Kamis, 31 Mei 2018

Maling Budiman Berpedang Perak 2 Tamat

=====
baca juga
Jilid 04
Tak lama kemudian, Tan Hong dan Siok Lan melayang turun ke dalam kamar itu. Tanpa memandang kepada kedua korban itu, Tan Hong lalu mengeluarkan dua buah kantong kuningnya dari saku baju dan mengisi kantong itu penuh-penuh dengan uang perak dan emas yang bertumpuk di atas meja, bahkan ditambahnya pula dengan uang perak yang tersimpan di dalam lemari. Ketika ia telah selesai dengan pekerjaannya dan menoleh kepada Siok Lan, ia melihat betapa gadis ini berdiri bagaikan patung memandang kepada dua orang itu. Wajah gadis itu memperlihatkan perasaan iba kepada mereka. Tan Hong memandang kepada mereka dan melihat bahwa kedua orang suami isteri itu mempunyai wajah yang baik dan sabar, mempunyai watak yang baik dan tidak kikir. Akan tetapi ia tidak memperdulikan semua ini dan segera memegang tangan sumoinya untuk diajak pergi dari situ. Siok Lan tidak berkata apa-apa, akan tetapi segera ikut melompat keluar dari kamar itu dengan wajah masih menyatakan tidak tega dan tidak senang. Ketika mereka tiba di luar, ia berkata kepada Tan Hong, “Tan-suheng! Betapapun juga aku tidak suka melihat pekerjaanmu ini.”
“Mengapa, sumoi?” tanya Tan Hong dengan tenang. “Kuanggap terlalu kejam!”
“Mengapa kejam? Bukankah kau sendiri yang mengusulkan tindakan itu dan totokan kita itu tidak berbahaya, dan paling lama satu jam lagi mereka akan sadar kembali tanpa menderita sakit?”
“Bukan itu maksudku. Tapi ketika aku melihat wajah kedua orang itu, aku merasa pasti bahwa mereka adalah orang-orang yang baik hati. Kini uangnya kau curi, bukankah mereka akan merasa kecewa dan sedih? Suheng ... ! Kau begitu tega membuat orang lain menderita sedih?”
Tan Hong tersenyum. “Sabarlah, sumoi, dan jangan kau berlaku kepalang tanggung. Marilah ikut aku dan saksikanlah sendiri pekerjaanku yang kauanggap kejam dan hina ini sampai selesai. Kalau sudah selesai, barulah kau boleh memberi komentar dan kritik.”
Biarpun masih merengut, namun Siok Lan menganggap bahwa ucapan ini benar juga, maka ia terus mengikuti pemuda itu menuju ke dusun-dusun. Alangkah bedanya keadaan di kota dan di dusun. Pada saat itu, bulan telah muncul setengah dan dari atas genteng Siok Lan dapat melihat jelas perbedaan ini. Baru genteng-gentengnya saja sudah jauh berbeda. Kalau rumah-rumah di kota tinggi-tinggi dan mempunyai wuwungan serta genteng yang kokoh kuat dan berwarna merah, adalah rumah di dusun-dusun jarang yang mempunyai genteng dari tanah. Kebanyakan hanya dipasangi daun-daun kering sebagai atap dan rumah-rumahnya rendah lagi kecil pula. Jika dibuat perbandingan, agaknya kandang kuda para hartawan di kota jauh lebih besar dan bagus daripada rumah orang-orang kampung ini.
Apalagi ketika itu kemiskinan sedang merajalela akibat bencana alam yang mengamuk dan yang paling merasakan akibatnya adalah orang-orang miskin ini.
Biasanya, apabila melakukan pekerjaan membagi-bagi hasil curiannya, Tan Hong tidak banyak memilih dan melemparkan potongan perak begitu saja dari atas atap ke atas pembaringan orang, akan tetapi kini ia sengaja membuka atap dan minta supaya Siok Lan menengok ke dalam. Tergetar juga hati Siok Lan melihat tubuh orang-orang yang kurus kering dengan pakaian tambal-tambalan serta dalam keadaan rumah yang benar-benar kosong dan miskin menyedihkan, tidur meringkuk kedinginan oleh karena mereka tidak mempunyai selimut untuk melindungi
diri dari serangan angin yang dapat masuk melalui celah-celah bilik mereka yang bobrok.
Tan Hong sengaja melemparkan uang perak ke atas pembaringan dengan mengerahkan tenaga hingga uang itu menimpa papan pembaringan mengeluarkan suara keras.
Biasanya ia melempar dengan perlahan hingga tidak mengagetkan tuan rumah dan kebanyakan, mereka yang mendapat bagian ini pada keesokan harinya baru akan dapat melihat potongan uang di atas pembaringannya.
Karena suara nyaring yang ditimbulkan oleh bantingan uang di atas pembaringan itu, orang-orang yang tidur di dalam kamar menjadi terkejut dan terbangun. Alangkah kaget mereka ketika melihat tiga potong perak yang bercahaya di dalam gelap. Mereka segera menyalakan lampu minyak dan ketika melihat bahwa barang berkilau itu benar-benar uang perak, semua orang lalu merubung dan dengan mata terbelalak memandang.
Tan Hong mengajak Siok Lan pergi dari atas rumah itu, akan tetapi Siok Lan masih sempat melihat betapa orang-orang di dalam rumah itu menjatuhkan diri berlutut dan mengucapkan terima kasih kepada dewata yang telah memberi pertolongan kepada mereka!
Tanpa banyak cakap Tan Hong mengajak Siok Lan ke sebuah rumah lain dan secara bergilir ia membagi-bagikan potongan perak dan emas kepada penghuni-penghuni rumah gubuk di desa-desa itu. Banyak sekali pemandangan yang menimbulkan ngeri dan haru dalam hati gadis itu malam ini. Ia melihat pemandangan-pemandangan di dalam rumah yang benar-benar hebat mengharukan. Ada penghuni rumah yang sedang menangisi tubuh seorang anggota keluarga yang telah kaku dan mati. Ada pula yang
sedang menangisi anaknya yang sakit, dan banyak sekali yang mengeluh dan menangis karena menderita lapar!
Yang paling mengesan di hati sanubari Siok Lan ketika mereka melihat dari atap ke dalam sebuah rumah yang amat bobrok. Seorang wanita muda tapi kurus kering dan pucat sedang menangisi mayat suaminya yang membuyur di atas balai-balai rusak dan seorang anak laki-laki berusia paling banyak enam tahun menangis pula memeluki ibunya.
“Ibu ... ! ibu ... ! ayah mengapa ... ibu ... ?”
Wanita itu tidak dapat menjawab, hanya menangis makin keras dan memeluki anaknya. Dari gerakan wanita itu, Siok Lan dapat menduga bahwa wanita itu juga menderita sakit payah, tubuhnya demikian lemah tak bertenaga.
“Sian-ji ... anakku ... jaga dirimu baik-baik nak ... kalau kau merasa lapar ... jangan malu-malu ... mintalah kepada orang lain ... minta belas kasihan orang-orang ... !”
“Aku harus mengemis, ibu ... ?” tanya anak itu.
“Terpaksa, Sian-ji ... ! Apa boleh buat, kau tidak boleh mati kelaparan seperti orang tuamu ... ! Kau masih anak-anak, perlu hidup lebih lama ... anakku ... ! Oh, anakku Sian ji ... !” Wanita itu memeluk anaknya dan dekapan ini agaknya akan merupakan dekapan terakhir apabila wanita itu tidak segera mendapat pertolongan yang berupa obat-obat bagi penyakitnya dan beras bagi perutnya yang telah berhari-hari tidak diisi.
Akhirnya, setelah kesedihan dan keharuan itu agak mereda, terdengar ibu itu bertanya, “Sian-ji ... ! Kau ... lapar, nak?”
Lama tidak terdengar jawaban, tapi kemudian terdengar juga suara anak itu lemah, “Ti ... tidak, ibu ... aku tidak lapar!”
“Sian-ji, jangan kau membohong, ibu dapat mendengar suara perutmu berkeruyuk ... “
“Tidak, ibu!” suara anak itu tetap dan keras. “Selama kau belum bisa mendapat makanan, aku takkan mau merasa lapar!”
Tak tertahan pula hati Siok Lan memandang dan mendengar semua ini, dan terdengarlah isak tangis gadis ini di atas atap! Dipegangnya lengan Tan Hong yang berjongkok di dekatnya. “Ah! Suheng ... kasihan sekali mereka itu ... tolonglah mereka!”
Tan Hong lalu mengambil semua sisa uang emas dan perak yang masih ada beberapa belas potong lagi lalu dilemparkannya uang itu ke dalam kamar tersebut.
Tak terdengar suara apa-apa di dalam kamar, seakan-akan kedua manusia yang berada di dalamnya merasa terkejut dan takut. Kemudian terdengar anak itu berseru lemah, “Ibu, ibu ... lihat, apakah ini?”
“Uang ... ! Ya Tuhan, uang emas dan perak ... Sian-ji ... “ terdengar wanita itu menangis lagi dan Siok Lan yang tak dapat menahan tangisnya, lalu melompat pergi dari situ sambil terisak-isak!”
Tan Hong mengejarnya dan segera memegang lengan sumoinya. “Sumoi, tenanglah! Pemandangan seperti itu bagiku tidak aneh lagi, dan sekarang nyatakanlah pendapatmu tentang pekerjaanku ini.” Sambil berkata demikian, Tan Hong mengebut-ngebutkan kedua kantong kuningnya yang telah kosong dan memasukkan ke dalam saku bajunya. Siok Lan memandang semua ini dengan
mata berlinang penuh air mata, kemudian ia berkata, “Ah, Tan-suheng, tak kusangka di dunia ini ada pemandangan yang demikian menyedihkan. Tak kusangka bahwa banyak sekali bangsa kita yang hidup sengsara! Ah, kini aku mengerti mengapa kau menjadi maling!”
Tan Hong menghela napas lega. “Sumoi, ternyata kau juga mempunyai keadilan dan kejujuran serta hati welas asih. Memang, jangan kaukira bahwa akupun tidak kasihan melihat kedua suami isteri hartawan yang kucuri uangnya tadi. Akan tetapi, kita harus ingat bahwa selain harta yang kucuri, mereka itu masih mempunyai banyak harta lain yang takkan habis mereka makan selama hidup bersama anak cucu mereka! Dibandingkan dengan kesengsaraan para rakyat miskin itu, apakah arti kesedihan kedua suami isteri hartawan yang kehilangan sedikit uangnya itu?”
“Kau benar, suheng. Mulai sekarang aku tidak mau memandang rendah lagi kepada pekerjaanmu. “
“Sumoi! Baru melihat saja keadaan orang-orang yang miskin dan menderita kelaparan, hatimu telah tidak kuat, itu tanda seorang berbudi mulia. Kau baru melihat saja sudah ikut merasa sengsara, apalagi aku telah mengalami sendiri!” Tan Hong menghela napas karena teringat akan pengalamannya di waktu masih kecil.
“Engko Hong, kau pernah mengalami ... kelaparan?” tanyanya dan panggilannya
berubah “engko” yang lebih mesra daripada “suheng”. Perubahan ini terloncat keluar dari mulutnya tanpa dirasainya, sedangkan kedua matanya memandang dengan bersinar penuh perasaan iba.
Tan Hong tersenyum sedih. “Ayah ibuku meninggal karena kelaparan! Hal ini baru kepadamu saja kuceritakan dan tak perlu aku malu akan hal itu. Sedangkan aku
sendiripun hampir saja mati kelaparan kalau tidak ditolong oleh suhu.”
Siok Lan makin tertarik dan mendesak supaya Tan Hong menceritakan pengalamannya dengan singkat dan Siok Lan yang mendengar penuturan ini, mengucurkan air mata karena terharu dan kasihan.
“Alangkah malang nasibmu, engko Hong. Kini mengertilah aku mengapa kau selalu bermuram durja seperti seorang yang telah menderita kesengsaraan hebat, dan tahu pula aku mengapa kau demikian memperhatikan nasib-nasib orang-orang yang menderita kelaparan hingga rela menjadi maling untuk menolong mereka! Kau mencuri semata-mata untuk menolong rakyat miskin hingga kau melupakan dirimu sendiri, dan lihatlah pakaianmupun sudah penuh tambalan. Ah, aku dulu sala sangka, engko Hong. Kau benar-benar seorang maling budiman yang mulia dan suci!”
“Terima kasih, adikku yang baik. Sekarang aku tidak menderita lagi, bahkan aku merasa hidupku penuh bahagia. Terutama sekali semenjak kita bertemu.” Tan Hong memandang tajam dan untuk sesaat Siok Lan membalas pandang, mata pemuda itu, akan tetapi gadis ini segera menundukkan muka dengan malu.
“Ah, hari telah mulai terang, mari kita pulang. Tentu Ong-suheng menanti-nanti kita!” katanya sambil melompat jauh. Tan Hong mengejar dan mereka lalu lari dengan cepat menuju ke rumah penginapan.
***
Ketika mereka tiba di atas genteng rumah penginapan itu, alangkah terkejut mereka melihat betapa Ong Kai sedang mengamuk dan dikeroyok oleh lima orang yang berpakaian sebagai piauwsu!
Ternyata ketika Ong Kai berada seorang diri di dalam kamarnya dan tidur nyenyak, menjelang fajar, tiba-tiba ia mendengar suara banyak kaki orang berada di atas genteng kamarnya. Pemuda ini menyangka bahwa tentu ada orang-orang jahat hendak menyerbu, maka cepat ia mencabut pedangnya dan keluar dari jendela kamarnya. Benar saja, di atas genteng ia melihat bayangan beberapa orang memegang pedang.
Ong Kai memang pemberani dan tabah. Ia segera mengayun tubuhnya melompat ke atas sambil membentak, “Bangsat-bangsat kecil, mau apa pagi-pagi datang mengganggu orang?”
Kelima orang yang berada di atas genteng melihat pemuda muka hitam ini, berseru, “Nah, ini dia orangnya! Tangkap! Bunuh!” Mereka lalu maju mengeroyok tanpa banyak pertanyaan lagi!
Tentu saja Ong Kai sangat marah. Ia maklum tentu telah terdapat salah paham dan salah sangka, akan tetapi dasar ia berhati keras dan tabah, ia tidak mau banyak bertanya pula. Dengan sengit ia memutar-mutar pedangnya dan kelima orang piauwsu yang mengepungnya itu terpaksa mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk menahan amukan pemuda muka hitam itu! Biarpun ia hebat dan keras hati, namun Ong Kai masih dapat membedakan orang jahat dan orang baik, maka iapun tidak mau menurunkan tangan kejam, dan hanya memainkan pedangnya sedemikian rupa untuk memamerkan kepandaian saja tanpa mengirim serangan yang dapat mendatangkan bahaya bagi kelima orang musuhnya!
Pada saat itu datanglah Tan Hong dan Siok Lan. Melihat bahwa para pengeroyok Ong Kai berpakaian piauwsu, Tan Hong segera berseru, “Saudara-saudara, tahan dulu!
Saudaraku inipun seorang piauwsu, mengapa kalian mengeroyoknya?”
Kelima orang piauwsu itu memang telah terdesak hebat dan tak berdaya, maka ketika mendengar teriakan Tan Hong ini mereka lalu melompat mundur dan berdiri berjajar sambil memandang tajam.
Ong Kai tertawa bergelak-gelak. “Ha, ha, ha! Piauwsu kampungan! Bagaimana, sudah kenal kehebatanku? Tiada hujan tiada angin kalian datang mengeroyokku, apakah di rumah tidak mempunyai pekerjaan lalu iseng-iseng memamerkan kepandaianmu?”
Seorang di antara kelima piauwsu itu tidak lain adalah Lim-piauwsu dari Wi-ciu yang pernah bertempur dan mengejar dan berusaha menangkap Tan Hong ketika pemuda ini berada di Wi-ciu. Melihat kedatangan Tan Hong, Lim-piauwsu terkejut dan segera menjura, “Ah, Gin-kiam Gi-to datang, tentu taihiap akan dapat menerangkan sejelasnya kepada kami, oleh karena kami percaya bahwa taihiap bukan tergolong para perampok hina!”
“Sabarlah dulu kawan-kawan, sebenarnya apakah yang telah terjadi?” tanya Tan Hong.
“Mereka berlima ini datang-datang menyerbuku tanpa memberi kesempatan sedikitpun!” seru Ong Kai dengan suara marah.
Lim-piauwsu menghela napas. “Mungkin sekali kami salah sangka, harap kau sudi memberi maaf,” katanya kepada Ong Kai. Kemudian kepada Tan Hong ia berkata, “Marilah kita turun ke bawah saja, kurang leluasa bicara di atas genteng. “
Semua orang lalu melayang turun dan oleh karena rombongan piauwsu-piauwsu itu telah dikenal dan
dihormati semua penduduk sebagai orang-orang gagah, maka mudah saja bagi Lim-piauwsu untuk minta kepada pengurus hotel agar supaya ruang belakang disediakan khusus untuk mereka dan tidak boleh diganggu orang lain.
Setelah memasuki ruang belakang dan makan suguhan bakpauw dan air teh yang dipesan Lim-piauwsu, sebelum bercerita, Lim-piauwsu minta kepada Tan Hong supaya memperkenalkan si muka hitam dan si nona cantik itu.
“Ini adalah suteku bernama Ong Kai dan pekerjaannya juga menjadi piauwsu di Luikoan-bun, dan nona ini adalah sumoi-ku bernama Lo Siok Lan. “
Lim-piauwsu kembali menyatakan penjelasannya yang telah salah melihat orang dan minta supaya Ong Kai suka memberi maaf.
“Nanti dulu!” kata Ong Kai, “Soal minta maaf tidak ada artinya. Yang penting aku ingin sekali mengetahui, kalian sangka siapa aku ini?”
Dengan sejujurnya Lim-piauwsu menjawab, “Kami tadinya menyangka bahwa kau adalah Hek-bin-mo!”
“Hai!!” Oang Kai bangun dari tempat duduknya dengan kaget dan heran, sedangkan Tan Hong dan Siok Lan juga merasa terkejut sekali. Akan tetapi kelima piauwsu itu memandang heran tidak mengerti mengapa ketika orang muda itu menjadi demikian kaget.
“Apakah kalian ini kembali hendak mencari perkara dengan aku? Jangan kalian main-main!” Ong Kai membentak dan wajahnya yang hitam itu menjadi makin hitam oleh karena darah merah menjalar di urat-urat mukanya.
“Lim-piauwsu, suteku ini memang bernama Hek-bin-mo!” kata Tan Hong.
Kini Lim-piausu dan kawan-kawannyalah yang terkejut sekali dan Lim-piauwsu buruburu berdiri menjura kepada Ong Kai. “Maaf ... ! Maaf ..., sekali lagi terjadi salah paham yang sama sekali tak kami sangka dan sekali-kali kami tidak sengaja hendak membikin marah dan tak senang kepada Ong-enghiong. Kami memang tidak membohong atau hendak mempermainkan orang, akan tetapi benar-benar kepala perampok yang kami musuhi itupun disebut Hek-bin-mo dan bernama Ciauw Lek.”
Lim-piauwsu lalu menuturkan bahwa baru-baru ini muncul serombongan perampok yang berkepandaian tinggi dan yang sama sekali tidak menghargai persahabatan dan mengganggu pengiriman barang-barang yang dikawal oleh para piauwsu. Lim-piauwsu dan beberapa orang kawan telah mendatangi sarang perampok baru itu di sebuah hutan, akan tetapi mereka tidak mau memperdulikannya, bahkan para piauwsu itu lalu dimaki, dihina, kemudian diserang hingga sebuah pertempuran hebatpun terjadi. Akan tetapi, perampokperampok itu terlampau hebat hingga rombongan piauwsu itu dipukul mundur, bahkan tiga orang kawan Lim-piauwsu mendapat luka berat.
Dengan hati marah Lim-piauwsu lalu mengumpulkan kawan-kawannya dari beberapa kota dan mereka ini lalu menyerbu ke dalam hutan untuk membuat pembalasan, akan tetapi kembali mereka dipukul mundur. Di antara pimpinan perampok, terdapat tiga orang kepala perampok yang memiliki kepandaian silat tinggi sekali. Seorang di antara ketiga kepala rampok ini bertubuh tinggi besar, bermuka hitam dan berjuluk Hek-bin-mo! Dua orang yang lain adalah orang-orang tua yang berkepandaian hebat sekali, yakni dua saudara kembar bernama Ang Houw dan Ang Touw dan yang dinamai orang Sepasang iblis Kembar!”
Setelah menceritakan ini semua, Lim-piauwsu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan Tan Hong dan kawan-kawannya, hingga ketiga orang muda itu menjadi terkejut lalu buru-buru mengangkat bangun Lim-piauwsu dan piauwsu-piauwsu lain yang juga ikut berlutut.
“Sam-wi enghiong yang mulia, kami mohon pertolongan sam-wi untuk membantu kami, oleh karena selain sam-wi yang maju membantu, rasanya tak mungkin bagi kami untuk mengusir perampok-perampok itu dan ini berarti bahwa sumber nafkah kami menjadi lenyap! Tolonglah kami, demi persahabatan di kalangan kang-ouw.”
Tan Hong merasa kasihan juga melihat keadaan para piauwsu itu. Sebetulnya ia tidak tertarik dan tidak ingin menanam bibit permusuhan dengan para jago liok-lim (perampok), maka ia lalu mengambil keputusan untuk menjadi orang penengah saja dan mencoba mendamaikan perampok-perampok itu dengan para piauwsu agar dapat bekerja sama dengan baik. Juga ia tertarik mendengar kehebatan mereka dan ingin sekali menyaksikan sendiri.
Akan tetapi tidak demikian dengan Ong Kai. Semenjak tadi hatinya telah amat tertarik mendengar bahwa ada kepala rampok yang bernama sama, bermuka serupa dan bertubuh sebentuk dengan dia! Maka ia lalu berkata kepada Lim-piauwsu, “Jangan khawatir, Lim-piauwsu! Aku takkan membiarkan seorang Hek-bin-mo lain melakukan kejahatan dan membikin cemar nama julukanku! Hendak kulihat bagaimana kehebatannya Hek-bin-mo palsu itu!”
“Lim-piauwsu, memang benar ucapan Ong-sute. Kita harus saling bantu dan sudah menjadi keharusan kita untuk membantu kawan-kawan yang menderita kesukaran. Biarlah siauwte ikut bersamamu ke sarang perampok itu dan mencoba mendamaikan urusan ini.”
Sementara itu, Siok Lan tidak mau berkata apa-apa, dalam hati gadis ini merasa heran sekali melihat sikap Tan Hong. Pemuda itu sendiri adalah seorang maling besar, bagaimana sekarang ia mau memusuhi perampok? Bukankah mereka masih segolongan? Betapapun juga, apabila Tan Hong memusuhi golongan perampok, maka ia akan dapat dianggap mengkhianati golongan sendiri!
Setelah bersiap sedia, Lim-piauwsu lalu memberitahukan kepada kawan-kawan piauwsu lainnya, hingga tak lama kemudian telah berkumpul dua puluh orang piauwsu yang mengantar ketiga orang muda itu ke hutan tempat perampok itu bersarang. Mereka ini merupakan sebuah barisan panjang yang berjalan dengan sikap gagah oleh karena mereka menaruh pengharapan besar untuk dapat membalas dendam kepada para perampok yang bertindak sewenang-wenang itu. Dari Lim-piauwsu mereka mendengar bahwa ketiga anak muda yang hendak membantu mereka itu adalah pendekar-pendekar yang berkepandaian tinggi, bahkan yang seorang adalah Gin-kiam Gi-to yang terkenal. Para piauwsu ini kagum sekali melihat Siok Lan yang selain cantik jelita, juga bersikap pendiam dan tampak gagah sekali. Oleh karena di antara rombongan piauwsu ini banyak pula yang masih muda-muda, maka sebagaimana biasanya pemuda-pemuda menghadapi seorang gadis jelita, biarpun mereka tidak berani terang-terangan oleh karena mendengar akan kehebatan Siok Lan, namun mereka tetap berlumba untuk berlagak agar nampak gagah dan menarik perhatian gadis itu! Akan tetapi, Siok Lan berjalan sambil tunduk dan sama sekali tidak mau memperdulikan pandangan mata semua orang, baik yang datang dari fihak rombongan piauwsu sendiri, maupun yang datang dari penduduk yang melihat rombongan itu berjalan. Para penduduk telah mendengar berita bahwa rombongan ini hendak menyerbu perampok
dan mereka kagum melihat bahwa di antara sekian banyak laki-laki gagah, terdapat seorang pendekar wanita yang demikian cantik jelita dan yang berjalan dengan tenang, seakan-akan tidak sedang hendak menghadapi pertempuran dengan para perampok ganas !
***
Yang merajai hutan Pek-siong-lim adalah tiga orang kepala rampok yang diceritakan oleh Lim-piauwsu tadi, yakni kedua saudara kembar yang sudah tua Ang Houw dan Ang Touw yang berjuluk Sepasang Iblis Kembar, dan si muka hitam Ciauw Lek yang disebut orang Hek-bin-mo si Iblis Muka Hitam, julukan yang sama benar dengan julukan Ong Kai!
Mereka bertiga merupakan tiga serangkai yang telah membuat nama besar di daerah utara, akan tetapi pada suatu hari, di utara telah muncul seorang pendekar tua yang memiliki kepandaian tinggi sekali, sungguhpun keadaan kakek itu amat miskin dan buruk. Munculnya pendekar perantau ini membuat gempar kalangan liok-lim oleh karena pendekar ini benci sekali kepada bangsa perampok dan penjahat. Banyak sekali rampok yang telah tewas dan roboh di tangan pendekar ini, dan Ciauw Lek beserta kedua orang kawannya lalu lekas-lekas melarikan diri. Mereka lalu kabur ke selatan dan akhirnya memilih tempat di hutan Pek-sionglim, menjadi kepala rampok disitu. Tertarik oleh kehebatan tiga orang kepala rampok ini, banyak anak buah rampok yang datang membantu mereka.
Tak lama kemudian daerah itu menjadi tidak aman. Kepala rampok yang dulu, yang ditewaskan oleh ketiga kepala rampok baru ini, dapat bekerja sama dan menghargai para piauwsu hingga tak pernah mengganggu barang-barang yang dilindungi oleh para piauwsu ini. Sebaliknya para piauwsu juga seringkali memberi
sumbangan-sumbangan kepada kepala rampok itu. Akan tetapi, setelah kepala rampok digantikan oleh Sepasang Iblis Kembar dan si Muka Hitam, siapa saja yang melewati daerah itu tentu akan dirampok habis-habisan tanpa pilih bulu! Bahkan ketiga orang kepala rampok baru ini tidak segan-segan menyerbu ke dalam dusun-dusun dan merampok penduduk dusun, mengangkut hasil bumi yang mereka tanam dengan susah payah!
Di antara semua piauwsu yang menjadi korban, juga barang-barang di bawah perlindungan Lim-piauwsu tak terkecuali. Lim-piauwsu menjadi marah dan menyerbu, akan tetapi kepandaian ketiga kepala rampok itu benar-benar hebat, hingga bukan saja ia tidak dapat mengalahkan mereka, bahkan di antara kawan-kawannya ada yang tewas dan luka!
Kini setelah para piauwsu itu bertemu dengan Ong Kai yang telah mereka ketahui kehebatannya ketika kelima piauwsu itu mengeroyoknya, dan terutama oleh karena Ong Kai berkawan dengan Tan Hong si Maling Budiman yang terkenal itu, ditambah pula dengan seorang pendekar wanita yang biarpun belum mereka saksikan kehebatannya, akan tetapi oleh karena pendekar wanita itu menjadi adik seperguruan dari si Maling Budiman, mereka percaya bahwa gadis pendekar itupun tentu memiliki ilmu silat yang tinggi pula. Tentu saja mereka berbesar hati dan timbul pengharapan mereka untuk dapat mengusir gerombolan perampok yang jahat itu.
Ang Houw dan Ang Touw serta Ciauw Lek, mempunyai banyak sekali anak buah dan mereka memang mengadakan aturan yang keras serta berdisiplin. Di setiap sudut hutan Peksiong-lim mereka tugaskan penjaga-penjaga dan penyelidik-penyelidik hingga kedatangan para piauwsu itu telah mereka ketahui dengan cepat.
Ciauw Lek tertawa geli, “Ha, ha, ha, piauwsu-piauwsu anjing itu benar-benar ingin mampus! Apakah mereka belum juga kapok? Lebih baik mengirim tanda takluk kepada kita agar kita dapat mengampuni mereka, daripada datang mengantar kematian! Ha, ha, ha!”
“Ciauw-sute, jangan kau pandang rendah mereka. Menurut laporan penyelidik, kini mereka datang mengiringkan tiga orang muda yang agaknya menjadi jago mereka. Lebih baik kita berhati-hati menghadapi mereka,” kata Ang Houw yang tertua dan lebih berhati-hati sikapnya.
“Twako berkata benar, sute,” kata Ang Touw yang selalu membela kakaknya. “Memang tidak ada salahnya kalau kita berhati-hati agar jangan sampai mengalami kegagalan seperti ketika di utara. “
Ciauw Lek yang bermuka hitam mencibirkan bibirnya dan tersenyum menghina. “Orang-orang selatan yang lemah ini perlu apa ditakuti? Tapi, kalau ji-wi twako hendak mengadakan sambutan secara baik-baik, akupun setuju saja. Apakah aku harus melarang anak buah yang hendak menganggu mereka?”
“Biarlah, biar mereka maju lebih dulu untuk sekedar menguji keadaan dan kekuatan mereka. Kita bersembunyi dan melihat sepak terjang mereka lebih dulu. “
Ketiga kepala rampok ini lalu mengatur persiapan dan memberi perintah-perintah kepada anak buah mereka. Mereka lalu mengadakan pencegatan di sebuah tikungan yang banyak ditumbuhi pohon siong yang besar-besar.
Rombongan piauwsu itu masuk ke dalam hutan dan hampir semua piauwsu yang pernah mengalami kekalahan besar di dalam hutan ini mau tidak mau merasa dag-dig-dug juga. Akan tetapi oleh karena melihat betapa Tan Hong, Ong Kai dan Siok Lan berjalan dengan sikap tenang dan
berani, mereka lalu turut maju sambil memandang kekanan ke kiri sambil bersiap-sedia dengan pedang atau senjata lain di tangan!
Ketika mereka tiba di tukungan di mana para perampok telah menanti sambil bersembunyi di belakang pohon, tiba-tiba Tan Hong dan kedua orang kawannya yang bermata tajam berhenti dan mengangkat tangan ke belakang memberi isyarat supaya semua piauwsu berhenti.
Tiba-tiba dari depan terdengar suara mengiuk dan belasan batang anak panah meluncur cepat dari segala jurusan! Akan tetapi anak-anak panah ini kesemuanya menuju ketiga orang muda yang berdiri di depan. Ini memang kehendak para kepala perampok yang hendak menguji kepandaian ketiga orang muda itu!
Ong Kai dan Tan Hong tenang-tenang saja, akan tetapi Siok Lan merasa marah sekali. Gadis ini tahu-tahu telah melompat ke depan sambil mencabut pedangnya hingga semua anak panah kini menuju kepada tubuhnya. Para piauwsu memandang dengan mata terbelalak dan hati berdebar. Akan tetapi, secepat kilat Siok Lan memutar pedangnya dan runtuhlah semua anak panah yang menyambar ke arah dirinya, bagaikan air hujan terhalang payung. Inilah gerakan pedang yang disebut Dewi Kwan Im Membuka Payung! Kagumlah para piauwsu melihat kehebatan gadis ini dan mereka memuji dengan girang. Ternyata gadis pendekar ini tidak mengecewakan harapan mereka!
“Perampok-perampok rendah tak tahu malu! Keluarlah kalau kalian laki-laki sejati, jangan menyerang secara gelap bagaikan lakunya pengecut hina!”
Tiba-tiba dari belakang pohon berlompatan keluar lima orang tinggi besar yang memegang golok di tangan. Mereka
ini maju menubruk dengan golok terangkat ke arah Siok Lan!
Kagetlah para piauwsu itu, apalagi ketika mereka melihat betapa Tan Hong dan Ong Kai hanya tersenyum sambil menonton saja, sama sekali tidak hendak membantu dara jelita
yang dikeroyok lima orang itu! Akan tetapi, sekali lagi mereka tertegun dan kagum. Siok Lan berseru keras dan memutar pedangnya sedemikian rupa hingga sekali tangkis saja kelima golok lawannya terpental! Anak buah perampok itu terkejut dan hendak lari, akan tetapi tangan kiri dan kaki kanan Siok Lan bergerak cepat, dan robohlah dua orang perampok yang larinya paling belakang!
Gadis pendekar itu lalu memasukkan pedangnya di sarung pedang dan kini ia menyambar lengan tangan kedua orang itu dan menyentak keras ke atas sambil berseru, “Perampok-perampok hina, terimalah kembali dua ekor anjingmu ini!” Dan luar biasa sekali! Dengan sekali ayun saja kedua tubuh anak buah perampok itu, terlempar ke arah pohonpohon di depan bagaikan jatuhnya dua buah nangka!
Akan tetapi pada saat itu terdengar seruan “Hebat sekali!” dan dari belakang semak-semak melayang keluar tubuh seorang tua yang cepat meyambar tubuh kedua anak buah perampok yang masih melayang dan agaknya hendak membentur batang pohon itu! Begitu kakek itu mengulur kedua tangannya, ia berhasil menangkap dengan tepat leher baju kedua perampok dan tubuhnya melayang turun dengan gerakan ringan sekali. Kemudian ia mendorong kedua perampok itu ke kanan dan ke kiri hingga keduanya jatuh terguling ke dalam semak!
Diam-diam Tan Hong, Ong Kai dan Siok Lan kagum juga melihat gerakan Garuda Sakti Menyambar Kelinci yang diperlihatkan oleh kakek tadi untuk menolong kedua orang perampok itu.
Kakek itu tidak lain ialah Ang Houw dan pada saat itu juga, Ang Touw dan Ciauw Lek keluar pula dari tempat persembunyian mereka. Ketika melihat Ciauw Lek keluar, Tan Hong dan Siok Lan hampir tak dapat menahan geli hati mereka. Memang, orang tinggi besar ini hampir serupa dengan Ong Kai, baik kehitaman mukanya, maupun tubuhnya yang tinggi besar itu. Kalau saja Ong Kai berdiri di sebelah orang hitam ini, maka di situ akan terdapat dua orang kembar, oleh karena kedua orang itupun serupa betul!
Ang Houw yang selalu berhati-hati lalu menjura kepada ketiga anak muda itu dan bertanya, “Bolehkah kami mengetahui siapakah lihiap yang gagah ini dan siapa pula ji-wi enghiong yang datang memasuki daerah kami dengan para piauwsu itu?”
Sebelum Tan Hong membuka mulut menjawab, ia telah didahului oleh Ong Kai yang menuding sambil membentak marah, “Perampok-perampok busuk! Sebelum kalian bertanya, mengakulah lebih dulu. Apakah setan ini yang berani memakai nama julukan Hek-bin-mo?” Sambil berkata demikian, ia menunjuk ke arah hidung Ciauw Lek!
Memang semenjak tadi Ciauw Lek memperhatikan Ong Kai yang nampak gagah itu, maka kini mendengar betapa pemuda muka hitam itu, mengeluarkan kata-kata menghina dan datang-datang memaki dirinya, ia lalu balas membentak, “Akulah Hek-bin-mo Ciauw Lek! Kau setan hitam, mau apa bertanya dan menyebut-nyebut namaku?”
“Bagus! Kalau begitu, mulai saat ini aku melarang kau menggunakan nama julukan Hek-bin-mo dan mulai saat ini
kaupun harus pergi dari hutan ini dan jangan berani mengganggu orang lagi. Kalau tidak, tuanmu ini akan memutar batang lehermu!”
Bukan main marahnya Ciauw Lek mendengar ini. Kedua matanya melotot dan dadanya naik turun terdorong gelombang kemarahan, “Setan hutan! Siapa kau maka berani berlagak sesombong ini?”
Ong Kai tertawa, “Dengarlah, monyet! Aku bernama Ong Kai dan aku disebut Hek-bin-mo!”
Tan Hong dan Siok Lan tersenyum geli dan para piauwsu itupun menahan geli hati mereka, sungguhpun mata mereka memandang dengan penuh ketegangan melihat lagak kedua orang tinggi besar yang menyeramkan itu. Dengan heran Ciauw Lek melangkah mundur setindak.
“Kau ... ! Hek-bin-mo palsu!”
“Bangsat, kalau begitu kau harus mampus!” Ong Kai lalu menerjang dengan kepalan tangan dalam gerak pukulan Raja Maut Merampas Nyawa! Pukulan ini hebat sekali, akan tetapi dengan berani Ciauw Lek lalu menangkis dengan lengan tangannya. Dua lengan tangan yang besar dan kuat beradu dan akibatnya Ciauw Lek terhuyung mundur tiga langkah!
Melihat ini, kedua saudara kembar she Ang itu lalu maju dan berkata, “Sute, tahan dulu. Biar kita bicara dulu dengan mereka ini!”
Juga Tan Hong yang sebetulnya hanya bermaksud menjadi pendamai saja, mencegah Ong Kai menyerang terus, “Ong-sute, sabarlah dulu. “
Ong Kai menggigit bibirnya. “Kalau tidak dihalangi, pasti aku akan putar batang lehermu sampai putus!”
Ang Houw lalu bertanya kepada Tan Hong, oleh karena itu ia tahu bahwa pemuda ini yang menjadi pemimpin rombongan itu.
“Enghiong yang gagah, sekali lagi kami ulangi pertanyaan kami tadi. Apakah maksudmu datang ke sini dan memusuhi kami? Apakah sam-wi sengaja datang hendak membela para piauwsu itu?”
Tan Hong menjawab dengan suara halus dan tenang. “Tai-ong, sebenarnya kami datang hanya hendak mendamaikan urusan yang timbul di antara kalian dan para piauwsu. Kami minta kiranya kalian sudi bertindak bijaksana dan tidak melakukan perampasan terhadap barang-barang yang dilindungi oleh para piauwsu itu. Ingatlah bahwa mereka inipun melakukan tugas pekerjaan mereka dan apabila kalian mengganggu, maka berarti kalian menanam bibit permusuhan yang tiada habisnya. “
“Kau anak muda, kurus kering dan jembel busuk! Siapakah kau ini maka begini cerewet?” Tiba-tiba Ciauw Lek membentak dan menubruk ke arah Tan Hong sambil mengirim kepalan ke arah kepala Tan Hong. Tan Hong berlaku tenang, dengan sedikit memiringkan kepala ia mengelak dari pukulan ini dan tanpa bergerak dari tempatnya, kaki kirinya meluncur ke depan dan tubuh Ciauw Lek tertendang sampai terlempar dua tombak jauhnya! Untung bagi si muka hitam bahwa Tan Hong tidak hendak mencelakakan jiwanya, maka ia hanya mendapat sedikit luka dan kecet saja ketika tubuhnya terlempar ke semak-semak berduri!
Biarpun Ang Touw juga mempunyai watak lebih sabar daripada Ciauw Lek, akan tetapi ia tidak sesabar Ang Houw. Melihat sutenya dirobohkan orang sedemikian mudahnya, naiklah darahnya dan secepat kilat ia maju menyerang dengan pedang di tangan! Ia menyerang dengan
gerakan Burung Walet Pulang ke Sarang dan pedangnya meluncur ke arah leher Tan Hong! Melihat kecepatan gerakan ini dan merasa betapa pedang itu mendatangkan angin yang cukup hebat, Tan Hong lalu mencabut pedangnya dan menangkis. Tergetarlah telapak tangan Ang Touw ketika pedangnya kena ditangkis, akan tetapi tangkisan itu tidak cukup kuat untuk membuat pedangnya terpental! Diam-diam Tan Hong juga memuji tenaga orang itu.
Akan tetapi, ketika melihat pedang perak itu berkilauan di tangan Tan Hong, seorang di antara para anak buah perampok berteriak, “Hai, dia adalah Gin-kiam Gi-to si Maling Budiman!”
Terkejutlah ketiga kepala rampok itu mendengar nama ini disebut, Ang Houw segera menjura dan bertanya, “Betulkan, kau Gim-kiam Gi-to?”
Tan Hong tak menyembunyikan nama julukannya dan mengangguk sambil memandang tajam.
Maka merahlah wajah Ang Houw mengetahui bahwa pemuda yang hebat ini benar-benar si Maling Budiman adanya! Ia lalu menuding dan berkata marah, “Gin-kiam Gi-to! Kau seorang maling yang telah membuat nama besar, akan tetapi ternyata kau sama sekali tidak tahu aturan dalam kalangan liok-lim! Kau sendiri seorang maling, mengapa kau membela para piauwsu dan datang memusuhi kami? Apakah ini takkan membuat sesama kaum mengatakan bahwa sebagai seekor bebek kau telah berani masuk ke kandang besar dan menyerang angsa?” Perumpamaan ini dimaksudkan bahwa seekor bebek yang kecil tentu tidak mau menyerang angsa yang masih segolongan dengannya!
Tan Hong tersenyum dingin dan menjawab, “Tai-ong, jangan kau berlancang mulut dan menggolongkan aku sebagai golonganmu! Biarpun aku seorang maling, akan tetapi bukan sembarang maling seperti yang kaukira! Memang pada umumnya, seorang maling boleh diumpamakan saudara muda dari seorang perampok! Akan tetapi, kau merampok, membunuh, dan mencelakakan orang lain hanya untuk memenuhi dan menyenangkan kebutuhan sendiri. Kau melakukan kejahatan terdorong oleh nafsu tamak dan terdorong oleh keinginan hidup mewah sehingga melupakan perikemanusiaan dan perikeadilan! Jangan kau persamakan aku dengan golonganmu ini! Selama menjalankan pencurian, aku belum pernah mempergunakan hasil curianku untuk kepentinganku sendiri! Kau dan kawan-kawanmu telah mengganggu dan mencelakakan para piauwsu ini, serta menurut pendengaranku, kalian telah melakukan perampokan ke dusun-dusun, merampok penduduk yang miskin, bahkan melakukan pembunuhan-pembunuhan! Oleh karena itulah maka aku dan kedua adikku ini datang untuk memberi peringatan keras kepadamu!”
Ucapan Tan Hong ini disertai amarah yang meluap oleh karena ia tidak rela bahwa dirinya dipersamakan dengan mereka, penjahat-penjahat kejam ini!
Merahlah muka Ang Houw, “Jangan sembarangan menuduh! Aku tak pernah merampok penduduk dusun sebagaimana yang kau katakan itu!”
Tan Hong tersenyum menyindir, “Mungkin bukan kau sendiri yang bertindak. Akan tetapi kalau anak buahmu yang berbuat, apakah kau hendak melepaskan tanggung jawab dari tanganmu? Tidak bisa, tai-ong. Anak kecil yang berbuat jahat, orang tua harus bertanggung jawab. Anak
buah yang menyeleweng, pemimpinnya tak lepas dari pertanggung jawabnya!”
Kini Ang Touw tak dapat menahan sabarnya lagi. “Gin-kiam Gi-to, apa kaukira kami berdua saudara Ang takut kepadamu? Marilah kita putuskan perkara ini dengan tangan, bukan dengan lidah! Apakah yang kau kehendaki? Kau datang bertiga dan kamipun bertiga pula! Kita mengadu kepandaian tiga lawan tiga atau maju semua dengan piauwsu itu? Anak buah kami juga sudah bersiap!”
Tan Hong maklum bahwa apabila semua maju akan terjadilah pertempuran besar dan akan banyak orang yang terluka atau tewas, maka ia berkata lantang, “Sam-wi tai-ong! Marilah kita mengadu kepandaian sebagai layaknya orang-orang ksatria, dan tidak main keroyokan! Ingin sekali kami bertiga minta pengajaranmu!”
Tiba-tiba Ciauw Lek melompat maju dengan marah. “Aku maju lebih dulu, siapa yang hendak main-main denganku?”
Ong Kai cepat menyambut si muka hitam ini. “Setan palsu! Akulah lawanmu!” Hekbin-mo ini cepat mencabut pedangnya.
“Bagus! Kaukira aku takut kepada tenagamu yang besar? Majulah kau, setan!”
Ong Kai lalu menyerang yang ditangkis dengan gesit oleh Ciauw Lek dan mereka lalu bertempur sengit. Semua orang menonton pertempuran ini dan para piauwsu bersiap sedia menghadapi kemungkinan majunya para anggauta perampok jika akan menyerbu.
Ilmu pedang Ciauw Lek cukup hebat dan ganas dan dari gerakan kaki dan tangan kirinya yang kadang-kadang maju pula menyerang dengan cengkeraman, dapat diduga bahwa
ia mempunyai ilmu kepandaian silat dari utara yang tercampur dengan ilmu berkelahi bangsa Mongol. Akan tetapi, menghadapi Ong Kai ia tak mendapat banyak kesempatan, oleh karena selain tenaga lweekang Ong Kai lebih besar, juga ilmu pedangnya yang berdasarkan ilmu pedang Bok-san Kiam-hoat itu ternyata mempunyai gerakan-gerakan yang aneh dan lebih cepat daripada ilmu pedang Ciauw Lek. Akan tetapi, oleh karena Ciauw Lek bertempur dengan nafsu besar dan dengan nekad, untuk beberapa lama Ong Kai belum mendapat kesempatan merobohkannya.
Para penonton merasa khawatir melihat pertempuran yang hebat ini. Tubuh kedua orang itu berputar-putar cepat hingga sukar membedakan mana Ong Kai dan mana Ciauw Lek! Akan tetapi Tan Hong dan Siok Lan dengan girang dapat melihat bahwa Ong Kai berada di pihak yang lebih unggul dan perlahan tapi tentu Hek-bin-mo itu mendesak lawannya.
“Hai, setan busuk! Kau berjanjilah untuk menanggalkan nama julukan Hek-bin-mo, baru aku mau mengampuni kau!” Ong Kai berseru sambil mendesak dengan pedangnya.
“Bangsat rendah, jangan banyak mulut!” balas Ciauw Lek sambil menangkis dengan sekuat tenaga. Akan tetapi ternyata serangan Ong Kai itu hanya gertak belaka dan ketika lawannya menangkis dengan keras, Ong Kai menarik kembali pedangnya dan cepat membuat serangan dari samping. Serangan ini tidak diduga-duga sama sekali oleh Ciauw Lek, oleh karena si muka hitam ini sedang mengerahkan tenaga untuk menangkis serangan pertama, maka tidak ampun lagi ujung pedang Ong Kai mengenai pundak kirinya! Ciauw Lek menjerit dan darah mengucur
dari pundaknya, akan tetapi dengan nekad, ia menyerang lagi.
“Eh ... eh, masih belum kapok? Ayoh, berjanjilah untuk tidak mengganggu penduduk kampung, baru aku mau memberi ampun!” Sekali lagi Ong Kai berseru.
“Bangsat sombong, saat ini aku Ciauw Lek akan menyabung jiwa denganmu!”
Melihat keadaan Ciauw Lek, Ong Kai lalu menggerakkan pedangnya bagaikan kitiran angin cepatnya dan ketika Ciauw Lek terdesak mundur hingga terhuyung-huyung, kaki kanan Ong Kai cepat menyambar dan tepat menendang dada lawannya hingga tubuh Ciauw Lek terlempar jauh dan roboh pingsan!
Para piauwsu bersorak girang melihat robohnya kepala rampok muka hitam yang tangguh itu, sedangkan pihak perampok menjadi marah sekali. Mereka telah bersiap untuk mengeroyok kalau saja mendapat komando dari kedua saudara Ang. Akan tetapi, baik Ang Touw maupun Ang Houw tidak memberi perintah apa-apa, hanya Ang Touw yang segera melompat maju dengan pedang di tangan, dan yang segera disambut oleh Siok Lan.
“Apakah kau mengiri melihat robohnya adikmu dan ingin juga merasakan betapa senangnya roboh pingsan?” Gadis ini menyindir hingga Ang Touw menjadi marah dan tanpa berkata apa-apa kepala rampok yang tua itu menyerang. Serangannya benar-benar hebat dan kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada kepandaian Ciauw Lek hingga Siok Lan mengelak cepat dan berlaku hati-hati.
Kalau pertempuran Ciauw Lek dan Ong Kai tadi mendebarkan jantung para penontonnya oleh karena keduanya mengadu tenaga dan kekuatan hingga debu
mengepul di sekitar tempat di mana kaki mereka bergerak, adalah pertempuran kali ini membuat mata para penonton menjadi kabur dan kepala mereka pening. Gerakan kedua orang ini demikian cepatnya hingga tubuh mereka merupakan sinar saja, yakni sinar berkelebatnya pedang mereka yang menutupi tubuh! Diam-diam Tan Hong memuji kepandaian Ang Touw ini, akan tetapi ia percaya akan ketangguhan dan kehebatan Siok Lan.
Memang sebenarnya Siok Lan kalah pengalaman dan kalah ulet, akan tetapi dalam hal ilmu pedang gadis yang telah mewarisi ilmu pedang Bok-san-pai dari ayahnya ini, ternyata masih menang setingkat. Juga oleh karena lawannya sudah tua, maka kegesitan Ang Touw telah banyak berkurang, berbeda dengan Siok Lan yang memiliki ginkang yang cukup sempurna hingga gerakan-gerakannya tiada ubahnya bagaikan seekor burung kepinis saja!
Dalam saat yang tepat, ketika Ang Touw menyerang dengan tipu gerakan Angin Selatan Menghembus Cemara, Siok Lan tidak mau menangkis pedang yang ditusukkan ke arah lehernya, akan tetapi dengan gerakan yang tak terduga gadis ini lalu berjongkok dan dari bawah mengirim tusukan ke arah perut lawannya! Gerakannya lebih cepat daripada gerakan Ang Touw hingga kepala rampok itu terkejut sekali. Untuk menangkis sudah tiada waktu baginya, maka ia terpaksa lalu menjatuhkan diri ke belakang, berjungkir balik dan membuat salto tiga kali di udara baru tubuhnya turun ke tanah. Gerakan ini indah sekali hingga Siok lan menjadi kagum, akan tetapi gadis ini tidak mau memberi kesempatan kepada lawannya, dan cepat mengejar. Baru saja kedua kaki Ang Touw menginjak tanah, tiba-tiba Siok Lan telah menyerang lagi dengan tipu Ikan Leehi Gerakkan Ekor dan pedangnya menyambar kedua kaki Ang Touw. Oleh karena baru saja kakinya turun, maka kakek ini tidak
keburu melompat ke atas lagi dan terpaksa cepat menggerakkan pedangnya menangkis. Pada saat itu Siok Lan maju dan menggerakkan tangan kirinya dengan jari telunjuk dan jari tengah terbuka, menusuk ke arah mata lawan! Ang Touw terkejut dan memiringkan kepala sehingga gerakan pedangnya yang menangkis menjadi kalut. Saat ini digunakan dengan baiknya oleh Siok Lan yang mengubah tujuan pedang. Kini ujung pedangnya dimajukan sedikit hingga tahu-tahu Ang Touw merasa tangannya perih sekali dan terpaksa melepaskan pedang sambil melompat ke belakang! Ternyata sebuah jari tangannya telah putus oleh pedang Siok Lan dan darah mengucur keluar!
Ang Houw yang melihat betapa kedua orang sutenya berturut-turut dikalahkan, menjadi marah sekali dan sambil mengeluarkan geraman keras, ia menyerang Siok Lan. Akan tetapi Tan Hong lalu melompat maju sambil berkata, “Sabar dulu, tai-ong. Untukmu sudah disediakan lawan, yakni aku sendiri. Akan tetapi sebelum kita bertempur, hendak kujelaskan lagi kepadamu, bahwa pertempuran ini bersifat mengadu kepandaian belaka dan bukan maksud kami hendak mengambil jiwa kalian. Cukup asal kalian merasa bertobat dan tidak akan mengulangi perbuatanmu yang sewenangwenang, dan suka mengembalikan barang-barang para piauwsu yang terampas, kami akan merasa puas.”
“Anak muda! Kau sungguh sombong! Kau hanya bicara tentang kemenanganmu, bagaimana kalau kau kalah olehku?”
Tan Hong tersenyum, “Hal ini bukan tidak mungkin! Kalau aku sampai kalah, maka segala keputusan terserah kepadamu!”
“Dengar, Gin-kiam Gi-to! Kalau kau kalah olehku, aku akan menawanmu dan menyerahkan kau kepada pangcu (ketua) kami dengan tuduhan bahwa kau sebagai orang dari golongan liok-lim telah mengkhianati golongan sendiri!”
Tan Hong menjadi heran karena ia tidak menyangka bahwa mereka memiliki pangcu. “Siapakah pangcu yang kau maksudkan itu?”
Juga Ang Houw merasa heran mendengar bahwa Maling Budiman ini belum pernah mendengar nama pangcu dari golongan liok-lim.
“Pangcu kami adalah Kim-liong Hwat-su, dan beliau yang berhak menghukum segala pengkhianat golongan liok-lim. “
Tan Hong merasa heran oleh karena terdengar menggelikan bahwa golongan liok-lim yang terdiri dari segala macam penjahat seperti perampok, bajak, maling dan copet itu mempunyai seorang ketua dan dengan julukan Hwat-su yang berarti seorang berilmu dan ahli kebatinan atau singkatnya seorang pendeta!
“Selain itu, jika kau tak dapat mengalahkan aku, semua piauwsu harus berjanji untuk setiap kali lewat di sini, membayar pajak kepada kami sebanyak sepuluh bagian daripada harga barang yang mereka kawal!”
Semua piauwsu marah mendengar usul yang keterlaluan ini. Sedangkan mereka sendiri yang bekerja keras dan mengawal barang-barang itu, tidak berani menuntut upah yang demikian tingginya!
Tan Hong tersenyum dan bersikap tenang. “Sudah kukatakan tadi bahwa jika kami kalah, semua keputusan terserah kepadamu, akan tetapi ingat, aku belum kalah!
Maka mari kita main-main sebentar dan segala macam keputusan itu dapat dilakukan nanti!”
“Baik dan awas pedang!” tiba-tiba Ang Houw berseru dan langsung melakukan serangan pertama. Melihat serangan Ang Houw yang mengembangkan tangan kiri keluar dan memasang bhesi (kuda-kuda) sambil menjungkitkan kedua kakinya, Tan Hong tercengang, inilah Sin-thiauw Kiam-hoat (Ilmu Pedang Rajawali Sakti) yang amat berbahaya dan hebat! Maka ia berlaku hati-hati dan melawan sambil mengeluarkan gerakan-gerakan paling hebat dari Bok-san Kiam-hoat.
Kalau dibuat perbandingan tentang ilmu pedang Bok-san Kiam-hoat yang dimiliki Tan Hong dan Siok Lan, memang terdapat sedikit perbedaan dan sebetulnya Tan Hong jauh lebih kuat daripada gadis itu. Dulu ketika melawan Siok Lan, sengaja Tan Hong tidak mau mengalahkan dan merobohkan gadis itu. Ayah Siok Lan, yakni si Garuda Sakti Lo Cin Ki, biarpun seguru dengan Cin Cin Tojin, suhu Tan Hong, namun Lo Cin Ki lebih mengutamakan dan memperdalam pelajaran ilmu pengobatan, maka ilmu silatnya agak kurang tinggi apabila dibandingkan ilmu silat Cin Cin Tojin. Apalagi Cin Cin Tojin adalah seorang tosu perantau yang telah banyak sekali mengalami pertempuran dan banyak bertemu dengan orang-orang pandai dari segala cabang persilatan, maka tosu ini telah banyak mempelajari ilmu silat dan karenanya ia dapat menambah kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam gerakan ilmu pedang Bok-san-pai. Pula oleh karena Tan Hong mempelajari silat dengan sebuah cita-cita yakni untuk menggunakan kepandaian itu menolong sesama manusia yang menderita sengsara, maka pemuda ini belajar dengan tekun, rajin, dan sepenuh hati hingga tentu saja ia memperoleh hasil yang gemilang.
Ang Houw memang hebat sekali dan kalau saja Siok Lan yang menghadapi orang tua ini, maka keadaan mungkin akan berimbang. Akan tetapi kini ia bertemu dengan Tan Hong, maka baru beberapa puluh jurus saja mereka bertempur, tampaklah sudah betapa kepandaian pemuda itu memang lebih tinggi daripada kepandaiannya! Keduanya bergerak perlahan, tidak seperti ketika Siok Lan bertempur melawan Ang Touw, hingga para penonton yang kurang paham ilmu silat tinggi, menganggap bahwa Siok Lan lebih gesit dan lebih hebat daripada Tan Hong. Akan tetapi, gadis itu sendiri, Ong Kai dan juga kedua kepala rampok Ang Touw dan Ciauw lek yang telah dikalahkan, maklum bahwa kedua orang itu telah memperlihatkan kepandaian asli mereka. Setiap gerakan, biar dilakukan dengan lambat atau perlahan, namun mengandung tenaga lweekang yang tinggi dan setiap serangan itu kalau ditangkis oleh sembarang orang, maka penangkisnya akan roboh terpukul tenaga dalam yang melayang keluar dari serangan itu. Tidak ada debu mengebul dari bawah kaki mereka, bahkan gerakan kaki mereka tidak terdengar sama sekali, seakan-akan tidak menginjak tanah, akan tetapi apabila diperhatikan, ternyata daun-daun di sekeliling tempat itu melambai dan bergoyang bagaikan terhembus angin, padahal pada saat itu tidak ada angin menghembus! Inilah angin pukulan yang diterbitkan oleh serangan dan gerakan kedua orang itu!
Merasa bahwa kepandaiannya kalah tinggi, tiba-tiba Ang Houw membuat gerakan serangan nekad. Ia berseru nyaring dan pedangnya membacok, sedangkan tangan kirinya dari bawah mengirim pukulan hebat ke arah perut tan Hong dengan jari-jari tangan miring! Tan Hong mengelak, akan tetapi ia lalu membuat gerakan yang sama, yakni Dewa Mabuk Menolak Gunung. Pedang kedua orang itu bertemu dan menempel, sedangkan kedua tangan kiri
mereka juga bertumbuk keras. Untuk sesaat seakan-akan kedua tangan dan kedua pedang itu melekat, akan tetapi, tiba-tiba Ang Houw mengeluh dan tubuhnya seakan-akan terdorong oleh tenaga keras sekali, terhuyung-huyung ke belakang sampai lima langkah! Wajahnya pucat sekali dan ia telah mendapat luka dalam.
Ang Houw menjura. “Gin-kiam Gi-to, kau memang hebat sekali. Aku mengaku kalah, akan tetapi tunggulah datangnya hari pembalasanku!” Setelah berkata demikian, ia ajak kedua sutenya pergi dari tempat itu setelah meninggalkan pesan kepada para anak buahnya untuk mengembalikan semua barang-barang pada piauwsu.
Diam-diam Tan Hong merasa menyesal sekali oleh karena ia maklum bahwa ia telah menanam bibit permusuhan dengan kepala rampok yang tangguh itu. Akan tetapi ia tidak memperlihatkan kemenyesalannya, lalu bersama kawan-kawannya membantu para piauwsu mengambil kembali barang-barang mereka yang terampas dan masih berada di dalam sarang perampok di tengah hutan itu.
Para piauwsu, di bawah pimpinan Lim-piauwsu menghaturkan banyak terima kasih kepada Tan Hong dan kedua kawannya, dan menyebut mereka sebagai Bok-san Sam-hiap atau Tiga Pendekar dari Bok-san, yakni mengingat bahwa ketiganya adalah anak murid dari Bok-san-pai! Ong Kai merasa girang sekali atas kemenangan ini dan berkata, “Mulai sekarang si iblis hitam itu tentu tak berani lagi mengembari nama julukanku!”
Tan Hong dan Siok Lan tersenyum mendengar ini. Diam-diam ketika mereka mendapat kesempatan bicara empat mata, Tan Hong berkata kepada Siok Lan, “Sumoi, mulai sekarang kita harus berhati-hati sekali oleh karena
menurut dugaanku, ketiga kepala rampok itu tentu manaruh dendam kepada kita dan berusaha mencari balas!”
Siok lan memandang kepada tan Hong dengan muka kagum setelah mengetahui bahwa kepandaian pemuda ini sesungguhnya masih berada lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya sendiri.
“Hong-ko, dengan adanya kau di dekatku, aku tidak pernah merasa takut?” Melihat kerlingan mata dan senyum bibir gadis itu, tiba-tiba di dada kiri Tan Hong terasa detak jantungnya mengeras.
“Aah, kau terlalu memuji, sumoi, “ katanya perlahan.
“Hong-ko, ketika kita bertemu dan bertempur dulu itu, mengapa kau tidak mau mengalahkan aku? Padahal kalau kau mau, mudah saja, bukan?” tanya Siok Lan sambil memandang tajam.
Muka Tan Hong menjadi merah. “Mengapa kau berkata demikian, sumoi? Aku tak dapat mengalahkanmu, karena memang ilmu pedangmu hebat sekali!”
Diam-diam Siok Lan merasa girang oleh karena pemuda ini ternyata pandai sekali membawa diri dan tidak sombong, biarpun memiliki kepandaian tinggi. Diam-diam ia merasa tertarik dan suka sekali kepada pemuda ini, apalagi setelah ia mendengar riwayat Tan Hong ketika masih kecil yang amat menyedihkan dan mengharukan itu. Hatinya menjadi lemah dan perasaan iba serta sayang timbul dalam dadanya!
***
Ketiga pendekar Bok-san-pai ini melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Pek-hoasan, mencari musuh-musuh mereka, yakni Bhok Kong Hwesio dan Kim Kong Hwesio. Di sepanjang perjalanan, tak pernah lupa Tan Hong
melakukan pekerjaannya seperti biasa, dan kini tiap kali ia keluar malam untuk melakukan pencurian, Siok Lan tak pernah ketinggalan dan selalu membantunya dengan setia!
Bahkan Ong Kai yang selalu merasa kesepian karena ditinggal seorang diri diwaktu malam, mulai mencoba ikut membantu pula. Akan tetapi, setelah sekali dua kali ia ikut dan melihat betapa di dalam pekerjaan ini ia dapat pula merasakan kebahagiaan yang nampak pada sikap orang-orang miskin yang mereka tolong, Ong Kai makin sering ikut dan mulai melakukan pekerjaan itu dengan gembira. Bahkan kini mereka bekerja secara terpisah, seorang mencuri di gedung seorang hartawan dan setelah mendapat hasil, mereka bertemu di tempat yang sudah dijanjikan lebih dulu untuk bersama-sama pergi menbagi-bagikan hasil itu ke dusun-dusun yang berdekatan!
Pada suatu malam, Ong Kai mendapat bagian mencuri di rumah seorang pedagang hasil bumi yang kaya raya. Tan Hong dan Siok Lan mendatangi rumah lain. Ketika Ong Kai sedang mengintai dari atas genteng, tiba-tiba ia melihat sesosok bayangan orang berkelebat di atas genteng itu juga! Ia cepat bersembunyi di balik wuwungan rumah yang tinggi dan mengintai gerak-gerik orang yang baru datang ini. Orang itu berpakaian hitam dan di punggungnya nampak sebatang golok. Ong Kai merasa curiga dan menduga bahwa kalau ia bukan seorang maling, tentulah seorang yang mempunyai maksud lain yang buruk.
Dari gerakan orang itu, Ong Kai maklum bahwa tamu malan itu memiliki sedikit kepandaian dan bukan merupakan lawan berat, maka hatinya menjadi lega dan ia terus mengintai. Ketika ia melihat orang itu melompat turun ke belakang gedung, iapun ikut pula melompat di belakangnya dengan diam-diam dan terus mengintai. Ia melihat betapa dengan cekatan menandakan seorang ahli,
orang itu membongkar jendela sebuah kamar, lalu melompat masuk! Ong Kai juga cepat melompat dan mengintai! Alangkah marah dan gemasnya melihat bahwa kamar itu adalah kamar seorang wanita dan hal ini dapat diketahuinya ketika penjahat itu menyingkap kelambu pembaringan oleh karena ia melihat tubuh seorang gadis sedang tidur pulas di atas pembaringan itu. Ong Kai berniat melompat masuk dan menyerbu penjahat itu, akan tetapi ia menahan maksud hatinya, lalu memandang penuh perhatian, siap untuk menolong apabila penjahat itu melakukan sesuatu. Akan tetapi, tiba-tiba penjahat itu membungkuk dan menotok jalan darah gadis itu yang menjadi sadar dari tidurnya, tetapi tak dapat bergerak maupun berteriak karena jalan darahnya telah di-tiam oleh penjahat tadi. Kemudian dengan cepat penjahat itu memondong tubuh gadis itu dan melompat keluar melalui jendela kamar!
Ong Kai tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia maklum bahwa penjahat ini tentu seorang jai-hoa-cat atau penjahat pemetik bunga, maka tanpa ajal lagi ia menghadang di depan kamar dan membentak,
-oo0dw0oo-
Jilid 05
“Bangsat penculik hina dina!” Dengan gemas Ong Kai menyerang ke arah leher penjahat itu. Terkejutlah penjahat itu dan cepat ia berkelit. Akan tetapi oleh karena ia sedang memondong tubuh gadis itu, gerakannya tidak leluasa lagi dan terpaksa melepaskan tubuh gadis itu.
Ong Kai cepat menyambar tubuh orang yang dilepas ke bawah dan secepat kilat ia menepuk pundak gadis tadi yang lalu dapat bergerak kembali. Gadis ini lalu berteriak-teriak
minta tolong dan mundur sampai ke dinding, melihat pertempuran yang terjadi antara penjahat yang menculiknya dan penolong yang gagah ini. Ong Kai melayani penjahat dengan bertangan kosong, sedangkan penjahat itu yang ternyata masih muda, menggunakan goloknya untuk menyerang penghalang dan pengganggunya.
Sementara itu, teriakan gadis tadi telah membangunkan penghuni rumah dan beberapa orang, termasuk ayah ibu gadis tadi, berlari keluar. Akan tetapi mereka hanya dapat memeluk anak gadis mereka dan selanjutnya menonton pertempuran itu dengan wajah pucat ketakutan.
Penjahat yang telah kepergok itu lalu berlaku nekad dan mengamuk sambil memutarmutarkan goloknya menyerang dengan nekad. Ong Kai berlaku waspada dan hati-hati. Tubuhnya bergerak ke sana ke mari dalam usahanya mengelakkan serangan golok, dan sengaja mempermainkan penjahat itu.
Gadis yang hampir terculik itu beserta kedua orang tuanya dan beberapa orang pelayan, melihat pertempuran dengan mata terbelalak. Selama hidup mereka belum pernah melihat pertempuran sehebat ini dan diam-diam mereka kagum sekali melihat betapa penolong yang tinggi besar dan gagah itu melayani penjahat yang memegang golok dengan tangan kosong belaka!
“In-kong (tuan penolong), pergunakanlah pedangmu!” tiba-tiba gadis itu berteriak kepada Ong Kai. Suaranya merdu dan nyaring hingga Ong Kai tersenyum sambil berpaling kepadanya. Ketika kedua matanya memandang wajah gadis itu, ia tercengang dan dadanya berdebar aneh! Gadis itu memiliki sepasang mata dan mulut semanis mendiang tunangannya! Maka ketika teringat akan tunangannya yang juga tewas karena terculik penjahat-penjahat cabul, timbul marahnya dengan hebat. Dengan
menggeram, ketika golok penjahat itu menyerang lagi, ia membalas dengan sebuah tendangan kilat hingga golok itu terlepas dari pegangan si penjahat dan sebelum penjahat itu sempat melarikan diri, sebuah pukulan mampir di pundaknya membuat penjahat itu roboh pingsan!
“Ikat ia, lekas! Ikat dan bawa ke kantor tihu!” Ayah gadis itu memerintah kepada para pelayannya yang segera berlari-lari mencari tambang besar dan beramai-ramai mengikat tangan penjahat itu yang tak dapat bergerak lagi!
Gadis itu lalu menghampiri Ong Kai dan menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda ini sambil berkata, “In-kong, budimu sungguh besar dan selama hidupku aku takkan melupakan pertolonganmu ini.”
Ong Kai menjadi bingung, Untuk mengangkat bangun ia harus menyentuh pundak gadis itu dan hal ini tak dapat dilakukannya, takut dianggap kurang sopan. Maka dalam bingungnya, iapun lalu berlutut di depan gadis itu sambil berkata, “Siocia! Janganlah kau berlutut kepadaku. Aku takkan berdiri sebelum kau bangun juga.”
Gadis itu memandang dengan mata yang bening dan bersinar jujur. Ia makin kagum melihat wajah Ong Kai yang walaupun berkulit hitam akan tetapi cukup gagah. Melihat betapa penolongnya itupun ikut berlutut, ia tersenyum lalu bangun berdiri. Juga kedua orang tuanya lalu menjura dan menghaturkan terima kasih kepada Ong Kai.
“Siapa nama in-kong dan bagaimana dapat melihat penjahat itu?” tanya ayah si gadis yang memandang dengan kagum.
Bingung juga Ong Kai mendengar pertanyaan ini. Ia datang ke situ memang sengaja dan dengan maksud hendak mencuri harta orang yang bertanya kepadanya!
“Siauwte hanya kebetulan saja bertemu dengan penjahat itu dan menjadi curiga melihat gerak-geriknya, maka siauwte lalu mengejarnya dan mengintainya.” Walaupun jawaban ini kurang jelas, akan tetapi ia rasa tidak menyimpang dari kebenaran, oleh karena memang secara kebetulan ia bertemu dengan penjahat itu dan memang ia merasa curiga lalu mengintainya! Kemudian ia melanjutkan jawabannya, “Siauwte she Ong bernama Kai dan siauwte sedang merantau bersama-sama dengan seorang sumoi dan seorang suheng yang tinggal di rumah penginapan.”
Pada saat itu, dari atas genteng melayang turun dua orang yang tidak lain adalah Siok Lan dan Tan Hong.
“Nah, itu mereka datang!” kata Ong Kai kepada tuan rumah dan gadisnya. Semua orang memandang kepada dua orang muda itu dengan kagum dan Ong Kai lalu memperkenalkan Tan Hong dan Siok Lan.
Ketika mendengar bahwa Ong Kai telah menolong puteri tuan rumah dan agaknya diperlakukan dengan hormat dan manis, baik oleh tuan rumah, maupun oleh gadis yang bernama Lai Hwa Eng itu, diam-diam Siok Lan dan Tan Hong saling lirik dan tersenyum. Kedua pemuda ini kembali dari mencuri harta, lalu membawa uang itu di dalam kantung dan menanti di tempat yang telah dijanjikan. Akan tetapi, setelah menanti beberapa lama belum juga mereka melihat Ong Kai, keduanya lalu pergi menyusul ke rumah yang menjadi bagian Ong Kai untuk dicuri uangnya, dan di situ mereka melihat betapa Ong Kai sedang beramahtamah dengan tuan rumah! Hampir saja Ong Kai lupa bahwa ia telah menjadi tamu orang di waktu tengah malam! Ia agaknya lupa pulang oleh karena ia merasa kerasan dan senang berada di dekat Hwa Eng. Kalau Tan Hong dan Siok Lan tidak mengajaknya pergi, mungkin ia akan bercakap-cakap terus sampai pagi.
Setelah mendapat pesan dari hartawan yang bernama Lai Kin Tek itu agar supaya ketiga orang muda itu besok pagi suka datang mampir, ketiga orang muda pendekar itu lalu melompat ke atas genteng diikuti pandangan kagum oleh pihak tuan rumah.
“Ah ... Ong-sute! Bagaimana kau ini? Mana pendapatanmu dan barang apakah yang sudah kau ambil dari rumah hartawan Lai?” Tan Hong menggoda.
Ong Kai hanya tersenyum. “Aku tidak diberi kesempatan oleh mereka.“ Jawabnya.
“Ah ... ! Mana Ong-suheng tega mencuri barang-barang Lai-siocia yang cantik jelita itu!” Siok Lan ikut menggoda.
Ong Kai tak dapat menjawab godaan ini dan hanya tertawa malu.
“Ha ..., ha ..., ha ... ! Kalau aku tidak salah lihat, sebaliknya bahkan Ong-sute yang kecurian!”
“Apa maksudmu?” tanya Ong Kai dengan heran, akan tetapi Tan Hong hanya tertawa sambil melanjutkan perjalanannya menuju ke kampung untuk membagi-bagi hasil curiannya dan hasil curian Siok Lan. Juga Siok Lan merasa tidak mengerti lalu bertanya, “Hong-ko, apa maksudmu? Ong-suheng kecurian apa?”
“Ha, ha! Ong-sute memiliki apa yang pantas dan berharga untuk dicuri selain hatinya? Ia telah kecurian hatinya dan pencurinya tidak lain tentu Lai-siocia!”
Siok Lan juga tertawa gelid an Ong Kai pura-pura marah. “Sudahlah! Kalau kalian tetap menggodaku, aku takkan ikut ke desa-desa. “
Siok Lan dan Tan Hong tetap tertawa dan demikianlah, malam hari itu mereka bekerja membagi-bagi uang
pendapatan mencuri dengan tertawa-tawa dan dalam suasana gembira.
Pada keesokan harinya, mereka memenuhi permintaan Lai Kin Tek dan mengunjungi rumah keluarga Lai yang kaya itu. Mereka disambut dengan gembira dan disuguhi masakanmasakan lezat dan mahal. Berkali-kali tuan rumah menyatakan kekaguman dan terima kasihnya dan Lai Hwa Eng sendiri bahkan turut menyambut tamu-tamunya karena di situ terdapat Siok Lan. Kedua orang gadis ini cepat dapat bergaul dengan mesra bagaikan dua orang sahabat lama. Siok Lan suka kepada Hwa Eng yang selain peramah, juga tidak malumalu dan pandai bercerita serta mempunyai pengertian ilmu surat yang membuatnya kagum. Sebaliknya, tiada habisnya Hwa Eng bertanya tentang ilmu silat yang dikaguminya kepada pendekar wanita ini.
Pada suatu saat Hwa Eng disuruh ibunya mengajak Siok Lan ke dalam kamar. Ibu Hwa Eng lalu menyuruh anaknya pergi meninggalkannya dengan Siok Lan berdua! Baik Siok Lan maupun Hwa Eng merasa heran sekali, melihat sikap orang tua ini. Setelah Hwa Eng meninggalkan kamar, nyonya Lai lalu berkata kepada Siok Lan, “Nona, harap kau tidak menganggap kami terlalu sembrono. Akan tetapi sayapun hanya mendapat perintah dari suamiku, yakni dapatkah kau memberi keterangan berapa usia Ong-enghiong dan apakah ia telah mempunyai tunangan?”
Siok Lan diam-diam merasa geli dan juga girang karena pertanyaan ini saja ia dapat menduga bahwa nyonya rumah ini ingin mengambil menantu Ong Kai si muka hitam yang telah menolong puterinya! Untung ia mengetahui tentang diri Ong Kai yang seperti kakaknya sendiri, maka ia lalu menuturkan segala hal ichwal pemuda itu, bahkan menuturkan pula betapa tunangan pemuda itu telah terbunuh hingga mereka bertiga sekarang melakukan
perjalanan untuk mencari pembunuh dan membalas dendam. Nyonya Lai makin tertarik dan merasa kasihan, maka ia lalu minta kepada Siok Lan untuk suka menjadi perantara dalam hal ini. Siok Lan menyanggupi dan hendak menyampaikan hal ini kepada ayahnya yang menjadi guru dan wali pemuda yang telah kehilangan kedua orang tuanya itu, dan hendak menyampaikan pula kepada orang yang berkepentingan sendiri. Ia menyatakan bahwa sekembali mereka bertiga dari perantauan, hal ini akan segera diselesaikan. Tentu saja nyonya rumah menjadi girang sekali dan meyatakan terima kasihnya.
Ketika ketiga orang anak muda itu hendak minta pamit, keluarga Lai lalu menawarkan bantuan berupa uang untuk bekal mereka. Ong Kai mewakili kawan-kawannya menjawab, “Tak usah, Lai-lopeh, kami bertiga tidak perlu uang bekal. Kalau lopeh suka mengorbankan sedikit uang untuk menderma kepada rakyat miskin yang menderita korban banjir, itu sudah berarti sama dengan memberi sumbangan kepada kami.”
Bukan main heran hati Lai Kin Tek mendengar ucapan ini dan ketika melihat wajah ketiga orang pendekar muda ini kesemuanya tersenyum sebagai tanda bahwa ucapan Ong Kai ini memang cocok dengan suara hati yang lain, ia menjadi kagum dan timbullah perasaan hormatnya kepada ketiga orang itu. Bukan saja mereka ini masih muda dan gagah perkasa, akan tetapi juga berhati mulia dan dermawan! Pikiran ini makin mendorong keinginan hatinya untuk mengambil menantu Ong Kai!
***
Setelah melakukan perjalanan beberapa hari lagi, akhirnya ketiga orang pendekar muda itu tiba di kaki Gunung Pek-hoa-san yang tinggi dan penuh dengan hutan belukar dan liar. Bukit ini sukar sekali dinaiki karena tidak
terdapat jalan maupun lorong menuju ke atas. Akan tetapi berkat ginkang mereka yang sempurna, Tan Hong, Ong Kai dan Siok Lan dapat juga mendaki ke atas.
Ketika mereka tiba di pinggir sebuah hutan liar, tiba-tiba ketiga orang muda ini terkejut dan heran melihat dua orang kakek duduk berhadapan di bawah sebatang pohon siong besar. Ketika mereka mendekat ternyata kedua orang kakek itu sedang enak-enak bermain catur!
Keadaan kedua kakek ini aneh sekali. Yang seorang adalah seorang tua berusia sedikitnya tujuh puluh tahun, bertubuh kurus tinggi dan rambutnya yang masih hitam itu beriap-riapan sampai ke pundak. Akan tetapi pakaiannya terbuat dari kain yang ditambaltambal hingga nampak aneh sekali, karena pakaian ini seperti terbuat dari bahan yang puluhan macam hingga berkembang-kembang aneh dan ramai! Kedua kakinya telanjang hingga ia nampak seperti seorang pengemis jembel. Sambil memperhatikan biji-biji catur, ia sering kali menggaruk-garuk rambut di kepalanya seakan-akan di atas kepalanya banyak terdapat kutu rambut yang gatal!
Juga kakek yang seorang lagi tak kalah aneh. Usianya juga sudah sangat tinggi, mungkin lebih dari tujuh puluh tahun. Rambut di kepalanya sudah putih berkilat bagaikan benang-benang perak, akan tetapi mukanya yang penuh dan gemuk itu seperti muka kanakkanak, begitu segar dan kemerah-merahan! Kepalanya bundar dan rambutnya diikalkan ke atas, diikat dengan tali terbuat dari kulit pohon yang kasar. Tubuhnya gemuk pendek dan bajunya tebal sekali, berwarna biru dan sudah luntur. Sepasang kakinya memakai sepatu yang bawahnya terbuat daripada besi dan kelihatan sangat berat. Seperti lawannya bercatur, kakek ini menatap biji-biji catur dengan penuh perhatian dan dengan
kening dikerutkan seakan-akan ia menghadapi persoalan yang amat rumit!
Kedua orang kakek itu sama sekali tidak memperdulikan ketiga orang muda yang datang mendekati mereka. Tan Hong dan kedua orang kawannya yang berpandangan tajam dapat menduga bahwa kedua orang kakek ini tentu orang-orang berilmu tinggi yang mengasingkan diri di situ.
Baik Tan Hong maupun Ong Kai, keduanya adalah penggemar permainan catur yang pada masa itu sedang populer dan banyak digemari orang. Bahkan kedua pemuda ini boleh disebut ahli-ahli yang pandai bermain catur. Pernah kedua orang muda itu di waktu senggang bermain catur di sebuah rumah penginapan dan keduanya mempunyai kepandaian seimbang. Maka tak mengherankan apabila mereka kini lalu mendekati kedua kakek itu untuk menonton pertandingan catur di tempat sunyi ini. Sebaliknya, Siok Lan yang tidak mengerti akan permainan ini, setelah memandang sebentar dengan tak mengerti, lalu menjadi bosan dan oleh karena semenjak pagi mereka belum makan hingga merasa lapar sekali, gadis ini lalu masuk ke dalam hutan untuk mencari buah-buahan yang dapat dimakan.
Tanpa disengaja dan secara otomatis, kedua orang pemuda itu lalu berdiri di belakang kedua kakek itu, Tan Hong berdiri di belakang kakek yang berbaju tambal-tambalan dan Ong Kai berdiri di belakang kakek yang berambut putih. Baru saja kedua orang kakek itu menggerakkan biji-biji catur mereka dua kali, maklumlah kedua anak muda ini bahwa kedua kakek itu adalah pemain-pemain catur yang baru saja dapat bermain dan permainan mereka amat lemah sekali! Gerakan-gerakan yang mereka buat adalah gerakan yang ngawur dan lemah, akan tetapi oleh karena kepandaian mereka yang dangkal
itu berimbang, maka pertandingan itupun berjalan lama dan ramai juga. Agaknya oleh karena berada di pegunungan dan jarang melihat ahli-ahli catur di kota, kedua kakek ini tidak mendapat kemajuan dalam permainan mereka.
Pada saat itu tiba giliran kakek berambut putih yang harus menggerakkan biji caturnya. Akan tetapi sampai lama ia tidak dapat mengambil keputusan harus menggerakkan yang mana, oleh karena agaknya Raja biji caturnya terancam oleh Gajah lawan. Kakek ini menggigit jari telunjuknya dan memandang ke arah papan catur dengan bingung.
Melihat keraguan dan kebingungan kakek di depannya itu, Oang Kai menjadi tidak sabar dan tanpa disengaja ia berkata, “Gerakkan Kuda ke kiri menjaga serangan Gajah dari depan Raja!” Ong Kai sebetulnya tidak sengaja hendak menasehati kakek itu, akan tetapi jalan pikirannya telah menggerakkan lidahnya hingga tanpa disengaja ia mengeluarkan suara hatinya melalui mulut!
Untuk sesaat kedua kakek itu tak bergerak, juga tidak memandang kepada pemuda yang berkata-kata tadi. Kemudian, kakek berambut putih itu berkata, “Ha, benar juga! Gerakan bagus!” Ia menengok dan memandang kepada Ong Kai dengan kedua mata berseri, lalu ia menggerakkan Kudanya menghadang di depan Rajanya hingga Gajah lawannya tak dapat menyerang!
Sebaliknya, kakek yang seperti pengemis jembel itupun mengangkat kepala memandang ke arah Ong Kai. Pemuda ini terkejut sekali dan dadanya berhenti berdetak untuk sesaat ketika melihat betapa dari kedua mata si jembel tua itu bersinar pandangan tajam yang seakan-akan menembusi kepalanya! Kakek jembel ini menjadi marah dan sikapnya tiada ubahnya seperti seorang anak kecil yang diganggu permainannya hingga menjadi kalah!
Tan Hong juga melihat kemarahan kakek ini kepada Ong Kai, maka ia buru-buru berkata, “Majukan Prajurit di kiri mengancam Kuda!”
Kini kakek jembel itu menatap kembali ke atas papan catur, dan tak lama kemudian ia tertawa terkekeh dengan girang, lalu mengangkat muka memandang Tan Hong dengan girang dan menggerakkan biji caturnya menurut petunjuk Tan Hong! Tiba giliran kakek berambut putih itu yang menatap wajah Tan Hong dengan tajam dan marah hingga Tan Hong menjadi tercengang dan kaget! Ia maklum bahwa nesehatnya kepada kakek jembel tadi telah membuat kakek berambut putih itu marah sekali kepadanya! Memang kakek berambut putih itu marah oleh karena ia tidak tahu bagaimana harus menolong Kudanya yang kini terancam bahaya maut!
Ong Kai dan Tan Hong yang berdiri berhadapan di belakang kedua kakek itu saling pandang dan dari sinar mata mereka yang berpandangan, mereka lalu membuat persetujuan untuk melanjutkan bantuan masing-masing oleh karena sudah kepalang tanggung dan agar jangan sampai kedua kakek itu menjadi marah kepada mereka! Maka Ong Kai lalu cepat berkata, “Balas mengancam Gajah dengan majukan Prajurit kanan ke depan!”
Setelah memperhatikan papan caturnya kakek berambut putih itu merasa bahwa gerakan ini memang tepat untuk membalas ancaman lawan pada Kudanya, maka sambil tertawa girang ia memajukan Prajurit menurut petunjuk Ong Kai!
Demikianlah, secara bergiliran Tan Hong dan Ong Kai memberi petunjuk hingga boleh dikata kedua anak muda itulah yang bermain catur, sedangkan kedua orang kakek itu hanya menjadi penggeraknya saja! Akan tetapi, gerakan-gerakan tepat yang ditunjukkan oleh kedua anak muda itu
membuat mereka benar-benar kagum dan girang hingga keadaan yang tadinya sunyi kini berubah menjadi ramai karena suara tertawa kedua kakek itu. Suara ketawa jembel tua itu seperti burung hantu, sedangkan suara kakek berambut putih itu berkakakan seperti suara ular besar mengakak!
Oleh karena kedua anak muda yang cerdik itu memang maklum bahwa kakek kakek yang kalah pasti akan marah sekali kepada penasehat lawan sedangkan hal ini berbahaya sekali oleh karena mereka maklum akan kehebatan kakek-kakek ini, maka mereka sengaja bermain hati-hati sekali dan membuat permainan ini berakhir remis! Setelah biji-biji catur kedua pihak habis dan tinggal seorang Raja saja kedua kakek itu tertawa senang. Si jembel berkata, “Ha, ha, kakek penuh uban! Kali ini kau tidak dapat mengalahkan aku!” Lalu ia tertawa terkekeh-kekeh lagi.
Sebaliknya, orang tua berambut putih itupun tertawa dan berkata, “Lo-kai (pengemis tua), kaupun tidak bisa mengalahkan aku!”
Pada saat itu, Siok Lan satang sambil membawa banyak sekali buah ang-co dan buahbuah lain yang lezat nampaknya karena warnanya yang kuning kemerah-merahan itu menandakan bahwa buah-buah itu matang di atas pohon! Gadis ini merasa heran sekali mendengar suara kedua orang kakek itu tertawa girang, maka ia lalu menghampiri tempat itu sambil membawa buah-buahnya.
“Bagus, bagus, perut kita memang sudah lapar sekali!” kata si jembel sambil mengulurkan tangan dan mengambil beberapa tangkai buah dari tangan Siok Lan.
“Memang, sudah semenjak pagi tadi kita belum makan apa-apa! Permainan catur ini biarpun menarik hati, akan tetapi membuat orang lupa waktu dan lupa makan!”
menjawab si rambut putih yang juga mengulurkan tangannya dan tahu-tahu iapun sudah mengambil beberapa butir buah dari tangan Siok Lan!
Perbuatan kedua kakek ini sekaligus membuat ketiga anak muda itu melongo keheranan! Harus diketahui bahwa gadis itu berdiri di tempat yang agak jauh hingga jangankan baru mengulurkan tangan, biarpun bangun berdiri dan menjangkau dengan tubuh dibongkokkan kedepanpun orang belum dapat mengambil buah itu dari jarak yang sedikitnya masih ada setombak itu. Akan tetapi, entah dengan cara bagaimana, kedua kakek itu tidak pindah dari tempat duduk, dan hanya mengulurkan tangan, dan buah-buah itu telah berada di tangan mereka!
Sambil makan buah, kedua kakek itu memandang kepada penasehat masing-masing. “Kalian makanlah, bukankah perutmu lapar juga?” kata mereka hampir bersamaan.
“Aku mendengar cacing perutmu berteriak-teriak dan mengeluh-ngeluh ketika kau berdiri di belakangku tadi!” kata si jembel kepada Tan Hong.
“Dan perut si muka hitam ini membikin sakit telingaku karena selalu berkeruyuk dengan bising!” kata si rambut putih kepada bekas lawannya sambil menunjuk Ong Kai.
Kedua anak muda itu saling pandang, lalu ikut tertawa dan menerima buah dari tangan Siok Lan. Sebaliknya, gadis itu telah mengisi perutnya di dalam hutan tadi hingga ia telah merasa kenyang dan tidak ikut makan.
Tiba-tiba si jembel berkata kepada Tan Hong, “Aku si jembel tua tidak biasa menerima kebaikan orang tanpa balas. Kau telah membelaku hingga aku tidak dikalahkan oleh si kakek uban ini, maka marilah kau ikut padaku sebentar untuk menerima upah.”
Tan Hong menjawab, “Maaf locianpwe, Teecu tidak biasa menerima upah dari apa yang teecu lakukan. “
Tiba-tiba kakek jembel itu memandangnya dengan melotot, “Apa katamu? Aku tidak biasa menerima bantahan, mengerti!” Dengan gerakan cepat sekali tangannya meluncur ke depan dan sebelum Tan Hong dapat mengelak, tahu-tahu lengan kanannya telah dipegang dengan erat sekali. Tan Hong mengerahkan lweekangnya, mencoba meloloskan diri, akan tetapi makin ia kerahkan tenaga, makin eratlah pegangan tangan si jembel itu.
“Ha ..., ha ..., ha ... ! Tak kusangka kaupun telah memiliki kepandaian lumayan juga. Mari kau ikut aku!” Tan Hong tahu-tahu merasa dirinya melayang dari atas tanah, oleh karena kakek jembel itu telah menarik tubuhnya dan dibawa lari ke dalam hutan!
Si kakek ubanan tertawa gelak hingga suara ketawanya yang keras itu memenuhi hutan dan bergema keras sekali.
“Ha ..., ha ..., ha ... ! Si jembel membuat aku merasa malu! Mari, mari, muka hitam, kaupun ikut aku sebentar untuk menerima hadlah atas petunjuk-petunjukmu tadi!”
Ong Kai memang berotak cerdik, maka ia dapat menangkap maksud kakek ini dan ia mengikuti kakek itu masuk ke dalam hutan, biarpun ia telah mengerahkan ilmu kepandaiannya berlari cepat, namun masih saja ia tertinggal jauh oleh kakek yang hanya jalan biasa itu!
Melihat keadaan ini, Siok Lan yang tidak mengerti asal mula perkara yang membuat kedua suhengnya seakan-akan menjadi pelepas budi, diam-diam merasa khawatir. Terutama sekali ia merasa khawatir akan keselamatan Tan Hong, maka segera ia mengangkat kaki dan mengejar ke arah Tan Hong dibawa lari oleh si jembel tadi!
Ketika ia sampai di tengah hutan, ia melihat betapa Tan Hong duduk berlutut di depan kakek jembel itu yang kini telah memegang pedang Gin-kiam kepunyaan Tan Hong. Gadis ini terkejut hingga tak terasa pula ia mencabut pedangnya.
Tiba-tiba si jembel tua itu berpaling ke arahnya dan biarpun gadis itu mengintai dari balik pohon, agaknya si jembel telah melihatnya karena si jembel tua itu berkata keras-keras, “Eh ... ! Gadis! Kau mengejar kemari dengan pedang di tangan. Ha ..., Ha! Tentu kau cinta kepada pemuda ini dan hendak membelanya bukan?”
Tan Hong terkejut dan memandang. Ketika melihat bahwa Siok Lan telah berada di situ sambil memegang pedang, pemuda itu menjadi terkejut dan girang. Benarkah dugaan si jembel ini? Dan aneh sekali, ketika mendengar ucapan yang tepat mengenai jantungnya itu, Siok Lan lalu berlari pergi keluar dari hutan!
“Locianpwe, betulkah dugaan locianpwe tadi?” tanyanya penuh harap.
“Ha ... ,ha ..., ha ... ! Anak muda, kau hanya pandai main catur, akan tetapi tak pandai mengukur hati seorang gadis manis! Sudahlah, sekarang kauperhatikan gerakan-gerakanku. Aku hendak mengajarmu ilmu pedang Sin-hong-kiam-sut (Ilmu Pedang Burung Hong Sakti) yang hanya delapan belas jurus banyaknya. Perhatikan baik-baik dan catat semua gerakannya di dalam otakmu yang pandai main catur itu!”
Setelah berkata demikian, kakek itu lalu menggerakkan pedang perak dengan gerakan perlahan dan lambat sekali hingga Tan Hong dapat mengikuti dan mengingat semua gerakannya. Ia merasa bahwa gerakan-gerakan itu biasa saja dan sama sekali tak dapat melawan ilmu pedang Bok-
san-kiam-sut yang telah dimilikinya. Setelah menghabiskan delapan belas jurus dengan gerakan lambat, si jembel lalu berkata, “Nah! Sekarang kau saksikanlah bagaimana harus memainkannya.” Tiba-tiba saja tubuh si jembel itu berkelebat dan sinar pedang lalu menutupi tubuhnya dengan gerakan cepat sekali hingga mata Tan Hong menjadi kabur! Kakek jembel itu masih memainkan ilmu pedang seperti tadi, akan tetapi kini ia menggunakan gerakan cepat dan ternyata bahwa ilmu pedang itu memang hebat!
Tan Hong menjadi girang sekali dan setelah kakek selesai bermain pedang, ia lalu menerima kembali pedangnya dan meniru gerakan-gerakan kakek itu. Otaknya memang cerdas dan mudah saja baginya untuk mengingat semua gerakan kakek jembel tadi.
“Bagus, bagus! Kau telah dapat memahaminya cepat sekali, pantas saja ilmu main caturmu juga hebat. Nah, kau latihlah baik-baik karena delapan belas jurus ini saja sudah cukup untuk menumpas seluruh penjahat dan perampok yang merajalela di daerah utara!”
Tan Hong lalu menjatuhkan diri berlutut, “Locianpwe, bolehkah teecu mengetahui namamu yang mulia?”
“Di daerah utara aku disebut Pembasmi Perampok oleh karena aku memang benci sekali kepada perampok-perampok jahat yang tidak kenal perikebajikan dan perikemanusiaan. Sebenarnya aku adalah Lui Song yang dijuluki orang Raja Pengemis!”
Terkejutlah Tan Hong mendengar nama ini. Jadi inikah pendekar tua yang telah mengamuk dan membasmi para perampok di utara hingga kedua saudara Ang dan Ciauw Lek juga lari karena takut kepadanya. Pantas saja, karena ia memang luar biasa hebatnya! Pernah juga ia mendengar
dari suhunya nama si Raja Pengemis yang dipuji-puji karena kehebatan ilmunya dan ia merasa beruntung bahwa kini dapat berjumpa dengan orang tua ini, bahkan telah diberi pelajaran ilmu pedang! Ia lalu berlutut lagi dan menyatakan terima kasihnya.
“Dan kau bukankah Gin-kiam Gi-to si Maling Budiman?”
Tan Hong terkejut dan khawatir, karena bukankah kakek itu menyatakan paling benci kepada perampok? Akan tetapi oleh karena ia tidak merasa pernah melakukan kejahatan yang melanggar perikemanusiaan, ia tidak takut.
“Locianpwe sungguh berpemandangan tajam, teecu memang benar Tan Hong yang disebut orang Maling Budiman,” jawabnya.
“Ha ... ,ha ..., ha ... ! Sungguh lucu! Di utara aku membasmi kawanan perampok dan maling, sebaliknya di sini aku menerima murid secara tidak langsung yang pekerjaannya juga menjadi maling! Ha, ha, ha! Tapi aku telah mendengar tentang pekerjaanmu yang mulia itu. Kalau tidak, tentu kau takkan dapat bertemu dengan aku dalam keadaan selamat!”
Raja Pengemis itu lalu mengajak Tan Hong kembali ketempat mereka bermain catur tadi. Tan Hong melihat bahwa Ong Kai dan Siok Lan telah menanti di situ lagi, akan tetapi kakek berambut putih tadi tidak berada di situ lagi. Melihat wajah Ong Kai yang berseri-seri, tiba-tiba Raja Pengemis tertawa dan berkata kepada si muka hitam, “Ha, ha, muka hitam! Apakah untuk petunjuk-petunjukmu yang telah kau berikan kepada Kim Liong Hoatsu, kau telah diberi hadiah?”
Ong Kai yang maklum bahwa kakek jembel itu bukan orang sembarangan, lalu menjawab sambil memberi
hormat, “Teecu telah menerima sedikit petunjuk dari orang tua itu. “
“Ha ..., ha ..., ha ..., bagus! Sekarang tak perlu kalian takuti lagi kedua hwesio tersesat. Naiklah ke sebelah kiri gunung ini, dan di lereng sebelah belakang akan kalian dapatkan musuh-musuh yang kalian cari-cari!” Setelah berkata demikian, si kakek jembel lalu pergi dari situ dengan tindakan kaki lebar.
Mendengar nama Kim Liong Hoatsu, terkejutlah Tan Hong.
“Ong-sute, benarkah kakek rambut putih tadi Kim Liong Hoatsu, pangcu dari sekalian penjahat di liok-lim?” tanyanya kepada Ong Kai.
“Demikianlah menurut pengakuan orang tua hebat itu.” Kemudian Ong Kai menuturkan bahwa ketika ia ikut orang tua itu memasuki hutan, kakek berambut putih itu lalu menurunkan ilmu silat tangan kosong yang disebut Ngo-lian-ciang-hwat atau Ilmu Silat lima Teratai yang mempunyai gerakan delapan belas jurus dan yang merupakan ilmu silat tinggi. Kakek berambut putih itu dengan aneh sekali mengetahui tentang perbuatannya ketika menolong puteri keluarga lai, bahkan berkata, “Muka hitam, perbuatanmu di rumah keluarga lai itu boleh dipuji dan selanjutnya kau harus selalu mengulurkan tangan menolong sesama hidup. Ngo-lian-ciang-hwat ini hanya sekedar sebagai penambah pengertian, asal kau suka melatih diri baik-baik kau tak usah takut kepada segala macam penjahat. O, ya. Keluarga Lai mempunyai maksud baik terhadap kau, jangan kau menolak!” Kemudian kakek itu lalu berkelebat dan pergi!
Tan Hong merasa girang mendengar ini, dan iapun lalu menuturkan pengalamannya. Jika kedua pemuda itu
bercakap-cakap dengan girang, adalah Siok Lan selalu menundukkan muka dan tidak mau ikut bicara. Tan Hong lalu menghampiri gadis itu yang tak berani memandang kepadanya, dan berkata halus, “Sumoi ... harap kau maafkan orang tua tadi yang bicara secara sembarangan. Memang orang-orang berilmu tinggi kadang-kadang mempunyai adat dan tingkah laku yang aneh. “
Oleh karena sikap Tan Hong yang tepat dan baik ini, hilanglah perasaan malu yang mengganggu hati Siok Lan, wajahnya berseri kembali dan bibirnya tersenyum ketika ia berkata, “Perduli apa aku akan segala kakek-kakek yang memberi upah orang dengan sedikit ilmu silat? Yang kupikirkan adalah pernyataan Kim Liong Hoatsu terhadap Ong-suheng tadi, bahwa keluarga Lai mempunyai maksud baik terhadap Ong-suheng. Alangkah tepatnya ucapan itu sehingga tiada habisnya aku heran mengapa kakek rambut putih itu dapat mengetahuinya!”
“Eh! Apa maksudmu?” tanya Ong Kai dengan heran. Juga Tan Hong ingin sekali tahu. Sementara itu, Siok Lan merasa bahwa ia telah bicara terlalu banyak, maka ia lalu menyambung, “Ah, tidak apa-apa. Aku tidak boleh menceritakan hal ini sebelum tugas kita selesai. Marilah kita melanjutkan perjalanan menurut petunjuk kakek jembel tadi!”
Mendengar ucapan ini, Ong Kai yang cerdik dapat menduga apakah yang disebut “maksud baik keluarga Lai” itu, maka diam-diam hatinya berdebar girang dan perasaan bangga bercampur malu membayang pada wajahnya yang hitam. “Sudahlah, jangan mengobrol saja di sini, mari kita pergi mencari musuh-musuh kita!” katanya.
Tan Hong hanya tersenyum oleh karena pemuda inipun dapat menduga maksud baik keluarga Lai itu. Mereka bertiga lalu melanjutkan pendakian di bukit yang tinggi dan
berbahaya ini tanpa mengalami kesukaran berkat kepandaian mereka yang tinggi. Sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Raja Pengemis, mereka menuju ke lereng gunung sebelah kiri mencari-cari tempat tinggal Bhok Kong dan Kim Kong Hwesio.
Bhok Kong dan Kom Kong Hwesio telah berhasil bertemu dengan kawan mereka Ti Bong Hosiang yang hebat dan tidak kalah jahatnya dengan mereka dan mengajak hwesio ini ke Pek-hoa-san untuk menghadapi serbuan lawan. Dengan adanya Ti Bong Hosiang, mereka berdua tidak takut akan datangnya pembalasan dari si Garuda Sakti, Maling Budiman, dan yang lain-lain.
Demikianlah ketika Bok-san Sam-hiap mendaki lereng sebelah kiri dari bukit Pek-hoasan, tiba-tiba mereka melihat kedua musuh mereka dan seorang hwesio lain lagi yang bertubuh tinggi besar berdiri di depan sebuah gua menanti mereka dengan sikap menantang!
“Bagus sekali! Kalian tiga tikus kecil telah datang mengantar kematian!” Kim Kong Hwesio menyindir dan tersenyum menghina. Hwesio tinggi besar itu memandang ke arah Siok Lan tanpa berkedip, menyatakan kekagumannya melihat kecantikan gadis itu, hingga Siok Lan merasa marah dan gemas sekali.
“Bhok Kong dan Kim Kong, hwesio cabul tersesat!” Ong Kai memaki marah. “Ternyata kalian juga telah mendatangkan seorang keparat lain untuk membantumu!”
“Aduh, musuh-musuhmu ini benar-benar muda dan tabah!” tiba-tiba Ti Bong Hosiang berkata kepada kedua kawannya dengan suaranya yang parau. “Anak-anak muda!
Ketahuilah, aku adalah tamu kedua sahabat ini dan namaku Ti Bong Hosiang. Apakah benar-benar kalian bertiga ini memusuhi Bhok Kong Hwesio dan Kim Kong
Hwesio? Sungguh aneh, bukankah ini berarti kalian mencari kesukaran dan kematian sendiri? Sayang, sayang, terutama nona ini, sayang sekali kalau sampai mendapat luka!” Setelah berkata demikian, ia pandang wajah Siok Lan dengan mulut menyeringai menjemukan.
Akan tetapi ketiga anak muda itu sama sekali tidak memperdulikan omongan Ti Bong Hosiang, ketiga anak muda itu sudah merasa marah dan benci sekali hingga pada saat itu juga mereka telah mencabut senjata masing-masing.
“Bhok Kong dan Kim Kong Hwesio. Tak perduli kalian akan dibantu oleh siapa juga, saat ini kami pasti akan mengirimkan nyawa kalian yang kotor!” kata Tan Hong sambil melangkah maju.
“Ha, ha, ha! Gin-kiam Gi-to maling rendah, kau sungguh sombong! Mengapa kau tidak ajak Lo Cin Ki si tua bangka itu ke sini? Apakah ia telah mampus kena pukulan dulu?” Kim Kong Hwesio berkata menyindir sambil mengeluarkan kebutannya yang ampuh, demikian pula Bhok Kong Hwesio.
“Hwesio bangsat, lihat pedang!” tiba-tiba Siok Lan berseru keras dan maju menyerang, oleh karena gadis ini tidak tahan lagi mendengar nama ayahnya dihina. Kim Kong Hwesio tertawa menghina dan menyambut serangan Siok Lan dengan kebutannya. Ong Kai berseru keras dan menyerbu pula, membantu sumoinya mengeroyok Kim Kong Hwesio yang hebat.
Tan Hong juga tidak mau menyia-nyiakan waktu dan segera maju menyerang dan ia diterima oleh Bhok Kong Hwesio yang memainkan kebutannya dengan sengit. Hwesio ini teringat akan kekalahannya dulu terhadap Lo Cin Ki dan kini hendak menebus kekalahan itu kepada anak-anak muda ini. Dengan menggeram keras ia putar
kebutannya sedemikian rupa hingga Tan Hong harus berlaku hati-hati sekali untuk menghadapinya.
Memang sesungguhnya, ketiga orang anak muda ini telah berlaku terlalu berani mencari kedua orang musuh besar itu bertiga saja. Sedangkan dulu, ketika Lo Cin Ki ikut turun tangan, tiga dewa dari Pek-hoa-san ini masih sukar sekali dikalahkan, dan hanya setelah mengeroyok Beng Kong Hwesio berdua bersama Siok Lan, barulah Tan Hong dan Siok Lan berhasil mengalahkan hwesio itu. Sekarang Lo Cin Ki tidak berada di situ, sedangkan kedua orang hwesio tangguh itu mendapat bantuan seorang hwesio lain! Akan tetapi, berkat ketabahan dan ketangkasan mereka, sedikitpun mereka tidak merasa takut dan menyerang dengan mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga!
Tan Hong yang menghadapi Bhok Kong Hwesio seorang diri, segera merasa betapa berat dan tangguh lawannya ini, labih tangguh daripada mendiang Beng Kong Hwesio. Sedangkan dulu ketika menghadapi Beng Kong Hwesio, pemuda ini masih berada di pihak yang terdesak, apalagi kini menghadapi Bhok Kong Hwesio yang memainkan hudtimnya dengan cara luar biasa sekali. Tan Hong harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menahan semua serangan yang dilancarkan secara bertubi-tubi dan dilakukan sambil tertawa menyindir!
Sedangkan Ong Kai dan Siok Lan yang bekerja sama, hanya dapat menangkis dan mempertahankan diri saja dari desakan Kim Kong Hwesio yang berkepandaian lebih tinggi daripada Bhok Kong! Untung kedua orang anak muda ini mendapat didikan ilmu pedang dari seorang guru, maka gerakan-gerakan mereka dapat sesuai dan cocok sekali hingga merupakan sebuah pertahanan yang kuat juga dan agaknya takkan mudah dapat dikalahkan.
Keadaan ketiga anak muda itu benar-benar terdesak dan berbahaya, sedangkan Ti Bong Hosiang sama sekali belum bertindak apa-apa, hanya berdiri menonton sambil tersenyum. Kalau hwesio yang berkepandaian amat tinggi, lebih tinggi daripada Bhok Kong atau Kim Kong ini maju pula menyerang, pasti Tan Hong dan kawan-kawannya takkan kuat mempertahankan diri lebih lama lagi!
Bhok Kong Hwesio merasa gemas sekali setelah beberapa lama menyerang belum juga dapat menjatuhkan Tan Hong yang benar-benar memiliki ilmu pedang cukup sempurna dan pertahanan yang sangat kuat. Pedang perak di tangan anak muda ini berputar cepat merupakan benteng putih yang sukar ditembus oleh hudtimnya. Sebaliknya Tan Hong menjadi sibuk juga oleh karena serbuan hwesio itu benar-benar tak memungkinkan ia melakukan serangan balasan. Tiba-tiba Tan Hong teringat akan pelajaran Sin-hong Kiam-sut yang baru saja dipelajarinya dari Raja Pengemis. Ia lalu bermaksud mempergunakan ilmu pedang baru ini, dan sambil berseru keras tiba-tiba ia merubah gerakan pedangnya yang dipergunakan untuk menyerang sambil melompat ke atas. Gerakan ini tak terduga sama sekali dan ketika Tan Hong memutar pedang dengan gerakan aneh melakukan gerak tipu Burung Hong Pentang Sayap dan menyerang pundak kiri dan kanan lawannya dengan gerakan cepat, hampir saja pundak kanan Bhok Kong Hwesio tertusuk! Pendeta ini terkejut sekali dan melompat mundur dengan wajah pucat. Tan hong merasa gembira bahwa jurus pertama dari Sin-hong Kiam-sut ternyata telah berhasil baik, maka ia lalu menyusul dengan serangan ke dua, yakni tipu gerakan Burung Hong Mematuk Ular, jurus ke lima dari Sin-hong Kiam-sut. Pedangnya yang dipakai menusuk tenggorokan musuh bergerak ke depan dan tidak seperti gerakan ilmu pedang lain yang menusuk langsung dan cepat, gerakan ini
dibarengi dengan ujung pedang yang digetar-getarkan hingga membingungkan lawan yang tidak tahu ke mana pedang itu hendak ditusukkan! Ketika pedang telah mendekati leher dan Bhok Kong Hwesio sudah mengangkat hudtimnya untuk melihat ujung pedang, ternyata bahwa tusukan pada leher itu hanyalah gertakan belaka karena sebenarnya ujung pedang diturunkan ke bawah dan langsung menusuk ulu hati!
Kembali Bhok Kong Hwesio dikejutkan oleh tipu silat yang aneh ini, dan untuk kedua kalinya ia terpaksa mengelak sambil melompat ke samping, akan tetapi secepat kilat Tan Hong sudah melayang ke atas dan mengirim tusukan ke arah kepala lawan dan kaki kirinya menendang pundak dari atas. Inilah gerak tipu Burung Hong Menyambar Rumput. Hampir saja serangan ini berhasil oleh karena Bhok Kong Hwesio kena tertipu oleh serangan pedang Tan Hong yang menuju ke kepalanya dan sama sekali tidak menduga akan datangnya tendangan kaki kiri itu. Hwesio ini tadinya telah merasa girang oleh karena tusukan pedang Tan Hong telah dapat ditangkisnya dengan hudtim, bahkan ujung kebutan itu dipakai untuk melibat pedang lawan untuk dirampas, akan tetapi ketika ia merasa sambaran yang menuju ke pundaknya, ia menjadi terkejut sekali oleh karena tahu-tahu ujung kaki Tan Hong yang hendak menendang jalan darah di pundaknya telah datang dekat sekali! !! Terpaksa ia melepaskan libatan hudtim dari pedang lawannya dan membuang dirinya ke belakang untuk mengelak tendangan yang cukup berbahaya itu!
Tan Hong makin bersemangat dan melakukan serangan dengan Sin-hong Kiam-sut bertubi-tubi. Benar-benar Bhok Kong Hwesio terdesak hebat oleh karena hwesio ini sama sekali tidak mengenal ilmu pedang yang hebat ini. Hal ini diketahui baik oleh Ti Bong Hosiang, maka hwesio ini
merasa tidak enak untuk tinggal diam saja. Ia lalu mencabut keluar sebatang tongkat kepala ular dan berkata kepada Bhok Kong Hwesio, “Bhok-bengyu mundurlah biar pinceng menghadapi bocah ini. “
Bho Kong Hwesio bernapas lega dan melompat mundur. Ia merasa gemas dan heran sekali oleh karena tidak tahu darimana pemuda itu mendapatkan ilmu pedang demukian aneh dan hebatnya. Diam-diam ia merasa kagum sekali, dan maklum bahwa ilmu pedang yang berturut-turut digerakkan oleh pemuda itu dan yang hampir saja mencelakakannya bukanlah Bok-san Kiam-hoat. Ia lalu memandang ke arah Kim Kong Hwesio yang masih dikeroyok oleh Siok Lan dan Ong Kai dilihatnya bahwa biarpun suhengnya itu mendesak hebat, namun pertahanan kedua murid Bok-san-pai itu amat kuat dan sukar sekali dirobohkan. Maka ia lalu memutar hudtimnya dan menyerbu sambil berkata, “Hai, anjing-anjing kecil, bersedialah untuk mampus!” Ia lalu menyerang Siok Lan oleh karena tahu bahwa gadis ini adalah puteri Lo Cin Ki dan ia hendak membalas sakit hatinya oleh karena kekalahannya terhadap si Garuda Sakti dulu itu kepada puterinya! Terpaksa Siok Lan meninggalkan Kim Kong Hwesio menyambut serangan Bhok Kong Hwesio. Tadinya gadis ini terkejut sekali hingga mukanya menjadi pucat ketika mendengar bentakan Bhok Kong Hwesio yang tadi ia lihat bertempur melawan Tan Hong. Dengan sangat khawatir ia menyangka bahwa Tan Hong telah kena dirobohkan, akan tetapi ketika ia mengerling dan mengetahui bahwa pemuda itu sedang bertempur melawan hwesio tinggi besar itu, ia bernapas lega dan menyambut serangan Bhok Kong Hwesio dengan penuh semangat!
Tadinya Bhok Kong Hwesio bermaksud keji, yakni hendak menawan gadis itu hiduphidup untuk
dipermainkan, akan tetapi begitu mereka bertempur, terpaksa ia membuang jauhjauh pikiran kotor itu, karena ilmu pedang gadis ini hampir sama hebatnya dengan Bok-san Kiam-hoat yang dimainkan oleh Tan Hong untuk mempertahankan diri. Pedang gadis inipun berputar cepat merupakan benteng baja yang sukar ditembus, hingga jangankan hendak menawan hidup-hidup dan mempermainkan, kalau ia tidak mengerahkan kepandaiannya pasti
ia akan terdesak. Terpaksa Bhok Kong Hwesio lalu mengeluarkan seluruh kepandaian dan tenaga hingga akhirnya Siok Lan menjadi sibuk sekali untuk mempertahankan diri. Gadis ini telah mulai lelah oleh karena ia harus terus menerus memutar pedangnya melindungi tubuhnya dari serangan hudtim yang berbahaya itu. Keringat mulai membasahi keningnya, akan tetapi setapakpun ia tidak mundur dan seujung rambutpun ia tidak menjadi takut atau bingung. Dengan menggigit bibir, ia mengeluarkan seluruh kepandaian yang pernah dipelajarinya dari ayahnya, dan mengambil keputusan untuk bertahan sampai detik terakhir! Tentu saja kenekatan gadis ini telah memperkuat pertahanannya lagi hingga untuk sementara waktu Bhok Kong Hwesio tak berdaya dan belum dapat mengalahkannya walaupun ia terus menerus mendesak keras.
Yang paling berat dan berbahaya kedudukannya adalah Ong Kai. Pemuda ini menghadapi lawan terberat dari Pek-hoa Sam-sian dan tadi ketika masih ada Siok Lan yang membantunya, mereka berduapun hanya dapat mempertahankan diri saja. Sekarang Siok Lan dipaksa menghadapi Bhok Kong Hwesio dan ia ditinggal seorang diri menghadapi amukan Kim Kong Hwesio. Tentu saja ia menjadi sibuk dan beberapa kali ujung kebutan lawannya
hampir saja merobohkannya. Ia teringat akan pelajaran Ngo-lian-ciang-hwat yang diturunkan oleh Kim Liong Hoatsu kepadanya baru-baru ini. Celakanya ilmu silat yang dipelajarinya itu adalah ilmu silat tangan kosong dan tak dapat dimainkan dengan pedang di tangan! Akan tetapi Ong Kai memang berotak cerdik dan mempunyai banyak akal. Sambil melompat mundur menghindarkan diri dari sabetan kebutan Kim Kong Hwesio, ia berseru, “He ... hwesio tua busuk! Kalau kau memang jantan simpanlah kebutan lalatmu itu dan mari kita berkelahi dengan tangan kosong! Aku merasa benci, bosan dan jijik melihat kebutan lalatmu yang bau bangkai itu!”
Kim Kong Hwesio menyangka bahwa pemuda muka hitam itu sengaja menggunakan akal dengan kata-kata keji untuk memancing supaya ia menjadi marah. Maka ia tertawa dan berkata, “Cacing! Kalau mau mampus selalu berkelejetan dulu! Kau juga anjing kecil muka hitam yang sudah menghadapi maut menjual banyak tingkah! Kau lebih senang mati di bawah kepalan tanganku daripada di bawah hudtimku? Baik, baik! Aku akan membikin kau mampus dengan sekali pukul!” Hwesio itu lalu menyimpan hudtimnya yang diselipkan di belakang punggung sedangkan Ong Kai juga menyimpan pedangnya dan memasang kuda-kuda.
Sekali lagi Kim Kong Hwesio tertawa mengejek, kemudian tiba-tiba tubuhnya meloncat maju dan menubruk mengirim serangan maut! Ong Kai mengelak ke kiri balas menyerang hingga tak lama kemudian mereka berkelahi kembali dengan lebih hebat, walaupun kini keduanya tidak memegang senjata. Mula-mula Ong Kai mainkan ilmu silat Bok-san-pai, akan tetapi baru dua puluh jurus saja mereka berkelahi, ketika Kim Kong Hwesio memukul dadanya dan Ong Kai menanti, tahu-tahu tangan yang memukul itu ubah
mencengkeram dan berhasil memegang lengan tangan Ong Kai yang menangkis! Kim Kong Hwesio tertawa menyeramkan sebaliknya Ong Kai terkejut sekali karena merasa betapa lengan tangannya sakit. Ia tak berdaya melepaskan cengkeraman ini dan tahu bahwa kematiannya telah membayang di depan mata. Tiba-tiba ia teringat akan pelajaran silat Ngolian-ciang-hwat dan ia segera memutar tubuhnya dan oleh karenanya lengan yang terpegang ikut terputar. Kemudian sambil berseru keras ia ulurkan tangan kirinya menotok ke arah lambung lawannya sambil menggerakkan lengan yang terpegang itu ke arah ibu jari tangan Kim Kong yang memegang. Hwesio ini cepat mengulur tangan untuk menangkap tangan kiri Ong Kai, tahu-tahu totokan itu ditarik kembali dan kini jari-jari tangan Ong Kai menyerang ke atas hendak menusuk matanya! Kim Kong Hwesio terkejut sekali dan sebelum ia dapat bertahan, tahu-tahu tangan kanan Ong Kai yang tadi dipegang secara aneh telah terlepas!
Inilah kehebatan ilmu silat Ngo-lian-ciang-hwat yang mempunyai bagian lemas dan keras, kuat dan tahan lama bagaikan bunga teratai dan licin pula, sesuai dengan namanya Ngo-lian-ciang-hwat, Ilmu Silat Tangan Kosong Lima Teratai! Biarpun gerakan Ngo-lianciang-hwat tadi telah menggirangkan hati Ong Kai karena telah melepaskan dirinya daripada bahaya maut, akan tetapi pada pergelangan lengan tangannya nampak bekas pegangan Kim Kong Hwesio yang membuat kulit lengannya menjadi merah dan matang biru! Bulu romanya berdiri membayangkan nasibnya apabila ia tidak dapat segera melepaskan diri tadi. Maka dengan marah ia lalu balas menyerang, kini mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat Ngo-lianciang-hwat yang baru dipelajarinya.
Kim Kong Hwesio sangat heran melihat gerakan pemuda hitam itu. Inilah ilmu silat yang belum pernah dilihatnya dan ketika Ong Kai telah menyerangnya dengan Ngo-lianciang-hwat sebanyak sebelas jurus, telah dua kali kepalan Ong Kai berhasil memasuki pertahanan Kim Kong. Sekali menghantam pundaknya dan yang kedua kali memukul pahanya. Biarpun berkat kehebatannya pukulan itu tidak mendatangkan luka, akan tetapi cukup membuat Kim Kong Hwesio menjadi terkejut, marah, dan juga takut, hingga ia berkelahi dengan lebih hati-hati dan tidak sembarangan mendesak secara membabi buta seperti tadi!
Sementara itu, Tan Hong yang menghadapi Ti Bong Hosiang benar-benar merasa bahwa kepandaian hwesio ini jauh lebih tinggi daripada kepandaian Kim Kong Hwesio. Tongkat kepala ular di tangan hwesio tinggi besar ini luar biasa hebatnya dan gerakannya menyambar-nyambar bagaikan seekor ular hidup yang sukar sekali diduga gerakannya. Sayang sekali bahwa Sin-hong Kiam-sut yang baru dipelajarinya, belum terlatih lama dan sempurna. Karena bila ilmu pedang ini telah ia latih secara sempurna dan mendalam, agaknya ia akan dapat mengimbangi permainan tongkat hwesio itu. Akan tetapi, karena ilmu pedang itu belum dipahami secara mendalam, dan tingkat kepandaian hwesio itu memang masih lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya sendiri, Tan Hong terdesak hebat dan terkurung oleh sinar tongkat yang menyerang dari semua jurusan dengan sangat berbahaya. Keadaan Tan Hong, seperti juga keadaan dua orang kawannya, benar-benar terdesak dan berbahaya sekali!
Pada saat yang berbahaya itu, dua orang kakek dengan kecepatan seperti terbang mendaki bukit Pek-hoa-san. Mereka ini tidak ialah Lo Cin Ki si Garuda Sakti Kuku Seribu dan yang seorang lagi adalah seorang tosu tua yang
berjenggot putih panjang dan berpakaian putih pula. Tosu ini adalah Cin Cin Tojin atau suhengnya, yakni guru dari Tan Hong!
Cin Cin Tojin yang sudah lama tidak bertemu dengan sutenya, pada suatu hari datang mengunjungi sute itu dan mendapatkan Lo Cin Ki dalam keadaan luka oleh musuh. Setelah mendengar penuturan Lo Cin Ki tentang peristiwa itu dan bahwa kini Tan Hong, Siok Lan dan Ong Kai bertiga sedang pergi mencari Bhok Kong dan Kim Kong Hwesio, Cin Cin Tojin merasa sangat khawatir.
“Kedua hwesio sesat itu dapat merobohkan kau, maka dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu silatnya. Kalau Tan Hong dan puteri serta muridmu pergi mencari dan bertemu dengan mereka, apakah itu tidak terlalu berbahaya?” katanya.
Lo Cin Ki menghela napas. “Habis apa dayaku? Aku harus memulihkan kembali tenagaku, dan kulihat muridmu Tan Hong itu memiliki kepandaian cukup tinggi.”
Cin Cin Tojin menggelengkan kepalanya yang sudah penuh dengan uban. “Kau terlalu percaya kepada anak-anak muda, sute! Marilah kita susul ke Pek-hoa-san, dan mudah-mudahan saja kita masih belum terlambat.”
Oleh karena Lo Cin Ki memang telah hampir sembuh dan orang tua inipun mengkhawatirkan keadaan puterinya, maka kedua pendekar tua ini lalu berangkat ke Pek-hoasan dengan cepat. Dan kedatangan mereka memang pada saat yang tepat sekali oleh karena ketiga orang muda itu justeru sedang terancam bahaya maut!
“Bhok Kong dan Kim Kong pendeta rendah budi! Marilah kita membuat perhitungan terakhir!” Lo Cin Ki berseru dan bukan main girang ketiga anak muda itu mendengar suara yang amat dikenalnya ini! Apalagi ketika
Tan Hong melihat bahwa suhunya juga datang, maka ia lalu cepat-cepat melompat keluar dari lapangan pertandingan dan berlutut di depan Cin Cin Tojin sambil memanggil, “Suhu!”
“Orang she Lo! Kau belum mampus? Baiklah, sekarang kami akan bikin mampus kamu!” Kim Kong Hwesio tidak gentar melihat kedatangan Lo Cin Ki oleh karena ia mengandalkan tenaga bantuan Ti Bong Hosiang yang hebat. Akan tetapi, ketika Ti Bong Hosiang melihat kedatangan Cin Cin Tojin, hwesio ini merasa terkejut dan menjura, “Eh, kiranya Cin Cin To-yu ikut datang pula.”
Cin Cin tojin membalas pemberian hormat itu dan bertanya, “Sahabat Ti Bong! Bagaimana menurut pandanganmu, apakah kepandaian muridku tidak terlalu mengecewakan?”
Kembali Ti Bong Hosiang terkejut karena tidak disangkanya sama sekali bahwa Tan Hong adalah murid tosu pendekar itu. Juga Bhok Kong dan Kim Kong merasa terkejut mendengar bahwa tosu yang ikut datang ini adalah guru Tan Hong. Sedangkan pemuda itu saja sudah demikian tangguh, apalagi gurunya! Akan tetapi, oleh karena maklum bahwa Lo Cin Ki tentu takkan melepaskan mereka begitu saja, dan bahwa pertandingan mati-matian tak dapat dihindarkan lagi, Kim Kong Hwesio tertawa menyindir, “Hm ..., si Garuda Sakti datang membawa jagoan. Baik, hendak kulihat sampai di mana hebatnya jago ini!” Sambil berkata demikian, Kim Kong Hwesio lalu maju dan menghantam dada Cin Cin Tojin dengan hudtimnya! Cin Cin Tojin tersenyum dan mengelak sambil melangkah mundur.
“Aduh, galak benar hwesio ini!” katanya dan iapun menyambut serangan berikutnya dengan ujung lengan bajunya yang panjang dan lebar.
“Bhok Kong, terimalah kematianmu dengan tenang!” Lo Cin Ki membentak dan menyerang Bhok Kong Hwesio yang segera menyambut dengan hudtimnya.
Tan Hong tidak tinggal diam dan ia lalu menyerang Ti Bong Hosiang lagi dengan penuh ketabahan oleh karena sekarang guru dan susioknya berada di situ. Melihat serbuan
Tan Hong, Siok Lan dan Ong kai juga tidak tinggal diam dan membantunya hingga tak lama kemudian Ti Bong Hosiang dikeroyok tiga oleh Bok-san Sam-hiap itu!
Sebetulnya Ti Bong Hosiang biarpun jahat namun ia masih merasa segan dan hormat kepada Cin Cin Tojin yang ternama dan sakti, maka tadi ia telah merasa ragu-ragu untuk membantu kedua hwesio itu. Akan tetapi kini melihat serbuan ketiga orang muda itu, ia lalu berkata keras, agaknya dengan maksud supaya terdengar oleh Cin Cin Tojin, “Anak-anak muda, kalian hendak mencoba kepandaian? Baiklah, biar pinceng saksikan kehebatan anak-anak muda sekarang!” Dengan ucapan tersebut ia bermaksud bahwa ia tidak mengambil sikap bermusuhan, hanya melayani ketiga anak-anak muda itu secara “main-main” belaka. Akan tetapi, setelah ia menghadapi ketiga anak muda itu, ia tidak mendapat kesempatan untuk main-main lagi, oleh karena biarpun kepandaian mereka ini ratarata rendah tingkatnya, namun kini digabung menjadi satu merupakan lawan yang tak boleh dipandang ringan! Apalagi ketika Tan Hong lagi-lagi mengeluarkan Sin-hong Kiam-sutnya, segera Ti Bong Hosiang dapat didesak. Hwesio ini timbul marahnya dan ia lalu mengeluarkan serangan-serangan berbahaya tanpa segan-segan lagi.
Sementara itu, Bhok Kong Hwesio yang melawan Lo Cin ki menjadi sibuk dan tak berdaya, hingga pada saat yang tepat, pedang jago tua itu berhasil menusuk
lambungnya dan tepat menembus jantung hingga Bhok Kong tak sempat berteriak lagi. Hwesio yang jahat ini roboh mandi darah dan tewas di saat itu juga!
Kim Kong Hwesio memang sudah repot menjaga desakan Cin Cin Tojin yang benar-benar tangguh dan yang memainkan ujung lengan baju hingga mengeluarkan angin pukulan dingin, kini melihat betapa Bhok Kong Hwesio telah tewas, semangatnya sebagian besar telah melayang pergi dan permainan silatnya menjadi kalut. Kalau Cin Cin Tojin mau dengan mudah saja ia dapat menewaskan hwesio ini, akan tetapi oleh karena Cin Cin Tojin telah melakukan pantangan dan tidak mau membunuh, maka tosu ini lalu melompat mundur sambil berkata kepada sutenya, “Sute, mari kaulayani musuhmu ini!” Kemudian tosu itu hanya berdiri menjadi penonton saja. Ketika ia melihat ke arah ketiga anak muda yang mengeroyok Ti Bong, hampir saja ia mengeluarkan teriakan heran. Ia lalu memandang kepada Tan Hong dengan penuh perhatian. Dari manakah anak itu mendapat gerakan-gerakan macam itu? Demikian tosu ini berpikir dengan bingung dan heran melihat gerakan pedang Tan Hong yang memainkan ilmu silat pedang Sin-hong Kiam-sut!
Ti Bong Hosiang benar-benar terdesak oleh kurungan Tan Hong bertiga. Hwesio ini merasa gemas dan malu dan mencoba untuk balas mendesak, akan tetapi Bok-san Kiam-hwat bukanlah ilmu pedang sembarangan. Apalagi sekarang dimainkan dengan hebatnya oleh tiga orang anak muda secara berbareng dalam kerja sama yang kompak dan cocok serta saling bantu hingga makin sibuklah Ti Bong Hosiang. Akhirnya dengan sebuah gerak tipu Air Hujan Tertiup Angin, ujung pedang Tan Hong berhasil melukai pundaknya dan darah mengucur membasahi jubah pendeta itu.
Ti Bong Hosiang melompat mundur dan berkata sambil menahan kemarahannya, “Sudahlah! Aku yang tua telah menerima pelajaran dari yang muda, kalau ada kesempatan baik, kelak bertemu pula!” Setelah berkata demikian, sekali tubuhnya berkelebat, Ti Bong Hosiang telah lenyap di balik pohon-pohon!
Sementara itu. Lo Cin Ki telah mendesak hebat dengan pedangnya kepada Kim Kong Hwesio yang hanya mampu menangkis sambil bertindak mundur, agaknya mencari kesempatan untuk melarikan diri. Ia sudah tidak mempunyai harapan lagi untuk menang, apalagi setelah melihat betapa Ti Bong Hosiang yang diandalkan itu telah lari pula. Akan tetapi Lo Cin ki tidak memberi kesempatan kepadanya dan ke”tika Kilm Kong Hwesio semakin kalut permainan silatnya, dengan sekali ayun, putuslah kebutan di tangan Kim Kong Hweslo dan sebelum Kim Kong Hwesio hilang kagetnya tahu-tahu si Garuda Sakti telah melayang dan tepat menendang sambungan lutut Kim Kong Hwesio! Kwesio itu tak kuasa menahan tubuhnya lagi dan ia roboh terlentang tak berdaya. Lo Cin Ki menggerakkan pedang, akan tetapi pada saat itu terdengar Ong Kai berseru, "Suhu, biarkan teecu yang membalas sakit hati ini." Dan pemuda muka hitam ini dengan marah lalu melompat mengirim bacokan ke arah leher musuhnya! Kim Kong Hwesio berusaha miringkan kepala, akan tetapi terlambat. Pedang Ong Kai yang digerakkan dengan kuat telah mengenai lehernya dan putuslah leher hwesio cabul yang Jahat Itu. Dengan mata merah menahan turunnya air mata karena terharu dan sedih mengingat akan kematian tunangannya Ong Kai lalu berlutut di depan Lo Cin Ki dan Cin Cin Tojin menghaturkan terima kasih. Kemudian, iapun mengucapkan terima kasih kepada Tan Hong dan Siok Lan yang telah membantunya hingga pembalasan dendam ini terlaksana baik.
Cin Cin Tojin lalu bertanya kepada muridnya, “Tan Hong, dari mana kau mendapatkan ilmu pedang Sin-hong Kiam-sut itu?"
Tan Hong memandang kepada suhunya dengan kagum. Ternyata pandangan mata suhunya itu tajam sekali, Ia lalu menuturkan pengalamannya di kaki-gunung tadi dan ketika mendengar bahwa murid masing-masing telah menerima petunjuk dari Raja Pengemis dan Kim Liong Hoat-su, baik Cin Cin Tojin maupun Lo Cin Ki saling pandang dengan heran. Dua orang kakek itu termasuk orang-orang tingkat tinggi yang jarang sekali mau muncul di dunia kang-ouw, apalagi Kim Liong Hoatsu yang bertapa di Kim-liong san, sedangkan si Raja Pengemis biasanya hanya bergerak di utara saja.
"Sekarang kita harus kubur kedua mayat ini baik-baik," kata Cin Cin Tojin yang merasa kasihan juga melihat mayat kedua hwesio itu. "Kita boleh membenci kejahatan mereka, akan tetapi tubuh-tubuh mereka yang hanya menjadi alat ini harus kita kembalikan kepada asalnya
-oo0dw0oo-
Jilid 06
Lo Cin Ki dan ketiga anak muda itu mematuhi perintah ini, maka mereka lalu menggali dua lubang dan mengubur dua jenazah itu baik-baik.
Kemudian, setelah penguburan itu selesai, Cin Cin Tojin berkata kepada Tan Hong dan Siok Lan, "Tan Hong, dan kau Siok Lan, aku dan sute telah membuat persetujuan dan rasanya tidak ada salahnya apabila pinto memberitahu kalian di sini juga, oleh karena sifat orang-orang ksatria tak perlu malu-malu membicarakan urusan yang baik.
Ketahuilah, kami berdua orang tua telah bermufakat untuk menyandingkan kalian sebagai suami isteri."
Baik Tan Hong maupun Siok Lan ketika mendengar pernyataan yang demikian terus terang dan tanpa tedeng aiing-aling ini keduanya menunduk, tanpa berani mengangkat muka, bahkan sedikitpun tak berani berkutik!
Untuk sesaat keadaan menjadi sunyi, dan tiba-tiba Cin Cin Tojin tertawa senang. "Tan Hong, bukankah kau seorang laki-laki? Jawablah, bagaimana pendirianmu?"
"Suhu yang mulia, teecu adalah seorang yang tidak mempunyai sanak famili yang patut ditaati dan dijunjung tinggi selain suhu seorang. Maka, mengenai diri teecu, mati atau hidup teecu serahkan seluruhnya kepada suhu." Suara Tan Hong terdengar mengharukan ketika ia mengucapkan kata-kata ini oleh karena pemuda itu teringat akan keadaan dirinya yang sebatang kara.
Cin Cin Tojin memandang ke arah muridnya dan melihat pakaian Tan Hong yang penuh tambalan serta keadaan tubuh pemuda itu yang kurus, ia merasa amat kasihan. "Tan Hong muridku, biarpun pinto maklum akan ketulusan dan kebaktian hatimu terhadap gurumu, akan tetapi pinto sekali-kali tidak akan memaksa atau memerintahkan sesuatu yang berlawanan dengan kehendak hatimu sendiri. Apalagi dalam soal perjodohan, karena bukan pinto yang akan menjalani, akan tetapi kau sendiri. Maka sebelum mendapat jawabanmu yang menyatakan setuju, pinto takkan merasa puas."
Tan Hong mengerti bahwa kata-kata suhunya ini bukan dimuksudkan untuk menggodanya, akan tetapi desakan ini berdasarkan rasa kasih sayang yang timbul dari keinginan hati orang tua itu untuk melihat ia berbahagia. Maka biarpun ia menjadi makin malu dan menundukkan
mukanya makin dalam, ia menjawab juga, "Suhu, kalau suhu menghendaki ... baiklah, teecu setuju dan teecu merasa amat bangga oleh karena diri teecu yang tidak berharga ini mendapat perhatian dari susiok. Tak lain teecu hanya menghaturkan beribu terima kasih!"
Terdengar Lo Cin Ki dan Cin Cin Tojin tertawa puas dan senang, "Bagus, Tan Hong, demikian seharusnya sikap seorang ksatria, jujur dan terus terang, tak usah malu-malu lagi," kata Lo Cln Ki.
"Dalam hal perjodohan tak perlu memandang keadaan calon menantu, yakni maksudku keadaan kekayaannya. Yang terpenting adalah keadaan batinnya. Eh, Siok Lan bagaimana dengan kau? Setujukah kau? Seperti juga Cin Cin suheng, ayahmu inipun tidak mau mempergunakan hak sebagai seorang ayah untuk memaksa anaknya. JawabJah, setujukah kau?"
Siok Lan adaJah seorang wanita, maka daJam hal ini tentu saja amat berat baginya untuk menjawab. Biarpun di dalam hati ia merasa girang dan setuju, akan tetapi mulutnya tak sanggup menyatakannya. la hanya menunduk dengan muka merah dan menggunakan jari telunjuknya untuk menggurat-gurat tanah. Sampai lama keadaan menjadi sunyi oleh karena semua orang menanti jawaban Siok Lan yang tak kunjung keluar.
Tiba-tiba Ong Kai teringat akan godaan kedua orang muda itu dulu ketika terjadi peristiwa di rumah keluarga Lai, tertawa dan ingin membalas godaan mereka. "Suhu," katanya sambil tersenyum, "sudah tentu saja sumoi setuju sekali! Hal ini kiranya tak perlu dijelaskan lagi, bukankah begitu, sumoi?"
Siok Lan menggerakkan kepalanya dan memandang kepada Ong Kai dengan marah. Tapi Ong Kai tersenyum
saja dan mengedip-ngedipkan mata seperti hendak menyatakan bahwa mereka telah "tahu sama tahu!" Melihat hal ini, Lo Cin Ki dan Cin Cin Tojin tertawa bergelak-gelak.
"Lanji, kalau kau tidak setuju dengan pendapat Ong Kai, katakanlah!" Akan tetapi ia diam saja tanpa berani berkutik. Tan Hong merasa kasihan sekali kepada "tunangannya" dan tiba-tiba ia teringat sesuatu, maka untuk membantu Siok Lan, ia lalu berkata kepada gadis itu dengan suara perlahan, "Sumoi, dulu kau berjanji akan menceritakan sesuatu mengenai keluarga Lai setelah kita berhasil menunaikan pembalasan dendam kita."
Siok Lan teringat dan wajahnya berseri. Ia tidak merasa malu lagi setelah mendengar Tan Hong bicara kepadanya. Ia lalu mengangkat muka memandang kepada ayahnya dan Ong Kai dan berkata, "Ayah, sebelum aku menyatakan pesan keluarga Lai, terlebih dulu hendak kuceritakan tentang sepak terjang gagah perkasa dari Ongsuheng yang menolong seorang gadis bernama Lai siocia!" Kemudian dengan singkat Siok Lan menceritakan peristiwa penculikan Lai Hwa Eng dan bagaimana dengan gagah Ong Kai menolong gadis itu.
"Dan sebelum kami bertiga meninggalkan rumah keluarga Lai, aku mendapat tugas untuk menjadi perantara dan menjodohkan Lai Hwa Eng dengan Ong suheng!"
Muka Ong Kai yang sudah hitam itu menjadi makin hitam ketika darah menyerbu naik ke mukanya. Ia pandang sumoinya dengan mata terbuka lebar, setengah tidak percaya dan setengah marah. Akan tetapi Siok Lan tidak memperdulikannya, lalu berkata selanjutnya, "Dan Lai Wangwe suami isteri minta supaya hal ini kumintakan perkenan dari ayah sebagai guru dan wali Ong suheng."
Lo Cin Ki tertawa geli. "Aah, kalian anak-anak muda ini memang aneh! Bagaimana menurut pandanganmu, Lanji? Apakah Hwa Eng itu seorang gadis baik?"
"Baik sekali, ayah, lebih baik daripada anakmu sendiri. Kalau ayah tidak percaya, boleh ayah bertanya kepada Ong suheng!"
Siok Lan dan Tan Hong saling pandang dan keduanya tertawa girang oleh karena mendapat kesempatan untuk menggoda dan membalas Ong Kai. Sedangkan Cin Cin Tojin yang mendengar ini hanya tersenyum saja dengan girang. Ia senang dan ikut gembira melihat kebahagiaan anak-anak muda ini, kebahagiaa yang belum pernah ia alami semasa mudanya, "Eh, Ong Kai, jadi diam-diam kau telah membuat pilihan sendiri?" Lo Cin Ki bertanya kepada muridnya. "Kau telah mendengar sendiri uraian Siok Lan, bagaimana pikiranmu? Setujukah kau? Kalau setuju, sekarang juga aku akan ikut Siok Lan pergi ke rumah keluarga Lai untuk merundingkan urusan perjodohan ini."
Sekarang Ong Kai yang merasa malu sekali dan diam saja. Tubuhnya yang tinggi besar dan kuat itu hanya duduk tak bergerak bagaikan patung, hanya kedua matanya saja kadang-kadang melirik ke arah Siok Lan dan Tan Hong yang mentertawakannya!
Setelah lama Ong Kai tak dapat menjawab, tiba-tiba Siok Lan berkata, membalas godaan Ong Kai tadi. "Ayah, tak perlu banyak ditanya lagi, sudah tentu Ongsuheng setuju sekali bukankah begitu, Ong suheng? Ayoh, Ong suheng, kalau kau tidak setuju dengan keteranganku ini, coba kau sangkal dan nyatakanlah?" Seperti halnya Siok Lan tadi, kini Ong Kaipun sama sekali tidak berani menyangkal, oleh karena memang ia telah setuju sekali dengan nona Lai Hwa Eng yang mempunyai mata dan bibir seperti mendiang tunangannya dulu!
"Baiklah kalau begitu dari sini aku dan Siok Lan akan langsung menuju ke rumah keluarga Lai dan membicarakan urusan ini," kata Lo Cin Ki dengan suara sungguh-sungguh karena ia tidak mau menggoda lebih jauh kepada muridnya.
"Nah, sekarang, anak-anak, pinto hendak bicarakan hal yang penting sekali."
“Ketahuilah, pada waktu ini, para pengacau bangsa Tartar yang mempergunakan kesempatan selagi keadaan negara sedang kacau dan sukar karena akibat bencana alam, mereka datang mengacau di perbatasan barat dan melakukan perampokan dan penculikan terhadap bangsa kita. Tentara kerajaan yang lemah tak dapat menghalau mereka, maka kini para enghiong dari seluruh negeri berhimpun dan bersatu disana, mengumpulkan tenaga untuk mengusir para pengacau itu. Kita pun tak boleh ketinggalan membela tanah air dan bangsa! Sudah menjadi tugas kewajiban kita untuk menyumbangkan tenaga untuk mengusir pengacau. Tan Hong dan Ong Kai, kalian berdua sekarang pergilah ke Seelok, di mana telah terjadi pertempuran antara pihak kita dan para pengacau yang banyak jumlahnya dan kuat. Pinto sendiri hendak mencari balabantuan di antara kawan-kawan di kalangan kangouw, sedangkan Lo sute bersama puterinya biar membereskan urusan dengan keluarga Lai terlebih dulu untuk selanjutnya menyusul ke Seelok. Nah, mari kita berpisah dari sini menjalankan tugas masing-masing dan selamat bekerja!"
Setelah berkata demikian, tosu yang gagah perkasa itu laiu meninggalkan tempat itu, dan Lo Cin Ki yang sebelumnya telah berunding dengan suhengnya, juga meninggaikan tempat itu bersama Siok Lan. Tan Hong dan Ong Kai, juga pergi dengan cepat menuju ke barat untuk memenuhi perintah Cin Cin Tojin. Di sepanjang jalan kedua pemuda ini nampak gembira dan wajah mereka
berseriseri karena telah menerima warta bahagia dari kedua guru mereka itu. Kini setelah di situ tidak ada Siok Lan dan kedua orang tua itu, Tan Hong dan Ong Kai tanpa malu-malu lagi saling menyatakan kegirangan hati mereka dan tiada hentinya mereka membicarakan keadaan tunangan masing-masing dengan hati puas!
Memang betul apa yang dituturkan oleh Cin Cin Tojin. Bangsa Tartar yang selalu menggunakan segala kesempatan untuk memasuki tapai batas Tiongkok, merampok dan menculik orang-orang dari dusun-dusun pinggir tapal batas untuk dijadikan pekerja paksa, kini mulai mengacau lagi setelah mereka dipukui mundur pada beberapa tahun yang lalu. Mereka sengaja mempergunakan kesempatan pada waktu Tiongkok mengalami kesukaran dan kekalutan berhubung dengan datangnya bencana alam itu. Pada masa itu, Kaisar Tiongkok memang kurang memperhatikan keadaan negerinya, terutama sekali oleh karena datangnya bencana aiam itu yang melemahkan semangat rakyat, maka pertahanan menjadi lemah dan tentara kerajaan yang dikirim ke perbatasan barat itu tidakkuat menghadapi pengacau bangsa Tartar yang selain berjumlah besar, juga memiliki banyak sekali orang-orang kuat yang berkepandaian tinggi.
Biarpun para ksatria di masa itu tidak senang melihat kelaliman kaisar, akan tetapi kini melihat sepak terjang para pengacau yang merampok dan menculik bangsanya, maka timbullah semangat perlawanan dan kebencian mereka. Serentak dari segenap penjuru daratan Tiongkok, para enghiong ini menujli ke perbatasan barat dan membantu dengan sukarela kepada rakyat untuk mengusir pengacau-pengacau Tartar.
Pada, waktu itu, kaum pengacau yang membanjir dari utara dan barat, berpusat di sekitar Seeipk, sebuah dusun
besar di dekat tapal batas Tiongkok. Di daerah inilah pertempuran-pertempuran besar terjadi dan setiap hari banyak pendekar-pendekar datang ke tempat ini untuk menyumbangkan tenaganya.
Ketika Tan Hong dan Ong Kai tiba di dusun ini, yang menjadi pemimpin para enghiong adalah Lee Kun, seorang pendekar yang tersohor gagah perkasa dari selatan. Lee Kun adalah seprang tokoh persilatan yang paham akan segala macam ilmu silat, terutama dalam ilmu silat Siauw lim pai dan Butongpai. Usianya empat puluh tahun lebih dan walaupun tubuhnya tak beberapa besar, namun alis matanya yang tebal dan hitam itu membuat mukanya tampak gagah dan menakutkan.
Lee Kun menyambut kedatangan Tan Hong dan Ong Kai dengan gembira, apalagi ketika ia mendengar bahwa keduanya adalah muridmurid Cin Cin Tojin dan Lio Cin Ki si Garuda Sakti yang telah terkenal itu. Ketika ia mendengar kenyataan bahwa Tan Hong adalah Gin kiam Gin to, ia membelalakkah matanya dengan kagum ia berkata, "Ah, Tan hiante, tak kusangka bahwa Gin-kiam Gi-to yang tersohor di kalangan kangouw itu, adalah seorang yang masih begini muda seperti engkau!"
Tan Hong menjawab dengan ucapan merendah, "Lee taihiap, aku yang muda dan bodoh tak pantas dikagumi."
Lee Kun tertawa dan merasa senang melihat kesopanan anak muda ini. Iapun kagum melihat sikap Ong Kai yang gagah seperti Thio Hwi (seorang tokoh besar dalam cerita sejarah Sam Kok).
"Dari mengapa kedua suhu kalian tidak tiatang?” tanyanya.
"Suhu sedang melanjutkan perjalanan mencari kawan-kawan pembantu yang hendak dibawa ke sini untuk
membantu pula." jawab Ong Kai hingga Lee Kun menjadi makin girang.
“Ah, kalau semua orang seperti kedua suhumu dan kalian berdua saudara muda ini turut membantu, sebentar saja para pangacau itu tentu dapat terbasmi habis!" katanya sambil menghela napas.
"Sayang, sebagian besar para ksatria pada waktu ini hanya mengingat kepentingan sendiri saja dan sama sekali tidak mau memperdulikan keadaan negara dan rakyat. Sungguh sayang!"
Para pendekar, yang telah datang dan membantu di tempat itu berjumlah empat puluh orang lebih yang dipencarpencar ke tempat sepanjang batas negeri untuk memperkuat penjagaan tentara kerajaan dan membantu para perwira kerajaan. Tan Hong dan Ong Kai lalu mendapat tugas dari Lee Kun untuk membantu pertahanan di Pegunungan Kimkesan, karena di situ seringkali mendapat serbuan para pengacau yang dipimpin oleh orang-orang pandai. Lee Kun yang menduga akan ketinggian ilmu silat kedua pemuda ini, tak ragu-ragu lagi mengirim mereka ke tempat yang paling berbahaya, di mana kedudukan musuh paling kuat.
Kedatangan Tan Hong dan Ong Kai di Kimkesan mendapat sambutan riang gembira dari para petugas di situ, oleh karena mereka telah berkali-kali mendapat gangguan serangan para pengacau yang sangat kuat hingga menderita banyak kerugian. Dalam keadaan seperti itu, makin banyak datangnya balabantuan, makin menggirangkan mereka. Dan pada saat itu yang memimpin penjagaan di Kimkesan adalah seorang perwira bernama Bu Sam Kwi. Perwira ini masih muda dan lagaknya sombong sekali, oleh karena ia merasa bahwa dirinya sudah sangat pandai dan gagah perkasa. Memang ia memiliki ilmu silat cabang Kunlun
yang cukup tinggi. Ia terkenal keras memegang peraturan hingga ditakuti oleh anak buahnya, sedangkan beberapa orang enghiong yang datang sebagai pembantu sukarela, tidak dapat bergaul dengannya.
Biarpun Bu Sam Kwi tidak beram menolak bantuan para enghiong ini dan tidak berani terang-terangan menceia atau memandahg rendah kepada mereka, namun sikapnya terhadap mereka acuh tak acuh.
Padahal lima orang enghiong yang dikirim Lee Kun untuk membantunya, bukanlah orang sembarangan, karena mereka ini adalah Biciu Ngoeng (Lima Pendekar dari Biciu) yang cukup terkenal. Baru setelah tempat penjagaan yang berada di bawah pengawasannya itu diserang berkali-kali oleh pengacau Tartar dan ia menderita banyak sekali kekalahan dan berkat bantuan kelima pendekar itu saja maka tempat penjagaan tak sampai jatuh di tangan musuh, ia muiai bersikap lebih ramah dan hormat.
Tah Hong dan Ong Kai disambut dengan hangat oleh Biciu Ngoeng dan setelah penyambutan resmi dilakukan oleh Bu Sam Kwi, kelima pendekar yang sudah ianjut usia itu lalu mengajak Tan Hong dah Ong Kai untuk bicara di tenda mereka. Biciu Ngoeng ini lalu menuturkan keadaan di situ dan memesan agar mereka berdua suka melakukan pekerjaan menurut pendapat dan kebijaksanaan sendiri saja, pleh karena kalau hanya menurut perintah Bu Sam Kwi yang sombong, tapi sebenarnya tidak pandai apa-apa itu, maka bantuan mereka akan sia-sia belaka.
"Telah berkali-kali kami berlima mehgusulkan supaya mengejar dan memukul pengacau di tempat pemberhentian mereka, karena kami menganggap menanti datangnya serbuan mereka bukanlah taktik yang sempurna. Kita menjadi lelah karena melakukan penjagaan saja tanpa mengetahui bila mereka akan datang menyerbu, sedangkan
para pangacau itu dengan enaknya dapat mempermainkan kita. Kalau kita mengantuk karena terlalu lama menjaga, mereka tiba-tiba datang menyerbul"
Tan Hong dan Ong Kai tidak banyak mengerti tentang taktik peperangan akan tetapi mereka dapat juga memberikan pendapat pendekar tua itu.
“Bagaimana mereka itu bisa mengetahui keadaan kita?" tanya Ong Kai dan mereka berdua mendapat jawaban yang membuat keduanya tertegun karena heran.
"Ketahuilah, jiwi hiante, agaknya pihak pengacau mempunyai banyak kaki tangan yang terdiri dari bangsa kita sendiri di sini dan dimana-mana, bahkan setiap tempat penjagaan kami rasa terdapat pula mata-matanya!" Kata-kata ini diucapkan dalam bisikan.
"Bangsat benar!" Tan Hong memaki marah. "Kalau aku dapat menangkap pengkhianat macam itu, tentu takkan kuberi ampun! Dan sudah tahukah Lee enghiong akan hal ini?"
Kelima jago dari Biciu itu mengangguk, "Kami semua sudah tahu dan bahkan sudah banyak yang kami tangkap dan kami bunuh. Akan tetapi agaknya ada seorang pemimpinnya di daerah ini yang mengatur semua langkah-langkah mereka itu hingga pihak pengacau telah mengetahui semua rencana kita. Karena inilah, maka tiap Lee enghiong mengadakan sergapan, selalu sarang pengacau itu didapati kosong!"
Tan Hong dan Ong Kai merasa gemas sekali. Mereka berjanji di dalam hati untuk membasmi pengkhianat-pengkhianat ini!
Penuturan Biciu Ngo eng memang betul terjadi dan hal ini sebenarnya tidak aneh. Para perwira yang membantu
dan mendatangi daerah barat di mana terjadi pergolakan ini, terdiri dari bermacam-macam orang. Ada piauwsu, guru silat, pendeta, perampok dan siapa saja yang memiiiki kepandaian dan kesanggupan bertempur. Dan hal inipun diketahui oleh pihak pengacau yang merasa betapa beratnya menghadapi sekalian orang-orang pintar ini, lebih berat daripada menghadapi tentara-tentara kerajaan yang banyak jumlahnya, akan tetapi yang tidak becus bertempur. Maka mereka lalu mencari akal. Diam-diam mereka mengutus kaki tangannya untuk menghubungi para pembantu sukarela ini dan memilih-milih mereka yang memang berbatin rendah. Dengan pengaruh emas mereka akhirnya dapat juga mempengaruhi beberapa tokoh liok-lim untuk diam-diam membantu pihak mereka dan menjalankan pekerjaan sebagai mata-mata dan penyelidik! Bahkan tidak kurang jumlahnya tentara kerajaan yang kena disuap hingga merekapun menjadi pengkhianat bangsa!
Bu Sam Kwi memandang rendah kepada Tan Hong dan Ong Kai dan iapun memperlakukan kedua anak muda ini dengan dingin saja, akan tetapi kedua pendekar ini yang sudah mendengar dari Biciu Ngo eng akan sikap perwira ini, tidak ambil pusing.
Malam harinya, kembali para pengacau datang menyerbu dari sebelah kiri di mana penjagaan tidak begitu kuat. Banyak tentara kerajaan kena disergap dan tewas. Kebetulan sekali Tan Hong dan Ong Kai yang meronda di bagian itu untuk melihat-lihat pertahanan sebagai pendatang-pendatang baru yang perlu mengetahui kedudukan pihaknya, berada di situ pada saat penyerbuan terjadi. Kedua anak muda ini lalu mencabut pedang mereka dan mengamuk hingga banyak sekali pengacau tewas di ujung pedang mereka. Pengacau-pengacau yang menyerbu
menjadi kalangkabut dan mereka segera mundur kembali ke tempat gelap.
Para tentara kerajaan merasa bersyukur dan tiada habis-habisnya memuji kedua orang muda itu. Hal ini lalu terdengar oleh Bu Sam Kwi yang segera mengubah sikapnya dan menyatakan terima kasih kepada kedua pendekar itu. Tan Hong lalu berkata kepada Bu Sam Kwi, "Bu ciangkun, melihat datangnya serbuan malam tadi, maka akupun beranggapan bahwa sudah seharusnya kita mendahului dan mengejar serta memukul mereka di tempat mereka. Hal ini lebih baik daripada kita harus berjaga-jaga selalu tanpa mengetahui bila mereka akan bergerak menyerang kita. Pula, pertempuran di siang hari lebih menguntungkan kita, di mana kita dapat mengadu kepandaian secara terbuka. Kurasa kita takkan kalah oleh mereka yang hanya memiliki tenaga besar, akan tetapi kurang pandai memainkan senjata."
Bu Sam Kwi memperlihatkan muka tidak senang. "Tan enghiong, aku mendapat tugas dari kerajaan untuk menjaga tempat ini, bukan untuk menyerbu tempat mereka, dan aku tidak mau mengorbankan jiwa anak buahku. Bagaimanapun juga, aku merasa bahwa lebih baik kita berjaga daripada menyerbu tempat mereka yang belum kita ketahui betul. Bagaimana kalau mereka menjebak kita dan mengurung dengan barisan yang besar jumlahnya? Tidak, Tan enghiong, aku tidak sebodoh itu!"
Tan Hong merasa sebal dan gemas sekali, akan tetapi kareha yang memegang komando di situ adalah Bu Sam Kwi, ia tidak berani memaksa. Pada keesokan harinya, ia dan Ong Kai kembali ke Seelok untuk mengadakan perundingan dengan Lee Kun dan untuk mengusulkan agar supaya semua pendekar bergerak sendiri mengejar dan menyerbu para pengacau itu di luar tapal batas.
Pada saat ia dan Ong Kai memasuki dusun Seelok, tiba-tiba Tan Hong memegang tangan Ong Kai dan menarik kawan ini bersembunyi di belakang pohon besar. Tan Hong menunjuk ke arah seorang tua yang mendatangi dari depan. Ong Kai memandang dan dadanya berdebar ketika ia mengenali orang itu dan yang tidak lain adalah Ang Houw, kepala rampok yang dulu pernah bentrok dengan mereka dan telah dikalahkan oleh Tan Hong.
"Apa maksudnya datang ke tempat ini?" bisik Tan Hong.
"Mungkin jiwa patriotnya tergerak dan ia datang hendak membantu," jawab Ong Kai.
Tan Hong menggeleng-gelengkan kepala. "Ah, aku tidak bisa mempercayai orang seperti dia itu." Diam-diam mereka lalu mengejar dan mengikuti kepala rampok itu. Ang Houw masuk ke dalam sebuah rumah penginapan dan Tan Hong lalu melompat ke atas genteng melakukan pengintaian. Dari celah-celah genteng ia melihat kepala rampok itu memasuki sebuah kamar, menurunkan buntalannya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil dari buntalan itu yang lalu dimasukkan ke dalam saku bajunya. Tan Hong makin curiga, ia segera melompat turun lagi dan diceritakannya kepada Ong Kai apa yang telah dilihatnya.
"Kita pura-pura tidak tahu saja," kata Ong Kai, "kurasa kotak itu mempunyai maksud kurang baik. Biarlah kita temui dia dengan biasa saja, akan tetapi diam-diam kita selidiki dan ikuti ke mana ia pergi." Tan Hong menyatakan persetujuannya dan mereka tidak jadi menjumpai Lee Kun, oleh karena ketika itu Ang Houw telah keluar dari kamarnya dan menggendong buntalannya lagi, lalu perampok itu berjalan cepat menuju ke ... Kimkesan!
Kemudian ternyata bahwa perampok itu juga diperbantukan ke Kimkesan oleh Lee Kun atas permintaan
Ang Houw sendiri oleh karena ia mendengar bahwa di tempat itulah yang paling membutuhkan tenaga pembantu yang pandai dan kuat. Ketika Ang Houw telah menghadap Bu Sam Kwi dan memberikan surat Lee Kun kepada perwira itu, Tan Hong dan Ong Kai muncul menjumpainya. Ang Houw nampak terkejut dan pucat, tak disangkanya sama sekali akan bertemu dengan kedua anak muda itu di situ. Akan tetapi, dengan ramah tamah Tan Hong menjura dan berkata, "Ah, Ang loenghiong juga datang membantu? Bagus sekali, sekarang kita menjadi kawan seperjuangan."
Lega hati Ang Houw melihat sikap Tan Hong ini, maka iapun balas menjura dan berkata, "Aku girang melihat Tantaihiap juga berada di sini. Dengan adanya kau orang muda yang gagah ini, kita tak usah merasa takut terhadap serangan pengacau!"
Ketika Bu Sam Kwi mengajak Ang Houw memasuki kamarnya karena katanya hendak membicarakan sesuatu perintah yang penting mengenai pertahanan tempat itu, diam-diam Tan Hong mengintai dari belakang tenda. Ia membuat lubang kecil dan mengintai ke dalam. Hatinya berdebar ketika ia melihat betapa Ang Houw mengeluarkan kotak kecil itu dan menyerahkannya kepada Bu Sam Kwi dan ketika perwira itu membuka kotak tersebut, ternyata kotak itu penuh berisi batu-batu permata yang besar berikut sepucuk surat!
Malam itu, kembali para pengacau mengadakan serbuan yang dilakukan secara besar-besaran, agaknya hendak menebus kekalahannya malam tadi. Tan Hong lalu berbisik kepada Ong Kai, "Kau layanilah pengacau-pengacau itu dan ajak Ang Houw bertempur bersama. Aku tinggal di sini menyelidiki isi surat itu."
Ong Kai mengangguk maklum dan ia lalu bersama Biciu Ngo eng mengajak Ang Houw untuk menolong bagian yang diserang oleh para pengacau. Ang Houw lalu ikut mereka mengusir pengacau yang datang menyerbu.
Tan Hong kembali mengintai di dalam tenda Bu Sam Kwi. Ia melihat betapa perwira muda itu enak-enak menghitung dan mengagumi permata yang diterimanya dari Ang Houw, sama sekali tidak memperdulikan adanya serbuan pengacau malam itu! Tan Hong lalu mengambil keputusan cepat. Ia cabut keluar pedang peraknya, lalu sekali ia menggerakkan tangan, tenda itu telah pecah dan robek hingga ia dapat melompat ke dalam. Bu Sam Kwi terkejut sekali dan melompat berdiri memandang. Ketika melihat Tan Hong masuk dengan pedang terhunus perwira inipun lalu mencabut pedangnya dan membentak, "Tan enghiong! Apa maksudmu memasuki tendaku tanpa dipanggil dan dengan cara sekasar ini?"
Tan Hong tersenyum. "Tidak apa-apa, hanya serahkanlah peti kecil dan surat dari Ang Houw tadi!"
"Kau hendak merampok?" bentak Bu Sam Kwi, akan tetapi dari mukanya yang pucat Tan Hong maklum bahwa tentu ada rahasia sesuatu dalam surat itu.
"Tidak, aku hanya hendak melihat surat tadi!"
Tiba-tiba tangan kiri Bu Sam Kwi menyambar sehelai surat yang tadi terletak di atas meja dan cepat ia menghampiri lilin hendak membakar surat itu. Akan tetapi sebuah tendangan dari Tan Hong membuat surat itu terlepas dan cepat sekali Tan Hong berhasil menyambar surat itu. Dengan tangan kiri Tan Hong membaca surat yang ternyata ditulis oleh Pangeran Liong Tek Ong dari kota raja!
"Bangsat, serahkan surat itu kepadaku," Bu Sam Kwi membentak sambil menusuk dengan pedangnya. Akan tetapi, tanpa melepaskan matanya dari surat yang dipegang di tangan kiri, Tan Hong menggerakkan pedangnya menangkis keras hingga pedang Bu Sam Kwi hampir terlepas dari pegangan! Sementara itu, ketika membaca surat tersebut, makin lama wajah Tan Hong makin merah dan sepasang matanya memancarkan sinar kilat. Setelah selesai, pada saat ia melipat surat itu dan memasukkannya ke dalam saku bajunya, kembali Bu Sam Kwi menyerang. Kini Tan Hong tidak memberi kesempatan kepadanya, dan terus memaki, "Bangsat pengkhianat!"
Pemuda ini lalu menangkis sekerasnya hingga pedang perwira itu terlempar menancap tenda dan sebelum ia dapat melarikan diri, pedang perak di tangan Tan Hong telah menembusi punggungnya! Bu Sam Kwi roboh dan tewas. Tan Hong lalu menuju ke tempat pertempuran untuk mencari Ang Houw, akan tetapi Ang Houw telah lari dari situ, bahkan Ong Kai sendiri yang tadi melihat Ang Houw bertempur bersama-sama, tidak tahu ke mana larinya kepala rampok itu. Ketika semua orang kembali setelah berhasil memukul mundur para pengacau, mereka terkejut sekali melihat bahwa Bu Sam Kwi telah mati di dalam tendanya dengan sebuah luka tikaman pedang yang menembusi dadanya!
Ributlah keadaan di situ dan semua orang yang menduga-duga siapa yang berani membunuh perwira ini. Oleh kareha Ang Houw yang baru datang tidak narnpak di situ, maka semua orang menduga bahwa tentu orang itulah yang membunuh Bu Sam Kwi. Yang tahu akan duduknya hal itu sebenarnya hanyalah Tan Hong dan Ong Kai. Ketika Tan Hong memperlihatkan surat yang dirampasnya
dari tangan Bu Sam Kwi itu kepada Ong Kai, pemuda muka hitam inipun merasa marah sekali.
"Sayang aku tidak tahu sebelumnya, kalau aku tahu, tentu aku akan menikam dada Ang Houw si pengkhianat tua itu!" katanya menyesal.
Hal adanya surat ini dirahasiakan benar oleh kedua anak muda itu, bahkah Biciu Ngo eng pun tidak mereka beritahu. Pada keesokan harinya, Tan Hong dan Ong Kai menuju ke Seelok dan menjumpai Lee Kun. Tan Hong mengusulkan agar supaya semua enghiong dikerahkan untuk memukul para pengacau di tempat persembunyian mereka, dan kemudian ia memperiihatkan surat rahasia yang dirampasnya.
Setelah membaca surat itu dan mengembalikannya kepada Tan Hong, wajah Lee Kun menjadi pucat. "Pantas saja pengacau-pengacau ini sukar dikalahkan, rupanya mereka telah berhasil menyuap banyak pengkhianat, bahkan telah mengadakan kontak dengan pangeran yang hendak memberontak di kota raja! Baiklah, sekarang kita kerahkan tenaga untuk memukul mereka itu sebelum mereka sempat bersiap-siap!"
Lee Kun lalu mengirim kawan-kawan untuk memanggil enghiong yang disebar di berbagai tempat dan pada hari itu juga, empat puluh orang lebih pendekar tinggi berkumpul di SeeIok. Kemudian, setelah mengadakan perundingan, mereka memutuskan bahwa besok pagi-pagi mereka akan menyerbu dan naik ke bukit sebelah luar tapal batas untuk mencari dan mengusir barisan Tartar. Oleh karena komandan daerah itu telah tewas dan kini kedudukannya masih kosong, maka tidak ada orang dari tentara kerajaan yang berani menghalangi maksud para enghiong ini, bahkan di antara para perwira bawahan banyak yang
mengatakan hendak membantu hingga kepergian para enghiong itu diikuti oleh ratusan orang tentara kerajaan!
Operasi pembersihan yang diiakukan oleh Lee Kun dan kawan-kawannya berhasli baik. Tempat persembunyian pertama telah dapat dihancurkan dan para pengacau banyak yang ditewaskan, selebihnya melarikan diri, terus dikejar oleh Lee Kun dan kawan-kawannya.
Akan tetapi pada hari ke dua, dari atas puncak bukit turunlah barisan pengacau yang besar jumlahnya dan barisan ini dikepalai oleh belasan perwira bangsa Tartar yang berpakaian indah dan garang sekali nampaknya. Dan yang mengherankan para enghiong ialah bahwa di antara belasan perwira Tartar ini kelihatan pula dua orang hwesio gemuk bangsa Han (Tionghoa) yang memegang senjata toya panjang yang berat!
Pertempuran hebat terjadi tanpa banyak tanya jawab lagi, dan para perwira bangsa Tartar itu benar-benar tangguh dan hebat ilmu silatnya terutarna kedua orang hweisio yang bernama Kang Sian Hosiang dain Kang Ban Hosiang itu benar-benar berilmu tinggi sekali hingga Lee Kun, Tan Hong dan Ong Kai yang mengeroyok mereka ini terdesak hebat dan tak sanggup melawan karena ilmu silat kedua orang kepala gundul yang membela pengacau itu benar-benar berada setingkat lebih tinggi daripada kepandaian mereka. Kali ini oleh karena pihak pengacau lebih besar jumlahnya dan mempunyai banyak orang pandai, maka pihak para ksatria itu terpukul hebat dan banyak diantara tentara dan enghiong gugur dalam pertempuran itu. Akan tetapi, oleh karena orang-orang itu memang pantang mundur, mereka masih tetap mengadakan perlawanan yang menimbulkan kerugian bukan sedikit di pihak pengacau. Tan Hong yang tak pernah menjauhi Ong Kai, mengamuk hebat bersama si muka hitam itu dan
mereka berdua kini menahan serangan Kang Sian Hosiang dengan mati-matian! Biarpun telah dikeroyok dua oleh kedua pemuda itu, namun Kang Sian Hosiang masih dapat mendesak dengan toyanya yang diputar bagaikan mengamuknya seekor naga hitam yang ganas dan liar.
Sementara itu dengan bantuan dua orang dari kelima Biciu Ngoeng, Lee Kun mengeroyok Kang Ban Hosiang, tapi ketiga orang pendekar inipun terdesak hebat oleh toya Kang Ban Hosiang! Sungguh keadaan para patriot itu terancam bahaya maut pada saat itu dan agaknya tak lama lagi mereka akan tersapu bersih semua!
Akan tetapi, pada saat itu, dari bawah bukit mendatangi belasan orang di bawah pimpinan Cin Cin Tojin dan Lo Cin Ki. Di antara belasan orang ini nampak juga Siok Lan yang berlari dengan gagah sekali. Oleh karena rata-rata belasan orang ini berkepandaian tinggi maka mereka dapat maju cepat sekali mendaki bukit menuju ke arah suara teriakan-teriakan pertempuran yang sedang berlangsung.
Datangnya bala bantuan ini mendatangkan semangat baru bagi para enghiong yang sudah amat terdesak dan ketika belasan orang pembantu ini menyerbu, para pengacau terdesak mundur dan banyak yang roboh bergelimpangan di bawah amukan para enghiong itu. Siok Lan juga mengamuk dan matanya mencari-cari Tan Hong dan Ong Kai. Alangkah terkejutnya dan khawatirnya ketika ia melihat betapa kedua pemuda itu terdesak hebat sekali oleh seorang hwesio gemuk yang memainkan toyanya dengan hebat sekali.
Akan tetapi, pada saat itu Cin Cin Tojin dan Lo Cin Ki juga telah melihat bahwa pimpinan rombongan pengacau yang paling tinggi kepandaiannya ialah kedua orang hwesio itu, maka kedua orang pendekar tua ini lalu melayang maju dan menggantikan Tan Hong dan yang lain-lain
menghadapi kedua orang hwesio bersenjata toya itu. Tan Hong, Ong Kai, Lee Kun dan yang lain-lain lalu melayani perwira-perwira Tartar lain yang segera terpukul mundur dan banyak yang tewas.
Gin Cin Tojin menghadapi Kang Sian Hosiang dan menangkis serangan toya, dengan kebutan ujung lengan bajunya sambil berkata, "Sahabat, bukankah kau juga orang Han, mengapa kau membela penjahat-penjahat yang merusak negara dan menggangu bangsa? Apakah kau tidak memiliki jiwa ksatria sedikit juga?"
Akan tetapi Kang Sian Hosiang membentak marah, "Tosu siluman jangan banyak cakap. Rasakan pukuian toyaku yang akan menghancurkan kepalamu!" Dan ia terus maju dengan hebat sekali, akan tetapi dengan tenang Cin Cin Tojin dapat menghadapinya dan balas menyerang tak kalah hebatnya.
Lo Cin Ki melawan Kang Ban Hosiang dan mereka berdua juga bertempur dengan sama kuatnya. Pendekar tua Garuda Sakti itu memutar-mutar pedangnya dan memainkan ilmu pedang Boksan Kiamhoat yang asli hingga tubuhnya lenyap dalam sinar pedang hingga Kang Ban Hosiang merasa terkejut sekali.
Sementara itu, perlahan-lahan pihak pengacau telah berkurang kekuatannya, bahkan telah banyak yang melarikan diri mundur ke belakang gunung, dikejar-kejar oleh barisan kerajaan. Akhirnya yang bertempur di situ, hanyalah kedua hwesio melawan kedua jago tua dan para pendekar yang lain hanya menonton saja, karena mereka merasa bahwa kepandaian mereka terlampau rendah untuk ikut mengeroyok.
Tiba-tiba terdengar pekik kesakitan ketika Cin Cin Tojin berhasli menotok dada kiri lawannya dengan ujung lengan
bajunya. Toya Kang Sian Hosiang terlepas dan tubuh hwesio gemuk itu terhuyung mundur sedangkan wajahnya pucat sekali. Hwesio yang telah kena pukulan penuh tenaga iweekang ini mendapat luka hebat di dalam dadanya dan tanpa memperdulikan saudaranya, ia lalu melarikan diri! Cin Cin Tojin menghela napas dan merasa menyesal bahwa ia terpaksa harus melukai orang.
Ketika melihat betapa kakaknya dapat dikalahkan, Kang Ban Hosiang menjadi khawatir dan bingung hingga gerakan toyanya menjadi lambat. Kesempatan ini digunakan oleh Lo Cin Ki untuk mendesak dengan pedangnya dan akhirnya ia berhasil membacok paha lawannya hingga Kang Ban Hosiang roboh mandi darah. Sebelum orang lain dapat mencegahnya, hwesio yang telah putus harapan dan malu kalau sampai tertawan sebagai pengkhianat bangsa, lalu menggerakkan toyanya sendiri memukul kepala, hingga kepalanya yang gundul itu pecah dan jiwanya melayang!
Tan Hong memandang kepada Siok Lan dengan girang dan wajahnya berseri. Juga para pendekar merasa gembira mendapat bantuan yang tak diduga-duga ini, karena tadinya mereka telah merasa bahwa akhirnya mereka semua akan gugur. Mereka menyambut kedua pendekar tua itu dengan muka gembira dan mengucapkan terima kasih serta menyatakan kekaguman mereka.
Akan tetapi pada saat itu dari atas gunung datang pula serombongan perwira dan di depan sekali nampak seorang pendeta Lama yang berkepala gundul lari bagaikan terbang cepatnya. Ketika pendeta Lama ini berada di depan para patriot, mereka melihat bahwa Lama ini bertubuh tinggi sekali dan bermata biru, sedangkan jubahnya yang lebar itu berwarna kuning. Pendeta Lama ini memegang sebuah tongkat panjang yang ujungnya dipasangi kaitan besi yang berkilau karena tajamnya. Lama ini berdiri sambil bertolak
pinggang dan menantang, “Hai, orang-orang Han. Majukan jago-jagomu untuk melawanku kalau memang kalian orang-orang ksatria!"
Cin Cin Tojin dan Lo Cin Ki maju berbareng dan menjura, "Tidak tahu siapakah losuhu yang mulia?"
Lama memandang dengan tajam kepada dua orang pendekar tua ini, lalu ia tertawa, "Ha, ha, ha, pantas saja kawan-kawanku lari kocar kacir! Rupanya ada kalian dua tua bangka! Ayoh, kalian maju dan menerima kematian dari tangan Pek Lek Hoatsu!"
Cin Cin Tojin dan Lo Cin Ki terkejut mendengar nama ini dan mereka maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang pendeta berilmu tinggi. Akan tetapi oleh karena pada saat itu mereka merupakan wakil dari rakyat yang mengusir kaum pengacau sedangkan pendeta Lama itu adalah pelindung para pengacau sendiri, mereka tidak merasa takut-takut. Lo Cin Ki lalu menggunakan pedangnya menyerang, akan tetapi ketika Pek Lek Hoatsu menangkis dengan toyanya yang panjang. Lo Cin Ki berseru kaget dan melompat mundur dan ketika ia melihat telapak tangannya yang terasa perih, ternyata bahwa telapak tangannya telah lecet dan mengeluarkan darah! Alangkah hebat ilmu Iweekang pendeta Lama itu! “
Cin Cin Tojin dan Lo Cin Ki maklum bahwa mereka berdua bukan lawan pendeta Lama itu, akan tetapi mereka tidak mau memperlihatkan kelemahan, maka segera mereka maju berbareng.
"Ha, ha, ha! Bukankah kalian ini dua orang tua bangka dari Boksanpai? Ketahuilah, ketika dulu guru kalian melawanku, dia masih belum dapat mengalahkan aku, apalagi kalian ini yang hanya berkepandaian rendah." Akan tetapi kedua pendekar tua itu tidak memperdulikan
ocehannya dan terus menyerang dengan hebat. Namun, begitu Pek Lek Hoatsu memutar senjatanya yang mengeluarkan cahaya berkilauan, keduanya terpaksa bertempur sambil mundur! Permainan tongkat Pek Lek Hoatsu benar-benar luar biasa dan tenaganyapun besar sekali.
Pada saat itu, entah dari mana datangnya, tahu-tahu di situ telah berdiri dua orang kakek yang aneh dan ketika Tan Hong dan Ong Kai memandang, mereka merasa girang sekali oleh karena segera mengenali bahwa mereka ini adalah Raja Pengemis Lui Song dan Kim Liong Hoatsu si kakek rambut putih!
Pada saat itu si Raja Pengemis menggunakan jari telunjuknya menuding kearah Kim Liong Hoatsu sambil tertawa berkakakan, "Eh, eh, lagi-lagi kau datang juga hendak membawa pahala! Agaknya dalam segala hal, kecuali dalam permainan catur, kau tidak mau kalah dariku, kakek ubanan!"
Juga Kim Liong Hoatsu tertawa. "Jembel tua! Jangan banyak bicara, perlihatkan kepandaianmu!"
Si Raja Pengemis lalu melangkah maju ke arah mereka yang sedang bertempur dan berseru keras kepada kedua jago tua yang mengeroyok pendeta Lama itu, "Kalian orang-orang Bok san pai mundurlah!"
Cin Cin Tojin dan Lo Cin Ki yang telah amat terdesak itu segera melompat ke belakang dan ketika Pek Lek Hoatsu melihat siapa orangnya yang menghadang di depannya, wajahnya berubah pucat. Akan tetapi ia membesarkan suaranya untuk menutupi rasa takutnya ketika ia berkata, "Ah! Si Raja Pengemis juga datang ke sini, apakah kau hendak mengemis?"
Lui Song si Raja Pengemis itu tertawa geli. "Benar, aku hendak mengemis, akan tetapi yang kuminta adalah jiwamu yang kotor!"
Tanpa berkata-kata lagi Pek Lek Hoatsu lalu mengayun tongkatnya menghantam kepala Raja Pengemis itu yang segera mengelak dengan mudah dan cepat. Sambil mengelak, jembel tua itu memaki-maki dan memperolok-olok, hingga Pek Lek Hoatsu menjadi makin marah dan gemas. Serangannya makin cepat dan bertubi-tubi hingga tongkat di tangannya seakan-akan berubah menjadi puluhan bahyaknya yang kesemuanya menyambar sambil membawa maut! Akan tetapi, Raja Pengemis itu benar-benar lihai. Tubuhnya berkelebat ke sana ke mari di antara sambaran tongkat dan jangankan tubuhnya terkena toya, bahkan ujung bajunya saja tak pernah kena sambaran senjata itu! Semua orang yang menonton menjadi pening melihat demonstrasi kepandaian yang tinggi ini, bahkan Cin Cin Tojin dan Lo Cin Ki memandang dengan penuh perhatian dan kagum. Kepandaian Pek Lek Hoatsu agaknya setingkat dengan kepandaian mendiang guru mereka yang menciptakan Boksan Kiamhwat, akan tetapi kepandaian kakek jembel ini lebih hebat lagi!
Tiba-tiba terdengar Kim Liong Hoatsu mencela, "Eh, jembel tua, apakah kau mau borong sendiri saja?"
Si Raja Pengemis tertawa geli dan ketika ia berseru, "Ini, kau kuberi bagian." Tiba-tiba sekali renggut saja ia berhasil membuat tongkat Pek Lek Hoatsu terlempar ke arah Kim Liong Hoatsu dengan luncuran cepat sekali. Kim Liong Hoatsu menggunakan jari tangannya menyabet ke arah batang tongkat yang menyambar dan "krak!" tongkat panjang itu patah menjadi dua!
Lagi-lagi si Raja Pengemis tertawa dan berkata, "Mari, kau kuberi giliran!" dan tahu-tahu ia telah berhasil
menangkap kaki Pek Lek Hoatsu yang langsung dilemparkan ke arah Kim Liong Hoatsu dengan keras!
Kim Liong Hoatsu mengulurkan tangannya dan sebelum Pek Lek Hoatsu dapat mengelak, kakek ubanan ini telah dapat menangkap lehernya dan cepat melemparkan tubuh itu kembali ke arah si Raja Pengemis dibarengi bentakan, "Untuk apa benda kotor ini? Terimalah kembali!"
Ketika tubuh Pek Lek Hoatsu masih melayang di udara menuju kepada Raja Pengemis, kakek ini lalu, menggunakan tangan kanannya untuk mendorong ke udara, dah aneh! Sebelum tubuh Pek Lek Hoatsu sampai di tangannya, tubuh itu telah kena dorong oleh tenaga hebat yang keluar dari tangan kakek jembel itu dan terpental kembali ke arah si kakek ubanan! Inilah tenaga khikang yang sudah mencapai tingkat tinggi hingga tenaga dorongan yang keluar dari situ cukup hebat untuk mementalkan kembali tubuh Pek Lek Hoatsu yang begitu besar dan berat.
Kim Liong Hoatsu tidak mau mengalah. Iapun menggunakan khikang untuk mendorong tubuh yang masih berada di atas itu hingga tubuh Pek Lek Hoatsu yang sial dan bernasib malang itu seakan-akan menjadi sebuah bola yang dipermainkan ke sana ke mari oleh kedua orang kakek tadi! Dan ketika keduanya mengakhiri permainan ini, ternyata tubuh Pek Lek Hoatsu telah tak bernyawa lagi!
"Nah, nah, kau telah membunuhnya!" kata Lui Song si Raja Pengemis kepada Kim Liong Hoatsu.
"Bukan aku, kaulah yang membunuhnya!" jawab kakek ubanan itu.
“Tidak, aku tidak membunuhnya, kaulah yang melakukannya!" jawab Raja Pengemis pula.
"Bukan, kau!"
"Kau!"
"Biarlah kita putuskan hal ini di atas papan catur nanti!" kata Kim Liong Hoatsu akhirnya.
"Baik!" Si Raja Pengemis menerima tantangan ini.
Setelah bersitegang yang akhirnya diputuskan untuk mengambil kemenangan di atas papan catur, kedua orang kakek itu menggerakkan tubuh dan lenyap dari situ, dan tak seorangpun tahu ke mana perginya, seperti juga tak seorangpun melihat dari mana tadi mereka muncul!
Semua perwira pengacau telah melarikan diri ketika Pek Lek Hoatsu masih dipakai main bola tadi, dan kini keadaan di situ sunyi. Cin Cin Tojin menggeleng-gelengkan kepala dan menghela napas, "Dewasa ini yang memiliki kepandaian setinggi kepandaian mereka, kurasa hanya dua orang itu saja."
Tan Hong dan Ong Kai merasa agak kecewa mengapa kedua orang kakek yang telah mereka kenal itu sama sekali tidak memperdulikan mereka! Semua orang tiada habisnya memuji dan mengagumi kedua kakek luar biasa yang berilmu tinggi itu.
Setelah banyak perwira para pengacau kena ditewaskan, apalagi setelah Pek Lek Hoatsu yang menjadi orang kuat pengacau Tartar itu tewas pula, maka gerombolan Tartar itu mengundurkan diri dan tidak berani mengganggu daerah perbatasan lagi sebelum tenaga mereka pulih kembali. Para enghiong pun lalu kembali ke tempat masing-masing, melakukan pekerjaan mereka seperti biasa. Tidak sedikitpun tanda jasa atau terima kasih yang mereka terima dari kaisar, bahkan di dalam laporan-laporan nama mereka tak pernah disebut-sebut!
Rumah Lo Cin Ki terhias indah dan suasana gembira sekali. Banyak sekali tamu-tamu dari seluruh daerah memeriakan datang menghadiri pesta perayaan yang diadakan oleh jago tua si Garuda Sakti itu untuk merayakan perkawinan anaknya dan muridnya, yakni Siok Lan dan Tan Hong, sedangkan Ong Kai menikah dengan Lai Hwa Eng.
Pada malam harinya, masih banyak tamu yang datang berkunjung dan pihak tuan rumah menyambut para tamu dengan ramah tamah dan suasana makin gembira setelah para tamu diberi hidangan arak wangi dan masakan lezat.
Pada saat orang-orang bergembira ria, tiba-tiba dari luar muncul seorang tosu berbaju putih rambut dan jenggotnya yang putih berkilau itu mendatangkan sikap menghormat daripada sekalian yang hadir.
Lo Cin Ki dan Cin Cin Tojin yang juga hadir di situ, segera maju menyambut dengan menjura dalam sekali, oleh karena dengan kaget dan heran kedua jago tua ini mengenal kakek ini yang tak lain ialah Kim Liong Hoatsu, kakek iuar biasa yang dulu pernah muncul di puncak pegunungan di tapal batas sebelah barat dan yang bersama si Raja Pengemis telah menewaskan Pek Lek Hoatsu! Di belakang Kim Liong Hoatsu kelihatan seorang tua lain yang berjalan di belakang tosu itu dengan sikap takut-takut dan orang tua ini adalah Ang Houw, bekas kepala rampok!
Melihat Ang Houw, Tan Hong dan Ong Kai terkejut, dan Ong Kai segera menyambut tosu itu sambil berlutut dan memanggii, "Suhu."
Kim Liong Hoatsu agaknya terkejut mendengar sebutan ini, akan tetapi ketika memandang muka Ong Kai yang hitam, ia teringat bahwa pemuda ini adalah ahli main catur yang dulu pernah memberi petunjuk padanya. Ia tersenyum
dan berkata, "Bangunlah kau muka hitam. Dan di mana adanya Tan Hong yang berjuluk Gin-kiam Gi-to? Panggil ia keluar, pinto hendak bertemu dengannya!" Tosu ini hanya membalas penghormatan Cin Cin Tojin dan Lo Cin Ki dengan anggukan kepala sederhana saja.
Tan Hong yang mendengar bahwa tosu itu mencari dia, segera maju dan berlutut pula, "Locianpwe, teecu Tan Hong berada di sini."
Kim Liong Hoatsu segera memandang dan ia tercengang ketika melihat bahwa si Maling Budiman adalah pemuda yang dulu membantu Raja Pengemis dalam permainan catur.
"Eh, eh, jadi kaukah Gin kiam Gito yang telah berlaku sewenang-wenang itu? Bangunlah berdiri, pinto hendak bicara sedikit!"
Tan Hong bangun berdiri di depan tosu itu dengan menundukkan kepala sebagai penghormatan.
"Gin kiam Gito, benarkah bahwa kau telah berlaku sewenang-wenang, mengkhianati kaum liok-lim dan melukai cucu muridku si Ang Houw ini? Jawablah yang betul, karena aku sangat benci kepada semua kebohongan!"
Tan Hong terkejut dan maklum bahwa ini tentu gara-gara Ang Houw yang tak disangkanya masih cucu murid tosu luar biasa ini sendiri dan ia teringat bahwa dulu Ang Houw akan mengancam hendak melaporkannya kepada pangcu atau ketua dari kalangan liok-lim, yakni Kim Liong Hoatsu! Akan tetapi, sedikitpun pemuda ini tidak memperlihatkan sikap takut-takut.
"Locianpwe, memang teecu pernah mengalahkan saudara Ang Houw ini dalam sebuah pertempuran. Ketika itu para piauwsu minta pertolongan kepada teecu bertiga
dan oleh karena teecu yang tadinya hendak mendamaikan urusan itu mendengar pula bahwa anak buah saudara Ang Houw ini mengganggu rakyat jelata, maka teecu berusaha memperingatkannya, akan tetapi hal ini ditolak oleh saudara Ang Houw sehingga kami lalu bertempur. Inilah hal yang sebenarnya terjadi, locianpwe!"
"Kau pandai sekali memutarbalikkan duduknya perkara!" Tiba-tiba Ang Houw membentak dengan galaknya. "Aku bersumpah tak pernah mengganggu rakyat dusun!"
"Tak perlu kita ribut mulut saudara Ang Houw, biarlah locianpwe yang memutuskan. Aku percaya penuh akan kebijaksanaannya." jawab Tan Hong dengan suara tenang.
Sementara itu, semua tamu dan juga Cin Cin Tojin dan Lo Cin Ki, tidak berani mencampuri urusan ini, karena mereka takut kepada kakek yang luar biasa ini.
"Hm, hm, anak muda. Agaknya karena telah memiliki sedikit kepandaian dan mempunyai julukan yang dianggap orang budiman, kau lalu menjadi sombong dan hendak memperlihatkan kepandaianmu di kalangan liok-lim, begitukah?" Suara Kim Liong Hoatsu terdengar mengandung teguran dan ancaman yang menakutkan.
Tiba-tiba Ong Kai maju berlutut, "Suhu, hal ini sama sekali keliru! Tansuheng ini benar-benar pembela keadilan dan perikebajikan dan teecu yang pada waktu itu juga ikut bertempur melawan kawan-kawan Ong taiong ini, berani bersumpah sebagai saksi bahwa Tan suheng sama sekali tidak mengandung maksud untuk menyombong. Semua kesalahan datang dari pihak Ong taiong ini!"
Kata-kata ini diucapkan oleh Ong Kai dengan lantang dan berani dan Kim Liong Hoatsu menganggukkan kepala, "Hm, kau memiliki pribudi dan secara setia kawan, muka
hitam, akan tetapi kau masih terlalu muda untuk dapat mengetahui isi hati seseorang!"
Pada saat yang menegangkan itu, tiba-tiba terdengar suara, "Eh, eh, kakek ubanan, kalau menjadi hakim harus yang adil!"
Belum habis gema suara ini, tahu-tahu orangnya telah nampak di hadapan Kim Liong Hoatsu. Orang ini tak lain adalah Lui Song si Raja Pengemis!
Kim Liong Hoatsu tersenyum dingin ketika ia berkata, "Hah! Jembel tua. Lagi-lagi kau datang menggangguku, akan tetapi kali ini aku minta kepadamu dengan baik supaya kau ke pinggir dan jangan mencampuri urusan orang!"
Lui Song maklum bahwa kali ini tosu itu benar-benar marah dan mungkin kalau ia berkeras akan terjadi hal yang tak menyenangkan, akan tetapi ia harus berdiri di pihak yang benar.
"Kim Liong Hoatsu! Kau terkenal sebagai Pangcu dari golongan liok-lim, mengapa kau tidak tahu akan sepak terjang Gin-kiam Gi-to? Aha! Oleh karena orang she Ang yang berwajah pucat ketakutan ini menjadi cucu muridmu, kau telah menjadi berat sebelah!"
"Lui Song! Sekali lagi kuminta kepadamu supaya minggir dan jangan ikut campur. Tunggulah sampai aku memberi hukuman yang setimpal kepada yang bersalah, baru nanti aku akan melayanimu bermain catur lagi!"
"Ha, ha, kakek ubanan! Kalau sekali kau turun tangan, apakah ada obatnya lagi? Kalau kau turunkan tangan yang betul, itu tidak apa dan aku pengemis jembel tidak berkeberatan, akan tetapi kalau kau sampai salah tangan,
tidak saja aku yang ikut gemas, bahkan kau sendiri akan menyesal!"
"Jembel tua! Sekali lagi dan untuk penghabisan kali, minggirlah!" ucapan Kim Liong Hoatsu mengandung ancaman hebat
"Tidak, kalau pendirianmu masih seperti tadi!" jawab Lui Song dengan kata-kata yang sama kerasnya!
Suasana menjadi tegang dan sunyi. Tak seorangpun berani bergerak atau bernapas keras-keras, bahkan Cin Cin Tojin dan Lo Cin Ki menjadi pucat. Kedua nona pengantin yang berada di dalam kamar tidak berani keluar oleh karena masih mengenakan pakaian pengantin!
Tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh suara Ong Kai yang menubruk dan memeluk kaki Kim Liong Hoatsu. "Suhu, suhu! Mohon bersabar dulu dan janganlah urusan kecil ini menjadi perkara besar! Agaknya suhu sendiri tidak pernah menyangka orang macam apakah Ang Houw ini! Dia adalah seoring pengkhianat yang telah bersekutu dengan para pangacau Tartar!"
"Apa katamu?" Kim Liong Hoatsu menggerakkan kakinya dan tubuh Ong Kai terlempar jauh sampai bergulingan! Akan tetapi oleh karena kakek itu tidak menendang untuk menyerang, hanya karena kaget dan gemas, maka Ong Kai tidak menderita luka dan segera bangkit kembali. Ong Kai lalu menghampiri Tan Hong dan ketika melihat betapa pemuda ini berlutut dan tak bergerak, ia lalu merogoh saku baju Tan Hong dan mengeluarkan sebuah kotak kecil.
Melihat kotak kecil ini, wajah Ang Houw menjadi pucat seperti mayat dan kedua kakinya menggigil.
"Suhu, tak perlu teecu banyak bicara karena mungkin suhu takkan percaya. Silakan suhu membaca surat di dalam kotak ini dan suhu akan mengetahui semuanya. Bu Sam Kwi si pengkhianat telah mampus dalam tangan Tansuheng dan bahkan peti inipun dirampas oleh suheng .dari tangan Bu Sam Kwi yang menerimanya dari pengkhianat she Ang ini!"
"Sucouw, jangan percaya obrolannya!" Dengan suara gemetar Ang Houw berkata, akan tetapi sucouwnya melotot kepadanya hingga ia tidak berani berkutik lagi.
"Ha, ha, ha! Bagus, bagus! Anak-anak muda lebih berjasa daripada kita tua bangka yang tak tahu diri!" Si Raja Pengemis menyindir kepada Kim Liong Hoatsu. Sementara itu, si kakek ubanan telah membuka peti kecil itu dan mengeluarkan sepucuk surat. Ketika ia membaca isi surat, wajahnya yang merah itu menjadi pucat dan kedua tangannya gemetar, tanda bahwa hatinya terpukul hebat. Surat itu berbunyi seperti berikut Bu Sam Kwi Ciangkun, Surat ini berikut barang-barang hadiah, kupercayakan kepada seorang pembantuku yang setia bernama Ang Houw, dan apabila bukan dia yang membawa dan mengantarkan padamu, kau bunuh saja pembawa itu!”
“Sebagaimana yang telah kita bicarakan dulu, aku telah bersiap sedia menerima kedatangan kawan-kawan Tartar untuk merobohkan kedudukan kaisar.”
“Harap kau suka membuka jalan agar memudahkan barisan Tartar menerobos tapal batas dan bawalah Ang Houw ini untuk berunding. Aku sudah menyediakan tentara di daerah Tiangan untuk menggabungkan diri dengan tentara Tartar.”
“Sekian dan sedikit hadiah ini harap diterima dengan baik sebagai tanda penghargaanku atas bantuanmu. Hadiah besar menyusul kelak.”
“Tertanda, Pangeran Liong Tek Ong.”
Terlepaslah kotak berisi permata dan surat itu dari tangan Kim Liong Hoatsu setelah ia membaca habis isi surat itu. Ang Houw cepat membungkuk untuk menyambar surat itu, akan tetapi tiba-tiba kaki kiri Kim Liong Hoatsu bergerak menendang dan tubuh Ang Houw terpental jauh sekali sampai menghantam dinding dan tubuhnya roboh dengan kepala pecah! Demikian hebat kemarahan dan tendangan Kim Liong Hoatsu ini hingga semua orang menjadi terkejut dan ngeri, "Nah, nah, kau mengumbar nafsumu lagi!" kata Raja Pengemis.
"Bangsat pengkhianat, bagiannya ialah mati seribu kali dalam sehari!" kata Kim Liong Hoatsu dengan marah sekali, kemudian ia menoleh kepada Tan Hong dan bertanya dengan suara keras, "Eh, Maling Budiman, mengapa tidak dari tadi kau keluarkan bukti-bukti keji ini agar aku tidak sampai salah duga kepadamu?"
Dengan suara tenang dan penuh hormat, Tan Hong berkata, "Maaf, locianpwe, oleh karena locianpwe sedang mengadili sesuatu perkara yang timbul antara teecu dan saudara Ang itu dan yang berlainan sifatnya dengan yang tersebut dalam surat, maka teecu tidak berani mencampuri dengan bukti-bukti lain."
Jawaban ini membuat muka Kim Liong Hoatsu menjadi merah kembali, tanda bahwa marahnya telah lenyap, akan tetapi kini merahnya lebih hebat dari biasanya, tanda bahwa ia merasa malu kepada diri sendiri. Ia memandang kepada Raja Pengemis dan berkata, "Eh, jembel tua. Aku yang pikun memang telah salah ayoh lekas kau persalahkan aku!"
Si Raja Pengemis tertawa, "Orang yang lekas marah akan tetapi lekas pula menyadari kesalahannya adalah orang bijaksana!" Kemudian kakek jembel ini menjura kepada tuan rumah dan berkata, "Garuda Sakti harap kau maafkan kami dua orang tua bangka yang tak tahu diri dan mengganggu pestamu"
Lo Cin Ki cepat menghampiri dengan muka tersenyum. "Tidak apa, kedatangan jiwi sungguh merupakan kehormatan luar biasa bagi kami sekeluarga. Silakan duduk dan minum arak pengantin. Ingat, arak pengantin mendatangkan rejeki baik, bukan?" Kedua kakek itu saling pandang dan ruang itu lalu penuh suara ketawa Raja Pengemis dan Kitin Liong Hoatsu.
Tan Hong dan Ong Kai cepat memerintahkan orang supaya menyingkirkan jenazah Ang Houw dan menyuruh supaya mayat itu dirawat sebagaimana mestinya. Kemudian keduanya melayani guru mereka dengan penuh penghormatan.
"Eh, muka hitam, ayoh kauambil papan catur dan lawanlah aku. Jangan kau hanya bisa memberi petunjuk kepada Kim Liong Hoatsu seperti dulu!" Raja Pengemis menantang, sebaliknya kakek ubananpun menantang main catur kepada Tan Hong!
Demikianlah, kedua kakek luar biasa itu segera tekun menghadapi papar catur. Lui Song si Raja Pengemis melawan Ong Kai dan Kim Liong Hoatsu melawan Tan Hong sampai semua tamu bubar kedua kakek ini masih berjuang mati-matian melawan kedua pengantin laki-laki! Cin Cin Tojin dan Lo Cin Ki hanya saling pandang tersenyum dan mengangkat pundak!
Ternyata kedua pemuda itu masih unggul dalam permainan catur hingga perlahan tapi tentu, mereka
mendesak biji-biji catur kedua kakek itu hingga keduanya sampai mengeluarkan peluh karena terlalu memutar otak!
Tiba-tiba Raja Pengemis yang cerdik dan tidak mau dikalahkan itu, mendapat akal dan berkata, "Eh, tua bangka ubanan, kita ini benar-benar tak tahu diril Dari tadi telinga kiriku berkejutan tanda bahwa ada orang yang marah-marah dan memaki-makiku! Ah tak salah lagi, tentu pengantin perempuan yang memaki-makiku oleh karena aku menahan suaminya terus-terusan! Ah, sudahlah, aku tidak berani menanti lebih lama, khawatir kalau-kalau pengantin wanita keluar dan mengamuk!" Kakek ini lalu berdiri sambil tertawa.
Kim Liong Hoatsu yang juga telah terdesak dalam permainan itu tertawa pula. "Tua bangka jembel, semenjak tadi telingaku juga berbunyi saja, tentu calon isteri Maling Budiman ini juga memaki-maki dan marah padaku. Maaf, maaf!"
Kedua kakek itu lalu berdiri dan sekali melambaikan tangan, keduanya keluar dan lenyap di dalam gelap.
Tan Hong dan Ong Kai saling pandang dengan tersenyum, dan ketika mereka menengok ke arah meja di mana kotak tadi berada, benda itu telah lenyap dibawa oleh kedua kakek tadi!
Kedua pengantin pria ini lalu masuk ke kamar masing-masing di mana calon isteri mereka telah menanti dengan hati penuh kekhawatiran.
Dan pada beberapa hari di kota raja terjadi kegemparan oleh karena Pangeran Liong Tek Ong kedapatan mati tertusuk pedang dadanya dan di bawah pedang itu tertancap surat pengkhianatan yang ditulis oleh pangeran itu sendiri! Siapa yang melakukan hal ini, tak seorangpun tahu, sedangkan Tan Hong, Ong Kai dan keluarga mereka yang
mendengar akan hal ini, hanya menarik napas dan kagum atas sepak terjang dua orang kakek yang luar biasa itu.
TAMAT
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru