda pula. Kenapa Ayah
telah meninggal dunia di waktu masih muda? Penyakit apakah yang membuat Ayah
meninggal dunia di dalam usia muda, Ibu?"
Ditanya demikian Kwa Siang menghela napas panjang, dan ia menarik tangan puteranya, lalu
mengelus kepalanya dengan pehuh kasih sayang. "Thian Lee, engkau sekarang sudah berusia
sepuluh tahun, agaknya sudah pantas untuk me-ngetahui segalanya. Duduklah di sini,
Anakku, dan dengarkan penuturanku tentang ayahmu."
Thian Lee dtiduk di depan ibunya, wajahnya diangkat dan sepasang mata yang jernih tajam
itu friengannati wajah ibunya penuh perhatian.
"Ayahmu Song Tek Kwi, adalah seorang pendekar yang masih muda ketika dia meninggal
dunia. Dia seorang pendekar, seorang patriot sejati yang tidak dapat tinggal diam kalau terjadi
perbuat-ian sewenang-wenang dari pembesar atau siapapun juga. Ketika engkau berusia
kurang lebih setahun, pada suatu hari ayahmu pergi berkunjung ke rumah sahabatnya yang
bernama Bu Cian di dusun Teng-sia-bun dekat kota raja. Di sana ayahmu bersama Bu Cian
telah menghajar seorang pangeran yang melakukan pe-maksaan terhadap seorang gadi? yang
hendak dijadikan selir. Melihat ini, ayahmu dan sahabatnya itu tidak dapat tinggal diam dan
menghajar pangeran itu dan para pengawalnya. Peristiwa itu berakibat panjang. Pada
keesokan harinya, sejumlah pasukan menyerbu Teng-sia-bun dan membunuh Bu Cian sebagai
pemberontak," ibu muda itu berhenti dan menghela napas panjang.
"Lalu bagaimana Ibu? Apa yang terjadi kepada Ayah?"
“Mendengar akan hal itu, ayahmu mengajakku untuk melarikan diri. Aku menggendongmu
dan kita melarikan diri dari dusun Tung-si-bun. Akan tetapi di luar dusun itu, kita bertemu
rombongan perajurit. Aku dan ayahmu dikeroyok, ayahmu minta agar aku menyelamatkanmu,
maka aku lalu melarikan diri sambil menggendongmu. Aku sempat mengintai bagaimana
keadaan ayahmu." Dia mengamuk, merobohkan belasan orang akan tetapi dia sendiri roboh di
bawah hujan senjata para pengeroyok dan tewas dengan gagah perkasa, Demikianlah, Thianlee,
ayahmu tewas sebagai seorang pendekar sejati."
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 19
Jilid 2________
Thian Lee mengerutkan alisnya dan mengepal tinju yang kecil.
"Akan tetapi, Ibu. Kenapa mereka mengeroyok Ibu dan Ayah? Kenapa mereka membunuh
Ayah?"
"Karena ayahmu membantu Bu Cian ketika menghajar pangeran dan para pengawalnya.
Seperti juga Bu Cian, ayahmu dituduh sebagai pemberontak."
"Ah, akan tetapi Ayah tidak memberontak. Ayah hanya memberi hajaran kepada orang yang
memaksa seorang gadis!"
"Benar, akan tetapi sungguh tidak kebetulan sekali, orang itu adalah seorang pangeran. Jadi,
ayahmu dituduh memukul seorang pangeran, dianggap melawan pemerintah dan
memberontak."
"Ayah mati penasaran, Ibu!"
"Memang penasaran sekali, dan engkau belajarlah baik-baik agar kelak menjadi seorang
pendekar yang lihai untuk membalas dendam kematian ayahmu. Kalau bisa, basmi semua
pangeran yang ada!"
Thian Lee mengerutkan alisnya. Sekecil itu dia sudah pandai membaca dan ibunya sudah
banyak memberi dia bacaan kitab sejarah orang-orang gagah, maka dia dapat
mempertimbangkan bahwa pesan ibunya itu tidak adil.
"Akan tetapi, Ibu. Yang menjadi sebab kematian Ayah hanyalah satu orang pangeran.
Pangeran yang memaksa gadis itulah yang bersalah, dan dia yang akan kucari, bukan semua
pangeran."
"Semua pangeran adalah bangsawan Mancu, penjajah tanah air dan bangsa kita, Thian Lee.
Semua pangeran harus dibasmi dan pemerintah penjajah Mancu harus dibasmi!" kata ibunya
penuh semangat sehingga Thian Lee tidak membantah lagi.
Thian Lee meraba gelang kemala yang diikatkan di lehernya dengan tali, yang sejak dia masih
kecil selalu tergantung di lehernya. "Dan gelang ini, Ibu. Kenapa aku harus selalu
memakainya sebagai kalung? Ibu selalu hanya mengatakan bahwa ini merupakan pesan Ayah
dan aku harus selalu memakainya. Akan tetapi mengapa seorang anak laki-laki diberi gelang
kemala?"
"Hal itu pun engkau boleh mengetahui sekarang, Thian Lee. Biarpun usiamu baru sepuluh
tahun, akan tetapi aku percaya bahwa engkau telah dapat memaklumi kehendak ayahmu.
Ketahuilah bahwa gelang kemala ini adalah tanda ikatan perjodohanmu."
"Ehh? Bodoh, Ibu? Perjodohanku bagaimana maksud Ibu?"
"Thian Lee, sejak berusia satu tahuh engkau telah diikat dengan perjodohan oleh ayahmu dan
sahabatnya, yaitu mendiang Bu Cian yang mempunyai seorang anak perempuan, ketika itu
baru berusia tiga bulan. Atas persetujuan ayahmu dan Bu Cian, engkau dijodohkan dengan
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 20
anak perempuan itu, namanya Bu Cin Lan. Aku rnemiliki sepasang gelang kemala
peninggalan ibuku, sepasang gelang kemala yang serupa benar. Nah, sebuah di antara
sepasang gelang itu oleh ayahmu diberikan kepada anak Bu Cian itu sebagai pengikatan
perjodohan. Yang sebelah lagi adalah yang kaupakai itu, Thian Lee. Kelak, engkau harus
mencari tunanganmu itu. Gadis yang mempunyai gelang kemala yang persis dengan gelang
yang kaupakai sebagai kalung itulah tunanganmu."
Thian Lee tertegun. "Aihh, baru berusia setahun sudah dijodohkan?" Dia berkata lirih dan
perlahan, seperti orang tidak percaya.
"Itu adalah kehendak ayahmu, Thian Lee. Dan sudah selayaknya engkau taat kepada pesan
mendiang ayahmu kalau engkau ingin menjadi seorang anak yang berbakti. Karena itu gelang
ini kuberi tali agar dapat engkau kalungkan di lehermu sampai tiba saatnya engkau bertemu
dengan tunanganmu itu kelak setelah engkau dewasa."
Thian Lee tidak berani membantah biarpun di dalam hatinya dia merasa penasaran sekali.
Memang sudah semestinya dia mentaati pesan ayah ibunya, akan tetapi dalam hal perjodohan,
suatu perkara yang dia sama sekali tidak tahu menahu, sama sekali belum terpikirkan olehnya,
mengapa ayahnya telah memberl penentuan? Dia pun tidak mempedulikan lagi dan
melupakan urusan yang dlanggapnya tidak penting itu, Maklumlah, dia baru berusia sepuluh
tahun sama sekali belum mengerti dan tidak mau memikirkan tentang perjodohan.
* * *
Biarpun Kaisar Kian Liong melanjutkan pimpinan kakeknya yang memegang keras peraturan
dan bertindak keras ter-hadap pembesar yang menyalahgunakan kekuasaanmu, namun hal itu
hanya dapat diawasi terhadap para pembesar di kota raja saja. Terhadap perbuatan para
pembesar di luar kotaraja, apalagi para pembesar daerah, tidak dapat dilakukan pengawasan
ketat. Karena itu, tetap saja banyak pembesar dan pejabat yang bertindak sewenang-wenang,
mengandalkan kedudukan dan wewenang mereka.
Sudah menjadi kelemahan manusia pada umumnya terhadap harta kekayaan dan terhadap
kekuasaan. Mereka yang kebetulan memiliki kekuasaan, kebanyakan menjadi mabuk
kekuasaan dan menyalahgunakan wewenang untuk bertindak menuruti hasrat hati sendiri.
Mereka mencari kepuasan dan kesenangan diri pribadi dan untuk mencapai itu, mereka tidak
segan mempergunakan wewenang dan kekuasaan mereka. Maka tidaklah mengherankan
kalau seorang kepala dusun bertindak dan bersikap seperti seorang ma-haraja kecil yang
melakukan tindakan sesuka hatinya terhadap rakyat di daerah kekuasaannya. Seperti seorang
raja lalim, apa yang dikehendaki sang kepala dusun harus terlaksana.
Memang ada pula pejabat yang jujur dan adil, yang benar-benar menjadi pemimpin rakyat
yang baik, yang melakukan segala sesuatu demi kemajuan dusunnya, demi kepentingan
rakyatnya. Pamrihnya bukan untuk kesenangan diri pribadi, inelainkan memenuhi tugas
sebaiknya, yaitu sebagai kepala dusun memperhatikan kepentingan dusun dan penduduknya.
Akan tetapi dibandingkan dengan mereka yang menyalahgunakan wewenang dan
menyeleweng, jumlah mereka yang jujur dan adil sediklt sekali.
Kepala Dusun Nam-kiang-jung adalah seorang pejabat yang buruk itu. Dia memerintah
dusunnya seperti seorang raja lalim. Dan sudah menjadi ciri seorang pembesar yang tidak
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 21
baik bahwa dia selalu menjilat ke atas dan menginjak ke bawah. Bermuka-muka kepada
atasan, akan tetapi menekan dan menginjak bawahan untuk memperlihatkan kekuasaannya.
Bouw-cungcu (Lurah Bouw), demikian nama kepala dusun Nam-kiang-jung, mempunyai
tukang-tukang pukul untuk membela kepentingannya dan untuk menegakkan kekuasaannya.
Dua losin tukang pukul ini disebutnya sebagai pasukan keamanan dusun dan sebagai orang
yang berkuasa, dia mempunyai pula penjilat-penjilat yang bermuka-muka dan menjadi
anteknya untuk menyenangkan hatinya;
Pada suatu hari, ketika Bouw-cungcu sedang duduk menghisap cangklong tembakau
bercampur madat, datanglah A-keng, seorang anteknya, menghadap. A-keng tersenyumsenyum
gembira dan setelah memberi hormat dia berkata, "Selamat, Taijin, selamat!"
Bouw-cungcu memang selalu menghendaki agar orang-orang menyebutnya taijin (orang
besar), sebutan yang biasa dipakai orang terhadap seorang pembesar tinggi!
"He, apa engkau sudah gila? Aku sedang menghisap cangklong, tidak mendapat keuntungan
apa-apa dan engkau datang-datang memberi selamat. Apa-apaan ini?"
"Saya menghaturkan selamat karena dusun ini kedatangan seorang bidadari, Taijin. Dan ia
sekarang menjadi warga dusun ini. Apakah Taijin tidak menjadi girang mempunyai warga
seorang bidadari?"
"Eh? Siapa maksudmu? Katakan cepat," kata Sang Kepala Dusun penuh perhatian sampai dia
lupa menghisap cangklongnya.
"Apakah Taijin belum mendengar bahwa di ujung barat dusun itu kini tinggal seorang
penghuni baru? Seorang wanita dengan seorang anaknya?"
"Ahhh, seorang wanita dengan anaknya. Apa yang menarik? Tentu sudah tua dan ada
suaminya!"
"Wah, keliru, Taijin! Ia adalah seorang janda"
"Ah, janda tua apa artinya? Sudah beranak pula."
"Eh, sama sekali tidak tua! Bahkan kelihatan seperti gadis dua puluh tahun saja. Dan
cantiknya! Cantik, muda dan sudah janda pula! Apakah tidak menarik?"
Kini kepala dusun itu menjadi penuh perhatian dan meletakkan cangklongnya ke atas meja.
"Benarkah? Masih muda dan cantik janda itu?"
"Seperti bidadari! Tidak mungkin menemui seorang wanita secantik itu di dusun ini, bahkan
di kota pun jarang terdapat. Anaknya laki-laki baru berusia sepuluh tahun dan melihat
keadaan mereka yang sederhana, mereka tentu miskin dan mudah didapatkan, Taijin!"
"Benarkah? Ah, janda muda secantik bidadari! A-keng, cepat kau pergi kepadanya dan
katakan bahwa aku, kepala dusun di sini, akan datang berkunjung karena sebagai kepala
dusun, aku harus mengenal setiap orang penduduk baru!"
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 22
"Baik, Taijin!" kata A-keng dengan girang karena dia mengharapkan urusan ini berjalan
dengan mulus sehingga dia akan memperoleh hadiah besar dari kepala dusun yang kaya raya
itu.
"Eh, kalau sudah ke sana, cepat kembali ke sini untuk mengantar aku berkunjung”.
"Baik, Taijin!"
Tak lama kemudian A-keng sudah tiba di rumah Kwa Siang. Melihat ada orang datang
berkunjung, janda muda ini me-nyambutnya dengan ramah.
"Siapakah saudara dan ada keperluan apa denganku?" tanyanya sambil menyongsong di
depan pintu, tanpa mempersilakan tamunya masuk karena merasa tidak enak memasukkan
seorang tamu laki-laki yang tidak dikenalnya.
A-keng tersenyum dan membusungkan dadanya.
"Perkenalkan, Nyonya Aku bernama A-keng dan aku adalah pembantu kepala dusun. Bouwtaijin
mengutus aku datang menemui nyonya dan memberi tahu bahwa sebentar lagi Bouwtai-
jin akan datang berkunjung ke sini."
"Bouw-taijin? Siapa itu?"
"Kepala dusun ini."
"Ah, kepala dusun. Ada keperluan apa dia hendak berkunjung ke rumah kami?"
"Aih, Nyonya. Bouw-taijin adalah kepala dusun kami yang bijaksana dan baik hati.
Mendengar bahwa ada seorang penduduk baru, tentu saja beliau ingin sekali berkenalan dan
mengetahui keadaan warga dusunnya yang baru."
"0, begitukah? Baiklah kalau begitu, kami akan menyambut kedatangannya dengan baik."
A-keng lalu berpamit dan tak lama kemudian dia datang lagi mengiringkari seorang laki-laki
berusia kurang lebih lima puluh tahun yang bertubut tinggi kurus dan matanya liar,
senyumnya mengejek dan giginya menghitam karena terlalu banyak menghisap tembakau dan
madat. Orang ini mengenakan pakaian yang mewah dan lagaknya seperti se-orang bangsawan
tinggi. Baru melihat penampilannya saja Kwa Siang sudah me-rasa sebal, dan dari
pengalamannya ia dapat menduga bahwa orang ini tidak memiliki watak yang baik.
"Inilah beliau, kepala dusun kami, Bouw-taijin." A-keng memperkenalkan kepada Kwa
Siang."
"Ah, Bouw-cungcu (kepala Dusuh Bouw), silakan masuk dan mari silakan duduk," kata Kwa
Siang. Bagaimanapun juga, ia tinggal di dusun itu dan sudah seharusnya ia menghormati
kepala dusun.
"Heh-heh-heh, baik... baik....!" kepala dusun Bouw itu melangkah masuk sambil mengipasi
dadanya dengan sebatang kipas yang indah? "Engkau tinggal di sini dengan siapa, Nona?"
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 23
"Bouw-cungcu, saya bukan nona." kata Kwa Siang.
"Heh-heh, engkau masih pantas dise-s but nona," kata Sang Kepala Desa sambil meraba
dagunya yang berjenggot hanya beberapa helai. "Engkau masih muda dan cantik. Nah,
dengan siapa engkau tinggal di sini?"
"Saya tinggal berdua dengan anak saya."
"Di mana anakmu itu? Aku ingin melihat dan mengenalnya."
"Dia berada di belakang. Biar kupanggil dia," Kwa Siang lalu berseru memanggil anaknya
yang berada di belakang. Muncullah Thian Lee dan anak ini segera memberi hormat kepada
Sang Kepala Dusun memenuhi perintah ibunya.
"Haa, anakmu sudah besar. Berapa usianya?"
"Sepuluh tahun," jawab Kwa Siang.
"Heran, engkau nampak masih begini muda, tidak pantas mempunyai putera sebesar ini! Dan
bagaimana semuda ini sudah menjanda? Di mana suamimu?"
Kwa Siang mengerutkan alisnya. Sudah diduga sebelumnya bahwa kepala dusun ini seorang
laki-laki yang menyebalkan. Akan tetapi ia menjawab juga, "Suami saya sudah meninggal
dunia sembilan tahun yang lalu."
"Sembilan tahun menjanda?" Kepala dusun Bouw menggeleng kepalanya dan memicingkan
matanya. "Aduh kasihan sekali....! Nona, siapakah namamu?"
"Nama saya Kwa Siang dan anak saya bernama Song Thian Lee," kata ibu muda itu sambil
mengerutkan alisnya.
"Kwa Siang, suruh anakmu kebelakang dulu. Aku ingin bicara penting padamu," kata Sang
Lurah dan dia pun memberi isarat kepada A-keng agar pembantunya itu keluar dari ruangan
itu. Biarpun merasa heran, Kwa Siang lalu menyuruh puteranya ke belakang sehingga kini
mereka hanya berdua saja.
”Begini, Kwa Siang. Aku sungguh merasa kasihan sekali kepadamu. Engkau seorang janda
muda dengan seorang anak, hidupmu susah. Begitu melihatmu, aku merasa suka dan kasihan
kepadamu. Engkau dan anakmu ikut saja denganku, engkau menjadi selirku dan anakmu itu
akan menjadi anak tiriku. Bagaimana manis?"
Ucapan ini saja sudah membuat hati Kwa Siang marah sekali, apalagi kini kepala dusun itu
bangkit dari tempat du-duknya, lalu menghampirinya dan hendak merangkulnya!
Kwa Siang hampir tidak dapat menahan kemarahannya, akan tetapi ia masih mengelak dan
cepat mundur. "Cung-cu, harap jangan begitu. Aku tidak mau menjadi selirmu atau menjadi
isteri siapa pun. Aku tidak ingin menikah lagi. Harap engkau suka pergi meninggalkan rumah
ini!" Dengan marah Kwa Siang menudingkan teiunjuknya ke arah pintu.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 24
Akan tetapi kepala dusun Bouw yang tidak tahu diri itu tertawa menyeringai, "Heh-heh,
jangan menjual mahal, Kwa Siang. Aku tahu, seorang janda muda sepertimu ini tentu
merindukan seorang laki-laki. Hayolah jangan banyak lagak, nanti kubikin hidupmu makmur
dan senang!" Dan kembali kepala dusun itu menubruk hendak merangkul wanita yang
membuatnya bangkit gairahnya itu. Sekali ini Kwa Siang tidak lagi dapat menahan
kesabarannya. Melihat lurah itu menubruk dan hendak merangkulnya, ia dengan gerakan
kakinya yang mencuat ke depan.
"Dukk....!" Tubuh kepala dusun itu terjengkang menubruk kursi dan dia pun roboh. Akan
tetapi dia bangkit kembali dan kini matanya melotot, mukanya merah, telunjuknya menudingnuding.
"Kau... kau berani menolakku dan menendangku!" bentaknya dan kini dia nekat menerjang
maju hendak merangkul. Kwa Siang menggerakkan kedua tangannya dengan cepat.
"Plak! Plak'." Dan kepala dusun Bouw itu terhuyung ke belakang dua tangan memegangi
kedua pipinya yang menjadi bengkak dan membiru, nyerinya bukan kepalang, giginya terasa
seperti rontok semua.
"Aduhh... aduhhh... A-keng... tolong....!" Dia berteriak-teriak. A-keng yang tersenyumsenyurn
di bagian depan rumah itu terkejut mendengar teriakan majikannya. Dia cepat berlari
masuk dar melihat kepala dusun itu memegangi mukanya sambil mengaduh-aduh.
"Kenapa, Taijin?"
"la... ia... berani memukulku...." kepala dusun itu berkata terengah-engah.
"Heii, kenapa engkau berani memukul Bouw-taijin?" A-keng membentak dan menegur Kwa
Siang.
"Engkau pun layak dipukul!" kata Kwa Siang yang tahu benar orang macam apa adanya
penjilat ini dan tangannya sudah bergerak menampar.
"Plakk!" Tamparan itu cukup keras, membuat bibir A-keng berdarah dan dia mengaduh-aduh.
Kemudian dia menyambar tangan majikannya dan dibawa lari keluar dari rumah itu. Para
tetangga yang mendengar suara ribut-ribut segera berdatangan dan bertanya kepada Kwa
Siang apa yang telah terjadi, mengapa kepala dusun berlari keluar dari rumah itu sambil
memegangi mukanya ya.Rg bengkak-bengkak.
"Aku telah menghajarnya. Jahanam itu hendak kurang ajar kepadaku!" kata Kwa Siang
marah.
Beberapa orang tetangga menyatakan kegembiraan hati mereka bahwa ada orang yang berani
melawan kepala dusun itu. Akan tetapi seorang tetangga yang setengah tua segera berkata,
"Toanio, engkau berada dalam bahaya. Sebaiknya engkau bawa lari anakmu dari tempat ini.
Kepala dusun tentu tidak akan ting-gal diam saja!"
"Aku tidak takut. Biar dia datang lagi kalau berani, akan kuhancurkan mulutnya yang busuk!"
Kwa Siang menantang.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 25
Tiba-tiba tampak serombongan orang berlari ke tempat itu dan para tetangga segera kembali
bersembunyi di rumah masing-masing karena mereka mengenal siapa rombongan yang
datang itu. Para tukang puku! kepala dusun!
Dua losin orang tukang pukul itu telah berada di depan rumah Kwa Siang dan wanita itu pun
berdiri di depan pintu dengan sikap gagah. Thian Lee juga su-dah keluar dari belakang dan
berdiri di belakang ibunya. Anak ini memiliki keta-bahan seperti ibunya dan dia sediklt pun
tidak kelihatan takut, biarpun berhadapan dengan dua losin orang laki-laki yang nampaknya
bengis. Kepala dusun Bouw sendiri berdiri di belakang gerombolan itu dan terdengar dia
berteriak, "|1||| orangnya! Tangkap perempuan itu!"
Mendengar teriakan ini, dua lusln orang tukang pukul seperti berlomba untuk meringkus Kwa
Siang yang antik. Akan tetapi wanita ini menyambur mereka dengan pukuian dan tendangar.
Melihat ibunya mengamuk dan dikeroyok, Thian Lee hanya berdiri di pintu sambil
memandang dengan sepasang matanya terbelalak. Ibunya rnerobohkan banyak pengeroyok
dengan tamparan dar tendangan dan dia merasa bangga sekali kepada ibunya. Ibunya seorang
wanita yang gagah perkasa, pikirnya.
Akan tetapi, betapa pun lihainya Kwa Siang, menghadapi pengeroyokan dua losin orang lakilaki
yang kuat-kuat, akhirnya ia dapat diringkus setelah me-robohkan delapan orang.
"Ikat kaki tangannya, dan bawa masuk ke sini!" kata Kepala Dusun Bouw yang mendahului
masuk. Thian Lee menyelinap ke belakang pintu, memandang dengan hati khawatir melihat
ibunya kini sudah diikat kaki tangannya, lalu atas perintah kepala dusun, ibunya dilempar di
atas pembaringan di dalam kamar. Melihat ini, Thian Lee tidak dapat menahan diri lagi.
Sambil berteriak keras, dia lalu melompat maju hendak membebaskan ibunya dari ikatan.
Akan tetapi dia disambut tamparan seorang tukang pukul. Tubuh anak itu terpelanting dan
jatuh bergulingan, akan tetapi dia bangkit lagi dan kini Thian Lee mengamuk, menyerang para
tukang pukul itu. Repot juga para tukang pukul menghadapi anak laki-laki berusia sepuluh
tahun yang mengamuk seperti anak harimau itu, akan tetapi akhirnya mereka menggunakan
kekerasan dan tubuh Thian Lee menerima tendangan dan pukulan keras, membuat anak itu
terlempar ke sudut dan pingsan!
"Kalian keluarlah dan jaga di luar, aku mau membalas dendam kepada perempuan binal ini!"
kata Kepala Dusun Bouw kepada anak buahnya. Para tukang pukul itu tersenyum-senyum dan
mereka pun keluar. Semua orang melupakan Thian Lee yang sudah miring dan pingsan
disudut ruangan.
"Ha-ha-ha, perempuan liar! Inilah jadinya kalau engkau tidak menuruti kehendakku. Engkau
berani memukulku, ya? Hemm, sekarang rasakan. Aku tetap akan mendapatkan dirimu, walau
dengan kekerasan!" Setelah berkata demikian, kepala dusun itu menghampiri Kwa Siang dan
terdengar kain robek ketika dia merenggut dan merobeki pakaian yang menutupi tubuh wanita
itu.
Kwa Siang menyadari sepenuhnya bahaya apa yang mengancam dirinya. la meronta dan
berusaha melepaskan dirinya, akan tetapi ikatan pada keciua kaki tangannya itu terlampau
kuat sehingga ia tidak dapat membebaskan kaki tangannya.
"Ha-ha-ha, engkau boleh meronta-ronta, ha-ha-ha!" kepala dusun itu mengejek dan kedua
tangannya mulai menggerayangi tubuh Kwa Siang. Wanita ini tahu benar bahwa ia akan
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 26
diperkosa. la tidak akan membiarkan kehormatannya dihina, maka ketika kepala dusun itu
menundukkan mukanya untuk menciumnya, tiba-tiba ia menggerakkan kepalanya dan
sebelum kepala dusun itu menyadari apa yang terjadi, Kwa Hong telah menggigit
tenggorokannya.
Kepala Dusun Bouw meronta, akan tetapi gigitan itu makin dalam dan semakin kuat. Dia
mengeluarkan teriakan, akan tetapi karena tenggorokannya digigit, yang keluar dari mulutnya
hanya suara aneh seperti kerbau disembelih. Dia meronta dalam sekarat sehingga tubuh
mereka berdua terguling dari pembaringan ke atas lantai. Namun, gigitan Kwa Siang tidak
pernah melepaskan tenggorokan itu. Darah mulai mengycur dan tenggorokan itu robek.
Mendengar suara gedebukan dan teriakan aneh para tukang pukul menjadi curiga dan mereka
mendorong pintu ka mar. Mereka terbelalak melihat wanita yang terikat kaki tangannya itu
kini dengan pakaian terlepas semua, menggigit leher kepala usun yang berkelojotan. Seorang
tukang pukul berusaha menarik tubuh Kwa Slang darl atas tubuh kepala dusun, namun tidak
berhasil karena gigitan itu sama sekali tidak dapat dllepaskan lagi. Dengan marah seorang
tukang pukul mencabut pedangnya dan menikam Kwa Siang dari atas.
"Crapp....!" Pedang itu menembus punggung Kwa Siang. Wanita ini mengeluh, gigitannya
terlepas dan ia terpelanting miring, tak bergerak lagi. Akan tetapi ketika para tukang pukul
meme-riksa keadaan kepala dusun, mereka te-kejut karena kepala dusun juga sudah tewas
dengan kerongkongan remuk tergigit. Sekali lagi ada pedang menusuk tubuh Kwa Siang, akan
tetapi wanita ini sudah tidak bergerak lagi.
Para tukang pukul dengan cemas lalu membawa jenazah Kepala Dusun Bouw kembali ke
rumah kepala dusun itu, me-ninggalkan jenazah Kwa Siang yang telanjang di dalam lantai
kamarnya. Setelah semua tukang pukul pergi, Thian Lee siuman dari pingsannya. Dia
bergerak dan merasa betapa tubuhnya sakit-sakit akibat tendangan dan pukulan tadi. Akan
tetapi begitu teringat kepada ibunya, dia dapat bangkit dan berseru, "Ibu....!" dan dia lari ke
dalam kamar mereka di mana tadi ibunya dilempar ke atas pembaringan. Dan dia terbelalak!
Ibunya sudah menggeletak miring di atas lantai, mandi darah dan dengan tubuh tanpa pakaian,
kaki tangan masih terikat.
"Ibuuuu....!" Dia menjerit-jerit dan memeluki tubuh ibunya yang masih hangat. Melihat
ibunya telanjang bulat, dia lalu menyambar sehelai selimut dan menutupi tubuh itu dengan
selimut sambil menangis.
Tetangga berdatangan dan mereka merasa ngeri melihat Kwa Siang sudah tewas mandi darah.
Akan tetapi di antara mereka tadi ada yang mengintai dari dalam rumah dan melihat betapa
Kepala Dusun Bouw digotong oleh para tukang a pukulnya. Tetangga tua yang tadi
menganjurkan Kwa Siang melarikan diri, kini mendekati Thian Lee.
"Anak yang baik, percayalah nasihatku. Mereka tentu akan kembali dan nyawamu berada
dalam bahaya. Kalau mereka melihat engkau masih hidup, tentu mereka akan mengejar dw
membunuhmu.
Mungkin ibumu telah membunuh kepala Dusun Bouw, dan mereka tentu tidak mau sudah
begitu saja. Pergilah, Nak. Pergilah cepat meninggalkan dusun ini dan bersembunyilah."
"Tapi... tapi, Paman. Jenazah Ibuku..." Thian Lee berkata dengan sedih sekali.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 27
"Jangan khawatir, Nak. Jenazah ibumu akan kami urus dan kami kuburkan dengan baik.
Sekarang pergilah cepat sebelum terlambat."
Para tetangga yang lain juga membujuk agar Thian Lee cepat melarikan diri. Akhirnya anak
itu membawa buntal-an pakaiannya dan setelah berulang kali dia menubruk dan menangisi
ibunya, akhirnya mereka berhasil membujuknya pergi melarikan diri keluar dari dusun Namkiang-
jung. Dia keluar dari pintu gerbang dusun sebelah selatan dan terus memasuki sebuah
hutan di luar dusun itu.
Bajunya sudah robek-robek dan sepatunya juga berlubang dipakal melarikan diri menyusupnyusup
ke dalam hutan. Napasnya terangah-engah, akan tetapi Thian Lee tidak berani
berhenti. Dia mendengar suara banyak orang mengejarnya! Akhirnya dia menembus hutan itu
a dan tiba di padang rumput, akan tetapi para pengejarnya masih terus berada di belakangnya.
Bahkan setelah kini dia keluar dari dalam hutan, dia dapat terlihat oleh para pengejarnya.
Belasan orang kelihatan mengejarnya dan rnereka itu adalah para tukang pukul tadi. Benar
seperti dikhawatirkan kakek yang tetang-ganya itu, tak lama setelah dia melarikan diri, para
tukang pukul itu menda-tangi rumah ibunya dan menanyakan di mana adanya anak laki-laki
tadi. Semua tetangga menyatakan tidak tahu dan mereka lalu melakukan pengejaran.
Thian Lee yang menggendong buntalan itu tiba-tiba kehilangan akal lagi ketika di depannya
terhalang oleh sebuah anak sungai. Dia tidak dapat lari lagi dan para pengejarnya sudah
semakin dekat. Biar aku melawan mereka, demikian dia me-ngambil keputusan nekat. Biar
aku mengamuk membalaskan kematian Ibu, dan kalau perlu aku mati menyusul Ibu!
Tujuh belas orang tukang pukul itu segera mengepung ketika melihat anak yang mereka kejarkejar
itu kini berdiri tegak dengan sikap gagah, sama sekali tidak kelihatan takut, pakaiannya
robek-robek dan napasnya terengah-engah, kedua tangannya mengepal tinju!
"Nah, ini dia! Ini anak siluman itu!" terdengar seorang di antara mereka ber-seru.
Mendengar ibunya disebut siluman, Thian Lee marah. "Ibuku bukan siluman! Kalian adalah
iblis-iblis yang keji dan jahat!" katanya dan dia segera mengamuk, menyerang mereka yang
terdekat dengan pukulan-pukulannya. Biarpun baru berusia sepuluh tahun, akan tetapi sejak
berusia lima tahun dia sudah mempelajari ilmu silat dari ibunya, maka biarpun baru berusia
sepuluh tahun, gerakannya cukup gesit dan pukulannya juga mengan-dung tenaga. Seorang di
antara tukang-tukang pukul itu memandang rendah. Ketika Thian Lee memukul, cepat dia
menangkap lengan anak yang memukul itu. Akan tetapi dengan cepat sekali Thian Lee
memutar lengannya dan kaki-nya menendang, mengenal lutut orang itu. Orang itu terkejut
kesakitan dan membungkuk, akan tetapi dagunya. bertemu dengan pukulan tangan Thian Lee
sehingga dia terjengkang! Teman-temannya menjadi marah dan mereka lalu mengeroyok
anak itu tanpa malu-malu lagi dan tubuh Thian Lee menjadi semacam bola di antara mereka
yang menendang dan memukulinya.
Pada saat itu, seorang di antara mereka sudah mengangkat goloknya ke atas. "Lepaskan dia,
biar kuhabiskan riwayatnya!" katanya sambil mengayun golok. Akan tetapi tiba-tiba terdengar
teriakan mengerikan dan Si Pemegang Golok itu terjengkang roboh jan tewas seketika dengan
dahi ditembus sebatang ranting yang meluncur seperti anak panah!
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 28
Tentu saja para pengeroyok menjadi terkejut sekali. Tiba-tiba terdengar suara orang,
"Siancai... belasan ekor anjing srigala mengeroyok seekor harimau yang masih kecil. Sungguh
tidak tahu malu!"
Para pengeroyok cepat membalikkan tubuhnya dan mereka melihat seorang kakek yang
usianya tentu sudah lewat enam puluh tahun berdiri dl situ. Melihat pakaiannya dan
rambutnya yang digelung ke atas, mudah diketahui bahwa kakek ini seorang tosu. Pada waktu
itu, para pendeta Agama To ini tidak dihargai oleh pemerintah. Kaisar dan Pemerintah Mancu
lebih menghargai para hwesio dan mengembangkan ajaran Nabi Khongcu, sehingga para tosu
yang dianggap sebagai dukun klenik menjadi tersisih. Karena itu, para tukang pukul juga
tidak menghargai pendeta berjubah kuning itu, apa-lagi mereka melihat $eorang kawannya
tewas.
"Siapa engkau? Berani engkau mem-bunuh seorang kawan kami!" bentak pemimpin
rombongan tukang pukul itu.
"Kalian tidak cukup berharga untuk mengetahui siapa pinto, akan tetapi kalau kalian
melanjutkan pengeroyokan terhadap anak itu, kalian semua akan mati di tangan pinto."
Ucapan tosu itu memandang rendah sekali dan mulutnya tersenyum mengejek, sikapnya
angkuh sekali.
Jumlah para tukang pukul itu masih ada enam belas orang. Tentu saja mereka tidak gentar
menghadapi seorang tosu tua yang tubuhnya nampak loyo.
"Engkau yang sudah bosan hidup!" teriak seorang di antara mereka dan dengan golok di
tangan dia menerjang ke arah tosu itu. Akan tetapi, belum sempat golok dibacokkan, tosu itu
menggerakkan tangannya mendorong dan orang itu ter-jengkang roboh dan tidak dapat
bangkit kembali. Kini para tukang pukul menjadi marah dan mereka serentak maju
menghujankan senjata mereka. Akan tetapi, begitu kakek itu menggerakkan kedua tangannya
secarc berturut-turut, berja-tuhanlah para pe igeroyok. Dalam waktu singkat saja enam orang
telah roboh dan tidak mampu, bergerak lagi.. Melihat ini, sisanya menjadi gentar dan
melarikan diri tunggang-langgang seperti melihat setan!
Thian Lee sudah setengah mati keadaannya. Akan tetapi dia nnasih mampu merangkak
menghampiri tosu itu dan menjatuhkan diri berlutut di depannya. "Terima kasih,
Locianpwe...." katanya lemah.
Tosu itu menundukkan muka memandang anak itu. Sinar matanya menyatakan
kekagumannya. "Engkau mau ikut pinto?"
Thian Lee hampir tidak kuat bicara. Tubuhnya nyeri dari kepala sampai ke kaki dan
tenaganya habis. Akan tetapi dia cepat memberi hormat sambil berlu-tut dan menganggukanggukkan
kepalanya.
"Hayo ikuti pinto!" Setelah berkata demikian, tosu itu lalu berjalan pergi. Thian Lee
mengerahkan seluruh tenaga-nya, bangkit berdiri dan mengikuti kakek itu. Beberapa kali dia
tersaruk dan terjungkal jatuh, akan tetapi dia mengeras-kan hatinya, bangkit lagi dan
melangkah lagi di belakang kakek itu. Hanya dengan menggunakan kemauan yang nekat
sajalah anak itu. dapat bertahan untuk mengikuti tosu itu. Dan tosu itu pun terus melang-kah,
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 29
menengok satu kali pun tidak, seolah dia sudah melupakan bahwa ada anak yang
mengikutinya!
Thlan Lee melangkah terus, mengepal kedua tinju dan menggigit bibirnya agar tidak keluar
keluhan dari mulutnya. Akan tetapi ketahanan tubuh ada batasnya dan akhirnya dia pun
terguling roboh dalam keadaan pingsan!
Thian Lee merasa betapa ada getaran hebat yang terasa hangat memasuki tubuhnya. Dia
membuka matanya dan men-dapatkan dirinya sedang rebah telentang dan tosu itu duduk
bersila di dekatnya, tangan kanan tosu itu menempel di da-danya dan dari telapak tangan
itulah masuknya getaran hangat itu. Getaran itu berputar-putar di seluruh tubuhnya, lalu
berkumpul di pusarnya dan menghilang ketika tosu itu mengangkat ta-ngannya. Dia
tersenyum ketika melihat anak itu sudah membuka matanya.
"Sudah hilang lelahmu?" tanyanya sambil bangkit berdiri. Thian Lee merasakan tubuhnya
segera dan biarpun kelelahan itu masih terasa, namun dia menguatkan dirinya dan bangkit
berdiri. Dipandangnya kakek itu dan tahulah dia bahwa kakek itu adalah seorang sakti seperti
yang dia sering mendengar penu-turan ibunya tentang orang-orang sakti di dunia persilatan.
Maka, tanpa ragu lagi karena kakek itu juga sudah menyelarnat-kan nyawanya, dia lalu
menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki orang tua
"Locianpwe, saya mohon diterima menjadi murid Locianpwe."
Orang tua itu tersenyum mengejek, "Hemm, tidak mudah begitu saja untuk menjadi murid
Liok-te Lo-mo (Iblis Bumi) yang selamanya belum pernah mernpunyai murid."
"Locianpwe, saya akan menaatisemua petunjuk Locianpwe, akan melakukan apa saja yang
locianpwe perintahkan dan akan menjadi murid yang taat dan rajin."
"Siapa namamu?"
"Nama saya Song Thian Lee."
"Di mana orang tuamu?"
"Ayah meninggal dunia sembilan tahun yang lalu dan Ibu... Ibu... baru tadi pagi Ibu...
meninggal dunia...." Thian Lee menelan tangisnya ketika teringat akan ibunya. Terbayang
dalam benaknya tubuh ibunya yang terikat kaki tangannya, telanjang bulat, rebah miring
mandi darah dan tak bernyawa lagi di lantai kamar mereka di pondok baru yang sederhaa itu.
"Bagaimana ibumu mati?"
"Dibunuh oleh jahanam-jahanam tadi Locianpwe," kata Thian Lee sambil mengepal tinjunya.
"Baru tadi ibumu mati dan sekarang engkau hendak turut dengan pinto menjadi murid pinto?
Bagus, bagus! Memang tidak perlu lagi menyusahkan yang sudah mati, apalagi matinya
ibumu karena kesalahannya sendiri. Kalau ia pandai menjaga diri, tentu ia akan dapat
melawan dan rnengalahkan semua anjing tadi. Orang hidup harus pandai menjage diri dan
mengalahkan semua tantangan yang datang. Kalau kalah dan mati, yaitu sudah salahnya
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 30
sendiri," kata tosu itu tanpa perasaan kasihan sedikit pun. "Dan kalau engkau ingin menjadi
muridku, pertama kali engkau harus pantang menangis dan berduka. Mengerti?"
Bukan main girangnya hati Thian Lee. Biarpun dia harus menelan semua kedukaannya, akan
tetapi jawaban kakek itu menunjukkan bahwa dia diterima menjadi murid. Dia lalu memberi
hormat sambil berlutut. "Teecu (murid) mengerti, Suhu, dan teecu akan menaatinya."
"Bagus, kalau begitu, ikuti pinto."
Kembali kakek itu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Bergegas Thian Lee
mengambil buntalan pakaiannya, menggendongnya dan mengikuti gurunya pergi
meninggalkan tempat itu.
Mereka tiba di tepi Sungai Kuning dan gurunya melihat seorang yang berperahu. Perahu itu
kecil saja dan orang itu agaknya seorang nelayan. Gurunya berteriak memanggil dan
menggapaikan tangannya. Si Nelayan Tua mendayung perahunya ke tepi.
"Ada apakah, Totiang?" tanya nelayan itu setelah dia mendar'at dan menarik tali perahunya ke
tepi.
Tosu yang tadi mengaku bernama Liok-te Lo-mo itu berkata, "Pinto ingin meminjam
perahumu untuk menyeberangi sungai."
"Ah, mana bisa, Totiang? Aku akan mempergunakannya untuk mencari ikan!" bantah nelayan
itu sambil menggeleng kepala.
"Kau tidak dapat membantah!" kata tosu itu sambil menghampiri dan sekali tangannya
bergerak, nelayan tua itu roboh tertotok. "Nanti kau boleh ambil kembali perahumu di
seberang sana! Ha-yo Thian Lee, kita naik perahu."
Diam-diam Thian Lee. merasa terkejut dan tidak senang melihat cara gurunya meminjam
perahu, akan tetapi dia tidak berani membantah, hanya merasa kasihan kepada nelayan tua itu
yang hanya dapat memandang dengan mata terbelalak. Guru dan muri itu naik perahu dan
ketika tosu itu nienggerakkan dayungnya perahu meluncur cepat sekali.
Thian Lee duduk termenung di dalam perahunya, diam-diam memikirkan tentang gurunya.
Teringat olehnya betapa dengan mudahnya tosu itu merobohkan dan membunuhi tukangtukang
pukul dusun itu, kemudian betapa tosu itu dengan kejinya merampas perahu dari
nelayan tua. Tentu saja dia merasa tidak setuju sama sekali dan bertanya-tanya, orang macam
apa gurunya ini. Memang kesaktiannya tidak perlu disangsikan lagi, akan tetapi sikap dan
tindakannya sungguh luar biasa, bahkan kejam. Biarlah, kemu-dian dia mengambil keputusan,
aku ikut dia untuk belajar ilmu silat, bukan mencontoh perbuatannya yang tidak benar.
Setelah tiba di seberang, tosu itu meninggalkan perahu begitu saja di daratan dan karena hari
telah berganti malam, tosu itu mengajak Thian Lee untuk melewatkan malam di sebuah kuil ,
tua kosong yang berada di tepi sungai. Tosu itu memberikan beberapa keping uang kepada
Thian Lee sambil berkata lembut,
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 31
"Di sebelah utara, tak jauh dari sini terdapat sebuah dusun. Pergi kau ke sana dan cari
makanan untuk makan malam. Dan ini tempat arakku sudah kosong, beli dan isilah sampai
penuh." Tosu itu menyerahkan sebuah guci arak yang kosong.
"Makanan apakah yang Suhu inginKan? Maksudku, apakah Suhu juga makan daging?"
"Tentu saja, aku tidak pantang makan apa pun!" kata tosu itu sambll tertawa.
Thian Lee membawa uang dan guci arak itu, lalu berjalan cepat menuju ke utara. Benar saja,
tak lama kemudian tibalah dia di sebuah dusun nelayan. Dari para nelayan itu dia dapat
membeli dua ekor ikan yang sebesar betisnya, juga garam dan bumbu, lalu dari sebuah kedai
minuman kecil, dia membeli arak dan mengisi guci gurunya dengan arak sampai penuh.
Kemudian, bergegas dia kembali ke kuil itu.
Gurunya girang sekali melihat gucinya penuh arak. Dia mencicipi araknya dan menganggukangguk.
"Arak yang cukup baik! Dan apa yang kaubeli itu? Bagai-mana memasaknya Kita
tidak mempunyai prabot masak Tosu itu menceia.
"Teecu sudah membeli garam dan bumbu, dan teecu akan membakar ikan ini menjadi ikan
panggang."
"Bagus kalau begitu. Engkau pandai juga! Cepat, perutku sudah lapar."
Thian Lee mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun. Kemudian Liok-te Lo-mo
memberinya sebuah pisau belati dan dia lalu membersihkan dua ekor ikan itu, memberinya
bumbu dan garam dan tak lama kemudian dia sudah memanggang ikan itu di atas api. Bau
sedap ikan panggang itu membuat perut Liok-te Lo-mo berkeruyuk dan diam-diam dia merasa
sehang kepada Thian Lee. Muridnya itu agaknya seorang anak yang pintar, rajin dan penuh
akal. Setelah dua ekor ikan itu matang, Liok-te Lo-mo makan daglng ikan sambil minum arak.
Dua ekor ikan itu cukup besar sehingga dagingnya cukup untuk dimakan mereka berdua.
Kemudian inereka mengaso. Tosu itu tidak merebahkan diri, melainkan duduk bersila dan
agaknya dia tidur sambil bersila. Thian Lee tidur sannbil rebah miring, akan tetapi hanya
setengah tidur karena dla harus menjaga agar api unggun tidak padam dengan selalu
menambahkan kayu kering. Udara amat dingin-nya dan hanya dengan adanya api unggun
yang besar maka hawa menjadi hangat dan nyaman.
Lewat tengah malam, ketika Thian Lee kembali bangun untuk menambah kayu kering pada
api unggun sehinggc api unggun membesar kembali, tiba-tiba dia melihat beberapa bayangan
orang berkelebat di luar kuil. Thlan Lee menjadi kaget dan heran sekali. Apakah para jagoan
itu mengejarnya sampai ke tempat ini? Dia menoleh kepada suhunya. Suhunya masih duduk
bersila kembali memejamkan matanya. Tidurkah suhunya? Dia tldak berani mengganggunya
walau-pun ingin dia memberi tahu tentang bayangan-bayangan orang itu. Dia tidak rebah
tidur lagi melainkan duduk di dekat api unggun, memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Tiba-tiba sesosok bayangan hitam meloncat dan tahu-tahu di depan pintu kuil itu berdiri
seorang yang berpakaiarrB serba hitam dan mengenakan kedok hitam dari kain pula. Tangan
kanannya memegang sebatang golok yang berkilauan. Melihat ini, Thian Lee cepat
mengambil sebatang kayu yang ujungnya sedang terbakar menyala, lalu dia melontarkan kayu
berapi itu ke arah orang berpakaian serba hitam itu. Akan tetapi orang itu menangkis dengan
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 32
goloknya dan kayu berapi itu terbacok putus dan apinya padam. Lalu orang itu menggerakkan
tangan kirinya. Sinar-sinar hitam menyambar ke arah tubuh Liok-te Lo-mo yang masih duduk
bersila. Tosu itu yangt nampaknya tidur sambil bersila, tiba-tiba menggerakkan kedua tangan
dan dia sudah menangkap empat batang paku dalam jepitan jari-jari tangannya! Kemudian,
tanpa menengok sedikit pun, dia menggerakkan kedua tangannya berulang kali. Thian Lee
melihat bayangan hitam di depan pintu itu terpelanti.ng dan ter-dengar suara gedobrakan dan
mengaduh di jendela yang terbuka dan di pintu belakang. Kiranya suhunya telah menyerang,
bukan saja orang yang berada di depan pintu, akan tetapi agaknya ada pula orang-orang lain
di pintu belakang dan jendela. Setelah itu lalu sunyi, hanya terdengar langkah kaki yang berat
meninggalkan kuil.
Thian Lee menoleh dan melihat suhunya masih seperti tadi, bersila dengan kedua mata
terpejam. Bukan main rasa kagum dan heran rasa hati Thian Lee. Dalam keadaan bersila
dengan mata terpejam, tanpa menggerakkan kaki, hanya dengan gerakan tangan, suhunya
telah berhasil mengusir beberapa orang musuh yang agaknya datang untuk melakukan
pembunuhan!
Malam itu lewat tanpa ada peristiwa apa-apa lagi. Liok-te Lo-mo membuka matanya dan
bangkit berdiri, seperti tidak pernah terjadi sesuatu semalam.
"Di belakang kuil itu terdapat sebuah sumber mata air, kita dapat membersihkan tubuh di
sana, Thian Lee," kata Liok-te Lo-mo sambil melangkahkan kakinya menuju ke belakang kuil
diikuti oleh Thian Lee.
Air itu jernih dan dinginnya bukan main. Sampai menggigil Thian Lee ketika mencuci
mukanya di situ. Akan tetapi gurunya mandi dan membenamkan kepala di dalam air yang
merupakan kolam kecil itu. Sedikit pun gurunya tidak kelihatan kedinginan. Mereka
menlnggalkan mata air itu dalam keadaan segar.
Setelah mereka berjalan lagi, Thian Lee menggendong buntalan pakaiannya yang disatukan
dengan pakaian bekal milik gurunya, anak itu memberanikan dirinya bertanya, "Suhu
peristiwa semalam itu...."
"Hemm, hanya beberapa ekor anjing yang mengganggu. Akan tetapi kepalanya tentu akan
muncul. Engkau diam sajalah dan jangan melakukan sesuatu kalau mereka muncul nanti.
Bagimu, nnereka itu berbahaya sekali."
Thian Lee tidak berani bertanya lagi akan tetapi jantunp'iya berdebar tegang. Agaknya dengan
menjadi murid tosu ini, dia telah terjun ke dalam keadaan yang penuh dengan pertentangan
dan bahaya seperti yang belum pernah dia alami sebelumnya. Gurunya ini orang sakti yang
anek, wataknya sukar ditebak. Yang jelas dia lihai sekali seperti telah dibuktikan ketika
menghajar para tukang pukul dusun Nam-kiang-jung dan ketika semalam mengusir
penyerang-penyerang gelap tanpa membuka mata dan tanpa menggerakkan tubuh, hanya
kedua tangannya saja yang seperti menangkap sinar-sinar hitam lalu bergerak melontarkan
sesuatu ke segala jurusan! Diam-diam Thian Lee merasa gembira sekali. Dia tentu akan
banyak menyaksikan pertandingan yang seru dan menyaksikan lebih lanjut kelihaian gurunya
itu.
Mereka mendaki sebuah bukit. Ketika tiba di lereng bukit, di sebuah tanah datar penuh batu
gunung yang besar-besar, tiba-tiba saja muncul dua puluh orang lebih yang dipimpin oleh
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 33
seorang yang tubuhnya pendek gemuk sehingga nampaknya bulat. Dua puluh lebih orang itu
berpakaian serba hitam, akan tetapi tidak memakai kedok kain seperti orang semalaman.
Pemimpin mereka itu pun mengenakan pakaian serba hitam, rambutnya yang dikuncir tebal
itu digulung ke atas dan ditutup dengan topi kain, juga hitam. Orang ini berusia kurang lebih
lima puluh tahun dan semua ang-gauta tubuh orang ini nampaknya bulat. Matanya,
hidungnya, mukanya dan mulutnya, semua serba bundar dan tubuhnya yang pendek gemuk
itu nampak kuat sekali. Di punggungnya yang pendek tergantung sebatang pedang.
"Liok-te Lo-mo!" bentak Si Gemuk Pendek. "Akhirnya kami dapat menemukan kau di sini.
Tentu engkau tahu mengapa kami menghadangmu!"
"Siancai, kiranya kalian dari Hek-i-pang (Perkumpulan Baju Hitam) yang semalam mencoba
untuk mengganggu pinto di kuil tua? Ha-ha-ha, agaknya kalian sudah bosan hidup."
"Liok-te Lo-mo, engkau telah mem-bunuh adikku dan merampas sekantung emas darinya.
Aku, Hek-i-pangcu (Ketua Hek-i-pang) Lauw Ki Seng tidak dapat membiarkannya begitu
saja. Engkau harus menyerahkan kembali sekantung emas itu berikut nyawamu!"
"Ha-ha-ha, seperti engkau tidak tahu saja peraturan di dunia kang-ouw. Dalam
memperebutkan sesuatu, dia yang lebih kuat tentu yang menang dan berhak mendapatkan.
Ha-ha-ha, engkau hendak merebut sekantung emas itu? Boleh, boleh!" Liok-te Lo-mo lalu
mengambil sebuah kantung dari dalam buntalan yang digendong Thian Lee lalu melemparkan
kantung itu ke atas tanah. "Inikah yang hendak kaurebut? Boleh, asal engkau dapat
mengalahkan pinto, seperti peraturan dalam dunia kang-ouw kita. Nah, siapa yang berani
mengambil kantung itu, ambillah!"
Melihat kantung yang dijadikan rebutan itu, Lauw Ki Seng terbelalak. Lalu dia memberi isarat
anggukan kepala ke-pada dua orang pembantunya. Dua orang pembantu itu lalu menubruk
maju untuk mengamil kantung itu sedangkan Lauw Ki Seng mencabut pedangnya lalu
menyerang Liok-te Lo-mo!
Entah dari mana datangnya, mungkin diambilnya dari balik jubahnya yang pan-jang, tahutahu
Liok-te Lo-mo telah memegang sebatang pedang dan pedang itu menangkis bacokan
Lauw Ki Seng dengan amat kerasnya sehingga pedang Ketua Hek-i-pang itu terpental. Dan
pada saat itu juga, kaki Liok-te Lo-mo bergerak dua kali dan dua orang pembantu yang
menubruk untuk merampas kantung emas itu terjengkang ke belakang. "Ha-ha-ha, tidak
mudah untuk merampas kantung ini dari tangan pinto!" kata Liok-te Lo-mo sambil tertawa
dan dia sudah menyimpan kantung itu ke dalam saku jubahnya yang lebar, kemudian sekali
tangannya bergerak, pedangnya juga sudah lenyap ke balik jubahnya.
Akan tetapi, Liok-te Lo-mo tidak memperhitungkan kecerdikan ketua Hek-i-pang itu. Dengan
isaratnya, tiba-tiba empat orang anak buahnya telah menu-bruk dan menangkap Thian Lee.
Bocah ini berusaha melawan, memukul dan menendang, akan tetapi dia tidak mampu
melawan empat orang yang bertubuh kuat itu dan dia segera dapat diringkus.
Kini Si Pendek Gendut itu tertawa bergelak, "Ha-ha-ha, Liok-te Lo-mo Aku tidak percaya
bahwa hanya untuk sekantung emas engkau akan nnembiarkan muridmu ini terbunuh.
Serahkan kantung emas itu kalau engkau tidak menghendaki muridmu kupenggal lehernya'"
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 34
Thian Lee yang sudah diringkus mengharapkan agar suhunya menyerahkan? sekantung emas
itu untuk menyelamatkannya, demikian pula Lauw Ki Seng sudah merasa yakin bahwa dia
akan dapat memaksa musuhnya menyerahkan sekantung emas itu kembali kepadanya.
Kantung emas itu adalah hasil pencurian adiknya yang terkenal sebagai seorang pencuri yang
pandai. Akan tetapi pada malam itu, setelah berhasil mencuri emas, adiknya bertemu dengan
Liok-te Lo-mo dan dalam perebutan emas itu adiknya terluka parah dan sebelum mati adiknya
memberi tahu bahwa yang melu-kainya dan merampas kantung emasnya adalah Liok-te Lomo.
Kini dia yakin tosu itu akan mengembalikan emas itu demi menyelamatkan muridnya.
Akan tetapi baik Thian Lee maupun Ketua Hek-i-pang itu kecelik dan mereka memandang
heran ketika melihat tosu itu tertawa mengejek,
"Heh-heh-heh, seratus kali kalian boleh membunuh anak itu, pinto tidak merasa rugi apa pun!
Akan tetapi karena kalian telah berani mengancan pinto, kalau anak itu dibunuh, kaliar semua
akan mampus di tanganku, tak seorang pun akan tinggal hidup! Hek-pangcu, engkau adalah
seorang gagah, terkenal sebagai Ketua Hek-i-pang, apakah engkau tidak memiliki keberanian
untuk mem-perebutkan kantung emas ini dengan pinto? Mari kita bertanding satu lawan satu
dan pinto akan menghadapimu dengan tangan kosong. Kalau pinto kalah, pinto akan
menyerahkan sekantung emas ini, sebaliknya kalau engkau yang kalah, engkau harus
melepaskan anak itu. Nah, beranikah engkau menyambut tantanganku!"
Ditantang di depan para anak buahnya seperti itu, tentu saja Lauw Ki Seng sebagai Ketua
Hek-i-pang merasa malu dan tidak enak kalau menolak. Menolak beracti mengaku kalah dan
menyatakan takut, padahal dla pun terkenal sebagai seorang jagoan yang selama beberapa
tahun menjadi Ketua Hek-i-pang belum pernah bertemu tanding. Apalagi tosu itu
menantangnya untuk melawan dengan tangan kosong! Betapa sombongnya! Dan dia memiliki
ilmu pedang yang disebut Liu-kong-kiam-sut (Ilmu Pedang Sinar Kilat)!
"Baik, dan engkau tidak akan mampu ingkar janji!" bentaknya dan tiba-tiba saja dia sudah
menyerang dengan pedangnya. Serangan ini saja sudah menunjukkan bahwa Ketua Hek-ipang
itu ada-lah seorang yang licik. Serangan men-dadak tanpa peringatan lagi seperti
layaknya orang yang mengadu ilmu silat. Biasanya dalam suatu pertandingan silat, dia yang
mulal menyerang akan menge-luarkan ucapan yang sifatnya memper-ingatkan dan sebagai
pembukaan serangan. Akan tetapi Lauw Ki Seng langsung menyerang menyambung katakatanya
dan serangannya memang dahsyat. Sesuai dengan nama ilmu pedangnya "Sinar Kilat!"
pedang itu menyambar dengan cepat sekali sehingga yang nampak hanya si-narnya saja
yang berkilat. Kilat itu me-nyambar ke arah dada Liok-te Lo-mo.
Akan tetapi jauh sebelum Ketua Hek-i-pang itu menyerang, Liok-te Lo-mo su-dah dapat
menduganya dan sejak tadi dia sudah waspada. Maka begitu sinar pedang itu menyambar
dengan tusukan ke arah dadanya, dia dapat mengelak dengan miringkan tubuhnya dan dengan
tangan terbuka dia menepiskan pedang itu se-hingga tusukan itu luput. Tangan yang menepis
pedang itu berputar menjadi cengkeraman ke arah pergelangan tangan yang memegang
pedang, sedangkan ta-ngan kiri mencengkeram dari atas ke arah kepala Lauw Ki Seng.
Gerakan ini serba otomatis dan cepatnya bukan main.
Lauw Ki Seng merasa terkejut sekali. Tadi dia menyerang, malah kini berbalik dia
menghadapi serangan pada pergelangan tangan dan kepalanya!
"Heiiit....!" Dia membentak sambil anelompat jauh ke belakang sambil memutar pedangnya
untuk melindungi tubuhnya. Kemudian, dia menerjang ke depan lagi dengan penyerangan
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 35
yang lebih dahsyat. Kini pedang itu menyambar-nyambar untuk membabat ke arah lawan.
Namun, dengan ringannya tubuh tosu itu bergerak dan berkelebatan di antara sambaran sinar
pedang. Gerakan tosu itu sedemikian cepatnya sehingga betapapun ketua Hek-i-pang itu
mempercepat serangannya, pedangnya tldak pernah dapat menyentuh tubuh tosu itu. Bahkan
tosu itu dapat pula membalas serangan yang tidak kalah hebatnya. Setiap tamparan atau
tendangan tosu itu, kalau mengenai sasaran, tentu akan merobohkan lawan.
Mulailah Ketua Hek-i-pang menjadi terkejut sekali. Pantas saja adiknya tewas di tangan tosu
ini, kiranya memang tosu ini seorang yang amat tangguh. Dia mengeluarkan seruan keras lagi.
"Aaaattt...." Dan tubuhnya merendah, pedangnya menyambar ke arah kedua kaki tosu itu,
Liok-te Lo-mo meloncat ke atas membiarkan pedang lewat di bawah kakinya. Ketika kedua
kakinyaa turun, lawan telah menyerangnya dengantusukan pedang ke arah dadanya. Dia
mengelak ke samping sambil memutar tubuh dan tusukan itu kembali telah mengejarnya
dengan tusukan berikutnya, demikian cepatnya pedang bergerak sehingga tosu itu tidak
sempat lagi nam-paknya untuk menghindarkan diri. Akan tetapi dia masih memiringkan
tubuhnya dan pedang itu lewat di dekat dada. Liok-te Lo-mo menggerakkan lengannya
menJepit pedang itu di bawah ketiaknya dan tangannya terjulur ke depan seperti seekor ular,
tahu-tahu jari tangannya mencengkeram ke arah tangan Jawan yang memegang pedang!
"Ahhh....!" Lauw Ki Seng terkejutt sekali. Tadi ketika pedangnya terjepit lengan dan dada, dia
sudah girang sekal! karena pedangnya yang tajam tentu dapat, dia gerakan untuk melukai
dada dan lengan itu, akan tetapi tidak disangka-sangkanya tangan lawan telah menyan-cam
tangannya yang memegang pedang. Untuk menolong tangannya, tangan kirinya menangkisan
tetapi pada saat itu, tangan kiri Liok-te Lo-mo telah memukulnya dengan tangan terbuka.
“Desss....!" dorongan tangan kiri itu sempat mengenai dada Lauw Ki Seng. Ketua Hek-i-pang
ini merasa dadanya seperti dihantam palu godam yang amat kuat. Dia terlempar ke belakang
dan terpaksa melepaskan pedangnya yang tertinggal dalam jepitan ketiak lawan! Dia jatuh
terjengkang dengan keras dan dadanya terasa sesak sehingga napasnya terengah-engah.
Semua anak buahnya memandang terbelalak seolah tidak percaya akan pandang mata sendiri.
Pimpinan mereka yang mereka banggakan itu, dengan ber-senjata pedang, kalah sedemikian
mudah-nya oleh tosu itu yang bertangan kosong!
Lauw Ki Seng juga tahu diri. Dia maklum bahwa lawannya itu lihai sekali dan tosu itu pun
tidak peduli kalau dia membunuh muridnya. Akan tetapi kalau dia membunuh muridnya yang
tidak ada gunanya itu, tentu mereka semua akan dibasmi dan dibunuh oleh tosu itu dan inl
bukan sekedar gertakan kosong. Dengan ilmu kepandaiannya yang setinggi itu, bukan hal
yang mustahil kalau mereka semua akan dapat terbunuh olehnya.
"Lepaskan anak itu!" katanya dengan napas terengah. Para anak buahnya membebaskan Thian
Lee yang segera menghampiri suhunya.
"Heh-heh-heh, engkau baru mengenal kelihaianku'" kata Liok-te Lo-mo sambil memegang
pedang yang tadi terjepit di ketiaknya. Kemudian sambil melontarkan pedang itu kepada
pemiliknya dia berka-ta, "Nih, pinto kembalikan pedangmu!" Lontaran itu kuat sekali dan
pedanp me-luncur bagaikan anak panah cepatnya. Lauw Ki Seng yang masih terengah-engah
itu mencoba untuk menghindarkan diri-nya, namun tetap saja pahanya ter usuk pedangnya
sendiri sampai tembus dan dia pun roboh lagi' Darah mengaJir dari pa-hanya membasahi
celananya dan ketua itu merintih kesakitan.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 36
"Heh-heh-ha-ha-ha!" Liok-te Lo-mo tertawa bergelak, kemudian berkata kepada Thian Lee,
"Mari kita pergi!" dan dia pun melenggang seenaknya tanpa menengok lagi, diikuti oleh
Thian Lee dan beiakang. Anak ini merasa semakin tidak senang kepada gurunya. Gurunya
telah membunuhi banyak tukang pukul dusun dengan kejam, kemudian merampas perahu
nelayan tua yang tidak berdaya. Dan sekarang, setelah menang adu kepandalan, dia masih
melukai Ketua Hek-i-pang yang sudah kalah. Gurunya ini sungguh seorang yang kejam dan
tidak mempedulikan penderitaan orang lain, terlalu mengandalkan kepandaian sendiri.
Padahal, sejak kecil dalam benak Thian Lee telah ditanamkan watak dan sifat pendekar oleh
ibunya. Dia tidak boleh membenci, dan menentang kejahatan bukan karena benci kepada
orangnya. Kebencian akan menimbulkan tindakan kejam. Apalagi dia tidak boleh merampas
hak milik lain orang. Dan Liok-te Lo-mo ini sudah merampas perahu nelayan, bahkan
merampas pula sekantung emas dari orang-orang Hek-i-pang. Guru ma-cam apa yang dia
temukan ini? Akan tetapi karena tosu itu telah menyelamat-kan nyawanya, maka mau tidak
mau dia haruslah menyatakan terima kasihnya de-ngan menaatinya. Pula, dia ingin memetik
ilmu-ilmu dari tosu ini, bukan mencontoh kejahatan dan kekejamannya. Akhirnya perjalanan
mereka sampai Nam-bun-tiang, sebuah kota di sebelah barat kota Pao-ting dan berada di kaki
Pegunungan Tai-hang-san. Tosu tu berhenti di kota ini untuk berbelanjd. Beberapa guci besar
arak, daging kering dan terigu, juga bumbu-bumbu masak.
Setelah itu, dia mengajak Thian Lee untuk mendaki Bukit Tai-hang-san melalui lereng-lereng
yang terjal. Thian Lee kelelahan karena dia diharuskan memikul barang-barang belanjaan
tadi. Setelah tiba di sebuah iereng yang rata, di mana terdapat sebuah bangunan yang
menyendiri, tosu itu mengajaknya berhenti di depan rumah itu. Liok-te Lo-mo membu-ka
pintu rumah dan ternyata itulah ru-mah tinggalnya. Sebuah pondok yang lumayan besarnya,
dan ternyata lengkap dengan prabot rumah tangga yang serba baru.
“Nah, itulah rumah pinto. Thian Lee, rumah ini sudah lama pinto tinggalkan. Lihat kotor
sekali. Hayo cepat bersihkan pymah ini agar enak ditempati."
Thian Lee menanti perintah gurunya. Dari pagi itu sampai sore, sehari penuh ia
membersihkan rumah itu, mengebut, menggosok dan menyapu sehingga rumah. itu kini
nampak bersih semua dinding dan lantainya, juga perabot-perabotnya. Senanglah hati Liok-te
Lo-mo melihat ke-rajinan muridnya yang tentu akan menjadi pembantu yang amat berguna
baginya. Dan memang demikianlah. Setiap hari Thian Lee bekerja keras untuk keperluan
suhunya. Membersihkan rumah dan halaman, menyirami tanaman bunga dan tanaman obat,
mencuci pakaian, memasak, pendeknya semua pekerjaan dia la-kukan. Dan tak pernah dia
mengeluh dalam mengerjakan semua itu. Hal ini agaknya memuaskan hati Thian-te Lo-mo
dan mulailah dia merasa suka kepada Thian Lee. Dia mulai mengajarkan dasar-dasar ilmu
silat tinggi yang dikua-sainya dan lebih girang lagi hatinya melihat betapa anak berusia
sepuluh tahun itu memiliki dasar yang kuat dan baik sekali.
Ketika musim salju tiba, Thian Lee melihat betapa suhunya suka merendam kedua lengan
sampai ke siku ke dalam air yang membeku menjadi air es sampai berjam-jam! Setelah itu,
suhunya memanggang kedua lengannya itu di atas api unggun besar yang panas sekali! Dan
untuk permulaan, dia pun diharuskan merendam kedua lengannya ke dalam air membeku.
Tentu saja dia merasa tersiksa sekali. Rasa dingin menyusup sampai ke tulang sumsum,
sampai ke hatinya, dan setelah dia hampir tidak kuat bertahan, baru gurunya membolehkan
dan membebaskan tangannya dari selimutan air es itu. Akan tetapi setelah setiap hati di-latih,
sebelum musim salju lewat, Thian Lee mulai dapat menahannya dengan me-nyalurkan hawa
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 37
dari tian-tan (bawah pusar) ke kedua lengannya sehingga biarpun direndam es, kedua lengan
terasa hangat dan dia dapat bertahan sampai berjam-jam! Di luar tahunya, dia telah mulai
melatih diri dengan sinkang yang amat kuat. Pada tahun ke dua, dia mulai dilatih
memanggang kedua lengan di atas api unggun. Mula-mula memang tak tertahankan, kulit
kedua lengannya sampai menjadi kemerahan. Akan tetapi sebelum kulitnya melepuh, gurunya
sudah menghentikannya dan memarami kedua lengannya dengan daun obat. Setelah dilatih
terus menerus, mulailah dia dapat melawan hawa panas itu dengan saluran sin-kang yang
membuat kedua lengannya dingin seperti kalau direndam dalam es. Dan mulailah dia dapat
bertahan memanggang kedua lengannya sampai berjam-jam di atas api!
Jilid 3________
Selama dua tahun menjadi murid Liok-te Lo-mo, dia hanya diajar langkah-langkah dan kudakuda
sebagai dasar ilmu silat, dan latihan sinkang menggunakan es dan api itu. Sama sekali
belum diajar ilmu silat. Karena itu, apabila ingin melatih silat, Thian Lee melatih ilmu silat
yang pernah diajarkan ibunya, yaitu ilmu silat mendiang ayahnya yang menjadi tokoh Kunlun-
pai. Dan dia mendapat kenyataan betapa ilmu silat Kun-lun-pai ini sekarang dapat dia
main-kan dengan lebih mantap. Gerakannya mantap dan kuat.
Pada suatu sore setelah selesai semua pekerjaannya, seperti biasa Thian Lee berlatih silat di
pekarangan belakang, bersilat dengan ilmu silat Kun-lun-pai.
Yang dimainkannya itu adalah Hui-eng-kun (Silat Elang Terbang) yang gerakannya gagah
dan kedua lengan seolah men-jadi sayap burung elang, dipentang ke kanan kiri dan setiap
pukulan seperti tamparan sayap burung itu, setiap tendangan seperti cakaran burung elang.
Ilmu silat ini hanya terdiri dari delapan belas jurus dan semua jurus telah di-malnkan Thian
Lee dengan bersungguh-sungguh. Pukulan dan tendangan anak berusia dua belas tahun ini
mendatangkan angin menyambar-nyambar, dan ini ada-lah berkat sin-kang yang dimilikinya
ketika melatih diri dengan air beku dan api.
Baru saja dia rnenyelesaikan jurus ter-akhir, tiba-tiba terdengar suara orang di belakangnya,
"Hemmm, bagus. Cuma herannya mengapa Liok-te mengajarkan silat Kun-lun-pai kepada
muridnya? Tidak tahu malu sekali tosu kurus kering itu, mencuri ilmu Kun-lun-pai dan
diajarkan kepada orang lain."
Thian Lee terkejut dan cepat memutar tubuhnya. Ternyata di situ telah berdiri seorang kakek
yang usianya tentu tidak lebih muda dari Liok-te Lo-mo. Apalagi melihat kakek yang
rambutnya dibiarkan panjang riap-riapan itu sudah tidak mempunyai gigi lagi dan juga
rambut, jenggot dan kumisnya sudah putih semua. Dan kakek itu memegang seba-tang
tongkat bambu kuning yang dipergu-nakannya untuk menopang tubuhnya yang agak
bongkok.
"Saya tidak menerima ilmu silat Kun- lun-pai ini dari Suhu Liok-te Lo-mo," kata Thian Lee.
"Locianpwe ini siapakah dan ada kepe.rluan apakah datang ke sini?"
Kakek itu tidak menjawab melainkan memandang Thian Lee dengan penuh per-hatian.
Kemudian dia berkata, "Anak baik, coba engkau pertahankan dirimu dari seranganku ini!"
Dan tanpa banyak cakap. lagi tosu itu lalu menyerang de-ngan tongkat bambunya! Tongkat
itu menusuk ke arah mata Thian Lee.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 38
Thian Lee terkejut sekali dan tentu saja dia tidak ingin matanya ditusuk. Dia lalu
menggerakkan tubuhnya dan otomatis dia bersilat dengan ilmu silat Elang Ter-bang yang
dikuasainya. Tangan kirinya menangkis tongkat. Akan tetapi tongkat itu gerakannya cepat
sekali, begitu di-tangkis tangan kiri tahu-tahu sudah me-nyodok ke arah perut! Thian Lee
menangkis lagi berturut-turut tongkat itu menyerang bertubi-tubi, Thian Lee sama sekali tidak
mendapat kesempatan untuk balas menyerang karena tongkat itu bergerak cepat sekali. Thian
Lee tidak sem-pat mengelak, maka dia nnenggunakan kedua tangannya untuk menangkis
sambil mengerahkan tenaganya. Dan kakek itu memang agaknya hendak menguji tenaga anak
itu karena setiap menyerang dia pun menambah tenaga dalam serangannya tongkatnya.
Serangan itu semakin cepat dan kuat dan akhirnya, tanpa dapat ditangkis lagi, sebuah totokan
ujung tongkat mengenai pundak Thian Lee dan anak itu pun tidak mampu bergerak lagi!
"Ha-ha-ha, bagus, bagus sekali. Eng-kau anak yang baik, tulang dan otot yang baik!" kakek
itu berkata dan sekali tongkatnya bergerak, dia baskan Thian Lee dari totokan.
Thian Lee memandang dengan mata-nya yang mencorong. "Locianpwe siapa dan apa maksud
Locianpwe menyerang saya? Ada keperluan apakah Locianpwe datang ke sini?"
"Aku hanya kebetulan lewat dan me-lihat engkau berlatih. Siapa namamu, Nak?"
"Nama saya Song Thian Lee."
"Engkau murid Liok-te Lo-mo?"
"Benar."
"Akan tetapi belum diajar silat. Sudah berapa lama engkau menjadi murid-nya?"
"Baru dua tahun."
"Sudah dua tahun belum diajar silat, padahal engkau memiliki bakat yang baik sekali. Lebih
baik engkau turut denganku saja, Thian Lee dan engkau akan kuajari ilmu silat yang lebih
baik daripada yang dapat diajarkan Liok-te Lo-mo Kepadamu."
Thian Lee mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. "Saya tidak ingin ikut Loclanpwe,
saya lebih senang menjadi murid Suhu Liok-te Lo-mo."
"Ha-ha, sekali aku mengeluarkan keputusan, siapa dapat mengubahnya? Eng-kau harus
menjadi muridku, Thian Lee."
"Hemm, perlahan dulu, Jeng-ciang-kwi (Setan Seribu Tangan)!" tiba-tiba terdengar bentakan
dan muncullah Liok-te Lo-mo di tempat itu. "Berani engkau hendak merampas muridku?"
"Ha-ha, Liok-te Lo-mo. Tidak perlu' murid diperebutkan. Akan tetapi anak ini memiliki bakat
yang baik, pantas menerima guru terpandai!"
"Jadi engkau anggap aku ini guru yang kurang pandai?"
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 39
"Aku melihat muridmu ini memainkan ilmu silat Kun-lun-pai. Itu membuktikan bahwa
engkau tidak becus mengajarnya, inaka biarkan aku yang menjadi gurunya."
"Jeng-ciang-kwi, engkau menganggap dirimu lebih berharga menjadi guru daripada pinto?"
"Tentu saja! Boleh kau uji!"
"Baik. Sekarang begini saja. Kita mengadu llmu kepandaian dan siapa yang menang dialah
yang berhak menjadi guru Thian Lee!" kata Liok-te Lo-mo yang memiliki watak tidak mau
kalah oleh siapa pun, sungguhpun dia tahu bahwa kakek dl depannya ini adalah seorang sakti
yang lihai sekali. Sudah lama dia mengenal kakek yang berjuluk Setan Se-Cibu Tangan itu,
akan tetapi belum pernah mencoba ilmu kepandaiannya, maka kini dia mendapatkan jalan
untuk menco-banya.
"Bagus! Memang aku pun ingin mengusulkan demikian. Mari kita main-main sebentar, Liokte
Lo-mo!" kata kakek yang berambut putih itu sambil melin-tangkan tongkat bambunya di
depan dada.
Llok-te Lo-mo menggerakkan tangan ke balik jubahnya dan nampaklah dia memegang
sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya.
Begitu melihat Liok-te Lo-rno, memegang pedang, kakek yang berjuluk Jeng-ciang-kwi itu
sudah menyerangkan tong-katnya dengan dahsyat sekali. Tongkat itu menotok belasan jalan
darah di sebelah depan tubuh Liok-tek Lo-mo secara bertubi-tubi. Melihat serangan yang
cepat dan dahsyat ini, Lo-mo memutar pedang-nya untuk melindungi tubuhnya. Berkah-kali
tongkat bertemu pednng. Anehnya, tongkat yang hanya terbuat dari bambu kuning itu tidak
patah bertemu dengan pedang yang demikian tajamnya, walaupun mengeluarkan suara
nyaring. Ini saja sudah menunjukkan betapa lihainya Setan Seribu Tangan itu.
Thian Lee kini terbelalak menonton pertandingan itu. Sekali ini gurunya ber-temu tanding
sehingga pertandingan itu tidak seperti yang pernah ditontonnya, di mana suhunya dengan
amat mudahnya merobohkan lawan-lawannya. Tongkat dan pedang itu seolah telah berubah
menjadi banyak sekali sehingga pening dia yang menjadi penonton. Bahkan tak lama kemudian,
pedang dan tongkat lenyap ben-tuknya dan yang nampak olehnya hanya gulungan
dua macam sinar, putih dan ku-ning, bagaikan dua ekor naga yang ber-main-main di angkasa.
Bahkan tubuh dua orang itu pun tidak nampak lagl, terbungkus bleh dua gulungan sinar itu.
Pertandingan itu memang seru bukan main. Keduanya adalah orang-orang sakti yang ilmu
kepandaiannya sudah tinggi. Mereka itu saling serang dan mencoba untuk merobohkan lawan
dengan serangan jurus-jurus terampuh. Namun semua serangan dapat dihindarkan lawan
sehingga pertandingan berjalan sampai dua ratus jurus belym Juga ada yang menang atau
kalah.
Akan tetapi akhirnya ternyata bahwa kakek itu sedikit lebih unggul dalam hal kecepatan gerak
dibandingkan Liok-te Lo-mo dan lewat dua ratus jurus, mulai-lah dia mendesak. Bagi Thian
Lee yang menonton pertandingan itu sebagai saksi tunggal, dia hanya melihat betapa gulungan
sinar kuning tadi menjadi lebih lebar dan mnlai menggulung sinar putih. Tiba-tiba
sinar putih yang mengecil itu mencuat ke belakang dan narnpaklah gurunya berdiri dengan
pedang dilintang-fikan depan dada. Wajahnya nampcik agak pucat dan jubah di bagian
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 40
dadanyd tero-bek lebar. Sinar kuning pun lenyap dan nampaklah kakek berambut putih itu
berdiri sambil tersenyum.
"Bagaimana, Lo-mo?" tanya kakek itu sambil bertopang pada tortgkat bambunya.
"Jeng-ciang-kwi, engkau semakin tua semakin hebat saja. Hari ini terpaksa aku mengakui
keungguianmu dan engkau boieh membawa Thian Lee bersamamu."
"Ha-ha-ha, bagus! Itu tandanya bahwa engkau benar-benar mengakui keunggul-anku. Hayo,
Thian Lee, bawa pakaianmu. Engkau ikut bersamaku!"
"Tidak! Tadi sudah saya katakan ke-padamu, Locianpwe, bahwa saya tetap akan ikut Suhu
dan tidak mau berguru kepadamu," kata Thian Lee dan sikap anak ini mengejutkan kedua
orang tua itu. Mereka tidak tahu bahwa Thian Lee bersikap demikian sesuai dengan ajaran
mendiang ibunya yang selalu berpesan agar dia menjadi seorang yang setia. Kesetiaan adalah
ciri khas seorang ga-gah, demikian pesan ibunya. Tanpa kese-tiaan, maka orang akan menjadi
pengecut. Demi kesetiaan dia harus berani menghadapi apa pun, karena mati dalam kesetiaan
lebih berharga daripada hidup tidak memiliki kesetiaan. Inilah sebabnya dia menolak keras
menjadi murid kakek rambut putih karena dengan demikian dia harus meninggalkan suhunya
yang selama ini bersikap baik kepadanya. Gurunya pernah menyelamatkan nyawanya, sudah
mendidiknya, bagaimana mungkin dia meninggalkannya begitu saja. untuk ikut Jeng-ciangkwi
walaupun kakek rambut putih itu, menang berebutan dengan su-hunya?
"Engkau tidak mau ikut? Heh, sekali aku memutuskannya, engkau pun tidak bisa
mengubahnya!" Tiba-tiba tongkat itu meluncur dan tubuh Thian Lee sudah tidak mampu
bergerak lagi. Dia tentu sudah roboh dengan lemas kala kakek rambut putih itu tidak cepat
me.iyambar tubuhnya dan memanggul di atas pundak-n.ya.. Kemudian dia pergi dengan
langkah lebar tanpa menoleh lagi kepada Liok-te Lo-mo yang memandang dengan muka
pucat. Liok-te Lo-mo merasa kehilangan sekali setelah Thian Lee dibawa pergi. Akan tetapi
untuk mencegah tidak mungkin. Selain dia sudah mengadakan perjanjian dengan Jeng-ciangkwi
dan dia kalah, dia pun merasa tidak mampu merebut Thian Lee dari tangan kakek sakti
itu.
Sementara itu, Thian Lee sama sekali tidak berdaya dalam pondongan kakek berambut putih.
Dan ia memejamkan mata ketika melihat betapa kakek itu berlari cepat bagaikan terbang saja.
Angin bertiup di mukanya dan rambut putih kakek itu pun menyapu-nyapu pipi-nya. Tahulah
dia bahwa dia tidak mung-kin lagi menolak karena dalam tangan kakek rambut putih ini, dia
tidak ber-daya sama sekali. Bagaimanapun juga dia tidak melanggar kesetiaannya, apalagi
karena Liok-te Lo-mo juga tidak mence-gahnya dibawa pergi Jeng-ciang-kwi.
"Locianpwe, ke mana engkau hendak membawa aku?" tanya Thian Lee ketika dia terbebas
dari totokan. Mereka telah pergi jauh sekali dari tempat tinggal Liok-te Lo-mo.
"Eh, engkau telah terbebas? Bagus, .ini menunjukkan bahwa tubuhmu memiliki kekuatan,"
kata kakek itu lalu meni.runkan Thian Lee. Akan tetapi kakek itu nenge-rutkan alisnya. "Wah,
engkau sama sekali tidak membawa bekal pakaian. Salahmu sendiri, engkau tidak mau
kubawa...."
"Locianpwe...."
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 41
"Tolol! Sebut aku Suhu! Aku adalah gurumu, engkau boleh mau atau tidak. Aku gurumu dan
engkau harus menyebut aku suhu, atau aku akan menotokmu lagi sampai engkau tidak bisa
bangkit kembali untuk selamanya."
Thian Lee seorang anak yang cerdik. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek
yang lebih aneh, mungkin lebih kejam dibandlngkan Liok-te Lo-mo. Dia belum ingin mati
sedemikian mudahnya. Oleh larena itu, dia mengalah.
"Suhu, mengapa Suhu berkeras mengambil murid padaku? Dan ke mana Suhu hendak
membawaku?"
.
"Pendeknya, ke manapun engkau ikut saja. Aku akan membawamu menonton keramaian di
puncak Luliang-san. Semua tokoh kang-ouw akan hadir di sana untuk memilih seorang
bengcu."
"Apakah bengcu itu, Suhu?" Thian Lee tertarik mendengar bahwa tokoh-tokoh kang-ouw
akan berkumpul dan dia akan diajak menonton keramain itu.
"Bengcu adalah pimpinan dunia kang-ouw, dan mungkin akan diadakan pertandingan silat di
sana untuk menentukan siapa yang akan dipilih menjadi bengcu. Sudah, tidak perlu banyak
bertanya, sekarang kita pergi mencari pakalan untuk-mu dan juga untukku."
Mereka memasuki sebuah kota dan kakek itu ternyata memiliki banyak uang emas dan perak.
Dia membeli beberapa potong pakaian untuk Thian Lee dan diri-nya sendiri, membungkus
dalam sebuah buntalan dan menyuruh Thian Lee meng-gendong buntalan itu. Thian Lee
merasa agak lega hatinya. Setidaknya, gurunya yang baru ini tidak mencuri seperti yang
dilakukan Liok-te Lo-mo. Setelah makan dan membeli pula makanan kering untuk bekal di
perjalanan, Jeng-ciang-kwi mengajak Thian Lee mulai melakukan perjalanan ke barat,
menuju Luliang-san.
Sudah menjadi kebiasaan di dunia kang-ouw pada waktu itu bahwa setiap lima tahun sekali
diadakan pemilihan bengcu, yaitu seorang tokoh kang-ouw yang dihormati dan dipandang
tingg, oleh seluruh dunia kang-ouw. Tokoh bengcu ini memang diperlukan oleh mereka,
bukan saja untuk menjadi pemimpin dalam se-mua urusan yang terjadi mengenai tokoh-tokoh
kang-ouw, bahkan juga untuk mewakili seluruh tokoh kang-ouw dalam urusan menghadapi
pemerintah. Kalau pemerintah hendak mengumumkan sesuatu kepada para tokoh kang-ouw
atau per-kumpulan persilatan, pemerintah hanya menghubungi bengcu ini saja dan bengcu ini
yang akan menyebar-luaskan pengumuman itu. Juga kalau ada persoalan timbul di antara
warga dunia kang-ouw sendiri, untuk mendapatkan keadilan dan keputusan, maka orangorang
itu pergi melapor kepada bengcu. Maka, teramat penting kedudukan bengcu ini bagi
dunia kang-ouw.
Pada waktu itu, kedudukan bengcu lowong karena bengcu yang tadinya me-megang
pimpinan, yaitu Ouw Hui Sian, seorang pendekar tua sakti yang terkenal dengan julukan Si
Golok Sakti telah me-ninggal dunia karena usia tua. Maka para tokoh kang-ouw lalu
mengadakan perun-dingan untuk mengadakan pertemuan di puncak Luliang-san, untuk
memilih se-orang bengcu baru.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 42
Pada hari yang ditentukan itu, ber-bondong-bondonR para wakll dari perkum-pulanperkumpulan
silat, juga tokoh-tokoh perorangan, mendaki Gunung Luliang-san untuk
menghadiri pemilihan bengcu. Bahkan dari pihak pemerintah juga da-tang seorang wakil yang
terkenal karena panglima yang datang ini dahulunya juga seorang pendekar dan terkenal di
dunia kang-ouw sebagai seorang ahli pedang bernama Gui Tiong In yang berjuluk Hok-liongkiam
(Pedang Penaluk Naga). Gui-ciangkun datang bersama tiga orang pembantunya.
Karena pertemuan ini untuk memilih bengcu baru merupakan pertemuan amat penting, maka
banyak sekali yang datang hadir. Wakil dari Siauw-lim-pai, Go-bi-pai dan Khong-tong-pai
juga hadir, belum lagi dari peirkumpulan-perkumpulan orang gagah dan perguruan-perguruan
silat, namun diwakili tokoh-tokoh mereka. Para pendekar perorangan juga banyak yang hadir
sehingga jumlah mereka yang ber-kumpul di situ tidak kurang dari seratus orang!
Setelah semua orang berkumpuj, dengan suara bulat mereka menunjuk Gui-ciangkun untuk
menjadi ketua pemilihan bengcu. Semua orang setuju karena bia-sanya, dalam pemilihan
bengcu, sering kali terjadi perebutan dan pertentangan. Dengan adanya orang dari pemerintah
yang memimpin pemilihan, diharapkan tidak akan terjadi pertentangan dan pe-milihan akan
berjalan tertib tanpa tindak kekerasan dari pihak mana pun. Gui-ciangkun yang mengerti akan
pentingnya pemilihan ini bagi pemerintahnya, setuju dan demikianlah, Gui-ciangkun bersama
para pimpinan perkumpulan yang diang-eap sebagai kaum tua yang berkedudukan lebih
tinggi, duduk di panggung, sedang-kan para undangan lain duduk di bawah panggung.
Gui-ciangkun bangkit berdiri dan setelah memberi hormat kepada para locian-pwe yang
duduk di panggung kehormatan, dia lalu berkata kepada hadirin dengan suara lantang, "Cu-wi
(Saudara Sekalian) yang hadir, terima kasih atas kepercaya-an yang diberikan kepada saya
untuk memimpin pemilihan ini. Untuk memben kebebasan memilih kepada Cu-wi, seperti
biasanya, sebaiknya kalau Cu-wi memilih calon masing-masing untuk kemudian dari sekian
calon itu kini memilih bengcu berdasarkan suara terbanyak. Silakan Cu-wi mengajukan nama
calon masing-masing."
Semua yang hadir kini sibuk bicara sendiri, agaknya untuk merundingkan de-ngan kelompok
masing-masing siapa yang akan mereka angkat sebagai calon. Akan tetapi wakil dari Bu-tongpai,
yaitu Tong Bu Leng yang bertubuh tinggi besar bangkit berdiri dan terdengar suaranya
yang lantang, "Gui-ciangkun, kami dari Bu-tong-pai berpendapat bahwa kalau terlalu banyak
diajukan calon merupakan tindakan yang kurang bijaksana. Biasanya dalam pemilihan yang
lalu, makin banyak calon, menjadi semakin kacau karena terjadi perebutan dan persaingan.
Oleh karena itu, kami usulkan agar mengang-kat satu dua orang calon saja yang be-nar-benar
pantas untuk menjadi bengcu, kemudian dilakukan pemilihan bengcu!"
"Saya setuju sekali dengan usul Tong-enghiong dari Bu-tong-pai. Bagaimana pendapat Cu-wi
yang hadir? Setujukah dengan usul itu untuk mengangkat atau menunjuk satu dua orang calon
saja agar pemilihan bengcu menjadi lebih sederhana dan cepat, tidak sampai menimbulkan
perebutan dan persaingan?"
Serentak semua orang menyatakan pendapatoya, "Setuju....!"
Kemudian terdengar suara nyaring seorang tosu yang bangkit berdiri dari tempat duduknya di
panggung kehormat-an» "Pinto merasa setuju sekali. Memang tidak semestinya kalau setiap
golongan memilih calon bengcu dari kalangan sendiri sehingga terjadi perebutan dan persaingan.
Kita semua memilih bengcu bukan untuk kepentingan kelompok sen-diri, melainkan
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 43
untuk kepentingang dunia kang-ouw pada umumnya. Pinto mengu-sulkan agar Ina Yang
Sengcu dari Kun-lun-pai ditunjuk sebagai calon. Beliau pantas menjadi bengcu karena
kedudukan beliau sebagai Ketua Kun-lun-pai yang merupakan partai besar dan kuat, juga
mengingat pengalaman beliau yang sudah berusia lanjut serta kesaktian beliau yang tiada
bandingannya. Bagaimana pendapat Cu-wi? Setujukah kalau kita ajukan Im Yang Sengcu
sebagai calon?" Yang bicara ini adalah seorang tosu yang bertubuh tinggi kurus. Dia adalah
Ciong Jin Tosu, berusia lima puluh tahun, tokoh Kong-thong-pai yang rnewakili
perkumpulannya hadir di situ dan mendapat tempat duduk di panggung kehormatan pula.
Yang ditunjuk itu adalah Im Yang Sengcu, Ketua Kun-lun-pai yang kebetul-an hadir pula di
situ. Dia seorang tosu berusia enam puluh lima tahun, bertubuh sedang, bersikap tenang dan
anggun de-ngan jenggot panjang putih. Kumis dan rambutnya masih hitam akan tetapi yang
mencolok adalah alisnya yang sudah putih semua. Karena alisnya itulah dia men-dapat
sebutan Pek-bi Lo-jin (Orang Tua Beralis Putih). Ketua Kun-lun-pai ini ter-kenal sebagai
seorang yang gagah perka-sa dan bijaksana, ilmu silatnya tinggi dan dia disegani oleh seluruh
tokoh kang-ouw.
Mendengar dirinya ditunjuk sebagai calon bengcu, Im Yang Sengcu bangkit berdiri darl
kursinya dan cepat dia mem-beri hormat kepada semua orang dengan mengangkat kedua
tangan di depan dada-nya.
"Siancai, siancai....!" Suaranya halus lembut namun dapat menembus kegaduh-an itu sehingga
semua orang berdiam diri untuk mendengarkan. Tadinya semua orang ribut menyatakan
dukungan mereka dan persetujuan mereka dengan Jiangkat-nya Im Yang Sengcu menjadi
calon. Kini setelah tosu itu bicara, mereka semua diam mendengarkan penuh perhatian.
"Terlma kasih atas kepercayaan Cu-wi menunjuk pinto menjadi calon. Akan tetapi sungguh
pinto merasa tidak sang-gup. Kedudukan bengcu adalah kedudukan yang istimewa
pentingnya, sedangkan pinto adalah seorang ketua perkumpulan yang sudah sibuk sekali
dengan tugas pinto dalam perkumpulan. Juga pinto merasa tidak sanggup mewakili dunia
kang-ouw untuk menghadapi urusan besar. Karena itu, pinto usulkan agar mengang-kat
sahabat pinto, yaitu Hui Sian Hwesio yang kini hadir di sini. Dia adalah wakil Ketua Siauwlim-
pai, selain cakap dan memiliki tingkat kepandaian tinggi, juga kita semua mengetahui
bahwa hubungan antara Siauw-lim-pai dan pemerintah amatlah dekatnya. Dengan
mengangkat wakil Siauw-lim-pai sebagai bengcu, ma-ka semua urusan dengan pemerintah
akan dapat diselesaikan dengan baik. Bagai-mana pendapat Cu-wi, setujukah dengan usul
pinto ini?"
Hui Sian Hwesio yang tinggi gendut seperti Jilaihud itu juga seorang tokoh yang amat
terkenal. Biarpun dia hanya wakil ketua, akan tetapi untuk urusan luar, Ketua Siauw-lim-pai
sendir., tidak pernah maju. Hui Sian Hwesio inilah yang mewakili ketua maju dalam setiap
urusan keluar, sehingga namanya lebih terkenal. Dan pada waktu itu, memang Agama Buddha
lebih diterima permerintah Mancu daripada Agama To, maka semua orang yang mendengar
ucapan Im Yang Sengcu itu serentak menyatakan setuju.
Hui Sian kini bangkit berdiri dan mu-kanya yang penuh senyum lebar itu amat menyenangkan
hati orang yang ikut-ikut tersenyum.
"Omitohud! Sungguh elok sekali. Lima tahun yang lalu, ketika diadakan pemilih-an bengcu di
Thai-san, masih terjadi per-saingan dan perebutan, seolah kedudukan bengcu merupakan
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 44
kedudukan yang ber-harga untuk dimiliki, seolah anenjadi sumber rejeki sarana nama besar.
Akan tetapi apa yang pinceng lihat sekarang? Yang ditunjuk malah tidak mau meneri-ma dan
mengoperkan kepeda orang lain!"
Kalau begitu, harap Losuhu tidak mengoperkan pula kepada orang lain!" Terdengar teriakan
dan semua orang tertawa sambil berteriak-teriak menyetujui ucapan itu.
"Omitohud, bukan maksud pinceng untuk mengelak. Pinceng hanya menjelas-kan keadaan
saja. Keadaan yang berbeda sekarang ini di mana tidak mendapat perebutan dan persaingan,
menunjukkan dengan jelas bahwa yang hadir semua ini adalah para pendekar yang tidak haus
akan kedudukan. Dahulu, kalau diadakan pemilihan bengcu, golongan sesat selalu ikut
mencampuri dan merekalah yahg berdaya upaya keras untuk merebut ke-dudukan bengcu
agar kepentingan golongan mereka terjarnin. Sekarang keadaan lain lagi karena itu kita harus
memilih dengan bijaksana jangan sampai salah pilih. Apa yang diucapkan oleh sahabat Im
Yang Sengcu tadi rrlemang betul se-kali. Kedudukan bengcu amat penting untuk kita semua,
karena itu kita harus memilih seorang yang benar-benar tepatj untuk kedudukan itu."
Losuhu, yang paling tepat untuk menjadi bengcu!" terdengar seseorang berteriak dan teriakan
ini diikuti pula suara setuju.
Hui Sian Hwesio mengangkat tangan ke atas dan semua orang diam. "Omito-hud, bukan
semata-mata pinceng menolak, akan tetapi adalah karena alasan ' yang amat kuat. Cu-wi
mengetahui bahwa pinceng adalah wakil ketua per-kumpulan yang besar sekali, bukan saja
mengurus urusan umum dengan dunia kang-ouw, akan tetapi juga urusan penyebaran agama.
Menjadi bengci atau pemimpin naruslah seorang yang jujur, setia dan dapat mencurahkan
seluruh tenaga dan pikiran untuk jabatannya itu. Dia tidak boleh memiliki kedudukan
rangkap, karena dengan demikian dia tentu tidak akan dapat mencurahkan tenaga scluruhnya.
Pinceng mempunyai seorang calon dan Cu-wi tentu akan se-tuju dengan calon yang pinceng
usulkan itu. Mengenal ilmu silat, dia jauh lebih hebat dari pinceng. Mengenai pengalaman, dia
sudah malang melintang di dunia kang-ouw selama puluhan tahun. Dan namanya yang besar
juga bersih sebagai seorang pendekar budiman yang selalu membela kebenaran dan keadilan.
Pe-mimpin haruslah seorang yang tidak me-mentingkan diri sendiri dan calon pinceng ini
memenuhi semua persyaratan itu. Dia masih muda, berpengalaman di dunia kang-ouw,
selama ini sepak terjangnya sebagai seorang pendekar meyakinkan, dan namanya pun baik di
mata pemerintah. Pinceng usulkan Taihiap (Pendekar Besar) Souw Tek Bun untuk menjadi
ketua!"
Kini riuh rendah orang bersorak me-nyambut nama yang diusulkan oleh wakil Ketua Siauwlim-
pai itu. Siapa yang ti-dak mengenal pendekar Souw Tek Bun? Dia berjuluk Sin-kiam
Hok-mo (Pedang Sakti Penakluk Iblis), seorang pendekar yang memiliki ilmu pedang turunan
dari keluarga Souw. Nenek moyang Souw Tek Bun adalah Souw Cian, seorang pendekar sakti
ratusan tahun yang lalu, yang telah merangkai ilmu pedang Hok-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang
Penakluk Iblis) yang hanya dipelajari oleh keturunannya. Souw Tek Bun sudah terkenal
sebagai seorang pendekar budiman, membantu pemerintah membasmi para. penjahat sehingga
lama-nya dihormati semua tokoh kang-ouw dan juga dihormati pemerintah. Bahkan Kaisar
sendiri berkenan memberi hadiah sebatang pedang kepadanya!
"Hidup Souw-taihiap!" Terdengar sorakan mereka.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 45
Di antara tamu yang duduk di panggung kehormatan, seorang pria bangkit berdiri dengan
tenang. Dia bertubuh tegap, berwajah tampan berwibawa, usianya sekitar empat puluh tahun
dan pakaian-nya yang sederhana itu ringkas. Sebatang pedang tergantung di punggungnya.
Wa-jahnya yang segi empat itu gagah sekali, dengan sepasang alis tebal, mata menco-rong
dan mulut selalu tersenyum tenang dan sabar, namun lekuk di dagunya yang tidak berjenggot
itu menunjukkan kekerasan hatinya. Inilah dia Souw Tek Bun yang berjuluk Sin-kiam Hokmo.
Pedang di punggungnya itu adalah Ceng-liong-kiam (Pedang Naga Hijau), pedang pusaka
hadiah dari Kaisar Kian Liong kepadanya karena jasanya membasmi banyak gerom-bolan
penjahat. Perjaka yang tinggal seorang diri di puncak Hong-san.
Souw Tek Bun memang hidup seba-tang kara, kedua orang tuanya telah tiada, ayahnya juga
seorang pendekar tewas oleh pengeroyoknya banyak tokoh sesat. Ibunya menyusul ayahnya
setelah sakit berat sehingga Souw Tek Bun hidup sebatang kara. Sampai berusia empat puluh
tahun, dia tidak mau menikah dan tinggal seorang diri di puncak Hong-san, hanya ditemani
oleh seorang pelayan pria yang usianya sudah lima puluh tahun lebih.
Mendengar dirinya dipilih sebagai bengcu seperti diusulkan oleh wakil Ke-tua Siauw-lim-pai,
Souw Tek Bun lalu bangkit berdiri dengan sikap tenang sam-bil tersenyum, mengangkat
kedua tangan ke atas sebagai isarat agar semua orang diam. Setelah suara gaduh itu terhenti,
terdengar suaranya yang mantap, lembut namun mengandung wibawa,
"Cu-wi yang terhormat! Saya tidak perlu berpura-pura. Memang sudah men-"|S§ jadi
kewajiban kita semua untuk meng-galang persatuan di antara semua tokoh kang-ouw demi
keamanan negara dan kesejahteraan rakyat. Dan kalau memang benar Cu-wi memilih saya,
maka saya pun tidak akan berani menolak. Hanya perlu diingat bahwa saya yang muda ,
masih kurang pengalaman, oleh «arena itu saya baru berani menjadi bengcu kalau dua orang
Locianpwe yan.c saya sebutkan namanya ini suka menjad) penasehat sehingga dalam
memutuskan semua perkara, saya lebih dulu mendapatkan nasihat mereka. Kedua Locianpwe
yang saya mohon menjadi penasihat adalah pertama Locianpwe Pek Bi Lojin atau Im Yang
Sengcu Ketua Kun-lun-pai, dan kedua adalah Locianpwe Hui Sian Hwesio dari Siauw-limpai.
Bagaimana, apakah Cu-wi setuju dengan permintaan saya ini? Dan terutama sekali,
apakah Ji-wi Locianpwe (Dua Orang Gagah Perkasa) dapat menerima permohonan saya?''
Mendengar ucapan yang tegas itu, semua orang bersorak mendukungnya. Im Yang Sengcu
tertawa ketika mendengar ucapan itu dan dia bangkit dari kursinya. Semua orang terdiam,
ingin mendengar-kan bagaimana pendapat tosu yang di-angkat menjadi penasihat itu.
"Siancai....! Kalau Souw-taihiap yang menjadi bengcu, tentu dengan gembira sekali pinto
suka menjadi penasihatnya. Pinto yakin bahwa sepak terjang Souw-taihiap selalu menurut
jalan kebenaran. Pinto setuju!"
"Omitohud, benar apa yang diucapkan oleh Im Yang Sengcu, pinceng juga setuju saja
menjadi penasihat mendampingi Souw-taihiap yang menjadi bengcu!"
Semua orang menyambut dengan gem-bira. Mendengar semua ini, Gui-ciangkun tersenyum
dan dia pun bangkit berdiri sambil mengacungkan tangan minta ke-pada semua orang untuk
tenang. "Kami sungguh merasa gembira sekali. Baru sekali ini pemilihan bengcu berjalan
demikian lancar, mudah dan semua suara menyetujui, tidak ada pertentangan sama sekali.
Oleh karena itu, kami, sebagai pimpinan pemilihan bengcu ini, dengan ini menyatakan bahwa
Tai-hiap Souw Tek Bun, menurut hasil pemilihan yang sah, ditetapkan menjadi...."
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 46
"Ha-ha-ha-heh-heh, tunggu duiu! Tidak semudah itu orang menjadi bengcu, memimpin
seluruh dunia kang-ouw. Tidak, semudah itu!"
Semua orang terkejut. Suara itu lirih dan lembut, akan tetapi terdengar jelas dan nada
suaranya mengandung ejekan. Melihat bahwa yang mengeluarkan suara celaan menghentikan
ucapan tadi adalah seorang kakek yang bongkok kurus ber-jenggot putih, Gui Tiong In atau
Gui-ciangkun adalah seorang panglima yang dahulunya juga seorang pendekar yang terkenal,
tentu saja pengalamannya sudah banyak di dunia kang-ouw dar banyak pula tokoh kang-ouw
yang dikenalnya. Akan tetapi dia merasa tidak mengenal kakek ini, maka dia segera memberi
hormat, mengangkat tangan ke depan dada dan berkata dengan suara hormat,
"Locianpwe siapakah dan mengapa berkata demikian? Pemilihan ini dilakukan dengan sah
dan sudah menurut keputusan rapat."
"Ha-ha-ha, rapat yang diputuskan hanya karena pemungutan suara terba-nyak bukanlah rapat
orang gagah! Pemilihan bengcu biasanya dilakukan bukan dengan mengadu suara, melainkan
mengadu senjata dan siapa yang paling gagah dan menang, dialah yang pantas menjadi
bengcu. Apa jadinya kalau seorang beng-cu yang memlmpin orang-orang gagah hanya
seorang yang lemah? Bisa menjadi tertawaan dunia'"
"Locianpwe, pandangan Locianpwe ini keliru sama sekali," kata Gui-ciangkun. "Tidak sesuai
dengan pandangan pemerin-tah. Seorang bengcu haruslah seorang yang gagah perkasa,
memang, akan tetapi bukan seorang jagoan yang menduduki jabatan bengcu karena
kekerasan. Kalau demikian, dia akan memimpin dengan kekerasan pula. Seorang bengcu
haruslah seorang yang bijaksana, berhati jujur dan bersih, menentang kejahatan dan
kepalsuan, menegakkan kebenaran dan keadilan, selalu berusaha untuk mensejahterakan
kehidupan rakyat, bukan sebaliknya menindas rakyat dan melakukan kejahatan mengganggu
ketenteraman. Karena Souw - taihlap memilih semua syarat itu, maka kaml memilihnya
sebagai bengcu."
"He-he-he, Ciangkun. Itu adalar pan-danganmu sebagai seorang pejabat peme-rintah. Akan
tetapi pandangan seorang kang-ouw lain lagi. Seorang bengcu haruslah nomor satu di dunia,
baru dia berhak menjadi bengcu!
Tiba-tiba Hui San Hwesio bangk't dari kursinya dan menudingkan telunjukrya ke arah kakek
bongkok yang memegang tong-kat bambu kuning itu. "Omitohud, kalau . pinceng tidak
keliru, melihat tongkat bambu kuning itu, engkau adalah Jeng-ciang-kwi, benarkah? Apa
maksudmu da-tang ke tempat pertemuan ini? Bengcu sudah terpilih, apa kehendakmu
sekarang?"
"Ha-ha. Hui Sian Hwesio darl Siauw-lim-pai bersikap angkuh! Aku tidak menghendaki apaapa,
hanya aku ingin mengatakan bahwa aku baru mau menga-kui adanya seorang bengcu
dunia kang-ouw kalau bengcu itu mampu mengalah-kanku!"
Semua orang yang hadir kini meman-dang dengan hati tegang. Biarpun belum pernah bertemu
dengan orangnya, akan tetapi mereka semua sudah mengenal nama Jeng-ciang-kwi, seorang
datuk se-sat yang namanya annat terkenal, akan tetapl jarang dapat ditemui orang itu.
Sementara itu, Thian Lee yang tadi da-tang dan berdiri di belakang gurunya mendengarkan
dan memandang dengan penuh perhatian. Dia dapat menduga bahwa orang-orang yang hadir
di situ adalah tokoh-tokoh dunia persilatan yang tentu memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 47
gurunya yang seorang diri itu agaknya hendak menentang mereka! Dan mendengar
perbantahan itu, dia mengang-gap gurunya benar. Menjadi pemlmpin para tokoh persilatan
tentu saja haruslah seorang yang ilmu silatnya tanpa tanding.
"Jeng-ciang-kwi, apakah maksudmu menantang bengcu baru terpilih ini untuk merampas
kedudukan bengcu? Apakah engkau bermaksud ingin menjadi bengcu dengan jalan
kekerasan, mengadu ilmu silat?"
"Ho-ho-ha-ha, siapa mau menjadi bengciu, mengikatkan kaki tangannya ke-pada kedudukan?
Tidak, aku tidak ingin merampas kedudukan bengcu. Akan tetapl aku tetap berpendirian,
bahwa siapa yang menjadi bengcu haruslah dapat mengalah-kan aku, kalau tidak mana aku
mau mengakuinya sebagai bengcu? Juga semua rekanku tidak akan sudi mengakuinya sebagai
bengcu. Nah, aku tantang bengcu pilihan kalian itu. Ataukah dia tidak be-rani menyambut
tantanganku mengadu ilmu? Seorang bengcu yang ketakutan menghadapi tantangan? Ha-haha,
alang-kah lucunya!"
Sejak tadi Souw Tek Bun sudah meff rasa penasaran sekali. Dia pun pernah mendengar nama
besar Jeng-ciang-kwi, akan tetapi belum pernah bertanding de-ngannya. Tentu saja dia tidak
menjadi gentar, hanya tadi menahan kesabaran agar jangan terjadi keributan. Sekarang,
mendengar tantangan dan ejekan bahwa dia takut menghadapi tantangan itu, dia tidak dapat
menahan sabar lagi dan banekit dari tempat duduknya. Kemudian dengan langkah lebar dia
menuju ke te-ngah panggung dan memberi hormat ke arah Jeng-ciang-kwi yang masih berada
di bawah panggung.
"Aku Souw Tek Bun bukanlah seorang pengecut. Aku sudah lama mendengar nama besar
Jeng-ciang-kwi dan kalau Jene-ciang-kwi menantangku, sudah tentu akan kulayani untuk
membuktikan bahwa aku bukan seorang pengecut walaupun dalam ilmu silat tentu aku bukan
lawan Jeng-ciang-kwi yang amat tersohor itu!
"Bagus sekali, ini baru namanya se-orang calon bengcu yang gagah," kata Jeng-ciang-kwi dan
sekali tongkatnya me-notol tanah, tubuhnya sudah melayang naik ke atas panggung.
"Jeng-ciang-kwi, ketahuilah bahwa bukan aku yang minta menjadi bengcu melainkan para
Locianpwe dan udara yang berada di sini yang mermlih aku untuk menjadi bengcu. Lalu apa
kehendakmu sekarang?"
"Ha-ha-ha, sudah kukatakan tadi.
Engkau menjadi bengcu baik-baik saja, akan tetapi untuk dapat menerima pe-ngakuanku dan
pengakuan orang-orang kang-ouw yang saat ini tidak ikut hadir, engkau harus lebih dulu
mengalahkan aku."
"Aku tidak pernah menolak tantangan, apalagi di antara kita tidak pernah ada permusuhan,
hanya merupakan tantangan mengadu ilmu saja. Silakan, Jeng-ciang-kwi, aku sudah siap
untuk melayanimu!" kata Souw Tek Bun dan sekali tangan kanannya bergerak ke belakang
tangan itu kini sudah memegang sebatang pedang yang berkilauan mengeluarkan sinar hijau.
Itulah Ceng-liong-kiam (Pedang Naga Hijau) pemberian Kaisar Kian Liong kepadanya.
"Ho-ho, pokiam (pedang pusaka) yang bagus!" kata kakek itu memuji.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 48
"Ini adalah Ceng-liong-kiam, pemberi-an Sri Baginda Kaisar untuk membasmi kejahatan!"
jawab Souw Tek Bun dengan gagah.
"Ha-ha-ha, asal saja jangan anggap aku seorang penjahat yang patut dibasmi" kata kakek itu
tertawa mengejek.
"Tergantung dari sepak terjangmu, Jeng-ciang-kwi. Nah, aku sudah siap menghadapi
tantanganmu'." jawab Souw Tek Bun dengan suara tegas.
"Heh-heh, saudara sekalian menjadi saksi apakah dia pantas menjadi bengcu ataukah tidak.
Sin-kiam Hok-mo, demi-kian julukanmu, bukan? Ha-ha, biarlah aku menjadi Lo-mo (Iblis
Tua) apakah benar pedangmu itu dapat menundukkan iblis! Sambutlah seranganku ini!"
Kakek itu menggerakkan tongkatnya. Dengan lambat saja tongkat itu menyambar, akan tetapi
angin pukulannya terasa oleh mereka yang jarak duduknya tidak terlalu jauh sehingga semua
orang terkejut.
Souw Tek Bun maklum akan kelihaian kakek itu, maka dia pun sudah memasang kuda-kuda
yang kuat dan begitu tongkat bambu kuning itu menyambar, dia langsung saja menangkis
dengan bacokan kuat untuk mematahkan tongkat itu. Agaknya Jeng-ciang-kwi juga khawatir
kalau tong-kat bambunya terpotong oleh pedang yang ampuh itu, maka sebelum tongkatnya
bertemu pedang tiba-tiba saja tong-kat itu ditarik kembali dan kini tongkat itu melanjutkan
serangan dengan totokan bertubi-tubi ke arah jalan-jalan darah yang mematikan di sebelah
depan tubuh lawan.
Souw Tek Bun cepat berlompaian untuk mengelak dan kadang menangkis serangkaian
serangan yang berbahaya 'tu. Dan dia pun berusaha untuk membcilas serangan. Akan tetapi
ilmu tongkat Ni-kek itu memang aneh sekali dan luar biasa. Daya serangan tongkat itu seperti
bersambung-sambung tiada habisnya, se-tiap kali dielakkan atau ditangkis fong-kat itu sudah
melayang lagi dengan ujungnya yang lain sehingga serangan menjadi bertubi-tubi dan Souw
Tek Bun sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk membalas. Maka, akhirnya Souw Tek
Bun hanya dapat memutar pedangnya menjadi perisai gulungan sinar yang ne-.lindungi
tubuhnya dari hujan serangan itu.
Melihat ini, kakek itu mengendurkan serangan dan kesempatan ini dipergunakan oleh Souw
Tek Bun untuk balas me-nyerang dengan tusukan kilat. Kakek itu nampak lambat gerakannya
menghindar sehingga pedang itu menyerempet dada-nya dan merobek bajunya, akan tetapi
pada saat itu tongkatnya sudah dua kali menotok, mengenai kedua paha Souw Tek Bun dan
pendekar ini tak dapat dicegah lagi sudah jatuh berlutut!
Jeng-ciang-kwi menghentikan serang-annya dan tertawa, "Ha-ha-ha, kalian lihat. Belum apaapa
dla sudah bertekuk lutut kepadaku, apakah yang begini pan-tas menjadi bengcu dunia
kang-ouw?"
Thian Lee merasa gembira sekali melihat gurunya dapat mengalahkan lawan dan ini
membuktikan bahwa gurunya memang seorang yang lihai sekali. Un-tunglah dia mempunyai
seorang guru yang demikian tangguh, yang tentu akan mengajarkan ilmu-ilmu hebat
kepadanya. Tak terasa lagi saking gembiranya dia bertepuk tangan memuji. Kakek itu menoleh
dan tersenyum kepadanya. Dalam keadaan itu, tak seorang pun memihak padanya
kecuali muridnya dan hal ini menyenangkan hatinya.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 49
"Omitohud, Jeng-ciang-kwi sungguh sombong. Biarpun Souw-taihiap kalah dalam ilmu silat
olehmu, tetap saja dia seratus kali lebih pantas menjadi bengcu daripada kamu. Kalau pinceng
tetap memilih dia sebagai bengcu, habis engkau mau apa?"
"Ha-ha-ha, bengcunya tidak bisa apa-apa, tentu pemilihnya tidak becus lagi. Hui Sian Hwesio,
seharusnya engkau me-milih bengcu yang cakap dan pantas, setidaknya yang dapat
menandingi aku. Kalau tidak demikian, pilihanmu hanya menyatakan kebodohanmu dan akan
men-jadi bahan tertawaan dunia kang-ouw saja."
"Jeng-ciang-kwi, apakah ini berarti bahwa engkau juga menantang pinceng?"
"Engkau dan siapa saja boleh mencoba-coba menandingiku, agar kalian baru terbuka mata
bahwa pilihan kalian itu sama sekali keliru. Carilah orang yang setidak-nya setingkat dengan
kepandaianku."
"Kau sombong!" Pendeta Siauw-lim-pai itu membentak dan tubuhnya sudah melayang ke
depan Jeng-ciang-kwi, se-mentara itu Souw Tek Bun yang jelas sudah kalah itu terpaksa
mundur sambil menyimpan pedangnya. Wajahnya agak kemerahan karena merasa penasaran.
Hui Sian Hwesio sudah berdiri berha-dapan dengan Jeng-ciang-kwi, tangan ka-nannya
memegang sebatang tongkat pen-ss.a deta setlnggi tubuhnya.
"Hemm, wakil Ketua Siauw-lim-pai hendak turun tangan sendiri menguji kepandaianku?"
kata Jeng-ciang-kwi de-ngan suara mengejek,
"Tidak perlu membawa-bawa nama Siauw-lim-pai dalam urusan ini. Karena semua memilih
Souw-taihiap memang sebagai wakil' dari perkumpulan masing-masing, akan tetapi kini
pinceng meng-hadapimu sebagai Hui Sian Hwesio pribadi. Kalau sebagai wakil Ketua Siauwlim-
pai tentu pinceng tidak sudi berurus-an dengan orang seperti engkau. Kita |gg| berdua
berdiri berhadapan sebagai pribadi-pribadi yang saling membela kebenaran sendiri. Nah,
pinceng sudah siap, mulailah!"
"Bagus, hendak kulihat sampai di mana kehebatan Lo-han-pang (Ilmu Tong-kat Orang Tua)
darimu. Sambutlah!" Jeng-cian-kwi sudah menggerakkan tong-kat bambu kuningnya
melakukan serangan. Hui Sian Hwesio menangkis dengan tongkatnya lalu membalas dan
dalam be-berapa menit keduanya sudah saling se-rang dengan hebatnya. Tongkat dan ba-tang
bambu itu menyambar-nyambar ba-gaikan dua ekor naga yang bermain di angkasa. Setiap
kali bertemu mendatang-kan getaran yang terasa oleh semua yang hadir di situ, menandakan
bahwa kedua orang itu memiliki tenaga Iwee-kang (tenaga dalam) yang amat dahsyat. Dan
kadang-kadang kedua tongkat itu kalau bertemu mengeluarkan bunyi nyaring, kadang-kadang
tidak berbunyi sama sekali seolah kedua senjata itu terbuat dari bahan yang lunak.
Bukan main serunya pertandingan an-tara kedua orang tokoh tua yang kepandaiannya sudah
mencapai tingkat tinggi itu. Bahkan sebagian besar para penonton tidak dapat mengikuti
pertandingan itu dengan baik karena kadang gerakan ke-duanya demikian cepat sehingga
yang nampak hanyalah gulungan sinar kuning dan putih yang panjang melingkar-lingkar.
Akan tetapi ada kalanya mereka bergerak lambat sekali dan mengadu tenaga sin-kang melalui
tongkat mereka.
Setelah lewat seratus jurus lebih, tiba-tiba Jeng-ciang-kwi mengeluarkan suara bentakan
melengking dan kedua tangannya memegang bambu kuning itu mendorong ke depan. Hui
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 50
Sian Hwesio menangkis dengan tongkatnya dan ter-dengar suara keras ketika tongkatnya
patah menjadi dua potong! Terpaksa dia melompat ke belakang.
"Omitohud....! Engkau memang tangguh sekali, Jeng-ciang-kwi!" terpaksa dia mengakui
keunggulan lawan.
"Ha-ha-ha, siapa lagi yang hendak bertanding dengan aku? Kulihat Im Yang Sengcu berada di
sini. Selain dia, kiranya tidak ada yang pantas menjadi lawanku, ha-ha-ha!"
Im Yang Sengcu adalah seorang ketua dari perkumpulan besar Kun-lun-pai. Tentu saja dia
merasa segan untuk bertanding begitu saja di depan umum melawan seorang yang tidak ada
urusan apa-apa dengan dirinya pribadi atau dengan Kun-lun-pai, maka dia merasa serba salah.
Akan tetapi melihat Hui Sian Hwesio sudah dikalahkan, Im Yang Sengcu juga merasa tidak
enak kalau diam saja. Dia lalu bangkit berdiri menghampin Jeng-ciane-kwi dan setelah
berhadapan, dia lalu mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan dan
berkata, "Siancai, plnto Ketua Kun-lun-pai tidak mempunyai alasan untuk bertanding deneanmu.
Akan tetapi pinto merasa kagum sekali atas kepandaianmu yang tinggi, Jeng-ciangkwi.
Terimalah hormat pinto.
Ketika tosu itu memberi hormat dengan mengacungkan kedua tangan depan dada, ada
serangkum hawa yang me-nyambar dari kedua tangannya ke depan. Jeng-ciang-kwi segera
maklum bahwa tosu itu hendak menguji kekuatan sin-kangnya, maka dia pun cepat membalas
penehormatan itu dengan merangkap kedua tangan ke depan dada dan mendorongnya ke
depan sambil mengerahkan sin-kang. Terjadi adu tenaga sakti yang amat dahsyat di udara.
Mereka yang berada agak dekat dapat merasakan getaran itu dan otomatis mereka meiangkah
mundur. Dan dalam adu tenaga sakti itu, Ketua Kun-lun-pai tergetar dan kedudukan kakinya
berubah, akan tetapi sebaliknya Jeng-ciang-kwi melangkah mundur dua kali. Ini merupakan
tanda bahwa dalam hal tenaga sin-kang, Iblis Tangan Seribu itu masih kalah setingkat. Dia
terkejut sekali dan merasa beruntung bahwa Ketua Kun-lun-pai itu menjaga martabat dan
tidak mau mengadu Imu kepandaian dengannya, karena kalau demikian halnya, besar
kemungkinan dia akan katah melawan Ketua Kun-lun-pai itu.
Sementara itu, Gui Tiong In s'idah bangkit dan melangkah maju menghadapi Jeng-ciang-kwi
dan suaranya terdengar menggeledek ketika dia berkata, "Jeng-ciang-kwi, kami minta engkau
suka mun-dur dan jangan membikin kacau pemilih-an bengcu yang sudah berjalan tertib ini.
Kalau engkau tidak mau menghentikan pengacauanmu, engkau akan berhadapan dengan
pemerintah!"
Jeng-ciang-kwi merasa jerih ditantang seperti itu. Bagaimanapun juga, kalau sampai dia
dianggap musuh oleh pemerintah dan harus menghadapi pasukan besar yang kokoh kuat,
tentu dia tidak akan merasa aman lagi hidupnya. Ke manapun dia pergi, dia akan menjadi
orang buruan dan akhirnya tentu dia akan tertawan juga, atau terbunuh.
"Ha-ha-ha, siapa yang membikin kacau? Aku hanya ingin menguji kepandaian bengcu dan
sekarang juga aku akan pergi. Hanya lucu sekali kalau pemerintah mulai mencampuri urusan
dunia kang-ouw. Thian Lee, mari kita pergi!" Dia lalu memutar tubuhnya, melompat turun
dari panggung dan melangkah pergi diikuti oleh Thian Lee.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 51
Ilmu merupakan alat bagi manusia untuk mengatasi kesukaran dalam kehi-dupan, untuk
mencari kesejahteraan dan kebahagiaan, seperti alat-alat lain yang ada pada diri manusia.
Ilmu tidaklah jahat ataupun baik, semua itu tergantung kepada pemakainya, kepada manusia.
Baik dan buruknya ilmu sebagai alat manusia, tergantung kepada manusianya. Kalau ilmu
dipergunakan untuk berbuat jahat, tentu saja ilmu itu menjadi ilmu jahat, sebaliknya ilmu apa
pun kalau di-pergunakan, untuk berbuat kebaikan, ilmu itu menjadi ilmu yang balk. Yang
baik atau jahat bukanlah ilmunya, bukanlah alatnya, melainkan manusianya. Dan betapa pun
tinggi ilmu, betapa pun baik-nya, apa artinya apabila ilmu tidak diamalkan untuk berbuat
kebaikan? ilmu yang dipergunakan untuk berbuat jahat, akhirnya akan menceiakakan
manusianya sendlri.
Orang seperti Jeng-ciang-kwi menganggap ilmu untuk menang-menangan, untuk bersaing dan
menonjolkan diri sebagai jagoan tak terkaiahkan. Dengan sendirinya pendapat seperti ini
hanya mendatangkan permusuhan belaka. Bagaimanapun juga, orang yang dikalahkan tentu
akan mendendam dan akan mempelajari ilmu yang lebih tinggi untuk menebus kekalahannya.
Dan orang begini tentu selalu memandang diri sendiri yang terpandai, tak terkalahkan,
merendahkan orang lain sehingga terpupuk kesombong-an dalam hatinya.
Setelah Jeng-ciang-kwi pergi, rapat pertemuan itu dilanjutkan dan akhirnya diambil keputusan
bahwa yang menjadl bengcu adalah Souw Tek Bun. Pendekar ini bertempat tinggal di puncak
Hong-san, tinggal seorang diri karena dalam usianya yang empat puluh tahun itu dia masih
membujang. Biarpun tingkat ke-pandaian pendekar ini belum mencapai puncaknya dan masih
dikalahkan Oleh Jeng-ciang-kwi, akan tetapi kedudukannya seba-gai bengcu cukup kuat
karena dia men-dapat dukungan wakil-wakil partai besar, tokoh-tokoh kang-ouw ternama dan
ter-utama sekali mendapat dukungan dari pemerintah Ceng. Kerajaan Ceng, terutama ketika
dipegang oleh Kaisar Kian Liong, memang pandai mengambil hati orang-orang pandai.
Karena dunia kang-ouw juga sudah dirangkulnya, maka tentu saja para pendekar tidak lagi
memiliki semangat untuk memberontak, tidak ada pikiran untuk berjuang membebaskan
rakyat dari penjajahan. Apalagi karena sang penjajah mementingkan kebutuhan rakyat, tidak
menekan, bahkan lebih baik daripada ketika rakyat diperintah oleh bangsa sendiri, maka
rakyat pun merasa lega dan tidak mempunyai keinginan untuk memberontak. Kalau
pemerintah sudah mendapat dukungan rakyat terbanyak, tentu saja pemerintah itu menjadi
kuat.
Jeng-ciang-kwi membawa muridnya ke tempat tinggalnya, yaitu di Bukit Kwi-san yang
berada di utara. Di Kwi-san ini terdapat sebuah lembah yang disebut Lembah Iblis dan di
tengah lembah itu terdapat sebuah guha yang dari jauh bentuknya mirip tengkorak manusia,
ka-rena itu disebut Guha Tengkorak. Di Lembah Iblis ini, Jeng-ciang-kwi tinggal sebagai
majikannya dan dia mempunyai selosin anak buah yang selalu menjaga tempat itu. Jalan
masuk ke tempat ting-gal Jeng-ciang-kwi hanya satu, yaitu melalui guha yang seperti
tengkorak itu. Ketika Thian Lee tiba di situ bersama gurunya, dia merasa ngeri melihat guha
yang mirip tengkorak itu. Kemudian ber-munculan dua belas orang yang berpakaian serba
hitam dan mereka itu kelihatan bengis dan bertubuh kuat. Mereka semua memberi hormat
kepada Jeng-ciang-kwi sambil berlutut di kanan kiri guha.
"Terjadi apakah selama aku pergi?" tanya Jeng-ciang-kwi.
"Tidak terjadi sesuatu yang penting, Kokcu (Majikan Lembah)," seorang di antara mereka
melapor.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 52
"Bagus! Kalian lihat baik-baik, anak ini adalah Song Thian Lee, muridku yang baru. Kalian
harus bersikap baik-baik kepadanya. Dan Thian Lee, mereka ini adalah para pfelayanku, juga
murid-murid-ku dan anak buahku. Engkau harus meng-hormati mereka."
"Baik, Suhu. Para suheng, kalian baik-baik sajakah?" tegur Thian Lee kepada mereka. Dua
belas orang itu hanyai mengangguk tanpa mengeluarkan kata-kata.
"Aku ingin merayakan kepulanganku bersama Thian Lee, sediakan arak dan, makanan," kata
pula Jeng-ciang-kwi dan dia mengajak Thian Lee memasuki guha tengkorak. Ternyata guha
itu besar dan dalam. Dan di sebelah dalamnya merupa-kan terowongan yang lebar dan
panjang yang menembus ke sebuah taman yang luas pula. Dan di tengah-tengah aman itu
berdirilah sebuah bangunan yang me-gah dan besar. Kiranya kakek itu memiliki tempat
tinggal yang besar dan bagus, pikir Thian Lee terheran. Mereka memasuki rumah itu dan
Thian Lee mendapat-kan sebuah kamar di tengah. Dua belas orang itu memiliki kamar-kamar
di ba-gian belakang rumah besar itu.
Demikianlah, mulai hari itu Thia Lee tinggal di rumah besar Jeng-ciang-kwi. Dan mulai pula
dia menerima pelajaran ilmu sMat dari gurunya. Karena Thian Lee sudah memiliki
pengetahuan dasar ilmu silat tinggi yang dipelajari selama dua tahun dari Liok-te Lo-mo, dan
ka-rena memang dia berbakat baik, maka dengan mudah dia dapat berlatih sesuai dengan
pelajaran yang diberikan Jeng-ciang-kwi. Juga Iwee-kang yang pernah dilatihnya dari Liok-te
Lo-mo dengan cara merendam tangan di dalam es, lalu memanggang di atas api, telah mendatangkan
sin-kang yang lumayan.
Selama setengah tahun menjadi murid Jeng-ciang-kwi, Thian Lee merasa bahwa apa yang
diajarkan Jeng-ciang-kwi amat-lah lambat. Dan selain menjadi mund dan belajar silat,
waktunya dihabiskan untuk bekerja di dalam rumah itu. Mem-bersihkan semua perabotan,
menyapu lantai dan segala macam pekerjaan yang dia lakukan setiap hari.
Ada satu hal yang membuat Thian Lee merasa penasaran. Di dalam rumah itu terdapat sebuah
kamar yang pintunya selalu tertutup. Gurunya melarang dia memasuki kamar itu, apalagi
membersih-kannya. Sudah lajim bagi siapa saja, hal yang dilarang itu bahkan menarik hati,
Karena dilarang memasuki kamar itu, Thian Lee merasa penasaran dan ingin sekali dia
melihat apa sebetulnya yang berada di kamar itu.
Pada suatu hari, Jeng-ciang-kwi memanggil Thian Lee, "Thian Lee aku akan meninggalkan
rumah barang tiga hari. Engkau jaga rumah baik-baik dan jangan lupa untuk melatih jurus
yang baru ku-ajarkan kepadamu kemarin. Juga jangan lupa membersihkan rumah. Ingat,
jangan keluar dari dalam guha kalau aku sedang tidak berada di rumah."
"Baik, Suhu." kata Thian Lee.
Setelah gurunya pergi, dia menyapu lantai rumah yang luas itu seperti biasa. Ketika dia
menyapu tiba di depan kamar yang terlarang itu, dia berhenti dan termenung memandangi
pintu kamar. Apa sih yang berada di dalam kamar ini, pikirnya ingin sekall tahu. Gurunya
sedang tidak berada di rumah dan para anak buah gurunya juga tidak berada di rumah itu.
Mereka itu selalu berada dl luar rumah untuk bekerja mengurus keperluan sehari-hari dan juga
untuk berjaga rumah di sebelah luar. Kalau tidak dipanggil oleh Jeng-ciang-kwi, tidak ada
seorang pun di antara mereka yang berani memasukl rumah.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 53
Tidak ada orang lain di dalam rumah, pikir Thian Lee. Kalau aku menjenguk ke dalam kamar,
apa salahnya? Karena keinginan tahu yang amat mendesak, yang timbul dari larangan
suhunya, akhirnya Thian Lee mendorong daun pintu. Daun pintu itu tidak dikunci dan biarpun
agars' berat, dapat juga terbuka. Dan ternyata, kamar itu penuh dengan kitab! Berderet-deret
di rak buku dan juga kotor ber-debu!
Thian Lee adalah seorang penggemar membaca kitab. Maka melihat demikian banyaknya
kitab, hatinya menjadi girang sekali. Kalau hanya kitab-kitab isi kamar ini, mengapa
dirahasiakan oleh gurunya?' Melihat kitab-kitab itu demikian kotor, Thian Lee segera
membersihkannya dengan pengebut bulu. Juga lantainya kotor? bukan main. Dia mengebut
lalu menyapu lantainya sehingga kamar itu bersih.Akan tetapi selain itu, dia tidak dapat
mehahan keinginan hatinya untuk melihat-lihat kitab itu. Ada sebuah kitab yang kelihatan
sudah tua sekali. Dibukanya kitab itu dan ternyata itu adalah sebuah kitab pelajaran silat.
Judul kitab itu "Pat-kwa-sin-kun" (Ilmu Silat Sakti Delapan Segi) dan segera dibacanya.
Membaca satu bagian Thian Lee mengnafalnya di luar kepala, lalu dia mengernbalikan kitab
itu dan keluar dari dalam kamar. Malamnya, di dalam kamarnya, dia mengingat kembali apa
yang telah dibacanya dan mencoba untuk memainkan jurus ilmu silat yang telah dibacanya.
Ternyata lebih mengasyikkan daripada apa yang telah dipejari dari gurunya.
Sekali membaca bagian pertama, Thian Lee .rnenjadi penasaran dan setiap kali terdapat
kesempatan, dia selalu menyelinap masuk ke dalam kamar pustaka dan membaca kitab Patkwa-
sin-kun. Sedikit demi sedikit dia membaca dan menghafalkan lalu melatih dirinya di
dalam kamar.
Sebetulnya ilmu silat Pak-kwa-sin-kun yang dipelajari Thian Lee itu hanyalah ilmu silat biasa
saja, akan tetapi karena dia mempelajari sambil sembunyi-sembunyi, maka menarik sekali dan
dia merasa seolah menemukan suatu ilmu rahasia yang hebat.
.
Akan tetapi pada suatu hari, ketika dia sedang membaca kitab di dalam ka-mar tiba-tiba
terdengar tindakan kaki di luar kamar! Dan terdengar suara gurunya, "Benarkah bahwa dia
sering kali memasuki kamar ini?"
"Benar, Kokcu. Saya tidak berani berbohong!" terdengar suara seorang anak buah.
Mendadak kamar itu terbuka. Gurunya sudah berdiri di ambang pintu dengan alis berkerut
dan mata mencorong marah Thian Lee yang sedang membaca kitab itu menjadi demikian
kaget sehingga kitab itu terjatuh ke atas lantai.
"Kau....! Berani engkau melanggar laranganku?" bentak Jeng-ciang-kwi.
Karena sudah ketahuan, Thian Lee tidak dapat membela diri. Dia hanya menjatuhkan diri
berlutut dan berkata, "Ampunkan teecu, Suhu!"
"Enak saja minta ampun. Hayo keluar!" Bentak gurunya. Thian Lee keluar dan pintu kamar
itu kembali ditutup oleh Jeng-ciang-kwi. Kemudian dia menarik Thian Lee diajak pergi keluar
dan ru-mah, terus melalui terowongan dari keluar dari dalam guha tengkorak. Seperti terbang
kakek itu lari sambil menggandeng tangan Thian Lee yang tergantung | dan seperti
diterbangkan saja.
Setelah tiba di kaki bukit, barulah kakek itu berhenti. "Engkau tahu dosamu?"
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 54
"Teecu mengaku salah, Suhu," kata Thian Lee dan dalam suaranya terkandung ketakutan
melihat wajah gurunya yang demikian bengisnya.
"Engkau pantas dihukum mati! Belum pernah ada orang yang melanggar larang-anku!" Dia
mengeluarkan sehelai tali yang agaknya dibawanya sejak tadi dan , sekali dia melempar tali
itu, tubuh Thian Lee sudah terlibat dan terikat tali.
"Maafkan teecu Suhu," kata Thian Lee. Akan tetapi kakek itu tidak menjawab, melainkan
dengan satu hentakan tubuh Thian Lee yang sudah terikat tali ?itu melayang ke atas pohon
dan di lain saat dia telah tergantung dari pohon dengan kedua tangan terikat pada tubuhnya.
Dia digantung di situ sehingga kepalanya berada di bawah kakinya di atas, sama sekali tidak
mampu meronta karena kedua lengan dan kaki terbelit-belit tali yang kuat sekali. Dia
tergantung kira-kita satu meter dari tanah dan kakek itu mengikatkan ujung tali pada batang
pohon.
"Aku akan membiarkan engkau di sini sampai ada harimau atau binatang buas lain
memakanmu! Inilah hukumanmu!" kata kakek itu dan dia segera pergi dari situ meninggalkan
Thian Lee tergantung dari pohon itu.
Thian Lee merasa ngeri. Dia tahu bahwa di sekitar tempat ini memang banyak terdapat
binatang buas sepepti harimau, ular dan semacam srigala yang buas.
"Suhu, lepaskan teecu...." Berulang dia memohon akan tetapi tidak ada suara jawaban.
Agaknya kakek itu sudah meninggalkan dia dalam keadaan tidak berdaya. Kalau benar
muncul harimau atau binatang liar lainnya, tentu dia akan mudah dijadikan mangsa binatang
itu tanpa dapat melawan atau melarikan diri sama sekali
Jilid 4________
“Suhuu" Sampai serak tenggorokannya memanggil gurunya, akan tetapi sia-sia saja. Bahkan
yang muncul bukan gurunya, melainkan seekor harimau hitam! Harimau itu mengendusendus
dengan mulutnya, mencium bau manusia dan akhirnya dilihatnya pemuda remaja yang
tergantung di situ. Berindap-indap harimau itu menghampiri, mengeluarkan suara auman
mengerikan. Kemudian dia mendekam dan mengambil ancang-ancang untuk menubruk Thian
Lee.
Tentu saja anak itu merasa ngeri bukan main. "Suhu....! Tolonglah teecu...!" Dia berteriak dan
teriakannya mengejutkan harimau itu akan tetapi tidak menbuatnya takut, hanya agaknya
menunda terkamannya. Sejenak harimau itu menunggu, akan tetapi karena tidak terjadi
sesuatu, dia lalu mengambil ancang-ancang lagi untuk melompat dan menerkam mangsa itu.
Thian Lee terbelalak memandang harimau itu. Mati aku sekarang, pikirnya dan otomatis
mulutnya berseru, "Ibu, tolonglah aku....!"
Pada saat itu harimau melompat dan menerkam. Thian Lee memejamkan matanya, menanti
saat dia diterkam. Akan tetapi terdengar suara gedebukan dan harimau itu menggereng keras.
Ketika dia membuka mata, dia melihat harimau itu bergulingan dan sebatang kayu sebe-sar
lengan telah menancap di perut harimau itu. Kemudian harimau itu melarikan diri sambil
membawa kayu yang masih menancap di perutnya. Agaknya ada yang menolongnya dan
menyerang harimau itu dengan tombak kayu! Tentu gurunya yang menolongnya.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 55
Nampak Jeng-ciang-kwi muncul keluar entah dari mana dan dia pun marah-marah. "Jahanam
keparat! Siapa yang berani lancang membunuh harimau dan menolong anak setan ini?"
Thian Lee masih tidak mengerti, mengira gurunya berpura-pura karena selain gurunya, siapa
dapat menolongnya tadi dan membuat harinnau itu terluka dan melarikan diri? Dia hanya
dapat memandang sambil bergantung di tali itu.
"Jeng-ciang-kwi, engkau yang jahanam keparat! Kernbalikan jiwa suteku." Terdengar
bentakan nyaring suara wanita dan tahu-tahu di situ telah muncul seorang wanita yang
menyeramkan sekali. Wanita itu sebetulnya tidak buruk wajahnya, bahkan dapat dibilang
cantik akan tetapi muka itu pucat seperti muka mayat, akan tetapi sepasang matanya mencorong
seperti mata harimau. Tubuhnya tinggi kurus, usianya kurang lebih empat puluh tahun
dan bajunya serba merah! Di tangan wanita itu terpegang seekor ular merah yang panjangnya
hanya setengah meter dan besarnya seibu jari kaH. Ular itu melingkar di lengan kanannya.
Melihat wanita itu, Jeng-ciang-kwi memandang tajam lalu tertawa, "Ha-ha-ha, tentu engkau
yang bernama Ang-tok Mo-li (Iblis Wanita Racun Merah)." Mungkin julukan itu karena ia
berpakaian serba merah, dan melihat julukannya pakai racun dapat diduga bahwa ular yang
berada di tangannya itu tentu juga beracun!
"Sudah mengenal namaku, engkau harus rnembayar hutangmu atas kematian suteku!"
"Hemm, sutemu itu tentu Hek-kak-liong, bukan? Ketahullah, Hek-kak-liong (Naga Tanduk
Hitam) berani menentangku dan kanru berkelahi. Karena kepandaiannya yang belum seberapa
berani menen-tangku, dan dalam perkelahian dia tewas, apa lagi yang harus diributkah?"
"Dia adalah suteku yang tercinta, sekarang telah kaubunuh, engkau harus mengganti
nyawanya!" bentak wanita itu, suaranya nyaring melengking.
"Heh-heh-heh, adik seperguruanmu ataukah kekasihmu? Ha-ha, aku sudah mendengar bahwa
Hek-kak-liong itu seorang mata keranjang dan engkau iblis betina ini juga tidak jelek."
"Keparat, engkau harus marasai tanganku!" bentak wanita itu marah dan ia pun sudah
menubruk maju dan menyerang kakek itu dengan cakaran tangaf kirinya yang berkuku
runcing. Jeng-ciang-kwi terkejut juga melihat serangan ini yang mendatangkan angin keras
dan dia mencium bau amis, tanda bahwa tangan wanita itu, mungkin kukunya, mengan-dung
racun yang berbahaya. Maka dia pun melompat ke belakang lalu mengayun tongkat
bambunya menyerang. Akan te-tapi wanlta itu dapat bergerak dengan gesit, mengelak dari
sambaran tongkat bambu, lalu menyerang lagi, kini lebih hebat karena dia menggunakan
tangan kanan dan ular yang tadi melingkar di lengan kanannya itu tiba-tiba terulur dan
menggigit ke arah pundak Jeng-ciang-kwi. Kakek ini mendengus dan mengelak sambil
memutar tongkat bambunya. Me-reka segera saling serang dengan seru dan hebatnya.
Sementara itu,thian Lee yang masih tergantung itu tiba-tiba melihat seorang artak perempuan
menghampirinya. Anak perempuan ini berusia kurang lebih dua belas tahun, cantik mams
dengan Tarribut dikepang menjadi dua kuncir dan memakai pita merah. Pakaiannya
berkembang-kembang dan tangan kirinya juga mem-bawa seekor ular hitam. Dia mendekati
Thian Lee dan bertanya, "Engkau ini kenapakah diikat dan digantung di sini? Hi-hik, kau lucu
sekali, seperti seekor monyet yang tertangkap jebakan, hi-hik."
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 56
Thian Lee mengerutkan alisnya. Ucap-an anak perempuan itu menyakitkan hati-nya. Kalau
tadinya dia ingin minta to-long agar dilepaskan, ketika mendengar ucapan itu, maksudnya
minta tolong diibatalkan.
"Aku diikat di sini, apa pedulimu? Pergilah, tak perlu engkau mengejek
aku!" kata Thian Lee.
Anak perempuan ilu tertawa. "Aku tahu, engkau tentu hendak dibunuh oleh kakek jahat itu.
Tadi kalau tidak ada aku yang menyambitkan tombak kayu kepada harimau itu, engkau kini
tentti sudah berada di dalam perut harimau dan tidak dapat bersikap angkuh seperti ini." Thian
Lee terkejut. Jadi bocah inikah yang tadi telah menyelamatkan nyawanya dari terkaman
harimau? Dia menyesal telah bersikap tidak bersahabat. "Ah, engkau yang tadi menolongku?
Terima kasih kalau begitu," katanya dan mukanya berubah merah.
"Engkau belum menjawab pertanyaan-ku. Kenapa engkau terikat disini?"
"Suhu yang mengikat aku di sini."
"Suhumu? Siapa suhumu?"
"Jeng-ciang-kwi itulah suhuku."
"Dan dia mengikat muridnya sendiri untuk dimakan harimau? Bagaimana ini? Mana ada suhu
mengancam begitu?"
"Aku yang bersalah. Aku mencuri baca kitab milik Suhu dan aku dihukum."
"Tidak pantas! Kalau murld membaca kitab gurunya, hal itu sudah semestinya. Menghukum
boleh saja, akan tetapi se-ngaja mengorbankan murid untuk dimakan harimau? Itu sungguh
mengerikan dan keji sekali. Mari kubebaskan engkau, maukah?"
"Tentu saja mau."
Bocah itu lalu mengalungkan ular hitam di lehernya sehingga kini kuncirnya bertambah satu
karena seekor ular itu berjuntai seperti kuncir rambut. Kemudi-an sepuluh jari tangannya yang
kecil mungil mulai membuka ikatan pada tubuh Thian Lee sehingga akhirnya Thlan Lee
terlepas dan jatuh ke atas tanah. Dia merasa kaki tangannya bekas gigitan ikatan tali itu nyerinyeri
dan kini dia bangkit memandang kepada gadis cilik itu.
Anak perempuan itu hanya setinggi pundaknya. Diam-diam dia kaget sekali. Masih begitu
kecil sudah dapat membuat harimau tadi terluka parah dan melarikan diri, mungkin mati
karena perutnya ter-tembus kayu. Hebat sekali! ", "Apakah engkau murid wanita yang
bertempur melaWan guruku itu?"
"Benar, namaku Bu Lee Cin. Engkau siapa?"
"Namaku Song Thian Lee. Lee Cih, terima kasih atas pertolonganmu yang dua kali itu.
Membunuh harimau dan mernbebaskan aku dari ikatan. Mudah-mudahan lain waktu aku
dapat membalas pertolonganmu ini."
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 57
"Hemm, tidak bisa. Agaknya kita sekarang harus tertanding, saling serang. Hayo, mulailah”
anak perempuan itu sudah memasang kuda-kuda, siap untuk menyerang Thian Lee.
"Eh? Apa-apaan engkau ini? Mengapa kita harus saling serang?"
"Lihat gurumu dan guruku sudah bertanding. Kita sebagai murid-murid mereka harus
membela guru, maka marilah kita bertanding."
"Tidak, engkau sudah menolongku, untuk apa aku bertanding? Kalau engkau tadi tidak
mpnolongku, aku sudah mati diterkam harimau. Kalau kini engkau hendak menagih, ambillah
nyawaku. Bunuhlah aku, aku tidak akan melawan."
Gadis itu tidak jadi memasang kuda-kuda. "Lho, engkau ini bagaimana sih? Apakah engkau
tidak hendak membantu gurumu?"
"Tidak, kalau pembelaan itu mengharuskan aku bertanding denganmu. Engkau seorang gadis
yang baik, aku ingin bersahabat denganmu, bukan bermusuh."
"Kalau begitu, mari kita menonton saja. Kaukira siapa yang akan menang? Guruku atau
gurumu?" tanya Lee Cin.
"Tongkat bambu kuning guruku lihai sekali, gurumu tidak akan menang," kata Thian Lee
sambil menonton pertempuran yang masih berlangsung seru itu.
"Belum tentu! Engkau tidak tahu. Ular yang dibawa guruku itu adalah ular merah yang
racunnya ampuh sekali. Sekali terkena gigitan ular itu, gurumu akan mampus!" jawab Lee Cin
tidak mau kalah.
Pertandingan itu memang hebat bukan main. Baru sekarang Jeng-ciang-kwi ber-temu tanding
yang setingkat. Memang, permainan tongkat bambu kuning di tangannya membuat lawannya
terdesak, akan tetapi Ang-tok Mo-li memiliki ge-rakan yang gesit sekali sehingga biarpun
terdesak, tubuhnya berkelebatan di anta-ra gulungan sinar tongkat yang kekuning-kuningan.
Sementara itu, ,beberapa kali ularnya hampir dapat menggigit lengan kakek itu sehingga
kakek itu rnenjadi lebih hati-hati memutar tongkatnya, tidak memberi lubang sama sekali bagi
ular itu untuk mematuk. Ular itu adalah Ang-hwa-coa (Ular Kembang Merah), bukan saja
beracun hebat sekali, akan tetapi juga memiliki gerakan yang gesit.
Setiap kali ujung tongkat bambu mengancam kepalanya, ular itu dapat mengelak sendiri.
Ekornya membelit pergelangan tangan wanita tua itu dan kepalanya kadang meluncur untuk
menyerang. Biar-pun ada ular di lengannya, Ang-tok Mo" li masih dapat menggunakan
tangan ka-nan itu untuk menyerang dan kedua ta" ngannya yang membentuk cakar itu juga
mengandung racun yang hebat sehingga Jeng-ciang-kwi harus berhati-hati sekali karena
sekali saja terkena goresan kuku atau gigitan ular, akibatnya akan berbahaya bagi dirinya.
Perkelahian itu sudah berlangsung hampir dua ratus jurus dan belum ada yang menang atau
kalah. Dua orang anak yang menonton itu duduk berdampingan seperti dua orang sahabat
baik. Katau ada orang melihatnya tentu sama sekali tidak akan mengira bahwa mereka adalah
murid-murid dari dua orang yang berkelahi mati-matian nampak begitu akur!
"Bagaimana kalau gurumu nanti kalah dan mati, Thian, Lee?" tanya Bu Lee Cin.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 58
''Hemm, aku akan pergi merantau dan hidup sebatang kara di kolong langit ini."
"Kau sudah tidak mempunyai ayah ibu dan saudara?"
"Tidak sama sekali, hanya seorang diri sebatang kara."
"Sama saja. Aku pun demikian. Hanya ada Subo disampingku."
"Hemm, bagaimana kalau, subomu yang kalah dan tewas?"
"Aku pun akan merantau' seorang diri. Aih, alangkah senangnya kalau kita dapat pergi
merantau berdua, Thian Lee!"
"Ya, senang sekali. Hemm, bagaimana mungkin? Engkau murid subomu dan aku murid
suhuku."'
"Engkau tidak menyesai Walau suhumu kalah dan tewas?"
"Apa yang disesalkan? Suhu tadi juga hampir membunuhku. Kalau dia kalah dan tewas,
adalah kesalahannya sendiri mengapa dia sampai kalah. Bagaimana kalau subomu yang
tewas? Apakah engkau tidak menyesal?"
"Tentu saja. Aku akan Belajar lebih' tekun dan k^lak membalas kernatian suboku."
Terdengar suara melengking keras yang menghentikan percakapan mereka karena mereka
kini memperhatikan lagi jalannya pertandingan yang terlalu cepat bagi mereka. Kadang
mereka tidak dapat membedakan mana guru masing-masing kalau kedua orang itu bergerak
cepat.
Tiba-tiba Jeng-ciang-kwi mengeluarkan bentakan nyaring, "Kena....!" Dari ujung tongkatnya
benar saja telah berhasil menotok pundak lawan. Ang-tok Mo-li menjerit dan tangan kirinya
bergerak, tiba-tiba ular merahnya meloncat dan seperti terbang meluncur ke depan, tahu-tahu
sudah menempel di lengan Jeng-ciang-kwi dan menggigit sekali, lalu mencelat lagi kembali
ke tangan Ang-tok Mo-li.
Ang-tok Mo-li terhuyung ke belakang dan rnuntah darah,, sebaliknya Jeng-ciang-kwi juga
terhuyung lalu duduk bersila sambil memejamkan matanya rnengerah-kan sin-kang untuk
melawan racun ular yang telah menggigit lengannya. Ang-tok Mo-li juga ambruk dan bersila.
Ke-dua orang itu sama-sama telah terluka parah, entah siapa yang lebih parah. Ang-tok Mo-li
yang tertotok pundaknya ataukah jeng-ciang-kwi yang tergigit ular merah. Ang-hwa-coa
memang mempunyai racun yang hebat sekali dan orang yang terkena gigitannya akan sukar
mendapat-kan obatnya. Ang-tok Mo-li juga terkena totokan di pundaknya yang membuatnya
terluka hebat di sebelah dalam dadanya.
Jeng-ciang-kwi cepat menotok siku dan pangkal lengannya untuk menghenti-kan jalan
darahnya agar racun tidak menjalar naik, akan tetapi dia menderita nyeri yang bukan main.
Lengannya seper-ti dibakar.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 59
Thian Lee lari menghampiri gurunya, lalu memapahnya untuk diajak pergi dari situ, untuk
kembali ke rumah di puncak Kwi-san. Dan Lee Cin juga memapah gurunya, diajak pergi
meninggalkan tempat itu. Kedua orang yang sudah terluka itu menurut saja dipapah muridnya
ka-rena mereka khawatir kalau tidak cepat pergi dan lawan dapat menyerang selagi mereka
terluka, tentu mereka tidak akan dapat melawan lagi.
Thian Lee memapah gurunya yang bersandar kepadanya dan berjalan terta-tih-tatih. "Jangan...
jangan bawa aku pu-lang.... bawa ke sana, ke barat, ke hutan itu."
"Akan tetapi, Suhu, kenapa tidak pulang dan mau apa ke hutan itu?" tanya Thian Lee heran.
"Aku mendengar dari para suhengrrtu bahwa di sana terdapat seorang tabib sedang
mengumpulkan daun-daun dan akar obat. Mungkin dia akan dapat menolong dan
mengobatiku."
"Baik, Suhu." Thian Lee lalu menuju ke hutan dan suhunya tetap berpegang pada pundaknya
dan melangkah perlahan-lahan menahan nyeri.
"Thian Lee...." "Ya, Suhu?"
"Kenapa engkau mau menolongku? Aku hampir saja membunuhmu, membiar-kanmu menjadi
mangsa harimau."
"Teecu telah bersalah mencuri baca kitab dan Suhu telah menghukum teecu, itu sudah
sepantasnya. Kini Suhu terluka dan teecu menolong Suhu, juga sudah sepatutnya."
"Thian Lee, engkau anak yang baik, terlalu baik. Kelak kebaikanmu malah akan
menyusahkan dirimu sendiri." Akani tetapi Thian Lee sudah tidak mau mem-j pedulikan lagi
kepada suhunya dan me-langkah terus memasuki hutan. Tak lama kemudian benar saja dia
melihat seorang yang berpakaian longgar sedang mencari daun-daun di antara semak belukar.
"Locianpwe....!" Thian Lee memanggil! dan orang itu menengok, melihat anak yang
memapah seorang kakek bongkok kurus.
"Eh, .siapakah engkau, Nak? Ada urusan apa mencari dan memanggil pinto?"
Kiranya orang itu seorang tosu, maka Thian Lee cepat memberi hormat. "To-tiang, kami
datang mencari Totiang untuk memohon pertolongan Totiang."
"Pertolongan apa yang dapat pinto berikan?"
Kini Jeng-ciang-kwi yang berkata,
"Sobat, aku mohon pertolonganmu untuk mengobati aku. Seekor ular menggigit lenganku dan
nyerinya bukan kepalang. Ular itu tentu berbisa sekali."
Tosu itu kelihatan kaget mendengar iifgK dan cepat dia menghampiri Jeng-ciang-kwi. Dia
menyuruh kakek itu duduk, kemudian diperiksanya luka di lengan itu. Ketika dia melihat
denyut nadinya, tahulah dia bahwa jalan darah telah dihentikan di bagian siku dan pangkal
lengan.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 60
"Untung jalan darahmu dihentikan, kalau tidak tentu sudah menjalar ke atas. Akan tetapi,
racun ini hebat bukan main. Seperti apakah bentuk dan warna ular itu?"'
"Ularnya berwafna reerah, sebesar jari dan panjangnya setengah meter." kata Jeng-cian-kwi.
"Siancai....! Sudah kuduga. Tentu ular itu Ang-hwa-coa yang racunnya luar biasa sekali
hebatnya! Akan tetapi agak-nya Thian belum menghendaki engkau tewas maka engkau
bertemu dengan pin-to. Sungguh kebetulan sekali baru kema-rin ini pinto menemukan buah
Coa-cu (Mestika Ular) yang dapat memunahkan racun Ang-hwa-coa. Padahal buah seperti ini
amat langka. Agaknya Thian mem-benkan kepada pinto justeru untuk me-nolongmu, sobat.
Nah, kaumakanlah buah iru, rasanya pahit dan getir dan merupakan obat mujarab untuk
menolong nyawamu.
Dengan penuh semangat Jeng-ciane-kwi menerima dan makan buah sebesar kepalan tangan
itu. Rasanya amat pahit dan getir, akan tetapi sambil memejamkan matanya dimakannya
semua buah itu sampai habis dan terasa perutnya panas.
.sekarang pinto harus melukai lenean yang tergigit untuk mengeluarkan darah yang sudah
keracunan," kata tabib itu dan dia mengeluarkan sebilah pisau motong daun yang tajam lalu
ditorehnya luka di lengan yang tergigit ular itu, selebar dua senti sampai mengenai urat-nya.
Lalu dia mengurut-urut lengan itu dan darah bercucuran dari lukanya. Da-rah yang
menghitam!
Setelah beberapa saat lamanya, dia berkata, "Nah, sekarang sudah selamat, engkau boleh
mengalirkan darahmu kem-bali ke lengan yang terluka," katanya sambil membubuhkan obat
bubuk ke atas luka itu yang sebentar saja mengering. Jeng-ciang-kwi lalu menggunakan jari
tangan kiri untuk membebaskan totokan iengan kanannya sehingga darahnya ber- , jalan
lancar kembaii. Rasa panas di pe-rutnya makin lama makin menghilang dan dia tidak
merasakan nyeri lagi pada lengannya.
Setelah menggerak-gerakkan lengannya yang sudah pulih kembali kekuatannya, Jeng-ciangkwi
memandang kepada tosu itu. Tosu itu pun memandang kepadanya dan berkata, "Siancai,
engkau memiliki ilmu kepandaian tinggi akan tetapi masih saja dapat dikalahkan musuh.
Entah sam-pai bagaimana hebatnya kepandaian mu-suhmu itu."
"Siapa kalah? Aku tidak kalah!" bentak Jeng-ciang-kwi. "Engkau yang me-ngira bahwa aku
dikalahkan orang harus kubunuh agar jangan menyebar berita bohong itu!" Berkata demikian,
Jeng-ciang-kwi sudah mengangkat tangan untuk menyerang tabib itu.
Melihat ini, Thian Lee menjadi pena-saran sekali. Dia meloncat ke depan gurunya untuk
menghalangi gurunya me-nyerang tabib itu dan berteriak, "Suhu , tidak boleh berbuat seperti
itu!"
"Heh, engkau berani menghalangi ke-hendakku?"
"Tentu saja teecu berani karena Su-hu memang bertindak salah besar. To-tiang ini telah
menyelamatkan nyawa Suhu, sepatutnya Suhu bersukur dan ber-terima kasih kepadanya,
bukan malah hendak membunuhnya!"
"Kalau engkau beram menghalangi, aku tidak segan untuk membunuhmu pula!" bentak Jengciang-
kw marah.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 61
”Setelah teecu bersusah payah menolong Suhu dan mencarikan tabib, Suhu malah hendak
membunuhnya. Me-mang kami berdua tidak dapat melawan Suhu, akan tetapi kalau Suhu
membunuh kami, maka kami akan mati penasaran dan roh kami akan selalu mengutuk dan
mengejar Suhu!" bantah Thian Lee dengan sikap menantang, sama sekali tidak takut,
Anehnya, kini Jeng-ciang-kwi yang merasa ngeri. Dia tidak takut melawan manusia yang
mana pun, akan tetapi kalau benar nanti roh kedua orang itu akan selalu mengutuk dan
mengganggunya, bagaimana dia akan dapat melawan roh yang penasaran?
"Huh, aku tidak sudi itiempunyai mu-rid sepertimu lagi. Pergilah kalian!" Mendadak dia
mengamuk, kedua tangannya memukul dari jarak jauh ke arah Thian Lee dan tabib itu. Kedua
orang ini ter-jengkang karena dilanda hawa pukulan yang amat dahsyat, bahkan Thian Lee
yang berdiri di depan, langsung pingsan sedangkan tosu itu muntah darah.
"Ha-ha-ha, kalian tidak perlu rnenjadi setan penasaran, kubiarkan hidup agar lain kali aku
dapat memukul kalian lagi kalau berjumpa!" kata Jeng-ciang-kwi dan dia pun lalu pergi
berkelebat dari situ.
Thian Lee siuman ketika rnerasa ke-pala dan mukanya diguyur air dingin. Kiranya dia sudah
berada di tepi sebuah anak sungai yang airnya jernih sekali dan tosu tabib itu sudah duduk di
dekatnya, sedangkan dia rebah telentang di iatas rumput.
Thian Lee hendak bangkit duduk, akan tetapi dia merasa dadanya sesak dan rebah kembali.
"Jangan bangkit dulu, rebah sajalah. Engkau menderita luka dalam yang cukup parah."
Thlan Lee teringat akan perbuatan Jeng-ciang-kwi yang tadi memukul me-reka dari jarak
jauh. "Dan Totiang sendiri....? Bukankah tadi juga terpukul....?"
"Pinto sudah menelan obat, luka pinto sydah hampir sembuh. Tinggal engkau yang harus
menelan obat ini untuk me-nyembuhkan luka dalam di dadarnu. Nah, lima butir pel ini
telanlah dan minumlah dengan air ini." Tosu itu memasukkan lima pel ke dalam mulut Thian
Lee lalu memberinya minum air dari daun yang lebar. Setelah menelan lima butir pel itu,
Thian Lee merasa dadanya hangat dan rasa nyeri banyak berkurang. Dia lalu bangkit duduk
dan memberi hormat kepada tabib itu.
"Banyak terima kasih atas pertolongan Totiang."
"Tidak ada tolong menolong, tidak perlu berterima kasih. Perbuatan yang dianggap
pertolongan, bukanlah perbuatan baik lagi. Perbuatan yang mengandung pamrih adalah
perbuatan palsu dan buruk sekali."
Mereka duduk di tepi anak sungai. Agaknya tosu itu membawa Thian Lee ke anak sungai.
Pemandangan di situ indah sekali, dan udaranya sejuk. Suara air gemercik itu sungguh
mendatangkan rasa tenang dan tenteram.
"Kalau begitu, apa yang dinamakan kebaikan itu, Totiang?" tanya Thian Lee tertarik. Kalau
perbuatan baik dianggap pertolongan bukan perbuatan baik lagi, lalu yang disebut kebaikan
itu yang bagaimana?
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 62
"Orang yang melakukan sesuatu dengan kesadaran bahwa dia melakukan kebaikan, maka dia
terjerumus ke dalam kepalsuan dan timbullah pamrih dalam batinnya untuk mendapatkan
imbalan dari perbuatannya itu. Kalau ada perbuatan yang disebut baik, maka hal ini akan
mendorong orang untuk menjadi munafik, untuk berbuat yang baik-baik dengan menyembunyikan
pamrih untuk kesenangan' diri pribadi. Mungkin pamrih itu berupa keinginan
agar dianggap atau disebut baik oleh orang lain, keinginan untuk mendapatkan imbalan jasa
dari yang ditolongnya, atau bahkan keinginari untuk mendapatkan berkah atau pahala cari
Tuhan karena perbuatan baik kita. Semua keinginan itu, adalah pamrih yang tersembunyi dan
apa pun macamnya pamrih itu, tiada lain hanya demi kesenangan diri pribadi. Jadi
perbuatannya itu hanya merupakan cara untuk memperoleh apa yang diinginkan. Bukankah
perbuatan begini palsu adanya dan munafik?"
"Kalau begitu perbuatan yang baik itu bagaimana, Totiang?"
"Tidak ada perbuatan baik bagi si pelaku bijaksana. Yang ada hanyalah per-buatan yang benar
dan ini dianggapnya sebagai suatu kewajiban dalam hidup. Hidup haruslah ada kasih sayang
di anta-ra manusia dan dari kasih sayang inilah timbul perasaan iba yang mendorong kita
berbuat benar dan membantu siapa yang berada dalam kesukaran. Perbuatan yang didorong
oleh kasih ini sama sekali tidak berpamrih, bahkan si pelaku tidak menya-dari bahwa
perbuatannya itu baik atau ti-dak. Dia hanya yakin bahwa apa yang dilakukannya itu adalah
benar karena menurutkan dorongan kasih sayang antara manusia."
"Kakau begitu, kita tidak perlu mem-balas kebaikan orang kepada kita, Totiang?"
"Hutang budi sama saja dengan hutang dendam. Keduanya menuntut balasan. Balas budi atau
balas dendam. Ini dapat terjadi pada hati yang tidak me-ngenal kasih sayang. Bagi orang yang
mengenal kasih sayang, tidak ada me-lepas budi atau hutang budi, tidak ada melepas hutang
yang menimbulkan den-dam dan tidak ada pula dendam."
"Akan tetapi, Totiang, bagaimana mungkin kita hidup terbebas dari budi dan dendam?"
"Terserah kepada pribadi masing-ma-sing akan membiarkan dirinya terbebas ataukah tidak.
Akan tetapi siapo masih terbelenggu budi dan dendam, pastilah dia akan mengalami duka
sengsara. Kedua perasaan itu, budi dan dendam, adalah racun yang menggelapkan mata hati."
"Mengapa begitu, Totiang?"
"Contohnya. Orang yang berhutang budi pada seseorang dan ingin membalas budi itu, tentu
menganggap orang yang dihutangi budi itu seorang yang benar dan baik walaupun semua
orang meng-anggap dia seorang yang jahat. Sebaliknya, orang yang mendendam kepada
seseorang dan ingin membalas dendam itu, tentu menganggap orang yang hutang den-dam itu
seorang yang salah dan jahat walaupun semua orang menganggap dla seorang yang budiman.
Sudahlah, engkau masih terlalu muda untuk dapat mengerti semua itu. Siapakah namamu,
Nak?"
"Nama saya Song Thian Lee, Totiang. Oan bolehkah saya mengetahul nama Totiang?"
"Hemm, orang-orang menyebut pinto Kim-sim Yok-sian (Dewa Obat Berhati Emas), padahal
pinto hanyalah seorang tukang obat biasa saja. Jadi engkau adalah murid orang tadi. Siapakah
dia itu?"
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 63
"Dia berjuluk Jeng-ciang-kwi, Totiang."
"Siancai....! Kiranya datuk sesat itu. Pantas sikapnya seperti itu. Dan engkau muridnya? Aneh,
mengapa dia malah hendak mebunuhmu? Dan mengapa eng-kau berbeda sekall dengan
gurumu?"
"Saya belum lama menjadi muridnya dan ini pun karena dia memaksa saya, Totiang. Dia
marah kepada saya karena saya mencuri baca kitab pelajaran silat miliknya, maka hendak
membunuh saya."
Lalu Thian Lee menceritakan bagaimana dia digantung oleh gurunya itu akan tetapi ditolong
oleh seorang anak perem-puan murid Ang-tok Mo-li. Kemudian betapa gurunya berkelahl
dengan Ang-tok Mo-li dan tergigit ular merah.
"Dan sekarang, setelah gurumu meninggalkanmu, engkau hendak ke mana? Sebaiknya kalau
engkau kembali kepada orang tuamu. Di mana mereka tinggal?"
"Totiang, kedua orang tuaku telah meninggal dunia. Saya hldup sebatang kara, tidak memiliki
keluarga lagi, tidak memiliki tempat tinggal."
"Dan sekarang engkau hendak kemana? Sungguh kasihan, sekecil ini sudah hidup sebatang
kara."
"Saya tidak mempunyai tujuan tetap, Totiang. Saya akan pergi merantau ke mana kaki saya
membawa saya, dan saya ingin belajar silat agar kelak tidak akan tertekan oleh orang jahat,
juga saya akan mampu mempergunakan ilmu silat untuk menegakkan kebenaran dan
keadilan, menentang kejahatan!" kata Thian, Lee penuh semangat.
"Slancai....!" Tosu itu menjadi semakin heran mendengar niat seperti itu diucapkan oleh
murid seorang datuk seperti Jeng-ciang-kwi. "Aku heran mendengar ucapanmu, Thian Lee.
Coba kauceritakan riwayatmu."
Thian Lee tidak ragu lagi untuk men-ceritakan riwayatnya kepada kakek yang sudah
menyelamatkan nyawanya itu. Diceritakannya betapa ibunya tewas oleh orang-orang jahat
dan dia melarikan diri agar jangan dibunuh pula. Betapa ayah-nya juga telah tewas ketika dia
masih kecil.
"Bagaimana ayahmu tewas dalam usia muda itu?" tanya Yok-sian tertarik.
"Ayah saya tewas dikeroyok pasukan pemerintah dengan tuduhan memberontak karena Ayah
berani menghajar seorang pangeran yang memaksa seorang gadis dusun, demikian menurut
cerita mendiang Ibu." Kemudian Thian Lee bercerita be-tapa dia bertemu Liok-te Lo-mo dan
menjadi murid kakek itu selama dua tahun.
"Murid Liok-te Lo-mo?" Tosu itU terbelalak. "Hebat, bagaimana seorang anak seperti engkau
menjadi murid datuk-datuk yang sesat dan sakti? Lalu bagaimana? Lanjutkan ceritamu." Yoksian
semakin tertarik.
Thian Lee lalu bercerita betapa dia diperebutkan antara Liok-te Lo-mo dan Jeng-ciang-kwi
dan akhirnya perebutan itu dimenangkan oleh Jeng-ciang-kwi se-hingga dia dibawa kakek
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 64
iblis itu untuk menjadi muridnya sampai mereka ber-temu dengan Ang-tok Mo-li yang menolongnya
ketika dia digantung oleh Jeng-ciang-kwi.
"Demikianlah, Totiang. Guru saya yang ke dua itu memang lihai bukan main. Dia pernah
mengajak saya untuk menga-caukan pemilihan bengcu dan tidak ada yang mampu
menandinginya. Akan tetapi dia terluka keracunan ketika bertanding melawan Ang-tok Mo-li,
walaupun dia juga melukai wanita itu. Bagaimanapun juga, dia adalah guruku maka saya memapahnya
untuk mencari Totiang dan minta agar Totiang suka mengobatinya. Sungguh tidak
saya sangka dia sedemikian jahatnya, setelah disembuhkan Totiang berbalik malah hendiik
membunuh Totiang."
Yok-sian menghela napas panjang. "Memang demikianlah sepak terjang para datuk sesat.
Sungguh pengalamanmu hebat sekali, bertemu dengan mereka bah-kan dijadikan murid. Ahh,
sedikit banyak engkau tentu telah mempelajari ilmu silat mereka. Apakah engkau benar ingin
belajar ilmu silat, Thian Lee?"
"Benar, Totiang. Saya ingin belajar ilmu silat dengan sungguh-sungguh. Me-nurut pesan
mendiang Ibu, saya harus menjadi seorang pendekar seperti juga mendiang ayahku. Kalau
Totiang sudi menerima saya sebagai murid, saya akan berterima kasih sekali."
"Siancai....! Aku hanya tukang obat! Akan tetapi pinto mempunyai seorang suheng. Guru
kami memang memiliki dua macam ilmu, yaitu ilmu silat dan Umu pengobatan dan beliau
mengajarkan kepa-da kami sesuai dengan bakat karni. Pinto berbakat dalam ilmu pengobatan
maka Suhu mengajarkan ilmu pengobatan, sebaliknya suheng pinto berbakat dalam ilmu silat
dan dia digembleng ilmu silat tinggi. Kalau engkau suka, pinto akan mengajakmu menghadap
Suheng, mudah-mudahan dia mau menerimamu sebagai murid."
"Saya akan senang sekali, Totiang." "Baiklah. Mulai sekarang engkau mem-bantuku mencari
daun obat sambil melakukan perjalanan ke barat. Suhengku itu kini menjadi seorang pertapa
di Peau-nungan Hlmalaya dan kita harus melaku-kan perjalanan jauh sekali untuk menca-pai
tempat tinggalnya."
"Saya akan melayani Totiang dengan baik dan saya sanggup melakukan perja-lanan jauh,"
kata Thian Lee dengan gi-rang dan tosu itu lalu mengajak dia me-ninggalkan tempat itu.
Thian Lee yang mengikuti Kim-sim Yok-sian merantau ke barat dan setelah lewat waktu
hampir setahun, barulah keduanya tiba di Pegunungan Himalaya! Akan tetapi perjalanan itu
merupakan pengalaman yang amat berguna bagi Thian Lee. Bukan saja membuka matanya
melihat keadaan hidupnya suku-suku bangsa di barat, akan tetapi juga setiap harinya dia
membantu Yok-sian yang se-ring kali berhenti di sebuah dusun yang dilanda wabah penyakit
untuk menolong orang. Dan sedikit demi sedikit dia men-dapat pula pengajaran pengobatan
dari Dewa Obat itu, terutama sekali menge-nai pengobatan luka-luka dan penyakit biasa yang
sering kali diderita manusia.
Suheng dari Kim-sim Yok-sian adalah seorang biasa, bukan pendeta, seorang laki-laki
berpakaian siucai (sastrawan) berusia enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar dan
sikapnya tenang penuh kesabaran. Dia tinggal di sebuah puncak di antara sekian banyak
puncak-puncak Pegunungan Himalaya, sebuah puncak yang tidak terlalu tinggi akan tetapi
hawanya cukup dingin dan tempatnya sunyi. Dia memiliki sebuah pondok sederhana dengan
kebun yang luas. Nama pendekar yang mengenakan jubah sastrawan ini adalah Tan Jeng Kun.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 65
Berbeda dengan sutenya, Kim-sim Yok-sian yang me nper-oleh nama julukan karena dia
berkecim-pung di dunia kang-ouw, Tan Jeng Kun ini tidak dikenal orang kang-ouw karena
semenjak muda dia mengasingkan diri dan bertapa seperti seorang yang sudah menjauhkan
diri dari dunia ramai.
Ketika Yok-sian dan Thian Lee tiba di tempat itu, mereka melihat tuan ru-mah yang hidup
menyendiri itu sedang memasak air di atas api unggun yang dibuatnya di halaman depan
rumahnya. Ketika melihat Yok-sian, orang itu ter-belalak gembira, lalu bangkit berdiri dan
kedua kakak beradik seperguruan ini lalu saling memberi hormat, kemudian saling
merangkul.
"Sute, angin apakah yang meniupmu sampai ke sini? Sudah sepuluh tahun berpisah, baru harl
ini tiba-tiba engkau muncul, betapa senangnya hatiku'" kata Tan Jeng Kun sambil tertawa
gembira.
"Suheng, setelah berpisah sepuluh tahun kini engkau kelihatan makin muda dan gagah saja.
Agaknya selama ini eng-kau tidak menyia-nyiakan ilmumu dan berlatih terus!" jawab Yoksian.
Tan Jeng Kun menghela napas pan-jang mendengar ucapan sutenya itu. "Nah, itulah tidak
enaknya belajar silat, Sute. Aku sekarang merasa menyesal sekali mengapa dulu aku tidak
mempela-jari saja llmu pengobatan seperti engkau. Sekali paham ilmu pengobatan, tidak usah
berlatih setiap hari. Berbeda dengan ilmu silat, kalau tidak dilatih larna-lama akan lenyap atau
berkurang tingkatnya. Juga, ilmu silat hanyalah untuk memukul orang, sedangkan ilmu
pengobatan untuk menolong dan menyembuhkan orang. Aih, Sute, engkau jauh lebih
beruntung daripada aku. Eh, siapakah anak ini? Engkau" malah sudah mempunyai seorang
murid?"
"Anak ini bernama Song Thian Lee, seorang anak yatim piatu dan sebatang kara yang
kebetulan bertemu dengan pinto di jalan. Sejak menjadi yatim piatu, berulang kali dia terjatuh
ke tangan datuk sesat, bahkan pernah dipaksa men-jadi murid Liok-te Lo-mo dan Jeng-ciangkwi!
Akan tetapi karena pada da-sarnya dia berjiwa baik maka dia tidak suka menjadi murid
mereka." Yok-sian lalu menceritakan sedikit riwayat Thian Lee kepada sutenya itu.
"Kalau begitu engkau mendapatkan murid yang baik, Sute," kata Tan Jeng Kun!
"Tidak, Suheng. Dia saya bawa ke sini agar menjadi muridmu. Anak ini kulihat memiliki
dasar yang luar biasa, maka sudah sepatutnya kalau menjadi murid-mu. Thian Lee, berilah
hormat kepada suhengku."
Thian Lee segera menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat kepada sastrawan itu. Akan
tetapi sastrawan itu memandang dengan alis berkerut.
"Menjadi muridku? Ah, Sute, untuk apa menjadi muridku? Aku tidak suka mengajarkan ilmu
kepada orang lain yang kelak hanya akan dia pergunakan untuk melukai atau membunuh
orang saja. Engkau tahu kenapa aku bersembunyi di tempat sunyi ini? Agar jangan terpancing
berkelahi dengan orang. Tidak aku tidak suka mengajarkan silat kepada siapa pun!"
"Suheng, kenapa berkata demikian? Semua ilmu ada manfaat masing-masing. Baik buruknya
ilmu tergantung dari ma-nusia yang menggunakan ilmu itu. Bagai-mana andaikata ada orang
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 66
jahat melaku-kan kejahatan kepada orang lain? Apa yang dapat kita lakukan kalau kita lemah
dan tidak memiliki ilmu silat? Dan bagaimana mungkin orang dapat membasmi kejahatan,
mempertahankan kebenaran dan keadilan tanpa memiliki kekuatan untuk itu?'
"Hemmm, bicara memang mudah, Sute. Lihat aku ini. Jauh sekali aku ber-sembunyi, tetap
saja ada orang-orang yang mencariku untuk mengajak bertanding! Kalau aku tidak
mempunyai ilmu silat, tentu tidak ada orang akan mencari gara-gara mengajak berkelahi.
Tidak, Sute, sekali lagi aku tidak mau meng-angkat murid."
"Tapi, Suheng. Anak ini sudah kuajak ke sini, melakukan perjalanan yang nne-makan waktu
hampir satu tahun!"
"Itu adalah urusanmu sendiri, Sute. Aku tidak menyuruhmu. Sudahlah, mari kita bicarakan
urusan lain saja. Akan halnya anak ini, biarlah dia menjadi muridmu saja. Kelak dia dapat
mengamalkan ilmunya itu untuk menolong banyak orang seperti yang telah kaulakukan."
Pada saat itu, terdengar teriakan lantang sekali dari luar rumah. Mereka cadi sudah memasuki
rumah ketika Tan Jeng Kun menyambut kedatangan sutenya. Suara dari luar itu terdengar
nyaring sekali, membuat pondok itu seolah tergetar.
"Tan Jeng Kun, kalau engkau memang laki-laki keluarlah dan lawanlah aku!"
Tan Jeng Kun menghela napas. "Nah,, kau lihat sendiri, Sute! Mereka adalah , orang-orang
yang selalu mencariku untuk mengajak adu ilmu. Kalau yang satu kalah muncul yang lain
dengan dalih menebus kekalahan saudara atau kawannya. Apakah ini tidak tolol? Apakah aku
disuruh mengajarkan ilmu seperti ini ,kepada seorang murid agar kelak murid itu pun
mengalami hal seperti aku? Tidak, Sute!"
"Haiii, Tan Jeng Kun, jangan sembu-nyi seperti perempuan! Keluarlah!" kem-bali terdengar
teriakan itu dan Tan Jeng Kun melangkah keluar, diikuti oleh Kim-sim Yok-sian dan Thian
Lee.
Setelah tiba di luar, mereka melihat seorang laki-laki berusia lima puluh ta-hun yang
tubuhnya tinggi besar seperti raksasa dengan perut gendut sekali, mukanya hitam dan
tubuhnya nampak kokoh kuat seperti batu karang. Orang ini segalanya serba bundar dan
besar, kepala-nya, matanya, hidungnya, mulutnya dan telinganya, serba besar. Rambutnya
diikat ke atas dengan semacam kain kuning dan bajunya berwarna biru. Di punggungnya
terdapat sebatang ruyung yang menggiriskan, besar dan berduri-duri.
Akan tetapi sebelum Tan Jeng Kun menghampirinya, tiba-tiba dari belakang batang-batang
pohon bermunculan empat orang dan mereka ini segera mengepung Si Raksasa Hitam sambil
berteriak marah, "Hek-bin Mo-ko (Setan Bermuka Hitam), engkau harus membayar hutang
nyawamu terhadap saudara kami!"
Raksasa yang disebut Hek-bin Mo-Ko itu memandang dan memutar tubuhnya untuk
memandangi empat orang yang mengepungnya itu, lalu dia tertawa ber-gelak, "Ha-ha-ha-ha,
agaknya kalian ini adalah empat orang dari Toat-beng Ngo-houw (Lima Harimau Pencabut
Nyawa)? Ha-ha-ha, saudaramu mampus di tanganku karena dia berani menentangku. Kalad
kalian ingin sekali menyusulnya ke neraka, mari kalian boleh maju bersama!"
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 67
Empat orang itu sudah marah sekali. Mereka berempat mencabut golok masing-masing dan
langsung saja mereka maju mengeroyok dengan golok mereka.
Melihat ini, Thian Lee berseru pena-saran, "Pengecut, tidak adil sekali empat orang
mengeroyok seorang!" Akan tetapi empat orang itu tidak peduli dan golok tnereka sudah
menyambar-nyambar men-cari korban. Namun ternyata raksasa muka hitam itu lihai bukan
maln. Biar-pun tubuhnya tinggi besar dan perutnya gendut, namun dia dapat bergerak dengan
gesit dan beberapa kali kakinya melangkah dan tubuhnya berkelebatan, empat batang golok
yang menyambar itu luput semua. Di lain saat dla telah mencabut ruyung dan terdengar suara
berdesing ketika ruyung itu dia gerakkan dengan kekuatan dahsyat. Empat orang itu de-ngan
nekat menyerbu dan ketika golok mereka bertemu ruyung, berturut-turut golok mereka
terpentaJ dan terdengar bentakan Si Raksasa Hitam empat kal! dan ruyungnya menyambar
empat kali. Nampak darah muncrat dan empat orang pengeroyok itu sudah terpelanting dan
jatuh satu demi satu dengan kepala pe-cah dan tewas seketika!
"Siancai....!" Kim-sim Yok-sia.h ber-seru ngeri dengan wajah agak pucat dan suaranya
gemetar.
Akan tetapi Thian Lee rtiemandang kagum. Bukan main ijaksasa itu. Empat orang
pengeroyok yang demikian tangguhnya dibikin roboh dalam waktu beberapa • gebrakan saja!
"
Dan kini raksasa yang berjuluk Hek-bin Mo-ko itu memanggul ruyungnya menghadapi Tan
Jeng Kun. "Ha'-ha-ha, Tan Jeng Kun. Engkau beruntung sekali, sebelum mampus telah ada
yang mene-maninya, bahkar) sekaligus empat orang. Hayo cepat ambil pedangmu dan lawan
aku!"
"Hek-bin Mo-ko, di antara kita tidak ada permusuhan apa pun, mengapa hari ini engkau
mencari dan menantangku berkelahi? Dan engkau malah telah membikin kotor tempatku
dengan pembu-nuhan ini! Engkau seharusnya malu!"
"Ha-ha-ha, aku mendengar bahwa Tan Jeng Kun adalah seorang jagoan yang mengasingkan
diri. Lupakah engkau bah-wa tiga bulan yang laiu engkau telah mengalahkan seorang
pengemis tua di sini? Dia adalah seorang sahabatku, se-telah mendengar bahwa sahabatku itu
kalah olehmu, aku merasa penasaran dan ingin mencoba kepandalanmu! Hayo lawan aku
kalau engkau bukan perempuan!"
Tan Jeng Kun melangkah maju meng-hadapi raksasa itu dan menarik napas panjang beberapa
kali. "Sobat, pengemis tua itu datang tanpa sebab dan langsung saja menantangku mengadu
ilmu. Kalah atau menang dalam adu ilmu sudahlah wajar, kertapa engkau merasa penasaran?"
"Karena seorang sahabat baikku telah kalah, tentu saja aku merasa penasaran dan hari ini aku
menantangmu untuk mengadu ilmu. Hayolah, majulah, atau aku akan hancurkan kepalamu
dengan ruyung ini!" Si Raksasa itu mengancam.
Kini pandang mata Tan Jeng Kun mencorong marah. "Hemm, Hek-bin Mo-ko, tidak usah
engkau menantang. Baru perbuatanmu melakukan pembunuhan di pekaranganku ini saja
sudah merupakan suatu pelanggaran besar. Aku bukan saja menerima tantanganmu, bahkan
aku pun harus memberi hajaran kepadamu aear engkau bertaubat."
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 68
"Ha-ha-ha, sombong benar engkau» . Jangan mengira bahwa setelah engkau mengalahkan
sahabatku Sin-ciang Mo-kai (Pengemis Iblis Tangan Sakti), engkau akan mampu
mengalahkan aku' Nah, cepat ambil pedangmu'"
"Seperti ketika aku melawan tongkat Sin-ciang Mo-kai, aku pun bertangan kosong. Maka aku
akan menghadapimu dengan tangan kosong, Mo-ko. Aku tidak bernafsu membunuh seperti
engkau yang kejam!"
"Engkau sendiri yang mengatakan hendak bertangan kosong. Jangan menyesal kalau
kepalamu sudah hancur oleh ruyungku!" bentak raksasa hitam itu dan dia pun mengeluarkan
terlakan meleng-king, lalu menyerang dengan dahsyatnya, Thian Lee sendiri merasakan
sambaran angin yang telah menghancurkan kepala empat orang itu. Ruyung itu masih
berlumuran darah dan kini menghantam ke arah kepala Tan Jeng Kun.
Akan tetapi, suheng dari Kim-sim Yok-sian itu bersikap tenang saja. Ketika ruyung sudah
menyambar dekat, dla menundukkan kepala dan ruyung menyambar ke atas kepalanya. Pada
saat itu, dia sudah menggerakkan tangan meluncur ke depan, menotok ke arah siku kanan
lawan. Hek-bin Mo-ko tekejut sekali dan cepat-cepat dia meloncat ke belakang sambil
menarik lengan kanannya, kemudian me-mutar pergelangan tangan sehingga ruyungnya
menyambar balik ke arah dada lawan.
Tan Jeng Kun miringkan tubuhnya dan dengan lengan kanan menangkis ruyung yang
terpental ketika bertemu lengan tangan siucai itu. Hek-bin Mo-ko menjadi penasaran sekali
dan dia sudah memutar ruyungnya dengan hebat sekali sambil mengeluarkan bentakanbentakan
menye-rang bertubi-tubi sambil berusaha mendesak lawan yang bertangan kosong.
Namun Tan Jeng Kun dapat bergerak dengan kecepatan luar biasa. Tubuhnya seperti berubah
menjadi bayangan yang berkelebatan di antara sambaran ruyung dan tak pernah benda^ berat
itu menyen-tuh tubuhnya. Sebaliknya, totokan-totok-annya membuat Hek-bin Mo-ko sibuk
sekali. Dengan senjata berat itu, tentu saja gerakannya tidak dapat ringan dan cepat seperti
lawannya sehingga dari mendesak, akhirnya dialah yang terdesak oleh lawan. Setiap pukulan,
totokan, dan tendangan lawan datangnya demikian cepat sehingga beberapa kali raksasa hitam
itu terpaksa melempar tubuh belakang dan berjungkir balik untuk nnenghindarkan diri dari
serangan yang demikian cepatnya.
Setelah lewat iima puluh jurus, Hek-bin Mo-ko menjadi terdesak hebat dan tiba-tiba dia
melompat ke belakang, kernudian dia mengerahkan tenaga ke arah kedua tangannya,
menjatuhkan ru-yungnya dan menggunakan kedua tangan yang terisi tenaga sin-kang dahsyat
untuk memukul lawan dari jarak jauh! Meng-hadapi serangan ini, Tan Jeng Kun juga
memasang kuda-kuda dan mendorongkan kedua tangannya ke depan. Inilah kesa-lahan Hekbin
Mo-ko. Dalam mengadu kekuatan sin-kang, dia mempercepat ke-kalahannya karena
tingkat kekuatan sin-kang lawannya masih lebih tinggi di atasnya. Begitu kedua tangan yang
me-ngandung sin-kang itu berseru, tubuh Hek-bin Mo-ko tergetar hebat dan tak lama
kemudian dia terpental ke belakang dan jatuh terjengkang!
Masih untung bagi Hek-bin Mo-ko bahwa Tan Jeng Kun sania sekali tidak bermaksud untuk
membunuhnya. Maka dia hanya terpukul oleh tenaganya sendiri yang membalik dan
mengalami luka da-lam yang membuat dia muntah darah. Dia merasa bahwa dia tidak mampu
melawan lagi, maka dia mengambil ruyung-nya, lalu melangkah pergi tanpa mengucapkan
sepatah pun kata, juga tanpa menoleh lagi kepada lawan.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 69
Tan Jeng Kun menghela napas pan-jang dan memandang empat mayat yang berserakan dl
situ. "Nah, kaulihat seridiri apa yang kumaksudkan, Sute! Beginilah kalau orang mempelajari
ilmu silat. Pertempuran dan kematian selalu membayanginya. Aku tidak ingin bocah ini kelak
hanya akan mendatangkan musuh-musuh seperti yang kaulihat tadi."
"Akan tetapi, Locianpwe," tiba-tiba Thian Lee berkata dengan suara mem-bantah penasaran,
"Kalau orang yang datang hendak menantang berkelahi dengan Locianpwe, itu bukan berarti
Lo-cianpwe yang bersalah, melainkan kesa-lahan mereka sendiri. Untung Locianpwe
memiliki ilmu silat yang lihai, tidak demikian, tentu Locianpwe yang menggeletak mati
seperti mereka berem-pat. Ilmu silat ada gunanya untuk membela diri."
"Apa yang dikatakan Thian Lee ada benarnya, Suheng," bujuk pula Kim-sim Yok-sian.
"Justeru dengan adanya para pendekar yang berkepandaian tinggi maka sepak terjang dan
ulah orang-orang sesat itu dapat dibendung. Bayangkan saja, Suheng, andaikata di dunia
kang-ouw ini tidak ada para pendekar, maka tentu orang-orang sesat akan semakin merajalela,
dan mereka melaksanakan hukum nmba seenak perutnya sendlri. Thian Lee bercita-cita
menjadi pendekar untuk me-nentang mereka yang menggunakan ilmu silat untuk berbuat
kejahatan. Dengan demikian maka keadaan antara baik dan buruk dapat seimbang. Pinto kira
keada-anmu tidak jauh bedanya dengan keadaan pinto. Pinto mempelajari ilmu pengobatan
untuk menentang serangan penyakit terhadap manusia, dan Suheng mempelajari ilmu silat
untuk menentang serangan orang jahat terhadap manusia pula. Apa bedanya? Karena itu,
Suheng, biarpun Suheng menyia-nyiakan ilmu silat dengan mengasingkan diri di sini, biarlah
Suheng mempunyai murid yang kelak akan memanfaatkan ilmu silat untuk menentang kaum
penjahat."
Tan Jeng Kun menghela napas lagi. Ucapan Thian Lee dan sutenya itu agak-nya membuka
hatinya. Dia lalu bekerja menggali lubang, dibantu oleh Thian Lee dan Kim-sim Yok-sian,
dan menguburkan empat mayat itu dengan sepantasnya. Kemudian mereka memasuki rumah
kembali.
"Telah kupikirkan masak-masak ketika kita bekerja tadi," katanya kepada Thian Lee dan
sutenya. "Baiklah, aku dapat menerima Thian Lee sebagai muridku, akan tetapi hanya dengan
syarat-syarat yang harus dia janji dengan sumpah untuk kelak dia penuhi."
Kim-sim Yok-sian gembira sekali mendengar ini dan dia berkata kepada Thian Lee, "Thian
Lee, cepat memberi hormat kepada gurunnu dan katakan bahwa engkau siap menerima syarat
apa pun darinya."
Thian Lee lalu maju berlutut dan memben hormat kepada Tan Jeng Kun. buhu, teecu akan
menaati semua petunjuk Suhu dan berjanji akan melaksanakan semua syarat dari Suhu."
"Bagus, dan sekarang, disaksikan oleh susiokmu Kim-sim Yok-sian, ucapkan sumpahmu
bahwa kelak engkau tidak boleh menonjolkan ilmu silatmu, engkau harus berpura-pura tidak
mampu ilmu silat, menyembunyikan ilmu silatmu agar tidak ada yang tahu bahwa engkau
pan-dai silat, dan hanya menggunakan ilmu silatmu dalam keadaan terpaksa saja untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan."
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 70
Dengan suara lantang Thian Lee mengucapkan sumpahnya, "Teecu bersum-pah bahwa kelak
teecu tidak menonjolkan. nmu silat dan menyembunyikan ilmu silat teecu dan hanya
menggunakan dalam keadaan terpaksa saja!"
"Bagus, sekarang berl hormat kepada susiokmu!"
Thian Lee lalu berlutut di depan Dewa Obat dan menyebut, "Susiok, terimalah hormat teecu."
Kim-sim Yok-sian menjadi girang sekali. "Aku pun akan tinggal di sini barang setahun untuk
memberi pelajaran ilmu pengobatan kepadamu agar kelak dapat kaupergunakan demi
keselamatan orang-orang lain, Thian Lee," katanya.
Demikianlah, mulal harl itu, Thian Le menerima pelajaran ilmu silat dar Tan Jeng Kun dan
ilmu pengobatan dari Kim-sim Yok-sian.
Selain llmu sllat dan ilmu pengobatani Thian Lee juga memperdalam ilmu sastra dari kedua
orang gurunya itu, dan mulai membaca kitab-kitab kuno tentang seja-rah dan Agama To dan
Agama Buddha, juga tentang pelajaran Nabi Khong-cu. Dari Dewa Obat, dia menerima
banyak nasihat tentang kehidupan.
Hidup adalah belajar, demikian antara lain kata Kim-sim Yok-sian. Siapa yang tidak mau
belajar dari kehidupan, dia orang yang bodoh. Dalam kehidupan se-hari-hari, kalau kita mau
membuka nnata, maka terdapat pelajaran tentang hidup dan pengalaman merupakan guru
terbaik. Uhat di sekelilingmu dan engkau akan menemukan contoh-contoh yang jelas sekali.
Di samping mempelajari semua itu setiap hari Thian Lee juga bekerja dengan rajin. Mencuci,
membersihkan pondok, mencari kayu bakar dan segala pe-kerjaan Jain untuk melayani kedua
orane tua itu. Di waktu musim semi dan m" simpanas, dia mencangkul dan menanam sayursayuran
dan segala macam tanaman yang dapat dimakan. Kalau tiba musim rontok dan musim
salju, dia pergi sampai Jauh untuk berburu dan memancing. Pendeknya, Thian Lee rajin sekali
sehingga kedua orang tua itu amat menyayangnya karena dalam pelajaran pun dia maju pesat.
Terutama dalam ilmu silat, Tan Jeng Kun percaya akan kebenaran sutenya bahwa Thian Lee
adalah seorang anak yang memiliki bakat yang hebat. Selama tiga tahun mempeiajari ilmu
silat, Thian Lee telah matang dalam gerakan dasar dan, bahkan telah mempunyai sin-kang
yang lumayan. Tubuhnya memang kuat, apalagi setiap hari dipakai bekerja keras maka dia
telah berhasil menghimpun tenaga yang kuat sekali.
* * *
Pada suatu hari di musim rontok, Thian Lee pergi meninggalkan pondok untuk berburu
binatang. Usianya kini sudah lima belas tahun dan tubuhnya tinggi tegap. Biarpun usianya
baru tingkat remaja, namun wajahnya sudah tampak dewasa karena sejak kecil dia sudah
biasa berdikari, bahkan dia bekerja untuk keperluan mereka bertiga. Dengan senjata sebatang
busur dan beberapa batang anak panah, dia pergi berburu. Akan tetapi sampai jauh
meninggalkan pondok, dia belum bertemu binatang buruan seperti kelinci dan sebagainya.
Akhirnya terpaksa dia mendaki puncak yang lebih tinggi. Padahal gurunya pernah
menceritakan bahwa puncak itu berbahaya dan kabarnya ada semacam binatang ajaib di
puncak itu yang amat ganas sehingga tidak pernah ada orang yang berani naik ke puncakitu.
Menurut penuturan Tan Jeng Kun, makhluk yang berada di puncak itu memang aneh, mirip
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 71
manusia bagi yang pernah melihatnya dari jauh, berjalan dengan kedua kaki belakang akan
tetapi tubuhnya berbulu abu abu kecoklatan mirip biruang. Penduduk Tibet menyebutnya
dengan Yeti dan menganggapnya sebagai manusia salju yang dikeramatkan dan dianggap
sebagai dewa yang berada di puncak-puncak yang tinggi.
Thian Lee yang penah mendengar cerita itu tidak takut. Kenapa takut kalau dia tidak
mempunyai niat buruk ? Dia hanya akan mencari binatang buruan untuk dimakan. Kalau
benar ada manusia salju, dia tidak akan mengganggunya. Biarpun musin salju belum tiba,
namun di puncak itu sudah tertutup oleh salju. Bahkan di waktu musim panas sekalipun,
puncak paling atas dari bukit itu sudah tertutup salju.
Sungguh sial hari itu bagi Thian Lee. Setelah masuk keluar hutan, belum juga dia menemukan
binatang buruan. Dia mendaki terus sampai akhirnya dia tiba di bagian yang bersalju. Tibatiba
dia berhenti dan bertiarap. Dia melihat beruang. Biarpun selama ini dia belum pernah
mendapatkan beruang, dan kadang timbul rasa ngeri melihat besarnya binatang itu, akan
tetapi sekali ini dia bermaksud merobohkan seekor beruang yang tampak di depan itu.
Beruang itu sedang mendekam diatas salju dan menghadapi sebuah lubang. Ternyata di depan
beruang itu kalau musin panas menjadi sebuah telaga kecil dan kini sudah tertutup salju
seluruhnya dan beruang itu membuat lubang, agaknya untuk mencari ikan. Kadang-kadang
tangannya menyambar ke lubang dan seekor ikan dapat ditangkapnya. Dia sudah
mendapatkan beberapa ekor ikan yang masih menggelepar-gelepar diatas salju.
Thian Lee memasang sebatang anak panah dan merayap mendekati. Setelah jaraknya cukup
dekat, tinggal belasan meter lagi dia lalu mementang busurnya dan melepaskan anak panah
mengarah dada binatang yang mendekam itu.
¡°Srrrt ¡¦. Cappp ¡¦¡±. Panah itu tampaknya menancap di dada biruang itu dan binatang besar
itu jatuh terjengkang.
Bukan main girangnya hati Thian Lee dan dia lalu berlari-lari menghampiri biruang yang
sudah menggeletak miring di atas salju itu. Akan tetapi, Thian Lee terbelalak dengan kaget
bukan main ketika dia sudah tiba dekat, biruang itu meloncat berdiri dan berhadapan dengan
dia. Ternyata yang disangkanya biruang itu bukan biruang. Makhluk itu tinggi sekali, dua kali
lebih tinggi dari tubuhnya sendiri, dan mukanya seperti manusia, atau seperti kera, tubuhnya
berbulu kelabu kecoklatan, matanya berkedip-kedip dan anak panah tadi sama sekali tidak
menancap di dadanya melainkan dijepit di bawah lengannya atau terjepit ketiak. Kini
makhluk itu mengambil anak panah tadi dan sekali jari-jarinya menekuk, anak panah itu patah
menjadi dua dan dibuang ke atas lantai bersalju.
Saking kagetnya Thian Lee sampai tidak dapat menggerakkan kedua kakinya. Mulutnya lalu
berkata gugup, ¡°Maafkan aku ¡¦ maafkan aku karena aku tadinya mengira bahwa engkau
adalah seekor biruang ¡¦¡±!
Dia lalu teringat bahwa yang dihadapinya bukanlah seorang manusia, dan teringat dia akan
cerita gurunya tentang Yeti, Si Manusia Salju. Dia dapat menduga bahwa cerita itu bukan
dongeng belaka dan yang dihadapi kini tentulah Si Manusia Salju dalam dongeng itu. Dan
Yeti itu agaknya mengerti apa yang dia katakana, mengeluarkan suara seperti gerengan dan
matanya mengamati Thian Lee dari kepada sampai ke kaki.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 72
Thian Lee berpikir bahwa kalau makhluk itu menyerangnya, akan berbahayalah baginya.
Makhluk setinggi itu tentulah memiliki tenaga yang dahsyat. Maka dia lalu membalikkan
tubuhnya hendak melarikan diri. Akan tetapi baru dua langkahdia pergi, tiba-tiba tubuhnya
ditangkap dari belakang dan sekali Yeti itu menariknya, diapun roboh terjengkang.
Celaka, piker Thian Lee,. Binatang atau makhluk ini menyerangku dan benar saja tenaganya
luar biasa sekali. Karena tidak ingin mati konyol tanpa melawan, Thian Lee lalu meloncat
bangun berdiri dan memasang kuda-kuda , siap menghadapi serangan makhluk itu. Akan
tetapi tetap saja dia menanti pesan gurunya, antara lain bahwa dia sama sekali tidak boleh
menyerang lebih dahulu. Dia menanti sampai makhluk itu menyerangnya, dan siap
menghadapinya dengan busur di tangan. Tidak ada lain senjata kecuali busur dari kayu itu,
dan menghadapi lawan yang begini kuatnya dia memerlukan senjata.
Maafkan aku, aku tidak sengaja memanahmu, kukira biruang dan kami membutuhkan daging
binatang buruan. Maafkan aku.
Entah mengerti atau tidak makhluk itu, akan tetapi tiba-tiba saja kedua tangannya menubruk
ke depan! Thian Lee menangkis dengan busurnya, akan tetapi sekali renggut, busur itu
terampas dan dibuang jauh-jauh, kemudian kembali makhluk itu menubruk dan biarpun Thian
Lee sudah mengelak cepat, tetap saja pinggangnya dapat dirangkul dan tubuhnya diangkat
tinggi, dipanggul dan dibawa lari cepat sekali.
Thian Lee merasa ngeri. Makhluk itu lari mendaki puncak yang penuh salju. Kalau dia
meronta atau memukul sehingga makhluk itu roboh, tentu ia akan ikut pula terjatuh, padahal
di kanan kiri terdapat jurang menganga lebar! Dia pun diam saja, bahkan tidak berani
bergerak, membiarkan dirinya dibawa lari diatas pundak makhluk itu.
Akhirnya makhluk itu tiba di depan sebuah gua di antara puncak bukit bersalju dan masuk ke
dalam gua. Thian Lee lalu diturunkan dengan perlahan. Jelas bahwa makhluk itu tidak berniat
untuk melukainya. Akan tetapi ketika tubuhnya berada di atas lantai yang berbatu, dia terkejut
sekali karena didepannya terdapat kerangka manusia yang masih dusuk bersila.
Dia merasa serem sekali. Kerangka itu masih utuh, dan mengapa ada kerangka tidak runtuh
terlepas melainkan masih dalam keadaan bersila seolah antara tulang-tulangnya terdapat
sambungan atau saling melekat? Juga tengkorak itu masih utuh, hanya giginya sudah tidak
ada lagi, mulut itu terbuka seolah tertawa. Dia merasa ngeri akan tetapi juga menaruh hormat
karena dapat menduga bahwa tentu kerangka ini milik seorang yang dahulunya sakti sekali.
Dan dia melihat makhluk Yeti itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut menghadap ke kerangka
itu.
Jilid 5________
Melihat ini, tiba-tiba timbul rasa hormat dalam hati Thian Lee terhadap kerangka itu dan dia
pun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kerangka itu. Karena merasa dirinya terancam
dan tak ada yang dapat menolongnya dari tangan Yeti itu maka dia timbul niatnya minta
tolong kepada kerangka itu yang jelas dihormati makhluk itu.
Locianpwe, mohon pertolongan locianpwe dan teecu suka menjadi murid locianpwe. Katanya
sambil membentur-benturkan dahinya ke atas lantai di depan kaki kerangka itu.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 73
Dan terjadilah keanehan. Ketika dia membenturkan dahinya sebanyak delapan kali untuk
menghormati kerangka itu sebagai gurunya, mendadak lantai yang terbentur kepalanya itu
bergerak dan runtuh ke bawah sehingga tubuhnya ikut pula terjatuh ke sebuah lubang. Cepat
Thian Lee mengerahkan tenaganya untuk melindungi tubuhnya dengan sinkang dan untung
dia telah memiliki tenaga singkang yang cukup sehingga dia tidak terbanting keras dan tidak
terluka. Ternyata disitu muncul lubang dan terdapat anak tangga turun ke bawah dimana
terdapat ruangan lain yang besar sama dengan besar gua diatas. Dan sambil mengeluarkan
suara menguik-nguik aneh makhluk itu pun menuruni tangga dan berdiri didekat Thian Lee.
Kini Thian Lee merasa yakin bahwa makhluk itu tidak bermaksud jahat. Dia pun menoleh
kepada makhluk itu dan bertanya ¡°Saudara yang baik, apa artinya semua ini?.
Makhluk itu mengulurkan tangannya dan mendorong-dorong tubuh Thian Lee pada
punggungnya, menyuruh pemuda remaja itu untuk maju. Thian Lee mengangkat muka
memandang. Ketika matanya sudah dapat menembus cuaca yang remeng-remang dalam
ruangan bawah gua itu dan dia melihat sebuah meja berdiri di sudut ruangan. Dan diatas meja
itu terdapat sebatang pedang dan dua buah kitab diatas meja. Jantungnya berdebar tegang.
Agaknya makhluk itu mendorongnya kea rah meja agar dia mengambil pedang dan kitabkitab
itu.
Akan tetapi, sejak kecil Thian Lee sudah diajar sopan santun oleh ibunya dan kemudian oleh
Tan Jeng Kun dan Kim Sim Yok Sian dia pun diajar bagaimana menjadi seorang pemuda
yang baik dan bersusila. Maka dia pun tidak berani lancing mengambil benda-benda bukan
miliknya begitu saja dengan lancing. Setelah berpikir sejenak, diapun menjatuhkan diri
berlutut di depan meja itu untuk memberi hormat. Ketika berlutut itulah dia melihat tulisan
kecil-kecil terukir di lantai batu. Kalau dia tidak berlutut, tidak mungkin tulisan itu dapat
nampak dalam keadaan berdiri. Dia lalu membacanya.
Aku menerimamu menjadi murid. Engkau boleh mengambil kitab dan pedang, akan tetapi
lebih dahulu tekan tombol ini sebanyak sembilan kali.
Tulisan ini tidak menyebutkan siapa penulisnya dan dibawah tulisan itu terdapat sebuah
tombol besi. Setelah menghaturkan terima kasihnya, Thian Lee menekan tombol besi itu.
Ditekan sekali tidak terjadi apa-apa. Dua kali, tiga kali, tetap tidak terjadi sesuatu. Akan tetapi
ketika tekanan sampai ke sembilan kalinya, terdengar suara keras dan dari meja itu meluncur
banyak sekali paku dan jarum yang menyerang ke berbagai penjuru, lalu menancap pada
dinding batu. Thian Lee terkejut dan ketika dia menengok, diapun melihat makhluk itu sudah
pula berlutut seperti dia. Untung makhluk itu melakukan itu, kalau tidak tentu sudah menjadi
korban senjata rahasia yang berhamburan tadi.
Kini mengertilah Thian Lee. Hanya orang yang berlutur didepan meja itu yang akan dapat
mengambil pedang dan kitab. Siapa yang lancing mengambilnya begitu saja, tak dapat
dihinarkan lagi tentu akan tewas terkena senjata rahasia.
Dia bergidik ngeri kalau membayangkan itu. Untung dia selalu ingat nasehat-nasehat ibunya
dan kedua orang gurunya yang terakhir. Kalau menurutkan watak dua orang gurunya yang
pertama, Liok te Lomo atau Jeng ciang kwi, tentu mereka itu akan langsungsaja mengambil
pedang dan kitab.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 74
Setelah kembali memberi hormat untuk menghaturkan terima kasih, dia pun berkata,
“Locianpwe, harap maafkan teecu kalau teecu berani lancing mengambil pedang dan dua
buah kitab itu”. Barulah dia bangkit berdiri dan ternyata makhluk itu pun sudah berdiri di
belakangnya. Makhluk itu mengeluarkan suara seperti orang kegirangan atau tertawa yang
aneh ketika dia menjulurkan tangan mengambil sebuah kitab, lalu dibukanya kulit kitab itu.
Sebuah kitab yang kuno sekali dan di lembar pertama tertulis judulnya : THIAN-TE SINKANG
(Tenaga Sakti Langit Bumi) dan ketika dia membuka lembar berikutnya, ternyata
banyak diantara huruf dalam kitab itu yang tidak diketahuinya. Tanpa bantuan orang pandai,
agaknya akan sulit sekali baginya mempelajari isi kitab itu. Kitab kedua diambil dan
dibukanya, ternyata merupakan kitab pelajaran ilmu pedang yang tertulis judulnya : JITGOAT
KIAM-SUT (Ilmu Pedang Matahari dan Bulan). Seperti halnya dengan kitab pertama,
kitab kedua inipun mengandung banyak huruf yang tidak diketahui, semacam huruf kuno. Dia
girang sekali dan dia lalu mengambil pedang itu. Dicabutnya pedang itu dari sarungnya dan
segera dimasukkanya kembali saking kagetnya karena begitu dicabut, nampak sinar seperti
kilat menyambar. Dia mencabut lagi perlahan-lahan dan ternyata pedang itu mengkilat,
berkilauan padahal di ruangan itu hanya masuk sedikit saja sinar dari luar. Dan dipangkal
pedang itu terdapat ukiran huruf JIT-GOAT SIN=KIAM (Pedang Pusaka Matahari dan
Bulan).
Setelah melihat ketiga benda pusaka itu, Thian Lee kembali menjatuhkan diri berlutut kepada
meja itu untuk menghaturkan terima kasihnya.
Kemudian dia berkata kepada Yeti yang masih berdiri disampingnya, ¡°Saudara yang baik,
semua ini adalah atas kebaikan budimu yang membawa aku ke tempat ini, maka aku
menghaturkan terima kasih kepadamu¡. Dia mengangkat kedua tangan memberi hormat, akan
tetapi tiba-tiba Yeti itu menjatuhkan diri berlutut kepadanya, memberi hormat seorang
manusia memberi hormat kepada gurunya atau kepada majikannya. Thian Lee terkejut dan
bingung sekali. Akan tetapi dia memegang kedua pundak Yeti itu dan membangunkannya.
Saudara tidak semestinya engkau berlutut kepadaku, akan tetapi akulah yang seharusnya
berlutut kepadamu¡.
Dia mengajak makhluk itu keluar, kemudian dia menjatuhkan diri berlutut di depan kerangka,
agak jauh di luar lubang. Dan sungguh aneh sekali, begitu dia berlutut, agaknya
terguncangketika lubang itu runtuh, tiba-tiba saja kerangka itupun runtuh terlepas dan menjadi
setumpuk tulang dan tengkoraknya jatuh diatas tumpukan tulang.!
Melihat makhluk itu kembali menjatuhkan diri berlutut dan mengeluarkan suara nguik-nguik
seperti orang menangis kemudian dia memunguti tulan itu satu demi satu dengan hormat
sekali dan membawanya turun ke bawah. Melihat ini Thian Liong tidak tinggal diam diapun
memunguti sisa tulang dan tengkorak, dan membawanya masuk ke dalam ruangan di bawah
gua. Mereka berdua menaruh tulang-tulang dan tengkorak itu diatas meja dimana kitab dan
pedang tadi berada, kemudian setelah kembali memberi hormat, Thian Liong mengajak Yeti
itu keluar.
Setiba di luar gua, diatas ruangan itu, Yeti lalu mengambil batu besar. Sungguh hebat sekali
tenaga Yeti itu. Batu besar yang belum tentu dapat digerakkan oleh sepuluh orang itu dapat
digulingkan oleh Yeti memasuki gua dan menutup lubang itu.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 75
“Saudara yang baik, sekarang aku harus kembali ke rumah guruku. Mereka tentu akan cemas
sekali menanti aku pulang¡. Mendengar ini, Yeti itu lalu menjatuhkan diri lagi di depan kaki
Thian Liong. Thian Liong merasa terharu. Kini dia mengerti mengapa makhluk itu begitu
menghormatinya.
“Ah, saudaraku yang baik. Mendiang suhu tentu orang yang luar biasa bijaksananya sehingga
engkau yang menjadi temannya begitu setia kepadanya. Tentu engkau menganggap aku
sebagai murid atau ahli warisnya maka engkau begitu menghormatiku, mengingat akan
mendiang suhu. Arwah suhu yang entah siapa namanya itu tentu akan tersenyum di dalam
baka melihat kesetianmu. Engkau bukan manusia, akan tetapi jarang sekali ada manusia yang
memiliki kesetian seperti engkau. Thian Liong lalu merangkul leher makhluk itu dengan kasih
sayang sepenuh hatinya. Dia merasa sayang sekali kepada makhluk itu dan merasa terharu
melihat kesetiaan yang demikian besarnya.
Nah, saudaraku, sekarang aku harus pergi. Atau maukah engkau ikut dengan aku? Kedua
orang guruku tentu akan senang sekali menerimamu¡.
Akan tetapi makhluk itu sekali ini menggelengkan kepala dan duduk diatas batu besar seolah
dia hendak menjaga tempat itu selamanya. Thian Liong maklum akan hal ini karena telah
melihat kesetiaan makhluk itu yang demikian luar biasa. Ketika Thian Liong hendak pergi,
tiba-tiba makhluk itu melompat turun, memegang tangan Thian Liong dan diajaknya pergi
kesamping gua. Disitu banyak tumbuh jamur yang belang-belang, dan makhluk itu lalu
mencabut beberapa batang jamur, lalu memakannya begitu saja dan dia menawarkan kepada
Thian Liong untuk ikut makan jamur itu.
Thian Liong sudah mempelajari ilmu pengobatan, maka dia mencium jamur itu. Tidak ada
tanda beracun, akan tetapi dari baunya yang keras diatahu bahwa jamur itu mengandung obat
yang keras sekali, entah untuk menyembuhkan penyakit apa, hal ini perlu diselidiki.akan
tetapi karena dia melihat makhluk itu juga makan, untuk tidak membuat hati makhluk itu
kecewa, diapun makan sebatang jamur. Eh, rasanya manis dan gurih. Karena perutnya
memang lapar, dia lalu mencabut agak banyak dan makan dengan enaknya. Anehnya melihat
Thian Liong makan banyak jamur, makhluk itu berjingkrak-jingkrak seperti merasa
kegirangan sekali. Perut Thian Liong menjadi kenyang setelah menghabiskan banyak jamur.
Akan tetapi tiba-tiba ada rasa panas luar biasa pada perutnya. Ada hawa panas yang berputar
di perutnya. Dia merasa dadanya sesak, terhimpit hawa dari perut itu dan cepat dia
meletakkan kitab dan pedang diatas lantai dan dia menekan perutnya yang rasanya hendak
meledak.
Makhluk itu lalu membimbing tangannya dan kemudian makhluk itu bersila. Thian Lee
maklum bahwa makhluk itu mgajarkan dia dusuk bersila, maka diapun duduk bersila lalu
melatih pernapasan seperti kalau dia melatih ilmu menghimpun tenaga dalam dari gurunya,
Tan Jeng Kun. Dan perlahan-lahan dia dapat menguasai gejolak dalam perutnya itu, dapat
menguasai hawa yang amat kuat dan yang hendak mecuat ke sana sini, kemudian menekan ke
bawah perut untuk mengumpulkan hawa itu pada tan tian (titik empat cm dibawah pusar).
Akhirnya, setelah duduk bersila selam tiga jam, dapat juga dia menenangkan hawa panas yang
amat kuat itu ke dalam tan tian.
Akhirnya dia dapat bangkit berdiri dan dia segera mencabut banyak jamur untk dibawa
pulang. Dibungkusnya jamur itu ke dalam bajunya dan dia sendiri bertelanjang baju karena
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 76
tubuhnya masih terasa panas sekali yang timbul dari bawah perutnya. Kemudian dia
melambaikan tangan kepada Yeti dan sekali ini Yeti balas melambaikan tangan.
“Sekali lagi terima kasih, saudara yang baik. Lain kali aku pasti akan dating menjengukmu ke
sini”.
Setelah berkata demikian, pergilah dia. Aneh sekali, ketika melangkah dia merasa tubuhnya
demikian ringan seolah-olah tubuhnya terisi hawa yang membuat dia seperti hendak
mengudara.
Setelah hari menjadi malam, akhirnya tibalah dia di pondok gurunya dan ternyata dua orang
gurunya telah menanti di depan pondok dengan wajah agak gelisah.
“Thian Lee, kemana saja engkau seharian ini?”, tegur Tan Jeng Kun, dengan suara yang agek
keren dia merasa tidak senang muridnya telah membuat mereka berdua kawatir.
“Eh, apa yang terjadi dengan dirimu, Thian Lee?. Tanya Kim Sim Yok Sian yang melihat
muridnya itu bertelanjang dada, membawa sesuatu yang dibuntal dengan pakaian, juga
membawa dua buah kitab dan sebatang pedang.
“Suhu dan Susiok, teecu mengalami hal yang luar biasa sekali. Suhu dan Susiok mungkin
tidak percaya akan apa yang teecu alami di puncak dimana tinggal makhluk manusia salju
itu”.
“Engkau kesana? Sudah kularang engkau kesana?” Tegur Tan Jeng Kun.
“Apa yang telah terjadi? Cepat ceritakan. Mari kita semua masuk ke dalam” kata Kim Sim
Yok Sian yang lebih sabar daripada gurunya.
Mereka semua masuk dan Thian Lee meletakkan pedang dan dua buah kitab keatas meja, juga
buntalan pakaian yang terisi jamur ajaib.
Dengan jelas dia menceritakan semua pengalamannya di puncak bukit itu, didengarkan oleh
Tan Jeng Kun dan Kim Sim Yok Sian dengan mata terbelalak saking herannya.
Setelah Thian Lee selesai bercerita dengan jelasnya, dua orang itu segera sibuk memeriksa.
Tan Jeng Kun memeriksa pedang dan kitab, sedangkan Kim Sim Yok Sian memeriksa jamur
belang dan keduanya mengeluarkan seruan kaget dan juga gembira.
“Ya Tuhan, engkau memang berjodoh menjadi ahli waris perguruan kami, Thian Lee”. Tan
Jeng Kun berseru girang setelah melihat pedang dan kedua buah kitab.
“Siancai …! Jamur ini adalah jamur ular belang yang langka. Nampaknya tidak beracun, akan
tetapi mengandung racun yang halus sekali. Dan engkau telah memakannya Thian Lee?.
“Benar, Susiok. Teecu makan banyak sekali. Rasanya manis dan gurih. Makhluk manusia
salju itu yang menyuruhku makan dan teecu lalu mengalami gejolak hawa panas di perut
teecu yang menyiksa. Akan tetapi manusia salju itu mengajarkan agar teecu bersila dan lalu
teecu melakukan latihan seperti yang diajarkan Suhu dan akhirnya teecu dapat menyimpan
hawa itu ke dalam tan tian”.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 77
“Siancai …! Ini luar biasa sekali. Engkau telah memperoleh kekuatan yang luar biasa, Thian
Lee. Untung sekali ada manusia salju yang mengajarimu. Andaikata ketika engkau diserang
hawa panas bergejolak itu engkau tidak berdiam diri menghimpun tenaga dalam, dan kau
pakai untuk lari atau menggunakan tenaga, mungkin engkau telah roboh dan tewas kalau
hawa itu menyerang ke dalam kepalamu. Sebaliknya, dengan menyimpannya ke dalam tan
tian, engkau akan memperoleh kemajuan pesat dalam hal tenaga sin kang”. Kata Kim Sim
Yok Sian setelah dia memegang pergelangan tangan pemuda remaja itu untuk memeriksa
keadaan kesehatannya.
Dan kitab itu. Sute, coba kau lihat kitab dan pedang ini. Kata Tan Jeng Kun kepada sutenya.
Kim Sim Yok Siam membuka-buka kitab itu. Wajahnya tampak tegang dan ketika dia
mencabut pedang Jit goat Sin kiam, matanya terbelalak.
“Siancai …. Bagaimana bisa terjadi suatu kebetulan seperti ini? Tentu sudah dikehendaki oleh
Thian. Tahukah engkau siapa kerangka itu, Thian Lee?.
“Teecu, tidak tahu Susiok”.
“Itu .. adalah kerangka sucouwmu (buyut gurumu)!.
“Ahhh…!” Thian Lee berseru kaget sekali. Tentu saja dia sama sekali tidak menduga bahwa
kerangka itu adalah kerangka buyut gurunya! “Susiok dan Suhu, apa yang terjadi dengan
sucouw?,
“Su kong (kakek guru) kami berjuluk Thian te Seng jin (Orang Sakti Langit Bumi), dan ketika
guru kami masih hidup, sukong kami itu menghilang dari dunia kang ouw. Tidak ada seorang
pun yang mengetahui dimana sukong kami berada, bahwa suhu kami juga tidak mengetahui.
Dia dianggap lenyap dari permukaan bumi. Siapa tahu, dia tidak berada jauh dari sini, bahkan
berada di puncak yang dianggap menjadi tempat tinggal manusia salju dimana tidak ada orang
beranidatang. Dan lebih tidak terduga lagi, kiranya engkau yang menjadi ahli warisnya! Dan
betapa berbahayanya ketika engkau hendak mengambil kitab dan pedang itu. Pinto yakin,
setiap jarun dan paku itu mengandung racun yang akan mencabut nyawa siapa saja yang
terkena olehnya. Ini menunjukkan bahwa sudah ditakdirkan engkau yang berhak mempelajari
ilmu baru yang ditinggalkannya itu dan memiliki pedang pusakanya”.
“Akan tetapi susiok. Bagaimana teecu dapat mempelajari kitab itu?. Ketika teecu
memeriksanya, terdapat banyak huruf yang tidak teecu kenal.”
“Ha ha ha, apa percuma saja gurumu seorang sastrawan? Memang tulisan itu memakai huruf
kuno, akan tetapi suhumu tentu dapat membantumu. Dan lebih beruntung lagi, engkau juga
telah makan jamur ular belang sehingga engkau akan mendapatkan kekuatan yang hebat. Dan
masih ada sebanyak ini. Engkau harus memakannya sedikit demi sedikit agar tidak
membahayakan kesehatanmu”.
“Suhu dan Susiok, teecu telah makan banyak jamur. Maka biarlah jamur ini untuk suhu dan
susiok saja”.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 78
“Heh heh heh, pinto ini tukang mengobati, untuk apa jamur yang mendatangkan tenaga sinkang?
Tidak, pinto tidak memerlukannya”, kata si Tabib Dewa.
“Kalau begitu, biar dimakan oleh suhu”. Kata Thian Lee.
Suhunya mengerutkan keningnya, “Aku sudah tua, untuk apa segala macam obat kuat?
Biarlah engkau yang memakannya sampai habis, akan tetapi benar seperti kata susiokmu,
harus dimakan sedikit demi sedikit. Dan kitab pelajaran ilmu sin-kang Thian te Sin-kang ini
tentu cocok dengan orang yang memakan jamur itu sehingga engkau akan dapat menguasai
tenaga sakti itu dengan baik. Tentang ilmu pedang Jit goat Kiam sut ini, dan isi kitab, jangan
kawatir, aku akan menerangkan dan menjelaskan isi dan artinya. Akan tetapi engkau harus
berlatih sendiri karena aku tidak berhak mempelajarinya, juga aku sudah tua, tidak ingin
mempelajari ilmu silat apapun lagi”.
Demikianlah, mulai hari itu, selain menerima pelajaran ilmu silat tangan kosong dari gurunya,
Thian Lee mulai berlatih sin-kang dari kitab Thian te Sin kang dan mempelajari ilmu pedang
ari kitab Jit goat Kiam sut, mempergunakan pedang Jit goat Sin Kiam. Memang pada
dasarnya dia memiliki bakat yang amat baik, darah bersih dan tulang yang kuat, apalagi
ditambah khasiat luar biasa dari jamur ular belang, maka Thian Lee mendapat kemajuan pesat
sekali.
Kim Sim Yok Sian hanya tinggal setahun disitu, kemudian dia meninggalkan tempat itu untuk
merantau dan melanjutkan tugasnya, yaitu melawan wabah penyakit dan mengobati orangorang
sakit. Dalam waktu setahun itu, dia sudah mengajarkan ilmu pengobatan yang lumayan
bagi Thian Lee.
* * *
Kita tinggalkan dulu Thian Lee yang dengan tekun digembleng oleh Tan Jeng Kun di sebuah
puncak dari Pegunungan Himalaya dan marilah tengok keadaan ? Tang Cin Lan dan ibunya,
Lu Bwe Si.
Hidup sebagai selir pangeran yang tercinta, Lu Bwe Si merasa cukup bahagia. Demikian pula
Cin Lan yang dengan sendirinya mendapat nama marga Tang, yaitu marga pangeran yang
menjadi ayahnya, anak itu hidup serba kecukupan dan terhormat. Karena ibunya dan juga
ayahnya, memanggilkan guru-guru silat untuk puteri ini, maka Cin Lan menjadi seorang gadis
remaja yang memiliki ilmu silat yang cukup tangguh. Dara ini yang kini telah berusia lima
belas tahun pan-dai menunggang kuda, menggunakan anak panah dan bersilat memainkan
delapan belas macam senjata dengan baik!
Memang Lu Bwe Si yang diuruk ker mewahan dan kesenangan oleh suaminya, telah dapat
melupakan suaminya yang dahulu. Akan tetapi, jika melihat puterinya yang memiliki mata
dan mulut rnirip ayah kandungnya, ia teringat kembali dan setiap kali teringat akan suaminya,
memlr bayangkan kematian suaminya, ia merasa kasihan dan untuk menebus rasa bersalahnya
terhadap suami itu, sedikitnya tiga bulan sekali Lu Bwe Si mengajak anaknya untuk
bersembahyang ke kuil terbesar, di kota raja yang dipimpin oleh Tiong Hwi Nikouw, karena
kuil itu memang kuil wanita. Di kuil inilah nyonya selir pangeran itu bersembahyang,
menyembahyangi arwah mendiang Bu Cian isuaminya yang pertama, atau ayah kandung Cin
Lan. Tentu saja Cin Lan tidak tahu bahwa ibunya menyembahyangi ayah kandungnya, karena
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 79
ibunya tidak pernah bicara tentang ini. Juga kepada para nikouw, Lu Bwe Si berkata bahwa ia
hendak menyembahyangi orang tua dan para leluhurnya.
Setelah berusia lima belas tahun, Ci Lan menjadi seorang gadis remaja yang cantik jelita.
Apalagi sebagai puteri pangeran, kesehatannya terawat sekali, pakaiannya serba indah, maka
ia nampak makin menarik. Setiap orang pria tentu akan menengok untuk memandang lagi
kalau kebetulan melihat dara jelita inl. Pada suatu pagi Cin Lan dan ibunya me-nunggang
kereta pergi ke kuil. Ketika naik kereta, tidak ada orang yang dapat melihat mereka. Akan
tetapi ketika turun dari kereta hendak memasuki kull banyak mata memandang dara semua
orang merasa kagum bukan main. Dara remaja itu mengenakan pakaian serba merah muda,
rambutnya yang hitam pan-jang itu digelung seperti para puteri bangsawan, melingkar-lingkar
tinggi di atas kepala, dihias tusuk rambut dari emas permata. Anak rambut yang melingkarlingkar
di dahi dan pelipis itu sungguh amat manis. Anting-anting emas bermata Intan
menghias telinganya. Alisnya hitam kecil melengkung tanpa dicukur dan tan-pa ditambah
penghitam alis. Sepasang matanya amat tajam dan memandang berani, tidak malu-malu
seperti mata gadis kebanyakan, bahkan mata itu kadang mencorong. Hidungnya kecil
mancung, dan di bawah hidungnya terdapat mulut yang menjadi bagian paling menari dari
mukanya. Bibirnya merah membasah tanpa gincu, dengan lekukan-lekukan manis di sekitar
mulut dan kalau ia tersenyum nampak lesung pipit di pipi kirinya. Kulitnya demikian putih
mulus. Tubuhnya masih belum matang benar, masih agak kekanakan, akan tetapi sudah
kelihatan betapa pinggangnya amat ramping dan lehernya juga panjang. Pangeran Tang Gi Su
sendiri merasa amat bangga kepada puteri ini karena kecantikannya dan kepandaiannya
bersilat, walaupun hanya puteri tiri.
Akan tetapi, karena Lu Bwe Si mem-bawa anak ketika untuk pertama kali ia dibawa masuk ke
istana pangeran, tentu saja bukan merupakan rahasia lagi bahwa Cin Lan bukan puteri
kandung Pangeran Tang Gi Su, melainkan anak tiri. Dan hal ini tidak mungkin dapat ditutuptutupi
Akan tetapi sampai berusia lima belas tahun Cin Lan belum mendengar akan rahasia
itu, dan Sang Pangeran memperingatkan para pelayannya agar jangan membocorkan rahasia
itu kepada Cin Lan dengan ancaman hukuman berat, Bwe Si sendiri juga tidak ingin
membuka rahasia itu kepada puterinya. Akan tetapi ia menyuruh Bwe Si memakai gelang
kemala yang menjadi tanda ikatan perjodohan puterinya dengan putera Song Tek Kwi sebagai
apa yang dipesankan mendiang suaminya. Akan tetapi ia tidak menceritakan hal itu kepada
Cin Lan, hanya mengatakan bahwa Cin Lan harus menjaga baik-baik gelang kemala itu
karena walaupun harganya tidak terlalu mahal bagi keluarga pangeran, namun gelang itu
adalah peninggalan ibunya.
"Ibuku atau nenekku juga menerima gelang ini dari ibunya, maka gelang yang sudah turuntemurun
ini harus kaujaga baik-baik dan dapat dijadikan jimat penolak bencana," demikian ia
memberitahu anaknya dan Cin Lan selalu menjaga gelang yang melingkari lengan kirinya itu.
Ketika anak dan ibu ini turun dari kereta, terdapat dua orang pengemls muda yang berada di
depan kuil dan mereka memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga menyaksikan
kecan-tikan gadis remaja itu dan mereka lalu berbisik-bisik. Memang di halaman kuil itu
biasanya terdapat beberapa orang pengemis yang mengharapkan sedekah dari para
pengunjung kuil. Biasanya, orang-orang yang berkunjung ke kuil, suka lepas tangan dan
murah hati dalam membert sumbangan kepada para fakir miskin. Demikianlah memang watak
manusia. Ketika memasuki kuil atau tempat pemujaan lainnya, manusia selalu meng-ajukan
permohonan kepada Tuhan atau kepada kekuasaan lain agar mencapai apa yang dikehendaki.
Dan untuk memperkuat permohonan mereka itu, mereka suka "berbuat baik" dengan memberi
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 80
sedekah agar permohonannya terkabul. Betapa palsunya perbuatan baik semacam ini. Bukan
berbuat baik namanya, melainkan menyalah-gunakan apa yang dinamakan perbuatan baik
dengan menjadikannya sebagai cara untuk memperoleh apa yang diharapkan, seolah
merupakan penyuapan atau penyogokan! Demikianlah, keinginan untuk memperoleh sesuatu
biasanya menggelapkan pikiran, meniadakan pertirnbangan, membuat orang buta terhadap
yang benar dan yang salah, dan meng-gunakan segala daya upaya demi tercapainya apa yang
diinginkan itu. Kalau perlu, manusia tidak segan menghalalkan segala cara yang busuk demi
memperoleh keinginannya itu.
Namun, kita sudah lupa akan kenyata-an ini dan kita pun terbawa oleh kebiasaan umum, yaitu
suka menderma sehabis keluar dari tempat-tempat pemujaan dan dengan pemberian sedekah
itu kita mera-sa diri bersih, suci dan baik hati! Tanpa ;merasa kita sudah terseret ke dalam
kebiasaan yang salah namun dibenarkan oleh umum ini. Dan para pengemis tahu akan hal ini,
maka berderetlah mereka di tempat-tempat seperti itu, memancing ,ikan di air yang keruh atau
lebih tepat mencari hasil selagi pikiran manusia dalam kekeruhan!
Lu Bwe Si bersembahyang dan Cin Lan Juga ikut, bersembahyang. Mereka merupakan tamu
agung, karena me, jad! keluarga pangeran, maka dilayani sendiri oleh Tiong Hwi Nikouw,
kepala nikouw di kuil itu. Ini pun merupakan suatu kebiasaan yang sudah lajim. Munekin
sekalz Tiong Hwi Nikouw bukan seorang yang mata duitan, akan tetapi sudah menjadi
kebiasaan bahwa tamu-tamu terhormat biasanya meninggalkan dermaan yang besar
jumlahnya kepada kuil, maka mereka juga disambut dan dilayani secara istimewa? Kembali
contoh dan kepalsuan manusia yang sudah menjadi kebiasaan!
Cin Lan bersembahyang untuk arwah ieluhur ibunya, tidak tahu bahwa ia bersembahyang
pula untuk arwah ayah kandungnya! Setelah selesai sembahyang dan bercakap-cakap sebentar
dengan Tione Hwi Nikouw, seorang nlkouw tua berusia enam puluh tahun yang masih
bertubuh sehat dan kuat, minum air teh yane di suguhkan, Lu Bwe Si berpamit setelah
memberi uang sedekah kepada kuil itu bersama Cin Lan mereka melangkah keluar, diiringkan
oleh Tiong Hwi Nikouw.
Baru saja mereka menuruni anak tangga, mereka dihadang oleh tiga orang pengemis muda
yang tersenyum-senyum menjulurkan tangan minta sedekah. Lu Bwe Si mengerutkan alisnya
melihat sikap menyeringai rnereka dan ia pun memberi beberapa keping uang kepada mereka.
Akan tetapi tiga orang pengemis itu tidak mau pergi.
"Nona belum memberi," kata mereka dan kini mereka menjulurkan tangan kepada CAn Lan
sambil mendekati nona itu.
Cin Lan merasa tidak senang. "Pergi kalian! Bukankah Ibu sudah memberi kepada kalian?"
bentaknya.
Seorang di antara mereka berkata, "Aih, jangan galak-galak, Nona. Berilah kami sedikit
sedekah dari tangan Nona yang indah itu."
"Kurang ajar kalian! Tidak tahukah dengan siapa kalian berhadapan? Aku adalah puteri
Pangeran Tang Gi Su!" bentak pula Cin Lan.
Akan tetapi tiga orang pengemis it|U tertawa. "Dengar, kawan-kawan. la bilang puteri
Pangeran Tang Gi Su! Ha-ha-ha, sungguh lucu. Engkau hanya anak tirl pangeran itu, jangan
berpura-pura menjual lagak, Nona!" Pengemis itu lalu tiba-tiba menangkap lengan kiri Cin
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 81
Lan dan sebelum Cin Lan sempat mengelak dia sudah merenggut gelang kemala dari lengan
kiri itu. Gelang itu memang agak terlalu besar untuk lengan Cin Lan yang kecil, maka dengan
mudah dapat dirampas, dan telah dimasukkan saku oleh pengemis muka bopeng itu.
"Jahanam, kembalikan gelangku!" Cin Lan kini melompat dan memukul. Pengemis itu
ternyata dapat bersilat juga. Dia menangkis dan balas memukul. Akan tetapi Cin Lan
mengelak dan sekali kakinya mencuat, pengemis itu telah terten-dang perutnya dan jatuh
terjengkang. Dua orang pengemis yang lain lalu mengeroyok. Mereka berani karena tahu
bahwa gadis itu bukanlah puteri pangeran, melainkan hanya anak tiri. Akan tetapi Cin Lan
mengamuk. la menggunakan semua ilmu silat yang selama ini la pelajari dan dalam beberapa
gebrakan saja tiga orang pengemis itu telah menjadi bulan-bulan tamparan dan tendangan
kakinya. Tiga orang pengemis itu terkejut dan heran, akhirnya menjadi ketakutan dan
melarikan diri sambll membawa gelang kemala. Cin Lan hendak mengejar, akan tetapi tiga
orang pengemis itu lari cerai-berai dan ibunya melarang ia mengejar.
"Sudahlah, jangan dikejar, Cm Lan, kata Lu Bwe Si dengan suara mengandung kegelisahan.
la gelisah karena men-dengar perngemis itu tadi membuka ra-hasia anaknya.
"Benar, Siocia (Nona). Tidak perlu. «iitanggapi pengemis-pengemis kurang ajar itu. Kalau
mereka berani datang lagi ke sini akan pinni (aku) usir mereka," kata Tiong Hwi Nikouw.
"Marilah kita pularrg, Cin Lan," kata ibunya sambil menggandeng tangan anaknya
menghampiri kereta. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras,
"Perlahan dulu!" Dan muncullah seorang pengemis berusia lima puluh tahunan. Orangnya
pendek gendut dan dia memegang sebatang tongkat hitam. Karena jelas bahwa dia menegur
Lu Bwe Si, maka nyonya ini memandang dengan alis berkerut.
"Engkau mau apa?" bentaknya.
"Ha-ha-ha, perlahan dulu, Toanio. Tadi tiga orang muridku telah dihajar oleh nona ini, maka
aku datang untuk membalaskan mereka. Hayo Nona, kalau memang engkau seorang yang
berkepandaian, lawanlah tongkat hitamku!" Dan dia memutar-mutar tongkatnya yang terbuat
dari baja itu sehingga terdengar suara berngiukan.
"Slapa takut padamu?" bentak Cin Lan sambil melompat maju. "Murid-muridmu pencuri
kurang ajar, gurunya lentu lebih brengsek lagi! Majulah kalau engkau minta dihajar!" Cin Lan
memasang kuda-kuda, siap untuk bertanding melawan pengemis pendek gendut yang
memegang tongkat hitam itu.
"Nah, rasakan kehebatan tongkatku!" bentak pengemis itu dan dia pun mulai menyerang
dengan ganas. Diam-diam Cin Lan terkejut. Serangan orang ini tidak dapat disamakan dengan
tlga orang pe-ngemis tadi. Serangan tongkatnya itu cepat dan mengandung tenaga yang kuat
sekali. la menggunakan kelincahannya untuk mengelak sambil membalas dengan tendangan,
akan tetapi terpaksa ia me-narik kembali kakinya karena tongkat itu menangkis dengan kuat
sekali. Dan pe-ngemis itu pun tidak mau memberi hati, langsung menghujankan serangannya.
Untung bagi Cin Lan bahwa ia memiliki gerakan yang amat gesit sehingga ia dapat mengelak
ke sana sini. Akan tetapi segera ia terdesak hebat karena permainan tongkat pengemis itu
memang sudah tinggi tingkatnya. Suara angin berdesir menyambar-nyambar dan biarpun
sampai belasan jurus Cin Lan mampu mengelak dan tubuhnya berkelebatan di antara
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 82
sambaran tongkat, namun ia sudah terdesak mundur dan kalau pertandingan itu dilanjutkan
bukan tidak mungkin ia akan terkena pukulan tongkat.
Ketika tongkat itu dengan dahsysatnya menyambar ke arah kepala Cin Lan dan gadis ini
mengelak, terdengar bunyi keras dan tongkat itu ternyata telah ditangkis oleh sebatang
tongkat lain, yaitu tongkat yang berada di tangan Tiong Hwi Ni-kouw! Nikouw ini ketika
melihat betapa Cin Lan terdesak, sudah mengambil tong-katnya dan kini ia maju menangkis
tongkat pengemis itu.
"Tang-siocia, mundurlah, biarkan pinni yang menghajar pengemis tak tahu diri ini'" katanya
dan Cin Lan yang merasa kewalahan segera mundur mendekati ibunya yang kelihatan
khawatir sekali.
Kini terjadi pertandingan antara Tiong Hwi Nikouw dan pengemis pendek gendut itu.
Keduanya mempergunakan tongkat dan ternyata tongkat di tangan Tiong Hwi Nikouw itu
lihai sekall gerakannya. Nikouw inl pernah menjadi murid Siauw-lim-pai, maka tentu saja
permainan tongkatnya juga tangguh sekali. Dan perlahan-lahan ia mulai meridesak pengemis
pendek itu dengan tongkatnya sehingga Si Pengemis kini hanya mampu menangkis tidak
mampu balas menyerang. Melihat ini, Cin Lan kagum dan girang sekali.
Akan tetapi pada saat itu, muncul seorang pengemis tinggi besar yang juga memegang
sebatang tongkat hitam dan begitu tiba di situ, pengemis tinggi besar itu membentak, "Siapa
berani menentang Hek-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam)?" Dan tanpa
banyak cakap lagi dia segera terjun ke dalam perkelahian itu, mengeroyok Tiong Hwi
Nikouw! Dan ilmu tongkat Si Tinggi Besar ini ternyata lebih hebat danpada ilmu tongkat Si
Pendek Gendut. Begitu Si Tinggi Besar ini menggerakkan tong-katnya menyerang, berbalik
nenek itu yang terdesak hebat dan karena ia dikeroyok dua, maka kini Tiong Hwi Nikouw
hanya mampu menangkis sambil berlon-catan mundur. Cin Lan merasa khawatir sekali
karena dara ini maklum bahwa nikouw itu tentu akan kalah dalam waktu singkat.
"Beginikah kelakuan orang-orang Hek-tung Kai-pang?" Tiba-tiba terdengar seruan dan
muncullah seorang pengemis lain. Pengemis ini sudah tua, usianya tentu sudah mendekati
tujuh puluh tahun, pakaiannya serba putih walaupun penuh tambalan namun nampak bersih.
Pengemis ini pun memegang sebatang tongkat bambu yang butut, akan tetapi begitu dia
menggerakkan tongkat bambunya menangkis, dua orang pengemis itu terhuyung ke belakang.
Pengemis ttia berbaju putih itu lalu memberi hormat kepada Tiong Hwi Ni-kouw, "Maafkan
dua orang pengemis yang tidak tahu diri ini dan biarkan aku yang tua memberi hajaran kepada
mereka!"
Adapun dua orang pengemis tongkat hitam menjadi marah sekali melihat munculnya
pengemis baju putih yang sama sekali tidak mereka kenal. Si Ting-gi Besar maju dan
menudingkan telunjuk kirinya. "Engkau ini pengemis macam apa? Tidak setiakawan
membantu sesama pengemis malah menentang kami? Apakah tidak tahu bahwa kami dari
Hek-tung Kai-pang di kota raja dan sekitarnya menjadi pimpinan para pengemis?"
Pengemis tua itu tersenyum. "Ingin aku melihat bagaimana sikap ketua kalian kalau melihat
sikap dan mendengar suara kalian ini. Sebagai pengemis yang pekerjaannya meminta belas
kasihan orang lain, kenapa kalian menggunakan kekerasan? Kalau pengemis menggunakan
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 83
kekerasan, apa bedanya dengan perampok? Ketahuilah, hai pengemis yang tidak tahu diri.
Penggunaan kekerasan tidak menguntungkan, bahkan akan mencelaka-kan diri kalian sendiri.
Hayo cepat berlutut minta maaf kepada nikouw ini dan juga kepada Toanio dan Siocia itu!"
"Pengemis tua busuk! Kau tidak tahu siapa kami, ya? Kau pantas dihajar!" Bentak Si Tinggi
Besar dan bersama Si Pendek Gendut dia lalu menyerang kalang-kabut kepada pengemis baju
putih. Akan tetapi pengemis baju putih ini berdiri tegak saja dan ketika dua orang
penyerangnya sudah menerjang dekat, per-lahan pula dia menggerakkan tongkatnya akan
tetapi sungguh aneh, tongkatnya itu dapat mendorong kedua orang itu sehingga terjengkang!
Dua orang itu meloncat bangun dan menyerang lagi, akan tetapi kembali mereka terjengkang
karena dari tongkat bambu itu keluar hawa yang amat kuat mendorong mereka. Untuk ke tiga
kalinya mereka bangkit dan menyerang, akan tetapi makin hebat serangan mereka, makin
hebat pula mereka terlempar dan akhirnya mereka tidak berani lagi menyerang, maklum
bahwa mereka berhadapan dengan orang pandai. Mereka hendak melarikan diri, akan tetapi
kakek berpakaian putih itu menggerakkan tangan seperti menggapai dan mereka jatuh
tergulingan lagi.
"Sebelum minta ampun kepada Ni-kouw, pinto dan Siocia, jangan harap kalian akan dapat
meninggalkan tempat ini," kata pengemis tua itu.
Akhirnya dua orang pengemis Hek-tung Kai-pang itu berlutut dan minta ampun kepada Tiong
Hwi Nikouw, Lu Bwe Si dan Tang Cin Lan, mengangguk-anggukkan kepala seperti dua ekor
ayam mematuk gabah padi.
"Nah, kalian berdua ingat baik-baik. Jangan membiarkan anak buah kalian melakukan
perbuatan jahat, terutama sekali jangan menggunakan kekerasan. Lain hari aku akan bertemu
dengan ketua kalian untuk menegurnya. Apakah kalian ingin dibasmi oleh pasukan
pemerintah? Atau setidaknya dibasmi oleh para pendekar? Nah, pergilah dan jangan ulangi
perbuatan kalian!" Dua orang pengemis itu memberi hormat dan segera pergi tanpa banyak
cakap lagi.
Orang-orang yang menonton pertandingan itu menjadi gembira dan kagum. Para pengemis
Hek-tung Kai-pang memang suka mengganggu orang, terutama para wanita. Dan mereka itu
agaknya tidak takut terhadap para petugas penjaga keamanan, karena mereka itu merupakan
orang-orang kepercayaan dari Pangeran Bian Kun. Karena adanya Pangeran Bian Kun yang
selalu membela mereka, maka para anggauta Hek-tung kai-pang menjadi besar kepala dan
setiap kali para petugas keamanan bertindak keras kepada mereka, tentu petugas keamanan
ditegur keras oleh Pangeran Bian Kun. Kini, melihat dua orang tokoh Hek-tung Kai-pang
dihajar oleh seorang pengemis tua yang menasihati agar mereka tidak menggunakan
kekerasan melakukan kejahatan, tentu saja para penonton ity menjadi gembira sekali.
Cin Lan juga kagum sekali melihat kesaktian pengemis tua baju putih itu. Ia mendekati Tiong
Hwi Nikouw yang sudah dikenalnya dengan baik. "Su-kouw," bisiknya. "Aku ingin sekali
belajar ilmu silat dari Locianpwe itu. Tanyakanlah kepadanya, Su-kouw, tolonglah...."
Nikouw itu tersenyum dan mengangguk, lalu ia menghampiri pengemis itu dain memberi
hormat. "Terima kasih banyak atas bantuan Locianpwe. Mohon tanya, siapakah Locianpwe
dan datang dari mana?"
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 84
Pengemis itu tersenyum. "orang menyebutku Pek I Lokai (Pengemis Tua Baju Putih). Aku
sudah lupa akan namaku, maaf...."
"Locianpwe, karena Locianpwe sudah menyelamatkan pinni dan juga Toanio dan Siocia ini,
maka pinni persilakan Lo-cianpwe untuk singgah sebentar dan bercakap-cakap di dalam."
Pengemis itu menoleh dan memandang kepada Lu Bwe Si dan Cin Lan, kemudian dia
mengangguk dan berjalan perlahan mengikuti nikouw itu memasuki Kuil Kwan-im-bio. Lu
Bwe Si hendak mengajak puterinya pulang, akan tetapi dara itu malah menarik tangan ibunya
diajak masuk kembali ke kuil.
Mereka duduk menghadapi meja de-ngan hidangan tanpa daging dan tanpa arak. Pengemis itu
tanpa malu-malu lagi menyantap hidangan yang disuguhkan kepadanya. Setelah selesai
makan, dia mengangguk-angguk dan tersenyum.
Pada saat itu, Lu Bwe Si dan Cin Lan memasuki ruangan itu. Tiong Hwi Nikouw lalu bangkit
berdiri dan berkata kepada pengemis itu, "Locianpwe, toanio ini adalah isteri dari Pangeran
Tang Gi Su dan nona ini adalah Tang-siocia. Nah, Tang-siocia tadi melihat kelihaian Locianpwe
dan ingin sekali belajar Umu silat dari Locianpwe."
Pengemis itu tersenyum dan memandang kepada Cin Lan, memandang dari kepala sampai ke
kaki dan diam-diam dia kagum. Gadis remaja inl memang berbakat baik sekali.
"Nona sudah pernah mempelajari ilmu silat sampai cukup baik, untuk apa ingin belajar lagi?"
"Locianpwe, biarpun sejak kecil aku sudah mempelajari ilmu silat, akan tetapi buktinya tadi
ketika menghadapl pengemis .pendek gendut, aku tidak mampu mengalahkannya. Karena itu
melihat ke-saktian Locianpwe, aku ingin sekali men-jadi murid Locianpwe. Harap engkau
orang tua tidak menolak!" Setelah berkata demikian, membuat kaget hati ibunya, gadis itu
lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek pengemis itu! Tentu saja Lu Bwe Si terkejut
sekali, akan tetapi ia pun tidak dapat berbuat sesuatu. Melihat puterinya, puteri pangeran,
berlutut di depan kaki seorang kakek pengemis! Bagaimana kalau hal seperti ini dilihat orang
lain? Untung di situ hanya ada ia dan Tiong Hwi Nikouw!
Pengemis itu mengangkat mukanya dan tertawa bergelak, kemudian dengan tongkat
bambunya dia menusuk bawah ketiak kiri Cin Lan lalu mengangkatnya.
Cin Lah merasa ada tenaga raksasa tongkat itu yang mengangkatnya. la hendak menguji dan
mengerahkan tenaga sin-kang untuk melawannya akan tetapi tetap saja ia terangkat dalam
keadaan masih berlutut!
Kakek itu tertawa, "Ha-ha-ha, sin-kangmu boleh juga, Nona. Cin Lan lalu menurunkan
kakinya dan ia bertanya, "Bagaimana, Locianpwe sudikah engkau menerimaku sebagai
murid?"
"Aku seorang kakek pengemis perantau, bagaimana dapat menjadi gurumu, Nona? Dan aku
pun tidak suka tinggal d! rumah pangeran yang seperti istana, terlalu mewah bagiku."
Tiba-tiba Tiong Hwi Nikouw berkata, "Kalau Locianpwe menghendaki, dapat saja melatih
Tang-slocia di kuil ini."
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 85
"Bagus, kalau begitu baru bagus do.ir» aku setuju!" kata kakek itu gemblra.
"Terima kasih, Suhu!" kata Cin lan gembira.
"Eh, nanti dulu, Nona. Engkau harus memperoleh ijin dari Ibumu'" kata kakek itu,
Lu Bwe Si segera berkata, "Kami memang tahu akan kesukaan puteri kami dan kami tidak
berkeberatan kalau Lo-cianpwe suka menjadi guru Cin Lan."
"Wah, semua beres kalau begitu. Nah, seminggu sekali Nona boleh datang ke sini. Selama
sehari Nona akan kuajar ilmu silat, kemudian melatihnya di rumah Nona sendiri selama
seminggu. Setiap seminggu sekali kita bertemu di sini dan dimulai dengan besok pagi-pagi
sekali," kata Pek I Lokai kepada Cin Lan.
"Baik Suhu. Besok pagi-pagi sekali teecu akan datang ke kuil ini," kata Cin Lan. Kemudian ia
mengikuti ibunya naik kembali ke dalam kereta dan kembali ke rumah mereka
Cin Lan dan ibunya tidak menceritakan tentang peristiwa tadi kepada Pangeran Tang Gi Su.
Akan tetapi begitu berada bedua saja di dalam kamarnya, Cin Lan berkata kepada ibunya
dengan suara menuntut,
"Ibu, sejak tadi perasaan ini kutahan-tahan saja. Sekarang harap Ibu suka menceritakan
tentang ucapan pengemis kurang ajar tadi. Apa artinya ucapannya itu, Ibu?"
"Ucapan yang bagaimana, Ariakku?" tanya ibu itu dengan hati gelisah, karena tentu saja
ucapan pengemis muda tadi tak pernah ia lupakan.
"Pengemis tadi mengatakan bahwa. aku hanyalah anak tiri dari Ayah Pangeran. Apa artinya
inl, Ibu? Kalau Ibu tidak mau berterus terang, aku akan melakukan penyelidikan sendiri
dengan bertanya-tanya kepada orang luaran."
Sang Ibu menundukkan mukanya Rahasia itu bagaimanapun juga tidak mungkin disimpan
terus. Orang luar semua tahu belaka bahwa ketika menjadi selir pangeran, ia sudah membawa
seorang anak. Semua orang tahu belaka bahwa Cin Lan adalah puteri tiri Sang Pangeran.
"Baiklah, Cin Lan. Engkau sekarang sudah menjelang dewasa dan engkau perlu
mengetahuinya. Lebih baik engkau mendengar dari mulutku sendiri daripada engkau
mendengar darl mulut orang lain. Memang sebenarnyalah engkau bukan puteri kandung
ayahmu Pangeran. Engkau adalah anak tirinya."
Cin Lan menekan perasaannya. la sudah siap menghadapi kenyataan ini, dan hanya wajahnya
saja yang nampak agak pucat. "Akan tetapi, Anakku, apakah engkau rnerasa dianaktirikan?
Tidak, bukan? Ayahmu amat mencintamu, tidak berbeda dengan anak-anaknya sendiri. Juga
saudara-saudaramu menyayangimu, tidak menganggapmu sebagai saudara tiri."
"Akan tetapi mengapa Ibu selama ini merahasiakannya?"
"Belum waktunya, Cin tan. Kalau engkau masih kecil dan mendengar kenyataan ini tentu
amat tidak baik bagimu. Sekarang engkau sudah dewasa, maka tidak ada halangannya untuk
kau dengar rahasia ini."
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 86
"Ibu, di mana ayah kandungku?"
"Ayah kandungmu sudah meninggal dunia sejak engkau masih kecil sekali," baru berusia
beberapa bulan, Cin Lan.
Kalau ayah kandungmu tidak meninggal dunia, tentu aku tidak akan menjadi isteri Pangeran
Tang Gi Su. Setelah ayahmu meninggal dunia, aku bertemu dengan Pangeran Tang Gi Su dan
dia melamarku. Demikianlah, aku menjadi isterinya dan engkau menjadi puterinya. Dan kita
harus mengakui bahwa dia baik sekali, Cin Lan. Engkau juga dianggapnya sebagai puterinya
sendiri."
Cin Lan berdiam diri sampai lama, termenung. Memang ia tidak perlu me-rasa penasaran.
Pangeran Tang amat menyayangnya dan ia tidak pernah merasa dianaktirikan.
"Siapa nama ayah kandungku, Ibu?"
"Namanya Cian, she Bu."
"Hemm, Bu Cin Lan .....” gumam dara itu.
"Cln Lan, demi kebaikanmu sendiri dan kehormatan ayahmu pangeran, sebaiknya kalau
engkau tetap memakai nama marga Tang. Tidak perlu orang lain tahu bahwa engkau anak
seorang she Bu. Pula, apa yang dapat kita lakukan untuk membalas kebaikan keluarga Tang,
kecuali kalau engkau menggunakan nama marga mereka? Penuhilah pesan ibumu ini,
Anakku. Jangan memakai nama mar-ga Bu, melainkan pakailah terus she Tang. Kalau tidak,
maka hubungan antara ibumu dan ayahmu pangeran tentu akan menjadi retak dan kita akan
dianggap . tidak mengenal budi."
"Baiklah, Ibu."
"Masih ada sebuah rahasia lagi yang perlu sekarang juga kuceritakan kepadamu."
"Rahasia tentang apa, Ibu?"
"Tentang gelang kemala itu."
"Gelang kemala? Ah, yang dirampas oleh pengemis itu?" tanya Cin Lan ter-kejut dan juga
menyesal mengingat bahwa gelang itu telah hilang. "Bukankah itu gelang pemberian Nenek?
Ada rahasia apakah dengan gelang itu?"
"Gelang itu bukan peninggalan nenekmu. Gelang itu adalah... tanda ikatan perjodohanmu!"
Sepasang mata yang tajam indah itu terbelalak memandang wajah ibunya pe-nuh selidik,.
"Ikatan perjodohan? Apa artinya ini, Ibu?"
"Dahulu, ketika ayahmu masih hidup, bahkan pada hari ayahmu akan meninggal dunia, kami
kedatangan seorang sahabat baik ayahmu bernaina Song Tek Kwi. Song Tek Kwi mempunyai
seorang anak laki-laki yang baru berusia satu tahun dan ayahmu menyetujui usul Song Tek
Kwi untuk menjodohkan anak masing-masing. Song Tek Kwi lalu mengeluarkan sepasang
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 87
gelang kemala yang serupa benar, tiada bedanya sedikitpun juga. Dia menyerahkan sebuah
gelang kemala kami untukmu sebagai tanda ikatan perjodohan."
"Ah, baru berusia beberapa bulan sudah dijodohkan?" seru Cin Lan penasaran.
"Antara ayahmu dan Song Tek Kwi terjalin persahabatan yang erat sekali, Cin Lan. Mereka
keduanya adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa. Karena mengingat bahwa ayah
kandungmu se-orang pendekar yang mencita-citakan bahwa engkau juga harus menjadi
seorang ahii silat yang pandai, maka aku sengaja memanggil guru-guru silat untuk
mengajarmu dan ayahmu pangeran juga me-nyetujui. Nah, karena hubungan yang erat itulah
maka ikatan perjodohanmu dibuat."
"Hemmm, jadi... laki-laki yang dijodohkan denganku itu pun memiliki sebuah gelang kemala
presis kepunyaanku itu?"
"Benar, Cin Lan. Akan tetapi aku sudah lupa lagi siapa nama anak itu. Se-telah berpisah,
ayahmu meninggal dunia dan aku mengalami banyak penderitaan batin sehingga nama yang
baru satu kali kudengar dari Song Tek Kwi itu kulupakan lagi."
"Tidak mengapa kaulupakan, Ibu. Ba-gaimanapun juga, tidak seharusnya aku menjadi
jodohnya! Aku tidak mau dijodohkan dengan orang yang selamanya belum pernah kulihat
atau kukenal. Bagaimana kalau dia menjadi seorang yang jahat dan bagaimana kalau
melihatnya aku merasa tidak suka kepadanya? Pula, gelang kemala milikku itu sudah hilang,
tidak perlu dipikirkan lagi perjodohan kanak-kanak itu."
"Cin Lan, jangan bicara begitu Arwah ayah kandungmu akan merasa penasaran mendengar
ucapanmu."
"Hemm, bagaimanapun juga, pernikahan adalah urusan orang yang menikah, harus ada
persetujuan kedua pihak yang akan berjodoh barulah benar dan baik. Sudahlah, Ibu. Aku
ingin tahu, bagaimana Ayah yang masih muda dan juga seorang pendekar yang tentu kuat
tubuhnya itu sampai meninggal dunla? Di mana kuburannya? Aku ingin menengok dan
bersembahyang di kuburannya... ah, sekarang aku mengerti mengapa Ibu sering
bersembahyang di kuil. Tentu menyembahyangi arwah ayah kandungku, bukan?"
Dengan mata basah ibunya mengang-guk. Diam-diam ibu ini menjadi bingung. Kalau ia
berbohong dan anaknya pergi bersembahyang ke dusunnya, tentu anak itu akan mendengar
tentang kematian ayahnya. Ah, Cin Lan sudah dewasa, menjadi seorang gadis yang gagah,
tidak perlu menyimpan rahasia lagi.
"Dengarlah Anakku. Ibumu akan menceritakan segalanya. Tadi sudah kuceritakan bahwa
Song Tek Kwi datang berkunjung, menyerahkan gelang kemala sebagai tanda ikatan
perjodohan antara engkau dan puteranya. Selagi kami bercakap-cakap, terdengar suara ributribut
dan datang laporan bahwa ada gadis dipaksa oleh seorang pangeran untuk menjadi
isterinya. Ayahmu adalah seorang pendekar, mendengar ini dia lalu berlari keluar diikuti Song
Tek Kwi yang juga seorang pendekar yang gagah perkasa. Setelah tiba di luar mereka melihat
seorang gadis dipaksa naik kereta untuk dijadikan selir seorang pangeran. Ayahmu dan Song
Tek Kwi menjadi marah dan Jnengamuk, merobohkan tukang-tukang pukul pange-ran itu
bahkan memberi hajaran kepada pangeran mata keranjang yang suka me-maksa anak gadis
orang."
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 88
"Wah, Ayah seorang pemberani yang gagah perkasa!" kata Cin Lan gembira.
"Akan tetapi peristiwa itu berekor panjang, Anakku. Pada lain harinya, datang pasukan untuk
roenangkap kami karena ayahmu yang berani memukul seorang pangeran itu dianggap
pemberontak. Ayahmu tidak mau menyerah dan terjadi perkelahian. Ayahmu dikeroyok
banyak orang dan akhirnya ayahmu tewas. Aku yang sedang menggendongmu juga menjadi
tawanan."
"Ahhh....! Mereka kejam sekali!" bentak Cin Lan sambil mengepal tinju.
"Sebetulnya ayahmu terlalu keras hati, Cln Lan. Tentu saja menghajar seorang pangeran
dianggap sebagai pemberontak. Dan sudah menjadi peraturannya bahwa keiuarga seorang
pemberon'ak harus ditangkap semua. Maka, aku pun ditangkap. Dan pada saat itu muncul
Pangeran Tang Gi Su yang menolong kita. Berkat kekuasaan Pangeran Tang Gi Su maka aku
dibebaskan dan diajak ke rumahnya. Kemudian dla... dia melamarku. Aku tidak melihat jalan
lain. Kalau aku menolak dan aku berada di luar, tentu aku akan ditangkap sebagai keluarga
pemberontak. Kalau aku menjadi selirnya, maka aku dan engkau akan selamat dan terlindung.
Sungguh mati, pada waktu itu aku hanya ingat akan keselamatanmu, Cin Lan. Maka aku...
aku rnenerima pinangannya. Begitulah ceritanya, Cin Lan.
"Hemm, siapakah pangeran yang suka memaksa gadis itu, Ibu?"
Bwe Si merasa lebih baik tidak menceritakan nama pangeran itu agar puterinya tidak
rnelakukan tindakan yang gega-bah. "Aku tidak tahu namanya, Cin Lan. Akan tetapi gadisgadis
yang dipilih itu kebanyakan adalah gadis dusun dan orang tua si gadis malah bangga
menyerahkan gadisnya untuk diajak pergi seorang pangeran dan menjadi selirnya."
"Dan di mana Ayah dikubur, Ibu?"
"Kami dulu tinggal di dusun Teng-sia-bun tak jauh dari kota raja dan tentu ayahmu dikubur di
sana pula oleh penduduk dusun. Aku sendiri tidak mengetahui karena aku terus ditangkap
bersamamu."
"Dan Ibu tidak pernah berkunjung ke kuburan itu?"'
"Bagaimana mungkin, Anakku? Tentu semua orang akan mengetahui. Tidak, ibu hanya
bersembahyang di kuil untuk ayah kandungmu."
"Kalau begitu aku yang akan berkunjung ke sana, Ibu!"
"Cin Lan, ingat pesanku. Jangan sekali-kali engkau mengaku bukan putera Pangeran Tang Gi
Su kalau engkau tidak ingin melihat hubungan antara ibumu dan ayahmu pangeran menjadi
retak."
"Tidak, Ibu. Dan lagi, apa gunanya kalau aku mengaku she Bu. Lain halnya, kalau Ayah
kandungku masih hidup."
Akan tetapi semenjak membuka rahasia itu kepada puterinya, Lu Bwe Sl sering kali merasa
gelisah dan khawatir sekali. Mengenai ikatan perjodohan puterinya itulah yang amat
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 89
menggelisahkan hatinya. Di dalam lubuk hatinya, ingin ia memenuhi kehendak mendiang
suaminya untuk menjodohkan puterinya dengan putera Song Tek Kwi. Akan tetapi bagaimana
caranya? Bahkan kepada suaminya yang sekarang pun ia tldak berani bicara tentang hal itu.
Dan sekarang, gelang kemala puterinya telah hilang, dan bahkan puterinya sendiri tidak setuju
dengan ikatan perjodohan itu! la hanya dapat menangis seorang diri dan mengeluh kepada
mendiang suaminya yang pertama.
Duka timbul dari kenangan masa lalu, dan rasa khawatir atau takut timbul dari bayangan masa
depan. Kalau kita hanya menghadapi masa kini, saat ini dengan penuh penerimaan,
kepasrahan, kesabaran dan ketawakalan kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Kasih, maka
segala macam kedukaan dan kegelisahan pasti dapat dilenyapkan oleh kekuasaan Tuhan.
Segala kehendak Tuhan pun jadilah! Tidak ada kekuasaan lain yang mampu mengubahnya.
Kalau sudah pasrah seperti itu, maka kejadian apa pun yang menimpa diri kita, akan kita
hadapi tanpa menge-luh karena kita tahu bahwa kejadian itu sudahlah wajar dan semestinya.
Bukan berarti bahwa kita menerima saja segala sesuatu dengan tidak berusaha, sama sekali
bukan. Kita berusaha sekuat tenaga namun dengan landasan kepasrahan kepada kekuasaan
Tuhan. Dengan iman yang kokoh kuat, mudah saja bagi, kita untuk melandasi semua daya
upaya kita dengan kepasrahan yang mutlak dan lengkap. Dan Tuhan Maha Bijaksana, Maha
Murah. Tuhan lebih dari mengerti apa yang terbaik untuk kita, walaupun bagi pikiran kita
yang tidak sempurna akan nampak tidak baikl Dan Tuhan mengasihi orang yang pasrah
dengan sepenuh jiwa raganya kepada kekuasaanNya.
* * *
Pada keesokan harinya, pagi-pagl sekali, Cin Lan sudah meninggalkan gedung tempat
tinggalnya. la mengenakan pakaian yang ringkas dan menunggang seekor kuda yang bagus.
Sudah sering kali ia menunggang kuda dan pergi berbun binatang, maka orang-orang yang
melihatnya di jalan tidak merasa heran, hanya memandang dengan kagum. Dara remaja yang
berusia lima belas tahun itu pandai sekali menunggang kuda. Tubuhnya tegak dan demikian
santainya ia menunggang kuda menuju ke Kwan-im-bio.
Setelah ia tiba di pekarangan kuil, ia menambatkan kudanya di batang pohon dan meloncat
turun, Tiong Hwi Nikouw, yang sepagi itu sudah bangun dan habis sembahyang membaca
doa, lalu keluar menyambutnya,
"Selamat pagi, Tang-siocia."
"Selamat pagi, Sukouw. Apakah Suhu sudah datang?"
"Sudah, dia sudah menanti di ruangan belakang. Mari engkau langsung saja menemuinya di
sana," kata nikouw itu dan Cin Lan segera memasuki kuil dan langsung menuju ke ruangan
belakang. Pek 1 Lokai menyambutnya dengan senyum.
"Bagus, engkau datang pagi sekali, Nona."
"Suhu, harap jangan sebut teecu de-ngan sebutan nona. Nama saya teecu Tang Cin Lan dan
sebagai guruku, Suhu sebaiknya menyebut nama teecu saja” kata Cin Lan dengan akrab.
Pek I Lokai tertawa. "Sebagai seorang puteri pangeran, sikapmu sungguh rendah hati, Cin
Lan. Baiklah, kalau sedang berdua, aku akan menyebutmu Cin Lan saja. Akan tetapi. pagi ini
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 90
aku belum akan melatih ilmu silat kepadamu, karena aku harus pergi dulu menemui Ketua
Hek tung Kai-pang, untuk menegurnya agar dia dapat mengatur anak buahnya agar jangan
melakukan kejahatan."
"Kebetulan sekali kalau begitu, Suhu Teecu juga ingin mencari pengemis rnuda yang kemarin
telah merampas gelang kemala teecu. Teecu harus mendapatkannya kembali karena gelang itu
penting sekali bagi teecu." Cin Lan sudah mengambil keputusan untuk mendapatkan gelang
itu kembali, dan kelak kalau ia dapat bertemu dengan orang yang dica-lonkan menjadi
suaminya, gelang itu akart dikembalikannya sebagai pembatalac», ikatan perjodohan itu.
"Baik sekali kalau begitu, mari kita pergi bersama." Pengemis tua itu bangkit berdiri dan
membawa tongkat bambunya.
"Suhu, teecu membawa seekor kuda. Suhu pakailah kuda teecu itu."
"Tidak, kita berjalan kaki saja, Cin Lan. Bukankah tempat perkumpulan Hek-tung Kai-pang
itu tidak terlalu jaun dari sini?"
“Tidak, Suhu. Tempatnya berada di sudut kota."
"Nah, kita berjalan kaki saja. Marilah'"
Mereka berdua keluar dari kuil dan ketika bertemu dengan Tiong Hwi Ni-kouvy mereka
berdua berpamit kepada nikouw itu. Cin Lan tidak mempedulikan pandang mata orang-orang
yang ditujukan kepadanya dengan heran melihat ia puteri seorang pangeran, berjalan bersama
seorang kakek pengemis yang bertongkat bambu butut!
Rumah perkumpulan Hek-tung Kai-pang itu cukup besar, merupakan sebuah gedung yang
besar. Hal ini tidaklah mengherankan karena perkumpulan pengemis ini akhir-akhir ini
berpengaruh dan terutama sekali semenjak Pangeran Bian Kun berhubungan dekat dengan
ketuanya, maka pangeran itulah yang memperkuat perbendaharaannya sehingga perkumpulan
itu dapat membangun sebuah rumah yang cukup besar. Apakah sebenarnya hubungan antara
Hek-tung Koai-ong (Raja Pengemis Tongkat Hitam), ketua dari perkumpulan itu dengan
Pangeran Bian Kun yang besar kekuasaannya? Sebetulnya, hubungan itu dimulai ketika
Pangeran Bian Kun beberapa tahun yang lalu terancam bahaya ketika serombongan pendekar
hendak membunuhnya karena pa-ngeran ini merebut puteri seorang pendekar sehingga puteri
itu kemudian membunuh diri, memilih mati daripada ternoda oleh pangeran itu. Ketika
pangeran itu terancam bahaya maut, Hek-tung Kai-ong muncul dan menolongnya. Karena
pertolongan ini, Pangeran Bian Kun menghargainya, bahkan menganggap ketua itu sebagai
seorang jagoannya. Dan bukan hanya itu, dia juga menyerahkan puteranya yang bernama
Bian Hok untuk menjadi murid Hek-tung Kai-ong.
Sebetulnya, Hek-tung Kai-ong bukanlah seorang jahat, walaupun wataknya kasar dan
pemarah. Kalaupun anak buahnya kini bertindak sewenang-wenang, itu terjadi di luar
tahunya. Para anak buahnya merasa sombong karena perkumpulan mereka seolah dilindungi
oleh Pangeran Bian Kun, maka mereka bertindak sewenang-wenang. Kalau ketua mereka
mengetahui akan hal itu, tentu dia akan marah sekali karena Hek-tung Kai-ong adalah seorang
yang tergolong datuk dan tidak perhah melakukan perbuatan sesat.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 91
Ketika Cin Lan dan Pek I Lokai tiba di depan rumah gedung perkumpulan Hek-tung Kaipang,
yang berjaga di depan segera mengenalnya. Berita tentang dihajarnya tiga orang
anggauta Hek-tung Kai-pang, bahkan kemudian dihajarnya dua orang pimpinan mereka, yaitu
murid-murid dari ketua mereka, sudah mereka dengar dan kini mereka dapat menduga siapa
adanya gadis cantik dan kakek pengemis berpakaian putih itu. Maka, mereka mengambil
sikap bermusuhan dan sudah siap dengan tongkat mereka mengepung. Jumlah mereka ada
belasan orang.
Jilid 6________
Pek I Lokai mengangkat tangan ke atas, "Tenanglah, kami datang dengan maksud baik. Cepat
panggilkan ketua kalian, kami ingin bicara dengan ketua kalian!" kata Pek I Lokai dengan
suara tenang dan sabar.
Sementara itu Cin Lan memandangi mereka mencari-cari pengemis muda yang kemarin
merampas gelangnya. Akan tetapi ia tidak melihat orang itu di antara mereka.
Seorang di antara para anggauta Hek-tung Kai-pang sudah lari ke dalam untuk melaporkan
kepada ketua mereka. Hek-tung Kai-ong tentu saja tidak pernah dilapori tentang perkelahian
kemarin, maka dia merasa heran ketika mendengar bahwa di luar ada seorang gadis dan
seorang kakek pengemis berpakaian putih hendak menemuinya.
"Persilakan mereka mernasuki ruangan samping!" katanya singkat. Hek-tung Kai-ong adalah
seorang laki-laki berusia lima puluh tahun yang tinggi besar dan pada saat itu dia sedang
melatih seorang pemuda berusia delapan belas tahun yang tampan dan berpakaian indah.
Pemuda ini adalah Bian Hok, putera Pangeran Bian Kun yang menjadi murid ketua pengemis
itu.
"Suhu, bolehkah aku ikut mendengarkan pertemuan itu?" tanya Bian Hok yang merasa
tertarik juga mendengar bahwa ada seorang gadis dan seorang kakek hendak menemui
gurunya.
"Tentu saja boleh, Bian-kongCu. Mari kita ke ruangan samping." Ruangan samping itu
merupakan ruangan tamu yang luas dan biasa juga suka dipakai untuk mengadakan
perternuan besar dengan para anggauta.
Mereka berdua tiba lebih dulu di ruangan itu dan duduk menanti. Setelah menanti sebentar,
masuklah Cin Lan dan Pek I Lokai diiringkan beberapa orang anggauta Hek-tung Kai-pang.
Dan ketika Cin Lan melihat Bian Hok, ia mengerutkan alisnya diam-diam terkejut. la sudah
mengenal pemuda itu dan beberapa kali pernah bertemu karena ayah mereka keduanya adalah
pangeran. Sebaliknya, Bian Hok juga heran dan kaget melihat bahwa gadis itu bukan lain
adalah Tang Cin Lan, gadis remaja yang sudah lama digandrunginya.
"Hai, Adik Tang Cin Lan! Kiranya engkau yang datang?" serunya dengan girang.
Cin Lan menanggapi sambutan gembira itu dengan dingin. saja. "Aku pun p tidak mengira
bahwa engkau akan berada di sini, Bian-kongcu!" la sengaja menyebut kongcu, sebutan yang
menunjukkan bahwa ia tidak bersedia bersikap akrab dengan pemuda itu. Memang, ayahnya
dahulu pernah menganjurkan agar ia menyebut twako, akan tetapi karena menemukan
pemuda ini di sarang pengemis-pengemis yang kurang ajar itu, hatinya tidak senang dia
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 92
sengaja menyebut kongcu. Akan tetapi, agaknya Bian Hok tidak merasakan ini dan dia
berkata girang kepada gurunya,
"Suhu, nona ini adalah Tang Cin Lan-siocia, puteri dari Paman Pangeran Tang Gi Su!"
Mendengar ucapan ini, Hek-tung Kai-ong lalu memberi hormat kepada Cin Lan dan berkata,
"Maafkan karena tidak tahu akan kunjungan Siocia, kami terlambat nnenyambut. Silakan
duduk Siocia."
Dengan sikap yang angkuh Cin Lan mengangguk, lalu duduk dan menarik ta-ngan Pek I
Lokai sambil berkata, "Duduklah, Suhu."
Kini tiba giliran Bian Hok yang memandang heran. Dia tahu bahwa Cin Lan adalah seorang
gadis yang gagah, yang diajar silat oleh para jagoan dar istana. Akan tetapi dia tidak mengira
bahwa gadis itu kini mempunyai guru aeorang kakek pengemis pula.
Pek I Lokai duduk pula walaupun belum dipersilakan tuan rumah. Melihat sikap sederhana
dari kakek berpakaian putih itu, Hek-tung Kai-ong tidak berani memandang rendah. Sambil
duduk dia pun memberi hormat dan berkata, "Tidak tahu siapakah saudara tua ini? Dari
golongan mana dan siapakah namanya? Ada keperluan apa datang berkunjung ke gubuk
kami?"
Pek I Lokai tersenyum dan meman-dang ke sekeliling. Lucu juga rumah se-besar ini disebut
gubuk! "Aku bukan dari golongan mana-mana dan orang menyebutku Pek I Lokai."
Hek-tung Kai-ong nampak terkejut.
Dia pun pernah mendengar nama besar Pek I Lokai di selatan dan baru sekarang dia bertemu
dengan orangnya.
"Ah, kiranya Pek I Lokai yang nama-nya terkenal di sepanjang Sungai Kuning? Selamat
datang di tempat kami. Dan ada urusan penting apakah yang membawa Lokai datang
berkunjung?"
Pek I Lokai memandang tajam. "Engkau tentu Ketua Hek-tung Kai-pang, bukan?"
"Benar, orang menyebutku Hek-tung Kai-ong," kata ketua itu dengan suara merendah, tanpa
merasa bangga atau sombong. Agaknya dia seorang yang jujur.
"Pantas, seorang kai-ong (raja pengemis) menempati istana seperti ini! Begini, Kai-ong,
kedatanganku ini untuk mernberi teguran kepadamu atas tindakan anak buahmu yang sungguh
di luar kepantasan!"
Sepasang mata yang besar itu terbelalak, wajah yang keren itu menjadi kemerahan dan hidung
yang besar itu kembang-kempis. Tentu saja Hek-tung Kai-ong marah sekali mendengar
ucapan itu. "Pek I Lokai, engkau hendak mengatakan bahwa aku telah mengajar kepada anak
buahku untuk bertindak tidak pantas, begitu?"
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 93
"Beberapa orang murid dan anak buahmu memang bertindak tidak pantas sekali, habis Suhu
harus berkata bagaimana?" Tiba-tiba Cin Lan yang sejak tadi menahan kemarahannya
berseru.
Hek-tung Kai-ong kini nnemandang kepadanya. "Siocia, perbuatan tidak pantas yang
manakah dilakukan anak buahku? Pekerjaan mereka hanya minta sedekah dari orang-orang
yang murah hati, apakah perbuatan itu dapat disebut tidak pantas?"
Cin Lan mendahului suhunya, "Kalau hanya minta sedekah, hal itu adalah hal biasa dan kami
tidak akan mempersoalkan lagi. Akan tetapi kemarin ketika aku , bersama ibuku pergi ke Kuil
Kwan-im-bio, tiga orang anak buahmu yang masih muda-muda bersikap kurang ajar kepadaku.
Mereka bukan hanya minta sedekah, bahkan berani mereka merampas gelang kemala
yang kupakai, kemudian bahkan w berani mengeroyok aku. Apakah perbuatan ini pantas,
Hek-tung Kai-pangcu? Hayo jawab, apakah ini pantas?"
Menghadapi serangan kata-kata dari Cin Lan, Hek-tung Kai-ong tertegun. "Benarkah kejadian
seperti itu?" tanyanya perlahan dan dengan nada suara khawatir kalau-kalau berita itu benar
adanya.
"Apa kaukira aku berbohong kepada-mu? Tiga orang anak buahmu itu n-ienge-royokku, dan
dapat kuhajar mereka lari tunggang-langgang, membawa lari getang kemalaku. Akan tetapi
lalu datang Si Pendek Gendut yang menyerangku dengan tongkatnya!"
_a
"Ahh....!" Hek-tung Kai-ong berseru kaget.
"Untung ada Tiong Hwi Nikouw yang membantuku. Kemudian datang lagi seorang muridmu
yang tinggi besar mengeroyok Tiong Hwi Nikouw. Kalau saja Suhu tidak cepat datang dan
mengusir mereka, tentu aku dan Tiong Hwi Ni-kouw telah celaka. Nah, Pangcu, katakan
apakah perbuatan anak buahmu ini pantas? Merampas gelang dan menyerang wanita, juga
nikouw?"
Melihat gurunya nampak bingung, Bian Hok lalu berkata, "Siauw-moi, harap tenang dulu.
Urusan ini harus diselidiki dulu kebenarannya, baru Suhu dapat mengambil keputusan."
Hek-tung Kai-ong sudah begitu marahnya sehingga dia mengeluarkan teriakan keras sekali
memanggil anak buahnya yang berada di luar. Dua orang anak buah tergopoh-gopoh lari
berdatangan ke dalam ruangan itu.
"Tahu kalian siapa diantara dua orang muridku yahg berkelahi di depan Kuil Kwan-im-bio?"
bentaknya. Dua orang anak buah itu ketakutan, dan seorang di antara mereka menjawab
dengan suara gemetar,"
"Saya... saya hanya mendengar saja, Pangcu. Kabarnya Ciu-twako dan Thio-twako yang
berkelahi."
"Cepat cari mereka dan panggil ke sini menghadap, sekarang juga'."
"Baik... baik... Pangcu....!" Dua orang itu lalu berlari keluar.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 94
Setelah mereka berdua keluar, Cin Lan berkata kepada Hek-tung Kai-ong, "Pangcu, aku pun
menuntut agar gelang kemalaku dikembalikan. Awas, kalau tidak dikembalikan, aku akan
minta kepada Ayah agar mengerahkan pasukan untuk membasmi Hek-tung Kai-pang yang
berkedok pengemis akan tetapi melakukan perbuatan seperti perampok!" Pedas sekali ucapan
gadis itu dan Hek-tung Kai-ong menjadi semakin gelagapan.
Bian Hok lalu tersenyum dan sambil berkata, "Aih, Siauw-moi, harap bersabar dulu. Apa
yang dilakukan anak buah itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Suhu, yaitu
Ketua Hek-tung Kai-pang. Dan kalau benar mereka berbuat kesalahan, percayalah, Suhu tentu
akan, menghukum mereka. Urusan sekecil ini perlu apa harus memusingkan ayahmu, Paman
Pangeran Tang? Bisa menjadi buah tertawaan orang banyak. Kalau benar gelangmu dirampas,
tentu akan dapat kau terima kembali."
"Kalau benar, kalau benar! Engkau beberapa kali mengatakan kalau benar. Memangnya
kauanggap omonganku semua itu bohong belaka?" bentak Cin Lan sambil melototkan
matanya kepada Bian Hok.
"Cin Lan-siocia, bersabarlah. Urusan ini dapat diurus dengan sabar, bukan de-ngan
kemarahan," kata Pek I Lokai, menyebut siocia karena berada di depan orang lain. "Biarlah
kita melihat bagaimana Hek-tung Kai-pangcu menangani urusan ini. Dan kepadamu, Hektung
Kai-ong, ini merupakan pelajaran yang amat berharga. Agaknya engkau kurang ketat
mengamati kelakuan para muridmu hingga engkau tidak tahu apa yang mereka lakukan di
luar. Para pengemis hidup dari belas kasihan orang, belas kasihan masyarakat. Karena itu,
sudah menjadi kewajiban setiap orang pengemis untuk membalas budi kebaikan masyarakat
itu. Dengan cara apa? Dengan menjaga agar kehidupan masyarakat tenteram, membantu
dengan menjaga agar jangan ada kejahatan terjadi di masyarakat. Kalau ada pengemis
membuat keja-hatan di masyarakat, itu namanya tidak tahu diri, sudah ditolong malah
membalas dengan kejahatan."
Bian Hok mengerutkan alisnya dan memandang kepada Pek I Lokai, lalu berkata angkuh,
"Pek I Lokai, sudah kukatakan tadi, perlu diselidiki lebih dulu duduknya perkara. Jangan
terlalu mendesak Suhu yang sebetulnya tidak tahu apa-apa. Kalau memang ada anak buah
Hek-tung Kai-pang yang bersalah, Suhu tentu akan menghukum mereka dan meminta maaf
kepada Adik Tang Cin Lan."
Terdengar langkah-langkah kaki di luar lalu muncullah dua orang pengernis.
Cin Lan mengenal mereka sebagai Si Pendek Gendut dan Si Tinggi Besar yang lihai, yang
kemarin mengeroyok Tiong Hwi Nikouw dan kemudian dikalahkan oleh Pek I Lokai. Dua
orang itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan ketua mereka yang juga guru mereka dengan
sikap takut.
Mata Hek-tung Kai-ong melotot ketika melihat dua orang murid ini berlutut di depannya.
Dengan suara mengguntur dia berkata, "Apa yang kalian lakukan di depan Kuil Kwan-im-bio
kemarin" Hayo ceritakan yang sebenarnya, kalau oerbo-hong akan kuhancurkan kepala
kalian!" Ketua itu menggebrak meja dengan marah.
Si Pendek Gendut dengan suara gemetar lalu berkata, "Harap Suhu mengampuni teecu. Teecu
tidak berani berbohong. Kemarin, selagi teecu berjalan melakukan tugas, datang tiga orang
mu-rid teecu yang melapor bahwa rnereka dihajar oleh seorang nona di depan Kuil Kwan-imGelang
Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 95
bio. Melihat tiga orang murid teecu luka-luka, teecu menjadi marah dan cepat teecu pergi ke
depan kuil itu. Teecu melihat nona itu...."
"Akulah nona itu!" teriak Cin Lan. Pengemis itu menoleh dan kembali menundukkan
mukanya. "Nona ini berada di depan kuil dan teecu segera menantangnya, untuk
membalaskan tiga orang murid teecu yang dipukuli. Nona ini menerima tantangan teecu dan
kami berkelahi. Lalu nikouw dari kuil itu maju melawan teecu dan ketika teecu terdesak, lalu
datang Thio-suheng membantu... hanya itulah kejadian yang sesungguhnya, Suhu."
"Hayo kau ceritakan hal yang sebenarnya bagaimana!" kata ketua itu kepada pengemis yang
tinggi besar. Pengemis itu lalu menunduk dan bercerita, suaranya tidaklah takut seperti
sutenya karena dia merasa tidak bersalah.
"Teecu kebetulan lewat di depan kuil dan melihat Ciu-sute sedang bertanding dan terdesak
hebat oleh nikouw tua itu. Lalu teecu membantu Sute. Setelah kami berdua hampir
mengalahkannya, muncul seorang kakek berpakaian putih...."
"Suhuku inilah orangnya!" kemball Cin Lan membentak. Si Tinggi Besar melirik ke arah Pek
I Lokai lalu dia menunduk lagi.
"Teecu berdua lalu bertanding mela-wan kakek berpakaian putih itu dai kami mengalami
kekalahan. Hanya itulat yang terjadi, Suhu. Teecu berani bersumpah."
"Hemm, tahukah kalian mengapa tiga orang anggauta itu dihajar oleh Tang-siocia? Dan
tahukah kalian siapa Tang-siocia ini? la adalah puteri dari Pangeran Tang Gi Su. Engkau, Cui
Sek, berani engkau menyerang puteri pangeran?"
Si Gendut itu menjadi pucat wajahnya, "Sungguh mati... teecu tidak tahu, teecu hanya tahu
bahwa tiga orang murid teecu dipukuli seorang nona..." Suaranya seperti meratap.
"Dan engkau tahu mengapa rnurid-muridmu dipukuli?"
"Teecu tidak tahu...."
"Tidak kautanyakan kepada murid-muridmu?"
"Teecu keburu marah... eh, maaf teecu tidak sempat....
"Keparat! Cepat panggil murid-muridmu itu ke sini. Cepat! Ketiganya harus dihadapkan ke
sini sekarang juga!"
"Baik, Suhu!" Si Gendut Pendek lalu menggelinding dari tempat itu. Demikian cepat larinya
seolah dia menggelinding saking gendutnya.
"Hemm, baru sekarang ketahuan ya. Ingin aku melihat, bagaimana caranya Ketua Hek-tung
Kai-pang menghukum murid-muridnya yang brengsek!" kata Cin Lan dengan suara
mengejek.
Tak lama kemudian terdengar suara bergedebukan dan tlga orang anggauta Hek-tung Kaipang
itu berjatuhan ke dalam didorong oleh guru mereka sendiri. Cin Lan segera mengenal
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 96
mereka sebagai tiga orang yang kemarin dihajarnya. Be-kas tangannya masih nampak, ada
yang benjol kepalanya ada yang bengkak biru pipinya. Ingin ia menghardik mereka, akan
tetapi tangannya dipegang dengan halus oleh gurunya dan ia pun berdiam diri karena suhunya
berkedip kepadanya. Diam-diam Pek I Lokai merasa suka kepada Ketua Hek-tung Kai-pang
itu yang agaknya dapat bersikap jujur dan adil.
"Hei, kalian bertiga. Apa yang kalian lakukan kemarin di depan Kuil Kwan-im-bio terhadap
seorang nona?"
Tiga orang itu saling pandang dan mereka tidak berani mengeluarkar kata-kata! Karena
mereka tahu telah berbuat suatu pelanggaran besar, maka mereka kini hanya menundukkan
kepalanya.
"Ampunilah hamba, Pangcu”, terdengar suara mereka lirih. Karena mereka tidak menjawab
Hek-tung Kai-ong menjadi semakin marah. Dia lalu memandang kepada Cin Lan. ”Siocia,
harap suka katakan tuduhan Siocia kepada mereka," katanya.
Dengan suara lantang Cih Lan berkata, "Ketika aku dan ibuku berada di luar kuil, tiga orang
jembel busuk ini minta sedekah. Ibu telah memberinya, akan tetapi secara kurang ajar mereka
minta supaya aku juga memberi sedekah. Aku tidak mau karena ibu sudah memberi. Lalu
yang kurus berbibir tebal berhidung pesek seperti monyet itu, tiba-tiba merenggut gelang
kemalaku dan mengantonginya. Aku menjadi marah dan kami berkelahi. Kuhajar mereka dan
akhirnya mereka melarikan diri."
Setelah Cin Lan berhenti bercerita, ketua itu membentak, "Kalian sudah mendengar semua
itu? Benarkah apa yang dituduhkan nona itu kepada kalian?"
Tiga orang itu lalu menelungkup di atas lantal. "Ampunkan kami, Pangcu...., kami tidak
berani berbuat demikian lagi....
Hek-tung Kai-ong melotot dan memandang kepada Ciu Sek yang menjadi pucat sekali
wajahnya mendengar apa yang telah dilakukan oleh tiga orang murid rnereka, Merampas
gelang, dari seorang puteri pangeran lagi!
"Ciu Sek, engkau mendengar sendiri kelakuan tiga orang muridmu! Hayo kau-laksanakan
hukumannya agar semua orang melihat bahwa Hek-tung Kai-pang bukan perkumpulan
perampok dan penjahatl"
"Baik, SuhuJ" kata Si Gendut dan dia lalu memanggil tiga orang muridnya itu, "Kalian ke
sini, merangkak cepat!"
Dengan tubuh gemetaran tiga orang itu merangkak menghampiri guru -nereka. Si Gendut itu
memandang kepadc murid yang kurus dan berhidung pesek yang merampas gelang kemala
milik Cin Lan. "Engkau yang merampas gelang kemala"
"Be... benar, Suhu... ampun, Suhu" kata Si Kurus.
"Di mana sekarang gelang itu? Kembalikan!"
"Tidak... tidak mungkin, Suhu... sudah dirampas orang lain"
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 97
"Bangsat! Julurkan tanganmu! Si Gendut mengambil sebatang golok dari punggungnya dan
siap untuk membabat putus lengan tangan perampas gelang kemala itu. Akan tetapi sebelurm
golok yang terayun itu mengenai pergc langan lengan tangan, nampak sinar hitam berkelebat.
"Tranggg...!" Golok itu terpental. Ternyata yang menangkis golok itu adalah tongkat bainbu
dl tangan Pek I Lo-kai.
"Nanti dulu....!" kata Pek I Lokai.
"Aku melihat sesuatu yang tidak wajar pada wajah orang ini."
Semua orang memandang kepada perampas gelang itu dan tiba-tiba saja orang itu terkulai dan
wajahnya berubah menghitam dan ketika diperlksa, ternyata dia telah tewas!
Tentu saja sennua orang merasa heran dan Hek-tung Kai-ong bertanya kepada dua orang
anggauta yang lain, "Kemarin setelah dia merampas gelang kemala, lalu apa yang terjadi
dengan dia?"
"Pangcu, dia lari ke pasar untuk menjual gelang itu, akan tetapi dia bertemu dengan seorang
siluman betina... yang, merampas gelang kemala itu...."
"Hayo cerita yang jelas. Siluman betina yang bagaimana dan apa yang telah terjadi?" bentak
Sang Ketua yang tidak sabar. Dia heran dan juga penasaran sekali melihat bahwa pundak
anggauta yang tewas itu terdapat sebuah titik merah dan agaknya itulah yang membuatnya
tewas seperti yang keracunan.
Dua orang itu, bantu-membantu, lalu bercerita. Ketika mereka melarikan diri karena kalah
oleh Cin Lan, mereka bertemu guru mereka, Ciu Sek dan mereka melapor bahwa mereka
dipukuli seorang nona di depan Kuil Kwan-im-bio. Setelah melapor dan guru mereka lari ke
arah kuil, mereka bertiga lalu pergi ke pasar dengan maksud menjual gelang kemala dan
membagi uang penjualannya. Ketika mereka tiba di pasar dan sedang mena-warkan gelang
kemala kepada seorang saudagar di tempat terbuka, tiba-tiba terdengar suara wanita dari atas!
"Ha-ha-ha, gelang curian, jangan di-beli. Pembelinya bisa masuk penjara se-bagai tukang
tadah!" demikian suara itu. Tiga orang pengemis itu terkejut sekali dan saudagar itu pun pergi,
tidak jadi membeli. Ketika mereka melihat ke atas pohon di dekat situ, mereka melihat
seorang gadis cantik duduk nongkrong di dahan pohon, mereka tadinya mengira gadis itu Cin
Lan yang tadi menghajar mereka. Mereka hendak lari dan gadis itu berseru, "Heii, pencuri
byslik, hendak lari ke mana engkau?"
Tiga orang itu berhentt dan karena mendengar suara gadis ity berbeda, seperti nada suara
orang selatan, mereka segera mengenal bahwa gadis itu sama sekali bukan Cin Lan, biarpun
gadis itu }uga cantik jelita. Marahlah mereka, ter-utama sekali Si Perampas Gelang. Mereka
baru saja dihajar seorang gadis, maka kini melihat ada gadis lain berani mem-permainkan
mereka, tentu saja kemarahan mereka ditumpahkan kepada gadis di atas pohon itu.
"Hei, siluman busuk, turun kau kalau berani!" bentak Si Pencuri Gelang.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 98
"Baik, aku turun, hendak ku lihat engkau mau apa?" gadis itu melompat dengan ringan sekali
ke depan Si Pencuri Gelang dan sekali ia menggerakkan ta-ngannya, ia telah dapat merampas
gelang kemala itu dari tangan Si Hidung Pesek. Pengemis ini marah, lalu menubruk dan
berhasil merangkul pinggang Si Gadis, akan tetapi tiba-tiba dia berteriak dan roboh
terpelanting.
Gadis itu tertawa dan mengambil seekor ular merah dari kalungan lehernya. Ternyata ular itu
telah menggigit pundak Si Hidung Pesek dan melihat gadis itu memegang ular, Si Hidung
Pesek yang merasa kesakitan lalu rneloncat bangun dan melarikan dirl, dikejar oleh dua orang
kawannya.
"Demikianlah, Pangcu, apa yang kami alami kemarin. Tadinya A-siong hanya merasa gatalgatal
di pundaknya saja dan sama sekali kami tidak menyangka akan begini hebat racun itu."
"Ciu Sek, A-siong sudah mendapatkan hukumannya sendiri atas perbuatannya yang jahat.
Tinggal dua orang mundmu belum kauhukum," kata Ketua Hek-tung Kai-pang dengan suara
bengis. Agaknya ketua ini belum merasa puas kalau semua yang bersalah belum dihukum.
Ciu Sek yang sudah kehilangan se-orang muridnya yang tewas secara me-ngerikan itu, lalu
berkata kepada dua orang muridnya. "Kalian tidak merampok, akan tetapi juga membantu
perbuatan A-siong yang tidak baik, maka harus dihukum pula. Ulurkan tangan kiri kalian!"
Dua orang murid itu dengan takut-takut mengulur tangan kiri mereka dan tiba-tiba Ciu Sek
menggerakkan tangannya membuat gerakan membacok dua kali. Terdengar suara krek-krek
dua kali dan tulang lengan kiri kedua orang murid itu patah!
"Bagus, dan sekarang kalian dua orang muridku yang lancang menyerang puteri pangeran,
.membela murid-murid yang bersalah, tidak lepas dari hukuman pula. Ulurkan tanganmu, aku
sendiri yang akan mematahkan lenganmu!"
Pada saat itu, Bian Hok bangkit ber-diri dan berkata kepada gurunya, "Suhu, kesalahan Ciusuheng
dan Thio-suheng tidaklah seberat itu. Mereka tidak ber-buat jahat, hanya kurang teliti
saja. Maka, harap Suhu suka melihat mukaku dan memberi ampun kepada mereka. Asalkan
mereka sudah menampar muka sendiri tiga kali lalu minta maaf kepada Tang-siocia, kiranya
sudah cukup untuk memberi peringatan kepada mereka."
Hek-tung Kai-ong menghela napas. "Masih untung kalian ada Bian-kongcu vang mintakan
maaf. Cepat laksanakan hukuman itu. Tampar muka kalian tiga kali dan minta maaf kepada
Tang-siocia!"
Si Gendut dan Si Tinggi Besar itu diam-diam merasa lega karena hukuman mereka ringan
saja. Mereka lalu menampari muka sendiri sampai biru, lalu keduanya menjura ke depan Cin
Lan, "Tang-siocia, mohon maaf sebanyaknya atas kesalahan kami," kata mereka,
Cin Lan merasa puas dengan cara hukuman itu, "Nah, dengan begini barulah aku dapat
mengatakan bahwa Hek-tung Kai-pang bukan perkumpulan perampok!" Akan tetapi lalu
dilanjutkan, "Cuma sayang sekali gelang kemalaku lenyap dirampas orang lain yang tidak kita
ketahui siapa yang membawanya.
"Maaf, Siocia. Kami berjanji akan melakukan penyelidikan dan kalai kami berhasil merampas
kembali gelang kemala itu, pasti akan kami haturkan kepada Siocia."
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 99
"Baik, mari kita pergi, Suhu."
"Harap Pek I Lokai tunggu sebentar!" kata Ketua Hek-tung Kai-pang itu dan dla menyuruh
para muridnya pergi sambil membawa mayat A-siong. Setelah mereka semua pergi, tinggal
mereka berempat yang berada di situ, Cin Lan menegur,
"Pangcu, ada apa lagi? Kenapa Pang-cu menahan Suhu?" tanyanya penasaran.
Hek-tung Kai-ong tersenyum melihat kegalakan puteri pangeran itu.
"Nona, urusan dengan Nona sudah selesai, bukan? Sekarang saya hendak bicara sebentar
dengan Pek I Lokal."
"Hemm, kalau begitu silakan!" kata Cin Lan.
Pek I Lokai tersenyum. "Agaknya engkau masih merasa penasaran kepadaku yang telah
mengalahkan dua orang muridmu itu. Benarkah demikian, Hek-tung Kai-ong?"
Wajah ketua itu menjadi kemerahan. "Sungguh aku merupakan seorang yang tidak tahu dlri.
Kita berdua sama-sama golongan pengemis, dan sudah lama sekali aku mendengar nama Pek
I Lokai yang terkenal lihai sekali. Maka, setelah kebetulan Lokai berada di sini, tentu aku
tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mohon sedikit petunjuk dalam ilmu silat.
Terutama sekali ilmu tongkat, yaitu ilmu yang diagungkan oleh kita golongan pengemis.
Bagaimana, Lokai? Sukakah engkau bermurah hati untuk memberi petunjuk kepadaku dalam
hal ilmu tongkat?"
Ketua itu sungguh seorang yang jujur akan tetapi juga cerdik. Sudah terang bahwa dia
menantang, akan tetapi kata tantangan itu disembunyikan di balik kata-kata "mohon
petunjuk".
Kalau Pek I Lokai menolak, hal itu dapat dimaksudkan bahwa dia takut atau memandang
rendah, keduanya mer pakan hal yang tidak enak baginya. Maka, dia pun lalu tertawa.
"Tang-siocia, tuan rumah mengajak aku untuk menguji kepandaian, bagaimana menurut
pendapat Siocia?"
Cin Lan yang mengetahui akan kehebatan ilmu kepandaian gurunya, dengan bangga
menjawab, "Kalau orang sudah menantang, maka tidak baik kalau ditolak, Suhu. Kadangkadang
perasaan paling kuat mendorong orang untuk bersikap sewenang-wenang, maka perlu
dibuka matanya bahwa ada orang-orang lain yang lebih kuat darinya."
"Ha-ha-ha, pandangan Siocia memang tepat sekali. Akan tetapi seorang seperti aku ini yang
sudah tua dan lemah, bagaimana akan mampu menandingi seorang seperti Hek-tung Kaiong?"
Mendengar ucapan gadis itu, Hek-tung Kai-ong menjadi merah mukanya. Biarpun dia sendiri
tidak pernah menggu-nakan kepandaiannya, akan tetapi jelas murid-murid dan para
anggautanya telah memamerkan kekuasaan dengan perbuatan yang sewenang-wenang maka
dia pun tidak dapat menjawab apa-apa. Melihat ini, Bian Hok segera tersenyum dan berkata,
"Suhu, Pek I Lokai sudah siap untuk rne-nandingi ilmu tongkat Suhu. Kalau kalian dua orang
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 100
tua mau memperlihatkan ilmu tongkat masing-masing, hal itu akan membuka mata kami yang
muda-muda bukankah demikian, Tang-siauw-moi?"
Hek-tung Kai-ong lalu bangkit berdiri dan menjura kepada Pek I Lokai. "Mari-lah, Lokai,
hitung-hitung kita memberi petunjuk kepada murid-murid kita bagai-mana seharusnya
bermain tongkat."
Pek I Lokai juga bangkit dan menyeret tongkatnya menghampiri tuan rumah yang sudah
berada di tengah ruangan yang luas ..itu. "Baiklah, Kai-ong. Ingat bahwa engkaulah yang
mengajak menguji ilmu tongkat, bukan aku. Aku hanya melayanimu saja."
Hek-tung Kai-ong melintangkan tong-katnya di depan dada dan berkata dengan suara lantang,
"Lokai, bersiaplah!"
Pek I Lokai berdiri dengan santai dan menjawab, "Majulah, Kai-ong."
Hek-tung Kai-ong memutar tongkatnya dan berseru, "Lokai, lihat seranganku!" Dan dia pun
menggerakkan tongkatnya menyerang dengan dahsyat sekali.
Akan tetapi dengan sikap masih tenang Pek I Lokai menangkis serangan itu dan membalas.
Kedua orang kakek itu segera saling serang dengan tongkat mereka. Mula-mula kedua orang
murid yang hadir di situ, yaitu Bian Hok dan Cin Lan, dapat mengikuti semua gerakan
tongkat dengan baik dan dapat melihat bahwa kedua orang tua itu memiliki kepandaian yang
setingkat. Akan tetapi setelah lewat tiga puluh jurus, mereka berdua tidak lagi dapat
mengikuti gerakan tongkat mereka. Gerakan itu demikian cepatnya sehingga bentuk. tongkat
lenyap berubah menjadi gulungan sinar yang lebar. Mereka hanya melihat sinar hitam
bergulung-gulung dengan sinar kehijauan, dan dapat menduga bahwa sinar hitam tentulah
tongkat hitam di tangan Hek-tung Kai-ong sedangkan sinar hijau ada-lah sinar tongkat bambu
di tangan Pek I Lokai. Bahkan bayangan dua orang itu tidak dapat dilihat jelas karena mereka
berkelebatan dan tertutup sinar tongkat. Akan tetapi mereka dapat melihat beta-pa gulungan
sinar hitam kini terdesak mundur dan semakin sempit. Tiba-tiba sinar hitam itu meluncur
keluar dari pertandingan dan nampak Hek-tung Kai-ong memegang tongkat hitamnya dengan
muka agak pucat dan wajah serta lehernya penuh keringat. Pek I Lokai juga nampak dan
kakek itu masih kelihatan biasa saja, tenang dan santai, tidak terengah-engah seperti
lawannya.
Hek-tung Kai-ong memberi hormat kepada Pek I Lokai. "Nama besar Pek I Lokai bukanlah
nama kosong belaka. Aku Hek-tung Kai-ong mengakui keunggulanmu, Lokai!"
"Aih, Hek-tung Kai-ong terlalu merendah. Ilmu tongkatmu yang hebat!" kata Pek I Lokai
sambil tersenyum. "Nah, sekarang kami minta diri, dan semoga mulai sekarang engkau lebih
mengawasi sepak terjang para murid dan anggauta perkumpulanmu."
"Jangan khawatir, Lokai. Urusan seperti yang terjadi kemarin tidak akan terulang kembali."
"Selamat tinggal."
"Selamat jalan!"
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 101
Pek I Lokai lalu pergi bersama Lan yang merasa bangga karena gurunya mendapat
kemenangan. Setelah tiba di luar, gadis itu berkata, "Suhu, tadi Suhu telah mendapatkan
kemenangan, mengapa tidak menghajar ketua sombong itu de-ngan satu dua kali gebukan?"
Pek I Lokai tersenyum. "Cin Lan, tidak boleh bersikap kejam kepada se-orang yang telah
mengakui kesalahannya. Dan ilmu tongkat dari Hek-tung Kai-ong bukanlah rendah. Dia jujur
dan tahu diri, sebelum terkena gebukan dia sudah keluar dari pertempuran tadi dan menga-kui
kekalahannya. Maka engkau harus berhati-hati kalau kelak bertemu dengan ilmu tongkatnya
itu. Mari, kita pulang dan mulai hari ini akan kuajarkan engkau ^ ilmu tongkatku."
"Sayang gelang kemalaku tidak kudapatkan kembali, Suhu."
"Amat berhargakah gelang itu?"
"Bukan harganya, Suhu. Akan tetapij gelang itu pemberian ibuku dan harus kusimpan baikbaik.
Heran, siapakah yang telah mengambil gelangku itu?"
"Aku pun curiga sekali mendengar cerita mereka tadi. Seorang gadis yang membawa ular
merah? Ular merah yang gigitannya dapat membunuh orang seperti itu amat langka. Ah,
apakah itu Ang-hoa-coa (Ular Bunga Merah)? Kalau Ang-hoa-coa... ah, tidak mungkin ia...."
Kakek itu mengerutkan alisnya dan menggeleng-geleng kepalanya.
"Siapa yang Suhu maksudkan?"
"Teringat akan Ang-hoa-coa, aku jadi ingat kepada seorang tokoh wanita yangi memiliki ular
merah seperti itu. Akan tetapi tidak mungkin. la bukanlah se-orang gadis remaja, melainkan
seorang wanita setengah tua. Bukan, tentu bukan ia. Tak mungkin seorang tokoh besar seperti
ia itu akan merampas sebuah gelang kemala dan melukai seorang anggauta Hek-tung Kaipang
rendahan."
"Siapa yang Suhu maksudkan dengan orang Itu?"
Sebelum menjawab, kakek itu memandang ke kanan kiri seperti seorang yang merasa jerih.
"la... Ang-tok Mo-!' (Iblis Betina Racun Merah)." Lalu dilanjutkan dengan cepat, "Sudahlah,
tidak balk membicarakan orang dan aku tidak percaya bahwa ia yang mengambil gelang-mu.
Biar para pengemis itu yang men-carinya. Mereka yang bertanggung jawab untuk
mengembalikan gelangmu Itu. Mari kita pulang!"
Guru dan murid itu lalu berjalan cepat menuju ke Kuil Kwan-im-bio. Semen-tara itu, Bian
Hok yang merasa penasaran bertanya kepada gurunya,
"Suhu, bagaimana pendapat Suhu dengan ilmu tongkat kakek berbaju putih tadi?"
Hek-tung Kai-ong menghela napas panjang lalu menjatuhkan dirinya duduk di atas kursinya.
"Ahhh, memang bukan nama kosong belaka. Ilmu tongkatnya luar biasa sekali. Terus terang
saja, selamanya baru ini hari aku melihat ilmu tongkat yang mampu menandingi ilmu
tongkatku. Engkau harus berlatih dengan tekun dan rajin, Kongcu. Di dunia ini banyak sekali
terdapat orang yang lihai. Tergantung kepada kita sendiri untuk memperoleh ilmu yang
tangguh."
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 102
Akan tetapi Bian Hok nampak termenung. Dia memang sudah lama menaruh hati kepada
Tang Cin Lan dan kini agaknya gadis itu telah menemukan seorang guru yang pandai.
Bagaimanapun juga, dia tidak boleh kalah oleh gadis itu. Bagaimana mungkin seorang calon
suami kalah oleh calon isterinya? Dia mengharapkan kelak menjadi suami gadis yang amat
menarik hatinya itu.
Gadis itu berusia kurang lebih enam belas tahun, cantik jelita dan nampak wajahnya selalu
riang gembira dengan sinar mata yang berkilat penuh gairah hidup dan mulutnya yang selalu
tersung-ging senyuman di bibirnya. Pakaiannya berkembang-kembang ramai dan cerah. Di
pinggangnya melingkar sebuah sabuk hitam. Rambutnya yang hitam panjang itu dikuncir dua
dan ditekuk menjadi sanggul yang rapi di belakang kepalanya, diikat dengan pita merah.
Hidungnya yang mancung agak menjungat ke atas itu menambah kemanisan wajahnya dan
nampak lucu dan menarik. Kalau ia ter-senyum, hidung itu berkembang-kempis dan bagaikan
menjungat lebih ke atas lagi, seperti yang menantang! Manis sekali.
Dara remaja itu bersenandung sarnbil melangkah mendaki lereng bukit itu. Tangannya
mengenakan sebuah gelang kemala dan kedua tangannya memegang beberapa tangkai
kembang mawar yang tadi dipetiknya di tepi jalan. la berada di lereng bukit di luar kota raja,
nampak bergembira sekali walaupun berjalan seorang diri di jalan yang sunyi itu.
Tiba-tiba dara itu berhenti di bawah sebatang pohon dan menundukkan mukanya. Sejenak ia
memperhatikan suara di sekelilingnya, lalu ia tersenyum sambil mengangkat mukanya dan
terdengar ia berseru riang,
"Wah, di sini agaknya banyak anjing srigalanya!"
Baru saja dia berkata demikian, dari empat penjuru menyambar senjata-senjata rahasia yang
banyak sekali, seperti jarum, paku dan piauw (semacam senjata rahasia runcing bentuk
kerucut). Senjata-senjata itu meluncur ke arah tubuh dara itu dan tiba-tiba saja tubu'h itu
menghilang!
Kini bermunculan banyak sekali pengemis Hek-tung Kai-pang di tempat itu. Jumlah mereka
ada tlga puluh orang, mengepung pohon itu. Dan mereka dipim-pin oleh Ciu Sek dan
suhengnya, Thio Seng, pengemis yang pendek gendut dan tinggi besar itu. Tadinya ada
anggauta pengemis yang melihat gadis itu berjalan seorang diri keluar dari pintu gerbang kota
raja. Dia cepat lari melapor dan mendengar ini, Ciu Sek dan Thio Seng cepat mengerahkan
tiga puluh orang anak buah dan melakukan pengejaran dan tadi mereka menyerang gadis itu
dengar senjata rahasia. Ketika gadis itu tiba-tiba lenyap, mereka terkejut sekali dan cepat
mengurung tempat itu.
Kiranya gadis itu sudah berada 9i atas dahan pohon dengan kedua kaki ter-julur ke bawah dan
digoyang-goyang seperti seorang anak kecil sedang menon-ton keramaian di bawah pohon.
Tadi Thio Seng dan Cia Sek menyuruh anak buah mereka menyerang dengan senjata rahasia
karena mereka sudah mendengar akan kelihaian gadis itu. Apa-lagi gadis ini telah membunuh
seorang anggauta perkumpulan, maka membunuh gadis ini pun tidak halangan bagi mereka!
Ketika Thio Seng melihat gadis itu duduk di atas dahan pohon, dia segera menyuruh orangorangnya
mengepung pohon itu dengan ketat dan dia sendiri lalu memandang ke atas dan
berseru ke-ras, "Hei, kamu nona yang berada di pohon. Engkau telah mencurl gelang ke-mala
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 103
kami. Cepat kembalikan kepada kami dan mari ikut kami menghadap ketua kami, baru kami
dapat memberi ampun kepadamu!"
"Hi-hik, anjing-anjing srigala memang pandai menyalak dan menggonggong. Jembel-jembel
pencuri dan perampok, kalau aku tidak mau menyerahkan gelang dan tidak mau turut dengan
kalian, habis kalian mau apa?"
"Engkau tidak akan dapat terlepas dari tangan kami. Kau telah dikepung ketat. Turunlah dan
menyerahlah. Engkau sudah membunuh seorang anggauta kami dan hanya ketua kami yang
akan memu-tuskan hukuman apa yang harus dijatuhkan kepadamu."
"Aaaah, itukah? Ahggauta kalian itli kurang ajar, berani memeluk pinggangku. Karena
kekurangajarannya maka dia tergigit oleh ular peliharaanku. Bukankah dia mati karena
kesalahannya sendiri? Mengapa menyalahkan aku? Dan gelang ini, aku tahu bahwa seorang
pengennis seperti dia tidak mungkin memiliki gelang seindah ini. Tentu dia telah rnencuri,
mencopet, atau merampok. Dan aku mengambil darinya karena benda itu bukan haknya.
Mengapa kalian ribut-ri-but? Dia tadinya hendak menjual gelang ini. Nah, biarlah aku yang
membelinya dan kalian boleh membagi-bagikan uang ini!" Gadis itu mengambil segenggam
beberapa keping uang receh dan melenmparkan uang receh itu ke bawah.
Melihat lagak dara itu, Ciu Sek dan Thio Seng menjadi semakin marah. Gadis itu amat
menghina mereka. Biarpun me-reka itu golongan pengemis, akan tetapi bukan pengemis
biasa, melainkan anggau-ta-anggauta dari Hek-tung Kai-pang.
"Nona, kalau engkau tidak segera turun dan menyerah, kami akan menyeretmu turun dan
menggunakan kekerasan untuk menangkapmu!" bentak Ciu Seng si pendek gendut dengan
marah.
"Hi-hi-hik! Engkau yang gendut seper-ti itu mana bisa memanjat pohon?" Dara itu tertawa,
kemudian mengeluarkan sebatang suling perak dan mulailah ia meniup suling. Suling itu
mengeluarkan suara melengking tinggi dan menyanyikan sebuah lagu yang aneh namun
merdu.
Thio Seng tak dapat menahan kesa-barannya lagi. Dia memberi isarat kepa-da anak buahnya
dan empat orang lalu berebutan memanjat pohon itu untuk menyeret Si Gadis yang bengal.
Akan tetapi sebelum mereka tiba di dahan yang diduduki gadis itu, yang berada agak tinggi,
tiba-tiba mereka berteriak ketakutan dan berjatuhan dari atas pohon, berdebuk dan tanah
mengebulkan debu. Mereka berempat mengaduh-aduh dan ada kaki tangan yang salah urat
karena terjatuh dari tempat setinggi itu.
"Ular hitam besar... Hhiiiiihh!" Mereka bergidik. Ternyata ketika mereka tadi sudah dekat
dengan Si Gadis, dari pinggang gadis itu merayap seekor ular hitam yang panjang. Kiranya
sabuk hitam gadis itu adalah seekor ular hidup! Dan di lehernya melingkar pula ular merah
yang telah membunuh anggauta pengemis yang berani memeluk pinggangnya, yaitu A-siong
yang telah tewas. Setelah empat orang itu terjatuh, ular hitam lalu mera-yap kembali dan
melingkar di pinggang yang ramping itu.
Melihat empat orang anak buahnya jatuh dari pohon, Thio Seng menjadi semakin marah. Dia
dan Ciu Sek saja yang memiliki kepandaian untuk ineloncat ke atas. Dia memberi isarat
kepada sutenya dan mereka berdua dengan tongkat di tangan lalu meloncat ke atas, ke arah
dahan di mana dara itu duduk dengan kaki tergantung. Mereka meloncat dan menggerakkan
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 104
tongkat untuk menyerang. Akan tetapi tiba-tiba gadis itu menggerakkan tangannya dan ular
hitan itu telah dipegangnya dan dipergunakai un-tuk menangkis dua batang tongkat itu. Ekor
ular itu menangkap kedua tongkat dan sekali renggut kedua tongkat itu terlepas dari tangan
kedua orang pengemis itu yang dengan terkejut sekali terpaksa melayang lagi ke bawah tanpa
tongkat! Gadis itu tertawa dan sekali dia menggerakkan tangan, kedua tongkat itu meluncur
turun dan roenancap di atas tanah.
Thio Seng niarah sekali. "Hayo "tebang pohon ini!" perintahnya dan semua pengemis
beramai-ramai menghampiri batang pohon untuk menebangnya. Akan tetapi kini suara suling
itu itu lengking-lengking dan segera terdengar teriakan para pengemis, "hiiihhh, ular-ular, ular
banyak sekall....!"
Benar saja, dari empat penjuru ber-datangan banyak sekali ular yang menuju ke arah pohon
itu. Itulah ular-ular yang datang terpanggil oleh suara suling! Melihat baunya yang amis,
dapat diduga bahwa di antara rombongan ular itu ter-dapat banyak ular berbisa. Maka
berserabutanlah para pengemis itu melarikan diri. Bahkan Thio Seng juga terpaksa
menjauhkan diri karena ngeri. Sekali saja digigit uiar berbisa berarti nyawa melayang.'
Dara itu terdengar tertawa lagi. Kemudian nanipak ia meloncat turun melayang ke bawah,
kemudian melanjutkan perjalanannya pergi sambil meninp suling dan ular-ular itu
mengikutinya seperti serombongan domba yang jinak! Tiga puluh orang pengemis yang
dipimpin Thio Seng dan Ciu Sek itu hanya memandang dan sama sekali tidak berani mengi
jar. Malah mereka segera pulang untuk me-laporkan peristiwa yang mengerikan itu kepada
ketua mereka.
Mendengar laporan anak buahnya Hek-tung Kai-ong mengerutkan alisnya .
"Dara itu bersenjatakan ular dan dapat memanggil banyak ular dengan sulingnya? Aneh
sekali! Sepanjang pendengaranku, yang memiliki ilmu kepandaian memanggil ular seperti itu
hanyalah Ang-tok Mo-li. Akan tetapi ia bukan seorang gadis remaja, melainkan seorang
wanita setengah tua." Dia menjadi bingung. Kembalinya gelang kemala itu merupakan
tanggung jawabnya. Kalau gelang kemala itu terjatuh ke tangan seorang dara yang demikian
tangguhnya, dan yang mungkin sekali ada hubungannya dengan Ang-tok Mo-li, bagaimana
mungkin dia dapat merampasnya kembali? Dia tahu orang macam apa Ang-tok Mo-li itu,
seorang datdk wanita yang berilmu tinggi dan ditakuti orang. Mungkin dia dapat meng-hadap
dan minta dengan baik-baik, akan tetapi bagaimana kalau wanita iblis itu menolaknya?
Apalagi dia belum pasti bahwa yang mengambil gelang kemala itu ada hubungannya dengan
Ang-tok Mo-li. Melihat suhunya bingung, kembali Bian Hok yang menghiburnya.
"Suhu, tidak usah Suhu bingung. Biarlah aku yang akan menemui Tang-siocia dan gurunya,
lalu menceritakan bahwa gelang itu dirampas oleh Ang-tok Mo-li. Biar mereka sendiri yang
melakukan permintaan kembali atau perampasan dari tangan iblis betina itu.
Mendengar ini, Hek-tung Kai-ong merasa terhibur dan menghaturkan terima kasih kepada
muridnya itu.
Siapakah dara yang bengal dan aneh itu. Benar dugaan Hek-tung Kai-ong. la adalah murid
Ang-tok Mo-li yang bernama Bu Lee Cin. Kita pernah bertemu dengan gadis itu ketika masih
berusia dua belas tahun, yaitu ketika Ang-tok Mo-li ber-tanding melawan Jeng-ciang-kwi. Lee
Cin yang menolong Thian Lee waktu akan disiksa oleh gurunya sendiri.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 105
Bu Lee Cin adalah seorang anak perempuan yang sejak kecil sekali celah dipelihara Ang-tok
Mo-li. la sendiri tidak tahu siapa ayah bundanya. Menurut keterangan gurunya, ayah ibunya
telah meninggal dunia dan sebagai anak yatim piatu yang sudah tidak memiliki keluarga lagi,
ia dipungut dan dipelihara Ang-tok Mo-li sebagai niuridnya, digembleng de-ngan ilmu-ilmu
silat yang tinggi, bahkan juga diberi pelajaran ilmu menguasai ular dan memainkan suling
memanggil ular-ular. Sebagai seorang ahli racun yang pandai, Ang-tok Mo-li juga
mengajarkan penggunaan segala macam racun dan obat pemunahnya kepada Lee Cin. Kini,
dalam usianya yang enam belas tahun, Lee Cin telah menjadi seorang dara remaja yang
bengal dan berkepandaian hebat.
Ketika ite, Ang-tok Mo-li sedang bertapa dan mempelajari semacam ilmu baru dan
kesempatan ini dipergunakan o!eh Lee Cin untuk pergi bermain-main ke kota raja karena
tempat pertapaan gurunya itu di sebuah bukit yang tidak jauh dari kota raja. Setibanya di kota
raja, di pasar ia melihat A-siong dan kawan-kawannya menjual gelang kemala. la tertarik,
dapat menduga bahwa itu tentu gelang curian maka ia merampasnya. Tak disangkanya, Asiong
berhasil memeluk, pinggangnya dan pengemis muda itu menjadi korban gigitan Anghwa-
coa. Biarpun ia murid seorang datuk wanita sesat yang berjuluk Iblis Betina, namun Lee
Cin bukanlah seorang anak yang berhati kejam. Melihat ada orang digigit Ang-hwa-coa, ia
ingin memberikan obat penawarnya. Akan tetapi para pengemis itu sudah lari berhamburan
dan ia tidak tahu harus ke mana mencari orane yang tergigit ular. Terpaksa ia pun
membiarkannya saja dan menganggap bahwa salah A-siong sendiri yang merangkul
pinggangnya sehingga tergigit oleh Ang-hwa-coa. Lee Cin bukan anak yang jahat hanya ia
memang bengal dan suka menggoda orang.
Setelah ia mendaki bukit dan tiba di puncak, melihat gurunya sudah selesai dengan
pertapaannya dan gurunya mengajaknya melanjutkan perjalanan.
"Lee Cin, dahulu aku melawan Jeng-ciang-kwi aku terkena pukulan mautnya. Akan tetapi
setelah aku menguasai ilmuku yang baru ini, lain kali kalau aku bertemu dengannya, aku pasti
akan dapat membunuhnya. Kalau engkau rajin dan tekun belajar, kelak akan kuajarkan ilmu
baru ini kepadamu," kata Ang-tok Mo-Li yang memang amat sayang kepada muridnya itu.
Tentu saja Lee Cin merasa girang sekali dengan janji gurunya. Ka-rena gurunya memelihara
dan mendidiknya sejak ia masih kecil sekali, dan karena gurunya amat menyayangnya, timbul
pula rasa sayang dalam hati Lee Cin terhadap gurunya, juga ia taat dan hor-mat kepada
gurunya.
Ang-tok Mo-li adalah seorang datuk persilatan wanita yang datang dari barat. Dahulu ia
membuat nama besarnya di daerah Sin-kang di mana ia dianggap sebagai datuknya. Ketika ia
terjun ke dunia kang-ouw di timur, namanya rnenjadi semakin terkenal karena jarang ada
orang yang mampu menandinginya. la mempunyai seorang sute yang berjuluk Hek-kak-liong
(Naga Bertanduk Hilam) yang kemudian tewas di tangan Jeng-ciang-kwi dalam sebuah
pertandingan memperebutkan kekuasaan. Inilah sebab-nya mengapa Ang-tok Mo-li mencari
Jeng-ciang-kwi untuk membalas dendam atas kematian sutenya itu, namun ia gagal, bahkan ia
sendiri terluka parah walaupun ia dapat pula melukai Jeng-ciang-kwi. Kini datuk wanita itu
memilih lembah Sungai Huang-ho sebagai tempat tinggal. Di sebuah bukit, di lembah Huangho,
ia mendirikan sebuah rumah besar dan tinggal di situ bersama muridnya. Ia juga
mempunyai sembilan orang anak buah atau pelayan yang dila-tih silat untuk melayaninya dan
juga menjaga rumah. Akan tetapi wanita petualang ini sering kali meninggalkan rumah untuk
merantau bersama muridnya. Kini ia juga sedang merantau dan bertapa di bukit dekat kota
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 106
raja itu untuk mempelajari ilmu barunya. Setelah ilmu itu dapat dikuasainya, baru ia mengajak
muridnya untuk pulang ke Bukit Ular, sama sekali tidak tahu bahwa di kota raja, muridnya
telah membuat ribut dengan orang-orang Hek-tung Kai-pang. Lee Cin sama sekali tidak mau
mengganggu gurunya dengan cerita tentang gelang kemala itu.
"Hemm, dari mana engkau memperoleh gelang kemala itu, Lee Cin?" Gurunya bertanya
ketika melihat gelang itu melingkar di lengan kiri muridnya.
"Ah, inikah, Subo? Ini saya dapat merampas dari tangan seorang pencuri," jawab Lee Cin
singkat dan subonya tidak bertanya lagi. Bagi datuk sesat ini, merampas atau mencuri
bukanlah hal yang aneh dan patut untuk diselidiki atau dibicarakan.
"Lain kali, kalau merampas barang, haruslah yang berharga, bukan hanya gelang kemala
seperti itu," katanya singkat.
"Teecu suka sekali gelang ini, Subo," jawab Lee Cin singkat pula dan gelang itu tidak lagi,
dibicarakan. Mereka lalu berangkat menuju ke selatan, kembali ke Bukit Ular yang sudah
beberapa bulan lamanya mereka tinggalkan.
* * *
Betapa kuasanya Sang Waktu. Segala sesuatu di alam mayapada ini, semua akhirnya tunduk
kepada Sang Waktu. Anak kecil menjadi orang tua, yang tua meninggal dunia, segala sesuatu
berubah dan ditelan oleh Sang Waktu! Tidak ada yang tidak tunduk di bawah kekuasaan Sang
Waktu. Semuanya berubah, berubah, dan berubah. Tidak ada yang kekal di dunia ini. Yang
kekal hanyalah Yang Maha Kekal, Tuhan Yang Maha Esa. Tidak terpengaruh oleh waktu,
karena waktu adalah alat belaka yang dipergunakan oleh Tuhan untuk mengubah segala
sesuatu.
Tahun-tahun melesat seperti anak panah lepas dari busurnya. Tanpa dirasa-kan, tiga tahun
telah lewat sejak Cin Lan digembleng oleh Pek I Lokal. Dara yang tadinya memang sudah
mendapat bimbingan dari para jagoan istana itu, yang memiliki bakat yang baik, kini te-lah
menjadi seorang gadis berusia dela-pan belas tahun yang berilmu tinggi. la telah menguasai
ilmu tongkat Hok-mo-tung (Tongkat Penaluk Iblis) yang diajarkan oleh Pek I Lokai di sampai
cara menghimpun sin-kang yang cuku kuat , dan juga ilmu ginkang (meringankan tubuh)
yang membuat gadis itu dapat bergerak seringan burung.
Pada suatu pagi, seperti biasa seminggu sekali, Cin Lan pagi-pagi sekali telah datang ke Kuil
Kwan-im-bio untuk menemui gurunya. Akan tetapi tidak seperti biasanya, Pek I Lokai pagi
itu menyambutnya dengan wajah agak muram.
"Cin Lan, engkau telah dapat menguasai Hok-mo-tung dengan baik dan semua ilmu yang
kukuasai telah kuajarkan kepadamu. Engkau selama ini menjadi murid yang tekun dan rajin
sehingga memuaskan hatiku. Akan tetapi, sekarang sudah tiba saatnya bagi kita untuk
berpisah. Sudah tiga tahun aku berada di sini dan aku akan melanjutkan perjalananku."
"Suhu, mengapa begini tiba-tiba? Seminggu yang lalu Suhu beJum mengatakan sesuatu
tentang keinginan Suhu untuk pergi!" kata Cin Lan terkejut.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 107
Gurunya tersenyum. "Memang telah terjadi sesuatu. Telah datang seorang musuh lamaku
yang hendak menantangku. Akan tetapi aku sudah jenuh untuk bertanding ilmu silat, muridku.
Pertandingani seperti itu hanya menanamkan dendam saja bagi yang kalah. Musuh ini sudah
dua kali kalah olehku, akan tetapi selalu saja dia mencariku untuk mengajak bertanding lagi,
untuk menebus kekalahan-kekalahannya yang lalu. Aku jemu, Cin Lan."
"Akan tetapi, Suhu. Kalau dia memaksakan kehendaknya, memang harus dilawan dan diberi
hajaran!" kata gadisi itu dengan penasaran. Watak Cin Lan memang pemberani. "Kalau Suhu
tidak menerima tantangan lalu melarikan diri tentu Suhu akart dianggap penakut dan
pengecut. Suhu, kalau perlu biarlah aku yang mewakili Suhu menandinginya!" katanya lagi
dengan sikap gagah.
Pek I Lokai mengangkat telunjuk kanannya. "Cin Lan, lupakah engkau akan semua pesanku.
Ilmu silat bukan untuk mencari permusuhan, bukan untuk berke-lahi, melainkan untuk
membela diri. Kalau tidak diserang orang, tidak perlu kita mendahului menonjolkan ilmu
silat. Dan pula, jangan engkau memandang remeh musuh ini. Dia memiliki ilmu silat yang
tinggi. Dulupun hanya kalah sedikit saja olehku. Sekarang dia tentu sudah menam-bah ilmu
pengetahuannya dan belunn tentu aku sendiri dapat menangkan dia. Maka jangan kaucobacoba
untuk melawannya."
"Ha-ha-ha-ha, engkau benar sekali, Pek I Lokai! Dan aku pun tidak sudi melawan muridmu,
apa lagi kalau ia seorang anak perempuan yang masih kecil!" Tiba-tiba terdengar suara yang
lantang sekali, seolah yang bicara telah berada di dalam kuil itu. Akan tetapi suara itu
terdengar dari tempat yang jauh.
"Ah, terlambat juga...." Pek I Lokai mengeluh, bukan karena takut, melainkan karena
menyesal bahwa sekali lagi dia harus melayani musuh. "Ingat, Cin Lan. Kalau engkau melihat
aku bertanding dengan orang itu, jangan sekali-kali engkau mencampurinya. Selain dia
berbahaya sekali bagimu, juga aku tidak suka bertindak curang dengan melakukan
pengeroyokan." Setelah berkata demikian, kakek itu menyeret tongkat bambunya dan
melangkah keluar dari kuil.
Cin Lan cepat mengikuti gurunya dan ternyata orang yang bicara tadi belum tiba di depan
kuil. Akan tetapi ada angin menyambar dan tiba-tiba di depan suhu-nya telah berdiri seorang
kakek yang usianya tentu sudah hampir tujuh puluh tahun. Kakek itu tubuhnya kurus dan
bongkok, rambut kumis dan jenggotnya sudah putih semua. Seperti juga Pek t Lokai, kakek
itu memegang sebatang tongkat bambu, akan tetapi bambu il,y adalah bambu kuning. Itulah
Jeng-ciang kwi, datuk dari Guha Tengkorak di Lembah Iblis Kwi-san!
Watak Jeng-ciang-kwi memang aneh. Setiap kali mendengar ada seorang tokoh kang-ouw
yang lihai, tentu tokoh itu dia a datangi untuk diajak bertanding ilmu silat. Demikian pula,
ketika dahulu mendengar akan nama. besar Pek I Lokai, dia mencari kakek pengemis itu
untuk diajak bertanding, apalagi mendengar bahwa kakek itu memiliki ilmu tongkat yang
sukar dicari bandingannya. Dalam pertan-dingan pertama kali itu, dia kalah! Akan tetapi
sudah menjadi watak Jeng-Ciang-kwi yang sukar menerima kekalahan dia melatih diri lagi,
kemudian setelah lewat tiga tahun, dia mencari lagi Pek I Lokai dan menantang lagi. Dan
ternyata walaupun selisih ilmu tongkat mereka tidak banyak, akhirnya dia kalah lagi, bahkan
menderita luka pada pahanya. Dia bukannya jera dengan kekalahan ke dua ini, bahkan belajar
lagi memperdalam ilmu tongkatnya dan ini hari, lima tahun setelah kekalahannya yang ke dua
dia dapat mencari Pek I Lokai untuk menantang lagi.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 108
Kini kedua orang kakek Itu sudah berhadapan lagi. "Jeng-ciang-kwi, mau apa engkau datang
mencariku?" tanya Pek I Lokai.
"Ha-ha-ha, bukankah kemarin sudah kukirim berita kepadamu?"
"Benar, aku sudah menerima berita darimu bahwa engkau hendak datang mencariku, akan
tetapi dengan maksud apa?"
"Jangan seperti anak kecil, Pek I Lokai. Apa lagi maksudku kalau bukan menantang engkau
untuk mengadu ilmu? Dan sekarang ini aku harus dapat menang!"
Pek I Lokai menghela napas panjang. "Engkaulah yang seperti anak kecil, Jeng-ciang-kwi.
Apakah tidak akan ada habisnya mengadu kepandaian? Apa perlunya? Kalau engkau irigin
menang, biarlah sekarang juga aku mengakui kekalah-anku darimu."
"Tidak!" Tiba-tiba suara Jeng-ciang-kwi menggelegar. "Sudah dua kali engkau mengalahkan
aku, sekarang aku datang untuk menebus kekalahan dan kau harus menandingi aku!"
"Kalau aku tidak mau melawanmu?"
"Aku tetap akan menyerangmu dengan tongkatku!"
"Kalau aku tidak mengelak atau menangkis?"
"Heh-heh, jangan memancingku dengan segala akal busukmu untuk menghindarkan diri dari
pertandingan. Kalau engkau tidak mengelak atau menangkis engkau akan mati di bawah
pukulan tongkatku!"
Pek I Lokai menghela napas lagi. “Jeng-ciang-kwi. Engkau terlalu memaksaku, Baiklah, aku
akan melayanimu, akan tetapi hanya dengan satu perjanjian."
"Perjanjian apakah?"
"Engkau harus berjanji bahwa pertadingan antara kita ini yang terakhir kalinya. Kalah atau
menang, kali ini yang terakhir dan lain kali engkau tidak akan mencariku untuk menantang
lagi."
"Ha-ha-ha, baik, aku berjanji tidak akan menantangmu lagi. Pertandingan ini yang terakhir
bagiku. Ha-ha, bagaimana tidak akan menjadi pertandingan terakhir kalau sekali ini engkau
yang kalah? Mari kita mulai!"
Jeng-ciang-kwi melintangkan tongkat bambu kuningnya di depan dada. Pek I Lokai juga
mempersiapkan tongkatnya karena dia tahu benar bahwa musuh yang dihadapinya ini adalah
seorang yang sakti dan berilmu tinggi.
"Pek I Lokai, lihat seranganku!" Tiba-tiba Jeng-ciang-kwi sudah menyerang. Serangannya
dahsyat sekali, bukan saja cepat, akan tetapi juga mendatangkan angin pukulan yang hebat.
Pek I Lokai menggerakkan tongkatnya menangkis.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 109
"Desss....!" Biarpun keduanya hanya tongkat bambu, akan tetapl ketika bertemu di udara,
bukan main hebatnya, rnendatangkan getaran yang terasa oleh Cin Lan yang menonton
pertandingan itu de-ngan hati cemas. Kemudian muncul pula Tiong Hwi Nikouw, ketua Kuil
Kwan-im-bio, yang berdiri di samping Cin Lan. Juga wajah Nikouw ini narnpak gelisah
karena agaknya ia tahu benar bahwa pertandingan yang terjadi di halaman kuil itu merupakan
pertandingan antara dua orang ahli yang amat lihai sehingga dapat dibilang merupakan
pertandlngan antara hidup dan mati,
Kini pertandingan berjalan semakin cepat sehingga bagi orang lain tentu tidak akan mampu
mengikutinya. Bahkan Tiong Hwi Nikouw sendiri menJadi pusing mengikuti jalannya
pertandingan. la sudah tidak dapat membedakan mana kawan mana Jawan saking cepatnya
dua orang kakek itu bergerak. Mereka seoiah terbungkus dua gulungan sinar yang sama
lebarnya. Akan tetapi Cin Lan yang su-dah mewarisi ilmu yang tinggi dari gurunya, dapat
mengikuti jalannya pertandingan itu. la menjadi semakin cemas karena benar seperti yang
dikatakan gurunya, musuh ini luar biasa tangguhnya. Gerakan tongkatnya berisi tenaga sinkang
yang kokoh kuat sehingga beberapa kali tongkat di fangan gurunya terpental. Akan
tetapi Pek I Lokai tidak sampai terdesak karena ilmu tongkat Hok-mo-tung itu memang
memlliki keistimewaan, terutama sekaii kalau menghadapi ilmu tangguh dari lawan.
Pertandingan berjalan seru dan men-capai puncaknya setelah lewat dua ratus jurus! Cin Lan
menyesal sekali melihat gurunya beberapa kali mengalah. la meli-hat beberapa kali Jengciang-
kwi membuat lowongan yang bisa dimasuki, akan tetapi gurunya tidak menggunakan
kesempatan ini dan itu hanya berarti bahwa gurunya tidak ingin mencari kemenangan, bahkan
mengalah.
Ketika Jeng-ciang-kwi menusuk dengan tongkatnya dengan pengerahan tena-ga sepenuhnya,
Pek I Lokai menangkis, juga dengan pengerahan tenaga sepenuhnya.
"Krakkk!" Dua tongkat bambu itu bertemu dan keduanya hancur berkeping-keping. Akan
tetapi pada saat itu, Jeng-ciang-kwi melepaskan tongkatnya dan menghantam dengan tangan
kanannya ke arah dada Pek I Lokal dengan kuat sekali.
"Plakkk!" tilbuh Pek I Lokai tidak bergeming, akan tetapi pada saat yang sama Pek I Lokai
menolakkan tangan kanannya ke pundak Jeng-ciang-kwi dan tubuh kakek itu terpental sampai
beberapa meter jauhnya!
Jeng-ciang-kwi terkejut sekali dan dia merangkak bangun, mukanya pucat sekali dan jelas
bahwa dia telah terluka di bagian dalam tubuhnya.
"Pek I Lokai, kau... kau... memang hebat...." katanya terengah-engah, lalu dia membalikkan
tubuhnya dan melangkah pergi dengan cepat.
Jilid 7________
Cin Lan merasa girang sekali. la lari mnghampiri gurunya dan berkata, "Suhu, engkau
menang!"
Akan tetapi tiba-tiba Pek I Lokai mendekap dadanya, mengeluh dan tentu roboh terguling
karena pingsan kalau saja Cin Lan tidak cepat memeluknya. Tiong Hwi Nikouw juga lari
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 110
menghampiri dan melihat keadaan kakek itu, ia membantu Cin Lan membawa Pek I Lokai ke
dalam kuil.
Kakek itu direbahkan di atas pembaringan, dan setelah memeriksa sejenak, Tiong Hwi
Nikouw menghela napas panjang dan menggeleng kepala, nampak gelisah sekali.
"Bagaimana, Sukouw? Bagaimana keadaan Suhu7" tanya Cin Lan dengan khawatir.
Sambil menggeleng kepala perlahan Tiong Hwi Nikouw yang paham ilmu pengobatan itu
berkatat "Wah, lukanya parah sekali. Pukulan dari Jeng-ciang-kwi itu amat hebat. Sukarlah
mencari obat untuk dapat menyembuhkan luka seperti itu. Obat kuat yang ada yang bisa
didapatkan hanya akan memperingan penderitaannya saja, tidak akan dapat
menyembuhkannya. Akan tetapi aku akan memberinya obat peringan penderitaan itu."
"Ah, Sukouw. Apakah kalau begitu nyawa Suhu tidak dapat ditolong lagi?" tanya Cin Lan
dan otomatis kedua matanya menjadi basah.
"Memang ada obatnya, akan tetapi alangkah sukarnya dan bahkan hampir tidak mungkin
didapatkan!"
"Apa itu, Sukouw? Katakan, apa itu obat yang kiranya dapat menyembuhkan Suhu?"
"Ada semacam buah yang disebut sian-tho yang hanya tumbuh di Pulau Ular Emas. Kabarnya
buah sian-tho itu dapat menyembuhkan luka dalam yang bagaimanapun hebatnya. Kabar itu
seperti dongeng saja dan pinni sendiri belum pernah melihatnya. Juga tidak tahu apakah kabar
itu hanya kabar bohong atau benar-benar."
"Pulau Ular Emas? Di mana itu?"
"Di tlmur terdapat Lautan Po-hai. di sanalah pulau itu, di antara pulau-pulau lainnya. Para
nelayan tentu tahu di mana pulau itu. Akan tetapi perjalanan itu berbahaya sekali...."
"Tidak pedull bagaimana bahayanya aku akan pergi ke sana mencari buah sian-tho!" kata Cin
Lan dengan suara tegas.
"Akan tetapi berbahaya sekali bagimu. Entah kalau engkau membawa pasukan ke sana...."
"Tidak! Ayah tentu melarang kalau aku menggunakan pasukan. Biar aku pergi sendlri!"
"Akan tetapi bagaimana kalau terjadi sesuatu denganmu, Siocia. Di sana terdapat sebuah
pulau lain yang amat ditakuti orang, yaitu Pulau Naga. Semua
orang di dunia kang-ouw juga segan melewati pulau itu karena takut bertemu dengan
penghuni Pulau Naga. Sebaiknya kalau Siocia menyuruh saja seorang mencari ke sana."
"Tidak, aku sendiri yang harus mencarinya. Sukouw, tentu Sukouw mengetahui tentang
kebaktian, bukan? Suhu telah demikian baik kepadaku. Selama tiga tahun Suhu melatih dan
memberikan semua ilmunya kepadaku dan untuk itu, aku tidak pernah berbuat sesuatu
untuknya. Kini Suhu berada dalam ancaman maut. Aku sebagai seorang yang mengenal budi
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 111
harus menunjukkan kebaktianku kepada guruku. Akan tetapi Sukouw jangan mengatakan hal
ini kepada siapapun juga. Kalau Ayah mengetahui, tentu dia melarangnya."
"Kalau Pangeran mengutus orang cari Nona ke sini?"
"Katakan saja tidak tahu ke mana aku pergi."
"Baiklah, Siocia."
Cin Lan lalu pulang ke rumahnya dan diam-diam berkemas, membawa buntalan pakaian dan
uang untuk bekal, kemudian pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia sudah pergl
meninggalkan rumah orang tuanya dan langsung saja meninggalkan kota raja melalui pintu
gerbang timur dan terus melakukan perjalanan cepat menuju ke timur, menunggang seekor
kuda yang berbulu putih, kuda kesayangannya. la membalapkan kudanya ke timur, dengan
tekad di hati untuk mencarikan obat bagi gurunya ke Pulau Ular Emas.
Kebaktian timbul dari kasih sayang. Kalau kebaktian tidak timbul dari kasih sayang, maka
sangat boleh jadi kebaktian itu palsu adanya. Ada kebaktian sebagai balas budi, ada pula
kebaktian terhadap orang tua atau guru sebagai pelaksana kewajiban, atau bahkan ada yang
agar supaya dikatakan orang bahwa dia se-orang yang berbakti, murid atau anak yang
berbakti. Akan tetapi semua itu palsu adanya. Kebaktian yang sesungguh-nya timbul dari
kasih sayang. Kalau ada kasih sayang di hati, otomatis ada ke-baktian itu terhadap orang yang
dikasihi.
Seorang anak yang benar-benar memiliki kasih sayang kepada orang tuanya, dia akan menjadi
seorang anak yang benar-benar berbakti. Kebaktian tidak dapat, diukur dengan benda atau
harta, melainkan tercurah melalui sikap dan perbuat-an, dan pembelaan.
Biarpun ia seorang puteri pangeran yang semenjak kecilnya dimanja dan hidup berenang
dalam kemewahan dan kecukupan, namun pada dasarnya Cin Lan adalah seorang anak yang
berhati-baik, bahkan yang mewarisi jiwa kependekaran dari mendiang ayah kandungnya.
Maka, ia yang menyayang gurunya, melihat gurunya terancam maut, ia pun tidak ragu-ragu
lagi untuk melakukan perjalanan berbahaya mencarikan obat bagi gurunya.
* * *
Seorang gadis sejelita Cin Lan, dalam usia delapan belas tahun, bagaikan bunga sedang
mekarnya, tentu saja menarik perhatian banyak orang kalau melakukan perjalanan seorang
diri. Hampir setiap orang pria yang ditemuinya di jalan tentu memandangnya dengan mata
penuh gairah dan kekaguman. Namun Cin Lan tidak mempedulikan itu semua. la membedal
kudanya menuju ke timur. Dengan cepat sekali kuda putih membawanya ke timur dan pada
suatu hari tibalah ia di kota Tien-cin. la menyewa sebuah kamar di rumah penginapan dan
setelah makan malam, ia langsung tidur tidak pernah
keluar lagi.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia melanjutkan perjalanan, keluar dari kota Tien-cin
menuju ke pantai lautan di timur. Di pantai itu ternyata ramai, penuh dengan para pedagang
dan tukang perahu yang menyewakan perahu untuk para pedagang. Juga banyak terda-pat
nelayan. Cin Lan berhenti di sebuah kedai makanan, menambatkan kudanya ke depan kedai
lalu memasuki kedai itu, memesan nasi dan alr teh berikut bebe-rapa macam sayuran.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 112
Semua tamu di kedai makan itu mengangkat muka memandang, namun Cin Lan tidak
mempedulikan mereka. Tak jauh dari tempat ia duduk, terdapat dua orang pria berusia kurang
lebih tiga puluh tahun dan melihat keadaan mereka, agaknya mereka itu jagoan-jagoan atau
orang-orang yang biasa bertindak ugal-ugalan mengandalkan kekuatan. Mereka memang
terkenal sebagai jagoan yang datang dari Tien-cin untuk pesiar ke pantai itu dan melihat
seorang gadis demikian cantiknya memasuki rumah makan itu seorang diri, segera timbul
maksud jahat mereka untuk menggoda.
Setelah saling berkedip kedua orang itu lalu bangkit dari tempat duduk me-reka. Seorang di
antara mereka bermata sipit sekali bermuka kuning sedang orang ke dua mukanya bopeng
bekas penyakit cacar. Mereka menyeringai ketika meng-hampiri meja Cin Lan. Gadis ini
masih tidak menyangka buruk ketika dua orang itu menghampiri mejanya, akan tetapi mereka
menarik kursi dan duduk berhadapan dengan ia, semeja. Barulah Cin Lan mengerutkan
alisnya dan menegur, "Kalian mau apa?"
"Heh-heh-heh, nona manis," kata yang bopeng. "Kami berdua merasa kasihan melihat Nona
duduk sendin saja dan hendak menemani Nona makan minum”.
“Benar, Nona. Nanti kami yang membayar harga makanannya. Begini lebih menggembirakan,
bukan?”.
Tentu saja Cin Lan menjadi marah sekali mendengar ucapan itu, akan tetapi ia masih dapat
menahan diri dan berkata dengan nada tegas dan kaku, Aku tidak ingin duduk makan bersama
kalian dan tidak ingin kalian membayar harga makananku”.
“Nona, jangan menjual mahal!" kata si Bopeng.
“Nona manis sendiri tentu kesepian," kata si Mata Sipit.
Kini Cin Lan menjadi marah. Ia bangkit berdiri. "Pergilah kalian dan sini, jangan mencari
gara-gara”.
“Kalau kami mau duduk bersamamu, siapa yang berani melarang?" tantang Si bopeng.
“Hemmmm, boleh jadi aku masih bisa tinggal diam, akan tetapi empat orang kawanku tentu
tidak mau menerima kalian," kata Cin Lan dan mendengar ini, dua orang itu celingukan
memandang ke kanan kiri, mencari-cari empat orang kawan itu.
"Mana itu empat orang kawanmu, kenapa engkau sendirian saja?" tanya Si Mata Sipit.
"Kedua pasang kaki dan tanganku inilah empat orang kawanku. Mereka tentu akan menghajar
kalian berdua kalau tidak cepat meninggalkan aku!" bentak Cin Lan dan ketika itu banyak
orang yang berada di rumah makan sudah tertarik dan rnenonton dari jarak jauh. Mereka yang
duduk dekat menjauh karena takut tersangkut. Dua orang tukang pukul itu sudah terkenal di
pantai itu sebagai orang-orang yang suka membuat ribut.
Mendengar jawaban gadis itu, dua orang itu tertawa bergelak, "ha-ha-ha, engkau
mengandalkan kaki tanganmu, Nona?" ejek Si Bopeng.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 113
"Kaki dan tangan halus itu hanya layak untuk memijati tubuhku yang kelelahan!" kata Si
Mata Sipit.
"Kalian tetap tidak mau pergi?" ancam Cin Lan dan melihat kedua orang itu tertawa semakin
keras, Cin Lan menggerakkan kedua tangannya seperti kilat menyambar.
"Plok! Plok'" Dua orang itu terpelanting keras karena pipi mereka sudah terkena tamparan
tangan Cin Lan. Mereka terkejut sekali, mengaduh dan cepat berloncatan bangun dengan
marah. Akan tetapi Cin Lan sudah menyambut mereka dengan dua kali tendangan yang
menge-nal perut mereka. Sekali ini mereka terjengkang menimpa meja kursi dan sampai lama
baru mereka dapat bangun kembali.
"Masth kurang dan ingin dihajar lagi?" kata Cin Lan sambil menghampiri. Akan tetapi dua
orang itu sudah maklum bah-wa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang tangguh
sekali, maka setelah dapat bangkit berdiri, mereka laiu mela-rikan diri keluar dari rumah
makan itu duringi suara tawa banyak orang.
Peristiwa itu membuat Cin Lan kehilangan nafsu makannya, segala macam buaya darat
rendahan datang mengganggu, pikirnya. Pemilik rumah makan datang menghampirinya dan
berbisik, "Nona, mereka itu memiliki banyak kawan, aku khawatir mereka akan datang
melakukan pembalasan dan bisa hancur rumah makan kami."
"Jangan khawatir, kalau mereka datang katakan kepadaku dan aku akan cepat keluar agar
dapat menghajar mereka di luar rumah makan," kata Cin Lan sambil melanjutkan makan
minum dengan tenang.
Setelah ia selesai makan» perrulik rumah makan datang dengan muka keta-kutan. "Nona,
mereka datang belasan orang!"
Cin Lan cepat membayar harga rnakanan lalu melangkah lebar keluar dari rumah makan.
Benar saja, ia melihat dua orang tadi dengan muka masih bengkak karena tamparannya,
datang bersama be-lasan orang yang kesemuanya kelihatan bengis dan kasar.
Cin Lan berhenti di dalam halaman depan rumah makan itu. "Hemm, kalian mau apa?
Mencari aku?"
Dua orang itu menuding kepadanya dan berkata kepada teman-temannya, "Inilah setan
perempuan itu!"
Mendengar ini, mereka semua mencabut golok dari pinggang dan mengepung Cin Lan yang
menggendong buntalan pakaian. Cin Lan tidak memegang senjata akan tetapi ia sama sekali
tidak takut. Begitu melihat sebelah kiri ada orang membuat gerakan pertama menyerangnya
dengan golok, ia mengelak dan cepat sekali tangan kirinya menyambar dan sudah mengetuk
ke arah siku kanan orang itu. Seketika golok orang itu terlepas dan cepat ditangkap oleh Cin
Lan. Sekali kakinya menendang orang itu terlempar beberapa meter dan goloknya berada di
tangan Cin Lan. Gerakan itu demikian cepat dan seenaknya. Orang-orang itu kelihatan
penasaran dan marah sekali. Sambil berteriak-teriak mereka ialu maju menyerang dan Cin
Lan mengamuk dengan golok rampasannya. Begitu tubuhnya berkelebat didahului sinar
goloknya yang bergulung-gulung, terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan golok-golok
beterbangan. Setelah Cin Lan berhenti bergerak, tiga belas orang itu semua telah menderita
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 114
luka di tangan dan pundak, dan golok mereka terlepas dari tangan.
Cin Lan berhenti di tengah-tengah dan memandang ke sekeliling. Orang-orang itu kini
melarikan diri, lupa untuk mengambil golok mereka. Orang-orang yang menjadi penonton
merasa kagum kepada Cin Lan akan tetapi gadis ini tidak peduli lagi, melainkan membuang
golok rampasannya lalu menghampiri kudanya. Dilepasnya tali yang ditambatkan ke batang
pohon tadi dan dituntunnya kudanya menuju ke pesisir di mana ber-kumpul tukang-tukang
perahu.
Para tukang perahu juga banyak yang rhenyaksikan ketika gadis itu mengamuk dan memberi
hajaran kepada belasan orang penjahat tadi, maka kini mereka beramai-ramai menyambut
gadis itu. "Apakah Nona hendak menyewa perahu?" Mereka menawarkan.
"Aku ingin menyewa perahu dari seorang yang berani mengantarkan aku ke Pulau Ular Emas.
Siapa yang dapat dan berani?"
Tukang-tukang perahu itu terbelalak dan surut. Mereka ketakutan mendengar disebutnya
Pulau Ular Emas yang berada di belakang Pulau Naga. Bukan Pulau Ular Emas yang mereka
takuti, akan tetapi Pulau Naga. Melihat mereka mundur ketakutan, Cin Lan mengerutkan
alisnya.
"Harap jangah takut, aku akan melindungi tukang perahu yang berani mengantar .aku ke
sana!" Akan tetapi tidak ada seorang pun yang berani menjawab.
"Aku akan memberi upah lima tail perak!" kata Cin Lan. Upah ini besar sekali bagi para
tukang perahu itu, akan tetapi tetap saja mereka hanya berbisik-bisik dan tidak berani.
Akhirnya seorang laki-laki berusia lirna puluhan tahun melangkah maju.
"Dengan upah lima puluh tall dan perlindungan Nona yang perkasa, saya berani mengantar
Nona ke sana," katanya, akan tetapi dengan wajah yang agak pucat karena sebetulnya dia pun
merasa jerih.
Cin Lan memandang kakek itu. Seorang yang tubuhnya maslh nampak kekar dalam usianya
yang setengah tua itu, dan perahunya juga sebuah perahu yang masih baru dan utuh.
"Baiklah, Paman. Akan tetapi aku hendak menltipkan kudaku ini kepadamu. Di mana
rumahmu dan adakah di sana orang yang akan mengurus kudaku sewak-tu kita pergi?"
"Ah, ada, Nona. Ada isteriku dan anakku yang akan merawat kudamu. Mari kita ke rumahku."
Mereka lalu pergi dan ternyata rumah itu tidak jauh dari situ. Sebuah rumah nelayan
sederhana dan melihat keadaan rumah yang miskin itu, Cin Lan segera mengeluarkan uang
dan nnenyerahkan kepada isteri pelayan itu dengan pesan agar merawat kudanya baik-baik.
Atas nasihat nelayan itu, keberangkatan ke Pulau Ular Emas ditunda sampai besok pagi.
"Pelayaran ke pulau itu makan waktu sepertiga hari, Nona. Sebaiknya, klta berangkat besok
pagl-pagi sehingga untuk pelayaran pulang pergi kita dapat kembali ke slni sore hari. Kalau
berangkat sekarang kita akan kemalaman dan di waktu malam berbahaya sekali. Pada musim
begini, kalau malam ombaknya besar."
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 115
Karena ia sendiri tidak mempunyai pengalaman naik perahu, terpaksa Cin Lan menurut dan
malam itu" ia bermalam di rumah nelayan yang memberikan ka-marnya untuk tamu agung
itu. Biarpun kamar itu sederhana dan pembaringannya juga keras dan kasar, namun Cin Lan
dapat tidur nyenyak karena ia telah melakukan perjalanan jauh dan tubuhnya terasa penat.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat. Cin Lan meninggalkan
semua bekal pakaian dan uang pada isteri neiayan dan untuk mem-bekali diri dengan senjata,
ia mencari sebatang kayu dari pohon. Batang kayu itu dibuatnya menjadi tongkat, senjata
yang paling disenanginya karena dengan senjata tongkat itulah ia dapat melindungi diri paling
baik karena ia sudah menguasai Hok-mo-tung-hoat. Melihat semangat gadis yang perkasa itu,
Si Tukang Perahu akhirnya juga berani dan dia melayarkan perahunya menuju ke tengah
samudera. Lautan Po-hai itu sebetulnya adalah sebuah teluk yang besar sekali. Saking
luasnya, sampai daratan di seberang tidak kelihatan sehingga nampaknya seperti lautan bebas
saja. Cin Lan yang tidak pernah naik perahu di lautan, segera menjadi agak mabuk ketika
perahu diombang-ambingkan ombak. Akan tetapi dengan duduk bersila di atas perahu, mengerahkan
sin-kangnya, ia dapat menolak rasa mabuk itu.
Sudah dua jam perjalanan, di depan nampak sebuah pulau yang panjang dan hitam. Melihat
ini, tukang perahu kelihatan takut-takut dan berbisik, "Nona, pulau itulah yang membuat
semua tukang perahu ketakutan mendengar Nona hen-dak pergi ke Pulau Ular Emas."
"Itukah Pulau Ular Emas?" tanya Cin La^ samteU memandang ke arah pulau itu"
"Ah, bukan, Nona. Pulau Ular Emas M berada di belakang pulau itu. Itu adalah Pulau Naga
yang ditakuti semua orang. Bahkan para nelayan juga tidak berani ^ mencari ikan di dekat
pulau itu."
"Kenapa, Paman? Apakah pulau ada setannya?"
"Lebih dari itu, Nona! Nona adalah seorang pendekar yang tentu mengenal dunia kang-ouw.
Apakah Nona tidak tahu siapa majikan pulau itu?"
"Sungguh, aku tidak pernah mendengarnya, Paman. Coba ceritakan, siapa penghuni pulau itu?
Siapa yang menjadi majikannya?"
"Mereka adalah keluarga Siangkoan yang amat terkenal, Nona. Bahkan majikan pulau itu
disebut Raja Angin Timur. Semua bajak laut juga gemetar kalau mendengar namanya disebut.
Keluarga Siangkoan itulah penghuni Pulau Naga itu. Sebaiknya kita mengambil jalan
memutar saja, Nona. Agar aman."
"Tidak, Paman. Bahkan coba dekatkan perahu ke pantai Pulau Naga. Aku menjadi tertarik dan
ingin sekali singgah di Pulau Naga yang aneh itu."
Mata pengemudi perahu itu terbelalak dan mukanya berubah pucat. "Nona, saya belum ingin
mati....!"
"Hush, siapa bicara tentang mati? Penghuni pulau itu bermarga Siangkoan, berarti mereka itu
adalah manusia-manusia biasa. Kalau kita tidak melakukan suatu kejahatan, tentu mereka
tidak akan marah kepada kita."
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 116
"Tapi, tanpa ijin mereka, tak seorang pun boleh melanggar wilayah mereka, Nona. Itu berarti
kematian baei pelanggarnya!"
"Tidak mungkin! Kalau benar begitu, mereka itu orang-orang jahat yang pantas dibasmi dan
aku akan membasmi mereka agar melenyapkan ancaman bagi para nelayan. Hayolah, jangan
ragu, dekatkan perahu ini ke pulau itu!"
Dengan terpaksa sekali nelayan itu lalu melayarkan perahunya ke Pulau Naga. Pulau itu
pantas disebut Pulau Naga karena memang dari jauh kelihatan seperti seekor naga yang
muncul di permukaan samudera. Makin dekat, nelayan itu menjadi semakin ketakutan.
Setelah pulau itu dekat, tiba-tiba bermunculan lima buah perahu kecil yang didayung cepat
sekali, tahu-tahu sudah mengepung perahu yang ditumpangi Cin Lan. Tukang perahu menjadi
semakin ketakutan dan bersembunyi di belakang Cin Lan sernentara gadis itu bangkit berdiri
sambil memegang tongkatnya. Sama sekali Cin Lan tidak merasa takut.
"Kalian mengepung perahu kami mau apakah?" bentaknya. "Kami hanya kebetulan saja lewat
di sini, tidak bermaksud jahat."
"Perahu Nona sudah melanggar perairan kami, maka Nona harus mendarat dan menghadap
kongcu kami yang menunggu di pantai!"
Memang itu yang dikehendaki Cln Lan, yaitu mendarat dan melihat Pulau Naga. Maka
kepada nelayan itu dia memberi isarat supaya mendaratkan perahunya.
Dengan terpaksa sekali dan tubuh gemetar, nelayan itu menurunkan layar dan mendayung
perahu ke darat, diiringkan lima buah perahu yang ditumpangi masing-masing dua orang yang
kelihatan gagah dan kuat itu. Setelah tiba di darat, Cin Lan melihat seorang pemuda berdiri di
pantai sambil bertolak pinggang. Seorang pemuda tampan gagah dan pakaiannya indah seperti
pakaian seorang pemuda bangsawan saja! la menjadi ter-tarik sekali dan sengaja ia
memperlihatkan kepandaiannya. Perahu itu terpisah dari darat masih beberapa meter jauhnya,
akan tetapi Cin Lan mempergunakan keringanan tubuhnya, meloncat dan berjungkir balik
lima kali baru tubuhnya turun ke depan pemuda itu dengan ringannya!
"Aha, kiranya Nona memiliki ilmu kepandaian yang lumayan juga. Pantas berani mendekati
pulau kami. Apa perlunya Nona mendekati pulau kami?" tanya pemuda itu, suaranya
terdengar halus akan tetapi mengandung teguran dan matanya seperti melahap wajah dan
bentuk tubuh Cin Lan.
"Aku sengaja mendekati pulau ini untuk melihat apakah penghuninya manusia biasa ataukah
iblis. Aku mendengar bahwa orang yang mendekati pulau ini tanpa ijin akan dibunuh, maka
aku menjadi tertarik untuk mengunjunginya!" kata Cin Lan dengan sikap menantang.
"Nona, pulau ini adalah milik keluarga kami. Sebagai milik pribadi tentu saja kami melarang
orang datang berkunjung tanpa ijin kami. Aku adalah Siangkoan Tek, putera majikan pulau
ini. Siapakah Nona yang berani lancang nnelanggar wilayah kami?"
"Hemm, aku bernama Tang Cln Lan. Nah, aku sudah melanggar wilayah kalian, lalu engkau
mau apa?" Nada suarate Cin Lan menantang sekali karena ia merasa penasaran bahwa ada
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 117
orang yang demikian sombongnya sehingga melarang orang berkunjung ke pulau itu, bahkan
perairannya pun dibatasi.
"Kami mempunyai sebuah peraturan, Nona. Siapa yang berani melanggar wilayah kami, harus
mengadu ilmu dengan kami. Melihat engkau masih muda dan| seorang wanita pula, maka
tidak perlu Ayah yang maju menghadapimu, cukup aku yang akan menguji kepandaianmu!"
"Boleh! Boleh! Kaukira aku takut kepada majikan Pulau Naga? Pulau ini boleh jadi telah
kalian beli, akan tetapi air laut adalah milik manusia pada umumnya, siapapun juga boleh saja
berlayar. Kalian hendak menguasai pula lautan, itu sungguh tak masuk di akal. Kalau hendak
menguji kepandaian, hayolah, aku telah siap menghajarmu!" Gadis itu melintangkan tongkat
kayunya di depan dada.
Pemuda itu bukan seorang tolol. Melihat sikap dan cara gadis itu tadi me-loncat dari
perahunya, dia sudah dapat menduga bahwa Cin Lan merupakan la-wan yang tangguh, maka
dia tidak berani memandang rendah dan segera mencabut pedang dari punggungnya.
"Bagus, mari kita main-main sebentar, Nona. Hendak kulihat apakah kepandaian-mu sama
hebatnya dengan wajah dan sikapmu!"
"Jaga seranganku!" Tanpa sungkan lagi Cin Lan sudah menyerang setelah mem-bentakkan
peringatan itu dan tongkatnya sudah menyambar dengan dahsyat sekali. Pemuda itu terkejut.
Tidak salah dugaannya. Gadis itu memang hebat. Memiliki ilmu tongkat yang dahsyat sekali.
Dia pun lalu menggerakkan pedangnya menangkis dan balas menyerang.
Cin Lan mulai memainkan ilmu tongkat yang amat diandalkannya, yaitu Hok-mo-tung. Dan
begitu ia mainkan ilmu tongkat ini, pemuda itu segera terdesak hebat dan semakin terkejut.
Memang ilmu tongkat yang diajarkan oleh Pek I Lokai ini bukanlah ilmu tongkat biasa. Di
dalamnya mengandung segala gerakan untuk menghadapi senjata lawan yang bagaimanapun
juga. Daya serangannya amat hebat sehingga Siangkoan Tek yang sebetulnya juga lihai sekali
itu segera terdesak dan main mundur. Setelah lewat lima puluh jurus, Siangkoan Tek tidak
lagi mampu membalas serangan Cin Lan, hanya berloncatan ke sana sini untuk mengelak
sambil menangkis dengan pedangnya! Kalau dilanjutkan beberapa jurus lagi, agaknya dla
akan roboh oleh tongkat itu. Tiba-tiba Siangkoan Tek meloncat ke belakang. Cin Lan
mengejar dan pemuda itu berloncatan ke belakang seperti orang merasa jerih dan menjauhkan
diri. Tentu saja Cin Lan mendapat hati dan merasa penasaran karena pemu-da itu belum kalah
dan agaknya sengaja hendak menjauhkan diri agar jangan ter-desak. la mengejar terus dan
tiba-tiba kakinya terjeblos ke dalam lubang yang agaknya memang sengaja dibuat di pantai
berpasir itu.
Ketika Cin Lan terjeblos jatuh, Siang-koan Tek cepat meloncat dekat dan sekali totok tubuh
Cin Lan menjadi lemas tak mampu menggerakkan kaki tangan lagi.
Cin Lan yang sudah tidak berdaya itu melotot. "Kau curang!" bentaknya. "Engkau
menggunakan jebakan. Engkau pengecut curang yang hina!"
"Dan engkau seorang dara yarig can-tik jelita dan berkepandaian tinggi. Ha-ha, Tang Cin Lan,
engkau pantas menjadi kekasihku!" Siangkoan Tek menyentuh dagu Cin Lan dengan usapan
mesra.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 118
"Tidak sudi' Cuuh!" Cin Lan meludah.
"Jangan sentuh aku!"
"Ha-ha-ha, engkau sudah terjatuh ke tanganku. Engkau tidak dapat berbuat apa-apa lagi, apa
pula menolak, Nona manis, engkau seperti seekor kupu-kupu yang terjaring ke dalam sarang
laba-laba, aku tinggal menghisapmu sampai kering, ha-ha-ha!"
"Jahanam keparat busuk tak tahu malu Pengecut hina dina yang curang. Hayo bebaskan aku
dan kita bertanding lagi sampai salah seorang dari kita menggeletak mati di sini!" tantang Cin
Lan dengan marah.
"Ha-ha-ha-ha!" Siangkoan Tek tertawa dan wajahnya yang tampan itu kelihatan amat
menyeramkan bagi Cin Lan yang mulai merasa takut. Jangan-jangan pemuda ini orang gila
dan akan melakukan hal yang amat mengerikan kepadanya, yang lebih hebat daripada maut
sendiri! Jangan-jangan pernuda ini akan memperkosanya dan kalau hal itu terjadi, ia tidak
akan mampu membela diri! Gadis itu mulai merasa ngeri.
Kembali Siangkoan Tek mengulurkan tangan, sekali ini henchak menggerayangi tubuh Cin
Lan. Pada saat itu terdengar bentakan nyaring, "Siangkoan Tek!"
Pemuda itu terkejut dan menarik kembali tangannya yang tadi hendak menggerayangi dada
Cin Lan dan dia memutar tubuhnya. Cin Lan juga melihat bahwa yang muncul adalah seorang
wanita yang berusia kurang lebih empat puluh tahun, masih nampak cantik dan anggun
dengan pakaian seperti wanita bangsawan atau hartawan pula. Biarpun cantik dan nampak
lemah-lembut, namun ada sesuatu dalam sikap nyonya itu yang berwibawa sekali.
"Siangkoan Tek, apa yang kautakukan ini? Siapakah nona ini?"
"Ah, Ibu. la telah melanggar wilayah kita dengan perahunya, maka aku lalu menangkapnya!"
"Hemm, engkau menggunakan akal licik untuk menangkapnya. Sungguh memalukan!"
"Tapi ia lihai sekali, Ibu."
"Sudah, hayo cepat kaubebaskan ia sekarang juga!"
Blarpun agak bersungut-sungut karena ibunya dianggap mengganggu kesenangan-nya
pemuda itu tidak berani membantah. "Baik, Ibu." Dia lalu menghampiri tubuh Cin Lan yang
masih terperosok ke dalam lubang dan sekali dia menotok, tubuh Cin § Lan mampu bergerak
kembali. Begitu dapat bergerak, Cin Lan melompat keluar dari dalam lubang, menggerakkan
tongkatnya dan menyerang pemuda itu dengan marahnya.
"Plak!" Tongkat itu bertemu dengan tangan yang halus dari nyonya itu yang menangkisnya.
"Cukup, Nona. Aku mintakan maaf untuk kesalahan puteraku'" Melihat nyonya yang telah
menolongnya itu mintakan maaf untuk puteranya, Cin Lan merasa tidak enak untuk
menyerang terus, apalagi tangkisan tadi menunjukkan bahwa wanita ini lihai sekali, mungkin
lebih lihai daripada puteranya!
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 119
"Bibi, engkau harus lebih keras menghajar puteramu!" ia berkata sebagai teguran.
"Akan kutegur dia keras-keras nanti.
Akan tetapi engkau siapakah, Nona? Dan ada keperluan apa engkau sampai melanggar
wilayah kami?"
"Namaku Tang Cin Lan dan aku ke-betulan menyewa perahu nelayah dan lewat di dekat
pulau ini. Karena tertarik mendengar bahwa pulau ini dihuni oleh iblis-iblis kejam aku
sengaja hendak men-jenguknya."
Wanita itu menghela napas. "Bukan iblis kejam yang menghuni pulau ini, Nona, melainkan
kami keluarga Siang-koan."
"Akan tetapi aku mendengar banyak orang dibunuh mati kalau mendekati tempat ini."
"Berita itu berlebihan. Memang kami banyak membunuh para bajak laut dan orang kang-ouw
yang sengaja hendak mengganggu kami di pulau ini. Engkau seorang nona muda sungguh
berani sekali mengunjurigi pulau ini. Sebaiknya, kalau engkau tidak mempunyai keperluan
pen-ting, jangan mendarat di pulau milik kami ini, Nona. Kami tidak ingin tempat kami ini
menjadi tempat umurn dan dlkotori oleh orang-orang yang tidak tahu aturan. Nah, sekarang
engkau boleh pergi dari sini dengan bebas, Nona."
Mendengar ini, nelayan yang tadinya ketakutan setengah mati melihat penumpangnya
bertanding kemudian tertawan, segera berlari menghamplri Cin Lan dan membujuk, "Marilah,
Nona. Kita pergi. Sudah berulang kali saya peringatkan jangan mendekati pulau ini. Man,
Nona!
Cin Lan sekali lagi memandang tajam kepada wanita itu dan puteranya, kemu-dian ia
membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ, kembali ke perahunya yang segera didayung ke
tengah oleh nelayan itu.
"Aduh, engkau berani sekali, Nona. Wah, kita mendapatkan kembali nyawa kita'" Tukang
perahu itu lalu memben hormat untuk menghaturkan terima kasih kepada Tuhan bahwa dia
masih diperbo-lehkan hidup. Tadi dia sudah menganggap bahwa dirinya dan nona itu pasti
akan Cin Lan merasa geli juga. "Sudahlah, Paman. Sekarang kita ke Pulau Ular Emas dan
engkau boleh mengambil jalan memutar!"
Ternyata setelah dekat, Pulau Ular Emas itu tidaklah sebesar Pulau Naga, bahkan kecil saja,
tidak ada sekilo meter persegi. Akan tetapi ketika Cin Lan me-lompat ke darat, ia melihat
beberapa orang berada di atas pulau itu dan mere-ka itu sedang bertempur! Dan di tengahtengah
pulau itu terdapat sebuah pohon dan agaknya itulah pohon sian-tho yang kini agaknya
diperebutkan orang. Setiap ada yang mendekati pohon itu, tentu diserang oleh orang lain
sehingga terjadi perkelahian yang kacau balau antara enam orang yang rata-rata memiliki
ilmu kepandaian tinggi itu!
Matahari telah naik tinggi dan Cin Lan dapat melihat semua itu dengan jelas. la berpikir
bahwa kalau ia yang mendekati pohon itu, tentu juga ia akan diserang oleh mereka dan hal ini
tidak menguntungkan. Maka ia agak mendekat dan melihat bahwa di pohon itu hanya terdapat
sebutir buah saja yang sudah masak. Kiranya pohon itu hanya berbuah satu, maka pantas
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 120
kalau dijadikan perebutan. Dan buah itulah yang akan menyelamatkan suhunya. Lalu ia
mendapat akal dan berseru dengan nyaring karena la sengaja mengerahkan khi-kang untuk
membuat suaranya menjadi lantang.
"Tahan dulu, para Locianpwe, tahan dulu sebentar!"
Enam orang itu berloncatan mundur, akan tetapi tetap waspada menJaga agar jangan ada
orang yang mencoba untuk mengambil buah sian-tho yang diperebutkan.
"Mau apa engkau, Nona muda?" bentak seorang tinggl besar bermuka hitam.
"Aku tahu bahwa keenam Locianpwe sedang memperebutkan buah sian-tho di sana itu,
bukan? Aku sendiri pun datang hendak mencari buah sian-tho. Sayang buah itu hanya sebutir
dan yang menghendaki demikian banyak. Karena itu, daripada berebutan tanpa aturan seperti
ini bagaimana kalau dipakai aturan yang adil Kita semua bertanding satu lawan satu dan yang
terlihai di antara kita, yang menang, dialah yang berhak mendapatkan buah sian-tho. Dengan
begini maka akan adil sekali, bukan?"
Enam orang itu saling pandang denean mata melotot, lalu Si Tinggi Besar muka rutam itu
berkata, "Aku setuju!"
"Aku pun setuju!"
"Aku juga setuju!"
Enam orang itu berseru menyatakan setuju akan usul yang diajukan Cin Lan. Bagus! Kalau
begitu, silakan, siapa yang akan bertanding lebih dulu?"
Mereka semua mengajukan diri, akan tetapi pada saat itu ada angin berkesiur datang dan di
situ sudah berdiri seorang wanita diikuti seorang pemuda. Ketika Cin Lan memandang, ia
mengenal bahwa mereka itu adalah Siangkoan Tek dan ibunya yang baru saja ia jumpai di
Pulau Naga! Enam orang itu pun memandane dan mereka nampak terkejut dan jerih.
"Kami adalah keluarga Siangkoan! Biarpun kami hanya menjadi penguasa pulau Naga, akan
tetapi Pulau Ular Emas ini adalah tetangga kami dan kamilah yang terdekat dengan pohon
sian-tho.
Bahkan di waktu musim kering, kamilah yang menyirami pohon itu. Jadi, sebetulnya kami
yang berhak memetik buah sian-tho yang sudah masak. Akan tetapi karena kalian semua
sudah datang berebut, kami setuju dengan usul Nona Tang Cin Lan ini. Suatu usul yang baik
sekali. Aku sendiri, Nyonya Slangkoan, akan maju mewakili keluarga Siangkoan dan kalian
yang ingin merebut sian-tho boieh maju semua mengeroyokku! Kalau aku kalah, barulah
kalian boleh saling berebutan. Nah, majulah!" Nyonya itu lalu melepaskan sabuk suteranya
yang berwarna merah. Sukar dipercaya bahwa sabuk sutera seperti itu hendak dijadikan
senjata melawan orang-orang yang nampaknya kuat-kuat dengan berbagai senjata tajam itu.
Akan tetapi sungguh aneh. Enam orang itu, yang jelas merupakan orang-orang kang-ouw
yang berkepandaian tinggi, kelihatan jerih sekali mendengar bahwa wanita itu adalah Nyonya
Siangkoan yang mewakili keluarga Siangkoan. Cin Lan dapat menduga bahwa nama besar
keluarga Siangkoan tentu telah tersiar luas di dunia kang-ouw sehingga baru Sang Nyonya
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 121
saja yang muncul, semua orang menjadi jerih! Kemudian Cin Lan melihat bahwa dari pantai
pulau itu muncul pula empat orang yang berpakai-an seperti pelayan dan agaknya mereka ini
pelayan atau anak buah perahu yang ditumpangi Nyonya Siangkoan dan pu-teranya. Mereka
berempat itu berdiri saja seperti patung, seolah siap menanti perintah Sang Majikan.
Enam orang kang-ouw itu saling pandang, kemudian empat orang di antara mereka mundur
dan berkata kepada nyonya itu, "Kalau Toanio menghendaki buah sian-tho itu, terpaksa kami
mengundurkan diri. Kami tidak ingin berebut dengan keluarga Siangkoan!" Dan empat orang
itu lalu melangkah pergi menuju pantai melayarkan perahu masing-masing pergi dari situ!
Hanya tinggal dua orang yang masih tetap berada di situ dan mereka berdua memandang
kepada nyonya itu dengan penasaran. Seorang di antara mereka berkepala besar seperti
gentong dan dia yang berkata dengan suara yang mengguntur, "Benarkah Toanio menantang
kami maju berbareng?"
"Hemm, engkau yang berjuluk Ta-thouw-kwi (Setan Kepala Besar), bukan? Aku sudah
mengatakan bahwa kalian semua yang hendak memperebutkan sian-tho, boleh maju bersama
melawanku wakil dari keluarga Siangkoan," jawab nyonya itu dengan suara yang halus dan
teratur baik seperti ucapan seorang bangsawan terpelajar saja.
Orang ke dua adalah seorang yang demikian kurus seperti cecak kering. Orang kurus ini lalu
mengeluarkan senjatanya yang menyeramkan, yaitu sebatang golok yang punggungnya
seperti gergaji dan golok itu besar dan berat sekali, sungguh tidak sesuai dengan tubuhnya
yang seperti cecak kering itu. Melihat golok ini saja sudah dapat diketahui bahwa orang yang
kurus itu ternyata memiliki tenaga yang amat kuat. Dia mengangkat goloknya dan berkata,
"Sesungguhnya aku merasa malu untuk mengeroyok seorang wanita, akan tetapi karena
engkau sendiri yang menghendaki...."
"Engkau yang berjuluk Twa-to-kwi (Setan Golok Besar), bukan? Sudahlah, jangan banyak
cakap lagi. Majulah kalian bertiga'"
Akan tetapi Cin Lan berkata, "Tadi aku mengusulkan untuk pertandingan satu lawan satu.
Aku tidak sudi melakukan pengeroyokan!" Dan ia pun berdiri di pinggiran untuk menonton.
la akan memperebutkan sian-tho itu dengan pertandingan yang adil.
Mendengar ini, nyonya itu tersenyum manis kepadanya. "Kalau begitu, Cin Lan, engkau
lihatlah betapa aku meng-hajar kedua orang yang tidak tahu diri ini. Marilah, kalian boleh
maju dan mulai menyerang!" tantang nyonya itu sambil menaruh sabuk di pundaknya. Si
Kepala Besar juga mencabut sebatang pedang dari punggungnya dan kedua orang itu lalu
membentak dan mulai menyerang dari kanan kiri. Serangan mereka ganas dan cepat sekali,
akan tetapi tiba-tiba mereka kehilangan orang yang mereka serang. Demikian cepat gerakan
nyonya itu ketika meloncat dan tahu-tahu dua orang itu kehilangan lawannya yang sudah tiba
di belakang mereka. Cepat mereka membalik sambil mengayun senjata menyerang lagi. Akan
tetapi semua serangannya mengenai tempat kosong belaka. Sampai belasan jurus mereka
menyerang, namun mereka itu seperti menyerang sesosok bayangan saja. Baru beberapa jurus
saja maklumlah Cin Lan bahwa jangankan baru dua orang itu, biarpun tadi ditambah empat
orang yang sudah pergi, belum tentu mereka dapat mengalahkan nyonya itu yang memiliki
ginkang luar biasa sekali. Akan tetapi la sendiri tidak khawatir. Dengan Hok-mo-gg tung-hoat
yang dikuasainya, kiranya akan mampu menandingi lawan yang memiliki sin-kang
sedemikian hebatnya, karena tongkatnya dapat dibuat bergerak secepat angin.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 122
Benar saja dugaannya. Ketika nyonya itu mulai menggerakkan sabuknya, nampak sinar merah
berkelebatan menyilaukan mata dan tak lama kemudian terdengar dua orang itu menjerit dan
tubuh mereka roboh. Ketika Cin Lan memandang, ia terkejut sekali melihat mereka itu telah
tewas! Agaknya jalan darah maut mereka telah tertotok secara lihai sekali oleh ujung sabuk
sutera Nyonya itu dengan tenang lalu menggapaikan tangan kepada empat orang pelayan yang
berlari-lari mendatangi. Kemudian mere-ka tanpa diperintah agaknya tahu akan kewajiban
mereka. Mereka menggotong pergi dua mayat itu dan melemparkan mereka dari tebing tinggi
ke dalam lautan!
Nyonya itu kini menghampiri Cin Lan. "Apakah engkau juga masih berniat untuk merebut
buah sian-tho, Cin Lan?"
"Tentu saja! Bibi boleh jadi amat lihai dan belum tentu aku akan dapat menang. Akan tetapi
aku harus mendapatkan buah sian-tho itu untuk menyela-matkan guruku yang terluka
beracun!"
"Engkau tidak takut akan tewas pula dalam memperebutkan buah itu?"
"Kewajiban seorang murid untuk membela gurunya, mati pun tidak akan penasaran!"
Nyonya itu tersenyum dan mengangguk-angguk, lalu menoleh kepada putera-nya. "Siangkoan
Tek, kau dengar sendiri ucapan Tang Cin Lan ini. Anak ini boleh kau contoh. la berbakti dan
setia kepada gurunya, sampai tidak takut mempertaruhkan nyawanya. Cin Lan, siapa sih
gurumu itu yang begitu kaubela?"
"Dia seorang pengemis tua."
Siangkoan Tek berseru heran. "Hanya seorang pengemis tua dan engkau mempertaruhkan
nyawa demi keselamatannya? Luar biasa sekali!"
"Siapa nama atau julukan gurumu itu, Cin Lan?"
"Julukannya Pek I Lokai."
"Ah, ah....! Kiranya si tua Pek I Lokai itu gurumu? Pantas engkau begim gagah perkasa dan
berani. Seorang guru yang baik tentu memiliki murid yang baik pula!" kata nyonya itu kagum.
"Di mana gurumu sekarang berada?"
"Di Kwan-im-bio di luar kota raja, kata Cin Lan terus terang karena memang ia tidak perlu
menyembunyikan sesuatu, kecuali tentang dirinya, bahwa ia adalah puteri seorang pangeran!
"Cin Lan, engkau murid yang hebat. Sikapmu mengingatkan aku di waktu muda. Berani dan
bertanggung jawab. Nah, majulah, Cin Lan. Ingin aku berkenalan dengan ilmu tongkatmu
yang menurut keterangan anakku tadi hebat sekali'"
Cin Lan menggerakkah tongkathya dan berkata, "Aku harus mendapatkan sian-tho itu atau
boleh Bibi membunuhku kalau bisa'" la lalu berseru keras dan memasang kuda-kuda, tidak
mau menyerang lebih dulu karena maklum bahwa ia tidak akan berhasil mengenai tubuh yang
memiliki gin-kang hebat itu. Satu-satunya cara adalah membiarkan nyonya itu menyerang
lebih dulu sehingga ia dapat membarengi dengan serangan selagi nyonya itu menyerang.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 123
Melihat ini, nyonya itu mengangguk-angguk lalu berseru keras dan sabuk sutera merahnya
mencuat menotok ke arah dada Cin Lan. Cin Lan menggerakkan tongkatnya menangkis dan
sekaligus balas menyerang dengan pukulan ke arah leher lawan. Nyonya Siangkoan mengelak
dan mereka lalu saling serang dengan hebatnya. Karena maklum bahwa lawannya lihai, maka
Cin Lan segera memainkan Hok-mo Tung-hoat dan membuat gerakan tongkatnya secepat
kilat sehingga nyonya itu tidak sempat menggunakan gin-kangnya. Terjadi pertempuran yang
seru bukan main dan berkali-kali nyonya itu mengeluarkan seruan kagum.
Sampai lewat lima puluh jurus belum ada pihak yang menang atau kalah dan tiba-tiba ketika
Cin Lan memukulkan tongkatnya, ujung sabuk sutera itu melibat tongkatnya dan tongkat itu
tidak dapat digerakkan lagi. Akan tetapi nyonya itu pun tidak dapat menggunakan sabuk
suteranya untuk menyerang dan mereka saling tarik menarik. Ternyata dalam hal tenaga slnkang
pun mereka seimbang.
Tiba-tiba nyonya itu tertawa, "Bagus, engkau memang murid Pek I Lokai yang baik sekali." la
melepaskan libatan sabuk suteranya dan meloncat ke belakang.
"Engkau boleh memiliki sian-tho itu Cin Lan”.
Cin Lan membelalakkan matanya. la tahu bahwa nyonya itu belum kalah olehnya, akan tetapi
sudah mau menyerahkan sian-tho itu kepadanya.
"Ah, Bibi baik sekali. Terima kasih Bibi."
"Engkau memang pantas mendapatkannya, Cin Lan. Dan aku suka padamu. Kalau saja
engkau kelak menjadi mantuku....!"
Wajah Cin Lan berubah kemerahan ketika mendengar ini, "Aih, Bibi!" serunya tersipu.
"Siangkoan Tek, cepat ambilkan sian-tho itu dari berikan kepada Cin Lan'"
Siangkoan Tek berlari ke arah pohon itu dan sekali meloncat tubuhnya sudah berada di atas
pohon. Dipetiknya buah yang hanya satu-satunya itu lalu dia meloncat turun lagi dan lari
menghampiri Cin Lan.
Pemuda itu kini nampak ramah sekali dan tersenyum manis. "Silakan terima buah sian-tho ini,
Nona. Dan kalau nanti ada kesempatan, ingin sekali aku datang berkunjung ke tempatmu di
Kuil Kwan-im-bio di luar kota raja!"
Cin Lan menjadi tidak senang di dalam hatinya kepada pemuda ini. Tadi pemuda ini telah
memperlihatkan sikap yang sama sekali tidak menyenangkan. Akan tetapi karena ia diberi
buah sian-tho, maka terpaksa ia pun menerimanya sambil berkata, "Terima kasih!"
"Cepat bawa buah itu kembali, Cin Lan. Akan tetapi berhati-hatilah, karena banyak orang
kang-ouw yang juga ingin sekali memiliki buah sian-tho ini yang dapat menyembuhkan
segala macam pe-nyakit dalam. Dan sampaikan salam keluarga Siangkoan kepada suhumu,"
kata Nyonya Siangkoan dengan sikap yang manis budi. Akan tetapi Cin Lan tetap tidak dapat
melupakan betapa nyonya ini tadi dengan kejamnya telah membunuh dua orang yang hendak
memperebutkan buah sian-tho. Padahal, meliihat kepandaiannya yang jauh lebih tinggi,
nyonya itu dapat mengalahkan dua orang lawannya tanpa harus membunuh mereka.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 124
"Terima kasih, Bibi. Selamat tinggal!" katanya dan cepat ia berlari kembali ke perahunya
setelah memasukkan buah sian-tho itu ke dalam kantung bajunya.
Tukang perahu yang selalu khawatir dan ketakutan melihat perkelahian di Pulau Ular Emas
itu, merasa girang sekali melihat nona penyewa perahunya datang dalam keadaan selamat.
Begitu Cin Lan naik ke perahu, tanpa bicara lagi dia segera mendayung perahunya ke tengah
lalu memasang layar sehingga perahu meluncur cepat meninggalkan pulau itu. Akan tetapi
tlba-tiba Cin Lan berkata, "Nanti dulu, Paman. Kembali dulu!"
"Ada apakah, Nona?"
"Cepat kembalilah ke darat!" kata Cin Lan sambil memandang ke darat. la melihat ada sinarsinar
emas di tepi pantai berloncat-loncatan. Hal ini amat menarik hatinya karena ia teringat
bah-wa nama pulau itu adalah Pulau Ular Emas. 'Maka melihat ada sinar-sinar seperti emas
berloncatan di pantai, ia tertarik sekali dan menyuruh tukang perahu untuk kembali. Biarpun
bersungut-sungut, nelayan itu tidak berani memban-tah dan segera mendayung perahunya ke
tepi pantai!
Setelah dekat dengan sinar-sinar emas itu, hampir Cin Lan memekik girang dan kagum. la
melompat keluar dari dalam perahu dan mendekati tempat itu. Terda-pat pemandangan yang
menarik sekali. Ternyata yang berloncatan itu adalah ular-ular yang berwarna keemasan. Ada
belasan ekor banyaknya. Belasan ekor ular emas ini agaknya sedang mengeroyok seekor ular
putih yang melingkar di tengah-tengah. Gerakan ular-ular emas itu sungguh cekatan dan cepat
sekali. Mereka menyerang dari berbagai jurusan, akan tetapi dengan tenang ular putih yang
melingkar ini menggerakkan kepalanya cepat menyambar ke arah ular-ular itu. Sudah dua tiga
ekor ular emas yang tewas dengan leher hampir putus tergigit ular putih yang tubuhnya
sebesar lengan tangan dan panjangnya ada satu setengah meter. Sebaliknya, ular-ular emas itu
kecil hanya sebesar ibu jarinya dan juga panjangnya tidak lebih dari tiga putuh sentimeter.
Cin Lan adalah seorang gadis yang berwatak pendekar. Melihat seekor ular dikeroyok
demikian banyaknya ular emas g ia menjadi marah. la lalu menggerakkan tongkatnya
membantu ular putih. Akan tetapi ular-ular emas itu bergerak cepat sehingga pukulannya
dapat mereka elakkan. Akan tetapi Cin Lan menyerang terus dan akhirnya, ia dapat
membunuh beberapa efcor ular emas. Tiba-tiba la berteriak. Tanpa diketahuinya, seekor ular
emas meloncat ke arah kakinya dan menggigit. Gigitannya menembus celananya dan terasa
panas bukan main. Dan ketika ia hendak merenggut ular emas yang menggigit kakinya
ternyata ular emas itu sudah mati. Begitu menggigit terus mati, dan agaknya menumpahkan
seluruh racunnya ke dalam kakinya! la semakin marah dan mengamuk sehingga semua ular
emas terkena hantaman tongkatnya dan mati semua. Akan tetapi tiba-tiba ular putih itu
mematuknya dan menggigit kaki yang sama. la merasa seolah kakinya dimasuki es yang amat
dinginnya sehingga ia menggigil dan ketika ia melihat ular putih yang tadi dibantunya dan
yang kini menggigit kaki-nya juga telah mati lemas!
Cin Lan berdiri terhuyung. Dalam tubuhnya terjadi perang yang hebat anta-ra hawa yang amat
panas dengan hawa yang amat dingin. Akhirnya ia roboh pingsan di atas pasir.
Ketika Cin Lan siuman kembali, ter-nyata ia sudah rebah di atas perahu ne-layan itu. "Ah,
engkau sudah siuman, Nona. Sukurlah! Engkau membuat aku ketakutan setengah mati!" kata
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 125
tukang perahu itu. Dialah yang tadi melihat gadis itu roboh dan dia mengangkatnya setengah
menyeretnya ke atas perahunya dan melayarkan perahu itu meninggalkan Pulau Ular Emas.
Cin Lan yang membuka mata itu berkedip-kedip. la merasa tubuhnya sehat dan segar hanya
ada hawa yang tarik-menarik di dalam perutnya, kadang panas kadang dingin. la bangkit
duduk dan memandang kepida tukang perahu itu.
"Aku tadi pingsan, Paman?"
"Ya, kulihat Nona menggeletak pingsan di pantai dan banyak ular dl sekeliling Nona. Hlhh,
mengerlkan sekali'."
Cin Lan teringat dan meraba kakinya.
Bekas gigitan ular itu masih ada, hanya tidak lagi menimbulkan rasa nyeri Ia telah digigit
seekor ular emas dan seekor ular putih.
"Paman yang mengangkatku ke perahu ini?"
"Benar, Nona. Melihat engkau menggeletak pingsan, aku lalu berusaha sedapat mungkln
membawa Nona ke perahu ini, lalu cepat-cepat melayarkan perahunya karena aku takut lebih
lama lagi tinggal di pulau itu."
"Terima kasih atas pertolonganmu, Paman." Cin Lan bangkit berdiri, meng-gerakkan kaki
tangannya dan ia merasa betapa ada hawa yang amat kuat yang membuat tubuhnya terasa
ringan dan bertenaga dahsyat. Tentu saja la menjadl girang sekali. la tidak mati oleh gigitan
ular bahkan mendapat tenaga yang kuat.
la sama sekali tidak tahu apa artinya ini dan mengapa ia tidak mati malah mendapatkan tenaga
baru yang membuat tubuhnya terasa ringan. la lalu duduk kembali dan mengenangkan semua
peris-tiwa yang pernah terjadi. la meraba benda di situ dan diambilnya buah. itu, diamatamatinya.
Seperti buah biasa saja, tidak ada keanehannya. Akan tetapi ketika diciumnya, bau
buah itu harum dan agak keras menyengat hidungnya. la cepat menyimpannya kembali, kini
ia ma-sukkan ke balik bajunya di dada karena ia khawatir kalau-kalau akan ada orang yang
hendak merampasnya. Sementara itu, angin bertiup kencang. Layar terkembang sepenuhnya
dan perahu meluncur dengan amat cepatnya sehingga dapat diharapkan ia akan sampai di
pantai sebelum hari menjadi gelap.
Akhirnya perahu itu mendarat di pantai. Matahari telah condong ke barat akan tetapi cuaca
masih terang. Cin Lan merasa girang sekali. la berhasil mendapatkan sian-tho. Gurunya akan
tertolong. Setelah membantu tukang perahu itu menambatkan perahu yang diseret ke darat,
Cin Lan bersama nelayan itu lalu berjalan menuju ke rumah nelayan itu.
Akan tetapi tiba-tiba mereka dikepung oleh empat orang yang memandang bengis kepada Cin
Lan. Tukang perahu menjadi ketakutan dan dia menundukkan diri. Ternyata empat orang itu
membiar-kan saja tukang perahu itu keluar dari kepungan mereka karena yang mereka kepung
adalah Cin Lan.
"Hemm, mau apa kalian mengganggu-ku?" tanya Cin Lan, padahal tentu saja ia tahu bahwa
empat orang ini menghendaki buah sian-tho yang sudah disimpannya karena empat orang itu
bukan lain adalah mereka yang tadinya berada di Pulau Ular Emas, yaitu mereka yang tidak
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 126
berani melawan Nyonya Siangkoan dan mengundurkan diri. Klranya mereka masih berada di
pantai ini dan agaknya memang menghadangnya!
"Nona, kami minta bagian buah sian-tho itu!"
"Buah sian-tho apa?" Cin Lan pura-pura bertanya. "Buah sian-tho itu milik keluarga
Siangkoan."
Akan tetapi empat orang itu terse-nyum dan Cin Lan merasa tenang bahwa ia membawa
dayung milik nelayan itu. Tadi ketika ia turun dari perahu, ia mendapat kenyataan bahwa
tongkatnya telah ditinggalkan tukang perahu ketika menariknya ke atas perahu dan ia melihat
bahwa dayung itu pun dapat dipergunakan sebagai senjata, maka dayung itu dibawanya serta
sebagai pelindung diri.
"Nona, harap jangan pelit. Kita semua membutuhkan buah sian-tho itu dan tentu buah siantho
itu telah berada di tanganmu."
"Hemm, bagaimana engkau menduga begitu? Buah sian-tho itu milik keluarga Siangkoan."
"Tidak perlu membohongi kami. Kami mengenal siapa keluarga Siangkoan itu. Kalau Nona
tidak mendapatkan buah itu, berarti Nona terbunuh oleh Nyonya Siangkoan. Buktinya dua
orang kang-ouw yang lainnya juga tidak muncul, tentu mereka telah tewas di tangan nyonya
itu. Akan tetapi Nona dapat mendarat, tentu buah sian-tho itu telah berada di tanganmu."
"Harap Nona jangan pelit, kita bagi sama buah sian-tho itu menjadi lima potong dan kita
masing-masing mendapatkan sepotong," kata yang lain.
Cin Lan tidak dapat mengelak lagi, maka ia lalu melintangkan dayung di depan dadanya dan
membentak, "Aku tidak akan membaginya dengan siapa pun'"
Empat orang itu menjadi marah dan mencabut senjata masing-masing. Dua orang memegang
pedang dan dua orang lagi memegang golok. "Kalau Nona tidak mau membagi-bagi, kami
akan merampas dengan kekerasan!" kata yang memegang pedang dan bertubuh tinggi besar.
"Majulah, aku tidak takut!" kata Cin Lan.
Empat orang itu menggerakkan senjata mereka dan maju mengeroyok. Ketika Cin Lan
menggerakkan tongkat dayung-nya, ia sendiri terkejut. Gerakannya de-mikian kuat sehingga
dayung itu mengeluarkan angin dahsyat! Akan tetapi ia merasa dadanya agak sesak. Ketika ia
menerjang kepada empat orang itu, empat orang itu pun terkejut bukan main. Golok dan
pedang mereka terpental ham-pir terlepas dari tangan ketika bertemu dengan dayung! Dalam
beberapa gebrakan saja empat orang itu terdesak mundur karena gerakan dayung di tangan
Cin Lan memang luar biasa kuatnya. Dan Cin Lan juga bergerak amat cepat. Ketika kakinya
menendang, dua orang pengero-yok terkena tendangannya dan terlempar jauh! Juga dalam
tendangannya terkan-dung tenaga yang dahsyat bukan main.
Tentu saja para pengeroyok itu men-jadi terkejut dan merasa jerih. Tak mereka sangka bahwa
gadis itu memiliki kepandaian yang demikian hebatnya. Akan tetapi, selagi mereka hendak
melarikan diri, mereka melihat Cin Lan terhuyung-huyung! Ternyata ketika tadi sehabis
melakukan tendangan, Cin Lan merasa betapa tenaga yang tarik menarik di tubuhnya makin
menghebat dan kini terasa hawa sebentar panas sebentar dingln menyerangnya dan membuat
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 127
dadanya terasa sesak sukar bernapas. la terengah-engah dan terpaksa membungkuk sambil
menekan dadanya. Pada saat itu, empat orang pengeroyoknya maklum bahwa gadis itu
menderlta luka dalam yang agaknya hebat sekali, maka timbul kembali keberanian mereka.
Mereka lalu menyerang selagi gadis itu menyeringai kesakitan dan terengah-engah.
Akan tetapi pada saat yang amat gawat bagi Cin Lan itu, empat buah kerikil berturut-turut
menyambar ke arah tangan yang memegang golok dan pedang dan empat batang senjata itu
berkerontangan jatuh ke atas tanah. Empat orang itu terkejut bukan main karena tangan
mereka terasa nyeri sekali. Di situ tidak ada orang lain kecuali Si Tukang Perahu yang
menonton dengan wajah pucat. Maka mereka mengira bahwa gadis itu yang telah membuat
mereka kehilangan senjata dan mereka lalu memutar tubuh dan melarikan diri dari situ dengan
ketakutan.
Seorang pemuda muncul. Pemuda ini berusia sekitar sembilan belas tahun, berpakaian
sederhana dan kepalanya memakai sebuah caping lebar seperti caping yang dipakai para
petani. Wajah di balik caping itu tampan dan lembut., Pakaiannya juga sepertl pakaian petani
dan pemuda itu lalu menghampiri Cin Lan.
"Nona, engkau sakitkah?" tanya pemuda itu dengan suara lembut dan ramah.
Akan tetapi Cin Lan yang sudah mulai dapat mengatur pernapasannya yang tadi bergolak dan
terengah, memutar tubuh memandang kepadanya dengan curiga. "Siapa engkau? Mau apa
engkau?" la melintangkan dayungnya siap untuk menghantam pemuda itu yang dianggapnya
tentu ora.ng yang hendak merampas sian-tho pula. Pemuda itu mundur tiga langkah. Dia
kaget melihat sikap gadis itu, akan tetapi juga kagum melihat wajah yang jelita itu.
"Nona, aku seorang yang kebetulan lewat dan melihat Nona seperti yang sakit ..”.
”Aku tidak sakit! Dan jangan mendekat!" bentak pula Cin Lan dan kembah pemuda itu
mundur beberapa langkah dan menggeleng kepalanya.
"Nona, aku tidak berniat buruk...."
"Diam! Aku tidak membutuhkan bantuanmu," kata pula Cin Lan dan la lalu menoleh kepada
tukang perahu. ”Mari, Paman, kita pulang."
Tukang perahu itu tergopoh-gopoh melangkah pergi menuju ke rumahnya bersama Cin Lan,
diikuti pandang mata pemuda bercaping itu yang menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aneh...." kata pemuda itu. Pemuda itu bukan lain adalah Thian Lee. Seperti telah diceritakan
di bagian depan, Thian Lee secara kebetulan sekali beriemu dengan manusia salju Yeti yang
membawanya menemukan sebatang pedang dan dua buah kitab kuno. Dia mempelajari dua
buah kitab yang tulisannya memakai huruf kuno itu, dibantu oleh Tan Jeng Kun dan Kim-sim
Yok-sian yang menterjemahkan huruf-huruf itu kepadanya. Selama tiga tahun lebih dla
melatih diri dengan dua ilmu itu. Kitab yang pertama adalah ilmu meng-himpun tenaga sinkang
yang disebut Thian-te Sin-kang. Dengan melatih diri dengan ilmu ini, Thian Lee dapat
memiliki kekuatan sin-kang yang hebat sekali. Kemudian kitab ke dua adalah pelajaran ilmu
pedang Jit-goat Kiam-sut dan ilmu pedang ini dilatihnya dengan menggunakan pedang Jitgoat
Sin-klam. Ternyata bahwa ilmu pedang ini hebat bukan main. Bahkan kedua orang
gurunya itu pun menyatakan 'kekaguman mereka. Akan tetapi, biarpun dia sendiri seorang
ahli silat tingkat tinggi yang amat lihai Tang Jeng Kun tidak mau melatih diri dengan ilmu
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 128
silat atau ilmu sin-kang itu. Dia merasa dirinya sudah tua dan juga tidak berhak, karena
agaknya kerangka itu, yaitu su-kongnya, nneninggalkan ilmu-ilmu dan pedangnya kepada
Thian Lee sebagai ahli warisnya.
Demikianlah, setelah berlatih diri dengan tekun selama lebih dari tiga tahun, Thian Lee telah
menguasai ilmu-ilmunya dengan baik. Kim-sim Yok-sian telah lama meninggalkannya untuk
merantau seperti biasa dan dia dibimbing oleh guru silatnya, yaitu Tan Jeng Kun. Setelah
melihat murid ini menguasai ilmu-ilmunya dengan baik, Tan Jeng Kun lalu memanggilnya.
"Thian Lee, sekarang sudah tidak ada ilmu apa-apa lagi yang dapat kuajarkan kepadamu.
Engkau sudah menguasai ilmu yang hebat, dan sudah tiba saatnya engkau mengamalkan ilmuilmu
itu. Pergilah engkau merantau dan jadilah seorang pendekar yang baik. Akan tetapi
pesanku yang engkau harus taati, jangan menojolkan diri, jangan pamer kepandaian dan
jauhkan diri dari permusuhan sedapat mungkin. Ingat, sepandai-pandainya seorang manusia,
masih ada orang, lain yang lebih pandai lagi dan sehebat-hebatnya llmu, belum dapat
dikatakan sempurna. Yang Maha Kuat, Maha Kuasa dan Maha Sempurna hanyalah Tuhan.
Kalau engkau selalu menjaga sepak terjangmu tidak menyimpang dari kebenaran, engkau
tentu akan mendapat bimbingan dan perlindungan dari Tuhan dan kalau engkau sudah
dibimbing dan dilindungi Tuhan, siapakah yang akan dapat melawanmu?"
"Suhu, teecu tidak memiliki sanak keluarga lagi, tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini. Ke
manakah teecu harus pergi?" tanya Thian Lee dengan suara memelas. Dia menyadari
keadaannya dan mau tidak mau hatinya menjadi sedih kalau harus meninggalkan suhunya,
satu-satunya orang yang dekat dengannya setelah Kim-sim Yok-sian yang telah pergi
merantau lebih dulu.
Jilid 8________
“Thian Lee, kalau engkau bersikap baik dan menolong sesama, maka orang di seluruh dunia
ini adalah anak keluargamu! Sekarang ini kalau tidak salah, sudah tiba waktunya buah siantho
yang berada di Pulau Ular Emas masak. Kalau engkau bisa mendapatkan buah sian-tho
itu, sungguh besar manfaatnya. Buah itu dapat menyembuhkan segala macam luka dalam,
juga yang mengandung racun betapa hebat pun. Pergilah engkau ke Pulau Ular Emas di
Lautan Po-hai dan kalau mungkin, dapatkan buah sian-tho itu. Kalau engkau dapat
menyerahkan buah sian-tho kepadanya, tidak ada hadiah yang lebih indah bagi Tabib Dewa
itu kecuali buah itu. Akan tetapi ingat, kalau engkau harus berebutan dengan orang-orang
kang-ouw, jangan sampai engkau menanam permusuhan. Dan peringatanku yang paling
utama, jangan sekali-kali engkau membunuh orang dengan sengaja!"
"Teecu akan melaksanakan semua pesan Suhu."
"Dan kurasa, ayah atau ibumu tentu mempunyai keluarga. Engkau dapat melakukan
penyelidikan di tempat asal orang tuamu, kukira engkau tentu akan menemukan keluarga
ayahmu atau ibumu."
Demikianlah, setelah mendapat banyak nasihat dari gurunya, Thian Lee lalu meninggalkan
Pegunungan Himalaya di mana gurunya tinggal sebagai seorang pertapa dan melakukan
perjalanan ke timur menuju ke Lautan Pohai.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 129
Akan tetapi kedatangannya terlambat. Ketika tiba di pantai itu dia mendengar percakapan
antara Cin Lan dan empat orang pengepungnya. Dari perca-kapan itu tahulah dia bahwa siantho
telah didapatkan oleh gadis cantik jelita itu yang kini dikepung dan hendak dirampas oleh
empat orang kang-ouw yang kelihatannya bernapsu benar hendak merampas sian-tho. Dia
hanya menonton saja dari jauh. Ketika Cin Lan mengamuk dengan dayungnya, diam-diam
Thian Lee kagum bukan main. Gadis itu lihai sekali! Dan memiliki tenaga yang hebat. Akan
tetapi dia melihat pula betapa gadis itu terengah, seperti orang kesakitan dan melihat empat
orang itu yang tadinya sudah merasa jerih itu kini men-desak maju untuk menyerang gadis
yang sedang menderita kesakitan. Maka diam-diam dia cepat memungut empat buah kerikil
dan dengan kerikil itu dia me-nyambit ke arah tangan empat orang itu meruntuhkan senjata
mereka. Perbuatannya ini tidak ketahuan oleh siapa pun dan empat orang itu lalu melarikan
diri,
Demikianlah, Thian Lee lalu menghampiri Cln Lan untuk menolong karena dilihatnya gadis
itu seperti kesakitan, akan tetapi malah dihardik dan dicurigai. Dia memandang gadis itu pergi
bersama Si Nelayan.
Thlan Lee merasa tidak puas. Dia melihat sesuatu pada wajah gadis itu, sesuatu yang aneh,
seperti ada cahaya yang luar biasa pada wajah gadis itu. Dan melihat betapa gadis itu tadi
seperti menderita panas dingin, dia menduga bahwa gadis itu agaknya tentu menderita luka
dalam atau bahkan keracunan. Akan tetapi apa yang dapat dia lakukan kalau gadis itu
demikian angkuhnya, bahkan agaknya mencurigainya? Dia pun membatalkan niatnya pergi ke
Pulau Ular Emas seperti dipesankan suhunya. Bukankah buah sian-tho telah didapatkan oleh
gadis itu? Dan gadis i.tu agaknya luka parah, dan dia pun. dapat menduga bahwa buah siantho
itu diinginkan oleh banyak orang. Sangat boleh jadi keselamatan gadis itu terancam. Siapa
tahu masih akan datang banyak orang kang-ouw untuk berusaha merampas buah sian-tho itu
dari tangan si gadis yang menarik hatinya.
Karena mengandung kekhawatiran terhadap keselamatan gadis angkuh itu, diam-diam Thian
Lee lalu membayanginya. Setelah tahu di mana gadis itu menginap, dia lalu menginap di
rumah yang berdekatan agar dia dapat diam-diam menjaga keselamatan gadis itu kalau-kalau
ada orang yang hendak rnenyerangnya. Dia sendiri merasa heran mengapa dia begitu
mengkhawatirkan gadis yang sama sekali tidak pernah dikenalnya, bahkan gadis yang
bersikap angkuh kepadanya.
Keahgkuhan sikap Cin Lan itu tidaklah aneh. Sejak kecil ia hidup sebagai putera pangeran
yang dihormati oleh semua orang. Lingkungan ini sedikit ba-nyak membentuk dirinya
memiliki keang-kuhan. Kedudukan atau harta benda memang besar sekali pengaruhnya
terhadap sikap seseorang. Orang yang berkeduduk-an tinggi atau yang berharta banyak
menganggap dirinya orang yang penting, atau setidaknya memiUki kelebihan dibandingkan
orang lain, apalagi dibanding-kan orang kebanyakan, seperti misalnya kaum petani yang
mereka anggap bodoh dan miskin. Itulah sebabnya ketika didekati seorang pemuda yang
berpakaian petani, tentu saja Cin Lan bersikap acuh dan angkuh. Dan bahkan ia mencurigai
pemuda itu yang dianggapnya hendak menginginkan pula buah sian-tho yang telah
dimilikinya.
Setelah tiba di rumah nelayan itu, Cin Lan girang melihat kudanya terawat dengan baik. la
terpaksa bermalam di rumah nelayan itu karena maklum bahwa kalau ia melakukan
perjalanan malam, amat berbahaya. Bukan saja berbahaya karena perjalanan dilakukan dalam
cuaca gelap, akan tetapi juga siapa tahu orang-orang kang-ouw itu akan menghadang
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 130
perjalanannya. la harus berhati-hati se-kali mulai sekarang, menjaga sian-tho itu agar jangan
sampai dirampas orang. Diam-diam ia merasa heran mengapa empat orang itu tadi tidak jadi
menye-rangnya, bahkan melepaskan senjata me-reka dan melarikan diri. Padahal ketika itu ia
sedang menderita karena hawa panas dan dingin yang mengamuk dalam dirinya. Malam ini ia
pergunakan untuk beristirahat, dan sudah beristirahat, hawa yang bertentangan di dalam perut
nya itu pun mereda dan tidak mengamuk lagi.
Maka keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cin Lan sudah berpamit kepada ne-layan itu setelah
membayar sewa perahu bahkan memberi lebih dari yang dijanjikan. Dengan cepat ia
menunggang kuda putihnya meninggalkan tempat itu menuju ke barat.
la sama sekali tidak tahu bahwa ada bayangan yang mengikutinya dengan ilmu berlari cepat
yang luar biasa. Bayangan itu tidak dapat tertinggal oleh larinya kuda putihnya. Demikian
cepat bayangan itu berlari sehingga yang nampak hanya bayangan berkelebat saja. Bayangan
itu bukan lain adalah Thian Lee! Pemuda itu setelah menguasai Thian-te Sin-kang dapat
menggunakan tenaga saktinya untuk berlari cepat bukan main. Gurunya, Tan Jeng Kun adalah
seorang ahli berlari cepat dan memiliki gin-kang yang hebat. Setelah mengajarkan gin-kang
kepada Thian Lee, kemudian Thian Lee menguasai Thian-te Sin-kang, gin-kang muridnya ini
bahkan mengejar dan melampaui tingkat gurunya!
Setelah melewati sebuah bukit, ketika menuruni lereng bukit itu, tiba-tiba muncul dua orang
laki-laki yang bersenjata ruyung dan golok menghadang perjalanan Cin Lan. Gadis itu
terpaksa meloncat dari atas kudanya karena ia khawatir kalau dua orang itu menyerang
kudanya, kuda itu bisa celaka. Setelah meloncat turun dan membiarkan kudanya lepas, ia lalu
menghadapl dua orang itu sambil melintangkan tongkatnya di depan dada. Ia memang sudah
siap siaga dan memba-wa tongkat dari rumah nelayan itu, tong-kat dari kayu yang amat kuat.
"Kalian menghadang perjalananku ada .maksud apakah?" bentaknya dengan suara keren.
Dua orang itu bertubuh tinggi besar dan nampaknya gagah sekali. Yang seorang berkepala
botak dan kuncirnya panjang besar dilingkarkan ke lehernya. Dia tertawa dan berkata, "Nona,
sebetulnya kami berdua rnerasa malu untuk mengganggu seorang nona muda seperti engkau.
Karena itu, biarlah kami melepaskan engkau lewat asal engkau rnenyerahkan buah sian-tho
yang kaubawa kepadaku."
"Benar, Nona. Sebaiknya kita berdamai saja. Tidak ada gunanya engkau melawan Bu-tek
Siang-liong (Sepasang Naga Tanpa Tanding) dan kami pun segan mempergunakan kekerasan
terhadap seorang gadis remaja," kata orang ke dua yang matanya lebar hidungnya pesek.
Cin Lan tidak ingin banyak cakap lagi, "Tidak ada sian-tho untuk kalian dan kalau kalian
hendak menggunakan kekerasan, aku pun tidak takut!" kata Cin Lan sambil melintangkan
tongkatnya memasang kuda-kuda.
"Ha-ha-ha, kami mendengar engkau memang lihai. Akan tetapi jangan harap akan dapat
menang menandingi kami. Sekali lagi, serahkan sian-tho kepada kami kalau engkau ingin
selamat!" kata Si Botak.
"Benar, Nona. Kami membutuhkan se-kali karena seorang paman kami mende-rita sakit, perlu
obat itu!" kata Si Hi-dung Pesek. "Biarlah kami mau menukar-nya dengan apa saja untuk
sian-tho itu, Nona."
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 131
Hemm, mereka bukan sembarangan perampok, melainkan membutuhkan sian-tho untuk obat
orang sakit, "Enak saja," kata Cin Lan. "Apa kaukira hanya pa-manmu saja yang sakit? Kalau
aku me-miliki sian-tho itu pun untuk mengobati orang sakit, maka tidak mungkin kuserahkan
kepadamu."
"Kalau begitu, kami terpaksa akan menggunakan kekerasan," kata Si Botak yang sudah
menggerakkan ruyungnya untuk menyerang. Akan tetapi dengan gerakan yang gesit sekali
Cin Lan dapat mengelak. Si Hidung Pesek juga menggerakkan goloknya membacok.
"Tranggg ...!" Golok itu terpental oleh tangkisan tongkat di tangan Cin Lan dan mulailah Cin
Lan memutar tongkatnya memainkan Hok-mo-tung-hoat. Tenaga dari dalam perutnya tibatiba
bangkit"I dan menjalar ke seluruh tubuh sehingga gerakannya menjadi amat kuat dan
cepat.
Dua orang itu terkejut bukan main. Mereka adalah dua orang kang-ouw yang tinggi ilmu
kepandaiannya dan keduanya, memiliki tenaga besar. Akan tetapi menghadapi gadis remaja
itu, mereka bukan saja kalah cepat, akan tetapi juga kalah kuat tenaganya! Hampir mereka
tidak dapat percaya dan Si Botak menggerakkan ruyungnya sepenuh tenaga menghantam ke
arah kepala Cin Lan. Gadis itu menerima hantaman itu dengan tongkatnya.
"Takkk!" Ruyung terpental dan sekali Cin Lan menggerakkan kakinya, Si Botak itu
terjengkang roboh. Si Hidung Pesek menyambar dengan goloknya. Cin Lan mengelak dan
begitu tongkatnya menyambar dengan gerakan membalik, pundak Si Hidung Pesek dihantam
tongkat dan dia pun terpelanting roboh. Kedua orang itu merangkak bangun dan segera
melarikan diri. Cin Lan tidak mengejar karena tiba-tiba saja ia merasa kepalanya pening
bukan main, dadanya sesak seperti kemarin ketika menghadapi pengeroyokan empat orang
itu.
Melihat dua orang lawannya sudah melarikan diri, Cin Lan hendak melompat ke atas
punggung kudanya, akan tetapi tiba-tiba ia terguling. Tubuhnya diserang hawa panas dan
dingin bergantian dan ia pun tidak kuat bertahan lagi dan roboh pingsan di dekat kudanya.
Bayangan yang sejak tadi membayanginya, yaitu Thian Lee, melihat ini semua dan segera dia
lari menghamplri. Diperiksanya nadi pergelangan tangan gadis itu dan dia terkejut bukan
main. Ada hawa yang amat kuat bergerak dalam tubuh gadis itu, hawa panas dan hawa dingin
yang luar biasa kuatnya, seolah kedua hawa itu saling berebut menguasai tubuh si gadis itu,
Thian Lee menduga bahwa gadis ini telah mempelajari ilmu sin-kang yang hebat akan tetapi
saiah latih&n agaknya. Maka, dia lalu mengulurkan kedua tangan dan menempelkan di bagian
perut gadis itu. Sambil menyalurkan sin-karignya dia membantu gadis itu agar hawa yang
mengamuk di tubuhnya itu dapat dikendalikan dan di-kumpulkan ke dalam tan-tian.
Cin Lan siuman kembali. Begitu membuka mata melihat seorang pemuda bercaping
menempelkan kedua tangannya ke perutnya, ia terkejut selengah mati, mengira bahwa
pemuda itu hendak berbuat kurang ajar kepadanya.
"Jahanam....!" Teriaknya dan ia meloncat bangun, lalu menyerang Thian Lee kalang-kabut.
Thian Lee sudah siap siaga dan mengelak ke sana-sini, sama sekali tidak menangkis. Setelah
menyerang beberapa jurus, tiba-tiba dua hawa yang bertentangan itu mengamuk demikian
hebatnya dalam tubuh Cin Lan sehingga ia terguling lagi.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 132
"Nona, harap jangan salah mengerti. Aku hanya ingin menolongmu. Mungkin engkau
keracunan. Ada dua unsur hawa panas dan dingin menguasai tubuhmu. Mungkin Nona salah
latihan. Dua tenaga yang saling berlawanan itu tidak boleh menguasai dirimu pada saat yang
sama.
Ketika engkau menyerang, engkau mengerahkan tenaga dan kedua tenaga itu bangkit
bersama, lalu mengamuk berbareng sehingga membuat engkau roboh sendiri."
Cin Lan sadar bahwa ia salah sangka. "Kau... kau... siapakah? Kau pandai mengobati?"
"Aku hanya orang yang kebetulan lewat dan melihat keadaanmu, Nona. Aku pernah
mempelajari ilmu pengobatan sedikit dan kalau Nona suka menurut nasihatku, mungkin
engkau dapat menguasai dua tenaga yang berlawanan itu. Nah, duduklah bersila, Nona,
seperti ini!" Thian Lee lalu duduk berslla di depan gadis itu. Cin Lan yang tahu benar bahwa
keadaannya ini agaknya karena gigitan dua ekor ular emas dan ular putih, maka ia pun
percaya akan ucapan pemuda itu dan ia pun menurut, lalu duduk bersila menirukan pemuda
itu"
"Bernapaslah yang dalam, menggunakan pernapasan perut, tarik napas sampai ke tan-tian,
tahan sebentar dan hembus-kan napas melalui mulut. Sama sekali jangan mengerahkan
tenaga, biarkan te-naga yang bergolak itu tenang dan masuk kembali ke tan-tian bersama
pernapasan. Nah, begitu baik. Sekarang bernapaslah terus seperti itu, sampai keadaanmu
tenang kembali."
Cin Lan menuruti nasihat itu dan benar saja. la merasa peningnya hilang dan dua tenaga yang
mengandung hawa panas dan dingin itu tidak lagi menga-muk biarpun masih terasa tarikmenarik
di dalam bawah pusar.
"Engkau harus menguasai dUa tenaga itu dan menyalurkan salah satu saja pada suatu saat,
jangan keduanya. Akan tetapi hal ini membutuhkari latihan yang tekun, Nona."
Cin Lan mulai tertarik dan berterima kasih. "Sobat, engkau ternyata seorang yang baik sekali.
Engkau telah menolongku dan aku berterima kasih kepadamu. Bolehkah aku mengetahui
namamu?"
"Aku bernama Song Thian Lee," jawab Thian Lee singkat.
"Dan aku she Tang, bernama Cin Lan," gadis itu memperkenalkan diri. Nama yang sama
sekali asing bagi Thian Lee.
"Nona Tang, mulai sekarang engkau harus menjaga dirimu baik-baik. Dan sedapat mungkin
jagalah jangan sampai engkau berkelahi karena kalau engkau salah menggunakan dua tenaga
itu berbareng, engkau akan mencelakai dirimu sendiri."
"Terima kasih, Sobat. Aku akan berhati-hati menjaga diri. Nah, selamat tinggal, aku harus
segera pulang karena guruku sudah menanti. Dia sedang sakit keras!"
Tanpa keterangan lain tahulah kini Thian Lee mengapa nona itu mati-matian mempertahankan
sian-tho, kiranya untuk mengobati gurunya. Seorang gadis yang berbakti kepada gurunya!
Timbul rasa kagum dan tenangnya.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 133
"Selamat jalan, Nona. Semoga gurumu cepat sembuh," katanya dan dia melihat betapa gadis
itu dengan hati-hati tanpa pengerahan tenaga menaiki kembali kudanya sambil membawa
tongkat dan bun-talan pakaiannya. Kuda itu lalu dibalapkan dan Thian Lee lalu diam-diam
mem-bayangi dari jauh. Dia masih mengkhawa-tirkan kalau-kalau gadis itu akan diha-dang
orang kang-ouw lagi di tengah perjalanan. Maka dia harus inembayangi sampai akhirnya Cin
Lan tiba di kuil Kwan-im-bio di luar kota raja. Melihat gadis itu sudah tiba di tempat tujuan,
Thian Lee lalu meninggalkannya dan dia segera memasuki kota raja. Memang dia sendirl
hendak pergi ke kota raja untuk bertanya-tanya kepada orang di sana di mana letaknya dusun
Tung-sin-bun, tempat tinggal mendiang ayah dan ibunya ketika dia masih kecil, di mana
ayahnya dikabarkan tewas dikeroyok pasukan karena dianggap pemberontak.
* * *
Cin Lan memasuki kuil, disambut dengan gembira sekali oleh Tiong Hwi Nikouw ketika
mendengar bahwa gadis itu telah berhasil memperoleh buah sian-tho, Cin Lan segera
memasuki kamar di mana Pek I Lokai beristirahat dan men-dapatkan gurunya tengah duduk
bersila dengan napas yang lemah.
Pek I Lokai membuka matanya ketika gadis itu menyentuh tangannya dan dia tersenyum.
"Engkau sudah pulang, Cin Lan?"
"Benar, Suhu dan teecu telah berhasil mendapatkan buah sian-tho, sekarang sedang direbus
oleh Tiong Hwi Nikouw."
"Hemm, engkau seorang murid yang baik dan berbakti, Cin Lan. Ayahmu Sang Pangeran
sudah kebingungan dan beberapa kali bertanya ke kuil ini."
"Sebetulnya kebetulan saja teecu mendapatkan buah sian-tho, Suhu. Buah itu bahkan
pemberian orang karena dija-dikan perebutan dan teecu tidak mungkin bisa mendapatkan
kalau tidak diberi orang itu. Di sana banyak sekali orang kang-ouw yang hendak
memperebutkannya, akan tetapi semua takut dan kalah terhadap orang ini. la bahkan
rnengirim salam untuk Suhu."
"Siapakah orang itu, Cin Lan?"
"la adalah Nyonya Siangkoan. Ketika mendengar bahwa buah sian-tho itu teecu cari untuk
mengobati Suhu, ia lalu memberikan buah itu kepadaku dan mengirim salam untuk Suhu."
"Ah, Hui Cu....!" Pek I Lokai menghela napas.
Pada saat itu, Tiong Hwi Nikouw masuk membawa periuk obat dan menuangkan air rebusan
sian-tho itu ke dalam mangkok dan menyerahkannya kepada Pek I Lokai. Pengemis tua itu
lalu meminumnya sampai habis.
Ternyata obat itu memang manjur bukan main. Setelah direbus sampai tiga kali dan airnya
diminumkan kepada Pek I Lokai, kakek itu segera sembuh kembali. Pulih kembali
kesehatannya dan setelah sehat benar, barulah dia memanggil Cm Lan dan disuruhnya murid
itu menceritakan pengalamannya.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 134
Cin Lan menceritakan semua pengalamannya, bahkan menceritakan pula tentang ia digigit
ular emas dan ular putih yang menimbulkan tenaga panas dan dingin di dalam tubuhnya.
"Ah, digigit ular emas? Tak salah lagi, ular putih itu tentulah ular salju! Ular emas itu yang
racunnya mendatangkan hawa panas di tubuhmu, sedangkan ular salju mendatangkan racun
hawa dingin. Tentu kini tubuhmu penuh dengan kedua hawa itu. Engkau beruntung sekali Cin
Lan karena kalau engkau hanya digigit seekor saja dari mereka, engkau tentu sudah mati!
Agaknya racun kedua ekor ular itu bertemu dalam badanmu, bahkan saling memunahkan dan
engkau selamat, bahkan menerima hawa yang amat kuat, akan tetapi yang saling bertentangan.
Coba kaukerahkan hawa itu pada tanganku."
Pek I Lokai lalu menjulurkan kedua tangannya ke depan, disambut oleh kedua tangan Cin
Lan. Lalu gadis itu mengerahkan sin-kangnya dan seketika dua hawa yang berlawanan itu
muncf dan mengamuk membuat Pek I Lokai terpen-tal ke belakang!
"Siancai...! Engkau beruntung sekali, Cin Lan!" katanya, akan tetapi sementara itu Cin Lan
sudah memegangi kepalanya yahg menjadi pening dan dadanya yang sesak. la cepat bersila
dan mengatur pernapasan seperti yang diajarkan oleh Thian Lee sehingga keadaannya pulih
kembali. Terkejut Pek I Lokai melihat ini.
"Dua tenaga itu berebutan untuk menguasai dirimu. Dari mana engkau dapat melatih diri
mengatur mereka agar tenang kembali?"
Cin Lan menceritakan pertemuannya dengan Thian Lee dan Pek I Lokai berseru kagum,
"Pemuda itu tentulah seorang ahli pengobatan yang pandai sekali! Sekarang engkau akan
kuben pelajaran untuk menguasai dua tenaga yang berlawanan itu, Cin Lan. Tenaga yang
panas itu boleh disebut. Ang-coa-kang dan yang dingin itU Pek-coa-kang dan kalau engkau
sudah dapat memisahkan itu, mengguna-kannya secara terpisah, engkau akan memiliki
kekuatan sin-kang yang hebat sekali."
"Baik, Suhu. Akan tetapi sekarang teecu harus pulang dulu ke kota raja agar ayah dan Ibu
tidak merasa khawatir."
Gadis itu lalu pulang, disambut dengan girang oleh Pangeran Tang Gi Su dan isterinya, dan
juga menerima teguran karena selama beberapa hari tidak pu-lang. Cin Lan minta maaf dan
menceritakan bahwa selama beberapa hari itu ia mencarikan obat untuk gurunya yang terancam
maut karena luka dalam.
Demikianlah, mulai hari itu Cin Lan berlatih sin-kang di bawah bimbingan dan petunjuk Pek I
Lokai sehingga setelah lewat dua bulan, ia mampu menguasai dan mengendalikan dua tenaga
berhawa panas dan dingin yang berada dalam tubuhnya.
Akan tetapi, ia pun merasa bersedih karena setelah latihannya selesai, Pek I Lokai berpamit
untuk melanjutkan perantauannya meninggalkan Kwan-im-blo.
"Tidak mungkin aku tinggal selamanya di sini, Cin Lan. Kalau selama ini aku berada di sini
hanya karena aku harus mengajarmu sampai tamat. Sekarang, engkau sudah mempelajari
Hok-mo-tung-hoat dengan baik. Aku sudah nnerasa puas, apalagi engkau memiliki Pek-coakang
dan Ang-coa-kang. Aku tidak khawatir lagi karena engkau sudah mampu menjaga diri
sendiri dengan baik. Nah, selamat tinggal, muridku. Jangan lupa semua nasihat dan pesanku.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 135
Biarpun eng-kau puteri pangeran, jadilah seorang pendekar wanita yang baik dan lindungi
kepentingan orang-orang lemah yang tertindas."
Cin Lan menangis ditinggal suhunya. la merasa sayang sekali kepada Pek I Lokai yang
selama ini menjadi seorang guru yang baik dan yang menyayangnya. Kasih sayang dapat
menimbulkan ikatan batin dan kalau datang masa perpisahan, maka ikatan itu akan membuat
batin tersiksa dan merasa sakit. Ikatan seperti! ini timbul dari pengaruh si. aku yang ingin
senang sendiri. Kalau yang disayang pergi, maka tirnbullah rasa kecewa dan iba kepada
dirinya sendiri yang direnggut dari kesenangannya, maka lalu menderita. Dapatkah kita
mencinta orang lain dengan bebas dari ikatan? Hanya mungkin kalau si aku yang
mementingkan diri sendiri tidak berkuasa atas batin kita. Kalau kita benar-beriar menyayang,
tentu yang dipentingkan dia yang kita sayang, bukan aku yang menyayang. Kalau sudah
begitu, maka penderitaan tidak akan muncul.
Cin Lan kini kembali ke dalam istana ayahnya dan jarang keluar dari rumah, kecuali kalau
pergi berburu binatang seperti biasa. la tekun melatih diri dengan ilmu-ilmu yang pernah
dipelajarinya dari Pek I Lokai dan menyadari sepenuhnya bahwa ia telah memiliki tenaga sinkang
yang luar biasa hebatnya.
* * *
Pada waktu itu, di dunia persilatan terdapat empat orang datuk besar yang dianggap sebagai
orang-orang terpandai yang mewakili daerah masing-masing. Yang berkuasa di timur, di
sepanjang pantai bahkan di lautan adalah Si Raja Angin Timur Siangkoan Bhok. Di barat
terdapat Thian-tok (Racun Dunia) Gu Kiat Seng. Di utara terdapat seorang datuk besar bangsa
Mancu berjuluk Pak-thian-ong (Raja Dunia Utara) Durhai. Adapun di selatan terdapat Thiante
Mo-ong (Raja Iblis Langit Bumi) Koan Ek. Empat orang datuk besar ini dianggap sebagai
para datuk yang paling tinggi tingkatnya, walaupun masih banyak para datuk besar lainnya,
namun nama mereka tidaklah sebesar yang empat orang ini.
Empat orang datuk besar. ini, sesuai dengan tingkat masing-masing, tidak mau saling
mengalah dan setiap lima tahun sekali i'nereka mengadakan pertemuan di suatu tempat untuk
menentukan siapa di antara mereka yang paling lihai. Dengan cara ini mereka selalu
menggembleng diri dan menggali ilmu baru untuk me-menangkan pertandingan yang
diadakan lima tahun sekali itu. Pada lima tahun terakhir, yang keluar sebagai pemenang
adalah Pak-thian-ong Dorhai, walaupun hanya sedikit selisihnya dari yang lain. Mereka telah
sepakat untuk mengadakan pertemuan di Thai-san pada hars yang ditentukan.
Pada waktu itu, Thai-san merupakan pegunungan yang gawat dan jarang ada orang berani
mendaki gunung itu. Hal ini dikarenakan gunung itu dihuni dua orang datuk yang terkenal
pandai dan juga ke-ras hati bersama para anak buahnya. Datuk-datuk itu bukan lain adalah
Sin-ciang Mo-kai (Pengemis Iblis Tangan Sakti) dan sahabatnya, Hek-bin Mo-ko (Iblis Muka
Hitam) yang pernah kita kenal ketika Hek-bin Mo-ko menantang Tan Jeng Kun beberapa
tahun yang lalu. Sin-ciang Mo-kai pernah dikalahkan oleh Tan Jeng Kun dan sahabatnya,
Hek-bin Mo-ko hendak menuntut balas namun dia pun dikalahkan oleh Tan Jeng Kun. Kini,
kedua orang datuk itu tinggal di Thai-san bersama kurang lebih lima puluh orang anak buah
mereka.
Pada hari yang ditentukan itu, seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh lima tahun,
tinggi besar bermuka a merah, nampak gagah sekali, memegang sebatang dayung baja yang
dipergunakan sebagai tongkat, mendaki Bukit Thai-san seorang diri. Langkahnya lebar dan
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 136
pendakian yang berat itu terasa nngan saja baginya, langkahnya tegap seolah-olah jalan itu
tidak mendaki. Dia mendaki ke arah puncak gunung melalui timur.
Selagi dia mendaki dengan langkah tegap dan tenang, tiba-tiba terdengar gerengan yang
menggetarkan gunung dan di depannya telah berdiri seekor biruang yang besarnya melebihi
orang tinggi be-sar itu. Biruang itu besar dan berat sekali, berdiri di atas kaki belakangnya dan
kedua kaki depan bergerak-gerak seperti bertepuk tangan sambil menggereng-gereng.
Orang yang memegang dayung itu berhenti melangkah dan memandang bi-natang itu dengan
sikap tenang, lalu bicara kepada diri sendiri. "Hemm, pernah aku makan masakan kaki
biruang dan enak sekali, akan tetapi entah bagaimana rasanya daging biruang yang
dipanggang. Jangan-jangan alot dan keras. Pergilah, biruang, aku tidak ingin makan
dagingmu!"
Akan tetapi biruang itu mana mengerti omongan manusia. Dia bahkan nampak marah.
Binatang-binatang lain yang mendengar gerengan ini saja sudah bersembunyi ketakutan dan
di kejauhan terdengar auman harlmau yang agaknya seperti- hendak menyambut gerengan
tan-tangan ini. Hanya harimau yang berani melawan biruang hitam ini, yang kuku kaki
depannya panjang-panjang dan ketika menggereng, bibirnya tersingkap memperlihatkan
taring yang tajam meruncing.
Namun, pria bermuka merah itu sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan tersenyum
mengejek dan berkata kepada dirinya sendiri, "Agaknya biruang ini sudah bosan hidup!"
Biruang itu lalu menyerang dengan terkaman dahsyat ke arah Si Muka Me-rah. Akan tetapi
dengan mudahnya orang itu melangkah ke samping dan ketika tubrukan biruang itu luput, dia
sudah menggerakkan dayungnya ke arah bela-kang kepala biruang itu.
"Prakkk!" Biruang itu tersungkur dengan kepala pecah dan tidak bergerak lagi.
"Ha-ha-ha-ha!" pria itu tertawa ter-bahak dan dia kelihatan gagah perkasa sekali. Tak lama
kemudian dia sudah membuat api unggun dan mengambll sebuah kaki belakang biruang itu
dan memanggang daging paha. Ternyata dia membawa pula garam dan bumbu dan tak lama
kemudian tercium bau sedap daging panggang yang dibumbui bubukan bawang kering, garam
dan merica.
"Hemm, enak juga'" kata orang itu sambil menggigiti daging paha yang masih mengepulkan
uap panas itu. Perutnya memang sudah lapar maka tentu saja daging biruang itu disambut
dengan girang. Akan tetapi baru enak-enaknya dia makan, tiba-tiba muncul enam orang tinggi
besar yang bersenjata golok. Mereka ini adalah anak buah Hek-bin Mo-ko. Tadi enam orang
itu mendengar ge-rengan biruang dan cepat datang ke situ untuk menangkap biruang itu.
Siapa kira .setelah tiba di situ, mereka melihat ada orang sedang makan daging paha biruang
panggang! Mereka menjadi marah karena mereka menganggap bahwa semua binatang yang
berada di Pegunungan Thai-san adalah hak milik mereka.
"Bangsat dari mana berani berburu binatang di sini tanpa seijin kami!" bentak seorang dari
mereka.
Orang bermuka merah itu bukanlah ofang biasa. Dia adalah seorang di antara empat datuk
besar yang hendak mengadakan pertemuan di puncak Thai-san dan dia itu bukan lain adalah
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 137
Majikan Pulau Naga yang bernama Siangkoan Bhok yang berjuluk Raja Angin Timur!
Mendengar dirinya dimaki, tentu saja Siangkoan Bhok merasa tidak senang. Kalau
menurutkan kebiasaannya, sekali orang memakinya, tentu orang itu menebusnya dengan
nyawanya! Akan tetapi dia sedang makan, maka katanya tak sabar,
"Aku sedang makan, tidak bernafsu membunuh. Pergilah kalian jauh-jauh dari sini!"
Akan tetapi enam orang itu tentu saja tidak takut dan mereka sudah mengepung sambil
mengamang-amangkan golok mereka. "Menyerahlah engkau untuk kuseret ke depan ketua
kami!" kata mereka mengancam.
Bangkit amarah di hati Siangkoan Bhok. Pandang matanya mulai mencorong dan makannya
berhenti. Dayungnya masih disandarkan kepada batang pohon dan dia kini memegang paha
biruang yang tinggal sedikit dagingnya menempel pada tulang besar itu. Dia bangkit berdiri
perlahan-lahan dan berkata,
"Aku menyerah kepada kalian? Suruh datang ke sini ketuamu! Dia harus me-nyerah
kepadaku!"
Enam orang itu menjadi semakin ma-rah dan serentak mereka maju menye-rang dengan golok
mereka. Akan tetapi, Siangkoan Bhok berkelebat dengan tulang kaki biruang di tangannya
dan terdengar bunyi keras enam kali dan orang itu terlukai. Lima orang yang terkena hantaman
tulang pada kepalanya seketika tewas yang seorang lagi kebetulan hanya terkena
pundaknya dan dia dapat melari-kan diri pontang-panting.
Tak lama kemudian orang yang berlari itu datang lagi dengan dua belas orang kawannya dan
mereka segera maju me-ngeroyok Siangkoan Bhok. Akan tetapi datuk ini tetap
mempergunakan tulang kaki blruang mengannuk dan dalam waktu sing kat saja, sepuluh
orang roboh dengan kepala remuk sedangkan tiga orang lainnya melarikan diri tunggang
langgang! Dapat dibayangkan hebatnya kepandaian Raja Angin Timur ini. Hanya dengan
tulang paha biruang, dalam beberapa gebrakan saja dia telah menewaskan lima belas orang
pengeroyok yang sesungguhnya bukanlah orang-orang lemah. Padahal dia sama sekali tidak
menggunakan sen-jatanya, dayung baja yang masih disan-darkan di batang pohon!
Siangkoan Bhok melernpar tulang.paha itu dan meludah. Selera makannya sudah lenyap dan
dia bersungut-sungut. "Orang-orang konyol yang sudah bosao hidup. Huh!" Dia menyambar
dayungnya, lalu melanjutkan perjalanannya mendaki puncak.
Sementara itu, dari arah yang berlawanan, yaitu dari barat seorang pendek gendut yang
membawa kebutan kebutan pendeta, juga mendaki lereng Pegunungan Thai-san. Orang itu
bertubuh pendek gendut seperti bulat, akan tetapi ketika dia mendaki lereng, tubuhnya se-perti
menggelundung naik. Kedua kaki yang pendek itu ternyata dapat berlari cepat. Pakaiannya
seperti pertapa dan semua anggauta tubuh orang ini seolah bulat. Kepalanya bulat, matanya,
hidung-nya, mulutnya. Melihat pakaiannya yang longgar dan tubuhnya yang bulat itu sungguh
dia mirip seorang kanak-kanak yang besar. Akan tetapi wajahnya jelas membayangkan
usianya yang sedikitnya tentu ada lima puluh tahun. Rambutnya juga sudah bercampur uban
dan rambut itu disembunyikan di dalam sebuah topi' batok.
Tentu tak seorang pun akan mengira bahwa Si Gendut Pendek ini adalah seorang datuk besar
yang namanya terkenal di dunia kang-ouw. Julukannya adalah Thian-tok (Racun Dunia) dan
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 138
namanya Gu Kiat Seng, datuk besar dari dunia barat. Datuk ini puluhan tahun menjelajah
daerah Sin-kiang dan Tibet dan namanya amat terkenal sebagai datuk yang jaranfi
menemukan tandingan.
Selagi Thian-tok berjalan seperti menggeli.nding naik, tiba-tiba bermun-culan dua puluh
orang tinggi besar yang bengis. Mereka itu sebagian dari anak buah Hek-bin Mo-ko yang
sedang berburu binatang. Melihat seorang asing mendaki bukit, mereka segera
menghadangnya dan seorang di antara mereka membentak, "Heii, tak seorang pun boleh
mer'asuki wilayah kami tanpa ijin. Engkau srang cebol cepat turun lagi dan menyingkir dari
sini atau cepat menyerah untuk kami bawa menghadap pimpinan kami!"
"Heh-heh-heh, mana ada orang memi-liki gunung sebesar ini? Sepanjang yang kudengar,
Gunung Thai-san ini tidak ada orang yang memilikinya, kecuali mungkin saja pemerintah.
Sudahlah, pergi dari hadapanku, jangan membuat lelucon!" kata Racun Dunia Gu Kiat Seng,
sikapnya acuh saja.
"Kami tidak bergurau, cepat pergi atau menyerah, atau kami akan rneng-gunakan kekerasan!"
bentak seorang lain sambil menodongkan goloknya ke arah kepala yang bulat tertutup topi
batok itu.
"Kalian mencari mati? Ingat, hari ini aku tidak bernafsu untuk membunuh orang. Pergilah!"
kata pula Thian-tok.
Tentu saja ancaman seorang yang cebol itu tidak berkesan, bahkan dua puluh orang itu
tertawa bergelak dan menganggap Si Cebol itu gila. . "Bacok saja lengannya agar menjadi
lebih pendek, kawan!" kata seorang dan orang yang menodongkan goloknya tadi benar-benar
membacok ke arah tangan kanan yang memegang kebutan itu. Akan tetapi, tiba-tiba kebutan
itu menyambar dan golok itu telah dilibat dan dirampas, kemudian secepat kilat kebutan itu
digerakkan, golok rampasan meluncur ke depan dan tahu-tahu lengan kanan Si Pemilik Golok
telah ditabas buntung! Dia menjerit kesakitan dan semua orang menjadi terkejut, juga marah
melihat lengan kawannya terbacok buntung. Mereka itu lalu mengepung dan menyerbu
dengan ganasnya. Akan tetapi, mereka tidak tahu dengan siapa mereka berhadapan. Si Pendek
itu tidak berpindah dari tempat dia berdiri, akan tetapi kebutannya bergerak cepat membentuk
lingkaran yang tahu-tahu semua orang itu berteriak-teriak, golok mereka terampas ke-butan
dan banyak lengan yang terbabat buntung! Sedikitnya empat belas orang buntung lengannya
terbabat golok sendiri dan yang enam orang lainnya melarikan diri diikuti mereka yang
terluka.
Si Pendek itu membuang golok yang masih terlibat kebutannya, memandang ke arah lenganlengan
yang berserakan di atas tanah, tertawa bergelak lalu melanjutkan pendakiannya ke
puncakThai-san seolah- olah tidak pernah terjadi sesuatu dengan dirinya. Bukan lihainya Si
Pendek Gendut ini yang membuntungi lengan sekian banyaknya orang dengan golok mereka
sendiri. Dasar nasib sial para anak buah datuk sesat Hek-bin Mo-ko mengancam dan akan
membuntungi lengan seorang datuk besar seperti Thian-tok!
Sementara itu, ketika Hek-bin Mo-ko dan pembantunya, Sin-ciang Mo-kai men-dengar
laporan anak buahnya bahwa banyak anak buahnya yang tewas dan buntung lengannya oleh
orang-orang yang naik ke puncak, mereka menjadi marah bukan main. Sambil membawa sisa
anak buahnya yang tinggal sedikit, kurang lebih dua puluh orang saja lagi, mereka berdua lalu
melakukan pengejaran ke puncak Thai-san.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 139
Ketika tiba di pundak Thai-san yang rata dan merupakan puncak yang ditum-buhi pohonpohon,
kedua orang datuk sesat itu bersama anak buahnya melihat dua orang duduk
berhadapan dan bercakap-cakap di atas tanah bertilamkan daun-daun kering. Mereka duduk
bersila dan bercakap-cakap dengan santainya. Seorang di antaranya bertubuh tinggi kurus
dengan pakaian berwarna hitam putih dan di dadahya bergambar tanda Im-yang dan di
punggungnya tergantung sepasang pedang. Adapun orang ke dua, adalah seprang tinggi besar
yang bertelanjang dada, bajunya tidak dikancingkan, tubuhnya kokoh kuat dan dia memakai
sabuk rantai yang besar. Si Tinggi Kuriis itu adalah Thian-te Mo-ong Koan Ek, datuk besar
selatan berusia lima puluh lima tahun. Sedangkan yang tinggi besar kulitnya gelap
bertelanjang dada itu ada-lah Pak-thian-ong Dorhai, datuk besar utara berusia enam puluh
tahun. Agaknya kedua orang datuk dari selatan dan utara ini datang lebih dahulu dari rekanrekan
yang lain dan mereka berdua duduk sila berhadapan dan mengobrol. Tentu saja mereka
mengetahui akan munculnya Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang Mo-kai bersama dua puluh orang
anak buah mereka, akan tetapi kedua orang datuk besar, itu enak-enak saja bercakap-cakap
tanpa mempedulikan mereka yang datang mengepung tempat itu.
Sebetulnya, dua orang datuk yang telah membunuhi dan membuntungi para anggauta
gerombolan anak buah Hek-bin Mo-ko bukanlah dua orang yang kini duduk di puncak. Akan
tetapi Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang Mo-kai sudah marah sekali, mereka tidak lagi bertanyatanya,
langsung saja mereka meloncat ke dekat dua orang kakek itu.
"Siapa kalian berani mengacau di Thai-san kami?" bentak Hek-bin Mo-ko dengan marah
sekali. Tangan kanannya memegang senjatanya yang menggiriskan, yaitu sebatang ruyung
besar dan berat yang berduri.
"Hayo bangkit dan terima pembalasan kami'." bentak pula Sin-ciang Mo-kai yang sudah
melintangkan tongkatnya di depan dada. Tongkat pengemis iblis ini ujungnya memakai racun
sehingga kalau memukul dan melukai lawan, lawan dapat keracunan.
Thian-te Mo-ong dan Pak-thian-ong saling pandang, lalu Thian-te Mo-ong tertawa. "Setan
Utara, bagaimana pendapatmu? Kauhadapi yang memegang ruyung dan aku menghadapi
yang bertongkat, bagaimana?"
Pak-thian-ong Dorhai mengangguk. "Baiklah, dua orang ini menjemukan se-kali!" katanya
dan dia pun bangkit ber-diri dan menghadapi Hek-bin Mo-ko. Dua orang yang sama-sama
tinggi besar itu kini saling berhadapan dan Hek-bin Mo-ko yang sudah marah sekali karena
banyak anak buahnya yang tewas dan buntung lengannya, sudah mehggerakkan ruyungnya ke
atas kepala, memutar-mutar ruyungnya sehingga mengeluarkan bunyi bersuitan dan ada angin
menyambar-nyambar dari putaran ruyungnya.
"Engkau yang membunuhi anak buahku?" bentaknya.
Dorhai adalah seorang datuk besar yang aneh. Blarpun dia tidak tahu menahu tentang
pembunuhan itu, akan tetapi dibentak dan ditantang begitu, dia tidak menyangkal. "Kalau
benar demikian, kau mau apa?" balasnya dengan benfakan yang memandang rendah.
"Hutang nyawa bayar nyawa! Belasan orang mati, engkau harus menebusnya dengan
nyawamu!" Setelah berkata demikian, ruyungnya lalu menyerang dengan dahsyatnya. Pakthian-
ong melangkah kesamping dengan tenangnya sehingga ruyung itu luput dan menyambar
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 140
di samping tubuhnya. Melihat betapa sambaran ruyungnya dapat dielakkan sedemikian
mudahnya, Hek-bin Mo-ko menjadi penasaran dan ruyung itu sudah membalik dan
menyambar lagi dengan cepat dan kuatnya, menyerang ke arah paha lawan. Akan tetapi Pakthian-
ong Dorhai dengan sikap yang tetap tenang, mengangkat kaki kanannya menangkis
ruyung.
"Plakkk!" Ruyung terpental oleh tangkisan telapak kaki itu sedangkan Pak-thian-ong sama
sekali tidak terguncang. Hal ini saja sudah membuktikan betapa kuatnya datuk besar ini.
Namun Hek-bin Mo-ko menjadi bertambah penasaran. Di dunia kang-ouw namanya sudah
terkenal sebagai seorang datuk yang sakti, dan jarang ada orang mampu menandingi
ruyungnya. Bagaimana sekarang orang menghadapi ruyungnya dengan tangan kosong dan
menangkis begitu saja dengan kakinya? Kembali ruyung menyambar dengan dahsyat
dibarengi bentakannya,
"Hyaaaatttt....!" Dan ruyung itu menyambar pula ke arah kepala Pak-thian-.ong. Sekali lagi
Pak-thian-ong menghadapil ruyung itu dengan tangkisan, kini ta-ngannya yang menerima
ruyung itu. Tangan kirinya, dengan telapak tangannya yang lebar, menyambut ruyung itu
dengan tenang saja.
"Plakkkk!" kembali ruyung itu terpen-tal keras setelah Hek-bin Mo-kp merasakan betapa
ruyungnya bertemu, dengan bendak lunak yang seolah menyedot semua tenaga serangannya,
kemudian tiba-tiba ruyungnya terpental. Telapak tangan lawan itu seperti terbuat dari karet
yang kenyal saja!
Melihat bahwa lawan bukanlah seorang lemah dan ruyung itu cukup ber-bahaya, Pak-thianong
Dorhai lalu meng-gerakkan tangan kanannya dan tahu-tahu dia telah melolos sabuk
rantainya dari pinggang! Ketika ruyung menyambar kembali, rantai itu menangkis. Terdengar
suara keras dan ruyung itu terpental hampir terlepas dari tangan Hek-bin Mo-ko yang menjadi
terkejut bukan main. Akan tetapi dia menyerang terus dengan lebih ganas. Pak-thian-ong
menjadi ma-rah. Rantainya menyambar ke depan memapaki ruyung dan melibat ruyung itu.
Terjadi tarik menarik, akan tetapi tangan kiri Pak-thian-ong melakukan dorongan ke arah
lawan dengan telapak tangan terbuka. Hek-bin Mo-ko. menge-luarkan suara kaget. Dorongan
itu men-datangkan hawa yang amat kuat, mem-buat dia terdorong mundur dan pada saat itu,
rantai ditarik keras dan ruyung itu telah terlepas; dari tangan pemiliknya. Sambil tertawa Pakthian-
ong melemparkan ruyung rampasan itu jauh ke bela-kangnya, kemudian dia memasang
kembali sabuk rantainya di pinggang. Kalau saja Hek-bin Mo-ko seorang yang tahu diri, tentu
dia sudah mengaku kalah. Akan tetapi dia adalah seorang yang sudah biasa memaksakan
kehendaknya dengarr kekerasan, maka melihat ruyung-nya sudah terampas, dia tidak mundur
malah menyerang lagi dengan kedua ta-ngannya! Serangan itu dapat dielakkan dengan mudah
oleh Pak-thian-ong dan pada saat berikutnya, Hek-bin Mo-ko mengeluarkan ilmu
simpanannya, yaitu ilmu tendangan kilat! Kedua kakinya menyambar bergantian ke arah
tubuh lawan dengan kekuatan yang dahsyat sekali.
Akan tetapl dia tidak tahu bahwa Pak-thian-ong Dorhai adalah seorang Mancu yang ahli
gulat. Satu di antara kepandaiannya yang hebat adalah ilmu gulat. Maka, melihat kedua kaki
itu menyambar berulang-ulang, dia lalu menggerakkan kedua tangannya dan di lain saat
kedua kaki Hek-bin Mo-ko sudah dapat ditangkapnya! Dan dengan gerakan menekuk kedua
kaki itu dengan jari-jari tangannya yang amat kuat, dia memutar kaki itu sehingga terdengar
suara ber-keretakan dan sambungan tulang-tulang lutut kedua kaki itu putus! Hek-bin Mo-ko
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 141
mengeluarkan gerengan kesakitan dan tubuhnya sudah dilemparkan sampai beberapa meter
jauhnya, ke arah anak buahnya yang memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat.
Sementara itu, Sin-ciang Mo-kai dengan tongkat beracunnya juga sudah menyerang Thian-te
Mo-ong yang tinggi kurus. Diserang oleh tongkat beracun yang amat berbahaya itu, tadinya
Thian-te Mo-ong juga hanya mengelak saja. Akan tetapi melihat betapa tongkat itu cukup
berbahaya dan Jawannya bukan seorang lemah, dia pun mengelak ke belakang sambil
mencabut sepasang pedangnya. Kemudian dengan gerakan yang, sangat cepat, sepasang
pedang itu beru-bah menjadi dua gulungan sinar keperak-an dan setelah bergebrak beberapa
jurus saja terdengar suara keras dan tongkat itu telah patah-patah disambar sepasang
pedangnya! Melihat tongkat orang sudah patah-patah, Thian-te Mo-ong dengan tenang juga
menyarungkan kembali pedangnya.
Seperti juga rekannya, Sin-ciang Mo-kai tidak tahu diri, seolah lupa bahwa dia berhadapan
dengan lawan yang jauh lebih tangguh darinya. Dia berjuluk Sin-ciang (Tangan Sakti), maka
kini dia me-lempar potongan tongkatnya dan menggu-nakan kedua tangannya untuk
menyerang dengan hebat. Dia masih belum mau melihat kenyataan bahwa tongkatnya patahpatah
hanya dalam beberapa jurus saja dan menganggap hal itu terjadi ka-rena keampuhan
pedang lawan. Kini dia menyerang dengan tangan kosong karena melihat lawannya sudah
menyimpan kembali pedangnya.
Thian-te Mo-ong mengeluarkan suara terkekeh mengejek dan melayani serang-an kedua
tangan kosong itu. Sejenak mereka saling serang, kemudian ketika Sin-ciang Mo-kai
menyerang dengan pu-kulan kedua tangan, Thian-te Mo-ong menanti sampai kedua tangan itu
datang dekat, kemudian tiba-tiba sekali dia menangkis sambil mengerahkan sin-kangnya yang
amat kuat.
"Krek, Krek!" Dua kali kedua tangan itu ditangkis dan akibatnya, kedua lengan Sin-ciang Mokai
patah tulangnya. Kedua lengan itu tergantung lemas dan dia mengeluh kesakitan. Pada
saat itu, kaki Thian-te Mo-ong menendangnya dan tu-buhnya terlempar jauh, hampir
menimpa tubuh Hek-bin Mo-ko!
Melihat kawannya juga kalah dengan kedua tangan patah tulangnya, Hek-bin Mo-ko
membelalakkan mata dan bertanya dengan suara penasaran, "Siapakah kalian?"
Thian-te Mo-ong Koan Ek menjawab tenang, "Aku tidak pernah menyembunyikan nama dan
julukan. Orang menyebutku Thian-te Mo-ong Koan Ek Si Iblis Selatan."
"Dan aku datang dari utara, orang menyebutku Pak-thian-ong Dorhai," kata raksasa tinggi
besar yang bertelamane dada itu.
Hek-bin Mo-ko dan Sin-ciang Mo-kai terbelalak dan hampir mereka memukul kepala sendiri.
Bagaimana tolol mereka itu! Tanpa bertanya dulu telah rnenye-rang para datuk besar! Mereka
t,,enjadi ketakutan dan juga menyesal sekali. Ini namanya mencari penyakit. Tentu saja
mereka sudah pernah mendengar nama dua orang datuk besar ini, dan takut kalau-kalau
mereka tidak diampuni, me-reka lalu mengajak anak buah rnereka pergi dari situ dengan
cepat. Hek-bin Mo-ko digotong pergi dan mereka menu-runi puncak. Mulai hari itu, Hek-bin
Mo-ko dan Sin-ciang Mo-kai meninggalkan Thian-san, tidak berani lagi tinggal di situ,
apalagi anak buahnya tinggal sedikit lagi. Bahkan dia lalu membubarkan anak buahnya dan
mencari jalan hidup masing-masing.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 142
Baru saja rombongan itu pergi, ter-dengar suara bergelak dari timur dan muncullah Raja
Angin Timur Siangkoan Bhok yang menyeret dayungnya.
"Bagus, kalian sudah membersihkan puncak ini'" katanya sambil menghampiri kedua orang
datuk besar itu.
Terdengar pula suara terkekeh dari barat dan muncul Thian-tok Gu Kiat Seng. "Anjing-anjing
itu memang menjemukan sekali, di mana-mana menggonggoog dan menyalak membikin
bising!"
"Bagus, bagus," kata Thian-te Mo-ong. "Sekarang kita berempat sudah berkumpul semua.
Kita segera dapat memulai!"
"Nanti dulu," kata Pak-thian-ong Dor-hai. "Masih ada seorang yang belum juga keluar!"
Berkata demikian, Pak-thian-ong menoleh ke belakang dan sekali dia menekuk lutut dan
kedua tangannya mendorong, ada angin yang kuat sekali mendorong ke arah semak belukar di
belakangnya. Akan tetapi sambaran angin itu membalik dan dari belakang semak belukar
terdengar suara orang tertawa halus dan muncullah seorang kakek tinggi kurus yang
berpakaian serba putih penuh tambalan, pakaiannya yang amat seder-hana itu cukup bersih,
tangannya meme-gang sebatang tongkat bambu. Orang itu bukan lain adalah Pek I Lokai yang
mun" cul sambil terkekeh.
"He-he-he, kiranya Pak-thian-ong masih tetap hebat dan lebih dahulu me-ngetahui
kehadiranku. Inl saja sudah me-nunjukkan bahwa dia tetap menjadi orang yang patut disebut
Datuk Besar."
"Pek I Lokai, apakah engkau datang hendak mengganggu pertemuan kami?" bentak Thian-tok
yang berwatak berangasan.
"Aihh, Thian-tok! Sejak kapan aku menjadi manusia yang usil suka mencam-puri urusan
orang lain? Kalian berempat hendak mengadu ilmu untuk menentukan sebutan Datuk Besar
tidak ada sangkut pautnya dengan aku. Akan tetapi lima tahun yang lalu aku terlambat datang
menjadi penonton, sekali ini aku tidak mau terlambat lagi dan aku ingin menjadi penonton
dan saksi. Apakah tidak boleh?"
Tiba-tiba Majikan Pulau Naga, Si Raja Angin Timur Siangkoan Bhok ber-kata, "Pek I Lokai,
tentu saja engkau boleh menjadi penonton. Bahkan kita me-merlukan seorang saksi yang
dapat dipercaya agar dalam pertandingan ini tidak terjadi kecurangan."
"Bagus, bagus sekali! Engkau masih saja gagah perkasa seperti dulu, Siang-koan Bhok. Dan
di sini sekaligus mengucapkan terima kasih kepadamu atas pemberian Sian-tho kepada
muridku."
Mendengar ucapan itu, Siangkoan Bhok mengerutkan alisnya dan mukanya berubah merah.
"Isteriku memberikan Sian-tho itu ada maksudnya, tahu tidak engkau?"
Pek I Lokai mengangkat alisnya. "Ada maksudnya? Apa maksud itu?"
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 143
"Putera kami tertarik kepada muriditiu. Isteriku memberikan Sian-tho karena ia ingin
mengambil mantu muridmu itu!"
"Heiii, sudah cukup. Katakan maksud-mu datang ke sini, Pek I Lokai. Kami tidak mau
diganggu oleh siapapun iuga! kata Thian-te Mo-ong. "Apakah engkau hendak menantang
seorang di antara kami?"
Pek I Lokai mengangkat tongkat bambunya dan berkata sambil tersenyunH cerah. "Aih,
Thian-te Mo-ong, engkau tetap galak, sudah kukatakan bahwa aku sengaja datang untuk
menjadi penonton. Dan tadi Siangkoan Bhok mengatakan bahwa aku dapat menjadi saksi.
Baiklah, aku akan menjadi saksi untuk melihat bahwa jalannya pertandingan haruslah adil.
Kalau kalian berempat percaya kepadaku, aku akan mengaturnya supaya seadil-adilnya!"
"Bagus, aku terima usulmu dan engkau boleh menjadi saksi yang mengatur?" kata Pak-thianong.
"Bagaimana hendak kauatur pertandingan antara kami berempat ini?"
"Begini aturanku. Aku akan mengundi* siapa yang akan bertanding melawan siapa sehingga
akan ada dua partai pertandingan. Kemudian, yang menang akan dipertandingkan dengan
yang menang antara partai satu dan partai dua. Dengan demikian, cukup dengan tiga kali
pertandingan saja akan cukup dapat memilih siapa yang paling jagoan di antara kalian
berempat."
Empat orang datuk itu mengangguk-angguk setuju. "Nah, sekarang aku hen-dak mengundi.
Akan kutulis nama masing-masing di atas sehelai daun, kemudian empat helai daun itu akan
kulemparkan ke atas sampai ada dua daun yang jatuh menelungkup dan dUa yang telentang.
Nah, dua yang tertelungkup itu akan saling bertanding, demikian pula dua yang telentang.
Bagaimana, setujukah?"
"Setuju," kata empat orang itu karena menganggap undian seperti itu cukup adil. Pek I Lokai
lalu menuliskan nama mereka masing-masing di atas sehelai gdaun. Kemudian, disaksikan
empat orang itu, dia melempar empat helai daun itu ke atas. Mula-mula, jatuhnya daun tidak
tepat, ada satu yang telentang tiga me-nelungkup, maka lalu diulang lagi. Setelah diulang
sampai empat kali, barulah jatuhnya tepat, yaitu dua daun menelungkup dan dua telentang.
Setelah di-periksa, yang telentang itu adalah nama Pak-thian-ong dan Thian-te Mo-ong
sedang yang menelungkup adalah nama Tung-hong-ong dan Thian-tok. Ini berarti bahwa Pakthian-
ong Dorhai akan bertanding melawan Thian-te Mo-ong Koan-Ek, sedangkan Tunghong-
ong Siangkoan Bhok akan bertanding melawan Thian-tok Gu Kiat Seng. Pemenang dari
dua partai pertandingan ini kemudian akan dipertandingkan dan pemenangnya itulah yang
juara!
"Thian-te Mo-ong, engkau mendapat-kan aku sebagai lawan pertama. Mari kita segera
mulai!" kata Pak-thian-ong Dorhai sambil melolos sabuk rantainya.
"Kita pun boleh mulai sekarang, Thian-tok!" kata Siangkoan Bhok sambil melintangkan
dayungnya.
Dua pasang pedang lawan itu sudah siap untuk saling serang. Akan tetapi Pek I Lokai
menengahi dan berkata, "Nanti dulu. Kalian berempat adalah datuk-datuk besar empat
penjuru yang
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 144
namanya terkenal di dunia persilatan. Kalau terjadi pertandingan mati-matian, tentu di antara
kalian ada yang akan terluka parah dan mungkin tewas. Sungguh sayang kalau terjadi hal
seperti itu, oleh karena itu sebelumnya aku minta kalian berjanji bahwa kalian hanya akan
berusaha saling mengalahkan, tanpa melukai parah atau membunuh. Dengan ilmu kepandaian
kalian yang sudah mencapai tingkat tinggi, tentu kallan mampu men-cegah terjadinya hal itu."
Akan tetapi Pak-thian-ong berkata, "Pek I Lokai, jangan seperti anak kecil. Pertandingan silat
tentu saja terdapat resiko terluka. Kaml yang sudah sengaja hendak mengadu ilmu, sudah tahu
sepenuhnya akan hal itu dan tidak akan menyesal. Tentu kami tldak akan saling membunuh,
akan tetapi kalau sampai ada yang kalah dan terluka, hal itu bagaimana dapat dicegah?"
Siangkoan Bhok juga berkata, "Sudah-lah. Terluka dalam adu kepandaian meru-pakan hal
biasa, siapa juga tidak akan menyesal. Akan tetapi jelas bahwa kita tidak akan saling
membunuh. Sudah puaskah engkau dengan pernyataanku ini, Pek I Lokai?"
"Baik, baik, kalian boleh mulai, aku menjadi penonton. Ingat, tidak boleh menggunakan
kecurangan dalam adu tenaga, tidak boleh menggunakan senjata rahasia dan sekali-kali tidak
boleh menyerang untuk membunuh. Nah, mulailah!"
Pek I Lokai lalu berdiri di pinggir untuk menjadi penonton. Dua pasang datuk besar itu sudah
saling berhadapan dan Thian-te Mo-ong lebih dulu mencabut sepasang pedangnya dan mulai
menyerang kepada Pak-thian-ong dengan sepasang pedangnya. Pak-thian-ong memutar sabuk
rantainya dan terdengarlah bunyi dencing nyaring dan nampak bunga api berpijar ketika
pedang bertemu rantai. Segera kedua orang itu sallng menyerang dengan hebatnya.
Sementara itu, Thian-tok Gu Kiat Seng juga sudah menggerakkan kebutan-nya, menyerang
Siangkoan Bhok dengan gerakan yang amat cepat dan kuat, namun Siangkoan Bhok juga
sudah menggerakkan dayungnya, menangkis dan balas menyerang.
Pek I Lokai menonton dengan hati senang. Dia tahu bahwa keempat orang itu memiliki
tingkat kepandaian yang sudah tinggi sekali dan untuk keluar sebagai pemenang bukanlah hal
yang mudah.Tentu pertandingan itu akan rnemakan waktu lama. Dialah yang untung, karena
dengan menonton itu dia dapat mengamati jurus-jurus yang hebat, cara-cara pemecahan jurus
hebat itu dan sekali menonton sam& berharganya dengan pengalaman bertanding bertahuntahun,
walaupuh dia sendiri sudah tidak menghendaki pelajaran tambahan dalam ilmu silat.
Tingkat kepandaiannya sendiri kalau dibandingkan dengan tingkat empat orang itu, agaknya
masih kalah sedikit.
Dan memang pertandlngan itu hebat bukan main. Kini sudah lewat setengah jam, namun
belum ada tanda-tanda siapa yang akan kalah atau menang dalam dua partai pertandingan itu.
Pertandingan semakin berlangsung cepat sehlngga tubuh keempat orang itu tidak nampak
lagi, terbungkus gulungan sinar senjata mereka.
Mendadak Pek I Lokai menengok ke kiri karena telinganya mendengarkan suara lain,
mendengar akan munculnya banyak orang. Tak lama kemudian muncullah sepasukan yang
dipimpin oleh seorang panglima besar yang begitu tiba di situ lalu mengangkat sebuah lengki
dan mengibar-ngibarkankan ke atas. Lengki adalah sebuah bendera titah raja, tanda bahwa
pemegang lengki adalah seorang yang menjadi utusan Kaisar.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 145
"Atas nama dan perintah Yang Mulia Sri Baginda Kaisar, kami menyerukan agar
pertandingan dihentikan!" Suara panglima besar itu nyaring sekali, tanda bahwa dia memiliki
khi-kang yang kuat dan memang dia sudah biasa memberi aba-aba kepada pasukan sehingga
suara itu melengklng tinggi dan terdengar sampai jauh.
Mendengar bahwa teriakan itu me-nyinggung nama Yang Mulia Sri Baglnda Kaisar, empat
orang yang sedang bertanding itu terkejut dan otomatis nnereka berlompatan ke belakang dan
menghentikan pertandingan yang sedang berlangsung seru itu. Mereka semua menghadap
panglima itu dengan pandang mata bertanya-tanya.
Dan Pak-thian-ong Dorhai yang melihat lengki atau bendera titah raja itu, segera memberi
hormat dan bertanya, "Ciangkun, apa hubungannya Sri Baginda Kaisar dengan pertandingan
di antara kami?" Bagaimanapun juga, dla adalah seorang bangsa Mancu, maka tentu saja dia
lebih mentaati dan menghormati Kaisar dan Pemerintah Mancu yang kini berkuasa di seluruh
Cina.
Panglima besar itu dengan sikap tegak lalu berkata dengan suaranya yang lantang, "Yang
Mulia Sri Baginda Kaisar sudah mendengar akan diadakannya pertandingan di antara para
datuk di sini dan Yang Mulia tidak menyetujui pertandingan yang dapat menimbulkan permusuhan
itu. Yang Mulia menghendaki agar pertandingan dihentikan dan mengajak keempat
Locianpwe untuk bersama-sama menegakkan kemakmuran rakyat dengan menjadi pembantu
pemerintah. Maka, kami diutus untuk menjemput Su-wi-lo-cianpwe (Keempat Orang Gagah)
untuk menghadap Yang Mulia dan menerima anugerah kedudukan."
Empat orang datuk itu terpaksa maju berlutut karena pembawa titah kaisar dianggap mewakili
kehadiran kaisar dan mereka menghaturkan terima kasih.
"Hamba siap untuk menaati perintah Yang Mulia dan sekarang juga hamba hendak
menghadap Yang Mulia," kata Pak-thian-ong Dorhai.
Akan tetapi tlga orang yang iain menolak untuk menerima kedudukan. Mereka juga berlutut
menghaturkan terima kasih dan diwakili oleh Siangkoan Bhok, mereka berkata, "Mohon
beribu ampun bah-wa hamba tidak dapat menerima kedu-dukan walaupun kami selalu siap
untuk membantu usaha pemerintah menegakkan kemakmuran rakyat."
Panglima besar itu tidak memaksa mereka yang tidak mau ikut, dan mereka segera
meninggalkan tempat itu bersama Pak-thian-ong Dorhai yang sudah siap untuk menerima
anugerah kedudukan i yang diberikan Kaisar kepadanya.
"Sudahlah, aku mau pergi saja dari sini, kembali ke selatan," kata Thian-te Mo-ong Koan Ek
dan sekali berkelebat, dia pun lenyap dari situ.
"Ha-ha-ha, Pak-thian-ong masih terpikat oleh kedudukan, ternyata dia masih lemah. Aku pun
akan kembali ke barat!" kata Thian-tok Gu Kiat Seng dan dia pun melompat pergi.
Jilid 9________
Kini tinggal Pek I Lokai dan Siang-koam Bhok yang berada di situ. "Bagaimana pendapatmu
dengan menyerahkan dirl Pak-thian-ong tadi, Pek I Lokai?
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 146
Pek I Lokai tersenyum. "Apa salahnya dengan keputusannya itu? Lupakah engkau, Siangkoan
Bhok, siapa Pak-thian-ong itu? Dia adalah Dorhai, seorang tokoh Mancu, Tentu saja dia
senang membantu Sri Baginda Kaisar."
"Kalau aku tidak mau membantu. Biarpun pemerintahan sekarang ini terhitung baik sekali,
akan tetapi aku masih tidak sampai hati untuk membantu pemerintah Mancu," kata Siangkoan
Bhok dengan sikapnya yang agak angkuh.
"Sudahlah, Siangkoan Bhok. Tidak perlu kita lanjutkan pembicaraan seperti ini.
Bagaimanapun juga, harus kita akui bahwa sejak beliau masih menjadi pangeran, Kaisar Kian
Liong adalah seorang yang baik dan luas pergaulannya di dunia kang-ouw."
"Ya sudahlah, tidak perlu bicara tentang hal itu. Akan tetapi bagaimana dengan urusan kita?"
"Urusan kita yang mana?"
"Isteriku berpesan kepadaku kalau bertemu denganmu agar menyampaikan keinginannya
menjodohkan putera kami dengan muridmu yang bernama Tang Cin Lan itu."
"Ah, bagaimana aku harus menjawabmu? Aku hanyalah seorang gurunya, dan Cin Lan masih
mempunyai ayah bunda yang lengkap. Karena itu, kalau hendak meminangnya pinanglah
kepada ayah bundanya. Aku tidak akan dapat berbuat sesuatu kalau gadis itu sendiri tidak
mau atau ayah bundanya tidak setuju."
"Siapa ayahnya? Di mana tempat tinggalnya?"
"Ha-ha, tidak sukar untuk mencari ayahnya. Ayahnya adalah Pangeran Tang Gi Su, seorang
pejabat tinggi yang berkuasa dan tinggal di kota raja!" Setelah berkata demikian, Pek I Lokai
membawa tongkat bambunya dan pergi dari tempat itu.
Siangkoan Bhok menjadi bengong. Dia terkejut mendengar bahwa gadis yang diclnta
puteranya dan diinginkan isterinya untuk menjadi mantu itu adalah puteri seorang pangeran!
Berarti seorang gadis bangsawan, keluarga kaisar, seorang gadis Mancu. Dia mengerutkan
alisnya dan menggeleng kepalanya, kemudian dia pun pergi meninggalkan Thai-san yang
kembali menjadi. sunyi.
Thian Lee memasuki dusun Tung-sin-bun. Tentu saja dusun ini sama sekali asing baginya
karena ketika dia dibawa pergi meninggalkan dusun ini oleh mendiang ibunya, dia baru
berusia satu tahun. Dia berjalan-jalan di dusun itu dan akhirnya setelah bertanya-tanya, tibalah
dia di tanah kuburan dusun itu. Kuburan itu sunyi sekali, akan tetapi dia melihat seorang lakilaki
berusia enam puluh tahunan sedang membabati rumput di sekitar kuburan. Hatinya
merasa girang. Agaknya kakek itu adalah penjaga kubur-an yang bertugas merawat kuburan
itu, maka dia segera menghampirinya.
"Selamat pagi, Paman," katanya dengan hormat.
"Selamat pagi," jawab kakek itu sambil memandang penuh perhatian karena dia berlum
pernah melihat pemuda ini yang agaknya merupakan seorang pemuda asing di dusun itu.
"Paman, apakah ini kuburan umum dari dusun Tung-sin-bun sini?"
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 147
"Benar, orang muda. Siapakah engkau dan ada keperluan apakah mendatangi kuburan ini?"
"Aku seorang perantau, Paman. Akan tetapi aku mencari kuburan dari seorang yang namanya
Song Tek Kwi yang dikuburkan di tempat ini."
Orang itu membelalakkan matanyai
"Apa? Kuburan siapa?" Dia bertanya seolah tidak mendengar dengan jelas.
"Kuburan Song Tek Kwi yang kurang lebih delapan belas tahun dikubur di dusun ini."
Kini orang itu memandang Thian Lee penuh perhatian. Dia mengingat-lngat, akan tetapi
merasa belum pernah melihat pemuda ini. Seorang pemuda yang berpakaian sederhana,
memakai caping lebar, wajahnya berbentuk bundar dengan kulit berslh. Alis matanya tebal
berbentuk golok dengan sepasang mata yang lembut akan tetapi kadang dapat tajam
mencorong, hidungnya mancung, muiutnya selalu senyum ramah dan telinganya lebar.
Pemuda yang tampan dan gagah, bahunya bidang dan bentuk tubuhnya tinggi tegap.
"Kau maksudkan... Song Tek Kwi si pemberontak itu?"
Berdebar jantung Thian Lee. Memang ayah kandungnya dianggap pemberontak, bahkan
terbunuh sebagai seorang pemberontak. "Ya... ya, benar, Paman. Di mana kuburannya?"
"Apakah hubunganmu dengan Song Tek Kwi?"
Thian Lee menahan debaran jantungnya. "Ah, ayahku dahulu adalah kenalan lamanya dan
Ayah berpesan agar aku bersembahyang di depan kuburannya kalau kebetulan lewat dusun
ini."
"Ah begitukah? Kasihan kuburan itu sejak dahulu tidak pernah ada yang mengunjunginya,
apalagi menyembahyanginya."
"Yang nriana kuburannya, Paman?" kata Thian Lee sambil memandang ke sekian banyaknya
kuburan itu.
"Kuburannya tidak di sinl, orang muda. Pemerintah melarang jenazahnya dikuburkan di
kuburan umum."
"Lalu di mana dikuburnya Paman?"
"Di sana, dekat anak sungai yang sunyi, mari kutunjukkan tempatnya."
"Terima kasih, Paman, engkau baik sekali," kata Thian Lee.
"Ah, tidak apa. Memang dahulu kami bertetangga dan Song Tek Kwi itu seorang yang baik,
seorang yang gagah perkasa dan suka menolong orang. Sayang dia dituduh pemberontak, dan
semua itu salahku...."
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 148
Thian Lee tertegun. Akan tetapi dia tidak mau mendesak, khawatir menimbulkan kecurigaan
orang tua itu. Mereka telah tiba di tepi sungai dan benar saja nampak gundukan tanah kuburan
yang tidak terawat.
"Inilah kuburan Song Tek Kwi orang muda."
Thian Lee merasa terharu sekali akan tetapi dia menguatkan hatinya, lalu dia menjatuhkan
dirinya berlutut di depan makam itu, memberi hormat dan terpekur sampai beberapa lamanya
sambil berlutut. Dia memberi hormat kepada makam ayah kandungnya yang dia tidak tahu
bagaimana rupanya. Bahkan membayangkan rupa ayahnya saja dia tidak mampu.
Kemudian dia teringat kepada penjaga kuburan yang masih berdiri di situ. Ketika dia
menengok, dia melihat orang itu memandangnya dengan sinar mata penuh selidik.
"Orang muda, apakah engkau putera dari Song Tek Kwi?
Thian Lee terkejut. Mengingat bahwa ayahnya dituduh pemberontak, maka dia merasa ragu
untuk mengaku.
"Jangan curiga, orang muda. Ketahuilah bahwa dahulu aku adalah tetangga ayahmu. Aku
mengenal baik ayahmu yang sering kali menolongku, aku tahu bahwa dia mempunyai seorang
putera yang aku lupa lagi namanya. Ketika dia dibunuh, isteri dan anaknya itu dapat
melarikan diri. Nah, karena aku melihat ada kemiripan antara wajahmu dengan wajahnya,
maka aku menduga bahwa engkau puteranya. Kalau tidak begitu, masa kuantar engkau
sampai di sini?"
Thian Lee bangkit dan memberi hormat kepada orang itu. "Sebenarnyalah, Paman. Aku
adalah puteranya yang bernama Song Thian Lee."
"Ah, engkau anak yang dahulu baru berusia setahun itu!" orang itu menarik napas panjang.
"Kasihan ayahmu, dia tlltuduh pemberontak karena kabarnya telah memukul seorang
pangeran. Ketika pasukan itu memasuki dusun, kebetulan roereka bertanya kepadaku di mana
rumah Song, Tek Kwi dan karena aku tidak mengetahui maksud mereka, lalu n menunjukkan
rumahnya. Itulah kesalahanku. Andaikata aku tahu niat mereka, tentu kukatakan tidak tahu
dan siapa tahu ayahmu sempat melarikan diri. Ayahmu dikeroyok sampai mati akan tetapi
ibumu dapat meloloskan diri sambil memondongmu, begitu yang kudengar. Kemana saja
engkau selama ini, Nak? Dan bagaimana dengan ibumu?"
Kini Thian Lee yang menghela napas panjang. "Ibuku telah meninggal dunia, Paman. Aku
hidup seorang diri. Oh ya, Paman. Apakah Paman mengetahui, adakah keluarga dekat ayahku
atau ibuku? Kalau ada keluarga mereka, aku ingin sekali menghubungi. Aku telah hidup
sebatang kara tiada keluarga."',
"Tidak ada yang mengetahui siapa keluarga ayahmu karena dia berasal dari jauh. Setahuku,
dla datang dari Kun-lun-pai, sebagai murid partai persilatan Kun-kun-pai. Sedangkan ibumu
yang berasal dari Tung-sin-bun ini, sudah yatim piatu dan ia tidak mempunyai keluarga lagi.
Agaknya, kalau engkau hendak menyelidiki keluarga ayahmu, engkau harus pergi ke Kunlun-
pai, mungkin di sana akan bisa mendapatkan keterangan. Akan tetapi, nanti dulu!" orang
itu mengingat-ingat. "Ah, pernah ayahmu kedatangan seseorang yang kemudian menurut
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 149
ayahmu adalah suhengnya. Aku hanya ingat nama marganya saja, yaitu marga Souw dan
kabarnya tinggal di Paoting! Benar, kalau engkau mencari ke kota Paoting, mencari seorang
she Souw yang menjadi murid Kun-lun-pai, tentu akan dapat kau ketemukan!" Penjaga
makam ini agaknya girang sekali telah mengingat urusan itu. Thian Lee juga girang. Paoting
tidak begitu jauh dari kota raja, berada di sebelah selatan. Biarpun bukan saudara ayahnya,
akan tetapi kalau suheng ayahnya berarti masih saudara seperguruan dan mungkin suheng
ayahnya itu akan dapat menceritakan siapa keluarga ayahnya.
Setelah sekali lagi memberi hormat sambil berlutut di depan makam ayahnya, dia lalu
berpamit kepada orang itu dan meninggalkan beberapa potong uang perak kepadanya sebagai
tanda terima kasih. Ketika dia meninggalkan perguruan, gurunya memang memberi bekal
beberapa potong uang perak dan bahkan sedikit emas kepadanya. "Di sini aku tidak
memerlukannya, Thian Lee. Engkau lebih memerlukan untuk bekal dalam perjalanan,"
demikian kata gurunya. Juga gurunya berpesan agar dla jangan sekali-kali mencuri uang, akan
tetapi kalau membutuhkan biaya hidup harus bekerja, bekerja apa saja pun baik.
Setelah meninggalkan kuburan itu, Thian Lee melakukan perjalanan sambil melamun.
Teringat dia akan pesan ibunya. Ibunya berpesan agar dia memusuhi dan kalau perlu
membunuhi semua pangeran dl kota raja untuk membalaskan. dendam ayahnyai Akan tetapi,
tidak mungkin dia memenuhi pesan ibunya inl. Sejak dahulu dia tidak setuju dengan pendapat
ibunya. Apalagi setelah dia berguru kepada Tan Jeng Kun dan Kim-sin Yok-sian, dan
mendapatkan banyak nasihat dari mereka, sama sekali dia tidak ingin membunuh semua
pangeran, dan memusuhi pemerintah. Dia tidak ingin menjadi pemberontak walaupun dia juga
tidak ingin membantu pemerintah penjajah. Kini dia harus pergi ke dusun Teng-sia-bun. Dia
akan menyelidiki apa yang dulu terjadi. Menurut ibunya, ayahnya membantu sahabatnya yang
bernama Bu Cian, menghajar seorang pangeran yang merampas gadis dusun. Dia harus
mengetahui siapa pangeran itu dan kalau memang benar pangeran itu jahat, dia akan
melanjutkan usaha ayahnya itu, memberi hajaran dan kalau perlu melenyapkan pangeran itu!
Bukan semata untuk membalas dendam, akan tetapi terutama sekali untuk menentang
kejahatan. Dia akan menyelidiki ke Teng-sia-bun, baru kemudian dia akan mencari supeknya
yang she Souw itu di Pao-ting,
Akan tetapi, belum lama dia pergi meninggalkan tanah kuburan itu, terbayanglah kuburan
ayah kandungnya yang tidak terawat dan ditumbuhi ilalang dan rumput liar. Hatinya menjadi
sedih dan dia segera bergegas kembali ke tanah kuburan tadi. Penjaga kuburan itu sudah tidak
berada di situ dan dia berhadapan dengan kuburan tunggal di tepi sungai yang tidak terawat
itu. Kemudian Thian Lee mencabuti ilalang dan rumput liar itu sampai bersih. Setelah itu, dia
mencari batu kali yang cukup besar, diangkatnya batu kali itu ke depan makam ayahnya dan
dia mengeluarkan pedangnya dari buntalan pakaian. Dengan pedang Jit-goat Sin-kiam itu
diukirnya nama ayahnya Song Tek Kwi, pendekar gagah perkasa!
Setelah itu, dia menancapkan batu itu di depan makam dan barulah puas hatinya. Dia duduk di
depan makam itu sambil melamun. Berhadapan dengan makam itu, dia merasa betapa
hidupnya sunyi, betapa dia kesepian, betapa dia hanya hidup sebatang kara di dunia ini.
Serumpun bambu yang tumbuh dl belakang makam itu, di tepi sungai, berdesir tertiup angin.
Dalam keadaan hati nelangsa dan resah itu, teringat akan kematian ibunya yang menyedihkan,
kematian ayahnya yang tak sempat dikenalnya, Thian Lee termenung dan hatinya sepertl
diremas-remas. Hati yang nelangsa itu lalu bersajak.
”Sirrrr... sirrrr... sirrrr
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 150
desah daun-daun bambu berdesir ?
tertiup angin semilir
daun-daun bambu bernyanyi
daun-daun bambu menari
batang-batang bambu bergesekan
menjerit mencicit hati terjepit
batang-batang bambu melambai
jari-jari daun menggapai
namun angin terbang lalu
Menjenguk hati sendiri
begitu sunyi begitu sepi
resah gundah sedih pedih
batang-batang bambu
daun-daun bambu
angin semilir
bawalah aku serta bernyanyi
menari”.
Thian Lee hanyut dalam kesedihan dan timbul perasaan iri kepada batang-batang bambu,
kepada daun-daun bambu. Mereka itu demikian hidup dikala angin bertiup, gembira ria dan
wajar. Dan apabila angin berlalu, mereka berdiam demikian hening. Akan tetapi mengapa
hatinya demikian resah? Hatinya tak pernah hening seperti daun-daun bambu ditinggal angin,
hatinya tak pernah gembira seperti daun-daun bambu disentuh angin. Di mana kebahagiaan?
Segala gairah hidup telah berlalu semenjak dia meninggalkan gurunya. Demikian sengsara
rasanya hidup seorang diri, tanpa kawan, tanpa tujuan, tanpa harapan masa depan.
Thian Lee terkejut sendiri ketika merasa ada air mata mengalir turun dari pipinya. Dia
tersentak kaget. Menangis? Dia? Gurunya menggemblengnya untuk menjadi seorang
pendekar dan kini dia termenung duduk di depan makam ayahnya sambil menangis!
Tidak! Dia bangkit berdiri. Bukan begini sikap seorang pendekar, seorang satria. Pergilah
tangis. Pergilah segala perasaan duka nelangsa, pergilah iba diri. Aku harus menghadapi
kenyataan dengan senyum di bibir, dengan ketabahan di hati.
Thian Lee bangkit berdiri, memberi hormat sekali lagi kepada makam ayahnya yang kini
mempunyai batu nisan, lalu dia membalikkan tubuhnya, meninggalkan kuburan itu tanpa
menengok lagi.
Dusun Teng-sia-bun tidak jauh dari situ. Setelah bertanya-tanya, akhirnya dia memasuki
dusun Teng-sia-bun. Dia harus menyelidiki tentang sahabat ayahnya yang bernama Bu Cian.
Akan tetapi ka-rena sahabat ayahnya itu mungkin juga dianggap pemberontak, dia harus
berhati-hati kalau mencari keterangan. Maka dia hanya berjalan di dusun itu dan akhirnya dia
berhasil menemukan seorang laki-laki tua yang sedang bekerja di sawah seorang diri. Tempat
itu sunyi tidak nampak orang lain maka Thian Lee mengambil keputusan untuk mencari keterangan
dari kakek itu. Kebetulan kakek itu berhenti mencangkul. Pinggangnya tidak kuat
lagi untuk dipakai mencangkul terlalu lama. Dia berhenti dan beristirahat sambil duduk di atas
pensatang sawah.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 151
Thian Lee segera menghampiri orang itu. Seorang kakek petani yang usianya sekitar enam
puluh tahun, tubuhnya yang tidak berbaju sudah berkeringat dai terbakar matahari, dan di
balik kulit yang keriput dan sedikit sekali dagingnya itu nampak otot-otot yang sudah
mengendur akan tetapi masih besar akibat kerja keras.
"Selamat siang, Paman. Bolehkah aku mengganggu Paman sebentar?"
"Selamat siang, orang muda. sama sekali tidak mengganggu."
"Aku ingin mengajukan beberapa permintaan keterangan dari Paman, harap Paman sudi
menjawabnya."
"Kalau aku dapat menjawab, tentu akan kujawab orang muda. Pertanyaan apa yang hendak
kauajukan?"
"Paman tentu sudah lama tinggal dl Teng-sia-bun ini, bukan? Apakah sudah lebih dari dua
puluh tahun?"
Petani itu tertawa dan nampak bahwa giginya banyak yang sudah ompong.
"Sejak kecil aku tinggal di dusun ini, orang muda. Kenapa engkau tanyakan hal ini?”.
Tentu saja Thian Lee girang sekali mendengar ini. "Paman, kalau begitu tentu Paman dulu
pernah mengenal seorang yang bernama Bu Cian."
Orang itu nampak terkejut dan memandang ke sekeliling dengan wajah ketakutan. Lalu dia
memandang lagi kepada Thian Lee, agaknya lega bahwa di tem-pat itu sunyi, hanya ada
mereka berdua.
"Orang muda, kenapa engkau menanyakan Bu Cian? Apakah engkau ada hubungan. keluarga
dengan dia?"
"Ah, tidak, Paman. Hanya ayahku dulu mengenalnya dan Ayah yang menyuruh aku
menyelidiki apakah Paman Bu Cian masih tinggal di tempat ini."
"Dia sudah mati lama sekali!"
Thian Lee pura-pura kaget. "Mati? Akan tetapi dla belum begitu tua. Bagaimana bisa mati?"
"Aih, agaknya engkau tidak tahu apa-apa, orang mudal" kakek itu kembali memandang
sekeliling. "Dia mati terbunuh oleh pasukan, dia dianggap pemberontak dan dihukum mati!"
"Ahhh....! Dan bagaimana dengan anak isterinya, Paman? Aku mendengar dari ayah dia
mempunyai isteri dan seorang anak perernpuan."
"Isteri dan anaknya juga ditangkap dan dibawa ke kota raja, mungkin sudah dihukum mati
semua. Siapa tahu?' Dan tiba-tiba saja Thian Lee melihat bahwa kedua rnata kakek itu basah
air mata.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 152
"Paman, agaknya engkau mengenal baik mereka itu. Engkau menangisi mereka?"
Petani itu menggunakan punggung tangannya untuk menghapus air matanya. "Aku... aku
merasa berdosa. Bu-taihiap itu tewas karena anakku! Semua itu karena kesalahan kami. Kalau
saja aku menyembunyikan anakku. Kalau saja aku tidak memberikan anakku kepada
pangeran itu! Ah, aku berdosa dan ternyata anakku juga mati...."
"Paman, harap tenanglah dan aku mohon dengan sangat Paman sudi menceritakan kepadaku
semuanya yang terjadi."
Setelah melihat sekeliling yang sunyi, petani nu lalu bertanya, "Siapa namamu orang muda?
Aku harus tahu kepada siapa aku bercerita."
"Namaku Song Thian Lee, Paman. Aku tidak berniat buruk, harap Paman Jangan khawatir.
Aku hanya ingin mengetahui apa yang telah terjadi dengan paman Bu Cian”.
"Seorang pangeran mencari gadis-gadis dusun untuk menjadi selirnya. Siapa orangnya yang
tidak ingin anak gadisnya diselir pangeran? Aku mengajukan anak gadisku dan dipilih. Akan
tetapi anakku itu tidak mau dan menangis. Hal ini ter-dengar oleh Bu-taihiap. Bu-taihiap
selalu menjadi pelindung dusun kami dan men-dengar bahwa anakku dipaksa seorane
pangeran, Bu-taihiap marah. Para penga-wal pangeran itu dihaJ-arnya, bahkan pa-ngeran
sendiri pun dihajar. Akan tetapi aku memaksa anakku ikut pangeran itu. Dan pada keesokan
harinya... pasukan datang dan Bu-taihiap dikeroyok, dibunuh. Isteri dan puterinya ditangkap,
dibawa kekota raja."
Kembali kakek itu menangis seolah menyesali perbuatannya. "Akan tetapi, Paman. Itu bukan
kesalahanmu."
"Aihh, aku yang bersalah. Anakku hanya menjadi selir selama dua tahun setelah itu... ia
diserahkan oleh pangeran kepada seorang pengawalnya dan anak itu... ia membunuh diri. Ah,
saiahku, salahku....!"
Thian Lee menghela napas panjang. "Paman, siapakah nama pangeran yang mengambil puteri
Paman itu?"
"Pangeran itu bernama Bian Kun, sudah terkenal sebagai seorang yang mata keranjang dan
hidung belang. Lihat saja aku ini, namanya mempunyai anak perempuan menjadi selir
pangeran, akan tetapi hidupku tetap merana dan miskin, bahkan anakku kini telah mati. Lebih
lagi, keluarga Bu-taihiap juga musna." kakek itu menghela napas panjang.
Thian Lee merasa girang sekali. Tahulah dia sekarang pangeran yang pernah dihajar oleh Bu
Cian dan ayahnya, dan tentu pangeran itu pula yang mengirim pasukan membunuh Bu Cian
dan ayahnya.
"Terima kasih, Paman. Aku telah mendapatkan keterangan yang jelas dari Paman dan harap
Paman jangan terlalu berduka. Sesungguhnya semua itu sudah nasib, dan sama sekali bukan
salah Paman." Dia lalu menyerahkan sekeping uang emas kepada petani itu sehingga Si Petani
menerimanya dengan girang dan berterima kasih. Thlan Lee lalu meninggalkan petani itu dan
kini dia menujukan langkahnya ke kota raja!
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 153
Setelah tiba di kota raja dengan miil^B dah dia mencari keterangan tentang Pa-ngeran Bian
Kun. Malamnya, sesosok bayangan berkelebat bagaikan bayangan setan saja di atas atap
rumah istana Pangeran Bian Kun. Biarpun istana itu dijaga pengawal, namun tidak ach seorang
pun yang melihat berkelebatnya bayangan di atas atap itu.
Thian Lee mencari-cari dan akhirnya dia mengintai dari atas ke sebelah kamar. Ketika
mengintai ke bawah, dia melihat seorang laki-laki sedang rebah di kamar itu, dirubung
beberapa orang wanita dan anak-anak. Laki-laki itu ternya-ta sedang menderita sakit' Usia
pria itu sekitar lima puluh tahun akan tetapi tubuhnya kurus kering seperti kerangka hidup.
Seorang tabib sedang memeriksa tubuhnya dan setelah memeriksa dengan teliti, tabib itu lalu
memberi tanda ke-pada yang hadir untuk keluar. Sampai di luar kamar, tabib itu berkata
dengan suara lirih,
"Pangeran terserang penyakit yang amat berat. Mulai sekarang harus dirawat baik-baik dan
makannya hanya bubur saja, jangan diberi daging, hanya sayur-sayur yang lembut dan obat
ini masak dan minumkan, sehari tiga kali. Harus dijaga baik-baik jangan sampai kaget karena
jantungnya lemah sekali."
Mendengar ini, Thian Lee termenung. Pangeran Bian Kun telah menjadi seorang yang tak
berdaya, sakit berat. Dan sebetulnya, mau apakah dia datang ke situ? Hendak membunuhnya?
Dia pikir bahwa perbuatannya itu tidaklah tepat. Ayahnya dan Bu Cian dahulu menghajar
Sang Pangeran karena pangeran itu mengarnbil gadis-gadis dusun merijadi selir. Akibat dari
pemukulan ini, ayahnya dan Bu Cian dianggap pemberontak dan tewas karena melawan
pasukan yang hendak menangkap mereka. Bagaimanapun juga, tidak dapat dipersalahkan
kepada pangeran ini tentang kematian ayahnya Dan untuk perbuatannya yang mata keranjang,
pangeran itu kini sudah menerima hukumannya, sakit berat. Thian Lee lalu meloncat pergi
dari situ, tidak jadi turun tangan karena dia masih ragu-ragu apa yang harus dilakukannya
terhadap seorang pangeran yang sakit sekali.
Pada keesokan harinya di menyelidiki dan mendapat kepastian bahwa memang benar yang
sakit itu adalah Pangeran Bian Kun. "Sudahlah, tidak perlu lagi aku memberi hajaran kepada
Pangeran Bian Kun," pikir Thian Lee. Dia lalu mengambil keputusan untuk pergi saja ke Paoting
untuk mencari supeknya yang bermarga Souw itu.
Thian Lee berjalan sambil melamun. Uangnya sudah habis, tinggal sedikit lagi, paling-paling
dapat dipakai membeli ma-kan selanma satu minggu lagi. Setelah itu habis. Dia harus bekerja
untuk mendapatkan uang. Siapa tahu, supeknya dapat memberi pekerjaan kepadanya.
Tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda dari belakang. Dia menengok dan nampak dua
orang penunggang kuda sedang membalapkan kuda mereka dar! belakang.
"Engkau kalah, Suheng!" terdengar Suara wanita, yaitu penunggang kuda terdepan sambil
mencambuki kudanya.
"Belum tentu!" 'jawab suara pria, yaitu penunggang kuda di belakangnya. Thian Lee mingglr
agar jangan tertabrak kuda, akan tetapi wanita itu tetap saja membentak,
"Minggir kau! Mau mati ditabrak kuda? Tarrrr....!" Pecutnya mencambuk dan ujung pecut itu
menyentuh caping yang dipakai Thian Lee sehingga pinggir caping itu robek. Kedua
penunggang kuda itu lewat sambil tertawa-tawa.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 154
Thian Lee meiihat bahwa penunggang kuda pertama adalah seorang gadis vang cantik manis
berpakaian serba nierah muda, sedangkan di belakangnya adalah seorang pemuda tampan
yang berpakaian serba putih dari sutera. Kedua orang itu memang cocok sekall. Yang wanita
can-tik, yang pria tampan! Thian Lee mengambil capingnya dan memeriksa capingnya yang
robek. Dia menarik napas panjang. Bagaimanapun juga, gadis tadi angkuh dan juga kasar,
tanpa sebab, hanya untuk menyuruhnya minggir, membikin robek capingnya. Akan tetapi dia
me-makai lagi capingnya dan sudah melupakan kedua orang penunggang kuda tadi.
Thian Lee memasuki kota Pao-ting. Sebuah kota yang besar dan ramai. Dia senang dengan
kota ini. Tidak sebesar dan seramai kota raja, akan tetapi kota ini cukup ramai, banyak tokotoko
rumah makan dan rumah penginapan. Mulailah dia bertanya-tanya tentang supeknya
yang she Souw, seorang tokoh Kun-lun-pai.
Yang ditanya mengerutkan alisnya dan ketika Thian Lee bertanya di tempat yang ramai,
beberapa orang merubungnya. "Orang she Souw? Tokoh Kun-lun-pai? Ah, tentu ahli silat,
ya? Jangan-jangan yang kaumaksudkan itu adalah Souw-pangcu (Ketua Souw)!"
"Souw-pangcu?" tanya Thian Lee herait karena dia tidak tahu apakah supeknya itu pangcu
ataukah bukan.
"Tentu Souw-piauwsu (Pengawal Barang Souw)."
"Souw-piauwsu?" Thian Lee menjadi semakin bingung.
"Begini, orang muda," kata seorang laki-laki setengah tua. "Kami semua tidak tahu apakah di
sini ada seorang tokoh Kun-lun-pai she Souw, akan tetapi kami mengenal seorang yang ahli
silat she Souw. Dia adalah Ketua Kim-liong-pang bernama Souw Can yang kita biasa sebut
Souw-pangcu. Dia pun memiliki piauw-kok (perusahaan pengawalan barang) karena itu kita
juga menyebutnya Souw-piauwsu. Entah itu atau bukan orang yang kaucari."
"Andaikata bukan dia, tentu dia juga dapat memberi petunjuk tentang tokoh Kun-lun-pai she
Souw. Kau cobalah mencari keterangan ke Kim-liong-pang, orang muda," kata seorang lain.
Thian Lee mengucapkan terima kasih lalu pergi ke tempat yang ditunjukkan orang-orang itu,
yaitu ke pusat perkumpulan Kim-liong-pang (Perkumpulan Naga Emas).
Kim-liong-pang adalah sebuah perkumpulan silat yang terkenal di Pao-ting. Anggautanya
tidak kurang dari seratus orang dan selain merupakan perkumpulan silat yang besar, juga
Kim-liong-pang membuka perusahaan pengawal barang. Hampir semua pedagang di Pao-ting
mempercayakan pengiriman barang berharga dan dagangan mereka melalui perusahaan Kimliong-
pang ini karena semua pengiriman selalu tlba di tempat tujuan dengan selamat. Ketua
Kim-liong-pang bernama Souw Can dan blasa disebut Souw-pangcu, juga karena dia ke-pala
dari perusahaan piauw-kiok, dia pun disebut Souw-piauwsu. Pangcu ini seorang yang lihai
sekali, karena dia seorang tokoh Kun-lun-pai yang telah menamatkan pelajaran silatnya di
Kun-lun-pai. Sebagai Ketua Kim-liong-pang yang membuka perusahaan piauw-kiok, maka
penghasilan keluarga Souw ini cukup besar sehingga dla dapat membiayai perkumpulannya
dan juga hidup sebagai keluarga yang berkecukupan.
Souw Can mempunyai seorang anak perempuan yang diberi nama Souw Hwe Li, seorang
gadis cantik jelita yang kini telah berusia delapan belas tahun. Selain itu, juga dia mempunyai
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 155
seorang keponakan yang sudah yatim piatu dan keponakan perempuan ini bernama Liu Ceng,
biasa dipanggil Ceng Ceng yang usianya juga delapan belas tahun dan ketika kecilnya
menjadi teman bermain Hwe Li. Souw Can menurunkan ilmu silatnya kepada puterinya, juga
sedikit ilmu dia ajarkan kepada Liu Ceng. Tidak seluruh ilmunya diajarkan kepada Liu Ceng
karena dia tidak menghendaki kalau keponakannya ini kelak lebih lihai dari puterinya.
Sebetulnya maksud ini baik-baik saja, akan tetapi ternyata telah menanamkan kesombongan
dalam diri Hwe Li yang selalu merasa lebih lihai daripada saudara misannya.
Selain dua orang gadis itu, di rumah keluarga Souw juga terdapat seorang pe-muda yang
menjadi murid Souw Can. Setiap hari pemuda itu berada di rumah itu dan baru pada malam
harinya dia pulang ke rumahnya sendiri. Pemuda tampan ini bernama Lai Siong Ek, putera
dari jaksa yang bertugas di Pao-ting. Terjalin perhubungan yang akrab antara Hwe Li dan
Siong Ek, dan agaknya hubungan akrab ini direstui oleh Souw Can, karena guru ini setuju
kalau muridnya kelak menjadi mantunya. Siapa yang tidak suka berbesan dengan Jaksa Paoting,
seorang pembesar yang amat kuasa di kota itu?
Kepada Lai Siong Ek ini, Souw juga mengajarkan semua ilmunya sehingga dibadingkan
dengan Hwe Li, Siong Ek ini hanya berselisih sedikit saja dan mereka berdua merupakan
teman berlatih, juga teman berburu.
Pada hari itu, sambil menunggang kuda, Siong Ek dan Hwe Li baru pulang berburu binatang.
Hwe Li adalah gadis yang tadi merobek caping Thian Lee dengan pecutnya. Ketika di
halaman rumah, mereka disambut oleh Lu Ceng atau Ceng Ceng.
"Ah, kalian sudah pulang?" tegur Teng Ceng.
Hwe Li melemparkan tiga ekor kelinci hasil buruannya kepada Ceng Ceng. "Enci Ceng, kuliti
dan masak daging kelinci ini!" Dilemparkan tiga ekor itu ke atas tanah dan sikapnya seperti
meme-rintah seorang pelayan saja.
Akan tetapi Ceng Ceng tidak merasa tersinggung. Sudah biasa adik misannya itu bersikap
kasar kepadanya. Pula, ia tahu diri karena ia hanyalah seorang gadis yatim piatu yang mondok
di situ, maka ia pun membantu pekerjaan para pelayan.
Siong Ek juga melompat turun dari kudanya dan menyerahkan dua ekor kelinci kepada Ceng
Ceng. "Ceng-sumoi, inl pun ada dua ekor. Mari kubantu engkau membawa ke dapur."
"Suheng, biarkan Enci Ceng membawa sendiri ke dapur. Membawa sebegitu saja dibantu
segala!" kata Hwe Li dan mendengar teguran ini, Slong Ek tldak jadi membantu Ceng Ceng.
"Biarlah, Suheng. Biar kubawa sendiri lima ekor kelenci ini ke dapur."
"Suheng, mari kita berlatih pedangl" kata Hwe Li sambil melompat turun dari atas kudanya.
Seorang pelayan segera menghampiri mereka dan menuntun dua ekor kuda itu ke istal. Dua
orangmuda» mudi itu lalu berlari-lari kecil memasuki lian-bu-thia (ruangan berlatih silat)
untuk berlatih ilmu pedang.
Mereka masing-masing mengambil pedang dari rak senjata dan Hwe Li ber-kata, "Suheng,
mari kita berlatih di pe-karangan saja. Di sana hawanya sejak, tidak pengap seperti di ruangan
ini!"
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 156
"Akan tetapi di sana akan kelihatan dari luar, Sumoi!"
"Biar saja! Siapa peduli orang luar?
Mereka mau nonton, juga tidak mengapa. Ilmu pedang kita tidak mengecewakan bukan?"
Sesungguhnya memang selain di pekarangan yang luas itu tidak pengap, juga gadis ini
sengaja hendak memamerkan ilmu pedangnya kepada orang yang berlalu-lalang di jalan
depan pekarangan mereka!
Siong Ek tidak membantah lagi. Dia memang tldak berani membantah apa yang dikehendaki
sumoinya yang manja itu. Dan kalau sampai Hwe Li marah dla pun takut karena ilmu
kepandaian sumoinya itu memang lebih tinggi sedikit dibandlngkan ilmunya. Mereka lalu
berlari keluar dan beriatih pedang di pekarangan depan. Beberapa orang anggauta Kim-liongpang
yang melihat inl, hanya menyaksikan dengan kagum saja. Bagi mereka, kepandaian dua
orang muda ini memang hebat.
Sebagaimana yang memang diharapkah oleh Hwe Li, tak lama kemudian banyak orang yang
lewat di situ berhenti dan menonton latihan silat pedang itu dari luar pintu halaman. Hal ini
menambah semangat Hwe Li yang menggerakkan pedangnya lebih cepat lagi sehingga
suhengnya terpaksa juga memutar pedang lebih cepat untuk melayaninya. Mernang ilmu
pedang Kun-lun amat indah dipandang. Gerakan yang amat cepat itu membuat sepasang
pedang lenyap, berubah menjadi dua gulungan sinar yang menyambar ke sana-sini. Orangorang
yang lewat mendapat tontonan grati& dan kedua orang muda itu pun mendapat
pengagum yang banyak. Kedua pihak sama-sama puasnya.
Akan tetapi, ketika keduanya scdang ramai-ramainya berlatih pedang, seorang anggauta Klmllong-
pang berseru, "Siocia, harap berhenti dulu!" Setelah anggauta itu berseru sampai tiga
kali, barulah Hwe Li berhentl menggerakkan pedangnya dan keduanya menarlk kembali pedang
mereka. Hwe Li mengerutkan alis-nya memandang kepada anggauta yang
menghentikannya berlatih pedang itu. la melihat anggauta itu berdiri di pinggiran bersama
seorang pemuda yang memakai caping lebar.
"Maaf, Nona. Ini ada seorang tamu yang hendak bertemu dengan Pangcu." kata anggauta
Kim-liong-pang itu.
"Ahh, mengganggu saja!" kata Hwe Li dan anggauta Kim-liong-pang itu setelah
menghadapkan Thian Lee segera pergi dari situ, takut kena marah oleh nona majikannya yang
memang galak itu. "Sia-pa engkau? Ada urusan apa hendak bertemu dengan ayahku?" tanya
Hwe U dengan nada angkuh.
Thian Lee menundukkan mukanya, agar jangan dikenal bahwa dialah yang pernah hampir
ditubruk oleh kuda nona itu. Kini dia mengenal benar bahwa nona berpakaian serba merah
muda inilah yang tadi hampir menubruknya, bersama pemuda yang berpakaian serba putih.
juga sudah tadi dia menyaksikan mereka berdua berlatih ilmu pedang. Tadi dia menghampiri
seorang di antara anggauta-anggauta Kinn-liong-pang yang ikut menonton dan menyatakan
bahwa dia ingin bertemu dengan Souw-pangcu. Ketika ditanya ada urusan apa, dia
mengatakan ada urusan pribadi penting sekall yang harus dibicarakannya sendiri dengan
Souw-pangcu. Karena itulah anggauta itu menghentikan latihan Hwe Li dan menghadapkan
pemuda itu kepada Sang Nona yang galak, agar pemuda itu dimarahi!
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 157
"Nona, saya mempunyai urusan pribadi yang amat penting dengan Souw-pangcu, persoalan
yang harus saya sampaikan sendiri kepada Souw-pangcu. Harap Nona suka hadapkan saya
dengan Souw-pangcu,"
"Souw-pangcu, Souw-pangcu....!" kata Hwe U marah. "Kalau ada urusan bicarakan saja
dengan para anggauta kasni. Atau setelah engkau menghadapku sekarang, kalau ada
persoalan, katakan kepadaku!"
"Tidak mungkin, Nona. Harus saya sampaikan sendiri kepada Souw-pangcu tidak bisa kepada
orang lain."
"Akan tetapi aku puterinya, tahu?" "Tetap saja tidak bisa, Nona." Tiba-tiba pedang itu
bergerak cepat sekali ke arah muka Thian Lee akan tetapi pemuda itu tidak bergerak, seolah
tidak mengerti bahwa ujung pedang sudah mengancam mukanya. Dan sekali pedang itu
menyontek ke atas, capingnya terbuka!
"Hemm, aku pernah melihat caping itu!" kata Hwe Li dan ia melihat pinggir caping yang
robek itu, ia berseru, "Benar, engkau adalah orang dusun yang tadi hampir ditubruk kudaku!
Heii, mau apa engkau ke sini? Orang seperti engkau ini, seorang dusun tidak mungkin
mengirim barang berharga untuk dikawal. Juga tidak mungkin datang untuk belajar silat,
Habis, engkau mau apa? Hayo katakan!"
"Maaf, hanya bisa saya katakan kepa-, da Souw Pangcu seorang," kata Thian Lee sambil
membungkuk hendak mengambil capingnya. Akan tetapi ada sinar pedang mendahuluinya.
"Brettt....!" Dan caping itu telah robek pecah menjadi dua potong! Ternyata pedang Hwe Li
yang bergerak cepat membacok caping itu dengan marah.
"Kalau engkau tidak mau mengaku kepadaku, lebih baik engkau cepat pergi dari sini!" Hwe
Li menudingkan telunjuk kirinya ke arah pintu halaman. Orang-orang yang menonton, juga
para anak buah Kun-liong-pang, menganggap Thian Lee seorang muda lancang.
Saya tidak mau pergi sebelum bicara dengan Souw-pangcu," kata Thian Lee dengan kukuh.
"Wuuuttt....!" Tahu-tahu ada yang menyambar dan pedang di tangan gadis itu sudah
menodong dadanya. Ujung pedang sudah menempel pada baju di dadanya, akan tetapi Thian
Lee sama sekali tidak bergerak.
"Cepat mengaku, kalau tidak pedang ini akan menembus jantungmu!" bentak Hwe Li. Thian
Lee maklum bahwa gadis itu angkuh dan galak sekali, akan tetapi dia pun tahu bahwa itu
hanya gertakan saja. Pada saat itu muncul seorang laki-laki berusia lima puluh lima tahun
yang tinggi tegap, mukanya merah dan sikapnya gagah sekali.
"Hwe Li!" laki-laki itu membentak.
”Tarik pedang itu!"
Mendengar bentakan ayahnya, Hwe Li lalu menarik pedangnya.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 158
"Apa yang kaulakukan itu, Hwe li?" laki-laki itu menegur dengan suara marah.
"Habis, dia menjengkelkan hatiku, Ayah. Ditanya apa keperluannya datang tidak mau
mengaku!" gadis itu membela diri.
"Benar, Suhu," kata Lai Siong Ek membela sumoinya. "Orang itu sungguh mencurigakan, dia
datang dan kukuh minta bertemu Suhu. Ditanya keperluannya, tidak mau mengaku sehingga
Sumoi menjadi marah sekali."
"Diam kalian! Lain kali tidak boleh engkau memperlakukan tamu seperti ini. Dengar kau,
Hwe Li?"
Gadis itu mengangguk dan suaranya lirih sekali ketika menjawab, "Baik Ayah, Mari, Suheng,
kita berlatih di dalam," Lalu sambil bersungut-sungut gadis itu mengajak suhengnya untuk
pindah ke lian-bu-thia.
Souw Can, orang itu, menggeleng kepalanya dan menggumam, "Manja....!" Kemudian dia
menghadapi Thian Lee dan bertanya, "Orang muda, apakah engkaui hendak bertemu dengan
aku?"
"Apakah Paman yang bernama Souw-pangcu?" kata Thian Lee sambil memberi hormat.
Souw Can tersenyum. Pemuda ini memang aneh dan agak lancang, baru bertemu telah
menyebut paman kepadanya, akan tetapi slkapnya hormat dan suaranya juga lembut,
sebetulnya tidak pantas untuk membikin marah orang.
"Benar, aku bernama Souw Can, pangcu dari Kim-liong-pang. Siapa engkau, orang muda dan
apa keperluanmu?"
Thian Lee melirik ke arah orang-orang yang masih menonton dan mendengarkan, dan dia
menjawab lirih, "Nama saya Song Thian Lee dan saya ingin sekali bicara denganmu, Paman."
Sepasang mata itu terbelalak ketika mendengar nama Thian Lee, terutama nama marganya
yang Song itu. "Begitukah? Mari, mari masuk dan bicara di dalam." Dia mempersilakan
pemuda itu mengikutinya dan membawanya masuk ke dalam ruangan tamu yang tertutup.
Setelah mereka berdua duduk, Thian Lee segera saja mengajukan pertanyaan,
Maaf, Paman, kalau saya mengganggu waktu Paman, bahkan telah membuat marah puteri
Paman. Akan tetapi sebelum saya bicara, saya hendak bertanya, apakah Paman ini seorang
murid Kun-lun-pai?" Dia hanya ingin penjelasan Walaupun tidak ragu-ragu lagi setelah
rnenyaksikan ilmu pedang tadi. Dari gu-runya, dia mendapat keterangan tentang Ciri-ciri ilmu
dari partai-partai besar sehingga tadi dia mengenal ilmu pedang Kun-lun-pai.
"Benar sekali. Apa hubungannya dengan kedatanganmu?"
"Dan apakah Paman mempunyai seorang sute yang bernama Song Tek Kwi?" Souw Can
memandang ke arah jendela dan pintu, kemudian mengangguk.
"Benar pula.?"'
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 159
Mendengar ini, Thian Lee segera menjatuhkan dirinya berlutut didepan pangcu itu. "Supek,
saya Song Thian Lee adalah putera mendiang Ayah Song Tek Kwi."
Souw Can terkejut dan cepat membangunkan Thian Lee. "Bangkitlah dan dudukiah. Siapa
namamu tadi"? Thian Lee? Ah, mendiang ayahmu adalah seorang yang keras hati, terlalu
menurutkan suara hati tidak suka mempergunakan pertimbangan dan akal budi sehingga dia
tewas sebagai seorang pemberontak. Sayang sekali....! Coba ceritakan bagaimana engkau dan
ibumu dapat lolos daril hukuman, Thian Lee. Aku hanya mendengar bahwa ayahmu tewas
dan ibumu dapat meloloskan diri membawa puteranya yang baru setahun usianya. Engkaukah
anak itu?"
"Benar, Supek. Ibu memang telah befhasil membawa lari saya dan kanru berpindah-pindah
tempat sampai saya berusia sepuluh tahun. Akan tetapi, Ibu lalu mengalami malapetaka
sehingga ia pun meninggal dunia." Dengan suara berduka Thlan Lee menceritakan tentang
perbuatan seorang lurah jahat sehingga ibunya tewas.
Souw Can mendengarkan dan menggeleng-geleng kepala dengan kagum. ”Ibumu seorang
wanita yang hebat. Dapat menjaga kehormatannya sampai saat terakhir. Engkau harus bangga
dengan ayah dan ibumu, Thian Lee. Dan sekarang engkau berhasil menemukan aku. Apa
kehendakmu datang kepadaku?"
"Begini, Supek. Saya sebatang kara, maka saya ingin sekali mencari keluarga Ayah atau Ibu.
Kalau sekiranya Supek mengetahui ada keluarga mendiang ayah dan ibu, saya akan merasa
senang sekali untuk mencari mereka.
Souw Can menghela napas panjang. "Sepanjang yang kuketahui, ayahmu sudah tidak
mempunyai keluarga lagi, dan tentang ibumu aku tidak tahu ba-nyak. Akan tetapi, aku adalah
suheng dari ayahmu, boleh kauanggap sebagai keluargamu sendiri, Thian Lee. Apakah ada
yang dapat kutolong untukmu?"
"Terima kasih, Supek. Kalau Supek dapat memberi pekerjaan kepadaku, saya akan berterima
kasih dan senang sekali."
Wajah Souw Can berseri. "Pekerjaan? Tentu saja dapat! Engkau pernah belajar ilmu silat
bukan?"
"Hanya belajar dari Ibu ketika saya masih kecil sampai berusia sepuluh tahun, Supek. Tidak
ada artinya."
"Sayang, kalau engkau pandai silat engkau dapat menjadi piauwsu di sini mengawal barang.
Akan tetapi kalau tidak pandai ilmu silat, tentu saja tidak bisa, karena pekerjaan piauwsu amat
ber-bahaya, harus melindungi barang kirimari dari gangguan pencuri dan perampok. Akan
tetapi, engkau dapat belajar ilmu silat di sini. Ya benar, engkau belajar silat dan sementara
engkau belum pandai, engkau boleh menjadi kusir saja dulu. Membawa kereta yang dimuati
barang yang dikawal. Sanggupkah engkau?
"Terima kasih, Supek. Tentu saja saya sanggup!"
"Bagus! Dan maafkan kelakuan puteriku tadi. Mari kukenalkan engkau dengan keluargaku.
Engkau tidak perlu mengaku sebagai putera Song Tek Kwi yang dikenal sebagai
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 160
pemberontak. Hal itu akan berbahaya sekali kalau diketahui petugas negara. Engkau mengaku
saja putera seorang sahabatku yang telah meninggal dunia. Mengenai nama marga Song,
banyak terdapat yang bermarga Song, maka boleh saja kaupergunakan asal jangan
menyebutkan nama mendiang ayahmu."
Thian Lee lalu dibawa masuk, dipekenalkan dengan Nyonya Souw yang manis budi.
Kemudian dia diajak ke lian-bu-thia di mana Hwe Li dan Siong Ek sudah selesai latihan.
"Hwe Li, perkenalkan, ini adalah Song Thian Lee, putera seorang sahabat lama ayahmu!" kata
Souw Can memperkenalkan. "Thian Lee, puteriku yang manja ini bernama Souw Hwe Li.
Hwe Li, engkau harus menyebut twako kepada Thian Lee. Mulai sekarang dia bekerja dengan
kita, menjadi kusir kereta barang, dan dia akan mulai belajar silat di sini. Aku minta engkau
banyak memberi petunjuk kepadanya."
Thian Lee saling memberi hormat dengan Hwe Li yang agaknya memandang rendah.
Kemudian Thian Lee juga diperkenalkan dengan Lai Siong Ek, putera jaksa di Pao-ting,
Thian Lee memberi hormat kepada pemuda itu, dengan hati agak was-was. Kalau jaksa tahu
bahwa dia putera pemberontak Souw Tek Kwi, sekarang juga tentu dia menjadi buruan
pemerintah!
"Ayah, Ayah tidak pernah bercerita tentang sahabat Ayah itu. Siapakah ayahnya yang menjadi
sahabat Jama Ayah itu?" tanya Hwe Li sambil memandangt wajah Thian Lee. Harus
diakuinya sekarang bahwa wajah pemuda itu tampan, bahkan garis-garisnya lebih jantan
dibanding Siong Ek.
"Aih, ayahnya adalah seorang sahabat baik yang dulu di waktu ayahmu ini masih muda
banyak menolongku. Akan tetapi sekarang dia telah merunggal dunia, juga isterinya sehingga
Thian Lee ini menjadi yatim piatu. Karena dia tidak mempunyai siapa-siapa lagi maka aku
memberi pekerjaan kepadanya. Mulai sekarang dla tinggal di sini dan bekerja sebagai kusir
kereta. Kelak kalau dia sudah belajar silat sampai pandai, dia boleh menjadi seorang
piauwsu."
Hwe Li menjebikan bibirnya yang merah. "Sudah dewasa begini baru beiajar silat, mana bisa
menjadi pandai, Ayah?"
"Kalau engkau dan Siong Ek suka membimbing dan membantu, tentu dia dapat lekas menjadi
pandai. Aku sendiri tidak banyak waktu untuk rnendidik, maka kuserahkan kepada kalian
berdua untuk memberi bimbingan," kata Souw Can. "Dan engkau jangan bersikap buruk
kepadanya, Hwe Li. Sudah kukatakan bahwa dahulu ayahnya banyak menolongku, maka
sekarang tiba giliran kita membalas kebaikan kepada puteranya."
"Baik, Ayah," kata Hwe Li bersungut-sungut, sementara itu Siong Ek memandang dengan
agak mengejek.
"Nah, sekarang tunjukkan kepada Thian Lee kamarnya. Beri sebuah kamar di samping,
jangan kamar belakang bersama pelayan. Dia harus kita anggap sebagai keluarga sendiri,"
kata ayahnya. "Thian Lee mulai sekarang engkau boleh bertanya apa saja kepada Hwe Li, ia
yang akan memberi tahu segala kepadamu dan membimbingmu belajar silat. Setelah tinggal
di sini kira-kira sebulan, baru engkau boleh ikut mengirim barang kawalan sebagai kusir."
Souw Can lalu meninggalkan mereka.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 161
Setelah orang tua itu pergi, Hwe memandang Thian Lee. Pemuda itu juga memandangnya dan
harus dia akui bahwa gadis itu cantik sekali. Cantik dan man-ja terutama bibir itu yang
dibiarkan berjebi seperti menantang. Dan dia juga melihat sikap Siong Ek yang memandang
rendah kepadanya dan bersikap angkuh, akan tetapi merendah terhadap gadis seperti mencari
muka.
"Siapa namamu tadi?" Hwe Li sambil menggerakkan dagunya dengan sikap angkuh.
"Song Thian Lee."
"Hemm, tahu-tahu aku menemukan seorang twako. Sungguh lucu!" kata Hwe Li.
”Seorang twako dari dusun," sambung Siong Ek sambil menahan tawa. Hwe Li memandang
ke arah pakaian Thian Lee. Memang dari kain kasar dan potongannya seperti pakaian petani.
"Hushh, Suheng. Engkau tidak boleh menghinanya, Ayah dapat marah kepadamu. Awas,
nanti dia akan mengadu kepada Ayah. Eh, Thian Lee, ehh... Twako, apakah engkau tukang
mengadu?"
Thian Lee tersenyum dan menggeleng kepala. "Aku bukan seorang yang suka mengadu."
"Bagus! Kalau engkau mengadu, aku tidak segan-segan untuk memukulmu, biarpun harus
menyebutmu twako. Nah, mari kutunjukkan kamarmu." la mendahului pergi ke dalam diikuti
oleh Thian Lee dan juga Siong Ek. Thian Lee membawa buntalannya dan mengikuti gadis itu.
Untung pedangnya tidak kelihatan menonjol di dalam buntalan pakaian itu dan diam-diam dia
merasa khawatir juga. Bagaimana dia dapat menyembunyikah pedang itu? Kalau sampai
pedang itu terlihat, tentu akan timbul kecurigaan karena pedangnya bukan pedang biasa. Dia
harus menyembunyikannya!
Setelah di kamar itu, Hwe Li lalu meninggalkan, Thian Lee sambil berkata, Nah, inilah
kamarmu. Setiap hari harus kaubersihkan dan jaga baik-baik kamar ini. Ini adalah kamar
tamu, jangan membikin kotor. Nanti setelah engkau selesai, engkau boleh ke dapur minta
makan kepada pelayan. Aku akan memesan kepada mereka untuk melayanimu." Setelah
berkata demikian, Hwe Li pergi bersama Siong Ek. Belum lama mereka pergi, Thian Lee
masih dapat mendengarkan mereka itu membicarakan dia.
"Menjemukan sekali!" kata gadis itu. "Akan tetapi ayahmu menyukainya," kata Siong Ek.
"Harus mengajarkan silat kepadanya. Awas, akan kusiksa dia dengan latihan-latihan berat!"
Dan mereka berdus lalu tertawa-tawa. Tentu mereka tidak menduga bahwa dari jarak sejauh
itu Thian Lee dapat menangkap pembicaraan mereka dengan jelas.
Setelah mereka pergi, Thian Lee menutupkan jendela dan pintu, kemudian dia melihat
keadaan kamar itu. Tidak ada tempat yang aman untuk menyembunyikan pedangnya.
Kemudian dia memandang ke atas. Ya benar, di bawah atap itulah tempat persembunyian
yang baik sekali. Dia lalu membawa pedangnya melompat ke langit-langit dan mehemukan
tempat untuk menyembunyikan pedangnya di bawah atap. Kemudian dia turun lagi dengan
hati tenang. Sekarang tidak ada apa-apa lagi yang dapat menimbulkan kecurigaan. Dia
tersenyum kalau teringat akan percakapan tadi. Dia akan dilatih ilmu silat oleh Hwe Li.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 162
Latihan berat sebagai siksaan! Mengapa gadis itu bersikap demikian kepadanya, seolah-olah
membencinya?
Demikianlah, mulai hari itu Thian Lee tinggal di rumah Ketua Kim-liong-pang dan dia pun
mulai diberi pelajaran ilmu silat oleh Souw Hwe Li yang kadang dibantu oleh Lai Siong Ek.
Karena takut kepada ayahnya, maka Hwe Li benar-benar memberi pelajaran ilmu silat, akan
tetapi agaknya ia memang memberi tugas yang berat-berat kepada Thian Lee. Mula-mula
Thian Lee diajari memasang kuda-kuda yang kuat dan untuk menguji sampai di mana
kemajuan dan kekuatan kaki Thian Lee, tidak jarang Hwe Li menyapu kaki itu dengan
tendangannya sehingga Thian Lee jatuh bangun!
Pada suatu hari Souw Hwe Li dengan ditemani Lai Siong Ek sudah berada di lian-bu-thia
bersama Thian Lee. Thian Lee sudah siap untuk menjadi bulan-bulan siksaan kedua orang itu
seperti biasa ketika mengajarkan ilmu silat. Akan tetapi sekali ini Hwe Li berkata dengan
suara ketus,
"Ayah menghendaki agar engkau dapat menggunakan semacam senjata untuk membela diri
kalau engkau menjadi kusir dan dihadang perampok. Nah, sekarang kaupilih sebuah di antara
senjata-senjata di rak ini. Aku akan mengajarkan engkau memainkan senjata itu. Pilih salah
satu!" katanya sambil menunjuk ke rak senjata di mana terdapat delapan belas rnacam ,
senjata.
Thian Lee memandang ke arah sen-jata-senjata itu lalu berkata, "Siauw-moi, aku ngeri
melihat senjata yang tajam-tajam dan runcing-runcing itu. AkU takut kalau-kalau tubuhku
terkena sendiri ketajaman dan keruncingannya. Maka, biarlah aku memilih senjata tongkat ini
saja, dapat kupakai menggebuk kalau-kalau ada anjing hendak menggigit kakiku."
Siong Ek tertawa. "Tongkat untuk menggebuk anjing? Akan tetapi tanpa memiliki tenaga sinkang
yang kuat, apa artinya tongkat ini bagimu. Thian Lee? Sekali bertemu pedang atau golok
lawan, tentu akan patah menjadi dua potong."
"Sudahlah, kalau itu yang dia pilih, biarkanlah," kata Souw Hwe Li. "Agaknya memang lebih
cocok kalau seorang kusir membawa sebatang tongkat." Tentu saja ucapan ini merupakan
olok-olok.
Thian Lee memandang kagum. "Siauw-moi, apakah engkau dapat memainkan semua senjata
ini?"
"Tentu saja. Dan tongkat itu pun dapat kumainkan dengan baik. Nah, lihat dan pelajarilah. Ini
namanya Ta-kaw-tung (Tongkat Penggebuk Anjing) dan merupakan ilmu tongkat yang
ampuh." Gadis itu lalu mengambil tongkat dari rak senjata dan mulai bersilat dengan tongkat
itu. Demikian cepat gerakannya sehingga Thian Lee berseru,
"Wah, jangan cepat-cepat, siauw-moi.
Bagaimana aku dapat mengikuti dan mencontoh gerakanmu kalau begitu cepat?"
Hwe Li menghentikan gerakannya lalu mengajarkan jurus demi jurus kepada Thian Lee. Dan
setiap latihan, Thian Lee disuruh melawannya dan tentu pemuda itu terkena gebukan atau
sapuan pada kakinya sehingga dia kembali harus jatuh bangun. Akan tetapi karena ajaran
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 163
yang keras ini, dalam waktu sebulan dia sudah dapat memainkan ilmu tongkat yang oleh
Hlwe Li disebut Ta-kaw Tung-hoat itu. Gerakannya memang masih kaku, akan tetapi dia
sudah mampu mainkan jurus pertama sampai jurus ke delapan belas.
Setelah sebulan dia berada di situ, setiap hari berlatih silat dan juga me-ngurus kuda-kuda di
istal, pada suatu hari Souw-pangcu memanggilnya, "Thian Lee, kulihat engkau setiap hari
tekun imempelajari ilmu silat dan menurut laporan Hwe Li, engkau sudah dapat memainkan
senjata tongkat yang kaupilih sendiri. Aku ingin melihat engkau memainkan tongkat itu.
Cobalah!"
Thian Lee lalu mengambil tongkat itu dan di depan Souw-pangcu dia pun nneng-gerakkan
tongkat itu dari jurus pertama sampai selesai. Gerakannya masih kaku, akan tetapi sudah
cukup memadai.
"Bagus, setidaknya engkau sudah da-pat membela diri sekarang. Nah, mulai besok engkau
boleh ikut mengantarkan barang kawalan sebagai seorang kusir. Kebetulan besok ada kiriman
barang ke Souw-ciu, tidak berapa jauh akan tetapi melewati Bukit Merak yang kadang-kadang
suka terdapat perampok yang mengganggu. Beranikah engkau?"
"Kalau hanya mengusiri, kenapa tidak berani, Supek? Kalau ada perampok mengganggu,
yang melawan tentu para piauwsu, bukan saya."
"Benar, akan tetapi engkau juga harus "melindungi kuda-kudamu dari serangan penjahat.
Bagaimana kalau ada penjahat hendak merampas kuda? Apakah engkau akan diam saja?
Harus kaulawan dengan tongkatmu."
Thian Lee mengerutkan alisnya, ke-lihatan khawatir. "Baiklah, Supek. Mudah-mudahan saja
tidak ada perampok!"
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Thian Lee telah bersiap-siap. Kini dia mendapatkan
pakaian seperti seorang piauwsu yang gagah dan dia mengenakan pakaian itu. Lalu dia
mempersiapkan kereta dan memberi pakaian kepada dua ekor kuda yang akan menarik <ereta.
Selagi dia sibuk membuat persiapan, muncullah Hwe Li.
"Selamat pagi, Siauw-moi. Sepagi ini engkau sudah bangun?"
"Twako, aku mendengar engkau akan mengusiri kereta yang membawa barang kawalan ke
Souw-ciu? Hati-hati, Twako dan jaga kereta baik-baik, jangar mem-bikin malu aku yang
selama ini memberi petunjuk kepadamu," kata Hwe Li nadanya menggoda.
Thian Lee memperlihatkan tongkatnya dengan bangga. "Dengan tongkat ini aku akan
menjaga kuda dan kereta, Siauw-moi. Jangan khawatir. Ajaranmu pasti berguna bagiku."
Gadis itu hanya tersenyum dan meninggalkannya. Rombongan itu berangkat dengan dua
kereta penuh muatan barang dan dikawal oleh dua belas orang anak buah Kim-liong-pang.
Yang menjadi piauwsunya adalah dua orang murid Kim-liong-pang yang sudah pandai,
bernama Ciang Hoat dan Gan Bun Tek. Dua orang itu membawa pedang di punggung mereka
dan kelihatan gagah perkasa. Di atas dua buah kereta itu dipasangi bendera yang bergambar
seekor naga emas, sebagai tanda bahwa kereta itu dilindungi oleh Kim-liong-pang
(Perkumpulan Naga Emas). Karena Thian Lee merupakan seorang kusir baru yang belum
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 164
berpengalaman dan belum mengenal jalan, maka kereta-nya berada di belakang, mengikuti
kereta pertama. Para anak buah Kim-liong-pang itu dibagi menjadi dua, enam orang di depan
kereta dan enam orang pula di belakang, masing-masing dipimpin seorang piauwsu. Ciang
Hoat yang lebih tua ber-ada di depan sedangkan Gan Bun Tek berada di belakang kereta.
Mereka semua menunggang kuda dan rombongan itu segera berangkat.
Kalau hanya penjahat-penjahat kecil saja tentu tidak akan berani mengganggtt rombongan dua
kereta ini. Baru bendera yang berkibar di atas kereta itu saia sudah merupakan jaminan
keamanan, apalagi dua orang piauwsu dan dua belas orang anak buahnya yang nampaknya
demikian gagah perkasa. Ciang Hoat adalah seorang murid Kim-liong-pang yang sudah
pandai, berusia empat puluh tahun dan tubuhnya tinggi kurus. Dia sudah memiliki banyak
pengalaman karena sudah puluhan kali mengawal barang kiriman dan ilmu pedangnya juga
amat lihai. Barangkali hanya Hwe Li dan Siong Ek saja yang memiliki tingkat kepandaian
lebih tinggi darinya. Adapun piauwsu ke dua, Gan Bun Tek berusia tiga puluh lima tahun dan
tubuhnya sedang namun kokoh kekar karena dia bertenaga besar. Dalam hal ilmu pedang, dia
pun hanya sedikit di bawah tingkat Ciang Hoat tian dia pun sudah berpengalaman sebagai
piauwsu.
Perjalanan dari Pao-ting sampai jauh keluar kota terjadi dengan aman dan lancar. Ketika
Bukit Merak nampak di depan, Ciang Hwat berseru kepada anak buahnya agar berhati-hati.
Akhir-akhir ini terdapat berita bahwa Bukit Merak tidak aman dan sering kali muncul orangorang
jahat di tempat itu.
Gan Bun Tek yang berada di belakang kereta juga memberi isarat kepada anak buahnya agar
berhati-hati dan mereka menjalankan kuda di kanan kiri kereta ke dua untuk menjaga segala
kemungkinan.
Ketika rombongan itu mendaki lereng bukit itu dan tiba di dalam hutan, tiba-tiba dari kanan
kiri meluncur anak-anak panah yang menyerang mereka. Akan tetapi, dua orang piauwsu dan
anak buah-nya sudah siap, cepat mencabut pedang dan berhasil menangkis semua anak panah
sehingga runtuh ke atas tanah. Dan pada saat itu nampak belasan orang ber-lompatan keluar
dari balik semak belukar dan batang-batang pohon. Mereka adalah orang-orang yang
nampaknya kasar dan bengis, memegang golok dan sikap mereka penuh ancaman. Akan
tetapi orang-orang itu tidak segera menyerang, melainkan hanya mengepung dua buah kereta
itu bersama para pengawalnya. Mereka agaknya menanti pimpinan mereka dan tak lama
kemudian muncullah pimpinan mereka itu. Dia seorang tinggi besar yang mukanya bopengbopeng.
Buruk sekali muka itu, akan tetapi menggiriskan dengan matanya yang besar dan
bersinar-sinar, mulutnya yang cemberut dan tubuh yang tinggi besar itu penuh dengan otot
yang melingkar-lingkar. Tangan kanannya memegang sebatang golok gagang panjang yang
lebar dar tajam berkilauan seperti Golok Naga Hijau yang biasa menjadi senjata dari
pahlawan besar Kwan In Tiang di jaman Sam Kok.
Melihat tokoh yang kelihatan tangguh ini, Ciang Hoat segera maju dan nemberi hormat.
"Kami dari Kim-liong-pang hendak pergi ke Souw-ciu dan numpang lewat. Harap saudara
yang budiman suka memberi jalan dan untuk itu kami siap untuk memberi sekedar
sumbangan!" Dia mengeluarkan sekantung uang dan mengangkat kantung itu ke atas.
Memang demikianlah kebiasaan di dunia kang-ouw.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 165
Seorang piauwsu kadang-kadang harus bersikap bersahabat dengan golongan Lok-lim atau
golongan rimba raya sebagai sebutan para perampok. Kalau perlu para piauwsu itu tldak
segan untuk memberi hadiah sebagai sogokan agar barang kawalannya jangan diganggu.
Akan tetapi, orang tinggi besar yang mukanya bopeng itu membelalakkan matanya dan
suaranya terdengar meneeuntur ketika dia berteriak, Kalian menghina Coat-beng-kwi (Setan
Pencabut Nyawa)? Aku menghendaki dua buah kereta itu dan semua isinya untuk ditukar
dengan nyawa kalian semua. Bagaimana? Kalau menolak, tetap saja dua buah kereta dan
isinya akan menjadi milik kami dan kalian semua akan mampus disini”.
Jilid 10________
Mendengar ini, semua piauwsu merasa tegang dan Gan Bun Tek mengerutkan alisnya ketika
dia melihat Thian Lee merayap turun dari atas kereta dan pemuda itu segera masuk ke kolong
kereta bersembunyi! Celaka, pikirnya. Kusir baru yang katanya masih sanak pangcu itu
ternyata seorang pemuda pengecut dan penakut, akan tetapi karena semua perhatian ditujukan
kepada kepala perampok yang julukannya menyeramkan itu, maka tidak ada yang
mempedulikan sikap Thian Lee.
Ciang Hoat mencoba untuk menyabarkan kepala perampok itu. "Sobat, sejak dahulu kami dari
Kim-liong-pang tidak pernah ada permusuhan dengan para kerabat dari liok-lim dan kangouw,
maka kami harap janganlah mengganggu kanru dan kami akan melaporkan kepada
pang-cu kami atas kebaikanmu itu."
"Hemm, kalau memang bersahabat, tinggalkan kereta-kereta itu. Kalau hen-dak melanjutkan
perjalanan, harus dapat lebih dulu mengalahkan golokku!" Berkata demikian, dia
melintangkan golok gagang panjang itu didepan dadanya dan dengan sikap menantang dia
menghadapi Ciang Hoat. Tentu saja Ciang Hoat menjadi marah. Dia melompat turun dari atas
kudanya sambil mencabut pedangnya dari punggung. Semua anggauta Kim-liong-pang juga
bersiap-siap, berloncatan turun dari atas kuda dan mencabut senjata. Akan tetapi melihat anak
buah perampok itu tidak turun tangan, mereka juga hanya berjaga-jaga sambil mengitari dua
buah kereta. Sementara itu, Gan Bun Tek juga menghampiri suhengnya untuk melihat
bagaimana suhengnya melawan kepala perampok itu dan kalau perlu rnembantu.
Kepala perampok yang berjuluk Setan Pencabut Nyawa itu tertawa bergelak ketika melihat
Ciang Hoat memegang pedang menghadapinya. Tubuhnya yang seperti raksasa itu memang
tidak sebanding dengan tUbuh Ciang Hoat yang tinggi kurus.
"Ha-ha-ha, apakah engkau hendak mengantar nyawa? Lebih baik serahkan dua kereta itu dan
kalian boleh pulang dengan nyawa masih utuh!"
"Hemm, tidak periu banyak bicara lagi. Kami dari Kim-liong-pang tidak pernah takut
menghadapi penjahat!"
"Kalau begitu mampuslah!" Bentak raksasa itu sambil mengayun goloknya yang bergagang
panjang itu, menyerang dengan bacokan dahsyat ke arah kepala Ciang Hoat. Piauwsu ini
mengelak dengan merendahkan tubuhnya dan pedang-nya mencuat untuk balas menyerang.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 166
"Tranggg....!!" Pedang bertemu golok dan pedang itu terpental. Terdengar ke-pala perampok
itu tertawa nyaring. Dalam pertemuan pertama itu saja pedang telah terpental, tanda bahwa
kepala perampok itu memiliki tenaga yang besar.
"Ha-ha-ha, serang! Rampas kedua buah kereta'" kepala perampok memberi aba-aba dan kini
semua anak buahnya dengan golok diacungkan maju menye-rang sambil mengeluarkan
bentakan-bentakan menyeramkan. Para anak buah Kim-liong-pang menyambut dan terjadilah
pertempuran yang hebat. Gan Bun Tek sudah mencabut pedangnya dan membantu suhengnya
karena ternyata bahwa kepala perampok itu lihai bukan main.
Akan tetapi di tengah keributan itu terjadilah hal yang aneh sekali. Tiba-tiba saja ketika
kepala perampok itu memutar goloknya mendesak kedua orang piauwsu, setitik sinar hitam
menyambar dan mengenai pergelangan tangannya. Dia berteriak dan goloknya terlepas dari
pegangannya! Dia masih hendak menyambar golok yang terlepas itu, akan tetapi tiba-teytiba
saja "Tukk!" perutnya terasa nyeri sekali karena ada sebuah kerikit menghantam perutnya,
demikian kerasnya sehingga kerikil itu menembus celananya dan mengenai kulit perutnya,
seperti disengat kelabang saja rasanya! Kembali dia mengaduh, akan tetapi tiba-tiba "Tukkk'."
sebutir kerikil mengenai dahinya dan timbullah sebutir telur di dahi itu. Kini kepala perampok
maklum bahwa ada orang pandai mempermainkannya, maka dia pun menjadi jerih. Dia
melompat jauh ke belakang sambil meneriaki anak buahnya agar mundur. Para perampok
yang mendapat perlawanan hebat dari anak buah Kim-liong-pang, ketika mendengar teriakan
pemimpin mereka segera berloncatan dan sebentar saja semua perampok lenyap di balik
semak belukar. Tak ada seorang pun anggauta rombongan itu yang terluka dan dua orang
piauwsu itu saling pandang dengan terheran-heran. Mereka tidak melihat adanya kerikilkerikil
yang tadi menyambar ke arah tubuh kepala perampok itu, hanya melihat kepala
perampok yang kuat dan lihai itu melepaskan goloknya, kemudian berloncatan ke belakang
sambil menerlaki anak buahnya seolah-olah tiba-tiba merasa takut sekali!
Bagaimanapun juga, hati mereka terasa lega sekali dan mengira bahwa tentu akhirnya kepala
perampok agaknya jerih melihat bendera Kim-liong-pang maka mundur sendiri. Ketika
mereka mengumpulkan anak buah, mereka tidak melihat Thian Lee.
"Eh, di mana kusir barU itu?" tanya CAang Hoat dengan heran dan khawatir.
Gan Bun Tek tertawa sambil menuding ke kolong kereta. Semua orang melongok ke bawah
kereta dan benar saja, Thian Lee meringkuk di bawah kereta dengan ketakutan. Semua orang
tertawa dan Thian Lee dengan kemalu-maluan lalu merangkak keluar. Perjalanan dilanjutkan
dengan selamat dan setelah menyerahkan barang-barang kawalan itu di Souw-ciu, mereka lalu
pulang ke Pao-ting. Pada keesokan harinya barulah mereka tiba di Pao-ting dan ramailah
rnereka bercerita tentang perampokan itu dan betapa mereka semua dapat rnengusir para
perampok! Dan tidak lupa mereka menceritakan betapa Thian Lee ketakutan bersembunyi di
kolong kereta.
Wajah Souw Can menjadl marah mendengar ini. Dia ikut nrierasa malu karena semua
anggauta Kim-liong-pang tahu beiaka bahwa pemuda itu dianggap se-bagai keluarga Sang
Ketua.
"Thian Lee, engkau bagaimana sih?" tegurnya ketika dia memanggil pemuda itu ke dalam.
"Ada perampok rnengganggu, engkau tidak membantu para piauwsu malah bersembunyi di
kolong kereta. Memalukan!"
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 167
"Supek perampoknya amat galak dan menyeramkan. Aku menjadi takut. Dan pula, apa yang
dapat saya lakukan?"
"Aihh, ingatlah. Engkau ini putera seorang pendekar besar! Mendiang ayahmu dahulu adalah
seorang pendekar yang perkasa. Masa engkau anaknya menjadi penakut? Mulai sekarang
akan kuajarkan sendiri ilmu tongkat itu kepadamu!"
"Baiklah, Supek." Diam-diam Thian Lee merasa girang karena kalau supeknya yang
mengajarnya sendiri berarti dia akan bebas darl gangguan Hwe Li yang bengal.
Demikianlah, mulai hari itu, Thian Lee dilatih sendiri oleh supeknya dan Sang Supek merasa
girang karena dia mendapat kenyataan bahwa Thian Lee cukup cerdik dan mudah memahami
ilmu tongkat itu. Kini gerakan Thian Lee tidak kaku lagi dan dia pun diajarkan menghimpun
tenaga dalam pukulan tongkatnya.
Sebulan telah lewat semenjak pens-tiwa perampokan itu. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali,
Siong Ek sudah berada di Kim-liong-pang dan sudah berlatih pedang dengan sumoinya. Thian
Lee menonton dari samping dan merasa kagum. Setelah mereka selesai berlatih, Thian Lee
bertepuk tangan memuji.
"Bagus, bagus! Kiam-hoat yang bagus sekali!" serunya girang.
"Hemm, Lee-twako engkau tahu apa tentang kiam-hoat? Baru memegang pe-dang saja
engkau tidak berani, takut tanganmu terluka. Hayo, daripada bertepuk tangan memuji tidak
karuan, aku ingin mencoba ilmu tongkat yang sudah kaupelajari dari Ayah!" kata Hwe Li.
"Mana aku berani, Siauw-moi."
"Hayo, Twako. Aku ingin memberi pe-tunjuk kepadamu!"
"Tidak, tidak, kalau berlatih denganmu aku hanya akan menerima gebukan dan akan jatuh
bangun," kata Thian Lee. Pada saat itu, sebelum Hwe Li dapat memaksanya, Thian Lee sudah
melangkah pergi menuju ke istala kuda. Akan tetapi mereka semua mendengar suara ributribut
di pekarangan depan dan segera mereka semua pergi keluar untuk melihatnya.
Ternyata di halaman depan nampak berdiri dua orang yang sedang bertengkar mulut dengan
para anak buah Kim-liong-pang. "Aku ingin bertemu dengar Ketua Kim-liong-pang. Panggil
dia keludr atau kami akan masuk mencarinya sendiri ke dalam rumah."
"Kalian takkan berani!" Bentak lima orang anak buah Kim-liong-pang itu sambil maju untuk
mendorong mundur dua orang itu, akan tetapi sekali dua orang itu menggerakkan tangan kaki,
lima orang murid Kim-liong-pang ituterlempar dan terbanting jatuh.
"Ha-ha-ha-haa, beglni saja rriurid-mu-rid Kim-liong-pang?" Seorang di antara kedua orang itu
tertawa. Dia adalah seorang tinggi besar bermuka bopeng dan Thian Lee segera mengenal
bahwa dia itu adalah kepala perampok dari Bukit Merak! Dan yang seorang lagi adalah
seorang kakek berusia lima puluh tahun yang tubuhnya tinggi kurus, membawa pedang di
punggung dan nampaknya pendiam dan angkuh.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 168
"Dia... dia adalah kepala perampok dari Bukit Merak itu!" kata Thian Lee dan mendengar ini,
Hwe Li dan Siong Ek segera larl menghampiri. Sementara itu, Souw Can juga sudah nnuncul
dari dalam rumah, mendengar laporan dari anak buahnya.
Souw Can segera memberi hormat kepada dua orang tamunya. "Apakah Ji-wi mencari aku?
Aku adalah Kim-liong-pangcu dan ada keperluan apakah mencariku?"
Si Muka Bopeng memandang dengan mata mencorong, lalu sambil menggerakkan golok
gagang panjang dia berkata, suaranya menggelegar, "Sudah lama aku mendengar akan nama
besar Ketua Kim-liong-pang, akan tetapi ternyata anak buah Kim-liong-pang hanyalah orangorang
yang curang dan pengecut. Kalau bertanding suka menyerang orang dengan sembunyi.
Karena itu aku datang bersama suhengku untuk menantang orang-orang Kim-liong-pang
rnengadu ilmu dengan jujur!"
Souw Can tersenyum. Dia pun sudah mendengar dari laporan anak buahnya tadi bahwa yang
datang adalah kepala rampok dari Bukit Merah. "Apakah Slcu ini yang berjuluk Coat-bengkwi?"
"Benar, akulah Coat-beng-kwi. Hayo suruh keluar murid Kim-llong-pang yang tempo hari
melawanku, akan kutunjukkan bahwa aku tidak kalah oleh mereka. Atau kalau para murid
tidak berani, gurunya boleh juga maju melawanku!" ; katanya dengan sikap sombong sekali.
Melihat kesombongan orang itu, Lai Slong Ek menjadi marah sekali, Dia me-loncat ke depan
dan berkata kepada suhunya, "Suhu, biarlah teecu menghadapi manusia sombong ini!"
katanya sambil mencabut pedangnya. Souw Can sudah mendengar bahwa Ciang Hoat dan
Gan Bun Tek berhasil mengusir perampok ini. Tingkat kepandaian Siong Ek jauh lebih tinggi
dari pada tingkat kedua orang piauwsu itu, maka dia pun mengangguk sambil berkata,
"Berhati-hatilah engkau!"
Siong Ek menghadapi Coat-beng-kwi sambil menyilangkan pedang di depan dada. "Engkau
berjuluk Coat-beng-kwi? Bukankah engkau ini kepala perampok dari Bukit Merak yang sudah
berlari tunggang-langgang dipukul mundur oleh para piauwsu kami? Jangan bicara sombong,
akulah murid Kim-liong-pang yang akan menghadapimu!"
"Bagus, sekarang kita bisa bertandi.ng satu lawan satu tanpa ada penyerang gelap berbuat
curang!" kata Coat-beng-kwi, lalu dia menggerakkan golok gagang panjangnya sambil
membentak, "Lihat golok!" Golok itu menyerang dengan dahsyatnya. Akan tetapi dengan
lincahnya Siong Ek mengelak dan balas menyerang. Segera keduanya sudah saling serang
dengan seru dan hebatnya.
Dengan jurus Pek-in-ci-tian (Awan Putih Keluarkan Kilat) Siong Ek menyerang. Muia-mula
pedangnya berputar di atas kepala, membentuk gulungan sinar putih, kemudian dari gulungan
sinar itu mencuat sinar pedang yang meluncur dan menusuk ke arah leher lawan. Akan tetapi
raksasa muka bopeng itu memutar goloknya dan menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Trang...."" Nampak buhga api berpijar menyilaukan mata ketika kedua senjata itu bertemu
dan nampak Siong Ek terkejut karena pedangnya terpental ke-ras. Dari pertemuan kedua
senjata itu saja sudah jelas bahwa dia kalah kuat dalam hal tenaga. Si Setan Pencabut Nyawa
agaknya tahu pula akai hal itu dan dia tertawa bergelak. GoloKnya lalu dlputar dengan cepat
bukan main, menyapu kaki Siong Ek. Pemuda ini meloncat dengan gerakan Lo-wan-teng-ki
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 169
(Monyet tua Melompat Cabang) untuk menghindarkan diri dari sabetan golok pada kakinya
dan langsung saja sambil melom-pat dia menyerang dengan jurus Sian-jin-sia-cok (Dewa
Memanah Batu). Pedangnya meluncur cepat sekali ke depan dan menusuk ke arah dada lawan
bagaikan luncuran anak panah. Akan tetapi Si Raksasa itu memang lihai sekall. Blarpun
tubuhnya besar, dia dapat bergerak cepat dan sudah berhasil mengelak ke kiri se-hingga
tusukan itu pun luput.
Sementara itu, kini semua anak buah Kim-liong-pang sudah berada di situ me-nonton
pertempuran dan siap-siaga me-nanti perintah Sang Ketua. Sedangkan Souw Can sendiri
menonton dengan alis berkerut. Setelah pertandingan itu ber-langsung lima puluh jurus,
tahulah dia bahwa muridnya itu tidak akan dapat nnenang melawan raksasa muka bopeng itu.
Selagi dia hendak menyuruh muridnya mundur, Siong Ek sudah menerjang lagi dan kini
pemuda itu menggunakan jurus yang hebat sekali. Tubuhnya membuat gerakan berputar dan
pedangnya ikut berputar, kemudian sambil berputar itu dia lalu membacok ke arah ieher dan
inilah jurus Sin-liong-tiauw-si (Naga Sakti Menyabetkan Ekornya). Hampir saja leher Si
Tinggi Besar terbabat pedang akan tetapi dia masih sempat menangkis sam-bil berbareng
kakinya menendang ke depan.
"Bukk!" Paha kanan Siong Ek terkena tendangan dan dia terlempar ke belakang dengan
pedang masih di tangan. Dia tidak terbanting jatuh karena dapat berjungkir balik, akan tetapi
ketika kedua kakinya turun, dia agak terhuyung karena pahanya yang tertendang terasa nyeri.
"Ha-ha-ha-ha, cuma sebegitu saja kepandaian murid pilihan dari Kim-liong-pang?" Si Tinggi
Besar itu tertawa bergelak dengan sikap sombong dan mengejek.
"Jangan menghina Kim-liong-pang!" Tiba-tiba Thian Lee maju sambll menyeret tongkat yang
biasa dia pakai untuk berlatih silat. "Aku adalah murid Kim-Hong-pang dan aku yang akan
menandingimu”.
Melihat Thian Lee yang ketololan itu maju menantang, Hwe Li terbelalak dan menghampiri
pemuda itu. "Twako, jangan bermain gila. Apa-apaan engkau ini? Mundurlah!" katanya
sambil mendorong dan dldorong begitu saja, Thian Lee terhuyung-huyung hampir jatuh, Akan
tetapi dia nekat, menghampiri lagi Si Raksasa muka bopeng sambil mengejek,
"Hayo, muka bopeng buruk seperti monyet. Kenapa diam saja? Apa engkau takut melawan
tongkatku ini? Hayo cepat berlutut agar aku dapat menggebuk pantatmu tujuh kali sebagai
hajaran!"
Semua orang Kim-liong-pang memandang heran dan terkejut, juga khawatir sekali. Mereka
semua tahu siapa Thian Lee, seorang yang tolol dan sebagai kusir pernah bersembunyi
ketakutan ketika dihadang perampok. Kini berani maju menantang Si Raksasa yang telah
mengalahkan Lai Siong Ek? Gila! Akan tetapi Souw Can memandang dengan terharu. Dla
tahu bahwa Thian Lee baru beberapa bulan saja belajar ilmu silat, tidak mungkin dapat
menandingi raksasa itu. Akan tetapi Thlan Lee berani! Itu untuk membela nama baik Kimliong-
pang. Sungguh pemuda ini tidak mengecewakan menjadi putera mendiang Siong Tek
Kwi'.
Sl Raksasa menjadi marah bukan main. Dia memelototkan matanya sampai nyaris terloncat
keluar dari pelupuknya ketika memandang pemuda yang memegang torigkat itu. Tadi saja
didorong oleh " gadis itu sudah hamplr jatuh, dan cara memegang tongkat begitu kaku,
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 170
hendak menantangnya? Sebetulnya dia ingisi mentertawakan, akan tetapi ucapan Thian Lee
itu membuat dia tidak mampu tertawa karena marahnya, apalagi melihat wajah orang-orang di
situ yang terheran-heran juga nampak geli mendengar ucapan pemuda itu.
"Jahanam, apa engkau, sudah bosan hidup!" bentaknya.
"Tidak, aku masih suka hidup Engkau yang agaknya sudah bosan hidup."
"Kaukira akan dapat melawanku?" bentak lagi Si Raksasa yang merasa dipandang rendah.
Masa dia hendak diadu dengan badut ini?
Kini Thian Lee memegang tongkat dengan tangan kanan dan telunjuk kirinya menuding ke
arah hidung raksasa itu tanpa berkata-kata. Karena dituding hidungnya, raksasa itu otomatis
memegang hidungnya.
”Apa yang kaupandang itu?"
"Hidungmu penuh coreng-moreng!" Dengan sendirinya raksasa itu menggosok-gosok
hidungnya dan melihat tangannya, akan tetapi tidak ada apa-apanya. "Jangan main gila kau!"
'"Tidak, aku tahu bagaimana harus mengalahkanmu. Aku telah mempelajari ilmu tongkat Takaw-
tung (Tongkat Pemukul Anjing) dan sekarang ilmu tongkatku itu akan berubah menjadi
Ta-kwi-tung (Tongkat Pemukul Setan) dan setannya adalah engkau. Bukankah julukanmu
Setan Pencabut Nyawa?"
Dapat dibayangkan bagaimana marahnya raksasa itu. Dan para anak buah Kim-liong-pang
kini tidak dapat menahan tawanya. Mereka tadi merasa tidak se-nang dan penasaran sekali
melihat Siong Ek dikalahkan, kini melihat raksasa itu dipermainkan dengan kata-kata oleh
Thian Lee, mereka merasa gembira sekali sampai lupa bahwa Thian Lee meng-hadapi lawan
yang amat tangguh dan dapat berbahaya sekali baginya.
Coat-beng-kwi hampir tak dapat menahan kemarahannya lagi. Akan tetapi sebagai seorang
jagoan dia merasa malu kalau harus berurusan dengan seorang pemuda tolol ini, maka
bentaknya kepada Souw Can, "Souw-pangcu, majulah sendiri menghadapi aku, jangan
mengajukan kacung tolol ini?"
"Tidak bisa, tidak bisa'." kata Thian Lee ngotot dan nekat. "Sebelum engkau mengalahkan aku
muridnya, tidak mungkin engkau melawan gurunya! Atau barangkali engkau takut
menghadapi Ta-kwi-tung ini?" Dia mengamangkan tongkatnya.
"Setan jahanam, mampus engkau di tanganku!" bentak Coat-beng-kwi sambil menggerakkan
goloknya.
"Coat-beng-kwi, ingat, ini hanya adu kepandaian. Kalau sampai engkau membunuhnya aku
tidak akan memberi ampun kepadamu!" Souw Can berkata dengan nada mengancam.
"Ah, Supek. Mana mungkin setan seperti ini membunuhku?" kata Thian Lee dan kini raksasa
itu sudah bergerak maju.
"Lihat golok!" Goloknya menyambar dahsyat. Thian Lee melompat mundur untuk mengelak.
Lompatannya kaku dan beberapa gebrakan saja dia sudah terdesak, lari ke sana-sini pontangGelang
Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 171
panting, dan berloncatan untuk menghindarkan serangan golok lawan. Melihat inl, raksasa itu
tertawa bergelak-gelak dan tahulah dia bahwa dia benar-benar berhadapan dengan seorang
muda yang miring otaknya karena ternyata tidak pandai silat!
"Sungguh tolol!" omet Hwe Li sambil mengepal tinju dan Siong Ek yang berdiri di
sampingnya juga merasa khawatir sekali. Dla sudah merasakan betapa lihai lawan itu dan kini
Thian Lee berani mati sekali mencoba untuk melawannya.
Akan tetapi, kalau bagi orang laln kelihatan Thlan Lee seperti orang tolol yang lari ke sanasini,
bergerak terhuyung dan mengelak sedapat mungkin, bagi Coat-beng-kwi makin lama
suara tawanya semakin berkurang karena dia merasa aneh sekali. Pemuda itu mengelak
dengan kacau, akan tetapi goloknya tidak pernah mampu menyentuhnya dan ketika sekali dua
kali ujung tongkat pe-muda itu menangkis dengan gerakan yang amat kaku, dia merasa betapa
tangannya yang memegang golok tergetar hebat dan terasa amat panas!
Sementara itu, ketika Souw Can melihat betapa Thian Lee dapat mengelak dari sambaran
golok itu, dia pun merasa heran. Jelas sekali gerakan Thian Lee bukan gerakan silat, hanya
berloncatan seperti kanak-kanak bermain tali, akan tetapi sampai belasan jurus dia dapat
menghindarkan diri dari semua bacokan itu. Dla lalu mencoba untuk memberi petunjuk
berdasarkan ilmu tongkat yang selama beberapa bulan ini dilatih oleh Thian Lee. Ketika
meiihat lowongan, dia berteriak, "Pukul kepalanya dari kiri'"
Mendengar bentakan Ketua Kim-liong-pang itu, otomatis Si Raksasa Bopeng menggerakkan
golok menangkis ke arah sebelah kiri kepalanya. Akan tetapi ternyata Thian Lee bukan
menghantam ke kiri kepalanya melainkan menghantam ke bawah, ke arah kaki kanannya!
"Takk!" Tulang kering raksasa itu bertemu dengan tongkat sehingga rnengeluarkan bunyi
nyaring. Dan aneh! Bagi semua orang, tentu tenaga pukulan Thian Lee itu tidak ada artinya
karena pemuda itu tidak memiliki tenaga sin-kang yang kuat, akan tetapi kenyataannya, Si
Raksasa itu mengeluarkan suara mengaduh dan berloncatan dengan sebelah kakinya. karena
kaki kanannya terasa seolah-olah remuk. Nyerinya bukan alang-kepalang!
Terdengar sorakan. Para anak buah Kim-liong-pang kini bersorak. Biarpun mereka bingung
bagaimana pemuda itur mampu menandingi Si Raksasa dengan gerakan ngawur, akan tetapi
melihat kakii raksasa itu terkena pukulan sehingga dial mengaduh-aduh, tentu saja hati
merekaj semua menjadi gembira. Hwe Li membelalakkan matanya, demikian pula Siong Ek.
Bahkan Souw Can memandang tanpa berkedip. Apa yang terjadi? Dia sendiri tidak mengerti
mengapa begitu. Apakah sebetulnya raksasa itu sama sekali tidak becus? Akan tetapi
muridnya Siong Ek, tadi dikalahkannya. Dan ketika dia mem-beri petunjuk kepada Thian Lee,
pemuda itu salah menggerakkan tongkatnya, ngawur tidak karuan. Akan tetapi, kini raksasa
itu memutar goloknya dengan sema-kin dahsyat karena dia sudah marah sekali. Dan Thian
Lee berloncatan seperti tadi. Melihat lowongan lagi, Souw Can memberl aba-aba dengan
cepat.
"Tiga kali totokan ke arah kaki!" Memang dalam ilmu tongkat itu ada satu jurus yang
menotok ke arah kedua kaki secara bergantian dan berturut-turut sebanyak tiga kali. Thian
Lee menurut anjuran supeknya, tongkatnya i-neluncur ke bawah. Raksasa bermuka bopeng itu
cepat meloncat ke atas sambil melintangkan gagang goloknya untuk menangkis. Akan tetapi
tiba-tiba tongkat itu membalik, bukan menyodok ke arah kaki melainkan menyodok ke arah
kepala.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 172
"Duk-duk-dukk!" Kini dahi raksasa itu menjadi korban sodokan ujung tongkat dan seketika
tumbuh tiga telur berjajar pada dahi itu, Kembali Coat-beng-kwi mengaduh dan tangan
kirinya mengelus dahi yang bejol-benjol besar itu. Tepuk sorak meledak menyambut hasil ini
dan sejenak raksasa bermuka bopeng itu terhuyung ke belakang.
Thian Lee masih bersilat dengan tongkatnya, presis kalau dia berlatih. Souw Can terheranheran.
Jelas Thian Lee ngawur, akan tetapi mengapa malah berhasil?
Hwe Li bertanya kepada Siong Ek dengan heran, "Suheng, apa yang terjadi?"
"Aku tidak mengerti, Sumoi. Mungkin hanya kebetulan saja!" kata pemuda itu dan dia
menonton dengan mata tak per-nah berkedip, terheran-heran bagaimana kini raksasa itu
mudah saja terkena pu-kulan Thian Lee sedangkan pedangnya tadi tidak pernah dapat
mengenai lawan.
Akan tetapi Coat-beng-kwi sekarang mengerti. Dia tahu akan kesalahannya. Dia terlalu
mendengarkan aba-aba yang dikeluarkan Souw Pangcu sehingga dia menjaga bagian yang
disuruh serang, padahal murid yang ketololan itu menye-rang sebaliknya. Kalau tadi disuruh
me-nyerang kepala, yang diserang kakinya, sebaliknya disuruh menyerang kaki yang diserang
kepalanya. Maka dia sampai kecurian. Kini dengan kepalanya terasa berdenyut-denyut,
kakinya masih ngilu, dia menyerang lagi dengan buasn a. Saking buasnya serangan itu, Thian
Lee sampai berloncatan, berguling dan jatuh bangun, akan tetapi anehnya, golok itu tidak
pernah mengenai tubuhnya. Seolah-olah raksasa itu merasa ragu dan setiap kali goloknya
menyambar, selalu ditahannya di tengah jalan, Souw Can semakin heran. Apakah raksasa itu
merasa malu untuk melukai Thian Lee, atau-kah teringat akan ancamannya tadi sehingga
tidak melanjutkan serangannya? Sama sekali dia tidak tahu bahwa setiap kali golok itu
menyambar dekat, ada semacam hawa yang menolaknya dari tangan Thian Lee ke arah
senjata itu yang membuat gerakan golok itu menjadi tertahan. Kini Thian Lee meloncat
bangun lagi dan berusaha menyerang de-ngan tongkatnya. Kembali Souw Can melihat
lowongan dan berteriak, "Serang kepalanya!"
Kini raksasa itu tidak mempedulikan teriakan Souw-pangcu. Dia membiarkan saja kepalanya
terbuka dan menggunakan golok melindungi kakinya. Thian Lee menggerakkan tongkatnya
dan.... "takk-takk-takkk"" tiga kali berturut-turut tongkatnya menghantam kepala raksasa itu,
mengenai ubun-ubunnya! Raksasa itu terkulai dan roboh pingsan!
Tepuk sorak bergemuruh menyambut kemenangan ini. Bahkan ada anak buah Kim-liongpang
yang berloncatan dan menari-nari, ada pula yang melontarkan topinya ke atas, ada yang
saling berpelukan dengan kawan sendiri.
Sementara itu, suheng dari Coat-beng-kwi menjadi marah sekali. Dia menghampiri sutenya
yang pingsan, menepuk pundak dan tengkuknya dan raksa-sa itu siuman. Dia bangun,
menggtyang-goyang kepalanya yang pening, lalu bangkit berdiri dengan nanar. Melihat
suheng dari raksasa itu yang tinggi kurus me-mandang ke arah Thlan Lee yang masih berada
di situ dengan pandang mata pe-nuh kemarahan, Souw Can lalu memang-gil Thian Lee.
"Thian Lee, ke sini engkau!" Thian Lee menghampiri supeknya. "Kebetulan sekali engkau
menang. Engkau telah berjasa dan cepat pergilah ke belakang, jangan memperlihatkan
dirimu!" bisik supek itu yang khawatir kalau-kalau dua orang itu marah dan mengancam
keselamatan Thian Lee.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 173
"Baik, Supek." Thian Lee lalu menyeret tongkatnya masuk ke belakang rumah, disambut oleh
anak buah Kim-liong-pang yang memuji-muji keberaniannya. Tak seorang pun mengira
bahwa kemenangan Thian Lee itu memang kare-na kepandaian, melainkan karena Kebetulan
dan keberuntungan. Akan tetapi me-reka harus mengakui keberanian Thian Lee yang luar
biasa.
Sementara itu, suheng dari Coat-beng-kwi lalu berkata kepada Souw Can dan suaranya
terdengar besar parau, tidak sesuai dengan tubuhnya yang tinggi kurus. "Souw-pangcu, suteku
telah dikalahkan secara tidak wajar oleh muridmu. Sungguh penasaran sekali!"
Souw Can maju menghampiri Si Ting-gi Kurus dan dia berkata, "Muridku me-mang bodoh,
akan tetapi sudah jelas bahwa sutemu kalah, mengapa tidak wajar?"
"Hemm, jangan mengira kami bodoh, Pangcu. Engkau telah memberi petunjuk kepada
muridmu, dan itulah yang tidak wajar. Kekalahan suteku adalah tidak adil dan sekarang aku
mewakili sute untuk menantang Kim-liong-pang dan yang merasa memiliki kepandaian boleh
maju."
"Sobat, sebelum kita bicara tentang pertandingan, boleh kami mengetahui siapakah sobat ini?"
"Aku seorang suheng dari Coat-beng-kwi, dan orang menyebut aku Thian-lo kwi (Setan Tua
dari Langit). Kalau engkau sendlrl yang hendak maju, kebetulan sekali, Pangcu. Aku sudah
lama men-dengar kebesaran nama Kim-liong-pang dan aku enggan untuk bertanding dengan
murid-muridmu yang belum berpengalaman."
"Thian-lo-kwi, sebelum kita lanjutkan, aku hendak bertanya kepadamu, apakah engkau tahu
apa sebabnya sutemu memusuhi kami?"
"Apalagi, untuk membalas kekalahan-nya yang pernah terjadi secara tidak wajar. Sekarang
dia kalah lagi secara tidak wajar pula. Aku menjadi penasaran sekali. Kalau engkau
mengatakan kekalahan itu wajar, suruh murid tololmu tadi maju melawanku!"
"Thian-io-kwi, ketahuilah bahwa kami mempunyai perusahaan pengawal barang. Ketika anak
buah kami sedang mengawal barang, kami dihadang gerombolar perampok yang dikepalai
oleh Coat Beng-kwi ini. Apakah engkau hendak membela para perampok?"
"Souw-pangcu!" bentak raksasa muka bopeng yang sudah agak pulih rasa nyeri di dahi dan
kakinya. "Kedatangan kami sekali ini tidak ada sangkut-pautnya de-ngan perampokan,
melainkan dengan me-ngadu kepandaian secara jujur dan adil. Katakan saja engkau berani
tidak mela-wan suhengku?"
"Ha-ha-ha, aku Kim-liong-pangcu tidak pernah menolak tantangan dari ma-napun juga
datangnya. Tentu saja aku berani menghadapinya!"
'fKalau begitu, bersiaplah, Pangcu!" kata Thian-lo-kwi sambil mencabut pedangnya. Sutenya
lalu didorongnya supaya Bninggir dan kini kedua orang itu sudah saling berhadapan. Souw
Hwe Li menca-but pedangnya dan memberikan pedangnya itu kepada ayahnya yang keluar tidak
membawa pedang.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 174
Souw Can menerimanya dan kini kedua orang lawan itu saling berhadapan dengan pedang di
tangan. "Thian-lo-kwi, aku sudah siap melayanimu. Mulailah!" Souw-pangcu, lihat pedang!"
Kakek tinggi kurus itu mengelebatkan pedangnya dan terdengar suara berdesing nyaring.
Diam-diam Souw Can terkejut. Hebat ilmu pedang orang ini, pikirnya. Dapat menggerakkan
pedang sehingga mengeluarkan suara berdesing seperti itu saja sudah membutuhkan tenaga
sin-kang yang amat kuat. Dia pun berhati-hati dan ketika pedang lawan datang menyambar,
dia pun mengelak dan membalas dengan sabetan pedangnya yang juga dapat dielakkan lawan.
Kembali pedang Thian-io-kwi menyambar dan sekali ini, untuk mencoba tenaga lawan, Souw
Can menangkis dengan pedangnya.
"Trangggg... trangggg....i" Bunga api berpijar ketika dua pedang bertemu dua kali dan Souw
Can semakin yakin bahwa lawannya memiliki tenaga yang dahsyat sekali. Dia hanya dapat
mengimbanginya. Mereka segera terlibat dalam pertanding-an pedang yang seru. Kalau tadi
pertandingan antara raksasa muka bopeng melawan Thian Lee merupakan pertandingan yang
lucu, sekarang pertandingan antara kedua orang ini sungguh menegangkan sekali. Bahkan
Hwe Li sendiri mengepal tinju karena ia pun mengenal ilmu pedang yang hebat dari Si Tinggi
Kurus itu. Mereka berdua bersilat dengan gerakan cepat sehingga yang nampak hanya
gulungan dua sinar pedang yang saling melibat dan saling mendorong.
Sementara itu, Thian Lee tiba di istal kuda dan di situ telah berdiri Liu Ceng.
"Eh, Ceng-moi, engkau berada di sini?" tanya Thian Lee.
"Aku dilarang keluar oleh Paman,1 akan tetapi aku tadi mengintai dan melihat engkau
menangkan pertandingan, Lee-ko. Engkau... engkau... hebat sekali! Aku bangga kepadamu,
Lee-ko."
Wajah Thian Lee berubah merah dan ( jantungnya berdebar. "Aih, aku menangt hanya
kebetulan saja karena Supek membantu memberi petunjuk, Ceng-moi."
"Tidak, Lee-ko. Bukan itu yang mendatangkan kagum dalam hatiku dan bangga kepadamu.
Akan tetapi keberanianmu! Bahkan Suheng Siong Ek saja kalah dalam waktu pendek, namun
engkau berani maju. Itu berarti keberanian yang luar biasa. Sekarang barulah mereka tahu
bahwa engkau lebih hebat dari suheng yang... ceriwis itu!
"Ceriwis....? Apa maksudmu, Ceng-moi?"
"Dia serihgkali menggodaku kalau kami bertemu berdua. Ah, sungguh aku tidak suka akan
sikapnya kepadaku, Lee-ko. Kalau sampai Li-moi melihatnya, tentu la akan marah dan bisa
salah sangka terhadap diriku."
"Ssttt, sudahlah, jangan bicarakan lagi. Jauhkan saja dirimu darinya kalau begitu," kata Thian
Lee yang sibuk memakaikan pelana kuda yang paling besar di antara semua kuda yang
dirawatnya.
"Engkau mau ke mana, Lee-ko?"
"Ceng-moi, sekali ini aku minta kepa-damu jangan kau bilang kepada siapapun juga. Aku
akan mengacaukan tamu yang membikin ribut itu dengan kuda ini." Setelah berkata demikian,
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 175
Thian Lee lalu meloncat ke atas pelana kuda dan tiba-tiba saja kuda itu mengeluarkan ringkik
keras dan melonjak-lonjak. Thian Lee memegang cambuk kuda, mencoba untuk menahan dan
menenangkan kuda itu, akan tetapi makin lama kuda itu makin mengamuk dan berlarl keluar
dari istal sambil berlompatan aneh. Melihat inl, Liu Ceng menjadi khawatir dan ia pun
melompat ke pinggir dan ketika kuda itu berlari keluar, la pun mengikutinya sam-bil
memandang dengan mata terbelalak.
Kuda yang mengamuk itu kini tiba di pekarangan luar. "Minggir....! Minggir....! Kuda
mengamuk....!" Berulang-ulang Thian Lee berteriak dan kudanya menuju ke arah tempat di
mana Thian-lo-kwi masih bertanding pedang dengan serunya melawan Souw Can.
"Supek, minggir....! Kuda ini mengamuk, tak dapat dikendalikan!" teriak Thian Lee kepada
Souw Can. Mendengar seruan itu dan melihat betapa kuda itu menubruk ke arahnya, Souw
Can melompat jauh dan menghentikan pertandingannya. Akan tetapi tidak demikian dengan
Thian-lo-kwi. Si Tinggi Kurus ini agaknya marah sekali melihat ada seekor kuda mengganggu
jalannya pertandingan di mana dia sudah mulai dapat mendesak lawannya. Dia tidak mau
menyingkir melainkan menggerakkan pedangnya menusuk ke arah leher kuda!
Akan tetapi Thian Lee yang mencoba menenangkan kuda itu menggerakkan cambuknya ke
kanan kiri. "Hiyooo, belang... hiyoooo... tenanglah, tar-tar-tar....!" Cambuknya meledak-ledak
dalam usahanya menenangkan kuda dan tanpa dlsengaja cambuknya itu menyambar ke arah
tangan yang menusukkan pedang! Thian-lo-kwi terkejut sekali merasa pergelangannya nyeri
terpatuk ujung cambuk dan dengan sendirinya tusukannya ke arah leher kuda menjadi gagal!
Akan tetapi dia memang seorang yang pemurung dan pemarah. la mempercepat gerakannya
dan kembali menusuk, sekali inl ke arah perut kuda! Kuda itu berputar-putar dan melonjaklonjak
dan Thian Lee menggerakkan cambuknya ke sana kemari dan kembali pedang itu
tertangkis cambuk dan Thian-lo-kwi merasa betapa tangannya yang memegang pedang panas.
Pedangnya terpental membalik ketika bertemu ujung cambuk yang rnenangkisnya.
Para anak buah Kim-liong-pang ikut sibuk melihat Thian Lee di atas kuda yang mengamuk
itu dan mereka mencoba untuk menenangkan kuda. Akan tetapl kuda yang seperti kesetanan
itu malah makin ganas mengamuk.
Thian-lo-kwi yang merasa penasaran sekali kini menggunakan pedangnya untuk membacok
kaki belakang kuda itu. Thian Lee kembali menggerakkan cambuknya, diputar sedemikian
rupa sehingga dapat menangkis pedang yang membacok ke arah kaki belakang kuda dan pada
saat pedang lewat, kaki belakang kuda itu tiba-tiba menyepak ke belakang dan te-pat
mengenai perut Thian-lo-kwi!
Kasihan sekali kakek tinggi kurus itu. Hanya orang yang pernah disepak kuda saja dapat
menceritakan betapa hebatnya tenaga kuda menyepak! Tenaganya ratus-an kati, apalagi kuda
itu sedang marah. Biarpun Thian-lo-kwi sudah mengerahkan sin-kangnya untuk menjaga diri,
tetap saja tubuhnya terpental jauh seperti sebuah bola dan dia terbanting jatuh sampai
bergulingan jauh! Kakek itu tidak terluka parah, akan tetapi perutnya mendadak terasa mulas
dan wajahnya menja-di pucat sekali. Dan semua anak buah Kim-liong-pang tertawa melihat
kejadian yang lucu itu. Jagoan yang tadi bertanding melawan ketua mereka kena disepak kuda
sampai terguling-guling!
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 176
Merasa bahwa dia sudah tidak kuat melanjutkan perkelahian melawan Souw Pangcu yang
tangguh itu, Thian-lo-kwi lalu mengajak sutenya dengan bersungut-sungut meninggalkan
tempat itu!
Thian Lee masih dengan susah payah mencoba menenangkan kudanya. Sepertl seorang
penunggang rodeo, dia pun me-nahan agar tubuhnya jangan sampai di-lempar jauh oleh kuda
yang kesetanan itu. Pada saat itu, Souw Can meloncat ke depan kuda dan menyambar tali di
hidung kuda sambil mengerahkan sin-kangnya sehingga kuda itu tidak mampu bergerak. Pada
saat itu Thian Lee berhasil melompat turun dan sungguh aneh, begitu Thian Lee melompat
turun, kuda itu pun tidak menjadi binal lagi.
"Wah, terima kasih Supek!" kata Thian Lee sambil mengelus leher kuda menenangkan
binatang yang masih terengah-engah dan berpeluh itu.
"Thian Lee, kenapa kuda ini?" tanya supeknya."
"Entahlah, Supek. Tadi ketika saya pasangi pelana dan saya tunggangi untuk dibawa ke anak
sungai, dia mengamuk, kata Thlan Lee.
"Ha-ha-ha, Si Belang telah mampu mengusir musuh'" terdengar banyak anak buah Kim-liongpang
tertawa memuji Thian Lee lalu menuntun kuda itu ke istal dan tanpa setahu orang, dia
menyingkirkan sepotong batu runcing yang tadi dia sembunyikan dan selipkan di bawah
pelana kuda. Batu runcing itulah yang membuat kuda mengamuk karena ketika pelana
diduduki, batu itu menusuk punggungnya dan menimbulkan rasa nyeri yang hebat!
Peristiwa Thian Lee mengalahkan Coat-beng-kwi dan Si Belang menyepak Thian-lo-kwi
masih menjadi bahan percakapan para anak buah Kim-liong-pang dan sejak hari itu, semua
orang memandang Thian Lee sebagai seorang pahlawan! Bukail karena kepandaiannya, me-;
lainkan karena keberaniannya.
Akan tetapi Souw Can bukanlah seorang yang bodoh. Dia memanggil Thian Lee ke kamarnya
dan diajaknya pemuda itu bicara berdua saja, "Thian Lee, katakan terus terang sekarang.
Engkau adalah seorang pemuda yang menyembunyikan kepandaian, bukan? Mengakulah saja
terus terang."
"Ah, tidak, tidak, Supek."
"Engkau telah menang melawan COat-beng-kwi!"
"Semua itu berkat petunjuk supek dalam ilmu Tongkat Penggebuk Anjing itu!"
"Hemm, mana ada Ilmu Tongkat Penggebuk Anjing?"
"Adik Hwe Li yang mengatakan bahwa ilmu tongkat itu adalah Ta-kaw-tung."
"Hemm, ketika aku memberi petunjuk, engkau sama sekali tidak menurut petunjukku.
Kusuruh memukul kepala malah memukul kaki dan sebaiiknya dan engkau berhasil! Itu
berarti engkau memang telah memillki ilmu tongkat yang hebat."
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 177
"Tidak, Supek. Saya hanya menggunakan akal saja. Karena petunjuk Supek dl-lakukan
dengan teriakan nyaring, saya piklr lawan tentu ikut mendengar pula dan tentu akan menjaga
bagian yang Supek suruh pukui. Karena itu saya memukul baglan yang laln, yang tidak
terjaga."
Souw Can memandang tajam. "Thian Lee, Engkau bukan murid seorang sakti?"
"Bukan, Supek. Saya hanya mempela-jari ilmu silat dahulu ketika masih kecll dari Ibu."
"Ya sudahlah, akart tetapi mulai sekarang engkau ikut mengawal barang kiriman."
"Sebagai kusir, Supek?"
"Ya, ya... sebagai kusir."
Thian Lee lalu pergi ke istal dan setibanya di pekarangan belakang, Hwe Li dan Siong Ek
telah menyongsongnya. Me-reka berdua nampak penasaran sekali dan terutama sekali Siong
Ek.
"Thian Lee, engkau menjadi besar kepala karena dapat mengalahkan Coat-beng-kwi, ya?"
"Ah, tidak, Kongcu." Thian Lee memang selalu menyebut Siong Ek dengan sebutan kongcu
seperti yang dituntut darinya oleh pemuda putera jaksa itu.
"Engkau menang secara kebetulan saja karena Suhu telah memberl petunjuk padamu."
"Memang benar demikian, Kongcu”. Thian Lee merendahkan diri.
"Akan tetapi engkau dipuji-puji semua anak buah Kim-liong-pang dan sebaliknya aku diejek,
seolah-olah engkau lebih lihai dariku, buktinya aku kalah dari Coat-beng-kwi dan engkau
menang."
"Ah, jangan dengarkan, Kongcu. Itu hanya kebetulan saja."
"Tidak, aku harus membuktikan bahwa engkau memang lebih lihai dalam ilmu tongkat.
Karena itu, engkau harus melayani aku berlatih ilmu tongkat, ingin aku melihat sampai di
mana kehebatanmu bermain tongkat." Dan pemuda itu ternyata telah membawa dua buah
tongkat dan diserahkannya yang sebatang kepada Thlan Lee.
"Ah, tidak, Kongcu. Mana aku berani?"
"Twako, engkau harus menerima ajakannya. Suheng hanya ingin menguji ilmui tongkatmu,
apa salahnya dengan itu?" kata Hwe Li mendesak.
"Akan tetapi...." Thian Lee mencoba untuk membantah.
"Thian Lee, kalau engkau menolak berlatih dengan aku, itu berarti bahwa engkau memandang
rendah kepadaku!" Siong Ek berkata dengan tegas dan mendengar ini,, terpaksa Thian Lee
menerimer sebatang tongkat itu. Diam-diam dia merasa penasaran. Pemuda bangsawan ini
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 178
memang sombong dan dia pun teringat akan keluhan Ceng Ceng bahwa pemuda ini sering
menggodanya. Biarlah pemuda sombong ini menerima sedikit hajaran, pikir Thian Lee.
"Baiklah kalau engkau memaksa Kongcu. Akan tetapi kalau ada tongkat nyasar dan mengenai
tubuh Kongcu, harap jangan marah."
"Tentu saja!" kata Siong Ek. "Kalau kepalamu kena pukul olehku, juga engkau jangan marah.
Marilah kita mulai!" Setelah berkata demikian, Siong Ek sudah menerjang dengan
serangannya.
Thian Lee malnkan llmu tongkat seperti yang diajarkan oleh Hwe Li. Sebe-tulnya, Siong Ek
tentu saja mengenal ilmu tongkat itu dan dia dapat memain-kannya jauh lebih baik
dibandingkan Thian Lee. Akan tetapi karena gerakan Thlan Lee bukan sewajarnya dan
gerakan itu dldorong tenaga yang luar biasa, maka semua serangannya dapat ditangkis dengan
baik oleh Thian Lee yang meng-gunakan ilinu tongkat itu sepenuhnya, tidak memasukkan
gerakan lain. Siong Ek merasa penasaran sekali. Sudah belasan kali tongkatnya menyambar,
akan tetapi selalu kena dihadang dan ditangkis oleh Thian Lee.
Setelah lewat delapan belas jurus dan semua jurus ilmu tongkat itu sudah dipergunakan, Thlan
Lee merasa cukup. Ketika tongkat Siong Ek menyambar lagi dengan amat dahsyatnya
menghantam kepalanya, diam-diam dia mendongkol sekali. Serangan yang dilakukan Siong
Ek itu bukan berlatih lagi namanya, melainkan serangan sungguh-sungguh yang amat ,
berbahaya. Kalau serangan itu mengenai kepala, dapat membahayakan nyawa. Maka dia pun
lalu menangkis sambil mengerahkan sediklt tenaganya.
"Dukkk... plak!" Tongkat di tangan Siong Ek yang menghantam ke arah kepala itu membalik
dan mengenai kepala Siong Ek sendiri membuat pemuda itu, terhuyung dan roboh dengan
kepala benjut! Hwe Li berseru dan cepat menolong suhengnya bangkit berdiri. Siong Ek
mengelus kepalanya yang benjut dan benjol.
"Maafkan aku, Kongcu," kata Thiar Lee.
Akan tetapi yang marah malah Hwe Li. Gadis ini mencabut pedangnya dan. membentak,
"Twako, engkau berani memukul Suheng? Baik, sekarang aku yang mengajak engkau
berlatih. Aku menggunakan pedang dan engkau menggunakan? tongkatmu!"
"Tidak, Siauw-moi, aku tidak mau”.
"Engkau harus mau! Bukankah tadi engkau sudah melayani suhengku? Nah, bersiaplah, aku
ingin mencoba sampai dimana kelihaian tongkatmu!" Berkata demikian, Hwe Li sudah mulai
mernutar pedangnya dan menyerang. Terpaksa Thian Lee menggerakkan tongkatnya untuk
menangkis.
Hwe Li menusuk lagi, ditangkis lagi, lalu membacok, ditangkis lagi. Repot sekali nampaknya
Thian Lee menangkisi semua serangan Hwe Li, akan tetapi makin lama Hwe Li menjadi
semakin penasaran. la yang mengajarkan ilmu tongkat itu kepada Thian Lee, akan tetapi
sekarang pedangnya sama sekali tidak mampu menembus pertahanan tongkat pemuda itu! la
semakin penasaran dan bersemangat. Thian Lee menjadi serbia salah. Dia meloncat ke sana
sini dan menangkis. Gadis ini keras hati dar angkuh, pikirnya. Sebelum dapat
mengalahkannya tentu tidak mau sudah. Apalagi dia tadi telah membuat Song Ek terpukul
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 179
kepalanya dan agaknya hal ini membuat Hwe Li marah sekali. Dia harus dapat memuaskan
hati gadis ini kalau hendak menyudahl pertandingan itu.
Ketika pedang itu menusuk dada, Isengaja Thian Lee memperlambat elakan-inya dan pedang
itu masuk ke bawah £ketiaknya dan dijepit dengan lengan kiri-l^a» cnembiarkan kulit lengan
kirinya terluka pedang.
"Aduhh....!" Teriaknya dan dia terhuyung ke belakang. Hwe Li terkejut sekali. Demikian
cepat gerakan Thian Lee sehinga la mengira bahwa pedangnya benar-benar menembus dada
pemuda itu.
"Twako....! Kau... kau tidak apa-apa....?" Hwe Li meloncat mendekat.
"Tidak mengapa, Li-moi, hanya terluka sedikit pada lenganku," kata Thian Lee,
mennperlihatkan sebelah dalam le-ngan kirinya yang terluka berdarah.
Legalah hati Hwe Li, dan hati Thian Lee juga terhibur. Bagaimanapun juga, Hwe Li bukan
seorang gadis kejam yang suka membunuh. Dan pada saat itu muncullah Souw Can. Melihat
tangan Thian Lee berdarah, dia terkejut, apalagi melihat kepala Siong Ek juga benjol.
"Eh, apa yang telah terjadi di sini? Siong Ek, mengapa kepalamu? Dan Thian Lee, kenapa
pula lenganmu itu?"
Siong Ek tidak dapat menjawab dan Hwe Li juga takut kalau ayahnya marah. Thian Lee yang
cepat menjawab, "Ah, tidak apa-apa, Supek. Tadi saya mengajak Lai-kongcu untuk latihan.
Dia menggunakan pedang dan aku menggunakan tongkat. Sungguh, tidak ada apa-apa."
"Benar, Ayah. Mereka tadi berlatih."
"Hemm, dan Siong Ek terpukul kepa; lanya dan Thian Lee terluka lengannya?"
"Be... benar, Ayah," kata Hwe Li sambil melirik ke arah Thian Lee.
"Supek, Lai-kongcu melukai lenganku tanpa sengaja dan karena menyesal, dia mengalah dan
membiarkan kepalanya sedikit terpukul tongkatku. Akan tetapi tentu saja aku kalah jauh.
Kalau dia menghendaki, tentu bukan lenganku yang luka, akan tetapi pedang itu akan
menembus dadaku."
"Sudahlah, mulai sekarang kalian tidak boleh bertanding lagi. Mengerti?"
"Mengerti, Suhu. Maafkan teecu," kata Siong Ek yang merasa terpukul hatinya.
Bagaimanapun juga, tadi dia telah dikalahkan oleh Thian Lee! Tentu saja dia merasa
penasaran bukan main.
Setelah Souw Can pergi, Siong Ek sempat berkata kepada Thian Lee, "Mungkin dalam hal
ilmu tongkat aku kurang latihan, akan tetapi lain kali aku masih ingin mengujimu dengan ilmu
pedang!"
"Sudahlah, Suheng. Kaiau Ayah mendengarnya tentu akan marah sekali kepada kita. Twako,
jangan engkau mengatakan apa yang terjadi tadi kepada Ayah. Awas kau kalau menceritakan.
Mari, Suheng, kuambilkan obat untuk kepala-mu." Dua orang itu lalu pergi meninggal-kan
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 180
Thian Lee dan pemuda ini terme-nung. Hatinya merasa tidak enak sekali. Kalau begini sikap
Siong Ek dan Hwe Li, dia tidak mungkin dapat tinggal terus di situ. Akan terjadi hal-hal yang
tidak enak. Dia harus pergi dari situ, mencari suasana baru. Dia harus mencari alasan yang
tepat untuk berpamit dari supeknya. Supeknya terlalu memanjakan Hwe Li dan gadis itu
agaknya saling mencinta dengan suhengnya. Dia tidak ingin menn-buat mereka terus
penasaran kepadanya.
Malam itu juga dia menghadap supek-nya dan menyatakan keinginannya untuk pergi
merantau. Souw Can terkejut mendengar ini. "Apa? Engkau hendak pergi ke mana, Thian
Lee?"
"Ke mana saja, Supek. Saya hendak mencari pengalaman hidup yang baru, saya ingin pergi
ke... ke kota raja atau ke mana saja."
"Tidak mungkin. Engkau harus menga-takan yang sebenarnya kepadaku. Apa alasanmu
hendak pergi meninggalkan kami? Apakah barangkali Lai Siong Ek sudah bersikap tidak
pantas kepadamu? Ataukah puteriku yang mengganggumu?"
"Tidak, tidak, Supek. Sebetulnya... ah, terus terang saja setelah terjadi peris-tiwa pertempuran
itu, hati saya merasa tidak enak selalu. Coat-beng-kwi dan su-hengnya itu tentu merasa
dendam dan marah kepada saya dan tentu mereka akan datang lagi mencari saya. Saya... saya
merasa takut tinggal di sini. Ijinkanlah saya pergi."
Souw Can mengerutkan alisnya. Takut? Tadinya begitu berani menentang bahaya, melawan
musuh-musuh yang tangguh dan sekarang mengatakan takut?
"Kenapa takut? Di sinl ada aku yang akan melindungimu."
"Saya tidak ingin karena saya maka Supek bermusuhan dengan orang-orang kang-ouw.
Biarkan saya pergi saja, saya ingin mengunjungi makam Ibu. Sejak Ibu meninggal dunia, saya
belum pernah ber-kunjung ke makamnya. Ijinkanlah saya pergi, Supek."
Karena pemuda itu minta dengan sangat Souw Can tidak dapat menahan lagi. Dla menghela
napas panjang. "Sayang engkau hendak pergi, Thian Lee. Sebetulnya aku berniat untuk
menurunkari ilmu-ilmuku kepadamu. Agaknya engkau berbakat baik sekali. Ah, kalau engkau
ingin merantau, mengapa engkau tidak mengunjungi adikku? Dia tentu akan dapat menjadi
guru yang amat baik untukmu."
"Siapa adik Supek?"
"Adikku bernama Souw Tek Bun. Dia bukan murid Kun-lun-pai seperti aku, akan tetapi dia
telah merantau sejak kecil dan mempelajari banyak macam ilmu silat sehingga kini
kepandaiannya jauh di atas tingkatku. Dan dia se-orang yang memiliki kedudukan tinggi.
Thian Lee. Dialah yang terpilih, menjadi bengcu, pimpinan dunia kang-ouw yang dipilih
sendiri oleh Kaisar. Dia banyak berjasa untuk Kaisar dan dihormati semua orang kang-ouw.
Pergilah engkau kepadanya, Thian Lee. Dia tinggai di puncak Hong-san. Kalau engkau
mengatakan bahwa engkau murid keponaKanku dan aku yang menyuruhmu datang padanya,
tentu dia akan menerimamu dengan baik."
"Terima kasth, Supek. Akan saya perhatikan pesan dan nasihat Supek."
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 181
Ketika hendak kembali ke kamarnya. Thian Lee teringat akan kuda-kuda yang selama ini
dipeliharanya, maka dia pun lalu keluar menuju ke belakang, ke istal kuda. Tiba-tiba ia
berhadapan dengan Hwe Li yang baru masuk dari taman.
"Li-moi, kebetulan sekali kita bertemu di sinl."
"Hemm, engkau mau apa?" tanya gadis itu sambil memandang tajam.
"Aku hendak berpamit kepadamu Siauw-moi."
Gadis itu membelalakkan matanya. "Berpamit? Engkau hendak pergi ke manakah, Twako?"
"Besok pagi-pagi aku akan meninggal-jkan tempat ini, Li-moi."
"Ehh?" Gadis itu berseru heran. "Eng-kau hendak pergi ke manakah? Apakah Ayah telah
mengetahui hal ini?"
"Aku sudah berpamit kepada Supek dan dia menyetujui, aku akan pergi merantau."
"Akan tetapi mengapa engkau hendak pergi? Twako, kalau ada kesalahanku selama ini
terhadapmu, kaulupakan saja-iah. Apakah karena itu engkau pergi?"
"Bukan, Li-moi."
"Ah, aku mengerti sekarang. Tentu karena peristiwa kedatangan musuh-musuh itu."
"Li-moi, aku telah membuat keributan. Aku tidak ingin Coat-beng-kwi dan suhengnya datang
lagi mencariku. Aku harus pergi dari sini!"
"Eh-eh, engkau takut? Ada aku di sini, Twako, jangan takut. Dan ada pula Ayah."
"Bukan takut, Li-moi. Hanya aku tidak ingin karena untuk mellndungi aku, ayahmu dan
engkau akan bermusuhan dengan orang-orang kang-ouw. Aku akan pergi mengunjungi
makam ibuku, aku akan mencari pengalaman di kota raja atau mana saja."
"Ah, aku menyesal sekali.
"Kenapa menyesal, adik yang baik? Bukankah engkau biasanya tidak suka kepadaku?"
"Ihh, kenapa engkau berkata begitu, Twako? Bukankah aku telah melatihmu ilmu silat dengan
sungguh-sungguh? Aku sama sekali bukan tidak suka kepadannru. Dan... eh, bagaimana
dengan luka dt lenganmu itu? Sudah sembuhkah?" Gadis ,. itu memandahg ke arah lengan
Thlan Lee yang pernah terluka oleh pedangnya tempo hari.
"Ah, hanya luka lecet, Li-moi. Sekarang sudah sennbuh dan kering."
"Sekali lagi, Twako, engkau bukan pergi karena... marah kepadaku, bukan?"
"Sama sekali tidak. Selama ini engkau baik sekali kepadaku, Li-moi. Aku berterima kasih
sekali kepadamu dan ingin mengucapkan selamat tlnggal."
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 182
"Kalau begitu, selamat jalan, Twako. Dan kalau engkau sudah bosan merantau, kembalilah ke
sini. Ayah tentu akan menerimamu dengan senang. Aku tahu bahwa Ayah amat sayang
kepadamu."
Terharu juga hati Thian Lee diingatkan begitu. Dia pun tahu bahwa supek-nya sayang
kepadanya dan mungkin ka-rena kesayangannya itu, gadis inl merasa iri dan biasanya
bersikap tidak manis kepadanya?
"Terima kasih, Li-moi."
Hwe Li lalu melarijutkan langkahnya memasuki rumah dan Thian Lee pergi ke istal kuda.
Sampai lama dia berada di istal kuda mengelus setiap kuda yang biasa dia rawat dan beri
makan. Kemudian dia kembali ke kamarnya untuk mengambil keputusan bulat. Dia akan
pergi bersembahyang ke makam ibunya, setelah itu, dia akan merantau dan bekerja.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Thian Lee sudah mandi lalu berkemas. Dia telah
diberi beberapa stel pakaian oleh supeknya dan semua pakaian itu dia bungkus dengan sehelai
kain lebar. Dia tidak lupa untuk mengambil pedangnya dari bawah atap lalu menyembunyikan
pedang itu di dalam buntalan pakaiannya. Dengan mengikatkan buntalan itu ke punggungnya,
dia lalu mencari supeknya di ruangan dalam. Dan supeknya yang agaknya sudah tahu bahwa
dia akan berangkat pagi-pagi ternyata juga sudah bangun dan menantinya di situ.
"Ah, engkau sudah hendak berangkat, Thian Lee."
"Benar, Supek. Saya hendak berangkat j pagi-pagi, menuju ke dusun Nam-kiang-jung untuk
menyembahyangi makam ibu saya."
"Thian Lee, aku tidak dapat menahan keinginanmu merantau dan aku tidak dapat memberi
apa-apa kecuali ini. Ba-walah ini untuk bekal perjalananmu dan sebelum bekal ini habis,
engkau bekerjalah, atau kalau tidak mendapatkan pekerjaan, engkau kembalilah ke sinl."
Pangcu itu menyerahkan sekantung uang perak kepada Thian Lee.
Pemuda itu merasa terharu sekali dan dia menjatuhkan dirinya berlutut dl depan Souw Can.
"Supek telah bersikap baik sekali kepada saya. Saya tidak akan melupakan budi kebaikan
Supek ini," katanya sambil memberi hormat.
Souw Can mengangkat bangun. "Aih, sudahlah. Apa yang kulakukan kepadamu belum cukup
untuk membalas budi mendiang ayahmu kepadaku."
Setelah menerima sekantung uang perak dan menylmpannya dalam buntalannya, Thian Lee
memberi hormat lagi lalu berpamit dan meninggalkan supeknya. Hari masih terlalu pagi dan
agaknya anggauta keluarga lainnya belum bangun. Thian Lee lalu keluar dari rumah itu dan di
pekarangan yang masih sepi itu tiba-tiba dia mendengar suara panggilan lirih,
Dia menoleh dan melihat Lui Ceng yang memanggilnya. Sepasang mata gadis itu merah
seperti bekas menangis. "Ah, engkau Ceng-moi? Sepagi ini engkau sudah di sini?"
"Setiap hari aku bangun pagi, Lee-ko. Aku... aku sudah mendengar bahwa engkau hendak
pergi. Engkau... hendak pergi ke manakah, Lee-ko?"
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 183
"Aku hendak pergi merantau, Ceng-moi."
"Akan tetapi kenapakah, Lee-ko? B Sudah baik engkau berada di sini, kenapa hendak pergi?
Kenapa, Lee-ko?" Thian Lee merasa heran sekali mendengar suara yang menggetar itu,
seperti suara orang menahan tangis!
"Aku hendak merantau mencari pengalaman hidup Ceng-moi. Aku... aku merasa tidak enak
karena membikin ribut di sini dan menanamkan bibit permusuhan dengan orang-orang kangouw.
Aku tidak ingin melibatkan Supek dengan permusuhan itu."
"Ah, akan tetapi itu bukan salahmu! Tidak ada yang berhak menyalahkanmu dalam peristiwa
itu!" kata Ceng Ceng dengan suara mengandung penasaran.
"Bukan hanya itu, Ceng-moi. Memang aku ingin merantau, ingin menengok makam ibuku,
ingin meluaskan pengalaman hidupku. Aku tidak bisa ikut Supek terus, menjadi keenakan dan
tidak akan merasakan bagaimana sukarnya hidup bekerja sendiri."
"Ah, Lee-ko, aku... aku iri kepada-mu," dan gadis itu tidak dapat menahan mengalirnya air
matanya. "Aku pun sepertimu, aku yatim piatu... aku menggan-tungkan hidupku pada
Paman... ah, kalau saja aku bisa seperti engkau, merantau dan hidup sendiri!"
"Mana mungkin, Ceng-moi? Engkau seorang gadis, dan pamanmu begitu baik kepadamu,
juga Li-moi sudah menganggap, engkau seperti saudara sendiri."
"Aku tahu bahwa Adik Hwe Li tidak. bersikap baik kepadamu, bahkan ia sering mengejek
dan menghinamu. Juga Suheng Siong Ek bersikap tidak baik dan som-bong kepadamu.
Apakah hal itu yang membuatmu pergi dari sini, Lee-ko?"
"Ah, tidak sama sekali, Ceng-moi. Juga Li-moi tidaklah sejahat yang ia perlihatkan. Aku
memang ingin merantau terbang bebas ke udara seperti burung bangau...."
"Aku... aku akan merasa kehilangan, , aku akan merasa kesepian, Lee-ko!" Dan kini Ceng
Ceng menangis!
Thian Lee terbelalak bengong. "Tapi, kenapa, Ceng-moi?"
"Entahlah, Lee-ko. Selama ini... di dalam hati aku merasa dekat sekali denganmu. Aku
memandang engkau sebagai seorang yang senasib, ikut mondok di rumah Paman. Kalau
melihat engkau, setidaknya hatiku terhibur karena ada kawan senasib. Akan tetapi mendadak
engkau akan pergi Ah, aku rnerasa bersedih sekali, Lee-ko!"
Thian Lee merasa kasihan sekali.
"Sudahlah, ceng-moi, tenangkan hatimu. Engkau seorang anak yang baik sekali, pamanmu
dan saudara misanmu amat mencintamu. Engkau akan hidup bahagia di sini."
"Akan tetapi kalau aku teringat akan sikap Suheng kepadaku, rasanya aku tidak betah lagi
tinggal di sini, Lee-ko. Kalau saja aku dapat ikut bersamamu pergi merantau!"
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 184
"Husss, jangan bicara demikian. Tidak boleh sama sekali, Ceng-moi. Sedang aku mengurus
diriku sendiri saja belum mam-pu, bagaimana engkau akan ikut? Juga pamanmu tentu akan
melarang keras dan aku sendiri pun tidak berani. Tentu orang lain akan menyangka yang
bukan-bukan. Sudahlah, tabahkan hatimu, Ceng-moi. Percayalah, nasibmu akan baik kelak
ka-rena engkau seorang anak yang baik. Selamat tinggal, Ceng-moi."
"Lee-ko, engkau... engkau tidak akan lupa kepadaku, bukan?" tanya gadis Jutu memelas.
Thian Lee tersenyum. "Bagaimana mungkin cku dapat melupakan seorang gadis seperti
engkau, Ceng-moi. Engkau cantik ielita, engkau baik hati dan engkau pandai. Sudahlah, aku
pergi, Ceng-moi."
"Selamat jalan, Lee-ko. Semoga Thian akan menunjukkan jalan bagimu dan akan selalu
membimbingmu."
"Terima kasih. Doamu itu amat ber-"harga bagiku."
Thian Lee lalu berangkat, melangkah diikuti pandang mata yang berlinang air.
Setelah rneninggalkan Pao-ting, Thian Lee langsung saja menuju ke dusun Nam-kiang-jung,
sebuah dusun di sebelah se-latan sungai yang dulu menjadi tempat tinggal ibunya. Perjalanan
jauh itu di-tempuhnya dengan selamat dan lancar karena dia dibekali uang yang o-ikup oleh
pamannya. 3uga penampilannya yang sederhana tidak menarik perhatian orang jahat sehingga
dalan perjalanan tidak ada orang mau mengganggunya. Siapa yang akan mengganggu seorang
pemuda berpa-kaian sederhana mennbawa buntalan dan kain kasar yang agaknya tidak ada
isinya yang berharga itu?
Jantung Thian Lee berdebar tegang ketika dia akhirnya memasuki dusun Nam-kiang-jung dan
terbayanglah semua yane terjadi di dusun itu dalam benak-nya. Ketika untuk pertama kali
ibunya dan dia datang ke dusun itu, membeh tanah dan mendirikan rumah, berolah tani.
Kemudian kemunculan lurah yang biadab itu, yang mengakibatkan tewasnya ibunya. Dia
sengaja berjalan-jalan di dusun itu, melewati bekas rumah ibunya yang kini agaknya
ditinggali orang lam. 3uea dia melewati rumah lurah yang kini telah mengalami perubahan,
rumahnya kini nampak besar dan keadaannya lebih indah. Memang dusun itu pada umumnya
mengalami perubahan, walaupim ada beberapa rumah yang masih seperti sepuluh tahun yang
lalu.
Jilid 11________
Ke mana dia harus mencari makan, ibunya? Dia harus bertanya kepada seseorang yang dahulu
mengetahui peristiwa itu. Langkahnya membawanya menuju ke sebuah rumah yang terletak
di belah kanan bekas rumah ibunya, karena rumah itu masih rumah lama dan dikenalnya
benar sebagai rumah keluarga Cia. Bahkan dahulu ketika peristiwa itu terjadi, Paman Cia
yang menyuruhku agar cepat pergi, pikirnya.
Dia memasuki pekarangan rumah kuno yang cukup besar itu. Ada dua orang anak laki-laki
berusia kurang lebih sepuluh tahun bermain-main di halaman depan dari meceka memandang
heran ketika rnelihat Thian Lee masuk.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 185
"Adik yang baik, aku mencari Paman Cla. Apakah dia berada di rumah?" tanyanya kepada
kedua orang anak itu. Dia mengingat-ingat. Dahulu yang tinggal di rumah itu adalah Paman
Cia dan seorang puteranya bersama mantunya. Mungkin anak itu adalah cucunya, piklrnya.
"Kakekmu she Cia?" Dia menambahkan, seperti membantu anak itu.
Anak yang mukanya buiat mengangguk. "Apakah engkau mencari kakekku? Dia berada di
rumah, sedang mencangkul di kebun belakang."
"Benar, maukah engkau memanggilnya untukku. Katakan saja bahwa Kak Song datang
berkunjung."
Kedua orang anak itu lalu berlari-lari memasuki rumah dan Thian Lee me-nanti dengan hati
tegang. Kalau benar Paman Cia yang muncul, tentu dia akan dengan mudah mendapatkan
keterangan di mana makam ibunya.
Tak iama kemudian dua orang anak itu muncul lagi bersama seorang kakek berusia enam
puluhan tahun. Biarpun sudah lama iewat, sudah hampir sepuluh tahun, Thian Lee masih
ingat benar ka-kek itu. Seorang kakek yang kurus berkeriput akan tetapi tubuhnya masih sehat
dan kuat berkat kerja keras di alam terbuka. Kakek Cia yang dulu menasihati agar dia
melarikan diri cepat-cepat. Akan tetapi kakek itu tidak mengenai-nya. Dengan baju yang
masih kotor berlumur, dia memberi hormat kepada Thian Lee.
"Orang muda, engkau mencariku tanyanya ragu.
Thian Lee tersenyum. "Paman Cia, lupakah Paman kepadaku? Aku Song Thian Lee, anak dari
tetangga sebelah yang sepuluh tahun lalu terpaksa melarikan diri itu
Sepasang mata itu terbelalak. Waktu sepuluh tahun bagi seorang tua tidak membawa banyak
perubahan pada wajahnya, akan tetapi tidak demikian bagi seorang kanak-kanak. Thian Lee
sepuluh tahun yang lalu tentu saja berbeda dengan yang sekarang. Dulu dia masih kanakkanak,
sekarang telah menjadi seorang pemuda dewasa yang tarnpan dan gagah.
"Ah engkau....? Engkau yang ibunya...."
"Benar, Paman. Akulah anak itu."
Orang itu lalu cepat berkata, "Mari masuk ke dalam. Kita bicara di dalam saja, orang muda."
Thian Lee mengikuti kakek itu masuk ke dalam rumah dan tak lama kemudlan mereka telah
berhadapan duduk di kursi, dalam sebuah ruangan tertutup.
"Ah, Thian Lee. Sukurlah, aku khawatir kalau mengingatmu. Sukurlah engkau selamat dan
kini menjadi seorang pemuda dewasa. Kau tahu, ibumu dianggap pemberontak, telah
membunuh lurah, maka engkau kuajak masuk. Kalau pejabat mengetahui bahwa engkau
putera ibumu yang dianggap pemberontak, tentu akan terjadi keributan, oleh karena itu
engkau kuajak bicara di dalam. Sekarang, apa maksudmu kembali ke dusun ini? Sebaiknya
kalau engkau menjauhkan diri dari dusun ini yang sudah mulai melupakan peristiwa rnasa lalu
itu."
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 186
"Aku hanya ingin bertanya kepadamu, Paman, apa yang sebetulnya telah terjadi dengan ibuku
pada waktu itu, dan di mana jenazah ibuku dimakamkan."
"Apa yang terjadi? Ah, ibumu terlalu keras hati dan Bouw-cungcu (Lurah Bouw) itu memang
seorang yang mata keranjang. Lurah Bouw hendak memaksa ibumu yang janda untuk menjadi
selirnya. Ibumu tidak mau dan bahkan telah memukul lurah itu. Maka Lurah Bouw lalu
melaporkan kepada atasan bahwa ibumu seorang pemberontak yang berani melawan lurah.
Pasukan datang, ibumu ditangkap dan akan diperkosa oleh lurah itu. Ibumu yang sudah diikat
kaki tangarnya itu masih mampu menggigit leher lurah Bouw, sampai urat-urat leher putusputus
dan Lurah Bouw tewas dalam keadaan mengerikan sekall. Akan tetapi ibumu juga
dibunuh oleh pasukan yang mengawal lurah itu. Nah, itulah yang terjadi, Thian Lee. Ketika
melihat engkau masih hidup dan menangisi jenazah ibumu, aku segera menasihatkan agar
engkau cepat lari karena kalau tidak, mungkin saja engkau sebagai puteranya ditangkap."
"Terima kasih atas budi Paman itu. Karena peringatan Paman maka aku masih hidup sampai
sekarang. Akan tetapi di mana jenazah ibuku dimakamkan, Paman? Aku ingin
bersembahyang ke sana."
"Kami para tetangga beramai-ramai menguburkan jenazah ibumu, akan tetapi tidak di tanah
kuburan umum, hal ini dilarang oleh para pimpinan dusun dan terpaksa kami
menguburkannya di lereng bukit di luar dusun itu."
"Terima kasih, Paman. Sekarang juga aku akan pergi ke sana bersembahyang. Oya, ada
sedikit lagi, Paman, bagaimana dengan rumah ibu sekarang? Siapa yang menempatinya?"
"Terus terang saja, aku yang mengurus rumah ibu. Aku menyewakannya kepada sebuah
keluarga dan uang sewanya kupergunakan untuk merawat rumah itu. Kalau engkau
membutuhkan rumah itu...."
"Tidak, Paman. Aku tidak akan mungkin tinggal di dusun inl. Mengingat semua kebaikan
Paman, biarlah rumah itu kuberikan saja kepada Paman. Aku tidak membutuhkannya."
"Ah, terima kasih, Thian Lee Kakek itu berseru girang.
Thian Lee lalu meninggalkan dusun itu dan mendaki bukit kecil di luar dusun. Karena
memang hanya satu-satunya makam yang berada di lereng bukit itu» maka mudah saja bagi
Thian Lee menemukan makam ibunya dan dia mejatuhkan dirinya berlutut di depan makam
itu. Ada sebuah rusan kayu di mana dituliskan nama ibunya dan kayu itu sudah mulai lapuk,
namun nama yang dituiiskan di atas papan itu masih dapat terbaca. Nama itu adalah Kwa
Siang, nama ibunya.
Setelah memberi hormat dengan berlutut delapan kali, Thian Lee lalu duduk dl atas rumput
depan makam, melamun. Teringatlah dia akan kehidupan di masa kanak-kanak, bersama
ibunya yang amat menyayangnya, betapa dia dilatih ilmu silat oleh ibunya. Masih teringat dia
akan cerita ibunya tentang ayahnya, dan pesan ibunya agar kelak dia menjadi seorang
pendekar dan menentang semua pangeran! Bahkan kalau mungkin dia disuruh membunuh
semua pangeran Mancu.
Thian Lee menghela napas panjang. "Tidak mungkin, Ibu. Tidak semua pangeran jahat,
bagaimana aku harus membunuhi mereka? Kalau bertemu orang jahat, biar dia pangeran
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 187
ataupun bukan, pasti akan kutentang. Pesan Ibu untuk menegakkan kebenaran dan keadilan
akan tetap kujunjung tinggi, Ibu. Ayah tewas di tangan pasukan, demikian pula Ibu. Tidak
mungkin aku mendendam kepada semua pasukan pemerintah. Musuh pribadi Ibu adalah
Lurah Bouw yang sudah Ibu bunuh sendiri. Musuh pribadi Ayah adalah seorang pangeran
yang keadaannya sudah sakit-sakitan. Ayah dianggap pemberontak karena memukuli seorang
pangeran. Sudahlah, Ibu. Tidak ada dendam pribadi lagi meracuni hatiku dan harap Ibu
tenang di alam baka. Demikian hatinya bicara seorang diri.
Akan tetapi tetap saja dia merasa tidak tenang seolah-olah membayangkan ibunya akan
marah-marah kepadanya karena dia tidak membalaskan kematian ayahnya.
"Baiklah, Ibu...." Akhirnya dia meng-hela napas panjang. "Sekarang juga aku akan pergi ke
kota raja. Akan tetapi aku tidak akan membunuh pangeran itu begitu saja. Akan kuselidiki
dulu apakah dia masih melakukan kejahatan. Kalau tidak, tak mungkin aku membunuh orang
yang sudah sadar dari kejahatannya. Tenang sajalah, Ibu."
Dia berlutut lagi dan memberi hormat sampai lama, baru kemudian dia meninggalkan makam
itu setelah membabat rumput di sekltar makam sampai bersih.
Thlan Lee memasuki kota raja. Dia mencari pekerjaan yang akhirnya mendapatkan pekerjaan
di sebuah rumah makan sebagai pencucl mangkok piring! Dia menerima pekerjaan kasar Ini
sekedar untuk mendapatkan tempat tinggal dan makan. Oi rumah makan terdapat banyak
tamu dan dia dapat melakukan penyelidikannya dengan mendengar-dengar berita tentang
Pangeran Bian Kun. Di dalam hatinya, sebetulnya tidak ada semangat untuk membalas
dendam kepada pangeran itu. Pangeran itu membujuk-bujuk gadis dusun rnenjadi selirnya.
Orang tua si gadis sudah memberikannya, akan tetapi ayahnya mencampuri dan menghajar
pangeran itu. Agaknya ayahnya berdarah panas dan mudah marah. Kemudian, ka-rena
memukuli pangeran, ayahnya dianggap pemberontak lalu dikeroyok pasukan. Bagaimanapun
juga, pangeran itu tidak langsung bertanggung jawab atas kematian ayahnya. Andaikata
ayahnya tidak mencampuri urusan pengambilan gadis, tentu ayahnya tidak dikeroyok tentara.
Akan tetapi dia ingin pula menyelidiki, bagaimana kelakuan pangeran itu sekarang. Kalau
masih seperti dulu, tentu dia akan memberi hajaran kepadanya, bukan karena kematian
ayahnya, melainkan karena kejahatan pangeran itu. Dia condong menaati pesan guru-gurunya
bahwa perbuatan membalas dendam adalah perbuatan yang tidak benar. Kalau dia menentang
seseorang, maka kejahatan orang itulah yang ditentangnya, bukan karena dendam.
Baru saja bekerja sebulan lamanya, Thian Lee sudah diangkat menjadi pelayan. Agaknya dia
amat rajin dan majikannya menyukai pekerjaannya, maka dia diangkat menjadi pelayan. Dan
ini memang amat dikehendaki Thian Lee. Dengan menjadi pelayan dia akan lebih mudah
berhubungan dengan para tamu dan mendengar lebih banyak.
Pada suatu siang yang ramai. Rumah makan itu penuh dengan tamu, terutama sekali dl
ruangan dalam. Para tamu leblh senang mendapatkan ruangan dalam ini karena selain lebih
luas dan nyaman, juga kursi-kursinya lebih bagus dibandingkan dengan yang berada di
ruangan luar. Ketika itu, ruangan dalam yang hanya terdiri dari lima meja itu telan penuh
dengan tamu.
Mendadak terdengar ribut-ribut di luar dan tak lama kemudian, pemilik rumah makan itu
bersama dua orang yang berpakaian sebagai perwira memasuki ruangan dalam. Setelah tiba di
ruangan itu, pemilik rumah makan lalu memberi hormat kepada semua tamu dan berkata
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 188
dengan suara terpaksa dan mengandung penyesalan, "Harap Cuwi suka memaafkan kami
kalau kami terpaksa mempersilakan Cuwi untuk pindah duduk di ruangan luar karena ruangan
ini akan dipakai oleh rombongan Bian-kongcu, putera dari Pangeran Bian. Harap Cuwi
rnaklum dan suka berpindah ke depan."
Mendengar ini, para tamu bangkit dari tempat duduknya dan berbondong pindah, pindah ke
depan. Mereka semua segan untuk membantah dan berurusan dengan Pangeran Bian! Akan
tetapi setelah semua orang berpindah, di situ masih terdapat seorang yang masih di kursinya
menghadapi meja.
Pemillk rumah makan itu menghampiri orang ini, dan memandang penuh perhatian. Dia
seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, nampak gagah walaupun
pakaiannya sederhana, mukanya persegi empat dengan alis yang hitam lebat dan mata
mencorong seperti mata harimau. Lalu pemilik rumah makan i.tu berkata, "Sobat, agaknya
engkau bukan penduduk kota raja. Kami harap agar engkau suka berpindah ke bagian depan
rumah makan itu karena ruangan ini akan dipakai oleh rombongan Bian-kongcu."
"Hemm, bukankah ini rumah makan yang dibuka untuk umum?" tanya orang itu dengan
suaranya yang lantang.
"Benar."
"Nah, aku juga makan minum dengan membayar di sini. Bagaimana seenaknya saja orang
boleh mengusir aku? Sebelum aku selesai makan minum, aku tidak akan meninggalkan
tempat ini."
Melihat kekerasan dan kelihaian orang itu, pemilik rumah makan menjadi bingung dan serba
salah. Dia lalu memberi hormat lagi, "Sobat, harap suka mengalah. Biarlah engkau boleh
makan minum di sini tanpa bayar asal engkau suka pindah ke bagian depan dan
mengosongkan ruangan ini."
Orang itu bangkit dari kursinya dan matanya melotot. "Eh, kaukira aku ini orang yang suka
makan nijinum tanpa bayar? Tidak, aku akan tetdp duduk di sini, tidak peduli siapa pun yang
akan menempati kursi-kursi yang lain."
Selagi pemilik rumah makan itu kebingungan, dua orang perwlra itu lalu menghampiri orang
yang kukuh tadi dan sebrang di antara mereka membentak, "Tempat ini akan dipakal Biankongcu
dan para tamunya, bahkan ada pula putera Pangeran Tua yang akan hadir, dan engkau
tetap tidak mau pergi?"
"Tidak, ini tempat umum. Biarpun siapa saja tldak dapat mengusir aku pergi dari sini!" kata
orang tadi dengan sikap menantang.
Thian Lee yang mendengar ribut-ribut Segera menjenguk ke dalam dan dia kagum akan sikap
orang itu walaupun dia tahu bahwa sikap keras itu pasti memancing timbulnya keributan.
Orang itu agaknya keras kepala dan pemarah, dan tidak menghormati para bangsawan.
"Kalau engkau tidak mau pergi, kami akan mpnggunakan kekerasan!" kata perwira ke dua.
"Terserah, aku tldak takut akan kekerasan!" jawab orang itu melotot.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 189
Dua perwira itu lalu memberi isyarat ke belakang mereka dan masuklah berserabutan belasan
orang anak buah mereka. "Tangkap orang ini dan seret dia keluar." perintah perwira-perwira
itu dengan marah.
Belasan orang perajurit itu lalu maju dan hendak menangkap si orang bermuka persegi, akan
tetapi segera mereka itu bergelimpangan terkena tamparan dan tendangan orang itu. Thian
Lee melihat bahwa orang itu cukup tangkas, dalam waktu singkat saja telah merobohkan tiga
belas orang perajurit dengan tamparan dan tendangannya. Melihat ini, dua orang perwira itu
menjadi marah bukan main. Mereka mencabut pedang masing-masing, lalu keduanya
menyerbu ke arah orang itu dengan pedang mereka. Thian Lee melihat gerakan dua orang
perwira ini tidak merasa khawatir. Orang itu jauh lebih tangguh, pikirnya. Dan benar saja,
orang itu menyambar sebuah kursi dan menghadapi dua batang pedang itu de-ngan kursi
kayu. Akan tetapi, amukannya demikian hebat sehingga dalam belasan jurus saja dua orang
perwira itu pun terkapar seperti halnya belasan orang anak buahnya. Mereka sepertl anak
buah mereka, lalu melarikan dlri keluar dari t ruangan itu.
Pada saat itu, mendadak kelihatan seorang pemuda yang berpakaian mewah memasuki
ruangan itu. Pemuda ini berusia masih muda sekali, paling banyak sembilan belas tahun,
selain pakaiannya mewah juga wajahnya tampan sekali dengan mata yang sipit sehlngga
kelihatannya seperti terpejam selalu.
"Hemm, orang hutan dari mana berani datang ke kota raja membuat kerusuhan?" bentak
pemuda itu dengan sikapnya yang tenang. "Ruangan ini kami yang akan pakai, mengapa
engkau berkeras tidak mau pindah bahkan telah main pukul terhadap para pengawal kami?"
Orang itu laiu memandang pemuda itu lalu tersenyum mengejek, "Aha, ini agaknya yang
bernarna Bian-kongcu dar yang memaksa orang pindah meninggalkan mejanya? Sombong
benar engkau, Bian-kongcu. Aku tldak akan pindah dari situ sebelum makan minumku selesai
Aku pun membayar di sini, tahu?" SiKapnya sedikit pun tidak menghormat dan pemuda itu
tidak menjadi marah, atau kalau marah pun tldak diperlihatkan karena dia tersenyum. Pemuda
ini bukan lain adalah Bian Hok, putera Pangeran Bian Kun dan murid Hek-tung Kai-pang.
Dla memegang sebatang tongkat, akan tetapi bukan tongkat hitam seperti yang dimiliKi oleh
para anggauta Hek-tung Kai-pang, melainkan sebatang tongkat sepanjang lengannya yang
lebih merupakan perhiasan karena terselaptit emas.
"Hemm, yang sombong adalah engkau! Agaknya engkau bukan orang kota raja sehingga
tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan. Aku maslh suka memaafkanmu kalau engkau
cepat pergi dari sini, akan tetapi kalau engkau masih membangkang, jangan salahkan aku
kalau aku menggunakan kekerasan!"
"Aku tidak takut. Aku tidak bersalah maka aku tidak takut!" jawab orang itu.
Bian Hok menyelipkan tongkatnya di pinggang, kemudian melangkah maju. "Kalau begitu
terpaksa aku akan melemparkan engkau keluar darl sini seperti seekor anjing.
"Bagus, coba lakukan kalau engkau mampu!" tantang orang itu sambil bertolak pinggang.
Thian Lee yang menonton merasa khawatir. Pemuda ini memiliki pembawaan yang demikian
tenang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri. Agaknya bukan orang sembarangan dan
dia mengkhawatirkan nasib orang jujur dan kasar pemberani itu.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 190
Pemuda itu lalu maju memukul dengan tangan kirinya dan benar saja seperti dugaan Thian
Lee. Pemuda itu memiliki gerakan yang mantap sekali. Pukulannya bukan saja kuat, akan
tetapi juga amat cepat. Orang yang dipukui segera menangkis dan balas memukul. Segera
terjadi pertandingan tangan kosong yang seru, akan tetapi seperti yang sudah diduga oleh
Thian Lee, pertandingan itu tidak berlangsung lama. Baru belasan jurus saja, dada orang yang
bermuka persegi itu terkena tamparan keras sehingga dia terhuyung, kemudian Bian Hok
menyusulkan sebuah tendangan yang keras sekali dan orang itu terlempar keluar dari ruangan
itu! Orang itu roboh terbanting dan tidak mampu bergerak karena ternyata pukulan Bian Hok
tadi adalah sebuah totokan yang membuat tubuh orang itu menjadi lumpuh.
Kebetulan sekall jatuhnya orang itu di dekat Thian Lee menonton. Thian Lee pura-pura
menolong membangunkan orang itu, akan tetapl dlam-diam dia membebaskan totokannya dan
berbisik, "Cepat pergi menyelamatkan nyawamu!"
Orang itu terkejut sekali melihat betapa lihainya pemuda berpakaian mewah tadi. Dia tahu
bahwa dia tidak akan menang menandingi pemuda itu, dan mendengar bisikan Thian Lee, dia
pun cepat mengangkat kaki dan melangkah lebar setengah berlari meninggalkan rumah
makan, diikuti gelak tawa para perajurit yang tadi dia robohkan.
Bian Hok juga tidak menyuruh orang-orangnya melakukan pengejaran. Dia lalu minta kepada
pemilik rumah makan untuk membereskan ruangan itu dan mempersiapkan hidangan untuk
para tamunya. Thian Lee girang sekali mendapat tugas melayani para tamu agung itu bersama
para pelayan lainnya. Dia segera memasuki ruangan itu dan membereskan meja kursi yang
berantakan.
Tak lama kemudian bermunculan ta-mu-tamu yang menjadi tamu Bian-kong-cu. Mereka itu
terdiri dari tujuh orang pemuda bangsawan yang rata-rata ber-pakaian serba mewah dan
indah. Begitu nnemasuki ruangan itu, seorang di antara mereka menegur, "Eh, Bian-te, aku
men-dengar engkau baru saja menghajar orang yang kasar dan tidak mau meninggalkan
ruangan ini. Ah, sayang aku datang terlambat sehingga tidak dapat menyaksikan
kelihaianmu!" Yarig bicara ini seorang laki-laki berusia dua puluh lima tahun, jangkung dan
bermuka kuning.
"Benar, Tang-twako. Dia seorang yang mungkin bukan penduduk, sini sehingga berani
menolak pindah dari ruangan ini. Ah, hanya orang kasar biasa, dengan kepandaian yang biasa
saja," kata Bian Hok. Mendengar ini, Thian Lee makin hati-hati. Bian-kongcu ini seorang
yang lihai sekali, plkirnya. Orang yang me-ngamuk tadi sudah lihai, akan tetapi berhadapan
dengan Bian-kongcu dia tidak mampu berbuat apa-apa. Diam-diam dia pun merasa heran
bagaimana seorang pemuda bangsawan seperti ini dapat memiliki kepandaian silat yang
demikian lihai. Juga diam-diam dia berpikir apa hubungannya Biang-kongcu ini dengan
Pangeran Bian Kun. Setelah mendapat kesempatan ketika mengambil masakan dari dapur, dia
bertanya kepada kepala dapur tentang hubungan antara Bian-kongcu dan Pangeran Bian Kun,
dan jawaban kepala dapur itu sungguh mengejutkan hatinya. Bian-kongcu ternyata adalah
putera Pangeran Bian Kun!
Kemudian datang serombongan gadls-gadis muda yang cantik dan mereka ini adalah gadisgadis
penghibur yang sengaja dipesan dan didatangkan oieh Bian-kongcu untuk menghibur
dan menemani merekak makan minum. Suasana dalam ruangan itu lalu menjadi meriah dan
gembira sekali. Thian Lee memasang telinga un-tuk mendengarkan mereka, kalau-kalau ada
sesuatu yang penting. Akan tetapi ternyata mereka hanya bersenang-senang saja dan
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 191
percakapan mereka tidak pen-ting bahkan condong ke arah ucapan-ucapan jorok untuk
mengganggu para gadis penghibur. Thian Lee merasa jemu dan segera sibuk di belakang,
membiarkan para pelayan lain yang melayani para kongcu tukang pelesir itu.
Akan tetapi diam-diam dia mengenang laki-laki yang tadi membikin ribut. Dia teringat
kepada ayahnya. Barangkali seperti itulah watak ayahnya, tidak mau mengalah dan
menghormati para bangsawan sehlngga mengakibatkan kematian-nya. Ingin dia mengetahui
siapa orang itu, maka setelah selesai pekerjaannya, dia meninggalkan rumah makan untuk
mencari laki-laki tadi. Akan tetapi ke mana dia harus mencarinya? Kota raja cukup besar dan
dia tidak tahu ke mana laki-laki itu pergi. Orang itu .sepertl a seorang kang-ouw dan melihat
pakaiannya bukan seorang yang berduit, maka dia lalu pergi ke kuil tua di mana biasanya
dipergunakan oleh orang-orang kang-ouw dan para pengemis untuk melewatkan malam tanpa
membayar.
Akhirnya setelah keluar masuk kuil kosong, dia menemukan orang yang di-carinya. Di sebuah
ruangan kuil kosong, bertilamkan rumput kering, kuil yang berada di luar kota raja, dia
melihat orang itu merebahkan diri dalam keadaan sakit! Di situ terdapat dua batang lilin
menyala sehingga cuaca cukup terang dan Thlan Lee dapat mengenal orang itu. Keadaan di
kuil itu sunyi, hanya ada be-berapa orang pengemis yang berada di ruangan lainnya. Kuil-kuil
kosong di da-lam kota lebih padat dijadikan tempat bermalam orang-orang yang tidak mempunyai
tempat tinggal ini.
"Engkau sakit....?" tanya Thian Lee sambil berjongkok dekat orang yang mukanya persegi itu.
Orang itu membuka mata dan memandang. Lalu sambil meringis dia bangkit duduk.
"Engkau... bukankah engkau sebagai pelayan rumah makan itu?" tanyanya agaknya segera
mengenal wajah Thian Lee orang yang rnembisiki agar dia cepat melarikan diri.
"Benar, aku sengaja mencarimu. Coba kuperiksa, aku pernah mempelajarl ilmu pengobatan,"
katanya dan dia pun memerlksa bagian dada yang terpukul atau tertotok tadi. Ternyata luka
itu cukup hebat, luka dalam yang dapat berbahaya kalau tidak segera diobati. Adapun lukanya
di paha akibat tendangan itu tidaklah parah.
"Benar saja, engkau terluka dalam untung aku membawa obat luka dalarm yang manjur. Nah,
telanlah tiga butir pel ini." Thian Lee memang sengaja membawa bekal obat karena dia sudah
menduga bahwa orang itu tentu luka berat. Dia tadi melihat pukulan Biang-kongcu bukan
pukulan atau totokan biasa, melainkan mengandung sin-kang yang kuat.
Orang itu menerima pel dan segera menelannya. Dan benar saja, dia rnerasa ada hawa panas
dari perutnya dan rasa nyeri di dada banyak berkurang.
"Sobat, siapakah engkau yang begitu mempedulikan diriku?"
"Engkau sudah mengenal diriku, Twa-ko. Aku pelayan rumah makan itu namaku Song Thian
Lee. Aku tadi melihat engkau berani menentang Bian-kongcu, maka aku merasa tertarik dan
kagum. Karena aku menduga bahwa engkau tentu terluka dan aku mempunyai obat manjur
untuk luka dalam, maka aku mencarimu sampai di sini."
Orang itu menghela napas. "Ahhhh, aku yang bodoh. Namaku Lauw Tek, dan aku seorang
yang biasa malang-melintang dan merantau di dunia kang-ouw. Aku sudah mendengar bahwa
putera Pangeran Bian Kun itu memillki ilmu silat yang tinggi. Tak kusangka selihai itu
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 192
sehingga dengan mudah aku dapat dikalahkan oleh-nya. Aku memang sengaja bersikap
melawan dan menentang agar orang-orang melihat bc.nwa ada orang yang berani menentang
sikap sewenang-wenang para bangsawan itu. Akan tetapi aku mengecewakan."
"Ah, tidak, Twako' Engkau cukup gagah dan semua orang memujimu. Apakah engkau banyak
tahu tentang Pangeran Bian Kun, Twako?"
"Kenapa tidak mengenal Pangeran Bian Kun? Dia seorang pangeran mata keranjang dan di
waktu mudanya dia banyak merampas anak gadis, bahkan isteri orang. Aku heran sekali,
seorang pria selemah dia mampu mernipunyai putera segagah itu,"
"Apakah sampai sekarang Pangeran Bian Kun masih suka merampas anak gadis dan isten
orang?"
"Ah, sekarang mana dia mampu? Dia sudah menjadi seorang yang berpenyakit-an, tubuhnya
hampir separuhnya lumpuh."
"Dan bagaimana dengan puteranya itu?"
"Puteranya yang tadi? Sepanjang pendengaranku, dia tidak pernah melakukan kejahatan,
hanya kabarnya berwatak tinggi hati dan karena pandai ilmu silat tentu saja di.a sudah biasa
memukul orang. Sebetulnya, aku datang ke kota raja ini untuk melakukan penyelidikan."
"Penyelidikan tentang apa, Lauw-twa-ko?"
Lauw Tek memandang ke sekellling. "Ini rahasla.... tak boleh terdengar orang”. Thian Lee
memasang pendengarannya memperhatikan. Tidak terdengar ada orang dekat dengan mereka,
maka dia berkata, "Tidak akan ada yang mende-ngar, Twako. Apa yang akan kauselidiki itu?"
"Secara kebetulan sekali aku mendengar bahwa ada seorang pangeran tua yang bermaksud
untuk merebut kedudukan Kaisar."
"Ah, pemberontakan?
"Semacam itulah. Hendak merebut kekuasaan dengan membunuh Kaisar dan para pangeran
yang dekat dengan Kaisar."
"Akan tetapi, dia akan berhadapan dengan bala tentara!" kata Thian Lee.
"Tidak kalau pembunuhan inl dilakukan dengan rahasia. Pangeran itu mempergunakan orangorang
kang-ouw golongan sesat untuk melaksanakan rencananya Justeru itulah aku
mendengar berita dan hendak melakukan penyelidikan."
"Mengapa engkau hendak menyelidiki, Lauw-twako? Bukankah engkau sendiri tidak suka
kepada para bangsawan Kalau mereka saling membunuh, apa hubungannya denganmu?"
Lauw T'ek menghela napas panjang. "Ahhh, bagaimanapun juga, aku menghormati Kaisar
Kian Liong. Beliau adalah seorang kaisar yang baik, dan yang selalu menghormati orang
kang-ouw. Juga, tidak semua pangeran atau bangsawan jahat belaka. Misalnya Pangeran Tang
Gi Su, dia adalah seorang pangeran dan pejabat yang baik sekali, yang keras dan adil, yang
bersikap keras terhadap para pejabat yang brengsek dan korup. Men-dengar ada orang hendak
membunuh Kaisar dan para pangeran yang dekat dengannya, tentu saja aku menjadi penasarGelang
Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 193
an dan hendak menyelidiki. Kalau sudah ada bukti, akan kulaporkan kepada Pangeran Tang
Gi Su agar komplotan pem-bunuh itu dapat dibasmi. Akan tetapi sayang, belum apa-apa aku
sudah terluka oleh Bian-kongcu, karena watakku yang keras dan tidak mau mengalah."
Thian Lee berpikir sebentar. Tugas itu memang penting sekali. Lauw-twako, mungkln aku
dapat membantumu melakukan penyelidikan itu. Sebagai pelayan rumah makan aku
seringkali melayani para bangsawan dan mengenal banyak orang. Mungkin aku bisa
mendapatkan berita tentang usaha pemberontakan itu. Katakan, siapakah pangeran yang
hendak melakukan pembunuhan itu?"
"Hati-hati, jangan sampai ada orangt lain mengetahui, dapat berbahaya sekali bagi dirimu.
Pangeran itu telah menyewa tenaga orang-orang kang-ouw, bahkan datuk-datuk kang-ouw
yang lihai sekali. Dia adalah Pangeran Tua dan namanya adalah Tang Gi Lok. Pangeran Tang
Gi Lok dan dia masih kakak sendiri dari Pangeran Tang Gi Su, seayah berlainan ibu. Karena
itu kalau tidak ada buktinya, akan percuma saja melapor kepada Pa-ngeran Tang Gl Su karena
Pangeran Tua adalah kakaknya sendiri.
"Tahukah engkau, Lauw-twako, siapa saja orang kang-ouw yang hendak dia pergunakan
tenaganya untuk melakukan pembunuhan-pembunuhan itu?"
"Hal itu yang masih perlu kuselidiki, yang aku tahu hanya seorang saja di antara mereka, yang
berjuluk Liok-te Lo-mo dan kabarnya lihai bukan main."
Berdebar jantung dalam dada Thian Lee mendengar disebutnya nama ini. Liok-te Lo-mo,
gurunya yang pertama! Memang gurunya itu seorang datuk sesat seorang yang suka berbuat
jahat!
"Jangan khawatir, Twako. Aku akan membantumu melakukan penyelidikan, dan di mana kita
selajutnya dapat bertemu?"
"Di slni saja, Song-te. Biarlah tempat inl menjadi tempat pertemuan kita. Setiap malam aku
pasti berada di sini."
"Baiklah, dan sekarang aku harus kembali sebelum mereka semua kehilangan aku."
Thian Lee lalu kembali ke dalam kota raja dan kembali ke runnah makan di mana dia bekerja.
Dia bekerja biasa, akan tetapi setiap malam dia meninggalkan kamarnya tanpa ada yang
mengetahui, mengenakan pakaian hitam dan juga menutupi mukanya dengan saputa-ngan
hitam untuk melakukan penyelidikan.
Apa yang diceritakan Lauw Tek me-mang benar. Secara tidak disengaja Lauw Tek
mendengar bahwa banyak tokoh kang-ouw dihubungi Pangeran Tua dan diberi pekerjaan
penting. Dia merasa tertarik dan setelah dia melakukan penyelidikan, tahulah dia akan
rencana pemberontakan itu. Lauw Tek adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang berjiwa
pendekar, akan tetapi wataknya jujur dan kaisar. Dia ingin menyelidiki dan kalau mungkin
mencegah pembunuhan itu karena dia merasa suka dan hormat kepada Kalsar Kian Liong.
Pangeran Tua adalah sebutan pangeran itu. Pangeran Tang Gi Lok, rnemang sudah tua dan
terhitung saudara sepupu Kaisar Kian Liong, putera dari Jwak Kalsar Kian Liong. Akan tetapi
kalau Kaisar Kian Liong memberl kedudukan tinggi kepada Pangeran Tang Gi Su yang dia
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 194
tahu berwatak baik dan jujur, tidak demikian dengan Pangeran Tang Gi Lok. Karena
wataknya yang buruk, tukang pelesir dan berwatak palsu, Kaisar tidak nnemberi kedudukan
apa pun. Hal ini membuat Pangeran Tua menjadi marah dan membenci Kaisar, bahkan juga
men-dendam dan iri hati. Maka dia lalu merencanakan pemberontakan terselubung. Bukan
memberontak secara terang-te-rangan karena tentu saja dia tidak bera-ni menghadapi
kekuatan balatentara yang setia kepada Kaisar. Dia hendak melakukan pembersihan dengan
membunuh Kai-sar dan para pangeran yang dekat dengan Kaisar. 3uga para pangeran putera
Kaisar akan dibunuhnya semua. Sehlngga kalau semua usaha ini berhasil, besar kemungkinan
tentu kerajaan akan terjatuh ke tangannya sebagai saudara tertua! Kalau Kaisar tewas dan
semua yang terdekat dengannya tewas, maka dialah yang ber-hak mengambil-alih kekuasaan.
Tentu saja dia mengajak mereka yang sama-sama tidak mendapatkan kekuasaan dari Kaisar
untuk bersekutu, yaitu para pangeran yang tidak mendapatkan kedudukan dan merasa iri dan
sakit hati. Memang selalu demikianlah keadaan se-orang kaisar atau seorang kepaia negara.
Betapa baik pun seorang kepala negara, tentu ada yang memusuhinya, yaitu mereka yang
tidak mendapatkan bagian kekuasaan, tidak mendapatkan kedudukan dan mereka yang merasa
berjasa akan tetapi tidak mendapatkan apa-apa. Dan tentu saja seorang pemimpin yang baik
akan memilih pembantu-pembantu yang cakap dan jujur, dan menjauhkan mereka yang
berwatak palsu dan curang. Demikian pula Kaisar Kian Liong. Biarpun saudaranya sendiri,
kalau wataknya palsu dan curang, tidak dia beri kedudukan penting paling banyak hanya
mendapatkan kedudukan biasa dan kecil yang tidak berarti saja. Dan tidak mungkin bagi
Kaisar Kian Liong untuk memberl kedudukan tinggi kepada semya keluarganya atau kawankawannya!
Salah seorang yang dipilih oleh pangeran Tua untuk menjadi sekutunya adalah Pangeran Bian
Kun. Seperti juga dla, pangeran ini tidak memperoleh kedudukan. Akan tetapi Pangeran Bian
Kun sudah menjadi seorang tua yang lemah dan cacat, maka puteranya yang maju dan
puteranya, Bian Hok, yang mewakili ayahnya, bersekutu dengan Pangeran Tua. Kebetulan
sekali putera dari Pangeran Tua yang bernama Tang Boan, berusia dua puluh lima tahun,
adalah sahabat sejak kecil dari Bian Hok. Dua orang pemuda ini seringkali bersama-sama
mengadakan pelesir bersenang-senang. Hanya bedanya, kalau Bian Hok suka mempelajarl
ilmu silat, bahkan menjadi murid Hek-tung Kai-ong sehingga dia menjadi seorang ahli silat
yang tangguh, Tang Boan sebaliknya tidak suka mempelajari ilmu silat, akan tetapi
mempelajari ilmu sastra sehingga dia menjadi seorang ahli politik yang pandal bersiasat.
Pada suatu malam, ketika Bian Hok berkunjung kepada paman tuanya, yaitu Pangeran Tang
Gi Lok, pangeran ini antara lain membicarakan tentang adiknya sendiri, adik tirinya yang
bernama Pangeran Tang Gi Su.
"Yang amat mengkhawatirkan hatiku adalah Tang Gi Su. Dia selalu menen-tang pendapatku
tentang Kaisar dan dia kelak dapat menjadi penghalang yang amat berbahaya. Aku rasa orang
yang paling' dulu harus disingkirkan adalah dia inilah!"
"Akan tetapi, ada jalan lain yang lebih baik, Paman," kata Bian Hok.
"Hemm, jalan apakah itu?"
"Dengan menarik dia menjadi keluarga. Bukankah dia mempunyai seorang puteri yang
bernama Cin Lan?"
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 195
"Ah, bagaimana sih engkau ini? Tidak mungkin puteraku menikah dengan puterinya! Kami
masih satu margal"
"Jangan Paman salah mengerti. Maksud saya bukan dinikahkan dengan putera Paman,
melainkan dengan saya. Nah, kalali puterinya sudah menjadi isteri saya, tentu akan mudah
membujuknya kelak."
"Bagus! Suatu pikiran yang bagus sekali!"
"Sudah lama saya menginginkan Cin Lan menjadi isteri saya, Paman. Akan tetapi saya
khawatir kalau-kalau lamarai saya akan ditolak, mengingat bahwa Ayah teiah menjadi lemah
dan berpenyakitan. Maka, saya mengharapkan bantuan Paman. Kalau Paman yang menjadi
jalan saya kira tidak ada masalahnya lagi dan tentu Paman Tang Gi Su akan menerima dengan
balk."
"Baik, aku akan membantumu dan yang akan melamarkan puterinya untuk menjadi jodohmu,
ha-ha-ha!"
Demikianlah, beberapa hari kemudian, Pangeran Tang Gi Lok datang berkun-jung, ke gedung
adik tirinya. Setelah saling menanyakan kesehatan sebagaimana lajimnya, Pangeran Tua
langsung saja membicarakan maksud hatinya, yaitu mewakili Pangeran Bian Kun untuk
meminang Tang Cin Lan wti^JcJApdRhkan dengan Bian Hok.
"Adikku, aku ditangisi oleh keponakan kita itu yang mengatakan telah jatuh cinta kepada
puterimu. Karena itu, kuha» tap kerelaanmu untuk menerima pinangan tini. Bian Hok adalah
seorang pemuda yang baik. Dia tampan dan pintar dan engkau sendiri tahu bahwa dia seorang
di iantara para pemuda bangsawan yang memiliki ilmu silat yang tinggi, cocok benar dengan
puterimu yang kabarnya juga seorang ahli silat tinggi. Tidak ada pasangan yang lebih cocok
lagi darlpada mereka berdua. Ha-ha-ha!"
Pangeran Tang Gi Su menjadi serba salah. Memang dia pun tahu bahwa Bian Hok seorang
pemuda yang cukup baik. Akan tetapi kalau mengingat kehidupan ayahnya, tukang pelesir,
tukang mencari dan mengumpulkan wanita, hatinya merasa ragu. Akan tetapl, yang
meminangkgin adalah kakak tirinya, Pangeran Tua.
"Terima kasih atas perhatian Kakanda," akhirnya dia berkata. "Akan tetapi urusan perjodohan
anak merupakan masalah seluruh keluarga. Oleh karena itu, saya harus terlebih dahulu
membicarakan dengan ibunya dan dengan anaknya pula. Setelah itu, barulah saya akan
mengirim berita kepada Kakanda."
"Ha-ha, tentu saja. Akan tetapi aku percaya penuh bahwa isterimu tentu akan setuju. Mana
ada perjaka yang lebih cocok dan lebih baik untuk menjadi suami Cin Lan? Dan anakmu tentu
setuju pula. Nah, aku hanya menanti berlta baik darimu, Adinda!" Setelah berpamlt, Pangeran
Tua meninggalkan adiknya yang duduk bengong dan melamun sampai lama.
Akhirnya dia menghela napas panjang. Nak ada lain jalan kecuali menerima pinangan itu.
Bagaimanapun juga, kalau menjadi isteri seorang pemuda seperti Bian Hok, puterinya itu
akan tetap men-jadi seorang wanita bangsawan. Bahkan andaikata orang mengetahui bahwa
puterinya itu bukan anak kandungnya, kalau ia sudah menikah dengan Bian Hok, otomatis ia
menjadi seorang wanita bangsawan. Bagaimanapun juga, ayah pemuda itu, Bian Kun, hanya
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 196
seorang laki-laki yang selalu mata keranjang, akan tetapi sepanjang yang dia ketahui, tidak
pernah melakukan perbuatan yang jahat. Karena sifatnya yang mata keranjang itulah maka dia
tidak mendapatkan kedudukan dari Kaisar! Dan tentang kakak tirinya, ah, walaupun dia tidak
setuju dengan jalan pikiran kakak tirinya yang seringkali mencela politik pemerintahan
Kaisar, namun kakak tirinya adalah seorang pa-ngeran yang disegani dan juga memiliki
pengaruh yang cukup besar dl kalangan keluarga kerajaan.
Pangeran Tang Gi Su lalu menemui selirnya, Lu Bwe Si dan menyampaikan tentang pinangan
itu kepadanya. Mendengar ini Lu Bwe Si menjadi pucat mukanya dan ia memandang kepada
suaminya dengan blngung.
Akan tetapi... ia... ia sejak kecil sudah dijodohkan!" akhirnya ia membantah. la memang
pernah menceritakan tentang perjodohan dengan tanda ikatan jodoh sepasang gelang kemala
itu kepada suaminya.
"Apa artinya perjodohan itu? Cin Lan tidak mengetahuinya dan tidak perlu mengetahuinya,"
kata Sang Pangeran.
"Akan tetapi, ia sudah tahu!" jawab Lu Bwe Si dan ia lalu menceritakan tentang peristiwa
gangguan para pengemis beberapa tahun yang lalu.
"Ada orang yang mengatakan bahwa Cin Lan hanya anak tirimu. Anak itu lalu bertanya
kepadaku. Terpaksa aku menceritakannya karena aku tidak yakin hal itu akan dapat
dirahasiakan lagi. Cin Lan sudah dewasa dan akhirnya ia akan mendengar juga. Nah, tiga
tahun yang lalu itulah aku menceritakan kepadanya tentang ayah kandungnya, dan juga
tentang geiang kemala.
"Ah, sayang sekali» D&n bagairnana tanggapannya?"
”la tidak setuju dan tidak senang bahwa sejak bayi ia sudah dijodohkan. Agaknya ia
menentang perjodohan itu."
"Bagus! Kalau begitu ia harus menerima pinangan keluarga Bian. Kami sama-sama pangeran
dan kalau Cin Lan menjadi isteri pemuda Bian, maka ia akan tetap menjadi seorang nyonya
bangsasawan."
Lu Bwe Si tidak dapat membantah kehendak suaminya. la pasrah saja karena bagaimanapun
juga ia tidak akan mampu memaksa puterinya untuk menikah dengan keluarga Song yang
menjadi keputusan mendiang suaminya yang pertama. Juga, ke mana ia harus mencari putera
Song itu? la sudah mendengar bahwa Song Tek Kwl juga dibunuh oleh pasukan dan tidak ada
orang mengetahui ke mana perginya jandanya dan puteranya. Mungkin puteranya sudah tewas
pula.
"Di mana Cin Lan? Panggil ke sini. Aku ingin memberi tahu kepadanya sekarang juga," kata
Pangeran Tang Gi Su. Lu Bwe Si masuk ke belakang dan tldak lama kemudian ia sudah
kembali bersama Cin Lan yang memandang ayahnya dengan heran. Tidak seperti biasanya
ayahnya memanggilnya seperti ini, tentu ada urusan penting dan ibunya tadi tidak mau
mengatakan urusan apa yang membuat ayahnya memanggilnya.
"Ayah memanggilku? Ada keperluan apakah, Ayah?" tanyanya.
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 197
"Cln Lan, eogkau sekarang bukan seorang kanak-kanak lagi. Engkau sudah menjadi seorang
gadis dewasa yang mau tidak mau harus mengalami pernikahan, Ayahmu telah menerima
pinangan untuk dirimu. Kami ingin menjodohkan engkau dengan Kongcu Bian Hok, putera
Pange-ran Bian Kun yang mengajukan pinangan» Bahkan pinangan itu dilakukan sendiri oleh
uwakmu, yaitu Pangeran Tang Gi Lok"
Wajah Cin Lan berubah pucat, lalu menjadi merah sekali. "Bian Hok? Tidak, Ayah. Aku tidak
mau menjadi jodoh Bian
"Cin Lan....!" Ayahnya membentak. "Ayah, sejak dulu aku tldak suka kepada pemuda yang
matanya kurang ajar itu. Aku benci padanya. Aku tidak sudi menjadi isterinya!"
"Cin Lan, berani engkau bersikap seperti ini? Seorang anak perempuan h.irus menurut apa
yang dikatakan ayahnya! Terutama sekali dalam urusan perjodohan, harus menurut apa yang
dlpiUh oleh ayahnya."
"Tidak, aku tidak sudi menjadi isteri Bian Hok!" kata pula Cin Lan sambil menangis.
Ibunya merangkulnya. "Cin Lan, engkau harus menaati kehendak ayahmu...."
"Tidak, Ibu. Aku tidak mau'." kata Cin Lan sambll merangkul ibunya.
"Cin Lan! Mau atau tidak engkau harus menerima pinangan itu! Engkau tidak boleh
membantah apa yang sudah kuputuskan!" Setelah berkata demikian, Pangeran Tang Gi Su
bangkit berdiri.
"Apakah engkau hendak menjadi seorang anak yang durhaka dan tidak berbakfi kepada orang
tua?" Setelah itu dia meninggalkan ruangan itu, membiarkan is-terinya untuk membujuk
anaknya.
Setelah pangeran itu pergl keluar ruangan, Cin Lan menangis semakin keras. "Tidak, Ibu, aku
tidak sudi...." la menangis.
"Engkau tidak tilsa menolak kehendak ayahmu, Cin Lan," bujuk ibunya.
"Dia bukan ayahku. Aku bukan anak kandungnya.. Dla tidak bisa memaksakan kehendaknya
kepadaku."
"Tapi, Cin Lan...."
"Ibu, Ibu pernah mengatakan bahwa ayah kandungku meninggalkan pesan mengenai
perjodohanku. Itu saja aku sudah tidak dapat menerima, apalagi sekarang. Aku tidak mau
dipaksa dalam hal perjodohan oleh siapapun juga. Kalau aku tidak suka, aku pun tidak mau
dan aku tldak mau dipaksa.
Kini Lu Bwe Si yang menangis sambU merangkul puterinya. "Aihh, anakku, bagaimana
mungkin kita akan menolak kehendak Pangeran untuk menjodohkan engkau? Kita telah
berhutang budi kepadanya, hutang budi setinggi gunung. Sejak kecil engkau dipeliharanya
seperti anak sendiri, dicinta dan dimanja. Bagai-mana sekarang engkau dapat menolak-nya?
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 198
Bagaimana aku dapat berkata kepadanya bahwa engkau tidak mau dinikahkan dengan pemuda
yang dipilihnya?"
Cin Lan melepaskan rangkulan ibunya, "Tidak, Ibu. Kalau aku dipaksa menikah dengan Bian
Hok itu, aku akan lari minggat dari sini!" Setelah berkata demikian, sambil menahan isak ia
lalu lari keluar dari ruangan itu.
"Cin Lan....!" Ibunya memanggil, akan tetapi Cin Lan tidak peduli dan berlari terus. Ibunya
hanya dapat menangis dengan hati khawatir. la sendiri merasa heran mengapa puterinya
begitu membenci Bian Hok, padahal kalau menurut penglihatannya, pemuda putera Pangeran
Bian Kun itu adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah. Memang benar dia putera
Pangeran Bian Kun, pangeran yang dahulu dipukuli oleh Bu Cian, bahkan kemudian yang
menyebabkan Bu Cian tewas dikeroyok pasukan. Apakah karena itu puterinya menjadi benci
kepada Bian Hok? la menjadi bingung sekali bagaimana harus menghadapi suaminya dalam
urusan perjodohan ini.
Sejak jaman dahulu, urusan perjodohan memang selalu mendatangkan keributan. Banyak
orang muda yang merasa tidak suka dipilihkan jodohnya oleh orang tua dan menganggap
bahwa perjodohan harus dipilihnya sendiri. Menurut para orang muda, perjodohan bukan
pilihan hati sendiri, yang tidatr berdasarkan cinta, tentu akan gagal. Sebaliknya, para orang tua
menilai bahwa pilihan anak sendiri tidak memakai perhitungan yang masak dan hanya tertarik
oleh kecantikan atau ketampanan belaka sehingga perjodohan seperti itu tldak akan berakhir
baik bagi mereka.
Harus diakui bahwa tidak semua perjodohan pilihan orang tua tidak berakhir bahagia dan
tidak semua perjodohan pilihan hati sendiri berakhir bahagia. Ba-nyak perjodohan pilihan
orang tua yang dapat menjadi suami isteri bahagia, sebaliknya banyak pula perjodohan pilihan
hati sendiri berakhir dengan kehancuran fumah tangga. Akan tetapi satu hal sudah jelas. Apa
pun jadinya dengan perjodohan pilihan sendiri, maka kedua orang itu bertanggung jawab
seridiri dan tidak akan menyalahkan orang tua yang tidak ikut memilihkan. Pilihan orang tua
memang lebih teliti. Bukan hanya memilih berdasarkan wajah melainkan juga tabiat,
keturunan dan sebagainya lagi. Sedangkan pilihan hati selalu berdasarkan rasa suka atau tidak
suka yang mereka namakan cinta, padahal cinta yang berdasarkan keindahan bentuk tubuh
atau muka hanyalah cinta nafsu belaka dan mudah sekali cinta seperti itu menjadi luntur di
lain waktu.
Penolakan Cin Lan bukan semata-mata karena dia menentang orang tua. Sama sekali tidak.
Penolakannya terhadap Bian Hok memang didasari hati yang sudah merasa tidak suka kepada
pemuda itu. Adapun penolakannya terhadap perjodohan gelang kemala didasari karena
pendapat yang sama sekali menolak d-jodohkan dengan orang yang sama sekali tidak pernah
dilihatnya bahkan tidak diketahui bagaimana orangnya.
la melarikan diri dari ruangan itu terus keluar dari rumah, bahkan keluar dari kota raja
menunggang kudanya yang berbulu putih.
Kuburah itu selama belasan tahuh tidak pernah dikunjungi orang, apalagi dlsembahyangi.
Siapa yang berani mengunjungi kuburan seorang pemberontak? Di batu nisan sederhana itu
ditulis dengan huruf-huruf yang jelas. "Kuburan pemberontak Bu Cian". Akan tetapi pada
siang hari itu, seorang gadis berlutut di depan makam yang tidak terawat sehingga rumput
alang-alang tumbuh dengan suburnya. Gadis itu adalah Cin Lan. Tidak sukar 'baginya untuk
Gelang Kemala > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 199
berkunjung ke dusun Teng-sia-bun yang tidak berapa jauh letaknya dari kota raja dan setelah
tiba di dusun itu, juga tidak sukar untuk menemukan kuburan Bu Cian. Semua orang
mengenal kuburan ini. Resminya kuburan pemberon-tak Bu Cian, akan tetapi bagi penduduk
dusun itu, terutama kaum tuanya, kuburan itu mereka sebut kuburan Pendekar Bu Cian!
Walaupun tidak ada orang yang berani merawat kuburan itu, akan tetapi mereka menganggap
kuburan itu sebagai kuburan yang keramat.
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru