baca juga
- Cersil Dendam Sembilan Iblis Tua 2
- DENDAM SEMBILAN IBLIS TUA 1 (lANJUTAN bAYANGAN iBL...
- Si Bayangan Iblis 3 Tamat Lanjutan Sepasang Naga P...
- Cersil Keren Si Bayangan Iblis 2
- Cersil Si Bayangan Iblis
- Sepasang Naga Penakluk Iblis 5 Tamat
- Cersil Sepasang Naga Penakluk Iblis 4
- CersilHot Sepasang Naga Penakluk Iblis 3
- Cersildew Sepasang Pedang Penakluk Iblis 2
Tentu saja Cian Hui dan Cu Sui In sama sekali tidak ingin membikin kecewa dan tidak senang hati Pek-liong dan Liong-li, maka Cian Hui lalu berjanji bahwa dia akan menahan diri. “Baiklah, tai-hiap. Akan tetapi, aku akan melakukan penyelidikan dan siap dengan pasukanku, bukan untuk mengeroyok, melainkan untuk membasmi kejahatan yang mengancam keamanan negara dan rakyat “
Setelah bercakap-cakap dan beramah-tamah, Pek-liong lalu meninggalkan rumah Cian Hui. Setelah pendekar itu pergi, Cian Hui termenung. Isterinya segera menghiburnya.
“Kurasa tidak perlu engkau terlalu mengkhawatirkan mereka. Pek-liong dan Liong-li bukanlah orang-orang yang akan mudah dicelakakan begitu saja, biar oleh tiga orang datuk sesat itu
205
sekalipun! Mereka berdua sakti dan amat cerdik, dan tentu telah membuat persiapan sebelum berusaha untuk menolong empat orang tawanan itu.”
“Tapi, untuk menyelamatkan empat orang, mereka mempertaruhkan keselamatan nyawa mereka!”
“Tentu saja! Ingat, andaikata kita berdua sampai tertawan pula oleh para penjahat, tentu mereka berdua pun akan rela mempertaruhkan nyawa untuk menolong kita, bukan?”
Cian Hui menghela napas panjang dan mengangguk-angguk. “Engkau benar, dan inilah yang menggelisahkan hatiku. Aku akan membawa pembantu-pembantu yang pandai dan menyelidiki pegunungan Hitam itu untuk mencari letak sarang mereka dan siap untuk menyerbu andaikata kedua orang pendekar itu gagal atau bahkan kalau mereka terancam.”
Cu Sui In mengangguk. “Aku akan menyertaimu.”
“Sebaiknya engkau tinggal di rumah menjaga Hong-ji (anak Hong),” cegah suaminya, “walaupun aku dapat memaklumi bahwa engkau mengkhawatirkan keselamatan Pek-liong.” Dia teringat betapa isterinya ini, sebelum menjadi isterinya, adalah seorang pendekar wanita tokoh Kun-lun-pai yang pernah jatuh cinta kepada Pek-liong.
Sui In mengerling kepada suaminya penuh arti dan tersenyum. “Engkau salah sangka! Sekali ini, seperti engkau mengkhawatirkan aku dan menyuruh aku tinggal di rumah, akupun mengkhawatirkan keselamatanmu di atas keselamatan
206
seluruh manusia di dunia ini. Aku tidak ingin kehilangan suami yang tercinta.”
Cian Hui terbelalak, tertawa dan merangkul isterinya. “Maafkan aku, bukan maksudku untuk..... cemburu......”
“Akupun tidak cemburu kepada Liong-li. Kita sudah suami isteri dan ayah ibu anak kita bukan?”
Suami isteri itu membuat persiapan untuk melakukan penyelidikan bersama para pembantu yang dipilih oleh Cian Hui, dan pada keesokan harinya, setelah melapor kepada rekan dan atasannya, Cian Hui dan rombongannya berangkat ke lembah Huang-ho untuk melakukan penyelidikan.
◄Y►
Tiga orang tokoh Kiu Lo-mo itu memang telah membuat persiapan yang amat baik. Kim Pit Siu-cai, Ang I Sian-li dan Pek-bwe Coa-ong sekali ini ingin membuat pembalasan yang berhasil terhadap Pek-liong-eng dan Hek-liong-li. Mereka bukan saja dibantu oleh Thai-san Ngo-kwi, lima orang murid mendiang Siauw-bin Ciu-kwi, akan tetapi juga lima orang ini mengerahkan para tokoh sesat yang pernah takluk kepada mereka, dibawa ke lembah Huang-ho itu.
Juga tiga orang datuk besar golongan sesat itu mengajak anak buah mereka sehingga di lembah itu sekarang berkumpul tidak kurang dari seratus orang anak buah, yang rata-rata merupakan orang-orang kang-ouw yang lihai! Pendeknya, mereka telah membuat persiapan sehingga sekali Pek-liong dan Liong-li berani
207
memasuki daerah itu, sepasang pendekar ini akan disambut secara dahsyat dan mereka berdua pasti akan dapat ditangkap atau dibunuh!
Bukan hanya kekuatan orang yang mereka miliki, juga keadaan alam di lembah Huang-ho itu, di pegunungan Hitam amat membantu. Daerah itu amat berbahaya dan sukar dilalui manusia. Penuh dengan jurang-jurang yang curam, rawa-rawa yang berbahaya, bahkan di situ terdapat beberapa buah hutan di mana terdapat binatang buas. Terutama sekali binatang sejenis harimau besar yang amat ditakuti mereka yang lewat dekat daerah itu, karena harimau-harimau ini besar, kuat dan buas.
Daerah yang berbahaya ini oleh tiga orang sisa Sembilan Iblis Tua itu dimanfaatkan dan menjadi semakin berbahaya karena mereka pasangi banyak perangkap dan jebakan yang berbahaya. Lubang-lubang besar yang ditutupi ranting dan daun kering. Lumpur-lumpur berpusing yang di tutupi daun-daun pohon rumput hidup. Anak-anak panah beracun yang dipasang di antara daun-daun pohon yang siap meluncur dari busurnya yang terpentang dan dihubungkan dengan tali yang direntang di antara semak belukar, dan masih banyak alat rahasia lainnya.
Pendeknya, sekali ini tiga orang Iblis Tua itu siap untuk perang! Di sekeliling daerah sarang mereka di bukit yang berada di tengah-tengah antara semua perbukitan Hitam, telah dijaga oleh anak buah mereka sambil bersembunyi, akan tetapi siang malam selalu ada penjaga yang mengawasi daerah itu sehingga tidak mungkin ada yang lewat tanpa diketahui. Pendeknya, Pek-liong
208
dan Liong-li tidak akan dapat memasuki daerah itu dari arah manapun tanpa diketahui para penjaga.
Liong-li dan sembilan orang pembantunya sudah sampai di sebuah tempat tersembunyi, tidak jauh dari perbatasan sarang musuh! Dengan kepandaiannya yang tinggi dan kecerdikannya yang luar biasa, Liong-li berhasil memimpin sembilan orang pembantunya melewati jurang dan melalui hutan-hutan yang berbahaya itu tanpa cedera. Memang beberapa kali, di antara pembantunya ada yang hampir terperosok ke dalam perangkap musuh, namun selalu dapat ia tolong dan selamatkan, sampai akhirnya mereka tiba di dekat daerah sarang musuh.
Berhari-hari mereka sepuluh orang wanita yang lihai itu telah mempelajari daerah itu, dan mereka maklum bahwa sarang musuh merupakan benteng alam yang amat kuat dan terjaga ketat. Bahkan bagian yang tidak terjagapun tak mungkin dijadikan jalan masuk, karena terhalang jurang yang lebarnya tidak mungkin dapat dilompati manusia, betapapun lihainya.
Kini mereka, atas isyarat Liong-li, berkumpul di balik semak belukar yang lebat, dan sembilan orang wanita itu, masing-masing dengan perbekalan dalam buntalan tergantung di punggung dan pedang di bawah buntalan, berjongkok mengeliling Liong-li yang duduk di atas rumput. Satu demi satu, sembilan orang itu memberi laporan tentang hasil penyelidikan mereka masing-masing sehingga yakinlah Liong-li bahwa memang tidak ada jalan masuk kecuali menyerbu melalui tempat-tempat yang terjaga. Setelah meraba dan menggosok hidungnya untuk mencurahkan pikirannya, ia lalu berkata dengan suara lirih.
209
“Sekarang tiba saatnya yang paling gawat dan berbahaya. Sekali salah langkah dan kurang berhati-hati, nyawa taruhannya. Dari pengumpul hasil penyelidikan kita semua, jelas bahwa pihak musuh mempunyai anak buah yang puluhan orang banyaknya, mungkin ada seratus orang. Sarang mereka terjaga ketat, dan bagian yang tidak terjaga dihalangi jurang yang lebar dan curam. Aku tidak ingin mengorbankan kalian. Kalau ada yang ragu-ragu dan jerih, masih belum terlambat untuk mundur dan pulang ke Lok-yang.”
Liong-li memendang kepada sembilan orang pembantu yang berjongkok dan mengelilinginya dalam setengah lingkaran di depannya itu dengan sinar mata penuh selidik.
Sembilan orang gadis yang usianya antara duapuluh lima sampai tigapuluh tahun dan rata-rata cantik dan lihai itu terkejut dan saling pandang, lalu mereka memperlihatkan wajah penasaran. Ang-hwa (Bunga Merah), yaitu nama sebutan gadis yang berpakaian merah dan yang merupakan pembantu utama karena ia merupakan pembantu yang paling lihai di antara sembilan orang gadis itu, mewakili semua rekannya.
“Li-hiap, bagaimana li-hiap dapat berkata seperti itu? Apakah li-hiap masih belum yakin akan kesetiaan kami sembilan orang yang menjadi pelayan, pembantu, sahabat, juga murid dari li-hiap? Li-hiap sudah mendidik kami, melatih kami, melimpahkan segala kebaikan kepada kami. Li-hiap selalu menolak kalau kami mohon untuk membantu li-hiap menghadapi lawan. Sekarang, pada saat li-hiap menghadapi ancaman dari lawan-lawan yang jauh lebih banyak dan berat, li-hiap menganjurkan kami untuk
210
pulang! Li-hiap, berilah kesempatan kepada kami untuk membalas semua kebaikan li-hiap kepada kami dan kami rela berkurban nyawa kalau perlu, demi untuk li-hiap!”
Liong-li tersenyum. Ia memang sudah dapat menjenguk isi hati mereka, akan tetapi ia tahu benar betapa bahayanya tugas sekali ini, maka ia merasa tidak tega kalau sampai para pembantunya itu terancam bahaya maut karena dirinya. Kini mendengar jawaban itu, iapun berkata,
“Terima kasih! Kalian memang para sahabatku yang baik. Memang dalam perjuangan melawan kejahatan, yang ada hanyalah menang atau kalah, hidup atau mati. Matipun tidak akan penasaran kalau kita tewas dalam membela kebenaran dan menentang kejahatan. Nah, kalau begitu, dengarkan baik-baik rencana siasatku. Kita harus dapat mengacaukan pertahanan mereka dengan gangguan dari beberapa tempat. Aku hanya ingin agar mendapat kesempatan menyusup ke dalam dan kalau aku sudah berada di depan sarang mereka, aku akan menantang ketiga datuk sesat itu untuk mengadu ilmu secara gagah.”
Mereka lalu berbisik-bisik dan Liong-li membagi-bagi tugas. Kemudian, sesuai dengan siasat yang telah diatur oleh Liong-li, di balik semak belukar itu, sembilan orang pelayan menanggalkan pakaian luar mereka dan berganti pakaian. Ketika akhirnya mereka itu satu demi satu menyelinap keluar dari semak-semak, maka yang nampak hanyalah berkelebatnya sembilan sosok bayangan hitam! Liong-li sendiri juga menyelinap keluar.
211
Mula-mula para penjaga yang bersembunyi dan mengamati bagian barat daerah tapal batas penjagaan mereka, yang terkejut melihat berkelebatnya bayangan hitam, tak jauh dari tempat mereka bersembunyi. Tak lama kemudian, bayangan hitam yang memiliki gerakan cepat itu nampak berdiri di atas sebongkah batu besar dan memandang ke arah belakang mereka, ke arah sarang mereka yang tertutup pohon-pohon dan tidak nampak dari situ.
“Hek-liong-li......!” mereka berbisik dan jantung mereka berdebar tegang.
Mereka sudah mendapat peringatan dari para pimpinan agar berhati-hati kalau melihat seorang wanita cantik berpakaian hitam dan memakai tusuk sanggul perak berbentuk naga kecil di atas bunga teratai. Dan kini mereka melihat wanita itu tak jauh dari tempat mereka bersembunyi.
Hanya sebentar wanita itu nampak karena sekali berkelebat iapun menghilang kembali. Tentu saja tiga orang penjaga itu menjadi panik dan seorang di antara mereka cepat melapor bahwa di bagian sebelah barat itu telah muncul Hek-liong-li, seorang di antara dua musuh yang ditunggu-tunggu, yaitu Hek-liong-li dan Pek liong-eng.
Kim Pit Siu-cai, Ang I Sian-li dan Pek-bwe Coa-ong tentu saja menjadi girang akan tetapi juga merasa tegang hati mereka ketika mendengar laporan dari para penjaga bahwa Hek-liong-li telah muncul di bagian barat. Cepat mereka menyuruh Thai-san Ngo-kwi untuk membagi anak buah mereka dan sekelompok besar
212
terdiri dari duapuluh orang dipimpin oleh Ngo-kwi (Setan kelima) segera menuju ke daerah itu untuk melakukan penjagaan.
Akan tetapi baru saja kelompok itu berangkat, dari timur datang penjaga melapor bahwa Hek-liong-li nampak di daerah timur! Tiga orang datuk itu merasa heran. Bagaimana mungkin Hek-liong-li dapat bergerak secepat itu? Thai-san Ngo-kwi kembali mengirim Su-kwi memimpin duapuluh orang anak buah lari ke timur untuk memperkuat penjagaan.
Dan berdatanganlah para penjaga melaporkan bahwa mereka melihat Hek-liong-li di tempat-tempat penjagaan yang terpisah-pisah.
“Aih, tidak mungkin ini!”'seru Ang I Sian-li penasaran.
“Ia bukan manusia tetapi setan!” kata Kim Pit Siu-cai dan wajahnya agak berubah. “Bagaimana mungkin seseorang dapat bermunculan di berbagai tempat dalam waktu hampir bersamaan? Kecuali setan yang pandai menghilang!”
“Jangan panik,” kata Pek-bwe Coa-ong. “Biarpun kita belum pernah jumpa dan bertanding melawan Hek-liong-li, kecuali Sian-li yang hanya bentrokan sejenak, kita tahu bahwa ia seorang yang amat lihai. Entah siasat apa yang ia pergunakan, karena kabarnya selain lihai ilmu silatnya, juga ia amat cerdik. Kita harus waspada dan mari kita selidiki sendiri keanehan ini!” kata-kata ini menyadarkan dua orang rekannya dan merekapun berpencar melakukan penyelidikan.
213
Liong-li menggunakan kepandaiannya untuk menyusup ke depan. Ia telah melihat hasil dari pengacauan yang dilakukan para pembantunya. Nampak banyak anak buah penjahat berbondong-bondong berlari-larian ke berbagai jurusan, dan ia melihat dari atas puncak pohon yang tinggi betapa di puncak bukit itu terdapat sebuah perkampungan atau perumahan yang terdiri dari sebuah rumah besar dengan banyak rumah kecil di sekitarnya.
Tak lama kemudian, ia telah tiba di pintu gerbang pagar tembok yang mengelilingi tempat itu dan melihat bahwa di situ hanya terdapat lima orang penjaga yang bersenjata tombak dan golok. Seorang penjaga yang tinggi besar dan ada codet di pipi kirinya berjaga paling depan dan dia kelihatan sombong, bahkan dengan dada dibusungkan dia mengeluarkan ucapan yang cukup nyaring untuk membual kepada empat orang kawannya.
“Kenapa sih ribut-ribut hanya karena munculnya Hek-liong-li? Kabarnya ia hanya seorang wanita muda yang cantik jelita! Hem, kalau ia muncul ke sini, tentu akan kutangkap dan kubawa ke pondokku untuk menemaniku malam ini, ha-ha!”
“Tukk!!” Laki-laki itu roboh dan matanya mendelik karena tepat di antara kedua matanya nampak tanda merah dan ketika empat orang kawannya menghampiri, si pembual itu telah tewas dengan dahi tertembus sebuah batu kerikil yang masuk ke dalam kepalanya.
Gegerlah empat orang itu, apa lagi ketika muncul seorang wanita cantik berpakaian hitam di depan mereka.
214
“Hek-liong-li!” seru seorang di antara mereka dan mereka pun cepat menggerakkan senjata di tangan untuk mengeroyok. Liong-li melompat ke belakang dan berkata dengan suara lantang,
“Benar, aku Hek-liong-li. Panggil para tua bangka sisa Kiu Lo-mo itu keluar untuk bicara denganku!”
Akan tetapi, empat orang itu tidak menjawab melainkan terus mengeroyok karena bagaimanapun juga, mereka memandang rendah kepada musuh yang hanya seorang wanita muda yang cantik dan nampak lemah. Melihat keganasan empat orang itu, Liong-li yang tadinya hendak menantang pimpinan gerombolan, terpaksa menyambut dengan tamparan dan tendangan. Dengan gerakan yang lincah sekali, tubuhnya berkelebatan dan dalam waktu beberapa jurus saja, empat orang itupun sudah terpelanting ke kanan kiri, tak dapat bangkit kembali.
Akan tetapi, terdengar teriakan orang dan muncullah seorang laki-laki tinggi kurus bersama sepuluh orang anak buahnya yang segera mengepung Hek-liong-li dengan senjata di tangan. Sepuluh orang itu bersenjata golok, dan si tinggi kurus itupun memegang sebatang golok besar yang tipis dan tajam berkilauan. Dari gerakan si kurus tinggi ini, tahulah Liong-li bahwa ia berhadapan dengan seorang lawan yang cukup tangguh.
“Hek-liong-li, engkau datang mengantar nyawa!” kata laki-laki tinggi kurus berusia empatpuluh tahun itu. Dia bukan lain adalah Sam-wi, orang ketiga dari Thai-san Ngo-kwi.
Liong-li memandang tajam dan segera mengenal seorang di antara Thai-san Ngo-kwi itu. Ia tidak ingin bentrok hanya dengan
215
anak buah para datuk itu, karena kalau hanya Sam-kwi bersama belasan orang anak buahnya itu saja, tidak perlu ia bersusah payah datang ke tempat itu.
“Pergilah kalian kalau tidak ingin mati. Panggil saja tiga orang dari Kiu Lo-mo ke sini untuk menemuiku,” katanya tenang.
Akan tetapi, karena dia membawa banyak anak buah, pula mengingat bahwa di tempat itu terdapat banyak sekali kawannya, juga terdapat tiga orang datuk yang lihai, Sam-kwi timbul semangat dan keberaniannya. Dia mengeluarkan aba-aba kepada sepuluh orang anak buahnya dan dia sendiri menerjang dengan goloknya.
“Singg......!”Golok itu berdesing, menjadi sinar yang menyilaukan mata, diikuti hujan senjata dari anak buahnya yang sudah mengeroyok Liong-li.
Wanita perkasa ini tidak menjadi gugup. Dengan langkah ajaib Liu-seng-pouw (Langkah Bintang Cemara) ia dapat menghindarkan diri dengan mudah dari sambaran sebelas batang golok itu. Melihat bahwa ilmu golok Sam-kwi cukup berbahaya untuk dihadapi dengan tangan kosong apa lagi dia dibantu oleh sepuluh orang anak buahnya yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan, Liong-li meraba punggungnya dan nampaklah sinar hitam yang menyilaukan mata, ketika Hek-liong-kiam (Pedang Naga Hitam) telah tercabut di tangannya!
Kini ia melompat ke belakang. Si tinggi kurus itu masih mengejar bersama sepuluh orang anak buahnya, golok mereka sudah menyambar-nyambar lagi dengan ganasnya karena mereka
216
mengira bahwa Liong-li merasa jerih menghadapi pengeroyokan sebelas orang itu. Juga mereka memandang rendah kepada sebatang pedang hitam di tangan wanita itu.
Liong-li menjadi gemas dan begitu pedangnya diputar, sinar hitam bergulung-gulung dan terdengar suara berkerontangan ketika golok sepuluh orang itu buntung dan empat orang roboh terkena sabetan pedang, terkena tamparan dan tendangan Liong-li! Enam orang anak buah yang lain menjadi terkejut dan otomatis mereka mundur, akan tetapi Sam-kwi bahkan menjadi semakin penasaran dan marah melihat ini. Dia berseru keras dan goloknya menyambar dahsyat.
“Trangggg......” Golok itu tertangkis Hek-liong-kiam dan terpental, sedangkan pedang hitam itu sendiri seperti terpental pula, akan tetapi bukan terpental membalik, melainkan terpental ke bawah dan secepat kilat memasuki dada Sam-kwi, lalu tercabut lagi.
Saking cepatnya gerakan Liong-li, pedang itu tidak bernoda darah akan tetapi dada Sam-kwi telah ditembusi pedang. Dia masih memegang goloknya, mencoba untuk membacok, matanya terbelalak dan diapun terhuyung, tidak jadi membacok melainkan roboh menelungkup tak bergerak lagi. Enam orang anak buahnya cepat memukul tanda bahaya yang tergantung di gardu penjagaan!
Liong-li maklum bahwa kalau semua orang berdatangan, tentu ia tidak akan mampu melawan, maka iapun berkelebat lenyap di balik semak dan pohon-pohon karena ia harus melihat keadaan para pembantunya yang melakukan pengacauan tadi.
217
Di lain bagian dari tempat itu, dua sosok bayangan hitam berindap-indap di balik semak-semak menghampiri empat orang penjaga yang celingukan dengan golok di tangan, seperti mencari-cari. Tadi mereka melihat Hek-liong-li di bawah pohon, akan tetapi tiba-tiba saja bayangan wanita berpakaian hitam itu lenyap.
Seorang kawan sudah melapor dan mereka tetap berjaga di situ untuk mengawasi gerak gerik Hek-liong-li dengan hati tegang dan agak jerih karena mereka sudah mendengar kabar betapa lihainya pendekar wanita itu. Dua bayangan hitam yang menyamar dengan pakaian Hek-liong-li itu adalah Bunga Hijau dan Bunga Kuning yang bertugas mengadakan pengacauan di bagian itu.
“Cepat, kita robohkan dua orang di antara mereka,” bisik Bunga Hijau. Mereka lalu mengeluarkan busur kecil yang mereka bawa, memasang anak panah, membidik lalu menarik busur dan melepaskan talinya.
“Wirrr....... wirrr.....!” Dua batang anak panah melesat dengan cepatnya ke arah empat orang itu dan dua orang di antara penjaga itu berteriak dan roboh dengan leher tertancap anak panah kecil. Dua orang lainnya terkejut dan ketika mereka memandang ke arah dari mana datangnya anak panah, mereka melihat Hek-liong-li berdiri sambil memegangi busur dan tersenyum.
“Hek-liong-li......!” teriak mereka dengan kaget dan Bunga Hijau yang tadi sengaja memperlihatkan diri, menyelinap kembali ke
218
balik semak belukar sedangkan Bunga Kuning sudah menyusup ke kanan, menjauhi kawannya.
Kini bala bantuan anak buah gerombolan yang menerima perintah dan dipimpin oleh Ngo-kwi tiba. Mereka bertanya-tanya di mana adanya Hek-liong-li. Dua orang penjaga itu menunjuk ke arah Bunga Hijau tadi berdiri.
Ngo-kwi yang melihat dua orang anak buahnya roboh dengan leher tertusuk anak panah, menjadi marah dan diikuti pasukan kecilnya, dia meloncat ke tempat itu untuk mencari Hek-liong-li. Namun, di balik semak belukar itu mereka tidak menemukan apa-apa karena Bunga Hijau sudah lari ke sebelah kiri, berpencar dari Bunga Kuning.
Kini Bunga Kuning yang berada jauh di sebelah kanan, melepas sebuah anak panah lagi yang merobohkan seorang anggauta gerombolan. Ngo-kwi melihat ia sebagai Hek-liong-li maka diapun melakukan pengejaran akan tetapi Hek-liong-li itu telah lenyap.
Seperti telah mereka rencanakan, Bunga Kuning menyusup-nyusup ke tempat di mana ia berjanji untuk bertemu lagi dengan Bunga Hijau. Akan tetapi, tiba-tiba ia berhenti bergerak dan cepat ia masuk ke dalam semak-semak yang penuh duri, tidak perduli tubuhnya tertusuk duri.
Kini ia aman dan tidak nampak dari luar, dan diapun mengintai dari celah-celah daun semak belukar, matanya terbelalak dan mukanya pucat melihat betapa Bunga Hijau telah berhadapan dengan seorang kakek berpakaian sastrawan sutera putih. Kakek itu memegang sebuah kipas lebar di tangan kirinya dan dia
219
berwajah tampan dan gerak geriknya halus, namun senyumnya mengejek dan dingin.
“Ha-ha-ha, kiranya Hek-liong-li hanyalah seorang penakut yang beraninya hanya menyerang anak buah kami secara menggelap. Hek-liong-li, engkau berhadapan dengan Kim Pit Siu-cai, menyerahlah agar aku tidak terpaksa menggunakan kekerasan.”
Biarpun sikapnya memandang rendah dan ucapannya mengejek, namun sebenarnya dia merasa tegang dan agak jerih maka tangan kanannya meraba gagang mouw-pitnya yang terbuat dari emas, senjata ampuh yang menjadi andalannya. Bagaimana pun juga, empat orang rekannya tewas di tangan Hek-liong-li dan Pek-liong-eng, maka dalam hatinya dia sama sekali tidak berani memandang rendah.
Wanita-cantik berpakaian hitam itu membentak, “Hek-liong-li tidak sudi menyerah terhadap siapa pun juga!”
Setelah berkata demikian, Bunga Hijau yang seperti semua rekannya menyamar sebagai Hek liong-li itu telah mencabut pedangnya, sebatang pedang hitam yang bentuknya persis Hek-liong-kiam, akan tetapi tentu saja hanya pedang tiruan, dan dengan dahsyatnya iapun menyerang dengan tusukan pedangnya.
Melihat pedang hitam itu, Kim Pit Siu-cai menjadi semakin jerih dan sama sekali tidak berani memandang ringan. Dia cepat melompat ke samping untuk menghindarkan diri sambil mencabut senjata kim-pit (pena emas) dari pinggangnya. Akan tetapi wanita itu sudah menyerang lagi dengan bacokan pedangnya.
220
Sungguhpun pandang mata yang jeli dari Kim Pit Siu-cai melihat bahwa serangan Hek-liong-li itu tidak terlalu berbahaya, kurang sekali dalam hal kecepatan maupun tenaga, namun dia tetap tidak berani menggunakan senjatanya untuk menangkis pedang hitam yang dikenalnya sebagai Hek-liong-kiam yang amat ampuh itu.
Dia kembali mengelak dan kini menggerakkan kipasnya ke arah muka Hek-liong-li untuk mengebut dan disusul gerakan kim-pit yang melakukan gerakan totokan bertubi-tubi. Ini merupakan serangan andalan dari Kim Pit Siu-cai. Penggunaan senjata istimewa ini telah mengangkat namanya tinggi-tinggi karena memang hebat sekali. Begitu senjata itu membalas, maka dia telah mengirim totokan ke arah tigabelas jalan darah di bagian tubuh depan lawan, susul menyusul dan dengan kecepatan luar biasa.
Bunga Hijau terkejut dan berusaha untuk mengelak, akan tetapi pada totokan keempat, ia tidak mampu mengimbangi kecepatan lawan dan iapun terkena totokan pada pundaknya dan roboh terguling!
Kim Pit Siu-cai terkejut dan juga girang bukan main. Dia mengira bahwa tentu Hek-liong-li memandang rendah kepadanya maka dapat dia robohkan sedemikian mudahnya, atau mungkin itu hanya siasat saja bagi wanita sakti itu. Maka untuk meyakinkan hatinya bahwa dia benar-benar memperoleh kemenangan, secepat kilat senjata pena emas itu meluncur ke arah leher Hek-liong-li dan senjatanya itu menembus leher itu dengan mudah! Hek-liong-li mengeluh lirih dan terkulai!
221
Hampir Kim Pit Siu-cai tidak percaya. Akan tetapi melihat darah mengalir keluar dari luka di leher wanita yang kini tidak bergerak lagi itu, dia hampir bersorak. Disambarnya tubuh yang sudah lemas itu, dipanggulnya dan diapun lari secepatnya ke arah sarang gerombolannya sambil berteriak-teriak seperti orang kesetanan.
“Aku telah berhasil membunuh Hek-liong-li......!” berkali-kali.
Anak buah gerombolan itu bersorak gembira ketika melihat betapa musuh yang amat ditakuti itu telah tewas dan mayatnya dipanggul dan dibawa lari oleh Kim Pit Siu-cai.
Sementara itu, di dalam semak-semak, Bunga Kuning menahan diri untuk tidak menjerit ketika menyaksikan betapa rekannya roboh dan terbunuh oleh kakek itu, bahkan tubuh rekannya yang entah mati ataukah hidup itupun dilarikan oleh pihak musuh. Ia tidak berani keluar karena maklum bahwa hal itu berarti hanya mati konyol, pada hal ia harus mengabarkan tentang kematian rekannya itu kepada Hek-liong-li.
Air matanya bercucuran dan ia menangis tanpa mengeluarkan suara, lalu setelah gerombolan itu meninggalkan tempat itu, ia menyusup keluar dari semak-semak, tidak merasakan betapa bajunya robek-robek dan kulitnya juga babak belur berdarah, lalu ia berlari secepatnya untuk mencari Hek-liong-li di tempat pertemuan antara mereka semua yang telah ditentukan oleh pemimpin mereka.
222
Di bagian lain, Bunga Biru yang menyamar sebagai Hek-liong-li, seorang diri membuat kekacauan di bagian itu dengan muncul sebagai Hek-liong-li.
Ketika para penjaga menjadi panik dan melapor, Bunga Biru seperti yang telah ditugaskan kepadanya, menggunakan anak panah menyerang para penjaga dan berhasil merobohkan seorang di antara mereka.
Ketika datang banyak anggauta gerombolan yang dipimpin oleh seorang yang bertubuh pendek gendut, Bunga Biru cepat melarikan diri dengan menyelinap di antara pohon-pohon. Akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat, bayangan merah dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang nenek yang dikenalnya sebagai Ang I Sian-li.
Lan-hwa (Bunga Biru) pernah melihat nenek itu ketika membantu Thai-san Ngo-kwi, maka tentu saja ia terkejut bukan main. Di lain pihak, Ang I Sian-li juga merasa jerih dan hanya karena di situ terdapat banyak anak buahnya maka ia berani membentak nyaring.
“Hek-liong-li, engkau tidak akan dapat lolos lagi dari tangan kami!” Nenek itu sudah menerjang dengan tamparan tangannya.
Tangan nenek itu berubah kehijauan karena ia menggunakan pukulan beracun untuk melawan Hek-liong-li yang ia tahu amat lihai itu. Dan pukulan Tangan Racun Hijau ini merupakan ilmunya yang baru, yang dikuasainya dengan cara yang amat keji, yaitu menghisap darah banyak anak bayi. Karena sudah pernah merasakan kehebatan tenaga sakti dari Hek-liong-li, maka begitu
223
menampar Ang I Sian-li mengerahkan tenaga beracun yang amat keji ini.
Bunga Biru yang menyamar Hek-liong-li , tentu saja tidak mengenal tamparan maut ini dan ia menyambutnya dengan pedang tiruan Hek-liong-kiam, membabat ke arah lengan si nenek yang menampar. Melihat Hek-liong-kiam, pedang hitam yang pernah didengarnya, nenek itu merasa ngeri dan otomatis iapun menarik kembali tamparannya.
Pada saat itu, belasan orang anak buah gerombolan penjahat berdatangan dan Ang I Sian-li yang jerih terhadap pedang di tangan Hek-liong-li, cepat memerintahkan anak buahnya untuk mengeroyok. Belasan batang golok menyerang dari segala jurusan.
Melihat dirinya dikeroyok, Lan-hwa cepat memutar pedangnya. Bagaimanapun juga, ia telah digembleng oleh Hek-liong-li dan ia sudah mahir memainkan pedang tiruannya. Terdengar suara berdencing ketika pedangnya menangkisi semua golok yang menyambarnya .
Ang I Sian-li terbelalak dan mengeluarkan suara tawa mengejek. Kiranya pedang Hek-liong-kiam yang terkenal itu hanya semacam itu saja, hanya sebanding dengan golok para anak buahnya.
Golok-golok itu hanya tertangkis dan tidak menjadi rusak! Padahal, kedua lengannya lebih kuat dibandingkan golok para anak buah itu. Timbul keberaniannya dan sambil memekik nyaring, kembali ia menyerang, tubuhnya melompat seperti
224
seekor burung terbang menyambar arah Lan-hwa dan mengirim tamparan mautnya yang mengandung racun jahat.
Saat itu, Lan-hwa sedang sibuk menangkisi banyak golok, bagaimana mungkin ia mampu menghindarkan diri dari tamparan itu. Andai kata ia tidak sedang menghadapi pengeroyokan sekalipun, andai kata ia siap dengan pedang di tanganpun belum tentu ia akan dapat menahan dahsyatnya tamparan Ang I Sian-li.
Ia masih mencoba untuk mengelebatkan pedangnya menyambut tamparan itu. Akan tetapi, angin tamparan yang hebat membuat pedangnya menyeleweng dan tahu-tahu dadanya telah terkena tamparan tangan Ang I Sian-li.
“Plakk!” Lan-hwa mengeluh dan roboh terjengkang, tewas seketika dengan tubuh menjadi kehijauan!
Ang I Sian-li berdiri bengong, merasa seperti mimpi ketika anak buahnya bersorak gembira melihat Hek-liong-li tewas! Akan tetapi, kemudian meledaklah kegembiraan dan kebanggaannya. Ia menyambar rambut Lan-hwa, menyeret mayat itu dan membawanya lari untuk dipamerkan kepada dua orang rekannya!
“Aku telah membunuh Hek-liong-li......!”
Sambil menyeret mayat wanita berpakaian serba hitam itu pada rambutnya, Ang I Sian-li bersorak dan berteriak-teriak penuh kebanggaan. Ketika ia tiba di sarang mereka, Ang I Sian-li yang tadinya gembira dan bangga itu memandang bingung.
225
Ia melihat bahwa semua rekannya telah berkumpul di situ dan di atas tanah, di depan mereka, berserakan mayat-mayat para anggauta anak buah mereka, termasuk Sam-kwi, yaitu orang ketiga di antara Thai-san Ngo-kwi. Dan di dekat mayat San-kwi menggeletak pula mayat...... Hek-liong-li!
Kalau tadinya ia berteriak-teriak telah berhasil membunuh Hek-liong-li, kini ia memandang bingung dan melemparkan mayat yang tadi diseretnya ke dekat mayat berpakaian serba hitam yang sudah lebih dahulu menggeletak di situ.
“Siapakah mayat itu?” tanyanya kepada dua orang rekannya sambil menuding ke arah mayat Hek-liong-li pertama.
“Hek-liong-li-palsu, mungkin seperti yang kaubawa ke sini, aku yang telah membunuhnya dengan mudah,” kata Kim Pit Siu-cai.
“Aihh.....!” Sepasang mata nenek cantik pesolek itu terbelalak. “Kalau begitu yang kubunuh inipun palsu? Akan tetapi...... kenapa banyak yang menyamar Hek-liong-li? Pantas kepandaiannya rendah saja, akan tetapi ia membawa Hek-liong-kiam!” katanya dengan nada suara penuh kekecewaan.
“Coba lihat, samakah Hek-liong-kiam itu dengan yang ini?” Kim Pit Siu-cai mengeluarkan sebatang pedang hitam yang tadi dirampasnya dari wanita yang disangkanya Hek-liong-li.
Ang I Sian-li mengeluarkan pedang itu. Memang serupa. Mereka berdua memegang pedang dengan kedua tangan dan sekali mengerahkan tenaga, pedang itu patah menjadi dua potong.
226
Dengan hati sebal kedua orang datuk itu melemparkan pedang rampasan mereka yang palsu itu ke atas tanah.
“Sialan! Kita dipermainkan Hek-liong-li!” kata Ang I Sian-li bersungut-sungut dan marah sekali.
“Tenanglah, Sian-li,” kata Pek-bwe Coa-ong yang merupakan orang tertua di antara tiga datuk sisa Sembilan Iblis itu. “Bagaimanapun juga, dua orang gadis yang menyamar Hek-liong-li ini pasti anak buahnya atau pembantunya, maka dapat membunuh dua orang inipun sudah merupakan pukulan bagi Hek-liong-li. Cepat atau lambat, Hek-liong-li pasti akan terjatuh ke tangan kita, mati atau hidup!”
“Memang lumayan dapat membunuh dua orang pembantunya, akan tetapi kitapun menderita kerugian yang tidak sedikit! Delapan orang anak buah kita tewas, belum dihitung yang terluka, dan terutama sekali Sam-kwi telah terbunuh oleh Hek-liong-li!”
Empat orang sisa Thai-san Ngo-kwi yang berada di situ dan memandang kepada jenazah rekan mereka dengan wajah duka, kini mengepal tinju.
“Aku bersumpah,” kata Thai-kwi, orang pertama yang tinggi besar hitam dan berusia empatpuluh lima tahun, dengan suara geram, “Kalau Hek-liong-li terjatuh ke tangan kami, akan kami permainkan dan kami perhina dan siksa sampai puas, baru akan kami bunuh, tubuhnya kami cincang dan dagingnya kami berikan kepada anjing!!”
227
“Aku akan minum darahnya!” kata pula Ji-kwi yang pendek gendut.
“Akan kumakan mentah-mentah sebagian jantungnya!” kata Su-kwi yang tinggi besar agak bongkok.
“Aku...... aku akan memperkosanya sepuas hati,” kata Ngo-kwi yang sedang tubuhnya, galak dan mata keranjang, orang termuda dari mereka berusia tigapuluh lima tahun.
“Harap kalian tenang dan kalau sampai Hek-liong-li terjatuh ke tangan kita, aku tidak akan melupakan kalian untuk berpesta. Akan tetapi, bukan Hek-liong-li saja yang kita hadapi. Masih ada Pek-liong-eng dan para pembantunya. Kita harus berhati-hati dan memperkuat penjagaan. Sian-li, Siu-cai, mari kita berunding di dalam,” kata Pek-bwe Coa-ong dan dia memerintahkan empat dari Ngo-kwi untuk mengurus jenazah-jenazah itu, dan menambahkan, “Gantung mayat dua orang Hek-liong-li palsu itu di pohon di luar pagar agar terlihat oleh Hek-liong-li!”
Tiga orang datuk itu lalu masuk dan mengadakan perundingan. “Jelas bahwa kini Liong-li sudah menerima tantangan kita. Ia pasti akan berdaya upaya untuk menyerbu masuk dan mencoba untuk membebaskan dua pasang tawanan kita. Mereka kini harus ditahan dalam kamar dan jangan sampai mereka itu mudah dibebaskan dari luar,” kata Pek-bwe Coa-ong.
“Jangan khawatir, Coa-ong. Mereka sudah kusuruh keram dalam kamar, bahkan aku telah menotok mereka dan kaki tangan mereka terbelenggu,” kata Ang I Sian-li.
228
“Bagus! Sekarang mari kita bicara tentang dua orang Hek-liong-li palsu itu. Kita ketahui bahwa Hek-liong-li mempunyai sembilan orang pembantu yang juga merupakan anak buah mereka. Jelaslah bahwa dua orang Liong-li palsu itu pasti dua orang di antara sembilan orang pembantunya. Berarti kini ia berada di luar bersama tujuh orang pembantunya.
“Kalau melihat betapa di seluruh penjuru bermunculan Hek-liong-li, jelas bahwa mereka semua itu mengenakan pakaian hitam dan menyamar sebagai Liong-li. Akan tetapi, di antara mereka, hanya Liong-li yang aseli saja yang harus kita hadapi dengan hati-hati. Kita harus mengerahkan tenaga, memasang barisan pendam dan sedapat mungkin membunuh semua pembantu Liong-li.”
“Coa-ong, kita jangan terlalu memusatkan perhatian kepada Liong-li seorang. Kita harus ingat bahwa di sana terdapat Pek-liong-eng pula. Dan diapun mempunyai enam orang pembantu pria yang lihai. Mungkin diapun seperti Liong-li, akan datang dibantu enam orang pelayannya itu,” kata Ang I Sian-li.
Mereka berunding dan mengatur siasat karena mereka bertiga mengambil keputusan nekat bahwa sekali ini mereka harus mampu membalas dendam kematian semua rekan mereka yang terbunuh oleh Pek-liong dan Liong-li. Sekarang atau tidak ada harapan lagi, pikir mereka.
Dan saat itu, kedudukan mereka memang kuat. Bukan saja mereka bertiga merupakan lawan-lawan yang amat tangguh bagi Pek-liong dan Liong-li, juga mereka dibantu oleh Thai-san Ngo-
229
kwi yang kini tinggal empat orang dan ratusan orang anak buah mereka!
◄Y►
Delapan sosok bayangan orang itu menyelinap di balik semak-semak dan pohon-pohon. Hek-liong-li dan para pembantunya yang tinggal tujuh orang itu, dengan pakaian hitam-hitam, merangkak dan menyusup di antara semak-semak mendekati pohon besar di mana tergantung dua buah mayat berpakaian hitam itu. Terdengar isak tertahan di sana-sini ketika mereka melihat bahwa yang tergantung itu adalah mayat Bunga Biru dan Bunga Hijau!
Liong-li cepat membuat suara mendesis lirih untuk mengingatkan anak buahnya agar menahan isak mereka dan jangan membuat gaduh. Ia sendiri, menggigit bibir ketika melihat keadaan dua orang anak buahnya itu.
Baju kedua mayat itu di bagian dada terobek dan nampak payudara mereka juga robek-ro bek tergores pedang. Dan pedang mereka, Hek-liong-kiam palsu yang sudah patah, ditusukkan di bawah perut sehingga tinggal nampak gagangnya saja.
“Jahanam busuk,” ia memaki dalam hati. Sungguh mereka itu bukan manusia, melainkan iblis yang teramat kejam, menyiksa jenazah seperti itu. Penghinaan yang luar biasa besarnya. Biarpun ia marah sekali, namun ia tetap tenang dan kemarahannya segera padam.
230
Ia tidak boleh marah karena tentu tiga orang datuk itu sengaja memperlakukan dua buah mayat itu sedemikian rupa untuk memancing kemarahannya. Dan orang marah tentu akan kehilangan keseimbangan dan akan mengambil tindakan yang nekat dan ceroboh. Tidak, ia tidak boleh marah. Pihak musuh terlalu berbahaya.
“Kalian kurung tempat ini dan tunggu saja, biar aku yang memeriksa keadaan lapangan. Begitu muncul pihak musuh, lima orang membantuku, dan engkau, Ang-hwa (Bunga Merah) dan Pek-hwa (Bunga Putih), kalian yang kutugaskan menurunkan dan mengambil dua jenazah Bunga Hijau dan Bunga Biru. Akan tetapi tunggu, sampai aku memberi tanda aman, baru kalian berdua boleh bergerak. Yang lain-lain juga harus menunggu isyaratku, baru boleh membantuku.” Liong-li berbisik-bisik mengatur siasat dan membagi tugas.
Setelah semua mengerti betul, Liong-li membawa sebatang tongkat dari cabang pohon yang panjangnya tidak kurang dari dua setengah meter, lalu meloncat keluar dari tempat pengintaiannya.
Malam itu tidak gelap sekali karena ada bulan tiga perempat menerangi bumi. Kebetulan langit bersih sehingga cahaya bulan tiga perempat itu tidak terhalang awan.
Dengan tongkatnya, Liong-li mencari jalan dengan hati-hati, mencoba dan meneliti di sebelah depan dengan tongkatnya agar tidak sampai terperangkap. Ternyata tempat itu tidak dipasangi jebakan. Liong-li maju terus menghampiri pohon di mana dua
231
orang anak buahnya mati tergantung, tetap waspada ketika melangkah maju dengan perlahan dan hati-hati.
Biarpun ia tidak mengeluarkan suara menangis, namun kedua matanya menjadi basah ketika ia tiba di bawah pohon, melihat dua orang anak buahnya tergantung seperti itu. Mereka tewas karena membantunya! Tadinya ia sudah khawatir dan tidak ingin mengorbankan anak buahnya, akan tetapi mereka memaksa. Mereka rela mati demi membantunya! Mulutnya bergerak membaca doa dan mengucapkan selamat jalan kepada Bunga Hijau dan Bunga Biru.
Tiga orang datuk membuat perhitungan bahwa Liong-li yang amat cerdik itu pasti akan mudah terpancing dengan dua buah mayat itu. Mereka memperhitungkan bahwa yang mencoba untuk mengambil mayat tentu hanya anak buah Liong-li. Maka merekapun hanya menyuruh empat orang Thai-san Ngo-kwi untuk mewakili mereka membawa anak buah menjaga tempat itu. Mereka tidak tahu bahwa justeru perhitungan mereka ini sudah diperhitungkan pula oleh Liong-li.
Gadis perkasa ini memperhitungkan bahwa tiga orang datuk itu tentu tidak mengira ia berani nekat membahayakan diri menghampiri mayat. Justru karena ini, maka ia malah datang! Bagaikan bermain catur, kalau para datuk sesat membuat perhitungan sampai tiga langkah, Liong-li membuat perhitungan sampai empat-lima langkah!
Ketika Thai-kwi yang memimpin pengepungan itu melihat munculnya seorang wanita berpakaian hitam, dia tersenyum.
232
Hemm, tidak mungkin aku dapat dikelabuhi lagi, pikirnya. Liong-li, aku tahu bahwa yang muncul itu tentu seorang di antara anak buahmu yang menyamar! Bersama semua anak buahnya yang berjumlah duapuluh orang, dia dan adik-adiknya mengikuti gerak-gerik bayangan hitam itu.
Liong-li dapat menduga bahwa semua gerakannya tentu diikuti banyak pasang mata dari pihak lawan. Ia tetap berhati-hati, sudah memperhitungkan pula bahwa tentu ia dianggap seorang di antara Liong-li palsu. Ia merasa lega bahwa tempat itu tidak dipasangi jebakan sehingga memudahkan anak buahnya untuk merampas mayat.
Dengan tongkatnya, ia memeriksa tali gantungan. Tidak dipasangi perangkap pula. Ia masih menanti munculnya serangan musuh, dan diam-diam, tangan kirinya sudah mempersiapkan segenggam jarum hitamnya di tangan kiri.
Jarang Liong-li mempergunakan senjata rahasia, jarum-jarum hitamnya selalu tersimpan saja dalam kantung kecil yang tergantung di pinggang. Akan tetapi sekali ini, ia menghadapi musuh yang mempunyai banyak anak buah dan ia sudah mengambil keputusan untuk tidak bersikap lunak terhadap mereka, apa lagi setelah dua orang pembantunya tewas dan disiksa seperti itu.
Melihat belum juga ada gerakan dari pihak musuh, tiba-tiba Liong-li meloncat ke atas, sinar hitam berkelebat dan dua sosok tubuh mayat yang tadinya tergantung itu terjatuh ke atas tanah.
233
Pada saat itulah, dari arah belakang dan sebelah kirinya, meluncur puluhan batang anak panah ke arah dirinya! Ia memutar pedangnya dan semua anak panah runtuh, dan sambil memutar pedang, ia menggerakkan tangan kirinya dan sinar lembut hitam meluncur ke berbagai arah, yaitu ke arah dari mana datangnya anak panah tadi.
Terdengar pekik kesakitan di sana sini dan Liong-li tersenyum karena ia tahu bahwa seperti telah diaturnya tadi, tujuh orang anak buahnya sudah pula melepas senjata mereka, yaitu anakpanah-anakpanah kecil yang bisa dilepas dari busur sekali tarik lima batang! Tujuh orang anak buahnya sudah menyerang, membarengi serangan musuh, menjatuhkan beberapa korban yang tadi terdengar menjerit tanpa tempat sembunyi anak buahnya diketahui musuh.
Thai-kwi menjadi marah dan dia memberi aba-aba. Duapuluh orang anak buahnya tinggal limabelas orang karena yang lima orang terjungkal, terkena senjata rahasia lawan. Limabelas orang itu, ditambah dia dan adik-adiknya yang semua berjumlah empat orang, menyerbu dengan teriakan marah ke arah Liong-li.
Liong-li kembali tersenyum dan pada saat itu, lebih banyak lagi anak panah menyambar, menyongsong belasan orang yang menyerbu itu dan kembali terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan empat orang roboh! Kini tinggal empatbelas orang lagi dan iapun memberi isyarat dengan mengangkat pedangnya ke atas.
Melihat isyarat ini, muncullah lima orang wanita berpakaian hitam, menyambut serbuan belasan orang itu, sedangkan Liong-li sendiri
234
menghadapi pengeroyokan Thai-kwi, Ji-kwi, Su-kwi dan Ngo-kwi. Sementara itu, Ang-hwa dan Pek-hwa sudah meloncat dan cepat mereka menyambar dua buah mayat rekan mereka dan membawanya pergi.
“Tangkap hidup-hidup! Yang inilah Liong-li yang aseli!” teriak Thai-kwi dan bersama tiga orang adiknya dia menyerang dengan membabi-buta kepada Liong-li. Lima orang anak buah menyambut lima orang anak buah Liong-li, sedangkan lima orang lain sudah ikut mengeroyok Liong-li!
Thai-kwi meniup tanda bahaya yang melengking-lengking. Liong-li maklum bahwa keadaannya bisa berbahaya kalau tiga orang datuk itu muncul. Sekarangpun, tanda bahaya itu sudah mengundang datangnya belasan orang anak buah lain yang kebetulan berada di sekitar tempat itu sehingga ia dan lima orang anak buahnya harus menghadapi pengeroyokan banyak sekali lawan.
Selagi Liong-li dan para pembantunya mengamuk, merobohkan banyak pengeroyok yang rata-rata memiliki kepandaian yang cukup tangguh, tiba-tiba nampak sinar api berkobar di sana sini dan teriakan kebakaran. Ternyata sarang ketiga Kiu Lo-mo itu terbakar di sana sini!
Tentu saja para pengeroyok menjadi panik dan Thai-kwi sendiri memberi aba-aba agar anak buahnya mundur karena dia ingin membawa anak buahnya membantu memadamkan kebakaran yang terjadi di sedikitnya enam tempat itu!
235
“Jangan kejar!” Liong-li berseru dan mengajak lima orang pembantunya menyusup dan menghilang di antara pohon-pohon, menyusul Ang-hwa dan Pek-hwa yang sudah membawa dua buah mayat rekan mereka itu ke seberang sungai, mempergunakan perahu yang mereka sembunyikan di tepi sungai, dalam semak belukar.
Liong-li tersenyum puas, bukan hanya karena mereka telah berhasil merobohkan lagi beberapa orang anak buah musuh, juga bukan hanya karena ia berhasil mengambil jenazah dua orang pembantunya agar dapat dikubur dengan baik, akan tetapi terutama sekali melihat adanya kebakaran di enam tempat tadi.
Hatinya tidak syak lagi, itu pasti hasil perbuatan Pek-liong-eng! Siapa lagi kalau Pek-liong yang datang di saat sedemikian tepatnya, dan menggunakan siasat demikian cerdiknya untuk mengacaukan musuh dan menolong ia dan para pembantunya yang sedang terkepung dan terancam?
Malam itu juga, Liong-li dan tujuh orang pembantunya mengubur dua jenazah dengan sederhana namun penuh khidmat. Setelah melakukan sembahyang secara sederhana di depan kedua makam itu, Liong-li dan anak buahnya berunding di depan makam, duduk di atas rumput.
“Kematian Bunga Biru dan Bunga Hijau membuktikan betapa lihai dan berbahayanya pihak musuh,” Liong-li berkata. “Tiga orang datuk itu, sisa dari Sembilan Iblis, agaknya menyusun kekuatan dan bertekad untuk membalas dendam dan membunuh aku dan Pek-liong. Melihat betapa dua orang rekan kalian telah tewas,
236
dan mengingat akan besarnya bahaya, sekali lagi aku peringatkan kepada kalian. Aku tidak ingin melihat jatuhnya lebih banyak korban lagi di antara kita, maka kalian boleh meninggalkan aku. Aku akan berjuang sendiri menentang mereka, bersama Pek-liong.”
Ang-hwa (Bunga Merah) segera mendahului teman-temannya menjawab.
“Li-hiap, kenapa lagi-lagi Li-hiap berkata demikian? Li-hiap, sudah bertahun-tahun li-hiap membimbing kami, mengajarkan kami bagaimana sikap seorang gagah sehingga kami merasa menjadi manusia yang berarti. Dalam suatu pertentangan, di mana kita berdiri sebagai penentang perbuatan jahat, tentu saja terjadi korban. Dua orang rekan kami tewas, namun mereka tewas sebagai naga, sebagai harimau, dan di pihak musuh juga banyak yang tewas, lebih banyak dari pada kerugian yang kita derita.
“Li-hiap, kalau kami tewas, seperti Bunga Hijau dan Bunga Biru, kami akan merasa bangga. Bukan karena kami tewas membantu li-hiap, melainkan tewas karena menentang kejahatan. Bukankah li-hiap selalu mengatakan lebih baik mati sebagai harimau melawan musuh yang jahat, dari pada mati sebagai babi disembelih atau lari seperti anjing yang ketakutan? Saya sendiri, saya akan tetap bersama li-hiap menghadapi tiga orang datuk dari Kiu Lo-mo itu?”
Enam orang temannya serentak menyatakan setuju dan tak seorangpun yang mau meninggalkan Liong-li.
237
Liong-li merasa terharu. “Baiklah, kalau begitu, kita lanjutkan usaha kita membasmi mereka, bersama Pek-liong. Akan tetapi karena pihak lawan sudah mengetahui keadaan kita, maka kita akan menanti dulu sampai ada berita dari Pek-liong sehingga kita dapat bekerja sama dengan dia. Pihak musuh terlalu tangguh untuk kita hadapi sendiri.”
◄Y►
Dugaan Liong-l.i memang benar. Yang melakukan pembakaran-pembakaran di sarang gerombolan pada malam hari itu adalah Pek-liong-eng dan enam orang pembantunya. Setelah Pek-liong menemukan surat yang ditinggalkan Liong-li untuknya dan dia mengadakan pembicaraan dengan Cian Hui dan isterinya, Cu Sui In, dia lalu pergi ke lembah Sungai Kuning dan di suatu tempat yang memang telah dia janjikan kepada enam orang pembantunya, dia mengadakan pertemuan dengan mereka.
Tempat pertemuan itu di sebuah kuil tua yang tidak dipergunakan lagi, yang letaknya di lereng bukit kecil di pantai Sungai Kuning. Dalam petualangannya dahulu, Pek-liong pernah mempergunakan kuil tua ini sebagai tempat bersembunyi, maka kini diapun hendak memanfaatkan tempat itu untuk menjadi tempat pertemuannya dengan enam orang pelayan atau pembantunya. Bukit itu tak pernah dikunjungi orang, dan kuil itu terlalu tua untuk dijadikan kuil baru, dan terlalu seram untuk dijadikan tempat tinggal, tempatnya sunyi dan jauh tetangga.
Setelah enam orang pembantunya lengkap berada di situ, Pek-liong menyuruh seorang pembantu berjaga di luar dan seorang
238
lagi di belakang kuil, kemudian dia mengajak empat pembantu lain untuk bicara di dalam. Dia mendengar laporan hasil penyelidikan mereka bahwa di lembah Sungai Kuning terdapat sebuah tempat yang agaknya dijadikan sarang penjahat.
Mereka berenam belum melihat adanya tiga datuk besar sisa Kiu Lo-mo, akan tetapi mereka melihat adanya Thai-san Ngo-kwi dan ratusan orang anak buahnya, yaitu orang-orang kang-ouw yang termasuk golongan sesat. Juga bahwa tempat itu amat berbahaya, agaknya dipasangi banyak perangkap dan dijaga ketat.
“Apakah kalian sudah melihat tanda-tanda hadirnya Hek-liong-li di sana? Atau para pembantunya?” tanya Pek-liong.
“Kami hanya beberapa kali melihat sosok bayangan hitam-hitam berkelebat dan menyusup-nyusup di antara pohon dan semak, akan tetapi kami belum jelas apakah mereka itu Liong-lihiap dengan para pembantunya. Seperti pesan tai-hiap, kami tidak mengadakan kontak dengan siapapun, hanya melakukan penyelidikan di sekitar Hek-san (Bukit Hitam) di lembah Huang-ho (Sungai Kuning).”
Pek-liong mengangguk-angguk. “Baiklah, mulai sekarang, untuk sementara kita jadikan kuil ini sebagai markas. Bukit Hitam berada di depan, tak jauh dari sini dan malam ini kita melakukan penyelidikan ke bukit itu, menyelidiki sarang gerombolan yang kalian temukan. Persiapkan segalanya, juga minyak bakar, siapa tahu kita dapat mempergunakannya, setidaknya untuk menggunakan siasat membakar semak memaksa ular keluar dari
239
sarangnya. Aku ingin memperoleh kepastian apakah gerombolan yang kalian temukan itu benar merupakan anak buah tiga orang datuk Kiu Lo-mo ataukah bukan.”
Demikianlah, setelah hari mulai gelap, Pek-liong dan enam orang pembantunya mendaki bukit Hitam, melakukan penyelidikan. Mereka berpencar, bergerak naik walaupun mereka menjaga jarak agar dapat saling berhubungan melalui isyarat yang biasa mereka lakukan dalam gelap, yaitu suara burung malam. Untuk keperluan penyelidikan kali ini, Pek-liong mempergunakan jubah luar yang berwarna biru yang panjang dan lebar menutupi pakaiannya yang serba putih.
Ketika dia menggunakan ilmunya bergerak ringan dan cepat menyusup di antara semak dan pohon itulah Pek-liong melihat adanya dua buah mayat wanita yang digantung di pohon besar, di luar perkampungan gerombolan. Dia terkejut juga melihat betapa dua orang wanita yang telah tewas itu mengenakan pakaian hitam-hitam seperti pakaian Liong-li, juga gagang pedang yang menancap di bawah perut mereka adalah gagang pedang mirip Hek-liong-kiam.
Dan diam-diam dia mengeluarkan makian marah melihat keadaan dua buah mayat yang tersiksa secara mengerikan itu. Tak syak lagi, inilah bekas tangan keji seorang datuk! Hanya manusia yang berhati kejam seperti iblis sajalah yang mampu melakukan perbuatan keji terhadap manusia lain seperti itu.
Kemudian pandang matanya yang tajam melihat pergerakan di balik semak dan dia melihat sesosok bayangan yang mendekati
240
pohon di mana dua mayat itu tergantung. Jantungnya berdebar. Dia yakin bahwa sosok itu adalah Liong-li. Memang wajahnya tidak nampak jelas dan demikian pula bentuk tubuhnya karena dia berpakaian serba hitam. Akan tetapi gerakan tubuh itu ketika melangkah, menyelinap dan memegang tongkat panjangnya. Itulah Liong-li, tak salah lagi!
Dia memberi isyarat kepada enam orang pembantunya dengan suara burung malam yang memanjang satu kali. Panjang satu kali berarti agar mereka berhenti di tempat dan waspada, menanti perintah berikutnya!
Pek-liong melihat betapa Liong-li membabat putus tali gantungan kedua mayat itu dan pada saat itu, datanglah serangan anak panah dari barisan pendam pihak musuh. Pek-liong tersenyum ketika melihat Liong-li beraksi menyebar jarum dan diikuti anak-anak panah kecil dari para pembantu pendekar wanita itu. Akan tetapi, walaupun pertempuran itu tidak membutuhkan bantuannya karena Liong-li tidak akan kalah, namun ketika para gerombolan datang semakin banyak, Pek-liong cepat memberi isyarat kepada para pembantunya untuk mengikutinya merayap naik ke bukit Hitam.
Dan selanjutnya, dari luar perkampungan itu, mereka menyerang perkampungan dengan anak panah yang membawa kain yang dicelup minyak dan dibakar sehingga perkampungan gerombolan itu dihujani api dari atas dan terjadilah kebakaran-kebakaran yang membuat para gerombolan panik dan membuat empat orang sisa Thai-san Ngo-kwi terpaksa menarik mundur anak buahnya yang sedang mengeroyok Liong-li dan lima orang pembantunya.
241
Setelah berhasil mengacaukan perkampungan itu dan melihat betapa Liong-li dan para pembantunya dapat melarikan diri terlepas dari kepungan banyak lawan, Pek-liong dan kawan-kawannya juga turun dari Hek-san dan menuju ke kuil tempat persembunyian mereka.
Pada keesokan harinya, Pek-liong dan enam orang pembantunya keluar dari kuil untuk melakukan penyelidikan lagi karena dia belum merasa yakin apakah benar gerombolan di Hek-san itu dipimpin oleh tiga datuk dan di situ pula ditahannya Song Tek Hin dan Su Hong Ing, dan kakak beradik Kam Sun Ting dan Kam Cian Li.
Mereka bertujuh kini menyamar dan karena Pek-liong memang ahli dalam ilmu penyamaran, enam orang pembantunya juga menyamar dengan baik sekali sehingga sukar dikenali keadaan aselinya. Pek-liong sendiri menyamar sebagai seorang laki-laki berusia enampuluhan tahun, rambutnya sudah putih semua dan demikian pula kumis dan jenggotnya, putih tidak teratur seperti seorang petani tua yang punggungnya agak bongkok dan berjalan memegang sebatang tongkat bambu butut.
Tak seorangpun tahu bahwa di dalam bambu itu tersembunyi Pek-liong-kiam! Dia memesan kepada enam orang pembantunya agar berhati-hati menyelidiki sekitar perkampungan gerombolan di bukit Hitam, sedangkan dia sendiri ingin mencari di mana Liong-li dan para pembantunya berada.
Dari puncak bukit dimana kuil tua itu berdiri, Pek-liong lebih dahulu meneliti keadaan. Nampak bukit Hitam menjulang di
242
depan, penuh dengan hutan lebat. Bukit itu berada di pantai sungai Kuning, yang airnya tenang dan keruh.
Liong-li selalu berhati-hati, pikirnya. Tentu ia tidak mau tinggal terlalu dekat di kaki Hek-san, akan tetapi juga tidak terlalu jauh sehingga dapat selalu mengawasi sarang gerombolan itu. Dan semalam, mereka berhasil mengambil dua jenazah yang digantung di pohon, ini berarti bahwa mereka dapat dengan leluasa mendaki Hek-san.
Tentu mereka tidak jauh dari Bukit Hitam itu, pikirnya. Akan tetapi di mana? Kalau di seberang sana, tentu terlalu jauh.
Tiba-tiba pandang matanya bersinar gembira Ah, tentu saja! Perahu-perahu itu! Banyak perahu nelayan di sana, dan perahu para pedagang yang lalu lalang. Kalau Liong-li tinggal di dalam perahu, tentu tidak akan dicurigai siapapun dan ia dapat selalu dekat dengan pantai di mana Hek-san berdiri, dapat selalu mengamati bukit itu.
Tak lama kemudian, kakek yang agak bungkuk itu berhasil menyewa sebuah perahu kecil yang di dayungnya sendiri. Perahu kecil itu didayungnya mendekati perahu-perahu lain sampai akhirnya dia melihat sebuah perahu kecil yang didayung dua orang gadis yang segera dikenalnya sebagai dua di antara para pembantu Liong-li. Di perahu itu nampak pula panci-panci yang agaknya penuh masakan. Tentu kedua orang wanita itu baru saja pulang membeli makanan ke pedusunan di tepi sungai, pikir Pek-liong dan tanpa menimbulkan kecurigaan, diapun mendayung perahu mengikuti perahu kecil itu.
243
Hek-liong-li sungguh berhati-hati sekali, pikir Pek-liong. Untuk membeli makanan saja, yang disuruhnya adalah Ang-hwa dan Pek-hwa, dua orang yang paling lihai dan paling dipercaya di antara semua pembantunya. Ini tentu untuk menjamin agar tidak terjadi sesuatu ketika mereka mencari makanan.
Perahu kecil yang didayung Ang-hwa dan Pek-hwa itu mendekati sebuah perahu besar cat hitam. Ang-hwa melemparkan tali yang ujungnya ada kaitannya dan kaitan itu membuat perahu kecil terikat dengan perahu besar.
Seorang wanita pembantu Liong-li lainnya menurunkan sebuah tangga kayu dan kedua orang wanita itu lalu naik ke perahu besar melalui tangga kayu, membawa panci-panci yang kelihatannya terisi makanan yang masih panas. Tentu saja kedua orang wanita itu tidak mau melompat begitu saja ke perahu besar karena hal itu tentu akan menarik perhatian orang-orang, yang berada di perahu-perahu lain.
Ang-hwa dan Pek-hwa disambut para pelayan lain dengan gembira. “Wah, sungguh beruntung sekali kita hari ini dapat makan masak daging sapi dan ayam panggang. Juga ada anggur merah yang sedap,” kata Ang-hwa.
Tentu saja rekan-rekannya merasa heran dan bertanya dari mana Ang-hwa dan Pek-hwa bisa mendapatkan masakan-masakan mewah itu.
“Enci Ang-hwa, apakah ada restoran besar di tepi sungai?” tanya seorang pembantu.
244
Ang-hwa tertawa. “Ihh, mana ada restoran besar di tepi pantai yang hanya ada dusun? Restoran besar hanya terdapat di kota besar. Kami berdua memang sedang mujur. Ketika kami bertanya-tanya kepada penghuni dusun itu, kebetulan sekali yang kami tanyai adalah sepasang suami isteri tua, yang dahulu di waktu mudanya pernah bekerja sebagai juru masak di rumah makan besar di kota.
“Nah, mereka suka sekali menolong dan kami memberi bahan dan bumbu, membeli daging sapi dan menyembelih ayam dan merekapun memasakkan untuk kami dengan sedikit imbalan. Dan setelah kami mencicipi sedikit, ternyata masakan mereka memang lezat bukan main.”
“Wah, kalau begitu kalian telah mendahului makan?” para pelayan itu menggoda.
“Hussh, mana kami berani?” kata Pek-hwa. “Sebelum li-hiap makan, kami tidak berani mendahuluinya. Kami hanya mencicipi sedikit ketika mereka masak di dapur, lalu kami menunggu di ruangan depan rumah mereka.”
Tiba-tiba muncul Liong-li dari dalam bilik perahu besar itu. Alisnya berkerut ketika ia memandang kepada dua orang pembantunya itu dan menegur mereka, “Ang-hwa, Pek-hwa, kalian terlalu senang sehingga menjadi lengah.”
Dua orang pembantu itu saling pandang, lalu memandang kepada Liong-li. Ang-hwa bertanya, “Li-hiap, apa yang li-hiap maksudkan dengan kelengahan kami?”
245
“Dari atas perahu, aku melihat bahwa kalian berdua dibayangi orang, dan kalian tetap tidak tahu. Bukankah itu lengah namanya?”
“Ehh......!!” Mereka berdua segera menengok dan memandang ke sekeliling. Akan tetapi tidak melihat hal yang mencurigakan.
Perahu-perahu nelayan tetap seperti tadi, juga perahu-perahu para pedagang yang hilir mudik. Seorang kakek dengan caping lebar sedang duduk di perahu kecilnya, tak jauh dari situ, dan dia mengail ikan.
“Maaf, li-hiap. Kami tidak melihat hal-hal yang mencurigakan.”
“Lihat baik-baik pengail tua itu. Di bagian air di mana dia mengail, arusnya begitu kuat, bagaimana mungkin mendapatkan ikan mengail di air yang deras itu? Itu menunjukkan bahwa dia bukan pengail atau memang sedang memancing perhatian kita,” kata Liong-li.
“Ah, li-hiap benar!” seru Pek-hwa.
“Maafkan kelengahan kami, li-hiap. Mungkin dia mata-mata musuh, maka biarlah saya membocorkan perahunya dengan anak panah,” kata Ang-hwa, marah kepada kakek pengail itu. Liong-li hanya tersenyum dan mengangguk, matanya bersinar-sinar.
Dari balik bangunan bilik perahu, agar tidak kelihatan orang lain, Ang-hwa memasang dua batang anak panah kecil yang busurnya dan sekali jepret, dua batang anak panah itu meluncur ke arah
246
perahu kecil, mengarah badan perahu bagian bawah karena Ang-hwa ingin kedua batang anak panahnya menembus bagian itu sehingga perahu itu akan menjadi bocor.
Akan tetapi, semua orang di atas perahu besar itu melihat betapa pengail tua itu menggerakkan batang kailnya dan tali kail itu menyambar ke arah anak-anak panah sehingga kedua batang anak panah itu tertangkap di ujung tali kail. Dia mengangkat kailnya dan memandang dua batang anak panah yang terkait atau terlibat itu, tertawa dan berkata dengan suara lirih, namun karena digerakkan dengan khi-kang maka terdengar jelas oleh mereka yang berada di perahu besar.
“Ha-ha-ha, di perahu besar diadakan pesta makan enak, di perahu kecil aku hanya mendapatkan dua batang anak panah. Mengail ikan mendapatkan anak panah, sungguh sungai yang aneh!”
Mendengar ejekan ini, tujuh orang pembantu Liong-li memandang marah, akan tetapi Liong-li tersenyum. “Ang-hwa dan Pek-hwa, aku memaafkan kelengahan kalian berdua. Tentu saja kalian tidak tahu kalau Pek-liong yang membayangi kalian!”
“Dia..... dia....... Pek-liong-eng.....?” Para pembantu itu berseru lirih.
Liong-li berdiri di tepi perahu dan menjenguk ke bawah, lalu berkata sambil tersenyum. “Pengail tua, kami mengundangmu untuk ikut makan enak, naiklah ke sini!”
247
Pengail tua yang bukan lain adalah Pek-li-ong itu, menoleh, tersenyum dan berkata, “Terima kasih!” Dia mendayung perahunya mendekat, tangga diturunkan dan diapun naik ke atas perahu besar, disambut oleh Liong-li dengan senyum gembira dan mereka segera memasuki bilik perahu.
Setelah duduk berhadapan dan Pek-liong menanggalkan capingnya, mereka saling pandang sampai beberapa menit lamanya, tanpa mengeluarkan suara, akan tetapi dua pasang mata itu saling tatap dan dari sinar mata mereka seolah mereka dapat menjenguk isi hati masing-masing.
“Liong-li, aku merasa ikut prihatin melihat engkau kehilangan dua orang pembantumu.” Pek-liong akhirnya berkata dengan suara serius.
Liong-li menghela napas panjang. “Sekali ini, kita tidak menghadapi ancaman yang main-main dan boleh dipandang ringan. Agaknya Kim Pit Siu-cai, Ang I Sian-li dan Pek-bwe Coa-ong. bekerja sama dan mati-matian mereka menyusun kekuatan untuk menghancurkan kita.”
Mereka lalu saling menceritakan pengalaman mereka semenjak mereka diganggu anak buah musuh di rumah masing-masing sampai mereka menerima surat dari sahabat-sahabat mereka yang telah ditawan oleh pihak musuh. Liong-li menceritakan pula tentang tewasnya Bunga Biru dan Bunga Hijau dan tentang tekad sisa pembantunya yang masih tujuh orang itu untuk membantunya menghadapi gerombolan musuh dengan taruhan nyawa.
248
Ketika tiba giliran Pek-liong menceritakan pengalamannya, pendekar ini menceritakan pula tentang Cian Hui dan Cu Sui In. “Mereka, gerombolan musuh itu, telah mencoba pula untuk menawan Cian Ciang-kun dan isterinya. Bahkan Pek-bwe Coa-ong sendiri yang turun tangan memimpin anak buahnya untuk menculik Cian Hui dan Cu Sui In, akan tetapi untung sekali bahwa Cian Ciang-kun amat cerdik dan telah mencurigai pihak musuh. Dia telah mempersiapkan pasukan sehingga ketika dia dan isterinya akan diculik, pasukannya menerjang dan gerombolan itupun melarikan diri.”
Liong-li merasa kagum. “Cian Ciang-kun memang seorang yang cerdik sekali.”
“Ya, dan diapun menawarkan diri untuk membantu kita menghadapi gerombolan dengan mengerahkan pasukan. Akan tetapi tawaran itu kutolak. Aku tidak ingin melihat dia terlibat, apa lagi sampai terancam bahaya kalau dia membantu kita. Tiga orang datuk sisa Kiu Lo-mo itu mempunyai dendam dan perhitungan dengan kita berdua, maka tidak pantaslah kalau kita sampai melibatkan Cian Ciang-kun dan membuat dia dan isterinya terancam bahaya.
Liong-li menjulurkan tangannya ke seberang meja dan menangkap tangan kanan pendekar itu. Liong-li memandang kagum. Rekannya ini selalu memikirkan kepentingan orang lain! Betapa bijaksananya.
Pek-liong dapat merasakan isi hati Liong-li dan diapun membalas dengan memegang tangan pendekar itu. “Liong-li, sekali ini kita
249
harus berhati-hati. Pihak musuh amat lihai, juga amat cerdik di samping mereka mempunyai banyak anak buah. Kita harus mencari akal untuk lebih dahulu membebaskan kakak beradik Kam dan Song Tek Hin bersama isterinya.”
“Engkau benar, Pek-liong. Mereka ditawan karena kita, maka kita harus dapat menolong mereka sebelum kita hadapi tiga orang datuk itu untuk membuat perhitungan sampai tuntas.”
Pada saat itu terdengar ketukan perlahan di pintu ruangan. Mereka menoleh dan melihat Ang-hwa berdiri di ambang pintu.
“Maafkan saya, Li-hiap, Tai-hiap, kalau saya mengganggu. Akan tetapi masakan itu akan menjadi dingin kalau tidak segera dihidangkan.”
Pek-liong dan Liong-li saling pandang lalu tertawa. “Baik, bawa masuk hidangan itu dan karena sekarang kita semua sedang berjuang, maka untuk sementara ini kalian adalah kawan-kawan seperjuangan. Kalian semua boleh menemani kami berdua makan minum,” kata Liong-li dan ajakan itu disambut dengan gembira oleh tujuh orang pembantunya.
Mereka adalah pembantu-pembantu dan pelayan yang setia, akan tetapi juga amat mengagumi, menghormati dan menyayang Liong-li, maka diajak makan semeja ini merupakan suatu kehormatan dan kebahagiaan besar bagi mereka. Apa lagi di situ terdapat pula Pek-liong-eng yang mereka kagumi.
250
Sayang enam orang pembantu Pek-liong tidak ikut makan minum pula, pikir mereka. Kalau ada enam orang pembantu Pek-liong, lengkaplah sudah pasukan mereka!
Sehabis makan, Pek-liong dan Liong-li melanjutkan perundingan mereka untuk mengatur siasat.
“Keadaan sarang mereka kuat sekali, akan sukar ditembus kalau kita menggunakan kekerasan saja, Pek-liong,” kata Liong-li.
“Engkau benar, akupun sudah melakukan penyelidikan. Selain mereka melakukan penjagaan kuat, agaknya empat orang sahabat kita itupun dikeram dalam rumah tahanan dan tentu dijaga kuat. Berusaha menyusup ke sana sama saja dengan membiarkan diri terperosok ke dalam jebakan.”
“Pek-liong, bagaimanapun juga, kita harus membebaskan mereka. Mari kita mencari siasat yang paling baik. Bagaimana menurut pendapatmu? Akal apa yang harus kita pergunakan?”
“Liong-li, biasanya engkau yang mendapatkan akal, bukan aku. Karena itu, pertanyaanmu itu ku kembalikan kepadamu dan aku siap mendengar pendapatmu.”
Mereka saling pandang, penuh pengertian dan keduanya tertawa. Mereka berdua itu sudah sehati dan sejalan saling pandang saja cukup untuk membuat mereka dapat menjenguk isi hati masing-masing. Mereka saling menghargai, saling mengagumi dan saling menyayang, maka selalu saling merendahkan diri untuk membiarkan yang lain menonjol.
251
“Kita tuliskan saja akal kita masing-masing lalu kita membuat perbandingan. Dengan demikian, tidak ada yang menjadi orang pertama dan orang kedua. Bagaimana?”
“Setuju, akan kutuliskan akal dan pendapatku itu di atas meja ini,” kata Pek-liong yang segera membuat guratan dengan kuku jari telunjuk kanannya ke atas meja sambil menutupinya dengan tangan kiri. Liong-li yang tersenyum juga melakukan hal yang sama.
Mereka selesai dalam saat yang bersamaan pula dan sambil saling pandang, keduanya membuka tangan kiri yang menutupi guratan pada papan meja di depan masing-masing. Keduanya memandang tulisan itu dan keduanya tertawa gembira.
Dalam keadaan seperti itu, lupalah mereka akan ancaman mereka. Ternyata guratan di depan masing-masing itu hanya sebuah huruf yang sama, yaitu huruf
“API.”
Betapa sama jalan pikiran mereka. Dalam saat yang genting dan gawat itupun mereka mempunyai akal yang sama.
“Tepat sekali, Liong-li. Hanya ini satu-satunya jalan bagi kita untuk dapat menyelundup masuk dan berusaha membebaskan empat orang sahabat kita itu,” kata Pek-liong sambil menekan dengan jarinya menghapus guratan di depannya. Hal yang sama dilakukan oleh Liong-li.
252
“Begitu melihat caramu menolong kami dari kepungan musuh semalam, akupun tahu bahwa api merupakan satu-satunya cara untuk menyerang musuh yang sarangnya demikian kuat, Pek-liong. Akan tetapi, itu hanya kita lakukan untuk mengacaukan mereka. Mungkin dalam kekacauan itu kita dapat menyelundup masuk, akan tetapi mengajak empat orang sahabat kita lolos dari sana, itu merupakan hal lain yang jauh lebih sukar.”
“Liong-li, tentu engkau pernah melakukan penelitian terhadap sarang itu dari puncak bukit, bukan? Dan engkau tentu melihat bahwa ada sebuah anak sungai mengalir melalui sebelah dalam perkampungan gerombolan itu!”
Liong-li mengerutkan alisnya, menunduk dan menggosok-gosok hidungnya dengan jari tangan, tanda bahwa ia sedang mengasah otaknya. Kemudian ia mengangkat muka memandang kepada Pek-liong dengan wajah berseri.
“Anak Sungai......? Anak sungai, air dan...... ada kakak beradik Kam di sana! Ah, aku mengerti, Pek-liong, dan memang tepat sekali!”
Pek-liong mengangguk dan tersenyum kagum.
“Ada air, ada kakak beradik Kam, dan pelarian mereka berempat itu akan dapat dilakukan dengan mudah tanpa terlalu membahayakan mereka.”
Mereka lalu mengatur siasat. Dua buah otak yang amat cerdas itu dikerjakan dengan cermat sehingga mereka dapat menyusun rencana siasat yang akan mereka laksanakan malam nanti.
253
Mereka lalu bercakap-cakap melepas rindu dan pertemuan antara mereka sekali ini terasa lain dari pada pertemuan yang sudah-sudah. Sekali ini mereka sama-sama menyadari bahwa keadaan mereka yang saling berpisah dan berjauhan itu membuat mereka tidak lengkap, mudah diserang musuh dan hidup terasa timpang.
“Pek-liong, lama-lama aku menjadi bosan juga. Rasanya semenjak aku menguasai ilmu silat, tiada hentinya aku terlibat permusuhan dengan orang-orang kang-ouw dan terutama dengan golongan sesat. Hemm, entah kapan hidup ini dapat kunikmati dengan tenteram dan penuh damai.
Mendengar ucapan itu dan melihat betapa wanita yang cantik jelita itu duduk termenung dengan pandang mata yang biasanya mencorong itu kini agak sayu, mulut yang biasanya penuh senyum cerah itu agak cemberut, tangan kiri bertopang dagu. Pek-liong tersenyum lebar dan hatinya merasa geli, walaupun ucapan itu membuat dia terkejut karena akhir-akhir ini dia juga mempunyai perasaan yang serupa!
“Liong-li, kiranya tidak perlu kita mengeluh. Pada saat kita mempelajari ilmu silat, kita sudah terlibat dan tergelincir masuk ke dalam dunia kekerasan. Masih untung bagi kita bahwa kita berdiri di pihak yang membela kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas, menentang yang jahat sewenang-wenang sehingga tidak percuma kita mempelajari ilmu silat, dapat dipergunakan untuk hidup yang benar sebagai seorang ahli silat.”
“Akan tetapi, Pek-liong, apakah kalau tidak pandai ilmu silat lalu tidak ada persoalan? Aih, sebelum pandai silat dahulu, aku malah
254
menderita hebat sebagai korban kejahatan. Di mana-mana terdapat orang jahat, di mana-mana terdapat kesengsaraan, di samping kebaikan yang hanya sedikit, di dunia.ini agaknya kejahatan yang memegang peran penting dalam segala lapangan. Di antara sepuluh orang, mungkin hanya dua yang baik dan delapan yang jahat, hanya dua yang kaya dan delapan yang miskin, dua yang pandai dan delapan yang bodoh.”
“Itu sudah merupakan keadaan kehidupan manusia di dunia, Liong-li. Kenapa mesti dipersoalkan? Baik dan buruk sudah menjadi pasangannya, seperti ada siang tentu ada malam, ada atas ada bawah, ada kanan ada kiri. Kalau tidak ada susah di dunia ini, mana mungkin kita mengenal senang? Kalau tidak ada yang dinamakan jahat di dunia ini, mana mungkin kita tahu apa itu yang dinamakan baik?
“Sebaiknya kita tidak membiarkan diri terseret ke dalam pergolakan antara baik dan buruk ini, Liong-li, karena sekali terseret, kita akan menjadi mangsanya. Kalau kita tetap sadar dan tidak terseret, akan nampaklah bahwa memang demikian keadaan hidup di dunia. Hidup berarti perjuangan, Liong-li, perjuangan menghadapi segala macam tantangan yang kita namakan persoalan. Seni kehidupan ini justeru menghadapi dan menanggulangi semua tantangan itu! Barulah hidup itu berarti.”
“Hemm, apakah kita tidak boleh mengharapkan untuk dapat hidup tenang?”
Pek-liong tertawa. “Tentu saja boleh, siapa yang dapat melarang seseorang untuk mengharapkan sesuatu yang baik? Akan tetapi
255
harus menyadari bahwa justeru menginginkan sesuatu itulah pangkal tolak terjadinya hal yang bertentangan dengan yang diinginkan. Kalau kita menginginkan senang, sudah pasti kita bertemu pula dengan susah, kalau kita menginginkan ketenangan, sudah pasti kita bertemu dengan ketidak-tenangan. Keduanya itu tak terpisahkan. Keinginan adalah nafsu, dan nafsu pula penggerak semua hal yang saling bertentangan itu.”
“Aihh, kalau sudah bicara tentang kehidupan aku merasa seperti seorang anak kecil mendengarmu, Pek-liong. Aku mengaku bodoh dalam hal ini. Sukar bagiku untuk mengerti, kenapa di dunia ini demikian banyaknya orang jahat. Pada hal, mereka yang jahat itu bukanlah orang bodoh, melainkan orang yang pintar dan mengerti. Kenapa mereka melakukan kejahatan?
“Sepatutnya, mereka yang pintar itu tahu bahwa kelakuan mereka itu tidak benar, mengakibatkan malapetaka bagi orang lain maupun bagi diri sendiri. Akan tetapi kenapa mereka melakukannya juga? Kalau mereka bodoh dan tidak mengerti, hal itu mudah dimaklumi. Akan tetapi mereka itu orang-orang yang pandai dan pintar......”
“Liong-li, kenyataan itu tidak mengherankan. Manusia adalah mahluk yang amat ringkih dan lemah karena kuatnya nafsu yang menguasai diri. Nafsu daya rendah sudah mencengkeram kita, membonceng pada kita, pada setiap anggauta tubuh, bahkan menyusup ke dalam akal pikiran kita sehingga apapun yang kita pikirkan, apapun yang kita ucapkan dan lakukan, semua itu dikendalikan oleh nafsu yang sifatnya hanya mengejar
256
kesenangan bagi diri sendiri, diri yang sudah menjadi satu dengan nafsu.
“Kepintaran yang berada dalam otak tidak berdaya melawan nafsu. Tidak ada pencuri yang tidak tahu bahwa mencuri itu tidak baik, tidak ada perampok yang tidak tahu bahwa merampok itu jahat.
“Setiap orang manusia tahu dan mengerti belaka melalui akal pikiran mereka bahwa melakukan segala macam bentuk kejahatan itu tidaklah baik. Namun, pengertian ini tidak dapat menghentikan nafsu yang mendorong kita melakukan kejahatan. Akal pikiran dapat menimbulkan penyesalan setelah kita melakukan perbuatan jahat, akan tetapi di lain saat, dorongan nafsu menang lagi dan kita didorong untuk mengulang kejahatan yang tadi disesalkan akal pikiran.
“Demikian seterusnya, maka tidak aneh kalau engkau melihat seorang yang pintar dan pandai melakukan kejahatan. Dia menyadari perbuatan itu tidak baik, namun tidak kuasa menolak dorongan nafsu, bahkan akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu membela perbuatan jahat itu dengan bermacam dalih dan alasan untuk membenarkan atau setidaknya mengurangi keburukannya.”
Dalam hal ilmu silat dan kecerdikan akal, Liong-li memang termasuk seorang wanita yang jarang ditemui keduanya. Namun, begitu Pek-liong bicara tentang kehidupan, ia merasa bingung dan menyadari kekurangannya.
257
Pek-liong-eng Tan Cin Hay memang sudah memiliki kesadaran akan kenyataan hidup seperti yang diterangkannya kepada Liong-li. Namun, dia sendiri belum tahu bagaimana agar dia dapat terbebas dari cengkeraman nafsu-nafsunya sendiri.
Seperti telah dikatakannya, pikiran dan semua ilmu pengetahuan dan kepintarannya, tidak dapat mencegah manusia dari perbuatan jahat dan sesat, karena akal pikiran tidak kuasa melawan pengaruh nafsu. Contohnya yang paling sederhana, semua orang yang kecanduan arak tahu belaka bahwa minum arak merupakan perbuatan yang amat tidak baik, merugikan diri sendiri, merusak badan merusak batin, dapat mengakibatkan orang menjadi mabok dan melakukan hal-hal yang jahat.
Semua peminum arak tahu dan mengerti akan hal ini. Akan tetapi apa daya! Pengertian itu tidak dapat menundukkan keinginan untuk minum arak, yaitu dorongan nafsu yang mendatangkan kesenangan! Kalaupun ada usaha akal pikiran yang sadar untuk menentang keinginan minum arak, maka pikiran itu sendiri yang dicengkeram nafsu menjadi pembela dengan bisikan bahwa minum sedikit tidak mengapa, bahwa minun arak adalah untuk keakraban pergaulan, bahkan minum arak amat baik untuk kesehatan dan sebagainya lagi!
Demikian selanjutnya, kalau dibesarkan seorang koruptor bukan tidak tahu bahwa korupsi itu tidak baik, namun tidak kuasa menolak dorongan nafsu yang ingin mencari kesenangan melalui tindak korupsi. Akal pikirannya akan membela perbuatan itu dengan bisikan bahwa dia bukan sendirian, semua orang juga melakukan bahkan lebih besar lagi, atau bisikan bahwa dia
258
membutuhkan uang untuk keluarga, bahwa dia terpaksa melakukannya, bahwa dia berhak melakukannya untuk imbalan jasanya, dan sebagainya lagi. Bahkan seorang pembunuh akan dibela oleh pikirannya bahwa dia membunuh karena terpaksa, karena dia tidak bersalah dan seribu satu macam alasan lagi untuk menghapus dosa atau setidaknya menguranginya.
Jelas bahwa nafsu menyeret kita ke dalam dosa. Maka, mungkin jutaan orang yang setelah melihat kenyataan ini lalu berusaha untuk mengalahkan nafsu, untuk mengendalikan nafsu dengan bermacam cara. Dengan samadhi, dengan bertapa, dengan penyiksaan diri, mengurangi makan tidur, memaksa diri tidak melakukan segala macam keinginan, bahkan tidak memenuhi kebutuhan badan, dan segala macam cara lagi hanya dengan maksud agar dapat menguasai, mengalahkan dan mengendalikan nafsu, bahkan ada yang berniat untuk mematikan nafsu.
Betapa kenyataan menunjukkan kegagalan semua usaha ini! Nafsu yang dikekang dengan paksa, seperti api yang ditutup sekam, nampaknya saja padam akan tetapi sebetulnya membara di sebelah dalam dan kalau mendapat kesempatan, tertiup sedikit saja lalu berkobar! Semua usaha itu hanya merupakan keinginan untuk mencapai sesuatu, dan keinginan ini justeru hasil kerja dari nafsu!
Nafsu melihat betapa menuruti nafsu mendatangkan akibat yang tidak menyenangkan, maka nafsu lalu mendorong timbulnya keinginan untuk mengekang nafsu! Tentu agar tidak lagi dilanda
259
akibat yang tidak menyenangkan tadi. Karena itu gagal. Mana mungkin nafsu mengekang nafsu, api memadamkan api?
Nafsu merupakan anugerah bagi kita. Nafsu merupakan bahan bakar yang menggerakkan kendaraan tubuh jasmani ini. Tanpa nafsu, pergerakan ini akan macet dan mati. Segala macam kenikmatan dalam hidup ini adalah berkat adanya nafsu. Yang kita kenal sebagai yang enak, yang merdu, yang indah, yang nyaman dan segala macam keadaan yang menyenangkan, adalah berkat adanya nafsu. Nafsu mutlak penting untuk hidup.
Tuhan Maha Bijaksana. Menyertakan nafsu kepada kita pasti ada hikmahnya, ada manfaatnya, bukan untuk dijadikan penggoda. Akan tetapi, nafsu dapat pula menjadi pembujuk yang menyeret kita ke dalam lumpur dosa. Bukan salah nafsu, melainkan salah kita sendiri.
Nafsu ibarat api, tergantung kita yang mengaturnya, sesuai dengan kebutuhan hidup. Kalau dibiarkan merajalela, api akan membakar segalanya, seperti nafsu akan melahap segalanya.
Lalu bagaimana? Dibiarkan berkuasa, kita dijerumuskan dalam jurang kesengsaraan. Dimatikan, tidak mungkin, dikendalikan juga amatlah sukarnya. Lalu bagaimana? Demikianlah pertanyaan abadi yang dicari jawabannya oleh semua manusia di dunia.
Kalau akal pikiran sudah tidak mampu bekerja lagi untuk menemukan jawabannya, maka seyogianya kita kembali kepada sumber, kepada asal. Nafsu diikutsertakan kepada kita oleh Kekuasaan Tuhan Maha Pencipta! Karena itu, untuk
260
menghadapinya, kita kembalikan kepada Kekuasaan Tuhan. Kita menyerahkan kepada Tuhan karena hanya kekuasaan Tuhan jualah yang akan mampu menjinakkan nafsu yang meliar. Menyerah, pasrah dengan sabar, dengan ikhlas, dengan tawakal kepada Tuhan!
Ini merupakan suatu kewaspadaan yang pasip, kewaspadaan tanpa pamrih, dilandasi penyerahan. Tanpa adanya keinginan, tanpa adanya pamrih, berarti tidak memberi umpan kepada api nafsu. Segala macam keinginan, bahkan keinginan untuk menghentikan atau mengendalikan nafsu, justeru menjadi umpan atau bahan bakar bagi api nafsu, mempertahankan kelangsungan hidupnya,
◄Y►
Malam itu hawanya dingin menyusup tulang. Langit cerah oleh cahaya bulan dan awan berkumpul jauh di barat, membuat cahaya bulan dengan bebasnya memandikan permukaan bukit Hitam. Suasana mencekam.
Kalau Pek-liong dan Liong-li, siang tadi mengatur siasat mereka, pihak lawan merekapun tidak tingggal diam. Penyerbuan yang dilakukan Liong-li dan para pembantunya cukup menggegerkan, apa lagi setelah timbul kekacauan karena penyerangan anak panah berapi yang mengakibatkan kebakaran.
Biarpun mereka berhasil membunuh dua orang anak buah Liong-li, namun merekapun kehilangan banyak anak buah. Dan bukan para pembantu Liong-li dan Pek-liong yang mereka kehendaki, melainkan sepasang naga itu sendiri.
261
Mereka kini dapat menduga siapa yang menghujankan anak panah berapi, karena di antara para penjaga ada yang sempat melihat berkelebatnya bayangan pria dari arah datangnya anak panah berapi, Siapa lagi kalau bukan Pek-liong-eng, pikir tiga orang datuk itu.
“Pek-liong-eng sudah datang, kini lengkaplah sudah. Hek-liong-li dan Pek-liong-eng sudah datang dan agaknya mereka membawa para pembantu mereka,” kata Ang I Sian-li. Suaranya membayangkan ketegangan karena selain gembira akan dapat melaksanakan dendamnya, juga diam-diam ia merasa gentar juga menghadapi Pek-liong-eng dan Hek-liong-li.
“Liong-li telah kehilangan dua orang pembantunya. Tinggal tujuh orang lagi pembantunya, dan Pek-liong mempunyai enam orang pembantu. Kita harus mengadakan persiapan. Mereka pasti akan berusaha untuk membebaskan tawanan kita,” kata Pek- bwe Coa-ong yang memimpin gerombolan pendendam itu.
“Mereka itu membikin repot saja. Setelah Pek-liong dan Liong-li datang, apakah tidak lebih baik kalau kita bunuh saja empat orang tawanan itu?' Kim Pit Siu-cai mengajukan usul.
“Ah, engkau keliru sekali, Siu-cai!” cela Pek-bwe Coa-ong. “Apa gunanya membunuh mereka? Malah.merugikan sekali, merusak rencana siasat kita. Mereka adalah umpan untuk memancing datangnya Pek-liong dan Liong-li. Kalau umpannya kita hilangkan, tentu ikannya tidak akan tertarik lagi dan tidak dapat kita pancing. Justeru Pek-liong dan Liong-li bernapsu untuk datang adalah karena adanya empat orang tawanan itu. Kalau
262
mereka dibunuh, tentu Pek-liong dan Liong-li tidak begitu bodoh untuk membahayakan diri memasuki tempat ini. Kita bahkan harus menambah daya tarik umpan kita. Lepaskan mereka dari belenggu dan biarkan mereka berada di luar karena malam ini mereka pasti akan muncul di sini!”
Tiga orang datuk itu mengatur siasat untuk menjaga segala kemungkinan. Yang menjadi sasaran utama adalah hadirnya Pek-liong dan Liong-li di dalam sarang mereka. Kalau dua orang musuh besar itu sudah berhadapan dengan mereka, maka mereka yakin akan mampu mengalahkan sepasang musuh besar itu. Anak buah mereka hanya akan menghadapi para pembantu Pek-liong dan Liong-li.
Pek-bwe Coa-ong dan dua orang rekannya juga memperhitungkan kemungkinan berulangnya serangan anak panah berapi. Akan tetapi mereka tidak khawatir. Andaikata sarang mereka terbakar seluruhnya, bangunan itu hanya bangunan darurat. Mereka rela kehilangan semua bangunan itu asalkan mereka dapat menangkap atau membunuh Liong-li dan Pek-Iiong.
Penjagaan diatur dan diam-diam Pek-bwe Coa-ong sudah memasang barisan pendam di luar sarang, untuk menyerang anak buah Pek-liong dan Liong-li kalau mereka menyerang dengan anak panah berapi atau kalau muncul di sekitar sarang itu. Ini juga merupakan pancingan seolah-olah anak buah mereka meninggalkan sarang sehingga mendorong dua orang musuh itu untuk berani memasuki sarang, apa lagi kalau empat orang tawanan itu mereka biarkan berada di luar kamar tahanan.
263
Song Tek Hin dan isterinya, Su Hong Ing merasa lega ketika mereka dibebaskan dari ikatan kaki tangan mereka dan digiring oleh belasan orang pengawal keluar dari kamar tahanan. Semalam suami isteri ini mendengar keributan yang timbul karena kebakaran di sana sini.
Mereka mendengar teriakan-teriakan kebakaran dan hati mereka merasa gembira bercampur tegang dan cemas. Gembira karena mereka dapat menduga bahwa tentu Pek-liong dan Liong-li sudah datang untuk menolong mereka, akan tetapi juga tegang dan cemas karena mereka khawatir sekali sepasang pendekar yang mereka hormati dan sayangi itu akan terperangkap oleh pihak musuh yang licik, cerdik dan lihai.
Ketika suami isteri ini tiba di luar, di bawah sinar lampu gantung yang mendatangkan cahaya remang-remang, mereka melihat betapa kakak beradik Kam juga sudah berada di luar. Kam Sun Ting dan adiknya, Kam Cian Li, tidak lagi dibelenggu dan mereka berdua duduk di atas bangku di ruangan depan bangunan yang tadinya menjadi tempat tahanan, nampak jelas dari luar karena di ruangan itu dipasangi lampu-lampu gantung yang terang. Di tempat itu nampak pula banyak penjaga yang mengepung.
Ketika suami isteri itu disuruh duduk pula di ruangan itu, merekapun duduk dan hanya saling pandang dengan kakak beradik itu. Agaknya mereka berempat memang sengaja dikumpulkan di situ dan mereka dapat menduga bahwa hal ini dilakukan oleh para pemimpin gerombolan agar mereka dapat menarik perhatian Pek-liong dan Liong-li untuk masuk ke tempat itu dan berusaha menolong mereka. Diam-diam mereka merasa
264
tidak enak dan menyesal, merasa seperti menjadi umpan yang akan mencelakakan dua orang pendekar yang mereka sayang dan hormati.
“Kita dijadikan umpan di tempat terbuka ini,” bisik Song Tek Hin kepada isterinya dan kakak beradik Kam ketika mereka duduk di atas bangku mengelilingi sebuah meja. Tidak ada penjaga yang mendekati mereka. Para penjaga itu mengepung rumah tahanan dengan ketat.
“Song-toako, aku merasa tidak enak sekali kalau sampai Pek-liong-eng dan Hek-liong-li terjebak dan celaka karena hendak menolong kita,” kata Kam Sun Ting yang telah akrab dengan suami isteri itu selama mereka berempat menjadi tawanan di situ.
“Bagaimana kalau kita melarikan diri saja sebelum mereka berdua terjebak di sini?” kata Kam Cian Li.
“Bagaimana caranya?” Su Hong Ing, isteri Song Tek Hin, bertanya, memandang ke sekeliling di mana terdapat sedikitnya tigapuluh orang yang nampak melakukan pengepungan. “Tempat ini terkepung rapat!”
“Tidak perduli, kita terjang saja keluar dan melawan mati-matian” kata Kam Cian Li dengan nekat. “Apa lagi enci Hong Ing dan Song-toako memiliki ilmu silat yang tangguh. Takut apa?”
Song Tek Hin tersenyum. “Kita tentu saja tidak takut. Akan tetapi, berusaha melarikan diri seperti itu hanya membuang tenaga sia-sia belaka. Selain kita dikepung oleh puluhan orang anak buah gerombolan, juga kalau seorang saja di antara tiga datuk itu
265
keluar, kita tidak akan mampu berkutik. Mereka itu bukan lawan kita.”
“Aku tidak perduli,” kata Kam Cian Li nekat. “Lebih baik aku mati dikeroyok dari pada harus melihat Pek-liong-eng dan Hek-liong-li terjebak dan celaka karena hendak menolongku di sini!”
“Li-moi, tidak bijaksana kalau kita mati konyol begitu saja. Kalau kita melakukan kenekatan berarti kita membunuh diri. Dan kalau sampai terjadi kita mati konyol begitu, bukankah Pek-liong-eng dan Hek-liong-li akan merasa kecewa dan menyesal sekali? Mereka bersusah-payah berusaha menolong kita, bahkan kemarin telah ada dua orang pembantu Hek-liong-li yang tewas dalam usaha mereka menolong kita, dan kita malah membunuh diri!” kata Kam Sun Ting menegur adiknya yang kini tak dapat menahan mengalirnya air mata dari kedua matanya.
“Akan tetapi, koko! Bagaimana mungkin aku berdiam saja di sini melihat mereka berdua terjebak dan mendapat bencana karena aku?” adiknya membantah.
“Tentu saja kita harus berusaha, akan tetapi usaha itu bukan bunuh diri. Kita harus berusaha melarikan diri, akan tetapi menggunakan cara yang tepat dan menanti kesempatan yang baik, bukan asal nekat saja. Aku yakin bahwa saat ini Pek-liong-eng dan Hek-liong-li juga sedang menanti kesempatan untuk menyerbu ke sini. Nah, kalau terjadi keributan, kalau mereka menyerbu ke sini kita harus menggunakan kesempatan itu untuk lari ke arah sungai yang mengalir di bagian barat sarang gerombolan ini.”
266
“Ke arah sungai? Kenapa ke sungai dan bukan berusaha keluar dari kepungan dan dari sarang gerombolan ini?” tanya Song Tek Hin heran. “Kalau kita berempat mengamuk, sedangkan tiga orang datuk sibuk menyambut Pek-liong-eng dan Hek-liong-li, kiraku kita berempat akan mampu membobolkan pengepungan mereka. Tentu saja diharapkan keempat orang Thai-san Ngo-kwi juga tidak menghalangi kita.”
“Begini, Song-toako,” kata Kam Sun Ting. “Kurasa, akan percuma saja kalau kita nekat melawan mereka. Engkau dan isterimu saja yang memiliki ilmu silat tinggi masih tidak mampu menandingi mereka, apa lagi kami berdua yang hanya mengerti sedikit ilmu silat. Andaikata kita bisa lolos dari sarang mereka ini, mereka akan melakukan pengejaran dan kita yang belum mengenal daerah bukit ini tentu akan tersesat dan tentu akan tertawan kembali. Karena itu, aku mengajurkan agar kita lari ke sungai saja.”
“Akan tetapi mau apa kita ke sungai? Apakah kita dapat lolos dari pengejaran mereka kalau kita lari ke sungai?” tanya Su Hong Ing penasaran.
“Begini, enci Hong Ing, setelah koko menyatakan pendapatnya, baru aku tahu bahwa memang sungai itulah satu-satunya jalan bagi kita untuk menyelamatkan diri dan tidak menyeret Pek-liong-eng dan Hek-liong-li ke dalam bahaya.”
“Sebetulnya, apa yang kalian maksudkan?” tanya Su Hong Ing.
“Apakah kalian sudah menyediakan perahu di sungai itu untuk kita pakai melarikan diri?” tanya pula suaminya.
267
Kam Sun Ting menoleh ke kanan kiri dan setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain kecuali mereka berempat yang dapat mendengarkan percakapan mereka yang dilakukan dengan suara lirih, diapun memberi penjelasan.
“Melarikan diri dengan perahu akan percuma. Akan tetapi kami berdua memiliki keahlian di dalam air. Kami dahulu bekerja sebagai penyelam-penyelam dan begitu kami berdua dapat terjun ke dalam sungai, mereka pasti tidak akan menemukan kami lagi. Dengan cara menyelam kami dapat melarikan diri. Karena itu, kalau keadaan di sini kacau seperti kemarin malam misalnya, dan semua orang sibuk dan panik menghadapi serbuan Pek-liong-eng dan Hek-liong-li, kita berempat dapat melarikan diri ke sungai dan selanjutnya kita terjun ke air dan menghilang.”
“Akan tetapi aku tidak dapat renang!” kata Cu Hong Ing.
“Dan akupun hanya dapat berenang biasa saja!” sambung suaminya.
“Kami dapat membantu, enci Hong Ing,” kata Kam Cian Li. “kalau aku menggunakan tali ikat pinggang dan engkau memegangi tali itu, lalu menahan napas, maka aku akan menarikmu dan membantumu melarikan diri sambil menyelam. Dan koko akan membantu Song-toako.”
Suami isteri itu saling pandang dan mengangguk-angguk. Agaknya memang jalan itu yang terbaik. Kalau hanya bertahan napas, mereka tentu kuat karena mereka sudah mempelajari banyak latihan pernapasan untuk memperkuat diri.
268
Melihat empat orang tawanan itu bicara berbisik-bisik, Ngo-kwi, orang ke lima dari Thai- san Ngo-kwi, berjalan santai menghampiri mereka dan berjalan-jalan dekat mereka. Matanya yang galak itu mengerling secara kurang ajar kepada Su Hong Ing dan Kam Cian Li, mulutnya tersenyum mengejek.
Dua orang wanita itu membuang muka, tidak mau memandang. Mereka maklum bahwa kalau saja mereka tidak diperlukan oleh ketiga datuk sebagai umpan memancing munculnya Pek-liong-eng dan Hek-liong-li, maka tidak ada harapan mereka akan selamat di tangan seorang tokoh sesat seperti Thai-san Ngo-kwi.
Pandang mata Ngo-kwi itu saja sudah jelas menunjukkan wataknya yang mesum. Melihat empat orang tawanan itu kini menghentikan percakapan mereka, Ngo-kwi pergi menjauh lagi karena dia tidak melihat sesuatu yang mencurigakan.
Malam semakin larut. Bulan naik semakin tinggi, akan tetapi langit tidak sebersih tadi. Awan berarak datang dari barat menghampiri bulan. Walaupun hanya awan tipis dan putih, namun cukup mengganggu kecerahan sinar bulan. Udara semakin dingin dan kerik jengkerik dan belalang semakin nyaring, namun tidak mengganggu keheningan malam itu. Semua suara itu bahkan menjadi bagian dari keheningan. Wajar. Wajar itu hening.
Empat orang tawanan itu tidak bercakap-cakap lagi. Mereka duduk di bangku dengan punggung tegak lurus dan santai, bernapas dalam-dalam menghimpun tenaga. Sikap ini mengendurkan ketegangan yang menghamburkan tenaga karena mereka menanti datangnya detik-detik yang mereka harapkan.
269
Sesuai dengan rencana mereka, Pek-liong dan Liong-li mempergunakan kepandaian mereka untuk menyusup mendekati sarang gerombolan. Mereka berpencar, mengambil jalan masing-masing dari arah kanan dan kiri. Semua anak buah mereka sudah memasang posisi dengan perlengkapan anak panah, kain dan minyak. Mereka hanya menanti tanda dari kedua orang pendekar itu.
Pek-liong merangkak di balik semak belukar, terus menghampiri sarang. Akan tetapi, terpaksa dia berhenti ketika melihat bahwa di luar sarang terdapat banyak anak buah gerombolan yang melakukan penjagaan sambil bersembunyi. Barisan pendam ini memang sudah dia perhitungkan dengan Liong-li, maka dia lalu meloncat dengan hati-hati ke atas pohon. Dia maklum bahwa Liong-li tentu melakukan hal yang sama.
Dari atas pohon yang tinggi, terlindung daun-daun yang lebat, Pek-liong mengintai ke balik pagar tinggi. Dia tidak melihat banyak penjaga di dalam sarang itu, hanya beberapa orang saja yang nampak berlalu-lalang di antara bangunan-bangunan.
Kemudian, dia melihat empat orang tawanan itu duduk mengelilingi meja. Mereka duduk dengan tubuh tegak dan punggung lurus, nampak santai dan diam-diam dia merasa girang. Mereka itu telah bersiap-siaga, pikirnya. Agaknya mereka sudah menduga bahwa dia dan Liong-li pasti akan turun tangan malam ini! Pek-liong tersenyum.
Muncul kenangan-kenangan manis ketika dia memandang ke arah empat orang itu. Sahabat-sahabatnya yang baik! Dan
270
sekarang mereka menderita karena dia dan Liong-li. Kalau mereka bukan sahabatnya, tidak mungkin tiga orang datuk mengganggu mereka. Akan tetapi Pek-liong mengerutkan alisnya. Mereka itu dibiarkan berada di luar, nampak tak terjaga.
Jelas ini merupakan umpan! Nampaknya saja sarang itu kosong dan lemah penjagaannya, akan tetapi di luar sarang terdapat banyak sekali anak buah gerombolan yang memasang barisan pendam. Agaknya pihak lawan menggunakan siasat mengosongkan sarang dan bersembunyi di luar, memancing harimau memasuki sarang! Kalau dia dan Liong-li sudah masuk ke sarang itu, puluhan bahkan mungkin ratusan orang anak buah gerombolan itu agaknya tentu akan mengepung tempat itu dan tidak ada jalan keluar lagi!
Pek-liong tersenyum dan dia tahu bahwa saat itu Liong-li tentu juga tersenyum mentertawakan siasat pihak lawan. Kalau hanya dikepung anak buah gerombolan, apa sukarnya bagi mereka untuk lolos? Apa lagi di sana ada sungai, dan ada kakak beradik Kam! Dia dan Liong-li akan mengelabui mereka.
Pek-liong sudah mengambil busur yang tergantung di punggungnya. Pada saat itu nampak sinar meluncur dari arah kirinya, menuju ke dalam sarang gerombolan. Pek-liong tahu bahwa itu adalah isyarat yang diberikan Liong-li kepada para pembantunya. Benar saja, luncuran anak panah berapi itu segera disusul oleh banyak sekali anak panah berapi yang beterbangan menuju ke sarang gerombolan.
271
Pek-liong cepat meluncurkan isyaratnya dan kini dari arah kanan, beterbangan sinar-sinar dari anak panah berapi menyerang sarang itu.
Melihat ini, empat orang tawanan itu menjadi tegang. Mereka mengharapkan para anggauta gerombolan menjadi panik dan beramai-ramai sibuk memadamkan ke bakaran seperti yang pernah terjadi. Akan tetapi mereka menjadi heran dan bingung karena gerombolan itu kelihatan santai saja. Bahkan tidak nampak Thai-san Ngo-kwi memimpin anak buah mereka untuk memadamkan api yang sudah mulai membakar di sana sini.
“Ini sebuah perangkap, kita jangan ceroboh dan tergesa-gesa,” kata Song Tek Hin yang menjadi curiga.
Sementara itu, para anak buah gerombolan yang memasang baris pendam di luar sarang, sesuai dengan rencana tiga orang datuk, begitu melihat hujan anak panah berapi, segera keluar dari tempat persembunyian mereka dan menyerang ka arah dari mana datangnya anak-anak panah itu.
Pek-liong dan Liong-li dapat memasuki sarang itu dengan mudah. Mereka berdua merobohkan beberapa orang yang bertemu dengan mereka, dan keduanya kini bergabung, terus maju menghampiri empat orang tawanan yang tadi mereka lihat dari atas pohon.
Song Tek Hin, Su Hong Ing, Kam Sun Ting dan Kam Cian Li menjadi girang bukan main melihat munculnya Pek-liong dan Liong-li, akan tetapi mereka juga khawatir karena pada saat itu,
272
belasan orang penjaga yang tadinya bersembunyi di sekitar rumah itu, serentak datang mengepung mereka.
“Serbu!” Song Tek Hin memberi aba-aba kepada yang lain dan empat orang itupun mengangkat bangku masing-masing dan menerjang ke arah anggauta gerombolan yang mengepung dan agaknya menjaga mereka agar jangan melarikan diri. Para penjaga itu menggerakkan senjata untuk melawan, akan tetapi sebentar saja, empat orang tawanan berhasil merobohkan empat orang anak buah gerombolan dan merampas empat batang pedang. Dengan senjata rampasan ini di tangan, mereka siap untuk mengamuk.
Tiba-tiba terdengar suara tawa yang menyeramkan dan empat orang tawanan itu terkejut bukan main karena suara itu mengandung getaran yang membuat mereka menggigil! Bahkan para, anak buah gerombolan juga menggigil dan untuk sementara pengeroyokan itu dihentikan.
“Ha-ha-ha, si keparat Pek-liong-eng dan Hek-liong-li!” kata Pek-bwe Coa-ong (Raja Ular Ekor Putih) Gan Ki yang tertawa tadi. “Akhirnya kami dapat berhadapan dengan kalian berdua. Bersiaplah untuk menghadap para rekan kami yang kalian bunuh untuk membayar hutang kalian di akhirat!”
Melihat betapa tiga orang datuk besar musuh mereka itu telah berdiri di situ, Liong-li bertolak pinggang dan berkata dengan suara mengejek.
“Hemm, sejak orang pertama sampai yang terakhir, Kiu Lo-mo terkenal sebagai datuk sesat yang tak tahu malu, suka
273
menggunakan kecurangan dan bersikap pengecut. Pek-bwe Coa-ong, Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li! Kalau memang kalian bertiga ingin mampus di tangan kami berdua, kenapa tidak langsung saja datang dan menantang sehingga kita dapat bertanding sebagai orang gagah? Kalian menculik para sahabat kami untuk memancing kami, apakah itu perbuatan orang gagah?”
Terdengar suara tawa terkekeh genit. “Hi-hi-hik, bicaramu besar sekali, menunjukkan kesombonganmu, Hek-liong-li. Sekarang kami berhadapan dengan kalian, boleh kita bertanding dan kalian akan mati di tangan kami. Adapun empat orang ini, karena mereka adalah sahabat-sahabatmu, mereka akan mampus pula, hik-hik!”
Pek-bwe Coa-ong memberi isyarat kepada anak buahnya yang kini sudah berkumpul di situ, sebanyak duapuluh orang lebih. “Tangkap mereka berempat!”
Dan dia sendiri bersama dua orang rekannya sudah mengepung Pek-liong dan Liong-li. Kim Pit Siu-cai (Sastrawan Pena Emas) sudah mencabut senjatanya yang istimewa, yaitu sebuah kipas lebar dan sebatang pena bergagang emas. Senjata inilah yang memberinya nama besar di dunia persilatan.
Ang I Sian-li juga mencabut sepasang pedangnya. Tanpa siang-kiam (pedang pasangan) itupun iblis betina ini sudah lihai sekali dan tingkat kepandaiannya hanya kalah sedikit dibandingkan tingkat kedua orang rekannya. Di samping ilmu silatnya tinggi dan tenaga sin-kangnya kuat, wanita ini juga mempelajari ilmu-ilmu
274
sesat, ilmu hitam yang diperkuat oleh hasil kekejiannya yang mengerikan, yaitu suka menghisap habis darah bayi.
Orang tertua di antara mereka bertiga, yaitu Pek-bwe Coan-ong, memegang sebatang tongkat ular yang berekor putih. Tongkat Pek-bwe-coa (ular berekor putih) ini yang membuat dia dijuluki Pek-bwe Coa-ong dan selain dia paling lihai dalam hal ilmu silat dan paling kuat tenaganya, juga dia memiliki ilmu memanggil dan menguasai ular, seorang pawang ular yang amat lihai dan berbahaya.
Karena mereka datang dengan tujuan terutama sekali untuk menolong empat orang tawanan itu, maka Pek-liong dan Liong-li segera berloncatan mendekati mereka berempat yang sedang mengamuk. Begitu mereka menggerakkan-tangan, nampak sinar hitam Hek-liong-kiam dan sinar putih Pek-liong-kiam dan robohlan empat orang pengeroyok. Empat orang tawanan itu bertambah semangat mereka, apalagi ketika Liong-li berkata lirih, “Sun Ting, ajak mereka lari ke sungai!”
Diam-diam Kam Sun Ting kagum bukan main. Kiranya, begitu datang ke tempat itu, Hek-liong-li telah melihat pula kemungkinan mereka meloloskan diri lewat air!
Akan tetapi kini tiga orang datuk itu menerjang maju dan karena mereka maklum bahwa empat orang tawanan itu bukanlah lawan tiga orang sakti itu, Pek-liong dan Liong-li cepat menggerakkan pedang menyambut mereka. Mereka berdua juga maklum betapa lihainya tiga orang lawan itu.
275
Apa lagi di situ masih terdapat banyak sekali anak buah para datuk itu, maka begitu menggerakkan pedang, tanpa berunding lagi, mereka keduanya sudah memainkan Sin-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Sakti), yaitu ilmu pedang yang dirangkai oleh mereka berdua. Nampaklah gulungan sinar hitam dan putih saling belit dan saling tunjang, saling melindungi dan dari gulungan kedua sinar ini mencuat sinar yang menyerang tiga orang lawannya.
Namun, sekali ini sepasang pendekar itu berhadapan dengan tiga orang lawan yang amat tangguh. Tingkat kepandaian tiga orang ini masing-masing sudah seimbang dengan tingkat Pek-liong dan Liong-li, maka kini mereka berdua dikeroyok tiga, sungguh merupakan lawan yang amat berat.
Apalagi mereka bermaksud untuk menolong empat orang sahabat mereka, tentu saja mereka tidak dapat mencurahkan seluruh perhatian sepenuhnya untuk melawan tiga orang datuk. Maka, mereka menggabungkan sinar pedang mereka, membentuk benteng pertahanan untuk melindungi diri dari desakan tiga orang lawan sambil kadang memperhatikan keadaan empat orang sahabat yang sedang berusaha melarikan diri itu.
Dipimpin oleh Song Tek Hin yang paling lihai di antara mereka, empat orang tawanan itu mengamuk dengan pedang rampasan. Song Tek Hin adalah seorang jago pedang yang tingkat kepandaiannya sedikit lebih tinggi dari pada isterinya, Su Hong Ing, murid Bu-tong-pai yang lihai. Adapun kakak beradik Kam hanya memiliki tubuh yang kuat dan gesit, tidak memiliki ilmu silat
276
tinggi akan tetapi kedua orang kakak beradik yang pernah menjadi kekasih Pek-liong dan Liong-li ini pernah menerima petunjuk ilmu silat dari kedua orang pendekar itu.
Dengan hati yang penuh keberanian dan semangat karena hadirnya Pek-liong dan Liong-li, empat orang itu berhasil membobolkan kepungan dan mereka membela diri sambil menuju ke sungai.
Melihat ini, Pek-liong dan Liong-li juga bersilat membela diri saling melindungi sambil mundur mengikuti empat orang sahabat mereka. Mengerti bahwa empat orang tawanan dan dua orang pendekar itu menuju ke sungai, tiga orang datuk itu diam-diam mentertawakan mereka.
Bagaimana mungkin mereka akan dapat melarikan diri kalau menuju ke sungai? Mereka tidak mempunyai perahu dan andaikata mempunyai perahu sekalipun, tentu perahu itu akan terhadang perahu-perahu anak buah mereka, baik di anak sungai itu maupun di Sungai Kuning, di mana air sungai itu bergabung. Maka, mereka tidak menghalangi, bahkan menggiring enam orang itu agar sampai di tepi sungai dan mendapatkan jalan buntu
Mereka sudah merasa yakin bahwa enam orang itu tidak akan mampu lolos. Pek-bwe Coa-ong yakin akan hal ini. Bahkan andaikata terjadi suatu keajaiban sehingga mereka dapat lolos dia masih memegang suatu kekuasaan yang dapat dia pergunakan untuk memaksa Pek-liong dan Liong-li datang membayar hutang kepada Kiu Lo-mo!
277
Sementara itu, keempat orang Thai-san Ngo-kwi memimpin anak buah mereka yang banyak sekali jumlahnya, melakukan penyerbuan ke arah enam orang pembantu Pek-liong dan tujuh orang pembantu Liong-li yang melakukan serangan dengan anak panah berapi dari sisi kanan dan kiri ke arah sarang gerombolan. Serangan yang dilakukan gerombolan penjahat itu begitu tiba-tiba datangnya sehingga mengejutkan para pembantu kedua pendekar itu. Namun dengan gigih mereka melakukan perlawanan.
Bagaimanapun juga, baik enam orang pembantu Pek-liong maupun tujuh orang pembantu Liong-li, tak lama kemudian terdesak hebat. Terutama sekali empat orang Thai-san Ngo-kwi merupakan lawan yang teramat berat bagi mereka sedangkan anak buah merekapun banyak. Thai-kwi dan Ji-kwi memimpin tigapuluh orang anak buah mengeroyok enam orang pembantu Pek-liong, sedangkan Su-kwi dan Ngo-kwi memimpin tigapuluh orang lebih mengeroyok tujuh orang pembantu Liong-li!
Para pembantu sepasang pendekar itu mengamuk dan melawan mati-matian. Banyak juga anak buah gerombolan yang tewas oleh amukan mereka, akan tetapi akhirnya mereka sendiri tak mampu menahan dan di antara enam orang pembantu Pek-liong, tinggal dua orang yang berhasil melarikan diri, yang empat orang roboh dan tewas di bawah hujan senjata pengeroyok. Demikian pula para pembantu Liong-li, hanya dua orang yang dapat lolos dengan luka-luka ringan, yang lima orang lagi tewas. Hanya Ang-hwa dan Pek-hwa yang dapat lolos.
278
Biarpun anak buah mereka sendiri banyak yang tewas, namun empat orang dari Thai-san Ngo-kwi membawa anak buah mereka pulang ke sarang dengan tawa kemenangan dan ketika mereka tiba di sarang, mereka melihat betapa Pek-liong dan Liong-li bersama empat orang tawanan itu mengamuk, dikeroyok dan didesak oleh tiga orang datuk. Enam orang itu telah terdesak mundur sampai ke tepi sungai!
Melihat ini, tiga orang datuk tertawa-tawa. Enam orang itu telah terkepung dan tidak dapat mundur lagi karena di belakang mereka terdapat sungai yang cukup lebar dan dalam. Di situ tidak ada perahu, sedangkan anak buah mereka sudah siap dengan perahu-perahu yang disembunyikan di darat.
“Ha-ha-ha, Pek-liong dan Liong-li. Kalian tidak dapat lolos dari tangan kami sekarang!” kata Pek-bwe Coa-ong yang semakin gembira melihat empat orang dari Thai-san Ngo-kwi sudah kembali sehingga keadaan mereka semakin kuat. Kepada dua orang rekannya dia berkata, “Kita tangkap mereka hidup-hidup!”
Tentu saja dia dan dua orang rekannya ingin menangkap dua orang musuh besar itu dalam keadaan hidup agar mereka dapat membalas dendam dan melampiaskan kebencian mereka dengan menyiksa dulu musuh mereka sepuas hati sebelum membunuh mereka! Kebencian membuat manusia manapun juga menjadi buas. Hati yang panas dan diracuni dendam kebencian baru akan merasa puas dan senang melihat orang yang dibencinya tersiksa!
Melihat munculnya Thai-san Ngo-kwi dan anak buah mereka, Pek-liong dan Liong-li tahu bahwa kalau dilanjutkan perkelahian
279
itu, mereka berenam akan kalah atau setidaknya, empat orang sahabat mereka akan dapat tertawan kembali. Liong-li segera berseru. “Semua ke air!”
Kedua orang pendekar itu melihat betapa Kam Cian Li sudah menggandeng tangan Su Hong Ing dan menariknya loncat ke dalam sungai, demikian pula Kam Sun Ting menarik Song Tek Hin meloncat ke air. Mereka berdua juga cepat meloncat dan kembali air di permukaan sungai itu memercik ketika tertimpa tubuh dua orang pendekar itu.
“Tai-hiap, ke sini dan pegang ujung tali ini!” Kam Sun Ting berseru dan Pek-liong gembira dan kagum. Kiranya Kam Sun Ting sudah mempersiapkan diri!
“Sini Li-hiap, dan pegang ujung taliku!” kata pula Kam Cian Li yang berenang sambil membantu Su Hong Ing.
Setelah sepasang pendekar itu berenang menghampiri dan mereka menangkap ujung tali yang dililitkan di pinggang kakak beradik ahli selam itu, Kam Sun Ting dan adiknya berseru. “Ambil napas sebanyaknya dan tahan napas!”
Seruan ini ditujukan kepada Song Tek Hin dan Su Hong Ing karena Pek-liong dan Liong-li sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. Setelah mereka semua menghirup udara sebanyaknya memenuhi paru-paru mereka dan menahan napas, kakak beradik itu menyelam dan lenyap dari permukaan air, dan bersama dengan mereka, lenyap pula tubuh suami isteri itu dan sepasang pendekar.
280
Tadinya tiga orang datuk itu tertawa-tawa melihat enam orang buronan itu terjun ke dalam sungai. “Tangkap mereka hidup-hidup, gunakan perahu!” kata Pek-bwe Coa-ong yang merasa yakin bahwa mereka tidak akan mungkin.berenang jauh.
Akan tetapi, begitu dia melihat enam orang itu lenyap, dia menjadi terkejut. Demikian pula dua orang rekannya, juga Thai-san Ngo-kwi dan para anak buah mereka menjadi panik.
“Kejar mereka!”
“Cari......!!”
Mereka yang merasa pandai renang segera melompat ke air. Akan tetapi tidak banyak di antara mereka yang pandai menyelam. Empat orang yang merasa memiliki keahlian menyelam, segera menukik dan menyelam, akan tetapi sebentar saja empat orang ini sudah tersembul lagi dalam keadaan tak bernyawa! Tiga orang datuk menjadi terkejut dan mereka berloncatan ke perahu-perahu yang sudah ditarik keluar dari balik semak-semak dan mereka bertiga memimpin sendiri pengejaran itu, menggunakan perahu-perahu.
Akan tetapi, amat sukar menemukan enam orang buronan yang lenyap dari permukaan air itu. Awan yang berarak semakin tebal sehingga cahaya bulan menjadi redup, dan gerakan banyak perahu itu membuat permukaan air berombak, sehingga biar pun kadang-kadang kepala para pelarian itu menonjol keluar sebentar untuk berganti udara dalam pernapasan mereka lalu menyelam lagi, tidak sempat diketahui mereka yang melakukan pencarian.
281
Tiga orang datuk itu menjadi penasaran sekali. Tak mungkin enam orang itu lenyap begitu saja, kecuali kalau mereka itu mati tenggelam. Akan tetapi, melihat betapa empat orang anak buah yang menyelam tadi tewas terbunuh, membuktikan bahwa enam orang pelarian itu masih hidup. Mereka sama sekali tidak memperhitungkan bahwa mereka berenam mampu meloloskan diri dengan cara menyelam dalam air sungai.
Sampai pagi mereka mencari-cari, namun tidak berhasil karena saat itu, enam orang pelarian telah pergi jauh, bahkan telah mengurus jenazah para anak buah Pek-liong dan Liong-li dengan sedih.
Hek-liong-li, wanita berhati baja yang gagah perkasa dan hampir tak pernah bersedih, pagi hari itu nampak menangis terisak-isak di depan makam tujuh orang pembantunya. Dua buah makam baru kemarin dulu ditimbun, kini ditambah lima buah makam para pembantunya yang tewas diserbu Su-kwi dan Ngo-kwi bersama anak buah mereka. Pek- liong hanya termenung, juga penuh kedukaan di depan makam empat orang pembantunya yang setia.
Kini tinggal dua orang pembantu Liong-li dan dua orang pula pembantu Pek-liong. Mereka juga berkabung. Bahkan Song Tek Hin dan Su Hong Ing, Kam Sun Ting dan Kam Cian Li, ikut pula bersembahyang dan berkabung.
“Aihh, semua ini adalah kesalahan kami berempat,” kata Song Tek Hin dengan suara menyesal. “Kalau kami berempat tidak menjadi tawanan dan tidak mau menulis surat kepada Tai-hiap
282
dan Li-hiap, tentu tidak akan terjatuh begini banyak korban. Mereka ini tewas karena kami berempat.”
“Saudara Song Tek Hin jangan bicara begitu,” kata Pek-liong sambil mengerutkan alisnya. “Mati hidup ditentukan oleh Tuhan, bukan oleh manusia! Kalau dicari sebab sebabnya, amatlah banyak dan berantai amat panjang. Kalau dianggap bahwa kematian mereka disebabkan kalian berempat ditawan, maka kalian berempat ditawan karena kalian menjadi sahabat-sahabat baik kami berdua!
“Tidak ada yang bersalah dalam hal ini, yang bersalah adalah Kiu Lo-mo karena mereka adalah manusia-manusia sesat yang suka melakukan perbuatan jahat. Kita adalah orang-orang yang menentang kejahatan, maka terjadi bentrokan antara mereka dan kita. Kalau jatuh korban dalam bentrokan ini, hal itu sudah sewajarnya.”
“Pek-liong berkata benar,” kata Liong-li yang telah dapat mendinginkan hatinya dan tenang kembali walaupun kedua pipinya masih basah. “Tujuh orang pembantuku dan empat orang pembantunya tewas sebagai orang-orang gagah, hal itu tidak perlu terlalu disedihkan. Aku akan membalaskan kematian mereka! Kiu Lo-mo tinggal tiga orang lagi dan aku bersama Pek-liong pasti akan dapat membasmi mereka! Kalian berempat sebaiknya cepat pulang saja agar jangan terlibat, dan bersikaplah hati-hati menjaga diri.”
Pek-liong mengangguk-angguk. “Memang sebaiknya memenuhi permintaan Liong-li. Kalian berempat pulanglah, dan juga masing-
283
masing pembantu kami sebaiknya mengundurkan diri agar jangan jatuh korban lebih banyak lagi. Aku dan Liong-li berdua yang akan menghancurkan mereka, tanpa membahayakan keselamatan orang-orang yang menjadi sahabat baik kami.”
“Li-hiap, kami berdua tidak mau meninggalkan li-hiap! Apa lagi tujuh orang rekan kami telah tewas dan kami disuruh mengundurkan diri? Tidak, li-hiap, kami akan membantu li-hiap dengan mempertaruhkan nyawa ini, untuk menuntut balas atas kematian tujuh orang rekan kami!” kata Ang-hwa dengan suara masih mengandung tangis.
“Kamipun tidak mau meninggalkan tai-hiap, lebih baik kami mati pula di tangan para penjahat dari pada harus lari setelah empat orang rekan kami tewas,” kata dua orang pembantu Pek-liong.
“Kami juga tidak mau pulang, kami ingin membantu tai-hiap dan li-hiap!” kata kakak beradik Kam dengan suara hampir berbareng.
“Demikian pula kami. Kami akan membantu sekuat tenaga,” kata Song Tek Hin dan isterinya mengangguk, membenarkan suaminya.
Pek-liong dan Liong-li saling pandang dan merasa terharu. Tidak ada yang lebih indah dari pada persahabatan yang tulus ikhlas dan setia. Akan tetapi mereka juga merasa khawatir sekali. Pihak musuh terlampau kuat dan amat berbahaya bagi empat orang sahabat dan empat orang pembantu mereka itu kalau mereka membantu.
284
Mereka sudah kehilangan sebelas orang pembantu. Mereka tidak ingin melihat ada korban lagi. Pula, kalau mereka berdua dibantu, menghadapi lawan yang amat kuat dan berbahaya, berarti mereka berdua bahkan harus melindungi para pembantunya itu sehingga mereka tidak dapat bergerak dengan leluasa. Untuk menghadapi para anak buah tiga orang datuk itu tentu saja para pembantu ini masih menguntungkan, akan tetapi kalau berhadapan dengan tiga orang datuk itu atau Thai-san Ngo-kwi, mereka terancam bahaya maut.
Selagi dua orang pendekar itu meragu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan seorang penunggang kuda mendaki bukit itu. Pek-liong dan Liong-li bangkit dan memandang dengan penuh kewaspadaan.
Seorang laki-laki berusia tigapuluhan tahun, bertubuh tinggi besar, meloncat turun dari atas punggung kudanya, membawa sebuah bungkusan dan menghampiri Pek-liong dan Liong-li dengan sikap gentar.
“Siapa engkau? Mau apa?” tanya Pek-liong singkat.
Orang itu membungkuk. “Saya adalah utusan pimpinan kami Pek-bwe Coa-ong untuk menyerahkan buntalan ini kepada Pek-liong-eng dan Hek-liong-li.”
“Aku Pek-liong-eng, berikan kepadaku!” kata Pek-liong.
Orang itu menyerahkan buntalan kain kuning kepada Pek-liong, kemudian dia membalikkan tubuh hendak pergi.
285
“Tunggu!” bentak Liong-li sehingga orang itu terkejut dan menahan langkahnya. “Tunggu sampai Pek-liong membuka dan melihat isi buntalan!”
Dengan hati-hati dan sikap tenang Pek-liong membuka buntalan itu dan merasa heran mendapatkan bahwa isinya adalah sehelai baju anak-anak berwarna merah. Ketika lipatan baju dibuka, di dalamnya terdapat sehelai kertas yang ditulis dengan huruf-huruf besar:
KAMI AKAN MENGGANTUNG CU KECIL KALAU KALIAN TIDAK CEPAT DATANG MEMBUAT PERHITUNGAN.
Pek-liong sengaja membaca surat itu sehingga terdengar oleh para sahabat dan pembantunya.
Terdengar jerit tertahan dan Su Hong Ing meloncat ke depan dan mengambil baju kanak-kanak berwarna merah itu dari tangan Pek-liong. Diamatinya baju itu dan iapun berteriak, “Ini baju Song Cu, anakku!”
Song Tek Hin juga maju dan merampas baju itu dari tangan isterinya, mengamatinya, kemudian dia membalik dan mencengkeram baju pembawa surat itu di bagian dadanya, menariknya dan membentak marah.
“Hayo katakan, bagaimana anak kami dapat berada di sarang kalian!”
Orang itu menggeleng kepalanya. “Aku hanya utusan. Aku tidak tahu bagaimana anak itu dapat berada di tangan pemimpin kami.”
286
“Bagaimana keadaannya?” Su Hong Ing juga mendekati orang itu.
Utusan itu tersenyum mengejek. “Keadaannya baik-baik saja sampai sekarang ini. Akan tetapi, aku tidak tahu apa yang akan terjadi kepadanya kalau kalian tidak memenuhi permintaan pimpinan kami.”
“Jahanam busuk!” bentak Su Hong Ing dan ia sudah menggerakkan tangan hendak memukul orang itu. Akan tetapi suaminya menangkap pergelangan tangannya dan menggeleng kepala. Su Hong Ing menyadari bahwa ia tidak boleh menyerang seorang utusan.
Pek-liong dan Liong-li saling pandang dan mengerutkan alis mereka. Tak mereka sangka sama sekali bahwa tiga orang datuk itu akan bertindak sedemikian jauh, sedemikian liciknya sehingga mereka sampai hati menculik seorang anak kecil untuk dijadikan sandera.
Song Tek Hin mendorong orang itu sehingga hampir terjengkang. Orang itu memandang dengan senyum mengejek kepada Pek-liong dan Liong-li, kemudian bangkit dan sebelum meninggalkan tempat itu dia berkata kepada Liong-li dan Pek-liong.
“Pimpinan kami menyuruh kami meninggalkan pesan bahwa kalau sampai matahari tenggelam hari ini kalian tidak datang menemui mereka, anak itu akan dibunuh dan mayatnya digantung di pintu gerbang sarang kami.” Setelah berkata demikian, dia pun meninggalkan tempat itu cepat-cepat.
287
Su Hong Ing menahan jerit tangisnya dan dia terkulai dalam pelukan suaminya, menangis dengan muka pucat karena ia merasa khawatir dan bingung sekali.
Hek-liong-li mengepal kedua tinju tangannya “Keparat, betapa liciknya mereka! Tak kusangka mereka akan mempergunakan kecurangan yang tak tahu malu itu!”
Pek-liong menarik napas panjang. “Kalau tidak licik dan curang, bukan Kiu Lo-mo namanya. Kita harus menghadapi mereka dengan kepala dingin.”
Liong-li mengangguk dan segera sikapnya tenang kembali, tidak terbakar emosi seperti tadi, lalu ia berkata kepada suami isteri yang sedang panik karena mengkhawatirkan anak mereka itu.
“Kalian jangan gelisah. Kami berdua pasti akan datang dan menemui mereka, minta agar anak kalian yang tidak tahu apa-apa itu segera dibebaskan.”
“Benar, kalian tenang sajalah. Mereka menawan anak itu hanya untuk memaksa kami pergi kepada mereka. Anak kalian pasti akan dapat dibebaskan,” kata pula Pek-liong.
Mendengar ini, Su Hong Ing terisak lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Pek-liong, “Tai-hiap, maafkan kami...... bukan maksud kami untuk membuat tai-hiap dan li-hiap terancam bahaya maut..... tapi...... tapi kami..... aku tidak dapat hidup tanpa anakku.....”
288
“Sudahlah, kalian tidak bersalah, anak kalian juga tidak bersalah. Memang Kiu Lo-mo amat curang, akan tetapi kami pasti akan mampu menghajar mereka dan menyelamatkan anak kalian,” kata Liong-li. “Sekarang juga kami akan berangkat ke sana untuk membebaskan anak kalian.”
“Sebaiknya kalau kalian delapan orang menunggu saja di sini dan jangan berpencar. Tunggu sampai kami kembali ke sini,” kata Pek-liong kepada empat orang sahabat dan empat orang pembantu itu. Kemudian bersama Liong-li dia berkelebat dan lenyap dari situ.
Setelah sepasang pendekar itu pergi.
Su Hong Ing menangis. “Tidak aku tidak dapat membiarkan mereka terancam bahaya demi menyelamatkan anakku, dan aku sendiri menunggu dan menganggur di sini. Aku harus mencoba untuk menyelamatkan anakku!”
Melihat isterinya menangis seperti itu, Song Tek Hin merangkulnya. “Tenanglah, memang akupun berpendapat seperti itu, Sepantasnya yang mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan anak kita harus kita sendiri. Mari, mari kita ke sana dan kita minta kepada mereka agar anak kita dibebaskan.”
“Kami akan membantu kalian, Song-toako!” kata Kam Sun Ting dan adiknyapun bangkit berdiri dan menggandeng tangan Su Hong Ing.
Suami isteri itu terkejut. “Aih, jangan! Kalian berdua sudah menyelamatkan kami ketika kita melarikan diri melalui air, jangan
289
lagi kalian kini terjun ke dalam bahaya untuk membantu kami,” kata Song Tek Hin yang merasa tidak enak sekali.
“Sebetulnya kami takut melanggar perintah li-hiap, akan tetapi kalau kalian berempat pergi untuk menyelamatkan anak itu, kami berdua pun tidak mau ketinggalan dan menunggu saja di sini. Kami akan ikut pula membantu kalian merampas kembali anak itu!” kata Ang-hwa, dan Pek-hwa mengangguk menyetujui.
“Kamipun bukan orang-orang takut mati. Biar tai-hiap akan memarahi kami, akan tetapi kami juga akan membantu, sekalian membalas dendam atas kematian empat orang rekan kami!” kata pula dua orang pembantu Pek-liong dengan sikap gagah.
Mendengar pernyataan mereka semua itu, Song Tek Hin dan Su Hong Ing merasa terharu sekali, akan tetapi juga girang karena dengan bantuan enam orang itu, selain kedudukan mereka lebih kuat, juga mereka berdelapan akan dapat membantu Pek-liong dan Liong-li. Song Tek Hin segera memberi hormat kepada mereka dengan merangkap kedua tangan depan dada.
“Terima kasih, terima kasih, cu-wi (anda sekalian) sungguh merupakan sahabat-sahabat yang setia. Baiklah, mari kita bersama-sama membantu Pek-liong dan Hek-liong-li menghadapi para iblis kejam itu. Akan tetapi, kami percaya bahwa nona Ang-hwa dan nona Pek-hwa yang selama ini membantu Liong-li, tentu lebih berpengalaman dan dapat menjadi pimpinan kita.”
Ang-hwa dan Pek-hwa mengerling ke arah dua orang pembantu Pek-liong dan berkata, “Aih, mana kami berani. Di sini terdapat
290
dua orang pembantu tai-hiap yang jauh lebih pandai dari pada kami. Sepantasnya mereka itulah yang menjadi pimpinan kita.”
Semua orang memandang kepada dua orang pria yang gagah itu. Mereka berusia kurang lebih tigapuluh tahun. Yang berkumis tipis memberi hormat kepada mereka dan dengan sikap yang serius dia berkata.
“Kami tidak berani mengatakan bahwa kami berdua yang paling pandai, akan tetapi mengingat akan pentingnya tugas yang kita hadapi, biarlah untuk sementara kami mewakili tai-hiap untuk memimpin gerakan ini, dengan ketentuan bahwa kalian semua harus membantu kami. Sebaiknya kalau kami memperkenalkan diri. Aku bernama Gui Keng Hong dan ini adalah adikku sendiri bernama Gui Keng Siu.” Dia menunjuk kepada adiknya yang alisnya tebal sehingga nampak gagah perkasa.
“Bagus, sekarang bagaimana kita harus bergerak? Harap kedua saudara Gui suka mengatur siasat dan membagi tugas,” kata Song Tek Hin.
“Pihak musuh teramat kuat. Bukan saja tiga orang datuk itu sakti, akan tetapi empat orang pembantunya, yaitu sisa dari Thai-san Ngo-kwi itu lihai bukan main. Kita bukanlah lawan mereka, dan di sana masih diperkuat pula oleh anak buah yang puluhan, mungkin ratusan orang banyaknya. Kami yakin bahwa menghadapi lawan yang jaun lebih banyak dan lebih kuat, tentu Pek-liong tai-hiap dan Hek-liong li-hiap akan menggunakan siasat, tidak menyerang begitu saja dengan kekerasan.
291
“Oleh Karena itu, mari kita menyelundup ke sana dengan hati-hati. Kita harus selalu bersatu, tidak berpencar agar lebih kuat. Kalau ada penjaga yang melihat kita, kita bunuh mereka. Kita mengintai ke sarang itu dan melihat keadaan dan perkembangan selanjutnya, menanti sampai tai-hiap dan li-hiap turun tangan. Dengan demikian, kita dapat membantu mereka semampu kita.”
Berangkatlah delapan orang itu dengan penuh semangat, meninggalkan bukit yang menjadi tanah kuburan para pembantu Pek-liong dan Liong-li, menuruni bukit lalu mendaki Bukit Hitam yang menjadi sarang gerombolan yang dikepalai Kiu Lo-mo.
◄Y►
Pek-liong dan Liong dapat menyusup ke sarang gerombolan itu. Mereka melihat kenyataan betapa kini di luar sarang itu tidak terdapat penjagaan, dan ketika mereka menuju ke sarang itu, mendaki sejak dari kaki bukit, tidak menemui halangan, tidak nampak seorangpun anggauta gerombolan. Hal ini agaknya sengaja dilakukan oleh pihak musuh yang tidak ingin kebobolan sehingga kini seluruh kekuatan dikerahkan untuk menjaga sebelah dalam sarang.
Matahari telah naik tinggi ketika Pek-liong dan Liong-li tiba di luar sarang itu. Tadinya mereka hendak langsung saja menantang tiga orang datuk, menantang untuk membuat perhitungan antara mereka saja tanpa melibatkan orang lain dan agar mereka membebaskan anak kecil yang ditawan. Akan tetapi, melihat betapa seluruh kekuatan gerombolan dicurahkan ke dalam sarang, mereka maklum bahwa kalau mereka melakukan
292
tantangan secara berterang, mereka tentu akan dikepung oleh ratusan orang dan hal ini amat berbahaya. Maka, mereka lalu memutuskan untuk menyelidiki terlebih dahulu sebelum turun tangan.
Ketika mereka mendapatkan tempat pengintaian dari balik pagar tembok dan mengintai ke dalam, mereka melihat betapa sarang itu sunyi seolah telah ditinggalkan penghuninya. Tidak terdengar suara apapun. Akan tetapi ketika mereka memandang ke bagian tengah, di sana terdapat sebatang pohon besar dan di bawah pohon itu nampak seorang anak laki-laki yang sedang bermain-main seorang diri!
Seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tiga tahun, duduk di atas tanah dan bermain-main dengan daun-daun dan ranting-ranting kering, sedangkan pada kaki kirinya terdapat sehelai tali yang diikatkan pada batang pohon! Dan di sekeliling pohon itu, seolah mengepung anak kecil itu, nampak puluhan ekor ular besar kecil, siap untuk menyerang! Dan terdengar suara suling lirih yang agaknya mengendalikan ular-ular itu.
“Jahanam......!” Liong-li memaki lirih. Ia dan Pek-liong segera tahu apa artinya semua itu. Anak itu tentulah anak dari Song Tek Hin dan Su Hong Ing yang entah bagimana telah diculik oleh Pek-bwe Coa-ong dan jelas bahwa anak itu sengaja dibiarkan bermain-main di bawah pohon itu, dikurung ular-ular, dijadikan umpan untuk menarik mereka berdua datang ke situ. Akan tetapi merekapun tahu benar bahwa tempat yang nampaknya sunyi itu sebetulnya diawasi banyak orang dan sekali mereka hadir di sana, tentu akan muncul ratusan orang yang mengepung mereka.
293
Itu bukan cara terbaik untuk mencoba membebaskan anak itu, pikir mereka.
Sebelum mereka berhasil membebaskan anak itu, tentu mereka telah dikepung dan akan sulitlah melawan mereka sambil melindungi anak itu, apa lagi kalau tiga datuk itu muncul. Menghadapi tiga orang datuk itu saja sudah merupakan hal yang amat berat bagi mereka, apa lagi kalau harus melindungi seorang anak kecil dan pihak musuh masih dibantu oleh ratusan orang anak buah!
Mereka sama sekali tidak takut mati, hanya takut tidak akan berhasil menyelamatkan anak itu. Mereka telah kehilangan banyak pembantu, dan mereka tidak ingin melihat orang lain menjadi korban lagi karena sisa Kiu Lo-mo hendak membalas dendam kepada mereka.
“Kita tunggu saja, melihat perkembangannya,” bisik Liong-li dan Pek-liong menganggukkan kepala tanda setuju.
Biarpun mereka berdua mengintai ke dalam, namun pengintaian itu dilakukan secara bergiliran. Seorang mengintai ke dalam akan tetapi yang lain menebarkan pandangan ke arah luar sarang sehingga mereka dapat mengamati seluruh jurusan dan tidak sampai dibokong pihak musuh.
Setelah beberapa lama mereka mengintai dan belum juga ada gerakan perubahan di dalam, dan anak kecil itu mulai bosan dengan mainannya dan mulai bangkit berdiri, melangkah pergi namun terjatuh karena kakinya diikat, menjadi bingung lalu memandang ke kanan kiri, mulai menangis memanggil-manggil
294
ibu dan ayahnya, tiba-tiba terdengar teriakan dan nampak sesosok tubuh melayang masuk dari pagar tembok.
Bayangan kedua menyusul dan Liong-li menggenggam tinjunya.
“Ah, mereka itu sungguh ceroboh!” Pek-liong mencela lirih ketika melihat bahwa yang berloncatan masuk itu adalah Su Hong Ing yang disusul pula oleh suaminya, Song Tek Hin. Agaknya ibu dan ayah itu tidak dapat menahan diri ketika melihat keadaan anak mereka dan sudah berloncatan masuk dengan nekat untuk menyelamatkan anak mereka yang diikat di pohon itu.
Mata sepasang pendekar itu semakin terbelalak ketika berturut-turut nampak enam bayangan orang berloncatan masuk pula dan mereka itu bukan lain adalah Kam Sun Ting dan Kam Cian Li, Ang-hwa dan Pek-hwa, juga Gui Keng Hok dan Gui Keh Siu, dua orang pembantu Pek-liong!
Tentu saja kedua orang pendekar itu terkejut, saling pandang akan tetapi mereka juga kagum karena ternyata empat orang sahabat dan empat orang pembantu mereka itu adalah orang-orang yang gagah perkasa dan setia kawan, siap dan rela mempertaruhkan nyawa untuk menolong sahabat!
Namun, di samping kekaguman mereka, juga mereka kini menjadi khawatir sekali. Mereka berdua saja masih belum berani memasuki sarang itu, kini delapan orang itu dengan nekat masuk perangkap yang di pasang musuh!
Tidak dapat terlalu disalahkan kepada Song Tek Hin dan Su Hong Ing. Ibu yang mana di dunia ini tidak akan nekat untuk
295
menyelamatkan anaknya? Melihat anaknya di bawah pohon, kakinya diikat, bermain seorang diri bahkan kini mulai menangis memanggili ayah dan ibunya, dikepung oleh banyak ular pula, bagaimana mungkin ia akan dapat bersabar dan berdiam diri?
Hong Ing sudah meloncat dan lari ke arah bawah pohon, meloncati ular-ular itu. Melihat isterinya nekat, Tek Hin cepat menyusul dan kini keduanya sudah berada di bawah pohon.
“Ibuuu......, ayaaahhh......!” Anak kecil itu girang bukan main melihat ayah dan ibunya, akan tetapi karena dia berlari, kakinya tertahan oleh tali dan diapun jatuh lagi.
Hong Ing cepat menyambar tubuh puteranya sedangkan Tek Hin cepat memutuskan tali yang mengikat kaki anaknya. Ibu itu memeluk anaknya sambil menangis saking gembiranya melihat Song Cu dalam keadaan selamat.
Pada saat itu, kakak beradik Kam, dua orang pembantu Liong-li dan dua orang pembantu Pek-liong sudah berloncatan pula, meloncati ular-ular yang mengepung dan berkumpul dengan Tek Hin dan Hong Ing untuk melindungi mereka,
Apa yang dikhawatirkan Pek-liong dan Liong- li segera terjadi. Tempat yang tadinya sunyi itu tiba-tiba saja penuh dengan anak buah gerombolan yang muncul dari tempat persembunyian mereka. Bahkan kini suara suling yang tadinya lirih itu terdengar nyaring dan semakin banyak ular berkumpul mengepung pohon itu dan mereka mulai mendesis-desis'. Di luar lingkaran ular itu nampak anak buah gerombolan mengepung pohon di bawah
296
mana delapan orang itu berkumpul, dalam jumlah yang puluhan orang banyaknya.
Turun tangan pada saat seperti itu akan membahayakan keselamatan delapan orang dan anak itu, maka Pek-liong dan Liong-li meloncat ke atas pagar tembok dan terdengar suara Liong-li berseru nyaring.
“Pek-bwe Coa-ong! Kalau kalian bertiga hendak membuat perhitungan dengan kami berdua, jangan bertindak curang. Bebaskan delapan orang dan anak itu yang tidak ada sangkutannya dengan urusan kita, dan mari kita mengadu kepandaian seperti orang gagah!”
Kini nampaklah Pek-bwe Coa-ong, Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li bersama empat orang dari Thai-san Ngo-kwi. Pek-bwe Coa-ong masih meniup sulingnya untuk menguasai ular ularnya yang mengepung pohon itu, dan Ang I Sian-li yang mewakilinya menjawab sambil terkekeh genit.
“Hi-hik, Pek-liong dan Liong-li, kalau kalian mempunyai keberanian dan kepandaian, coba kalian bebaskan mereka ini dari tangan kami, heh-heh!”
Kim Pit Siu-cai sudah meloncat ke dalam kepungan ular itu dan tubuhnya bergerak cepat, kipas dan mouw-pit (pena bulu) di tangannya bergerak menyerang delapan orang itu. Mereka mencoba untuk membela diri, namun tingkat kepandaian Kim Pit Siu-cai terlalu tinggi bagi mereka.
297
Apa lagi Ang I Sian-li juga kini meloncat masuk dan dua orang itu dalam waktu yang singkat saja telah berhasil menotok roboh delapan orang itu. Mereka rebah malang melintang tak mampu bergerak lagi dan anak kecil itu yang kini menangis karena dia tadi terjatuh bersama ibunya yang memondongnya.
Melihat ini, sepasang pendekar itu maklum bahwa mereka tidak mungkin dapat mundur lagi. Dengan gerakan seperti sepasang garuda menyambar, mereka melayang turun dari atas pagar tembok.
Para anak buah gerombolan itu tanpa dikomando telah menyambut maju dengan senjata mereka, agaknya mereka berlumba ingin membuat jasa. Akan tetapi, terdengar teriakan-teriakan mengaduh ketika Pek-liong dan Liong-li menggerakkan kaki tangan mereka dan delapan orang anak buah gerombolan itu terpelanting dan tidak mampu bangun kembali! Tentu saja yang lain menjadi gentar.
“Berhenti! Jangan serang, kepung saja!” teriak Pek-bwe Coa-ong dan kini empat orang Thai-san Ngo-kwi sudah memerintahkan orang-orangnya untuk menyeret tubuh delapan orang dan anak kecil itu, membawa mereka ke tempat tahanan dan menjaga dengan ketat. Lalu mereka berempatpun ikut mengepung Pek-liong dan Liong-li.
Pek-liong tersenyum mengejek. “Sejak dahulu kami tahu bahwa Kiu Lo-mo hanya namanya saja yang besar, akan tetapi mereka itu bukan lain hanyalah gentong-gentong kosong yang nyaring bunyinya. Mereka bukan orang-orang yang pantas menyebut diri
298
mereka datuk persilatan. Hanya mengandalkan pengeroyokan banyak orang, curang dan pengecut-pengecut besar!”
“Hemm, dua orang bocah sombong yang bermulut besar!” teriak Ang I Sian-li. “Kematian sudah di depan mata dan kalian masih berani bicara sombong? Lihat saja, sebentar lagi kalian akan kami tawan dan sebelum kami membunuh kalian, akan kami siksa dulu, jantung kalian akan kami pergunakan untuk obat kuat, kepala kalian kami jadikan korban sembahyangan terhadap rekan-rekan kami......”
“Sian-li, biarkan kami yang menangkap Hek-liong-li! Ia telah menewaskan Sam-kwi!” tiba-tiba Thai-kwi berseru dan tiga orang adiknya juga mengeluarkan seruan marah.
Mereka berempat sudah mencabut golok masing-masing dan sudah pula mengerahkan ilmu pukulan mereka yang ampuh, yang membuat tangan kiri mereka nampak kemerahan. Di samping ilmu golok yang lihai, empat orang ini, murid-murid mendiang Siauw-bin Ciu-kwi ini memiliki ilmu pukulan Ang-hwe-ciang (Tangan api merah) yang amat lihai. Mereka merasa yakin bahwa kalau mereka berempat maju mengeroyok seorang Liong-li, mereka pasti akan menang dan dapat membalaskan dendam kematian guru mereka dan juga kematian Sam-kwi yang baru beberapa hari ini tewas oleh Liong-li.
Tiga orang.datuk itupun sebenarnya merasa gentar menghadapi Pek-liong dan Liong-li walaupun mengingat bahwa mereka bertiga, mereka tidak takut dan yakin akan dapat menundukkan dua orang musuh besar itu. Maka, kini mendengar permintaan
299
Thai-kwi, Pek-bwe Coa-ong mengangguk. Dia ingin pula melihat sampai di mana kelihaian Liong-li agar dapat mengukur, pula diapun ingin memperlihatkan bahwa mereka bertiga bukan pengecut seperti dikatakan Pek-liong tadi dan memberi kesempatan kepada Pek-liong dan Liong-li untuk membela diri, tidak dikeroyok oleh anak buah mereka!
“Hemm, kami kira Liong-li tidak akan berani kalau maju seorang diri menghadapi kalian berempat!” Pek-bwe Coa-ong mencoba.
Dia tidak tahu bahwa justeru inilah kesempatan baik bagi Liong-li dan Pek-liong. Kalau mereka berdua dapat menyinggung rasa kehormatan tiga orang datuk itu dan dapat memancing mereka untuk bertanding secara jujur, besar kemungkinan sepasang pendekar ini akan mampu meloloskan diri dan menolong delapan orang tawanan itu. Setidaknya, kalau dapat menewaskan sebagian dari mereka berarti sudah mengurangi kekuatan musuh.
Liong-li melangkah maju dan tertawa. Manis bukan main kalau pendekar wanita ini tertawa, namun bagi yang sudah mengenalnya, tawa semanis itu merupakan tanda bahaya bagi musuhnya karena tawa itu hanya muncul kalau wanita perkasa itu berada dalam keadaan siap siaga, seluruh syaraf di tubuhnya sudah siap dan ia berada dalam kewaspadaan tertinggi.
“Memang kepalang tanggung kalau aku hanya membunuh Sam-kwi tanpa membunuh empat yang lain. Majulah kalian berempat, akan kukirim kalian menyusul arwah guru kalian Siauw-bin Ciu-kwi dan Sam-kwi!”
300
Dari penyelidikannya, Liong-li sudah tahu bahwa Thai-san Ngo-kwi adalah murid Siauw-bin Ciu-kwi, seorang di antara Kiu Lo-mo yang telah tewas di tangannya, ketika bersama Pek-liong ia menentang iblis itu. Dan sengaja ia menyebut nama guru mereka itu dan Sam-kwi untuk memanaskan hati mereka.
Usahanya berhasil. Empat orang itu gemetar saking marahnya dan mereka sudah berlompatan maju mengepung Liong-li dari depan, belakang, kanan dan kiri!
Pek-bwe Coa-ong, Kim Pit Siu-cai, dan Ang I Sian-li berdiri menonton dan tempat pertandingan itu dikepung oleh anak buah yang tidak kurang dari seratus orang banyaknya sehingga tidak ada tempat untuk melarikan diri bagi kedua orang pendekar itu. Pek-liong sendiri berdiri dengan sikap tenang, walaupun dalam hati dia masih mencari jalan keluar bagaimana agar dia dan Liong-li dapat menolong para tawanan kemudian lobos dari tempat itu.
Dia tahu bahwa kalau dia dan Liong-li dapat mengalahkan Thai-san Ngo-kwi dan tiga orang datuk itu, para tokoh sesat itu tentu tidak sungkan untuk mempergunakan anak buah mereka yang amat banyak untuk mengeroyok dia dan Liong-li. Walaupun dia dan Liong-li tidak gentar menghadapi pengeroyokan demikian banyaknya orang, namun bagaimana mereka berdua akan mampu menolong delapan orang tawanan bersama anak kecil itu keluar dari tempat tahanan?
Kini empat orang itu telah mengepung Liong-li yang masih nampak tenang dan Pek-liong menyingkirkan dulu semua pikiran
301
karena dia harus memperhatikan jalannya pertandingan antara Liong-li dan empat orang pengeroyoknya. Dia harus waspada dan siap menolong Liong-li kalau sampai terancam bahaya.
Andaikata Liong-li sampai kalah dan terancam bahaya, dia tidak merasa malu untuk membantunya, karena bukankah kini Liong-li juga dikeroyok empat orang? Pula, dia tidak dapat percaya begitu saja bahwa tiga orang datuk itu tidak akan turun tangan membantu empat orang murid-murid keponakan mereka itu.
Sikap empat orang Thai-san Ngo-kwi itu memang menyeramkan. Mereka adalah orang-orang yang sudah terbiasa melakukan segala kekejaman mengandalkan kekuatan dan kepandaian, juga mereka dalam keadaan marah sekali sehingga sinar mata mereka sudah membayangkan kebuasan dan kekejaman.
Thai-kwi yang berusia empatpuluh lima tahun itu memimpin penyerangan. Pria yang bertubuh tinggi besar berkulit hitam ini seperti raksasa, goloknya juga besar dan berkilauan saking tajamnya. Thai-kwi berdiri di depan Liong-li, menghadapi Liong-li sambil melintangkan goloknya di depan dada dan tangan kirinya yang kemerahan itu diangkat ke atas kepala.
Ji-kwi, orang kedua yang bertubuh gendut pendek berusia empatpuluh tiga tahun, juga melintangkan goloknya dan mengangkat tangannya yang kemerahan ke atas kepala, berdiri di belakang Liong-li. Su-kwi yang berusia empatpuluh tahun, bertubuh tinggi besar dengan punggung agak bongkok, berdiri di sebelah kanan Liong-li, sedangkan Ngo-kwi orang kelima yang
302
bertubuh sedang berusia tigapuluh lima tahun, berdiri di sebelah kirinya.
Empat orang Thai-san Ngokwi itu sudah siap dengan golok mereka dan tangan merah mereka, dan pandang mata mereka menyinarkan nafsu membunuh seperti empat ekor harimau kelaparan mengurung seekor domba.
Liong-li bersikap tenang saja. Hek-liong-kiam masih berada di sarungnya dan ia berdiri dengan tegak dan nampak santai, namun setiap syaraf di tubuhnya bergetar, dari ujung rambut kepala sampai ke tumit kakinya dalam keadaan siap waspada, pandang matanya mengukur jarak, telinganya yang terlatih itu dapat menangkap setiap gerakan lawan yang berada di belakang dan tidak nampak, juga di kanan kiri sehingga sikapnya seolah ia hanya menghadapi lawan yang berada di depan saja.
“Liong-li, engkau mampus sekarang!” terdengar Thai-kwi membentak nyaring, akan tetapi dia tidak menggerakkan goloknya. Sebaliknya, Ji-kwi yang gendut pendek dan berada di belakang Liong-li itulah yang bergerak, menyerang dengan membacokkan goloknya dari atas ke bawah seperti orang membelah kayu, hendak membelah tubuh wanita perkasa itu dari atas ke bawah.
“Singggg......!!!” Golok itu berubah menjadi sinar menyambar dari atas ke bawah, namun yang disambarnya hanya udara kosong saja karena tubuh Liong-li sudah bergeser ke kiri. Ji-kwi yang luput serangannya itu terus meloncat ke depan sedangkan Thai-kwi kini membabatkan goloknya ke arah leher Liong-li.
303
Wanita ini kembali mengelak dengan loncatan dan kini Thai-kwi dan Ji-kwi berganti kedudukan. Ji-kwi yang berada di depan Liong-li sedangkan Thai-kwi di belakangnya. Dari arah kirinya, Ngo-kwi menyerang dengan goloknya, dan berbareng pada saat itu, dari kanan Su-kwi juga menyerang sehingga dua batang golok mengguntingnya dari kanan kiri, yang sebatang menyambar leher, yang kedua menyambar paha.
Nampak sinar hitam bergulung-gulung dan terdengar suara nyaring dua kali ketika pedang Naga Hitam tercabut dan diputar sedemikian rupa sehingga sekaligus menangkis serangan dari kanan kiri itu.
Trangg...... cringggg........!!”
Tidak nampak bagaimana Liong-li mencabut pedangnya, karena pedang itu tiba-tiba saja sudah nampak menyambar, berubah menjadi sinar bergulung-gulung hitam mengerikan dan sudah menangkis dua serangan dari kanan kiri itu, sedangkan tubuhnya sudah bergerak mundur. Golok di tangan Ngo-kwi dan Su-kwi adalah golok mustika yang tajam dan kuat, namun ketika tertangkis sinar hitam Hek-liong-kiam kedua batang golok itu terpental dan kedua orang anggauta Thai-san Ngo-kwi terkejut karena merasa betapa telapak tangan mereka tergetar, panas dan hampir golok terlepas dari genggaman mereka. Cepat mereka meloncat mundur.
Setelah menangkis, Liong-li yang melangkah mundur, sudah membalikkan tubuhnya dan bagaikan seekor naga, pedangnya sudah meluncur dan menyerang orang yang tadinya berada di
304
belakangnya, yaitu Thai-kwi. Serangan tusukan pedang itu amat cepatnya dan kalau bukan Thai-kwi yang diserang, kiranya akan sulit1ah bagi lawan untuk menyelamatkan diri. Namun, Thai-kwi merupakan orang pertama dari Thai-san Ngo-kwi, ilmu kepandaiannya sudah tinggi dan diapun membuang tubuh ke belakang, lalu bergulingan menjauh sedangkan Ji-kwi sudah membantu suhengnya dengan serangan kilat dari belakang Liong-li. Bahkan Su-kwi dan Ngo-kwi juga sudah menghadang dengan serangan dari kanan kiri.
Liong-li terpaksa memutar tubuh dan mengerakkan pedang melindungi diri sehingga tubuhnya tertutup gulungan sinar hitam yang sulit ditembus senjata lawan. Pertandingan ini sungguh menegangkan. Biarpun tingkat kepandaian Liong-li jelas lebih tinggi dari mereka, akan tetapi karena mereka itu empat orang maju bersama, dan mereka memiliki pengalaman perkelahian keroyokan sehingga mereka dapat bekerja sama seperti barisan golok, saling menunjang saling melindungi, maka tidak mudah bagi Liong-li untuk merobohkan seorang pun dari mereka.
Sebelum berhasil merobohkan seorang, yang tiga orang sudah cepat menekannya sehingga terpaksa ia melepaskan orang yang didesaknya itu. Sebaliknya, empat orang itupun tidak dapat merobohkan Liong-li. Senjata mereka terasa sukar sekali untuk dapat menembus sinar hitam dari Hek-liong-kiam, maka kini mereka berempat hanya bertahan saling melindungi saja, membentuk benteng dari empat golok yang amat sukar dibobolkan.
305
Telah limapuluh jurus lewat, akan tetapi belum juga Liong-li berhasil merobohkan seorangpun dari empat pengeroyoknya, walaupun empat orang itu sudah terdesak dan bahkan jarang sekali dapat membalas.
Melihat ini, Ang I Sian-li menjadi tidak sabar lagi. Kalau sampai empat orang murid keponakan itu kalah dan tewas, hal itu berarti melemahkan pihaknya dan “memberi hati” kepada Pek-liong dan Liong-li. Maka, tanpa banyak cakap lagi Ang I Sian-li mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dan melompat, langsung saja menyerang Liong-li dengan dahsyatnya.
“Cring-trangg......” Liong-li menangkis dan kedua orang wanita tangguh itu terhuyung ke belakang.
“Iblis betina curang!” bentak Pek-liong sambil melompat ke depan. Akan tetapi dia sudah disambut Kim Pit Siu-cai dan Pek-bwe Coa-ong yang sudah menyerang Pek-liong dengan senjata mereka yang ampuh.
Pek-liong cepat mencabut pedangnya dan begitu Pek-liong-kiam diputar, nampak gulungan sinar putih yang menyambar-nyambar dan menangkis sepasang mouw-pit di tangan Kim Pit Siu-cai dan tongkat ekor ular putih di tangan Pek-bwe Coa-ong.
Tingkat kepandaian dua orang iblis tua itu sudah amat tinggi, bahkan kalau seorang di antara mereka maju melawan Pek-liong saja, tidak akan mudah bagi Pek-liong untuk menang. Kini mereka maju berdua, tentu saja pendekar itu segera terdesak hebat.
306
Keadaannya tidak jauh bedanya dengan Liong-li. Tingkat kepandaian Ang I Sian-li juga seimbang dengan Liong-li, kini ia maju membantu empat orang dari Thai-san Ngo-kwi, tentu saja Liong-li segera terdesak hebat.
Sepasang pendekar itu tentu saja maklum bahwa tidak ada gunanya mencaci maki atau mencela kecurangan lawan. Mereka maklum pula bahwa pihak lawan tidak mungkin akan mau melepaskan mereka berdua. Pihak lawan amat mendendam dan membenci mereka, akan melakukan apa saja untuk dapat menangkap dan membunuh mereka berdua.
Mereka tahu bahwa kalau mereka melawan terus, akhirnya mereka akan kalah dan roboh juga. Tanpa kata ataupun isyarat, keduanya yang sudah memiliki kepekaan terhadap satu sama lain, segera mengatur langkah sehingga akhirnya mereka itu dapat bersatu, beradu punggung dan saling melindungi.
Namun, hal inipun tidak akan menolong mereka. Pihak lawan terlampau kuat. Baru tiga orang di antara Kiu Lo-mo itu saja sudah merupakan lawan yang amat berat hagi mereka, apa lagi ditambah empat orang dari Thai-san Ngo-kwi yang juga sudah lihai sekali. Dan di situ masih terdapat kurang lebih seratus orang anak buah gerombolan yang mengepung tempat itu.
Sebetulnya, keadaan ini membuat hati sepasang pendekar itu menjadi gentar. Yang membuat mereka ragu dan bingung adalah karena empat orang pembantu mereka, empat orang sahabat mereka, dan seorang anak kecil telah menjadi tawanan musuh!
307
Kalau mereka berdua sampai roboh dan tertawan, atau tewas, berarti tidak ada harapan bagi sembilan orang tawanan itu, dan mereka semua tidak mungkin dapat terlepas dari tangan para penjahat. Tentu mereka akan tewas dalam keadaan yang lebih menyedihkan lagi. Karena memikirkan keselamatan sembilan orang itulah maka Pek-liong dan Liong-li mengambil keputusan untuk meloloskan diri, melarikan diri dari kepungan agar mereka tetap hidup dan dapat menyusun siasat baru untuk menolong sembilan orang tawanan itu.
Akan tetapi, tentu saja bukan hal yang mudah untuk dapat meloloskan diri karena selain tiga orang datuk itu bersama empat orang murid keponakan mereka mengepung ketat dan mendesak dengan hebat, juga di situ terdapat lebih dari seratus orang anak buah gerombolan itu mengepung dengan berbagai senjata di tangan.
Diam-diam Pek-liong dan Liong-li membuat perhitungan dengan otak mereka yang cerdas. Kalau mereka melanjutkan perkelahian itu, akhirnya mereka akan roboh dan tewas, demikian pula sembilan orang tawanan itu tentu akan tewas.
Satu-satunya jalan adalah menerjang ke dalam barisan anak buah gerombolan yang rapat kepungannya itu. Kalau mereka dapat menyerbu dan terjun ke tengah-tengah mereka, tentu tiga orang datuk dan empat orang murid keponakan mereka itu tidak akan dapat mengeroyok.
Ketika mendapat kesempatan dalam keadaan terdesak itu, Liong-li berbisik kepada rekannya, “Kita terjun ke tengah?”
308
Pek-liong merasa girang karena memang dia mempunyai pendapat yang sama. Dia mengangguk. “Engkau dulu, aku melindungi!” bisiknya.
Pada saat itu, senjata para pengeroyok sedang gencar menyerang. Liong-li dan Pek-liong memutar pedangnya dan mereka mengatur sedemikian rupa sehingga pedang bersinar putih di tangan Pek-liong yang menjadi semakin lebar melindungi mereka berdua. Liong-li menggunakan gerakan tiba-tiba menyerang ke kiri di mana berdiri Ngo-kwi, orang termuda dari Thai-san Ngo-kwi. Serangannya dahsyat bukan main karena ia mengerahkan seluruh tenaganya, sehingga Ngo-kwi terkejut bukan main.
Goloknya hampir terlepas dari tangannya ketika dia menangkis dan dia terhuyung ke belakang. Kesempatan inilah yang dipergunakan Liong-li untuk meloncat, melalui atas kepala Ngo-kwi, menuju ke arah kelompok anak buah yang mengepung dari luar.
Melihat ini, Pek-bwe Coa-ong marah.
“Kejar, kepung, jangan biarkan ia lolos!”
Akan tetapi, kekacauan timbul karena gerakan Liong-li itu dan kesempatan ini dipergunakan oleh Pek-liong untuk menjatuhkan diri ke lantai dan bergulingan sambil menggerakkan pedangnya. Para pengepungnya terkejut dan terpaksa mundur. Melihat kesempatan ini, Pek-liong juga cepat melompat sambil mengerahkan tenaganya dan bagaikan seekor naga menerjang
309
awan, diapun terjun di tengah-tengah anak buah gerombolan yang mengepung ketat.
Gegerlah anak buah gerombolan itu ketika dua orang yang tadinya dikeroyok dan didesak para pimpinan mereka tiba-tiba saja meloncat dan terjun di tengah-tengah mereka. Mereka menjadi panik seperti sekelompok domba yang tiba-tiba melihat dua ekor harimau mengamuk di tengah-tengah antara mereka!
Tentu saja mereka berusaha untuk menggunakan senjata dan menyerang kedua orang ini. Akan tetapi, serangan para anak buah itu tidak ada artinya bagi Liong-li dan Pek-liong. Dengan mudah mereka merobohkan setiap orang penyerang dan mereka menyusup-nyusup di antara anak buah gerombolan sehingga tiga orang Iblis Tua dan empat murid keponakan mereka sukar sekali untuk dapat mengeroyok kedua orang musuh itu seperti tadi. Mereka bertujuh terhalang oleh padatnya anak buah mereka sendiri yang tadi mengepung tempat itu.
Bagaikan sepasang naga, Liong-li dan Pek-liong mengamuk. Akan tetapi mereka bukan mengamuk untuk membunuh sebanyak mungkin anak buah gerombolan, melainkan untuk membuka jalan darah dan melarikan diri. Mereka harus melarikan diri lebih dulu, kemudian baru mengatur siasat untuk menyelamatkan sembilan orang yang ditawan musuh.
Kalau mereka nekat, mereka akhirnya akan tewas dan sembilan orang itupun tidak akan tertolong lagi. Mereka yakin bahwa selama mereka berdua belum tertawan atau tewas, sembilan
310
orang tawanan itu masih ada harapan dan tidak akan dibunuh oleh tiga orang Iblis Tua.
Biarpun mereka sudah berhasil terjun ke tengah-tengah antara anak buah gerombolan, namun masih tidak mudah untuk membebaskan diri. Tiga orang iblis tua dan empat orang murid mereka itu masih terus melakukan pengejaran, dibantu oleh anak buah mereka yang banyak jumlahnya. Karena tidak dapat melarikan diri ke jalan yang pernah mereka lalui karena terhadang, terpaksa Liong-li dan Pek-liong lari ke arah barat, di mana terdapat sebuah hutan.
Mereka sekali ini tidak mau berpencar. Dengan bersatu, mereka jauh lebih kuat untuk saling melindungi.
“Lepas anak panah! Serang mereka dengan senjata rahasia!” Tiga orang datuk itu mengejar sambil berteriak-teriak.
Anak buah mereka segera melepaskan anak panah dan berbagai senjata rahasia. Liong-li dan Pek-liong terpaksa memutar pedang melindungi tubuh mereka. Mereka lari sambil mundur dan memutar pedang.
Sepasang pendekar itu sama sekali tidak tahu bahwa sisa dari Sembilan Iblis Tua itu sekali ini sudah bertekad untuk menawan atau membunuh mereka. Sisa tiga orang dari Kiu Lo-mo itu sudah lama merencanakan balas dendam ini. Mereka telah mengatur segalanya dan begitu melihat Liong-li dan Pek-liong berhasil melarikan diri, merekapun cepat mengatur siasat seperti yang sudah mereka perhitungkan kalau-kalau menghadapi keadaan seperti sekarang.
311
Kini mereka memilih tempat yang agak kering untuk duduk dan mereka berdua pertama-tama menyelidiki keadaan di sekitar mereka. Mereka memandang ke sekeliling dengan sinar mata penuh selidik. Tempat itu terang karena biarpun sudah condong ke barat, matahari masih tinggi dan terang.
Tengah hari telah lewat dua tiga jam, namun senja masih beberapa jam lagi akan tiba. Dinding tebing itu curam dan tinggi sekali sehingga bagian atasnya tidak nampak jelas. Diam-diam kedua pendekar itu memuji syukur kepada Tuhan bahwa mereka tidak tewas terjatuh dari tempat setinggi itu.
Untuk memanjat ke atas tebing merupakan hal yang tidak mungkin. Tidak ada orang yang akan dapat mendaki atau menuruni dinding tebing yang, terjal dan setinggi itu. Mereka lalu memandang dan mengamati bagian lain.
Tebing itu memanjang dengan ketinggian yang sama. Tak mungkin naik kembali. Di seberangnya, lereng itu menurun melalui banyak jurang dan hutan liar. Hanya ke sanalah satu-satunya jalan keluar, yang akan membawa mereka ke kaki bukit sebelah sana.
Mereka berdiri memandang ke arah bawah, lalu keduanya saling pandang dan dua pasang mata itu bertaut, lalu Pek-liong dengan sikap canggung dan tersipu berkata, lirih.
“Liong-li......” Dia tidak melanjutkan kata-katanya.
312
Liong-li yang menatap wajah Pek-liong, melihat keraguan itu dan ia merasa heran. Biasanya, tidak pernah Pek-liong bersikap ragu dan kaku seperti itu.
“Ada apakah, Pek-liong?”
Kembali sepasang mata itu bertaut pandang dan kini Liong-li dapat menyelami perasaan pria itu dan sungguh ia merasa heran kepada diri sendiri karena mendadak ia merasa mukanya panas dan iapun menyadari bahwa tentu mukanya berubah kemerahan. Akan tetapi ia tetap menanti jawaban.
“Liong-li......, rasanya seperti dalam mimpi......”
“Tidak, Pek-liong. Engkau tidak bermimpi, akupun tidak. Kita baru saja terlepas dari cengkeraman maut. Akan tetapi Tuhan belum ingin kita mati, Pek-liong. Ketika aku, membawamu lari karena engkau terluka dan pingsan, aku terjerumus ke dalam jurang, yaitu tebing di belakang ini. Mestinya kita berdua mati terbanting di dasar tebing, akan tetapi aku melemparkan tali sutera hitam dan kebetulan dapat menyangkut akar pohon sehingga kita berdua selamat.”
“Bukan itu, Liong-li.”
Tentu saja Liong-li tahu, akan tetapi entah mengapa, sekali ini ia sendiri menjadi tidak wajar, mempunyai rasa malu. Rahasia yang terpendam amat dalam di hatinya, tadi terungkap dan ia merasa malu kalau-kalau rahasia itu akan diketahui Pek-liong.
“Apa maksudmu......?” Ia tergagap.
313
“Engkau tadi....... menangis. Itu bukan engkau, Liong-li. Liong-li tidak pernah seperti itu, menangis seperti anak kecil, seperti seorang wanita lemah. Mengapa, Liong-li?”
“Dan engkau katakan bahwa mungkin dunia kiamat!” Liong-li mencoba untuk memecahkan ketegangan di antara mereka dengan kelakar. Akan tetapi Pek-liong menggeleng kepala perlahan, tetap memandang tajam seperti hendak menjenguk isi hati rekannya.
“Selama kita berkenalan, belum pernah aku melihat engkau menangis seperti itu, Liong-li, maka tanpa kusengaja aku mengatakan bahwa tentu dunia sudah kiamat kalau Liong-li menangis seperti itu. Sebenarnya, mengapa engkau menangis seperti itu, Liong-li? Kita bukan penakut, kita tidak takut menghadapi kematian, bahkan engkau lebih berani dari pada aku menghadapi maut. Akan tetapi tadi, kenapa engkau menangis seperti orang ketakutan?”
Mereka kembali saling pandang dan Pek-liong melihat betapa bibir rekannya itu gemetar! Suatu tanda kelemahan perasaan yang belum pernah dia lihat sebelumnya!
Kemudian terdengar jawaban Liong-li, dan suaranya mengandung getaran yang belum pernah didengar Pek-liong sebelumnya. “Aku melihat dan menyangka engkau sudah menjadi mayat. Melihat engkau tewas, aku kehilangan akal, dunia seperti kiamat rasanya........”
Pek-liong merasa jantungnya berdebar. Sudah sering kali timbul debaran jantung aneh seperti ini setiap kali dia teringat kepada
314
Liong-li, namun selalu dia berhasil menekan debaran aneh ini dengan meyakinkan hatinya bahwa dia dan Liong-li adalah rekan seperjuangan yang paling setia. Itu saja.
Kini, debaran jantungnya lebih kuat dari pada biasanya, sukar untuk diredakan karena Liong-li berada di depannya dan pandang mata Liong-li demikian aneh! Maka, diapun cepat mengalihkan perhatian untuk memecahkan suasana yang mencekam hatinya itu.
“Liong-li, sembilan orang itu masih berada dalam cengkeraman ke tiga Iblis tua! Kita harus cepat menolong mereka!”
Liong-li seperti dihentakkan dengan tiba-tiba, seperti diseret turun dari, dunia lamunan yang amat indah, dan iapun terbelalak, lalu mengerutkan alisnya dan pandang matanya kini berubah seperti biasanya, mengandung kecerdikan dan kewaspadaan.
“Benar sekali! Bagaimana kita dapat melupakan hal itu? Cepat, mari kita mencari jalan turun. Terpaksa kita harus mengitari bukit ini tiba di seberang sana, mendaki dari bagian yang berlawanan. Engkau sudah kuat berjalan cepat, Pek-liong?”
“Kurasa tenagaku sudah pulih kembali dan... eh, lihat itu!” teriaknya gembira bukan main.
Liong-li menengok dan iapun melihat kilauan sinar pedang yang menancap di atas tanah. Pedang Pek-liong-kiam! Agaknya, ketika roboh pingsan oleh serangan jarum dan pukulan tangan Ang I Sian-li, Pek-liong masih tetap memegang erat pedangnya, dan ketika Liong-li memondongnya dan membawanya lari sampai
315
terjerumus ke dalam tebing jurang, pedang itu terlepas dari pegangannya dan meluncur jatuh lebih cepat dari pada badannya.
“Pek-liong-kiam!” seru Liong-li dan iapun ikut bergembira.
Pek-liong segera mengambil pedangnya dan memeriksanya. Tentu saja dia merasa girang sekali mendapatkan kembali pedangnya dalam keadaan utuh dan tidak rusak. Dengan pedang di tangan, semangat bertambah besar.
Mereka segera mencari jalan turun ke kaki bukit, untuk kemudian mengitari bukit itu dan mendaki lagi menuju ke sarang gerombolan yang di pimpin tiga orang dari Kiu Lo-mo itu. Dan di sepanjang perjalanan ini, Pek-liong yang sudah mengalami perkelahian melawan tiga orang Iblis Tua membicarakannya dengan Liong-li, mencatat kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan mereka agar kalau mereka berdua harus berhadapan lagi dengan tiga orang Iblis Tua itu, mereka dapat lebih mempersiapkan diri.
“Kita harus waspada terhadap kipas lebar di tangan kiri Kim Pit Siu-cai,” kata Pek-liong mengingat-ingat. “Sepasang mouw-pit (pena bulu) darinya memang berbahaya, akan tetapi pedangku dapat menandinginya dan mengatasinya. Akan tetapi kalau dia mencabut kipasnya dengan tangan kiri, kita harus berhati-hati. Kipas itu dapat melepas jarum halus secara curang dan tidak terduga sama sekali.”
“Kalau begitu, kita harus mendahuluinya, sebelum sempat mempergunakan senjata rahasianya, kita harus merusak kipas itu
316
dengan pedang. Kurasa jurus ke lima dari Sin-liong Kiam-sut kita akan mampu melakukan itu,” kata Liong-li dan rekannya mengangguk.
“Ang I Sian-li merupakan lawan paling lemah di antara mereka bertiga, akan tetapi kita harus berhati-hati terhadap tangan merahnya. Pukulan beracun itu dapat membahayakan kita kalau kita tidak berhati-hati.”
“Ang-tok-ciang (Tangan Beracun Merah) dari Iblis betina itu tentulah dilatih dengan menghisap darah bayi seperti yang pernah kita dengar dilakukan iblis betina itu. Ingin aku membuntungi kedua tangan merahnya!” kata pula Liong-li gemas, mengingat betapa tangan merah itu hampir menewaskan Pek-liong.
“Tentang Pek-bwe Coa-ong, dia memang lihai dengan tongkat ularnya. Akan tetapi dia kurang percaya kepada diri sendiri, lebih sering mengandalkan ular-ularnya. Kalau kita sudah dapat membasmi ular-ularnya, diapun menjadi gentar dan mudah dihadapi,” kata pula Pek-liong.
“Empat orang Thai-san Ngo-kwi juga selain golok mereka mengandalkan pukulan tangan merah yang panas, akan tetapi kiraku tidaklah seganas tangan merah Ang I Sian-li. Mungkin mereka itu menguasai Ang-hwe-ciang (Tangan Api Merah) akan tetapi bukan golok dan pukulan tangan merah itu yang membuat mereka kuat melainkan to-tin (baris an golok) mereka berempat. Kalau mereka maju berempat maka mereka dapat membentuk
317
barisan dan bersatu dengan amat kuatnya, kiraku tidak kalah kuat dibandingkan seorang di antara Tiga Iblis Tua itu.”
Pek-liong mengangguk-angguk. “Sekali ini, kita menghadapi lawan yang berat dan berbahaya, apa lagi ditambah banyak anak buah mereka. Kita harus berhati-hati, akan tetapi kitapun tidak mungkin membiarkan sembilan orang itu menjadi tawanan mereka.”
“Engkau benar, Pek-liong. Tidak boleh sembilan orang itu mati karena kita. Kita harus dapat menyelundup ke sana secepatnya dan menolong mereka.”
Kini Pek-liong dan Liong-li sudah pulih kembali dari keadaan tidak wajar ketika perasaan mereka dicengkeram suatu getaran aneh yang membuat mereka hampir menjadi lemah. Kini mereka kembali menjadi sepasang manusia yang seolah tidak lagi mempunyai perasaan, penuh kewaspadaan dan penuh semangat untuk mengalahkan musuh-musuh mereka! Dan kalau mereka sudah seperti itu, sungguh tidak ada bahaya lebih besar dari pada menentang sepasang naga ini! ◄Y►
Kita tinggalkan dulu sepasang naga yang sedang mencari jalan menuruni bukit untuk kemudian mendaki lagi dari lain bagian ke sarang gerombolan dan kita tengok keadaan Cian Ciang-kun (Panglima Cian) atau Cian Hui yang karena kecerdikannya berhasil lolos dari perangkap yang dipasang tiga Iblis Tua sehingga dia dan isterinya tidak sampai menjadi tawanan mereka seperti halnya suami isteri Song Tek Hin dan Su Hong Ing berikut
318
putera mereka, Song Cu. Juga tidak seperti kakak beradik Kam Sun Ting dan Kam Cian Li.
Ketika Pek-liong menemuinya dan mendengarkan semua pengalamannya, kemudian Pek-liong meninggalkan rumahnya dan pendekar itu menolak ketika dia hendak membantu dengan pasukan, Cian Hui merasa tidak enak hati. Tidak mungkin dia membiarkan saja para sahabatnya yang amat dikasihinya itu menghadapi bahaya besar.
Dia tahu bahwa sekali ini sisa Kiu Lo-mo pasti telah mempersiapkan diri. Kalau mereka itu menghimpun banyak anak buah, bagaimana mungkin Pek-liong dan Liong-li berdua saja menghadapi dan melawan mereka? Pula, para datuk sesat itu selain lihai juga curang dan tidak segan mempergunakan kelicikan, maka tentu saja dia amat mengkhawatirkan keselamatan kedua orang sahabatnya itu.
Setelah Pek-liong pergi, Cian Hui mengambil keputusan, bersama Cu Sui In isterinya, mengajak belasan orang jagoan istana yang menjadi sahabat-sahabat baiknya, pergi berangkat mencari sarang gerombolan di bukit Hek-san lembah Huang-ho. Juga dia mengerahkan pasukan sebanyak tigaratus orang, pasukan pilihan, untuk berangkat ke sana karena dia menduga bahwa sekali ini, para musuh Pek-liong dan Liong-li tentu telah mempersiapkan anak buah yang cukup banyak maka mereka berani menantang kedua orang pendekar itu secara terang-terangan.
319
Karena membawa pasukan, tentu saja Cian Hui dan isterinya tidak dapat secepat Pek-liong tiba di tempat itu. Dia lalu mengatur pasukannya, disebarnya penyelidik dan setelah menemukan sarang gerombolan, dia lalu mengepung tempat itu dengan pasukannya. Dia sendiri bersama isterinya dan belasan orang jagoan kota raja mendaki ke sarang gerombolan dengan hati-hati.
Seregu pasukan ahli penyelidik alat-alat rahasia jebakan, telah lebih dahulu bergerak membersihkan dan membasmi jebakan-jebakan yang ada. Semak-semak belukar yang mencurigakan dibabat habis dan dibakar, dan dibuat jalan setapak yang aman ke arah sarang untuk Cian Hui dan isterinya, sedangkan tigaratus orang pasukan itu mendaki dengan posisi mengepung.
Pagi hari itu, para anak buah gerombolan sibuk mempersiapkan sembahyangan di tepi tebing. Panggung itu mereka selesaikan kemarin, dan segala persiapan untuk sembahyangan besar telah dibuat. Semua anak buah gerombolan masih dalam suasana berpesta gembira untuk merayakan kemenangan mereka atas musuh besar mereka, yaitu Pek-liong-eng dan Hek-liong-li yang telah terjatuh ke dalam tebing jurang yang amat curam itu.
Sembilan orang tawanan dalam keadaan terbelenggu telah dikeluarkan dari dalam kamar tahanan dan diikat di batang pohon dekat panggung. Song Tek Hin dan Su Hong Ing tidak takut menghadapi kematian, tidak gentar terhadap keselamatan diri sendiri, akan tetapi mereka gelisah sekali melihat Song Cu, anak mereka yang menangis karena anak itupun diikat kaki tangannya dan digeletakkan di dekat mereka.
320
Dapat dibayangkan betapa hancur rasa hati Su Hong Ing melihat keadaan puteranya, akan tetapi karena ia sendiri terikat kaki tangannya, ia tidak mampu berbuat apapun. Suaminya, Song Tek Hin, mengepal tinju dengan marah sekali, akan tetapi juga tidak berdaya.
Kam Sun Ting dan adiknya, Kam Cian Li; diikat pada batang pohon lain, demikian pula dua orang gadis pembantu Liong-li dan dua orang pembantu Pek-liong. Delapan orang itu adalah orang-orang yang berjiwa pendekar. Mereka tidak gentar menghadapi kematian dan yang membuat mereka gelisah hanyalah Song Cu anak berusia tiga tahun yang ikut menjadi tawanan, juga mereka gelisah memikirkan keadaan Pek-liong dan Liong-li.
Semalam muncul Kim Pit Siu-cai dan tempat tahanan dan laki-laki berusia enampuluh tahun yang masih tampan dan sikapnya halus namun kejam sekali ini berusaha membujuk Su Hong Ing dengan kata-kata yang kotor, tanpa memperdulikan tawanan lain yang ikut pula mendengarkan. Kepada ibu muda itu, Kim Pit Siu-cai menghampiri dan tersenyum-senyum. Bagi Kim Pit Siu-cai, Su Hong Ing merupakan wanita tercantik dan paling menggairahkan di antara empat orang wanita tawanan.
“Hemn, engkau cantik jelita, sungguh sayang kalau lehermu yang putih mulus itu dipenggal besok pagi,” katanya.
Su Hong Ing memandang tajam. “Aku tidak takut mati. Penggallah, siksalah, aku tidak takut. Hanya kuminta, demi prikemanusiaan, kalau kalian masih merasa menjadi manusia,
321
bebaskan anakku! Dia tidak tahu apa-apa, dia baru berusia tiga tahun, bebaskan dia!”
Dan betapapun gagahnya, ibu muda ini tidak dapat menahan kegelisahannya dan iapun menangis! Song Tek Hin yang ikut mendengarkan dan melihat, tidak menyalahkan isterinya yang menangis. Dia sendiri ingin menangis kalau melihat bahaya maut mengancam puteranya yang masih kecil.
“Heh-heh-heh, nyonya manis. Mudah saja kalau engkau hendak menyelamatkan puteramu. Bersikaplah manis kepadaku, layani aku malam ini dan aku akan usahakan agar puteramu......”
“Jahanam busuk! Aku tidak sudi!” bentak Su Hong Ing dengan muka kemerahan dan mata melotot.
“Ha-ha-ha, engkau suka atau tidak, apa sukarnya bagiku untuk memondongmu ke kamarku, manis? Akan tetapi aku akan lebih suka kalau engkau melayaniku dengan suka rela......”
“Tidak!” Keparat jahanam, iblis busuk! Kalau engkau jamah saja diriku, aku akan bunuh diri dan kalau engkau membunuh anakku, arwahku akan selalu mengejarmu dan mengganggumu!”
Mendengar ancaman ini, mau tidak mau Kim Pit Siu-cai bergidik juga. Dia memandang kepada Kam Cian Li, juga kepada dua orang pembantu Liong-li. Mereka bertiga ini juga cantik menarik, akan tetapi pandang mata mereka kepadanya tidak ada bedanya dengan pandang mata ibu muda itu, tidak ada rasa takut atau menyerah sedikitpun dan dari pandang mata mereka saja tahulah dia bahwa kalau dia ingin menguasai mereka, dia harus
322
menggunakan paksaan, harus memperkosa, dan kalau dia melakukan ini, mereka tentu akan membunuh diri.
Bagi orang-orang yang ahli silat seperti mereka, tidak sukar membunuh diri walau dalam keadaan terbelenggu sekalipun. Dengan menggigit putus lidah sendiri, atau dengan menahan dan menelan napas.
Dan dia sendiri adalah seorang laki-laki yang angkuh, yakin akan ketampanan dan kepandaiannya merayu wanita. Kalau sampai ada wanita menolaknya dan dia harus memperkosanya, hal itu akan merupakan pukulan bagi harga dirinya! Sikap empat orang wanita itu sudah membuyarkan gairahnya dan malam itu lewat tanpa gangguan terhadap empat orang wanita itu.
Setelah Kim Pit Siu-cai pergi, Kam Cian Li berkata, “Akupun akan membunuh diri kalau dia berani menjamahku.” Dua orang pembantu Liong-li juga menyetujui sikap itu.
Pada keesokan harinya, setelah matahari naik, sembilan orang tawanan itu sudah diikat di batang pohon dekat panggung tempat sembahyang. Tiga orang Iblis Tua datang dan mereka menghampiri para tawanan.
Kim Pit Siu-cai memandang empat orang wanita yang semalam menolaknya dan dia pun tertawa. “Ha-ha-ha, akan kulihat apakah kalian tidak meratap minta ampun kalau seorang demi seorang kami siksa dan kami bunuh untuk korban sembahyangan terhadap arwah para rekan kami.”
323
“Hi-hik, biarpun anak itu bukan bayi lagi, darahnya masih cukup bersih. Berikan kepadaku, biar kuhisap darahnya sampai habis!” kata Ang I Sian-li dan Song Tek Hin bersama isterinya, meronta-ronta dalam ikatan mereka, namun sia-sia belaka. Ikatan itu terlampau kuat.
“Ang I Sian-li, dengarlah sumpah kami berdua, ayah ibu anak itu. Kalau engkau melakukan apa yang kaukatakan itu, kami bersumpah, setelah kami mati, arwah kami akan bersatu dan mengganggu siang malam, sampai engkau menjadi gila, menjadi tersiksa sedikit demi sedikit, sampai akhirnya engkau mampus dan arwah kami tetap akan mengejar arwahmu!”
Suara Song Tek Hin ini terdengar penuh perasaan dan amat menyeramkan bagi Ang I Sian-li sehingga wajah iblis betina ini menjadi agak pucat juga. Pada jaman itu, orang-orang masih amat tahyul dan percaya benar bahwa apa yang disumpahkan itu tentu akan menjadi kenyataan. Tentu saja hal ini membuat Ang I Sian-li merasa ngeri juga.
Pek-bwe Coa-ong kini berkata kepada para tahanan. “Sebetulnya, secara pribadi kami tidak bermusuhan dengan kalian semua. Akan tetapi, kalian adalah sahabat-sahabat baik dari Pek-liong-eng dan Hek-liong-li. Kami tidak mendapatkan kenikmatan menyaksikan penderitaan mereka ketika tewas terjungkal ke dalam jurang. Maka, sebagai gantinya, kami ingin melihat kalian menderita dalam siksaan ketika kami bunuh, dan kami yakin bahwa arwah Pek-liong-eng dan Hek-liong-li juga akan melihat kalian tersiksa dan menderita karena kalian mati karena mereka!”
324
Pada saat itu , seolah-olah menjawab ucapan Pek-bwe Coa-ong, terdengar teriak-teriakan dan robohnya banyak anak buah gerombolan, disusul sorak sorai yang riuh rendah. Tiga Iblis Tua itu menjadi terkejut, dan empat orang dari Thai-san Ngo-kwi yang lebih dahulu melihat datangnya penyerbuan itu, berteriak. “Pasukan pemerintah......! Mereka mengepung kita......!!”
Gegerlah seketika keadaan di sarang gerombolan itu. Anak buah gerombolan menjadi panik karena dari semua jurusan datang pasukan pemerintah yang besar jumlahnya.
Pek-bwe Coa-ong terkejut, akan tetapi bersikap tenang. Bagaimanapun juga, kalau hanya menghadapi pasukan pemerintah, dia tidak gentar.
“Semua tenang, lawan dan bunuh mereka semua! Kita tidak akan kalah!” Dia sendiri bersama dua orang rekannya, juga empat orang Thai-san Ngo-kwi, mengamuk dan begitu mereka bergerak, mereka merobohkan perajurit-perajurit yang menyerbu dengan mudah.
Hal ini membangkitkan semangat anak buah mereka. Akan tetapi, kini muncul Cian Hui, Cu Sui In, dan belasan orang jagoan istana yang rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, sehingga tiga orang Iblis Tua itu dan empat orang murid keponakan mereka terkepung.
Sementara itu, pasukan sudah bertempur melawan anak buah gerombolan dan ternyata jumlah pasukan pemerintah hampir tiga kali lebih besar sehingga anak buah gerombolan segera terdesak
325
hebat. Mereka tidak dapat lari, karena tempat itu telah terkepung pasukan pemerintah.
Melihat keadaan ini, Tiga Iblis Tua menjadi panik juga. Kim Pit Siu-cai yang cerdik segera berkata, “Kita pergunakan tawanan menjadi sandera! Cepat!”
Mereka bertiga lalu memutar senjata sehingga para pengeroyok terpaksa mundur dan mereka segera berloncatan ke arah di mana tadi sembilan orang tawanan itu mereka ikat. Akan tetapi ketika mereka tiba di sana, mereka memandang dengan mata terbelalak, seolah tidak percaya akan apa yang mereka lihat!
Pek-liong-eng Tan Cin Hay dan Hek-liong-li Lie Kim Cu telah berdiri di situ, semua tawanan telah terlepas dari ikatan, bahkan kini delapan orang tawanan dewasa telah memegang sebatang pedang dan anak kecil itu telah berada dalam gendongan ibunya dengan aman! Dan di sekitar tempat itu. belasan penjaga telah roboh dan tewas!
Memang ketika Pek-liong dan Liong-li tiba di tempat itu, setelah melakukan perjalanan semalam suntuk, mereka mendengar suara ribut-ribut orang bertempur. Cepat mereka lari naik dan dengan girang mereka melihat bahwa Cian Hui telah menyerbu sarang gerombolan itu dengan banyak sekali pasukan pemerintah.
Tentu saja mereka lebih mementingkan menolong para tawanan lebih dahulu. Mereka melihat para tawanan itu diikat di batang pohon dekat tebing jurang di mana telah dibangun sebuah
326
panggung tempat upacara sembahyang. Belasan orang anak buah gerombolan menjaga tempat itu.
Dengan mudah mereka merobohkan belasan orang itu dengan pedang mereka, membebaskan para tawanan, mengambil pedang dari anak buah gerombolan yang roboh dan kini mereka semua telah memegang senjata, siap untuk membasmi gerombolan!
Liong-li tersenyum manis ketika melihat Tiga Iblis Tua itu. Juga Pek-liong tersenyum. Di lain pihak, tiga orang itu terbelalak dan wajah mereka menjadi pucat. Mereka seperti bertemu setan di tengah hari. Dua orang musuh besar yang tadinya mereka yakin tentu mati terbanting remuk di dasar jurang, tiba-tiba kini muncul, membebaskan semua tawanan dan berdiri menghadapi mereka dengan pedang pusaka masing-masing di tangan!
Pada saat itu, terdengar suara Cian Ciang-kun membentak dengan lantang sekali, terdengar oleh semua orang yang sedang bertempur.
“Kami telah mengepung tempat ini dengan ratusan orang perajurit! Yang melawan akan ditumpas dan dibunuh habis! Menyerahlah, dan kami tidak akan membunuh kalian, hanya menangkap dan menghadapkan kalian ke pengadilan!”
Teriakan ini amat berpengaruh. Para anak buah gerombolan memang sudah panik karena mereka melihat betapa pasukan itu berjumlah besar sekali sehingga tiap orang anak buah gerombolan dikeroyok tiga-empat orang perajurit. Kalau mereka melawan terus, jelas mereka semua akan mati konyol. Oleh
327
karena itu, banyak di antara mereka yang melempar senjata dan menjatuhkan diri berlutut, menakluk!
Empat orang Thai-san Ngo-kwi membentak-bentak memberi aba-aba kepada anak buah mereka untuk melanjutkan perlawanan, namun perintah mereka tidak dihiraukan lagi karena para anak buah gerombolan itu tidak ingin mati konyol. Mereka yang menakluk segera dilucuti senjatanya dan diborgol, dan kepungan para perajurit di tempat itu menjadi semakin ketat.
“Cian Ciang-kun, terima kasih, engkau telah menyelamatkan para tawanan!” kata Liong-li girang sekali.
Cian Hui hanya mengangguk, lalu sekali lagi membentak, ditujukan kepada Tiga Iblis Tua dan empat Thai-san Ngo-kwi. “Sekali lagi, menyerahlah kalian semua sebelum kami terpaksa menggunakan kekerasan!”
Tiba-tiba Kim Pit Siu-cai tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, kiranya Pek-liong-eng dan Hek-liong-li hanyalah dua orang pengecut yang mempergunakan kekuatan pasukan pemerintah untuk mengepung dan mengeroyok kami!”
“Liong-li, kalau memang engkau benar pendekar wanita yang memiliki keberanian, mari kita bertanding satu lawan satu, tidak menggunakan keroyokan!” kata pula Pek-bwe Coa-ong.
Liong-li tertawa. “Hemm, Pek-bwe Coa-ong! Sekarang, dalam keadaan terdesak dan tersudut, engkau mengeluarkan kata-kata besar! Lupa bahwa kalian bertiga telah mempergunakan kecurangan dan kelicikan tanpa mengenal malu, menangkapi
328
para sahabat kami yang tidak berdosa hanya untuk memancing kami datang! Kemudian, setelah kami berdua datang, kalian menggunakan pengeroyokan dan jebakan! Akan tetapi, kami bukanlah orang-orang curang macam kalian. Kami menerima tantanganmu untuk bertanding satu lawan satu dan aku akan melawanmu, Coa-ong!”
“Aku akan menandingi Kim Pit Siu-cai!” kata Pek-liong sambil maju pula dengan sikapnya yang tenang dan gagah.
“Hi-hik, dan siapa berani melawan aku?” kata Ang I Sian-li dengan sikap sombong karena ia merasa yakin bahwa selain Pek-liong dan Hek-liong-li, tidak akan ada yang mampu menandinginya.
“Biar aku yang mengatur!°” Liong-li berseru dan ia memandang kepada Cian Hui dan isterinya, Cu Sui In. Ia maklum bahwa Cian Hui memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup tangguh, dan isterinya, murid Kun-lun-pai, lebih lihai lagi. Ia sudah mengukur bahwa kalau suami isteri itu maju bersama, pasti Ang I Sian-li tidak akan mampu menang.
“Cian Ciang-kun, dan engkau enci Cu Sui In, maukah kalian berdua mewakili kami melawan Ang I Sian-li?”
Suami isteri ini selain lihai juga cukup cerdik. Mereka maklum sepenuhnya bahwa Liong-li tidak akan mencelakakan mereka. Kalau Liong-li minta mereka berdua menghadapi iblis betina itu, tentu Liong-li sudah mempunyai ukuran bahwa mereka akan menang, maka mereka segera menyanggupi. Cian Hui sudah
329
memegang suling baja di tangan kanan, sedangkan isterinya, Cu Sui In sudah mencabut siang-kiam (sepasang pedang).
“Hi-hik, sepasang suami isteri yang tampan dan cantik. Sayang hari ini akan tewas di ujung pedangku,” kata Ang I Sian-li. “Selain kami bertiga, masih ada empat orang pembantu kami, yaitu Thai-san Ngo-kwi. Siapa yang akan menandingi mereka, Liong-li? Suruh mereka maju sekarang karena Thai-san Ngo-kwi yang akan maju lebih dahulu!”
Iblis betina ini memang cerdik. Ia sengaja menantang dan menyuruh empat orang murid keponakan itu maju lebih dahulu untuk memastikan bahwa mereka berempat tidak seperti anak buah lainnya, menakluk kepada musuh!
Empat orang itu adalah, Thai-kwi, Ji-kwi, Su-kwi dan Ngo-kwi. Mereka maklum bahwa menakluk pun bagi mereka pasti tidak ada pengampunan, maka lebih baik melawan mati-matian.
“Kami tidak akan mengikut-sertakan pasukan pemerintah,” kata Pek-liong dengan suaranya yang tenang. “Di sini kami juga mempunyai teman-teman yang setia, maka biarlah teman-teman kami yang tadinya menjadi tawanan menghadapi mareka.” Pek-liong memaksudkan dua orang pembantunya, dua orang pembantu Liong-li, kakak beradik Kam Sun Ting dan Kam Cian Li, dan suami isteri Song Tek Hin dan Su Hong Ing.
Cian Ciang-kun mengerutkan alisnya. Dia maklum akan kelihaian empat orang dari Thai-san Ngo-kwi. Biarpun delapan orang pengeroyok yang menjadi sahabat-sahabat baik Pek-liong dan Liong-li itu juga lihai, terutama empat orang pembantu mereka,
330
namun dia khawatir kalau-kalau ada di antara mereka yang terluka, maka dia cepat berkata.
“Isteri saudara Song Tek Hin menggendong puteranya, tidak baik kalau ia disuruh bertanding. Di antara para temanku ini ada yang bukan anggauta pasukan pemerintah, maka biarlah dia yang menggantikan nyonya muda itu! Liok-toako, harap kau suka membantu kami menghadapi empat orang kepala perampok dari Thai-san itu!”
Seorang di antara jagoan istana yang bernama Liok San adalah seorang ahli silat yang tangguh, bahkan tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari pada tingkat yang dimiliki Cian Hui. Inilah sebabnya mengapa Cian Hui memilih dia untuk mewakill Su Hong Ing yang menggendong puteranya. Dengan majunya Liok San ini, otomatis keadaan mereka yang akan melawan ke empat Thai-san Ngo-kwi senjadi jauh lebih kuat lagi!
Pek-liong juga maklum akan kecerdikan Cian Hui, maka diapun mengangguk.
“Nah, siapa yang akan bertanding lebih dulu, Kim Pit Siu-cai?” tantang Pek-liong.
Seperti juga Ang I Sian-li, Kim Pit Siu-cai tidak menghendaki empat orang murid keponakan yang menjadi pembantu utama itu menakluk kepada pihak musuh, maka diapun berkata, “Biarlah ke empat Thai-san Ngo-kwi yang maju lebih dulu!”
331
Empat orang itu maklum bahwa tidak ada jalan keluar, maka merekapun cepat melangkah maju dan membentuk barisan golok dengan sikap mereka yang galak.
Liok San maklum bahwa kalau sahabatnya, Cian Hui menyuruh dia membantu melawan empat orang tokoh sesat ini, tentu para pembantu dan sahabat Pek-liong dan Liong-li tidak memiliki ilmu setinggi dua orang pendekar itu. Maka, dia yang bukan hanya memiliki ilmu silat, akan tetapi sebagai seorang jagoan istana dan panglima, dia memiliki pula ilmu perang dan membentuk barisan, dia segera mengambil komando atas tujuh orang rekannya yang hendak maju mengeroyok empat orang penjahat itu.
“Kita serang mereka dengan berputar melingkari mereka! Menyerang sambil membantu teman yang berada di kanan. Ingat, yang kiri membantu yang kanan!”
Setelah berteriak demikian, Liok San mulai menyerang sedangkan tujuh orang lainnya, yaitu kakak beradik Kam, dua orang pembantu Pek-liong, dua orang pembantu Liong-li dan Song Tek Hin sudah cepat mengurung dan mengelilingi empat orang itu dan menyerang dengan senjata masing-masing.
Mereka semua maklum bahwa jagoan istana yang usianya sudah limapuluhan tahun dan bertubuh tinggi kurus, bersenjatakan pedang itu tentulah seorang yang lihai dan ahli mengatur barisan, maka merekapun mentaati petunjuknya. Mereka menyerang sambil siap membantu dan melindungi teman yang berada di sebelah kanan.
332
Empat orang Thai-san Ngo-kwi itu mengamuk dengan golok mereka, akan tetapi menghadapi barisan yang mengelilingi mereka dan saling bantu itu, mereka tidak sempat mengatur barisan golok mereka. Terjadilah perkelahian yang seru, akan tetapi, biarpun empat orang Thai-san Ngo-kwi hendak memaksakan dan mendesak seorang lawan, tetap saja usaha ini gagal karena lawan lain akan membantu dan lawan itu akan terus berputar menyerang musuh yang berada di sebelah kanan.
Dengan demikian, delapan orang itu berputar terus dan membuat empat orang tokoh sesat itu merasa seperti dikeroyok masing-masing oleh delapan orang! Karena bingung, mereka melawan dengan membuta mengandalkan gerakan golok mereka yang cukup lihai. Akan tetapi karena siasat Liok San membuat delapan orang itu dapat saling bantu dan saling melindungi, maka semua serangan golok empat orang penjahat itu selalu dapat ditangkis, dan sebaliknya, mereka dihujani serangan yang bertubi-tubi datangnya.
Tiga orang Iblis Tua melihat pertandingan itu dengan alis berkerut dan hati gelisah. Akan tetapi mereka tidak dapat membantu, juga tidak mungkin melarikan diri dari tempat yang terkepung ratusan orang perajurit itu. Mereka hanya dapat mengambil keputusan untuk melawan mati-matian.
“Hek-liong-li, tunggu apa lagi! Mari kita selesaikan perhitungan di antara kita sekarang juga!”
Pek-bwe Coa-ong membentak dengan marah dan nekat. Dia sudah melintangkan tongkat ularnya di depan dada, menantang
333
Liong-li. Tempat itu memang cukup luas untuk bertanding, maka Liong-li sambil tersenyum menghampiri dengan Pedang Naga Hitam di tangan.
“Engkau tergesa-gesa ingin cepat menyusul saudara-saudaramu yang telah mati lebih dulu? Baik, mari kuantar engkau dengan pedangku!” kata Liong-li sambil melintangkan pedangnya di depan dada.
Pek-bwe Coa-ong merasa tidak akan ada gunanya menggunakan ilmunya memanggil ular-ular di daerah itu. Tempat itu terkepung ratusan orang perajurit. Ular-ular itu pasti tidak akan berani datang, dan kalaupun ada yang berani, tentu akan diinjak-injak lumat oleh para perajurit.
“Haiiiiittt......!!” Pek-bwe Coa-ong Gan Ki menyerang dengan tongkatnya, gerakannya hebat bukan main, mendatangkan angin keras dan tongkat itu menyambar dahsyat ke arah kepala Liong-li. Namun, pendekar wanita ini dapat mengelak dengan mudah dan pedangnya yang diputar menjadi gulungan sinar hitam itu mencuat dengan tusukan balasan ke arah dada.
“Trakkk......!” Tongkat ular kering yang keras itu menangkis dan keduanya segera terlibat dalam perkelahian yang seru dan mati-matian.
“Pek-liong-eng, sambutlah senjataku!” Kim Pit Siu-cai juga berteriak dan begitu Pek-liong melintangkan pedangnya, dia sudah menyerang.
334
Pek-liong menggerakkan pedangnya dan kedua orang yang lihai inipun sudah saling serang dengan sengitnya. Keduanya menggunakan kecepatan sehingga tidak nampak lagi, yang nampak hanya dua bayangan berkelebatan di antara gulungan sinar putih dari pedang Naga Putih dan gulungan sinar kuning dari sepasang mouw-pit.
Melihat betapa kedua orang rekannya sudah turun tangan menyerang lawan masing-masing, timbul perasaan ngeri di hati Ang I Sian-li, takut kalau ia nanti tertinggal seorang diri. Maka iapun menghampiri Cian Hui dan Cu Sui In, sambil tersenyum manis berkata, “Apakah kalian suami isteri yang tampan dan cantik sudah siap untuk mati?”
Cian Hui menoleh kepada para jagoan istana yang masih berdiri menjadi penonton. “Kalian jangan mencampuri, akan tetapi kalau mereka curang dan banyak tingkah, kerahkan pasukan dan hancurkan mereka!”
Dalam pesan ini tersembunyi isyarat bahwa kalau pihak Liong-li dan Pek-liong bersama kawan-kawannya terancam bahaya, mereka diminta turun tangan membantu dengan pengerahan pasukan!
Cu Sui In yang telah melintangkan sepasang pedangnya di depan dada, berkata sambil tersenyum mengejek. “Ang I Sian-li, seharusnya engkau berganti pakaian dulu, pakaianmu yang merah itu diganti warna putih karena engkau akan mati dan engkau sendiri yang akan herkabung atas kematianmu. Orang-
335
orang lain akan menyambut kematian seorang iblis betina jahat kejam sepertimu dengan sorak sorai karena gembira.”
Nyonya Cian Hui ini memang pandai bicara. Ang I Sian-li memandang dengan alis berkerut. Ia sendiri biasanya pandai bicara dan mengejek, akan tetapi keadaannya tidak memungkinkan untuk dapat bersikap seperti itu.
“Lihat pedangku!” bentaknya dan iapun sudah menggerakkan sepasang pedangnya menyerang. Serangannya ditujukan kepada Cu Sui In karena diam-diam ia marah dan membenci wanita cantik itu yang telah mengejeknya.
“Trang-tranggg......!!” Pedang kirinya ditangkis Cu Sui In, dan pedang kanannya ditangkis suling baja di tangan Can Hui yang melindungi isterinya. Mereka berdua membalas dengan serangan kilat sehingga Ang I Sian-li harus bergerak cepat untuk melindungi dirinya. Perkelahian antara iblis betina ini melawan suami isteri itu pun terjadi dengan sengit dan serunya, membuat kagum dan tegang hati mereka yang menjadi penonton.
Yang paling terdesak adalah empat orang Thai-san Ngo-kwi. Delapan orang pengeroyok mereka terus mendesak, terutama sekali dua orang pembantu Liong-li dan dua orang pembantu Pek-liong. Mereka berempat ini agaknya mendendam karena kematian rekan-rekan mereka dan kini dendam itu mereka salurkan dan timpakan kepada empat orang dari Thai-san Ngo-kwi sehingga mereka menyerang mati-matian dengan sengit sekali.
336
Thai-san Ngo-kwi, Lima Setan Thai-san yang kini tinggal empat orang itu, dengan nekat berusaha untuk melindungi diri dan memutar golok mereka diseling pukulan tangan kiri yang telah berubah merah. Akan tetapi, semua pertahanan mereka bobol karena datangnya serangan bertubi dan sambung-menyambung dari delapan orang lawan mereka.
Akhirnya, pedang di tangan Liok San yang tangkas itu berhasil melukai lutut kiri Thai-kwi. Orang pertama dari Thai-san Ngo-kwi ini terpelanting dan segera para pengeroyoknya menghujankan senjata mereka sehingga dia tidak dapat bangun kembali, tewas dengan tubuh penuh luka!
Melihat ini, tiga orang adiknya menjadi panik, juga marah dan nekat. Namun, tentu saja mereka menjadi semakin lemah dengan robohnya orang pertama dari mereka.
Ang-hwa dan Pek-hwa, dua orang pembantu Liong-li, yang paling ganas di antara para pengeroyok itu karena merasa sakit hati melihat rekan-rekannya tewas dalam keadaan menyedihkan, segera berhasil merobohkan dua orang lagi, yaitu Su-kwi dan Ngo-kwi yang begitu roboh juga menjadi makanan banyak senjata sehingga merekapun tewas seketika. Tinggal Ji-kwi dan tentu saja dia tidak mampu bertahan dan diapun roboh dan tewas dengan tubuh rusak.
Tewasnya empat orang dari Thai-san Ngo-kwi ini disambut sorak sorai para perajurit, dan tentu saja tiga orang Iblis Tua menjadi semakin gentar dan panik.
337
Pek-bwe Coa-ong yang melawan Hek-liong-li merasa gentar bukan main. Dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, mengeluarkan semua ilmunya, namun gulungan sinar hitam dari pedang Hek-liong-li hebat bukan main. Ilmu yang dia andalkan, yaitu memanggil barisan ular untuk membantunya, saat itu tidak dapat dia pergunakan.
09.26. . . . . . . 09.26. Akhir Petualangan Sepasang Naga
Kedua ujung tongkatnya yang terbuat dari ular berekor putih yang sudah mengering dan keras, juga beracun, sudah retak-retak beradu dengan pedang Hek-liong-kiam dan napasnya mulai terengah. Biarpun tingkat kepandaiannya seimbang dengan tingkat kepandaian Liong-li, namun usianya yang sudah cukup tua itu membuat dia kalah dalam daya tahan dan sudah mulai loyo dan terengah.
Tiba-tiba, teringat akan senjata terakhir andalannya, tangan kirinya merogo ke dalam baju, kemudian begitu tangan itu bergerak, nampak sinar putih berdesis menyambar ke arah leher Liong-li. Wanita perkasa ini terkejut karena benda itu menyambar dari jarak dekat ke arah lehernya.
Ia mencium bau yang amis sekali dan saat itu, tongkat lawan menusuk ke arah lambungnya. Cepat ia miringkan tubuhnya dan pedangnya menyabet ke arah benda putih yang menyambar ke arah lehernya itu.
“Crakk!” Darah menetes dan benda itu putus menjadi dua potong.
338
Benda itu ternyata seekor ular sebesar jari kelingking. Potongan bagian ekor jatuh ke bawah, akan tetapi bagian kepala terlempar ke samping dan meluncur ka arah Cian Hui yang sedang mengeroyok Ang I Sian-li.
Cian Hui dan isterinya belum berhasil mendesak Ang I Sian-li yang amat lihai. Suami isteri ini terutama sekali harus berhati-hati terhadap tangan kiri iblis betina itu yang tamparannya lebih berbahaya dari pada sambaran pedangnya.
Kadang-kadang, iblis betina itu menyatukan kedua pedang di tangan kanan, sedangkan tangan kirinya menampar-nampar, mengeluarkan hawa yang berbau busuk seperti bangkai dan tangan itu berubah merah sekali. Karena maklum bahwa tangan kiri itu mengandung racun berbahaya, maka Cian Hui dan Cu Sui In berhati-hati sekali.
Pada saat mereka berdua masih saling serang dengan Ang I Sian-li, tiba-tiba ada benda putih menyambar ke arah Cian Hui. Perwira itu terkejut, cepat menggerakkan suling baja di tangannya menangkis atau memukul ke arah benda itu, memukul agar benda yang tidak diketahuinya apa itu membelok ke arah lawannya.
“Plakk!” Tangkisannya berhasil dan benda itu dengan kecepatan kilat kini menyambar ke arah Ang I Sian-li. Wanita ini tidak tahu benda apa itu, maka ia yang sedang menggunakan tangan kiri untuk menyerang kedua orang pengeroyoknya cepat menangkap benda putih itu dengan tangan kirinya yang ampuh.
339
Tiba-tiba Ang I Sian-li menjerit dan roboh terjengkang! Kiranya benda putih itu adalah potongan ular bagian kepala dan setengah badannya, ketika ditangkapnya, ular yang bagian bawah dan ekornya sudah buntung itu langsung menggigit tangan yang menangkapnya. Begitu tergigit, hawa panas yang tak tertahankan lagi menyusup ke dalam tubuh Ang I Sian-li dan iapun roboh, menjerit-jerit dan berkelonjotan!
Cian Hui dan isterinya saling berpegang tangan dan hanya berdiri memandang dengan mata terbelalak ngeri, namun siap dengan senjata mereka menghadapi segala kemungkinan.
Akan tetapi, Ang I Sian-li tidak mungkin dapat menyerang mereka lagi. Wanita itu berkelonjotan sambil terus menjerit-jerit seperti orang gila, dan yang mengerikan sekali, tangan yang tergigit tadi, yang tadinya berwarna merah sekali, kini berubah putih! Warna putih menjalar naik dan akhirnya Ang I Sian-li tewas dengan tubuh berubah putih seperti kapur!
Melihat betapa iblis betina itu tewas, tentu saja Kim Pit Siu-cai dan Pek-bwe Coa-ong menjadi semakin panik dan gentar. Terutama sekali Pek-bwe Coa-ong yang sudah kehilangan ular putih yang ampuh tadi. Ular putih yang dijadikan senjata rahasia itu, tidak dapat membunuh Liong-li, bahkan telah membunuh rekannya sendiri, Ang I Sian-li.
Matinya Ang I Sian-li merupakan peristiwa kebetulan, dan agaknya memang sudah tiba saatnya ia menerima hukuman atas semua kejahatannya yang amat keji dan kejam. Mungkin saja ular
340
putih itu penjelmaan seorang di antara bayi-bayi yang dihisap darahnya sampai habis olehnya.
Mungkin karena ngeri melihat kematian Ang I Sian-li, tiba-tiba Kim Pit Siu-cai mengeluarkan kipasnya yang lebar. Justeru saat inilah yang dinanti-nanti dengan penuh kewaspadaan oleh Pek-liong. Begitu lawan mencabut kipas, sebelum kipas dikembangkan, terutama sebelum kipas dapat. mengeluarkan jarum-jarum beracunnya yang pernah melukai punggungnya, pedang Pek-liong-kiam berkelebat dan menyambar dengan sangat cepat dan dahsyat!
Kim Pit Siu-cai menjadi terkejut dan karena pedang yang menjadi sinar putih menyambar dari sebelah kiri, otomatis diapun mengangkat kipas untuk menangkis.
“Crakkkk!” Kipas itu patah-patah menjadi beberapa potong!
Kim Pit Siu-cai terkejut dan cepat tangan kanannya bergerak. Sebatang di antara kedua mouw-pit di tangan kanan itu meluncur ke arah dada Pek-liong.
Namun pendekar ini dapat melompat ke samping untuk menghindarkan diri dan kesempatan itu dipergunakan oleh Kim Pit Siu-cai untuk melompat pula ke atas panggung yang didirikan anak buahnya dan yang sedianya akan dipergunakan untuk melakukan sembahyangan besar dengan korban sembilan orang tawanan itu.
341
Pada saat yang bersamaan, Pek-bwe Coa-ong yang sudah jerih itupun melompat ke atas panggung mengikuti perbuatan rekannya. Kini keduanya telah melompat ke atas panggung itu.
“Jahanam tua, kalian tak dapat lolos dari tangan kami!” bentak Liong-li dan Pek-liong yang mengejar ke panggung.
“Ha-ha-ha, siapa bilang kami tidak dapat lolos? Mari, Coa-ong!” kata Kim Pit Siu-cai dan kedua orang Iblis Tua itu berpegang tangan lalu keduanya meloncat ke bawah tebing jurang di mana kemarin Liong-li dan Pek-liong terjerumus!
“Ah, celaka, mereka dapat meloloskan diri!” kata Cian Hui sambil menjenguk ke bawah.
Akan tetapi Pek-liong dan Liong-li saling pandang dan tersenyum, “Mereka tidak akan lolos, Ciang-kun. Sekarang juga mereka telah tewas dengan tubuh remuk. Tebing jurang ini teramat dalam dan kami berdua kemarin juga terjatuh ke situ, hanya Tuhan belum menghendaki kami tewas, maka kebetulan saja kami dapat lolos dari maut.”
Akan tetapi Cian Hui masih belum yakin, maka atas petunjuk Pek-liong dan Liong-li, dia menyuruh seregu pasukan untuk memeriksa di bawah sana, melalui jalan mengitari bukit.
Keadaan menjadi sunyi setelah pertempuran berakhir. Cian Hui mengatur pasukan. Setelah menyingkirkan mayat-mayat, lalu menggiring puluhan orang anak buah gerombolan sebagai tawanan, kembali ke kota raja.
342
Ketika Cian Hui mengajak sepasang pendekar itu untuk ikut berkunjung ke kota raja, mereka menolak dengan halus. “Harap Ciang-kun pergi dulu, lain hari pasti kami berdua akan berkunjung.”
Song Tek Hin dan isterinya, Su Hong Ing, dengan berbahagia mengajak puteranya, Song Cu, pulang dan keluarga ini tentu saja merasa berbahagia bukan main setelah terbebas dari ancaman maut, terutama atas diri putera mereka. Mereka berpamit dari Pek-liong dan Liong-li, dan meninggalkan tempat itu, bergabung dengan pasukan agar lebih aman di dalam perjalanan.
Demikian pula dengan kakak beradik Kam. Dengan berat hati mereka meninggalkan tempat itu setelah Pek-liong dan Liong-li mengajak kakak beradik itu bicara berempat saja, dan sepasang pendekar ini menasihatkan kepada kakak beradik itu untuk membentuk rumah tangga dan mencari pasangan masing-masing.
“Harap kalian lenyapkan mimpi tentang diri kami berdua,” demikian kata Pek-liong. “Dalam ke hidupan ini kami berdua tidak dapat berjodoh dengan kalian berdua, mudah-mudahan saja dalam kehidupan yang lain kita akan dapat saling berjodoh.”
Terpaksa kakak beradik itupun pergi dan Kam Cian Li pergi dengan kedua mata basah air mata. Namun kini mereka yakin bahwa sepasang pendekar itu bukan jodoh mereka dan mereka tidak perlu mengharapkan. Merekapun mengambil keputusan untuk memilih jodoh mereka, karena sesungguhnya, banyak sudah pemuda yang meminang Cian Li, dan banyak pula gadis-
343
gadis yang menaksir Sun Ting yang masih muda, gagah, tampan dan kaya raya itu.
Kini hanya tinggal Pek-hwa dan Ang-hwa, juga kedua orang pembantu Pek-liong, yang masih berada di tepi tebing itu. Mereka memandang kepada sepasang pendekar itu penuh pertanyaan dan menanti perintah.
Pek-liong kembali saling pandang dengan Liong-li. Pek-liong berkata kepada kedua orang pembantunya, suaranya mengandung keharuan karena kini hanya tinggal dua orang itulah pembantunya. “Kalian turunlah dulu, tinggalkan aku di sini.”
Liong-li juga berkata cepat kepada kedua orang pembantunya. “Pek-hwa dan Ang-hwa, kalian pulanglah dulu, tinggalkan kami berdua di sini sejenak.”
Empat orang itu agaknya memaklumi bahwa sepasang pendekar itu ingin bercakap-cakap tanpa gangguan siapapun, maka merekapun mengangguk dan segera mereka berempat menuruni tempat itu.
Matahari telah lewat tengah hari, mulai condong ke barat. Suasana hening sekali setelah tadi tempat itu menjadi medan laga. Pek-liong dan Liong-li masih berdiri memandang sampai keempat orang pembantu mereka tak nampak lagi bayangannya.
Kemudian mereka saling pandang. Dua pasang sinar mata itu saling pandang, seperti baru pertama kali mereka saling pandang, pandang mata itu bertaut dan sungguh aneh, mereka merasa betapa jantung mereka berdebar keras. Mereka seolah-
344
olah menemukan sesuatu dalam wajah mereka masing-masing, sesuatu yang tak pernah mereka lihat atau rasakan.
“Liong-li......”
“Pek-liong......”
Keduanya berdiam diri lagi. Kemudian Pek-liong menghela napas panjang, lalu berkata lembut. “Liong-li, mari kita duduk. Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu.”
Mereka duduk di atas batu, berhadapan, kembali saling tatap. Liong-li mengangguk karena ia dapat merasakan apa yang dirasakan Pek-liong. “Akupun ingin mengatakan sesuatu kepadamu, Pek-liong.”
“Liong-li, ada sesuatu yang terjadi dalam hati kita berdua. Benarkah itu?”
Liong-li hanya memandang dan mengangguk. Ah betapa mereka sudah dapat membaca isi hati masing-masing! Sesungguhnya, tanpa bicarapun mereka dapat merasakan apa yang dirasakan pihak lain!
“Sejak di dasar jurang itu?” Pek-liong ingin yakin.
Liong-li mengangguk.
“Engkau menangisi aku, Liong-li?”
345
Liong-li mengangguk. “Melihat engkau mati, dunia seperti kiamat bagiku, Pek-liong, dan aku menyadari bahwa tanpa engkau, aku tidak mungkin dapat bertahan hidup. Perasaanku hancur lebur melihat engkau yang kusangka mati.”
Pek-liong mengangguk. “Dan ketika itu aku bermimpi, kita berdua mendayung perahu, mengarungi samudera luas, hanya kita berdua...... dan ketika aku sadar dan melihatmu, ahhh, aku mengerti, Liong-li. Aku...... pada saat itu...... sampai sekarang aku...... timbul cintaku melihatmu!”
“Aku mengerti, Pek-liong. Selama ini kita saling merindukan, akan tetapi kita mencoba untuk melepas kerinduan itu melalui orang lain. Betapa bodohnya kita ini, kita saling merasa malu untuk mengakui kenyataan itu. Atau kita terlalu sombong?” Ia tersenyum dan Pek-liong juga tersenyum.
“Kini terasa sekali olehku. Kita saling mencinta, Liong-li. Bukan, bukan cinta yang kita paksakan seperti sebelum ini, kita memaksa diri bahwa kita mencinta hanya sebagai sahabat setia, sehidup semati, saling bantu dan saling melindungi. Tidak, kita saling mencinta, lebih dari itu. Kita saling bersatu! Bukan begitu? Seharusnya kita sejak dahulu bersatu......”
“Engkau benar, Pek-liong. Baru sekarang kusadari, atau pada saat engkau kusangka mati kemarin. Seharusnya sejak dahulu kita berani mengakui itu, saling mencinta sebagai seorang pria dan seorang wanita. Andaikata dahulu demikian, kiranya kita tidak menjadi petualang seperti sekarang, menanam banyak bibit permusuhan, bahkan menyeret orang lain.”
346
“Sudahlah, yang sudah biarkan lalu. Belum terlambat, bukan? Nah, Hek-liong-li Lie Kim Cu, sebagai seorang yang sejak dahulu jatuh cinta padamu, sekarang aku meminangmu. Maukah engkau menjadi isteriku?”
Mereka saling pandang, akan tetapi tidak seperti yang sudah-sudah. Dalam pandang mata itu, selain saling pengertian, terdapat kemesraan yang sedalam samudera dan kedua mata Liong-li perlahan-lahan menjadi basah! Air mata berlinang di matanya. Linangan air mata seorang wanita yang mendambakan pria yang dicintanya. Ia menggangguk.
“Dengan bahagia aku mau menjadi isterimu, Pek-liong-eng Tan Cin Hay!”
Dan keduanya merasa geli, merasa lucu, lalu entah siapa yang bergerak lebih dahulu, keduanya sudah saling rangkul dan bertemu dan bersatunya kedua hati itu diwakili bibir mereka dalam ciuman yang mesra.
Betapa anehnya! Sepasang pendekar yang amat lihai, yang amat cerdik, sebelum ini demikian bodohnya sehingga mereka tidak pernah mau mengakui kenyataan bahwa mereka saling mencinta, saling mendambakan, saling merindukan! Baru sekarang mereka tahu bahwa masing-masing tidak pernah dapat mencinta pria atau wanita lain, walaupun mereka coba untuk mencari penggantinya.
Menjelang senja, sambil bergandeng tangan, Pek-liong dan Liong-li menuruni lembah Bukit Hek-san itu. Ketika mereka melihat empat orang itu menghadang dengan sikap hormat,
347
mereka tidak merasa heran, juga tidak saling melepaskan gandengan tangan mereka. Mereka memandang, dan ternyata dua orang pembantu Pek-liong dan dua orang pembantu Liong-li kini telah menjadi dua pasang!
“Eh, kalian belum pulang, Ang-hwa dan Pek-hwa ?” tanya Liong-li.
“Harap li-hiap memaafkan kami. Kami telah mengambil keputusan untuk tidak kembali ke rumah Li-hiap. Maafkan kami berdua......” kata Ang-hwa, mewakili Pek-hwa yang hanya menunduk saja.
“Hemmm.....?” Liong-li tidak marah, melainkan memandang kepada Pek-liong dan keduanya seperti dapat memaklumi.
“Tai-hiap, kami berdua juga mengambil keputusan untuk pulang ke dusun kami masing-masing, tidak pulang ke rumah tai-hiap. Maafkan kami,” kata seorang di antara dua orang pembantu Pek-liong.
“Kalian akan...... menikah?” Pek-liong dan Liong-li bertanya, hampir berbareng.
Dua pasang orang muda itu mengangguk dan menunduk, muka mereka berubah merah sekali.
Pek-liong dan Liong-li tertawa bergelak, masih saling berpegang tangan, tertawa geli dan juga bahagia.
348
“Kiong-hi (selamat)!” kata Pek-liong kepada dua orang pembantunya, “Aku girang sekali mendengar berita ini dan tentu saja aku setuju sepenuhnya.”
“Akan tetapi, kalian tidak boleh mendahului kami, Ang-hwa dan Pek-hwa. Aku ingin kalian menjadi pengapitku kalau aku melangsungkan pernikahanku!” kata Liong-li.
Ang-hwa dan Pek-hwa terkejut dan cepat mengangkat muka, memandang wajah nona mereka dengan mata terbelalak.
Pek-liong tersenyum dan berkata kepada dua orang pembantunya. “Kalian berdua juga harus bersabar dan sebelum menikah, harus lebih dulu menjadi pengapitku. Setuju?”
Kini mereka berempat mengerti. Ang-hwa dan Pek-hwa lupa bahwa mereka adalah bekas pembantu dan pelayan Liong-li. Keduanya menubruk dan merangkul nona mereka, menciumi dengan air mata bercucuran akan tetapi sambil tertawa-tawa! Juga kedua orang pembantu Pek-liong segera memberi selamat kepada bekas majikan mereka.
Akhirnya, mereka saling berpisah. Seperti telah mereka sepakati bersama, Pek-liong akan pulang ke rumahnya sendiri bersama dua orang pembantunya, juga Liong-li akan pulang ke rumahnya sendiri bersama Ang-hwa dan Pek-hwa. Akan tetapi Pek-liong akan singgah di rumah Cian Ciang-kun karena hanya perwira sahabat baik mereka itulah yang dapat mereka mintai tolong untuk menjadi wali dan perantara, juga yang mengatur semua keperluan pesta pernikahan antara Pek-liong-eng dan Hek-liong-li!
349
Demikianlah, selesai sudah kisah petualangan Pendekar Naga Putih dan Nona Naga Hitam itu. Mereka menjual rumah masing-masing, setelah menjadi suami isteri mereka pindah tinggal di lereng sebuah bukit yang indah dan sunyi, dekat Telaga Barat, hidup dalam keadaan tenteram dan penuh damai karena mereka tidak lagi mencampuri urusan dunia kang-ouw yang penuh dengan kekerasan dan permusuhan. Mereka seolah hendak menebus semua kehilangan masa lalu dan tenggelam dengan kebahagiaan mereka berdua.
Semoga kisah ini ada manfaatnya bagi kita semua dan sampai jumpa di lain kisah.
T A M A T Lereng Lawu, akhir September 1985.
Tag:cersil
cersil indo
cersil mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil langka
cersil mandarin lepas
cerita silat pendekar matahari
kumpulan cerita silat jawa
cersil mandarin beruang salju.
cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia
cerita silat kho ping hoo
cerita silat mandarin online
cerita silat mandarin full
cerita silat jawa
kumpulan cerita silat
cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis
cerita silat jadul indonesia
cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti
cersil indonesia pendekar mabuk
cersil langka
cersil dewa arak
cerita silat jaman dulu
cersil jawa download cerita silat mandarin full
cerita silat mandarin online
cersil mandarin lepas
cerita silat mandarin pendekar matahari
cerita silat jawa pdf
cersil indonesia pdf
cersil mandarin beruang salju
kumpulan cerita silat pdf
- Cersil Ke 8 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti Cer...
- Cersil Ke Tujuh Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti...
- Cersil ke 6 Kembalinya Pendekar Rajawali Sakti
- Cersil Ke 5 Yoko Bibi Lung
- Cerita Silat Ke 4 Pendekar Yoko
- Cersil Yoko 3 Condor Heroes
- Cersil Yoko Seri Ke 2
- Cerita Silat Cersil Ke 1 Kembalinya Pendekar Rajaw...
- Cerita Silat Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Komp...
- Cersil Ke 25 Tamat Kwee Ceng Bersambung Ke Pendeka...
- Cerita Silat ke 24 Kwee Ceng Pendekar Jujur
- Cersil Ke 23 Kwee Ceng Pendekar Lugu
- Cerita Silat Ke 22 Kwee Ceng
- Cersil Ke 21 Kwee Ceng
- Cerita Silat Ke 20 Cersil Kwee Ceng Rajawali Sakti...
- Cerita Silat Ke 19 Kwee Ceng Jagoan Sakti
- Cersil Ke 18 Kwee Ceng
- Cersil Ke 17 Kwee Ceng Cerita Silat Pendekar Rajaw...
- Cersil Pendekar Pemanah Rajawali Ke 16 Pendekar Kw...
- Cersil Ke 15 Pendekar Kwee Ceng
- Cersil Hebat Kweeceng Seri 14
- Cersil Cerita Silat Kwee Ceng 13
- Cersil Pendekar Ajaib : Kwee Ceng 12
- Kumpulan Cerita Silat Jawa : Kwee Ceng 11
- Cerita Silat Pendekar Matahari : Kwee Ceng 10
- Cersil Mandarin Lepas :Kwee Ceng 9
- Cersil Langka Kwee Ceng 8
- Cerita Silat Mandarin Online : Kwee Ceng 7
- Cersil Indo Kwee Ceng 6
- Cerita Silat Cersil Kwee Ceng 5
- Cersil Kwee Ceng 4
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 3
- Cersil Pendekar Kwee Ceng 2
- Cersil Pendekar Kwee Ceng ( Pendekar Pemananah Raj...
- Cersil Seruling Sakti dan Rajawali Terbang
- Kumpulan Cersil Terbaik
- Cersil Jin Sin Tayhiap
- Cersil Raisa eh Ching Ching
- Cersil Lembah Merpati
- Cerita Silat Karya stefanus
- Cersil Pedang Angin Berbisik
- Cersil Sian Li Engcu
- Cersil Si KAki Sakti
- Cersil Bendera Maut
- Cersil Pahlawan Gurun
- Cersil Pedang Pusaka Buntung
- Cersil Terbaik Pendekar Kunang Kunang
- Cersil Mandarin Imam Tanpa Byangan