Selasa, 24 April 2018

Pendekar Pedang Pelangi 1 Lanjutan Memburu Iblis

--------
JILID I
AAT-tat-tat-taaaaar! Taaar! Taaar!
Taaaaaar......!
"Aha... Selamat Tahun Baru! Selamat
Tahun Baru! Selamat......!"
"Kiong-hi! Kiong-hi...! Selamat Tahun
Baru! Kiong-hi..!”
Taaaar! Taaaaaar! Rat-tat-tat-tat-taaaaaa!
Taaaaaaaar......!
Hari itu adalah permulaan bulan ke satu, tahun 180
Sebelum Masehi, yaitu lima belas tahun setelah
Kaisar Liu Pang wafat. Lima belas tahun memang
bukanlah waktu yang pendek, hingga tidak
mengherankan bila semua orang seakan telah
melupakan kaisar mereka yang bijaksana itu. Bahkan
rasanya semua orang juga sudah tidak peduli pula,
bahwa selama itu kursi singgasana masih tetap kosong
dan belum ada yang mendudukinya. Putera Mahkota,
Pangeran Liu Yang Kun, yang sebelumnya telah
ditunjuk oleh Kaisar Liu Pang, ternyata justru
menghilang dari tempat tinggalnya begitu upacara
pemakaman ayahnya selesai. Bahkan Putera Mahkota
yang dicintai rakyat itu tetap tidak muncul takkala
beberapa hari kemudian istana pribadinya musnah
dimakan api beserta seluruh isi keluarganya.
Untunglah Permaisuri Li, isteri Kaisar Liu Pang
merupakan ibu tiri dari Pangeran Liu Yang Kun,
segera maju ke depan untuk mengambil alih roda
T
4
pemerintahan untuk sementara. Permaisuri yang
masih berusia muda itu berjanji untuk mewakili
sebelum Pangeran Liu Yang Kun diketemukan. Akan
tetapi setelah bertahun-tahun kemudian ternyata
pangeran itu belum juga diketemukan, terpaksa
Permaisuri Li mencalonkan puteranya sendiri,
Pangeran Liu Wan Ti yang masih kecil, sebagai calon
pengganti kaisar yang baru.
Demikianlah, selama lima belas tahun itu ternyata
Permaisuri Li benar-benar telah membuktikan
kecakapannya sebagai pemangku kekuasaan. Dia
pandai sekali mengatur roda pemerintahan, dan dia
juga cerdik pula memilih para pembantunya. Suara
rakyat dan kepentingan umum selalu dia perhatikan
dengan seksama, sehingga lambat-laun orang pun
menjadi suka dan simpati kepadanya. Apalagi ia
bersama para pembantunya benar-benar berusaha
sekuat tenaga untuk memajukan dan memakmurkan
negerinya.
Keamanan negara serta kesejahteraan rakyat pun
diupayakan pula dengan sebaik-baiknya. Bala tentara
ditambah dan diperkuat, sementara sepanjang Tembok
Besar yang menjadi penangkal serangan dari suku
bangsa liar itu selalu dijaga dan diawasi. Maka sudah
selayaknyalah bila sejalan dengan berkembangnya
rasa aman serta meningkatnya kesejahteraan rakyat
tersebut, orang pun lantas mulai melupakan Kaisar
Liu Pang dan Pangeran Liu Yang Kun.
5
Orang mulai berlumba untuk menikmati
kegembiraan dalam suasana aman dan damai itu.
Mereka seolah-olah ingin mengambil kembali
kebebasan mereka, yang selama pemerintahan Kaisar
Liu Pang terkurung akibat peperangan yang
berkepanjangan dengan suku-suku bangsa liar di luar
Tembok Besar.
Demikian pula dengan Perayaan Menyongsong
Tahun Baru kali ini. Warga kota Hang-ciu, sebuah
kota besar di pantai timur Propinsi Cse-kiang,
menyambut kedatangan Tahun Baru ini dengan sangat
meriah pula. Hampir semua toko dan rumah yang
berada di pinggir jalan menghias diri sebaik-baiknya.
Segala macam hiasan kertas dan umbul-umbul. Serta
lampu ting yang bercorak warna-warni, mereka
pasang di depan bangunan masing-raasing. Sementara
di perempatan jalan besar, di pasar-pasar, maupun di
tempat-tempat ramai didirikan panggung-panggung
pertunjukan guna menghibur penduduk di sekitarnya.
Dan panggung-panggung itu juga dibuat dan dihias
pula semeriah-meriahnya, seakan-akan ingin bersaing
dan tak mau kalah dengan panggung yang dibuat di
halaman kabupaten.
"Selamat Tahun Baru! Kiong-hi! Semoga panjang
umur dan murah rejeki!"
"Selamat...! Kiong-hi! Terima kasih! Terima
kasih...!"
Setiap orang, tua - muda, anak-anak, laki -
perempuan, dengan wajah berseri serta gelak dan
6
tawa, saling memberi salam dan puja-puji setiap kali
berjumpa. Mereka berbondong-bondong keluar
rumah. Masing-masing seolah-olah telah menentukan
acaranya sendiri-sendiri. Ada yang saling
mengunjungi sanak kerabatnya. Ada yang pergi ke
tempat-tempat pertunjukan untuk melihat hiburan
gratis.
Akan tetapi sekali ini semua orang seperti
ditumpahkan ke halaman kabupaten yang luas itu.
Selain ada tiga buah panggung di sana, kali ini juga
akan di adakan sebuah acara baru. Sebuah acara
perlombaan yang diselenggarakan oleh pihak kerajaan
di seluruh negeri, yaitu Perlombaan Mengangkat
Arca. Perlombaan yang dilaksanakan di setiap
halaman kabupaten di seluruh Tiong-kok itu
dimaksudkan untuk mencari pemuda-pemuda yang
cocok sebagai calon prajurit pengawal istana.
Suara musik dan tambur yang kemudian menggema
di halaman Kabupaten Hang-ciu itu semakin
menyemarakkan suasana. Apalagi para pejabat tinggi
di kota itu telah lengkap pula di tempat duduk yang
disediakan. Para penonton pun segera mencari tempattempat
duduk yang strategis untuk menyaksikan
acara-acara yang akan dipergelarkan.
Sementara itu di luar halaman, dua orang petani
yang juga ingin menonton Perlombaan Mengangkat
Arca, masih asyik duduk di sebuah warung kecil di
pinggir jalan. Mereka mengobrol sambil ninum arak.
Sesekali mereka melayangkan pandangannya ke arah
7
penonton yang berduyun-duyun memasuki halaman
kabupaten.
"Perayaan Tahun Baru kali ini kelihatan lebih
meriah dibandingkan tahun, kemarin, A Tung." Salah
seorang di antara mereka yang bertubuh pendek
berkulit kuning berkata kepada temannya yang lebih
jangkung dan berkulit gelap.
"Benar. Dulu memang tidak semeriah ini. Mungkin
karena sekarang ada Perlombaan Mengangkat Arca,
sehingga orang-orang dari kampung pun datang ke
sini untuk menyaksikannya. Eh, apakah engkau juga
berniat untuk mengikuti perlombaan itu, Lok Ma?"
Petani berkulit gelap itu memandang kawannya
dengan senyum menggoda.
"Ah, kau! Bukankah perlombaan itu hanya
diperuntukkan bagi remaja berusia enam belas sampai
tujuh belas tahun saja? Huh! Kau memang selalu
menggoda dan mengolok-olok aku!" Petani bertubuh
pendek itu bersungut-sungut.
"Hehehe-hehehe.... Siapa tahu engkau masih
merasa muda belia seperti mereka?" A Tung cepatcepat
menambahkan.
"Huh, kau ini... memang menyebalkan!" sungut
Lok Ma dengan wajah masam.
"Eit, sabar dulu! Jangan mudah tersinggung! Aku
cuma bergurau! Masakan kau yang sudah memiliki
uban di sana-sini benar-benar mau ikut perlombaan?"
"Habis... sedari tadi kau selalu mengolok-olok aku
terus, sih! Kau selalu mengatakan aku seperti keledai,
8
seperti katak raksasa dan lain-lain! Kau juga selalu
mengejekku sebagai babi yang rakus kalau makan!
Dan kau juga selalu mengolok-olok aku sebagai suami
yang takut bini! Huh, bagaimana aku tidak menjadi
sebal kepadamu?"
A Tung tiba-tiba tertawa, namun ditahannya. "Lok
Ma... Lok Ma! Bagaimana aku tidak menyebutmu
sebagai keledai kalau setiap saat penampilanmu
seperti orang tolol dan malas begini? Sudah kelihatan
bodoh dan malas, perutmu buncit lagi akibat banyak
makan! Persis seperti katak atau babi yang rakus, hehe-
he! Dan lebih celaka lagi... ternyata kau sangat
takut kepada binimu!"
"Nah, kau mulai mengejek lagi! Baik! Aku akan
pergi saja kalau begitu! Kita menonton sendirisendiri!"
Lok Ma benar-benar menjadi marah. Cepat dia
bangkit dari kursinya. Akan tetapi dengan tangkas A
Tung menyambar lengannya.
"Eeeeee... tunggu sebentar! Maafkanlah aku! Aku
benar-benar hanya berkelekar kepadamu. Marilah
duduk dahulu! Kita makan minum sepuasnya di sini
sebelum menonton pertunjukan. Aku akan memesan
ikan mas goreng serta arak wangi kesukaanmu. Aku
yang membayarnya. Mau, bukan?"
Tanpa menanti jawaban lagi A Tung menyeret
sahabatnya kembali ke kursinya. Dan Lok Ma pun
juga tidak menolak pula. Apalagi mendengar A Tung
hendak mentraktir ikan mas goreng kegemarannya.
9
Sambil masih berpura-pura marah petani bertubuh
pendek dan gemuk itu memelototkan matanya.
"Baik! Tapi aku akan segera angkat kaki kalau kau
mengolok-olokku lagi!"
"Ya-ya-ya... percayalah, aku tidak akan
menyebutmu keledai, katak, ataupun babi lagi! Kalau
nanti aku kesalahan omong dan menyebutmu keledai,
katak atau babi, kau boleh memukulku. Tapi
sebaliknya kalau aku benar-benar dapat memenuhi
janjiku ini, dan tak sepatah kata pun keluar kata-kata
keledai, katak, atau..."
"Cukup!" Lok Ma tiba-tiba berseru, lalu bangkit
meninggalkan kursinya.
"Eeeeeeee, Lok Ma... tunggu!" A Tung cepat
mengejarnya.
Namun Lok Ma tidak peduli. Ia melangkah dengan
cepat menghampiri pelayan yang sedang,memberesi
dan membersihkan sisa makanan di atas meja.
"Hei, pelayan...!" panggilnya keras-keras.
Pelayan yang ternyata masih bocah itu cepat
berpaling, lalu meletakkan kembali piring-piring kotor
yang dibawanya.
"Jiwi memanggil saya?" jawabnya sopan seraya
memandang Lok Ma dan A Tung yang telah berdiri di
belakangnya.
Tiba-tiba mata Lok Ma terbelalak. Begitu pula A
Tung.
"Kau...?" keduanya berseru lirih, seolah-olah tak
percaya.
10
Sebaliknya pelayan muda itu menjadi bingung
melihat kedua tamunya seperti sudah kenal akan
dirinya, padahal ia sendiri sama sekali tak mengenal
mereka.
"A Tung...! Bukankah anak muda ini yang
menolong anakku dari cengkeraman serigala liar itu?"
Lok Ma berseru kepada A Tung, lupa akan
kemarahannya.
"Tak salah lagi! Memang dialah yang menolong
anakmu .dari terkaman serigala hutan tiga hari yang
lalu. Aku tak akan melupakan wajahnya!" A Tung
menyahut dengan gembira pula melihat sahabatnya
tidak jadi marah.
Tiga hari yang lalu memang terjadi keributan di
kampung Lok Ma. Kampung sepi di pinggir hutan itu
tiba-tiba diterjang kawanan serigala liar. Untunglah
semua lelaki di kampung itu masih berada di rumah
masing-masing, sehingga beramai-ramai mereka bisa
mengusir kawanan serigala buas itu. Namun demikian
seekor serigala masih juga sempat menerkam anak
Lok Ma yang masih kecil. Untung datang seorang
anak muda asing yang kebetulan lewat di tepi hutan
itu. Dengan berani anak muda asing itu merebut anak
Lok Ma dari cengkeraman serigala buas tersebut.
"'Selamat bertemu lagi, Saudara Kecil. Wah,
sungguh gembira sekali bisa bertemu denganmu. Aku
benar-benar berterima kasih sekali kau telah
menyelamatkan anakku dari kematian. Oh... apakah
11
warung ini warung ayahmu?" Lok Ma dengan riang
menyalami pelayan muda itu.
"Oh-eh...." pelayan itu menjadi gugup dan tersipusipu.
"Saya... saya bukan pemilik warung ini. Saya...
cuma pelayan."
A Tung melangkah dengan cepat ke muka.
Tangannya mencengkeram lengan pelayan muda itu.
"Nah, engkau hendak berbohong lagi! Kemarin kau
mengaku sebagai anak gelandangan yang tak punya
sanak saudara dan tempat tinggal. Kini kau mengaku
sebagai pelayan warung ini. Eh, Saudara Kecil! Siapa
sebenarnya kau ini?" serunya penasaran.
"Benar." Lok Ma cepat menyambung perkataan
sahabatnya. "Siapa sesungguhnya Saudara ini? Kami
tak percaya pada ceritamu tentang anak gelandangan
itu."
Pelayan muda itu semakin menjadi gugup dan
bingung. Ia tak kuasa menjawab pertanyaan tamutamunya
itu. Untunglah suara panggilan majikannya
menolong dia dari kesulitannya.
"A Liong, kemari...!"
"Maaf, Tuan... majikanku memanggil." ucapnya
terburu-buru, lalu bergegas meninggalkan tamunya.
"Wah!" Lok Ma dan A Tung menggerutu kecewa.
"Sebenarnya aku ingin tahu, siapa dia itu
sesungguhnya! Aku yakin dia telah menyembunyikan
keadaannya." Lok Ma terus saja bersungut-sungut.
12
"Ya, aku juga. Melihat penampilannya, tak
mungkin dia seorang gelandangan. Dia lebih pantas
menjadi anak
bangsawan atau
anak orang
kaya. Badannya
kokoh kekar.
Wajahnya
tampan.
Pakaiannya
bersih dan
rapi...."
"Benar.
Bahkan kami
berani bertaruh,
dia akan
menjadi rebutan
gadis-gadis di
kemudian hari."
Lok Ma semakin
bersemangat.
A Tung mendadak tertawa. Timbul kembali
sifatnya yang riang dan suka menggoda. "Gadis-gadis
gelandangan, maksudmu...?" oloknya jenaka.
"Nah, kau sudah mulai lagi...!" geram Lok Ma
bagai diingatkan kembali akan kemarahannya tadi.
Namun tiba-tiba mereka terdiam. Dua orang
penunggang kuda berhenti di depan warung itu. Dan
13
A Liong yang baru saja dipanggil majikannya tadi
tampak berlari keluar menyongsong mereka.
"Silahkan masuk, Tuan! Masih banyak tempat
kosong di dalam..." anak muda itu mempersilakan
tamunya sambil menerima tali kekang kuda dari
mereka.
Tamu-tamu baru itu lalu melangkah ke dalam
warung. Mereka adalah pria-pria yang gagah, apalagi
dengan pedang panjang di pinggang mereka. Usia
mereka pun belum begitu tua. Kira-kira sekitar empat
puluhan tahun. Cuma yang satu agak kelihatan lebih
matang daripada yang lain dengan gumpalan uban di
atas telinganya. Dan secara kebetulan mereka duduk
di dekat meja Lok Ma dan A Tung tadi.
"Jiwi ingin memesan apa?" A Liong yang sudah
selesai menambatkan kuda-kudanya itu cepat
menanyakan keinginan tamu-tamunya.
"Arak putih dan makanan kecil! Tolong pilihkan
arak yang paling wangi!"
Salah seorang dari kedua penunggang kuda itu
berkata.
A Liong yang cekatan itu segera berlari ke
belakang.
"Ssstt, A Tung...! Aku seperti pernah melihat wajah
orang yang lebih tua itu di Lok Yang. Tapi aku lupa
lagi...." Lok Ma berbisik kepada kawannya.
"Huh, lagakmu! Kapan kau pergi ke kota raja yang
jauh itu? Kau bermimpi barangkali?"
14
"Wah, kau ini selalu mengolok-olok aku saja.
Bukankah aku pernah menjadi tukang gerobag di
Kim-liong Piau-kiok (Perusahaan Ekspedisi Naga
Emas)?" Lok Ma merengut kesal.
"Oooh, benar! Benar! He-he-he, maaf ... aku ingat
sekarang. Kau mendapat upah yang besar sekali kala
itu, sehingga kau bisa mengawini binimu yang
sekarang ini, he-he-he-he!"
Lok Ma tak menanggapi olokan sahabatnya.
Dengan serius ia melanjutnya bisikannya tadi, "Tapi...
tapi rasanya orang itu dahulu mengenakan pakaian
seragam perwira. Aku ingat benar hal itu, karena
barang-barang yang dimuat di dalam gerobagku itu
dikirim ke rumah seorang jenderal. Nah, yang
menerima barang hantaran tersebut... wajahnya persis
orang ini."
"Sudahlah, lebih baik kita duduk kembali
menikmati minuman. Kita tak usah mengurusi
mereka. Mungkin orang itu memang perwira yang
pernah kaulihat itu. Tapi mungkin juga dia adalah
orang lain yang wajahnya mirip perwira itu.
Lok Ma seperti tersadar dari kesalahannya. "Kau
benar..." katanya perlahan seraya kembali ke mejanya.
"Kita memang tak perlu..."
Tiba-tiba keduanya terdiam kembali. Tiga orang
lelaki menyandang golok melintas di depan warung
itu. Melihat dua ekor kuda yang tertambat di samping
warung, salah seorang di antara mereka mendadak
terbatuk-batuk. Dan seperti terbawa oleh ulah mereka
15
itu, tiba-tiba penunggang kuda yang ada di dalam
warung juga ikut terbatuk-batuk pula.
"Sssst! Aku juga pernah melihat tiga orang itu.
Mereka juga teman dari perwira itu..." Lok Ma
berbisik lagi.
"Ah, kau ini! Bukankah kau sudah setuju untuk
berdiam diri saja?" A Tung berdesah kesal, kemudian
bangkit untuk memesan makanan dan minuman lagi.
Lok Ma menarik napas panjang. Matanya tetap
tertuju ke luar warung meskipun tiga orang bergolok
itu sudah hilang dari pandangannya. Mereka telah
berbaur dengan penonton-penonton yang lain. Dari
luar justru dilihatnya A Liong pelayan muda itu,
berlari masuk sambil membawa sesuatu di tangannya.
Anak itu langsung menghampiri meja tamu-tamu
baru tadi.
"Maaf, jiwi... seseorang telah menitipkan selembar
saputangan ketika aku membeli minyak tadi. Aku
diminta untuk menyampaikannya kepada Ji-wi
berdua." katanya terengah-engah sambil menyerahkan
saputangan putih kepada tamunya.
Lelaki yang memiliki uban kedua pelipisnya itu
cepat menerima saputangan tersebut.
"Terima kasih, Nak. Siapa namamu?"
"A Liong, Tuan..."
"A Liong saja? Apa nama keluargamu?"
Anak muda itu tertunduk. "Saya tak tahu nama
keluargaku, Tuan. Saya... anak gelandangan yang tak
tahu siapa orang tua saya." jawabnya kemudian seraya
16
menengadahkan kepalanya kembali. Suaranya
nyaring, dan sama sekali tidak bernada sedih atau
malu.
Dua orang penunggang kuda itu tertegun, terutama
yang memiliki uban di atas telinga. "Hei! Berapa
umurmu sekarang...?" tanyanya lagi dengan wajah
heran.
"Maaf, Tuan. Saya... saya juga tidak tahu umur
saya. Banyak orang menduga, umur saya sekitar 14
sampai 17 tahunan. Entahlah, mungkin memang
sekian itu."
"Eh...?!?"
Dua penunggang kuda itu saling memandang
dengan heran, namun juga semakin tertarik kepada
pelayan warung itu. Begitu tertariknya mereka pada
penuturan A Liong sehingga untuk sesaat mereka
telah melupakan saputangan mereka tadi.
"Maaf, saya hendak melayani tamu-tamu yang
lain..." tiba-tiba A Liong minta diri.
Lelaki beruban itu menghela napas, sementara
kawannya dengan cepat menyisipkan sekeping uang
tembaga ke tangan A Liong. Anak muda itu segera
berlalu setelah mengucapkan terima kasih.
Beberapa saat lamanya kedua tamu itu memandang
kepergian A Liong.
"Lim Su-heng, sudahlah. Mari kita lihat, apa pesan
di dalam saputangan itu. Jangan-jangan ada sesuatu
yang penting yang hendak disampaikan kepada kita."
17
teman lelaki beruban itu mengingatkan kawan
seperjalanannya.
Lelaki beruban yang dipanggil dengan nama Lim
Su-heng itu tersentak dari lamunannya. Bergegas ia
menyambar arak yang telah tersedia di depannya dan
menenggaknya habis. Beberapa tetes arak mengalir
membasahi kumis dan jenggotnya, sehingga ia
terpaksa mengusapnya dengan saputangan pemberian
A Liong tadi.
Semua itu dilakukan oleh lelaki beruban itu dengan
wajar, padahal ketika saputangan itu kemudian digelar
di atas meja, keadaannya telah basah kuyup seperti
baru saja dicelup ke dalam air. Namun demikian tibatiba
saja saputangan yang semula kosong bersih itu
kini telah penuh dengan tulisan huruf.
"Apa yang ditulis di situ, Suheng?" Lelaki beruban
itu menggulung saputangannya kembali. "Tong Tai-su
mengingatkan kita agar lebih berhati-hati lagi. Ada
pihak luar yang hendak mengacaukan tugas kita.
Mereka terdiri dari orang-orang yang berilmu tinggi."
"Siapa mereka...?"
"Tong Tai-su belum mengetahuinya. Dia juga
sedang mengadakan penyelidikan. Tapi dikatakannya
bahwa para pengacau itu telah muncul di dua kota
sekaligus, yaitu kota Cin-kiang dan Wuh-si di
Propinsi Kiang-su."
"Hei... kota itu saling berjauhan satu sama lain.
Kalau begitu mereka memiliki kekuatan yang besar."
18
Lelaki beruban itu tidak menjawab. Matanya
memandang ke luar warung, di mana banyak orang
berduyun-duyun memasuki halaman kabupaten.
"Perlombaan Mengangkat Arca itu belum juga
dimulai..." katanya tiba-tiba mengalihkan
pembicaraan.
Kawan seperjalanannya ikut melemparkan
pandangannya ke luar, ke jalanan. Dan pada saat yang
bersamaan A Liong datang mendekati mereka.
Pelayan muda itu bertanya kalau-kalau tamunya ingin
menambah pesanan lagi.
"Ya, tambahlah araknya sebotol lagi! Eh... A
Liong! Mengapa kau tidak ikut "Perlombaan
Mengangkat Arca" itu? Bukankah usiamu memenuhi
syarat?" lelaki beruban itu berkata.
A Liong tertawa perlahan. "Percuma, Tuan. Tak
mungkin bisa menang. Rata-rata semuanya
mempunyai kepandaian silat yang baik. Aku sama
sekali tak bisa apa-apa. Memegang senjata pun tak
pernah."
"Hei! Itu perlombaan, bukan perkelahian! Kau
tidak akan disuruh berkelahi dengan siapa-siapa. Kau
hanya diminta untuk mengangkat sebuah arca."
A Liong sedikit tersipu-sipu. "Ya, tapi... orang yang
pandai silat tentu lebih kuat, Tuan." katanya membela
diri.
"Nah, di sinilah kekeliruannya. Semua orang ratarata
berpikir seperti itu, padahal hakekat dan tujuan
daripada perlombaan ini sesungguhnya tidak
19
demikian. Perlombaan ini dimaksudkan untuk
mencari bibit-bibit unggul dari kalangan remaja,
untuk nantinya akan dididik sebagai anggota pasukan
pengawal istana. Jadi penilaiannya bukan dititikberatkan
pada kekuatan pesertanya, tapi pada bakat
dan cocok tidaknya peserta itu untuk dijadikan
sebagai pengawal istana. Itulah sebabnya Sang Ratu
mengirimkan petugas-petugasnya ke tempat-tempat
perlombaan di seluruh negeri." lelaki beruban itu
memberi keterangan dengan suara berapi-api.
Tentu saja keterangan itu sangat menarik perhatian
A Liong. Pada zaman itu siapa yang tak "ngiler"
menjadi perajurit pengawal istana? Seragamnya yang
megah dan indah itu selalu dikagumi oleh setiap
orang.
"Nah! Apakah kau tidak berminat untuk
mengikutinya, A Liong?" kawan dari lelaki beruban
itu tiba-tiba bertanya.
"Kalau begitu... saya juga berminat, Tuan. Tapi..."
A Liong berguman ragu sambil menatap ke arah
majikannya berada.
Lelaki beruban itu dapat menangkap kesulitan yang
dihadapi anak muda itu. Oleh karena itu dengan
tenang ia berkata, "Jangan takut! Pergilah
mendaftarkan diri ke panggung itu! Biarlah aku yang
memintakan ijin kepada majikanmu."
"Ba-baiklah, Tuan. Terima kasih. Saya akan ke
sana."
20
"A Liong...!" majikan A Liong tiba-tiba
memanggil.
Anak muda itu mengangkat wajahnya, tapi dengan
cepat lelaki beruban itu mendorongnya keluar,
sehingga ia tak kuasa lagi membantahnya. A Liong
berlari keluar. Di depan pintu hampir saja ia
bertabrakan dengan tiga orang tamu yang baru saja
datang.
"Maaf...." katanya meminta maaf sambil terus
berlari meninggalkan warung itu.
"Hei, mau ke mana anak itu?" Lok Ma berseru
kaget.
"Hmm... mana aku tahu? Ya... paling-paling
menggelandang lagi. Bukankah ia sudah mengatakan
bahwa ia Anak Gelandangan?" A Tung menjawab
seenaknya.
"Ah, kau...!" Lok Ma bersungut-sungut.
Sementara itu majikan A Liong bergegas ke luar
dari belakang mejanya. Tetapi lelaki beruban itu
dengan cepat menghadangnya. Sambil menyisipkan
sekeping uang perak, lelaki beruban itu berkata
perlahan, "Biarkan anak itu pergi! Aku telah
menyuruhnya pergi mengikuti acara "Perlombaan
Mengangkat Arca". Untuk sementara kau bisa
mencari tenaga pembantu lain...."
Pemilik warung itu tertegun mengawasi tamunya.
Namun perlahan-lahan wajahnya tertunduk kembali.
Sorot mata lelaki beruban itu seolah-olah menikam
21
jantungnya dan melemaskan seluruh sendi-sendi
tulangnya.
"Eh-oh, tapi... tapi aku belum memberikan uang
gajinya." akhirnya dia berkata lirih tanpa berani
memandang tamunya.
"Oh... itu mudah. Uang itu dapat kauberikan nanti
setelah perlombaan selesai. Anak itu tentu akan
kembali lagi ke sini."
"Ba-baik, Tuan. Kalau begitu... kalau begitu... akan
saya berikan nanti. Sekarang... maafkanlah saya, saya
hendak menyambut tamuku itu dahulu." Pemilik
Warung itu membungkukkan tubuhnya, kemudian
bergegas menyongsong tiga orang tamu yang hampir
bertabrakan dengan A Liong tadi.
Lelaki beruban itu duduk kembali di kursinya.
Matanya melirik ke arah tamu-tamu yang baru datang.
Seorang pemuda dan dua orang gadis. Wajah-wajah
mereka sungguh menarik, terutama kedua gadis itu.
Mereka benar-benar amat cantik. Si Pemuda berusia
sekitar dua puluh tahun, bertubuh jangkung,
mengenakan baju dan celana berwarna kelabu. Gadis
yang pertama berusia kira-kira sembilan belas tahun,
berperawakan tinggi langsing, mengenakan baju
berwarna kuning-kuning. Gadis yang ke dua kelihatan
lebih muda lagi. Kemungkinan baru berumur enam
belas atau tujuh belas tahun. Dan sesuai dengan
sikapnya yang lincah dan ceria, ia mengenakan baju
berwarna merah muda. Ketiga-tiganya tidak kelihatan
membawa senjata. Namun demikian ditilik dari sikap
22
dan cara mereka berpakaian dapat diduga bahwa
mereka bertiga juga terdiri dari orang-orang rimba
persilatan pula.
Dugaan tersebut memang tidak salah. Begitu
mendapatkan tempat duduk pemuda itu segera
mengambil sikap waspada. Berkali-kali matanya yang
sedikit cekung itu melirik ke sekelilingnya. Bahkan
pada waktu menyantap makanan dan minumanpun ia
selalu mengamati keadaan di sekitarnya. Dan entah
mengapa, setiap kali pula pandangannya selalu
berhenti pada lelaki beruban itu.
"Su-moi berhati-hatilah...! Tampaknya di tempat ini
banyak orang yang pantas dicurigai." akhirnya
pemuda itu berbisik perlahan kepada dua orang teman
gadisnya.
"Ya, kami tahu...." kedua gadis itu menjawab
perlahan pula.
"Sungguh mengherankan. Rasa-rasanya kota ini
seperti dengan tiba-tiba dipenuhi oleh orang-orang
dari rimba persilatan. Di mana-mana kita hampir
selalu bertemu dengan mereka." pemuda itu berdesah
lagi.
Kedua gadis itu menatap wajah su-hengnya, namun
mereka tidak berkata apa-apa. Mereka lalu kembali
menyantap makanannya. Baru beberapa saat
kemudian gadis yang berbaju merah muda itu
menggamit lengan su-hengnya.
"Toa-suheng...? Aku... aku ingin bertanya
kepadamu, tapi...?"
23
Pemuda yang dipanggil toa-suheng itu memandang
adik seperguruannya. "Tapi apa...?" serunya perlahan.
"Tapi Toa-suheng jangan marah kepadaku! Mau?"
Gadis itu cemberut sambil melirik manja.
Pemuda itu tersenyum melihat tingkah adik
seperguruannya yang masih kekanak-kanakan itu.
Kepalanya mengangguk.
"Cici...? Kau juga jangan marah, ya?" gadis itu
merasa lega, tapi masih juga bertanya kepada gadis
yang mengenakan baju kuning.
Tapi gadis berbaju kuning yang ternyata juga kakak
kandungnya sendiri itu cepat mencibirkan bibirnya.
"Huh... tak ada gunanya marah kepadamu. Salah-salah
justru hati sendiri yang menjadi kesal. Kapan kau
pernah mendengarkan kemarahan orang? Sedangkan
suhu sendiri saja kewalahan menghadapimu, apalagi
cuma kami berdua. Ayoh, lekas kaukatakan apa yang
hendak kautanyakan!"
Gadis centil itu tertawa kecil sambil meremas
lengan kakaknya.
"Ah, aku cuma ingin bertanya kepada kalian,
apakah kalian berdua... percaya pada ramalan Lo-jinong?"
Seketika wajah dua saudara seperguruan itu
menjadi pucat. Dengan bibir sedikit gemetar gadis
berbaju kuning itu membentak lirih, "Siau In! Bicara
apa kau ini? Tutup mulutmu!"
Namun Si Pemuda cepat meraih pundak gadis
berbaju kuning. "Ciu In Sumoi, jangan kaubentak dia!
24
Bukankah kita telah berjanji untuk tidak
memarahinya?"
"Tapi pertanyaan itu sangat lancang, Sin Lun
Suheng! Lo-jin-ong adalah sesepuh (tetua) yang
sangat dihormati di dalam aliran agama kita." gadis
yang berbaju kuning, yang ternyata Ciu In itu,
bersungut-sungut marah.
"Bukankah aku tadi sudah bilang, bahwa... bahwa
kalian tidak boleh marah?" Gadis berbaju merah yang
bernama Siau In itu merajuk.
"Ya... ya, Cicimu memang tidak marah. Dia hanya
kaget saja mendengar pertanyaan tadi." Sin Lun
menengahi.
Mereka bertiga lalu berdiam diri. Masing-masing
kembali menyantap makanannya. Namun demikian
Siau In masih tampak penasaran karena
pertanyaannya tadi belum dijawab. Berkali-kali ia
melirik ke arah cicinya dan suhengnya, sehingga dua
orang itu menjadi risih melihatnya.
"Baiklah, aku akan menjawab pertanyaanmu tadi."
akhirnya Sin Lun berkata.
"Nah... begitu!" Siau In hampir bersorak. Dan tak
lupa jari-jarinya yang lentik itu mencubit pinggang
kakaknya, sehingga Ciu In menjerit kecil seraya
menampar tangannya. "Gila, kau...!"
Sin Lun memandang kedua adik seperguruannya itu
dengan senyum lebar. Tak terasa hatinya
memperbandingkan keduanya. Mereka sama-sama
cantik dan pintar. Kepandaian silat mereka pun juga
25
tidak berselisih banyak pula. Hanya sifat dan
pembawaan diri mereka sajalah yang berbeda. Ciu In
berperasaan halus dan pendiam. Tutur katanya selalu
lembut dan berhati-hati. Tapi sebaliknya, Siau In
berwatak polos dan terbuka. Kalau berbicara ceplasceplos
seenaknya sendiri. Suka bergurau dan
menggoda orang, terutama terhadap orang-orang yang
telah dekat dengan dirinya. Namun demikian mereka
berdua sangat rukun dan saling mengasihi satu sama
lain.
"Lho! Kenapa terus diam lagi? Bagaimana
pendapat Toa-suheng? Apakah Toa-suheng percaya
seratus persen ramalan beliau itu?"
"Sssst, jangan keras-keras! Nanti didengar orang!"
Sin Lun pura-pura marah untuk menutupi rasa
kagetnya.
"Habis Toa-suheng melamun saja. Masakan sudah
duduk berendeng sambil berpegangan tangan dengan
Cici begitu masih juga melamun terus? Apakah Toasuheng
ingin lekas-lekas kawin dengan Cici
barangkali?" Siau In malah menggoda sambil
meleletkan lidahnya.
Wajah Ciu In seketika menjadi merah padam.
"Siapa yang saling berpegangan tangan, heh? Ngaco!"
desahnya serak. Kebetulan lengannya memang
berjejer dan saling bersentuhan dengan lengan Sin
Lun, sehingga otomatis lengan itu ditariknya dengan
cepat.
26
"Wah-wah, kalian berdua ini kalau berkumpul
selalu bertengkar saja...!" Sin Lun yang menjadi
merah pula mukanya itu bersungut-sungut.
"Hi-hi-hi, baiklah... baiklah, aku mengaku salah.
Aku memang suka berkelekar maafkan aku, ya...
Cici? Mau... ya? Jangan marah, dong...!" Melihat
wajah kakaknya menjadi merah padam seperti itu
Siau In menjadi takut juga. Dengan cepat
tangannya merangkul pinggang Ciu In dan
menggelendot manja.
Gadis berwajah lembut itu tak jadi marah. Sambil
melepaskan rangkulan tangan adiknya ia melengos.
"Huh!" dengusnya pendek.
Tapi Siau In sudah bisa membaca watak kakaknya.
Ciu In tidak jadi marah kepadanya. Oleh karena itu
secepat kilat ia mencium pipi kakaknya.
"Terima kasih, Ciciku yang baik." katanya renyah.
Mereka memang saling bergurau dan bercanda.
Namun karena hal itu mereka lakukan dengan wajar
dan tidak menyolok mata, maka para tamu lainpun
juga tidak ada yang memperhatikan mereka. Kalaupun
orang banyak yang melirik ke arah mereka, hal itu
disebabkan karena kecantikan Ciu In dan Siau In.
"Siau-sumoi, aku... aku sebenarnya juga sangsi
akan kebenaran ramalan Lo-jin-ong kali ini. Aku tak
yakin kalau orang dari luar Im-yang-kau, yang belum
keruan darmabaktinya, kesetiaan, dan pengabdiannya,
justru diramalkan akan menjadi tokoh pemersatu dari
agama kita. Apalagi beliau meramalkan orang itu
27
akan membawa Aliran Im-yang-kau pada
kejayaannya." setelah berdiam diri beberapa saat
lamanya Sin Lun lalu mengutarakan pendapatnya.
"Nah! Cocok! Sama dengan pendapatku!" Siau In
berseru lirih. Wajahnya tampak puas dan lega. 'Aku
juga tidak percaya pada ramalan itu. Bagaimana
mungkin orang yang belum pernah dikenal dan bukan
orang dari kalangan kita sendiri, malah akan
membawa kejayaan pada aliran Im-yang-kau?
Bukankah itu hanya mengada-ada? Siapa tahu Lo-jinong
hanya menguji... eh, menguji kesetiaan kita? Huh,
mungkin orang yang disebutkan dalam ramalannya itu
sebenarnya tidak ada."
"Siau In...!" Ciu In membentak lirih.
"Ah, Cici...!" Siau In bersungut-sungut, "Masakan
Cici tidak bisa merasakan keganjilannya? Ganjil dan
mustahil! Bagaimana mungkin kita dapat mencari
orang yang belum pernah kita kenal dan kita lihat di
daratan Tiongkok yang maha luas ini?
Mungkinkah...?"
"Hush! Bukankah Lo-jin-ong telah memberi
petunjuk bahwa orang yang beliau maksudkan itu
mempunyai "tatto" gambar naga di tubuhnya?"
Siau In memonyongkan mulutnya. "Ah, Cici!
Alangkah banyaknya laki-laki yang suka menggoresi
tubuhnya dengan gambar naga di dunia ini. Kalau
mau, Toa-suheng pun bisa melakukannya sekarang
juga!" ucapnya sengit.
28
"Ah, kau! Tentu saja bukan begitu yang
dimaksudkan Lo-jin-ong." Ciu In mencubit gemas
pinggang adiknya. "Kau ini seperti bukan anggota
aliran Im-yang-kau saja, yang belum pernah mengenal
siapa Lo-jin-ong itu? Sedangkan orang lain saja
mengagumi kesaktian dan kemampuannya dalam ilmu
meramal, mengapa justru engkau sendiri tidak?"
"Tapi...?"
"Siau In! Lo-jin-ong memberikan ciri-ciri orang
yang ia ramalkan itu hanya untuk memudahkan kita
semua mencarinya. Jadi tidak berarti orang yang
mempunyai tatto naga itu mesti orang yang kita
maksudkan. Waktulah yang nanti akan menunjukkan,
siapa di antara orang orang bertatto naga itu yang
benar-benar orang yang dimaksudkan oleh ramalan
Lo-jin-ong itu. Apalagi Lo-jin-ong juga sudah
memberi batasan daerah mana yang kira-kira akan
menjadi tempat munculnya "manusia pilihan" itu,
yaitu di sepanjang muara Sungai Yang-tse ini. Nah,
bukankah kita tidak perlu mencarinya ke seluruh
Tiong-kok?"
Siau In menghela napas panjang. Hatinya yang
kesal agak lebih surut mendengar ucapan kakaknya.
"Tapi bagaimana caranya mencari orang itu?
Apakah setiap berjumpa dengan orang yang kita
curigai, kita lalu harus membelejeti pakaiannya agar
bisa kita periksa gambar naganya?"
Ciu In cepat mendorong pundak Siau In dengan
gemas. "Ih, pikiranmu selalu yang kotor-kotor saja!
29
Sudahlah! Ayoh, Suheng! Kita menonton pertunjukan
di daam. Tak ada gunanya berbicara dengan Siau In.
Lama-lama bisa dongkol kita dibuatnya. Mendingan
menonton Perlombaan Mengangkat Arca, siapa tahu
kita bisa... kita bisa...."
"Siapa tahu Cici bisa membelejeti pakaian orang di
sana nanti!"
"Kurang ajar! Mulutmu memang...."
Cui In mengangkat tangannya hendak memukul
adiknya yang bermulut tajam itu, namun dengan cepat
Sin Lun mencegahnya. Pemuda itu segera memanggil
pelayan dan membayar makanan mereka, kemudian
menarik lengan adik-adiknya ke luar. Sian In cepat
berlari mendahului mereka, takut akan cubitan
kakaknya.
Sementara itu lelaki beruban tadi juga beranjak dari
tempat duduknya. Sambil meletakkan uang perak di
atas meja, ia memberi tanda kepada pemilik warung,
lalu keluar bersama temannya.
"Kutitipkan kudaku di sini. Nanti aku akan
kembali..." pesannya kepada pemilik warung.
Tampaknya pertunjukkan yang diadakan di
halaman kabupaten itu memang telah mulai memanas.
Terutama di bagian tengah dan barat halaman, di
mana panggung untuk permainan barong-sai dan dan
panggung lui-tai didirikan. Tepuk tangan, sorak-sorai
dan jeritan penonton, seakan-akan saling bersaing
untuk memanaskan panggung masing-masing.
30
Di atas panggung pertunjukan barongsai ternyata
sudah mulai menginjak acara pertandingan. Dari
delapan grup barong-sai yang ikut, dua di antaranya di
nyatakan kurang memenuhi syarat dalam
pertandingan babak pertama, sehingga kini tinggal
enam grup lagi yang tersisa. Dan keenam grup
tersebut akan segera akan diadu pada babak kedua.
Di lain pihak di atas panggung lui-tai telah
diselesaikan pula pertandingan "memainkan jurus
indah". Bahkan para pemenangnya telah diminta
untuk tampil di atas panggung untuk menerima hadiah
dan piala. Mereka masih muda-muda. Dengan piala
dan hadiah di tangan mereka menyambut sorak-sorai
penonton.
Pemegang pertama, seorang pemuda yang bertubuh
pendek gempal, bahkan menyambut satupersatu
uluran tangan para penonton di bawah panggung.
Banyak yang merasa kagum kepadanya. Badannya
yang pendek dengan otot yang bergumpal-gumpal
seperti sapi aduan itu ternyata tidak menghalangi
keluwesannya dalam memainkan jurus-jurusnya yang
indah.
Tapi ketika tangannya menyambut uluran tangan
seorang penonton yang berdiri lengket di pojok
panggung, tiba-tiba tubuhnya terseret ke depan,
kemudian terlempar tinggi ke udara! Demikian kuat
dan kerasnya tenaga penonton yang melemparkannya
itu sehingga hadiah dan pialanya terlepas dari kepitan
lengannya!
31
Semua orang seperti terpaku diam di tempat
masing-masing. Apalagi ketika orang yang
melemparkan Si Juara tadi tiba-tiba melesat ke atas
pula dengan tangkasnya. Bagaikan burung elang
tangannya menyambar pinggang Si Juara, sekalian
dengan piala dan hadiahnya. Selanjutnya dengan
gerakan yang indah dan ringan kakinya mendarat di
atas panggung. Sama sekali tak menimbulkan suara
atau goncangan pada lantai panggung yang terbuat
dari kayu itu.
Meledaklah suara tepuk tangan, membahana
bagaikan mau meruntuhkan bangunan gedung
kabupaten yang
besar dan megah.
Dan
selanjutnya
dengan senyum
di kulum orang
itu membungkuk
ke arah Si Juara
yang telah dia
letakkan kembali
di atas panggung.
Dengan senyum
menggoda orang
itu menyerahkan
kembali piala
dan hadiahnya.
Wajahnya yang
32
tampan dan masih muda itu sama sekali tidak
mencerminkan perasaan bersalah terhadap lawannya.
"Bangsat kurang ajar...!" dengan wajah merah
padam Si Juara itu mengumpat.
Tanpa mempedulikan lagi piala dan hadiah yang
dipegang lawannya Si Pemuda gempal itu menyerang.
Kaki kirinya terayun ke depan dalam jurus Mengayun
Tangkai Pancing di Atas Ombak dan yang dituju
adalah kepala. Tenaganya amat kuat hingga
menimbulkan suara angin menderu-deru.
"Whuuuuuuuush! Whuuuuuuuuush!"
Akan tetapi dengan gesit lawannya yang memiliki
bentuk tubuh tangan bertolak belakang dengan dirinya
itu menghindarkan diri. Tubuh yang panjang kurus itu
ditekuk ke belakang, dalam jurus Tiat pan-kio atau
Jembatan Besi, sehingga tendangan ujung sepatu itu
menemui tempat kosong. Selanjutnya dengan gerakan
yang semakin mempesonakan pemuda sakti itu
berjumpalitan ke belakang dua kali dalam jurus
Trenggiling Turun Gunung. Pada gerakan yang
terakhir kedua kakinya mendarat persis di bibir
panggung, namun demikian tubuhnya yang jangkung
itu sama sekali tak bergoyang, apalagi terpeleset jatuh.
Padahal hanya ujung sepatunya saja yang melekat di
atas panggung.
Sekali lagi penonton bertepuk tangan dan bersoraksorai!
Bahkan kali ini disertai seruan-seruan kagum!
"Bagus! Lincah benar anak itu!"
33
"Ya, hebat sekali gerakannya! Tapi sayang sekali,
mengapa ia tak ikut dalam perlombaan ini?"
"Gila...! Kakinya bertengger di ujung kayu seperti
burung saja!"
Dan penonton di panggung lui-tai itu pun menjadi
semakin bergairah pula. Mereka menduga kedua jago
di atas panggung itu tentu akan segera berlaga.
Beberapa orang penonton berteriak-teriak memanasi
Si Juara yang berbadan gempal, agar segera
menghajar Si Pemuda kurus.
Tapi penonton segera menjadi kecewa ketika
belasan prajurit pengawal berloncatan ke atas
panggung dan mengepung pemuda kurus itu. Dengan
garang salah seorang prajurit maju ke depan.
Tombaknya merunduk, siap untuk menembus dada Si
Pemuda kurus.
"Kembalikan piala dan hadiah itu!" hardiknya
keras.
"Biarkan dia menghadapi aku! Akan kucincang
tubuhnya dengan kepalanku ini!" tiba-tiba pemuda
gempal itu menyibakkan kepungan dan berteriak
marah.
"Tahan...!" prajurit yang garang tadi membentak.
"Kalian tidak boleh berkelahi! Belum tiba saatnya
"Pertandingan Bebas" diadakan! Tunggulah sebentar
lagi! Sekarang kalian berdua kembali ke tempat
masing-masing! Dan... kau, Anak muda! Kembalikan
piala itu kepada yang berhak, atau... kau akan kami
tangkap sebagai pengacau!"
34
Pemuda kurus itu menggeram. Matanya berubah
menjadi liar. Tampaknya ia tersinggung diperlakukan
demikian. Namun ketika kakinya hendak melangkah
ke depan, tiba-tiba ia berpaling ke belakang, ke arah
penonton yang ada di bawah panggung, seperti ada
orang yang memanggilnya.
Aneh. Mata yang liar itu tiba-tiba meredup kembali.
Bahkan sekejap kemudian dengan langkah gontai
pemuda itu mengangsurkan hadiah dan piala yang
dipegangnya ke depan, ke arah prajurit yang
membentaknya tadi. Setelah itu dengan tenang dan tak
berkata sepatah kata pun ia melompat turun,
kemudian menyelinap pergi di antara penonton.
"Tahan dia! Jangan boleh pergi dahulu!" seorang
penonton yang berdiri tidak jauh dari panggung itu
berbisik kepada temannya.
"Baik, Su-heng!"
"Berhati-hatilah...!" Pemuda itu tampaknya
menyimpan ilmu yang sulit diduga." orang itu yang
tidak lain adalah lelaki beruban di warung tadi
memperingatkan pula.
Sementara itu dari tempat yang agak jauh Sin Lun
dan kedua sumoinya juga menyaksikan keributan
tersebut.
"Bukan main! Berani benar pemuda itu
memamerkan kepandaiannya di tempat seperti ini.
Apakah ia tidak memikirkan jago-jago silat yang tentu
bertebaran di sekeliling panggung?" Sin Lun berdesah
dengan nada sedikit geram.
35
"Tapi ginkangnya memang hebat, Su-heng. Kita
bertiga mungkin belum bisa menandinginya...." Ciu In
menyahut perlahan.
"Huh, siapa bilang...? Aku berani diadu melawan
dia! Belum tentu ia mampu menghadapi ginkang
aliran...." Siau In menyela dengan suara penasaran.
"Siau In!" Ciu In buru-buru memotong perkataan
adiknya. "Jangan takabur! Ingat pesan Suhu...."
Wajah yang cantik dan bersemangat itu tiba-tiba
berubah menjadi cemberut. "Ya-ya, deh... aku salah!"
sungutnya kesal.
Demikianlah, keributan kecil itu akhirnya mereda
juga. Di atas panggung telah dipersiapkan acara
selanjutnya, yaitu "Perlombaan Mengangkat Arca".
Sebuah acara baru yang diadakan oleh kerajaan, dan
diselenggarakan serentak di seluruh negeri.
Acara itu telah dipersiapkan berbulan-bulan
sebelumnya, dengan melibatkan banyak petugas dan
utusan dari kota raja. Mereka adalah petugas-petugas
khusus yang disebar ke setiap kabupaten dengan
tanggung jawab yang amat rahasia, yang tak seorang
pun boleh mengetahuinya. Bahkan para pejabat
daerah yang mereka datangi seperti para Bupati pun
tidak diperbolehkan mengorek rahasia dari mereka.
Dan para utusan khusus itu rata-rata adalah anggota
dari Pasukan Pengawal Istana, Pasukan Sandi, atau
Pasukan Khusus yang amat terkenal di kota raja.
Meskipun persiapan untuk melaksanakan
"Perlombaan Mengangkat Arca" itu terasa aneh dan
36
menimbulkan banyak pertanyaan di hati para pejabat
daerah, namun persiapan tersebut berjalan terus.
Pendaftaran peserta telah dimulai jauh-jauh
sebelumnya. Dengan alasan mencari bibit unggul
untuk Pasukan Pengawal Istana, maka peserta yang
mendaftarpun menjadi meluap. Dan semuanya hampir
ditangani sendiri oleh utusan-utusan khusus itu.
Mereka yang menyeleksi dan memutuskan, apakah
peserta itu memenuhi syarat atau tidak. Karena tempat
pendaftaran itu dipusatkan di rumah-rumah kediaman
Bupati, maka dapat di mengerti kalau dalam beberapa
bulan itu halaman rumah para Bupati menjadi sibuk
setiap harinya.
Akhirnya setelah melalui beberapa kali pendadaran
dan ujian, maka jumlah peserta yang mendaftar di
Kabupaten Hang-ciu tinggal dua puluh orang saja
yang memenuhi syarat. Dan sekarang pemudapemuda
itu telah bersiap-siap di atas panggung untuk
mengikuti "Perlombaan Mengangkat Arca"-
"Hei, namanya saja "Perlombaan Meng angkat
Arca", tapi mengapa banyak pesertanya yang
kerempeng-kerempeng begitu?" beberapa orang
penonton memberi komentar.
"He-he, benar juga, ya? Bisa patah tulangtulangnya
nanti!"
Seorang remaja berotot kekar yang ikut berdesakan
di antara penonton juga menggeram menumpahkan
rasa kesalnya. "Aku juga heran. Mereka banyak yang
lebih kurus dari aku, tapi mereka bisa lolos dari
37
pendadaran, sedangkan aku tidak. Apa sebenarnya
yang mereka pilih?"
"Ah, mungkin tidak cuma otot saja yang mereka
pilih, tapi juga bakat dan otak encer. Kekuatan bisa
dipupuk dengan latihan, tapi bakat dan otak itu
merupakan pembawaan sejak lahir yang tak dapat
dipelajari." Lok Ma yang ternyata sudah ada di tempat
itu dan kebetulan berdiri berdekatan dengan remaja
tersebut memberi komentar, tanpa berpikir bahwa
ucapannya bisa menyinggung perasaan orang.
Benar juga. Pemuda berotot kekar itu melotot
matanya. Hampir saja terjadi keributan. Untunglah A
Tung yang selalu berada di samping Lok Ma cepat
menyeret sahabatnya itu ke tempat lain.
50
Pelangi 1
"Gila! Apakoh kau sudah ingin cerai dengan
binimu? Jaga mulutmu kalau berbicara! Jangan
sembarangan omong di antara orang-orang kasar
begini!"
"Ya-ya, maafkan aku. Aku tidak sengaja dan tidak
bermaksud menyinggung perasaannya."
Mereka lalu beringsut semakin menjauhi tempat
mereka tadi. A Tung khawatir bertemu dengan
pemuda kekar itu. Dan sementara itu "Perlombaan
Mengangkat Arca" telah dimulai. Di atas panggung,
di depan para peserta yang berbaris menunggu giliran,
diletakkan sebuah patung besar dari Kaisar Han Kou
Cou atau Kaisar Liu Pang. Patung itu dibuat dalam
38
ukuran sebenarnya, dari batu pualam putih setinggi
hampir dua meter.
Seluruh penonton di panggung lui-tai itu terdiam.
Tegang. Semuanya ingin tahu, bagaimana perlombaan
yang. belum pernah mereka lihat ini dilaksanakan.
Demikianlah, kalau penonton di panggung lui-tai
itu menjadi tegang, sebaliknya penonton di panggung
pertunjukan barongsai justru semakin menjadi riuh
oleh sorak-sorai mereka. Keenam grup barong-sai
yang lolos di babak pertama tadi telah mulai
dipertandingkan satu sama lain. Dan yang kini sedang
berlaga di atas panggung adalah pemain barong-sai
berseragam kuning emas dari Ui-thian cung
(Kampung Langit Kuning) melawan barong-sai
berseragam merah darah dari Ang-lian-pang
(Perkumpulan Teratai Merah).
"Hayo cepat! Terjang saja! Jangan takut...!"
"Benar! Hayo, lemparkan si Kuning itu ke bawah!
Jangan dibiarkan beraksi di atas panggung!"
"Ah, mana mungkin si Merah itu mampu!
Gerakannya saja lamban begitu!"
"Ya-ya, si Merah tampaknya lemah kuda-kudanya!
Oho, kalau begitu hantam saja kakinya! Gasak saja
lututnya! He-he-he-he...!"
"Ayo! Ayo! Ayoooooo...!" penonton pun berteriak
dan menjerit-jerit semakin keras.
Jeritan dan gosokan para penonton itu semakin
membakar semangat pemain pemainnya. Mereka
semakin menjadi beringas dalam memainkan barong39
sainya. Dengan menggerakkan segala kemampuan
dan kecerdikan mereka, masing-masing berusaha
mendesak atau melemparkan lawannya ke bawah
panggung.
Pemain barong-sai selain dituntut untuk memiliki
tubuh yang kuat, juga harus mempunyai ilmu silat
yang tinggi. Sebab untuk menggerakkan peralatan
barong-sai yang berat itu para pemainnya harus
memiliki kekuatan dan tenaga dalam yang besar.
Apalagi untuk bisa bermain dengan lincah dan indah
dipandang mata, otomatis para pemainnya harus
pandai mengatur langkah serta punya ilmu
meringankan tubuh pula. Oleh karena itu bisa
dipastikan juga bahwa seorang pemain barong-sai
tersohor tentulah seorang jago silat ternama pula.
Kampung Ui-thian-cung terletak di tepian pantai,
dan merupakan sebuah perkampungan nelayan yang
lain daripada perkampungan nelayan lainnya. Seluruh
warganya bermarga Ui dan hampir seluruh
perumahannya berada di atas air. Hanya Kepala
Kampung dan keluarga-keluarga dekatnya saja yang
mendirikan rumah di atas tanah. Dan mereka itu
memang merupakan tulang punggung dari seluruh
keluarga Ui tersebut.
Mereka sangat disegani di daerah itu, karena
mereka rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi.
Terutama Kepala Kampung dan keluarganya. Mereka
mempunyai ilmu silat turunan yang sangat disegani
40
lawan, yaitu Hok-mo Tung-hoat atau Ilmu Tongkat
Pembunuh Iblis.
Kepala Kampung Ui-thian-cung sudah berusia
tujuh puluh tahun lewat, bernama Ui Tiam Lok.
Puteranya dua belas orang, lelaki semua. Dan yang
memainkan barong-sai berwarna kuning emas itu
adalah anaknya yang ke sebelas dan dua belas.
Mereka adalah Ui Kong Tee dan Ui Kiong Lam.
Demikianlah, kedua Saudara Ui itu bertarung
dengan lawan mereka dari balik barong-sainya.
Mereka mengerahkan segala kepandaian mereka,
karena secara kebetulan yang menjadi musuh mereka
adalah orang-orang dari Ang-lian-pang, yang tidak
asing lagi bagi mereka.
Perkumpulan Ang-lian-pang adalah perkumpulan
para pedagang, pemilik toko, dan para tengkulak yang
bermukim di daerah pesisir itu. Mereka itu
mempunyai banyak pengawal dan tukang pukul. Dan
mereka itu memang sering berselisih dengan para
nelayan, yang dalam segala hal selalu dilindungi oleh
keluarga Ui. Oleh karena itu pertarungan kali ini lebih
berarti sebagai pertarungan untuk membela
kehormatan dan harga diri daripada sebagai
pertarungan untuk memperebutkan piala kejuaraan.
Maka tidaklah mengherankan apabila penonton pun
terbagi menjadi dua bagian, yaitu pendukung keluarga
Ui dan pendukung keluarga Ang-lian-pang. Para
nelayan otomatis menjagoi barong-sai kuning,
sedangkan para pedagang menjagoi barong-sai merah.
41
Belasan jurus telah berlalu, akan tetapi mereka
berimbang. Keduanya saling desak mendesak.
Kadang-kadang Ui bersaudara itu melancarkan
serangan beruntun, susul menyusul, sehingga pemain
barongsai dari Ang-lian-pang itu terdesak sampai ke
pinggir panggung. Namun dengan kecerdikan dan
keuletan mereka, pemain dari Ang-lian-pang itu bisa
meloloskan diri. Bahkan mereka kemudian ganti
mencecar Ui bersaudara itu dengan jurus-jurus
mereka yang ganas.
"Koko...!? Tampaknya yang berada di dalam
barong-sai merah itu Siang-hai-coa (Si Sepasang Ular
Laut) sendiri!" Ui Kiong Lam yang memegangi
bagian belakang barong-sainya tiba-tiba berseru
kepada kakaknya yang berada di depan.
"Benar. Kelihatannya Hu Sing Kak kali ini benarbenar
ingin menjuarai perlombaan ini dengan
mengeluarkan tangan kanannya. Kau harus hati-hati!
Awaaas! Kita harus cepat-cepat menyudahi
pertarungan ini. Sesuai dengan gelarnya kedua ular
laut itu semakin lama akan menjadi semakin
berbahaya. Mari kita gunakan Barisan Ui-thian-tin...!"
Ui Kiong Tee menjawab dengan napas memburu.
"Baik, koko!"
Ui Kiong Tee memancing dengan sapuan kaki ke
perut lawan, sehingga pemain barongsai lawan
terpaksa meloncat mundur. Dan kesempatan yang
sesaat itu dipergunakan oleh Ui bersaudara untuk
berdiri tegak menyatukan langkah mereka. Lalu
42
sebelum lawan mereka menyadari apa yang terjadi,
keduanya sudah menyerang lagi dengan terjangan
empat langkah ke depan dalam bentuk barisan Balingbaling
Berganda! Empat kali mereka berdua saling
bergantian menerjang lawan, sehingga barong-sai
mereka berputar-putar ke depan seperti baling-baling!
Karena setiap serangan yang tertuju ke arah lawan
itu selalu datang dari atas, maka Siang-hai-coa yang
berada di dalam barong-sai merah tersebut menjadi
kewalahan mengelakkannya. Sekali dua kali dengan
kematangan perasaan mereka, mereka bisa
menghindarkan diri. Tetapi pada serangan yang ke
tiga mereka terpaksa harus menangkisnya. Dan
keadaan ini sangat merugikan mereka, karena dalam
keadaan terdesak seperti itu mereka akan mengalami
kesulitan apabila lawan menyusuli dengan serangan
yang lain. Dhieeees!!!
Benar juga! Ternyata serangan Ui bersaudara itu
memang masih satu langkah lagi. Maka untuk ke dua
kalinya Siang-hai-coa terpaksa menangkis lagi.
Namun karena kali ini tiada waktu untuk bersiap dan
mengumpulkan tenaga, maka kekuatan dan
gerakannya pun tidaklah sempurna. Akibatnya Sianghai-
coa yang berada di depan, yang langsung
menerima gempuran kaki Ui Kiong Lam! jatuh
berlutut dengan kepala barong-sai terlepas dari
pegangannya!
43
Tapi pada saat yang bersamaan sebuah 1 pisau kecil
melesat dari tangan Siang hai-coa itu, dan tepat
menancap di betis Ui Kong Lam!
"Aduuuh...!"
Tujuh bayangan tiba-tiba melayang ke atas
panggung! Mereka adalah lima orang saudara Ui
Kiong Lam, lalu kepala prajurit pengawal, dan Hu
Sing Kak sendiri. Demikian berada di atas panggung
kedua belah pihak segera hendak bertempur. Namun
dengan sebat kepala pengawal itu menengahi mereka.
"Tahan...! Saudara-saudara tidak boleh berkelahi di
tempat ini! Biarlah panitia penyelenggara perlombaan
ini yang mengambil keputusan atas peristiwa ini...!"
"Mereka curang! Sudah diputuskan bahwa di dalam
perlombaan ini tidak diperbolehkan membawa
senjata. Kenapa Siang-hai-coa keparat itu melanggar
aturan? Kalau memang mereka menghendaki
demikian, baiklah... kami pun akan melayaninya!"
teriak putera sulung keluarga Ui sambil menghunus
tongkat bajanya.
"Minggir...! Minggir! Aku akan mengadili dan
memutuskan pemenangnya!" ketua pengawas
perlombaan dengan tergesa-gesa meloncat ke
panggung sambil berseru lantang.
"Nah, saudara-saudara harap menahan diri! Di sini
bukan tempat untuk berkelahi! Kalau saudara-saudara
ingin bertempur, kami persilakan nanti di panggung
lui-tai!" kepala pengawal itu menegaskan lagi.
44
Sementara itu suara sorak-sorai penonton sudah
tidak bisa dibendung lagi. Rata-rata mereka tidak puas
terhadap kecurangan Siang-hai-coa. Beberapa orang
penonton berteriak-teriak mengejek anggota Ang-lianpang
itu. Bahkan ada satu dua orang yang mulai
melemparkan batu dan sepatunya ke panggung.
Yang paling tenang tampaknya adalah penonton di
panggung pertunjukan tari-tarian. Mereka seakanakan
tidak peduli dengan keributan-keributan yang
terjadi di panggung lui-tai dan barongsai. Dengan
tenang dan santai mereka menikmati halus
gemulainya gerakan para penari yang berputar-putar
di atas panggung. Mereka semua seperti terpaku dan
terpesona oleh kecantikan dan kehalusan kulit para
penari yang terbungkus oleh aneka ragam warna
pakaian sutera itu.
Kota Hang-ciu memang gudangnya gadis-gadis
cantik di daerah pantai timur Tiongkok. Gadisnya
rata-rata berhidung mancung, mata lebih lebar, dan
tulang pipi yang tidak terlalu menonjol. Kulit mereka
pun tidak begitu pucat pula, sehingga tampak lebih
segar dan merangsang dipandang mata.
"Wah-wah... cantik-cantiknya! Masa... gadis sekian
banyaknya tiada satu pun yang jelek! Hmh! Hemh!"
Lok Ma yang tiba-tiba telah berada di antara penonton
panggung tersebut berdesah kagum.
"Lalu... kau mau apa?" temannya menyambung.
"Hmmm... tahu begini... tahu begini, aku dulu tidak
buru-buru kawin dengan biniku."
45
"Hah...? Lalu kau mau mencari pasangan di sini?
Begitu?"
"Iya! Siapa tahu rejeki nomplok?"
"Wah-wah! Kau ini memang tidak pernah berkaca
diri. Gadis mana yang mau bersanding dengan monyet
melarat seperti kau ini? Ho-ho-ho-ho-ho, Lok Ma...
Lok Ma! Binimu sendiri, kalau tidak karena sudah
terlanjur beranak, he-he-he-he... berani bertaruh tentu
sudah minta cerai!"
"Kurang ajar! Enak saja kau mengolok-olok aku!"
Lok Ma menggeram dan menyumpah-nyumpah.
Plok-plok-plok! Plok-plok-plok!
Terdengar riuh suara tepuk tangan penonton di
panggung lui-tai. Peserta nomer sepuluh telah berhasil
mengangkat arca Kaisar Han Ko Cou. Kini peserta
yang ke sebelas maju ke depan dan berdiri di depan
arca.
Mula-mula pemuda itu membungkukkan tubuhnya,
lalu bergeser selangkah ke samping kiri arca.
Kemudian dengan lengan kanannya pemuda itu
merangkul kaki arca, untuk seterusnya mengangkat
arca tersebut perlahan-lahan. Rasanya enteng saja dan
tidak banyak membutuhkan tenaga.
Penonton bertepuk tangan menyambut keberhasilan
peserta ke sebelas itu. Pemuda itu lalu turun, dan
panitia perlombaan segera memanggil peserta berikutnya.
Pemuda tinggi besar berkulit hitam melompat ke
atas panggung. Setelah memberi hormat ke arah
pendapa pemuda itu lalu berlutut di depan arca,
46
seperti layaknya seorang hamba sahaya menghaturkan
sembah kepada rajanya. Setelah itu dia berjalan
melingkar ke belakang arca, menekuk lututnya,
merangkul kaki arca dan mengangkat tinggi-tinggi ke
atas kepalanya.
Tepuk tangan dan sorak-sorai pujian diberikan oleh
penonton kepada pemuda tinggi besar berkulit hitam
itu. Dan pemuda itu menyambut pula pujian penonton
tersebut dengan membungkuk serta merangkapkan
tangan ke segala penjuru.
Peserta ke tiga belas naik ke atas panggung.
Bertubuh jangkung kurus dengan kulit agak pucat.
Seperti para peserta sebelumnya, pemuda itu menekuk
lututnya di depan arca dan menyembah dengan cara
membenturkan dahinya ke lantai panggung. Setelah
itu melangkah ke depan arca dengan lututnya.
Menyembah lagi. Lalu membalikkan badannya dan
meraih kaki arca di belakangnya dengan kedua
lengannya. Sambil mengerahkan sedikit tenaga ia lalu
mengangkat arca tersebut di pungungnya.
Kembali penonton bersorak-sorai memuji tingkah
laku pemuda jangkung tersebut. Lebih meriah
daripada sambutan yang diberikan kepada peserta
sebelumnya.
Pemuda berotot yang tadi hampir ribut dengan Lok
Ma, kelihatan menyesal dan penasaran.
"Oh! Jadi... begitukah caranya mengangkat arca?
Sebelumnya harus menyembah... berlutut... dan
sebagainya?" ia bersungut-sungut.
47
Seorang laki-laki beruban yang berdiri di dekatnya
menoleh dan tersenyum. "Tentu saja, anak muda.
Bukankah perlombaan ini diselenggarakan untuk
mencari bibit calon pasukan pengawal istana?
Bagaimanapun juga para peserta tentu akan diuji sikap
dan hormatnya pada raja."
"Tapi... tapi itu hanya sebuah patung."
-- o0d-w0o --
JILID II
EKALI lagi lelaki beruban itu tersenyum.
"Nah... inilah salah satu jebakan yang dibuat
oleh panitia perlombaan. Barang itu memang
cuma sebuah patung. Tapi kenapa mesti
berbentuk Kaisar Han Kou Cou yang kita
hormati? Mengapa bukan bentuk patung
yang lainnya? Nah... peserta yang cerdik tentu bisa
menebak maksudnya. Dan... inilah memang yang
dicari oleh panitia perlombaan, yaitu kecerdikan! Jadi
selain berbakat, bertulang baik, cerdik, juga sikap
pengabdiannya kepada raja. Kalau semua persyaratan
itu dapat terpenuhi, tentu saja peserta itu akan
lulus...."
Pemuda berotot kekar itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Ya... ya, benar...!" ucapnya lirih penuh
penyesalan.
S
48
"Yah, sudahlah. Kau tak perlu menyesal lagi.
Tahun depan kau bisa mencobanya kembali.
Pemuda itu tak menjawab. Wajahnya tertunduk
lesu, dan untuk beberapa saat ia terdiam seperti orang
kehilangan akal. Ia baru tersadar kembali ketika para
penonton di sekelilingnya bertepuk tangan
menyambut keberhasilan peserta berikutnya.
"Oh...!?!" Tiba-tiba pemuda itu berseru kaget.
Kepalanya melongok ke sana ke mari.
"Hohooho-hehe...! Kau mencari siapa, heh?"
seorang kakek berwajah menakutkan yang tahu-tahu
berdiri di dekatnya bertanya dengan suara serak.
"Di-di manakah orang tua yang berada di sini tadi?"
pemuda itu bertanya pula dengan suara gemetar.
Kakek itu tertawa. Suaranya terdengar mengerikan,
karena bibirnya yang lebar dengan mulut melompong
tak bergigi itu cuma bisa menciptakan suara desah
napas yang tersengal-sengal.
"Apakah orang itu yang kaucari...?" sekonyongkonyong
seorang pemuda menyela di antara mereka,
seorang pemuda berperawakan jangkung kurus,
tangannya menunjuk ke pohon siong besar yang
tumbuh di samping pendapa.
Pemuda itu menjadi heran, karena orang yang baru
saja berbicara dengan dia tadi memang sudah berdiri
di bawah pohon siong bersama orang lain. Rasanya
memang aneh. Pohon itu ada sepuluh tombak lebih
jaraknya, dan untuk pergi ke sana harus melewati
kerumunan penonton yang memadati tempat itu.
49
Namun demikian hanya dalam sekejap orang itu telah
berada di sana, dan bahkan tanpa sepengetahuannya
pula.
"Ya-ya... memang dia yang... eh?!?" Sekali lagi
pemuda itu terkejut. Pemuda jangkung dan kakek
mengerikan tadi ternyata sudah tidak ada pula di
sampingnya. Rasanya seperti hantu yang dapat
menghilang begitu saja.
"Ah...!" desahnya pucat dan tiba-tiba ingatannya
seperti terbuka kembali. "Pemuda itu! Bukankah dia
yang membuat keributan tadi?"
Sementara itu di bawah pohon siong lelaki beruban
itu masih berbicara dengan temannya. Lelaki itu
tampak sangat penasaran, sedangkan kawannya
kelihatan lesu dan kehilangan semangat.
"Jadi... kau tak bisa menangkapnya? Lalu di mana
dia sekarang?"
"Suheng, apa yang dikatakan Tong Tai-su memang
benar. Mulai sekarang kita harus berhati-hati. Pemuda
itu sedang berusaha menyelidiki "Perlombaan
Mengangkat Arca". Kepandaiannya hebat sekali dan
aku sama sekali bukan tandingannya. Apalagi dia
tidak sendirian...."
"Dia tidak sendirian? Eh, Su Hiat Hong... tolong
kauceritakan saja semuanya agar jelas!"
Orang yang bernama Su Hiat Hong itu memandang
ke sekelilingnya. Dilihatnya semua orang melihat ke
arah panggung dan tak seorang pun memperhatikan
mereka.
50
"Baiklah, Lim Suheng, akan kuceritakan...."
Ketika berusaha mengejar pemuda pengganggu
panggung lui-tai tadi, ternyata Su Hiat Hong telah
kehilangan jejak. Pemuda kurus kerempeng itu lenyap
berbaur dengan penonton yang berjubel. Walaupun Su
Hiat Hong berusaha mencari, namun pemuda itu tetap
tak bisa diketemukan. Akhirnya Su Hiat Hong
melangkah ke jalan, menuju warung A Liong tadi.
Tiba-tiba mata Su Hiat Hong terbelalak. Dari jauh
dilihatnya pemuda itu keluar dari warung A Liong dan
berjalan cepat ke utara. Langkahnya tampak amat
tergesa-gesa, menyelinap ke sana ke mari di antara
para pejalan kaki yang lalu lalang di jalan.
Su Hiat Hong cepat mengikuti dari belakang.
Dengan berlari-lari kecil ia berusaha mendekatinya.
Tapi pemuda itu seperti merasa kalau sedang diikuti.
Satu kali kepalanya menoleh ke belakang, lalu
berjalan lebih cepat lagi, sehingga lagi-lagi Su Hiat
Hong kehilangan jejak. Pemuda itu hilang di antara
kerumunan orang.
Su Hiat Hong melangkah perlahan-lahan sambil
berusaha menemukan kembali buruannya. Kakinya
melangkah sampai ke Pintu Gerbang kota sebelah utara,
tapi pemuda itu tetap tidak kelihattan batang
hidungnya. Tak terasa kakinya melangkah ke luar
Pintu Gerbang, berjalan di atas jembatan gantung
yang melintang di atas parit besar yang mengelilingi
tembok kota. Beberapa orang prajurit pengawal pintu
gerbang tampak berjaga-jaga di kanan kiri jembatan
51
tersebut. Mereka juga kelihatan santai dan bergembira
meskipun harus tetap bertugas di hari bahagia itu.
Sekali lagi Su Hiat Hong terkejut. Tak terduga
matanya yang mengawasi jalan lurus di luar tembok
kota itu melihat bayangan pemuda yang diburunya.
Meskipun amat jauh, tapi mata Su Hiat Hong segera
dapat mengenalnya.
Tanpa membuang waktu lagi Su Hiat Hong
melompat mengejarnya. Ia tak mempedulikan
pandangan orang yang berpapasan dengannya. Tapi
pemuda yang diburunya itu sekonyong-konyong juga
berlari pula. Semakin lama menjadi semakin cepat,
sehingga akhirnya mereka berdua saling berkejaran di
jalanan itu.
Su Hiat Hong merasa dongkol dan penasaran.
Pemuda itu seperti mempermainkannya. Larinya
kadang-kadang cepat, kadang-kadang lambat. Apabila
jaraknya terlalu jauh pemuda itu mengendorkan
langkahnya. Tetapi bila sudah dekat, tiba-tiba kakinya
melompat dengan langkah yang panjang-panjang.
Semakin jauh jalan itu semakin sepi dan jelek
keadaannya. Di kanan-kiri jalan mulai terlihat semak
belukar dan pohon-pohon besar. Bahkan agak jauh
dari jalan sudah terlihat hutan rimba. Tiba-tiba
pemuda itu membelokkan langkahnya ke dalam hutan,
dan sedetik saja bayangannya telah lenyap.
Su Hiat Hong berbelok dan menerobos hutan itu
pula. Namun beberapa saat kemudian ia menjadi
sadar, bahwa sangat berbahaya memburu musuh di
52
dalam hutan. Salah-salah dirinya bisa terjebak atau
dibokong lawan dari belakang.
"Kurang ajar...!" geramnya perlahan sambil
menghentikan langkah.
Dengan penuh kewaspadaan Su Hiat Hong
mengawasi lebatnya semak belukar di depannya.
Hatinya benar-benar menjadi geram. Perasaannya
mengatakan bahwa pemuda itu telah tahu kalau
sedang diikuti dan kini sedang berusaha
mempermainkannya.
"Ah, sudahlah. Lebih baik aku kembali saja. Tak
baik aku menurutkan perasaan. Salah-salah malah bisa
celaka kalau aku nekad menerobos hutan ini. Hemm,
siapa tahu anak itu sudah menunggu dan memasang
jebakan di balik rimbunnya dedaunan? Yaaah,
sudahlah...."
Su Hiat Hong membalikkan tubuhnya dan
melangkah keluar dari hutan itu. Tapi baru beberapa
tindak ia berjalan, mendadak telinganya mendengar
suara orang bernyanyi. Suaranya tidak terlalu keras,
namun sangat jelas ucapan maupun kata-katanya.
Diam-diam Su Hiat Hong menjadi tegang. Suara itu
justru berasal dari jalan yang dia lalui tadi.
Burung kecil terbang sendiri.
Tiada kawan tiada saudara.
Menentang badai di medan laga.
Dengan cucuran darah dan air mata!
53
Su Hiat Hong berhenti beberapa tombak dari
pinggir jalan. Matanya tertuju ke sebatang pohon pek
besar yang rindang di tepi jalan. Di bawah pohon itu
kelihatan seorang pemuda yang duduk melenggut
sambil bernyanyi. Dan Su Hiat Hong segera
mengenalnya, karena orang itu tiada lain adalah
pemuda yang diburunya.
"Gila!" Su Hiat
Hong mengumpat
di dalam hati.
"Bocah itu benarbenar
sedang
mempermainkan
aku. Aku harus
hati-hati. Ia seperti
memiliki
kepandaian yang
tinggi."
Selangkah demi
selangkah Su Hiat
Hong datang
menghampiri,
kemudian berhenti
beberapa langkah dari pemuda itu. Pemuda itu
mengangkat wajahnya dan menghentikan
nyanyiannya.
Su Hiat Hong terkejut. Setelah melihat dari jarak
dekat barulah ia ketahui betapa masih mudanya orang
54
itu. Muda dan tampan, walaupun caranya berpakaian
kurang rapi dan berkesan seenaknya sendiri.
"Hemm, apakah Tuan mencari aku?" dengan suara
berat pemuda itu bertanya.
Pertanyaan itu membuat Su Hiat Hong menjadi
gugup dan bingung, karena sebenarnya ia juga tak
tahu untuk apa mengejar pemuda tersebut. Ia cuma
melaksanakan perintah kawannya, sehingga tidak siap
kalau mendadak harus berhadapan seperti itu.
"Ya-ya, benar... eh-eh, aku ingin tahu... siapa
sebenarnya kau ini?"
Tak terduga pemuda itu tertawa nyaring. "Hahaha,
sungguh aneh! Akulah sebenarnya yang harus
bertanya kepada Tuan, bukan sebaliknya. Tuanlah
yang mengejar-ngejar aku. Ingin bertemu atau ingin...
menangkap aku, padahal aku tidak merasa kenal dan
tidak merasa mempunyai urusan dengan tuan."
Pemuda itu perlahan-lahan berdiri. Wajahnya yang
agak pucat dengan pandang mata dingin itu sungguh
terasa mencekam dan menggiriskan hati. Tak terasa
kaki Su Hiat Hong melangkah setindak ke belakang.
"Tuan, aku bertanya kepadamu. Siapakah...
engkau? Mengapa engkau mengejar ngejar aku?
Jawablah!" pemuda itu mendesak dengan suara
berubah kaku.
Wajah Su Hiat Hong menjadi merah.
Bagaimanapun juga ia tak ingin ditekan orang.
Apalagi ia merasa memiliki kedudukan tinggi dan
mendapatkan tugas khusus dari kota raja
55
"Ketahuilah, Anak muda. Aku seorang utusan dari
kota raja, yang menangani urusan "Perlombaan
Mengangkat Arca" di kota Hang-ciu ini. Nah, engkau
tadi telah membuat ribut di atas panggung. Itulah
sebanya aku mengejarmu. Pahamkah kau sekarang?"
Su Hiat Hong balas menggertak.
Pemuda itu tertegun. "Oh, jadi Tuan adalah petugas
khusus dari kota raja? Wah-wah, maafkanlah aku
Ciang-kun. Mataku benar-benar buta, tak bisa melihat
gajah di depan hidung...." katanya kemudian sambil
membungkukkan tubuh.
Su Hiat Hong mendengus dan tak mempedulikan
sikap lawannya, la tahu pemuda itu cuma berbasa-basi
saja. la melihat senyum tipis di bibir pemuda itu.
"Engkau tak perlu berbasa-basi, apalagi menyebut
Ciang-kun kepadaku. Aku hanya seorang utusan, jadi
belum tentu aku ini seorang perwira. Bukankah aku
tidak mengatakannya kepadamu?"
Mata yang dingin tajam seperti mata burung hantu
itu mendadak berubah menjadi liar, seperti layaknya
burung hantu kalau lagi marah. Otomatis kaki Su Hiat
Hong melangkah lagi setindak ke belakang.
Namun sekejap kemudian mata itu menjadi tenang
kembali. Bahkan dari hidung pemuda itu terdengar
suara tarikan napas yang panjang sekali.
"Ah, Ciang-kun... kau tak perlu berbohong
kepadaku. Rasanya semua orang juga bisa
menebaknya, karena seorang yang mendapatkan
kepercayaan dari kota raja untuk mengatasi jalannya
56
perlombaan penting itu tentulah bukan petugas
berpangkat rendah. Dan khusus untuk "Perlombaan
Mengangkat Arca", yang konon diselenggarakan
untuk mencari bibit bibit Pasukan Pengawal Istana,
tentunya utusan yang dikirim juga dari kalangan
pasukan istana, bukan?"
Su Hiat Hong menghela napas panjang melihat
kecerdikan lawannya. Ia semakin berhati-hati
menghadapi pemuda itu.
"Terserah kepadamu. Aku tak ingin berbantah
tentang hal ini. Sekarang katakan saja kepadaku,
siapakah namamu? Darimana asalmu? Dan apa
maksudmu membuat ribut di panggung tadi?"
Pemuda itu menengadahkan kepalanya, lalu
tersenyum, sehingga seorang perwira kerajaan yang
memiliki banyak pengalaman seperti Su Hiat Hong
pun tidak bisa menebak apa yang sedang berkecamuk
di dalam hati pemuda aneh itu.
"Baiklah, Ciang-kun, akan kujawab pertanyaanmu,
walaupun sebenarnya aku tak menyukainya. Aku
hanya berharap bahwa Ciang-kun nanti juga akan
mau. menjawab pertanyaanku pula."
"Asalkan aku bisa menjawab dan tidak
bertentangan dengan rahasia negara, aku tentu akan
menjawabnya...."
Sekali lagi pemuda itu menentang mata Su Hiat
Hong dengan tajam. "Ci-angkun, namaku Tong Sia...
Chin Tong Sia. Aku adalah anggota Aliran Beng-kau
yang berpusat di kota Sin-yang!"
57
Jawaban itu benar-benar mengejutkan Su Hiat
Hong. Banyak sekali aliran keagamaan yang tumbuh
dan berkembang pesat pada saat itu, tapi hanya
beberapa aliran saja yang benar-benar besar, terkenal
dan disegani orang, yaitu Aliran Mo-kau, Im-yangkau
dan Beng-kau! Selain mempunyai anggota yang
amat banyak dan tersebar di seluruh pelosok negeri,
ketiga aliran agama itu memiliki banyak tokoh-tokoh
sakti di dalamnya. Namun demikian dari ketiga a-liran
itu Beng-kau - lah yang paling banyak
dipergunjingkan orang. Selain para penganutnya
sangat tertutup, aliran itu juga memiliki adat
kebiasaan dan aturan-aturan yang aneh, yang tidak
lazim dilakukan oleh masyarakat umum.
"Tapi aku mendengar bahwa setiap anggota Aliran
Beng-kau menggunakan nama dengan huruf 'PUT' di
depannya."
"Benar. Setiap anggota Aliran Beng-kau yang
sudah menyelesaikan pengabdian wajibnya selama
sepuluh tahun, dan kemudian dianggap telah mampu
menyebarkan pengaruh serta mendapatkan
kepercayaan dari para sesepuh kami, maka akan
memperoleh sebutan 'PUT' di depan namanya."
"Apakah kau juga sudah mendapatkan sebutan itu?"
Pemuda itu mengangguk. "Nama lengkapku
sekarang adalah Put-tong-sia!"
"Baiklah...." Su Hiat Hong mendesah. "Sekarang
katakan yang sebenarnya, apa maksud dan tujuanmu
membuat keributan di atas panggung tadi?"
58
Wajah pemuda itu tampak tegang kembali.
Matanya kelihatan menyala, sementara giginya
terkatup rapat.
"Aku tak menyukai "Perlombaan Mengangkat
Arca" itu! Aku merasa ada sesuatu yang kotor di balik
penyelenggaraannya. Aku tak percaya kalau
perlombaan itu dikatakan untuk memperoleh bibitbibit
unggul bagi Pasukan Pengawal Istana!
Semuanya bohong!" Put-tong-sia berkata dengan
suara berapi-api.
Su Hiat Hong tersentak kaget. "Apa maksudmu...?"
Sekali lagi pemuda itu menggertakkan giginya.
"Maksudku? Hmh, maksudku ... perlombaan itu cuma
kedok belaka! Ada maksud tertentu di balik semuanya
itu! Maksud-maksud kotor yang dibuat dan
direncanakan oleh oleh orang-orang atau pihak-pihak
tertentu di istana kerajaan! Memang, sampai saat ini
aku belum dapat membuktikannya...."
"Pu-tong-sia! Kau jangan omong sembarangan!
Kau berhadapan dengan petugas kerajaan di sini,
bahkan seorang petugas khusus dari istana di kota
raja! Kau bisa dianggap sebagai pemberontak dan
dapat ditangkap! Tahu...?" Su Hiat Hong membentak.
Akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak takut.
Kakinya justru melangkah dua tindak ke depan.
Sikapnya pun berubah menjadi dingin dan kaku.
"Persetan dengan ancaman itu! Aku tidak takut!"
ucapnya tegas.
59
"Gila...!" Su Hiat Hong menggeram melihat
kekerasan lawannya. "Apa sebenarnya alasanmu?
Mengapa kau mempunyai dugaan seperti itu?"
Put-tong-sia tidak segera menjawab. Matanya yang
mencorong liar itu menatap Su Hiat Hong dengan
tajamnya.
"Ciang-kun, kau tak perlu bersandiwara di depanku.
Sebagai utusan langsung dari kota raja, kau tentu
mengetahui rahasia di balik penyelenggaraan
Perlombaan Mengangkat Arca ini. Nah, sekarang
katakanlah...!"
Su Hiat Hong terkesiap. Hatinya tiba-tiba berdesir
keras. Sejak semula ia memang curiga akan keanehan
dan keganjilan cara pelaksanaan Perlombaan
Mengangkat Arca itu. Tidak sewajarnya kalau
perlombaan seperti itu sampai harus melibatkan
petugas-petugas khusus dari kota raja, bahkan dengan
cara rahasia pula, sementara para pejabat daerah yang
seharusnya lebih tahu dan lebih bertanggung jawab
tidak diikut-sertakan. Tapi sebagai petugas dia
memang tak bisa berbuat apa-apa. Ia dan kawankawannya,
seperti Lim Kok Liang dan Tong Tai-su,
hanya melaksanakan tugas saja.
"Ciang-kun, mengapa kau tak menjawab?"
Su Hiat Hong menghela napas berat "Ah, kukira
kau telah salah menduga Put-tong-sia. Tak ada rahasia
apa pun di balik Perlombaan Mengangkat Arca itu.
Percayalah!" katanya meyakinkan seperti diucapkan
kepada dirinya sendiri.
60
Tiba-tiba Put-tong-sia tersenyum dingin.
"Benarkah, Ciang-kun? Kau berani bersumpah?
Hemmm... Ciang-kun, kau memang keras kepala. Aku
tahu bahwa kau tidak berkata sejujurnya. Dari caramu
berbicara saja aku dapat menduga bahwa kau
berbohong. Nah, Ciang-kun... jangan salahkan aku
kalau aku terpaksa menggunakan kekerasan untuk
memaksamu berbicara!"
Bagaimanapun Su Hiat Hong adalah seorang
perwira. Hatinya menjadi panas juga didesak orang
sedemikian rupa. Apa lagi orang itu cuma seorang
bocah yang belum ia ketahui kemampuannya. Jelekjelek
ia bukan tokoh sembarangan di kota raja. Di
kalangan para perwira Pasukan Rahasia, ilmu
pedangnya Sin-ho-kiam hoat (Ilmu Pedang Bangau
Sakti) belum pernah ada yang mengunggulinya.
"Huh, bagus... kau benar-benar ingin
memberontak?" Su Hiat Hong menggeram seraya
menghunus pedangnya.
Put-tong-sia meringis seperti mau mencemooh
ancaman itu. Tanpa berkata-kata lagi tangan kanannya
menyambar ke depan untuk merebut pedang
lawannya. Gerakannya cepat bukan main sehingga Su
Hiat Hong tersentak kaget dan buru-buru bergeser
selangkah ke belakang Kemudian dengan terburuburu
pula pedang itu diputarnya di depan dada untuk
menahan serangan selanjutnya.
61
Ternyata pemuda itu tidak melanjutkan
serangannya. "Ayoh, Ciang-kun, balaslah...! Kenapa
diam saja?"
"Gila! Mengapa kau tak mengeluarkan senjata?
Apa kau merasa lebih hebat daripada aku?"
"Hoho-haha-hihihi...!" Tiba-tiba Su Hiat Hong
dikejutkan oleh suara tawa yang menggema di antara
pepohonan di tempat itu.
"Suheng...! Mengapa kau ikut kemari?" Put-tongsia
berseru.
"Apa tak boleh, heh? Kau tinggalkan aku di
halaman kabupaten itu sendirian! Huh, sementara kau
di sini bersenang-senang main kejar dan sembunyi!
Nah, sekarang aku ikut! Carilah tempat
persembunyianku, hoho-haha-hihihi...!"
Diam-diam bergetar juga hati Su Hiat Hong. Dari
getaran suaranya yang kuat dan mantap, serta sulit
dicari arah sumbernya itu, ia bisa menduga bahwa
pemilik suara tersebut tentu telah mencapai
kesempurnaan di dalam ilmunya. Celakanya, orang itu
tampaknya berada di pihak lawan.
"Ah, aku sedang tidak ada waktu. Lebih baik
Suheng bermain sendiri."
"Kurang ajar, enak saja kau bicara! Masakan orang
bermain sembunyi dan kejar-kejaran hanya sendirian
saja? Kau-kira aku sudah gila, ya? Ayoh, cari aku!
Kalau tidak mau, hmmh... kubunuh kau!" suara itu
mengancam.
62
"Edan!" Su Hiat Hong menggerutu sambil mencaricari
di mana sumber suara itu berasal. "Orang-orang
Beng-kau memang tidak waras semuanya...."
"Tapi aku akan berkelahi dulu dengan orang ini...."
sungut Put-tong-sia dengan nada kesal.
"Aku tak peduli! Pokoknya kau harus menemukan
tempat persembunyianku! Kalau tidak, kubunuh kau!
Habis perkara!" suheng Pu-tong-sia yang tidak mau
menampakkan diri itu berteriak marah.
"Baik... baiklah, Suheng, aku akan mencarimu.
Tapi... apa hadiahnya kalau kau bisa kutemukan, hei?"
Put-tong-sia buru-buru mengalah begitu suhengnya
marah.
"Kau akan kugendong sampai ke kota apabila bisa
menemukan aku."
"Ah, tidak mau! Masakan cuma digendong
hadiahnya?"
"Lho...? Apalagi? Bukankah enak sekali digendong
orang?"
"Huh... apa enaknya digendong? Aku sudah
kenyang dan bosan kaugendong."
"Lalu kau minta hadiah apa, anak tolol?"
"Ajari aku jurus "Menerobos Lobang Pintu Jala"
kebanggaanmu itu! Bagaimana?"
"Bocah Goblok! Pemalas! Tolol! Bukankah setiap
hari aku dan Susiok sudah mengajarimu? Otakmulah
yang tumpul sehingga jurus itu tidak bisa kau kuasai
dengan baik!"
63
Put-tong-sia tidak menjadi marah oleh maki-makian
itu. Mulutnya justru tertawa, sementara matanya
memandang berkeliling, mengawasi pucuk-pucuk
pepohonan yang bergoyang-goyang. Tiba-tiba
pandangannya tertuju pada kawanan lebah yang
beterbangan di sekeliling pohon si-ong tua di pinggir
jalan. Dan di lain saat suara tertawanya menjadi
semakin keras dan nyaring.
Begitu tawanya berhenti Put-tong-sia menatap Su
Hiat Hong kembali. "Maaf, Ciang-kun, ternyata
Suhengku datang mengganggu permainan kita. Tapi
Ciang-kun tak perlu khawatir, dia takkan mencampuri
urusan ini. Percayalah....!"
"Aku tidak perduli! Kalau perlu dia boleh manju
sekalian mengeroyokku!"
"Ah, kukira tidak perlu, Ciangkun. Kau bisa repot
melayaninya nanti. Bahkan tidak cuma kau, seluruh
pasukanmu di kota raja akan menjadi repot bila
berhadapan dengannya. Kau sudah mengenal
Suhengku, Ciangkun?"
"Buat apa aku mengenal Suhengmu? Apakah
namanya begitu hebat dan terkenal di dunia
persilatan?" Su Hiat Hong mendengus.
Put-tong-sia tersenyum dan sama sekali tidak
merasa tersinggung atas sikap lawannya. "Ah,
Suhengku memang tidak punya nama besar di dunia
kang-ouw. Nama Put-pai-siu Hong-jin (Si Gila Yang
Tak Tahu Malu) memang cuma dikenal oleh jago-jago
silat kampungan...."
64
"Put-pai-siu Hong-jin...?" Su Hiat Hong berdesah
kaget.
Aliran Beng-kau memang sangat tertutup sehingga
tokoh-tokohnya tidak banyak dikenal orang, kecuali
nama Put-pai-siu Hong-jin tersebut. Nama itu dikenal
oleh hampir setiap tokoh persilatan, meskipun banyak
di antara mereka yang cuma mendengar nama itu
tanpa pernah melihat wajah pemiliknya. Mereka
hanya mendengar sepak terjang tokoh itu yang anginanginan,
suka membawa adatnya sendiri, namun
memiliki kesaktian yang amat tinggi, sehingga orang
menjadi segan berurusan dengannya.
"Ah, tampaknya Ciangkun pernah mendengar nama
itu?"
"Ya-ya, aku... aku pernah mendengarnya." Su Hiat
Hong menjawab gugup.
"Hei, Sute! Bagaimana...? Kau mau tidak?" suara
teriakan Put-pai-siu Hong-jin kembali terdengar.
Keras sekali, tapi Su Hiat Hong tetap tidak bisa
mencari sumber suara itu.
"Pokoknya... Suheng mau mengajari jurus
"Menerobos Lobang Pintu Jala" tidak?" Put-tong-sia
balas berteriak.
"Baik! Baik Cepatlah! Tapi kalau sampai tiga kali
kuajari kau tetap tidak bisa, kuketok kepalamu sampai
benjol! Ayoh, sekarang cari aku!"
Put-tong-sia memandang Su Hiat Hong. "Ciangkun,
apakah kau sudah tahu tempat persembunyian
Suhengku?"
65
"Huh!" Perwira itu mendengus tanpa menjawab.
Put-tong-sia tertawa kecil. Tiba-tiba ia berpaling ke
pohon siong tua yang tumbuh di dekat jalan.
"Nah, Suheng, kau turunlah dari pohon siong itu!
Hati-hati, di dekatmu ada sarang lebah! Kau bisa
dikeroyok bila menyentuhnya!"
Su Hiat Hong terkejut. Ia sama sekali tak melihat
bayangan manusia di balik rimbunnya daun pohon
siong tersebut. Namun rasa kaget segera berubah
menjadi rasa penasaran, karena orang itu benar-benar
bersembunyi di sana.
"Kurang ajar...! Bagaimana kau bisa tahu aku
bersembunyi di sini?"
Pohon itu bergoyang-goyang, tapi Put-pai-siu
Hong-jin tetap tidak mau menampilkan dirinya.
Hanya kawanan lebah saja yang semakin banyak
beterbangan di sekeliling pohon itu.
"Ah, tololnya aku!" Su Hiat Hong berdesah di
dalam hati mengumpati kebodoh annya. Ternyata Puttong-
sia lebih cerdik daripada dia. Pemuda itu bisa
menebak persembunyian suhengnya karena melihat
gerakan kawanan lebah tersebut.
"Nah kau telah kalah bertaruh lagi, Suheng!" Puttong-
sia berseru.
"Anak Iblis! Belut Licin! Bocah Cerdik! Kawanan
lebah ini memang menjengkelkan!" akhirnya Put-paisiu
Hong-jin mengumpat-umpat pula setelah
mengetahui penyebab kekalahannya.
66
"Suheng tak perlu marah-marah, hehe he! Sekarang
tunggu saja di situ, aku akan melayani Ciangkun ini
dahulu!"
Su Hiat Hong cepat melintangkan pedangnya di
depan dada. Sambil merendahkan tubuh ia bersiap
siaga menghadapi lawannya. "Ayoh, keluarkan saja
senjatamu...!" geramnya.
Tapi dengan sikap yang masih tetap santai Puttong-
sia mengelengkan kepalanya. "Ciangkun,
tampaknya kau belum mengenal Aliran Beng-kau,
sehingga tak tahu kalau anggota Beng-kau tak pernah
membawa senjata. Senjata mereka adalah tubuhnya.
Tangannya, kakinya, dan... pakaian yang
dikenakannya."
Wajah Su Hiat Hong menjadi merah. "Terserah
kepadamu! Tapi jangan salahkan aku bila pedangku
ini tak bisa kauelakkan!"
"Hahahah, kita lihat saja nanti! Nah, mari kita
mulai...!"
Begitu selesai berbicara Put-tong-sia segera
meloncat ke depan. Tangan kanan nya menyambar ke
atas, seolah-olah mau meraih ubun-ubun Su Hiat
Hong, hingga perwira dari istana itu buru-buru
menyong songnya dengan sabetan pedang. Wuuut!
Terpaksa Put-tong-sia menarik kembali tangannya.
Dan Su Hiat Hong tidak mau kalah cepat.
Sementara lawannya menarik tangan, pedangnya
segera memburu dengan tusukan ke arah badan bagian
atas. Ujungnya bergetar, seakan-akan ingin memilih
67
sasaran yang dipilihnya, yaitu mata, leher, atau
jantung! Jurus ini disebut Burung Bangau Mematuk
Ikan, jurus ke tujuh dari Sin-ho Kiam-hoat.
"Oh, ternyata bagus juga ilmu pedangmu..."
Sambil memuji Put-tong-sia menggeliatkan
tubuhnya ke kanan untuk menghindar, sekaligus balik
menyerang dengan totokan ujung jarinya. Cussssss!
Hembusan angin panas menyertai serangan tersebut,
tertuju ke arah pergelangan tangan Su Hiat Hong yang
memegang pedang!
Terkesiap juga Su Hiat Hong menyaksikan
kesigapan lawannya, apalagi hembusan hawa panas
itu. Bergegas ia menarik tubuhnya ke belakang, lalu
memutar pedangnya untuk melindungi pergelangan
tangan. Cring...!
Ujung jari Pu-tong-sia yang berubah seperti tongkat
baja itu membentur badan pedang Su Hiat Hong.
Demikian keras dan kuatnya sehingga pedang itu
hampir terlepas dari genggaman. Untunglah perwira
itu cepat mengerahkan tenaga untuk
mempertahankannya.
Pengalaman itu membuat Su Hiat Hong semakin
berhati-hati. Dia sadar bahwa lawannya memiliki
kepandaian sangat tinggi. Oleh karena itu Su Hiat
Hong tidak ingin mengulur-ulur waktu lagi, ia segera
mengerahkan seluruh kemampuannya.
Dikeluarkannya jurus-jurus Sin-ho Kiam-hoat yang
paling dia andalkan.
68
Pedang itu berputar dengan cepat membentuk
lingkaran, semakin lama semakin membesar.
Berbareng dengan itu Su Hiat Hong menerjang ke
depan, seolah-olah mau mencincang tubuh Put-tongsia.
Terdengar gaung suara pedang itu menembus
angin.
Karena tidak memegang senjata, Put-tong-sia
terpaksa melompat ke belakang.
Tapi pedang itu terus mengejarnya, sehingga Puttong-
sia harus menghindarinya dengan melenting
tinggi ke udara untuk mematahkannya. Huuup!
Seperti yang dilakukan di atas panggung tadi, Puttong-
sia berjungkir balik di udara beberapa kali.
Lagi-lagi serangan Su Hiat Hong gagal menyentuh
lawan. Bahkan kedudukannya justru berbalik menjadi
berbahaya sekarang. Dari atas Put-tong-sia
menjejakkan kakinya ke bawah untuk menggempur
kepalanya.
"Bagus...!" Su Hiat Hong berdecak kagum seraya
membanting tubuhnya ke tanah dan menggelinding
pergi menjauhi lawan.
Put-tong-sia mendarat kembali di atas tanah,
sedangkan Su Hiat Hong cepat berdiri pula di atas
kakinya. Mereka kembali berhadapan dalam jarak
lima langkah. Masing-masing mempersiapkan dirinya.
"Bagus! Lihat pedang...!" Su Hiat Hong berseru
keras dan mendahului menyerang.
Put-tong-sia atau nama sebenarnya adalah Chin
Tong Sia itu cepat mengelak kemudian balas
69
menerjang dengan jari-jarinya yang ampuh. Sekejap
saja mereka segera terlibat dalam pertarungan seru. Su
Hiat Hong dengan pedangnya yang panjang,
sementara Put-tong-sia bergerak lincah dengan
ginkangnya yang tinggi.
Sin-ho-kiam-hoat memang memiliki jurus-jurus
yang kuat dan berbahaya. Meskipun inti gerakannya
lebih banyak bertumpu pada pertahanan, namun sekali
waktu juga dapat menyerang dengan ganas. Gerakan
kakinya tidak begitu banyak bahkan tampak sangat
sederhana.
Demikian pula
dengan gerakangerakan
tangan nya.
Pedang itu lebih
banyak
dipergunakan untuk
melindungi tubuh
daripada untuk
menyerang. Hanya
sekali-kali saja
ujung pedang itu
mematuk lawan.
"Wah... ilmu
pedangnya lumayan
juga! Sayang
gerakannya terlalu lamban!" tiba-tiba Put-pai-siu
Hong-jin memuji dari tempat persembunyiannya.
70
"Benar, Suheng! Kuda-kudanya juga kurang
kokoh...!"
Dapat dibayangkan betapa murkanya hati Su Hiat
Hong. Lawannya yang masih muda dan bertangan
kosong itu tampaknya amat memandang rendah ilmu
pedangnya.
"Bangsat sombong! Buktikan dulu, baru bicara!
Jangan banyak omong!"
"Haha-haha-haha,..! Suheng, kau membuatnya
marah!" Put-tong-sia tertawa sambil menghindar
sabetan pedang lawan.
Put-pai-sui Hong-jin tertawa terkekeh-kekeh,
namun tidak meneruskan ejekannya. Dari sela-sela
tawanya justru terlontar sebuah pantun acak-acakan
yang disuarakan dengan nada sumbang.
Tikus kecil mandi di sungai.
Bulunya jelek, merah tak merata.
Aduhh Mak......!
Gadis manis mandi di pantai.
Tubuhnya molek, indah dipandang mata.
Tubuh Chin Tong Sia atau Put-tong-sia
berkelebatan ke sana ke mari untuk menghindari
pedang Su Hiat Hong, meskipun demikian ia masih
sempat mendengarkan pantun suhengnya.
"Jorok...! Suheng jorok! Pantun yang jelek!"
serunya kurang senang, lalu ikut-ikutan berdendang
dengan sajaknya sendiri.
71
Tikus kecil mandi di sungai.
Bulunya jelek, merah tidak merata.
Bujang kecil berurai air mata.
Wajahnya jelek, orang tua tiada.
Ooooh, nasib...... !
"Wah, bosan! Benar-benar membosankan! Sejak
zaman purbakala pantunmu melulu yang sedih-sedih
saja! Apakah kau tidak punya hapalan yang lain lagi,
heh, .,.?" tiba-tiba Put-pai-siu Hong-jin marah-marah.
"Biar! Memangnya kenapa? Yang penting aku
sendiri senang!" Chin Tong Sia membantah. Lalu
menyanyikan lagunya lagi. Bahkan lebih keras.
Tikus kecil mandi di sungai.
Bulunya jelek merah tak merata.
Aduuuh Mak......f
"Berhenti! Berhentiiiiii...! Mau berhenti tidak?
Kubunuh kau nanti!" Put-pai-siu menjerit berang.
Tangannya meraup daun pek di dekatnya.
Tapi Chin Tong Sia tetap tak peduli. Sambil
melayani serangan Su Hiat Hong ia tetap
menyanyikan pantunnya yang sedih. Tentu saja Putpai-
siu Hong-jin benar-benar menjadi jengkel. Daun
yang tergenggam di tangannya disambitkan ke bawah,
ke arah Chin Tong Sia.
Siiuuut! Siuuut! Siuuut!
72
Meski daun itu hanya benda yang tipis dan ringan,
tapi begitu terlempar dari tangan Put-pai-siu Hong-jin,
bisa meluncur deras bagai pisau terbang, menebas ke
arah bagian-hagian berbahaya di tubuh sutenya.
Tentu saja Chin Tong Sia terkejut sekali. Pukulanpukulan
tangannya yang sebenarnya sedang mendesak
Su Hiat Hong, terpaksa ditariknya kembali. Tubuhnya
yang kurus itu terpaksa melenting ke sana ke mari
untuk menghindarkan diri dari keganasan daun-daun
pek yang berbahaya.
Dan kesempatan ini tak disia-siakan oleh Su Hiat
Hong. Perwira pasukan rahasia kerajaan itu cepat
melompat meninggalkan pertempuran. Dengan
tangkas kakinya berlari menyusuri jalan yang menuju
ke kota Hang-ciu.
"Berhenti...!" Chin Tong Sia berteriak. Kakinya
menjejak tanah, dan tubuhnya meluncur ke depan
dengan cepatnya.
Tapi lagi-lagi Puit-pai-siu Hong-jin menaburkan
daunnya. Kali ini bahkan lebih banyak lagi. Semuanya
menerjang ke tempat-tempat yang mematikan di
badan sutenya.
"Suheng, kau...! Apa maumu sebenarnya?" pemuda
itu menjerit marah. Otomatis langkahnya tertunda,
sehingga sekejap kemudian buruannya telah hilang di
balik tikungan.
"Habis, kau telah membajak laguku! Kau ubah
pula! Mana aku mau mengerti, heh? Minta maaf dulu
kepadaku, baru aku mau berhenti menyerangmu!"
73
Chin Tong Sia mati-matian mengelakkan serangan
suhengnya. Setelah itu ia berdiri tertegun mengawasi
Put pai-siu Hong-jin yang sudah turun pula dari pohon
pek. Perlahan-lahan kejengkelan pemuda itu mereda.
Suhengnya telah kumat gendengnya., Kalau dilayani
tentu tidak akan ada henti-hentinya.
"Baiklah, Suheng. Aku mengaku salah. Aku tak
akan membajak pantunmu lagi. Hah, sekarang marilah
kita mengejar perwira itu tadi!"
"Ho-ho-ho-ho, enak saja. Kau tentu tidak
bersungguh-sungguh meminta maaf kepadaku. Di
dalam hatimu kau tentu mentertawakan aku. Heh-heh,
kau belut kecil ini memang sangat cerdik dan lincah
sekali. Jangan harap kau bisa mengakali aku. Aku
sudah hapal watakmu luar- dalam, heh-heh. Aku yang
mengasuh dan mendidikmu sejak bayi...."
Chin Tong Sia tersenyum sambil menghela napas
panjang. Perasaan jengkelnya sudah hilang.
Sebenarnya ia sangat hormat dan sangat sayang
kepada suhengnya itu. Suhengnya itulah yang
merawat, mengasuh dan mendidiknya sejak kecil.
Bahkan ilmu silatnya pun sebenarnya sebagian besar
adalah hasil didikan suheng-nya itu. Memang
tampangnya amat menyeramkan, dan tindak-tanduk
atau perilakunya seperti orang gila, tapi sebenarnya
dia benar-benar waras dan cerdik luar biasa. Ilmu
silatnya pun paling tinggi di .antara tokoh-tokoh
Beng-kau sekarang. Gurunya sendiri, yang kini sudah
mengasingkan diri di ruang semedi, mengakui
74
kehebatan ilmu suhengnya itu. Dialah satu-satunya
tokoh Beng-kau yang mampu mendalami serta
menghayati betul ilmu rahasia Aliran Beng-kau, yaitu
Chou-mo-ciang (Tangan Menangkap Setan).
"Lalu... apa yang harus kulakukan agar kau percaya
kepadaku, Suheng?"
Put-pai-siu Hong-jin menghampiri Chin Tong Sia,
lalu merangkul pundaknya. Sambil tertawa terkekehkekeh
ia berkata lucu, "Tentu saja kau harus
menyanyikannya dulu dengan betul, heh-heh-heh..."
Demikianlah, sambil menyanyikan pantun ciptaan
Put-pai-siu Hong-jin tadi, Chin Tong Sia dan
suhengnya berjalan bersama-sama ke kota Hang-ciu
kembali. Mereka sama sekali tidak gentar menghadapi
para pengawal yang tentu akan menangkap mereka di
kota nanti.
-- o0d-w0o --
"Jadi... pemuda itu dari aliran Beng-kau?" Lelaki
beruban atau Lim Kok Liang itu menegaskan.
"Ia memang berkata demikian. Mengapa...?" Su
Hiat Hong bertanya pula.
Lim Kok Liang mengerutkan dahinya yang lebar.
"Gawat! Kalau orang-orang kang-ouw (rimba
persilatan), apalagi aliran-aliran ternama seperti Bengkau,
sudah ikut campur tangan dalam masalah ini,
keadaannya akan menjadi gawat!"
75
"Tapi mereka cuma seorang anak muda yang masih
ingusan dan seorang lelaki tua gila yang tak perlu
ditakutkan, Suheng."
"Huh, kau sungguh bodoh! Kalau benar apa yang
kaulihat dan kaudengar tadi, orang berwajah
menyeramkan dan bernama Put-pai-siu Hong-jin
adalah tokoh ternama dari aliran Beng-kau. Dia
adalah kakak seperguruan Put-sim-sian (Dewa Tak
Berperasaan), pejabat ketua aliran Beng-kau
sekarang."
"Oh! Dan... pemuda itu, kalau begitu dia juga adik
seperguruan Ketua Aliran Beng-kau itu!" Su Hiat
Hong berdesah gagap.
"Mungkin juga. Sudahlah, mari kita pergi ke
panggung lui-tai lagi. Masalah ini nanti kita laporkan
kepada Au-yang Goanswe. Goanswe harus
mengetahui masalah ini."
"Tapi... Suheng?"
Lim Kok Liang menghentikan langkahnya.
Matanya mengawasi Su Hiat Hong dengan heran.
"Ada apa...?"
"Anu... apakah Suheng tahu tentang masalah yang
membuat curiga orang-orang Beng-kau itu?
Maksudku... maksudku, apakah memang benar ada
sesuatu yang tidak beres pada acara perlombaan yang
diselenggarakan oleh kerajaan ini?"
Lim Kok Liang tertegun. Matanya semakin tajam
mengawasi Su Hiat Hong. Tapi beberapa saat
kemudian mata itu perlahan-lahan menunduk, bahkan
76
perwira itu lalu menghela napas panjang sekali.
Kakinya kembali melangkah perlahan-lahan. Su Hiat
Hong segera mengejarnya.
"Bagaimana, Suheng?"
"Mengapa kautanyakan hal itu? Kita cuma seorang
perwira dari pasukan rahasia, yang diperbantukan
kepada Au-yang Goan-swe. Tugas kita hanyalah
melaksakan perintah yang diberikan oleh beliau. Perlu
apa kita mencari tahu tentang latar belakang dari
perintah itu?"
"Jadi... Suheng juga tidak tahu?"
Lim Kok Liang menggelengkan kepalanya. "Aku
memang juga merasakan adanya sesuatu di balik
pengadaan lomba "Mengangkat Arca" ini. Tapi...
sudahlah, sebagai seorang perwira kita tinggal
melaksanakan perintah saja. Habis perkara."
Su Hiat Hong tidak mendesak lagi. Mereka segera
ikut berdesakan di antara penonton yang memadati
arena panggung lui-tai itu. Ternyata perlombaan
"Mengangkat Arca" telah selesai. Peserta yang
dianggap berhasil dan memenuhi syarat pun telah
dipanggil kembali ke atas panggung. Mereka hanya
berjumlah sepuluh orang. Dan A Liong, pelayan
warung itu ternyata berada di antara mereka!
"Lim Suheng, lihat! Jagomu ternyata ikut terpilih
juga!" Su Hiat Hong berseru gembira.
"Anak itu memang hebat! Sejak semula aku telah
melihat sesuatu yang mengagumkan pada diri anak
itu. Ternyata firasatku itu memang benar."
77
Dan pada saat itu pula A Liong melihat mereka.
Memang sejak tadi anak itu mencari-cari mereka di
antara penonton. Kedua tangan itu melambai-lambai
ke arah mereka. Su Hiat Hong membalas pula
lambaiannya.
"Mulai besok pagi kita harus berjalan jauh lagi.
Kita bertiga dengan Tong Tai-su harus mengawal
sepuluh anak ini ke kota raja. Dan paling lambat bulan
depan harus sampai di sana." Lim Kok Liang berkata
dengan suara berat.
"Yah, kita memang kurang beruntung. Sementara
perwira-perwira yang lain hanya mendapatkan tempat
tugas yang dekat, kita berdua mendapatkan bagian
yang jauh."
"Ah... kita ini masih lebih beruntung daripada
mereka yang dikirim ke kota-kota di propinsi selatan
sana. Dalam waktu sebulan mereka juga harus sudah
tiba di Lok Yang (kota raja). Kasihan sekali, bukan?"
"Lalu dengan apa kita membawa anak itu?"
"Kita tidak perlu memikirkannya. Panitia yang
dibentuk dan ditempatkan di sini tentu sudah
mempersiapkan segalanya. Kita tinggal mengawal
saja. Masing-masing sudah ditentukan tugasnya."
"Nah, hal-hal seperti inilah yang mengundang
kecurigaan itu, Suheng. Tampaknya seluruh rencana,
aturan-aturannya, syarat-syaratnya, sampai pada
pelaksanaannya, semua diatur dan dikerjakan oleh
petugas-petugas dari kota raja. Itu pun dilakukan oleh
kesatuan-kesatuan dan kalangan tertentu saja, seperti
78
kita ini. Pihak penguasa daerah, seperti kepala daerah,
bupati dan lain-lainnya, sama sekali tak diajak atau
diberi wewenang untuk melaksanakannya. Bukankah
hal itu menimbulkan berbagai macam pertanyaan?
Tentu saja tak mengherankan apabila tokoh-tokoh
Beng-kau itu sampai mencurigai kita."
"Ah, kau berbicara tentang itu lagi. Bukankah
sudah kukatakan bahwa kita ini cuma pelaksana saja?
Lalu kau mau apa? Apa kau mau memberontak dan
melawan tugas?"
Su Hiat Hong tersipu-sipu. Ia tak bisa menjawab
pertanyaan temannya itu.
"Suheng, kau ini ada-ada saja. Aku tidak
bermaksud apa-apa. Aku hanya merasa penasaran.
Rasanya aku ini seperti melangkah di jalan yang tidak
ada ujung-pangkalnya...."
"Sudahlah, jangan kaupikirkan lagi masalah ini.
Pokoknya kita melaksanakan tugas kita sebaikbaiknya."
Mereka tak berbicara lagi. Mereka memusatkan
pandangan mereka ke panggung, menyaksikan piala
dan hadiah-hadiah yang diberikan oleh Bupati kota
Hang-ciu kepada para pemenang. Para penonton
bertepuk tangan menyambut kemenangan para peserta
itu.
Sementara itu di panggung barongsai juga sudah
sampai pada babak yang terakhir pula. Keenam grup
barongsai itu sudah dipertarungkan semuanya, dan
sudah ada tiga pemenangnya. Mereka itu adalah grup
79
barongsai dari kampung Ui-thian cung, grup
barongsai dari Pek-hok-bio (Kuil Kelelawar Putih),
dan grup barongsai dari Hek-to-pai (Perguruan Golok
Hitam). Dan babak selanjutnya adalah menentukan
urut-urutan juaranya. Mereka bertiga akan
dipersilakan tampil ke atas panggung semuanya untuk
memperebutkan bungkusan mutiara yang
digantungkan tinggi-tinggi di tengah arena.
"Wah, kali ini benar-benar akan mengasyikkan.
Ketiga barongsai itu akan berlaga bersama-sama.
Masing-masing barongsai seperti mendapatkan dua
lawan yang harus dihadapi." A Tung yang telah
bergeser pula ke panggung barongsai itu berseru
gembira.
"Kau menjagoi yang mana, heh?" Lok Ma bertanya
sambil menyodokkan sikunya ke pinggang A Tung.
"Hehehe... tentu saja aku pilih yang hitam, sesuai
dengan kulitku. Apalagi pemain-pemainnya kelihatan
serem-serem. Mereka tentu pendekar-pendekar tulen.
"Hah, kau ini ada-ada saja. Masakan ada pendekar
tulen segala. Lalu... yang pendekar tipuan mana?" Lok
Ma tertawa.
"Tentu saja ada. Kau mau tahu? Lha ... kau ini?
Bukankah kalau di desa lagakmu seperti jagoan saja?
Tapi...? Dengan binimu saja kau selalu dibantai, hehehe...!"
A Tung yang pintar bicara itu mulai meledek
lagi.
"Babi kau...!" Lok Ma mengumpat jengkel.
80
Para penonton yang berdiri di sekitar mereka ikut
terpingkal-pingkal mendengar kelakar dua sahabat itu.
Bahkan Siau In bertiga, yang telah bergeser pula ke
tempat itu, ikut tertawa juga sampai mengeluarkan air
mata. Gadis centil itu, yang pada dasarnya memang
suka benar bergurau, segera melemparkan umpan lagi
agar kelakar mereka menjadi semakin ramai.
"Masakan Paman ini kalah dengan isterinya...?"
pancingnya sambil masih tetap tertawa.
"Benar, Kou-nio (Nona). Kawanku ini tak pernah
menang melawan isterinya. Asal dia dan isterinya
ribut, kami tetangganya, mesti punya pekerjaan
sambilan, yaitu... menggotong dia ke rumah tabib.
Heh-heh-heh-heh...!" A Tung menjawab cepat
pancingan Siau In itu.
"Siapa bilang aku tak pernah menang? Bukankah
sepekan yang lalu... aku tidak kalian gotong? Dua hari
sebelumnya aku juga tetap sehat-sehat saja! Justru
biniku yang melolong-lolong minta ampun
kepadaku!" Si Pendek Lok Ma itu menyahut dengan
kata-kata konyol, sehingga para penonton menjadi
semakin geli dan tertawa bergelak.
Tak terduga A Tung justru semakin tak bisa
menahan gelaknya, sampai-sampai ia terbungkukbungkuk
memegangi perutnya
Siau In tak kuasa menahan rasa ingin tahunya.
"Kenapa, Paman? Kenapa kau tertawa begitu?"
A Tung melepaskan perutnya, lalu mengusap air
matanya. "Tentu saja... tentu saja dia menang... ha-ha81
ha... karena... karena isterinya sedang bunting tua! Haha-
ha...! Jangankan harus melawan suaminya,
sedangkan untuk berjalan sendiri saja... sudah, ha-haha!"
Tawa penonton di sekitar tempat itu pun semakin
meledak, sehingga Lok Ma yang konyol itu menjadi
merah sekali mukanya. Dari malu ia menjadi marah.
Tangannya segera diangkat untuk memukul A Tung,
tapi A Tung cepat-cepat menghindar dan lari
menjauhinya. Dan keduanya lalu berkejaran di antara
rimbunnya penonton.
"Hahaha... ada-ada saja!" Sin Lun tertawa.
"Mereka memang sangat menggelikan." Ciu In
menyahut pula. Wajahnya yang biasa berkesan dingin
itu kini kelihatan merah berseri-seri, sehingga Sin Lun
yang ada di sampingnya menjadi kagum dan
terpesona melihatnya.
"Ciu Sumoi memang cantik sekali." puji Sin Lun di
dalam hatinya.
"Eh, kau... kau kenapa, Suheng? Mengapa
kaupandang aku seperti itu? Apakah ada kotoran yang
menempel di mukaku?" gadis itu bertanya gugup
sambil mengusapusap wajahnya.
Sin Lun terperanjat kaget. "Ah, tidak... tidak apaapa,
Sumoi. Tidak ada kotoran apa-apa di... di
wajahmu." jawabnya kikuk dan malu. "Hmmh!
Hmmh!"
Tiba-tiba Siau In pura-pura terbatuk. Bahkan
matanya yang genit itu tampak berputar-putar dengan
82
lucu, sementara lidahnya yang kecil itu dileletkannya
ke kanan dan ke kiri. Jelas ia hendak menggoda
kakaknya lagi.
Tapi niat itu menjadi urung karena tiba-tiba pula di
panggung lui-tai terdengar tambur dan gendang
ditabuh bertalu-talu, sebagai tanda acara pertandingan
bebas yang telah dinanti-nantikan penonton akan
segera dimulai.
Dan kesempatan itu digunakan sepenuhnya oleh
Cui In. "Suheng! Pertandingan bebas sudah akan
dimulai. Marilah 'kita ke sana!" katanya bersemangat.
"Ayoh,..!" Sin Lun yang merasa terbebas dari
suasana yang kurang menyenangkan itu mengiyakan
dengan bersemangat puia.
Karena masing-masing seperti ingin membebaskan
diri dari godaan Siu In, maka keduanya segera berlari
menuju ke panggung lui-tai. Tak seorang pun dari
keduanya yang berani melontarkan suara ajakan
kepada tukang olok-olok itu. Mereka berdua baru
kaget ketika ternyata gadis genit itu tidak ada bersama
mereka.
"Hei...? Ke mana anak badung itu? Kenapa tidak
mengikuti kita?" Ciu In berseru kaget. Seketika
hatinya menjadi khawatir.
"Benar. Kemana dia? Mari kita kembali untuk
mencarinya!" Sin Lun menjadi gugup juga.
Mereka kembali lagi ke panggung barongsai. Tapi
sampai lelah mereka berputar-putar, Siau In tetap
83
tidak mereka ketemukan. Gadis lincah itu seperti
hilang begitu saja dari tempat tersebut.
"Kemana dia...?" Ciu In berdesah bingung.
"Jangan bingung, Sumoi! Dia tentu sedang
menggoda kita lagi. Dia tentu berada di antara
penonton-penonton ini. Marilah kita cari sekali lagi!"
Tapi bagaimanapun juga mereka tetap takkan dapat
menemukan Siau In, karena sebetulnya gadis itu telah
sejak tadi meninggalkan tempat keramaian. Gadis
lincah yang merasa tidak diperhatikan oleh saudarasaudaranya
lagi itu merasa dongkol dan marah,
sehingga ia memutuskan untuk pergi ke mana ia suka.
Mula-mula Siau In berniat kembali ke warung dan
makan minum sendirian di sana. Tapi niat itu lalu
dibatalkannya pula. Ia kemudian keluar ke jalan raya
dan berjalan tak tentu tujuan.
Di dekat pasar Siau In berhenti. Matahari telah
berada di atas kepala, namun karena langit mendung
dan berawan tebal maka suasana tetap sejuk dan
dingin. Bahkan beberapa saat lagi mungkin hujan
akan turun.
"Ke manakah aku akan pergi? Kota ini sedemikian
besarnya. Di segala tempat orang pada bersukaria.
Hmm, baiklah... aku akan pergi ke pinggir laut saja.
Di sana tentu sepi."
Siau In lalu melangkah lagi perlahan-lahan. Karena
wajahnya memang cantik, berjalan sendirian pula,
maka banyak lelaki hidung belang yang mencoba
menggoda atau sekedar menyapa dengan ucapan
84
"Tahun Baru". Tapi Siau In tak pernah
menanggapinya. Gadis itu tetap berjalan terus ke arah
pantai.
Jalan semakin lama semakin sepi. Meskipun
banyak rumah dan perkampungan di kanan kiri jalan,
namun tampaknya semua penghuninya telah pergi ke
tengah kota. Sebaliknya suara debur ombak semakin
lama semakin terdengar nyaring ke telinga. Udara pun
seolah-olah mulai berubah pula. Angin yang semula
bertiup pelan dan terasa hangat, kini sedikit demi
sedikit berubah keras dan dingin. Bahkan baunya pun
terasa semakin amis.
Begitu asyiknya Siau In melamun sehingga ia tidak
menyadari kalau beberapa orang dari lelaki hidung
belang tadi telah mengikutinya. Mereka berjumlah
enam orang, berusia antara dua puluh lima sampai tiga
puluh tahun. Yang terasa aneh namun juga
menggelikan ialah kesemuanya berkulit dan berwajah
hitam. Dan dilihat sepintas lalu saja sudah bisa diduga
bahwa semuanya menyembunyikan senjata di balik
pakaian mereka yang longgar.
Jalan yang dilalui Siau In mulai menginjak daerah
pertanian dan perkebunan. Dan tempat itu benar-benar
sepi sekali. Tak seorang petani pun yang kelihatan
berada di sawah atau di kebunnya. Enam orang
hidung belang itu mulai merencanakan niat buruk
mereka. Tapi sebelum mereka bertindak, Siau In telah
keburu mempergunakan ginkangnya untuk
85
mempersingkat waktu. Gadis lincah itu berlari cepat
sekali.
"Hei... burung cantik itu ternyata pandai terbang!"
salah seorang dari lelaki hidung belang itu, yang
agaknya adalah pemimpin mereka, berdesah gembira
dan bersemangat,
"Benar, Toa-ko. Tapi... justru lebih mengasyikkan
buat kita! Heh-heh-heh!" yang lain menyahut pula
dengan nada bergairah.
"Tapi... tapi Toako, aku... aku seperti melihat
berkelebatnya orang di belakang kita. Ketika secara
kebetulan aku menengok ke belakang tadi, aku seperti
melihat berkelebatnya sesosok bayangan di balik
tumpukan jerami itu!" pengikut termuda dari
rombongan itu tiba-tiba menyela.
"Mana, hah...? Mana? Boneka-boneka sawah itu?
Kau ini penakut benar! Di belakang kita kosong, tidak
ada siapa-siapa! Matamu saja yang mungkin sudah
juling, boneka sawah kaukira manusia sungguhan!" Si
Pemimpin itu bersungut-sungut.
"Benar, Toako. Mana ada orang berani bertingkah
di depan kita? Ini daerah kita. Tak seorang pun berani
mengganggu anggota Hek-to-pai di tempat ini! Ayoh,
kita kejar burung cantik itu! Nanti ia keburu tiba di
daerah perkampungan nelayan Ui-thian-cung."
"Ayoh...!" yang lain dengan serempak mengiyakan.
Semuanya segera mengerahkan ilmu meringankan
tubuh mereka dan berlari secepat-cepatnya mengejar
Siau In. Dan karena gadis itu memang tidak menduga
86
kalau sedang dikejar orang, maka langkahnya juga
hanya seadanya saja. Gadis itu hanya mengerahkan
separuh dari kemampuannya berlari. Oleh karena itu
tidaklah mengherankan apabila sebentar saja keenam
hidung belang itu telah bisa mengejarnya. Mereka
berlari di belakang Siau In.
Siau In terkejut dan menoleh. Dan dahinya yang
halus mulus itu segera berkerut ketika melihat enam
orang lelaki berlari sambil pringas-pringis di
belakangnya. Otomatis langkahnya dipercepat. Tapi
orang-orang itu juga mempercepat langkah kaki
mereka pula. Siau In menjadi penasaran, ia lalu
meningkatkan kemampuannya berlari lagi. Tapi
keenam orang itu ternyata juga menambah kecepatan
mereka.
Terjadilah kejar mengejar yang mengasyikkan di
siang hari bolong itu. Mereka mulai menginjak daerah
pertambakan garam. Di sana-sini, di kanan kiri jalan,
yang terlihat cuma genangan air garam melulu.
Barulah beberapa saat kemudian tampak sebuah
perkampungan petani tambak di depan mereka.
Siau In lalu mengeluarkan seluruh kemampuan
ginkangnya. Tubuhnya yang mungil itu melesat ke
depan bagai anak panah yang terlepas dari busurnya.
Dan para pengejarnya segera tertinggal jauh di
belakang. Namun demikian ketika sampai di mulut
perkampungan petani tambak itu, Siau In
menghentikan langkahnya. Gadis yang amat berani itu
hendak men coba, apakah para lelaki hidung belang
87
itu masih berani mengganggunya di perkampungan
penduduk.
Tapi perkiraan Siau In itu ternyata salah. Ketika
satu persatu para pengejarnya tadi datang dengan
napas memburu, semuanya justru menampilkan wajah
yang amat lega.
"Bagus-bagus! Ternyata Nona juga berhenti
kelelahan di sini. Sungguh kebetulan sekali, hoh-hohhoh!
Inilah kampung tempat tinggal kami! Selamat
datang.hoh-hoh-hoh...! Marilah singgah sebentar ...!"
Si Pemimpin itu berkata gembira.
Tentu saja kenyataan itu amat mengejutkan hati
Siau In. Ternyata perkiraannya meleset.
Perkampungan itu justru merupakan tempat tinggal
para lelaki hidung belang tersebut. Bahkan ketika
menengok ke sebuah pintu rumah yang paling megah
di pinggir jalan itu, ia melihat papan nama yang
dipasang secara menyolok sekali. Papan nama itu
bertuliskan huruf : HEK TO PAI!
"Celaka...! Ternyata aku berada di sarang buaya!"
gadis itu berkata di dalam hatinya.
Tapi sedikit pun Siau In tidak gentar! Gadis periang
dan pemberani itu malah tersenyum menghadapi para
pengganggunya.
"Cu-wi (Tuan semua) ingin agar aku singgah
sebentar di kampung ini? Ah, maaf... lain kali saja.
Siau-te (Aku yang rendah) sedang tak pernah enak
badan. Siaute hendak pergi ke pantai untuk
membuang rasa sebal dan dongkol dulu. Nah, maaf..."
88
Siau In cepat berbalik dan hendak pergi
meninggalkan tempat itu, tapi orang-orang Hek-to-pai
itu dengan cepat mengepungnya. Malahan salah
seorang di antara mereka segera berlari ke
perkampungan memanggil teman-temannya.
"Nanti dulu, Nona. Kau tidak boleh menolak
undangan kami. Sekali kami mengundang orang,
orang itu harus datang. Menolak undangan kami
berarti menghina Hek-to-pai! Dan... siapapun juga
yang berani menghina Hek-to-pai tentu tidak akan
berumur panjang!" si pemimpin itu mengancam.
Bukan main marahnya hati Siau In. Orang-orang
berkulit hitam itu benar-benar telah meremehkan
dirinya. Karena ia cuma seorang perempuan muda,
apalagi hanya seorang diri, mereka lalu main paksa
seenak mereka sendiri, seolah-olah dia itu cuma
seorang perempuan desa murahan. Apalagi cara
mereka memaksa itu dengan kedok dan selubung
Hek-to-pai. Siau In benar-benar muak sekali.
"Anjing-anjing keparat! Kaukira aku gentar melihat
tampang-tampang hitammu yang menjijikkan itu,
hah? Meskipun kau berlindung di balik perkumpulan
orang-orang yang berjalan di jalan hitam (hek-to), aku
tidak takut! Suruh semua orang-orangmu ke sini!
Suruh ketuamu sekalian ke mari! Akan kucuci habishabisan
muka kalian yang hitam legam itu agar kalian
bisa melihat hal-hal yang terang dari wajah kalian
itu!" Siau In berteriak lantang.
89
Betapa hebatnya penghinaan itu! Tak heran bila
orang-orang Hek-to-pai itu tak dapat menahan
amarahnya. Apalagi gadis itu dengan seenaknya
mengubah arti dari nama perkumpulan mereka, dari
Hek-to yang bermakna Golok Hitam menjadi Hek-to
yang bermakna Jalan Hitam. Kedua buah ucapan itu
memang hampir sama.
"Babi betina yang tak tahu diri! Kau memang
pantas mati dengan mengenaskan! Akan kubelejeti
pakaianmu, lalu akan kunista dirimu beramai-ramai di
air tambak itu, sehingga kau akan mengalami
penderitaan yang tak mungkin bisa kaulupakan
seumur hayatmu! Ayoh, kawan-kawan... bekuk dia!"
si pemimpin itu mengumpat dan mengancam.
Si pemimpin itu sendiri lalu minggir untuk
memberi kesempatan empat orang temannya untuk
membekuk gadis sombong itu. Ia masih beranggapan
bahwa Siau In tidak berbahaya dan hanya pandai
berlari saja. Ia menganggap empat orang temannya itu
sudah lebih dari cukup untuk menangkap betina galak
tersebut.
Dan kesombongan orang itu benar-benar harus
dibayar mahal oleh teman-temannya. Dalam waktu
singkat, hanya dengan empat kali gerakan tangan, ke
empat orang itu telah menjerit kesakitan dan
kemudian terlempar bergelimpangan terkena ujung
sepatu Siau In! Begitu singkatnya, sehingga orangorang
yang sangat memandang rendah Siau In itu
tidak sempat mempergunakan golok hitam
90
kebanggaan mereka! Masing-masing tergeletak
pingsan dengan pisau kecil menancap di keh-jin-hiat
mereka.
Si pemimpin itu melongo sambil mengucak-ucak
matanya. Ia sama sekali belum sadar apa yang telah
terjadi, dan sama sekali juga belum bisa percaya
bahwa semuanya itu bisa terjadi. Semuanya
berlangsung dengan begitu cepat. Cepat sekali,
sehingga rasa-rasanya suara perintahnya tadi masih
terngiang-ngiang di telinganya sendiri.
"Hayo! Mengapa kau berdiri bengong saja di
tempat itu? Majulah! Akan kulemparkan bangkaimu
nanti ke tengah-tengah air tambak itu, agar rohmu
menderita pula di alam baka!" Siau In yang sudah
menjadi buas itu menjerit marah. Di telapak
tangannya masih tersisa sebilah pisau.
"Kau... lukai mer-mereka... semua? Kau benarbenar
setan betina!!" dengan suara hampir tidak jelas
si pemimpin itu mengumpat dan menerjang.
Tangannya telah menggenggam golok hitam yang
berkilauan saking tajamnya.
"Heeiitt!"
Siau In meloncat ke kiri dengan sigapnya.
Tangannya terayun, tapi bukan untuk melemparkan
pisaunya. Tangan yang kecil itu dipakai untuk
menghantam pergelangan tangan lawannya yang
mencekal golok. Sementara kaki kanannya yang
bersepatu tipis itu menerjang tinggi ke arah ulu hati.
Gerakan bertahan dan menyerang ini adalah sebagian
91
dari jurus Naik Tangga Memandang Bulan, di mana
tangan kiri yang memukul pergelangan tangan lawan
itu diibaratkan sedang menguak rintangan penutup
rembulan, dan kaki kanan yang melayang naik ke ulu
hati itu diibaratkan sebagai kaki sedang menaiki
tangga.
-- o0d-w0o --
JILID III
AMUN meski marah si pemimpin itu
sudah sadar siapa lawannya. Ia tidak mau
bernasib seperti kawan-kawannya itu,
sehingga pada saat menyerang tadi ia juga
tidak lupa akan pertahanannya. Maka
ketika serangan balik Siau In itu hampir
mengenai sasarannya, ia terlebih dulu menggeliat ke
kiri cepat sekali, hingga serangan itu lewat hanya
sejengkal saja dari tubuhnya. Kemudian sebelum Siau
In menarik kaki dan tangannya, ia lebih dulu
memanfaatkan kesempatan itu dengan menyabetkan
golok hitamnya yang berselubung racun ke arah
lawan.
Serangan si pemimpin itu benar-benar bagus dan
ganas luar biasa. Sepintas lalu serangan itu tidak
mungkin tidak pasti akan mengenai sasarannya.
N
92
Dalam keadaan serta kedudukan tubuh seperti itu tak
mungkin Siau In dapat menghindar lagi. Tubuh yang
molek itu tentu akan terbelah menjadi dua bagian.
Atau paling tidak, kaki dan tangan yang mungil itu
tentu akan terlepas dari tubuhnya.
Namun apa yang kemudian terjadi ternyata juga di
luar dugaan si pemimpin itu. Dalam keadaan terjepit
ternyata Siau In melakukan langkah yang boleh
dikatakan amat berbahaya sekali buat dirinya sendiri,
lapi tampaknya gadis itu memang telah yakin benar
akan kekuatannya, sehingga golok hitam yang
lebarnya setelapak tangan orang dewasa itu tiba-tiba
hanya ditangkis dengan pisau kecilnya yang tak lebih
besar daripada jari tangannya sendiri!
Traaaaaang!!! ,
Terdengar suara nyaring disertai percikan api yang
amat hebat. Siau In mengeluh pendek karena jari-jari
tangannya yang kecil halus itu tergetar dengan
dahsyatnya sehingga tak kuasa memegangi pisaunya.
Pisau itu terlepas jatuh. Namun sebelum menyentuh,
tanah, tiba-tiba ujung sepatu kiri gadis itu menyambar,
gagangnya. Thaaak! Dan pisau itu meluncur ke atas
dengan cepatnya!
Si pemimpin itu telah bersorak di dalam hati. Tapi
kegembiraannya itu mendadak hilang dan diganti
dengan jeritannya yang menyayat hati. Pisau kecil itu
ternyata menyambar urat nadinya, sehingga golok
hitamnya itu terlempar ke udara!
93
Darah mengucur dengan derasnya dari pergelangan
tangan si pemimpin itu. Pisau Siau In telah menembus
tulang dan memutuskan urat nadinya. Sakitnya tiada
terkira.
Sebaliknya Siau In sendiri ternyata juga tidak
terbebas begitu saja. Walaupun ayunan golok lawan
dapat ia tahan sepenuhnya, tapi guncangannya masih
mampu mengoyakkan kulit telapak tangannya.
Bahkan ujung golok itu juga masih dapat: merobek
lengan bajunya pula.
Kini Siau In benar benar tidak bisa menahan
marahnya lagi. Dengan cepat tangannya mencabut
pedang pendek yang terselip di balik bajunya, lapi
sebelum dia mempergunakan pedang itu, dan dalam
perkampungan petani tambak tersebut tiba-tiba
muncul berpuluh-puluh anggota Hek-to-pai yang lain.
Mereka berbondong bondong mengiringkan seorang
lelaki tegap berkumis dan berjenggot lebat. Begitu
melihat kawan-kawan mereka yang bergelimpangan,
mereka bergegas menghampiri.
"Siapa yang berani mengacau perkampungan ini?"
lelaki bercambang lebat itu membentak. Suaranya
keras dan berwibawa.
"Suhu, dialah gadis yang kukatakan tadi." anggota
Hek-to-pai yang melapor tadi memberi tahu.
Siau In berdiri tegak di hadapan lelaki itu. Pedang
pendeknya ia sembunyikan di balik lengan bajunya. Ia
sama sekali tidak takut menghadapi lawan yang
94
banyak sekali itu. Bahkan ia balas menentang
pandang mata lelaki bercambang lebat tersebut.
"It Hou...! Bukankah kau tadi kusuruh membawa
adik-adikmu pergi ke kota untuk mencari susioksusiokmu
(paman paman gurumu) yang bermain
barongsai di halaman rumah Bupati? Mengapa kalian
telah berada di sini lagi dalam keadaan seperti ini?"
Lelaki bercambang lebat itu tiba-tiba membentak si
pemimpin tadi.
It Hou yang terluka pergelangan tangannya itu
terdiam tak bisa menjawab. Ia hanya bisa
menundukkan kepalanya sambil terus memijit-mijit
lukanya yang parah.
"Baiklah, kau boleh menjawabya nanti. Sekarang
uruslah Adik-adikmu yang terluka ini. Bawalah
mereka ke Balai Latihan Silat!"
"Ba-baik, Suhu...." It Hou menjawab, lalu
mengajak beberapa orang adik seperguruannya yang
lain untuk membantu membawa orang-orang yang
pingsan itu ke Balai Latihan Silat.
Laki-laki bercambang lebat itu lalu menghadapi
Siau In kembali. Beberapa saat lamanya ia hanya
mengawasi saja tubuh Siau In dari kaki sampai ke
kepala. Baru setelah itu ia menggeleng-gelengkan
kepala seraya berdecak kagum.
"Bukan main. Masih begini muda, tapi sudah
mampu mengalahkan murid kepalaku It Hou, Hmm,
Nona... perkenalkanlah, namaku It Kwan. Aku adalah
Ketua Hek-to pai yang bermarkas di perkampungan
95
petani tambak ini. Bolehkah aku tahu namamu, nama
gurumu, dan nama perguruanmu?"
Halus sekali nada suara ketua Hek-to-pai tersebut.
Tapi bagi Siau In suara itu tetap terasa sombong dan
menekan dirinya. Bahkan suara itu masih terasa
mengandung nada penasaran dan kemarahan. Maka
Siau In tetap tidak mau mengendurkan
kewaspadaannya. Pedang pendeknya sewaktu-waktu
masih siap untuk dipergunakan.
"Namaku Siau In, Tio Siau In. Aku adalah murid
Giam Pit Seng, pimpinan Cabang Im-yang-kau bagian
timur. Aku tidak bermaksud melukai...."
"Aaaaaa... jangan sungkan-sungkan." It Kwan cepat
memotong perkataan Siau In. "Jadi... Nona ini murid
Giam Taihiap yang terkenal itu? Wah, pantas...
pantas. Nama gurumu memang menjulang tinggi sejak
lima tahun yang lalu, sebelum ia dipilih sebagai
pimpinan Cabang Im-yang-kau daerah timur.
Namanya boleh disejajarkan dengan Keh-sim Siauhiap
(Pendekar Patah Hati). Tung-hai-tiauw (Rajawali
Laut Timur), Tung-hai Nung-jin (Petani Laut Timur),
dan Lam-hai-kiam (Pedang Laut Selatan), vang hidup
pada dua puluh tahun lalu...."
Keempat tokoh yang disebutkan oleh It Kwan itu
adalah tokoh-tokoh persilatan ternama di daerah
pantai timur Tiongkok pada dua puluh atau dua puluh
lima tahun yang lalu. Keh-sim Siau-hiap adalah
pemilik Pulau Meng-to (Pulau Mimpi), sedangkan
tiga tokoh yang lain itu adalah bajak laut terkenal
96
yang menguasai Lautan Timur dan Selatan. Nama
mereka sangat ditakuti di pantai timur Tiongkok,
sampai pada suatu saat mereka dikalahkan oleh
seorang tokoh jahat bernama Hek eng-cu (Bayangan
Hitam). Sejak itu nama nama mereka hilang tak
terdengar lagi.
Siau In tidak suka nama gurunya diperbandingkan
dengan tokoh yang sudah tiada atau tidak pernah
muncul lagi itu.
"Maaf, Pangcu. Kalau Pangcu memang benar-benar
tidak ingin memperpanjang urusan ini lagi, aku akan
mohon diri. Aku...?"
"Eit, nanti dulu. Aku memang tidak akan
memperpanjang masalah ini, karena aku menghormati
gurumu. Apalagi aku tidak ingin berselisih dengan
aliran Im-yang-kau. Tapi... kuminta kau singgah dulu
di Hek-to-pai!"
Mata yang sudah mulai meredup itu tampak
menyala lagi. Malahan bibirnya yang kecil tipis itu
kini digigit karena menahan geram.
"Hmm! Sedari tadi kau selalu berbicara manis,
padahal maksudmu sebenarnya juga tidak berbeda
dengan murid-muridmu itu! Huh, marilah! Kau tak
perlu sungkan menghadapi gadis muda seperti aku!
Tapi ketahuilah, kaki tanganku ini juga takkan
sungkan-sungkan pula untuk membunuh orang agar
aku bisa keluar dari perkampungan bobrok ini!" gadis
itu menggeram marah.
97
"Eeee... Nona salah sangka! Aku...." It Kwan masih
mencoba membujuk dengan kata-kata halus.
Tapi Siau In tak bisa diajak bicara lagi. Gadis itu
cepat melompat ke samping kanan It Kwan dan
berusaha menerobos ke depan. Pedangnya tetap dia
simpan di balik lengan bajunya.
Gadis itu telah bergerak cepat, tapi ternyata It
Kwan lebih cepat lagi. Lelaki bercambang lebat itu
memutar badannya ke kanan sambil melepaskan tinju
kirinya lurus ke depan. Hal ini berarti bila Siau In
meneruskan maksudnya, ia tentu akan dihajar oleh
kepalan itu.
Bagaimanapun juga It Kwan memang masih
merasa sungkan melayani Siau In. Sebagai ketua
perguruan yang cukup punya nama di daerah itu,
sebenarnya ia tak ingin berhadapan langsung dengan
gadis ingusan seperti Siau In. Namun apa daya, murid
pertama dan juga puteranya sendiri itu ternyata tak
mampu melawan Siau In. Sayang dua orang adik
seperguruannya kini berada di kota ikut berlomba
barongsai.
Oleh karena itu dalam melepaskan pukulannya It
Kwan sengaja tidak mengerahkan seluruh tenaganya,
la hanya melepaskan setengah bagian saja dari seluruh
kemampuannya. Apalagi ia memang tidak ingin
melukai gadis itu. Bagaimanapun juga ia tidak ingin
bermusuhan dengan aliran Im-yang-kau yang sangat
besar. Dia hanya ingin memberi sekedar pelajaran saja
98
kepada gadis itu, agar gadis itu juga mengetahui
bahwa Hek-to-pai tidak boleh dipandang enteng.
Tapi inilah kesalahan It Kwan. Kalau ia bertempur
dengan sungguh-sungguh, mungkin ia masih bisa
menghadapi Siau in tanpa menderita malu. Namun
karena dia hanya setengah-setengah, padahal Siau In
berkelahi dengan seluruh kemampuannya, maka
akibat yang kemudian terjadi benar-benar
memerahkan telinga ketua Hek-to-pai itu.
Begitu melihat lawannya tergeser ke kiri sambil
melontarkan pukulan untuk menghadang dirinya, Siau
In segera menyiapkan pedang pendeknya, Pada saat
yang tepat pergelangau tangannya berputar sehingga
pedang itu keluar dan menabas kepalan tangan It
Kwan.
Ketua Hek-to-pai itu terkejut setengah mati.
Padahal tadi ketika ia merasa lawannya tak bisa
mengelak lagi, ia lalu mengurangi pula tenaganya.
Tak disangka-sangka gadis itu ternyata telah
memasang jebakan yang berbahaya, sehingga ia
benar-benar sulit menyelamatkan diri sekarang.
Namun sebagai ketua partai persilatan yang cukup
berpengalaman, It Kwan tidak segera berputus asa.
Dengan sekuat tenaga ia menghentikan laju
kepalannya, kemudian secepat kilat menekuk
pergelangan tangannya sehingga kepalan itu paling
tidak tertarik dua inchi ke belakang. Dan bersamaan
dengan itu pula dia juga menyemburkan sesuatu dan
mulutnya, untuk menahan laju pedang Siau In.
99
Tinggg! Sssrrt!
"Ough!" U Kwan mengaduh pendek seraya melihat
ke punggung tangannya.
Ternyata meski telah berupaya dengan segala
macam cara, pedang pendek itu masih juga
menyerempet punggung tangan It Kwan, sehingga
kulitnya terkelupas dan mengeluarkan darah. Betapa
marah dan terhinanya ketua Hek-to-pai itu tak bisa
dilukiskan lagi. Giginya gemeratak. Matanya melotot.
Dan kumisnya yang lebat itu kelihatan bergetar
menahan geram.
"Kuntilanak busuk tak tahu diuntung ...!" umpatnya
kasar, sehingga kelihatan benar watak aselinya.
It Kwan memang bekas anak murid dari seorang
pendeta di puncak Gunung Kun Lun. Tapi karena
tabiatnya yang kurang baik, ia diusir dari
perguruannya. Ia lalu mengembara jauh sekali ke
bagian ti mur negeri Tiongkok dengan bekal ilmu
goloknya. Karena wataknya memang kurang baik,
maka di dalam perjalanannya itu ia juga selalu berbuat
yang merugikan orang lain, seperti memeras,
merampok, membegal, dan sebagainya. Namun
sejalan dengan berbagai pengalamannya itu, maka
ilmu goloknyapun juga semakin bertambah matang
pula. Bahkan ia telah menambah, mengubah, serta
menyesuaikan jurus-jurusnya, sehingga akhirnya ilmu
goloknya menjadi lain, tapi amat cocok dengan
wataknya sendiri. Malahan untuk lebih
memperdahsyat ilmu goloknya, It Kwan lalu memoles
100
goloknya dengan racun, sehingga golok itu menjadi
hitam dan mengerikan. Akhirnya ia sampai di kota
Hang-ciu. Di tempat ini ia mendapatkan jodohnya dan
mendirikan sebuah perguruan yang dinamakan Hekto-
pai, sesuai dengan senjata yang menjadi
andalannya.
It Kwan mengerahkan seluruh tenaga saktinya.
Tulang-tulangnya sampai bergemeratak menahan
kekuatannya. Wajahnya yang hitam legam itu tampak
menjadi ganas dan mengerikan. Matanya liar
mengungkapkan hawa pembunuhan. Namun demikian
ketua Hek-to-pai itu belum merasa perlu
mengeluarkan golok hitamnya.
"Kubunuh kau
betina memuakkan!
Aku tidak peduli
lagi kalau Si Tua
Bangka Giam Pit
Seng itu akan
memusuhi aku! Dan
aku juga tidak
peduli lagi misalkan
seluruh tokoh Imyang-
kau menuntut
balas ke mari! Lihat
pukulan...!"
Ngeri juga hati
Siau In
menyaksikan wajah
101
lawannya yang berubah menjadi sangat menyeramkan
itu. tapi perasaan itu segera dibuangnya jauh-jauh.
Sebagai seorang gadis yang telah digembleng ilmu
silat tinggi oleh gurunya, ia telah mampu menguasai
perasaan takutnya. Ia segera menundukkan tubuhnya
untuk mengelakkan pukulan lawannya, lalu balas
menusukkan pedang pendeknya ke arah perut.
Tapi dengan cepat It Kwan mengibaskan tangannya
yang lain, sehingga ujung pedang Siau In seperti
terdorong oleh sebuah tenaga raksasa dan melenceng
ke samping. Terpaksa untuk menjaga
keseimbangannya Siau In ikut bergulir ke samping
pula. Bahkan untuk menjaga segala kemungkinan
gadis itu lalu menambah lagi dengan melangkah ke
kiri dua tindak.
It Kwan membalikkan tubuhnya. Sekali lagi ia
mempersiapkan seluruh tenaga saktinya. Kakinya lalu
menjejak tanah dan kedua lengannya terulur ke depan,
membentuk cakar untuk merobek robek badan Siau
In. Jurus ini ia beri nama Harimau Tutul Menyergap
Anjing!
Walau belum banyak pengalaman, namun Siau In
sadar bahwa tenaga dalam orang tua itu lebih tinggi
daripada tenaga dalamnya. Berdasarkan hasil dari
beberapa gebrakan tadi, Siau In bisa menyimpulkan
bahwa berhadapan langsung dengan lawannya adalah
tidak menguntungkan. Ia harus lebih banyak mengandalkan
kelincahan dan kehebatan ilmu pedangnya.
102
Ilmu pedang Siau In memang aneh dan lain
daripada yang lain, karena ilmu pedang ciptaan
suhunya itu sebenarnya hanya gubahan saja dari ilmu
Hok-hong Pit-hoat (Ilmu Menulis Menaklukkan
Angin) andalan gurunya. Suhunya sebelum menjadi
pemimpin cabang Im-yang-kau memang seorang
pendekar silat bersenjatakan sepasang pena (pit). Ilmu
Hok-hong Pit-hoat sangat dikagumi dan disegani
lawan di daerah pantai timur Tiongkok sejak beberapa
tahun yang lalu. Ketika kemudian gurunya itu
menerima murid, ia menjadi bingung karena dua di
antara tiga muridnya ternyata adalah wanita. Padahal
senjata pena tersebut hanya cocok untuk laki-laki.
Oleh karena itu terpaksa gurunya mengubah dan
menyesuaikan jurus-jurus Hek-hong Pit-hoat itu ke
dalam permainan pedang pendek, agar cocok dan
sesuai dengan kedua orang murid perempuannya.
Hanya Sin Lun saja sebagai lelaki yang mempelajari
Hok-hong Pit-hoat yang aseli.
Melihat lawannya menerkam seperti harimau, Siau
In menggeser kakinya ke samping, lalu meloncat ke
atas pula seperti lawannya. Pedang pendeknya
menyabet ke depan untuk menabas putus kedua
lengan It K wan. Jurus ini sebenarnya adalah gubahan
dari jurus ke sebelas dari Hok-hong Pit-hoat, yaitu
Melukis Dua Mata di Lamping Gunung. Gerakan
aslinya ialah menusukkan dua mata pena (pit) ke arah
pelipis dan siku lawan. Tapi oleh gurunya gerakan itu
diubah dengan menyabetkan dua buah pedang ke
103
leher dan lengan musuh. Namun karena yang
dipegang oleh Siau In sekarang hanya sebatang saja
maka tabasan tersebut hanya tertuju pada lengan
lawan saja.
It Kwan meraung marah. Meskipun masih amat
muda ternyata Siau In sangat lincah dan cerdik.
Dengan indah It Kwan menggeliatkan tubuhnya di
udara untuk menghindari tabasan pedang Siau In.
Begitu kakinya menginjak tanah lagi, ketua Hek to pai
itu segera menerjang kembali dengan sabetan sisi
telapak tangannya terarah ke pinggang Siau In.
Anak murid It Kwan yang mengepung arena itu
kelihatan tegang dan cemas. Meskipun mereka sangat
percaya pada kesaktian guru mereka, lapi mereka juga
melihat bahwa gadis muda itu memiliki ilmu pedang
yang luar biasa pula. Malahan pada gebrakan pertama
tadi gurunya sempat mendapat luka di punggung
tangannya. Mereka menjadi tidak sabar, kenapa
gurunya tidak lekas-lekas saja mempergunakan
goloknya.
Dua puluh jurus telah berlalu, lapi It Kwan yang
berjanji hendak membunuh Siau In itu tetap belum
bisa melaksanakan niatnya. Gadis muda itu ternyata
sangat alot dan licin bukan main. Bahkan beberapa
kali malah ia sendiri yang hampir termakan oleh
pedang pendek itu.
Tiga puluh jurus telah berlalu pula. Malahan
beberapa waktu kemudian empat puluh jurus pun
telah terlampaui juga. Meskipun demikian ketua Hek104
to-pai itu tetap tak mampu melumpuhkan perlawanan
Siau In. Sebaliknya gadis itu malah lebih sering
mendesaknya ke dalam kesulitan.
Akhirnya It Kwan sadar bahwa lawannya memang
memiliki kepandaian tinggi. Kalau dia tetap bertahan
dengan kesombongannya, bukan mustahil ia sendiri
malah yang akan terkapar di atas tanah. Oleh karena
itu ia segera mengesampingkan perasaan malunya dan
memberi tanda kepada salah seorang muridnya untuk
memberinya sebilah golok.
Murid itu segera melemparkan golok hitamnya.
Kini It Kwan berdiri dengan golok di tangan. Matanya
tajam mengawasi lawannya yang masih amat muda
itu. Hawa pembunuhan benar-benar telah terpancar
dari sorot matanya. Dan golok hitam di tangannya itu
tiba-tiba seperti berkilau mengerikan.
Sekejap bergetar juga hati Siau In. Gadis itu
menyadari bahwa dengan golok di tangan, It Kwan
benar-benar akan seperti harimau tumbuh sayap.
Maka untuk melindungi keselamatannya, Siau In
cepat mengeluarkan pula pedang pendeknya yang
lain. Kini kedua belah tangannya benar-benar telah
memegang senjata andalannya, sepasang pedang
pendek!
Sementara itu matahari telah condong ke barat, dan
pertunjukan di halaman rumah Bupati itu pun sudah
hampir selesai pula. Semua penonton sudah
mengumpul dan tertumpah semua di sekeliling
panggung lui-tai. Pertandingan barongsai dan tari105
tarian telah rampung, sehingga seluruh penontonnya
berpindah ke panggung lui-tai. Juara pertama di
panggung barongsai adalah pemain barongsai dari Uithian-
cung. Walaupun betisnya telah dilukai Sianghai-
coa dari Ang-lian-pang, namun dua saudara Ui itu
tetap bisa memenangkan pertandingan melawan barongsi
dari Pek-hok-bio dan Hek-to-pai.
Sekarang di atas pangung lui-tai sedang berlaga dua
orang lelaki bersenjatakan pedang dan tongkat besi.
Keduanya telah bertarung lebih dari tiga puluh jurus,
namun belum ada juga yang kalah atau menang.
Sedangkan di bawah panggung, di dekat tempat
duduk wasit atau panitia, telah berdiri dua orang
pemenang yang telah lolos dari ujian pertama, yaitu
memenangkan peserta lain tiga kali berturut-turut.
Siu Lun dan Ciu In masih sibuk mencari Siau In.
Sepasang merpati itu terduduk lesu di pintu gerbang
halaman. Wajah mereka tampak sedih dan khawatir.
"Suheng...? Ke manakah sebenarnya Siau In?
Jangan-jangan telah terjadi sesuatu pada dirinya. Oh,
Suheng...." Ciu In mulai berkaca-kaca matanya.
Sin Lun berdiri dari duduknya. "Marilah kita cari di
jalan. Mungkin ia marah karena kita tinggalkan tadi,
lalu pergi meninggalkan kita ke jalan raya."
Mereka lalu berjalan perlahan-lahan sambil
memasang mata dan telinga, kalau-kalau mereka
melihat atau mendengar orang berbicara tentang Siau
In. Di depan pasar di mana Siau In tadi juga berdiri,
mereka berhenti sebentar. Di pondok perempatan
106
jalan di muka mereka, tampak beberapa orang berdiri
bergerombol sambil berbicara dengan riuhnya.
"Ayo kita mendekati mereka! Siapa tahu mereka
pernah melihat Siau In lewat." Sin Lun menarik
lengan Ciu In dan mengajak gadis itu berjalan lagi.
Orang orang itu segera menoleh dan melihat kepada
mereka, terutama kepa da Ciu In yang cantik dan
lembut.
"Cuwi, maaf... bolehkan kami bertanya?
Tampaknya baru ada sesuatu yang terjadi di tempat
ini?" dengan sopan Sin Lun menegur orang-orang itu.
"Benar. Di sini baru saja ada seorang gadis yang
pingsan dengan mendadak." salah seorang dari orangorang
itu memberi jawaban.
Hati Sin Lun dan Cui In berdesir. Tiba-tiba mereka
menjadi khawatir, jangan jangan gadis itu adalah Siau
In.
"Seorang gadis...?" Sin Lun menegaskan. "Apakah
gadis itu masih sangat muda dan cantik?"
"Ya-ya, Sicu (Tuan) benar." orang-orang itu
menjawab serentak. "Apakah Sicu kenal gadis itu?"
Dengan gugup dan suara serak Cui In maju ke
depan. "Apakah... apakah gadis itu mengenakan baju
warna merah muda?" tanyanya harap-harap cemas.
"Ya, betul! Gadis itu memang mengenakan baju
warna merah." orang-orang itu menjawab tidak
bersamaan.
"Oh, Suheng... dia... dia memang Siau In." Ciu In
mulai menangis perlahan.
107
Tentu saja orang-orang itu menjadi kaget. Mereka
saling pandang dan tak tahu harus berbuat apa.
Untunglah Sin Lun dengan sigap lalu meminta agar
salah seorang menceritakan apa yang telah terjadi. Sin
Lun berkata kepada orang-orang itu bahwa ia adalah
kakak dari gadis yang pingsan tersebut.
Ternyata beberapa saat yang lalu ada seorang gadis
muda dan cantik berjalan sendirian di tempat itu.
Beberapa orang di antara orang-orang itu malah
sempat pula menggodanya. Namun gadis itu tidak
meladeni godaan mereka. Mungkin karena risi gadis
itu lalu menyeberang jalan. Dan pada saat itu ada
sebuah gerobag kuda yang kebetulan lewat pula.
Entah mengapa, tiba-tiba gadis itu lalu terkulai jatuh
ke jalan.
Mereka dan beberapa orang yang kebetulan lewat
segera memberi pertolongan, termasuk juga
penumpang gerobag kuda tadi. Tapi sampai beberapa
saat lamanya gadis itu tidak juga siuman. Kemudian
diambil keputusan untuk membawa gadis itu ke
rumah tabib yang tinggal di bagian barat kota. Pemilik
gerobag itu lalu menawarkan diri untuk membawa
gadis itu ke sana, dan semua orang menyetujuinya.
"Jadi gadis itu dibawa ke rumah tabib? Oh, di
manakah rumah tabib itu?" dengan gugup Sin Lun
bertanya kepada orang yang bercerita itu.
"Sicu ambil saja jalan yang menuju ke barat ini.
Jangan berbelok sebelum sampai di sebuah kuil besar
di pinggir jalan. Kalau Sicu sudah sampai di kuil Pek108
hok-bio itu, silakan berbelok ke kanan. Kira-kira
seratus tombak dari kuil itulah rumah Tabib Ciok.
Setiap orang tahu rumahnya."
"Terima kasih...!" Sin Lun menjura, lalu menarik
lengan Ciu In untuk diajak berlari ke rumah tabib itu.
Keduanya tak mempedulikan orang-orang lain yang
keheranan melihat mereka berlari-lari.
"Kenapa Siau In bisa pingsan? Apakah ia sakit?
Bukankah tadi ia sehat-sehat saja? Jangan-jangan ada
sesuatu yang tidak beres...." sambil berlari Ciu In
menduga-duga.
"Aku juga bingung. Masakan gadis kuat seperti
Siau-sumoi bisa pingsan tanpa sebab? Jangan-jangan
dia bukan Siau-sumoi, tapi orang lain...." Sin Lun
mengemukakan kebimbangannya pula.
"Benar. Mudah-mudahan demikian.... Tapi kita
harus membuktikannya dahulu."
Dua lie kemudian mereka sampai di jalan yang
sepi. Di kanan kiri jalan hanya kebun kebun kosong
milik penduduk. Namun demikian jalan itu amat
teduh dan nyaman karena di pinggir jalan ditanam
orang pohon-pohon siong besar yang rimbun daunnya.
"Suheng, lihat! Itu kuilnya...! Ciu In berseru seraya
menunjuk ke sebuah halaman yang amat luas dengan
banyak sekali pohon-pohon besar sebagai pelindung.
"Benar. Aku hampir tak melihatnya karena pohonpohon
besar itu hampir menutupi genting-gentingnya.
Padahal bangunan itu demikian besar dan tinggi ....
Kalau begitu kita harus berbelok ke kanan. Kata orang
109
tadi di depan kuil ada jalan yang menuju ke rumah
tabib itu. Marilah...."
Sin Lun menyambar telapak tangan Ciu In dan
mencengkeramnya, lalu ditariknya lengan itu ke
depan. Entah mengapa, tanpa kehadiran Siau In di
dekatnya, Sin Lun merasa bebas dan senang sekali
memegangi jari-jari tangan yang lentik serta berkulit
halus itu. Padahal sejak kecil mereka selalu bersama
sama dan Sin Lun acap kali juga memegangi tangan
itu.
"Nanti dulu, Suheng.... aku seperti mendengar suara
ringkik kuda di dalam kuil itu."
"Ah... apa anehnya suara ringkik kuda?" Sin Lun
berkata gemas. "Oh, maksudmu... kau menduga
pemilik gerobag kuda yang membawa Siau In itu
berada di dalam kuil itu? Wah, kau ini ada-ada saja.
Orang yang memiliki gerobag kuda bukan hanya
seorang saja. Ayoh, kita nanti terlambat sampai di
rumah tabib itu!"
"Baiklah... baiklah!" Ciu In merengut dan
bersungut-sungut.
Selama ini Sin Lun tak pernah melihat Ciu In
bersikap manja atau "ngam-bek" seperti itu. Di
hadapan siapa saja gadis itu selalu bersikap dingin,
serius, tegas, namun juga tampak lembut dan anggun.
Apalagi di depan guru dan saudara-saudara
seperguruannya.
Tapi sekarang, ketika mereka hanya berduaan,
entah mengapa tiba-tiba Ciu In dapat bersikap lain.
110
Gadis ini merengut dan bersungut-sungut dengan
sikap yang dibuat-buat. Bahkan beberapa kali mata
yang redup itu melirik ke arahnya.
Sin Lun tak tahan lagi. Hatinya tergetar dengan
hebat. Wajah lembut itu seperti menantangnya. Maka
tanpa pikir panjang lagi kedua tangannya menyambar
pundak Ciu In, lalu diciumnya pipi gadis itu dengan
bersemangat. Tapi ketika bibirnya hendak bergeser ke
mulut, dengan cepat Ciu In mendorongnya.
"Ssssu-su-heng...? Kkkk-kau...?" Cui ln menjerit
lirih. Pipinya menjadi merah seperti buah tomat tua.
Matanya berkaca-kaca mau menangis.
Sin Lun sendiri menjadi salah tingkah dan gugup
sekali. Berulang kali pemuda itu menoleh ke sana ke
mari, seakan-akan ia takut perbuatannya tadi diketahui
orang.
"Sumoi, ma-ma-maafkan aku...." akhirnya pemuda
itu berkata dengan ketakutan. "A-aku tak tahan lagi.
Habis kau... kau cantik sekali!"
Terdengar suara sesenggukan ketika Cui In
kemudian berlari meninggalkan Sin Lun. Gadis itu
berlari-lari kecil menuju ke rumah Tabib Ciok. Sin
Lun yang merasa bersalah itu menjadi gelagapan.
Otomatis kakinya melangkah mengejar sumoinya.
Di sepanjang jalan menuju ke rumah tabib itu Sin
Lun meratap-ratap minta ampun, tapi Cui In tak
menggubrisnya. Gadis itu telah berjalan biasa lagi. Air
matanya yang mengalir juga sudah dihapusnya.
Namun gadis itu tetap saja berdiam diri. Wajahnya
111
yang cantik itu hanya memandang ke arah jalan yang
hendak diinjak atau dilangkahinya. Sama sekali ia tak
melayani rengekan Sin Lun yang mengemis-ngemis
minta dikasihani.
"Baiklah, kalau Sumoi memang tidak mau
memaafkan aku... aku nanti akan pergi. Biarlah aku
mencari Siau-sumoi sendirian. Setelah Siau-sumoi
ketemu, aku akan pergi jauh sekali. Biar Suhu tidak
marah kepadaku...." akhirnya Sin Lun berkata dengan
suara sedih.
"Mengapa Suhu harus marah kepadamu?" tiba-tiba
Ciu In menyahut dengan suara ketus.
Sin Lun terbelalak girang. Namun kegembiraannya
itu segera lenyap kembali. Ternyata sumoinya itu
masih tetap marah kepadanya.
"Habis, kau tentu mengadu kepada Beliau, sehingga
aku tentu akan diusirnya." jawabnya memelas.
Mendadak Cui In menghentikan langkahnya. Gadis
itu menatap wajah Su-hengnya dengan wajah keruh.
"Siapa yang akan mengadu kepada Suhu? Ngaco!"
serunya gemas, kemudian melangkah lagi dengan
cepat.
"Jadi... jadi Sumoi tidak akan mengadukan
peristiwa tadi kepada suhu? Oh, terima kasih Sumoi...
terima kasih!" Sin Lun bersorak gembira, lalu seperti
anak kecil ia berjungkir balik di belakang Ciu In.
Ciu In membuang muka seolah-olah tak melihat
tingkah laku suhengnya yang konyol itu. Tapi
kegembiraan suhengnya itu tampaknya tidak lama,
112
karena di lain saat dia telah berjalan lesu kembali di
belakangnya.
"Sumoi memang tidak akan mengadu kan hal itu
kepada Suhu, tapi... tapi Sumoi sendiri masih tetap
marah kepadaku. Sumoi belum mau memaafkan aku.
Sumoi, aku menyesal sekali.... Maukah kau
memaafkan aku?" Sin Lun kembali merengek-rengek.
Sebenarnya Siu In sudah tidak marah lagi kepada
suhengnya. Namun untuk berbicara panjang lebar atau
bertatap muka dengan suhengnya ia masih sungkan.
Sebagai seorang gadis yang belum pernah dicium oleh
seorang lelaki, meskipun yang dicium itu hanya
pipinya, ia belum dapat dengan segera membenahi
perasaannya kembali.
Sebaliknya Sin Lun yang juga belum
berpengalaman menghadapi wanita, menganggap
bahwa diamnya Ciu In itu disebabkan karena marah
dan bencinya gadis itu terhadapnya, sehingga gadis itu
sama sekali tak mau mengampuninya lagi.
"Baiklah, Sumoi. Aku memang biadab dan tak
pantas untuk dimaafkan lagi. Laki-laki seperti aku
memang hanya memuakkan saja. Baiklah, aku minta
diri saja. Biarlah kita berpisah untuk mencari Siau In
sendiri-sendiri. Selamat, tinggal, Sumoi. Jagalah
dirimu baik-baik!" akhirnya Sin Lun berkata dengan
suara putus asa.
Sekejap Ciu In tak tahu apa yang harus ia perbuat.
Ia ingin menahan suhengnya, tapi mulutnya sulit
untuk diajak berbicara. Bahkan perasaan sungkan dan
113
malunya pun belum bisa hilang dari dadanya,
sehingga untuk menoleh pun ia juga masih belum
berani pula.
Beberapa waktu kemudian baru gadis itu menoleh
karena langkah kaki suheng-nya tidak terdengar lagi.
Namun ia terlambat. Sin Lun telah pergi. Pemuda itu
sudah menghilang di balik lebatnya pepohonan yang
tumbuh di kanan kiri jalan sepi itu. Pemuda itu benarbenar
telah pergi membawa kekecewaannya yang
mendalam.
"Suheng...?" Cui In tiba-tiba menangis sedih.
Berbagai macam perasaan menggumpal di dadanya,
namun sulit untuk dikeluarkan.
Lama sekali Cui In menangis di tempat itu.
Untunglah jalan itu memang jalan kecil yang jarang
sekali dilalui orang. Mungkin memang hanya tabib itu
saja yang sering melewatinya. Ia baru berhenti
menangis ketika telinganya mendengar desir langkah
kaki orang mendekatinya.
Untuk sesaat Cui In menyangka yang datang itu
adalah suhengnya, sehingga ia cepat-cepat menghapus
air matanya, dan bersikap seolah-olah tidak terjadi
apa-apa pada dirinya. Namun harapan itu menjadi
kendor kembali. Orang yang berada di depannya
ternyata bukan suhengnya.
Orang yang baru saja datang itu menatapnya
dengan rasa heran dan ingin tahu. Wajahnya sangat
tampan, lebih tampan daripada suhengnya. Tapi
usianya agak lebih tua, yaitu antara dua puluh lima
114
atau dua puluh enam tahun. Pakaiannya sangat
longgar seperti pakaian seorang pelajar atau
sasterawan.
"Nona kehilangan jalan...? Atau... Nona baru saja
diganggu orang?" pemuda tampan itu bertanya halus.
Ciu In menghela napas panjang sambil menata
kembali perasaannya. Ia dapat bersikap tenang dan
wajar di depan orang yang masih sangat asing baginya
itu,
"Maaf, aku baru saja bertengkar dengan Kakakku.
Aku tidak apa-apa. Sekarang biarlah aku pergi...."
kata Cui In kemudian dengan suara masih kaku.
"Eee, nanti dulu. Mengapa Nona sangat tergesa
gesa? Apakah Nona takut atau mencurigai aku sebagai
orang jahat?" pemuda itu cepat menahan dengan
ucapan yang masih tetap sopan.
"Tidak. Aku tidak mencurigai, Tuan. Aku ingin
cepat-cepat pulang." Cui In berdusta.
"Ooo... di manakah rumah Nona?" pemuda itu tetap
mengejar.
C iu In mulai jengkel. Pemuda di hadapannya itu
criwis sekali serta selalu ingin tahu urusan orang lain.
Karena kesal Ciu lu lalu menjawab sekenanya. Ia
menunjuk ke depan, ke tempat di mana rumah tabib
Ciok tinggal.
"Eh, di sana hanya ada sebuah rumah saja dan tidak
ada rumah yang lain. Rumah itu adalah rumah seorang
tabib."
Pemuda tampan itu keheranan.
115
"Aku memang tinggal di sana!" Ciu In menjawab
kesal.
"Nona..! Nona tinggal di sana? Eh... bagaimana
ini?" Pemuda itu kelihatan bingung.
"Memangnya aku tinggal di sana. Mengapa Tuan
menjadi kebingungan begitu? Tuan tidak percaya?"
Karena sudah terlanjur berdusta, maka Ciu In tidak
bisa mundur lagi. la harus bisa menyakinkan kepada
pemuda itu bahwa ia memang tinggal di sana,
sehingga ia bisa segera lepas dari gangguannya.
"Lalu... Nona ini apanya Tabib Ciok?" Pemuda itu
bertanya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang
tidak gatal.
"Tentu saja aku ini... anaknya!" karena , benarbenar
sudah jengkel Ciu In membentak.
"Hah...?" tiba-tiba pemuda itu berseru kaget dan
melangkah mundur. Air mukanya semakin tampak
kebingungan.
Ciu In puas sekali. Ia mengira pemuda itu menjadi
ketakutan mendengar kenyataan bahwa ia adalah
puteri Tabib Ciok. "Tahu rasa kau. Makanya jadi
orang jangan usil dan suka mencampuri urusan orang.
Hi-hi-hi... tampaknya Tabib Ciok itu orang yang
disegani juga...." ucapnya di dalam hati.
"Nona...? Apakah Nona tidak salah?" pemuda itu
masih berani bertanya pula.
"Eh, Tuan ini mau bertanya atau mau menyelidiki
asal-usul orang? Enak saja bertanya terus menerus.
Huh, Tuan sendiri siapa?"
116
"Akulah... Tabib Ciok itu!" pemuda itu menjawab
pendek.
"Ooooh...!!!"
Saking kagetnya Ciu In menjadi lemas. Untunglah
pemuda itu cepat-cepat menahan tubuhnya.
"Sudahlah, Nona. Nona tak perlu berpikir macammacam.
Aku tahu Nona sedang sedih dan bingung.
Marilah kita
berteduh di bawah
pohon itu...."
pemuda itu berkata
dengan lembut.
Suaranya seperti
mengandung
wibawa yang sangat
kuat.
Tidaklah
mengherankan bila
Ciu In menjadi
lemah seperti itu.
Dalam waktu yang
hampir berurutan
gadis itu menerima
hantaman perasaan
yang bertubi-tubi. Pertama kali ia kehilangan adik
yang disayanginya. Kedua kali, suheng yang
dihormati dan juga dicintainya itu tiba-tiba pergi
meninggalkannya.
117
Ciu In menurut saja ketika pemuda yang baru
dikenalnya itu menuntunnya ke bawah pohon yang
rindang. Bahkan ia juga menerima saja ketika pemuda
itu memberinya selembar saputangan, padahal ia
sendiri juga membawa.
"Usaplah keringat yang menempel di dahi Nona,
agar Nona menjadi tenang!" pemuda itu memberi
perintah.
Makin lama Ciu In memang menjadi semakin
tenang. Air mukanya yang berubah-ubah tadi, kini
telah menjadi semakin dingin dan anggun seperti
biasanya. Tatapan matanya yang tajam dan liar telah
berubah menjadi redup pula kembali. Kini mata itu
memandang ke arah Tabib Ciok yang masih muda itu,
"Benarkah Tuan adalah Tabib Ciok?" akhirnya
gadis itu bertanya dengan nada sedikit sungkan,
"Benar, aku memang orang yang disebut Tabib
Ciok di sini. Aku baru sebulan tinggal di rumah itu,
tapi orang di sekitar tempat ini tahu saja kalau aku
seorang tabib, sehingga setiap hari ada saja yang
datang berobat ke rumahku. Ehmmm, siapakah nama
Nona? Apakah Nona juga akan berobat ke rumahku?"
dengan ramah pemuda itu memberi keterangan.
"Namaku Ciu In, Tio Ciu In! Aku ke mari memang
hendak ke rumah Tuan. Kata orang adikku telah
pingsan di jalan, kemudian dibawa berobat ke mari.
Oh, Tuan..., benarkah adikku berada di rumahmu?"
"Ah, beberapa saat yang lalu juga ada seorang
pemuda yang datang untuk bertanya adik
118
perempuannya yang hilang. Kini Nona bertanya pula
tentang adikmu kepadaku. Apakah kalian masih
bersaudara?"
"Oh, jadi Suhengku sudah lebih dulu bertemu
dengan Tuan?" tiba-tiba Ciu In berseru dengan penuh
pengharapan.
"Betulkah pemuda itu suherigmu? Dia seorang
pemuda jangkung, agak kurus, matanya sedikit
cekung, berpakaian kelabu,... Dan aku melihat
sepasang senjata berbentuk pit (pena) di balik
bajunya."
"Benar. Orang itu memang benar Suhengku. Lalu...
ke mana dia sekarang?" Ciu In mengangguk-angguk
dengan amat bersemangat.
"Dia telah pergi lagi, setelah aku katakan bahwa tak
seorang gadis pun yang dibawa orang untuk berobat
ke rumahku. Memang mulanya ia tak percaya,
sehingga ia bersikeras menggeledah rumahku. Tapi
setelah ia yakin bahwa aku memang tidak
membohonginya, ia lalu pergi dengan lesu. Ia tampak
sangat sedih sekali. Bahkan kelihatan seperti orang
yang sudah berputus asa."
"Oooh, Suheng...!" Ciu In kembali merintih.
Semangatnya yang melonjak tadi telah patah pula
kembali. Suhengnya telah pergi, adiknya pun hilang.
Tabib muda yang selalu memperhatikan gerakgerik
Ciu In itu menarik napas panjang sekali.
Walaupun masih muda, namun wajahnya yang
tampak angker dan berwibawa itu seperti dapat
119
memaklumi apu yang terkandung di dalam hati Ciu
In. Dibiarkannya, gadis itu tenggelam di dalam
lamunan sedihnya, ia hanya duduk saja
mengawasinya. Baru setelah itu sadar akan
keadaannya, ia beringsut mendekatinya.
"Maaf, Tuan .... Ternyata aku telah lupa bahwa aku
tidak sendirian di tempat ini. Aku... aku terlalu larut
dalam perasaanku sendiri." dengan air muka bersemu
merah Ciu In meminta maaf.
"Nona tak perlu meminta maaf kepadaku. Menurut
perasaanku, apa yang Nona lakukan tadi adalah wajar.
Aku bisa menyelami perasaan Nona. Sudah
kehilangan saudara, masih harus berselisih dengan
orang yang amat disayangi pula. Bukankan begitu,
Nona? Oh, maaf... aku tidak bermaksud mencampuri'
masalah pribadi Nona. Aku hanya ingin membantu
memecahkannya, kalau boleh."
Ciu In menatap wajah pemuda di depannya itu
dengan tajamnya. Tiba-tiba kulit mukanya terasa
panas. Setelah memperhatikan betul, tampak benar
bahwa pemuda itu memang ganteng bukan main.
Dahinya lebar, hidungnya mancung, alisnya tebal,
dagunya kokoh kuat. Perawakannya sedang, tidak
tinggi tapi juga tidak pendek, namun dadanya yang
bidang itu benar-benar mencerminkan kejantanan
yang luar biasa.
"Tuan... Tuan ini siapa sebenarnya? Mengapa
seakan-akan mengetahui keadaanku?" Ciu In bertanya
dengan suara yang agak sedikit gemetar. Kini Ciu In
120
benar-benar merasa kikuk dan agak gemetar
menghadapi pemuda yang memiliki wibawa yang
amat mengagumkan itu.
Pemuda itu tertawa perlahan. Giginya yang putih
itu kelihatan berderet rapih dan kokoh. "Nona jangan
memandangku seperti itu. Aku ini hanya seorang
perantau biasa, yang suka bertualang mencari
pengalaman di mana saja. Kebetulan aku melihat
suatu kejahatan di suatu daerah, dan aku turun tangan
mencampurinya. Orang jahat itu dan perkumpulannya
aku porak-porandakan. Namun ternyata ada seorang
penjahat yang bisa meloloskan diri. Orang itu lari ke
kota ini. Karena orang itu sangat berbahaya bagi
masyarakat, terutama terhadap wanita dan gadisnya,
maka aku mengejarnya pula ke kota ini. Sayang aku
kehilangan jejak. Tapi aku telah mencurigai sebuah
tempat yang mungkin menjadi tempat
persembunyiannya. Maka aku lalu menyamar menjadi
seorang tabib dan bertempat tinggal di tempat ini.
Namaku yang sebenarnya adalah Liu Wan. Nama
margaku sama dengan nama marga keluarga istana,
mungkin nenek moyang kami dulu memang ada
pertalian saudara." pemuda itu menutup
keterangannya dengan gurauan.
"Oh, kalau begitu ilmu silat Tuan tentu tinggi
sekali." Ciu In memandang dengan kagum.
"Ah, tidak. Ilmu silatku biasa-biasa saja. Tidak
lebih tinggi daripada ilmu silat pedang Nona."
121
Ciu In terperanjat. "Tuan tahu aku bisa memainkan
pedang?" tanyanya kaget.
"Ketika memegangi lengan Nona tadi aku merasa
menyentuh sepasang pedang di balik baju Nona."
"Oh...!" Wajah Ciu In menjadi kemerah-merahan.
Tiba-tiba Liu Wan menjadi bersungguh-sungguh.
"Nona Tio, kalau engkau mau, nanti malam kita
bersama sama mencari adikmu. Kita dalangi tempat
yang lelah kucurigai itu. Aku percaya adikmu ada di
sana. Penjahat itu memang selalu menculik seorang
wanita setiap pergantian tahun baru. Tahun ini
tampaknya adikmulah yang hendak dijadikan
korbannya."
"Ohhh, apa...? Adikku hendak dijadikan korban?
Korban apa?" Ciu In menjerit ketakutan.
"Tenang Nona. Ini baru dugaanku saja. Marilah ke
rumahku dulu. Nanti kuterangkan marilah...!"
"Mengapa tidak sekarang saja kita berangkat ke
tempat itu? Mengapa harus menunggu nanti malam?"
Cui In mencengkeram lengan Liu Wan.
"Tenang, Nona. Sekali lagi... tenanglah! Percayalah
kepadaku. Sampai tengah malam nanti adikmu, tidak
akan diapa-apakan oleh mereka. Mereka masih
menyembunyikannya dengan rapi. Kita tidak akan
bisa menemukannya sekarang. Salah salah mereka
malah akan membawanya pergi kalau kita bergerak
sekarang. Lebih baik kita menunggunya sampai
mereka sendiri yang mengeluarkannya tengah malam
nanti. Pada saat itulah kita bergerak untuk
122
menyelamatkannya. Sekalian .mengobrak-abrik
tempat tinggal mereka itu. Nah, marilah...!" dengan
suara yang tenang, namun terasa tegas dan
berwibawa, Liu Wan membujuk Ciu In.
Ciu In menundukkan kepalanya. "Baiklah, aku
menurut...." desah gadis itu kemudian dengan nada
pasrah.
Liu Wan lalu mengajak Ciu In melangkah menuju
ke pondoknya. Sebuah pondok keril di tengah-tengah
empang yang cukup luas, di mana bermacam-macam
ikan kecil berenang di dalamnya.
"Oh, bukan main indahnya tempat ini. Tuan
sungguh pandai sekali memilih tempat tinggal." Cui
In berseru memuji sambil melangkah perlahan-lahan
di jembatan kayu yang membentang ke tengah-tengah
empang.
"Tempat ini memang bekas peristirahatan. Rumah
di tengah empang itu semula sudah tidak
dipergunakan lagi. Atapnya sudah bocor, dinding
sudah retak dan hancur. Aku dan pembanluku
kemudian berusaha membangunnya kembali,
walaupun cuma sederhana."
"Pembantu...? Siapakah pembantu tuan? Di
manakah mereka?"
Belum juga hilang gaung suara Ciu In di telinga,
dua orang lelaki tua tiba-tiba keluar dari pondok di
tengah empang itu. Bergegas mereka menyambut
kedatangan Liu Wan. Ciu In tercengang melihat
wajah mereka yang presis satu sama lain.
123
"Itulah kedua orang pembantuku. Maaf, mereka
berdua tidak bisa berbicara. Mereka bisu, karena lidah
mereka cacad sejak kecil. Tapi mereka sangat setia
kepadaku. Merekalah yang membantu aku melayani
para pendatang yang ingin minta obat kepadaku."
"Mereka... kembar?" Ciu In menegaskan
Liu Wan mengangguk. "Mereka bernama Lo. Kang
dan Lo Hai. Tapi jangan kau tanyakan yang mana Lo
Kang dan yang. mana Lo Hai, karena aku sendiri juga
tak dapat membedakannya. Kalau butuh mereka, aku
ngawur saja memang gilnya...."
Demikianlah, mereka lalu masuk ke dalam pondok
di tengah empang itu. Lo Kang dan Lo Hai berjagajaga
di luar. Seperti dua ekor anjing penjaga mereka
duduk melenggut di depan pintu.
Begitu berada di dalam pondok Ciu In semakin
merasa kagum kepada Liu Wan. Selain menguasai
ilmu pengobatan pemuda itu ternyata juga menguasai
bidang kesusastraan pula. Beberapa buah tulisan
sanjak dan lukisan tergantung dengan indahnya di
setiap dinding-dinding-nya. Semuanya tertulis atas
namanya.
"Seluruhnya Tuan yang membuatnya. Indah
sekali...!" Ciu In tak tahan pula untuk tidak memuji.
"Aku memang menyukai keindahan. Semua
keindahan. Baik keindahan yang tersembunyi dalam
gerakan ilmu silat. keindahan terselubung yang ada di
dalam ilmu pengobatan, keindahan nyata yang
terpancar di dalam lukisan, dan keindahan rasa di
124
dalam ilmu kesusasteraan. Semuanya itu aku senang
sekali menghayatinya." Liu Wan menerangkan seperti
orang yang sedang membacakan sajak.
Ciu In mendekati sebuah sajak yang tergantung di
atas meja tulis. Sajak itu diberi bingkai kayu berukir
yang bagus sekali. Cui In lalu membacanya.
BURUNG HONG DALAM SANGKAR EMAS
Elok dipandang mata, tapi sedih dipendam hati.
Meski seribu warna ada di sayapnya.
Meski segala hiasan ada di sangkarnya.
Tapi kebebasan tiada diberi.
Apa indahnya jadi burung Hong?
Apa nikmatnya di dalam sangkar emas?
Elok dipandang mata, tapi sedih dipendam hati!
Liu Wan.
Ciu In membalikkan tubuhnya dan ia sangat kaget
ketika Liu Wan tepat berada di depannya. Ia sama
sekali tidak mendengarkan langkah kaki pemuda itu di
belakangnya.
"Oh, Tuan mengagetkan aku...! Aku sama sekali
tidak mendengar langkah kaki Tuan." gadis itu
menjerit kecil seraya melihat papan kayu yang
menjadi alas lantai pondok itu.
Liu Wan tersenyum. "Lantai papan ini memang
berderit bila terinjak kaki. Tapi Nona tampaknya
125
terlalu asyik membaca sajak itu sehingga tak
mendengar suaranya."
"Ah, Tuan ini pandai benar merendahkan diri.
Lantai ini memang berderit bila yang menginjaknya
adalah seorang jago silat, pasaran. Tapi akan lain
halnya bila yang berjalan di atasnya adalah seorang
jago silat berkepandaian tinggi."
Liu Wan tak menanggapi bantahan Cui In. Ia
melangkah ke depan dan mengambil bingkai sajak
itu.. Perlahan-lahan ia membacanya.
"Tampaknya sanjak Tuan ini mengandung perasaan
sedih. Mengapa?" Ciu In tiba-tiba bertanya kepada
Liu.Wan.
Liu Wan menjadi gugup, satu hal yang belum
pernah dilihul oleh Ciu In.
"Ah, aku hanya membuatnya secara serampangan
saja di kala hatiku sedang sunyi dan sepi. Aku seperti
tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini. Dan
kesepianku itu aku tuangkan dalam sajak ini. Aku
mengibaratkan diri sebagai Burung Hong yang
kesepian di dalam sangkar emasnya." dalam
kegugupannya Liu Wan mencoba menjelaskan.
Ciu In merasakan kejanggalan jawab an pemuda
itu, tapi ia tak ingin mendesaknya lagi. Hanya di
dalam hatinya Ciu In mulai merasakan keanehankeanehan
yang ada pada diri pemuda itu.
"Uh uh... uh uh!"
Tiba tiba salah seorang dari pembantu Liu Wan
masuk ke dalam pondok. Dengan suara tak jelas orang
126
itu mencoba melapor, bahwa di luar ada orang yang
ingin bertemu.
Liu Wan cepat membuka sebuah laci, lalu
mengambil kumis tiruan dan jenggot tiruan. Kedua
buah alat yang biasa dipakai oleh para pemain
sandiwara itu lalu dipasangnya di mukanya. Sekejap
saja pemuda yang tampan itu menjadi seorang kakek
berkumis dan berjenggot lebat.
"Maaf, Nona Tio.... Ini wajah Tabib Ciok seharihari...."
pemuda itu berkelekar.
Ciu In tersenyum sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. Gadis itu semakin bertambah lagi
kagumnya kepada Liu Wan. Ternyata pemuda tampan
itu masih memiliki satu kepandaian lagi, yaitu
kepandaian menyamar.
Tak terasa Ciu In mengambil bingkai sanjak burung
hong itu. Sekali lagi dibacanya sanjak itu di dalam
hatinya. Rasanya isi sanjak seperti tertuju pula pada
dirinya. Ia merasa seperti burung hong pula, karena
burung itu seperti telah lekat pada dirinya. Perlahanlahan
ia memeluk bingkai sanjak itu di dada kirinya,
tempat burung hong-nya selama ini bersemayam.
Sementara Liu Wan menemui tamunya di atas
jembatan penyeberangan. Mereka terdiri dari empat
orang lelaki bersenjatakan tongkat besi.
"Apakah kau yang bernama Tabib Ciok?" salah
seorang dari lelaki itu bertanya dengan suara kasar.
127
"Benar, Tuan. Tuan siapa...?" Liu Wan menjawab
tenang. Sama sekali tidak terpengaruh oleh kekasaran
lawannya.
"Kami dari Kuil Pek-hok-bio! Pendeta kami sedang
sakit dan kini membutuhkan kau! Maka dari itu kau
harus ikut kami!"
Liu Wan memandang tamunya dengan curiga.
Jangan-jangan penyamarannya telah diketahui oleh
lawannya.
"Maaf, Tuan. Aku juga sedang melayani tamuku.
Lebih baik Tuan membawa pendeta itu ke sini saja.
Nanti aku akan mencoba mengobatinya." Liu Wan
membuat alasan.
"Tidak bisa! Kau harus ikut dengan kami! Kalau
tidak mau, kami berempat akan memaksamu!" orang
itu mengancam.
Kedua pembantu Liu Wan mulai beranjak dan
tempat mereka, tapi dengan cepat Liu Wan memberi
isarat agar mereka tetap berdiam diri. Sementara itu
Ciu In segera melangkah keluar pula begitu
mendengar suara ribut-ribut mereka. Dengan cepat
gadis itu berlari mendekati Liu Wan.
"Ada apa, Tuan?" gadis itu bertanya kepada Liu
Wan.
"Mereka memaksa aku untuk ikut ke tempat
mereka, tapi aku tidak mau. Dan sekarang mereka
akan memaksa aku dengan kekerasan. Bagaimana ini,
Nona? Nona tahu, aku tak begitu pandai bersilat...."
Liu Wan pura-pura bingung.
128
Ciu In hendak tertawa, namun tiba-tiba saja
telinganya mendengar suara pemuda itu. "Nona!
Mereka ini anak buah orang yang saya cari.
Tampaknya mereka ditugaskan untuk menyelidiki
aku. Sekarang tolonglah aku bersandiwara. Biarlah
aku berlagak sebagai orang yang benar-benar tak
begitu mengerti silat. Setelah itu aku nanti minta
tolong kepadamu untuk mengusir mereka. Apakah
kau berani melawan mereka?"
Ciu In memandang Liu Wan yang telah
mengirimkan suaranya dengan ilmu coan-im-ji-bit.
Pemuda itu sekilas memberi tanda dengan kedipan
matanya. Ciu In menarik napas panjang, pemuda itu
benar-benar lihai bukan main.
"Jangan banyak alasan! Ayoh... ikut kami!"
Sambil membentak empat orang anak buah Pekhok-
bio itu menubruk Liu Wan. Seorang memegang
lengan kanan dan seorang lagi memegang lengan kiri
Liu Wan. Sedangkan dua orang lainnya mencegat Ciu
In dan dua orang pembantu Liu Wan. Semuanya
sudah menyiapkan tongkat besi mereka.
Liu Wan pura-pura melawan. Dengan sebagian
kecil saja dari tenaganya, pemuda itu pura-pura
mengibaskan kedua lengannya yang diringkus. Tentu
saja usahanya itu sia-sia saja, karena orang yang
ditugaskan Pek-hok-bio itu memang memiliki
kepandaian yang cukup tinggi. Namun demikian Liu
Wan masih tetap berpura pura mencoba untuk
membebaskan diri dengan sekuat tenaganya. Bahkan
129
pemuda itu juga mempergunakan kedua kakinya pula
untuk menyepak ke sana kemari.
Kedua orang yang memegangi lengan Liu Wan
menjadi jengkel dan marah. Keduanya segera
mempergunakan lengan mereka yang masih bebas
untuk menampar pipi Liu Wan. Wuuut! Liu Wan
pura-pura ingin mengelak sambil mengerahkan tenaga
sakti ke pipinya. Namun pemuda itu sengaja
memperlambat gerakannya sehingga kedua tamparan
lawannya masih menyerempat pipinya.
Plaak! Plaak!
Liu Wan sengaja menjerit keras sekali, kemudian
mulutnya menyemprotkan rontokan gigi dan darah
segar yang cukup banyak. Setelah itu, seperti orang
yang tidak takut mati saja, Liu Wan menendang ke
kanan kiri ke arah kaki orang yang meringkus
tangannya. Beberapa kali kaki pemuda itu hampir
mengenai kaki lawannya sehingga orang-orang Pekhok-
bio menjadi dongkol sekali. Mereka segera
membalas tendangan Liu Wan itu dengan tendangan
kaki mereka pula. Blug! Blug...! Tendangan mereka
tepat mengenai paha Liu Wan!
Lagi-lagi Liu Wan meraung keras sekali! Bahkan
kali ini sampai mengeluarkan air mata pula.
Tentu saja Ciu In dan kedua pembantu Liu Wan
menjadi kaget bukan main. Tapi sebelum mereka
bergerak maju, telinga mereka lagi-lagi mendengar
suara Liu Wan yang dikirim dengan ilmu Coan-im-jibit!
130
"Lo Kang dan Lo Hai jangan ikut campur. Kalian
justru harus berpura-pura ketakutan malah. Dan Nona
Tio, kau cepatlah menghajar mereka! Jangan biarkan
mereka berlaku semaunya terhadapku! Aku bisa
benar-benar kehilangan kesabaranku nanti!"
"Baik...!" Ciu In berseru keras tak terasa.
"Uuuh...!" Lo Kang dan Lo Hai mengeluh kecewa,
kemudian seperti orang yang menjadi ketakutan
mereka mundur kembali ke pintu pondok.
Ciu In mencabut pedang pendeknya, lalu menerjang
orang yang tadi menghadangnya. Pedangnya yang
sebelah kiri tetap bertahan di depan dadanya,
sementara pedang kanannya menabas ke depan, ke
arah dua orang Pek-hok-bio yang menghalangi
jalannya.
Jembatan itu memang tidak begitu lebar, dan hanya
cukup dua orang yang berjalan berbareng. Oleh
karena itu ke dua orang lawan yang ada di depannya
memang harus disingkirkan dulu oleh Ciu In untuk
membantu Liu Wan.
Kedua orang Pek-hok-bio itu ternyata cukup
berhati-hati. Melihat Ciu In memegang sepasang
pedang pendek dengan gerakan yang tangkas dan
cekatan, mereka segera bisa menduga kalau gadis itu
seorang pendekar wanita yang pandai
mempergunakan pedang. Oleh karena itu mereka tak
segera melayani serangan pertama Ciu In itu. Mereka
justru bersiap siaga terhadap perkembangan dari
serangan berikutnya. Keduanya tidak menangkis atau
131
balas menyerang, tapi malah melompat ke samping,
dengan bertengger di atas pagar jembatan.
Kecurigaan mereka itu ternyata memang benar.
Serangan pertama Ciu In tadi memang hanya sebuah
pancingan.
Demikian lawannya menangkis dengan tongkat besi
mereka, Ciu In bermaksud menyusulinya dengan
serangan pedang kirinya yang telah siap di depan
dadanya. Serangan itu tentu akan sulit sekali
dihindarkan oleh lawan, karena senjata mereka sedang
mereka gunakan untuk menangkis pedang kanannya.
Tapi karena orang-orang Pek-hok-bio itu tidak
terjebak ke dalam pancingannya, bahkan kedua orang
itu sekarang justru berada di kanan kirinya, Ciu In
terpaksa mengambil jalan paling aman, yaitu
berjumpalitan terus ke depan. Dan langkahnya ini
memang telah menyelamatkan tubuhnya dari gebugan
tongkat besi lawannya.
Namun pada saat itu juga tiba-tiba terdengar suara
lengking kesakitan dari mulut Liu Wan! Dan ketika
Ciu In menoleh, dilihatnya tubuh pemuda itu
terlempar ke dalam empang!
"Biarkan tabib yang tak berguna itu terbenam di
dalam air. Kita ringkus saja gadis cantik itu untuk
hiburan nanti malam!" Salah seorang dari kedua orang
yang memegangi tangan Liu Wan itu berseru.
Ciu In berdiri tegak kembali. Sekarang ia benarbenar
dikepung oleh empat orang lawan. Dua orang di
depan dan dua orang di belakangnya. Tapi ia sama
132
sekali tidak merasa gentar, la sangat percaya pada
ilmu pedangnya yang telah ia tekuni lebih dari
sepuluh tahun lamanya.
Matahari telah jauh bergulir ke arah barat. Pada saat
yang bersamaan, Siau In sedang berlaga dengan maut.
Gadis centil itu juga sedang memegang sepasang
pedang pendeknya untuk menghadapi golok hitam
ketua Hek-to-pai! Keduanya sedang berputar-putar di
arena untuk mencari kelengahan lawan.
Ketika kemudian It Kwan menggerung keras
sambil menyabetkan goloknya ke pinggang Siau In,
gadis itu cepat-cepat menjejakkan kakinya ke tanah,
sehingga tubuhnya yang mungil itu melesat ke atas
seperti burung walet meninggalkan sarangnya. Sambil
melayang gadis itu berusaha menghunjamkan kedua
bilah pedangnya ke dahi dan leher It Kwan. Jurus itu
dinamakan Burung Rajawali Menyambar Mutiara dan
merupakan jurus ke empat dari ilmu pedang ajaran
pendekar Giam Pit Seng.
It Kwan tergetar hatinya. Walaupun masih amat
muda ternyata lawannya memang benar-benar lihai
bukan main. Ilmu silatnya ternyata tidak lebih rendah
dari pada ilmunya sendiri. Bahkan ginkang gadis itu
terasa lebih gesit daripada ilmu meringankan
tubuhnya.
"Gila! Giam Pit Seng memang bukan orang
sembarangan!" umpat It Kwan di dalam hatinya.
133
Tubuhnya cepat merendah untuk menghindari patukan
pedang lawannya.
Begitu tubuh Siau In lewat dari atas kepalanya, It
Kwan segera membalikkan badannya seraya
mengayunkan goloknya ke depan. Lagi-lagi ia
menyerang pinggang Siau In yang baru saja mendarat
ke atas tanah. Dan kali ini tampaknya mata golok itu
benar-benar akan bisa membelah pinggang Siau In.
Meskipun pengalamannya masih kurang, namun
Siau In telah dibekali dengan ilmu silat tinggi oleh
gurunya. Sambaran golok It Kwan yang meluncur dari
arah belakang itu segera dicium oleh nalurinya.
Sambaran udara dingin yang disertai bau amis itu
cepat dielakkannya dengan cara meliukkan tubuhnya
ke depan, disertai dengan jejakan ujung sepatunya ke
atas tanah yang baru saja dipijaknya. Otomatis badan
Siau In bergeser ke depan, sehingga tabasan golok It
Kwan yang meluncur ke arah pinggangnya itu
membabat udara kosong.
Demikianlah keduanya tak pernah mengendorkan
senjata mereka. Dengan pedang pendeknya Siau In
tampak lebih lincah dan lebih gesit gerakannya
daripada It Kwan yang sudah berumur dan bersenjata
golok hitam yang amat berat. Tetapi sebaliknya,
dengan jenis senjatanya yang lebih berat,
pengalamannya yang lebih luas, dan kematangannya
yang lebih mendalam daripada Siau In maka It Kwan
bisa melayani kelincahan gerak dan kehebatan ilmu
134
pedang gadis itu. Yang jelas Siau In tidak berani
beradu tenaga dengan ketua Hek-to-pai tersebut.
Belasan jurus segera berlalu dengan cepatnya.
Kelincahan dan kegesitan Siau In mulai kendor pula
akhirnya. Namun sebaliknya tenaga dan kemampuan
It Kwan pun juga telah menyusut pula. Tentu saja
keadaan ini benar-benar di luar dugaan ketua Hek-topai
itu. Sebagai seorang ketua perguruan yang cukup
ternama di daerah itu, ia benar-benar merasa malu dan
terpukul harga dirinya. Masakan seorang lelaki tua
yang sudah kenyang makan garam di dunia persilatan,
sehingga ia mampu memimpin sebuah partai
persilatan yang memiliki banyak murid, seperti
dirinya, ternyata hanya dipermalukan oleh seorang
bocah perempuan yang belum hilang bau pupuknya.
"Betina busuk! Akan kurejam tubuhmu! Akan
kucincang dagingmu!" berulang kali ia mengumpat
dan memaki saking geramnya.
-- o0d-w0o --
JILID IV
KHIRNYA It Kwan tak sabar lagi. la
mulai menggunakan siasat-siasat yang
cukup berbahaya, la tak lagi
mempedulikan harga dirinya sebagai A
135
ketua sebuah perguruan silat ternama. Serangannya
mulai menjamah ke arah bagian-bagian tubuh yang
terlarang bagi wanita. Tentu saja kelakuannya itu
membuat Siau In menjadi malu dan marah sekali.
Ketika suatu saat tangan It Kwan mencengkeram ke
arah dadanya, Siau In yang nakal dan bengal itu
segera membalasnya dengan tak kalah kotornya.
Dengan tangkas gadis itu mengelak sambil
meludahkan air liurnya ke muka lt Kwan!
"Cuuh!"
It Kwan menjadi merah padam mukanya, meskipun
air ludah itu dapat dielakkannya. Dengan beringas ia
menubruk ke depan dengan goloknya. Kali ini yang
diserang adalah bagian kepala Siau In. Namun ketika
Siau In mengangkat pedang kanannya untuk
mengincar pergelangan tangannya, It Kwan tiba-tiba
mengulurkan tangan kirinya untuk mencengkeram
kemaluan Siau In.
"Iiih...!" Siau In menjerit jijik dan malu.
Karena merasa jijik dan tak ingin bertempur lebih
lama lagi melawan orang yang tak mengindahkan
tata-susila kesopanan itu, maka Siau In pun lalu
menempuh siasat yang nekad dan berbahaya pula.
Gadis itu mula-mula seperti membiarkan jari-jari
lawan menyentuh kain celana yang dikenakannya.
Bahkan untuk lebih meyakinkan lawan bahwa ia
sudah tidak bisa mengelakkan serangan tersebut, Siau
In melepaskan pedangnya yang sebelah kiri. Namun
pada saat yang bersamaan pula gadis itu melepaskan
136
tiga buah pisau kecilnya yang selalu terselip di
pergelangan tangannya! Ssiuut! Siiuutt! Ssiiuut!
"Adooouuuh...!" It Kwan berteriak nyaring.
Meskipun ia berusaha menghindar, tapi tetap saja
sebuah dari pisau terbang tersebut menancap di
lehernya!
"Iiiih!" Siau In menjerit keras pula karena
celananya di bagian depan terkoyak lebar direnggut
jari tangan It Kwan. Tentu saja pahanya yang putih
mulus itu tampak dengan nyata.
Tapi tak seorangpun anak murid Perguruan Hek-topai
itu yang memperhatikan paha Siau In, karena
perhatian mereka tercurah semua pada keadaan guru
mereka. Darah mengalir dengan derasnya dari luka di
leher It Kwan. Pisau kecil itu kebetulan mengenai urat
nadinya, sehingga tokoh tingkat tinggi seperti It Kwan
pun tak bisa bertahan lagi. Ketua Hek-to-pai itu segera
terjerembab kesakitan.
Anggota Hek-to-pai yang mengepung tempat itu
menjadi gempar. Sebagian mengurusi guru mereka,
dan yang sebagian segera mengepung Siau In
kembali. Tanpa banyak cingcong lagi orang-orang
yang mengepung Siau In itu segera mengeroyok
dengan senjata andalan mereka.
Traaaang! Triiing!
"Aaaaaah!"
"Adduuuuuuh!"
"Ough!"
137
Siau In juga tidak sungkan-sungkan lagi gadis itu
cepat mengambil pedangnya kembali dan mengamuk
bagai singa betina. Pedangnya menyambar-nyambar
ke sana ke mari sambil meninggalkan korban yang
tidak sedikit. Lawan-lawannya bergelimpangan
dengan luka yang menganga di sekujur tubuh mereka.
"Berhenti...!!!"
Tiba-tiba terdengar suara bentakan yang
menggelegar bagaikan guntur yang meledak di telinga
setiap orang, termasuk pada telinga Siau In pula!
Gadis itu terhuyung-huyung sambil mengerahkan
tenaga sakti untuk melawan gempuran suara yang
mengandung tenaga khikang tinggi itu.
Kalau Siau In saja sampai terhuyung-huyung akibat
gempuran Sai-cu Ho-kang (Tenaga Sakti Auman
Singa) itu, apalagi para anggota perguruan Hek-to-pai
yang masih rendah ilmunya. Mereka segera
bergelimpangan sambil menutup telinga mereka.
Untunglah orang yang baru datang dan menghentikan
ilmu tersebut tidak meneruskan serangannya,
sehingga semuanya segera bisa menguasai diri mereka
kembali.
Kesempatan itu cepat digunakan oleh Siau In untuk
membenahi celananya yang bolong. Agar lebih rapat
serta lebih tertutup lagi, Siau In lalu melepaskan pula
ikat pinggangnya, sehingga kain bajunya yang longgar
itu melorot turun sampai ke pahanya. Begitu selesai,
gadis itu segera bersiap menghadapi orang yang baru
saja muncul itu.
138
Orang itu berdiri tegak di tengah jalan. Dengan
cekatan ia memberi perintah serta mengatur orangorang
Hek-to-pai yang ada di tempat itu. Anggota
Hek-to-pai yang masih sehat dan tidak terluka ia
perintahkan untuk membawa saudara-saudara mereka
ke dalam perkampung an. Sebagian juga ia
perintahkan untuk mengumpulkan golok-golok yang
bertebaran di arena pertempuran tersebut.
Siau In berdebar-debar hatinya. Orang itu sangat
tenang sekali dan memiliki rasa percaya diri yang
amat besar. Meskipun telah melihat hasil pertempuran
yang banyak merugikan pihak Hek-to-pai seperti itu,
namun orang itu sama sekali tidak kelihatan kaget
atau gentar menghadapi Siau In. Bahkan orang itu
tampak acuh tak acuh terhadap Siau In.
Orang itu bertubuh tinggi besar dan gemuk.
Rambutnya yang panjang dan sudah berwarna dua
macam itu dibiarkannya terurai lepas menutupi telinga
dan bahunya. Hanya saja untuk mengikat rambut itu
agar tidak menutup wajahnya, orang itu
mempergunakan untaian mutiara sebagai pengikatnya.
Kumis dan jenggotnya yang juga sudah terdiri dari
dua warna itu hampir menyelimuti seluruh mukanya,
sehingga kepalanya yang besar itu hampir seluruhnya
tertutup rambut, kecuali mata dan hidungnya.
Orang itu mengenakan jubah yang sangat longgar
dan panjang berwarna kelabu. Tangannya memegang
tasbeh panjang, terbuat dari bulatan-bulatan besi
sebesar kelereng. Karena sering dipegang dan diusap
139
maka warnanya sudah berubah menjadi hitam
mengkilap agak kemerah-merahan.
Ketika kemudian orang itu menatap ke arahnya,
tiba-tiba Siau In merasa bulu romanya berdiri. Ia
seperti melihat mata hantu yang hendak menerkam ke
arah dirinya.
"Gadis kecil, siapa namamu? Mengapa kau berani
mengacau perkampungan sahabatku ini?" orang itu
bertanya dengan suaranya yang dalam dan besar.
Siau In tidak segera menjawab. Lebih dulu ia
mengatur pernapasan dan perasaannya yang
terguncang, agar semangatnya juga tidak larut dalam
kengerian menghadapi keseraman lawan. Setelah
dapat menguasai dirinya kembali, baru Siau In
membuka suara.
"Kau tidak perlu tahu namaku. Kulihat kau
mengenakan jubah pendeta. Kalau kau memang
benar-benar seorang pendeta, kau tentu dapat
membedakan baik dan buruk. Kau tentu akan melihat
dan meneliti dulu siapa yang salah sebelum ikut turun
tangan." Siau In berkata berani.
Orang itu tertegun sebentar, lalu tertawa, walaupun
tawanya terdengar ganjil dan menyeramkan.
Mulutnya sama sekali tidak kelihatan terbuka karena
tertutup oleh kumis dan jenggotnya yang lebat.
"Kau benar-benar cerdik dan berani, Gadis kecil!
Aku memang seorang pendeta pengembara. Orang
menyebutku Tong Tai-su. Kebetulan aku berada di
sini karena It Kwai itu adalah sahabatku. Dan karena
140
ia sahabatku, maka tentu saja aku takkan
mempersoalkan apakah ia salah atau tidak. Yang jelas
ia sekarang terluka, dan anak muridnya juga kacau
balau oleh amukanmu. Maka sudah selayaknyalah bila
sekarang aku membantu dia menangkap kau untuk
mempertanggung-jawabkan perbuatanmu."
"Baik! Aku memang sudah menduganya. Orang
berwatak buruk dan jahat seperti lt Kwan tidak
mungkin mempunyai sahabat dari kalangan baik-baik
pula. Sahabatnya tentu tidak jauh pula bedanya
dengan dia. Meskipun engkau memakai jubah
pendeta, tapi aku yakin jiwamu tentu tak lebih baik
daripada dia."
"Bangsat...! Mulutmu memang tajam! Tapi jangan
harap kau bisa membakar kemarahanku.
Bagaimanapun juga kau akan kutangkap dan
kuserahkan kepada lt Kwan!" Tong Tai-su
menggeram.
Namun Siau In sudah tidak peduli lagi. Dalam
keadaan terdesak timbul lagi keberaniannya. Ia tahu
lawannya berkepandaian sangat tinggi, dan mungkin
ia tak mampu melawannya. Namun bagaima napun
juga ia tak ingin mati dalam ketakutan. Dia harus
melawan sebisa-bisanya.
Siau In mengerahkan lwe-kang sepenuhnya.
Sinkang yang kemudian mengalir ia salurkan ke
seluruh tubuhnya. Kemudian dengan perlahan-lahan
sepasang pedangnya ia angkat ke depan dada.
141
"Hahaha... tampaknya kau mau melawan juga!
Baik! Tapi supaya aku tidak ditertawakan orang
karena melawan anak kecil seperti kau, maka aku
akan menyimpan senjataku dan mengikat tangan
kiriku, sehingga aku hanya menggunakan tangan
kanan saja untuk melayanimu."
"Jangan menghina!" Siau In tersinggung.
Sambil mengalungkan tasbehnya ke lehernya, dan
menyelipkan lengan kirinya ke belakang, pada ikat
pinggangnya, Tong Tai-su melangkah ke depan.
"Marilah! Aku tidak menghinamu! Aku melihat kau
bisa mengalahkan It Kwan, tapi kau sendiri juga
hampir celaka oleh cengkeramannya. Hal itu berarti
kepandaianmu tidak terpaut banyak dengan dia.
Padahal aku sangat mengenal kepandaiannya. Oleh
karena itu asal kau bisa lolos dari tangan kananku, kau
boleh pergi." pendeta itu berkata.
"Baik!" Siau In sedikit lega.
Demikianlah Siau In lalu menyerang dengan
sepasang pedang pendeknya. Pedang itu berkelebatan
ke bagian-bagian tubuh yang berbahaya dari
lawannya. Suaranya mencicit-cicit saking
kencangnya, karena Siau In memang mengerahkan
seluruh kemampuannya.
Tapi Tong Tai-su memang hebat. Ia memang tidak
membual atau menyombongkan diri ketika berjanji
untuk melawan hanya dengan tangan kanannya.
Ternyata meskipun hanya satu tangan yang maju, tapi
ketika tangan itu mulai digerakkan oleh pemiliknya,
142
tiba-tiba Siau In menjadi silau dan bingung
menghadapinya. Tangan itu seperti berubah menjadi
puluhan banyaknya, sehingga ke manapun Siau In
menyerang ia seperti dikeroyok oleh empat atau lima
orang lawan.
Akibatnya beberapa kali pedangnya hampir terlepas
disambar tangan-tangan itu. Untunglah dengan
kematangannya bermain pedang ia masih bisa
menyelamatkannya.
"Hei...!? Apa hubunganmu dengan Giam Pit Seng?
Kulihat ilmu pedangmu mirip sekali dengan
permainan pit-nya!" sambil terus mencecar Tong Taisu
berseru keras.
"Beliau adalah guruku! Huh, kalau beliau berada di
sini, jangan harap kau bisa menghina aku!" Siau In
berteriak pula dengan tak kalah kerasnya.
Tak terduga Tong Tai-su tertawa bergelak.
"Hahaha...! Kau ini anak kemarin sore tahu apa?
Gurumu itu telah dua kali bertanding dengan aku, tapi
ia tak pernah bisa mengalahkan aku. Malahan pada
pertandingan yang ke dua ia justru hampir mati oleh
tasbehku. Untung ada orang yang menolong dia...."
Siau In terkejut bukan main, sehingga permainan
pedangnya agak sedikit kacau. Akibatnya pedangnya
hampir saja terpental dari genggamannya. Untunglah
dia segera sadar kembali. Mati-matian ia
mempertahankannya.
Samar-samar Siau In memang mengingatnya. Saat
itu ia baru berusia dua belas tabun. Suatu malam
143
suhunya pulang dari bepergian jauh dalam keadaan
lesu. Gurunya mengatakan bahwa dia baru saja
bertempur dengan musuhnya, tapi ia kalah. Untunglah
nyawanya diselamatkan oleh seorang pendekar aneh,
yang hanya dengan tiga jurus bisa membuat
musuhnya itu lari tunggang langgang. Dan sebelum
pergi pendekar aneh itu menyuruh gurunya untuk
mengabdi pada aliran Im-yang-kau. Karena sudah
berhutang nyawa, serta beranggapan bahwa pendekar
penolongnya itu adalah tokoh Im-yang-kau, maka
gurunya lalu masuk menjadi anggota Im-yang-kau.
Namun setelah bertahun-tahun mengabdi pada Aliran
Im-yang-kau, dan telah berulang kali menemui tokohtokohnya,
gurunya tak pernah menjumpai
penolongnya itu. Ternyata pendekar tersebut bukanlah
tokoh Im-yang-kau. Tiada seorang pun tokoh Imyang-
kau yang wajahnya mirip pendekar itu.
Tapi gurunya sudah terlanjur mencintai Im-yangkau,
sehingga ia tak mau meninggalkannya lagi.
Bahkan oleh karena pengabdiannya yang besar,
gurunya diangkat menjadi Pimpinan cabang Im-yang
kau wilayah timur setahun yang lalu.
"Oh, jadi kaukah orang yang pernah mengalahkan
Guruku itu? Ah, kalau begitu Guruku sekarang bisa
tertawa dengan gembira." gadis itu balas mengejek.
"Memangnya kenapa...?" Tong Tai-su ternyata
terpancing juga oleh ejekan Siau In.
"Habis... ilmumu tetap seperti ini saja! Tidak ada
kemajuan! Padahal setelah masuk aliran Im-yang-kau,
144
kesaktian Guruku sudah tiga kali lipat dibandingkan
dengan dahulu! Buktinya sekarang beliau dijadikan
Pimpinan Cabang di daerah timur." Siau In membual
agar lawannya menjadi panas perutnya.
Benar juga. Tong Tai-su menjadi merah padam
mukanya. Ejekan gadis centil itu betul-betul mengenai
sasarannya. Begitu marah, penasaran, dan jengkelnya,
sehingga Tong Tai-su lupa pada janjinya.
Tangan kirinya yang terselip pada ikat pinggangnya
itu tiba-tiba ditarik dan terayun ke depan untuk
merampas pedang Siau In.
Meskipun kaget tapi Siau In tersenyum penuh
kemenangan. Mula-mula gadis itu menarik kedua
bilah pedangnya ke depan dada seperti hendak
melindungi pedang itu ke dalam pelukannya. Namun
ketika tangan kiri Tong Tai-su hendak menyambar
pedang kanannya, pedang kirinya cepat menabas ke
depan dengan dahsyatnya.
Tentu saja Tong Tai-su tidak ingin mengadu jarijarinya
dengan pedang. Otomatis tangan kanannya
segera membantu dengan menyambar pedang kiri
Siau In yang berbahaya itu. Gerakannya demikian
cepat dan kuat luar biasa sehingga tingkat
kepandaiannya itu tidak mungkin Siau In
mengelakkannya.
Tapi anehnya gadis itu seperti membiarkan saja
pedang kirinya itu ditangkap lawannya. Bahkan
berusaha untuk menghindari saja tidak. Sekejap Tong
Tai-su curiga. Tapi sebelum kecurigaannya itu
145
terpecahkan, tiba-tiba Siau In menusukkan pedang
kanannya yang bebas itu ke arah pergelangan tangan
kanan Tong Tai-su yang sudah mencengkeram pedang
kirinya itu.
Tong Tai-su terperanjat. Otomatis tangan kirinya
yang kagok tadi cepat menyambar terus ke depan, ke
pergelangan tangan kanan Siau In! Dan sekejap
kemudian kedua bilah pedang pendek Siau In telah
terampas semuanya!
Namun di luar
dugaan gadis itu
justru bersorak
gembira sambil
bertepuk tangan!
"Apa kau
sudah gila...?"
Tong Tai-su
menghardik
dengan mata
melotot.
"Lhoh... aku
menang, bukan?
Mana pedangku!"
seenaknya Siau
In menyahut.
"Menang apa?
Apa kau tidak
melihat pedangmu ini?" Tong Tai-su memperlihatkan
pedang Siau In yang dirampas.
146
"Hei! Bukankah Tai-su tadi sudah berjanji untuk
tidak menggunakan tangan kiri? Ternyata Tai-su telah
melanggar janjimu sendiri. Bukankah hal itu berarti
kalah?" Siau In menuntut dengan gaya-nya yang
kocak.
"Tapi... ini...!" Tong Tai-su " menjadi pucat. Tak
terasa pedang itu dilepaskannya begitu saja, sehingga
jatuh berdentang di tanah.
Siau In cepat memungut pedangnya.
"Tahan...!" tiba-tiba Tong Tai-su membentak.
"Tapi... bukankah kau belum bisa mengalahkan
tangan kananku? Nah, kau belum boleh pergi!"
Tapi dengan berani Siau In bertolak pinggang.
"Siapa bilang tangan kananmu belum kalah?
Bukankah tangan kanan Tai-su tadi sudah tidak
berkutik karena sedang mencengkeram pedangku?
Kalau tangan kiri Tai-su tidak turut campur, bukankah
pedangku yang satunya sudah bisa menembus
pergelangan tangan kanan Tai-su itu? Hayo..., benar
tidak?" sergahnya berani.
"Lha... ini..., wah! Kau gadis cilik memang cerdik
sekali! Tapi...?" Tong Tai-su akhirnya mengakui pula
kekalahannya. Namun ia masih tampak bingung.
"Tai-su, Kau seorang lo-cianpwe (tokoh persilatan
angkatan tua)! Kau tidak boleh menjilat ludahmu
sendiri. Apalagi lawanmu hanya seorang gadis muda
seperti saya. Hanya seekor binatang yang biasa
menjilat ludahnya sendiri." dengan cerdik Siau In
147
mengolok-olok Tong Tai-su agar lawannya itu
menjadi malu untuk mengubah keputusannya.
"Kurang ajar! Kau memang luar biasa licinnya!
Sudahlah... pergi sana!" Tong Tai-su berteriak
kecewa.
Bagai burung yang terlepas dari sangkarnya, Siau
In tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan
gesit tubuhnya melesat ke depan untuk secepatnya
meninggalkan tempat berbahaya itu. Sebaliknya Tong
Tai-su dengan lesu melangkah ke perkampungan Hekto-
pai, diiringkan oleh sebagian anak muridnya It
Kwan yang masih sehat.
Kalau baru saja tadi Siau In mengalahkan lawannya
dengan kecerdikan, sebaliknya Ciu In harus benarbenar
menguras tenaga untuk menundukkan lawanlawannya.
Empat orang Pek-hok-bio itu ternyata memiliki
ilmu tongkat yang cukup tinggi. Terutama cara
mereka bekerja sama satu sama lain. Setiap kali Ciu
In menyerang dengan pedangnya, secara serempak
dua orang lawannya segera menempatkan diri untuk
menghadapinya, sementara dua orang yang lain segera
mengambil kesempatan itu dengan balas menerjang.
Demikian selalu terjadi sehingga Ciu In merasa
kewalahan. Apalagi setiap pedangnya bertemu dengan
tongkat lawan, ia seperti membentur dua kekuatan
sekaligus. Bahkan pada saat yang sama ia harus
menerima tekanan dua kekuatan yang lain lagi.
148
Untunglah ia bersenjatakan dua bilah pedang,
sehingga setiap saat senjatanya dapat berada di dua
jurusan.
Ciu In memang belum mempunyai banyak
pengalaman bertempur sehingga ia belum bisa
memanfaatkan kelihaian ilmu pedangnya. Walaupun
demikian karena ilmu pedang gubahan Giam Pit Seng
itu memang cukup hebat serta aneh diduga, maka
empat orang Pek-hok-bio itu pun juga merasa sulit
pula menghadapinya. Hal itu membuat mereka
menjadi penasaran sekali. Di Kuil Pek-hok-bio
mereka berempat merupakan tokoh-tokoh tingkat dua,
karena mereka berempat adalah adik-adik seperguruan
dan kepala kuil itu. Maka sungguh memalukan sekali
bagi mereka karena tidak bisa meringkus seorang
gadis muda belia seperti Ciu ln.
"Baiklah...!" Ciu ln berkata di dalam hatinya. "Aku
terpaksa mempergunakan pisau terbangku! Tanpa
senjata kecil itu tampaknya aku akan kehabisan napas
melayani mereka."
Ciu ln lalu mencari kesempatan. Mula-mula ia
berkelebatan ke sana ke mari melayani lawanlawannya.
Namun pada suatu saat tiba-tiba ia
berhenti. Sebelum lawan-lawannya bisa menduga apa
yang hendak ia kerjakan, secara mendadak Ciu In
melepaskan pisau-pisaunya. Sekali melepas gadis itu
menaburkan delapan buah sekaligus.
Karena setiap lawan memperoleh jatah dua buah
pisau dan dalam posisi terpencar pula, maka otomatis
149
kedudukan mereka menjadi tercerai-berai.
Kesempatan inilah yang dikehendaki Ciu In.
Mumpung lawan-lawannya sedang sibuk menangkis
atau mengelakkan pisau-pisaunya, ia segera mencecar
salah seorang di antaranya dengan sergapan dua bilah
pedangnya.
Orang itu tentu saja menjadi sibuk bukan main.
Selagi tongkat besinya sedang ia pakai untuk
menghanfam pisau kecil itu, tiba-tiba Ciu In
menyerangnya dengan tabasan dua pedangnya. Ia
mencoba untuk meloncat mundur. Tapi papan
jembatan itu ternyata terlalu sempit, sehingga
badannya melayang ke dalam empang. Mati-matian ia
berusaha mengaitkan tongkat besinya ke ujung papan
di dekatnya, namun sekali lagi Ciu ln memberondong
dengan tendangan dan tusukan pedang. Akibatnya
tongkat itu justru terguncang lepas dari tangannya.
Ketika temannya yang terdekat berusaha menolong
orang itu, Ciu In kembali melepaskan pisau
terbangnya. Kali ini hanya dua buah, tapi semuanya
mengarah ke bagian jantung dan pusar orang yang
akan menolong temannya tersebut.
Orang itu menjadi gelagapan. Karena dalam posisi
melayang ke depan, maka gerakannya menjadi kagok.
Menangkis salah, mengelakkan juga salah. Duaduanya
akan membuat ia terpelanting ke samping
sehingga dirinya akan mudah diserang kembali.
Benar juga. Ketika orang yang hendak
menolongnya mencoba untuk mengelak, tubuhnya
150
menjadi terbuka, dan kesempatan tersebut memang
dipergunakan oleh Ciu In dengan sebaik-baiknya.
Pedang gadis itu meluncur ke depan ke arah lutut dan
pinggang orang itu. Dan sekali ini jalan satu-satunya
bagi orang itu cuma menangkis. Tapi karena
menangkis dalam posisi yang jelek mengakibatkan
tubuhnya terbanting ke arah empang pula.
Byuuuuuur!
Byuuuuuurr!
Dalam waktu yang hampir bersamaan kedua orang
Pek-hok-bio tercebur ke dalam empang yang dalam
itu. Ciu In cepat membalikkan badannya karena pada
saat yang bersamaan pula kedua lawannya yang lain
telah menerjang ke arah dirinya. Dua orang yang
masih tersisa itu tampak berang sekali karena kawankawannya
dapat diperdaya oleh gadis itu.
Setelah kini tinggal dua orang saja yang harus
dihadapinya, Ciu In benar-benar bisa
mengembangkan ilmu pedangnya dengan leluasa.
Pedang pendeknya menjadi semakin lincah menarinari
mengelilingi tubuh lawan-lawannya. Meskipun
lawannya memegang tongkat besi, namun senjata
yang berat itu terlalu lamban untuk mengejar ayunan
pedang pendeknya yang gesit bagai lebah madu.
Berulang kali kedua orang lawannya itu terpaksa jatuh
bangun untuk menghindarkan diri dari sengatan
pedang Ciu In.
Lima jurus pun segera berlalu, dan dua orang Pekhok-
bio yang masih tersisa itu pun sudah tidak bisa
151
bertahan lebih lama lagi. Ketika salah seorang di
antara mereka terpaksa melepaskan tongkat besinya
dan terjungkal ke dalam kolam terkena ujung sepatu
Ciu In, yang lain pun segera ikut terjun ke dalam
empang pula.
Celakanya tak seorang pun dari empat orang Pekhok-
bio itu yang mampu berenang di dalam air,
sehingga dengan mudah mereka menjadi bulanbulanan
Liu Wan yang sejak tadi masih mengapung di
empang menonton pertempuran mereka. Pemuda itu
dengan cerdik menyelam ke dalam air, lalu bergantian
menarik kaki-kaki mereka ke bawah. Tentu saja
orang-orang Pek-hok-bio itu menjadi gelagapan
seperti anak ayam yang menggelepar-gelepar di dalam
lumpur. Entah berapa mangkuk air saja yang mengalir
ke dalam perut mereka.
Setelah orang-orang Pek-hok-bio itu kelihatan
lemas dan kecapaian, barulah tubuh mereka diseret ke
pinggir oleh Liu Wan. Ciu ln cepat berlari mendekati
dan bersiap siaga kalau-kalau orang Pek-hok-bio itu
masih hendak meneruskan pula pertempuran mereka.
Tapi empat orang itu sudah tidak berdaya lagi.
Selain senjata mereka tertinggal di dalam air, keadaan
tubuh mereka pun sudah tidak keruan lagi. Tenaga
hilang, perut dan paru-paru mereka pun penuh dengan
air. Berkali-kali mereka terpaksa muntah-muntah
untuk mengeluarkan air yang mereka minum.
Celakanya yang keluar tidak cuma air empang, tapi
152
juga seluruh isi perut mereka, termasuk puluhan ekor
ikan hidup yang ikut tertelan ketika sekarat tadi.
Begitu dapat berdiri mereka berempat segera
ngeloyor pergi tanpa pamit lagi. Mereka berjalan
terhuyung-huyung, sambil sesekali masih harus
memuntahkan kotoran-kotoran dan ikan-ikan kecil
yang tersisa di dalam perut mereka.
"Nona Tio, ilmu pedangmu sungguh hebat sekali!
Terutama pisau-pisau terbangmu itu. Dan kau benarbenar
cerdik. Semula aku sudah merasa khawatir,
karena pada permulaannya kau tampak sangat
kerepotan menghadapi kerja sama mereka."
Ciu In tersenyum kemalu-maluan. Pujian pemuda
tampan yang baru setengah hari dikenalnya itu terasa
menyesakkan dadanya. Pemuda itu sungguh pintar
bergaul dan pandai mengambil hati orang, sehingga
sebentar saja Ciu In merasa dekat dan akrab
dengannya.
"Ah, diam-diam Tuan tentu mentertawakan ilmu
pedangku itu...." Ciu In pura-pura kurang senang.
"Hei, benar... Nona! Aku berkata sebenarnya. Ilmu
pedangmu sungguh-sungguh hebat. Hanya saja dalam
penggunaannya kau seperti belum menyatu dan
mengenal betul akan sifat-sifatnya. Tapi ...eh, omongomong,
sudah setengah harian kita saling mengenal,
mengapa masih mempergunakan sebutan "Tuan" dan
"Nona"? Mengapa kita tidak saling menyebut kakak
dan adik saja?" dengan gaya yang menyenangkan Liu
Wan membelokkan arah percakapan mereka.
153
"Ah... aku...?" Wajah Ciu In yang cantik itu
menjadi merah.
"Baiklah, kalau kau setuju... aku akan
memanggilmu adik, karena usiamu tentu belum ada
dua puluh tahun. Sedangkan aku sudah seperempat
abad. Nah, mulai saat ini aku akan memanggilmu Ciumoi,
dan kau boleh menyebutku Engko Wan atau...
Wan Siok-siok (Paman Wan)!" pemuda itu
berkelakar.
"Wah, tidak mau kalau Wan Siok-siok! Terlalu
tua!" Ciu In terpancing untuk melayani kelakar Liu
Wan.
"Terserah Ciu-moi.... Nah, sekarang kita masuk ke
pondok lagi untuk mengatur siasat. Aku juga akan
berganti pakaian pula. Pakaian ini basah dan berbau
amis. Setelah itu kita juga akan merayakan
keberhasilan sandiwara kita tadi. Anak buah So Gu
Thai yang dikirim ke mari tadi dapat kita kelabuhi dan
pulang dengan tangan hampa...."
"So Gu Thai? Siapakah So Gu Thai itu?"
Liu Wan melangkah ke atas jembatan, diikuti oleh
Ciu In. "So Go Thai adalah penjahat yang kuceritakan
itu. Sebenarnya ia bukan orang Han, tapi orang Tartar
dari suku Hun. Nama sebenarnya adalah Sogudai.
Seperti nenek moyangnya ia juga pemuja matahari
dan bulan. Dan setiap pergantian tahun ia tentu
mengadakan upacara korban untuk dewa matahari dan
bulan. Dia sangat lihai dan berbahaya karena dia
adalah bekas pengawal pribadi Mo Tan, raja orang154
orang Tartar itu." sambil berjalan melewati jembatan
itu Liu Wan memberi keterangan tentang musuhnya.
"Jadi dia orang... Tartar?" Ciu In bertanya ngeri.
Ciu In sering mendengar penuturan suhunya, bahwa
bangsa Tartar yang terdiri dari bermacam-macam
suku itu sangat kasar, kejam, dan tak mengenal
perikemanusiaan. Di jaman pemerintahan mendiang
Kaisar Liu Pang, suku bangsa biadab itu telah
beberapa kali menyerang ke pedalaman Tionggoan.
Di bawah rajanya yang lihai, buas, kejam namun amat
cerdik luar biasa itu, hampir saja bisa mengalahkan
bala tentara Kerajaan Han. Untunglah Kaisar Liu
Pang memiliki pembantu-pembantu dan panglimapanglima
perang tangguh dan gagah berani, sehingga
beberapa kati pula Mo Tan dan pasukan perangnya
dapat dihalau keluar dari Tembok Besar.
"Ya! So Gu Thai orang Tartar dari suku Hun. Satu
suku dengan Mo Tan, rajanya." Liu Wan mengiyakan.
"Ciu-moi...! Sebenarnya aku tidak heran melihat So
Gu Thai berkeliaran di daerah Tionggoan. Mungkin
dia hanya salah seorang pengikut Mo Tan yang
tercecer di sini ketika mereka mengundurkan diri ke
utara. Tetapi yang aku herankan, selama sebulan ini
aku sering melihat dan bertemu dengan orang-orang
Tartar di sepanjang daerah pantai timur ini. Walaupun
mereka menyamar seperti orang Han, tapi logat bicara
dan tingkah laku mereka dapat kukenali dengan baik.
Aku jadi curiga dan berpikir keras. Jangan-jangan ada
sesuatu yang mereka kerjakan di daerah ini. Aku...
155
jangan-jangan Mo Tan telah bersiap-siap untuk
melintasi Tembok Besar lagi."
"Oh, kalau benar-benar demikian... sungguh
mengerikan!" Ciu In menatap Liu Wan dengan muka
pucat.
"Yah... rakyatlah yang akan mengalami nasib yang
buruk. Sampai sekarang bekas-bekas kebiadaban
pasukan Mo Tan itu masih melekat di dada orangorang
Han. Ah, silakan duduk dulu, Ciu-moi! Aku
akan berganti pakaian...,"
Sampai di dalam pondok Liu Wan mempersilakan
Ciu In untuk duduk di kur si yang telah disediakan,
sementara ia sendiri masuk ke dalam kamar untuk
mengganti pakaiannya yang basah. Lo Kang dan Lo
Hai segera menyiapkan minuman.
Ciu In lalu melihat-lihat lagi keadaan pondok yang
menyenangkan itu. Di ruang samping Ciu In melihat
tiga buah lukisan orang dalam ukuran yang cukup
besar. Lukisan itu terdiri dari sebuah lukisan wanita
cantik setengah baya dan dua buah lukisan lelaki usia
empat puluhan dan enam puluhan. Gambar lelaki
berusia empat puluhan itu hampir mirip dengan Liu
Wan. Hanya bedanya wajah Liu Wan tidak setajam
dan sekeras wajah di dalam gambar itu. Dan juga, di
dalam gambarnya, lelaki itu kelihatan lebih tinggi dan
lebih jangkung daripada Liu Wan.
"Ciu-moi, kau di sini rupanya..."
156
Seperti tadi, kali ini pun Ciu In hampir menjerit
saking kagetnya. Tanpa menimbulkan suara tiba-tiba
saja Liu Wan telah berada di belakangnya.
"Wan-ko, kau kembali mengagetkanku!" sungutnya
kesal.
Tapi tampaknya Liu Wan tak mempedulikan
kekesalan Ciu In itu. Dengan wajah bersungguhsungguh
pemuda itu menatap mata Ciu In.
"Kau... mengenal wajah yang terlukis di dalam
gambar-gambar ini, Ciu-moi?" desaknya dengan suara
yang agak bergetar.
Ciu In balas memandang dengan aneh dan tak
mengerti. Kadang-kadang dirasakannya pemuda itu
bersikap aneh dan membingungkan. Seperti ada
sesuatu yang disembunyikan atau dirahasiakannya.
"Tidak. Aku sama sekali tidak mengenal mereka.
Siapakah mereka...?" sambil menggeleng Ciu In
menyahut dengan suara curiga.
Tiba-tiba Liu Wan menghela napas lega. Wajahnya
kembali cerah seperti biasanya. Dengan cepat
tangannya meraih gambar wanita cantik setengah
baya itu.
"Ini... Ibuku. Cantik sekali, bukan? Gambar ini
kubuat lima tahun yang lalu! Tentu saja Ibuku
sekarang lebih tua dari pada gambar ini." Liu Wan
menerangkan
"Apakah Wan-ko dari keluarga bangsawan atau
pejabat kerajaan? Kulihat Ibumu mengenakan
157
perhiasan yang bagus-bagus." Ciu In mencoba
bertanya tentang asal-usul Liu Wan.
Pemuda itu tertawa. "Siapa pun bisa mengenakan
perhiasan yang bagus-bagus, Ciu-moi. Tak perlu ia
harus keluarga bangsawan atau pejabat kerajaan.
Seorang pedagang yang berhasil pun bisa membeli
perhiasan-perhiasan seperti itu kalau dia suka. Apalagi
di dalam gambar itu aku memang sengaja menambahi
perhiasan-perhiasan bagus pada wajah Ibuku, agar
beliau kelihatan lebih cantik lagi dipandang mata."
dengan cerdik dan luwes pemuda itu menjawab.
"Ah, Wan-ko ini ada-ada saja. Pandai benar
mengambil hati Ibumu. Ehm, lalu lukisan orang tua
berambut agak putih ini siapa?"
Liu Wan mengambil gambar lelaki berusia enam
puluhan itu pula.
"Ini gambar... guruku!" jawab pemuda itu singkat.
"Gurumu? Bolehkah aku mengenal nama dan gelar
Gurumu?" Sekali lagi Ciu In mencoba mengetahui
latar belakang Liu Wan.
Tapi pemuda itu dengan cepat menggelengkan
kepalanya. "Maaf, Ciu-moi... Guruku sangat suka
menyendiri dan tak suka namanya dikenal orang."
"Baiklah... Lalu siapakah gambar yang lain itu?
Apakah ia juga suka menyendiri dan tak ingin
namanya diketahui orang?" dengan suara menggoda
Ciu In menunjuk lukisan lelaki berusia empat puluhan
itu.
158
Liu Wan tersenyum kemalu-maluan. Suaranya pun
terasa sungkan ketika menjawab. "Benar, Ciu-moi. Itu
gambar Kakakku. Dia... dia memang tak suka
diketahui namanya."
"Yah...." Ciu In berdesah kecewa seraya
mengangkat pundaknya. "Tampaknya seluruh
keluargamu suka menyendiri dan tak ingin bergaul
dengan orang lain, kecuali... kau!"
Kali ini Liu Wan benar-benar meringis kecut.
"Bukan begitu maksudku, Ciu-moi. Soalnya... ah,
sudahlah... kelak engkau tentu akan mengerti juga,
Ciu-moi. Sekarang memang belum waktunya .... "
ujarnya kemudian dengan suara sedih dan menyesal.
Ciu In tertawa. "Ya, kalau kita masih diberi
kesempatan untuk bertemu lagi. Kalau tidak...?
Soalnya kalau Adikku yang hilang itu sudah aku
ketemukan, aku akan kembali pulang dan tidak akan
pergi ke mana-mana lagi."
"Terus mau pulang? Di manakah rumahmu?
Apakah...?"
Tiba-tiba Liu Wan tidak meneruskan
pertanyaannya. Ia menjadi sungkan dan malu sendiri.
Apalagi ketika kemudian Ciu In tertawa kecil sambil
menutupi mulutnya.
"Maaf, Wan-ko. Rumah dan keluargaku juga tidak
suka dikenal orang pula."
Liu Wan mengambil gambar-gambar itu dan
memasangnya kembali di tempat semula. Lalu dengan
wajah agak lesu ia mengajak Ciu In ke ruang depan.
159
"Sudahlah, Ciu-moi. Kita tidak perlu saling
mengolok-olok. Biarlah untuk sementara kita tak usah
saling bertanya tentang asal-usul kita masing-masing.
Sekarang yang penting adalah menyelamatkan
Adikmu. Lihat... matahari sudah hampir terbenam.
Sebentar lagi kita akan berangkat."
Malam memang cepat sekali datangnya. Belum
juga mereka menghabiskan teh dan makanan kecil
yang disuguhkan oleh Lo Kang dan Lo Hai, untuk
merayakan keberhasilan sandiwara mereka, ribuan
kunang-kunang telah mulai menyerbu empang itu.
Begitu banyaknya binatang malam itu beterbangan di
sekitar pondok tersebut, sehingga tanpa lampu minyak
pun rasa-rasanya sudah terang benderang.
Demikian pula keadaannya di tepian pantai di dekat
perkampungan nelayan Ui-thian-cung pada malam itu.
Karena angin laut tidak begitu kencang berhembus,
maka ribuan kunang-kunang segera berkumpul dan
bercengkerama di tempat sepi itu. Mereka
beterbangan di antara riak-riak gelombang yang
berdebur lemah di hamparan pasir yang luas.
Kalau Ciu In menonton keindahan kunang-kunang
itu sambil makan minum dan mengobrol bersama Liu
Wan, sebaliknya Siau In mengagumi binatang malam
itu sendirian, tanpa kawan, tanpa minuman dan
makanan, bahkan di atas hamparan pasir yang sunyi
sepi pula.
160
Seperti tujuannya semula, sehabis mengalahkan
Tong Tai-su dengan kecerdikannya, Siau In berlari
menyusuri jalan yang menuju ke laut itu. Sambil
mengerahkan gin-kangnya, kadang-kadang Siau In
masih menoleh ke belakang. Gadis itu masih merasa
khawatir kalau-kalau Tong Tai-su yang lihai itu
berubah pikiran lagi. Tapi setelah beberapa saat
lamanya tak ada tanda-tanda kalau pendeta
pengembara itu mengejar dirinya, Siau In menjadi
lega. Gadis itu lalu mengendorkan langkahnya.
Dengan bernyanyi-nyanyi kecil ia melenggang
seenaknya.
Angin sore berhembus agak sedikit kencang
sehingga bajunya yang longgar menyibak. Siau In
menjerit lirih sambil membungkukkan badannya.
Angin nakal itu menyelonong masuk lewat celananya
yang robek di bagian depan.
"Oh....!"
Tiba-tiba gadis itu terperanjat. Sekejap Siau In
menyangka Tong Tai-su mengejarnya, karena ketika
dia membungkuk tadi, ia seperti melihat sebuah
bayangan menyelinap cepat ke semak-semak di
belakangnya. Namun ketika ia membalikkan badan
dan melihat jalan lengang di belakangnya, Siau In tak
melihat siapa-pun di sana. Untuk lebih meyakinkan
dugaannya Siau In berbalik dan meneliti semaksemak
itu. Tapi semak itu kosong.
161
"Ah, tampaknya aku hanya terbayang-bayang saja
wajah Tong Tai-su yang menyeramkan itu...."
akhirnya Siau In membesarkan hatinya sendiri.
Gadis yang memang memiliki watak lincah dan
gembira itu sebentar saja telah melupakan rasa kaget
dan kecurigaannya. Siau In telah bernyanyi-nyanyi
kecil kembali. Bahkan di tempat yang dirasa sangat
sepi dan lengang, ia menyelinap ke semak-semak di
tepi jalan. Di tempat itu mengalir sebuah selokan kecil
yang sangat jernih airnya. Sambil buang air kecil Siau
In mengganti celananya yang sobek. Celana itu tidak
dibuang tetapi dimasukkannya ke dalam
bungkusannya.
Tiba-tiba...!
"Iiiiiiiiih...! " Siau In menjerit sekeras-kerasnya.
Seketika wajah Siau In menjadi pucat, matanya
berkedip-kedip mau menangis, sementara bungkusan
pakaiannya ia lepaskan begitu saja! Gadis itu
memandang kaget ke tengah-tengah semak itu! Di
tempat yang agak longgar itu tampak seorang pemuda
sedang tiduran di atas rumput, dan hanya dua tombak
jauhnya dari tempat Siau In berdiri!
"Kkkkau? Si-si-siapakah kau? Mengapa kau di
sini? Kau... mengintip-intip aku, ya? K-k-kau tadi...
melihat... melihat... ya? Ooooh!" dengan suara sember
dan serak, seperti mau menangis, Siau In menuding
pemuda nakal itu.
Lalu seperti induk ayam yang diganggu anaknya,
Siau In mengamuk sejadi-jadinya. Gadis itu
162
menerjang, memukul, menendang dengan membabibuta
ke arah pemuda nakal itu untuk melampiaskan
rasa dongkolnya. Siau In lupa bahwa pukulannya itu
bisa membunuh orang.
Untunglah pemuda itu bukan pemuda petani
tambak atau nelayan yang tak mampu apa-apa.
Pemuda itu ternyata seorang jago silat tinggi yang
bisa mengelak serta menghindarkan diri dari amukan
"induk ayam" yang baru kesal dan marah itu.
"Hei! Hei! Berhenti! Apa-apaan ini? Mengapa kau
menyerang aku? Apa salahku?" sambil melesat ke
sana ke mari pemuda itu berteriak-teriak.
Setelah beberapa saat tak dapat mengenai tubuh
lawannya, Siau In tiba-tiba malah menjadi sadar akan
perbuatannya. Ia segera menghentikan amukannya.
Terlongong-longong ia memandang lawannya. Air
mukanya tampak menyesal karena dia hampir saja
membunuh orang. Tapi ketika dilihatnya orang itu
masih segar bugar seperti tidak pernah terjadi apa-apa,
kemarahan Siau In pun cepat meluap kembali.
"Kurang ajar! Ternyata kau pandai bersilat, ya? Jadi
kau memang sengaja mau mengganggu dan mencoba
aku, ya? Kau sengaja mengintip dan... eh, katakan
terus terang! Kau... hei, bukankah kau yang mengacau
di atas panggung perlombaan tadi?" Siau In berkicau
seperti burung sedang birahi.
Pemuda yang tak lain memang Chin Tong Sia itu
hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya. Ia sama
sekali tak mempunyai kesempatan untuk menjawab
163
atau membela diri. Demikian mulutnya terbuka
hendak bersuara, Siau In sudah menggencetnya
dengan berondongan suaranya. Demikian berulang
kali sehingga akhirnya Chin Tong Sia menjadi kesal
pula dibuatnya. Dan merasa kesal, gendengnya pun
segera kumat.
Dengan sikap acuh tak acuh pemuda itu
membalikkan tubuhnya. Sambil melangkah pergi,
mulutnya masih
sempat
membalas
semprotan Siau
In. Suaranya
tenang,
seenaknya,
malahan agak
sedikit
menggoda.
"Tentu saja
aku melihatnya!
Habis, begitu
dekatnya, sih!
Masa aku buta?"
Dapat
dibayangkan rasa
marah, malu,
penasaran, dongkol, di hati Siau In, sehingga gadis itu
rasanya ingin menangis menggerung-gerung di tanah.
164
"Bagus! Kalau begitu kau harus mati!" Siau In
berteriak marah, lalu menerjang Chin Tong Sia.
Dengan tangkas Chin Tong Sia mengelak, lalu
melangkah ke samping dan berusaha meneruskan
jalannya. Tapi mana mau Siau In melepaskannya?
Dengan mengerahkan seluruh kepandaiannya gadis itu
mencoba meringkus pemuda yang telah membuat
dirinya menderita malu bukan main itu.
Belasan jurus telah terlewati. Ternyata dengan
tangan kosong Siau In tak mampu menjatuhkan
lawannya, padahal pemuda itu sama sekali tak pernah
membalas. Saking marah dan jengkelnya Siau In
menghunus sepasang pedang pendeknya. Dengan dua
buah senjata andalannya itu Siau In mencoba
mencabik-cabik tubuh Chin Tong Sia!
Namun kali ini Siau In benar-benar ketemu
batunya. Pedang pendeknya yang baru saja
menaklukkan seorang ketua partai persilatan yang
cukup tenar seperti It Kwan itu, kini ternyata menjadi
melempem, dan sama sekali tak bisa berbuat banyak
terhadap pemuda tak ternama seperti lawannya itu.
Jangankan dapat menyentuh tubuhnya, sedang
bayangannya pun Siau In tak mampu menggapainya.
Bahkan bila mau, tampaknya dengan mudah pemuda
itu bisa meloloskan diri dari libatan pedang Siau In
dan pergi dari tempat itu.
Namun kelihatannya Chin Tong Sia memang tak
hendak meninggalkan tempat tersebut. Sebaliknya
dari berlari, Chin Tong Sia malah melenggang bolak165
balik dan berputar-putar di tempat itu sambil
mengelakkan serangan pedang Siau In. Sambil
melenggang dan menghindar, pemuda yang sudah
angot gendengnya itu berpantun!
Di sana gunung, di sini gunung!
Di lembah ada sungainya...!
Di sana melembung, di sini... ya melembung!
Oooiiiiii...?
Di tengah-tengah ada... jurangnya!
Ketika menyebut kata-kata gunung, Chin Tong Sia
menggerakkan tangannya ke atas dan ke bawah,
seperti hendak memperagakan dua buah benda yang
menonjol atau melembung. Dan ketika menyebut
kata-kata melembung serta kalimat pada bait yang
paling akhir, pemuda itu melakukannya dengan
tertawa cekikikan.
Kulit muka Siau In menjadi merah padam bagai
udang direbus. Malunya bukan main. Gadis yang
cerdik dan sudah biasa mengolok-olok orang itu
dengan cepat bisa menangkap atau menduga arah
pantun yang dinyanyikan pemuda itu. Yang
dimaksudkan dengan gunung yang melembung itu tak
lain tentulah pantatnya yang menonjol besar.
Sementara kata-kata lembah atau jurang itu tentu juga
dimaksudkan untuk menghina atau mengejek dirinya.
Rasanya Siau In tak ingin hidup lagi kalau tak
membunuh pemuda kurang ajar tersebut. Tapi
166
sebelum ia benar-benar menumpahkan seluruh
kelihaiannya, mendadak dari arah depan terdengar
suara ketawa yang lain lagi.
"Ah, salaaaaaah! Salah...! Sute, pantunmu itu
kurang benar! Harusnya begini...!"
Di sana bokong, di sini bokong...!
"Wah... terpeleset! Keliru... keliru...! Oh, ya
begini...!"
Di sana gunung, di sini gunung! Di lembah ada
sungainya...!
Di sana melembung, di sini melembung hi-hi-hihi..!
Di tengah-tengah ada... ada... ada sungainya!
"Hahaha! Nah, itu baru benar! Di tengah-tengah
ada sungainya! Bukankah di sana ada mata air yang
mengalir? Haha-hoho-ha-ho...!"
"Suheng...!" tiba-tiba Chin Tong Sia membentak
keras sekali. "Di mana kau sekarang? Apakah kau tadi
juga melihat ...? Awas, sekali ini kau tidak boleh ikut
campur!"
"Aku berada di depan. Wah... aku tidak melihat
apa-apa tadi. Habis, aku sendiri sedang berak, sih!
Kau juga nakal, tak mau membagi-bagi kebahagiaan
bila dapat mangsa. Seharusnya tadi kau memberi tahu,
167
dong! Meski masih berak, aku juga akan berlari ke
situ, hehehe...!"
Siau In cepat mengeluarkan pisau-pisaunya. Karena
kemarahannya sudah tidak bisa dibendung lagi, maka
pisau-pisau itu pun segera beterbangan mencari
mangsa. Kali ini Chin Tong Sia benar-benar harus
mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Tubuhnya yang
kurus itu berkelebatan melebihi kecepatan pisau.
Meliuk, meluncur, menukik, melenting, dan melayang
ke segala penjuru, laksana lebah yang mengitari
bunga. Gerakannya indah dan cepat bukan main.
Belasan pisau yang dipunyai Siau In telah habis
terpakai, namun tak sebuah pun yang dapat mengenai
sasarannya. Pemuda lawannya itu terlalu gesit dan
lincah. Siau In menjadi kesal dan putus asa. Saking
kesalnya gadis itu segera membuang pedangnya.
Sambil menjatuhkan diri di atas rumput Siau In
menangis sejadi-jadinya!
Tentu saja Chin Tong Sia menjadi kaget sekali
"Lho... bagaimana ini? Kenapa tiba-tiba jadi
menangis...?"
Chin Tong Sia menggaruk-garuk rambutnya yang
tidak gatal. Pemuda itu tidak tahu apa yang harus
dikerjakannya. Membujuk salah, tidak membujuk
hatinya tidak tega.
Siau In memang ingin menumpahkan seluruh
kekesalannya, seluruh kemarahannya, dan juga
seluruh kekecewaannya, sehingga beberapa waktu
lamanya ia masih menangis sesenggukan. Sebaliknya
168
Chin Tong Sia yang menunggu di dekatnya, melihat
Siau In tak kunjung menghentikan tangisnya, menjadi
salah tingkah. Mendadak timbul rasa sesalnya, karena
telah membuat kesal hati gadis cantik itu. Dengan
agak takut-takut, takut mendapat semprotan lagi, Chin
Tong Sia berlutut di samping Siau In. Dengan katakata
halus dan ucapan sesal, pemuda itu mencoba
menghentikan tangis Siau In. Tak terasa tangan
pemuda itu terulur ke depan untuk memegang pundak
Siau In. Pada saat itulah tiba-tiba Siau In membalik!
Plaaak! Plaaaak!
Dua kali tamparan yang keras mendarat di pipi
Chin Tong Sia! Begitu cepat dan keras sehingga
pemuda itu tidak kuasa lagi untuk menghindarinya.
Jaraknya demikian dekat, dan Chin Tong Sia sendiri
memang lengah. Akibatnya pipi pemuda itu menjadi
bengkak dan merah, bahkan dari sela-sela bibirnya
mengalir darah segar.
Tapi sungguh mengherankan! Sama sekali pemuda
itu tidak marah atau sakit hati. Pemuda itu hanya
mengusap-usap saja pipinya yang bengkak. Hanya
matanya saja yang berkedip-kedip seperti lampu
kehabisan minyak, memandang dengan wajah
menyesal kepada Siau In.
"Heh? Kenapa kau diam saja ditampar gadis ini?"
Entah dari mana datangnya, mendadak di dekat
Chin Tong Sia telah berdiri Put-pai-siu Hong-jin! Si
Gila itu seperti hantu yang muncul begitu saja di
tempat itu, sehingga Siau In yang baru saja menampar
169
Chin Tong Sia itu sampai terlonjak saking kagetnya!
Apalagi ketika gadis itu melihat wajahnya yang
menyeramkan!
"Suheng! Sekali lagi kau jangan turut campur!
Aku... tiba-tiba aku merasa menyesal telah
mempermainkan gadis ini. Aku memang anak bengal.
Aku tak pernah mempunyai Ayah dan Ibu. Yang ada
hanya Suhu dan para Suheng yang terlalu amat
memanjakan aku. Aku tak pernah diajari untuk
menghormati wanita. Aku tak pernah ditampar kalau
berbuat nakal. Oooh, kalau aku punya Ibu, aku tentu
sering dipukul dan ditampar seperti ini kalau nakal...."
seperti orang melamun Chin Tong Sia bergumam
dengan suara lemah.
"Nah, kau sudah mulai cengeng lagi! Huh, bosan
aku...! Sudahlah, aku akan pergi dulu! Silakan kau
menangis bersama gadis ini sepuasnya, asal jangan
lupa datang di rumah nelayan itu tengah malam
nanti!"
Selesai menggerundel Put-pai-siu Hong jin melesat
pergi dari tempat itu. Datangnya sangat tiba-tiba,
begitu perginya. Tubuhnya yang kurus dan agak
bungkuk itu seperti berubah menjadi asap yang tertiup
angin semakin jauh. Cepat bukan main! Siau In
sampai terbelalak saking herannya.
"Nona, maafkanlah aku. Aku benar-benar menyesal
mempermainkan engkau. Kuharap kau tidak menjadi
sakit hati terhadapku...." sambil tetap mengelus-elus
170
pipinya yang bengkak Chin Tong Sia meminta maaf
kepada Siau In.
Siau In sudah tidak sesenggukan lagi. Masih
dengan kaki bersimpuh di atas rumput gadis itu
menatap dengan rasa benci kepada Chin Tong Sia.
Rona merah masih menjalar di pipi gadis itu kalau
mengingat keadaannya ketika diintip oleh pemuda itu.
Tapi pemuda itu kini juga ikut bersimpuh di
depannya. Bahkan pemuda itu tampak sangat
menyesali perbuatannya. Terbukti ditampar sampai
bengkak dan berdarah pun ia tak membalas. Akhirnya
susut juga kemarahan Siau In.
"Baiklah, aku memaafkan kau. Tapi... coba kau
berkata terus terang! Apakah kau tadi benar-benar
melihat... eh... melihat seluruhnya?" dengan wajah
kembali memerah Siau In mencoba meyakinkan
sekali lagi akan kekhawatirannya.
Chin Tong Sia menatap dengan agak takut-takut.
Sikapnya itu benar-benar aneh dan bertolak belakang
dengan kehebatannya dalam ilmu silat! Perlahanlahan
kepala Chin Tong Sia mengangguk.
Plaaaak!
Kemarahan Siau In tiba-tiba meledak kembali dan
tangannya melayang ke pipi Chin Tong Sia tanpa bisa
dicegah lagi. Akibatnya untuk kedua kalinya darah
mengalir keluar dari mulut pemuda itu.
"Wah, payah...! Sute, apa sebenarnya yang telah
terjadi padamu? Kenapa kau tetap diam saja seperti
patung? Lama-lama kau bisa ompong... ditampar
171
terus-menerus oleh perempuan galak itu!" terdengar
suara Put-pai-siu Hong-jin dari kejauhan.
Siau In tercengang. Orangnya sudah tidak tampak,
tapi kenapa seperti masih bisa menyaksikan keadaan
di tempat itu? Berdiri juga bulu roma Siau In melihat
kesaktian orang itu. Apa jadinya kalau manusia
menyeramkan itu tadi menjadi marah dan membela
sutenya? Baru Si pemuda ini saja sudah bukan main
lihainya, apalagi orang itu.
Perlahan-lahan Siau In menurunkan tangannya
yang telah siap sedia hendak menampar lagi. Matanya
yang galak itu tiba-tiba meredup tatkala menyaksikan
aliran darah yang masih menetes-netes di sudut bibir
Chin Tong Sia. Sejenak heran juga hati Siau In
melihat pemuda itu diam saja tak membalas ketika ia
tampar tadi. Apakah pemuda itu takut padanya? Jelas
tidak. Pemuda itu memiliki kesaktian yang jauh lebih
tinggi dan pada silatnya. Apakah pemuda itu benarbenar
menyesali perbuatannya?
Siau In menghela napas panjang. Matanya
tertunduk pula.
"Menurut aturan aku harus membunuhmu untuk
menghilangkan rasa maluku. Tapi... sudahlah. Aku tak
tega melihat kau telah menyesali perbuatanmu. Hanya
kuminta untuk selanjutnya kau jangan sampai bertemu
dengan aku. Kalau sampai berjumpa sekali lagi, aku
akan membunuhmu. Kalau tak bisa membunuhmu,
aku sendiri yang akan bunuh diri. Aku tak ingin
melihat orang yang telah melihat tubuhku, kecuali...."
172
Siau In tak meneruskan ucapannya, kemudian berdiri
dan meninggalkan tempat itu.
"Kecuali... apa, Nona?" Chin Tong Sia cepat berdiri
dan bertanya.
Tapi Siau In tak mau berbicara lagi. Kakinya
melangkah cepat menuju ke pantai. Chin Tong Sia
sendiri sebenarnya juga akan ke perkampungan
nelayan pula. Tapi ia tak berani membarengi gadis itu.
Ia takut gadis itu akan membuktikan ancamannya.
Barulah ketika gadis itu tidak kelihatan lagi, Chin
Tong Sia melangkah pula menuju ke pantai. Inilah
pengalamannya yang pertama dengan seorang gadis
selama hidupnya yang telah menginjak dua puluh
enam tahun itu.
"Oh... tololnya aku! Sampai lupa aku menanyakan
namanya! Hmmm...!" pemuda itu menyesali dirinya.
Tiba-tiba Chin Tong Sia ingat pada bungkusan Siau
In yang masih ketinggalan di dekat selokan itu.
Bergegas pemuda itu kembali dan mengambilnya.
Namun ketika ia hendak berlari untuk memberikan
benda tersebut ke pemiliknya, hatinya kembali raguragu.
"Ah, peristiwa ini masih mengeruhkan pikirannya.
Dia bisa benar-benar berbuat nekad kalau aku tetap
mendesaknya. Hmh, biarlah lain kali saja kalau takdir
masih mempertemukan aku dengan dia, barang ini
akan kuserahkan kepadanya." Sambil menarik napas
panjang Chin Tong Sia mengikatkan bungkusan itu ke
pundaknya. Entah apa isinya ia tak tahu.
173
Demikianlah, peristiwa yang tidak mengenakkan
hati itu masih saja mengganggu dan berkecamuk
hebat di dalam pikiran Siau In. Oleh sebab itu pula
walaupun malam telah merangkak semakin larut,
gadis cantik itu masih saja bermenung sendirian di
tepi pantai. Dibiarkannya angin malam yang nakal itu
membelai dan mengacaukan rambutnya. Bahkan
dibiarkannya pula air laut yang mulai pasang itu
membasahi kain celananya.
Berjam-jam lamanya gadis itu duduk diam bagai
patung batu. Diam tak bergerak. Matanya
menerawang jauh ke tengah laut seolah-olah ingin
menjenguk cakrawala, di mana langit dan permukaan
laut saling bertaut menjadi satu. Hanya tarikan
napasnya yang panjang dan berat saja yang
menandakan gadis itu masih hidup.
Terdengar suara lonceng dari kampung Ui-thiancung,
pertanda hari sudah lewat tengah malam. Air
laut benar-benar telah mulai pasang, sehingga pasir di
mana Siau In duduk juga mulai dibanjiri air.
Siau In terpaksa beranjak pergi meninggalkan
tempat itu. Dengan lesu gadis itu melangkah satu-satu
ke tempat yang lebih tinggi. Kadang-kadang ia harus
melompati batu-batu karang yang berserakan di
depannya. Dan akhirnya gadis itu memutuskan untuk
duduk kembali di sebuah batu karang yang menjulang
paling tinggi.
Namun ketika Siau In mulai meletakkan pantatnya
di puncak batu karang itu, tiba-tiba matanya terbelalak
174
memandang ke tengah laut. Di antara gulungan
ombak yang bergulung-gulung datang, gadis itu
melihat sebuah perahu datang mendekati pantai di
mana ia berada. Yang membuatnya heran adalah
perahu itu sama sekali tidak memasang lampu seperti
halnya perahu-perahu nelayan yang lain.
Siau In meloncat turun dan bersembunyi di balik
batu karang. Nalurinya mengatakan bahwa perahu
yang datang itu bukanlah perahu nelayan biasa. Ada
sesuatu yang aneh dan mencurigakan. Selain tidak
memasang lampu, perahu itu juga tidak berlabuh di
perkampungan nelayan, tapi tempat terasing seperti
ini.
Perahu itu ternyata cukup besar pula, mungkin - ada
empat atau lima tombak panjangnya. Di tengahtengahnya
dibangun sebuah ruangan lengkap dengan
atapnya. Dan begitu menyentuh pasir, enam orang
penumpangnya segera berloncatan turun untuk
menyeret perahu itu ke tepian.
Siau In menjadi berdebar-debar hatinya. Melihat
gerakan orang-orang itu dapat dipastikan bahwa
mereka memiliki kepandaian silat yang tinggi. Tubuh
mereka yang hanya mengenakan baju tanpa lengan
itu, tampak kokoh kekar dan perkasa.
"Tutup perahu ini dengan daun ilalang yang
tumbuh di tepian itu!" tiba-tiba terdengar suara
berwibawa dari dalam perahu.
175
Siau In terkejut bukan main. Ternyata masih ada
lagi orang di dalam perahu itu. Untunglah gadis itu
tidak gegabah dalam pengintaiannya.
Sekejap saja keenam orang itu telah membabati
daun ilalang dan menutupkan nya pada perahu besar
itu. Mereka bekerja dengan cepat tanpa suara, seperti
kawanan hantu yang bekerja di malam hari. Mereka
seperti tidak memperdulikan orang yang masih berada
di dalam perahu.
Selesai menimbun perahu dengan daun ilalang,
orang-orang itu lalu berdiri tegak menunggu perintah.
Tak seorang pun membuka mulutnya. Mereka tegak
kaku bagaikan patung batu.
Siau In mencoba melihat wajah-wajah mereka.
Namun karena jaraknya terlalu jauh, maka hanya
warna pakaian dan bentuk perawakan mereka saja
yang bisa dilihatnya. Kegelapan membuat wajah
mereka tampak hitam dan samar-samar.
Keenam orang itu mengenakan pakaian yang
berbeda-beda warnanya. Kuning, hijau, biru, merah,
putih dan hitam. Masing-masing membawa pedang di
atas punggungnya.
"Carilah tempat berlindung! Kita tunggu
kedatangan mereka!" tiba-tiba terdengar suara di atas
batu karang di mana Siau In bersembunyi.
Hampir saja Siau In menjerit. Tanpa dia ketahui
bagaimana atau kapan keluarnya, orang yang berada
di dalam perahu tadi telah berdiri tegak di atasnya, di
atas batu karang besar itu. Demikian dekatnya,
176
sehingga rasa-rasanya dia bisa menjangkau ujung
sepatu orang itu. Untunglah cuaca cukup gelap dan
suara debur ombak juga cukup berisik pula sehingga
benar-benar membantunya dari perhatian orang itu.
Coba kalau tidak, arang itu tentu akan segera
mengetahui persembunyiannya.
Angin laut berhembus dengan tajamnya, tapi peluh
dingin justru mengucur dengan derasnya di leher dan
punggung Siau In. Hampir-hampir gadis itu tidak
berani bernapas, takut suaranya akan terdengar.
"Ada orang datang...!" orang itu bersuara lagi.
"Bersembunyilah...!"
Dan untuk yang kedua kalinya Siau In tersentak
kaget. Suara itu telah berada di dalam timbunan daun
ilalang kembali, tanpa sedikit pun ia ketahui kapan
berpindahnya. Padahal perahu yang ditimbun ilalang
itu ada tiga atau empat tombak jauhnya dari batu
karang tempat ia bersembunyi.
Sekarang bukan hanya ketegangan atau ketakutan
yang melanda hati Siau In, tapi juga rasa ngeri
menyaksikan kehebatan orang itu. Sekejap timbul
juga perasaan bimbang di hatinya. Benarkah orang itu
atau mereka itu manusia-manusia biasa seperti
dirinya? Ataukah mereka itu hantu-hantu penjaga
pantaj yang sedang menakut-nakuti dirinya?
"Aku sama sekali tak melihat gerakannya. Orang
yang berdiri di atas batu karang ini tadi seperti
menghilang begitu saja. Rasa-rasanya memang cuma
177
hantu atau roh yang bisa berbuat demikian." gumam
Siau In di dalam hatinya.
Kemudian gadis itu menyurukkan tubuhnya
semakin dalam ke celah-celah batu karang. Kalau
memang benar makhluk-makhluk itu bukan manusia
seperti dirinya, Siau In ingin tahu apa yang hendak
mereka perbuat di tempat itu.
"Hemmm, kenapa hanya seorang yang datang...?"
tiba-tiba orang yang bersembunyi di dalam perahu
tadi berdesah agak keras.
Siau In menjulurkan kepalanya di antara celah
sempit di dekatnya. Dengan amat hati-hati gadis itu
mengintip ke luar.
Benar juga. Tidak lama kemudian dari arah
kampung Ui-thian-cung terlihat sesosok bayangan
hitam berloncatan di antara batu karang yang
berserakan di tepian pantai tersebut. Dengan cepat
bayangan hitam itu terbang mendekati. Gerakan
kakinya sangat ringan dan lincah, menandakan orang
itu memiliki ginkang yang tinggi pula.
Sekejap saja bayangan itu telah berada di dekat
perahu. Dan sungguh kebetulan juga, bayangan itu
berdiri tak jauh dari tempat Siau In bersembunyi,
sehingga gadis itu bisa melihat wajah orang itu
dengan jelas.
Orang itu mengenakan jubah hitam yang amat
longgar, hingga tubuhnya yang tegap dan tinggi itu
semakin tampak seperti raksasa. Rambutnya yang
panjang dan telah berwarna dua itu dibiarkan tergerai
178
di pundaknya. Demikian juga dengan kumis dan
jenggotnya yang lebat itu dibiarkannya tumbuh bebas
menutupi sebagian besar wajahnya pula. Sesaat
hampir saja Siau In menyangkanya sebagai Tong Taisu.
-- o0d-w0o --
JILID V
AAFKAN hamba, Kongcu. Hamba
datang terlambat, sehingga hamba tidak
bisa menjemput kedatangan Paduka di
tengah laut tadi." orang yang baru saja
datang itu membungkuk hormat ke arah
perahu sambil melaporkan keadaannya.
"Ada urusan apa di Pek-hok-bio sehingga kau mesti
terlambat menjemput aku?" orang lihai di dalam
perahu itu berkata dingin.
Raksasa berjubah hitam itu menarik napas panjang.
"Musuh lama hamba kembali datang mengganggu
tugas hamba, Kongcu." jawabnya kemudian dengan
suara geram.
"Hmmh! Sogudai...! Siapa musuh lamamu itu?
Apakah kau dan teman-temanmu tidak dapat
menyelesaikan dia?" suara di dalam perahu itu
terdengar marah.
M
179
Raksasa yang dipanggil Sogudai itu kelihatan
gemetar tubuhnya. "Dia bernama... Liu Wan, Kongcu.
Dia dikenal orang sebagai Bun-bu Siu-cai (Pelajar
Serba Bisa). Kepandaiannya sangat tinggi, sehingga
hamba dan kawan-kawan hamba tidak bisa
menghadapinya. Pek-hok-bio terpaksa kami
tinggalkan...."
Siau In yang sejak tadi selalu melotot mengawasi
timbunan ilalang di atas perahu itu, tiba-tiba melihat
sebuah gerakan. Tumpukan daun ilalang yang
menutupi bagian atap perahu itu mendadak tersingkap
sedikit, lalu sesosok bayangan tampak melesat keluar
dengan kecepatan yang sulit dilukiskan. Dan
selanjutnya terdengar suara tamparan pada pipi
Sogudai, sehingga raksasa itu sempoyongan hampir
jatuh.
"Tolol kau...!" orang yang bersuara angker itu
mengumpat dan di lain saat bayangannya telah
menyusup kembali ke dalam perahu.
Meskipun bisa menangkap gerakan orang di dalam
perahu itu, tapi tetap saja Siau In tak dapat melihat
dengan jelas macam apa orang itu. Demikian cepatnya
orang tersebut bergerak sehingga rasa-rasanya cuma
bayangannya saja yang tampak.
Sogudai berlutut di atas pasir. Kepalanya tertunduk
dalam-dalam.
"Maafkan hamba, Kongcu...." desahnya lirih
hampir tak terdengar.
180
Hening sesaat. Lalu terdengar suara tarikan napas
panjang dari dalam perahu.
"Baiklah, semua ini memang bukan salahmu
sendiri. Kau boleh terus melanjutkan tugasmu. Lalu...
kemanakah kawan-kawanmu?" suara dari dalam
perahu, itu berubah lunak.
Sogudai tampak gembira sekali. Berulang kali dia
membungkukkan tubuhnya dan mengucapkan terima
kasih.
"Mereka hamba perintahkan untuk pergi
meninggalkan Pek-hok-bio dan berkumpul di kota
Cia-sing. Kalau Kong-cu memperbolehkan, kami
bermaksud untuk menggabungkan diri dengan
rombongan Bayan Tanu di kota Siang-hai."
"Bodoh!" Tiba-tiba orang yang ada di dalam perahu
itu membentak. "Mengapa otakmu sekarang menjadi
amat tolol begitu, Sogudai? Bukankah kau dan anak
buahmu ditugaskan di Propinsi She-kiang ini? Kenapa
sekarang tiba-tiba kau ingin bergabung dengan Bayan
Tanu yang bertugas di Propinsi Kiang-su? Lalu siapa
yang bertanggung jawab di daerah ini?"
Sogudai dengan ketakutan berlutut di atas pasir
basah. Berulang-ulang ia meminta maaf dan mengakui
kebodohannya.
"Hamba... hamba memang terlalu bodoh, Kongcu.
Kegagalan-kegagalan dalam tugas hamba selama ini
membuat hamba berputus asa dan kehilangan
kepercayaan diri. Hamba takut akan semakin
181
mengecewakan Seng-yu (Sebutan untuk raja suku
bangsa Hun atau Tartar)."
"Jadi... kau hendak mengundurkan diri dari
tugasmu ini?" suara dari dalam perahu itu mendadak
menjadi kejam dan dingin kembali.
"Bukan... bukan begitu, Kongcu!" Sogudai merintih
ketakutan. "Hamba tidak bermaksud demikian.
Hamba... hamba justru ingin bertanggung jawab atas
kegagalan-kegagalan hamba itu. Tapi hamba ingin
mempertanggung- jawabkannya sendirian. Hamba
tidak ingin melibatkan dan menyeret kawan-kawan
hamba itu dalam hal ini. Mereka adalah orang-orang
yang sangat patuh dan setia kepada Seng-yu. Maka
biarlah mereka bergabung dengan Bayan Tanu,
sementara hamba akan menanti hukuman dari
Kongcu."
Hening kembali. Orang yang ada di dalam perahu
itu tidak segera menjawab perkataan Sogudai. Dan
keheningan tersebut benar-benar mencekam hati Siau
In yang menggigil kedinginan di dalam
persembunyiannya.
Meskipun tidak mengetahui ujung pangkal dari
pembicaraan orang-orang itu, namun sebagai orang
Han yang setia terhadap negerinya, sedikit banyak
Siau In menjadi curiga terhadap sepak-terjang mereka.
Gurunya pernah bercerita tentang kekejaman suku
bangsa Hun dari luar Tembok Besar, yang pernah
beberapa kali menyerang Negeri Tiongkok.
182
"Jangan-jangan mereka ini orang-orang Hun yang
pernah diceritakan Suhu itu. Tetapi... rasa-rasanya
juga mustahil. Tempat ini ada ribuan lie jauhnya dari
Tembok Besar itu. Apa yang mereka cari di daerah
ini?" gadis itu bertanya-tanya di dalam hatinya.
"Sogudai...! Kita tunda dulu persoalanmu ini. Kita
bicarakan lagi nanti setelah tugas di tempat ini selesai.
Untuk sementara kau boleh bergabung dengan
rombongan Hulungka yang sebentar lagi akan tiba di
sini." akhirnya suara dari dalam perahu itu memecah
keheningan.
"Terima kasih, Kongcu."
"Nah... itu dia! Hulungka telah datang! Kau
tetaplah di tempatmu!"
Siau In semakin berdebar-debar hatinya. Secara tak
sengaja ia berada di tempat yang sangat berbahaya, di
mana sebuah kekuatan rahasia yang amat
mencurigakan mengadakan pertemuan.
Tak lama kemudian dari tengah laut muncul tiga
buah sampan kecil merapat ke pantai. Setiap sampan
memuat tiga orang lelaki berseragam nelayan, lengkap
dengan jaring dan topi lebarnya. Salah seorang dari
mereka, yang bertubuh besar seperti halnya Sogudai,
segera meloncat turun dan berlari mendapatkan
Sogudai.
Namun sebelum orang itu menyapa Sogudai, orang
yang ada di dalam perahu itu sudah menegur lebih
dahulu. "Hulungka! Bagaimana dengan hasil
penyelidikkanmu? Apakah para pemenang sayembara
183
"Mengangkat Arca" dari lima kabupaten di sekitar
muara Sungai Yang-tse itu jadi dikumpulkan di
daerah ini?"
Nelayan bertubuh besar itu terkejut sekali, ia tak
bisa segera menjawab teguran tersebut.
"Kongcu berada di dalam perahu yang tertimbun
ilalang itu." Sogudai memberitahukan.
"Akh...! Maaf, Kongcu. Perhatian hamba cuma ke
Sogudai saja sehingga tidak tahu kalau Kongcu sudah
berada di tempat ini." Hulangka cepat-cepat
menjawab dan memberi hormat ke arah perahu itu.
"Lekas kau laporkan hasil penyelidikanmu itu!"
suara dari dalam perahu itu kembali menghardik.
Hampir saja Siau In terpeleset di tempat
persembunyiannya. Suara itu tidak begitu keras,
namun terasa menggelegar di dalam rongga dadanya.
Untunglah ia segera mengerahkan sinkang-nya,
sehingga getaran suara tersebut dapat diredamnya.
"Orang yang dipanggil Kongcu ini sungguh hebat
sekali kepandaiannya. Rasanya tidak kalah dengan
Pemuda Nakal yang memberi malu kepadaku sore
tadi. Hmmmm, dunia persilatan memang benar-benar
menggetarkan. Kepandaian silat yang kupelajari dan
kubangga-banggakan selama ini ternyata belum apaapanya
bila dibandingkan dengan mereka." gadis itu
berdecak kagum di dalam hati.
"Kongcu, seperti yang diperintahkan oleh Pendeta
Agung Ulan Kili, hamba beserta anak buah hamba
sudah menjelajah hampir seluruh kota aliran muara
184
Sungai Yang-tse. Hamba melihat dan mengikuti terus
persiapan-persiapan yang dilakukan oleh anak buah
Au-yang Goanswe di daerah tersebut. Menurut
penglihatan hamba, rencana mereka tetap tak berubah.
Pemuda-pemuda itu tetap akan dikumpulkan lebih
dulu di tempat di sepanjang pantai ini. Sayang hamba
tak bisa memperoleh kepastian tempatnya...."
"Huh!" orang yang ada di dalam perahu itu
mendengus kesal. "Lalu, apa yang hendak kalian
lakukan selanjutnya?"
Hampir berbareng Hulungka dan Sogudai
mengangkat wajahnya. Keduanya tampak kaget dan
bingung.
"Aa-apa... maksud Kongcu?" akhirnya Hulungka
memberanikan diri untuk bertanya.
"Sudah kukatakan, apa rencana kalian selanjutnya?
Lekas kalian jawab!"
"Eh, anu... bukankah kita telah diperintahkan oleh
Panglima Solinga untuk menumpas mereka setelah
mereka berkumpul semuanya?" Hulungka menjawab
dengan gugup.
"Aku tidak sependapat!" tiba-tiba orang yang ada di
dalam perahu itu menggeram keras.
Tubuh Sogudai dan Hulungka yang besar itu
tersentak kaget. Mereka saling berpandangan.
"Maksud... maksud Kongcu?" Sogudai memohon
penjelasan.
"Aku tidak setuju dengan rencana Panglima
Solinga!"
185
"Jadi...?"
"Kita akan membantai para pemenang perlombaan
itu secepatnya, di manapun juga mereka pun kita
temukan! Tak perlu harus menunggu mereka
berkumpul!"
Hulungka dan Sogudai menjadi ketakutan. Wajah
mereka menjadi pucat.
"Tapi... tapi... Panglima Solinga telah dipercaya
oleh 'Seng-yu' untuk memimpin tugas rahasia ini."
dengan suara gemetar Hulungka mencoba untuk
memberi peringatan.
"Persetan dengan kepercayaan itu! Yang penting
kita harus berhasil dengan tugas kita ini! Seharusnya
Panglima Solinga berpikir dua kali untuk
mempercayai rencana Au-yang Goan-swe itu!" orang
di dalam perahu itu menggeram lagi dengan keras.
"Maksud Kong-cu...?" Hulungka bertanya.
"Orang Han terkenal akan kelicikan dan
kecerdikannya. Aku khawatir Au-yang Goan-swe
sengaja meniupkan berita palsu untuk menjebak
orang-orang yang hendak merintangi tugasnya.
Ingatlah! Au-yang Goanswe adalah seorang panglima
perang yang terkenal cerdik dan ahli bersiasat!"
"Oooh!" Hulungka tertegun seperti orang yang baru
saja terbangun dari tidurnya. Perkataan orang yang
ada di dalam perahu itu mulai mengusik hatinya.
"Seharusnya kita merasa heran atas rencana itu.
Cobalah kalian pikirkan. Kota An-king dan Wuhu di
Propinsi An-hwei, lalu kota-kota Nanking, Cin-kiang
186
dan Wu-shi di Propinsi Kiang-su. Kota-kota tersebut
lebih dekat jaraknya: dari kota raja daripada Hang-ciu
ini. Nah, mengapa anak buah Au-yang Goanswe itu
harus berpayah-payah membawa rombongan
pemenang sayembara itu ke sini kalau akhirnya
mereka harus dibawa kembali ke utara? Masuk
akalkah itu?"
"Ini... ini, eh... pendapat Kongcu rasanya betul
juga." akhirnya dengan suara lirih Hulungka
mengakui.
"Benar. Rasanya memang aneh. Mengapa mereka
tidak dikumpulkan di kota Nanking saja, sehingga
tidak bolak-balik membawanya?" Sogudai berdesah
pula dengan heran.
"Nah! Sekarang kalian berdua boleh memilih.
Menurut perintahku atau... tetap mengikuti rencana
Panglima Solinga! Lekas jawab!"
"Tapi... bagaimana dengan Panglima Solinga?"
Hulungka menjawab ragu.
"Jangan khawatir! Aku sendiri yang akan berbicara
dengan dia nanti." orang yang ada di dalam perahu itu
berkata tegas.
"Bagaimana dengan Seng-yu...?" Sogudai bertanya
pula.
"Jangan cerewet! Aku juga yang akan bertanggung
jawab jika Seng-yu marah! Nah... bagaimana?"
Sogudai dan Hulungka saling memandang sejenak,
kemudian mengangguk ke arah perahu. "Baiklah,
187
Kongcu. Kami berdua akan patuh pada perintah
Kongcu." keduanya menjawab berbareng.
"Bagus! Pilihan kalian memang tepat! Aku tidak
perlu tersusah payah memerintahkan Lok-kui-tin
(Barisan Enam Hantu) untuk mengambil nyawa
kalian..." orang di dalam perahu itu berkata dingin.
"Terima kasih, Kongcu." Hulungka dan Sogudai
cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut di atas pasir.
Keringat dingin keluar membasahi punggung mereka.
Keringat dingin juga mengalir membasahi tubuh
Siau In di tempat persembunyiannya. Semakin banyak
gadis itu mendengarkan percakapan mereka, hatinya
semakin merasa ngeri. Dan di dalam hatinya gadis itu
juga menjadi semakin yakin, bahwa ia sedang
berhadapan dengan orang-orang asing. Orang-orang
dari suku bangsa Nomad yang berdiam jauh di utara.
Bahkan kalau ditilik dari nama maupun sebutansebutan
yang mereka pergunakan, mereka memang
benar-benar dari suku bangsa Hun.
"Apa yang hendak mereka lakukan di tempat yang
jauh ini? Mengapa mereka akan membunuh semua
pemenang perlombaan "Mengangkat Arca"? Mengapa
mereka sampai mengirimkan panglima pula? Ah...!
Aku tidak mengerti. Tentu... tentu ada sesuatu rencana
yang besar di balik semua ini. Aku... aku harus
melaporkannya kepada Suhu." berbagai macam
pertanyaan berkecamuk di dalam benak Siau In.
"Kongcu! Perahu besar itu sudah kelihatan!"
188
Tiba-tiba entah dari mana datangnya, salah satu
dari keenam pengawal itu telah berada di samping
Hulungka. Ia mengenakan seragam merah-merah.
Kedatangan orang itu. tidak hanya mengagetkan
Siau In, tapi juga mengejutkan Sogudai dan
Hulungka. Menurut Siau In, gerakan orang
berseragam merah-merah itu sungguh sesuai sekali
dengan julukannya. Hantu! Tanpa diketahui
gerakannya dan dari mana ia datang, tahu-tahu ia telah
berdiri di .dekat Hulungka! Kecepatan geraknya rasarasanya
tidak jauh di bawah orang yang bersembunyi
di dalam perahu itu.
Sedangkan bagi Sogudai dan Hulungka sendiri, rasa
kaget itu lebih disebabkan karena tidak menyangka
bahwa mereka bisa bertemu muka secara langsung
dengan salah seorang Hantu Pengawal Raja yang amat
tersohor di negerinya. Soal kesaktian, Barisan Enam
Hantu itu memang sudah lama mereka ketahui,
apalagi sepak - terjangnya yang ganas, kejam, serta
penuh rahasia itu. Dan seperti halnya Siau In, diamdiam
hati merekapun merasa bergetar menyaksikan
kehebatan gin-kang hantu berseragam merah tersebut.
"Kata orang Hantu Merah ini adalah orang termuda
dari Barisan Hantu itu. Paling muda tapi kabarnya
paling ganas dan paling sulit diajak bersahabat. Hmm,
kalau yang termuda saja ginkangnya sudah demikian
tinggi, apalagi dengan yang lain-lainnya." diam-diam
Sogudai dan Hulungka berkata di dalam hatinya.
189
"Baik, Ang-kui (Hantu Merah)! Kau bersiaplah
bersama saudara-saudaramu! Kita tumpas rombongan
pemenang sayembara itu setelah mereka berkumpul di
atas perahu!" orang yang bersembunyi di dalam
perahu itu tiba-tiba memberi perintah.
"Baik, Kongcu!" Ang-kui menyahut lantang,
kemudian tubuhnya melesat pergi dengan cepatnya.
"Sogudai... Hulungka! Perahu besar yang dikirim
untuk mengangkut para pemenang sayembara itu telah
datang. Ternyata semuanya memang sesuai dengan
rencana. Kita basmi mereka setelah pemenang dari
kota Hang-ciu nanti datang. Hm, apakah kalian sudah
siap?" orang yang disebut Kongcu itu lalu
mengalihkan kata-katanya kepada Sogudai dan
Hulungka yang masih berdiri di tempat itu.
"Hamba juga sudah siap, Kongcu." Sogudai dan
Hulungka menjawab hampir berbareng.
"Bagus! Nah, Hulungka.... kauajak Sogudai
bersama anak buahmu untuk mengawasi perahu itu di
tengah laut! Awas, kalian harus benar-benar dapat
mempergunakan penyamaran kalian sebagai nelayan
dengan baik! Jangan sampai anak buah Au-yang
Goanswe curiga. Cepat kalian melapor kalau perahu
itu merubah haluan!"
Hulungka cepat membungkukkan tubuhnya,
kemudian menggandeng lengan Sogudai, menuju ke
sampan bersama anak buahnya. Sebentar saja sampansampan
itu telah dikayuh ke tengah laut kembali.
190
Siau In benar-benar memperoleh tempat
persembunyian yang bagus, yaitu di sebuah tumpukan
karang-karang besar yang berrongga di dalamnya,
sehingga dengan aman dan leluasa ia bisa mengawasi
keadaan di tepian itu tanpa diketahui oleh lawanlawannya.
Dan Siau In memang tidak menunggu terlalu lama.
Begitu sampansampan
tadi
hilang ditelan
kegelapan, dari
tengah laut
tampak sinar
lampu yang
semakin lama
semakin
membesar.
Keringat dingin
mulai membanjir
kembali di tubuh
gadis itu. Ia tak
segera bisa
memutuskan, apa
yang harus ia
perbuat untuk
menolong mereka.
"Kepandaian mereka rata-rata berada di atas
kepandaianku. Melawan mereka sendirian berarti
bunuh diri. Tapi kalau hanya melihat dan berdiam diri
191
saja di sini, rasanya juga salah. Aah... apa yang harus
kulakukan?"
Belum juga Siau In menemukan jalan keluar yang
baik untuk ia lakukan, telinganya telah mendengar
suara derak perahu dan lengkingan suara aba-aba di
kejauhan. Ketika Siau In melongok dari lobang
persembunyiannya, dilihatnya sebuah perahu besar
telah membuang sauh agak jauh dari garis pantai. Dua
buah lampu besar menerangi bagian haluan dan
buritannya. Dan Siau In segera melihat kesibukan
para penumpangnya.
Belasan orang .perajurit berseragam lengkap
bergegas menurunkan beberapa buah sampan kecil ke
dalam air. Kemudian satu persatu mereka turun
menaikinya. Sebuah sampan untuk tiga orang prajurit.
Mereka lalu menyebar di sekeliling perahu besar
tersebut untuk berjaga-jaga.
Seorang perwira tinggi berseragam indah
gemerlapan tampak keluar dari bilik perahu. Seperti
sedang kesal ia melangkah cepat ke atas anjungan.
Seorang lelaki berpakaian biasa tampak menempel
ketat di belakangnya.
"Heran! Kemana Lim Kok Liang dan Su Kiat Hong
ini? Mengapa mereka tidak menyambut kedatangan
kita?" Perwira itu menggerutu kesal.
"Mungkin ada sesuatu yang menghambat tugas
pekerjaan mereka, Ciangkun." lelaki berpakaian biasa
yang tidak lain adalah pengawal pribadi perwira itu
192
menjawab perlahan. "Jangan-jangan mereka juga kena
musibah pula seperti yang lain.,.,"
Perwira itu tidak berkata lagi. Dia hanya berdesah
panjang seraya naik ke tempat yang lebih tinggi lagi.
Matanya tajam mengawasi kegelapan malam. Tibatiba
wajahnya menjadi cerah. Ia melihat iring-iringan
manusia menuju ke tempat itu.
"Itu mereka datang...!" serunya lega. "Tampaknya
banyak juga anak yang di bawanya."
Siau In mengintip lagi dari celah-celah lobang
persembunyiannya. Di kejauhan, dari arah
perkampungan Ui-thian-cung, memang terlihat sebuah
iring-iringan panjang mendatangi. Setelah dekat gadis
itu segera mengernyitkan dahinya. Rombongan itu
terdiri dari sepuluh orang pemuda tanggung dan enam
orang pengiringnya.
Siau In memang tidak mengenal tiga orang
pengiring bersenjatakan golok di belakang barisan,
tapi ia mengenal tiga orang pengiring yang berjalan di
depan barisan. Dua orang di antaranya pernah
dilihatnya di dalam warung arak pagi tadi, sementara
yang seorang lagi adalah Tong Tai-su, yang baru saja
berkelahi dengannya.
Perwira tinggi yang berdiri di atas anjungan itu
segera memerintahkan anak buahnya untuk
menurunkan sampan lagi yang agak besar. Bersama
pengawal pribadinya ia lalu mendarat ke tepian.
"Selamat malam, Gui Ciang-kun...!" Lim Kok
Liang yang segera tiba pula bersama rombongannya,
193
menyapa sambil membungkukkan badannya. "Maaf,
kami datang terlambat. Ada keributan sedikit yang
mengganggu perjalanan kami."
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru