Kamis, 19 April 2018

Rajawali Emas 1 Lanjutan Si Raja Pedang

----
baca kisah sebelumnya
PEGUNUNGAN Lu-liang-san terkenal sebagai gunung yang indah dan subur, terutama sekali hal ini
disebabkan oleh Sungai Kuning yang mengalir di antara pegunungan ini. Banyak terdapat hutan-hutan
lebat dan bagian-bagian yang amat indah penuh dengan pohon-pohon berbuah dan tanaman berbunga.
Hutan-hutan ini sebagian besar masih merupakan hutan liar yang asli, belum terjamah tangan dan terinjak
kaki manusia. Oleh karena itu, penghuni asli hutan-hutan itu, yaitu binatang-binatang besar kecil
berkembang biak dengan amat subur sehingga daerah Pegunungan Lu-liang-san terkenal sebagai tempat
yang sangat baik akan tetapi juga amat berbahaya bagi para pemburu.
Keindahan alam yang belum terjamah tangan manusia memang merupakan keindahan asli. Apa lagi di
musim semi pada waktu pohon-pohon penuh dedaunan, sedangkan di musim rontok saja terdapat
keindahan asli yang menggerakkan hati setiap orang yang dapat menghargai keindahan alam yang asli.
Lihatlah daun-daun yang melayang turun saat rontok dari tangkainya. Melayang-layang bebas lepas
seakan-akan kupu-kupu bercanda menimbulkan suara gemerisik yang tak ada hentinya. Daun-daun kering
rontok, dan dengan rela memberi kesempatan untuk berseminya daun-daun baru yang akan menggantikan
kedudukannya. Daun-daun kering merontok untuk membusuk dan menjadi pupuk bagi daun-daun baru.
Rontok dan semi, hilang yang tua muncullah yang baru. Di dunia ini mana yang tidak terlewat oleh hukum
alam ini? Yang tua lenyap untuk memberi tempat bagi yang muda, yang muda akhirnya pun tua dan lenyap
untuk mengulang sejarah yang lalu.
Gemerisik daun-daun kering rontok melayang turun diselingi suara air Sungai Huang-ho yang tidak penuh
airnya. Air bermain dengan batu-batu, berdendang lagu bahagia tak kunjung henti. Suara daun kering
rontok dan bunyi air sungai berdendang merupakan perpaduan suara yang amat indah, kadang-kadang
diramaikan suara burung di pohon dan sekali-kali terdengar raungan binatang buas dari dalam semaksemak
belukar.
Betapa pun besar bahaya rnengancam keselamatan manusia yang berani memasuki hutan-hutan ini, yaitu
bahaya dari ancaman binatang-binatang buas, akan tetapi tetap saja akhirnya ternyata bahwa manusialah
makhluk yang paling kuat di antara segala makhluk hidup di dunia ini.
Pagi hari itu, di kala sinar matahari berebutan menerobos ke celah-celah daun pohon yang mulai
menggundul dan burung-burung tengah ramai bersaing kemerduan kicau mereka terdengar suara lain di
dalam hutan itu. Suara manusia!
Burung-burung yang terdekat dengan tempat itu menghentikan kicaunya, sebagian lalu terbang pergi
ketakutan. Binatang-binatang kecil berlarian menyelinap masuk ke dalam semak-semak. Binatang-binatang
besar mengintai dengan penuh kecurigaan dari balik gerombolan belukar. Seluruh perhatian para mahkluk
dalam hutan tertuju kepada mahkluk aneh yang tak pernah mereka lihat itu. Manusia!
Manusiakah yang menjadi pusat perhatian para binatang itu? Jangankan para binatang yang tak pernah
atau jarang sekali melihat manusia, sedangkan manusia-manusia sendiri kiranya akan tercengang
keheran-heranan apa bila melihat orang yang tengah berada di dalam hutan seorang diri ini.
Dia adalah seorang lelaki tinggi besar. Pakaiannya berpotongan longgar dan terbuat dari bemacam-macam
kain warna-warni yang disambung-sambung. Sepatunya, sepatu besar, juga berkembang!
Sukar menaksir umur orang ini. Yang terang dia sudah lewat dewasa, karena tubuhnya demikian tinggi
besar. Melihat perawakan dan wajahnya yang sudah masak, sedikitnya dia telah berusia empat puluh lima
tahun. Akan tetapi melihat kebodohan kanak-kanak yang membayang pada wajahnya, melihat bentuk
pakaian dan warna sepatunya serta sikapnya yang sedang bermain-main seorang diri, dia masih seperti
seorang kanak-kanak!
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang dia seorang kanak-kanak yang sudah tua, atau seorang tua yang memiliki jiwa kanak-kanak.
Karena keanehan inilah maka di dunia kang-ouw ia terkenal sekali dengan nama poyokan Koai Atong
(Bocah Aneh).
Jangan dipandang rendah Koai Atong ini. Banyak orang Kang-ouw, jagoan ternama yang berkepandaian
tinggi, akhirnya kecele pada saat mereka berani memandang rendah Koai Atong. Dia adalah murid tunggal
seorang sakti dari Tibet, seorang hwesio yang bernama Ban-tok-sim Giam Kong.
Melihat nama julukannya saja, Ban-tok-sim (Hati Selaksa Racun), mudahlah dibayangkan orang macam
apa hwesio Tibet ini. Namanya saja sudah cukup membuat seorang tokoh kang-ouw lari tunggang
langgang.
Koai Atong tertawa-tawa dan berkata-kata seorang diri di dalam hutan itu. Dia sedang melatih Jing-tokciang
(Tangan Racun Hijau), yaitu semacam ilmu pukulan yang paling diandalkan oleh suhu-nya. Walau
pun anak tua ini kelihatan ketolol-tololan, akan tetapi bakatnya dalam hal ilmu silat bukan main hebatnya.
Kalau tidak demikian, tak mungkin seorang sakti seperti Ban-tok-sim Giam Kong mau mengambilnya
sebagai murid tunggal. Hampir seluruh ilmu kepandaian Giam Kong sudah diwarisi Koai Atong, malah
dalam hal ilmu Pukulan Jing-tok-ciang, Koai Atong tak pernah berhenti untuk berlatih dan memperdalam.
“Kau harus roboh, harus roboh!” katanya sambil memutar-mutar lengan kirinya laksana orang memutar
gilingan kopi, kemudian tiba-tiba tangan kirinya dengan jari-jari terbuka mendorong ke arah sebatang
pohon.
Tidak terdengar suara apa-apa, akan tetapi semua daun kering di pohon itu merontok dan... pohon yang
batangnya sebesar paha orang itu mulai tumbang karena batangnya sudah membusuk. Bukan main
lihainya pukulan Jing-tok-ciang ini, dan demikian jahatnya sehingga batang pohon yang tadinya masih
segar menjadi busuk terkena hawanya yang beracun.
Koai Atong terkekeh-kekeh gembira, lalu melanjutkan latihannya dengan memukul pohon yang lebih besar.
Sebentar saja di situ telah rebah beberapa batang pohon, akan tetapi ia juga terduduk kelelahan karena
terlampau banyak mengerahkan tenaga lweekang dalam latihan pukulan mukjijat ini. Seperti orang
gendeng anak tua ini tertawa-tawa girang karena hasil latihannya tadi memuaskan hatinya.
Akan tetapi tiba-tiba ia kaget mendengar bunyi kelepak sayap burung besar dan ia melihat seekor burung
rajawali berbulu putih sedang menukik turun tak jauh dari tempat ia duduk beristirahat. Cepat ia melompat
dan berindap-indap mendekati tempat itu.
Bukan main hebatnya burung ini. Besar bukan main, kalau berdiri semeter lebih tingginya. Burung ini
menukik turun lantas menerjang ke arah semak-semak dan... dalam sekejap mata saja dia menerkam
seekor kijang yang bersembunyi di situ.
Kasihan kijang ini, sama sekali tak dapat melawan. Sekali cengkeram, kuku-kuku runcing melengkung itu
menusuk perut menembus kulit dan daging. Kijang berkelojotan sebentar dan mati tak lama kemudian.
Rajawali dengan sepasang matanya yang bening berapi itu mendengus dan melepaskan korbannya,
kemudian terbang pergi meninggalkan bangkai kijang begitu saja. Koai Atong terheran-heran. Gilakah
burung itu, pikirnya. Sudah membunuh kijang kenapa tidak terus dimakan, malah ditinggal pergi? ia masih
bersembunyi, seperti anak kecil ia girang dapat mengintai perbuatan ‘orang’ lain.
Akhirnya dia jemu juga karena si rajawali yang sangat gagah dan bagus itu tidak datang kembali. Tadinya
dia berniat menanti, kalau burung itu datang kembali akan ditubruk dan ditangkapnya.
Baru saja ia hendak keluar dari tempat sembunyinya untuk mengambil bangkai kijang dan dipanggang
dagingnya, terdengar auman keras dan muncullah seekor harimau dari balik semak belukar. Harimau itu
keluar dengan perlahan-lahan, hidungnya mendengus-dengus dan mulutnya menyeringai dengan air liur
menetes-netes turun. Agaknya ia telah mencium bangkai kijang, atau bau darah maka ia datang ke tempat
itu.
Begitu melirik ke kanan kiri tidak terdapat bahaya, harimau itu memburu ke arah bangkai kijang. Akan
tetapi mendadak dari arah lain muncul seekor harimau hitam yang langsung menerjang harimau belang itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Terjadi pergumulan seru, cakar-mencakar, gigit-menggigit sangat hebatnya. Koai Atong terkekeh-kekeh
senang, bertepuk-tepuk tangan seperti anak kecil menonton pertunjukan wayang di mana tokoh-tokohnya
berperang tanding.
"Hayo gigit hidungnya, cakar kupingnya. Hah-hah, heh-heh-heh!"
Akhirnya si harimau belang harus tunduk terhadap hukum rimba yang berlaku semenjak dunia berkembang
sampai sekarang ini. Siapa kuat dia benar dan menang. Siapa lemah dia salah dan kalah!
Sambil meraung-raung dengan leher yang terluka hingga berdarah, harimau belang berlari tungganglanggang.
Lawannya, si harimau hitam itu tidak mengejarnya, sebaliknya segera menghampiri biang keladi
pertempuran tadi, si bangkai kijang. Ia mencium-cium, agaknya menikmati bau bangkai dan darah kijang,
lalu menjilat-jilat darah yang mulai mengering.
"Heh-heh-heh, sergap! Sergap dari atas!" tiba-tiba Koai Atong berteriak-teriak girang.
Anak tua itu dengan pandangan matanya yang tajam dan telinganya yang terlatih dapat mendengar suara
menggelesernya tubuh ular besar di pohon, sebelah atas harimau hitam itu.
Mendengar suara Koai Atong, si harimau menjadi kaget. Akan tetapi tiba-tiba ia menjadi lebih terkejut dan
marah lagi ketika pada saat itu ada seekor ular sebesar paha manusia meluncur dari atas dan serta-merta
menyerang. Kembali terjadi pertandingan mati-matian untuk menentukan berlakunya hukum rimba.
Harimau hitam itu ganas sekali, mencakar, menggigit sampai kulit ular robek-robek. Akan tetapi setelah ia
kena dibelit, mulailah ia merasa-payah, lalu membanting diri ke kanan kiri. Si ular tidak mau melepaskan
belitannya, malah segera menggigit leher harimau itu, tak mau melepaskan lagi.
Ramai sekali pertandingan ini dan makin sukalah hati Koai Atong. Akhirnya harimau roboh tak berkutik lagi,
mati karena gigitan dan belitan ular yang amat kuatnya itu. Binatang yang kali ini menang, melepaskan
lilitannya, lalu terjadilah hal lucu yang membuat Koai Atong terkekeh-kekeh di tempat persembunyiannya.
Ular besar itu agaknya bimbang ragu, yang mana harus dia ganyang lebih dulu di antara dua hidangan
lezat ini. Sebentar dia merayap ke bangkai kijang, menjilat-jilat, lalu kembali merayap ke bangkai harimau
hitam. Ada empat lima kali dia beragu seperti itu.
Tiba-tiba Koai Atong berseru, "Ha-ha-ha, pemiliknya datang!"
Benar saja. Dari atas melayang turun dua ekor burung rajawali putih. Sekarang tahulah Koai Atong bahwa
rajawali yang menerkam kijang tadi pergi untuk memanggil anaknya. Sekarang ia telah datang kembali
bersama seekor rajawali putih lain yang lebih kecil dan kelihatan masih amat muda.
Dan sekarang ternyata bahwa binatang ular itu agaknya lebih cerdik dari pada binatang-binatang yang lain.
Begitu melihat dua ekor burung yang besar dan kuat ia maklum bahwa ia takkan kuat melawannya. Ia
mengeluarkan suara mendesis karena kecewa dan marah, akan tetapi lalu menggeleser lari bersembunyi
ke dalam semak-semak.
"Heei! Pengecut kau! Datang yang kuat lari tunggang-langgang!" Koai Atong berteriak-teriak dan memakimaki
ular.
Dua ekor burung rajawali putih itu kaget mendengar suara orang. Mereka menengok ke kanan kiri,
nampaknya marah sekali. Pada saat itu Koai Atong sudah siap sedia untuk meloncat keluar dan
menangkap burung yang lebih besar. Akan tetapi kembali ia terkejut ketika mendengar suara melengking
yang amat nyaring dari atas dan daun-daun pohon bergerak-gerak tertiup angin keras.
Mendadak tanpa memperdengarkan kelepak sayap seperti dua ekor rajawali putih tadi, dari atas
menyambar turun bayangan kuning keemasan yang menyilaukan mata. Ternyata yang menyambar turun
ini adalah seekor burung rajawali pula. Besarnya tidak luar biasa, tidak lebih besar dari pada rajawali putih
itu, malah kepalanya lebih kecil dan dadanya lebih kurus. Akan tetapi yang aneh adalah bulunya yang
berwarna kuning keemasan, bersih dan mengkilap amat indahnya, seakan-akan bulu-bulunya terbuat dari
pada sutera emas.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika dua ekor burung rajawali putih itu melihat si rajawali emas, mereka kelihatan amat ketakutan,
mengeluarkan suara merintih-rintih. Tetapi sebaliknya, rajawali emas yang baru datang mengeluarkan
suara melengking yang nyaring hingga menyakitkan anak telinga, nampaknya marah sekali, kemudian tibatiba
wajahnya bergerak ke depan, patuknya yang runcing agak melengkung itu bergerak-gerak seperti bibir
orang bicara, lehernya bergerak dan... Koai Atong mengeluarkan seruan heran, kaget, dan kagum.
Dia adalah seorang ahli silat yang berpemandangan tajam. Walau pun dia dalam urusan umum merupakan
seorang yang tolol seperti kanak-kanak, akan tetapi dalam hal ilmu silat dia termasuk seorang ahli.
Namun gerakan rajawali emas tadi sama sekali tak dapat ia ikuti dengan penglihatannya, tahu-tahu kedua
ekor rajawali putih tadi sudah roboh dengan kepala berlubang dan mati pada saat itu juga! Saking
herannya Koai Atong sampai berdiri bengong dan melihat ke arah rajawali emas itu.
Rajawali emas itu berdiri dengan gagahnya, mengangkat dada, mengeluarkan suara tiga kali lalu
menghampiri bangkai harimau yang menggeletak di sana. Kepalanya bergerak, paruhnya meyambar.
“Crattt!”
Ketika paruhnya dicabut ternyata paruh itu telah menggigit sebuah benda merah, yaitu jantung harimau
tadi. Sekali telan lenyaplah jantung itu, kemudian ia menghampiri kijang dan seperti juga tadi, sekali
paruhnya menyambar dia sudah berhasil mengambil jantung kijang. Setelah itu ia mengambil dan makan
jantung dua ekor rajawali putih itu seperti cara tadi.
Koai Atong tak bisa menahan kekagumannya melihat gerakan ini. Ternyata paruh rajawali emas itu lebih
hebat dari pada sebatang pedang di tangan seorang ahli. Ahli pedang yang mana pun juga kiranya takkan
mungkin dapat meniru rajawali emas itu, sekali tusuk dapat mengambil jantung di dalam dada binatangbinatang
tadi.
"Hebat! Kim-tiauw-heng (Kakak Rajawali Emas) kau benar-benar lihai sekali!"
Sambil berkata demikian Koai Atong berjingkrak-jingkrak keluar dari tempat sembunyinya, menghampiri
rajawali emas itu dan mengacung-acungkan ibu jari tangan kanannya.
"Serrr…!"
Secepat kilat sayap kanan burung itu menyambar, didahului angin pukulan yang sangat dahsyat ke arah
tubuh Koai Atong.
"Heee..., jangan...!" Koai Atong berseru kaget.
Cepat ia mengelak sambil merebahkan diri ke kanan, akan tetapi celaka baginya, gerakan sayap kanan
burung itu ternyata hanya merupakan tipuan belaka karena yang bergerak sesungguhnya adalah sayap
kirinya yang menyambar tanpa menerbitkan angin. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh Koai Atong terpukul
oleh sayap kiri. Kekuatan pukulan ini hebat luar biasa sehingga tubuh Koai Atong mencelat dan
menggelundung sampai lima meter jauhnya!
Baiknya Koai Atong sudah memiliki ilmu tinggi dan ketika merasa bahwa ia tidak dapat menghindarkan diri
dari pukulan tadi, ia cepat menggerahkan lweekang dan membiarkan tubuhnya didorong sampai
bergulingan. Dia hanya merasa kepalanya agak pusing, tapi tidak terluka. Cepat ia bangun berdiri dan
matanya membelalak lebar.
Pukulan rajawali itu benar-benar membuatnya makin kagum dan terheran-heran lagi. Seorang ahli silat
kelas tinggi belum tentu akan sanggup merobohkannya dalam satu jurus saja! Dan gerakan burung ini
benar-benar mengandung gerak tipu silat yang luar biasa.
"Kim-tiauw-heng, apa kau hendak bermain-main denganku? Hemmm, kalau kau mampu merobohkan aku
lagi, benar-benar kau lihai dan aku mengangkatmu menjadi guruku!"
Dia meloncat maju lagi ke depan burung itu yang memandang kepadanya dengan mata emasnya yang
mengandung sinar mengejek dan menghina. Koai Atong sekarang sudah siap sedia untuk bertempur,
maka begitu burung itu menyerangnya lagi dengan gerakan seperti tadi, yang memukul dengan sayap
dunia-kangouw.blogspot.com
kanan yang mengeluarkan angin menderu, ia tidak mengelak ke kanan dan selalu memperhatikan gerakan
sayap kiri.
Akan tetapi ternyata burung itu tidak mengubah gerakannya. Sseperti tadi sayap kirinya menyusul dengan
tamparan yang tidak mengeluarkan angin, tamparan yang tadi sudah membuat Koai Atong terguling-guling.
"Ha-ha-ha, tidak kena sekarang, kakak rajawali!"
Koai Atong tertawa-tawa mengejek sambil cepat-cepat mengelak dari serangan sayap kiri yang berbahaya
ini. Akan tetapi suara tertawanya segera disusul seruan terkejut ketika mendadak burung itu menyambar ke
depan dengan kedua kaki digerak-gerakkan seperti orang melakukan tendangan! Kedua kaki itu
menendang secara bergantian, saling susul menyusul sehingga sukar diduga kaki mana yang
sesungguhnya akan menyerang.
Koai Atong tak dapat menghadapi serangan yang luar biasa ini dan sekali lagi tubuhnya mencelat dan
terguling-guling, malah lebih jauh dari pada tadi!
Dengan pipi agak membengkak dan mata terbelalak heran Koai Atong merayap bangun. Dalam
pandangan matanya, burung itu seperti tersenyum mengejek dan mata burung itu seperti berseri-seri
menertawakannya. Timbul marah dalam hatinya.
"Kau curang! Kau licik! Aku masih belum kalah."
Dia melompat maju sambil memutar-mutar lengan kirinya, kemudian dia memukul ke arah sebatang pohon.
Pohon itu segera roboh dalam keadaan layu!
Rajawali emas agaknya kaget melihat ini. Dia mengeluarkan suara aneh, lalu terbang ke atas tetapi bukan
untuk melarikan diri, melainkan dari atas ia lalu menukik ke bawah dan menyerang Koai Atong dengan
dahsyatnya!
Tadi berhadapan di atas tanah saja sudah dua kali Koai Atong roboh dalam segebrakan saja, apa lagi
sekarang burung itu menyerangnya dari atas. Betapa pun juga, Koai Atong seorang ahli silat yang sudah
banyak menghadapi lawan-lawan lihai, tidak menjadi gugup atau takut.
Tadi dia memukul roboh pohon untuk memamerkan kepandaian dirinya. Sekarang melihat bahwa burung
itu tetap tidak takut kepadanya, dia segera memutar lengan kirinya dan mendorong ke arah burung yang
menyerangnya dari atas.
"Plakkk!"
Lengan tangannya bertemu dengan kaki burung yang bergerak seperti menangkisnya. Koai Atong
terlempar oleh dorongan tenaga yang mukjijat, sebaliknya burung itu pun mencelat dan hinggap di atas
tanah. Sekali lagi Koai Atong tertegun.
Meski seorang ahli silat yang lihai sekali pun belum tentu akan dapat menangkis pukulan Jing-tok-ciang
dari tangan kirinya tapi agaknya burung itu sama sekali tidak terluka. Koai Atong makin penasaran. Masa ia
kalah oleh seekor burung? Memalukan sekali!
Sambil berseru marah ia kembali menerjang maju, dan sekali ini tanpa ragu-ragu lagi dia mengerahkan
seluruh tenaganya menggunakan Ilmu Pukulan Jing-tok-ciang. Akan tetapi ia kecele, burung itu cerdik
bukan main dan mengenal kelihaian pukulan lawan. Kali ini rajawali tidak mau menangkis, dan kedua
kakinya dibantu pergerakan sepasang sayapnya bergerak ke sana ke mari mengelak.
Bukan main gerakan kaki ini. Selain gesit dan ringan, juga teratur dalam langkah-langkah tertentu yang
ajaib sehingga pukulan-pukulan Jing-tok-ciang itu satu kali pun tidak pernah mengenai tubuhnya.
Sebaliknya, tiap kali burung itu menghantam dengan sayapnya, tentu Koai Atong roboh terguling-guling.
Kadang-kadang, bagaikan seorang pemain bola yang ulung, kaki burung itu menendang dan membuat
tubuh Koai Atong menggelinding seperti bola pula.
Koai Atong marah luar biasa. Begitu marahnya sampai dia menangis berkaok-kaok sambil memaki-maki,
persis tingkah laku seorang anak kecil nakal kalau kalah berkelahi. Sambil menangis dan memaki ia
mengeluarkan senjatanya yang paling lihai, yaitu sebatang anak panah berwarna hijau. Inilah anak panah
dunia-kangouw.blogspot.com
yang mengandung racun hijau yang bukan main lihainya. Lawan yang terkena tusukan anak panah ini
tubuhnya akan diracuni oleh racun hijau dan jangan harap bisa hidup lagi. Dengan anak panah ditangan
kanan Koai Atong maju lagi.
Burung itu agaknya jeri melihat anak panah ini. Dia kini selalu mengelak dan sudah lewat puluhan jurus
belum juga Koai Atong dapat mengenai tubuh lawannya, sebaliknya sudah lima kali ia terguling-guling oleh
sambaran sayap burung. Diam-diam dia mengeluh karena andai kata tubuhnya tidak kebal dan andai kata
sambaran sayap itu rnerupakan pukulan manusia yang mengandung lweekang, tentu dia sudah mampus!
“Alangkah malu kalau tak dapat membalas,” pikirnya.
Pikiran ini membuat ia nekat. Betapa pun juga, pikiran seorang manusia biar pun berjiwa kanak-kanak
agaknya masih lebih berakal dari pada pikiran seekor burung. Ketika burung itu untuk kesekian kalinya
menampar, Koai Atong sengaja menerima tamparan ini dan berbareng menggunakan anak panahnya
memapaki sayap burung.
Hebat pukulan itu, membuat Koai Atong terlempar dan terbanting sampai matanya terasa berkunangkunang.
Akan tetapi burung itu sendiri mengeluarkan suara kesakitan. Anak panah hijau itu telah
menancap di sayap kirinya. Ia kebingungan, sayap kirinya menjadi lumpuh dan dengan paruhnya ia
menggigit gagang anak panah, lalu dicabutnya.
Dengan kemarahan berkobar-kobar burung itu menggunakan paruh dan kaki kanannya mencengkeram
dan... anak panah itu patah dan dilemparnya ke tanah. Sekarang burung itu marah sekali, mengeluarkan
bunyi melengking tinggi.
Ia menggerak-gerakkan sayap hendak terbang, akan tetapi sayapnya yang kiri tidak dapat digerakkan.
Burung itu mematuk-matuk ke arah sayap kirinya. Ternyata bahwa ujung anak panah hijau masih tertinggal
disayapnya itu. Ketika dia tadi mencabut anak panah, saking kuat gerakannya, anak panah itu patah pada
ujungnya.
Koai Atong juga marah karena pukulan terakhir itu membuat tubuhnya terasa sakit-sakit semua. Dia lalu
meniru suara burung itu, memekik-mekik juga, malah lebih keras sambil memutar-mutar lengan kirinya,
siap mengirim pukulan Jing-tok-ciang lagi karena sekarang senjatanya telah rusak.
Sekali lagi Koai Atong memukul dengan Jing-tok-ciang dan biar pun sudah terluka, sekali lagi pula burung
itu dapat mengelak menggunakan gerak kaki yang aneh sekali. Sebelum sempat memperbaiki
kedudukannya, Koai Atong sudah terdorong lagi oleh pukulan sayap kanan sampai terguling-guling.
Koai Atong bangun lagi sambil menggoyang-goyang kepala keras-keras karena matanya makin berkunang.
Sekarang timbul akalnya. Setelah pusingnya hilang dia lalu menyerang membabi-buta, mengeluarkan
semua kepandaian yang pernah ia pelajari, akan tetapi kini semua serangannya ia tujukan dari arah kiri
burung itu.
Memang bagaimana pun juga, akal Koai Atong lebih menang dari pada akal binatang itu sehingga kali ini
burung rajawali itu menjadi sibuk sekali mengelak tanpa bisa menyerang kembali karena sayap kirinya
sudah terluka dan tak dapat digerakkan lagi. Agaknya hal ini membuat ia menjadi gentar. Sambil memekikmekik
burung itu lalu lari meninggalkan Koai Atong.
"Kau hendak lari ke mana? Sebelum berlutut minta ampun mana aku mau melepaskan kau?" Koai Atong
memaki-maki dan mengejar.
Akan tetapi larinya burung itu bukan main cepatnya! Seakan-akan kedua kakinya tidak menginjak tanah,
padahal sayapnya yang kiri sudah tidak dapat digunakan untuk terbang lagi. Apa lagi kali ini agaknya
pembawaan binatang itu mengatasi akal manusia, karena kini larinya menyusup-nyusup melalui semak
belukar sehingga payahlah bagi Koai Atong untuk dapat mengikuti terus.
Akhirnya ia tertinggal jauh dan sesampainya di tengah hutan yang lebat ia bingung karena tidak tahu harus
mengejar ke mana. Burung rajawali emas itu lenyap seperti ditelan bumi. Namun, orang seperti Koai Atong
mana mau sudah begitu saja? Ia seperti seorang anak kecil yang kehilangan mainan bagus, maka sambil
memaki-maki dan marah-marah ia pun mencari terus…..
********************
dunia-kangouw.blogspot.com
Seorang wanita muda berjalan seorang diri di dalam hutan itu. Wanita ini masih muda sekali, baru berusia
sekitar dua puluh satu tahun. Sungguh pun badannya tidak terpelihara baik-baik, dapat dilihat dari
pakaiannya yang tidak teratur serta rambutnya yang kusut, namun tak dapat disangkal oleh siapa pun juga
bahwa dia adalah seorang wanita muda yang amat cantik jelita.
Sayang bahwa pada waktu itu, tidak saja pakaian dan badannya tidak terawat baik-baik, juga pada wajah
yang cantik manis itu nampak kedukaan dan kesengsaraan hati yang amat hebat. Wajah itu sungguh
suram dan pada pipinya nampak bekas-bekas air mata.
Sambil menundukkan mukanya, wanita itu berjalan di dalam hutan. Kakinya melangkah tanpa tujuan
seperti orang berjalan dalam tidur. Berulang-ulang ia menarik nafas panjang, kadang-kadang
mengeluarkan air mata.
Tiba-tiba ia dibangunkan dari lamunannya oleh suara lirih yang datang dari semak-semak belukar. Suara
yang mengandung keluh kesakitan, merintih-rintih.
Wanita itu tertarik hatinya dan menyelinap memasuki belakang semak-semak yang amat rapat dan liar.
Ternyata di situ mendekam seekor burung yang merintih-rintih kesakitan. Wajah wanita itu nampak kaget
melihat seekor burung yang begitu besarnya dan bulunya seperti emas berkilauan.
Ketika melihat sayap kiri burung itu tergantung lemas dan darah bercucuran dari luka nya yang masih
tertancap ujung anak panah, wanita itu berkata, suaranya penuh perasaan kasihan. "Ahhh, sayapmu
terluka? Kasihan sekali, mari kucabut ujung anak panah itu. Siapa orangnya yang begitu kurang ajar
melukai burung begini indah?"
Dari suaranya saja mudah diketahui bahwa pada dasarnya wanita ini bersikap gagah dan pembela kaum
lemah, sayang bahwa dia sedang disiksa oleh penderitaan batin agaknya.
Burung itu bukan lain adalah rajawali emas yang terluka oleh anak panah Koai Atong. Biar pun dia hanya
seekor burung, namun ia termasuk binatang yang cerdik juga dan dapat mengenal kawan atau lawan.
Agaknya ia berkesan baik terhadap wanita ini, buktinya ia lalu mengeluarkan suara merintih dan
menjulurkan sayap kirinya bagai seorang anak kecil memperlihatkan tangannya yang sakit kepada ibunya.
Wanita itu meraba sayap itu, memeriksa sebentar.
"Ah, kasihan sekali kau, alangkah kejam orang yang melukaimu. Tentu sakit dan perih..." tiba-tiba ia
meramkan mata dan menyarnbung, "namun, burung yang baik, betapa pun sakitnya sayapmu, tak akan
sesakit hatiku..."
la membuka mata lagi lalu menggunakan jari-jari tangan yang runcing mungil mencabut ujung anak panah
yang masih menancap dalam-dalam di sayap kiri burung itu. Dengan amat mudahnya anak panah tercabut
dan darah hijau menghitam bercucuran keluar. Dari gerakan cara mencabut ini saja dapat diketahui bahwa
wanita muda yang cantik jelita ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi juga.
Melihat darah agak kehijauan itu wanita ini nampak kaget hingga berseru, "Celaka, anak panah ini beracun!
Ahh, mungkin kau tak akan tertolong lagi..." suaranya terdengar sedih sekali. "Tapi biarlah kucoba
mengobatinya dengan obat luka yang kubawa dari Hoa-san."
Wanita itu mengeluarkan bungkusan kecil, lalu mengobati luka di sayap burung itu dengan obat bubuk
putih. Burung itu diam saja hanya merintih-rintih perlahan, kemudian dengan mesra lehernya dia gosokgosokkan
kepada leher dan kepala wanita itu.
Wanita itu pun membelai kepala burung itu sambil berkata terharu, "Ah, burung yang baik, kau seekor
binatang saja tahu terima kasih..."
Tiba-tiba terdengar suara berisik daun-daun kering terinjak disusul bentakan parau, "Ah, kiranya kau
bersembunyi di sini, rajawali iblis?" Dan muncullah Koai Atong yang mukanya masih bengkak-bengkak dan
matang biru karena tadi beberapa kali dihajar oleh burung rajawali itu sampai terguling-guling.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi begitu pandang matanya bertemu dengan wanita cantik itu, kemarahan Koai Atong seketika
lenyap dan matanya terbelalak memandang wanita itu. Mulutnya yang masih membengkak tlba-tiba
terbuka dan tertawa lebar, wajahnya berseri-seri gembira.
"Enci Hong...! Ha-ha-ha, benar, engkau adalah Enci Hong...!" dia bersorak gembira dan meloncat-loncat
seperti anak kecil menari-nari mendekati wanita muda itu.
Wanita muda itu menarik napas panjang. "Hemm, Koai Atong, jadi kaukah yang melukai burung ini?"
"Ahhh, jadi dia ini burungmu, Enci Hong?"
Wanita itu meragu sebentar, lalu mengangguk, "Betul."
"Waduh, celaka! Kalau aku tahu dia burungmu, tentu aku tidak berani mengganggunya." Koai Atong lalu
menghampiri burung itu dan menjura sangat dalam. "Kim-tiauw-ko (Kakak Burung Rajawali Emas), kau
maafkan aku, ya? Aku tidak tahu bahwa kau adalah milik dan peliharaan Enci Hong."
Melihat Koai Atong mendekat, burung itu marah dan hendak mematuk, tetapi wanita itu mencegahnya
sambil merangkul lehernya. "Dia ini orang sendiri, jangan diganggu." Dan aneh sekali, burung itu tidak jadi
menyerang.
"Koai Atong, jadi burung ini adalah seekor kim-tiauw (rajawali emas)?"
"Lho, kok aneh sekali kau ini. Masa tidak mengenal burung peliharaan sendiri?"
"Baru sekarang aku mendengar bahwa dia adalah rajawali emas. Koai Atong, kau telah melukainya dengan
racun hijau, sekarang kau harus memberi obat padanya."
"Baik... baik... ahh, Enci Hong. Jika dia burungmu, benar-benar aku harus dipukul!" Koai Atong cepat
mengeluarkan obat bubuk dari dalam sakunya.
Sebagai seorang ahli Jing-tok (Racun Hijau), tentu saja dia juga tahu bagaimana harus mengobati luka
karena Jing-tok itu. Beberapa kali ia menyedot luka di sayap itu dengan mulutnya, kemudian ia
menaruhkan obat bubuknya yang berwarna kuning. Benar saja, dalam waktu tak berapa lama burung itu
sudah dapat menggerak-gerakkan kembali sayap kirinya.
Siapakah wanita muda itu? Dia bernama Kwa Hong cucu murid Hoa-san-pai akan tetapi oleh karena dia
secara langsung menerima gemblengan dari kakek gurunya, yaitu ketua Hoa-san-pai yang bernama Lian
Bu Tojin, maka ilmu silatnya amat tinggi.
Beberapa bulan yang lalu Kwa Hong gadis gagah perkasa ini mengalami peristiwa yang amat
menghancurkan hatinya. Dia tertawan musuh dan ditahan di benteng bala tentara Mongol. Beng San,
pemuda sakti yang telah menjatuhkan hatinya, telah menolongnya dan kemudian mereka berdua terjebak
oleh tipu daya musuh.
Musuh yang jahat telah menaruhkan obat mukjijat dalam makanan sehingga dia dan Tan Beng San dalam
keadaan tidak sadar telah jatuh dalam kekuasaan obat mukjijat itu dan telah melakukan pelanggaran
susila, telah melakukan hubungan seperti suami isteri.
Hal ini sesungguhnya tidak mendukakan hati Kwa Hong karena memang ia mencinta Tan Beng San
dengan seluruh jiwa raganya. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa hancur hatinya ketika pada keesokan
harinya setelah sadar dari pengaruh obat itu, Beng San menyatakan penyesalannya, minta mati dan malah
mengaku Beng San tak mungkin dapat memperisterinya karena pemuda itu sudah jatuh cinta kepada
seorang gadis lain! (baca cerita RAJA PEDANG)
Demikianlah, dengan hati hancur, perasaan malu dan amat kecewa, Kwa Hong lalu lari pergi dengan
maksud menjauhkan diri dari segala keramaian dunia. Apa lagi yang dapat ia harapkan? Orang yang
dicintanya, yang tidak hanya merebut hati dan jiwanya, malah sudah pula memiliki badannya, tidak mau
menerimanya dan menyatakan cinta kepada gadis lain!
dunia-kangouw.blogspot.com
Ibu dia sudah tidak punya. Ada pun ayahnya... ahh, makin sedih kalau Kwa Hong teringat ayahnya.
Ayahnya adalah seorang pendekar besar yang ternama, seorang jagoan dari Hoa-san-pai, murid tertua
dari Lian Bu Tojin.
Hoa-san It-kiam (Pedang Tunggal dari Hoa-san) Kwa Tin Siong adalah seorang tokoh persilatan yang
mempunyai nama besar dan harum. Akan tetapi, nasib manusia memang tak dapat dipastikan. Ayahnya
yang sudah lama menjadi duda itu teriibat dalam persoalan asmara dengan adik seperguruannya sendiri,
yaitu Kiam-eng-cu (Bayangan Pedang) Lim Sian Hwa. Karena marahnya Lian Bu Tojin hendak membunuh
Lim Sian Hwa, namun serangan pedangnya ditangkis oleh Kwa Tin Siong, membuat lengan kirinya putus
dan ayahnya itu kemudian membawa lari Sian Hwa yang pingsan, pergi entah ke mana! (Baca Raja
Pedang).
Siapa lagi yang dapat diharapkan oleh Kwa Hong? Hatinya perih sekali, dan lebih-lebih lagi bingung serta
perih rasa hatinya ketika dalam perantauannya ini dia mendapatkan kenyataan bahwa ia telah
mengandung! Tuhan menjatuhkan hukuman pada makhluk-Nya yang sesat!
Hubungannya dengan Tan Beng San tidak saja menghancurkan hatinya, tapi juga akan mendatangkan aib
dan malu. Dia telah mengandung di luar pernikahan yang sah. Ia akan mempunyai anak tanpa mempunyai
suami!
Setelah mendapat kenyataan ini, beberapa kali Kwa Hong hendak membunuh diri saja, namun wataknya
yang keras menimbulkan satu tekad padanya. Ia tak boleh mati karena ia harus melakukan pembalasan!
Kepada siapa? Kepada siapa saja yang telah membuat ia menjadi begini, kepada siapa saja yang telah
membuat penghidupannya hancur lebur.
Demikianlah, secara kebetulan ia pun tiba di hutan itu dan bertemu dengan Koai Atong. Ia memang
mengenal baik Koai Atong ini, semenjak dia kecil dahulu Koai Atong selalu baik kepadanya.
Setelah berjumpa dengan Koai Atong ini, teringatlah dia akan kata-katanya di depan Tan Beng San. Katakata
terakhir untuk menyatakan kehancuran hatinya. "Aku akan menikah dengan laki-laki yang paling buruk
dan paling bodoh yang pertama kali kujumpai."
"Ah, bukankah Koai Atong ini boleh dibilang laki-laki yang paling buruk dan paling bodoh?” Dan melihat
ketaatan Koai Atong kepadanya... ha! Siapa lagi di dunia ini yang boleh ia percaya?
"Koai Atong, apakah kau masih suka kepadaku?" mendadak Kwa Hong bertanya sambil memandang tajam
kepada laki-laki tinggi besar yang bermuka bodoh itu.
Koai Atong tertawa senang, "Tentu saja, Enci Hong. Aku suka sekali padamu, kau adalah seorang teman
yang amat baik."
"Apakah kau suka menurut semua kata-kataku? Jika kau tidak suka menuruti permintaan dan kata-kataku,
lebih baik kau tinggalkan aku dan selama hidup jangan lagi kau bertemu dengan aku!"
"Tentu... tentu..." jawab Koai Atong gugup, agaknya laki-laki satu ini memang takut sekali kalau-kalau dia
tidak boleh lagi bertemu dengan Kwa Hong, "Aku akan menuruti semua kata-katamu, Enci Hong. Biar
disuruh mati pun aku mau!"
Seketika kedua mata Kwa Hong menjadi basah, hatinya tertusuk sekali. Perih dan terharu dia melihat Koai
Atong yang demikian mencinta dirinya sehingga bersedia mati untuknya. “Kasihan Koai Atong. Nasibmu
tidak berbeda seperti aku,” demikian dia berpikir. Mencinta mati-matian tanpa mendapat balasan.
"Lho, kok menangis, Enci Hong? Siapa yang mengganggumu? Bilanglah, Koai Atong akan menghancurkan
kepalanya!" ia berdiri dan mengepal-ngepal tinjunya, nampaknya marah sekali seakan-akan sudah melihat
pengganggu Kwa Hong berada di depannya.
"Kau duduklah, Koai Atong," Kwa Hong memegang tangannya dan menariknya duduk di atas tanah.
Sementara itu, burung rajawali emas yang sudah sembuh juga mendekam di belakang Kwa Hong. Dia
membelai-belai punggung gadis itu dengan kepala dan lehernya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Koai Atong nampak girang sekali disuruh duduk dekat Kwa Hong. Sinar matanya seperti mata seorang
anak kecil yang minta dipuji.
"Atong, kau dengarlah baik-baik. Aku sekarang hidup seorang diri di dunia ini. Maukah kau bersamaku?
Menjadi temanku selamanya dan tak pernah meninggalkan aku?"
"Aku suka... aku suka sekali!"
“Tapi kau tidak boleh pergi ke mana pun juga, harus selalu mengikuti aku dan mentaati permintaanku."
"Boleh... boleh Enci Hong."
"Kalau suhu-mu datang dan meminta kau meninggalkan aku, lalu bagaimana?" Kwa Hong memancing.
Koai Atong menjadi bengong. Orang yang paling ditakuti di dunia ini hanyalah gurunya seorang, yaitu Bantok-
sim (Hati Selaksa Racun) Giam Kong, hwesio dari Tibet yang amat terkenal sebagai tokoh dari Tibet,
ahli Jing-tok-ciang.
Mendengar pertanyaan Kwa Hong ini, ia pun menjadi bingung dan nampak gugup. "Waah, kalau Suhu
datang... sulit...!"
Kwa Hong cemberut, "Kalau kau lebih suka kepada suhu-mu, sudahlah, sekarang juga kau boleh
tinggalkan aku!"
"Tidak... tidak begitu, Enci Hong. Mana bisa aku lebih suka kepada Suhu yang gundul dan galak? Aku lebih
suka kepadamu tentu."
Diam-diam geli juga hati Kwa Hong mendengar ucapan dan melihat sikap Koai Atong ini. "Nah, kalau kau
memang suka padaku, kau tak boleh membantah, harus menurut segala kata-kataku. Biar pun suhu-mu
datang, kau harus berani menghadapinya dan selamanya kau tidak boleh meninggalkan aku, mengerti?"
Koai Atong mengangguk-angguk seperti ayam makan beras, "Mengerti... mengerti..."
"Jika begitu baru baik dan aku suka menjadi temanmu. Sekarang soal yang kedua. Mulai sekarang, kepada
siapa pun juga, kepada gurumu sekali pun, kau harus bilang bahwa aku ini adalah... adalah isterimu."
Sepasang mata Koai Atong terbuka lebar hingga bundar, hidungnya kembang kempis dan mulutnya
cengar-cengir seperti orang merasa nyeri dan ketakutan.
"Kau... kau adalah temanku yang baik, yang kubela sampai mati... mana bisa is... isteri segala...?”
Kembali Kwa Hong cemberut marah. "Lagi-lagi kau mau membantah. Ahhh, Koai Atong, kalau belum apaapa
kau sudah membantah saja dan tidak mau menuruti kehendakku, sudahlah kau pergi, biar aku mati
seorang diri di sini!"
"Jangan... jangan usir aku, Enci Hong. Baiklah, kau isteriku. Biar kepada setan sekali pun aku akan bilang
bahwa kau adalah isteriku. Nah, sudah senangkah hatimu?"
Kwa Hong mengangguk, kemudian dengan pandang mata jauh seperti orang melamun sedih, dia berkata
lagi, "Mulai sekarang aku adalah isterimu dan kau... suamiku. Kelak kalau aku melahirkan anak kau harus
bilang bahwa anak itu adalah anakmu."
Wajah Koai Atong sampai menjadi pucat mendengar ini, mulutnya ternganga dan matanya terbelalak.
Kiranya dia akan terus begini bila saja tidak kebetulan sekali ada lalat terbang memasuki mulutnya,
membuat ia mencak-mencak dan mau muntah.
"Kau mau menolak lagi? Mau membantah lagi?" Kwa Hong benar-benar jengkel kali ini.
Koai Atong ketakutan dan cepat ia menjatuhkan diri duduk lagi setelah dengan terpaksa menelan lalat yang
nekat itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tidak, Enci Hong. Aku tidak membantah. Baiklah, anak itu anakku... eh, mana anak itu? Apa engkau mau
melahirkan anak, Enci Hong?"
Sekarang Kwa Hong tersenyum, tersenyum sedih. Orang seperti Koai Atong ini bodohnya jauh lebih baik
dan murni hatinya dari pada orang-orang yang tampan dan pandai. "Koai Atong, beberapa bulan lagi aku
akan melahirkan anak dan ingat baik-baik, anak itu harus kau anggap anakmu sendiri. Aku isterimu dan
anak itu anakmu, mengerti?"
"Baik... baik... aku mengerti."
"Andai kata gurumu sendiri datang dan marah, kau harus tetap mengakui aku isterimu dan anak itu
anakmu, kau harus berani melawannya."
"Tapi..."
"Apa tapi lagi? Ahh, Koai Atong, janganlah kau bikin aku kehabisan sabar dengan terus membantah."
"Tidak membantah... tidak membantah, Enci Hong yang baik. Tapi Suhu lihai sekali... mana aku kuat
melawannya? Kau dan aku akan tewas semua kalau melawannya."
"Takut apa? Kepandaianmu tinggi, dan sedikit-sedikit aku pun berkepandaian. Kita bisa melatih diri dan
memperdalam ilmu. Apa bila kelak ada yang datang mengganggu, dengan kepandaian kita, masa kita
harus takut?"
Akan tetapi Koai Atong ragu-ragu, menggeleng-geleng kepala. Biar pun dalam persoalan umum ia bodoh
dan seperti anak kecil, namun dalam perkara ilmu silat ia jauh di atas Kwa Hong tingkatnya dan tahu
bahwa melawan suhu-nya merupakan hal yang mustahil sekali. Tiba-tiba ia teringat dan seperti orang gila
ia meloncat dan menari-nari, lalu ia merangkul burung rajawali emas yang mendekam di belakang Kwa
Hong.
Burung itu kaget dan hendak menyerangnya, akan tetapi Kwa Hong segera membentak, "Kim-tiauw,
jangan serang dia!" Kemudian ia membentak Koai Atong.
"Apa-apaan kau ini, kegirangan tidak karuan?"
"Ada jalan... ada jalan baik Enci Hong, Kim-tiauw-heng ini, kita bisa belajar ilmu silat dari dia. Wah, dia lihai
sekali, kiranya suhu-ku sendiri takkan mampu melawannya!"
"Kau gila! Mana ada burung lebih lihai ilmu silatnya dari gurumu? Sedangkan melawanmu saja ia sampai
terluka sayap kirinya."
Koai Atong tertawa geli, "Memang ia agak bodoh, tapi lihai bukan main. Kalau aku tidak sengaja
mengakalinya, membiarkan diriku dihantam lalu membarengi menusuk sayapnya dengan anak panah,
mana aku mampu melukai dia? Seratus kali aku menghantamnya, seratus kali luput pula. Namun setiap
kali dia menyerangku, aku terguling-guling. Benar, gerakan-gerakannya adalah ilmu silat yang hebat, ilmu
silat ajaib, ha-ha-ha!"
Kemudian ia menghampiri burung itu dan berkata, "Enci Hong, kau lihat sendiri, ya? Aku akan
menyerangnya dengan Jing-tok-ciang, ilmu pukulanku yang paling hebat. Tapi kalau dia nanti marah, kau
harus menyabarkannya."
Setelah berkata demikian dia memutar-mutar lengan kirinya dan siap menyerang burung itu. Burung itu pun
cepat berdiri dan melirik ke arahnya dengan marah.
"Hati-hati Koai Atong. Pukulanmu itu hebat sekali, jangan sampai kau bikin dia mati!" seru Kwa Hong yang
sudah mengenal Jing-tok-ciang ini. Dia suka sekali kepada burung yang bulunya seperti emas itu.
"Jangan kuatir, kau lihat saja."
Tiba-tiba Koai Atong memukul, dan terus memukul secara bertubi-tubi sampai lima kali. Akan tetapi benar
saja, dengan gerakan yang aneh sekali tapi mudah dan ajaib, burung itu melangkah ke sana ke mari dan...
semua serangan itu tak mengenai sasaran. Kemudian, entah bagaimana caranya tahu-tahu sayap
dunia-kangouw.blogspot.com
kanannya bergerak dan... Koai Atong lantas terdorong sampai terguling-guling. Burung itu mengejar dan
dengan marahnya hendak mencengkeram. Koai Atong berteriak-teriak minta tolong.
"Kim-tiauw, jangan serang dia!" bentak Kwa Hong sambil meloncat maju.
Aneh, burung itu benar-benar tunduk kepada Kwa Hong. Dia membatalkan niatnya dan kelihatan girang
ketika Kwa Hong merangkul lehernya.
"Hebat... kim-tiauw yang gagah. Kau benar-benar hebat...!" kata Kwa Hong yang sekarang percaya akan
kelihaian burung itu.
Koai Atong merayap bangun dan pada jidatnya bertambah sebuah benjolan sebesar telur. Ia menyumpahnyumpah
tapi segera tertawa melihat wajah Kwa Hong berseri gembira.
"Ha-ha, kau tidak menangis lagi, Enci Hong. Baik, bagus, aku senang melihat kau gembira sekarang.
Jangan kuatir, kalau aku sudah mempelajari ilmu silat burung kim-tiauw ini, biar ada lima orang selihai
Suhu, aku tidak takut!"
Kwa Hong masih tidak mengerti bagaimana harus mempelajari ilmu silat dari seekor burung, akan tetapi
melihat kesungguhan Koai Atong, ia percaya, maka ia menjadi girang sekali. Diam-diam ia mengambil
keputusan untuk mempelajari segala ilmu silat dari Koai Atong, kalau mungkin melalui Koai Atong
mempelajari gerakan yang ajaib dari burung itu.
Kalau dia sudah mempunyai kepandaian yang tinggi, hemmm, akan tercapai maksudnya menghukum
mereka yang membuat hidupnya merana…..
********************
Hoa-san-pai adalah partai persilatan yang besar dan sudah terkenal semenjak ratusan tahun. Sayang
sekali partai besar ini menjelang berakhirnya pemerintahan Goan menjadi berantakan. Semenjak dahulu
Hoa-san-pai menggembleng pendekar-pendekar budiman sehingga nama baiknya makin harum saja.
Mungkin sudah kehendak Tuhan bahwa segala apa di dunia ini, sampai nama sekali pun, tidak akan kekal
adanya. Ada kalanya naik dan ada kalanya turun, ada pasang surutnya.
Nasib yang menimpa Hoa-san-pai ketika di bawah pimpinan Lian Bu Tojin memang amat menyedihkan.
Akibat kesalah pahaman disebabkan hal-hal yang amat berbelit-belit dalam masa perjuangan meruntuhkan
Kerajaan Mongol dan mengusir penjajah itu dari tanah air, Ketua Hoa-san-pai ini kehilangan semua
muridnya yang paling ia andalkan dan sayang.
Empat orang muridnya yang dahulu terkenal sebagai Hoa-san Sie-eng (Empat Pendekar Hoa-san)
sekarang sudah tidak ada lagi. Murid pertama, Kwa Tin Siong, sudah minggat entah ke mana setelah
tangannya buntung oleh pedang gurunya, pergi bersama murid ke empat, Liem Sian Hwa. Dua yang lain,
yaitu murid kedua dan ke tiga, telah tewas dalam permusuhan dengan Kun-lun-pai yang terjadi akibat
kesalah pahaman yang hebat.
Memang masih ada empat orang cucu muridnya, yaitu Kwa Hong yang entah ke mana perginya, tetapi
kemudian didengar oleh kakek Ketua Hoa-san-pai itu bahwa Kwa Hong sudah hidup bersama Koai Atong.
Cucu murid yang lainnya adaiah Kui Lok yang sekarang menjaga Hoa-san-pai bersama Thio Bwee.
Kakek ini sudah rnengambil keputusan untuk merangkapkan dua orang cucu muridnya ini yaitu Kui Lok dan
Thio Bwee menjadi suami isteri. Cucu murid ke empat adalah Thio Ki, yaitu kakak dari Thio Bwee yang kini
telah bekerja sebagai kepala perusahaan piauwkiok (pengawal pengantar barang) di Sin-yang. Juga Thio
Ki sudah ia jodohkan dengan murid Raja Pedang Cia Hui Gan, yaitu Nona Lee Giok yang patriotik.
Akan tetapi Lian Bu sangat berduka kalau ia teringat akan muridnya yang terkasih, yaitu Kwa Tin Siong dan
Liem Sian Hwa. Ke manakah perginya dua orang itu? Pula, ia merasa sedih dan kecewa sekali apa bila dia
teringat akan Kwa Hong yang kabarnya tinggal di puncak Lu-Liang-san bersama Koai Atong!
Jika perbuatan Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa itu dapat dianggap merusak nama dan kehormatan Hoasan-
pai, maka yang merusak itu adalah dua orang murid Hoa-san-pai sendiri. Akan tetapi kalau sampai
dunia-kangouw.blogspot.com
terdengar orang kang-ouw tentang Koai Atong dan Kwa Hong, bukankah itu berarti bahwa Koai Atong
sengaja hendak menghina Hoa-san-pai dan memandang rendah dan ringan kepadanya?
Pikiran inilah yang selalu mengganggu kakek ini dan membuat ia mengambil keputusan untuk rnencari
Ban-tok-sim Giam Kong untuk diminta pertanggungan jawabnya terhadap perbuatan Koai Atong dan kalau
guru Tibet ini tidak mau mempertanggung jawabkannya, ia sendiri akan mencari Kwa Hong dan Koai Atong
di Lu-liang-san. Dan adalah keputusan ini yang membuat pada suatu hari Lian Bu Tojin berhadapan
dengan Ban-tok-sim Giam Kong di tepi gurun pasir di luar tembok besar sebelah utara.
Ban-tok-sim Giam Kong adalah seorang hwesio bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam sekali. Usianya
sudah tujuh puluh tahun lebih, tetapi masih nampak kuat. Tongkat hwesio yang selalu berada di tangannya
juga berat, tanda bahwa tenaga hwesio tua ini besar. Sepasang mata hwesio ini memancarkan sinar penuh
semangat dan matanya sekarang juga bersinar-sinar ketika dia bertemu dengan Lian Bu Tojin di tempat
yang tak disangka-sangkanya itu.
"Omitohud...!" dia mengeluarkan kata-kata pujian sambil merangkapkan kedua tangan ke depan dada,
menyembah sebagai tanda hormat. "Angin apa yang meniup Toyu datang ke tempat ini?"
Lian Bu Tojin merangkapkan kedua tangan pula, lalu ia menjura, "Bagus sekali, agaknya memang Thian
sudah menghendaki pertemuan kita ini. Losuhu, sengaja pinto mencarimu untuk membicarakan sesuatu
urusan amat penting."
"Omitohud, pinceng tidak ingin mendahului kehendak Thian. Akan tetapi, bukankah Toyu mencari pinceng
karena urusan muridmu dan muridku?"
"Siancai... siancai...," kata Lian Bu Tojin heran. "Kiranya Losuhu sudah maklum pula akan hal itu. Losuhu,
di antara kita ada pertalian persahabatan ketika kita bersama menghadapi bangsa Mongol. Oleh karena itu
pula, pinto mohon Losuhu sudi mengingat hubungan baik itu dan suka meluruskan jalan yang bengkok."
Kata-kata meluruskan jalan yang bengkok ini berarti membetulkan sesuatu yang salah atau yang tidak
wajar.
Giam Kong Hwesio tertawa sambil berdongak, giginya yang masih lengkap dan kuat itu berkilat-kilat putih
di ballk kulit mukanya yang hitam.
"Lian Bu-toyu memakai kata-kata halus tetapi maksudnya hendak menyalahkan pinceng dalam hal ini, haha-
ha! Sebetulnya, pinceng sendiri pun sangat heran mengapa muridmu yang muda dan cantik jelita itu
suka kepada murid pinceng yang bodoh dan gila. Kalau muridmu suka, mengapa hendak menyalahkan
pinceng?"
Wajah Lian Bu Tojin yang putih itu berubah agak merah. Benar-benar memalukan sekali sikap Kwa Hong
itu, akan tetapi betapa pun juga, ia harus menjaga nama dan kehormatan Hoa-san-pai.
"Pinto meragukan apakah Kwa Hong dengan suka rela ikut dengan muridmu. Harus diakui bahwa
kepandaian muridmu itu jauh lebih tinggi dari pada Kwa Hong. Andai kata muridmu itu hendak mengambil
Kwa Hong sebagai jodohnya, itu pun harus melalui saluran-saluran yang terhormat. Maka dari itu, Losuhu,
telah jelas bahwa muridmu melanggar kesusilaan, menghina Hoa-san-pai. Apa bila Losuhu tidak mau turun
tangan sendiri, terpaksa untuk menjaga nama baik Hoa-san-pai, pinto yang akan mewakili Losuhu."
Kali ini Ban-tok-sim Giam Kong tidak tertawa lagi, menarik muka sungguh-sungguh dan berkata, "Lian Butoyu,
kau enak saja bicara seperti orang yang bersih mulus! Ketahuilah, di dalam urusan antara muridmu
dan muridku ini terdapat rahasia yang pinceng sendiri masih belum dapat pecahkan. Kau tahu, Atong
selama hidupnya sangat taat dan takut kepadaku, akan tetapi sekali ini dia membangkang dan sama sekali
tidak mau kembali kepada pinceng. Ini tidak sewajarnya dan agaknya muridmu itulah yang memaksanya,
entah dengan pengaruh apa. Selain dari itu, supaya kau tahu saja, pinceng yang menjadi gurunya tahu
betul bahwa diri Koai Atong itu tidak normal lagi, tidak mungkin dia mampu menjadi seorang suami karena
pinceng sendiri yang dulu sudah turun tangan mematikan pembangkit nafsunya. Dia akan tetap menjadi
kanak-kanak sampai matinya kelak dan tak mungkin dia akan mampu melakukan hubungan dengan wanita
sebagai suami isteri. Nah, setelah keadaan seperti ini, lalu sekarang pinceng mendengar dia mati-matian
mengaku sebagai suami muridmu, bukankah hal ini aneh sekali?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Lian Bu Tojin mengerutkan alisnya. Orang seperti Ban-tok-sim Giam Kong ini tidak aneh bila melakukan
kekejian seperti yang dilakukan terhadap Koai Atong itu dan kata-katanya itu boleh dipercaya. Diam-diam
ia merasa heran sekali.
Bukan tidak mungkin kalau sebaliknya Kwa Hong yang mempengaruhi bocah tua itu. Ia mengenal baik
Kwa Hong yang keras hati dan tidak mau kalah dalam segala hal. Akan tetapi mengapa Kwa Hong
melakukan hal itu?
"Giam Kong Losuhu, kalau begitu, karena hal ini menyangkut muridmu dan muridku, jadi menyangkut
nama baik kedua pihak, maka marilah kita berdua pergi ke Lu-liang-san dan sama melihat, sebetulnya
apakah yang terjadi di sana dan siapa di antara keduanya itu yang bersalah harus kita hukum."
"Usulmu baik sekali, Toyu."
Berangkatlah dua orang kakek pendeta itu menuju ke Lu-liang-san. Keadaan dua orang kakek ini amat
jauh berbeda. Giam Kong Hwesio adalah seorang kakek tinggi besar yang bermuka hitam dan tangannya
menyeret sebuah tongkat yang besar dan berat, tongkat hwesio yang kepalanya diukir kepala binatang
sakti kilin.
Ada pun Lian Bu Tojin yang beberapa tahun lebih muda dari pada hwesio tua itu adalah seorang pendeta
tosu yang tinggi kurus, jenggotnya panjang sampai ke perut, pakaiannya sederhana sekali dan tangannya
membawa sebatang bambu yang ringan. Di punggung tosu ini tergantung pedang pusaka Hoa-san-pai.
Walau pun dua orang kakek ini sudah tua sekali, sudah lebih enam puluh tahun, namun berkat tingkat
kepandaian mereka yang tinggi, dengan ilmu lari cepat mereka, dalam beberapa hari saja mereka sudah
mulai mendekati Bukit Lu-liang-san yang sunyi. Akan tetapi mencari dua orang di atas pegunungan yang
banyak puncaknya dan kaya akan hutan-hutan lebat itu bukanlah pekerjaan mudah.
Setelah berkeliaran beberapa hari barulah pada suatu pagi mereka berhasil menemukan Koai Atong. Ini
pun kalau Koai Atong tidak sedang memanggang daging harimau kiranya masih belum akan dapat
ditemukan oleh dua orang kakek itu.
Asap yang bergulung-gulung itulah yang menarik hati dua orang kakek ini dan akhirnya mereka melihat
Koai Atong sedang memanggang daging dalam sebuah hutan yang lebat. Koai Atong tertawa-dan
menyanyi seorang diri, nampaknya gembira bukan main.
Giam Kong Hwesio yang menghampiri dengan diam-diam merasa terharu juga. Ia sudah terlalu kenal akan
watak muridnya ini dan ia dapat melihat betapa muridnya itu betul-betul merasa bahagia hidupnya. Maka
meragulah ia, apakah ia harus mengganggu kehidupan yang begitu tenteram dan bahagia dari Koai Atong?
Akan tetapi karena ada urusan yang menyangkut diri Kwa Hong murid Hoa-san-pai, tentu saja ia pun tidak
dapat mendiamkan saja.
"Koai Atong, sedang apa kau di sini seorang diri?" tegur Giam Kong Hwesio.
Koai Atong nampak kaget, apa lagi setelah menengok ia melihat gurunya bersama Lian Bu Tojin sudah
berdiri di depannya. Saking gugupnya ia lalu mendekatkan daging yang baru dipanggangnya itu ke mulut,
lalu... digigitnya daging setengah matang yang masih panas sekali itu. Ia seperti lupa diri dan terus makan
daging yang masih mengebul itu dengan enaknya sambil kedua matanya memandang kepada dua orang
kakek itu, terbelalak.
"Koai Atong, suhu-mu bertanya kenapa tidak kau jawab?" kata Lian Bu Tojin, suaranya terdengar tenang
serta penuh kesabaran. Ketua Hoa-san-pai ini memang tidak pernah memperlihatkan kandungan hatinya
sehingga di dalam keadaan marah atau duka ia bisa tertawa.
"Aku... aku sedang makan…" jawab Koai Atong gugup. "Suhu dan Totiang... apakah suka makan daging?"
Kalau saja pertanyaan barusan bukan diajukan oleh Koai Atong yang sudah mereka kenal wataknya yang
kekanak-kanakan, sudah tentu akan merupakan pertanyaan yang sifatnya menghina. Masa dua orang
pendeta yang pantang makan bernyawa ditawari daging?
dunia-kangouw.blogspot.com
"Atong, kedatangan pinceng dan Lian Bu-toyu ke sini bukan untuk makan daging, tetapi untuk mencari kau
dan Nona Kwa Hong. Kabarnya kau dan Nona Kwa Hong berada di sini, sekarang di mana adanya nona
itu?"
Mendengar pertanyaan gurunya, Koai Atong lalu berdiri, mulutnya masih bergerak-gerak makan daging
panas.
"Ada keperluan apakah kau mencari isteriku?"
Terbelalak mata Giam Kong Hwesio mendengar kata-kata dan melihat sikap yang kurang ajar serta
menantang ini. "Atong, apa kata mu? Sejak kapan kau memperisteri dia?"
"Semenjak... sejak lama, entah berapa lama. Enci Hong adalah isteriku dan kelak kalau anaknya terlahir,
anak itu adalah anakku!" Otomatis Koai Atong meniru kata-kata yang harus ia janjikan kepada Kwa Hong
dahulu.
Mendengar kata-kata ini, dua orang kakek itu saling pandang dan keduanya melangkah heran. Keheranan
itu perlahan-lahan berubah menjadi kemarahan karena mereka berdua menganggap bahwa hal ini benarbenar
keterlaluan.
Dua orang bersuami isteri sampai hampir punya anak dan semua itu terjadi di luar tahu guru masingmasing,
terjadi begitu saja tanpa ada pengesahan. Benar-benar merupakan tamparan bagi orang yang
menjadi gurunya.
"Atong, jangan kau main gila!" bentak Giam Kong Hwesio dengan muka makin menghitam karena
menahan kemarahannya. "Benar-benarkah kau menjadi suami Nona Kwa Hong? Jangan berdusta, jawab
terus terang!"
Biasanya apa bila gurunya sudah membentaknya seperti itu, hati Koai Atong menjadi jeri dan takut, lalu
serta-merta menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi kali ini ia tetap berdiri dan biar pun wajahnya berubah
pucat dan tubuhnya menggigil, ia menjawab, "Betul, Suhu. Enci Hong adaiah isteriku, aku suaminya dan
anaknya kelak akan menjadi..."
"Tutup mulut!" Giam Kong Hwesio membentak marah sekali. "Atong, lupakah kau bahwa dalam segala hal
kau harus mendapat ijin terlebih dahulu dari pinceng? Diam-diam kau mengaku sebagai suami Nona Kwa
Hong, siapa yang memaksamu berbuat demikian?"
"Enci Hong yang meminta begitu, Suhu... dan aku... aku tidak bisa menolaknya, tidak mau aku membikin
Enci Hong marah dan berduka."
Giam Kong Hwesio lalu melirik ke arah Lian Bu Tojin, sinar matanya seolah-olah berkata, "Nah, semua
adalah kesalahan muridmu!"
Akan tetapi Lian Bu Tojin tidak berkata apa-apa, dia hanya memandang ke sana ke mari, agaknya mencari
Kwa Hong.
"Atong, sekarang juga kau harus tinggalkan tempat ini dan ikut bersama pinceng!"
Wajah Koai Atong semakin pucat. "Apa...? Pergi meninggalkan Enci Hong...? Tidak, Suhu. Aku tidak mau,
aku tidak bisa berpisah dari Enci Hong. Karena itu aku tidak mau pergi ikut denganmu!"
"Setan! Atong, apakah kau hendak melawan gurumu?"
"Siapa pun juga tak boleh memisahkan aku dengan Enci Hong!" Koai Atong masih tetap membantah.
"Keparat, kalau begitu lebih baik pinceng melihat kau mati!"
Tiba-tiba tubuh yang tinggi besar dari Giam Kong Hwesio itu bergerak dan tahu-tahu dia sudah mengirim
serangan maut ke arah kepala Koai Atong.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia sudah maklum sampai di mana tingkat kepandaian muridnya ini, yaitu tidak selisih jauh dengan
tingkatnya sendiri, maka begitu turun tangan ia segera mengirim pukulan dengan jurus yang mematikan
dan yang kiranya tak akan dapat dihindarkan oleh muridnya itu.
Akan tetapi, di luar dugaannya sama sekali, tubuh Koai Atong bergerak sedikit, kakinya menggeser dan
kedua lengannya dikembangkan seperti sayap dan... serangan itu hanya mengenai tempat kosong Giam
Kong Hwesio terkesiap, bukan karena dihindarkannya serangannya, melainkan cara muridnya itu bergerak
menyelamatkan diri. Gerakan kaki dan kedua tangan muridnya itu sama sekali asing baginya.
"Murid murtad, kau sudah mempelajari ilmu silat lain pula? Nah, pergunakan ilmu silat barumu untuk
menghadapi ini!"
Kembali Giam Kong Hwesio menyerang, kini dia menyerang sambil mengerahkan tenaga Jing-tok-ciang
yang luar biasa hebatnya. Akan tetapi ia kembali kecele sampai berkali-kali. Serangannya susul-menyusul
sampai dua puluh empat jurus tanpa berhenti, akan tetapi kesemuanya itu dapat dihindarkan dengan arnat
mudahnya oleh Koai Atong.
Melihat hal ini tadinya Lian Bu Tojin sendiri mengira bahwa Giam Kong Hwesio hanya menggertak
muridnya dan masih merasa sayang untuk menghukumnya. Tetapi sesudah melihat betapa Giam Kong
Hwesio makin lama makin marah dan serangan-serangannya betul-betul amat berbahaya, ia mulai
memperhatikan dan amat heranlah hatinya sendiri menyaksikan betapa luar biasa dan anehnya gerakangerakan
yang dilakukan oleh Koai Atong itu.
Tubuh Koai Atong yang tinggi besar itu agak membungkuk, kakinya berloncatan ke sana sini, kedua
lengannya dikembangkan seperti burung yang hendak terbang. Dan setiap kali serangan datang selalu
otomatis kaki dan tangannya bergerak secara aneh, tetapi selalu dapat menghindarkan semua pukulan
pula.
"Kurang ajar, kau benar-benar hendak melawan gurumu sendiri? Atong, kalau begitu biar pinceng
mengadu nyawa denganmu!" seru Giam Kong Hwesio yang menjadi marah luar biasa.
Tiba-tiba terdengar suara merdu dari atas, "Koai Atong, hwesio buruk itu bukan gurumu lagi, balaslah
dengan Jing-tok-ciang yang baru kita latih kemarin!"
Wajah Koai Atong berseri-seri mendengar suara ini, lalu ia pun menjawab, "Baiklah, Enci Hong. Ehhh,
hwesio buruk, kau bukan guruku lagi dan sekarang kau rebahlah!" Sambil berkata demikian Koai Atong
memutar-mutar lengan kiri hendak menggunakan pukulan Jing-tok-ciang.
Tentu saja serangan ini dipandang ringan oleh Giam Kong Hwesio. Dialah yang dahulu menciptakan ilmu
Pukulan Jing-tok-ciang ini, masa kini ia hendak diancam dengan ilmu pukulan ciptaannya itu? Hampir ia
tertawa melihat bekas muridnya memutar-mutar tangan kirinya. Tepat seperti yang dahulu dia ajarkan,
tangan kiri Koai Atong mendorong dengan tenaga Jing-tok-ciang.
Tentu saja sebagai penciptanya, Giam Kong Hwesio tahu cara pemecahannya, bahkan tahu cara untuk
membalas secara hebat. Diam-diam ia mengerahkan tenaga dan dengan Jing-tok-ciang pula tapi dengan
tenaga ‘menyedot’ ia menangkis dengan tangan kanannya kepada dorongan tangan kiri muridnya itu.
Dua tangan bertemu dan saling menempel. Giam Kong Hwesio sudah merasa girang karena kali ini dia
pasti akan dapat merobohkan bekas muridnya itu. Siapa kira tiba-tiba tangan kanan Koai Atong bergerak
mendorong dan... ternyata tangan kanan inilah yang mengandung tenaga Jing-tok-ciang sepenuhnya
sedangkan tangan kirinya tadi hanyalah gertak atau tipuan belaka.
"Bukkk!"
Tubuh Giam Kong Hwesio terhuyung-huyung, matanya terbelalak melotot memandang kepada Koai Atong,
kemudian ia roboh terguling dengan mata masih melotot akan tetapi putus nyawanya. Hwesio Tibet ini
sudah tewas di tangan muridnya sendiri, bahkan oleh ilmu pukulan yang dulu ia ciptakan sendiri.
Akan tetapi Jing-tok-ciang yang dipergunakan oleh Koai Atong ini telah berubah banyak. Gerakannya
sudah dicampur dengan gerakan aneh yang dia pelajari bersama Kwa Hong dari burung rajawali emas!
dunia-kangouw.blogspot.com
Lian Bu Tojin sejak tadi memandang ke atas, ke arah suara. Ternyata Kwa Hong sedang duduk di atas
punggung seekor burung rajawali yang berbulu kuning emas. Agaknya burung itu tadi terbang mendatang
dengan gerakan sayap yang amat halus sehingga tidak menimbulkan suara dan telah hinggap di cabang
dengan Kwa Hong di punggungnya.
Hampir Lian Bu Tojin tidak mengenal muridnya ini lagi. Kwa Hong memakai pakaian serba putih, tidak
merah seperti dulu lagi, dan ia duduk di atas punggung rajawali dengan lagak angkuh dan agung seperti
seorang ratu duduk di atas singgasana dari emas!
Sama sekali Kwa Hong tidak pernah melirik ke arah Lian Bu Tojin. Begitu melihat Giam Kong Hwesio roboh
dan tewas, Kwa Hong tertawa dengan suara yang membikin bulu tengkuk berdiri. Dalam pendengaran Lian
Bu Tojin, suara itu setengah tertawa setengah menangis.
Betapa pun juga, melihat Koai Atong membunuh gurunya sendiri, Lian Bu Tojin menjadi marah sekali.
"Koai Atong, benar-benar kau murid durhaka. Berani kau membunuh gurumu sendiri?"
Sementara itu, Koai Atong berdiri seperti patung memandangi tubuh suhu-nya yang rebah telentang
dengan mata mendelik dalam keadaan tak bernyawa lagi itu. Sekarang, setelah mendengar kata-kata yang
diucapkan Lian Bu Tojin, Koai Atong segera berlutut sambil menangis menggerung-gerung.
"Suhu... Suhu... kenapa kau diam saja? Suhu... apakah betul-betul kau mati? Ahhh, Suhu, jangan
tinggalkan murid seorang diri di dunia ini. Suhu... jangan mati, Suhu...!"
Tiba-tiba saja berkelebat bayangan putih dari atas pohon dan tahu-tahu Kwa Hong sudah berdiri di dekat
Koai Atong, memegang pundak Koai Atong dan diguncang-guncang keras.
Lian Bu Tojin diam-diam merasa kaget dan kagum menyaksikan gerakan Kwa Hong saat melayang turun
tadi, seperti seekor burung saja gerakannya dan demikian ringannya! Dari mana gadis ini mempelajari
semua itu?
"Koai Atong, apakah kau sudah gila? Hwesio buruk ini sudah mati, kenapa kau menangis segala macam?"
Koai Atong bangkit berdiri sambil menyusuti air matanya, "Dia adalah guruku, Enci Hong. Dia guruku yang
baik... uhh-uhhhuu... jika dia mati, bagaimana dengan diriku? Uhuhuu..."
"Goblok! Apa kau lupa ada aku di sini. Kau boleh pilih, mau ikut gurumu mampus atau mau hidup bersama
aku di sini?"
Seketika berubah wajah Koai Atong. Ia nampak gugup dan cepat sekali tersenyum dan menyusut kering air
matanya, "Ohh, benar juga. Aku keliru tadi, Enci Hong. Biarkan dia mampus, hwesio buruk itu yang mau
membawa aku pergi darimu. Ha-ha-ha!"
Mendengar dan melihat ini semua, Lian Bu Tojin tak dapat menahan kemarahannya lagi. Sekarang jelaslah
baginya bahwa kesalahannya bukan terletak pada diri Koai Atong, melainkan sepenuhnya adalah karena
perbuatan Kwa Hong. Terang bahwa Koai Atong hanya menurut saja apa kehendak Kwa Hong.
Yang ia tidak mengerti kenapa Kwa Hong melakukan ini semua? Mungkinkah Kwa Hong jatuh cinta kepada
orang seperti Koai Atong? Ia menggeleng-gelengkan kepala. Kalau ada kemungkinan ini tentu ada
kemungkinan lain, yaitu bahwa Kwa Hong telah menjadi gila!
"Ehh, tosu tua. Mau apa kau datang ke tempat kami ini?"
Lian Bu Tojin memandang kepada Kwa Hong dengan mata terpentang lebar sekali. Apa benar ini Kwa
Hong gadis cucu muridnya yang dulu hanya takut kepadanya seorang?
"Hong Hong, benar-benarkah kau sudah lupa kepada pinto? Lupakah kau kepada kakek gurumu sendiri?
Pinto adalah Lian Bu Tojin dari Hoa-san-pai, Hong Hong, setelah kakek gurumu datang, apakah kau tidak
lekas berlutut memberi hormat?"
Koai Atong berkata, "Enci Hong, dia ini Ketua Hoa-san-pai, Lian Bu Tojin, kakek gurumu yang galak, Lekas
berlutut, kau nanti mendapat marah bisa sulit!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi tiba-tiba Kwa Hong tertawa bergelak-gelak, lalu berkata dengan nada suara galak, "Lian Bu
Tojin, siapa tidak tahu bahwa kau adalah Ketua Hoa-san-pai yang mulia dan gagah perkasa, seorang guru
besar yang hendak membunuh murid sendiri kemudian membuntungi lengan kiri murid sendiri? Hah, kau
menjemukan hatiku. Tosu tua bangka bau, lekaslah pergi dari sini sebelum timbul seleraku untuk
membuntungi tanganmu atau bahkan lehermu!"
Sesabar-sabarnya manusia, masih ada batasnya. Kalau yang memakinya itu seorang lain yang tidak ada
hubungannya dengan dirinya, mungkin Lian Bu Tojin takkan melayaninya dan akan pergi begitu saja. Akan
tetapi Kwa Hong adalah cucu muridnya. Seorang cucu murid berani memaki-maki kakek gurunya, hal ini
benar-benar di luar batas kesabaran Lian Bu Tojin.
"Kwa Hong, kau benar-benar kurang ajar sekali. Kau sebagai anak murid Hoa-san-pai sudah mengotorkan
serta mencemarkan nama Hoa-san-pai dengan perbuatanmu yang kotor tak tahu malu ini. Percuma pinto
menjadi Ketua Hoa-san-pai jika tidak bisa memberi hukuman kepadamu!" Setelah berkata begitu, dengan
amarah meluap-luap Lian Bu Tojin lalu menerjang maju sambil memutar tongkat bambunya, melakukan
serangan kepada Kwa Hong.
Dengan amat mudah Kwa Hong mengelak, lantas membalas dengan pukulan yang aneh sekali
gerakannya, dari samping. Melihat betapa gerakan tangan itu ketika memukul agak diputar, tak salah lagi
tentu ini sebuah pukulan Jing-tok-ciang, akan tetapi juga lain sekali gerakannya dengan Jing-tok-ciang dari
Giam Kong Hwesio yang pernah dilihat oleh Lian Bu Tojin.
Betapa pun juga Lian Bu Tojin tidak berlaku sembrono dan mengelak sambil menotokkan ujung tongkat
bambunya ke arah jalan darah di pinggang bekas cucu murid itu. Lagi-lagi Kwa Hong mengelak dan diamdiam
Lian Bu Tojin menjadi kagum. Gerakan Kwa Hong ini persis gerakan Koai Atong ketika mengelak dari
serangan Giam Kong Hwesio tadi.
Gerakannya sederhana tapi aneh dan cepat bukan main, sedikit saja pindahkan kaki dan kembangkan
kedua lengan, serangan yang sulit-sulit sudah dapat dihindarkannya. Dilihat sepintas lalu bagaikan Ilmu
Silat Ho-kun dari Siauw-lim-si, akan tetapi kedudukan kakinya berbeda, lagi pula gerakan ini mengandung
kegagahan yang tak dapat disamakan dengan burung ho (bangau) dari Ilmu Silat Ho-kun.
Karena tidak dapat mengenali ilmu silat apa yang dipergunakan oleh Kwa Hong untuk menghadapi
serangan-serangan tongkat bambunya, kakek Ketua Hoa-san-pai itu menjadi penasaran sekali. Apa lagi
kalau diingat bahwa ia tadi menyerang dengan menggunakan senjata walau pun hanya sebatang tongkat
bambu, sedangkan bekas cucu muridnya itu bertangan kosong!
Alangkah akan malunya kalau ada orang yang mendengar bahwa dia, Ketua Hoa-san-pai, menggunakan
senjata tongkatnya yang sudah terkenal, dalam belasan jurus masih tidak mampu merobohkan cucu
muridnya sendiri yang bertangan kosong.
Mengingat hal ini, Lian Bu Tojin lalu berseru keras dan mengeluarkan ilmu silatnya yang paling tinggi, inti
dari pada Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-hoat yang karena sulitnya memang belum pernah ia turunkan
kepada Kwa Hong. Hanya ayah Kwa Hong, murid pertama dari Hoa-san-pai, Hoa-san It-kiam Kwa Tin
Siong saja yang pernah mempelajari ilmu pedang ini, tapi juga belum sempurna betul.
Bukan main hebatnya ilmu pedang ini. Meski hanya dimainkan dengan sebatang tongkat bambu, akan
tetapi bahayanya bukan main. Tongkat bambu itu berubah menjadi segulung sinar yang menyambarnyambar
dan mengurung diri Kwa Hong dari segala jurusan.
Tadi Kwa Hong selalu berhasil menghindarkan diri dari serangan bekas kakek gurunya karena ia memang
sudah mengenal ilmu silat Hoa-san-pai dengan baik. Seperti juga Koai Atong, selama beberapa bulan di
dalam hutan dia sudah berhasil mempelajari banyak gerakan dari burung rajawali emas itu dan bersamasama
Koai Atong yang memang amat cerdas dalam hal ilmu silat, mereka telah berhasil mengambil intisari
dari pada gerakan-gerakan burung aneh itu sehingga dapat menggunakan dalam pertempuran.
Akan tetapi yang dapat mereka petik dalam beberapa bulan ini hanya gerakan mengelak saja. Dan itu pun
belum sempurna betul, sungguh pun memang sudah amat hebat kalau dipergunakan dalam pertempuran.
Sekarang setelah Lian Bu Tojin mengeluarkan ilmu pedang yang menjadi inti dari pada Hoa-san Kiamhoat,
Kwa Hong menjadi terkejut. Tongkat bambu itu mengeluarkan hawa dingin dan membuat matanya
dunia-kangouw.blogspot.com
berkunang. Baru ia tahu sekarang bahwa kakek gurunya ini, Ketua Hoa-san-pai memang tidak mempunyai
nama kosong belaka.
Dia mengeluarkan pekik menyeramkan dan kini menggunakan segala ingatannya untuk mulai meniru
gerakan-gerakan dari burung rajawali emas. Bukan hanya gerakan untuk mengelak dari bahaya, juga
sedikit-sedikit ia mulai menggunakan gerakan menyerang dari burung itu.
Kedua kakinya kadang-kadang melompat dan menerjang dalam tendangan-tendangan sebagai pengganti
kedua kaki burung kalau mencakar dan menendang, kedua tangannya secara aneh dan tiba-tiba
menghantam dari samping seperti gerakan sayap dan kadang-kadang menotok lurus dari depan seperti
gerakan patuk burung.
Bagaimana pun juga, Kwa Hong menjadi girang karena dia dalam beberapa puluh jurus gerakannya
mengelak masih berhasil menyelamatkan dirinya dari ancaman senjata kakek itu. Akan tetapi, makin lama
semakin terasa olehnya betapa gulungan sinar itu semakin menekan dan mengurung semakin rapat
sehingga sudah tak mungkin lagi baginya untuk membalas. Repot juga kalau harus terus-menerus
mengelak dari sinar tongkat yang amat berbahaya itu.
"Koai Atong, bantu aku!" Akhirnya Kwa Hong tidak tahan dan minta bantuan temannya.
Koai Atong mengeluarkan suara melengking keras meniru suara lengking burung rajawali, kemudian
tubuhnya yang tinggi besar itu menerjang maju sambil tangannya mengirimkan pukulan Jing-tok-ciang ke
arah tubuh kakek Ketua Hoa-san-pai.
Lian Bu Tojin terkejut juga ketika merasa ada angin dingin menyambar dahsyat dari arah samping. Cepat ia
mengelak dan memutar tongkatnya menotok sekaligus ke tiga tempat berbahaya di tubuh Koai Atong.
Tetapi sambil terkekeh Koai Atong mengelak dua kali, kemudian menangkis sekali tongkat bambu itu
dengan sabetan lengannya dari samping. Lian Bu Tojin kaget ketika merasa betapa sabetan itu
mengandung tenaga yang amat dahsyat dan lebih-lebih lagi kagetnya ketika melihat bahwa ujung tongkat
bambunya telah remuk!
"Keparat, hari ini pinto harus memberi hajaran kepada kalian berdua!"
Lian Bu Tojin berseru sambil mencabut keluar pedang pusakanya. Cahaya berkelebat menyilaukan pada
waktu pedang pusaka itu tercabut. Inilah pedang pusaka Hoa-san-pai (Hoa-san Po-kiam) yang menjadi
tanda kekuasaan. Sejak Hoa-san-pai didirikan, pedang ini turun-temurun berada di tangan para ketua Hoasan-
pai.
Semenjak dulu, biasanya pedang pusaka ini hanya dipergunakan untuk upacara-upacara peringatan untuk
menghormati para ketua Hoa-san-pai dan sangat jarang dipakai untuk bertempur. Akan tetapi kali ini
karena menghadapi lawan berat dan pula harus menjaga nama baik Hoa-san-pai, maka Lian Bu Tojin tidak
ragu-ragu lagi untuk menghunusnya dan mempergunakannya.
Memang pada hakekatnya tingkat ilmu kepandaian dua orang itu, Koai Atong dan Kwa Hong masih jauh di
bawah tingkat Lian Bu Tojin. Jika tadi Koai Atong berhasil membunuh gurunya adalah karena Giam Kong
Hwesio sama sekali tidak pernah menyangka bahwa muridnya sudah mendapatkan kepandaian yang
sedemikian anehnya, padahal menurut tingkat, tentu saja Koai Atong masih belum dapat menyamai
gurunya.
Walau pun Koai Atong dan Kwa Hong mendapatkan ilmu yang amat mukjijat, yaitu dari gerakan burung
rajawali emas itu, namun mereka baru berlatih beberapa bulan saja. Lagi pula mereka baru berlatih
gerakan untuk mempertahankan diri, maka mereka pun hanya kuat sekali dalam hal ini. Untuk balas
menyerang ternyata ilmu kepandaian mereka masih belum dapat menyamai tingkat Lian Bu Tojin.
Apa lagi sekarang mereka berdua bertangan kosong menghadapi Lian Bu Tojin yang amat marah dan
yang bersenjatakan pedang pusaka Hoa-san-pai yang ampuh sekali itu. Meski pun mereka selalu mampu
menghindar dari sambaran pedang, namun untuk membalas benar-benar merupakan hal yang amat sulit.
Jika dibiarkan saja harus terus menghadapi gulungan sinar pedang yang menyilaukan mata ini, akhirnya
tentu salah seorang di antara mereka akan terluka atau bahkan terbunuh.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kim-tiauw-heng! Hayo kau bantu kamil" Tiba-tiba Kwa Hong berteriak dan mengeluarkan suara bersuit
nyaring.
Lian Bu Tojin terkejut ketika tiba-tiba ia melihat sinar kuning emas berkelebat dari atas dan tahu-tahu ia
sudah diserang secara bertubi-tubi oleh sepasang cakar, sebuah patuk dan sepasang sayap. Serangan ini
hebat luar biasa, akan tetapi sebagai seorang ahli, ia tidak menjadi gugup, malah memusatkan gerakan
pedangnya menjadi sebuah lingkaran untuk menghantam ke arah burung rajawali itu.
Hebatnya, walau pun tadinya menyerang dengan dahsyat, begitu menghadapi serangan maut dari pedang
pusaka itu, burung rajawali ini dapat secara aneh dan cepat sekali merubah gerakannya. Sekali melejit ia
dapat menyelinap di antara gulungan sinar pedang dan berhasil menyelamatkan diri, lalu terbang
berputaran di atas kepala Lian Bu Tojin, menanti kesempatan baik untuk menyerang lagi.
"Kim-tiauw-heng, kau rampas pedangnya!" kembali Kwa Hong berseru.
Lian Bu Tojin mengira bahwa ucapan ini hanya gertakan saja. Ia tidak mengenal rajawali emas. Burung itu
lain dengan burung-burung biasa. Agaknya dulu pernah dipelihara orang sakti maka burung ini mudah
sekali menangkap perintah manusia.
Begitu mendengar seruan ini, ia lalu menyambar-nyambar dan sekarang ia benar-benar berusaha
merampas pedang, memukulkan kedua sayapnya ke arah kepala Lian Bu Tojin disusul cengkeramancengkeraman
kedua kakinya ke arah pedang pusaka Hoa-san-pai!
Barulah hati Lian Bu Tojin amat terkejut. Menghadapi dua orang murid murtad itu sudah merupakan hal
yang bukan ringan karena mereka memiliki ilmu mengelak yang benar-benar membuat ia sukar
merobohkan mereka. Sekarang ditambah lagi seekor burung yang demikian dahsyat serangannya, benarbenar
ia mengeluh di dalam hatinya.
Pada saat dengan gerakan-gerakan aneh Kwa Hong dan Koai Atong maju mendesaknya sedangkan
burung itu tiada hentinya menyambar-nyambar di atas kepalanya, mau tak mau Lian Bu Tojin berseru,
"Celaka...!"
Karena kemarahannya ditujukan kepada Kwa Hong, maka dengan nekat orang tua ini lalu mengerahkan
seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menyerang Kwa Hong. Biarlah aku mati asal aku dapat lebih
dahulu membunuhnya agar nama baik Hoa-san-pai dapat dipertahankan, pikir kakek ini.
Serangannya hebat sekali. Biar pun Kwa Hong sudah mempergunakan gerakan yang ia pelajari dari
rajawali emas, dengan gesit menggeser ke sana ke mari, namun ke mana saja dia bergerak, ujung pedang
pusaka itu selalu mengikutinya dan mengarah kepada bagian-bagian tubuhnya yang paling berbahaya!
Ketika mendapatkan kesempatan baik Lian Bu Tojin mempercepat gerakannya. Tanpa mempedulikan lagi
bagian tubuhnya yang lain terbuka untuk masuknya serangan, ia menerjang dan maju menusuk leher Kwa
Hong dengan sebuah tikaman maut!
Kwa Hong menjerit ngeri, namun masih ingat untuk menggerakkan kakinya secara aneh sambil melempar
diri ke kiri. Namun ujung pedang di tangan Lian Bu Tojin masih terus mengejar lehernya.
Pada saat itu pula Koai Atong menghantam dari samping dengan pukulan Jing-tok-ciang. Keras sekali
pukulan ini dan tubuh Lian Bu Tojin sampai tergoyang-goyang, namun tetap saja pedangnya ditusukkan
terus. Andai kata ia tidak terpukul oleh pukulan Jing-tok-ciang begitu kerasnya, tentu nyawa Kwa Hong
tidak dapat diselamatkan lagi. Sekarang karena pukulan yang hebat ini, tangannya tergetar dan tusukan
pedangnya meleset dan hanya menancap di pundak Kwa Hong.
Gadis itu menjerit kesakitan dan pada saat itu dari atas menyambar bayangan kuning emas, kemudian
sebuah sayap besar menghantam kepala Lian Bu Tojin. Kakek ini biar pun sudah terluka parah oleh
pukulan Koai Atong, masih dapat mengangkat tangan kiri menangkis. Hantaman sayap demikian hebatnya,
sama sekali tidak terduga oleh Lian Bu Tojin hingga tubuhnya terlempar sejauh empat meter lebih dan
tahu-tahu pedangnya yang ia pakai menusuk Kwa Hong tadi telah berpindah ke dalam paruh si Rajawali
Emas!
Kwa Hong cepat mengambil pedang pusaka itu dari paruh burungnya, lalu ia terhuyung-huyung maju
sambil mendekap pundaknya yang mengucurkan darah. Ada pun Koai Atong ketika melihat Kwa Hong
dunia-kangouw.blogspot.com
terluka dan berdarah, menjadi marah sekali. Sambil memekik keras ia menubruk maju hendak menyerang
Lian Bu Tojin lagi.
Akan tetapi kakek ini sudah duduk bersila mengatur napas karena luka di dadanya akibat pukulan Jing-tokciang
amat hebatnya. Agaknya ia takkan dapat menghindarkan bahaya maut lagi kalau Koai Atong
menyerangnya.
"Jangan bunuh dia!" tiba-tiba Kwa Hong membentak.
Koai Atong kaget dan menahan pukulannya, dengan heran ia mundur memandang Kwa Hong. Kwa Hong
yang kelihatan menyeramkan karena pundaknya mengucurkan darah yang membasahi bajunya itu,
tersenyum dengan muka pucat, lalu berkata,
"Jangan bunuh dia, enak benar kalau dia mampus. Biar dia menderita, biarlah dia tahu rasanya bagaimana
kalau orang terhina, bagaimana rasanya tangan dibikin buntung." Sambil berkata demikian tiba-tiba
tangannya yang memegang pedang bergerak menyabet dan... tangan kanan Lian Bu Tojin sebatas
pergelangannya terbabat buntung!
Kakek itu membuka matanya, menarik napas panjang lalu berdiri. Dengan tangan kirinya ia memijat pada
beberapa tempat di lengan kanannya untuk menghentikan jalan darah sehingga darahnya tidak mengucur
terus. Kemudian ia memandang ke arah Kwa Hong dengan sinar mata yang berubah seakan-akan kilat
menyambar sehingga untuk sejenak Kwa Hong tertegun dan terkesima. Betapa pun juga, pengaruh yang
keluar dari sinar mata itu membangkitkan kenangan lama dan membayangkan pengaruh kakek itu atas
dirinya bertahun-tahun yang lalu.
Koai Atong tertawa, "He-heh-heh, tosu tua, kau datang bersama hwesio itu, kalau pergi jangan lupa
membawa temanmu itu bersama!" Maksud Koai Atong dengan kata-kata ini bukan sekali-kali untuk
mengejek atau menggoda, melainkan dengan maksud hati hendak menyenangkan Kwa Hong.
Lian Bu Tojin tidak berkata apa-apa dan ucapan Koai Atong ini menguntungkan Kwa Hong karena seketika
sinar mata kakek itu menjadi biasa kembali. Lian Bu Tojin lalu memungut buntungan tangannya dari atas
tanah, kemudian dengan lengan kiri ia memanggul tubuh Giam Kong Hwesio lalu berjalanlah ia cepat
meninggalkan tempat itu.
Benar-benar hebat sekali Ketua Hoa-san-pai ini. Lukanya akibat pukulan Jing-tok-ciang dari Koai Atong
tadi hebat bukan main, ditambah lagi tangan kanannya buntung, namun sedikit pun dia tidak pernah
merintih, malah masih dapat pergi cepat sambil memondong jenazah Giam Kong Hwesio dan membawa
buntungan tangannya!
Kejadian ini cukup hebat sehingga untuk beberapa lama Kwa Hong termenung, kemudian baru ia merawat
luka di pundaknya. Diam-diam Kwa Hong girang sekali karena sekarang terbukti bahwa latihan-latihan
yang mereka lakukan dengan ilmu silat yang gerakannya mengambil intisari dari gerakan rajawali emas itu
benar-benar tadi telah memperlihatkan kehebatannya…..
********************
Beberapa hari kemudian di Puncak Hoa-san…..
Pemberontakan melawan Pemerintah Mongol yang kini sudah runtuh masih menyisakan bekas-bekasnya
pada perkumpulan Hoa-san-pai yang bermarkas di puncak gunung ini. Dahulu Hoa-san-pai di bawah
pimpinan Lian Bu Tojin merupakan partai persilatan yang amat besar. Banyak sekali, lebih dari seratus
orang tosu (pendeta To) menjadi murid Lian Bu Tojin. Juga ketika itu Hoa-san-pai terkenal dengan adanya
Hoa-san Sie-eng (Empat Pendekar Hoa-san-pai) yang menjadi murid-murid utama Lian Bu Tojin.
Akan tetapi sekarang keadaan sudah banyak berubah. Hoa-san-pai tak lagi semegah dan sekuat dahulu.
Banyak sekali anggota Hoa-san-pai yang gugur ketika mereka membantu kaum pejuang menumbangkan
Pemerintah Kerajaan Mongol.
Malah Hoa-san Sie-eng sudah tidak ada lagi. Yang dua telah tewas ketika terjadi kesalah pahaman dan
permusuhan antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. Tinggal yang dua lagi, Kwa Tin Siong dan Liem Sian
Hwa, yang terjerumus ke dalam jalinan asmara sehingga membuat mereka lari pergi dari Hoa-san.
dunia-kangouw.blogspot.com
Cucu murid dari Lian Bu Tojin yang sekarang berada di Hoa-san hanya dua orang, yaitu Kui Lok dan Thio
Bwee, dua orang saudara seperguruan yang sudah dijodohkan oleh Lian Bu Tojin. Oleh Lian Bu Tojin, dua
orang yang ia anggap sebagai calon penggantinya ini digembleng dengan ilmu silat Hoa-san-pai yang
paling tinggi dan ia berpesan supaya dua orang ini berlatih dengan giat.
Dalam cerita RAJA PEDANG telah dituturkan bahwa Thio Bwee memang sudah jatuh hati kepada suhengnya
itu, sebaliknya tadinya Kui Lok hendak merebut hati Kwa Hong. Akan tetapi usahanya ini tidak pernah
berhasil dan kemudian setelah ia dijodohkan dengan Thio Bwee dan melihat cinta kasih hati gadis ini
terhadap dirinya, terbukalah hatinya dan ia pun mulai menaruh hati kasih kepada Thio Bwee.
Karena murid Hoa-san-pai yang lain yaitu Kwa Hong sudah minggat dan memberontak terhadap Hoa-sanpai,
sedangkan Thio Ki sudah menikah dengan murid Thai-san, yaitu Lee Giok, murid Raja Pedang Cia Hui
Gan dan sekarang telah tinggal di Sin-yang menjadi piauwsu, maka mereka berdua dengan tekun
memperdalam ilmu silat sambil tinggal di Puncak Hoa-san menemani guru besar mereka.
Pada hari itu Kui Lok dan Thio Bwee sedang memberi petunjuk-petunjuk kepada para tosu yang juga
dipesan agar memperdalam ilmu silat untuk memperkuat kembali Hoa-san-pai. Mereka dengan gembira
berlatih di halaman depan yang luas. Pagi hari itu terasa amat indah dan hawa udara juga terasa sejuk
sekali.
Tiba-tiba seorang tosu berseru, "Suhu datang...!"
Kui Lok dan Thio Bwee menengok dan cepat mereka lari menyambut dengan hati gelisah. Kakek Ketua
Hoa-san-pai itu nampak pucat dan jalannya terhuyung-huyung, terang sudah menderita luka yang hebat
sekali.
Kui Lok adalah seorang pemuda yang usianya baru menginjak dua puluh tiga tahun, akan tetapi pandang
matanya sudah tajam rnenandakan bahwa dia sudah memiliki kepandaian tinggi dan pengalaman luas.
Wajahnya tampan dan ada sifat-sifat nakal gembira, akan tetapi tarikan mulutnya membayangkan
keangkuhan hati. Ada pun Thio Bwee yang hitam manis itu wataknya lebih pendiam. Sinar matanya
membayangkan kekerasan hatinya.
Dua orang muda ini segera memberi hormat, lalu menggandeng lengan suhu-nya untuk dituntun ke
ruangan dalam.
"Suhu kenapakah...?" Kui Lok tak dapat menahan lagi hatinya bertanya.
Lian Bu Tojin tidak menjawab, malah segera menjatuhkan diri duduk bersila di atas lantai sambil meramkan
mata. Melihat suhu-nya berusaha mengumpulkan tenaga dan mengatur pernapasan, para murid maklum
bahwa suhu mereka itu sedang melawan serangan luka yang amat berbahaya, maka semua hanya duduk
rnelihat dengan hati tidak karuan.
Pada waktu Lian Bu Tojin sudah bergerak lagi dan mengeluarkan tangan yang sejak tadi disembunyikan di
dalam saku jubahnya, Thio Bwee langsung mengeluarkan jeritan ngeri ketika melihat tangan kanan
gurunya yang sudah buntung itu.
"Suhu...! Tangan Suhu kenapakah...?" Thio Bwee menubruk gurunya, berlutut dan tersedu menangis.
"Suhu, siapakah yang melakukan kekejian ini?" Kui Lok juga menangis sambil bertanya, suaranya
mengandung kemarahan dan sakit hati. Baru sekarang dia melihat pula bahwa pedang pusaka Hoa-sanpai
yang tadinya dibawa oleh suhu-nya itu sekarang sudah tidak kelihatan lagi di punggung kakek ini, maka
ia menjadi makin gelisah.
Lian Bu Tojin membuka matanya, menggeleng-gelengkan kepala perlahan sambil menarik napas panjang,
lalu berkata dengan suara yang sangat lemah, "Masih untung pinto kuat sampai di sini..." Kembali ia
meramkan mata agak lama, kemudian setelah membuka lagi matanya ia lalu berkata, "Kui Lok... Thio
Bwee... semua ini yang melakukan adalah Hong Hong... tetapi kalian tidak usah menaruh dendam... pinto
memang berdosa dan sudah sepatutnya bila menerima pembalasan ini. Hanya... pedang pusaka Hoa-san
harus kalian minta kembali. Mintalah bantuan kepada... Beng San di Min-san, hanya dialah yang dapat
menandingi Hong Hong dan Koai Atong. Mereka lihai sekali... bahkan Giam Kong juga tewas... pinto...
bukan lawan mereka..."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Suhu...!" Kui Lok sedih dan marah sekali. "Teecu pasti akan merampas kembali pedang pusaka!"
"Teccu akan mengadu nyawa dengan perempuan rendah Kwa Hong!" berkata Thio Bwee sambil
menangis.
Keadaan Lian Bu Tojin sudah payah sekali, napasnya memburu. Akan tetapi dia masih sempat membuka
mata, kemudian berkata pula, "...selain Beng San... mungkin hanya... supek-mu… Lian Ti Tojin... kalian
coba minta tolong dia..., bilang pedang pusaka dirampas orang... ahhh..."
Tak dapat lagi Lian Bu Tojin melanjutkan kata-katanya karena tubuhnya roboh terguling dan nyawanya
melayang pergi meninggalkan tubuhnya! Dari saku jubahnya jatuh keluar sebuah benda kecil yang ternyata
adalah buntungan tangan kanannya yang sudah mulai mengering karena memang tadinya sengaja ditaruh
obat oleh Lian Bu Tojin agar jangan membusuk.
Kui Lok dan Thio Bwee, juga para tosu tidak dapat berbuat lain kecuali menangis sedih. Thio Bwee sampai
pingsan melihat kematian suhu-nya yang amat mengenaskan hati ini. Dengan penuh rasa kedukaan dan
dalam suasana berkabung para tosu segera mengurus jenazah Ketua Hoa-san-pai itu.
Puncak Hoa-san kini diselimuti mendung tebal, mendung kemuraman hati para anggota Hoa-san-pai yang
kematian ketuanya secara demikian mengerikan.
Setelah upacara sembahyang dilakukan dan jenazah Ketua Hoa-san-pai itu dimasukkan ke dalam peti,
penguburan ditunda untuk beberapa hari. Hal ini dilakukan karena para anggota Hoa-san-pai hendak
memberikan kesempatan kepada para tamu yang hendak memberi penghormatan terakhir kepada Ketua
Hoa-san-pai yang terkenal itu.
Dan orang-orang kang-ouw memang mempunyai pendengaran yang luar biasa tajamnya. Dalam beberapa
hari itu, puncak Hoa-san didaki banyak orang kang-ouw yang hendak menjenguk dan memberi
penghormatan terakhir kepada jenazah Lian Bu Tojin.
Akan tetapi tak ada seorang pun di antara mereka ini tahu akan sebab dari pada kematian kakek ini,
karena semua murid Hoa-san-pai merahasiakannya dan kalau ada pertanyaan hanya menjawab bahwa
guru besar itu meninggal dunia sewajarnya, yaitu karena usia tua. Hal ini memang mereka sengaja karena
yang menyebabkan kematian Lian Bu Tojin adalah Kwa Hong bekas murid Hoa-san-pai sendiri. Tentu saja
hal ini amat memalukan kalau sampai terdengar oleh orang luar.
Sepekan kemudian jenazah Lian Bu Tojin dikebumikan. Hoa-san-pai segera mengadakan rapat untuk
membicarakan perkembangan dan keadaan perkumpulan mereka, juga untuk membicarakan tentang
pesanan terakhir dari Lian Bu Tojin.
Para tosu serentak mengusulkan supaya Kui Lok menggantikan kedudukan gurunya, yaitu mengetuai Hoasan-
pai. Hal ini mereka usulkan karena walau pun Kui Lok dapat dibilang murid yang masih sangat muda,
akan tetapi dalam hal ilmu silat Kui Lok sudah mewarisi kepandaian Lian Bu Tojin dan kini memiliki
kepandaian paling tinggi di antara mereka.
Mendengar ini, Kui Lok dengan gugup lalu berkata sambil mengangkat kedua tangannya, "Ahhh..., para
Suheng dan Susiok bagaimana bisa mengusulkan agar siauwte yang masih muda dan bodoh
menggantikan kedudukan mendiang Suhu? Bagaimana aku berani? Ah, aku sama sekali tidak berani
menerima kedudukan itu. Hoa-san-pai adalah partai yang sudah ratusan tahun terkenal di dunia kang-ouw,
dipimpin oleh orang-orang besar yang sakti. Bagaimana hari ini kedudukan ketua akan diletakkan di
pundak seorang muda yang tidak berpengalaman seperti siauwte? Tidak, sekali lagi tidak, aku tidak berani
menerima!"
Seorang tosu yang sudah tua dan bermuka sabar sekali segera berkata, "Kui-sute harap jangan berkata
demikian. Sudah semenjak dulu Hoa-san-pai disegani kawan dan ditakuti lawan karena ilmu silat yang
diajarkannya. Oleh karena itu, mengingat bahwa di antara kita semua, di antara semua murid-murid Hoasan-
pai kiranya hanya Sute yang memiliki kepandaian paling tinggi pada waktu sekarang ini, maka siapa
lagi kalau bukan Kui-sute yang dapat menjadi pemimpin? Tentang kurang pengalaman, hal ini kiranya tidak
perlu dirisaukan benar karena kita sudah biasa bekerja secara gotong royong, ada sesuatu boleh Sute
rundingkan dengan kita bersama. Bukankah hal ini baik sekali?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Kui Lok masih menaruh keberatan dan terjadilah perdebatan antara Kui Lok dan beberapa orang tosu tua
yang mendesaknya supaya menerima kedudukan itu. Akhirnya Thio Bwee bicara, suaranya lantang dan
nyaring.
"Para Suheng dan Susiok sekalian, harap suka mendengarkan pertimbanganku yang adil. Memang kalau
dipikir, pendapat kedua pihak semua benar. Akan tetapi, mengapa hal pengangkatan ketua ini harus
diributkan benar? Sepanjang pengetahuanku yang bodoh, seorang Ketua Hoa-san-pai adalah orang yang
berhak memegang pedang pusaka kita, yaitu Hoa-san Po-kiam. Sekarang pedang pusaka itu berada di
tangan orang jahat. Dari pada ribut-ribut bicara tentang kedudukan ketua, kurasa lebih baik urusan
pengangkatan ketua ini ditunda dulu. Kita bersama, tanpa ketua, berusaha merampas kembali pedang
pusaka dan membunuh musuh yang telah mencelakai Suhu. Nah, setelah itu barulah kita bicara tentang
ketua."
Semua orang mengangguk-angguk setuju, karena memang kata-kata ini tepat sekali. Kui Lok juga girang
mendengar ucapan ini, lalu dia berkata, "Usul yang diajukan Thio-sumoi memang benar-benar amat tepat!
Marilah kita bicara tentang usaha merampas kembali pedang pusaka kita."
"Dan membunuh siluman betina Kwa Hong!" Sambung Thio Bwee sambil menatap wajah tunangannya
dengan pandang mata tajam.
Kui Lok menarik napas panjang dan maklum akan isi hati tunangannya itu. Cemburu, apa lagi? Memang
sedikit banyak ada rasa benci dalam hati Thio Bwee terhadap Kwa Hong, karena bukankah dahulu Kui Lok
jatuh hati kepada Kwa Hong?
"Kui-sute, pinto (aku) bersedia untuk pergi ke Min-san dan mohon bantuan Tan Ben San taihiap seperti
yang dipesankan oleh mendiang Suhu...," kata seorang tosu. "Mengingat akan hubungan antara Tantaihiap
dengan Hoa-san-pai, pinto rasa dia takkan menolak..."
Kui Lok mengerutkan keningnya. Terbayanglah di depan matanya semua pengalamannya dahulu. Tan
Beng San adalah orang yang selalu dia anggap sebagai perintang hidupnya. Cinta kasihnya terhadap Kwa
Hong dahulu gagal oleh karena Kwa Hong mencinta Tan Beng san! Dan beberapa kali pemuda itu muncul
sebagai seorang yang lebih gagah dari padanya.
Dan sekarang dia harus minta bantuan Beng San. Ah, ia tidak sudi! Terhadap diri Beng San ia sudah
menanam perasaan tidak senang yang mendalam.
"Tidak, Siauwte tidak setuju sama sekali karena kita harus minta bantuan orang luar. Para Susiok beserta
Suheng harap ingat bahwa urusan ini adalah urusan dalam Hoa-san-pai. Pedang Hoa-san-pai dirampas
oleh bekas murid Hoa-san-pai sendiri, dan mendiang Suhu dilukai oleh bekas murid Hoa-san-pai.
Bagaimana kita ada muka untuk mencari bantuan orang luar? Bukankah dengan berbuat demikian nama
besar Hoa-san-pai akan terjerumus ke dalam lumpur kehinaan?"
Para tosu itu menjadi amat kaget dan cepat-cepat menyatakan persetujuan mereka atas pandangan Kui
Lok ini.
"Kalau begitu, satu-satunya jalan... kita harus ke Im-kan-kok..."
Keadaan menjadi sunyi, semua orang di situ merasa seram dan bergidik pada waktu mendengar sebutan
Im-kan-kok ini. Im-kan-kok berarti Lembah Akhirat! Dan semua murid Hoa-san-pai telah mengenal Im-kankok
ini, karena lembah ini merupakan lembah gunung yang dipandang keramat dan juga menakutkan.
Ketika Ketua Hoa-san-pai masih hidup, yaitu Lian Bu Tojin, ketua ini berkali-kali memberi peringatan
kepada para murid agar sekali-kali jangan mendekati apa lagi mencoba untuk memasuki Im-kan-kok,
karena kalau ketahuan hukumannya adalah mati! Selain ancaman hukuman mati oleh tangan Lian Bu Tojin
sendiri, juga ketua ini pernah menceritakan bahwa lembah ini merupakan tempat hukuman bagi seorang
Hoa-san-pai yang luar biasa tinggi kepandaiannya, jauh lebih tinggi dari pada Lian Bu Tojin sendiri dan
orang aneh luar biasa ini pasti akan membunuh setiap orang yang berani memasuki Im-kan-kok!
Dan sekarang, mendiang Lian Bu Tojin sendiri yang meninggalkan pesan supaya mereka mencari orang
aneh ini yang bukan lain adalah suheng sendiri dari ketua itu, bernama Lian Ti Tojin yang telah empat
puluh tahun lebih menghukum diri sendiri di dalam Lembah Akhirat ini. Tak seorang pun diberi tahu
mengapa orang-orang aneh itu menghukum diri di Im-kan-kok.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kui Lok mengajukan usul untuk mencari manusia aneh ini di tempat yang merupakan ancaman maut itu.
"Benar, memang kita harus mencari Supek di Im-kan-kok. Supek Lian Ti Tojin merupakan seorang tokoh
Hoa-san-pai yang menurut mendiang Suhu dahulu, kepandaiannya amat tinggi, beberapa kali lipat lebih
tinggi dari pada kepandaian Suhu sendiri. Kalau memang Hoa-san-pai memiliki orang berkepandaian
demikian tinggi, memalukan sekali kalau untuk urusan ini kita harus mencari bantuan dari luar."
"Tapi... tapi...," kata seorang tosu setengah tua, "Supek itu sudah empat puluh tahun lebih menghilang.
Apakah... apakah kiranya beliau masih berada di tempat itu? Dan... dan di antara kita siapakah yang
pernah melihatnya?"
Semua orang saling pandang. Memang hampir semua tosu belum pernah melihat orang yang
dimaksudkan itu. Kui Lok lalu memandang kepada seorang tosu yang usianya sudah enam puluh tahun
lebih, yang pekerjaannya memelihara kitab-kitab Hoa-san-pai.
"Kwi Bun-susiok yang masih terhitung sute dari Suhu, tentunya sudah pernah bertemu dan melihat wajah
Supek Lian Ti Tojin, bukan?"
Mendadak tosu tua itu menjadi pucat, bergemetaran dan menutupi mukanya.
"Tidak... pinto... eh, tidak... tidak pernah kenal..., tidak tahu..." ia menjadi ketakutan sekali dan akhirnya
mendekam berlutut dan membaca mantera dengan tubuh menggigil.
Kui Lok dan Thio Bwee saling pandang dengan bulu tengkuk meremang. Mengapa tosu tua ini yang masih
terhitung adik seperguruan Lian Ti Tojin sendiri kelihatan ketakutan setengah mati? Sebenarnya orang
macam apakah Lian Ti Tojin itu? Dan rahasia apakah yang tersembunyi di balik Lembah Akhirat?
Melihat sikap tosu tua itu, para murid Hoa-san-pai yang biasanya amat takut mendengar Im-kan-kok itu,
sekarang menjadi semakin ketakutan dan merasa seram sekali. Mereka duduk dan bersunyi, seakan-akan
takut kalau mereka berbuat kesalahan besar karena membicarakan orang rahasia di Im-kan-kok itu.
Tiba-tiba saja semua orang terkejut ketika mendengar suara melengking tinggi menusuk telinga, suara
melengking yang datangnya dari atas, dari langit! Semua muka menjadi pucat, malah Kui Lok dan Thio
Bwee yang biasanya berhati tabah, kali ini meraba gagang pedang dengan mulut terasa kering. Suara
melengking itu makin lama semakin tinggi dan nyaring sehingga orang-orang mulai merasa tidak kuat
mendengarnya lagi, lalu menutup telinga.
Tiba-tiba saja meluncur sinar yang menyilaukan mata, sinar kehijauan dan tahu-tahu lima orang tosu roboh
terguling. Ternyata dada mereka telah terluka parah dan mereka tewas seketika itu juga!
Kwi Bun Tosu yang sejak tadi ketakutan sekarang berbisik-bisik, "Celaka... celaka... dia datang... ah, kita
berbuat dosa..." Setelah berkata demikian, tosu tua ini mencabut pedang sendiri dan menusuk dada sambil
berseru, "Lian Ti suheng... siauwte berdosa besar... rela menerima kematian..." Tubuhnya terguling dan ia
tewas dengan pedang masih menancap di dadanya!
Kejadian ini tentu saja makin mengejutkan dan menakutkan semua orang. Kui Lok segera meloncat keluar
sambil mencabut pedangnya dan berseru keras, "Tidak peduli siapa pun yang datang, harap jangan main
gila dengan Hoa-san-pai. Manusia atau iblis, perlihatkan dirimu dan mari kita bertempur sampai seribu
jurus!"
Sikapnya gagah sekali dan sikapnya inilah yang membangkitkan semangat semua anak murid Hoa-sanpai.
Malah Thio Bwee yang tadinya kaget dan ngeri sekarang juga sudah meloncat sambil mencabut
pedang, berdiri di dekat suheng-nya itu.
Tapi tidak terlihat seorang pun manusia di sekitar situ. Selagi mereka terheran-heran dan merasa gelisah,
tiba-tiba terdengar desir angin di atas kepala mereka dan di atas desir angin ini terdengar suara ketawa
merdu!
Semua orang terkejut sekali karena mengenal baik suara ketawa merdu ini. Ketika mereka memandang ke
atas, ternyata Kwa Hong tertawa-tawa sambil duduk di atas punggung seekor burung rajawali besar yang
terbang di atas kepala mereka tanpa mengeluarkan suara! Ketika Kwa Hong menggerakkan tangan kiri,
dunia-kangouw.blogspot.com
lagi-lagi ada lima orang tosu terguling roboh dan tewas. Kui Lok dan Thio Bwee hanya melihat ada sinar
hijau menyambar dari tangan ini dan tahu-tahu lima orang teman mereka telah mati dengan dada terluka
hebat.
Kemarahan Thio Bwee tak dapat ditahannya lagi. Memang sejak dahulu ia sudah merasa tidak suka
terhadap sumoi-nya ini yang dianggap merampas cinta kasih Kui Lok, apa lagi setelah Kwa Hong melukai
Lian Bu Tojin. Sekarang melihat keganasan Kwa Hong yang membunuh-bunuhi bekas saudara-saudara
seperguruan sendiri, dia segera menudingkan pedangnya ke arah burung yang terbang lewat sambil
berkata nyaring,
"Siluman betina Kwa Hong! Kau turunlah untuk menerima hukuman di ujung pedangku!"
Ada pun Kui Lok yang masih belum hilang cinta dan rindunya kepada Kwa Hong, hanya mengeluh, "Hongmoi...
kenapa kau begini kejam...?"
Kwa Hong tertawa merdu dan tiba-tiba burungnya itu menukik ke bawah dan hinggap di atas tanah tanpa
mengeluarkan sedikit pun bunyi berisik. Kwa Hong meloncat turun dari punggung burungnya, gerakannya
ringan sekali.
Semua murid Hoa-san-pai memandang dengan mata terbelalak. Wajah itu masih tak ada bedanya dengan
dulu, wajah Kwa Hong yang cantik molek dengan sepasang mata seperti bintang pagi, jeli dan bersinarsinar
penuh daya hidup, hanya bedanya sekarang terdapat pemancaran sinar mata yang aneh dan
mengerikan pada mata indah itu.
Pakaiannya masih seperti dulu, bagus dan dari sutera mahal, akan tetapi warnanya serba putih, tidak serba
merah seperti dulu lagi. Pada punggungnya tergantung pedang pusaka Hoa-san-pai dan di tangan kirinya
terpegang sebuah senjata yang amat aneh. Merupakan gagang cambuk yang berekor lima dan pada setiap
ekor cambuk itu terikat sebatang anak panah hijau. Tali sutera hitam membelit pergelangan tangannya dan
ternyata cambuk itu gagangnya dipasangi tali ini sehingga agaknya selain dapat dipergunakan sebagai
senjata dalam pertandingan, juga dapat dipakai untuk menyerang lawan secara ditimpukkan lalu ditarik
kembali melalui tali. Sebuah senjata yang luar biasa sekali, mengerikan dan tahulah Kui Lok dan saudarasaudaranya
bahwa senjata inilah yang dalam waktu dua kali telah mengambil nyawa sepuluh orang
saudara mereka!
"Hi-hi-hi, Enci Bwee! Kau semakin hitam saja! Apakah kau sudah berhasil merebut hati Kui-suheng
sekarang?" Kwa Hong berkata dan meremang bulu tengkuk Thio Bwee ketika mendengar kata-kata ini dan
melihat sikap Kwa Hong yang kalau dibanding dengan dulu seperti bumi langit bedanya. Di dalam suara ini
terkandung kesedihan besar bercampur dengan ejekan dan kebencian.
"Kau sudah menjadi siluman!" Thio Bwee balas memaki sambil menerjang maju dengan pedang di tangan.
Kwa Hong hanya tersenyum mengejek tanpa bergerak dari tempatnya. Tiba-tiba sesosok bayangan besar
menyambut gerakan Thio Bwee dan tahu-tahu burung rajawali itu sudah mencakar Thio Bwee dengan kaki
kanannya. Thio Bwee tidak gentar, cepat ia memutar pedang untuk memapaki kaki burung itu dengan
maksud membabatnya putus.
Akan tetapi mendadak sekali burung itu menggerakkan dua sayapnya, gerakannya tidak mendatangkan
angin dan sama sekali tak dapat diduga oieh Thio Bwee, maka tahu-tahu tangannya terpukul sayap
sehingga pedangnya terlempar jauh!
"Tiauw-heng, jangan pukul dia, kasihan... ha-ha-ha-ha!" Kwa Hong menyuruh burungnya mundur sambil
tertawa-tawa.
Muka Thio Bwee menjadi pucat luar biasa dan matanya memandang dengan marah, akan tetapi apa yang
dapat dia lakukan? Gerakan burung itu benar-benar amat hebat dan tidak tersangka-sangka, juga
tenaganya besar sekali.
Dengan langkah lemah gemulai Kwa Hong menghampiri Kui Lok, sambil tersenyum lalu berkata, "Kui-ko,
kau tadi menantang-nantang seperti seorang pendekar besar. Agaknya kau sekarang sudah memperoleh
kemajuan hebat dengan kepandaianmu, apakah kau sudah pandai bermain pedang dengan tangan kanan
ataukah masih kidal? Hi-hi, Kui-ko, dulu kau pura-pura menjauhi Enci Bwee, kiranya sekarang kau mau
juga. Dasar laki-laki!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Wajah Kui Lok sebentar merah sebentar pucat. Untuk mengusir rasa malunya dia pun lalu berkata, "Kau...
kau Hong-moi... jadi kaukah yang membunuh sepuluh orang saudaraku tadi? Hong-moi, mengapa kau
membunuh mereka? Dan mengapa pula kau melukai Suhu dan... dan merampas pedang pusaka?"
Kembali Kwa Hong tersenyum lebar, senyum yang dulu meruntuhkan hati Kui Lok, akan tetapi yang
sekarang membayangkan sesuatu yang amat mengerikan.
"Lian Bu Tojin berani mencelaku dan dia seorang ketua yang tidak baik, seorang guru yang mencelakakan
murid sendiri. Pedang pusaka ini memang patut berada di tanganku karena hanya akulah yang akan
mampu mengangkat tinggi nama Hoa-san-pai. Tadi aku yang menjadi pemimpin dan ciang-bujin (ketua)
baru Hoa-san-pai datang, tapi kalian tidak mau segera menyambut dengan penghormatan. Maka sepuluh
orang murid tadi kubunuh sebagai peringatan!"
Setelah berkata demikian, Kwa Hong memandang ke sekelilingnya dan semua orang tosu yang berada di
situ mengkeret lehernya, menundukkan pandang matanya karena nyali mereka terbang lenyap begitu
mereka bertemu pandang dengan Kwa Hong.
Pada saat itu pula terdengar sayup-sayup suara orang berteriak dari bawah gunung, "Enci Hong... tunggu...
jangan tinggalkan aku...!"
Suara itu berkumandang sampai di puncak gunung dan belum lama dengung suaranya lenyap, orangnya
telah tiba di situ. Siapa lagi kalau bukan Koai Atong!
Diam-diam Kui Lok dan Thio Bwee kagum dan terkejut sekali. Sebagai ahli-ahli silat tinggi dua orang muda
ini dapat mengukur betapa hebatnya khikang dari Koai Atong sekarang, dari bawah gunung sudah dapat
‘mengirim suara’ ke atas dan ginkang-nya pun demikian hebat sehingga dalam sekejap saja sudah dapat
mendaki puncak Hoa-san-pai.
Setelah sampai di situ, Koai Atong tertawa dan meringis gembira melihat Kwa Hong sudah berada di situ
bersama burung rajawali. Di dalam perjalanan, Kwa Hong naik burung dan membiarkan Koai Atong berlarilari
mengikuti bayangan burung.
"Ha-ha-ha… he-he-he…, sudah kumpul semua di sini, ha-ha-ha!"
Tapi Kui Lok dan Thio Bwee tidak mempedulikan orang tinggi besar ini, karena mereka masih marah bukan
main mendengar ucapan Kwa Hong tadi.
Kui Lok segera membentak, "Kwa Hong! Jadi kau hendak menggunakan kekerasan untuk merampas
kedudukan Ketua Hoa-san-pai? Jangan kau berlaku sewenang-wenang, dan mengingat bahwa kau adalah
bekas murid Hoa-san-pai sendiri, hayo lekas kembalikan pedang pusaka dan berlutut menerima dosa."
Mata Kwa Hong berkilat. "Kui Lok, kau begini kurang ajar terhadap ketuamu? Hayo kau yang berlutut!"
Sambil bertolak pinggang Kwa Hong memerintah.
"Suheng, mari kita bunuh siluman ini!" Thio Bwee berseru keras.
Biar pun ia sudah tak berpedang lagi, dengan nekat ia lalu menyerang Kwa Hong dengan pukulan maut
yang amat keras. Akan tetapi dengan enak Kwa Hong miringkan tubuhnya dan sekali kakinya bergerak,
Thio Bwee sudah kena ditendang roboh!
Kui Lok marah sekali dan menyerang dengan pedangnya. Kepandaian Kui Lok sudah maju pesat sekali
dan dalam hal ilmu pedang, boleh dibilang kini dia sudah menjagoi di Hoa-san-pai. Apa lagi permainan
pedangnya dilakukan dengan tangan kiri, maka sifatnya pun istimewa dan sukar diketahui perubahanperubahannya.
Ketika Kwa Hong belum meninggalkan perguruan, kalau dibuat ukuran antara mereka, agaknya ilmu
pedang Kui Lok tidak kalah oleh kepandaian Kwa Hong, maka pemuda itu dengan penuh semangat
menyerang dan mengira bahwa tak mungkin ia akan kalah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika tahu-tahu cambuk bertali yang berada di tangan kiri Kwa Hong
bergerak, tahu-tahu lima ujung cambuk dengan anak panah itu telah membelit pedangnya dan sekali
renggut Kui Lok tidak mampu mempertahankan pegangannya lagi. Pedangnya terampas oleh Kwa Hong.
Sambil tertawa melengking tinggi Kwa Hong mengambil pedang itu, menggigit ujungnya, menggerakkan
tangan dan...
"Pletakk!"
Pedang itu patah menjadi dual Gerakannya sama benar dengan cara burung rajawali mematahkan
pedang.
Kui Lok menjadi pucat, akan tetapi untuk menjaga nama Hoa-san-pai ia harus melawan mati-matian.
Sambil berseru keras ia menerjang maju dan menyerang Kwa Hong dengan pukulan-pukulan dahsyat.
"Atong, kau hajar dan usir bocah ini, tapi jangan bunuh dia!" kata Kwa Hong.
Terdengar Koai Atong tertawa-tawa berkakakan dan mendadak Kui Lok merasa tubuhnya diangkat orang
lalu dilontarkan ke atas sampai empat lima meter tingginya. Tubuhnya lalu melayang dan berjungkiran di
udara, ketika turun diterima lagi oleh Koai Atong kemudian dilontarkan lagi. Benar-benar Kui Lok sedang
dijadikan bola oleh Koai Atong yang terus mempermainkannya.
"Siluman jahat!" Kui Lok memaki.
Akan tetapi makin lama ia menjadi makin lemah dan ketika Koai Atong melemparnya ke depan, tubuhnya
terbanting lantas bergulingan. Dengan payah Kui Lok mencoba untuk berdiri, akan tetapi kepalanya pening
dan ia roboh kembali, ditertawai oleh Koai Atong dan Kwa Hong.
Thio Bwee lari mendekat dan membantu Kui Lok bangun. Dia menyuruh Kui Lok duduk kemudian dengan
marah sekali Thio Bwee meloncat lagi untuk menyerang Kwa Hong. Tadi dia hanya terbanting saja dan hal
ini belum membuat dia kapok. Hatinya terlalu sakit menyaksikan betapa kekasihnya dipermainkan dan
dihina seperti itu.
Melihat kenekatan Thio Bwee, Kwa Hong menjadi marah sekali. "Perempuan rendah, kau tidak tahu bahwa
aku sudah berlaku murah kepada kalian? Agaknya kalian perlu diberi rasa sedikit!" Setelah berkata
demikian, cambuknya bergerak dan sinar hijau berkelebat.
Thio Bwee menjerit dan terjungkal, juga Kui Lok mengaduh dan roboh. Keduanya dapat merayap bangun
kembali, tetapi ternyata bahwa dua murid Hoa-san-pai ini telah terluka oleh panah hijau, masing-masing
pada pundaknya. Perih dan panas rasanya, akan tetapi tidak seperih dan sepanas hati mereka.
"Pergi...!" Kwa Hong menudingkan cambuknya keluar. "Pergi sebelum pikiranku berubah lagi dan
kuhancurkan kepala kalian!"
Thio Bwee memandang dengan mata melotot, maksud hatinya hendak melawan lagi sampai mati. Akan
tetapi Kui Lok yang melihat sikapnya ini segera memegang lengannya dan menariknya pergi dari situ. Dua
orang muda itu pergi meninggalkan puncak seperti dua ekor anjing diusir saja, benar-benar merupakan hal
yang teramat menyakitkan hati mereka.
Seperginya dua orang muda itu keadaan menjadi sunyi. Puluhan orang tosu Hoa-san-pai tidak ada yang
berani bergerak, bernapas pun mereka takut keras-keras. Kwa Hong menyapu mereka dengan pandang
matanya yang tajam melebihi pedang.
"Siapa mau pergi? Siapa tidak mau menurut perintahku? Lihat contohnya."
Cambuknya menyambar beberapa kali dan... kepala dari sepuluh mayat para tosu tadi sudah terpukul
hancur oleh panah-panah di ujung cambuknya! Benar-benar mengerikan sekali.
"Hayo katakan, kalian mau mengangkatku sebagai ketua ataukah tidak?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Seorang tosu yang sudah agak tua maklum bahwa melawan berarti mati dengan cara yang mengerikan,
dan melawan pun akan sia-sia saja. Maka ia lalu mendahului teman-temannya berlutut dan menyatakan
suka mengangkat Kwa Hong sebagai ketua. Saudara-saudaranya pun menjatuhkan diri berlutut.
Kwa Hong tertawa gembira, tapi tiba-tiba suara ketawanya terhenti ketika ia melihat Koai Atong masih
berdiri tegak sambil tertawa-tawa.
"Heiii... kenapa kau tidak berlutut?"
Koai Atong kaget dan bingung. "Lho... berlutut? Aku kan suamimu..."
"Tidak peduli, saat ini semua orang harus berlutut kepadaku!" bentak Kwa Hong sehingga terpaksa Koai
Atong berlutut pula.
Kwa Hong mengangkat dada, mengedikkan kepala dengan penuh kebanggaan, dan dia merasa seakanakan
telah menjadi seorang ratu!
Semenjak saat itu Kwa Hong tinggal di Hoa-san-pai sebagai seorang ketua, dibantu oleh ‘suaminya’ Koai
Atong. Ketua yang baru ini amat ditakuti oleh para tosu, akan tetapi juga diam-diam ada sebagian besar
tosu Hoa-san-pai yang sangat membencinya.
Di samping ini, tentu saja terdapat pula tosu-tosu yang merasa amat girang oleh karena semenjak Kwa
Hong yang menjadi ketua, peraturan-peraturan menjadi tidak tegas lagi, dan larangan-larangan juga
seakan-akan dihapuskan oleh Kwa Hong. Oleh karena ini banyak tosu yang mulai melakukan
penyelewengan-penyelewengan tidak mentaati hukum dan peraturan Agama To.
Orang-orang inilah yang benar-benar setia kepada Kwa Hong dan Koai Atong sehingga secara
tersembunyi di antara kelompok tosu-tosu Hoa-san-pai ini terdapat pemisah antara rombongan yang pro
Kwa Hong dengan rombongan yang diam-diam kontra. Akan tetapi kesemuanya tidak berani berbuat
sesuatu yang berlawanan dengan kehendak Kwa Hong dan Koai Atong.
Sementara itu, Kwa Hong beserta Koai Atong terus memperdalam latihan-latihan mereka secara sembunyi,
mempelajari semua gerakan-gerakan aneh dari burung rajawali emas. Mereka berdua menggabungkan
pendapat masing-masing untuk menciptakan ilmu silat yang sangat hebat, gabungan dari ilmu silat Hoasan-
pai, ilmu silat Tibet, Jing-tok-ciang, dan gerakan dari burung rajawali emas!
Peristiwa perampasan kedudukan ketua di Hoa-san-pai ini menimbulkan geger di dunia kang-ouw yang
baru saja tenang akibat tumbangnya Pemerintahan Mongol. Banyak tokoh besar di dunia kang-ouw
mengerutkan kening dan merasa penasaran sekali…..
********************
Mari kita ikuti Kui Lok dan Thio Bwee yang meninggalkan puncak Hoa-san-pai dengan perasaan hancur.
Mereka terluka hebat di pundak mereka, terkena racun panah hijau yang amat berbahaya. Namun luka di
hati mereka lebih hebat lagi. Mereka tidak saja telah dikalahkan secara mudah dan memalukan sekali,
akan tetapi lebih dari pada itu, mereka telah terhina. Di sepanjang jalan menuruni puncak Thio Bwee
menangis sehingga Kui Lok sibuk menghiburnya.
"Kui-koko, dari pada mengalami penderitaan dan penghinaan seperti ini lebih baik aku mati saja... kenapa
tadi kita tidak melawan terus saja sampai mati? Untuk apa hidup lebih lama menghadapi penghinaan
seperti ini...?"
Saking sedihnya dan juga karena luka beracun di pundaknya membuat tubuhnya lemas, gadis ini
terhuyung-huyung ke depan. Kui Lok cepat-cepat mengejar dan merangkulnya. Dia merasa amat kasihan
kepada gadis ini dan sinar matanya memandang penuh kasih sayang.
Sejenak mereka berpandangan, dan akhirnya Thio Bwee menangis terisak-isak di atas dadanya. Kui Lok
menggunakan tangannya dengan mesra dan halus mengusap air mata yang bercucuran membasahi pipi
Thio Bwee.
"Bwee-moi, jangan berduka, jangan putus harapan. Selama kita masih berdua, kesukaran apa yang takkan
kuat kita hadapi? Ah, Bwee-moi... setelah ini hari aku melihat Kwa Hong, baru terbuka betul-betul mataku
dunia-kangouw.blogspot.com
betapa bodohku dahulu, tak dapat membedakan antara batu permata dan batu karang. Dia begitu jahat,
begitu kejam dan ganas seperti siluman sedangkan kau... kau begini gagah perkasa, mulia dan halus.
Bwee-moi, marilah kita pergi mencari Supek Lian Ti Tojin untuk mohon pertolongannya, tidak hanya
kepada kita yang terluka hebat... tapi terutama sekali... untuk menyelamatkan Hoa-san-pai kita..."
Mendengar ini, Thio Bwee mengangkat mukanya, memandang dengan mata terbelalak. "Pergi... ke... Imkan-
kok?!"
Mau tidak mau tersenyum juga Kui Lok melihat wajah kekasihnya begitu ketakutan. Ahhh, gadis yang tidak
takut menghadapi kematian ini sekarang takut begitu mendengar nama Im-kan-kok!
"Bwee-moi, apa kau takut?"
"Tidak... tidak asal bersama engkau... tapi... aku ngeri juga, Koko..."
"Setelah keadaan kita seperti ini, apa lagi yang harus ditakuti, Moi-moi? Hayolah kita percepat usaha untuk
mencari Supek." Keduanya lalu berjalan lagi bergandengan tangan, hati mereka telah bulat nekat untuk
mencari supek mereka.
Yang disebut Im-kan-kok (Lembah Akhirat) adalah sebuah lembah gunung di Hoa-san yang amat
mengerikan keadaannya dan tidaklah aneh kalau tempat yang terlarang bagi para anggota Hoa-san-pai ini
jarang atau tidak pernah didatangi manusia. Kalau pun ada manusia kebetulan datang ke tempat itu,
hendak apa dan mencari apakah?
Jurang yang amat lebar dan dalamnya tak dapat diukur dengan pandangan mata itu sunyi mengering di
sebelah kirinya, penuh batu-batu karang yang merupakan lerengnya atau tebingnya, tajam runcing licin tak
mungkin dituruni manusia. Di sebelah kanan lain lagi pemandangannya, penuh pohon-pohon dan di antara
pohon-pohon yang tumbuhnya tidak karuan dan liar malang-melintang itu terdapat tiga buah air terjun yang
sangat tinggi. Keadaan sebelah kiri dan kanan benar-benar merupakan pemandangan yang berlawanan
sekali, padahal keduanya merupakan bagian dari Im-kan-kok itu.
Dengan susah payah Kui Lok dan Thio Bwee berjalan melalui jalan liar yang amat sukar, merayap-rayap
melalui pinggir lembah. Kaki mereka sakit-sakit dan bagian tubuh yang tidak tertutup kain baret-baret
terkena duri-duri tetumbuhan liar yang selalu menghadang di depan mereka. Setengah hari mereka
berjalan dengan penuh kesukaran ini, dengan hati berdebar-debar pula karena sebagai murid-murid Hoasan-
pai mereka maklum bahwa mereka telah memasuki daerah terlarang bagi orang-orang Hoa-san-pai.
Tentang Lian Ti Tojin di Im-kan-kok ini, hanya sedikit mereka mendengar dari mendiang Lian Bu Tojin.
Ketua Hoa-san-pai itu hanya mengatakan bahwa Lian Ti Tojin telah memilih Im-kan-kok sebagai tempat
untuk mengasingkan diri dan menghukum diri, dan Im-kan-kok dianggap sebagai tempat pelaksanaan
hukuman.
Tidak diceritakan kesalahan apakah yang dilakukan Lian Ti Tojin itu maka dia menghukum diri sendiri di
situ. Hanya berkali-kali Ketua Hoa-san-pai itu melarang murid-muridnya memasuki daerah terlarang ini
dengan ancaman mati, malah berkata pula bahwa ilmu silat yang dimiliki oleh Lian Ti Tojin adalah ilmu silat
Hoa-san-pai yang amat tinggi, beberapa kali lebih tinggi dari pada ilmu silat yang dimiliki Lian Bu Tojin
sendiri. Selain ini, ketika mengasingkan diri empat puluh tahunan yang lalu, Lian Ti Tojin juga mengancam
bahwa siapa saja berani mengganggunya di Im-kan-kok pasti akan dibunuhnya!
“Lembah ini begitu luas, ke mana kita dapat mencarinya?" bisik Tio Bwee kepada Kui Lok ketika mereka
sedang beristirahat di bagian yang penuh pohon-pohon yang merupakan hutan-hutan liar. Di depan
mereka tampak air terjun pertama yang airnya berwarna-warni tertimpa sinar matahari.
"Memang sukar apa bila harus mencari begitu saja. Akan tetapi janganlah kau khawatir, Moi-moi. Dahulu
aku pernah mendengar dari mendiang ayahku ketika ayah mendongeng mengenai Supek di Im-kan-kok.
Menurut ayah, di bagian terbawah dari air terjun yang berada di tengah-tengah dan yang terbesar, terdapat
sebuah goa yang amat besar. Goa ini terletak di belakang air terjun dari atas. Nah, agaknya di situlah
Supek Lian Ti Tojin bertapa.”
Thio Bwee memandang ke depan. Dari tempat itu sudah kelihatan air terjun yang paling besar itu, di
tengah-tengah antara dua air terjun lainnya. Suara air terjun bergemuruh menimbulkan pendengaran yang
dunia-kangouw.blogspot.com
menyeramkan dan melihat air terjun yang ratusan meter dalamnya itu membuat Thio Bwee merasa ngeri.
Tak terasa lagi ia memegang tangan Kui Lok erat-erat.
"Aduh...!" Kui Lok mengeluh.
Thio Bwee terkejut dan menengok. Ternyata dia tadi sudah memegang lengan yang kiri dengan tangan
kanannya dan lengan kiri Kui Lok telah agak membengkak dengan warna kehijauan. Bukan main kagetnya,
apa lagi ketika pada saat itu baru ia tahu bahwa tangan kirinya juga membengkak dan agak kehijauan, dan
sakit sekali kalau ditekan. Ternyata bahwa luka di pundak kiri mereka telah makin menghebat, agaknya
racun telah menjalar sampai ke lengan tangan.
Mereka berpandangan, maklum akan keadaan mereka itu yang sangat berbahaya. Sinar mata mereka
sudah banyak menyatakan isi hati mereka dan keduanya menjadi berduka sekali. Kui Lok menarik tangan
kanan Thio Bwee diajak berdiri.
"Moi-moi..." katanya dengan suara gemetar, "kita harus cepat-cepat pergi dari sini dan cepat menjumpai
Supek, kalau tidak... aku khawatir tak ada waktu lagi...”
Thio Bwee mengangguk dan kedua orang muda ini kembali berjalan dengan susah payah, menyelinap di
antara tetumbuhan berduri, menuju ke arah air terjun yang ke dua. Akhirnya sampai juga mereka di tempat
itu. Air selebar lima meter lebih terjun dari atas, berkilauan ditimpa sinar matahari. Biar pun air itu terjun
amat dalamnya, namun suara air menimpa batu-batu di bawah terdengar dari tempat itu, malah suaranya
berkumandang di empat penjuru gunung.
Ketika dua orang itu menengok ke bawah, hati mereka berdebar menyaksikan betapa dalamnya lembah
itu. Bagaimana mereka harus turun mendekati dasar lembah?
Setelah mencari-cari dengan pandang matanya, akhirnya Kui Lok berkata, "Bwee-moi, terpaksa kita harus
turun melalui pohon-pohon dan tetumbuhan, kita harus merayap ke bawah. Perjalanan ini amat sukarnya,
dan amat berbahayanya, akan tetapi, Moi-moi, kali ini kita berjuang untuk nyawa kita."
Thio Bwee menjenguk ke bawah, lalu memandang kekasihnya sambil tersenyum pahit. "Aku mengerti,
Koko. Bersamamu aku akan kuat menghadapi apa saja."
Mendengar pernyataan ini, dengan terharu Kui Lok lalu mengusap rambut kepala Thio Bwee kemudian
berbisik, "Mati hidup kita tak akan berpisah lagi, adikku." Setelah berkata demikian pemuda ini lalu mulai
menuruni tebing yang amat dalam dan curam itu, diikuti oleh Thio Bwee.
Baiknya dua orang ini merupakan orang-orang yang sudah terlatih semenjak kecil. Tubuh mereka kuat dan
ginkang mereka sudah mencapai tingkat tinggi. Andai kata mereka tidak terluka, kiranya pekerjaan
menuruni tebing sambil bergantungan atau berpegangan pada akar-akar dan pepohonan ini akan
merupakan hai yang amat mudah bagi mereka.
Akan tetapi keadaan mereka sekarang amat buruk. Selain tubuh lemas akibat penderitaan batin, juga
tangan kiri mereka sakit dan hampir lumpuh sehingga untuk menuruni tebing hanya mengandalkan kedua
kaki dan tangan kanan saja. Sedangkan tangan kiri mereka hanya dipergunakan untuk membantu belaka.
Dua jam lebih mereka harus merayap dan bergantungan di antara akar-akar pohon dan batu-batu.
Akhirnya mereka bergantungan pada pohon terakhir dan tidak bisa turun ke bawah lagi! Bagaimana pun
mereka mencari-cari, tidak ada lagi tempat untuk berpegang atau berinjak, jalan ke bawah sudah putus.
Ketika mereka menengok ke bawah, tampak oleh mereka air terjun itu menimpa dasar lembah dan
menimbulkan uap air yang tebal. Samar-samar tampak air di bawah mereka, air yang berputaran seperti air
mendidih, tetapi amat lebarnya seperti sebuah telaga kecil yang terjadi karena air terjun itu.
"Bagaimana, Koko?" tanya Thio Bwee terengah-engah kelelahan.
Kui Lok mengerutkan kening. "Tidak mungkin turun lagi secara tadi, Moi-moi. Kembali naik juga lebih sukar.
Jalan satu-satunya kita harus berani terjun ke bawah."
"Terjun ke air itu...?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sedikit-sedikit kita dapat berenang, tak perlu takut, Bwee-moi. Mari, ikuti aku!"
Dengan nekat Kui Lok lalu meloncat ke bawah dan Thio Bwee segera mengikutinya. Dua orang muda itu
melayang-layang turun dari tempat yang tingginya masih ada belasan meter, akan tetapi yang keadaan
bawahnya tidak dapat tampak nyata karena uap air yang tebal.
"Byurr! Byurr!"
Air muncrat tinggi ketika tubuh dua orang muda itu tiba di permukaan air yang luar biasa dinginnya. Akan
tetapi alangkah kaget rasa hati Kui Lok dan Thio Bwee ketika mereka mendapat kenyataan bahwa air itu
berputar amat kuat, merupakan ulekan (air berputar) besar. Tubuh mereka hanyut terseret oleh putaran itu,
tenaga putaran demikian besarnya sehingga mereka tak berdaya, tidak mampu berenang ke pinggir. Kui
Lok maklum bahwa kalau terus-menerus begini, mereka akan celaka.
"Bwee-moi, tahan napas, menyelam terus berenang ke arah pinggir sana, ke belakang air terjun!" teriaknya
dengan napas terengah-engah payah.
Setelah gadis itu memberi isyarat bahwa dia sudah mengerti apa yang dimaksudkan oleh kekasihnya,
mereka lalu menyelam dan benar saja, di bagian bawah ternyata tenaga putaran itu tidak hebat lagi dan
dengan mudah mereka dapat berenang melalui air terjun.
Akhirnya keduanya dapat mendarat di belakang air terjun dengan napas hampir putus dan tenaga habis.
Tetapi, bukan main girang hati mereka karena melihat sang kekasih berada di sampingnya. Baru saja
mereka terlepas dari bahaya maut dan Thio Bwee tak kuasa menahan air matanya. Kui Lok memeluknya
dan pada saat itu hati ke dua orang muda ini makin bersatu dan makin teguh cinta kasih mereka.
"Bwee-moi, biar pun aku tahu kau amat lelah, akan tetapi terpaksa kita harus melanjutkan penyelidikan
kita. Kita sudah sampai di tempat yang dimaksudkan."
Keduanya berdiri dan memeriksa tempat itu. Di balik air terjun ini benar saja terdapat goa yang amat besar
dan dalam. Suara air terjun bergemuruh amat hebatnya sehingga kalau mereka ingin bicara, mereka harus
saling berdekatan dan bersuara keras-keras.
Sambil begandengan tangan dua orang muda ini merangkak-rangkak memasuki goa itu, kemudian dengan
berani dan nekat mereka terus maju memasuki lubang besar yang merupakan terowongan gelap. Mulamula
terowongan yang panjang dan lebar itu gelap sekali dan amat licin sehingga dua orang muda ini
harus meraba-raba dan merangkak, akan tetapi setelah masuk kurang lebih dua ratus meter, mulai tampak
sinar terang dari depan dan jalan tidak begitu licin lagi.
Setelah membelok tiga kali mereka tiba di sebuah ruangan di bawah tanah yang amat luas dan terang
karena sinar matahari masuk dari atas kanan kiri yang terbuka. Tempat ini bersih sekali dan kelihatan
beberapa buah benda berbentuk meja kursi terbuat dari pada batu. Malah di sebelah depan tampak dua
buah lubang berbentuk pintu. Tak salah lagi, tempat seperti ini sudah pasti didiami manusia.
Tiba-tiba terdengar suara parau. "Apa kalian mempunyai nyawa rangkap maka berani masuk ke sini?!"
Dua orang muda itu membelalakkan mata dan memandang tajam, tetapi mereka hanya melihat
berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu mereka pun roboh dengan pandang mata berkunangkunang.
Thio Bwee segera roboh pingsan, sedangkan Kui Lok sebelum pingsan masih sempat berkata
perlahan, "Teecu dari Hoa-san-pai..."
Entah berapa lama mereka berdua roboh pingsan, tahu-tahu ketika dia siuman, Kui Lok mendapatkan
dirinya bersama Thio Bwee sudah berada di dalam sebuah kamar batu yang kering dan berhawa hangat
nyaman. Cepat ia bangun dan menolong Thio Bwee.
Hatinya lega ketika mendapat kenyataan bahwa kekasihnya itu juga sudah mulai sadar. Penerangan di
kamar ini suram, hanya diterangi dengan sebuah lampu sederhana di atas meja batu.
"Ahhh, kiranya sudah malam..." pikir Kui Lok dan ia melihat Thio Bwee bergerak hendak bangun.
Dua orang ini saling berpandangan. Keduanya merasa bersyukur masih dapat melihat masing-masing
dalam keadaan selamat.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Koko... mana... mana dia?" bisik Thio Bwee.
"Tenanglah, Moi-moi. Siapa yang menempati tempat ini, tentulah orang baik-baik, buktinya kita tak
diganggu malah dibawa ke tempat ini. Lebih baik kita beristirahat dan memulihkan tenaga sambil menanti
datangnya pagi."
Dua orang muda yang maklum bahwa mereka tentu akan menghadapi hal-hal yang hebat, bahkan
mungkin hal yang amat berbahaya, segera duduk bersila dan bersemedhi untuk menjernihkan pikiran dan
menenangkan hati serta memulihkan tenaga yang telah terlalu banyak dikerahkan ketika mencari goa ini.
Mula-mula memang sukar bagi mereka untuk bersemedhi, selalu saja timbul dalam pikiran mereka
bayangan yang berkelebat tadi, dan terngiang di telinga mereka suara parau yang membentak marah.
Akan tetapi karena dua orang ini adalah orang-orang gemblengan dari Hoa-san-pai, maka akhirnya dapat
juga mereka menenangkan hati dan mengosongkan pikiran, duduk bersemedhi dengan tekun.
Menjelang pagi, di antara suara gemuruh air terjun, terdengar kicau burung dari luar. Kui Lok serta Thio
Bwee baru saja sadar dari semedhinya, dan sekarang mereka menikmati pendengaran-pendengaran yang
aneh itu.
Suara air terjun, desir angin, kicau burung, kokok ayam hutan, betul-betul mendatangkan ketenangan dan
mendatangkan suasana penuh damai dan tenteram di dalam hati. Yang amat mengherankan mereka,
bagaimana suara-suara penghuni hutan itu dapat terdengar dari dalam kamar itu. Lama mereka masih
duduk termenung, tak merasa betapa matahari makin lama makin terang cahayanya.
Ada angin bertiup dari arah pintu dan lampu kecil itu padam. Tapi kamar ini tidak menjadi gelap karena
ternyata bahwa cahaya matahari sudah sampai juga ke tempat itu. Kui Lok merasa tidak enak apa bila
diam saja di situ, karena itu sambil memberanikan hatinya dia mengajak Thio Bwee untuk keluar dari
kamar. Begitu keluar dari kamar telinga mereka mendengar suara orang bicara, suaranya parau dan jelas,
"Kenapa tidak kau bunuh saja? Huh, kau sudah ingin keluar dari sini agaknya! Tua bangka bodoh!"
Mendengar ini, Kui Lok dan Thio Bwee bergidik. Akan tetapi dengan nekat mereka malah menuju ke arah
suara dan di dalam sebuah ruangan batu mereka melihat seorang kakek tinggi kurus sedang duduk bersila
dan menuding-nuding ke arah hidungnya sendiri sambil memaki-maki! Kakek itu rambutnya panjang sekali,
dibiarkan terurai sampai ke pahanya, pakaiannya sederhana dari kain kasar berwarna putih.
"Apa kau kasihan melihat pemuda ganteng? Ataukah kau jatuh hati melihat gadis cantik manis? Aha,
bukan semua itu, kau tergila-gila untuk sekali lagi melihat manusia ramai! Waah, tak tahu malu, tua bangka
gila!"
Orang tua itu seakan-akan tidak melihat kedatangan Kui Lok dan Thio Bwee.
Dua orang muda itu cepat berlutut setelah mereka memasuki ruangan dan Kui Lok segera berkata, ''Teecu
berdua Kui Lok dan Thio Bwee datang menghadap Locianpwe."
Pemuda itu tak berani menyebut supek karena selama hidupnya ia belum pernah bertemu dengan Lian Ti
Tojin, mana dia tahu apakah kakek ini betul supek-nya itu ataukah bukan?
Tanpa menengok ke arah mereka kakek itu tiba-tiba saja bertanya, "Kalian masih punya hubungan apa
dengan Lian Bu?"
"Beliau adalah Suhu teecu berdua...," kata Kui Lok, masih ragu-ragu apakah orang ini benar-benar tokoh
aneh dari Hoa-san-pai yang selama ini merupakan iblis yang sangat ditakuti oleh seluruh anggota Hoa-sanpai.
"Kau jangan bohong! Lian Bu hanya lebih muda beberapa tahun dariku. Sebagai Ketua Hoa-san-pai masa
mempunyai murid-murid begini muda dan tidak becus apa-apa?"
"Teecu berdua... tadinya memang cucu-cucu murid, tapi akhir-akhir ini berlatih langsung di bawah petunjuk
Lian Bu Tojin suhu."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tidak becus... tidak becus… he, orang-orang muda, apakah gurumu tidak memberi tahu bahwa siapa pun
tidak boleh datang ke Im-kan-kok? Bahwa siapa pun yang mendatangi tempat ini akan kubunuh mampus?"
pertanyaan ini diucapkan dengan suara kereng.
"Teecu memang sudah tahu... dan sekiranya Locianpwe ini benar adalah Supek Lian Ti Tojin, teecu berdua
hanya mohon ampun..."
"Kalian sudah tahu tapi berani juga datang ke sini?"
Sebelum Kui Lok dan Thio Bwee dapat melihat apa yang dilakukan kakek itu, tahu-tahu mereka berdua
sudah terguling dan pingsan lagi! Mereka tadi hanya melihat kakek tua itu menggerakkan lengan kanannya
dan tahu-tahu mereka roboh tidak ingat apa-apa.
Pada saat mereka sadar kembali, kakek itu masih duduk bersila seperti tadi dan Kui Lok segera menolong
Thio Bwee. Keadaan mereka makin payah karena selain terluka pundak mereka dan dua kali dipukul
roboh, juga semenjak kemarin perut mereka kosong sama sekali.
Kui Lok girang bahwa Thio Bwee juga segera sadar kembali dan agaknya pukulan jarak jauh dari kakek itu
hanya membuat mereka roboh dan pingsan saja, namun tidak teluka hebat. Kedua orang muda ini heran
mengapa kakek itu tidak membunuh mereka.
"Anak murid Hoa-san-pai sampai terluka oleh Jing-tok-ciang (Racun Hijau)..., hemmm, memalukan
sekali...!" Kakek itu berkali-kali mengucapkan kata-kata ini seorang diri, sedikit pun tidak menoleh ke arah
dua orang muda itu.
Mendengar ini, timbul harapan dalam hati Kui Lok. Serta-merta ia berlutut di depan kakek itu dan berkata,
"Teecu berdua datang menghadap Supek untuk memohon pertolongan Supek... Hoa-san-pai terancam
bahaya kemusnahan. Supek harap maklum bahwa Suhu telah tewas terbunuh orang..."
"Hemmm, tidak sejak dulu-dulu terbunuh orang sudah amat mengherankan. Sebodoh dia menjadi ketua,
hemmm..."
Bingung dan mendongkol juga hati Kui Lok melihat sikap orang yang menjadi supek-nya ini. Benar-benar
berwatak aneh dan luar biasa.
"Supek, tidak saja Suhu sudah tewas, akan tetapi musuh besar itu juga menewaskan sepuluh orang
suheng..."
"Gurunya tolol mana mungkin murid-muridnya tidak goblok? Jika mampus karena ketidak becusan sendiri,
untuk apa kau ceritakan kepadaku?" kakek itu memotong tanpa menoleh kepada Kui Lok.
"Supek, musuh itu masih merampas pedang pusaka Hoa-san-pai dan sekarang malah menduduki Hoasan-
pai dan mengangkat diri sendiri sebagai ketua!"
Untuk sejenak kakek itu diam tak bergerak dan tak bersuara seakan-akan kaget juga dan berpikir. Akan
tetapi segera ia mengangguk-angguk dan berkata, "Biar, lebih baik begitu! Biar pun murid Hoa-san-pai
sendiri yang menjadi ketua kalau tidak becus macam Lian Bu, untuk apa? Biarlah dipegang orang lain,
tentu lebih lihai dari Lian Bu dan lebih bijaksana!"
Kui Lok tercengang dan habis akal. Thio Bwee sejak tadi diam saja, akan tetapi hatinya panas bukan main.
"Sudahlah, Suheng, untuk apa bicara lagi kepada seorang murid Hoa-san-pai yang tidak berbudi? Kalau
didengar kata-katanya, apa sih bedanya dia dengan iblis betina Kwa Hong yang sudah merampas
kedudukan Suhu? Keduanya sama-sama murid Hoa-san-pai yang murtad dan khianat!"
Tiba-tiba saja kakek aneh itu menoleh ke arah mereka dan dua orang muda itu hampir mengeluarkan
suara jeritan saking terkejut dan ngerinya. Nampak muka kakek itu seperti bukan muka manusia lagi, akan
tetapi lebih mirip muka tengkorak! Muka itu sama sekali tidak ada dagingnya, hanya tulang tengkorak
terbungkus kulit kering. Mulutnya terbuka kosong, lubang hidungnya menjadi satu dan sepasang matanya
bersembunyi amat dalam sehingga sepintas lalu seakan-akan kedua lubang matanya itu kosong saja!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Apa yang kau bilang?" tanyanya dan sepasang biji mata yang bersembunyi dalam-dalam di kepala itu
mengintai kepada Thio Bwee, amat tajam menakutkan.
"Oh... tidak... tidak..." Thio Bwee memalangkan lengan kanan di depan mukanya sambil mundur-mundur
ketakutan.
Mulut yang ompong kosong itu terbuka lebar, lalu mengeluarkan suara ketawa yang amat menyeramkan,
kemudian disambung kata-katanya dengan suara kereng, "Bocah, coba katakan lagi. Betulkah yang
menewaskan Lian Bu dan yang merampas kedudukan Ketua Hoa-san-pai adalah seorang murid Hoa-sanpai
sendiri?"
Karena Thio Bwee masih belum dapat menguasai dirinya, Kui Lok cepat berkata, "Betul sekali, Supek.
Musuh besar itu malah seorang gadis muda dan masih terhitung saudara seperguruan teecu berdua. Akan
tetapi dia telah murtad, menikah dengan seorang ahli racun hijau bernama Koai Atong kemudian bersama
suaminya itu mengacau Hoa-san-pai dan merampas kedudukan ketua." Lalu secara singkat namun jelas
Kui Lok menceritakan kejadian hebat yang menimpa Hoa-san-pai.
"Ha-ha, aku mau lihat! Mau lihat macam apa bocah yang berani menyaingi Lian Ti Tojin dalam hal
pengkhianatan terhadap partai itu. Apakan dia selihai aku? Ha-ha-ha!" Setelah berkata demikian tubuhnya
berkelebat dan tahu-tahu ia telah meloncat sampai ke pintu ruangan.
Sekarang tampak oleh Kui Lok dan Thio Bwee betapa tubuh kakek itu pun hampir sama dengan keadaan
mukanya, kurus kering seperti rangka hidup!
Sesampainya di situ tiba-tiba dia berhenti dan berkata seorang diri, "Tidak bisa... tidak bisa... kalau aku
pergi harus ada yang menggantikan aku di sini. Ha, benar juga. Kalian berdua harus menggantikan aku di
Im-kan-kok sini, seharusnya sampai empat puluh tahun. Akan tetapi karena kalian berdua, maka hukuman
buat kalian hanya dua puluh tahun seorang. Sebelum dua puluh tahun tak boleh keluar dari sini.
Bersumpahlah!"
Kui Lok dan Thio Bwee saling pandang. Thio Bwee nampak agak ragu-ragu. Bagaimana mungkin mereka
harus berdiam di situ selama dua puluh tahun?
Akan tetapi Kui Lok segera berkata, "Bwee-moi, kita sudah terluka parah. Agaknya biar pun kuat keluar dari
tempat ini, belum tentu bisa hidup lebih lanjut. Lian Ti supek, teecu berdua sanggup tinggal di sini sampai
dua puluh tahun asal saja Supek suka pergi ke Hoa-san-pai dan menyelamatkan partai dari cengkeraman
siluman betina Kwa Hong."
"Bersumpahlah!"
Tanpa ragu-ragu lagi Kui Lok dan Thio Bwee bersumpah takkan meninggalkan tempat itu sebelum dua
puluh tahun!
Mendengar sumpah ini, kakek itu tertawa terbahak-bahak. "Ha-ha-ha, senang hatiku. Ada dua orang
sekarang yang akan dapat merasakan bagaimana hebat penderitaanku di sini selama empat puluh tahun
lebih ini. Ha-ha-ha!"
Diam-diam Kui Lok merasa gemas juga. Kiranya supek-nya ini pun bukan orang baik-baik, orang yang
merasa girang melihat orang lain menderita. Saking gemasnya dia berkata untuk mengecewakan hati
kakek itu, "Supek keliru sangka. Teecu berdua sudah terluka hebat oleh racun Jing-tok, kiranya tak akan
lama hidup di dunia ini dan tidak akan lama merasakan penderitaan seperti yang Supek rasakan!"
"Uh-uh, goblok! Kau kira aku sebodoh kau dan gurumu? Sebelum aku pergi kalian sudah akan sembuh.
Hayo kalian pelajari ini dan ikuti perbuatanku!"
Setelah berkata demikian kakek itu berjungkir balik, dua kakinya ke atas dan kepalanya di bawah, di atas
tanah. Dengan jungkir balik ini ia ‘berdiri’ di atas kepalanya dengan tubuh lurus.
Kui Lok dan Thio Bwee tak berani membantah, apa lagi mereka juga dapat menangkap maksud kakek itu
yang hendak menyembuhkan mereka. Keduanya lalu berjungkir balik dan menggunakan kepandaian untuk
‘berdiri’ di atas kepala dengan tubuh lurus-lurus.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Lihat baik-baik, tiru gerakan kedua tanganku, terutama gerakan tangan kiri!"
Kakek itu dengan perlahan kemudian menggerak-gerakkan dua lengannya seperti orang bersilat. "Salurkan
hawa Thai-yang dari pusar ke dada, tekan dengan kekuatan dalam supaya berputar tiga belas kali di dada
lalu kerahkan tenaga ke pundak yang terluka, terus ke sepanjang lengan kiri sambil pukulkan begini!"
Kakek itu bergerak-gerak dan memberi petunjuk yang dituruti oleh dua orang itu dengan taat. Pelajaran ini
ada hubungannya dengan ilmu silat Hoa-san-pai, maka sebagai anak murid Hoa-san-pai yang sudah tinggi
ilmunya tentu saja mereka dapat melakukan semua petunjuk itu dengan baik dan tepat.
Tiba-tiba Kui Lok dan Thio Bwee berseru girang karena dari pundak mereka mengucur darah kental hijau,
tanda bahwa racun yang berada pada tubuh mereka mulai mengucur keluar. Mereka semakin giat
melakukan gerakan itu dan terus-menerus darah kehijauan mengalir keluar dari pundak mereka.
Saking gembira hati mereka melihat hasil pengobatan ini, mereka sampai lupa dan tidak memperhatikan
lagi kepada kakek yang tadi memberi petunjuk kepada mereka dan yang sekarang sudah tidak terdengar
suaranya lagi. Ketika mereka kelelahan dan beristirahat, barulah ternyata oleh mereka bahwa kakek itu
telah lenyap dari situ!
Dua orang muda itu saling pandang. Darah berwarna kehijauan membasahi lantai. Dalam pertemuan
pandang mata ini jalan pikiran mereka sama. Mereka maklum bahwa kakek itu sudah keluar dan mereka
sudah bersumpah untuk tidak keluar dari tempat itu selama dua puluh tahun! Mulut tidak bicara akan tetapi
sinar mata mereka bicara banyak, dan tak tertahankan lagi Thio Bwee menubruk Kui Lok sambil menangis
tersedu-sedu.
Untuk sesaat Kui Lok memeluk Thio Bwee dan membiarkan kekasihnya itu menuangkan kedukaan hatinya
melalui air matanya, lalu sambil mengelus-elus kepala Thio Bwee, dia berkata,
"Lapangkan hatimu, Moi-moi. Asal kita masih selalu berdampingan, kiranya kita tak perlu takut atau
berduka. Andai kata tidak akan terjadi perubahan dalam kehidupan kita dan harus berada di sini sampai
dua puluh tahun, apa boleh buat, hitung-hitung kita berkorban untuk Hoa-san-pai! Sekarang yang penting
kita harus memeriksa tempat ini. Kalau Supek sampai bisa hidup di sini selama empat puluh tahun tentu di
sini cukup bahan makanan dan kebutuhan hidup. Sementara itu, kita betul-betul sehat dan terhindar dari
bahaya keracunan."
Lambat laun Thio Bwee terhibur juga. Apa lagi karena apa bila mereka keluar dari goa, pemandangan di
sekitar air terjun benar-benar hebat dan indah bukan main, lagi pula di sana banyak terdapat buah-buahan
dan binatang-binatang yang akan menjadi makanan mereka.
Yang paling menggembirakan hati mereka adalah ketika di sebuah ruangan di bawah tanah, mereka
melihat betapa dinding ruangan itu penuh dengan ukir-ukiran yang berupa huruf-huruf dan gambar-gambar.
Inilah pelajaran ilmu silat yang selama ini diciptakan oleh supek mereka di tempat itu. Ilmu silat aneh yang
bersumber kepada ilmu silat Hoa-san-pai yang asli, jauh lebih hebat dan dahsyat dari pada ilmu silat yang
pernah mereka pelajari di Hoa-san-pai.
Kita tinggalkan dahulu dua orang muda yang saling mencinta dan yang terpaksa hidup sebagai suami isteri
di Lembah Akhirat itu. Hidup laksana Adam dan Hawa di Taman Firdaus! Jauh dari dunia ramai, hanya
berteman dengan bunga-bunga, buah-buahan dan binatang-binatang hutan…..
********************
Ramai sekali di Puncak Hoa-san-pai pada pagi hari itu, tanda bahwa tentu telah terjadi hal-hal luar biasa.
Memang sudah sering kali, hampir setiap hari di Puncak Hoa-san terjadi hal-hal aneh semenjak Kwa Hong
menjadi Ketua Hoa-san-pai.
Hampir setiap hari ada saja tokoh-tokoh kang-ouw yang menjadi sahabat baik mendiang Lian Bu Tojin naik
ke puncak. Mereka tidak saja mengabarkan tentang kematian kakek itu, tetapi juga untuk menyaksikan
sendiri kekacauan Hoa-san-pai karena merasa penasaran. Dan hebatnya, setiap kali ada tokoh persilatan
naik ke puncak, sebagian besar dari pada mereka ini tidak bisa turun lagi karena mereka itu binasa di
bawah tangan Kwa Hong, Koai Atong, atau rajawali emas!
dunia-kangouw.blogspot.com
Pagi hari ini Beng Tek Cu, tosu dari Bu-tong-pai yang sejak dahulu menjadi sahabat baik Lian Bu Tojin
bersama empat orang adik seperguruannya, naik ke Puncak Hoa-san-pai. Perlu diketahui bahwa Beng Tek
Cu ini adalah tokoh Bu-tong-pai yang dahulu di waktu Hoa-san-pai bermusuhan dengan Kun-lun-pai, tosu
ini berpihak kepada Lian Bu Tojin. Oleh karena itu, tidak heranlah apa bila tosu tua ini sengaja mendaki
Puncak Hoa-san-pai ketika ia mendengar berita mengejutkan bahwa Lian Bu Tojin tewas oleh seorang
cucu muridnya sendiri yang sekarang telah menduduki kursi ketua di Hoa-san-pai!
Beng Tek Cu ini orangnya tinggi besar dan gagah. Biar pun usianya sudah enam puluh tahun lebih namun
masih tampak kuat dan bersemangat, wataknya sejak muda galak dan jujur dan ilmu pedangnya sudah
terkenal di empat penjuru dunia persilatan. Empat orang sute-nya juga bukan tokoh-tokoh rendah,
melainkan jago-jago Bu-tong-pai yang sudah menguasai ilmu silat dan Ilmu Pedang Bu-tong Kiam-hoat.
Bukan main rnarah dan herannya hati Beng Tek Cu ketika ia mendengar bahwa sahabat baiknya Lian Bu
Tojin, tewas oleh muridnya sendiri. Ia sudah mengenal Kwa Hong, malah semua murid Hoa-san-pai sudah
dikenal oleh tosu Bu-tong-pai ini. Maka dengan amarah yang meluap-luap dan juga terheran-heran ia
segera membawa adik-adik seperguruannya untuk ‘membereskan’ kerusuhan di Hoa-san-pai.
Baru saja memasuki wilayah Hoa-san-pai di kaki Hoa-san itu ia dan adik-adiknya sudah melihat perubahan
hebat yang terjadi pada partai persilatan besar di puncak itu. Para tosu anggota Hoa-san-pai tidak ada lagi
yang menyambut dengan penuh penghormatan dan ramah-tamah seperti dulu.
Malah di sana-sini terdapat tosu-tosu yang segera menyelinap pergi sambil memandang penuh curiga
ketika lima orang tosu Bu-tong-pai ini naik ke gunung itu. Telinga mereka yang sangat terlatih sudah
mendengar di sebelah atas orang-orang berteriak sambung-menyambung ke atas, melaporkan kedatangan
mereka.
"Beng Tek Cu serta empat orang sute-nya dari Bu-tong-pai hendak menghadap Nio-nio (Dewi)...!"
Beng Tek Cu mendongkol sekali, apa-lagi mendengar sebutan Nio-nio itu. Hemm, bukan main
sombongnya. Apakah Kwa Hong gadis muda itu yang kini mengangkat diri menjadi ketua dan disebut
Dewi? Kedatangannya sudah diketahui, tuan rumah atau nyonya rumah tentu sudah mengadakan
persiapan. Entah sambutan apa yang akan ia terima. Beng Tek Cu mengajak adik-adiknya mempercepat
perjalanan ke puncak.
Setelah mereka makin tinggi mendaki, di kanan kiri jalan makin sering mereka melihat tosu-tosu Hoa-sanpai
melakukan penjagaan, tidak seperti dulu dengan ramah-tamah dan hormat menyambut kedatangan
para tamu, namun dengan cara bersembunyi-sembunyi.
Akan tetapi tak dapat mereka menahan kemarahan hati mereka lagi sewaktu sampai di lereng terakhir
bawah puncak, mereka melihat kuburan-kuburan baru berderet-deret, tidak kurang dari dua puluh
jumlahnya. Di depan kuburan itu terdapat bong-pai (batu nisan) sederhana dan kasar yang ditulisi namanama
yang dikubur.
Lima orang tosu Bu-tong-pai ini sudah mendengar akan korban-korban yang jatuh sejak Hoa-san-pai
dipegang oleh Kwa Hong, yaitu mereka yang datang karena tidak senang dan hendak membela mendiang
Lian Bu Tojin. Jadi dengan maksud yang sama dengan maksud mereka sekarang. Agaknya sengaja para
korban itu dikubur di pinggir jalan naik ke puncak agar semua pendatang melihatnya! Alangkah
sombongnya!
"Kwa Hong murid durhaka! Kejahatanmu sudah melewati takaran dan kini pinto datang untuk mengakhiri
keganasanmu!" Beng Tek Cu berteriak dengan pengerahan khikang-nya sehingga suaranya terdengar
nyaring dan bergema sampai ke puncak gunung.
Belum lenyap gema suaranya yang keras itu, dari puncak gunung tampaklah bayangan seorang tinggi
besar berlari-lari cepat turun ke arah mereka. Para tosu Hoa-san-pai yang tadinya bersembunyi di kanan
kiri jalan, sekarang juga muncul dengan pedang di tangan dan dengan sikap siap untuk mengeroyok.
Akan tetapi Beng Tek Cu dan kawan-kawannya berdiri dengan tenang, sama sekali tidak gentar terhadap
kemunculan para tosu Hoa-san-pai itu. Mereka menujukan pandangan mata mereka kepada orang tinggi
besar yang berlari turun seperti terbang cepatnya itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Diam-diam Beng Tek Cu terkejut dan kagum menyaksikan ginkang orang itu. Demikian hebatnya sehingga
gerakannya bagaikan burung terbang saja, kedua kaki seakan-akan tidak menyentuh tanah dan kedua
lengan yang panjang itu dikembangkan ke kanan kiri dan digerakkan seperti gerakan sayap burung!
Orang itu bukan lain adalah Koai Atong! Bocah tua ini marah sekali mendengar orang memaki-maki Kwa
Hong. Maka cepat ia menyambut musuh-musuh baru ini. Di lain pihak, Beng Tek Cu dan teman-temannya
yang belum pernah melihat Koai Atong, merasa heran dan juga geli setelah Koai Atong datang dekat.
Mereka melihat seorang laki-laki tinggi besar setengah tua yang pakaiannya berkembang-kembang dari
topi sampai sepatunya pun berkembang, gerak-geriknya seperti anak kecil dan lebih pantas kalau orang itu
dimasukkan golongan orang gila. Melihat keadaan orang ini, dapatlah Beng Tek Cu dan kawan-kawannya
menduga bahwa mereka berhadapan dengan Koai Atong, tokoh aneh di dunia kang-ouw yang sekarang
kabarnya telah menjadi suami Kwa Hong! Kalau gadis murid Hoa-san-pai yang cantik jelita itu tidak
menjadi gila otaknya, mana mungkin sudi menjadi isteri orang macam ini?
Sementara itu, setelah berhadapan dan melihat bahwa yang memaki-maki ‘isterinya’ adalah lima orang
tosu yang tidak dikenalnya, Koai Atong menuding dan membentak,
"Tosu-tosu bau dari mana berani mampus, datang-datang memaki Enci Hong!"
"Sobat yang baru datang ini apakah bukan Koai Atong?" tanya Beng Tek Cu karena masih ragu-ragu
apakah betul Koai Atong yang terkenal itu hanya seperti orang gila ini.
Koai Atong membelalakkan kedua matanya yang sudah lebar itu. "Ehhh? Kau juga tahu namaku?
Siapakah kau tosu yang sudah kenal namaku?"
"Pinto Beng Tek Cu dari Bu-tong-pai dan mereka ini adalah sute-sute-ku. Koai Atong, pinto mendengar
bahwa kau dan Kwa Hong murid murtad dari Hoa-san-pai itu sudah membunuh Lian Bu Totiang,
membunuh tosu-tosu Hoa-san-pai dan banyak orang-orang gagah yang datang ke sini, kemudian malah
merampas kedudukan Ketua Hoa-san-pai. Benarkah semua pengacauan ini? Koai Atong, kau sebagai
murid seorang sakti seperti Giam Kong Hwesio, kenapa menjadi tersesat sampai begini jauh?"
Menghadapi ucapan ini dan melihat pandang mata Beng Tek Cu yang tajam berpengaruh, Koai Atong
menjadi jeri juga. Ia menundukkan muka dan tidak dapat menjawab, seperti anak kecil dimarahi ayahnya!
Pada saat itu, terdengar suara melengking tinggi, datangnya dari udara dan amat nyaring menyakitkan
anak telinga.
"Beng Tek Cu! Kau dan sute-sute-mu pergilah dari sini dan jangan mencampuri urusan Hoa-san-pai!"
Jelas bahwa itu adalah suara wanita yang merdu tapi nyaring dan melengking tinggi. Beng Tek Cu dapat
menduga bahwa suara itu tentulah suara Kwa Hong, akan tetapi dia tidak mengerti bagaimana suara itu
datangnya dari atas!
"Kwa Hong murid murtad, pinto datang untuk mengakhiri riwayatmu yang busuk!" teriak Beng Tek Cu.
"Koai Atong, tolol! Orang memaki aku, mengapa diam saja? Serang dan bunuh mereka semua tosu-tosu
bau ini!" Suara Kwa Hong terdengar lagi.
Tiba-tiba Koai Atong mengeluarkan pekik melengking seperti burung dan tahu-tahu dia telah
menggerakkan kedua lengannya yang panjang untuk menyerang kalang-kabut pada lima orang tosu itu.
Beng Tek Cu dan sute-sute-nya cepat mengelak, akan tetapi tetap saja dua orang tosu Bu-tong-pai itu
terkena pukulan yang sangat aneh gerakannya sehingga mereka roboh terguling! Beng Tek Cu marah dan
juga heran bukan main.
Sute-sute-nya itu terhitung murid-murid Bu-tong-pai tingkat dua, memiliki ilmu kepandaian tinggi dan
tenaga lweekang yang sudah kuat sekali. Akan tetapi bagaimana begitu mudah roboh hanya oleh sekali
serangan Koai Atong ini? Ia sendiri ketika mengelak tadi sengaja mengebutkan lengan baju untuk
menahan pukulan, akan tetapi lengan bajunya terpukul membalik dan ujungnya sudah hancur.
"Koai Atong, kau menjadi antek siluman betina jahat. Patut dibasmi lebih dulu!" Beng Tek Cu membentak
sambil mencabut pedangnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dua orang sute-nya yang tadi roboh oleh pukulan Koai Atong, juga sudah bangun kembali
dan seperti yang lain-lain, dengan marah mereka pun mencabut pedang. Baiknya dalam gebrakan pertama
tadi Koai Atong hanya menggunakan gaya serangan rajawali emas tanpa mempergunakan hawa pukulan
Jing-tok-ciang, maka dua orang tosu yang terpukul roboh tidak mengalami luka hebat.
Sekarang lima orang tosu itu dengan pedang di tangan mengurung Koai Atong. Orang tinggi besar ini
nampak kebingungan. Memang bertempur bagi Koai Atong merupakan permainan yang rnenyenangkan,
maka ia pun tertawa-tawa ha-ha-hi-hi sambil berputaran perlahan dan melirik-lirik lima orang lawannya.
Kedua kakinya berjungkit, kedua lengan dikembangkan dan bergerak-gerak seperti sayap burung hendak
terbang, sikapnya lucu sekali tapi juga aneh dan membuat lima orang tosu Bu-tong-pai itu berhati-hati
sekali tidak segera menyerang.
Beng Tek Cu memberi tanda isyarat kepada adik-adiknya dan lima orang tosu ini secara otomatis
kemudian mengambil posisi masing-masing dan membentuk barisan Bu-tong Ngo-heng-tin. Dengan teratur
dan otomatis kelimanya lantas bergerak melangkah maju mengitari Koai Atong, tanpa menyerang akan
tetapi sikap dan kedudukan mereka sering berubah-ubah, kelihatan indah sekali seperti gerakan tarian
yang teratur. Pedang mereka berkelebatan berpindah-pindah pasangan kuda-kuda, ke mana pun mereka
melangkah, mata mereka mengincar ke arah Koai Atong.
Meski pada umumnya Koai Atong amat bodoh dan sederhana pikirannya seperti seorang kanak-kanak,
akan tetapi dalam hal ilmu silat dia sudah berpengalaman banyak. Selama mengikuti suhu-nya dahulu, dia
telah merantau dari dunia barat sampai ke lautan timur, entah sudah berapa ratus kali pertempuran dia
alami.
Tentu saja melihat Bu-tong Ngo-heng-tin ini, dia segera maklum bahwa dia menghadapi barisan yang amat
tangguh dan berbahaya. Sama sekali dia tidak gentar, akan tetapi tak dapat disangkal lagi bahwa dia
merasa bingung juga.
Ia dan Kwa Hong hanya meniru gerakan-gerakan rajawali emas dalam menghadapi lawan seorang, belum
pernah melihat bagaimana gerakan burung sakti itu kalau menghadapi keroyokan seperti sekarang ini.
Maka sudah tentu saja ia tak akan dapat mempergunakan gerakan yang ia pelajari dari rajawali emas dan
terpaksa menggunakan kepandaiannya sendiri, terutama sekali Jing-tok-ciang.
"Hei, Koai Atong, apa kau takut menghadapi Ngo-heng-tin kami? Kalau takut, lekas kau berlutut dan minta
ampun!" ejek Beng Tek Cu dan keempat orang sute-nya segera pula mengeluarkan kata-kata memaki dan
mengejek.
Memang inilah termasuk siasat dari pada Ngo-heng-tin, yaitu membuat lawan menjadi marah dan
memancing lawan agar supaya menyerang. Koai Atong memang seperti anak kecil. Begitu diejek dan
dimaki-maki, ia menjadi marah dan cepat ia memutar lengan kiri menyerang ke arah Beng Tek Cu. Hebat
sekali serangannya karena memang semenjak berpisah dari gurunya, dia sudah memperdalam Ilmu
Pukulan Jing-tok-ciang ini, apa lagi gerakannya sudah dicampur pula dengan gerakan rajawali!
Beng Tek Cu maklum akan kehebatan serangan ini, maka dia cepat melompat mundur sambil memutar
pedangnya. Koai Atong sebaliknya kaget bukan main karena pada saat ia bergerak menyerang itu, ia
mendengar desir angin dari kanan kiri dan belakang, melihat pula empat sinar menyambar dan menyerang
ke arah empat bagian tubuhnya yang paling lemah!
Terpaksa ia menarik kembali serangannya terhadap Beng Tek Cu tadi dan menggunakan kegesitannya
untuk mengelak dari empat serangan itu. Dalam kemarahannya dia lantas menyerang seorang di antara
empat tosu itu yang terdekat.
Akan tetapi, seperti juga tadi, yang diserangnya melompat mundur dan empat tosu yang lain berbareng
menyerangnya dengan pedang dari belakang dan kanan kiri.
Inilah kehebatan Bu-tong Ngo-heng-tin. Memang kelihaiannya baru terasa apa bila lawan menyerang
seorang di antara lima pelakunya. Karena ketika menyerang si Penyerang ini otomatis tentu membiarkan
beberapa bagian tubuhnya terbuka dan kesempatan inilah yang dipakai oleh empat orang tosu lain untuk
menyerang, sedangkan seorang tosu yang diserang harus menjauhkan diri dan menyelamatkan diri sendiri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Koai Atong mulai bingung dan repot sekali. Serangannya selalu gagal. Bagaimana tidak akan gagal kalau
begitu menyerang seorang, ia lalu dihantam oleh empat orang? Bukan hanya gagal, malah setiap kali
menyerang berarti ia terancam bahaya maut.
Ia banyak pengalaman, maka setelah beberapa kali gagal menyerang malah terdesak hebat, akhirnya Koai
Atong tidak mau menyerang lagi dan berdiri diam saja menjaga diri. Dan ternyata dugaannya benar, lima
orang lawannya itu pun berdiri diam menunggu dia melakukan penyerangan seperti tadi!
Memang lima orang dalam bentuk barisan Bu-tong Ngo-heng-tin ini mempergunakan tipu Memancing Ular
Keluar dari Rumput. Sekarang setelah Koai Atong diam saja, dengan sendirinya tipu mereka itu gagal.
Sampai lama dua pihak saling menunggu agar lawan menyerang lebih dulu, akan tetapi keduanya tidak
mau mengalah.
Beng Tek Cu memberi isyarat lagi dan tiba-tiba seorang tosu yang berdiri di sebelah kiri Koai Atong
menyerang dengan pedangnya, menusuk ke arah lambung bocah tua itu. Belum sampai serangan ini
sudah disusul oleh tosu ke dua di belakangnya, lalu disusul tosu lain dan demikianlah, dalam sekejap mata
saja lima orang tosu itu susul-menyusul dalam serangan mereka.
Koai Atong tadinya menunggu datangnya serangan untuk merobohkan Si Penyerang itu. Tapi siapa kira
serangan itu datangnya susul-menyusul secara otomatis dan teratur sekali sehingga kembali ia sibuk
melayani semua serangan tanpa mendapat kesempatan sama sekali untuk balas menyerang! Malah
kadang-kadang serangan bertubi-tubi itu tiba-tiba berubah sifatnya menjadi serangan serentak berbareng,
lalu bertubi-tubi lagi. Inilah gerak tipu dalam Bu-tong Ngo-heng-tin yang disebut Serangan Angin Topan.
Andai kata para tosu itu hanya mengeroyoknya mengandalkan ilmu silat saja, kiranya tak sukar dan tidak
akan memakan waktu lama bagi Koai Atong untuk merobohkan mereka seorang demi seorang. Akan tetapi
karena mereka menggunakan gerakan teratur dalam barisan Bu-tong Ngo-heng-tin yang amat lihai, kini
Koai Atong bingung sekali dan terdesak hebat.
"Curang... kalian curang... Enci Hong bantulah aku...! Tosu-tosu bau ini curang dan lihai sekali...!"
Terdengar suara melengking tinggi, makin lama semakin dekat dan lima orang tosu itu menanti dengan hati
berdebar dan sikap waspada. Kemudian disusul suara wanita, "Koai Atong, kau benar-benar memalukan.
Melawan lima orang keledai bau ini saja kalah? Itu sangat memalukan Hoa-san-pai!"
Dan lima orang tosu itu kaget sekali ketika memandang ke atas mereka melihat Kwa Hong duduk di atas
punggung seekor burung rajawali emas, bukan seperti manusia lagi, lebih patut bagaikan seorang dewi
atau sebangsa siluman! Akan tetapi mereka tidak sempat memperhatikan lebih lama lagi karena mendadak
burung rajawali yang indah itu sudah menukik ke bawah, menyambar ke arah mereka.
Sepasang cakar yang kuat ditambah sebuah patuk yang menyerang mereka, disusul oleh lima sinar hijau.
Hebat bukan main serangan ini, hebat dan tidak tersangka-sangka.
Oleh karena diserang sekaligus, lima orang tosu itu tak sempat menyusun dan mengatur barisan, otomatis
mereka bergerak sendiri-sendiri untuk menyelamatkan diri, ada yang mengelak jauh dan ada yang
menangkis dengan pedang. Kasihan sekali dua orang tosu yang menangkis dengan pedang. Pedang
mereka patah dan leher mereka disambar sinar hijau. Mereka menjerit dan roboh terguling, tewas di saat
itu juga menjadi korban panah hijau di ujung cambuk Kwa Hong!
Koai Atong tertawa bergelak, lalu tubuhnya yang tinggi besar itu rnenerjang maju. Kini barisan itu sudah
pecah dan buyar, maka beberapa kali serang saja Koai Atong sudah dapat merobohkan dua orang tosu
yang lain, dipukulnya tewas dengan Jing-tok-ciangnya yang lihai.
Kini tinggal Beng Tek Cu yang sejak tadi masih sempat mengelak dan menyelamatkan diri. Akan tetapi ia
pun maklum bahwa menghadapi dua orang aneh ini ia tidak berdaya. Ilmu silat yang dimainkan Koai Atong
amat dahsyat, sedangkan bantuan yang dilakukan oleh Kwa Hong di atas punggung rajawali emasnya
lebih dahsyat lagi. Ia masih mencoba untuk melakukan serangan penghabisan dengan pedangnya,
diputarnya senjata ini dan dengan jurus terlihai dari Bu-tong-pai ia menerjang Koai Atong.
Namun enak saja Koai Atong menggerakkan kaki dan mengembangkan lengan, semua serangannya
terhindar. Dari atas burung rajawali menyambar dan biar pun Beng Tek Cu sudah berusaha untuk
dunia-kangouw.blogspot.com
mengelak, namun tetap saja tubuhnya menjadi korban sambaran dua buah panah hijau. Ia menjerit,
pedangnya terlepas, tubuhnya terhuyung-huyung dan akhirnya ia roboh dengan kedua mata melotot.
"Kurang ajar...! Inikah iblis cilik yang sudah mengotorkan nama Hoa-san-pai?" Suara ini pun datangnya dari
atas, amat mengagetkan Kwa Hong dan Koai Atong karena terdengar parau dan menusuk telinga.
Ketika mereka menengok ke kanan kiri, tidak kelihatan seorang pun manusia. Diam-diam Kwa Hong
bergidik juga dan ia dapat menduga bahwa tentu ada orang sakti datang. Kalau teringat akan dongeng
tentang Lembah Akhirat yang didengarnya dahulu ketika ia masih menjadi murid Hoa-san-pai, dia merasa
seram. Diperintahnya rajawali emas untuk turun dan hinggap di atas tanah. Ia meloncat turun dan
mendekati Koai Atong.
"Koai Atong, siapa yang bicara tadi?"
Koai Atong juga celingukan menoleh ke kanan kiri, lalu menggeleng kepalanya. Dia tidak pernah
mendengar tentang cerita Hoa-san-pai, maka ia tidak merasa takut, hanya amat terheran-heran.
"Jangan-jangan itu tadi suara rohnya Beng Tek Cu!" katanya.
Tiba-tiba terdengar lagi suara itu, kini tidak hanya keras dan parau, malah menggetarkan jantung dan
menusuk-nusuk anak telinga, suara menggetar yang amat hebat, membuat sebelah dalam telinga seakanakan
hendak pecah!
Inilah suara orang bernyanyi dan kata-kata yang dinyanyikannya adalah ujar-ujar dalam kitab To-tek-keng:
Orang baik adalah guru orang tidak baik,
orang tidak baik adalah murid orang baik,
siapa tidak menjunjung tinggi gurunya,
ia akan tersesat jauh,
inilah kegaiban berahasia.
Suara yang menyanyikan ujar-ujar ini demikian keras dan buruknya, sangat tidak enak didengar sehingga
Koai Atong dan Kwa Hong menggigil seluruh tubuh mereka, hampir tidak kuat mendengar lebih lama lagi.
Dua orang ini merasa betapa suara itu memasuki telinga dan terus menusuk ke dalam jantung, seakanakan
menyerang semua isi dada dan hendak memecahkan kepala.
Sebagai seorang ahli silat tinggi, Koai Atong kaget sekali dan cepat-cepat ia duduk bersila mengerahkan
lweekang-nya untuk menahan pengaruh luar biasa dari suara nyanyian itu. Kwa Hong juga maklum akan
hal ini, maka dia pun cepat mengerahkan lweekang-nya. Bahkan burung rajawali emas, biar pun tidak
terpengaruh secara mutlak, juga kelihatan gelisah dan mengeluarkan suara merintih bagaikan orang
menangis. Hebatnya, nyanyian dengan suara buruk itu diulang-ulang terus dan makin lama makin pucatlah
muka Koai Atong dan Kwa Hong.
Bagi ahli-ahli silat yang tingkatnya telah tinggi, melakukan serangan tanpa menggerakkan anggota tubuh
bukanlah hal yang aneh. Jangan dikira bahwa suara itu tidak akan dapat dipergunakan sebagai senjata.
Malah dapat dijadikan senjata yang lebih ampuh dari pada tajamnya pedang.
Bagi seorang yang tingkat lweekang-nya sudah tinggi, yang tenaga dalamnya sudah kuat sekali, maka di
dalam suaranya dapat diisi getaran yang cukup kuat untuk merobohkan seorang pandai! Getaran ini bisa
melemahkan semangat, bisa menggetarkan jantung dan menghancurkan urat-urat syaraf.
Orang yang bernyanyi-nyanyi kali ini memang agaknya sengaja hendak mempergunakan lweekang dan
khikang di dalam suaranya untuk menyerang Kwa Hong dan Koai Atong, untuk membunuh mereka tanpa
menggerakkan kaki tangan.
Akan tetapi, dalam saat-saat yang amat berbahaya bagi dua orang itu, tiba-tiba terdengar suara lain dari
arah yang berlawanan. Juga suara ini adalah suara orang bernyanyi, akan tetapi suaranya nyaring dan
gagah, enak didengar dan sekaligus mempunyai pengaruh melawan suara pertama yang buruk dan tidak
enak tadi. Anehnya, juga nyanyian ini adalah nyanyian yang kata-katanya diambil dari ayat-ayat To-tekkeng!
Mengenal keadaan orang lain adalah bijaksana,
dunia-kangouw.blogspot.com
mengenal keadaan diri sendiri adalah waspada.
Mengalahkan orang lain adalah kuat,
menaklukkan diri sendiri adalah gagah perkasa.
Puas dan mengenal batas berarti kaya raya,
memaksakan kehendak sendiri berarti nekat.
Tahu diri dan tahu kewajiban akan berlangsung,
mati tidak tersesat berarti panjang umur.
Baru satu kali saja suara nyanyian ini terdengar, suara pertama tadi segera lenyap dan tak terdengar lagi.
Juga Kwa Hong dan Koai Atong sudah tidak lagi tersiksa oleh pengaruh suara pertama dan keduanya
sekarang sudah meloncat berdiri dengan sikap waspada dan hati-hati.
"Siapa pun hendak membela si jahat, aku tidak takut! Siluman betina yang mengotorkan Hoa-san-pai harus
kubasmi!" Baru saja terhenti kata-kata ini, tahu-tahu di depan Kwa Hong dan Koai Atong sudah berdiri
seorang kakek yang tinggi kurus, rambutnya panjang awut-awutan, mukanya persis tengkorak hidup
dengan sepasang mata yang berlubang dalam.
"Setan...! Ada setan...!" Otomatis Koai Atong mundur-mundur dan bersembunyi di belakang Kwa Hong.
Kakek yang seperti tengkorak hidup itu bukan lain adalah Lian Ti Tojin, yang kini tertawa terkekeh-kekeh
akan tetapi tidak memandang kepada Koai Atong, melainkan menoleh ke kanan kiri seperti tengah mencari
orang lain. Memang dia sedang mencari orang yang tadi melawan nyanyiannya yang juga seperti dia tadi
sudah bernyanyi tanpa memperlihatkan diri.
"Pembela si jahat, keluarlah saja kalau memang hendak melawan aku!" katanya.
Tiba-tiba dari mulutnya menyembur darah segar! Dia terbatuk-batuk beberapa kali dan tahulah Kwa Hong
dan Koai Atong bahwa kakek ini ternyata telah menderita luka dalam yang hebat! Bagaimanakah Lian Ti
Tojin dapat menderita luka seperti itu? Bukan lain karena ‘adu suara’ tadi.
Kakek ini sudah amat tua, mungkin ia kuat bertahan hidup sampai sekian lama karena ia berada dalam goa
itu. Sekarang, begitu keluar di dunia ramai, dia sudah merasa betapa kesehatan tubuhnya terganggu
hebat. Apa lagi ketika dia sedang menggunakan ilmunya untuk menyerang Kwa Hong dan Koai Atong
dengan suaranya tadi, dia telah mendapat perlawanan dari suara orang lain.
Dia harus mengerahkan seluruh tenaga dalamnya dalam ‘adu tenaga’ ini dan oleh karena tubuhnya yang
sudah terlalu tua itu memang mulai lemah, ia menderita luka dalam yang hebat sekali. Karena
kelemahannya inilah maka dia tadi tidak segera keluar, melainkan menggunakan suaranya untuk
menyerang dua orang yang dianggapnya perusak nama Hoa-san-pai.
Tadinya Kwa Hong dan Koai Atong kaget dan jeri, akan tetapi setelah melihat kakek itu memuntahkan
darah dan tahu bahwa dia itu luka hebat, mereka tidak takut lagi. Malah Koai Atong lalu menuding sambil
memaki.
"Kakek tua bangka bikin kaget orang saja. Kukira kau tadi setan! Mau apa kau datang ke sini?" Lalu ia
menuding ke arah mayat lima orang tosu Bu-tong-pai tadi. "Apa kau datang mau membeli bangkai-bangkai
ini?"
Kwa Hong segera membentak, "Atong, jangan main-main!"
Kwa Hong lebih tajam pandang matanya dan ia dapat menduga bahwa orang ini tentulah seorang sakti, dia
malah setengah menduga bahwa kakek ini agaknya ‘orang aneh’ dari Lembah Akhirat.
"Aku mau bertemu dengan Ketua Hoa-san-pai. Mana dia?" Lian Ti Tojin berkata sambil memandang Kwa
Hong dengan sinar mata yang membuat Kwa Hong merasa ngeri.
Akan tetapi Kwa Hong sekarang sudah berbeda jauh dengan Kwa Hong dahulu. Setelah merobohkan
banyak jago-jago terkenal, dia memandang rendah kepada orang lain dan mempunyai keyakinan penuh
akan kelihaian diri sendiri ditambah bantuan Koai Atong dan burung rajawali emas. Dengan mengangkat
dada dan mengedikkan kepalanya ia lantas menjawab gagah.
"Orang tua, akulah Ketua Hoa-san-pai. Kau siapakah dan apa keperluanmu datang ke sini?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Kakek itu tertegun. Diam-diam Lian Ti Tojin memang terheran sekali. Benar-benar gadis cantik jelita dan
muda belia inikah yang telah mengacau Hoa-san-pai? Benarkah gadis ini yang sudah membunuh sute-nya,
Lian Bu Tojin? Sukar untuk dapat dipercaya.
"Kau Ketua Hoa-san-pai? Apa buktinya?" tanyanya memancing karena masih ragu-ragu.
Tadi ia hanya melihat dari jauh, malah mendengar pula betapa dua orang ini menewaskan lima tosu itu,
maka biar pun ia yakin bahwa dua orang ini pengacaunya, namun sama sekali tak pernah ia sangka bahwa
wanitanya demikian muda belia, bahkan masih seperti kanak-kanak! Maka setelah berhadapan muka ia
malah menjadi ragu-ragu.
Kwa Hong mengeluarkan suara ketawa mengejek, tangannya bergerak dan tahu-tahu pedang pusaka Hoasan
Po-kiam sudah dihunusnya. "Inilah tandanya bahwa aku Ketua Hoa-san-pai!"
Wajah kakek yang seperti mayat itu menjadi makin mengerikan ketika ia berdongak dan mengeluarkan
keluhan panjang.
"Ahhh... hukum karma... inilah hukum karma...! Kwa Hong, kau murid Hoa-san-pai murtad, membunuh
guru, merampas pedang, menduduki kursi Ketua dan aku... ha-ha-ha, akulah yang harus membasmi!
Hukum karma...! Dulu aku pun melakukan perbuatan dosa seperti yang kau lakukan. Aku menyeleweng,
menurutkan nafsu, mengganggu anak bini orang, membunuh jago-jago ternama. Pada waktu guru
menegur, malah kulawan dan kubunuh, ha-ha-ha...! Aku berdosa besar... aku menyesal... kuserahkan
kedudukan ketua kepada sute Lian Bu Tojin. Aku lalu menghukum diri di Im-kan-kok, puluhan tahun
menyesali perbuatan sendiri, namun agaknya Thian masih belum sudi mengampuni dosa-dosaku.
Buktinya, hari ini aku dihadapkan dengan engkau! Aku masih mempunyai tugas terakhir, menolong nama
baik Hoa-san-pai. Agaknya inilah penebusan dosaku... ha-ha-ha-ha-ha, hukum karma...!"
Wajahnya tiba-tiba berubah lagi dan sepasang matanya menyambar seperti kilat ketika ia membentak,
"Kwa Hong, kau berhadapan dengan supek-mu. Hayo lekas berlutut minta ampun dan mengakui dosamu!"
Suaranya seperti halilintar menyambar dan selagi Kwa Hong terpengaruh oleh bentakan hebat ini tiba-tiba
secepat kilat tangan kakek itu bergerak merampas pedang.
Kwa Hong kaget dan biar pun serangan itu mendadak sekali namun kedua kakinya yang bergerak aneh
seperti kaki burung dapat membuat dia mengelak. Sayang sekali, lengan tangan kakek itu setelah tidak
berhasil merampas pedang masih terus bergerak mulur (memanjang) dan tahu-tahu pedang Hoa-san-pai
telah dapat dirampas oleh Lian Ti Tojin!
"Ha-ha-ha, po-kiam ini memang seharusnya di tanganku..." Kakek itu bergelak akan tetapi suara
ketawanya berhenti ketika tiba-tiba tubuhnya terlempar ke samping dan terhuyung-huyung.
Ternyata dengan gerakan ‘sayap rajawali’ Koai Atong telah menyerangnya dan membuat kakek itu
terhuyung-huyung. Begitu hebatnya serangan Koai Atong ini. Di lain pihak, Koai Atong yang tadi marah
sekali melihat orang itu berani merampas pedang dari tangan Kwa Hong, juga kaget dan kagum melihat
kakek yang hampir mati saking tuanya itu hanya terhuyung-huyung dan tidak roboh terkena pukulannya
Jing-tok-ciang yang ampuh.
Lian Ti Tojin marah dan cepat memasang kuda-kuda, kemudian dua orang aneh itu saling serang dengan
hebat. Kwa Hong memandang dengan muka pucat, apa lagi ketika Lian Ti Tojin tiba-tiba saja dapat
memisahkan diri dari Koai Atong lalu dengan pedang pusaka di tangan melakukan penyerangan hebat
sekali kepadanya.
Serangan ini hebat bukan main, sinar pedang sampai menjadi panjang seperti pelangi dan sepasang mata
Kwa Hong silau karenanya. Bahkan Koai Atong sendiri tidak berdaya melihat Kwa Hong terancam bahaya
maut.
Pedang pusaka Hoa-san-pai yang ampuh di tangan Lian Ti Tojin yang lihai itu berkelebat menyambar ke
arah tenggorokan Kwa Hong, agaknya takkan dapat dihindarkan lagi oleh Kwa Hong.
"Traaaangggg!" Bunga api muncrat menyilaukan mata.
dunia-kangouw.blogspot.com
Lian Ti Tojin berteriak kaget dan heran. Pedang pusaka Hoa-san-pai itu terlepas dari pegangannya yang
terasa sakit, dan sebelum pedang itu jatuh ke atas tanah, Kwa Hong sudah menyambar dan
memegangnya. Di depan kakek ini berdiri seorang laki-laki muda yang tampan dan gagah yang memegang
sebatang pedang yang kini sudah buntung karena beradu dengan pedang pusaka Hoa-san-pai tadi!
Kakek sakti itu kaget dan maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang yang biar pun masih muda akan
tetapi mempunyai kepandaian tinggi. Agaknya pemuda inilah yang tadi bernyanyi melawan pengaruh
suaranya.
Akan tetapi sebelum ia sempat menegur, Koai Atong sudah menerjangnya dengan hebat. Terpaksa Lian Ti
Tojin mengelak dan melayani Koai Atong dan kembali dua orang aneh ini bertempur hebat. Pertempuran
kini lebih hebat dan seru dari pada tadi karena Lian Ti Tojin tidak memegang pedang lagi.
Sementara itu, Kwa Hong dengan pedang pusaka di tangan, berdiri memandang laki-laki yang telah
menolongnya dari ancaman maut tadi. Wajahnya pucat, air matanya mengalir turun membasahi kedua
pipinya. Sinar matanya penuh kasih mesra, penuh harap yang bercampur kekuatiran, bibirnya menggigil
tanpa dapat mengeluarkan suara.
Ada pun laki-laki muda itu berdiri mematung memandang pada Kwa Hong, sinar matanya penuh iba hati
dan juga penyesalan. Anehnya, wajahnya yang tampan dengan kulit muka yang tadinya putih sehat itu
perlahan-lahan mulai berubah kehijauan!
Siapakah pemuda ini? Bukan lain orang, dia ini adalah Tang Beng San, pemuda yang menggemparkan
dunia persilatan ketika beberapa bulan yang lalu dia secara tidak resmi merebut gelar kejuaraan ilmu
pedang dan berhak disebut Raja Pedang!
Tan Beng San inilah yang menjadi biang keladi sehingga kini timbul peristiwa hebat di Hoa-san-pai, karena
sebenarnya dia inilah yang menghancurkan kalbu dan mematahkan hati Kwa Hong. Kwa Hong
mencintanya sepenuh jiwa raganya dan di antara mereka telah ada hubungan yang sungguh pun terjadi
bukan atas kehendak mereka melainkan karena pengaruh racun yang hebat, namun hubungan itulah yang
mengakibatkan Kwa Hong mengandung!
Dan seperti kita telah baca dalam cerita Raja Pedang, Beng San tidak bersedia menjadi suami Kwa Hong
karena memang dia telah mencinta orang lain, yaitu Kwee Bi Goat puteri tunggal Song-bun-kwi Kwee Lun.
Melihat adanya seorang tosu Hoa-san-pai tua yang muncul pula di belakang Beng San, dapat diduga
bagaimana Raja Pedang ini bisa sampai di tempat ini. Tak lain adalah tosu Hoa-san-pai lalu lari minta
bantuan kepada Beng San di Min-san. Di sana ia menuturkan segala peristiwa yang terjadi di Hoa-san-pai.
Mendengar penuturan itu, Beng San menjadi marah serta berduka sekali. Hubungannya dengan Hoa-sanpai
demikian baik dan dia sangat sayang kepada Lian Bu Tojin. Maka, mendengar bahwa kakek ini dibunuh
oleh Kwa Hong dan Koai Atong, ia menjadi berduka sekali. Apa lagi yang membunuhnya adalah Kwa
Hong.
Kini begitu berhadapan dengan Kwa Hong, Beng San memandang penuh keharuan hati dan diam-diam ia
harus mengakui bahwa sebetulnya dialah yang membuat gadis murid Hoa-san-pai ini menjadi begini.
Dua orang muda ini saling pandang tanpa menghiraukan Koai Atong yang bertempur mati-matian melawan
Lian Ti Tojin, juga tidak pedulikan para tosu Hoa-san-pai yang baru sekarang berani muncul dari tempat
sembunyi mereka semenjak munculnya Lian Ti Tojin yang mereka takuti.
"San-ko...," akhirnya Kwa Hong mampu mengeluarkan kata-kata dengan suara setengah berbisik dan air
matanya masih menitik turun, "Akhirnya kau... kau datang padaku...? Kau datang menyelamatkan
nyawaku... dan kau hendak menerima diriku... hendak membawa aku pergi...? Begitukah, San-ko...?"
Pertanyaan terakhir ini diucapkan penuh harapan, seakan mengiris hati Beng San. Hanya dengan
pengerahan batin yang sangat kuat saja Beng San dapat menahan air matanya supaya tidak membasahi
mata.
Beberapa kali Beng San menelan ludah menahan gelora hatinya, kemudian ia pun dapat mengatasi
perasaannya dan menarik muka marah lalu berkata, suaranya penuh teguran. "Hong-moi, kenapa kau
lakukan semua ini? Kenapa kau mengajak Koai Atong membunuh Lian Bu Tojin dan mengacau Hoa-sandunia-
kangouw.blogspot.com
pai? Kenapa kau berbuat menggila dan merampas kedudukan Ketua Hoa-san-pai, malah membunuh
banyak sekali orang gagah? Kulihat lima orang tosu Bu-tong-pai yang terkenal gagah dan budiman juga
sudah kau bunuh. Hong-moi, kenapa kau sampai tersesat begini jauh? Kedatanganku ini untuk mencegah
kau melanjutkan kegilaan ini!"
"Ohhh...!"
Kwa Hong terhuyung mundur tiga langkah dengan muka membayangkan hati yang perih seperti ditusuk
jarum beracun. Kemudian setelah menghapus air matanya, ia maju lagi, wajahnya berubah beringas dan
marah. Matanya bersinar-sinar penuh api dan bentaknya, "Kaulah orang pertama yang ingin sekali aku
membunuhnya!"
Secepat kilat ia lalu menggerakkan pedang pusaka Hoa-san-pai di tangannya, sedangkan tangan kirinya
juga menggerakkan cambuk dengan lima panah hijau itu ke arah Beng San. Gerakannya dahsyat bukan
main, penuh kemarahan dan kebencian. Gerakan maut untuk mencari korban!
Namun, kali ini serangan Kwa Hong yang dahsyat dan keji itu tidak berhasil. Kali ini dia menghadapi
seorang yang telah mewarisi ilmu silat sakti, seorang yang telah menguasai ilmu silat Im-yang Sin-kiam-sut
ciptaan Pendekar Bu Pun Su ratusan tahun yang lalu.
Apa lagi karena dalam mempelajari gerakan-gerakan rajawali emas, baru beberapa bulan saja Kwa Hong
melatih diri, maka boleh dibilang kepandaiannya dalam ilmu yang mukjijat ini belum masak benar. Mana
mampu dia menghadapi serangan raja pedang seperti Beng San?
Begitu orang muda itu menggerakkan tubuh dan kedua kaki tangannya bersilat, tahu-tahu pedang pusaka
Hoa-san-pai itu sudah terampas olehnya dan cambuk dengan lima anak panah itu terlepas dari pegangan
Kwa Hong.
Kwa Hong berdiri lemas. Mukanya makin pucat ketika ia berhadapan dengan Beng San yang kini sudah
berdiri di depannya memegang pedang Hoa-san Po-kiam dengan kedua kaki tegak terpentang dan
pandang mata tajam penuh kemarahan.
"Hong-moi, sekali lagi kuperingatkan kau. Bertobatlah dan jangan kau teruskan perbuatan-perbuatanmu
yang keji dan jahat!"
Tiba-tiba Kwa Hong membanting-banting kaki dan menangis tersedu-sedu. Melihat sikap itu, makin hancur
hati Beng San. Kenal betul dia akan sifat Kwa Hong ini, masih sama dengan dulu, kalau jengkel
membanting-banting kaki.
"Aku memang tidak kuat melawanmu. Hayo... Beng San... kau boleh bunuh aku... mari, kau teruskan
pedang itu ke perutku ini... ya ke perut ini, biar mati sekalian... anak kita... uhu-hu-hu..."
Bagaikan orang gila Kwa Hong menerjang ke arah pedang di tangan Beng San yang menjadi kaget sekali
mendengar ucapan terakhir yang keluar dari mulut Kwa Hong.
"Apa kau bilang...?!"
Ia meloncat ke samping, mukanya kini berubah hijau sekali, hijau mengerikan. Inilah sifat aneh dari Raja
Pedang Tan Beng San. Di dalam tubuhnya sudah penuh dengan dua macam hawa, yaitu hawa Thai-yang
dan Im-kang yang amat luar biasa sehingga tiap kali ia merasa kaget atau malu, mukanya berubah hijau.
Sebaliknya kalau marah mukanya akan berubah merah sekali sampai kehitaman! Dapat dibayangkan
betapa hebat rasa kagetnya ketika ia mendengar ucapan Kwa Hong yang sama sekali tak pernah
disangka-sangkanya itu.
"Hayo... kau bunuh aku dan anak kita... makhluk yang tidak tahu apa-apa di perutku ini..." Kwa Hong masih
maju-maju sambil rnenangis terisak-isak.
"Hong-moi...! Kau maksudkan... kau... kau mengandung... karena... dahulu itu?!" Setelah berkata demikian
Beng San terhuyung-huyung, pedang pusaka Hoa-san-pai terlepas dari tangannya. Ia menggunakan kedua
tangan menutupi mukanya, seluruh tubuhnya gemetar lemah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sementara itu, pertempuran antara Koai Atong dan Lian Ti Tojin berjalan amat serunya. Mereka berdua
secara mati-matian bertempur, mengerahkan seluruh kepandaian mereka.
Ilmu silat yang dimiliki Lian Ti Tojin adalah ilmu silat Hoa-san-pai yang asli dan selama puluhan tahun
kakek ini sudah melatih diri sehingga tingkat ilmunya benar-benar sudah jauh melampaui tingkat
kepandaian asli dari Koai Atong.
Akan tetapi, biar pun baru beberapa bulan mempelajari gerakan rajawali emas, ternyata Koai Atong telah
mempelajari ilmu gerakan yang hebat sekali. Kepandaian baru ini yang menyelamatkan dia sehingga
sampai sekian lamanya belum juga Lian Ti Tojin berhasil memukulnya roboh.
Di samping ini, memang Lian Ti Tojin sudah terlalu tua, sudah berpuluh tahun tak pernah bertanding.
Selain ini juga telah menderita luka dalam yang hebat ketika tadi ‘bertanding kekuatan’ dengan Beng San
melalui suara. Meski pun makin lama Koai Atong semakin terdesak hebat, namun tidaklah mudah bagi Lian
Ti Tojin untuk merobohkannya dengan cepat.
Semenjak tadi Koai Atong kebingungan. Berkali-kali ia berteriak minta bantuan Kwa Hong, namun agaknya
Kwa Hong sama sekali tidak pernah rnendengarnya. Kemudian setelah melihat Kwa Hong dikalahkan Beng
San dan melihat ‘isterinya’ itu menangis tersedu-sedu minta mati, makin kalut pikiran Koai Atong.
Gerakan Koai Atong makin tak karuan dan beberapa kali ia terkena pukulan Lian Ti Tojin. Namun begitu
roboh dia bangun kembali dan menyerang lagi dengan nekat. Koai Atong sudah muntah-muntah darah dan
ia maklum bahwa sebentar lagi ia pasti tak akan kuat menahan.
Pikiran ini membuat ia menjadi nekat. Pada waktu Lian Ti Tojin mendesaknya, dia malah membiarkan
dirinya dipukul, tetapi kesempatan ini ia pergunakan pula untuk menghantam pundak lawannya itu dengan
Jing-tok-ciang, menggunakan seluruh tenaganya yang masih ada.
"Plakk-plakk-blugg!"
Tubuh Koai Atong terpental dan roboh tak berkutik lagi karena nyawanya telah melayang, akan tetapi juga
tubuh Lian Ti Tojin terlempar. Ia masih dapat mengimbangi dan tidak roboh, hanya terhuyung-huyung
dengan muka pucat lalu muntahkan darah segar tiga kali. Mukanya yang seperti tengkorak itu makin
menakutkan ketika ia menoleh ke arah Beng San dan Kwa Hong.
Ia melihat Beng San menutupi muka dengan kedua tangan, sedangkah Kwa Hong yang tadinya menangis
ketika melihat Koai Atong tewas, cepat menyambar pedang pusaka Hoa-san-pai di atas tanah dan
cambuknya. Lian Ti Tojin marah sekali kepada Kwa Hong, biar pun ia sudah terluka parah ia masih
mengerahkan tenaga dan lompat menerjang.
Kwa Hong juga meloncat ke atas punggung burungnya sehingga pada saat Lian Ti Tojin menubruk, ia
disambut ‘tendangan’ cakar burung rajawali. Tubuhnya bergulingan sampai beberapa meter jauhnya dan
kakek ini bangun berdiri lagi dengan terheran-heran bukan main.
Seorang jagoan ilmu silat yang bagaimana pun juga belum tentu akan dapat merobohkan dirinya hanya
dengan sekali ‘tendang’ saja, akan tetapi burung itu ternyata benar-benar telah merobohkannya dengan
tendangan yang bukan main hebatnya. Kepalanya terasa pening, pandang matanya berkunang dan baru
sekarang ia merasa dadanya sakit sekali.
Tiba-tiba berkelebat sinar hijau di atas kepalanya. Lian Ti Tojin berusaha mengelak, tapi telambat.
Sambaran cambuk di tangan Kwa Hong dari atas itu amat dahsyat, apa lagi rajawali emas terbang tanpa
mengeluarkan bunyi. Belakang kepala Lian Ti Tojin terkena pukulan sebuah anak panah hijau dan kakek
yang sudah tua renta ini roboh terjungkal, tewas tak jauh dari mayat Koai Atong.
Setelah berhasil menewaskan Lian Ti Tojin, dari atas punggung burungnya Kwa Hong lalu kembali
menyerang. Dia hendak menyerang Beng San dari atas. Dengan suaranya yang melengking tinggi Kwa
Hong memberi aba-aba kepada burungnya untuk menyerang Beng San yang lihai. Baru sekarang ia
teringat untuk minta bantuan rajawali emas itu.
Beng San masih berdiri membungkuk dengan kedua tangan menutupi mukanya. Ketika merasa ada angin
bertiup dari atas kepalanya, secara otomatis dia menggerakkan kedua tangannya ke atas. Inilah gerakan
seorang ahli silat yang sudah tinggi tingkatnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ilmu kepandaian ini sudah mendarah daging di tubuhnya sehingga jangankan baru dalam keadaan
berduka dan masih sadar, biar pun sedang tidur andai kata ada sesuatu tentu secara otomatis ia dapat
menjaga diri. Penjagaan ini dilakukan sesuai dengan datangnya serangan, maka ketika ia merasa ada
angin bertiup dari atas yang mengandung tenaga dahsyat, ia pun segera menangkis.
Hebat bukan main tenaga tangkisan Beng San ini. Burung yang menerkamnya itu lantas terpukul kembali
oleh hawa tangkisan sehingga terbangnya menyeleweng dan terlempar ke samping, juga beberapa helai
bulunya gugur. Kwa Hong malah hampir terjungkal dari tempat duduknya!
Beng San kini memandang. Dia terkejut melihat bahwa hampir saja dia mencelakai Kwa Hong tadi, maka
katanya dengan suara lemah, "Kwa Hong, kau bunuhlah aku yang penuh dosa, tapi pergunakan tanganmu
sendiri..."
Kwa Hong yang sudah marah itu kembali memerintahkan burungnya menyambar. Burung rajawali itu
sudah sangat patuh kepada Kwa Hong. Apa lagi ketika tadi tertangkis hampir saja dia runtuh, maka dia pun
marah sekali. Sambarannya kini amat hebat, tidak hanya kedua kakinya menerkam, malah pelatuknya turut
pula menyerang dan mematuk.
Akan tetapi, sekarang Beng San sudah berada dalam keadaan sadar. Mana bisa burung itu
mencelakainya? Dengan gerakan kaki yang ringan sekali Beng San dapat mengelak.
"Aku tidak mau terbunuh oleh burung bedebah ini, Hong-moi... kalau kau mau bunuh aku, turunlah dan
bunuhlah aku dengan tanganmu sendiri..."
Kwa Hong mengeluarkan suara aneh seperti orang menangis tetapi juga seperti suara ketawa, lalu
berkata, "Tidak...! Terlalu enak kalau kau mati... hi-hi-hik, kau harus hidup... Beng San, kau harus hidup
untuk menebus perbuatanmu yang menghancurkan hatiku...! Kau tunggulah saja, kelak anak di
kandunganku inilah yang akan membunuhmu. Anakmu sendiri... hi-hi-hik... anakmu sendiri akan
membunuhmu...!"
"Hong-moi..., jangan...! Kau bunuhlah aku sekarang...!" teriak Beng San penuh kengerian.
Akan tetapi burung itu telah terbang ke atas dengan sangat cepatnya dan sebentar saja sudah membawa
Kwa Hong amat jauh sehingga hanya terlihat sebuah titik kuning emas di angkasa raya!
Beng San merasa betapa matanya berkunang dan gelap, penuh oleh air mata sehingga ia gunakan kedua
tangannya untuk menutup mukanya dan menguatkan hati untuk menahan tekanan batin yang maha berat
itu.
Entah berapa lamanya dia berada dalam keadaan seperti itu. Barulah dia tersadar ketika mendengar suara
orang berkata.
"Tan-taihiap, kau telah menyelamatkan Hoa-san-pai kami dari tangan seorang iblis jahat. Tak lain kami
semua murid Hoa-san-pai menghaturkan terima kasih, dan mohon petunjuk selanjutnya."
Beng San cepat mengeringkan air matanya dan mengangkat muka memandang. Ternyata bahwa para
tosu Hoa-san-pai semua telah muncul di situ dan berlutut di depannya! Ada pun yang bicara tadi adalah
tosu tua yang telah datang ke Min-san dan minta pertolongan kepadanya. Tentu saja dia menjadi kaget
dan sibuk sekali melihat para tosu itu berlutut memberi hormat kepadanya.
Cepat-cepat ia berkata, "Para Totiang harap lekas bangkit dan mari kita bicara baik-baik. Janganlah
memberi hormat seperti ini, aku sama sekali tidak berani terima. Bangkitlah!" Di dalam suaranya
mengandung pengaruh yang tak dapat dibantah lagi, maka para tosu itu lalu bangun berdiri.
Setelah para tosu itu berdiri, terjadilah keributan. Beberapa orang tosu menuding-nuding dan mencela
tosu-tosu lain yang tadinya mereka anggap taat dan tunduk serta membantu Kwa Hong. Para tosu itu tentu
saja menjadi ketakutan dan menyangkal sehingga terjadi percekcokan dan keributan.
Beng San yang memperhatikan keributan itu segera maju melerai sambil berkata, "Para Totiang harap
jangan cekcok sendiri. Tidak ada gunanya saling menyalahkan dan tidak perlu menekan mereka yang
tadinya jatuh ke bawah pengaruh Kwa Hong. Di dunia ini, manusia manakah yang tak pernah
dunia-kangouw.blogspot.com
menyeleweng dan bersalah? Tanpa ada kesalahan dan dosa, manusia takkan dapat sadar dan bertobat,
takkan mampu membedakan baik dan buruk. Yang penting adalah kesadaran akan dosa itu, maka walau
pun tadinya ada beberapa orang Totiang yang bertindak keliru, asal sekarang sudah sadar dan bertobat,
kiraku tidak perlu ditekan terus."
Para tosu dapat menerima ucapan ini dan kembali mereka berunding, kini dengan hati rukun dan tidak
saling menyalahkan seperti tadi.
"Tan-taihiap, keadaan Hoa-san-pai kami sudah morat-marit dan rusak. Mohon petunjuk Taihiap bagaimana
supaya Hoa-san-pai dapat dibangun kembali. Kami sudah kehilangan pimpinan," kata tosu tua.
"Aku sudah mendengar bahwa Saudara Kui Lok dan Thio Bwee diusir oleh Kwa Hong. Cucu murid yang
masih ada sekarang hanyalah Thio Ki yang sekarang tinggal di Tin-yang menjadi piauwsu (pengawal
barang). Para Totiang harap tinggal di sini dan mengurus semua mayat ini secara baik-baik, biarlah aku
yang pergi mengabarkan ke Sin-yang dan minta kepada Saudara Thio Ki untuk datang ke sini, kemudian
mengurus pembangunan Hoa-san-pai. Kurasa hanya dia seorang yang berhak, karena dia pun murid dari
mendiang Lian Bu Tojin."
Para tosu menyatakan persetujuan mereka dan berangkatlah Beng San turun gunung dengan wajah
muram. Pertemuannya dengan Kwa Hong tadi benar-benar membuat dia berubah menjadi manusia lain.
Ketika mendaki Puncak Hoa-san, dia adalah seorang manusia bahagia karena selama ini ia tinggal di Minsan
bersama isterinya, yaitu Kwee Bi Goat, hidup dengan penuh cinta kasih dan damai, saling mencinta
dan rukun. Ketika ada tosu Hoa-san-pai datang dan bercerita tentang mala petaka yang menimpa Hoasan-
pai lalu mohon pertolongannya, Beng San tidak dapat menolak karena ia mengingat akan
hubungannya dengan partai itu.
Isterinya mengatakan hendak ikut, akan tetapi oleh karena Beng San tahu bahwa akan buruk jadinya kalau
isterinya itu bertemu dengan Kwa Hong, maka dia mencegah dan menyatakan bahwa tidak baik bagi
kesehatan isterinya untuk melakukan perjalanan jauh, karena keadaan Bi Goat yang sedang mengandung
itu.
Demikianlah, dia lalu meninggalkan Bi Goat di Min-san bersama ayah mertuanya, yaitu Song-bun-kwi
Kwee Lun. Siapa sangka bahwa pertemuannya dengan Kwa Hong akan menghancurkan hatinya seperti
ini!
"Aduh... aku tidak berharga lagi mendekati Bi Goat..."
Di sepanjang perjalanan menuju ke Sin-yang mencari Thio Ki, Beng San membayangkan isterinya dengan
hati remuk redam. Setelah apa yang ia lakukan bersama Kwa Hong dan ternyata Kwa Hong mengandung
keturunannya, dia merasa berdosa besar dan merasa tidak berharga untuk mendekati isterinya terkasih
dan suci.
Ketika mendaki Puncak Hoa-san tadi ia masih merupakan seorang suami yang bahagia. Sekarang ia
meninggalkan puncak dengan hati terjepit derita sengsara.
Namun dasar seorang berwatak satria, sungguh pun diri sendiri mengalami penderitaan batin yang maha
besar, akan tetapi dia terus saja melanjutkan usahanya untuk menolong Hoa-san-pai. Ia harus mencari
Thio Ki dan menarik orang muda kakak Thio Bwee itu agar suka turun tangan membangun kembali Hoasan-
pai yang dikacau oleh Kwa Hong.
Sekarang mari kita mendahului perjalanan Beng San yang sedang menuju ke Sin-yang untuk mencari Thio
Ki dan kita melihat apa yang terjadi di Sin-yang…..
********************
Seperti telah dituturkan, Thio Ki adalah murid Hoa-san-pai juga, malah dalam tingkatnya, ia merupakan
cucu murid yang paling tua. Thio Ki adalah kakak kandung Thio Bwee dan pemuda Hoa-san-pai yang
bertubuh tinggi kurus dan bermuka tampan ini sekarang telah bekerja membuka piauwkiok di Sin-yang.
Pada masa itu, perusahaan piauwkiok (kantor exspedisi) amat maju karena banyaknya orang jahat
sehingga para saudagar selalu mengirim barang-barangnya yang berharga di bawah perlindungan jagodunia-
kangouw.blogspot.com
jago dari piauwkiok, Karena kepandaiannya memang tinggi dan sebagai murid Hoa-san-pai, sebentar saja
Thio Ki sudah membuat nama baik, ditakuti penjahat dan dipercaya langganan pengirim barang.
Sekarang Thio Ki sudah menikah dengan seorang gadis bernama Lee Giok. Bukan gadis sembarangan.
Selain cantik jelita juga gadis ini hebat kepandaiannya, bahkan lebih tinggi ilmu pedangnya kalau
dibandingkan dengan Thio Ki sendiri.
Hal ini tidak aneh karena Lee Giok adalah seorang gadis keturunan bangsawan Kerajaan Goan yang lalu,
yang menjadi murid dari Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan Si Raja Pedang Tanpa Tandingan! Selain menjadi
murid orang sakti, Lee Giok juga terkenal sebagai seorang gadis patriot yang dalam jaman perjuangan
melawan Kerajaan Mongol telah berjasa besar (baca Raja Pedang).
Suami isteri ini hidup rukun dan damai di Sin-yang. Thio Ki amat mencintai isterinya itu, sungguh pun
sebetulnya di dalam hati kecilnya Lee Giok tidak mencinta suaminya. Bukan karena Thio Ki kurang gagah
atau kurang tampan, tetapi karena cinta kasih pertamanya telah gagal, dibawa mati seorang patriot besar
murid Kun-lun-pai bernama Kwee Sin.
Hal ini tidak aneh karena sebagai seorang patriot tentu saja ia kagum kepada lain orang patriot dan ketika
orang yang dicintanya itu, Kwee Sin, meninggal dunia, hatinya menjadi hampa dan ia tidak banyak
membantah lagi ketika ia dijodohkan dengan Thio Ki, seorang pemuda yang selain gagah juga tampan.
Hanya sedikit hal yang mengecewakan hati Lee Giok, yaitu bahwa suaminya ini sama sekali tidak memiliki
jiwa patriotik.
Di Sin-yang mereka berdua hidup dalam keadaan cukup. Perusahaan piauwkiok yang didirikan Thio Ki
mendatangkan hasil lumayan. Mereka mampu membeli sebuah rumah yang cukup besar dengan
pekarangan yang luas juga.
Oleh karena pekerjaan suaminya itu mengharuskan suaminya lebih sering keluar rumah dari pada berada
di rumah, untuk mengurangi kesepian, Lee Giok memelihara banyak ayam dan binatang ternak lain di
rumahnya. Juga la menanam banyak kembang indah di pekarangannya.
Pada sore hari itu di pekarangan rumah Thio Ki nampak sunyi. Sehari itu tidak nampak Lee Giok atau
pelayannya keluar dari dalam rumah. Padahal sudah tiga hari ini Thio Ki berada di rumah. Dan pada hari
itu pun Thio Ki tidak pergi ke perusahaannya. Akan tetapi mengapa kelihatan begitu sunyi?
Malah tiga orang pelayan rumah tangga sejak pagi tadi sudah disuruh pulang semua dan disuruh libur
sepekan lamanya oleh Lee Giok. Para pelayan itu amat terheran-heran, akan tetapi tidak berani
membantah kehendak nyonya rumah itu.
Apakah yang terjadi? Kalau kita menengok ke dalam rumah, keadaannya lebih aneh lagi. Thio Ki dan Lee
Giok berada di ruang tengah, muka mereka agak pucat dan biar pun di dalam rumah, mereka berpakaian
ringkas dan di pinggang mereka tergantung pedang seperti orang yang siap akan bertempur!
Kedua orang suami isteri ini bersikap begini semenjak malam tadi. Memang tidak aneh kalau diketahui
sebabnya. Ada bahaya maut mengancam keselamatan mereka, bahkan keselamatan para pelayan dan
malah semua yang hidup di dalam rumah itu terancam bahaya maut.
Malam tadi, lewat tengah malarn, dua orang suami isteri yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi ini
mendengar tindakan kaki ringan di atas genteng rumah mereka. Thio Ki adalah seorang yang biasa
melakukan perjalanan dan sudah biasa berhadapan dengan orang-orang jahat. Juga Lee Giok bukanlah
pendekar kemarin sore.
Oleh karena itu, ketika mendengar suara ini mereka cepat meloncat keluar dari kamar. Tanpa
mengeluarkan suara ribut-ribut mereka berdua telah mengejar, seorang lewat pintu belakang, seorang lagi
lewat pintu depan, terus meloncat ke atas genteng rumah sendiri. Akan tetapi mereka tidak melihat
sesuatu.
Setelah mencari-cari beberapa lama, mereka melihat berkelebatnya bayangan orang dari bawah, baru saja
orang itu meloncat keluar dari ruangan dalam. Gerakan orang itu gesit dan ringan sekali.
Akan tetapi Lee Giok dan Thio Ki sudah cepat menerjang ke depan untuk menghadang dan Thio Ki
membentak, "Penjahat dari mana berani mampus mengganggu rumahku?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Orang itu tertawa, suara ketawanya melengking amat tinggi dan sekali berkelebat sudah melayang melalui
atas kepala suami isteri itu. Lee Giok dan Thio Ki kaget sekali, cepat mereka mengejar. Mereka belum
sempat melihat wajah orang itu.
Ketika melihat dua orang itu mengejar, Si Penjahat lalu membalikkan tubuh di tempat yang gelap, kedua
tangannya bergerak dua kali ke depan seperti orang memukul. Thio Ki dan Lee Giok segera dapat
menduga bahwa itu tentulah serangan gelap, mungkin senjata rahasia, maka mereka cepat berhenti dan
siap siaga.
Tidak ada senjata rahasia melayang datang, tapi tiba-tiba mereka merasa terdorong ke belakang dan
hampir terjengkang roboh kalau tidak cepat-cepat berjungkir-balik. Mereka merasa dada mereka agak
sesak oleh tenaga dorongan yang tidak kelihatan itu.
Pada saat mereka berdiri kembali, penjahat itu telah lenyap, hanya rneninggalkan gema suara ketawanya
yang melengking tinggi, suara ketawa wanita! Juga meninggalkan ganda yang harum semerbak.
Thio Ki dan Lee Giok mengejar sampai jauh keluar rumah, namun sia-sia belaka. Dengan kecewa dan lesu
mereka kembali memasuki rumah dan apa yang mereka lihat membuat mereka mengertak gigi saking
marah, akan tetapi juga membuat wajah mereka pucat.
Di dalam kamar mereka, di atas dinding yang putih, terdapat tulisan-tulisan corat-coret merah yang
berbunyi:
Sebelum lewat besok malam, semua yang bernyawa di rumah ini akan mati.
Tidak ada tanda tangan apa-apa dan huruf-huruf itu ditulis dengan darah. Ketika mereka memeriksa ke
belakang, ternyata dua ekor anjing peliharaan yang tidur di belakang telah mati dengan kepala pecah.
Agaknya darah anjing ini yang dipakai untuk menulis ‘surat maut’ itu.
"Apa kau mengenal suaranya?" akhirnya Thio Ki bertanya kepada isterinya.
Lee Giok menggelengkan kepala dan keningnya berkerut, "Jelas dia seorang perempuan, akan tetapi
karena gelap tidak dapat mengenalnya. Suaranya pun seakan-akan pernah mendengarnya tapi entah di
mana."
"Kepandaiannya hebat..." Thio Ki menarik napas panjang. "Entah mengapa dia melakukan ini?"
"Dia tentu tidak datang seorang diri," berkata Lee Giok, sepasang matanya yang jeli itu bergerak-gerak
cerdik. "Tulisan ini baru saja ditulis, darahnya masih belum beku, bangkai anjing itu pun masih hangat.
Tentu hal ini dilakukan pada saat kita mengejar penjahat perempuan itu. Yang datang ke sini pada malam
ini sedikitnya tentu dua orang, mungkin pula lebih."
Thio Ki lebih gelisah mendengar ini. Dia tidak dapat menyangkal pendapat isterinya yang sangat cerdik itu.
"Seorang saja demikian lihainya, kalau mereka itu berkawan, benar... berbahaya...!"
"Tak perlu gelisah. Kalau orang sudah menghendaki untuk memusuhi kita, tidak ada jalan lain kecuali
melawannya mati-matian. Hanya aku ingin sekali tahu siapa mereka dan apa sebabnya... Apakah selama
beberapa bulan ini menjadi piauwsu kau tidak menanam bibit permusuhan yang hebat dengan golongan
hitam (penjahat)!"
"Tidak, tidak ada. Melihat tulisan ini, agaknya Si Penulis mempunyai dendam yang amat mendalam
terhadap kita." Muka Thio Ki makin pucat.
Tiba-tiba Lee Giok mengangkat alisnya, matanya bersinar-sinar. "Ahhh, siapa lagi kalau bukan dia? Hemm,
sejak dulu memusuhi aku, hemm... tapi... ah, kalau benar dia kenapa ilmu kepandaiannya begitu hebat?"
"Siapakah? Siapakah yang kau maksudkan, isteriku?" Thio Ki bertanya penuh perhatian.
"Aku teringat akan Kim-thouw Thian-li...."
dunia-kangouw.blogspot.com
Thio Ki menahan napas, dia pun sekarang teringat. Memang agaknya kalau ada musuh besar wanita,
kiranya dia itulah Kim-thouw Thian-li (Dewi Berkepala Emas), ketua dari Ngo-lian-kauw (Agama Lima
Terang)). Seorang siluman yang hebat dan kejam. Apa lagi gurunya yang bernama Hek-hwa Kui-bo (Setan
Betina Hitam). Bergidiklah Thio Ki teringat mereka itu dan bulu tengkuknya meremang.
"Kalau betul dia... Hek-hwa Kui-bo... ahhh... bagaimana baiknya?" Ia nampak ketakutan sekali.
Sekali lagi lubuk hati Lee Giok tertikam oleh kekecewaan suaminya. Ia makin kenal betul bahwa di balik
keangkuhan dan kegagahan Thio Ki terdapat pula sifat penakut yang tidak menyenangkan hatinya.
"Orang-orang seperti kita ini apakah pantas ketakutan menghadapi ancaman musuh?" Dalam ucapan Lee
Giok ini terkandung kekecewaan dan teguran yang amat terasa oleh Thio Ki.
Maka ia segera berdiri dan menepuk dada sambil berkata, "Jangan kuatir isteriku. Aku suamimu tentu saja
tidak takut menghadapi musuh yang mana pun juga, tidak pula takut menghadapi kematian sebagai orang
gagah. Hanya aku meragukan apakah kita mampu melawan mereka itu kalau benar-benar mereka terdiri
dari Hek-wa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li?"
Agak senang juga hati Lee Giok. Memang beginilah seharusnya sikap orang yang menjadi suaminya. "Apa
bila betul dugaan kita bahwa mereka itu adalah Kim-thouw Thian-li dan gurunya, sudah tentu kita bukanlah
lawan mereka. Akan tetapi, nyawa berada di tangan Thian. Jangankan baru mereka berdua, biar pun kita
diancam oleh seratus orang macam mereka, kalau Thian belum menghendaki mati, kiranya kita pun akan
selamat. Sebaliknya, kalau Thian sudah menghendaki kematian kita, biar pun andai kata kita melarikan diri,
tentu musuh akan dapat mengejar dan membunuh kita juga. Sama-sama mati, bukankah lebih baik mati
sebagai orang gagah?"
"Kau betul, isteriku. Seribu kali lebih baik mati sebagai harimau yang baru mati setelah melakukan
perlawanan gigih dari pada mati sebagai seekor babi yang tidak melakukan perlawanan malah melarikan
diri."
"Bukan begitu saja, pendirian seorang gagah sejati malah lebih tinggi lagi. Lebih baik mati sebagai seekor
harimau dari pada hidup sebagai seekor babi!"
Thio Ki mengangguk-angguk. "Kau betul... kau betul..."
"Kita harus berjaga-jaga," kata pula Lee Giok.
Setelah agak lama mereka merenung, barulah Lee Giok kembali berkata, "Pertama-tama besok pagi-pagi
tiga orang pelayan kita harus pergi dari sini pulang ke kampung masing-masing. Biar mereka berlibur
sepekan, baru mereka diperbolehkan kembali ke sini. Aku tidak suka jika karena permusuhan kita, orang
lain yang tidak tahu apa-apa ikut terancam bahaya."
Demikianlah, pada keesokan harinya, tiga orang pelayan mereka suruh pulang, diberi bekal uang dan
dipesan supaya jangan kembali sebelum sepekan. Kemudian suami isteri ini berjaga-jaga sehari penuh
dengan pedang selalu di pinggang.
Mereka makan sambil berjaga-jaga dan tidak pernah berpisah sebentar pun juga. Mereka maklum akan
kelihaian lawan, maka biar pun siang hari, mereka tak berani meninggalkan kewaspadaan. Apa lagi setelah
hari itu menjelang malam, mereka makin berhati-hati.
Pintu-pintu depan dan belakang mereka tutup, kemudian dipalang kuat-kuat. Hanya pintu samping yang
kecil mereka tutup saja tanpa dipalangi. Dengan cerdik Lee Giok kemudian memasangkan anak panah
terpentang di busur yang dihubungkan dengan pintu-pintu dan jendela sehingga siapa saja berani
memasuki rumah dengan jalan merusak, pasti akan disambut anak panah.
Sedangkan dia sendiri dan Thio Ki selain membawa pedang juga menyediakan kantong senjata rahasia
piauw secukupnya. Tidak begini saja, malah di depan pintu Lee Giok telah menyebar paku-paku yang
sudah ditekuk sehingga merupakan perintang bagi musuh.
Setelah sore terganti malam, keadaan di rumah Thio Ki makin sunyi lagi. Memang rumah ini agak jauh dari
tetangga dan mempunyai pekarangan yang luas. Apa lagi suami isteri yang berjaga-jaga di ruangan dalam
itu, sejak tadi mereka hanya diam tanpa berbicara sepatah kata pun.
dunia-kangouw.blogspot.com
Lampu-lampu penerangan di luar rumah dipasang semua, terang benderang. Akan tetapi di sebelah dalam,
di ruangan itu, sengaja digelapkan. Inilah siasat Lee Giok agar mereka dapat melihat kedatangan musuh
tanpa kedudukan mereka diketahui oleh musuh itu.
Waktu merayap amat lambat. Angin bertiup agak keras, menggerakkan daun-daun pohon, mengeluarkan
bunyi yang terdengar amat mengerikan bagi orang-orang yang berada di dalam cekaman ketegangan itu.
Keduanya tidak dapat melihat apa-apa, biar pun mereka mengintai dari lubang-lubang di antara pintu
keluar, keadaan sunyi saja. Akan tetapi mereka memasang telinga baik-baik. Setiap bunyi harus dapat
terdengar oleh mereka dan ini penting sekali bagi ahli-ahli silat. Kadang kala telinga dapat mendahului
mata dan telingalah yang menyelamatkan nyawa.
Keadaan di ruangan itu begitu sunyi sehingga andai kata ada jarum jatuh, tentu segera dapat terdengar
oleh mereka. Beberapa kali terdengar suara orang atau kaki kuda dari jauh, hanya sayup sampai terbawa
angin lalu.
Thio Ki memandang bayangan isterinya di dalam gelap dan bangkitlah kasih sayangnya yang besar. Ngeri
ia bila memikirkan bagaimana mereka nanti harus menghadapi musuh yang lihai. Bagaimana kalau sampai
dia atau isterinya tewas? Terharu hatinya memikirkan dan tak terasa pula ia menjamah tangan isterinya
dengan mesra dan penuh kasih.
Agaknya Lee Giok merasai ini, maka cepat-cepat mengibaskan tangan suaminya. Dalam keadaan seperti
itu Lee Giok tidak mau memperlihatkan perasaan lemah, apa lagi seluruh panca indera harus dipusatkan
untuk memperhatikan keadaan di luar.
"Ssttt, dengar.. baik-baik...," bisiknya memperingatkan suaminya.
"Srrtt-srttt!"
Suami isteri itu menghunus pedang, digenggam erat-erat dan berdiri siap siaga. Mereka mendengar
langkah kaki yang amat ringan datang dari depan!
"Jaga kanan kiri pintu..." bisik lagi Lee Giok.
Thio Ki maklum akan maksud isterinya dan ia lalu berdiri di sebelah kiri pintu sedangkan isterinya menjaga
sebelah kanan. Menurut rencana Lee Giok, kalau musuh bisa melalui lantai penuh paku, biar musuh itu
mendobrak pintu kemudian menerima sambaran anak panah dan diterjang oleh mereka berdua dari kanan
kiri. Walau pun musuh lebih pandai, kiranya tak akan dapat menyelamatkan diri kalau dihujani serangan
seperti ini.
Suara langkah kaki yang ringan itu makin lama makin dekat, berhenti di depan pintu di mana sudah disebar
paku-paku oleh Lee Giok. Keadaan makin tegang dan makin sunyi setelah langkah kaki itu berhenti dan tak
terdengar lagi. Lee Giok yang biasanya tabah dan sudah biasa menghadapi saat-saat tegang ketika dia
masih menjadi pejuang dahulu, kini mau tidak mau mengeluarkan keringat dingin.
Apa lagi Thio Ki yang memang sudah merasa gelisah sekali. Tubuhnya menggigil dan setiap saat ia bisa
kalap, meloncat dan menerjang siapa saja yang muncul pada saat itu. Senjata-senjata rahasia sudah siap
di tangan kedua orang ini.
Mendadak terdengar suara perlahan di luar pintu, suara wanita yang bicara seorang diri setengah berbisik.
"Aneh sekali... di luar terang kenapa di dalam gelap dan sunyi? Pergikah orang-orangnya? Dan paku-paku
ini..." Suara itu berhenti sebentar lalu terdengar ia memanggil, "Enci Lee Giok...! Enci Lee Giok! Suci
(Kakak Seperguruan)...!"
Lega bukan main hati Lee Giok setelah mengenal suara ini, seakan-akan ia merasa batu besar yang
menindih dadanya dilepaskan.
"Sumoi (Adik Seperguruan)... kaukah itu, Sumoi...?" tanpa disadarinya, suara Lee Giok mengandung isak.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Suci Lee Giok, kau kenapakah? Ah, tentu terjadi sesuatu yang hebat... jangan takut, Suci, aku datang..."
Terdengar orang bergerak di luar pintu.
"Nanti dulu, Sumoi... jangan masuk...!" teriak Lee Giok akan tetapi terlambat.
Pintu telah didorong dari luar sehingga terbuka dan palangnya patah. Pada saat itu anak panah rahasia
yang dipasang Lee Giok melesat ke depan, tiga batang banyaknya.
"Sumoi...!" Lee Giok menjerit.
Dari luar berkelebat bayangan merah, bukan main cepatnya dan gesitnya gerakannya dan bagai seekor
burung walet menyambar kupu-kupu, bayangan itu menyambar tiga batang anak panah itu dan di lain saat
ia telah meloncat masuk ke dalam ruangan, tiga batang anak panah sudah berada di tangannya. Dari sinar
lampu yang menyorot masuk ke dalam ruangan melalui pintu yang terbuka, tampaklah orang itu.
Dia seorang gadis cantik jelita berpakaian merah. Pakaiannya yang warnanya merah itu berpotongan
ringkas dan membuat ia selain nampak cantik juga gagah sekali. Di belakang punggungnya tergantung
sebatang pedang yang gagangnya dihiasi ronce-ronce terbuat dari benang kuning. Juga pengikai rambut,
ikat pinggang, dan sepatunya berwarna seperti warna ronce-ronce pedangnya.
Mukanya berkulit putih halus dan manis bentuknya, rambutnya hitam panjang. Sepasang mata yang indah
bentuknya itu bersinar-sinar dan bening laksana mata ‘burung hong’. Hidung dan mulutnya bagaikan
bunga-bunga yang memperindah taman sari wajahnya. Kesemuanya itu menjadikan dia seorang gadis
berwajah ayu bukan main.
Siapakah gadis jelita ini? Dia bukan lain adalah puteri tunggal dari Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tiada
Bandingan) Cia Hui Gan, benama Cia Li Cu. Dia telah mewarisi ilmu silat ayahnya, bahkan sudah mewarisi
Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut (Ilmu Pedang Bidadari) yang bukan main indah dan lihainya. Karena
kepandaiannya dan kecantikannya inilah maka akhir-akhir ini Cia Li Cu mendapat julukan Thai-San Sian-li
(Dewi Gunung Thai-san) karena memang ayahnya tinggal di Gunung Thai-san.
Seperti pernah kita ketahui, apa lagi sudah jelas diceritakan dalam cerita Raja Pedang, gadis jelita ini
dipertunangkan dengan suheng-nya sendiri, yaitu Tan Beng Kui, kakak dari Tan Beng San.
Dapat dibayangkan betapa lega dan girang hati Lee Giok melihat kedatangan sumoi-nya yang mempunyai
ilmu kepandaian amat tinggi itu. Saking girang dan terharunya ia segera menubruk, memeluk dan
menciumi sumoi-nya sambil menangis!
"Eh-ehh-ehh... ada apakah Suci? Ci-hu (Kakak Ipar), ada masalah apakah...?" tanyanya berganti-ganti
kepada Lee Giok dan Thio Ki. "Dan kenapa gelap amat di sini? Pasanglah pelita..."
Thio Ki ragu-ragu, dia belum berani menyalakan lampu. Akan tetapi di antara isaknya Lee Giok berkata,
"Setelah Sumoi berada di sini, kita takut apa lagi? Hayo pasang lampunya."
Thio Ki segera menyalakan lampu dan sebentar saja ruangan itu menjadi terang. Li Cu semakin heran
melihat keadaan suci dan cihu-nya begitu tegang, malah di dalam rumah telah melakukan persiapan
seperti itu seakan-akan sedang menghadapi musuh yang luar biasa hebat. Ia sudah berpengalaman dan
tentu saja tanpa diceritakan lagi ia sudah dapat menduga bahwa suci-nya menghadapi ancaman musuh.
Sebetulnya ketika datang, Li Cu sendiri membawa hati yang sakit oleh urusan pribadinya. Akan tetapi
begitu melihat keadaan Lee Giok, urusan sendiri dilupakan dan dia menjadi marah sekali.
"Suci, katakan siapa yang berani kurang ajar mengancam keselamatanmu, katakan! Aku yang akan
menghadapinya!"
Lee Giok menarik napas panjang, lalu menuntun tangan Li Cu diajak ke dalam kamar. Thio Ki maklum
bahwa isterinya hendak memperlihatkan tulisan darah anjing itu, maka ia pun ikut masuk. Tanpa berkata
apa-apa Lee Giok menuding ke arah coretan merah di tembok itu.
Li Cu memandang dan sepasang matanya yang indah berkilat.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Keparat betul! Alangkah sombongnya. Binatang mana yang berani berbuat begini? Dia menghinamu,
berarti menghinaku dan menghina ayahku. Biarkan dia datang, Suci, kita lawan dan bikin mampus Si
Sombong itu!" Li Cu menjadi merah kedua pipinya saking marahnya.
"Memang aku pun tadi siap hendak melawannya, Sumoi. Dan alangkah senang hatiku melihat kau datang,
kau tahu... mereka itu lihai sekali!"
Lee Giok lalu menceritakan apa yang telah terjadi dan juga dugaannya bahwa penjahat itu tentu lebih dari
seorang, Juga dugaannya bahwa agaknya yang akan mengganggu itu tentulah Kim-thouw Thian-li dan
mungkin juga bersama gurunya, Hek-hwa Kui-bo.
Li Cu mengangguk-angguk, mengerti kenapa suci-nya menduga demikian. Ia tahu bahwa dahulu suci-nya
ini mencinta mendiang Kwee Sin, sedangkan Kim-touw Thian-li adalah kekasih Kwee Sin. Selain
permusuhan karena rasa cemburu ini, juga memang Kim-thouw Thian-li dulunya merupakan kaki tangan
pemerintah Mongol, sebaliknya Lee Giok adalah seorang pejuang.
"Jika betul mereka yang datang, kau dan cihu bersama-sama hadapilah Ngo-lian Kauwcu (Ketua Ngo-liankauw)
itu, biarkan aku yang akan menghadapi Hek-hwa Kui-bo!" kata Li Cu dengan gagah dan
bersemangat.
Kembali mereka melakukan penjagaan. Akan tetapi sekarang keadaan suami isteri itu tidak sekuatir tadi,
meski pun ketegangan masih tetap ada di dalam hati mereka. Juga ruangan di mana mereka berjaga itu
tidak digelapkan.
Dalam keadaan sunyi ini Li Cu teringat kembali akan keadaan dirinya sendiri sehingga wajahnya yang ayu
itu menjadi murung. Baiknya Lee Giok terlalu tegang hatinya sehingga tidak melihat keadaan sumoi-nya ini.
Menjelang tengah malam, keadaan amat sunyi. Tiba-tiba terdengar suara ayam berkeok, lalu sunyi lagi.
Sunyi yang mencekam.
Lee Giok bangkit dari tempat duduknya, wajahnya tegang. Dia saling pandang dengan suaminya dan dapat
menduga bahwa tentu ada orang mengganggu binatang peliharaan mereka itu. Lee Giok memandang Li
Cu dan pandang matanya mengisyaratkan bahwa agaknya musuh yang ditunggu-tunggu sudah datang!
Lee Giok beserta Thio Ki sudah berdiri dengan tangan di gagang pedang masing-masing. Hanya Li Cu
yang masih duduk, sikapnya tenang. Mendadak terdengar lagi suara ayam berkeok beberapa kali, lalu
sunyi kembali.
Suami isteri itu menggerakkan tangan kanan mencabut pedang, sedangkan tangan kiri bersiap di kantong
piauw. Mata mereka memandang ke arah pintu yang sudah ditutup lagi. Li Cu masih seperti tadi, duduk
dengan tenang seperti orang melamun. Agaknya ia masih tenggelam dalam lamunan duka tentang dirinya
sendiri.
Ketegangan suami isteri itu memuncak ketika di dalam kesunyian itu tiba-tiba terdengar suara ketawa dari
jauh. Setelah suara ketawa berhenti lalu terdengar suara suling ditiup perlahan. Mendengar suara suling
ini, Lee Giok memegang tangan sumoi-nya yang masih duduk dan berbisik,
"Sumoi, bukankah itu si iblis Giam Kin?"
Li Cu berdiri dan berkata, "Hemmm, makin banyak iblis makin baik, biar kita basmi mereka agar dunia
terbebas dari genggaman mereka!"
Suara ketawa makin lama makin dekat dan jelas terdengar bahwa suara itu adalah suara ketawa wanita,
kemudian setibanya di depan rumah suara itu berhenti. Suara suling juga berhenti, keadaan sunyi sebentar
lalu terdengar suara berisik mendesis-desis.
Tiga orang yang berada di dalam rumah sudah siap siaga, hanya Li Cu yang belum juga mencabut
pedang. Memang bagi seorang ahli pedang seperti dia tidak mau sembarangan mencabut pedang kalau
tidak perlu.
"Brakkkk!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba pintu depan pecah terbuka dan dari luar terdengar lagi suara suling lapat-lapat. Yang membuat
ketiga orang muda itu terkejut adalah ratusan ekor ular besar kecil yang masuk ke rumah seperti banjir.
Belasan ekor sudah memasuki ruangan itu melalui pintu.
Lee Giok dan Thio Ki kaget sekali, akan tetapi tiba-tiba berkelebat sinar menyilaukan dan belasan ular itu
sudah putus menjadi dua potong oleh sambaran pedang di tangan Li Cu. Sungguh hebat gerakan ini dan
mengerikan sekali ular-ular yang sudah putus menjadi dua tapi masih berkelojotan itu. Dari luar masih
membanjir terus ular-ular besar kecil, merayap melalui bangkai ular-ular yang sudah sekarat.
Kini Lee Giok dan Thio Ki sudah hilang kagetnya. Semangat mereka bangkit oleh gerakan Li Cu tadi,
karena itu mereka pun menyerbu ke depan dan membabati ular-ular dengan pedang mereka.
Akan tetapi ular-ular itu masih saja membanjir masuk, malah kini merayap dari celah-celah jendela dan
pintu belakang, dan baunya yang amat amis tak kuat tertahankan oleh tiga orang muda itu lebih lama lagi.
"Keluar melalui jendela terus ke atas genteng...!" kata Li Cu mendahului melompat ke jendela.
Sekali tendang jendela terpentang lebar, pedangnya berkeredepan diputar di depan tubuh ketika tubuhnya
melayang keluar, tangan kiri menyambar langkan lalu tubuhnya diayun terus ke atas ke arah genteng.
Perbuatannnya ini disusul oleh Lee Giok dan Thio Ki.
Baiknya Li Cu yang berada paling depan karena segera tampak sinar hijau dan putih menyambar ke arah
mereka. Namun sinar-sinar senjata rahasia ini dapat ditangkis runtuh semua oleh pedang di tangan Li Cu!
Ketika mereka tiba di atas genteng dalam keadaan selamat, ternyata di situ telah berdiri dua orang wanita
dan seorang laki-laki menghadapi mereka sambil tertawa mengejek. Tepat seperti yang diduga oleh Lee
Giok, dua orang wanita itu bukan lain adalah Ngo-lian Kauwcu yang berjuluk Kim-thouw Thian-li bersama
gurunya, Hek-hwa Kui-bo.
Kim-thouw Thian-li yang sudah berusia empat puluh tahun itu masih nampak cantik jelita seperti gadis
remaja saja, sikapnya pun genit dan angkuh. Ini masih tidak aneh, bahkan gurunya, Hek-hwa Kui-bo yang
usianya sudah enam puluhan tahun, masih nampak cantik, memegang sapu tangan sutera beraneka
warna!
Ada pun laki-laki itu adalah seorang pemuda ganteng, mukanya pucat, pakaiannya serba kuning dan di
tangannya terdapat sebatang suling. Pembaca Raja Pedang tentu sudah mengenal siapa orang ini. Bukan
lain adalah Giam Kin yang berjuluk Siauw-coa-ong (Raja Ular Kecil), murid iblis dari utara Siauw-ong-kwi.
Selain berilmu tinggi, Giam Kin ini juga memiliki kepandaian hebat, yaitu dengan sulingnya ia dapat
memanggil ratusan ekor ular yang dapat ia perintah untuk menyerang musuhnya. Juga ia pandai sekali
dalam hal penggunaan racun ular yang berbahaya.
"Ehh, kiranya ada Thai-san Sian-li di sini!" kata Kim-thouw Thian-li. "Pantas saja tuan dan nyonya rumah
begini tabah!"
Giam Kin memandang dengan mata melongo dan penuh kekaguman kepada wajah yang disinari bulan
yang sudah muncul sepenuhnya di langit, kemudian dia pun berseru sambil menarik napas panjang
berkali-kali, "Aduh... aduh... bidadari baju merah dari Thai-san... hemmm, makin cantik jelita saja. Bidadari
kahyangan pun tak akan menang...!" Kemudian dia menoleh kepada Hek-hwa Kui-bo. "Locianpwe, kalau
sekali ini dapat menangkapkan bidadari merah ini untukku, aku berjanji akan menyembah seratus kali
kepadamu."
Hek-hwa Kui-bo mengibaskan tangannya. "Huh, laki-laki mata keranjang benar kau ini!"
Tentu saja hati Li Cu mendongkol bukan main mendengar omongan-omongan kotor itu. Akan tetapi dia
memandang rendah kepada Giam Kin dan Kim-thouw Thian-li, maka dia tidak pedulikan mereka dan
langsung menghadapi Hek-hwa Kui-bo sambil menudingkan jarinya.
"Hek-hwa Kui-bo, kau tergolong tingkatan tua yang sudah mendapat nama besar sebagai tokoh utama dari
selatan. Kenapa sekarang kau melakukan tindakan yang amat rendah, mengancam enci-ku dan suaminya,
lalu datang membawa dua orang manusia hina dina ini?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Hek-hwa Kui-bo tersenyum mengejek kemudian dia berkata, suaranya mengandung sikap memandang
rendah, "Kau bocah masih ingusan berani bicara begini kepadaku. Ayahmu sendiri kiranya tidak sekurang
ajar engkau! Muridku masih ingat akan permusuhan lama, bersama Giam-kongcu hendak membikin
perhitungan dan pelunasan hutang-hutang lama. Aku hanya menonton kalau-kalau ada bocah ingusan
lancang dan ikut-ikut campur!"
"Siluman betina tua bangka! Kau dan antek-antekmu hendak menghina Suci dan cihu-ku? Hemmm,
selama di sini masih ada Cia Li Cu, jangan harap kalian akan dapat berlaku sewenang-wenang!" bentak Li
Cu sambil melintangkan pedangnya.
"Locianpwe, kenapa layani dia bicara? Pegang saja, ringkus dan berikan kepadaku habis perkara!" kata
pula Giam Kin sambil tersenyum-senyum. Matanya yang sipit memandang kepada Li Cu dengan kurang
ajar.
"Giam-ko, dari pada banyak cerewet lebih baik turun tangan. Kau bereskan yang laki-laki, biar aku
mampuskan budak she Lee ini!" kata Kim-thouw Thian-li yang tidak suka melihat Giam Kin tergila-gila
kepada Li Cu. Giam Kin tertawa mengejek ketika ia mendekati Thio Ki.
Suami isteri ini maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh, akan tetapi mereka tidak takut.
Dengan kemarahan meluap mereka lalu menerjang maju, Thio Ki menyerang Giam Kin sedangkan Lee
Giok memutar pedang menyerang Kim-thouw Thian-li. Juga Cia Li Cu yang maklum bahwa menghadapi
tiga orang jahat itu tidak perlu banyak bicara lagi, lalu menggerakkan pedang di tangannya menerjang Hekhwa
Kui-bo.
Sambil tertawa-tawa Giam Kin menyambut serangan Thio Ki. Raja Ular Kecil ini memang amat tinggi
kepandaiannya. Serangan pedang dari Thio Ki ia hadapi dengan permainan suling ularnya yang aneh
gerakan-gerakannya. Tenaga lweekang-nya jauh lebih kuat dari pada Thio Ki sehingga setiap kali pedang
bertemu suling, tangan Thio Ki tergetar dan pedangnya hampir terlepas.
Namun Thio Ki bermodal kenekatan dan menerjang terus sambil mengeluarkan seluruh kepandaiannya.
Betapa pun juga dia adalah seorang murid Hoa-san-pai yang baik, juga pernah mendapat bimbingan dari
Lian Bu Tojin sendiri. Karena itu, setelah ia bertempur dengan nekat Giam Kin tidak berani main-main lagi.
Juga Kim-thouw Thian-li menghadapi perlawanan sengit dan nekat dari Lee Giok. Seperti halnya suaminya,
Lee Giok mendapat lawan yang lebih lihai darinya. Kim-thouw Thian-li benar-benar hebat kepandaiannya.
Dengan ilmu silatnya dari golongan hitam yang penuh muslihat dan keji, ditambah Ilmu Pedang Im-sin
Kiam-sut yang sebagian telah dia warisi pula dari Hek-hwa Kui-bo.
Ketua Ngo-lian-kauw ini benar-benar membuat Lee Giok tak berdaya. Senjata di tangan Kim-thouw Thian-li
adalah sebatang golok di tangan kanan dan sehelai selampai merah di tangan kiri. Sapu tangan atau
selampai merah inilah yang justru amat berbahaya karena mengandung pelbagai racun jahat.
Akan tetapi karena ilmu pedang Lee Goat juga bukan ilmu pedang sembarangan, akan tetapi ilmu pedang
yang ia warisi dari gurunya, Si Raja Pedang, tentu saja ia tidak mau menyerah mentah-mentah sehingga
bagi Kim-thouw Thian-li juga tak begitu mudah untuk mendapatkan kemenangan dalam waktu singkat.
Yang paling ramai adalah pertandingan antara Hek-hwa Kui-bo dengan Cia Li Cu. Harus diketahui bahwa
nama Hek-hwa Kui-bo untuk daerah selatan merupakan nama seorang jagoan kelas satu yang tak pernah
terkalahkan. Ilmu silatnya tinggi sekali.
Pada mulanya, sebetulnya ilmu kepandaian Hek-hwa Kui-bo bersumber kepada keahlian tenaga Thaiyang.
Sesudah kepandaiannya ini diturunkan kepada Kim-thow Thian-li yang menjadi Ketua Ngo-lian-kauw,
maka perkumpulan itu pun turut terkenal dengan keahlian tentang Thai-yang pula.
Belum lama ini dia sudah dapat merampas kitab Im-sin Kiam-sut dan telah menguasainya. Sayang,
tenaganya bersumber kepada Yang-kang, sedangkan Im-sin Kiam-sut bersumber kepada Im-kang, maka
ilmu pedangnya yang paling akhir dan paling hebat ini pun tidak bisa mencapai puncaknya. Walau pun
demikian, Ilmu silat aliran selatan sudah dikuasai Hek-hwa Kui-bo, ditambah lagi pengalamannya yang
puluhan tahun, maka kehebatannya bukan main.
Di lain pihak, lawannya adalah Cia Li Cu, puteri tunggal Raja Pedang Tanpa Tanding Cia Hui Gan yang
memiliki ilmu pedang keturunan dari pendekar wanita Ang I Niocu ratusan tahun yang lalu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Harus diketahui bahwa ilmu pedang keturunan dari Ang I Niocu disebut Sian-li Kiam-sut sesungguhnya
masih satu sumber dengan Ilmu Pedang Im-sin Kiam-sut dan Yang-sin Kiam-sut, karena kesemuanya itu
asalnya adalah ilmu-ilmu ciptaan dari Pendekar Sakti Bu Pun Su.
Sebagai puteri tunggalnya, tentu saja Cia Li Cu telah mewarisi kepandaian ayahnya, maka biar pun
usianya masih amat muda, namun ilmu pedangnya sudah hebat sekali. Kini menghadapi permainan
pedang Im-sim Kiam-sut dari Hek-hwa Kui-bo, ia dapat melayani dengan baik. Hebat sekali pertandingan
antara nenek dan gadis remaja ini.
Hek-hwa Kui-bo mempergunakan sebatang pedang dan dibantu pula dengan sapu tangan suteranya yang
beraneka warna itu, yang kehebatannya tak kalah oleh pedang di tangan kanannya. Akan tetapi Cia Li Cu
justru mempergunakan sebatang pedang pusaka yang ampuh, yakni pedang pusaka Liong-cu-kiam yang
pendek.
Di dalam cerita Raja Pedang sudah diceritakan bahwa Liong-cu Siang-kiam sebetulnya merupakan
sepasang pedang, yang sebatang panjang dan ada ukiran huruf ‘Jantan’, sedangkan yang ke dua pendek
dengan ukiran huruf ‘Betina’. Tadinya sepasang pedang itu berada di tangan mendiang Lo-tong Souw Lee,
seorang pendekar tua yang pernah diangkat guru oleh Tan Beng San, akan tetapi kemudian terjatuh ke
dalam tangan Cia Li Cu.
Pada pertemuan puncak di Thai-san, sepasang pedang itu dapat dirampas kembali oleh Tan Beng San,
akan tetapi kemudian oleh kakak kandungnya, Tan Beng Kui, sepasang pedang itu diminta atau dipinjam
karena pedang-pedang itu menjadi lambang perjodohan antara dia dan Li Cu. Beng San memberikan
pedang-pedang itu sebagai pinjaman selama tiga tahun.
Sekarang yang berada di tangan Cia Li Cu dalam menghadapi Hek-hwa Kui-bo adalah pedang yang
pendek, yaitu yang Betina. Pada jaman dahulu pedang ini adalah pedang pusaka pegangan Pendekar
Bodoh, maka hebatnya bukan kepalang. Selain tajam, juga keras dan dapat mematahkan segala macam
baja, lagi pula ampuhnya bukan kepalang.
Dua orang ini yang termasuk orang-orang pemilik ilmu silat tinggi, bertempur sampai tidak kelihatan lagi
orangnya. Sinar pedang mereka bergulung-gulung membungkus bayangan tubuh mereka sehingga yang
tampak hanyalah gulungan sinar pedang di antara bayangan merah dari pakaian Li Cu diselingi bayangan
pelangi beraneka warna yang ditimbulkan oleh gerakan sapu tangan sutera di tangan Hek-hwa Kui-bo!
Setelah ratusan jurus berlangsung cepat sekali antara Hek-hwa Kui-bo dan Cia Li Cu, keduanya merubah
permainan, kini tidak secepat tadi, bahkan sangat lambat. Gerakan mereka seperti orang berlatih saja,
lambat-lambat sekali sehingga mudah diikuti pandang mata siapa pun juga.
Akan tetapi jangan salah sangka, pertempuran yang berjalan lambat ini sesungguhnya malah merupakan
pertandingan yang jauh lebih hebat dari pada tadi ketika mereka lenyap dibungkus gulungan sinar senjata
mereka. Pertempuran lambat-lambat ini justru berupa pertandingan mati-matian di mana kedua orang itu
mengeluarkan seluruh kepandaian asli mereka disertai tenaga dalam yang paling kuat untuk merobohkan
lawan.
Beberapa kali senjata mereka hampir mengenai tubuh lawan dan setiap kali pedang Li Cu bertemu dengan
sapu tangan sutera, terjadi getaran hebat dan dua macam senjata itu seakan-akan menempel dan saling
sedot.
Setelah bertempur seperti ini keduanya harus mengakui bahwa mereka masing-masing memiliki
keunggulan. Li Cu ternyata memiliki ilmu silat yang lebih murni, sebaliknya dalam hal tenaga dalam, ia
kalah kuat oleh nenek tokoh persilatan dari selatan itu.
Karena merasa sangat penasaran, mendadak Li Cu melakukan tekanan dengan pedang Liong-cu-kiam,
menggores ke arah ulu hati lawan sambil mengeluarkan suara dari perut. Pedangnya perlahan-lahan sekali
melakukan gerakan goresan dari kiri ke kanan, sedikit memutar ke atas.
Bukan main hebatnya serangan ini karena dilakukan dengan tenaga sepenuhnya. Jangan kira bahwa
serangan yang amat lambat ini akan dapat dihindarkan dengan mengelak, karena yang berbuat demikian
dan mengira bahwa serangan itu amat lambat, maka akan celakalah. Pukulan yang penuh mengandung
hawa karena daya tenaga dalam itu biar pun lambat namun angin pukulannya saja sudah cukup untuk
dunia-kangouw.blogspot.com
mencelakakan musuh, apa lagi mempunyai perubahan yang bukan main banyak lagi berbahaya. Ujung
pedang di tangan Li Cu kelihatannya meluncur lambat, namun ujungnya tergetar menyilaukan dan sukar
dilihat bagaimana perkembangan selanjutnya.
Hek-hwa Kui-bo tentu saja maklum akan kehebatan serangan ini sungguh pun dia tidak tahu bahwa gerak
tipu ini adalah jurus Sian-li-hut-si (Sang Dewi Mengebutkan Kipas) dan tidak tahu pula apa pecahannya. Ia
hanya tahu bahwa kali ini lawannya yang muda itu mengeluarkan gerak tipu yang amat berbahaya.
Ia tidak berani menangkis dengan pedangnya, takut kalau-kalau pedangnya biar pun juga pedang yang
ampuh, tidak akan kuat menandingi keampuhan Liong-cu-kiam. Maka ia lalu menggerakkan senjatanya di
tangan kiri yaitu sapu tangan sutera yang beraneka warna itu.
Jangan memandang rendah sapu tangan sutera yang halus lembek dan lebar ini. Biar pun kelihatannya
beraneka warna dan indah seperti pelangi serta harum pula baunya, entah sudah berapa banyak nyawa
diantarkan pulang oleh sapu tangan ini! Biar pun demikian halus dan lembek, namun sekali menotok jalan
darah dengan ujung sapu tangan, atau sekali mengebut kepala orang, Hek-hwa Kui-bo sanggup
membunuh orang itu!
Pedang Liong-Cu-kiam terlibat oleh sapu tangan itu, tak dapat ditarik kembali sedangkan pedang di tangan
Hek-hwa Kui-bo secara tiba-tiba sekali menyambar dari kanan ke kiri menyerampang sepasang kaki Li Cu.
Jika terkena sambaran ini, kiranya kedua kaki Li Cu sebatas lutut akan menjadi buntung. Pedang di tangan
Li Cu masih terlibat sapu tangan sedangkan sekarang lawannya menyerang dengan pedang, sungguh
keadaan yang amat sulit.
Namun, gadis ini biar pun masih muda belia, kepandaiannya sudah hebat sekali. Melihat gerakan lawan,
sebelum pedang bergerak ia sudah tahu bahwa ia akan diserang bagian kakinya. Li Cu maklum bahwa
ketika menggerakkan pedang menyerangnya, tentu tenaga tangan kiri Hek-hwa Kui-bo yang memegang
sapu tangan itu akan berkurang.
Maka ia mengerahkan tenaga dikumpulkan di tangan kanan, dan pada saat pedang lawan menyambar ke
arah kedua lututnya, gadis perkasa ini menggenjot kakinya meloncat ke atas sambil membetot pedangnya.
Gerakan ini selain cepat dan tidak terduga, juga amat kuatnya.
"Brettt!"
Sapu tangan yang melibat pedang itu terputus menjadi dua dan kedua kaki Li Cu selamat, terluput dari
pada ancaman pedang yang ganas tadi!
"Kurang ajar, kau merusak sapu tanganku?" Hek-hwa Kui-bo membentak marah.
Akan tetapi Li Cu tak memberi kesempatan lagi padanya. Gadis ini segera mengerahkan ginkang-nya dan
melakukan serangan bertubi-tubi mengandalkan kegesitan dan kelihaian Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut.
Pedang tunggal di tangannya itu seakan-akan berubah menjadi puluhan batang, sinarnya berkeredepan
dan bergulung-gulung bagai mengeroyok Hek-hwa Kui-bo.
Nenek ini juga marah sekali. Meski pun sapu tangannya tinggal sepotong, namun tidak dibuangnya dan
masih ia pergunakan untuk membantu pedangnya melakukan serangan-serangan balasan.
Tiba-tiba Li Cu terkejut mendengar keluhan Thio Ki dan melihat orang muda itu terhuyung-huyung.
Ternyata dadanya telah kena dihantam oleh suling di tangan Giam Kin sehingga pedang yang dipegangnya
terlepas dan tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Sambil tertawa-tawa Giam Kin menendang lututnya
maka robohlah Thio Ki.
"Bunuh dia, bikin mampus saja!" seru Kim-thouw Thian-li girang.
Giam Kin masih tertawa-tawa ketika ia meloncat maju dan menusukkan sulingnya ke arah kepala Thio Ki.
Pasti akan berlubang kepala orang muda itu kalau terkena tusukan ini. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat
sinar putih diikuti bayangan merah.
"Trangggg!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Ujung suling Giam Kin patah terbabat pedang Liong-cu-kiam yang tadi cepat digerakkan oleh Li Cu dalam
usahanya menolong nyawa Thio Ki! Giam Kin terkejut, cepat meloncat mundur dan segera Hek-hwa Kui-bo
yang tadi ditinggalkan Li Cu sudah mengejar pula, lalu saling serang dengan gadis perkasa itu.
Thio Ki yang sudah terluka parah tubuhnya bergulingan di atas genteng, terus terguling ke bawah dan
baiknya tidak sampai terjatuh dari atas, akan tetapi terhenti oleh wuwungan sebelah bawah.
"Enci Kim Li, jangan kau bunuh Si Manis itu! Biar kau berikan kepadaku...ha-ha-ha!" Giam Kin tertawa-tawa
untuk menutupi malu dan kagetnya ketika ujung sulingnya terbabat oleh pedang Li Cu tadi.
Mendengar ini, Li Cu gelisah sekali, apa lagi pada saat ia mengerling, ia melihat betapa suci-nya sekarang
sedang dikeroyok dua, payah sekali keadaannya.
Memang demikianlah. Menghadapi Kim-thouw Thian-li seorang saja sudah sangat berat bagi Lee Giok.
Sungguh pun selama itu dia masih mampu melindungi dirinya dan terus bertahan, namun sama sekali dia
sudah tidak mampu untuk balas menyerang. Sekarang melihat suaminya terluka dan roboh, hatinya
semakin risau dan bingung, apa lagi setelah Giam Kin ikut maju mengeroyoknya sambil nyengar nyengir
dan mengeluarkan kata-kata memuakkan.
"Trangg... tranggg....!"
Pedang di tangan Lee Giok terlepas dan jatuh ke atas genteng dengan bunyi berisik ketika pedang itu
secara serentak digempur dari kanan kiri oleh golok Kim-thouw Thian-li dan suling buntung Giam Kin.
Nyonya muda itu kini sudah tidak bersenjata lagi!
"Ha-ha-ha, Enci Kim Li, kurasa lebih baik kau membantu gurumu mengalahkan bidadari Thai-san itu,
biarlah janda muda ini aku yang melayaninya..."
Kim-thouw Thian-li memang sudah menguatirkan gurunya, maka dia segera meloncat dan ikut mengeroyok
Li Cu. Ada pun Lee Giok dengan muka merah dan dada panas hampir terbakar menghadapi Giam Kin.
Suaminya terluka dan kini ia dihina, disebut janda muda. Hati siapa yang tak akan sakit?
"Manusia berwatak iblis! Binatang busuk, hari ini aku Lee Giok hendak mengadu nyawa denganmu!" teriak
Lee Giok.
Ia pun cepat menubruk maju sambil menyerang dengan pukulan dahsyat ke arah ulu hati lawan, disusul
tendangan yang ditujukan ke arah pusar. Kedua serangan susul menyusul ini merupakan serangan maut
yang nekat sekali karena dengan melakukannya, Lee Giok sebetulnya juga telah ‘membuka’ beberapa
bagian tubuhnya menjadi tidak terlindung lagi.
Namun dia sudah tidak peduli lagi karena saking marah dan putus asanya. Nyonya muda ini betul-betul
sudah berlaku nekat dan ingin membunuh lawannya. Namun sayang sekali bagi Lee Giok, lawannya
terlampau kuat baginya. Tingkat kepandaiannya kalah jauh kalau dibandingkan dengan Giam Kin, murid
tunggal dari Siauw-ong-kwi, tokoh pertama dari utara itu.
Dengan tertawa mengejek Giam Kin bergerak cepat menangkap pergelangan tangan Lee Giok yang
memukul ulu hatinya, sambil dia menggeser kakinya mengelakkan tendangan. Kemudian, sebelum nyonya
muda itu sempat meronta, Giam Kin sudah menotok jalan darahnya membuat Lee Giok tak dapat berkutik
lagi.
"Ha-ha-ha-ha, Enci Kim Li dan Hek-hwa Locianpwe, aku akan pergi lebih dahulu saja...!" katanya sambil
memondong tubuh Lee Giok dan membawanya lari pergi dari tempat itu!
"Bangsat Giam Kin, lepaskan suci-ku!" bentak Cia Li Cu marah sekali melihat Lee Giok hendak diculik.
Akan tetapi Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li menghadangnya dan tidak memberi kesempatan sama
sekali pada dara itu untuk melakukan pengejaran terhadap Giam Kin. Bukan main marahnya Li Cu ketika
melihat betapa Giam Kin telah menghilang di dalam gelap sambil membawa pergi Lee Giok.
Akan tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa kerena dia sendiri sedang didesak hebat oleh Hek-hwa Kui-bo
dan Kim-thouw Thian-li. Ternyata bahwa selama ini Kim-thouw Thian-li telah menerima latihan-latihan dari
dunia-kangouw.blogspot.com
gurunya sehingga kepandaiannya sudah meningkat cepat. Maka agak repot juga Li Cu dikeroyok dua oleh
guru dan murid ini.
"Lepaskan Hwa-tok-ciam (Jarum Racun Kembang)!" mendadak Hek-hwa Kui-bo berseru kepada muridnya.
Dua orang guru dan murid itu gemas juga ketika menghadapi kenyataan bahwa biar pun mereka
mengeroyok, tetap saja ilmu pedang yang dimainkan Cia Li Cu tak dapat mereka gempur dan pecahkan.
Oleh karena itu, sekarang tiba-tiba mereka menggerakkan tangan kiri berulang-ulang.
Li Cu kaget sekali. Gadis ini cukup maklum akan bahayanya senjata rahasia yang keji dari kedua orang
lawannya ini. Dia maklum bahwa Kim-thouw Thian-li sudah sangat terkenal dengan racun kembang yang
menjadi keistimewaan Ngo-lian-kauw.
Maka ia pun segera menutar pedangnya dengan gerakan yang disebut Sian-li Thouw-so (Sang Dewi
Menenun). Runtuhlah belasan batang jarum halus yang dilepas oleh kedua orang lawannya itu.
Akan tetapi sekarang kedudukan Li Cu menjadi lemah sekali karena ia harus menghadapi serangan serta
desakan dua orang lawannya itu sambil menjaga kalau-kalau masih ada pelepasan senjata rahasia lagi. Ia
mulai terdesak dan mulai dipaksa mundur!
Pada saat yang sangat berbahaya bagi diri Li Cu itu, mendadak dari bawah berkelebat bayangan orang.
Gerakannya demikian ringan laksana seekor burung terbang saja dan begitu tiba di atas genteng, orang ini
lantas berseru,
“Kim-thouw Thian-li dan gurunya, di mana-mana mengacau saja!”
Hek-hwa Kui-bo dan muridnya tidak dapat melihat jelas siapa adanya orang yang datang ini, akan tetapi
Cia Li Cu biar pun selama hidupnya baru dua kali bertemu dengan orang ini, masih mengenal suara dan
diam-diam dia menjadi girang sekali. Wajahnya tiba-tiba berubah merah dan dadanya berdebar, akan
tetapi ia tidak mau mengeluarkan suara apa pun melainkan terus mendesak dua orang lawannya seolaholah
tak tahu akan datangnya bala bantuan.
Hek-hwa Kui-bo marah sekali karena tadinya dia dan muridnya sudah mulai mendesak hebat kepada Li
Cu. Datangnya orang ini merupakan gangguan besar, maka cepat dia mengggerakkan pedangnya
membacok kepala orang yang baru datang sedangkan sapu tangannya yang tinggal sepotong itu pun
diarahkan ke arah perut orang.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika potongnya hanya mengenai angin dan tlba-tiba saja sapu tangannya
terbetot oleh orang itu hingga terlepas dari pegangannya! Hanya dengan tangan kosong orang itu dapat
merampas sapu tangannya dan menghindarkan serangan pedangnya!
“Siapa kau?!” bentaknya marah.
“Hek-hwa Locianpwe, lupakah kau padaku? Aku tidak saja belum lupa kepada Locianpwe, malah tiga
macam ilmu Thai-hwee, Siu-hwee dan Ci-hwee yang kau ajarkan dahulu pun masih teringat baik olehku!”
Bukan main kagetnya Hek-hwa Kui-bo. Sekarang ia mengenal laki-laki muda ini.
“Beng san... Kau...?! Kim Li, hayo kita pergi.” Hek-hwa Kui-bo menarik tangan muridnya dan dua orang
wanita itu maloncat lenyap di malam gelap.
Mengapa Hek-hwa Kui-bo nampaknya begitu takut kepada orang muda yang ternyata adalah Tan Beng
San itu? Sebetulnya, Hek-hwa Kui-bo sudah mengenal Beng San sejak jago pedang ini masih kecil.
Dalam cerita Raja Pedang sudah diceritakan dengan jelas betapa di waktu kecilnya saja Beng San sudah
‘menerima kebaikan’ dari Hek-hwa Kui-bo, yaitu diberi latihan Thai-hwee (Api Besar), Siu-hwee (Simpan
Api) dan Ci-hwe (Keluarkan api), padahal tiga macam ilmu itu sebetulnya diberikan dengan niat untuk
mencelakakan Beng San yang pada waktu itu tubuhnya telah penuh dengan tenaga Yang-kang sehingga
ilmu ini bisa menewaskannya.
Kemudian setelah Beng San dewasa dan memiliki ilmu tinggi, Hek-hwa Kui-bo sudah pula melihat
kepandaiannya ketika diadakan pertemuan memperebutkan gelar Raja pedang di Puncak Thai-san.
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena itu, kedatangan pemuda yang memiliki ilmu tinggi ini tentu saja membuat ia maklum bahwa
melawan terus tidak akan ada gunanya sehingga ia segera mengajak muridnya lari saja.
Cia Li Cu baru dua kali selama hidupnya bertemu dengan adik dari suheng-nya ini, yaitu adik dari Tang
Beng Kui. Akan tetapi dalam dua kali pertemuan itu ia mendapat kesan hebat akan diri Beng San, maka
ketika tadi ia mengenai suaranya, hatinya menjadi girang sekali.
Anehnya, entah apa sebabnya, ia merasa malu juga bertemu dengan Beng San. Hal ini mungkin sekali
karena ayahnya pernah menyatakan bahwa Beng San adalah ‘lebih baik’ dari pada Beng Kui yang menjadi
tunangannya, atau mungkin ia merasa malu karena Beng San adalah adik Beng Kui. Entahlah,
sesungguhnya bagaimana ia sendiri tidak tahu
sebabnya. Pokoknya ia merasa malu bertemu dengan Beng San.
Maka melihat dua orang lawannya kabur, Li Cu segera mengejar. Bukan hanya karena tidak ingin bertemu
lama-lama dengan Beng San, akan tetapi terutama sekali karena ia hendak menolong suci-nya, Lee Giok
yang sudah terculik oleh Giam Kin.
Orang muda yang baru datang dan hanya dalam segebrakan saja sudah dapat mengusir orang-orang yang
memusuhi keluarga Thio Ki itu, memang benar adalah Beng San, Si Raja Pedang. Seperti kita ketahui,
orang muda ini dari Hoa-san-pai melakukan perjalanan secepatnya menuju ke Sin-yang untuk mencari
Thio Ki untuk memberi tahukan mengenai keadaan Hoa-san-pai yang dirusak oleh Kwa Hong.
Hati orang muda ini masih perih dan bukan main sedihnya setelah pertemuannya yang mengharukan
dengan Kwa Hong di Hoa-san-pai itu. Pedih dan sakit rasa hatinya kalau ia teringat betapa perbuatannya
dengan Kwa Hong dulu itu telah mengakibatkan terjadinya hal-hal yang demikian hebatnya.
Kwa Hong telah mengandung dan hati wanita itu rusak binasa, membuatnya seperti gila kemudian berubah
menjadi manusia yang ganas karena kepatahan hatinya. Dan semua itu karena dia!
Beng San melakukan perjalanan siang malam, maka ketika ia tiba di Sin-yang pada waktu malam, ia tidak
berhenti dan langsung ia mencari rumah Thio Ki dan mengunjunginya. Memang segala hal yang terjadi di
dunia ini sudah ditentukan dan diatur oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan manusia hanya memandangnya
sebagai hal yang ‘kebetulan’ saja.
Demikian pula dengan munculnya Beng San malam-malam di rumah Thio Ki. Sungguh kebetulan sekali.
Begitu melihat keadaan yang tidak sewajarnya, Beng San mencari tahu dan nampak olehnya pertempuran
yang terjadi di atas genteng. Sayang ia agak terlambat sehingga tidak terlihat olehnya ketika Lee Giok
terculik oleh Giam Kin.
Sekarang melihat bahwa Li Cu yang tadinya terdesak hebat oleh pengeroyokan guru dan murid itu dengan
nekat mengejar, hatinya menjadi gelisah. Dia sudah kenal baik dengan kelihaian Hek-hwa Kui-bo dan
muridnya yang curang dan amat licin itu, penuh tipu daya dan muslihat busuk. Maka ia berkuatir kalaukalau
Cia Li Cu yang meski pun amat lihai namun tentu kalah licin itu akan terjebak.
Segera Beng San menggerakkan kaki hendak mengejar pula. Akan tetapi tiba-tiba saja ia mendengar
suara mengeluh kesakitan tidak jauh dari tempat dia berdiri. Pada waktu dia menghampiri, dia melihat Thio
Ki rebah dalam keadaan terluka.
Segera Beng San memondongnya dan membawanya turun ke bawah. Di ruangan dalam, di bawah
penerangan lampu, Beng San memeriksa luka Thio Ki. Memang hebat, akan tetapi tidak amat berbahaya.
Di Puncak Min-san, sedikit banyak Beng San sudah mempelajari ilmu pengobatan dari mertuanya, yaitu
Song-bun-kwi Kwee Lun, maka di dalam perjalanannya ia pun membawa obat-obat manjur untuk
mengobati luka-luka pukulan dan racun. Setelah ia menotok jalan darah, mengurut dan memberi obat, Thio
Ki dapat bangun dan duduk kembali.
"Saudara Beng San...," katanya mengeluh, "baiknya kau datang... tapi bagaimana dengan isteriku...?
Bagaimana pula dengan Adik Cia Li Cu?"
"Isterimu? Aku tidak melihatnya tadi. Ketika aku datang, Nona Cia sedang bertempur dan dikeroyok dua
oleh Hek-hwa Kui-bo bersama muridnya."
dunia-kangouw.blogspot.com
Thio Ki meloncat berdiri. "Celaka! Dan kau tidak melihat isteriku? Tidak pula melihat Giam Kin?"
Beng San menggeleng kepala dan Thio Ki segera menjatuhkan diri di atas pembaringan. "Celaka.... celaka
sekali... tentu Lee Giok telah diculik oleh penjahat iblis itu..."
Beng San adalah seorang yang amat cerdik. Sekilas saja ia sudah dapat menduga apa yang telah terjadi.
Tentu Giam Kin menawan Lee Giok. Pantas saja tadi Li Cu sama sekali tidak rnenghiraukannya dan terus
mengejar. Kiranya gadis Thai-san itu hendak menolong suci-nya. Ia mengambil keputusan cepat.
"Dengar, Thio-twako. Kedatanganku ini pun membawa berita penting sekali. Sekarang kita harus bertindak
tegas dan cepat. Ketahuilah, Hoa-san-pai sudah dirusak oleh sumoi-mu, Kwa Hong. Gurumu terbunuh,
Kwa Hong menduduki Hoa-san-pai. Sekarang sudah pergi dan Hoa-san-pai dalam keadaan kacau tidak
ada yang mengurus. Sute-mu Kui Lok dan adikmu Thio Bwee juga diusir oleh Kwa Hong. Maka, biar pun
kau terluka, kau sekarang juga harus pergi ke Hoa-san-pai, kau urus Hoa-san-pai baik-baik sambil
beristirahat dan menyembuhkan lukamu. Obat ini kau bawa, harus kau minum sehari sebungkus. Tentang
isterimu dan Nona Li Cu, biarlah aku yang mewakilimu melakukan pengejaran. Sudah mengertikah kau?"
Wajah Thio Ki sebentar pucat sebentar merah. Tak disangkanya bahwa akan terjadi hal yang demikian
hebat, tidak saja yang menimpa keluarganya sendiri, malah Hoa-san-pai tertimpa mala petaka lebih parah
lagi. Ia hanya bisa mengangguk-angguk, karena selain Beng San, siapakah yang akan dapat menolong
isterinya?
"Sudah, aku pergi!" kata Beng San dan sekali berkelebat orang muda itu sudah lenyap dari depan Thio Ki,
membuat orang ini kagum bukan main.
Thio Ki juga tak mau berlama-lama di rumah. Pada keesokan harinya pagi-pagi ia sudah pergi memaksa
diri menuju ke Hoa-san-pai…..
********************
Cia Li Cu yang melakukan pengejaran, tidak melihat lagi adanya Giam Kin dan tidak tahu ke mana suci-nya
dibawa lari oleh manusia iblis itu. Maka karena yang lari di depannya hanyalah Hek-hwa Kui-bo dan
muridnya, mau tidak mau ia hanya dapat mengikuti dua orang itu.
Dia tidak mau segera turun tangan terhadap Hek-hwa Kui-bo dan muridnya karena tujuan utamanya adalah
untuk menolong suci-nya. Maka, diam-diam ia hanya mengikuti dari jauh karena ia mengira bahwa kedua
orang itu tentu akan membawanya ke tempat Giam Kin yang menculik Lee Giok.
Sungguh di luar dugaan Li Cu sama sekali bahwa tujuan perjalanan dua orang guru dan murid itu sama
sekali berlawanan arah dengan jalan yang ditempuh oleh Giam Kin yang menculik Lee Giok! Hek-hwa Kuibo
dan Kim-thouw Thian-li berlari menuju ke selatan, ke tempat tinggal Kim-thouw Thian-li, yaitu di Propinsi
An-hui, di lembah Sungai Huai.
Sejak para pejuang berhasil merobohkan pemerintah Mongol, ibu kota lalu dlpindahkan ke Nanking. Diamdiam
Kim-thouw Thian-li juga lalu memindahkan pusat perkumpulannya, yaitu Ngo-lian-kauw, ke lembah
Sungai Huai, tidak jauh dari kota raja baru ini, di sebelah baratnya. Perkumpulannya berpusat di sebelah
utara kota Ho-pei. Guru dan murid ini memang tadinya hanya bermaksud membunuh Lee Giok dan Thio Ki,
dibantu oleh Giam Kin.
Sekarang mereka sudah berhasil melukai Thio Ki, juga Lee Giok telah diculik oleh Giam Kin. Berarti usaha
mereka itu sudah berhasil baik sekali biar pun mendapat tantangan dari orang-orang pandai seperti Cia Li
Cu dan Tan Beng San.
Setelah mengikuti perjalanan Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li selama lima hari, mulailah hati Li Cu
menjadi gelisah serta curiga. Apalagl ketika dia mendapat kenyataan bahwa guru dan murid itu sekarang
tidak lari lagi, dan agaknya melakukan perjalanan dengan tidak tergesa-gesa.
Ia merasa amat kuatir tentang diri suci-nya. Ia mengambil keputusan bahwa kalau hari itu kedua orang
yang diikutinya tidak membawanya kepada Giam Kin, dia akan menerjang dengan nekat dan memaksa
mereka mengaku ke mana suci-nya itu dibawa pergi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, lewat tengah hari itu Hek-hwa Kui-bo dan muridnya tiba di sebuah dusun kecil di pinggir
Sungai Huang-ho (Sungai Kuning). Alangkah mendongkolnya hati Li Cu ketika ia mendengar dua orang itu
hendak menyewa perahu untuk pergi ke pantai Kui-feng. Jelas bahwa dua orang ini hendak terus
melakukan perjalanan ke selatan.
Diam-diam dia lalu menyelidiki dusun itu. Dia bertanya-tanya kepada para tukang perahu kalau-kalau
dalam beberapa hari ini di situ lewat seorang laki-laki muda bermuka pucat dan membawa seorang wanita
muda. Ia mendapat jawaban bahwa tidak ada orang-orang yang ditanyakannya itu. Maka mulailah Li Cu
mengerti bahwa ia telah salah kira. Agaknya dua orang yang diikutinya ini sama sekali tidak menuju ke
tempat Giam Kin!
"Hek-hwa Kui-bo, tunggu dulu!" begitu bentaknya sambil berlari mendekati pada waktu ia melihat dua
orang guru dan murid itu hendak naik ke dalam perahu.
Nenek itu menoleh dan tersenyum mengejek, "Bocah bandel! Kau mengikuti kami selama lima hari terusmenerus,
mau apa sih?"
Bukan main mendongkol dan kagetnya hati Li Cu. Nenek ini benar-benar amat lihai dan bermata tajam.
Akan tetapi Kim-thouw Thian-li menoleh dengan terheran-heran, agaknya tidak tahu akan perbuatannya
mengikuti mereka siang malam itu.
"Hek-hwa Kui-bo, sahabatmu Giam Kin si iblis busuk itu telah menculik Enci Lee Giok. Aku mengikutimu
untuk menanyakan di mana suci-ku itu dibawa pergi."
Hek-hwa Kui-bo tersenyum mengejek, "Kalau kau ada kemampuan, carilah sendiri, peduli apa aku dengan
nasib suci-mu?"
"Kalau begitu, sebelum kubunuh iblis she Giam itu, lebih dahulu kau dan muridmu akan kubasmi!" bentak
lagi Li Cu sambil mencabut pedangnya.
Pada saat itu, tiba-tiba saja terdengar suara bersuit keras sekali datangnya dari tengah sungai yang lebar
itu. Semua tukang perahu dan nelayan yang berada di darat segera rnenjatuhkan diri berlutut menghadap
ke arah sungai. Keadaan menjadi sunyi senyap, sampai-sampai tiga orang yang tadinya akan bertempur
itu ikut pula menengok ke arah suara tadi. Li Cu juga menunda penyerangannya dan memandang ke
tengah sungai.
Sebuah perahu besar sekali dan mewah berada di tengah sungai. Dari kejauhan tampak beberapa orang di
atas perahu itu memandang ke darat. Kemudian terdengar suara yang nyaring bergema, suara yang penuh
dengan tenaga khikang, sehingga bisa didengar jelas sampai ke darat.
"Ho-hai Sam-ong (Tiga Raja Sungai dan Laut) mengundang Hek-hwa Kui-bo bersama Kim-thouw Thian-li
untuk datang berkunjung ke tempat kediamannya!" Suara ini bergema di permukaan air sungai.
Li Cu tidak pernah mendengar nama Tiga Raja Sungai dan Laut ini, maka ia tidak ambil peduli. Akan tetapi
tidak demikian dengan Hek-hwa Kui-bo dari Kim-thouw Thian-li.
Hek-Hwa Kui-bo merupakan seorang tokoh besar di selatan, maka sudah tentu saja ia mengenal nama
besar Ho-hai Sam-ong. Kalau dia boleh dibilang merupakan tokoh nomor satu di dunia persilatan bagian
daratan sebelah selatan, kiranya nama Ho-hai Sam-ong adalah nama tokoh nomor satu pula di bagian
sungai dan laut!
Demikian pula Kim-thouw Thian-li. Dia sudah mengenal nama besar ini yang sudah amat terkenal dan
amat berpengaruh, karena Ho-hai Sam-ong dianggap sebagai pemimpin dari sekalian bajak sungai dan
bajak laut di daerah selatan ini.
Sebuah perahu kecil meluncur cepat sekali ke pinggir sungai dan di ujungnya berkibar sebuah bendera
dengan gambar tiga macam binatang air yang menyerupai buaya, naga dan ikan cucut. Pendayungnya
hanya dua orang, akan tetapi melihat betapa perahu itu cepat bukan main meluncurnya, dapat diketahui
bahwa dua orang itu adalah orang-orang ahli.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tamu-tamu yang diundang, silakan turun ke perahu!" seorang di antara dua pendayung itu berkata.
Mereka adalah dua orang lelaki yang usianya mendekati empat puluh tahun, bertubuh tegap dan bermuka
keras.
Hek-hwa Kui-bo berpaling kepada muridnya, dan berkata sambil tersenyum, "Sam-ong sudah begitu baik
hati mengundang kita, tak baik kalau kita menolaknya."
Setelah berkata demikian ia meloncat dengan gerakan ringan sekali ke atas perahu kecil itu, diikuti oleh
Kim-thouw Thian-li. Perahu itu sama sekali tidak bergoyang ketika kedua kaki Hek-hwa Kui-bo tiba di situ,
dan hanya bergoyang sedikit ketika Kim-thouw Thian-li menyusul gurunya.
"Hek-hwa Kui-bo, jangan harap bisa pergi sebelum memberi tahu di mana adanya Giam Kin!" Li Cu
membentak marah dan ikut pula melompat dengan gerakan indah dan cepat.
"Kau sudah bosan hidup!"
Hek-hwa Kui-bo menyambut dengan serangan pedangnya pada waktu tubuh Li Cu masih berada di udara.
Akan tetapi Li Cu memang sudah siap sedia. Pedang Liong-cu-kiam sudah di tangannya dan cepat pedang
ini ia putar sedemikian rupa mendahului tubuhnya sehingga serangan Hek-hwa Kui-bo tertangkis dengan
suara nyaring dan... ujung pedang Hek-hwa Kui-bo telah patah! Sementara itu, Li Cu sudah mendarat di
atas perahu, siap menghadapi pengeroyokan Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li.
Pada saat itu, kembali terdengar suara suitan keras dari perahu besar di tengah sungai. Dua orang
pendayung perahu kecil yang sudah menggerakkan perahu itu meluncur ke tengah, segera berhenti
mendayung dan berkata,
"Nona muda ini pun menjadi tamu undangan yang terhormat. Sam-wi (kalian bertiga) tidak boleh
bertempur!"
Akan tetapi, mana Li Cu sudi mendengarkan omongan ini? Sekarang bukan lagi guru dan murid itu yang
menyerangnya, sebaliknya dia yang cepat menggerakkan pedang untuk menyerang. Dara cantik ini sudah
nekat sekali dalam usahanya untuk memaksa mereka memberi tahu di mana adanya Giam Kin yang
menculik Lee Giok.
Padahal perahu itu amat kecil dan kiranya akan terguling kalau dipakai untuk bertempur. Hek-hwa Kui-bo
dan Kim-thouw Thian-li yang berdiri berdampingan, terpaksa menyambut serangan ini dan dua orang
tukang perahu itu menjadi bingung dan marah.
"Sam-wi tidak boleh bertempur!" berkali-kali mereka berseru.
Perahu itu mulai terombang-ambing. Namun yang bertempur tetap nekat.
"Kalau tidak mau berhenti, kami akan gulingkan perahu!" kata dua orang pendayung.
Sementara itu, para nelayan dan tukang perahu yang berada di pinggir sungai menonton kejadian yang
menarik ini tanpa berani mengeluarkan suara.
Akan tetapi Li Cu tetap tidak mau berhenti menyerang. Dua orang tukang pendayung itu lalu meloncat ke
dalam air dan sekali mereka bergerak, perahu kecil itu sudah terguling! Hebat bukan main kegesitan tiga
orang wanita ini dan ginkang (ilmu meringankan tubuh) mereka memang sudah mencapai tingkat tinggi
sekali.
Sambil berseru keras ketiganya meloncat ke atas. Perahu membalik, dan tiga orang itu sudah turun
kembali, kini berdiri di atas perahu yang terbalik!
Dari pinggir sungai terdengar seruan-seruan memuji. Memang indah dan hebat gerakan mereka, seperti
tiga ekor burung saja. Akan tetapi sekarang tiga orang wanita ini tidak berani sembarangan bergerak
menyerang lagi karena perahu yang terbalik itu sudah bergoyang-goyang hebat, dan pasti mereka akan
celaka kalau terjatuh ke dalam air.
Li Cu berdiri di satu ujung dengan pedang siap di tangan, sedangkan di ujung yang lain berdiri guru dan
murid itu, juga siap dengan senjata di tangan. Ada pun dua orang tukang perahu itu sambil menyelam lalu
dunia-kangouw.blogspot.com
berenang dan menarik perahu kecil itu menuju ke perahu besar. Benar-benar keadaan yang amat lucu dan
aneh kedatangan tiga orang tamu yang diundang ini!
Li Cu maklum bahwa keadaannya berbahaya sekali. Dia tidak mengenal siapa itu Ho-hai Sam-ong dan
karena tiga raja itu mengenal Hek-hwa Kui-bo, sudah tentu sekali mereka adalah orang-orang jahat dan ia
tentu akan menghadapi pengeroyokan hebat. Oleh sebab inilah maka ia berlaku nekat.
Begitu perahu kecil sudah mendekat dengan perahu besar itu, Li Cu mengenjot tubuhnya dan bagai seekor
burung kepinis tubuhnya melayang ke atas perahu besar. Di depannya bergulung-gulung sinar pedang
yang ia putar-putar untuk menjaga diri.
Tiga orang laki-laki yang berpakaian gagah sudah berada di depannya sambil tertawa dan mengangkat
tangan memberi hormat. Seorang di antara mereka yang paling tua sambil tersenyum lalu berkata,
"Nona muda berkepandaian hebat bukan main. Kami kagum sekali... kagum sekali. Atas desakan Kiang-te
(Adik Kiang) yang sungguh-sungguh kagum terhadap Nona, maka kami sengaja mengundang Nona
dengan baik-baik. Sekarang harap Nona sudi menyimpan kembali pedang pusaka itu."
Li Cu hanya berdiri tegak, tidak mau menyimpan pedangnya, tetap dalam keadaan siap siaga. Sementara
itu, tiga orang itu pun berpaling kepada Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li yang sudah meloncat pula
ke atas perahu lalu memberi hormat dan berkata,
"Sudah lama mendengar nama besar Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li, maka hari ini kami sengaja
mengundang Ji-wi. Nona ini juga menjadi tamu kami, maka harap Ji-wi tidak memusuhinya selama dia
menjadi tamu undangan kami."
Hek-hwa Kui-bo membalas penghormatan mereka sambil berkata, "Sudah lama pula kami mendengar
nama besar Sam-ong. Hari ini menerima kehormatan dan undangan, hal ini berarti tidak melupakan
hubungan dunia kang-ouw di daerah selatan. Tentu saja aku dan muridku tidak akan mengacaukan tempat
Sam-ong, kecuali kalau Nona muda galak ini menyerang kami, terpaksa kami mempertahankan diri."
"Hek-hwa Kui-bo, apakah kau begini pengecut?" Li Cu membentak marah. "Mengapa kau berlindung di
tempat orang? Kalau kau memang gagah, marilah kita mendarat dan kita melanjutkan pertempuran."
Orang tertua dari ketiga Sam-ong itu segera menghadapi Li Cu dan berkata, suaranya tetap halus, "Nona,
harap kau suka memandang muka kami dan tidak memusuhi kedua orang tamu kami ini. Kelak kalau kau
sudah tidak bersama kami, terserah."
"Aku tidak mengenal kalian, akan tetapi aku pun tahu akan peraturan kang-ouw dan tidak akan
mengacaukan tempat kalian ini. Biarlah aku mendarat saja dan menanti sampai dua orang pengecut ini
berani mendarat pula."
"Ha-ha-ha, Nona muda, besar sekali nyalimu. Hek-hwa Kui-bo sebagai tokoh terkenal di dunia selatan,
masih sungkan menolak undangan kami. Sekarang kami mengundang kau dengan maksud baik,
bagaimana kau bisa menolaknya?"
Pedang di tangan Li Cu menggetar. Memang dia adalah seorang gadis muda yang amat berani, apa lagi
ilmu silatnya memang tinggi sekali dan waktu itu dia memang sedang berada dalam keadaan marah. Sama
sekali ia tidak gentar meski pun ia berada di tempat orang lain.
"Mana ada aturan mengundang orang dengan cara memaksa? Aku bebas merdeka untuk menerima atau
menolak setiap undangan dan kali ini aku tidak ingin menerima undangan siapa pun juga. Lekas sediakan
perahu agar aku dapat mendarat kembali!"
Kini orang ke tiga dari tiga orang itu melangkah rnaju. Suaranya tinggi kecil dan matanya yang sipit itu
bercahaya tajam. Hebat warna matanya yang sipit itu, karena warnanya merah seperti orang yang sedang
sakit mata.
"Nona, apakah kau belum pernah mendengar nama Ho-hai Sam-ong maka kau berani menolak undangan
kami?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Li Cu balas memandang, tidak berani lama-lama menentang mata yang merah itu karena sebentar saja ia
merasa matanya sakit. Tapi ia masih tabah dan tersenyum mengejek. "Belum pernah mendengar sama
sekali, akan tetapi andai kata pernah mendengar juga, jangankan baru Ho-hai Sam-ong (Tiga Raja Sungai
dan Lautan), meski Thian-te Sam-ong (Tiga Raja Bumi Langit) yang mengundang, sekali aku bilang tidak
mau tetap tidak mau!"
Orang ke dua melangkah maju dan tertawa bergelak. Seperti dua orang yang lain, orang ke dua ini pun
usianya sudah lima puluh tahun, akan tetapi dia adalah seorang laki-laki yang tampan dan gagah.
"Ha-ha-ha-ha, masih begini muda namun hebat kepandaiannya, dan ketabahannya luar biasa. Ehh, Nona
manis, kau ini puteri siapakah dan siapa pula namamu?"
Kini Li Cu mendapat kesempatan untuk membanggakan keadaannya. Dengan senyum mengejek dan
suara nyaring dia lalu berkata, "Aku dari Thai-san. Ayahku adalah Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tanpa
Tanding) Cia Hui Gan, namaku sendiri Cia Li Cu. Hayo lekas antar aku mendarat."
Tiga orang itu saling pandang, lalu tertawa bergelak-gelak. Li Cu menjadi heran dan dia mulai
memperhatikan mereka.
Orang pertama bertubuh tinggi besar dan mukanya buruk sekali, kehitaman dan bopeng. Orang ke dua
adalah yang tampan dan gagah itu, sedangkan orang ke tiga mengerikan sekali dengan matanya yang
merah. Belum pernah ia mendengar nama Ho-hai Sam-ong dan diam-diam dia menduga-duga sampai di
mana kelihaian mereka sehingga Hek-hwa Kui-bo yang terkenal sebagai iblis itu kelihatan sungkan
bermusuhan.
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Mata Kiang-te memang tajam, sudah dapat menduga ilmu silat baik dan pedang
pusaka. Nona, bukankah pedangmu itu yang disebut Liong-cu-kiam? Ke mana yang sebuah lagi? Ha-haha,
Nona, kau berhadapan dengan Ho-hai Sam-ong. Aku sendiri dijuluki orang Lui Cai Si Bajul Besi,
mereka ini adalah adikku Kiang Hun Si Naga Sungai dan Thio Ek Sui Si Cucut Mata Merah! Ayahmu Cia
Hui Gan sudah pasti pernah mendengar nama kami. Nona, setelah ternyata kau adalah puteri Cia Hui Gan,
lebih-lebih lagi kami hendak mengundang kau untuk berkunjung ke tempat kami. Ada sesuatu yang amat
penting harus kami bicarakan dengan kau. Bukankah kau ini adik seperguruan dari Tan Beng Kui dan
sudah menjadi tunangannya pula? Ha-ha, kebetulan sekali, kebetulan sekali! Kesempatan begini bagus
mana kami mau lewatkan begitu saja?"
Li Cu terkejut juga. Agaknya ada sesuatu di antara mereka ini dengan Beng Kui. Akan tetapi ia tidak peduli
lagi. Jawabnya marah, "Tidak peduli kalian siapa dan ada urusan apa dengan suheng-ku, aku tetap tidak
mau menjadi tamu kalian dan minta turun mendarat."
"Kalau kami melarang?" tanya Si Naga Sungai Kiang Hon yang tampan itu.
"Kalian sudah tahu akan nama pedangku, jadi kalau kalian melarang, berarti kalian akan berkenalan
dengan tajamnya Liong-cu-kiam!"
Tiga orang tua itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha," kata Thio Ek Si Cucut Mata Merah, "Kau belum mengenal
kelihaian Ho-hai Sam-ong! Di darat kau boleh mengaku puteri Si Raja Pedang, akan tetapi di sungai jangan
harap kau akan dapat menjagoi."
"Tidak peduli, aku tidak takut!" jawab Li Cu marah.
Si Cucut Mata Merah itu lalu tertawa-tawa dan mengeluarkan senjatanya yang aneh, yaitu sebuah ruyung
meruncing yang bentuknya seperti kikir, tepinya berduri-duri banyak sekali. Senjata ini mirip dengan
senjata pada mulut ikan cucut, akan tetapi lebih hebat lagi.
"Kita boleh main-main sebentar dengan Nona ini!" berkata pula Kiang Hun Si Naga Sungai sambil dia
mengeluarkan senjatanya yang juga aneh, yaitu semacam tambang lemas dan kuat, tambang yang
biasanya untuk mengikat perahu di waktu berlabuh.
"Bagus, memang aku pun ingin merasai kelihaian Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut yang dari dulu sudah
menggegerkan dunia persilatan," kata Lui Cai Si Bajul Besi sambil menerima senjatanya dari anak buahnya
yang sudah siap, yaitu sebatang dayung baja yang panjang dan berat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat betapa ketiga Sam-ong ini sudah siap dengan senjata mereka yang hebat, Li Cu pun cepat
bergerak. Nona ini maklum bahwa ia tak mempunyai harapan untuk membujuk dengan omongan halus,
terpaksa harus mengadu kepandaian untuk memaksa mereka. Nyalinya memang besar sekali, biar pun ia
sudah dapat menduga bahwa mereka ini terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, namun
ia tidak takut.
"Lihat pedang!" teriaknya dan tubuhnya langsung berkelebat, lenyap terbungkus gulungan sinar pedangnya
yang luar biasa itu.
"Kiam-hoat (ilmu pedang) bagus!" tiga orang kakek itu berseru hampir serempak sambil menggerakgerakkan
senjata masing-masing menangkis.
“Trangg! Trangg!”
Terdengar bunyi dentang dua kali ketika pedang Liong-cu-kiam di tangan Li Cu bertemu dengan ruyung
dan dayung. Ujung ruyung dan dayung itu terbabat sedikit, tapi tangan Li Cu juga tergetar karena
pertemuan senjata itu dan ketika tambang di tangan Kiang Hun membelit pedangnya, hampir saja pedang
itu dapat dirampas bila Li Cu tidak cepat-cepat menarik kembali pedangnya dan melompat mundur dengan
segera.
"Pedang bagus!" Lui Cai dan Thio Ek Sui yang terusak ujung senjatanya berseru sambil memeriksa senjata
mereka.
Juga Li Cu diam-diam kaget bukan main karena dalam gebrakan pertama tadi hampir saja pedangnya
terlepas oleh Kiang Hui Si Naga Sungai yang bersenjata tambang itu. Selain ini ia cukup maklum bahwa
para lawannya memiliki tenaga yang bukan main besarnya sehingga selanjutnya ia harus berlaku hati-hati
sekali.
Di lain pihak tiga orang Sam-ong itu kini tidak berani memandang rendah kepada nona muda dengan
pedangnya yang ampuh itu. Hanya sejenak saling pandang mereka sudah mengambil keputusan untuk
mengerahkan kepandaian supaya jangan sampai kalah oleh seorang gadis muda.
Kiang Hun Si Naga Sungai memutar-mutar tambangnya, makin lama dia mengulur makin panjang.
Tambang itu mendesing di udara dan mengeluarkan bunyi mengerikan dibarengi angin sambarannya yang
dahsyat.
Lui Cai juga menggerakkan dayung bajanya yang panjang dan berat sehingga berubah menjadi lingkaran
sinar kehitaman yang bersiutan. Ada pun Thio Ek Sui juga memainkan ruyungnya, merubah ruyung yang
hanya sebuah itu menjadi belasan buah nampaknya, dan setiap bayangan ruyung mempunyai gerakan
sendiri seakan-akan ada belasan orang yang memainkan ruyung.
Hebat sekali tiga orang ini sehingga diam-diam Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li menjadi kagum.
Diam-diam mereka bersyukur bahwa mereka tadi tidak memusuhi tiga orang raja bajak itu.
Li Cu sendiri ketika menyaksikan ini maklum bahwa seorang diri saja ia tak akan menang menghadapi tiga
lawan berat ini. Apa lagi di situ masih ada Hek-hwa Kui-bo dan muridnya yang kalau setiap waktu maju
pula, tentu dia akan celaka. Maka ia segera mengeluarkan suara ejekan, “Ho-hai Sam-ong? Tiga orang tua
yang menyebut diri raja-raja menghadapi seorang gadis muda dengan mengeroyok?"
"Ha-ha-ha, Nona, apakah kau takut?" kata Lui Cai.
Pertanyaan macam inilah yang menjadi pantangan bagi Li Cu. Sejak kecil ia telah dididik untuk memiliki
jiwa satria yang tidak pernah mengenal artinya takut, apa lagi kalau hal itu dikemukakan oleh orang lain.
Ia mengertak gigi dan membentak, "Siapa takut? Biarlah hari ini aku Cia Li Cu mengadu nyawa dengan
kalian tiga orang tua bangka tak tahu malu!"
Setelah berkata demikian, cepat ia mainkan jurus-jurus Sian-li Kiam-sut yang amat indah dan hebat dan
sengaja ia mainkan jurus pertahanan saja untuk menyelamatkan dirinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ha-ha-ha, Nona Cia yang gagah, kami sama sekali tak menghendaki nyawamu, hanya terpaksa
menahanmu di sini," demikianlah kata Lui Cai. "Jiwi-sute, mari kita tangkap dia tanpa melukainya, kalau
kita tidak bisa melakukan itu percuma saja kita menjadi Ho-hai Sam-ong!"
Hal ini memang jauh lebih mudah diucapkan dari pada dilaksanakan. Mengalahkan Li Cu tanpa melukainya
merupakan hal yang bukan main sukarnya, bagaikan orang hendak menangkap burung walet tanpa
memanahnya roboh.
Gerakan Li Cu selain gesit dan ringan juga ilmu pedangnya amat sulit diikuti. Gerakannya aneh dan sinar
pedangnya bergulung-gulung melindungi seluruh tubuhnya sehingga andai kata turun hujan, tidak akan
ada setetes pun air hujan dapat membasahi tubuhnya!
Namun harus diakui bahwa Li Cu terdesak hebat. Gadis ini merasa seakan-akan sedang menghadapi
benteng baja yang amat kokoh kuat dan dari benteng baja itu bertubi-tubi datang penyerangan yang sangat
berbahaya. Dia sama sekali tidak diberi kesempatan menyerang dan dipaksa untuk terus-menerus
mempertahankan dirinya.
Delapan puluh jurus lebih telah lewat dan perlahan-lahan Li Cu merasa kepalanya pening. Dia harus
memperhatikan gerakan tiga macam senjata lawan. Hal ini membuat ia pening dan berkunang-kunang
matanya.
"Huh, hanya begini sajakah kegagahan puterinya Bu-tek Kiam-ong?” Kiang Hun mengejek sambil memutar
senjata tambangnya sehingga membuat mata Li Cu makin berkunang.
"Lepas senjata!" Lui Cai dan Thio Ek Sui membentak keras. Berbareng senjata mereka, dayung baja dan
ruyung yang berat itu menyambar dari kanan kiri untuk memukul runtuh pedang Li Cu yang agak terlambat
gerakannya karena matanya berkunang-kunang.
"Tranggg... tranggg...!"
Ruyung dan dayung patah menjadi dua ketika terkena Liong-cu-kiam, akan tetapi pedang itu sendiri
terlepas dari pegangan Li Cu karena telapak tangannya pecah oleh benturan senjata tadi dan kini, Liongcu-
kiam meluncur dan menancap ke atas dek perahu. Pada saat itu juga, tambang yang digerakkan oleh
Kiang Hun secara hebat itu sudah datang membelit-belit tubuh Li Cu sehingga gadis itu tak dapat berkutik
lagi.
Namun, biar pun seluruh tubuhnya terlibat tambang yang amat kuat, gadis itu masih terus berdiri tegak
dengan kepala dikedikkan dan sepasang mata bintangnya memancarkan cahaya berapi-api.
"Kalian tua bangka-tua bangka dengan cara pengeroyokan telah dapat mengalahkan aku. Sekarang aku
telah tertangkap, mau bunuh boleh lekas bunuh!" bentaknya gagah.
"Ha-ha, kau benar-benar gagah perkasa Nona. Tapi kami tidak bermaksud membunuhmu, hanya ingin
menahanmu untuk memaksa tunanganmu berunding dengan kami!" kata Lui Cai Si Bajul Besar.
"Sam-ong harap jangan gegabah. Lebih baik bocah liar ini cepat dibunuh dan mayatnya dilempar ke
sungai. Kalau dia ditahan dan sampai tersusul oleh bocah siluman Tan Beng San, bisa-bisa kalian
mengalami hari naas!" kata Hek-hwa Kui-bo.
Tiga orang itu mengerutkan keningnya ketika menoleh ke arah pembicara ini.
"Kui-bo, siapa itu Tan Beng San yang kau pakai untuk menakut-nakuti kami?"
Hek-hwa Kui-bo tersenyum mengejek. "Hemm, kalian boleh tidak takut terhadap bocah liar ini atau
terhadap ayahnya sekali pun. Akan tetapi jangan main-main kalau menghadapi Tan Beng San adik Tan
Beng Kui itu, dialah sesungguhnya Raja Pedang di dunia ini yang memiliki Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiamsut."
Tiga orang itu saling pandang, kemudian tertawa bersama. "Adik Tan Beng Kui? Masih adakah orang
muda begitu hebat? Boleh... boleh, kebetulan sekali, biarkan dia datang pula agar lebih enak kita bicara
dengan Tan Beng Kui kelak. Ha-ha-ha!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah berkata demikian Lui Cai memberi perintah kepada sute-nya, yaitu Kiang Hun untuk melepaskan
ikatan tambang pada tubuh Li Cu. Dia sendiri lalu mengambil pedang Liong-cu-kiam dan disimpannya.
Tiga orang yang berani melepaskan kembali Li Cu begitu saja terang memandang rendah kepada gadis ini
setelah terampas pedangnya. Li Cu sendiri juga tidak gegabah untuk kembali mengamuk sesudah Liongcu-
kiam terampas. Ia cukup cerdik untuk tidak berlaku sembrono.
"Asal kau tidak memberontak, kami tidak merasa perlu untuk mengikat atau menotok jalan darahmu," kata
Lui Cai. "Kami juga berharap, selama kau menjadi tamu, kau tidak akan membikin ribut dan bertengkar
dengan Hek-hwa Kui-bo dan muridnya."
Li Cu menjatuhkan diri duduk di atas bangku. Ia merasa tidak berdaya dan jengkel sekali. Baru sekali ini
dia dibikin tidak berdaya oleh orang lain tanpa mampu melampiaskan rasa dongkol di hatinya.
"Ho-hai Sam-ong, jangan berlaku rahasia. Kalian menahanku sebetulnya dengan maksud apakah?"
tanyanya berani.
"Sama sekali bukan dengan maksud buruk," kata Lui Cai sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Nanti kita
bicarakan sambil kita makan."
Ia lalu memberi perintah kepada para anak buah bajak yang berada di perahu itu untuk menyiapkan
hidangan. Meja besar diatur penuh hidangan untuk enam orang, yaitu pihak tuan rumah tiga orang dan
para tamu tiga orang pula.
Baik Hek-hwa Kui-bo dan muridnya mau pun Li Cu diperlakukan dengan sikap hormat dan baik sehingga
bagi mereka ini tiada kesempatan untuk merasa kurang senang. Sementara itu, tanpa terasa karena
besarnya, perahu itu semenjak tadi meluncur mengikuti aliran air, ditambah kecepatannya dengan layar
yang berkembang.
Tanpa sungkan-sungkan Li Cu makan dan minum hidangan yang serba lezat itu sambil mendengarkan
penuturan Lui Cai Si Bajul Besi yang menjadi orang tertua di antara Ho-hai Sam-ong.
"Kalau dibicarakan membikin orang menjadi tak enak makan dan tak nyenyak tidur saking penasaran,"
demikian Si Baju Besi mulai penuturannya. Selanjutnya ia bercerita demikian.
Ketika rakyat memberontak terhadap Pemerintah Mongol, tidak hanya para orang gagah di dunia kang-ouw
yang ikut berjuang di samping rakyat kecil. Akan tetapi juga banyak di antara mereka yang tergolong tokohtokoh
dunia hitam (penjahat) juga bangkit semangat patriotnya dan ikut pula berjuang mati-matian. Di
antara mereka ini yang paling hebat dan gigih perjuangannya adalah Ho-hai Sam-ong inilah.
Merekalah yang banyak berjasa dalam penyeberangan para pejuang, dengan pengiriman ransum bagi
para pejuang dan banyak pula pihak musuh mereka hancurkan di sepanjang lembah Sungai Huang-ho.
Malah dalam perjuangannya ini, tidak hanya Ho-hai Sam-ong kehilangan banyak anak buah yang gugur,
bahkan Lui Cai dan Thio Ek Sui kehilangan putera mereka yang ikut gugur dalam perjuangan itu.
Akan tetapi, setelah perjuangan berhasil, mereka menjadi kecewa. Memang, tidak dapat disangkal lagi
bahwa manusia-manusia yang bukan patriot sejati, ikut berjuang karena mempunyai pamrih (ambisi),
mempunyai pengharapan agar kalau perjuangan itu berhasil, dia tidak dilupakan dan diberi jasa
sebanyaknya. Demikian pula dengan Ho-hai Sam-ong. Mereka seakan-akan dilupakan, malah ketika
mereka menonjolkan jasa, para pembesar baru di kota raja tidak mau menerima, malah mencurigai mereka
yang memang berasal dari golongan bajak.
"Ciu Goan Ciang orang serakah yang tak kenal kawan seperjuangan!" demikianlah Lui Cai menutup
ceritanya. "Setelah perjuangan berhasil dan dia menduduki singgasana menjadi kaisar, ia lupa bahwa
tanpa bantuan orang-orang lain tak mungkin ia dapat mengalahkan orang-orang Mongol. Dia tidak
menghargai jasa orang lain, malah berusaha melenyapkan semua tokoh pejuang yang ia anggap sebagai
saingannya dalam merebutkan kedudukan tinggi. Siapakah yang tidak penasaran?"
Li Cu yang mendengarkan cerita ini sebenarnya tidak merasa aneh karena dia sendiri sering kali berada di
kota raja dan cerita tentang perebutan pahala antara para tokoh pejuang ini sudah dia ketahui. Memang
banyak bekas pejuang tidak puas dengan sikap Ciu Goan Ciang dan banyak pula yang iri hati sehingga
dunia-kangouw.blogspot.com
setelah mereka semua berhasil menumbangkan kekuasaan Mongol dari tanah air, sekarang di antara
mereka sendiri timbul perebutan dan permusuhan.
"Jika kalian merasa sangat penasaran kepada kaisar baru, mengapa menahan aku? Apa hubunganku
dengan segala macam perebutan kekuasaan dan saling menonjolkan pahala itu?" tanya Li Cu heran, juga
penasaran.
Lui Cai menarik napas panjang. "Sudah kukatakan tadi bahwa yang merasa tidak puas terhadap Ciu Goan
Ciang ini jumlahnya banyak sekali. Sayangnya, perasaan mereka ini membangkitkan pemberontakan
menyendiri hingga terjadi permusuhan dan perpecahan. Di antara saingan kami itu adalah Pangeran Lu
Siauw Ong yang kelihatannya paling besar keinginan hatinya untuk merampas singgasana dari tangan
kaisar baru. Bagi kami, sama sekali tidak mempunyai keinginan menjadi kaisar, kami hanya ingin
menghukum Ciu Goan Ciang yang tidak menghargai jasa orang. Nah, kau tahu sekarang. Suheng-mu itu
adalah orang kepercayaan Lu Siauw Ong, malah kini menjadi tangan kanannya. Sudah beberapa kali kami
hendak mengajak Lu Siauw Ong bekerja sama untuk menggulingkan Ciu Goan Ciang akan tetapi mereka
itu, terutama suheng-mu, memandang rendah kepada kami. Sekarang, kebetulan kau menjadi tamu kami,
hendak kami lihat apakah Tan Beng Kui masih hendak berkeras kepala dan terlalu angkuh!"
Mendengar ini, hati Li Cu serasa tertusuk karena dia segera terkenang akan nasibnya. Agaknya tiga orang
kepala bajak ini juga masih belum tahu betul apa yang baru-baru ini terjadi. Ia masih dianggap tunangan
Beng Kui sehingga kini dia dijadikan tawanan untuk memancing datangnya Beng Kui agar suka diajak
bersekutu oleh Sam-ong ini.
Teringatlah ia betapa Beng Kui sudah mengkhianatinya dalam ikatan jodoh mereka. Tan Beng Kui tidak
saja menjadi pembantu dan tangan kanan Lu Siauw Ong, malah sekarang telah menjadi mantunya!
Ya, Tan Beng Kui suheng-nya sekaligus tunangannya itu setelah selesai perjuangan juga terserang
demam ambisi. Setelah dia dekat dengan Pangeran Lu Siauw Ong dan diberi janji-janji kedudukan tinggi,
suheng-nya menjadi mabok. Malah akhirnya, demi mencapai cita-cita ambisinya, Beng Kui
meninggalkannya, memutuskan ikatan jodoh dengannya dan suka dikawinkan dengan Lu-siocia, puteri Lu
Siauw Ong!
Inilah yang membuat hati Li Cu hancur dan gadis ini lalu minggat dari kota raja, tidak mau pulang ke Thaisan.
Dia merantau dengan hati hancur sehingga ia tiba di tempat tinggal suci-nya, Lee Giok.
Tadinya ia hendak mengeluh dan mengadukan nasibnya yang buruk kepada Lee Giok itu. Tetapi siapa kira
Lee Giok sendiri sedang ditimpa mala petaka sekeluarga sehingga dia yang tadinya ingin menolong
sekarang akibatnya malah tertawan oleh Ho-hai Sam-ong dan dipergunakan untuk memancing datangnya
Tan Beng Kui! Ahhh, kalau nasib sedang mempermainkan orang.
Ia pun tidak mau banyak cakap lagi. Malah diam-diam ia hendak melihat apa yang akan menjadi reaksi dari
pihak Tan Beng Kui apa bila mendengar bahwa dia menjadi tawanan Ho-hai Sam-ong.
Sementara itu ia mendengar betapa tiga orang kepala bajak itu membujuk-bujuk Hek-hwa Kui-bo dan Kimthouw
Thian-li untuk membantu usaha mereka dan betapa guru dan murid itu menyanggupi. Tapi ia tidak
pedulikan itu semua dan perahu terus meluncur cepat…..
********************
Seperti halnya dengan Li Cu, Beng San juga mengejar ke selatan, sama sekali dia tidak mengira bahwa
Giam Kin yang menculik Lee Giok itu lari menuju ke utara. Mudah saja bagi Beng San untuk mengikuti
jejak tiga orang wanita yang saling berkejaran itu karena di sepanjang perjalanan ia selalu bisa mendapat
keterangan tentang mereka.
Akhirnya ia sampai juga di dusun kecil di pinggir Sungai Huang-ho di mana telah terjadi pertempuran
antara Li Cu dan Ho-hai Sam-ong. Tentu saja ia segera mendengar dari para nelayan bahwa gadis baju
merah yang dicarinya itu telah datang ke tempat itu pada dua hari yang lalu.
Malah ia juga mendengar cerita yang amat menarik akan tetapi mendebarkan jantungnya tentang peristiwa
di perahu Ho-hai Sam-ong. Beng San sendiri belum pernah mendengar nama ini, akan tetapi mendengar
penuturan para nelayan, dia tahu bahwa tiga orang itu adalah kepala-kepala bajak yang berkepandaian
tinggi dan amat berpengaruh.
dunia-kangouw.blogspot.com
la pun mendengar bahwa Ho-hai Sam-ong mempunyai sarang di dekat kota Cin-an, yaitu di sebuah
perkampungan bajak di pinggir Sungai Huang-ho tidak jauh dari kota itu, dan mendengar bahwa anak buah
bajak laut dan bajak sungai yang menjadi anak buah tiga raja bajak itu ratusan orang jumlahnya, semua
dipusatkan di perkampungan itu. Karena sama sekali tidak bisa mendapat keterangan tentang Giam Kin
yang membawa Lee Giok, Beng San merasa ragu-ragu, akan tetapi ia melanjutkan perjalanan dengan
maksud untuk menolong Li Cu yang jatuh ke dalam kekuasaan para bajak.
Tidak ada seorang pun nelayan yang berani ke sarang bajak di dekat Cin-an. Terpaksa Beng San
melakukan perjalanan melalui darat mengikuti sepanjang pantai Huang-ho terus ke timur. Ia melakukan
perjalanan cepat karena ia menguatirkan keselamatan Li Cu, juga ingin lekas-lekas bertemu dengan gadis
itu untuk bertanya tentang nasib Lee Giok yang masih belum ia ketahui.
Sama sekali orang muda itu tidak tahu bahwa di dusun kecil itu, seperti juga di semua tempat di sepanjang
Sungai Huang-ho, terdapat beberapa orang anggota bajak sungai yang bertugas sebagai penyelidik. Para
penyelidik inilah yang selalu memberi tahu pada kawan-kawannya tentang perahu-perahu pedagang atau
perahu-perahu pembesar yang hendak lewat, malah mereka bertugas pula untuk mencari keterangan
perahu mana yang membawa barang berharga sehingga semua pekerjaan yang dilakukan Ho-hai Samong
selalu berhasil baik.
Beberapa orang penyelidik ini sudah diberi tahu tentang keadaan Beng San yang mereka dengar dari Hekhwa
Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li. Maka begitu orang muda ini muncul, mereka segera mengenalnya dan
cepat-cepat mereka mengirim berita ke tempat tinggal Ho-hai Sam-ong!
Inilah sebabnya mengapa Beng San menjadi terheran-heran dan kagum sekali ketika ia tiba di luar
perkampungan bajak di tepi Sungai Huang-ho pada keesokan harinya di waktu senja, ia menghadapi
barisan bajak di luar kampung yang sudah menanti kedatangannya!
Barisan bajak itu terdiri dari seratus orang, dibagi menjadi empat lapisan dan di tiap lapis dipimpin oleh
seorang kepala bajak yang gagah. Lapis pertama adalah barisan bersenjata tombak, lapis ke dua barisan
bersenjata golok, lapis ke tiga barisan ruyung dan ke empat barisan pedang.
"Orang muda, apakah engkau yang bernama Tan Beng San dan datang ke mari hendak membebaskan
Nona Cia Li Cu?" demikian kepala bajak di barisan terdepan membentak dengan suaranya yang keras
parau.
Beng San dalam keheranan dan kekagumannya hanya tersenyum tenang. "Memang betul dugaanmu,
harap kau suka minta kepada Ho-hai Sam-ong supaya mau keluar dan bicara denganku."
Kepala bajak itu tertawa sombong. "Ho-hai Sam-ong sudah tahu akan kedatanganmu dan mempersilakan
kau menerjang maju kalau kau memang gagah!"
Beng San mengukur dengan sudut matanya. Walau pun tidak mudah, agaknya dia masih sanggup
menerjang masuk. Akan tetapi, di luar kampung saja penjagaan sudah begini ketat, apa lagi di dalam
kampung, tentu lebih diperkuat dan kiranya tidak mudah baginya untuk menolong Li Cu.
"Hemmm, tadinya kusangka nama besar Ho-hai Sam-ong mewakili tiga orang yang gagah perkasa. Tak
tahunya hanya pengecut-pengecut yang mengandalkan pengeroyokan anak buahnya untuk menakutnakuti
aku!"
Para bajak menjadi marah. "Orang muda, kau jangan lancang membuka mulut!" demikian kepala bajak
membentak dan memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mengeroyok Beng San. Tombak-tombak
sudah bergerak mengerikan.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara keras bergema dari dalam kampung.
"Orang muda she Tan, Ho-hai Sam-ong tidak takut kepadamu. Anak buah menjaga di luar kampung dan
melarang setiap orang asing masuk adalah menjadi kebiasaan kami. Kalau ada keberanian, malam ini
kami menanti di ruangan rumah kami dan kau boleh coba-coba membebaskan Nona Cia dari tangan kami
bertiga. Ha-ha-ha!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar ini, barisan bajak yang mengenal suara Kiang Hun, tidak berani sembarangan bergerak. Beng
San juga dapat mengetahui bahwa itu tentulah suara seorang di antara ketiga Sam-ong, maka diam-diam
ia maklum bahwa orang itu memiliki khikang yang kuat dan merupakan lawan berat.
Ia pun lalu berkata perlahan, "Baik Ho-hai Sam-ong, malam nanti aku pasti datang untuk mengagumi
kepandaian kalian."
Bagi barisan di depan Beng San, orang muda ini hanya terlihat menggerakkan bibir terus membalikkan
tubuhnya dan pergi. Akan tetapi bagi Ho-hai Sam-ong di dalam kampung, mereka bertiga mendengar
suara ini dengan jelas meski pun perlahan-lahan.
Diam-diam mereka kagum sekali karena khikang yang dipergunakan oleh orang muda itu untuk ‘mengirim
suara’ merupakan kepandaian yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali. Maka mereka kemudian bersiapsiap
untuk menghadapi kedatangan pemuda yang oleh Hek-hwa Kui-bo dipuji-puji kepandaiannya itu.
Malam itu gelap gulita. Hal ini amat menguntungkan Beng San karena biar pun penjagaan di luar kampung
diperketat, namun berkat kepandaiannya ia dapat juga menerobos untuk dilindungi oleh kegelapan malam.
Sebelum para penjaga mengetahui, ia sudah berada di atas genteng rumah terbesar di kampung itu.
Ketika ia melihat, ternyata pihak tuan rumah sudah siap sedia. Ruangan yang amat luas di situ sudah
dipasangi lampu penerangan yang banyak dan terang sekali. Ia melihat pula Hek-hwa Kui-bo dan Kimthouw
Thian-li berpakaian indah sekali sehingga nampak cantik menarik. Wanita ini sedang bercakapcakap
dengan seorang laki-laki setengah tua yang tampan.
Dia tidak tahu bahwa laki-laki itu adalah Kiang Hun Si Naga Sungai yang selain lihai dan tampan, juga
terkenal mata keranjang, maka tidak ingin membuang kesempatan untuk beramah tamah dengan Kimthouw
Thian-li yang juga ‘tua-tua kelapa’ itu. Di dekat Kiang Hun duduk Lui Cai Si Bajul Besi dan Thio Ek
Sui Si Cucut Mata Merah. Di ujung kiri duduk seorang gadis tanggung berusia paling banyak lima belas
tahun, mukanya cantik dan bentuk wajahnya seperti Kiang Hun.
Memang dia ini adalah puteri tunggal dari Kiang Hun yang bernama Kiang Bi Hwa. Semua orang yang
duduk di sini agaknya sudah siap karena semua, kecuali gadis tanggung itu, membawa senjata masingmasing.
Kiang Bi Hwa tidak bersenjata. Ia hanya memegang sebuah kipas yang bergagang gading dan
tersulam indah sekali.
Semua tampak tenang, hanya gadis tanggung ini yang agaknya gelisah, ataukah memang dia merasa
hawanya panas? Tiada hentinya dia mengebut-ngebutkan kipasnya di depan leher.
Yang membuat darah Beng San menjadi panas adalah pada waktu ia melihat ke tengah ruangan yang
kosong itu. Di situ ia melihat Cia Li Cu duduk di atas sebuah kursi dengan kaki tangan terbelenggu!
Gadis itu tidak dapat bergerak sama sekali, namun duduknya masih kaku tegak, kepala dikedikkan dan
sepasang matanya berapi-api. Sedikit pun tidak kelihatan takut, hanya kemarahan dan perlawanan yang
tampak di muka yang cantik jelita namun kelihatan lesu dan lelah serta pucat itu.
Hal ini tidak mengherankan oleh karena gadis ini dalam kemarahannya yang meluap-luap karena dirinya
dijadikan ‘umpan’ ini, telah menolak untuk makan dan tak dapat tidur sama sekali. Ia malah melakukan
perlawanan sehingga terpaksa dia dikeroyok, ditotok hingga tidak berdaya kemudian dibelenggu! Pedang
Liong-cu-kiam malam itu sengaja diletakkan di lantai, tepat di depan gadis tawanan itu.
Melihat Liong-cu-kiam yang pendek itu, Beng San mengilar sekali. Kalau saja pedang itu berada di
tangannya, akan lebih mudah ia membebaskan Li Cu. Akan tetapi ia pun bukan orang bodoh. Kalau pihak
lawan sudah sengaja menaruh pedang itu di sana, tentu di balik perbuatan ini ada maksud tersembunyi
yang amat berbahaya. Dia tidak boleh gegabah, tidak boleh sembrono dan harus berlaku hati-hati serta
bersikap waspada.
Tiba-tiba telinganya yang tajam mendengar sesuatu dan matanya melihat bayangan orang berkelebat di
sebelah depan. Cepat ia menyelinap ke belakang wuwungan dan mengintai. Hampir ia tidak dapat
menahan ketawanya saat melihat ada tiga orang lain juga mengintai dari atas genteng ke bawah!
dunia-kangouw.blogspot.com
Hatinya berdebar. Siapakah mereka? Apakah mereka juga datang untuk membebaskan Li Cu? Mungkin
sekali. Cia Li Cu adalah puteri tunggal dari Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan, maka sekali terkena bencana
tentu akan menarik hati orang-orang gagah untuk turun tangan menolongnya.
Beng San bersikap menanti, hendak melihat apakah yang akan dilakukan oleh tiga orang itu yang melihat
gerak-geriknya adalah ahli-ahli silat tingkat tinggi. Kalau tiga orang yang datang mengintai itu merupakan
orang-orahg lihai, kiranya yang berada di bawah juga tidak kalah lihainya.
Tiba-tiba Lui Cai Si Bajul Besi berdongak ke arah tiga orang 'tamu malam’ itu dan berkata, suaranya keras,
"Sudah berani datang kenapa tidak terus masuk? Ada maksud lebih baik dibicarakan di dalam, kami sudah
lama menanti!"
Seorang di antara tiga tamu malam itu mengeluarkan suara tertawa, suara ketawanya halus dan ringan.
"Ha-ha-ha, Ho-hai Sam-ong benar-benar hebat. Kami turun!"
Dan melayanglah tiga sosok bayangan orang ke dalam ruangan itu. Kaki mereka sangat ringannya
menyentuh lantai, tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang mempunyai ginkang cukup tinggi.
Beng San terkejut dan berdebar hatinya ketika melihat bahwa seorang di antara mereka adalah kakak
kandungnya, Tan Beng Kui! Pemuda itu kini agak kurus kalau dibandingkan dengan beberapa bulan yang
lalu ketika bertemu dengannya di Puncak Thai-san. Pedang Liong-cu-kiam yang panjang tergantung di
punggungnya.
Dua orang yang lain adalah seorang kakek berpakaian seperti tosu dan yang seorang lagi seorang laki-laki
setengah tua yang gerak-geriknya gagah, dan angkuh. Juga mereka ini membawa pedang di punggung
masing-masing.
Melihat tiga orang ini, Lui Cai Si Bajul Besi tertawa bergelak kemudian berkata, "Selain Tan-ciangkun,
sudah datang pula Koai-sin-kiam (Pedang Sakti Aneh) Oh Tojin beserta Ji Lu-enghiong yang ternama. Haha-
ha-ha, benar-benar merupakan kehormatan besar bagi kami. Selamat datang... selamat datang...!"
Ada pun Beng Kui ketika melihat sumoi-nya (adik seperguruannya) duduk terbelenggu di tengah ruangan
dalam keadaan tak berdaya, segera melompat hendak menolong.
"Ciangkun, awas perangkap!" tiba-tiba Koai-sin-kiam Oh Tojin berseru keras sambil ikut melompat pula ke
tengah ruangan itu. Ada pun orang ke dua yang tadi disebut sebagai Ji Lu-enghiong (Pendekar ke dua she
Lu) dengan tenang melompat pula, gerakannya ringan dan cepat mengejar Beng Kui.
Namun peringatan dari Oh Tojin itu terlambat karena Beng Kui sudah sampai di tengah ruangan. Sekali
melompat saja ia tadi sudah sampai di dekat kursi yang diduduki Li Cu.
Tiba-tiba terdengar bunyi berderit keras. Kursi yang diduduki Li Cu itu bergerak mundur sampai dua meter,
lalu lantai di tengah ruangan itu terbuka dan meluncurkan anak-anak panah menuju ke tubuh Beng Kui!
Kalau saja Beng Kui bukan murid nomor satu dari Raja Pedang Cia Hui Gan, pasti ia akan roboh dan
tewas oleh anak-anak panah yang setiap ujungnya sudah diberi racun jahat itu. Belasan batang anak
panah itu menyambar cepat sekali.
Beng Kui berseru keras dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke kiri sejauh lima meter lebih dan
terbebaslah ia dari ancaman anak-anak panah yang kini meluncur ke atas dan menancap ke langit-langit
rumah itu! Dengan muka merah dan pedang Liong-cu-kiam di tangan, Beng Kui bersama dua orang
temannya yang juga sudah mencabut pedang kini menghadapi tuan rumah.
Beng Kui berseru marah. "Ho-hai Sam-ong! Beginikah kalian menerima datangnya tamu yang kalian
undang untuk berunding dan bersekutu? Beginikah sikap orang-orang gagah? Kalian menawan sumoi-ku.
Apa artinya ini?"
Lui Cai tertawa bergelak. "Tan-ciang kun, kau benar-benar gagah perkasa, tidak kecewa menjadi murid
utama Bu-tek Kiam-ong! Harap jangan kau salah duga dan mengira kami memperlakukan tamu-tamu
kurang hormat. Sebenarnya adalah kau sendiri yang sebagai tamu kurang menghormati tuan rumah
sehingga tanpa bertanya kau lancang hendak turun tangan. Ketahuilah, kami tidak mengganggu sumoi-mu
dunia-kangouw.blogspot.com
dan seperti sudah disebut dalam surat kami, sumoi-mu hanya menjadi tamu sementara saja sampai kau
datang. Akan tetapi tidak tahunya muncul pula seorang lainnya yang hendak membebaskan sumoi-mu,
yaitu... ha-ha-ha, adik kandungmu sendiri yang bernama Tan Beng San dan kabarnya lihai bukan main.
Karena dia itu akan datang malam ini untuk membebaskan sumoi-mu, maka kami sengaja mengatur
demikian untuk menghadapinya. Sumoi-mu tidak apa-apa, kami tanggung! Nah, Sam-wi, silakan duduk!
Mari kita berunding sambil menanti kedatangan adikmu yang lihai itu. Ehhh, benarkah berita yang sampai
kepadaku bahwa adikmu itu sebenarnya adalah Raja Pedang yang tulen, yang lebih lihai dari pada
gurumu?"
Merah muka Beng Kui ketika mendengar penjelasan panjang lebar ini, apa lagi saat dia mendengar ucapan
pertanyaan terakhir itu. Beng San di sini? Dan hendak membebaskan Li Cu? Apa artinya ini? Di mana Li
Cu bertemu dengan Beng San dan mengapa mereka bersama? Diam-diam timbul iri hati dan cemburu
besar dalam hatinya.
Memang betul bahwa dia sudah menikah dengan putri Pangeran Lu, akan tetapi hatinya tidak puas
mendengar Li Cu bergaul dengan Beng San! Juga tidak enak sekali hatinya melihat sumoi-nya terbelenggu
di kursi itu, akan tetapi sekarang ia tidak berani bertindak sembrono.
Apa lagi pada saat itu Lu Khek Jin, yaitu orang tua yang datang bersamanya itu, berkata, "Betul sekali.
Kedatangan kita untuk berunding. Soal yang lain boleh dibicarakan nanti. Sumoi-mu itu melakukan
kesalahaan terhadap Ho-hai Sam-ong maka dia ditawan. Kalau urusan kita dengan Ho-hai Sam-ong
selesai dan berakhir baik, apakah Ho-hai Sam-ong tak akan melepaskan sumoi-mu dan minta maaf kepada
kita?" Ucapan ini ditujukan pada Beng Kui dan orang muda ini tidak berani membantah lagi.
Lu Khek Jin adalah kakak dari ayah mertuanya, yaitu Lu Siauw Ong. Ilmu silatnya tinggi sekali dan dia
adalah seorang bekas jenderal, seperti juga Lu Siauw Ong. Lu Khek Jin juga sudah berjasa besar dalam
menumbangkan pemerintah Mongol.
"Ha-ha-ha, betul sekali ucapan Ji Lu-enghiong yang mulia! Di antara teman sendiri mana perlu banyak
menyembunyikan urusan? Mari, mari, silakan duduk!" berkata Lui Cai yang segera menyambung kepada
adik seperguruannya, Thio Ek Sui Si Cucut Mata Merah.
"Kau bereskan lagi anak-anak panah itu untuk menyambut kedatangan Tan Beng San!"
Tanpa banyak cakap Thio Ek Sui Si Cucut Mata Merah menggerakkan tubuhnya. Sekali meloncat ia telah
melayang ke atas dan kedua tangannya digerakkan. Dalam keadaan melayang itu sekaligus kedua
tangannya sudah dapat menarik keluar belasan anak panah tadi dari langit-langit, kemudian ia
berjumpalitan turun dengan kedua kaki sama sekali tak mengeluarkan bunyi ketika menginjak lantai!
Dengan cepat ia lalu memasangkan kembali anak-anak panah itu, dan memulihkan pesawat rahasia yang
menggerakkan kursi dan membuka lantai dengan peluncuran anak-anak panah itu.
Diam-diam Beng Kui kagum dan juga kaget sekali. Baiknya tadi ia tidak keburu nafsu ketika melihat sumoinya,
tidak menurutkan panas hati dan tidak menyerang pihak tuan rumah. Kiranya nama besar Ho-hai
Sam-ong bukan kosong belaka. Melihat cara orang termuda dari Ho-hai Sam-ong itu bergerak, terbukti
bahwa mereka adalah lawan-lawan kuat.
Akan tetapi saat mereka mengambil tempat duduk dan Beng Kui melihat bahwa Hek-hwa Kui-bo dan Kimthouw
Thian-li hadir pula di situ, keningnya berkerut.
"Ho-hai Sam-ong, urusan yang akan kita rundingkan adalah urusan rahasia di antara kita. Kuharap jangan
ada orang orang luar mendengarkan perundingan kita," katanya dengan kening masih berkerut dan mata
mengerling ke arah Hek-hwa Kui-bo.
Lui Cai Si Bajul Besi tertawa bergelak, lalu berkata sambil memandang dua orang wanita yang menjadi
tamunya itu. "Yang kau maksudkan Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li inikah? Ha-ha-ha, jangan
salah kira, kawan. Mereka ini adalah pembantu-pembantu kami dan mereka itu seribu prosen boleh
dipercaya!"
Suara Beng Kui dingin sekali ketika ia menjawab, "Ho-hai Sam-ong, terus terang saja biar pun Sam-wi
(kalian bertiga) termasuk golongan hek-to (jalan hitam atau penjahat), namun aku masih menganggap
Sam-wi setingkat karena aku tahu betul betapa hebat perjuangan Sam-wi pada waktu yang lalu. Sam-wi
termasuk golongan orang-orang gagah perkasa, patriot-patriot sejati. Akan tetapi, siapakah dua orang
dunia-kangouw.blogspot.com
wanita ini? Mereka dulu membantu penjajah Mongol, mereka adalah pengkhianat-pengkhianat yang tak
patut duduk bersama dengan kita, apa lagi merundingkan urusan negara yang amat penting!"
Kim-thouw Thian-li hanya mesem saja, akan tetapi tangan kirinya yang menekan ujung meja membuat
ujung meja itu hancur dalam genggamannya! Hal ini menandakan bahwa Ketua Ngo-lian-kauw ini sedang
marah sekali.
Ada pun Hek-hwa Kui-bo tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang berderet putih dan rapi, lalu
berkata halus, "Tan-ciangkun, apa sih bedanya antara kedudukan dan nama besar? Apa bedanya antara
kemuliaan dan harta? Orang boleh saja berganti haluan demi cita-citanya. Kau dulu membantu Ciu Goan
Ciang, sekarang kau berbalik memusuhinya. Sebaliknya semenjak dahulu sampai sekarang aku memusuhi
Cu Goan Ciang, meski pun jalannya berbeda. Dahulu aku membantu Kerajaan Goan dan sekarang
membantu Ho-hai Sam-ong, namun tetap aku memusuhi Ciu Goan Ciang. Nah, katakan siapa sebetulnya
yang berkhianat?"
Menghadapi serangan ini Beng Kui menjadi bingung dan tak dapat menjawab. Sementara itu, Lu Khek Jin
segera maju menegah dan berkata kepada Beng Kui.
"Soal bantuan Hek-hwa Kui-bo dan muridnya adalah urusan Ho-hai Sam-ong, kita tidak berhak ikut
campur. Nah, Ho-hai Sam-ong, silakan kalian mengajukan usul-usulmu dalam usaha bersama menghadapi
keserakahan Ciu Goan Cian yang sama-sama kita benci."
Mereka lalu berunding. Ruangan itu sunyi namun para penjaga dengan ketat menjaga di sekeliling rumah.
Cia Li Cu masih terbelenggu duduk di kursi. Diam-diam gadis ini mendengarkan semua percakapan
mereka. Sayangnya urat gagunya telah tertotok sehingga dia sama sekali tak dapat mengeluarkan suara.
Kalau dapat, tentu saja ia telah mendamprat mereka semua.
Hatinya gelisah, bingung dan juga kecewa. Sekali lagi hancur hatinya menyaksikan sikap suheng-nya,
orang yang pernah mencuri hatinya, yang pernah dia jatuhi cinta kasihnya. Ternyata orang ini sekarang
sedang mengadakan persekutuan dengan bajak laut untuk menggulingkan Ciu Goan Ciang!
Pihak tuan rumah ada lima orang yaitu Ho-hai Sam-ong dan Hek-hwa Kui bo bersama muridnya, Kiang Bi
Hwa tidak ikut berunding, hanya duduk menyendiri sambil kipas-kipas tubuhnya. Pihak tamu ada tiga orang
dan mereka bicara dengan asyik sekali.
Tidak hanya Cia Li Cu yang mendengarkan dengan teliti. Tanpa diketahui oleh mereka semua, Beng San
ikut pula mendengarkan. Maka tahulah ia akan segala persoalan yang terjadi semenjak pemerintah Mongol
dirobohkan oleh perjuangan rakyat.
Dari percakapan itu ternyata bahwa setelah berhasil mengusir bangsa Mongol, Ciu Goan Ciang kemudian
mengangkat dirinya menjadi kaisar pertama dari Wangsa Beng dengan memakai gelar Thai Cu. Seperti
biasa, lalu terjadilah perebutan kekuasaan di antara para penggerak pemberontakan, di antara para
pimpinan yang tadinya berjuang bersama-sama menumbangkan kekuasaan penjajah.
Setelah musuh terusir pergi, kemuliaan membuat mereka yang tadinya merupakan patriot-patriot sejati itu
menjadi mata gelap dan terjadilah perebutan kekuasaan. Kaisar Thai Cu atau Ciu Goan Ciang tentu saja
tidak mau mengalah dan banyaklah bekas-bekas kawan seperjuangan dibunuh, para jenderal yang sudah
berjasa dibunuh pula. Pendeknya Ciu Goan Ciang mulai mengadakan ‘pembersihan’ agar kedudukannya
tidak terancam.
Ho-hai Sam-ong termasuk orang-orang yang tidak puas dengan sikap Ciu Goan Ciang, sebab permintaan
mereka untuk menjadi ‘menteri negara’ ditolak oleh kaisar baru ini yang menganggap bahwa tidak pantas
jika ia menggunakan bekas kepala bajak untuk menjadi menteri.
Juga Lu Siauw Ong dan kakaknya Lu Sin, diam-diam menaruh dendam karena mereka hanya diberi
kedudukan rendahan saja, padahal dulu mereka telah berjuang mati-matian. Demikian pula Tan Beng Kui
yang merasa iri hati dan tidak puas akhirnya dapat dibujuk oleh Lu Siauw Ong untuk menjadi
pembantunya, malah sudah dikawinkan dengan puteri pangeran muda ini.
Karena kekuasaan Kaisar Thai Cu atau Ciu Goan Ciang itu makin lama makin besar dan kedudukannya
makin kuat, maka Ho-hai Sam-ong mempunyai rencana untuk bersekutu dengan Lu Siauw Ong dan
dunia-kangouw.blogspot.com
mereka akan mengadakan pergerakan dari luar dan dalam. Dari dalam, secara diam-diam Lu Siauw Ong
akan bergerak sedangkan dari luar, Ho-hai Sam-ong akan mengumpuikan tenaga dan akan menggempur
dari luar.
Untuk keperluan ini, secara kebetulan mereka bertemu dengan Cia Li Cu yang mereka gunakan untuk
setengah memaksa Tan Beng Kui memenuhi undangan mereka. Mereka tahu belaka bahwa tangan kanan
Lu Siauw Ong adalah Tang Beng Kui, mantu Pangeran itu sendiri, maka sengaja mereka hendak
membujuk murid Bu-tek Kiam-ong ini.
"Banyak pembesar yang masih bertugas di utara dapat kita tarik di pihak kita,” demikian antara lain Ho-hai
Sam-ong yang diwakili oleh Lu Cai berkata. "Kita akan mencari dan menanti kesempatan selagi Kaisar Thai
Cu berkunjung ke utara. Kita akan menyergapnya dan kalian yang bekerja di kota raja harus pula
mempergunakan kesempatan ini untuk bergerak di kota raja selagi kaisar tidak ada."
Tan Beng Kui dan dua orng temannya menyatakan persetujuannya.
Setelah perudingan berakhir, Kiang Hun berkata, "Tentang sumoi-mu itu, Tan-ciangkun, bagaimana
baiknya? Dia adalah puteri Bu-tek Kiam-ong dan seperti kita tahu gurumu itu tidak bisa diajak berunding
dalam urusan ini. Sudah pasti kita akan ditentangnya dan bila rahasia persekutuan kita ini bocor..."
"Hemm, amat berbahaya bagi kami yang bertugas di kota raja!" kata Lu Khek Jin sambil melirik ke arah Li
Cu dengan kening dikerutkan. "Dia itu tidak boleh dibebaskan, sama sekali tidak boleh sebelum selesai
rencana kita."
"Kiranya tidak enak terhadap Tan-ciangkun kalau kami terus menahannya," kata Lui Cai sambil mengerling
ke arah Beng Kui.
Kim-thouw Thian-li tersenyum manis dan mengerling tajam sambil berkata, "Tadinya nona itu selain sumoi
juga tunangan Tan-ciangkun. Sekarang Tan-ciangkun telah meninggalkan dia dan menikah dengan gadis
lain. Sudah tentu ia sakit hati dan hendak menuntut balas. Hemm, gadis ini memang berbahaya sekali!"
"Habiskan saja dia, beres tidak perlu pusing-pusing lagi kita," kata Hek-hwa Kui-bo.
"Tidak bisa!" Beng Kui membantah. "Betapa pun dia adalah sumoi-ku..."
"Habis bagaimana?" Lu Khek Jin, paman isterinya bertanya sambil memandang tajam. "Bebaskan dia dan
membiarkan dia mencelakai kita dengan membocorkan rahasia ini?"
"Bukan begitu maksudku... ehh, dia itu tetap sumoi-ku... bagaimana aku bisa melihat dia dicelakai orang?
Aku... ehh, maksudku, bagaimana kalau Ho-hai Sam-ong sementara Ini menahan dia tetapi
memperlakukan dengan baik-baik? Soal penahanan dia itu pun harus dirahasiakan, kalau sampai ayahnya
tahu... bisa repot juga. Apa bila gerakan kita sudah berhasil, dia harus segera dibebaskan."
"Kita sedang menghadapi urusan negara, kenapa sibuk dengan urusan pribadi?" tiba-tiba Koai-sin-kiam Oh
Tojin berkata dengan suaranya yang halus. "Nona ini adalah sumoi-mu, Tan-ciangkun. Apakah tidak bisa
kau bujuk agar dia membantu gerakan kita, atau paling tidak jangan mencampuri dan jangan
membocorkannya? Dia keturunan orang gagah, jika sudah mau bersumpah tidak akan membocorkan,
pinto (aku) bisa percaya. Bukannya aku jeri terhadap ayahnya... hemmm," dia meraba gagang pedang di
punggungnya, "Malah sudah lama pinto ingin menjajal kepandaian Si Raja Pedang."
Melihat ada orang membantu sumoi-nya, dengan girang Beng Kui segera berdiri sambil berkata, "Baik
akan kucoba bicara dengan dia... Ho-hai Sam-ong, perkenankan aku bicara dengan sumoi-ku sekarang."
"Boleh, boleh..." kata Lui Cai.
Thio Ek Sui segera berdiri dan pergi mematikan pesawat-pesawatnya agar perangkap itu tidak bekerja.
Dengan aman kini Beng Kui menghampiri Li Cu yang masih duduk dengan mata berapi-api memandang
kepada Beng Kui. Gemetar kedua kaki Beng Kui ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang
berapi-api itu.
Dengan membesarkan hati sendiri ia lalu melangkah maju dan menotok dua kali. Li Cu mengeluh perlahan,
aliran darah di tubuhnya normal kembali.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sumoi, harap kau maafkan dan jangan kecil hati dengan adanya kejadian ini atas dirimu. Kau tahu, aku
pun merasa menyesal sekali dan kelak apa bila segala berjalan beres, aku akan minta maaf sekali lagi
kepadamu dan mohon ampun kepada Suhu. Tapi sekarang, kuharap kau suka bersumpah bahwa yang
kau lihat dan dengar pada saat ini tidak akan kau bocorkan kepada siapa pun juga meski pun kepada
ayahmu sendiri. Dan..."
"Cukup...!" Li Cu membentak dengan sinar mata berapi-api, akan tetapi dua butir air mata menuruni pipinya
yang pucat. "Pengkhianat kau...! Aku bukan sumoi-mu lagi, aku pun tak sudi berjanji apa-apa, tidak sudi
bersumpah, kau mau bunuh aku boleh bunuh sekarang juga!"
Air muka Beng Kui berubah dan dia mundur dua langkah. Dia mendengar suara ketawa kecil, yaitu Kimthouw
Thian-li, yang agaknya sengaja mentertawakannya. Dengan tubuh lemas ia kembali ke meja
perundingan tadi dan berkata,
"Ho-hai Sam-ong, sumoi-ku keras wataknya. Tak ada jalan lain lagi agaknya kecuali kalian harus
menahannya di sini dan memperlakukannya baik-baik sampai selesai pekerjaan kita bersama."
"Sukar untuk memenuhi permintaanmu ini, Ciangkun," berkata Lui Cai. "Kau sendiri tentu mengerti bahwa
anak buah kami beribu orang banyaknya, terdiri dari laki-laki yang kasar. Sumoi-mu begitu muda dan cantik
jelita. Bagaimana kami dapat berjanji bahwa dia tidak akan menderita apa-apa di sini?"
Kim-thouw Thian-li pun menambah panas suasana. "Baru pemimpinnya saja yang satu ini sudah
memandang mengilar, apa lagi anak buahnya. Hi-hi-hik!" berkata demikian wanita ini melirik kepada Kiang
Hun Si Naga Sungai yang juga tersenyum-senyum jenaka.
Merah telinga Beng Kui. "Kalau begitu, biarlah dia kubawa saja, untuk sementara menjadi tawananku!"
Kim-thouw Thian-li tertawa lagi dan berkata, "Tan-ciangkun kenapa malu-malu? Memang dia sumoi-mu
sendiri, juga bekas kekasihmu, kalau tidak kau yang menahannya, siapa lagi? Kalau dari tadi kau berkata
demikian kan sudah beres, tidak usah susah-susah..."
Semua orang tertawa dan wajah Beng Kui makin merah.
Akan tetapi paman isterinya, Lu Khek Jin, mengerutkan kening. "Beng Kui, jangan kau main-main. Urusan
pribadi hendaknya jangan dicampur adukkan dengan urusan negara."
Sementara itu, Beng San yang sejak tadi mendengarkan ini semua, menjadi pucat dan kehilangan
mukanya. Dia merasa kecewa dan malu bukan main menyaksikan sikap kakak kandungnya.
Dahulu ia memuja-muja kakak kandungnya itu sebagai seorang gagah perkasa, seorang pemuda tampan
dan gagah yang berjiwa patriot, sudah berjasa besar bagi bangsa dan tanah air. Dia malah menganggap
dirinya sendiri batu kali yang kasar kalau dibandingkan dengan kakaknya yang cemerlang seperti kumala
tergosok.
Tapi apa yang ia hadapi sekarang? Kakaknya menjadi pengkhianat. Bukan itu saja, malah kakak
kandungnya yang dia kagumi dan puja-puja itu ternyata telah berbuat tidak setia, telah memutuskan
hubungan jodoh dengan Cia Li Cu. Telah menikah dengan puteri raja muda dan sekarang bersekongkol
dengan orang-orang jahat untuk memberontak.
Dan Li Cu! Ahh, ia makin kagum kepada gadis jelita ini. Begitu gagah, begitu berani, juga begitu... buruk
nasibnya.
"Aku harus menolongnya," demikian Beng San mengambil keputusan.
Tak boleh dia ditahan oleh para bajak ini, juga tidak akan baik nasibnya kalau ia dijadikan tawanan suhengnya
sendiri yang sudah tersesat itu. Kakak kandungnya tersesat? Pikiran ini mendatangkan kilatan halilintar
dalam otaknya.
Kakak kandungnya tersesat dan dia juga demikian! Dua orang kakak beradik, keduanya bukan manusia
baik-baik. Ahh, Ayah... Ibu... mengapa jadi begini kedua orang anakmu? Perih hati Beng San dan tanpa
terasa lagi dia berlutut di atas genteng itu dan menangis! Menangis keras tanpa menahan suaranya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Karuan saja semua orang di dalam ruangan itu melengak kaget dan heran. Malah Kiang Bi Hwa, yang
tadinya kadang-kadang duduk berkipas badan kadang kala berdiri sambil melihat-lihat keluar, segera
bangkit dari tempat duduknya dan bertanya kaget.
"Ehh, siapa yang menangis begitu sedihnya? Manusia atau setan?" Ucapan ini agaknya terlepas dari
mulutnya tanpa disadarinya sehingga begitu mendengar suaranya sendiri, gadis tanggung ini dengan malumalu
lalu mempergunakan kipasnya yang indah untuk menutupi mukanya.
Agaknya suara gadis tanggung yang memecah kesunyian ini juga menyadarkan Beng San. Suara tangisan
berhenti dan sesosok tubuh melayang turun ke dalam ruangan itu. Seorang pemuda dengan pakaian tidak
karuan, rambutnya awut-awutan, kulit mukanya merah kehitaman dan pada muka yang mengerikan itu ada
bekas-bekas air mata. Tapi sepasang matanya mencorong seperti mata harimau di dalam gelap!
Kebetulan sekali bahwa tadi Li Cu telah dibebaskan dari totokan oleh Beng Kui, maka kini meski
terbelenggu, dengan pengerahan tenaganya gadis ini bisa menggerakkan kursinya sehingga memutar dan
ia dapat melihat apa yang terjadi di ruangan itu. Kaget, heran, kasihan dan terharu ketika ia melihat Beng
San dalam keadaan seperti itu.
Orang muda ini betul-betul seperti seorang yang telantar hidupnya, miskin dan rusak, jauh bedanya dengan
Beng Kui yang ganteng dan gagah pakaiannya. Akan tetapi semenjak sikap bekas tunangannya itu
berubah, hanya kebencian dan kekecewaan yang ada pada hatinya terhadap Beng Kui dan ia merasa
kasihan kepada Beng San.
Ia tadi mendengar pula suara tangisan yang amat menyedihkan, suara tangisan dari hati yang hancur. Biar
pun hanya sebentar tetapi tangisan itu menyuarakan keluhan hati yang remuk-redam, seperti hatinya
sendiri.
"Ho-hai Sam-ong, aku datang memenuhi janji. Lekas kalian bebaskan Nona Cia Li Cu!"
Suaranya parau, masih terkandung sedikit isak di dalamnya, suara yang sama sekali tidak berpengaruh
dan tidak menakutkan, akan tetapi sinar matanya benar-benar membuat tiga orang raja bajak itu berpikir
panjang dahulu sebelum memandang rendah. Orang dengan mata seperti itu tak mungkin seorang lemah
dan sudah pasti akan membuktikan semua omongannya!
Namun Lui Cai tidak mau memperlihatkan kegentaran di depan para tamunya. Betapa pun juga orang yang
dikabarkan lihai luar biasa itu ternyata hanyalah seorang muda sekali dan seorang yang keadaannya
setengah jembel, bahkan dari sikapnya dan warna mukanya terlihat tanda-tanda bahwa mungkin juga ia
setengah gila!
"Orang muda, bukankah kau yang bernama Tan Beng San? Ha-ha-ha, kiranya begini saja. Dan kau adalah
adik kandung Tan Beng Kui-ciangkun? Alangkah anehnya dunia ini. Ha-ha-ha!"
Ucapan ini sekaligus menyinggung perasaan Beng Kui, maka pemuda ini dengan marah lalu melompat
maju menghadapi adik kandungnya. Telunjuknya ditudingkan dan suaranya gemas menegur,
"Beng San! Lagi-lagi kau hanya memalukan aku. Orang gila, setelah engkau melakukan perbuatan yang
tidak patut tempo hari, masihkah kau ada muka untuk muncul lagi di sini? Jangan mencampuri urusan
sumoi-ku, hayo kau cepat pergi kalau tidak ingin mendengar aku bicara terus!"
Wajah yang tadinya hitam itu tiba-tiba berubah menjadi putih lalu hijau, kemudian hitam kembali,
sementara matanya tidak pernah lepas memandang orang yang barusan bicara di depannya. Beng Kui
sampai merasa ngeri dan meremang bulu tengkuknya dipandang sedemikian rupa oleh Beng San.
Beng San cukup mengerti bahwa kakak kandungnya tadi memaksudkan perbuatannya dengan Kwa Hong
tempo hari di markas tentara Mongol. Tentu saja karena luka di hatinya oleh pengakuan Kwa Hong yang
sudah mengandung itu masih parah, ucapan ini seperti cuka disiramkan pada luka, perih sakit rasanya.
Saking perihnya membuat Beng San tidak peduli lagi.
"Tan Beng Kui, kau boleh bicara sesuka hatimu. Kau boleh mengingkari sumoi sendiri dan tidak
menolongnya. Tapi aku tetap akan menolong seorang yang terjatuh ke dalam tangan orang-orang jahat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Nona Cia Li Cu adalah seorang gagah, kalau pun aku tidak melihat dia, sedikitnya aku mengingat akan
ayahnya. Mundurlah, aku tak berurusan dengan engkau."
"Bangsat keparat! Beng San, kau kira aku tak tahu apa maksudmu menolong Li Cu? Kau penjahat pemetik
bunga, engkau mata keranjang, pelanggar susila, perusak wanita! Kau sudah menodai Nona Kwa Hong,
lalu kau tinggalkan begitu saja untuk menikah dengan puteri Song-bun-kwi. Dan sekarang agaknya engkau
sudah bosan dengan isterimu itu dan hendak mengganggu Li Cu dengan dalih menolongnya. Hemm...,
keparat besar...!"
Beng San mengeluarkan suara gerengan sedemikian dahsyatnya sehingga bangunan di ruangan itu
seakan-akan bergoyang. Matanya mendelik berapi-api sehingga saking kaget dan gentarnya Beng Kui
sampai melangkah mundur tiga tindak.
Sekali lagi Beng San menggereng dan muka yang sudah hitam hangus saking marah hatinya itu kini
perlahan-lahan menjadi agak putih. Ternyata ia sudah berhasil mengekang kemarahannya dan tak ingin
menjatuhkan tangan maut kepada kakak kandungnya sendiri.
Beng San menoleh ke arah Lui Cai dan membentak, "Ho-hai Sam-ong, di mana kalian? Hayo jawab,
maukah kalian membebaskan Nona Cia Li Cu? Kalau tidak mau, mari kita mengadu kepandaian. Apa bila
aku kalah biarlah aku mampus di sini, akan tetapi kalau kalian kalah, kalian harus membebaskan dia.
Ataukah kalian takut? Kalau kalian takut, boleh minta bantuan Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li atau
siapa pun juga!"
Tiga orang bajak laut itu memang sudah bersiap sedia. Kini Lui Cai Si Bajul Besi sudah mengeluarkan
senjatanya berupa dayung besar yang berat itu. Kiang Hun Si Naga Sungai sudah pula mengeluarkan
senjatanya yang amat hebat, yaitu tambang besar dan panjang, sedangkan Thio Ek Sui juga sudah
mengeluarkan ruyungnya yang runcing berduri. Tapi mereka tidak lantas menyerang.
Lui Cai yang melihat Beng San datang tanpa membekal senjata apa-apa itu lalu berkata, "Nona Cia sudah
berada di sini, tinggal membebaskan saja. Jika kau mau membebaskan, silakan, boleh kau lakukan
sendiri." Lui Cai tersenyum mengejek.
Beng San maklum bahwa tuan rumah hendak menjebaknya dengan perangkap seperti yang dia lihat
hampir mencelakai Beng Kui tadi, akan tetapi ia tidak gentar dan dengan langkah tetap dia menghampiri Li
Cu.
Pada saat itu pula, Kiang Bi Hwa puteri Kiang Hun berjalan menghampiri Beng San dan bertanya dengan
suaranya yang masih seperti suara anak kecil.
"Kau kah tadi yang menangis? Mengapa kau menangis begitu sedih?"
Beng San terkejut dan heran, lalu ia memaksa diri tersenyum namun senyumnya ini malah mendatangkan
tarikan muka yang amat menyedihkan.
"Nona cilik, agaknya kau masih belum kehilangan rasa peri kemanusiaan seperti keadaan orang-orang di
sekelilingmu. Nona, bolehkah kau memberi pinjam kipasmu ini sebentar kepadaku?" Sambil berkata
demikian Beng San menggerakkan tangan dan dengan halus sekali tahu-tahu kipas itu sudah berpindah
tangan.
Kiang Bi Hwa kaget, tapi ia tersenyum dan berkata, "Boleh, boleh, kau ambillah kipas itu."
"Bi Hwa, mundur kau!" Ayahnya, Kiang Hun, membentak.
"Baik, Ayah. Tapi, jangan membunuh dia, ya? Kasihan sekali orang ini..." Setelah berkata demikian,
setengah berlari Kiang Bi Hwa mengundurkan diri.
Sikap gadis ini berkesan dalam di hati Beng San dan ia mencatat di hatinya bahwa gadis ini adalah puteri
Kiang Hun yang agaknya amat berbakti dan menyayang orang tuanya. Ia kemudian melanjutkan
langkahnya menghampiri tempat Li Cu dengan kipas indah itu di tangan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Li Cu memandang dengan mata terbelalak. Tadinya dia merasa kasihan sekali terhadap Beng San, akan
tetapi ketika mendengar ucapan Beng Kui tentang perbuatan Beng San itu, dia pun kaget bukan main.
Benarkah Beng San adalah seorang yang demikian rendah martabatnya?
Makin dipandang semakin mengerikan muka pemuda yang menghitam itu, dan matanya lebih-lebih
mengerikan dan menyeramkan lagi. Kalau tidak betul apa yang diucapkan oleh Beng Kui, mengapa Beng
San tidak membantah?
Karena kebimbangan hatinya ini maka dia urungkan niatnya untuk memperingatkan Beng San tentang
perangkap di sekitar itu. Matanya yang indah bening itu hanya memandang dengan terbelalak lebar ketika
Beng San melangkah secara sembrono, maju menghampiri kursinya untuk membebaskannya dari pada
belenggu.
Tiba-tiba, seperti tadi, terdengar suara keras berderit, lantai berlubang dan belasan batang anak panah
menyambar ke arah Beng San, sedangkan kursi yang diduduki Li Cu sudah bergerak sendiri ke pinggir.
Beng San memang sudah siap sedia menghadapi ini.
Andai kata tadi dia tidak melihat bekerjanya pesawat itu sekali pun, belum tentu dia akan mudah menjadi
korban. Apa lagi ia sudah tahu akan datangnya bahaya itu. Dengan kipas pinjamannya, ia menggerakkan
tangan dan sekali mengibas, belasan batang anak panah itu runtuh dan menyambar kembali ke dalam
lubang di lantai.
Terdengar pekik kesakitan di bawah lantai yang segera tertutup kembali. Kiranya belasan anak panah yang
di ‘retour’ kembali itu tepat mengenai orang yang menjaga bekerjanya pesawat di bawah lantai!
Ketika Beng San menoleh ke arah Li Cu, ternyata kursi yang diduduki nona ini sudah berpindah lagi
sampai berada di belakang tiga orang kepala bajak itu yang ternyata sudah menghadang di depannya.
Malah pedang Liong-cu-kiam yang tadi menggeletak di dekat Li Cu juga sudah lenyap dan ternyata telah
dipegang oleh Beng Kui.
Beng San menghadapi para lawannya dengan sikap tenang. Bibirnya seakan mengejek dan pandang
matanya yang bersinar-sinar itu penuh teguran.
"Ehh, Ho-hai Sam-ong yang masyhur nama besarnya itu kiranya hanya penjahat-penjahat kecil yang
curang. Hayo kalian bebaskan Nona Cia dan kembalikan pedangnya, baru aku suka memandang muka
nona cilik yang baik hati itu dan menghabiskan urusan ini sampai di sini saja. Sebaliknya bila kalian masih
tetap berkeras, jangan katakan bahwa aku orang muda tidak menghormati orang-orang tua yang menjadi
tuan rumah.”
Kiang Hun tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Tambang yang panjang dan besar di tangannya itu
digerakkan dan seperti seekor ular, tambang itu menyambar ke arah tubuh Beng San.
Pemuda ini dengan tenangnya melompat ke atas sehingga tambang itu lewat di sebelah bawah kakinya.
Tapi tambang itu terayun, terus datang kembali menyapu dan demikianlah berulang-ulang tambang itu
terayun-ayun berputaran di sekeliling tubuh Beng San.
Pemuda ini masih enak saja berloncatan sehingga kelihatan indah dan lucu, seperti anak bermain ‘loncat
tali’ (uding). Kalau tambang itu terlalu tinggi lewatnya, ia tidak meloncat melainkan merendahkan diri
sehingga tambang itu lewat di atas kepala, akan tetapi kalau menyambar agak rendah, ia meloncat dengan
tenang dan enak. Benar-benar seperti anak sedang bermain-main.
Melihat adiknya sudah turun tangan, Lui Cai lalu berseru keras dan dayung bajanya juga menyambarnyambar,
diikuti oleh Thio Ek Sui yang tidak mau ketinggalan dan langsung menggerakkan ruyungnya yang
amat dahsyat. Sekarang sekaligus Beng San menghadapi Ho-hai Sam-ong, dikeroyok tiga.
Cia Li Cu tadi sudah merasai kelihaian tiga orang kepala bajak ini, maka sekarang melihat Beng San yang
bertangan kosong, hanya memegang kipas itu dlkeroyok tiga, diam-diam ia merasa ngeri juga.
Tetapi Beng San tetap enak-enak saja, malah menyindir, "Waduh, Ho-hai Sam-ong hebat benar.
Senjatanya dahsyat dan sekaligus maju mengeroyok bertiga!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Panas juga hati Lui Cai mendengar ini. Ho-hai Sam-ong terkenal sebagai tokoh-tokoh besar di dunia
selatan, bahkan kalau dibandingkan dengan nama besar Hek-hwa Kui-bo, kiranya tidak kalah terkenal.
Bagaimana boleh dipandang ringan begitu saja oleh seorang pemuda yang masih hijau?
"Keparat sombong! Kalau memang berkepandaian, keluarkan senjatamu dan cobalah kau lawan kami!"
bentaknya.
Inilah maksud Beng San. Membakar-bakar agar hati lawannya panas. Ia menambahkan, "Senjata? Untuk
melawan kalian mengapa ribut mencari senjata? Nona cilik yang baik hati sudah meminjamkan senjata
untukku!" Ia mengangkat kipas itu tinggi sambil meloncat dan menghindarkan diri dari sabetan tambang
dan sambaran ruyung.
Tentu saja perut ketiga orang itu semakin panas. Mereka hendak dilawan dengan senjata sebuah kipas
permainan belaka? Benar-benar keterlaluan bocah ini.
"Sombong kau! Ji-sute dan Sam-sute, kita bunuh tikus sombong ini!" bentak Lui Cai.
Dua orang adiknya juga sudah sangat marah, terutama sekali Kiang Hun karena senjata tambangnya yang
hebat dan setiap kali bergerak biasanya tentu mengalahkan lawan itu sekarang hanya dianggap sebagai
tali permainan loncat-loncatan saja oleh pemuda itu!
"Mampuslah kau, keparat!" bentak Thio Ek Si Cucut Mata Merah, ruyungnya menyambar dahsyat sekali
dan sekaligus melakukan empat kali serangan ke arah empat jalan darah yang membinasakan di tubuh
Beng San.
"Tak-tak-tak-tak!" Dan empat kali ruyungnya ditangkis oleh kipas!
Terbelalak mata yang sipit merah itu. Bagaimana mungkin ini? Ruyungnya yang paling sedikitnya ada lima
puluh kati beratnya, ditangkis dengan kipas? Biar pun gagangnya dari gading, kipas tetap kipas, hanya alat
permainan yang kecil belaka. Tapi benar-benar dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, kipas itu
sama sekali tidak robek dan patah, malah tulang tangan kanannya terasa sakit-sakit seakan-akan dia tadi
telah menghantam benda baja dengan ruyungnya.
Pertempuran itu hebat bukan main. Tiga orang kepala bajak itu benar-benar mempunyai kepandaian tinggi
dan hal ini harus diakui oleh Beng San. Pantas saja Li Cu tidak berdaya menghadapi tiga orang ini.
Ternyata masing-masing memiliki kepandaian istimewa dan amat tinggi.
Baiknya di dalam dirinya terdapat dua aliran tenaga Im dan Yang, dan tenaga-tenaga ini telah mendarah
daging di dalam tubuhnya maka ia dapat menghadapi tenaga lawan yang bagaimana pun juga. Mengenai
tenaga, boleh dibilang ia berada di tingkat yang jauh lebih tinggi dari pada tiga orang lawannya.
Tapi ilmu serangan tiga orang itu benar-benar dahsyat sekali sehingga hanya dengan ilmu silatnya Im-yang
Sin-kun saja ia mampu melindungi dirinya. Dan kipas kecil itu ternyata banyak sekali kegunaannya, karena
kadang-kadang untuk membalas lawannya, ia dapat memakainya sebagai senjata pedang dengan gerakan
Ilmu Silat Im-yang Sin-kiam-sut yang belum ada bandingnya di kolong langit ini.
Tiga orang itu mengeroyok dengan gerakan cepat dan tenaga dahsyat sehingga ruangan itu penuh dengan
suara bersiutan dan angin pukulan menyambar ganas.
Tubuh ketiga orang itu sampai lenyap terbungkus gulungan senjata masing-masing. Akan tetapi anehnya,
tubuh Beng San masih kelihatan, malah gerakannya terlihat amat lambat dan seenaknya. Dilihat oleh mata
bukan ahli silat, pemuda ini seperti sedang menari kipas dengan dihiasi gulungan sinar yang tiga macam di
sekeliling tubuhnya!
Cia Li Cu yang menonton pertandingan itu sampai terbelalak dan ternganga saking heran dan kagumnya.
Dia memang pernah menyaksikan kelihaian Beng San, akan tetapi baru sekarang dia betul-betul tunduk
dan harus mengakui bahwa apa yang dikatakan ayahnya dahulu itu betul adanya, yaitu bahwa pemuda ini
benar-benar sangat hebat dan dalam hal kepandaian masih melebihi ayahnya sendiri.
Juga dua orang teman Beng Kui, Koai-sin-kiam Oh Tojin dan Lu Khek Jin, memandang dengan penuh
kekaguman dan gatal-gatal tangan mereka hendak menguji kepandaian sendiri dengan pemuda yang lihai
itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hek-kwa Kui-bo dan muridnya yang sudah merasai kelihaian Beng San, duduk saja tidak berani turun
tangan, hanya mengharapkan supaya pemuda itu roboh di tangan Ho-hai Sam-ong.
Di lain pihak, Beng Kui memandang dengan mata tajam. Hatinya mendongkol bukan main terhadap Beng
San. Dia menganggap adiknya ini selalu merintangi perjuangannya serta merusak suasana.
Yang paling lucu sikapnya adalah Kiang Bi Hwa, puteri dari Kiang Hun. Semenjak kecil gadis cilik ini
memang tidak boleh belajar silat oleh ayahnya, maka sekarang menyaksikan pertempuran itu ia bertepuktepuk
tangan gembira.
"Bagus benar...! Lucu dan bagus tarianmu itu, kakak yang baik! Kau harus ajarkan aku tari kipas itu!"
Mau tidak mau Beng San tersenyum mendengar ini. Dikeroyok sedemikian hebatnya ia masih sempat
tersenyum-senyum, malah menoleh ke arah Kiang Bi Hwa sambil berkata, "Nona cilik, kau benar-benar
seperti bunga teratai di antara lumpur kotor!"
Memang Beng San kagum bukan main. Nona itu begitu polos, begitu jujur dan bersih seperti bunga teratai,
namun terpaksa hidup di antara orang-orang jahat seperti lumpur itu.
Pertempuran berjalan makin lama semakin seru dan akhirnya setelah lewat seratus jurus lebih, saking
seringnya bertemu dengan tenaga Beng San yang dahsyat, makin lama tiga orang itu makin lelah.
Permainan mereka semakin kendor sehingga kini mulailah mereka kelihatan bayangannya dan pada muka
masing-masing telah penuh dengan keringat.
Di lain pihak, Beng San masih enak-enak dan tenang-tenang saja memainkan kipasnya, menangkis sambil
meloncat ke sana ke mari dan kadang-kadang membuat lawan repot dengan serangan-serangan
balasannya dengan jurus Im-yang Sin-kiam-sut. Bila mana dia sudah menyerang begini, ujung gagang
kipas dari gading itu bisa tahu-tahu sudah berada di depan tenggorokan, mata, pusar, ulu hati atau
lambung seorang lawan yang tentu saja setelah berhasil menyelamatkan diri lantas mengeluarkan keringat
dingin saking ngerinya. Serangan pemuda itu tidak dapat diketahui lebih dulu, benar-benar berbahaya
sekali.
"Kupikir, kalau tidak sekarang kita memperlihatkan setia kawan kepada mereka, tunggu kapan lagi? Urusan
dengan orang gila itu hanyalah urusan pribadi, sedangkan hubungan kita dengan mereka adalah urusan
negara. Mana lebih penting? Bagaimanakah pendapat Ji-wi?"
Koai-sin-kiam Oh Tojin dan Lu Khek Jin memang sudah ‘gatal tangan’ sejak tadi melihat kehebatan Beng
San mempermainkan tiga orang pengeroyoknya itu. Akan tetapi mereka masih ragu-ragu untuk membantu
karena bukankah pemuda lihai itu adik kandung Beng Kui sendiri? Sekarang Beng Kui sudah
mengeluarkan pernyataan begitu, maka lenyaplah keraguan mereka.
Bayangan yang gesit berkelebat didahului sinar terang, inilah gerakan Koai-sin-kiam Oh Tojin dengan
memutar pedang yang entah kapan sudah dicabutnya. Lu Khek Jin dengan tenang juga mencabut pedang
dan menghampiri pertempuran.
"Orang muda, kau sombong sekali berani mengacaukan tempat tinggal Ho-hai Sam-ong. Terimalah
serangan Koai-sin-kiam!" bentak Oh Tojin.
Sekaligus pedangnya sudah melakukan lima kali serangan bertubi-tubi dengan gerakan yang aneh. Namun
dengan heran dan penasaran sekali Oh Tojin hanya menusuk angin belaka, seolah-olah Beng San sudah
tahu terlebih dahulu akan perubahan-perubahan dari jurus-jurus yang dimainkannya.
Sebaliknya Lu Khek Jin adalah seorang bekas jenderal perang. Ia memainkan pedangnya dengan
gerakan-gerakan mematikan dan bertenaga, disertai bentakan-bentakan.
Diam-diam Beng San kagum akan sifat ilmu pedang yang dimainkan oleh Lu Khek Jin, karena biar pun
tidak sangat tinggi, tapi gerakan-gerakannya jujur tanpa berisi gerak tipu, melainkan secara langsung
menyerang mengandalkan tenaga dan kecepatan. Gerakan orang seperti ini berbahaya, maka segera dia
mengelak dengan penggeseran kaki yang sekaligus merubah kedudukannya. Pada detik-detik selanjutnya
Beng San telah dikeroyok lima orang!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sungguh pun tingkat ilmu silat dua orang pengeroyok baru ini tidak berada di atas Ho-hai Sam-ong, namun
mereka ini sudah merupakan tambahan tenaga yang lumayan. Betapa pun juga, benar-benar Beng San
kali ini memperlihatkan dirinya yang sesungguhnya dan sekaligus memperlihatkan bahwa ilmu Silat Imyang
Sin-kiam-sut yang menjadi ciptaan mendiang Pendekar Sakti Bu Pun Su benar-benar adalah ilmu
yang luar biasa di dunia ini.
Ilmu silat ini mendasarkan gerakan-gerakannya kepada dua puluh tujuh pow (gerak kaki) yang diiihami oleh
kedudukan ji-cit-seng (dua puluh tujuh bintang), luar biasa banyaknya. Setelah mempunyai ilmu silat ini,
dengan mudah orang akan menghadapi serangan lawan yang bagaimana lihai pun, karena dengan
mengandalkan pergerakan langkah kaki tentu akan dapat menyelamatkan diri.
Selain memiliki ilmu yang amat tinggi, juga Beng San adalah seorang yang pada dasarnya memang cerdik
luar biasa. Hanya sekali melihat saja dia sudah dapat mencatat apa yang dilihatnya di dalam otak.
Meski ilmu silat pedang yang dimainkan oleh Koai-sin-kiam Oh Tojin adalah ilmu pedang selatan yang tidak
dikenalnya, apa lagi ilmu pedang yang dimainkan Lu Khek Jin juga ilmu pedang untuk peperangan yang
asing baginya, akan tetapi sekali melihat dia sudah dapat menangkap intisari pergerakannya sehingga
selanjutnya, walau pun dikeroyok lima, Beng San masih sempat membalas dengan serangan-serangan
yang luar biasa menggunakan kipasnya!
Setelah mendapat kesempatan baik, ia lalu mendesak Ho-hai Sam-ong yang pandangan matanya sudah
berkunang-kunang itu. Secepat kilat kipasnya mengebut disusul menotok dengan ujung gagang gading itu
dua kali.
Sekali tepat mengenai tulang lengan kanan Lui Cai Si Bajul Besi sehingga orang tertua dari Ho-hai Samong
ini memekik kesakitan dan dayungnya terlepas dari pegangan, lalu sambil menyumpah-nyumpah
karena kesakitan dia berputar-putar menggunakan tangan kiri menggosok-gosok tempat yang tadi tertotok
gagang kipas. Sakitnya bukan kepalang, kiut-miut rasanya seperti ribuan jarum menusuk-nusuk tulangnya.
Gerakan Beng San yang ke dua tepat menyerempet ruyung Thio Ek Sui Si Cucut Mata Merah, lalu melejit
dan menotok tulang kering di kaki kiri Si Cucut ini.
"Aduh... aduh... kakiku...!"
Thio Ek Sui adalah seorang yang sudah biasa bertempur dan terluka baginya bukanlah apa-apa. Akan
tetapi rasa nyeri yang sekarang menyerangnya membuat ia berkaok-kaok kesakitan, berjingkrak-jingkrak
seperti monyet sedang belajar menari sambil memegangi kaki kirinya yang diangkat ke atas.
Pada saat itu, tambang di tangan Kiang Hun meluncur dan tahu-tahu sudah melibat tubuh Beng San!
Terdengar jerit tertahan. Yang menjerit ini adalah Li Cu karena merasa ngeri melihat betapa pemuda yang
hendak menolongnya itu akhirnya tertawan oleh tambang yang lihai dari Kiang Hun Si Naga Sungai, seperti
juga yang sudah dia alami ketika dia dikeroyok Ho-hai Sam-ong ini.
Kiang Hun nampak girang, mengedut tambangnya dengan maksud mempererat libatan. Tetapi mendadak
Beng San mengeluarkan suara aneh dan... makin ditarik tambang itu makin terlepas. Akhirnya terlihat oleh
pemiliknya bahwa tambang itu sudah terputus-putus menjadi beberapa potong
Agaknya karena mengingat akan kebaikan gadis yang mukanya sama dengan Kiang Hun ini, maka Beng
San mengampuni Kiang Hun dan tidak melukainya. Ia dapat menduga bahwa antara gadis cilik pemilik
kipas itu dengan Kiang Hun pasti ada hubungan keluarga.
"Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li, kalau kalian tidak membantu sekarang, tunggu kapan lagi?" tibatiba
Beng Kui berseru kepada dua orang wanita itu. "Bukankah kalian menjadi pembantu-pembantu Ho-hai
Sam-ong?"
Sebetulnya Hek-hwa Kui-bo, apa lagi Kim-thouw Thian-li, merasa enggan untuk bertempur melawan Beng
San yang begitu lihai. Akan tetapi seruan ini mendesak mereka ke pojok. Tentu Ho-hai Sam-ong akan
mendapat kesan buruk apa bila mereka tinggal diam saja. Sambil melotot ke arah Beng Kui kedua orang ini
mencabut senjata masing-masing dan meloncat ke gelanggang pertempuran, mengeroyok Beng San, yang
disambut oleh orang muda ini dengan tenang saja.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kau hanya bisa menyuruh orang lain saja maju, apa kau sendiri takut terhadap adikmu ini?" sambil
menyerang Beng San, dengan suara keras Hek-hwa Kui-bo berseru kepada Beng Kui dengan maksud
agar semua orang mendengarnya.
Memang Beng Kui sudah bertekad bulat untuk membunuh saja adik kandungnya yang ia anggap selalu
membikin malu dan membikin kacau rencana. Adiknya itu telah merusak kehidupan seorang gadis, yaitu
Kwa Hong.
Sekarang setelah mengacau Thai-san kemudian menikah dengan puteri seorang penjahat seperti Songbun-
kwi, tahu-tahu muncul di sini dan mencampuri urusannya, malah hendak membela Li Cu. Tentu
dengan maksud rendah pula. Dari pada mempunyai adik kandung seperti ini, bukankah lebih aman dan
baik kalau dibinasakan saja?
Setelah berpikir demikian, Beng Kui lalu mencabut pedang Liong-cu-kiam yang panjang dengan tangan
kanan, sedangkan Liong-cu-kiam pendek milik Li Cu memang sudah dia pegang di tangan kiri. Dengan
sepasang pedang ampuh ini dia lantas menyerbu sambil berseru nyaring,
"Beng San, kau tidak mentaati perintahku untuk pergi, agaknya memang sudah bosan hidup!"
Serbuannya hebat sekali, apa lagi dia segera memainkan Sian-li Kiam-sut yang lihai dan lebih-lebih hebat
lagi karena senjata yang ia pergunakan adalah sepasang Liong-cu-kiam. Sepasang pedang itu berubah
rnenjadi dua gulung sinar yang berkeredepan menyambar-nyambar ke arah Beng San dan menyerang dari
segala jurusan!
Beng San terkejut dan diam-diam mengakui kelihaian kakak kandungnya ini, akan tetapi berbareng hatinya
perih dan juga marah. Ia dahulu amat merindukan kakak kandungnya, lalu setelah bertemu ia merasa
kagum sekali melihat kakak kandungnya sebagai seorang patriot yang gagah. Namun... sekarang
kakaknya itu dengan sepasang pedang pusaka menerjang untuk membunuhnya!
Dari perih hati ia menjadi marah dan cepat ia menghadapi serbuan ini. Sekarang Beng San dikeroyok lima
orang lagi setelah Ho-hai Sam-ong mengundurkan diri untuk mengatur napas dan memulihkan tenaga.
Akan tetapi, di antara lima orang itu, yang paling hebat serangannya adalah Beng Kui.
Andai kata hanya menghadapi Beng Kui seorang, walau pun pemuda ini menggunakan sepasang Liongcu-
kiam dan dia sendiri hanya bersenjata kipas, kiranya Beng San takkan dapat terdesak. Akan tetapi
sekarang di situ ada Hek-hwa Kui-bo yang memainkan Im-sin Kiam-sut bersama muridnya yang juga cukup
lihai, ditambah pula dengan Koai-sin-kiam Oh Tojin dan Lu Khek Jin, maka penyerbuan Beng Kui benarbenar
telah mendesak Beng San serta membuat dia meloncat ke sana ke mari dan sibuk menggerakkan
kipas untuk melindungi dirinya.
Pedang pendek di tangan kiri Beng Kui bergerak setengah lingkaran ke arah leher, lalu disusul dengan
tusukan pedang panjang dari bawah ke atas. Gerakan ini selain aneh juga tidak terduga, cepat bukan main
mengejutkan Beng San. Cepat pemuda ini menangkis dengan kipasnya dan...
"Brettt…!" kipas itu terobek oleh ujung pedang panjang.
Baiknya Beng San cepat-cepat melompat sambil berjungkir balik, tangan kirinya dari jauh memukul ke arah
dada kakaknya itu. Beng Kui merasai adanya sambaran angin yang mengandung hawa panas sekali,
membuat ia terkejut dan menarik kembali pedangnya sambil mundur dua langkah.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Beng San untuk melompat turun lagi dan mainkan kipasnya yang sudah
robek untuk melindungi tubuh dari datangnya banyak senjata yang menyerangnya. Akan tetapi sekarang ia
mulai tampak terdesak. Sayangnya bahwa yang berada di tangannya bukanlah pedang, melainkan sebuah
kipas mainan yang kecil, maka ilmu pedangnya Im-yang Sin-kiam-sut tidak dapat dimainkan sehebathebatnya.
Hal terdesaknya Beng San ini memang tidak aneh. Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut adalah ilmu pedang ajaib
yang dulu menjadi milik pendekar wanita Ang I Niocu, hebatnya bukan kepalang dan tidak dapat diketahui
rahasianya oleh orang luar.
Ada pun Beng San sendiri, biar pun dia telah memiliki tenaga ajaib dan mempunyai ilmu pedang yang lebih
tinggi tingkatnya, akan tetapi dia masih muda dan kurang pengalaman. Kini menghadapi Beng Kui yang
dunia-kangouw.blogspot.com
dibantu oleh empat orang lain yang semuanya adalah ahli-ahli tingkat tinggi, tentu saja dia merasa repot
juga.
"Brettttt!" kembali kipasnya pecah, kali ini terkena tusukan pedang pendek di tangan kiri Beng Kui.
Beng San marah bukan main. Ccepat ia menggerakkan kipas dengan tangan kanannya, diputar setengah
lingkaran sedangkan tangan kirinya tiba-tiba menyelonong ke belakang, tepat menghantam pundak kiri
Koai-sin-kiam Oh Tojin yang sedang lengah.
"Aduhhh...!" Oh Tojin menjerit kesakitan, tulang pundak kirinya terlepas sambungannya. Akan tetapi
dengan marah ia malah makin maju menerjang ganas dengan pedangnya.
Sementara itu, pada saat Beng San memusatkan perhatian menyerang Oh Tojin dengan maksud
merobohkan seorang lawannya, tiba-tiba sinar pedang di tangan Hek-hwa Kui-bo dan Kim-thouw Thian-li
meluncur, satu ke arah kepala dan yang ke dua ke arah perutnya.
Baiknya pemuda ini sudah mahir sekali akan gerakan-gerakan Im-sin Kiam-sut, maka dia cepat menggeser
kakinya ke kiri sekali dua kali sehingga terhindarlah ia dari ancaman ini. Tidak disangkanya sama sekali
bahwa pada saat ia terdesak itu, Beng Kui sudah kembali menerjangnya dengan sepasang pedangnya
yang dahsyat dan pada saat yang hampir berbareng, dari kanan kiri Oh Tojin dan Lu Khek Jin menerjang
pula!
‘Digunting’ serentak oleh empat buah pedang yang hebat ini benar-benar keadaan Beng San kepepet
sekali. Gerakan pedang Oh Tojin dan Lu Khek Jin ia ikuti dan dapat ia duga ke mana arahnya, maka
dengan mudah ia segera bisa mengambil keputusan bagaimana harus mengelak.
Akan tetapi serangan sepasang pedang Beng Kui yang gerakan-gerakannya belum dia kenal betul,
membuat dia benar-benar menjadi bingung. Dua kali menggerakkan pundak dan kaki ia dapat
menghindarkan diri dari serangan Oh Tojin dan Lu Khek Jin, akan tetapi terjangan Beng Kui sulit ia
hindarkan karena tidak tahu bagaimana perkembangannya. Ia hanya menggunakan kipasnya menangkis.
"Brettt!"
Sekarang bajunya di bagian pundak terbabat, berikut sedikit kulit serta dagingnya. Darah mengucur banyak
sekali membasahi bajunya. Baiknya dia tadi masih berlaku cepat dan menggerakkan pundak, apa bila tidak
tentu sebelah pundak berikut lengan kirinya akan terbabat putus! Keringat dingin keluar dari jidat pemuda
ini, bukan karena sakitnya, tapi saking kaget melihat kehebatan ilmu pedang lawannya ini.
Sementara itu, saking girangnya melihat hasil serangan tadi, Beng Kui menyerang makin hebat, dibantu
oleh empat orang kawannya. Malah sekarang Ho-hai Sam-ong juga sudah siap untuk mengeroyok pula.
Sayangnya senjata mereka adalah senjata-senjata panjang dan berat, sehingga untuk pengeroyokan
begitu banyak orang kurang praktis dan mereka hanya melihat-lihat untuk mencari lowongan baik.
Sepasang pedang Beng Kui menyambar-nyambar, berkilauan dan amat ganas. Sedang Beng San masih
terus dalam keadaan terdesak sambil mulai menaruh perhatian untuk memecahkan gerakan penyerangan
kakak kandungnya yang menghendaki kematiannya ini.
"Awas, Beng San! Pedang pendek dari kiri berbalik ke kanan, pedang panjang menyerang ke atas.
Kemudian yang pendek mengancam lambung kanan, yang panjang berbalik ke bawah membabat kaki!"
Suara ini mengagetkan Beng Kui, tapi menggirangkan hati Beng San. Itulah suara Li Cu yang masih
terbelenggu di kursi.
Gadis ini yang tentu saja mengenal baik pergerakan ilmu pedang yang dimainkan Beng Kui, kini memberi
petunjuk kepada Beng San! Tadinya Li Cu memang tak mempedulikan Beng San karena pengaruh ucapan
Beng Kui yang menjelek-jelekkan Beng San sebagai perusak wanita.
Tapi melihat kegagahan Beng San yang dikeroyok terus-menerus oleh sekian banyaknya musuh tangguh,
kemudian melihat Beng San yang terluka oleh pedang Beng Kui tanpa bersambat, timbul perasaan kasihan
dalam dada Li Cu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Betapa pun juga, sudah pasti bahwa Beng San datang untuk menolongnya. Sedangkan berita tentang
‘kebusukan’ Beng San masih belum terbukti. Mana bisa dia membiarkan Beng San tewas? Lagi pula, kalau
Beng San tewas, nasibnya sendiri sudah pasti akan celaka di tangan kakak seperguruan atau bekas
tunangannya itu. Kalau Beng San dapat menolongnya keluar dari situ, kiranya belum tentu ia celaka di
tangan Beng San.
"Li Cu, tutup mulutmu!" Beng Kui membentak marah dan tentu saja ia segera merubah gerakan
penyerangannya yang sudah ‘didahului’ oleh teriakan Li Cu tadi.
Kembali Beng San bingung menghadapi perkembangan jurus-jurus penyerangan baru ini, sementara dia
sedang sibuk menghadapi pengeroyokan empat orang yang lainnya.
“Yang pendek hanya pura-pura mengancam kepala, yang bergerak yang panjang. Awas ujung siku kiri
yang hendak dibabat pedang panjang. Kemudian pendek dan panjang akan menyerang dari atas bawah
bergantian, itu pun jebakan saja, yang harus dijaga babatan pedang pendek ke leher dibarengi babatan
pedang panjang ke pinggang!”
"Li Cu, apa kau hendak mengkhianati suheng-mu sendiri?" Beng Kui membentak marah sekali.
"Aku tidak punya suheng semacam kau!" Li Cu berteriak kembali sambil terus memberi petunjuk-petunjuk.
Sekarang Beng San tidak terdesak lagi. Ia tidak begitu menguatirkan penyerangan Beng Kui setelah
mendapat penjelasan dari Li Cu, malah sebelum serangan datang dia sudah tahu lebih dulu ke mana
serangan musuh akan dilancarkan. Oleh karena ini, perhatiannya lebih banyak ditujukan kepada empat
orang lawannya yang lain.
Begitu mendapat kesempatan, gagang kipasnya lantas berhasil menotok roboh Kim-thouw Thian-li yang
tepat tertotok jalan darah di pundaknya, kemudian sebuah tendangan kilat berhasil merobohkan Oh Tojin
yang terlempar sampai tiga meter lebih dan tidak mampu bangun kembali karena tulang lututnya patah!
Tosu yang terlepas sambungan tulang pundak dan patah tulang lututnya itu hanya mengeluh dan
menangis seperti anak kecil.
Melihat keadaan yang tidak menguntungkan ini, Ho-hai Sam-ong segera menyerbu lagi. Beng San juga
sudah lelah, terutama sekali darah yang mengucur dari pundaknya mulai mengering dan mendatangkan
rasa nyeri dan perih. Akan tetapi dia mengamuk terus dengan nekat karena robohnya dua orang itu malah
mendatangkan tambahan tiga tenaga lagi, yaitu Ho-hai Sam-ong yang malah lebih lihai.
Sementara itu, melihat keadaan yang tidak menguntungkan bagi pihaknya, padahal tadinya sudah berhasil
baik sekali, Beng Kui menjadi marah. Semua gara-gara Li Cu yang sengaja memecahkan jurus-jurusnya
dan membantu Beng San.
Beng Kui adalah seorang pemuda yang mempunyai ambisi (cita-cita) besar sekali. Dahulu di masa
perjuangan, dia rela berkorban apa saja untuk bisa mencapai cita-citanya, yaitu menduduki tempat yang
tinggi dalam pemerintahan baru. Siapa kira, kedudukan tinggi itu tidak bisa ia dapatkan karena ia kurang
mendapat penghargaan dari Ciu Goan Ciang.
Oleh karena inilah ia terpaksa bersekutu dengan Raja Muda Lu, menjadi mantunya dan hendak
mengadakan pemberontakan. Ini pun dldasari ambisinya yang besar. Dan yang paling dia benci adalah
orang yang hendak menghalang-halangi ambisinya ini, atau yang hendak mempersukar perjalanan ke arah
tercapainya cita-citanya.
Dia menganggap Beng San adalah seorang yang demikian itu, maka dia tidak ragu-ragu untuk mencoba
membinasakannya. Sekarang melihat sikap Li Cu, timbul marahnya.
Pada waktu mendapat kesempatan, sekali meloncat ia sudah berada di dekat kursi yang diduduki Li Cu.
Pedangnya berkelebat.
Li Cu sudah meramkan mata menerima kematian. Akan tetapi melihat wajah Li Cu yang cantik jelita,
agaknya timbul kembali cinta dan nafsunya. Beng Kui tidak jadi membunuh Li Cu, melainkan gadis ini
malah ia lepaskan dari kursi, kemudian ia pondong dan ia bawa lari keluar dari tempat itu!
dunia-kangouw.blogspot.com
Bukan main kagetnya hati Li Cu. Tadi ketika ia melihat Beng Kui menghampirinya dengan pedang
diangkat, dia hanya meramkan mata menanti maut tanpa mengeluarkan suara, sedikit pun tak gentar. Akan
tetapi sekarang pada saat merasa dirinya dipondong pergi dalam keadaan masih terbelenggu, wajahnya
lantas berubah pucat sekali dan jantungnya berdebar-debar ketakutan.
"Beng San... tolong...!" teriaknya berulang-ulang dengan sekuat tenaga jeritnya.
Beng San bukanlah seorang pemuda yang suka berkelahi atau suka menang. Ia pun tidak suka menaruh
hati dendam. Maka begitu mendengar jerit suara Li Cu, ia cepat menengok. Alangkah terkejut dan
marahnya ketika dia melihat Li Cu dipondong oleh Beng Kui dan dibawa lari.
Kedatangan dirinya ke tempat itu sama sekali bukan untuk bertanding melawan Ho-hai Sam-ong, dengan
Hek-hwa Kui-bo atau dengan yang lain-lainnya. Kedatangannya khusus untuk menolong Li Cu. Sekarang
Li Cu dibawa lari oleh Beng Kui dan hal ini terang sekali terjadi di luar kehendak Li Cu yang menjerit-jerit
minta tolong kepadanya. Bagaimana ia bisa tinggal diam saja?
Sekali dia menggerakkan tangan dan kaki, dia telah memukul runtuh pedang dari tangan Hek-hwa Kui-bo,
kemudian tubuhnya berkelebat dan dia sudah meloncat untuk mengejar Beng Kui.
Matanya terasa sakit ketika dari ruangan yang terang itu ia kini tiba di luar rumah yang amat gelap. Tidak
kelihatan bayangan Beng Kui, tapi ia melihat beberapa orang penjaga dengan tombak di tangan menjaga
ternpat itu.
Bagaikan seekor burung saja ia melayang dan setelah dekat, sekaligus ia menotok roboh dua orang
penjaga dan mengempit seorang di antaranya dibawa pergi ke tempat gelap. Gegerlah para penjaga ketika
melihat seorang kawan roboh dan yang seorang lagi lenyap tak berbekas.
"Katakan ke mana perginya Tan Beng Kui ciangkun yang membawa wanita tawanan tadi!" Dengan suara
ditekan Beng San memaksa tawanannya sambil meraba jalan darah yang menimbulkan rasa nyeri tak
tertahankan.
Bibir penjaga itu meringis-ringis, lalu dengan suara yang terputus-putus memberi tahukan bahwa orang
yang dimaksudkan itu telah pergi dengan menunggang seekor kuda menuju ke arah selatan. Beng San
melepaskan korbannya. Cepat ia berlari dalam gelap mengejar ke selatan.
Ia maklum bahwa kakak kandungnya itu tentulah bertempat tinggal di Nan King, di kota raja yang baru
bersama ayah mertuanya, raja muda she Lu itu. Maka ia mengambil jalan ini dan mengerahkan seluruh
tenaga serta kepandaian ginkang-nya untuk berlari cepat, tanpa mempedulikan tubuhnya yang amat lelah
dan darah segar yang mengucur keluar lagi dari luka di pundaknya karena gerakan-gerakannya ini.
Usaha mati-matian ini ternyata tidak sia-sia. Menjelang pagi dia sudah mendengar suara kaki kuda di
sebelah depan, mulai memasuki hutan terakhir dalam perjalanan jauh ke kota raja itu. Hatinya masih raguragu.
Benarkah suara kaki kuda itu berasal dari kuda yang ditunggangi oleh Beng Kui?
Tiba-tiba semangatnya bangkit ketika lapat-lapat ia mendengar jeritan.
"Beng San...!!"
Beng San mempercepat larinya dan tak lama kemudian benar saja dia melihat Beng Kui membalapkan
kudanya sambil memangku Li Cu yang masih tak berdaya karena kaki dan tangannya terbelenggu. Sambil
meringankan langkah kakinya sehingga suara larinya tidak terdengar, Beng San makin mendekati dan
akhirnya ia mendengar suara Beng Kui yang sedang mentertawakan, bahkan menghina.
"Li Cu, kau sekarang tergila-gila kepada Beng San? Heh-heh, benar-benar lucu. Tadinya kau marah-marah
melihat aku kawin dengan puteri Raja Muda Lu dengan dasar politik, karena kelak aku ingin merebut
kedudukan tinggi. Tapi cintaku masih kepada dirimu, Li Cu. Kalau kelak aku menjadi kaisar, atau
setidaknya menjadi raja muda, apa salahnya kalau aku beristeri dua? Kau tetap akan menjadi isteriku yang
tercinta. Kenapa kau tidak sabar dan tidak mau mengerti, lalu marah-marah? Kenapa kau sekarang malah
kelihatan lebih mencinta adikku yang gila itu?"
"Dia seribu kali lebih baik dari padamu, kau laki-laki palsu, kau pengkhianat. Awas kau, Ayah pasti akan
membalaskan sakit hatiku!" Li Cu berteriak-teriak.
dunia-kangouw.blogspot.com
Beng Kui tertawa mengejek, "Kau bilang Beng San lebih baik dari padaku? Ha-ha-ha, Li Cu, kau tidak
mengerti. Dia adalah seorang iblis perusak wanita. Tak tahukah kau betapa murid Hoa-san-pai yang
bernama Kwa Hong itu sudah dirusaknya, lantas ditinggalkannya pergi, malah dia menikah dengan anak
seorang penjahat yang terkenal Song-bun-kwi? Tentang ayahmu... hemm, suhu tentu akan memaklumi
pendirianku..."
Mendadak suaranya berhenti karena pada saat itu kuda yang ditungganginya terjungkal sehingga dua
orang itu terlempar dari atas punggung kuda! Beng Kui terkejut sekali dan cepat melompat bangun sambil
mencabut sepasang pedangnya, membalikkan tubuh dan dia sudah berhadapan dengan Beng San!
"Kau... lagi...?! Seperti iblis saja kau, mengapa selalu mengikuti aku?" Beng Kui berteriak marah.
Beng San tersenyum mengejek. "Bukan aku yang mengikuti kau, tapi kejahatanmu yang memaksa aku
datang. Tidak boleh kau menculik seorang gadis, biar pun dia itu sumoi-mu sendiri." Sambil berkata
demikian, Beng San lalu melangkahkan kaki menghampiri Li Cu yang rebah di atas tanah.
Pada saat terjatuh dari punggung kuda tadi, gadis ini masih dalam keadaan terbelenggu, maka jatuhnya
lebih parah sehingga pakaiannya sampai robek-robek. Ia kini benar-benar dalam keadaan setengah
pingsan, akan tetapi masih cukup sadar untuk bisa menangkap percakapan antara kakak beradik itu.
Selagi Beng San melangkah menghampiri Li Cu, Beng Kui yang sudah tak kuat menahan kemarahannya
itu serentak menerjang dari belakang, menggerakkan sepasang pedang Liong-cu-kiam secepat kilat.
"Awas... Beng San... belakang...!" Li Cu yang melihat ini menjerit.
Akan tetapi gerakan Beng San bahkan mendahului jeritannya, karena pemuda ini sudah membalik, kedua
tangannya bergerak, kakinya bergeser dengan langkah-langkah aneh. Secara otomatis tubuhnya
menyelinap di antara sambaran dua pedang, tahu-tahu kedua tangannya sudah ‘memasuki’ ruang kosong
di celah-celah kilatan pedang dan mendorong ke arah sepasang pundak lawan.
Terdengar Beng Kui mengeluh sebelum tangan Beng San sempat menyentuh pundaknya, sepasang
pedangnya hampir terlepas dan di lain saat kedua pedang itu sudah berpindah ke tangan Beng San! Bukan
main hebatnya gerakan ini dan dari kedua tangan Beng San itu samar-samar tampak mengebulnya uap
putih.
Inilah sebuah gerakan dari ilmu silat mukjijat yang dahulu di jamannya Pendekar Sakti Bu Pun Su disebut
Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih)! Karena kemahirannya dalam Im-yang Sin-kun, otomatis
Beng San dapat mewarisi sebuah gerakan dari ilmu itu dan ternyata hasilnya hebat luar biasa.
Beng Kui memandang dengan muka pucat dan mata melotot. Beng San untuk sesaat juga memandang
dengan muka marah dan mata berkilat, tetapi dia lalu menyerahkan pedang yang panjang itu kembali
sambil berkata, "Aku sudah berjanji meminjamkan Liong-cu-kiam sepasang ini kepada kau dan Nona Cia Li
Cu selama tiga tahun. Janji itu tetap berlaku. Tiga tahun setelah janjiku aku pasti akan mengambil kembali
Liong-cu-kiam jantan ini dari
tanganmu."
Masih tertegun oleh kehebatan adik kandungnya yang secara mukjijat mampu merampas sepasang
pedangnya, Beng Kui mengeluarkan tangan dan menerima pedangnya kembali. Kemudian setelah
memandang, dengan mata melotot beberapa saat lamanya, ia menoleh ke arah Li Cu sejenak lalu
membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Beng San menarik napas panjang dan menghampiri Li Cu. Sekali pedang Liong-cu-kiam pendek itu
bergerak di tangannya, nampak kilat menyambar dan sekaligus belenggu yang mengikat kaki dan tangan
Li Cu putus semua tanpa terasa sedikit pun oleh gadis itu.
Li Cu meloncat bangun, mengeluh dan terhuyung-huyung ke belakang. Baiknya Beng San cepat
mengejarnya dan menyambar pundaknya. Alangkah kagetnya pemuda ini pada saat melihat Li Cu sudah
meramkan mata, tak ingat orang lagi, pingsan dalam pelukannya.
Beng San bingung. Ia pun meraba pergelangan lengan gadis itu dan maklumlah ia bahwa gadis ini tidak
apa-apa. Hanya karena sudah banyak mengalami ketegangan, kemarahan dan kekuatiran, ditambah lagi
dunia-kangouw.blogspot.com
tadi terlalu lama ia tertotok dan terbelenggu, maka begitu ia dibebaskan, di dalam batin dan pikirannya
terjadi pukulan yang tak kuat ia menahannya sehingga membuatnya pingsan.
Terpaksa Beng San memondong dan membawanya lari keluar dari hutan itu. Dia merasa kuatir kalau-kalau
Beng Kui tiba-tiba datang bersama kawan-kawannya. Akan payah juga kalau dia kembali dikeroyok orangorang
pandai sementara Li Cu masih pingsan. Lebih baik cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
Belum juga dia berlari, dia melihat kuda yang tadi ditunggangi Beng Kui, sekarang sudah sembuh dan
sedang makan rumput. Memang tadi ketika merobohkan kuda itu, Beng San tidak mempergunakan
serangan mematikan, melainkan menotok dengan lemparan kerikil ke arah lutut kuda sehingga kuda itu
terjungkal saja.
Dengan girang kini Beng San menghampiri kuda yang masih lengkap dengan pelana dan kendali itu, lalu ia
melompat ke atasnya sambil merangkul Li Cu. Dengan perlahan ia lalu menjalankan kudanya ke arah
utara.
Matahari telah naik tinggi ketika kuda yang ditunggangi Beng San sampai di tepi Sungai Huang-ho sebelah
barat. Beng San membelokkan kudanya ke barat, menyusur sepanjang pantai sungai memasuki sebuah
hutan yang segar kehijauan dan teduh.
Hari itu panasnya bukan kepalang. Walau pun tidak dibalapkan, kudanya sudah berpeluh dan napasnya
terengah-engah. Beng San merasa kasihan dan menghentikan kuda itu di bawah sebatang pohon besar di
mana air Sungai Huang-ho tampak indah kehijauan.
Li Cu baru saja siuman dari pingsan. Gadis ini merasa kepalanya pening sekali, matanya berputar-putar.
Dia mulai membuka sedikit kedua matanya, lalu memejamkannya kembali karena sinar matahari yang
menerobos dari celah-celah daun memasuki matanya.
Lalu ia teringat betapa indahnya daun-daun pohon di atas tadi, maka dibukanya kembali matanya. Memang
indah! Daun-daun pohon yang kecil dengan bentuk sempurna ditimpa matahari, bersusun-susun
menimbulkan warna hijau yang dihias sinar kuning emas dan bayangan kehitaman. Bagai benang-benang
sutera kuning emas sinar matahari meluncur turun di antara celah-celah daun, kadang-kadang berubah
kedudukan karena daun-daun itu bergerak oleh angin.
Sampai lama Li Cu terpesona dengan keindahan pemandangan yang belum pernah dia perhatikan
sebelumnya. Kemudian terasa olehnya pergerakan napas dan bunyi berdetik di pinggir telinganya. Makin
lebar matanya dibuka.
Yang mula-mula tampak adalah sebuah hidung dan sebuah mulut dari muka yang putih. Yang paling jelas
adalah bentuk dagu yang keras. Ia pun makin mengerahkan perhatian, memandang kepada muka itu.
Tahulah ia sekarang bahwa yang berdetik-detik itu adalah bunyi jantung dalam dada di mana ia bersandar.
Ia dipangku orang, di atas sebuah pelana kuda! Dan muka itu... muka Beng Kui!
"Bedebah kurang ajar kau!"
Li Cu seketika timbul tenaganya. Kedua tangannya meraih ke atas lalu dipukulkan dua kali ke muka itu,
muka yang dibencinya, muka yang dahulu pernah dicintainya. Muka Beng Kui!
Li Cu sudah berhasil memukul. Sambil terus meloncat dia menjatuhkan diri ke pinggir, lalu berjungkir balik
dan di lain saat dia sudah berdiri tegak di depan kuda, siap sedia untuk menyerang lagi. Ia melihat orang
yang dipukul mukanya tadi meloncat turun, terus duduk di atas akar pohon sambil menutupi mukanya.
Beng San tak dapat mengelak ketika tadi secara mendadak Li Cu memukulnya. Memang dia pun seperti Li
Cu, terpesona oleh cahaya matahari yang secara indah menghias hutan itu dengan sinar benang emas,
akan tetapi warna kuning emas itu mengingatkan ia akan burung rajawali emas dan sekaligus
mengingatkan ia kembali kepada Kwa Hong.
Terngiang di telinganya kata-kata tuduhan Beng Kui bahwa dia sudah merusak kehidupan Kwa Hong.
Beng Kui tidak tahu keadaan yang sebenarnya, akan tetapi memang tuduhan itu tak dapat disangkalnya
pula. Memang ia telah merusak kehidupan Kwa Hong. Ia telah berdosa besar, besar sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada saat itulah Li Cu memaki dan memukul mukanya dua kali, yang pertama mengenai pinggir jidatnya
dan yang ke dua mengenai pinggir mulutnya. Darah mengucur dari kedua tempat itu, sakit rasanya. Akan
tetapi hati Beng San lebih sakit oleh makian tadi.
Dia dapat menahan pukulan itu, lalu meloncat turun dan menjatuhkan diri duduk di atas akar pohon,
menutupi mukanya dengan kedua tangan untuk menyembunyikan dua butir air mata yang berloncatan
keluar. Akan tetapi tanpa disengaja kedua tangannya itu pun menyembunyikan jidat dan bibir yang
mengucurkan darah.
Setelah kini agak reda peningnya, pandang mata Li Cu makin terang. Dia memandang terbelalak kepada
orang yang duduk menutupi muka di bawah pohon itu. Sejenak Li Cu bingung. Ia teringat betul bahwa yang
dipukulnya tadi adalah Beng Kui. Tapi orang itu... pakaian itu dan... dan pundak yang terluka itu...!
"Beng San...!” Li Cu menahan jeritnya, tangan kirinya menutupi mulut, lalu ia melangkah maju tiga tindak
mendekat.
Beng San menurunkan kedua tangannya yang menutupi muka. Darah mengucur deras dari luka di
jidatnya. Memang bagian tubuh yang teratas ini paling banyak rnengeluarkan darah apa bila terluka.
Pandang mata Beng San kabur dan dia melihat seakan-akan Kwa Hong yang berdiri di depannya sekarang
ini.
"Kau... kau boleh pukul aku lagi kalau kau suka... bunuh pun boleh...," katanya perlahan.
Meremang bulu tengkuk Li Cu saat melihat muka yang berlumuran darah dan mendengar suara yang tak
berirama ini, seperti suara dari balik kubur. Dia merasa menyesal bukan main. Kenapa dia malah memukul
Beng San yang telah menolongnya dari bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut? Timbul penyesalan
dan kasihannya.
"Ahhh, jadi kaukah yang kupukul tadi?" tanyanya dengan penuh sesal sambil cepat maju menghampiri.
Setelah dekat barulah Beng San ingat kembali bahwa gadis ini sama sekali bukan Kwa Hong biar pun
pakaiannya serba merah, melainkan Cia Li Cu.
"Nona Cia, ini pedangmu... ambil... ambil... ambillah sendiri..." katanya lemah.
Pedang Liong-cu-kiam pendek itu telah ia selipkan di belakang punggungnya.
"Siapa bicara tentang pedang? Mukamu itu... harus diurus dulu," kata Li Cu.
Dengan cepat gadis ini sudah berlutut di depan Beng San, kemudian dengan cekatan ia membersihkan
darah dari luka di bibir dan jidat itu.Tanpa ragu-ragu lagi dan sama sekali tidak jijik Li Cu mempergunakan
sapu tangannya dari sutera yang harum untuk mengusap darah. Sapu tangan itu sudah penuh darah, dan
luka di kening masih terus mengucurkan darah.
"Tunggu sebentar, aku mencari air dulu," kata Li Cu.
Cepat gadis ini lari ke tepi sungai dan mengambil air dengan mempergunakan daun yang lebar. Kemudian
ia datang lagi dan dicucinya luka-luka itu. Cekatan sekali ia bekerja tanpa ragu-ragu dan jari-jari tangannya
dengan mesra membersihkan luka yang diakibatkan oleh pukulannya sendiri tadi.
"Wah, darahnya mengucur terus. Jidatmu ini harus dibungkus," bisik Li Cu perlahan dan agak bingung
karena tidak ada obat penghenti darah di situ.
Dia mencuci sapu tangannya dan mempergunakannya untuk membalut jidat Beng San. Tentu saja untuk
pekerjaan ini ia harus mengangkat kedua lengannya dan seakan-akan memeluk kepala Beng San.
Selama itu, jantung Beng San berdebar tidak karuan. Lenyaplah bayangan Kwa Hong yang selama ini
mengikutinya dan membuat ia merasa berdosa hebat. Malah bayangan isterinya, Kwee Bi Goat, isterinya
yang tercinta yang selama ini dirindukannya, juga tak nampak pada saat itu.
Bukan main cantik jelitanya gadis ini, demikian ia mendengar bisikan-bisikan di belakang telinganya,
seakan-akan batang pohon yang dia sandari itulah yang berbisik-bisik. Cantik bagai bidadari.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mata yang bening redup itu, mulut kecil mungil dengan hidung yang mancung. Rambut yang panjang hitam
awut-awutan, kadang-kadang memperlihatkan kulit leher yang putih kekuningan.
Ketika gadis itu membalutkan sapu tangan ke belakang lehernya ia merasa seakan-akan dipeluk dan Beng
San meramkan matanya. Ganda sedap mengharum membuat ia seperti mabok dan ketika ia membuka
matanya, ternyata pekerjaan gadis itu sudah selesai.
Li Cu masih berlutut di depannya, mukanya sangat dekat, terlalu dekat seakan-akan dia dapat merasai
tiupan napas gadis itu. Dua pasang mata bertemu, saling pandang, saling terkam dan sukar terlepas lagi.
Mulut Li Cu agak terbuka, matanya redup dan bulu mata yang panjang itu bergerak-gerak.
Bisikan di belakang telinga Beng San semakin mendesak. “Dia cantik bukan main. Dan agaknya suka
kepadamu. Hemmm... tunggu apa lagi? Hajar!”
Li Cu menjerit kecil sambil melompat mundur. Hampir berbareng di saat itu juga Beng San sambil duduk
membalikkan tubuhnya. Tangan kanannya yang terkepal lantas memukul batang pohon besar di
belakangnya.
“Blukkk!”
Saking kerasnya dia menghantam, kepalan tangan itu melesak masuk ke dalam batang pohon sampai ke
pergelangan tangannya!
"Ehh... ahh... kenapa...? Kenapa kau memukul pohon...?" Li Cu yang kini sudah berdiri, memandang
dengan mata terbelalak terheran-heran.
Beng San perlahan-lahan bangkit berdiri, menarik napas berkali-kali. Dia masih sempat mendengar suara
yang berbisik-bisik tadi seperti mentertawakannya dari jauh. Setelah dia mendengarkan betul-betul, itu
sebenarnya adalah suara daun-daun pohon tertiup angin. Ia bergidik.
Betapa bahayanya bisikan-bisikan tadi. Bisikan iblis yang setiap saat menggoda manusia. Untung dia
dapat mengalahkannya tadi dan biar pun kepalan tangannya terasa sakit, dia merasa lega hatinya. Kini
tanpa ragu-ragu ia dapat mengangkat muka memandang wajah Li Cu.
"Beng San... kenapa kau memukul pohon...?" tanyanya sekali lagi.
"Ahh, tidak... tidak apa-apa, Nona."
"Mukamu tadi menakutkan sekali..."
"Bukan salahku. Mukaku memang buruk..."
"Sekarang tidak lagi," buru-buru Li Cu memotong. "Tadi, sedetik sebelum kau memukul pohon. Aku sampai
kaget dan menjerit. Beng San, kenapa mukamu bisa berubah-ubah?"
"Sudah nasibku, Nona. Ketika kecil aku dipaksa makan racun. Apakah sekarang mukaku masih
menakutkanmu?"
Li Cu memaksa senyum, matanya bersinar-sinar lagi. "Tidak lagi. Sekarang tidak. Hanya tadi sebentar...
ahh, membikin aku teringat akan kata-kata Beng Kui tadi. Kau disebut iblis perusak wanita."
"Memang aku iblis... bukan hanya iblis, bahkan kau tadi pun menyebutku bedebah dan kurang ajar...
memang demikianlah aku..."
Beng San menunduk dan menarik napas, merasa betapa memang ia tepat sekali disebut demikian setelah
apa yang dia akibatkan pada diri Kwa Hong. Dia berdosa kepada Kwa Hong dan lebih-lebih lagi kepada Bi
Goat.
"Aku tadi mengira kau Beng Kui, maka aku memaki demikian."
dunia-kangouw.blogspot.com
Kembali Beng San menarik napas panjang. "Memang tidak banyak selisihnya, Nona Cia. Kami berdua...
ahh, kami bukan orang baik..."
Li Cu memandang dan menjadi terharu. Muka itu kurus benar, tapi kulitnya sekarang putih dan... hemmm,
tampan sekali. Apa lagi alis yang berbentuk golok itu, dan sepasang mata yang tajam luar biasa.
Rambutnya tidak terpelihara, pakaiannya pun hampir menyerupai pakaian jembel. Memang jika telihat
lahirnya saja jauh bedanya dengan Beng Kui yang mentereng dan rapi. Tapi hatinya… jauh nian bedanya.
"Beng San...," katanya setelah mereka berdua tercekam oleh suasana hening.
"Malam tadi di atas genteng, kenapa kau menangis?"
"Apakah aku menangis? Aku sudah lupa...”
"Sebelum kau muncul untuk menolongku, kau menangis. Tangismu memilukan sekali biar pun hanya
terdengar sebentar."
"Bisa jadi. Aku menangisi keadaanku, juga keadaan dia yang dulu kuagungkan, kukagumi sebagai kakakku
yang mulia dan perkasa. Kiranya dia sama saja dengan aku..."
"Kau kenapa? Kau... kau baik sekali, Beng San." Ucapan ini terdengar lantang dan terus terang.
Ketika Beng San mengangkat muka memandang, kembali dua pasang mata bertemu dan Beng San
melihat pandang mata yang jujur dan tahu bahwa pernyataan nona ini keluar dari hatinya. Ia menarik
napas.
"Bukan, sayang sekali. Benar seperti yang dikatakan olehnya, aku seorang jahat, perusak hati wanita, aku
seorang penuh dosa..."
“Tak percaya! Aku tidak percaya!" Suara Li Cu makin keras penuh kesungguhan.
Gadis ini diam-diam merasa aneh. Sesuatu yang aneh terjadi dalam dirinya. Meski pun sudah lama sekali
ia bertunangan secara resmi dengan Beng Kui, namun hubungannya sama saja dengan hubungan kakak
beradik, seorang suheng dan sumoi. Belum pernah jantungnya menggetar, seperti tadi ketika ia membalut
kepala Beng San. Malah belum pernah berdekatan seperti tadi dengan Beng San. Apakah artinya semua
ini? Dan ia sama sekali tidak mau percaya kalau Beng San seorang jahat, seorang perusak wanita.
Beng San memandang dengan melongo. Tiba-tiba dia merasa jantungnya berdebar keras. Penuh
keharuan dan kengerian dia memandang pada wajah jelita itu. Sudah terlalu sering dia melihat wajah
gadis-gadis yang mencintanya, terutama sekali wajah Kwa Hong dan isterinya Kwee Bi Goat. Sinar mata
dan wajah mereka itu seperti wajah Li Cu sekarang ini, demikian mesra, demikian jelas cinta kasih
terbayang pada sepasang mata yang bening itu.
Tak boleh ini! Sekali-kali tidak boleh! Ia tidak mau berlaku sembrono seperti dulu. Dia tak mau melukai hati
gadis, apa lagi gadis seperti Li Cu. Dulu sudah banyak gadis-gadis yang hatinya terluka olehnya.
"Nona Cia, aku harus berterus terang kepadamu. Memang aku seorang laki-laki penuh dosa dan apa yang
dikatakan suheng-mu tadi, semuanya betul belaka."
Kemudian dengan suara tegas jelas, sama sekali tidak ragu-ragu dengan pengakuannya itu, sebab ia
hendak meringankan tekanan dosanya yang menindih isi dada, ia kemudian menceritakan kepada Li Cu
telah melakukan perhubungan dengan Kwa Hong, kemudian meninggalkannya karena ia sudah jatuh cinta
dengan Kwee Bi Goat dan kemudian ia ikut bersama Bi Goat ke Min-san dan menjadi suami isteri di sana.
Diceritakannya pula betapa Kwa Hong menjadi rusak hatinya dan jadi seperti gila, apa lagi setelah ternyata
bahwa hubungan mereka itu telah mengakibatkan Kwa Hong mengandung.
"Aku telah berdosa besar kepada Kwa Hong, aku telah merusak hidupnya. Dan aku lebih berdosa lagi
kepada isteriku yang belum tahu akan hal itu. Seharusnya dulu aku mengaku di depan Bi Goat, tetapi aku
pengecut... aku takut kehilangan dia, jadi aku seakan-akan menipunya. Ahhh, dosaku bertumpuk-tumpuk,
Nona Cia. Sudah sepatutnya kalau orang semulia engkau membenciku, menganggap rendah kepadaku
seperti yang dikatakan oleh suheng-mu itu..." Demikian Beng San menutup ceritanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Li Cu sejak tadi mendengarkan dengan mata terbelalak dan muka yang sebentar pucat sebentar merah.
Entah mengapa dia sendiri tidak tahu, mendengar akan penuturan Beng San tentang pengalaman dengan
beberapa orang gadis cantik ini, dadanya terasa panas dan ingin sekali ia marah-marah! Ingin sekali ia
menampar muka Beng San. Tetapi juga ingin sekali ia menangis!
"Kau... kau... laki-laki mata keranjang!" makinya dengan suara serak sambil berdiri dan berlari pergi dari
tempat itu.
"Nona Cia...! Ini pedangmu, bawalah...!”
Beng San juga berdiri dan sekali ia meloncat, ia sudah berada di depan Li Cu, pedang pendek Liong-cukiam
telah ia cabut dan ia angsurkan kepada gadis itu. Herannya bukan main ketika ia melihat muka yang
jelita itu basah oleh air mata yang bercucuran.
Li Cu menggunakan tangan kiri mengusapi air matanya. Tanpa mengeluarkan kata-kata dan tanpa
memandangi muka Beng San ia menyambar pedang itu lalu berlari pergi lagi. Isaknya terdengar
memilukan ketika tubuhnya berkelebat di depan Beng San.
Pemuda ini berdiri bengong memandang ke arah tubuh berpakaian merah yang berlari cepat itu. Berkalikali
dia menarik napas panjang dan seperti patung dia memandang ke depan sampai bayangan merah itu
lenyap ditelan kejauhan.
"Ha-ha-ha-ha, puteri Bu-tek Kiam-ong itu cinta kepadamu, Adikku!” mendadak suara itu terdengar di
belakang.
Beng San terkejut sekali, cepat berputar dan... dia berhadapan dengan seorang laki-laki bertubuh raksasa
yang gagah sekali dan yang berdiri sambil tersenyum lebar dan bertolak pinggang.
"Twako...!" Beng San berseru girang dan maju merangkul laki-laki gagah perkasa itu.
"Ha-ha-ha, Beng San adikku. Di mana-mana kau selalu menghadapi keruwetan dengan wanita. Ahh, kau
bikin aku mengiri saja."
"Tan-twako, jangan menggoda aku. Bagaimana keadaanmu? Ke mana saja selama ini kau pergi?" Beng
San menjadi gembira kembali sesudah bertemu dengan laki-laki tinggi besar itu.
Siapakah dia? Bukan seorang biasa, melainkan seorang bekas pejuang yang sudah terkenal namanya
sebagai pemimpin dari perkumpulan Pek-lian-pai yang banyak jasanya dalam perjuangan menumbangkan
kekuasaan pemerintah Mongol. Namanya adalah Tan Hok dan semenjak dahulu menjadi sahabat baik
Beng San, malah Tan Hok menganggap Beng San sebagai adik angkatnya sendiri (baca kisah Raja
Pedang).
Tan Hok juga seorang gagah yang memiliki ilmu silat tinggi. Sebetulnya yang membuat ia amat dikagumi
Beng San bukanlah ilmu silatnya, melainkan jiwa kepatriotannya yang luar biasa besarnya. Dalam hal
perjuangan, Tan Hok sama sekali tak bisa disamakan dengan orang seperti Beng Kui yang berjuang
karena ada pamrih untuk memetik buah dari hasil perjuangannya itu untuk keperluan dan kesenangan diri
pribadi.
Perjuangan yang dilakukan Tan Hok dengan perkumpulan rahasianya adalah perjuangan suci tanpa
pamrih. Kalau pun ada pamrih, maka pamrih itu hanya ingin melihat rakyatnya terbebas dari pada belenggu
penjajahan. Jadi pamrihnya bukan untuk kepentingan diri pribadi, tetapi demi kesejahteraan rakyat. Oleh
karena inilah setelah pemerintah Mongol tumbang, Tan Hok dan teman-temannya tidak termasuk bekasbekas
pejuang yang ikut gontok-gontokan untuk memperebutkan kedudukan dan kemuliaan di kota raja!
"Tan-twako, kau hendak pergi ke manakah?" Kembali Beng San bertanya, untuk sejenak ia lupa akan
penderitaan batin yang sedang mengamuk di hatinya ketika bertemu dengan orang yang amat
disayangnya ini.
"San-te (Adik San), sebetulnya tidak sengaja aku dapat bertemu dengan kau di sini. Pagi tadi aku melihat
kau naik kuda sambil memangku seorang nona yang tampaknya sakit atau pingsan. Tadinya aku curiga
melihat keadaan Nona itu maka aku tidak menegurmu dan diam-diam mengikutimu. Maafkan kecurigaanku
ini. Kemudian aku melihat bahwa dia adalah Nona Cia Li Cu puteri Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan." Tan Hok
dunia-kangouw.blogspot.com
berhenti sebentar, kemudian dengan muka sungguh-sungguh ia berkata lagi, "San-te, sebetulnya
pertemuan ini sangat menggembirakan hatiku dan kebetulan sekali. Andai kata kita tidak bertemu di sini,
agaknya aku pun akan mencarimu di Min-san untuk minta bantuanmu."
Girang hati Beng San bahwa teman baiknya ini tidak melanjutkan bicaranya tentang Li Cu. Ia sudah
merasa malu sekali kalau ada orang berbicara tentang gadis-gadis yang pernah membuat hidupnya kacaubalau.
Dengan penuh gairah ia lalu berkata,
"Katakanlah, Twako. Apakah urusan yang mengganggumu? Tentu adikmu ini dengan hati lapang siap
sedia membantumu."
"Kalau hanya menghadapi urusan pribadi, mana aku berani mengganggumu, Adik Beng San? Hanya ada
satu macam urusan yang memaksaku minta bantuan siapa pun juga."
"Urusan negara?" Beng San menduga. Dia tahu akan watak laki-laki raksasa itu.
Tan Hok mengangguk. "Patriot-patriot palsu itu benar-benar menjemukan. Mereka kini mengacau dan
berusaha merampas kedudukan Kaisar Thai Cu, merasa bahwa mereka lebih berhak dari pada bekas
pahlawan Giu Goan Ciang. Hemmm, benar-benar tidak ubahnya dengan anjing-anjing yang
memperebutkan bangkai srigala yang tadinya mereka keroyok!"
"Aku sudah mendengar juga tentang itu, Twako, bahkan sudah bertemu dengan Ho-hai Sam-ong yang
bersekongkol dengan Raja Muda Lu Siauw Ong. Aku mendengar tentang rencana mereka yang akan
bergerak dari luar dan dari dalam."
"Bagus!" Tan Hok melompat bangun, lalu duduk kembali di atas akar pohon. "Jadi mereka sudah
bersekongkol pula? Kalau begitu lebih mudah untuk sekaligus menghancurkan mereka. Adikku, karena
inilah maka aku minta bantuanmu. Aku dan teman-temanku dari Pek-lian-pai sudah siap dan malah Kaisar
sudah pula memberi bantuan pasukan untuk menumpas para pemberontak tak tahu malu itu. San-te,
dengan kau di sampingku, aku akan merasa kuat untuk menghadapi mereka yang tak boleh dipandang
ringan itu. Dan... perlu kuberi tahukan kepadamu, yang kau sebut Lu Siauw Ong tadi, dia itu adalah mertua
dari kakak kandungmu Tang Beng Kui. Jadi... kalau kau membantuku, kau tentu akan berhadapan dengan
Tan Beng Kui sebagai musuh!"
Beng San mengangguk. "Hal itu pun aku sudah tahu, Twako." Kemudian secara singkat Beng San
menuturkan pertemuannya dengan kakak kandungnya itu di rumah Ho-hai Sam-ong. Hanya soal Li Cu
tidak ia ceritakan.
Tan Hok amat senang mendengar ini. "Kalau begitu, mari kau ikut denganku. Kita akan bergerak dari utara,
membersihkan pemberontak-pemberontak yang datang dari sana. Ho-hai Sam-ong tidak akan berani
sembarangan bergerak kalau komplotan-komplotannya dari utara belum kuat benar membantunya."
"Aku bersedia membantumu, Twako. Hanya saja... aku masih belum tahu pasti, belum yakin akan tujuan
pergerakanmu sekarang ini. Orang-orang itu saling memperebutkan kedudukan dan semua yang kudengar
menyatakan bahwa Kaisar sekarang ini, bekas pemimpin pejuang Ciu Goan Ciang adalah seorang yang
tidak adil. Sekarang ternyata kau membantu Kaisar. Apakah menurut pendapatmu Kaisar Thai Cu yang
betul dan mereka yang tidak puas itu salah?"
"Adikku Beng San, kau tidak mengerti tentang keadaan negara, memang hal ini tidak aneh karena kau
tidak mempedulikannya. Tetapi aku yang selalu mengikuti perkembangannya, dapat melihat dengan nyata.
Dengarlah kata-kataku ini, Adikku. Sudah jelas bahwa dalam perjuangan menumbangkan kekuasaan
Mongol, pemimpin besar Ciu Goan Ciang sudah membuktikan bahwa dialah seorang pemimpin yang
pandai dan hanya dia yang akan mampu memimpin rakyat dan memajukan negara yang baru saja
terbebas dari belenggu penjajahan. Andai kata bukan Ciu Goan Ciang yang dalam perjuangan dapat
menyatukan semua unsur kekuatan rakyat, mana perjuangan melawan Mongol bisa tercapai?"
Tan Hok berhenti sebentar untuk meredakan gelora dalam dadanya, lalu disambungnya perlahan dan
tenang,
"Bahaya yang mengancam keadaan negara masih belum lenyap. Bangsa Mongol yang melarikan diri ke
utara setiap waktu tentu hendak mencoba merampas kembali tanah jajahannya. Belum lagi bangsa-bangsa
lainnya yang hendak mengambil keuntungan dari keadaan kacau-balau sehabis perang. Kita semua
dunia-kangouw.blogspot.com
membutuhkan bimbingan seorang yang kuat lahir batin, sedangkan perjuangan membuktikan bahwa hanya
Ciu Goan Ciang yang mempunyai kemampuan untuk tugas berat itu. Pengangkatan dirinya sebagai Kaisar
telah disetujui oleh semua pemimpin para pejuang." Kembali ia berhenti.
Akan tetapi Beng San mengemukakan pendapatnya. "Kalau begitu, kenapa masih banyak orang yang
merasa kurang puas dan menganggap dia kurang adil karena tidak memberi kedudukan kepada para
bekas pejuang?"
"Kalau menurutkan pendapat setiap orang yang selalu mementingkan dirinya sendiri, di dunia ini memang
tak akan pernah ada keadilan. Mana bisa timbul keadilan kalau semua orang menghendaki bahwa yang
enak-enak dan yang baik-baik itu seyogianya diberikan kepadanya saja? Soal kedudukan bukan hal yang
semudah orang bicarakan. Tentu saja Kaisar harus memilih orang dengan amat hati-hati untuk didudukkan
pada suatu pangkat, disesuaikan dengan kecakapan orang itu. Bagaimana nanti jadinya kalau seorang
bekas kepala rampok diangkat menjadi menteri yang mengurus kekayaan negara? Bagaimana akan
jadinya kalau seorang yang hampir tidak pandai menulis diangkat menjadi menteri kebudayaan? Seorang
yang buta akan urusan pemerintahan diangkat menjadi menteri urusan negara? Tentu akan menjadi makin
kacau kalau hal-hal semacam itu dilakukan hanya untuk memenuhi pamrih bekas-bekas pejuang yang
menganggap diri sendiri paling berjasa itu." Kembali Tan Hok bicara penuh semangat.
"Kalau begitu, menurut anggapan Twako, Kaisar Thai Cu atau bekas pejuang Ciu Goan Ciang itu adalah
seorang yang sempurna dan semua rakyat harus mentaati saja apa yang ia kehendaki?"
Tan Hok tertawa. "Adikku. Tidak ada seorang manusia yang sempurna sama sekali di dunia ini! Para dewa
sekali pun masih belum sempurna karena masih tidak luput dari kesalahan. Tentu saja Kaisar tak
terkecuali. Aku takkan membantah jika ada orang yang dapat mengemukakan kesalahan-kesalahan,
cacad-cacad atau kekurangan-kekurangan Kaisar. Setiap manusia sudah pasti memiliki kekurangankekurangan
dan cacat-cacatnya. Akan tetapi dalam hal kenegaraan, adalah keliru kalau menilai kedudukan
seseorang dari tabiat pribadinya. Seharusnya dilihat pelaksanaan dari tugasnya, hasil dari pekerjaannya,
dan kemampuan pada dirinya. Kiraku tidak ada orang lainnya yang lebih pandai dan lebih bijaksana dan
lebih tepat untuk menduduki singgasana dari pada Kaisar yang sekarang ini. Oleh karena mengingat
bahwa dia adalah pusat dari kekuatan kerajaan yang baru, pusat dari pemerintahan sesudah kaum
penjajah jatuh, maka sudah seharusnyalah kalau kita mendukung dan membantunya. Bukan semata-mata
membela pribadi Ciu Goan Ciang yang sekarang sudah menjadi Kaisar Thai Cu, melainkan mendukung
dan membela pemimpin dari bangsa kita. Kalau tidak kita bela, lalu pimpinan terjatuh ke dalam tangan
orang yang tidak bijaksana, tidak mampu, apa lagi yang jahat seperti bekas-bekas kepala rampok macam
Ho-hai Sam-ong, ahhh, akan bagaimanakah jadinya dengan negara kita?"
Setelah mendengar penjelasan dan penuturan Tan Hok secara panjang lebar, akhirnya Tan Beng San
menyatakan suka ikut dan membantu Tan Hok untuk menggempur dan menghalau para pemberontak yang
hendak mendatangkan kekacauan itu. Hal ini bukan semata-mata karena semangat Beng San bangkit oleh
uraian Tan Hok, akan tetapi untuk melupakan atau menghibur kehancuran hatinya.
Tiba-tiba dia merasa malu untuk pulang ke Min-san, untuk berhadapan muka dengan Bi Goat, isterinya
yang tercinta itu. Untuk sementara waktu dia ingin menjauh dulu. Memang kadang kala hatinya penuh
rindu, perasaannya juga hancur kalau ia teringat betapa Bi Goat sudah mengandung ketika ia tinggalkan ke
Hoa-san. Sudah mengandung beberapa bulan. Inilah sebabnya kenapa ia melarang ketika Bi Goat
menyatakan keinginan hatinya hendak ikut pergi dengan suaminya itu ke Hoa-san…..
********************
Di puncak sebuah bukit kecil yang ditumbuhi beberapa batang pohon raksasa terdapat sebuah rumah
papan yang kecil menyendiri. Tak ada rumah lain dari puncak sampai ke kaki bukit kecuali pondok kecil itu.
Sunyi sepi sekelilingnya, namun harus diakui bahwa hawa udara amat sejuk dan pemandangan alam amat
indahnya dari puncak itu. Di lereng dan kaki bukit tampak pohon-pohon kecil yang menghijau. Hanya di
puncak itulah adanya beberapa pohon raksasa yang sudah tua dan amat besar lagi tinggi.
Seperti biasanya setiap hari, pada pagi hari itu pun sunyi, seakan-akan tempat itu tidak ada penghuninya.
Akan tetapi kesunyian pagi hari itu tidak lama sebab segera terdengar lapat-lapat suara tangisan seorang
wanita, tangisan yang amat memilukan. Terisak-isak wanita itu menangis, kemudian terdengar keluhannya.
"Kau bunuhlah aku... bunuhlah aku... ah, alangkah keji hatimu, kau melebihi segala iblis... kau bunuhlah
aku...!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Lalu disusul suara laki-laki, suaranya halus tapi penuh ejekan.
"Kau selalu minta mati saja, sudah sebulan lebih permintaanmu tak lain hanya itu saja. Bosan aku
mendengarnya. Bukankah sudah jelas bahwa aku sangat sayang kepadamu, bahwa aku cinta padamu?
Manis, apakah kau bosan tinggal di tempat sunyi ini? Apakah kau ingin ikut denganku merantau ke utara?
Di sana indah sekali. Apakah kau pernah menyaksikan gurun pasir?"
"Aku tidak inginkan apa-apa kecuali mati. Kau bunuh sajalah aku!” lagi-lagi suara wanita itu memohon.
"Sudahlah, mari kau ikut ke utara. Tentu kau senang dan kau akan melihat betapa besar cintaku
kepadamu." Laki-laki itu tertawa.
Tak lama kemudian tampaklah seorang laki-laki muda yang tampan keluar dari pondok itu, memondong
seorang wanita muda cantik yang lemas tak berdaya, agaknya telah tertotok jalan darahnya. Laki-laki muda
itu bukan lain adalah Siauw-coa-ong Giam Kin, pemuda raja ular yang jahat itu. Ada pun wanita yang
bukan lain adalah Lee Giok atau Nyonya Thio Ki yang telah ditawan dan dilarikannya sebulan yang lalu.
Lee Giok kelihatan pucat dan berduka sekali, akan tetapi ia tidak berdaya karena memang kalah kuat dan
kalah tinggi kepandaiannya.
Setelah tiba di luar pondok, Lee Giok berkata sambil menarik napas panjang, "Giam Kin, agaknya Thian
sudah menakdirkan aku menjadi teman hidupmu. Sudahlah aku tidak akan membantah lagi dan aku mau
ikut denganmu ke utara. Asal selama hidupku aku tak akan bertemu dengan suamiku dan kau membawa
ku ke tempat yang jauh, aku menurut."
Giam Kin girang sekali dan memeluknya. "Betulkah kata-katamu ini? Aha, bagus sekali, adikku yang
tercinta. Mari kubawa kau ke sorga di utara dan kita hidup bahagia di sana. Ha-ha-ha!" Seperti orang gila
Giam Kin memeluk nyonya muda itu sambil menari-nari.
"Hushh, gila kau! Tak usah aku kau gendong-gendong terus seperti orang lumpuh, hayo lepaskan totokan
pada tubuhku dan aku akan jalan sendiri di sisimu selama hidupku."
Sambil tersenyum-senyum dan terus menerus menggoda dengan ceriwis sekali Giam Kin lalu menurunkan
Lee Giok dan menotok beberapa jalan darahnya, kemudian mengurut punggung nyonya muda yang cantik
itu. Ia tidak kuatir membebaskan Lee Giok karena kalau Lee Giok melawan, dengan mudah ia akan dapat
mengatasinya kembali.
Setelah bebas dari totokan, Lee Giok terhuyung-huyung lemas. Memang tubuhnya lemas sekali, terbawa
oleh perihnya perasaannya yang ditahan-tahan. Pada saat Giam Kim maju memeluknya untuk
mencegahnya jatuh, ia berkata, suaranya halus mesra,
"Biarkan aku mengaso di bawah pohon ini dulu, aku... aku pening dan lesu sekali."
Sambil memeluknya Giam Kin lalu membawa Lee Giok ke bawah pohon raksasa dan mendudukkannya di
atas akar pohon itu yang keluar dari dalam tanah seperti tubuh ular besar. Lee Giok menjatuhkan diri
duduk di situ, lalu meramkan matanya mengumpulkan tenaga. Ketika ia sedang meramkan mata,
terbayanglah wajah suaminya dan terbayang pula pengalamannya ketika ia tertawan oleh Giam Kin.
Hatinya bagai ditusuk-tusuk pisau rasanya dan tak tertahankan lagi kembali air matanya be bercucuran
turun.
"Ahh, kekasihku, lagi-lagi kau menangis..." Giam Kin mendekat dan hendak merangkul leher Lee Giok.
Tiba-tiba saja Lee Giok menggerakkan kedua tangannya, lalu memukul ke depan sekuat tenaganya. Giam
Kin memang sudah siap sedia karena orang yang cerdik ini mana mau percaya begitu saja akan sikap
menyerah dari nyonya muda yang selalu berkeras untuk membencinya ini? Cepat ia melompat mundur
untuk menghindarkan diri dari penyerangan tiba-tiba ini. Lee Giok juga melompat berdiri dan memandang
kepada Giam Kin penuh kebencian.
"Manusia iblis! Aku Lee Giok bersumpah tidak akan mau hidup sebelum menghancurkan kepalamu,
membelah dadamu dan mencabut keluar isi dadamu!" teriak Lee Giok penuh kemarahan yang meluapluap.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Heh-heh, galaknya… tapi malah lebih manis!" Giam Kim mengejek. "Kau perempuan tak tahu disayang
orang! Aku ingin membikin kau bahagia dan ingin mencintamu selamanya. Kiranya kau seorang yang tidak
punya jantung. Baiklah, aku akan menjadikan kau barang permainanku, nanti kalau sudah bosan akan
kulempar ke jurang biar menjadi makanan serigala!"
Lee Giok tidak sudi mendengarkan lagi, terus saja ia menerjang dengan kaki tangannya, mengerahkan
seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk membunuh manusia yang sangat dibencinya ini, yang sudah
merusak hidupnya. Akan tetapi, seperti beberapa kali yang sudah-sudah, kali ini pun ia tak berhasil
mengalahkan Giam Kin yang memang amat lihai itu. Ia malah dipermainkan oleh Giam Kin yang mengelak
ke sana ke mari, berloncatan sambil mengejek dan menggoda.
Giam Kin ingin membuat Lee Giok kelelahan lebih dulu untuk kemudian ditawan lagi dan dipermainkan.
Memang pada dasarnya hati Giam Kin memiliki kekejaman yang luar biasa, sudah bukan seperti manusia
lagi. Hal ini tidak aneh kalau dipikir bahwa dia adalah murid tunggal dari manusia iblis Siauw-ong-kwi dan
semenjak kecil sudah banyak melakukan kekejaman-kekejaman.
Tubuh Lee Giok masih amat lesu, maka ketika dipermainkan oleh Giam Kin dia menjadi semakin payah
dan lemas. Akan tetapi dengan nekat nyonya muda ini menyerang terus mati-matian dengan tekad
membunuh atau mati dalam pertempuran ini.
Tiba-tiba terdengar suara aneh di atas, suara melengking yang sangat nyaring sehingga menggetarkan
jantung. Kemudian dari puncak pohon raksasa di bawah mana dua orang itu sedang bertempur, melayang
turun seekor burung raksasa yang berbulu kuning emas.
Di punggung burung itu duduk seorang wanita muda cantik yang sinar matanya tajam dan liar. Sebelah
tangannya memegang sebuah cambuk yang bercabang lima di mana terikat lima batang anak panah hijau.
Di punggungnya tergantung sebuah pedang pusaka. Inilah Kwa Hong yang menunggang burung rajawali
emas yang sakti itu.
"Hi-hi-hik, Giam Kin, kebetulan sekali! Tak usah aku mencarimu kau sekarang mengantar nyawa
kepadaku!" kata Kwa Hong ketika ia mengenal isteri dari suheng-nya, Thio Ki.
Akan tetapi ia tidak menegur Lee Giok yang tadi amat terdesak hebat oleh Giam Kin itu. Sinar kuning emas
menyambar turun dan burung itu telah menerkam ke arah kepala Giam Kin.
Bukan main kagetnya Giam Kin melihat penyerangan ini. Cepat ia melompat mundur dan membentak,
"Siapa kau?!"
Bergidik juga ia melihat wanita cantik menunggang burung rajawali yang bermata liar itu.
Sementara itu Lee Giok segera mengenal Kwa Hong. Ia girang mendapat bala bantuan, akan tetapi juga
heran dan kaget sekali menyaksikan keadaan Kwa Hong yang tidak wajar ini.
"Adik Hong...!" serunya.
Burung itu masih beterbangan berputar-putar di atas mereka. Kwa Hong berkata dengan suara mengejek,
"Lee Giok, tidak lekas lari menunggu apa lagi? Apa kau mengharapkan tertawan oleh lawanmu yang
tampan ini? Heh-heh-heh, kau mau main gila di belakang suamimu, ya?"
Kalau ada halilintar menyambar kepalanya, kiranya Lee Giok takkan begitu kaget seperti ketika ia
mendengar ejekan ini. Sejenak ia memandang dengan mata terbelalak kepada Kwa Hong yang duduk di
punggung burung. Lalu terlihat olehnya, sepasang mata yang mengerikan itu. Lee Giok tertusuk hatinya,
sambil terisak-isak ia lalu lari pergi dari situ, diikuti suara ketawa yang mengerikan dari Kwa Hong.
Dasar watak Giam Kin mata keranjang dan keji. Melihat nona cantik jelita di punggung burung itu, ia segera
tertarik sekali hatinya. Sekarang ia sudah mengenal wanita muda yang duduk di punggung burung itu. Kwa
Hong murid Hoa-san-pai yang cantik itu, yang dulu pernah membuat ia tergila-gila juga (baca Raja
Pedang).
Karena dia sendiri seorang berwatak keji, maka sinar ganas dan liar pada sepasang mata Kwa Hong itu
baginya malah mendatangkan perasaan menyenangkan, malah menjadikan Kwa Hong makin manis dalam
dunia-kangouw.blogspot.com
pandang matanya. Pula ia memandang rendah kepada Kwa Hong, karena murid Hoa-san-pai saja sampai
di mana sih kelihaiannya?
"Aha, kukira tadi siapa. Tidak tahunya adik manis dari Hoa-san-pai. Turunlah Nona manis, dan mari
bersenang-senang dengan aku. Boleh aku membonceng di punggung burungmu yang indah itu?"
Tiba-tiba sinar hijau menyambar sebagai jawaban. Giam Kin tertawa mengejek akan tetapi segera
ketawanya berubah seruan kaget ketika lima batang anak panah itu menyambar kepadanya dengan
kecepatan yang amat luar biasa, seperti kilat menyambar. Ia segera menjatuhkan diri di atas tanah dan
hanya dengan cara begini ia dapat menyelamatkan dirinya.
Celaka baginya, wanita yang duduk di punggung rajawali emas itu ternyata lihai bukan main. Burungnya
menyambar-nyambar rendah, sedangkan anak-anak panah pada ujung cambuk itu terus menyambarnyambar
dengan pukulan dahsyat sekali.
Giam Kin mencabut suling ularnya dan berusaha menangkis, akan tetapi baru dua kali menangkis saja
sulingnya sudah terlepas dari tangannya dan mencelat entah ke mana. Demikian hebatnya tenaga pukulan
Kwa Hong sampai-sampai dia sendiri tidak mampu menangkisnya. Mulailah pengejaran yang mengerikan.
Giam Kin lari ke sana ke mari, namun burung itu terus mengejar dan sinar hijau bersuitan di atas
kepalanya. Giam Kin menjadi pucat sekali, keringat dingin bercucuran keluar. Dia menjatuhkan diri,
bergulingan, tapi ke mana pun juga dia selalu dikejar oleh sinar hijau itu yang diikuti suara ketawa. Baru
sekarang telinga Giam Kin mendengar suara ketawa yang mengerikan sekali, tidak semerdu tadi.
"Mampus kau.... hi-hi-hik, mampus kau...!"
Akibatnya, Giam Kin yang belum sekali pun terkena anak panah itu menjadi lemas saking lelah dan
ketakutan. Gerakannya melambat dan mendadak sepasang cakar burung yang kuat sekali mencengkeram
tubuhnya di bagian dada dan kepala. Terdengar suara daging dan kulit dirobek-robek diiringi suara ketawa
melengking tinggi dari Kwa Hong. Beberapa kali Giam Kin mengeluarkan pekik kesakitan dan ketakutan,
kemudian hening kembali di situ.
Ketika burung rajawali yang ditunggangi Kwa Hong itu kembali terbang ke atas, di bawah pohon raksasa itu
tertinggal tubuh Giam Kin yang diam tak bergerak dan dalam keadaan mengerikan sekali. Pakaiannya
robek-robek, dan penuh darah yang bercucuran dari dada dan mukanya yang juga sudah terobek-robek
oleh cakar cakar tajam tadi.
Matanya sebelah kiri hancur, telinga kirinya juga lenyap, mulutnya robek lebar, kulit pada dadanya terbeset
dan lengan kirinya tadi sudah dicengkeram sedemikian rupa oleh cakar rajawali sehingga semua urat-urat
besarnya terputus dan kini lengan kiri itu kaku dengan jari-jari mencengkeram saking menahan sakit.
Matikah Giam Kin? Pada saat itu masih belum, karena masih terdengar rintihan perlahan dari dadanya.
Akan tetapi kalau ada orang yang menyaksikan keadaannya, orang itu tentu tak akan mengharapkan dia
dapat hidup lagi.....
********************
Sementara itu, Lee Giok terus berlari cepat sambil menangis terisak-isak. Ia telah terlepas dari
cengkeraman tangan Giam Kin. Akan tetapi apa gunanya? Lebih baik ia mati saja. Mana mungkin dia
dapat memandang wajah suaminya lagi. Lebih baik dia mati dari pada menanggung aib yang hebat. Lebih
baik ia terjun ke dalam jurang yang curam.
Akan tetapi, apa pula artinya kalau ia mati tanpa ada yang mengetahuinya kelak? Tetap saja dia akan mati
dalam keadaan menanggung malu. Lebih baik dia ke Hoa-san dan mati di sana agar suaminya kelak tahu
bahwa ia telah menebus aib itu dengan nyawanya.
Di Hoa-san dia harus mati, supaya suaminya tahu bahwa sampai detik terakhir ia masih teringat kepada
suaminya, masih ingin mendekatinya walau pun hanya dengan maksud mendekatkan arwahnya dengan
Hoa-san!
Selain itu, alangkah akan besar dosanya kalau dia mati dengan membawa anak di dalam kandungannya.
Bukankah hal itu sama artinya dengan dia membunuh anak itu? Anaknya? Anak suaminya? Tidak, ia harus
dunia-kangouw.blogspot.com
menanti, biar pun hatinya akan remuk-redam. Dia harus menanti sampai anak dalam kandungannya yang
sudah tiga bulan itu lahir.
Lee Giok berlari terus sampai akhirnya tubuhnya terguling menggeletak di tengah hutan saking tak kuat
lagi, saking lelahnya. Sambil merintih-rintih ia merangkak ke bawah pohon yang bersih, lalu membaringkan
tubuh dan pikirannya melayang-layang.
Hidupnya rusak oleh Giam Kin. Yang menjadi biang keladi adalah Kim-thouw Thian-li dan Hek-hwa Kui-bo.
Semangatnya sebagai seorang gagah dalam diri Lee Giok bangkit ketika ia mengingat akan ketiga orang
ini. Akan sia-sia belaka kalau ia mati sebelum ia mampu membalas, sebelum ia mampu melenyapkan tiga
manusia iblis itu dari permukaan bumi. Kepandaiannya memang masih belum begitu tinggi untuk mampu
mengalahkan mereka, akan tetapi ia dapat memperdalam kepandaiannya.
Setelah tidur semalam di hutan itu, pada keesokan harinya Lee Giok lalu melanjutkan perjalanannya
dengan hati yang sudah mengambil dua buah keputusan, yaitu sebelum ia membunuh diri untuk mencuci
noda pada dirinya, ia harus lebih dahulu melahirkan anak dalam kandungannya, kemudian tugasnya yang
kedua ialah membunuh tiga orang musuh besarnya itu!
Ia tidak boleh mati sekarang, ia malah harus kuat dan harus bisa memperdalam ilmunya. Pikiran inilah
yang menyelamatkan nyawa Lee Giok dan dengan hati teguh nyonya muda ini melanjutkan perjalanannya
menuju Hoa-san…..
********************
Gunung Min-san berada di tapal batas antara Propinsi Se-cuan, Ceng-hai, dan Kan-su. Gunung ini amat
indah pemandangannya dan merupakan pegunungan yang subur sekali. Sungai-sungai besar yang amat
terkenal seperti Sungai Yang-ce-kiang dan Sungai Kuning boleh dibilang mendapatkan sumber mata airnya
dari Pegunungan Min-san ini, sungguh pun masih banyak pegunungan lain yang menjadi sumbernya pula.
Salah satu di antara puncak-puncak Pegunungan Min-san inilah menjadi tempat tinggal Song-bun-kwi
Kwee Lun yang dahulunya amat terkenal di dunia kang-ouw dengan julukan Song-bun-kwi. Ia dijuluki
Song-bun-kwi (Setan Berkabung) sebab selalu memakai pakaian putih berkabung semenjak isterinya
meninggal dan ia hidup merantau bersama dengan puteri tunggalnya, Kwee Bi Goat.
Sesudah sekarang Kwee Bi Goat menikah dengan Tan Beng San dan hidup bahagia di Min-san, Kwee Lun
ini tidak patut lagi dijuluki Song-bun-kwi karena ia tak lagi berpakaian berkabung, juga tak lagi hidup seperti
yang sudah-sudah, yaitu seperti manusia iblis yang ditakuti orang. Kakek ini sekarang hidup tenang dan
tenteram di Pegunungan Min-san ini, malah setiap hari bertani atau semedhi memperdalam ilmu batinnya.
Ada pun Kwee Bi Goat yang dahulunya gagu, tapi sekarang telah sembuh, menjadi isteri yang cantik jelita
dan penuh kasih sayang bagi Beng San. Suami isteri ini bersama Kakek Kwee hidup aman dan damai di
Min-san. (baca cerita Raja Pedang)
Akan tetapi, nasib manusia memang tidak menentu seperti air laut, kadang-kadang surut. Baru beberapa
bulan saja mereka hidup penuh madu kasih dan kebahagiaan di Min-san, datanglah seorang tosu dari Hoasan-
pai yang minta bantuan Beng San untuk menolong Hoa-san-pai yang sedang ditimpa mala petaka
karena pengamukan Kwa Hong.
Seperti sudah diceritakan di bagian depan, Beng San yang mengingat akan hubungannya dengan Hoasan-
pai dahulu, terpaksa pergi meninggalkan isterinya yang tercinta untuk membantu Hoa-san-pai.
Kepergiannya ini diakhiri dengan kehancuran hatinya sehingga membuat ia tidak berani pulang dan tidak
berani bertemu muka dengan isterinya!
Berbulan-bulan Bi Goat menunggu kembalinya suaminya dengan hati penuh rindu dan kekuatiran.
Akhirnya ia tidak dapat menahan lagi hatinya yang penuh rasa kegelisahan. Ia takut kalau-kalau suaminya
tertimpa bencana karena sudah terlalu lama meninggalkan rumah tanpa ada kabar beritanya dan juga tidak
kelihatan pulang. Akhirnya Bi Goat lalu minta pertolongan ayahnya untuk pergi menyusul Beng San ke
Hoa-san dan mencarinya sampai dapat.
"Hemmm, baru ditinggal beberapa bulan saja kau sudah rewel!" Kwee Lun mengomel. "Sudah lama aku
tidak meninggalkan gunung, kalau turun gunung aku takut akan kumat penyakitku yang lama!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Kakek yang dulu dijuluki setan berkabung itu mula-mula menolak permintaan puterinya. Ia sudah mulai
senang dengan hidup bersunyi di puncak yang indah itu, hidup menikmati ketenteraman di hari tua.
"Ayah, jangan salah mengerti. Bukan sekali-kali karena aku terlalu manja dan tidak bisa ditinggalkan suami
yang pergi menjalankan tugas sebagai orang gagah. Tetapi, harap Ayah ketahui bahwa sekarang
kandunganku sudah lima bulan. Bagaimana kalau sampai tiba saatnya melahirkan tidak ada ayahnya di
sini? Ayah, apa kau tidak kasihan padaku?" Suara Bi Goat menggetar dan hati kakek yang dulu dianggap
manusia iblis itu mencair.
"Baiklah... baiklah... dasar bocah yang jadi mantuku itu tidak tahu diri! Akan kucari dia dan kuseret pulang!"
Sambil mengomel panjang pendek, kakek yang pernah menjadi tokoh nomor satu di dunia kang-ouw
sebelah barat itu akhirnya turun gunung meninggalkan Min-san untuk menyusul dan mencari anak
mantunya, Tang Beng San.
Sebulan sudah Song-bun-kwi Kwee Lun meninggalkan Min-san. Pada suatu sore Bi Goat duduk seorang
diri di halaman depan rumahnya. Dengan penuh harapan, seperti setiap sore yang lalu, dia duduk menanti
kalau-kalau ayah dan suaminya pulang.
Para pelayan yang tak kurang enam orang banyaknya, sudah selesai bekerja dan sedang asyik mengobrol
di belakang rumah. Bi Goat duduk seorang diri menghadapi cangkir teh dan makanan yang mengandung
khasiat penguat badan. Ayahnya banyak memberikan makanan seperti ini untuknya.
Mendadak dia mendengar suara aneh di udara. Ketika dia mengangkat muka, Bi Goat terheran-heran
melihat seekor burung yang besar dan indah sekali terbang berputaran di atas puncak itu. Cahaya
matahari senja yang merah membuat bulu burung itu kelihatan kuning kemerahan, amat indahnya seperti
emas.
"Ahh, burung rajawali kalau aku tidak salah...," kata Bi Goat kagum sekali.
Mendadak wajahnya berubah dan nyonya muda ini cepat barigkit berdiri dari kursinya. Ia melihat sesuatu
yang aneh, sesuatu yang ajaib. Ada seorang wanita menunggang burung rajawali itu!
"Mimpikah aku?" gumamnya seorang diri sambil menggosok-gosok matanya.
Tidak, ia tidak mimpi. Malah kini burung itu menukik turun dan tak lama kemudian burung itu sudah sampai
di atas tanah, hanya belasan meter jauhnya dari tempat Bi Goat berdiri. Wanita muda dan cantik itu
melompat turun dari punggung rajawali.
Dengan hati berdebar-debar Bi Goat mendapatkan kenyataan bahwa wanita itu sedang mengandung.
Malah perutnya lebih besar dari pada perutnya sendiri. Kandungan wanita itu sudah tua. Wanita itu
melangkah maju, agak terhuyung-huyung.
Bi Goat adalah seorang yang pada dasarnya memiliki budi yang halus. Melihat wanita yang mengandung
tua ini terhuyung-huyung dan nampak letih, mukanya pucat, ia cepat lari menghampiri dan merangkul
pundaknya.
"Hati-hatilah, Cici...," katanya halus.
Wanita itu bukan lain adalah Kwa Hong! Kemarahannya ketika tadi turun dan menduga bahwa wanita
cantik yang juga sudah mengandung di depannya itu tentulah isteri Beng San, agak mereda oleh sikap
halus Bi Goat. Pernah ia melihat Bi Goat, akan tetapi hanya sebentar maka ia sudah lupa lagi (baca cerita
Raja Pedang).
Demlkian pula Bi Goat, biar pun pernah bertemu dengan Kwa Hong, tapi karena baru sekali dan hanya
sebentar, ia pun sudah lupa lagi.
"Di mana Beng San? Aku ingin bicara dengannya," berkata Kwa Hong menahan marah, suaranya agak
ketus dan sama sekali ia tidak menyambut baik sikap halus dari Bi Goat tadi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bi Goat terkejut, tapi ia menjawab juga. "Suamiku sudah beberapa bulan turun gunung, sampai sekarang
belum pulang," jawabnya masih halus dan hati-hati ia bertanya, "Tidak tahu siapakah Cici ini dan ada
keperluan apalah mencari suamiku?"

Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru