Rabu, 30 Mei 2018

Sepasang Naga Penakluk Iblis 5 Tamat

======

baca juga

◄Y►
Rumah gedung itu tidak terlalu besar dan megah, akan tetapi mungil sekali. Temboknya bersih dan semua tanaman di halaman rumah yang luas itu terawat rapi. Bermacam bunga sedang mekar dan di tengah halaman itu nampak sebuah kolam ikan yang berbentuk bulat dengan garis tengah kurang lebih empat meter. Banyak bunga teratai tumbuh di kolam ikan dan di tengah-tengahnya terdapat arca batu, seorang puteri menunggang angsa putih yang besar.
Dengan jantung berdebar karena girang, Kam Sun Ting memasuki halaman itu. Sunyi saja di situ, tidak nampak seorangpun. Dia masih terheran-heran dan juga sangsi, mengapa jagoan yang diundang oleh Pek-liong-eng Tan Cin Hay hanyalah seorang wanita! Betapapun pandainya seorang wanita, apa artinya kalau menghadapi gerombolan penjahat seperti Po-yang Sam-liong dan kawan-kawannya?
Tiba-tiba dia dikejutkan oleh munculnya seorang wanita berbaju hijau. Wanita ini masih muda, usianya kurang lebih tigapuluh tahun, cantik dan segar, tanpa hanyak riasan, pakaiannya sederhana dan ringkas. Entah dari mana munculnya wanita itu, seperti setan saja! Inikah orang yang dicarinya? Dia cepat memberi hormat, sedangkan wanita itu dengan sinar mata tajam mengamatinya penuh selidik.
“Maafkan saya. Akan tetapi, benarkah saya berada di halaman rumah tempat tinggal Hek-liong-li Lie Kim Cu?”
Wanita baju hijau itu mengerutkan alisnya mendengar disebutnya Hek-liong-li Lie Kim Cu. “Siapakah engkau dan ada keperluan apakah mencari Hek-liong-li?”
618
Melihat sikap angkuh itu, Sun Ting menjadi agak bingung. “Maaf, saya hanyalah seorang suruhan. Saya datang membawa surat dari Pek-liong-eng Tan Cin Hay untuk disampaikan kepada Hek-liong-li Lie Kim Cu.”
“Ahhh.......!” Sepasang mata yang jeli itu terbelalak dan wajahnya segera berubah. Lenyaplah kecurigaan dan keangkuhannya, lalu ia menoleh dan berseru dengan suara melengking nyaring, “Sam-moi......! Kesinilah, ada tamu!”
Sun Ting ikut menengok dan ia terkejut ketika tiba-tiba berbelebat bayangan merah dan tahu-tahu di situ sudah muncul seorang gadis lain yang berpakaian merah. Gadis ini usianya beberapa tahun lebih muda dari pada gadis baju hijau, nampak cantik dan segar, dengan senyum yang manis.
“Tamu dari mana, toa-ci (kakak tertua)?” tanya gadis baju merah sambil menatap wajah tampan Sun Ting dengan penuh selidik.
“Dia adalah utusan Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih), membawa surat beliau untuk Hek-liong-li-hiap (Pendekar Wanita Naga Hitam)! Cepat hadapkan dia, kalau berlambat-lambat kau akan kena marah nanti! Ingat, setiap berita yang datang dari Pek-liong-enghiong harus disampaikan secepat mungkin!”
“Baik, toa-ci. Marilah, kongcu (tuan muda), mari kuantarkan menghadap Li-hiap,” kata si baju merah sambil melepas senyum manisnya.
“Terima kasih,” kata Sun Ting dengan jantung semakin berdebar.
619
Kiranya dua orang gadis cantik itu hanya semacam pembantu saja dari orang yang berjuluk Pendekar Wanita Naga Hitam itu! Kalau pembantu-pembantunya saja seperti ini, lalu seperti apakah pendekar wanita itu? Seorang nenek-nenek tua yang menyeramkan? Seorang wanita setengah tua yang genit? Atau mungkinkah seorang gadis pula?
Dia melangkah mengikuti gadis baju merah itu memasuki lorong dalam rumah yang ternyata dalamnya juga bersih dan terawat rapi, hawanya segar karena banyak jendelanya dan di setiap sudut terdapat sebuah pot bunga atau jambangan terisi tanaman. Akan tetapi gadis baju merah itu mengajaknya terus menuju ke sebuah bangunan samping dan setiba mereka di pintu bangunan itu, gadis baju merah menaruh telunjuknya di depan mulutnya sambil menoleh kepada Sun Ting. Mereka kini berdiri di ambang pintu dan Sun Ting menjadi penonton dari adegan yang amat menarik dan mengagumkan hatinya.
Bangunan itu ternyata merupakan sebuah ruangan berlatih silat yang luas dan terbuka. Di sudut nampak berbagai macam alat olah raga dan senjata untuk berlatih silat dan dia melihat di ruangan itu terdapat seorang wanita yang dikepung oleh tujuh orang wanita lain.
Wanita itu berdiri tegak, sedang tujuh orang yang mengepungnya memasang kuda-kuda, dan mereka itu memegang senjata, ada pedang, golok, tombak dan cambuk. Adapun wanita yang dikepung itu bertangan kosong, sikapnya tenang sekali,.
Kam Sun Ting memandang dengan penuh perhatian. Tujuh orang wanita pengepung itu rata-rata cantik dan usia mereka antara duapuluh tiga sampai tigapuluh tahun, tubuh mereka ramping dan gesit, seperti
620
gadis baju hijau dan baju merah yang mengantarnya itu. Akan tetapi, ketika dia melihat wanita yang berada di tengah, yang dikepung, dia melongo!
Wanita itu berusia kurang lebih duapuluh tiga tahun. Pakaiannya dari sutera serba hitam yang ketat dan ringkas, dan warna hitam ini membuat kulit muka, leher dan tangannya nampak semakin putih mulus. Wajahnya bulat telur kecil dengan dagu meruncing. Mulutnya kecil dengan bibir yang agaknya selalu tersenyum, bibir yang merah membasah.
Senyum yang tersungging itu dihias lesung pipit yang tidak terlalu dalam, dan tahi lalat kecil di atas pipi, di bawah mata kirinya, menambah kemanisannya. Seorang gadis yang luar biasa cantik jelita dan manisnya. Rambutnya yang hitam tebal itu disanggul tinggi ke atas, dihias tusuk sanggul perak berukir seekor naga kecil di atas bunga teratai. Seorang wanita yang luar biasa!
“Kalian mulailah!” tiba-tiba bibir yang tersenyum dan merah basah itu berseru lirih dan mulailah tujuh orang wanita pengepung itu menerjang dan menyerang gadis pakaian hitam dengan senjata mereka.
Sun Ting terkejut bukan main. Celaka, pikirnya. Tujuh orang gadis itu menyerang. Sungguh-sungguh dan gerakan mereka rata-rata gesit dan kuat! Bagaimana mungkin gadis jelita berpakaian hitam itu akan mampu bertahan? Setidaknya ia tentu akan menderita luka!
“Heiii, tahan......! Sungguh tidak adil, tujuh orang bersenjata mengeroyok seorang yang tidak memegang senjata!” teriak Sun Ting tanpa dapat dicegah lagi dan diapun melompat ke dalam ruangan itu.
621
Si baju merah terkejut, namun sudah terlambat karena pemuda itu sudah meloncat masuk.
“Tahan.......!” Si dara berpakaian serba hitam itu berseru dan tujuh orang pengeroyoknya menahan senjata. Kini wanita itu memandang kepada Sun Ting, kemudian kepada gadis baju merah yang kini sudah menjatuhkan diri berlutut.
“Hemm, Sam-hwa, apa artinya ini?” wanita itu membentak, suaranya merdu akan tetapi penuh wibawa.
“Maaf, Lihiap...... dia.... dia adalah utusan dari Pek-liong-enghiong yang membawa surat untuk Lihiap. Saya...... saya melihat lihiap sedang siap berlatih, maka tidak berani mengganggu dan hendak menunggu sebentar. Tak saya sangka dia... dia......”
Berubahlah sikap gadis berpakaian hitam itu. Wajahnya menjadi cerah dan dipandangnya wajah Sun Ting dan seketika ia sudah memaafkan sikap pemuda itu tadi. Diam-diam hatinya merasa geli melihat betapa sahabat baiknya, Pek-liong-eng Tan Cin Hay telah menyuruh seorang pemuda yang begitu bodoh sehingga mengganggu latihannya.
Bagaimanapun juga, ia memandang kagum. Pemuda itu tampan dan bertubuh tegap sekali, dan melihat betapa dia tadi mencela para pembantunya yang dianggapnya hendak mengeroyoknya, menunjukkan bahwa betapapun bodohnya, pemuda ini memiliki watak yang gagah!
Ia lalu maju menghampiri, sedangkan Sun Ting sudah menjadi merah mukanya mendengar ucapan gadis baju merah tadi. Kiranya gadis berpakaian hitam inilah orang yang dicarinya, dan ternyata bahwa
622
tujuh orang gadis pengepung yang mengeroyok tadi hanyalah merupakan latihan saja!
Cepat dia memberi hormat. “Maafkan kalau saya tadi mengganggu latihan Lihiap. Akan tetapi saya tidak tahu...... ah, apakah Lihiap, yang bernama Hek-liong-li Lie Kim Cu?”
Wanita itu memang benar Hek-liong-li Lie Kim Cu. “Benar, akulah orangnya.”
“Sekali lagi maaf! Karena Hay-toako, eh...... maksud saya Pek-liong-eng tidak menceritakan keadaan Lihiap, karena tergesa-gesa, maka saya tidak mengenal Lihiap dan telah bersikap lancang. Saya datang untuk menyerahkan surat ini kepada Lihiap.” Dia cepat mengeluarkan surat itu dari saku bajunya.
Hek-liong-li mengangguk dan tersenyum. Ternyata tidak bodoh, pikirnya dan ia merasa semakin suka kepada utusan sahabatnya itu. Ia lalu membuka surat itu dan membacanya dengan tenang.
“Harap engkau suka datang untuk bersamaku menghadapi Siauw-bin Ciu-kwi, seorang di antara Kiu Lo-mo dengan kaki tangannya, dan membongkar rahasia Patung Emas. Menarik sekali, sudah banyak jatuh korban.”
Sampai jumpa, Pek-liong-eng.
Sementara wanita itu membaca surat, Kam Sun Ting mengamatinya penuh perhatian dan dia menjadi semakin kagum saja. Segala-galanya pada wanita itu nampak kematangan yang mengagumkan. Memang,
623
usianya tentu tidak akan lebih dari duapuluh tiga tahun, akan tetapi sikapnya, gerak-geriknya, bentuk tubuhnya, pandang mata dan senyumnya, sungguh membayangkan kematangan seorang wanita, bagaikan setangkai bunga yang mekar sepenuhnya dan sedang harum-harumnya!
Memang penilaian Sun Ting ini tidak jauh meleset dari kenyataannya. Wanita itu adalah seorang wanita yang sudah matang, baik ilmu silatnya, maupun kewanitaannya dan pengalamannya segudang! Ia bernama Lie Kim Cu, berusia duapuluh empat tahun dan ia dikenal sebagai Hek-liong-li (Dewi Naga Hitam).
Sejak remaja puteri berusia enambelas tahun, ia telah menderita dengan hebat. Ayahnya seorang pembesar di Lok-yang, akan tetapi ayahnya tergila-gila perjudian, melakukan korupsi dan akhirnya dia dihukum buang dan membunuh diri di tengah jalan.
Adapun Lie Kim Cu sendiri, oleh ayahnya telah dijual atau untuk pembayaran hutang kepada Pangeran Coan Siu Ong di Lok-yang. Lie Kim Cu diperkosa, ia mengamuk dan akhirnya dijual oleh pangeran yang marah itu ke rumah pelacuran.
Di rumah pelacuran ini Kim Cu disiksa dan dipaksa untuk menjadi pelacur, melayani belasan orang laki-laki! Akhirnya, ia berhasil melarikan diri dan ia ditolong oleh seorang datuk sesat yang amat sakti, yaitu yang bernama Huang-ho Kui-bo dan dari nenek sakti ini ia mewarisi banyak ilmu silat yang tinggi sehingga membuatnya menjadi seorang wanita yang sakti!
Lie Kim Cu telah menjadi seorang wanita yang hebat setelah mempelajari ilmu selama enam-tujuh tahun. Ia menghajar para pria
624
yang pernah mempermainkan dirinya. Bahkan ia kemudian menentang Hek-sim Lo-mo, seorang datuk sesat, seorang di antara Kiu Lo-mo bekerja sama dengan Pek-liong-eng Tan Cin Hay. Dan sejak mereka berdua berhasil membasmi dan membinasakan Hek-sim Lo-mo nama kedua orang pendekar muda ini menjadi amat terkenal!
Ada hubungan istimewa antara Lie Kim Cu dan Tan Cin Hay, atau antara Si Naga Hitam dan Si Naga Putih ini. Selain mereka berdua telah mewarisi sepasang pedang yang ampuh, yaitu Pedang Naga Hitam yang jatuh ke tangan Kim Cu dan Pedang Naga Putih yang jatuh ke tangan Cin Hay, juga keduanya mempunyai perasaan kasih sayang luar biasa terhadap satu sama lain.
Perasaan senasib sependeritaan, sepaham dan segolongan, menumbuhkan suatu pertalian batin, suatu rasa kasih sayang yang luar biasa, lebih mendalam dari pada kasih sayang antara saudara, bahkan antara kekasih. Namun, keduanya tidak pernah membiarkan diri melangkah lebih dekat, tidak membiarkan nafsu berahi memasuki perasaan kasih di antara mereka, karena mereka khawatir bahwa sekali nafsu berahi masuk dan mereka menjadi kekasih, maka pertalian batin yang penuh kesetia-kawanan dan senasib itu akan menjadi berubah atau luntur! Mereka berhasil, membasmi gerombolan Hek-sim Lo-mo dan saling berpisah, akan tetapi mereka saling berjanji akan memberi kabar kalau yang satu membutuhkan bantuan yang lain.
Hek-liong-li Lie Kim Cu tinggal di Lok-yang, bersama sembilan orang gadis yang menjadi pembantu-pembantunya, juga anak buahnya. Mereka dilatihnya dengan ilmu silat, dan rata-rata mereka memiliki kecerdikan sehingga menjadi serba guna. Di Lok- yang dan sekitarnya, ia terkenal sebagai Hek-liong-li dan biarpun ia tidak
625
mengangkat diri menjadi seorang pendekar, namun nama besarnya membuat para tokoh jahat menjadi gentar dan Lok-yang dan sekitarnya menjadi aman karena tidak ada penjahat berani bermain gila di wilayah yang dipengaruhi nama Hek-liong-li!
Demikianlah, maka Hek-liong-li tidak jadi marah dan perhatiannya segera tertarik ketika mendengar bahwa pemuda tampan ganteng itu adalah utusan Pek-liong-eng dan ketika membaca surat Pek-liong-eng, wajahnya segera berubah berseri-seri.
Bekerja sama lagi dengan Pek-liong-eng menghadapi musuh-musuh tangguh! Apa lagi musuh itu seorang di antara Kiu Lo-mo! Tidak ada kesenangan yang lebih mengasyikkan dari pada bekerja sama antara mereka berdua menghadapi musuh-musuh yang jahat dan tangguh!
“Bagus! Terima kasih, saudara...... eh, siapakah namamu?” kata Hek-liong-li kepada Kam Sun Ting.
“Nama saya Kam Sun Ting, lihiap, tinggal di dekat Telaga Po-yang.”
“Surat dari Pek-liong-eng telah kuterima dan kubaca dan kita segera berangkat sekarang juga ke sana setelah aku menyelesaikan latihanku. Kau duduklah sebentar di bangku sana. Sam-hwa, sediakan minuman untuk tamu!”
Sun Ting mengangguk dan segera duduk di atas sebuah bangku di dekat dinding, sedangkan Hek-liong-li sudah berdiri lagi di tengah ruangan, dikepung tujuh orang pembantunya. Sam-hwa, si baju merah, pergi mengambilkan minuman untuknya. Ketika Sam-hwa datang, lagi membawa minuman, latihan silat itu telah dimulai dan Sun Ting
626
hampir tidak menyentuh minuman yang disuguhkan karena dia tidak pernah berkedip menonton latihan silat itu.
Bukan main! Tujuh orang wanita itu melakukan serangan yang sungguh-sungguh. Bermacam senjata tajam dan runcing berkelebatan dan menyambar-nyambar ke arah tubuh Hek-liong-li. Akan tetapi wanita berpakaian hitam ini menggerakkan tubuhnya secara aneh, kedua kakinya melangkah ke sana-sini, bergeser ke depan belakang, kanan kiri, dan semua serangan itu tidak mengenai sasaran sedikitpun juga!
Kemudian, Hek-liong-li mengeluarkan suara melengking nyaring. Tujuh orang pembantunya maklum bahwa majikan dan juga guru mereka akan membalas serangan. Mereka bersiap siaga dan memutar senjata, berjaga diri baik-baik.
Namun, tiba-tiba tubuh Hek-liong-li berkelebatan dan lenyap, hanya nampak bayangan hitam berkelebatan ke sana sini dan nampak seorang demi seorang para pengeroyok itu terhuyung, senjata mereka terpental dan dalam waktu sebentar saja, mereka semua telah terhuyung atau terlempar dan semua senjata terlepas dari tangan!
Hek-liong-li menghentikan gerakannya. Ada sedikit keringat di dahinya yang putih mulus, akan tetapi pernapasannya biasa saja, hanya dada yang membusung itu agak naik turun bergelombang.
Sun Ting masih bengong. Alangkah indahnya gerakan tubuh Hek-liong-li tadi, pikirnya. Seolah-olah dia dapat melihat otot-otot halus bergerak-gerak hidup di bawah pakaian hitam ketat itu, dan dari gerakan halus itu, dari ke dua tangan yang lembut itu, agaknya memancar kekuatan yang luar biasa. Akhirnya, ketika wanita itu
627
tersenyum kepadanya, mukanya berubah merah sekali. Dan dia tadi bersikap gagah-gagahan mencegah tujuh orang itu mengeroyok Hek-liong-li!
Betapa lucunya, betapa memalukan. Untuk menutupi rasa malunya, diapun lalu bertepuk tangan memuji. Karena lupa bahwa dia masih memegang cawan arak, maka ada arak tertumpah menimpa celananya sehingga dia memakin tersipu.
Tujuh orang pembantu itu keluar setelah memungut senjata masing-masing. Kini Hek-liong-li berdua saja dengan Sun Ting. Wanita itu masih tersenyum geli.
“Saudara Kam Sun Ting, minumlah araknya!”
“Ah, terima kasih, lihiap. Latihan tadi sungguh...... sungguh hebat sekali.”
“Ah, engkau terlalu memuji! Bukankah engkau seringkali melihat Pek-liong-eng berlatih silat dan tentu latihannya lebih hebat lagi?”
Sun Ting menggeleng kepalanya. “Sayang sekali tidak begitu, lihiap. Terus terang saja, saya dan adik saya baru saja berkenalan dengan Pek-liong-eng dan saya tidak sempat menyaksikan kelihaian ilmu silatnya. Saya dan adik saya adalah penyelam di Telaga Po-yang, mencari batu-batu berharga yang menjadi mata pencaharian kami, ketika kami diserang orang jahat dan ditolong oleh Pek-liong-eng.” Dengan singkat Sun Ting menceritakan peristiwa itu.
Hek-liong-li mendengarkan penuh perhatian. Mendengar akan tewasnya seorang hwesio dan seorang tosu di hutan, serangan
628
terhadap kakak beradik itu, iapun menjadi tertarik sekali. Ia mengamati pemuda itu dari kepala sampai ke kaki. Ganteng dan bertubuh kokoh kuat.
“Hemm, bagaimanapun juga, tentu engkau jauh lebih pandai dari pada aku kalau berada di air!”
Sun Ting tersenyum dan nampak deretan giginya yang bagus dan bersih, juga kuat. “Ah, menyelam dan renang adalah pekerjaan kami sejak kami masih kecil, li-hiap. Akan tetapi mengenai ilmu silat, kami kakak beradik hanya diajar sedikit saja oleh mendiang ayah kami.”
“Hal itu masih harus dibuktikan kelak. Mari kita berangkat, saudara Kam Sun Ting. Kita berkuda saja agar dapat cepat tiba di sana.”
Iapun bertepuk tangan dan dua orang pelayan atau pembantunya muncul. Mereka diutus untuk menyediakan dua ekor kuda yang baik sementara Hek-liong-li mengajak tamunya untuk makan bersama.
Sun Ting menjadi semakin kagum. Makin dikenal, makin banyak hal-hal mengagumkan pada diri wanita itu. Begitu ramah, dan juga tidak banyak peraturan sehingga mereka berdua makan minum di dalam ruangan makan dengan bebas, bagaikan dua orang sahabat lama saja.
Wanita itu sama sekali tidak merasa canggung, bahkan dia sendirilah yang agak salah tingkah, karena selamanya belum pernah dia berdekatan dengan seorang wanita, apa lagi wanita secantik itu, bahkan makan bersama! Hal inipun diketahui Hek-liong-li yang menjadi semakin tertarik. Tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang pemuda yang gagah, jujur dan masih hijau, agaknya belum pernah berdekatan dengan seorang wanita.
629
Kemudian berangkatlah mereka menunggang kuda dan di sepanjang perjalanan. Hek- liong-li minta penjelasan lebih lanjut tentang semua peristiwa yang terjadi dan yang diketahui oleh pemuda itu. Sikapnya demikian ramah dan manis sehingga tak lama kemudian mereka telah menjadi akrab, bahkan kadang-kadang Kam Sun Ting lupa bahwa dia melakukan perjalanan dengan seorang gadis yang selain cantik jelita juga amat perkasa, diharapkan oleh pendekar Pek-liong-eng untuk membantunya menghadapi gerombolan penjahat yang kejam dan lihai sekali!
Hati Kam Cian Li agak kecewa. Selama hidupnya, sampai kini berusia sembilanbelas tahun, belum pernah ia jatuh hati kepada seorang pria dan baru sekaranglah ia benar-benar amat kagum dan tertarik kepada seorang pemuda. Biarpun ia dan kakaknya baru saja mengalami hal yang amat berbahaya dan kini bahkan keselamatan dirinya terancam, namun ia tidak merasa gentar sedikitpun juga. Ia bukan seorang gadis penakut.
Bahaya bukanlah hal asing baginya. Pekerjaannya sebagai gadis penyelam selalu diliputi bahaya. Akan tetapi sekarang ia merasa amat kecewa. Ia disuruh pulang seorang diri.
Kakaknya diberi tugas mengundang seorang sababat yang lihai dari Pek-liong-eng, dan pendekar itu sendiri katanya akan melakukan penyelidikan terhadap gerombolan penjahat yang hendak membunuh ia dan kakaknya tadi. Akan tetapi ia sendiri, ia disuruh pulang tanpa tugas apapun, disuruh bersikap seperti biasa. Ia merasa amat kecewa, terutama sekali karena harus berpisah dari pendekar yang dikaguminya itu. Ia telah jatuh cinta!
630
Ketika ia mendayung perahunya, timbul rasa penasaran dalam hatinya. Kenapa ia tidak melakukan penyelidikan sendiri? Lima orang penyerangnya tadi, yang semua telah dibikin pingsan dengan perut kembung, mungkin masih menggeletak di atas perahu mereka.
Ia dapat menyelidiki mereka, mengancam mereka agar mengaku dan menyebutkan nama semua orang yang berdiri di belakang mereka, selain Po-yang Sam-liong! Kalau ia memperoleh keterangan seperti itu, tentu hal itu amat berguna bagi Pek-liong-eng! Dan ia akan berjasa, akan membikin senang hati pendekar itu. Mengapa tidak?
Dengan penuh semangat Cian Li mendayung perahunya ke tengah, menuju ke arah ditinggalkannya perahu besar yang ditumpangi lima orang penjahat yang sudah pingsan dengan perut kembung tadi. Akan tetapi, ternyata perahu itu sudah tidak ada lagi.
Cian Li merasa penasaran dan ia terus mendayung perahu berputar-putar di sekitar tempat itu. Agaknya tidak mungkin kalau lima orang telah siuman dan dapat menyingkir dari tempat itu, kecuali kalau mereka itu ditolong orang lain. Kemudian ia melihat berapa perahu-perahu pesiar sudah mulai meninggalkan bandar, bahkan beberapa buah perahu nelayan telah hilir mudik. Maka iapun segera mendayung perahunya menuju pulang.
Matahari telah naik tinggi ketika ia meninggalkan perahunya dan berjalan menuju ke rumahnya yang berada di sebuah dusun kecil tak jauh dari telaga itu. Dari mendiang ayah mereka, ia dan kakaknya menerima warisan sebuah rumah yang berada di ujung dusun itu, sebuah rumah yang sederhana namun cukup baik.
631
Sambil membawa buntalan pakaian dan hasil penyelaman mereka pagi tadi, tidak berapa banyak, Cian Li melenggang dengan langkahnya yang gontai. Kedua kaki gadis ini berbentuk panjang dan kuat sehingga kalau melangkah, ia melenggang dengan lemas sekali, nampak menarik dan menggairahkan. Bentuk tubuh yang panjang ramping itu tentu saja hasil dari pada pekerjaan menyelam dan renang itu.
Karena rumahnya memang tidak dipenuhi barang berharga, maka pintu rumahnya ditutup begitu saja tanpa dikunci. Ia mendorong daun pintu rumahnya dan melangkah masuk. Dengan hati masih kecewa, ia melemparkan buntalan pakaian dan batu hasil penyelaman itu ke atas meja, lalu memasuki kamarnya untuk membuka jendela. Rumah mereka mempunyai dua buah kamar, sebuah untuknya dan sebuah lagi untuk kakaknya.
Begitu ia masuk ke dalam kamarnya, tiba-tiba ia menjerit kecil dan matanya terbelalak, mukanya berubah pucat sekali. Seorang laki-laki tinggi besar yang berhidung besar telah berada di dalam kamarnya, dan orang itu menyeringai kepadanya. Mukanya demikian menyeramkan, dengan hidung besar, mata melotot dan gigi yang besar-besar nampak ketika dia menyeringai! Yang membuat ia terkejut adalah karena ia mengenal orang ini sebagai seorang di antara lima penjahat tadi, bahkan si hidung besar ini agaknya yang menjadi pemimpin para penjahat tadi!
“He-he-he, nona manis, engkau baru datang? Sudah kesal aku menunggumu..... heh- heh-heh!”
632
Cian Li cepat membalikkan tubuhnya hendak berlari keluar, akan tetapi ia terbelalak melihat betapa empat orang penjahat lainnya sudah berdiri di depan pintu, menghadangnya sambil menyeringai kejam.
“Ha-ha-ha, engkau tadi menyiksaku, membenam-benamkan aku ke dalam air. Sekarang tiba saatnya kami membalas dendam. Bersiaplah untuk menerima siksaan sampai mampus!” kata seorang di antara mereka yang perutnya gendut.
Cian Li merasa bulu tengkuknya meremang. Setankah mereka ini? Setan dari mereka yang telah mati dan kini hidup kembali untuk mengganggunya, membuat pembalasan? Perut gendut ini, bukankah karena perutnya kembung penuh air?
“Tidak...... tidaaaakk....!” Ia menjerit dengan perasaan ngeri sekali.
Dari pada menghadapi empat orang itu, lebih baik melawan yang seorang saja di dalam kamar, pikirnya dan iapun membalik lagi ke dalam kamar dan dengan nekat ia menerjang si hidung besar yang menyeringai lebar menyambut terjangannya dengan kedua lengan dikembangkan!
Cian Li memang pernah belajar silat dari mendiang ayahnya. Akan tetapi ilmu silatnya itu tidak ada artinya dibandingkan dengan si hidung besar itu, seorang penjahat kawakan yang sudah biasa mampergunakan kekerasan dan sudah seringkali berkelahi. Cian Li melakukan dorongan dengan kedua tangannya, dengan maksud membuat si hidung besar itu terpelanting agar ia dapat melarikan diri lewat jendela kamarnya yang tertutup.
633
“Plakk!” Si hidung besar menangkis dari samping dengan maksud untuk menangkis dengan satu tangan lalu tangannya yang lain mencengkeram dari samping: Akan tetapi, biarpun ilmu silatnya tidak tinggi, Cian Li memiliki tenaga yang kuat sebagai hasil dari kebiasaannya renang dan menyelam. Pertemuan kedua lengannya yang ditangkis itu sempat membuat si hidung besar terdorong ke samping dan terhuyung! Kesempatan ini dipergunakan oleh Cian Li untuk menggempur daun jendela dengan dorongan kedua tangannya.
“Brakkkkk......!” Daun jendela itu pecah berantakan dan Cian Li berusaha untuk menerobos keluar. Akan tetapi hanya separuh tubuhnya saja yang sempat keluar karena tiba-tiba kedua pergelangan kakinya ditangkap orang dari belakang! Kiranya yang menangkapnya adalah si hidung besar!
Kini Cian Li hanya dapat meronta karena tubuh bagian atas sebatas pinggang berada di luar jendela, akan tetapi dari pinggang ke bawah masih berada di dalam kamar. Dengan mudah si hidung besar sambil tertawa-tawa menarik tubuh Cian Li dan sebelum gadis itu sempat melepaskan diri, kedua lengan dari si hidung besar yang panjang dan kuat sekali itu telah memeluknya sehingga kedua tangannya tidak mampu bergerak.
Si hidung besar itu memeluknya dari belakang. Ia meronta-ronta namun sia-sia belaka. Empat orang kawan si hidung besar, memasuki kamar sambil tertawa-tawa pula melihat gadis itu meronta dalam dekapan pemimpin mereka.
“Toako, biar kubedah dadanya dan kukeluarkan jantungnya. Enak diganyang mentah- mentah, untuk obat kuat!” kata yang berewokan
634
dengan sikap bengis dan di tangan kanannya nampak sebatang pisau tajam mengkilat.
“Ia menyiksaku dan membenamkan kepalaku di air. Jangan dibunuh dulu, biar aku akan balas menyiksanya!” kata si perut gendut, siap untuk mempergunakan tangannya mencengkeram gadis yang sudah tidak berdaya itu. Akan tetapi si hidung besar membentak marah.
“Mundur kalian semua! Sebelum aku selesai dengannya, kalian tidak boleh menyentuhnya! Gadis ini sekarang milikku dan setelah aku selesai dengannya, baru kuberikan kepada kalian. Nah, kalian cepat mencari benda itu sampai dapat. Geledah seluruh rumahnya, bawa semua yang berharga dan bakar saja yang tidak ada artinya!”
Empat orang itu tidak berani membantah dan merekapun keluar dari kamar itu, meninggalkan si hidung besar berdua saja dengan gadis yang masih meronta-ronta dengan sia-sia dalam rangkulannya yang seperti dekapan seekor biruang itu.
“Heh-heh, sejak di perahu itu aku sudah tergila-gila padamu, nona manis. Engkau cantik manis dan tubuhmu indah!” Si hidung besar melemparkan tubuh Cian Li ke atas pembaringan gadis itu.
Cian Li terbanting ke atas pembaringannya dan cepat ia bangkit untuk melompat, melawan atau melarikan diri. Akan tetapi dengan cepat pula si hidung besar sudah menubruknya sehingga ia terjengkang kembali dan mereka bergumul di atas pembaringan itu.
Cian Li melawan sekuat tenaga, meronta dan sekali ini berkat pekerjaannya berenang dan menyelam, ia tertolong. Tubuhnya telah menjadi kuat dan licin, dengan menggeliat-geliat ia selalu mampu
635
menghindar sehingga biarpun pakaiannya sudah robek di sana-sini, namun si hidung besar tidak mampu menghimpitnya, bahkan beberapa kali Cian Li berhasil mencakar, menampar bahkan menggigitnya.
Akhirnya si hidung besar menjadi marah dan penasaran bukan main. Tubuhnya sakit-sakit karena ulah gadis itu dan agaknya sampai habis tenaganya, akan sukar ia menundukkan gadis yang seperti seekor kuda betina liar ini, atau seekor anak harimau yang mengamuk. Dia melompat ke samping dan dicabutnya golok besarnya yang tadi dia taruh di atas meja. Golok yang amat tajam itu kini menempel di leher Cian Li, dan si hidung besar menghardik.
“Hayo diam dan jangan bergerak! Kalau engkau tidak mau menyerahkan diri, terpaksa akan kusembelih kau!”
Di sinilah letak kesalahan perhitungan si hidung besar. Dia mengira bahwa gadis ini sama seperti para korbannya yang sudah-sudah, yaitu merupakan seorang wanita yang takut mati dan akan menyerah bulat-bulat karena takut mati! Akan tetapi, Cian Li bukan seorang gadis penakut. Baginya, lebih baik ia mati dari pada harus menyerahkan kehormatannya tanpa melawan mati-matian.
Melihat golok tajam itu menempel di lehernya dan si hidung besar mengancam, tiba-tiba saja ia bergerak ke depan dan kaki kanannya menendang sekuat tenaga. Yang diarahnya adalah bawah pusar. Akan tetapi si hidung besar sempat menarik tubuh ke belakang.
“Bukk!” Yang kena tendang adalah perutnya yang gendut. Hampir dia terjengkang, dan perutnya terasa nyeri juga. Kemarahannya memuncak dan semua nafsu berahinya terbang entah ke mana, terganti
636
nafsu amarah dan kebencian yang hanya akan mereda kalau dia sudah melihat darah tersembur dari tubuh yang sekarat.
“Perempuan keparat! Mampuslah!” Bentaknya dan kini goloknya menyambar ganas ke arah leher Cian Li.
“Tukk!” Golok itu terlepas dari pegangan Å¡i hidung besar dan jatuh ke atas lantai ketika sebuah tangan menangkis pergelangan lengan si hidung besar dari samping. Kemudian, tangan itu dilanjutkan dengan sebuah tamparan dan si hidung besar terpelanting dan terbanting keras.
“Hay koko......!” Cian Li berseru girang sekali melihat munculnya pendekar muda berpakaian putih itu.
“Biar kubereskan yang lain!” kata Pek-liong sambil berkelebat keluar dari kamar itu.
Akan tetapi, hanya seorang penjahat lagi saja yang dia robohkan karena tiga orang yang lain sudah melarikan diri, dan bagian belakang rumah itu sudah terbakar! Pek-liong memadamkan kebakaran itu sebelum dia kembali ke kamar Cian Li dan matanya terbelalak melibat betapa tubuh si hidung besar itu telah menjadi mayat dan sebatang golok besar masih menancap dalam sekali di dadanya. Cian Li berdiri di sudut kamar itu dengan termenung.
“Li-moi......!” Pek-liong berseru, “Apa yang kaulakukan ini?”
Cian Li sadar dan terisak menangis. “Kubunuh dia......! Dia... dia terlalu jahat. Ah, kalau engkau tidak segera datang......”
637
Pek-liong menarik napas panjang. “Sudahlah, Li-moi. Mungkin memang sudah tiba saatnya dia harus menebus kejahatannya dengan kematian. Akan tetapi, sekarang engkau harus meninggalkan rumah ini karena mereka tentu tidak akan tinggal diam.”
“Tapi...... tapi ke mana aku harus pergi?”
“Untuk sementara kita tinggal di rumah penginapan saja.”
“Kita...... berdua.....?” Gadis itu mengerling dan wajahnya berubah kemerahan, akan tetapi mulutnya tersenyum.
“Ya, kita berdua. Mulai sekarang aku harus selalu melindungimu.”
Senyum itu melebar. “Benarkah, Hay-ko? Engkau tidak akan meninggalkan aku lagi seperti tadi?”
“Tadipun aku diam-diam membayangimu, adik manis. Memang engkau sengaja kujadikan umpan agar mereka datang. Tidak tahunya mereka sudah menunggumu di dalam rumahmu, sungguh hal yang tidak kusangka-sangka. Untung aku tidak terlambat dan melihat ketika mereka membakar rumahmu.”
“Kalau begitu, mari kita ke kota Hay-ko.”
“Tentu saja kita akan menggunakan dua buah kamar, Li-moi, sebuah untukmu dan sebuah untukku.”
Gadis itu diam saja, akan tetapi senyumnya berubah masam. Ia sendiri merasa heran mengapa perasaannya menjadi demikian tak tahu malu, ingin sekamar dengan pendekar itu dan hatinya merasa kecewa
638
mendengar bahwa mereka akan menggunakan dua buah kamar. Teringat akan ini, wajahnya menjadi semakin merah.
Mereka lalu meninggalkan perkampungan itu tanpa dilihat orang, pada saat para penghuni dusun lari berdatangan melihat rumah kakak beradik itu kebakaran bagian belakangnya. Mereka lalu memadamkan sisa api dan memeriksa ke dalam. Akan tetapi, mereka terheran-heran melihat bahwa rumah itu kosong, kakak beradik penyelam batu itu tidak ada dan mereka hanya menemukan keadaan kamar yang berserakan.
Mereka tidak tahu bahwa baru saja seorang tinggi besar memondong sesosok mayat melarikan diri dari rumah itu. Dia adalah penjahat yang tadi dirobohkan Pek-liong. Penjahat ini menemukan mayat si hidung besar dan melarikan mayat itu tanpa diketahui orang.
Pek-liong mengajak Cian Li pergi ke Telaga Po-yang. Dia bertekad untuk mencari keterangan tentang Po-yang Sam-liong karena dia merasa yakin bahwa lima orang penjahat itu adalah anak buah Po-yang Sam-liong, maka tentu tiga orang tokoh sesat itu yang menjadi biang-keladi penyerangan terhadap kakak beradik Kam, juga mereka pula yang mungkin sekali membunuh dua oraug pendeta, tentu saja dengan kawan-kawan mereka yang tergabung sebagai para pembantu Siauw-bin Ciu-kwi! Dari tiga orang itulah dia mungkin akan dapat membuat kontak dengan beng-cu yang berjuluk Siauw-bin Ciu-kwi itu.
Akan tetapi, setiap orang nelayan atau pemilik perahu pelesir di telaga itu juga sama halnya dengan kakak beradik Kam. Tak seorangpun di antara mereka yang tidak mengenal nama Po-yang Sam-liong, akan
639
tetapi tak seorangpun mengetahui di mana mereka tinggal. Mungkin ada yang tahu, akan tetapi siapakah berani membuka rahasia tiga orang tokoh sesat yang amat mereka takuti itu?
Penyelidikan yang dilakukan Pek-liong sia-sia belaka.
“Mereka tidak pernah muncul sendiri di sini,” kata seorang nelayan yang agak berani. “Mereka menagih pajak melalui kaki tangan mereka yang banyak sekali. Kami tidak tahu dan tidak pernah berani menanyakan di mana tempat tinggal mereka.”
Ah, tidak ada lain jalan kecuali menanti munculnya seorang kaki tangan mereka, menangkap orang itu dan memaksanya mengaku di mana dia dapat bertemu dengan mereka, pikir Pek-liong. Karena hari mulai gelap, dia lalu mengajak Cian Li pergi ke kota Nan-cang dan mereka menyewa dua buah kamar di sebuah rumah penginapan kecil agar tidak menyolok dan tidak menarik perhatian.
Bagaimanapun juga, Pek-liong masih mengharapkan bahwa Cian Li tetap merupakan “umpan” yang akan menarik datangnya kakap yang dia kehendaki. Dengan tewasnya si hidung besar oleh gadis itu, tidak mungkin mereka melupakan gadis itu demikian saja dan sekali waktu, pasti mereka yang akan datang mencari Cian Li. Syukur kalau Po-yang Sam-liong yang datang sendiri agar dia tidak usah bersusah payah mencari mereka.
Setelah mandi, makan di sebuah restoran terdekat, mereka memasuki kamar masing-masing untuk beristirahat. “Engkau tidurlah, Li-moi, dan jangan khawatir, aku selalu menjagamu. Kalau engkau mendengar sesuatu yang tidak wajar, berdiam sajalah di kamar, jangan membuka
640
jendela atau daun pintu,” demikian pesan Pek-liong kepada gadis itu yang kelihatan lesu dan sedih ketika memasuki kamarnya.
Bagaimana gadis itu tidak berduka? Kakaknya pergi dan ia tidak dapat kembali ke rumahnya sendiri, selalu terancam keselamatannya oleh gerombolan penjahat, dan pemuda yang diandalkannya itu, yang melindunginya berpisah kamar!
Pek-liong-eng Tan Cin Hay tidak merebahkan badannya, melainkan duduk bersila di atas pembaringan tanpa melepas sepatunya. Dia tahu bahwa dia harus siap sedia menjaga keselamatan gadis di kamar sebelah dan dia tidak boleh lengah. Dengan duduk bersila, dia dapat melepaskan lelah, akan tetapi juga sekaligus dapat berjaga-jaga karena biarpun dia beristirahat, namun pendengarannya menjadi peka dan kalau ada suara yang tidak wajar sedikit saja pasti akan terdengar olehnya dan membuat dia sadar.
Menjelang tengah malam, dia membuka kedua matanya. Telinganya mendengar suara langkah kaki di luar kamarnya. Cepat dia turun dari pembaringan dan mendekati jendela. Daun jendela itu hanya dia tutup begitu saja, tidak dipalang agar memudahkan dia keluar kalau perlu.
Kini dia mendorong sedikit kedua daun pintu sehingga terdapat kerenggangan di antara dua buah daun pintu itu. Kamarnya gelap, maka dia dapat mengintai ke luar di mana terdapat lampu gantung.
Pek-liong menggigit giginya dengan gemas ketika dia mengenal empat orang laki-laki tinggi besar berada di luar kamar Cian Li! Mereka adalah empat orang penjahat yang tadi telah menyerbu rumah gadis itu.
641
Betapa beraninya mereka itu! Betapa keras kepala dan dia harus memberi hajaran yang keras sekarang, menangkap mereka atau seorang di antara mereka untuk dipaksa mengaku di mana dia dapat bertemu dengan Po-yang Sam-liong.
Jelas bahwa mereka itu datang untuk mengganggu Cian Li. Kasihan gadis itu. Tidak perlu dibikin kaget lagi, Biarkan ia tidur nyenyak, demikian pikir Pek-liong dan sekali dorong, daun jendela terbuka dan di lain saat dia sudah meloncat keluar dari dalam kamarnya.
“Jahanam, kalian agaknya sudah bosan hidup!” bentaknya lirih agar jangan membuat gaduh.
Empat orang itu menengok dan melihat pemuda berpakaian putih itu, mereka lalu melompat dan melarikan diri! Pek-liong tersenyum dan melakukan pengejaran. Memang dia ingin menggertak mereka agar pergi dari situ dan dia akan menghajar mereka di tempat sunyi, bukan di rumah penginapan itu yang akan mengejutkan semua orang, termasuk Cian Li. Dia tidak ingin menjadi pusat perhatian orang.
Seperti yang diharapkannya, empat orang tinggi besar itu melarikan diri keluar kota. Untung pada malam itu udara bersih, bulan bersinar terang sehingga dia dapat terus membayangi empat orang itu. Dia sudah cukup berhati-hati. Karena maklum bahwa dia bermain dengan api yang besar, dan setiap saat ada bahaya mengancam, maka sejak meninggalkan rumah Cian Li, dia selalu meninggalkan tanda rahasia sebagai jejaknya. Siapa tahu, Hek-liong-li mungkin akan membutuhkan tanda-tanda itu!
Empat orang itu membelok memasuki pekarangan sebuah kuil tua yang tidak dipergunakan lagi. Kuil itu besar dan kuno, namun kotor
642
karena memang sudah tidak terawat dan tidak dipergunakan, merupakan bangunan kuno peninggalan sejarah.
Ketika Pek-liong tiba di pekarangan kuil kuno itu, empat orang yang dibayanginya telah memasuki kuil. Selagi dia mengamati ke arah kuil dengan hati-hati, tiba-tiba dari kanan kiri bermunculan tujuh orang dan mereka itu bukan lain adalah empat orang penjahat tadi, kini ditambah dengan tiga orang yang tubuhnya lebih besar dari pada mereka berempat.
Tiga orang ini dapat disebut sebagai raksasa-raksasa yang menyeramkan! Mereka bertiga berdiri di depan pintu kuil dan seorang di antara mereka, yang mukanya penuh cambang bauk dan berewok, berseru kepada empat orang penjahat untuk menyerang.
Empat orang itu dengan penuh semangat sudah menggerakkan senjata di tangan mereka, ada yang memegang pedang, ada yang memegang golok dan ada pula yang membawa ruyung besi. Dari empat jurusan, mereka membacok dan menusuk ke arah Pek-liong. Namun, Pek-liong-eng sudah waspada. Gerakan mereka itu tidak ada artinya baginya, mereka hanya mengandalkan tenaga otot saja.
Dengan amat mudahnya, dia mengelak dari sambaran senjata itu, kemudian dengan gerakan amat cepat, dia sudah berkelebatan ke empat penjuru dan empat orang pengeroyok itu terpelanting roboh terkena tamparan dan tendangannya. Sekali ini, mereka roboh pingsan, ada yang menderita tulang patah dan luka dalam yang cukup membuat mereka selama beberapa hari tidak akan dapat berkelahi lagi!
643
Melihat ini, tiga orang raksasa itu menjadi marah. “Bagus, kiranya engkau memiliki kepandaian lumayan juga, orang muda! Pantas saja engkau berani menentang kami!” kata si berewok. Mereka kini maju menghadapi Pek-liong dan pemuda ini memandang kepada mereka penuh perhatian.
Sinar bulan cukup terang untuk dapat mengamati wajah mereka. Seorang di antara mereka yang hrewok itu memegang sebatang golok gergaji yang besar dan mengerikan. Orang kedua berkepala botak dan memegang sebatang pedang pendek. Adapun orang ketiga yang menyeringai dan memperlihatkan mulut ompong, memegang sebatang rantai baja. Ketiganya tinggi besar dan usia mereka kurang lebih empatpuluh tahun.
“Hemm, apakah kalian ini yang berjuluk Po-yang Sam-liong?” tanya Pek-liong dengan sikap tenang.
“Benar sekali. Kamilah Po-yang Sam-liong. Namaku Poa Seng, ini adikku Poa Leng dan itu adikku Poa Teng. Engkau siapa, orang muda dan mengapa engkau membela kakak beradik penyelam itu dan berani menentang kami di wilayah kami sendiri?”
“Namaku Tan Cin Hay. Tentu saja aku menentang setiap perbuatan busuk dan jahat. Kakak beradik Kam itu tidak berdosa, mengapa kalian hendak membunuh mereka? Dan mengapa pula Tiong Tosu dan Yong Hwesio itu dibunuh? Bukankah kalian juga ikut campur dalam pembunuhan itu? Bukankah kalian disuruh oleh majikan kalian, yaitu Beng-cu yang berjuluk Siauw-bin Ciu-kwi? Hayo katakan terus terang, atau aku akan memaksa kalian mengaku!”
644
Tiga orang raksasa itu terbelalak, saling pandang lalu si berewok tertawa bergelak, diikuti oleh dua orang adiknya.
“Ah, kiranya engkau sudah tahu terlampau banyak, karena itu engkau harus mampus! Engkau hendak memaksa kami mengaku? Ha-ha-ha, alangkah lucunya! Seekor cacing hendak menggertak tiga ekor naga!”
Tiga orang raksasa itu kini mengepung dalam bentuk segi tiga, senjata mereka siap di tangan. Pek-liong-eng maklum bahwa kini para pengepungnya tidak boleh disamakan dengan empat orang tadi. Mereka ini telah membuat nama besar di Po-yang dan tentu mereka telah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi.
Dari gerakan mereka saja sudah dapat diduga bahwa mereka setidaknya memiliki tenaga yang amat kuat, karena itu, tiga macam senjata mereka itu cukup berbahaya. Sekarang belum waktunya untuk membunuh mereka, pikirnya. Masih banyak yang harus dikorek dari mereka untuk mengetahui rahasia itu. Rahasia beng-cu mereka dan rahasia peta Patung Emas.
Dia menduga bahwa tentu ada hubungannya dengan semua pembunuhan yang diceritakan oleh Yong Hwesio mengenai perebutan peta Patung Emas dengan beng-cu mereka itu. Maka, dia hendak menggunakan siasat. Kalau mereka maju bertiga, baginya terlalu berbahaya kalau tidak merobohkan mereka dengan keras, kalau perlu membunuh mereka. Sukar menaklukkan tiga orang kuat ini kalau hanya menundukkan saja.
“Hemm, kiranya yang bernama besar Po-yang Sam-liong bukanlah naga-naga sejati, melainkan ular-ular belang yang licik dan curang,
645
beraninya hanya main keroyok seperti pencoleng-pencoleng pasar saja!” katanya dengan nada mengejek.
Mendengar ini, tiga orang tokoh sesat itu menjadi marah sekali. Marah dan malu. Muka mereka berubah merah dan si berewok menghardik. “Siapa hendak mengeroyok? Sam-te, kautangkap bocah sombong lancang mulut ini!” Si berewok memerintah adiknya, yaitu Poa Teng yang bermulut ompong dan bersenjata rantai baja.
Si ompong ini segera melangkah maju menghadapi Pek-liong. Rantai baja itu diputar-putar dan mengeluarkan suara angin bersiutan. Makin lama, putaran rantai itu semakin kuat dan cepat, dan rantai itupun diulur semakin panjang.
“Bocah sombong, mampuslah!” tiba-tiba si ompong membentak dan ujung rantai bajanya menyambar ke arah muka Pek-liong.
Pemuda ini cepat mengelak dengan langkah ke belakang. Akan tetapi, rantai itu membalik dan kini menyambar ke arah pinggangnya. Pek-liong kembali mengelak dengan loncatan ke samping, ujung rantai yang lain kini menyambar, dari bawah ke atas mengarah perut!
Memang hebat sekali gerakan Poa Teng itu. Rantai bajanya dapat bergerak cepat, menyerang secara bertubi dari arah yang berlawanan dan tidak terduga-duga. Bukan hanya satu ujung rantai saja yang bergerak, melainkan juga ujung yang lain.
Namun, Pek-liong cukup waspada. Dengan langkah-langkah yang amat cepat, loncatan¬loncatan ringan, dia selalu dapat mengelak. Sampai belasan jurus dia terus mengelak karena rantai itu kini menyerang bergantian dengan kedua ujungnya. Tiba-tiba, ketika Pek-
646
liong melompat agak jauh ke belakang, rantai itu menyerang dan terulur panjang! Saat inilah yang dinanti-nanti oleh Pek-liong.
Dengan terulur panjang, berarti rantai itu hanya dapat dipergunakan satu ujungnya saja, sedangkan ujung yang lain menjadi gagang atau tempat berpegang pemiliknya. Begitu melihat ujung rantai panjang itu menyambar, Pek-liong kini tidak mengelak lagi melainkan menangkis dengan lengannya!
“Plak!” Rantai itu melibat dan memang ini dikehendaki oleh Pek-liong. Tangannya cepat ditekuk dan dia sudah berhasil menangkap ujung rantai, lalu dia mengerahkan tenaga menarik! Betapapun kuatnya Poa Teng, dia tidak mampu bertahan dan tubuhnya ikut tertarik ke depan! Namun, dia mengerahkan tenaga dan bertahan.
Terjadilah tarik menarik dan tubuh Poa Teng yang berat itu bergantung ke belakang agar tarikannya lebih kuat lagi. Tiba-tiba Pek-liong melepaskan ujung rantai yang dipegangnya, bahkan melontarkannya ke arah pemiliknya.
Tak dapat ditahan lagi, tubuh Poa Teng terjengkang keras dan begitu dia terbanting, ujung rantai yang dilontarkan Pek-liong datang menimpa dadanya.
“Bukkk!!” Poa Teng mengaduh dan sejenak dia tidak mampu bangkit karena dadanya terasa nyeri bukan main dan berdarah.
“Keparat, berani engkau menghina adikku!” bentak Poa Leng.
Si botak ini sudah menyerang dengan tombak pendeknya, tombak itu menusuk ke arah pelipis Pek-liong dan ketika pemuda itu mengelak
647
dengan menarik kepala ke belakang, tombak itu sudah menyambar lagi ke arah tenggorokannya. Pek-liong terkejut, Si botak ini lihai juga, pikirnya sambil merendahkan tubuhnya ke belakang lagi, kakinya bergeser dan sekali melangkah, dia telah berada di sebelah kanan lawan. Namun, tombak itu sudah menyambar lagi dan kini diikuti oleh gerakan tangan kiri yang mencengkeram ke arah lambung!
Pek-liong meloncat ke kiri dan tiba-tiba ada angin keras menyambar. Kiranya golok gergaji di tangan Poa Seng si berewok telah menyambar. Dia cepat mengelak dan rantai baja Poa Teng kini juga ikut mengeroyoknya. Dia dikeroyok tiga!
Dengan kelincahan tubuhnya, Pek-liong berloncatan ke sana-sini dan mencari kesempatan untuk merobohkan lawannya satu demi satu. Kalau dia menghendaki, tentu saja dia dapat mempergunakan pukulan yang ampuh untuk membunuh mereka, atau kalau dia mengeluarkan pedang pusaka Naga Putih yang disembunyikan di balik bajunya, dengan sekali serang saja dia akan mampu membuat patah semua senjata di tangan mereka. Akan tetapi dia tidak ingin membunuh karena dia masih membutuhkan mereka, dan diapun merasa mampu menandingi mereka tanpa senjata.
Mendadak terdengar bentakan nyaring, “Tahan semua senjata! Sam-liong, mundurlah! Pek-liong-eng, menyerahlah! Lihat siapa yang berada di tanganku!”
Tiga orang raksasa itu menahan senjata lalu mundur dengan patuh. Pek-liong menoleh dan dia terkejut melihat Kam Cian Li sudah ditelikung kedua tangannya ke belakang oleh seorang pemuda tampan,
648
dan pemuda itu menempelkan pedangnya di leher gadis itu! Maklumlah dia bahwa dia telah tertipu. Dia hendak memancing, malah terpancing!
Kiranya empat orang tinggi besar tadi sengaja datang ke rumah penginapan untuk memancingnya keluar dari rumah penginapan, meninggalkan Kam Cian Li seorang diri dan pemuda tampan itu telah menawannya! Diapun menjadi lemas, merasa tertipu dan tidak berdaya! Akan tetapi, dia teringat kepada Hek-liong-li dan tiba-tiba saja Pek-liong membuat lompatan jauh dan diapun menghilang di samping kuil.
Para musuhnya menjadi terkejut dan sejenak tidak tahu harus berbuat apa. Akan tetapi tak lama kemudian, pemuda berpakaian putih tu telah muncul pula di atas wuwungan genteng kuil tua itu, berdiri tegak sambil bertolak pinggang, suaranya terdengar penuh wibawa ketika dia berseru, “Kalian orang-orang rendah dan pengecut! Lepaskan gadis tak berdosa itu dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!”
Po-yang Sam-liong diam saja, juga empat orang pembantunya yang tadi dipukul roboh oleh Pek-liong dan kini sudah bangkit kembali, hanya berdiri dan tidak banyak cakap. Pemuda yang menawan Cian Li itulah yang menjawab setelah tertawa mengejek.
“Pek-liong-eng Tan Cin Hay, tidak perlu bersikap gagah-gagahan. Turunlah dan mari kita bicara. Kalau engkau menyerah dengan damai, baik sekali. Kalau tidak, apakah engkau ingin melihat aku menyembelih gadis ini di depan matamu?”
Pek-liong mengukur dengan matanya. Kalau dia menggunakan jurus dari Pek-liong Sin-kun dan menyambar dari bawah menyerang
649
pemuda yang menawan Cian Li itu, terlalu berbahaya bagi Cian Li. Dia belum tahu sampai di mana kelihaian pemuda itu, dan dia tidak boleh mempertaruhkan keselamatan nyawa Cian Li.
“Hay-koko, jangan mau menyerah! Biar mereka membunuhku, jangan kau menyerah!” Gadis itu berteriak dan mendengar teriakan ini, si pemuda itu lalu menggunakan tangan kirinya menotok.
Sekali totok, tubuh gadis itu menjadi lemas dan ia tidak dapat meronta atau mengeluarkan suara lagi. Gerakan totokan ini saja sudah cukup bagi Pek-liong untuk mengetahui bahwa pemuda itu lihai bukan main! Akan celakalah keselamatan nyawa Cian Li kalau dia mencoba-coba untuk menyerang. Diapun menarik napas panjang.
“Hemm, sobat. Engkau lihai akan tetapi licik dan curang bukan main. Baiklah, aku akan turun dan bicara denganmu!” Diapun melayang turun ke depan pemuda itu dan keduanya kini saling berhadapan dan saling pandang dengan penuh perhatian.
Pek-liong tidak mengenal pemuda itu. Seorang pemuda yang tidak begitu muda lagi, sedikitnya tentu ada tigapuluh lima tahun usianya. Wajahnya tampan, matanya tajam dan senyumnya genit. Pakaiannya, sungguh aneh sekali, juga serba putih seperti pakaiannya sendiri. Hanya bedanya, kalau pakaiannya yang putih itu terbuat dari kain yang kuat dan kasar, berpotongan sederhana saja, sebaliknya pakaian putih pemuda itu terbuat dari sutera halus dan disulam.
“Sobat, engkau sudah mengenalku, akan tetapi aku belum pernah bertemu denganmu dan belum mengetahui siapakah engkau ini, dan mengapa pula engkau mempergunakan akal busuk ini untuk memaksa
650
aku menyerah?” tanya Pek-liong dengan senyum mengejek. Orang itu mengamatinya dan ada sinar kagum membayang di matanya.
“Sungguh mengagumkan sekali. Kukira yang berjuluk Pek-liong-eng adalah seorang yang sudah matang dan sudah cukup umur. Kiranya seorang pemuda yang belum dewasa benar! Pek-liong-eng, aku bernama Ciong Koan dan orang menyebut aku Pek I Kongcu (Tuan Muda Pakaian Putih).”
“Ah, kiranya murid Kun-lun-pai yang murtad itu?” Pek-liong berseru karena dia sudah pernah mendengar nama ini, “Seorang kongcu, yang curang dan tidak pantas disebut kongcu, juga wataknya amat hitam walaupun pakaiannya dari sutera putih!”
Sepasang alis yang tebal hitam itu berkerut dan mata itu kini memancarkan kemarahan. “Cukup, Pek-liong-eng! Engkau menyerah dengan damai atau harus ku bunuh dulu gadis ini?”
Tahu bahwa orang itu marah dan menjadi berbahaya sekali bagi keselamatan Cian Li, Pek-liong lalu menarik napas panjang kembali. “Baiklah, aku menyerah. Akan tetapi, apa artinya semua ini? Aku berkenalan dengan Tiong Tosu dan Yong Hwesio, dan kalian membunuh mereka tanpa sebab! Kemudian, aku berkenalan dengan gadis penyelam itu dan kalian juga berusaha membunuhnya. Ada apakah di balik semua permainan kotor ini?” Pertanyaan ini diajukan dengan suara penasaran seolah-olah dia memang merasa penasaran sekali.
Kini Pek I Kongcu Ciong Koan tersenyum mengejek. “Tidak perlu banyak cakap. Engkau menyerah saja, membiarkan kedua tanganmu dibelenggu dan engkau bersama gadis ini akan kami hadapkan kepada
651
Beng-cu! Di sana baru engkau boleh bicara. Tugas kami hanya menawan kalian berdua!”
Cian Li memandang pemuda yang dikaguminya itu. Wajahnya pucat sekali, matanya terbelalak seperti mata kelinci yang dicengkeram harimau. Mata itu indah sekali, Pek-liong masih sempat kagum. Dan gadis itu menggeleng-geleng kepalanya kepada Pek-liong, seolah-olah hendak memintanya agar dia tidak mau menyerah.
Akan tetapi, kalau dia tidak menyerah, belum tentu dia akan mampu menyelamatkan Cian Li, pikir Pek-liong. Pula, kiranya hanya dengan jalan menyerahkan diri saja dia akan dapat menyelidiki dengan baik untuk membongkar rahasia mereka.
“Baiklah, aku menyerah...... tapi......” Dia nampak meragu karena tiba-tiba dia teringat bahwa Pedang Naga Putih berada di balik jubahnya. Kalau dia menyerahkan diri, sudah pasti sekali orang-orang sesat itu akan merampasnya dan hal ini amatlah berbahaya.
“Nanti dulu, aku khawatir, jangan-jangan kalian ini bertindak curang. Biar aku memberitahu dulu kawanku sehingga kalau kalian curang dan membunuh aku dan nona Kam Cian Li, kawanku itu yang akan membalas dendam dan menumpas kalian!”
Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja dia meloncat jauh dan dalam beberapa detik saja bayangannya lenyap dari situ. Tentu saja Pek I Kongcu Ciong Koan menjadi terkejut, akan tetapi diapun menjadi ragu-ragu karena tidak dapat menduga apa yang sesungguhnya dikehendaki oleh Pek-liong-eng yang dia tahu amat lihai itu.
652
Untuk melakukan pengejaran dia tidak berani. Maka dia hanya dapat mengerutkan alisnya dan memandang kepada Kam Cian Li yang masih bersikap tabah dan tenang itu.
“Nona, kebohongan dan akal busuk apakah yang sedang dilakukan oleh Pek-liong-eng itu?”
Gadis itu tersenyum mengejek. “Pek-liong-eng tidak pernah berbohong dan tidak pernah menggunakan akal busuk! Kalau dia mengatakan mempunyai kawan baik, hal itu memang benar. Kawan-kawannya adalah bangsa malaikat dan dewa yang tentu kelak akan menumpas kalian kalau kalian bertindak curang!”
Tentu saja Pek I Kongcu bukan seorang bodoh dan tahyul yang mudah saja digertak dan dibohongi. Akan tetapi sebelum dia bicara lagi, tiba-tiba terdengar suara Pek-liong-eng.
“Ucapan nona Kam Cian Li memang benar!” Dan muncullah Pek-liong-eng yang tersenyum-senyum.
Pek I Kongcu memandang penuh perhatian, akan tetapi tidak melihat perubahan apapun pada diri pendekar itu yang dapat dicurigai. Tentu saja dia tidak tahu bahwa sebatang pedang pusaka ampuh yang tadinya tersembunyi di balik jubah, kini telah tidak ada lagi.
“Nah, aku menyerah dan cepat bawa kami menghadap pemimpin kalian!” kata Pek-liong-eng Tan Cin Hay sambil menjulurkan kedua lengannya ke depan.
653
Pek I Kongcu memberi isyarat kepada Po-yang Sam-liong yang menjadi pembantunya, “Belenggu kedua lengannya, satukan dengan gadis ini!” katanya.
Karena memang sudah diatur terlebih dahulu, mereka sudah mempersiapkan pula sebuah rantai panjang yang kuat dan di ujung rantai itu terdapat belenggu-belenggu yang kuat pula. Tanpa melawan, Tan Cin Hay membiarkan kedua pergelangannya yang disatukan itu dibelenggu, kemudian belenggu di ujung rantai yang lain dipergunakan membelenggu kedua tangan Cian Li.
Gadis itu sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan ia tersenyum girang ketika ia berdiri berdampingan dengan Pek-liong-eng. Rantai itu menyatukan mereka, membuat mereka tak dapat saling berpisah jauh dan selalu berdampingan, seperti sepasang pengantin! Pek-liong-eng sendiri sampai merasa heran sekali melihat gadis manis itu tersenyum-senyum demikian gembiranya!
Setelah melihat Pek-liong-eng dibelenggu, Ciong Koan sendiri lalu menggeledah dan memeriksa tubuh Pek-liong-eng untuk mencari senjata yang disembunyikan. Akan tetapi dia tidak menemukan apa-apa dan diam-diam Pek-liong-eng merasa bersyukur bahwa pada saat terakhir dia teringat kepada pedang pusakanya dan masih sempat mengelabuhi mereka dan menyimpan senjata itu di tempat persembunyian yang hanya dia sendiri mengetahuinya.
“Ha-ha, orang she Ciong. Kalau engkau mencari uang dan emas, engkau tidak akan mendapatkannya padaku!” Pek-liong berkata sambil tersenyum mengejek.
654
Wajah Pek I Kongcu Ciong Koan menjadi kemerahan. Ucapan itu sama dengan mengatakan bahwa dia adalah seorang yang suka mencopet atau merampas barang orang! Dia dianggap sebagai seorang penjahat pasar yang kecil saja. Akan tetapi, dia tidak mampu membalas karena bagaimanapun juga “kemenangannya” sekali ini adalah kemenangan yang tidak boleh dibanggakan.
Dia memaksa Pek-liong menyerah bukan dengan mengalahkannya dalam perkelahian, melainkan memaksanya dengan menyandera gadis itu. Sebetulnya, diapun ingin sekali menguji kepandaian pendekar itu sampai tuntas dan dia harapkan sekali waktu akan mampu membuat pendekar itu menyerah di bawah todongan pedangnya yang ampuh.
“Mari kita pergi!” Hanya demikian dia mendengus untuk melampiaskan kedongkolan hatinya, memberi isyarat kepada Po-yang Sam-liong. Dua orang tawanan itu digiring oleh Po-yang Sam-liong, diikuti pula oleh Pek I Kongcu, dan empat orang anak buah mereka yang telah luka-luka itu menyusul di belakang sambil terpincang dan terhuyung.
Kam Cian Li menengok ke kanan kiri, ke belakang, dan ia tersenyum-senyum, nampak gembira sekali. Melihat ini, tentu saja Pek-liong menjadi heran dan khawatir. Jangan-jangan saking takutnya dan gelisahnya, gadis manis ini menjadi sinting, pikirnya.
“Cian Li. kenapa engkau senyum-senyum begini gembira?” Tak dapat dia menahan keinginan tahunya dan dia bertanya dengan suara berbisik.
Dengan wajah berseri dan mulut tersenyum sehingga nampak semakin manis, gadis itu menoleh kepada Pek-liong yang berjalan di samping
655
kirinya. “Hay-ko, apakah engkau tidak merasa seperti yang kurasakan?”
Berbalik ditanya, Pek-liong mengerutkan alisnya dan menjawab. “Yang kurasakan sama sekali bukan kegembiraan. Kita menjadi tawanan, tidak ada alasannya untuk bergembira. Apa sih yang membuatmu begini gembira?”
“Koko, kita berjalan bersanding seperti ini, di belakang kita ada para pengikut kita. Aku merasa seperti menjadi sepasang pengantin! Bukankah menggembirakan sekali?”
Sejenak Pek-liong terbelalak, akan tetapi dia lalu tersenyum, diam-diam dia memuji ketabahan hati gadis manis ini dan ada keharuan karena dia dapat melihat bahwa gadis manis ini agaknya telah jatuh cinta kepadanya. Hanya seorang gadis yang jatuh cinta saja yang menjadi begitu gembira membayangkan dirinya menjadi pengantin dengan pria yang dicintanya, tentu saja!
“Aih, engkau ini ada-ada saja, Li-moi!” katanya sambil tertawa, akan tetapi dia berbisik lirih sekali, menggunakan khi-kang sehingga suaranya hanya dapat didengar oleh telinga gadis itu sendiri. “Engkau harus pandai mengulur waktu dan bersikap sabar sampai munculnya kakakmu dan Liong-li......”
“Apakah...... ia akan benar-benar muncul?” balas Cian Li berbisik lirih.
“Sudah pasti, jangan engkau gelisah.”
“Siapa gelisah? Aku gembira malah, koko!”
656
Pek-liong mengatupkan mulutnya agar tidak bicara lagi. Gadis ini amat pemberani, dan saking beraninya, jangan-jangan malah akan merusak siasat dan rencananya. Dia membiarkan diri ditawan bukan semata untuk menyelamatkan Cian Li, melainkan terutama sekali agar dia dapat mengetahui dengan jelas keadaan gerombolan yang dipimpin seorang di antara Kiu Lo-mo itu.
Dia tahu bahwa dia telah melakukan permainan berbahaya, mempertaruhkan nyawanya. Andaikata dia tidak mengatur rencana siasat, tidak merasa yakin bahwa tentu Hek-liong-li akan muncul, tentu dia tidak akan melakukan permainan gila ini. Menyerah kepada seorang datuk sesat seperti Siauw-bin Ciu-kwi yang baru dikenal namanya saja, seorang di antara datuk-datuk besar Kiu Lo-mo, sungguh merupakan suatu kenekatan dan nyawanya berada dalam ancaman bahaya.
Setelah mereka tiba di kaki Bukit Merak, tidak jauh dari Telaga Po-yang, Pek I Kongcu Ciong Koan menyuruh Po-yang Sam-liong untuk mengikatkan kain hitam di depan mata kedua orang tawanan itu. Selanjutnya, Poa Teng, orang ketiga dari Po-yang Sam-liong memegang rantai diantara dua orang tawanan dan dengan demikian menarik dan menuntun mereka yang tidak dapat melihat itu untuk mendaki Bukit Merak.
Biarpun kedua matanya ditutupi kain hitam dan dia sama sekali tidak dapat melihat, namun diam-diam Pek-liong memperhatikan jalan yang dilaluinya, tanjakan-tanjakannya, macam tanah yang diinjaknya, baru tumbuh-tumbuhan di kanan kirinya dan mencatat semua itu dalam ingatannya.
657
Dia tahu bahwa mereka melalui tebing jurang sebanyak lima kali, memasuki hutan cemara dua kali, hutan pohon-pohon liar dua kali dan menyeberang sungai kecil dua kali. Juga dia dapat mengetahui dari pendengarannya yang tajam bahwa ada lima lapis penjagaan sebelum mereka akhirnya tiba di depan rumah besar yang menjadi tempat tinggal Siauw-bin Ciu-kwi.
Penutup mata hitam itu baru dibuka setelah mereka memasuki sebuah ruangan. Biarpun mereka berada di dalam ruangan, ketika tutup mata itu dibuka, Pek-liong dan Cian Li mengejap-ngejapkan kedua mata beberapa kali sebelum mampu membukanya karena ruangan itu masih terlalu terang bagi mata mereka yang untuk beberapa lamanya tadi ditutup kain hitam. Mereka merasa silau melihat cahaya matahari masuk ruangan itu melalui jendela-jendela ruangan yang dibuka lebar.
Pek-liong mengamati ruangan itu. Mereka berada di sebuah ruangan yang luas sekali, dan tidak banyak perabot terdapat di situ. Tentu sebuah lian-bu-thia (ruangan bermain silat), pikir Pek-liong, melihat adanya sebuah rak besar terisi bermacam senjata di sudut ruangan.
Dia dan Cian Li berdiri berdekatan, dan mereka menghadapi beberapa orang yang duduk di atas kursi-kursi berjajar, dengan meja di depan mereka. Banyak cawan dan beberapa guci arak berada di atas meja.
Sepasang mata Pek-liong mengamati orang-orang itu satu demi satu. Mula-mula pandang matanya bertemu dengan pandang mata kekanak-kanakan dari seorang laki-laki berusia kurang lebih limapuluh tahun. Tubuhnya gendut sekali, dan bentuknya pendek sehingga nampaknya bulat seperti bola. Kepalanya yang botak gundul itu juga bulat seperti
658
bola. Mukanya lucu, seperti muka kanak-kanak yang lugu dan murni, selalu tersenyum.
Kalau tidak melihat sinar matanya yang kadang-kadang mencorong kejam itu, tentu orang akan merasa heran melihat orang yang kelihatan begitu “baik budi” berada di sarang gerombolan penjahat itu. Pek-liong tidak pernah mengenal orang ini dan sama sekali tidak tahu bahwa justeru orang berwajah kekanak-kanakan itulah dia Siauw-bin Ciu-kwi, seorang di antara Kiu Lo-mo.
Orang keduanya yang duduk di sebelah kanan si gendut itu adalah seorang wanita cantik manis yang tubuhnya menggiurkan, matanya genit penuh daya pikat, mulutnya dengan bibir yang merah basah dan rongga mulut merah, deretan gigi putih dan ujung lidah merah jambu yang kadang-kadang menjilat bibir itu penuh gairah. Pakaiannya juga pesolek indah, tangan kiri mengebut-ngebutkan sebuah kipas bulu yang indah.
Wanita berusia kurang lebih tigapuluh tahun ini memandang kepada Pek-liong dengan sinar mata penuh gairah dan bibir tersenyum manis. Ialah Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si dan Pek-liong diam-diam dapat menduga siapa adanya wanita cantik ini. Ia pernah mendengar tentang iblis betina ini, apa lagi melihat kipas bola itu, iapun menduga bahwa mungkin wanita yang belum pernah dijumpainya inilah yang berjuluk Tok-sim Nio-cu itu.
Ketika dia bertemu pandang dengan Lim-kwi Sai-kong, diapun segera dapat menduga siapa adanya kakek berusia enampuluh tahun yang bertubuh tinggi besar dengan muka persegi seperti muka singa, penuh
659
cambang bauk, matanya lebar, pakaian serba hitam ini. Maka diam-diam dia mencatat dalam hatinya.
Dia sudah mendengar akan kelihaian Tok-sim Nio-cu, juga Lim-kwi Sai-kong dan di samping kedua orang ini, di situ masih ada Pek I Kongcu yang tentu amat lihai pula, yang dibantu oleh Po-yang Sam-liong yang biarpun tidaklah selihai tokoh-tokoh sesat ini namun harus diperhitungkan pula karena tiga orang raksasa itu amat kejam dan bertenaga besar.
Dan di samping Pek I Kongcu Ciong Koan, masih ada pula seorang pria tinggi kurus yang kulit mukanya hitam, mukanya yang buruk bengis itu dingin seperti topeng dan usianya empatpuluh lima tahun. Dia tidak tahu siapa orang ini, namun dapat menduga tentu lihai pula mengingat dia duduk pula di situ, sejajar dengan yang lain.
Biarpun belum pernah mengenalnya, dengan mudah Pek-liong-eng dapat menduga siapa adanya Siauw-bin Ciu-kwi. Siapa lagi kalau bukan si gendut bundar itu, pikirnya. Dia sudah pernah mendengar tentang keadaan diri datuk besar ini, namun setelah kini berhadapan, dia diam-diam merasa terkejut dan heran.
Tak disangkanya bahwa seorang di antara Kiu Lo-mo belum tua benar dan wajahnya seperti seorang kanak-kanak yang berhati wajar dan bersih. Namun dia sudah mendengar bahwa seperti para datuk lain yang disebut Kiu Lo-mo, si gendut ini amat lihai, memiliki kesaktian dan merupakan lawan yang amat tangguh. Apa lagi di sampingnya terdapat demikian banyaknya pembantu yang lihai. Yang nampak saja di situ empat orang tokoh sesat, belum lagi Po-yang Sam-liong dan tentu saja banyak anak buah mereka. Sungguh merupakan lawan yang
660
amat tangguh. Akan tetapi apakah yang sedang mereka cari? Rahasia Patung Emas?
Tiba-tiba terdengar suara ketawa terpingkal-pingkal. Yang tertawa adalah si gendut Siauw-bin Ciu-kwi. Dia tertawa seperti melihat sesuatu yang lucu. Para pembantunya hanya ikut tersenyum karena tidak tahu apa yang ditertawakan oleh Beng-cu mereka. Si gendut mengakhiri ketawanya, lalu menuding ke arah Pek-liong-eng dan tertawa lagi walaupun tidak separah tadi.
“Ha-ha-ha-ha, heh-heh, inikah yang disebut Pek-liong-eng? Ha-ha-ha, seorang pemuda yang masih hijau! Lihat, masih ada ingusnya di bawah hidungnya! Dan bocah ini yang membasmi Hek-sim Lo-mo dan kawan-kawannya? Ha-ha-heh-heh-heh, sungguh sukar dipercaya. Tentu Hek-sim Lo-mo kini sudah menjadi terlalu tua bangka dan sudah pikun dan lemah sehingga mudah saja dikalahkan seorang bocah ingusan. Heh, Pek liong-eng Tan Cin Hay! Benarkah engkau memiliki kemampuan untuk mengalahkan mendiang Hek-sim Lo-mo?” Sepasang mata dari wajah kekanak-kanakan itu kini mencorong bengis ketika memandang kepada Pek-liong.
Pek-liong maklum bahwa namanya telah menggemparkan dunia kaum sesat dan agaknya mereka itupun menjadi gentar pula kepadanya. Maka, dia lalu mengambil sikap angkuh, membusungkan dadanya dan dia memandang kepada si gendut itu dengan pandang mata tajam penuh tantangan.
“Engkau agaknya Siauw-bin Ciu-kwi yang disebut Beng-cu. Ciu-kwi, tidak perlu banyak bertanya, kalau engkau ingin mencoba kepandaianku, silakan, aku sudah siap sedia!”
661
Mendengar ucapan yang nadanya menantang ini, semua orang terbelalak, dan para pembantu Siauw-bin Ciu-kwi memandang marah. Akan tetapi si gendut itu sendiri tertawa geli walaupun sinar matanya semakin mencorong berbahaya.
Cian Li kagum bukan main kepada Pek-liong. Ia tentu saja merasa gelisah dan takut, akan tetapi karena di dekatnya ada Pek-liong, semua rasa takut lenyap dan dara ini bahkan merasa berbahagia sekali bahwa ia dapat menghadapi pengalaman berbahaya itu berdua dengan Pek-liong.
“Hay-koko, engkau sungguh hebat!” katanya tanpa mengecilkan suaranya, tidak perduli bahwa semua orang mendengarnya. “Aku berani bertaruh seekor babi muda bahwa engkau yang akan keluar sebagai pemenang!”
Melihat sikap yang luar biasa tabahnya dari gadis itu, Pek-liong juga kagum. Gadis ini tidak berapa hebat kepandaiannya, namun memiliki keberanian yang mengagumkan. Pada hal, ketika pertama kali bertemu dia melihat gadis ini tidaklah begitu tabah.
“Li-moi, apakah engkau mempunyai babi?” tanyanya, berkelakar, untuk mempertahankan wibawanya sebagai seorang tawanan yang lain, yang sama sekali tidak takut bahkan menantang pimpinan gerombolan!
“Tentu saja aku mempunyai peliharaan seekor babi muda, dan belasan ekor ayam dan..... aihh, celaka, siapa yang akan memberi makan mereka? Babiku dan ayam-ayamku tentu mati kelaparan! Uh, mereka ini sungguh jahat, menyebabkan babi dan semua ayamku kelaparan!”
662
SIKAP kedua orang tawanan yang sama sekali tidak menghormati Beng-cu mereka, bahkan pemuda itu berani secara terbuka menantang Beng-cu mereka!
“Beng-cu, biarkan aku mematahkan tulang punggung bocah sombong ini,” Lim-kwi Sai-kong berteriak marah.
“Hemm, akupun ingin menghancurkan kepala manusia sombong ini, Beng-cu. Serahkan saja kepadaku!” Hek-giam-ong Lok Hun juga berseru garang.
“Aku yang lebih dulu menemukannya dan membawanya ke sini. Beng-cu tentu akan membiarkan aku mewakilinya untuk menghajar bocah lancang ini!” kata Pek I Kongcu.
Mendengar kesanggupan para pembantunya, Siauw-bin Ciu-kwi tertawa gembira, lalu tiba-tiba dia menoleh kepada Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si yang duduk di sebelahnya. Dia melihat betapa wanita cantik itu sedang mengamati Pek-liong dengan penuh selidik, dan dia merasa seolah-olah pembantu utamanya itu sedang menaksir seekor kuda jantan untuk dibelinya.
“Dan engkau bagaimana, Nio-cu? Sanggupkah engkau menandingi Pek-liong-eng?”
Tanpa menoleh kepada Beng-cu itu, Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si masih mengamati Pek-liong dari kepala sampai ke kaki, menjawab, “Hemm sebelum membunuhnya, aku ingin melihat kejantanannya lebih dulu. Nampaknya dia jantan......”
663
Siauw-bin Ciu-kwi tertawa bergelak. Biarpun pembantu utamanya ini juga menjadi kekasihnya, namun dia mengenal benar watak pembantunya ini yang cabul, genit dan gila pria, maka dia tidak pernah merasa cemburu kalau melihat pembantunya ini mengeram laki-laki muda di dalam kamarnya. Dan wanita itupun tak pernah menyembunyikan “hobby” itu dari siapa saja.
Bahkan dengan Pek I Kongcu Ciong Koan iapun sudah melakukan hubungan mesra tanpa memperdulikan Beng-cu yang juga hanya menyeringai saja. Kalau melihat seorang pria muda yang tampan dan gagah, wanita ini seketika bangkit gairahnya, maka jawabannya itupun tidak mengejutkan semua rekannya.
“Ha-ha-ha, kalau tiba saatnya kita akan membunuh dia, tentu lebih dulu kau akan kuberi kesempatan untuk menghisap darahnya sampai habis, Nio-cu. Ha-ha-ha!” kata Siauw-bin Ciu-kwi, “Akan tetapi sekarang belum boleh, aku ingin bicara dengan dia. Hei, Pek-liong-eng, aku minta engkau bicara terus terang atau terpaksa kami akan membunuh engkau dan gadis itu setelah menyiksa kalian!”
Pek-liong membusungkan dadanya. “Siauw-bin Ciu-kwi, engkau adalah seorang datuk besar yang amat terkenal sebagai seorang di antara Kiu Lo-mo, dan engkau di sini dibantu pula oleh banyak tokoh yang lihai, banyak pula memiliki anak buah. Akan tetapi sungguh tidak kusangka bahwa engkau demikian penakut sehingga tidak berani menerima aku tanpa membelenggu tanganku. Apakah engkau khawatir kalau aku memberontak dan membunuh kalian semua?”
Kembali ucapan Pek-liong ini membuat semua anak buah Beng-cu menjadi marah, kecuali Tok-sim Nio-cu yang mengangguk-angguk
664
kagum. Seorang pria segagah Pek-liong belum pernah terjatuh ke dalam pelukannya dan kini ia memandang penuh kagum.
Diam-diam Cian Li sejak tadi memperhatikan wanita itu, apa lagi setelah mendengar ucapannya tadi. Ia cemberut dan marah bukan main, diam-diam membenci wanita cantik genit itu. Perasaan cemburu meledak-ledak di hatinya dan kalau saja ia diberi kesempatan, mau rasanya ia menyerang dan mencakar muka cantik yang genit itu!
“Beng-cu, dia terlalu menghina Beng-cu. Biar kuhajar mampus dia!” kata Hek-giam-ong Lok Hun sambil mengamangkan ruyungnya.
“Ha-ha, belum waktunya, Hek-giam-ong. Pek I Kongcu, kau lepaskan belenggu tangan mereka berdua agar Pek-liong-eng melihat bahwa aku sama sekali tidak takut kepadanya!”
Pek I Kongcu tentu saja juga tidak takut. Kalau tadi dia mempergunakan Cian Li untuk memaksa Pek-liong menyerah adalah karena dia tidak ingin repot-repot, pula dia tidak mempunyai teman yang boleh diandalkan kecuali Po-yang Sam-liong.
Sekarang, rekan-rekannya lengkap, ada pula Beng-cu, tentu saja dia tidak takut kalau tawanan itu akan dapat lolos. Dia lalu memberi isyarat kepada Po-yang Sam-liong. Poa Seng, orang tertua dari tiga raksasa Po-yang itu, segera melangkah maju dan menggunakan kunci membuka belenggu tangan yang disambung rantai mempersatukan Cian Li dan Pek-liong itu.
Pek-liong tersenyum, juga Cian Li menjadi lega, menggosok-gosok pergelangan tangan bekas belenggu. “Terima kasih, Siauw-bin Ciu-
665
kwi. Sikapmu ini saja membuat engkau semakin pantas menjadi Beng-cu, tidak berjiwa penakut,” kata Pek-liong.
Senyum ketua itu makin melebar, agaknya senang juga dia kini dipuji oleh pendekar yang pernah membasmi kelompok yang dipimpin seorang rekannya yang lebih tua, yaitu Hek-sim Lo-mo.
“Ha-ha-ha, duduklah, Pek-liong, dan kau juga, nona penyelam! Kami dapat menjadi tuan rumah bagi seorang tamu dan sahabat yang baik, Pek-liong, akan tetapi juga dapat menjadi seorang musuh yang amat bengis. Terserah kepadamu engkau ingin menjadi tamu dan sahabat, ataukah menjadi seorang musuh. Tergantung dari jawaban-jawabanmu.”
Dengan sikap tenang sekali Pek-liong mengambil tempat duduk di atas kursi, dan Cian Li, walaupun hatinya terasa kecut dan tidak senang, ikut pula duduk di samping kiri pemuda itu.
“Siauw-bin Ciu-kwi...... atau lebih baik kusebut Beng-cu karena engkau telah diterima sebagai Beng-cu di sini. Nah, Beng-cu, kau ajukanlah pertanyaan-pertanyaan itu, tentu akan kujawab sebagaimana mestinya.”
“Ha-ha-ha, bagus, bagus! Lebih dulu terimalah ucapan selamat datang dari kami dengan secawan arak, Pek-liong!”
Akan tetapi sebelum Beng-cu itu menuangkan secawan arak, lebih dahulu Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si bangkit dan menghampiri Pek-liong, dengan gaya yang lembut dan menawan ia menuangkan arak dari guci ke sebuah cawan. Kemudian dengan senyum manis sekali ia
666
menyerahkan cawan arak itu kepada Pek-liong sambil berkata dengan suara merdu seperti orang bernyanyi.
“Pek-liong-eng, sudah lama sekali aku mengagumi kegagahanmu. Terimalah secawan arak dari Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si!”
Pek-liong tak dapat menolak dan ketika dia menerima cawan arak itu, tangannya bertemu dengan tangan wanita itu yang sengaja memegang tangannya, dan terciumlah keharuman keluar dari dada wanita itu ketika tangan Pek-liong bersentuhan dengan tangan yang berkulit lembut dan hangat.
Cian Li bangkit dengan muka merah dan gerakannya itu membuat kursi yang didudukinya terpelanting jatuh.
“Li-moi, engkau kenapakah?” Pek-liong bertanya heran. Gadis itu bersungut-sungut lalu membuang muka dan mendengus marah.
“Huh, muak aku......!”
Melihat ini, Beng-cu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, kiranya nona penyelam ini adalah pacarmu, Pek-liong? Ha-ha-ha, bagus sekali......”
Pek-liong mengerutkan alisnya. Diapun kini tahu bahwa Cian Li marah-marah karena sikap Tok-sim Nio-cu tadi, kemarahan yang timbul dari cemburu. Dia tahu bahwa gadis itu agaknya telah jatuh hati kepadanya. Akan tetapi andaikata hal ini henar, merupakan kenyataan yang amat berbahaya kalau diketahui oleh Beng-cu, karena ikatan batin itu dapat dipergunakan Beng-cu untuk memaksakan kehendaknya dengan mengancam seorang di antara mereka.
667
“Beng-cu, harap jangan bicara sembarangan! Aku baru saja mengenal nona Kam Cian Li ini, kami sama sekali bukan pacaran!”
“Ha-ha, setidaknya ia mencintamu, Pek-liong. Sudahlah, terimalah ucapan selamat datang dengan minum cawan arak kita. Mari!”
Tuan rumah itu minum araknya dan sebagai penerimaan penghormatan itu, mau tidak mau Pek-liong juga minum habis arak yang disuguhkan Tok-sim Nio-cu. Cian Li sudah duduk kembali dengan mulut cemberut.
“Pek-liong, kami tahu bahwa engkau tinggal di daerah Telaga See-ouw. Akan tetapi kini engkau berada di Po-yang? Nah, katakan kepadaku, apa keperluanmu berkeliaran di daerah Po-yang? Engkau bersama-sama dengan Tiong Tosu dan Yong Hwesio, kemudian engkaupun bersama-sama dengan kakak beradik Kam ahli penyelam. Nah, apa maksudmu berada di sini!”
“Aku hanya melancong ke Po-yang,” jawab Pek-liong dengan cepat dan jawabannya itu memang bukan bohong. “Hanya secara kebetulan saja aku bertemu dengan tosu dan hwesio itu, juga kebetulan saja aku bertemu dengan kakak beradik Kam. Sekarang, aku yang ingin berbalik bertanya, Beng-cu. Kenapa engkau menyuruh bunuh Tosu dan Hwesio itu, dan kenapa pula orang-orangmu mengganggu kakak beradik Kam? Aku tadi sudah menjawab sejujurnya, maka kuharap engkaupun suka menjawab sejujurnya.”
Beng-cu itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, sikapmu memang angkuh sekali, Pek-liong. Engkau memancing keinginan tahuku sampai di mana sesungguhnya kehebatan ilmu silatmu maka engkau berani mengambil sikap seperti ini. Sekarang, jawablah, karena pertanyaanku
668
belum habis. Engkau sebagai tawanan tidak berhak mengajukan pertanyaan. Nah, pertanyaan selanjutnya. Engkau selama ini bekerja sama dengan Hek-liong-li, kenapa sekarang ia tidak ikut datang? Di mana Hek-liong-li?”
Pek-liong tersenyum. “Ha, jangan khawatir, Beng-cu. Kalau aku terancam bahaya di sini, sudah pasti ia akan muncul dan membasmimu.”
Beng-cu itu mengerutkan alisnya. “Hemm, aku tahu. Kakak nona ini tidak nampak bersama kalian. Tentu dia kausuruh memanggil Hek-liong-li, bukan?”
Diam-diam Pek-liong terkejut juga dan memuji kecerdikan si gendut itu. Seorang lawan yang bukan saja tangguh, akan tetapi juga amat cerdik, pikirnya.
“Kalau engkau sudah menduganya, tentu engkau tidak akan berani sembarangan mengganggu kami, Beng-cu. Dengar baik-baik. Engkau tentu tahu bahwa aku menyerah kepada pembantumu yang tampan itu bukan karena aku telah dikalahkan, melainkan karena dengan curang dia telah menawan nona Kam Cian Li. Akan tetapi, kalau aku menghendaki, aku dapat saja melarikan diri dari sini. Paling-paling kalian akan membunuh nona Kam. Akan tetapi kalian akan menerima pembalasan kami, yaitu aku dan Liong-li! Sebaiknya, kau bebaskan kami karena sesungguhnya kami tidak mempunyai urusan dengan kalian.”
“Hemm, Pek-liong. Engkaupun dengar baik-baik. Saat ini engkau adalah tawanan kami. Tak perlu engkau mengancam. Kalau aku menghendaki, sekarangpun kami akan dapat mengeroyok dan
669
membunuhmu. Akan tetapi tidak, aku membutuhkan bantuanmu, membutuhkan bantuan kalian. Pek-liong, katakan saja, bukankah engkau sudah mendapatkan sepotong dari peta rahasia Patung Emas itu?”
Pek-liong mengerutkan alisnya dan dia melihat betapa Cian Li memandang kepadanya dengan sinar mata penuh pertanyaan. Dia menggeleng kepala. “Peta rahasia Patung Emas? Aku sama sekali tidak tahu tentang itu, Beng-cu. Bagaimana engkau menduga bahwa aku sudah mendapatkan sepotong dari peta itu?”
Kini mulut Beng-cu tidak tersenyum, melainkan cemberut. “Semua orang memperebutkannya. Kalau engkau berkeliaran di sini, apa lagi yang kaulakukan kalau tidak ikut memperebutkan? Pek-liong, demi keselamatanmu dan keselamatan gadis ini, lebih baik engkau bekerja sama dengan kami. Terus terang saja, yang sepotong lagi berada di tanganku. Sudah lama aku mencari potongan yang lain dari peta itu.
“Mula-mula berada di tangan Loan Khi Hwesio, hwesio tolol itu telah menyerahkan peta itu kepada Thio Kee San. Akan tetapi, orang she Thio itupun menyerahkan lagi peta itu kepada pelacur Bi Hwa. Sampai mampus, Bi Hwa tidak mengaku di mana adanya peta itu. Kami mencurigai Tiong Tosu dan Yong Hwesio yang mengadakan penyelidikan terhadap kami, dan kami mencurigai kakak beradik Kam yang pekerjaannya menyelam dan mengumpulkan batu-batuan.
“Nah, karena engkau berada bersama mereka, maka sudah pasti engkau telah menemukan peta itu. Mengakulah saja, Pek-liong dan mari kita bekerja sama, kalau berhasil mendapatkan harta karun itu, kita bagi rata......”
670
“Beng-cu, sungguh mati aku tidak pernah menemukan peta itu, melihatnyapun belum pernah. Bagaimana aku dapat menyerahkannya kepadamu?”
“Beng-cu, dia bohong! Kalau dia muncul di sini, pantas saja peta itu lenyap. Tentu dia yang telah mengambilnya dari tangan pelacur itu. Biarkan aku menyiksa dan memaksanya agar dia mengaku!” Hek-giam-ong Lok Hun sudah meloncat ke depan dengan ruyung di tangan.
Si gendut itu bangkit berdiri dan tertawa pula, lalu melangkah mendekati Pek-liong. “Engkau keras kepala, Pek-liong. Akan tetapi, kalau memang engkau memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, engkau boleh menjadi pembantuku. Pasti engkau akan memperoleh bagian kalau usahaku berhasil, seperti para pembantu lain. Maka, aku ingin sekali mengujimu!”
Tiba-tiba saja, luar biasa cepat gerakannya sehingga sama sekali tidak sepadan dengan tubuhnya yang gendut bundar, dia sudah menerjang dan mengirim pukulan bertubi ke arah tubuh Pek-liong. Pukulan berantai itu memang hebat, selain cepat sekali, juga mengandung tenaga dahsyat. Pek-liong mengenal serangan berbahaya, maka diapun cepat menggeser kakinya dan menghindarkan diri dengan mundur untuk memasang kuda-kuda dan siap balas menyerang. Akan tetapi, tiba-tiba saja si gendut tertawa dan di lain saat, dia telah menangkap lengan Cian Li. Gadis ini menjerit, meronta, namun sama sekali tidak mampu berkutik.
“Ha-ha-ha, Pek-liong. Sudah kukatakan bahwa aku hanya ingin mengujimu, menguji kepandaianmu, oleh karena itu engkau tidak
671
boleh membunuh seorang di antara para pembantuku. Hek-giam-ong, kini engkau boleh mencoba dia!” Berkata demikian, Beng-cu itu duduk kembali dan mendorong Cian Li kearah Pek I Kongcu yang menyambutnya, menotok tengkuknya dan mendudukkan gadis yang sudah lemas tak mampu meronta itu ke atas sebuah kursi.
“Beng-cu, engkau selalu curang!” bentak Pek-liong marah.
“Hem, tenanglah. Aku hanya ingin menguji kepandaianmu. Kalau kuanggap pantas menjadi pembantuku, kau akan kuangkat menjadi pembantu. Kalau tidak, engkau akan mati sekarang juga. Kalau engkau membunuh orangku, gadis ini akan kami bunuh dulu sebelum kami keroyok dan bunuh engkau!”
Hek-giam-ong Lok Hun sudah mengeluarkan suara menggereng seperti seekor biruang. Dia tidak khawatir, karena kalau dia menang, dia boleh menyiksa dan membunuh pemuda berpakaian putih itu. Sebaliknya, andaikata dia kalah, pemuda itu tentu tidak akan berani membunuhnya.
Hatinya menjadi besar, apa lagi memang dia memandang remeh kepada pemuda itu. Ruyung di tangannya diputar sehingga membentuk lingkaran seperti payung, dan terdengar suara angin bersiutan saking cepatnya senjata yang berat itu terputar.
Namun, Pek-liong menghadapinya dengan sikap tenang saja. Sementara itu otaknya berputar keras. Melihat gerakan lawan, dia merasa yakin bahwa tidak sukar baginya untuk membunuh si tinggi kurus yang kulitnya hitam kasar ini. Bahkan dia dapat mengamuk dan membunuh banyak orang di tempat itu. Akan tetapi dia maklum
672
bahwa orang-orang jahat itu tentu akan membunuh Cian Li dan dia tidak akan mampu mencegahnya.
Tidak, gadis itu tidak boleh dibunuh. Dia terpaksa harus menyerah, sambil menanti munculnya Hek-liong-li. Dia merasa tidak berdaya dan baru dia merasa betapa dia amat membutuhkan Hek-liong-li. Wanita itu amat cerdik dan memiliki banyak akal dan muslihat. Kalau ada Hek-liong-li tentu wanita itu akan mampu mencari akal yang baik menghadapi penekanan Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantunya.
Kini, yang terpenting, menjaga agar Cian Li tidak dibunuh. Dia harus dapat mengalahkan mereka semua tanpa membunuh! Dan tentu saja hal ini membuat dia menghadapi tugas yang amat sukar. Mereka itu menyerangnya dengan niat membunuh, sebaliknya dia tidak boleh membunuh. Tentu akan amat sukar, namun dia tidak menjadi gentar dan merasa yakin akan mampu menaklukkan lawan tanpa membunuh.
“Wirrrr......!” Ruyung itu menyambar dari atas ke bawah. Kalau terkena sambaran ruyung yang amat berat dan kuat itu, tentu akan pecah kepalanya. Diapun mengelak dengan mudahnya. Ruyung menyambar lagi setelah menghantam lantai dan menimbulkan muncratnya bunga api, kini memantul ke atas dan menyambar ke arah kakinya! Pek-liong melompat ke samping dan ruyung itu lewat dengan cepat.
“Wuuuttt......!” Kembali ruyung itu sudah menyambar lagi dengan dahsyatnya dan ketika Pek-liong mengelak, tiba-tiba kaki Hek-giam-ong menendang dari samping.
“Siuuuuttt......!” Hampir saja lambung Pek-liong terkena tendangan. Namun, pemuda ini memang sengaja memperlambat gerakannya,
673
namun dia sudah memperhitungkan sehingga tendangan itupun luput. Sampai belasan kali dia tetap mengelak. Ketika ruyung itu menyambar lagi, dia miringkan tubuh dan begitu ruyung lewat, dia menangkap lengan kanan lawan yang memegang ruyung, memutarnya dan tangan kanannya menampar pundak.
“Plakkk......!” Tubuh yang tinggi kurus itu terpelanting dan terbanting ke atas lantai. Akan tetapi, Hek-giam-ong yang tidak terluka parah itu menjadi marah lalu meloncat lagi dan menyerang membabi-buta!
Pek-liong mendongkol sekali. Kalau dia menghendaki, tamparan itu menjadi lebih keras bahkan dapat naik mengenai tengkuk atau kepala dan lawan itu akan mampus, akan tetapi dia hanya menggunakan sedikit tenaga, hanya untuk menunjukkan bahwa Hek-giam-ong sudah kalah.
Siapa kira, orang itu nekat, bahkan kini menyerang dengan dahsyat, sedangkan Beng-cu juga diam saja. Pada hal, sudah jelas bahwa dia tadi memperlihatkan keunggulannya!
“Lim-kwi Sai-kong, majulah!” terdengar suara Beng-cu itu dan kini raksasa bermuka singa itu mengeluarkan suara seperti harimau mengaum dan dia sudah meloncat ke dalam medan pertandingan, tangan kanannya memegang sebatang golok besar yang gagangnya diikat dengan sebatang rantai baja yang panjang.
Memang raksasa muka singa ini memiliki senjata yang amat lihai dan ampuh. Golok itu dapat dimainkan dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri memutar rantai baja. Atau, golok itu dapat menjangkau jauh, seperti terbang kalau rantai itu dimainkan dan golok menjadi ujung rantai. Dan raksasa ini lihai sekali dalam permainan senjata itu.
674
Pek-liong mengerutkan alisnya. Beng-cu itu memang licik sekali. Dia yang bertangan kosong harus menghadapi dua orang lawan yang bersenjata berat, dua orang yang seperti binatang haus darah, yang menyerangnya untuk membunuh. Dan dia harus membela diri dengan syarat tidak boleh membunuh lawan, dengan ancaman kalau dia membunuh, maka Cian Li akan dibunuh lebih dulu sebelum dia dikeroyok!
Setelah Lim-kwi Sai-kong menerjangnya dengan dahsyat, membantu Hek-giam-ong yang juga marah sekali karena tadi dirobohkan, Pek-liong terpaksa harus memperlihatkan kepandaian yang sesungguhnya! Tubuhnya berkelebatan, lenyap bentuk tubuhnya berubah menjadi bayangan yang amat gesitnya, bagaikan seekor burung walet beterbangan di antara gulungan sinar senjata kedua orang pengeroyoknya! Melihat ini, Siauw-bin Ciu-kwi mengangguk-angguk kagum dan berbisik, “Pantas saja Hek-sim Lo-mo kalah olehnya......”
Dan diapun maklum betapa berbahayanya mempunyai seorang musuh seperti Pek-liong-eng. Orang ini harus ditarik sebagai sekutu atau...... dihancurkan sekarang juga! Terlalu berbahaya kalau menjadi lawan, pikir Beng-cu yang cerdik itu.
“Pek I Kongcu, majulah engkau!” katanya dan diapun berpindah ke kursi dekat Cian Li.
Gadis itu masih duduk tak mampu berperak. Sekali si gendut menggerakkan jari tangan menyentuh tengkuk, gadis itu dapat bergerak kembali, akan tetapi karena si gendut itu berada di dekatnya, iapun tidak berani bergerak. Ia hanya memandang ke arah perkelahian
675
itu dan matanya terbelalak penuh kekhawatiran. Apa lagi setelah kini Pek I Kongcu maju mengeroyok dengan pedangnya.
Pek-liong memang mulai repot menghadapi pengeroyokan tiga orang itu. Pedang di tangan Pek I Kongcu Ciong Koan amat berbahaya, bersama dua orang pengeroyok pertama, pedang itu sungguh merupakan ancaman maut! Ilmu pedang Kun-lun-kiam-sut memang hebat dan Pek I Kongcu sudah menguasai ilmu pedang itu dengan baiknya. Pedang itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung, mengeluarkan suara berdesing.
“Singgg......!” Sebagian ujung rambut kepala Pek-liong berhamburan terkena sambaran sinar pedang. Pek-liong terkejut. Kalau dia memegang pedang pusakanya, walaupun dia tidak boleh membunuh, kiranya dia akan dapat melindungi dirinya dengan baik dan membuat para pengeroyoknya tidak berdaya dengan mematahkan senjata mereka. Akan tetapi, jangankan Pek-liong-kiam yang sudah disembunyikannya itu, bahkan senjata biasapun dia tidak punya.
Dia harus menghadapi pengeroyokan tiga orang yang lihai ini dengan tangan kosong! Dan diapun dapat melihat betapa Cian Li duduk dekat dengan Siauw-bin Ciu-kwi, maka dia tidak berdaya, tidak mungkin dapat membawa lari gadis itu. Sekali dia melakukan gerakan mencurigakan, betapa mudahnya si gendut itu membunuh Cian Li!
Menghadapi pengeroyokan tiga orang tokoh sesat yang ilmunya sudah tinggi itu, dengan tangan kosong menghadapi senjata-senjata mereka, dan tidak boleh membunuh, sungguh merupakan hal yang amat sukar. Pek-liong sudah mengerahkan seluruh gin-kangnya, mempergunakan kecepatan gerakan tubuhnya untuk menyelinap di antara sinar senjata
676
yang menyambar-nyambar, namun dia tidak memperoleh kesempatan untuk merobohkan mereka tanpa melukai parah atau membunuh.
“Crattt......!” Tiba-tiba ujung pedang Pek I Kongcu menyerempet pangkal lengan kirinya dan bajunya terobek berikut kulit dan sedikit daging bahunya. Darah mulai mengucur membasahi bajunya. Melihat darah, agaknya tiga orang pengeroyoknya menjadi semakin buas. Sambil bergerak cepat dan kuat, mereka menghujankan serangan sambil kadang-kadang mengeluarkan gerengan atau teriakan dahsyat!
“Bukkk!” Ruyung itu menghantam punggung Pek-liong.
Pemuda ini sempat melindungi diri dengan sin-kang, akan tetapi hantaman yang amat kuat itu tetap saja membuat dia terpelanting. Selagi dia roboh, golok berantai itu menyambar ke arah lehernya. Pek-liong masih dapat menggulingkan tubuhnya sehingga terlepas dari cengkeranan maut, namun kaki Pek I Kongcu menendang dan mengenai pahanya sehingga tubuhnya bergulingan semakin cepat.
Melihat betapa pria yang dikaguminya itu dikeroyok dan kini menjadi bulan-bulan serangan tiga orang pengeroyoknya, lebih lagi melihat darah membasahi baju Pek-liong-eng, tiba-tiba Cian Li menutupi mukanya dengan kedua telapak tangan dan dengan suara merintih iapun berseru,
“Cukup......! Hentikan itu....! Aku tahu di mana peta itu......!”
Mendengar ini, Beng-cu itu bangkit berdiri dan mengangkat tangan ke atas, suaranya mengguntur ketika memerintahkan para pembantunya. “Berhenti! Jangan menyerang lagi!”
677
Lim-kwi Sai-kong, Hek-giam-ong dan Pek I Kongcu tentu saja merasa kecewa sekali. Lawan mereka sudah mulai terdesak hebat dan dalam waktu dekat tentu mereka bertiga akan dapat menyiksa dan membunuhnya. Akan tetapi mereka tidak berani membangkang terhadap perintah Beng-cu, apa lagi merekapun mendengar seruan gadis itu dan merasa tertarik sekali. Mereka semua lalu mendekati Beng-cu, akan akan tetapi Beng-cu berkata kepada mereka bertiga.
“Pek-liong harus dibelenggu dulu kaki tangannya dengan belenggu rantai yang paling berat. Pek-liong, aku sudah melihat kepandaianmu dan aku suka menerimamu sebagai pembantu. Akan tetapi, karena kami belum percaya benar, terpaksa engkau kami belenggu dan gadis ini menjadi jaminan bahwa engkau tidak akan melarikan diri dan memberontak!”
Pek-liong hanya mengangguk dan membiarkan kaki dan tangannya dibelenggu dengan belenggu rantai yang memungkinkan dia berjalan dengan melangkah perlahan-lahan, juga kedua lengannya dapat bergerak karena rantainya cukup panjang, akan tetapi tentu saja tidak mungkin dia memberontak karena gerakan kaki tangannya akan terhalang oteh belenggu-belenggu rantai. Dia lalu melangkah perlahan menghampiri sebuah kursi dan duduk, matanya tiada hentinya menatap ke arah wajah Cian Li.
Diam-diam dia merasa menyesal sekali mengapa gadis itu tidak dapat menahan diri dan mengaku. Kiranya, gadis itu malah yang tahu akan rahasia peta itu! Sungguh sama sekali tidak disangkanya!
“Nah, nona manis, sekarang ceritakan yang betul tentang peta itu. Kami memang sudah menaruh kecurigaan kepada engkau dan
678
kakakmu, dan ternyata benar. Di mana peta itu? Serahkan kepada kami! Ah, tidak, lebih dulu ceritakan tentang peta itu, dari mana engkau mendapatkan peta itu?”
Wajah kekanak-kanakan itu nampak kegirangan bukan main dan agaknya dia ingin menikmati kegirangan ini sedikit demi sedikit, tidak langsung menerima peta itu dari Cian Li. Dia persis seperti seorang kanak-kanak yang mendapatkan sebuah kembang gula, lalu makan kembang gula itu sedikit demi sedikit, menjilat-jilati dan tidak langsung memakannya.
Cian Li mengangkat muka, memandang kepada Pek-liong. Ketika melihat pandang mata pemuda itu penuh penyesalan, ia menarik napas panjang. Apa lagi hanya mengorbankan peta itu, biar harus mengorbankan apapun ia tentu akan berikan untuk menyelamatkan pendekar itu! Aih, tidak tahukah engkau betapa aku mau mengorbankan apapun untukmu, betapa aku mencintaimu? Demikian hatinya berbisik. Akan tetapi sinar mata pendekar itu tetap penuh penyesalan dan iapun menundukkan mukanya.
“Aku mendapatkan peta itu dari seorang wanita cantik,” demikian ia berkata dengan muka menunduk.
“Pada suatu siang ketika aku dan kakakku mencari batu-batu telaga, ketika kakakku menyelam dan aku berjaga di perahu, lewat sebuah perahu lain. Seorang wanita cantik menyuruh tukang perahunya mendekati perahuku, kemudian ia menyerahkan sebuah guci yang tertutup rapat. Ia menyerahkan guci itu kepadaku dan berkata bahwa ia titip barang itu kepadaku karena dikejar orang jahat hendak dirampas. Tentu saja aku bertanya apa adanya benda itu. Ia berterus terang
679
mengatakan bahwa barang yang berada di dalam guci itu adalah sebuah peta rahasia Patung Emas......”
“Ah, tentu si pelacur Bi Hwa!” seru Siauw-bin Ciu-kwi dengan girang sekali dan Pek-liong-eng yang ikut mendengarkan menjadi semakin menyesal. Tak disangkanya bahwa datuk sesat itu akan mendapatkan peta itu semudah itu! Dan semua itu karena seorang gadis sederhana menaruh hati cinta kepadanya, suka menyerahkan benda berharga itu demi untuk menyelamatkannya!
“Di mana sekarang guci itu? Nona manis, di mana benda itu kausimpan?” Siauw-bin Ciu-kwi bertanya dengan penuh nafsu, suaranya terdengar ramah dan manis.
“Kusimpan di dasar telaga......” katanya lirih.
Mendengar ini, di dalam hatinya Pek-liong bersorak. Bagus, Cian Li, teriaknya dalam hati. Keteranganmu itu tentu akan memaksa mereka membawamu keluar dari tempat ini, dan kalau nasib baik, diapun akan terbawa.
Kalau mereka berada di luar sarang ini, tentu akan lebih mudah untuk meloloskan diri, dan lebih mudah lagi untuk dapat herhubungan dengan Hek-liong-li. Menurut perhitungannya, paling lambat besok siang Hek-liong-li tentu sudah tiba di Telaga Po-yang!
Mendengar keterangan itu, Siauw-bin Ciu- kwi mengerutkan alisnya, dan senyumnya menghilang. Agaknya dia seperti dapat membaca isi hati Pek-liong. Dia memegang kedua pundak gadis itu dan membentak, “Engkau berani membohongi aku?”
680
Gadis itu terkejut karena merasa betapa pundaknya seperti ditindih benda yang luar biasa beratnya. Ia terbelalak, wajahnya pucat dan ia menggeleng kepala. “Aku tidak berbohong!”
Siauw-bin Ciu-kwi melepaskan kedua tangannya. “Bagus, dan engkau tentu memberitahukan kakakmu?”
“Tidak! Wanita itu memesan agar aku tidak memberitahukan siapapun dan aku sudah berjanji padanya. Aku selalu memegang teguh janjiku.”
“Jadi jelas bahwa hanya engkau sendiri yang tahu di mana tempat kausembunyikan guci itu?”
Cian Li mengangguk.
“Di mana tempatnya?”
“Di tengah telaga, di mana kami suka mencari kerang hijau.”
“Bagus! Sekarang juga kita pergi ke sana! Dan awas engkau, nona manis, kalau engkau berbohong kepada kami, kalau engkau tidak berhasil mendapatkan guci itu, engkau akan menyesal bahwa engkau pernah hidup! Kami akan menyiksamu dan membikin engkau mati perlahan-lahan dalam keadaan tersiksa lahir batin! Mari kita berangkat!”
Dia mengangkat muka memandang kepada para pembantunya. “Siapkan kereta dan perahu, kita berangkat sekarang juga ke telaga!”
“Tidak mungkin diambil sekarang!” tiba Pek-liong berkata, suaranya seperti sambil lalu dan acuh tak acuh.
681
“Apa maksudmu?” Siauw-bin Ciu-kwi yang gendut itu sekali menggerakkan tubuh sudah tiba di depan Pek-liong yang terbelenggu dan duduk di kursi. Tangan kirinya bergerak menyambar,
“Plakkk!” Tamparan itu keras sekali, membuat pipi kanan Pek-liong menjadi kebiruan dan ada sedikit darah di ujung bibirnya. Cian Li mengeluarkan jeritan lirih melihat betapa pria yang dikasihinya itu ditampar.
“Hati-hati kau dengan mulutmu, Pek-liong, atau mungkin tangan ini menyeleweng ke arah kepalamu dan engkau akan tewas seketika!” bentak Siauw-bin Ciu-kwi.
Biarpun hatinya mendongkol bukan main, namun Pek-liong, masih dapat tersenyum ketika dia mengangkat mukanya memandang kepada orang yang menamparnya.
“Tentu saja aku sudah berhati-hati, Beng-cu. Sayang engkau yang bodoh. Kalau memang ingin mengadu ilmu, lepaskan belenggu ini dan kita sama lihat siapa yang lebih lihai di antara kita, jangan main tampar selagi aku tidak dapat melawan.
“Kalau engkau mendengarkan omonganku, maka engkau juga yang akan mendapat untung. Kau tahu, orang menyelam mencari sesuatu di dasar telaga haruslah di waktu siang hari, karena membutuhkan sinar matahari yang cukup kuat sehingga sinar itu dapat menerangi permukaan telaga.
“Sekarang sudah hampir sore, bagaimana mungkin adik Kam Cian Li dapat menemukan benda itu di dasar telaga? Pula, perlu apa tergesa-gesa. Besok siang baru bisa dilakukan penyelaman itu. Pula, kakaknya
682
baru pada hari lusa akan pulang, tidak perlu kau takut akan kedatangan Hek-liong-li!” Ucapan itu sekaligus mengandung kebenaran akan tetapi juga ejekan bahwa Beng-cu itu takut kalau kalau Hek-liong-li muncul sebelum dia memperoleh peta itu.
Cian Li mendengar ucapan itu berpikir. Pendekar itu pernah memberitahu kepadanya bahwa menurut perhitungannya, kakaknya dan Hek-liong-li akan dapat tiba di telaga besok siang! Kenapa pendekar itu mengatakan bahwa Hek-liong-li baru akan dapat muncul lusa? Ia seorang gadis cerdik, dan tahu bahwa ucapan itu merupakan isyarat baginya. Ia harus dapat mengulur waktu mendapatkan peta itu sampai Hek-liong-li dan kakaknya muncul.
“Dia berkata benar, Beng-cu,” kata gadis itu. “Memang penyelaman baru dapat dilakukan setelah matahari naik tinggi, bahkan setelah lewat tengah hari karena tempat penyimpanan itu menghadap ke barat dan tempatnya sukar, merupakan daerah yang berlubang-lubang. Tanpa penerangan matahari yang kuat, sukar untuk menemukan tempat itu kembali.”
“Hemm, begitukah?” Sepasang mata dari wajah kekanak-kanakan itu kini mengamati wajah Pek-liong dan Cian Li dengan tajam penuh selidik. Akan tetapi karena Cian Li tidak berbobong, maka iapun berani menentang pandang mata itu dengan tabah sehingga akhirnya Beng-cu itu merasa puas.
“Baiklah, kalian malam ini menjadi tamu kami dan besok baru kita lihat apakah keterangan nona ini benar,” katanya lalu berkata kepada Tok-sim Nio-cu, “Kau persiapkan kamar untuk mereka. Dan jangan engkau main gila dengan Pek-liong, Nio-cu. Sebelum urusan ini
683
selesai, aku tidak ingin melihat siapapun mempermainkan Pek-liong dan nona Kam ini. Mereka harus dijamu dengan baik, dijaga ketat dan tidak boleh diganggu!”
Berkata demikian, sepasang mata Beng-cu itu ditujukan dengan penuh ancaman kepada Tok-sim Nio-cu dan Hek-giam-ong. Dia tahu benar bahwa wanita itu adalah seorang yang haus laki-laki, sedangkan Hek-giam-ong memiliki suatu kekejaman istimewa terhadap wanita. Tentu kedua orang tawanan itu bagi mereka merupakan daging-daging segar yang menimbulkan gairah dan membangkitkan selera aneh mereka.
“Tidak perlu khawatir, Beng-cu. Aku cukup sabar menanti. Akhirnya dia akan kuuji kejantanannya!” kata Tok-sim Nio-cu sambil melirik ke arah Pek-liong dengan matanya yang genit. Sedangkan Hek-giam-ong memandang ke arah Cian Li dengan senyum dingin menyeramkan.
“Marilah, Pek-liong dan kau juga, nona penyelam. Mari kalian ikut dengan kami ke kamar kalian. Tapi tidak boleh sekamar, ya? Berbahaya kalau sekamar!” kata Tok-sim Nio-cu sambil tertawa genit.
Bukan hanya wanita ini yang sudah bangkit dengan pedang terhunus di tangan untuk mengawal dua orang tawanan itu, melainkan atas isyarat Beng-cu, Lim-kwi Sai-kong, Pek I Kongcu, Hek-giam-ong dan tiga orang Po-yang Sam-liong juga ikut mengawal dengan senjata siap di tangan. Pek I Kongcu cepat berjalan di antara Pek-liong dan Cian Li, memisahkan kedua orang itu sehingga agak berjauhan. Hal ini saja menunjukkan betapa cerdiknya pembantu Beng-cu itu.
Juga kamar mereka terpisah, walaupun berdampingan dan biarpun kaki dan tangan Pek-liong sudah dibelenggu kuat, namun para pembantu Beng-cu itu masih bergilir menjaga di depan kamarnya
684
bersama belasan orang anak buah. Yang berjaga di luar kamar Cian Li hanya ketiga Po-yang Sam-liong, namun mereka itu sudah jauh melebihi cukup untuk membuat gadis itu tidak berani keluar kamar walaupun ia tidak dibelenggu lagi.
Setelah mereka mendapatkan hidangan makan dan minum yang cukup dan enak, keduanya merebahkan diri mengaso. Pek-liong sengaja mengaso untuk memulihkan tenaga, karena dia tahu bahwa dia membutuhkan tenaga yang segar untuk sewaktu-waktu menghadapi gerombolan penjahat yang amat lihai itu.
◄Y►
“Kita berhenti di sini, malam terlalu gelap untuk melanjutkan perjalanan,” kata Hek-liong-li sambil menahan kudanya.
Kam Sun Ting juga menahan kudanya dan dia memandang ke sekeliling. Mereka tiba di tepi hutan yang amat sunyi. Memang malam gelap sekali. Langit merupakan dasar hitam yang ditaburi bintang- bintang, seperti beledu hitam yang dihias jutaan buah permata. Indah sekali. Tempat itu sunyi.
Tak nampak seorangpun manusia kecuali mereka berdua. Tidak sebuahpun rumah di sekitarnya. Hawa udara teramat dinginnya, sehingga dia sendiri sejak tadi sedang menggigil. Namun dia tahu, perjalanan masih amat jauh, mungkin besok pagi atau siang baru tiba di Telaga Po-yang.
“Akan tetapi, li-hiap. Bagaimana mungkin kita melewatkan malam di tempat seperti ini?” tanyanya ragu sambil menoleh ke arah gadis itu.
685
Biarpun cuaca hanya remang-remang, namun dari garis-garis wajah dan tubuh gadis itu, dia dapat melihat jelas wajah yang amat jelita, tubuh yang amat menggairahkan, yang sudah amat dikenalnya karena telah tergores ke dalam kalbunya itu!
Gadis itu tersenyum. Keremangan tidak mampu menyembunyikan kilatan gigi yang putih rapi itu. “Engkau takut?”
Dengan tegas Sun Ting menggeleng kepalanya. “Tidak, aku tidak takut, lihiap. Apa lagi, dengan adanya lihiap di sini, apa yang harus kutakutkan? Akan tetapi...... tempat ini..... tidak ada rumah, tidak ada tempat tidur, di tempat terbuka yang gelap, dan hawa udara begini dinginnya, bagaimana lihiap dapat melewatkan malam di sini? Bagiku sih tidak mengapa, aku laki-laki dan sudah biasa hidup menghadapi kesukaran. Akan tetapi bagimu, seorang wanita muda belia yang......!”
Sun Ting tidak melanjutkan kata-katanya karena Liong-li kini tertawa sambil melompat turun dari atas punggung kudanya. “Hi-hi-hik, engkau lucu sekali, saudara Kam Sun Ting! Kaukira aku ini orang macam apa? Seorang puteri istana yang tidak biasa menghadapi kesukaran? Turunlah, kita mencari tempat yang enak untuk melewatkan malam!”
Sun Ting terpaksa meloncat turun dari atas kudanya. Tak lama kemudian mereka telah mendapatkan sebuah tempat yang enak, di bawah sebatang pohon besar, bertilamkan rumput hijau yang tebal. Mereka menambatkan tali dua ekor kuda mereka pada akar pohon dan membiarkan kedua binatang itu makan rumput.
686
“Sekarang kita membagi tugas,” kata Liong-li sambil tersenyum. “Engkau mengumpulkan kayu bakar untuk membuat perapian, dan aku mengumpulkan daun kering untuk alas duduk dan tidur.”
“Sudahlah, lihiap. Engkau duduk saja beristirahat, biar aku yang akan mengumpulkan semua itu. Ini pekerjaan laki-laki!” kata Sun Ting gagah.
Tanpa menanti jawaban diapun segera pergi mencari barang yang mereka butuhkan. Sebentar saja dia sudah mengumpulkan kayu kering yang cukup banyak. Akan tetapi ketika dia tiba kembali ke tempat itu, ternyata rumput yang tebal, lunak dan basah itu telah tertutup daun-daun kering sehingga mereka dapat duduk di situ dengan enak. Seperti orang duduk di atas kasur saja. Kiranya wanita jelita itu telah mengumpulkan daun kering dan menutupi rumput hijau yang basah dengan daun-daun kering.
“Bagus, sebegini sudah cukup,” kata Liong-li.
Dengan cekatan ia lalu membuat api unggun, dibantu oleh Sun Ting dan melihat kecekatan wanita itu, percayalah Sun Ting bahwa memang pendekar wanita itu agaknya tidak asing dengan kehidupan di tempat terbuka seperti ini. Sebentar saja, mereka duduk di atas rumput yang ditilami daun kering, menghadapi api unggun yang hangat, nyaman sekali rasanya sehabis melakukan perjalanan jauh yang melelahkan.
Mereka duduk saling berhadapan, terhalang api unggun, dapat saling pandang dengan jelas karena wajah mereka diterangi cahaya api unggun yang kemerahan. Beberapa kali Sun Ting terpesona. Cahaya
687
api yang hidup itu, bermain pada wajah yang jelita, membuat wanita itu nampak seperti bukan manusia, seperti seorang bidadari!
Rambut yang agak kusut itu, mata yang bersinar-sinar, bibir yang merah basah, bagian kedua pipi di bawah mata, nampak kemerahan. Betapa indahnya! Betapa cantik jelitanya!
Pada saat Liong-li mengangkat muka, pandang matanya bertemu dengan pandang mata Sun Ting yang kebetulan menatap padanya dengan pandang mata terpesona.
“Hemm, kenapa engkau memandang kepadaku seperti itu? Apa yang aneh pada mukaku?” tanya Liong-li sambil meraba pipi dengan tangan kirinya, takut kalau-kalau mukanya terkena kotoran.
“Lihiap......, maafkan aku.....” Sun Ting menundukkan lagi mukanya yang berubah kemerahan.
Dia tidak tahu betapa wanita itu memandang kepadanya dengan senyum aneh, dan betapa sepasang mata itu memandang kepadanya dengan kagum. Seorang pemuda yang hebat, pikir Liong-li. Begitu penuh perhatian, begitu romantis, begitu sopan! Dan kekaguman yang terpancar dari sepasang mata itu, kekaguman bercampur rasa sayang, begitu jelas membayang, membuat hatinya berdebar kencang dan girang.
“Saudara Sun Ting, berapakah usiamu sekarang, dan berapa pula usia adikmu itu? Bagaimana keadaan keluarga kalian?” Ia bertanya dan diam-diam Sun Ting bersyukur karena pertanyaan itu membuka jalan untuk percakapan, dan mengusir pergi perasaan tidak enak dan salah
688
tingkahnya tadi karena dia tertangkap basah ketika memandang penuh pesona.
“Usiaku duapuluh dua......”
“Aih, kalau begitu, aku lebih tua dua tahun darimu!” Liong-li memotong.
Kini Sun Ting memandang tajam, lalu menggeleng kepalanya. “Aku tidak percaya, lihiap!”
Liong-li mengerutkan alisnya. “Tidak percaya? Engkau tidak percaya padaku?”
“Eh, maksudku...... aku tidak percaya bahwa usiamu sudah duapuluh empat tahun!”
Lenyap kerutan itu dan kini Liong-li tersenyum semakin lebar, sehingga wajahnya menjadi cantik manis sekali, gemilang di bawah timpaan cahaya api unggun yang bermain di wajahnya. “Hemm, lalu kaukira berapa semestinya usiaku?”
“Menurut penglihatanku, engkau tidak akan lebih dari sembilanbelas tahun, lihiap!”
Dan wanita itu tertawa. Tertawa lepas bebas, tidak seperti wanita lain yang kalau tertawa menjadi tersipu, menutupi mulut dan tertawa dengan sembunyi-sembunyi. Wanita ini tertawa lepas, wajahnya agak tengadah, mulutnya terbuka sehingga nampak rongga mulut yang kemerahan, gigi yang berderet putih, lidah yang ujungnya runcing dan
689
merah jambu, dan ketawanya mengeluarkan suara merdu seperti nyanyian.
Kembali Sun Ting terpesona. Akan tetapi hanya sebentar Liong-li tertawa, lalu mulut itu tertutup kembali akan tetapi masih tersenyum manis, dan mata itu semakin bercahaya dan berseri penuh kegembiraan.
“Saudara Kam Sun Ting, apakah engkau tidak tahu bahwa setiap orang wanita dewasa selalu menyembunyikan jumlah usianya, dan kalau terpaksa mengaku selalu mengurangi jumlahnya? Tidak ada wanita yang menambah jumlah usianya dalam pengakuannya, demikian pula aku. Tidak mungkin aku menambah tua usiaku, walaupun aku tidak suka pula menguranginya. Aku memang sudah berusia duapuluh empat tahun!”
“Sungguh sukar dipercaya, lihiap!”
“Percaya atau tidak, itulah kenyataannya. Dan sudah tiba saatnya engkau tidak menyebut lihiap kepadaku. Ketahuilah bahwa aku dan Pek-liong-eng bukan hanya sahabat, melainkan lebih erat dari pada saudara sekandung. Engkau sudah dipercaya olehnya, berarti kini menjadi sahabat baik, maka sudah sepatutnya engkau menyebut enci (kakak perempuan) padaku, dan aku menyebut engkau...... namamu saja karena engkau pantas menjadi saudara mudaku!”
Akan tetapi Sun Ting mengerutkan alisnya. Setelah saling pandang beberapa lamanya, diapun menarik napas panjang dan tersenyum. “Baiklah...... enci, walaupun aku akan lebih suka kalau boleh menyebutmu...... adik!”
690
Liong-li tersenyum lebar. Pernyataan ini semakin menyenangkan hatinya. “Tidak boleh! Kalau engkau menyebut aku moi-moi (adik perempuan), dalam pandanganku engkau menjadi agak kurang ajar. Nah, apakah engkau ingin aku memandangmu sebagai seorang yang tidak tahu aturan?”
Sun Ting terkejut, lalu cepat bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Liong-li dengan merangkap kedua tangan depan dada lalu membungkuk.
“Maafkan, maafkan aku, enci yang baik.”
Melihat ini, Liong-li tertawa lagi. Sun Ting juga tertawa dan mereka merasa semakin akrab. Ketika Sun Ting duduk kembali, tiba-tiba Liong-li tertawa lagi, sekali ini tertawa geli sambil menudingkan telunjuknya ke arah Sun Ting.
“Ih, engkau sungguh tidak tahu malu, Sun Ting!”
“Ehh?” Pemuda itu mulai terkejut. “Aku? Tidak tahu malu? Kenapa, li.... eh, enci?”
“Bukan engkau yang tidak tahu malu, kumaksudkan perutmu!”
“Perutku? Mengapa perutku......?” Sun Ting memandang ke arah perutnya.
“Perutmu berkeruyuk tadi, sungguh tak tahu malu!”
Sun Ting terbelalak dan mukanya lalu berubah merah. Memang perutnya tadi berkeruyuk akan tetapi bagaimana wanita ini mampu
691
mendengarnya? Melihat pemuda itu menjadi salah tingkah karena malu, Liong-li tertawa lagi
“Bukan hanya perutmu yang berkeruyuk Sun Ting. Perutku juga! Apakah engkau tidak mendengarnya? Hi-hik, perut kita memang tak tahu malu!”
Tentu saja ucapan ini mengusir rasa malu yang diderita Sun Ting, dan teringatlah dia bahwa sejak sebelum tengah hari tadi sampai sekarang mereka belum makan apa-apa. Pantas saja perutnya lapar, dan perut Liong-li juga! Kasihan sekali!
“Ah, aku tadi lupa membeli bekal makanan. Bagaimana ini? Kalau saja kita berada di dekat telaga atau sungai, tentu aku akan mampu menangkap beberapa ekor ikan untukmu, enci. Aku lupa bahwa engkau belum makan malam. Bagaimana ini? Biar aku akan pergi mencari makanan untukmu.” Dia bangkit berdiri, siap untuk pergi ke mana saja untuk mencari makanan.
“Sstt...... jangan bergerak, jangan berisik, Sun Ting! Duduklah lagi dan jangan bergerak......!”
Tentu saja pemuda itu terkejut sekali dan diapun duduk kembali, memandang kepada pendekar wanita itu penuh pertanyaan.
Liong-li menunjuk ke atas pohon. “Di sana ada makanan!”
Sun Ting terbelalak dan memandang kepada gadis itu dengan sinar mata heran dan khawatir. Sintingkah wanita ini, pikirnya. “Di mana? Di atas pohon?” bisiknya.
692
Liong-li mengangguk. “Ada daging burung panggang di sana.... ssstt, diam saja kau.....”
Sepasang mata pemuda itu menjadi semakin lebar, dan kekhawatirannya bahwa gadis ini menjadi sinting semakin membesar. Mana mungkin ada daging burung panggang di atas pohon? Akan tetapi tiba-tiba Liong-li memandang ke atas, kedua tangannya bergerak dan nampak sinar-sinar hitam kecil berkelebat ke atas.
Kiranya ia sudah menyambitkan beberapa potong kayu ke arah pohon besar itu. Sun Ting memandang heran dan...... berbareng dengan suara ketawa Liong-li, dari atas pohon meluncur jatuh dua ekor burung, sejenis burung kepodang yang besarnya seperti ayam muda, dan dua ekor burung itu telah tewas dengan tubuh tertusuk kayu meruncing!
Kini mengertilah Sun Ting dan dia kagum bukan main. Kiranya bukan daging burung panggang yang dimaksudkan pendekar wanita itu, melainkan burung yang setelah tertangkap, tentu saja nanti akan menjadi daging burung panggang!
Dia bersorak dan cepat menyambar dua ekor burung itu, mengamatinya dengan penuh kagum. “Aih, lihiap...... eh, enci yang baik! Bagaimana engkau bisa tahu di sana ada burung dan bagaimana pula dapat menyambit jatuh mereka ini, pada hal burung-burung itu tidak nampak dari sini?”
Dia menengadah. Pohon itu nampak gelap karena semua sinar bintang tertangkis oleh daun-daun lebat sebagai perisai, juga sinar api unggun tidak mencapai ketinggian pohon.
693
Liong-li tersenyum, “Pengalaman hidup di alam bebas yang mengajarkan aku, Sun Ting. Sudahlah, mari kita cepat membuat daging burung panggang, perut kita sudah lapar, bukan?”
Mereka bekerja dengan gembira, mencabuti semua bulu burung, kemudian mengeluarkan isi perutnya dan memanggang dagingnya setelah Liong-li menyulap keluar bumbu-bumbu yang dibawanya dalam buntalan pakaiannya. Segera tercium bau sedap yang membuat perut mereka kini berkeruyuk tanpa malu-malu lagi?
Dan tak lama kemudian, perut mereka itupun menjadi tenang dan lega setelah semua daging burung yang lunak, segar dan sedap itu masuk ke dalamnya, didorong oleh anggur manis yang kembali disulap keluar dari dalam buntalan pakaian pendekar wanita itu
“Nah, sekarang engkau beristirahatlah, Sun Ting. Biar aku yang berjaga di sini agar api unggun tidak padam. Nyamuk dan mungkin binatang hutan akan datang mengganggu kalau api unggunnya padam. Engkau beristirahat dan tidurlah.”
Pemuda itu mengerutkan alisnya.” Aih, enci, sungguh engkau terlalu memanjakan aku, membuat aku malu saja. Aku bukan seorang anak kecil yang perlu dilayani dan dijaga. Aku seorang laki-laki, enci! Dan engkau biarpun engkau lebih tua sedikit dariku, dan biarpun engkau seorang wanita perkasa yang berkepandaian tinggi, engkau tetap saja seorang wanita, sehingga sudah sepatutnya kalau engkau yang beristirahat dan tidur, sedangkan aku sebagai laki-laki yang berjaga!”
Melihat sikap tegas dan jantan itu, mau tidak mau Liong-li memandang kagum lagi. Sun Ting ini memang seorang laki-laki
694
pilihan, pikirnya dengan hati senang. Iapun tersenyum manis sekali, lalu mengangguk.
“Baiklah, Sun Ting. Aku akan beristirahat sebentar dan nanti kugantikan engkau berjaga. Kita perlu mengaso dan menyimpan tenaga karena siapa tahu, besok kita akan menghadapi pekerjaan sukar dan lawan tangguh.”
Wanita itu lalu merebahkan diri miring membelakangi api unggun dan Sun Ting, pemuda itu duduk menghadap api unggun dan mengamati tubuh itu dengan hati penuh kekaguman. Sungguh seorang wanita yang hebat! Belum pernah selama hidupnya dia merasa kagum terhadap seorang wanita seperti perasaan hatinya terhadap Liong-li ini.
Dia tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada pendekar wanita ini. Dan dia tahu pula bahwa dirinya sungguh tidak berharga, sungguh tidak sepadan dengan Liong-li, bagaikan burung gagak merindukan burung Hong!
Betapa mungkin seorang laki-laki seperti dia, miskin dan yatim piatu, tidak memiliki apa-apa dan bahkan hanya seorang laki-laki lemah kalau dibandingkan Liong-li, dapat mengharapkan balasan cinta dari seorang pendekar wanita sehebat ini? Kenyataan ini membuat dia berulang kali menarik napas panjang, sedih.
Hidup tak mungkin bebas dari pada nafsu. Nafsu adalah pelengkap hidup. Nafsu adalah pemberian dan anugerah Tuhan yang terbawa lahir oleh kita. Merupakan pelengkap karena hidup ini takkan dapat berlangsung tanpa adanya nafsu. Nafsu yang memelihara badan ini sehingga dapat menjadi sehat dan hidup.
695
Nafsu pula yang membuat kita manusia mampu menemukan banyak rahasia alam, membuat barang-barang yang berguna bagi kehidupan lahiriah. Nafsu yang kita dapat menikmati hidup melalui panca indra kita. Bahkan nafsu pula yang mendorong manusia memungkinkan berkembang biakan.
Nafsu merupakan seorang pembantu yang amat baik, merupakan kebutuhan hidup yang mutlak dan penting sekali. Akan tetapi, nafsu juga dapat menjadi majikan yang amat jahat, kejam dan menyeret kita ke dalam lumpur kesengsaraan!
Oleh karena itu, kita membutuhkan berkah dan bimbingan Tuhan sebagai Sang Maha Pencipta dan Sang Maha Kasih, agar kita tidak sampai diperalat oleh nafsu, sebaliknya kitalah yang memperalat nafsu demi kesejahteraan hidup, demi memenuhi semua kebutuhan hidup, yaitu kepentingan lahiriah! Kalau sampai kita yang diperalat nafsu, maka mulailah kita menjadi permainannya, dan timbullah segala macam kesengsaraan yang menenggelamkan kita ke dalam duka!
Hati dan akal pikiran kita sudah bergelimang nafsu yang timbul dari daya-daya rendah. Apapun yang menjadi hasil pikiran, sudah pasti mengandung nafsu. Satu-satunya jalan untuk membebaskan jiwa dari cengkeraman nafsu daya rendah hanyalah penyerahan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa!
Pikiran, dengan sejuta akalnya, tidak mungkin dapat membebaskan jiwa dari belenggu, karena pikiran hanya alat, sama dengan nafsu. Hanya kekuasaan Tuhan jualah yang dapat membebaskan jiwa dari belenggu. Hanya kekuasaan Tuhan yang akan mampu membersihkan jiwa sehingga tidak lagi menjadi abdi nafsu, melainkan menjadi bebas,
696
sedangkan nafsu yang tadinya menjadi penguasa, lalu hanya sekadar menjadi alat pelengkap saja.
Kembali Sun Ting menghela napas panjang. Gairah berahinya bangkit ketika dia melihat lekuk lengkung tubuh yang rebah miring itu. Betapa akan bahagianya dia kalau dapat mencurahkan cinta kasihnya kepada wanita luar biasa itu! Tiba-tiba dia terkejut sendiri. Celaka, ada hasrat yang demikian kuat mendorong agar dia mendekat, agar dia meraba, membelai dan mendekap tubuh itu.
Dan kesadarannya memperingatkannya bahwa kalau hal itu dia lakukan, maka dia akan menghadapi seorang pendekar wanita yang tentu akan marah sekali. Mungkin dia akan dihajarnya, bahkan mungkin dibunuhnya! Maka, dengan cepat dia membuang pandang matanya, menunduk dan melupakan Liong-li dengan memikirkan keadaan adiknya yang dia tinggalkan bersama Pek-liong.
Dia tidak tahu bahwa ucapan terakhir dari Liong-li tadi, bahwa mungkin besok mereka akan menghadapi pekerjaan sukar dan lawan tangguh, ternyata menjadi ramalan yang benar-benar akan terjadi!
◄Y►
Perahu besar itu meluncur ke Telaga Po-yang. Tidak ada perahu lain berani mendekat perahu besar itu, bahkan perahu-perahu nelayan dan pelancong yang tadinya berada di tengah telaga, segera menyingkir cepat-cepat, ketika perahu besar itu meluncur datang. Yang membuat semua orang menyingkir ketakutan adalah ketika mereka melihat tiga orang laki-laki bertubuh raksasa berdiri di kepala perahu.
697
Mereka itu bukan lain adalah Po-yang Sam-liong, tiga orang tokoh sesat yang menguasai seluruh telaga itu. Tidak ada orang yang tidak gentar melihat mereka, maka perahu-perahu lain menyingkir karena mereka merasa lebih baik menjauhi tiga orang tokoh besar itu. Karena ketakutan dan cepat menyingkir ini, maka tidak ada orang lain melihat siapa yang berada di dalam perahu besar, yang terlindung oleh atap perahu.
Pada hal, yang berada di dalam perahu besar itu adalah tokoh-tokoh yang lebih menyeramkan dari pada Po-yang Sam-liong. Mereka adalah Siauw-bin Ciu-kwi sendiri bersama para pembantunya lengkap, yaitu Tok-sim Nio-cu, Lim-kwi Sai-kong, Pek I Kongcu dan Hek-giam-ong. Mereka berlima ini mengepung Pek-liong dan Cian Li.
Pek-liong masih dalam keadaan dibelenggu kaki tangannya, sedangkan Cian Li duduk dengan bebas. Gadis itu sejak tadi cemberut, mukanya sebentar pucat sebentar merah dan matanya tiada hentinya melirik ke arah Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si dengan penuh kebencian.
Wanita cantik genit ini memang sejak tadi duduk di dekat Pek-liong. Tanpa menghirau- kan orang lain, wanita ini duduk mepet dan lengannya merangkul pinggang atau kadang juga naik ke pundak Pek-liong. Sikapnya merayu dan memikat, beberapa kali jari-jari tangannya meraba leher dan dagu pendekar itu yang diam saja.
Sikap wanita ini tidak dihiraukan oleh Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantu yang lain. Juga Pek-liong, biarpun hatinya merasa mendongkol sekali atas sikap tak sopan dan tak tahu malu wanita iblis itu, mendiamkannya saja karena dia tidak mau mencari keributan hanya soal kecil seperti itu. Akan tetapi yang paling menderita
698
karenanya adalah Cian Li. Ia marah sekali, muak dan benci, akan tetapi iapun merasa tidak berdaya dan hanya dapat bersikap cemberut saja.
“Kam Cian Li, sekali ini engkau harus bekerja dengan benar-benar dan sama sekali tidak boleh membohongi kami. Ingat, kalau engkau menyelam nanti, Pek-liong berada di sini bersama kami. Engkau tidak ingin melihat dia disiksa sampai mati, bukan?” demikian Tok-sim Nio-cu berkata sambil meraba ke arah leher terus turun ke dada Pek-liong dengan sikap merayu dan membelai.
“Huhh!” Cian Li membuang muka, mendengus marah.
Akhirnya perahu tiba di tempat yang dimaksudkan oleh Cian Li dan perahu dihentikan, jangkar dilempar. “Nona Kam, bersiaplah untuk menyelam, dan sekali lagi kuperingatkan, jangan engkau membuat ulah yang bukan-bukan, jangan mencoba untuk melarikan diri atau menipu kami, karena selain akhirnya engkau akan dapat kami tangkap, juga Pek-liong akan tersiksa sampai mati kalau engkau melarikan diri!” kata Siauw-bin Ciu-kwi. Gadis itu mengangguk dan sudah bangkit berdiri.
“Nanti dulu, Li-moi!” Tiba-tiba Pek-liong berkata.
Gadis itu cepat menoleh kepadanya, dan semua orang juga memandang pendekar itu, dan mereka sudah siap dengan senjata mereka untuk menjaga kalau-kalau pendekar itu akan memberontak walaupun kaki dan tangannya sudah terbelenggu dengan rantai yang kuat.
699
“Peraturan ini sungguh tidak adil!” kata Pek-liong sambil memandang kepada Siauw-bin Ciu-kwi. “Li-moi, jangan engkau mau menyelam sebelum Beng-cu berjanji bahwa engkau akan segera dibebaskan begitu menemukan peta rahasia itu! Itu hakmu dan jangan takut. Mereka ini membutuhkanmu, Li-moi. Mereka tidak akan mengganggumu sebelum engkau memperoleh peta itu!”
Siauw-bin Ciu-kwi marah sekali, akan tetapi tepat seperti yang dikatakan Pek-liong, dia tidak berani bermain kasar, takut kalau-kalau gadis itu menjadi nekat dan tidak mau mengambilkan petanya.
“Hemm, Pek-liong, engkau tidak percaya kepada kami? Apa maksudmu mencegah nona Kam bekerja?”
“Tidak! Lebih dulu engkau harus berjanji bahwa kalau nona Kam sudah mengambil peta itu dan menyerahkan kepadamu, engkau akan membebaskannya! Beng-cu, hanya dengan janji itulah nona Kan, mau menyelam!”
Pek-liong kini memandang kepada Cian Li dan gadis itupun mengangkat muka dan berkata dengan sikap angkuh dan tegas.
“Benar sekali! Biar kalian menyiksa atau membunuh aku, aku tidak akan sudi mengambilkan peta itu sebelum kalian berjanji bahwa setelah peta itu kuserahkan, kalian akan membebaskan aku dan Pek-liong!”
Siauw-bin Ciu-kwi mengerutkan alisnya. “Dengan Pek-liong? Tidak bisa! Engkau akan kubebaskan setelah tugasmu selesai, nona, akan tetapi Pek-liong harus menebus kebebasannya dengan lebih dulu mengalahkan kami!”
700
“Bagus! Tantangan itulah yang kunanti-nanti, Beng-cu. Kalau memang engkau seorang laki-laki sejati, Beng-cu, aku menantangmu sekarang juga!” kata Pek-liong, “Setidaknya, engkau harus berani memberikan janjimu kepada nona Kam dan tidak akan melanggarnya, demi nama baikmu!”
Wajah yang biasanya ramah kekanak-kanakan itu kini nampat muram, “Hem, engkau sombong, Pek-liong. Sekali waktu, pasti kita akan berhadapan sebagai lawan. Sekarang ada pekerjaan yang lebih penting. Aku telah memberikan janjiku bahwa aku akan membebaskan nona Kam tanpa mengganggunya setelah tugasnya selesai! Nah, nona Kam, engkau lakukanlah tugasmu!”
Karena tidak ada janji bahwa Pek-liong akan dibebaskan pula, Cian Li memandang kepada Pek-liong. Pendekar ini mengangguk karena tidak mungkin dia dibebaskan begitu saja mengingat bahwa dia pernah membasmi seorang di antara Kiu Lo-mo dan tentu saja hal ini mendatangkan dendam di hati Siauw-bin Ciu-kwi.
Biarpun di situ banyak orang, Cian Li tidak perduli dan ia lalu menanggalkan pakaiannya. Di sebelah dalam, ia telah mengenakan pakaian yang pernah membuat Pek-liong mengira ia telanjang bulat. Pakaian yang tipis ketat dan kini kembali Pek-liong memandang dengan sinar mata penuh kagum. Lekuk lengkung tubuh gadis itu demikian sempurna, demikian indahnya sehingga dia memandang terpesona. Dari kaki yang panjang itu sampai kepala yang tegak dan anggun, sungguh merupakan pemandangan yang amat indah dan menarik hati.
701
“Aih, Pek-liong, kenapa engkau memandangnya seperti itu? Percayalah, tubuhku tidak kalah indah oleh tubuhnya. Engkau tidak percaya? Biar sekarang juga aku berdiri telanjang bulat di depanmu......” Tok-sim Nio-cu bangkit dan mulai menanggalkan kancing bajunya sehingga mulai nampak kulit dada yang putih mulus.
“Sudahlah, Niocu. Mari kita bekerja, nona Kam!” kata Siauw-bin Ciu-kwi tak sabar melihat tingkah Tok-sim Nio-cu yang dianggapnya mengganggu pekerjaan penting itu.
Mereka semua bangkit dan berdiri di kepala perahu. Tok-sim Nio-cu masih merangkul Pek-liong, bahkan kini lengan kirinya melingkari pinggang Pek-liong dan jari-jari tangannya dengan mesra meraba perut pemuda itu. Melihat ini, wajah Cian Li menjadi marah bukan main.
“Nah, engkau menyelamlah, nona Kam!” kata Beng-cu itu dengan hati tegang karena dia sudah membayangkan akan dapat menemukan potongan peta yang akan membuat petanya lengkap, yaitu peta tentang Patung Emas yang selain akan membuatnya kaya raya, juga akan memberi obat panjang usia yang akan membuat dia dapat berusia sampai beratus ratus tahun!
“Baik, aku akan menyelam!” kata Cian Li dan gadis ini lari ke pinggir perahu, akan tetapi tanpa disangka oleh siapapun juga, ia telah menabrak tubuh Tok-sim Nio-cu yang berdiri di tepi perahu pula.
“Ihhh......!” Tok-sim Nio-cu tidak sempat mengelak sehingga tubuhnya terjungkal bersama Cian Li keluar dari perahu. Pada saat itu, Lim-kwi Sai-kong mengulur lengannya yang panjang, mungkin untuk menyambar tubuh Tok-sim Nio-cu atau untuk menghantam ke arah
702
tubuh Cian Li. Melihat ini, Pek-liong menyambut dengan dorongan tangannya.
“Dukkk......!” Dua tangan bertemu dan akibatnya, Pek-liong merasa tubuhnya tergetar dan sebaliknya, Lim-kwi Sai-kong terdorong muodur dua langkah!
“Byuurrrr......!” Air telaga muncrat ketika tertimpa tubuh dua orang wanita itu. Tok-sim Nio-cu boleh jadi lihai sekali di atas daratan, akan tetapi begitu tubuhnya menimpa air, ia gelagapan karena ia tidak pandai renang!
“Uuuppp...... tolong..... aeppp... tolong......!!” Ia menjerit-jerit, akan tetapi tiba-tiba matanya terbelalak karena kakinya ada yang menangkap dari bawah dan tubuhnya ditarik ke bawah permukaan air!
Tentu saja yang melakukan penyerangan ini bukan lain adalah Cian Li! Sejak tadi gadis ini menahan-nahan perasaan cemburu, marah dan bencinya terhadap Tok-sim Nio-cu. Ia maklum bahwa ia tidak berdaya di atas perahu atau di darat, akan tetapi begitu tiba di air, ia memperoleh kesempatan untuk membalas dan melampiaskan semua kemarahan dan kebenciannya kepada wanita genit itu!
Dipegangnya pergelangan kaki Tok-sim Nio-cu dan dibawanya wanita itu menyelam! Ketika Tok-sim Nio-cu meronta-ronta, ia lalu menangkap rambut yang riap-riapan itu dan menjambak rambutnya, terus menarik ke bawah!
“Keparat!” Lim-kwi Sai-kong marah dan sudah mencabut golok besarnya.
703
“Sudah, jangan berkelahi!” Beng-cu itu membentak, lalu meneriaki Po-yang Sam-liong. “Kalian selamatkan Nio-cu! Dan biarkan nona Kam bekerja, jangan ganggu dan bawa Nio-cu kembali ke perahu!”
Tiga orang raksasa itu lalu meloncat ke luar perahu. Mereka adalah tiga orang tokoh Telaga Po-yang, tentu saja mereka pandai renang dan pandai menyelam, walaupun tidak sehebat Kam Cian Li atau kakaknya. Mereka menyelam dan mereka melihat betapa Tok-sim Nio-cu meronta-ronta, akan tetapi rambutnya yang panjang sudah dijambak oleh Cian Li yang bergerak seperti ikan saja, dan tubuh Tok-sim Nio-cu terus ditarik ke bawah!
Tiga orang ini cepat mengejar dan dengan pengerahan tenaga tiga orang, barulah mereka dapat memaksa Cian Li melepaskan rambut Tok-sim Nio-cu, Po-yang Sam-liong lalu menyeret Tok-sim Nio-cu yang sudah mulai lemas itu naik ke permukaan air telaga.
Setibanya di permukaan air, Tok-sim Nio-cu terengah-engah dalam keadaan setengah pingsan dan perutnya yang ramping itu kini menggembung karena terlalu banyak minum air telaga! Ia lalu ditolong, diangkat ke perahu dan ditelungkupkan, punggungnya ditekan-tekan sehingga air dari perut keluar melalui mulutnya.
Melihat keadaan Tok-sim Nio-cu, diam-diam Pek-liong tertawa geli. Sungguh Cian Li merupakan seorang gadis yang hebat dan tabah sekali, pikirnya. Akan tetapi diapun khawatir karena seorang wanita iblis macam Tok-sim Nio-cu tentu tidak akan membiarkan saja dirinya dihina seperti itu, bahkan nyaris tewas konyol di dalam air!
704
Sementara itu, tak jauh dari situ, dua pasang mata sejak tadi mengintai sejak perahu besar itu membuang jangkar di tempat itu. Mereka adalah Kam Sun Ting dan Hek-liong-li!
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Sun Ting dan Liong-li melakukan perjalanan cepat dan setelah terpaksa melewatkan malam di tepi hutan, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali telah melanjutkan perjalanan membalapkan kuda mereka. Pada tengah hari, mereka tiba di Telaga Po-yang.
“Kita berhenti di sini dan titipkan kuda kita kepada seorang penduduk di sini yang kaukenal,” kata Hek-liong-li. Ia sendiri tidak ikut menitipkan kuda karena ia tidak ingin kehadirannya di Po-yang diketahui orang.
Setelah kuda dititipkan, ia mengajak Sun Ting untuk mendekati telaga. Sun Ting menjadi petunjuk jalan dan lebih dahulu mereka pergi ke rumah Sun Ting. Ketika tiba di rumah, Sun Ting terkejut sekali melihat rumah itu dalam keadaan kacau, bahkan ada sebagian yang bekas terbakar. Barang-barang dijungkir balikkan, dan yang membuat dia terkejut dan khawatir adalah lenyapnya adiknya yang tidak meninggalkan bekas!
Melihat kebingungan dan kegelisahan pemuda itu, Liong-li yang sejak tadi bersikap tenang saja lalu berkata, suaranya tidak lagi ramah seperti biasa, melainkan tegas dan berwibawa sehingga Sun Ting merasa terkejut.
“Sun Ting, bukankah ketika engkau pergi, adikmu yang bernama Cian Li itu bersama dengan Pek-liong-eng?”
705
Walaupun terkejut melihat perubahan sikap ini, Sun Ting menjawab dan merasa seolah-olah kini dia berhadapan dengan seorang pemimpin. “Benar sekali......, enci Cu!”
Biasanya, sudah begitu enak menyebut wanita itu enci Kim Cu atau enci Cu begitu saja, akan tetapi melihat sikap wanita itu sekarang, dia merasa akan lebih enak kalau menyebutnya lihiap.
Mendengar jawaban itu, Liong-li lalu melakukan penyelidikan, meneliti seluruh keadaan rumah itu, kemudian ia keluar dan termenung di luar rumah. Ia melihat tanda-tanda perkelahian di rumah itu, bahkan dia melihat bekas banyak sekali darah di kamar. Ada yang luka parah atau terbunuh agaknya. Dan Cian Li lenyap. Bahkan Pek-liong juga lenyap.
Kalau Pek-liong ada dan masih bebas, tentu sekarang sudah menyambut kedatangannya. Tidak adanya Pek-liong menyambut, berarti bahwa Pek-liong tidak mampu melakukannya, terhalang oleh hal yang amat penting atau...... tertawan musuh!
“Mari kita selidiki di rumah-rumah penginapan! Siapa tahu Pek-liong berada di sana atau setidaknya pernah bermalam di sana,” katanya dengan sikap memerintah.
“Baik, ......lihiap.”
Mendengar sebutan ini, Liong-li menatap wajah pemuda itu, akan tetapi tidak menegurnya. Agaknya ia berpikir bahwa dalam keadaan serius seperti itu, sebaiknya kalau pemuda ini menganggapnya sebagai seorang atasan atau pemimpin agar ada keseriusan di antara mereka. Tidak sukar bagi Sun Ting untuk menyelidik dan menemukan rumah
706
penginapan di mana adiknya dan Pek-liong bermalam, malam kemarin.
“Mereka berdua pergi meninggalkan kamar tanpa pamit,” kata pengurus rumah penginapan. “Entah ke mana. Akan tetapi buntalan pakaian mereka masih ada.”
Mendengar ini, Sun Ting yang sudah mengenal pemilik rumah penginapan, lalu mendekatinya dan bertanya dengan suara lirih, “Toako, katakanlah terus terang, apakah pada hari-hari kemarin engkau tidak melihat mereka?”
Pemilik rumah penginapan itu mengamati wajah penanyanya, lalu balas berbisik, “Siapa yang kau maksudkan dengan mereka?”
“Maksudku Po-yang Sam-liong...... toako, jangan takut, engkau mengenal aku, bukan? Katakan apa engkau atau orang-orangmu pernah melihat mereka......”
“Ada hubungannya dengan adikmu yang kaucari-cari ini?” tanyanya, juga berbisik. “Jangan kau khawatir, adikmu di sini bersama seorang pemuda tampan. Hemm, pacarnyakah itu? Kapan menikahnya?” Suara pemilik rumah penginapan itu terdengar pahit. Kiranya dia pernah tergila-gila kepada Kam Cian Li, mengajukan pinangan namun ditolak oleh gadis itu.
“Tidak, hanya teman. Toako, katakanlah tentang mereka itu......” Kam Sun Ting mendesak.
“Hemm, siapa memperdulikan mereka? Akan tetapi pernah kemarin dulu aku melihat mereka di kuil tua di luar kota itu.”
707
“Kuil tua tak terpakai di luar kota sebelah utara?” tanya Sun Ting kepada si pemilik rumah penginapan.
Yang ditanya mengangguk dan kini Liong-li segera berkata.
“Sun Ting, mari kita pergi!” Dan ia mendahului pemuda itu pergi meninggalkan rumah penginapan. Sebelum Sun Ting menyusul pergi, pemilik rumah penginapan itu memegang lengannya.
“Hei, Sun Ting, siapakah itu? Pacarmukah? Begitu cantik jelita!” katanya kagum sambil memandang bayangan gadis cantik berpakaian serba hitam itu.
“Hssss, hanya teman,” jawab Sun Ting dan diapun berlari meninggalkan temannya yang masih bengong, mengejar Liong-li.
Setelah tiba di luar kota, payahlah Sun Ting yang harus mengerahkan seluruh tenaganya mengejar Liong-li yang berjalan dengan cepat sekali. Sambil berjalan cepat, Liong-li memperhatikan sekitar tempat itu, bahkan memperhatikan jalan yang dilaluinya.
Setibanya di luar kuil, Liong-li tiba-tiba berhenti dan matanya memandang ke arah tembok kuil.
“Lihiap, bagaimana dengan penyelidikanmu! Kaupikir apa yang telah terjadi dengan adikku! Ia tidak berada dalam bahaya, bukan?”
Pendekar wanita itu mengerutkan alisnya, tidak menjawab, bahkan ia lalu menghampiri kuil dan mengamati bagian yang agak tersembunyi dari dinding kuil. Ada semak-semak di dekat dinding, akan tetapi agaknya ia melihat sesuatu lalu menyingkap semak-semak itu.
708
Sun Ting ikut pula melihat apa yang terdapat di balik semak-semak itu. Hanya coretan dengan bata, coretan kasar menggambarkan sebuah bukit yang ditumbuhi sebatang pohon dan di bawah pohon ada garis menurun. Bagi orang lain, gambar itu tidak ada artinya, juga bagi Sun Ting yang menganggap coretan itu hanya coretan yang dilakukan anak-anak iseng, mungkin anak penggembala kerbau yang iseng. Akan tetapi pendekar wanita berpakaian serba hitam itu mengamatinya dengan penuh perhatian.
“Ada apakah, lihiap?” Sun Ting bertanya lirih.
Akan tetapi seperti juga tadi, wanita itu tidak menjawab dan sungguh aneh, alisnya berkerut dan dahinya penuh peluh! Dia sama sekali tidak tahu bahwa memang terdapat hubungan yang amat aneh antara Pek-liong-eng dan Hek-liong-li. Seolah-olah jalan pikiran kedua orang sakti ini memiliki jalur atau gelombang yang sama sehingga apa yang dimaksudkan oleh seorang, mudah dimengerti yang lain.
“Sun Ting, adakah bukit terdekat di sini?”
“Kita ini berada di lereng sebuah bukit, lihiap.”
“Katakan cepat, apakah ada sebatang pohon besar di sini, pohon besar yang berdiri sendiri, pohon tua dan rindang daunnya?”
Biarpun merasa terheran-heran, Sun Ting mengingat-ingat. Dia sudah hafal akan keadaan bukit itu, maka cepat dia dapat menjawab, “Memang ada, lihiap. Pohon tua dan besar, tak jauh dari sini, letaknya di belakang kuil, dari sini tidak nampak, terhalang rumpun bambu.”
“Mari cepat antar aku ke sana!”
709
Biarpun merasa heran dan tidak mengerti, Sun Ting yang maklum bahwa semua itu tentu amat penting dan agaknya ada hubungannya, dengan lenyapnya Cian Li, dia mengangguk dan cepat menjadi penunjuk jalan. Tak lama kemudian tibalah mereka di bawah pohon besar itu.
Makin heran hati Sun Ting ketika melihat bahwa gadis itu sama sekali tidak memperhatikan pohon, bahkan melongok ke bawah, ke sebuah jurang yang berada di dekat pohon. Pohon raksasa itu tumbuh di tebing jurang yang amat curam.
“Sun Ting, engkau menungguku di sini dulu. Kalau ada orang melihatmu dan bertanya, kau cari alasan, akan tetapi jangan katakan bahwa aku menuruni jurang ini.”
Sun Ting terbelalak. ”Menuruni jurang? Lihiap, betapa bahayanya itu! Mau apa menuruni jurang?”
“PENTING! Belum saatnya bicara sekarang. Kau tunggu di sini!” Dan tiba-tiba saja tubuh yang ramping itu sudah bergantung pada akar pohon dan sebentar saja lenyap ke bawah tebing yang amat curam!
Wajah Sun Ting menjadi pucat, jantungnya berdebar penuh kekhawatiran. Akan tetapi dia tidak berani menjenguk ke tepi tebing jurang, karena selain dia merasa terlalu ngeri, juga dia takut kalau ada orang melihat dia menjenguk ke bawah. Maka, diapun pura-pura kepanasan dan membuka baju, duduk seperti orang berteduh di bawah pohon itu. Akan tetapi matanya hampir tak pernah berkedip memandang ke tepi jurang ke mana pendekar wanita itu tadi lenyap.
710
Ternyata tidak lebih dari dua menit Liong-li menuruni jurang. Dua menit yang bagi Sun Ting sama dengan dua jam! Dan wajah pendekar wanita itu berseri, mulutnya terhias senyuman yang membuat wajahnya menjadi semakin manis. Tanpa setahu Sun Ting, kini di pinggangnya terselip dua batang pedang.
Kalau tadinya ketika menuruni jurang ia hanya membawa pedangnya sendiri, yaitu Hek-liong-kiam (Pedang Naga Hitam) yang agak pendek, kini setelah muncul dari jurang ia membawa pula Pek-liong-kiam (Pedang Naga Putih) yang lebih panjang di pinggangnya. Selain itu, juga ia mengantongi sehelai kertas yang memuat tulisan singkat. Bunyi surat tulisan Pek-liong itu seperti berikut:
“Terpaksa menyerah karena gadis itu mereka tawan. Entah akan dibawa ke mana. Cari Po-yang Sam-liong.”
Hanya itulah isi tulisan, tanpa disehut namanya atau nama pengirim. Akan tetapi baginya sudah jelas sekali. Sahabatnya itu dipaksa menyerah kepada pihak musuh karena mereka telah menawan gadis she Kam adik Sun Ting itu! Dan ia harus mencari Po-yang Sam-liong. Hal ini berarti bahwa di antara para musuh itu terdapat Po-yang Sam-liong yang tentu akan dapat membawa ia ke sarang gerombolan musuh. Gawat!
“Bagaimana, lihiap?”
Melihat kekhawatiran dan ketegangan membayang pada pandang mata pemuda itu, Liong-li berpendapat bahwa sebaiknya pemuda itu diberitahu akan keadaan yang sebenarnya. Dia perlu ketenangan agar dapat merupakan pembantu yang berguna.
711
“Mari kita berjalan menuju ke telaga, Sun Ting. Benarkah dugaanku bahwa untuk mencari Po-yang Sam-liong, sebaiknya kita pergi melakukan penyelidikan ke Telaga Po-yang?”
Pemuda itu mengangguk, hatinya penuh ketegangan dan mereka lalu meninggalkan tempat itu, menuruni bukit menuju ke telaga yang nampak dari lereng itu.
“Sun Ting, tenangkan hatimu. Mereka, Pek-liong-eng dan adikmu itu, telah menjadi tawanan musuh.”
“Ah! Tentu Po-yang Sam-liong dan kawan-kawannya!” Sun Ting mengepal tinju. “Akan tetapi Pek-liong-eng demikian lihainya, bagaimana mungkin dia dapat tertawan?”
“Mereka lebih dulu menawan adikmu dan memaksa Pek-liong-eng untuk menyerah. Kita tidak tahu mereka dibawa ke mana, dan hanya Po-yang Sam-liong yang mengetahuinya. Maka, kita harus mencari mereka secepat mungkin. Mari kita menyewa perahu.”
“Nanti dulu, lihiap. Untuk melawan Po-yang Sam-liong dan kawan-kawannya amatlah berbahaya. Akan tetapi kalau berada di air, biar dikeroyok mereka bertiga, aku sanggup mengalahkan mereka. Lihiap sebaiknya membawa bekal perlengkapan renang dan menyelam, untuk persiapan kalau-kalau semua itu lihiap perlukan.”
Karena ia sendiri bukan seorang ahli renang yang hebat, hanya sekedar dapat mencegah tenggelam saja, Liong-li menurut. Yang dibawa oleh Sun Ting adalah sepasang sepatu yang lebar seperti cakar bebek, dan sebuah pipit lemas kecil yang panjang. Pipa lemas ini dapat dipergunakan untuk bernapas di dalam air selagi menyelam,
712
karena ujungnya diberi pengapung sehingga pipa itu ujungnya akan selalu berada di atas permukaan air dan dapat menyalurkan udara baru kepada si penyelam.
Setelah membawa perlengkapan dan mengajarkan kepada Liong-li, bagaimana mempergunakan benda-benda itu, mereka lalu naik sebuah perahu kecil, tidak menyewa, melainkan perahu milik Sun Ting sendiri. Untuk menyembunyikan diri, mereka berdua mempergunakan caping yang lebar sekali, yang biasa dipergunakan para nelayan untuk melindungi muka mereka dari terik matahari kalau mereka mencari ikan di telaga.
Caping lebar itu diberi tali yang dikalungkan di bawah dagu sehingga tidak terbang terbawa angin. Mereka mendayung perahu sambil menyembunyikan muka di balik caping, berputar-putaran dan akhirnya dari jauh mereka melihat perahu besar yang ditumpangi Po-yang Sam-liong! Melihat mereka, Sun Ting cepat mendayung perahunya menjauh.
“Itulah mereka......!” bisiknya kepada Liong-li.
Wanita perkasa ini melihat ke arah Sun Ting menunjuk dan melihat perahu besar itu. Yang nampak dari situ hanyalah tiga orang laki-laki raksasa yang berdiri di kepala perahu. Dengan otaknya yang cerdik dan cekatan sekali, Liong-li bertanya.
“Mereka yang disebut Po-yang Sam-liong?”
“Benar.”
713
“Hemm, tentu ada banyak orang lain di sana. Mari kita mendekat, Sun Ting.”
Sun Ting menggelengkan kepalanya. “Tidak mungkin mendekat. Mereka akan curiga dan kita akan ketahuan.”
“Ah, bukankah telaga ini tempat umum dan kita sudah menyamar dalam pakaian nelayan? Caping ini dapat menyembunyikan muka kita.”
“Engkau tidak mengerti, enci.” Dia berhenti sebentar, tergagap dan Liong-li tersenyum dan dapat mengerti apa yang menyebabkan pemuda itu tergagap. “Sun Ting, engkau boleh saja menyebut lihiap atau enci, seenak mu sajalah, bagiku sama saja. Nah, teruskan keteranganmu.”
Sun Ting bernapas lega. Memang, dalam keadaan tegang, dia merasa sukar menyebut enci, lebih suka menyebut lihiap karena sebutan ini selalu mengingatkan dia bahwa wanita ini memiliki kesaktian, lihai sekali dan boleh dipercaya, boleh diandalkan. Namun, dalam keadaan tenang, dia memang lebih sering menyebut enci, sebutan yang lebih akrab.
“Begini, enci. Coba kaulihat di sana itu. Semua perahu, besar atau kecil, yang bertemu dengan perahu besar itu, pasti menyimpang dan menyingkir jauh-jauh. Kalau perahu kita mendekat, hal itu akan nampak luar biasa sekali dan pasti menarik perhatian Po-yang Sam-liong. Kita sama sekali tidak boleh mendekatkan perahu, hal itu akan menggagalkan penyelidikan kita.”
714
Liong-li mengangguk girang. Pemuda inipun pandai mempergunakan otaknya! “Habis, kalau tidak mendekatkan perahu, bagaimana kita akan dapat melakukan penyelidikan?”
Pemuda itu tersenyum, senyum kemenangan karena baru sekarang dia merasa “lebih” dibandingkan Liong-li. Dan wanita perkasa itu, memandang dengan sinar mata kagum. Bukan main gantengnya pemuda ini kalau sudah tersenyum seperti itu, pikirnya, akan tetapi segera ditekannya gairah hatinya.
“Enci, sebaiknya kita membayangi mereka dari jauh saja, pura-pura kita mencari ikan dengan demikian mereka tidak mencurigai kita dan kita akan tahu ke mana perahu mereka pergi. Kalau mereka sudah menghentikan perahu, barulah kita mendekat, akan tetapi tanpa menggunakan perahu lagi. Kita dapat berenang mendekati mereka.”
Liong-li merasa kurang jelas. “Kita sudah membawa perlengkapan sehingga dapat mengintai dengan berenang, akan tetapi tentu mereka akan melihat kita?”
“Tidak, enci. Kita dapat bersembunyi di situ.” Pemuda itu menunjuk ke kiri dan Liong- li melihat daun dan bunga teratai yang lebat terapung di permukaan air. Ia tersenyum dan memandang wajah pemuda itu dengan kagum.
“Engkau hebat, Sun Ting!”
Sun Ting menjadi gembira sekali dan diapun cepat mengambil tumbuh-tumbuhan yang terapung di permukaan air itu, memasukannya ke dalam perahunya. Kemudian, perlahan-lahan mereka mendayung perahu, mengikuti perahu besar Po-yang Sam-
715
liong itu dari kejauhan. Setelah perahu besar itu berhenti dan melempar jangkar di tengah telaga, Sun Ting bergumam lirih, dan menghentikan perahunya. “Aneh, mereka berhenti di tempat yang biasa kami pergunakan untuk mencari batu dari dasar telaga!”
“Hemm, agaknya ada hubungannya dengan pekerjaanmu itu, Sun Ting. Kita harus menyelidiki ke sana.”
“Memang sebaiknya kita mendekat dengan berenang dan kita meninggalkan perahu di sini.”
Karena merasa bahwa di air dialah yang dapat memimpin, Sun Ting dengan cekatan lalu melemparkan jangkar untuk menahan perahu, dan dia membuka pakaian luarnya. Dengan hati bangga dia melihat betapa pandang mata wanita jelita itu ditujukan kepada tubuhnya dengan kekaguman yang tidak disembunyikan.
Memang, Liong-li memandang tubuh pemuda itu dengan kagum. Tubuh yang biasa bermain dalam air itu memang tegap, dengan otot-otot sempurna menggembung di balik kulit yang halus. Dadanya bidang, dengan tonjolan-tonjolan sempurna, pinggang ramping dan perut kempis, paha dan betisnya seperti kaki katak.
Ia sendiripun menanggalkan pakaian luarnya dan ia tersenyum ketika kini tiba giliran Sun Ting untuk mengamati tubuh yang padat dengan lekuk lengkung tubuh seorang wanita yang masak itu.
Liong-li mengenakan tambahan kaki katak untuk memudahkan ia bergerak dalam air, dan membawa pipa kecil untuk dipakai mengambil napas ke permukaan air di waktu menyelam. Kemudian,
716
keduanya berenang sambil bersembunyi di bawah atau di antara daun-daun dari bunga teratai, mendekati perahu besar.
Demikianlah. dengan bersembunyi di balik bunga teratai mereka mengintai dan alangkah kaget hati mereka ketika melihat Pek-liong dan Cian Li telah menjadi tawanan di perahu itu. Dari tempat persembunyiannya, Liong-li mengamati orang-orang yang berada di dalam perahu, maklum bahwa mereka itu tentulah orang-orang pandai dan tokoh-tokoh dunia hitam. Ia melihat pula Pek-liong yang berdiri dengan sikapnya yang tenang.
Melihat sahabat dan rekannya ini, berdebar rasa jantung dalam dada Liong-li. Betapa sudah amat rindunya kepada Pek-liong! Dan Pek-liong kelihatan sehat, bahkan lebih tegap dan lebih gagah dari pada dahulu.
Sikapnya yang tenang itu, walaupun kaki dan tangannya dibelenggu rantai, membuat hati Liong-li merasa terharu bercampur bangga. Tidak ada orang kedua segagah dan setabah Pek-liong, juga amat cerdik dan berani menghadapi ancaman maut tanpa berkedip mata! Iapun melihat seorang gadis cantik manis yang kelihatan cemberut dan khawatir, kemudian melihat gadis itu membuka pakaian luarnya. Liong-li memandang kagum. Seorang gadis yang memiliki bentuk tubuh indah. Ia teringat akan keindahan bentuk tubuh Sun Ting.
“Apakah gadis itu adikmu yang bernama Kam Cian Li itu?”
“Benar, cici, dan aku merasa heran sekali apa yang ia akan lakukan di sana itu. Ia menanggalkan pakaian, mengenakan pakaian selam, itu berarti ia akan menyelam.” Sun Ting termenung lalu melanjutkan dengan ragu dan khawatir. “Akan tetapi, kenapa......?”
717
Liong-li mengerutkan alisnya yang berbentuk indah. “Mari kita renungkan sebentar,” bisiknya. “Pek-liong menyerah karena Cian Li ditawan, dan kini mereka berdua dibawa ke sini oleh para penjahat itu. Pek-liong dibelenggu dan kelihatan tidak melawan sedangkan adikmu itu kini hendak menyelam. Hemm, agaknya ini ada hubungannya dengan rahasia peta Patung Emas!”
“Peta Patung emas?” Sun Ting bertanya heran.
“Itulah yang diperebutkan oleh kawanan penjahat itu, demikian menurut isi surat Pek-liong. Agaknya kini adikmu dipaksa untuk menyelam dan mencari sesuatu, dan Pek-liong tidak berdaya selama adikmu menjadi tawanan mereka.”
“Kalau begitu, biar aku menyelam dan menghubungi adikku di dalam air......”
“Jangan dulu. Lihat......!”
Pada saat itulah Cian Li mendorong Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si dan kedua orang wanita itu terjatuh ke dalam air. Mereka melihat betapa Tok-sim Nio-cu kelabakan di dalam air kemudian tenggelam seperti diseret ke bawah.
“Ha-ha, bagus adikku! Seret mereka satu demi satu ke bawah air sampai mereka mati lemas!” Sun Ting berkata girang. “Biar aku membantunya!”
Akan tetapi Liong-li menangkap lengannya. “Jangan, kita lihat bagaimana perkembangannya. Kaulihat, biarpun terbelenggu, Pek-liong mampu melindungi adikmu. Ketika raksasa pakaian hitam itu
718
tadi memukul ke arah adikmu yang menerjang wanita cantik itu, Pek-liong menangkisnya. Dan raksasa itu bertenaga besar. Benar Pek-liong, mereka mempunyai banyak kaki tangan yang pandai. Kita harus berhati-hati dan melihat dulu perkembangannya sebelum turun tangan.”
Sementara itu, Pek-liong tersenyum gembira melihat betapa Cian Li telah mampu melampiaskan amarahnya kepada Tok-sim Nio-cu, wanita lihai itu tanpa si wanita sesat mampu membela diri! Sungguh Cian Li amat hebat, penuh keberanian, pikirnya.
Melihat betapa Tok-sim Nio-cu masih terengah-engah biarpun perutnya sudah kempis kembali, wajahnya pucat dan matanya liar, dia tidak dapat menahan ketawanya. Apa lagi melihat rambut itu basah awut-awutan, pupurnya luntur dan pakaiannya juga basah kuyup. Seperti seekor kucing yang tadinya angkuh memamerkan kecantikannya, kini basah kuyup dan jelek!
Akan tetapi, dia melihat sinar maut berkilat di mata Tok-sim Nio-cu setiap kali wanita itu memandang ke arah air. Berbahaya, pikirnya. Wanita ini bisa berbahaya sekali dan mungkin saja dalam kemarahannya ia akan membunuh Cian Li begitu gadis itu muncul kembali ke atas.
“Beng-cu, kalau aku menjadi engkau, aku akan berhati-hati agar jangan sampai namaku menjadi rusak sebagai orang yang suka melanggar janjinya terhadap nona Kam Cian Li!” kata Pek-liong sambil tersenyum mengejek.
719
Siauw-bin Ciu-kwi mengerutkan alisnya. “Hemm, aku bukan seorang yang suka melanggar janjiku. Aku seorang beng-cu, mengerti? Seorang beng-cu, seperti seorang raja, tidak akan melanggar janji!”
“Akan tetapi ada orang lain yang akan membuat engkau terpaksa melanggar janjimu, beng-cu. Aku khawatir begitu nona Kam muncul, ia akan dibunuh oleh Tok-sim Nio-cu!”
Siauw-bin Ciu-kwi menoleh kepada Tok-sim Nio-cu dan matanya berkilat. “Ia tidak akan berani!”
Ucapan ini sudah cukup bagi Pek-liong, karena itu merupakan jaminan keselamatan bagi Cian Li. Tok-sim Nio-cu jelas tidak akan berani turun tangan mengganggu Cian Li.
Tok-sim Nio-cu menyeringai dan memandang kepada Pek-liong. Kemarahannya terhadap Cian Li lebih besar dari pada gairahnya terhadap Pek-liong, “Pek-liong. kaukira aka tidak akan dapat membalasnya kelak setelah ia dibebaskan oleh beng-cu? Hemmm, kelak akan kubikin hancur seluruh tubuhnya, kulit mukanya akan kusayat-sayat!”
Di dalam batinnya, Pek-liong berjanji, “Sebelum kaulakukan itu, engkau akan lebih dulu kubunuh!”
Akan tetapi pada saat itu, semua orang memperhatikan munculnya sebuah kepala di permukaan air. Kepala Cian Li! Gadis itu mengguncang kepala sehingga rambut yang basah kuyup dan menutupi mukanya itu tersibak dan nampaklah mukanya yang cantik dan kemerahan. Ia mengambil pernapasan panjang di atas permukaan air, lalu nampak tangan kanannya yang memegang sebuah guci. Dari
720
jauh, Sun Ting berbisik heran. “Aih, benda apakah yang berada di tangan Cian Li itu? Aku tidak pernah melihatnya.”
“Sttt......, kulihat itu sebuah guci. Dan adikmu menyerahkannya kepada si gendut kepala botak. Hemm, agaknya dia itulah yang berjuluk Siauw-bin Ciu-kwi, seorang di antara Kiu Lo-mo! Dan lihat, semua orang kini mengepung dan mengancam Pek-liong!”
Dua orang pengintai itu memandang dengan khawatir. Memang kini setelah Cian Li naik ke atas perahu, ia menyerahkan guci itu kepada Siauw-bin Ciu-kwi dan memang sudah diatur sebelumnya, Siauw-bin Ciu-kwi yang menerima guci itu kini berdiri di belakang Pek-liong sambil mendekatkan tangan, siap menyerang, sedangkan para pembantunya juga semua telah menodongkan senjata kepada pendekar yang sudah dibelenggu kaki tangannya itu.
“Heil! Apa artinya lelucon ini, Siauw-bin Ciu-kwi?” bentak Pek-liong.
“Kalian memang tak tahu malu!” tiba-tiba Cian Li membentak dengan suara nyaring. “Kalian sudah berjanji akan membebaskan aku kalau aku menyerahkan peta itu, dan sekarang kalian malah mengancam Hay-koko?”
Mendengar gadis itu menyebut Hay-koko kepada Pek-liong, dan melihat sikapnya yang demikian beraninya untuk membela Pek-liong, Liong-li tersenyum. Sikap dan kata-kata itu saja sudah jelas baginya untuk menduga bahwa seperti banyak wanita lain, gadis penyelam yang bertubuh indah dan berwajah manis itu telah jatuh cinta kepada Pek-liong-eng Tan Cin Hay!
721
“Ha-ha-ha, aku memang sudah berjanji untuk membebaskanmu, nona Kam dan aku Siauw-bin Ciu-kwi tidak akan menarik kembali janjiku kepadamu! Akan tetapi aku tidak pernah berjanji untuk membebaskan Pek-liong! Khawatir kalau-kalau dia akan membuat banyak ulah, maka dia harus dijaga sebelum aku melihat apakah peta yang kauberikan kepadaku ini tulen ataukah palsu!”
Setelah berkata demikian, Siauw-bin Ciu-kwi yang membiarkan para pembantunya menodongkan senjata mereka kepada Pek-liong, dia sendiri lalu membuka tutup guci dan mengeluarkan isinya. Segulung peta yang sama benar dengan peta yang berada di tangannya, yaitu bagian yang hilang.
Dia cepat membuka gulungan peta itu, mencocokkan dengan bagian yang berada padanya dan ternyata memang peta yang diserahkan Cian Li itu merupakan sambungan peta yang dia dapatkan! Dan setelah disambung, baru mudah dimengerti bahwa peta itu menunjukkan di mana adanya Patung Emas! Dengan sepasang matanya yang mencorong kejam itu, Siauw-bin Ciu-kwi mempelajari peta dan wajahnya berseri. Dia sudah memperoleh petunjuk di mana adanya Patung Emas!
Menurut petunjuk peta yang sudah digabungkan itu, Patung Emas ternyata disembunyikan di dasar telaga itu, di bagian barat dengan ukuran lima tombak dari pulau kecil yang menonjol keluar selebar beberapa meter persegi. Tempat itu mudah dicari! Akan tetapi diapun menyadari bahwa untuk mengambil patung itu, dibutuhkan tenaga seorang penyelam yang pandai! Maka, dia masih membutuhkan tenaga nona Kam Cian Li! Pada hal, dia telah berjanji membebaskannya.
722
Tiba-tiba saja Siauw-bin Ciu-kwi meloncat dan tangan kanannya membuat gerakan seperti hendak mencengkeram ke arah kepala Pek-liong. Melihat ini, Pek-liong terkejut. “Siauw-bin Ciu-kwi, engkau hendak membunuhku secara pengecut?” Dia sudah siap untuk melawan mati-matian.
Akan tetapi beng-cu itu tidak melanjutkan serangannya, melainkan berkata kepada Cian Li. “Nona Kam Cian Li, aku sudah berjanji bahwa engkau akan kubebaskan kalau sudah menyerahkan peta. Peta ini memang tulen dan engkau boleh bebas. Akan tetapi, kalau engkau pergi sekarang dan tidak mau membantu kami sekali lagi, terpaksa aku akan membunuh Pek-liong di depanmu sebelum engkau pergi!”
Tentu saja Cian Li terkejut bukan main dan matanya terbelalak memandang kepada Pek-liong. Ia tidak perduli betapa ada beberapa pasang mata dari para pembantu beng-cu itu melotot penuh gairah memandang kepadanya, terutama kepada tubuhnya yang seperti telanjang bulat saja karena pakaian selam yang menempel di tubuhnya ketat seperti kulit kedua karena basah.
“Apa...... apa maksudmu? Aku akan membantu kalian, asal kalian sekali ini berjanji tidak akan membunuh Hay-koko!”
“Bagus! Kuterima syaratmu itu, nona Kam. Menurut peta ini, tempat penyimpanan Patung emas berada di dasar telaga pula, di bagian lain dekat pulau kecil di sebelah barat. Nah, engkau harus menyelam sekali lagi untuk mengambilkan patung emas itu untuk kami, dan kami berjanji bahwa kami tidak akan membunuh Pek-liong!”
723
“Cian Li, jangan percaya mereka......!” Pek-liong berseru akan tetapi tiba-tiba saja tangan kiri Siauw-bin Ciu-kwi bergerak menotok punggungnya dan Pek-liong roboh dengan tubuh lemas.
“Apa yang kaulakukan ini?” Cian Li berteriak dan matanya terbelalak memandang kepada Pek-liong yang sudah tidak berdaya dan terkulai itu.
“Aku hanya menotoknya agar dia tidak dapat sembarangan memberontak dan membikin kacau. Sekali lagi kujanjikan, nona Kam, bahwa kalau engkau suka membantu kami, sekali lagi menyelam untuk mengambil patung emas dari dasar telaga, maka aku tidak akan membunuh Pek-liong!”
“Engkau mau bersumpah bahwa engkau tidak akan membunuh Hay-koko?” Cian Li mendesak.
Siauw-bin Ciu-kwi tersenyum menyeringai. Kalau saja dia tidak membutuhkan bantuan gadis itu, tentu pertanyaan itu saja sulah menjadi alasan cukup baginya untuk membunuh Cian Li!
“Aku bersumpah tidak akan membunuh Pek-liong kalau engkau berhasil mengambil patung emas dari dasar telaga!”
“Baik, mari bawa aku ke tempat itu dan aku akan membantumu mengambil patung emas,” kata Cian Li dengan hati lega.
Sementara itu, Pek-liong maklum bahwa dia tentu saja tidak mungkin dapat mempercaya orang sejahat Siauw-bin Ciu-kwi. Dia harus bertindak cerdik karena dia harus menyelamatkan diri sendiri, juga menyelamatkan Cian Li. Kalau saja gadis itu sudah bebas, dia tidak
724
begitu khawatir lagi. Betapapun juga, dia harus berhati-hati karena dia maklum bahwa selain lihai, juga Siauw-bin Ciu-kwi amat cerdik.
Ketika melihat perahu besar itu mengangkat jangkar dan bergerak menuju ke barat, Liong-li dan Sun Ting juga sudah berada di perahu kecil mereka dan mendayung perlahan-lahan membayangi perahu besar itu dari jauh. Baru setelah perahu besar berhenti melempar jangkar keluar mereka berdua juga menghentikan perahu mereka dan seperti tadi, mereka mendekati perahu, bersembunyi di balik tumbuhan bunga teratai sampai mereka berada dekat dan bukan hanya dapat melihat, akan tetapi juga dapat mendengar percakapan di atas perahu besar.
Melihat daerah di mana perahu besar berhenti, Cian Li terkejut dan ia segera berkata kepada Siauw-bin Ciu-kwi. “Aih, daerah ini merupakan bagian paling dalam dari telaga! Tidak mudah mencari barang di dasar yang amat dalam ini. Aku tidak akan dapat bertahan lama di bawah sana. Terlalu dalam!”
Dengan mata terbelalak ngeri Cian Li yang berdiri di kepala perahu melihat ke air yang nampak agak kehitaman tanda bahwa bagian itu memang dalam sekali.
Tiba-tiba terdengar teriakan, “Li-moi, jangan mau menyelam di situ. Berbahaya sekali......!”
Semua orang menengok dan melihat seorang laki-laki berenang dengan gerakan kuat dan cepat sekali menuju ke perahu besar. Melihat orang itu, Siauw-bin Ciu-kwi menyeringai, “Nona Kam, bukankah dia itu kakakmu?”
725
Sementara itu, melihat munculnya Sun Ting yang sama sekali tidak disangka-sangkanya, Cian Li terkejut. “Koko, kenapa kau ke sini? Pergilah cepat......!”
“Tidak, aku harus membantumu!” kata Sun Ting dan dia sudah merayap naik ke perahu melalui rantai jangkar, dengan gerakan yang cekatan.
Di lain saat dia telah berada di atas perahu besar. Sedetik dia bertemu pandang dengan Pek-liong, akan tetapi Sun Ting seperti tidak perduli kepada pendekar itu, Dia memandang kepada Cian Li penuh kekhawatiran. Akan tetapi tiba-tiba, beberapa batang senjata telah menodong tubuh Sun Ting. Pemuda ini membalik, memandang kepada Siauw-bin Ciu-kwi dan berkata dengan suara lantang mengandung kemarahan.
“Kalian sungguh kejam! Kalian hendak memaksa adikku menyelam di tempat yang amat dalam ini?”
Siauw-bin Ciu-kwi tersenyum lebar, hatinya girang sekali melihat munculnya kakak gadis itu. “Ha-ha-ha, ia sudah berjanji akan membantu kami mengambil patung emas di dasar telaga ini.”
“Koko, dia memaksaku, kalau aku tidak mau, dia akan membunuh Hay-ko? Untuk keselamatan Hay-ko aku terpaksa menyanggupi.”
“Benar ucapannya itu, orang muda. Ia sudah berjanji dan akupun sudah berjanji tidak akan membunuh Pek-liong kalau ia bisa mengambilkan patung emas yang berada di dasar telaga ini. Kalau engkau melihat bahwa tempat ini dalam dan berbabaya, tentu saja engkau boleh membantu adikmu, ha-ha!”
726
“Memang aku mau membantu adikku dalam pekerjaan berbahaya ini. Akan tetapi aku minta agar aku mendengar pula janji itu. Kalau kami berdua berhasil menemukan benda yang kalian cari, maka kami berdua akan kalian bebaskan, dan juga Tan-taihiap akan kalian bebaskan? Berjanjilah, atau, kalau tidak, kami tidak akan menyelam, biar kalian bunuh sekalipun!”
Siauw-bin Ciu-kwi mengerutkan alisnya. “Anak muda, jangan membuat kami marah! Aku sudah saling berjanji dengan adikmu, kalau ia dapat mengambilkan patung emas itu, kami akan membebaskan ia dan kami sudah berjanji tidak akan membunuh Pek-liong.”
“Tapi......” Sun Ting hendak membantah karena dia tetap hendak menuntut agar Pek-liong dibebaskan. Melihat ini, Pek-liong segera berkata.
“Saudara Kam Sun Ting, sudahlah jangan engkau pikirkan lagi aku! Kalian penuhi permintaan Beng-cu, ambil patung emas itu dari dasar telaga. Aku sudah pasti tidak akan mereka bunuh, karena selain Beng-cu sudah berjanji kepada adikmu, juga aku kini yakin bahwa tiada gunanya menentang Beng-cu. Aku ingin membantunya agar aku mendapatkan bagian harta karun itu!”
Mendengar ucapan yang lantang ini, Sun Ting terbelalak memandang kepada pendekar itu. “Apa? Engkau...... engkau akan membantu mereka ini, taihiap......?” tanyanya hampir tidak percaya.
Juga Cian Li memandang heran kepada pendekar itu. Kalau ia membantu para penjahat itu mengambil peta dan kini mengambil patung emas adalah karena terpaksa, karena ia ingin menyelamatkan
727
Pek-liong. Akan tetapi sekarang pendekar itu tiba-tiba berbalik pikiran dan hendak membantu para penjahat dengan pamrih memperoleh bagian harta karun!
“Hay-ko......!” Iapun berseru heran.
Pek-liong melambaikan tangannya dengan sikap tak sabar, akan tetapi ternyata tangannya itu lemas tak bertenaga dan baru dia teringat bahwa dia masih belum pulih dari totokan Siauw-bin Ciu-kwi yang lihai. “Sudahlah, kalian jangan mencampuri urusan pribadiku. Penuhi saja permintaan beng-cu dan kalian segera pergi dengan bebas dari sini dan selanjutnya jangan lagi mencampuri urusan kami.”
Mendengar ini, kakak beradik itu memandang marah, dan Siauw-bin Ciu-kwi tertawa bergelak. “Bagus, Pek-liong. Aku akan senang sekali bekerja sama denganmu. Akan tetapi maksud baikmu itu harus diuji dulu kebenarannya!”
Sun Ting dan Cian Li tidak banyak cakap lagi. Biarpun di dalam hati mereka marah kepada Pek-liong, dan merasa bahwa pendekar itu tidak pantas lagi dibela, akan tetapi Cian Li tetap ingin menyelamatkannya. Bukan hanya karena ia telah berhutang budi kepada Pek-liong, akan tetapi karena memang ia telah jatuh cinta. Kalau ia tidak memenuhi permintaan beng-cu mengambilkan patung emas yang telah ia pelajari dari peta dan ketahui di mana letaknya, tentu Pek-liong akan dibunuh!
“Mari, Ting-ko, bantu aku!” katanya dan ia menggandeng tangan kakaknya, lalu diajak terjun ke air. Mengagumkan sekali melibat betapa dua orang kakak beradik itu menimpa air seperti dua batang tombak saja, tidak menimbulkan suara berisik dan tubuh mereka segera lenyap di telan air.
728
Kalau saja tidak ada kakaknya, biarpun terpaksa tentu akan sukar bagi Cian Li untuk menemukan patung emas itu karena bagian ini memang dalam dan agak gelap. Hanya dengan meraba-raba, akhirnya ia menemukan guha seperti yang dimaksudkan dalam petunjuk peta yang sudah lengkap itu. Bersama Sun Ting ia memasuki guha dan benar saja, di sudut guha kecil itu ia menemukan sebuah patung yang tingginya kurang lebih satu kaki. Patung itu cukup berat dan Sun Ting lalu membawanya, dan mereka berdua segera naik ke permukaan air.
Mereka yang berada di dalam perahu besar, semua menjenguk ke air dengan penuh ketegangan hati, penuh harapan dan kecemasan. Begitu nampak dua buah kepala itu muncul dan kakak beradik itu terengah-engah memenuhi paru-paru dengan udara baru, Siauw-bin Ciu-kwi segera berteriak dari atas.
“Sudah kalian temukan patung emas itu?”
Sun Ting mengangkat tangan kanannya dan nampaklah sebuah patung yang berkilauan karena terbuat dari emas murni! Semua orang berseru kagum dan Siauw-bin Ciu-kwi segera berkata, “Cepat naik ke perahu dan serahkan kepada kami!”
“Akan kulemparkan ke atas dan kami berdua akan segera pergi dari sini!” kata Sun Ting.
“Baik, lemparkanlah!” teriak Siauw-bin Ciu-kwi.
“Tapi jangan langgar sumpahmu! Kalian tidak akan membunuh Tan-taihiap!” Cian Li berseru dan suaranya mengandung isak karena hatinya kecewa sekali melihat betapa pendekar yang dipuja dan
729
dicintanya itu akhirnya merendahkan diri menjadi kaki tangan penjahat.
“Ha-ha, jangan khawatir, nona. Kami tidak akan membunuhnya, apa lagi dia kini menjadi sekutu kami. Nah, lemparkan patung emas itu!”
Sun Ting melemparkan benda itu ke atas perahu, disambar oleh tangan Siauw-bin Ciu-kwi. Semua orang mengagumi patung emas itu yang tentu merupakan benda berharga, bukan saja berharga amat mahal karena terbuat dari emas murni, akan tetapi juga berharga karena merupakan benda kuno yang antik.
Biarpun tubuhnya masih belum bebas dari pengaruh totokan dan dia belum dapat bergerak leluasa, namun Pek-liong sudah dapat memutar tubuhnya yang rebah dan ia memandang ke arah Siauw-bin Ciu-kwi yang sedang mengamati patung emas itu bersama para pembantunya.
Dia melihat bahwa patung emas itu memang indah, sebuah patung emas Dewi Kwan Im Po-sat yang ukirannya amat indah. Tentu patung itu amat mahal, akan tetapi belum cukup mahal untuk diributkan dan dijadikan perebutan, dan dia tahu bahwa orang seperti Siauw-bin Ciu-kwi tentu tidak akan sudi bersusah payah kalau hanya untuk mendapatkan sebuah patung emas semacam itu. Dia juga melihat betapa wajah Siauw-bin Ciu-kwi sudah mengandung kekecewaan, walaupun para pembantunya berseri-seri mengamati patung emas itu.
Dugaannya benar. Dan dari jauhpun dia tahu bahwa patung emas itu bukan sembarang patung. Dia sudah banyak mempelajari tentang patung kuno dan diam-diam dia menduga bahwa tentu patung itu menyimpan rahasia yang amat penting.
730
Kalau tidak demikian, kiranya tidak mungkin orang jaman dahulu menyembunyikan patung itu dengan menyertai petanya pula! Patung emas seperti itu bukan merupakan harta karun yang luar biasa, dan orang seperti Siauw-bin Ciu-kwi tentu akan bisa mendapatkan dengan mencuri simpanan hartawan besar atau bangsawan tinggi.
Sementara itu, kakak beradik she Kam sudah menyelam kembali dan berenang dengan cepat bagaikan dua ekor ikan saja, meninggalkan perahu besar, akan tetapi mereka tidak diperdulikan lagi oleh para penjahat yang mengagumi patung emas.
Ada satu hal lain yang diyakini oleh hati Pek-liong, yaitu kehadiran Liong-li. Dia tahu bahwa sudah pasti Liong-li datang bersama Sun Ting dan sekarang entah berada di mana rekannya itu. Dari sikap Sun Ting yang demikian tabahnya saja diapun sudah menduga bahwa keberanian Sun Ting itu tentu ada penyebabnya, dan penyebab itu kiranya bukan lain karena ada Liong-li di belakangnya! Akan tetapi di mana adanya Liong-li?
Dia tahu bahwa biarpun Liong-li pandai berenang, namun tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kakak beradik Kam dan tentu wanita perkasa itu tidak akan begitu sembrono untuk mengandalkan kepandaian renangnya menghadapi kawanan penjahat itu. Baru Po-yang Sam-liong saja sudah memiliki ilmu renang yang jauh lebih pandai dari Liong-li. Namun, hatinya tetap yakin bahwa Liong-li tidak berada jauh dari situ, maka diapun tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, Beng-cu! Apa artinya kalau yang kaucari dengan susah payah itu ternyata hanya sebuah patung emas seperti itu? Ha-ha, dalam semalam saja aku akan mampu mendapatkan beberapa buah
731
patung emas seperti itu untukmu! Itulah kalau engkau mempunyai pembantu-pembantu yang tidak becus! Kalau kita berdua bekerja sama, tentu hasilnya akan seratus kali lebih besar dari pada itu!”
Pek-liong berkata dengan suara lantang, sengaja dikuatkan agar terdengar oleh Liong-li yang berada entah di mana, akan tetapi diharapkannya tidak terlalu jauh sehingga dapat mendengar ucapannya.
Kerut merut di antara alis Siauw-bin Ciu-kwi makin mendalam. Memang dia merasa kecewa sekali melihat hasil jerih payah selama ini. Hanya sebuah patung emas seperti itu! Memang mahal, akan tetapi dia mengharapkan harta karun yang lebih berharga lagi. Dia dapat membayangkan bahwa kalau dia mempunyai seorang pembantu seperti Pek-liong, tentu hasil usaha mereka akan lebih hebat. Akan tetapi tentu saja dia masih belum percaya akan kebenaran kata-kata pendekar itu.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring halus, “Pek-liong, engkau sungguh seorang manusia tidak tahu malu!”
Semua orang terkejut. Siauw-bin Ciu-kwi sekali meloncat sudah mendekati Pek-liong, patung emas masuk ke dalam jubahnya. Dia cerdik sekali dan siap menyerang Pek-liong yang dijadikan sandera.
Dari bawah perahu, nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depan Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantunya telah berdiri seorang wanita cantik dengan pakaian serba hitam, pakaian yang ringkas dan basah, ketat menempel pada tubuhnya yang padat ramping dan matang itu. Begitu melihat wanita berpakaian hitam ini, Siauw-bin Ciu-kwi
732
dan para pembantunya dapat menduga siapa yang datang. Siauw-bin Ciu-kwi sudah membentak garang.
“Apakah yang datang ini Hek-liong-li (Pendekar Wanita Naga Hitam)?” Sementara itu, para pembantunya dengan senjatanya di tangan sudah siap untuk mengeroyok.
Liong-li tersenyum dan muncullah sepasang lesung pipit yang membuat wajah itu menjadi semakin manis. Pek I Kongcu Ciong Koan memandang dengan bengong. Dia terpesona oleh kecantikan Liong-li, akan tetapi juga diam-diam merasa kagum dan gentar karena dia sudah mendengar berita bahwa gadis jelita berjuluk Si Naga Hitam ini luar biasa lihainya, juga bertangan baja, tidak segan membunuh lawannya.
“Siauw-bin Ciu-kwi, aku datang bukan untuk kamu, melainkan untuk Pek-liong, manusia pengecut yang rendah ini! Jangan kalian ikut campur, kelak kalau ada alasannya yang kuat, aku akan mencari kamu! Hei, Pek-liong manusia tak tahu malu! Kiranya harga dirimu demikian rendah dan murah. Engkau telah bermain gila dengan gadis penyelam itu, dan untuk gadis itu engkau rela menjadi tawanan dan hinaan orang. Sungguh aku kecewa sekali dan merasa menyesal pernah menjadi temanmu!”
Semua orang menoleh kepada Pek-liong dan melihat betapa pemuda itu, walaupun masih setengah lumpuh oleh totokan, memandang kepada Liong-li dengan mata melotot dan muka merah.
“Hek-liong-li, tutup mulutmu yang kotor! Engkau sendiri bukan perempuan baik-baik, engkau melakukan perjinaan dengan Kam Sun Ting, siapa yang tidak tahu? Engkau melihat kesalahan orang sekecil-
733
kecilnya tanpa melihat tengkukmu sendiri yang kotor! Memang aku ingin bekerja sama dengan Siauw-bin Ciu-kwi yang menjadi beng-cu, habis engkau mau apa? Aku sudah muak bekerja sama dengan kamu yang penuh cemburu, yang selalu menghinaku dan tidak memandang sebelah mata! Engkau tidak pernah sadar bahwa sebenarnya, tanpa aku, engkau tidak ada artinya!”
“Jahanam busuk! Kurobek mulutmu!” bentak Liong-li marah.
“Coba saja kalau kau bisa! Kalau aku tidak dalam pengaruh totokan, akulah yang akan merobek mulutmu!”
Siauw-bin Ciu-kwi yang sejak tadi mengamati dua orang muda yang sedang bertengkar itu, tiba-tiba tertawa. “Ha-ha, sungguh lucu. Pek-liong dan Hek-liong-li bertengkar dan saling cemburu! Permainan apa pula ini? Pek-liong, biarlah kubebaskan totokanmu. Hendak kulihat kejujuranmu, apakah benar engkau hendak bersekutu dengan kami atau tidak. Engkau harus membunuh Liong-li untuk meyakinkan kami!”
Akan tetapi ketika Siauw-bin Ciu-kwi hendak menggerakkan tangan, Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si berseru, “Beng-cu, sabar dulu! Harap Beng-cu tidak sampai terkecoh oleh mereka Bagaimana kalau setelah Beng-cu membebaskan touokannya, Pek-liong lalu bergabung dengan Liong-li dan mereka menyerang kita? Setidaknya, mereka berdua tentu berusaha untuk membebaskan diri!” Tentu saja wanita yang haus laki-laki ini akan merasa kecewa sekali kalau Pek-liong sampai lolos karena pemuda perkasa itu telah membangkitkan gairahnya.
“Ha-ha, aku bukanlah sebodoh engkau, Tok-sim Nio-cu! Biarkan kalau mereka berdua hendak menipuku. Biar mereka mengamuk, kita
734
keroyok bersama. Biarkan mereka mencoba untuk meloloskan diri. Apa yang kita takutkan? Kita berada di atas perahu, di tengah telaga. Kemana mereka dapat melarikan diri? Betapapun lihainya mereka, di dalam air mereka tidak dapat banyak bergerak. Dan kita mempunyai Po-yang Sam-liong dan anak buahnya yang akan mudah menangkap mereka!”
Mendengar ini, Tok-sim Nio-cu diam saja dan memang benar apa yang dikatakan Beng-cu itu. Juga diam-diam Pek-liong dan Hek-liong-li harus mengakui kecerdikan si pendek gendut kepala botak itu.
“Siauw-bin Ciu-kwi, tidak perlu kalian khawatir. Aku datang untuk menghajar Pek-liong, bukan kalian!” kata pula Liong-li.
Siauw-bin Ciu-kwi lalu menggerakkan tangannya dan dua kali dia menotok punggung Pek-liong yang seketika merasa tubuhnya bebas dari pengaruh totokan. Beng-cu itu memang sudah memperhitungkannya dengan matang.
Selain mereka berada di tengah telaga, juga dia yakin bahwa Liong-li muncul tanpa membawa senjata. Demikian pula Pek-liong, tidak bersenjata, maka tentu saja dia dibantu para tokoh sesat tidak perlu takut menghadapi mereka, andaikata mereka benar-benar hendak menyerang mereka atau hendak meloloskan diri.
Pek-liong bangkit berdiri, lalu menghampiri Liong-li. Kedua orang ini berdiri berhadapan dengan sikap marah. Liong-li mencibir. “Huh, pendekar yang berjuluk Pek-liong-eng ternyata hanyalah seorang laki-laki mata keranjang dan seorang pengecut!”
735
“Liong-li, mulutmu sungguh busuk sekali! Engkaulah perempuan rendah, gila laki-laki, akan kurobek mulutmu itu!” Berkata demikian, Pek-liong sudah menyerang dengan cengkeraman ke arah Liong-li. Akan tetapi, gadis perkasa ini mengelak ke kiri dan dari kiri ia membalas dengan pukulan maut ke arah lambung Pek-liong. Dia menangkis dengan pengerahan tenaganya.
“Dukk!” Dua lengan bertemu dan keduanya terhuyung ke belakang.
Liong-li mengeluarkan suara lengkingan nyaring dan iapun kini menerjang dan menyerang dengan gerakan yang amat cepat. Pukulan dan tendangan menyambar bertubi-tubi, akan tetapi Pek-liong yang agaknya sudah menjadi marah sekali, mengelak, menangkis dap membalas tak kalah sengitnya.
Para pembantu Siauw-bin Ciu-kwi sudah siap dengan senjata di tangan, mengepung dua orang yang sedang bertanding itu. Siauw-bin Ciu-kwi sendiri berdiri menonton dengan penuh perhatian. Kalau dua orang itu hanya bersandiwara, tentu matanya yang tajam itu akan dapat menangkapnya, Dia seorang ahli silat kelas tinggi, tentu akan dapat membedakan mana yang perkelahian benar-benar dan mana yang pura-pura!
Dan apa yang disaksikannya itu, tak dapat diragukan lagi merupakan suatu perkelahian sungguh-sungguh, bahkan setiap pukulan mengandung ancaman maut bagi lawan! Tentu saja Siauw-bin Ciu-kwi tidak pernah melihat kalau dua orang ini sedang melakukan latihan pertandingan silat! Dua orang muda ini sudah mencapai tingkat yang sedemikian tingginya sehingga mereka telah menguasai tenaga mereka sepenuhnya sehingga andaikata kepalan tangan atau
736
ujung pedang mereka sudah menyentuh kulit lawan, mereka masih mampu menghentikan serangan mereka sampai di situ saja!
Kini Pek-liong nampak terdesak hebat oleh Liong-li yang mempergunakan ilmu silat Bi-jin-kun yang selain amat indah, juga mengandung banyak gerak tipu yang berbahaya. Pek-liong juga sudah memainkan Pek-liong Sin-kun, namun agaknya dia masih kalah cepat sehingga kecepatan gerakan Liong-li membuat dia sibuk juga. Karena kalah cepat, maka perkelahian itu dikendalikan oleh Liong-li dan Pek-liong terseret, hanya mampu mengelak dan menangkis saja untuk melindungi dirinya.
Melihat ini, Siauw-bin Ciu-kwi lalu mengeluarkan sebatang pisau yang panjangnya dua jengkal, melemparkannya kepada Pek-liong sambil berseru, “Pek-liong, kau pergunakan ini!”
Pek-liong menerima pisau yang dilemparkan kepadanya itu dan kini dia menyerang dengan pisau itu. Gerakannya mantap, cepat dan kuat. Setelah dia mempergunakan pisau itu, mulailah Liong-li terdesak!
Wanita perkasa ini maklum akan lihainya lawan kalau mempergunakan senjata tajam, maka ia hanya menghindarkan diri dari desakan itu dengan ilmunya yang hebat, yaitu langkah ajaib Liu-seng-pouw yang membuat tubuhnya selalu dapat mengelak secara otomatis setiap kali pisau itu menyambar. Akan tetapi ia terdesak mundur sampai ke tepi perahu dan anak buah Siauw-bin Ciu-kwi yang mengepung terpaksa menyingkir.
“Pek-liong, engkau pengecut mengandalkan komplotanmu! Lain kali aku akan mencarimu lagi!” berkata demikian, Liong-li membalikkan tubuh dan meloncat ke air. Akan tetapi, Pek-liong membentak.
737
“Liong-li, hendak lari ke mana kau?”
Dan pisau di tangannya itupun meluncur lepas dari tangannya, dan semua orang melihat betapa dengan tepat sekali pisau itu menancap pada pinggul kanan Liong-li. Wanita itu terbanting ke permukaan air. Air muncrat tinggi dan semua orang lari ke tepi perahu, melihat betapa tubuh itu tenggelam dan permukaan air nampak kemerahan, merah karena darah! Agaknya, Liong-li yang terkena sambitan pisau itu tenggelam dan tewas!
Sampai lama mereka memandang ke air. Jelas, tidak ada muncul lagi wanita perkasa itu, dan di sekitar perahu besar itu tidak nampak adanya perahu lain. Perahu-perahu kecil para nelayan berada jauh dari perahu itu, dan tidak nampak gerakan mencurigakan di sekeliling tempat itu. Sampai lama keadaan sunyi dan hati mereka semua merasa tegang. Kesunyian itu dipecahkan suara ketawa Siauw-bin Ciu-kwi.
“Ha-ha-ha, bagus sekali! Kiranya engkau sungguh-sungguh ingin bergabung dengan kami, Pek-liong. Akan tetapi, mengapa engkau sampai membunuhnya? Mengapa engkau yang terkenal sebagai rekannya, kini tiba-tiba saja demikian membencinya? Hal ini agak aneh dan mencurigakan!” Beng-cu itu memandang kepada Pek-liong dengan pandang mata penuh selidik.
“Pertanyaan yang tepat sekali! Mempunyai seorang rekan dan kawan yang sehebat itu, selain ilmu kepandaiannya tinggi, juga amat cantik jelita dan menarik hati, kenapa tiba-tiba saja dimusuhi bahkan dibunuh? Hal ini amat mencurigakan, Beng-cu!” kata Pek I Kongcu.
“Hi-hik, aku tahu. Jawabannya mudah sekali. Semua laki laki memang tidak ada bedanya, Kongcu, seperti engkau juga. Semua laki-laki
738
mempunyai penyakit yang sama, yaitu pembosan, apa lagi setelah bertemu dengan wanita lain yang masih baru, Pek-liong juga bosan kepada Hek-liong-li apa lagi setelah berjumpa dengan gadis penyelam itu, kemudian bertemu pula dengan aku di sini! Hi-hik, bukankah begitu, Pek-liong yang tampan?”
Pek I Kongcu cemberut, dan Pek-liong tersenyum. “Dugaan kalian semua keliru,” jawabnya. “Memang aku benci sekali kepadanya, dan iapun benci kepadaku, akan tetapi bukan karena bosan, melainkan karena Hek-liong-li telah mencuri pedang pusakaku!”
“Hemm......!” Siauw-bin Ciu-kwi mengerutkan alisnya. Tentu saja dia sudah mendengar bahwa Pek-liong-eng memiliki pedang pusaka ampuh yang disebut Pek-liong-po-kiam, dan diapun mendengar bahwa Hek-liong-li juga memiliki pedang pusaka Hek-liong-po-kiam. “Akan tetapi, aku melihat ia datang tanpa pedang sama sekali, bahkan pedangnya sendiripun tidak ada dibawanya!”
Pek-liong cemberut dan menarik napas panjang karena hatinya merasa kesal sekali. “Itulah pandainya ia berpura-pura! Tentu ia tidak mengira bahwa aku berada di antara beng-cu dan kawan-kawan di sini. Terjadi beberapa bulan yang lalu. Pedang itu bersamaku, dan aku tidur di rumahnya. Tapi pada keesokan harinya, pedangku telah lenyap dan dengan muka tebal ia tidak mengakuinya, itulah permulaan kami saling membenci!”
“Tapi ketika engkau mula-mula kami tangkap, engkau membanggakan Hek-liong-li yang katanya akan muncul menolongmu!” Pek I Kongcu mendesak untuk meyakinkan hatinya yang belum mau percaya.
739
Pek-liong tersenyum mengejek. “Lalu apa yang harus kulakukan dalam keadaan tidak berdaya itu? Aku hanya menakut-nakuti kalian. Buktinya, wanita itu begitu datang memaki-maki dan ingin membunuhku, dan akupun membalas sehingga kini ia tenggelam dan tewas. Sudahlah, tidak perlu lagi kita membicarakan orang yang sudah mati. Beng-cu, tadi kukatakan bahwa hasil usahamu itu sia-sia saja kalau hanya mendapatkan sebuah patung seperti itu. Memang berharga, akan tetapi apakah sepadan dengan jerih payahmu? Aku yakin patung itu merupakan rahasia pula.”
“Maksudmu? Rahasia apa pula yang terdapat pada patung emas ini?” Siauw-bin Ciu-kwi mengamati patung itu dengan alis berkerut.
“Hal itulah yang harus kita selidiki, Beng-cu. Coba berikan patung emas itu, biar kuperiksa.” Berkata demikian, Pek-liong menjulurkan tangannya. Dia tersenyum melihat betapa Pek I Kongcu dan yang lain-lain, kecuali Tok-sim Nio-cu, siap dengan senjata mereka untuk menyerang kepadanya. Siauw-bin Ciu-kwi juga memandang kepada para pembantunya, lalu dia tertawa dan menyerahkan patung emas itu kepada Pek-liong.
“Ha-ha-ha, kalian memang terlalu curiga. Seorang diri saja di sini, Pek-liong tidak akan dapat berbuat sesuatu yang bodoh. Aku mulai percaya kepadamu, Pek-liong. Nah, coba kau periksa patung itu, siapa tahu apa yang kau katakan itu benar.”
Pek-liong menerima patung emas itu, memandang ke sekeliling dan tersenyum menyaksikan sikap mereka, juga tersenyum manis kepada Tok-sim Nio-cu yang tidak mencurigainya. Wanita ini membalas
740
senyumnya, mendekat dan menyentuh pundaknya dengan sikap manja.
“Pek-liong, aku percaya kepadamu. Rahasia apa sih yang terdapat pada patung emas ini?”
Dengan lembut Pek-liong melepaskan diri dari sentuhan lembut mesra itu, lalu dia menghadap Siauw-bin Ciu-kwi, menjawab kepada wanita itu sambil lalu saja, “Untuk itu aku harus menyelidikinya dulu.”
Dan diapun melakukan penyelidikan. Diamati patung emas itu, ditimang-timang dan semua gerakannya diikuti oleh Siauw-bin Ciu-kwi, dan kaki tangannya dengan penuh perhatian. Sekali ini Pek-liong tidak bersandiwara. Dia memang benar-benar melakukan penyelidikan, mempergunakan segala kecerdikan akalnya.
Dia memang banyak tahu tentang barang-barang pusaka kuno dan sudah mempelajarinya, maka dari ciri-ciri ukirannya iapun dapat menduga bahwa patung emas ini sedikitnya berusia limaratus tahun. Ada setengah jam dia meneliti patung emas itu sehingga semua orang mulai menjadi tidak sabar lagi.
“Bagaimana, Pek-liong?” Siauw-bin Ciu-kwi bertanya.
“Beng-cu, pergunakanlah pedang dan memenggal leher patung emas ini!” kata Pek-liong.
Tentu saja semua orang terkejut. Patung emas itu merupakan sebuah benda yang langka dan amat berharga, bukan hanya karena emasnya, melainkan karena merupakan benda pusaka kuno dengan ukirannya yang indah dan halus. Kalau dipenggal leher patung itu, sama saja
741
dengan merusak dan mengurangi nilainya! Akan tetapi, Siauw-bin Ciu-kwi yang menginginkan harta yang lebih berharga lagi, segera berkata kepada Tok-sim Nio-cu. “Nio-cu, pergunakan pedangmu memenggal leher patung itu seperti diminta oleh Pek-liong!”
Tok-sim Nio-cu mencabut pedangnya dan berkata kepada Pek-liong sambil tersenyum. “Pek-liong, tidak sayangkah patung begini indah dipenggal lehernya?”
Pek-liong menjawab. “Lakukan saja perintah Beng-cu. Buntungnya leher patung, dengan mudah dapat diutuhkan kembali oleh tukang emas!” Mendengar ini barulah semua orang menyadari bahwa memang kerusakan itu dapat diperbaiki dan kalau sudah disambung kembali oleh tukang emas yang pandai tidak akan nampak bekasnya.
Pedang di tangan Tok-sim Nio-cu berkilat menyambar dan buntunglah leher patung itu dengan sayatan yang rapi. Pek-liong melihat, seperti yang sudah diduga, bahwa tubuh patung itu berlubang dan dia melihat segulung kain di dalamnya.
“Berikan patung itu kepadaku!” Siauw-bin Ciu-kwi yang juga melihat gulungan kain itu berseru.
Pek-liong tersenyum dan menyerahkan patung emas. Dengan tangan yang jelas nampak gemetar saking tegang dan gembiranya, Siauw-bin Ciu-kwi mengambil gulungan kain itu dari dalam perut patung. Segera diperiksanya gulungan kain itu, dengan sikap hati-hati agar orang lain tidak melihat tulisan yang terdapat dalam gulungan kain. Wajahnya berubah, matanya terbelalak dan wajahnya berseri, lalu dia tertawa bergelak-gelak.
742
„Ha-ha-ha, ha-ha-ha-ha...... jasamu besar sekali, Pek-liong. Benar seperti dugaanmu, patung ini menyembunyikan rahasia besar. Ha-ha, kalau berhasil kita temukan harta karun ini, aku berjanji bahwa patung emas ini akan kuberikan sebagai hadiah kepadamu!”
“Terima kasih, Beng-cu. Sudah kuduga bahwa bekerja sama denganmu memang menguntungkan sekali!”
Siauw-bin Ciu-kwi menyimpan gulungan kain itu ke dalam jubahnya, lalu memandang kepada semua pembantunya dan berkata dengan suara berwibawa. “Mulai saat ini, Pek-liong menjadi pembantuku yang utama. Kalian tidak boleh mengganggunya! Peta rahasia Patung Emas yang ditemukan di dalam patung ini amat penting. Kalian tidak usah tahu dan ikuti saja aku untuk mendapatkan harta karun yang tak ternilai besarnya. Jangan khawatir, setelah harta karun itu berada di tanganku, kalian tentu akan memperoleh bagian masing-masing.”
Setelah berkata demikian, tiba-tiba beng-cu itu memandang kepada Pek-liong dan berkata dengan suara lantang.
“Pek-liong, jasamu besar sekali. Akan tetapi aku masih merasa heran, bagaimana engkau dapat menduga bahwa di dalam patung terdapat rahasianya. Hayo ceritakan agar menambah pengertian rekan-rekanmu yang berada di sini, agar lain kali mereka mencoba menggunakan otak, jangan hanya pandai menggunakan hati dan tangan kaki saja!”
Pek-liong tersenyum dan memandang kepada para tokoh pembantu lainnya, sengaja berlagak tinggi hati untuk membuat hati mereka merasa tidak senang.
743
“Ah, Beng-cu, sesungguhnya tidak sukar untuk menduga hal itu kalau saja kita mau mempergunakan akal pikiran kita. Melihat betapa penuh rahasia peta yang menunjukkan di mana adanya patung emas itu, dan betapa patung itu disimpan di dasar telaga, maka tidak mungkin kiranya kalau yang disembunyikan itu hanya sebuah patung emas sekecil itu. Tentu ada barang lain yang jauh lebih berharga, yang rahasianya berada di patung itu.
“Ketika aku menerima patung itu, maka dugaanku semakin kuat. Patung itu ringan saja, berarti di dalamnya berlubang, tidak seperti patung emas lainnya. Kalau pembuat patung emas membuat dalamnya berlubang, hal ini hanya dengan satu maksud, yaitu untuk menyimpan suatu benda yang teramat penting, yang jauh lebih berharga dari pada nilai patung itu sendiri.
“Pula, setelah mengamati secara teliti aku melihat ada guratan aneh pada leher patung, jelas itu merupakan tanda bahwa leher itu sambungan dan dikerjakan kurang cermat. Maka, sudah bulatlah dugaanku bahwa di dalam perut patung yang berlubang itu tentu disembunyikan benda yang amat berharga.”
“Ha-ha-ha, hebat sekali! Bagus sekali, kiranya engkau tidak hanya lihai ilmu silatmu, akan tetapi juga amat cerdik pikiranmu. Aku girang sekali dapat bekerja sama denganmu, Pek-liong.”
“Dan aku juga gembira sekali dapat membantumu, Beng-cu.”
“Dan akupun gembira kalau dapat menjadi pacarmu yang baru, Pek-liong!” kata Tok-sim Nio-cu genit.
744
“Nah, kalian lihat! Baru saja membantuku, jasa Pek-liong sudah jauh lebih besar dari pada jasa kalian selama ini! Maka dalam mengambil harta karun ini, kalian harap bekerja keras sehingga kalian pantas memperoleh bagian!”
Perahu besar lalu digerakkan menuju ke pantai, dan kini Pek-liong ikut mendaki Bu- kit Merak, menuju ke sarang yang dipergunakan oleh Siauw-bin Ciu-kwi. Sekali ini bukan lagi sebagai tawanan, melainkan sebagai pembantu Siauw-bin Ciu-kwi.
Namun, Pek-liong yang cerdik itu maklum bahwa sikap dan semua ucapan Siauw-bin Ciu-kwi kepadanya itu masih palsu, dan dia tahu bahwa diam-diam Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantunya mengamati semua gerak geriknya. Dia harus berhati-hati sekali!
◄Y►
“Keparat! Tan Cin Hay itu sungguh jahat dan kejam bukan main!” Berulang kali Kam Sun Ting mengomel panjang pendek mencaci maki Pek-liong ketika dia bersama adiknya menyeret tubuh Liong-li yang lemas di balik tumbuh-tumbuhan teratai menuju ke perahu kecil mereka di tempat yang agak jauh.
“Ih, sudahlah, koko. Sudahi saja caci makimu yang tidak baik itu dan lebih baik kita memperhatikan keadaan li-hiap ini. Mari cepat bawa ia ke perahu!” Cian Li mencela kakaknya, hatinya merasa tidak enak mendengar kakaknya mencaci-maki Pek-liong.
Biarpun ia sendiri merasa kecewa melihat ulah Pek-liong, namun hatinya masih tidak rela membiarkan kakaknya mencaci maki seperti itu di depannya. Mereka lalu berenang dengan cepat setelah jauh dari
745
perahu besar sehingga tidak kelihatan lagi dan tak lama kemudian, mereka sudah mengangkat tubuh Liong-li ke atas perahu.
“Li-moi, cepat dayung perahu ini ke daratan yang sunyi, aku akan mencoba merawat dan menyadarkan Liong-lihiap!” kata Sun Ting, khawatir melihat wajah pendekar wanita itu pucat dan matanya terpejam, akan tetapi perutnya tidak menggembung.
Dia memang sudah siap siaga. Sebelumnya telah diatur oleh pendekar wanita itu, yaitu dia disuruh membantu adiknya agar Cian Li dapat berhasil dan selamat. Dan dia dipesan agar bersama Cian Li siap di bawah permukaan air, bernapas melalui batang alang-alang yang berlubang, dan menanti di situ, siap menolong kalau ia sampai terpaksa meloncat ke air. Maka, dia dan adiknya dapat melihat perkelahian antara Pek-liong dan Liong-li tadi, melihat pula betapa Liong-li meloncat ke air dan terkena samba-an pisau.
Sun Ting mengajak adiknya menyelam dan tepat seperti yang sudah direncanakan oleh Liong-li, mereka berdua menyeret tubuh Liong-li ke bawah air sehingga tidak nampak oleh orang-orang di dalam perahu pendekar wanita itu timbul kembali. Mereka menyelam dan berenang di dalam air, lalu bersembunyi di balik tumbuhan teratai yang lebat, dan sambil bersembunyi, perlahan-lahan mereka berenang di balik tumbuhan itu menuju ke perahu yang cukup jauh dari situ. Yang membuat Sun Ting khawatir adalah karena Liong-li sejak tadi pingsan dan ada pisau menancap di pinggulnya sebelah kanan.
Sun Ting tidak berani mencabut pisau itu, dan melihat betapa Liong-li pingsan dan pucat, bahkan napasnya hampir tidak ada, dalam kepanikannya, dia lalu membuka mulut pendekar wanita itu dan
746
menutup mulut itu dengan mulutnya sendiri lalu meniup sekuatnya untuk membantu paru-paru gadis perkasa itu. Pada saat dia melakukan perawatan itu, sedikitpun tidak ada perasaan apapun di hatinya kecuali ingin menyelamatkan Liong-li, tidak timbul kemesraan atau nafsu walaupun diam-diam dia sudah jatuh cinta kepada pendekar wanita itu.
Akhirnya, setelah melakukan perawatan itu beberapa kali, Liong-li gelagapan, membuka matanya dan melihat betapa pemuda penyelam itu meniup melalui mulutnya, dengan lembut ia mendorong dada pemuda itu, lalu berbatuk-batuk.
“Cukup...... aduhh......! Ketika ia miringkan tubuhnya, baru terasa olehnya bahwa ada pisau menancap di pinggul kanannya. Dirabanya pinggul itu.
“Sun Ting, cepat ambilkan buntalan obat, dalam buntalan pakaianku itu buntalan kuning......”
Sun Ting membuka buntalan pakaian Liong-li yang memang ditinggalkan di perahu itu, dan mengambilkan sebuah buntalan kuning kecil. Ketika buntalan ini dibukanya, maka terisi bubukan kuning yang amat halus.
“Sun Ting, akan kucabut pisau ini, lalu kau robek kain yang menutupi pinggul yang luka, taburkan obat itu di atas luka, pergunakan jarimu untuk menekan-nekan agar obat itu masuk ke dalam lukanya,” Liong-li lalu mencabut pisau itu yang ternyata masuk sedalam satu jari panjang.
747
Darah keluar dari luka di pinggul itu dan Sun Ting merobek celana yang menutupi pinggul. Dengan tekanan-tekanan jarinya pada jalan darah tertentu, pendarahan itu berhenti dan Liong-li menyuruh pemuda itu menaburkan obat bubuk kuning halus. Sun Ting menaburkan obat dan menekan-nekan obat ke dalam luka. Juga dia tidak merasakan apa-apa melihat pinggul yang putih mulus dan halus di depan matanya itu, karena yang teringat olehnya hanyalah bahwa gadis perkasa itu terluka parah.
“Biarkan dulu sampai obat yang berada di luar luka mengering, jangan ditutupi bagian yang terluka itu,” kata Liong-li, kemudian kepada Cian Li ia berkata, “Adik manis, tolong kauambilkan dua batang pedang yang kuikat di bawah perahu ini.”
Tadi sebelum ia dan Sun Ting meninggalkan perahu, Liong-li yang selalu berhati-hati itu menyembunyikan sepasang pedang pusaka, yaitu Pek-liong-kiam dan Hek-liong-kiam di bawah perahu.
Cian Li mengangguk dan tanpa banyak cakap lagi ia sudah menghentikan perahu dan menyelam. Tak lama kemudian ia sudah muncul kembali membawa dua batang pedang yang amat ampuh itu.
“Sekarang, dayunglah perahu ke pantai yang sunyi, aku harus memikirkan apa yang akan kulakukan selanjutnya. Pek-liong masih berada dengan mereka dan aku tahu bahwa keselamatannya masih terancam hebat.”
Sun Ting mengepal tinjunya dengan gemas. “Ah, lihiap, mengapa masih memikirkan orang jahat itu? Dia telah berubah menjadi seorang penjahat keji! Sungguh tidak tahu malu, dia telah melukaimu dengan curang......”
748
“Tepat seperti yang kukehendaki, Sun Ting. Memang Pek-liong seorang yang cerdik luar biasa dan dia dapat membaca setiap isi hati dan pikiranku. Untung dia berlaku cepat dan dapat melukai pinggulku, kalau tidak tentu mereka akan semakin mencurigainya. Mudah-mudahan saja pengorbanan pinggulku ini tidak sia-sia!”
Tentu saja kakak beradik itu terbelalak memandang kepada pendekar wanita itu. “Lihiap......! Apa maksudmu? Benarkah bahwa Tan-taihiap tidak berkhianat, tidak bersekutu dengan penjahat dan dengan kejam sekali telah melukaimu?”
Pendekar wanita itu masih menelungkup. Pinggulnya terbuka dan bukit pinggul itu menjulang ke atas, indah bentuknya dan putih mulus kemerahan. Ia menggeleng kepalanya sambil tersenyum.
“Sama sekali tidak! Sampai dunia kiamat, Pek liong tidak akan mengkhianati aku, dan tidak akan sudi menjadi kaki tangan penjahat.”
“Akan tetapi, lihiap! Bukankah tadi dia memaki-makimu dengan kata-kata kotor, bahkan lalu menyerangmu? Dia sudah mengaku dengan lantang bahwa dia ingin bekerja sama dengan Siauw-bin Ciu-kwi untuk mendapatkan bagian harta karun. Bahkan dia telah memakimu dengan kata-kata kotor, menuduhmu secara keji dan......”
Liong-li mengangkat tangannya unluk menutupi mulut Sun Ting yang agaknya hendak memaki itu, dan ia tersenyum. “Kalian adalah dua orang muda yang berjiwa bersih dan polos, tentu saja tidak mengerti akan sepak terjang kami berdua. Menghadapi para penjahat keji dan lihai seperti mereka, kita harus mempergunakan siasat pula.”
749
“Akan tetapi, lihiap. Kalau taihiap tidak ingin bekerja sama dengan mereka, tadi dia dapat bersama lihiap meloncat ke air dan kami berdua yang akan mampu melarikan kalian dengan selamat. Kenapa dia tinggal di perahu itu?” Cian Li juga membantah, merasa penasaran dan khawatir karena pendekar yang dikaguminya itu kini masih berada bersama para penjahat keji itu.
“Tadinya aku memang bermaksud untuk membebaskan engkau dan dia, adik manis. Akan tetapi ketika aku mendengar ucapan Pek-liong kepadamu, ucapan keras yang sengaja dia keluarkan agar aku dapat mendengarnya, bahwa dia ingin bekerja sama dengan Beng-cu untuk mendapat bagian harta karun, aku tahu akan rencananya. Maka, aku harus bersandiwara sesuai dengan rencananya agar dia berhasil.
“Aku harus berusaha agar dia dapat diterima oleh gerombolan penjahat itu dan dipercaya. Ketika dia melukai aku dengan pisau dan aku jatuh ke air terus kelihatan tenggelam dan tewas, tentu dia diterima dengan gembira oleh Beng-cu, bahkan mungkin menjadi orang kepercayaannya!”
“Ah, kalau begitu...... Tan-taihiap tadi.... dan lihiap, hanya bermain sandiwara saja? Semua itu merupakan siasat ji-wi (kalian) agar Tan-taihiap dapat dipercaya dan diterima sebagai sekutu gerombolan penjahat itu?” tanya Sun Ting dengan muka merah, teringat betapa tadi dia telah memaki-maki Pek-liong.
“Sudah jelas begitu masih bertanya lagi!” Cian Li berkata dengan mulut cemberut. “Dasar engkau yang tidak mengenal budi orang, koko, belum apa-apa sudah mencela dan memaki-maki!”
750
“Ah, ah...... aku menyesal sekali..... akan tetapi siapa tahu bahwa mereka itu bersandiwara? Melihat betapa lihiap benar-benar terluka oleh pisau, siapa mengira bahwa hal itu disengaja?” Sun Ting membela diri.
Liong-li tersenyum. “Sudahlah, bukan salah Sun Ting. Memang bagi orang lain, kami berdua sukar dimengerti. Serahkan saja kepada kami berdua untuk menghadapi gerombolan penjahat yang amat lihai itu.”
“Tapi...... tapi, lihiap. Mengapa taihiap harus menyerahkan diri, harus menjadi sekutu mereka walaupun hanya berpura-pura? Mengapa pula lihiap harus mengorbankan diri seperti ini? Apa perlunya bekerja sama dengan para penjahat itu?”
“Tentu ada alasannya bagi Pek-liong untuk berbuat demikian. Hanya dia yang mengetahui dan aku hanya melengkapi peranannya saja. Tentu ada hal yang amat penting, teramat penting bagi kami berdua maka dia memainkan sandiwara itu. Karena itu, kita harus waspada dan di darat, kalian tidak mungkin dapat membantu kami. Kepandaian kalian jauh dari pada cukup untuk melawan mereka.
“Kalau kalian membantu, bahkan kalian akan melemahkan kami, karena kami harus melindungi kalian. Belum lagi kalau kalian ditawan dan dijadikan sandera, memaksa kami untuk menyerah. Kalian tunggu saja di tepi telaga. Kalau kalian melihat perahu mereka berlayar baru kalian boleh membayangi dari jauh, apa lagi kalau melihat ada Pek-liong di perahu itu. Kalian siap sedia untuk menolong kalau kami sampai membutuhkan pertolongan di air, seperti keadaanku tadi. Mengerti?”
751
“Baik, enci,” kata Sun Ting dan kembali dia menyebut enci, hal ini menandakan bahwa ketegangan telah lewat dan dia kembali bersikap mesra, “Akan tetapi, engkau masih terluka......”
“Aku akan beristirahat di perahu ini. Dalam waktu beberapa jam saja luka ini akan mengering dan aku akan dapat melakukan penyelidikan di Bukit Merak. Kuyakin bahwa tentu Pek-liong diajak ke sana oleh mereka.”
Tiba-tiba Cian Li mengepal tinju dan mukanya berubah marah. “Sayang aku tidak berhasil membuat perempuan laknat itu mati tenggelam!”
Ia teringat kepada Tok-sim Nio-cu dan merasa cemburu, apa lagi mengingat bahwa kini Pek-liong menjadi sekutu mereka. Tentu hal ini akan dipergunakan sebagai kesempatan baik oleh perempuan genit itu untuk memikat hati Pek-liong.
Liong-li tersenyum. Ia dapat membaca jalan pikiran gadis penyelam yang manis itu, dan sambil mengamati wajah dan tubuh orang ia berkata, “Jangan khawatir, adik manis. Aku mengenal benar siapa Pek-liong. Dia tidak akan mudah jatuh oleh rayuan segala macam wanita macam si genit itu. Aku tahu selera Pek-liong. Gadis seperti engkau inilah kiranya akan memenuhi seleranya!”
Mendengar ucapan pendekar wanita ini, seketika wajah Cian Li tersipu malu dan ketika perahu tiba di tepi yang sunyi, ia lalu meloncat ke darat dan menalikan tali perahu pada sebatang pohon. “Aku akan mencari kayu kering pembuat api unggun,” katanya dan iapun pergi.
752
Sun Ting masih duduk menjaga di dekat Liong-li yang masih menelungkup. Dengan penuh rasa iba dan sayang, dia memandang bukit pinggul yang terluka itu. Obat bubuk kuning itu nampak telah membuat luka itu mengering, akan tetapi di sekeliling luka itu masih nampak betapa kulit yang halus mulus itu kemerahan.
“Enci, sakit benarkah rasanya pinggulmu......?” tanya Sun Ting lirih dan seperti otomatis, jari-jari tangannya mengelus-elus sekeliling luka, seolah-olah dengan jari jari tangannya dia ingin mengusir perasaan nyeri yang ada. Mendengar pertanyaan itu dan merasa betapa jari-jari tangan itu mengelus lembut, Liong-li merasa bulu tengkuknya meremang.
“Ah, tidak berapa nyeri, Sun Ting. Sebentar lagi tentu sembuh. Setelah cuaca gelap nanti, aku akan pergi menyelidik ke Bukit Merak.”
Sun Ting tidak menjawab, tangannya masih mengelus bukit pinggul itu di sekeliling luka. “Enci, bukit pinggulmu indah sekali bentuknya, dan putih mulus......” katanya lirih.
Liong-li merasa betapa jantungnya berdebar, maka ia lalu berkata cepat, “Lepaskan tanganmu, Sun Ting. Aku akan duduk, tutupkan selimut itu pada pinggulku, lukanya sudah mengering.”
Biarpun dengan lambat, seolah merasa tidak rela pinggul itu ditutupi Sun Ting melakukan perintah itu dan sambil tersenyum Liong-li berkata kepadanya. “Engkau perayu nakal! Tugas masih bertumpuk untuk kita, belum waktunya bersenang-senang. Nah, bantulah adikmu mengumpulkan kayu kering, dan coba cari makanan karena sebelum
753
pergi, aku ingin makan dulu. Cepat pergi, jangan bengong saja, aku hendak berganti pakaian!”
Sun Ting meloncat ke darat dan setelah melangkah belasan kaki dia menengok. Dia melihat betapa pendekar wanita itu telah menanggalkan pakaiannya! Kalau menurut dorongan nafsunya, ingin dia membalikkan tubuh dan menikmati penglihatan itu, akan tetapi kesopanan memaksanya cepat membuang muka dan melanjutkan langkahnya.
Liong-li melihat semua ini dan iapun tersenyum. Seorang pemuda yang amat baik, dan amat menyenangkan, pikirnya dan kedua pipinya berubah merah, lesung pipitnya bermain di kanan kiri bibirnya. Iapun cepat berganti pakaian kering, pakaian serba hitam yang ringkas dan menyelipkan sepasang pedang pusaka di punggung.
Dengan cepat dibereskannya rambutnya yang tadi basah dan awut-awutan. Disisirnya rapi dan digelung ke atas, diikat saputangan sutera merah dam ditusuk dengan tusuk konde perak berbentuk seekor naga kecil. Ia mengenakan sepatunya yang tadi dilepas di dalam perahu kecil, dan lengkaplah sudah ia, siap untuk melakukan penyelidikan, siap untuk bertempur!
Kakak beradik itu datang membawa kayu kering yang cukup, dan Sun Ting membawa pula tiga ekor ikan yang tadi didapatnya dengan menjala di tepi telaga. Mereka lalu duduk memghadapi api unggun dan ketika matahari mulai tenggelam di barat, mereka makan panggang ikan.
Setelah cuaca mulai gelap, pergilah Liong-li meninggalkan kakak beradik itu di tepi telaga. Dengan tenang Liong-li melakukan
754
perjalanan menuju ke Bukit Merak setelah mendapat petunjuk dari Sun Ting tentang letak Bukit Merak. Malam itu kebetulan bulan purnama, maka setelah bulan muncul, pendekar wanita ini dapat melakukan perjalanan tanpa banyak kesukaran.
Sun Ting dan adiknya lalu kembali ke dusun mereka di luar kota Nan-cang. Mereka mengumpulkan pakaian dan perbekalan di rumah mereka yang sudah diaduk-aduk oleh para penjahat ketika mereka mencari peta dahulu itu. Malam itu mereka bermalam di rumah sendiri, baru pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka kembali ke telaga, mendayung perahu mereka dan mulai dengan pengamatan mereka kalau-kalau ada perahu penjahat berlayar. Akan tetapi, sehari itu mereka tidak melihat ada perahu penjahat, tidak melihat pula bayangan Pek-liong maupan Liong-li sehingga diam-diam hati kedua orang kakak beradik ini diliputi penuh kekhawatiran.
◄Y►
Di bawah sinar bulan purnama, Liong-li mendaki Bukit Merak. Ia menduga bahwa sarang penjahat itu tentu tidak semudah itu didaki orang. Tentu di sana terkandung banyak perangkap dan juga terdapat para penjaga. Dugaannya memang benar. Beberapa kali dia berhadapan dengan perangkap-perangkap, seperti lubang jebakan yang ditutup rumput, tali-tali yang kalau tersangkut kaki menurunkan jala atau membuat tombak dan anak panah datang berhamburan dari kanan kiri.
Namun, Liong-li adalah seorang wanita perkasa yang amat cerdik dan sudah banyak pengalamannya, maka ia selalu berhati-hati dan setiap kali melihat ketidakwajaran di depan, ia selalu menguji keamanan
755
tempat itu dengan lemparan kayu atau batu. Maka, tak pernah ia terperosok ke dalam jebakan atau terserang senjata rahasia yang dipasang di jalan menuju ke sarang penjahat di lereng Bukit Merak.
Ketika ia melalui daerah yang penuh pohon sehingga di bawah pohon terlalu gelap dan terlalu berbahaya untuk dilalui, Liong-li lalu mempergunakan kepandaiannya dan iapun meloncat ke atas pohon, kemudian bagaikan seekor tupai saja, ia berloncatan dari pohon ke pohon, menuju ke lereng di mana sudah nampak sinar-sinar lampu dari perkampungan penjahat.
Dan perhitungannya memang tepat. Setelah ia melalui jalan atas di antara pohon- pohon, ia tidak pernah berhadapan dengan perangkap lagi. Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa Siauw-bin Ciu-kwi jauh lebih cerdik dari pada yang disangkanya. Biarpun tidak dipasangi perangkap, namun di luar kesadarannya, ketika ia berloncatan dari pohon ke pohon, kakinya menyangkut dan membikin putus tali halus yang berhubungan dengan tanda bahaya yang dipasang di rumah tinggal Siauw-bin Ciu-kwi!
Beng-cu kaum penjahat ini tahu bahwa ada tamu tak diundang datang berkunjung malam itu. Dia dapat menduga bahwa tamu yang datang melalui pohon-pohon sudah pasti bukan kawan, maka cepat dia memanggil para pembantunya.
“Ada musuh datang, entah berapa orang banyaknya. Mereka lihai, datang berkunjung melalui pohon-pohon. Cepat kalian hadang dan robohkan mereka, hidup atau mati!”
Siauw-bin Ciu-kwi merasa khawatir sekali setelah peta rahasia dari Patung Emas berada di tangannya. Dia merahasiakan isi peta itu dari
756
para pembantunya, bahkan Tok-sim Nio-cu yang merupakan pembantu utamanya, juga pacarnya pun tidak diberitahu. Hanya siang tadi dia memerintahkan Po-yang Sam-liong untuk mengumpulkan bantuan tenaga kasar sebanyak limapuluh orang.
Tak seorangpun di antara para pembatunya dapat menduga untuk apa beng-cu mereka membutuhkan tenaga kasar sebanyak limapuluh orang itu. Po-yang Sam-liong diberi tugas itu karena mereka adalah tokoh-tokoh di sekitar daerah Telaga Po-yang sehingga tentu akan lebih mudah mengumpulkan orang-orang yang dapat dipercaya. Mereka akan diberi gaji besar, demikian beng-cu berjanji. Untuk mengumpulkan limapuluh orang, Po-yang Sam-liong minta waktu selama tiga hari.
Demikianlah, sambil menanti orang-orang yang dikumpulkan Po-yang Sam-liong, Siauw-bin Ciu-kwi selalu berhati-hati dan memesan para pembantunya untuk berjaga-jaga. Diam-diam diapun membisiki para pembantu lama untuk mengamati sepak terjang dan gerak-gerik Pek-liong walaupun pada lahirnya Pek-liong seolah-olah sudah dianggap sebagai seorang pembantu yang dipercaya pula.
Malam itu, ketika Beng-cu memanggil mereka dan memberitahu adanya musuh yang datang berkunjung, Pek-liong juga mendapat tugas untuk menyambut musuh.
PARA pembantu itu lalu berpencar, memimpin anak buah Beng-cu yang berjumlah belasan orang. Tok-sim Nio-cu pergi bersama Lim-kwi Sai-kong karena Beng-cu tidak memperbolehkan ia bersama Pek-liong. Pek-liong ditemani Hek-giam-ong Lok Hun, sedangkan Pek I Kongcu memimpin beberapa orang anak buah. Mereka berpencar dan
757
masing-masing membawa sebuah sempritan terbuat dari bambu untuk memberi tanda kepada kawan-kawan kalau mereka bertemu bahaya atau bertemu musuh.
“Kita menghadang musuh dari sini!” kata Pek-liong kepada Hek-giam-ong Lok Hun. Mendengar ajakan ini, Hek-giam-ong mengerutkan alisnya dan matanya berkilat.
“Hemm, tidak akan ada musuh berani datang melalui padang rumput yang diterangi sinar bulan seperti itu. Dia pasti muncul dari semak belukar atau hutan!”
“Hek-giam-ong, bukankah tadi Beng-cu menyuruh engkau membantu aku? Itu berarti bahwa aku yang menjadi pimpinan dan aku yang bertanggung jawab. Engkau tinggal mematuhi saja. Mari!” Pek-liong lalu melompat ke depan, menuju ke padang rumput yang berada di sebelah kiri.
Si tinggi kurus muka hitam itu mengeluarkan suara mengomel, akan tetapi dia tidak berani membantah karena tadi memang dia yang harus membantu Pek-liong, dan Beng-cu tentu akan marah kalau dia tidak mentaati Pek-liong. Biarlah, pikirnya, yang akan bertanggung jawab adalah Pek-liong! Sambil bersungut-sungut dan memanggul ruyungnya yang berat, diapun mengejar di belakang Pek-liong yang membawa sebatang pedang yang dipinjamnya dari ruangan belajar silat.
Tentu saja hanya Pek-liong yang sudah hafal akan kebiasaan Liong-li. Demikian pula Liong-li tahu bahwa Pek-liong akan dapat menduga cara yang dipergunakannya. Pek-liong tahu bahwa Liong-li cerdik sekali.
758
Tamu malam biasa, tentu akan melakukan seperti yang dikatakan atau diduga oleh Hek-giam-ong tadi, yaitu datang berkunjung melalui tempat-tempat gelap yang terlindung semak-semak atau pohon-pohon. Akan tetapi justeru kebiasaan tamu malam ini dijauhi oleh Liong-li. Wanita perkasa itu tentu akan memilih keadaan sebaliknya sehingga tidak akan mudah diduga lawan. Ia tentu akan mengambil jalan yang melalui padang rumput itu.
Ketika mereka tiba di padang rumput yang rumputnya tebal dan subur itu, mereka berdua memandang dan tidak melihat ada bayangan orang di sana. Sinar bulan sepenuhnya menyinari padang rumput yang tidak ada pohonnya itu dan suasana sunyi, namun pemandangan amatlah indahnya.
Padang rumput itu nampak hijau kekuningan, segar dan angin semilir membuat ujung-ujung rumput bergoyang-goyang seperti sekelompok penari. Namun tidak kelihatan ada orang di situ. Tiba-tiba Pek-liong berteriak dengan lantang.
“Musuh yang bersembunyi di sana! Cepat keluar memperlihatkan diri sebelum kami terpaksa menyerang dengan senjata rahasia kami!”
Hek-giam-ong sudah hampir tertawa, mentertawakan Pek-liong yang dianggap tolol itu ketika tiba-tiba dari tengah padang rumput itu berkelebat bayangan hitam yang tadinya bertiarap sehingga tidak nampak di antara rumput yang tebal dan tinggi. Begitu melompat, bayangam hitam itu sudah langsung saja menerjang ke arah Hek-giam-ong yang bersenjata ruyung karena si tinggi kurus muka hitam ini yang. terdekat dengannya.
759
Hek-giam-ong terkejut bukan main. Di bawah sinar bulan purnama, dia tidak dapat melihat dengan jelas keadaan musuh yang bergerak amat cepatnya itu, akan tetapi yang diketahuinya adalah bahwa lawan ini berpakaian serba hitam dari kepala sampai mukanya dikerodongi kain hitam pula, hanya memperlihatkan sepasang mata yang mencorong mengerikan! Dia cepat menggerakkan ruyungnya menangkis,
“Trangggg......!” Pedang di tangan orang itu terpental dan hampir terlepas. Orang itu terkejut sekali dan meloncat untuk melarikan diri. Pada saat itu, Pek-liong sudah menyambitkan pedangnya sambil berseru nyaring.
“Engkau hendak lari ke mana?” Pedang di tangannya meluncur ke arah tubuh hitam yang melarikan diri itu.
“Aduhhhh......!” Orang berkedok itu berteriak dengan suara parau dan tubuhnya terus berloncatan jauh ke depan sambil membawa pedang yang dilemparkan Pek-liong tadi, yang agaknya menancap di tubuhnya!
Pek-liong dan Hek-giam-ong mengejar, akan tetapi orang itu sudah menghilang ke dalam hutan terdekat yang gelap. Hek-giam-ong menjadi bingung karena tidak tahu harus mengejar ke mana. Pada saat itu, terdengar suara sempritan nyaring sehingga mengejutkan Hek-giam-ong.
Kiranya sempritan itu dibunyikan oleh Pek-liong yang terus mengejar ke depan. Baru Hek-giam-ong teringat dan diapun meniup sempritan yang berada di kantungnya. Sebentar saja, mereka semua telah ikut
760
mengejar ke situ. Tok-sim Nio-cu bersama Lim- kwi Sai-kong, dan Pek I Kongcu bersama belasan orang anak buah.
“Kami bertemu dengan seorang musuh!” kata Hek-giam-ong sambil mengamang-amangkan ruyungnya.
“Dia lari ke depan! Kejar!” kata Pek-liong mendahului dan mereka semua melakukan pengejaran. Akan tetapi, sampai jauh mereka mengejar dan memeriksa, ternyata si kedok hitam itu lenyap tanpa meninggalkan bekas.
“Dia sudah terluka terkena sambitan pedangku!” kata Pek-liong penasaran.
“Dia tidak berapa lihai. Sekali tangkis dengan ruyungku, pedangnya hampir terlepas dari tangannya, dia lari dan disambit pedang oleh Pek-liong. Jelas sambitan itu mengenai sasaran karena dia mengaduh, akan tetapi masih mampu melarikan diri!” kata Hek-giam-ong membanggakan kemenangannya.
Karena mereka tidak berhasil menemukan Musuh itu, mereka lalu kembali ke markas untuk melaporkan hal itu kepada Siauw-bin Ciu-kwi. Beng-cu ini mengerutkan alisnya.
“Jaga yang ketat. Ingatlah bahwa kita memiliki benda yang amat berharga, yang perlu dijaga siang malam dengan ketat. Jangan khawatir, bagian kalian kelak akan dapat kalian pergunakan untuk selama hidup!”
Ucapan itu tentu saja menggembirakan hati para pembantunya, dan Pek-liong berkata,
761
“Harap Beng-cu jangan khawatir. Selama ada aku di sini tidak ada seorangpun musuh yang akan dapat mengganggu!”
Biasanya, yang membenci Pek-liong adalah Hek-giam-ong dan Pek I Kongcu. Kini, Hek-giaam-ong diam saja karena tadi dia sudah membuktikan kebenaran pendapat Pek-liong. Hanya Pek I Kongcu yang berkara lirih.
“Hemm, jangan menyombongkan diri dulu, Pek-liong. Kesanggupanmu itu haruslah kita lihat dulu buktinya.”
Pek-liong tersenyum. “Mari kita berlumba, Pek I Kongcu, berlumba untuk membuat jasa. Yang jelas saja, aku sudah berhasil membunuh Hek-liong-li dan baru saja melukai seorang mata-mata musuh.”
“Hemm, hal itupun harus dibuktikan dulu, Pek-liong. Tidak ada bukti bahwa Hek-liong-li telah tewas, dan siapa tahu tamu tak diundang yang muncul tadi adalah Hek-liong-li!”
Pek-liong menyembunyikan perasaan kagetnya. Diam-diam dia memuji kecerdikan tokoh sesat yang tampan ini dan dia harus berhati-hati karena orang ini ternyata lihai dan cerdik. Akan tetapi, dia mendapatkan bantuan dari Hek-giam-ong yang tidak secerdik Pek I Kongcu.
”Ah, tidak mungkin kalau orang tadi Hek-liong-li. Bukankah ia telah terluka oleh sambitan pisau dan jelas nampak ia tenggelam dan air telaga mengandung darah? Dan kalau orang tadi Hek-liong-li, masa sekali tangkis saja aku dapat membuat ia melarikan diri?”
762
“Sudahlah, jangan kalian ribut-ribut. Yang penting adalah bekerja sama untuk menjaga agar jangan sampai ada musuh menyelundup masuk. Kita berjaga dan menanti sampai Po-yang Sam-liong kembali membawa tenaga yang kubutuhkan,” kata Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantunya tidak berani ribut-ribut lagi.
Pek-liong maklum bahwa biarpun nampaknya dia diberi kebebasan oleh Siauw-bin Ciu-kwi, namun beng-cu itu masih belum percaya sepenuhnya kepadanya dan para pembantu yang lihai dari beng-cu itu selalu mengamati gerak-geriknya. Maka diapun tidak mau melakukan sesuatu yang mencurigakan dan kalau tidak sedang bertugas jaga, dia berdiam saja di dalam kamarnya.
Malam itu, ketika dia sedang beristirahat di kamarnya, pintu kamarnya diketuk perlahan dari luar. Pek-liong membuka daun pintu kamarnya dan Tok-sim Nio-cu menyelinap masuk tanpa permisi lagi. Bagi wanita ini, ia tidak perduli kamar pria mana yang akan dimasukinya, dan iapun tidak perduli apakah ada orang lain melihat ia memasuki kamar Pek-liong!
Pek-liong mengerutkan alisnya, akan tetapi wanita itu telah duduk di tepi pembaringannya. Diapun duduk di atas kursi dan bertanya dengan suara tenang.
“Tok-sim Nio-cu, ada keperluan apakah engkau datang mengunjungi aku!?” Dengan ha-lus dia lalu mengusirnya. “Aku ingin beristirahat, kalau ada perlu, cepat katakan dan tinggalkan aku.”
Tok-sim Nio-cu tersenyum manis. Ia tidak bangkit, bahkan lalu merebahkan diri telentang dengan gaya yang memikat sekali.
763
“Aih, Pek-liong. Apa salahnya kalau aku menemanimu beristirahat di sini? Aku kesepian dan hawa malam ini dingin sekali. Mari, naiklah ke sini, Pek-liong, dan aku akan membuat engkau senang!”
Pek-liong bangkit berdiri. Tentu saja dia sudah mengenal wanita macam apa adanya Tok-sim Nio-cu ini. Seorang wanita cabul, gila lelaki, hamba nafsu berahinya sendiri dan selalu menggoda pria yang menarik hatinya.
“Tok-sim Nio-cu, dengar baik-baik! Aku juga bukan seorang perjaka yang bersih dan alim, akan tetapi ketahuilah bahwa aku datang ke sini bukan untuk bermain gila denganmu! Aku datang ke sini untuk mencari keuntungan, untuk mendapatkan bagian dari harta karun!” Lalu ditambahkannya dengan tekanan mantap, “Dan terus terang saja, sebagai wanita engkau tidak menarik hatiku dan minatku!”
Tok-sim Nio-cu mengerutkan alisnya dan pandang matanya jelas membayangkan kemarahan dan kekecewaan, akan tetapi segera ia menutupi semua itu dengan senyum. “Pek-liong, engkau datang untuk mencari harta karun, bukan? Mengapa harus menerima bagian sedikit saja dari Beng-cu? Alangkah senangnya kalau kita berdua bisa mendapatkan seluruhnya, dibagi dua saja antara kita!”
Pek-liong terkejut, akan tetapi kecerdikannya bekerja. Dia melihat perbedaan, bahkan sikap yang sebaliknya dari tadi Tok-sim Nio-cu berusaha merayunya, itu adalah Tok-sim Nio-cu yang sebenarnya, yang sudah menjadi gila oleh nafsunya sendiri. Akan tetapi yang kedua ini, sikap yang amat berbeda ini tentu bukan sikap yang wajar, melainkan pura-pura, sandiwara!
764
Diapun mengerti bahwa tentu Tok-sim Nio-cu yang gagal memikat hatinya, kini menggunakan siasat yang agaknya sudah diatur oleh Siauw-bin Ciu-kwi untuk menguji dan menjebaknya! Dia menduga bahwa tentu Siauw-bin Ciu-kwi hendak mengujinya melalui wanita palsu ini. Maka, diapun memandang marah.
“Tok-sim Nio-cu, engkau perempuan rendah tak tahu malu! Engkau pengkhianat yang layak dipukul!” Berkata demikian, Pek-liong sudah maju dan tangan kirinya menampar ke arah pipi wanita itu. Tentu saja Tok-sim Nio-cu mengelak dan iapun menjadi marah.
“Keparat yang tak tahu diri!” Bagi wanita ini, setiap orang pria yang tidak menguntungkan dirinya, tidak mau melayaninya, berubah menjadi orang dibencinya. Maka sambil mengelak ia sudah mengeluarkan kipasnya, satu di antara senjatanya yang ampuh. Ia tidak membawa pedangnya, karena niatnya juga bukan untuk berkelahi, melainkan untuk bermain mata dengan pria yang ganteng dan gagah ini.
Kini, dengan kipas di tangan, Tok-sim Nio-cu sudah menyerang dengan ganas, gagang kipasnya menjadi senjata penotok yang ampuh. Namun, Pek-liong juga mengelak dan terjadilah perkelahian di dalam kamar itu.
Pek-liong sengaja melayani wanita itu karena diapun ingin menguji dan mengukur sampai di mana kepandaian seorang di antara calon-calon lawannya ini. Kalau sudah tiba saatnya, tentu ita akan bertanding sungguh-sungguh melawan Tok-sim Nio-cu. Dan dia mendapat kenyataan bahwa ilmu permainan kipas wanita itu cukup hebat, walaupun belum merupakan bahaya besar bagi dia maupun
765
Liong-li. Dia mengelak atau menangkis dan membalas dengan tangan kosong.
Tiba-tiba daun pintu kamar itu terbuka dan muncullah Siauw-bin Ciu-kwi. “Hei, mengapa kalian ini? Hentikan!” bentak Beng-cu itu dan dua orang yang sedang saling serang mati-matian itupun menghentikan gerakan mereka.
Dengan wajah muram Pek-liong segera melaporkan, “Beng-cu, harap tangkap wanita ini! Ia telah membujuk dan mengajak aku untuk berkhianat, untuk mendapatkan harta karun berdua saja dengannya!”
Beng-cu itu tertawa. “Ha-ha-ha, sudahlah, Pek-liong. Ia memang sengaja untuk mengujimu, dan aku menyuruhnya.”
Jawaban ini tentu saja sama sekali tidak mengejutkan hati Pek-liong yang memang sudah menduganya, akan tetapi dia berpura-pura terkejut dan memandang heran, juga penasaran.
“Akan tetapi, Beng-cu! Apa artinya ini? Mengapa ia berbuat demikian kepadaku dan mengapa pula Beng-cu yang menyuruh ia berbuat demikian?”
“Untuk menguji kesetiaanmu, Pek-liong.” Dan hatinya puas sudah. “Sekarang, jangan lagi kalian saling mendendam karena kalian berdua adalah pembantu-pembantuku yang paling utama dan kalau harta karun itu sudah kita peroleh, kalian akan mendapatkan bagian yang paling besar di antara semua pembantuku.”
“Terima kasih, Beng-cu, terima kasih!” kata Pek-liong dengan sinar mata gembira dan wajah berseri.
766
Akan tetapi, Tok-sim Nio-cu masih agak cemberut karena bagaimanapun juga, wanita ini merasa kecewa dan merasa dipandang rendah oleh Pek-liong yang menolak cintanya! Dan Pek-liong juga maklum bahwa seorang wanita yang terhina karena ditolak cintanya akan merupakan musuh yang amat berbahaya dan amat membencinya.
Pada keesokan harinya, mulailah Po-yang Sam-liong membawa tenaga-tenaga bantuan yang terdiri dari pemuda-pemuda dari dusun yang bertubuh kekar. Mereka itu mau diajak oleh Po-yang Sam-liong, bukan saja karena takut kepada tiga orang tokoh Telaga Po-yang itu, akan tetapi juga tertarik oleh janji upah yang besar.
Dan mulailah Tok-sim Nio-cu yang dikecewakan Pek-liong itu berpesta pora. Sambil menanti berkumpulnya limapuluh orang, jumlah yang dibutuhkan, wanita ini seenaknya memilih beberapa orang pemuda dan mengajak mereka ke kamarnya. Tentu saja para pemuda dusun itu tidak menolak ajakan seorang wanita yang demikian cantiknya, apa lagi dibujuk dengan hadiah berharga. Mereka bahkan berlumba untuk memuaskan nafsu Tok-sim Nio-cu yang tak pernah mengenal puas itu!
Melihat ini, Pek I Kongcu juga menjadi iseng dan dia mengajak para pelayan wanita muda yang manis-manis dari Beng-cu. Bergantian para pelayan itu dengan senang hati melayani Pek I Kongcu.
Pek-liong melihat ini semua dan dia hanya tersenyum. Selama masih memiliki kelemahan itu, diperhamba nafsu berahi, dua orang itu berkurang bahayanya. Diapun bersembunyi saja dalam kamarnya, kadang-kadang melihat kalau ada rombongan tenaga baru datang dan menduga-duga apakah ada Liong-li menyelinap di antara mereka.
767
Dia merasa yakin bahwa Liong-li takkan tinggal diam, tentu wanita perkasa itu telah membuat persiapan. Entah bagaimana caranya, dia sendiri belum dapat menduga. Liong-li terlalu cerdik dan banyak akal, lebih cerdik dari dia sendiri, dan dia tahu betapa pandainya Liong-li melakukan penyamaran. Untuk ilmu penyamaran ini, Liong-li berguru kepada tokoh pemain wayang di kota raja. Dia sendiri pernah mempelajarinya, namun dibandingkan dengan Liong-li, dia masih hijau.
◄Y►
Di antara segala nafsu yang berada dalam diri manusia, yang paling berbahaya dan amat kuatnya dalam usahanya menguasai hati dan akal pikiran manusia adalah nafsu yang timbul dari daya rendah benda! Hal ini adalah karena benda-benda mendatangkan banyak kesenangan bagi manusia. Dan benda terjadi karena bekerjanya akal pikiran manusia yang selalu berusaha untuk menjadikan kehidupan di dunia ini terasa nikmat. Maka, tiada habis dan tiada hentinya pikiran menciptakan benda-benda yang dapat membuat kita menikmati kehidupan.
Semua ini merupakan anugerah dari Tuhan Maha Kasih, dan kita wajib bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan atas anugerah ini. Namun, benda-benda buatan kita ini ternyata merupakan pula musuh dalam selimut yang amat berbahaya.
Daya kekuatannya amat besar dan daya rendah benda selalu berusaha untuk mencengkeram dan menguasai diri kita sehingga kita dapat diperbudak olehnya. Kalau kita manusia sudah menjadi hamba dari daya rendah kebendaan ini, maka nampaklah sikap dan perbuatan yang amat rendah, seperti keinginan menumpuk harta kekayaan
768
dengan cara apapun juga, tidak perduli dengan cara yang halal maupun yang haram.
Terjadi pencurian, penipuan, perampokan, korupsi dan tindak pidana lain. Nampak pula watak iri hati, murka, kikir. Membuat orang menjadi budak nafsu amarah, karena dirinya telah lenyap, artinya yang penting adalah benda-benda itu sendiri! Manusianya terlupa, yang teringat hanya benda-benda berharga.
Segala macam benda yang ada, memang diperuntukkan manusia. Demikian besarnya kemurahan dan kasih sayang Tuhan kepada kita. Namun, diperuntukkan kepentingan manusia hidup, apa yang diperlukan saja! Bukan untuk dijadikan makanan nafsu yang takkan pernah merasa cukup.
Manusia boleh saja mencari harta benda, boleh saja mencari uang, karena hal itu amat perlu bagi kehidupannya. Akan tetapi, harta yang kita cari itu tetap menjadi alat keperluan hidup, menjadi hamba yang melayani kita manusia, bukan lalu didewa-dewakan, lalu disembah dan diangkat menjadi majikan, dan kita menjadi hambanya!
Kita pergunakan harta yang kita dapatkan untuk kepentingan hidup kita, keluarga kita, handai taulan dan manusia lain yang memerlukannya. Kalau kita tidak diperbudak oleh harta, maka tentu kita tidak akan menjadi kikir, kita tidak merasa sayang untuk mempergunakan harta demi prikemanusiaan, menuruti dorongan hati, yaitu kasih sayang antara manusia yang digerakkan oleh kasih sayang Tuhan
Kalau kita tidak diperbudak oleh benda, tentu kita tidak suka melakukan hal-hal yang tidak baik, hal-hal yang haram, untuk
769
memperolehnya. Kalau kita mendapatkan benda atau harta dengan cara yang halal, yang diridhoi Tuhan, maka harta itu akan mendatangkan nikmat hidup yang luar biasa bagi kita.
Namun, sungguh kita harus berhati-hati, harus selalu mohon petunjuk dari Tuhan Maha Kasih, untuk dapat menjadi manusia yang utuh, yang tidak diperhamba oleh nafsu-nafsu kita, terutama nafsu yang timbul dari daya rendah kebendaan. Daya rendah kebendaan ini amatlah kuatnya, dan tanpa bantuan kekuasaan Tuhan Yang Maha Kasih, kita manusia kiranya akan teramat sukarnya menanggulanginya. Karena kita amat membutuhkan benda, kita sudah begini tergantung kepada benda dalam kehidupan ini.
Makin maju dunia ini, majunya adalah majunya kebendaan dan kita semakin terpengaruhi. Kita tidak mungkin dapat membebaskan diri dari bantuan kebendaan. Asal kita selalu ingat bahwa kita harus memperalat benda, bukan malah diperalat.
Kalau kita mau membuka mata mengamati penuh kewaspadaan, akan nampak betapa kita ini tak berdaya tanpa bantuan kebendaan, dan betapa nampak bahwa manusia ini sudah dijadikan hamba-hamba yang menuruti segala kehendak setan itu, daya rendah kebendaan itu. Lihat saja betapa di mana-mana terjadi perang, permusuhan, tipu menipu, segala bentuk kejahatan hanya untuk saling memperebutkan kebendaan! Daya rendah kebendaan yang sudah mencengkeram manusia, membuat manusia menjadi penjahat, setidak-tidaknya menjadikan manusia kikir, tamak dan tidak mengenal prikemanusiaan.
Agaknya Siauw-bin Ciu-kwi lupa bahwa harta benda yang amat besar akan membuat mata para pembantunya menjadi hijau! Dia terlalu
770
percaya kepada para pembantunya, tentu saja mengandalkan kepandaiannya. Seujung rambutpun dia tidak pernah menduga bahwa orang-orang macam Po-yang Sam-liong berani untuk mengkhianatinya, menjadi nekat karena terpengaruh oleh nafsu ingin menguasai atau memiliki harta karun yang peta rahasianya telah berada di tangannya!
Ketika Po-yang Sam-liong mendapat tugas untuk mengumpulkan limapuluh orang tenaga kasar, kesempatan ini dipergunakan oleh Po-yang Sam-liong untuk mengatur siasat! Tiga orang raksasa she Poa itu, tiga bersaudara yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sudah terkenal sebagai penguasa daerah Telaga Po-yang, hanya karena terpaksa saja mereka mau menjadi anak buah Siauw-bin Ciu-kwi yang menjadi beng-cu (pemimpin) mereka.
Mereka telah dikalahkan oleh Tok-sim Nio-cu dan mereka maklum bahwa ilmu kepandaian Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantunya terlalu tinggi bagi mereka untuk menentang maka terpaksa mereka menakluk dan menjadi anak buah. Namun, tentu saja di dalam hati, mereka merasa penasaran. Mereka bukan orang-orang yang biasa menjadi anak buah, melainkan biasanya menjadi pemimpin.
Ketika mereka melihat betapa Siauw-bin Ciu-kwi mendapatkan patung emas, kemudian dari dalam patung emas itu ditemukan peta yang mengandung rahasia penyimpanan harta karun, tentu saja hati mereka terguncang oleh keinginan keras untuk dapat memiliki harta karun itu, bukan sekedar menerima upah kelak dari beng-cu mereka. Dan melihat betapa Siauw-bin Ciu-kwi membutuhkan limapuluh orang pekerja, mereka dapat menduga bahwa tentu harta karun itu
771
amat besar jumlahnya dan berada di tempat yang sukar untuk dibongkar sehingga membutuhkan demikian banyaknya orang.
Ketika mereka bertiga diberi kesempatan selama tiga hari untuk mengumpulkan limapuluh orang pekerja kasar, Po-yang Sam-liong lalu menghubungi Yang-ce Ngo-kwi (Lima Iblis Sangai Yang-ce). Yang-ce Ngo-kwi adalah lima orang kakak beradik seperguruan yang menjadi pimpinan gerombolan bajak Sungai Yang-ce-kiang. Mereka itu merupakan sahabat baik dari Po-yang Sam-liong, dan semenjak bertahun-tahun mereka itu saling bantu.
Po-yang Sam-liong tidak pernah mengganggu daerah Sungai Yang-ce yang dikuasai Yang-ce Ngo-kwi, yaitu di sepanjang sungai itu di daerah yang panjangnya kurang lebih seratus lie. Tentu saja bagian lain dari sungai yang teramat panjang itu dikuasai oleh tokoh-tokoh sesat yang lain. Sebaliknya, Yang-ce Ngo-kwi dan anak buah mereka tidak pernah mau mengganggu daerah Telaga Po-yang.
Mendengar cerita Po-yang Sam-liong tentang patung emas, lima orang kepala bajak sungai itu merasa tertarik sekali. Orang pertama bernama Coa Kun, berusia empatpuluh lima tahun dan bertubuh tinggi kurus. Orang kedua dan ketiga kakak beradik, hanya dikenal dengan nama A Kwan berusia empatpuluh tiga tahun yang berperawakan sedang dan A Ban berusia empatpuluh satu tahun bertubuh pendek kecil.
Orang keempat dan kelima juga kakak beradik, yang pertama bernama Ji Hok berusia empatpuluh tahun dengan tubuh tinggi besar dan adiknya Ji Lok berusia tigapuluh delapan tahun bertubuh pendek gendut. Mereka itu adalah kakak beradik seperguruan dan mereka terkenal amat lihai dengan permainan golok mereka.
772
“Rahasia Patung Emas? Pernah kami mendengar cerita tentang itu, akan tetapi karena cerita itu mengenai Telaga Po-yang, kamipun tidak memperhatikan lagi. Kami tidak ingin mengganggu Telaga Po-yang karena kami selalu bersahabat dengan kalian,” kata Coa Kun orang tertua kepada tiga orang tamunya itu.
Poa Seng, orang pertama dari Po-yang Sam-liong, mengangguk-angguk.
“Kami percaya sepenuhnya akan kesetiakawanan Yang-ce Ngo-kwi. Kami sendiri tadinya hanya menganggap bahwa cerita itu merupakan dongeng rakyat. Akan tetapi, kemudian kami mendengar akan adanya peta rahasia tentang patung emas yang terjatuh ke dalam tangan Thio Kee San, maka kami menangkapnya dan menghajarnya sampai mati. Dalam peristiwa itulah kami bertemu dengan para pembantu Siauw-bin Ciu-kwi dan kami ditundukkan, dipaksa menakluk dan menjadi pembantu Siauw-bin Ciu-kwi yang mengangkat diri menjadi beng-cu.”
Dia lalu menceritakan semua keadaan, menceritakan pula tentang hasil yang dicapai Beng-cu sehingga bukan saja patung emas dikuasainya, akan tetapi juga peta yang tersembunyi di dalam patung itu, peta yang amat berharga!
“Peta itulah yang penuh rahasia dan amat berharga!” Poa Seng melanjutkan ceritanya yang amat menarik perhatian lima orang pemimpin bajak sungai itu. “Biarpun Beng-cu menyembunyikan dan merahasiakan dari para pembantunya, namun kami dapat mengira-ngira bahwa tentu harta karun itu amat besar. Buktinya, dia menyuruh kami untuk mengumpulkan limapuluh orang tenaga kasar. Hal ini saja
773
menunjukkan bahwa selain tempat itu sulit ditemukan, melalui pembongkaran dan kerja keras, juga sudah pasti harta karun itu banyak sekali!”
Yang-ce Ngo-kwi semakin tertarik, akan tetapi mereka saling pandang dan bersikap hati-hati. “Hemm, memang menarik sekali, Akan tetapi, saudara Poa, sedangkan kalian bertiga saja takluk kepada mereka, apa lagi kami. Apakah kalian menyuruh kami menyerang mereka dan mengalami kehancuran kami?”
“Wah, Yang-ce Ngo-kwi terlalu merendahkan diri!” kata Poa Seng. “Terus terang saja, kalau mengenai ilmu silat, memang mereka itu merupakan sekumpulan orang yang berkepandaian tinggi dan lihai sekali. Apa lagi, seperti kuceritakan tadi, Pek-liong-eng juga menjadi pembantu Beng-cu, bahkan orang seperti Hek-liong-li tewas di tangan Pek-liong. Kalau kita hanya mempergunakan tenaga kekerasan menyerbu, memang hal itu amat sukar. Ilmu kepandaian kalian berlima, biarpun lebih tinggi dari pada kami, kiranya belum cukup untuk dapat mengalahkan mereka. Ingat, Siauw-bin Ciu-kwi adalah seorang di antara Kiu Lo-mo, dia seorang datuk sesat yang sakti. Akan tetapi, kalian mempunyai anak buah yang amat banyak!”
Coa Kun mengerutkan alisnya. “Hemm, jadi maksudmu kita menyerbu mengandalkan anak buah kami? Memang, kami dapat mengerahkan anak buah kami sampai duaratus orang banyaknya.”
“Tidak, bukan begitu maksudku. Sebaiknya diatur begini. Kalian memilih sekitar duapuluh lima orang anak buah pilihan. Mereka ini akan berbaur dengan para pemuda dusun yang kupilih untuk
774
melakukan pekerjaan membongkar tempat harta karun. Kita jadikan mereka sebagai mata-mata.
“Sementara itu, kalian bersama anak buah kalian bersembunyi tak jauh dari tempat dibongkarnya harta karun itu, dan kalau harta itu sudah berhasil ditemukan, kalian menyerbu, kami dan duapuluh lima orang anak buah, yang lebih dulu menyelundup itu membantu dari dalam. Dengan demikian, tentu mereka yang tidak mempunyai anak buah akan menjadi panik, dan kita berkesempatan untuk melarikan harta karun itu!”
Yang-ce Ngo-kwi mengangguk-angguk, saling pandang, kemudian mereka tertawa, “Haha-ha, suatu gagasan yang amat baik!” kata Coa Kun.
“Kita biarkan mereka mencari harta karun itu, membiarkan mereka membongkarnya sampai dapat, setelah dapat kita turun tangan merampasnya! Alangkah mudah kelihatannya. Akan tetapi engkau sendiri yang mengatakan bahwa Siauw-bin Ciu-kwi adalah seorang di antara Kiu Lo-mo yang sakti, belum lagi para pembantunya Pek-liong-eng, Tok-sim Nio-cu, Lim-kwi Sai-kong, Pek I Kongcu dan Hek-giam-ong. Mereka semua adalah orang-orang yang memiliki kepandaian amat tinggi! Apakah tidak akan merupakan bunuh diri dan kita akan mati konyol sebelum bisa mendapatkan harta karun itu, Po-yang Sam-liong?”
“Yang-ce Ngo-kwi harap jangan khawatir. Bukankah pepatah mengatakan bahwa yang kalah otot harus menang otak? Kalau harta karun itu telah ditemukan, ada dua jalan yang dapat kita tempuh. Pertama, kita mengandalkan banyak anak buah untuk menyerbu dan di
775
dalam kekacauan itu, kita tidak perlu ikut menyerbu, melainkan kita menggunakan saat kacau balau itu untuk melarikan harta karun.”
“Hemm, berarti kita akan mengorbankan nyawa banyak anak buah kita!”
“Apa artinya anak buah dibandingkan harta karun? Biar kehabisan anak buah, kalau kita memiliki harta karun, apa sukarnya menghimpun lagi anak buah yang lebih banyak dan lebih kuat? Sebaliknya, memiliki banyak anak buah tanpa harta, malah merepotkan.”
“Hemm, akan kami pikirkan itu. Akan tetapi apakah jalan yang kedua? Siapa tahu lebih baik.”
“Jalan kedua adalah membujuk Siauw-bin Ciu-kwi untuk menyelamatkan harta karun ke atas perahu. Nah, kalau sudah berada di perahu dan perahu berada di atas telaga, apa sukarnya bagi kita? Ha-ha, betapapun lihainya Beng-cu itu bersama anak buahnya, kalau perahunya tenggelam dan mereka berada di air, sama sekali bukan lawan kita yang merupakan setan-setan air!”
“Bagus!” seru lima orang Yang-ce Ngo-kwi, “Cara kedua ini jauh lebih baik!”
Mereka tentu saja menyetujui karena memang di samping pandai ilmu silat golok dan tenaga besar, mereka sebagai pimpinan bajak sungai juga memiliki ilmu di dalam air yang melebihi orang biasa. Dan mereka tahu bahwa para ahli silat kenamaan menjadi mati kutu setelah mereka terjatuh ke dalam air yang dalam karena mereka tidak begitu pandai renang.
776
“Kita melihat perkembangannya sajalah nanti,” kata Po-yang Sam-liong, “Yang penting sekali, apakah kalian menyetujui dan mau bekerja sama dengan kami?”
“Kami setuju!” seru Coa Kun gembira, “Dan pembagian hasilnya?”
“Kita bagi masing-masing pihak setengahnya!”
“Setuju sekali!”
Demikianlah, selama tiga hari, Po-yang Sam-liong berhasil mengumpulkan limapuluh orang pria dari usia duapuluh sampai empatpuluh tahun. Duapuluh lima orang yang menyamar sebagai orang-orang biasa adalah anak buah Yang-ce Ngo-kwi, sedangkan yang duapuluh lima orang lainnya adalah penduduk dusun di sekitar Po-yang.
Mereka mau menerima ajakan Po-yang Sam-liong karena janji upah yang cukup besar, jauh lebih besar dibandingkan hasil tani atau hasil mencari ikan mereka. Bahkan banyak orang yang datang untuk ikut bekerja terpaksa ditolak karena jumlahnya telah mencukupi.
Di antara duapuluh lima orang dusun itu terdapat seorang pemuda bertubuh sedang ramping yang gerakannya gesit walaupun tubuhnya agak kecil. Pemuda ini memiliki wajah yang bentuknya tampan, akan tetapi karena kulit mukanya penuh bopeng, atau tanda totol-totol hitam dan kotor, juga kulit muka, leher, kaki dan tangannya nampak hitam kotor, maka dia menjadi tidak menarik. Po-yang Sam-liong menerima pemuda ini yang dibawa oleh pemuda-pemuda lainnya karena dia nampak gesit dan sehat.
777
Biar Pek-liong sekalipun kalau berhadapan dengan pemuda ini tentu sama sekali tidak akan dapat menduga bahwa pemuda ini bukan lain adalah Liong-li!
Seperti kita ketahui, Liong-li pada malam pertama itu berhasil memasuki daerah markas gerombolan penjahat dan kedatangannya telah diketahui oleh Pek-liong dan Hek-giam-ong. Andaikata tidak ada Pek-liong di situ, Hek-giam-ong tentu tidak akan menduga bahwa tamu malam yang tidak diundang itu telah bertiarap di antara rumput.
Ketika Liong-li yang mendekam itu mendengar suara Pek-liong, ia merasa gembira sekali. Suara Pek-liong itu jelas menandakan bahwa ia harus keluar dan dalam kesempatan itu tentu Pek-liong dapat memberitahukan sesuatu yang penting. Maka iapun meloncat keluar dan langsung menggunakan Hek-liong-kiam menyerang Hek-giam-ong Lok Hun.
Pada saat Hek-giam-ong Lok Hun menangkis dengan ruyungnya, ia melihat Pek-liong menggerakkan tangan mencegah, maka cepat ia miringkan pedangnya sehingga mata pedangnya yang tajam tidak menyambut ruyung yang tentu akan membuat ruyung itu patah. Bahkan ia sengaja mengendurkan tenaganya sehingga ia terpental dan meloncat jauh ke belakang, membuat gerakan melarikan diri.
Pada saat itulah, Pek-liong menyambitkan sebatang pedang. Liong-li menyambut pedang, menangkap pedang dengan lagak terkena sambaran pedang, mengeluarkan teriakan mengaduh lalu menghilang ke dalam kegelapan hutan.
778
Setelah ia tiba jauh di kaki bukit, ia membaca surat yang tadi menempel di pedang yang disambitkan Pek-liong. Surat itu singkat saja namun cukup jelas baginya.
“Peta rahasia dalam patung emas dikuasai beng-cu. Po-yang Sam-liong diutus mencari limapuluh orang tenaga untuk membongkar tempat penyimpanan harta karun. Menanti saat baik untuk turun tangan.
Harap siap, kalau mungkin menyelundup di antara para pekerja.”
Hanya itulah tulisan Pek-liong, namun ia sudah dapat menggambarkan apa yang terjadi. Tentu harta pusaka itu bukan berupa sebuah patung emas yang biarpun berharga namun tidak sepadan dengan segala macam rahasia pada petanya. Tentu patung emas itu menyimpan rahasia lain dan kini ternyata ada peta di dalam patung.
Peta harta karun! Peta itu dikuasai Siauw-bin Ciu-kwi seorang, dan melihat betapa Ciu-kwi mencari limapuluh orang pekerja, tentu harta karun itu disimpan di tempat yang yang sukar didapat, mungkin membutuhkan banyak tenaga untuk membongkarnya.
Cepat Liong-li melakukan persiapan. Ia menyamar sebagai seorang pria yang bermuka bopeng totol-totol hitam, dengan kulit badan hitam kotor pula. Kemudian, ketika Po-yang Sam-liong mencari tenaga dari dusun, iapun menyelinap masuk setelah menyogok beberapa orang pemuda agar membawa ia ikut bekerja. Tentu saja para pemuda dusun itupun tidak tahu bahwa pemuda buruk rupa itu adalah seorang gadis yang cantik jelita!
779
Ketika mencatatkan nama sebagai pekerja, Liong-li mempergunakan nama Cu Kim, yaitu kebalikan dari namanya sendiri. She Cu bernama Kim, dan orang-orang segera menyebut si buruk rupa yang lincah ini A-kim! Ia mendengar bahwa dari dusun, Po-yang Sam-liong hanya menggunakan duapuluh lima orang, sedangkan duapuluh lima orang lainnya sudah ada dan tak seorangpun tahu dari mana mereka datang, juga tidak ada yang mengenal mereka.
Dengan pengamatan matanya yang tajam, Liong-li melihat betapa duapuluh lima orang yang lain itu rata-rata memiliki sinar mata yang bengis dan kejam, juga mereka pendiam dan iapun menarik kesimpulan bahwa mereka tentulah anak buah Po-yang Sam-liong sendiri. Diam-diam ia menjadi tertarik dan menduga-duga, mengapa Po-yang Sam-liong yang diutus mencari tenaga kerja sebanyak limapuluh orang itu agaknya menyelundupkan duapuluh lima orang anak buahnya!
Dengan cerdik sekali, Liong-li dapat menyelundupkan pedang Pek-liong-kiam dan Hek. liong-kiam di antara perabot yang harus mereka bawa, yaitu linggis, cangkul dan sekop. Juga buntalan pakaian karena menurut Po-yang Sam-liong, sebelum pekerjaan itu selesai, mereka semua tidak boleh meninggalkan tempat pekerjaan, diharuskan tidur di sana dan akan diberi makan.
Pada hari keempat, pagi-pagi sekali mereka semua disuruh berjalan dalam barisan, menuruni lereng Bukit Merak dan pergi ke sebuah bukit kecil di tepi Telaga Po-yang. Tempat ini sunyi sekali karena bukit kecil itu merupakan bukit yang gersang, berbatu-batu dan tidak ada tumbuh-tumbuhan kecuali rumput liar. Bukit ini penuh dengan ba- tu-batu besar dan guha-guha batu.
780
Siauw-bin Ciu-kwi yang memimpin perjalanan itu, dan berjalan di depan bersama Pek-liong dan Tok-sim Nio-cu, sedangkan Lim-kwi Sai-kong, Pek I Kongcu, Hek-giam-ong dan tiga orang Po-yang Sam-liong diharuskan berjalan di belakang pasukan pekerja. Juga anak buah yang belasan orang banyaknya disuruh berjalan di belakang dan mereka ini yang diharuskan mengusir setiap orang yang berani mendekati tempat mereka bekerja.
Setelah tiba di lereng bukit berbatu itu, Siauw-bin Ciu-kwi berhenti, memberi isyarat kepada semua orang untuk duduk dan tidak boleh berkeliaran ke mana-mana. Dia sendiri mengeluarkan peta dan memeriksa dengan seksama, keningnya berkerut dan telunjuknya menunjuk ke sana-sini.
“Nio-cu, dan engkau Pek-liong, coba periksa mana di antara guha-guha itu yang dalamnya tertutup oleh batu-batu sebesar kepala orang,” katanya.
Tok-sim Nio-cu dan Pek-liong yang sejak tadi, seperti yang lain, memandang dengan penuh perhatian dan hati tegang, segera bangkit dan melakukan pemeriksaan. Para pekerja yang sudah siap itu, sebagian tidak mengerti pekerjaan apa yang harus mereka lakukan, dan mereka menanti dengan sabar. Yang penting bagi mereka bekerja dan mendapatkan upah besar.
Sebaliknya, mereka yang menjadi anak buah Yang-ce Ngo-kwi diam-diam merasa tegang. Mereka sudah diberitahu bahwa mereka menyamar sebagai tenaga pekerja dari dusun yang akan membongkar tempat harta karun, dan mereka harus mentaati isyarat yang diberikan oleh Po-yang Sam-liong.
781
◄Y►
Sebuah perahu kecil meluncur di tengah telaga. Yang berada di atas perahu itu adalah Kam Sun Ting dan Kam Cian Li. Kemarin dulu mereka berada di dalam perahu, di tepi telaga sambil meneliti kalau-kalau ada perahu penjahat berlayar.
Pada saat mereka mulai gelisah karena tidak pernah mendengar berita dari Liong-li maupun Pek-liong, tiba-tiba saja ada seorang laki-laki muka buruk lewat dan laki-laki itu melemparkan sesuatu ke dalam perahu mereka. Ketika Sun Ting memungut benda itu, ternyata sebuah batu yang dibungkus surat.
“Lusa kalau ada rombongan limapuluh orang mengikuti Beng-cu dan kawan-kawannya, kalian bayangi dari jauh. Kemudian persiapkan perahu di tempat terdekat. Jangan sekali-sekali mendekati mereka. Berbahaya.”
Surat itu tanpa tanda tangan dan mereka berdua merasa heran sekali, tidak tahu siapa pemuda muka buruk totol-totol hitam yang mengirim surat itu, dan tidak tahu pula siapa penulis surat. Namun melihat nadanya, tentu penulis surat itu Liong-li. Ataukah Pek-liong? Siapapun juga penulis surat itu, jelas bukan pihak lawan. Bukankah mereka diperingatkan agar jangan mendekati Beng-cu dan rombongannya karena berbahaya?
“Kita ikuti saja petunjuk dalam surat ini,” kata Sun Ting kepada adiknya dan demikianlah, pada hari itu, pagi-pagi sekali mereka sudah siap siaga dengan perahu mereka. Mereka bersembunyi di balik pohon-pohon, di kaki Bukit Merak. Tak lama kemudian mereka melihat rombongan itu menuruni Bukit
782
Merak. Kakak beradik ini merasa heran. Banyak sekali rombongan itu. Dan merekapun melihat Pek-liong berjalan di depan bersama Siauw-bin Ciu-kwi dan melihat Tok-sim Nio-cu berjalan di samping Pek-liong, Cian Li mengepal tangannya, “Perempuan hina itu lagi......!” “Sssttt...... bukan waktunya untuk ribut dan cemburu, Li-moi. Mari kita bayangi dari jauh.” Dengan hati-hati sekali mereka membayangi dari jauh dan tidak sukar membayangi rombongan orang sebanyak itu. Akhirnya, rombongan itu berhenti di bukit kecil dekat pantai dan kakak beradik inipun cepat mengambil perahu mereka dan kini mereka mendayung perahu hilir mudik sambil tetap melihat ke arah orang-orang yang berada di bukit kecil berbatu itu. Mereka merasa heran sekali. Mau apa para penjahat itu membawa banyak orang ke bukit berbatu-batu yang jarang dikunjungi orang itu?
Sementara itu, Tok-sim Nio-cu sudah menemukan guha yang penuh dengan batu-batu sebesar kepala orang, Dengan girang ia lalu melapor kepada Beng-cu yang segera mendekati guha itu, diikuti oleh para pembantunya. Juga Pek-liong yang mendengar seruan Tok-sim Nio-cu, cepat mendekat.
“Inilah tempatnya. Tidak salah lagi, ini tempatnya!” kata Siauw-bin Ciu-kwi berulang kali dengan mata berkilat-kilat dan wajah berseri.
Dia memeriksa kembali peta di tangannya, mulutnya berkemak-kemik, dan dia memandang ke empat penjuru, “Dari depan guha dapat dilihat puncak Bukit Merak di belakang guha, telaga di depan guha, padang rumput di kiri guha dan dinding batu di kanan guha. Tepat, inilah! Po-yang Sam-liong, kerahkan orang-orang itu untuk
783
membongkar batu-batu dan mengeluarkannya dari dalam guha. Akan tetapi hati-hati, tidak perlu tergesa-gesa. Kalau sudah nampak sebuah batu panjang seukuran manusia berdiri menyangga langit-langit guha, berhenti dan lapor kepadaku!”
Po-yang Sam-liong lalu memberi aba-aba dan limapuluh orang itu mulai bekerja. Tentu saja tidak semua orang dapat memasuki guha yang lebarnya hanya kurang lebih tiga tombak itu. Mereka bekerja dengan berbaris keluar, dan batu-batu sebesar kepala orang itu diangkut keluar dari tangan ke tangan. Ternyata batu-batu itu banyak sekali dan setelah bekerja setengah hari lamanya, barulah batu-batu di mulut guha itu bersih dan mereka terus membongkar batu-batu yang berada di dalam guha.
Makin ke dalam, guha itu makin melebar dan agaknya dalam sekali, hanya tertutup oleh banyak sekali batu besar kecil. Menjelang sore, barulah nampak batu seperti yang dimaksudkan Beng-cu tadi, yaitu batu yang berukuran manusia berdiri dan batu itu seperti menyangga langit-langit guha karena mengganjal dan tidak dapat diambil. Segera Siauw-bin Ciu-kwi diberi laporan dan bersama para pembantunya, dia memasuki guha yang lebar itu.
“Bagus, tidak salah lagi. Akan tetapi ingat jangan ada yang mendorong batu ini. Biarkan saja batu ini berdiri di sini dan mulai besok pagi, kalian terus mengeluarkan batu-batu yang berada di dalam itu. Kalau bertemu batu yang tertanam dan melekat, harus dibongkar!”
Seperti juga siang tadi, para pekerja mendapat ransum makanan yang dipersiapkan oleh para pelayan wanita dan belasan orang anak buah Beng-cu. Setelah makan malam, mereka semua diperbolehkan
784
mengaso dan malam itu mereka tidur di dalam tenda-tenda yang dipasang di sekitar guha yang dibongkar. Penjagaan dilakukan dengan ketat.
Siang tadi, ada orang yang tertarik melihat demikian banyaknya orang membongkar batu di situ, akan tetapi setelah melihat bahwa di situ ada Po-yang Sam-liong yang menghardik, orang-orang yang hendak menonton lari ketakutan dan tidak ada lagi orang berani mendekati bukit kecil itu.
Malam itu, biarpun mereka semua harus tidur di tempat yang demikian sederhana dan seadanya, tetap saja tidak dilewatkan dengan sia-sia oleh Tok-sim Nio-cu. Ia memilih seorang pekerja yang cukup tampan dan berkulit bersih, dan dibawanya pemuda itu ke balik sebuah batu besar di mana ia mendirikan sebuah tenda kecil, bertilamkan rumput kering yang dikumpulkannya.
Pemuda dusun itu ternyata tidak kelihatan bodoh seperti yang lain, dan dengan gembira dia melayani wanita cantik yang penuh gairah itu. Akan tetapi, menghadapi seorang wanita selihai Tok-sim Nio-cu, sebentar saja pemuda itu jatuh ke dalam rayuannya dan menjadi lunak seperti lilin, menurut apa saja yang dikehendaki Tok-sim Nio-cu dan menjadi permainannya.
Pemuda yang kurang pengalaman itu merasa yakin bahwa wanita itu benar-benar mencintanya, maka diapun tidak lagi dapat menyimpan rahasia! Apa lagi ketika dengan suara manja, Tok-sim Nio-cu menyatakan cintanya, bahwa ia tidak lagi dapat berpisah dari pemuda itu, bahwa ia akan suka men jadi isterinya, pemuda itu mabok kepayang!
785
“Nio-cu, kekasihku, dengar baik-baik. Kalau engkau benar mencintaiku seperti aku cinta padamu, kita dapat menjadi suami isteri, bahkan kita dapat hidup bersama dalam keadaan yang kaya raya. Akan tetapi, engkau harus bersiap-siap dan begitu selesai pekerjaan ini, engkau harus lebih dulu melarikan diri dan bersembunyi......”
“Eh, apa maksudmu?” tanya Tok-sim Nio-cu sambil memperkuat rangkulannya.
“Kami akan merampas harta karun itu. Tentu akan terjadi pertempuran besar maka sebaiknya engkau menyingkir. Setelah nanti selesai dan aku mendapatkan bagianku, kita dapat menikah dan hidup senang!”
“Ih, apa sih yang kaumaksudkan? Ceritakan dulu yang jelas agar aku dapat mentaati pesanmu. Aku harus tahu keadaannya agar tidak kebingungan......”
Dengan pandainya Tok-sim Nio-cu mempergunakan kepandaiannya untuk membelai dan merayu sehingga pemuda itu makin menjadi lupa daratan! Maka, diceritakanlah semua rencana yang diatur oleh Po-yang Sam-liong dan Yang-ce Ngo-kwi.
Dia mengaku bahwa dia bersama duapuluh empat orang anggauta atau anak buah Yang-ce Ngo-kwi menyelundup bersama para pekerja dari dusun, dan betapa Yang-ce Ngo-kwi dengan banyak anak buahnya juga sudah siap dan mengepung tempat itu. Kalau sudah tiba saatnya, mereka semua akan bangkit dan menyerang rombongan Siauw-bin Ciu-kwi, dan merampas harta karun.
Mendengar cerita ini, tentu saja Tok-sim Nio-cu terkejut setengah mati. Akan tetapi, ia tidak memperlihatkan kekagetannya. Menurutkan
786
hatinya, ingin sekali pukul ia membunuh pemuda pengkhianat ini. Akan tetapi ia terlampau cerdik untuk melakukan hal itu.
Bahkan ia memperhebat permainan cintanya yang membuat pemuda itu semakin mabok dan keluarlah semua rahasia dari mulutnya, betapa Po-yang Sam-liong yang hendak berkhianat itu yang menghubungi Yang-ce Ngo-kwi. Dengan cerdiknya Tok-sim Nio-cu bersumpah bahwa ia mencinta pemuda itu, dan memesan agar jangan sampai “rahasia” mereka yang akan menikah itu diketahui orang lain.
“Aku akan menanti sampai tiba saat itu. Kalau sekutumu sudah berhasil merampas harta karun dan terjadi pertempuran, aku akan lari menyembunyikan diri, menanti sampai engkau keluar sebagai pemenang, lalu kita kawin dan hidup berbahagia,” katanya pada keesokan harinya ketika pagi-pagi ia melepas pemuda itu meninggalkan tendanya.
Tentu saja Tok-sim Nio-cu cepat pergi menemui Siauw-bin Ciu-kwi di dalam tendanya.
Sepagi itu Siauw-bin Ciu-kwi sudah minum arak sampai mukanya menjadi merah sekali. Hal ini menunjukkan bahwa hatinya gembira bukan main. Dia telah membayangkan hasil pembongkaran guha itu, membayangkan harta karun yang dijanjikan oleh peta itu.
Harta karun yang menjadi simpanan Raja Cin-si Huang Ti, raja dari Dinasti Cin, delapanratus tahun lebih yang lalu! Dia membayangkan bahwa dia akan menjadi seorang yang memiliki kekayaan berlimpah dan dengan kekayaan itu dia akan mampu membeli kedudukan raja muda sekalipun!
787
Ketika Tok-sim Nio-cu menceritakan rahasia yang dibocorkan oleh pemuda yang dijadikan teman tidurnya semalam, Siauw-bin Ciu-kwi terbelalak.
“Brakkk!” Guci arak itu dicengkeram dan hancur lebur!
“Jahanam busuk Po-yang Sam-liong!” bentaknya marah. “Kuhancurkan kepala mereka seperti guci ini......!”
“Beng-cu, sabarlah. Jangan menuruti hati yang marah. Kalau kaulakukan itu, tentu timbul pemberontakan sekarang. Hal itu memang tidak mengapa karena kita akan mampu membasmi mereka. Akan tetapi pekerjaanmu menjadi terbengkalai dan tertunda. Sebaiknya kita pura-pura tidak tahu dan membiarkan mereka bekerja sampai harta karun itu didapatkan, baru kita mendahului mereka turun tangan.”
Siauw-bin Cu-kwi memandang kepada wanita itu dengan sinar mata mencorong, lalu tiba-tiba dia tertawa. Lengannya dijulurkan dan biarpun Tok-sim Nio-cu duduk agak jauh, namun lengan kanannya itu dapat mulur dan tahu-tahu tangan itu telah memegang lengan Tok-sim Nio-cu dan sekali tarik, tubuh wanita itu telah terjatuh ke atas pangkuannya. Diam-diam Tok-sim Nio-cu terkejut dan kagum. Bukan main beng-cu ini, memiliki ilmu yang amat tinggi.
“Engkau memang manis dan pantas menjadi pembantu utamaku, engkau pandai dan cerdik!” kata Siauw-bin Ciu-kwi sambil mencium pipi Tok-sim Nio-cu yang tertawa genit.
“Ih, Beng-cu. Apakah engkau telah minum terlalu banyak?” katanya dengan manja.
788
Akan tetapi kedua lengan beng-cu itu memeluknya dengan sikap menyayang. “Engkau memang manis, dan kegilaanmu terhadap laki-laki sekali ini ada gunanya. Untung engkau dapat membongkar rahasia itu, Nio-cu. Dan usulmu tadi memang baik sekali. Kita pergunakan mereka, pura-pura tidak tahu, dan pada saat terakhir, aku akan membasmi mereka! Ya, aku tahu bagaimana aku akan membasmi mereka, mengubur mereka hidup-hidup!” Dia tertawa bergelak dan kembali menciumi Tok-sim Nio-cu untuk memperlihatkan kegirangan dan terima kasihnya.
Pekerjaan menggali batu-batu itu dilanjutkan dan ternyata guha itu dalam sekali, merupakan terowongan yang makin ke dalam menjadi semakin lebar! Sehari itu mereka bekerja keras, namun masih tetap saja belum sampai di bagian terakhir, dan masih ada saja sisa batu-batu besar yang harus dikeluarkan dari dalam guha itu. Baru pada hari ketiga, batu-batu habis dikeluarkan dan Siauw-bin Ciu-kwi sendiri memasuki guha itu, diikuti semua pembantunya termasuk Po-yang Sam-liong.
Sesuai dengan petunjuk dalam peta, beng-cu itu memeriksa keadaan bagian guha yang paling dalam. Dia lalu memerintahkan agar semua pekerja menanti di luar guha dan dia hanya bersama para pembantunya.
Diam-diam Pek-liong memperhatikan para pekerja selama tiga hari itu dan diapun akhirnya atas bantuan Liong-li yang memberi isyarat, tahu bahwa pemuda muka totol-totol hitam hitam buruk itulah Liong-li! Hatinya menjadi besar, apa lagi ketika Liong-li, dengan isyarat, memberitahu bahwa pedang mereka disembunyikan di bawah tumpukan batu di dasar guha, sebelah kiri, dia merasa tenang.
789
Siauw-bin Ciu-kwi yang berdiri di tengah ruangan terakhir itu, lalu melangkah ke kiri dan menghitung langkahnya. Kemudian, dia berhenti dan berjongkok, meraba-raba dengan jari tangannya.
“Po-yang Sam-liong, kalian ambil linggis itu dan coba kalian bertiga gali lantai ini!” Tiba-tiba dia berkata kepada tiga orang pembantunya itu. Seperti para pembantu yang lain, pada saat itu hati tiga orang ini merasa tegang dan mendengar perintah itu, dengan senang hati mereka segera mengambil linggis dan mulai menggali lantai yang berbatu-batu.
Begitu linggis menggempur batu, semua orang sudah memandang dengan hati tegang karena jelas terdengar bahwa lantai itu bawahnya ada ruangannya. Batu yang terpukul linggis itu berbunyi nyaring. Penggalian dilanjutkan dan tak lama kemudian, setelah beberapa buah batu dibongkar, nanpaklah sebuah peti hitam! Semua orang mengeluarkan seruan girang, dan kini semua orang membantu pembongkaran batu.
Ternyata di bawah batu terdapat lubang yang cukup lebar dan di situ terdapat sebuah peti hitam yang besarnya ada satu meter persegi. Peti hitam segera diangkat naik, dan Siauw-bin Ciu-kwi menggunakan linggis untuk mencokel penutup peti yang berkarat. Terdengar bunyi berkeratak dan tutup itupun terbuka. Kembali semua orang mengeluarkan seruan kagum.
Begitu tutup dibuka, semua mata seperti menjadi silau oleh barang-barang yang berada di dalam peti itu. Emas permata yang amat indah, berkilauan dan batu-batu permata itu seperti hidup berkedip-kedip. Akan tetapi Siauw-bin Ciu-kwi segera menutupkan peti itu.
790
“Harap kalian tenang. Peti ini baru yang kecil. Ada sebuah lagi yang lebih besar dan isinya lebih banyak menurut petunjuk peta. Tempatnya di balik dinding sebelah kanan. Dinding itu harus dibongkar. Menurut petunjuk peta, batu-batu dinding yang harus dibongkar setebal dua meter. Harus mengerahkan tenaga mereka yang di luar. Po-yang Sam-liong, kalian kuserahi tugas untuk memimpin para pekerja membongkar dinding itu sampat peti besar itu terdapat. Aku menanti di luar.” Berkata demikian, Siauw-bin Ciu-kwi memberi isyarat kepada para pembantu lainnya untuk mengangkat peti hitam itu keluar.
Lim-kwi Sai-kong yang bertenaga besar lalu mengangkat peti hitam itu, dinaikkan ke atas pundaknya dan diapun melangkah keluar diikuti oleh Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantunya. Juga Po-yang Sam-liong melangkah keluar paling akhir dan mereka sempat saling berbisik bahwa sebaiknya mereka menanti sampai “peti besar” itu dapat dikeluarkan, baru mereka akan turun tangan dan memberi isyarat kepada Yang-ce Ngo-kwi yang bersembunyi di luar bersama anak buah mereka.
Setelah Lim-kwi Sai-kong tiba di luar guha, para pekerja yang sejak tadi menanti dengan hati tegang, bersorak sorai penuh kegembiraan melihat peti hitam yang dipanggul keluar itu. Tentu saja mereka bersorak gembira karena pekerjaan mereka berhasil baik dan mereka tinggal menanti upah dan hadiah. Akan tetapi, Po-yang Sam-liong melangkah maju dan mereka mengangkat tangan menyuruh para pekerja tenang, kemudian terdengar suara Poa Seng. Dia sengaja berteriak lantang karena dia bermaksud agar suaranya dapat pula didengar oleh Yang-ce Ngo-kwi.
791
“Saudara sekalian, dengar baik-baik! Pekerjaan kita belum selesai! Memang sudah ditemukan sebuah peti, akan tetapi itu hanya peti kecil, dan masih harus ditemukan lagi sebuah peti yang jauh lebih besar. Untuk itu, kita harus membongkar dinding guha yang dua meter tebalnya. Oleh karena itu, marilah kita masuk kembali ke dalam guha dan kita kerahkan tenaga untuk membongkar dinding itu agar pada hari ini juga kita akan dapat menemukan peti besar itu. Setelah ditemukan peti besar itu, barulah pekerjaan selesai dan saudara sekalian akan diberi upah dan hadiah secukupnya!”
Mendengar teriakan ini, semua pekerja bersorak gembira dan merekapun berbondong- bondong mengikuti Po-yang Sam-liong memasuki guha. Diam-diam Pek-liong memperhatikan dan dia tidak melihat pemuda bermuka totol-totol hitam. Hemm, Liong-li tidak ikut masuk, pikirnya. Tentu ada alasannya yang kuat dan dia semakin waspada.
“Jaga peti ini baik-baik,” kata Siauw-bin Ciu-kwi kepada lima orang pembantunya.
Lima orang itu merasa heran karena seolah-olah beng-cu itu mengkhawatirkan peti harta karun itu, akan tetapi mereka tidak bertanya dan dengan senjata siap di tangan, mereka berlima mendekati peti hitam. Pek-liong juga berdiri dekat peti sambil memegang sebatang pedang yang dia dapat dari beng-cu. Pedang yang cukup baik walaupun bukan senjata pusaka ampuh seperti Pek-liong-kiam.
Setelah melihat lima orang pembantunya itu berdiri mengelilingi peti harta karun, Siauw-bin Ciu-kwi lalu memasuki mulut guha. Di depan guha, dia mengangkat sebuah batu yang besar sekali, sebesar perut
792
kerbau. Batu itu tentu berat bukan main, namun dengan tenaganya yang hebat datuk sesat itu mengangkat batu itu ke atas kepalanya, kemudian melemparkan batu ke arah batu seukuran orang yang berdiri menyangga langit-langit guha di mulut guha sebelah dalam.
“Darrrr......!” Batu seukuran manusia itu pecah berantakan ketika dihantam batu besar yang dilontarkan Siauw-bin Ciu-kwi dan ledakan nyaring itu diikuti suara gemuruh. Kiranya langit-langit yang tadi disangga oleh batu seukuran manusia itu runtuh dan batu-batu besar jatuh dari atas, kemudian menggelinding masuk ke terowongan guha karena memang terowongan itu menurun.
Ratusan batu besar menggelundung masuk dan segera suara gemuruh itu diikuti suara teriakan-teriakan mengerikan dari mereka yang berada di sebelah dalam terowongan guha karena mereka itu tiba-tiba diserang oleh ratusan batu-batu besar yang menggelinding dari luar!
Tok-sim Nio-cu tersenyum dan diam-diam ia kagum bukan main. Kiranya itu yang dimaksudkan beng-cu untuk membasmi Po-yang Sam-liong dan anak buahnya yang hendak berkhianat! Mereka itu dikubur hidup-hidup dalam himpitan batu-batu besar! Dan iapun tahu bahwa pemberitahuan tentang peti besar tadi hanya suatu siasat belaka agar memancing Po-yang Sam-liong dan semua pekerja ke dalam terowongan untuk dikubur hidup-hidup!
Pek-liong terkejut sekali melihat peristiwa itu. Dia belum dapat menduga akan adanya pengkhianatan yang dilakukan Po-yang Sam-liong, maka tentu saja dia merasa heran. Mengapa beng-cu melakukan itu? Tidak mungkin karena merasa sayang atau karena kikir membayar
793
limapuluh orang itu. Apa lagi di dalam terdapat pula Po-yang Sam-liong, tiga orang pembantunya.
Apakah beng-cu sengaja membunuh mereka dan akan membunuh semua pembantunya untuk dapat memiliki sendiri harta karun dalam peti itu? Harta karun itu amat besar jumlahnya, tak mungkin dapat dinilai berapa besarnya. Apakah harta karun itu membuat beng-cu menjadi tamak?
Para pembantu lainnya juga merasa terheran-heran, kecuali Tok-sim Nio-cu, Siauw-bin Ciu-kwi tertawa bergelak lalu berkata, “Ha-ha-ha, kalian ketahuilah bahwa Po-yang Sam-liong berkhianat dan bersama anak buah yang diselundupkan di antara para pekerja, mereka hendak merampas harta karun ini, Ha-ha-ha, mereka terbasmi habis di dalam guha yang sudah kosong ini!”
Pada saat itu, terdengar sorak-sorai dan puluhan orang dari berbagai penjuru datang berlari-lari ke tempat itu dengan sikap mengancam, dan dengan senjata di tangan. Mereka itu adalah Yang-ce Ngo-kwi dan kurang lebih limapuluh orang anak buah pilihan mereka.
Mereka tadi masih menanti tanda dari Po-yang Sam-liong. Ketika mendengar suara gemuruh dan tahu bahwa Po-yang Sam-liong dan anak buah mereka itu terjebak di dalam terowongan guha, Yang-ce Ngo-kwi yang sejak tadi sudah berliur melihat peti hitam itu, segera mengajak anak buah mereka menyerbu!
“Nah, itu sekutu Po-yang Sam-liong datang menyerbu. Mereka adalah Yang-ce Ngo-kwi dan anak buah mereka!” kata Tok-sim Nio-cu.
794
“Hemm, kalian semua basmi mereka. Aku akan menjaga peti ini. Habiskan anjing-anjing itu!” bentak Siauw-bin Ciu-kwi dan dia sendiri duduk di atas peti dengan sikap tenang.
Pek-liong, Tok-sim Nio-cu, Lim-kwi Sai-kong, Pek I Kongcu, dan Hek-giam-ong dengan senjata di tangan lalu menyambut para penyerbu. Lima orang Yang-ce Ngo-kwi memecah pasukan menjadi lima bagian dan masing-masing memimpin sepuluh orang mengeroyok seorang pembantu Siauw-bin Ciu-kwi. Terjadilah pertempuran yang mati-matian.
Pek-liong diserang oleh Coa Kun, orang pertama dari Yang-ce Ngo-kwi yang dibantu sepuluh orang anak buahnya. Coa Kun yang tinggi kurus itu memegang sebatang golok yang lebar dan tipis, gerakan goloknya cepat bukan main sehingga yang nampak hanya sinar putih bergulung-gulung ketika Pek-liong menggunakan kegesitan tubuhnya untuk mengelak dengan berloncatan.
Namun, gulungan sinar golok itu mengejar terus dan terdengar suara berdesing-desing. Dan pada saat itu, sepuluh orang anak buah Coa Kun juga sudah mengeroyok bagaikan serombongan semut, mempergunakan senjata mereka yang bermacam-macam dan ternyata mereka itupun semua memiliki ilmu silat yang lumayan.
Pek-liong menjadi agak ragu karena dia tidak mengenal siapa mereka dan apa sebenarnya maksud mereka menyerang Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantunya. Dia sendiri hanya merupakan pembantu pura-pura saja dari beng-cu itu, bukan seorang yang benar-benar membelanya, bahkan dia siap menentang Siauw-bin Ciu-kwi, seorang datuk besar kaum sesat, seorang di antara Kiu Lo-mo yang terkenal
795
amat jahat. Maka, menghadapi pengeroyokan sebelas orang itu, dia lebih banyak mengelak dan menangkis, dan belum pernah membalas. Oleh karena itu, maka dia nampak terdesak oleh pengeroyokan mereka.
Pada saat itu, nampak bayangan orang berkelebat dan pemuda yang mukanya totol-totol telah menerjang memasuki medan pertempuran, dan begitu ia melompat masuk, dua kali tubuhnya bergerak dan dua orang pengeroyok Pek-liong roboh terpelanting. Orang itu bukan lain adalah Hek-liong-li dan ia segera melemparkan sebatang pedang kepada Pek-liong sambil berkata cepat.
“Mereka ini Yang-ce Ngo-kwi dan anak buah mereka yang membantu pengkhianatan Po-yang Sam-liong. Kita basmi mereka dulu, baru nanti menghadapi beng-cu dan kaki tangannya!”
Ucapan ini cukup bagi Pek-liong untuk mengusir keraguan hatinya. Kini dia tahu bahwa apa yang dikatakan Beng-cu tadi memang benar. Po-yang Sam-liong rupanya mempergunakan kesempatan ketika mengumpulkan pekerja itu, untuk mengadakan persekutuan dengan Yang-ce Ngo-kwi untuk melakukan pengkhianatan dan mencoba untuk merampas harta karun!
Kalau Liong-li sampai dapat mengetahui rahasia mereka, sudah tentu Beng-cu, dengan satu dan lain cara, dapat pula mengetahui rahasia itu maka Beng-cu telah menghadapi pemberontakan itu dengan caranya yang amat kejam, yaitu membasmi anak buah itu bersama Po-yang Sam-liong di dalam guha!
Setelah kini merasa yakin bahwa yang dihadapinya adalah para penjahat yang mencoba untuk merampas harta karun, Pek-liong yang
796
kini sudah memegang pedangnya sendiri, lalu memutar pedangnya dengan cepat. Nampak di situ kini dua sinar yang bergulung-gulung dahsyat, sinar putih dan sinar hitam dari pedang pusaka Pek-liong-kiam di tangan Pek-liong dan pedang pusaka Hek-liong-kiam di tangan Liong-li!
Dan dalam waktu beberapa menit saja, Coa Kun yang sedang menyerang Pek-liong dengan sabetan goloknya, telah roboh ketika Pek-liong menangkis dengan Pek-liong-kiam. Golok itu patah menjadi dua dan sinar Pek-liong-kiam masih terus menyambar ke depan setelah menangkis.
Coa Kun yang terkejut melihat goloknya patah, tidak sempat lagi mengelak dan pedang Pek-liong-kiam hampir saja membabat lehernya menjadi buntung. Dia roboh dengan luka hebat di lehernya, dan tewas tak lama kemudian. Sepuluh orang anak buahnya juga roboh malang melintang diamuk oleh pemuda yang mukanya totol-totol hitam dan Pek-liong.
Setelah semua pengeroyoknya roboh, Pek-liong dan Liong-li lalu mengamuk, membantu para pembantu Siauw-bin Ciu-kwi yang lain. Para pembantu itu sebetulnya tanpa dibantu oleh Pek-liong dan Liong-li sekalipun tidak akan kalah menghadapi pengeroyokan seorang di antara Yang-ce Ngo-kwi dan sepuluh orang anak buahnya.
Para pembantu itu rata-rata memiliki kepandaian yang tinggi, lebih tinggi dari pada kepandaian Yang-ce Ngo-kwi. Maka, begitu Pek-liong dan Liong-li membantu, sebentar saja kelima orang Yang-ce Ngo-kwi roboh tewas dan limapuluh orang anak buah mereka itu,
797
sebagian besar roboh tewas atau terluka sedangkan sisanya melarikan diri cerai berai ketakutan!
Melihat betapa semua musuh sudah roboh atau melarikan diri, Siauw-bin Ciu-kwi tertawa bergelak dengan gembira. Diapun melihat sepak terjang pemuda muka totol- totol itu yang membantu anak buahnya, maka diapun berkata kepada mereka.
“Bagus sekali! Mari kita cepat menyingkir dari sini karena tentu akan menarik perhatian banyak orang. Kita pergi dengan perahu agar lebih cepat dan engkaupun ikutlah, orang muda. Engkau telah membantu kami dan aku akan memberimu hadiah secukupnya!”
Akan tetapi, sebelum ada yang menjawab, tiba-tiba pemuda yang mukanya totol-totol dan yang di punggungnya tergantung sebatang pedang itu telah meloncat ke depan Siauw-bin Ciu-kwi dan terdengar bentakannya nyaring.
“Siauw-bin Ciu-kwi, sudah terlalu lama aku menanti saat ini. Serahkan harta karun itu kepadaku!”
Tentu saja semua orang menjadi kaget dan memandang pemuda itu dengan penuh perhatian. Demikian hebat penyamaran Liong-li sehingga tidak ada petunjuk sedikitpun bahwa pemuda itu adalah Liong-li. Bahkan suaranya pun berbeda! Kalau para pembantu Beng-cu, kecuali Pek-liong, memandang heran. Siauw-bin Ciu-kwi sendiri mengerutkan alisnya dan dia membentak marah.
“Eh, bocah buruk, sudah gilakah engkau? Siapakah engkau berani berkata demikian kepadaku?”
798
Pemuda itu menggunakan tangan kiri untuk mengusap mukanya. Semacam kulit tipis sekali terkelupas dan begitu tangannya turun, maka kini nampaklah wajah yang amat elok, dengan kulit muka halus, putih kemerahan, dan ketika ia tersenyum, nampak dua lekuk lesung pipit di kanan kiri mulutnya.
“Hek-liong-li......!” Siauw-bin Ciu-kwi berseru kaget bukan main, juga para pembantunya terkejut karena mereka semua telah melihat betapa Liong-li terkena sambitan pedang dan terjatuh ke dalam air telaga, tidak nampak muncul kembali.
Tiba-tiba Pek-liong bergerak meloncat ke dekat Liong-li dan diapun tersenyum. “Siauw-bin Ciu-kwi, sudah terlalu lama kami menanti dan terlalu banyak kami berkorban. Serahkan harta karun itu kepada kami, baru kami akan mempertimbangkan apakah engkau dapat diperbolehkan hidup atau tidak!”
Kemarahan Siauw-bin Ciu-kwi memuncak. Baru sekarang dia tahu bahwa semua sikap Pek-liong selama ini adalah suatu permainan sandiwara saja! Dan kedua orang musuh besar ini, yang sudah membunuh seorang rekannya yaitu Hek-sim Lo-mo, ternyata menunggu sampai dia mendapatkan harta karun, baru turun tangan hendak membunuhnya dan merampas harta karun!
“Keparat!” dia memaki. “Kaukira kami tidak berani melawan kalian? Tok-sim Nio-cu, Lim-kwi Sai-kong, Pek I Kongcu, dan Hek-giam-ong, sekaranglah saatnya untuk melihat apakah kalian ini benar-benar setia kepadaku atau tidak, apakah kalian pantas menerima masing-masing sepersepuluh bagian harta karun ini atau tidak, dan untuk melihat apakah kalian berempat memiliki kegagahan untuk
799
membunuh dua orang muda yang sombong ini. Kepung dan bunuh mereka!”
Empat orang pembantu utama Siauw-bin Ciu-kwi itu mengepung Pek-liong dan Liong-li yang sambil tersenyum tenang berdiri saling membelakangi. Mereka berdua nampak tenang sekali, namun seluruh urat syaraf dan otot dalam tubuh mereka tegang dan siap siaga karena mereka maklum bahwa mereka menghadapi orang-orang yang lihai. Pedang pusaka masing-masing masih tergantung di punggung, belum mereka cabut.
Empat orang pembantu utama itupun merasa tegang. Mereka sudah merasakan kelihaian Pek-liong, dan mereka sudah mendengar bahwa ilmu kepandaian Hek-liong-li juga amat tinggi, tidak kalah oleh Pek-liong. Namun, mereka tidak merasa gentar karena mereka akan maju berempat, bahkan di situ masih ada Siauw-bin Ciu-kwi yang mereka percaya akan mampu menandingi dua orang muda yang perkasa itu.
“Singgg...... Wuuuttt.....!” Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si sudah mencabut pedang dan kipasnya yang tadi sudah disimpannya.
Wanita cantik berusia tigapuluh tahun lebih yang tubuhnya masih padat dan dengan lekuk lengkung menggairahkan ini memasang kuda-kuda, tangan kanan yang memegang pedang diangkat di atas kepala, pedangnya melintang ke kiri, tangan kiri yang memegang kipas berada di depan dada dengan kipasnya berkembang, kedua kaki ditekuk lututnya dan pinggulnya yang besar bulat itu menonjol ke belakang. Matanya yang jeli dan penuh daya pikat itu kini nampak berkilat penuh kemarahan dan mulutnya yang biasanya membayangkan nafsu penuh kegenitan yang menantang itu kini merapat dan mengeras.
800
Dalam keadaan seperti itu, Tok-sim Nio-cu berbahaya sekali. Ia marah dan sakit hati, bukan saja karena melihat Pek-liong berkhianat dan hendak merampas harta karun, akan tetapi iapun teringat bahwa cintanya ditolak Pek-liong, hal yang amat menyakitkan hati karena belum pernah ada pria menolak rayuan mautnya. Rasa suka dan cintanya kepada Pek-liong kini berubah menjadi kebencian besar dan hanya kematian Pek-liong di ujung pedang dan kipasnya sajalah yang akan memuaskan hatinya pada saat itu!
Lim-kwi Sai-kong juga merasa penasaran. Kakek tinggi besar seperti raksasa yang bermuka singa ini memandang dengan mata melotot lebar dan wajahnya yang ditumbuhi cambang bauk sehingga mirip muka singa itu membayangkan kemarahan yang buas. Tadipun dia mengamuk seperti seekor singa buas dan sepasang senjatanya masih berada di kedua tangannya. Sebatang golok besar yang masih berlepotan darah di tangan kanan dan sebatang rantai baja di tangan kiri.
Baju yang berlengan pendek berwarna hitam itu memperlihatkan dua buah lengan yang memiliki otot yang besar dan melingkar-lingkar, menunjukkan bahwa kakek ini memiliki tenaga yang amat kuat. Dan memang demikianlah, Lim-kwi Sai-kong terkenal sebagai seorang yang memiliki tenaga otot yang amat besar, dan juga memiliki ilmu mengaum seperti singa yang mengandung getaran dahsyat dapat melumpuhkan lawan, ilmu yang disebut Sai-cu Ho-kang (Tenaga Auman Singa), di samping pandai memainkan golok dan rantai yang merupakan kombinasi senjata yang amat berbahaya bagi lawan.
Pembantu ketiga adalah Pek I Kongcu Ciong Koan, pria berusia tigapuluh lima tahun yang tampan dan pesolek itu. Pakaiannya serba
801
putih namun terbuat dari sutera halus dan mahal, dengan hiasan renda berkembang di tepinya. Sebatang pedang telah berada di tangan kanannya.
Sikapnya tenang dan dia bahkan tersenyum-senyum, namun pandang matanya berkilat, tanda bahwa dia juga marah. Bekas murid Kun-lun-pai yang menyeleweng ini dan yang terkenal sebagai seorang penjahat cabul, sudah siap pula untuk merobohkan dan membunuh Pek-liong dan Hek-liong-li dan dia percaya bahwa dengan bekerja sama, mereka berempat akan mampu mengalahkan dua orang muda yang hendak merampas harta karun itu. Apa lagi di situ terdapat Beng-cu yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.
Orang keempat yang menjadi pembantu Siauw-bin Ciu-kwi juga telah siap siaga. Dia adalah Hek-giam-ong Lok Hun. Pria berusia empatpuluh lima yang bertubuh tinggi kurus dengan kulit muka dan lengan tangan menghitam ini memiliki wajah yang mengerikan. Wajah yang seperti topeng. Bukan hanya karena kulitnya hitam, akan tetapi wajah itu seperti wajah mati, dingin dan membayangkan kekejaman luar biasa.
Memang Hek-giam-ong ini sesuai dengan julukannya, adalah seorang algojo yang selalu menerima tugas untuk menyiksa atau membunuh orang sesuai dengan perintah Siauw-bin Ciu-kwi. Hek-giam-ong Lok Hun sudah mengamang-amangkan senjatanya yang dahsyat, yaitu sebatang ruyung besar yang berat.
Melihat betapa empat orang itu telah mengepung mereka, Pek-liong dan Liong-li juga bersiap. Mereka berdiri saling membelakangi, posisi
802
yang terbaik untuk menghadapi pengeroyokan sehingga tidak akan ada lawan yang dapat membokong dari belakang.
Dengan kedudukan seperti itu, mereka dapat saling melindungi. Apa lagi di antara kedua orang jagoan ini memang sudah terdapat saling pengertian yang luar biasa, seolah-olah ada kontak batin yang demikian kuatnya sehingga mereka seperti dapat membaca pikiran masing-masing dan dapat saling menduga dengan tepat segala gerakan mereka. Memang terdapat hubungan yang amat erat di antara kedua orang ini, maka, begitu mereka berdiri saling membelakangi, mereka demikian tenang dan saling percaya, seolah-olah mereka merupakan dua badan satu hati dan satu pikiran.
Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si bersama Pek I Kongcu Ciong Koan menghadapi Pek-liong, sedangkan Lim-kwi Sai-kong dan Hek-giam-ong Lok Hun menghadapi Hek-liong-li.
Dua orang pendekar itu telah siap siaga dan mereka sudah mencabut pedang mereka. Pek-liong-eng Tan Cin Hay nampak tenang sekali, dengan wajahnya yang tampan, tubuh sedang, pakaian serba putih. Wajahnya nampak jantan dengan dagunya yang berlekuk di tengah-tengah dan di tangan kanannya nampak sebatang pedang yang bersinar putih seperti perak.
Adapun Hek-liong-li Lie Kim Cu, dengan wajahnya yang bulat telur, dagu meruncing manis, mulutnya yang kecil itu berbibir merah basah dengan lesung pipi yang menambah kejelitaannya, tahi lalat kecil di bawah mata kiri juga menjadi pemanis. Ia tenang dan tersenyum manis. Rambutnya digelung ke atas dan dihias tusuk konde perak berbentuk naga kecil di atas setangkai bunga teratai. Seperti Pek-
803
liong, ia juga sudah siap dengan pedang pusaka Hek-liong-kiam di tangan kanan.
Tok-sim Nio-cu yang memimpin pengeroyokan itu mengeluarkan teriakan melengking nyaring sebagai tanda dimulainya penyerangan, dan suara yang melengking ini segera disusul suara mengaum yang menggetarkan jantung keluar dari mulut Lim-kwi Sai-kong! Kalau, orang lain yang menghadapi lengkingan suara Tok-sim Nio-cu dan auman suara Lim-kwi Sai-kong, tentu akan merasakan jantung mereka terguncang hebat yang dapat membuat semangat melayang atau mendatangkan perasaan takut dan gentar.
Lengkingan dan auman itu sudah merupakan serangan yang mempergunakan tenaga khi-kang amat kuat. Namun, Pek-liong dan Liong-li menghadapi suara itu sambil tersenyum saja. Diam-diam mereka telah mengerahkan tenaga sakti untuk melindungi diri mereka sehingga suara itu lewat tanpa bekas dan tidak mempengaruhi mereka sama sekali.
“Haiiittt......!!” Tiba-tiba Tok-sim Nio-cu sudah menggerakkan pedang dan kipasnya, pedangnya menusuk ke arah dada sedangkan kipasnya dikebutkan ke arah muka Pek-liong.
Pemuda ini dengan tenangnya mengelak ke kanan dan dia disambut bacokan pedang di tangan Pek I Kongcu. Bacokan pedang amat cepat datangnya, menyambar bagaikan kilat saja! Pek-liong menggerakkan Pek-liong-kiam menyambut. Akan tetapi, agaknya Pek I Kongcu sudah pernah mendengar akan keampuhan Pek-liong-kiam, maka sebelum pedangnya tertangkis, dia sudah menahan bacokannya, dan mengubah pedangnya yang kini menusuk perut!
804
Sungguh cepat dan tidak terduga sama sekali gerakan pemuda bekas murid Kun-lun-pai ini, maka Pek-liong cepat meloncat kembali ke kiri. Mulailah pertandingan yang amat seru antara Pek-liong yang dikeroyok dua orang lawan tangguh itu.
SEMENTARA ITU, setelah tadi mengeluarkan suara auman dahsyat yang tidak mempengaruhi lawannya, Lim-kwi Sai-kong juga sudah menyerang Liong-li dengan golok besar dan rantai bajanya. Dua senjata yang besar dan berat itu menyambar dan mengeluarkan angin saking cepat dan kuatnya.
Namun, hanya dengan beberapa langkah kaki saja Liong-li telah dapat menghindarkan dirinya. Wanita cantik ini mempergunakan langkah ajaib Liu-seng-pouw untuk menghindarkan serangan golok yang dikombinasikan dengan rantai itu. Akan tetapi, ruyung di tangan Hek-giam-ong sudah menyambar pula dengan amat dahsyat dan ganasnya. Kembali Liong-li mengelak dengan langkah ajaibnya. Ketika gook besar di tangan Lim-kwi Sai-kong menyambar lagi ke arah lehernya, ia memapaki dengan Hek-liong-kiam sambil mengerahkan.
Lim-kwi Sai-kong tidak seperti Pek I Kongcu yang cerdik. Biarpun raksasa ini sudah pula mendengar bahwa Liong-li amat lihai dengan pedang pusakanya yang ampuh, namun dia terlalu percaya kepada diri sendiri, dan dengan pengerahan tenaga sekuatnya, dia membiarkan goloknya ditangkis, yakin bahwa kalau senjata itu bertemu, tentu pedang gadis itu akan terlepas dari pegangannya. Tak mungkin seorang gadis muda sanggup menahan kekuatan dahsyat yang mendorong goloknya.
805
“Trakkk......!!” Lim-kwi Sai-kong mengeluarkan gerengan keras ketika melihat, bahwa pedang wanita itu sama sekali tidak terpental, bahkan yang terpental adalah ujung goloknya yang menjadi patah begitu bertemu dengan pedang hitam itu!
Masih untung bahwa yang bertemu pedang adalah bagian golok agak di ujung sehingga sisa goloknya masih cukup panjang untuk dapat dia pergunakan sebagai senjata dan dengan kemarahan meluap, akan tetapi juga agak gentar, dia menyerang lagi.
Hek-giam-ong Lok Hun membantunya dengan serangan ruyungnya yang besar dan hebat! Namun, Liong-li menghadapi mereka dengan sikap tenang. Langkah ajaib Liu-seng-pouw cukup tangguh untuk melindunginya. Dengan langkah-langkah itu, tubuhnya tak pernah tersentuh senjata lawan, dan sebaliknya, pedang hitamnya kini mulai mendesak lawan. Sinar pedang hitam yang bergulung-gulung mulai membuat kedua orang lawannya kewalahan karena mereka berdua kini gentar terhadap pedang pusaka yang luar biasa itu.
Sejak tadi Siauw-bin Ciu-kwi nonton perkelahian itu. Tadinya diapun merasa yakin bahwa empat orang pembantunya yang lihai akan mampu merobohkan Pek-liong dan Hek-liong-li. Akan tetapi segera dia melihat betapa empat orang pembantunya itu mulai terdesak dan mereka berempat jelas merasa gentar menghadapi pedang pusaka di tangan kedua orang muda itu. Diapun mulai khawatir.
Kalau dia terjun ke dalam pertempuran, peti harta karun yang tak ternilai harganya itu tidak ada yang menjaganya. Dia khawatir kehilangan harta karun itu, lebih mengkhawatirkan hilangnya harta karun itu dari pada hilangnya empat orang pembantunya. Maka, dia
806
mengambil keputusan untuk lebih dahulu menyingkirkan peti berisi harta karun itu.
“Kalian berempat tahan dulu dua orang muda sombong ini!” katanya lantang. “Setelah menyingkirkan peti ini, aku akan kembali dan aku sendiri yang akan membunuh mereka!”
Setelah berkata demikian, dengan cepat bagaikan terbang saja, Siauw-bin Ciu-kwi sudah lari meninggalkan bukit itu sambil memanggul peti harta karun.
Melihat betapa pemimpin mereka itu pergi membawa harta karun, empat orang tokoh sesat itu terkejut. Akan tetapi, karena mereka sedang didesak oleh Pek-liong dan Liong-li, empat orang itu tidak dapat mencegah beng-cu mereka meninggalkan mereka dan membawa pergi harta karun.
Mereka percaya kepada Siauw-bin Ciu-kwi, akan tetapi mereka bingung karena selagi mereka terdesak, ketua itu bahkan pergi hendak menyingkirkan dulu harta karun. Terpaksa mereka menggerakkan senjata dan melakukan perlawanan nekat, mengambil keputusan untuk bertahan terus sampai beng-cu itu kembali dan membantu mereka.
Sementara itu, Pek-liong dan Liong-li terkejut melihat kakek itu lari membawa peti harta karun. Peti itu terlalu berharga buat mereka, sudah banyak mereka berkorban dan menderita hanya untuk mendapatkan peti harta karun itu. Terutama sekali yang dirasakan berat bagi Pek-liong adalah mengingat bahwa Liong-li sudah mengorbankan pinggulnya terluka pedang untuk membiarkan Pek-liong dapat menyelundup sebagai pembantu Siauw-bin Ciu-kwi dan dapat ikut menemukan harta karun itu.
807
Tentu saja mereka berdua tidak mau kehilangan peti harta karun itu, maka keduanya segera mengeluarkan seluruh kepandaian dan tenaga. Terdengar Liong-li mengeluarkan suara melengking nyaring dibarengi bentakan Pek-liong yang dahsyat. Nampak dari gulungan sinar pedang putih dan hitam itu mencuat sinar berkilauan dan pedang Hek-liong-kiam sudah menerjang dahsyat ke arah Hek-giam-ong Lok Hun. Hek-giam-ong terkejut dan menangkis dengan ruyungnya.
“Tranggg......!” Ruyung itu patah dan sinar hitam masih meluncur terus ke arah leher iblis muka hitam itu. Lok Hun mencoba untuk melempar tubuh ke belakang, namun terlambat. Lehernya disambar ujung Hek-liong-kiam dan diapun mengeluarkan suara aneh, seperti seekor babi disembelih dan tubuhnya roboh terjengkang, lehernya hampir putus dan diapun tewas setelah berkelojotan.
Sementara itu, dalam waktu yang hampir bersamaan, sinar pedang Pek-liong-kiam menyambar dengan dahsyatnya ke arah Pek I Kongcu yang tentu saja merasa terkejut sekali. Tidak ada kesempatan lagi baginya untuk mengelak, maka dia menangkis dengan pedangnya sambil membuang diri ke belakang.
“Trakkk......!” Pedangnya patah bertemu dengan Pek-liong-kiam, akan tetapi tubuhnya terhindar dari sambaran Pek-liong-kiam.
Pada saat itu, Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si melihat kesempatan baik. Ia sudah menubruk maju dengan pedang menusuk lambung Pek-liong, dan kipasnya yang tertutup menotok ke arah jalan darah di pundak Pek-liong dengan gagangnya.
Melihat serangan maut ini, Pek-liong tidak dapat menyusulkan serangan mematikan kepada Pek I Kongcu yang sudah membuang diri
808
ke belakang, terpaksa dia membalik sambil memutar Pek-liong-kiam dengan kecepatan kilat.
“Trang...... trakkkk......!” Tok-sim Nio-cu mengeluarkan seruan kaget.
Tadi, melihat Pek-liong mendesak Pek I Kongcu, ia melihat kesempatan untuk menyerang dengan sepenuh tenaganya, maka ketika tiba-tiba Pek-liong membalik dan memutar pedang bersinar putih itu untuk menangkis, ia tidak sempat lagi mencegah bertemunya pedang dan kipasnya dengan pedang di tangan Pek-liong.
Dan akibatnya, kedua buah senjatanya itu patah! Ia marah sekali dan nekat menubruk maju dengan kedua tangan membentuk cengkeraman, sedangkan dari belakang, Pek I Kongcu juga siap menyerang dengan tangan kosong.
Pek-liong dapat mendengar gerakan Pek I Kongcu, maka dia memutar pedang ke belakang untuk menghalangi penjahat tampan cabul itu menyerangnya dan ketika Tok-sim Nio-cu menubruk, dia menggeser kakinya ke samping kanan, membalik dan tangan kirinya menampar dengan pengerahan tenaga sin-kang.
“Plakkk!” Tamparan itu tepat mengenai kepala Tok-sim Nio-cu bagian samping, di pelipisnya, dan wanita itu mengeluarkan suara keluhan lirih lalu tubuhnya terkulai roboh dan tidak bangkit kembali. Tamparan itu cukup hebat membuat isi kepalanya terguncang hebat dan iapun tewas seketika.
Robohnya Tok-sim Nio-cu ini hampir bersamaan waktunya dengan robohnya Hek-giam-ong. Ketika Pek-liong siap mengbadapi Pek I Kongcu, ternyata penjahat tampan berpakaian putih itu telah
809
melarikan diri bersama Lim-kwi Sai-kong yang juga lari cepat. Mereka lari menuju ke arah larinya Siauw-bin Ciu-kwi.
Pek-liong dan Liong-li saling pandang, kemudian mereka memandang ke bawah bukit. Nampak kedua orang lawan itu melarikan diri dan jauh di kaki bukit nampak bayangan Siauw-bin Ciu-kwi yang memanggul peti, menuju ke telaga.
“Hayo kejar mereka!” kata Liong-li sambil meloncat dengan kecepatan seperti terbang.
“Terutama Siauw-bin Ciu-kwi jangan sampai lolos!” kata pula Pek-liong dan diapun meloncat ke depan. Keduanya mempergunakan ilmu berlari cepat melakukan pengejaran.
Sementara itu, Siauw-bin Ciu-kwi berlari cepat menuruni bukit. Baginya yang terpenting adalah menyelamatkan harta karun itu lebih dahulu. Dia bukan takut kepada dua orang muda itu, melainkan khawatir kalau-kalau peti harta karun itu sampai terampas orang dari tangannya.
Dia lari ke pantai telaga dan menuju ke sebuah tepi yang sunyi di mana terdapat sebuah perahu yang memang sudah dipersiapkannya sebelumnya. Dibawanya peti harta karun itu ke perahu dan diturunkannya ke dalam perahu,
“Beng-cu, tunggu kami......!” tiba-tiba terdengar teriakan dan dia cepat membalik dan memandang. Dia melihat Lim-kwi Sai-kong dan Pek I Kongcu berlari cepat menuju ke tempat itu dan tak jauh di belakang mereka dia melihat Pek-liong dan Hek-liong-li!
810
Setelah kedua orang pembantu itu tiba di depannya, dia mengerutkan alisnya. “Di mana Tok-sim Nio-cu dan Hek-giam-ong?”
“Mereka...... mereka telah tewas......! Beng-cu, bantulah kami......” kata Lim-kwi Sai-kong.
“Hemm, kalian berempat tidak mampu membunuh dua orang muda sombong itu? Kalian hadapi Liong-li, aku yang akan membunuh Pek-liong lebih dahulu!” katanya dan dia sudah melepaskan sabuk sutera dari pinggangnya. Sabuk yang lemas itulah senjatanya!
“Beng-cu, pedangku rusak, aku tidak mempunyai senjata lagi,” kata Pek I Kongcu, agak gugup.
“Huh, engkau sungguh tak ada gunanya!” bentak Siauw-bin Ciu-kwi. “Pakailah pedang ini!” Dia melemparkan sebatang pedang yang berada di dalam perahu kepada pembantu itu dan Pek I Kongcu segera menangkap dan mencabut pedang itu dari sarungnya.
Sebatang pedang yang berkilauan dan dia girang sekali. Biarpun belum tentu pedang ini mampu menandingi pedang lawan, namun jelas yang dipegangnya adalah sebatang pedang yang baik, maka diapun berdiri di samping Lim-kwi Sai-kong, siap untuk mengeroyok Hek-liong-li. Sedangkan Siauw-bin Ciu-kwi juga melompat turun dari perahu, lalu berlari ke depan menyambut datangnya dua orang muda yang melakukan pengejaran itu.
Hal ini dia lakukan agar pertandingan tidak dilakukan terlalu dekat dengan perahu di mana dia menyimpan peti harta karun itu. Dua orang pembantunya yang kini berbesar hati karena di situ terdapat Siauw-bin Ciu-kwi, juga berlari ke depan mengikuti pimpinan mereka.
811
Ketika Pek-liong dan Hek-liong-li tiba di depan mereka bertiga, jarak antara tempat itu dengan perahu yang berada di tepi telaga ada duaratus meter sehingga kedua orang muda itu tidak tahu di mana peti harta karun ita disembunyikan oleh Siauw-bin Ciu-kwi.
“Siauw-bin Ciu-kwi, percuma saja engkau melarikan diri. Sebelum kauberikan harta karun itu kepada kami, sampai ke manapun engkau lari, kami akan menemukanmu!” kata Liong-li sambil tersenyum mengejek, sedangkan Pek-liong memandang ke sana- sini untuk menyelidiki di mana kiranya peti harta karun itu disembunyikan oleh kakek pendek gendut yang kepalanya botak gundul itu.
Siauw-bin Ciu-kwi yang mukanya kekanak-kanakan itu tersenyum mengejek, bahkan senyumnya makin lama berubah menjadi suara ketawa dan perutnya yang gendut itu terguncang-guncang, kepalanya yang botak gundul itu tergeleng-geleng.
“Ha-ha-ha, Pek-liong-eng dan Hek-liong-li, kalian ini bocah-bocah sombong telah datang mengantarkan nyawa. Bersiaplah kalian untuk mampus di tanganku!”
Setelah berkata demikian, tangannya bergerak dan nampak sinar merah mencuat dan meluncur ke arah Pek-liong. Pemuda ini cepat meloncat ke samping untuk mengelak.
Kiranya sinar merah itu adalah sehelai sabuk sutera merah yang tadinya tergulung di dalam tangan Siauw-bin Ciu-kwi dan begitu digerakkan tangan itu, sabuk itu meluncur bagaikan ular hidup menyambar-nyambar. Pek-liong maklum akan kelihaian lawan, maka diapun sudah mencabut Pek-liong-kiam dari punggungnya.
812
Lim-kwi Sai-kong dan Pek I Kongcu yang sudah dipesan oleh Siauw-bin Ciu-kwi, tanpa banyak cakap lagi lalu mengeroyok Hek-liong-li. Si raksasa muka singa itu sudah menggerakkan golok besar dan rantai bajanya, sedangkan Pek I Kongcu menggerakkan pedang pemberian Siauw-bin Ciu-kwi.
Mereka menyerang dengan hati-hati, akan tetapi juga dengan jurus-jurus maut. Mereka tidak mau mengadu senjata mereka dengan pedang Hek-liong-kiam, dan mereka mempergunakan kecepatan dan keuntungan karena mereka mengeroyok untuk mendesak Liong-li sambil berputar-putar mengitari gadis berpakaian hitam itu.
Pek-liong harus mengakui kelihaian lawan. Begitu serangan pertama sabuk sutera merah tadi dapat dia hindarkan dengan loncatan ke samping, sabuk itu bagaikan bermata saja sudah menyeleweng dan mengejar, kini tiba-tiba benda lemas itu berubah menjadi kaku seperti tongkat dan melakukan totokan bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah utama di bagian depan tubuhnya! Pek-liong mengelak sampai lima kali, dan dua kali totokan terakhir disambutnya dengan sabetan pedangnya sebagai tangkisan dan untuk mematahkan senjata yang sudah berubah kaku seperti tongkat itu.
Akan tetapi begitu pedangnya bertemu senjata merah itu, tongkat itu telah berubah lemas lagi seperti sutera kembali dan tentu saja pedang pusakanya tidak dapat merusak sabuk sutera itu. Bahkan yang terakhir kalinya, ujung sabuk sutera itu dengan lemasnya membelit pedangnya, seperti ekor ular. Belitan yang amat kuat dan sabuk itu ditarik oleh Siauw-bin Ciu-kwi mempergunakan tenaga sin-kang yang kuat sekali!
813
Pek-liong tentu saja tidak membiarkan pedangnya dirampas. Dia mempertahankan pedangnya sehingga terjadilah adu tenaga tarik menarik. Dan ternyata, dalam adu tenaga ini keduanya sama kuat!
Hal ini mengejutkan hati Siauw-bin Ciu-kwi. Di antara Kiu Lo-mo (Sembilan lblis Tua), dia termasuk seorang yang memiliki tenaga yang amat kuat. Akan tetapi bocah ini mampu menandinginya! Sungguh hal ini mengejutkan hatinya dan dia tahu bahwa dia harus berhati-hati sekali. Lawannya ini sungguh tak boleh dipandang ringan.
“Hohhhh......!” Tiba-tiba saja dia melangkah dekat tanpa mengurangi tarikan terhadap sabuk sutera yang membelit pedang, dan tangan kirinya sudah menghantam ke arah kepala Pek-liong. Pemuda ini maklum bahwa selama pedangnya masih dibelit sabuk, dia tidak berdaya dan kakek itu lihai bukan main. Maka, melihat kakek itu menggunakan tangan kiri untuk menghantam kepalanya, dia mendapatkan kesempatan baik untuk melepaskan pedangnya dari belitan.
Bagaimanapun juga, kakek itu tentu memecah tenaga sin-kangnya untuk melakukan penyerangan itu. Maka, dia berpura-pura menangkis dengan tangan kirinya. Gerakan ini hanya pura-pura saja dan sama sekali dia tidak mengerahkan sin-kang pada tangan kirinya. Sebaliknya, Siauw-bin Ciu-kwi yang melihat pemuda itu menangkis, tentu saja mengerahkan tenaga pada tangan kiri yang memukul.
Pada saat itu, Pek-liong mengerahkan semua tenaganya pada tangan kanan dan menarik pedangnya sambil melempar tubuh ke kiri untuk menghindarkan pukulan tangan kiri lawan. Pedang itu terlepas dari libatan dan Siauw-bin Ciu-kwi mengeluarkan suara gerengan marah
814
karena dia baru tahu bahwa dia telah diakali setelah pedang itu terlepas dari libatan sabuk sutera, dan pukulannya sama sekali tidak ditangkis, melainkan dielakkan dengan melempar tubuh ke kiri.
Pemuda itu bergulingan beberapa kali lalu meloncat berdiri lagi dengan pedang Pek-liong-kiam siap di depan dada!
Siauw-bin Ciu-kwi kini marah bukan main. Dia adalah seorang datuk besar yang terkenal sebagai seorang di antara Kiu Lo-mo, ditakuti oleh semua orang kang-ouw, dipuja oleh semua tokoh sesat di dunia hitam. Kini ada seorang pemuda berani menentangnya, bahkan menandinginya satu lawan satu. Kalau dia tidak mampu membunuh pemuda ini, sungguh nama besarnya akan runtuh!
“Haiiiihh......!” Dia berteriak dan tangan kanan yang memegang sabuk sutera itu bergerak lagi. Sinar merah menyambar, mengeluarkan suara mencicit nyaring. Sabuk merah itu panjangnya hanya dua meter, ditambah lengannya yang pendek, ketika menyerang itu jangkauannya paling jauh hanya tiga meter.
Pek-liong berdiri dalam jarak empat meter lebih dari kakek itu, maka ketika melihat sabuk merah menyambar, Pek-liong tenang-tenang saja, tahu bahwa sabuk itu hanya menggertak dan tidak akan dapat mencapainya karena terlalu jauh. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia melihat sabuk merah itu terus maju dan meluncur ke arah lehernya!
Sabuk itu bukan saja mampu mencapainya, bahkan ujungnya masih lebih dan akan dapat melibatnya seperti ketika melibat pedangnya tadi! Dia cepat melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan dan luput dari serangan berbahaya itu. Dia meloncat berdiri lagi dan
815
tahulah dia kini bahwa Siauw-bin Ciu-kwi memiliki ilmu yang dapat membuat lengannya memanjang! Lengan yang pendek itu dapat menjangkau sampai panjang, dapat mulur seperti karet!
Pek-liong tidak merasa gentar, bahkan gembira bahwa dia tahu akan hal ini dan dapat berjaga diri menghadapi ilmu yang aneh itu. Kini dia meloncat ke depan dan memutar pedang Pek-liong-kiam untuk menyerang sebagai balasan. Serangannya dapat dielakkan oleh kakek pendek gendut itu yang ternyata dapat bergerak dengan gesit sekali. Bahkan kakek itu menahan desakan pedang Pek-liong-kiam dengan totokan-totokan sabuknya yang berbahaya.
Terjadilah perkelahian yang amat hebat antara Siauw-bin Ciu-kwi dan Pek-liong. Tenaga mereka seimbang. Pek-liong menang gesit dan menang ulet karena dia lebih muda, akan tetapi dia kalah pengalaman, dan lawannya itu memiliki banyak sekali siasat yang aneh-aneh dan curang dalam caranya bersilat dan berkelahi.
Sampai tigapuluh jurus mereka saling serang dan tiba-tiba kakek itu memutar sabuknya. Sabuk sutera yang lemas itu kini berputar seperti kitiran sehingga nampak lingkaran merah seperti payung yang melindungi tubuh gendut pendek itu sebagai perisai. Ketika Pek-liong mencoba untuk memecahkan “payung” itu, yang terbuat dari lingkaran sinar merah, pedangnya membalik!
Pedang pusaka Pek-liong-kiam memang ampuh dan tajam untuk mematahkan senjata dari baja dan besi yang bagaimanapun, akan tetapi menghadapi senjata sutera yang lemas itu, senjata pedang ini seperti kehilangan keampuhannya. Dan tiba-tiba dari balik ‘payung’
816
itu, tangan kiri Siauw-bin Ciu-kwi mencuat dan dada Pek-liong kena dihantam oleh telapak tangannya.
“Bukk!!” Tubuh Pek-liong terjengkang dan dia bergulingan sampai beberapa meter jauhnya untuk menghindarkan diri dari serangan susulan. Dan untung saja dia melakukan hal itu karena sabuk sutera itu, berubah menjadi sinar merah, telah menyerangnya berkali-kali dan mengejarnya ketika dia bergulingan. Ketika ujung sinar merah itu mengenai tanah karena luput mengenai tubuh Pek-liong, tanah itu berlubang-lubang seperti ditusuk tombak!
Pek-liong dapat menghindar dan meloncat berdiri. Mukanya berubah agak pucat. Dadanya kena dihantam telapak tangan kiri lawan. Untung dia sudah melindungi dadanya dengan kekuatan sin-kang yang tadi sempat dia kerahkan sehingga kini hanya terasa nyeri sedikit, tidak sampai dia menderita luka dalam yang parah. Bagaimanapun juga, dadanya nyeri dan napasnya menjadi agak sesak!
Bukan main hebatnya Siauw-bin Ciu-kwi. Belum pernah selama hidupnya, sejak melawan Hek-sim Lo-mo dan berhasil menewaskan datuk besar itu bersama Liong-li, dia bertemu dengan lawan setangguh Siauw-bin Ciu-kwi ini!
Ketika dia mendesak dengan pedangnya, dalam suatu kesempatan dia dapat melakukan tendangan dengan kaki kirinya ke arah kaki kanan lawan, menyambar ke arah lutut. Kakinya menyentuh kaki lawan dan kakek itupun terguling jatuh! Akan tetapi, pada saat dia terguling itu, saat yang amat menyenangkan hati Pek-liong dan membuat hatinya berdebar dan kewaspadaannya agak melemah, tiba-tiba saja kaki
817
kakek itu mencuat, melakukan tendangan sambil menjatuhkan diri. Gerakannya ini selain cepat, juga aneh dan sama sekali tidak terduga.
“Desss!!” Tak dapat dihindarkan lagi, paha Pek-liong tercium ujung sepatu dan untuk kedua kalinya, Pek-liong menjadi korban serangan dan dia sampai terpental dan terbanting roboh! Akan tetapi, tubuh pemuda ini memang kuat dan kebal. Pahanya hanya membiru dan terasa nyeri, namun dia masih mampu meloncat dengan cepat dan memutar pedangnya untuk melindungi diri ketika lawannya menyusulkan serangan bertubi dengan sabuk sutera merahnya.
Kini Pek-liong berkelahi dengan hati-hati sekali. Dua kali dia menjadi korban serangan dengan siasat yang licik. Lawannya licik dan curang, memiliki berbagai gaya serangan yang aneh, maka diapun tidak terlalu mendesak dan lebih memperhatikan pertahanannya agar tidak mudah kecurian seperti tadi.
Sementara itu, perkelahian antara Liong-li yang dikeroyok oleh dua orang lawan juga berlangsung dengan seru dan mati-matian. Kedua orang lawannya juga bukan orang-orang sembarangan, melainkan tokoh-tokoh kang-ouw yang sudah terkenal sekali karena mereka memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
Lim-kwi Sai-kong dengan golok besar dan rantai bajanya memang buas dan liar bagaikan seekor singa, sedangkan Pek I Kongcu, bekas murid Kun-lun-pai itu, selain telah mewarisi ilmu pedang dari Kun-lun-pai yang indah dan juga dahsyat, juga dia memiliki banyak ilmu-ilmu dari dunia sesat, ilmu silat yang penuh dengan daya tipu dan muslihat berbahaya.
818
Namun, sekali ini kedua orang itu menemukan lawan yang amat tangguh. Biarpun usianya masih muda sekali, baru duapuluh empat tahun, namun Hek-liong-li Lie Kim Cu adalah seorang wanita gemblengan.
Bukan saja tergembleng oleh gurunya yang sakti, yaitu Huang-ho Kui-bo seorang datuk sesat pula yang memiliki ilmu-ilmu hebat, akan tetapi juga tergembleng oleh pengalaman-pengalaman pahit getir sehingga ia menjadi seorang wanita yang gemblengan, tabah, penuh keberanian, cerdik luar biasa dan juga ia mampu mengembangkan ilmu-ilmu silat yang dipelajarinya dari Huang-ho Kui-bo sehingga ia menjadi lihai sekali, mungkin tidak kalah lihai dibandingkan nenek yang menjadi gurunya!
Dengan pedang Hek-liong-kiam di tangan, Liong-li menjadi semakin tangguh. Dua orang lawannya selalu menghindarkan pertemuan senjata mereka dengan pedang di tangan wanita cantik itu, dan hal ini membuat Liong-li memperoleh banyak kesempatan untuk mendesak.
Namun, pertahanan kedua orang itu memang amat kuat. Mereka berdua dapat bekerja sama dengan baik dan selalu melindungi. Kalau Liong-li mendesak yang satu, yang lain tentu menyerangnya dengan gencar sehingga terpaksa Liong-li harus membagi perhatiannya dan karenanya, serangannya menjadi kurang terpusat dan kurang kuat.
Setelah lewat limapuluh jurus dan hanya mampu mendesak kedua orang pengeroyoknya, tiba-tiba tubuhnya meloncat jauh ke atas, ke sebuah pohon besar yang tumbuh tak jauh dari situ. Ketika tubuhnya turun, tangan kirinya sudah memegang sebatang ranting pohon yang tadi dibabatnya dengan pedang. Dan begitu tangan kirinya memegang
819
ranting sebagai senjata tongkat maka Liong-li bagaikan seekor harimau yang tumbuh sayap. Memang keahliannya adalah bermain pedang dan bermain tongkat.
Kini, Hek-liong-kiam dibantu dengan gerakan tongkat yang menotok-notok ke arah jalan darah lawan. Diserang oleh dua senjata yang ampuh itu, Lim-kwi Sai-kong dan Pet I Kongcu terkejut bukan main dan merekapun menjadi gugup dan permainan mereka menjadi kacau.
“Tranggg......!” Pedang di tangan Pek I Kongcu terlepas ketika pedang itu bertemu ranting yang digetarkan dan sebelum Pek I Kongcu sempat menghindarkan diri, pedang Hek-liong-kiam telah menyambar dan pemuda berpakaian putih itupun roboh mandi darah dengan dada ditembusi pedang!
Lim-kwi Sai-kong terkejut dan marah sekali. Dia mengeluarkan auman singa yang dahsyat, lalu menubruk maju dengan kedua senjatanya diputar.
Melihat lawan yang marah dan nekat itu, Liong-li tersenyum. Ia tadi melihat dengan sudut matanya betapa rekannya, Pek-liong terdesak hebat oleh lawan. Bahkan ia tahu pula ketika sampai dua kali Pek-liong terkena pukulan dan tendangan, maka ia ingin cepat-cepat menyelesaikan perkelahiannya dengan kedua orang pengeroyoknya agar ia dapat membantu Pek-liong.
Kini, melihat Lim-kwi Sai-kong nekat dan menyerangnya dengan ganas, memutar kedua senjatanya, ia menjadi girang dan cepat ia menyambut dengan putaran pedang di tangan kanannya. Nampak gulungan sinar hitam yang menyeramkan, mengeluarkan angin
820
berdesingan dan begitu gulungan sinar ini bertemu dengan golok besar dan rantai baja, kedua senjata itupun patah-patah dan beterbangan!
Barulah Lim-kwi Sai-kong terkejut dan teringat. Dalam kemarahannya tadi, dengan penuh nafsu dia hendak menyerang dan merobohkan wanita berpakaian hitam itu, menyerang dengan penuh nafsu sambil mengerahkan seluruh tenaganya, dia terlupa akan keampuhan Hek-liong-kiam.
Kini setelah kedua senjatanya patah-patah, baru dia teringat dan hatinya menjadi gentar. Ingin dia meloncat dan melarikan diri, akan tetapi tidak sempat lagi. Pedang bersinar hitam menyambar ke arah lehernya. Lim-kwi Sai-kong masih mampu mengelak dengan merendahkan dirinya, akan tetapi pada detik berikutnya, dia terjungkal roboh karena totokan ranting di tangan kiri Hek-liong-li. Begitu dia roboh, sinar hitam pedang Hek-liong-kiam menyambar dan Lim-kwi Sai-kong tewas tanpa sempat mengeluarkan suara lagi karena lehernya putus disambar sinar hitam tadi!
Tanpa membuang waktu lagi, Liong-li melompat dan membantu Pek-liong yang terdesak. Tentu saja Pek-liong merasa gembira, sebaliknya Siauw-bin Ciu-kwi menjadi gelisah. Dia memaki diri sendiri mengapa selama itu belum juga dia mampu merobohkan Pek-liong.
Kalau dia sudah mampu merobohkan Pek-liong, tentu kini dia tidak gentar menghadapi Liong-li. Akan tetapi dikeroyok dua? Mengalahkan Pek-liong seorang saja sudah amat sukar, apa lagi ditambah Liong-li yang dia dengar tidak kalah lihainya dibandingkan Pek-liong!
821
Dan segera dia melihat dan merasakan buktinya ketika Liong-li terjun ke dalam perkelahian itu dan sinar hitam menyambar-nyambar dahsyat ke arah tubuhnya! Dia mengira bahwa Hek-liong-li belum tahu akan kelihaian sabuk sutera merahnya, maka diapun menyambut pedang hitam itu dengan sabuk sutera merah, berniat untuk melibat pedang itu seperti yang dilakukannya tadi terhadap pedang di tangan Pek-liong.
Begitu pedang hitam itu bertemu sabuk sutera, pedang segera dilibat dengan amat kuatnya. Akan tetapi justeru ini yang dikehendaki oleh Liong-li. Ia sudah memperhitungkan betapa lihainya sabuk sutera yang lemas itu yang dapat dipergunakan menghadapi pedang pusaka tanpa takut menjadi putus karena lemasnya.
Sabuk sutera itu baru dapat dibikin putus kalau ia mengeras, maka iapun sengaja membiarkan pedangnya dilibat. Kalau ia terlambat bergerak dan sabuk itu sudah melibat pedangnya, akan sukarlah untuk melepaskan pedang dari libatan. Akan tetapi, ia telah memperhitungkan, pada detik sabuk bertemu pedang dan mulai melibat, ia secepat kilat menggetarkan pedangnya dan menariknya dengan gerakan menyayat.
“Bretttt......!” Tak dapat dicegah lagi, ujung sabuk yang melibat itupun terobek pedang! Hal ini sungguh tidak disangka-sangka oleh Siauw-bin Ciu-kwi. Dia menjadi terkejut, akan tetapi juga marah sekali. Sambil mengeluarkan seruan seperti binatang buas marah, dia memutar sisa sabuk suteranya, juga tangan kirinya menyerang dengan pukulan tangan kosong yang mengeluarkan uap kemerahan!
822
Bukan main berbahayanya pukulan tangan merah ini, karena selain mengandung tenaga sin-kang yang kuat, juga mengandung hawa beracun. Lebih lagi, lengan kiri itu dapat memanjang, mulur seperti karet sehingga gerakannya sukar diduga. Amukan tangan kiri dan sabuk sutera merah yang sudah putus ujungnya ini masih dibantu kedua kakinya yang menyeling serangan itu dengan tendangan-tendangan kilat.
Demikian bebatnya serangan kakek datuk sesat ini sehingga betapapun lihainya Pek-liong dan Liong-li, tetap saja mereka harus berhati-hati karena hampir saja perut Pek-liong kena tendangan, sedangkan Liong-li sempat dibuat terhuyung oleh serangkaian serangan ilmu tangan merah itu. Diam-diam Liong-li harus mengakui bahwa kakek ini lihai bukan main dan andaikata ia seorang diri yang harus maju menandinginya, akan sukarlah untuk dapat mengalahkan datuk sesat ini. Akan tetapi, kini mereka berdua saja mengeroyok!
Bukan saja Liong-li dan Pek-liong masing-masing sudah memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi juga mereka dapat bekerja sama dengan baik sekali. Di antara mereka terdapat kontak batin yang jarang terdapat di antara manusia. Hubungan yang amat akrab dam erat.
Mereka selalu saling membantu, saling melindungi, bahkan untuk saling menolong, mereka setiap saat bersedia mengorbankan nyawa sendiri! Ada hubungan yang bahkan melebihi cinta kasih antara dua orang kekasih. Mereka seolah-olah dapat saling menjenguk isi hati dan pikiran masing-masing.
823
Dalam pengeroyokan menghadapi Siauw-bin Ciu-kwi inipun, gerakan pedang mereka saling menolong, saling melindungi seolah-olah gerakan mereka berdua itu dikendalikan oleh satu kecerdasan saja! Menghadapi kerja sama yang demikian hebatnya, Siauw-bin Ciu-kwi mulai menjadi bingung dan terdesak, walaupun dia sudah mengeluarkan semua ilmunya dan mengerahkan seluruh tenaganya.
Biarpun demikian, baru setelah hampir satu jam lamanya, tenaga dan kecepatan Siauw-bin Ciu-kwi menurun banyak sekali dan biarpun dia berusaha mati-matian, tetap saja ujung pedang di tangan Pek-liong menyentuh pundaknya dan nyaris mengakibatkan luka hebat.
Untung dia masih membuat gerakan miringkan tubuhnya sehingga hanya baju dan kulitnya yang terobek. Akan tetapi pada saat berikutnya, pedang Liong-li juga menggores paha kirinya. Tidak hebat kedua luka itu, namun mendatangkan keyakinan dalam hati Siauw-bin Ciu-kwi bahwa kalau perkelahian dilanjutkan, akhirnya dia akan roboh dan tewas di ujung pedang kedua orang muda yang amat lihai itu.
“Singgg......!” Pedang Naga Hitam di tangan Liong-li menyambar ke arah lehernya.
“Singgg......!” Pedang Naga Putih di tangan Pek-liong juga menyambar ke arah perutnya.
Kalau pedang Hek-liong-kiam menyambar dari kanan ke kiri, maka pedang Pek-liong-kiam menyambar dari kiri ke kanan sehingga tubuh Siauw-bin Ciu-kwi seperti digunting. Siauw-bin Ciu-kwi mengelebatkan sabuknya yang sudah buntung dan berbareng dia
824
melempar tubuhnya ke belakang, Dua batang pedang tidak mengenai sasaran, bahkan muka kedua orang itu disambar ujung sabuk.
Keduanya mengelak dan melihat lawan kini bergulingan, merekapun mengejar dan mengirim tusukan-tusukan. Akan tetapi, ternyata cara bergulingan seperti merupakan suatu ilmu yang aneh, akan tetapi juga berbahaya bagi lawan. Dengan bergulingan, Siauw-bin Ciu-kwi dapat menghindarkan setiap tusukan, dan kedua orang lawannya pun kini hanya dapat menyerang dari atas saja, dengan tusukan atau bacokan.
Sebaliknya, sambil bergulingan mengelak, Siauw-bin Ciu-kwi membalas dengan luncuran sabuk merahnya dari bawah, atau kadang-kadang dia mengirim tendangan kilat yang amat berbahaya. Tangan kirinya juga mengirim pukulan jarak jauh dan kadang-kadang, secara tiba-tiba, tangan kirinya juga sudah menyambar batu atau tanah, dilontarkan ke arah muka lawan!
Kakek ini memang hebat. Biarpun dia melawan dua orang lawan lihai dengan bergulingan saja, dia masih berhasil melemparkan batu mengenai pundak Liong-li dan membuat wanita itu terhuyung, dan hampir saja kedua mata Pek-liong kena disambar sambitan tanah dan pasir. Pemuda ini masih sempat miringkan mukanya sehingga yang terkena sambaran tanah dan pasir hanya pipinya, akan tetapi juga cukup menimbulkan nyeri dan membuat pipinya kemerahan seperti menerima tamparan keras!
Liong-li dan Pek-liong menjadi penasaran. Sejak tadi, mereka hanya mampu mendesak Siauw-bin Ciu-kwi, bahkan mereka telah menerima akibat serangannya yang walaupun tidak mendatangkan luka parah atau bahaya, namun cukup mengejutkan dan menyakitkan hati.
825
“Pek-liong, kita serang dari kanan kiri!” Tiba-tiba Liong-li berseru dan Pek-liong yang maklum akan maksud rekannya, sudah melompat ke sebelah sana tubuh yang bergulingan itu dan mulailah mereka menyerang dari kanan kiri!
Sekarang, repotlah Siauw-bin Ciu-kwi! Kalau tadi, dia bergulingan dan kedua orang lawannya mengejar dan melakukan serangan dari satu jurusan. Akan tetapi, kini mereka menyerang dari dua jurusan, membuat dia tidak mampu lagi bergulingan. Maka, dia lalu meloncat berdiri dan kembali pangkal lengannya tergores ujung pedang Liong-li.
“Lihat senjata rahasiaku!” bentaknya dan tangan kirinya melemparkan sebuah benda yang diambilnya dari pinggang.
Liong-li dan Pek-liong tentu saja menjadi waspada oleh bentakan itu dan mereka menahan pedang, siap menghadapi serangan senjata rahasia dalam bentuk apapun juga. Mereka tadi sudah merasakan betapa hebatnya lontaran kakek itu. Baru menggunakan kerikil, pasir dan tanah yang berada di bawah saja, dia sudah amat berbahaya, apa lagi kalau menggunakan senjata rahasia. Jarak antara mereka dan Siauw-bin Ciu-kwi harus agak jauh sehingga mengurangi kecepatan serangan senjata rahasia.
Akan tetapi, Siauw-bin Ciu-kwi tidak melontarkan senjata rahasianya itu kepada mereka, melainkan membantingnya ke atas tanah. Terdengar ledakan keras dan asap hitam mengepul tebal sekali. Karena khawatir kalau-kalau asap itu beracun, Liong-li dan Pek-liong berlompatan menjauh. Ketika asap membuyar, Siauw-bin Ciu-kwi sudah lenyap.
826
“Celaka, kita ditipunya!” teriak Liong-li dan mereka lalu cepat berloncatan mencari.
“Itu dia......!” Pek-liong menuding. Kiranya Siauw-bin Ciu-kwi sudah mendayung perahu menuju ke tengah telaga!
“Ah, tentu peti itu sudah lebih dulu dia simpan di dalam perahu. Kita harus mengejarnya!” kata Liong-li.
Akan tetapi di situ sunyi sekali, tidak ada perahu. Bagaimana mungkin dapat mengejar Siauw-bin Ciu-kwi yang melarikan diri menggunakan perahu ke tengah telaga? Pada saat itu, sebuah perahu meluncur cepat ke arah mereka.
“Tai-hiap......!”
“Li-hiap......!”
Dua orang muda perkasa itu menengok dan mereka gembira bukan main.
“Sun Ting......! seru Liong-li.
“Cian Li......! Pek-liong juga berseru girang.
Setelah perahu mendekat, mereka lalu meloncat ke atas perahu.
“Cepat, jangan bicara dulu. Mari kita kejar perahu di depan itu!” kata Liong-li dan mereka berempat lalu mendayung perahu itu sehingga meluncur cepat sekali mengejar perahu yang didayung oleh Siauw-bin Ciu-kwi.
827
Mereka telah berada jauh dari tempat ramai, tiba di bagian yang sepi dari telaga, di dekat pantai yang penuh hutan dan bukit. Kalau Siauw-bin Ciu-kwi sudah mendarat di pantai itu, tentu akan sukar untuk menemukannya. Akan tetapi, perahu mereka jauh lebih cepat dan sebelum tiba di pantai, mereka sudah mengejar dekat.
“Siauw-bin Ciu-kwi, engkau hendak lari ke mana?” bentak Pek-liong.
“Kakek iblis, harta karun itu berikan saja kepada kami!” kata pula Liong-li sambil tersenyum.
Melihat bahwa tidak mungkin melarikan diri lagi dan bahwa dia harus melawan mati- matian kalau ingin menyelamatkan harta karun dan nyawanya, Siauw-bin Ciu-kwi menjadi marah bukan main. Dia lalu mengangkat peti hitam itu ke atas kepalanya.
“Kalau aku tidak bisa mendapatkan harta karun ini, maka orang lainpun tidak!” Berkata demikian, dia melemparkan peti itu ke atas dan ketika peti meluncur turun, dia menyambutnya dengan hantaman kedua tangannya.
“Brakkkk!!” Peti itu hancur berantakan dan isinyapun berhamburan jatuh ke dalam telaga dan sebentar saja semua isinya tenggelam dan lenyap.
“Engkau iblis keparat!” Liong-li membentak.
“Siauw-bin Ciu-kwi, engkau tidak akan terlepas dari tangan kami!” Pek-liong juga membentak.
828
Siauw-bin Ciu-kwi tertawa bergelak. “Ha-ha-ha ha, kalian juga tidak kebagian apa-apa!”
Dua orang muda itu sudah berloncatan ke atas perahu di mana Siauw-bin Ciu-kwi berdiri dan datuk sesat inipun menyambut mereka dengan sabuk sutera merahnya. Liong-li dan Pek-liong menggerakkan pedang, dan karena perahu itu tidak besar, maka tentu saja Siauw-bin Ciu-kwi tidak dapat bergerak dengan leluasa. Perahupun terguncang dan ketika Siauw-bin Ciu-kwi menangkis pedang Pek-liong yang menyerang dari depan, dia tidak mampu menghindarkan diri lagi ketika dari belakangnya, Liong-li menusukkan pedang Hek-liong-kiam!
“Cappp......!” Pedang itu menembus punggung. Akan tetapi kakek yang amat kuat itu sudah membalik sehingga pedang itu terlepas dari pegangan tangan Liong-li dan masih tertinggal di punggung Siauw-bin Ciu-kwi!
Kini tangan kiri kakek itu mulur dan hendak mencekik Liong-li. Gadis perkasa ini mengelak dengan loncatan ke kiri, akan tetapi karena perahu itu kecil, loncatannya membuat ia jatuh ke dalam air.
Pada saat itu, pedang Pek-liong-kiam juga sudah meluncur dan menusuk lambung kakek itu, amblas sampai tembus. Kembali kakek itu membalik dengan kekuatan yang luar biasa sehingga pedang Pek-liong-kiam juga terlepas dari tangan Pek-liong dan tertinggal di lambung kakek itu.
Kakek itu menggerakkan sabuk suteranya, akan tetapi agaknya kini tenaganya sudah habis karena diapun terkulai dan roboh ke dalam perahunya, tak berkutik lagi karena ternyata nyawanya telah meninggalkan tubuhnya! Liong-li naik lagi ke perahu dengan pakaian
829
basah kuyup. Ia saling pandang dengan Pek-liong dan wanita itu menarik napas panjang.
“Bukan main! Dia ini adalah seorang lawan yang amat tangguh!”
“Benar,” kata Pek-liong. “Sayang sekali kepandaian yang demikian tinggi itu dia pergunakan untuk kejahatan.” Mereka mencabut pedang masing-masing dari tubuh yang sudah tak mampu bergerak itu.
“Tai-hiap......!”
“Li-hiap......!”
Dua orang muda sakti itu menoleh dan mereka melihat kakak beradik itu sudah mengenakan pakaian menyelam, pakaian yang ketat mencetak tubuh mereka sehingga membuat Liong-li dan Pek-liong memandang dengan kagum.
“Kami akan menyelam dan mengumpulkan harta karun itu!” kata Sun Ting.
“Baiklah, dan kami akan mengubur dulu jenazah ini,” kata Liong-li.
Pek-liong kagum, akan tetapi tidak mengatakan sesuatu. Dia tahu bahwa di dasar hati wanita yang dipujanya ini terdapat suatu kelembutan yang kadang-kadang tidak sesuai dengan kehidupannya yang keras dan penuh bahaya. Mereka lalu mendayung perahu Siauw-bin Ciu-kwi itu ke pantai, kemudian menggali lubang dan mengubur jenazah bekas lawan itu dengan sederhana.
830
Kemudian mereka kembali ke tempat tadi. Ternyata kakak beradik itu telah beberapa kali menyelam dan berhasil mengumpulkan banyak barang berharga yang tadi berhamburan dari dalam peti harta karun.
Seperti tidak disengaja saja, kalau dia timbul dari menyelam dan membawa barang emas intan, Sun Ting tentu berenang ke perahu di mana Liong-li berada. Adapun Cian Li, setelah muncul, berenang ke perahu yang sebuah lagi, di mana Pek-liong menantinya dengan senyum dan pandang mata kagum.
◄Y►
Pek-liong pergi membeli makanan dan minuman karena penyelaman kakak beradik yang mengumpulkan harta karun yang berhamburan itu akan makan waktu sedikitnya tiga hari! Pada hari pertama itu, sudah terkumpul cukup banyak di dalam dua perahu.
Setelah matahari condong ke barat, ketika Cian Li muncul sambil membawa kantung kain terisi beberapa buah benda emas dan naik ke perahu di mana Pek-liong sudah menanti, Pek-liong menerima kantung itu dan mengeluarkan isinya, ditumpuk di dalam perahu bersama barang lain yang sudah terkumpul selama sehari itu. Ketika Cian Li hendak meloncat lagi, dia memegang lengan gadis itu.
“Sudah cukup, Cian Li. Besok masih ada hari. Engkau sudah bekerja sejak tadi dan hari sudah menjelang senja. Kakakmu juga sudah mengaso,” kata Pek-liong tanpa melepaskan lengan yang dipegangnya. Betapa lembut dan hangat lengan itu, dan betapa di bawah kulit yang putih mulus itu tersembunyi kekuatan yang mengagumkan, kekuatan yang terhimpun melalui gerakan renang.
831
Ketika merasa betapa jari-jari tangan pendekar pujaannya itu tidak melepaskan lengannya, bahkan perlahan-lahan membelai dan naik ke siku, Cian Li marasa betapa seluruh bulu di tubuhnya meremang dan bangkit berdiri.
“Di mana dia? Mana kakakku?” Ia mengalihkan perhatian sambil memandang ke arah perahu yang sebuah lagi, beberapa puluh meter dari situ. Tidak nampak seorangpun di perahu itu! “Eh, di mana kakakku dan di mana pula li-hiap?”
Pek-liong tertawa. “Mereka? Mereka di perahu!”
“Tapi tidak kelihatan dari sini!”
“Tentu saja, kalau kita berada di bilik perahu inipun tentu tidak akan kelihatan dari perahu mereka.”
Cian Li memandang lagi. Perahu yang di sana itu bergoyang-goyang, tanda bahwa me-mang ada orangnya, akan tetapi orangnya berada di dalam bilik perahu yang sempit, maka tidak nampak. Tiba-tiba wajahnya berubah merah sekali, mulutnya menahan senyum dan ia tersipu. Pek-liong menariknya dan ia tidak menolak, bahkan menyambut mesra ketika Pek-liong mendekap tubuhnya yang masih basah itu dan membawanya ke dalam bilik perahu.
Sementara itu, di perahu yang lain, tadi Liong-li juga mencegah ketika Sun Ting menyelam lagi. “Besok saja lagi, Sun Ting. Jangan engkau terlalu lelah karena barang yang harus diambil dari dasar telaga masih banyak.”
832
Liong-li lalu masuk ke bilik perahu dan merebahkan dirinya. Ia menghela napas panjang, kagum memandang kepada Sun Ting. Bentuk tubuh pemuda itu membayang di balik pakaian renangnya yang ketat dan basah.
Darah mudanya sudah sejak tadi bergolak melihat betapa otot-otot tubuh Sun Ting bergerak-gerak di bawah pakaian yang ketat itu, ketika pemuda itu naik turun perahu. Betapa indah dan jantannya!
“Aih, enak istirahat di sini, Sun Ting, terlindung dari panasnya matahari dan tidak kelihatan orang lain.”
Melihat wanita yang dipujanya itu, Sun Ting yang memang sudah jatuh cinta, menelan ludah. Dia merangkak menghampiri, dan suaranya gemetar ketika dia bertanya, “......enci bagaimana... bagaimana dengan luka di pinggulmu......?”
Melihat betapa pemuda itu sukar bicara, dan kedua tangan itu gemetar, Liong-li tersenyum manis. “Sudah agak sembuh, Sun Ting. Coba kaulihat sendiri.” Berkata demikian, Liong-li membalikkan tubuhnya, miring hampir menelungkup.
Dengan tangan gemetar Sun Ting mendekat, lalu meraba, “......boleh... boleh aku melihatnya?”
“Tentu saja, bukankah engkau yang dulu mengobatinya?”
Dengan kedua tangan gemetar Sun Ting menarik celana itu agak turun sehingga nampak pinggul yang berkulit putih mulus itu, pinggul yang membukit besar. Luka itu memang sudah sembuh dan kering, hanya
833
tinggal bekasnya saja. Akan tetapi Sun Ting sudah tidak kuat menahan dirinya dan diapun menciumi pinggul itu, luka di pinggul itu.
“Enci...... ah, enci... betapa indah pinggulmu......”
“Ih, anak nakal!” Liong-li membalik, lalu merangkul dan menarik tubuh Sun Ting sehingga mereka berdekapan.
Ketika Pek-liong dan Cian Li sudah saling dekap dan saling berciuman, Pek-liong merasa heran karena gadis dalam pelukannya itu menangis!
“Cian Li, engkau kenapa? Mengapa engkau menangis?”
Cian Li mempererat rangkulannya dan menjawab lirih sambil menyembunyikan muka di leher pemuda itu, “Tidak apa-apa...... aku.... aku menangis karena bahagia, Hay-ko. Aku..... aku sejak bertemu denganmu... aku telah jatuh cinta dan betapa aku mengharapkan dapat berada dalam pelukanmu seperti ini......”
Pek-liong menghela napas dan mengelus rambut kepala Cian Li. “Cian Li, sebelum kita melangkah lebih jauh, aku harus lebih dulu memperingatkanmu bahwa aku...... aku tidak seperti yang kauharapkan, aku tidak seperti pria lain......”
Sekali ini Cian Li terkejut dan bangkit duduk, memandang wajah pemuda yang rebah telentang itu. “Apa...... apa maksudmu, Hay-koko?”
“Engkau seorang gadis yang baik, Cian Li maka aku harus berterus terang kepadamu. Aku memang suka kepadamu, aku kagum
834
kepadamu, akan tetapi hanya sampai di situ saja. Aku tidak mungkin menjadi suamimu. Nah, aku harus memberitahukan hal ini lebih dulu padamu. Aku tidak mau menghancurkan kebahagiaanmu. Nah, engkau sudah tahu sekarang.
Sepasang mata itu terbelalak. “Tapi...... tapi mengapa, koko? Kalau kita saling mencinta, kenapa kita tidak dapat menjadi suami isteri?”
Pek-liong menggeleng kepala. “Tidak mungkin! Aku tidak mau menikah, sekarang ini tidak dan belum! Hidupku masih penuh bahaya, aku tidak mau membawa seorang isteri dalam bahaya maut.”
“Tapi aku...... aku mau, koko. Aku tidak takut menghadapi bahaya maut, asal berada di sampingmu!”
“Tidak, Cian Li. Sudah kujelaskan tidak dan harap jangan mendesakku. Aku sudah berterus terang, aku tidak ingin melihat engkau nanti kecewa dan kehilangan kebahagiaanmu. Nah, kita sudahi saja kemesraan ini dan kita menjadi saudara saja. Bagaimana?”
Pek-liong juga bangkit duduk. Mereka duduk berhadapan, saling pandang dan mata gadis itu masih basah air mata. Akan tetapi, tiba-tiba Cian Li menubruk dan merangkul Pek-liong sehingga pemuda ini jatuh dan rebah telentang lagi, Cian Li di atasnya.
Gadis itu mencium mulut Pek-liong dan ia berbisik, “Aku tidak perduli... biar engkau tidak menjadi suamiku, aku tidak perduli...... engkaulah satu-satunya pria yang kukagumi dan kucinta, aku...... aku ingin.... menjadi milikmu..... saat ini......”
Pek-liong balas merangkul. “Engkau sungguh tidak akan menyesal?”
835
Cian Li memegang kepala pemuda itu dengan kedua tangannya, agak dijauhkan agar mereka dapat saling berpandangan. “Mengapa menyesal? Tidak! Aku ingin engkau yang menjadi pria pertama yang memiliki diriku......” Mereka tidak bicara lagi.
Demikianlah, selama tiga hari mereka berempat berada di perahu, masing-masing pasangan dalam sebuah perahu. Makanan dan minuman yang dibeli Pek-liong cukup untuk mereka, dan sudah dibagi menjadi dua. ◄Y►
Pada sore hari ketiga, Pek-liong dan Liong-li menyuruh kakak beradik itu menghentikan penyelaman mereka. Biarpun tidak mungkin mengumpulkan seluruh isi peti harta karun itu dan mungkin masih ada yang tertinggal di dasar telaga, namun yang dapat dikumpulkan selama tiga hari itu sudah lebih dari pada cukup. Tak ternilai harganya dan mereka menjadi kaya raya!
Pada keesokan harinya, ketika terbangun dari tidurnya karena merasa kedinginan, Cian Li membuka mata dan berbisik lirih, “......Hay-koko......” tangannya merangkul akan tetapi tidak merasakan apa-apa. Ia membuka matanya.
“Hay-ko......!”
Kosong dalam bilik perahu yang sempit itu, yang setiap malam selama tiga hari ini menjadi tempat ia bersama Pek-liong. Tidak ada jawaban. Bagaikan disengat laba-laba, karena menduga sesuatu, Cian Li bangkit duduk.
836
“Hay-koko......??” Kini suaranya terdengar mengandung kekhawatiran.
Ia bangkit berdiri dan keluar dari dalam bilik perahu. Tidak nampak ada Pek-liong. Ia melihat sekeliling. Sunyi. Perahu yang sebuah lagi nampak tak jauh dari situ, dan kedua perahu mereka itu kini telah berada di pantai, tidak seperti kemarin, masih terapung di tengah telaga.
“Hay-koko.....! Di mana engkau......??” Ia berteriak dan meloncat ke daratan.
“Li-moi......!”
Ia membalik, penuh harapan. Akan tetapi, yang memanggilnya adalah kakaknya sendiri, Kam Sun Ting yang berada di atas perahunya.
“Li-moi, kau ke sinilah!” kata pemuda itu sambil menggapai dengan tangan kiri, tangan kanannya memegang sebuah surat yang agaknya sedang dibacanya, Cian Li berlari menuju ke perahu kakaknya yang juga sudah menepi, lalu ia naik ke perahu.
“Bacalah surat ini, dan engkau akan mengerti,” katanya dan Cian Li melihat betapa wajah kakaknya pucat sekali, matanya mengandung kecewa dan duka, bahkan ia melihat kakaknya seperti orang yang akan menangis! Ia merampas surat itu dan dibacanya.
Sun Ting dan Cian Li yang tercinta.
Karena waktunya sudah tiba, kami terpaksa meninggalkan kalian, untuk kembali ke tempat kami musing-masing dan kami
837
meninggalkan sebagian harta karun dalam kantung-kantung di perahu. Pakailah untuk modal kalian hidup.
Maafkan kami, kami bukan jodoh kalian. Carilah jodoh yang baik dan hiduplah berbahagia. jangan ingat kepada kami lagi. Kami akan selalu mengingat kalian sebagai pemuda dan gadis yang manis dan baik budi.
Selamat tinggal! Hek-liong-li dan Pek-liong-eng
“Aiihh......!” Cian Li mengeluh panjang dan iapun menubruk kakaknya. “Koko...... ah, koko..... jadi dia benar meninggalkan aku.....!”
Ia menangis tersedu-sedu di pundak kakaknya. Sun Ting hanya mengelus rambut kepala adiknya dan diapun menangis, tidak terisak, melainkan air mata menetes-netes keluar dari kedua matanya. Dia teringat akan kata-kata Liong-li semalam, ketika mereka berdua sebagai jawaban ketika dia menyatakan ingin menikah dengan wanita itu.
“Sun Ting, jangan merusak suasana. Ingatlah selalu hubungan kita selama tiga hari ini sampai kita mati, dan akan selalu menjadi kenangan indah. Kalau kita menikah, kenangan itu akan buyar dan lenyap. Aku tidak ingin terikat, tidak ingin menjadi isteri siapapun. Aku sayang padamu, titik. Hanya sekian saja, tidak ingin terikat denganmu. Kalau engkau ingin menikah, pilihlah seorang gadis yang baik. Aku tidak akan menjadi isteri yang baik, aku seorang petualang, hidupku penuh bahaya maut.”
838
Sun Ting menepuk-nepuk pundak adiknya. “Sudahlah, Li-moi. Mereka itu memang bukan orang-orang biasa. Sudah beruntung bagi kita bahwa mereka menyayang kita dan kita akan mengingat dan mengenang mereka sebagai sahabat-sahabat dan kekasih-kekasih yang amat kita kagumi dan sayang.”
Karena memang ia tahu bahwa Pek-liong pasti akan meninggalkannya, maka Cian Li dapat dihibur juga. Mereka menemukan dua kantung harta karun itu, di dalam perahu. Biarpun bagian itu hanya sepersepuluhnya, namun pada saat itu mereka telah menjadi orang-orang yang kaya raya!
Dengan harta itu mereka akan mampu membeli rumah besar, membuka toko yang besar. Atau kalau mereka menghendaki, mereka dapat membeli tanah seluas dusun mereka! Dan di samping harta karun itu, merekapun memiliki kenangan yang teramat manis, kenangan selama tiga hari tiga malam bersama orang yang pernah mereka cinta, dan yang takkan mungkin dapat mereka lupakan selama hidup mereka, biarpun kelak mereka akan bertemu jodoh dan sampai mereka menjadi ayah, ibu, kakek dan nenek!
◄Y►
Sementara itu, jauh dari situ, Pek-liong dan Liong-li menunggang kuda masing-masing yang mereka beli di dekat telaga. Harta karun itu telah mereka bagi dan mereka simpan dalam kantung yang kini mereka gendong di punggung. Tadinya Pek-liong menolak.
“Untuk apa kauberikan sebagian harta karun itu padaku, Liong-li? Aku tidak membutuhkan harta karun! Kalau aku membutuhkan sesuatu, tidak sukar bagiku untuk mendapatkannya!”
839
Liong-li tersenyum. “Mencuri milik hartawan atau bangsawan? Hemm, memang baik saja akan tetapi kalau sampai ketahuan, tentu akan tersiar ke mana-mana bahwa Pek-liong-eng, pendekar yang terkenal menjadi pemberantas kejahatan itu ternyata hanyalah seorang pencuri atau perampok. Ihh, aku akan ikut merasa malu, Pek-liong! Sebaiknya engkau terima bagianmu dalam harta karun ini dan hidup berkecukupan. Dan ingat, kita bersama sudah bersumpah untuk menentang kejahatan dan pekerjaan itu kadang-kadang membutuhkan biaya yang cukup besar! Bawalah, belilah rumah yang cukup besar agar aku menjadi betah di rumahmu kalau datang berkunjung.”
Akhirnya Pek-liong menerimanya juga dan mereka membalapkan kuda meninggalkan Telaga Po-yang, telaga besar di mana mereka mengalami petualangan yang amat berbahaya, akan tetapi juga amat menguntungkan itu. Bukan hanya untung karena memperoleh harta karun yang tak terhitung besarnya, akan tetapi bertemu pula dengan seorang pemuda dan seorang gadis yang mereka sayang dan yang amat menyayang mereka pula.
Setelah tiba di jalan simpang, mereka berhenti. Hari masih pagi sekali dan jalan itu masih sunyi. Keduanya turun dari atas kuda, lalu saling berhadapan.
“Pek-liong, kita berpisah di sini!”
Pek-liong mengerutkan alisnya. “Liong-li, baru saja kita saling bertemu, haruskah sudah berpisahan lagi. Apakah engkau tidak ingin berkunjung ke rumahku!”
“Hi-hik, nanti saja, kalau engkau sudah membangun rumah yang besar! Dan belum waktunya engkau berkunjung ke tempatku. Kita
840
baru saja mengalami petualangan besar yang melelahkan dan kita perlu beristirahat. Mudah-mudahan segera muncul suatu pekerjaan baru yang akan dapat membawa kita bekerja sama pula menghadapinya. Nah, selamat berpisah, Pek-liong!” kata Liong-li sambil mengangkat kedua tangan ke depan dada.
“Selamat berpisah, Liong-li,” jawab Pek-liong sambil memberi hormat pula.
Keduanya saling berpandangan dan seperti ditarik besi semberani, keduanya melangkah maju dan di lain saat mereka telah saling berpelukan. Tanpa berahi. Berpelukan seperti dua orang sahabat yang enggan berpisah.
Pada saat mereka saling rangkul itu, dalam lubuk hati masing-masing timbul perasaan bahwa sebetulnya, pada perasaan yang paling mendalam, mereka itu saling memiliki! Betapa mudahnya bagi mereka berdua untuk membiarkan diri terseret oleh perasaan sehingga timbul nafsu yang akan menggelora, akan membakar segalanya.
Namun keduanya juga merasa bahwa kalau hal ini mereka biarkan, maka perasaan kasih sayang yang amat mendalam itu, saling memiliki itu, akan ikut pula terbakar. Oleh karena itu, Liong-li yang lebih dulu melepaskan rangkulannya dan iapun sekali meloncat sudah berada di atas punggung kudanya.
Pek-liong juga naik ke atas punggung kudanya dan merekapun membalapkan kuda masing-masing, hanya menoleh satu kali pada saat yang bersamaan! Kembali mereka heran dan juga gembira bahwa dalam saat seperti itupun, kontak antara mereka itu masih demikian kuatnya sehingga ketika menolehpun pada saat yang sama!
841
Mereka mengangkat tangan sebagai selamat berpisah, lalu membalapkan kuda masing-masing dengan menuju pulang ke tempat tinggal masing-masing. Pek-liong menuju dusun kecil di dekat kota Hang-kauw, tak jauh dari Telaga See-ouw. Sedangkan Liong-li pulang ke kota Lok-yang.
T A M A T
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru