Selasa, 24 April 2018

Tangan Geledek 2 Kho Ping Hoo

-----
Selagi Li Hwa masih kaget sekali karena tangkisan Sin
Hong tadi ketika rnenolong Lee Goat, Kong Ji cepat
melakukan totokan-totokan hebat. Li Hwa masih mencoba
untuk mengelak, akan tetapi sebuah totokan mengenai jalan
darah di pundaknya, membuat tubuhnya menjadi lemas dan
kedua kakinya lumpuh. Di lain saat ia telah menangkap
pergelangan tangan Li Hwa yang tidak berdaya lagi dan
merampas pedang Cheng liong kiam!
Melihat isterinya telah tertawan, Sin Hong menjadi marah
bukan main. Tadi dia tidak bermaksud melukai para
lawannya, akan tetapi kini pedang di tangan kanannya
bergerak cepat bagaikan kilat menyambar-nyambar. Biarpun
tangan kirinya memondong Lee Goat, namun kelihaiannya
tidak berkurang karenanya. Dengan gerakan seperti burung
terbang ke atas la!u menukik ke bawah, ia membuat gerakan
jungkir balik dan pedangnya menyambar secara aneh dan
tak terduga semula sehingga Liok te Moko Ang Bouw yang
kurang cepat mengelak, mengeluarkan seruan kaget dan
kalau saja Giam lo ong Ci Kui tidak lekas menendangnya
sampai terlempar jauh, tentu tubuh Ang Bouw yang kurus
kering itu akan terbabat menjadi dua!
Pertolongan Ci Kui itu membuat Ang Bouw hanya
te rgurat sedikit pundaknya dan pantatya yang kena tendang
jaga terasa sakit ! Ia hendak menerjang Kong Ji, akan tetapi
Ci Kui, Ang Louw, data Bouw Gun menghadang dan
mengurungnya. Sin Hong yang sudah naik darah karena
cemas melihat keadaan isterinya, kembali mengerjakan
13
pedaagnya dan Sin-sai-kong Ang Louw roboh terjungkal
terkena tendangan kakinya.
Melihat sepak terjang Sin Hong, Kong Ji menjadi gentar.
Ia tahu bahwa dalam kemarahannya, Sin Hong tak dapat
ditahan dan kawan-kawannya pasti akan roboh semua.
*Sin Hong, tahan dan dengarkan kata-kataku, kalau kau
ingin iste rimu selamat !” Mendengar ini, Sin Hong melompat
ke belakang dan melintangkan pedang di depan dada.
Matanya memancarkan cahaya be rapi, mukanya merah dan
sikapnya seperti seekor harimau marah. Dengan sinar mata
penuh ancaman melihat Kong Ji menodongkan ujung Cheng
liong-kiam di leher Li Hwa.
“Kong Ji, kalau kauganggu dia ......... aku bersumpah
akan memenggal batang lehermu ……!” kata Sin Hong di
balik giginya yang diadu saking marahnya. Kong Ji
tersenyum lebar. Masih tampan dia karena makin tua dia
makin banyak lagak.
"Sin Hong. kaulihat isterimu telah berada di ujung
pedang. Jangan kau salah terima. Aku tidak bermaksud
buruk asal saja kau mendengar omonganku, aku takkan
mengganggu Hui-eng Niocu isterimu ini."
Sin Hong sudab cukup mengenal kelicikan watak Kong
Ji. Akan tetapi oleh karena pada saat itu isterinya memang
berada di bawah kekuasaan lawan dan ia tak berdaya
menolong tanpa membabayakan keselamatan iste rinya apa
boleh buat is harus mendengarkan syarat-syarat lawan !
"Kong Ji, kaukatakan apa kehendakmu !” akbirnya ia
bcrkata, Liok Kong Ji yang kini di utara terkenal dengan
sebutan Thian-te Butek Taihiap tertawa bergelak penuh
kemenangan.
"Sin Hong, kalau kau hendak menerima kembali istcrimu
dalam ke adaan selamat, pergilah ke Omei-san."
14
"Apa maksudmu ? Apa yang barus kulakukan di Omeisan,”
tanya Sin Hong
agak heran.
Kembali Kong Ji
tertawa. "Kau tentu masih
ingat babwa aku dahulu
telah diangkat menjadi
Tung-nam Beng-cu (Ketua
Timur dan Selatan)
oleh karena kawan-kawan
masih menghendaki aku
me-megang kedudukan
itu, kini ternyata dua
orang kakek di Omei-san
tidak mau mengakui
kedudukanku dan tidak
mau membantu. Oleh
karena aku hendak
mengunjungi me reka dan
sekiranya aku membutuhkan
bantuanmu ketika
berhadapan dengan
mereka, kau harus
membantuku, Aku bersumpah kau akan mene rima isterimu
dalam keadaan selamat asal saja kausuka membantuku.
Bulan depan pada pertengahan bulan kau harus berada
sana. Aku bukan mengancam, akan tetapi kalau kau tidak
dapat membantuku, akupun tidak menanggurg tentang
keselamatan Hui-eng Niocu. Selain itu, akupun
menghendaki keterangan dari pedamu. Di mana adanya
puteriku?"
Sin Hong memandang tajam. "Nanti dulu Kong Ji. Kita
bicarakan soalnya satu demi satu. Kau hendak menjadikan
isteriku sebagai tawanan sampai aku membantumu pada
bulan depan di Omei -san. Bantuan apa yang kau kehendaki
15
dari aku? Apa yang harus kulakukan terhadap dua orang
kakek sakti di Omei san?"
"Kami hendak membujuk mereka supaya mereka beke rja
sama, dan......... “
"Ha...... ! Bekerja sama dengan balatentara Mongol,
bukan?"
“Sin Hong, jangan kau mengejek. Ingat, ini urusan mati
hidupnya isterimu! Pendeknya, pada bulan depan kau harus
berada di Omei.san dan terserah kepadamu kelak apakah
kau menghendaki isterimu selamat dengan jalan membantu
kami, ataukah kau ingin melihat isterimu tewas dalam
tanganku. Dan kau tahu, kalau sekarang kau mengamuk,
isterimu akan kubunun lebih dulu, kemudian kau akan
kami keroyok. Kawan-kawanku ada belasan orang tokohtokoh
kang-ouw di daerah setatan yang tak jauh dari sini
menantiku. Kau tinggal pilih!.
Sin Hong berpikir cepat. Memang, ia tidak usah takut
dan sangat boleh jadi ia akan dapat membasmi mereka ini
semua termasuk Kong Ji akan tetapi juga sudah dapat
dipastikan babwa lebih dulu Li Hwa akin tewas di tangan
Kong Ii! ia tidal tega membiarkan isterinya tewas. Waktu
masih satu bulan dan kelak ia dapat melihat gelagat di
puncak Omei-san. Kelau ada harapan menolong Li Hwa dan
membasmi Kong Ji, mengapa harus targesa-gesa dan
menurutkan nafsu hati? Mengapa harus mengorbankan
nyawa isterinya yang tercinta?
"Baik ! Bulan depan kita bertemu lagi di Omei-san. Akan
tetapi kau tentu tahu betul Kong Ji bahua adabila kau
mengganggu isteriku, aku akan mencarimu biarpun kau
bersembunyi di neraka. Bahkan sampai matipun arwahku
akan selalu mencarimu untuk membalas dendam!” kita Sin
Hong. suaranya penuh semangat dan tersungguh-sungguh
sehingga diam-diam Kong Ji mcrasa ngeri juga.
16
"Sekarang permintaanku yang kedua, Sin Hon?. Di mana
adanya keturunanku ? Adakah ia laki-laki atau perempuan
dan di mana dia sekarang?"
Mendengar suara ini mengandung keharuan, diam diam
Sin Hong terheran. Manustu iblis seperti ini masih ingat
akan keturunan!
"Keturunanmu yang mana ? Manusia macam kau ini
mana mempunyai keturunan ?” tanya Sin Hong, tetapi tibatiba
hatinya menjadi perih karena teringatlah ia bahwa
dialah orangnya yang tidak mempunyai keturunan biarpun
sudah menikah hampir lima tahun lamanya.
"Sin Hong, jangan kau pura-pura. Kau tahu dengan betul
anak siapa yang ku maksudkan. Ataukah perlu hal itu kita
bicarakan lagi? Kau tahu. bahwa dia telah melahirkan anak
ke turunanku. Di mana dia sekarang?" Kong Ji mendes ak.
Ttba-tiba Sin Hong mendapat akal. Dia tidak ingin
memberitahukan bahwa enak Kong Ji yaitu Tiang Bu,
berada di Omei san, bukan ia tidak ingin mempertemukan
anak itu dengan ayahnya yang keji dan jahat ini. Akan tetapi
untuk be rbohong diapun tak sanggup.
"Kong Ji, memang benar dia melahirkan anakmu, reorang
anak laki-laki dan ...... "
"Betulkah......... ? Sudah kuduga! Aku mempunyai
seorang putera!.. Ha, di manakah dia s ekarang, Sin Hong ?
Namanya siapa?"
"Di mana adanya dia sekarang lebih baik kau bcrtanya
kepada kawan-kawanmu Pak kek ‘Sam-kui itu! Merekalah
yang menculik anakmu itu dari tanganku di Go-bi-san,"
Kong Ji menjadi pucat mukanya, "Apa....?? Dia.... ?" Kong
Ji lalu menoleh kepada Pak kek Sam kui dan membentak.
"Mengapa tidak memberi tahu bahwa dia itu anakku?”
17
Giam lo-ong Ci Kui menjawab, nampaknya ketakutan,
"Maaf, Taihiap. Mana kami tahu bahwa anak itu putera
Taihiap sendiri ?”
"Dimana dia sekarang ? Hayo lekas bawa ke mari !
"Harap sudi memaafkan kami. Taihiap. Kalau kami tahu
bahwa anak itu adalah putera Taihiap, tentu akan kami jaga
dengan pertaruhan nyawa kami. Anak itu sudah lama sekali
tidak berada dalam bimbingan kami lagi!. Semenjak di utara
anak itu sudah dirampas oleh Thai Gu Cinjin dan sekarang
entah dibawa ke mana."
"Celaka......... Celaka...... ! Aku berhadapan dengan anak
sendiri sampai tidak tahu......... !” Kong Ji membantingbanting
kakinya. Saking marah dan kecewanya ia sampai
lupa bertanya siapa nama puteranva itu.
"Sudahlah, mencari Lama gila itu tidak berapa sukar.
Kelak tentu anakku akan kembali kepadaku. Sin Hong,
sampai jumpa pertengahan bulan depan di Omei-san. Aku
tahu kau pasti datang," katanya sambil menarik lengan
tangan Li Hwa yang masih lemas dan tak dapat bicara itu
dan dengan suara tinggi ia memberi isyarat. Dari balik
gerombolan pohon muncul beberapa orang membawa
beberapa ekor kuda. Kong Ji mengangkat Li Hwa dan
mendudukkannya ke atas kuda, scdangkan ia sendiri dan
Pak-kek Sam-kui serta Bou Gun juga melompat ke atas
kuda.
"Awas kalau kau mengganggu dia, Kon Ji!" Hanya ini
yang dapat dikatakan oleh Sin Hong yang memandang
tsterinya dibawa pergi dengan hati gelisah.
Biarpun Liok Kong Ji dan kawan-kawannya yang lihai itu
tak dapat mengalahkan ilmu kepandaian Wan Sin Hong yang
tinggi, namun manusia iblis ini dengan kecerdikan dan
kecurangannya dapat menggunakan tipu muslihat dan
membuat Sin Hong tunduk di bawah pengaruhnya.
18
Setelah Li Hwa tertawan dan mati hidupnya berada di
tangan Kong Ji, sudah tentu sekali Sin Hong menjadi seakan
akan tak berdaya dan sedapat mungkin hendak
menyelamatkan nyawa isterinya itu. Sin Hong mempunyai
keyakinan bahwa Kong Ji tentu tidak akan berani
mengganggu Li Hwa karena orang jahat itu sebetulnya
merasa jerih kepadanya. Dengan keyakinan inilah maka Sin
Hong menerima syarat Kong Ji untuk datang ke 0mnei-san.
Demikianlah seperti telah dituturkan di bagian depan.
Tiang Bu dari tempat persembunyiannya melihat Sin Hong
berlari-lari menghampiri perempuan yang tadinya ia sangka
adalah adiknya, Lee Goat. Siapakah anak perempran itu?
Memang tidak salah sangkaan Tiang Bu tadi. Bocah itu
bukan lain adalah Coa Lee Goat yang telah menjadi murid
Sin Hong. Karena Sin Hong maklum bahwa keluarga
muridnya. tetutama sekali kakek bocah itu, Hwa I Enghiong
Go Ciang Le mempunyai banyak sekali musuh dan pada
waktu itu dunia kang-ouw sedang kacau balau dan banyak
terjadi kerusuhan, maka ia memesan kepada Lee Goat agar
supaya menyembunyikan namanya dan jargan sekali-kali
memperkenalkan diri kepada orang lain.
Inilah yang menjadi sebab, mengapa Lee Goat diam saja
tidak memengaku ketika Tiang Bu menyebut namanya,
biarpun bocah perempuab ini terkejut bukan main
mendengar orang yang sama sekali tidak dtkenalnya taru
tahu telah menyebut namanya begitu saja. tentu saja sudah
lupa lagi dan tidak mengenal Tian Bu karena ketika Tiang
Bu pergi meninggalkan rumah, Lee Goat baru berusia dua
tahun.
Kedatangan Sin Hong di Omei-san memang terutama
untuk menolong isterinya sebagaimana dijadikan syarat
pemerasan oleh Kong Ji, akan tetapi juga ia sekalian hendak
membuktikan apakah benar dugaannya tepat yaitu bahwa
Tiang Bu dibawa oleh kakek sakti di Omei san. Ia merasa
bertanggung jawab atas kehilangan bocah itu.
19
Semenjak Li Hwa dibawa pergi Kong Lee Goat selalu
kelihatan muram dan berduka. Kadang-kadang ia demikian
gemas sehingga di depan gurunya ia berkata,
"Kalau aku besar dan kuat, jahanam Kong Ji tentu akan
kubelek dadanya, kucabut keluair jantungnya!"
Sin Hong mengerutkan kening apabila melihat muridnya
marah-marah seperti ini.
"Hush, Lee Goat, jangan kau bicara sembarangan. Tak
baik memperlihatkan isi hati yang meluap-luap dan tidak
baik menanam kebencian kepada sese orang."
"Suhu. teecu benci sekali kepada orang jahat itu. Kenapa
suhu tidak membunuhnya s aja? Bagaimana kalau subo
sampai celaka di tangannya?"
'Tidak, subomu akan selamat dan kita akan hertemu lagi
dengan dia di puncak Omei-san. Lee Goat harus belajar
tenang dan sahar. Jangan sekali - kali menurutkan nafsu
hati dan tangan sekali kali kehilangan ketenanganmu
betapapun hebat pengalaman yang kauhadapi. Kalau aku
turun tangan pada saat subomu ditawan, itu bahkan akan
mencelakakan subomu. Tenanglah,"
Akan tetapi Lee Goat tak dapat dihibur dan dalam
perjalanan menuju ke Omei-san ia bermuram durja dan
nampak marah-marah dan berduka selalu. Setelah me reka
tiba di kaki Gunung Omei-san, barulah nampak bocah itu
agak gembira.
"Suhu, di manakah adanya subo?" tanyanya sambit
menudingkan telunjuknya ke arah puncak.
Sin Hong mengangguk.
"Mari kita lari, suhu. Teccu sudah ingin sekali melihat
subo selamat di puncak sana kata Lee Goat yang
mendahului gurunya berlari naik.
"Hati-hati, Lee Goat. Jalan di s ini sukar, jangan kau
gergesa-gesa dan meninggalkan kewaspadaan !”
20
"Baik, suhu! jawab Lee Goat, akan tetapi tetap saja gadis
cilik ini berlari-lari mendahui suhunya. Karena maklum
bahwa ginkan dari muridnya sudah cukup tinggi, Sin Hong
tidak khawalir dan ia menyusul dari belakang pelahanlahan.
Waktunya masih dua hari lagi mengapa harus
tergesa-gesu? Sambil tersenyum Sin Hong memandang
muirdnya yang kini mencabut pedang membabati alangalang
dan pohon-pohon ke cil yang merintangi jalan.
“Bocah itu besar sekali semangatnya seperti Hui Lien di
waktu muda,” pikir Sin Hong.
Setelah tiba di lereng gunung, tiba-tiba Sin Hong melihat
berkelebatnya beberapa bayangan orang yang cepat naik ke
gunung melalui jalan lain di sebelah kiri. Hatinya menjadi
curiga juga tertarik. Cepat bagaikan bayangan burung
terbang, Sin Hong melompat kekiri dau mengintai dari balik
batang pohon ia melihat orang-oranganeh yang tak
dikenalnya naik ke gunung dengan ilmu lari cepat yang
mendadakan bahwa me reka adalah Orang-orang berilmu.
Bahkan di lain bagian gunung itu terdapat pula orang orang
naik ke puncak. Samar-samar Sin Hong melihat Le Thong
Hosiang, Nam Kong Hosiang, Nam Siong Hosiang. dan
Hengtuagan Lojin, empat orang hwesio yang pernah datang
mengunjunginya di
Luliang san beberapa tahun yang lalu. Tokoh-tokoh
selatan pada naik ke Omei-san, ada apakah gerangan? Apa
yang hendak dilakukan oleh Liok Kong Ji? Sin Hong
menduga bahwa semua ini tentulah gara-gara Liok Kong Ji
yang selalu pandai menimbulkan keonaran di mana-mana.
Sementara itu, Lee Goat sudah berlari lari meninggalkan
suhunya sampai di tempat Tiang Bu tertidur di bawah
pohon. Pedangnya masih membabat-babat rumput dan
pohon kecil yang melintang di jalan, seakan-akan ia jalan
sedang berperang dengan tetumbuhan itu. Memang dalam
hatinya Lee Goat mengumpamakan rumput dan pohon kecil
21
itu seperti Liok Kong Ji yang sudah menculik subonya maka
ia membabat dan membacok dengan penuh semangat!
"Ular ..... !" serunya geli dan ngeri melihat seekor ular
hijau mengangkat kepala dan lidahnya mendesis-desis
ketika Lee Goat membabat alang-alang yang tadinya menjadi
tempat sembunyi ular itu. Akan tetapi ia sebentar Lee Goat
terkejut. Secepat kilat pedangnya menyambar dan tubuh
ular itu terbabat putus menjadi dua! Sambil menggerakgerakkan
kedua pundak kegelian Lee Goat menggunakan
ujung pedangnya untuk mencokel potongan-potongan tubuh
ular itu ke dalamsemak-semak.
"Setan berhati jahat!" Tiba-tiba mendengar makian dari
dalam semak-semakitu dan muncullah seorangbocah
perempuan yang sebaya dengan Lee Goat. Bocah ini juga
membawa pedang dan dengan marah sekali ia lalu
menerjang Lee Goat dengan bacokan pedang . Tentu saja Lee
Goat menjadi heran dan cepat menangkis sambil berkata.
"Aku tidak sengaja melemparkan bangkai ular. Kalau
kebetulan mengenaimu mengapa kau marah- marah? Apa
kau mau bunuh orang?”
Gadis cilik yang berwajah jelita itu dengan alis berkerut
memakinya.
"Orang dengan hati keji seperti kau harus dibunuh!
Kenapa kau membacok ular yang tidak bersalah apa-apa?
Kau benar kejam.” Setelah berkata demikian, kembali ia
menyerang Lee Goat dengan hebat. Lee Goat menjadi marah
sekali. Membunuh ular dianggap kejam. Orang macam apa
ini! Setelah menangkis serangan lawan, iapun membalas
dengan bacokan-bacokan sehingga dua orang gadis cilik itu
saling serang dengan ramai. Pedang yang mereka gunakan
adalah pedang biasa yang kelihatan terlalu panjang bagi
mereka, akan tetapi ternyata bahwa keduanya dapat
memainkannya dengan baik, tanda bahwa mereka adalah
murid-murid dari guru yang pandai dalam ilmu pedang. Bagi
Lee Goat mainkan senjata pedang bukan hal yang aneh
22
karena gurunya aalah Wan Sin Hong, seorang ahli pedang
yang lihai sekali. Akan tetapi gadis cilik yang marah-marah
karena ada ular dibunuh Lee Goat yang juga lihai sekali ilmu
pedangnya, siapakah dia ini?
Bocah perempuan yang lihai dan marah-marah melihat
seekor ular dibunuh ini adalah Wan Bi Li yang datang ke
tempat itu bersama Wan Sun kakaknya dan Ang jiu Mo-li
gurunya. Seperti diketahui, Wan Sun dan Wan Bi Li menjadi
murid Ang jiu Mo-li tokoh utara yang amat lihai itu dan kini
Ang jiu Moli mengunjungi Omei-san membawa dua orang
muridnya.
Baik Sin Hong maupun Ang jiu Mo-li merasa heran
melihat kehadiran masing masing di tempat ini. Ang-jiu Moli
yang menegurnya lebih dulu.
'Wan-bengcu, agaknya murid - murid kita saling mewakili
gurunya untuk mencoba kepandaian masing-masing. Bi Li,
apakah kau kalah oleh murid Wan-bengcu ini?" tanya Angjiu
Mo-li kepada Bi Li. Gadis cilik itu menjebikan bibirnva
yang manis .
"Mana teecu bisa kalah oleh orang keji itu? Bertempur
lagi sampai seribu jurus teecu masih berani !”
Lee Goat memandang dengan mata tajam dan marah.
"Sombong, kaukira aku takut menghadapimu?”
Sin Hong tersenyum, lalu menegur muridnya dengan
suara keren. "Lee Goat, jaagan mudah naik darah. Mengapa
kau bertempur dengan orang lain ?"
"Teecu tidak apa-apa diserang oleh bocah gila itu, suhu,"
Lee Goat membela diri.
"Tidak aps-apa katamu? Pandai membohong. Dia telah
membunuh seekor ular yang tak berdosa !" kata Bi Li,
sepasang matanya memancarkan sinar bercahaya yang
mengejutkan hati Sin Hong. Bocah yang menjadi murid Angjiu
Mo-li itu hebat sekali sinar matanya, pikir Sin Hong
23
kagum, juga khawatir karena bocah seperti itu dapat
menjadi seorang yang berbahaya kelak.
`Wan-bengcu, kaulihat bahwa muridmu yang bersalah
dan bahwa muridku memiliki sifat pendekar, suka menolong
yang lemah.” Ang jiu Mo-li menyindir sambil tersenyum
mengejek.
"Baik sekalu. Sayangnya yang ditolong adalah seekor ular
yang jahat," jawab Sin Hong. "Betapapun juga, muridku
telah salah karena berani melanggar pantanganku
bertempur, Lee Goat. hayo kau minta maaf kepala Ang-jiu
Mo-li dan dua muriidya!”
Lee Goat mengerutkan alisnya dan ragu-ragu. Apalagi
ketika ia mendengar Wan Sun mengomeli adiknya.
"Seharusnya kau tidak datang.datang menye rang orang lain,
Bi Li. Kau mencari gara gara saja !" Mendengar omelan Wan
Sun ini, Lee Goat marasa dimenangkan dan ia merasa
penasaran mendengar perintah suhunya agar supaya ia
minta maaf. Akan tetapi ke tika ia melirik dan melibat
gurunya memandang kepadanya dengan sen)um penuh arti
dan pandang mata harapan ia lalu mengangkat kedua
tangan membungkuk dengan hormat ke arah Ang-jiu Mo-li
bertiga murid-muridnya sambil berkata. "Harap maafkan
semua kesalahanku!”
Ang-jiu Mo li menjadi merah mukanya. "Wan-bengcu,
benar-benar kau lebihpandai mendidik murid. Dan
kebetulan sekali kita bertemu di sini. Ketahuilah, Wanbengcu
bahwa aku masih angin sekali mengukur sampai di
mana kehehatan ilmu pedangmu yang be gitu disohorkan
orang. Setelah murid kira bermain-main, marilah kita
mencoba-caba sebentar.'
Akan tetapi Sin Hong yang sedang menderita batin
karena kehilangan isterinya, tidak ada nafsu untuk mengadu
kepandaian. Ia menggeleng kepala dan menjawab,
24
"Ang jiu Mo-li, bukan sekali -kali aku tidak menghargai
ajakanmu. Akan tetapi sekarang bukanlah saatnya yang
tepat untuk mencoba kepandaian. Ingatlah bahwa kita,
berada di daerah orang lain dan menurut patut kita harus
menghormati tuan rumah di 0mei-san dan jangan
memamerkan kepandaian di sini. Nanti saja kalau urusanku
di sini sudah beres, tentu aku takkan manolak ajakanmu
itu."
Kembali Ang-jiu Mo-li tersenyurn. Ia masih nampak
manis sekali kalau tersenyum.
"Agaknya kau juga segan terhadap kedua couwsu dari
Omei-s an ! Baiklah, aku setuju dengan pendapatmu. Akan
tetapi, kau datang di tempat ini ada urusan apakah?”
Sin Hong merasa segan untuk mengaku terus terang.
Kemudian ia teringat akan pemandangan di lereng bukit tadi
di mana ia melihat banyak sekali orang kangouw mendaki
gunung.
“Aku tertarik karena melihat banyak orang gagah
mendaki Gunung Omei.san. Hendak kulihat mereka itu akan
berbuat apa. Dan mengapa pula kau jauh-jauh datang dari
utara ke tempat ini, Ang jiu Mo-li?" Diam-diam Sin Hong
terkejut sendiri ketika timbul dugaan di dalam hatinya
apakah wanita lihai ini bukan sekutu Kong Ji pula ? Kalau
betul sekutu Kong Ji, ia benar-benar akan menghadapi
lawan yang amat tangguh.
Ang-jiu Mo li tersenyum, agaknya tidak percaya akan
keterangan Sin Hong tadi. "Aku pun tadinya hanya ingin
melancong saja. Kebetulan bertemu dengan kau di sini dan
kalau benar banyak orang naik ke puncak Omei-san benar
benar akan ada pesta hebat yang menggembirakan. Nah,
sampai berternu kelak di kaki gunung ini, Wan-bengcu.
Ataukah ..... di puncak kita berjumpa
"Kita sama lihat saja nanti. Ang-liu Mo-li," jawab Sin
Hong.
25
Sejak tadi Wan Sun memandang kepada Sin Hong
dengan pandang mata penuh gairah. Beberapa kali ia
menggerakkan bibir hendak mengeluarkan suara, akan
tetapi ditahan-tahannya dan akhirnya ketika gurunya
mengajak dia dan adiknya pergi, ia menurut saja tanpa
mendapat kesempatan lagi untuk bicara dengan Sin Hong.
Dapat dibayanglan betapa inginnya puteta pangeran ini
bicara dengan Sin Hong setelah ketahui bahwa inilah Wa
bengcu atau Wan Sin Hong yang masih terhitung pamannya
sandiri.
Sejak kecil ayahnya sudab sering kali menuturkan
kepadanya tentang Wan Sin Hong yang gagah perkasa dan
yang memiliki wajah serupa benar dengan ayahnya, Wanyen
Ci Lun. Sekarang setelah berhadapan muka. tentu saja ia
ingin sekali bicara dengan pamannya ini. Akan tetapi ia tidak
berani oleh krena gurunya sudah memes an dengan keras
agar supaya di dalam perantauan. dua orang muridnya ini
jangan mengaku bahwa mereka adalah putera Pange ran
Wanyen Ci Lun dari Kerajaan Kin.
Juga Sin Hong meninggalkan lereng itu dan mengajak
Lee Goat melarjutkan perjalanan menuju ke puncak gunung.
Lee Goat menengok ke sana ke mari mencari-cari dengan
matanya.
"Kau mencari siapa?" tanya Sin Hong. "Suhu, tadi ketika
teecu bertempur dengan anak ......... . setan itu .........“
"Hush. jangan menggunakan kata-kata makian! Lee Goat,
bukankah tadi kau sudah minta maaf? Baruk sekali
watakmu."
Lee Goat menjadi merah mukanya. "Ampun, suhu. Teecu
tidak bermaksud memaki, karena di dalam hati teecu tidat
ada kebencian terhadapnya."
"Lanjutkan penuturanmu tadi."
"Ketika tadi tee cu bertempur, di antara kami berdua
be lum ada yang kalah atau menang. Biarpun teecu sudah
26
menggunakan Ilmu Pedang Soan-bong-kiam-hoatt (Ilmu
Pedang Angin Puyuh), namun teecu tak dapat mendesaknya.
ilmu pedangnya juga istimewa sekali, akan tetapi teecu tak
mau kalah dan kami berdua masih seimbang. Tiba-tiba
muncul seorang anak laki-laki yang usianya sebaya dengan
kakak lawan teecu tadi, ia mendorongkan tongkatnya di
tengah-tengah, di antara kami. Pedang teecu menghantam
torgkat itu dan ......... pedang kami berdua terlempar!”
Sin Hong mengelus-elus dagunya yang mulai ditumbuhi
jenggot. Hati kecilnya menduga-duga dan ia merasa heran
apakah bocah yang dimaksudkan ini bukan Tiang Bu!
"Bagaimana rupanya?" tanyanya.
"Rupanya jelek, pakaiannya tambal-tambalan. Melihat
rupanya, dia itu seperti anak kampung biasa s aja, suhu.
Akan terapi anehnya, begitu dia muncul dia llu menyebut
nama teecu! Inilah yang membikin teecu bingung dan heran
sekali."
Berdebar hati Sin Hong. Tak salah lagi, tentu Tiang Bu
yang mengenal wajah adiknya! "Apa katanya?" ia mendesak
muridnya.
"Dia hanya bertanya bukankah teecu ini Lee Goat dan
ketika teecu jawab bukan, dia terheran dan menyatakan
bahwa wajah teecu serupa benar dengan wajah Lee Goat !"
Sin Hong mengangpuk-angguk. Kini iapun menengok ke
kanan kiri, memandang tajam untuk melihat apakah Tiang
Bu masih berada di sekitar tempat itu. Akan temtapi Tiang
Bu sudah pergi. karena anak inipun melihat datangnya
banyak sekali orang orang aneh yang naik ke puncak, maka
diam-diam iapun mendahului pulang ke puncak untuk
memberi tahu gurunya.
"Ke mana dia pergi? Mengapa tadi aku tidak melihat dia?"
'Entahlah, tadi dia terus pergi lagi, suhu. Siapakah dia,
suhu........” tanya Lee Goat.
27
"Kau tidak tahu. Dia itulah kakakmu sendiri yang pergi
dari rumah ketika kau masih berusia dua tahun."
Lee Goat membelalak......... matanya yang lebar. "Kakak
Tiang Bu yang diculik orang? Akan tetapi......... kenapa
dia......... dia begitu buruk dan pakaiannya penuh tambalan
seperti penggembala kerbau ?"
"Dia itu kakakmu. Hemm, jangan kau melihat pakaian.
Bukankah tongkatnya sekali gerak saja sudah membikin
teelepas pedangmu?"
Lee Goat membungkam. Dalam hatinya memang ada rasa
bangga akan kepandaian kakaknya yang lebih tinggi darinya,
akan tetapi ia merasa kecewa karena kakaknya itu menurut
anggapannya berwajah jelek, tidak tampan gagah seperti
kakak Bi Li tadi. Juga, mengapa kakaknya tidak
membantunya dan memberi hajaran kepada Bi Li ? Akan
tetapi terus saja ia tidak berani membicarakan hal ini di
depan suhunya dan tanpa banyak cakap ia mengikuti
gurunya naik ke puncak. Apa lagi sekarang perjaIanan amat
sukar, melalui batu-batu karang yang tajam dan runcing,
harus mempergunakan ginkang dan perhatian sepenuhnya.
Di bagian yang paling berbahaya, Sin Hong memegang
tangan muridnya. Jauh di depan ia melihat Ang-jiu Mo-li
juga manggandeng kedua muridnya di kanan kiri untuk
melalui tebing yang curam dan berbahaya.
Sementara itu, Tiang Bu berlari cepat naik ke puncak
dan dengan wajah agak berubah ia memasuki pondok, ia
melihat kedua orang kakek sakti itu sedang duduk
berhadapan menghadapi papan catur. Melihat kedua orang
gurunya yang sudah amat tua dan akhir-akhir ini kelihatan
lemah dan sering kali mengeluh karena tubuh sudah mulai
digerogoti usia tua. Tiang Bu menjadi makin gelisah. Tiong
Sin hwesio sudah berusia hampir sembilan puluh tahun dan
Tiong Jin Hwesio hanya lebih muda sepuluh tahun. Sering
kali Tiong Sin Hwesio mengeluh bahwa tulang tulangnya
sudah terlalu lapuk, tubuhnya sudah terlalu tua sehingga
28
"tidak enak” lagi dijadikan tempat tinggil jiwanya! Dan
sekarang dua orang hwesio tua ini masih enak-enak bermain
catur, padahal dari bawah gunung naik banyak orang yang
kelihatannya aneh-aneh dan gagah-gagah !
Kalau mereka itu naik dengan maksud jahat, bukankah
kedua orang suhunya akan ce laka? Selama lima tahun di
Omei -san, Tiang Bu belum pernah manyaks ikan kelihaian
kedua orang gurunya. Biarpun ia telah menerima banyak
pelajaran ilmu yang t inggi tinggi, namun kedua orang kakek
itu tak pernah mendemontrasikan kepandaian mereka,
apalagi Tiong Sin Hwesio yang kerjanya hanya bersarnadhi
dan main catur belaka.
Tiong Jin Hwesio masih mendingan karena di waktu
melatih ginkang dan lweekang atau ilmu silat yang sulitsulit,
masih terlihat kelihaiannya. Oleh karena inilah maka
tidak mengherankan apabila Tiang Bu mengkhawatirkan
keselamatan dua orang kakek itu.
'Tiang Bu, kau sudah pulang. Apakah pekerjaamu
mengisi tempat air sudah selesai ?” Tiong Jin Hwesio
bertanya tanpa menoleh dari papan catur yang dihadapinya.
'Belum suhu. Akan tetapi.......”
"Kalau begitu keluarlah dan selesaikan dulu
pekerjaanmu baru nanti bicara!" Tiong Jin Hwesto memotong
kata-katanya. Suara keren dan berpengaruh sehingga Tiang
Bu tidak berani berlaku lambat.
"Baik, suhu ..... .." Ia bangkit dari lantai di mina ia tadi
berlutut lalu berjalan perlahan menuju ke pintu.
"Tsang Bu. ....!” Panggilan halus dari Tiong Sin Hwesio
membuatnya menghentikan tindakan kakinya. Ia membalik
dan menjatuhkan diri berlutut di ambang pintu, menanti
kelanjutan bicara suhunya.
"Melihat apa.apa, bersikaplah tenang. Hanya ketenangan
yang mempertajam kewaspadaan. Jangan mencampuri
29
urusan orang lain dan jangan bertindak sembrono. Dua
orang gurumu masih hidup dan masih berada di sini,
mengapa kau gelisah? Bekerjalah dan tunggu saja perintah
kami!"
*Baik, suhu dan terima kasih atas nasehat suhu," kata
Tiang Bu. Kini kedua kakinya terasa ringan seperti hatinya.
Kata-kata Tiong Sin Hwesio seperti memberi semingat
kepadanya oleh karena kata-kata itu seakan akan hendak
membayangkan bahwa dua orang suhunya itu sudah tahu
akan naiknya banyak orang ke puncak dan tentu sudah
siap-siaga. Dengan hati lega Tiang Bu membawa pikulan dan
tempat air, lalu berlari -lari turun dari puncak menuju ke
lereng di mana terdapat pancuran air.
Akan tetapi baru saja ia memenuhi dua kaleng tempat air
itu dengan air gunung yang jernih dan sejuk, tiba-tiba
terdengar orang tertawa dan berkata,
"Bagus kau datangmenghantarkan diri!"
Ketika Tiang Bu membalikkan tubuh, ia melihat Thai Gu
Cinjin sudah berdiri di hadapannya dan di samping Thai Gu
Cinjin berdiri pula seorang laki-laki gundul setengah tua
yang matanya berputar liar. Melihat laki-laki gundul ini,
Tiang Bu menjadi makin terkejut karena ia mengenal lakilaki
ini sebagai pembunuh gurunya, Ba Hok Lokai ! Itulah
laki-laki gundul berpakaian compang-camping yang
senjatanya istimewa, yaitu dua ekor ularmerah.
Karena maklum bahwa dua orang yang berdiri di
hadapannya itu tentu tidak mengandung maksud baik.
Tiang Bu lalu membalikkan tubuhnya dan melarikan diri.
Akan tetapi, ia merasa ada sambaran ongin dari belakang.
Cepat bocah ini menjatuhkan diri ke kiri dan tongkat
panjang dari Thai Gu Cinjin yang tadi menyambarnya itu
lewat cepat di atas kepalanya.
'Tiang Bu, jangan lari ! Kalau kau lari berarti kau akan
mampus. Kami tidak akan mengganggu, hanya minta
30
bantuanmu mengantar kita ke puncak, ke tempat dua orang
kakek itu menyimpan kitab-kitabnyal" kata Thai Cu Cinjin.
Tiang Bu yang sudah melompat bangun tentu saja tidak
memperdulikan kata-kata ini dan sekali lagi ia melompat
hendak melarikan diri. Tiba tiba terdengar desir angin dan
tahu-tahu Thai Gu Cinjin dan orang gundul itu sudah
melompat dan berada di depannya, menghadang dengan
wajah mengandung ancaman.
“Jiwi mau apakah! Aku tidak mau berurusan dengan jiwi,
biarkan aku lewat!" kata Tiang Bu sedikitpun tidak takut.
"Tiang Bu, sudah lama aku tahu bahwa kau sekarang
menjadi murid di Omei -san. Aku hanya minta kau
mengantar kami ke tempat simpanan kitab."
Orang gundul itu tertawa bergelak dan terdengar
suaranya yang menyeramkan. "Anak baik, aku masih mau
mengambilrnu sebagai murid. Kau cocok dengan aku. Akan
tetapi lebih dulu kau harus mengantar kami naik ke atas
puncak!"
"Tidak, aku tidak sudi mengantar maling-maling kitab!"
Jawab Tiang Bu yang segera hcndak lari lagi. Akan tetapi
orang itu menubruknya dengan gerakan cepat lalu mengirim
totokan ke arah pundaknya. Sudah jelas maksud si gundul
itu hendak menangkapnya. Akan tetapi ia sama sekali tidak
tahu bahwa biarpun bocah di depannya ini baru berusia tiga
belas tahun, sesungguhnya telah memiliki kepandaian yang
amat tinggi.
Melihat datangnya serangan Tiang Bu menjadi marah. Ia
selalu ingat akan nasehat dua orang suhunya bahwa apabila
tidak diserang jangan sekali-kali ia mendahului menyerang
orang. Apabila ia membela diri, kalau terpuksa sekali juga
tidak beleh ia melukai atau merobohkan orang. Kini
menghadapi tubrukan orang gundul itu yang cukup
be rbahaya, ia miringkan tubuh, mengerahkan tenaga dan
secepat kilat tangannyabe rgerak menangkis terus
31
menangkap tangan orang dan melemparkan tubuh orang
gundul itu dengan meminjam tenaga tubrukan lawan !
Gerakan Tiang Bu ini cepat , otomatis dan tidak terduga
sama sekali. Kalau orang lain yang tadi menyerangnya tentu
kini akan terlernpar. Akan tetapi yang menyerangnya adalah
Kwan Kok Sun yang berjuluk Tee-tok (Racun Bumi), seorang
kang-ouw yang sudah terkenal (baca Sin-kiam Hok-mo).
Biarpun amat terkejut karena bocah itu tidak saja dapat
menangkis tubrukannya bahkan dapat pula membalas
dengan hebat namun Kwan Kok Sun si orang gundul yang
lihai itu masih dapat menguasai dirinya. Begitu lengan
kanannya ditangkap, tangan kirinya lalu mengirim pukulan
ke arah kepala Tiang Bu dan kali ini ia mengirim pukulan
yang dahsyat yang bukan main- main lagi, melainkan
pukulan maut yang dapat mematikan. Inilah pukulan Hektok-
ciang (Pukulan Racun Hitam) yang luar biasa dahsyat
dan berbahaya !
Tiong Bu sudah mewarisi kepandaian luar biasa dari
kedua orang suhunya yang sakti. Panca-inderanya tajam
dan perasa sekali, terutama matanya amat awas. Pukulan
Hek-tok-ciang yang amat be rbahaya dan dilakukan dari
jarak dekat ini sudah lebih dulu dirasainya, maka secepat
kilat ia menangkis dengan hawa pukulan dari atas ke
bawah, menggunakan dua tangan mendorong ke bawah
menggunakan tenaga khikang sedangkan kedua kakinya
menotol tanah sehingga tubuhnya mencelat ke atas melalui
kepala Kwan Kok Sun!
"Lihai sekali.......... !" Kwan Kok Sun s ampai berseru
kagum dan juga kaget melihat cara bocah itu
menyelamatkan diri.
Akan tetapi Thai Gu Cinjin sudah siap sedia. Ia tidak
mau melepaskan Tiang Bu begitu saja karena memang ia
amat membutuhkan bocah itu, Thai Gu Cinjin selain lihai
ilmu silatnya juga ia terkenal amat cerdik.
32
'Tiang Bu jangan lari !”
Tongkatnya diputar
menghadang di depan
Tiang Bu yang menjadi
bingung juga. Kalau dua
orang itu mcnyerangnya
dengan sungguh-sungguh
yaitu denganmaksud
membunuh, kiranya akan
sukar baginya untuk
membebaskan diri.
Biarpun ia sudahlima
tahun belajar ilmu silat
tinggi di Omei-san,
namun kalau dibandingkan
dengan tingkat
kepandaian Thai Gu
Cinjin masih tak mungkin
dapat menang.
"Thai Gu Cinjin, kalau
kau memaksa aku membantumu mencuri kitab lebih baik
aku mengadu nyawa denganmu,” katanya gagah sedikitpun
tidak merasa gentar biarpun tahu ia berada dalam bahaya
maut.
Thai Gu Cinjin menahan tongkatnya dan berkata manis,
"Tiang Bu. kepandaianmu sudah hebat sekarang ! Kau
bawalah aku menghadap Tiong Jin Hwesio.Untuk
menghadap sendiri pasti ia tidak mau mencrimaku. Maka
kau bisa membawa kami menghadap orang tua itu,
cukuplah."
Memang Thai Gu Cinjin cerdik. Ia pikir tidak ada
gunanya membunuh anak ini karena kalau sampai terjadi
demikian tentu dua orang kakek Omei-san akan menjadi
marah sekali dan ini amat berbahaya. Sebaliknya kalau anak
ini mau mengantarkannya, ia akan dapat naik ke puncak
33
dengan mudah, juga ia takkan dicurigai dan banyak
kesempatan baginya untuk melakukan niatnya, yaitu
mencuri kitab-kitab pelajaran di Omie-tan. Karena biarpun
ia pernah naik ke puncak ini untuk bermain catur dengan
kedua kakek itu, namun sekarang ia mengambil jalan lain
dan ia belum mengenal jalan ini.
Salahnya Thai Gu Cinjin tidak memperhitungkan bahwa
di dunia ini bukan dia seorang saja yang mempunyai akal.
Juga Tiang Bu orang bocah yang cerdik dan mudah
menangkap maksud hati orang yang dtsembunyikan di balik
senyum dan kepalsuan. Ia maklum bahwa kepandaiannya
masih belum cukup untuk dapat dipergunakan
mengimbangi ke lihaian dua orang ini.
"Baiklah, Thai Gu Cinjin. Kalau hanya membawa kau
menghadap saja, aku tidak melakukan sesuatu yang salah.
Akupun tidak takut kau berlaku curang dan membunuhku
karena selain aku dapat menjaga diri, andai kata aku mati di
tanganmu, aku takkan penasaran. Kedua orang suhuku
pasti akan menghukummu dan membalaskan penasaran.”
Setelah melepas ancaman ini. Tiang Bu lalu mendahuiui
dua orang itu naik ke puncak sambil memikul dua kaleng
airnya. Thai Gu Cinjin dan Kwan Kok Sun mengikutinya dari
belakang. Tiang Bu bersikap acuh tak acuh, padahal ia
maklum bahwa nyawanya berada di dalam tangan dua orang
di belakangnya itu.
Sementara itu, Sin Hong yang menggandeng muridnya
meloncati batu karang dan jurang menuju ke puncak,
akhirnya dapat melewati daerah batu karang yang sukar itu
dan tiba di daerah datar yang ditumbuhi rumput semak
hijau.
"Suhu, banyak sekali orang di sana!' kata Lee Goat, akan
tetapi Sin Hong menarik muridnya ke bawah dan
mengajaknya bersembunyi di balik rumput yang tinggi.
34
Di sebe lah sana memang terdapat beberapa belas orang
yang berjalan perlahan naik ke puncak. Dari balik rumput
hijau Sin Hong mengintai dan ia melihat Kong Ji berjalan
dengan beberapa orang yang telah dilihatnya, yailu orangorang
Mongol dan tokoh-tokoh utara seperti Pak-kak Samkui,
Bu-tek Sin-ciang Bouw Gin dan masih banyak lagi
orang-orang yang kelihatan memiliki kepandaian tinggi.
Diam-diam Sin Hong menghitung dan memperhatikan calon
lawannya seorang demi seorang. Termasuk Kong It, mereka
semua ada empat belas orang. Akan tetapi di mana Li Hwa?
Ia tidak melihat adanya Li Hwa di dalam rombongan itu dan
hatinya amat tidak enak. Kong Ji memiliki banyak tipu
muslihat, maka ia harus berhati-hati.
Setelah rombongan Kong Ji ini lewat, keadaan menjadi
sunyi. Akan tetapi Sin Hong masih belum keluar dari tempat
sembunyinya karena telinganya dapat menangkap gerakan
orang yang naik dari bawah puncak. Tak lama kemudian,
benar saja ia mel ihat rombongan ke dua yang juga terdiri
dari banyak orang, bahkan ada dua puluh orang. Mereka ini
adalah rombongan orang -orang dari dunia kang-ouw di
daerah selatan, karena antara mereka terdapat Le Thong
Hosiang, Hengtuangsan Lojin dan kedua orang hwesio
Koalikungsan yang selalu membawa bawa tombak, yaitu
Nam Kong Hosiang dan Nam Siang Hosiang. Di antara
mereka itu tardapat orang-orang yang berpakaian seperti
pangemis, seperti siucai (sasterawan), tosu, hwesio, dan lainlain.
Setelah rombongan ke dua ini lewat, baru saja Sin Hong
hendak be rdiri. Tiba-tiba terdengar suara ketawa cekikikan,
membuat dia kaget setengah mati dan cepat ia berjongkok
kembali di balik rumput tinggi. Siapakah orangnya yang
kedatangannya sampai tak terdengar olehnya? Tentu orang
yang lihai luar biasa pikirnya. Akan tetapi biarpun suara
ketawanya sudah terdengar, orangnya masih juga be lum
kelihatan.
35
Kemudian muncul titik-titik hitam di udara. Titik-titik ini
melayang tinggi, lalu menukik ke bawah dan tak lama
kemudian terdengar suara memukul- mukul. Ternyata
bahwa tiga buah titik hitam itu setelah dekat adalah tiga
ekor kelelawar yang amat besar dan warnanya hitam
berbintik-bintik kuning. Ketika tiga ekor kelelawar ini lewat
di atas kepala, Sin Hong mencium bau amis dan ia menjadi
terkejut sekali.
"Kelelawar berbisa dari Lam-hai (Laut Selatan) ." katanya
di dalam hati. Sebagai seorang ahli waris pengobatan dari
Raja Tabib Kwa Siucai, Sin Hong mengenal kelelawar ini
yang gigitannya sama bahayanya dengan gigitan ular yang
paling berbisa!
Tak lama kemudian, kembali te rdengar suara ketawa
cekikikan dan muncullah orangnya. Pundak Lee Goat di
bawah telapak tangan Sin Hong menggigil tanda bahwa
bocah ini merasa ngeri dan ketakutan. Memang, manusia
yang sekarang berjalan lewat, berbongkok-bongkok dibantu
oleh tongkat panjang, hampir tidak menyerupai manusia dan
lebih pantas disebut iblis atau siluman!
Orang ini adalah seorang nenek tua yang wajahnya
menyeramkan. Rambutnya berwarna putih kelabu, kasar
dan tebal, lengket menjadi satu tak pernah tercium sisir,
panjang riap-riapan menutupi pundak dan sebagian
mukanya. Pakaiannya hitam, hanya semacam selendang
kuning melambai di pundak dan pinggangnya. Tangan yang
memegang tongkat itu dihiasi jari.jari yang kukunya seperti
kuku setan, runcing melengkung mengerikan. Kedua
kakinya yang besar itu telanjang, jari-jari kakinya
merenggang dan melebar seperti kaki bebek. Akan tetapi
yang paling mengerikan adalah mukanya. Matanya kccil,
nampak kejam karena kerut-merut pada dahi pinggir dan
bawah matanya. Htdungnya pesek dan dari samping tidak
kelihatan sedangkan mulutnya bisa membikin orang
36
mengkirik. Mulut ini terisi gigi yang jarang-jarang meruncing
seperti gigi ular.
Sambil berjalan tersaruk-saruk nenek ini menge luarkan
suara cekikikan, tertawa seorang diri. Tiba-tiba ia
mengacungkan tongkatnya ke atas dan dari mulutnya keluar
suara mendesis atau lebih tepat siulan yang amat tinggi,
demikian tingginya sehingga yang terdengar suara desis yang
menyakitkan anak telinga. Inilah suara yang dikeluarkan
dengan khikang tinggi. Lebih tinggi dan lebih hebat dari
pada pekik Hui-eng Niocu yang terkenal. Dan kemudian
ternyata bahwa suara ini adalah suara panggilan, karena
seekor diantara tiga ekor kelelawar itu lalu menukik ke
bawah dan hinggap di ujung tongkat nenek itu, lalu
menggantung dengan kepala di bawah mengeluarkan suara
mencicit seperti suara tikus.
"Anak nakal, biar kawan-kawanmu terbang dulu, kau
harus mengawani aku di sini. Kau tahu aku kesepian, hi hi
hihi.......!”
Setelah nenek menyeramkan itu lewat dan lenyap dari
pardangan mata, baru Sin Hong berani berdiri dan
mengusap-usap kepala Lee Goat yang nampak pucat sekali.
Tiba-tiba Sin Hong tertawa melihat bahwa tak jauh dari situ,
di sebelah kanannya terdapat seorang kakek yang juga
bersembunyi dan mengintai seperti dia tadi. Agaknya orang
itu lebih dulu berada di situ, katena ia tidak me lihat
kedatangannya.
Kebetulan kakek itu menengok dan terkejutlah Sin Hong
ketika mengenal bahwa kakek itu bukan lain adalah hwesio
gemuk bulat seperti bal yang pernah ia lihat dahulu di
sebuah kelenteng dekat kota raja. Di sebelah selatan kota
raja terdapat sebuah Kelenteng Kwan-te-bio dan di situ yang
menjadi ketua adalah Hoan Ki Hosiang. Ia kenal baik dengan
hwesio tua ini. Kemudian datarg seorang hwesio baru yang
pekerjaannya menjadi tukang dapur. Hwe sio itu bernama
37
Hwa Thian Hwesio, biarpun hanya tukang dapur akan tetapi
memiliki ilmu pedang tinggi.
Ketika Sin Hong mengunjungi kuil itu, dahulu ia melihat
hwesio tukang dapur ini memindah-mindahkan patung yang
be ratnya seribu kati dengan mudahnya, maka tahulah ia
bahwa Hwa Thian Hwesio memiliki kepandaian lihay. Dan
sekarang tahu-tahu hwesio gemuk bundar itu berada di situ
bertiarap di antara rumput tinggi, presis seekor babi gemuk!
Hwesso berusia lima puluh tahun ini memiliki wajah yang
lucu dan orangnya selalu gembira.
"Eh, eh, kiranya Wan-sicu ada di sini pula! Pinceng
sampai kaget setengah mati, kukira nenek siluman tadi
muncul di sini. Hi...!” Ia menggerak-gerakkan kedua pundak
bergidik kengerian.
Sin Hong tersenyum lebar.Tidak ada orang yang takkan
tersenyum apabila bertemu dan bicara dengan hwcsio gemuk
ini karena segala gerak-geriknya serba lucu. Kepalanya bulat
matanya, hidungnya, bibirnya serba tebal dan bentuknya
bundar, demikian perutnya. Benar-benar menyerupai patung
Ji-lai -hud yang banyak terdapat di ke lenteng. Seperti patung
pula, hwcsio ini mulutnya selalu terbuka dengan senyum
gembira, seakan-akan ia me lihat dunia ini seperti panggung
di mana orang-orangnya menjadi pe lawak-pelawak menggelikan.
“Hwa Thian Suhu, angin apa yang meniupmu sampai ke
sini?” tanya Sin Hong, terbawa gembira oleh kelucuan
hwesio itu.
Hwa Thian Hweio merengut akan tetapi mulutnya tidak
scperti orang bersungut-sungut, tetap saja seperti orang
tersenyum gembira,
“Kalau pinceng terbawa angin, tentulah angin busuk
yang meniup pinceng sampai di sini!" Ia menggunakan ujung
bajunya untuk mengipasi dadanya yang telanjang. Inilah
kebebatannya. Di dekat puncak 0mie-san yang begitu sejuk
38
dan dingin, tetap ia berkeringat. "Kalau saja bukan Wanyen
Siauw ongya yang memerintah, biar kaisar sekalipun
menyuruh pinceng, pinceng takkan sudi datang di sini
bertemu dengan segala macam siluman yang mengerikan.
Hii i." Kembali ia be rgidik dan Lee Goat tak dapat menahan
ketawanya melihat pundak yang gemuk itu bergerak seperti
menari- nari.
Sin Hong mendekati hwesio itu dan memegang
lengannya, penuh perhatian ia bertanya, "Jadi kau mcnjadi
utusan Pangeran Wanyen Ci Lun? Ada urusan pent ing
apakah gerangan maka kau diutus ke sini? Atau ini rahasia
yang tak boleh diketahui orang lain?”
Kepala bundar tak berleher itu bergerak-gerak ke depan
membuat gerakan mengangguk.
"Memang rahasia karena tugas pinceng menyelidik. Akan
te tapi baiknya pinceng mengenal siapa Wan-sicu. Terhadap
Wan-sicu pinceng tak perlu merahasiakan sesuatu, bahkan
pinceng banyak mengharapkan bantuan Wan-sicu."
"Coba ceritakan !" kata Sin Hong.
Hwa Thian Hwesio lalu menceritakan pengalamanpengalamannya.
Wanyen Ci-Lun yang amat memperhatikan
pe rkembangan keadaan, tahu dari para penyelidiknya bahwa
raja bangsa Mongol mengirim banyak orang gagah ke selatan
untuk mengajak orang-orang kang-ouw di daerah itu supaya
ke lak suka membantu pergerakan bangsa Mangol. Juga ia
mendengar tentang perubahan yang terjadi di dunia orang
kang-ouw bagian utara bahwa Wan-bengcu telah dibebaskan
dari pada tugas dan orang orang itu kabarnya hendak
memilih bengcu baru di selatan.
"Yang dicalonkan mereka adalah dua orang kakek sakti
di 0mei-san ini,” Hwa Thian Hwesio melanjutkan ceritanya.
"Oleh karena itulah maka pinceng diutus ke se latan untuk
menyelidiki hal ini, bahkan kalau mungkin pinceng harus
39
dapat menarik bantuan mereka untuk membantu Kerajaan
Kin menghadapi serbuan orang orangMongol."
Kemudian Imam itu melanjutkan penuturannya. Ketika
ia mulai naik Bukit Omei-san, ia sudah lebih dulu
menyelidiki keadaan orang-orang yang hendak naik ke
puncak. Banyak sekali yang naik dan dalam
panyelidikannya, hwesio yang cerdik ini mendapat
kenyataan bahwa mereka itu semua datang dengan maksud
hati yang berbeda-beda. Ketika ia melalui lereng sebelah
timur, ia melihat seorang laki-laki tampan sedang menarik
lengan seorang wanita cantik memasuki sebuah kuil tua
yang berada di pinggir jurang. Melihat cara wanita ini
diseret, Hwa Thian menjadi curiga. Cepat ia mengejar dan
membentak ke arah kuil.
"Sobat yang berada di dalam keluarlah dulu, pinceng
mau bicara !"
Tak lama kemudian dari dalam kuil itu melompat keluar
laki-laki tadi, nampak gagah dengan pedang di punggung.
Laki laki itu tersenyum mengejek ketika bertanya.
"Hwesio gemuk, kau memanggil aku Tung Nam Bengcu
ada keperluan apakah?"
"Hemm, pinceng tidak kenal segala Tung Nam Bengcu.
Hanya melihat kau seorang laki-laki maye ret-nyeret wanita
tadi dengan maksud apakah ? Siapa dia?"
"Dia adalah tawananku dan kau tak perlu mencampuri
urusanku. Ketahuilah bahwa aku adalah Thian-te Bu tek
Taihiap Liok Kong Ji. Lebih baik kau hwesio gemuk pergi
dari sini dan jangan menggangguku !”
Hwa Thian Hwesio pernah mendengar namae Liok Kong
Ji, maka biarpun ia sudah mengerti bahwa orang di
depannya ini lihai sekali ia segera menyerang.
"Kau jahanam tak tahu malu !” bentaknya sambil
mengirim serangan dengan tendangan kaki kiri.
40
Namun Liok Kong Ji dengan mudah saja dapat mengelak
lalu membalas dengan serangan serangan hebat yang
membuat Hwa Thian Hwesio sebentar saja sibuk sekali.
Hwesio gemuk ini kalah jauh ilmu silatnya. Baiknya ia
memiliki ilmu kelit yaag baik sekali sehingga begitu jauh
Kong Ji belum dapat menjatuhkannya, biarpun hwesio itu
sudah mandi peluh dan napasnya memburu. Tak dapat
diragukan ligi, dalam waktu cepat tentu Koug Ji akan dapat
merobohkannya.
Dalam keadaan yang gawat itu, tiba-tiba muncul bintang
penolong. Terdeagar bentakan nyaring."Liok Kong Ji
manusia busuk, jangan menghina orang !"
Mendengar bantakan ini, Kong Ji mecelat ke belakang
dan mcncabut peclangnya. "Ang-jiu Mo-li ...... !” serunya
kaget. Adapun Thian Hwesio girang bukan main melihat
kedatangan wanita sakti ini. Baiknya Ang-jiu Mo-li sudah
mengenalnya dan hwesio itupun mengenal guru dan puteraputera
majikannya. Bahkan Wan Sun dan Wan Bi Li juga
muncul dan tertawa-tawa melihat betapa Hwa Thian Hwesio
mandi keringat dan napasnya megap-me gap.
"Toanio, tolong kauhukum jahanam kurang ajar itu...... !"
akhirnya hwesio gemuk ini dapat mengeluarkan suara
sambil mewek-mewek. "Dia menculik wanita, disembunyikan
di dalam kuil itu !"
Ang-jiu Mo li memandang kepada Kong Ji dengan
senyum menghina.
"Memang itulah kepandaian tunggal dari Liok Kong Ji.
Cih, tak tahu malu !'
"Ang-jiu Mo-li, jangan kau percaya omongan badut terlalu
banyak makan ini. Wanita itu adalah tawananku, dia adalah
Hui eng Niocu Siok Li Hwa, isteri dari Wan Sin Hong. Aku
menawannya karena aku ada urusan dengan Wan Sin Hong.
Siapa bilang aku hendak mengganggunya ?"
41
Mendengar bahwa wanita itu isteri Wan Sin Hong, Hwa
Thian Hwesio menjadi makin marah. Juga Ang-jiu Mo-li
kaget karena tidak mengira bahwa Wan Sin Hong ternyata
menikah dengan Siok Li Hwa yang pernah dilihatnya sekali.
Yang paling kaget adalah Wan Sun. Pemuda cilik itu
mendengar bahwa isteri Wan Sin Hong diculik dan
disernbunyikan dalam kuil, segera melompat memasuki kuil
dengan niat menolongnya. Wan Bi Li melompat pula
menyusul kakaknya.
Akan tetapi, di lain saat terdengar dua orang bocah itu
menjerit dan tubuh mereka bergulingan keluar pintu kuil!
Ang-jin Mo-li terkejut sekali, namun hatinya lega kembali
ketika melihat bahwa kedua orang muridnya itu bergulingan
keluar karena menggunakan Ilmu Kelit Trenggiling Turun
Gunung untuk menghindarkan diri dari serangan gelap yang
berbahaya.
(Bersambung jilid ke IX)
1
(PEK LUI ENG)
Karya: Asmaraman S. Kho
Ping Hoo Scan djvu :
syauqy_arr
Convert & edit : MCH
Jilid IX
BENAR saja, setelah tiba di luar pintu, kedua anak itu
lalu me lompat dan cepat lari menghampiri guru mereka.
Wajah mereka nampak pucat din nyata sekali mereka itu
meras a ngeri dan takut. Hal ini mengherankan hati Ang-jiu
Mo-li karena tidak biasanya murid-muridnya, apa lagi Bi Li,
berhati penakut.
"Ada apakah?" tegurnya, alisnya berkerut tak senang
melihat dua orang muridnya memperlihatkan sikap
ketakutan.
"Suthai .... di dalam ada......... ada siluman menakutkan
sekali !” kata Wan Sun, agak malu-malu akan tetapi masih
ketakutan.
"Siluman? Biar pinceng menangkapnya, untuk menjaga
Kelenteng Kwan-te-bio !" se ru Hwa Thian Hwesio dengan
sikap gagah. Ia berjalan memasuki kuil dengan langkah
tegap, kedua kaki agak dibongkokkan, kedua tangan
terkepal dan perut serta dadanya me lengkung seperti katak
marah.
2
Terdengar suara hiruk-pikuk di sebelah dalam kuil tua
itu, suara bak-bik-buk orang bertempur, kemudian disusul
pekik Hwa Thian Hwesio seperti babi disembelih dan orangorang
di luar kuil melihat tubuhnya yang bulat seperti bola
itu mengge linding keluar!
Sete lah melompat berdiri, ia meraba-raba gundulnya
sambil bertanya kepada Wan Sun. "Kongcu, tolong kaulihat
kepalaku ini bonyok tidak?'
Wan Sun din Bi Li tertawa geli melihat tingkah laku
hwesio ini dan Wan Sun memeriksa kepala yang bulat itu.
Ternyata tidak ada yang luka.
"Tidak ada yang bonyok, Iosuhu," katanya.
"Juga tidak pecab-pecah? Sukurlah ...... Omitohud ...... !
Toanio, yang di dalam bukan siluman, melainkan manusia
betina setengah si luman. Toat -beng Kui-bo dari Lam-hai
(Laut Selatan) !”
Baik Kong Ji maupun Ang jiu Mo-li yang selama ini
hanya merantau di daerah utara dan selatan tidak sampai di
pantai Laut Selatan, tidak mengenal nama ini. Berbeda
dengan Hwa Thian Hwesio yang memang berasal dari kota
kecil di dekat pantai selatan. Oleh karena tidak mengenal
nama mendengar laporan ini, Kong Ji dan Ang.jiu Mo-li
berkelebat memasuki kuil itu. Akan tetapi mereka berseru
kaget dan melompat mundur lagi karena tiba-tiba di ambang
pintu kuit itu muncul seorang nenek yang amat
menakutkan. Toat -bong Kui-bo (Biang Iblis Pencabut
Nyawa). Nenek ini tertawa cekikikan dan di bawah lengan
kirinya terkempit tubuh Li Hwa yang tak berdaya karena
nyonya ini masih berada dalam keadaan tertotok.
Melihat manusia luar biasa yang mengerikan ini, Ang-jiu
Mo-li sendiri yang sudah dijuluki Mo-li (Iblis Betina), masih
menjadi kaget setengah mati. Juga Kong Ji yang mempunyai
watak seperti iblis , melihat nenek ini berdiri bulu
tengkuknya. Hampir berbareng, seperti sudah janji lebih
3
dulu, dari tangan Ang jiu Mo-li menyambar sinar putih dan
dari tangan Kong Ji mcnyambar sinar hitam yang
kesemuanya menuju ke arah jalan darah di tubuh nenek itu.
Tiga buah Pat-kwa-ci (Biji Segi De lapan) yang lihai dari Angjiu
Mo-li dan lima batang Hek-tok.ciam (Jarum Racun Hitam)
dari Kong Ji menyerang cepat.
Akan tetapi, sekali nenek itu menggerakkan tangan
kanan yang memegang tongkat panjang, ujung lengan
bajunya melambai. Dari lambaian ini ke luar angin yang
menyapu delapan buah senjata rahasia itu runtuh semua.
Ang-jiu Mo-li dan Liok Kong Ji terkejut. Mereka bersiap
untuk menggempur nenek itu.
Akan tetapi Toat-beng kui -bo tertawa cekikikan dan
berkata.
"Manusia-manusia tak kenal malu. Di rumah orang
jangan membikin rusuh. Ataukah kalian berani menghina
dua kakek tua bangka dari Omei-san?”
Mendengar bentakan ini, dua orang itu tertegun. Tentu
saja mereka tidak berani menghina dua orang kakek sakti di
Ome i san. Toatbeng Kui-bo sambil tertawa-tawa lalu berjalan
terbongkok-bongkok pergi dari situ.
'Lepaskan dia......... Kong Ji barseru sambil rnencabut
Cheng-liong-kiam, pedang rampasan dari Li Hwa. Melihat
pedang itu, Toat-beng Kui-bo menyeringai dan tiba-tiba
tubuhnya melayang cepat menyambar ke arah Kong Ji.
Tangannya terayun dan dengan gerakan hebat menghantam
kepala Kong Ji. Baru kali ini Kong Ji menghadapi serangan
yang demikian berbahayanya. Cepat ia mengelak, akan
tetapi tahu-tahu pedangnya terpukul tongkat dan terlepas
dari pegangan. Pedang itu mencelat ke atas dan tubuh nenek
itu bagaikan seekor burung hantu yang besar, melayang
pula ke atas dan di lain saat pedang itu telah berada di
tangannya!
4
"Hi-hi -hi. Cheng-liong kiam, Kenapa berada di tangan
bocah ini?" katanya dengan suara ketawa meringkik seperti
kuda.
“Itu pedangku, dirampas olehnya,” kata Li Hwa perlahan.
Nyonya ini tertotok dan tubuhnya lumpuh, namun masih
dapat membuka suara.
Mendengar ini, Toat-beng Kui -bo melanjutkan
perjalanannya, sama sekali tidak memperdulikan Kong Ji
yang berdiri melongo. Kong Ji menjadi marah dan penasaran
sekali. Sambil mengeluarkan seruan keras ia hendak
mengejar. Tak mungkin ia dikalahkan begitu saja. Juga Ang
jio Mo-li yang kini melihat bahwa wanita yang dibawa Toatbeng
Kui-bo itu adalah wanita yang dulu ia lihat bersama
Wan Sin Hong lalu mendahului Kong Ji dan melompat
melakukan pukulan dengan tangan merahnya, menampar
muka yang seperti iblis itul
Menghadapi pukulan ini, Toat-beng Kui bo kaget dan
tidak berani memandang rendah. Ia rnelompat mundur dan
tiba-tiba dari mulutnya keluar suara mendesis dan dari atas
menyambar turun lima ekor kelelawar raksasa! Binatangbinatang
aneh ini menyambar-nyambar di atas kepala Angjiu
Mo-li dan Liok Kong Ji yang hendak menyerang Toat-beng
Kui bo, seakan-akan hendak melindungi nenek itu.
"Kelelawar berbisa ..... !" Hwa Thian Hwesio yang
mengenal kelelawar yang hidup di dalam gua-gua di pantai
laut selatan itu cepat menyeret Wan Sun dan Wan Bi Li dan
membawa mereka lari memasuki kuil untuk bersembunyi.
Setelah Ang-jiu Mo-li memanggilnya dari luar baru hwes io
gundul gemuk ini berani mengajak mereka keluar. Ternyata
kelelawar-kelelawar itu sudah lenyap bersama Toat beng Kui
bo. Juga Liok Kong Ji tidak kelihatan lagi.
"Ke mana siluman itu? Mana pula Liok Kong Ji?" tanya
Thian Hwesio sambi l celingukan.
"Mareka sudah pergi," jawab Ang-jiu Mo-li singkat.
5
Demikianlah penuturan Hwe Thian Hwesio kepada Wan
Sin Hong. Sebagai penutup penuturannya, Hwa Thian
Hwesio berkata, “Nah, Ang-jiu Mo-li dan dua orang muridnya
melanjutkan perjalanan ke puncak dan pinceng mengambil
jalan lain. Di sini pinceng melihat orang-orang itu naik,
maka pinceng bersembunyi di dalam rumput-rurnput. Tak
tahunya bertemu dengan s icu di sini." Ia lalu tersenyum
lebar.
Sin Hong tertarik sekali oleh penuturan ini. Terutama
sekali tentang Li Hwa. Isterinya itu telah bebas dari tangan
Kong Ji dan kini berada di tangan Toat-beng Kui-bo. Akan
tetapi mengapa tadi ia tidak melihat Li Hwa bersama nenek
itu? Di mana adanya Li Hwa? Juga penuturan bahwa dua
orang bocah yang menjadi murid Ang-jiu Mo-li itu ternyata
putera-puteri Wanyen Ci Lun dan Gak Soan Li membuatnya
tercengang. Akan tetapi karena tahu bahwa Ang-jiu Mo-li
memiliki kepandaian tinggi, diam.diam ia merasa bersyukur
bahwa anak-anak Wanyen Ci Lun mendapatkan guru yang
pandai.
Biarpun ia sudah tidak ada urusan dengan Liok Kong Ji
dan berarti tidak ads urusan dengan Omei-san, akan tetapi
oleh karena isterinya kini berada di tangan Toat-beng Kui-bo
yang naik ke puncak, terpaksa Sin Hong melanjutkan
perjalanan ke puncak Omei-san untuk mengejar Toat-beng
Kui-bo dan menuntut dikembalikannya isterinya. Sambil
menyambar tubuh Lee Goat yang dipondongnya. Sin Hong
berlari cepat sekali sehingga sebentar saja Hwa Thian Hwesio
tertinggal jauh.
-oo(mch)oo-
Sementara itu, di lain bagian dari Gunung Omei-san di
dekat puncak, seorang pemuda tanggung diserang hebat
oleh dua ekor burung Pek.thouw-tiauw, semacam burung
rajawali yang besar sekali dengan kepala putih. Dua ekor
burung raksasa itu sambil mengeluarkan suara cecowetan
6
menyambar-nyambar ke arah pemuda tanggung itu. Pemuda
itu bukan lain adalah Tiang Bu. Menghadapi serbuan dua
ekor burung yang berbahaya ini, Tiang Bu menyambar
sebatang ranting pohon. Dengan senjata istimewa ini ia
melindungi diri sedapat mungkin. Burung raksasa itu
beratnya sedikitnya ada lima ratus kati, maka sambarannya
dapat dibayangkan betapa hebatnya. Mungkin ada seribu
kati. Dua burung sehebat ini hendak menjadikan bocah itu
sebagai mangsanya. Biarpun amat kewalahan menghadapi
serbuan dua ekor binatang raksasa ini, namun Tiang Bu tak
pernah minta tolong. Ia mainkan ranting kayu itu dengan
gerakan cepat, sambil mengatur langkah dan mengelak
setiap kali burung raksasa itu menyambar dengan paruh
besar dan cakar mengerikan di depan. Beberapa kali Tiang
Bu sudah dapat menusuk tubuh binatang-binatang itu
dengan rantingnya akan tetapi seakan-akan tidak terasa
oleh Pek-thouw-tiauw itu.
Bagaimana Tiang Bu bisa berada dalam keadaan
demikian berbahaya? Bukankah tadi ia berjalan diikuti oleh
Thai Gu Cinjin dan Kwa Kok Sun, dua orang yang amat
berbahaya dan mengancam keselamatannya ?
Memang demikian. Tadinya Tiang Bu memikul pikulan
airnya, berlari naik ke puncak diikuti oleh Thai Gu Cinjin
dan Teetok Kwan Kok Sun. makin lama Tiang Bu makin
mempercepat larinya dan ia sengaja membawa dua orang itu
melalui jalan yang paling sukar, yaitu di daerah yang yang
paling liar di mana ia biasa berlatih Ilmu Lari Liap-In-sut
dengan gurunya. Setelah tiba di daerah ini, ia lalu
mengerahkan tenaga dan kepandaiannya, berlompatan
dengan lincah sekali. Lebih dulu ia melempar pikulannya
agar tidak menghalangi getakan-gerakannya.
"Hai, tungau......... !" seru Thai Gu Cinjin, kaget melihat
betapa bocah itu tiba-tiba demikian gesit gerakannya. Ia
mengerahkan tenaga untuk mengejar.
7
Juga Tee-tok Kwan Kok Sun segera tertinggal oleh Tiang
Bu. Dalam hal ilmu silat, sangat boleh jadi Tiang Bu belum
dapat mengimbangi mereka, akan tetapi Ilmu Lari dan
Lompat Liap in-sut adalah ilmu ginkang yang s angat tinggi.
Maka begitu Tiang Bu tiba di daerah ini dan
mempergunakan ilmunya, dua orang pengejarnya itu
tcrtinggal jauh.
'Tiang Bu, berhenti! Kalau tIdak, kuhancurkan
kepalamu!” Thai Gu Cinjin memaki-maki dan menyumpahnyumpah,
akan tetapi Tiang Bu bukan anak bodoh dan
berlari terus dengan cepatnya.
Tiba-tiba Tiang Bu mendengar suara angin dari belakang.
Cepat ia mengelak dan bebe rapa butir batu kecil yang
disambitkan oleh Thai Gu Cinjin lewat di dekat tubuhnya.
Kembali terdengar suara senjata rahasia dan secepat
mungkin Tiang Bu mengelak ke kiri. Beberapa sinar hitam
lewat cepat sekali. Inilah senjata rahasia jarum-jarum
berbisa yang berwarna hitam. yang dilepas oleh Tee-tok
Kwan Kok Sun. Jarum-jarum berbisa ini disebut Hek-tokciam
(Jarum Racun Hitam) yang dulu merupakan
kepandaian istimewa dari mendiang ayahnya. See-thian Tokong.
Juga Liok Kong Ji mewarisi kepandaian ini dari See -
thian Tok-ong. Senjata-senjata ini berbahaya sekali, sedikit
saja mengenai kulit, racunnya akan bekerja, ikut bersama
darah dan meracuni seluruh tubuh!
Didesak oleh senjata rahasia-rahasia yang dilepaskan
bertubi-tubi dari belakang oleh orang-orang yang memiliki
tenaga besar ini Thing Bu menjadi sibuk juga. Untuk
berhenti dan melawan, ia maklum takkan dapat menang.
Lebih baik berlari terus sambil mengelak dari setiap
serangan amgi (senjata gelap atau senjata rahasia), pikirnya.
Maka dipercepat larinya. Ia tidak dapat cepat-cepat terbebas
dari kejaran dua orang itu karena baik kedua pengejarnya,
terutama sekali Thai Gu Cinjin, memiliki kepandaian tinggi
dan dapat berlari cepat pula.
8
Pada saat itulah tiba-tiba dari angkasa raya terdengar
pekik nyaring dan dua ekor burung rajawali kepala putih itu
menyambac turun, langsung menyerang Thai Gu Cinjin dan
Tee-tok Kwan Kok Sun. Thai Gu Cinjin mengayun
tongkatnya dan Kwan Kok Sun mengirim pukulan.
Terdengar suara berdebuk dan dua ekor burung itu terpental
ke udara. Akan tetapi tubuh mereka kuat sekali karena
mereka tidak tewas, melainkan terkejut dan be terbangan di
atas s ambil cecowetan.
"Siapa berani memukul Pek thouw-tiauw kami ?"
terdengar suara halus dan tiba-tiba muncul seorang lakikaki
gagah bersama seorang wanita cantik. Usia mereka
kurang lebih empat puluh tahun dan sikap mereka gagah
sekali. Inilah jago dari Pantai Timur, Pekthouw-tiauw-ong Lie
Kong dan isterinya yang bernama Souw Cui Eng, Lie Kong
selamanya merantau ke luar lautan bersama isterinya,
menjelajah pulau-pulau terdekat dengan Tiongkok dan
karena itu, ia sama sekali tidak dikenal oleh orang-orang
dari lain daerah. Thai Gu Cinjin dan Kwan Kok Sun yang
datang jauh dari barat juga tidak mengenalnya. Maka Thai
Gu Cinjin membentak marah !"
"Jadi kau yang punya burung liar itu ? Bagus! Burung
liarmu datang-datang menyerang orang dan kau bilang kami
memukulnya? Benar-benar kurang ajar sekali !"
Lie Kong tersenyum dan berkata tenang. "Burung-burung
kami sudah terlatih baik, tak mungkin mau menyerang
orang yang tak berdos a. Kalian tentu melakukan sesuatu
yang tidak benar kalau sampai diserang oleh burung-burung
kami."
Melihat sikap yang tegas dan tenang dari Lie Kong, juga
melihat sikap wanita di sebelahnya yang nampak gagah.
Thai Gu Cinjin menahan kemarahan hatinya.
"Enak saja kau menuduh orang. Kami sedang mengejar
seorang bocah setan. yang menipu kami dan tahu-tahu dua
ekor burungmu telah menyerang kami."
9
"Nah, itulah ! Kalian mengejar seorang bocah. tentu saja
burung kami menganggap kalian berlaku keterlaluan dan
ingin membela bocah itu. Salah kalian sendiri !" kata Li Kong
mentertawai.
Kesabaran orang ada batasnya. Tee-tok Kwan Kok Sun
tidak biasa dihina orang, maka melihat sikap pemilik burung
itu darahnya sudah meluap. Dengan geraman menyeramkan
ia lalu menubruk maju dan mengerjakan kedua tangan
mengirim pukulan Hek-tok-ciang sambil berseru,
'Burungnya jahat, pemiliknya gila. Minggirlah !"
Pukulan Hek-tok.ciang atau pukulan Racun Hitam bukan
main hebatnya. Jarang ada orang dapat menahan pukulan
ini. Juga tidak berani menangkis karena pertemuan tangan
saja dapat melekat. Orang lain tentu akan mengelak kalau
menghadapi pukulan maut ini.
Akan tetapi, Lie Kong yang berkepandaian tinggi dan
sudah banyak mengalami hal-hal aneh di luar lautan,
bersikap tenang sekali. Dari warna tangan yang berubah
hitam itu maklumlah ia bahwa lawannya mempergunakan
tangan "berisi"' yaitu tangan yang sudah dilatih lebih dulu
untuk mclakukan pukulan istimewa yang berbisa.
Dengan gerakan lambat ia mengulur tangan dan
menyentil dengan kuku jarinya, tepat ke arah jalan darah di
dekat pergelangan tangan. Akibatnya, bukan Lie Kong yang
mengelak, bahkan Kwan Kok Sun yang menahan
pukulannya karena kalau dilanjutkan, mungkin ia akan
tertotok! Racun Bumi ini merubah scrangan, akan tetapi
tiba-tiba terdengar desir angin dari kiri dan isteri Lie Kong
sudah menyambutnya dengan sebuah tendangan kilat.
"Manusia tak tahu malu, mampuslah!"
Kwan Kok Sun lagi-lagi harus melompat dan mengelak
karena dari hawa tendangan saja maklumlah ia bahwa ia
tidak akan dapat menahan tendangan sang amat kuat ini.
Tak lama kemudian bertempurlah Kwan Kok Sun melawan
10
Souw Cui Eng yang ternyata lihai sekali. Juga wanita ini
sikapnya gagah, karena melihat Kwan Kok Sun tidak
mengeluarkan senjata iapun tidak mau mencabut
pedangnya melainkan menggunakan kaki tangannya untuk
menghadapi Racun Bumi itu.
"Tiauw ko ( Burung Rajawali ) ! Kaujaga anak itu jangan
boleh lari !” kata Lie Kong kepada dua ekor burungnya
sambil menghadang Thai Gu Cinjin.
Hweaio Lama ini sudah mengayun tongkatnya, akan
tetapi Lie Kong menggerakkan tangan dan......... tongkat itu
ditangkis be gitusaja dengan lengannya, akan tetapi cukup
membuat tongkat itu terpental dan tangan Thai Gu Cinjin
gemetar ! Dari tangkisan ini saja sudah dapat dilihat bahwa
kepandaian Lie Kong benar-benar hebat sehingga Thai Gu
Cinjin menjadi jerih dan mengeluh di dalamhati. Beberapa
kali ia bertemu dengan orang-orang pandai, yang memiliki
kepandaian lebih tinggi dari padanya. Padabal kalau berada
di Tibet, jarang ada orang yang dapat mengimbangi
kepandaiannya!
“Kalian ini pendeta-pendeta tak tahu aturan. Di tempat
orang lain berani berlagak, apakah tidak menaruh hormat
kepada tuan rumah?” Lie Kong membentak karena dia
sendiri di tempat ini merasa sungkan untuk bertempur
dengan orang lain.
Teguran ini membuat Thai Gu Cinjin makin gentar. Tentu
saja ia tidak berani memandang rendah kepada tuan rumah
yang ia ketahui adalah dua orang yang sakti. Maka
mendengar ani, ia lalu berseru kepada Kwan Kok Sun.
"Tee-tok, mari kita pergi !"
Juga Tee-tok Kwan Kok Sun merasa penasaran sekali
karena dilawan oleh seorang wanita yang bertangan kosong
saja ia tidak mampu mengalahkannya. Apalagi kalau wanita
ini mencabut pedang atau lebih-lebih lagi laki -laki itu!
Baiknya ia tadi belum mengeluarkan senjatanya yang luar
11
biasa, yaitu ular-ular hidup. Kalau ia sudah mengeluarkan
senjata dan mereka sudah bertempur mati-matian, agoknya
sukar untuk menghentikan pertempuran. Kini mendengar
seruan kawannya, ia melompat mundur sambil berkata,
“Toanio benar-benar lihai sekali!" Sambil berkata
demikian, sebelum mundur ia mengadu lengannya dengan
lengan lawan sambil mengerahkan tenaga Hek-tok-ciang
dengan maksud melakukan pukulan gelap. Orang lain kalau
terkena pukulan ini pasti akan kemasukan racun hitam
melalui hawa pukulan yang tetap akan merupakan racun
berbahaya sekali. Akan tetapi ketika lengan tangannya yang
kasar itu beradu dengan lengan tangan lawan, ia merasai
kulit lengan yang halus empuk dan panas bukan main, rasa
panas yang menjalar terus ke kulit lengannya sendiri
sehingga serasa kulit lengannya terbakar ! Ketika ia
melompat mundur dan melihat ke arah lengannya ternyata
di dekat pergelangan lengan terdapat tanda bintik merah
dua buah, tanda bahwa ia telah terkena pukulan rahasia
orang ! Celaka, bukan lawan yang menderita, bahkan dia
yang terluka !
Souw Cui Eng tersenyum. “Sobat beracun kau lihai
sekali. Hadiahmu pukulan beracun tadi baiknya sudah
kulihat Lebih dulu dan dapat membalas budimu." Setelah
berkata demikian, nyonya itu tersenyum manis berpaling
kepada suaminya,
Dengan mendongkol sekali Kwan Kok Sun mengikuti Thai
Gu Cinjin melanjutkan perjalanan ke puncak. Dia tidak usah
khawatir akan luka di tangannya karena sebagai ahli racun
tentu saja ia pandai mengobati luka-luka karena pukulan
atau karena racun.
Sementara itu, seperti telah dituturkan bagian depan,
Tiang Bu sibuk sekali menjaga diri dari serbuan dua ekor
Pek thouw yang menyerbunya. Sambil berlari dia
berloncatan ke sana ke mari, Tiang Bu berada jauh dari
tempat pertempuran tadi. Dan dua ekor burung itu dalam
12
usaha mereka mentaati perintah majikan, yaitu untuk
menjaga jangan sampai Tiang Bu lari, lalu menyerang
dengan maksud menangkap bocah itu. Akan tetapi sungguh
tak terduga, bocah yang dise rangnya ternyata bukanlah
makanan empuk dan bukan saja melawan serta selalu
menghindarkan diri bahkan juga dapat membalas serangan
mereka dengan sebatang ranting. Hal ini memarahkan dua
ekor binatang itu yang serta menyerang dengan sungsuhsungsuh,
membuat Tiang Bu sibuk bukan main.
Tiba-tiba dari bawah melayang dua sinar hitam yang
panjang dan bentuknya seperti ular. Dua "ular" ini
menyambar ke arah sepasang Pek thouw-tiauw secara luar
biasa cepatnya dan......... di lain saat dua ekor burung yang
ganas itu jauh ke bawah, meronta-ronta sambil cecowetan.
Ternyata bahwa dua buah sinar yang seperti ular itu adalah
dua helai tambang yang dilontarkan orang secara isrimewa
dan secara aneh pula telah dapat menelikung dua ekor
burung itu di udara.
Dua ekor Pek-thouw-tiauw itu roboh dalam keadaan
tertelikung bagian leher, sayap dan kakinya sehingga seperti
ayam yang hendak direbus !
Pek-thouw-tiauw ong (Raja Burung Rajawali Put ih) Lie
Kong dan isterinya yang sudah ditinggal lari oleh Thai Gu
Cinjin dan Kwen Kok Sun, kaget bukan main melihat dua
ekor burung mereka roboh di atas tanah, meronta-ronta
sambil berteriak kesakitan dan kebingungan. Mereka tak
percaya bahwa bocah itu yang merobohkan dua ekor burung
itu. Akan tetapi ketika mereka berlari-lari menghampiri, tibatiba
mereka melihat bayangan orang berkelebat cepat
mendahului mereka menyambar tubuh Tiang Bu dan di lain
saat bocah itu sudah lenyap! Suami isteri yang
berkepandaian tinggi ini hanya melihat bentuk bayangan
orang yang tinggi kurus, akan tetapi tidak dapat mengenal
orangnya saking cepatnya gerakan itu
13
"Bukan main......!” Lie Kong menggeleng-geleng kepala
ketika melihat dua ekor burungnya telah terikat tambang.
"Salama hidupku belum pernah aku menyaksikan kehebatan
seperti ini. Siapa lagi yang dapat me lakukan semua itu kalau
bukan manusia dewa itu?" Ia lalu melepaskan ikatan yang
membuat dua ekor binatang peliharaannya yang istimewa
itu tak berdaya, dibantu oleh isterinya.
Adapun Tiang Bu begitu melihat dua ekor burung itu
roboh dan merasai angin mendesir sudah tahu bahwa
gurunya yang ke dua, Tiong Jin Hwesio yang datang
menolongnya. Benar saja, tak lama kemudian ia melihat
bayangan gurunya ini berkelebat dan di lain saat lengannya
sudah ditarik dan ia dibawa lari seperti terbang cepatnya.
“Pertemuan yang menarik sekali. kau harus menyaksikan
untuk menambah pengalaman!" Hanya demikian kata-kata
Tiong Jin Hwesio, dan tak lama kemudian gurunya ini sudah
tiba di tanah lapang yang terbuka, letaknya di sebelah kiri
tempat tinggal mereka. Lapangan terbuka ini memang
sengaja dibuat oleh dua orang kakek itu untuk tempat
berlatih pernapasan dan menjemur diri menampung
kekuatan dari sinar matahari. Di sini pula Tiang Bu
biasanya berlatih ilmu silat. Ketika Tiang Bu tiba di situ, is
melihat gurunya yang pertama, Tiong Sin Hwesio, sudah
duduk bersila di tempat yang biasa. Kakek ini mengangguk
melihat muridnya datang, lalu katanya perlahan,
"Apapun yang kaulihat nanti, jangan mengeluarkan
suara dan jangan bergerak."
"Baik, suhu." kata Tiang Bu memberi hormat lalu ia
mengambil tempat duduknya sendiri, yaitu di belakang dua
orang gurunya yang duduk berdampingan di atas batu
hitam. Tiang Bu duduk di atas batu hitam pula. tepat di
belakang Tiong Sin Hwcsio. Iapun be rsila seperti orang
bersamadhi. Akan tetapi dalam keadaan setegang itu, mana
ia mampu bersamadhi mengumpulkan panca indera? Ia
14
bahkan diam-diarn melirik ke kanan kiri, memperhatikan
tempat itu dengan penuh perhatian.
Ke adaan sunyi saja. Suara yang terdengar hanya suara
daun pohon kembang yang tumbuh dia belakang tempat
mereka duduk. Pohon inilah pohon satu satunya yang
berada di situ dan kembangnya yang herwarna putih itu
memenuhi tangkai dan dahan. Baunya sedap dan sejuk, dan
apabila ada angin bertiup, bunga-bunga itu rontok
berhamburan dan daun-daun bunga yang kecil-kecil
memenuhi tempat itu, bahkan ada yang menjatuhi kepala
Tiang Bu dan dua orang gurunya, akan tetapi mereka diam
saja.
Matahari sudah naik tinggi dan sebentar lagi tengah hari
akan tiba.
Mulailah terdenger suara dan tak lama kemudian dari
depan, kanan dan kiri mulai bermunculanlah orang-orang
yang dinanti-nanti oleh dua orang guru dan seorang
muridnya ini. Biarpun dua orang guru besar itu masih
menundukkan muka dan sedikitpun tidak perduli, namun
Tiang Bu tak dapat tinggal diam tanpa mengacuhkan
mereka. Anak ini diam- diam memasang mata dan melihat
teliti siapa-siapa yang datang.
Pertama-tama, muncullah Toat beng Kui-bo yang berjalan
terbongkok-bongkok dibantu oleh tongkatnya. Benar-benar
mengherankan sekali bagaimana nenek bongkok yang
jalannya lambat-lambat itu bisa tiba di sini paling dulu.
Hampir berbareng, muncul pula Ang-jiu Mo-li yang kedua
tangannya menggandeng Wan Sun dan Wan Bi Li. Kalau
Toat-beng Kui-bo hanya mengangkat tongkat dan sedikit
membungkuk ke arah Tiong Sin Hwesio dan Tiong Jin
Hwesio sebagai penghormatan yang aneh tanpa
mengeluarkan sepatah kata, adalah Ang-jiu Mo-li bersikap
lain. Wanita cantik ini merangkap kedua tangan di dada,
menghadap ke arah dua orang kakek itu sambil berkata
perlahan.
15
“Jiwi locianpwe, aku yang rendah Ang-jiu-cu (Si Tangan
Merah) datang rnenghadap!”
Tanpa mengangkat muka, dua orang kakek itu
merangkap kedua tangan di depan dada dan membungkuk
sedikit selaku penghormatan penganut Agama Buddha,
pertama-tama ke arah Toat-beng Kui-bo, kemudian ke arah
Ang-jiu Mo-li. Samua ini dilakukan tanpa mengangkat muka
! Tiang Bu melihat betapa dua orang murid Ang-jiu Mo-li
memandang kepadanya dengan pandang mata terheranheran.
Akan tetapi Tiang Bu pura-pura tidak melihat kepada
mereka, hanya mengerling sebentar lalu mengalihkan
pandang dari sudut matanya ke arah orang-orang lain yang
datang.
Ia melihat kedatanganWan Sin Hong dengan jantung
berdebar. Juga lagi-lagi ia dibikin kagum dan terguncang
melihat bocah perempuan yang datang bersama Sin Hong.
Benar-benarkah bocah itu bukan adiknya, Lee-Goat? Kini ia
melihat bocah perempuan itu juga memandang kepadanya
dengan tajam kemudian ia melihat betapa sepasang mata
bccah itu menjadi basah oleh air mata. Tak salah lagi, dia itu
Lee Goat Demikian pikir Tiang Bu, akan tetapi ia tidak
berani mengeluatkan suara. Kalau orang-orang lain agak
terheran melihat Tiang Bu duduk bersila di belakang dua
orang kakek itu, hanya Sin Hong yang tidak merasa heran.
Ia sudah menyangka bahwa Tiang Bu tentu diambil
murid oleh dua orang kakek sakti dari Omei.san. Sekarang
melihat betapa betul-betul Tiang Bu menjadi murid orangorang
sakti, diam-diam ia merasa girang sekali, akan tetapi
juga ia merasa gelisah kalau te ringat akan Kong Ji.
Kong Ji sudah tahu bahwa Tiang Bu adalah anaknya,
bagaimana kalau nanti Tiang Bu mengetahui ayahnya yang
sebenarnya? Bagai mana nant i kalau Kong Ji membuat ribut
di sini ? Akan tetapi ia dapat menenangkan hatinya dan
dengan penuh penghormatan memberi hormat ke arah dua
orang kakek itu.
16
"Boaopwe Wan Sin Hong memberi hormat kepada jiwi
locianpwe yang terhormat."
Tiong Jin Hwesio mengangkat muka dan tersenyum ke
arah Wan Sin Hong.
"Wan-bengcu yang terhormat berkenan datang
mengunjungi tempat kami yang buruk. Selamat datang.........
selamat datang ...... !"
Berturut-turut datang Liok Kong Ji dan kawankawannya.
Se lain Pak-kek Sam-kui dan Bu tek Sin-ciang
Bouw Gun, masih banyak terdapat tokoh-tokoh selatan yang
dikepalai oleh Lo Thong Hosiang dan tokoh-tokoh selatan
lain. Juga muncul Pek-thouw. tiauw-ong Lie Kong dan
isterinya, membawa sepasang burung rajawali yang besar.
Jumlah semua orang yang kini berada di tempat itu tidak
kurang dan empat puluh orang !
Diam-diam Tiang Bu mendapat kenyataan bahwa Thai
Gu Cinjin dan Kwan Kok Sun tidak kelihatan di situ. Hal ini
membuat curiga sekali. Akan tetapi taat akan larangan
suhunya, ia diamsaja. Di lain pihak, Sin Hong me rasa heran
juga melihat hadirnya beberapa orang tokoh utara,
diantaranya ia lihat Bu Kek Siansu, Pang Soan Tojin, dan Ci
Lien Tojin. Akan tetapi karena ia tadi sudah mendengar
penuturan Hwa Thian Hwesio, ia tidak begitu heran lagi,
bahkan mengherankan mengapa Hwa Thian Hwesio yang
gemuk itu belum juga muncul di situ.
Setelah melihat para tamunya yang tak diundang datang
memenuhi tempat itu Tiong Jin Hwesio mengangkat muka.
Mata tuanya masih amat tajam dan sekali sapu dan pandang
matanya ia sudah dapat mengetahui siapa-siapa orangnya
yang datang pada saat itu. Tangannya kanan kiri meraup
dua genggam rontokan daun bunga putih, lalu katanya
tenang-tenang.
“Cuwi sekalian tanpa diundang telah hadir. Pinceng tak
dapat menyuguh apa-apa kecuali rontokan bunga, siapa
17
yang tidak dapat menerimanya harap segera pergi lagi saja!”
Setelah berkata demikian, hwesio tua ini menggerakkan
kedua tangannya dan ...... daun-daun bunga putih itu
meluncur cepat, setiap he lai menyambar ke arah seorang
tamu. Hanya dua orang murid Ang-jiu Mo-li, seorang murid
Wan Sin Hong, dan dua ekor burung rajawali itu saja yang
terhindar dari sambaran rontokan bunga !
Semua orang tcrkejut dan otomatis mengangkat tangan
menyambut sumbaran bunga itu. Mereka rata-rata adalah
jago-jago silat kenamaan yang berkepandaian tinggi. Baru
mendaki gunung ini dan bisa mencapai puncak saja sudah
menjadi tanda bahwa mereka itu memiliki kepandaian tinggi.
Maka tanpa ragu-ragu semua orang mengangkat tangan
mene rima rontokan bunga putih yang kecil itu.
Akan tetapi akibatnya hebat. Segera terdengar pekik
kesakitan susul-menyusul diikuti rubuhnya banyak orang ke
belakang ! Ternyata bahwa rontokan daun bunga yang kecil
itu kitika mengenai tangan ada yang menancap dan ada pula
yang menggetarkan serta melumpuhkan seluruh tangan.
Bahkan ada yang tidak kuat menahan hawa dorongan yang
luar biasa hingga roboh terguling ke belakang !
Tak usah dibilang lagi betapa kaget dan takut hati
mereka yang tidak kuat menerima timpukan daun bunga
tadi. Tanpa berkata apa-apa lagi mereka lari turun dari
puncak dan tempat itu sebentar saja menjadi sepi karena
lebih banyak yang lari turun daripada yang tinggal. Yang
masih herdiri di situ karena kuat mererima timpukan tadi
adalah Wan Sin Hong, Ang-jiu Mo-li, Toat -beng Kui bo, Liok
Kong Ji, Bouw Gun, Pak kek Sam-kui, delapan orang tokoh
selatan termasuk Le Thong Hosiang, dan tiga orang tokoh
utara serta suami isreri pemilik burung-burung rajawali,
Pek-thouw-tiauw ong Lie Kong dan isterinya. Masih ada
beberapa orang lagi dan jumlahnya hanya dua puluh tiga
orang. Yang lain semua lari.
18
Tiong Jin Hwesio tersenyum. Tiong Sin Hwsio masih tetap
duduk sambil meramkan mata, sama sekali tidak
menghiraukan yang terjadi di situ.
"Cuwi sudah dapat menerima suguhan pinceng dengan
baik. bagus sekali! Itu menjadi tanda bahwa cuwi sekalian
cukup berharga untuk merundingkan sesuatu dengan kami.
Kalau pinceng tidak salah sangka, cuwi sekalian para tokoh
kang-ouw dari daerah selatan hendak membujuk kami
supaya suka menjadi bengcu. Bukankah demikian kehendak
cuwi?”
"Betul demikian dan kami harap locianpwe berdua
takkan menolak. Bahaya perang sudah di depan mata. Kaum
kang-ouw terpecah belah. Kalau bukan jiwi locianpwe yang
rnemimpin kami, siapa lagi?' jawab Le Thong Hosiang tokoh
Tai yung pal yang mewakili kawan-kawannya.
Kembali Tiong Jin Hwesio tersenyum ramah. “Belum
pernah ada di dunia kang-ouw diangkat dua orang bengcu.
Bukankah sudah ada seorang bengcu yang amat baik di
dunia kangouw dan sekarang bahkan hadir di sini?
Bukankah Wan-bengcu biarpun masih amat muda
merupakan pemimpin yang baik sekali. Pinceng sudah
banyak mendengar kebaikan-kebaikan dan jasa-jasanya."
"Akan tetapi dia adalah keturunan Wanyen keluarga Raja
Kin! Mana bisa kami mempunyai bengcu seorang keturunan
musuh ratyat? Hanya orang-orang utara yang tolol mau
memilih dia!" kata Le Thong Hosiang sambil memandang
kepada semua orang yang hadir, lalu berkata,
'Bukankah di sini terdapat pula saudara-saudara yang
mewakili daerah utera?'
Bu Kek Siansu, ketua Bu-tong-pai yang bertubuh tinggi
kurus dan berjenggot panjang, menjura sambil menjawab.
"Pinto dari Bu-tong-san mewakili sobat-sobat dari utara
untuk mengunjungi jiwi twa-suhu menghaturkan hormat.
Memang betul dahulu kami telah memilih Wan Sin Hong
19
sicu untuk menjadi bengcu berdasarkan kepandaiannya
yang tinggi dan memang harus kami akui bahwa Wan-sicu
adalah seorang gagah pe rkasa. Akan tetapi setelah kami
ketahui bahwa dia adalah keluarga raja, kami mangambil
keputusan untuk membebaskannya dari tugas bengcu. Kami
yang tidak sudi menjadi kaki tangan kaisar penjajah tentu
saja tidak mau mempunyai bengcu keluarga kaisar.
Kenudian kami mendengar bahwa jiwi twa-suhu berdiam di
0mei-san dan mengingat babwa jiwi adalah ahli waris dari
Tat Mo Couwsu dan Hoat Hian Cawsu, sudah sepatutnya
kalau jiwi memegang pucuk pimpinan para orang gagah
sedunia agar segala pertentangan dapat dilenyapkan dan
semua tenaga dapat dicurahkan untuk melindungi rakyat
jelata dari pada penindasan kaum penjajah dari manapun
juga."
Tiong Jin Hwesio menggeleng-geleng kepalanya.
"Omitohud, alangkah sempitnya pandangan orang sekarang!"
Ia menoleh kepada Sin Hong dan berkata kepada Bu Kek
Siansu. “Binatang boleh dipilih jenisnya untuk membedakan
mana yang baik dan mana yang jahat. Akan tetapi manusia
tak mungkin dapat dilihat baik buruknya dari keturunan
maupun keadaan lahirnya. Wan-bengcu adalah murid dari
mendiang Pak Kek Siansu yang masih sealiran dan sstingkat
dengan kami. KalauWan bengcu dapat melakukan tugasnya
dengan baik, mengapa menggantinya? Kami dua saudara
tidak mau mencampuri urusan dunia mengapa kalian
mendesak? Pulanglah, pulanglah. Biar Wan bengcu,
memimpin kalian, pasti semua beres." Sambil berkata
demikian Tiong Jin Hwesio melambai-lambaikan tangan
mengusir semua orang supaya pergi.
Liok Kong Ji melompat maju. Dia tahu betapa lihainya
dua orang kakek Omei-san itu. Baru sambitan daun bunga
saja tadi ketika ia menyambutnya, telapak tangannya sudah
terasa kcsernutan. Ia tahu bahwa kalau daun bunga itu
diganti dengan benda keras biarpun kepandaiannya tinggi, ia
takkan sanggup menerima sambi tan kakek yang lihai itu.
20
Dua orang kakek yang berilmu tinggi ini akan menjadi
pembantu-pembantu yang tak ternilai harganya bagi
pergerakan Temu Cin, akan tetapi juga dapat menjadi lawan
yang amat berat. Oleh karena itu, ia harus berdaya menarik
dua orang kakek ini di pihaknya atau kalau tidak berhasil
membasmi mereka!
"Jiwi locianpwe bicara dengan tepat dan bijaksana
sekali,” Kong Ji mulai berkata dengan suara lantang.
“Orang-orang yang sudah tua seperti jiwi locianpwe memang
sudah sepatutnya tidak diganggu lagi dengan urusan
duniawi sehingga jiwi dapat tekun menenteramkan batin."
Tiong Sin Hwesio yang sejak tadi meramkan matanya,
kini membuka mata dan semua orang mclihat betapa sinar
mata hwesio ini sudah layu dan tak parsemangat seperti
orang yang menderita sakit berat. Memang sesungguhnya
hwesio tua ini sudah lama mende rita sakit, sakit tua yang
membuat semangatnya bosan tinggal di tubuh tua itu.
"Pinceng mendengar lagu indah dinyanyikan secara
sumbang," katanya sambil menatap wajah Kong Ji "Sicu
siapakah?"
Biarpun pandang mata dan suaranva sudah lemah,
namun dalam sikap kakek tua ini membayangkan pengaruh
luar biasa dan membuat orang mau tak mau menaruh segan
dan hormat. Sekelebatan kakek ini sepeti gambar Nabi Locu
yang kecil tubuhnya, tua sekali bongkok dan jenggotnya
sudah putih semua. Berbeda dengan Tiong Jin Hwesio yang
tidak berambut dan tidak berjenggot, adalah Tiong Sin
Hwesio ini kepalanya ditumbuhi beberapa helai rambutrambut
di pinggirnya, rambut-rambut putih halus seperti
benang sutera. Juga jenggotnya halus dan putih.
Kong Ji cepat memberi hormat kepada kakek itu. "Te ecu
bernama Liok Kong Ji, nama yang tidak terkenal bagi
losuhu. Akan tetapi akan menjadi berarti kalau teecu
memberi tahu bahwa anak muda yang duduk di belakang
jiwi losuhu itu adalah puteraku !"
21
Orang yang merasa paling terkejut mendengar
pengakuan ini adalah Tiang Bu sendiri. Hampir saja ia
menjerit "bohong!' kalau saja ia tidak ingat dan taat akan
pesan gurunya. Apa pun yang terjadi, ia tidak boleb
mengeluarkan suara dan tak boleh berbuat sesuatu. Maka
hanya mukanya saja yang berubah pucat. Ia mengenal Liok
Kong Ji sebagai seorang panglima di daerah Mongol. la
pernah berjumpa dengan orang itu ketika dahulu ia dibawa
ke utara oleh Pak kek Sam kui. Dan dahulu Liok Kong Ji
tidak bicara sesuatu tentang pengakuan anak. Mengapa
sekarang orang itu mengaku bahwa dia anaknya? Terbayang
dalam ingatan Tiang Bu ucapan Hui-eng Niocu Siok Li Hwa
bahwa dia bukanlah putera Coa Hong Kin dan Go Hui Lian.
Ketika Hui eng Niocu Siok Li Hwa menculiknya dari Kim
bun-to dan memaksanya be rsumpah di depan makam Patjiu
Nio-nio untuk menjadi murid Hui-eng pai dalam
marahnya Hui -eng Niocu Siok Li Hwa menyatakan bahwa dia
bukanlah anak Coa Hong Km dan Go Hui Lian, melainkan
anak ayah bunda lain yang pada waktu itu ia tidak
memperhatikan. Dianggapnya Hui-eng Niocu bohong maka
ia tidak ingat lagi nama ayah bunda yang disebut itu.
Sekarang teringatlah ia bahwa dahulu Hui-eng Niocu
menyebut nama Liok Kong Ji ! Jadi inikah ayahoya?
Mengapa begitu ?
Tiong Jin Hwesio menoleh kepada muridnya dan
bertanya. "Tiang Bu, benarkah kau putera situ ini?”
"Dia berkata bohong, suhu. Setahu teecu, ayah teecu
bernama Coa Hong Kin dan ibu teecu bernama Go Hui Lian
puteri Hwa I Enghiong Go Ciang Le."
Kini Tiong Jin Hwesio berpaling kepada Kong Ji dan
suaranya berubah keren ketika ia berkata, "Liok-sicu,
pinceng tidak kenal padamu namun serasa pernah pinceng
mendengar namamu yang kurang scdap. Kau jangan mainmain
di sini. Mengapa kau berani mengaku murid kami
sebagai puteramu?"
22
Liok Kong Ji tertawa. Panahnya mengena sasaran,
pancingannya berhasil baik. "Locianpwa, mana aku berani
membohong atau main-main? Tadinya teecu sendiri juga
tidak tahu akan rahasia ini yang dipegang penuh serta
ditutup rapat oleh Wan Sin Hong. Locianpwe‘ agaknya dapat
diperdayai sehingga amat memuji dan percaya kepada Wan
Sin Hong. Maka harap locianpwe tanya kepadanya akan hal
ini."
"Wan-bengcu, betulkah kata-kata Lie situ ini bahwa
Tiang Bu adalah puteranya?” tanya Tiong Jin Hwesio.
Keadaan menjadi sunyi. Semua orang menaruh perhatian
sepenuhnya akan perkara ini yang biarpun barsifat pribadi
namun cukup menarik karena urusan ini saja dapat
menimbulkan heboh dan keributan. Semua orang
memandang ke arah Sin Hong, ingin tahu apa jawabannya.
Sin Hong memandang ke arah Tiang Bu yang seakanakan
hendak menelannya dengan pandang mata yang tajam
itu, kemudian menoleh ke arah Kong Ji, kemudian be rpaling
kepada Tiong Jin Hwesio din menundukkan kepalanya.
"Memang betul," jawabnya lemah.
"Bohong.... !" Tiang Bu menjerit, lupa akan pesan
gurunya dan ia melompat ke depan Sin Hong, kedua tangan
terkepal, matanya berapi. "Wan-siok-siok, bukankah kau
sudah tahu bahwa ayah bundaku di Kim-bun-to. Dia itu,
muridmu itu, bukankah dia Lee Goat, adikku? Aku tahu
ketika ia masih kecil sekali, masih bayi. Aku yang
menggendongnya, mengajaknya main-main! Mengapa pula
dia pura-pura tak kenal padaku? Siok-siok, katakan
sebenarnya bahwa aku bukan anak orang itu!"
Sin Hong tersenyum pahit, merasa amat kasihan kepada
bocah ini. Salahnya sendiri, pikirnya. Dialah yang berdosa,
membuka rahasia itu kepada Kong Ji katena khawatir akan
keselamatan isterinya yang tertawan oleh Kong Ji, anak ini
harus menelan kenyataan pahit sekali.
23
"Tiang Bu, kau memang puteranya. Semenjak masih bayi
kau dipelihara oleh ayah bundamu di Kim.bun-to ...... "
Wajah Tong Bu menjadi pucat. "Aku masih belum
percaya!" Ia menoleh dan memandang kepada orang yang
mengaku ayahnya itu dengan pandangan mata menantang.
"Wan siok-siok, kauceritakan mengapa semenjak bayi aku
dipelihara oleh ayah bunda di Kim.bun.to. Mengapa kalau
aku memang anak orang lain, orang tuaku yang aseli tidak
memeliharaku sendiri ?”
Muka Sin Hong sebentar pucat sebentar merah.
Keningnya berkerut. Ia berada dalamkeadaan yang amat
sukar. Tidak menjawab bagaimana dan kalau ia menjawab
dan meceritakan hal sebenarnya, berarti ia akan
membanting nama bocah itu ke dalamjurang kehinaan !
Mana ia tega untuk merendahkan bocah ini dengan bercerita
di depan orang banyak bahwa bocah ini terlahir dari ibu
yang gila dan yang dipermainkan oleh Kong Ji. Sama saja
dengan membuka rahasia bahwa Tiang Bu adalah anak dari
perhubungan gelap, anak yang tidak karuan ayahnya atau
anak haram!
Sin Hong menggeleng geleng kepalanya sambil menarik
napas panjang. "Aku......... aku tak dapat menceritakannya,
Tiang Bu……..”
"Wan-siolc.siok, kau harus......... ! Kau harus
menceritakannya kepadaku. Harus......... !” Tiang Bu
mendesak.
Sing Hong menggeleng kepalanya dengan sedih dan
memandang kepada bocah itu dengan kasihan. Tidak bisa,
Tiang Bu …….”
"Kalau begitu kau bohong ! Kau pembohong besar di
dunia ini...... atau kau pengecut besar !" Tiang Bu
melangkah maju dan matanya bcrsinar marah dan kedua
tangannya dikepal seakan-akan dia hendak menyerang Sin
Hong.
24
Terdengar Kong Ji tertawa mengejek dan Sin Hong
menjadi pucat sekali. "Tiang Bu...l" bentaknya keras.
"Siapapun tidak boleh menyebut aku pengecut !"
'Mengapa kau menyembunyikan rahasia orang ? Mengapa
kau tidak berani bicara terus terang? Hanya seorang
pengecut yang menyimpan rahasia orang dan membuat
orang mendapat malu dan terhina !” kata Tiang Bu makin
berani. "Hayo katakan......... atau harus aku memaksa.........
??”
“Tiang Bu......... !!” Sin Hong hampir tak dapat menahan
kesabarannya lagi. Mukanya sebentarme rah sebentar pucat.
Pada saat itu, Tiong Sin Hwesio membentak. “Tiang Bu,
kau memalukan guru-gurumu. Hayo mundur dan masuk ke
rumah !"
Mendengar bentakan ini, terdengar isak naik dari dada
Tiang Bu, mukanya pucat sekali dan dengan kaki limbung
dan maka pucat ditundukan, ia lalu berlari masuk ke dalam
pondok, di mana ia membanting diri di atas lantai dan
menangis! Baru kali ini selama hidupnya Tiang Bu merasa
sakit sekali hatinya.
Sementara itu, Le Thong Hosiang berkata mengejek,
“Dasar keturunan pangeran penjajah, tidak lurus
hatinya, berani menghina murid tuan rumah. Dasar
pengecut tetap pengecut!"
Sin Hong menggerakkan lehernya dan menengok ke arah
pembicara.
"Le Thong Hosiang, kau memaki siapa?” tanyanya,
suaranya lambat dan agak tergetar.
"Ho ho-ho, mcmaki kau, siapa lagi?"
Baru saja kata-kata ini keluar dari bibir Le Thong
Hosiang tubuh Sin Hong mencelat dan dengan marah ia
menyerang Le Thong Hosiang. Akan tetapi Ketua Tai-yun-pai
memang sengaja mencari percekcokan dengan Sin Hong dan
25
karenanya ia sudah siap sedia. Dua orang sutenya yaitu Lo
Kong Hosiang dan Le Tak Hosiang, sudah menjaga. Begitu
Sin Hong bergerak, dua orang hwesio ini menggerakkan toya
mereka menyerang Sin Hong dari dua jurusan. Juga Le
Thong Hosiang menggerakkan toyanya sambil berkata
kepada Tiong Jin Hwesio,
“Jiwi locianpwe, harap maafkan, pinceng hendak
memberi hajaran kepada pangeran kesasar ini!”
Akan tetapi, kata-katanya terhenti karena Sin Hong
dengan gerakan cepat sekali mangeluarkan kepandaiannya.
Bagaikan halilintar menyambar tubuhnya berkelebat di
antara tiga barang toya lawan dan di lain saat Le Tak
Hosiang terlempar ke kanan, Le Kong Hosian, terjungkal dan
Le Thong Hosiang roboh dengan toyanya patah-patah!
Baiknya Sin Hong masih ingat bahwa ia berada di Omei-s an
dan di depan dua orang kakek sakti yang menjadi tuan
rumab. Pula dia ingat bahwa pertempuran hanya urusan
kecil saja. maka ia tidak
sampai menurunkan
tangan maut, hanya
membuat Le Thong
Hosiang patah patah toya
berikut tulang lengan
kanannya sehingga
hwes io menjadi pingsan.
Adapun Le Kong Hosiang
dan Le Tak Hosiang
hanya terlempar
mendapat kepala benjol
saja.
Semua orang menjadi
kaget sekali menyaksikan
kehebatan Sin Hong.
Kong Ji tersenyum
masam. Ang.jiu Mo.li
26
memandang kagum penuh gairah kepada Sin Hong. Mulut
Toat-beng Kui-bo bergerak-gerak seperti orang makan
kacang goreng, atau seperti mulut domba menggayem
kembali makanan dari perutnya. Keadaan menjadi sunyi
sekali. Tiba-tiba terdengar. suara Tiong Jin Hwesio, bernada
tak senang.
"Wan-bengcu, kau kasar sekali. Apakah di sini kau
hendak memamerkan kepandaianmu ?”
Sin Hong cepat memberi hormat kepada kakek itu, “Maaf
locianpwe. Bukan sekali-kali boanpwe berani bersikap
kurang ajar, akan tetapi orang-orang itu terlalu mendesak
boanpwe."
"Hemmm, memang tIdak keliru kata kata Tiang Bu tadi.
Seorang yang tidak berani berkata terus terang, biarpun
sikapnya itu hendak menolong orang lain misalnya, tetap
saja ia mendekati sikap pengecut. Kau datang ini ada
keperluan apakah?”
Merah wajah Sin Hong dan sikapnya menjadi berani. Dia
tidak mau membuka rahasia itu semata-mata untuk
melindungi muka dan nama baik Tiang Bu, akan tetapi
bocah kurang terima itu mengatakannya pengecut dan
kakek ini malah membenarkan bocah itu.
"Locianpwe memang bukan menjadi watakku untuk
membuka rahasia orang lain di depan umum. Oleh karena
itu pulalah maka aku yang muda dan bodoh kali ini juga
tidak membuka rahasia mengapa aku datang ke tempat ini.
Hanya terus terang saja, kedatanganku ke sini sama sekali
tidak ada hubungannya dengan segala keributan urusan
bengcu dan segala tetek-bengek lain tetapi aku datang untuk
mencari isteriku yang diculik orang. Akan tetapi aku belum
begitu kurang ajar untuk mengganggu Iocianpwe sebagai
tuan rumah yang hendak me layani tamu-tamunya, maka
silakan. Biar aku menanti setelah urusan semua selesai,
barulah aku berurusan dengan pcnculik isteriku!"
27
Tiba-tiba Tiong Sin Hwesio tertawa geli.
“Heh-heh-heh, murid Pak Kek Siansu ini bersemangat
juga. Sayang ia terlalu seeji (sungkan) dan mengalah
sehingga diinjak-injak orang jahat." Kemudian ia berkata
kepada Tiong Jin Hwesio. "Sute, lekas kaubereskan orangorang
ini. Pinceng sudah lelah.”
Tiong Jin Hwesio dengan muka sebal dan hilang sabar
berkata. "Siapa lagi yang masih ada urusan hayo lekas
katakan, jangan bikin capai hati orang!"
Liok Kong Ji melaugkah maju. Dengan senyum cerdik
sekali ia berkata, "Jiwi Locianpwe tadi menyatakan tidak
hendak mencampuri urusan dunia, itu baik sekali. Biarpun
kita semua tidak berani minta pertolongan jiwi untuk segala
urusan keduniaan. akan te tapi kami sangat mengharapkan
agar kelak jiwie memenuhi janji dan tidak turun gunung
untuk mencampuri urusan kami."
"Eh, lancang! Kauanggap kami ini siapa sudi me langgar
janji dan kau ini punya hak apa bicara seperti itu?" Tiong Jin
membentak.
“Bagus, locianpwe. Memang aku percaya penuh bahwa
locianpwe kelak takkaa melanggar janji. Adapun aku
memang hendak mewakili para orang gagah karena
ketahuilah bahwa aku pernah mereka pilih sebagai Tung
Nam Bengcu dan sekarang setelah Wan Sin Hong tidak
berhak menjadi bengcu lagi, aku mewakilkan diri untuk
menjadi calon bengcu. Bagaimana, para sobat yang hadir di
sini. Setujukah mengangkat s iauwte sebagai bengcu?”
tanyanya kepada kawan-kawannya.
Yang hadir di situ sebagian besar adalah kawan-kawan
Kong Ji. Maka tokoh-tokoh selatan seperti La Thong Hosiang
yang sudah siuman, bersama sute-sutenya dan Nam Kong
Hosiang berdua Nam Sion; Hosiang ketua Kaolikung-bio
(kelenteng di Bukit Keolikung-san), Heng.tuan-san Lojin,
28
Pak-kek Sam-kui, Bouw Cun beberapa orang ternama lain.
serentak menyatakan setuju dengan suara gemuruh.
"Tidak, kami tidak setuju.” Tiba.tiba Bu Kek Siansu
berseru keras. "Semua tokoh utara tidak setuju kalau Lioksicu
yang menjadi bengcu !"
'Habis kau mau apa?' Bu-tek Sin-ciang Bouw Gun
naelompat maju di depan Bu Kek Siansu sambil melotot
dengan sikap menantang.
Bu Kek S;ansu tidakmelayani orang kasar itu, melainkan
menghadap Tiong Jin Hwesio dan berkata, "Harap locianpwe
sudi turun tangan. Liok Kong Ji itu seorang manusia jahat,
kalau dia menjadi bengcu, akan celakalah dunia kang-ouw.
......... “
"Bu Kek Siansu, tak malukah kau memburukkan orang
lain di depan umum? Laginya kau lupa bahwa dua orang
kakek sakti dari Omei-san sudah berjanji tidak akan
mencampuri urusan kita."
Dengan mendongkol sekali Tiong Jin Hwesio menggerakgerakkan
tangannya. "Pergilah kalian urus sendiri persoalan
ini, jangan mengganggu kami."
Liok Kong Ji tertawa bergelak. Tercapailah maksud
hatinya, berhasillah tipu maslihatnya walaupun ia tak
mungkin dapat mengharapkan bantuan dua orang kakek
itu, tetapi sudah berhasil mengikat mereka dengan janji
takkan mencampuri urusannya. Kelak dalam penyerbuan
tentara Mongol ke selatan, kiranya ia mempunyai senjata
janji ini untuk membuat dua orang sakti ini tak berdaya
andaikata mereka hendak turun tangan.
"Cuwi bengyu sekalian, mari kita turun dan jangan
mengganggu lagi dewa-dewa Omei-san !” katanya sambil
mengajak kawan-kawannya turun dari puncak.
“Hemm Liok Kong Ji, biarpun akan hancur tubuhku,
kelak akulah yang akan menjadi lawanmu,” kata Wan Sin
29
Hong dengan suara lantang, akan tetapi Kong Ji hanya
tertawa.
"Jiwi locianpwe harap ingat bahwa anak itu adalah
puteraku, jadi kelak aku membawanya pulang."
“Tutup mulutmu,” Sin Hong membentak. “Mana buktinya
bahwa dia puteramu?" Kong Ji hanya tertawa mengejek lalu
pergi dari situ.
Tiong Jin Hwes io menghela napas, dongkol sekali,
"Benar-benar hari ini kami sedang sial, didatangi oleh orangorang
dogol, tukang berkelahi. Eh, eh kalian ini masih belum
pergi, mau apa lagikah? Apakah masih ada urusan lain? Ini
nenek tua bukankah Toat beng-Kui -bo dari Laut Selatan?
Hemm, kau sudah tua mau mampus seperti kami masih
be rkeliaran di sini, mau apakah?" tegur Tiong Jin Hwesio.
Terdengar suara ketawa cekikikan ketika nenek
mengerikan itu menggerakkan mulutnya. Tiga ekor kele lawar
terbang dari tongkatnya ketika nenek itu tertawa,
be terbangan di atas kepala nenek itu seakan-akan suara
tawa tadi merupakan isarat bagi me reka untuk siap menjaga
keselamatan majikan mereka !
"Hi-hi -hi-hi, Tiong Jin Hwesio dan kau tua bangka Tiong
Sin Hwesio tukang tidur ! Dari tadi aku heran apakah kalian
sudah lupa kepadaku. Kiranya kal ian masih ingat. Alangkah
sombongnya kalian, makin tua makin sombong sehingga
sejak tadi kalian berlaku seolah-olah tidak kena! lagi
padaku! Cihh, laki-laki memang selalu berwatak tinggi hati."
Tiong Sin Hwesio tiba-tiba membuka matanya dia
menarik napas panjang. "Kau masih sama saja seperti lima
puluh tahun yang lalu sedikitpun tidak berobah !"
Harus diketahui bahwa ketika masih mudanya, Toatbeng
Kui-bo adalah seorang wanita yang cantik jelita, oleh
karena itu, kini mendengar kata-kata Tiong Sin Hwesio, ia
merasa mendapat pujian. Oleh karena itu, kembali
mengeluarkan suara ketawa haha-hihi menyeramkan sekali.
30
"Hi- hi - hi hi, Tiong Sin Hwesio biarpun sudah tua
bangka, tetap saja seorang laki-laki yang pardai mengambil
hati! Tiong Sin Hwesio biarpun tadinya aku agak gentar
menghadapimu dan berniat mengajak pibu sutemu saja,
namun melihat kebaikan hatimu, aku merubah niatku dan
sekarang aku ingin mancoba sampai di mana kelihaianmu
yang amat disohorkan orang. Orang bilang bahwa ilmu silat
warisan Tat Mo Couwsu lebih lihai dari pada warisan Hoat
Hian Couwsu. Akan tetapi aku tetap berpendirian bahwa
selain dua orang couw-su itu, masih ada ilmu silat lain yang
tak kalah hebatnya!”
Tiong Sin Hwesio merem-melekkan matanya, lalu
mengambil napas panjang,
"Toat-beng Kui-bo, kata-katamu itu benar belaka.
Memang banyak sekali ilmu silat dunia ini yang Iihai-lihai
dan hebat- hebat akan te tapi sebagian besar adalah ilmu
silat yang sengaja diciptakan orang untuk orang-orang jahat.
Maka kalau dibandingkan dengan peninggalan cauw-su,
ahh, jauh sekali.”
"Pandai kau bicara, orang tua. Coba kau jelaskan, bagai
mana bedanya!” nenek itu menuntut.
"Sute, nenek ini bawel amat. Coba kau menjelaskannya,
bukan hanya untuk Toat beng Kui-bo, juga untuk orang
yang menyebut diri ahl i ilmu silat di sini agar supaya
membuka matanya "
Tiong Jin Hwesio mengangguk, lalu berkata dengan suara
lantang,
“Ilmu silat adalah kelaujutan dari pada i lmu batin.
Manusia harus lebih dulu belajar memperkuat batin
membersihkan hati dan pikiran. Kalau pikiran dan hati tidak
bersih, mana bisa mempelajari ilmu batin untuk mencari
Nirwana? Manusia terdiri dari lahir dan batin, keduanya
harus maju bersama, tak boleh pincang sebelah. Batinnya
saja yang kuat tanpa lahir yang kuat takkan selaras,
31
sebaliknya lahirnya kuat batinnya tidak kuat mendatangkan
kekerasan dan penyelewengan.
Setelah mempelajari ilmu batin dan sudah memiliki jiwa
yang kuat dan bersih, sudah semestinya melatih lahir
supaya kuat pula karena sudah menjadi kewajiban setiap
mahluk untuk menjaga dan melindungi tubuh sendiri dari
bahaya yang mengancam dari luar. Inilah mengapa orangorang
pandai di jaman dahulu menciptakan ilmu silat,
diciptakan penuh kesadaran dan kesucian batin, ditujukan
dalam mencipta untuk memberi perisai dan pelindung
kepada manusia lemah supaya dapat menjaga tubuh.
Komudian oleh orang orang yang bersemangat dan
berjiwa besar, malah ilmu ini dipergunakan untuk
membantu berputarnya keadilan dan mendorong
terlaksananya kebajikan. Akan te tapi, sungguh celaka,
banyak sekali disamping ilmu silat yang bersih ini muncul
ilmu silat yang dipergunakan untuk mengagulkan diri,
untuk menyombongkan diri dan memamerkan kepandaian,
untuk berkelahi dan mengalahkan orang lain. Alangkah
sesatnya!"
Setelah Tiong Jan Hwesio berhenti bicara Tiong Sin
Hwelio berkata,
“Nah, kaudengar itu, Toat beng Kui-bo. Pinceng tahu kau
berilmu tinggi. Apakah kau masih hendak menantangku
mengadu ilmu? Itu tandanya ilmumu sesat."
"Kakek tua bangka banyak lagak! Aku belajar ilmu untuk
dipergunakan, bukan seperti kalian ini belajar puluhan
tahun hanya untuk dipakai bekal mampus. Kalau kalian
tidak mau melayani aku pibu, juga tidak apa. Akan tetapi
segala macam ilmu peninggalan Tat Mo Couwsu dan Hoat
Hian Couwsau itu untuk apakah? Lebih baik kalian berikan
kapadaku sebelum kalian mampus agar dapat
kuperkembangkan dan kuturunkan kepada orang baik."
32
Mendengar ini, Tiong Sin Hwesio bergerak dan tahu-tahu
kakek tua yang sejak tadi duduk sudah berdiri ke depan
Toat-beng Kui-bo. Gerakannya tak dapat dibilang cepat
karena ia nampak lambat-lambatan, akan tetapi tak
seorangpun dapat melihat kapan dia bangkit dari duduknya!
"Toat-beng Kui-bo, apakah kau juga seperti orang-orang
yang berwatak maling itu? Kitab-kitab pusaka tak boleh
diganggu oleh siapa-pun juga. Kau sendiripun tidak boleh"
Nenek itu tertawa, memperlihatkan giginya yang jarang
dan runcing seperti gigi tikus atau gigi kelelawar.
"Ini berarti kau mau melayani aku bertanding !”
"Lebih baik main-main sebentar dengan tulang-tulangku
yang sudah lapuk dari pada membiarkan kau mengotori
kitab-kitab kami!' kata Tiong Sin Hwesio.
"Kalau begitu kau terimalah ini !" seru nenek itu dan
kedua tangannya yang berkuku panjang itu mendorong ke
depan. Gerakannya biasa saja akan te tapi ketika kedua
lengan itu menyambar, orang-orang yang berdiri beberapa
tombak jauhnya dari tempat itu masih merasai hawa
dorongan yang dahsyat ! Dan ketika kedua kaki nenek itu
berganti-ganti dibantingkan ke tanah, tempat di sekitar itu
tergetar seperti gempa bumi.
Tiong Sin Hwesio menyebut, "0mitohud!” dan dengan
gerakan sederhana pula ia meluruskan kedua lengan
tangannya. Di lain saat dorongan nenek itu sudah
diterimanya dan dua pasang telapak tangan itu saling
menempel.
“Omitohud, kau hendak mengadu lweekang. Bagus ......
kau takkan menang, Toat-beng Kui -bo.......!” kata Tiong Sin
Hwesio sambil tersenyum memperlihatkan mulut yang tak
bergigi lagi.
Yangmasih hadir di tempat itu hanya tinggal Sin Hong,
Ang-jiu Mo-li dan suami isteri Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong
33
berdua. Mereka merasa kagum bukan main terhadap kakek
tua itu. Mengadu tenaga lweekang seperti itu adalah
pertandingan yang amat berbahaya. Seluruh perhatian dan
tenaga dalam harus dikerahkan kepada telapak tangan
untuk mendesak hawa pukulan atau hawa dorong lawan.
Akan tetapi kakek itu masih dapat bicara seenaknya !
Juga Toat-beng Kui-bo terkejut sekali dan menyesal
bukan main mengapa ia datang-datang mengadu tenaga
lweekang dengan kakek tua yang sudah mau mati itu. Begitu
mendengar kakek itu bicara, tahulah ia bahwa tenaga
lweekangnya kalah jauh. Namun nenek ini adalah seorang
yang terkenal keras hati dan tidakmau kalah. Ia
mengerahkan seluruh tenaganya, kedua kakinya bergantiganti
menjejak tanah, dan dari dalam petutnya keluar suara
gerengan seperti harimau dan tanah di sekitarya bergerak
gerak terkena getaran tenaganya yang dahsyat. Pohon
kembang di belakang dua orang kakek itu tergetar dan
berhamburanlah bunga dan daun s egar ke bawah sehingra
sebentar saja pohon itu telah menjadi gundul sama sekali
tak berbunga atau berdaun lagi.
Melihat orang-orang gagah yang hadir di situ kembali
terkejut. Harus mereka akui bahwa nenek buruk rupa ini
memiliki tenaga lweekang yang lebih tinggi dan pada mereka
sendiri. Namun, kakek Tiong Sin Hwcsio masih tampak
tenang-tenang saja.
"Omitohud, Toat-beng Kui-bo, mengapa kau berlaku
nekad ?. Kau tak kan menang. Tariklah tenagamu dan kau
melompat mundur, kita sudahi.saja adu tenaga ini.”
Akan tetapi-nenek itu bukannya menurut bahkan makin
hebat ia mengerahkan tenaganya, sampai uap putih
rnengcpul dari kepalanya dan peluh membasahi dadanya.
"Kau tidak mau mundur baik-baik ? Terserah, terpaksa
pinceng mcndorongmu mundur. Satu ......... dua..........
tiga........!" Tubuh Toat -beng Kui-bo tiba-tiba terlempar ke
belakang seperti disambitkan. Baiknya nenek ini lihai sekali.
34
Ia cepat mengerahkan ginkangnya, berjumpalitan dan hanya
terhuyung-huyung, tidak sampai roboh terlentang. Mukanya
pucat, napasnya memburu dan peluhnya memenuhi tubuh.
Ia berdiri meramkan mata sebentar untuk mengatur napas.
Lega hatinya karena kakek itu ternyata tidak melukainya.
Ke tika ia membuka matanya, ia melihat Tiong Sin Hwesio
masih berdiri. Segera melompat maju dan berkata,
"Kita masih belum main ilmu silat. Hayo, kaulayani aku
barang sepuluh jurus. Kalau dalam adu tenaga lweekang
aku kalah, kini aku akan menebus kekalahanku !" katanya
menantang.
Aneh sekali, tubuh Tiong Sin Hwesio gemetar, kedua
kakinya menggigil dan suaranya terdengar lemah sekali
ketika menjawab, "Aku tidak bisa......... tidak mau mengadu
ilmu silat dengan kau, ilmu silatmu jahat dan kotor....”
“Kau takut ? Hi-hi hihi, Tiong Sin Hwesio takutkah? Kau
mau atau tidak, harus kau layani aku kalau tidak mau
kusebut pengecut dan penakut yang ngeri menghadapi
kekalahan !”
"Pinceng bukan takut, kau takkan menang. Muridku saja
cukup untuk melayanimu. Tiang Bu……!” Kakek ini menoleh
ke arah pondok memanggil muridnya. Dalam suara
panggilannya itu terdengar getaran yang aneh sehingga
Tiong Jin Hwesio tidak hanya memandang kepada
suhengnya itu, bahkan kini menghampirinya dan tanpa
berkata sesuatu hwesio jangkung kurus ini menaruh tangan
di punggug suhengnya, lalu keningnya berkerut.
Sementara itu, Tiang Bu berlari keluar. Pada mukanya
masih nampak bekas air mata. biarpun ia merasa sungkan
keluar menemui atau menghadapi orang-orang itu terutama
sekali Sin Hong, namun tentu saja ia tidak berani
membantah panggilan twa-suhunya. Ia menjatuhkan diri
berlutut di depan Tiong Sin Hwesio, siap menanti perintah
selanjutnya.
35
"Tiang Bu, seorang jantan pantang mengalirkan air mata
keluar." Tiong Sin Hwesio menegur muridnya.
"Ampunkan teecu, suhu. Hati teecu terasa sakit dan
perih, air mata keluar tanpa dapat teecu cagah lagi.'
"Kau sakit hati? Bagus, asal saja jangan kau menjadi
buta karena perasaan itu. Tiang Bu, kau akan mewakili
pinceng menyambut tantangan untuk berpibu dengan Toat -
beng Kui-bo. Beranikah kau?" kata Tiong Sin Hwesio sambil
menunjuk ke arah nenek itu. Tiang Bu memandang. Nenek
ini rupanya saja sudah demikian mengerikan dan membuat
semangat lawan terbang setengahnya, apalagi nama
julukannya yang begitu menyeramkan Toat beng Kui-bo
yang berarti Iblis Wanita Pencabut Nyawa!
'Tentusaja teecu akan mentaati perintah suhu, dan teecu
tidak penasaran andaikata locianpwe ini benar-benar akan
mencabut nyawa teecu,” jawabnya.
Tiong Sin Hwesio tertawa girang. "Ha, kau seperti anak
itik yang takut air ! Akan tetapi lebih baik seperti anak i tik
takut air dari pada menjadi seperti anak ayam tenggelam di
sungai!"
Perumpamaan anak itik takut air adalah sikap orang
yang merendah, tidak tahu akan kepandaian sendiri maka
takut-takut seperti anak itik takut air padahal pandai sekali
renang ! Sebaliknya anak ayam mati di sungai menyindirkan
sifat seorang sombong yang tidak insaf akan kepandaian
sendiri yang terbatas sehingga ia akan tenggelam dalam
kesombongannya sendiri.
"Tiang Bu, se lama aku berada di sini, kau telah
mempelajari ilmu-ilmu yang kalau kau pergunakan benarbenar
akan dapat mengatasi atau setidaknya mengimbangi
kepandaian Toat-beng Kui-bo. Majulah!”
Tiang Bu merangkak maju dan berlutut di depan kaki
suhunya.
36
“Coba kaulakukan Khai-khi-jiu hiat !"
Sin Hong dan yang lain-lain kagum sekali. Khai-khi-jiuhiat
(Membuka Hawa Melemaskan Jalan Darah) adalah
semacam ilmu yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang
hanya dapat dilkukan oleh orang yang sudah memiliki
sinkang di tubuhnya dan sudah mempelajari dasar ilmu
lweekang yang paling tinggi. Khai -khi-jiu-hiat ini biasanya
dipergunakan dalam keadaan samadhi untuk menerima
sarinya bulan sebagai tenaga Im-kang dan sarinya matahari
sebagai tenaga Yang-kang. Apakah benar- benar bocah ini
dapat melakukannya? Dan kakek itu menyuruhnya
melakukan Khai-khi-jiu-hiat untuk apakah ?
Setelah Tiang Bu bersila dan me lakukan Khai-khi-jiuhiat,
Tiong Sin Hwesio melangkah maju mendekati Tiang Bu,
lalu mengangkat kedua tangan ke atas kepala. Tiba-tiba
Tiong Sin Hwesio melompat maju dan memegang lengan
suhengnya.
"Suheng, jangan.........!” Hwesio jangkung kurus ini sudah
dapat menduga apa yang hendak dilakukan oleh suhengnya
maka dengan hati ngeri ia hendak mencegah. Tiong Sin
Hwesio tersenyum ramah kepada sutenya itu.
“Sute, kau sudah dapat mengerti niatku. Memang jalan
ini yang terbaik. Ke tahuilah bahwa setelah mengadu
lweekang tadi, pertahananku melawan datangnya Giam lo
ong karena usia tua sudah lumpuh. Kematian sudah di
depan mata, mengapa harus mati sia-s ia. Lebih baik
kuwariskan dia yang kelak harus melanjutkan riwayat kita.
Toat-beng Kui-bo berkata benar, sayang pelajaran puluhan
tahun dibawa ke lubang kubur begitu saja.”
Tiong Jin Hwesio mengangguk-angguk, tak dapat berkata
apa-apa lagi kecuali memandang kepada kakek tua itu
dengan pandang mata terharu.
"Kau mendahului aku, suheng? Terserah sesukamulah
..... " katanya perlahan sekali.
37
"Tiang Bu, bersiaplah kau, buka selebar-lebarnya jalan
darahmu!"
Sambil berkata demikian, kembali Tiong Sin Hwesio
mengangkat kedua lengan tangannya ke atas, jari-jari
tangan dibuka sepeti hendak mencengkeram sesuatu dari
udara. Makin lama jari-jari tangan ini makin tergetar mulamula
hanya jari tangan saja yang berge tar, makin lama
menjalar ke lengan, pundak, tubuh dan tak lama kemudian
seluruh tubuh kakek itu tergetar hebat. Demikian hebat
tenaga getaran sampai-sampai Sin Hong yang sudah tinggi
lweekangnya ikut pula tergetar kedua kakinya, seakan-akan
tenaga itu menjalar melalui tanah dan udara ! Hebat bukan
main kakek tua itu ketika mengerahkan seluruh tenapa
sinkangnya.
Mau apakab dia? Sin Hong sendiri t idak dapat menduga
kakek ini mau berbuat apa, ia hanya khawatir kalau-kalau
kakek ini menyerang orang, kiranya biarpun Tiat beng Kuibo
sendiri takkan mungkin dapat menahan.
"Terimalah!” Teriakan ini keluar bagaikan jerit
mengerikan dari mulut Tiong Sin Hwesio dan tiba-tiba
sepuluh jari tangannya bergerak dan memukul ke arah
ubun-ubun kepala Tiang Bu!
"Celaka......." Sin Hong melompat bagaikan seekor burung
walet menyambar ke arah kakek itu untuk menolong Tiang
Bu. Dengan mcngerahkan seluruh lweekangnya karena
maklumakan kelihaian kakek itu. Sin Hong cepat
menggunakan kedua lengannya untuk menangkis ge rakan
ke dua tangan kakek yang memukul ubun-ubun kepala
Tiang Bu.
"Ptak- ..... !” terdengar suara keras dan tubuh Sin Hong
terlempar jauh kebelakang s ampai lima tombak lebih !
Baiknya kepandaian Sin Hong sudah tinggi, maka dapat ia
mangatur keseimbangan tuhuhnya dan turun ke bumi
dalam keadaan berdiri. Namun ia merasa tubuhnya lelah
bukan main seperti kehabisan tenaga sama sekali. Seakan
38
akan tenaga sinkangnya terbetot dan terhisap habis ketika
lengannya bertemu dengan lengan kakek itu. Kini ia hanya
dapat be rdiri memandang dengan mata ngeri.
Sete lah teradu dengan lengan Sin Hong lengan tangan
kakek itu seakan-akan ditambah tenaga lagi dan kini
meluncur cepat ke arah ubun-ubun kepala Tiang Bu tanpa
dapat dicegah lagi.
"Capp......... !" Orang orang melihat seakan-akan sepuluh
buah jari tangan itu menancap kepala Tiang Bu yang masih
duduk bersila. Tubuh anak itu seperti orang disambar petir,
berkelojotan dan rambut kepalanya berdiri semua! Setelah
be rkelojotan dan matanya mende lik, lalu tubuh Tiang Bu
roboh di atas tanah, tak bergerak lagi. Juga Tiong Sin
Hwesio jatuh duduk di dekat tubuh anak itu bersila dan tak
bergerak seakan-akan tubuh hwesio tua itu sudah menjadi
patung. Hanya jenggotnya yang putih panjang saja berge rakgerak
tertiup angin.
"Suheng......... !” Tiong Jin Hwesio mengeluarkan suara
seperti mengeluh kemudian ia merangkap kedua tangan ke
dada memberi hormat kepada suhengnya yang duduk tak
bergerak itu.
“Eh, apa apaan ini?" Toat.beng Kui-bo berseru tak senang
merasa diabaikan oleh kakek Ome i-san.
"Diamlah, Toat bang Kui-bo!” Tiong Jin Hwesio
mernbentaknyn marah. `Tunggu saja sebentar, kalau kau
demikian haus berkelahi, murid kami yang akan mewakili
suheng mengajar adat kepadamu !"
Sementara itu, Sin Hong melompat ke dekat Tiang Bu
yang menggeletak terlentang di dekat Tiong Sin Hwesio.
Akan tetapi ia melompat bal ik lagi dan matanya terbelalak.
Ia tadi hampir saja menyentuh tubuh Tiang Bu akan tetapi
cepat ia menjauhkan diri ketika melihat pemuda cilik itu
menggerak-gerakkan dua tangan seperti orang kepanasan,
mengeluh menoleh ke kanan kiri sepert i orang sakit demam.
39
Dan dari gerakan kedua tangan Tiang Bu itu menyambar
hawa pukulan yang membuat Sin Hong melompat mundur
dengan terkejut sekali.
Ia menoleh ke arah Tiong Sin Hwesio dan …. ia segera
merangkapkan kedua tangan sebagai tanda penghormatan.
Tahulah kini Sin Hong akan ke anehan kakek tadi, atau
sedikitnya ia dapat menduga apa yang sesungguhnya telah
terjadi. Tentu kakek itu telah menurunkan ilmunya yang
terakhir kepada Tiang Bu, boleh jadi telah mendatangkan
kekuatan hebat pada diri anak itu melalui pukulan tadi. Dan
kakek itu telah melakukan ini dengan mengorbankan
nyawanya!
Dugaan Sin Hong memang banyak betulnya. Akan te tapi
ia tidak mengetahui hal yang sesungguhnya. Hanya Tiong
Jin Hwesio saja yang tahu sejak tadi apa yang dilakukan
oleh suhengnya. Ternyata bahwa ketika tadi mengadu
lweekang dengan Toat. beng Kui-bo, keadaan Tiong Sin
Hwesio sudah payah sekali. Hwesio ini sudah lama
menderita sakit tua, us ianya sudah terlalu tua dan agaknya
ia hanya “menanti saatnya" saja. Kemudian ia ditantang oleh
nenek itu sehingga terpaksa turun tangan.
Tentu saja Toat -beng Kui-bo bukan lawannya dan mudah
ia mengalahkan pertandingaa lweekang itu. Namun,
tubuhnya yang sudah rapuh itu mana kuat menahan
pertandingan lweekang? Segera kakek ini merasa bahwa isi
dadanya te rluka hebat akibat pengerahan tenaga lweekang
dan tahulah ia bahwa ia menghadapi kematian yang tak
dapat ditolong lagi. Maka ia lalu mengambil keputusan,
mempergunakan saat terakhir itu untuk menurunkan
seluruh tenaga sinkangnya kepada muridnya yang terkasih,
Tiang Bu.
Anak ini cerdik sekali dan sudah banyak mempelajari
ilmu pukulan yang tinggi-tiuggi. Namun oleh karena
tubuhnya masih amat muda dan belum memiliki sinkang
yang tinggi apabila bertemu dengan lawan tangguh masih
40
belumdapat diandalkan. Oleh karena itu, di saat terakhir itu
ia menyuruh muridnya melakukan Khai-khi-jiu-hiat,
kemudian ia melakukan pukulan hebat itu untuk
memindahkan tenaga sinkang ke dalam tubuh muridnya.
Pukulannya tadi adalah semacam pukulan hebat sekali,
tidak dikenal oleh ahli silat lain dan merupakan pukulan
gaib yang disebut Sin-siang-hoan-kang (Tangan Sakti
Memindahkan Tenaga). Pukulan ini kalau dipergunakan
untuk menyerang lawan jarang ada lawan dapat
menghindarkan diri karena setiap gerak mengandung aliran
tenaga sinkang yang luar biasa.
Akan tetapi kakek itu telah dapat mempergunakan untuk
memindahkan tenaga sinkangnya ke dalam tubuh Tiang Bu
yang sedang “terbuka," benar-benar hebat luar biasa. Dalam
keadaan "terbuka", seperti Tiang Bu tadi, jangankan
pukulan sehebat Sin ciang hoan-kang, walaupun pukulan
biasa dari seorang ahli lweekeh saja sudah akan
mematikannya.
Baiknya Tiang Bu sudah diberi latihan dasar lweekang
dan tubuhnya sudah berisi hawa murni. Maka ia tidak mati
oleh pukulan dan biarpun tubuhnya kemasukan tenaga
hebat seperti aliran listrik, ia hanya roboh pingsan dan
be rkelojotan saja. Tak lama kemudian, gerakan kaki
tangannya yang seperti orang menghadapi sakratul maut itu
makin mengendur akhirnya terhenti dan ia bangkit duduk
sambil meramkan matanya. Kepalanya masih puyeng, kedua
telingannya mendengar suara “ngiiiiiiiing…...”. tak kunjung
henti.
"Tiang Bu, loncatlah berdiri dan gunakan Lo pai-hud
(Kakek Menyembah Buddha) ke arah angkasa tiga kali !"
terdengar Tiong Jin hwesio berkata kepada muridnya itu.
Biarpun kepalanya masih pening, namun anak ini yang
selalu mentaati suhunya, tanpa ragu-ragu lagi lalu meloncat
berdiri dan melakukan gerak itu memukul udara di atas
kepalanya tiga kali dengan kedua mata masih meram.
41
"Krotok ......... kratok ......... krekkk......... ! Terdengar
bunyi di se luruh bagian tubuhnya ketika ia melakukan tiga
kali pukulan udara kosong itu, dan ......... Tiang Bu baru
membuka mata dan tersenyum memandang suhunya.
“Suhu, aku merasa segar sekali !"
"Tiang Bu, sekarang kau bersiaplah menghadapi
tantangan Toat-beng Kui-bo sebagai wakil guru-gurumu."
Tiang Bu kaget bukan main mendengar kata suhunya ini
sehingga tak terasa ia memandang. Akan tetapi gurunya itu
tidak main-main, bahkan menatap wajahnya penuh
ketegasan. Ia tidak berani membantah, lalu bangun berdiri,
menjura kepada suhunya, berkata, “Baik suhu," lalu
menghampiri Toat beng Kui-bo.
"Nenek tua, aku datang mewakili guru. guruku. Kau mau
memberi pelajaran cepatlah bergerak." katanya, suaranya
membayangkan kenekadan. Memang hati Tiang Bu amat
perih karena peristiwa tadi, batinnya masih sakit sekali
kepada Liok Kong Ji yang sikapnya mendatangkan benci dan
yang mengakuinya sebagai putera dan juga ia merasa sakit
hati kepada Wan Sin Hong yang menutup rahasianya. Oleh
karena merasa hancur hatinya mendengar bahwa ia bukan
putera ayah bundanya di Kim-bun-to, ia menjadi sedih dan
nekad. Dia sama sekali tidak tahu apa yang te rjadi dengan
dirinya ketika ia "dipukul" pingsan oleh Tiong Sin Hwesio
tadi.
Toat beng Kui-bo adalah seorarg sakti yang tinggi ilmu
silatnya. Tentu saja setelah hilang kaget dan herannya,
seperti Sin Hong iapun dapat menduga apa yang tadi
dilakukan oleh Tiong Sin Hwesio yang kini bersila dalam
keadaan tak bernyawa lagi itu. I a tersenyum sindir lalu
tertawa cekikikan menyeramkan sekali.
"Hi hi-hi-hi, Tiong Sin Hwe sio tua bangka yang sudah
tahu nyawanya akan terbang, lalu mengoperkan segalanya
kepada bocah ini masih mending. Akan tetapi Tiong Jin
42
Hwesio tidak malukah kau bersembunyi di balik bocah
goblok ini untuk menutupi kegentaranmu. Majulah sendiri
jangan mengirim bocah ini ke neraka menyusul suhengmu."
'Nenek tua ngacaubalau! Kau tidak saja menghina jisuhu.
bahkan kau menghina twa-suhu. Siapa bilang twasuhu
sudah meninggal lihat dia masih bersila dan tidak
mati. Kau benar-benar perlu diusir dari sini!” Setesai
memaki demikian, Tiang Bu rnelompat ke arah nenek itu
dan mengirim pukulan dengan tangan kirinya.
(Bersambung jilid ke X.)
1
(PEK LUI ENG)
Karya: Asmaraman S. Kho
Ping Hoo Scan djvu :
syauqy_arr
Convert & edit : MCH
Jilid X
TlANG BU merasa kaget sendiri. Memang ia sudah
memiliki ginkang yang tInggi bahkan dapat dengan baik
melakukan ilmu lompat Liap in sut (Ilmu Mengejar Awan)
akan tetapi kali ini begitu ia menggerakkan kedua kakinya
tubuhnya melesat bagaikan didorong orang dari belakang. Ia
mengira tentu suhunya yang membantunya, maka hatinya
besar lagi dalam melakukan penyerangannya kepada nenek
yang menakutkan ini.
Toat-beng Kui-ho tertawa mengejek. "Kau seperti burung
baru tumbuh sayap ....” Akan tetapi kata-katanya terputus
dengan terpaksa karena tahu-tahu pukulan anak itu sudah
mendekati dadanya dan didahului angin pukulan yang kuat
sekali. Cepat nenek ini mengangkat lengan menangkis dan
untuk kedua kalinya ia terkejut karena lengan tangannya
tergetar hebat. Sebaliknya Tiang Bu juga merasa lengannya
terge tar, akan tetapi hanya sebentar, Dari dalam perutnya
naik semacam hawa panas yang mengalir ke lengaan yang
membuatnya merasa kuat sekali. Sebelum tubuh turun ke
atas tanah, ia telah dapat manggerakkan tangan kanan
menampar pundak kiri Toat beng Kui-bo. Gerakan ini bukan
2
tamparan bias a karena sekali menampar ia telah
mengancam tiga pusat jalan darah terutama di tubuh bagian
atas.
“Hayaaaa….!” Toat-beng Kui-bo menjerit dan cepat ia
mengeluarkan gerakan ilmu silatnya yang aneh. Kedua
tangannya ying seperti cakar ayam itu mencakar ke depan
yang kiri mengejar gerakan tangan Tiang Bu, yang kanan
mencakar ke arah muka bocah itu. Perlu diketahui bahwa
kuku-kuku tangan nenek ini mengandung hawa pukulan
beracun yang amat lihai, yaitu racun kelelawar yang selalu
mengawaninya. Jangankan kuku-kuku itu sampai masuk di
daging lawan, baru menggurat kulit saja sudah cukup
membuat lawan roboh binasa !
Akan tetapi Tiang Bu sudah mempelajari banyak gerukan
ilmu silat yang amat tinggi. Sebelum ia berlatih di bawah
pengawasan dua orang kakek sakti Omei-san itu, diapun
sudah paham Ilmu Silat Pat-hong-hong-i yang hebat dan
cukup kuat untuk menghadapi tokoh-tokoh besar, serta
sudah ahli malakukan gerakan kaki Lam-hoan.sam-hu
untuk membebaskan diri dari segala macam serangan aneh.
Cuma saja, kepandaiannya itu dahulu masih belum masak,
belumkuat dasarnya.
Apalagi dia masih belum memiliki sinkang, maka tentu ia
takkan menang kalau menghadapi lawan tangguh. Sekarang
lain lagi, di luar pengetahuannya sendiri, anak ini sudah
memiliki lwee-kang yang tiada taranya di dalam tubuhnya,
warisan dari twa-suhunya. Sayang ia selain belum
mengetahui akan hal ini, juga belum biasa mempergunakan
sinking dengan sebaiknya. Begitu me lihat berge raknya
kedua tangan lawan, Tiang Bu cepat mengangkat tangan
kiri, dengan jari telunjuknya ia melakukan sentilan ke arah
pergelangan tangan itu.
Inilah gerakan dari It-ci-tia:n-hoat (Menotok Satu Jari)
dan tangan kanannya tetap saja melakukan serangan.
Ketika hendak dicakar, tangan kanannya itu otomatis
3
mengelak sambil me lanjutkan serangan ......... "kokk !” leher
nenek itu telah kena dipukul dengan jari-jari miring. Nenek
itu mengeluh, tubuhnya terhuyurg huyung sampai lima
tindak. Iniltah hebat ! Tadi melihat datangnya pukulan yang
tak mungkin dapat dihindarkannya lagi, ia sudah bersiaga.
Dengan pengerahan tenaga Chian-kin.jat (Tenaga Seribu
Kati) ia menanti datangnya se rangan anak itu sambil dia
diam-diam mentertawai Tiang Bu karena sudah banyak
orang gagah berjungkir balik roboh memukul nenek yang
mengerahkan tenaga hebat ini.
Akan tetapi. alangkah kagetnya ketika tangan bocah itu
mengenai lehernya ia merasa jalan pernapasan di lehernya
seperti dicekik setan dan tubuhnya terhuyung tak dapat
ditahan lagi ! Masih baik bahwa tubuhnya terhuyung dan ia
tidak mengerahkan tenaga pada kedua kakinya. Kalau
sekiranya demikian tentu pukulan itu datangnya akan lebih
hebat dan sangat boleh jadi tulang lehernya akan remuk.
Kejadian ini benar benar hebat dan luar biasa. Toat-beng
Kui-bo adalah seorang yang kepandaiannya amat tinggi dan
tenaga lweekangnya sudah sampai di puncak yang amat
tinggi. Biarpun harus ia akui bahwa semua kesalahannya itu
memang sebagian besar karena kesalahannya sendiri, yaitu
terlalu memandang rendah lawan, namun seorang bocah
seperti ini dapat memukulnya sampai sedemikian benarbenar
hampir tak dapat dipercaya.
"Setan iblis anak haram, kau ingin mampus?' bentak
Toat-bong Kui -bo yang me rasa tersinggung kehormatannya
sebagai seorang datuk persilatan. Tongkatnya diputar
sampai berubah menjadi sinar hitam bergumpal-gumpal
menyilaukan dan menggelapkan pandangan mata.
Akan letapi pada saat itu terdengar Tiong Sin Hwesio
berseru kaget.
"Cclaka, penjahat membakar gedung kitab...... !!"
4
Ketika semua orang memandang, benar saja pondok itu
bagian belakangnya sudah menjadi lautan api dan di antara
asap dan api itu berkelebatan beberapa bayangan orang.
"Tiang Bu ! Bantu pinceng menangkap pcnjahat dan
melindungi kitab.kitab !" seru Tiong Jin Hwesio. Akan tetapi
pada saat itu, Tiang Bu sedang memandang ke arah Tiong
Sin Hwesio yang kini sudah rebah terlentang dengan muka
ditutup kain. Ia tidak tahu bahwa tadi Tiong Jin Hwesio
merawat janazah suhengnya yang sudah mulai mendoyong
letak duduknya dan membaringkan jenazah itu dengan baik
di atas tanah serta menutupi muka itu dangan kain. Kini
Tiang Bu tidak memperdulikan seruan Tiong Jin Hwesio,
bahkan tidak perdulikan gurunya itu berlari ke arah tempat
kebakaran.
Anak itu sebaliknya lari menghampiri tubuh suhunya,
berlutut dan menyingkap kain pcnutup muka. Melihat muka
suhunya pucat kebiruan dan tak bergerak lagi, ia kaget
bukan main. Apa lagi se telah ia menjamah tangan gurunya
itu dan mendapatkan bahwa kakek ini sebcnarnya telah
putus nyawanya. Tiang Bu lalu menangis mengggerunggerung.
Kebakaran itu merubah keadaan di depan pondok. Toatbeng
Kui-bo tiba-tba lupa kepada Tiang Bu dan sambil
mengeluarkan suara ketawa cekikikan, ia menutulkan
tongkatnya di atas tanah dan tubuhnya berkelebat
menengejar Tiong Jin Hwesio.
"Toat bcng Kui-bo, berhenti dulu" Tubuh Sin Horg
berkelebat dan cepat sekali ia mengejar Toat-beng Kui-bo.
Juga Ang jiu Mo-li sambil menggandeng dua orang
muridnya telah pergi dari situ, demikian pula Pek-tbowtiauw-
ong Lie Kong betsama isterinya saling pandang dan
cepat mcnyusul orang.orang itu menuju ke tempat
kebakaran. Mudah saja diduga niat mereka. Tentu akan
mcncoba-coba barangkali mereka dapat memperoleh sebuah
dua buah kitab pusaka.
5
-oo(mch)oo-
"Tiang Bu......... ! siniii......... !!"
Tcriakan dahsyat dari Tiong Jin Hwesio ini menyadarkan
Tiang Bu. Bocah ini mendengar suara ji -suhunya seperti
orang minta tolong. Cepat ia menutupkan kain di atas muka
suhunya yang sudah mati itu dan menggerakkan tubuh, ia
telah melesat cepat sekali ke arah suara itu. Untuk kedua
kalinya ia merasa heran atas keringanan tubuhnya sendiri.
Akan tetapi ia tidak ada tempo lagi untuk banyak berpikir
akan hal ini. Ketika ia tiba di tempat itu, yaitu di belakang
pondok, di situ telah terjadi pertempuran hebat.
Bagian yang lerbakar adalah di sebelah kamar kitab dan
kini api sudah mulai membakar gudang kitab di mana
terdapat ratusan buah kitab kuno dari macam-macam
pelajaran. Dan di luar tempat kebakaran itu. di sana-sini
menggeletak tubuh orang yang sudah menjadi mayat. Pekthouw-
tiauw.ong Lie Kong yang beradu punggung dengan
isterinya, bertempur melawan enam orang yang tak dikenal
oleh Tiang Bu. Kalau saja dua ekor burung rajawali mereka
tidak membantu, tentu suami isteri ini akan terdesak hebat.
Agaknya beberapa pengcroyok tadi telah tewas oleh dua
cakar burung itu, terbukti adanya tanda-tanda darah pada
paruh dan cakar mereka dan di dekat tempat itu tcrdapat
beberapa orang yang kepalanya dan mukanya pecah-pe cah
penuh darah.
Di lain bagian, Ang.jiu Mo-li juga mangamuk. Tokoh
utara ini mainkan pedang yang bersinar merah, tangan
kirinya juga memukul-mukul, bahlcan kadang-kadang
tangan kirinya menyebar pat-kwa-ci, senjata rahasianya
yang mengintai nyawa para pengeroyoknya. Ia dikeroyok oleh
empat orang yang kosen juga.
Tak jauh dari situ, Toat-beng Kui-bo bertempur melawan
Sin Hong dan dua orang tak terkenal membantu Sin Hong
6
mengeroyok nenek itu. Yang mengherankan hati Tiang Bu
adalah orang-orang yang tidak dikenalnya yang semua
berpakaian seperti orang-orang asing dan melihat pakaian
mereka, mudah duga bahwa mereka itu adalah orang-orang
segolongan yang entah datang diri mana.
Akan tetapi ia tidak dapat memperhatikan terlalu lama
karena sege ra ia melihat gurunya tengah dikeroyok oleh tiga
orang. Orang pertama adalah seorang tosu berkaki satu,
yang luar biasa lihainya. Orang ke dua ia kenal yaitu Bu-tek
Sin-ciang Bouw Gun dan orang ke tiga membuat Tiang Bu
marah bukan main karena orang ini adalah Liok Kong Ji
yang mengaku berjuluk Thian-te Bu-tek Taihiap mengaku
pula sebagai calon bengcu seluruh dunia dan paling celaka
mengaku sebagai.. ayahnya !
Keadaan Tiong Jiu Hwesio payah sekali Tangan kiri
hwesio jangkung kurus ini meme luk tiga buah kitab dan ia
menghadapi tiga orang lawannya hanya dengan sebelah
tangan, namun ia terdesak hebat. Terutama sekali tosu
buntung kakinya itu lihai bukan main, sedangkan Bouw Gin
dan Liok Kong Ji juga bukan orang-orang lemah. Jelas sekali
bahwa Tiong Jin Hwesio sudah terluka hebat.
Tanpa membuang banyak waktu lagi, Tiang Bu
mengeluarkan suara bentakan dan cepat menyerbu,
membantu suhunya. Karena ia paling benci kepada Kong Ji
yang mengaku-aku sebagai anaknya, Tiang Bu menyerang
Kong Ji dengan memukulkan tangan kanannya ke dada
orang itu.
Liok Kong Ji adalah seorang yang memiliki kepandaian
tinggi. Dia adalah ahli ilmu-ilmu keji seperti Ilmu Pukulan
Tin-s an-kang (Pukulan Merobohkan Gunung) yang lihai dari
Giok Seng Cu, Hek-tok-ciang ( Tangan Racun Hitam) dari See
thian Tok-ong, bahkan ia paham pula Thian-bong-ciang-hoat
(Ilmu Pukulan Angin Taufan) yang dipelajarinya dari Hwa I
Enghiong Go Ciang Lee dahulu. Di samping ilmu-ilmu hebat
ini, ia masih memiliki banyak macam ilmu silat yang lihai
7
dan ganas. Oleh karena itu, tentu saja ia memandang
rendah kepada Tiang Bu. Akan tetapi oleh karena ia tahu
bahwa bocah ini adalah puteranya, ia tentu saja tidak mau
mencelakai Tiang Bu. Pukulan bocah itu diterimanya dengan
tangkisan pelahan agar jangan sampai ia melukai tangan
bocah itu.
Akan tetapi ia kccele dan alangkah terkejutnya ketika
belum juga tangan Tiang Bu mengenainya, hawa pukulan
yang menyambar keluar dari tangan anak itu sudah terasa
olehnya, kuat sekali ! Kedua lengan bertemu ….. Kong Ji
mengeluarkan seruan kaget dan tak dapat ditahan lagi ia
terjengkang roboh ketika Tiang Bu yang cepat sekali gerakan
tangannya telah merobah serangannya yang tertangkis tadi
menjadi dorongan. Dengan gemas Tiang Bu melompat
mendekati dan hendak mengirim pukulan pula. Kong Ji
menyesal sekali mengapa tadi ia memandang ringan bocah
ini sehingga saking kurang hati-hatinya ia kena dorongan
roboh. Ia melihat sinar maut di dalam pandang mata anak
itu dan se rangan yang datang bukan main cepatnya.
Betapapun besarnya kasih hatinya kepada anaknya yang
belum mau mengakuinya itu, Kong Ji tentu saja lebih cinta
kepada diri sendiri. Melihat kedatangan Tiang Bu yang
melakukan serangan luar biasa, Kong Ji cepat
menggerakkan kedua tangannya dan. ...... sinar hitam yang
banyak sekali meluncur memapak kedatangan tubuh Tiang
Bu.
“Tiang Bu, hati-hati......... !" seru Tiong Jin Hwesio kaget.
Akan tetapi karena ia memecah perhatian ke arah Tiang Bu,
ia berlaku lengah dan ujung tongkat dari tosu buntung itu
tepat menotok iga kanannya.
"Tukk !" Tubuh Tiong Jin Hwesio te rlempar dalam
keadaan masih berdiri. Hwesio jangkung kurus ini tidak
roboh akan tetapi ketika kakek buntung itu melayang dan
menyambar, sebuah kitab dapat terampas lawan. Sekarang
tinggal dua buah kliab saja di tangan Tiong Jin Hwesio.
8
Namun hwesio tua ini benar-benar sakti. Biarpun ia sudah
te rkena totokan demikian hebat, hanya sebuah saja dapat
dirampas musuh dan di lain saat ia sudah mengamuk lagi.
Tangan kanannya be rgerak-gerak mengeluarkan angin dan
hawa pukulannya dapat menahan serangan Bouw Gun dan
tosu kaki buntung.
Adapun Tiang Bu yang terancam bahaya maut oleh
jarum-jarum racun hitam (Hek-tok-ciam) yang dilepaskan
Kong Ji menjadi bingung. Biarpun bocah ini sudah memiliki
kepandaian tinggi, namun pengalamannya masih dangkal
sekali. Ia belum pernah bertempur menghadapi orang-orang
lihai apalagi menghadapi se rangan senjata rahasia yang
mengandung racun jahat. Me lihat sinar hitam yang berbau
amis itu menyerangnya, Tiang Bu hanya menggerakkan dua
tangan untuk mengibasnya sambil mengerahkan tenaga.
Memang hebat! Dari kibasan kedua tangannya itu keluar
hawa pukulan yang kuat sekali sehingga jarum-jarum hitam
itu terkibas runtuh semua. Namun ada dua buah jarum
hitam yang masih melukai tangan kirinya sebelum
tersampok jatuh. Darah mengucur dari dua luka kccil di
tangannya.
Tiang Bu tidak menjadi gentar biarpun rasa luka-luka di
tangan itu sikit dan panas sekali. ia menubruk maju dan
mengirim serangan lagi selagi Kong Ji berdiri termangumangu.
Melihat anaknya terluka Hek-tok-ciang Kong Ji
menjadi khawatir juga.
'Tiang Bu, kau terluka jarumku, jang banyak
bergerak.........”
Akan tetapi Tiang Bu tidak perdulikan se ruan ini dan
segera menyerang orang yang mengaku ayahnya akan tetapi
melukainya itu dengan pukulan-pukulan Tat Mo Ciang hoat
yang ia pelajari dari Tiong Sin Hweso. Ilmu silat kuno
warisan Tat Mo Couwsu, yang merupakan s ebuah dari pada
sumber-sumber seluruh ilmu silat di dunia. Menghadapi
9
semula telah
menyelinap di dalam
otaknya yang cerdik
suatu niat yang
ilmu silat yang aneh, kelihatan lambat namun sukar diikuti
gerakan- gerakannya ini, Kong Ji menjadi bingung.
Ia tahu bahwa bocah
di depannya ini biarpun
memiliki kepandaian
tinggi, namun dalam
pertempuran masih
hijau sekali, akan tetapi
untuk menjatuhkan
tangan maut ia merasa
sayang karena bacah
ini adalah anaknya
sendiri. Selain itu, sejak
dianggapnya amat baik.
Tiang Bu agaknya telah
mewaris i kepandaian
sakti dari dua orang
kakek Omei-san. Kalau
kelak bocah itu mau mengakui sebagai ayah, bukankah
mudah saja "mengoper" semua kepandaian itu melalui
anaknya ?
"Tiang Bu, kau......... kau puteraku. Jangan serang aku,
mari kuobati tangnnmu yang terluka itu," katanya bcrulang
ulang melompat lompat mundur menghindarkan tangan
Tiang Bu.
"Kau pembohong, penipu, pengecut !" Tiang Bu bukan
tunduk terhadap bujukan itu bahkan menjadi marah sekali
dan terus menyerang dengan gencar. Karena bingung
menahan ilmu silat itu dia tahu bahwa Tiang Bu memiliki
tenaga sinkang yang bukan sewajarnya Kong Ji serba susah
10
dan menjadi bingung. Pada saat itu terdengar seruan tosu
kaki butung.
"Tai ciangkun (panglima besar), sudah dapat kitab. Hayo
pergi......... !”
Biarpun kata-kata ini diucapkan seperti perintah, namun
jelas bahwa kakek buntung menganggap Kong Ji sebagai
atasannya. Kong Ji mendengar ini segera bersuit keras.
Heran sekali. Semua orang yang tadi bertempur melawan
Pek-tbouw thiauw-ong Lie Kong, dan isterinya, juga yang
mengeroyok Ang-jiu Mo-li mendengar suitan ini lalu
melompat pergi dan sekejap saja pertempuran berhenti
semua dan Kong Ji serta kawan-kawannya lenyap dari situ,
meninggalkan kawan-kawan yang sudah tewas, membawa
yang terluka bersama mereka.
Tiang Bu melompat ke arah gurunya yang telah roboh
dan duduk bersila di atas tanah dengan muka pucat.
Gurunya masih memegang dua buah kitab dan napasnya
terengab-engah. ketika melihat bocah itu, ia berkata lemah,
"'Tiang Bu, yang membakar ini ....... Thai Gu Cinjin.........
kaucari dan kejar dia, rampas kitab yang dibawanya.........
kalau perlu bunuh dia......... “
Tiang Bu melompat cepat ke arah gudang yang terbakar.
Hatinya terasa perih melihat betapa kitab-kitab kuno itu
telah menjadi umpan api yang tak mungkin dapat
dipadamkan lagi. Kitab-kitab itu tak dapat ditolong lagi. Ia
memandaog ke kanan kiri dengan beringas. Akan tetapi di
situ tidak terdapat bayangan manusia, maka ia lalu
melompat ke atas genteng pondok dan memandang tajam
kesemua jurusan. Jauh sekali di lereng gunung ia melihat
bayangan Liok Kong Ji dan kawan-kawannya. Kalau saja di
antara tombongan ini tidak terdapat tosu buntung yang
lihai, tentu Tiang Bu tidak akan mengenal rombongan siapa
itu. Melihat tosu buntung dan banyaknya orang-orang yang
turun, ia dapat menduga bahwa itulah bayangan Liok Kong
Ji dan kawan-kawannya.
11
“Hmmm, kalau saja suhu tidak menyuruh aku mencari
Thai Gu Cinjin, tentu aku akan mengejar me reka pikirnya.
Tiba tiba di sebelah kiri ia melihat bayangan orang
be rkelebat. Cepat ia melompat turun dan mengejar sampai di
bawah puncak, di daerah batu-batu karang tidak kelihatan
ada orang di situ, ia terheran-heran. Tak salah lagi
penglihatannya, tadi ada dua atau tiga bayangan orang
bcrkelebatan mengapa sebentar saja lenyap?
Selagi ia celingukan, tiba-tiba terdangar suara orang
berkelahi. Suara ini baru te rdengar karena terbawa angin
yang tiba-tiba bertiup ke arahnya, ia mengejar dan kiranya
Giam-lo ong Ci Kui yang sedang bertempur itu, melawan
seorang hwesio yang bertubuh gemuk bundar. Hwesio
gemuk bundar itu mengeluarkan suara "hah! heh! hayaaa
...... .!" dengan suara jenaka. Ilmu silatnyapun aneh,
berloncat-loncatan seperti katak me lompat Akan tetapi
sudah tentu ia bukan lawan Giam lo ong Ci Kui yang
mendesak hebat dengan pukulan-pukulan Hui houwtong.
ree yang ganas.
Tiang Bu mengintai dari belakang batu karang dan ia
menjadi bingung siapa yang harus dibantunya. Ia tidak
mengenal hwesio gemuk itu, dan tidak tahu pula mengapa
mereka bertempur. Ia hanya bingung karena tidak melihat
adanya Thai Gu Cinjin, ia merasa tidak perlu mencampuri
urusan Giam-lo ong Ci-Kui dan hendak meninggalkan
tempat itu. Tiba tiba muncul Liok-te Mo-ko Ang Bouw den
Siangkong Ang Louw. Ang Bouw segera berkata.
"Suheng, tikus gemuk ini bereskan saja lekas-lekas.
Semua orang sudah pergi dan biarpun kakek tua itu terluka
parah, kalau dia menyusul ke sini kita bisa celaka!"
"Kalian bantulah. Anjing gemuk ini sukar sekali dipukul
mampus," kata Ci Kui. Segera kedua orang sutenya
menyerbu.
"Heh-heh heh, siluman-siluman hutan, majulah.
Sebelum kalian mengembalikan kitab curian, aku Hwa Thian
12
Hwesio takkan mau mengampuni kalian maling-maling hinadina."
"Hwa Thian Hwe sio, kau ini anjing pemerintah Kin, ada
sangkut paut apakah dengan urusan kami? Kitab ini bukan
kitabmu, kau perduli apakah?" kata Ci Kui marah.
"Ha-ha-ha, dasar bangsat tetap bangsat. Barang
siapapun juga yang kaucolong, itu namanya tetap maling-
Bagaimana pinceng harus mendiamkan saja? Pinceng paling
anti kepada segala macam maling dan copet. Hayo
kaukembalikan!”
*Suheng, habiskan saja dia ini!” seru Sin saikong Ang
Louw marah sekali sambil melompat dan menyerang hwesio
gemuk itu dengan cakarnya yang berbahaya.
"Ayaaa.........! Ini siluman atau binatang buas?" seru Hwa
Titian Hwesio sambil mengelak dengan lompatan ke kiri.
Biarpun tubuhnya gemuk bundar, namun gerakannya
ternyata ringan sekali. Tiap kali tubuhnya turun ke tanah,
segera terpental kembali ke atas. Karena ia menarik kedua
kakinya, maka ia merupakan segundukan tubuh bundar
seperti bola yang selalu mental ke atas lagi tiap kali
menyentuh tanah. Betapapun gesitnya, karena yang
menyerangnya adalah Pak kek Sam-kui yang lihai, dalam
dua gebrakan saja cakar kuku tangan Sin-saikong Ang Louw
telah mengenai pundaknya. Hwesio itu cepat miringkan
pundak dan "breett ...... !" bajunyaterobek ke bawah
sehinggga nampak dadanya yang penuh daging dan gajih
serta sedikit pe rut yang gendut seperti kerbau hamil.
"Eh, main rusuh .......! Berkelahi ya berkelahi, masa
merobek baju seperti perempuan berkelahi ! Rusuh tak tahu
malu!” Hwesio gendut itu marah-marah dan mengejek ketiga
orang lawannya. Diam-diam Tiang Bu menjadi geli melihat
lagak hwesio gemuk itu, geli tercampur kagum karena
biarpun terdesak hebat terang sekali nyawanya terancam
maut, hwesio gendut itu masih sempat mengolok-olok para
lawannya, juga Tiang Bu tergerak hatinya ketika mendengar
13
pe rcakapan antara mereka tadi dan sekilas pandang kearah
baju Giam-lo-ong Ci-Kui, ia melihat sesuatu yang menonjol
dari dalam saku baju Ci Kui. Tak salah lagi, tentu diapun
mencuri sebuah kitab dari gudang yang terbakar, pikir Tiang
Bu. Segera ia melompat dan menerjang iblis jangkung itu.
Lompatan Tiang Bu seperti kilat menyambar. Empat
orang itu tidak melihat ia datang dan tahu-tahu bocah ini
sudah tiba di depan Ci Kui, mengirim pukulan dengan
tangan kiri ke arah muka kakek itu sedangkan tangan
kanan terulur ke arah jubah yang menonjol.
“Plakk ......... brettt........!” Giam.lo-ong Ci Kui menangkis.
Terpekik kesakitan ketika lengan tangannya patah beradu
dengan lengan Tiang Bu disusul terobeknya bajunya dan
kitab yang disimpan di dalam sakunya telah berada di dalam
tangan Tiang Bu.
Tiga orang setan utara itu menjadi bengong dan juga
marah. Mereka merasa kaget dan heran menyaksikan
kehebatan bocah yang pernah menjadi murid mereka itu.
“Tiang Bu......... Kembalikan kitab kami!” Seru Ang Houw
dan Ang Louw yang sudah melompat menghadapi Tiang Bu.
Bocah itu menggeleng kepalanya. "Apakah kalian ikutikut
membakar gudang kitab Omei-san?” tanyanya,
suaranya perlahan dan lambat, akan tetapi di dalamnja
mengandung ancaman hebat. Kalau tiga orang kakek
mengaku ikut membakar, ia takkan segan-sogan lagi untuk
menyerang mereka dan kalau perlu membunuh mereka.
"Tidak, kami tidak membakar ..... kau tanya Thai Cu
Cinjin, dialah yang membakarnya bersama Tee-tok Kwan
Kok Sun ...... " kata Ci Kui. "Akan tetapi kitab itu…..
kauberikanlah kepada kami, Tiang Bu." Biarpun ia kesakitan
dan marah sekali tulang lengannya sudah dipatahkan oleh
bocah itu namun ia masih lebih sayang kepada kitab itu dan
hendak membujuk Tiang Bu supaya suka memberikannya.
14
"Tak mungkin. Bahkan perbuatan kalian mencuri kitab
ini saja sudah harus dihukum.”
"Keparat busuk, murid murtad. Berani kau melawan
guru-gurumu?” bentak Ang Bou sambil menubruk maju.
"Aku bukan murid kalian, hanya murid paksaan. Bahkan
kalian telah menculikku.” Jawab Tiang Bu tenang sambil
mengolok, lalu balas menyerang. Ang Bouw menangkis
berbareng dengan datangnya Ang Louw yang menyerang
hebat. Namun seperti juga Ci Kui, begitu beradu lengan
dengan bocah itu, ke duanya melompat mundur dengan
meringis kesakitan. Baiknya Tiang Bu yang kini sudah
maklum akan kehebatan tenaga sendiri, mas ih ingat bahwa
mereka pernah mengaku murid kepadanya maka tidak mau
mengerahkan seluruh tenaga sehingga Ang Bouw dan Ang
Louw tidak mengalami patah tulang lengan seperti Ci Kui.
Namun cukup ketiga orang kakek ini maklum akan kelihaian
Tiang Bu, maka tanpa banyak cakap lagi mereka lalu
melarikan diri menyusul rombongan Liok Kong Ji.
"Hayaaaa......... ! Kalau tidak kedua mataku yang lamur
melihat sendiri, mana aku bisa percaya? Bocah ajaib .......
apakah kau penjelmaan Sin-tong Lo cia!” tanya Hwa Thian
Hwesio sambil mengelus elus perutnya yang gendut.
Lo Cia adalah seorang anak dewa yang sakti, tokoh
terkenal sekali sepanjang masa dalam dongeng-dongeng
Tiongkok. Karena Lo Cia adalah seorang bocah sakti (sin
tong) atau bocah ajaib, maka Hwa Thian Hwesio yang
melihat kelihaian Tiang Bu mengucapkan perbandingan itu.
Memang sesungguhnya hwesio gandut ini kagum dan heran
sekali. Selama hidupnya baru kali ini ia bertemu dengan
seorang anak berusia paling banyak empat belas tahun
dapat mengalahkan tiga orang tokoh iblis seperti Pak kek
Sam-kui.
Sekali pandang saja Tiang Bu merasa suka kepada
hwesio gendut ini. Apalagi tadi ia sudah jelas mendengar
kata-kata hwesio ini yang berjiwa gagah, hendak mencegah
15
orang membawa lari kitab Omei-san. Akan tetapi pada saat
itu ia tidak mempunyai banyak waktu untuk bercakapcakap,
maka setelah tersenyumsebentar ia bertanya.
"Mohon tanya, apakah losuhu tadi melihat Thai Gu
Cinjin? Ke mana larinya?”
Sepasang mata Hwa Thian Hwesio yang sudah bundar
besar itu kini melotot makin lebar seperti hendak meloncat
keluar dari pelupuk matanya. Kalau ia terheran he ran
metihat bocah ini dapat mengusir Pa.k-kek Sam-kui,
sekarang ia hampir tak percaya mendengar bocah ini
bertanya tentang Thai Gu Cinjin dan seolah-olah hendak
mengejarnya. Akan tetapi ia masih penasaran dan balas
bertanya,
"Siauw-hiap mencari Lama Jubah Merah itu mau
apakah?”
"Diapun mencuri kitab dan dia yang membakar pondok,
aku harus mengejarnya dan menyeretnya ke depan suhu
atau membunuhnya !" jawab Tiang Bu tanpa ragu-ragu lagi
dengan suara gemas.
Baru Hwa Thian Hwesio percaya dan sepasang matanya
memandang penuh kekaguman. Dapatkah ia menduga
bahwa tentu anak ini adalah murid dari kedua orang kakek
sakti Omei-san. Ia cepat menudingkan telunjuknya ke arah
utara sambil berkata,
"Tadi pinceng melihat Thai Gu Cinjin berdua Tee -tok
Kwan Kok Sun berlari ke sana, masing-masing membawa
sebuah kitab. Pinceng tidak berani menghalangi mereka
yang amat jahat dan lihai.”
"Sudah lamakah ?' Tiang Bu cepat memandang ke
jurusan yang ditunjuk oleh hwesio itu.
"Sudah, tadi sebelum pinccng menghadang Pak-kek Samkui.
Kiranya sekarang mereka sudah jauh di kaki gunung
sebelah utara.
16
Tiang Bu membanting-banting kaki kanannya dan hwesio
yang berdiri kira-kira dua meter jauhnya dari padanya itu
tiba.tiba terdorong roboh !
"Celaka......... harus kuheritahukan kepada suhu. Terima
kasih atas kebaikanmu, losuhu." Tiang Bu terus berkelebat
kembali ke atas puncak tanpa memperdulikan hwesio
gendut itu yang masih rebah di atas tanah sambil
memandang kepadanya dengan mulut ternganga dan mata
terbelalak.
Setelah ia tiba di dekat pondok, ternyata gudang kitab itu
sudah habis terbakar di kini api sudah merembet sampai di
pondok depan dan agaknya tak lama lagi seluruh pondok
bekas tempat tinggal kedua orang kakek sakti itu akan
musnah menjadi abu. Hati Tiang Bu tiba-tiba menjadi perih
dan untuk sejenak ia meramkan mata sambil menggigit
bibir.
"Maling-maling buruk itu jahat sekali. Awaslah, kelak
aku akan mencari kalian seorang demi seorang untuk diberi
hajaran atas kejahatan kalian ini !” katanya perlahan.
Kemudian ia menengok ke arah Tiong Jin Hwesio yang masih
duduk bers ila. Tubuhnya tidak bergerak-gerak, akan tetapi
bayangannya bergerak-gerak di depannya karena nyala api
yang membakar di belakangnya itu bergerak.
"Suhu ...... !" Tiang Bo berlutut di depan gurunya,
hatinya penuh haru dan duka. Tahu betapa sedihnya hati
gurunya ini yang tidak saja kematian suhengnya, akan tetapi
juga kehilangan kitab pusaka yang selama ini amat disayang
melebihi nyawa sendiri. Kedua orang kakek itu selama ini
menjaga dan melindungi kitab di dalam gudang itu seperti
menjaga keselamatan sendiri dan sekarang…... sekaligus
kitab-kitab peninggalan Tat Mo, Cauwsu dan Hoat Hian
Couwsu itu menjadi abu.
"Suhu..... !" sekali lagi Tiang Bu berbisik dengan suara
serak.
17
Tiong Jin Hwesio menarik napas panjang, membuka
mata dan di bawah sinar api itu wajahnya nampak angker
sekali. Ia memandang kepada Tiang Bu dan bertanya.
"Bagaimana dengan Thai Gu Cinjin ?"
"Dia sudah melarikan diri bersama seorang yang
bernama Tee tok Kwan Kok Sun. Kalau suhu menghendaki,
sekarang juga teecu akan mengejar mereka sampai dapat
dan mengadu nyawa dengan maling maling itu,” kata Tiang
Bu penuh semangat. Gurunya menghela napas dan
menggeleng-geleng kepala.
"Mereka terlalu lihai. Mungkin dengan kepandaianmu
dan tenaga sinkang yang diturunkan oleh suheng kepadamu
kau akan mampu mengalahkan mereka, akan tetapi kau
bisa celaka oleh tipu muslihat mereka. Kau belum banyak
pengalaman, muridku dan kau tidak tahu betapa jahat dan
kejinya orang orang di dunia kangouw. Hemmm.........” Tibatiba
hwesio jangkung kurus ini menatap tangan muridnya.
"Coba dekatkan lenganmu yang kiri!”
Ketika tangan kiri itu diulurkan dan dipe gang oleh Tiong
Jin Hwesio, kakek ini berkata. “Hemm, siapa yang melukai
tanganmu ini?"
"Luka tidak seberapa suhu, hanya kulitnya lecet ,
mengeluarkan sedikit datah. Tidak apa-apa."
"Hemm ......... inilah yang kumaksudkan bahwa kau
masih hijau. Kau tidak tahu bahwa tanganmu ini telah
terkena racun yang amat berbahaya. Sudah tentu kau mati
seketika kalau saja sinkang di dalam tubuh tidak menolak
hawa berbisa itu. Bagaima kau sampai terluka ?”
Tiang Bu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa
jarum-jarum hitam itu mengandung racun yang demikian
berbahaya. "Orang bernama Liok Kong Ji itu yang melukai
tee cu dengan jarum-jarumgelapnya."
18
"Ah, Hek-tok ciam (Jarum Racun Hiram). Nih, kautelan
obat ini!" kata Tiong Sin Hwesio s ambil memberikan pel
putih. Tiang Bu menelannya.
"Tiang Bu, dengan hawa sin-kang di tubuhmu yang
sekarang sudah cukup kuat, memang kau dapat menahan
racun yang tidak berapa banyak itu. Akan tetapi di dunia ini
masih berkeliaran manusia-manusia macam Liok Kong Ji
dan yang sudah biasa mempergunakan senjata gelap dan
racun jahat. Apalagi orang yang datang bersama Thai Gu
Cinjin dan bernama Tee tok Kwan Kok Sun itu, yang sudah
biasa dengan racun racun ular. Belum lagi kita bicara
tentang Toat beng Kui Bo dengan racun-racun kelelawar,
kelabang dan lain-lain. Kau......... kau berhati-hatilah, Tiang
Bu karena sebentar lagi kau harus hidup sebatang kara dan
harus menghadapi mereka seorang diri…..”
Jantung Tiang Bu berdebar. "Apa maksudmu, suhu .....?”
"Tiang Bu, tosu kaki buntung kawan Liok Kong Ji tadi
amat lihai ilmu silatnya. Aku terluka hebat olehnya, takkan
tortolong lagi.”
"Suhuuu ...... .!"
"Hush, tenanglah. Manusia di dunia ini siapa yang
takkan mati? Bagiku, untuk apa susah ? Aku akan
menyusul suheng dan......... kitab kitab kita......... Sekarang
kaudengar baik-baik pesanku. Lihat, aku telah berhas il
menyelamatkan dua buah kitab ini. Kitabini bersama
sebuah kitab lain yang terampas oleh tosu kaki buntung,
adalah kitab-kitab paling penting dan berharga dari sekalian
kitab peninggalan dua couwsu kita. Kaupelajari dua kitab ini
baik-baik dan kiranya kau takkan mudah dikalahkan orang
dalam ilmu silat dengan kepandaianmu asalkan berlatih
baik-baik, Liok Kong Ji itu manusia jahat, jangan kau
mudah dipengaruhi olehnya.”
"Satu-satunya manus ia yang boleh kau percaya hanya
Wan Sin Hong. Kau datanglah kepadanya dan kauminta dia
19
membuka rahasia apakah benar kau putera Litok Kong Ji
yang jahat itu. Kalau benar demikian terserah kepadamu
akan tetapi pinceng ikut menyesalkan kalau benar kau
putera Liok Kong Ji. Kitab-kitab di sini sebagian besar
terbakar musnah lebih baik dari pada terjatuh ke dalam
tangan orang-orang jahat. Akan tetapi selain kitab Suan
hong-kiam-coan-si yang dirampas oleh tosu buntung tadi,
masih ada beberapa kitab terjatuh ke dalam tangan mereka.
Kalau pinceng tidak salah lihat Pak-kek Sam-kui juga telah
mencuri sebuah."
"Teecu merampasnya dari tangan Giam-lo-ong Ci Kui,"
kata Tiang Bu yang lalu menuturkan tentang pertentuannya
dengan Pak-kek Sam kui, juga tentang hwesio gendut yang
bernama Hwa Thian Hwesio.
"Bagus, kausimpan juga kitab itu. Kemudian kaucari
Ang-jiu Mo-li, Pek- thouw-tiauw-ong, Thai Gu Cinjin. Tee-tok
Kwan Kok Sun dan tosu kaki buntung itu serta Liok Kong Ji.
Mungkin mereka itu masing-masing telah membawa pergi
sebuah kitab, harus kau rampas kembali.”
"Baik, suhu. Akan teccu balaskan sakit hati itu hari ini,”
jawab Tiang Bu, mencatat baik-baik nama-nama itu di
dalam hatinya.
"Jangan berlaku kejam. Hanya Thai Gu Cinjin yang
membakar pondok kita. Yang lain-lain itu hanya mengambil
kitab karena ingin mempelajari ilmu tinggi. Akan tetapi
hatiku masih belum tenteram kalau kau tidak memiliki
kepandaian dalam ilmu pengobatan seperti Wan Sin Hong.
Kalau bisa, muridku, kau ……. kau mintalah Wan sicu
mengajarmu ...... " Tiba-tiba kakek itu berhenti bicara dan
batuk-batuk.
Tiang Bu kaget melihat suhunya itu pucat sekali dan
darah menyembur keluar dari mulutnya ketika batuk-buruk
hebat.
"Suhu, kau istirahatlah....... “ katanya.
20
Hwesio itu menggeleng kepala, lalu berkata, suaranya
lantang berpengaruh. "Thiang Bu, kau lakukan Khai-khi jiuhiat!"
Thing Bu kaget. Biarpun hanya menduga-duga ia sudah
tahu apa artinya kalau ia melakukan perintahitu. Bukankah
tadi twa-suhunya, Tiong Sin Hwesio, juga menyuruh ia Khaikhi-
jiu-hiat dan kakek itu lalu memukul kepalanya dan
rupa-rupanya memindahkan sin-kang ke dalam tubuhnya
sampai gurunya itu sendiri mati? Apakah guru ke dua
inipun bukan hendak melakukan seperti guru pentama tadi?
Ia menggeleng-geleng kepalanya.
“Tidak......... tidak.........jangan,…suhu....” katanya gagap.
'Tiang Bu, twa-suhumu berlaku betul tepat. Kalau kau
tadi tidak menerima sinkangnya, kiranya sekarang kau
sudah tidak be rnapas lain atau diculik oleh orang jahat.
Twa-suhumu tadi sudah hampir tewas dan takkan dapat
membantu menghadapi orang orang jahat. Sekarang pinceng
juga sudah menghadapi pintu kematian, mengapa pinceng
harus membawa pergi sinkang yang di dunia sana tidak
akan ada gunanya lagi? Tiang Bu, biarpun sekarang ini
sinkang di dalam tubuhmu tidak banyak selisihnya dengan
sinkang di dalam tubuhku, namun sedikit hawa murni yang
selama ini pinceng latih puluhan tahun, kiranya akan dapat
menambah kekuranganmu. Hayo jangan kau membantah
lagi, ini perintahku. Khai-khi jiu-hiat!"
Tiang Bu berlutut sambil menangis menggerung-gerung
di depan suhunya. "Pesanku terakhir, Tiang Bu. Selama
hidupmu kau tidak boleh membawa-bawa senjata tajam,
juga tidak bolehmembawa-bawa senjata gelap. Kau
pergunakan kaki tanganmu untuk melindungi diri dan
segala apa yang berada di dekatmu boleh kau pergunakan
sementara kau memerlukannya. Akan tetapi senjata, itu
pantang benar." Lapat-lapat terdengar suara Tiong-Jin
Hwesio, disusul perintah lagi. "Sekarang, Khai-khi jiu-hiat!"
21
Tiang Bu sang amat patuh akan perintah suhunya, tidak
berani membantah. Dengan hati dan perasaan hancur ia
melakukan perintah suhunya berlutut. Tiong Jin Hwesio
sambil tetap duduk bersila lalu mengangkat tangan kanan
dan seperti dilakukan oleh Tiong Sin Hwesio tadi, ia
memukul kepala muridnya dengan pengerahan se luruh
hawa sinkangnya,yang dipaksa keluar dari jari-jari
tangannya memasuki tubuh muridnya!
Tadi ketika menerima hawa sinkang dari twa-suhunya,
kontan keras Tiang Bu terjungkal dan berkelojotan tak ingat
orang. Akan tetapi sekarang lain lagi ke adaannya. Di dalam
tubuhnya telah mengalir hawa sinkang yang biarpun belum
dapat ia gerakkan secara tepat karena belum terlatih namun
sudah memiliki tenaga otomatis yang menolak penyerangan
dari luar.
Oleh karena itu, biarpun sebagian dari pada tenaga
sinkang yang dilancarkan oleh pukulan Tiong Jin Hwesio
dapat memasuki tubuhnya, namun sebagian pula terpental
kembali membuat Tiong Jin Hwesio te rpelanting roboh dan
tewas di saat itu juga. Ada pun Tiang Bu juga terpental dan
bergulingan sampai beberapa meter jauhnya, akan tetapi ia
hanya merasa dada dan perutnya panas seperti orang baru
menenggak secawan besar arak keras, ia segera dapat
melompat berdiri dan menubruk suhunya yang ternyata
telah meninggal dunia.
Dengan hati sedih dan terharu sekali, Tiang Bu lalu
mengurus jenazah kedua orang suhunya itu, dikuburnya di
tempat yang baik di dekat pondok yang sekarang sudah
padam apinya dan menjadi tumpukan puing. Setelah
berlutut berjam-jam di depan gundukan kuburan kedua
orang suhunya, Tiang Bu ia berdiri dan bagaikan patung ia
memandang mayat orang-orang yang masih malang
melintang di tempat itu. Ada tujuh mayat yang tak
dikenalnya siapa orangnya, hatinya gemas karena ia maklum
bahwa tujuh orang itu adalah mayat dari kawan-kawan Liok
22
Kong Ji yang agaknya tewas ketika memperebutkan kitabkitab
dengan tokoh tokoh seperti Ang-jiu Mo-li dan Lie Kong.
Akan tetapi, kegemasan itu dikalahkan oleh bisikan hati
nuraninya yang mengumandangkan ajaran-ajaran dua
kakek sakti Omei-san tentang pribadi dan kebajikan.
Akhirnya, ia menggali lubang di suatu tempat dan mengubur
mayat-mayat itu secara baik.
Setelah sekali lagi berlutut sampai lama sambil
mengheningkan cipta untuk menghormati makam dua orang
suhunya, Tiang Bu lalu turun gunung sambil membawa tiga
buah kitab. Dua kitab dari suhunya tadi adalah Seng-thianto
(Jalan Naik ke Sorga) dan Thian-to Si keng (Kitab Sajak
Bumi Langit). Tiang Bu terheran sendiri mengapa dua kitab
yang judulnya aneh ini dianggap terpenting oleh suhunya.
padahal isi dua kitab Seng-thian to itu adalah petunjuk ilmu
kebatinan dan Thian-te Si-keng terisi sajak-sajak dan syairsyair
melulu.
Akan tetapi ini hanya pandangan sepintas lalu saja dan
Tiang Bu belum sempat mempelajari secara mendalam.
Adapun kitab yang dirampasnya dari Giam-lo-ong Ci Kui tadi
berjudul Kiang- liong-kun-hoat (lImu Silat Naga Tangguh).
Demikianlah, sambil membawa tiga buah kitab ini Tiang
Bu mulai turun gunung menempuh jalan hidup baru. Citacitanya,
pertama-tama hendak mencari Wan Sin Hong untuk
bertanya tentang rahasia hidupnya.
Ia akan bertanya secara baik-baik atau memaksa.
Pcndeknya. Wan Sin Hong harus bicara terus terang
kepadanya siapa sebenarnya ayah bundanya dan mengapa
orang yang bernama Liok Kong Ji itu mengaku-aku sebagai
ayahnya.
Selagi ia berjalan perlahan menuruni puncak ia
mendengar suara orang batuk-batuk. Tiang Bu memang
tidak menggunakan ilmu lari cepat karena sesungguhnya
hatinya berat sekali meninggalkan puncak Omei-San dimana
23
ia telah tinggal lima enam tahun lamanya. Cepat ia
menengok dan kelihatanlah tubuh gemuk bulat
menggelinding keluar dari balik batu karang. Agaknya Hwa
Thian Hwes io yang bertubuh gendut itu tadi telah
melepaskan lelah di balik batu karang. Wajah yang gemuk
itu tersenyum lebar ketika ia melihat Tiang Bu.
"Eh, kiranya siauwhiap. Hendak ke manakah? Harap
sebelum pergi kau suka menolong pinceng lebih dulu."
"Losuhu, kau berada di puncak Omei-san ada perlu
apakah?” tiba-tiba Tiang Bu bertanya penuh curiga.
Semenjak datang orang-orang yang telah mendatangkan
mala petaka hatinya selalu curiga kepada siapapun juga.
"Pinceng sengaja datang untuk menghadap Jiwi
locianpwe di puncak Omei-san. Bukan saja karena pinceng
sudah lama kagum sekali kepada Jiwi-locianpwe itu, juga
kedatangan pinceng ini diutus oleh Pangeran Wanyen Ci -Lun
di kota raja, ke rajaan Kin di utara. Ku lihat siauw-sicu ini
tentulah murid dari Jiwi locianpwe di sini, maka mohon
sudilah siauw-hiap melaporkan kedatangan pinceng untuk
menghadap.”
Tiang Bu memandang tajam, keningnya berkerut. Kalau
ia tidak salah ingat, yang bernama Pange ran Wanyen Ci Lun
adalah Pangeran di Negara Kin yang mukan ya hampir s ama
dengan Wan Sin Hong dan yang pernah menolongnya dari
serangan Pak-kek Sam kui dahulu. Apakah niat pangeran
itu mengutus seorang hwesio menemui kedua orang gurunya
"Losuhu hendak menghadap dua orang guruku? Boleh, mari
ikut !' pemuda cilik ini membalikkan tubuh dan berjalan
naik ke puncak lagi. Dengan wajah tersenyum lebar Hwa
Thian Hwesio mengulur langkah mengikuti Tiang Bu.
Akan tetapi alangkah heran hati hwesio itu ketika Tiang
Bu mengajaknya berhenti di depan dua makam yang masih
amat baru yang berada di dekat tumpukan puing.
24
"Losuhu. kau sudah menghadap kedua guruku. Lekas
kauberitahukan apa maksud kedatanganmu dan apa
kehendakmu datang ka tempat ini.”
"Omitohud ...... jadi..... jadi jiwi locianpwe te lah.........
telah meninggal dunia...... ?' katanya gagap.
“Akan tetapi kau sudah kubawa menghadap, Biarpun
dua orang guruku sudah meninggal dunia, namun ada aku
wakilnya yang dapat mendengar apa maksud kedatanganmu
!” kata Tiang Bu suaranya keren.
Hwesio gendut itu melirik ke arah Tiang Bu, kagum dan
juga heran. Melihat betapa bocah berusia tiga empat belas
tahun itu bersikap gagah biarpun pakaiannya robek-robek
dan dandanannya sederhana sekali, benar-benar ia merasa
kagum. Apalagi sepasang mata bocah itu yang membuat
Hwa Thian Hwesio diam-diam berpikir bahwa anak ini kelak
akan lebih hebat dari Wan Sin Hong pendekar yang ia
kagumi.
"Hayo katakan apa maksud kedatangan di depan makam
suhu-suhuku, kalau tidak akan berubah pandanganku
kepadamu, losuhu. Tadinya kau kuanggap satu-s atunya di
antara orang yang baru-baru ini banyak datang ke sini,
satu-satunya yang dapat dipercaya dan bukan maling kitab.
Akan tetapi kalau kau tidak mau mengaku apa maksud
kedatargan mungkin akan berubah pandarganku itu."
Hwa Thian Hwesio mcnarik napas panjang. Lebih dulu ia
memberi hormat di depan d makam itu, lalu ia menghadapi
Tiang Bu.
"Siauw-sicu, ketahuilah bahwa pinceng adalah utusan
Pangeran Wanyen Ci Lun. Pincen disuruh menghadap Jiwi
locianpwe di Omei-san untuk mohon bantuan mereka. Pada
waktu ini, Negara kita di utara sedang terancam bahaya
besar, bahaya penyerbuan bangsa Mongol yang dirajai oleh
Temu Cin dan dibantu oleh orang-orang pandai dan jahat
seperti Liok Kong Ji, Pak-kek Sam kui, dan lain-lain. Oleh
25
karena itu demi menjaga keselamatan rakyat apabila bangsa
Mongol menyerbu, Pangeran Wanyen Ci Lun atas nama
kaisar Kerajaan mohon bantuan Jiwi-locianpwe di sini. Sudi
kiranya untuk sementara tinggal di istana dan melatih ilmu
silat kepada panglima-panglima Kerajaan Kin. Demikianlah
tugas pinceng, tidak tahunya Jiwi locianpwe meninggal
dunia."
Tiang Bu mengerutkan kening. Ia tidak begitu tahu
tentang keadaan kerajaan dan negara juga tidak perduli.
Akan tetapi disebutnya Liok Kong Ji sebagai pembantu
kaisar bangsa Mongol mengingatkan dia akim pengalamanpengalamannya
ketika dahulu ia dibawa melalui perbatasan
utara ke daerah orang Mongol oleh Pak-kek Sam-kui.
Hatinya makin timbul kebenciannya tcrhadap orang yang
bernama Liok Kong Ji itu. Inilah se rangan macamnya orang
yang oleh suhunya dianggap penghianat baugsa, pcnjahat
yang paling rendah di permukaan bumi. Tiong Sin Hwesio
dahulu pernah berkata kepadanya bahwa penjahat yang
paling hina dina dan harus dibasmi di dunia ini adalah
Penghianat bangsa itu orang yang membantu musuh negara
serta orang semacam Liok Korg Ji.
Kong Ji seorang bangs a Han, mengapa membantu bangsa
Mongol musuh negara? Getir dan pahit rasa hati Tiang Bu
kalau ia ingat akan kemungkinan bahwa orang macam ini
menjadi ayahnya.
"Kedatanganmu percuma saja, losuhu." jawabnya.
suaranya dingin. "Andaikata kedua orang suhuku masih
hidup. juga takkan ada gunanya. Di waktu hidupnya, kedua
orang guruku adalah orang-orang yang menyucikan diri,
tidak mau memusingkan urusan dunia bagaimana beliau
dapat diajak ke istana kaisar ? Pula, kedua orang guruku
patriot-patriot sejati, bagaimana bisa diajak membantu
Kerajaan Kin ? Tidak, kedatanganmu s ia-sia belaka, losuhu.”
Biarpun orangnya suka melawak dan tingkah lakunya
kadang-kadang lucu. Hwa Thian Hwesio adalah seorang
26
yang cerdik. Ia, dapat menduga bahwa satu-satunya orang
yang telah mewarisi ilmu kepandaian hebat dari dua orang
kakek sakti di Omei-sun hanyalah bocah ini.
"Siauw-sicu, salah duga. Biarpun daerah utara dipimpin
oleh Kerajaan Kin, namun mereka itu tidak ada bedanya
dengan kita orang-orang Han. Buktinya, banyak orang-orang
pandai seperti Wan -sicu dan lain-lain membantu Kerajaan
Kin Bahkan Ang-jiu Sian li juga membantu menjadi guru di
sana. Sedangkan orang-orang Mongol merupakan pengaruh
asing yang hendak menjajah kita dan pasti rakyat akan
menderita kalau mereka sampai menyerbu ke selatan, maka
membantu memperkuat kedudukan Kerajaan Kin di
perbatasan utara sama halnya dengan membantu negara
dan menyelamatkan rakyat, kewajiban utama bagi para
patriot. Oleh karena itu, s auw-sicu sendiri tentu saja sebagai
seorang patriot muda, sudah berkewajiban untuk membela
rakyat Han yang tinggal di utara dan terancam maut di
tangan para serdadu Mongol."
Hati Tiang Bu tergerak. "Bagaimana nanti sajalah. Toh
sekarang orang-orang Mongol belum menyerbu dan pula
orang seperti aku ini yang bodoh dan tidak tahu apa.apa,
sungguh bingung memikirkan tentang perang dan
sebagainya. Aku masih mempunyai banyak tugas dari
mendiang suhu-suhuku untuk kulaksanakan.
'Memang kau belum mengerti tentang semua itu, siauw
sicu. Sayang sekali Wan sicu telah pergi, kalau tidak tentu
dia dapat menjelaskan kepadamu. Ah, entah bagaimana
dengan nasib, Wan.sicu tadi. ..... "
Kata-kata tentang Wan Sin Hong yang tak disengaja ini
menarik hati Tiang Bu. Memang ia sedang mencari Wan Sin
Hong dan tidak tahu harus mencari di mana.
“Di manakah adanya Wan Sin Hong?" tanyanya sambil
lalu. akan tetapi sebetulnya penuh perhatian. Memang Tiang
Bu biar masih kecil sudah memiliki kecerdikan.
27
“Entah di mana. Tadi pinceng melihat bertempur dengan
Toat-beng Kui-bo nenek mengerikan itu. Kemudian nenek
itupun menyerbu gudang kitab dan mencuri sebuah kitab,
tetapi dikejar dan diserang oleh Wan-sicu yang hendak
memaksa nenek itu mengembalikan isterinya yang dirampas
oleh nenek dari tangan Liok Kong Ji. Akan tetapi agaknya
Wan-sicu biarpun lihai sekali belum dapat menangkan
nenek itu. Akhirnya pinceng yang bersembunyi di balik batu
karang, melihat nenek itu melarikan diri cepat sekali sambil
berseru kepada Wan-sicu bahwa kalau Wan-sicu hendak
mencari isterinya, supaya menyusulnya ke Ban-mo tong
(Gua Selaksa Iblis) di tepI pantai Laut Selatan."
"Lalu bagaimana ?” tanya Tiang Bu, kini amat tertarik.
"Nenek itu lari cepat sekali, dikejar-kejar oleh Wanbengcu.
Entah bagaimana jadinya. Akan tetapi melihat
gerakan nenek itu, pinceng menduga kiranya Wan-bengcu
takkan dapat menyusulnya."
Tiang Bu diam tejenak berpikir.
"Losuhu yang baik, kelak kalau sudah selesai tugasku
tentu kita akan bertemu lagi di kota raja Kerajaan Kin. Kita
sama lihat saja kelak, apakah aku perlu membantumu.
Sekarang bolehkah aku be rtanya di mana adanya Ban motong
itu ?"
'Siauw-si-cu hendak menyusul ke sana ?” tanya hwesio
itu membelalakkan mata. Tiang Bu mengangguk. 'Dia
membawa kitab, aku harus memintanya kembali,” katanya
dingin.
Hwa Thian Hwesio menggerak gerakkan kepala yang
bundar itu ke atas ke bawah beberapa kali. "Siauw-sicu
pandai, memang baik berbakti kepada guru biarpun guru
sudah meninggal dunia. Siauw-sicu pergilah ke selatan, ke
Propinsi Kiangsi yang berbatasan dengan Hokkian, carilah
Pegunungan Wu-yi-san dan Tai-yun-san dan di antara dua
pegunungan itu pergilah terus ke selatan sampai bertemu
28
dengan laut. Di dae rah situlah kalau tidak salah letaknya
Ban-mo-tong. Akan tetapi harap siauw-sicu berhati-hati
karena daerah itu amat berbahaya."
Tiang Bu menghaturkan terima kasih lalu cepat
mempergunakan kepandaiannya, dalam sekejap mata saja ia
lenyap dari depan Hwa Thian Hwesio yang berdiri melongo.
Ginkang bocah itu malah lebih hebat dari Wan-bengcu
pikirnya. Kemudian iapun turun gunung.
Pagunungan Wu-yi-san da Tai-yun-san terletak di bagian
paling selatan dari daratan Tiongkok yang luas. Untuk
mencapai daerah ini, Tiang Bu telah melalui perjalanan
beberapa bulan lamanya menjelajah daerah-daerah yang
amat as ing baginya. menempuh bahaya- bahaya besar dalam
perjalanan. Akan tetapi berkat kepandaiannya yang tinggi
dan kekuatan tubuhnya yang luar biasa semua rintangan
dapat diatasinya dan pada suatu hari kelihatan pemuda cilik
ini dengan tenangnya berjalan masuk hutan keluar hutan
yang tumbuh di lereng gunung di antara Pegunungan Wuyin-
san dan Tai-yun-san itu.
Biarpun usia Tiang Bu baru kurang lebih empat atau
lima belas tahun, namun benar-benar mengherankan sekali,
setelah ia mewarisi sinkang yang hebat dari dua orang
suhunya, tubuhnya mengalami perubahan cepat.
Pertumbuhan badannya mengagetkan sekali, membuat ia
dalam usia itu kelihatan seperti seorang laki-laki dewasa.
Bahkan wajahnya yang membayangkan kejujuran itu
kelihatan "matang” hilang sifat kekanak- kanakannya. Tiang
Bu memang rajin bukan main. Selama melakukan
perjalanan, tiada hentinya ia membuka-buka tiga buah kitab
yang dibawanya untuk dipelajari. Kitab yang mengandung
pelajaran silat Kiang liong-kun-hwat dibuka-buka sebentar
saja karena Ilmu Silat Naga Tangguh yang termuat di situ
tidak begitu berarti baginya. Dia telah pula mempelajari
ilmu-ilmu silat yang jauh lebih tinggi daripada Kiang liongkun-
hwat ini dari dua orang suhunya. Akan tetapi dua kitab
29
lainnya yangtadinya sukar ia mengerti dan yang
mengherankan hatinya mengapa justru dua kitab ini yang
dibela mati-matian oleh suhunya, sekarang amat menarik
hatinya. Setelah ia teliti secara mendalam, ia menjadi girang
bukan main karena ilmu-ilmu yang luar biasa sekali
bersembunyi di dalam dua kitab ini. Kitab Seng-thian to
(Jalan Naik ke Surga) mengandung pelajaran samadhi
tingkat tertinggi . Biasanya, pelajaran siulian atau samadhi
sudah mencapai tingkat paling tinggi apabila orang dapat
mengheningkan cipta mengumpulkan segala panca-indra
sampai lupa diri atau yang disebut "mati dalam hidup" atau
"tidur dalam kesadaran". Akan te tapi ilmu Seng thian- to ini
mengajar cara bersamadhi lebih tinggi lagi sehingga orang
mencapai persatuan dengan jalannyapernapasan dan
peredaran darah. Apabila ilmu ini sudah dilatih baik-baik,
maka orang itu akan dapat mengikuti dan menguasai
jalannya pernapasan dan darah di dalam tubub dan ini
merupa sinkang yang tertinggi juga khikang yang tak dapat
diukur lagi tingkatnya karena orangakan dapat
mempergunakan hawa di dalamtubuh sesuka hatinya.
Dengan kekuatan hawa ini orang akan dapat nembikin
semua bagian tubuh menjadi kebal, karena tidak ada
kekuatan dan kekerasan di dunia ini yang dapat melebihi
hawa.
Adapun kitab yang ke dua, yaitu Thian-te Sikeng (Kitab
Sejak Bumi Langit) itu biarpun kalau dibuka lembarannya
hanya akan berisi sajak dan syair melulu, namun di situ
tercakup rahasia alam tentang bumi dan langit. Inilah sari
pelajaran yang tidak saja membuka rahasia tentang Im dan
Yang, termasuk sifat dan kekuatan Ngo heng yang menjadi
lima sifat bumi -langit.
Setiap sajak yang termuat dalam Thian-te Sikeng ini
dengan sendirinya merupakan semacam imbangan yang
dapat dirangkaikan menjadi semacam ilmu silat yattg luar
biasa. Tiang Bu yang memiliki kecerdikan luar biasa tentu
30
saja segera dapat membentuk atau mencipta bermacammacam
ilmu silat dari pada sajak-sajak ini. Tentu saja ia
menjadi girang luar biasa dan kemajuan ilmu
kepandaiannya meningkat secara kilat.
Selagi Tiang Bu berlari-lari keluar dari hutan untuk
memasuki hutan berikutnya yang amat besar, tiba-tiba ia
mendengar suara keras orang menebang pohon. Suara orang
menebang pohon bukanlah aneh, karena kiranya setiap
orang tentu sudah pernah mendengar bunyi kapak
membacok batang pohon yang berbunyi “crok, crok, crok
........” dengan irama menentu dan tiada henti hentinya.
Akan tatapi pendengaran Tiang Bu sudah menjadi luar biasa
sekali setelah ia melatih diri dengan ilmu Seng-thian-to,
maka ia mendengar sesuatu yang tidak sewajarnya dengan
penebangan ini. Saking tertarik, ia menghent ikan larinya
dan mendengarkan lebih teliti.
"Crok crak-cruk……. bruuuukk......... !" demikian
te rdengar suara jauh di sebelah kirinya. Belum juga habis
gema suara ini, terutama suara terakhi r yang diikuti oleh
getaran tanah, tahu-tahu di sebelah belakangnya sudah
terdengar lagi, "Crok-crak- cruk ............... bruuuk ......... !"
Cepat Tiang Bu menengok ke belakang dan,...... eh,.........
lagi-lagi terdengar suara yang sama, kini dari sebelah
kanannya. “Crok-cruk......cruk ... bruuuuk......... !"
"Hebat," pikirnya sambil cepat -cepat mempergunakun
ginkangnya me lompat ke kanan, ke arah suara terakhir itu.
Mana ada cara menebang pohon secepat itu?
Ketika mengejar ke kanan tadi Tiang Bu sudah
mempergunaken ilmunya yang hebat yaitu Liap-in-sut (Ilmu
Mengejar Awan), cepatnya bukan main. Akan tetapi tetap
saja terlambat karena ketika ia tiba di tempat suara tadi, ia
hanya melihat sebatang pohon siong besar sekali telah
tumbang dan melihat daun-daunnya masih bergoyanggoyang
menandakan bahwa pohon itu baru saja tumbang.
Dan saat itu, jauh di depan sudah mulai lagi terdengar suara
31
yang sama, suara orang menebang pohon besar hanya
dengan tiga kali bacokan.
'Hebat!' Tanpa membuang waktu lagi Tiang Bu melompat,
kali ini ia menggunakan ilmunya melompat, yang disebut
Sam-teng-jig thian (Tipa Kali Lari Melompat Memasuki
Langit)! Ilmu ini luar biasa hebatnya sehingga tubuh pemuda
itu lenyap dan tak dapat diikuti lagi dengan pandangan mata
saking cepatnya gerakannya. Satu kali lompatan ia bisa
mencapai jarak belasan sampai dua puluh tombak.
Kali ini Tiang Bu tidak terlambat dan dapat melihat
seorang laki berusia kurang lebih empat puluh tahun sedang
menebang pohon besar. Laki-laki ini hebat sekali. Tubutnya
tinggi besar, jenggot dan kumis pendek kasar, mukanya segi
empat, dan telinganya lebar. Karena ia bekerja dengan tubuh
atas telanjang, nampak dadanya yang bidang peruh otot-otot
besar. Demikian pula sepasang lengannya penuh otot-otot
yang melingkar, celananya sampai sebatas lutut, berwarna
hitam. Kapak yang dipergunakan juga luar biasa. Besar dan
matanya lebar, tajam bukan kepalang tajam sampai
gemerlapan terkena sinar matahari. Orang itu bekerja
dengan tubuh penuh peluh. Dengan ge rakan tegap, kapak
diayun ke arah batang pohon siong yang besarnya dua kali
tubuh orang.
"Crok-crak cruk......... " Tiga kali ayunan saja batang
pohon itu roboh dan tumbang, mengeluarkan suara
''brukkk......... ! " dan tergetarlah pohon-pohon di
sekelilingnya.
Begitu pohon itu roboh, orang itu lalu berlari cepat sekali
ke depan, kepalanya menengok ke kanan kiri memilih pohon
lain. Begitu mendapatkan pohon yang dikehendaki, ia
berhenti dan kembali mengayun kapaknya !
"Sahabat gagah, harap berhenti dulu. Siauwte ingin
bicara ...... .!" Tiang Bu cepat melompat mengejar dan
mengangkat tangan mengajak bicara, Akan tetapi orang itu
mengerlingpun tidak, terus melanjutkan pekerjaannya,
32
mengayun kapaknya. Tiang Bu memperhatikan. Kapak itu
mula-mula menghantam dari kanan agak miring atau
menyerong dari atas ke bawah, lalu ayunan kedua kali dari
kiri ke kanan kemudian yang ke tiga kalinya kembali dari
kanan, akan tetapi kali ini gerakannya lurus menabas. Dan
kembali sebatang pohon baru tumbang. Kemudian orang itu
lari lagi.
"Hee, sahabat tukang kayu ! Be rhenti dulu sebentar !'
Kembali Tiang Bu berseru keras. Namun orang itu tetap
tidak perduli, terus saja lari ke depan sambil memilih pohon
dengan pandang matanya kemudian berdi ri dekat pohon
yang terpilih dan mengayun kapak.
"Sahabat baik, siauwte Tiang Bu mohon bicara
sebentar......... !" kata Tiang Bu lagi, ia berdiri di depan orang
tinggi besar ini. Namun ia dianggap seperti lalat saja oleh
orang luar biasa itu.
Tiang Bu mendongkol. Terlalu memandang rendah orang
ini, pikirnya. Aku harus memperlihatkan sedikit kepandaian.
Tanpa berkata apa-apa lagi ia lalu menggunakan ginkangnya
melompat ke atas menyambar ujung cabang yang cukup
besar dari pohon yang ditebang itu, dan duduklah Tiang Bu
di dalam pohon yang berdekatan sambil memegangi cabang
pohon yang ditebang. Pemuda ini tadi sudah memperhatikan
betapa pohon yang ditebang oleh penebang aneh itu,
robohnya ke kiri, oleh karena itu ia sengaja duduk di atas
pohon sebelah kanan pohon yang ditebang itu.
“Crok-crak crok …..! Tiga kali ayunan dahsyat itu
dilakukan dan batang pohon yang besar itu telah terbacok
dalam sekali dan hanya tinggal sedikit hati kayu saja yang
masih menahan. Biasanya sedikit tahanan ini tidak kuat
menahan batang itu berdiri dan tentu segera tumbang akan
tetapi kali ini tidak demikian. Barang pobon yang sudah
kena sambaran kapak sampai tiga kali itu tidak roboh.Masih
be rdiri tegak bagaikan raksasa yang tidak merasakan
hantaman kapak.
33
Penebang kayu itu
mengerutkan keningnya
yang lebar, mengusap
muka yang penuh peluh
itu, lalu memandang ke
atas. Segera ia dapat
melihat seorang pemuda
tegap, berhidung pesek
berbibir tebal dan berkulit
hitam sedang duduk di
atas cabang pohon yang
berdekatan sambil memegangi
ujung cabang
pohon yang ditebangnya!
Pantas saja pohon ini tak
mau roboh, pikirnya,
kiranya ada orang yang
sengaja menahan dengan
memegang cabangnya.
Dengan tak acuh penebang pohon itu mendupak pohon di
depannya. Pohon berguncang keras, namun tetap tidak
tumbang!
Mulailah penebang pohon itu menaruh sedikit perhatian
kepada Tiang Bu. Ia maklum bahwa untuk menahan
sebatang pohon roboh dengan memegangi cabangnya saja
bukanlah pekerjaan sukar, karena memang daya berat
pohon itu berada di bawah, di atasnya ringan sekali. Seorang
bocah saja kiranya akan mampu melakukan hal itu. Akan
tetapi tadi ia sudah mendorong pohon dengan kakinya dan
bocah di atas itu sanggup mempertahankan, tentu memiliki
sedikit tenaga.
“Monyet cari perkara,. rasakanlah!” Tiba-tba penebang
pohon itu berkata dengan suaranya yang keras dan tiba-tiba
ia menendang pohon itu bukan ke kiri, melainkan ke kanan!
Ia sengaja membalik arah robohnya pohon sehingga bagi
34
pemuda itu tidak ada jalan lain lagi untuk menahan, bahkan
akan tartimpa oleh pohon itu !
Akan tetapi, aneh di atas aneh, pohon yang didupak oleh
kakinya yang sedikitnya bertenaga lima ratus kati itu, tetap
saja tidak roboh sungguhpun sudah bergoyang-goyang dan
daunnya pada rontok! Kali ini penebang kayu itu tertegun
sejenak. Menarik cabang untuk menahan robohnya pohon
bukan hal mengherankan akan te tapi menahan robohnya
pohon ke arahnya dengan jalan mendorong cabang itu,
benar benar mustahil ! Namun benar-benar telah dilakukan
oleh pemuda itu.
"Anak muda, turunlah. Kau cukup berharga untuk orang
meninggalkan pekerjaannya dan melayanimu."
"Ha, akhirnya kau mau juga bicara, lopek !" seru Tiang
Bu dengan girang dan sekarang pcmuda ini me lepaskan
pegangannya pada ujung cabang sambilmelompat ke
bawah, pohon itupun tumbanglah, menerbitkan suara hi ruk
pikuk. Dengan gerakan ringan Tiang Bu melayang ke depan
penebang pohon itu dan ia sudah menjura dengan hormat
sebelum penebang itu hilang kaget dan herannya
menyaksikan cara Tiang Bu melayang turun benar-benar
merupakan gerakan yang jarang ia jumpai. Pemuda itu tadi
telah melayang diantara cabang-cabang dan ranting-ranting
pohon raksasa yang sedang tumbang menimpanya, benarbenar
gesit melebihi seekor burung kecil.
Penebang kayu itu memandang kepada Tiang Bu dengan
tajam dan penuh perhatian peluhnya deleweran dari leher
dan dadanya. Kemudian ia berkata.
"Kau yang semuda ini sudah memiliki tenaga luar biasa,
siapakah kau dan mengapa kau mengganggu pekerjaanku ?”
Sambil tersenyum ramah dan bersikap hormat- Tiang Bu
menjawab, "Harap maafkan lopek. Aku Tiang Bu dan bukan
maksud mengganggu pekerjaan lopek. Aku merasa amat
tertarik dan kagum sekali menyaksikan cara lopek
35
menebang kayu yang menunjukkan bahwa lopek adalah
seorang be rilmu tinggi. Mohon tanya siapakah nama lopek
yang terhormat dan mengapa lopek menebangi kayu-kayu
pohon yang besar besar ini ?”
Penebang itu menggerak-gerakkan alisnya yang hitam
dan tebal. "Hemm, apa sih anehnya menebang kayu, dan
lebih-lebih lagi apa sih anehnya seorang penebang kayu ?
Kerjaku menebangi kayu-kayu yang tua dan dan baik,
kukapak menjadi kayu-kayu balok dan kujual kepada
pedagang kayu. Apa anehnya dalam hal itu? Kaubilang aku
memiliki kepandaian luar biasa dan berilmu, tentu saja.
Kepandaianku ialah menebang kayu dan ilmuku tentu saja
cara mempergunakan kapak menumbangkan pohon. Apa
anehnya dalam hal ini? Orang muda jadikanlah hal ini
sebagai pegangan olehmu bahwa di dunia ini memang
terdapat banyak sekali macam ilmu, se tiap orang lain lagi
ilmunya. Ilmu apakah yang boleh dibanggakan? Kau boleh
memiliki lweekang dan ginkang istimewa, akan tetapi dalam
hal menebang kayu, kiranya kau harus belajar dulu
kepadaku! Juga terhadap ahli silat lain seperti aku ini, kau
tentu akan kalah. Apa anehnya dalam hal itu ? Seorang ahli
tentu saja mudah mengerjakan pekerjaan keahliannya, ini
sudah lumrah."
Tiang Bu menjura dengan lebih hormat setelah
mendengar kata-kata ini. Ia tahu bahwa di balik
kesederhanaan gerak-gcrik dan kata-katanya ini, ia
berhadapan dengan seorang yang pandai. “Lopek, hari ini
aku Tiang Bu yang muda dan bodoh telah be rtemu dengun
lopek dan menerima pelajaran, sungguh merupakan hari
yang amat beruntung bagiku. Mohon tanya namamu yang
mulia agar tak mudah kulupakan."
"Eh, orang muda, apakah tadi kau menghentikan
pekerjaanku hanya untuk bertanya nama belaka ?" tiba-tiba
orang itu membentak kelihatan marah.
36
Diam-diam Tiang Bu merasa terkejut akan sikap orang
yang amat aneh. Tak disangkanya bahwa di bagian selatan,
di tempat yang sunyi ini terdapat orang seaneh ini. Ia tidak
berani membohong dan segera berkata terus terang.
"Sesungguhnya, lopek. Selain meras a tertarik dan kagum
sehingga aku ingin sekali mengenal dan mengetahui nama
lopek, juga ada sedikit urusan yang ingin aku mendapat
bantuanmu. Aku sedang mencari pantai di mana terdapat
gua-gua yang disebut Ban-mo-to. Dapatkah kau
menunjukkan di mana tempat itu dan jalan mana yang
harus kuambil untuk menuju ke sana ?"
Tiba-tiba orang itu memandang dengan mata terbelalak
dan mulut ternganga, untuk sementara tak dapat menjawab.
"Kau....... kau hendak pergi ke Ban mo-tong......... ?”
akhirnya ia dapat bertanya gagap. Tiang Bu mengangguk
dan pada saat itu terdengar suara nyaring.
"Thia thia ( ayah ), mengapa kau berhenti menebang ?'
Suara ini nyaring sekali dan tak lama kemudian dari selatan
datang berlari-lari seorang gadis berpakaian serba hijau.
Gadis ini cepat sekali larinya, pakaiannya berkibar ketika ia
lari membuat ia kelihatan seperti seekor kupu besar.
Tangannya memegang sepasang kapak kecil di kanan kiri
dan tiap kali ia tiba di dekat pohon yang sudah
ditumbangkan oleh ayahnya, ia menggerakkan kedua kapak
itu cepat sekali dan tubuhnya melompat ke sana ke mari di
sekitar pohon itu.
Gerakannya tangkas dan ge sit seperti burung walet
menyambar-nyambar, dan sebentar saja pohon yang telah
tumbang itu telah digunduli, semua cabang dan ranting
berikut daun-daunnya telah habis dibacok kapak, tinggal
batang pohonnya saja yang kini telah merupakan balok
besar panjang. Kalau cara manebang pohon dari perebang
tadi sudah luar biasa, maka cara membersihkan cabang
ranting dan daun ini tidak kalah hebatnya. Pekerjaan yang
kiranya oleh dua orang laki-laki biasa akan dilakukan
37
setengah hari, oleh gadis baju hijau itu hanya dilakukan
dalam beberapa menit saja !
Setelah memandang ke arah puterinya yang bekerja itu
dengan puas dan mulut tersenyum si penebang pohon lalu
menjawab pertanyaan tadi.
"Pemuda ini yang menghentikan pekerjaanku. Kau ke
sinilah, Fei Lan !”
Karena pohon yang ditebang oleh ayahnya sudab
dibe rsihkanya semua, gadis itu lalu berlari -lari ke tempat
ayahnya. Dari jauh ia sudah memandang ke arah Tiang Bu
dengan penuh perhatian. Akan terapi setelah tiba di situ ia
membuang muka dan berkata kepada ayahnya:
"Ayah, bocah seperti ini bagaimana sampai bisa
menghentikan pekerjaanmu?" Memang sudah sepatutnya
kalau Fei Lan terheran-heran karena ia tahu betul bahwa
biasanya kalau ayahnya sudah mulai bekerja jangankan
manusia, biarpun alam yang mendatangkan hujan angin
besar, tidak mampu menghentikan ayahnya dan
pekerjaannya. Bagaimana sekarang seorang manusia biasa
saja dapat melakukan hal itu?
“A-Lan, jangan kau memandang ringan kepadanya," kata
penebang pohon itu sambil tersenyum penuh arti, "semuda
ini ia telah memiliki kepandaian tinggi. Kiranya inilah orang
yang kaunanti-nantikan. Kalau kau setuju hemmm ……..
aku akan girang sekali menjadi mertuanya !"
Mendengar ucapan ayahnya, sepasang pipi gadis itu
menjadi merah sekali. Namun dengan tabah ia memutar
tubuh menghadapi Tiang Bu dan sepasang matanya
memandangi pemuda itu dari ujung rambut sampai ke ujung
kaki. Terdengar ia menarik napas panjang lalu berkata,
"Hemmm, kau tak dapat dikatakan tampan .........”
Tiang Bu sejak tadi sudah memperhatikan gadis baju
hijau yang berdiri tegak di depannya itu. Gadis ini usianya
38
tentu tak kurang dari delapan belas tahun, tubuhnya
berbentuk indah, ramping dan berisi seperti biasa bentuk
tubuh gadis gunung yang biasa bekerja berat.
Kulit tangan dan leher yang tidak tertutup pakaian
nampak tidak begitu putih karena setiap hari tetbakar
matahari, namun kelihatan kulit yang halus kecuali di
telapak tangan yang sudah biasa bertemu dengan gagang
kapak. Kedua kakinya biasa, tidak kecil seperti kaki wanita
yang dibungkus semenjak lahir. Rambutnya panjang dan
hitam sekali, digelung ke atas secara sederhena dan diikat
dengan tali rambut warna hi jau pula. Wajah gadis itu cantik
dan manis, sayang s ekali matanya tidak lembut seperti
kebanyakan gadis cantik, keras dan membayangkan
kegalakan dan kesombongan.
“Memang aku buruk, akan tetapi kau cantik, cici ...... "
kata-kata ini terlepas dari mulut Tian Bu begitu saja, sama
sekali tidak mengandung maksud kurang ajar atau kagum
melainkan untuk menyatakan bahwa ia tidak sakit hati
disebut tidak tampan. Adapun pujiannya bahwa gadis itu
cantik memang sewajarnya. Tiang Bu masib belum cukup
dewasa untuk merasa sungkan memuji kecantikan seorang
gadis yang baru dilihatnya begitu saja.
Anehnya, mendengar kata-kata Tiang Bu seketika sinar
mata yang keras galak untuk beberapa detik melembut dan
pada bibir yang merah sewajarnya itu terbayang senyum
bangga. Pandang mata Tiang Bu amat tajam dan ia dapat
menangkap semua ini tanpa mengerti sebab-sebabnya. Ia
belum tahu bahwa wanita manapun juga, kanak-kanak,
muda maupun nenek nenek, selalu akan me rasa senang
kalau dipuji cantik.
"Memang dia kurang tampan, A-Lan. Akan tetapi
perhatikan baik-baik sepasang matanya lihat alisnya. Mata
yang seperti bintang dengan alis yang seperti golok itu cukup
jelas membayangkan kegagahannya. Air mukanya segi
empat, daun telinga lebar, hidung pesek dan bibir tebal.
39
Lihat, apakah dia tidak berwajah toapan (wajah yang
mulia)?” kata penebang pohon dengan wajah berseri. "Pilihan
yang baik sekali, Fei Lan.........”
"Apakah dia lebih kuat daripada pohon siong ayah ?”
Pohon siong adalah nama pahon yang setiap hari
"dikerjakan” oleh gadis itu dan ayahnya. karenanya dianggap
lemah. Kalau pemuda ini lebih kuat dari pada pohon siong,
berarti lebih tangguh dari pada dirinya sendiri.
"Kaucobalah," ayahnya menganjuri.
Tiba-tiba pandang mata gadis itu berubah keras ketika ia
menatap wajah Tiang Bu. "Awas, lihat kapakku!" teriaknya
dan pada saat itu juga ia menerjang maju dengan kapak di
kedua tangannya diayun cepat sekali, yang kiri menyambar
leher yang kanan menyambar pundak Tiang Bu! Gerakannya
kuat dan cepat seperti ketika ia "menjerbu" pohon yang telah
ditebang ayahnya tadi, maka kalau serangannya berhasil,
tentu dalam sesaat saja leher dan pundak akan terbabat
putus! Tiang Bu kaget sekali karena tidak menduga bahwa
dirinya akan diserang hebat. Namun serangan itu baginya
tidak berarti, dan dengan gerakan lambat saja ia dapat
menghindarkan diri sehingga dua kapak itu menghantam
angin. Akan te tapi, cepat seperti kilat sepasang kapak itu
telah menyambar lagi, yang kiri mengapak hidung yang
kanan menyambar perut. Cepat sekali datangnya dua
serangan ini sehingga kalau Tiang Bu tidak dapat bergerak
cepat, hidungnya akan makin pendek lagi dan perutnya
akan ambrol !
“Hayaaaa.........! Galak amat ...... .!!” seru Tiang Bu sambil
menggeser kaki miringkan muka dan dua tangannya
bergerak maju. Tahu-tahu sepasang kapak telah pindah ke
dalam tangannya tanpa si gadis tahu bagai mana cara lawan
merampasnya. Untuk sejenak Fei Lan tertegun dun berdiri
seperti patung.
"Sulap ......... ! Sihir.........!!” bisiknya, akan tetapi segera
disambungnya marah. "Hidung pesek, aku masih belum
40
kalah, belum roboh.” Cepat ia menyerang maju, kini
mempergunakan dua tangannya yang tak kalah lihainya oleh
sepasang kapak tadi. Sambaran kedua tangannya
mendatangkan angin pukulan yang cukup dahsyat dan
kiranya takkandapat ditahan oleh tukang-tukang silat
biasa.
“Aduh galaknya ...... " Dian-diam Tiang Bu mengeluh. Ia
memang tadi sengaja hanya merampas kapak, tentu saja ia
merasa sungkan untuk menjatuhkan gadis orang, apalagi
karena di antara mereka tidak ada permusuhan apa-apa.
Cepat ia melempar sepasang kapak ke kiri dan kapak itu
melayang lalu menancap di atas tanah berjajar rapi,
kemudian menghadapi serangan gadis itu dengan tenang.
Dengan langkah Sam-hoan Sam- bu. mudah saja ia
mengelak dari serangan-serangan Fei Lan yang bertubi-tubi
datangnya. Kemudian Tiang Bu membuat gerakan mengulet,
pinggangnya melengkung ke kiri, lalu dengan cepat jari
telunjuknya bekerja.
"Catt!” Dengan cepat sekali jalan darah tai-wi-hiat telah
kena ditotok dan ......... tubuh gadis itu menjadi kaku dalam
keadaan kedua tangan sedang ditarik ke belakang, dada
membusung ke depan dan kedua kaki setengah berlutut,
muka dikedikan ke depan. Benar-benar ia telah berubah
menjadi patung yang manis dan indah sekali !
"Wah-wah wah..... kali ini benar-benar kami beruntung
sekali. Tanpa melepas umpan datang ikan emas yang jarang
terdapat. Calon mantuku yang baik, kau benar-benar pantas
dibanggakan !” Penebang pohon itu tertawa bergerak-gelak
keras sekali. Tiang Bu hanya memandang dan mengerutkan
kening.
“Calon mantu kepalamu!” Diam-diam ia memaki di dalam
hati. Ayah dan anak ini benar-benar bikin hati mendongkol,
pikirnya. Ia dianggap apa sih datang-datang mau
diperlakukan sesuka mereka sendiri saja ? Dengan puas ia
melihat penebang kayu itu berkutetan dengan gadisnya,
41
ditepuk sana ditepuk sini, digosok golok sana dipijit sini
dalam usahanya membebaskan Fei Lan dari pengaruh
totokan. Ada empat macam cara pembebas tiam-hoat yang
lihai dipergunakan oleh penebang kayu itu dan ini saja
sudah menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang
memiliki banyak macam ilmu kepandaian tinggi.
Akan tetapi tetap saja ia tidak dapat menyembuhkan
puterinya ! Hal ini benar-benar di luar dugaan tukang
penebang kayu itu hingga kalau tadi ia berusaha
membebaskan totokan itu dengan masih tertawa-tawa, kini
suara ketawanya berhenti seketika dan mukanya bahkan
nampak terheran-heran.
(Bersambung jilid ke XI)
1
(PEK LUI ENG)
Karya: Asmaraman S. Kho
Ping Hoo Scan djvu :
syauqy_arr
Convert & edit : MCH
Jilid XI
“ORANG muda, kau dari perguruan mana dan tiam hoat
apakah yang kau gunakan untuk menotok Fei Lan tadi ?"
katanya lupa menyebut “mantuku" saking herannya bahwa
ia seorang tokoh besar dalam dunia persilatan, sampai tidak
becus memulihkan akibat totokan seorang pelonco seperti
bocah itu!
“Lopek, dari perguruan mana tak perlu kupamerkan, juga
tiam-hoat yang kulakukan tadi biasa saja. Kaulihat saja, aku
akan memulihkan puterimu.” Setelah berkata demikian
dengan tenang Tiang Bu menghampiri Fei Lan, tangan
kanannya meraba leher tangan ki ri mengurut punggung tiga
kali dan gadis itu sudah dapat bergerak lagi!
Penebang kayu itu makin terheran- he ran. Tadi ia sudah
melakukan gengobatan macam itu akan tetapi tidak ada
hasilnya. Bagai mana pemuda ini sekali bergerak terus
berhasil? Namun ia menjadi girang sekali karena mendapat
kenyataan bahwa pemuda itu ternyata bukan orang
sembarangan.
2
"A-Lan, bagaimana pikiranmu sekarang? Tidak betulkah
omonganku bahwa mencari jodoh baik tak boleh diukur dari
panjangnya hidung?" Diam-diam Tiang Bu makin gemas
karena sudah beberapa kali hidungnya disinggung- singgung
orang. Betul demikian pesekkah hidungnya? Tak terasa lagi
tangan kanannya diangkat ke arah hidung untuk meraba
daging menonjol di atas mulut itu.
Fe i Lan kini sudah takluk betul-betul, mengerling ke arah
Tiang Bu mengeluarkan suara ketawa tertahan, lalu dengan
penuh aksi memutar tubuh membelakangi pemuda itu,
muka ditundukkan ditutup kedua tangan dan ujung kaki
utak-utik tanah.
“Ha-ha-ha-ha! Anakku yang biasanya tabah dan berani
sekarang tak sanggup mengucapkan kata-kata di depan
calon suaminya. Ha-ha ha-ha! Orang muda, kau bahagia
sekali. Sudah seratus dua belas orang pemuda ditolak
mentah- mentah oleh anakku yang cantik dan gagah ini dan
sekarang pilihannya terjatuh kepadamu! Kau mimpi apakah
semalam? Ha. ha-ha! Anak mantuku, ketahuilah bahwa aku
bernama Lai Fu Fat berjuluk Lim-song (Raja Hutan)! Dan ini
puteri tunggalku Lai-Fei Lan. Kau benar-benar kejatuhan
bulan menjadi mantu keluarga Lai. Eh, kau tadi bernama
Tiang Bu, siapa orang tuamu, apa shemu dan kau tinggal di
mana?"
Biarpun hatinya mendongkol bukan main, Tiang Bu
masih bersikap sabar dan menjura berkata lemah. lembut.
"Lopek, harap suka maafkan aku dan sungguh menyesal
bahwa aku tak dapat menerima budi kecintaan kalian. Aku
datang jauh-jauh ke selatan ini sama sekali bukan untuk
urusan perjodohan, aku masih terlalu muda untuk itu . ... .
..”
"Ha ha- ha, malu-malu kucing. Berapa sih usiamu?"
tanya Lai Fu Fat sambil tertawa. Merah muka Tiang Bu.
Celaka, pikirnya. Orang ini benar-benar patut mendapat
3
julukan Lim-song (Raja Hutan) karena kelakuannya memang
seperti orang hutan!
"Usiaku baru lima belas tahun kurang." Ia menjawab
juga.
"Aha ! Lima belas tahun? Sudah terlalu-besar! Dulu
dalam usia empat belas tahun aku sudah menikah. Hehheh-
heh !"
"Aku jauh lebih mula diri pada anakmu!” Saking
jengkelnya Tiang Bu tak terasa lagi mengeluarkan kata-kata
ini untuk membuka mata orang bahwa dia tidak patut
menjadi jodoh Fei Lan.
“Lebih muda empat tahun. Bagus! Laki-laki memang
harus lebih muda dari isterinya, baru bisa saling mengasuh.
Selisih empat tahun bagus, bagus. Ini jodoh namanya,
selisih empat tahun namanya kaki meja, jadi kokoh kuat
tidak goyah tidak ganjil.
Tiang Bu menggigit bibirnya yang tebal. Ia marah
sekarang. "Lai-lopek, aku tidak mau menikah dengan
anakmu !”
Lim-song Lai Fu Fat yang sedang tertawa bergelak gelak
itu tiba-tiba menghentikan tawanya dan memandang kepada
Tiang Bu seakan-akan tidak percaya apa yang telah
didengarnya tadi.
"Apa kau bilang? Coba bilang satu kali lagi."
"Aku tidak mau kawin dengan anakmu!” Tiang Bu
mengulang. Lai Fu Fat melongo, juga Fei Lan memandang
dengan muka pucat ke arah pemuda itu.
"Orangmuda, apakah pikiranmu waras? Tidak gila?"
"Lopek, apakah kausengaja mau menghina aku orang
muda?'
"Hanya orang berotak miring yang akan menolak Fei Lan!
Seratus dua belas orang muda gagah-gagah dan tampan4
tampan ditolak Fei Lan, pada hal mereka mau menyembahnyembah
asal di terima menjadi suaminya. Dan kau ...... kau
si hidung pesek, Si muka monyet, kau......
menolaknya........... ?" Saking herannya Lai Fu Fat sampai
tak dapat marah. Ia benar-benar heran melihat ada orang
muda berani menolak Fei Lan! Juga gadis itu saking marah
dan merasa terhina, mulai menangis terisak-isak!
"Aku tahu bahwa aku tidak berharga, buruk rupa, miskin
dan bodoh lopek. Akan tetapi aku sama sekali tidak ingin
kawin, biar dengan puterimu sekalipun. Harap maafkan.”
Akhirnya Tiang Bu berkata, kewalahan melihat sikap mereka
itu.
“Maafkan....? Maafkan…..? Sebetulnya kau harus
mampus kalau saja aku tidak kasihan pada anakku yang
akan kehilangan kau! Kau harus menikah dengan Fei Lan.
Tidak boleh tidak. Apa kau biasa melanggar peraturan?”
Tiang Bu terheran. "Peraturan apa yang telah kulanggar?"
"Bocah gendeng, jangan kau berpura-pura, ya? Kau
sudah menerima bertanding dengan Fei Lan bahkan sudah
mengalahkannya. berarti bahwa kau telah memasuki
sayembara anakku yang hanya mau menikah dengan
mareka yang dapat mengalahkan dua kapaknya ! Bukan itu
saja, kau telah sudah menotoknya, bahkan sudah membuka
lagi totokanmu."
"Kalau demikian mengapa gerangan ?”
“Tolol! kau sudah menyentuh badannya dan tadi kau
membebaskan totokan dengan meraba-rabanya. Setelah
melakukan pelanggaran kurang ajar ini, kau masih mau
nyangkal dan tidak mau menjadi suaminya !”
Tiang Bu melongo den sampai lama tidak dapat
menjawab. "Itu… itu...... aku tidak tahu.......” ia berkata
gagap-gugup.
5
"Bagaimanapun juga, kau harus menjadi suaminya, dan
sekarang juga!" kata Lai Fat bersitegang.
“Aku tetap tak dapat menerimanya, lopek.”
“Kau menolak ?"
"Terpaksa kutolak karena aku tidak ada niatan untuk
kawin." Terdengar jerit tertahan dan Fei Lan berlari pergi
dengan kaki limbung.
"Bocah, kau telah menghina kami. Kalau aku
menggunakan kerasan, apakah kau juga masih berani
menolak?"
“Aku tetap menolak," jawab Tiang Bu penasaran.
Kembali Lai Fa Fat terheran dan ia kagum juga. "Kau
gagah dan berani, patut menjadi suami anakku. Mari kita
bertanding, kalau kau kalah, kau mau tidak mau harus
mengawini Fei Lan."
"Dan kalau kau yang kalah, kau harus menunjukkan
kepadaku di mana adanya Ban-mo-tong.” jawab Tiang Bu
menantang, sedikitpun tidak gentar.
"Bersiaplah dan keluarkan senjatamu !"
Tiang Bu berdiri tegak, sikapnya tenang, “Lopek, aku
tidak bisa menggunakan senjata, cukup dua tangan dan dua
kaki ini."
Lai Fu Fat memandang ke arah kapaknya yang besar,
lalu menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal dan berkata,
“Masa aku harus melawan kau yang bertangan kosong
dengan kapak wasiatku ? Ke mana akan kutaruh mukaku?”
"Terse rah mau lopek taruh ke mana muka itu tetap tidak
akan menggunakan senjata kecuali kaki tanganku."
Biarpun tadi bersikap dan berkata sungkan-sungkan,
kini sekali menyerang si penebang pohon yang aneh itu
ternyata menggunakan kapaknya dengan dahsyat,
melakukan serangan maut yang amat berbahaya. Kapak
6
yang besar dan lebar itu menyambar cepat me rupakan
gulungan maut yang amat berbahaya. Kapak yang besar dan
lebar itu menyambar cepat merupakan gulungan sinar
perak, berubah ubah serangannya seperti naga sakti yang
sedang memilih tempat yang baik untuk menerkam.
Alangkah jauh bedanya serangan ini dengan serangan Fai
Lan tadi, sungguhpun gadis itu tadi menggunakan dua buah
kapak. Kapak di tangan Lai Fu Fat ini benar-benar lihai
sekali dan Tiang Bu merasa sambaran angin yang dingin
mengiris kulit. Namun pemuda ini sama sekali tidak gugup.
Dan tenang sekali, tak pernah berkedip dan kedua kakinya
digeser ke kanan kiri belakang. “...........sett........... sett
..........” semua sambaran sinar kapak itu memukul angin!
Lim song Lai Fu Fat menjadi penasaran sekali. Ia
mengerahkan tenaga dan kapak melayang dengan gerakan
menyilang dan nyerong.
"Wirr ........... ! Wirr ........... ! Siuuuutt ......! Hebat
gerakan ini, kapak sampai berubah menjadi kilat
menyambar-nyambar sungguh pun hari itu tidak akan turun
hujan. Tiang Bu cepat mengelak terhadap serangan kilat
tadi, namun kapak itu sinarnya mengikuti ke manapun juga
ia mengelak, menyambar-nyambar di atas kepala dan lewat
demikian cepat dan kerasnya di atas telinga sehingga anak
muda ini mendengar suara, “ngung….ngung……” yang
menakutkan, seolah-olah kapak sudah dekat benar hendak
memancung lehernya.
Lai Fu Far melanjutkan serangan-serangannya dengan
tiga kali pukulan tadi, dan suara “wirr............. siuutt..........!”
terdengar berulang-ulang. Inilah ilmu serangan dengan
gerakan menebang batang pohon-pohon yang besar itu.
Tiang Bu terkejut sekali. Sarangan ini benar-benar hebat.
Hawa pukulan yang keluar dari tiga kali serangan ini susulmenyusul
dan makin kuat. Pantas saja pohon-pohon bes ar
itu rebah setelah tiga kali bacok, ternyata begini hebatnya
serangan itu.
7
Setelah mempelajari isi kitab suci Seng-thian-to, tanpa
disadarinya, ginkang atau ilmu ringankan tubuh dari Tiang
Bu telah meningkat tinggi sekali, juga ilmu silatnya sudah
menjadi luar biasa setelah ia mempelajari beberapa bait
sajak dalam kitab Thian-te-sinkeng. Anehnya, menghadapi
serangan tiga serangkai yang dahsyat dari penebang pohon
itu, tiba tiba saja Tiang Bu teringat akan bunyi sajak yang
telah dibacanya dalam kitab thian-te Si-keng itu. Bunyi
sajak itu seperti berikut;
Adamulia tentu ada yang hina sebagai imbangan.
Adayang tinggi tentu ada yang rendah sebagai dasar.
Sajak-sajak di dalam kitab Thian to Si- keng itu terisi
sajak-sajak pelajaran Nabi- nabi Buddha, Locu, Khong- cu
dan lain-lain. Yang teringat oleh Tiang Bu ini sebetulnya
adalah dua bait dari sajak dalam kitab To-tek-keng dari
Agama Tao. Akan tetapi, anehnya, bagi seorang yang sudah
memiliki dasar ilmu silat tinggi, isi dari pada sajak-sajak ini
merupakan tipu-tipu silat yang hebat. Demikian pula,
teringat akan bunyi sajak ini Tiang Bu segera mendapat akal
untuk mengalahkan lawannya dengan mudah. Begitu kapak
itu menyambar di atas kepala. ia tertawa, kedua tangan
bergerak menangkis dengan hawa pukulan lwe ekang ke arah
pergelangan tangan kedua kakinya bergerak dan ...... di lain
saat kapak itu telah terpental dari pegangan Lai Fu Fat dan
orang itu sendiri roboh dengan lutut lemas dan lumpuh
karena sambungan lututnya telah kena dibikin terlepas oleh
Tiang Bu!
"Aneh ...... luar biasa ....... kata Lai Fa Fat dengan nada
seperti Fei Lan ketika ia dikalahkan dan menyebut “sulap
dan sihir.” Ia benar-benar tidak tahu bagaimana ia
dikalahkan lawannya. Ini benar-benar tak masuk di akal.
Lim-ong Lai Fa Fat sudah puluhan tahun tak pernah
dikalahkan orang, jangan kata dirobohkan tanpa ia
mengetahui bagaimana caranya ! Ia mulai percaya akan
8
sangkaan Fei Lan tadi bahwa bocah ini tentu seorang ahli
sulap atau dukun sihir.
"Sicu lihai sekali. Tidak tahu sicu mencari Ban-mo-tong
ada keperluan apakah ?" tanyanya meringis menahan sakit
dan tangannya mulai memijit-mijit lutut untuk
membetulkan letak tulang yang keseleo.
"Aku hendak mencari Toat-beng Kui-bo si pemelihara
kelelawar !" jawab Tiang Bu kurang perduli, karena ia tidak
banyak mengharapkan keterangan lengkap dari orang
seperti penebang aneh ini. Akan tetapi, dami mendengar
ucapannya, Lai Fu Fat dengan susah payah berdiri dan
menjura dengan hormat.
"Aha, kiranya tamu agung dari Ban-mo-tong yang hendak
bertemu dengan Nio nio. Selamat datang, sicu. Ketahuilah
bahwa ini sudah termasuk daerah Nio-nio, akan tetapi tentu
saja aku sudah mendapat ijinnya untuk menebang pohon di
sini. Kalau sicu hendak bertemu dengan Nio-nio,
kauambillah jalan lulus ke selatan. Kurang lebih tiga puluh
li lagi kau akan bertemu dengan sebatang sungai. Nah, di
sana sicu carilah Cia Nam si nelayan yang tentu akan suka
mengantar sicu ke Ban-mo-tong. Selain Cia Nam, tak ada
orang di dunia ini yang akan dapat mengantar sicu ke sana."
Tiang Bu girang sekali. Tak disangkanya bahwa dari
penebang ini ia akan mendapat keterangan demikian jelas.
Ia menyesal telah melukai orang ini. Cepat ia me luruskan
kembali tulang-tulang kaki itu.
“Lai lopek, kau baik sekali, terima kasih katanya sambil
menjura lalu pergi dari situ.
"Hee, sicu yang gagah. Bagaimana dengan anakku ?”
penebang itu berteriak, akan tetapi Tiang Bu pura-pura
tidak mendengar melainkan mempercepat larinya menuju
selatan.
9
Ketika ia lari sejauh lima li, eh tahu-tahu Fei Lan telah
berdiri di tengah jalan, menghadangnya ! "Cici Fei Lan, kau
mau apa di sini ?"
"Tiang Bu ko-ko (kakanda Tiang Bu) tentu saja aku mau
ikut denganmu .....” jawab Fei Lan dengan suara merdu
merayu dan tersenyum manis sekali.
Tiang Bu gelagapan. "Ikut ke mana ....?”
"Ke mana saja kau pergi, aku ikut. Ke neraka sekalipun
aku suka ikut, koko yang baik..........”
Tiang Bu melongo. Wah, runyam nih, pikirnya.
Disangkanya ia telah bebas dari ayah dan anak yang aneh
itu, kiranya sekarang masih dirong-rong oleh gadis ayu ini.
"Tidak boleh, cici. Aku tidak bisa pergi membawa orang
lain. Perjalananku penuh bahaya, laginya ...... tak pantas
dilihat orang kalau seorang gadis seperti engkau ini pergi
berdua-dua saja dengan seorang laki laki...”
"Iiih, siapa bilang tidak patut ? Seorang isteri pergi
mengikuti suaminya yang terkas ih, bagaimana tidak patut?"
sahut Fei Lan sambil mengerling.
“Isteri siapa suami mana? Jangan main-main, tidak ada
suami di sini. Aku tak pernah mengambil kau sebagai
isteriku!”
"Akan tetapi aku sudah menyerahkan jiwa-raga menjadi
isterimu, koko...........” Fei Lan merayu dan melingkah dekat.
"Gila........... ! Tidak, aku tidak mau. Sudah, aku pergi
..........! Tiang Bu melompat melewati gadis itu.
"Koko, aku bunuh diri .........!”
Tiang Bu cepat menggunakan gerakan berjungkir balik
dalam lompatannya ketika melihat betapa gadis itu betulbetul
mengangkat kapak dibacokkan ke arah leher sendiri !
Cepat gerakan Tiang Bu ini. Biarpun tubuhnya di udara,
berkat ginkang dan lweekangnya yang tinggi ia dapat
10
memutar balik tubuhnya dan sekali tangannya terayun
memukul, hawa pukulan yang dahsyat telah memukul atau
mendorong tangan Fei Lan, membuat kapak itu terlepas dan
tubuh gadis itu terhuyung-huyung.
"Fei Lan, apa kau sudah gila ?" tegur Tiang Bu, marah
sekali sambil berdiri bertolak pinggang di depan gadis itu.
"Kalau aku jadi gilapun, kau yang berdosa." jawab Fei
Lan bersungut-sungut sambil mendekati pemuda itu.
“Cici Fei Lan, kaudengarlah omonganku baik-baik. Aku
masih kanak-kanak, aku belum suka menikah, bahkan aku
sama sekali tidak ada pikiran tentang jodoh. Kau
be rsabarlah, dalam urusan perjodohan, mana boleh
dilakukan paksaan ? Tunggu sampai lima tahun lagi, kalau
aku sudah berusia dua puluh tahun nah, nanti kita
bicarakan lagi. Sementara jangan kauganggu aku kau boleh
mencari calon suami lain.”
“Kalau kau menolak, aku akan bunuh diri saja," kembali
Fei Lan mengancam.
"Aduh, kau ini terlalu sakali. Siapa yang menolak? Aku
hanya minta tempo. Sekarang aku masih terlalu kecil. Lima
tahun lagi baru kita bicara tentang jodoh. Bagaimana? Kalau
kau tidak menerima usul ini masa bodoh, kau boleh berbuat
sesukamu aku takkan menghalangimu lagi. Akan tetapi
kalau kau bunuh diri, jangan arwahmu nant i menganggap
aku sama sekali tidak memberi kelonggaran dan
kesempatan. Aku bukan menolak hanya minta waktu untuk
ke lak berunding lagi.”
Wajah Fei Lan yang tadinya merengut itu kini tersenyum
kembali.
"Begitukah? Sebetulnya ..... sekarang lebih baik ...... akan
tatapi biarlah, asal kau tidak berbohong. Biarlah sebagai
tanda mata agar kau tidak lupa kelak, kaubawa ini. ...... "
Gadis itu merogoh balik bajunya dan keluarlah sehelai
saputangan berwarna merah muda yang
11
harum."Kausimpanlah, koko ...... " Akan tetapi tiba-tiba
gadis itu mengebutkan saputangan merah muda itu dan bau
yang harum luar biasa memasuki hidung Tiang Bu. Bau
wangi ini begitu kerasnya sampai terasa menjalar ke dahi
pemuda itu. Tiang Bu meramkan matanya, kepalanya terasa
pening akan tetapi hanya sebentar saja. Ketika ia membuka
mata........... aneh bin ajaib........... gadis di depannya itu
telah be rubah sama sekali dalam pandang matanya.
Kalau tadinya Fei Lan merupakan gadis yang cantik
manis, sekarang gadis itu berubah menjadi seorang yang
cantik jelita seperti bidadari Kayangan, ayu tiada
bandingannya dan menggairahkan. Anehnya, Tiang Bu
merasai sesuatu berdebar-debar dalam dadanya, merasai
gejolak hati yang selama hidupnya be lum pernah ia alami. Ia
merasa ada nafsu binatang yang amat panas menguasai hati
dan pikirannya, membuat darahnya mendidih, dan senyum
Fei Lan seakan-akan merupakan lambaian dan tantangan.
Nafsu jahat dalam dirinya mendorong-dorongnya agar ia
menubruk dan memeluk gadis jelita di depannya itu.
Namun, Tiang Bu telah menjadi murid orang-orang sakti.
Biarpun ia marasai adanya nafsu iblis yang entah dari mana
datangnya menguasai hatinya, namun nuraninya masih
bekerja kuat. Dan dia telah mempelajari kitab Seng-thian-to,
maka cepat ia meramkan mata mengerahkan seluruh
perasaan dan tenaga batinnya untuk menyelidiki diri sendiri.
Ke tika ia memeriksa keadaan pernapasannya maka dengan
kaget tahulah ia bahwa hawa kotor penuh keharuman yang
mempengaruhi peredaran darah, membuat darah menjadi
cepat jalannya.
Ketika ia meneliti perjalanan darahnya untuk mengetahui
dari mana datangnya itu, ia menjadi lebih kaget karena ia
dapat merasai bahwa nafsu itu memang sudah ada dalam
darahnya! Hanya biasanya tidak bangkit dan baru sekarang
nafsu itu memberontak setelah "dibangunkan" oleh hawa
yang harum dari luar, dan setelah memberontak demikian
12
hebatnya hendak mempengaruhi jiwa raganya, Tiang Bu
cepat menggunakan hawa murni untuk menekan semua
gelombang ini dan dengan khikangnya yang tinggi ia dapat
“menangkap" dan “mengumpulkan" semua hawa yang
mengandung keharuman beracun yang disedotnya tadi.
Setelah tenang, ia membuka matanya dan baru sekarang ia
melihat bahwa gadis itu kini telah merangkul lehernya dan
menyandarkan kepala dengan rambut harum semerbak di
atas dadanya sambil matanya meram melek.
"Tarima kembali racunmu ...... !" Tiang Bu be rbisik dan
dengan pengerahan khikang ia meniupkan hawa harum
yang memabukkan tadi seluruhnya ke arah muka gadis yang
berada dekat dengan mukanya.
Fei Lan gelagapan seperti kepalanya dibenamkan ke
dalam air, Tanpa dapat ia cegah lagi ia telah kena hisap
hawa yang harum, yang keluar dari mulut dan hidung Tiang
Bu, hawa harum yang tadinya berasal dari sapu tangan
merahnya! Gadis itu terhuyung huyung, lalu roboh di atas
tanah. Mukanya marah sekali, matanya berkilat-kilat dan
dengan penuh nafsu sepetti seekor binatang liar ia
menubruk Tiang Bu.
'Koko ...... .!" Akan tetapi Tiang Bu telah melompat pe rgi,
meninggalkan gadis itu yang kini menjadi korban dari
racunnya sendiri. Beberapa lama kemudian, Lai Fu Fat si
penebang pohon mendapatkan puterinya itu dalam keadaan
menyedihkan. Pakaiannya robek-robek menjadi setengah
telanjang, mulutnya mengingau tidak karuan dan tubuhnya
panas sekali.
-oo(mch)oo-
Tiang Bu beberapa kali bergidik dan me rasa ngeri kalau
ia teringat akan pengalamannya yang amat berbahaya tadi.
Kalau diingat-ingat, ia menganggap pengalamannya dengan
Fei Lan tadi yang paling berbahaya mengerikan dari pada
13
semua peristiwa yang pernah ia alami. Terutama sekali yang
membuat ia gelisah dan ketakutan adalah keinsyafannya
bahwa di dalam dirinya sebenarnya hidup semacam nafsu
iblis yang seakan-akan naga jahat sedang tidur di dasar
hatinya untuk sewaktu-waktu bangkit dan mengamuk
apabila batinnya terganggu dan lemah.
Nafsu ini te rletak di dalam darahnya. Warisan keturunan
.....? Dengan ngeri hati Tiang Bu makin tekun melatih diri
dengan samadhi seperti yang diajarkan dalam kitab suci Se
thian-to agar hawa murni dalam dirinya menjadi kuat betul
untuk melawan naga jahat dalam diri itu dan menjaga agar
jangan sampai naga itu bangkit !
Karena ia tidak ingin tersusul oleh Lai Fu Fat dan Lai Fei
Lan, Tiang Bu berlari cepat sekali sehingga tak lama
kemudian sampai ia di sungai seperti yang dituturkan oleh
Lai Fu Fat tadi. Sungai itu cukup lebar, airnya jernih dan
alirannya tenang menuju ke selatan. Karena tidak melihat
seorangpun manusia dan tidak melihat sebuahpun perahu
di situ, Tiang Bu melanjutkan perjalanannya mengikuti
aliran air sungai ke selatan.
Kurang lebih lima li ia mengikuti sungai, sampailah ia di
sebuah dusun yang subur sekali tanahnya. Dari jauh sudah
terlihat,perahu-perahu tukang ikan hilir mudik membawa
muatan ikan seperahu penuh. Wajah orang-orang nampak
gembira, rumah-rumah nampak bagus biarpun sederhana
dan orang-orang yang berada di desa itu gemuk-gemuk dan
be rpakaian utuh. Ini semua menjadi bukti bahwa dusun ini
tentu merupakan dusun makmur dan murah sandang
pangan.
Karena hari sudah mulai gelap, Tiang Bu mencari rumah
penginapan. Akan tetapi alangkah kecewanya ketika
mendapat keterangan bahwa di dusun itu tidak ada rumah
penginapan. Lebih baik kucari nelayan yang bernama Cia
Nam itu, pikirnya, dan aku dapat bermalam di rumahnya.
14
Segera ia kembali lagi ke tepi sungai di mana tadi ia melihat
banyak perahu diikat di situ.
la melihat beberapa orang nelayan sibuk membongkari
muatan dari perahu-perahu mereka. Ada yang menurunkan
barang dagangan para pedagang yang mengangkut dagangan
dari lain kota melalui sungai itu, ada yang menurunkan
ikan-ikan hasil menjala dan mancing. Di tepi sungai banyak
pula yang membetulkan jala yang robek, ada yang duduk
bergerombol mengelilingi api unggun sambiI be rcakap-cakap
dan ada pula yang duduk seorang diri termenung di tepi
sungai. Tiang Bu menghampiri segerombolan orang yang
tengah bercakap-cakap itu. Mereka ini adalah nelayannelayan
yang kasar, bermuka kehitaman karena setiap hari
mandi cahaya matahari yang panas terlihat dengan kerut
merut dalam dalam pada muka mereka sebagai tanda bahwa
mereka tidak asing dengan pengalaman pengalaman sukar
dan hebat.
"Maaf, saudara-saudara sekalian kalau mengganggu, aku
hendak mencari orang nama Cia Nam si nelayan. Apakah dia
berada di sini ?"
Orang-orang itu tertarik akan langgam bicara Tiang Bu
yang berbeda dengan orang selatan, akan tetapi ketika
mendengar bahwa pemuda ini mencari Cia Nam, mereka
membuang muka. Seorang nelayan tua berkata padanya.
"Sungguh aku tidak tahu apa keperluan mencari Cia
Nam, orang muda. Akan tetapi kalau kau mencari si gila itu,
nah, tuh di sana ia sedang melenggut." Telunjuknya
ditudingkan ke arah gelap.
Tiang Bu menoleh, akan tetapi tidak melihat sesuatu di
dalam gelap hanya ia tahu bahwa yang dituding itu adalah
sungai. Akan tetapi melibat sikap mereka seperti tidak
senang ketika ia menanyakan Cia Nam. Tiang Bu tidak mau
be rtanya lagi mengucapkan terima kasih lalu pergi ke arah
yang ditunjuk oleh nelayan tua tadi. Ia menyusuri pantai
sungai dan akhirnya di tempat sunyi ia melihat seorang laki15
laki bertopi caping lebar tengah jongkok di atas sebuah
perahu kecil yang buttut. Di ujung atau kepala perahu itu
dipasangi sebuah lampu teng yang tidak berapa terang
namun cukup memperlihatkan lantai perahu yang selalu
basah seperti telah bocor. Orang itu seorang laki-laki, sukar
ditaksir usianya karena mukanya berada di bagian yang
gelap, sedang menongkrong sambil memegangi ujung
tangkai pancing dari bambu.
"Sahabat yang di atas perahu ! Apakah kau kenal orang
be rnama Cia Nam dan di mana tempat tinggalnya, lahukah
kau?” seru Tiang Bu dari pinggir sungai.
Orang itu tertawa mengikik tanpa menoleh, lalu be rkata,
"Setan she Cia itu adalah iblis penjaga sungai dan rumahnya
di dasar sungai ini!" Ia melanjutkan pekerjaannya
memancing tanpa menoleh sama sekali. "Loncat saja ke air,
tentu kau akan bertemu dengan dia!'
Tiang Bu mendongkol sekali. Akan tetapi ia juga girang
karena boleh jadi orang itu sendirilah Cia Nam. Kalau tidak,
mana ada orang begitu keterlaluan mempermainkannya ?
Kalau Cia Nam sendiri, mungkin, karena jarang yang
diperkenalkan oleh seorang aneh seperti penebang kayu itu,
tentulah seorang aneh pula. Berpikir demikian, ia lalu
berkata,
“Aku mau bertemu dengan dia !" dan lompatlah ia ke
arah perahu kecil yang jauhnya ada tiga tombak dari
daratan itu. Tentu saja amat mudah bagi Tiang Bu untuk
melompat hanya tiga tombak jauhnya. Akan tetapi aneh
sekali, tiba-tiba perahu itu meluncur pergi seperti didorong
atau didayung padahal orang itu masih tetap nongkrong dan
tdak melakukan sesuatu.
Hampir saja Tiang Bu celaka. Siapa orangnya yang
takkan bingung kalau sedang melompat ke perahu, lalu
perahunya itu berpindah tempat ? Orang lain tidak akan
ampun lagi pasti akan tercebur ke dalam sungai. Akan tetapi
Tiang Bu dapat menggerakkan kedua kaki dan tangannya
16
sehingga tubuhnya yang sudah menurun itu terpental
kembali keatas dan s ecepat kilat ia telah menutulkan kaki di
atas geladak peruhu.
"Berbahaya sekali ..........!” katanya perlahan. Kemudian
ia berkata kepada orang itu keras-keras. “He, sobat,
mengapa kau main-main seperti itu ? Kalau aku tercebur ke
dalam sungai bukankah berbahaya sekali ? Aku tidak bisa
berenang, tahu !”
Sebagai jawaban, orang itu menyambar lampu teng di
kepala perahu kemudian dengan tubuh masih berjongkok,
kedua kakinya mengembat dan ..... perahu itu miring dan
terbalik ! Akan tetapi dia sendiri tetap nongkrong, kini di
atas punggung perahunya yang sudah terbalik. Tiang Bu
juga tetap melompat ke atas, kagetnya bukan kepalang.
Baiknya ia tadi melihat gerakan orang itu dan menirunya
sehingga ketika perahu sudah terbalik, iapun dapat turun
dan tetap berdiri di punggung perahu !
'Eh, eh, kau ini apa-apaan ?” Tiang Bu menegur. Kini
terlihat olehnya bahwa orang itu adalah seorang pendek
kecil yang rambutnya sudah putih, seorang kakek berusia
kurang lebih lima puluh tahun. Akan tetapi matanya
berkedap-kedip dan jelalatan, kelihatannya nakal sekali.
“Bukankah kau mau bertemu dengan iblis sungai di
dasar sungai ? Hi-hi -hi.. !"
"Cia-lopek, jangan kau main- main. Aku benar-benar
ingin sekali bertemu denganmu, dan aku mencarimu, atas
pemberitahuan lopek Lai Fu Fat si penebang pohon."
Kakek itu memandang penuh perhatian. Ia menurunkan
lampunya didekatkan ke depan sambil berkata, "Duduklah !"
Tiang Bu lalu berjongkok seperti kakek itu di atas perahu
yang terbalik dan lampu berada di tengah-tengah mereka.
Benar-benar pertemuan yang aneh! Bercakap-cakap di atas
perahu terbalik yang terapung-apung di sungai terbawa
perlahan oleh aliran sungai itu.
17
“Kau mau apa mencari Cia Nam ?” tanya kakek itu
sambil tertawa mengejek dan tiba-tiba saja Tiang Bu dapat
menduga mengapa kakek ini agaknya tidak disuka oleh para
nelayan. Tentu disamping kepandaiannya yang tinggi, kakek
ini adalah seorang tua yang be rwatak nakal seperti bocah
bengal, suka mengganggu dan menggoda orang.
"Aku hendak memohon pertolonganmu mengantarkanku
ke Ban-mo-tong!" Jawab Tiang Bu singkat. Kakek itu
mengangkat alisnya. "Aku hendak bertemu dengan Toat beng
Kui-bo !” sambung Tiang Bu. Kakek itu kini mengerutkan
keningnya.
"Apa kau gila?" tanyanya. Tiang Bu mendongkol. Benarbenar
di selatan ini banyak orang pandai, akan tetapi hampir
semua otaknya miring!
“Kalau aku gila, apa aku melayanimu mengobrol di atas
perahu terbalik?” jawab
Tiang Bu.
“Hem, kau betul, kau
betul! Apa kau bosan
hidup?"
"Tidak! Yang sudah
tua dan kesepian masih
belum bosan, bagaimana
aku yang muda sudah
bosan? Aku mohon kau
sudi mengantarku bes ok
pagi, aku akan berterima
kasih sekali.”
"Sekarang kita pergi!"
kata kakek itu tiba-tiba
dan sekali ia mengenjotenjot
kakinya, perahu itu
kembali miring dan
membalik. Seperti tadi, keduanya menggunakan sinkang.
18
melompat ke atas dan turun kembali setelah perahu terbalik
seperti sedia kala.
"Mangapa sekarang? Begini gelap?"
"Takut apa? Kalau mau sekarang, kalau tidak mau kau
boleh melompat ke dalam air! Akan tetapi kakek itu telah
mendayung perahunya cepat sekali ke tengah sungai
sehingga Tiang Bu harus menutup mulut karena tak
mungkin ia me lompat ke darat, apalagi dalam keadaan yang
gelap itu. Kakek itu melepaskan dayungnya dan perahu
terbawa arus sungai. Lampu kedua yang sama tuanya
dengan yang pertama, dinyalakan oleh kakek itu.
"Kalau aku perlu membalikkan perahu, kau harus
memegangi lampu kedua ini,” pesannya.
"Mengapa perahu harus dibalikkan?" tanya Tiang Bu,
ngeri juga karena kalau perahu terus tenggelam. bukankah
berabe?
"Sudah bocor, menguras sukar, lebih mudah dibalikkan
agar airnya keluar semua!” Orang aneh, pikir Tiang Bu. Akan
tetapi di lain saat ia sudah tidak sempat berpikir lagi karena
kini kakek itu mendayung perahunya yang meluncur cepat
bukan main ke depan, menerjang malam gelap, sehingga
Tiang Bu yang tabah merasa ngeri juga. Bagaimana kalau
terbalik ? ia merasa bahwa kali ini nyawanya berada di
dalam kenggaman kakek gila ini.
Entah berapa lama perahu itu meluncur cepat sekali.
Tahu-tahu bulan sudah muncul dan nampak pemandangan
yang menyeramkan di kanan kiri sungai. Tebing sungai
sekarang bukan merupakan tanah daratan yang datar
ditumbuhi rumput dan tanaman lain, melainkan merupakan
batu-batu karang yang berbaris menyeramkan seperti
barisan raksasa hitam yang meme gang senjata-senjata tajam
besar, seperti mulut naga siap mencaplok kurban yang
berani mendekat.
19
"Heh-heh.heh. inilah Ban-mo-tong (Gua-gua Selaksa
Iblis). Kau mendaratlah di sini, aku harus kembali!” Kakek
nelayan itu mendayung perahunya ke pinggir, akan tetapi
tidak berani mepet, hanya dalam jarak dua tombak dari
batu-batu karang itu. "Melompatlah ke pinggir!”
Tiang Bu ragu-ragu. Di tengah malam buta ia harus
mendarat di tempat seperti itu. masih baik kalau memang ini
tempat yang dicari -cari, bagaimana kalau bukan ?
"Betulkah di sini Ban mo tong ?" tanyanya.
"Kau tidak percaya kepada Cia Nam berarti tidak percaya
kepada dirimu sendiri ! Lihat! Kakek itu menudingkan
te lunjuknya dan Tiang Bu me lihat bayangan-bayangan
hitam berterbangan di atas batu-batu karang. ltulah
bayangan-bayangan kelelawar yang terbang membunyikan
sayap memukul tubuh. Mengerikan sekali.
Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara aneh dan tahutahu
perahunya miring tenagelam ! Tiang Bu kaget sekali,
menotol kaki di geladak perahu sambil menggenjot tubuh
mengerahkan ginkangnya, melompat ke atas batu karang
terdekat. Ketika ia menoleh. ia melihat perahu benar-benar
tenggelam dan dua lampunya padam ! Akan te tapi tak lama
kemudian muncul lagi perahu itu di tengah sungai dan
kakek itupun muncul di atas perahunya sambil tertawa-tawa
cekikikan. Tiang Bu mendongkol juga. Kakek itu benarbenar
nakal sekali. nakal dan berbahaya. Kalau ia tidak
memiliki ginkang yang cukup tinggi. bukankah ia akan
mampus di tengah sungai?
Mendadak kakek itu mengeluarkan seruan kaget dan
ketakutan. “Nlo-nio ...... ampun. aku........... ampun...........
aku akan segera pergi …..... harap suka panggil kembali
ini.......... ini." Ia menggerak-gerakkan dayungnya di atas
kepala untuk melindungi kepalanya yang disambari oleh tiga
ekor kelelawar hitam. Me lihat sikap kakek itu yang amat
ke takutan, Tiang Bu dapat menduga bahwa binatangbinatang
itu tentulah amat berbahaya, kalau tidak demikian,
20
masa seorang yang lihai seperti kakek itu sampai ketakutan
? Biarpun kakek itu nakal, namun harus di akui bahwa ia
telah ditolong olehnya diantarkan ke tempat yang dicarinya.
Tiang Bu meraba ke pinggir badannya dan me remas ujung
batu karang di dekatnya. Kemudian ia mengayun tangannya
ke depan menyambit ke arah tiga ekor kelelawar yang
kemudian jatuh ke atas sungai, mati !
"Orang muda, kau baik sekali. Akan tetapi hati-hatilah,
kau sudah membunuh binatang peliharaan Nio-nio........... "
kata kakek itu yang cepat-cepat mendayung perahunya
melawan arus sungai. Bangkai tiga ekor kelelawar itu hanyut
terbawa arus, kepala mereka pecah terkena sambitan Tiang
Bu.
Karena malam hanya diterangi bulan sepotong dan
tempat itu penuh batu karang, amat berbahaya kalau orang
sampai terpeleset ke bawah. Tiang Bu tidak berani pergi dari
tempat iru. Ia malah memilih tempat yang rata antara batubatu
karang di mana ia duduk bersila menanti datangnya
pagi. Mudah-mudahan aku dapat bertemu dengan Toat-beng
Kui-bo dan Wan Sin Hong di tempat ini, pikirnya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, begitu terang
tanah, Tiang Bu meninggalkan barisan batu karang di
pinggir sungai itu mulai menjelajah daerah yang benar-benar
liar ini. Daerah baru karang ini amat luas dan di mana-mana
terdapal gua-gua yang besar. Memang tidak sampai laksaan
banyaknya seperti namanya, akan tetapi lebih dari se ratus
buah gua yang besar-besar. Apakah orang-orang yang
dicarinya tinggal di dalam gua-gua itu? Apa ia harus
memeriksa ke dalam gua satu demi satu? Tiang Bu berjalan
memeriksa keadaan disitu dan mendapat kenyataan bahwa
di antara bukit -bukit batu karang terdapat pula tanah-tanah
datar yang tak berapa luas dan pohon-pohon yang aneh
bentuknya.
Selagi ia longak-longok tak tahu harus mulai mencari
bagian mana, tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat
21
sekali gerakannya tiba-tiba di depannya telah berdiri seorang
laki-laki gagah perkasa dan tampak gagang pedang nampak
tersembul dari balik pundanya. Laki-laki itu berdiri tegak di
dekatnya, memandang tajam penuh selidik.
*Wan-siok-siok (Paman Wan)..........” seru Tiang Bu
dengan girang sekali melihat bahwa laki-laki itu bukan lain
adalah Wan Sin Hong, orang yang dicari-carinya.
Orang itu memang benar Wan Sin Hong yang dahulu dari
Omei-san terus mengejar Toat-beng Kui-bo untuk minta
kembali isterinya. Akan tetapi Toat-beng Kui-bo lebih tepat
larinya dan meninggalkan Wan Sin Hong setelah memesan
supaya mencarinya di Ban-mo-tong. Ketika Wan Sing Hong
menyusul ke Ban-mo-tong, ia mendapatkan Li Hwa isterinya
itu telah menjadi murid Toat-beng Kui-bo dan Li Hwa
memaksa suaminya supaya tinggal di Ban mo tong. Tentu
saja Sin Hong tidak senang mendengar ini.
"Kau sungguh aneh,” te gurnya kepada isterinya, "dalam
hal ilmu silat saja, mengapa harus belajar dari Toat-beng
Kui-bo. Benar-benar aku tidak mengerti."
Sambil menundukkan mukanya Li Hwa berkata lirih.
"Be tapapun juga .......... aku tak dapat meninggalkan dia
seorang diri di sini ..... sudah menjadi kewajibanku untuk
mengawaninya sampai dia meninggal dunia...”
"Hwa- moi........... ! Mengapa demikian?” Sin Hong
terheran-heran.
“Dia ..... dia itu ibuku,.....” akhirnya Li Hwa membuat
pengakuan yang amat mengejutkan hati Sin Hong. Maka
berceritalah Li Hwa apa yang ia dengar dari Toat-beng Kuibo,
bahwa duhulu Hoat beng Kui bo setelah melahirkan dia.
menitipkan Li Hwa yang masih orok itu kepada Pat-jiu Nionio
yang menjadi adik s eperguruannya, Toat-beng Kui-bo
melakukan hal ini karena merasa malu mempunyai anak
yang tidak berayah! Demikianlah ketika bertemu di lereng
Omei -san. Toat-beng Kui-bo bertemu kembali dengan
22
puterinya yang mula-mula ia kenal secara kebetulan saja.
Tadinya Toat beng Kui-bo hanya hendak menolong Li Hwa
diri tangan Liok Kong Ji, akan tetapi kemudian ia melihat
Cheng-liong-kiam maka terbukalah rahas ia bahwa nyonya
muda yang cantik ini sesungguhnya adalah puterinya sendiri
yang dulu ia titipkan kepada sumoinya, Pat-jiu Nio nio!
Mendengar penuturan ini, Sin Hong menjadi terharu dan
menghela napas. Tak disangkanya bahwa isterinya akan
bertemu dengan ibunya yang ternyata seperti iblis itu. Diamdiam
ia masih menyangsikan kebenaran cerita Toat beng
Kui-bo ini, akan tetapi ia tidak banyak membantah dan oleh
karena hatinya sendiri sudah menjadi dingin terhadap
penghidupan di dunia kaug-ouw yang selalu ribut, ia
meluluskan keinginan isterinya untuk tinggal di Ban-motong
agar Li Hwa selalu dekat dengan "Ibunya" dan dapat
melayaninya sambil belajar ilmu silat dari Toat -beng Kui-bo
yang lihai.
Demikianlah, dapat dibayangkan betapa kaget dan
herannya hati Sin Hong ketika di pagi hari itu ia melihat
Tiang Bu terkeliaran di daerah berbahaya ini.
"Tiang Bu, bagaimana kau bisa sampai ke-sini dan...........
ada keperluan apakah kau datang di tempat berhahaya ini?”
tegurnya.
Tiang Bu tersenyum dan memandang wajah Sin Hong
yang tampan itu. "Wan siokhu, aku sengaja datang di Banmo
to untuk mencarimu dan mencari siluman tua Toat beng
Kui-bo,"
"Kau mencari Toat beng Kui bo ada urusan apakah ?"
Melihat Wan Sin Hong mengerutkan kening nampak
tidak senang. Tiang Bu menjawab terus-terang, “Wan sioksiok,
ketika terjadi keributan di puncak 0mei-san, Toat beng
Kui bo juga mencuri sebuah kitab. Aku datang untuk minta
kembali kitab itu, memenuhi perintah suhu."
23
Diam-diam ia memuji kesetiaan bocah ini dan
keberaniannya. “Dan kau mencari aku ada keperluan apa?'
tanyanya, wajahnya agak berubah kalau ia teringat akan
peristiwa di puncak Omei-san di mana bocah ini bertemu
dengan Liok Kong Ji.
"Aku sengaja mencarimu untuk bertanya tentang
keadaan diriku, siok-siok. Ceritakan padaku sejujurnya
tentang hubunganku dengan Liok Kong Ji yang mengaku
sebagai ayahku itu!" Ketika mengeluarkan kata-kata ini,
Tiang Bu bersikap keras dan jelas nampak dari suara dan
sinar matanya bahwa apapun yang akan terjadi, ia berkukuh
menghendaki dipecahnya rahasia ini, kalau perlu ia akan
memaksa Sin Hong dengan kekerasan !
Sin Hong tersenyum pahit. Alangkah beraninya bocah ini!
Pertama-tama ingin merampas kembali sebuah kitab dari
tangan Toat-beng Kui-bo, satu hal yang kiranya tak akan
berani seorang tokoh kang-ouw kenamaaa melakukannya.
Kedua kalinya hendak memaksanya melakukan sesuatu.
Akan tetapi, perlu bocah ini diuji, pikir Sin Hong. Dia hendak
menemui Toat.beng Kui-bo, hal yang amat berbahaya. Baik
kulihat sampai di mana kepandaiannya. Kalau dia belum
pandai menjaga diri harus dihalangi niatnya bertemu dengan
Kui-bo mengantar nyawa dengan sia-s ia.
"Tiang Bu, dulu sudah kukatakan bahwa aku tidak bisa
menceritakan hal itu kepadamu. Menyesal sekali!” Suara Sin
Hong benar-benar mengandung penyesalan, akan tetapi juga
tegas. Memang pendekar ini tidak ingin membuka rahasia
anak ini yang akan merendahkan nama ibunya?
“Wan siot-siok!” Mata Tiang Bu bersinar-sinar mengeluarkan
api, mengingatkan Sin Hong akan mata Liok Kong
Ji. "Kau harus menceritakannya kepadaku, biarpun untuk
itu harus kupaksa!"
"Tiang Bu bocah lancang, belum pernah ada orang
mampu memaksa Wan Sin Hong, apalagi engkau !"
24
“Kau orang tua minta dihajar!" Tiang Bu menjerit dan ia
menggerakkan tubuh menyerang Sin Hong.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Sin Hong ketika
merasa betapa angin pukulan yang keluar dari tangan bocah
ini luar biasa sekali panas dan antepnya! Namun ia adalah
seorang pendekar yang memiliki kepandaian tinggi dan
pengalaman luas, maka cepat mengelak, tidak berani
menangkis tangan bocah yang ternyata memiliki tenaga aneh
ini. Tiang Bu mendesak terus dan pukulan pukulan yang ia
lancarkan, makin lama membuat Sin Hong makin terkejut
dan heran. Biarpun ia memiliki Ilmu Silat Pak -kek Sin-kun
yang lihai namun pukulan pukulan bertubi-tubi dari bocah
itu menghalangi semua jalannya, membuat ia terdesak. Dan
hebatnya, ia tidak mengenal ilmu pukulan yang
dipergunakan Tiang Bu itu.
Kadang-kadang Tiang Bu memukul, kadang-kadang
menggampar atau menusuk dengan jari-jari tangan terbuka
dan gerakan-gerakannya seperti orang menulis huruf.
Sekelebat seperti ilmu silat huruf yang pernah dipelajari dari
Luliang Siucai, akan tetapi ini lebih hebat lagi. Bocah ini
menyerang dengan gerakan seenaknya saja, tanpa tergesagesa
seakan-akan Tiang Bu sudah dapat menduga atau
sudah tahu ke mana Sin Hong hendak mengelak, karena
selalu tubuh Sin Hong dalam mengelak dipapak oleh
serangan lain!
Sin Hong dari heran terkejut menjadi penasaran. Ia
melompat ke sana ke mari, dan menghindarkan diri dari
pukulan, lalu mencoba untuk membalas. Namun ia
mengalami keanehan luar biasa. Begitu Tiang Bu percepat
gerakan-gerakannya, Sin Hong kehabisan pintu, sama sekali
tak melihat lowongan untuk dapat membalas. Jangankan
membalas serangan, baru melindungi diri saja sudah sukar
bukan main.
“Wan siok-siok, apakah kau masih be lum mau membuka
rahasia itu?” Tiang Bu bertanya sambil terus menyerang,
25
kini mempergunakan gerakan-gerakan yang ia "temukan"
dalam sajak-sajak kitab Thian-te Si-keng.
“Hayaaa ...........!’ Tak terasa Sin Hong berseru sambil
melompat ketika tangan kanan Tiang Bu yang terbuka
dipukulkan secara sembarangan saja ke arah dadanya dan
telah menyerempet pundaknya. Bocah ini yang menyerang
sembarangan saja masih sambil bicara lagi, telah berhasil
mengenai pundaknya. Benar luar biasa.
"Sratt. ...... !!" Di lain saat , berbareng dengan
berkelebatnya sinar menyilaukan mata tangan kanan Sin
Hong sudah memegang Pak-sin-kiam pcdang pusaka
peninggalan Pak kek Siansu !
"Lebih baik kau bunuh aku dari pada menutup rahasia
itu !" seru Tiang Bu, sedikitpun tidak gentar biarpun silau
melihat pedang pusaka yang hebat ini. Ia masih terus
mendesak maju dan kini kcdua kakinya berdiri di atas ujung
jari jarinya dan mengerahkan ginkangnya yang paling tinggi.
Hebat sekali pemuda cilik ini. Dia tiba-tiba saja menjadi
begitu ringan gerakannya seolah-olah bersayap! Diam-diam
Sin Hong menjadi makin kagum. Biarpun pendekar ini
sudah mencabut Pak-kek Sin-kiam, pedang pusaka yang
jarang sekali ia pergunakan kalau tidak amat terpaksa,
namun mana ia mempunyai niat membunuh Tiang Bu?
Ia hanya ingin menguji kepandaian pemuda ini dan
biarpun tadi ia sudah mendapat kenyataan bahwa dengan
tangan kosong. Ia sendiri tidak dapat menangkan Tiang Bu,
namun hatinya masih belum puas. Sin Hong maklum akan
ke lihaian dan berbahayanya Toat-beng Kui-bo yang memiliki
kepandaian lebih tinggi dari padanya sendiri, maka kini ia
ingin menguji Tiang Bu dengan senjata tajam.
Siapa kira bahwa pemuda itu melanjutkan serangannya
dengan tangan kosong ! Tentu saja Sin Hong merasa enggan
menghadapi se orang pemuda cilik bertangan kosong
sedangkan ia menggunakan Pak-kek Sin kiam, maka
berkata:
26
"Tiang Bu, kalau kau memang hendak memamerkan
kepandaian, keluarkan senjatamu!”
"Aku tidak ingin pamer, hanya ingin kau menceritakan
riwayatku, Wan-siok-siok. Orang bilang kau seorang
pendekar budiman, mengapa dalam hal ini kau begitu
kukuh? kau tidak kasihan kepadaku ?”
Sin Hong sudah amat kagum akan kepandaian Tiang Bu,
maka merasa kepalang kalau tidak menguji terus. Ia
menggerakkan pedangnya dan berkata, "Awas, lihat pokiam
!"
Kepandaian yang paling diandalkan oleh Sin Hong adalah
ilmu pedangnya. Memang ilmu pedangnya, Pak-kek Kiamsut,
adalah ilmu pedang yang luar biasa sekali dan ia
menjagoi di dunia kang-ouw. Belum pernah ada ahli pedang
lain yang berani menyatakan ilmu pedangnya dapat melebihi
Pak-kek Kiam-sut. Begitu Sin Hong menggerakkan
pedangnya, sinar pedang bergulung-gulung mengurung
tubuh Tiang Bu.
Namun Tiang Bu yang sudab siap, cepat bergerak
menurutkan jurus jurus mujijat dari Sam-hoan-sam-bu,
tubuhnya menjadi seakan-akan bulu ringannya dan dapat
mengelak sebelum pedang lawan menyambar, seakan-akan
hawa pukulan pedang sudah lebih dulu mendorongnya
menyingkir dari sabetan mata pedang. Betapapun hebatnya
ilmu mengelak ini, Namun Tiang Bu masih hijau dalam
pengalaman pertempuran dan Ilmu Pedang Pak-kek Kiamsut
memang betul-betul luar biasa sekali sehingga pemuda
ini sekarang menjadi terkurung sinar pedang dan sama
sekali tidak mendapat kesempatan membalas. Ini
disebabkan ia hanya mengandalkan pertahanan diri dengan
jalan mengelak karena untuk menangkis ia tidak berani. Ia
maklum akan ketajaman dan keampuhan Pak-kek Sin-kiam
maka tidak mau mengambil resiko buntung lengan. Setelah
terdesak hebat, baru ia teringat akan pesan suhunya bahwa
kalau terpaksa sekali ia boleh mempergunakan benda apa
27
saja yang dekat dengan dia untuk menjaga diri. Dilihatnya
sebatang ranting kayu kering tak jauh dari situ. Cepat ia
menggeser kedudukannya ke tempat itu dan lain saat ia
telah menjemput ranting ini terus melakukan perlawan
hebat.
“Trangg........... ! Tranggg............!” Berkali-kali pedang
Pak-kek Sin-kiam berbunyi nyaring ketika bertemu dengan
ranting dan Sin Hong menjadi pucat. Baru kali ini seumur
hidupnya ia mengalami hal yang luar biasa ini. Sebatang
ranting kayu kering kuat menahan pedangnya, padahal
senjata-senjata berat jago-jago silat lain tidak akan kuat
menahan dan pasti akan terbabat putus. Bukan hanya kuat
menahan, bahkan dari ranting itu menjalar tenaga yang
melalui pedangnya terus menghantam telapak tangannya
dengan getaran di dahsyat.
Ia merasa lweekangnya terpukul dan tergetar. Hebat
sekali, pikirnya. Sin-kang yang sudah kumiliki ditambah
latihan lm-kang dan Yang-kang bertahun-tahun, masa kalah
kuat oleh tenaga boc ah ini ? Juga ia mengalami hal yang
mengagetkan. Ilmu Pedang Pak kek Kiam-sut sudah
merupakan raja ilmu pedang dan setiap getaran membuat
ujung pedangnya tergeser pecah menjadi tujuh yang
langsung menyerang jalan darah lawan di tujuh bagian.
Tentu saja hanya mendiang Pak Kek Siansu yang sudah
sanggup menggetarkan pedang menjadi tujuh bagian, akan
tetapi Sin Hong sudah mencapai tingkat tinggi dan dalam
kedudukan yang tidak terlalu terdesak ia dapat
mengeluarkan pedangnya menjadi enam. Namun anehnya,
bocah yang memegang ranting ini, biarpun ilmu silat yang
dimainkan itu jelas sekali bukan ilmu pedang melainkan
ilmu pukulan biasa yang dimainkan dengan biasa yang
dimainkan dengan bantuan ranting, ternyata sudah dapat
menggetarkan ranting itu menjadi enam pula, sehingga
semua serangan Pak-kek Sin-kiam gagal.
28
Saking penasaran dan dalam niatnya mangadu tenaga
lweekang. Sin Hong mengeluarkan seruan keras dan tibatiba
pedang dan ranting bertemu di udara, saling menempel
tak dapat dilepaskan lagi. Sin Hong mempergunakan
lweekang dan mengerahkan tenaga menyedot sehingga
ranting lawan tak dapat terlepas dari pedangnya, kemudian
ia mulai mengerahkan tenaga melalui pedang untuk
menyerang. Kalau ia sudah dapat memaksa pemuda
melepaskan rantingnya. itu berarti tenaga lweekangnya
masih menang setingkat!
Biarpun Tiang Bu belum pernah mengalami pertempuran
mati-matian dan hebat seperti sekarang ini dan tidak tahu
apa maksud dari Sin Hong namun tubuhnya yang sudah
te risi tenaga sinkang yang ia warisi dari dua orang suhunya,
secara otomalis telah merasai datangnya serangan dahsyat
dari lawan dan otomatis tenaga sinkang di badannya
mengalir keluar melalui ranting untuk menahan gelombang
serangan lawan. Dua
tenaga raksasa bertemu,
saling dorong, kadangkadang
Tiang Bu terdorong
sehingga tenagatenaga
itu bergerak di
dalam rantingnya
membuat ranting itu
be rgerak keras.
Akan tetapi secara
mendadak kadang-kadang
arus tenaga itu
membalik dan Sin Hong
yang terdesak hebat
sampai tenaga itu saling
dorong di dalam pedangnya,
membuat pedang
Pak-kek Sin-kiam tergetar
dan mengeluarkan
29
suara mengaung !
Tenaga sinkang dari Sin Hong sudah tinggi dan hebat.
Biarpun Tiang Bu telah mewarisi sinkang dari dua orang
gurunya namun karena belum dapat mempergunakannya
secara sempurna, ia tentu akan kalah oleh Sin Hong, kalau
saja tidak secara kebetulan bocah ini mempelajari kitab Seng
thian-to dalam perjalanannya. Di luar pengetahuannya
sendiri, tenaga sinkang di tubuhnya telah melonjak tinggi
tingkatnya ke tika ia mulai melatih s amadhi menurut
petunjuk kitab suci itu. Demikianlah, dalam pertandingan
adu tenaga lweekang ini, Sin Hong sama sekali tidak dapat
mendesak Tiang Bu. Setiap kali ia mengerahkan tenaga
mendesak, selalu tenaganya mental kembali. Akan tetapi,
juga Tiang Bu tidak dapat mendesak oleh karena memang
pemuda ini belum pandai betul mempergunakan lweekang
untuk menyerang lawan.
Pada saat itu, terdengar suara sayap memukul dibarengi
suara ce cuwitan di atas kepala. Dua ekor, kelelawar
menyambar Tiang Bu.
"Hushh........... jangan ........... !. seru Sin Hong dan tibatiba
tubuhnya terpental ke belakang terhuyung-huyung dan
ia muntahkan darah segar. Saking cemasnya melihat Tiang
Bu diserang dua ekor kelelawar berbisa, Sin Hong sampai
lupa diri dan tadi mengeluarkan suara mengusir binatangbinatang
itu. Padahal dalam pertandingan lweekang di mana
menghadapi lawan yang sama kuatnya sehingga ia perlu
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, bicara merupakan
pantangan keras. Begitu ia terkejut dan terguncang hatinya
ia mengeluarkan suara, tenaganya membalik dan memukul
diri sendiri membuat ia terpental dan memuntahkan darah
karena di dalam dadanya mergalami guncangan pukulan
yang mendatangkan luka.
Sementara itu, Tiang Bu yang tadinya juga mencurahkan
seluruh perhatian kepada lawannya, menjadi gugup ketika
tahu-tahu dua titik hitam menyambar ke arahnya dengan
30
tepat sekali. Baiknya Sin Hong sudah terpental mundur
sehingga ia bebas. Akan tetapi saking lamanya ia mengadu
tenaga tadi, tangan kanannya yang memegang ranting
sampai terasa kaku dan kesemutan. Maka ia cepat
mengangkat tangan kiri menyampok kelelawar yang
menyerang kepalanya.
"Plak !” KeIelawar itu terlempar dan kepalanya remuk.
Ke lelawar ke dua sudah tiba dan tanpa dapat dicegah lagi
menggigit leher Tiang Bu sebelah kiri. Akan tetapi, juga
kelelawar ini begitu menggigit. tubuhnya berkelojotan dan
terlempar ke bawah terus mati ! Kiranya tenaga sin-kang di
tubuh Tiang Bu ketika tadi dikerahkan, masih bekerja keras
dan begitu ada yang menggigit leher, otamatis tenaga itu
mengalir ke lehe r menyerang lelelawar tadi.
Sin Hong melihat betapa kelelawar itu menggigit leher
Tiang Bu. ia menjadi kaget sekali.
"Celaka ...... !" teriaknya dia cepat melompat ke dekat
Tiang Bu tanpa memperdulikan lukanya sendiri. Tiang Bu
hanya merasa lehernya tertusuk dan gatal sekali, hidungnya
mencium hawa busuk yang memuakkan. Biarpun ia belum
berpengalaman, namun sikap Sin Hong dan bau busuk itu
menimbulkan dugaan Tiang Bu bahwa kele lawar ini tentu
bcrbisa. Cepat ia meramkan mata dan mengarahkan
kekuatan batinnya seperti yang pernah dilatihnya dari kitab
Seng-thian-to. Di lain saat ia roboh pingsan !
Wan Sin Hong adalah seorang yang tidak s aja memiliki
ilmu silat tinggi dan ilmu pedang nomor satu, akan tetapi ia
juga terkenal bagai ahli pengobatan yang jempolan sehingga
beberapa orang kang-ouw yang pernah ditolongnya diamdiam
memberi julukan Yok-ong (Raja Obat) kepadanya.
Sebagai ahli waris kitab pengobatan dari Kwa-siucai ahli
segala racun, tentu saja begitu melihat kelelawar peliharaan
Toat-beng Kui bo di tempat itu Sin Hong lantas tahu bahwa
kelelawar itu adalah sejenis binatang yang amat berbisa.
31
Kelalawar pantai laut selatan ini sekali menggigit orang
sukar diobati lagi.
Bahkan setelah meneliti keadaan bisa kelelawar ini
puluhan hari lamanya, Sin Hong hanya sanggup mengobati
racun gigitan binatang itu asal saja racun belum menjalar ke
jantung orang yang digigit. Hal ini hanya bisa terjadi apabila
orang yang digigit segera mendapat pertolongannya, akan
tetapi tempat yang digigit itu jauh dari jantung, karena
racun yang jahat ini agak lambat jalannya. Sekarang Tiang
Bu digigit di lehernya, dekat jalan darah, dalam beberapa
detik saja tentu racun telah menjalar ke jantung dan tak
mungkin diobati pula! Maka dengan sedih Sin Hong cepat
berlutut memeriksa keadaan luka pemuda itu setelah agak
merasa heran mengapa kelelawar yang menggigit itu mati
mendadak.
Untuk ketiga kalinya, Sin Hong terkejut dan terheranheran
lalu kagum setelah ia mameriksa leher yang terkena
gigitan kelelawar itu. Pertama kali ia kaget menyaksikan
ilmu silat tangan kosong dari Tiang Bu yang terang jauh
mengatasinya, kedua kalinya ia terperanjat menghadapi
tenapa sinkang dari pemuda itu luar biasa sekali. Kini untuk
ketiga kalinya ia kaget bukan main menyaksikan hal yang
aneh sekali. Tiang Bu pingsan bukan karena gigitan
kelelawar, akan tetapi pingsan yang aneh, jalan darahnya
terhenti sama sekali akan tetapi napasnya masih be rjalan
perlahan-lahan.
Hebatnya, racun kelelawar yang jelas kelihatan hitam itu
berkumpul dan diam di bawah kulit leher, tidak bergerakgerak
dan tidak menjalar ke mana-mana karena semua
peredaran darah pemuda itu berhenti seperti tubuh yang
sudah tidak bernyawa lagi! Akan tetapi jelas pemuda itu
masih hidup karena napasnya masih keluar masuk, hanya
detak jantungnya berhenti !
Sin Hong tidak membuang banyak waktu lagi. Cepat ia
mengeluarkan jarum peraknya dan menusuki luka di leher
32
itu menge luarkan semua racun hitam dengan amat mudah
karena hanya berkumpul di bawah kulit. Sambil bekerja ia
mengingat-ingat akan penuturan gurunya dahulu, Pak Kek
Siansu tentang ilmu batin yang gaib seperti Ilmu sihir, yakni
dalam keadaan hidup mematikan raga. Dengan ilmu inilah
orang dapat me lakukan segala hal aneh seperti menusuk
lidah dengan pisau, menusuk dada dengan pedang,
menginjak api, dan lain-lain tanpa merasa sakit dan tanpa
berpengaruh apa-apa oleh keadaan raga. Apakah pemuda ini
sudah memiliki kepandaian semacam itu? Akan tetapi tidak
mungkin kalau ini main sihir, karena pemuda itu pingsan.
Setelah selesai mengeluarkan semua racun dan selagi ia
hendak mencekoki Tiang Bu dengan pel merah obat
kuatnya, tiba-tiba Tiang Bu siuman, meraba lehernya yang
sudah di tutup koyo (obat tempel), lalu berkata,
"Terima kasih atas pertolongan Wan siok-siok." Sin Hong
melongo. Ia tidak tahu bahwa sebenarnya tadi Tiang Bu
telah melakukan ilmu yang ia dapat dari kitab Seng-thian-to.
Biarpun ia pingsan tak dapat bergerak karena seluruh
peredaran darahnya ia "suruh" berhenti, namun ia masih
sadar. Inilah kehebatan ilmu "menguasai" peredaran darah
dan jalanan napas dan hawa dalam tubuh!
“Kau...... kau hebat sekali, Tiang Bu…..”, kata Sin Hong
dalam hatinya takluk betul. Kini ia boleh melepas anak ini
menemui Toat-beng Kui-bo dengan hati tenang karena
percaya penuh bahwa kepardaian pemuda cilik ini sudah
cukup tinggi untuk menghadapi nyonya besar majikan
daerah Bin-mo-tong ini.
"Wan siok-siok, kiranya sekarang kau tak-kan begitu
pelit untuk membuka rahasiaku. Siapakah ayah bundaku
sesungguhnya dan mengapa sejak kecil aku menjadi anak
ayah bundaku di Kim bun-to ?”
Sin Hong menjadi serba salah. Terbayang olehnya segala
peristiwa di waktu dahulu (baca Pedang Penakluk Iblis). Ia
sudah berjanji takkan membuka rahasia itu yang akibatnya
33
hanya akan memalukan Tiang Bu sendiri dan berarti pula
mendatangkan kecemaran bagi nama baik Nyonya Pangeran
Wanyen Ci Lun. Pula Sin Hong maklum betapa bencinya
nyonya itu, Gak Soan Li, kepada anaknya keturunan Liok
Kong Ji. Kalau ia membuka rahasia Tiang Bu, bukanlah itu
sama halnva dengan mendatangkan malapetaka bagi me reka
semua ? Sin Hong menjadi bingung betul dan tak dapat
menjawab. Tiba-tiba bintang penolong datang, berupa
isterinya sendiri.
"Eh, Tiang Bu ! Kau di sini..........” teguran ini keluar dari
mulut Li Hwa yang muncul dari balik batu-batu karang.
Tiang Bu menengok dan melihat Hui-eng Niocu masih cantik
dan lincah seperti dulu, hanya kini agak lambat gerakannya
dan nampak lesu. Tentu saja pemuda ini tidak tahu bahwa
itu adalah tanda-tanda seorang wanita sedang mengandung.
Segera ia memberi hormat kepada Siok Li Hwa.
Melihat munculnya Li Hwa, Sin Hong mendapatkan
kembali ketenangannya dan berkata kepada Tiang Bu.
"Tiang Bu, kalau hendak bertemu dengan Toat.beng Kui
bo pergilah ke sana dulu. Kau ambillah jalan ini terus ke
selatan, sampai di pinggir laut kau belok ke kanan melalui
bukit batu-batu karang yang amat sukar. Di sana terdapat
tujuh gua-gua besar. Nah, kau masuki gua-gua itu satu
demi satu dan di salah satu antara tujuh gua itu kau tentu
akan menjumpai orang tua itu. Kalau sudah selesai
urusanmu dengan beliau, kau datanglah ke sini, nanti aku
akan memberi jawaban atas pertanyaanmu tadi." Dengan
kata-kata ini selain untuk memberi petunjuk tentang jalan
menuju ke tempat tinggal Toat-beng Kui-bo, juga Sin Hong
"minta tempo" untuk berunding lebih dulu dengan isterinya.
Tiang Bu girang sekali. Tidak saja untuk petunjuk jalan
mencari Toat-beng Kui-bo, akan tetapi juga karena janji Sin
Hong. Ia percaya akan kata-kata pendekar itu. maka ia cepat
menghaturkan terima kasih, lalu menjura kepada Li Hwa
lalu melompat berlari cepat ke selatan.
34
Dalamsekejap mata saja ia lenyap darI pandangan mata.
Sin Hong menarik napas panjang. "Luar biasa sekali,
anak itu kelak akan menjadi jago yang tiada taranya. Kalau
saja watak buruk ayahnya tidak menurun
kepadanya...........” Ia lalu menceritakan semua peristiwa
yang ia alami tadi kepada isterinya. Dengan terus terang ia
akui sekarang saja kepandaian Tiang Bu sudah melampaui
kepandaiannya, apalagi kelak beberapa tahun lagi kalau
Tiang Bu sudah dewasa benar-benar dan sudah banyak
pengalaman.
"Aku bingung bagaimana harus menjawabnya," ia
menutup penuturannya.
"Mengapa mesti bingung. suamiku? Ceritakan saja
kepadanya, bahwa dia bukan putera Hong Kin dan Hui Lian,
melainkan putera Soso Li dan Kong Ji."
“Ah, tak mungkin aku sekejam itu. Kau tahu apa yang
akan terjadi kalau aku buka rahasia itu, Hwa-moi. Anak itu
akan terpukul batinnya, Soan Li akan tercemar namanya
dan kalau ibu dan anak itu dipertemukan, aku khawatir
akan terjadi hal-hal hebat dan mengerikan."
Li Ilwa maklum akan maksud kata-kata suaminya. Dia
memang sudah mendengar semua tentang peristiwa itu dan
tahu betapa bencinya Soan Li kepada anak kandung
keturunan Kong Ji. "Akan tetapi, lebih tidak baik lagi
menutupi kenyataan. Kulihat Tiang Bu bukan anak bodoh
dan akhirnya ia tentu akan tahu juga."
"Akan tetapi aku sudah bersumpah tak membuka
rahasia Soan Li........... “
"Kalau begitu mudah saja, diatur supaya dia mendengar
dari orang lain. Lebih baik diatur begini saja ...... " Isterinya
yang cerdik ini lalu memberi petunjuk-petunjuk kepada
suaminya. Sin Hong mengangguk-angguk setuju.
-oo(mch)oo35
Kata-kata Sin Hong ketika memberi petunjuk kepada
Tiang Bu tentang tempat kediaman Toat-beng Kui-bo
memang betul. Setelah Tiang Bu sampai di tepi laut dan
membelok ke karan, ia benar-benar menghadapi perjalanan
yang amat sukar. Bukit batu karang yang mendoyong di
sepanjang pantai laut itu nampak menyeramkan dan bukan
tempat manusia. Pantas saja disebut Ban-mo-tong (Gua
Selaksa Iblis) karena memang banya iblis dan siluman saja
yang patut tinggal di daerah ini. Perjalanan ke gua-gua yang
disebutkan oleh Sin Hong bukan perjalanan mudah dan
hanya orang-orang berkepandaian tinggi saja dapat lewat di
sini. Jalan menanjak atau menurun selalu melalui ujungujung
batu karang yang tajam meruncing. Jalan di atas
batu-batu karang ini tanpa pengerahan ginkang yang tinggi,
akibatnya tentu sepatu hancur dan telapak kaki luka-luka.
Dari jauh sudah nampak tujuh buah gua menghitam
seperti mulut -mulut siluman raksasa terbuka dengan gigigigi
runting monongol dari bawah dan bergantungan di atas
gigi-gigi runcing batu karang pula. Tentu saja Tiang Bu tidak
tahu di dalam guha yang mana di antara tujuh buah itu
adanya orang yang dicarinya, maka terpaksa ia mencari dari
guha pertama. Perjalanan yang amat sukar.
Gua itu kosong, hanya ada beberapa ekor kelelawar
menyambar keluar, akan tetapi se gera menjauhi Tiang Bu
ketika pemuda ini menyampok dongan pengerahan hawa
pukulan yang cukup akan dapat mematikan binatangbinatang
itu kalau berani mendekat. Te rpaksa turun lagi dan
perjalanan dari gua pertama ke gua kedua lebih sukar lagi.
Kembali kosong!
Tiang Bu benar-benar diuji kesabarannya atau agaknya
Toat beng Kui-bo sengaja mempermainkan anak muda ini
karena setelah ia buang waktu setengah hari, bersusahpayah
merayap dari gua ke gua sampai gua ke enam
ternyata semua gua yang didatangi Tiang Bu kosong !
36
Hari telah mulai senja ketika Tiang Bu tanpa mengenal
lelah mendaki naik ke bukit gua ke tujuh. Dari jauh sudah
nampak titik-titik hitam, yang ternyata adalah kelelawarkelelawar
hitam kelelawar-kelelawar berbisa yang terbang
tinggi di atas kepala Tiang Bu berkelil ing seakan-akan
pengintai-pengintai yang pandai. Diam-diam Tiang Bu ngeri
juga melihat ada kelelawar yang amat besar. Panjang dari
ujung sayap kiri ke ujung sayap kanan tidak kurang dari
sedepa dan besar badan binatang itu seperti anjing kecil.
Akan tetapi binatang-binatang ini tidak menyerang, maka
Tiang Bu juga bersikap tenang saja me lanjutkan
perjalanannya di atas batu-batu karang yang runcing itu,
memegang sana meraba sini. Telapak tangan dan kakinya
sudah mulai pedas-pedas.
Akhirnya ia sampai di mulut gua dan pertama-tama yang
menyambutnya adalab asap putih yang harum dari dupa
wangi yang dibakar orang di dalam gua! Ia merayap terus
dan...... benar s aja, di dalam gua itu duduk bersila
menghadapi dupa terbakar dan dikelilingi oleh "hulubalanghulubalangnya"
yaitu kelelawar-kele lawar besar yang
sayapnya hitam berbintik-bintik. Toat-beng Kui-bo
memandang ke arahnya dengan tersenyum mengerikan!
Nenek ini tertawa tanpa mengeluarkan suara, kemudian
ketika ia mengangkat tangannya yang penuh kuku panjang
ke depan, baru suara ketawanya terdengar, cekikikan seperti
suara iblis tertawa.
“Hi -hi -hi-hi, kau bocah murid hwesio malas di Omei-san !
Besar sekali nyalimu, datang dan menjenguk ke semua guaguaku.
Hi-hi-hi -hik, kalau bukan murid Omei-san aku suka
mempunyai murid setabah ini .......!” Kata-kata sambutan ini
melegakan hati Tiang Bu, karena tadinya ia mengira bahwa
begitu bertemu ia tentu akan diserang mati -matian oleh
nenek biang iblis ini. Ia sudah siap sedia dan diam-diam ia
juga tidak berani memandang ringan kepada nenek tokoh
dunia selatan ini.
37
"Locianpwe, harap maafkan kalau aku yang muda
berlaku lancang, datang menghadap tanpa dipanggil,"
katanya hormat.
“Hi-hi -hi-hi, dasar murid gundul gendeng. Bersopansopan
menjemukan!” Nenek itu mengambil babakan kayu
harum dan mengawurkannya di atas pedupaan. As ap baru
putih tebal bergulung-gulung naik dan bau harum
memenuhi gua yang buruk dan kotor itu. "Orang muda, kau
datang ada apakah? Apa tidak cukup bertemu dengan anak
mantuku di luar sana?"
"Aku sengaja datang mencari locianpwe untuk minta
kembali kitab Omei-san yang dulu terbawa ke sini." Tiang Bu
masih berlaku sabar dan menghindar kata-kata tuduhan
mencuri.
"Kalau aku tidak mau mengembalikannya kepadamu,
bagaimana?” Sepasang mata itu liar menyapu keluar gua
dan dua ekor kelelawar datang dari luar, sedangkan yang
berada di dalam menggelepar-teleparkan sayap.
"Kalau demikian, terpaksa aku yang muda berlaku
kurang ajar dan mohon dilanjutkan pibu di puncak Omeisan
dahulu. Aku bersedia mengorbankan nyawa untuk
memenuhi tugas ini mengumpulkan kembali kitab kitab
Omei -san yang tercuri."
“Hi hi hi! Kau luar biasa sekali. Hebat. Setua ini baru
sekarang ini aku mengalami ditantang oleh seorang bocah
masih ingusan! Benar-benar besar sekali nyalinya. Bocah
siapa namamu?”
"Namaku Tiang Bu." jawab pemuda singkat.
"Tidak pakai she (ke turunan)?"
Tiang Bu menggeleng kepala. "Lupa lagi siapa she ku!"
Nenek itu tertawa cekikikan, suara ketawanya aneh
sekali, ada nada marah ada juga nada menangis. Binatangbinatang
kelelawar di dekatnya beterbangan tidak menentu
38
di atas kepalanya, agaknya merekapun bingung mendengar
suara ketawa ini dan tidak tahu me reka diperintah apa.
“Masih kecil kau sudah memiliki watak aneh," kata Toatbeng
Kui-bo, kemudian ia nampak sungguh-sungguh ketika
terkata lagi, "Tiang Bu, karena kau mewakili dua orang
gundul Omei-san yang sudah tewas, baik aku mengaku
terus terang bahwa dalam keributan itu, aku
menyelamatkan sebuah kitab dari tangan pencuri itu. Akan
te tapi setelah kulihat, kitab ini ternyata cocok sekali untuk
seorang tua bangka yang penuh dosa seperti aku, sama
sekali tidak ada artinya bagi seorang bocah seperti engkau.
Kitab ini dapat berjasa bes ar sekali untuktu dan karenanya
akan kupelajari untuk bekal mati. Kau tidak boleh minta
kembali."
Mana Tiang Bu mau percaya? Kalau kitab tidak berarti,
mana nenek ini mau mengambilnya dan menahannya ?
Tentu kitab pelajaran ilmu silat yang tinggi. Kedua orang
suhunya pernah menyatakan kepadanya bahwa kalau kitabkitab
pelajaran ilmu silat tinggi terjatuh ke dalam tangan
orang jahat, maka akan me rupakan hal yang berbahaya
sekali, dan harus dihalangi. Lebih baik kitab pelajaran itu
dibakar dari pada terjatuh ke dalam tangan orang jahat.
Karena selain hal itu berarti akan memperkuat kedudukan
orang-orang jahat, juga kelak dapat mencemarkan nama
baik dua orang hwesio Omei -san itu, bahkan dapat
mencemarkan nama besar Tat Mo Couwsu dan Hoat Hian
Couwsu dua orang guru besar itu.
"Kalau begitu, terpaksa aku minta pelajaran dari
locianpwe," kata Tiang Bu menantang dengan sikap tenang.
Kembali ia bersiap sedia menghadapi serangan mendadak
dari nenek itu. Akan tetapi aneh, nenek itu menghela napas
dan tidak berbuat apa-apa, lalu berkata pe rlahan,
"Aku sudah pernah mencoba kepandaianmu di 0mei-san.
Ilmu silatmu tinggi dan sinkangmu hebat. Tidak kepalang
dua orang kakek gundul mengambilmu sebagai murid. Akan
39
tetapi jangan kira aku masih kurang akal dan kepandaian
untuk membunuhmu. Mudah bagiku untuk membunuhmu,
apalagi kau berada di sini. Hemm, soalnya ........... semenjak
membaca kitab itu, aku tidak mau lagi membunuh manuaia
tanpa dosa. Dan kau anak baik........... aku tidak mau
menambah dosa"
“Locianpwe, memang akupun tidak suka berkelahi,
apalagi dengan locianpwe yang berilmu tinggi. Akan tetapi
kitab itu diambil dari Omei-san dan aku sudah menerima
pes an suhu agar mengambil kembali semua kitab-kitab itu."
"Dan selanjutnya? Akan kauapakan kitab-kitab itu?"
“Selanjutnya terserah kepadaku. akan tetapi sudah pasti
kitab-kitab itu takkan terjatuh ke dalam tangan orang-orang
jahat ."
"Ha, kau menggolongkan aku manusia jahat ? Memang
tidak salah. Aku jahat, lebih jahat dari pada kelelawarkelelawar
berbisa ini. Aku tadinya tidak perduli, tidak takut
hukuman neraka. Tidak tahunya semua itu ada hukuman
timbal baliknya dan semua perbuatanku merupakan
tamparan bagiku sendiri. Ah, bocah bernyali besar, tahukah
kau bahwa kalau aku belum membaca kitab yang kauminta
itu, pada saat ini kau tentu sudah menggeletak mampus dan
darah serta dagingmu menjadi umpan kelelawarkelelawarku?"
"Aku tidak takut mati, locianpwe. Lebih baik mati
menjalankan tugas dari pada hidup melihat kitab dipelajari
orang lain dan kelak kepandaian dari kitab dipergunakan
untuk perbuatan jahat."
“Ha, kau memang hebat. Apa kaukira kitab itu kitab
pelajaran ilmu silat Tiang Bu, kalau itu kitab pelajaran silat,
mana aku sudi menyimpannya ? Semua ilmu silatku boleh
kutukar cuma-cuma dengan pelajaran dari kitab itu. Kau
tidak percaya ? Apa kau mau berjanji bahwa kalau ki tab itu
40
bukan pe lajaran silat kau mau meminjamkan atau
memberikan kepadaku?”
Tiang Bu berpikir sejenak. Dua orang suhunya adalah
hwesio-hwesio yang alim dan suci. Sangat boleh jadi di
antara sekian banyaknya kitab-kitab itu, terdapat kitab-suci
yang tidak ada hubungannya dengan ilmu silat, melainkan
kitab pelajaran ilmu batin agar manusia dapat mencari
kebenaran sejati. Kalau betul kitab itu hanya pe lajaran
agama atau kebatinan dan dapat "menyembuhka Toat-beng
Kui-bo dari kejahatannya, bukankah akan berjasa baik dan
apa salahnya dipinjamkan ?
"Baik. locianpwe. Aku berjanji bahwa setelah melihat
kitab itu dan mendapat kenyataan hanya kitab pelajaran
berhubungan dengan kebatinan dan tidak ada hubungannya
dengan ilmu silat atau ilmu kegagahan lain, kitab itu boleh
kupinjamkan kepada locianpwe untuk sepuluh tahun
lamanya.
Nenek itu tertawa cekikikan. "Kau memang bocah pintar
dan berhati baik. Nah, kau periksalah kitab ini !” Sambil
berkata demikian, Toat-beng Kui-bo mengeluarkan sebuah
kitab yang sampulnya kuning dan melemparkan kitab itu ke
arah Tiang Bu. Pemuda ini segera menerimanya dan cepat
membalik-balik lembaran kitab itu di bawah penerangan
matahari yang sudah menyuram. Pada halaman pertama ia
melihat judul kitab itu ditulis dengan huruf-huruf besar.
DELAPAN JALAN UTAMA
Di bawah huruf-huruf besar ini tertulis dengan hurufhuruf
kecil. Sari pelajaran dari Yang Mulia Ji lai hud untuk
membebaskan diri dari Siksa Dunia.
Tiang Bu mengerutkan kening. Melihat nama Tiong Jin
Hwesio di ujung bawah sampul dan melihat tulisan- tulisan
kecil itu, tidak salah lagi bahwa kitab ini memang kitab
suhunya. Dan melihat bunyi judul dan penjelasannya, tidak
dapat disangsikan lagi bahwa ini tentu kitab pe lajaran yang
41
menjadi kitab suci dari Agama Budha, mengandung
semacam pelajaran kebatinan. Ia masih kurang puas, dan
membuka-buka halaman selanjutnya.
Dengan pandang matanya yang tajam ia mencari-cari
namun tak dapat menemukan sebuah kalimatpun yang
menulis tentang ilmu silat. Ia melihat kalimat-kalimat yang
tak dimengertinya seperti: "Hanya ada Delapan Jalan Utama,
Empat Kebenaran Mulia, kebajikan yang utama adalah
Bebas Nafsu, manusia utama adalah dia yang dapat melihat
pelajaran ini". Di bagian lain dari kitab itu Tiang Bu
membaca kalimat-kalimat yang berbunyi: "Segala yang
tercipta akan musnah. Segala yang tercipta mendatangkan
duka nestapa dan sakit. Segala bentuk itu tidak aseli dan
palsu adanya”. Dan banyak kaIimat -kalimat lain yang tidak
begitu jelas baginya, akan te tapi yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan ilmu silat.
(Bersambung jilid ke XII)
1
(PEK LUI ENG)
Karya: Asmaraman S. Kho
Ping Hoo Scan djvu :
syauqy_arr
Convert & edit : MCH
Jilid XII
SETELAH membalik-balik lembaran kitab itu beberapa
lama sampai halaman terakhir, Tiang Bu melangkah maju
dan memberikan kitab itu kepada Toat -beng Kui-bo sambil
berkata, 'Memang kitab ini lebih cocok untuk ciampwe,
biarlah locianpwe pinjamsampai sepuluh tahun'
Toat-beng Kui.bo tertawa cekikikan. "Sepuluh tahun lagi
kau masih muda, belum patut membaca ini. Tunggu sampai
kau tua, aku kembalikan kitab ini padamu, Tiang Bu.”
Tiang Bu yang tidak terlalu memperhatikan kitab seperti
itu, menganggap kata-kata ini hanya main main saja. maka
iapun tidak mau banyak membantah.
"Mudah mudahan dengan kitab ini locianpwe akan
mendapatkan jalan utama yang bersih, maafkan aku telah
mengganggu waktu locianpwe yang berharga." Setelah
berkata demikian, Tiang Bu mengundurkan diri dan keluar
dari gua itu. Ia harus berlari cepat kalau tidak mau
kemalaman di daerah berbahaya ini. Berkat ginkangnya
yang luar biasa, ia berhasil tiba di tempat ia bertemu dengan
Sin Hong tadi, tepat pada saat malam tiba dan gelap
2
menyelimuti bumi. Ketika ia tengah mencari -cari sambil
menengok ke sana-sini tiba-tiba muncul Sin Hong.
"Kau sudah kembali? Cepat amat! Apa kau sudah
bertemu dengan Toat-beng Kui-bo?" Tiang Bu mengangguk.
"Dan kau tidak apa-apa? Apakah kitab itu sudah
kauminta?"
Tiang Bu menggeleng kepala. "Kitab itu ternyata kitab
pelajaran menyucikan hati sungguh sebuah kitab yang tepat
untuk Toat beng Kui-bo. Aku sudah meminjamkannya
padanya agar ia baca untuk bekal menghadapi alam baka."
Sin Hong terkejut dan menghela napas berulang-ulang.
"Mudah-mudahan benar begitu. Tiang Bu malam telah
tiba. Mari kau bermalam di pondokku, besok kau baru
melanjutkan perjalanan. Kita bisa bercakap-cakap."
Tiang Bu mengangguk, lalu mengikuti Sin Hong. Ternyata
Sin Hong dan isterinya telah membangun sebuah pondok
sederhana, di tepi sungai. Kedatangan Tiang Bu disambut
oleh Li Hwa dengan gembira. Tadinya diam-diam Li Hwa
merasa gelisah juga mendengar bahwa pemuda itu
menghadap "Ibunya" dan merasa khawatir kalau-kalau sikap
Tiang Bu yang polos dan berani itu akan memarahkan hati
Toat-beng Kui -bo. Akan tetapi ternyata pemuda ini malah
meminjamkan kitab Omei-san itu kepada Toat-beng Kui -bo
dan bahkan sedikitpun pertempuran tidak terjadi di gua-gua
menyeramkan itu.
Malam hari itu Tiang Bu bercakap-cakap dengan Wan Sin
Hoag. Baru sekarang ia mengenal kepribadian Wan Sin Hong
dan Tiang Bu menjadi kagum sekali. Kata-kata yang keluar
dari mulut pendekar besar ini membuat Tiang Bu merasa
malu kepada diri sendiri dan ia me rasa manyesal sekali atas
sikapnya yang sudah-sudah terhadap Sin Hong, s ikap kasar
dan kurang ajar.
3
"Tiang Bu, kau harus tahu bahwa bukan sekali-kali aku
sengaja menyimpan rahasiamu karena maksud buruk.
Ketahuilah, bahwa aku telah berjanji bahwa hal ini akan
kurahasiakan. Janji seorang laki-laki harus dipegang teguh
dan diikat dengan nyawa. Janji baru bisa putus kalau nyawa
juga putus. Di samping ini semua, aku tidak me lihat sesuatu
kebaikan dalam pembukaan rahasia ini. Masa depanmu
amat suram-muram apabila kau tetap hendak mengetahui
rahasia itu. Kau harus tahu bahwa semenjak kecil, semenjak
kau baru lahir, kau rudah dipelihara oleh ayah bundamu
yang sekarang di Kim bun-to, dan kau tentu mengerti pula
bahwa ayah bundamu itu mencintaimu seperti kepada
putera sendiri. Oleh karena itu, apa perlunya kau berkukuh
hendak mengetahui rahasia itu?”
"Wan siok-siok, memang betul apa yang kauucapkan itu.
Ayah dan ibu di Kim-bun-to penuh kasih sayang kepadaku
dan hal ini ku akui. Selamanya akupun akan menganggap
mereka sebagai ayah bunda sendiri. Akan tetapi ...... tentang
orang she Liok itu....., ingin mendengar ceritanya bagaimana
dia mengaku sebagai ayahku, dan lebih hebat lagi.....
mengapa pula Wan-siok-siok membenarkan pengakuannya
itu. Aku penasaran dan hidupku selanjutnya akan tersiksa
hebat apabila siok-siok tidak menjelaskan, siapakah
sebenarnya ayah bundaku dan mengapa semenjak kecil aku
ditinggalkan di Kim-bun-to."
Sin Hong menarik napas panjang dan menggeleng
kepalanya. "Aku tidak dapat membuka rahasia itu, Tiang
Bu."
"Tiang Hu," kata Li Hwa dengan suara halus. "pamanmu
adalah seorang laki-laki sejati. Dalam rahasia riwayatmu itu
te rselip hal-hal yang amat berbelit-belit, dan menceritakan
satu harus menceritakan dua dan sekali membuka rahasia
itu maka akan terbuka semua rahasia yang amat..... amat
tidak menguntungkan kau sendiri. Kau tentu tahu bahwa
sebagai seorang gagah yang menjunjung tinggi pribudi,
4
pertama-tama janji harus dipegang teguh, kedua kalinya,
pantang membuka rahasia yang akan mencemarkan nama
orang-orang, apalagi orang-orang yang menjadi sahabatsababat
baik." Li Hwa menghela napas lalu menyambung
kata-katanya. "Tadi ketika kau pergi, kami sudah mengambil
keputusan bahwa rahasia ini tetap takkan kami buka pada
siapapun juga, biarpun untuk itu kami akan menghadapi
maut. Hanya masih ada jalan yang dapat kami tunjukkan
kepadamu."
Menghadapi alasan-alasan yang dikemukakan oleh Sin
Hong dan Li Hwa, akhirnya hati Tiang Bu menjadi lemas.
Tentu saja mendengar ada jalan lain, ia menjadi gembira
sekali.
"Bagus sekali! Jalan apakah itu? Harap se gera
diberitahukan kepadaku."
"Kau pergilah ke kora raja Kerajaan Kin utara. Di sana
ada seorang sahabat bernama Pangeran Wanyen Ci Lun......”
kata Sin Hong yang mcnyambung kata-kata Li Hwa.
"Aku sudah kenal pangeran itu!" Tiang Bu memotong. Sin
Hong terkejut sekali, juga Li Hwa melengak. "Kau........... ?
Sudah kenal dengan Pangeran Wanyen Ci
Lun ......?”
"Sudah, ketika aku merantau bersama Bu Hok Lokai di
kota raja. Bahkan aku ditolong oleh Pangeran Wanyen Ci
Lun, akan tetapi pertemuan itu hanya sebentar." Dengan
singkat Tiang Bu menceritakan pengalaman dahulu ketika ia
dirampas kembali Pat kek Sam-kui.
"Betul, dia itulah Pangeran Wanyen Ci Lun sahabat
baikku atau ........... masih saudara misanku sendiri.”
Tiang Bu mengangguk. "Pantas saja siok-hu serupa benar
dengan dia," kata pula Tiang Bu.
"Kau jumpai dia dan kau bantulah. Dia itu orang baik
dan kiranya pada masa datang ini dia memerlukan bantuan
5
seorang seperti engkau. Setelah kau membantunya
mendapat kepercayaannya baru kau keluarkan isi hatimu,
ceritakan siapa sebenarnya dan bahwa kau mengabdi
kepadanya atas permintaanku. Kemudian kauserahkan
suratku. Kiranya dia tentu akan suka membuka semua
rahasia ini. Hanya satu hal yang kau harus tahu. Dia itu
orang baik, dia juga tersangkut dalam rahasla ini, juga
isterinya. Kau harus membela mereka itu dengan seluruh
kesetiaanmu.”
Biarpun tidak mengerti, namun Tiang Bu menganggukangguk
dan hatinya agak lega betapapun juga, kini terbuka
jalan baginya dan ia tidak membantah.
Setelah mendapat petunjuk dari Wan Sin Hong bahwa
untuk membongkar rahasta riwayat hidupnya ia harus pergi
ke kora raja Kin dan mengabdi kepada Pangeran Wanyen Ci
Lun. Tiang Bu merasa lega. Biarpun dari Sin Hong sendiri ia
tak dapat membuka rahasia itu, namun mendengar alasan
Sin Hong yang tepat dan mengandung pelajaran tentang
kegagahan, Tiang Bu merasa tunduk dan tidak berani
memaksa. Mereka bertiga, Tiang Bu, Wan Sin Hong dan Siok
Li Hwa, bercakap sampai jauh malam.
Bahkan setelah Li Hwa mengundurkan diri ke dalam
kamar untuk mengaso, Tiang Bu masih terus diajak
bercakap-cakap oleh Sin Hong. Selain amat tertarik dan
suka kepada pemuda luar biasa ini, juga Sin Hong
"menjajaki" hatinya. Ia sengaja memancing-mancing dalam
percakapan itu untuk menjenguk isi hati dan watak pemuda
kalau-kalau ada sedikit persamaan dengan ayahnya, Liok
Kong Ji manusia jahat seperti iblis itu. Namun ia merasa
lega karena didengar dari kata-katanya maupun dipandang
dari sinar mata dan gerak geriknya. pemuda ini cukup
"bersih".
Sebaliknya di lain fihak, Tiang Bu kagum dan makin
tunduk terhadap Wan Sin Hong pendekar besar yang
semenjak kecil sudah sering kali ia mendengar namanya
6
dipuji-puji oleh ayah bundanya, yaitu Con Hong Kin dan Go
Hui Lian. Sekarang ia tahu bahwa pendekar ini memang
patut dipuji. Selain memiliki ilmu silat yang tinggi. juga ilmu
pengobatan yang luar biasa. Di samping ini ternyata
pandangannya luas, pertimbangannya masak, wataknya
mencerminkan watak kesatria perkasa yang menjunjung
tinggi kegagahan dan kebajikan.
Sampai malam berganti pagi dua orang ini masih duduk
berhadapan bercakap-cakap. Orang-orang dengan lweekang
setinggi yang mereka miliki. memang tidak terganggu oleh
lapar, haus dan kantuk. Mereka memiliki daya tahan yang
tidak seperti manusia. Tidak minum atau tidak tidur
sepekan saja, bagi mereka bukan apa-apa.
"Wan-siok-siok. masih ada satu hal lagi yang aku ingin
mengetahui. yaitu tentang anak perempuan yang ikut
dengan siok-siok ke Omei-san itu. Kalau aku tak salah ingat,
wajahnya seperti adikku Lee Goat."
"Memang tak salah dugaanmu, dia itu Coa Lee Goat,
adikmu.” Wajah Tiang Bu berseri, matanya bersinar-sinar.
"Aduh, dia sudah besar. Ilmu silatnya lihai, dia cantik manis
sekali........... Lee Goat adikku." Tiba-tiba saja seri mukanya
lenyap terganti bayangan kecewa. "Akan tetapi ...... mengapa
dia menyangkal namanya ketika kutanya........... ?"
"Dia tidak tahu bahwa kau kakaknya yang telah
meninggalkan rumah semenjak dia masih berusia dua
tahun, dan memang aku melarangnya memperkenalkan
nama ketika ia kuajak ke Ome i-s an untuk menjaga
perbuatan orang jahat."
"Dia sekarang di mana siok-siok ? Kenapa tidak ikut ke
sini? Aku ingin sekali bicara dengan adikku ...... " kata Tiang
Bu penuh rindu kepada adiknya yang amat ia sayang itu.
"Dia berada di Kim bun-to. Ketika aku mencari bibimu
yang ikut pergi dengan Toat-beng Kui-bo ke sini, lebih dulu
aku mengantar pulang muridku itu. Dalam perjalanan
7
menghadapi bahaya, tentu saja aku tidak mau membawa
dia."
"Aku akan pulang, aku ingin bertemu ayah bunda dan
adikku !" Suara Tiang Bu terdengar penuh keharuan ketika
ia berkata demikian, seperti seorang anak anak yang sudah
amat rindu akan rumahnya. Akan tetapi ia se gera dapat
menguasai hatinya dan sikapnya tenang lagi ketika ia
bertanya.
"Wan siok-siok, hari ini aku akan meninggalkan tempat
ini. Masih ada lagi permohonanku kepadamu, yaitu angin
aku tahu dimana tempat tinggal orang orang yang telah
mencuri kitab-kitab Omei-san. Aku harus datangi mereka itu
seorang demi seorang untuk merampas kembali kitab-kitab
suhu."
"Mereka itu siapa?"
"Yang harus kucari adalah Ang-jiu Mo-li, Thai Gu Cinjin,
Tee-tok Kwan Kok Sun, Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong, dan
........ Liok Kong Ji ….. dan seorang tosu kaki buntung
datang bersama Liok Kong Ji. Mereka semua menurut suhu
telah mencuri masing-masing sebuah kitab, juga Toat-beng
Kui bo yang sudah kube reskan."
Sin Hong nampak terkejut mendengar nama-nama ini,
lalu menarik napas panjang.
“Hebat. ...... kau masih semuda ini sudah memikul tugas
seberat itu. Kau malah lebih berat dari pada aku dalam hal
ini. Orang-orang yang kausebutkan namanya itu semua
adalah tokoh-tokoh tingkat paling tinggi di dunia kang-ouw.
Dan kau harus mencari dan melawan mereka? Setiap orang
dari mereka sudah merupakan lawan yang amat lihai. Aah,
Tiang Bu dengan pengalamanmu yang masih hijau,
bagaimana kau mampu menghadapi mereka?” Sin Hong
benar-benar merasa gelisah apalagi kalau ia teringat akan
bahaya para musuh anak itu dalam hal penggunaan senjatasenjata
berbisa.
8
Mungkin dalam hal ilmu silat, bocah yang sudah
mewarisi kepandaian dua orang sakti dari Omei-san ini akan
kuat menghadapi lawan yang bagaimana tangguhpun. Akan
tetapi kalau orang-orang itu mempergunakan kecurangan,
mempergunakan senjata rahasia yang berbisa umpamanya,
bagaimana Tiang Bu akan dapat menang?
“Tiang Bu, dalam hal ilmu silat kiranya tidak ada yang
dapat kuajarkan kepadamu yang melebihi apa yang sudah
kaupelajari, akan tetapi kalau kau suka, aku bisa ajarkan
baberapa cara pengobatan untuk menghadapi seranganserangan
lawan yang mempe rgunakan senjata-senjata
rahasia berbisa. Tinggallah beberapa hari di sini mempelajari
dan aku akan merasa tenang dan tenteram melihat kau
turun dari sini sudah membawa bekal kepandaian itu."
Memang inilah yang diharap-harapkan Tiang Bu.
Sebelum meninggal dunia, Tiong Jin Hwesio juga sudah
memberi anjuran agar supata ia menjadi murid Wan Sin
Hong dalam ilmu pengobatan. Akan tetapi setelah
perlakuannya yang kasar terhadap Sin Hong, Tiang Bu tidak
berani membuka mulut minta diangkat murid. Sekarang,
atas kehendaknya sendiri Sin Hong hendak memberi
pelajaran tentang ilmu pengobatan, serta merta Tiang Bu
menjatuhkan diri berlutut.
“Atas kemurahan hati Wan.siok-siok mengangkat murid
kepada siauwtit yang bodoh siauwtit merasa berterima kasih
sekali............ “
“Hush, bangunlah kau.” Sin Hong berkata tersenyum
sambil mengangkat bangun pemuda itu. “Di antara paman
dan keponakan, mana ada aturan sungkan-sungkan ? Kau
tidak menjadi muridku, Tiang Bu, melainkan tetap sebagai
keponakan. Asal kelak kau menjadi manusia utama dan
pendekar berhati mulia, pamanmu ini sudah merasa girang
dan bahagia sekali."
Demikianlah, dengan tekunnya Tiang Bu menerima
petunjuk-petunjuk dari Sin Hong selama sepekan. Sin Hong
9
menerangkan segala yang berhubungan dengan racun yang
biasanya dipergunakan oleh orang kang-ouw, juga berbagai
macam pukulan yang mcngandung hawa berbisa seperti
Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang dipergunakan
oleh Tee tok Kwan kok Sun dam Liok Kong Ji atau tangan
merah dari Ang.jiu Mo-li. Kemudian ia menjelaskan satu
demi satu tentang cara pengobatan kalau terkena pukulanpukulan
berbisa ini.
Tak lupa Sin Hong menerangkan tentang cara mengobati
luka bekas gigitan binatang-binatang berbisa yang paling
berbahaya. Karena otak Tiang Bu memang cerdas dan
ingatannya kuat, maka dalam waktu sepekan ia telah dapat
menghapal semua pelajaran itu. Namun Sin Hong masih
belum puas, maka ketika Tiang Bu turun dari bukit batu
karang itu, ia membe ri sebuah buku catatan kepada Tiang
Bu, sehingga apabila perlu dan terlupa, pemuda itu dapat
mencarinya di dalam buku itu.
"Jangan kau bilang kepada siapapun juga bahwa aku
dan isteriku berdiam di sini. Tiang Bu. Aku sendiripun
sedang menghadapi sesuatu yang sulit, dan mudahmudahan
tidak lagi kami juga akan turun dari tempat ini,
kembali ke dunia ramai," pes an Sin Hong dengan suara
perlahan.
Tiang Bu tidak tahu apakah kesulitan yang dihadapi oleh
Sin Hong itu, akan tetapi ia berjanji akan menanti pesan
paman atau gurunya itu. Kemudian pemuda ini turun dari
bukit batu karang, mulai dengan perantauannya yang akan
membawa ia menghadapi berbagai macam pengalaman
hebat.
Ia telah mendapat petunjuk dari Sin Hong tentang tempat
kediaman orang-orang hendak dicarinya. Menurut
keterangan Sin Hong. Ang jiu Mo-li tokoh Utara itu kini
sering kali muncul di kota raja Kerajaan Kin, Liok Kong Ji
dan tosu kaki buntung itu sudah tentu berada di utara di
antara orang-orang Mongol dan hal ini sudah diketahui oleh
10
Tiang Bu sendiri. Thai Gu Cinjin adalah seorang tokoh
pendeta Lama jubah merah, sudah tentu bertempat tinggal
di daerah Tibet. Tentang Kwan Kok Sun, Sin Hong sendiri
tidak dapat menentukan di mana tempat tinggalnya, akan
tetapi Tiang Bu pernah melihatnya di dekat kota raja
Kerajaan Kin pula, bahkan gurunya, Bu Hok Lokai, juga
tewas oleh Tee-tok Kwan Kok Sun ini.
Adapun Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong dan isterinya
adalah tokoh-tokoh pantai timur dan tinggalnya di sekitar
daerah Kiang-su, dimana surgai besar Yang ce -kiang
memuntahkan airnya ke dalam laut.
Karena perjalanan Tiang Bu meninggalkan Ban-mo-tong
yang berada di ujung selatan itu menuju ke utara, maka di
antara orana-orang yang hendak dicarinya itu, Pek-thouwtiau-
ong Lie Kong, adalah orang yang paling dekat tempat
tinggalnya, maka ke Kiang-se inilah tujuan pertama
pe rjalanan Tiang Bu.
-oo(mch)oo-
Setelah melakukan perjalanan berbulan-bulan lamanya
karena Tiang Bu tidak tergesa-gesa dan melakukan
perjalanan sambil melihat-lihat, pada suatu hari ia tiba di
sebuah hutan kecil di luar kota Wukeng di perbatasan
Propinsi Anhui dan Kiang-su. Jalan raya kasar yang
dilaluinya itu masih basah dan amat becek, tanda bahwa
baru saja turun hujan. biarpun jalannya becek, namun
Tiang Bu berjalan limbat dengan hati senang. Hawa udara
amat sejuknya dan amat nyaman seperti biasa hawa sehabis
turun hujan. Apalagi di dalam hutan penuh pohon dan
bunga, hawanya bersih sekali. Tiang Bu menyedot hawa
bersih itu sepuas hatinya, membikin dadanya mekar dan
semangatnya segar.
Garis.garis panjang yang masih nampak baru di atas
jalan itu memberitahukan bahwa belum lama sehabis hujan,
11
di jalan itu lewat sebuah kendaraan yang ditarik kuda.
Melihat dalamnya garis-garis itu. Tiang Bu dapat menduga
bahwa kendaraannya tentu berat atau membawa muatan
berat.
Siapa yang lewat berkendaraan di tempat seperti ini?
Mungkin kereta piauw kiok (Perusahaan Expedisi/pengawal
Kiriman Barang), pikir Tiang Bu. Atau pembesar. Bodoh,
pikirnya hari sebagus ini berkendaraan. Takkan terasa hawa
yang sejuk, tidak senikmat orang berjalan kaki! Memang hati
dan pikiran Tiang Bu masih murni, masih bersih sehingga ia
sslalu merasa puas dengan apa yang dirasai atau
dipunyainya. Tak pernah timbul iri di dalam hatinya, karena
ia memang tidak mempunyai keinginan bersenang-senang
atau meniru keadaan orang lain.
Tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap suara
derap kaki kuda dari belakang. Dua ekor kuda, pikirnya.
Dilarikan kencang sekali. Benar saja, tak lama kemudian
terdengar bentakan,
“Minggir !"
Tiang Bu melangkah ke pinggir jalan yang cukup lebar
itu, bukan takut kete rjang kuda, me lainkan takut
pakaiannya akan kotor terkena percikan tanah becek
berlumpur itu. Ia berdiri dan memutar tubuh hendak
melihat siapa ge rangan penunggang-penunggang kuda itu.
Ternyata mereka adalah seorang gadis muda yang berwajah
manis bertubuh ramping bersama seorang pemuda tampan
dan gagah bermuka putih. Dua orang muda-muda ini duduk
di atas kuda dengan tegak dan biarpun dua ekor kuda itu
lari kencang, tubuh me reka sama sekali tidak terguncang.
Kepandaian menunggang kuda seperti ini hanya dapat
dilakukan oleh ahli silat-ahli silat yang berkepandaian tinggi,
maka seketika hati Tiang Bu tertarik. Pemuda itu melirik ke
arah Tiang Bu sambil tersenyum memandang rendah.
sedangkan kerling mata dara berwajah manis itu
12
membayangkan penghinaan ketika ia melihat bahwa pemuda
yang mereka lewati itu hanya seorang pemuda biasa belaka.
"Moi moi, jejak mereka masih nampak jelas. Mereka
belum jauh, mari kita susul cepat!" Kata-kata ini diucapkan
oleh pemuda itu ketika mereka sudah lewat agak jauh. Tentu
saja me reka tidak mengira bahwa pendengaran Tiang Bu
jauh lebih tajam dari pada pendengaran orang biasa maka
Tiang Bu mendengar ucapan ini. Hatinya berdebar. Pertama
karena kata-kata itu diucapkan dengan nada mesra sekali.
Mereka begitu rukun dan cocok, pasangan yang sedap
dipandang.
Otomatis Tiang Bu teringat akan Lai Fei Lan dan
mukanya menjadi merah. Celaka, pikirnya. Satu kali
bertemu gadis cantik, begitu "kasar" dan menantang sampaisampai
ia menjadi ngeri dan jijik. Hal ke dua dan
mendebarkan hatinya adalah isi kata-kata yang menyatakan
bahwa mereka berdua agaknya berdaya-upaya keras untuk
menyusuI "mereka". Tentu dimaksudkan rombongan
kendaraan yang roda-rodanya masih meninggalkan jejak
nyata itu, pikirnya. Tiang Bu makin tertarik dan cepat ia
mengejar, mempergunakan ilmu lari cepatnya yang istimewa.
Akan tetapi ia sengaja tinggal di sebelah belakang mereka
dan mengikuti dengan sembunyi.
Tak lama kemudian sepasang muda-mudi itu sudah
dapat menyusul rombongan di depan yang terdiri dari
sebuah kendaraan yang ditarik oleh empat ekor kuda dan
dikawal oleh lima orang laki-laki gagah berkuda dan
be rgolok di pinggang. Dari pakaian mereka, jelas bahwa
mereka tentulah segolongan piauwsu (pengawal barang
kiriman) yang sedang mengawal kereta itu. Entah siapa
berada di dalam kereta yang tertutup oleh sutera hijau,
hanya kusir kereta itu sajayang kelihatandi depan
memegang cambuk.
Di bagian depan dan belakang kereta itu terpasang dua
bendera besar dengan lukisan dua ekor singa emas dan
13
ditulis huruf emas besar. SING KIM SAI PIAUWKIOK. Ini
berarti bahwa kereta itu beserta sekalian isinya adalah
menjadi tanggung jawab atau berada di bawah perlindungan
Siang-kim sai Piauwkiok (Kantor Expedisi Sepasang Singa
Emas )! Nama Siang kim-sai atau Sepasang Singa Emas
sudah amat terkenal di dunia lioklim dan jarang ada
penjahat berani mengganggu barang yang dilindungi oleh
perusahaan ini. Ketuanya adalah dua orang kakak beradik,
yang tua berjuluk Twa kim-sai (Singa Emas Besar) bernama
Yo seng dan yang ke dua berjuluk Ji kim-sai (Singa Emas ke-
Dua) bernama Yo Teng. Kidua orang saudara Yo ini adalah
ahli-ahli silat di daerah Kiangsu dan kepandaian mereka
tinggi sekali sehingga para penjahat tidak ada yang berani
be rmusuhan dengan me reka.
Apalagi Siang-kim-sai Piauwkiok telah membuat untung
besar dengan usaha mereka dan kedua orang she Yo selalu
membuka tangan untuk memberi sumbangan kepada tokohtokoh
liok-lim sehingga dengan para anggota Hek-to (Jalan
Hitam, Penjahat) mereka mempunyai hubungan baik. Jarang
sekali kedua kakak beradik she Yo ini mengawal sendiri.
Pekerjaan mengawal cukup mereka wakilkan kepada
pembantu-pembantu dan murid-murid mereka saja. Baru
kalau terjadi halangan atau untuk urusan besar, mereka
turun tangan sendiri. Demikian pula, karena perjalanan
yang dilakukan menuju ke daerah sendiri, kereta itu hanya
dikawal oleh lima orang piauwsu, yang t iga orang pegawal
sedangkan yang dua orang murid-murid Siang-kim-sai.
Ketika lima orang piauwsu ini mendengar suara derap
kaki kuda dari belakang, mereka dengan tenang menengok
dan merasa lega ketika ia lihat bahwa yang datang hanyalah
sepasang muda-mudi yang agaknya sedang berpesiar untuk
bersenang-senang.
“Ha, agaknya pengantin baru .....” seorang piauwsu
muda, hidungnya besar dan matanya sipit, gerak-geriknya
ceriwis tanda ia mata keranjang, berkata tersenyum.
14
Dia ini bernama Tin Kui, murid dari Siang-kim-sai yang
termuda. Lagaknya sombong dan ia terkenal seorang yang
mata keranjarg. Para piauwsu lain hanya tersenyum. Melihat
cepatnya dua ekor kuda itu dilarikan, kusir kereta lalu
memperlambat larinya kereta dan menarik kendali agar
empat ekor kudanya agak ke pinggir untuk memberi jalan
kepada dua orang mudamudi
itu.
Sepasang muda-mudi
itu hanya melirik saja dan
terus membalapkan kuda
melampaui rombongan
itu, tidak pe rduli betapa
para piauwsu itu
memandang ke arah si
dara berwajah manis itu
penuh gairah dan dengan
tersenyum-senyum penuh
arti. Tiang Bu yang
mengikuti dari jauh,
melihat betapa dua orang
penunggang kuda itu
ternyata lewat begitu saja
dan tidak mengganggu,
menjadi malu sendiri dan
memaki diri sendiri
bodoh. Mereka orang baik-baik kusangka hendak
merampok, pikirnya. Benar-benar aku masih hijau.
Akan tetapi, berbeda dengan pikiran Tiang Bu, para
piauwsu yang sudah banyak pengalaman itu ketika dua ekor
kuda lewat, tiba-tiba menjadi curiga sekali melihat cara dua
orang muda itu menunggang kuda. Tadi hal ini tidak mereka
perhatikan karena seluruh perhatian terbetot oleh
kemanisan wajah dara itu. Baru sekarang setelah mereka
tak dapat melihat wajah itu, dari belakang mereka lihat
15
betapa dua orang muda itu duduk tegak tak bergoyang
sedikitpun juga seperti patung di atas kuda.
"Hemmm, mereka memperlihatkan kepandaian
menunggang kuda. Jangan-jangan me reka akan kembali
........... " kata seorang piauwsu tua, pembantu dari Siangkim-
sai. Baru saja ucapan ini keluar dari mulutnya, tiba-tiba
dua penunggang kuda yang sudah jauh itu tahu-tahu
memutar kembali kuda mereka dan menjalankan kuda itu
congklang memapaki rombongan piauwsu! Tiang Bu yang
berlari di belakang rombongan itu menjadi melongo.
Kini dua orang itu telah berhadapan dengan rombongan
piauwsu. Pemuda itu mengangkat tangan kanan ke atas dan
berseru, suaranya halus dan kata-katanya teratur seperti
seorang terpelajar namun suara itu nyaring dan menusuk
telinga, tanda diucapkan dengan pengerahan khikang yang
tinggi.
"Berhenti dan buka peti berukirkan sepasang Kilin kami
hendak mengambil isinya !”
Tan Kui, piauwsu muda bermata sipit itu menjadi marah.
Ia majukan kudanya dan memaki,
"Kutu-buku masih ingusan apakah kau berlagak mau
menjadi begal besar? Lebih baik kau kembali ke bukumu,
ambil pit dan bak sebagai hukuman menulis seribu kali
kalimat AKU TAKKAN MENCURI. Kalau tidak jangan
salahkan tuan besarmu menyeretmu turun dari kuda!”
Pemuda bermuka putih itu tersenyum mengejek, giginya
yang putih mengkilap nampak dan diam-diam Tiang Bu
kagum sekali. Pemuda muka putih ini luar biasa tampannya,
bahkan lebih manis dari pada kawannya itu.
"Kadal busuk pemakan lalat, kau benar-benar bisa
menyeretku? Cobalah!”
Tan Kui marah bukan main. Dia adalah murid Siangkim-
sai dan nama Siauw-sai-cu (Mus tika Singa Ke cil) Tan
16
Kui bukanlah nama sembarangan untuk daerah Kiangsu.
Sekarang kutu buku ini berani memakinya kadal? Dengan
suara menggereng, meniru gaya dan suara suhu-suhunya
kalau marah akan tetapi gerengannya ini sumbang, ia
melompat turun dari kuda dan goloknya sudah terhunus di
tangan.
"Cacing buku, kau turunlah kalau minta dihajar,"
bentaknya.
"Siapa sudi berurusan dengan segala telur busuk. Pergi
dan panggil ketua rombongan,” kata pemuda muka putih
itu.
"Setan, kau memang harus diseret!" Tan Kui marah sekali
dan melompat maju. Piausu tua hendak mencegah namun
terlambat, Tan Kui sudah di dekat pemuda muka putih itu
dan tangan kirinya diulur hendak menangkap kaki pemuda
itu untuk diseret turun. Akan tetapi, bukan pemuda muka
putih yang terjungkal dari kuda, melainkan Tan Kui sendiri
yang tiba-tiba terlempar ke belakang jatuh gedebukan!
Masih untung bahwa tendangan kilat pemuda muka putih
itu hanya membuat ia menderita benjol-benjol di kepala saja
dan golok di tangannya tidak makan tuan. Namun Tan Kui
benar-benar tak tahu diri. Ia meringis kesakitan lalu timbul
marahnya.
Sambil memaki-maki kotor ia melompat lagi, kini
goloknya diayun untuk menyerang pemuda muka putih yang
tadi telah menendangnya. Pemuda itu dengan seuyum
mengejek tak meninggalkan bibir, dengan amat tenangnya
menggerakan kakinya memapaki golok yang datang
menyambar dan ........... begitu golok bertemu dengan ujung
sepatu, golok terpental membalik dan menyambar leher
pemegangnya! Tan Kui menjerit dan miringkan leher, namun
ujung golok yang dipegangnya sendiri tetap saja menghajar
pundaknya. Sebagian daging pundak sapat darah
membanjir. Tubuh Tan Kui sempoyongan ketika ia
17
menjauhkan diri dari pemuda lihai itu, mendekati piauwsupiauwsu
lainnya dengan muka jerih.
“Hi hi hi, cici, kenapa tidak kau pencet mampus saja
kadal itu ? Terlalu enak kepalanya yang dogol itu masih
dibiarkan menempel di lehernya !" kata gadis be rwajah
manis itu kepada "pemuda" muka putih. Para piauwsu
memandang heran. Kiranya pemuda muka putih itu adalah
seorang gadis yang menyamar dalam pakaian pria. Juga
Tiang Bu dari tempat persembunyiannya diam-diam
menampar kepalanya sendiri.
Tiga kali tolol, pikirnya. Mataku sungguh tidak ada
gunanya, sampai gadis berpakaian pria saja tidak tahu.
Pantas saja dia begitu manis, lebih dari kawannya.
Kepandaiannya hebat juga, memapaki golok orang dengan
ujung kaki menendang dan sekaligus menotok pergelangan
tangan, benar benar bukan gerakan main-main yang mudah
dilakukan. Diam-diam Tiang Bu kagum dan melanjutkaa
pengintaiannya penuh perhatian.
Sementara itu, piauwsu tua yang menjadi kepala
rombongan sudah melompat turun dari kudanya dan
menghampiri dua orang gadis itu sambil menjura dengan
sikap hormat.
“Jiwi-lihiap, harap maafkan apabila seorang kawan kami
berlaku lancang. Dia sudah menerima pelajaran jiwi,
selanjutnya sudah tidak ada urusan apa-ap, lagi. Sapanjang
ingatanku kami dari Siang-kim sai Piauw-kiok tidak pernah
ada urusan dengan jiwi. Lihiap, mengapa hari ini jiwi
mengganggu kami? Harap jiwi melihat bendera kami dan
selanjutnya tidak mengganggu kami yang sedang
menjalankan tugas pent ing. Tentu kelak dua orang ketua
kami akan berterima kasih sekali."
Terang bahwa piauwsu tua ini bersikap amat merendah,
hal yang aneh dan luar biasa bagi sikap piauwsu dari Siangkim-
sai Piauw-kiok yang biasanya tidak gentar menghadapi
penjahat yang besar manapun, ini menandakan bahwa
18
piauwsu tua itu memiliki pandangan yang awas dan bahwa
dia sudah banyak pengalaman. Memang betul demikian
karena Lu Tiang Sek, piauwsu pembantu atau tangan kanan
Siang-kim-sai itu adalah seorang piauw-su yang sudah
puluhan tahun melakukan pekerjaan piauwsu.
Tadi melihat cara gadis berpakaian pria itu menghalau
serangan golok Tan Kui, tahulah dia bahwa, gadis itu
memiliki kepandaian tinggi. Pula ia tahu bahwa dua orang
gadis itu tentu bukan bangsa perampok sembarangan,
karena selain ia tak pernah melihatnya, juga sikap mereka
bukan seperti penjahat-penjahat biasa. Inilah sebabnya ia
sengaja merendah dan mempergunakan nama besar Siangkim-
sai Piauwkiok untuk mencegah terjadinya bentrokan.
Gadis berwajah manis itu tersenyum mendengar katakata
Lu Tiang Sek. Sambil mengincar ke arah kereta, tangan
kirinya be rge rak se cara beruntun dua kali.
"Krak.! Krak!" Tiang bendera di depan dan belakang
kereta itu patah terkena sambaran dua batang piauw yang
dilepaskan olehnya.
"Segala bendera begituan siapakah yang memandang?
Kami tidak berurusan dengan Siang-kim-Sai (Sepasang
Singa Emas) maupun Siang-thu-kauw (Sepasang Monyet
Lempung), pendeknya turunkan peti berukir sepasang Kilin
dan keluarkan isinya untuk kami bawa. Habis perkara!' kata
pula gadis manis itu, sedangkan gadis berpakatn pria hanya
tersenyum manis melihat lagak adiknya.
Baru timbul kemarahan Lu Tiang Sek. Kalau tadi ia
sengaja merendah dan mengalah, bukan sekali-kali ia gentar
menghadapi dua orang lawan ini, melainkan tidak
menghendaki pertempuran dalam menuaikan tugas yang
penting ini. Ia dan kawan-kawannya mengawal kere ta yang
amat berharga, karena kereta dan isinya ini adalah barangbarang
pembesar tinggi dari utara yang kini pulang ke
selatan.
19
Pembesar itu tadinya bekerja di Kerajaan Kin dan
menduduki pangkat pembantu menteri, kini pulang ke
tempat asalnya, yaitu di kota Wukeng. Barang barangnya
banyak sekali, akan tetapi yang paling penting dan berharga
adalah barang yang dikawal sekarang ini. Kwee -taijin,
pembesar itu, berkali-kali memesan agar supaya para
piauwsu hati-hati dalam mengawal barang-barang berharga
itu, terdiri dari empat buah pe ti besar, di antaranya sebuah
peti yang tidak berapa besar, be rukir sepasang Kilin.
"Bocah-bocah perempuan lancang mulut lancang tangan!
Kami sudah berlaku sabar dan mengalah, mengapa kalian
kurang ajar bahkan berani mematahkan tiang bendera?
Kalian boleh belajar merampok sesukanya akan tetapi
jangan kalian sekali-kali berani mengganggu barang yang
dilindungi oleh Siang-kim Piauw-kiok!" Sambil be rkata
demikian, piauwsu tua ini mencabut golok dan berdiri tegak
dengan sepasang kaki terpentang di atas tanah, menghadapi
dua orang gadis itu. Tiga orang kawannya juga mencabut
golok dan melompat turun dari kuda. Hanya Tan Kui
seorang yang tidak dapat ikut bersiap karena sudah terluka.
Dia hanya mengurus kuda-kuda yang ditinggalkan
penunggang masing-masing.
Gadis berpakaian pria itu menoleh kepada adiknya
sambil tersenyum dan berkata, "Moi-moi, empat ekor kadal
ini agaknya belum mau menyerah kalau belum dipotong
ekornya. Kaujaga saja supaya kereta itu tidak kabur.”
Setelah berkata demikian, dengan gerakan lincah dan
gesit sekali gadis itu melompat turun dari kudanya. Ternyata
sekarang tubuhnya tinggi langsing ketika ia berdiri di atas
tanah, gerakannya lemah gemulai namun cepat sekali
sehingga tak seorangpun di antara empat orang piauwsu itu
melihat kapan dan bagaimana pedang yang berkilauan putih
mengkilap telah terada di tangannya.
Lu Tiang Sek maklum bahwa ia menghadapi lawan
pandai, maka ia tidak malu-malu lagi dan berseru keras,
20
'Robohkan dia !" Memang bagi kawanan piauwsu dalam
menjalankan tugas, j ika menghadapi gangguan penjahat tak
perlu mereka sungkan-sungkan untuk mengeroyok, karena
pertempuran seperti ini lain lagi halnya dengan misalnya
pertempuran pibu (mengukur kepandaian masing-masing) di
mana orang kang-ouw biasanya amat sportip, tidak mau
mengeroyok dan tidak mau berlaku curang.
Akan tatapi, biarpun dikeroyok empat orang piauwsu
yang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi, gadis berpakaian
pria itu sama sekali tidak menjadi sibuk. Dengan pedangnya
yang bersinar perak, ia bergerak dan tahu-tahu pedangnya
menyambar ke kanan ki ri diikuti bentaknya yang nyaring
berpengaruh "Roboh........... !"
Hebat bukan main ilmu pedang nona ini. Dalam
segebrakan saja ia telah menyerang empat orang lawannya,
masing-masing dengan tusukan atau sabetan yang amat
berbahaya. Segera terdengar pekik kaget dan kesakitan.
Ternyata yang menangkis serangan ini merasa tangannya
terge tar, hanya Lu-piauwsu seorang yang dapat
mengimbangi tenaga nona itu. Yang dua orang tergetar dan
mundur sedangkan yang termuda, suheng dari Tan Kui,
terhuyung-huyung s ambil memegangi lengannya yang
te rluka dan hampir putus !
"Hati-hati, bantu saja aku,” seru Lu-Tiang Sek sambil
memutar goloknya dengan pengerahan tenaga dan
kepandaian, karena maklum bahwa lawan ini biarpun
seorang gadis muda namun memiliki kiamsut yang lihai
sekali. Dua orang kawannya membantunya dari kanan kiri
dan berlaku hati-hati sekali, hanya membantu gerakan yang
disesuaikan dengan penyerangan Lu Tiang Sek sehingga
setiap serangan Lu-piauwsu menjadi makin hebat dan setiap
serangan gadis itu dapat dihadapi atau ditangkis oleh tiga
batang golok. Dengan cara demikian untuk sementara
mereka dapat menahan gadis berpakaian pria itu.
21
Kusir kereta yang melihat bahwa kawan-kawannya
terancam, segera mengangkat cambuk dan memukul
kudanya. Empat ekor kuda itu hendak dibalapkan untuk
menyelamatkan kereta berisi barang-barang. Akan tetapi
baru saja cambuknya terangkat ia menjerit dan terjungkal
roboh dari atas ke reta, pundaknya ditembusi sebatang
piauw yang dilepas oleh gadis berwajah manis sambil
tertawa cekikikan.
Kembali seorang pengeroyok roboh tercium ujung
pedang, kena pahanya membuat ia tak dapat berdiri lagi. Lu
Tiang Sek marah dan khawatir sekali. Ia memutar golok
sehebatnya, namun sia-sia, dengan tusukan indah
gerakannya, seorang lagi kawannya terjungkal dengan lutut
terlepas sambungannya karena tendangan nona itu.
“Tahan dulu!” seru Lu Tiang Sek yang merasa bahwa ia
takkan menang. Sebelumnya dikalahkan ia harus tahu dulu
siapa adanya dua orang lawannya itu dan mengapa hendak
merampok. "Tahan senjata !”
"Piauwsu tua, apakah sekarang kau takluk?” tanya gadis
berpakaian pria itu dengan senyum sindir, pedangnya
dipalangkan di depan dada.
"Aku Lu Tiang Sek bukan orang yang bias anya menyerah
sebelum kalah," bantah piauw-su itu dengan muka marah,
"aku hanya ingin tahu siapakah kalian ini dan mengapa
kalian memusuhi kami!'
"Lu-piauwsu, sebenarnya tidak ada perlunya kami
memperkenalkan nama. Akan tetapi oleh karena aku tidak
ingin kaubilang kami takut kepada Siang-kim-sai,
kauketahui bahwa kami adalah anak dari Huang-ho Sian-jin
dan kami membutuhkan isi peti berukir Kilin."
"Mangapa kalian ini anak-anak dari seorang tokoh besar
seperti Huang-ho Sian-jin hendak menjadi perampok?" tanya
Lu Tian Sek, kaget dan heran mendengar bahwa ia
berhadapan dengan puteri-puteri Huang-ho Sian-jin (Dewa
22
Sungai Huangho) yang amat terkenal sebagai datuk bajak
sungai.
Gadis berpakaian pria itu tertawa, manis sekali
"Ketahuilah, piauwsu yang hanya bekerja untuk uang.
Benda-benda ini adalah hasil korupsi dan hasil curian dari
pembesar jahanam she Kwee itu. Setelah berhenti dari
jabatannya, ia membawa barang-barang itu pulang ke
tempat asalnya. Oleh karena itu, sepatutnya kalau kami
mengambil barang yang paling berharga agar dia jangan
enak-enak saja merampoki harta kekayaan rakyat utara."
Lu Tiang Sek meringis. "Kami hanya piauw su yang
melakukan tugas, Mena kami tahu asal usul barang orang ?
Kalau kami tidak melindungi barang-barang yang kami
kawal, itu baru berarti kami tidak patut menjadi piauwsu.
Jiwi lihiap, kalau mau memandang persahabatan, harap
jangan mengambil barang itu sekarang. Nanti kalau sudah
kami antarkan ke rumah Kwee-taiijin. masa bodoh kalau jiwi
mau ambil apa saja."
"Cih, aku disuruh memandang mukamu ? Piauwsu
kampungan, jangan banyak cerewet. Kauberikan tidak peti
itu ?"
"Lebih dulu Lu Tiang Sek harus dapat kau robohkan !"
jawab piauwsu tua itu gagah.
"Bagus, kan rebahlah !” Gadis itu menyerang dengan
hebatnya. Pedang di tangannya bergerak seperti ular dan
ujungnya sampai tergetar menjadi empat lima buah,
melakukan serangan-serangan yang sukar diduga ke mana
arahnya dan gerakan pedang itu mengeluarkan sinar
gemerlapan menyilaukan mata. Lu Tiang Sek mengangkat
golok menangkis sekuat tenaga.
"Tringg........... ! Tringg ........... !" Dua kali goloknya dapat
menangkis, namun pedang itu selaIn berpindah-pindah,
begitu ditangkis, begitu melejit untuk melakukan serangan
selanjutnya dengan ujung pelang yang lain arahnya,
23
membuat pauwsu tua itu bingung dan tahu-tahu ujung
pedang lawan menancap pundaknya. Lu Tiang Sek
terjungkal dan pingsan.
"Moi -moi, lekas kita bongkar peti ...,” kata wanita gagah
itu kepada adiknya, te tapi dia dan adiknya tiba-tiba menjadi
kaget ketika melihat kereta itu bergerak maju dan di tempat
duduk kusir tadi kini sudah ada orangnya. Ketika mereka
memandang, ternyata bahwa "kusir" istimewa ini bukan lain
adalah pemuda yang tadi mereka lewati di tengah jalan.
"Bocah gunung, kau menggelundunglah turun !" seru
gadis berwajah manis sambil mengayun tangannya,
Sebatang piauw menyambar dan tepat mengenai dada kusir
itu. Si dara manis sudah tersenyum-senyum menanti
pemuda itu terjungkal dari atas kereta, dan bersama cicinya
ia melompat-lompat menghampiri kereta. Akan tetapi
alangkah kagetnya ketika melihat pemuda itu tidak jatuh
te rjungkal, malah kereta itu mulai bergerak cepat ditarik
oleh empat ekor kuda.
"Kurang ajar, kau
mesih belum menggelundung
turun ?" gadis
manis itu berseru marah
dan heran. Apakah
sambitannya tadi luput?
Mustahil, jelas ia lihat
piauw yang ia sambitkan
tadi mengenai dada
pemuda itu. Mengapa
tidak terjungkal ke
bawah? Apakah ...........
tahu-tahu piauwnya
telah mencabut nyawa
pemuda itu dan
membuat ia mati di
tempatnya? Demikian
24
pikir gadis itu sambil lari mengejar. Setelah dekat, gadis itu
mengayun tubuhnya loncat ke atas kereta, ke tempat duduk
kusir. Adapun cicinya, gadis yang berpakaian pria tadi
dengan gerakan yang amat gesit telah melompat ke dalam
kereta melalui pintu sutera.
Ketika gadis yang muda melompat ke atas kereta, tibatiba
pemuda kusir yang bukan lain adalah Tiang Bu itu,
mengayun cambuk di tangannya. 'Tarr..........!” dan
betapapun gesitnya, gadis itu tidak dapat menghindarkan
cambukan ini.
"Bret'..........!” pakaiannya di sekitar pinggang robek dan
kulit pinggangnya lecet-lecet. Biarpun hanya cambuk,
namun di tangan Tiang Bu merupakan senjata hebat sekali.
Gadis itu saking kaget melihat kusir itu masih hidup dan
sakit terkena cambukan, tak dapat menguasai dirinya dan
terbanting ke bawah, justeru tepat sekali di atas Tiang Bu !
Kalau yang jatuh itu laki-laki, tentu akan disampok oleh
Tiang Bu. Akan tetapi mengingat bahwa yang jatuh adalah
seorang gadis masih muda, Tiang Bu tidak tega membiarkan
gadis itu terbanting roboh. mungkin binasa terbanting dari
tempat tinggi itu dalam keadaan setengah pingsan. Terpaksa
ia menyambut dengan tangannya dan ........... karena gadis
itu masih dapat memberontak, tanpa dapat dicegah lagi dan
tanpa disengaja gadis itu rebah di atas pangkuannya!
"Kau ........... manusia keparat, kurang ajar, tak tahu
aturan ......!” Gadis itu menjadi lemas dan pingsan! Dapat
dibayangkan betapa terguncang perasaannya ketika gadis
itu mendapatkan dirinya sudah berada di atas pangkuan
pemuda itu dan……. sebagian pakaiannya robek-robek di
bagian pinggang. Saking heran, marah, dan malu tercampar
rasa sakit dan kaget. ia menjadi pingsan.
Karuan saja Tian Bu yang gelagapan. Kalau gadis itu
tidak pingsan, biarpun ia sendiri merasa malu dan jengah
tahu-tahu memangku se orang gadis namun ia dapat
mendorong gadis itu di atas bangku kereta di sisinya atau
25
dapat melemparkan gadis itu ke bawah. Akan tetapi dalam
keadaan pingsan, tak mungkin ia melakukan hal itu karena
gadis itu tentu akan terlempar jatuh dan berbahaya sekali
keselamatannya. Terpaksa ia menarik kendali kudanya dan
menyuruh binatang-binatang berhenti.
Setelah itu baru ia melompat turun dengan tubuh gadis
yang pingsan itu dalam pondongannya. Baru saja ia
menurunkan gadis itu di atas tanah dan mukanya menjadi
merah sekali melihat betapa pakaian gadis itu tidak karuan
letaknya karena bagian pinggangnya sudah putus, tiba-tiba
te rdengar bentakan.
"Manusia hina, kauapakan adikku?"
Tiang Bu merasa ada sambaran angin. Dengan cepat ia
mengelak dan tangannya menyampok. Terdengar seruan
kaget dan gadis berpakaian pria yang menyerangnya
meloncat ke belakang dengan muka berubah. Sampokan
tangan Tiang Bu pada pedangnya membuat pedang itu
hampir terlepas dari pegangan. Hal ini belum pernah ia
alami! Saking kaget dan herannya, gadis berpakaian pria ini
berdiri melongo.
Tiang Bu tersenyum. "Kau tak usah bingung. Adikmu
tidak apa-apa dan akupun tidak berbuat apa-apa. Tadi dia
menyambit batang piauw kepada dadaku dan aku membalas
hadiahnya itu dengan sekali cambukan pada pinggangnya.
Eh, tahu-tahu dia pingsan di atas kereta, terpaksa
kuturunkan."
Gadis itu cepat membungkuk dan memeriksa adiknya.
Hatinya lega mendapatkan adiknya tidak terluka dan benar
saja hanya lecet-lecet sedikit di bagian yang terlibat cambuk.
Sekali ia mengurut leher adiknya nona itu siuman kembali
dan begitu siuman melihat Tiang Bu berdiri tak jauh dari
situ, ia melompat marah.
“Moi-moi …… hati-hati pakaianmu........ ! " seru cicinya
dan gadis manis yang galak itu cepat-cepat memegangi
26
pakaiannya yang hampir saja merosot turun karena tidak
ada ikat pinggangnya lagi ! Tiang Bu menahan ke tawanya
menutupi mulutnya dan membelakangi gadis itu agar jangan
kelihatan olehnya kalau-kalau pakaian itu betul-betul akan
kedodoran.
"Cici, kaubalaskan aku. Monyet itu kurang ajar sekali.
Dia mencambuk pinggangku !”
“Moi-moi apa benar kau tadi menyerang dadanya dengan
piauw ?"
"Betul, kukira sudah mampus, tidak tahunya belum. Cici
lekas kauserang dia dengan pedangmu !”
"Tidak ada waktu, mot- moi. Mari kita pergi !"
"Bagus, memang lebih baik kalian pergi, jangan masih
begitu muda-muda sudah menjadi rampok. Kalau kelihatan
orang kan malu !" kata Tiang Bu sambil membalikkan
tubuhnya lagi menghadap enci dan adik yang istimewa ini.
"Cici, hatiku sakit sekali olehnya. Aku akan mati
penasaran kalau kau belum membalaskan sakit hatiku !”
Lagi-lagi gadis manis itu me rajuk, kini dengan mulut hampir
mewek,
"Biar lain kali kita mencari dia, moi-moi. Sahabat,
siapakah namamu agar lain kali kami dapat mencarimu
untuk membikin perhitungan !” tanya gadis cantik
be rpakaian pria.
Tiang Bu menjura. "Namaku Tiang Bu kalian siapakah?”
"Cih, tak tahu malu?” gadis berwajah manis itu
menyemprot. "Tanya-tanya nama gadis mau apakah? Lakilaki
ceriwis, Mari pergi, cici !" Dengan tangan kiri memegang
pakaian di bagian pinggang supaya tidak me lorot dan tangan
kanan menarik tangan cicinya, gadis ini pergi dengan
bersungut-sungut. Encinya diam saja dan bahkan membawa
adiknya ke tempat kuda mereka berada.
27
"'Tidak memberi tahu juga baik.” Tiang Bu mengomel.
"Selanjutnya aku akan menyebut kalian enci dan adik
tukang rampok!"
Kani gadis ayu berpakaian pria itu berhenti dan menoleh.
Senyum dan kerlingan manis sekali. "Saudara Tiang Bu,
namaku Pek Lian dan adikku ini Ang Lian.” Setelah berkata
demikian, ia mengajak adiknya melompat ke atas kuda dan
di lain saat dua ekor kuda itu membedal cepat sekali pergi
dari situ. Tiang Bu melihat mereka membawa empat buah
bungkus an kecil, akan tetapi ia tidak tahu dan juga tidak
perduli. Ang Lian berarti Teratai Merah dan Pek Lian berarti
Teratai Putih. Nama-nama yang bagus, seperti orangnya
akan tetapi betul-betulkah itu nama me reka ? Mengapa tidak
pakai she? Tiba-tiba Tiang Bu teringat akan nama sendiri
yang di perkenalkan tanpa she pula. Ia tersenyum. Mudah
saja diingat, dua orang gadis itu adalah puteri dari seorang
tokoh besar berjuluk Huang-ho Sian-jin.
Ia lalu meruntun kuda-kuda yang menarik kereta itu,
dibawa kembali ke tempat pertempuran tadi, Lu Tiang Sek
dan kawan kawannya yang sudah siuman dan tadinya
bingung sekali, menjadi girang bukan main melihat kereta
mereka dituntun kembali oleh seorang pemuda tanggung
yang tidak mereka kenal.
"Nih, terima kembali keretamu,” kata Tiang Bu. "Baiknya
aku kenal dua orang gadis itu dan aku berhasil membujuk
mereka mengembalikan kereta dan isinya. Mereka itu tidak
bermaksud jahat, hanya ingin main-main belaka." Ia
tertawa.
Lu Tiang Sek terheran-heran, akan tetapi cepat menjura
menghaturkan terima kasih menanyakan nama pemuda ini.
Tiang Bu tidak mau menyebutkan namanya. "Untuk apa
namaku? Tidak perlu diketahui. Asal kalian menerima
kembali kereta, cukup kan ?"
Lu Tiang Sek menyingkap tirai sutera dan ia
mengeluarkan keruan kaget. "Celaka ! Peti sepasang Kilin
28
titipan Pangeran Wanyen Ci Lun telah dibongkar dan isinya
lenyap!”
Seruan ini membuat Tiang Bu kaget setengah mati.
Bukan kaget karena hilangnya benda itu, akan tetapi
te rutama sekali kaget mendengar dis ebutnya nama Pangeran
Wanyen Ci Lun.
"Apa kau bilang ? Siapa punya yang hilang ?"
"Sahabat, kaulihat sendirilah,” kata Lu Tiang Sek sambil
membuka tirai. Betul saja sebuah peti hitam yang indah,
berukirkan sepasang Kilin di atas tutupnya, telah terbuka
dan isinya lenyap, “Peti ini menurut keterangan Kwee-taijin
adalah titipan Wanyen Ci Lun maka harus dijaga sangat
hati-hati. Celakanya, sekarang lenyap !” Ia membantingbanting
kaki.
"Tentu mereka yang ambil ..... “ kata Tiang Bu perlahan,
masih bingung karena bagaimana Pangeran Wanyen Ci Lun
bisa menitipkan sebuah peti berisi barang barang berharga
pada pembesar she Kwee itu?
Sementara itu, Lu Tiang Sek dan kawan-kawannya
memandang kepada Tiang Bu dengan mata penuh arti, juga
mereka mulai mengurungnya.
"Sahabat muda, kau tadi bilang kenal baik dengan
mereka ?”
'Ya, habis mengapa ?"
"Kalau kau kenal baik be rarti kan sudah bersekongkol
dengan mereka untuk mencuri isi peti itu. Ha, kau adalah
pembantu mereka!"
"Ngaco! Gila! Aku bukan apa-apanya dan aku tidak turut
mengambil barang. Sungguh mati aku tidak pernah mengira
bahwa mereka sudah mengambil barang dari dalam kereta.
Kalau aku tahu........... hemm, tentu kuminta barang itu
kembali.”
29
"Siapa namamu? Kami harus menangkapmu sebagai
saksi........... " kata Lu Tiang Sek. Akan tetapi, berkelebat
pemuda itu telah melompat jauh dari tempat itu, hanya
terdengar suaranya meninggalkan pesan.
“Kalian cari sendiri, aku tidak bersekongkol dengan
mereka !"
Tiang Bu cepat sekali mengejar dua orang gadis yang
telah lama melarikan diri menunggang kuda tadi. Kini
te ringatlah Tiang Bu akan bungkusan bungkusan yang
dibawa oleh dua orang gadis itu. Mengapa ia begitu bodoh?
Ketika ia sedang menghadapi gadis yang menyerargnya di
atas kereta, tentu gadis ke dua, yang berpakaian pria dan
lebih tinggi kepandaiannya, mempe rgunakan kesempatan itu
untuk memasuki kereta dan membuka peti mengambil
isinya. Dan isi peti itu milik Pangeran Wanyen Ci Lun Ia
harus mendapatkannya kembali. Inilah pembuka jalan
baginya untuk menghadap pangeran itu.
Hari telah malam ketika ia tiba di kota Wukeng. Dari
penyelidikannya ia tahu bahwa, dua orang gadis yang
dikejarnya itu bermalam di sebuah rumah penginapan di
kota ini. Cepat ia melakukan penyelidikan dan akhirnya ia
melihat bahwa dua orang gadis itu bermalam di Hotel "Peng
An Likoan". Hatinya menjadi lega dan dia sendiri bermalam
di sebuah kelenteng yang mempunyai ruang depan lebar dan
hwesio hwesionya ramah. Menjelang tengah malam, dengan
kepandaiannya yang tinggi, Tiang Bu pergi dari kelenteng itu
tanpa diketahui oleh siapapun. Ia melompat ke atas genteng
dan berlari -lari tanpa mengeluarkan suara menuju ke Hotel
Peng An.
Siang tadi ia telah menyelidiki dari pelayan Hotel Peng An
bahwa dua orang gadis itu bermalam di kamar bagian
belakang. Dengan tubuh ringan Tiang Bu menuju ke bagian
ini.
Alangkah herannya ketika ia mendapat kenyataan bahwa
kamar dua orang gadis itu masih terang, lampu di dalamnya
30
belum dipadamkan. Ketika ia mengintai, ternyata dua orang
itu dengan pakaian masih seperti siang tadi, duduk
bercakap-cakap di dalam kamar, agaknya memang tidak
akan tidur malam itu.
“Cici, aku ingin sekali melihat semua isi kantong-kantong
ini .... " terdengar Ang Lian berkata perlahan.
"Hush, untut apa? Paling-paling isinya seperti yang kita
lihat di kantong pertama tadi, emas dan batu permata. Ayah
memang menduga tepat. Orang-orang macam pembesar
Kwee itu, setelah mengundurkan diri dari jabatannya, pasti
sudah mengumpullan banyak harta, hasil pemeras an dari
rakyat jelata. Kita harus hati-hati, moi-moi. Siapa tahu
kalau- kalau orang dari Siang-kim-sai Piauw-kiok akan
datang mengejar dan merampas kembali kantong-kantong
ini."
“Aaah, tikus-tikus macam itu mana berani. Andaikata
beranipun, perlu apa dikhawatirkan. Mereka itu hanya
gentong-gentong kosong. Paling-paling yang berani mengejar
hanya si pemuda hidung pesek bibir tebal seperti monyet
hitam itu..........”
"Hush, moi-moi. Kau benar-benar lancang mulut. Kulihat
pemuda itu bukan orang sembarargan, dia tentu murid
orang sakti, aku mempunyai dugaan bahwa dia itu biarpun
kelihatan sederhana tentu seorang pendekar besar........”
Mendengar ucapan Pek Lian ini, hati Tiang Bu berdebar,
mukanya menjadi panas dan tentu berwarna merah sekali
kalau saja kelihatan.
Ang Lian tertawa cekikikan. "Hi hi hi agaknya cici te rtarik
hati kepadanya, ya? Awas, kuberi tahu pada ayah nanti...... "
"Kurang ajar, mulutmu benar jahat ! Awas kau, sekali
lagi bicara begitu, kucubit bibirmu!"
"Ampun, cici aku cuma main-main. Orang secantik
engkau mana sudi dengan pemuda muka monyet itu ? Eh,
31
cici, bunglutan yang satu ini agak lain, lebih ringan akan
tetapi dari sini mengeluarkan bau harum yang aneh. Aku
ingin melihat isinya." Setelah berkata demikian, Ang Lian
membuka ikatan mulut bungkusan itu.
Kini pe rhatian Tiang Bu dicurahkan ke bawah lubang
kecil dari mana mengintai. Bungkusan itu dibuka dan
terdengar seruan heran dari dua orang gadis itu. Tiba-tiba
terdengar suara “kok ! kok ! kok!” yang keras sekali.
“Cici, cepuk ini ada kodoknya !”
“Moi moi, cepat tutup kembali......! Awas jangan sampai
ia terlepas !"
"Gila betul, mengapa kodok saja disimpan? Dan dalam
cepuk emas berukir begini indah?"
“Moi-moi, apa kau lupa akan cerita aneh ? Di dalam
istana kaisar terdapat banyak barang-barang pusaka. Kalau
aku tidak salah ingat, katak macam ini tentulah seekor di
antara banatang- binatang ajaib yang dapat dipergunakan
sebagai obat mempunyai khasiat luar biasa lain, entah apa
khasiatnya. Binatang seperti ini tentu jauh lebih berharga
dari pada semua barang permata atau emas.”
"Dan ini, apakah ini........... ? Eh, eh, eh, mengapa
tanganku terbetot ........... !" Ang Lian memegang sebuah
benda hitam di tangan kanan yang nampaknya berat
biarpun besarnya hanya seperti kepalan tangan orang. Ia
menarik-narik tangan kirinya yang terbetot ke tangan kanan,
akhirnya terdengar suara "ting!" dan gelang di tangan kirinya
te rbetot dan nempel pada benda hitam itu.
“Hebat, ini tentu besi sembrani seperti yang sering kali
disebut-sebut oleh ayah! Moi-moi, dalam kantong ini terisi
benda-benda ajaib yang jauh lebih berharga dari pada
kantong kantong lain. Lekas kita tutup kembali. Aduh, ayah
pasti akan girang sekali melihat serous popwee (jimat) ini!"
32
Kemudian enci dan adik ini berjaga terus sambil
bercakap-cakap lirih. Tiang Bu manjadi serba salah. Ingin
turun tangan merampas kantong- kantong itu, tentu akan
menimbulkan keributan. Maka iapun menanti saja.
Menjelang pagi, dua orang gadis itu meninggalkan kamar
dengan jalan melompati jendela, terus menuju ke kandang
kuda. Tiang Bu maklum bahwa mereka tentu akan pergi
pagi-pagi sebelum orang-orang lain bangun.
Benar saja, tak lama kemudian dua oran gadis itu
melarikan kuda mereka keluar kota menuju ke utara.
Masing-masing membuwa dua buah kantong yang dijadikan
satu dengan sambungan tali panjang dan tali ini
digantungkan di pundak sehingga dua buah kantong itu
tergantung di depan dan belakang.
Dapat dibayangkan betapa kage tnya dua orang gadis ini
ketika tiba-tiba sesosok bayangan hitam yang gesit sekali
muncul di depan mereka. Sekali mengge rakkan kedua
tangannya dua ekor kuda tunggangan mereka meringkik dan
ketakutan berdiri di atas kedua kaki belakang. Tentu saja
dua orang gadis itu menjadi kaget dan cepat menekan kuda
mereka. Lapat-lapat mereka melihat pemuda yang bernama
Tiang Bu itu sudah bergerak ke arah mereka dan di lain saat
bungkusan-bungkusan itu telah direnggut dari pundak
mereka! Perbuatan ini dilakukan cepat sekal i dan pada saat
mereka sedang sibuk menguasai kembali kuda mereka maka
tidak sempat mencegah. Ketika mereka berseru kaget,
pemuda itu telah lari cepat ke utara!
"Maling busuk bertenti kau !" teriak Ang Lian marah
sekali dan dua tangannya diayun. Serr........... ! Serr........... !”
Dua batang piauw menyambar ke arah punggung Tiang Bu.
"Plak-plak Dua batang piauw itu mengenai punggung lalu
runtuh ke bawah seperti mengenai karet saja pemuda itu
berlari terus seakan-akan tidak merasa bahwa punggungnya
dihantam senjata gelap. Tentu saja Pek Lian dan Ang Lian
tidak membiarkan pemuda itu lari menggondol kantong33
kantong mereka, cepat mereka mengeprak kuda dan
membalapkan kuda tunggangan mengejar. Namun, ginkang
dan ilmu lari cepat Tiang Bu sudah demikian hebatnya
sehingga kuda-kuda itupun tak mampu menyusulnya. I lmu
lari cepat yang dipelajari oleh Tiang Bu adalah ilmu lari yang
luar biasa, kesaktian yang diturunkan oleh Tat Mo Couwsu
sendiri. Hanya sayangnya Tiang Bu belum lama
mempelajarinya sehingga yang sudah ia miliki hanya paling
banyak enam bagian saja. Seandainya ia sudah memiliki
sepuluh bagian atau se luruhnya, kiranya kecepatan kudakuda
istimewa dari utara sekali pun belum dapat
menyusulnya.
Sampai hari terang tanah, dua ekor kuda itu mnsih
membalap mengejar te rus. Akan tapi Tiang Bu juga tak
dapat meninggalkan kejaran itu. Memang ia setengah
mempermainkan dan berlari seenaknya.
"Orang yang bernama Tiang Bu!" Tiba- tiba terdengar
suara Pek Lian. "Kalau kau memang laki-laki sejati, jangan
main lari. Mari kita mengadu kepandaian sampai seribu
jurus!"
Mendengar ini, Tiang Bu tertawa ia menghentikan
larinya, membalikkan tubuh menanti datangnya dua dara
itu sambil tersenyum. Dua orang gadis itu me lompat turun
dari kuda dan sambil berlompat-lompatan menghampirinya,
Ang Lian menjadi merah mukanya seperti namanya, cicinya
marah akan tetapi , hanya kelihatan dari sinar matanya saja.
"Tentu saja aku laki -laki s ejati karena bukan seorang
wanita yang menyaru laki-laki,” kata Tiang Bu sambil
memandang kepada Pek Lian. Entah mengapa. Tiang Bu
merasa senang sekali menggoda wanita, perasaan suka
menggoda ini datang dari dalam dirinya tanpa dapat ditahan
atau dicegahpula. Ia mempunyai perasaan suka
mempermainkan atau menggoda wanita, sungguhpun hati
nuraninya membatasi dirinya dalam godaanini , dan
karenanya ia tidak sudi mempergunakan kata-kata yang
34
tidak sopan. Ia menggoda hanya karena dorongan hati
bukan menggoda dengan maksud-maksud yang kotor.
Mendengar kata-kata Tiang Bu itu, Pek Lian menjadi
terte gun dan merah mukanya. Manis benar gadis ini ketika
dengan malu-malu ia menunduk dan menyapu pakaian
sendiri dengan lirikannya. Di lain fihak, Ang Lian sudah tak
dapat menahan marahnya. Sambil menudingkan pedangnya
ke arah hidung Tiang Bu, ia menyemprot.
“Monyet hitam, kau cengar-cengir menggoda cici benarbenar
sudah bos an hidup! Hayo serahkan empat bungkusan
itu berikut kepalamu !” Sambil terkata demikian, Ang Lian
mengayun pedangnya melakukan serangan kilat.
"Hayaaa ...... !" Sambil tertawa-tawa Tiang Bu mengelak
ke kiri sehingga pedang itu berkelebat di pinggir tubuhnya.
“Galak amat ! Kau ini bocah perempuan berani main-main
pedang tajam, apa tidak takut, nanti mengenai baju sendiri
sehingga robek ?”
Ang Lian menjadi makin merah mukanya karena godaan
ini mengingatkan ia akan pengalamannya di hari kemarin,
betapa pakaiannya sampai kedodoran, bahkan ia sampai
terjatuh ke dalam pangkuan pemuda ini.
"Tikus sawah, mampus kau !” makinya dan pedangnya
berkelebat mengurung tubuh Tiang Bu. Harus diakui bahwa
ilmu pedang gadis itu cukup lihai, cepat, kuat dan sukar
diduga gerakan-gerakannya. Akan tetapi ia menghadapi
Tiang Bu, murid tunggal dua orang kakek sakti Omei-san,
maka selalu sambaran pedangnya hanya mengenai angin
saja. Tiba-tiba Tiang Bu menggerakkan tangan kiri dan jari
telunjuknya menyentil ke arah pedang dari samping.
"Tringg. ....!” Tanpa dapat ditahan lagi oleh Ang Lian,
pedangnya sendiri yang terkena sentilan kuat itu terpental
membalik dan menyerang pundak sendiri.
"Brett!........... ! Ayaaaaa........!!” Ang Lian menjerit dan
melompat ke belakang, mukanya menjadi pucat. Masih
35
untung baginya bahwa dalam menyentil pedang tadi Tiang
Bu masih ingat dan tidak bermaksud mence lakainya. Kalau
sentilan itu dirubah arahnya dan pedang bukan membalik
ke pundak melainkan ke dada atau pe rut, tentu lain lagi
akibatnya. Kini yang terobek oleh ujung pedang hanya
pakaian di atas dan yang kelihatan hanya sediki kulit leher
dan pundak yang putih halus. Coba kalau yang robek itu
bagian dada atau perut, bisa berabe! Tentu saja Ang Lian
kaget setengah mati.
"Apa kataku tadi? Bocah perempuan kecil tidak baik
bermain-main pedang, seharusnya bermain pisau dapur
membuat masakan yang lezat." Tiang Bu menggoda.
“Tiang Bu manusia sombong, kau terlalu menghina
orang!" Seru Pek Lian dan gadis ini menggerakkan pedang
menyambar leher sedangkan tangan kiri menyusul dengan
pukulan. Gerakan tangan kiri itu adalah gerakan yang
disebut Hio te-boan-hwa (Di Bawah Daun Mencari Bunga),
sedangkan pedang itu melakukan serangan dengan gerak
tipu Bi-li-tauw-su ( Gadis Cantik Menenun ). Sekaligus dapat
mempergunakan dua macam gerak tipu, ilmu pedang dan
ilmu tangan kosong, benar-benar sudah membuktikan
kelihaian gadis ini. Juga macam serangannya itu merupakan
serangan berantai, jadi memang sudah terlatih
menggunakan serangan be rganda, setiap serangan didahului
oleh angin pukulan yang dahsyat dan disertai kecepatan
mengagumkan.
"Pantas dia bisa membongkar pe ti tanpa kuketahui,
kiranya ia jauh lebih lihai dari adiknya .....” pikir Tiang Bu
yang cepat-cepat melompat ke belakang sambil mendorongkan
tangan kirinya menangkis pukulan gadis itu.
Pek Lian tidak mau kepalan tangannya bertemu dengan
telapak tangan lawan, cepat ia menarik pulang kepalan
tangannya dan dua kali melangkah maju ia sudah mengirim
serangan berganda lagi, pedangnya membuat gerak tipu Bili-
hoan-mo (Gsdis Cantik Menukar Payung) sedangkan
36
kepalan kirinya kembali meryerang dengan tangan terbuka
mencengkeram ke arah dada lawan dengan gerak tipu Siuko-
hian-hwa (Mengambil Buah Memberi Bunga). Gerakangerakannya
cepat namun indah sekali,. lemah gemulai
seperti menari, akan tetapi jangan kira "tarian" ini tidak
berbahaya karena salah-salah leher bisa terpenggal putus
dan dada bisa dicengkeram sampai hancur tulangtulangnya!
Tiang Bu hendak mencoba kepandaian gadis ini.Ia
sengaja menyambuti dua serangan itu dengan kedua
tangannya pula. Tangan kirinya dibuka jarinya dan
melakukan gerakan menyampok pinggiran pedang,
sedangkan tangan kanan memapaki cangke raman gadis itu,
menggantikan atau mewakili dada. Pedang itu tersampok ke
pinggir hanya mencong dan menyeleweng saja, tidak
membalik seperti Ang Lian tadi, sedangkan tangan Tiang Bu
dekat pergelangan kena dicengkeram.
Pek Lian menjadi kaget setengah mati. Jarang ada orang
be rani menghadapi pedangnya hanya dengan sampokan jarijari
tangan saja, namun toh pemuda ini sudah berhasil
menyampok pedangnya sampai menyeleweng, dan
cengkeramannya dengan gerak tipu Siu-ko hian-hwa tadi
bukanlah sembarangan mencengkeram, melainkan sebuah
gerakan dari Ilmu Mencengkeram Liong jiauw-kang
(Cengkeraman Kuku Naga). Akan tetapi mengapa setelah
mengenai tangan pemuda itu, menjadi musnah tenaganya
dan cengkeraman itu hanya berubah menjadisemacam
cubitan tak berarti saja?
“Aih ...sih…., bertempur ya bertempur, tapi jangan main
cubit, eh........... !" kata Tiang Bu sambil tersenyum dan
menggosok-gosok tangannya yang kena "cubit" tadi.
Karuan saja Pek Lian menjadi malu dan marah, apalagi
ketika Ang Lian te rtawa kecil ditahan-tahan di belakangnya,
lalu berkata lirih, "Kok mencubit, bagaimana sih cici ini?”
37
Saking marahnya Pek Lian menjadi pucat mukanya. Ia
mengeluarkan suara bersuit keras dan pedangnya bergerak
lagi, kini melakukan serangan-serangan nekat dan
berbahaya sekali. Mendengar suara sultan ini. Ang Lian
menutup menutup mulutnya karena tahu bahwa cicinya
marah sekali. Ia lalu menggerakkan pedangnya pula
membantu saudaranya mengeroyok Tiang Bu.
Tiang Bu memang tidak berniat melukai dua orang dara
ini, hanya ingin merampas kembali barang-barang itu dan
mengembalikannya kepada Pangeran Wanyen Ci Lun. Iapun
kaget mendengar suitan ini yang ia tidak tahu apa
maksudnya. Tiba-tiba diri arah utara terdengar suara suitan
semacam itu, akan tetapi jauh lebih nyaring dan panjang,
tanda bahwa yang bersuit itu memiliki khikang jauh lebih
tinggi dari pada Pek Lian.
"Ceng moi datang ....... bagus..... !” seru Ang Lian ketika
mendengar suitan tadi.
Tiang Bu merasa sudah cukup menggoda maka iapun
melompat mundur dengan cara terus lari ke utara. Dua
orang gadis itu mengejar, akan te tapi mana mereka dapat
melawan Tiang Bu yang mengerahkan ginkangnya? Di atas
kuda saja mereka tadi masih belum mampu mengejar Tiang
Bu. Apalagi sekarang Tiang Bu mengerahkan ilmu lari
cepatnya dan mereka hanya menge jar dengan berlari saja.
Sebentar saja mereka tertinggal jauh.
Dari arah depan terdengar derap kaki kuda dan
muncullah seekor kuda hitam yang tinggi besar dan kuat
sekali yang berlari seperti terbang cepatnya di tengah tengah
debu yang mengebul tinggi. Di atas kuda hitam itu duduk
seorang gadis muda berusia antara lima belas tahun,
tubuhnya kecil ramping dan mukanya ayu dan angker
seperti muka orang yang biasa dipandang tinggi. Gadis itu
tangan kirinya memegang kendali, tangan kanan memegang
sebatang ranting yang agaknya dipergunakan sebagai
cambuk.
38
Melihat munculnya kuda hitam dengan penunggangnya
gadis tanggung itu, Pek Lian berseru girang, "Ceng moi ......!
tolonglah ! Orang itu telah mencuri empat bungkusan kami
….. !"
Mendengar seruan ini diam-diam Tiang Bu mendongkol
sekali. Gadis itu telah memutarbalikkan kenyataan,
pikirnya. Mereka yang menjadi perampok, sekarang
menuduh dia mencuri bungkusan-bungkusan itu.
Sebaliknya, gadis ayu yang menunggang kuda itu, tiba-tiba
menarik kendali kuda dan serentak kuda hitam itu be rhenti.
Debu mengebul tinggi, Tiang Bu kagum bukan main.
Menghentikan kuda berlari cepat secara mendadak seperti
itu benar-benar bukan hal yang mudah, selain
membutuhkan kemahiran menunggang kuda, juga harus
memiliki ilmu lweekang yang disebut Jian- kin-kang (Tenaga
Setibu Kati), yaitu ilmu memberatkan tubuh sehingga dapat
menindih dan mengalahkan tenaga lari kuda itu demikian
besar dan kuat sedangkan gadis itu demikian kecil, benarbenar
sukar untuk dipercaya kalau tidak menyaksikan
sendiri.
Pada saat Tiang Bu masih bengong saking kagumnya,
gadis itu sudah 'melayang’ dari atas kuda ke dekatnya.
Memang gadis itu se olah-olah me layang, bukan melompat.
Demikian ringan tubuhnya serta gerakannya tadi seakanakan
dia hanya sehelai bulu, terbawa angin saja. Kemudian
sebelum Tiang Bu hilang kagetnya, gadis itu sudah
menggerakkan rantingnya, cepat sekali rantingnya menusuk
ke depan. "Cus! Cus! Ujung ranting itu menyolok sepasang
mata Tiang Bu dengan gerakan cepat sekali.
Tentu saja Tiang Bu tidak membiarkan sepasang mata
yang hanya satu-satunya dicolok buta, cepat ia mengelak
dan sebagai balasan tangan kirinya menotok ke arah iga
lawan untuk mencari sasarannya. yaitu Yan-goat-hiat. Jalan
darah Yan-goat -hiat ini letaknya di dekat ketiak, kalau
terkena orang akan menjadi kaku seperti patung.
39
Akan tetapi hebat benar gerakan dara ini . Ia lincah dan
gesit, juga kedua kakinya melakukan langkah yang aneh
mirip langkah ilmu Silat Pat-kwa-kun-hwat. Tahu-tahu gadis
itu sudah miringkan tubuh ke kanan, kaki kiri diangkat ke
samping menginjak belakang lutut kaki kanan Tiang Bu dari
samping. dan hebatnya rantingnya bekerja cepat sekali dan
tahu-tahu tali yang menyambung dua buah kantong dan
te rgantung di pundak Tiang Bu telah putus! Tangan ki ri
gadis itu diulur, menyambar kantong ke dua. Dengan
demikian, dalam gebrakan pertama saja gadis ini sudah
berhasil merampas dua kantong dan yang tergantung di
pundak Thing Bu kini tinggal dua kantong lagi.
"Jangan takut, jiwi cici. biar siauw-moi yang merampas
kembali barang-barangmu dari maling kecil ini !"
Melihat kelihaian gadis muda ini, Tiang Bu tertarik sekali
dan merasa suka dan sayang. “Masih begini muda. lebih
muda dari pada Ang Lian, ternyata sudah memiliki ilmu silat
yang hebat dan aneh! Akan tetapi ia mendongkol juga karena
gadis ini amat memandang rendah kepadanya bahkan
memakinya maling kecil. Hemm, baru berhasil menipuku
begitu saja sudah membuka mulut besar, pikirnya gemas.
"Siapa maling kecil? Nona cilik, biarpun kaki tanganmu
lincah dan pandai, ternyata otakmu bodoh. Mudah saja
ditipu orang. Me reka berdua itu adalah perampok keji yang
merampok barang-barang ini di tengah hutan, sekarang
mereka menuduh aku yang mencuri barang-barang mereka,
bukankah itu sama halnya dengan maling berteriak maling?
Dan kau percaya saja. membantu perampok. Apakah kau
juga sebangsa perampok?"
"Eeh, kau kurang ajar sekali! Kau bilang kami perampok
dan menghina kami. Andaikata kami betul perampok, habis
kau sendiri apakah? Kau hanya maling kecil yang mencuri
hasil rampokan kedua cici ini." Gadis muda itu menegur
sambil tersenyum sindir dan ujung rantingnya sudah
40
ditodongkan ke arah leher Tiang Bu tepat di atas jalan darah
Tiong-eu-hiat.
"Aku Tiang Bu seorang laki-laki sejat i, tidak sudi menjadi
maling! Dua orang bocah itulah yang terang-terangan
merampok barang yang dikawal oleh orang-orang Siang-kim
sai Pioauw-kiok. Aku merampas empat buah kantong ini
bukan dengan maksud menjadi maling, melainkan hendak
kukirimkan kembali kepada pemiliknya, Pangeran Wanyen
Ci Lun di kota raja."
Gadis yang baru datang ini mengangkat kedua alisnya
yang hitam dan sepasang mata bintang itu bersinar bersinar
penuh selidik kemudian ia tertawa geli. "Kau........... ? Kau
mengira orang macam apa kau ini? Berlaku gagah-gagahan,
memangnya kau pendekar sakti dari mana sih ? Ketahuilah,
manusia sombong, kedua cici itu adalah anak-anak dari
Huang-ho Sian-jin!"
"Kau yang sombong, bukan aku!" Tiang Bu menjawab
marah. "Dan aku tidak kenal s iapa itu Huang-ho Sian-jin,
mengapa kausebut -sebut? Yang aku tahu Sungai Huang-ho
adalah sungai yang jahat, suka mendatangkan banjir dan
malapetaka kepada rakyat, mana bisa ada Sian-jin (Manusia
Dewa) di sana? Paling-paling yang ada tentu Huang ho Yauw
koai (Siluman Huang ho) apa kau kenal dengan dia?”
Gadis lincah itu tertawa geli, “Kau betul, kau betul !”
Rantingnya diturunkan ia perlu mempergunakan tangan
menekan perut menahan geli. “Krucuk atau cacing cauk
macam kau ini mana mengenal nama Huang ho Sianjin ?
Dia memang betul ada itu Huang-hu Youw koai. Justeru
karena Youw koai itu pada saat ini sedang mengamuk, maka
kedua cici ini datang dan merampas harta dari segala
macam okpa (hartawan kejam) seperti bekas menteri dari
Kerajaan Kin itu !'
Tiang Bu menjadi bengong dan tidak mengerti, ia merasa
dipermainkan, akan tetapi biarpun nona cilik ini sikapnya
jenaka dan lincah, akan tetapi kiranya kata-kata seperti itu
41
bukan bermaksud mempermainkan. “Apa artinya kata
katamu itu? Coba jelaskan, aku juga bukan orang yang mau
menang sendiri."
'Adik Ceng Ceng terhadap maling ke cil ini mengapa mesti
banyak bicara ? Banting s aja biar gepeng !" kata Ang Lian
yang gemas me lihat Tiang Bu karena beberapa kali ia
dipe rmainkan dan dikalahkan.
“Hush, moi-moi, jangan ganggu Ceng-moi !” Pek Lian
mence la adiknya.
Aneh, tiba-tiba gadis yang dipanggil Cang itu mengerling
ke arah Ang Lian dan bibir yang manis itu cemberut.
"Enci Ang Lian, mengapa tidak dari tadi kaubanting
sampai gepeng orang ini dan membiarkan dia me rampas
empat kantongmu?”
Merah wajah Ang Lian. "Aku ..... aku...” katanya gagap.
(Bersambung jilid ke XIII )
1
(PEK LUI ENG)
Karya: Asmaraman S. Kho
Ping Hoo Scan djvu :
syauqy_arr
Convert & edit : MCH
Jilid XIII
“CENG-MOI, kau teruskanlah. Kami berdua sebetulnya
tadi sudah menyerangnya dan kami kalah." kata Pek Lian.
Suaranya lemah-lembut penuh kejujuran dan diam-diam
Tiang Bu memuji nona berpakaian pria itu, juga merasa
kasihan.
“Bukan kalah, memang belum bertempur sungguhsungguh
dan aku yang mendahului lari cepat-cepat. Kalau
bertempur sungguh-sungguh, nona yang berpakaian pria itu
lihai bukan main, aku tidak berani memastikan akan
menang.”
Ceng Ceng menyentak Tiang Bu. "Kau kasihan kepada
enci Pek Lian, ya? Kau......... kau……. tergila-gila kepadanya
agaknya, ya? Jangan kau kurang ajar, manusia tak tahu diri
!”
Thing Bu kaget bukan main. Perangai nona cilik ini,
benar-benar aneh. Baru saja ramah-tamab sekali, tahu-tahu
seperti minyak dijilat api, tiba-tiba marah-marah seperti
orang mabok. Saking herannya Tiang Bu memandang
bengong.
2
"Jiwi cici, jangan salah s angka. Aku sengaja memberi
penjelasan kepada bocah ingusan ini……”
"Aku bukan bocah ingusan, kau ......... bocah sombong!”
Tiang Bu be rte riak marah karena beberapa kali ia dihina.
Ceng Ceng tersenyum mengejek dan tidak
memperdulikannya, "Bocah rewel dan manja ini harus diberi
penjelasan agar nant i kalau mampus olehku dia tidak
penasaran lagi. Jangan sampai arwahnya menghadap Giamkun
(Raja Maut) dan melaporkan bahwa kita ini perampokperampak
jahat, kan cialat (celaka) untuk kita!"
Terpaksa Ang Lian dan Pek Lian tersenyum lagi dan
kembali sikap Ceng Ceng seperti tadi, manis jenaka. "Bocah,
kau mau tahu segalanya, bukan? Nah, kau dengar baikbaik.
Pada dewasa ini, Huang-ho Yauw-koai iblis di Sungai
Huang-ho yang agaknya kalau bukan ayahmu tentu
mertuamu itu…..”
"Setan kau ..... !" Tiang Bu memaki.
"Iblis sungai itu sedang mengamuk." Ceng Ceng
melanjutkan, tidak perduli akan makin Tiang Bu, "membuat
air sungai membanjir dan banyak rakyat kehilangan semua
benda bahkan banyak yang kehilangan nyawa. Akibatnya
kelaparan merajalela.Nah, ayah mengajak aku mengunjungi
Huang-ho Sian-jin yang seperti biasa tiap tahun kalau
terjadi banjir, sibuk menolong rakyat.
Kali ini benar benar dibutuhkan banyak uang untuk
mencegah orang-orang mati kelaparan, maka sengaja
Huang-ho Sian-jin mengutus dua orang anaknya untuk
merampas harta yang tidak halal dari pembesar tukang
catut itu. Aku diperintah oleh ayah untuk mengamat-amati,
takut kalau-kalau ada bocah-bocah ingusan nakal macam
engkau ini mengganggu jiwi cici di tengah jalan."
"Bagaimana kau tahu kalau barang-barang berharga
yang dirampok ini barang barang tidak halal?"
3
“"Ho-ho kau tidak saja masih ingusan, bahkan kepalamu
masih berbau bawang (sindiran untuk orang yang masih
hijau). Masa gitu saja tidak tahu? Biarpun masih pelonco,
kalau sudah terjun di dunia kangouw harus tahu
membedakan ini. Bangsat she Kwee itu adalah seorang
pengkhianat yang mengekor Kerajaan Kin. Tadinya ia miskin
akan tetapi setelah bekerja di sana, memperoleh kekayaan
berlimpah-limpah dan sekarang karena takut akan serbuan
balatentara Mongol, ia membawa hartanya lari ke selatan.
Dari mana lagi ia mendapat harta begitu banyak kalau
bukan dari memeras rakyat dan mencatut Kerajaan Kin? Dia
bukan pedagang yang bisa menarik banyak keuntungan.
Apakah orang macam itu harus didiamkan saja, dia memang
banyak harta rakyat sampai berlebih-lebihan, tidak habis
biarpun dimakan oleh anak cucunya sampai tujuh turunan,
sedangkan rakyat di sepanjang lembah Huangho menderita
kelaparan?"
"Hemmm, kalau betul kata-katamu ini, memang usaha
kalian hebat sekali, patut dipuji. Akan tetapi, aku
mendengar dari orang-orang Siang kim-sai Piauwkiok,
benda-benda di dalam peti ukiran Kilin itu adalah milik
Pangeran Wanyen Ci Lun yang dititipkau. Kilian tidak boleh
mengganggu miliknya. Aku mendengar bahwa Pangeran
Wanyen Ci Lun adalah seorang gagah yang berbudi." kata
Tiang Bu.
"Kau mendengar. kau mendengar..... agaknya kau terlalu
mengandalkan daun telingamu yang lebar seperti telinga
gajah itu. Tidak perduli Wanyen Ci Lun seorang baik seperti
dewa, namun ia tetap seorang pangeran yang takkan
mampus kelaparan kalau hartanya yang sebegini saja
diambil orang. Sebaliknya, harta ini bisa menolong nyawa
ribuan, bahkan puluhan ribu orang di sepanjang sungai
yang pada saat ini sudah hampir mati kelaparan !"
4
Tiang Bu melongo. Baru kali ini ia mendengar pidato
yang begitu panjang akan tetapi mengenai betul pada
hatinya. Tepat dan hebat.
"Kau betul...." akhirnya ia berkata. "Akan tetapi aku
masih belum percaya. Aku harus menyaksikan sendiri. Dan
lagi, kau ini siapakah begini pandai bicara seperti tukang
jual obat?”
“Ha, jadi kau sudah percaya? Kalau begitu lebih baik lagi.
Tak usah aku menambah dosa mengantar nyawamu ke alam
baka. Serahkan yang dua bungkus itu dan pergilah kau
cepat-cepat."
"Eh, eh, nanti dulu, nona cilik."
"Aku tidak cilik lagi. Usiaku sudah lima belas tahun,
tahu ?!"
"Benarkah?” Tiang Bu sekarang mendapat kesempatan
membalas godaan-godaan dan hinaan tadi. ia tersenyum dan
matanya berseri-seri. "Kau tidak patut kalau berusia lima
belas tahun pantasnya kau......... sembilan tahun atau dua
puluh tahun."
“Kau edan !" Ceng Ceng menjerit. "Masa kalau tidak
sembilan tahun dua puluh tahun. Te rkaan macam apa ini?"
“Dibilang sudah tua, kau suka menggoda dan menghina
orang seperti anak kecil saja, maka kau patut berus ia
sembilan tahun. Dibilang kecil, kau pandai bicara seperti
orang tua saja, maka kau tentu lebih dari dua puluh
tahun......... “
"Eh. kacoa ! Kau sudah bosan hidup, ya ......... ? Kau
mau mampus, ya... ? Hemm, sekali tusuk lenyap nyawamu.
.....” Sambil berkata demikian, gadis itu melangkah maju dan
ujung rantingnya mengancam jalan darah kematian. Ketika
Tiang Bu mundur-mundur dia maju-maju terus mengancam,
marahnya bukan main.
5
"Sudahlah, apa kau ini tukang bunuh orang? Masa
denok-denok kok keji, tidak patut, dong ! Pantasnya orang
cantik itu ramah-tamah dan halus…….”
Tangan yang memegang ranting menjadi lemas dan
ranting itu diturunkan ke bawah.
"Awas, adik Ceng Ceng. Jangan kena tipu muslihatnya.
Biarpun mukanya seperti monyet hitam, namun ia pandai
memikat hati. Cici Pek Lian sendiri hampir-hampir terpikat
olehnya.........”
"Plak !" Pipi Ang Lian kena ditampar oleh Pek Lian yang
menjadi merah sekali mukanya. "Ang Lian, sekali lagi kau
bicara begitu akan kulaporkan kepada ibu supaya kau
dirangket.”
Sementara itu, sepasangmata Ceng Ceng berapi-api
mendengar ini. Ranting di tangannya tergetar. "Betul
begitukah ? Kalau begitu harus mampus........"
"Hayaaa, kalian ini memang orang orang aneh sukar
sekali diajak urusan," kata Tiang Bu. "Aku tidak ingin
bertempur. Tentang harta ini, biarlah aku ikut kalian, aku
hendak menyaksikan sendiri apakah betul ada usaha orang
tua kalian menolong rakyat jelata yang kelaparan. Kalau
memang betul, tidak hanya empat kantong benda ini
kuserahkan dengan rela, bahkan aku sendiri bersedia
disuruh membantu apa saja untuk meringankan beban
rakyat di sana."
"Tapi kauserahkan dulu yang dua kantong itu !" kata
Ccng Ceng.
"Bodoh, mana boleh begitu ? Aku akan diejek orang di
jalan kalau membiarkan kalian orang-orang wanita
membawa barang berat sedangkan aku enak-enak saja.
Bahkan kalau kalian percaya, yang dua itu boleh
kubawakan."
6
"As taga ! Jadi dia akan melakukan perjalanan bersama
kita ? Aku tidak sudi !" kata Ang Lian.
"Jangan kuatir, enci Ang Lian. Aku tidak akan pergi
bersama-sama. Kalian boleh jalan dulu, aku menyusul
belakangan karena aku masih ada sedikit urusan di sini."
Memang Tiang Bu tentusaja tidak mau pergi begitu saja
sebelum urusannya yang penting di selesaikan, yaitu
mencari Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong di lembah Sungai
Yangce yang berada tak jauh dari kota Wu-keng. Setelah
bertemu dengan orang yang dicarinya dan urusan minta
kembali kitab beres, baru ia hendak menyusul ke lembah
Sungai Huang-ho.
Akan tetapi tentu saja Ceng Ceng tidak setuju. Selagi ia
hendak membantah, tiba-tiba terdengar derap banyak kaki
kuda dan tak lama kemudian muncullah delapan orang
penunggang kuda yang terdiri dari orang-orang bertubuh
gagah perkasa dan di tengah-tengah mereka terdapat orang
yang memegang sebuah bendera besar.
“Nah, nah, agaknya pentolan-pentolan Siang-kim sai
Piauw-kiok telah menyusul kita ...... !” kata Ang Lian dengan
nada menyesal mengapa Ceng Ceng dan Tiang Bu
membuang-buang waktu dengan mengobrol tidak karuan.
Memang dugaan Ang Lian ini betul. Yang datang adalah
Siang-kim-sai (Sepasang Singa Emas) sendiri, yaitu Twa kimsai
Yo Sang dan Ji-kim-Sai Yo Teng, diantar oleh enam orang
murid-muridnya yang pandai. Siang-kim-sai memang pantas
berjuluk Singa Emas, karena kedua saudara kakak-beradik
ini memiliki wajah yang berbentuk se gi empat seperti muka
singa, bermata lebar dan galak, bertubuh tegap kuat. Yo
Seng muka kuning sedangkan adiknya, Yo Teng bermuka
merah. Begitu mendengar laporan Lu Tiang Sek bahwa peti
berukir sepasang Kilin dirampas oleh dua orang puteri
Huang-ho Sian-jin. dua orang piauwsu ini segera membawa
murid-murid mereka melakukan pengejaran.
7
Kini melihat di tempat itu selain dua orang gadis yang
merampas barang berharga masih terdapat seorang gadis
muda dan seorang pemuda yang keduanya membawa
buntalan-buntalan itu, mereka menjadi heran akan tetapi
girang. Melihat empat kantong itu masih berada bersama
para perampok, berarti ada harapan mcrampasnya kembali.
Apalagi empat orang perampok itu hanya tiga gadis ayu dan
seorang pemuda tanggung.
"Anak-anak Huang-ho Sian-jin, kalian sungguh lancang
sekali berani mengganggu kumis singa !" datang-datang Jikim-
sai Yo Teng yang berusia empat puluh tahun dan
wataknya agak mata keranjang tak boleh melihat jidat halus
ini, berkata dengan sombong ..... "Hayo maju menghadap,
hanya kalau kalian mengembalikan barang rampasan dan
minta maaf sambil berlutut baru kami dapat mengampuni
kalian!”
"Enci Pek, kaulihat dia ini. Mengakunya singa akan tetapi
kalau kulihat baik-baik kok mukanya kaya kucing pemakan
bangkai ?”
"Mai moi, jangan bergurau, mari kita siap menghadapi
Siang kim-sai," jawab Pek Lian s ambil melangkah maju dan
mencabut pedangnya. Kemudian ia berkata kepada Yo Seng
dan Yo Teng, "Jiwi piauwsu mau apakah ? Memang betul
kami telah mengambil barang yang didapatkan secara tidak
halal oleh pembasar Kin pengkhianat bangsa itu."
Yo Seng sudah mendengar bahwa gadis pertama yang
berpakaian pria memiliki kepandaian tinggi, maka kepada
Pek Lian ia berkata. "Nona, melihat muka ayahmu. Huangho
Sian-jin, biarlah kita habiskan urusan ini asal saja kau
suka mengembilikan barang-barang itu. Biar lain kali kami
datang mencari ayahmu untuk menghaturkan terima kasih."
Kalau seorang piauwsu hendak mengadakan kunjungan
kepada seorang tokoh Liok-lim dan menghaturkan terima
kasih, itu artinya sang piauwsu merendahkan diri dan
8
mengalah, tentu akan datang untuk memberi "apa-apa"
sekedar tanda penghormatan.
"Tidak bisa, barang yang sudah kami rampas. tak dapat
kami kembalikan begitu saja. Kalau jiwi piauwsu ada
kemampuan, boleh coba rampas kembali," kata Pek Lian
tenang.
Mendengar ini, Yo Teng marah. "Koko, mengapa
mendengarkan ocehan bocah? Kau tangkap yang banci itu,
biar aku tangkap yang galak ini" Sambil berkata demikian,
Yo Teng menubruk maju hendakmenangkap Ang Lian.
"Kucing pemakan bangkai, mana kumismu?” Ang Lian
mengejek dan pedangnya ditusukkan ke depan menyambut
tubrukan Yo Teng. Piauwsu ini kaget sekali, dan menyesal
telah berlaku sembrono. Tak disingkanya bahwa gadis itu
memiliki gerakan yang amat cepat. Namun piauwsu ini
be rkepandaian tinggi, dan cepat ia dapat menggulingkan diri
ke kiri dan bergulingan di atas tanah menghindari kejaran
lawan.
"Hi hi hi, belum apa-apa kucing busuk sudah gulung
koming!" Ang Lian mengejek. Yo Tengmarah dan kini ia
sudah mencabut goloknya, senjata yang amat ia andalkan.
Ejekan gadis itu melenyapkan rasa sayangnya kepada gadis
berwajah manis ini. Sambil mengeluarkan geraman seperti
singa mengaum, ia menerjang lagi, mempergunakan
goloknya. Ang Lian cepat menangkis dengan pedangnya.
Tidak berani berlaku sembrono karena dari gerakan golok
lawan, ia maklum bahwa piauwsu ini kepandaiannya lihai.
Sementara itu, melihat adiknya sudah mulai bertempur,
Yo Seng juga mencabut golok dan berkata kepada Pek Lian.
"Menyesal sekali kau keras kepala. Terpaksa aku harus
melayani tantanganmu!” Setelah berkata demikian iapun
berseru keras dan goloknya be rkelebat dahsyat. Namun Pek
Lian yang sikapnya tenang itu sudah siap pula dengan
pedangnya. Dengan tangkas dan berani gadis berpakaian
9
pria ini mengangkat pedang menangkis golok, bahkan cepat
lakukan serangan balasan yang tak kalah dahsyatnya.
Hebatnya pertempuran antara Ang Lian melawan Yo Teng
dan Pek Lian melawan Yo Seng ini. Kepandaian mereka
berimbang hanya Ang Lian masih kalah kuat oleh Yo Teng
yang memiliki kepandaian sama dengan kakaknya.
Sementara itu, Tiang Bu dan Ceng Ceng hanya menonton
saja. Melihat jalannya pertandingan, Tiang Bu mengerutkan
alisnya dan merasa khawatir akan keselamatan dua orang
gadis muda itu. Keadaan Pek Lian masih tidak begitu buruk,
karena ilmu pedang dari gadis ini berar-benar lihai sehingga
tak usah kalah atau terdesak oleh lawannya, keadaan dia
dan lawannya benar-benar seimbang dan masih sukar untuk
menentukaa siapa yang akan kalah. Yo Seng lebih kuat dan
senjatanya amat berat sehingga dalam setiap bentrokan
senjata, piauwsu ini dapat melakukan tekanan-tekanan.
Akan tetapi, Pek Lian lebih lincah dan cepat maka gadis
ini dapat menutup kerugiannya kalah tenaga dengan
kecepatannya sehingga pedangnya seakan-akan mengurung
lawan. Yang amat menggelisahkan hati Tiang Bu adalah
keadaan Ang Lian. Gadis ini biarpun lihai namun ilmu
pedangnya belum sematang ilmu pedang cicinya, dan pula
gerakan-gerakanya masih ceroboh, karena Ang Lian
memounyai nafsu besar dan selalu menuruti nafsunya
hendak cepat-cepat merobohkan lawannya, akan tetapi
ternyata ia kalah setingkat oleh Yo Teng sehingga dialah
yang akhirnya terdesak oleh golok lawan.
Tiang Bu melirik ke arah Ceng Ceng yang berdiri di
sebelahnya. Ia melihat gadis ayu ini berdiri sambil
menonton, agaknya tertarik dan gembira sekali, tandanya
sepasang mata bintang itu tidak berkejap sejak tadi dan
sinarnya berseri-seri. Benar benar denok anak ini pikir Tiang
Bu dan ia kaget sekali. Lagi-lagi ada dorongan aneh dari
dalam dadanya, dorongan yang hampir sama dengan
dorongan selera orang kelaparan melihat makanan lezat.
10
Dalamperantauannya, bukan jarang Tiang Bu merasa
kelaparan karena berhari-hari tidak bertemu nasi, maka ia
sudah sering kali merasai bagaimana nafsu se leranya timbul
apabila dalam keadaan demikian itu ia mencium bau capcai
goreng atau melihat ayam panggang digantung dalam
res toran. Sekarang ia kaget sekali karena semenjak bertemu
dengan Ang Lian dan Pek Lian, nafsu selera yang hampir
sama, bahkan lebih me rangsang, selalu timbul di dalam
dadanya tiap kali ia melihat gadis cantik. Apalagi melihat
wajah Ceng Ceng dari samping ini tanpa diketahui oleh gadis
itu, benar-benar membuat ia terpesona dan dia diam-diam
Tiang Bu merjadi takut. Ia takut kalau dorongan yang
merangsang itu akan mengalahkannya, dorongan yang
mendatangkan keinginan yang maha kuat untuk menubruk
dan memeluk Ceng Ceng !
"Setan bodoh!" dengan muka panas Tiang Bu menampar
pipinya sendiri dan benar saja dorongan nafsu itu segera
terbang pergi dan pipinya terasa pedas panas . Akan tetapi
Tiang Bu masih terus menampari pipinya sampai empat lima
kali.
Mendengar suara plak plak plok di sebelahnya, Ceng
Ceng menengok dan mata serta mulutnya tadinya terbuka
lebar saking herannya, kemudian tertawa geli.
"Lho ......! Kau ini sudah kumat gendengmu ataukah
memang sebangsa o.t.m. (otak miring)? Kok pipi sendiri
ditampari, kalau sudah gatal ingin ditampar kenapa tidak
maju saja ke medan pertempuran?"
Tiang Bu bersungut-sungut. Bocah perempuan ini selalu
mempergunakan satiap kesempatan untuk mengejek dan
menghinanya. Ia melirik dan matanya yang bundar besar itu
mendelik. “Kau bisa mengejek orang, kau sendiri ini orang
macam apa? Benar-benar seorang sahabat yang bagus! Dua
orang kawanmu terancam bahaya dan kau enak-enak saja
menjadi penonton tanpa bayar, bahkan seperti kelihatan
11
senangmelihat kawan-kawan terancam bahaya. Hah, tak
tahu malu !"
"Aaahh, kau anak kecil tahu apa? Mereka itu dua lawan
dua, masa aku harus turun tangan mengeroyok ? Laginya,
membantu enci Pek Lian atau enci Ang Lien sebelum mereka
mundur dan mengaku kalah, berarti menghina mereka. Ahh,
kau ini benar -benar belum tahu apa-apa. Kasihan!"
Untuk kesekian kalinya Tiang Bu menjadi merah
telinganya. Biarpun ia mendongkol, terpaksa ia mengakui
kebenaran ucapan nona ini yang agaknya sudah memiliki
pengalaman luas dalam dunia kang-ouw. ia me lirik ke arah
muka Ceng Ceng yang berdiri di sebelah kirinya, menjadi geli
melihat wajah yang masih kekanak-kanakan itu berlagak
tua.
"Kau berkali-kali menyebutku anak kecil " kata Tiang Bu,
suaranya menyatakan kemendongkolan hati. "Padahal kau
sendiri baru berusia dua belas tahun, sedikitnya aku lebih
tua beberapa bulan atau setahun! Sepatutnya kau
menyebutku koko (kakak) kepadaku……”
Bibir gadis itu berjebi. “Cihh, siapa sudi ......... “
Pada saat itu terdengar suara keras dan pedang di
tangan Ang Lian terlempar oleh sampokan keras golok Yo
Teng. Ang Lian menge luarkan seruan kaget dan melompat
jauh sambil berseru, "Ceng moi, tolong gantikan aku ......... !"
Entah kapan ia melompat, tahu-tahu tubuh Ceng Ceng
sudah mencelat dan ujung rantingnya ditodongkan ke depan
hidung Yo Teng yang hendak mengejar Ang Lian.
"Biarkan aku menawan perampok wanita itu!” Yo Teng
berseru sambil mendelik kepada Ceng Ceng.
"Jangan maju hidungmu akan rusak !” bentak Ceng Ceng
yang tetap menodongkan rantingnya di depan hidung Ji-kimsai
Yo Teng.
12
Marahlah Yo Teng dan ketika ia memperhatikan te rnyata
gadis ini malah lebih cantik manis dari pada Ang Lian dan
lebih hebat lagi. Gadis ini di pundaknya membawa dua
kantong rampasan itu.
"Bagus, kau kutawan lebih dulu,” serunya menubruk
maju. "Rusak hidungmu!” bentak Ceng Ceng.
"Aduhhh....!” Ji-kim-sai Yo Teng menjerit dan terhuyunghuyung
ke belakang sambil memegangi hidungnya yang
sudah berlepotan darah. Ujung hidungnya yang bes ar telah
pecah-pecah terkena tusukan ranting Ceng Ceng, dan
biarpun ia tadi sudah mengelak sambil menangkis, tetap
saja hidungnya rusak.
Di samping suara ketawanya dan gelak tawa Ang Lian
yang merasa puas dan senang sekali melihat musuhnya
dibalas, terdengar suara Ceng Ceng.
“Enci Pek Lian. t inggalkan singa kertas itu, biar aku
menghadapi mereka berdua, biar lebih enak bagiku !”
Pek Lian memang sudah merasa bingung sekali karena
semenjak tadi belum juga ia dapat mendesak lawannya yang
ternyata benar-benar tangguh. Kini melihat Ceng Ceng
sudah turun tangan dan mendengar permintaannya, dengan
senang hati ia melompat mundur.
Yo Teng marah bukan main. Biarpun ia tidak terluka
parah yang membahayakan nyawa, namun hidung adalah
benda lunak dan mudah berdarah, laginya merupakan alat
penting di samping perhiasan muka yang mutlak. Kini
hidungnya dirusak, tentu saja Singa Emas ke Dua ini marah
bukan main. Sambil menggereng ia memutar goloknya, te rus
menerjang maju, sama sekali tidak perduli bahwa lawannya
hanya seorang dara belasan tahun yang bertenjatakan
sebatang ranting kecil. Akan tetapi sekali menggerakkan
kakinya melakukan langkah yang aneh Ceng Ceng terhindar
dari serangan Yo Teng dan ketika ranting diayun ke bawah
...... "tukk......... !!" disusul pekik Yo Teng lagi, kini dibarengi
13
peringisan dan kaki kirinya diangkat ke atas, ke dua tangan
memegang tulang kering kaki itu dan kaki kanan
berloncatan.
"Aduh......... kurang ajar......... aduh ...... !!" Orang dapat
membayangkan betapa sakitnya tulang kering dipukul
sampai hitam, tidak sampai remuk atau patah akan tetapi
mendatangkan rasa sakit yang membuat Yo Teng lupa akan
malu lagi berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil.
"Hi hi -hi-hi ......!" Ang Lian tertawa girang dan anak
perempuan ini juga meniru-niru Yo Teng berjingkrakjingkrak.
Melihat adiknya dipermainkan orang. Yo Seng cepat
melompat maju dan baiknya ia cukup cepat sehingga ia
dapat menangkis ranting yang kini sudah menyambar cepat
dengan totokan ke arah dada Yo Teng.
“Tranggg……..!” Yo Seng merasa telapak tangan yang
memegang gagang golok tergetar dan kesemutan. Ia kaget
bukan kepalang. Bagaimana benturan golok dengan hanya
sebatang ranting kecil mendatangkan rasa seperti itu? Ia
lebih lebih heran me lihat betapa gadis muda itu masih
remaja puteri, tak pantas memiliki lweekang setinggi itu.
“Tahan dulu l" bentaknya sambil menyeret tangan
adiknya ke belakang. Yo Seng berlaku cerdik. Karena
menduga ia berhadapan dengan orang pandai, ia sengaja
be rhenti hendak tahu siapakah lawannya berbareng
memberi kesempatan kepada adiknya untuk memulihkan
kakinya.
"Tahan tahan apa lagi! Kalian dua ekor singa kertas
menjemukan sekali. Lekas pergi dari sini kalau masih
sayang jiwa." kata Ceng Ceng dengan sikap angker.
"Kami sudah mengenal dua orang puteri Huang-ho
Sianjin. Sekarang muncul kau ini siapakah, nona? Siapa
ayahmu dan mengapa pula kau mencampuri urusan ini?
14
Apakah kau juga ingin merampas barang barang itu?" tanya
Yo Seng.
"Jangan banyak cerewet. Aku siapa tak perlu kalian tahu.
Yang penting, dua orang cici ini merampas barang untuk
menoIong rakyat, cukup. Dan aku yang akan menghajar
kalian kalau tidak lekas lekas pergi."
“Koko, hantam saja bocah kurang ajar ini!” tiba-tiba Yo
Teng berseru. Kakinya sudah tak sakit lagi dan sekarang
dengan marah ia menyerbu. Yo Seng juga menggerakkan
goloknya dan di lain saat Ceng Ceng sudah dikeroyok oleh
kakak beradik yang di daerah Kiangse sudah amat terkenal
ini.
Tiang Bu menonton dan memperhatikan ge rakan-gerakan
Ceng Ceng. Ia kagum sekali karena gerak kaki dan tangan
gadis ini benar-benar luar biasa, bahkan pada dasarnya
tidak berbeda banyak dengan ilmu-ilmu silat yang pernah di
pelajari dari kakek-kakek sakti Omei-san. Siapakah gurunya
dan siapa ayahnya ? Diam diam Tiang Bu ingin sekali tahu
akan hal ini.
Sementara itu, kedua saudara Yo yang merasa takkan
dapat menangkan gadis luar bias a ini, se gera memberi tanda
kepada murid-muridnya. Enam orang murid itu serentak
mencabut golok-goloknya. Akan tetapi baru s aja golok
dicabut keluar dari sarungnya, tiba tiba berkelebat sesos ok
bayangan dan terdengar "bayangan" itu berkata. "Tak boleh
main keroyok!” Ketika bayangan itu berkelebat dari orang
pertama, ke dua, dan selanjutnya, eh ….. tahu-tahu semua
golok telah terbang dari tangan enam orang murid Siangkim-
sai dan telah pindah ke dalam tangan Tiang Bu yang
sudah berdiri kembali di tempat semula. Kemudian dengan
masih tersenyum-senyum Tiang Bu menonton pertempuran
lagi.
Ceng Ceng lihai sekali. Biarpun ia sedang bertempur
dike royok dua orag yang tak sekali-kali boleh disebut lemah,
matanya yang tajam itu masih dapat melihat bahwa Tiang
15
Bu telah turun tangan membantunya melucuti enam orang
lawan yang hendak mengeroyok, ia menjadi gemas dan tidak
mau kalah muka. Tiba-tiba rantingnya berge rak makin cepat
lagi dan dalam enam jurus berikutnya, Yo Teng te rlempar
dalam keadaan lemas tertotok sedangkan Yo Seng te rpaksa
melompat karena goloknya terlepas dari pegangan.
Perge langan tangannya telah kena "dicium" ujung ranting
yang runcing dan kalau dia tidak cepat-cepat melompat
mundur, tentu ia sudah terguling.
"Hebat.” ia menjura, “kami mengaku kalah, nona. Akan
tetapi kuharap nona yang memiliki kepandaian tinggi cukup
bersikap gagah dan jujur, mau memperkenalkan diri kepada
kami agar kami tahu siapakah yang bertanggung jawab atas
perampasan barang-barang ini."
Ceng Ceng tersenyum mengejek. "Diberi tahu namaku
sekalipun kau mana kenal ? Barangkali kau sudah
mendengar nama ayah. Ayahku bernama Pek-thouw-tiauwong
Lie Kong."
"Hayaaaa .....” Teriakan ini keluar dari mulut Tiang Bu
yang memandang kepada Ceng ceng dengan mulut celangap.
“Eh, kau kenapa?” tanya Ang Lien yang berdiri dekat
Tiang Bu. Gadis ini tadi melihat sepak terjang Tiang Bu
melucuti orang meras a kagum dan mendekat jejaka itu.
Ditegur dengan tiba-tiba oleh Ang Lian yang menggaplok
punggungnya, Tiang Bu kaget dan s adar. “Tidak apa-apa,”
jawabnya tenang namun hatinya berdebar tidak karuan.
Jadi Ceng Cang itu puteri Lie Kong malahan.
Juga Twa-kim-sai Yo Seng terkejut bukan main. Tentu
saja dia mengenal nama Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong yang
boleh dibilang merajai dunia persilatan di bagian timur
menjadi locianpwe atau datuk yang disegani, Ia menjadi
makin gelisah karena kalau datuk itu yang merampas
barang-barang kawalannya, hebat! I a cepat menjura sampai
dalam dan rendah di depan Ceng Ceng yang sebenarnya
16
bernama Lie Ceng, akan tetapi sejak kecil biasa dis ebut Ceng
Ceng.
“Ah, tidak tahunya kami be rhadapan dengan Lie-lihiap
puteri taihiap Pek-thouw tiauw-ong! Maafkan kalau kami
bermata tak dapat mel ihat. Kalau kami mengetahui, biar
matipun kami takkan berani melawan. Akan tetapi
lihiap......... hendaknya diketahui bahwa barang-barang itu
bukan milik sembarangan orang. Kalau milik kami sendiri
tanpa dimintapun kami rela memberi sebagai tanda
penghormatan kepada lihiap. Akan tetapi benda-benda itu
menurut Kwee taijin adalah milik Pangeran Wanyen Ci Lun
di kola raja Kerajaan Kin, dan harganya tak dapat terbeli……
Bagaimana pertanggungan jawab kami terhadap Pangeran
Wanyen Ci Lun kelak........!” Suara piauwsu tua itu betulbetul
terdengar sedih dan putus asa, maka diam-diam Ceng
Ceng merasa kas ihan juga. Biarpun harta benda itu barang
tidak halal, juga dirampasnya untuk menolong rakyat, akan
tetapi orang she Yo, yang tidak berdosa ini, kasihan juga
kalau harus menanggung akibatnya yang berat.
"Aku tidak tahu dan tidak perduli. Kami hanya
melakukan perintah orang-orang tua kami . Kalau Yo piauwsu
merasa penasaran boleh kau kelak menyusul ayah yang
sekarang berada di kediaman Huang ho Sian-jin di lembah
Sungai Kuning. Atau boleh juga kelak kau menemui ayah di
rumah kami kalau ayah sudah pulang dari sana. Sekarang
pergilah, jangan ganggu kami lebih lama legi!"
Sikap Ceng Ceng angker dan tak dapat dibantah lagi. Yo
Seng tahu diri dan jalan yang ditunjuk oleh gadis muda itu
memang tepat dan merupakan jalan satu-satunya baginya.
Maka ia lalu mengumpulkan murid-muridnya untuk diajak
pulang dengan sikap lesu. Tak lama kemudian derap kaki
kuda rombongan piauwsu ini meninggalkan tempat itu.
"Wah. adik Ceng Ceng memang hebat. Mudah saja
mengundurkan mereka yang galak." Memuji Pek Lian sambil
17
menjura. "Aku benar-benar merasa takluk, kepandaianmu
makin hebat saja, adik Ceng Ceng."
"Tiang Bu ini juga hebat, kiranya tidak kalah oleh Cengmoi„"
tiba tiba Ang Lian berkata. "Enam orang piauwsu
sekaligus dilucuti secara aneh."
Mendengar ini, Ceng Ceng mengerling kearah Tiang Bu
dan mulutnya mengejek. “Apa sih anehnya merampas
senjara dari tangan gentong-gentong nasi kosong? Lebih
mudah merampas senjata dari tangan bangkai ! Kesinikan
dua bungkusan itu, harus aku sendiri yang membawanya!"
bentaknya kemudian sambil menghampiri Tiang Bu.
Tiang Bu yang sekarang sudah tahu bahwa ayah nona ini
adalah Pek-thouw tiauw-on Lie Kong yang ia cari dan bahwa
orang itu kini juga berada di lembah Huang-ho, mengalah. la
tersenyum dan memberikan dua buah kantong itu kepada
Ceng Ceng, lalu berkata, "Aku kagum dan takluk juga
menyaksikan kelihaianmu. Nah, bawalah kalau
kaukehendaki.”
Setelah menerima dua bungkusan itu, Ceng Ceng lalu
melompat ke atas kuda hitamnya dan berkata, “Mari kita
pergi!"
Pek Lian dan Ang Lian juga melompat ke atas kuda.
Melihat Ceng Ceng melarikan kuda tanpa menoleh lagi
kepada Tiang Bu, Pek Lian agak ragu-ragu. Tak terasa lagi
gadis berpakaian pria itu menoleh sekilas pandang ke arah
Tiang Bu, kemudian iapun mengeprak kudanya menyusul
Ceng Ceng sambil berseru, “Mari, moi-moi."
Ang Lian tersenyum kepada Tiang Bu dan mengejek,
"Kau mau ikut? Kenapa tidak membonceng di belakang
enciku? Hi-hi, kau larilah, selamat berlari-larian." Sambil
tertawa-tawa gadis itupun membedal kudanya menyusul
Ceng Ceng dan Pek Lian.
Tiang Bu tersenyum. Tak lama kemudian iapun berlari
cepat dan Ang Lian sama sekali tidak heran ketika melihat
18
bayangan Tiang lu menyusulnya dan melewatinya. Juga Pek
Lian yang sudah maklum akan kepandaian pemuda ini tidak
merasa heran. Akan tetapi ketika Ceng Ceng melihat
bayangan pemuda ini menjajari kuda hitamnya, ia menjadi
marah dan menyumpah-nyumpah, lalu kudanya dibalapkan
makin cepat lagi!
Demikianlah, dengan ilmu larinya yang tinggi, Tiang Bu
menyertai perjalanan tiga orang dara jelita itu menuju ke
Sungai Huang-ho di utara.
-oo(mch)oo-
Mari kita tinggalkan dulu orang-orang muda itu dan
menengok kejadian penting yang terjadi di atas sebuah
perahu besar yang bergoyang-goyang di tepi laut selatan. Di
atas perahu besar ini, dua orang sedang bercakap-cakap
menghadapi meja dengan sikap bersungguh-sungguh,
sedangkan dua orang muda, seorang gadis dan seorang
pemuda berdiri mendengarkan percakapan mereka itu tanpa
borgerak. Yang duduk bcrcakap-cakap adalah seorang
setengah tua yang barpakaian seperti panglima perang dan
kepalanya gundul, mukanya keren dan bersifat kejam. Yang
duduk di depannya bercakap-cakap dengan dia adalah
seorang nenek yang mengerikan seperti iblis, bahkan tiga
ekor kelelawar yang selalu beterbangan di atas kepalanya
dan kadang-kadang hinggap di pundaknya, menambah
keseramannya.
Nenek ini adalah Toat-beng Kui bo, nenek aneh dari
pantai selatan. Adapun panglima gundul itu bukan lain
adalah Tee tok Kwa Kok Sun ! Dan pemuda- pemudi itu ?
Yang laki-laki adalah Wan Sun dan yang wanita Wan Bi Li,
putera dan pateri Wanyen Ci Lun atau wurid-murid Ang-jiu
Mo-li yang sakti. Wan-Sun telah menjadi seorang pemuda
tampan sekali, sedangkan Bi Li juga telah me rupakan
seorang dara yang luar biasa cantiknya, demikian luar
biasanya sehingga ia terkenal di kota raja sebagai seorang
19
dara yang cantik jelita gagah perkasa. Bahkan orang-orang
menganggapnya sebagai "bunga kota raja".
Benar-benar mengherankan sekali, bagaimana Wan Kok
Sun manusia berbisa itu kini menjadi seorang panglima
besar Kerajaan Kin dan berada di satu perahu dengan
putera-puteri Pangeran Wanyen Ci Lun ? Untuk mengetahui
hal ini mari kita sapintas lalu meninjau keadaan Kwan Kok
Sun yang ia alami baru baru ini.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Tee tok Kwan
Kok Sun Si Racun Bumi ini bersama Thai Gu Cinjin
menyerbu Omei-san. Adalah siasat Thai Gu Cinjin untuk
membakar pondok kakek 0mei-san itu di bagian
perpustakaannya sehingga keadaan menjadi kacau balau
dan Thai Gu Cinjin mendapat kesempatan untuk mencuri
sebuah kitab. Kwan Kok Sun sendiri yang mendapat tugas
melakukan pembakaran di sana-sini, tidak sempat pula
untuk ikut-ikut mencuri kitab. Ia diberi janji oleh Thai Gu
Cinjin bahwa pendela Lama Jubah Merah ini akan
mengambilkan sebuah untuknya atau kalau hanya
mendapat sebuah, Kwan Kok Sun juga berhak sebagian
tegasnya ia boleh juga kelak mempelajari isi kitab itu.
Demikianlah setelah berhasil mendapatkan kitab, Thai
Gu Cinjin melarikan diri bersama Tee-tok Kwan Kok Sun,
berlari turun dari puncak Omei-san dan terus melarikan diri
ke arah utara dengan cepat. Setelah turun gunung dan lari
jauh selama setengah hari tanpa berhenti, Kwan Kok Sun
dengan napas terangah-engah bertanya,
"Losuhu, bagaimana hasilnya Apakah losuhu tidak lupa
untuk membawakan sebuah untukku ?"
"Tidak ada kesempatan......... tidak ada kesempatan
......... Tiong Jin Hwesio keburu datang dan siapa sanggup
menandingi kakek sakti itu? Kalau pinceng tidak cepat-cepat
lari tentu tidak sempat lagi turun gunung...." Ia menarik
napas panjang dan matanya melirik ke arah Kwan Kok Sun.
20
Tee tok Kwan Kok Sun curiga sekali dan tidak percaya,
akan tetapi karena maklum akan kelihaian Thai Gu Cinjin,
ia diam saja dan pada mukanya tidak terlihat tanda sesuatu.
Akan tetapi dalamhatinya ia mendongkol bukan main. Ia
dapat menduga bahwa hwesio Lama dari Tibet ini tentu
menipunya dan tentu di dalam saku jubah yang lebar itu
tersimpan entah beberapa buah kitab.
“Jadi petpustakaan itu dibakar untuk percuma saja dan
semua kitab di tempat itu habis terbakar? Aduh, sayang
sekali !" seru Kwan Kok Sun sewajarnya. Diam-diam ia
mengatur sias at untuk mendapatkan kitab di dalam saku
baju hwesio Lama itu. Biarpun belum melihat buktinya,
namun Kwan Kok Sun bukanlah anak kecil dan
pengalamannya dalam hal tipu-tipu muslihat orang kangouw,
sudah cukup banyak.
Akan tetapi di lain fihak, Thai Gu Cinjin juga bukan
orang biasa, malah kalau dibandingkan dengan Kwan Kok
Sun, ia menang banyak dalam hal tipu muslihat. Thai Gu
Cinjin adalah seorang tokoh yang sudah amat terkenal
kecerdikannya dan ke licikannya, dan inipun Kwan Kok Sun
sudah tahu. Ia mau kerja sama dengan Thai Gu Cinjin
hanya karena mengingat akan pe rsamaan daerah, juga Kwan
Kok Sun berasal dari daerah barat, lebih barat dari Tibet
malah.
Ayahnya, See-thian Tok-ong Si Raja Racun dari Baral
adalah seorang peranakan India. Untuk turun tangan sendiri
di Omei-san mencuri kitab, bagi Kwan Kok Sun merupakan
pekerjaan yang tidak mungkin, te rlampau berat. Oleh karena
itu ia bersedia bekerja sama dengan Thai Gu Cinjin dengan
harapan, mendapatkan bagian. Akan tetapi, seperti yang
sudah ia sangsikan setelah berhasil, Thai Gu Cinjin hendak
menipunya.
Diam-diam Thai Cu Cinjin juga mengatur siasat untuk
menyingkirkan Kwan Kok Sun. Memang kalau tidak amat
terpaksa, ia tidak hendak membunuh Tee-tok Kwan Kok Sun
21
mengingat bahwa dahulu Thai Gu Cinjin pernah menerima
pelajaran dari See-thimTok-ong ayah Kwan Kok Sun
sehingga biarpun amat jauh, di antara mereka ada
perhubungan persahabatan yang sudah lama. Kalau Kwan
Kok Sun tidak membuat banyak ribut dan tidak
mengganggunya dengan kitab yang berhasil dicurinya,
cukuplah.
"Losuhu, setelah aku membantumu dalam penyerbuan
Omei-s an, biarpun sayang sekali tidakmenghasilkan
sesuatu, maka sekarang gil iranku untuk mohon bantuanmu
seperti pernah kunyatakan sebelum kita berangkat ke Omeisan,"
kata Kwan Kok Sun.
"Baleh, boleh sekali. Memang bantuanmu di Omei-san
harus pinceng balas. Pinceng bukan orang yang tak kenal
budi. Ceritakan sahabatku, urusan apa itu di kota raja?”
"Losuhu, sesungguhnya aku mempunyai rahasia besar di
kota raja Kerajaan Kin. Aku mempunyai seorang anak
perempuan yang kini berada di rumah seorang pangeran
besar.
Thai Gu Cinjin membelalakkan matanya dan tertawa
lebar. “Ha-ha ha, Tee-tok Kwan-Kok-Sun. Dulu pernah
pinceng mendengar bahwa kau mempunyai isteri akan tetapi
kau juga punya anak? Ha-ha-ha, benar-benar aneh
kedengarannya orang seperti kau ini bisa punya isteri dan
anak. Teruskan, teruskan!"
"Isteriku meninggal dunia, meninggalkan seorang anak
kecil. Karena amat sukar mengurus arak pula karena ingin
sekali melihat anakku itu berada dalam perawatan baikbaik,
maka aku lalu meninggalkan anakku itu di rumah
seorang pangeran yang bernama Wanyen Ci Lun, di kota
raja. Sampai sekarang hal itu telah terjadi tiga belas tahun
lebih dan anak itu sekarang tentu berusia empat belas
tahun. Aku ingin sekali mengambilnya kembali, akan tetapi
karena rumah Pangeran besar itu terjaga kuat, aku tidak
22
berani. Sekarang aku mohon pertolongan losuhu untuk
membantu aku mengambil kembali anak itu."
“Ha-ha-ha-ha, hal semudah itu apa sih sukarnya ? Tentu
saja pinceng sanggup membantumu. Jangan khawatir,
sahabat. Pinceng pasti akan dapat mengambil puterimu itu.”
Demikianlah, dengan amat cerdik Kwan Kok Sun
mengatur siasatnya untuk menjebak Thai Gu Cinjin, Apa
yang diceritakan oleh Kwan Kok Sun itu memang tidak
bohong dan anak yang ia maksudkan itu bukan lain adalah
Bi Li yang ia tinggalkan di dalam taman keluarga Wanyen Ci
Lun ketika Bi Li baru berusia setengah tahun. Akan tetapi ia
membohong kalau bilang bahwa ia ingin mengambil anak itu
kembali. Ia tahu bahwa anak i tu kini telah menjadi murid
Ang jiu Mo-li yang lihai.
Oleh karena inilah ia hendak memancing Thai Gu Cinjin
agar menculik Bi Li sehingga akan berhadapan dengan Ang
Jiu Mo-li sementara ia akan muncul sebagai penolong Bi Li
agar bisa mendapat kepercayaan Pangeran Wanyen Ci Lun
dan bisa berkumpul dengan anak itu.
Setelah Thai Gu Cinjin melihat bahwa Kwan Kok Sun
tidak menyinggung-nyinggung soal kitab Omei-san, ia
menjadi lega dan dengan sungguh-sungguh ia ingin
membantu Kwan Kok Sun menculik kembali anaknya dari
gedung pangeran itu. Dengan cepat mereka melakukan
perjalanan dan setelah tiba di kota raja, mereka menanti
sampai malam tiba. Sementara itu Kwan Kok Sun sudah
pergi menyelidiki dan mendengar bahwa Ang-jiu Mo Li
kebetulan berada di rumah Wanyen Ci Lun, ia menjadi lega.
Tadinya ia khawatir kalau wanita sakti itu tidak ada. Kalau
demikian halnya, tentu ia akan merubah rencananya.
Biarpun jalan masuk ke lingkungan bangunan istana
terjaga kuat sekali, namun bagi orang selihai Thai Gu Cinjin
dan Tee-tok Kwan Kok Sun, menyelinap masuk ke
lingkungan itu bukanlah hal yang sukar. Juga penjagapenjaga
di sekeliling dinding tembok pekarangan gedung
23
Pangeran Wanyen Ci Lun bukan apa-apa bagi mereka.
Dengan ginkang me reka yang tinggi, bagaikan dua sosok
bayangan iblis mereka melewati dinding tembok tanpa
terlihat oleh seorangpun penjaga yang umumnya hanya
memiliki kepandaian silat biasa saja. Di lain saat Thai Gu
Cinjin dan Kwan Kok Sun telah berada di atas genteng
rumah gedung Pangeran Wanyen Ci Lun.
Keadaan sunyi sekali karena waktu telah menjelang
tengah malam dan agaknya seisi rumah telah tidur pula.
Akan te tapi se orang sakti seperti Ang jiu Mo Li sudah tentu
saja memiliki pendengaran yang amat tajam. Kalau orang
lain masih enak pulas karena jejak kaki Thai Gu Cinjin dan
Kwan Kok Sun memang tidak menerbitkan suara, adalah
Ang Jiu Mo-li telah mendengar suara yang mencurigakan di
atas genteng. Pendengaran wanita sakti ini sudah demikian
terlatih tajamsehingga ada seekor kucing saja berjalan di
atas genteng, kiranya ia akan mendengarnya juga.
Karena itu dapat dibayangkan betapa kaget hati Thai Gu
Cinjin ketika tiba tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu di
bawah sinar bulan ia melihat Ang-jiu Mo-li telah berdi ri di
depannya!
"Ang-jiu Mo-li ...... kau di sini?" tak terasa lagi saking
kagetnya Thai Gu Cinjin berseru, hatinya gelisah.
"Hemm, kiranya Thai Gu Cinjin si gundul penipu ulung
yang datang malam-malam seperti seorang maling kecil. Kau
mau apa?”
Thai Gu Cinjin yang memang sudah kaget dan gelisah.
dibentak demikian oleh wanita sakti yang ditakutinya itu
menjadi lebih gugup, "Ang-jiu Mo-li, pinceng......... . pinceng
kesasar ........ tak tahu kau di sini......... “
"Penjahat berjubah pendeta. Setelah kau melakukan
pembakaran yang mengacaukan puncak Omei-san, kau
sekarang muncul di kota raja ini mau apa? Dan mengapa
justeru tempat ini yang kaukunjungi?"
24
Disebutnya peristiwa di 0mei-san menimbulkan akal
dalam kepala Thai Gu Cinjin yang penuh tipu muslihat itu.
Wajahnya segera berubah terang dan ia berkata.
"Terhadap kau mana bisa orang membohong. Ang jiu Moli?
Sesungguhnya pinceng datang ke kota raja ini sengaja
hendak menemuimu. Bukankah kau dahulu telah berhasil
menggondol pergi sebuah kitab dari Omei-san?"
Ang.jiu Mo-li mengerutkan keningnya dan mata yang
tajam itu memandang penuh curiga. Memang ia tidak takut
sama sekali menghadapi Thai Gu Cinjin oleh karena sudah
beberapa kali ia ukur kepandaian pendeta Lama ini dan
selalu menang. Akan tetapi, disebutnya perkara pencurian
kitab di Omei-san itu membikin ia merasa tidak enak hati,
sungguhpun dua orang kakek sakti di Omei-san telah tewas.
Pengaruh nama besar dua orang kakek sakti dan luar biasa
itu rupa-rupanya masih cukup hebat untuk membikin jerih
hati seorang lihai seperti Aug jiu Mo-li.
"Kau membuka mulut seperti membuka peti sampah
saja! Andaikata betul aku mendapatkan kitab, habis kau
mau apakah? Mau merampasnya?”
“Ha ha ha, Ang- jiu Mo-li, kau s elalu menganggap jahat
pada pinceng. Kau harus ingat bahwa kalau pinceng tidak
membakar perpustakaan di puncak Omei san, begaimana
kau dapat merampas kitab dari tangan dua orang kakek
sakti itu ? Sedikit banyak kau mendapatkan kitab adalah
karena jasaku ! Oleh karena itulah aku datang ini untuk
minta balasan kebaikanmu, mengingat akan jasa pinceng
yaitu untuk meminjam kitab Omei-san itu barang satu dua
bulan. Bukankah permintaan ini adil namanya ?”
Memang Thai Cinjin orangnya cerdik Begitu ketemu
batunya, ia dapat mencari jalan yang lain, untuk
menghindarkan diri. I a tahu bahwa takkan menang melawan
Ang-jiu Mo-li dan merasa khawatir kalau kalau maksud
sesungguhnya dari kedatangannya bersama Kwa Kok Sun
malam itu akan diketahui oleh Ang jiu Mo-li ! Maka ia
25
memutarbalikkan persoalan dan sengaja mercari alasan
untuk menutupi maksudnya menculik anak Kwan Kok Sun
yang katanya dititipkan di rumah Pangeran Wanyen Ci Lun.
Diam diam Kwan Kok Sun kaget dan kagum sekali akan
kecerdikan pendeta Lama ini. Ia sudah mulai khawatir kalau
kalau siasatnya takkan berhasil.
Akan tetapi Ang-jiu Moli juga bukan seorang bodoh.
Biarpun kemarahannya memang agak berkurang ketika
mendengar kata-kata Thai Gu Cinjin yang memang masuk di
akal itu, namun ia masih selalu bercuriga.
"Thai Gu Cinjin, kau pandai bicara. Kalau mau bicara
tentang pencurian atau perampokan di puncak Omei-san,
maka kaulah maling dan rampoknya! Kau yang membakar
rumah orang, kau yang sengaja datang untuk mencuri kitab.
Sudah tentu kau telah mendapatkan beberapa buah kitab.
Seperti aku andaikata mendapatkan kitab, itupun bukan
pencurian atau perampasan, paling paling dapat disebut
menyelamatkan kitab dari pada jadi makanan api. Kau mau
pinjam kitab ? Boleh, boleh, akan tetapi kaupun harus
mengeluarkan kitab Omei-san yang kaucuri untuk
kupinjam. Kita sama-sama meminjam untuk satu dua
bulan, bukankah ini namanya saling menguntungkan ?"
Thai Gu Cinjin menjadi pucat, dan untungnya sinar
bulan memang sudah membuat muka erang kelihatan pucat
maka kepucatan mukanya, tidak kentara. Diam diam ia
mengeluh di dalam hatinya. Bagaimana mungkin bertukar
kitab? Ang-jiu Mo-li tentu sudah mempelajari atau sudah
menghafal isi kitab yang dimilikinya, maka andaikata kitab
itu hilang sekalipun tidak akan rugi. Sebaliknya untung
kalau dapat meminjam kitab yang dikantongi Thai Gu Cinjin
karena berarti mendapatkan ilmu silat tinggi yang baru. Di
lain fihak, dia sendiri belum mempelajari kitab rampasannya
itu, bagaimana dia bisa membe rikan kepada orang lain?
Juga untuk mengaku terhadap seorang seperti Ang-jiu Mo li
adalah berbahaya sekali.
26
Kwan Kok Sun yang mendengar kata-kata Ang-jiu Mo-li
menjadi senang hatinya. Akan tetapi ia pura-pura ketakutan
dan ke turunan See -thian Tok-ong Si Raja Racun dari barat
ini cepat melompat sambi l berkata dengan nada takut, "Lo
suhu, mari kita pergi saja.”
Bagi Thai Gu Cinjin, perbuatan Kwan Kok Sun ini
dianggap karena takutnya kepada Ang jiu Mo li, akan tetapi
bagi Ang-jiu Mo-li makin bertambah tebal dugaannya bahwa
tentu Thai Gu Cinjin benar-benar telah berhasil mengambil
banyak kitab Omei-san ! Memang inilah yang dikehendaki
oleh Kwan Kok Sun supaya Ang-jiu Mo li terpancing dan
tidak mau melepaskan Thai Gu Cinjin.
"Baik, kita pergi saja kalau Ang-jiu Mo-li tidak ingat budi
dan tidak mau meminjamkan kitabnya," kata Thai Gu Cinjin
yang menjadi makin gelisah karena sikap takut-takut Kwan
Kok Sun tidak menguntungkan dia. Dengan cepat ia
mengipatkan ujung lengan bajunya tubuhnya yang tinggi
besar itu me lesat seperti terbang cepatnya menyusul Kwan
Kok Sun.
“Thai Gu......... jangan pergi sebelum meninggalkan kitabkitabmu
!” Ang- jiu Mo-li berseru dan bagaikan burung walet
cepatnja wanita yang lihai inipun melesat dan mengejar.
Thai Gu Cinjin memutar tongkatnya ke belakang.
Gerakan serentak ini ia lakukan untuk menyerang
pengejarnya secara tiba-tiba dan dia setengah yakin bahwa
biarpun Ang.jiu Mo-li lihai sekali, kiranya serangannya yang
dilakukan dengan tiba tiba dan disertai pengerahan tenaga
ini akan mengenai sasaran. Akan tetapi benar-benar hebat,
dengan tangan kiri dimiringkan di depan dada dan tangan
kanan dikibaskan, sikapnya agung sekali, Ang-jiu Mo li
sudah dapat menghindarkan diri dari serangan itu. Thai Gu
Cinjin kaget. Belum pernah ia melihat gerakan seperti itu.
Ang-jiu Mo-li memang orangnya cantik, akan tetapi ketika
melakukan gerakan tadi kelihatan agung sekali seperti
seorang pandeta wanita, atau lebih tepat lagi seperti seorang
27
dewi. Tentu saja Thai Gu Cinjin menjadi makin jerih dan ia
tidak tahu bahwa yang baru saja digunakan oleh Ang-jiu Moli
untuk mengehadapi serangannya yang dahsyat tadi adalah
jurus dari ilmu Silat Kwan Im-cam-mo (Dewi Kwan lm
Menaklukkan lblis) yaitu ilmu silat yang terdapat dalam
kitab Omei-san yang diselamatkan dari api oleh Ang-jiu Mo
li.
Selagi Thai Gu Cinjin kebingungan, dari sebelah kanan
melesat bayangan lain dan tahu-tahu sinar pedang yang
aneh gerakannya me layang ke arah tenggorokannya. Pendeta
Lama ini berkepandaian tinggi, biarpun keadaannya sangat
berbahaya, namun ia masih dapat menggerakkan
tongkatnya dan menangkis. Pedang itu terpental dan hatinya
lega. Ternyata yang menyerangnya adalah seorang gadis
tanggung yang memegang sebatang pedang. Serangan gadis
ini cukup gesit dan cepat, namun tenaganya masih jauh
kalau dibandingkan dengan Thai Gu Cinjin. Munculnya
gadis ini bahkan menolong Thai Gu Cinjin oleh karena
serangan pembalasan dari Ang jiu Mo-li jadi tertunda atau
terhalang.
"Bi Li, mundur! Biar aku menangkap pendeta gundul ini!”
Ang-jiu Mo-li berseru. Dara itu mengendurkan kejarannya
dan Ang j Mo-li, gurunya melesat di sebelahnya. Akan tetapi
kesempatan itu diperpunakan oleh Thai Gu Cinjin untuk
melarikan diri dalam ge lap.
"Ssst, losuhu, sini ......... !" tiba-tiba dari tempat gelap
terdengar suara Kwan Kok Sun. Thai Gu Cinjin yang sudah
hasil meninggalkan Ang-jiu Mo-li karena terlindung dalam
gelap pada saat awan menutupi bulan, cepat melompat ke
arah suara itu. Tempak Kwan Kok Sun telah bersembunyi di
bawah sebuah jembatan di lingkungan istana. Kwan Kok
Sun menyambar tongkat Thai Gu Cinjin dan menarik kawan
ini.
"Kau pengecut ......... meninggalkan pinceng ......... !" Thai
Cu Cinjin menegurnya.
28
"Sstt, jangan keras-keras, losuhu. Siapa tahu kalau di
sini ada siluman wanita itu ?”
"Hampir celaka ......... " kata Thai Gu Cinjin berbisik.
“Kita harus dapat melarikan diri malam ini juga. Kalau
lewat malam ini, besok pagi tak mungkin kita dapat keluar
dari dinding yang melingkungi istana. Dan agaknya Ang-jiu
Mo-li terus mengejar losuhu. Celakanya dia tahu bahwa
losuhu membawa kitab-kitab.....”
Dalamkebingungan dan kegelisahannya, Thai Gu Cinjin
kurang hati-hati dan lupa bahwa ia telah menyangkal
kepada Kwan Kok Sun tentang kitab Omei-san.
"Gila betul, dia hendak memaksa pinceng mengeluarkan
kitab ........” tiba-tiba ia berhenti dan memandang ke arah
Kwan Kok Sun. Tangannya bergerak dan di lain saat
pergelangn tangan Kwan Kok Sun sudah dipegangnya eraterat.
Akan tetapi di dalam gelap itu, biarpun kepandaiannya
kalah tinggi, Kwan Kok Sun dapat melakukan ancaman
balasan. Jari-jari tangannya yang penuh hawa-hawa Hek-tok
(Racun Hitam) sudah menempel di lambung pendeta Lama.
`"Losuhu, jangan main main, kalau aku mati, kaupun
takkan keluar dari sini dalam keadaan bernyawa. Apa
maksudmu?" kata Kwan Kok Sun dengan suara lirih.
"Lepaskan tangan hitammu!” Thai Gu Cinjin membentak,
suaranya mengandung ancaman hebat.
"Thai Gu Cinjin, jangan kau main curang. Aku tadinya
percaya penuh kepadamu, mengapa kau berkali-kali
menipu? Bukankah selama ini aku selalu membantumu?
Kau mendapatkan kitab-kitab 0mei -san, mengapa kau
membohong? Sekarang dalam menghadapi ancaman, kau
masih tidak percaya kepadaku padahal aku selalu se tia dan
kaulah yang curang."
Thai Gu Cinjin melepaskan cengkeramannya dan
menarik napas panjang.
29
"Kau benar, menghadapi Ang-Jiu Mo-li kita harus
bersatu. Sekarang bagaimana baiknya, Tee tok ?"
“Tidak ada lain jalan, serahkan kitab-kitab itu padaku !"
"Kau gila .....!” kembali Thai Gu Cinjin menggerakkan
tangannya, akan te tapi biarpun gelap, Kwan Kok Sun dapat
mendengar gerakan ini dan cepat ia menyingkir sambil
berkata.
"Sabaarr.......! Kalau Losuhu memberikan kitab-kitab itu
kepadaku, losuhu akan selamat. Bukankah yang dicari oleh
Ang-jiu Mo-li itu kitab-kitab Omei-san? Kalau losuhu
menyerah kemudian dia mendapat kenyataan bahwa benarbenar
losuhu tidak membawa kitab bukankah losuhu dapat
keluar dari tempat itu ? Scdangkan aku dengan mudah
dapat keluar karena memang Ang-jiu Mo li tidak ada urusan
apa apa dengan aku. Lain orang aku tidak takut."
"Akan tetapi kitab itu ........ kuberikan kepadamu......?
Enak saja kau !”
"Losuhu masih tidak percaya kepadaku? bukan diberikan
melainkan dititipkan. Kitab-kitab itu......... “
"Hanya sebuah!”
“Hemm, hanya sebuahkah ? Nah, baiklah. Sebuah kitab
itu adalah hak milik kita berdua. Biarlah kubawa dulu
kemudian kalau losuhusudah dapat melepaskan diri dari
Ang-jiu Mo-li, kelak kita pelajari bersama. Aku menanti
losuhu di sebelah selatan pintu gerbang kota raja.”
“Dan kau nanti lari minggat dengan kitab itu?” kata Thai
Go Cinjin mengejek.
"Losuhu, berapakah lebarnya langkahku? Tentu akhirnya
dapat kaususul. Sudahlah, sekarang tidak ada waktu lagi,
kau tinggal pilih saja. Kautit ipkan kitab itu kepadaku dan
aku menantimu di selatan pintu gerbang kota raja, atau aku
pergi meninggalkan kau dan kau boleh berebutan kitab
30
dengan Ang-jiu Mo-li !” Setelah berkata demikian, Kwan Kok
Sun hendak melangkah pergi.
Thai Gu Cinjin yang biasanya banyak tipu muslihatnya,
kini tak terdaya. Memang jalan satu-satunya untuk
menyelamatkan diri dan kitabnya hanya menuruti usul
Kwan kok Sun. Kecuali itu tidak ada pemecahan lain. Kalau
ia muncul dari bawah jembatan tentu akan terdapat oleh
Ang-jiu Mo-li dan kalau wanita iblis itu mendapatkan kitab
Omei- san dalam kantungnya, pasti ia celaka. Sebaliknya,
kalau Kwan Kok Sun dapat nenyelamatkan kitab, kelak
mudah saja ia mencari dan merampasnya kembali.
Pokoknya asal ia bisa lolos malam ini dari ancaman Ang jiu
Mo-li.
“Nih, kaubawalah ! Lekas kau pergi dan tunggu di luar
tembok kota,” katanya menyodorkan scbuah kitab yang
diambilnya dari saku jubah sebelah dalam.
Kwan Kok Sun menerima kitab itu, memasukkannya ke
dalam saku, lalu pergi s ambil berkata. "Terima kasih atas
kepercayaanmu.”
Setelah bayangan Kwan Kok Sun menghilang ke dalam
gelap, Thai Gu Cinjin juga keluar dari tempat
pe rsembunyiannya dengan hati-hati. Biarpun kini ia tidak
membawa kitab yang dicari-cari oleh Ang-jiu Moli, bahaya
bagi dirinya tidak begitu besar lagi, namun lebih selamat dan
baik kalau tidak bertemu sama sekali dengan Ang-jiu Mo-li.
Akan te tapi belum ia berlari dengan hat i-hati menuju ke
pintu gerbang sebelah selatan tiba-tiba seorang pemuda
tampan membentaknya dengan pedang ditodongkan.
"Berhenti! Bukankah kau ini Thai Gu Cinjin yang dicari
oleh guruku ?”
Sebelumpendeta lama itu menjawab, terdengar bentakan
lain, merdu, akan te tapi nyaring.
“Betul dia. koko. Serang saja!”
31
Bentakan ini dtsusul dengan berkelebatnya pedang dan
dara tanggung yang tadi membantu Ang-jiu Mo-li menyerang
Thai Gu Cinjin, sekarang sudah muncul lagi dan datangdatang
menyerang pendeta Lama itu dengan pedangnya yang
ganas! Pemuda itu yang bukan lain adalah Wan Sun putera
Pangeran Wanyen Ci Lun, melihat adiknya menyerang lawan
lalu membantu dengan pedangnya sehingga Thai Gu Cinjin
harus cepat-cepat memutar tongkatnya untuk menangkis
serangan dua pedang yang cukup lihai itu.
"Sabar dulu orang-orang muda. Panggil gurumu Ang-jiu
Mo-li, pinceng mau bicara dengan dia !" Dia sengaja tidak
balas menyerang karena kalau sampai ia melukai orangorang
muda ini tentu Ang jiu Mo-li tidak mau
mengampuninya.
Akan tetapi gadis muda itu, Wan Bi Li, yang sudah
mendengar dari gurunya bahwa pendeta Lama ini jahat dan
gurunya hendak mcrampas kitab-kitab Omei-san dari
pendeta ini , terus menyerang sambil membentak.
“Tak usah banyak rewel. Menyerah dan serahkan kitabkitab
!"
"Pinceng tidak membawa kitab." Thai Cinjin mengelak
sambil coba memberi keterangan. Hatinya mendongkol
bahwa ia harus mengalah terhadap seorang gadis seperti ini.
Tentu saja ia melakukan ini mengingat bahwa Ang-jiu Moli
berada di sekitar tempat ini. Kalau tidak demikian halnya,
mana dia suka mengalah terhadap dua orang muda yang
masih hijau seperti ini?
"Bohong ! Koko, mari kita robohkan dia, ini kehendak
Nio-nio !” seru Bi Li yang menyereng terus. Wan Sun
menyerang juga mendengar ucapan adiknya ini.
"Celaka, gadis setan ini berwatak seperti gurunya........”
Thai Gu Cinjin menge luh dan kembali ia menangkis
sehingga terdengar suara nyaring dan bunga api berpijar
ketika dua pedang bertemu dengan tongkatnya. Kali ini Thai
32
Gu Cinjin mempergunakan tenaga sepenuhnya untuk
membikin senjata dua orang muda itu terlepas dari
pegangan. Namun pedang itu tetap berada di tengan Bi Li
dan Wan Sun, biarpun keduanya me rasa telapak tangannya
sakil-s akit dan pedang masing-masing tadi terpental keras.
Melihat ini, Thai Gu Cinjin kagum dan ia lalu memutar
tubuh, terus lari. Tak perlu ia melayani dua orang muda
keras kepala ini, pikirnya. Lebih baik berusaha melarikan
diri dan nanti kalau sampai bertemu dengan Ang-jiu Mo-li,
baru bicara.
Akan tetapi ia memandang dua orangmuda itu terlampau
rendah kalau ia kira bisa melepaskan diri begitu mudah dari
kejaran mereka. Begitu ia me larikan diri, Wan Bi Li
membentak, "Kepala gundul jangan lari !" Dan menyusul
bentakan ini, menyambar beberapa peluru pat-kwa-ci
dengan cepatnya ke tubuh Thai Gu Cinjin.
Pendeta Lama ini kaget sekali dan cepat ia membalikkan
tubuh, mengibaskan lengan bajunya memukul runtuh
semua peluru beebentuk bundar segi delapan itu. Akan
tetapi gerakannya ini tentu saja menghambat usahanya
melarikan diri dan dua orang muda itu sudah berada di
depannya lagi, langsung dua batang pedang yang cepat
ge rakannya menyerangnya.
"Kurang ajar!” Thai Gu Cinjin membentak. Pende ta Lama
ini tidak biasa bersikap sabar, maka kali inipun ia tak dapat
menahan lagi untuk tidak membalas serangan lawan yang
mendesaknya. Demikianlah, sebelum lari lagi, ia balas
menyerang dengan maksud memukul runtuh pedang dua
orang lawannya.
"Thai Gu Cinjin, kau berani menyerang dia …..?”
Berbareng dengan bentakan suara ini, seekor ular hitam
yang panjang menyambar ke arah leher Thai Gu Cinjin
untukmenggigit ! Bukan main kagetnya hati Thai Gu Cinjin,
kaget, heran dan marah.
33
"Kwan Kok Sun ......... iblis jahanam ….!” Tongkatnya
diputar ke arah Tee-tok Kwa Kok Sun dan tangan kirinya
menyambar ke arah kepala ular hitam untuk dicengkeram.
"Ular bagus.......... !” Wan Bi Li berseru kagum melihat
"senjata” yang dipergunakan oleh Kwan Kok Sun yang tak
dikenalnya itu. Karena Thai Gu Cinjin hendak
mencengkeramkepala ular itu, Bi Li lalu menyerang pende ta
Lama ini dengan tutukan ke arah lambung kirinya yang
terbuka. Terpaksa Thai Gu Cinjin mengurungkan niatnya
mencengkeram kepala ular dan tangan kirinya ditarik lagi,
siku dibengkokkan dan ujung lengan baju digerakkan ke
arah pedang Bi Li, terus dilibat dan dibetot. Di lain saat
pedang gadis itu telah kena dirampas . Wan Sun sudah
menyerang dari samping, membabat pundak lawannya,
namun hanya dengan merendahkan pundaknya Thai Gui
Cinjin dapat meluputkan diri. Sementara itu tongkatnya
kembali sudah menyambar ke arah Kwan Kok Sun. Angin
menderu keras dan sambaran tongkat ini karena dalam
marahnya Thai Gu Cinjin sudah mengeluarkan seluruh
tenaga dan kepandaiannya untuk merobohkan bekas kawan
yang kini mengkhianatinya itu.
Tentusaja Kwan Kok Sun menjadi sibuk sekali,
melompat ke sana ke mari untuk menghindarkan diri.
Namun Thai Gu Cinjin mendesak terus.
Wan Bi Li yang kini bertangan kosong, mulai menyerang
lawan dengan pukulan tangan dan ayunan amgi (senjata
pelap) Pat-kwa-ci, sedangkan Wan Sun terus mendesakdesak
dengan pedang. Namun Thai Gu Cinjin yang sudah
mengambil keputusan membunuh Kwan Kok Sun, tidak
melayani dua orang muda ini. Semua serangan hanya
dielakkan atau ditangkis, sebaliknya semua serangan ia
kerahkan untuk merobohkan Kwan Kok Sun.
“Kwan Kok Sun pengkhianat keji, kau harus mampus!"
katanya berulang-ulang di antara dengusan nafas tertahan.
Tongkatnya kini dipegang di bagian tengah dan dua
34
ujungnya bergerak-gerak menyambar bergantian,
mengeluarkan suara dan angin. Biarpun Kwan Kok Sun juga
bukan orang lemah dan dua orang muda itu membantunya,
tetap saja ia terdesak hebat. Dalam des akan bertubi-tubi,
terpaksa Kwan Kok Sun tak dapat menyelamatkan diri
hanya dengan jalan mengelak, karena tongkat itu yang
kedua ujungnya bekerja, amat cepat datangnya.
Dalam kegugupannya ia hendak mengadu nyawa dan
melihat tongkat menyambar cepat, ia melepaskan ularnya ke
arah perut lawan. Ular hitam itu bukan main berbahayanya,
karena sekali gigit biarpun orang berilmu tinggi seperti Thai
Gu Cinjin tentu akan mati juga. Thai Gu Cinjin cukup
maklum akan hal itu. Ia tidak sudi mengadu nyawa dan
tongkat ditarik kembali lalu sekali kemplang kepala ular
hitam itu pecah berantakan! Benar-benar Thai Gu Cinjin
lihai sekali dan ilmu tongkatnya bukan main kuatnya.
Dike royok oleh tiga orang lawan yang sudah termasuk
orang-orang berilmu silat tinggi, ia tidak terdesak sedikitpun
juga malah mendapatkan keuntungan.
"Thai Gu Cinjin jangan kau banyak lagak!”
Bentakan ini membuat Thai Gu Cinjin merasa bulu
tengkuknya berdiri karena ia mengenal suara Ang-jiu Mo-li.
"Ang-jiu Mo-li, murid-muridmu mendesakku dan terus
terang saja, pinceng tidak bawa kitab, biarkan pirccng pergi
dari sini,” sambil memutar tongkatnya, Thai Gu Cinjin
melompat hendak lari.
"Ang-jiu Toanio, dia itu bohong. Dia penipu besar !
Memang dia mencuri kitab- kitab Omei-san dan
disembunyikan!" teriak Kwa-Kok Sun sambil melakukan
pukulan dari tempat ia berdiri ke arah Thai Gu Cinjin
dengan tangan. Inilah Hek tok-ciang yang lihai. Thai Gu
Cinjin maklum akan bahayanya pukulan ini, maka iapun
mengerahkan lweekangnya dan memutar tongkatnya di
depan tubuhnya untuk menolak kembali angin pukulan
beracun itu.
35
Ang-jiu Mo li menjadi heran, tidak tahu mengapa Kwan
Kok Sun tiba-tiba memihak dia dan memusuhi Thai Gu
Cinjin. Akan tetapi ia tidak perduli dan mendengar kata-kata
itu, makin besar nafsunya untuk merampas kitab-kitab itu
dari tangan Thai Gu Cinjin.
"Gundul busuk, serahkan kitab-kitab itu kepadaku kalau
tidak ingin mampus!" teriaknya.
Sementara itu, Thai Gu Cinjin marah luar biasa kepada
Kwan Kok Sun. Mendengar ucapan Ang-jiu Mo-li ini, ia tak
dapat menjawab, bahkan sambil mengeluarkan suara
gerengan ia maju menubruk Kwan Kok Sun sambil
mengerjakan tongkatnya.
Betapapun tinggi kepandaian Kwan Kok Sun, namun
tingkatnya masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan
Thai Gu Cinjin. Ia mencoba untuk mengelak, namun angin
pukulan pendeta Lama bermuka ungu itu membuat dia tak
dapat mempertahankan diri dan jatuh terguling. Thai Gu
Cinjin memburu dengan tongkat diangkat tinggi, siap
dipukulkun ke arah kepala Kwan Kok Sun.
"Traaanggg......!" Untuk kedua kalinya pedang di tangan
Wan Bi Li terlempar. Tadi. pedangnya telah terampas akan
tetapi di pertempuran berikutnya, Thai Gu Cinjin lemparkan
pedang itu yang dipungut kembali oleh Bi Li. Baru saja
melihat betapa Kwan Kok Sun, berada dalam bahaya maut
sedangkan Bi Li ingin sekali bicara tentang senjata ular
dengan orang gundul ini, gadis itu tanpa pikir panjang
segera melompat dan menangkis tongkat yang hendak
menghancurkan kepala Kwan Kok Sun, akibatnya
pcdangnya terlepas dari pegangan.
"Thai Gu Cinjin, kau masih tidak mau menyerah?” Tibatiba
sinar merah berkelebat dan Thai Gu Cinjin menjerit
kesakitan. Pundaknya terkena tusukan jari -jari tangan
merah. Tembuslah kul it daging dan tulang oleh jari -jari ini
dan hawa beracun dari tangan merah itu membuat Thai Cu
Cinjin merasakan akan tubuhnya dibakar api neraka.
36
Akan tetapi dasar manusia cerdik penuh akal. Biarpun
dalam keadaan terluka hebat, Thai Gu Cinjin masih dapat
melihat jalan terakhir untuk lolos dari bahaya maut.
Tubuhnya menggelinding, tongkatnya melayang ke arah Angjiu
Mo-li bagaikan seekor naga menyambar. Ketika Ang jiu
Mo-li menyampok tongkat itu dan menoleh, ternyata Bi Li
telah kena dipegang lengannya oleh Thai Gu Cinjin.
“Ang-jiu Mo-li, kita tukar nyawaku dengan nyawa
muridmu ini !” katanya dengan sikap tenang. Bi Li telah
kena ditotok dan dalam cengkeraman Lama itu gadis muda
ini suma sekali tak berdaya.
“Boleh nyawamu ditukar dengan nyawa muridku dan
kitab kitabmu!” Ang-jiu Mo-li menawar.
Thai Gu Cinjin tersenyum getir. "Tidak ada kitab padaku
......”.melirik ke arah Kwan Kok Sun, penuh ancaman. Dia
juga tidak berani membuka rahasia tentang kitab yang
dititipkan kepada Kwan Kok Sun karena kwatir akan
terampas oleh Ang-jiu Mo-li. Kelak mudah ia mengambil
kitab itu berikut nyawa Tee tok Kwan Kok Sun.
"Sun ji (anak Sun), kauperiksa saku-s aku jubahnya."
Ang-jiu Mo-li memerintah muridnya. la tahu bahwa kalau ia
menggeledah Thai Gu Cinj in tentu takkan mau terima. Wan
Sun melangkah maju dan benar saja, digeledah oleh pemuda
ini Thai Gu Cinjin hanya tersenyum mengejek. Wan Sun
tidak mendapatkan apa-apa dari semua saku jubah pendeta
Lama itu.
“Tidak ada kitab, Nio-nio," kata pemuda itu kepada
gurunya. Ang-jiu Mo-li mengerutkan keningnya, tanda
bahwa hatinya kecewa sekali.
"Pergilah, Thai Gu Cinjin dan lepaskan muridku,"
katanya. Thai Gu Cinjin tahu bahwa ucapan Ang-jiu Mo-li
dapat dipercaya penuh, maka ia membebaskan totokannya
atas diri Bi Li dan melepaskan gadis itu sambil tersenyum
puas. Lalu ia menoleh kepada Kwan Kok Sun.
37
“Mari keluar membikin perhitungan !"
Akan tetapi Kwan Kok Sun tidak memperdulikannya.
"Keluarlah sendiri, aku tidak ada urusan dengan kau !"
"Jahanam........!” Thai GI Cinjin menggerakkan
tongkatnya. Biarpun pundak kirinya terluka hebat namun
dengan tangan kanan memegang tongkat, ia masih
be rbahaya sekali.
"Thai Gu Cinjin, kau tidak lekas-lekas pergi dari sini?
Jangan tunggu aku berubah pikiran!” Ang-jiu Mo-li
membentak. Wanita sakti ini memang ingin membantu Kwan
Kok Sun karena ia mempunyai harapan mendengar dari
Racun Bumi ini tentang kitab-kitab Omei-san yang dicuri
oleh Thai Gu Cinjin.
Sambil menahan marah dan sakit Thai Gu Cinjin tak
berani membantah lalu pergi dari situ dengan cepatnya.
Setelah pendeta Lama pergi, Kwan Kok Sun mendekati Bi Li,
di bawah sinar bulan ia menatap wajah gadis ini dengan
penuh kasih sayang.
“Sama benar dengan ibunya......... serupa lihat mulut dan
mata itu ......” tiba-tiba Kwan Kok Sun menangis terisakisak.
“Iiihhh, kau kenapakah ?" kata Bi Li terheran-he ran.
Juga Ang-jiu Mo-li melangkah melangkah maju mendekati
melihat sikap aneh dari orang gundul ini. Sebagai seorang
tokoh kang-ouw, Ang-jiu Mo-li selalu menaruh curiga
terhadap orang-orang seperti Tee tok Kwan Kok Sun ini.
Pada saat itu banyak orang datang berlari. Mereka ini
adalah para pengawal istana dipimpin sendiri oleh Pangeran
Wanyen Ci Lun isterinya yang gagah, Gak Soan Li. Biarpun
guru dan dua orang muridnya itu melakukan pengejaran
terhadap Thai Gu Cinjin secara diam-diam tanpa minta
bantuan para pengawal yang banyak terdapat di istana,
namun suara ribut-ribut tadi akhirnya terdengar juga oleh
para pengawal. Juga Wanyen Ci Lun dan isterinya
38
mendengar lalu mereka ikut mencari ketika melihat bahwa
kamar kedua orang anaknya kosong.
“Ada terjadi apakah?” tanya Gak Soan Li sudah
menyiapkan sebatang pedang di tangan, wajahnya menjadi
tenang dan lega melihat putera-puterinya selamat.
"Eh kau di sini? Bukankah kau putera See-thian Tok-ong
...... !" Pangeran Wanyen Ci Lun bertanya ketika melihat
Kwan Kok Sun yang dulu sudah sering kali ia jumpai (baca
Pedang Penakluk Iblis).
Kwan Kok Sun yang menghentikan tangis melihat
kedatangan banyak orang, lalu menjura kepada Pangeran
Wanyen Ci Lun dengan hormat dan berkata.
"Hamba sengaja datang hendak berlemu dengan Taijin
membicarakan hal yang sangat penting." Sambil berkata
demikian, Kwan Kok Sun melirik ke arah Wan Bi Li.
Wanyen Ci Lun menoleh kepada Ang-jiu Mo-li, dengan
sinar matanya minta nasihat wanita sakti itu.
"Tidak ada apa-apa, semua sudah beres Saudara-saudara
pengawal dan penjaga harap bubaran, tidak ada bahaya apaapa
di sini. Di harap Taijin pulang bersama Bi Li dan Sun-ji,
kalau Kwan Kok Sun ini hendak bicara dengan Taijin, boleh
saja biarkan dia ikut. Aku akan menjaganya."
Maka berakhirlah ribut-ribut tadi, sedangkan Thai Gu
Cinjin biarpun sudah terluka mudah saja ia lari keluar dari
tembok istana melalui para penjaga yang hanya melihat
bayangan besar berkelebat dan lenyap. Adapun Pange ran
Wanyen Ci Lun dan anak isterinya segera kembali ke gedung
mereka diikuti oleh Kwan Kok Sun yang senantiasa diawasi
gerak-geriknya oleh Ang-jiu Mo-li.
Setiba mereka di gedung, Bi Li dan Wan Sun disuruh
tidur oleh ayah mereka. Kemudian Wanyen Ci Lun dan
is terinya mengajak Kwan Kok Sun dan Ang-jiu Mo-li ke
kamar tamu.
39
“Nah, ceritakan apa kehendakmu. Kwan-sicu" tanya
Wanyen Ci Lun tak sabar.
“Tadinya aku hendak menyimpan rahasia ini, akan terapi
apa dayaku. Thai Cu Cinjin yang jahat itu telah memaksa
aku membuka rahasia. Tadinya Thai Gu Cinjin mempunyai
niat jahat, hendak membasmi keluarga Wanyen Taijin......”
"Mengapa ?” tanya Ang-jiu Mo-li tajam, tidak gampang
percaya begitu saja.
"Dia diam-diam telah diperalat oleh Temu Cin raja bes ar
orang Mongol," jawab Kwan Kok Sun cepat tanpa ragu-ragu
karena memang sudah ia atur lebih dulu. "Karena tahu
bahwa kedudukan Wanyen Taijin di sini amat berpengaruh
dan besar, maka Temu Cin menyuruh Thai Gu Cinjin untuk
membasmi keluarga Wanyen seluruhnya untuk melemahkan
kedudukan Kerajaan Kin yang akan diserbunya.”
"Dan kau ikut dengan dia untuk membantunya?" suara
Ang-jiu Mo li mengandung ancaman.
“Ah, tidak ......... tidak.......! Memang kepada Thai Gu
Cinjin aku bcrjanji hendak membantunya, Akan tetapi
sebenarnya aku untuk mencegah dia turun tangan, atau
setidaknya mencegah dia membunuh puteri keluarga
Wanyen."
"Apa sebabnya, Kwan sicu?” Wanyen Ci Lun bertanya
cepat-cepat dan Gak Soan Li memandang penuh perhatian.
Kwan Kok Sun menarik napas panjang "Apa boleh buat,
terpaksa aku membuka rahasia. Perkara sudah terlanjur
begini. Wanyen Taijin, sesungguhnya pateri paduka, nona Bi
Li itu, adalah anakku."
Terbelalak besar mata Wanyen Ci Lun dan isterinya.
Mereka terkejut, seakan-akan baru sekarang mereka tahu
bahwa sesungguhn Bi Li bukanlah anak mereka sendiri!
Sudah lupa pula mereka akan kenyataan itu, karena bagi
mereka lahir batin Bi Li sudah menjadi anak sendiri. Hanya
40
Ang-jiu Mo-li yang bersikap tenang. Wanita sakti ini sudah
pernah mendengar ce rita tentang keadaan Bi Li yang aneh
dan diapun diberi tahu bahwa Bi Li sesungguhnya bukan
puteri kandung suami isteri ini. Akan tetapi Ang-jiu Mo-li
tidak begitu mudah percaya akan pengakuan orang seperti
Kwan Kok Sun. Searanya tegas dan menakutkan ketika ia
bertanya.
“Mudah saja kau mengaku-aku anak orang. Kalau kau
bisa bilang bahwa Bi Li muridku itu anakmu, hayo katakan
apa bukt inya?”
Mendengar ini, Wanyen Ci Lun dan isterinya sadar.
Pangeran itupun segera berkata, “Betul, Kwan-sicu. Apa
buktinya bahwa dia anakmu?” Ia mengharapkan orang
gundul itu takkan bisa menjawabnya. Ia mengharap jangan
ada orang lain di dunia ini akan mengakui Bi Li sebagai
anak!
Akan tetapi Kok Sun tidak menjadi gugup menghadapi
serangan pertanyaan ini. Ia menarik napas panjang dan
berkata, “Memang sudah kuduga bahwa aku akan
menghadapi hal yang sulit apabila tiba masanya akan
mengakuinya sebagai anak. Oleh karena itu aku sengaja
memberi tanda. Anak itu di punggungnya, di kanan kiri
tulang punggung agak bawah, terdapat dua tanda bintik
merah. Dulu sebesar biji teratai, sekarang mungkin lebih
besar mengikuti pertumhuhan badannya. Dari dua bintik
merah ini keluar bau harum yang aneh. Tidak betulkah ini?”
Wanyen Ci Lun dan Gak Soan Li mengeluarkan seruan
tertahan. Ang-jiu Moli yang tidak tahu akan hal itu bertanya
kepada Gak Soan Li, "Betulkah itu?”
Gak Soan Li hanya bisa mengangguk penuh keharuan
sedangkan Wanyen Ci Lun menjawab kepada Kwan Kok Sun.
"Tepat sekali keterangan itu! Akan tetapi aku masih belum
dapat percaya betul. Kalau betul kau ayahnya, kau tentu
dapat menceritakan apa yang menyebabkan bintik-bintik
41
merah itu dan siapa ibunya kemudian mengapa pula anak
itu bisa berada di sini bersama kami.”
Ang-jiu Mo-li mengangguk-angguk sctuju. Memang
sebelum mempercayai keterangan orang seperti Kwan Kok
Sun ini harus lebih dulu, mendapatkan penjelasan dan
bukti-bukti yang kuat. Bi Li yang cantik jelita seperti
bidadari itu anak setan gundul ini? Sungguh sukar
dipercaya, kata hati Ang-jiu Mo-li.
"Betul, kau harus dapat menceritakan semua itu semua
dengan jelas !” katanya memperkuat permintaan Wanyen Ci
Lun. Dan tiba-tiba Kwan Kok Sun menangis! Semua orang
menjadi terheran-heran.
“Apa-apaan ini ? Apa kau sudah gila?” bentak Ang-jiu
Mo-li hilang sabar.
Tangis Kwan Kok Sun tidak dibuat-buat melainkan
mengguguk seperti anak kecil mengharukan hati Wanyen Ci
Lun dan Gak Soan Li. Apalagi Wanyen Ci Lun yang sudah
mcngenal watak Kwan Kok Sun. Orang seperti ini, yang
menjadi putera raja racun yang amat jahat, sampai dapat
menangis begitu sedih, batinnya benar-benar berduka.
"Ah....... aku teringat kepada dia ......... ibu anak itu .....”
Ia berusaha keras untuk mengatasi keharuan hatinya
dengan menggigit bibirnya sampai berdarah. Setelah
mengusap darah di bibirnya dan air mata di pipi, orang
gundul ini bercerita singkat.
"Anak itu lahir ibunya meninggal dunia. Dengan susah
payah aku memeliharanya. akan tetapi aku seorang kasar
bagaimana bisa memelihara seorang bayi? Pertolongan ibuibu
muda di kampung-kampung memang bisa menyambung
nyawa anak itu sampai beberapa bulan. Akan tetapi aku
be rpikir bahwa kalau anak itu terus menerus ikut aku, dia
akan menjadi apakah? Aku seorang perantau, miskin tiada
sanak kadang tiada pondok. Maka aku lalu teringat kepada
Wanyen Taijin, seorang bangsawan yang sudah kukenal
42
betul keadaan hatinya. Nah, timbul dalam kepalaku untuk
menitipkan anakku kepada Wanyen Taijin tetapi aku tidak
be rani berterang oleh karena aku takut kalau-kalau ditolak
permintaanku. Lalu kutinggalkan begitu saja anakku itu di
dalam taman bunga di belakang rumah gedung ini.
Aku yakin bahwa dengan cara demikian mau tidak mau
Wanyen Taijin tentu akan memeliharanya. Dan ternyata
dugaanku betul. Anak itu terpelihara baik-baik, menjadi
terpelajar, pandai dan. ...... dan cantik jelita seperti
ibunya.......” Kembali ia menangis terisak-isak.
“Ninti dulu,” kata Ang-jiu Mo-li. “Kau belum
menceritakan bagaimana tentang dua bintik merah di
punggungnya itu."
(Bersambung jilid ke XIV.)
1
(PEK LUI ENG)
Karya: Asmaraman S. Kho
Ping Hoo Scan djvu :
syauqy_arr
Convert & edit : MCH
Jilid XIV
SETELAH menyusuti air matanya. Kwan Kok Sun
melanjutkan penuturannya. “Karena aku sudah menduga
bahwa tanpa sesuatu tanda kelak sukar untuk mengakui
anakku, aku sengaja memberi tanda itu.”
“Bagaimana caranya? Jelaskan !” kata pula Ang-jiu Mo-li.
"Semenjak kecil aku selalu bermain-main dengan ularular
berbisa itu, cara menangkap, memeliharanya, menolak
racunnya dan apa saja yang ada hubungannya dengan ular.
Pendeknya aku tidak berlebihan kalau mengaku bahwa aku
adalah seorang ahli ular be acun. Kebetulan sekali ketika itu
aku mempunyai seekor ular kecil merah yang namanya
siang hwa ang coa (Ular merah Bunga Harum) yang
kudapatkan di perbatasan Tibet. Ular kecil merah itu di sana
terkenal sebagai rajanya ular, baunya harum sekali seperti
selaksa kembang dan ular-ular lainnya, besar ke cil beracun
atau tidak terutama sekali yang beracun. baru mencium
baunya saja sudah jadi jinak. tunduk dan takut. Nah, ular
kubelek tubuhnya, kuambil sari racun yang wangi,
kucampuri dengan obat penawar racunnya sehingga racun
itu tidak be rbahaya lagi, akan tetapi sari keharumannya
2
masih kerja penuh. Sari ini lalu kumasuksan dalam uraturat
di kanan kiri punggung anak sehingga menjadi satu
dengan peredaran darahnya, membuat tubuhnya menjadi
harum baunya seperti Siang-bwe-ang-coa dan se tiap ular
tentu takkan berani mengganggu,
Memang hukan tidak ada bahayanya memasukkan racun
itu ke dalam urat-urat dekat pungung, salah-salah bisa
mematikan anaknya. Akan tetapi kukatakan tadi, aku
adalah seorang ahli dalam hal itu. Racun itu tidak
mendatangkan bahaya bagi anakku, hanya meninggalkan
dua bintik merah kecil di punggungnya dan sebaliknya dapat
membuat tubuhnya menjadi harum dan anti gigitan ular
berbisa."
Mendengar ini, Wanyen Ci Lun dan Soan Li tidak raguragu
akan tetapi Ang jiu Mo-li masih berkata kepada Soan
Li. "Harap hujin suka mengujinya sekali lagi. Tanyakan
tentang pakaian dan keadaan anak itu ketika ditemukan."
Dengan suara gemetar Soan Li bertanya dan jawaban
Kwan Kok Sun tentang pakalan dan keadaan anak itu
memang tepat sekali, cocok seperti keadaan anak itu ketika
didapatkan di dalam taman.
“Tak salah lagi, kau adalah ayah Bi Li …. kata Gak Soan
Li, suaranya gemetar terharu, kedua matanya basah oleh air
mata. Ibu ini merasa bingung dan gelisah sekali, takut
kalau-kalau ayah sejati ini mcnuntut anaknya.
“Agaknya kau memang betul ayahnya, orang she Kwan.
Akan tetapi, sekarang anakmu sudah remaja puteri dan
semenjak bayi dipelihara oleh Wanyen Taijin dan isterinya.
Kau sekarang mau apa?" Suaranya dingin, dan sudah pasti
Ang-jiu Mo-li akan membantu suami- isteri ini
mempertahankan puteri mereka.
"Aku tidak mau apa-apa, hanya ingin diberi ijin tinggal di
sini, hidup di dekat anakku. Biar aku bekerja membantu
Wanyen Taijin, biarpun bodoh dan lemah, kiranya aku ada
3
sedikit tenaga untuk membantu kelak bila orang-orang
Mongol datang menyerbu. Di samping itu, aku ingin
menurunkan semua kepandaianku kepada puteriku. ingin
pula memberi oleh-oleh berupa sebuah kitab yang istimewa
kepadanya."
"Dari Omei-san. ..........?” Ang-jiu Mo-Li memotong cepat.
Kini Kwan Kok Sun yang memandang kepada wanita sakti
itu penuh curiga.
“Kalau betul, apakah kau hendak merampasnya, Ang-jiu
Mo-li? Kitab ini kudapatkan secara mati-matian dari tangan
Thai Gu Cinjin dan hendak kuhadiahkan kepada puteriku.
Biarpun aku akan mampus di tanganmu, aku tidak akan
membiarkan kau mengambilnya untukmu sendiri!"
Tiba-tiba Ang-jiu Moli tertawa. Aneh, lenyap keangkeran
wajahnya, lenyap sifat sifatnya yang ganas kalau Ang jiu Mo
li tertawa. Sebaliknya nampak manis dan cantik sekali.
"Setan gundul, kau bicara ngaco! Aku sendiri yang
mendapatkan sebuah kitab Omei-san kuajarkan kepada
murid-muridku. Masa aku akan me rampas kitab yang
kauberikan kepada muridku? Aku hanya ingin tahu apakah
betul-betul Thai Gu Cinjin mendapatkan banyak kitab dari
Omei-s an seperti kaukatakan tadi?”
"Tidak. Tadi aku s engaja berkata demikian agar supaya
kau jangan melepaskannya. Bahkan kitab inipun tadinya dia
yang punya, satu-satunya kitab yang dapat ia ambil dari
puncak Omei -san.” Lalu Kwan Kok Sun bercerita terus
terang betapa ia mengatur siasat untuk menjebak Thai Gu
Cinjin di istana dan untuk merampas kitab meminjam
tangan Ang-jiu Mo-li. Mendengar ini, kembali Ang jiu Mo-li
tertawa.
"0rang-orang macam kau dan Thai Gu Cinjin selalu
mempergunakan tipu muslihat dan curang."
"Hidupku yang lampau sudah penuh kekejian, Ang-jiu
Mo-li . Sekarang melihat keadaan anakku yang mulia
4
hidupnya, aku betul hendakmencuci tangan, hendak
menebus dosa dengan memperlihatkan kepada anakku
bahwa bapaknya juga dapat menjadi manusia bersih. Asal
saja Wanyen Taijin sudi menerima aku bekerja di sini , hidup
di dekat anakku, biar disuruh berkorban nyawa aku siap
sedia!"
Wanyen Ci Lun menjadi terharu. Tentu saja ia tidak mau
menolak, bahkan andaikata orang ini hendak membawa
pergi Bi Li, ia punt tidak bisa apa-apa.
"Baiklah, Kwan-sicu. Kau kuterima bekerja dan menjadi
perwira, sesuai dengan kepandaianmu. Akan tetapi tentang
Bi Li....... apakah kami harus….. bicara terus terang padanya
?”
"Ohhh, jangan ...... kasihan, dia…… tentu akan kecewa
sekaIi mendapatkan bahwa ayahnya hanya....... “
"Harus diberitahu !" kata Wanyen Ci Lun yang berwatak
agung dan jujur. "Betapapun akan pahit getirnya kenyataan
harus dihadapinya dengan tabah.” Setelah berkata demikian,
ketika itu juga ia menyuruh isterinya memanggil Bi Li.
Ketika itu telah menjelang pagi dan Bi Li yang baru saja
pulas, bangun dengan mata masih mengantuk dan rambut
yang awut -awutan. Namun hal ini bahkan menonjolkan
kecantikannya yang aseli, membuat Kwan Kok Sun diamdiam
kagum bukan main.
"Ayah panggil aku ada apakah?" tanya Bi Li kepada
Wanyen Ci Lun karena ibunya hanya bilang bahwa dia
dipanggil ayahnva untuk kepetluan penting sekali. Ketika Bi
Li melirik dan melihat Kwan Kok Sun masih duduk di situ ia
tersenyum dan wajahnya berseri -seri, katanya. “Kau masih
di sini, orang tua gagah? Kebetulan sekali karena aku ingin
sekali bertanya tentang ular hitam yang dapat kaupakai
sebagai senjata itu. Sayang ular sebagus itu mati oleh
tongkat Thai Gu Cinjin."
5
Dengan suara terharu Kwan Kok Sun menjawab "Jangan
khawatir, kalau kau suka aku bisa mendapatkan seekor ular
seperti itu untukmu. Kita masih mempunyai banyak waktu
untuk bercakap-cakap tentang segala macam ular, anak
yang baik."
"Betulkah?, Aahh, aku ingin sekali mempunyai kawan
baik yang bisa membantu dalam pertempuran seperti ular
itu !" Wajah Bi Li berseri-seri dan dara remaja ini sudah lupa
lagi bahwa ia keluar karena dipanggil ayahnya.
Sementara itu, menyaksikan ayah dan anak bercakapcakap
itu saja sudah merupakan hal yang mengharukan dan
mendebarkan hati sehingga Wanyen Ci Lun dan Gak Soan Li
memandang dengan melongo, bahkan Ang-jiu Mo-li juga
diamsaja tak bergerak. Kesunyian ini agaknya terasa oleh Bi
Li, maka ketika ia menoleh dan melihat sikap ayahbundanya.
ia menjadi terheran dan berbareng ingat akan
panggilan ayahnya.
"Ayah memanggil aku ada kepentingan apakah ayah?"
tanyanya lagi sambil melangkah maju dan merangkul
pundak ibunya dengan sikap manja.
"Bi Li, Kwan-sicu ini....... dia inilah....... ayahmu sendiri.
Adapun aku dan ibumu itu hanya ayah dan ibu pungut
saja."
Bi Li memandang bingung, mengira ayahnya bergurau
lalu mendekati ayahnya, memegang tangannya. "Ayah kau
bilang apa? Aku tidak mengerti."
Suara Wanyen Ci Lun agak gemetar ketika ia
menguatkan hatinya dan bicara dengan jelas sementara Gak
Soan Li menutupi muka untuk menyembunyikan matanya
yang sudah basah.
"Bi Li, ketahuilah. Ketika kau berusia setengah tahun,
oleh ayahmu ini kau dititipkan kepada kami karena......
karena ibumu sendiri meninggal dunia ketika kau
terlahir…..”
6
Ucapan ini saja sudah mcnunjukkan betapa luhur budi
Pangeran Wanyen Ci Lun, tahu bahwa kalau ia memberi
tahu bahwa Bi Li dahulu ditinggalkan ayahnya di dalam
taman seakan-akan dibuang, tentu perasaan gadis itu akan
tersinggung, maka ia menolong Kwan Kok Sun dengan
mengatakan bahwa Bi Li sengaja dititipkan ! Akan tetapi,
ucapan yang lemah lembut itu tetap saja merupaka pisau
berkarat yang menancap di ulu hati Bi Li.
Dara ini meloncat mundur seakan-akan ditampar,
mukanya pucat sekali seperti muka mayat. Soan Li menjerit
dan menubruk gadis itu, terus dirangkul dan didekapnya
kepala anaknya itu ke dadanya.
“Bi Li, jangan........ jangan kau memandang aku seperti
itu ....... " tangis Soan Li, "Aku tetap ibumu....... kau anakku,
jangan anggap aku bukan ibumu lagi....... “
Namun Bi Li meronta dari pelukan ibu berdiri tegak dan
sampai lama ia hanya menatap wajah Kwan Kok Sun,
Wanyen Ci Lun dan Gak Soan Li berganti -ganti.
"Mengapa scmua ini dirahasiakan tadinya. Mengapa......
??" Bi Li tidak menangis, setitik air matapun tidak keluar,
pandang matanya menyambar.
“Bi Li, anakku, kami memang tidak menganggap engkau
seperti orang lain. Kau adalah anak kami dan....... dan.......
kalau tidak ada kejadian malam ini, sampai sekarangpun
rahasia itu akan kami simpan, kami bawa mati……”
Tiba-tiba Kwan Kok Sun tertawa keras dan berdiri dari
bangkunya. “Ha ha ha, mengapa ribut-ribut untuk urusan
ini? Tentu saja anak Bi Li masih menjadi anak Pangeran
Wan-taijin dan hujin. Mana bisa lain? Bahkan nama Bi Li
juga pemberian dari ayah bundamu ini. Mana bisa kau
menjadi anakku? Tidak pantas, tidak pantas. Biarlah mulai
sekarang, kau tetap anak terkasih dari Pangeran Wanyen Ci
Lun ada pun aku. Tee-tok Kwan Kok Sun. menjadi gihu
(ayah angkat) saja. Bagaimana? Maukah muridku ?" Tiba7
tiba Kwan Kok Sun menghadapi Ang-jiu Mo-li dan menjura.
"Maaf, Toanio, bukan maksudku mendesak menjadi guru
anak ini. Tentu saja kepandaianmu jauh lebih tinggi dari
pada kebisaanku yang tidak ada artinya, akan tetapi seperti
kataku tadi, biarpun sedikit, kiranya aku dapat mewariskan
kepandaianku , te rutama isi kitab itu ..... "
Diam-diam Ang jiu Mo-li memuji Kwan Kok Sun. Biarpun
Kwan Kok Sun terkenal sebagai seorang yang disebut
seorang jahat, seorang yang disebut Racun Bumi, namun
dalam hal ini dia rupanya ingat akan budi Pangeran Wanyen
Ci Lun sehingga ia dapat mengatasi keadaan tegang itu
dengan merendahkan diri terima menjadi ayah angkat saja
padahal dialah ayah sejati yang berhak mengaku Bi Li
sebagai anaknya. Maka wanita sakti ini tersenyum dan
berkata, "Kebetulan sekali , memang sudah terlalu lama aku
menjadi guru mereka, baik sekali kau datang mengganti
kedudukanku."
"Bi Li, mulai sekarang kau boleh melanjutkan
pe lajaranmu di bawah petunjuk Kwa Kok Sun ini. Yang
terpenting kau harus melatih Kwan Im-cam-mo dengan
sempurna, dalam hal ini kiranya Sun -ji akan dapat dapat
memberi petunjuk. Latihannya sudah lebih matang dari
padamu. Nah, jaga baik-baik diri aku pergi. Wanyen Taijin
dan hujin, terima kasih atas segala kebaikan kalian terhadap
aku selama aku menjadi guru anak anak. Selamat tinggal!”
"Nio.nio....... !” Bi Li memanggil terbata, akan tetapi watak
Ang-jiu Mo-li keras sekali. Satu kali bilang putih, putih.
Bilang hitam, hitam. Bayangannya melesat dan sekejap mata
saja ia sudah lenyap dari situ.
Wanyen Ci Lun juga girang sekali mendengar keputusan
Kwan Kok Sun yang rela menjadi gihu (ayah angkat) saja
dari Bi Li. Tadinya ia sudah khawatir kalau-kalau si gundul
itu mempergunakan haknya dan membawa pergi gadis yang
menjadi buah hati suami isteri itu.
8
"Bi Li, kau dengar tadi? Kau tetap puteriku yang terkasih.
Hayo beri hormat kepada gihumu”!
Kebingungan Bi Li juga terobat oleh sikap Kok Sun tadi
maka serta merta ia menjatuhkan diri berlutut di depan
Kwan Kok Sun menyebut, "Gihu. ......!”
Kwan Kok Sun mengelus-elus kepala dara itu sambil
mulutnya berbisik. "Anak baik..... anak baik......" tak dapat
ia me lanjutkan kata-katanya dan matanya kembali menjadi
basah.
"Aahhh......” semua orang kaget mendengar suara ini,
Kok Sun cepat melompat ke arah pintu dan membuka pintu
itu, akan tetapi tidak terlihat ada orang.
"Heran, siapakah yang bersuara tadi?" katanya perlahan.
Hanya Bi Li yang dapat menduga suara siapa itu. Itulah
suara Wan Sun kakaknya yang sekarang ternyata bukan
kakaknya lagi melainkan orang lain itu, lain ayah lain ibu !
Demikianlah, semenjak hari itu Kwan Kok Sun menjadi
perwira Kerajaan Kin, diangkat oleh kaisar atas usul
Pangeran Wanyen Ci Lun. Kali ini Kwan Kok Sun benarbenar
jujur dalam pekerjaannya, sedikitnya, demikianlah
keyakinan Pange ran Wanyen Ci Lun. Oleh karena itu, Kwan
Kok Sun mendapat kepercayaan intuk mengurus perkaraperkara
besar, di samping penghidupannya yang mulia
terhormat di kota raja dan ketekunannya melatih ilmu silat
kepada Bi Li. Karena Bi Li memang mempunyai sifat suka
akan ular ular berbisa, sifat pembawaannya sejak kecil
ditambah pengaruh Racun Ular Merah yang mengeram di
tubuhnya, maka gadis inipun suka mempelajari ilmu-ilmu
tentang ular dari gihunya. Di samping ini juga Bi Li
menerima latihan ilmu silat dari kitab Omei-san hasil
rampasan Thai Gu Cinjin yang terjatuh ke dalamtangan
Kwan Kok Sun, yaitu kitab I lmu Pedang Cap-pek Sin-liong
Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Belas Naga Sakti).
9
Hubungan Bi Li dengan Wan Sun masih seperti biasa dan
pemuda itu nampakuya tidak merobah sikap, menganggap
Bi Li seperti adik sendiri , seakan-akan pemuda itu belum
tahu akan rahasia itu.
Pada suatu hari Kwan Kok Sun menerima tugas dari
Pangeran Wanyen Ci Lun untuk berangkat ke selatan.
"Tentara Mongol sudah mulai bergerak ke arah selatan.
Kita harus bersiap sedia dan di samping ini kita harus
mengumpulkan bala bantuan sebanyak mungkin. Kwan sicu
harap berusaha mencari Wan Sin Hong dan memberikan
suratku kepadanya. Kemudian cobalah untuk minta
bantuan tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw dan kalau
perlu beli tenaga me reka dengan hadiah-hadiah besar."
Berangkatlah Kwan Kok Sun yang diikuti oleh Wan Sun
dan Wan Bi Li serta beberapa orang perwira yang
berkepandaian tinggi, membawa perbekalan yang banyak,
Kwan Kok Sun menemui orang-orang kang-ouw dan banyak
juga yang dapat terbujuk oleh Kwan Kok Sun dengan hadiah
hadiah yang royal. Mereka yang kena bujuk berangkat ke
kota raja Kerajaan Kin untuk menerima pangkat di sana
sedangkan Kwan Kok Sun bersama dua orang anak
pangeran itu melanjutkan perjalanan ke selatan.
Mendengar bahwa Wan Sin Hong berada di pantai laut
selatan, Kwan Kok Sun membeli sebuah perahu indah dan
be rlayar ke laut Selatan. Selain ia sendiri hendak mencari
kawan-kawan di daerah selatan juga Bi Li amat
mendesaknya untuk mencari Wan Sin Hong sampai dapat.
Gadis ini, juga Wan Sun, yang sudah sering kali mendengar
nama Wan Sin Hong dipuji-puji ayahnya, ingin sekali
bertemu dengan pendekar sakt i itu. Bukan hanya karena
saktinya, akan tetapi juga karena pendekar itu masih
terhitung paman mereka dan mereka bahkan oleh Wanyen
Ci Lun diberi she (nama keturunan) Wan, seperti Wan Sin
Hong.
10
Demikianlah, seperti telah dituturkan di bagian depan,
ketika perahu bes ar Kwan Kok Sun be rada di dekat pesisir
selatan. ia menerima tamu istimewa yang datang
menggunakan s ebuah perahu pula. Tamu ini bukan lain
adalah Toat- beng Kui-bo. Semua orang kang-ouw sudah
mendengar tentang Kwan Kok Sun yang membagi-bagi harta
benda untuk mencari bantuan orang-orang pandai guna
menahan serbuan bangsa Mongol, juga Toat -beng Kui -bo
mendengar akan hal ini.
Semenjak Toat beng Kui-bo membaca kitab DELAPAN
JALAN UTAMA yang ia curi dari Ome i san kemudian oleh
Tiang Bu "dipinjamkan" kepadanya, benar-benar isi hatinya
be rubah sama sekali. Entah bagaimana mendengar akan
sepak terjang Tee-tok Kwa Kok Sun yang kini menjadi
panglima Kerajaan Kin dan sedang berusaha melawan
serbuan bangsa Mongol. hati Toat-beng Kui-bo tergerak.
Bukan sekali-kali oleh janji dan hadiah besar, melainkan
tergerak untuk merebus dosa yang sudah-sudah dengan
jalan membela tanah air dari serangan bangsa asing.
Biarpun kini yang menjadi kaisar adalah suku bangsa
Kin, namun daerah utara itu termasuk ke wilayah Tiongkok
juga dan kini hendak diserbu oleh orang orang Mongol yang
biadab. Timbul jiwa patriot dalam dada nenek-nenek tua ini,
maka ia segera menemui Kwan Kok Sun di perahunya untuk
mendaftarkan diri menjadi sukarelawati! Bukan main
girangnya hati Kwan Kok Sun, karena ia tahu akan kelihaian
nenek ini yang tidak kalah lihai oleh Ang-jiu Mo-li sendiri!
Cepat ia mengeluarkan hadiah berupa barang-barang emas
dan permata, diberikan kepada Toat beng Kui-bo sebagai
“voorchot" dan "uang jasa”, akan tetapi ia melongo ketika
Toat-bang Kui bo mengambil berang-barang itu lalu ......
melemparkannya ke dalam laut !
Tee-tok Kwan Kok Sun cepat -cepat bangkit berdiri dan
menjura sampai dalam.
11
"Maaf, maaf ....... aku tidak s engaja hendak menghina
locianpwe ....... “
"Sudahlah, katakan kepada Pangeran Wanyen Ci Lun
bahwa orang-orang Mongol akan menjadi musuhku kalau
mereka berani menginjakkan kaki di bumi Tiongkok!"
Setelah berkata demikian. nenek ini bersuit dan kele lawarkelelawar
yang be terbangan berkumpul dan hinggap di atas
pundaknya, Kwan Kok Sun memberi perintah kepada urangorangnya
untuk mendayung perahu ke pantai, akan tetapi
Toat beng Kui-bo sudah mendahuluinya melompat keluar
menuju ke sebuah perahu yang berdekatan, terus
berlompatan sekali lompat ada lima enam tombak dari
perahu lain sampai lenyap dari pandangan mata.
Tentu saja pertemuan ini amat mengharukan hati Bi Li
dan Wan Sun, yang baru sekarang menyaksikan orang-orang
kang-ouw yang lihai-lihai. Perjalanan ini benar- benar
menggembi rakan hati mereka dan membuka mata mereka
lebar-lebar bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orangorang
pandai, yang sutu lebih pandai agaknya dari pada
yang lain.
-oo(mch)oo-
Mari kita kembali kepada Tiang Bu yang sudah agak
lama kita tinggalkan. Seperti telah kita ketahui, Tiang Bu
berlari-lari mengikuti tiga orang dara jelita yang
membalapkan kuda tunggangan mereka. Sampai setengah
hari lebih Ceng Ceng tidak mau menghentikan kuda
hitamnya dan terpaksa Pek Lian dan Ang Lian juga
melarikan terus kuda mereka. Yang paling sial adalah Tiang
Bu, biarpun kepandaiannya tinggi, akan tetapi napas
manusia mana bisa menyamai napas kuda dalam hal
berlari? Memang ilmu lari cepat dari Tiang Bu sudah tinggi
sekali dan andaikata diadu cepat dengan kuda ia takkan
kalah. Akan tetapi diadu kekuatan napas, tentu saja ia
kalah.
12
Kuda tetap kuda dan binatang ini memang telah
ditakdirkan menjadi tukang lari, akan tetapi manusia bukan
kuda.
"Ahhh. adik Ceng Ceng benar-benar kejam. Membiarkan
orang berlari-lari setengah hari!” Pek Lian mengomel sambil
melarikan kudanya di sebelah kuda Ang Lian. Adiknya
melirik te rus berkata.
"Ah, mengapa sih, cici? Biarkan pemuaa muka monyet
itu berlari-lari !"
"Moi-moi, di mana perikemanusiaanmu? Kau suka
melihat orang tergoda dan te rsiksa seperti itu?”
"Biar kapok! Siapa suruh dia menghina kita, merampas
barang-barang itu dari tangan kita. Dia sudah dua kali
menghina aku, sekarang dia berani main gila kepada adik
Ceng Ceng. Biar dia tahu rasa!"
"Tidak bisa kau bilang demikian, adikku. Bagaimanapun
juga, kita harus akui bahwa pemuda itu bukan orang jahat.
Dia merampas barang-barang itu untuk dia kembalikan
kepada pemiliknya yang menurut dia bernama Pangcran
Wanyen Ci Lun dan agaknya dia ada hubungan dengan
pangeran itu. Kemudian setelah dia mendengar bahwa kita
merampas barang-barang untuk menolong rakyat jelata yang
ke laparan dan menjadi korban banjir dia mengalah hanya
ingin ikut untuk membuktikan dan menyaksikan sendiri.
Dia tentu orang gagah yang seharusnya kita hargai,
mengapa adik Ceng Ceng menghinanya begitu macam?”
Tiba-tiba Ang Lian memegang lengan cicinya dan
menatap wajah cicinya dengan tajam penuh selidik.
“Cici....... ! Kau....... kau agaknya sudah jatuh hati
kepadanya! Alangkah lucunya pilihanmu! Puluhan pemuda
tanpan dan gagah kautampik, ehh ...... tahu-tahu sekarang
jatuh terhadap seorang pemuda yang bermuka buruk ....... ! "
Pek Lian mengipatkan pegangan adiknya dan mukanya
menjadi merah sekali.
13
“Gila ! Segala apa kauukur dengan cinta. Dasar gila cinta!
Aku hanya bicara sesungguhnya. Pemuda itu pasti bukan
orang sembarangan, setidaknya dia tentu murid orang sakti
juga dia tidak melakukan kejahatan. Mengapa begitu saja
kau terus menuduh aku jatuh hati?" Setelah berkata
demikian Pek Lian membalapkan kudanya menyusul Ceng
Ceng sementara itu Tiang Bu nampak bayangannya di
belakang sekali, berlari - lari dalam usahanya jangan sampai
tertinggal oleh tiga orang nona itu. Ang Lian menoleh dan
tersenyum mengejek, melambai lambaikan pecutnya.
"Cepat ! Cepat ! Mengapa larimu seperti keong buruk
lambatnya?”
Tiang Bu hanya tersenyum saja dan lari seperti biasa.
Diam-diam hati Tiang Bu berdebar aneh, setengah girang
setengah bangga ketika mendengar pe rcakapan tadi.
Memang, biar pun ia berada jauh di belakang, ia selalu
memasang pendengarannya yang luar biasa tajamnya
sehingga ia dapat mendengar percakapan antara enci dan
adik tadi. Mendengar kata-kata Pek Lian, hati Tiang Bu
te rgerak dan ia merasa suka kepada gadis berpakaian pria
itu. Ia mempercepat larinya dan sebentar ia sudah
melampaui kuda tunggangan Ang Lian.
“He, nona kecil galak ! Kau ini menunggang kuda atau
menunggang kura-kura begitu lambat?" ia balas mengejek.
Ang Lian menyumpah-nyumpah akan tetapi tidak berani
memaksa kudanya berlari lebih cepat karena kalau kudanya
terlalu lelah dan mogok di jalan bisa berabe.
Sementara itu, Pek Lian yang membalap kudanya sudah
berhasil menyusul Ceng Ceng dan merendengkan kudanya
dengan kuda hitam itu.
"Kau menyusul aku ada apakah, Pek Lian?" tanya Ceng
Ceng tersenyum. Ia memang sedang merasa kesepian maka
senang me lihat Pek Lian, ada kawannya mengobrol.
14
"Adik Ceng Ceng, aku mau bicara tentang orang muda
itu. Apakah kita tidak akan berhenti dulu membiarkan dia
beristirahat? sudah berlari setengah hari lamanya."
Ceng Ceng memandang dengan mata yang seperti
bintang, wajahnya tak senang. Matanya berkata penuh
ejekan, "Kau perduli apa akan dia?" Akan tetapi mulutnya
menggerutu, "Kalau dia lelah biar dia berhenti sendiri. Aku
tidak perduli apakah dia lelah atau akan mampus! Laki-laki
kurang ajar dia!"
Pek Lian menarik napas panjang. Dia tahu bahwa bicara
dengan nona ini sukar sekali karena Ceng Ceng jauh lebih
cerewet dari pada Ang Lian juga lebih galak. Akan tetapi ia
berkata terus.
“Ceng-moi, kurasa orang itu bukan orang sembarangan.
Lihat saja ilmu lari cerpatnya demikian lihai tentu dia murid
seorang sakti. Kalau kita membiarkan dia yang hendak
menjadi tamu orang tua kita berlari-larian seperti itu,
apakah kelak tidak akan menerima teguran orang kang-ouw
dan orang tua kita sendiri?”
"Aku tidak perduli! Siapa sudi mengurusi manusia
macam dia? Oh, aku tak sudi!" Setelah berkata demikian ia
melempar pandangan mengejek ke arah Pek Lian lalu
membalapkan kuda hitamnya cepat sekali. Pek Lian tidak
mengejar, karera selain kudanya kalah baik, juga ia sudah
tidak ada nafsu untuk membujuk pula. Pada saat itu,
bayangan Tiang Bu berkelebat melampaui kudanya dan ia
mendengar pemuda itu berkata lirih,
"Pek Lian cici, terima kasih atas budimu yang mulia”
Pek Lian menjadi merah sekali mukanya. Bagaimana
pemuda itu bisa tahu bahwa ia telah berusaha menolongnya.
Saking jengah dan malunya ia lalu mengendurkan larinya
kuda, menanti adiknya.
Tiang Bu mengerahkan kepandaiannya berlari cepat
sehingga ia dapat menjajari kuda hitam yang ditunggangi
15
oleh Ceng Ceng. Dara muda ini demi mel ihat pemuda itu
kembali sudah menyusulnya, menjadi marah, menggigit bibir
dan mencambuki kudanya yang sudah penuh keringat itu
untuk berlari lebih cepat lagi.
"Kuda tolol, kau tak bisa lari cepat lagi?" bentak Ceng
Cengmarah.
"Waduh lagaknya. Tentu saja enak-enak di punggung
kuda mudah saja mencela dan memukul. Coba turun dan
lari tentu seperti cacing merayap!" Tiang Bu menggoda. Ceng
Ceng masih muda dan panas darahnya. Mendengar ejekan
ini ia marah bukan main. "Kau kira hanya kau saja yang
punya dua kaki dan bisa berlari?”
"Memangnya kau punya kaki?" ejek Tiang Bu. "Hemm.
kuberani bertaruh kedua kakimu takkan lebih cepat larinya
dari pada cacing merayap."
"Manusia sombong buka lebar-lebarmatamu." Ceng Ceng
menjerit dan melompat dari atas kudanya, terus berlari
cepat sekali mengerahkan ginkang dan lari cepatnya. Dara
muda ini adalah puteri dari sepasang suami isteri yang sakti
dan terkenal sebagai jago atau tokoh besar dari pantai timur.
Tentu saja ilmu lari cepatnya juga luar biasa.
"Ha-ha, bagus sekali! Mari kita berlomba yang kalah
boleh naik kuda!” kata Tiang Bu.
Tanpa menjawab Ceng Ceng mengerahkan seluruh
kepandaiannya dan tubuhnya bagai seekor burung walet
berge rak maju cepat sekali, seolah-olah kedua kakinya tidak
menginjak bumi atau terbang saja. Tentu saja ia malu kalau
sampai kalah dan menunggang kuda lagi! Dalam
kemarahannya kepada Tiang Bu ia sampai tidak
memperhatikan kata-kata pemuda itu. Sebaliknya, melihat
dara itu lari sekuatnya, Tiang Bu tersenyum. Biarpun ia
sudah mulai lelah, namun kalau ia mau dengan pengerahan
tenaga sekuatnya, dapat kiranya ia menyusul Ceng Ceng.
Akan tetapi ia memang hendak menggoda gadis galak itu.
16
Melihat Ceng Ceng berlari cepat sekali, ia lalu melompat ke
atas kuda hitam dan....... menjalankan kuda itu perlahnlahan
sampai Pek-Lian dan Ang Lian datang menyusulnya.
Dua orang gadis ini hampir tak percaya apa yang mereka
saks ikan. "Lho, itu kuda Ceng-moi, kok kau tunggangi?
Mana dia Ceng-moi?” tegur Ang Lian.
Tiang Bu tertawa dan berkata keras, sengaja agar
terdengar oleh Ceng Ceng yang lari di depan. "Ah, adik Ceng
Ceng sudah demikian baik hati untuk merasa kasihan
kepadaku dan meminjamkan kudanya. Dia rela jalan kaki.
Bukankah dia baik hati sekali?"
Mendengar ucapan ini, seketika Ceng Ceng hentikan
larinya dan ia berdiri tegak menanti datangnya kuda hitam
itu. "Turun kau dari kudaku!" bentaknya marah.
Akan totapi Tiang Bu enak-enak saja duduk di atas kuda
itu. "Nona cilik, bukankah tadi kita sudah janji siapa yang
kalah boleh naik kuda? Nah, aku yang berhak naik kuda!”
Biarpun watak Ceng Ceng keras sekali, namun sesuai
dengan watak dan ajaran ayah bundanya yang terkenal
sebagai pendekar-pendekar besar, ia berjiwa gagah dan tidak
sudi mengingkari janji. Memang betul dia tidak berjanji apaapa,
akan tetapi ketika Tiang Bu mengucapkan taruhan tadi,
ia tidak membantah dan berarti ia se tuju!
"Kau menipuku, aku bodoh tidak melihat orarg macam
apa kau ini. Pcnipu! Baik! Kau kalah cepat dalam berlari dan
kau sudak lelah, kedua kakimu sudah pccah-pccah dan
hampir lumpuh. Kau menang menipu, naik di atas
punggung kudaku. Akan tetapi berikan bungkusanbungkusan
itu!"
Tiang Bu mengambil empat bungkusan dan
memberikannya kepada Ceng-Ceng yang menggendongnya,
lalu gadis ini tempa berkata apa-apa lagi ccpat belari
mendahului mereka. Tiang Bu tertawa berge lak, akan tetapi
dalam hatinya ia memuji gadis itu. Karenu tadi hanya ingin
17
menggoda, maka ia lalu mengeprak kuda hitam menyusul
Ceng Ceng. Dengan gerakan indah ia melompat ke depan
gadis itu dan ikut berlari di sebelahnya.
"Kasihan nona cilik berlari-lari. Kakinya nanti bengkakbengkak.
Kautunggangi kudamu, biar aku yang berlari.
Kalau percaya boleh kubawakan bungkusan-bungkusan itu.
Mana Ceng Ceng sudi ? Dara ini membuang muka dan
mempercepat larinya. Juga Tiang Bu berlari terus di sebelah
dara itu. Sekarang biarpun Ceng Ceng mengerahkan seluruh
kepandaiannya, tetap saja pemuda berada di sampingnya,
tak pernah tertinggal satu langkahpun. Baru gadis ini tahu
dengan hati kecut dan kaget bahwa ilmu lari cepat pemuda
ini sekali-kali tidak kalah olehnya bahkan melebihinya!
Sementara itu, Pek Lian dan Ang Lian yang berada di
belakang melihat dua orang muda lari berdampingan
sedangkan kuda hitamnya lari sendiri di belakang mereka
tanpa ada yang menunggangi, menjadi terheran-heran.
"Hayaa. .... dunia sudah tua....” Ang Lian mengeluh. "Enci
Pek Lian, tidak salah duga apa yang aku lihat itu ? Mereka
jalan berdampingan ....... saling mengalah.. ...... begitu
mesra……. aduh! Mungkinkah Ceng-moi juga sudah jatuh
hati kepada pemuda dogol yang begitu pesek hidungnya dan
begitu tebal bibirnya ?"
Pek Lian cepat membentak adiknya. “Hush, jangan usil
mulut! Apanya yang tidak mungkin? Sudah kukatakan,
pemuda itu bukan orang sembarangan dan ....... dan.......
kurasa …….. ia cukup berharga untuk orarg seperti Cengmoi
sekalipun." Biarpun mulutnya berkata demikian
sungguh aneh dan dia sendiri tidak mengerti mengapa isi
dadanya menjadi panas dan tidak enak, seakan-akan
mendadak terserang masuk angin.
Dengan melakukan perjalanan yang amat cepat akhirnya
empat orang muda itu tiba di lembah Sungai Huang-ho yang
terserang banjir. Keadaan di daerah ini memang amat
18
mengenaskan. Sawah ladang yang tadinya ditumbuhi
tanaman-tanaman subur kini menjadi telaga. Dusun-dusun
terbenam dan semua harta benda musnah diamuk air bah.
Penduduk berbondong-bondong mengungs i dan sekarang
tujuan mereka adalah dusun Tungkan di sana terdapat
makan dan hiburan. Di dusun inilah pusat pertolongan bagi
mereka karena di sana Huang-ho Sian-jin dan orang-orang
lainnya menggulung lengan baju dan bekerja keras matimatian
untuk mendapatkan batuan makanan dan
pertolongan bagi para korban Sungai Kuning yang
mendahsyat itu.
Kedatangan Ceng Ceng, Pek Lian dan Ang-Lian yang
membawa empat kantung barang-barang berharga dari kota
raja mendapat sambutan meriah dan gembira sekali akan
tetapi mereka segera memandang dengan mata penuh curiga
dan memandang kepada Tiang Bu.
"Ayah, orang ini agaknya menjadi pelindung Pangeran
Wanyen Ci Lun. Dia sengaja datang hendak menyaksikan
apakah betul-betul kita hendak menggunakan harta ini
untuk menolong korban banjir," begitu tiba di situ Ceng
Ceng melapor kepada ayahnya.
Tiang Bu memandang dan melihat suami isteri yang
gagah perkasa, seorang pendekar tenar Pek-thouw-tiauw-ong
Lie Kong dan isterinya, Souw Cui Eng, sikap mereka angker
dan mengingatkan Tiang Bu akan pasangan suami isieri
Wan Sin Hong dan Hui-eng-niocu Siok Li Hwa. Dua ekor
burung rajawali kepala putih yang berdiri tak jauh dari
sepasang suami isteri ini meningatkan Tiang Bu akan dua
ekor burung yang dulu menyerangnya di puncak Ome i-san.
Juga di dekat sepasang suami isteri pendekar ini, Tiang
Bu melihat seorang kakek tinggi besar yang be rwajah angker
seperti Kwan Kong. Melihat Pek Lian dan Ang Lian
menghampiri kakek ini, Tiang Bu dapat menduga bahwa
tentu kakek gagah ini Huang-ho Sian-jin adanya. Diam-diam
ia merasa kagum melihat orang-orang gagah yang bekerja
19
untukmenolong para korban banjir ini. Setelah mereka,
masih ada beberapa orang lagi yang yang rata-rata
menunjukkan sikap gagah.
Tiang Bu mengangkat tangan ke depan dada memberi
hormat kepada semua orang, lalu berkata, “Harap cuwi
maafkan aku datang mengganggu. Memang tidak salah
bahwa aku yang datang untuk melihat-lihat setelah aku
mendengar akan usaha cuwi yang mulia. Dan kiranya
memang betul bahwa cuwi adalah orang-orang gagah yang
patut dikagumi. Aku bukan pelindung Pangeran Wanyen Ci
Lun, hanya pernah mendengar bahwa pangeran itu adalah
seorang yang berbudi mulia, maka melihat barangbarangnya
ada yang merampas, tentu saja tadinya aku
bermaksud mengembalikan barang-barang itu.
Akan tetapi, melihat bahwa barang-barang itu ternyata
dipergunakan untuk menolong orang-orang tentu Pangeran
Wanyen Ci Lun sendiri apabila mengetahui takkan menaruh
keberatan. Cuma, kuharap supaya benda-benda yang tidak
dapat dipergunakan menolong para korban, dikembalikan
kepada pemiliknya.” Kalimat terakhir ini diucapkan Tiang Bu
mengingat adanya benda-benda ajaib seperti katak yang
didengar suaranya di kamar hotel dua orang gadis itu.
Semua orang yang tadinya melihat seorang pemuda
tanggung mengikuti tiga orang gadis itu datang dengan
maksud menyaksikan apakah betul barang-barang
rampasan dipergunakan untuk menolong korban banjir,
sudah menjadi gemas dan mendongkol. Kini mendengar
ucapan Tiang Bu, mereka makin marah menganggap
pemuda ini lancang dan basar mulut sekali. Namun Pekthouw-
tiauw-ong Lie Kong dan isterinya hanya mengerutkan
kening dan tak senang, sedangkan Huang-ho Sian jin yang
sudah mendapat bisikan dari Pek Lian bahwa pemuda ini
seorang pandai, memandang penuh perhat ian.
Seorang diantara yang hadir, seorang laki-laki tinggi
tegap berkepala botak bermata lebar, melompat maju. Orang
20
ini bukan orang sembarangan, ia bernama Tan Boan It
berjuluk Huang-ho Kim-go (Buaya Emas dari Huang-ho) dan
menjadi jagoan terkenal di sepanjang Sungai Kuning.
Selamanya Tan Boan It ini tidak pernah mengancingkan
bajunya yang terbuka terus memperlihatkan dada bidang
penuh bulu hitam.
Dia seorang kasar dan jujur, akan tetapi tak pernah
ketinggalan untuk turun tangan, apabila orang-orang
membutuhkan pertolongannya. Melihat lagak dan kata-kata
Tiang Bu, Buaya Emas ini tak dapat menahan lagi perutnya
yang menjadi panas hendak meledak. Kepalan tangannya
yang sebesar kepala orang menyambar ke arah hidung Tiang
Bu, dibarengi bentakannya, "Bocah lancang dan sombong,
menggelindinglah pergi !"
Akan tetapi kenyataannya benar-benar berlawanan
dengan bentakannya, karena bukan Tiang Bu yang
menggelinding, melainkan dia sendiri, betul-betul
"menggelinding," seperti roda. Ketika tadi pukulan keras dari
kepalan besar itu mendekati hidungnya, dengan tenang
Tiang Bu menangkap pergelangan tangan itu mengerahkan
tenaga dan Si Buaya Emas merasa seakan-akan tubuhnya
dimasuki api. Tak tertahan lagi ia membungkuk dan sekali
Tiang Bu mengerakkan kaki mendorong sambil memutar
tangan orang disentakkan ke pinggir tubuh si tinggi tegap itu
terguling dan terus bergulingan sampai jauh karena tak
dapat ditahan lagi!
Huang-ho Sian-jin maklum bahwa si Tan Boan It
memang “mencari penyakit” sendiri . Akan tetapi betapapun
juga, Buaya Emas ini adalah pembantunya dan seorang
tamunya tidak seharusnya dihina orang di dalam rumahnya.
Ia melangkah maju dan menghadapi Tiang Bu.
“Orang muda, kau datang-datang memamerkan
kepandaian. Aku adalah tuan rumah di sini, kalau kau mau
mencoba kepandaian jangan mencari orang lain, mari kita
be rmain main. Kau datang di sini, akulah tuan rumahnya
21
yang harus menyambut." Sebetulnya ucapan ini hanya
untuk alas an s aja, sebenarnya Huang-ho Sian-jin ketika
mendengar dari Pek Lian bahwa kepandaian pemuda itu luar
biasa sekali, sudah gatal-gatal tangan hendakmencoba.
Akan tetapi, Tiang Bu tidak mau melayani kakek ini.
Memang ia datang bukan hendak mencari perkara, pertamatama
untuk menyaksikan apakah betul-betul harta benda
Pangeran Wanyen Ci Lun dipergunakan untuk maksud baik
dan terutama sekali hendak bertemu dengan Pek-thouwtiauw-
ong Lie Kong. Maka ia menjura kepada Huang ho
Sian-jin sambil berkata,
"Harap lo-enghiong maafkan aku, karena tidak ingin
bertempur. Twako yang kasar ini kurang hati-hati hingga ia
mewakili aku menggelinding, harap jangan salahkan aku.
Maaf, lo-enghiong, kalau disuruh bertanding dengan kau,
aku terima kalah."
Merah wajah Huang-ho Sian-jin. Biarpun pemuda itu
menolak dan menyatakan takut, namun cara
mengatakannya jelas memperoloknya dan tidak
memperlihatkan rasa takut sama sekali. Dengan menahan
marah ia lalu mengambii sebuah cawan dari atas meja.
“Be tapapun juga kau sudah datang ke sini berarti kau
tamuku. Nah, aku tuan rumah menghormatimu dengan
secawan arak penuh. Terimalah!” Sambil berkata demikian
Huang-ho Sian jin menuangkan arak dari guci ke dalam
cawan itu sampai penuh sekali, hampir meluber akan tetapi
anehnya arak yang tingginya melampaui mulut cawan itu
tidak mau meluber ! Dengan cawan penuh sekali ini ia
menghampiri Tiang Bu dan menyodorkan cawan itu.
Tiang Bu kaget sekal i, ia kurang pengalaman dan belum
pernah melihat pertunjukan macam ini. Main sulapkah
kakek ani? Juga tidak biasa minum arak. Akan tetapi ia
tahu bahwa penghormatan orang kalau ia tolak, berarti
penghinaan dan agaknya kakek ini sengaja mencari cari
jalan supaya bisa mengadu kepandaian dengannya.
22
Terpaksa ia mengangkat tangan menerima cawan itu. akan
tetapi lebih dulu mengerahkan lweekangnya dengan
penggunaan tenaga "menyedot".
Karena kurang pengalaman, ia terlalu banyak
mempergunakan tenaganya. tidak ingat akan kehebatan
tenaga sinkangnya. Begitu cawan tersentuh olehnya. cawan
itu bagaikan tertarik lalu terbetot dari genggaman Huang-ho
Sian-jin. membuat kakek itu berubah air mukanya. Kini
cawan berada di dalam genggaman Tiang Bu dan dengan
hati girang pemuda melihat bahwa tenaga "menyedot" dari
lwee-kangnya benar-benar dapat menahan arak tumpah.
Bahkan dengan tenaganya yang besar ia dapat “main-main"
dengan arak itu, dapat ia membuat kelebihan arak di atas
mulut " doyong" ke kanan atau ke kini. Semua orang melihat
dengan kagum dan heran. Pemuda bisa memegang cawan
dan araknya tidak tumpah atau luber, ini sudah
menandakan betapa hebat tenaga Iweekang pemuda cilik itu.
Adapun Tiang Bu sendiri yang tidak tahu bahwa dirinya
dikagumi orang, lalu tersenyum dan membungkuk kepada
Huang-ho Sian-jin.
“Lo-enghiong, kau orang tua baik sekali. Tentu aku tidak
berani menolak, cuma masalahnya. selamanya aku belum
pernah minum arak keras. Biarlah aku mencobanya!" Ia lalu
mengangkat cawan itu ke atas dan menggulingkannya ke
arah mulutnya yang sudah dibuka lebar-lebar.
Dan sekarang semua orang ce langap! Bahkan Huang ho
Kim-go Tan Boan It yang sudah merayap bangun, melongo
dan mendekati Tiang Bu untuk menonton permainan “sulap"
ini dari dekat. Ternyata bahwa biarpun cawan itu sudah
dituangkan terbalik, arak di dalamnya tetap tidak mau
keluar, hanya "nontot” keluar seperti benda keras atau air
yang sudah membeku! Setelah menjungkirkan cawan ini
agak lama bahkan mengayun-ayunnya supaya araknya
keluar namun s ia-sia, Tiang Bu menghela napas dan
membalikkan cawan kembali.
23
"Apa kataku, lo-enghiong? Bukan saja aku tidak biasa
minum arak, bahkan araknya sendiri agaknya segan
diminum orang seperti aku. Biarlah aku mewakilkannya
kepada sahabat ini.” Ia menggerakkan cawannya dan kini di
dalam cawan itu muncrat keluar semua arak secara tepat
sekali memasuki mulut Tan Boan It yang masih melongo.
Orang tinggi besar ini gelagapan dan tanpa dapat dice gah
lagi arak ditelannya! Biarpun tadinya semua orang
tercengang menyaksikan kelihaian pemuda itu, melihat
adegan terakhir tak tertahan lagi mereka tertawa, bahkan
Ang Lian dan Ceng Ceng cekikikan. Yang paling terkejut
adalah Huang-ho Sian-jin sendiri.Tadi ketika tangan pemuda
itu menyentuh cawan dalam menerima tawarannya, ia
rasakan tangannya panas dan menggigil. Tadinya ia masih
sangsi, akan tetapi melihat betapa selanjutnya pemuda itu
mendemonstrasikan tenaga lweekang yang jauh melebihinya,
ia jadi kesima dan baru percaya akan keterangan Pek Lian
bahwa pemuda ini memang sakti.
Akan tetapi Pek thouw tiauw-ong Lie-Kong tidak puas.
Dia adalah seorang yang menganggap paling tinggi di antara
semua orang yang berada di situ, dianggap yang paling
pandai dan menduduki tempat paling terhormat. Sekarang
bocah ini mendemonstrasikan kepandaian, sedikit banyak
membuat pamornya nyuram. Ia melangkah maju, wajahnya
yang tampan gagah itu berkerut tak senang dan suaranya
ketus.
"Bocah lancang, kau siapakah dan apa maksudmu
bertingkah di sini !”
Tiang Bu cepal menjura kepadanya dan berkata, "Sudah
kukatakan tadi bahwa aku pertama-tama ingin menyaksikan
apakah betul-betul barang barang rampasan itu
dipergunakan untuk menolong rakyat yang sengsara. Kedua
kalinya aku sengaja datang untuk mencari Pek-thauw.tiauwong
Lie Kong untuk urusan penting!”
24
Jawaban ini benar-benar tak disangka, bukan saja Lie
Kong, isterinya dan puterinya yang tercengang
mendengarnya, bahkan semua orang menjadi tertarik. Sikap
pemuda yang lihai ini amat menarik perhatian dan aneh.
Biarpun sikapnya sederhana dan seperti orang bodoh,
namun di dalam kesederhanaannya terbayang kegagahan
dan keberanian yang tiada taranya.
"Akulah Lie Kong, kau mau apa?"
Tiang Su tidak kaget karena memang ia sudah tahu.
Suaranya tetap ramah ketika ia menjawab. "Lie lo-enghiong,
namaku Tiang Bu, aku datang diri Omei-san dan memenuhi
pesan suhuku aku harus minta kembali kitab yang kau ......
pinjam dari Omei-san." Karena di situ terdapat banyak
orang, maka Tiang Bu sengaja menggant i ucapan "curi" jadi
"pinjam" karena ia tidak berniat membikin malu ......orang
tua Ceng Ceng! Sesungguhnya, pertemuannya dengan Ceng
Ceng banyak mempengaruhi sikapnya ini, kalau ia tidak
bertemu dengan Ceng Ceng, kiranya sikapnya terhadap para
pencuri kilab Omni-san akon sangat keras.
Baru sekarang Lie Kong terkejut dalam hatinya. Tidak
tahunya bocah ini adulah murid dua orang kakek sakti
Omei-san, pantas saja kepandaiannya demikian hebat. Dan
kedatangannya hendak minta kembali kitab yang telah
dicurinja !I Tentu saja Lie Kong tahu akan sikap Tiang Bu
yang hendak menolong mukanya. Ia ingin turun tangan
sendiri mempertahankan kitabnya sekalian mencoba sampai
mana kepandaian mrrid Omei-san ini, akan tetapi sebagai
seorang tokoh besar, ia merasa malu untuk bertanding
melawan bocah di depan begitu banyak sahabat.
Sedangkan Huang ho Sian-jin sendiri yang tadi merasa
"berbahaya" kalau bertanding me lawan bocah ini lalu
mundur, apalagi dia. Pula., diam-diam Lie Kong kagum
melihat Tiang Bu, yang biarpun tak dapat dibilang seorang
pemuda tampan, namun sudah jelas memiliki kepandaian
tinggi dan juga pribadi yang halus tidak suka menyinggung
25
orang. Satu-satunya orang yang dipermainkannya tadi
hanyalah Huang-ho Kim-go Tan Boan It, inipun karena
kesalahan Buaya Emas itu sendiri yang mulai lebih dulu.
“Jadi kau murid 0mei-san? Memang benar ada sebuah
kitab 0me i san pada kami , akan tetapi kitab itu sudah
kuserahkan kepada anaku untuk dipelajari ....... Terserah
kcpadanya apakah mau mengembal ikannya sekarang
kepadamu atau tidak," kata Lie Kong sambil melirik ke arah
Ceng Ceng.
Kaget sekali Ceng Ceng mendengar ucapan ayahnya ini
dan seketika mukanya menjadi merah. Ia masih belum
mengerti mengapa ayahnya begitu “pengecut" untuk
menjatuhkan tanggung jawab ke pundaknya biarpun
memang betul kitab itu ayahnya tetah diserahkan
kepadanya. Mengapa ayahnya tidak menghadapi sendiri
pcmuda itu ? Saking bingungnya dan tidak mau ribut mulut
dengan Tiang Bu yang pandai bicara itu di depan orang
banyak, ia lalu lari sambil berkata, “Aku tidak mau
mengembalikan!”
Melihat Ceng Ceng lari, Tiang Bu tak banyak cakap lagi
lalu mengejar. "Harus dikembalikan kepadaku!” katanya.
Demikianlah, baru saja sampai dua orang muda ini kembali
sudah berkejar-kejaran!
Lie Kong hanya tersenyum, lalu dengan tenang ia
be rsama isterinya mengajak Huang-ho Sian-jin memeriksa
isi empat kantong itu.
Semua orang kagum dan gembira melihat demikian
banyaknya barang berharga yang kalau dijual akan
menghasilkan cukup bahan makanan bagi para pengungsi
untuk beberpa bulan lamanya. Lie Kong membagi-bagi
empat permata itu kepada para pembantu dengan tugas
supayat benda-benda itu ditukarkan bahan makanan,
selebihnya diserahkan kepada Huang-ho Sian j in untuk
disimpan sebagai cadangan. Semua benda itu adalah benda
berharga terdiri dari emas permata hanya sebuah cepuk
26
atau kotak kecil yang ternyata berisi seekor katak hi jau
disimpan oleh Lie Kong ke dalamsakunya.
"Benda macam int tidak dapat ditukarmakanan,-
katanya perlahan. Biarpun ia seorang tokoh kang-ouw yang
ulung, namun binatang macam ini merupakan teka-tcki
baginya. tidak tahu binatang apa itu dan apa pula
khasiatnya, hanya yakin bahwa binatang itu tentu
mempunyai khasiat yang luar biasa maka ia simpan dalam
saku. Setelah beres membagi-bagi tugas, Lie Kong mengajak
isterinya untuk menyusul Ceng Ceng, Karena merasa
khawatir juga.
Lie Kong berlari cepat, berendeng dengan isterinya.
Ketika tanpa disengaja tangannya menyentuh tangan
isterinya, tiba-tiba ia berhenti berlari, meme gang lengan
isterinya dan ….. dipeluknya isterinya itu penuh kasih
sayang.
Souw Cui Eng mangipatkan tangan suaminya yang
memeluknya e rat dan mendorongmuka suaminya itu yang
mendekat mukanya. “Eh, apa kau tiba-tiba kemasukan
setan? Maka di tengah jalan bersikap seperti ini ? Cih,
memalukan sekali !"
Akan tetapi suaminya memandangnya dengan mata
aneh. "Cui Eng....... sekarang aku mengerti khasiat kodok
hijau ini .......! Coba kau yang membawanya." Dengan
terheran-heran Souw Cut Eng menerima cepuk itu dan
memasukkannya ke dalam saku bujunya. Tidak ada akibat
apa-apa.
"Mungkin belum, harus agak lama." kata suaminya. "Mari
kita berlari terus dan lihat akibatnya nanti."
Akan tetapi sampai lama mereka berlari, tidak ada reaksi
apa-apa pada diri Souw Cui Eng. "Hemm, sekarang aku
dapat menduga. Katak macam ini pernah aku
mendengarnya, namanya katak pembangkit asmara. Ada
sepasang. yang jantan kalau berdekatan dengan seorang
27
wanita dapat membangkitkan nafsu asmara, sebaliknya yang
betina merangsang seorang laki laki. Tentu ini yang betina
maka padamu tidak berakibat apa-apa." Selanjutnya dalam
mengejar Ceng Ceng, katak itu terus disimpan oleh Souw
Cut Eng biarpun nyonya ini kadang-kadang me rasa jijik
harus mengantongi seekor katak.
Kita kembali kepada Ceng Ceng dan Tiang Bu. Gadis itu
berlari cepat sekali di sepanjang lembah Huang-ho. Tiang Bu
mengejar terus di belakangnya, tidak segera menyusul
karena ia memang sengaja hendak melihat sampai ke mana
nona itu akan lari dan berapa lama kekuatan gadis itu.
Ternyata Ceng Ceng memiliki daya tahan yang besar dan
gadis ini biarpun baru saja datang dan sudah lama berlarilari
dengan Tiang Bu, ternyata sekarang masih kuat berlarilari
sampai setengah hari. Menjelang senja mereka sudah
melalui jarak ratusan li jauhnya dan belum juga Ceng Ceng
berhenti. Tiba-tiba gadis itu mempercepat larinya, Tiang Bu
juga mengerahkan tenaga.
Mereka tiba di lembah sungai yang indah, Di bagian ini
sungai itu lebar sehingga air tidak begitu hebat meluapnya.
Di luar sebuah hutan cemara kelihatan sebuah kelenteng
tua dan Ceng Ceng berlari memasuki pekarangan kelenteng
ini.
*He. jangan injak ularku !" tiba-tiba terdengar bentakan
dan tahu- tahu tangan Ceng Ceng sudah dipegang dan
dibetot orang. Ceng Ceng kaget bukan main karena betotan
ini kuat sekali. Apalagi ketika ia menoleh ternyata bahwa
yang menariknya juga seorang dara cantik jelita sekali.
Usianya sebaya dengan dia sendiri. Gadis muda ini tadinya
duduk di balik semak-semak dan kini tangan kirinya
memegang seekor ular hitam yang kecil dan liar ! Ceng Ceng
sampai berdiri bulu tengkuknya saking merasa jijik dan
ngeri.
"Kenapa kau berlari dan seperti dikejar setan?" tanya
gadis cantik jelita itu. suaranya merdu dan senyumnya
28
manis. Dalam kaget dan herannya karena di tempat sunyi ini
muncul wanita cantik, apalagi pakaiannya serba indah, Ceng
Ceng mengira bahwa ia tentu berhadapan dengan siluman
atau bidadari. Buktinya ketika membetot tangannya tadi
tenaganya besar bukan main dan memegang ular berbisa
pula.
"Memang aku dikejar ...... dikejar orang jahat ....... "
jawabnya gagap.
"Kau sembunyi di sana. biar aku menghajarnya!” jawab
gadis cantik itu. Ceng Ceng melompat dan lenyap di dalam
kelenteng.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya buat
Tiang Bu ketika tiba di pekarangan kelenteng, ia tidak
melihat Ceng Ceng, sebaliknya melihat seorang gadis lain
yang sebaya dengan Ceng Ceng akan tetapi yang memiliki
ke cantikan luar biasa. Lebih cantik malah dari pada Ceng
Ceng, atau kalau tidak lebih cantik, memiliki sifat
kecantikan berbeda namun tidak kalah menarik dan
menggairahkan. Bagi Tiang Bu, gadis ini benar-benar hebat
dan sampai berdiri bengong bagaikan patung. Pemuda ini
berdiri tegak tak bergerak, hanya sepasang matanya saja
yang bergerak-gerak memandangi mahluk indah di
depannya.
Akan tetapi ketika ia melihat ular hitam kecil yang
melingkar-lingkar dan menggeliat-geliat di tangan kiri gadis
itu, ia jadi kaget setengah mati. Gadis itu menggerakgerakka
bibirnya mengarah senyum dan sepasang matanya
yang lebih indah dari pada mata burun Hong itu mengikuti
pandangan mata kaget dari Tiang Bu yang mengarah tangan
kirinya. Dengan halus ia lalu melepaskan ular kecil itu ke
dalam semak-semak. kemudian ia bertanya, suaranya tetap
merdu namun mengandung kekerasan.
“Kau ini orang apakah. mengejar-ngejar seorang gadis di
tempat sunyi. Kalau saja yang dikejar dan yang mengejar itu
orang orang biasa, tentu gadis ini akan menjatuhkann
29
tangan besi tanpa bertanya lagi. Akan tetapi ketika membetot
tangan Ceng Ceng tadi, dapat merasai tenaga lweekang yang
tinggi dari gadis itu. Bagaimana scoring gadis kosen seperti
itu lari ketakutan menghadapi seorang pemuda petani atau
nelayan yang sederhana ini?
"Jangan salah sangka," Tiang Bu cepat -cepat menjawab
karena ia takut kalau-kalau si jelita ini menyangka ia akan
berbuat jahat terhadap Ceng Ceng, "gadis tadi mencuri
kitabku dan aku mengejarnya untuk minta kembali kitab
itu.”
Mendengar ini, sikap gadis cantik itu berubah, keningnya
yang halus putih berkerut dan alis yang hitam lentik itu
berdiri. "Begitukah, mari kita cari dan tanya dia. Aku tidak
sudi menolong seorang maling!" Setelah berkata demikian,
gadis itu berjalan memasuki kelenteng. Gerakan kaki yang
ringan bertenaga dan gerakannya maju yang amat cepat itu
kembali membuat Tiang Bu maklum bahwa gadis jelita itu
memiliki kepandaian ilmu silat tinggi, mungkin tidak kalah
oleh Ceng Ceng!
Begitu memasuki kelenteng, Tiang Bu menahan napas
saking kagum dan heran. Kelenteng itu sudah tua dan di
luarnya buruk sekali. Akan tetapi ketika ia masuk ke
ruangan dalam, ternyata di situ amat indah penuh dengan
hiasan tembok yang serba mabal dan indah. Lukisan-lukisan
yang bagus dan hidup, pot -pot bunga telukir naga di atas
meja-meja yang indah pula. Benar-benar mengagumkan.
Akan tetapi ia tidak sempat untuk niemikirkan semua ini
kerena gadis itu telah membawanya ke ruang belakang di
mana terdapat se orang muda gagah. Melihat pemuda ini,
Tiang Bu tiba-tiba merasa sungkan karena mengingat akan
keadaan sendiri. Pemuda itu berpakaian indah, wajahnya
yang berkulit putih itu tanpan dan gagah sekali, dengan
rambut hitam panjang digelung ke atas dan diikat dengan
sutera kuning. Tubuhnya tegap dan matanya tajam,
potongan seorang "pendekar muda” kalangan bangsawan!
30
Dibanding dengan pemuda itu, Tiang Bu harus mengaku
bahwa ia kalah dalam segala-galanya ! Tidak nempil, seperti
gagak dengan garuda ! Apalagi ketika mereka berdua
memasuki ruangan belakang itu, pemuda tampan gagah ini
sedang berdiri meme gang batang pedang dengan sarungnya
yang indah pula.
“Moi-moi, kukira kau sudah mengusir pergi pemuda
kurang ajar itu. Kenapa dia juga masuk ?"
"Koko, mana gadis tadi? Dia membohongi aku. Dia itu
seorang maling yang dikejar saudara ini."
“Maling?” Pemuda tampan itu mengerutkan alisnya yang
tebal. "Moi- moi, jangan menuduh sembarangan. Dia itu
adalah puteri dari Pek thouw tiauw-ong Lie Kong seorang
pendekar besar dari pentai timur, Mana bisa seorang maling
? Orang ini yang jahat .maksudnya, jangan kita kena tipunya
...... ." Sambil berkata demikian, pemuda itu melompat dan
tangan kirinya mencengke ram pundak Tiang Bu.
“Kau siapakah dan apa niatmu mengejar seorang gadis
baik-baik ?”
Tiang Bu tidak mengelak, akan tetapi ketika pundaknya
kena dicengkeram, ia terkejut merasakan tenaga dahsyat
pemuda itu yang tentu saja akan membuat tulang
pundaknya hancur. Cepat ia mengerahkan tenaga
lweekangnya dan kini pemuda itu yang berteriak kaget
sambil melompat ke belakang dan menarik tangannya yang
terasa papas din lumpuh ! Tiang Bu mempergunakan
kosempatan itu melompat sambil berkata. "Maaf, urusanku
bukan urusan kalian, lain kali aku datang belajar kenal !”
Dan di lain saat tububnya sudah be rkelebat keluar mengejar
Ceng Ceng yang ternyata sudah lari kembali.
Pemuda dan pemudi mewah itu mengejar, namun ketika
tiba di depan kelenteng mereka tidak melihat Tiang Bu.
"Hebat ...... pemuda dusun itu lihai sekali…….” terdengar
pemuda itu menggerutu.
31
“Koko, kau harus ingat akan nasihat nio-nio. Mengukur
kepandaian orang jangan didasarkan keadaan muka atau
pakaiannya. Begitu bertemu aku sudah menduga dia itu
bukan sembarangan."
Sementara itu, Tiang Bu terus mengejar Ceng Ceng yang
kini berlari ke arah tempat semula. Akan tetapi karena hari
sudah mulai malam dan kesabaran Tiang Bu sudah menipis,
pemuda ini mengerahkan ginkangnya akhirnya ia dapat
menyusul Ceng Ceng.
“Bocah kepala batu, kau berhentilah,” Tiang Bu
membentak, tangan kanannya digearakkan untuk
menangkap lengan Ceng Ceng. Tiba-tiba Ceng Ceng
memutar tubuhnya dan secepat kilat menyambar ke arab
dada Tiang Bu. Tanpa peringatan lebih dulu tahu-tahu Ceng
Ceng sudah menyerang Tiang Bu dengan pedang.
"Bagus. kini kita dapat mengadu kepandaian!" kata Tiang
Bu yang cepat mengelak dan menggunakan dua jari tangan
untuk mengetuk pergelangan tengan gadis itu. Namun Ceng
Ceng juga lihai sekali dan dapat bergerak cepat, ringan kaki
tangannya serta lincah ge rakannya. Lebih hebat pula, ilmu
pedang dia ini luar biasa sekali. Seperti pernah dilihat oleh
Tiang Bu, gerak langkah kaki gadis itu menyerupai Ilmu
Silat Pat kwa-kun-hoat yang pernah ia pelajari, akan tetapi
pecahan-pecahannya lain lagi.
Sungguhpun berdasarkan langkah segi delapan, namun
daya serangannya bermacam-macam, ada yang lembek ada
yang keras dan sukar sekali diduga perubahanperubahannya.
Dalam beberapa belas jurus saja, tubuh
Tiang Bu sudah terkurung oleh pedang yang sinarnya
bercabang delapan, menyambar nyambar laksana kilat di
musim hujan!
“Kiam-hoat (ilmu pedang) yang bagus!” Tiang Bu memuji
dan pemuda ini harus mempergunakan semua
kepandaiannya untuk menghindarkan diri dari ancaman
sinar pedang. Baiknya ia telah mewarisi sinkang dari dua
32
orang kakek sakti di Omei-san sehingga kadang-kadang ia
dapat mempergunakan kuku jarinya untuk menyentil
pedang lawan. Di lain fihak, Ceng Ceng merasa kagum dan
heran bukan main. Memang ia sudah menduga bahwa
pemuda ini lihai sekali.
Hal ini sudah ia buktikan ketika mereka beradu
kekuatan lari. Akan tetapi melawannya dengan tangan
kosong dan menghadapi pedang dengan sentilan kuku jari?
Inilah hampir tak dapat dipercaya! Ia telah memainkan Ilmi
Silat Pat-sian-jut-bun dari kitab yang dibawa oleh ayahnya
dari Omei-san dan ayahnya sendiri ketika melihat ia
mainkan ilmu pedang ini sudah mengaku bahwa ilmu
pedang ini hebat sekali. Ayahnya sendiri tidak mungkin
dapat menghadapinya hanya dengan sentilan kuku jari
seperti yang dilakukan oleh pemuda dusun ini !
Akan tetapi, betapapun tinggi kepandaian Tiang Bu dan
betapapun mudah baginya menyelamatkan diri dari
ancaman pedang gadis itu, namun harus ia akui bahwa
untuk mengalahkan Ceng Ceng tanpa melukai bukanlah hal
yangmudah. Gadis itu nekat sekali dan sama sekali tak mau
menyerah biar pun beberapa kali tangannya tergetar ketika
pedang disentil oleh jari tangan Tiang Bu. Akan te tapi makin
lama Ceng Ceng menjadi makin lemas dan ia sudah lelah
sekali. Malam mulai menyelimuti bumi dan keadaan menjadi
remang-remang. Baiknya sore-sore bulan sudah keluar dan
melihat langit yang cerah, dapat dibayangkan datangnya
malam yang terang dan indah, Ceng Ceng mulai marah dan
memaki-maki.
“Pemuda sombong, tak tahu malu ! Meminta kitab? Boleh
bunuh dulu aku !”
"Gadis kepala batu ! Mengapa mau mengukuhi kitab
orang?” Tiang Bu membentak dan pada saat pedang gadis
itu menusuk ulu hatinya, ia cepat miringkan tubuh sehingga
pedang itu meleset di dekat dada, di bawah ketiak. Secepat
kilat Tiang Bu menurunkan lengan. Sedangkan tangan
33
kirinya ditotokkan ke arah pundak kanan Ceng Ceng.
Totokan itu mengarah Kian-keng-kiat dan kalau mengenai
sasaran tentu gadis itu akan roboh lemas. Ceng Ceng tidak
sudi memberikan pundaknya ditotok, terpaksa ia melompat
mundur dan melepaskan pedangnya,
Di lain saat Tiang Bu sudah mengejar dengan pedang
rampasan di tangan. Pedang itu ditodonglan ke arah
tenggorokan Ceng Ceng dan ia berkata keren.
“Hayo kaukembalikan kitab itu kepadaku !”
Akan tetapi Ceng Ceng malah bertolak pinggang dan
mengedikkan mukanya, mambusungkan dadanya
menantang. "Tusuklah ...... ! Tusuklah……! Apa kaukira aku
takut mati?”“
“Ceng Ceng, siapa mau membunuhrpu? Aku hanya ingin
minta kembali kitab dari Omei-san itu. Kalau kau sudah
mempelajarinya, mengapa kau masih mengukuhi kitabnya?
Untuk apa bagimu?” kata Tiang Bu sambil merunkan
pedangnya.
"Habis bagimu sendiri untuk apakah? Kau sudah
memiliki kepandaian kau sendiri sudah mempelajari banyak
ilmu dari Ome i-san. Mengapa aku mempe lajari sebuah saja
kau sudah iri hati ? Apa kau mau kangkangi semua
kepandaian di dunia ini?"
"Tidak demikian, jangan salah mengerti. aku minta
kembali semua kitab yang diambil orang dari Omei-san, ini
untuk mematuhi perintah suhuku. Bahayanya, kalau kitab
terjatuh ke tangan orang jahat, bukankah kepandaian dari
ilmu itu akan dipakai untuk kejahatan dan kareranya suhusuhuku
ikut berdosa?"
Gadis itu tersenyum mengejek, maksudnya menyakitkan
hati Tiang Bu, tidak tahu bahwa senyumnya itu dalam
pandangan Tiang Bu manis sekali dan sama sekali tidak
menyakiti hati bahkan menyenangkan! "Bodoh! Kitab sudah
kupelajari, kauambil kembali ada gunanya apakah? Biarpun
34
kitabnya tidak ada, tetap saja aku dapat mempergunakan
ilmunya.”
"Akan tetapi aku percaya kau bukan orang jahat," kata
Tiang Bu.
"Kalau benar kau percaya begitu, mengapa kau tetap
hendak minta kembali kitab itu. Mengapa tidak
kaupercayakan ke tanganku. Kau memang sombong dan
murka !" Sambil berkata demikian, Ceng Ceng tiba-tiba
menyerang dengan pukulan keras. Tian Bu mengangkat
tangan dan menangkap pergelangan tangan gadis itu, sekali
mengerahkan tenaga "menyedot" gadis itu tidak dapat
meronta pula! Ia berusaha untuk memberontak melepaskan
tangannya namun sia-sia. Dengan marah gadis itu
menggerakkan tangannya menampar muka Tiang Bu, akan
tetapi bagaikan seorang dewasa menghadapi seorang anak
kecil yang rewel, Tiang Bu kemhali dapat menangkap
sebelah lengan ini ke dalam tangan yang sudah memegang
tangan kanan jadi kini dua lengan gadis itu menjadi satu
dipegang oleh Tiang Bu.
“Kau mas ih belum kapok ? Hayo katakan di mana kitab
itu ?” kata Tiang Bu.
"Di dalamsaku baju dalamku ! Kalau kau berani ambil.
kau laki-laki ceriwis , kurang ajar dan cabul !" Ceng Ceng
menantang. Pada saat itu berkelebat dua bayangan datang.
Mereka ini adalah Lie Kong dan isterinya. Melihat
kedatangan mereka, Tiang Bu cepat melepaskan tangan
Ceng Ceng dan mukanya menjadi merah sekali. Ceng Ceng
berlari menubruk ibunya sambil menangis.
"Maaf," kata Tiang Bu menjura, "aku tidak bermaksud
menghina puterimu, Lie loenghiong. Akan tetapi dia
bandel…..”
Lie Kong tersenyum. Tadi ia sudah menyaksikan sambil
bersembunyi dan melihat betapa hebat kepandaian Tiang Bu
ketika menghadapi ilmu pedang anaknya. Tanpa ragu lagi
35
pendekar ini maklum bahwa dia sendiri masih belum tentu
dapat menangkan Tiang Bu. Saking kagumnya, timbul
maksudnya mengambil mantu pemuda ini!
“Tiang Bu, apakah kau murid tunggal Omei-san?"
"Betul, lo enghiong."
"Kau bernama keturunan apakah?"
Tiang Bu bingung. Kalau ditanya tentang shenya, ia
paling sukar menjawab dan hatinya tertusuk, teringat ia
akan keadaannya masih belum pasti siapa ayah bundanya.
Mengaku she Coa, ia tidak suka membohong mengaku she
Liok, ia malu berayah Liok Kong Ji.
"Aku ....... aku sendiri belum tahu, lo-enghiong. Namaku
cukup dengan Tiang Bu saja.
Lie Kong tersenyum. Jawaban begini saja tidak
mengherankan hatinya. Memang orang-orang yang
berkepandaian selalu berwatak aneh, maka tidak
mengherankan kalau pemuda ini juga berwatak aneh,
agaknya tidak mau mengaku siapa orang tuanya.
“Tiang Bu, tentang kitab itu, kiranya apa yang diucapkan
oleb Ceng Ceng tadi tidak terlalu salah. Kitab itu aman ada
padanya, dialah yang bertanggung jawab bahwa ilmu itu
takkan dipergunakan untuk kejahatan. Pula ....... kalau kau
setuju, kami akan merasa girang sekali kalau kau suka
memberikan kitab itu kepadanya sebagai ............ sebagai
tanda mata!”
"Apa maksudmu, lo-enghiong?" tanya Tiang Bu heran.
Lie Kong memang biasa berkata te rus terang, Sambil
tersenyum akan tetapi matanya memandang sungguhsungguh
ia berkata, "Aku tadi sudah bersepakat dengan
isteriku bahwa kalau kau tidak keberatan, kami bermaksud
menjodohkan anak tunggal kami yang bodoh itu dengan
kau, Tiang Bu. Bagaimana jawabmu?”
36
Kalau saat itu ada kilat menyambar kepalanya, kiranya
Tiang Bu takkan be gitu terkejut seperti ketika mendengar
"pinangan” ini. Seujung rambut dibagi tujuh ia tak pernah
mengharapkan hal langka ini terjadi. Bagaimana sampai
begitu "berharga tinggi” dipinang oleh seorang pendekar
besar seperti Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong untuk
dijodohkan dengan seorang dara jelita seperti Ceng Ceng?
Bagaimana ia harus menjawab? Ceng Ceng cantik seperti
bidadari, wataknya menggatalkan hati, gerak geriknya
menggairahkan dan terus terang saja, hat i Tiang Bu tertarik
dan suka sekali. Kalau ia menolak be rarti ia sudah berotak
miring! Akan tetapi sebelumia dapat menjawab, Ceng Ceng
mendahuluinya dengan teriakan marah. “Tidak....... !” Aku
tidak sudi dijodohkan dengan pemuda berwajah monyet itu !
Hidungnya pesek, bibirnya tebal, aku tidak suka !”
Kalau saja Tiang Bu lebih tua usianya dan sudah
mendalam pengertiannya tentang hubungan laki-laki dan
wanita, tentu ia akan merasa terhina sekali mendengar akan
ponolakan Ceng Ceng. Akan tetapi, kini mendengar bahwa
Ceng Ceng menolaknya karena hiduungnya pesek dan
bibirnya tebal, ia makin tertawa!
"Terima kasih, lo-enghiong. Aku tidak mau kawin, apalagi
dengan seorang bocah kepala batu dan galak seperti dia itu.
Aku hanya minta kembali kitab suhu. Aku yakin lo-enghiong
yang ternama tidak akan sudi mengangkangi kitab orang
lain." Saking jengkelnya Tiang Bu mengeluarkan sindiran ini.
Merah wajah Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong mendengar ini,
wajahnya yang tampano menjadi berkerut dan ia membentak
puterinya.
"Ceng Ceng, bocah lancang! Hayo kau kembalikan kitab
itu kepada murid 0mei- san ini !”
Ceng Ceng yang masib memeluk ibunya itu kini berkata
dengan suara sedih dan takut. "Tak mungkin, ayah. Kitab
itu....... telah dirampas orang setengah bulan yang lalu…..”
37
Kagetlah Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong dan isterinya.
akan tetapi dengan gemas Tiang Bu mencela, "Bohong! Tadi
kaubilang berada di dalam saku baju dalammu ...... !" Ia
menghentikan kata-katanya dan mukanya menjadi merah.
Ceng Ceog melerok. "Siapa bicara denganmu ? Aku bicara
dengan ayahku, dan kau tidak boleh turut campur !"
“Ceng Ceng, jangan kau main-main ! Dimana kitab itu?"
Ayahnya mendesak.
Dengan suara mengandung kekecewaan, kedukaan, dan
takut kepada ayahnya, dara itu lalu bercerita,
"Ketika itu aku sedang berlatih bagian terakhir dari
Pat.sian-jut-bun yang paling sukar. Karena ingin supaya
ge rakanku dalam bagian terakhir ini sempurna, aku
keluarkan kitab itu dan membentangkannya di atas tanah.
Setelah mempelajari aku lalu berlatih. Kitab itu masih
terhentang di atas tanah. Kupikir keadaan di sana aman
karena di tengah hutan yang sunyi. Sama sekali tak terduga,
tiba- tiba muncul dua orang gedis yang cantik geni t. Tadinya
kukira dua orang gadis yang datang itu enci Pek Lian dan
enci Ang Lian maka aku tidak begitu khawatir. Siapa kira
begitu datang dan begitu aku melihat bahwa mereka itu
sama sekali asing bagiku, belum aku sempat mengambil
kitab Pat- s iant -bun, seorang di antaranya telah menyambar
dan merampas kitab.” Demikian Ceng Ceng memulai dengan
penuturannya, didengarkan dengan penuh perhatian dan
dengan kening berkerut oleh ayah bundanya dan Tiang Bu.
Gadis ini melanjutkan ceritanya. Melihat kitabnya
dirampas orang, tentu saja ia menjadi marah bukan main,
akan tetapi juga heran dan ingin tahu siapa adanya mereka
itu.
"Eb, maling-maling cilik, kau berani mengambil kitabku?
Hayo kembalikan!” bentaknya untuk sejenak tidak
menyerang segera karena terlalu heran ada orang berani
merampas kitabnya. Sebaliknya, dua orang gadis itu
38
agaknya juga tidak memandang sebelah mata kepada Ceng
Ceng, bahkan kurang memperhatikan, buktinya mereka
berdua bicara sendiri tanpa memperdulikan makian Ceng
Ceng.
"Adik Kim, tak salah lagi, inilah kitab Omei-san itu yang
dicuri oleh keluarga dari timur." kata gadis pertama yang
manis dan di dagunya terdapat tahi lalat kecil yang
menambah manisnya.
"Benar, cici, dan budak parempuan ini agaknya
anaknya." jawab gadis ke dua yang miliki sepasang mata
yang indah dan sepenuhnya membayangkan watak genit
baik dipandang dari alisnya yang panjang kecil dengan ujung
menjungat ke atas, bulu matanya yang bitam panjang
melengkung mendatangkan bayang-bayang pada pelupuk
matanya dan kerling mata yang meruncing ke sudut.
Sementara itu Ceng Ceng sudah kehabisan
kesabarannya. Cepat pedangnya bergerak menerjang gadis
pertama yang tadi mengambil kitab sambil be rseru.
“Maling kecil, kau mencari mampus !" Akan tetapi, sinar
pedang yang kemerahan menangkis pedangnya itu dan
ternyata gadis ke dua yang bermata genit itu telah
menangkis dengan sebatang pedang pendek yang merah.
Melihat cara lawan ini menangkis, diam-diam Ceng Ceng
terkejut dan maklum babwa ia menghadapi lawan yang tidak
rendah kepandaiannya. Ia mengeluarkan seruan keras dan
kini ia menyerarg makin hebat, mendesak gadis berpedang
merah sambil mainkan Ilmu silat yang baru ia pelajari dari
kitab Omei-san itu. Gadis berpedang merah itu ternyata
hebat pula ilmu pedangnya, cepat dan kuat gerakan pedang
dan tenaganyapun tidak kalah oleh Ceng Ceng. Namun
menghadapi de sakan pureri Pek-thouw tiauw-ong ini yang
marah sekali, ia terpaksa main mundur.
“Enci Lin. budak ini kepandaiannya boleh juga. Bantu
aku !" teriak gadis berpedang me rah. Tak lama kemudian
sinar putih menyambar cepat dan Ceng Ceng terpaksa
39
melompat mundur sambil menangkis datangnya serangan
sinar putih yang ternyata lebih cepat dan kuat dari pada
sinar pedang marah. Ternyata bahwa ilmu pedang gadis
bertahi lalat di dagunya itu malah lebih tinggi dari pada !
Namun dalam menangkis serangan ini, Ceng Ceng merasa
yakin bahwa ia masih dapat mengimbangi kepandaian gadis
berpedang putih ini, kalau saja ia tidak dikeroyok. Kini
mereka maju bersama dan sepasang s inar marah dan putih
itu menyambar-nyambar seperti kilat, membuat ia sibuk
juga dan akhirnya terpaksa main mundur !
Dua orang gadis kakak beradik itu lalu tertawa dan si
tahi lalat di dagu berkata, "A Kim, budak ini manis sekali,
jangan bunuh dia. Biarkan dia hidup dan kelak datang
menyusul kita agar ada ke gembiraan." Setelah berkata
demikian. gadis itu bersama adiknya melompat dan berlari
cepat.
"Demikianlah, ayah. Kitab itu mereka bawa pergi. Aku
tidak berani memberitahukan ayah atau ibu, selain takut
mendapat marah juga ….. malu. Tadinya anak pikir akan
diam-diam menyusul mereka dan menumpas kembali, akan
tetapi ayah mengajakku ke sini untuk membantu Huang-ho
Sian-jin, terpaksa maksud itu tertunda."
Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong membanting-banting
kakinya. "Bocah bodoh ! Selain kena dikalahkan orang, kau
masih berkepala batu tidak segera memberi tahu kepadaku.
Mereka itu benar-benar berani menghina kita. Apa kau tidak
ada ingatan untuk bertanya siapa mereka itu pada waktu
mereka pergi?"
"Ada kutanya nama mereka, ayah. Mereka mengaku
bernama Liok Cui Lin dan adiknya Liok Cui Kim, bahkan
sebelum pergi mereka menyatakan bahwa mereka tinggal di
dalam Hutan Ui tiok-lim (Hutan Bambo Kuning) di lembah
Sungai Luan-ho di luar tembok besar dekat Kota Raja Kin.”
"Ui-tio-lim....... ?" Pek thouw- tiauw-ong Lie Kong terkejut
mendengar disebutnya tempat ini dan ia saling pandang
40
dengan isterinya. Tempat itu sudah mereka kenal, sebuah
tempat yang amat berbahaya, yang ratusan tahun yang lalu
dibangun oleh seorang tokoh jahat dari utara. Tempat ini
penuh rahasia dan tangan-tangan maut menjangkau dari
tempat-tempat tersembunyi sehingga sudah sejak lama
sekali tak seorangpun berani mendatangi tempat yang
dianggap sebagai sarang iblis itu. Dan sekarang ditinggali
oleh dua orang gadis yang sanggup merampas kitab dari
tangan Ceng Ceng !
"Eh, mana dia....... ?" Tiba-tiba Lie Kong bertanya kaget
ketika menengok tidak melihat Tiang Bu di situ.
“Entah. dia tadi melangkah ke sini dan agaknya ada
bayangan berkelebat di dekatku." kata Souw Cui Eng,
isterinya, kemudian nyonya itu menjadi pucat. “Katak itu
lelah hilang berikut tempatnya"
Lie Kong makin kagum. "Hebat sekali !” Bocah itu, tentu
dia yang mengambilnya, Ceng Ceng, apa kau tadi malihat
Tiang Bu pergi?”
Gadis itu memang sejak tadi mempe rhatikan Tiang Bu,
akan tetapi iapun hanya melihat pemuda itu berkelebat dan
lenyap, maka ia menggeleng kepala.
Lie Kong nenarik napas panjang. “ “Ceng Ceng, aku
masih tetap ingin sekali menjodohkan kau dengan dia. Di
dunia ini kiranya tidak mudah bagimu mencari jodoh seperti
orang muda tadi. Sekarang kita bersiap-siap setelah selesai
urusan di sini kita mengejar dua orang gadis Liok itu ke
utara.”
-oo(mch)oo-
Tiang Bu memang telah mencuri katak dalam peti yarg
disimpan oleh Souw Cui Eng. Tadinya Tiang Bu merasa
curiga karena nyonya ini beberapa kali meraba saku baju
seakan-akan takut kalau ada barang penting lenyap dari
41
saku itu. Ia tadinya mengira bahwa mungkin sekali kitab itu
diam-diam disimpan nyonya ini. Maka mendengar
penuturan Ceng Ceng bahwa kitab dari Omei san itu telah
dirampas oleh dua orang anak perempuan Liok, ia menjadi
kaget sekali. Karena tidak ada harapan lagi untuk
mendapatkan kitab dari keluarga ini ,. Tiang Bu lalu cepat
pergi setelah lebih dulu ia menggunakan kepandaian dan
kecepatannya untuk menyambar isi saku nyonya itu yang
ternyata adalah peti ke cil dengan katak ajaib yang pernah
dilihatnya.
Kebetulan, pikirnya. Harta benda itu memang sudah
sepatutnya kalau dipergunakan untuk menolong para
korban banjir. Akan tetapi katak wasiat ini siapa tahu kalaukalau
menjadi benda simpanan Pangeran Wanyen Ci Lun,
biar kuambil dan kukembalikan kepadanya.
Setelah pergi dari lembah Sungai Huang-ho itu, Tiang Bu
teringat akan pemuda dan dia gadis yang lihai dan yang
tinggal di dalam kelenteng itu. Ia ingin tahu mereka itu
siapa, terutama gadis itu benar-benar amat menarik hatinya.
Dengan mempergunakan ilmu lari cepatnya, Tiang Bu
menyusul ke kuil yang pernah dilihatnya ketika ia mengejar
Ceng Ceng. Ia ingin cepat bertemu dengan pemuda dan gadis
yang aneh itu, ingin berkenalan, terutama sekali dengan
gadisnya. Wajah gadis itu serasa tidak asing baginya, serasa
pernah dilihatnya, entah di mana dan bilamana ia sudah
lupa lagi.
Ketika ia tiba di dekat kelenteng tua, ia melihat banyak
orang sedang hilir mudik mengangkuti barang-barang dari
dalam kelenteng. Terayata yang diangkuti itu adalah barangbarang
perabot rumah tangga yang indah yang tadinya
menghias isi kelenteng! Apakah mereka hendak pindah? -
Tiang Bu benar-benar menjadi terheran-he ran ketika
mendapat kenyataan bahwa yang mengangkut adalah orangorang
be rpakaian seperti tentara seragam. Dan mereka
bekerja nampak tergesa-gesa sekali. Selagi Tiang Bu bingung
42
tak tahu harus berbuat apa, ia mendengar suara senjata
be radu di tempat jauh, arah dekat sungai. Terdengar suara
lain lagi yang mendesak supaya para se rdadu itu bekerja
lebih cepat.
(Bersambung jilid ke XV.)
1
(PEK LUI ENG)
Karya: Asmaraman S. Kho
Ping Hoo Scan djvu :
syauqy_arr
Convert & edit : MCH
Jilid XV
KARENA tertarik, Tiang Bu cepat menye linap di antara
pepohonan dan menuju tempat pertempuran. Dan di dekat
sungat ia melihat pemuda tampan dan gadis jelita itu benarbenar
tengah bertempur melawan seorang pemuda tampan
yang lain yang hebat sekali kepandaiannya. Pemuda itu
tampan, bertubuh jangkung kurus, dahinya lebar seperti
botak, mulutnya tersenyum-senyum mengejek dan mata
yang bersinar-sinar aneh! Yang hebat, ia mainkan senjata
yang luar biasa sekali, yaitu sebatang huncwe (pipa
tembakau) yang panjangnya dua kaki, terbuat dari pada
bambu badan batangnya dan tempat apinya dari tanah.
Akan tetapi ia mainkan huncwe itu secara luar biasa sekaIi.
Jelas kelihatan oleh Tiang bu bahwa pemuda tampan ini
mainkan senjata huncwenya seperti orang mainkan pedang
dan ilmu pedangnya inilah yang hebat.
"Eh, seperti Soan-hong-kiamsut (llmu Pedang Angin
Puyuh) …… eh, mengapa begitu? Itu seperti Soan-lian
kiamsut (Ilmu Pedang Teratai Saju') .....” Tiang Bu berkata
seorang diri ketika matanya mengikuti permainan pedang
yang dilakukan dengan huncwe itu. Apalagi ketika tiba- tiba
2
ia merasa sambaran huncwe itu mendatangkan hawa dingin,
ia tidak ragu lagi bahwa tentu pemuda ini mengerah tenaga
dalam Ilmu Pedang Teratai Salju, semacam ilmu pedang
disertai lweekang tinggi yang asalnyn dari Omei -san!
"Siapa dia yang begini lihai .....?” Tiang Bu dalam hati,
membuat ia ragu untuk mencampuri pertempuran itu. Akan
tapi kakak beradik itupun ternyata memiliki kepandaian
yang tidak rengah. Hebat sekali adalah dara jelita itu, karena
ia menghadapi lawannya dengan senjata yang lebih luar
biasa lagi, yaitu dua ekor ular belang di kedua tangan kanan
kiri. Melihat senjata aneh di tangan dara cantik ini, Tiang
Bu, melengong dan seperti dibuka matanya. Teringatlah
akan peristiwa di puncak Gunung Omei-san ketika ia
melihat dua orang gadis kecil bertempur, yang se orang
adalah Lee Goat adiknya dan gadis kedua bukan lain adalah
gadis ini. Tak salah lagi! Dan pemuda itu ...... pemuda yang
sekarang mempergunakan pedang dengan amat indahnya
mengeroyok pemuda be rhuncwe itupun bukan lain adalah
pemuda yang kemudian datang melerai adiknya yang
berkelahi. Akan tetapi, pendapat ini tetap saja tidak
mendatangkan keyakinan di hati Tiang Bu apakah ia harus
membantu mereka. Ia tidakmengenal mereka, juga tidak
mengenal pemuda lihai berhuncwe itu, kalau tanpa
mengetahui urusannya ia membantu sefihak, itu tidak adil
sekali. Akan tetapi kalau didiamkanya saja. juga tidak betul
karena ia merasa khawatir sekali akan keselamatan gadis
itu.
Selagi ia ragu ragu, terdengar pemuda berhuncwe itu
tertawa, suara ketawanya sungguh-sungguh berlawanan
dengan wajahnya yang tampan dan sikapnya yang halus.
Suara ketawanya parau, kasar dan kurang ajar. Apalagi
ucapannya yang menyusul ketawanya itu, "Ha, ha ha,
menurut patut aku harus membikin mampus kalian ini,
budak-budak bangsa Kin! Akan tetapi ...... aduh sayang
sekali kau, gadis manis. Mari ikut dengan aku mengejar
3
kebagiaan, dan aku akan mengampuni jiwa budak yang
menjadi kakakmu ini.”
Kata-kata ini saja cukup bagi Tiang Bu untuk mengambil
keputusan membantu gadis itu. Bukan karena ia kini tahu
bahwa gadis dan kakaknya itu bangsa Kin, ia tidak
mempunyai hubungan dengan bangsa Kin, akan tapi
kenyataan bahwa pemuda berhuncwe itu ternyata cabul dan
jahat cukup membuat ia menganggapnya bersalah.
“Se tan pemadatan jangan kau menjual lagak,” bentak
Tiang Bu dan begitu ia menyerbu, pemuda berhuncwe itu
terkejut setengah mati . Tadinya ia sudah melihat datangnya
pemuda sederhana ini, akan tetapi tidak memperhatikannya
dan tidak memandang sebelah mata, mengira bahwa
pemuda itu bukan lain adalah seorang di antara "kuli-kuli"
pemuda dan gadis itu. Kiranya sekarang begitu membentak
dan menyerbu dengan tangan kosong angin dorongan
tangannya menyambar hebat dan hampir saja huncwenya
terlepas dari pegangan dan hampir terampas kalau saja
tidak cepat-cepat melompat mundur.
Dara jelita dan pemuda itu seperti pembaca sudah dapat
menduga adalah Wan Bi Li dan kakaknya, Wan Sun, melihat
datangnya benturan, dapat bernapas lega. Tentu saja
mereka mengenal Tiang Bu sebagai pemuda yang kemarin
mengejar-ngejar Ceng Ceng, akan tetapi karena sekarang
pemuda ini membantu mereka melawan si pemegang
huncwe yang lihai, mereka segera bersiap untuk mangeroyok
pemegang huncwe itu.
Pada saat semua barang dari dalam kuil sudah diangkut
ke sebelah perahu besar yang sejak tadi berada di tepi pantai
sungai dan muncullah seorang panglima gundul dari dalam
perahu itu.
“Bi Li dan kongcu, mari kita berangkat!” seru panglima
ini dengan suara keras. Dua orang pemuda itu biarpun raguragu
tak berani membantah perintah ini dan segera me reka
melompat keluar dari kalangan pertempuran, membiarkan
4
Tiang Bu seorang diri menghadapi si pemegang huncwe,
te rus mereka berlompatan lari ke atas perahu.
"Gadis manis tunggulah aku!” Si pemegang huncwe
berseru dan tubuhnya berkelebat mengejar. Bukan main
cepatnya gerakannya ini karena tahu- tahu ia sudah berada
di dekat Bi Li yang melarikan diri dan begitu mulutnya
ditiupkan segulung asap ungu menyambar ke arah muka Bi
Li dan gadis itu terguling ! Akan tetapi, Tiang Bu yang
tadinya bengong dan heran mengenai panglima gundul di
perahu besar itu adalah Kwan Kok Sun atau orang gundul
yang dahulu membunuh suhunya, Bu Hok Lokai kini
menjadi sadar melihat tergulingnya Bi Li. Ia berseru keras
dan pemuda berhuncwe yang sudah membungkuk untuk
menyambar tubuh Bi Li, tiba-tiba terpental dan bergulingan
sampai beberapa tombak jauhnya. Ternyata ia telah kena
didorong oleh Tiang Bu yang marah sekali.
Hebatnya, dorongan yang dilakukan dengan tenaga
lweekang besar itu agaknya tidak melukai pemuda
berhuncwe ini. Ia telah bangkit kembali dan telah melompat
ke dekat Tiang Bu dengan muka bengong terheran, bahkan
saking herannya melihat kelihaian Tiang Bu tadi, ia sampai
tidak memperhatikan dan tidak perduli lagi melihat Bi Li
dipondong oleh kakaknya dan dibawa lari ke atas perahu.
Kemudian perahu dengan cepat berlayar ke tengah sungai
yang sedang banjir !
"Bagus, jadi kau mempunyai sedikit kepandaian? Setan
belang, kau ini siapakah berani sekali mencampuri
urusanku!”
Tiang Bu tersenyum, lega melihat gadis manis itu sudah
pergi dengan aman. Kini ia mendapat banyak ke sempatan
untuk melihat dan memperhatikan pemuda itu. Pemuda itu
paling banyak berusia dua puluh satu tahun dan biarpun
wajah dan gerak-geriknya serta pakaiannya menandakan
bahwa dia itu seorang sopan terpelajar namun sepasang
matanya membuat orang berdebar ngeri. Sepasang mata
5
mempunyai sinar yang aneh menyambar-nyambar dan
seperti bukan mata manusia. Di dalam matanya inilah letak
keistimewaan dan mungkin kejahatan pemuda ini, pikir
Tiang Bu, kagum melihat seorang masih begini muda sudah
memiliki kepandaian tinggi. Ia amat tertarik karena tadi ia
mengenal dua ilmu pedang terbayang dalam ilmu pedang
yang dimainkan dengan huncwe oleh pemuda ini, dan dua
ilmu pedang yang berasal dari Omei -san.
"Sobat, ilmu silatmu hebat sekali. Sayang kau berlaku
kurang sopan kepada seorang gadis terhormat. Setelah gadis
itu pergi, perlukah kita meneruskan permusuhan ?
Bukankah lebih baik kita berkenalan ? Namaku Tiang Bu
dan aku sama sekali tidak mempunyai permusuhan dengan
kau, hanya tadi aku ingin menolong nona itu...... “
Akan tetapi ia melongo ketika tiba-tiba pemuda
berhuncwe itu terbahak-bahak sambil memegangi perutnya
dan kadang-kadang menatap wajahnya. Tiang Bu merasa
seakan-akan mukanya ada coretan arang, ia menjadi gemas
sekali akan tetapi diam-diam ia meraba-raba mukanya kalau
kalau muka itu kotor dan kelihatan lucu membuat orang
tertawa seperti tadi.
"Ha-ha ha-ha, kau ...... ? Kau yang bernama Tiang Bu
...... !? Ha-ha ha ha. kok begini saja macamnya ? Lucu......
lucu...... !”
Pada saat itu, dari jauh terdengar suara wanita bertanya.
"Twako kau tertawa- tawa gembira ada apakah ?"
Mendengar pertanyaan ini, pemuda Itu makin keras
ketawanya dan Tiang Bu diam-diam terkejut. Suara
pertanyaan Itu dikeluarkan orang dari tempat jauh dengan
pengerahan ilmu Coan im-jip-bit (Mengirimi Suara dari
Jauh) yang cukup lihai, tanda bahwa wanita yang bicara
tadipun memiliki kepandaian tidak boleh dipandang ringan.
"Moi.moi, kalian lekas datang ke sini. Ada hal yang amat
menyenangkan dan menggelikan hati . Lekas!” Pemuda
6
berhuncwe menjawab, juga dengan pengerahan Ilmu Coan
lm-jip-bit ke arah barat dari mana suara datang.
Baru saja gema suara ini lenyap, dari barat berlari datang
dua orang gadis berpakaian serba merah dan ketika dua
orang gadis itu datang dekat, Tiang Bu mendapat kenyataan
bahwa mereka ini masih muda belia, paling banyak usia
mereka sembilan belas dan delapan belas tahun, keduanya
cantik-cantik dan manis-manis menggairahkan. Apalagi cara
mereka berpakaian amat ketat dan ringkas, mencetak
bentuk tubuh mereka yang bagaikan kembang baru mekarmekarnya
sehingga muka Tiang Bu menjadi merah padam
melihat lekuk-lekuk tubuh yang kencang menantang dan
dicetak oleh pakaian tipis, padahal biasanya disembunyikan
rapat-rapat oleh setiap orang gadis sopan. Gadis pertama
yang mempunyai tahi lalat merah kecil di dagunya berusia
paling banyak sembilan belas tahun, matanya galak kejam
akan tetapi bibirnya yang indah bentuknya itu tersenyum
manis sekali. Gadis kedua yang lebih muda sedikit amat
menarik karena memiliki sepasang mata yang bening dan
indah bentuknya, bergerak- gerak dengan amat genit,
ke rlingnya tajam menyambar-nyambar dari ujung mata.
"Apa yang menyenangkan hati twako tanya gadis bertahi
lalat sambil memandang kearah Tiang Bu. "Apakah pemuda
seperti ini kau bi lang menyenangkan ?"
"Biarpun tidak menyenangkan, memang betul dia
menggelikan," kata gadis ke dua dan kerlingnya menyambar
ke arah muka Tiang Bu yang menjadi makin merah, semerah
warna pakaian dua orang dara lincah ini. "Enci Lin, kaul ihat,
matanya lapar betul."
Memang sepasang mata Tiang Bu menyapu mereka
berdua dan nampaknya "lapar" sekali, padahal pemuda ini
memperhatikan mereka karena amat tertarik melihat
keadaan mereka ini seperti yang digambarkan oleh Ceng
Ceng! Tahi lalat di dagu itu! Dan sikap dua orang gadis ini,
tak salah lagi inilah dua orang gadis she Liok yang telah
7
merampas *kItab Omei-san dari tangan Ceng Ceng. Sebelum
ia sempat menegur atau bertanya, pemuda yang memegang
huncwe itu sudah berkata,
“Kalian tidak tahu, beliau ini bukan orang lain, akan
tetapi inilah dia yang be rnama Tiang Bu !"
Disebutnya nama ini benar-benar mendatangkan
perubuhan besar pada dua orang dara manis itu. Lcnyap
muka yang tadinya geli mentertawakan itu, terganti oleh
perasaan heran, kagum, dan bahkan ..... mencari-cari muka.
"Memang namaku Tiang Bu apakah anehnya dengan itu
? Kalian ini siapa?”
Pemuda be rhuncwe itu membusungkan dada, berdiri
dengan sikap menantang di depan Tiang Bu, lalu menjawab
dengau suaranya yang kasar dan se rak,
“Mau tahu namaku? Aku...... Cui Kong namaku tidah
kalah baiknya dengan namamu, juga aku lebih tampan.
Adapun tentang kepandaian, aku tidak kalah kalau belum
mencoba. Sambut ini !” Begitu kata-kata ini dike luarkan
huncwe itu meluncur cepat menusuk tenggorokan Tiang Bu,
disusul oleh tangan kiri yang masuk ke perut dengan telapak
miring seperti pedang membacok. Inilah serangan maut yang
luar biasa lihai dan berbahayanya.
"Bagus !” seru Tiang Bu yang cepat sekali reaksinya
menghadapi serangan dahsyat yang dilancarkan secara tibatiba
ini. Ia maklum bahwa pemuda di depannya ini tidak
main-main dan menyerangnya dengan mati-matian, begitu
pula bahwa pemuda yang mengaku bernama Cui Kong ini
memiliki kepandaian lebih tinggi dari pada kepandaian Ceng
Ceng, bahkan lebih tinggi dari pada kepandaian Bi Li dan
kakaknya. Cepat ia mengerahkan ginkangnya, berkelebat
mengelak tusukan huncwe ke tenggorokan sedangkan
tangan kiri lawan yang “membacok" perutnya itu ia sambut
dengan tangan kanan untuk dicengkeram.
8
Akan tetapi Cui Kong ternyata cerdik dan gesit sekali.
Rupanya pemuda tampan inipun sudah dapat menduga
akan ke lihaian Tiang Bu dan karenanya merasa jerih untuk
mangadu tangan. Cepat ia menarik kembali tangan kirinya
yang seperti seekor ular tahu-tahu telah menyusup ke dalam
saku bajunya dan keluar lagi, kemudian dibarengi bentakan
aneh, dari mulut pemuda itu menyambar asap ungu dan
dari tangan kirinya menyambar jarum-jarum hitam,
sedangkan huncwenya meluncur lagi ke arah ulu hati Tiang
Bu. Sekaligus tiga macam serangan yang dapat merenggut
nyawa telah mengurung Tiang Bu.
“Ganas dan keji...... !" seru Tiang Bu kaget. Ia cepat
melompat sambil mengumpulkan sinkangnya menggerakkan
tangan berulang-ulang untuk memukul runtuh jarum-jarum
hitam yang menyambar ke arahnya itu dengan hawa
pukulannya, sedangkan dengan tenaga khikang yang
mengagumkan, ia meniup arah asap ungu itu sehingga
buyar dan terbang tetbawa angin.
“'Hebat....... !" demikian dua orang gadis menonton
pertempuran itu memuji kepandaian Tiang Bu. Juga Cui
Kong diam-diam merasa kagum dan kaget sekali melihat
cara Tiang Bu menghadapi semua se rangan dengan
demikian aneh dan mudah. Namun masih merasa penasaran
dan dengan marah kembali menyerang dengan empat cara,
yaitu dengan huncwe, dengan asap ungu, dengan jarumjarum
hitam atau dengan tangan kirinya. Setiap gerakan
dalam serangan ini merupak tangan maut menjangkau ke
arah nyawa Tiang Bu, karena serangan huncwe selalu
ditujukan kepada bagian tubuh yang berbahaya, sedangkan
asap ungu dan jarum hitam itu semuanya mengandung
racun yang amat jahat, juga pukulan-pukulan tangan kiri
selalu mengarah jalan darah kematian. Menghadapi
serangan-serangan lawan yang amat ganas ini, Tiang Bu
marah sekali. Akan tetapi dia tidak sekeji Cui Kong dan tidak
mau dia menewaskan orang tanpa sebab. Kalau Tiang Bu
menghendaki, dengan ilmunya yang jauh masih berada di
9
atas tingkat Cui Kong kiranya mudah saja ia mengeluarkan
serangan maut sebagai balasan yang takkan mungkin dapat
dihindari oleh lawannya. Akan tetapi Tiang Bu tidak berniat
membunuh orang. Ia hanya ingin mengukur sampai di mana
kepandaian pemuda ini dan ingin mengalahkannya tanpa
membunuh atau melukai berat. Inilah yang sukar karena
pemuda inipun bukan orang lemah dan memiliki kepandaian
tinggi sekali, maka mengalahkan dia tanpa melukai berat
atau membunuh, hanya mudah dibicarakan akan tetapi
pelaksanaannya sukar sekali.
"Aha, kau benar lihai, dan hatimu lemah sekali. Ha haha!”
berteriak-teriak Cui Kong memuji dibarengi ejekanejekan
yang memanaskan hati. “Lihat , alangkah manisnya
Cui Lin dan Cui Kim itu, alangkah bagusnya bentuk
badannya. Eh, Tiang Bu, kalau kau bisa menangkan aku,
akan kuberikan mereka kepadamu untuk menyenangkan
hatimu!”
Tiang Bu marah sekali dan berusaha sekerasnya untuk
merobohkan lawan yang lihai tangan lihai mulut ini. Seratus
lima puluh jurus sudah lewat dan selama itu Tiang Bu tetap
menghadapinya dengan tangan kosong. Makin lama Tiang
Bu makin terkejut oleh karena ilmu silat dari pemuda di
depannya itu selain lihai sekali juga banyak macamnya dan
diantaranya terdapat ilmu pedang yang sifatnya tak salah
lagi bersumbe r pada ilmu-ilmu Omei-san Di lain pihak,
biarpun mulutnya mengome l namun Cui Kong diam-diam
merasa panas bukan main. Belum pernah selama hidupnya
menghadapi lawan sehebat ini yang melayani huncwe dan
senjata-senjata rahasianya hanya dengan dua tangan kosong
untuk selama seratus lima puluh jutus, sedikitpun tak
pernah terdesak bahkan mendesaknya dengan hebat. Saking
gemas dan penasaran, ia melompat mundur dan melakukan
pelanggaran apa yang dilarang oleh ayahnya, yaitu
melakukan pukulan dahsyat ajaran ayahnya. Pukulan Tinsan-
kang (Pukulan Mendorong Gunung). Tubuhnya agak
merendah setengah berjongkok selagi Tiang Bu mengejar
10
maju, Cui Kong dorong dengan kedua tangan kosong ke
depan mulutnya membentak, “Roboh ...... !!"
Hebat tekali pukulan Tin-san-kang ini. Pukulan ini
asalnya ciptaan seorang tosu kenamaan, ketua lm-yang bu
pai dan bernama Giok Seng Cu. Tosu rambut panjang ini
adalah murid Pak Hong Siansu. Oleh Giok Seng Cu ilmu ini
diturunkan kepada Liok Kong Ji dan dari Liok Kong Ji
menurun kepada Cui Kong. Dalam menggunakan ilmu ini,
te rnyata Cui Kong tidak kalah lihainya oleh Liok Kong Ji.
Tiang Bu meras a seperti terbawa tiupan angin ke ras, dan
ia tidak kuasa menahan lagi. Biarpun ia sudah mengerahkan
tenaga sehingga pukulan ini sama sekal i tidat dapat
melukainya, namun dorongan hawa pukulan dahsyat ini
membuatnya terlempar ke belakang dan roboh terlentang!
Saking kaget dan kagumnya ia tidak cepat-cepat berdiri dan
ini dipergunakan oleh Cui Kong yang berwatak licik. Melihat
betapa Tiang Bu hanya roboh saja dan pada mukanya tidak
terlihat tanda kesakitan melainkan keheranan, Cui Kong
masih belum puas akan kemenangannya, cepat ia melompat
mendekati dan kini dari jarak dekat ia melancarkan pukulan
Tin-san-kang pada perut Tiang Bu. Pukulan maut !
Kali ini Tiang Bu tidak mau mengalah lagi karena
menghadapi bahaya sebesar itu, mengalah berarti mati.
Dengan tubuh masih telentang di atas tanah, ia
menggerakkan kedua tangannya dipukulkan ke atas, ke
arah dua tangan Cui Kong yang menghantamnya.
Biarpun tidak kelihatan dua pasang tangan bertemu,
namun pertemuan dua tenaga raksasa di tengah udara itu
akibatnya hebat sekali. Tubuh Tiang Bu yang terlentang itu
melesak ke dalam tanah sampai sejengkal lebih, sedangkan
tubuh Cui Kong bagaikan tertendang dari bawah, terpental
ke atas kemudian roboh lemas dan muntah-muntah darah !
"Saudaraku Tiang Bu, aku mengaku kalah ….. kau patut
menjadi putera sejati dari ayah.....” kata Cui Kong dan dua
orang gadis itu maju dan merangkul pundak Tiang Bu.
11
“Koko, kau benar-benar lihai sekali….” kata Cui Lin
sambil meremas remas tangan Tiang Bu.
*Koko, kau nanti harus ajarkan pukulan hebat itu
kepada adikmu ini, biar upah. kuberi dulu ...... " kata Cui
Kin dan cepat me raih kepala Tiang Bu untuk ditarik dan
diciumnya pipi pemuda itu dengan bibir dan hidungnya.
Hal ini sama sekali di luar dugaan Tiang Bu. Karuan saja
ia menjadi gelagapan hampir saja ia mendorong dua orang
gadis itu kalau saja t idat terjadi hal yang aneh di dalam
dirinya. Entah mengapa, begitu dua orang gadis itu
merangkulnya dan bersikap manja dan manis, begitu kulit
lengan yang halus putih bersentuhan dengan kulit leher dan
lengannya, begitu keharuman bunga- bunga yang keluar
dari pakaian mereka menyentuh hidungnya, tiba-tiba saja
Tiang Bu menjadi panas seluruh tubuhnya. Dadanya
berdebar tidak karuan, kepalanya seperti berdenyut-denyut,
pandang matanya berkunang dan pikirannya menjadi tidak
karuan. Tiba-tiba saja timbul sesuatu yang mendorongnya
untuk merasa senang, merasa gembira bersentuh kulit
dengan dua orang gadis ini, bahkan membuatnya ingin
membalas dan menyambut tangan dan belaian mereka.
Pendeknya dalam waktu singkat dan secara aneh sekali,
nafsu binatang telah menguasai hati dan pikiran Tiang-Bu,
sukar untuk dilawan lagi.
Sementara itu, Cui Kong sudah bangun berdiri dan
menghapus darah yang me lumuri bibirnya, lalu
menghampiri Tiang Bu sambil menjura dan berkata,
'Benar-benar siauwie takluk sekali, kepandaian Tiang Bu
koko patut dikagumi dan tentu akan membanggakan hati
ayah kita."
Tiang Bu agak tersadar dari pada buaian pengaruh aneh
yang memabokkannya melihat kedatangan Cui Kong, akan
tetapi ia menjadi terheran- heran. "Kalian ini s iapakah ? Dan
apa maksud kata-kata yang ganjil itu?'
12
“'Saudara tua Tiang Bu harap maklum bahwa aku adalah
putera angkat dari ayahmu Liok Kong Ji, jadi kita masih
terhitung saudara, dan mereka ini, Cui Lin dan Cui Kim
adalah ……”
“Kami juga saudara-saudara angkat, akan tetapi seperti
telah dijanjikan oleh Cui Kong toako tadi, setelah dia kalah
maka kami menjadi...... ' setelah berkata demikian, dengan
stkap genit sekali Cui Lin menggandeng tangan kanan Tiang
Bu sedangkan tangan kiri pemuda itu digandeng oleh Cui
Kim ! Adapun Cut Kong memandang dengan tersenyum
girang, lalu katanya.
"Tiang Bu koko, mari silakan mengaso di tempat di mana
kita dapat bercakap- cakap dengan senang."
"Kita bukan saudara...... " bantah Tiang Bu lemah karena
hatinya makin tidak karuan ketika dua tangannya digandeng
dan dibelai oleh dua orang dara cantik itu, "Aku ...... aku
bukan anak Liok Kong Ji…..”
Akan tetapi sambil tertawa-tawa Cui Kimberkata, "Aah,
koko jangan kau main-main dicubitnya lengan pemuda itu
dan ditarik-tariknya maju. Sambil tcrtawa-tawa dua orang
gadis itu membetot Tiang Bu yang terpaksa berjalan bersama
mereka, singguhpun mukanya masih memperlihatkan
keraguan Cui Kong di sepanjang jalan terus menerus
'bernyanyi” memuji kegagahan, kelihaian Tiang Bu. Bahkan
kini dua orang gadis itu mulai memuji-muji ketampanan
Tiang Bu, pada hal tadi mereka mencela. Anehnya. Tiang Bu
yang biasanya be rwatak gagah dan bersemangat, kini
seakan-akan pikirannya diselubungi sesuatu yang membuat
daya pikirannya tumpul, membuat ia seperti kehilangan
semangat dan seluruh tubuhnya dikuasai oleh nafsu, kotor.
Tentu saja ia tidak menyangka sama sekali bahwa hal ini
adalah akibat pengeruh katak ajaib yang ada di dalam saku
bajunya! Katak hijau itu memang betul semacam katak yang
beracun aneh, seperti yang pernah dikatakan oleh Pekthouw
tiauw-ong Lie Kong bahwa katak hijau itu adlah katak
13
pembangkit asmara. Racun yang keluar dari tubuh katak itu
menjalar kepada orang yang membawanya dan
mendatangkan pengaruh yang luar biasa kuatnya sehingga
orang yang membawanya akan diserang nafsu berahi yang
tidak sewajarnya, membuat orang itu gelap mata dan
kehilangan semangatnya. Kalau si pembawa tidak
bersentuhan kulit dengan wanita, maka pengaruh katak itu
tidak terasa. Akan tetapi sekali orang bersentuhan kulit
dengan seorang wanita, ia akan terpenguruh hebat sekali,
apa lagi jika yang terpengaruh itu orang yang memang pada
dasarnya mempunyai watak romantis. Adapun Tiang Bu,
sebagai putera Liok Kong Ji yang aseli, ternyata sedikit
banyak ada “darah” ayahnya mengalir di tubuhnya yang
membawa watak "gila perempuan' dari ayahnya itu
kepadanya. Oleh sebab inilah maka mudah sekali dibinggapi
penyakit dari racun katak itu.
Bagaikan orang mabuk, Tiang Bu menurut saja
digandeng dan ditarik oleh Cui Lin dan Cui Kim, seperti
seekor kerbau ditarik hidungnya. Mereka menuju ke sebuah
pondok kecil yang berada di sebuah hutan, be las an li dari
pantai sungai tadi di mana perahu besar ng membawa Bi Li
dan Wan Sun menghilang.
Seperti kelenteng tua yang ditinggali Bi Li dan Wan Sun
tadi, pondok inipun dalamnya serba indah dan mewah,
bahkan di sini terdapat tiga orang pelayan laki-laki. Cui
Kong segera memberi perintah kepada para pelayan untuk
mengeluarkan hidangan arak wangi dan Tiang Bu dijamu
dengan segala kehormatan.
Dengan ramah-tamah Cui Kong menuangkan arak wangi
dalam cawan besar penuh dan memberikan cawan itu
kepada Tiang Bu. "Tiang Bu koko, silakan menerima ucapan
selamat bertemu dari siauwte dengan se gelas arak
“'Aku...... aku tidak biasa minum arak,” kata Tiang Bu
menolak.
14
Akan tetapi Cui Kim merangkul lehernya dan menerima
cawan arak itu lalu menempelkannya pada bibir Tiang Bu
sambil berkata "Koko, apakah kau tidak suka kepada kami.
Terimalah. biar ucapan selamat itu ditambahi oleh
penghormatanku.” Dihadapi bujuk rayu oleh si jelita dalam
keadaan dia sedang terpengaruh oleh racun katak hijau,
mana Tiang Bu dapat menolaknya? Sambil tersenyumsenyum
bingung ia akhirnya menerima juga minumarak itu.
Akan tetapi begitu arak itu mrmasuki mulutnya, hawa
sinkang di dalamtubuhnya otomatis naik den menahan arak
itu sehingga tidak sampai masuk ke tenggorokan. Tiang Bu
merasa sesuatu yang panas, pedas dan nenusuk-nusuk dari
arak itu maka di dalam setengah sadarnya ia bercuriga.
Cepat ia memutar kepala ke samping dan menyemburkan
arak itu ke tanah.
“Racun...... !" katanya. Sebenarnya seruan itu hanya
karena kagetnya s aja merasa sesuaru yang amat tidak cocok
di dalam mulutnya, akan tetapi tanpa disengaja ia telah
mengeluarkan seruan yang amat tepat. Kalau saja Tiang Bu
memperhatikan, tentu ia melihat betapa wajah Cui Kong dan
dua orang gadis itu menjadi pucat. Bahkan Cui Kong sudah
menarik huncwenya, bersiap kalau-kalau Tiang Bu akan
menyerang. Akan tetapi karena melihat Tiang Bu tidak
menyerangnya, Cui Kong lalu menyambar cawan arak di
tangan Tiang Bu yang masih ada sisa araknya.
"Kurang ajar, kau berani mencoba meracuni kakakku?"
bentaknya kepada pelayan yang tadi menge luarkan
hidangan.
“Tidak ...... siauwya...... bukankah siuwya menyuruh
hamba ......”
Kata-kata pelayan yang menjadi ketakutan itu dipotong
cepat oleh Cui Kong. “Aku menyuruhmu mengeluarkan arak
te rbaik dan yang paling wangi, akan tetapi apa yang
kauhidangkan? Arak obat luka, arak yang mengandung
racun. Hayo kauminum ini!” Ia mengulurksn tangan
15
memberikan cawan itu, akan tetapi pelayan itu dengan
muka pucat dan tubuh gemetar mundur tidak mau
menerimanya.
'Tidak...... tidak...... ampun siauwya…”
Akan tetapi sebuah totokan dengan ujung huncwe
membuat pelayan itu berdiri kaku dengan mulut ternganga,
kemudian sekali menggerakkan cawan, isi cawan itu
tertuang ke dalam mulut terus memasuki perut si pelayan
yang bernasibmalang. Setelah itu Cui Kong menotok pula
jalan darah pelayan itu membebaskannya. Akan tetapi racun
sudah bekerja dan seke tika itu juga pelayan itu terjungkal,
berkelojotan dan ...... mati.
“Akh, mengapa dia dibunuh?” Tiang Bu mencela, kaget
dan ngeri.
"Dia tentu pesuruh musuh-musuhmu, twako. Dia itu
pelayan yang baru saja tiga hari bekerja pada kami. Kalau
tidak dibunuh, dia bisa berbahaya," jawab Cui Kong yang
segera menyuruh dua orang pelayan lain untuk mcngurus
mayat pelayan sial itu. Kemudian ia mengundurkan diri dan
mempersilakan Tiang Bu bersenang-senang dengan dua
orang gadis itu.
Tiang Bu benar-benar seperti orang lemah. Tak kuasa ia
mengusir pengaruh racun katak pembangkit asmara itu dan
akibatnya membawa ia seperti buta, tidak dapat ia menolak
cumbu rayu kedua orang gadis yang sikapnya amat manis ,
mesra dan penuh cinta kasih kepadanya. Tiang Bu menjadi
lupa akan segala ilmu batin yang pernah dipelajarinya, ia
tidak berdaya dan menurut saja dirinya dibawa dan diseret
ke jurang kehinaan oleh dua orang gadis yang biarpun pada
lahirnya cantik-cantik, namun di lubuk hatinya sebetulnya
adalah siluman-siluman bermuka manusia ini.
Pada keesokan harinya, seperti orang yang baru sadar
dari maboknya, Tiang Bu mendapatkan dirinya terlentang di
atas pembaring, di dalam kamar yang indah dan harum. Ia
16
tak melihat Cui Lin dan Cui Kim dan tubuhnya terasa kaku
dan sakit-sakit ketika ia hendak bangun. Pada saat itu,
perasaannya yang sudah terlatih, juga berkat sinkangnya
yang tinggi. ia tahu akan adanya senjata-senjata rahasia
yang menyambar. Cepat sekali reaksinya dan di lain saat ia
telah mengge lundungkan tubuh ke bawah ranjang dan cepat
melompat berdiri pada saat ujung huncwe di tangan Cui
Kong menusuk ke arah matanya.
Tiang Bu kaget bukan main. Se rangan ini luar biasa
cepatnya dan pula sedang dalam keadaan limbung.
pikirannya masih belum sadar benar, baiknya ilmu silat
yang dilatih be rtahun tahun oleh Tiang Bu adalah ilmu silat
tinggi yang jarang bandingannya di dunia. Kedua kakinya
secara otomatis sudah bergerak menurutkan Ilmu Kelit Samhoan-
sam-bu. Kedua kaki ini ketika bergerak dalamI lmu
Kelit Sam-hoan-sam-bu, seakan-akan dua ekor ular saja
lemasnya dan tahu-tahu tubuhnya sudah melejit ke samping
dan bebaslah ia dari tusukan yang mengarah matanya.
Sebelumia dapat mengatur kembali posisinya. Cui Kong
telah menerjangnya lagi dengan ilmu silatnya yang cepat dan
lihai, dengan serangan-serangan bertubi-tubi yang amat
ganas dan dahsyat. Kamar itu cukup lebar, tetapi karena di
situ terdapat meja kursi, sukar juga bagi Tiang Bu untuk
menghindar diri dari serangan-serangan yang bertubi -tubi
dan amat lihai itu, sehingga dua kali ia terkena juga tusukan
ujung bambu huncwe, sekali pada pahanya, dan kedua
kalinya pada pundaknya. Baiknya tubuh pemuda ini sudah
luar biasa kuatnya, kebal dan tidakmudah terluka sehiogga
tusukan-tusukan yang demikian cepat dan kerasnya itu
hanya merobek pakaian dan sedikit daging di bawah kulit
saja, sama sekali tidak mendatangkan luka yang
membayakan.
Marahlah Tiang Bu. Tadinya ia belum membalas karena
tidak tahu apa sebabnya ia diserang mati-matian oleh
pemuda yang mengaku sebagai saudararya itu. Akan tetapi,
17
luka-luka di pundak dan pahanya membuat ia maklum
bahwa tanpa perlawanan, ia akan menghadapi malapetiaka.
Sambil berseru keras yang merupakan bentakan dahsyat,
Tiang Bu mementang kedua tangannya dan sepuluh jari
tangannya didorongkan ke depan. Inilah pukulan dahsyat
sekali dari Ilmu Pukulan Pek-lo (Jari-jari Geledek). Masih
balk bagi Cui Kong bahwa Tiang Bu tidak bermaksud
membunuhnya maka pukulan dahsyat ini ditujukan ke
bawah. Cui Kong menjerit keras dan terlempar keluar
kamar, kedua tulang pahanya remuk.
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru