Kamis, 31 Mei 2018

Kisah Si Tawon Merah dari Bukit Hengsan 1

======
baca juga
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Musim dingin baru tiba. Bunga-bunga salju kecil ringan bagaikan kapas melayang-layang turun dari langit, bertebaran menutupi segala benda di permukaan bumi. Di mana-mana tampak putih, putih bersih menyedapkan penglihatan. Biasanya, pada awal musim salju, segalanya tampak indah. Warna keputih-putihan yang bersih itu diselingi warna totol-totol hitam dari benda berwarna yang luput dari tutupan salju, bagaikan hiasan di atas dasar putih, tampak indah sekali.
Tentu saja, seperti sudah menjadi watak manusia, segala yang pada mulanya tampak indah itu tidak berlangsung selamanya. Segala sesuatu di dalam dunia ini hanya pada mulanya saja dapat dinikmati manusia. Pemandangan indah itu dalam waktu yang tidak lama akan terlihat membosankan, menjemukan dan tidak lagi menyenangkan. Hawa udara yang tadinya terasa sejuk segar akan segera terasa dingin menusuk tulang.
Dinginnya hawa udara memang amat menusuk, terutama di puncak bukit Heng-san yang menjulang tinggi. Semua pohon di hutan-hutan yang memenuhi bukit itu, yang biasanya kaya dengan warna hijau daun-daun, kini tertumpuk salju. Daun-daun hijau telah rontok meninggalkan cabang-cabang dan ranting-ranting gundul yang kini telah dicat putih oleh salju. Jarang tampak binatang hutan yang dahulunya banyak. Entah ke mana mereka pergi bersembunyi menyelamatkan diri dari musim dingin yang terkadang terasa kejam bagi mereka itu.
Keadaan di bukit Heng-san seakan-akan mati. Sunyi sekali, agaknya tidak ada mahluk hidup yang berani meninggalkan tempat berlindung pada saat hawa sedingin itu.
Akan tetapi kiranya tidak demikian! Lihat di lereng dekat puncak itu! Dua sosok bayangan manusia sedang bergerak menuruni lereng yang amat terjal. Ada sesuatu yang aneh. Dua orang manusia itu bergerak demikian cepatnya menuruni lereng yang terjal dan berbahaya, menerjang hujan salju seolah-olah tidak merasa dingin. Sepatutnya hanya sebangsa kera saja yang akan mampu bergerak sedemikian cekatan menuruni lereng yang terjal. Apalagi setelah dua sosok bayangan itu dilihat dari dekat. Orang akan menjadi semakin heran.
Seorang dari mereka adalah kakek berjenggot panjang. Rambut, kumis dan jenggotnya sudah putih semua, seperti benang-benang sutera putih, berkibar-kibar ketika dia bergerak. Bahkan alisnya juga sudah putih semua, bukan putih oleh salju, melainkan putih uban. Pakaiannya amat sederhana, pakaian petani dan bentuk tubuhnya yang kurus itu masih tampak tegak dan kuat walaupun usianya tentu sudah mencapai tujuhpuluh tahun lebih.
Adapun orang kedua juga menimbulkan keheranan bagi yang melihat mereka tadi menuruni lereng yang terjal itu. Orang kedua ini ternyata seorang gadis muda yang usianya paling banyak baru delapanbelas tahun. Rambutnya hitam tebal dikepang menjadi dua kuncir panjang tebal yang bergantungan di kanan kiri lehernya, panjang sampai ke punggung.
Mengherankan memang melihat seorang kakek tua dan seorang gadis muda bergerak demikian cekatan dan lincah melalui tebing terjal dalam hujan salju yang mendatangkan hawa dingin menyusup tulang. Dan keduanya kini melangkah dengan wajah berseri dan tetap segar, sama sekali tidak tampak kelelahan maupun kedinginan. Akan tetapi kalau orang sudah mengenal siapa mereka, tentu tidak akan merasa heran lagi.
2
Kakek itu adalah seorang yang amat terkenal di dunia kang-ouw (sungai telaga) dan bu-lim (rimba persilatan), bahkan para penjahat ganaspun kiranya akan cepat lari bersembunyi dengan tubuh gemetar ketakutan kalau melihat kakek itu. Dia bukan lain adalah datuk persilatan yang dikenal dengan julukan Sin-kiam Lojin (Kakek Tua Pedang Sakti) dari Heng-san yang memiliki tingkat tinggi sekali dalam dunia persilatan.
Sin-kiam Lojin adalah seorang ahli pedang yang telah berhasil merangkai jurus-jurus ilmu pedang yang kabarnya belum pernah terkalahkan sehingga dia dijuluki Si Pedang Sakti. Karena ilmunya yang tinggi, maka tubuhnya yang sudah tua itu amat kuat sehingga setua itu dia masih mampu bergerak menuruni lereng terjal itu dengan cepat tanpa merasa lelah dan juga tidak kedinginan walaupun diterpa hujan salju.
Adapun gadis muda itu, yang berwajah manis sekali, hanya dikenal dengan nama Bwee Hwa, adalah murid Sin-kiam Lojin. Maka, tentu saja ia sudah mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi dari kakek itu dan tidaklah aneh kalau ia mampu bergerak cepat tanpa kelelahan dan kedinginan. Gadis ini cantik jelita dan tampaknya demikian lemah gemulai sehingga melihat wajah dan bentuk tubuhnya, tidak akan ada orang menyangka bahwa dalam tubuh yang indah dan sempurna lekuk lengkungnya itu terkandung kekuatan yang amat dahsyat dan ilmu silat yang amat lihai.
Wajahnya bulat telur, dengan sepasang mata yang lebar, jeli, bercahaya jernih akan tetapi terkadang dapat mencorong tajam penuh wibawa. Hidungnya kecil mancung dan mulutnya berbentuk indah sekali. Sepasang bibir yang selalu merah segar itu amat menggairahkan. Tubuhnya yang padat dan indah, dengan kulit putih mulus itu mengenakan pakaian yang indah sekali, jauh berbeda jika dibandingkan pakaian Sin-kiam Lojin. Baju dan celananya terbuat dari sutera halus berwarna merah dengan sulaman kembang kuning di sana-sini.
Ia memakai sebuah baju luar berwarna kuning emas yang berkibar-kibar di belakang, terkadang kalau terhembus angin berkembang mirip sayap lukisan bidadari. Ketika jubah itu tersingkap, tampaklah sebatang pedang dengan sarung pedang terukir indah, tergantung di pinggang kiri. Sepatunya memakai sol besi dan berwarna hitam mengkilap. Bentuk tubuh dengan lekuk lengkung sempurna itu sedang saja dan tampak serasi, hanya rampingnya pinggang dan panjangnya leher dan kaki membuat ia tampak jangkung.
Guru dan murid itu berjalan cepat menuruni bukit, berjalan berdampingan tanpa bercakap-cakap. Kakek itu tampak tenang-tenang saja, akan tetapi si dara tampak gelisah atau tidak senang, sepasang alis yang hitam kecil melengkung itu berkerut. Pandang matanya juga menunjukkan bahwa hatinya sedang murung.
Setelah menuruni lereng-lereng terjal, terkadang harus melompati jurang, akhirnya mereka tiba di kaki bukit, dan mereka berhenti di sebuah jalan simpang tiga. Mereka saling pandang dan kakek itu berkata, suaranya besar dan penuh wibawa.
“Nah, Bwee Hwa, akhirnya tiba juga saatnya bagi kita untuk berpisah. Engkau ambillah jalan menuju ke timur ini, sedangkan aku akan mengambil jalan menuju ke barat.”
“Suhu (guru)……” tiba-tiba sepasang mata yang jeli itu terpejam. Bwee Hwa menahan agar kedua matanya yang terasa panas itu tidak sampai menitikkan air mata. “......mengapa suhu tidak mengijinkan
3
teecu (murid) mengembara bersama suhu! Selama teecu belajar dan ikut suhu, belum pernah teecu dilepas seorang diri di dunia yang luas ini……” ucapan itu mengandung penuh permohonan.
Sin-kiam Lojin mengerutkan alisnya yang putih, menatap tajam wajah muridnya penuh selidik dan kedua tangannya bertolak pinggang, sikapnya berwibawa sekali.
“Hemmmm, apa pula ini? Engkau…… takut……?”
Melihat sikap dan mendengar ucapan suhunya, tiba-tiba Bwee Hwa mengangkat mukanya dan memandang suhunya dengan sinar mata tajam. Kemuraman yang tadi menyelubungi wajahnya yang jelita itu lenyap seketika dan sepasang matanya bersinar-sinar, kepalanya tegak.
“Suhu! Teecu takut? Apakah teecu bukan murid suhu? Ah, teecu sama sekali tidak takut dan tentu suhu juga tahu betul akan hal ini. Akan tetapi, setelah hidup bersama suhu selama kurang lebih sepuluh tahun lamanya, dan selama itu suhu telah melimpahkan budi kebaikan kepada teecu, mendidik, memelihara, berupaya dengan susah dan penuh kasih sayang untuk menjadikan teecu seperti yang suhu harap-harapkan, kini…… suhu melepaskan teecu pergi begitu saja....”
“Muridku, memang demikianlah keadaan dalam kehidupan ini, sesuai dengan hukum alam, tiada yang kekal di dunia ini. Ada waktunya bertemu, ada waktunya berkumpul dan ada waktunya berpisah.”
“Suhu benar sekali. Akan tetapi, suhu telah teecu anggap seperti orang tua sendiri dan teecu belum diberi kesempatan untuk membalas semua budi kebaikan suhu. Suhu sekarang sudah tua, teecu ingin merawat suhu dan biarkanlah teecu membalas budi sebagai seorang murid atau anak yang berbakti.”
Sin-kiam Lojin menghela napas panjang, bukan karena duka, melainkan karena lega dan senang.
“Bwee Hwa, engkau tidak mengecewakan hati gurumu. Tidak sia-sia kiranya aku menculikmu dahulu dan mengambilmu sebagai murid. Akan tetapi engkau tidak usah merasa berhutang budi kepadaku, Bwee Hwa. Engkau tidak berhutang apapun kepadaku, karena akupun tidak merasa menghutangkan apa-apa kepadamu. Aku tidak merasa telah memberi apapun kepadamu dan kalau pelajaran ilmu silat itu kau anggap sebagai pemberian, akupun tidak kehilangan apa-apa. Asal engkau mempergunakan semua ilmu itu untuk membela kebenaran dan keadilan, menantang kejahatan, itu berarti engkau telah membayar segala jerih payahku mengajarimu, juga membayar segala jerih payahmu sendiri ketika mempelajari kepandaian itu. Tentang berbakti tadi.... hemm, engkau masih mempunyai orang tua, kepada merekalah engkau harus berbakti.”
Ucapan ini mengingatkan Bwee Hwa akan keadaan dirinya dan ia menatap wajah gurunya. “Teecu hampir lupa akan ayah ibu teecu. Setelah kini suhu ingatkan, harap suhu memberitahu, di mana teecu dapat menemukan mereka?”
Sin-kiam Lojin menghela napas lagi, sekali ini helaan napasnya karena dia seakan-akan merasa menyesal telah mengingatkan muridnya akan orang tuanya.
“Bwee Hwa, terus terang saja, aku sendiri tidak tahu di mana adanya orang tuamu karena mereka tidak memiliki tempat tinggal yang tetap.”
4
Bwee Hwa mengerutkan alisnya. “Tidak apa, suhu. Tolong suhu beritahu saja siapa nama ayah teecu karena sesungguhnya teecu telah lama lupa sama sekali akan nama ayah dan ibu.”
“Nama aselinya akupun tidak tahu. Akan tetapi ayahmu terkenal dengan julukan Kauw-jiu Pek-wan (Lutung Putih Tangan Sembilan).”
Bwee Hwa merasa penasaran. Sejak ia ikut dengan gurunya, setiap kali ia tanyakan, gurunya seolah tidak mengacuhkan pertanyaannya tentang orang tuanya dan sekarang ia menduga bahwa ayahnya yang mempunyai julukan seperti itu, tidak salah lagi tentu seorang yang terkenal di dunia kang-ouw sebagai seorang ahli silat yang pandai.
“Apakah yang menjadi pekerjaan ayah, suhu?”
“Aku tidak dapat menceritakan kepadamu, Bwee Hwa,” Sin-kiam Lojin menggeleng-geleng kepalanya. “Pernah kuceritakan kepadamu bahwa dahulu aku menculikmu karena aku melihat engkau berbakat baik dan aku ingin mengambil engkau sebagai muridku. Ketika engkau kubawa lari, aku mendengar orang memanggilmu dengan nama Bwee Hwa. Ketika itu engkau berusia kurang lebih delapan tahun. Tentu engkau akan dapat mengenal wajah orang tuamu kalau engkau bertemu dengan mereka. Cari saja Kauw-jiu Pek-wan dan engkau tentu akan bertemu dengan ayah ibumu. Percayalah bahwa kelak kita tentu akan dapat saling berjumpa lagi. Baik-baiklah engkau menjaga dirimu dan setiap menghadapi persoalan ingatlah akan semua petuah dan nasihatku agar engkau selalu mengikuti jalan yang ditempuh para pendekar. Nah, selamat berpisah, Bwee Hwa!”
Sehabis berkata demikian, kakek itu mengebutkan lengan bajunya dan tubuhnya berkelebat ke arah barat. Bwee Hwa menggerakkan tangannya hendak mengejar, namun ia ingat akan watak suhunya yang aneh dan keras. Sekali suhunya mengeluarkan kata-kata, tidak akan ditarik kembali atau ditunda-tunda. Maka iapun lalu menjatuhkan dirinya berlutut ke arah perginya Sin-kiam Lojin sebagai penghormatan terakhir.
Hatinya disentuh keharuan dan tak terasa lagi air matanya mengalir turun di sepanjang kedua pipinya. Ia merasa betapa ia sangat mencinta dan menghormat gurunya yang ia anggap sebagai pengganti orang tuanya itu.
Ketika akhirnya ia bangkit berdiri sambil mengusap air matanya dengan ujung lengan baju, ia teringat akan ayah ibunya. Ia lalu duduk di atas sebongkah batu besar yang berada di tepi jalan dan mengingat-ingat, mengenang masa kecilnya.
Samar-samar ia ingat bahwa ayahnya adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar yang mukanya penuh cambang bauk yang hitam. Wajah ayahnya itu gagah sekali dan juga menyeramkan seperti harimau. Yang terbayang dalam benaknya adalah bahwa suara ayahnya itu besar dan lantang, dan sepasang matanya lebar dan bundar, pandang matanya tajam.
Ia lalu mencoba untuk mengingat-ingat wajah ibunya dan terbayanglah dibenaknya wajah seorang wanita yang cantik berkulit putih dan wajahnya selalu kepucat-pucatan dengan sepasang mata yang selalu tampak sayu dan sedih. Mengingat ibunya, hatinya kembali diliputi keharuan dan bibirnya gemetar ketika ia berbisik, “Ibu……”
5
Kini ia hidup seorang diri. Dilepas sendirian di dunia yang luas ini, ia sama sekali tidak merasa khawatir atau takut. Ia hanya merasa kesepian. Dulu telah beberapa kali suhunya membawa ia berkeliling dari dusun ke dusun lain sehingga ia tidak merasa terlalu asing akan keadaan dusun-dusun dan kota. Juga di dalam buntalan pakaiannya yang tergantung di punggungnya terdapat beberapa potong uang perak pemberian suhunya untuk bekal dalam perantauannya.
Kalau ia kehabisan uang untuk biaya perjalanannya, suhunya berpesan bahwa boleh saja ia mengambil uang dari tangan para gerombolan perampok, atau dari rumah seorang pembesar yang terkenal korup, atau dari rumah seorang hartawan yang kikir dan suka menggunakan harta benda untuk berbuat sewenang-wenang.
Setelah menenangkan hatinya, Bwee Hwa lalu membenarkan letak buntalan pakaiannya, mengencangkan tali sepatu dan ikat pinggangnya, lalu berangkatlah ia menuju ke timur. Dengan hati tabah dan tekad bulat, ia mulai dengan pengembaraannya tanpa tujuan tertentu kecuali hendak mencari orang tuanya yang hanya dikenal sebagai Kauw-jiu Pek-wan dan akan mempergunakan semua kepandaian yang telah dikuasainya untuk membela kebenaran, keadilan dan kebaikan.
Kota Ki-ciu merupakan kota yang makmur dan ramai dikunjungi para pedagang dari daerah-daerah lain. Kota ini memiliki daerah petanian dan perkebunan yang subur dan terkenal sebagai daerah yang menghasilkan banyak buah-buahan, palawija, bahkan rempa-rempa. Hasil bumi yang banyak itu banyak dicari para pedagang yang membawanya ke luar daerah sehingga keadaan kota Ki-ciu menjadi ramai, penduduknya mendapatkan penghasilan yang cukup sehingga kehidupan mereka lebih makmur dibandingkan penduduk kota lain yang tidak memiliki tanah sesubur di daerah Ki-ciu. Karena keadaannya yang baik ini, makin lama kota Ki-ciu menjadi semakin besar.
Banyak pedagang menanamkan modalnya di situ, dan banyak penduduk daerah lain pindah ke daerah Ki-ciu untuk mencari nafkah. Kotanya sendiri semakin besar. Banyak toko-toko menjual segala macam kebutuhan. Banyak pula rumah makan dan rumah penginapan untuk melayani para pendatang dan pedagang yang bermalam di kota itu. Rumah-rumah besar dibangun untuk mengganti rumah-rumah butut. Tanah di daerah Ki-ciu, terutama di dalam kota, menjadi mahal sekali. Rumah-rumah besar dan bagus yang berderet-deret di sepanjang jalan raya kota itu menjadi lambang kemakmuran kota.
Pada suatu hari, kota Ki-ciu menjadi lebih ramai dari pada biasanya. Orang-orang yang berlalu-lalang di jalan raya, di daerah toko-toko dan rumah-rumah besar, tampak berseri-seri, dan banyak rumah yang dihias dengan kertas-kertas berwarna, bunga-bunga dan daun-daunan. Suasananya seperti kalau penduduk menyambut hari besar atau hari raya. Padahal hari itu tidak merupakan hari raya. Namun, penduduk kota Ki-ciu menyambut hari itu seperti sedang merayakan sesuatu yang menggembirakan.
Memang, sebagian besar penduduk Ki-ciu sedang bergembira, menyambut dan ikut merayakan hari ulang tahun Thio-taijin (Pembesar Thio) yang menjadi jaksa di kota Ki-ciu. Sungguh amat mengherankan kalau penduduk menyambut gembira perayaan hari ulang tahun seorang pembesar, apa lagi seorang jaksa! Padahal, pada waktu itu, pada umumnya rakyat membenci para pembesar yang mereka anggap sebagai penguasa yang suka menyalah-gunakan kekuasaan mereka, sewenang-wenang terhadap rakyat dan suka melakukan korupsi.
Akan tetapi, Thio-taijin terkenal sebagai seorang bangsawan dan jaksa yang adil dan jujur, dengan tegas dan adil membela kebenaran, suka membela rakyat kecil sehingga tidak mengherankan apabila dia disegani dan dicinta oleh penduduk kota Ki-ciu.
6
Namun, seperti lajim terjadi di bagian manapun di dunia ini, kalau ada yang diuntungkan pasti ada pula yang dirugikan. Kalau yang diuntungkan mencinta jaksa Thio yang adil itu, pasti banyak pula yang membencinya, yaitu mereka yang merasa dirugikan oleh keadilan sang jaksa. Yang jelas, para penjahat amat membenci Jaksa Thio karena dia tidak pernah memberi ampun kepada penjahat yang tertangkap. Dan tidak segan menjatuhkan hukuman berat kepada para pemerkosa, perampok, pencuri, penipu dan sebagainya.
Selain para penjahat, juga banyak hartawan membencinya, yaitu para hartawan yang suka bertindak sewenang-wenang mengandalkan hartanya, ingin menjadi “raja kecil”, suka membeli tanah rakyat kecil dengan paksa. Mereka ini membentur karang dan tidak berdaya menghadapi Jaksa Thio karena dalam segala perkara yang diajukan di pengadilan, Jaksa Thio bertindak tegas dan adil, memenangkan yang benar dan mengalahkan yang salah. Para hartawan itu sama sekali tidak mampu untuk menyogok atau menyuapnya. Bahkan yang berani coba-coba, ditindak tegas dan dihukum!
Para pembesar lain di kota Ki-ciu tidak ada yang berani banyak ulah berbuat sewenang-wenang mengandalkan kekuasaannya karena tentu akan ditentang Jaksa Thio. Mereka ini “terpaksa” ikut menjadi baik pula. Keadaan inilah yang menambah tenteram dan makmur para penduduk kota Ki-ciu.
Pagi itu Bwee Hwa memasuki kota Ki-ciu yang sedang dalam suasana gembira itu. Gadis yang bagaikan seekor burung baru meninggalkan sarangnya itu merasa gembira sekali. Ia berjalan perlahan, memandangi ke kanan kiri, memuaskan pandang matanya yang mengagumi keindahan gedung-gedung dengan cat beraneka warna dan ukir-ukiran yang menghias wuwungan atap dan tiang-tiangnya. Bahkan ia menjadi agak bingung melihat banyaknya orang lalu lalang di atas jalan raya, di depan toko-toko bagaikan rombongan semut!
Ketika tiba di depan sebuah kuil, ia menghentikan langkahnya dan memandang dengan penuh kekaguman. Pernah ia melihat kuil-kuil di dusun yang dilewatinya, akan tetapi tidak seperti ini. Kuil-kuil itu kecil sederhana saja. Akan tetapi kuil ini besar, dengan ukiran-ukiran dan tata warna indah sekali. Di atas atapnya terdapat ukir-ukiran sepasang naga sedang memperebutkan sebuah bola mustika. Di depan kelenteng terdapat banyak arca besar yang menggambarkan perajurit-perajurit yang gagah perkasa, arca yang besar dan megah. Dari dalam kelenteng tampak asap mengepul keluar dan tercium bau hio (dupa) yang harum.
Kuil ini menjadi tempat pemujaan terhadap Kwan Kong atau Kwan In Tiang, seorang panglima besar, seorang tokoh yang amat terkenal akan kesaktian, kegagahan, kesetiaan dan kejujurannya dalam kisah lama Sam Kok (Tiga Negara). Kuil ini memang terpelihara baik-baik karena Jaksa Thio adalah seorang pemuja Kwan Kong dan dia merayakan hari ulang tahunnya di kuil itu. Jaksa inilah yang membiayai pemeliharaan kuil sehingga masih tampak terawat dan indah.
Pada saat itu, orang-orang memenuhi halaman kuil, bahkan banyak yang berdesak-desakan di jalan raya depan kuil. Mereka berdesakan hendak melihat Jaksa Thio sekeluarga yang sedang menyalakan lilin-lilin dan hio, kemudian melakukan sembahyang di depan arca Kwan Kong yang sangat besar. Sebetulnya, hal ini sama sekali tidak aneh dan tidak ada harganya untuk ditonton. Apakah anehnya orang sembahyang? Akan tetapi ada sesuatu yang amat menarik perhatian sekalian banyaknya penonton yang sebagian besar adalah laki-laki itu.
7
Bwee Hwa yang berada di antara mereka mendengar percakapan mereka dan segera ia tahu bahwa yang membuat orang berjubal di tempat itu adalah untuk melihat seorang gadis yang ikut melakukan sembahyang dalam keluarga dalam kuil itu. Ia sendiri tidak mau berdesakan dan segera menjauh, lalu ia mendekati seorang wanita setengah tua yang juga ikut menonton dari kejauhan.
“Bibi yang baik, tolong tanya. Siapakah keluarga yang sedang bersembahyang di kuil itu dan kenapa begitu banyaknya orang berdesakan untuk menonton. Dan pula, suasana dalam kota ini seperti Orang-orang sedang merayakan pesta, ada perayaan apakah sebetulnya?”
Wanita setengah tua itu memandang kepada Bwee Hwa dan matanya terbelalak kagum. Jelas bahwa ia merasa kagum sekali akan kecantikan Bwee Hwa dengan pakaiannya yang berwarna merah dan mencolok indah itu.
“Aduh, nona. Kukira Thio-siocia (Nona Thio) sendiri yang datang di depanku! Aih, engkau tidak tahu apa yang terjadi dan tidak mengenal keluarga yang sedang bersembahyang dan menjadi tontonan? Kalau begitu, mudah saja menduga bahwa engkau tentu bukan orang sini!”
“Memang benar, bibi. Akan tetapi orang-orang itu berdesakan ingin melihat gadis itu. Siapakah ia?”
“Ia adalah Thio-siocia dan engkau mirip sekali dengannya, nona. Coba lihat, sungguh mirip! Heii, kalian lihatlah, bukankah nona ini mirip Thio-siocia?” Wanita itu tidak memberi keterangan kepada Bwee Hwa malah berteriak-teriak untuk menarik perhatian orang.
Beberapa orang laki-laki yang sedang berdesakan itu melotot dan mereka terbelalak memandang kepada Bwee Hwa dengan penuh kagum. Memang gadis ini mirip Thio-siocia, cantik jelita, bahkan lebih cantik ditambah gagah lagi. Mereka berseru kagum dan seruan ini membuat sebagian besar pria yang sedang menonton ke dalam menengok. Ketika mereka melihat Bwee Hwa, mereka semua memutar tubuh dan kini lebih banyak pria yang menengok ke luar daripada yang memandang ke dalam!
Tadinya para penonton pria memang terkagum-kagum kepada seorang gadis yang ikut bersembahyang. Gadis itu adalah puteri Jaksa Thio yang bernama Thio Cin Lan. Ia memang cantik sekali, bahkan terkenal sebagai kembangnya kota Ki-ciu! Sebagai puteri bangsawan tentu saja Cin Lan jarang sekali memperlihatkan diri di depan umum dan karena itu, semakin banyak saja pemuda yang merindukannya.
Bukan saja rindu karena berangan-angan kosong untuk memilikinya sebagai isteri, namun juga rindu untuk sekadar melihat dan mengagumi kecantikannya. Karena itu, tidak mengherankan kalau banyak sekali pemuda berdesakan di depan kuil itu hanya sekadar untuk dapat melihat wajah dan tubuh gadis yang disohorkan cantik jelita itu.
Thio Cin Lan atau penggilannya Thio-siocia (Nona Thio) bukan tidak maklum akan hal ini. Ia maklum bahwa dirinya menjadi pusat perhatian, maka ia bersembahyang dengan muka tunduk dan kedua pipinya yang putih mulus itu kemerahan karena ia merasa malu. Betapapun juga, ia tidak marah, bahkan sebaliknya, di lubuk hatinya ia merasa bangga dan girang, dan jantungnya berdebar.
Beberapa kali ia mencuri dengan sudut matanya mengerling keluar dan ia tersenyum geli melihat betapa pandang mata para pemuda itu bagaikan mata harimau yang kelaparan. Dan setiap kali ia mengerling dengan sudut matanya, setiap orang laki-laki merasa bahwa dirinyalah yang dilirik!
8
Akan tetapi tiba-tiba suasana di luar kelenteng (kuil) itu berubah. Para penonton pria itu banyak yang berbalik menonton keluar. Hal ini membuat Cin Lan merasa tidak senang dan heran. Ia cepat menyelesaikan sembahyangnya, kemudian ia memandang keluar. Karena tempat sembahyang itu agak tinggi, maka ia dapat melihat kepala dan dada Bwee Hwa dan tahulah ia bahwa gadis berpakaian merah itulah yang menjadi sebab para penonton membalik keluar dan tidak memperhatikan dirinya lagi. Ia merasa tertarik kepada gadis berpakaian merah itu dan segera berbisik kepada ayahnya.
“Ayah, di luar ada seorang gadis yang agaknya sangat ingin menonton perayaan kita dari dekat. Kasihan ia berdesak-desakan di luar. Iebih baik suruh ia masuk saja, ayah.”
Jaksa Thio adalah seorang tua yang baik hati. Pembesar yang usianya kurang lebih limapuluh tahun ini selain menjadi pejabat yang bijaksana, juga amat mencinta puterinya. Mendengar ucapan Cin Lan, dia segera berpaling dan memandang keluar. Dia segera dapat melihat siapa yang dimaksud puterinya. Melihat gadis berbaju merah itu menjadi pusat perhatian para penonton, Jaksa Thio lalu turun dari atas tempat sembahyang dan berkata kepada para penonton.
“Hai, saudara-saudara, berilah jalan kepada nona baju merah yang berdiri di luar itu agar ia dapat masuk!” Kemudian dia memandang kepada Bwee Hwa dan berseru, “Nona baju merah, silakan masuk saja, tidak baik berdesakan di luar!”
Melihat keramahan laki-laki tua berpakaian indah itu, Bwee Hwa merasa senang. Ia melihat wajah laki-laki yang berwibawa namun ramah dan sikapnya lembut, juga hormat kepadanya. Maka iapun tersenyum dan mengangguk. Kemudian ia melangkah masuk dan karena ia terhalang banyak orang, ia menggunakan kedua tangannya untuk mendorong perlahan ke kanan kiri, membuka jalan.
Dasar para pemuda, di mana-manapun sama saja. Melihat gadis baju merah yang jelita ini menggunakan tangan mendorong ke kanan kiri, banyak di antara mereka sengaja berdiri menghalang agar didorong dan disentuh tangan yang putih mulus itu. Inilah kesempatan untuk bersentuhan dengan gadis cantik jelita itu!
Akan tetapi, kalau tadinya mereka menanti sentuhan sambil tersenyum-senyum memasang gaya, pada saat tangan lembut itu mendorong perlahan, mereka terbelalak kaget dan senyum mereka seketika berubah menjadi seruan kaget karena mereka terdorong ke kanan kiri seperti dilanda gempa bumi saja! Mereka yang tidak menggunakan tangan untuk melawan dorongan itu, hanya terdorong minggir saja. Akan tetapi mereka yang menggunakan tenaga untuk melawan dan menahan dorongan Bwee Hwa, merasa tubuh mereka dilanda tenaga raksasa sehingga mereka menubruk orang di sampingnya dan terhuyung!
Hal ini hanya diketahui dan dirasakan oleh mereka yang bersangkutan saja. Thio-taijin sekeluarga dan orang lain tidak mengetahuinya sedangkan mereka yang merasakan tentu saja merasa malu untuk menceritakan betapa mereka terdorong sampai terhuyung oleh tangan halus gadis itu yang tampaknya hanya mendorong dengan perlahan saja.
Biarpun jarang bergaul, namun Bwee Hwa cukup diajar tata cara sopan santun oleh Sin-kiam Lojin. Ia mengangkat kedua tangan ke depan dada, menjura kepada Jaksa Thio. Akan tetapi karena ia tidak tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang bangsawan yang berkedudukan tinggi, maka ia berkata dengan lembut namun bersahaja.
9
“Lo-pek (paman tua), terima kasih banyak atas kebaikanmu.”
Tentu saja para keluarga Jaksa Thio dan para penonton yang mendengar ucapan itu terbelalak heran dan memandang khawatir dan tegang, takut kalau Jaksa Thio menjadi marah. Akan tetapi Jaksa Thio sendiri setelah memandang dengan kaget dan heran, lalu tertawa bergelak-gelak sampai kedua bola matanya menjadi basah. Dia benar-benar merasa geli hatinya karena selama hidupnya belum pernah dia disebut paman tua begitu saja oleh seorang gadis asing.
Sebaliknya Bwee Hwa yang melihat orang tua itu tertawa bergelak-gelak, ikut pula tertawa dan tawanya bebas, tidak menutupi mulutnya seperti kebiasaan gadis malu-malu sehingga mulutnya terbuka dan orang dapat melihat deretan gigi yang putih dan rapi, lidah dan rongga mulut yang merah. Bwee Hwa menganggap orang tua itu tentu girang sekali dan menurut pelajaran tata susila yang pernah ia dapatkan dari gurunya, jika orang-orang tertawa, biarpun ia tidak tahu apa sebabnya, maka sebaiknya iapun tertawa pula.
Melihat betapa Jaksa Thio dan gadis baju merah itu sama-sama tertawa besar, orang-orang yang tadinya terheran-heran kini semakin melongo keheranan dan saling pandang dengan muka bodoh!
“Ha-ha-ha-ha! Nona baju merah, engkau sungguh lucu sekali! Lucu dan baik!” kata Jaksa Thio sambil memandang kepada Bwee Hwa. “Engkau tentu bukan orang sini dan agaknya engkau seorang gadis kang-ouw karena aku melihat pedang tergantung di pinggang, di balik baju luarmu. Nona yang baik, siapakah namamu dan di mana tempat tinggalmu?”
Melihat di situ terdapat banyak bangku bundar yang terukir indah, tanpa diminta lagi Bwee Hwa lalu duduk di atas sebuah bangku sebelum menjawab pertanyaan itu. Melihat ini, Jaksa Thio tersenyum dan memberi isyarat kepada isteri dan puterinya untuk duduk. Mereka lalu duduk mengelilingi meja, berhadapan dengan Bwee Hwa. Setelah itu, Jaksa Thio lalu berseru kepada para penonton.
“Saudara-saudara, silakan mengambil tempat duduk dan merayakan ulang tahun kami bersama-sama!”
Seruan ini disambut dengan riuh gembira oleh semua penonton dan mereka lalu menduduki bangku-bangku yang memang telah disediakan di pekarangan itu. Jaksa Thio memberi isyarat kepada para pelayan untuk mengeluarkan hidangan kepada semua orang. Semua orang merasa girang dan berterima kasih sekali karena kembali pembesar itu memperlihatkan kebijaksanaan dan kebaikan hatinya terhadap siapa saja.
Setelah duduk berhadapan dengan Jaksa Thio dan anak isterinya, Bwee Hwa menjawab pertanyaan tadi dengan sikap sederhana.
“Namaku Bwee Hwa dan entahlah, aku sendiri tidak tahu apakah aku ini seorang gadis kang-ouw atau bukan. Aku juga tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Aku baru datang dari bukit Heng-san, berpisah dari guruku dan aku kini sedang merantau.”
Mendengar jawaban yang sangat terbuka dan sederhana ini mengertilah Jaksa Thio bahwa dia sedang berhadapan dengan seorang gadis yang benar-benar bodoh dan jujur, bukan seorang kang-ouw yang biasanya bersikap takacuh dan berani bersikap ugal-ugalan terhadap siapa saja. Maka diapun lalu memperkenalkan diri, isteri dan puterinya.
10
Biarpun kini ia tahu bahwa keluarga itu adalah keluarga bangsawan dan pembesar, sikap Bwee Hwa masih biasa saja, bersahabat dan tidak menjilat. Hal ini membuat Jaksa Thio menjadi semakin kagum. Dia sudah jemu dengan sikap orang yang biasanya amat menghormat, bahkan terkadang berlebihan seperti menjilat terhadap dirinya dan dia tahu benar bahwa penghormatan itu sesungguhnya bukan ditujukan kepada pribadinya, melainkan kepada kedudukan dan kekuasaannya!
Thio Cin Lan mengamati pakaian dan pedang Bwee Hwa dengan tertarik sekali. Pakaian Bwee Hwa itu indah dan juga ringkas, enak dipakai dan membuat gadis itu dapat bergerak leluasa, tidak seperti pakaiannya, pakaian seorang gadis bangsawan yang gedombrangan dan membuat ia tidak dapat bergerak leluasa.
“Berapakah usiamu sekarang? Engkau tampak masih sangat muda.”
Bwee Hwa memandang Cin Lan dan tersenyum. “Usiaku delapanbelas tahun.”
“Ah, masih muda sekali. Aku sudah sembilan belas tahun. Adik Bwee Hwa, dalam usia semuda ini engkau sudah berani berkelana seorang diri. Engkau tentu pandai sekali bersilat. Maukah engkau bersilat pedang sebentar untuk kami?”
Bwee Hwa memandang Cin Lan dan tersenyum menggeleng kepalanya. “Tidak, enci Cin Lan. Aku tidak mau.”
Jaksa Thio ikut membujuk Bwee Hwa untuk memperlihatkan permainan pedangnya. Pembesar ini suka sekali melihat pertunjukan silat, walaupun dia sendiri tidak sangat pandai bermain silat. Dia mempunyai banyak pengawal yang ahli dalam hal ilmu silat, bahkan di sekitar kuil itu terdapat banyak pengawalnya yang menjaga keselamatan keluarganya. Dia hanya ingin memeriahkan suasana dengan membujuk Bwee Hwa bersilat pedang dan dia mengira bahwa gadis itu hanya memiliki kepandaian silat biasa saja.
Akan tetapi ternyata Bwee Hwa juga menolak keras. “Tidak mungkin!” gadis itu menggeleng-geleng kepalanya. “Suhu bilang bahwa sekali-kali aku tidak boleh bermain-main dengan pedang, lebih-lebih untuk sekedar memamerkan kepandaian. Aku hanya mau mencabut pedangku dan memainkannya jika terjadi kejahatan dan ada orang yang perlu kubela dan kutolong. Harap kalian tidak kecewa dan tidak marah.”
Biarpun mulutnya tersenyum, namun di dalam hatinya Jaksa Thio menganggap bahwa Bwee Hwa terlampau angkuh. Akan tetapi karena ucapan gadis itu jelas sekali terdengar demikian berterus terang dan jujur, maka diapun tidak menjadi kecewa dan mereka lalu makan minum.
Bwee Hwa tidak merasa malu-malu atau sungkan-sungkan lagi. Setelah dipersilakan, ia lalu menggasak hidangan di atas meja karena memang sejak pagi tadi ia belum sarapan. Apalagi masakan yang dihidangkan di atas meja itu ternyata lezat dan belum pernah ia makan senikmat itu.
Jaksa Thio sekeluarga merasa geli dan juga senang melihat sikap Bwee Hwa dan cara makannya yang gembul itu. Mereka membiarkan saja gadis itu makan sampai kenyang dan ayah, ibu dan puteri mereka itu dengan ramah bergantian menawarkan masakan-masakan yang belum disentuh Bwee Hwa.
11
Akhirnya mereka merasa cukup dan melihat Bwee Hwa tidak makan lagi dan hendak menyusut bibirnya dengan ujung lengan baju, Cin Lan memegang lengannya dan menyerahkan sehelai kain lap putih yang memang disediakan untuk menyusut bibir dan tangan.
Bwee Hwa menerima dan tersenyum senang.
“Bwee Hwa,” kata Jaksa Thio yang mulai merasa akrab dengan gadis itu maka ia memanggil namanya begitu saja. “Engkau belum mengatakan siapa She (marga) dan siapa pula orang tuamu, di mana tempat tinggal mereka.”
Bwee Hwa mengerutkan alisnya akan tetapi ia menjawab juga.
“Aku tidak tahu siapa she-ku. Sejak kecil aku ikut suhu dan aku tidak tahu pula siapa nama orang tuaku, hanya ayahku berjuluk Kauw-jiu Pek-wan dan sekarang aku sedang mencari orang tuaku.”
Jaksa Thio mengangkat alisnya. “Akan tetapi, di mana tempat tinggal mereka?”
Bwee Hwa menggeleng kepalanya. “Aku tidak tahu, akan tetapi aku akan mencarinya.”
Jaksa Thio dan anak isterinya merasa suka dan iba sekali kepada gadis baju merah yang cantik jelita dan bersikap polos itu. Jaksa Thio juga tidak bertanya lebih lanjut agar tidak membangkitkan kenangan sedih dalam hati Bwee Hwa.
Pada saat keluarga Jaksa Thio dan semua orang sudah menyelesaikan perjamuan itu, tiba-tiba sebuah benda kecil hitam menyambar dari luar ke arah dada Jaksa Thio. Pembesar ini dapat melihat benda itu dan cepat mengelak dengan miringkan tubuhnya, akan tetapi gerakannya kurang cepat dan benda itu menancap di pundak kirinya. Jaksa Thio berteriak kesakitan dan semua orang terkejut. Benda hitam itu ternyata adalah sebuah senjata rahasia piauw (besi runcing bersayap).
Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring dari mulut Bwee Hwa dan gadis ini melompat ke atas. Kedua tangannya bergerak menangkap dua benda piauw lagi yang melayang ke arah tubuh Jaksa Thio. Piauw ke empat ia tendang dengan sepatunya sehingga senjata rahasia itu mencelat ke atas dan menancap pada langit-langit ruangan kuil itu. Akan tetapi pada saat itu, dari luar menyambar lagi empat buah piauw ke arah Jaksa Thio dan isterinya!
Bwee Hwa kembali mengeluarkan bentakan nyaring, cepat ia menyambitkan dua batang piauw di tangannya, dengan tepat mengenai dua batang piauw yang melayang dari luar sehingga runtuh. Kemudian dengan kepretan tangan ia menangkis dua batang lagi sehingga dua batang piauw itupun jatuh ke lantai.
Bwee Hwa lalu tersenyum kepada Thio Cin Lan dan berkata, “Enci Lan, engkau tadi ingin melihat aku bermain pedang? Nah, sekaranglah waktunya aku bermain pedang!”
Cin Lan hanya memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat dan tiba-tiba pandang matanya menjadi silau ketika Bwee Hwa tahu-tahu telah mencabut sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Itulah pedang mustika Sin-hong-kiam (Pedang Tawon Sakti) pemberian gurunya. Kemudian, dengan menggunakan jurus Sin-liong-coan-in (Naga Sakti Menembus Awan), tubuh Bwee Hwa melompat tinggi dan melayang keluar ruangan itu.
12
Di lain saat gadis baju merah itu telah bertanding di pekarangan kuil melawan tiga orang laki-laki yang berpakaian serba biru dan yang bertubuh tinggi besar. Bwee Hwa melihat betapa di bagian dada kiri tiga orang lawannya itu terdapat sulaman gambar seekor ular kecil bersayap. Mereka bertiga memegang golok dan ternyata ilmu golok merekapun cukup lihai.
Para pengawal Jaksa Thio hanya mengepung dari jauh. Mereka ada belasan orang, akan tetapi karena tadi ketika mereka hendak menangkap orang-orang yang menyerang Jaksa Thio dengan senjata rahasia, merekapun diserang dengan piauw dan tiga orang di antara mereka roboh. Karena itulah mereka menjadi gentar dan melihat nona baju merah itu bertanding seru melawan tiga orang penjahat, mereka hanya mengepung dan siap dengan senjata mereka.
Para penonton yang tadi ikut makan minum, menjadi ketakutan, akan tetapi karena perkelahian itu terjadi di pekarangan kuil, merekapun tidak berani keluar dan tinggal berkumpul dalam ruangan depan kuil itu sambil menonton pertandingan di pekarangan dengan muka pucat. Lima orang pengawal kini berdiri menjaga dan melindungi Jaksa Thio dan anak isterinya. Sikap mereka berlagak gagah-gagahan, seolah merekalah yang menyelamatkan keluarga itu!
Tiga orang laki-laki tinggi besar itu memang mahir sekali bersilat golok. Akan tetapi sekali ini mereka menghadapi murid Sin-kiam Lojin yang memainkan pedang pusaka ampuh dan ilmu pedangnya tinggi sekali. Belum sampai duapuluh jurus mereka bertempur, seorang pengeroyok telah roboh dengan pundak terluka tusukan pedang di tangan Bwee Hwa.
Dua orang pengeroyok lain yang sudah terdesak, tidak sanggup menandingi kelihaian Bwee Hwa. Mereka berseru keras dan melompat jauh, menyimpan golok mereka dan kedua tangan mereka bergerak. Dari masing-masing tangan mereka menyambar tiga batang piauw sehingga sekaligus ada dua belas batang piauw menyambar.
Bwee Hwa merasa kagum juga. Ia cepat memutar pedangnya sehingga piauw-piauw itu tertangkis runtuh. Akan tetapi ia mendengar jeritan di belakangnya dan ketika ia menengok, ia melihat betapa seorang penjahat yang tadi dirobohkannya telah tewas dengan dua batang piauw menancap di lehernya! Dan ketika dia memandang ke arah dua orang yang melarikan diri tadi, mereka sudah lenyap.
Bwee Hwa dengan tenang menyarungkan kembali pedangnya, lalu dipungutnya sebatang piauw yang tadi tertangkis runtuh ke atas tanah. Seperti semua piauw yang dipergunakan para penjahat itu, yang melukai jaksa Thio dan yang menewaskan penjahat, senjata rahasia itu berbentuk aneh. Kepala piauw itu berbentuk seekor ular bersayap. Ia teringat akan gambar sulaman di baju bagian dada kiri para penjahat.
Setelah seorang penjahat tewas dan dua orang melarikan diri, para penonton yang ikut berpesta bubaran tanpa sempat pamit atau berterima kasih kepada Jaksa Thio. Mereka menjadi ketakutan. Para pengawal kini sibuk berkumpul dekat keluarga Jaksa Thio dengan muka pucat. Ada pula yang mengurus mayat penjahat itu.
“Bwee Hwa, kami sekeluarga telah engkau selamatkan. Kalau tidak ada engkau di sini, besar kemungkinan kami tewas di tangan para penjahat. Marilah, Bwee Hwa, marilah ikut dengan kami ke rumah kami di mana kita dapat bicara dengan leluasa,” kata Thio-taijin setelah pundaknya diberi obat oleh kepala pengawal.
13
“Terima kasih, lopek. Aku hendak melanjutkan perjalananku,” Bwee Hwa menolak.
Cin Lan menghampiri dan merangkulnya. “Adik Bwee Hwa, marilah engkau ikut dengan kami ke rumah. Engkau bukan saja telah menyelamatkan kami, akan tetapi aku sudah menganggap engkau sebagai adikku sendiri. Marilah, Bwee Hwa!”
Nyonya Thio juga membujuk. “Bwee Hwa, kami mohon agar engkau suka ikut dengan kami. Kami khawatir sekali. Bagaimana kalau para penjahat itu datang lagi dan mengulangi serangan mereka kepada kami?”
Karena keluarga itu membujuk-bujuk dan Bwee Hwa sendiri juga khawatir kalau-kalau para penjahat itu akan mengganggu lagi, maka akhirnya ia ikut juga. Keluarga itu bersama Bwee Hwa lalu menuju ke rumah Jaksa Thio, dikawal oleh para perajurit pengawal. Di sepanjang perjalanan, banyak orang menonton karena berita tentang gadis baju merah yang amat lihai dan yang sudah menyelamatkan nyawa keluarga Jaksa Thio telah tersebar luas di seluruh kota Ki-ciu.
Jaksa Thio yang sudah mendapat perawatan dan lukanya tidak terasa terlalu nyeri lagi, lalu memanggil semua pengawal yang tadi bertugas mengawalnya. Dia memarahi mereka dan menyatakan penyesalannya bahwa mereka itu lalai dan lemah.
“Bagaimana mungkin ada tiga orang penjahat dapat menyerang kami padahal kalian belasan orang menjaga di sana?” Jaksa Thio menegur kepala pengawal yang bernama Kim Tiong, seorang perwira pengawal yang bertubuh tinggi besar dan berkumis tebal.
“Mohon beribu maaf, taijin,” Kim-ciangkun (Perwira Kim) berkata sambil memberi hormat. “Hamba dan teman-teman sudah berusaha menangkap mereka, akan tetapi mereka itu lihai sekali sehingga tiga orang anak buah hamba roboh terluka. Akan tetapi hamba telah tahu siapa mereka yang menyerang taijin tadi.”
“Hemm, bagus. Siapakah mereka yang seberani itu?”
“Mereka adalah anggauta-anggauta perkumpulan rahasia yang menamakan diri Hwe-coa-kauw (Agama Ular Terbang), taijin.”
Tidak hanya Jaksa Thio yang terkejut mendengar nama perkumpulan rahasia yang berkedok agama dan yang amat tersohor itu, bahkan Bwee Hwa juga terkejut.
“Jadi benarkah mereka itu para anggauta Hwe-coa-kauw?” kata Bwee Hwa. “Tadi telah kuduga ketika melihat senjata rahasia dan sulaman pada dada mereka. Suhu pernah bercerita tentang kekejaman dan kesesatan perkumpulan ini. Aku senang sekali telah dapat menghalangi niat jahat mereka tadi!”
“Bahkan lihiap (Pendekar wanita) telah berhasil membunuh seorang di antara mereka,” kata Kim Tiong dengan kagum.
“Bukan aku yang membunuhnya, akan tetapi kawan-kawannya sendiri. Agaknya mereka yang melarikan diri itu khawatir kalau kawan yang terluka itu akan membuka rahasia, maka mereka lalu membunuhnya dengan piauw mereka,” kata Bwee Hwa.
14
Jaksa Thio menggeleng-geleng kepalanya. “Memang demikianlah yang kudengar. Mereka itu menculik, membunuh, dan mereka selalu membunuh kawan mereka yang tertawan. Akan tetapi setahuku, perkumpulan jahat itu berada di daerah Tit-le. Kenapa mendadak mereka berada di sini dan datang-datang mereka itu hendak membunuhku?”
“Ah, sekarang aku merasa menyesal sekali mengapa tadi aku tidak mengejar dan menangkap yang dua orang lagi. Kupikir mereka tidak berhasil membunuh, dan seorang di antara mereka telah dapat kurobohkan, maka aku sengaja memberi keringanan kepada mereka dan membiarkan mereka pergi.”
“Betapapun, engkau telah berjasa besar menyelamatkan kami sekeluarga, Bwee Hwa,” kata Jaksa Thio dan dia lalu memerintahkan para kepala pengawal agar melakukan penjagaan dengan ketat agar jangan ada penjahat yang mampu datang mengganggu.
Ketika malam tiba, Cin Lan mengajak Bwee Hwa tidur di dalam kamarnya yang cukup luas dan indah. Bwee Hwa merasa senang sekali. Ia belum pernah bergaul dengan gadis sebaya, dan kini bertemu dengan Cin Lan yang amat ramah dan tidur sekamar dengan gadis itu, ia bergembira sekali dan mereka berdua ngobrol sampai jauh malam.
Lewat tengah malam, Bwee Hwa masih belum tidur. Suasana dalam kamar yang indah dan harum itu amat berbeda dengan tempat seadanya di mana ia biasa melewatkan malam. Mungkin terlalu nyaman dan terlalu indah, kasurnya juga terlalu lunak baginya sehingga ia malah sukar untuk jatuh pulas. Padahal, pernah ia terpaksa tidur di dalam sebuah kuil kosong yang pengap dan kotor, atau di dalam sebuah guha batu dan ia dapat tidur dengan nyenyak!
Tiba-tiba pendengarannya yang peka dan tajam karena terlatih, mendengar suara perlahan di atas atap. Ia menoleh dan melihat Cin Lan sudah tidur pulas. Wajah gadis itu lembut dan cantik sekali ketika tidur, bibirnya lersenyum.
Bwee Hwa cepat turun dari pembaringan, mengenakan sepatu, membereskan pakaiannya dan mencabut pedangnya. Ia merasa yakin bahwa suara itu tentu gerakan kaki orang di atas genteng, gerakan kaki yang menggunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) tingkat tinggi. Ia merasa heran bagaimana orang itu dapat tiba di atas genteng, padahal rumah jaksa Thio dijaga ketat oleh pasukan pengawal, dijaga bagian bawah dan bagian atasnya! Sekeliling gedung telah dikepung pasukan pengawal, namun masih saja ada orang yang dapat menyusup.
Dari tempat ia berdiri, yaitu di dekat jendela, Bwee Hwa meniup ke arah lilin kecil yang dibiarkan menyala di atas meja. Iilin itu padam dan Bwee Hwa lalu membuka daun jendela dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Ia melompat keluar dan pada saat itu ia mendengar teriakan-teriakan orang dan berkerontangannya senjata tajam beradu.
Suara itu terdengar dari atas genteng. Tahulah Bwee Hwa bahwa tentu para pengawal sudah memergoki penjahat dan kini mereka sedang mengeroyok penjahat itu. Maka cepat iapun keluar dan melompat naik ke atas genteng.
Benar saja dugaannya. Dia bawah sinar bulan yang cukup terang, Bwee Hwa melihat seorang laki-laki berkepala gundul sedang dikepung dan dikeroyok tujuh orang pengawal! Si kepala gundul itu
15
memainkan sebatang golok besar dengan hebatnya. Goloknya berubah menjadi segulungan sinar putih yang menahan serangan tujuh orang pengeroyoknya yang juga mempergunakan golok.
Namun, Bwee Hwa melihat jelas betapa sinar golok yang dimainkan si kepala gundul itu jauh lebih dahsyat daripada para pengeroyoknya sehingga ia mampu mendesak ke tujuh orang pengawal. Bahkan pada saat itu, tendangan kakinya mengenai dada seorang pengeroyok sehingga tubuhnya terguling-guling dan jatuh ke bawah, mengeluarkan suara berdebuk.
“Para bu-su (pengawal), serahkan bangsat gundul ini kepadaku!” bentak Bwee Hwa sambil melompat dekat. Para pengawal yang sudah merasa jerih, merasa lega mengenal suara Bwee Hwa dan mereka segera mundur, membiarkan gadis perkasa itu untuk menghadapi lawan yang lihai itu.
“Ha-ha-ha!” Si gundul tertawa sambil memandang kepada Bwee Hwa dengan sinar mata jalang. “Benar sekali kata-kata Tiat-ko (kakak Tiat). Nona baju merah ini selain hebat ilmu silatnya, juga amat cantik jelita!”
Di bawah sinar bulan Bwee Hwa yang sudah berhadapan dengan penjahat itu dapat melihat dengan jelas. Laki-laki bertubuh tinggi kurus itu berusia kurang lebih empatpuluh tahun, kepalanya gundul dan pakaiannya juga mirip jubah yang biasa dipakai para hwesio (pendeta Buddha), akan tetapi di dadanya sebelah kiri, di atas bajunya terdapat sulaman seekor ular bersayap! Tahulah ia bahwa hwesio ini tentu anggauta perkumpulan Hwe-coa-kauw itu. Perkumpulan penjahat yang berkedok agama! Pantas saja tokohtokohnya ada yang berpakaian seperti hwesio, dengan kepala digunduli.
“Hemm, engkau ini seorang pendeta mengapa menjadi penjahat? Percuma saja engkau berpakaian pendeta dan menggunduli kepalamu. Engkau hwesio palsu, penjahat yang berkedok pendeta!” Bwee Hwa memaki sambil menudingkan pedangnya ke arah muka orang itu.
Hwesio itu hanya tertawa, akan tetapi tiba-tiba kedua tangannya bergerak dan enam batang hwe-coa-piauw (Piauw Ular Terbang) sudah menyambar ke arah bagian tubuh Bwee Hwa yang cepat memutar pedangnya. Pedangnya berubah menjadi gulungan sinar yang melindungi tubuhnya dan semua piauw itu terpental ke kanan kiri. Tangan kiri gadis itu cepat merogoh sebuah kantung di pinggangnya.
“Makanlah ini!” bentak Bwee Hwa dan begitu tangan kirinya bergerak, sinar-sinar kecil berkeredepan menyambar ke arah tubuh si kepala gundul. Itulah hong-cu-ciam (jarum tawon), senjata rahasia berbentuk jarum yang dibagian belakangnya ada lubangnya sehingga ketika disambitkan dengan pengerahan tenaga dalam, jarum itu meluncur dan mengeluarkan bunyi berdengung seperti tawon! Tanpa menggunakan tenaga dalam yang amat kuat, tidak mungkin jarum-jarum itu dapat mengeluarkan suara berdengung seperti itu.
Hwesio palsu itu terkejut bukan main melihat senjata rahasia lembut yang menyambar sambil berdengung-dengung seperti sekumpulan tawon menyerangnya itu. Cepat dia memutar goloknya dengan gerakan Sian-jiu-khai-mo (Dewa Membuka Payung). Goloknya berubah menjadi gulungan sinar seperti payung yang menangkis semua jarum.
Melihat jarum-jarumnya gagal, Bwee Hwa lalu menerjang dan menyerang dengan pedangnya. Sinar pedangnya berkelebat dan sebuah tusukan kilat menyambar ke arah leher hwesio itu. Si pendeta palsu mengerahkan seluruh tenaga sakti dan menggunakan goloknya menangkis sekuat tenaga dengan maksud untuk membuat pedang lawan patah atau setidaknya terpental.
16
“Wuuutttt…… trangg....!!” Hwesio Hwe-coa-kauw itu terkejut setengah mati karena bukan pedang gadis itu yang patah atau terpental. Bahkan golok di tangannya hampir saja terlepas karena tangannya tergetar hebat. Kiranya gadis itu memiliki sin-kang (tenaga sakti) yang tidak kalah kuatnya! Dia lalu balas menyerang dan bersilat dengan hati-hati sekali karena maklumlah dia bahwa dia menghadapi seorang lawan yang amat tangguh.
Akan tetapi, gerakan pedang Bwee Hwa terlampau cepat dan tenaga sin-kang gadis itu terlampau kuat bagi pendeta Hwe-coa-kauw itu. Dia terdesak hebat dan nyaris tidak mampu balas menyerang. Akan tetapi pada saat itu, tampak sesosok bayangan berkelebat datang dan muncullah seorang hwesio lain yang memegang golok. Hwesio pertama menjadi girang.
“Sute (adik seperguruan), mari kita bunuh kuda betina liar ini!”
Ternyata hwesio kedua itupun lihai ilmu goloknya dan Bwee Hwa lalu dikeroyok dua. Namun gadis perkasa itu tidak menjadi gentar. Ia malah mempercepat gerakan pedangnya sehingga Sin-hong kiam itu berubah menjadi gulungan sinar yang lebar dan tubuh gadis itu lenyap dalam sinar pedangnya.
Ketika para pengawal yang belasan orang jumlahnya itu datang hendak membantu, muncul pula tiga orang hwesio lain. Pertempuran menjadi semakin hebat. Bwee Hwa tetap dikeroyok dua, sedangkan belasan orang pengawal itu mengeroyok tiga orang pendeta Hwe-coa-kauw yang baru muncul. Sayang sekali bahwa di antara para pengawal, hanya perwira Kim Tiong seorang yang kepandaian silatnya lumayan, sedangkan yang lain jauh di bawah tingkatnya. Oleh karena itu, maka amukan tiga orang hwesio yang baru datang itu membuat para pengawal kocar-kacir dan sebentar saja empat perajurit pengawal sudah roboh terkena sambaran golok tiga orang pendeta gundul itu.
Bwee Hwa maklum bahwa keadaan para pengawal terancam bahaya. Ia menjadi marah dan kini pedangnya menyambar-nyambar dahsyat dan mulut gadis itu mengeluarkan suara berdengung yang tinggi. Suara itu tidak keras, seperti dengung lebah-lebah yang mengamuk, akan tetapi karena suara itu dikeluarkan dengan pengerahan sin-kang, maka mengandung getaran yang dapat menggetarkan perasaan lawan sehingga melemahkan semangat lawan.
Usahanya itu berhasil baik. Kedua orang pengeroyoknya melemah pertahanannya dan dengan jurus Sin-liong-bhok-cu (Naga Sakti Menyambar Mustika) pedangnya meluncur dan seorang pengeroyok berteriak dan roboh bergulingan di atas genteng lalu jatuh ke bawah, tewas seketika karena dadanya tertembus pedang. Pengeroyok kedua terkejut bukan main dan melompat ke belakang.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar teriakan kebakaran dari belakang gedung dan tampak api berkobar menjilat-jilat ke atas payon. Melihat ini, sebagian para pengawal segera meninggalkan atap dan lari ke belakang untuk membantu teman-teman mereka yang berusaha memadamkan api agar jangan sampai menjalar ke bagian tengah gedung.
Bwee Hwa tidak berani meninggalkan atap itu karena ia harus melindungi Jaksa Thio sekeluarga. Ia mengamuk dan pedangnya menyambar-nyambar dengan ganasnya mendesak hwesio kedua yang tadi mengeroyoknya. Akan tetapi hwesio itu meloncat pergi melarikan diri dan terdengar suara mendesis-desis seperti ular. Suara itu menjadi isyarat bagi kawanan gerombolan Hwe-coa-kauw untuk melarikan diri.
17
Bwee Hwa menjadi marah. Tubuhnya melayang bagaikan seekor tawon terbang dan sekali pedangnya berkelebat, hwesio yang melarikan diri terkena babatan pedangnya sehingga sebelah kakinya buntung dan dia menjerit kesakitan, tubuhnya menggelinding dan terjatuh ke bawah. Akan tetapi tiga orang hwesio lain sudah melarikan diri dan menghilang dalam kegelapan malam.
Bwee Hwa melompat turun. Ternyata banyak juga pengawal yang terluka, bahkan ada juga yang tewas. Sedangkan yang berhasil dirobohkan hanya dua orang penjahat gundul yang roboh oleh pedangnya tadi.
Ketika ia hendak masuk ke bagian dalam gedung untuk melihat keadaan Jaksa Thio sekeluarga, tiba-tiba ia melihat Jaksa Thio berlari keluar dengan napas terengah-engah dan pembesar itu berteriak-teriak.
“Tolong…..! Tolong….. Cin Lan diculik penjahat……!” Dia melihat Bwee Hwa berdiri di situ dengan pedang di tangan. Jaksa Thio lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Tolonglah, Bwee Hwa...... tolong Cin Lan…… ia dibawa lari penjahat berkepala gundul……!”
Bwee Hwa tidak menunggu sampai pembesar itu habis berkata-kata. Tubuhnya berkelebat lenyap dari depan Jaksa Thio dan sebentar saja dara perkasa itu sudah berlari-lari di atas genteng mencari ke sana-sini. Akan tetapi dalam kegelapan malam yang hanya disinari bulan remang-remang itu, ke mana ia harus mencari?
Setelah mengejar ke mana-mana, mengelilingi kota tanpa hasil, ia teringat akan dua orang hwesio yang dirobohkannya tadi. Cepat ia kembali ke gedung Jaksa Thio. Dia situ orang masih sibuk menolong mereka yang terluka dan mengurus yang tewas. Dua orang pendeta palsu itu masih menggeletak di sana. Yang seorang telah tewas mandi darah sedangkan yang buntung sebelah kakinya sudah tiga perempat mati karena banyak mengeluarkan darah dan tidak ada yang sudi menolongnya.
Bwee Hwa menyeret tubuh penjahat itu ke tempat terang. Ia menotok pangkal paha kaki yang buntung untuk menghentikan keluamya darah dan mengurangi rasa nyeri. Hwesio itu bergerak perlahan dan membuka matanya, memandang muka Bwee Hwa dengan kagum dan benci.
“Engkau akan mati. Lebih baik engkau menebus dosamu dengan memberitahukan kepadaku di mana sarang kawan-kawanmu. Mungkin dengan jalan ini dosa-dosamu menjadi ringan,” kata Bwee Hwa.
Dengan susah payah orang gundul itu bertanya, “......engkau... engkau...... engkau... siapakah......?”
“Aku Bwee Hwa, murid Sin-kiam Lojin!” jawab Bwee Hwa tegas. Ia sengaja memperkenalkan nama gurunya yang dia tahu amat ditakuti para penjahat di dunia kang-ouw.
Kedua mata orang itu terbelalak, mukanya pucat sekali ketika dia memandang wajah Bwee Hwa. ““ahh…… engkau.... hong-cu…… Ang-hong-cu....!” setelah berkata terengah-engah itu kepalanya terkulai dan diapun tewas.
Bwee Hwa menghela napas panjang. Ia telah gagal memaksa orang itu mengakui di mana sarang Hwe-coa-kauw. Akan tetapi ia tertarik mendengar ucapan terakhir orang tadi. Ia dapat menduga bahwa pendeta Hwe-coa-kauw itu tentu mengenal baik nama besar gurunya dan tentu mengenal pula kesaktian gurunya yang pandai menggunakan senjata rahasia jarum yang disebut hong-cu-ciam (jarum tawon), maka tadi dia menyebutnya sebagai Ang-hong-cu. Tentu karena pakaiannya serba merah itulah. Ang-hong-cu?
18
Hemm, julukan yang tepat dan tidak buruk, bahkan lucu. Ia memang berpakaian merah, warna kesukaannya, dan ia pandai mempergunakan hong-cu-ciam, bahkan pedang pemberian gurunya juga disebut Sin-hong-kiam (Pedang Tawon Sakti)! Boleh juga, pikirnya. Mulai sekarang aku akan menggunakan julukan Ang-hong-cu!
Ia bangkit berdiri dan pada saat itu Jaksa Thio menghampirinya dan dengan suara gemetar dia bertanya mengenai Cin Lan, puterinya. Nyonya Thio berada di belakang suaminya, wajahnya pucat sekali.
“Harap lopek bersabar,” kata Bwee Hwa. “Aku sudah mencari ke seluruh penjuru kota, akan tetapi belum menemukan jejak penculik itu. Ketika aku memaksa keterangan dari penjahat yang terluka, sayang sebelum dapat memberi keterangan orang itu telah tewas.”
Mendengar ini, Nyonya Thio menjerit-jerit dan menangis sedih, sedangkan Jaksa Thio membanting-banting kaki dan menggeleng-geleng kepalanya dengan sedih dan bingung.
“Jahanam Hwe-coa-kauw! Kalau kamu hendak membunuhku, datanglah dan cobalah, jangan menggangu puteriku yang tidak berdosa!” teriak Jaksa Thio sambil mengamangkan kepalan tangannya ke arah genteng rumah.
“Lopek dan bibi, biarlah aku mencari enci Cin Lan sampai dapat!” Setelah berkata demikian, tubuh Bwee Hwa melayang ke atas genteng dan sebentar saja bayangannya sudah lenyap.
Malam telah hampir habis, terganti fajar yang berwarna putih keabu-abuan. Ketika Bwee Hwa sedang berlompatan dari sebuah genteng rumah ke genteng rumah yang lain, dengan gerakan cepat dan ringan sehingga tidak menimbulkan suara, tiba-tiba ia melihat bayangan orang berlari-lari di sebelah timur. Bayangan itu berlari di atas genteng dengan cepat sekali.
Bwee Hwa tentu saja menjadi curiga. Tak salah lagi, bayangan itu tentu seorang di antara para anggauta Hwe-coa-kauw, pikirnya, maka iapun cepat melompat dan melakukan pengejaran. Agaknya bayangan itu mengetahui bahwa dirinya dikejar orang. Dia mempercepat larinya dan sebentar-sebentar menengok ke belakang.
Dalam kejar-mengejar ini, keduanya terkejut dan heran karena mendapat kenyataan bahwa baik yang mengejar maupun yang dikejar tidak mampu mengubah jarak yang ada di antara mereka. Tidak dapat lebih dekat atau lebih jauh. Ini hanya berarti bahwa ilmu berlari cepat dan ilmu meringankan tubuh mereka setingkat dan seimbang! Hal ini membuat Bwee Hwa merasa penasaran sekali karena suhunya sendiri pernah mengatakan bahwa jarang ada orang yang mampu menandingi kecepatan larinya.
Mereka berkejaran terus sampai keluar dari kota. Kabut pagi menipis terusir cahaya matahari yang makin meninggi sehingga kini Bwee Hwa dapat melihat orang yang dikejarnya itu dengan jelas. Sebaliknya, orang yang dikejarnya itu ketika menengok, dapat melihat pengejarnya dengan jelas pula dan dia tertegun. Tak disangkanya bahwa orang yang sejak tadi mengejarnya adalah seorang gadis berpakaian serba merah. Diapun tersenyum dan menghentikan larinya, membalikkan tubuh dan menanti datangnya pengejar itu.
19
Bwee Hwa yang sudah merasa panas hatinya dan penasaran bahwa sejak tadi ia tidak mampu menyusul orang itu, begitu berhadapan segera menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka orang itu dan memaki. “Pengecut jangan lari kalau engkau memang gagah!”
Ternyata pelari itu adalah seorang pemuda yang berwajah cukup ganteng dengan bahu bidang dan tubuh yang agak pendek, hanya lebih tinggi sedikit ketimbang Bwee Hwa.
“Astaga, kukira siapa yang mengejar-ngejarku sejak tadi.......”
“Hemm, kaukira siapa?” bentak Bwee Hwa yang marah dengan suara ketus.
Pemuda itu tersenyum dan wajahnya tampak manis kekanak-kanakan kalau dia tersenyum lebar. “Kukira setan atau siluman, tidak tahunya.......” dia tidak melanjutkan kata-katanya dan mengamati gadis itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki, membuat Bwee Hwa merasa risi sekali.
“Tidak tahunya siapa? Hayo bicara yang jelas!”
“Tidak tahunya seorang bidadari baju merah yang cantik jelita dan galak!”
“Bangsat kurang ajar!” Bwee Hwa memaki lalu cepat ia menggerakkan pedangnya yang sejak tadi sudah dipegangnya, menyerang dengan tusukan ke arah dada pemuda itu. Gerakannya cepat dan mengandung tenaga sakti yang amat kuat, terbukti dari suara pedang itu yang menggetar ketika ditusukkan.
Pemuda itu terkejut, maklum bahwa gadis itu memiliki pedang yang amat berbahaya dan merupakan lawan yang lihai sekali. Diapun cepat mencabut pedangnya dan segera menyambut dengan gerakan tangkas, cepat dan bertenaga. Juga dia bersilat dengan hati-hati sekali. Setelah beberapa kali serangan Bwee Hwa dapat dia hindarkan dengan elakan cepat, tiba-tiba pedang gadis itu menyambar dengan babatan cepat ke arah lehernya. Tentu saja pemuda itu tidak mengehendaki lehernya dipenggal. Dari samping diapun menggerakkan pedangnya menangkis sambil mengerahkan tenaga sekuatnya.
“Tranggg……!” Bunga api berpijar menyilaukan mata dan pemuda itu terkejut bukan main. Ternyata tangkisannya tidak mampu mematahkan pedang di tangan gadis itu, bahkan tangannya tergetar ketika dua pedang bertemu, menunjukkan tenaga sin-kang (tenaga sakti) gadis itu benar-benar amat kuat!
Juga Bwee Hwa merasa tercengang. Tangan kanannya yang memegang pedang tergetar hebat dan biasanya, pedang lawan yang berbenturan sedemikian kuatnya dengan pedang Sin-hong-kiam (Pedang Tawon Sakti) di tangannya, pasti menjadi buntung. Akan tetapi pedang lawannya ini tidak apa-apa. Hal itu berarti bahwa pemuda itupun memiliki sebatang pedang pusaka yang kuat dan ampuh!
Mendapatkan kenyataan ini, Bwee Hwa menjadi penasaran sekali. Maka ia lalu mengerahkan seluruh tenaga, mengeluarkan semua kemampuannya, memainkan ilmu pedang yang khusus dirangkai oleh Sin-kiam Lojin untuknya, disesuaikan dengan pedang pusakanya. Pedang pusakanya itu bernama Sin-hong-kiam (Pedang Tawon Sakti), ada ukiran beberapa ekor tawon di sepanjang badan pedang. Gurunya telah merangkai ilmu pedang yang disebut Sin-hong-kiam (Ilmu Pedang Tawon Sakti).
Pedangnya berubah menjadi segulungan sinar, ujungnya berkelebatan seperti tawon menyambar-nyambar dan mulut gadis itu mengeluarkan suara berdengung lembut tajam seperti dengungan banyak tawon yang mengamuk. Itulah Sin-hong-kiam-sut!
20
Pemuda itu terkejut bukan main dan dia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk membela diri agar jangan sampai terdesak. Bukan hanya kecepatan gerakan pedang gadis itu yang membuatnya terkejut, terutama sekali suara dengungan seperti ada tawon-tawon yang mengiang-ngiang di dekat telinganya itulah yang membuat dia menjadi bingung. Suara itu sungguh membuat telinganya sakit, konsentrasinya buyar dan karenanya permainan pedangnya menjadi kacau.
Karena pemuda itu tidak bermaksud untuk berkelahi sungguh-sungguh dan tadi hanya ingin mencoba atau menguji saja, maka melihat kesungguhan gadis itu dalam penyerangannya, diapun melompat jauh ke belakang dan berseru, “Tahan......!”
Bwee Hwa menahan serangannya, menghentikan gerakannya dan dengan tangan kiri bertolak pinggang dan tangan kanan menggerakkan pedangnya melintang di depan dada, berkata dengan suara mengejek.
“Hemm, pengecut. Kalau sudah terdesak minta berhenti. Kau mau apa?”
Tiba-tiba pemuda itu memasukkan pedangnya kembali ke dalam sarung pedang, lalu tersenyum dan menjura dengan sikap hormat.
“Li-hiap (pendekar wanita), maafkan aku yang salah sangka. Tadinya aku mengira bahwa engkau adalah seorang anggauta Hwe-coa-kauw yang terkutuk itu, akan tetapi tadi setelah berhadapan denganmu, aku segera tahu bahwa engkau bukanlah anggauta gerombolan busuk itu. Aku tadi hanya ingin mengujimu dan ternyata engkau sungguh hebat dan lihai sekali, membuat aku kagum dan tunduk. Ketahuilah, pujianku ini bukan main-main untuk bermuka-muka, karena aku Ong Siong Li bukanlah laki-laki yang suka berbohong.”
Mendengar nama itu, Bwee Hwa menjadi ragu-ragu dan ia mengerutkan sepasang alisnya, mengingat-ingat. Suhunya pernah memperkenalkan nama orang-orang yang terkenal di dunia kang-ouw, sebelum ia berpisah dari gurunya itu. Dan kini ia ingat bahwa nama Ong Siong Li juga pernah disebut suhunya.
“Aku tadi juga menyangka bahwa engkau seorang anggauta Hwe-coa-kauw, maka aku mengejarmu karena aku memang sedang mencari-cari mereka. Namamu pernah kudengar dari suhuku. Bukankah engkau seorang tokoh Thai-san-pai (Partai Thai-san) yang berjuluk Kim-kak-liong (Naga Tanduk Emas)?”
Pemuda itu tersenyum lebar. “Ingatanmu sungguh kuat, nona. Memang benar akulah orang yang kaumaksudkan itu. Akan tetapi sebutan yang diberikan kepadaku oleh orang-orang dunia kang-ouw itu sungguh terlalu tinggi untukku.”
Kini Bwee Hwa tersenyum lega. Senyum yang membuat Siong Li terpesona karena begitu tersenyum, wajah cantik jelita yang tadi tampak galak itu berubah menjadi ramah dan manis bukan main. Bwee Hwa memasukkan pedangnya di sarung pedang yang tergantung di pinggang kiri. Ia maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang pemuda tokoh Thai-san-pai yang terkenal sebagai pendekar pembela kebenaran dan keadilan dan menurut suhunya pendekar muda itu memiliki kepandaian yang tinggi. Hal ini telah ia buktikan sendiri karena ketika tadi ia bertanding melawan pemuda itu, ia mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang pemuda itu tidak berada di bawah tingkat kepandaiannya sendiri.
“Memang kalau tidak bertanding lebih dulu kita tidak akan dapat berkenalan dengan baik seperti kata suhu dahulu,” kata Bwee Hwa.
21
“Maaf, nona. Suhumu yang mulia agaknya sudah mengenalku. Siapakah sesungguhnya nama suhumu? Dan siapa pula nama dan julukan nona sendiri kalau aku boleh mengetahuinya?”
“Suhu berjuluk Sin-kiam Lojin.......”
“Wah! Kiranya engkau murid locianpwe (orang tua gagah) itu? Dan namamu……”
“Namaku Bwee Hwa boleh juga disebut Ang-hong-cu (Si Tawon Merah).”
“Ah, pantas saja aku menjadi sibuk setengah mati menghadapi ilmu pedangmu. Tak tahunya engkau murid seorang ahli pedang yang hebat. Dan julukanmu tadi memang tepat sekali. Ketika tadi aku bertanding denganmu, aku merasa seolah-olah aku diserang ribuan ekor tawon yang luar biasa, membuat aku bingung dan permainanku menjadi kacau. Dan kalau tidak salah, locianpwe Sin-kiam Lojin adalah seorang ahli pula dalam mempergunakan senjata rahasia berupa jarum yang disebut hong-cu-ciam (jarum tawon). Tentu engkau pandai pula mempergunakannya. Pantas sekali kalau engkau disebut Ang-hong-cu. Dengan pakaian merahmu memang engkau seperti seekor tawon yang sengatannya dahsyat dan berbahaya sekali!”
“Hemm, sengatanku hanya kutujukan kepada para penjahat!” kata Bwee Hwa dan mukanya berubah agak merah oleh pujian pemuda itu. Diam-diam ia merasa suka kepada pemuda yang peramah dan wajahnya cerah gembira ini.
Karena merasa lelah setelah tadi berkejaran kemudian bertanding, Siong Li lalu duduk di atas sebuah batu besar yang berada di tepi jalan dan mempersilakan Bwee Hwa untuk duduk pula.
“Kita beristirahat sejenak agar lebih enak bercakap-cakap. Kukira, banyak yang dapat kita bicarakan tentang Hwe-coa-kauw yang sama-sama kita musuhi itu, bukan?”
Bwee Hwa mengangguk. “Agaknya engkau mengetahui banyak tentang perkumpulan gerombolan jahat itu. Ceritakanlah karena aku ingin menolong seorang gadis yang mereka culik.”
“Hemm, agaknya gadis yang aku tahu mereka larikan itu. Baiklah, aku mulai bercerita tentang asal usul mereka. Perkumpulan Hwe-coa-kauw sudah berdiri kurang lebih tigapuluh tahun. Timbulnya agama baru ini dari dunia barat. Pada suatu hari dari barat datanglah seorang pendeta perantau yang menyebarkan pelajaran tentang hidup yang baik dan benar. Pendeta ini mempunyai seekor ular yang aneh. Ular itu kecil saja, akan tetapi mempunyai keanehan. Ia mempunyai tonjolan di kanan kiri perutnya yang bentuknya seperti sayap dan ular itu dapat meloncat dan meluncur dengan cepat seperti seekor burung saja.”
“Mungkin ular kobra yang dapat mengembangkan lehernya,” kata Bwee Hwa.
“Mungkin saja. Akan tetapi ular kobra hanya dapat mengembangkan tubuh bagian leher saja, sedangkan ular kecil milik pendeta itu mengembangkan bagian perutnya mirip sayap. Karena itulah maka ular kecil itu disebut Hwe-coa (Ular Terbang) oleh penduduk.”
Siong Li melanjutkan ceritanya. “Pendeta itu bernama Leng Kong Hoatsu. Selain mengajar tentang budi pekerti baik, juga dia adalah seorang ahli pengobatan yang pandai dan banyak orang diselamatkan dari penyakit yang gawat. Sebetulnya ular itu hanya merupakan binatang peliharaan kesayangannya saja.
22
Akan tetapi karena pada jaman itu orang-orang masih sangat bodoh dan percaya akan tahyul yang bukan-bukan, segera tersiar kabar bahwa Leng Kong Hoatsu mendapatkan ilmu kepandaiannya itu berkat kesaktian ular terbang itu! Mulailah orang-orang memuja ular kecil itu sebagai penjelmaan dewa! Sia-sia saja usaha Leng Kong Hoatsu untuk membantah kabar itu sehingga akhirnya pendeta ini menjadi kecewa dan meninggalkan tempat itu, kembali ke dunia barat, di balik pegunungan Himalaya.
“Biarpun Leng Kong Hoatsu dan “ular terbangnya” telah tidak ada lagi, orang-orang tetap memuja ular terbang. Kebodohan dan ketahyulan orang-orang ini dimanfaatkan orang-orang jahat dan timbullah perkumpulan yang disebut Hwe-coa-kauw (Agama Ular Terbang). Perkumpulan agama baru ini sebentar saja mendapat banyak pengikut dan untuk mendapatkan “berkat” dari Dewa Ular Terbang itu, orang-orang rela menyerahkan uang dan harta benda mereka, disumbangkan kepada perkumpulan agama baru itu.
“Setelah muncul tiga orang pendeta, sebenarnya mereka itu adalah bekas perampok yang kini mengenakan pakaian pendeta dan mencukur rambut mereka, yang memimpin Hwe-coa-kauw, perkumpulan itu maju pesat. Hal ini karena tiga orang pendeta itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan pandai pula bermain sihir sehingga orang-orang menjadi semakin percaya. Tiga orang bekas perampok itu mengangkat diri mereka menjadi Kauw-cu (Ketua Agama). Tiga orang ini memilih para pembantu mereka dari golongan penjahat yang memiliki kepandaian silat tinggi. Para pembantu ini dilatih dan tak lama kemudian Hwe-coa-kauw menjadi perkumpulan yang kaya, kuat dan berpengaruh.
“Akan tetapi, seperti sering kali terjadi di dunia ini, siapa yang sadar akan kekuatan dan pengaruh mereka, akan muncul watak sewenang-wenang mengandalkan kekuatan itu. Demikian pula dengan Hwe-coa-kauw. Setelah merasa kuat, mereka tidak puas hanya dengan menerima sumbangan-sumbangan, dan mulailah tampak belang mereka. Tiga kauwcu dan para pembantunya yang memang berasal dari golongan sesat, mulailah melakukan perbuatan sewenang-wenang dan memaksakan kehendak mereka sehingga rakyat yang tadinya percaya dan kagum, mulai memandang dengan alis berkerut, dan akhirnya menjadi ketakutan dan membenci. Hwe-coa-kauw berubah menjadi perkumpulan orang jahat yang tidak segan melakukan perbuatan keji apapun juga. Bahkan mereka berani melakukan penculikan, perkosaan dan peram pasan hak milik orang lain!
“Karena inilah maka banyak pendekar pembela kebenaran dan keadilan bertindak. Mereka bersatu padu dan memusuhi Hwe-coa-kauw yang berpusat di Tit-le itu. Para pendekar dari berbagai partai persilatan ini berhasil mengobrak-abrik sarang Hwe-coa-kauw, membunuh banyak anak buah mereka. Akan tetapi tiga orang kauw-cu (ketua agama) itu berhasil melarikan diri bersama sisa anak buah mereka yang tinggal sedikit.”
“Aku mewakili perguruan Thai-san-pai bergabung dengan para pendekar itu,” Siong Li melanjutkan ceritanya. “Aku amat membenci para pimpinan Hwe-coa-kauw itu karena mereka telah membunuh seorang suheng (kakak seperguruan) yang pernah mencoba menentang mereka seorang diri saja. Maka setelah mereka melarikan diri, aku segera mengejar mereka dan melakukan penyelidikan. Akhirnya aku mendapat keterangan bahwa ke tiga orang kauw-cu itu menyusun anak buah mereka dan membangun sarang baru di sebuah hutan besar dekat kota Ki-ciu, maka aku segera menyelidiki ke sini.”
Bwe Hwa yang sejak tadi mendengarkan dengan penuh kekaguman, bertanya. “Dan engkau telah menemukan sarang mereka yang baru itu?”
23
“Kebetulan saja ketika aku sedang menyelidiki ke hutan, aku melihat mereka membawa lari seorang gadis. Aku segera mencoba untuk menolongnya. Akan tetapi ketika tiga orang pemimpin mereka yang mereka sebut Toa-kauwcu (Ketua Agama Pertama) Ji-kauwcu (Ketua Agama kedua) dan Sam-kauwcu (Ketua Agama ke Tiga) maju mengeroyokku, terpaksa aku melarikan diri karena aku tidak mampu menandingi pengeroyokan mereka yang lihai. Dan ketika melihat engkau mengejarku, kukira engkau seorang di antara mereka. Nah, sekarang ceritakan bagaimana engkau dapat bentrok dengan mereka dan siapa pula gadis yang mereka culik dan larikan itu.”
Bwee Hwa dengan singkat menceritakan tentang pertemuannya dan perkenalannya dengan Jaksa Thio dan anak isterinya. “Jaksa Thio itu seorang pejabat yang adil dan jujur. Isterinya juga ramah dan puterinya, Thio Cin Lan, adalah seorang gadis yang cantik dan lembut. Ketika malam tadi aku bermalam di rumah Keluarga Jaksa Thio, penjahat-penjahat itu menyerang dan aku cepat melawan mereka. Tidak tahunya mereka itu membakar belakang gedung dan selagi aku sibuk melawan penjahat dan semua pengawal memadamkan api, penjahat mempergunakan kesempatan itu untuk menculik Enci Cin Lan. Aku merasa heran sekali mengapa Hwe-coa-kauw itu memusuhi Jaksa Thio seperti itu?”
“Tidak aneh, li-hiap. Agaknya Hwe-coa-kauw bermaksud untuk menanam pengaruh di daerah Ki-ciu. Mendengar akan keadilan dan kejujuran Jaksa Thio, tentu saja mereka ingin menyingkirkan pejabat yang berbahaya bagi mereka itu.”
“Ong-taihiap (Pendekar Besar Ong), sukakah engkau bersamaku membasmi sarang Hwe-coa-kauw yang jahat itu dan menolong Thio Cin Lan?” tanya Bwee Hwa sambil menatap tajam wajah pemuda itu.
Ong Siong Li tersenyum. “Tentu saja, hal itu tidak perlu ditanyakan lagi. Akan tetapi harap engkau jangan menyebut tai-hiap (pendekar besar) kepadaku.”
“Tentu saja aku menyebut tai-hiap, karena engkaupun menyebutku li-hiap (pendekar wanita)!”
“Ha-ha, baiklah, aku yang salah, lalu aku harus menyebutmu bagaimana?”
Bwee Hwa juga tersenyum. “Jawab dulu pertanyaanku. Aku harus menyebutmu apa?”
“Kita orang segolongan dan sealiran, sudah seperti saudara sendiri. Karena aku sudah berusia duapuluh satu tahun dan tentu lebih tua ketimbang engkau, maka bagaimana kalau engkau menyebut aku toako (kakak) saja?”
“Baiklah, Li-ko (kakak Li) dan engkau sebut aku Hwa-moi (adik Hwa).”
“Hwa-moi, kalau begitu mari kita pergi menyelidiki sarang Hwe-coa-kauw di dalam hutan besar itu. Mereka menggunakan sebuah kuil tua yang sudah kosong sebagai sarang dan mereka telah membangun kembali kuil itu. Akan tetapi kita harus berhati-hati, karena tiga orang kauw-cu itu benar-benar lihai sekali.”
“Baik, mari kita pergi.”
Keduanya lalu bangkit dan pergi menuju sarang Hwe-coa-kauw dengan Siong Li sebagai penunjuk jalan. Dengan mempergunakan ilmu berlari cepat, tubuh kedua orang pendekar muda itu melesat seperti terbang saja cepatnya.
24
Thio Cin Lan membuka kedua matanya. Ia merasa seperti dalam mimpi, mimpi yang buruk sekali, bermimpi bahwa ia diculik seorang laki-laki berkepala gundul yang membawanya lari seperti terbang keluar dari rumah orang tuanya di Ki-ciu. Kini ia sudah terbangun dan tentu mendapatkan dirinya tertidur dalam kamarnya dan semua tadi hanya mimpi kosong belaka.
Ia membuka matanya, mengeluh lirih dan bangkit duduk, menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan. Ia tidak berada dalam kamarnya sendiri! Ia rebah di atas sebuah pembaringan bertilam merah, dalam sebuah kamar yang sama sekali asing! Oh, ia tidak bermimpi! Ia benar-benar diculik dan dilarikan orang lalu kini dikeram dalam kamar ini!
Cin Lan cepat turun dari pembaringan, bermaksud untuk melarikan diri keluar dari dalam kamar itu. Akan tetapi, tiba-tiba muncul lima orang wanita muda yang cantik-cantik dan mereka segera memegang kedua lengannya.
“Thio-siocia (Nona Thio), engkau tidak boleh keluar dari kamar ini. Seorang nona pengantin tidak boleh keluar dari kamar ini sebelum pernikahan disahkan!” kata seorang di antara lima wanita itu.
“Apa? Kau gila! Siapa yang menjadi nona pengantin? Siapa yang akan menikah?” bentak Cin Lan.
“Nona pengantinnya adalah engkau, Thio-siocia! Engkau yang akan menikah dengan Hwe-coa-sian (Dewa Ular Terbang) dan menjadi dewi!” jawab lima orang wanita itu hampir berbareng.
“Tidak! Kalian gila! Lepaskan aku……!” Cin Lan meronta-ronta dan mengamuk, akan tetapi lima orang gadis itu memeganginya dan tentu saja ia kalah kuat menghadapi lima orang wanita itu.
Cin Lan adalah seorang gadis terpelajar. Tentu saja ia tidak mau percaya sama sekali akan bujukan mereka yang penuh tahyul itu. Akan tetapi ia cukup cerdik untuk mengetahui bahwa ia berada dalam tangan orang-orang yang percaya akan tahyul, maklum bahwa ia berada dalam ancaman bahaya besar. Maka, ia pura-pura bersikap mengalah dan tidak meronta lagi sehingga lima orang wanita itu mengendurkan pegangan mereka. Cin Lan menggunakan kesempatan ini untuk tiba-tiba meronta dan berlari lepas dari tangkapan mereka, langsung lari ke pintu kamar yang terbuka.
Akan tetapi tiba-tiba ia menjerit kecil dan menahan larinya, bahkan lalu melangkah mundur sambil menatap wajah orang yang tiba-tiba muncul di ambang pintu dengan mata terbelalak. Yang muncul itu adalah seorang bertubuh tinggi kurus, berusia kurang lebih empatpuluh tahun dan ia ingat bahwa orang inilah yang menculiknya keluar dari rumah orang tuanya di Ki-ciu.
Laki-laki berpakaian jubah pendeta dan kepalanya gundul itu tersenyum mengejek. Wajahnya cukup tampan akan tetapi kulit mukanya pucat kekuningan. Inilah Sam-kauwcu (Ketua Agama ketiga) dan ketika lima orang gadis itu melihat dia memasuki kamar, mereka segera menjatuhkan diri berlutut dengan memberi hormat secara merendah sekali. Mereka menjulurkan kedua tangan ke depan dan mencium lantai, seperti para hamba yang memberi hormat kepada rajanya!
Pendeta tinggi kurus itu memasuki kamar dan menghampiri Cin Lan yang masih berdiri memandangnya dengan mata bersinar penuh keberanian dan kemarahan.
25
“Nona, mengapa engkau menentang nasibmu yang amat baik ini? Ketahuilah, jika engkau menjadi pengantin Dewa Ular Terbang, engkau akan menjadi dewi dan hidupmu akan berbahagia dan terhormat.”
Mengingat bahwa orang ini yang menculiknya, Cin Lan menjadi marah dan ia menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Sam-kauwcu lalu membentak, “Penjahat yang berkedok pendeta! Siapa sudi mendengar ocehanmu? Cepat antarkan aku kembali, kalau tidak ayah tentu akan mengirim para pengawal untuk menyeretmu di depan meja pengadilan dan menghukum dengan seribu kali cambukan!”
Sam-kauwcu tersenyum menyeringai dan berkata, “Kalau begitu, terpaksa kami menggunakan kekerasan!” Tangannya menyambar ke depan dengan cepat sekali dan tahu-tahu Cin Lan telah tertotok dua kali yang membuat ia menjadi lemas dan tidak mampu mengeluarkan suara. Lima orang wanita pelayan, itu cepat memeluk tubuh Cin Lan sehingga tidak jatuh terkulai di atas lantai.
“Cepat dandani ia dengan pakaian pengantin yang sudah dipersiapkan karena upacara pernikahan akan dilangsungkan hari ini juga!” kata Sam-kauwcu kepada lima orang wanita pelayan itu, lalu diapun keluar dari dalam kamar.
Thio Cin Lan sama sekali tidak berdaya melawan ketika ia dimandikan oleh lima orang wanita itu, kemudian pakaian baru dikenakan pada tubuhnya. Pakaian dalam dari sutera halus, lalu pakaian luamya adalah pakaian mempelai berwarna merah berkembang-kembang dari kain tipis tembus pandang sehingga bentuk tubuhnya yang langsing dan kulitnya yang putih mulus itu membayang di balik pakaian pengantin itu. Rambutnya disisir rapi dan digelung secara indah, dihias tiara penuh mutiara. Wajahnya juga dihias sehingga Cin Lan tampak benar-benar cantik jelita dan agung bagaikan seorang bidadari!
Lewat tengah hari terdengar bunyi canang dan tambur. Mempelai perempuan diarak keluar dari kamarnya menuju ke ruangan tengah di mana semua anggauta Hwe-coa-kauw telah berkumpul. Di tengah-tengah ruangan itu dikelilingi oleh para anggauta yang duduk agak jauh, terdapat sebuah bangku tinggi yang sudah dihias dengan bunga-bunga dan kertas berwarna.
Cin Lan yang masih berada di bawah pengaruh totokan, tak mampu meronta atau berteriak, dinaikkan ke atas bangku tinggi dan didudukkan di sana. Gadis yang tak berdaya itu hanya dapat duduk lemas dan sepasang matanya memandang dengan penuh rasa ngeri. Di depannya, kurang lebih dua tombak jauhnya, terdapat sebuah kotak emas yang tergantung oleh tali dari tiang penglari. Kotak itu seluruhnya terbuat dari emas dan diukir indah, ukiran berbentuk seekor ular yang sedang terbang. Walaupun tidak diberitahu, Cin Lan dapat merasakan bahwa bahaya yang mengancam dirinya tentu datang dari kotak emas yang aneh itu, maka ia memandang ke arah kotak emas itu dengan gelisah.
Semua anggauta gerombolan itu tidak ada yang mengeluarkan suara, hanya mata mereka memandang ke arah gadis itu dengan mata kagum dan penuh gairah. Dari pandang mata mereka tampak kesan seolah mereka hendak menelan gadis itu bulat-bulat! Hal ini terasa oleh Cin Lan dan menambah kengerian hatinya. Siapa takkan merasa ngeri, dalam keadaan tidak berdaya berada di tengah-tengah kurang lebih tigapuluh orang laki-laki yang tampak buas dan pandang mata mereka seperti orang berotak miring itu!
26
Di bawah gantungan kotak emas itu duduk tiga orang pendeta berkepala gundul dan berjubah longgar. Yang seorang bertubuh tinggi besar, mukanya brewok namun kepalanya gundul, matanya mencorong lebar, usianya kurang lebih limapuluh lima tahun. Inilah Toa-kauwcu, ketua agama yang pertama.
Yang kedua adalah seorang laki-laki berusia limapuluh tahun, pendek gendut sekali sehingga dia seperti seekor babi saja, wajahnya tampak lucu dan sama sekali tidak serem walaupun dia berusaha untuk membuat wajahnya tampak serem. Dia adalah Ji-kauwcu, ketua kedua. Adapun orang ketiga adalah Sam-kauwcu yang tinggi kurus berwajah pucat kekuningan dan berusia empatpuluh tahun itu. Mereka bertiga duduk di atas kursi-kursi berukir dengan gambar ular terbang.
Setelah menaikkan Cin Lan ke atas bangku tinggi itu, lima orang pelayan wanita itu lalu mengundurkan diri ke dalam kamar atau ruangan di bagian belakang bangunan besar bekas kuil itu, seperti para wanita pelayan yang lain. Mereka itu dilarang menyaksikan upacara perkawinan. Cin Lan ditinggalkan seorang diri dan gadis ini dengan wajah pucat ketakutan memandang ke sekeliling melalui kerudung pengantin yang berupa tirai tipis tembus pandang itu.
Kemudian tiga orang ketua agama itu berdoa dengan suara yang tidak jelas, seakan-akan hanya digumam saja. Akan tetapi aneh, semua anggauta yang berada dalam ruangan itu lalu menundukkan muka dan ikut berdoa sehingga ruangan itu penuh dengan suara orang berdoa yang menimbulkan gaung aneh dan suasananya menjadi seram sekali. Cin Lan mendengarkan dengan mata terbelalak dan bulu tengkuknya meremang karena ngeri dan takut. Toa-kauwcu lalu membakar dupa wangi yang asapnya memenuhi ruangan itu. Bau dupa yang harum aneh ini menambah suasana yang aneh dan menyeramkan.
Tiba-tiba semua mulut terdiam seperti mendapat komando tak bersuara. Suasana menjadi sunyi, sunyi yang aneh karena suara doa gemuruh tadi berhenti secara tiba-tiba. Tiga orang ketua agama itu lalu bangkit berdiri dan menghampiri Cin Lan yang duduk di atas bangku tinggi. Mereka menggeser kursi mereka ke dekat bangku tinggi yang diduduki Cin Lan, lalu mereka berdiri di atas kursi sehingga dapat berhadapan sama tingginya dengan gadis itu.
“Ya dewa ular yang maha agung, terimalah persembahan kami ini, pengantin paduka!” kata Ji-kauwcu dalam doanya sambil merenggut kerudung penutup kepala dan muka Cin Lan. Pada saat yang sama Sam-kauwcu membuka totokan pada urat gagu Cin Lan akan tetapi pada saat yang sama juga menotok pundak gadis itu sehingga Cin Lan menjadi lemas tak mampu bergerak sedikitpun. Gadis itu kini hanya mampu bersuara akan tetapi tidak mampu bergerak. Terdengarlah isak tangisnya yang ketakutan. Kalau saja ia tidak ditotok sehingga tak mampu bergerak, tentu Cin Lan akan melompat turun dari bangkunya yang tinggi.
Sementara itu, Toa-kauwcu menekan tombol yang terdapat pada kotak emas itu sehingga terdengar suara menjepret dan kotak emas itupun terbuka. Tampaklah dari kotak itu kepala seekor ular kecil yang menjulur keluar dengan sepasang matanya yang liar berwarna kemerahan dan lidahnya menjilat-jilat keluar dari moncongnya. Lidah itu lebih merah lagi warnanya.
Perlahan-lahan ular itu merayap keluar sehingga tampak tubuhnya yang kecil panjang berbintik-bintik merah dan hitam. Binatang itu merayap ke atas peti dan akhirnya melingkar diam di atas peti, kepalanya memandang ke sana-sini seperti seorang raja sedang memeriksa para hulubalangnya yang menghadap di depannya.
27
Agaknya ular itu hendak turun, akan tetapi peti emas itu tergantung begitu tinggi sedangkan untuk turun tidak terdapat tempat untuk merayap. Ular itu lalu menggerak-gerakkan kepalanya mencari tempat yang dekat untuk diloncati, dan tentu saja yang terdekat dengan tempatnya adalah Cin Lan yang duduk di atas bangku itu. Maka perhatian ular itu kini pindah seluruhnya kepada gadis itu yang duduk tak bergerak bagaikan patung di atas bangkunya.
Cin Lan terbelalak memandang ular itu. Melihat betapa binatang itu memandang kepadanya sambil menjilat-jilatkan lidahnya, Cin Lan menjadi begitu ngeri dan takut sekali sehingga air matanya mengalir membasahi pipinya yang pucat tanpa dapat mengeluarkan sedikitpun suara karena ditahan-tahannya hati yang ingin menjerit-jerit, takut kalau-kalau hal itu akan membuat ular itu menyerangnya.
Pada saat itu, Toa-kauwcu berdiri dari kursinya dan menghampiri Cin Lan yang hampir pingsan ketakutan. Kauw-cu ini memegang secawan anggur dan berbisik kepada Cin Lan.
“Nona pengantin, silakan minum anggur pengantin untuk menghormati pengantin pria.”
Tentu saja Cin Lan tidak sudi menerimanya, bahkan ia memandang pendeta tinggi besar itu dengan mata penuh sinar kebencian. Toa-kauwcu lalu berdiri di atas kursinya dan berkata lirih, “Betapapun juga, lebih baik mati minum racun daripada mati tersiksa.”
Mendengar ucapan ini, Cin Lan menganggap bahwa ucapan itu ada benarnya juga. Karena menyangka bahwa yang berada dalam cawan itu tentu racun yang akan mematikannya, cepat ia berkata, “Baik..... berikan anggur itu..... akan kuminum.......!”
Karena Cin Lan tidak dapat menggerakkan tubuhnya yang tertotok lemas, Toa-kauwcu lalu mengangkat cawan itu ke bibir Cin Lan dan menunangkan isi cawan ke dalam mulut gadis itu yang menerimanya lalu meminumnya sampai habis. Rasa minuman itu manis akan tetapi berbau amis, akan tetapi karena merasa lebih baik mati cepat daripada menghadapi siksaan yang mengerikan itu. Cin Lan menahan kemuakannya dan menelan semua isi cawan.
Toa-kauwcu tersenyum lalu turun dari kursi dan meninggalkan Cin Lan setelah dia membebaskan gadis itu dari totokan yang membuatnya lemas tak mampu bergerak tadi.
Gadis yang malang itu merasa betapa kepalanya menjadi pening dan pandang matanva kabur. Segala sesuatu tampak berpusing dan ia memejamkan kedua matanya, siap menerima datangnya kematian. Ia merasa tubuhnya ringan sekali dan anehnya, ia merasa nyaman, enak dan menyenangkan! Untuk beberapa saat lamanya ia memejamkan kedua matanya dan di depan mata yang terpejam itu ia melihat banyak macam warna beterbangan, berputar-putar dan berkilauan amat indahnya.
Ketika ia membuka mata kembali, sungguh heran, ia merasa segar dan senang sekali. Ia melihat betapa ular yang berada di atas kotak emas itu mengangkat kepalanya dan kini tampak jelas betapa di bagian dada dan perut ulat itu terkembang sayap di kanan kiri! Alangkah indahnya ular itu. Kulitnya yang bertotol-totol merah hitam itu mengkilap dan warnanya amat indah.
Cin Lan merasa suka sekali melihat ular itu, bagaikan seorang gadis melihat setangkai bunga atau seekor burung yang bulunya berwarna indah. Tanpa disadarinya sendiri gadis itu mengangkat kedua lengannya ke atas seolah-olah hendak dijulurkan dan hendak membelai ular yang kini siap hendak meloncat!
28
Semua anggauta Hwe-coa-kauw yang berada di situ memandang ke arah dua mahluk yang saling berhadapan itu dan mereka menahan napas dengan hati tegang. Mereka semua maklum bahwa sebentar lagi, “pengantin pria” itu akan melompat dan menerkam leher “pengantin wanita”, dalam gigitannya yang berbisa dan mematikan. Setiap tahun sekali terjadilah persembahan kurban seperti ini yang dipilih di antara gadis-gadis cantik. Dan tahun ini yang dipilih adalah Thio Cin Lan, yang selain cantik jelita dan menjadi kembang kota Ki-ciu, juga ia berdarah bangsawan dan terutama sekali puteri Jaksa Thio yang tidak disuka oleh Hwe-coa-kauw.
Suasana yang tegang memuncak dan semakin mencekam ketika orang-orang melihat betapa ular itu kini mengembang kan “sayapnya” yang sebetulnya hanyalah tubuh ular yang digepengkan sehingga menjadi lebar seperti sayap. Ular itu kini siap untuk “terbang” atau melompat ke arah Cin Lan yang berada di bawah pengaruh minuman perangsang itu, menanti ular kecil indah itu dengan senyum yang amat manis! Ular itu mendesis beberapa kali, kemudian tiba-tiba ia “terbang” melompat ke arah Cin Lan, meluncur ke leher gadis itu. Semua orang menahan napas melihat tubuh ular itu melayang, hati mereka penuh ketegangan.
Pada saat itu, dari luar jendela ruangan itu menyambar sinar-sinar kecil yang mengeluarkan suara berdengung seperti ada serombongan tawon kecil terbang masuk dan sinar-sinar kecil itu menyambar ke arah tubuh ular yang sedang meluncur di udara itu. Ular itu terpental di tengah udara sambil menggeliat-geliat dan jatuh ke bawah. Ketika tiba di atas lantai, ular itu berkelojotan sebentar lalu diam mati. Kepala dan lehernya penuh ditancapi jarum-jarum kecil. Itulah hong-cu-ciam (jarum tawon), senjata rahasia yang amat ampuh dari Bwee Hwa Si Tawon Merah!
Untuk sejenak keadaan menjadi sunyi dan semua orang yang berada di situ tercengang keheranan. Demikian pula tiga orang Kauw-cu yang sama sekali tidak menduga akan terjadi hal seperti itu. Mereka tertegun dan tak dapat berbuat sesuatu kecuali memandang bangkai ular pujaan mereka yang telah mati. Namun, keadaan ini tidak berlangsung lama. Segera mereka bertiga melompat dengan marah sambil mencabut senjata masing-masing.
“Jahanam busuk, jangan lari!” mereka berseru dan cepat mereka melompat keluar dari ruangan itu melalui jendela. Di luar jendela telah berdiri Bwee Hwa dan Ong Siong Li, menanti dengan sikap tenang dan dengan pedang di tangan kanan.
“Keparat, engkau berani datang lagi? Agaknya memang sudah bosan hidup!” teriak Toa-kauwcu yang segera mengenal Siong Li yang tadi pagi melarikan diri setelah menghadapi pengeroyokan mereka bertiga.
Siong Li tersenyum mengejek.
“Selama pedang ini masih berada di tanganku, aku takkan berhenti berusaha untuk membasmi Hwe-coa-kauw yang terkutuk!”
Bwee Hwa juga tidak mau kalah dan dengan pedang melintang depan dada, telunjuk tangan kirinya menuding ke arah tiga orang itu. “Kalian ini orang-orang sesat yang menyamar sebagai pendeta agama sesat. Kalau kalian ingin selamat, bebaskan nona Thio dan bubarkan perkumpulan jahat ini, lalu kalian menyerah kepada yang berwajib untuk menerima hukuman. Kalau tidak demikian, terpaksa kami turun tangan dan tidak saja kami akan membinasakan kalian bertiga, tapi juga akan kami obrak-abrik dan bakar sarang kalian ini!”
29
“Nah, bukankah engkau ini perempuan yang semalam telah membunuh beberapa orang anak buah kami? Bagus, tidak usah kami bersusah payah mencari, engkau telah datang mengantarkan nyawa ke sini!” teriak Toa-kauwcu.
“Bunuh mereka!” bentak Ji-kauwcu yang segera menyerang Bwee Hwa dengan serangan kilat. Pedangnya membacok ke arah leher gadis itu.
“Wuuuttt....... trang……” Bunga api berpijar ketika Bwee Hwa menangkis serangan itu dengan Sin-hong-kiam di tangannya. Tangan Ji-kauwcu tergetar dan tahu bahwa mereka akan dikeroyok, Bwee Hwa dan Siong Li cepat berlompatan keluar dari kuil untuk mencari tempat yang luas. Mereka tiba di luar kuil yang luas dan di sana mereka menanti tiga orang yang mengejar mereka.
Tiga orang Kauw-cu itu segera serentak menyerang dan terjadilah perkelahian dua lawan tiga yang seru sekali. Bayangan lima orang yang tangguh ini berkelebatan di antara gulungan lima sinar pedang.
Para anak buah Hwe-coa-kauw juga mengejar dengan senjata di tangan. Akan tetapi ketika mereka hendak maju mengepung dua orang muda itu, tiba-tiba terdengar sorak sorai menggegap gempita dan muncullah limapuluh orang perajurit pengawal di bawah pimpinan Thio-taijin sendiri!
Kiranya tadi sebelum memasuki hutan, Bwee Hwa dan Siong Li bersepakat untuk minta bantuan Thio-taijin mengingat bahwa gerombolan itu mempunyai banyak anak buah. Mendengar permintaan Bwee Hwa yang sudah mengetahui sarang gerombolan yang menculik puterinya, Thio-taijin yang marah dan ingin segera menyelamatkan puterinya turun tangan dan memimpin sendiri limapuluh orang perajurit pengawal ditemani para perwira yang memiliki ilmu silat tinggi, mengikuti Siong Li dan Bwee Hwa. Mereka berindap-indap menghampiri kuil di tengah hutan itu.
Karena semua anggauta Hwe-coa-kauw sedang sibuk mengadakan upacara “pernikahan” maka tidak ada yang mengetahui akan datangnya pasukan ini. Pasukan bersembunyi di luar kuil dan setelah melihat Bwee Hwa dan Siong Li keluar dan bertempur, melihat pula puluhan anak buah Hwe-coa-kauw siap mengeroyok, baru pasukan itu keluar sambil bersorak sorai dan dengan senjata di tangan.
Para anggauta gerombolan terkejut bukan main. Akan tetapi karena pasukan itu sudah menyerbu, tidak ada jalan lain bagi mereka. Terpaksa mereka melawan mati-matian dan terjadilah pertempuran yang hebat di depan kuil itu. Sementara itu Thio-taijin sendiri, dikawal beberapa orang perwira, menyerbu kuil yang sudah ditinggalkan para anggauta gerombolan yang bertempur di luar. Mereka hanya menemukan belasan orang wanita cantik yang dipaksa menjadi pelayan di situ. Para wanita ini berlutut dan menyerah tanpa perlawanan. Jaksa Thio mendapatkan puterinya di ruangan tengah, mengenakan pakaian pengantin.
Ketika melihat ayahnya, Cin Lan berlari menyambut dan jatuh pingsan dalam pelukan ayahnya. Cepat Jaksa Thio mem bawa puterinya pulang lebih dulu untuk merawat gadis itu dan menyerahkan pimpinan pasukan kepada para perwira.
Biarpun mereka melakukan perlawanan nekat, namun karena jumlah mereka kalah banyak, hanya kurang lebih setengahnya, maka gerombolan Hwe-coa-kauw dapat dihancurkan. Banyak di antara mereka yang yang terbunuh atau tertawan, sisanya melarikan diri cerai berai ke dalam hutan.
30
Sebagian perajurit lalu melakukan penggeledahan ke dalam kuil, menawan para wanita pelayan. Sebagian pula mengepung tiga orang kauw-cu yang masih bertanding melawan Bwee Hwa dan Siong Li. Mereka hanya berani mengepung dari jarak jauh karena ketika tadi mereka berusaha mengepung dari dekat dan membantu dua orang muda itu, baru beberapa gebrakan saja dua orang perajurit telah roboh terkena sambaran pedang tiga orang Kauw-cu yang lihai itu.
Memang kepandaian tiga orang kauwcu itu tangguh sekali. Ilmu pedang mereka berdasarkan ilmu pedang dari Go-bi-pai, walaupun mereka sama sekali bukan murid-murid perguruan besar itu. Entah bagaimana mereka dapat mencuri dan mempelajari ilmu pedang ini. Akan tetapi ilmu pedang Go-bi Kiam-sut itu sudah bercampur dengan ilmu silat aliran Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), sebuah perkumpulan besar berkedok agama yang suka menentang pemerintah dan juga tidak segan melakukan perbuatan jahat.
Tiga orang ini selain memiliki ilmu pedang yang kuat juga mereka memiliki tenaga sakti yang cukup tangguh di samping gerakan mereka cepat sekali. Karena inilah maka sampai sebegitu jauh Bwee Hwa dan Siong Li masih juga belum mampu mengalahkan mereka. Hal ini membuat Bwee Hwa merasa penasaran dan marah sekali. Diam-diam gadis perkasa ini mengeluarkan enam batang jarum kecil dan dengan mengerahkan tenaga, tangan kirinya bergerak tiga kali.
“Sambut hong-cu-ciam ini!” bentaknya.
Sebagai seorang pendekar, ia memberi peringatan lebih dulu kepada orang yang ia serang dengan senjata rahasia. Ini merupakan peraturan tak tertulis bagi para pendekar agar tidak dianggap curang. Terdengar bunyi dengung dan tiga orang kauw-cu itu disambar senjata rahasia itu, masing-masing dua batang jarum.
Mereka bertiga terkejut dan maklum akan hong-cu-ciam, mereka cepat memutar pedang untuk menangkis sehingga jarum-jarum itu runtuh. Akan tetapi kesempatan itu dipergunakan Bwee Hwa untuk menyerang hebat. Pedangnya berkelebatan dan dari mulutnya terdengar dengung tawon yang membuat tiga orang lawannya terganggu konsentrasinya. Juga Siong Li menyerang dengan dahsyat menggunakan kesempatan selagi gerakan tiga orang itu kacau setelah diserang hong-cu-ciam.
Agaknya Toa-kauwcu yang bertubuh tinggi besar, mukanya brewok dan kepalanya gundul itu merasa bahwa kalau melawan terus, dia dan kawan-kawannya tidak akan menang, bahkan keadaan dia dan dua orang sutenya (adik seperguruannya) amat berbahaya karena anak buah mereka telah dihancurkan, segera dia memberi isyarat dengan teriakan rahasia kepada dua orang saudaranya. Mereka bertiga lalu berlompatan ke belakang sambil mengeluarkan senjata rahasia piauw beracun dan tanpa memberi peringatan seperti kelicikan para tokoh sesat, mereka menyambitkan piauw ke arah Siong Li dan Bwee Hwa.
Dua orang muda ini sudah waspada sejak tadi, maka ketika ada sinar-sinar hitam menyambar, mereka berdua cepat memutar pedang. Sinar pedang mereka membentuk payung yang menjadi perisai diri dan semua piauw itu runtuh tertangkis sinar pedang.
Kesempatan ini dipergunakan oleh tiga orang ketua gerombolan Hwe-coa-kauw untuk berlompatan keluar dari kepungan perajurit pengawal dan melarikan diri. Tentu saja Bwee Hwa dan Siong Li tidak mau membiarkan mereka lolos. Dengan cepat mereka berdua melakukan pengejaran sambil mengerahkan ilmu berlari cepat mereka.
31
Setelah jarak antara mereka dan tiga orang kepala gerombolan itu cukup dekat, Bwee Hwa lalu menyerang dengan hong-cu-ciam (jarum tawon) ke arah orang yang berada paling belakang. Sinar lembut menyambar, terdengar dengung dan Ji-kauwcu yang bertubuh pendek gendut itu berteriak dan tubuhnya terpelanting. Sebatang jarum telah menancap di tengkuknya, membuat lemas dan sama sekali dia tidak dapat melakukan perlawanan ketika para perajurit pengawal datang lalu membelenggunya.
Melihat Ji-kauwcu roboh, Toa-kauwcu mewjadi marah sekali. Dia merasa sakit hatinya kepada dua orang pendekar yang telah mengobrak-abrik gerombolannya bahkan telah membunuh banyak pembantunya, maka dengan nekat dia lalu membalikkan tubuh dan mengamuk. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sam-kauwcu untuk melarikan diri. Ketua ketiga dari Hwe-coa-kauw ini memang memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi dan dia mampu berlari dengan amat cepatnya.
Siong Li berusaha mengejarnya, namun dia segera kehilangan jejak dan karena dia mengkhawatirkan keselamatan Bwee Hwa, dia cepat kembali dan ikut mengeroyok Toa-kauwcu. Tentu saja ketua Hwe-coa-kauw ini tidak mampu menandingi dua orang pendekar muda itu dan lewat belasan jurus saja dia sudah roboh dan tewas. Maka terbasmilah perkumpulan agama sesat Hwe-coa-kauw. Hanya Sam-kauwcu seorang yang berhasil meloloskan diri. Banyak anak buahnya tewas atau tertawan dan hanya sedikit yang melarikan diri cerai berai mencari keselamatan masing-masing.
Ketika Bwee Hwa dan Siong Li kembali ke sarang Hwe-coa-kauw, mereka disambut dengan penuh kegembiraan dan kehormatan oleh Jaksa Thio.
“Bagaimana keadaan Enci Cin Lan, lo-pek?” tanya Bwee Hwa kepada Jaksa Thio.
“Ia baik-baik saja, hanya terkejut dan sekarang sudah diantar pulang. Syukurlah, semua ini karena pertolonganmu dan Ong-taihiap (Pendekar Besar Ong). Kami sekeluarga berhutang budi kepada kalian berdua.”
“Ah, harap jangan bicara tentang budi, taijin. Kami berdua hanya melakukan apa yang menjadi tugas kewajiban kami,” kata Ong Siong Li.
“Aku ingin melihat keadaan Enci Cin Lan sebentar,” kata Bwee Hwa kepada Siong Li.
Pemuda itu mengangguk dan mereka semua lalu kembali ke kota Ki-ciu dengan gembira karena selain Cin Lan telah dapat ditemukan dan diselamatkan, juga gerombolan agama sesat Hwe-coa-kauw telah dapat dibasmi.
Setibanya di gedung keluarga Jaksa Thio, Bwee Hwa lalu pergi ke kamar. Ia melihat Cin Lan dalam keadaan sehat. Gadis bangsawan yang mengalami peristiwa yang amat mengerikan dan menakutkan itu kini sedang tidur pulas. Bwee Hwa tidak mau mengganggunya, lalu mengambil buntalan pakaiannya dan menuju ke luar di mana Siong Li duduk bersama Jaksa Thio. Melihat gadis itu keluar dan sudah menggendong buntalan pakaiannya, Jaksa Thio terkejut sekali. Dia cepat bangkit berdiri. Siong Li juga bangkit dari duduknya.
“Eh, Bwee Hwa, engkau menggendong buntalan pakaianmu? Hendak ke manakah?”
32
Nyonya Thio juga datang berlari dari dalam. “Bwee Hwa, jangan pergi sekarang. Tinggallah dulu di sini selama yang kaukehendaki! Kami senang engkau berada di sini!”
Bwee Hwa tersenyum dan menggeleng kepalanya. Ia tahu bahwa kalau ia lebih lama tinggal di situ, ia hanya akan menerima pujian-pujian dan penghormatan-penghormatan yang sesungguhnya sama sekali tidak ia kehendaki atau cari.
“Tidak mungkin, lopek dan bibi. Aku masih mempunyai banyak urusan yang harus kuselesaikan. Maka aku harus pergi sekarang juga melanjutkan perjalananku. Kelak, kalau aku lewat di kota ini pasti aku akan singgah untuk menanyakan keselamatan kalian dan Enci Cin Lan.”
“Thio-taijin, apa yang dikatakan Hwa-moi tadi memang benar. Kami masih mempunyai banyak urusan masing-masing yang harus diselesaikan. Karena itu, sayapun mohon pamit!”
Jaksa Thio dan isterinya mencoba untuk menahan. Akan tetapi Bwee Hwa tidak dapat ditahan. Bahkan ketika Jaksa Thio menawarkan pemberian uang untuk bekal, baik Bwee Hwa maupun Siong Li menolak dengan halus. Mereka berdua lalu pergi meninggalkan Jaksa Thio dan isterinya yang hanya dapat mengikuti mereka dengan pandang mata heran dan kagum.
Setelah tiba di luar kota Ki-ciu, Bwee Hwa berhenti di sebuah perempatan dan ia berkata, “Li-ko, sekarang kita harus berpisah di sini. Engkau teruskanlah perjalananmu dan aku akan melanjutkan perjalananku sendiri.”
Siong Li tidak memperlihatkan rasa kecewa yang menyelubungi hatinya. Dia masih tersenyum ketika berkata, “Hwa-moi, apa salahnya kalau kita mengambil jalan bersama? Apakah engkau mempunyai tujuan tertentu?”
Bwee Hwa menggeleng kepala. “Kurasa lebih baik kita mengambil jalan masing masing, Li-ko. Tidak baik kalau engkau berjalan denganku karena hal itu akan mengakibatkan urusanmu sendiri terbengkalai. Aku hendak mencari seseorang.”
Ong Siong Li maklum bahwa gadis itu merasa tidak enak kalau harus melakukan perjalanan bersama dia dan diapun maklum akan hal ini, karena sebagai seorang gadis, tentu saja Bwee Hwa merasa malu untuk melakukan perjalanan bersama seorang pemuda yang sama sekali tidak ada hubungan apapun dengannya. Bahkan berkenalanpun baru saja! Dia menghela napas panjang dan bertanya.
“Tidak apalah kalau kita harus berpisah, Hwa-moi. Mungkin dan mudah-mudahan saja kelak kita akan dapat saling berjumpa kembali. Akan tetapi tentang orang yang kau cari itu, siapakah dia kalau aku boleh mengetahuinya?”
“Namanya akupun tidak tahu. Aku hanya mengetahui bahwa julukannya adalah Kauw-jiu Pek-wan (Lutung Putih Tangan Sembilan).”
Setelah berpikir dan mengingat-ingat berapa lamanya, Siong Li lalu berkata, “Aku pernah mendengar nama julukan yang cukup terkenal itu, akan tetapi aku belum pernah bertemu dengan orangnya.”
“Di mana dia tinggal?” tanya Bwee Hwa, ingin tahu sekali.
33
Siong Li menggeleng kepalanya. “Menurut pendengaranku, dia adalah seorang tokoh kenamaan yang menjagoi beberapa belas tahun yang lalu, akan tetapi akhir-akhir ini tidak terdengar lagi namanya. Dahulu dia menjagoi di daerah utara, sekarang entah berada di mana, akupun tidak pernah mendengar lagi tentang dia.”
Bwee Hwa kecewa mendengar bahwa kawan baru ini tidak tahu di mana orang yang dicarinya itu berada.
“Sebetulnya dia itu orang apakah? Apa kedudukannya dan apa yang dikerjakannya? Melihat julukannya, tentu dia seorang ahli silat yang tangguh.”
Siong Li memandangnya dengan sinar mata heran. “Engkau mencari dia akan tetapi tidak tahu dia itu orang macam apa? Sungguh aneh sekali. Kauw-jiu Pek-wan adalah seorang perampok tunggal yang namanya ditakuti orang karena kejam dan lihainya. Engkau mencari dia ada urusan apakah, Hwa-moi? Hati-hati, dia seorang yang lihai sekali, dan terkenal amat kejam dan menurut apa yang pernah kudengar, dia suka mengganggu wanita.”
Tiba-tiba muka Bwee Hwa menjadi merah. “Ah, tidak ada apa-apa. Terima kasih atas semua keteranganmu, Li-ko. Nah, biarlah kita berpisah di sini.”
Biarpun hatinya terasa berat harus berpisah dari gadis yang baru saja dikenalnya akan tetapi yang amat dikaguminya dan amat menarik hatinya itu, Siong Li tidak dapat membantah. Mereka lalu mengangkat kedua tangan dada, saling menghormat.
“Selamat berpisah, Li-ko.”
“Selamat jalan, Hwa-moi. Semoga Thian (Tuhan) selalu melindungimu.” Mereka mengambil jalan masing-masing. Bwee Hwa menuju ke utara dan Siong Li menuju ke timur.
Bwee Hwa berjalan seorang diri. Ia tidak memperhatikan ke mana ia menuju. Ia membiarkan dirinya ke mana saja kedua kakinya membawanya. Pikirannya melamun tiada hentinya, mengenang apa yang ia dengar dari Ong Siong Li tentang Kauw-jiu Pek-wan. Dia itu, ayah kandungnya, adalah seorang perampok yang amat lihai dan amat kejam! Alangkah rendahnya! Jadi, ia adalah puteri seorang perampok, seorang penjahat?
Ia mencoba untuk membayangkan lagi wajah seorang laki-laki yang diingatnya sebagai ayahnya dahulu. Seorang laki-laki tinggi besar bermuka seperti harimau dengan sepasang mata bundar besar dan suara yang keras dan kasar. Memang pantas kalau ayahnya menjadi perampok, akhirnya ia menarik kesimpulan sebagai hasil lamunannya itu dan ia menghela napas dalam. Inilah agaknya yang menjadi sebab mengapa gurunya tidak pernah mau menceritakan siapa sebetulnya ayahnya itu. Agaknya sudah mengetahui bahwa ayahnya adalah seorang penjahat kejam.
Bwee Hwa menghampiri sebatang pohon besar dan duduk di atas sebuah batu besar yang berada di bawah pohon itu. Timbul perasaan ragu dalam hatinya untuk melanjutkan pencarian terhadap ayahnya. Ia merasa malu memikirkan keadaan ayahnya sebagai seorang perampok, sebagai seorang penjahat besar yang kejam, bahkan yang menurut Siong Li tadi, seorang pengganggu wanita! Akan tetapi tiba-tiba ia teringat akan wajah ibunya. Ia masih ingat bahwa ibunya adalah seorang wanita yang cantik, akan
34
tetapi seingatnya wanita cantik ibunya itu selalu diliputi kedukaan, sinar mata itu selalu sayu dan tak bersemangat. Ia menjadi terharu dan bibirnya berbisik lirih.
“.......ibu.......”
Seketika lenyaplah semua keraguannya. Ia bukan hendak mencari ayahnya yang menjadi perampok jahat dan kejam, akan tetapi ia hendak mencari ibunya! Ibunya yang terkasih, ibunya yang cantik jelita dan ibunya yang selalu bersedih itu.
Menurut keterangan Siong Li tadi, ayahnya dahulu menjagoi di daerah utara. Karena itulah ia tadi memilih jalan yang menuju ke utara. Bwee Hwa bangkit dan melanjutkan perjalanannya, menuju utara. Mudah-mudahan ia akan dapat menemukan ibunya. Kini hanya ibunya yang menjadi tujuan perjalanannya. Ia mencari Kauw-jiu Pek-wan hanya untuk dapat bertemu dengan ibunya.
Karena ia tidak mengenal jalan dan hanya ngawur saja menuju ke utara, maka ketika bukit Siauw-liong-san menghadang di depannya, iapun langsung mendaki bukit itu. Bukit yang penuh hutan lebat dan besar, hutan-hutan liar yang jarang dimasuki orang dan bukit itu terkenal sebagai sarang gerombolan penjahat yang ganas. Orang-orang yang tinggal di daerah itu mengenal tempat ini dan tidak ada pemburu yang berani memburu binatang di hutan-hutan itu, tidak ada pedagang yang berani melalui jalan di hutan itu.
Berhari-hari Bwee Hwa keluar masuk hutan dan masih juga ia belum dapat keluar dari bukit penuh hutan liar itu. Ia kehabisan bekal roti kering yang dibelinya di sebuah dusun yang terakhir dilewatinya, dan sudah dua hari ia terpaksa mencari buah-buahan di hutan untuk dimakan. Bahkan ia terpaksa makan pupus-pupus daun agar jangan mati kelaparan. Baru gadis ini merasakan betapa susahnya melakukan perjalanan merantau ke daerah yang asing dan tidak dikenalnya sama sekali.
Setelah berputar-putar dalam hutan-hutan di atas bukit itu selama lima hari, pada hari keenam karena kesal dan bingung ia melompat ke atas cabang pohon lalu memanjat naik ke puncak pohon yang tinggi itu untuk melihat keadaan sekeliling mencari kalau-kalau ia dapat melihat sebuah dusun tak jauh dari situ. Tiba-tiba dari atas melayang turun dua titik hitam.
Setelah dekat, ternyata bahwa dua titik hitam itu adalah dua ekor burung kim-gan-tiauw (rajawali mata emas), semacam burung rajawali yang besar sekali dan matanya berwarna kuning emas dan bersinar mencorong! Kedua ekor burung itu mengeluarkan suara teriakan melengking dan langsung menyerang Bwee Hwa dengan sambaran kuku cakar mereka yang tajam dan runcing melengkung.
Bwee Hwa terkejut bukan main dan cepat ia melompat ke bawah pohon dan langsung mencabut pedangnya. Ia melihat dua ekor burung itu melayang turun. Bukan main besarnya burung-burung itu, ketika berdiri di atas tanah, tingginya hampir sama dengannya! Burung-burung rajawali raksasa itu masih memekik-mekik nyaring dan mereka lalu menerjang dengan paruh mereka yang kokoh kuat sambil mengibas-ngibaskan sayap mereka yang besar.
Bwee Hwa tidak merasa takut. Gadis perkasa ini bergerak cepat menghindarkan diri dari terjangan mereka dan membalas dengan serangan pedangnya.
“Trak-tranggg……!” Bwee Hwa terkejut sekali. Ketika pedangnya bertemu dengan paruh burung, paruh itu tidak terpotong dan bahkan tangannya yang memegang pedang tergetar saking kuatnya tenaga
35
burung-burung itu. Dan kibasan sayap-sayap mereka mendatangkan angin kuat sehingga amat sukar bagi Bwee Hwa untuk menyerang. Menghadapi dua ekor burung rajawali itu, agaknya ilmu silat dan kecepatan gerakan gadis itu tidak ada artinya.
Bagaimanapun juga, ia masih dapat menyelamatkan diri dengan elakan-elakan cepat sambil mengerahkan pedangnya ke arah leher atau kepala kedua ekor burung itu. Akan tetapi gerakan burung-burung itu demikian cepatnya dan kibasan sayap mereka membuat serangannya selalu gagal, bahkan beberapa kali ketika pedangnya bertemu paruh yang keras dan kuat, hampir saja senjata itu terlepas dari genggamannya.
Dua ekor burung rajawali itu agaknya juga mulai menyadari bahwa lawan mereka sekali ini berbeda dengan manusia lain yang pernah mereka serang dan menjadi mangsa mereka. Dua ekor burung itu menjadi marah lalu terbang dan berputaran di atas kepala Bwee Hwa, memekik-mekik dan menyerang dari atas, menyambar-nyambar dari segala penjuru menggunakan cakar dan paruh mereka yang kuat.
Menghadapi serangan dari atas yang jauh lebih dahsyat dan berbahaya daripada serangan di atas tanah tadi, Bwee Hwa terkejut sekali. Kalau tadi, diserang dari depan ia masih dapat mengandalkan kegesitannya untuk mengelak dengan berloncatan ke kanan kiri atau belakang, sekarang serangan itu datangnya dari atas depan, belakang, dan kanan kiri. Terpaksa ia kadang-kadang harus menggulingkan tubuhnya ke atas tanah.
“Brett......!” Bajunya terkena cakaran dan robek di bagian pundaknya. Biarpun kulit pundaknya tidak terluka, namun hal ini membuat Bwee Hwa menjadi marah sekali. Ia lalu mengambil senjata rahasianya, yaitu hong-cu-ciam, jarum-jarum lembut dan cepat ia menyerang dua ekor burung itu dengan jarum-jarumnya.
“Wuuuttt.......sut-sut-sut!” Jarum-jarum itu lenyap di balik bulu-bulu tebal burung-burung itu. Bulu itu terlalu tebal dan lemas licin sehingga jarum-jarumnya tidak mampu menembus, tidak sampai mengenai kulit. Bwee Hwa menjadi bingung. Untuk membidik ke arah muka, gerakan mereka terlalu cepat ketika menyambar turun.
Bwee Hwa terdesak hebat dan ia menjadi bingung dan lelah sekali. Kalau terus-menerus ia harus menghindarkan serangan mereka yang berbahaya itu, akhirnya ia tentu akan kehabisan tenaga dan tidak akan mampu membalas serangan sama sekali. Karena tidak melihat jalan lain, Bwee Hwa lalu mengambil keputusan untuk nekat dan mengadu nyawa mati-matian. Tiba-tiba ia menjatuhkan dirinya telentang dengan tangan kanan siap memegang pedang dan tangan kiri menggenggam jarum-jarumnya. Seluruh urat syarafnya menegang dan siap siaga.
Sepasang rajawali itu melihat bahwa calon mangsa mereka telah roboh seolah tidak berdaya. Mereka segera memekik penuh kemenangan, beberapa kali terbang mengitari tubuh Bwee Hwa lalu mereka menukik ke bawah sambil memekik nyaring, seolah sedang berlumba untuk menerkam ke arah leher dan dada gadis itu, untuk berpesta pora menikmati daging dan darah korban itu!
Akan tetapi pada detik terakhir, ketika paruh kedua ekor burung itu sudah dekat dengan tubuh Bwee Hwa, tiba-tiba terdengar pekik melengking mengerikan. Seekor rajawali, yang terbang lebih cepat dan lebih dekat dengan tubuh Bwee Hwa, tahu-tahu terpenggal kepalanya, disambar pedang Sin-hong-kiam. Gerakan tangan kanan Bwee Hwa demikian cepat dan sama sekali tidak terduga oleh burung yang sudah kegirangan dan bemafsu itu sehingga tahu-tahu kepalanya telah terpisah dari tubuhnya! Sedangkan
36
burung kedua, tiba-tiba merasa nyeri pada kedua matanya yang disambar banyak jarum kecil lembut sehingga kedua matanya menjadi buta seketika!
Semua telah terjadi dengan cepat dan dengan gerakan kilat Bwee Hwa sudah menggerakkan tubuhnya bergulingan menyingkir dari tempat ia telentang tadi sampai beberapa meter jauhnya. Untung ia dapat bergerak cepat lalu melompat bangun berdiri. Dengan mata terbelalak ia melihat betapa rajawali yang sudah terpenggal kepalanya itu masih mencengkeram ke bawah sehingga tanah dan batu berhamburan. Kalau ia tidak cepat menyingkir, tentu tubuhnya yang akan tercabik oleh sepasang cakar burung yang sudah tak berkepala lagi itu.
Kemudian burung kedua, yang sudah buta matanya, menerkam ke bawah, mengenai tubuh burung pertama. Cakar dan paruhnya mematuk dan mencabik sehingga tubuh kawannya itu terkoyak-koyak, darah muncrat ke mana-mana! Bulu burung berhamburan bersama daging dan darah. Rajawali buta itu agaknya menyadari bahwa yang dicabik-cabiknya itu bukan tubuh manusia melainkan tubuh kawannya sendiri. Dia memekik-mekik mengerikan dan menyabet-nyabetkan sayapnya ke kanan kiri membabi buta dan suaranya berubah seperti raungan penuh sakit dan kesedihan.
Melihat keadaan burung itu, Bwee Hwa yang sejak tadi menonton dengan hati merasa ngeri, menjadi tidak tega juga. Kini dia teringat akan ucapan gurunya bahwa apa yang dinamakan binatang buas itu sebenarnya sama sekali tidak dapat dikatakan jahat.
Seperti burung rajawali ini. Kalau dia suka membunuh mahluk lain termasuk manusia, hal itu dilakukan bukan karena dia berhati jahat, melainkan dia menyerang dan membunuh untuk mempertahankan hidup, untuk mengisi perutnya yang lapar. Membunuh karena harus membunuh untuk dapat makan!
Rajawali ini tidak suka makan daun atau buah, makanannya memang daging dan darah, karena itu dia harus membunuh mahluk lain termasuk manusia agar tidak mati kelaparan. Dia tidak jahat!
Ia memandang dan merasa kasihan. Didekatinya burung buta itu dari belakang dan sekali pedangnya menyambar, leher burung itupun putus dan tubuh burung itu roboh dan mati.
Setelah semua itu berakhir, barulah Bwee Hwa menjatuhkan diri di bawah pohon dan bersandar pada batang pohon sambil mengatur pernapasannya yang masih terengah-engah karena kelelahan dan ketegangan. Ia memandang ke arah bangkai dua ekor burung itu dan diam-diam ia memuji keindahan dan kehebatan dua ekor burung rajawali itu. Selama hidupnya baru satu kali ini ia melihat burung yang demikian indah dan demikian kuat. Kalau saja tadi ia tidak mempergunakan akal yang nekat dan berbahaya, agaknya sekarang mungkin saja tubuhnya sudah dicabik-cabik dan sepotong demi sepotong masuk ke dalam perut dua ekor burung itu. Ia bergidik ngeri membayangkan hal itu.
Setelah mengaso sejenak dan merasa tangannya telah pulih kembali, Bwee Hwa lalu mengambil buntalan pakaiannya yang tadi ia lepas dan lemparkan ke bawah pohon sebelum ia memanjat pohon itu. Ia menggendong lagi buntalan pakaiannya dan melanjutkan perjalanannya. Ia ingin keluar dari hutan lebat itu sebelum hari menjadi gelap. Karena tidak mengenal daerah itu, ia berjalan ke depan dengan ngawur saja.
Akan tetapi tidak lama kemudian, hampir ia berseru gembira ketika ia melihat sebuah tempat terbuka di dalam hutan itu. Hutan di bagian itu sudah dibuka dan menjadi semacam ladang yang ditumbuhi tanaman sayur-sayuran, bahkan ada banyak pohon buah yang sudah digantungi buah-buahan yang
37
masak. Ladang ini menunjukkan bahwa di situ terdapat orang-orang dan tidak jauh dari perkampungan! Karena perutnya lapar, maka ia tidak perduli akan kenyataan bahwa pohon-pohon buah itu tentu ada pemiliknya. Ia memetik beberapa butir buah pir dan memakannya dengan enak!
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar langkah dan gerakan orang di sekelilingnya dan tak lama kemudian bermunculan belasan orang laki-laki yang berpakaian kasar dan berwajah bengis. Juga mereka itu tampak bertubuh kuat dan di antara mereka terdapat seorang yang melihat pakaiannya tentu memiliki kedudukan yang lebih tinggi di antara mereka. Seorang laki-laki berusia kurang lebih empatpuluh tahun, tubuhnya pendek tegap dan dia membawa senjata sebuah tombak bergagang panjang yang lebih tinggi daripada tubuhnya yang katai.
Kini belasan orang itu mengepung Bwee Hwa yang sudah tidak makan lagi. Dengan tenang gadis yang tabah itu menyapu mereka dengan pandang matanya dan ia mengerutkan alisnya ketika melihat betapa belasan orang laki-laki itu memandangnya dengan mulut menyeringai dan mata seolah hendak menelannya bulat-bulat!
Orang pendek gempal yang agaknya menjadi pemimpin gerombolan itu juga memandang kepadanya dengan penuh perhatian dan keheranan. Siapa takkan heran melihat seorang gadis muda belia seorang diri berada di dalam daerah hutan yang lebat dan liar itu? Akan tetapi ketika kepala gerombolan itu melihat sebatang pedang tergantung di punggung Bwee Hwa, dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu seorang gadis kang-ouw (sungai telaga atau dunia persilatan) yang memiliki ilmu kepandaian silat sehingga berani merantau seorang diri karena merasa mampu menjaga dan membela diri.
Dia dapat menduga ini, akan tetapi tetap saja dia merasa heran dan kagum karena keberanian gadis itu sungguh berlebihan. Dia lalu menegur dengan suara yang tinggi mirip suara wanita.
“Nona, engkau berjalan seorang diri di daerah kami, hendak pergi ke manakah?”
Bwee Hwa sudah merasa sebal melihat sikap para anak buah gerombolan itu, akan tetapi ia memaksa diri bersabar ketika menjawab. “Aku hendak pergi ke mana saja kakiku membawaku. Ada urusan apakah kalian menghadangku dan bertanya-tanya?”
Para anak buah gerombolan itu tersenyum dan ada yang tertawa mendengar jawaban Bwee Hwa yang mereka anggap lucu. Pemimpin gerombolan itupun tersenyum dan berkata lagi.
“Memang engkau yang memiliki kaki yang indah mungil itu, tentu saja engkau pula yang menentukan ke mana hendak melangkah dan pergi. Akan tetapi ketahuilah, nona, bahwa di sini bukan tempat untuk berjalan-jalan dan bertamasya. Hutan-hutan di sini amat liar dan terdapat banyak sekali binatang buas, di antaranya terdapat burung-burung rajawali raksasa yang ganas dan suka makan orang!”
Bwee Hwa tersenyum mengejek, akan tetapi dalam pandangan para anggauta gerombolan itu, senyum ini tampak manis bukan main.
“Engkau maksudkan kim-gan-tiauw (rajawali bermata emas)? Hemm, baru saja aku membunuh dua ekor!”
Meledaklah tawa semua anggauta gerombolan itu mendengar ucapan gadis itu. Siapa dapat percaya akan kata-kata itu? Membunuh dua ekor kim-gan-tiauw? Sedangkan beberapa hari yang lalu mereka
38
mengeroyok seekor kim-gan-tiauw saja tidak berhasil melukai, apalagi membunuhnya, bahkan tiga orang di antara mereka tewas! Dan gadis kecil ini seorang diri membunuh dua ekor?
Merasa ia ditertawakan, Bwee Hwa membentak marah, “Kalian menertawakan siapa?”
Seorang anak buah gerombolan yang bertubuh tinggi besar dan tangannya memegang sebatang golok, berkata dan tertawa terkekeh-kekeh.
“Heh-heh-heh, mungkin yang kaubunuh itu dua ekor burung gereja! Wah, kalau gadis ini menjadi biniku, aaahh betapa senangnya hatiku dan akan amanlah hidupku. Ha-ha-ha……”
Belum juga ia menutupkan kembali mulutnya, tiba-tiba dia memekik ngeri dan dia roboh dengan mata mendelik karena bagaikan kilat menyambar sebatang hong-cu-ciam (jarum tawon) telah memasuki mulutnya yang ternganga dan menancap di langit-langit mulutnya! Ini terjadi karena ketika dia tertawa tadi, mulutnya terbuka lebar dan dia tertawa sambil mengangkat muka ke atas sehingga langit-langit mulutnya menghadap ke depan!
Terkejutlah semua anggauta gerombolan itu, akan tetapi pemimpin mereka marah sekali. Tadi dia melihat gerakan tangan Bwee Hwa dan dia dapat menduga bahwa anak buahriya itu tentu menjadi korban senjata rahasia yang lembut dan berbahaya.
“Keparat! Berani engkau membunuh anak buah kami?” bentaknya dan dia sudah menerjang dan menusukkan tombaknya dan para anak buahnya juga sudah maju mengeroyok.
Agaknya anak buah gerombolan yang belasan orang banyaknya ini berlumba untuk dapat menangkap gadis itu karena mereka maju dengan tangan kosong dan tangan-tangan itu meraih dan mencengkeram. Ingin mereka mendekap dan merangkul gadis yang cantik jelita itu.
Melihat dirinya diserbu, Bwee Hwa tersenyum geli. Orang-orang kasar ini tidak ada artinya baginya. Jauh lebih berbahaya serangan burung rajawali tadi. Ia lalu menyambut mereka dengan gerakan tangan kiri dan sinar-sinar kecil jarum-jarumnya menyambar-nyambar, disusul jeritan beberapa orang yang roboh terpelanting.
Pimpinan gerombolan itu menjadi marah. Dia berteriak dan tombaknya me-luncur, menusuk ke arah lambung Bwee Hwa. Namun, dengan mudah saja Bwee Hwa mengelak dan dari samping kaki kirinya mencuat dan menendang ke arah tombak.
Si pendek kekar itu berseru kaget karena hampir saja tombaknya terlepas dari tangannya ketika tertendang kaki mungil Bwee Hwa. Para anak buah yang melihat robohnya beberapa orang kawan juga menjadi marah dan mereka kini menyerbu dengan senjata mereka dengan niat untuk membunuh gadis itu.
Bwee Hwa tidak gentar sedikitpun juga. Ia kini telah mendapat kenyataan bahwa orang-orang itu hanya tampaknya saja kekar dan bengis, akan tetapi sebenarnya hanya merupakan kekuatan tenaga kasar, hanya mengandalkan tenaga luar belaka. Maka iapun lalu mengerahkan gin-kangnya (ilmu meringankan tubuhnya), tubuhnya bergerak cepat sehingga ia seolah berubah menjadi bayangan merah yang menyambar-nyambar dan terdengarlah seruan mengaduh berturut-turut disusul tubuh yang berpelantingan terkena sambaran kaki tangannya yang bergerak amat cepatnya.
39
Melihat kelihaian gadis berpakaian merah ini, para anggauta gerombolan dan pemimpin mereka yang pendek itu terkejut setengah mati. Kalau tidak menga-lami sendiri, sukarlah bagi pemimpin gerombolan itu untuk percaya bahwa se-orang gadis jelita yang masih amat muda itu dapat menghadapi pengeroyokan mereka yang bersenjata hanya dengan tangan kosong saja, bahkan sebentar saja sudah merobohkan lima orang! Dengan jerih pemimpin gerombolan itu memberi isyarat dan mereka yang masih mampu lalu berloncatan melarikan diri meninggalkan teman-teman yang terluka, mengaduh-aduh dan tidak mampu melarikan diri.
Bwee Hwa bertolak pinggang mengikuti mereka dengan pandang matanya mengejek. “He-he-heh! Monyet-monyet busuk! Aku Ang-hong-cu masih berlaku murah hati kepada kalian. Kalau tidak tentu kalian sekarang bukan hanya menderita luka, melainkan sudah tak bernyawa lagi!”
Setelah berkata demikian dan memandang kepada para anak buah gerombolan yang terluka, ia lalu pergi meninggalkan mereka, melangkah dengan tenang. Ia teringat bahwa gerombolan yang melarikan diri tadi menuju ke arah kiri, maka ke sana pula ia menuju, dengan harapan akan bertemu dengan sebuah perkampungan. Ia masih sempat memetik beberapa butir buah pir yang masak, lalu melanjutkan perjalanan sambil makan buah itu untuk menghilangkan rasa lapar dan haus.
Baru saja ia tiba di ujung hutan terbuka yang sudah menjadi ladang itu, tiba-tiba terdengar suara orang di sebelah kiri.
“Ah, nona sungguh merupakan seorang pendekar wanita yang amat mengagumkan. Masih semuda ini sudah memiliki kepandaian tinggi dan berani melakukan perantauan di dunia kang-ouw seorang diri saja. Bukan main!”
Bwee Hwa sudah menahan langkahnya dan ia memutar tubuh ke kiri. Ia kini berhadapan dengan seorang laki-laki berusia hampir limapuluh tahun yang bertubuh tinggi kurus. Gerak-gerik dan kata-kata orang itu tidak sekasar gerombolan tadi, juga pakaiannya lebih bersih dan rapi. Tampaknya bukan seperti seorang jahat dan ia sudah menjadi gembira karena mengira bahwa orang itu tentulah seorang penduduk sebuah pedusunan yang berada dekat situ.
“Siapakah engkau dan ada keperluan apakah sehingga engkau berani menghadang perjalananku?” tanya Bwee Hwa yang bagaimanapun juga masih merasa curiga karena orang itu muncul di daerah yang dikuasai gerombolan penjahat tadi.
Akan tetapi laki-laki itu tidak menjawab dan hanya mengamati wajah Bwee Hwa dengan bengong seperti orang yang terheran-heran melihat sesuatu yang aneh! Melihat ini, Bwee Hwa mengerutkan alisnya dan mulai marah.
“Hei! Kau melihat apa?” bentaknya dan sinar matanya mulai mencorong.
Laki-laki itu terkejut dan seperti baru sadar dari mimpi, dia cepat memberi hormat dengan menjura dan berkata dengan hormat. “Ah, sungguh sukar sekali untuk dapat dipercaya. Bagaimana mungkin seorang pembantuku dan belasan orang anak buahnya dikalahkan oleh seorang dara muda remaja! Li-enghiong (nona pendekar), sungguh aku merasa kagum sekali akan kegagahanmu. Ketahuilah, aku adalah Gak Sun Thai yang memimpin kawan-kawan di pegunungan ini dan terus terang saja, baru sekali ini aku merasa
40
benar-benar heran dan kagum. Engkau patut dipuji, Li-enghiong. Jika engkau suka dan berani, aku mempersilakan engkau untuk singgah di perkampungan kami.”
Dengan tenang disertai senyuman mengejek Bwee Hwa menjawab. “Hemm, kiranya engkau yang menjadi kepala perampok yang tadi berani menggangguku? Perlu apa aku harus singgah di sarang perampok?”
Berkerutlah sepasang alis kepala perampok itu. Alangkah angkuhnya gadis ini, pikirnya. Sama sekali tidak memandang sebelah mata kepadanya. Akan tetapi dia masih dapat menahan perasaan tidak senang ini dan berkata.
“Li-enghiong, kalau engkau tidak suka dan tidak berani berkunjung ke per-kampungan kami memenuhi undanganku, tentu saja aku tidak dapat memaksa. Akan tetapi ini berarti bahwa engkau tidak dapat menghargai penghormatan seorang dari kalangan liok-lim (hutan rimba) dan berarti bahwa engkau melanggar kesopanan yang berlaku di dunia kang-ouw.”
Bwee Hwa sudah hendak marah, akan tetapi tiba-tiba ia teringat bahwa ayah kandungnya sendiri juga seorang penjahat dan bahkan datuk perampok! Hemmm, siapa tahu orang-orang ini akan dapat memberi keterangan kepadanya tentang di mana kini ayahnya berada.
“Orang she Gak, aku tidak mengerti maksudmu dengan segala kesopanan dunia persilatan dan dunia perampok. Akan tetapi jangan mengira bahwa aku takut untuk datang ke sarangmu!”
Wajah kepala perampok itu berubah girang. “Kalau begitu engkau mau singgah di perkampungan kami?”
Bwee Hwa mengangguk. “Akan tetapi jangan sekali-kali engkau dan anak buahmu bersikap kurang ajar kepadaku, karena pedangku pasti tidak akan mengampuni kalian.”
Alangkah jumawanya, pikir Gak Sun Thai. Akan tetapi karena dia tahu bahwa gadis ini masih muda dan tentu kurang pengalaman, maka dia hanya tersenyum saja.
“Kalau begitu, marilah kita berangkat, li-enghiong. Perkampungan kami tidak begitu jauh dari sini.”
Dengan tabah Bwee Hwa mengikuti kepala perampok itu memasuki hutan yang menyambung ladang itu. Kurang lebih dua kilometer dari situ, mereka tiba di sebuah perkampungan di tengah hutan. Kedatangan Gak Sun Thai bersama Bwee Hwa disambut dengan keheranan oleh para anak buah, akan tetapi Gak Sun Thai memerintahkan mereka untuk mempersiapkan sebuah perjamuan meriah untuk menghormati kunjungan seorang pendekar wanita gagah yang dihormatinya.
Perkampungan itu merupakan sarang para perampok. Di tengah perkampungan berdiri sebuah rumah kayu yang besar dan cukup mewah seperti rumah seorang kaya saja. Di sekeliling rumah itu terdapat rumah-rumah yang lebih kecil yang menjadi tempat tinggal para anggauta perampok. Keadaan mereka agaknya cukup dan ternyata para anggauta perampok itu sebagian besar sudah berkeluarga. Terdapat banyak anak-anak dan wanita di perkampungan itu, seperti pedusunan biasa.
Bwee Hwa merasa terheran-heran. Mereka itu agaknya orang-orang biasa yang juga berkeluarga. Mengapa orang-orang itu sampai begini tersesat dan menjadi perampok?
41
Gak Sun Thai mempersilakan Bwee Hwa duduk di kursi depan yang luas dan tak lama kemudian Bwee Hwa dijamu makan minum dengan ramah dan hormat oleh Gak Sun Thai. Dalam kesempatan menikmati hidangan yang masih panas itu dan Bwee Hwa makan minum dengan lahapnya karena berhari-hari ia tidak makan nasi dan masakan, gadis itu tidak tahan untuk tidak mengeluarkan pertanyaan yang sejak tadi menggelitik keinginan tahunya.
“Paman Gak Sun Thai.......”
Kepala perampok itu tersenyum memandang kepada Bwee Hwa. Hatinya geli akan tetapi senang mendengar gadis itu menyebutnya “paman”. Biasanya, orang menyebutnya “tai-ong”, yaitu sebutan kepala gerombolan yang berarti “raja besar”.
“Engkau hendak bertanya apakah, nona?” Diapun menyebut nona, bukan pen-dekar wanita agar terdengar lebih akrab.
“Bukan maksudku untuk mencampuri urusan rumah tangga anak buahmu, akan tetapi setelah aku memasuki perkampunganmu, aku melihat bahwa anak buahmu juga merupakan orang-orang biasa saja yang mempunyai keluarga baik-baik. Mengapa engkau mengajak mereka untuk melakukan kejahatan dan menjadi perampok? Bukankah lebih baik kalau kalian melakukan pekerjaan yang halal dan tidak melakukan pelanggaran dan tidak mengganggu orang lain?”
Mendengar ucapan gadis yang merupakan nasihat yang seolah keluar dari mulut seorang pendeta tua itu, Gak Sun Thai tersenyum geli, lalu dia menghela napas panjang.
“Memang, dipikir sepintas lalu saja memang demikianlah keadaannya dan kata-katamu tadi benar sekali, nona. Akan tetapi dari ucapanmu tadipun mudah diketahui bahwa engkau masih belum banyak mengetahui tentang keadaan orang-orang golongan kami. Nona tadi mengatakan bahwa lebih baik mencari pekerjaan yang halal dan tidak melanggar peraturan pemerintah, begitukah? Coba tolong beritahu, pekerjaan apakah yang dapat dikerjakan para anak buahku yang terdiri dari orang-orang kasar dan bodoh itu?”
“Bukankah banyak sekali lapangan pekerjaan? Misalnya jadi pelayan, menjadi petani dan lain-lain,” kata Bwee Hwa, tentu saja secara ngawur karena ia sendiri juga tidak banyak mengetahui tentang lapangan pekerjaan!
Kembali Gak Sun Thai tersenyum, “Ketahuilah, nona. Anak buahku yang puluhan orang banyaknya dan kini menjadi penghuni perkampungan ini bukan dilahirkan sebagai perampok. Mereka itu tadinya juga petani-petani, nelayan-nelayan dan pekerja-pekerja kasar. Akan tetapi, apakah yang dihasilkan oleh pekerjaan mereka itu? Hanya kelaparan bagi keluarganya. Bahkan untuk mengenyangkan perut sendiri sehari-hari saja kadang-kadang gagal. Apalagi untuk membeli pakaian yang pantas dan lebih-lebih lagi untuk menghasilkan rumah yang memadai. Pekerjaan apakah bagi orang kasar dan bodoh pada dewasa ini yang dapat cukup menghasilkan pangan-sandang-papan yang cukup beradab? Banyak anggauta keluarga mereka yang mati kelaparan karena kurang makan atau mati karena penyakit karena tiada biaya untuk pengobatan. Bertani tanpa memiliki tanah berarti hanya menjadi buruh tani yang diperas tenaganya habis-habisan oleh para majikan pemilik tanah seperti kerbau saja. Sedangkan pekerjaan-pekerjaan kasar lainnya amatlah sulitnya, harus bersaing hebat karena banyaknya penganggur sehingga digaji sedikitpun terpaksa diterima dan akibatnya, penghasilan kecil sekali dan tidak mencukupi
42
kebutuhan hidup keluarga. Ah, nona, sungguh engkau tidak banyak mengetahui tentang keadaan rakyat kecil yang miskin pada dewasa ini.”
Mendengar ucapan panjang lebar itu, Bwee Hwa tertegun. Seakan baru terbuka matanya dan ia merasa heran sekali. Timbul pertanyaan dalam hatinya mengapa begitu banyak kesengsaraan di antara manusia, dan mengapa hanya untuk sekedar makan kenyang saja demikian sulitnya bagi banyak manusia? Akan tetapi banyak pula manusia yang hidupnya demikian kaya raya, bahkan berlebihan! Salah siapakah ini?
Di satu pihak, beberapa orang memiliki tanah beratus hektar luasnya, di lain pihak banyak orang yang tidak memiliki tanah secuilpun. Di satu pihak, beberapa orang memiliki rumah gedung ratusan buah banyaknya. Di lain pihak, banyak orang harus cukup puas tinggal di gubuk yang reyot dan bocor, bahkan banyak pula yang tidak memiliki tempat tinggal. Di satu pihak, beberapa orang menyimpan bahan makanan sampai membusuk dalam gudang karena terlalu banyak dan terlalu lama disimpan, di lain pihak banyak orang kelaparan. Di satu pihak, beberapa orang yang tidak pernah mengeluarkan keringat hidup kaya raya, hartanya berlebihan. Di lain pihak, banyak orang yang memeras keringat membanting tulang setiap hari, hidup miskin dan papa, pakaian tak utuh makan tak kenyang.
Di mana letak semua kesalahan ini? Tidak dapatkah yang berlebihan itu membuka jalan bagi yang kekurangan sehingga penghasilan mereka meningkat dan cukup untuk biaya hidup sehari-hari? Siapa yang berkewajiban mengatur semua ini?
“Paman Gak, apakah keadaan semacam ini tidak dapat diubah?”
Gak Sun Thai tersenyum. “Hemm, siapakah yang harus mengubah, nona?”
“Tentu saja pemerintah! Pemerintah yang harus mengubahnya, mengatur agar terdapat lapangan kerja yang cukup dan agar penghasilan rakyat meningkat sehingga setiap orang pekerja berpenghasilan cukup untuk biaya hidup keluarganya.”
Gak Sun Thai tertawa. “Ha-ha-ha, pendapatmu itu benar akan tetapi lucu, nona.”
“Lucu? Kenapa? Bukankah sudah semestinya kalau pemerintah mengatur agar rakyat hidup sejahtera?”
“Hemm, engkau belum banyak berkelana dan tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya. Lihat saja kehidupan para pembesar tinggi, terutama di kota raja. Mereka hidup berdampingan dan bergandeng tangan dengan para hartawan, saling bantu, bahu membahu membagi rejeki yang berlebihan. Memikirkan keadaan rakyat kecil yang miskin? Mana mungkin? Mereka hanya memikirkan bagaimana untuk menggendutkan perut sendiri! Bagaimana kita dapat mengharapkan pemerintah penjajah untuk melindungi rakyat bangsa Han? Penjajah Mongol itu hanya memikirkan diri sendiri, keluarga sendiri, bahkan memeras rakyat dengan berbagai peraturan yang menekan dan berbagai pajak yang memberatkan. Ahh, jangan mengharapkan kebaikan dari pemerintah penjajah Mongol, nona. Ah, kita sudah bicara banyak akan tetapi nona belum memperkenalkan nama. Bolehkah kami mengetahui nama nona?”
“Namaku Bwee Hwa.”
“Dan she (marga) nona yang mulia?”
43
Bwee Hwa tidak mau bercerita banyak tentang dirinya. “Jangan tanyakan itu. Sebut saja aku Ang-hong-cu.”
“Si Tawon Merah? Ah, julukan yang tepat sekali. Nona masih muda dan cantik namun dapat bergerak lincah seperti seekor lebah, dan dengan pakaian yang serba merah maka cocok sekali kalau nona berjuluk Ang-hong-cu. Ang-hong-cu, karena engkau kami anggap sebagai seorang tamu agung, sekarang kami mohon sudilah kiranya engkau memberi kehormatan kepadaku yang bodoh untuk menyaksikan kehebatan merasakan kelihaian kepandaianmu.”
Bwee Hwa mengerti apa yang dimaksudkan kepala gerombolan itu dan ia mengangguk. Mereka sudah selesai makan dan Bwee Hwa merasa puas akan perjamuan yang membuatnya merasa kenyang dan tubuhnya terasa segar itu. “Engkau hendak menguji kepandaian, paman? Boleh, boleh! Silakan memberi pelajaran kepada aku yang muda.”
“Bagus ! Marilah kita keluar, nona. Pekarangan rumah ini cukup luas sehingga kita dapat bermain-main dengan leluasa!”
Bwee Hwa menurut dan mengikuti tuan rumah keluar dari ruangan itu. Memang benar, pekarangan rumah itu cukup luas. Ketika para anak buah gerombolan mendengar bahwa tamu mereka, gadis perkasa berjuluk Ang-hong-cu itu hendak pi-bu (mengadu ilmu silat) dengan para pemimpin mereka, berbondong-bondong mereka datang dan berdiri melingkari pekarangan itu. Bahkan para wanita dan anak-anak tidak mau ketinggalan. Semua keluarga anak buah gerombolan berkumpul semua di pekarangan itu.
Gak Sun Thai mempunyai tiga orang pembantu yang terkenal memiliki ilmu silat yang tangguh. Tingkat kepandaian mereka hanya sedikit berada di bawah tingkat ilmu silat Gak Sun Thai. Setelah semua anak buah dan keluarganya berjongkok dan berdiri dengan tertib, Gak Sun Thai lalu berkata kepada tiga orang pembantunya yang berdiri di dalam lingkaran itu sambil berpangku tangan.
“Saudara-saudara, kalian sudah mendengar bahwa nona gagah perkasa yang berjuluk Ang-hong-cu ini memiliki ilmu silat yang tinggi. Kini ia berkenan untuk memberi pelajaran kepada kita, maka siapakah di antara kalian bertiga yang menjadi orang pertama suka menerima pelajarannya?”
Seorang di antara tiga pembantu itu, yang bertubuh tinggi besar dan tampak kuat sekali melangkah maju. “Gak-twako (Kakak Gak), biarlah aku mencoba-coba tenagaku melawan Ang-hong-cu!”
Gak Sun Thai mengangguk.
Orang tinggi besar ini berusia kurang lebih empatpuluh lima tahun, bernama Lui Thong. Dia memang terkenal memiliki tenaga luar yang hebat melebihi tenaga seekor kerbau jantan. Kepandaian silatnyapun cukup tinggi dan senjatanya yang ditakuti lawan adalah sebuah twa-to (golok besar).
Bwee Hwa menghadapi Lui Thong yang mukanya tampak bengis dengan kulit kasar hitam itu dengan tenang. Melihat ketenangan gadis itu, diam-diam Lui Thong merasa heran. Sukar dipercaya bahwa gadis yang begitu muda dan cantik jelita, berkulit halus mulus itu memiliki ilmu silat yang tangguh.
“Ang-hong-cu, aku bernama Lui Thong dan orang-orang menyebutku Twa-to Hek-gu (Kerbau Belang Bergolok Besar), seorang di antara para pembantu Gak-twako.”
44
“Hemm, Paman Lui Thong, engkau ingin bertanding dengan tangan kosong ataukah dengan senjata?” tanya Bwee Hwa dengan sikap acuh tak acuh.
Lui Thong mengerutkan alisnya yang tebal. Dia sudah mendengar bahwa gadis ini selain lihai ilmu silatnya, juga wataknya angkuh. Pertanyaannya tadi saja mengandung sikap meremehkannya.
“Nona, engkau adalah seorang gadis muda berkulit halus, tidak seperti aku yang kasar, maka tidak baik kalau kita bermain-main dengan senjata yang tak bermata dan dapat melukai kulitmu yang halus. Biarlah kita menggunakan tangan kosong saja sehingga pukulanku dapat ditarik kembali sebelum melukaimu.”
Bwee Hwa maklum bahwa biarpun kelihatan kasar dan bodoh, namun sebenarnya orang tinggi besar bermuka hitam ini cukup cerdik. Memang, dalam pertandingan tangan kosong, tenaga besar amatlah berguna, tidak demikian kalau pertandingan dilakukan dengan senjata tajam yang tidak begitu mengandalkan tenaga besar karena dengan tenaga kecilpun tetap saja senjata tajam akan dapat melukai lawan. Agaknya alasan inilah yang membuat Lui Thong yang bertenaga besar itu memilih pertandingan tangan kosong di mana dia dapat memanfaatkan tenaga besarnya untuk mencapai kemenangan! Akan tetapi Bwee Hwa tetap tenang saja dan sama sekali tidak merasa gentar.
“Kalau begitu, engkau menunggu apalagi? Silakan maju dan mulailah dengan seranganmu!” gadis itu menantang dan sama sekali tidak memasang kuda-kuda, melainkan berdiri santai saja walaupun tanpa ada yang mengetahui, seluruh urat syarafnya sudah siap siaga dengan waspada.
Berbeda dengan sikap Bwee Hwa yang santai, Lui Thong mulai bergaya. Dia menggulung tinggi kedua lengan bajunya sehingga tampak kedua lengannya yang dipenuhi otot yang melingkar-lingkar. Dia menggerak-gerakkan kedua tangannya sehingga terdengar bunyi berkerotokan dalam buku-buku jarinya! Setelah membuat gerakan pembukaan atau kuda-kuda yang kokoh kuat, dia membentak nyaring.
“Sambut seranganku ini! Haaaiiitt.......!”
Lui Thong menerjang maju dengan kedua lengan dikembangkan ke atas dan kedua tangannya membuat serangan seperti menerkam dari kanan kiri, mengarah kedua pundak gadis itu. Dia menggunakan jurus yang disebut Hek-houw-pok-yang (Macan Hitam Menerkam Kambing) yang walaupun merupakan serangan keras namun karena didukung tenaga raksasa maka dapat membahayakan lawan yang diserang.
Namun Bwee Hwa yang memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) tingkat tinggi, dengan lincah dapat mengelak. Serangan susulan dilakukan bertubi-tubi oleh Lui Thong, sampai lima jurus namun semua dapat dihindarkan Bwee Hwa dengan elakan.
“Sekarang sambutlah seranganku!” kata Bwee Hwa dan baru saja ucapannya ini keluar, Lui Thong terkejut sekali karena dia sudah kehilangan lawannya! Dia cepat memutar tubuhnya dan benar saja, gadis itu telah berada di belakangnya. Akan tetapi begitu dia membalik, dia hanya melihat bayangan merah berkelebatan dan gadis itu sudah bergerak cepat sekali seperti seekor tawon merah terbang mengelilingi setangkai bunga!
45
Sebentar saja Lui Thong merasa bingung dan pening karena serangan itu datang dari mana-mana, dari sekeliling dirinya. Dia harus menangkis dan mengelak dari serangan yang seolah dilakukan oleh empat-lima orang! Beberapa kali dia kena ditampar dan ditendang oleh Bwee Hwa yang biarpun hanya menggunakan sebagian kecil tenaganya saja, namun cukup mendatangkan rasa nyeri, pedas dan panas!
Riuh rendah sambutan para anggauta gerombolan itu saking heran dan kagum menyaksikan betapa Bwee Hwa merupakan bayangan merah yang berkelebatan di sekeliling tubuh Lui Thong. Pembantu Gak Sun Thai itu seolah menjadi seekor monyet besar yang diserang seekor kumbang dan tidak berdaya sama sekali menghadapi serangan si kecil yang amat gesit itu. Hal inipun terasa sekali oleh Lui Thong dan dia tahu bahwa kalau dilanjutkan, dia akan mendapat malu besar, maka cepat dia berseru.
“Tahan, nona!”
Bwee Hwa menghentikan serangannya dan berdiri di depan lawannya sambil tersenyum.
“Nona, ciang-hwat (silat tangan kosong) nona sungguh lihai, biarpun kuakui bahwa pukulan tanganmu hampir tidak terasa olehku. Sekarang marilah kita mencoba permainan senjata kita!”
Bwee Hwa tersenyum saja dan dalam hatinya ia berkata, “Hemm, manusia tolol! Kau dikasih hati tidak tahu diri. Kalau aku benar-benar menurunkan tangan dengan pengerahan tenagaku, apa kaukira engkau masih dapat bemapas lagi?” Akan tetapi ini hanya suara hatinya, sedangkan mulutnya berkata, “Memang, tenagaku tidak kuat sedangkan tubuhmu terlalu kuat. Kalau engkau masih belum puas dan menggunakan senjata, silakan!”
Lui Thong segera mencabut senjatanya, sebatang golok yang besar dan berat sekali sehingga dua orang anak buah yang dia suruh ambil menggotong golok itu dengan susah payah. Lui Thong menerima golok itu dengan tangan kanan dan dia mendemonstrasikan kekuatannya, memutar golok besar itu disekeliling tubuhnya sehingga terdengar suara berdesingan dan angin menyambar-nyambar!
Diam-dian Bwee Hwa merasa khawatir kalau-kalau Sin-hong-kiam, pedang pusakanya akan rusak jika dipakai melawan senjata berat itu, maka ia lalu ber-kata dengan tenang, “Nah, setelah senjatamu berada di tanganmu, engkau menunggu apalagi? Mulailah dengan seranganmu!”
“Mana senjatamu, nona? Keluarkanlah dan cabut pedangmu itu.”
Bwee Hwa tertawa dengan bebas, tanpa menutupi mulut seperti kebiasaan gadis-gadis yang selalu menutupi mulut bila tertawa agar tampak sopan. “Heh-he-he, untuk apa aku harus mencabut pedangku? Biar kuhadapi golok pemotong babi di tanganmu itu dengan tangan kosong saja!”
Lui Thong menjadi marah sekali, merasa dipandang rendah dan dihina. Akan tetapi karena gadis itu menjadi tamu ketuanya, dia menoleh kepada Gak Sun Thai dengan mata bertanya.
Gak Sun Thai bertanya kepada Bwee Hwa. “Sungguhkah bahwa engkau akan menghadapi golok Lui Thong dengan tangan kosong saja, nona?”
“Kenapa tidak? Empat batang golok seperti itu masih sanggup aku melawannya dengan tangan kosong, apalagi hanya sebatang.”
46
Gak Sun Thai mendongkol juga dan diapun mengangguk kepada Lui Thong. Orang tinggi besar bermuka hitam ini lalu membentak marah.
“Ang-hong-cu, engkau sendiri yang mencari mati!” Dia lalu membuka serangan dengan jurus Hong-cui-pai-hio (Angin Meniup Daun). Golok itu menyambar dengan cepat dan kuat sekali dari kanan mengeluarkan suara berdesing. Jangankan tubuh Bwee Hwa yang ramping itu, biar sebatang pohon siong yang besar pun agaknya akan terbabat putus dengan mudah oleh sambaran golok ini!
Akan tetapi Bwee Hwa dengan gerakan lemas merendahkan tubuhnya hampir berjongkok sehingga golok itu lewat di atas kepalanya dan ketika golok itu menyambar kembali dari arah lain, kini membabat ke arah bawah, dengan lincahnya ia melompat ke atas sehingga kini golok itu berdesing lewat di bawah kakinya. Demikianlah, dengan menggunakan keringanan dan kecepatan gerak tubuhnya, Bwee Hwa dengan mudah menghindarkan diri dari serangan-serangan golok Lui Thong.
Orang tinggi besar itu menjadi semakin penasaran dan marah. Duapuluh jurus telah lewat tanpa dia dapat melukai lawannya. Jangankan melukai, bahkan goloknya itu sama sekali tidak mampu menyentuh ujung baju gadis itu. Rasa penasaran dan marah membuat Lui Thong seolah lupa bahwa pertandingan itu sebetulnya hanya merupakan “pertandingan persahabatan” untuk menguji ilmu silat masing-masing.
Kemarahan membuat dia bernafsu sekali untuk merobohkan lawan, kalau perlu membunuhnya! Dia lalu membentak nyaring dan segera memainkan ilmu andalannya, yaitu Go-bi To-hoat (Ilmu Golok Go-bi-pai). Goloknya diputar cepat bagaikan kitiran angin sehingga merupakan gulungan sinar putih yang menyambar-nyambar ke arah tubuh Bwee Hwa.
Akan tetapi Bwee Hwa mengeluarkan suara tawa lirih dan iapun mengerahkan gin-kangnya sehingga tubuhnya menjadi bayangan merah yang berkelebat di antara sinar golok yang putih bergulung-gulung itu. Karena bayangan merah itu bergerak lebih cepat dan gulungan sinar putih mengejarnya, maka seolah gulungan sinar putih itu dituntun oleh bayangan merah.
Pemandangan yang indah dan aneh ini amat menarik perhatian, membuat semua orang yang menonton merasa kagum. Terutama para anggauta gerombolan itu merasa gembira karena mereka mengira bahwa sekali ini Lui Thong berhasil mendesak gadis itu.
“Aughh……!” Tiba-tiba terdengar suara Lui Thong mengeluh dan semua penonton terbelalak. Semua terjadi begitu cepat dan di luar dugaan mereka.
Tiba-tiba saja, setelah terdengar Lui Thong mengeluh itu, golok besar itu terlepas dari tangan Lui Thong, jatuh berkerontangan di atas tanah dan tubuh tinggi besar itu kini berdiri kaku bagaikan telah berubah menjadi arca! Ternyata dia telah terkena totokan jari tangan Bwee Hwa pada jalan darah ta-tui-hiat-to sehingga tubuhnya menjadi kaku tidak mampu bergerak.
Setelah merasa yakin bahwa semua orang melihat jelas keadaan Lui Thong yang kaku tertotok, Bwee Hwa lalu melangkah maju, memungut golok yang besar dan berat sekali itu. Akan tetapi dengan amat mudahnya seolah golok itu seringan ranting kering, Bwee Hwa melontarkan senjata itu ke atas.
Semua orang memandang ke atas dan melihat betapa golok itu melayang tinggi sekali! Kemudian mereka melihat golok itu meluncur turun dengan cepat dan dengan ujungnya yang tajam runcing di bawah, golok itu meluncur ke arah kepala Bwee Hwa.
47
Para wanita dan kanak-kanak merasa ngeri bahkan ada yang menjerit ketika melihat betapa golok itu seolah akan menimpa dan menembus kepala gadis itu. Akan tetapi dengan cepat tangan kanan Bwee Hwa bergerak dan tahu-tahu ia telah menangkap golok itu pada ujungnya yang runcing dan tajam. Tanpa banyak cakap ia lalu menggunakan gagang golok itu untuk membuka totokan pada tubuh Lui Thong sehingga tubuh itu dapat bergerak lagi.
Lui Thong yang dapat bergerak lagi meringis kesakitan karena kekakuan tu-buhnya tadi membuat urat-uratnya terasa nyeri. Ketika Bwee Hwa menjulurkan golok itu kepadanya, dia menerimanya lalu menjura dalam sambil berkata lirih.
“Sungguh aku yang bodoh telah mendapat banyak pelajaran darimu, nona.” Setelah berkata demikian, dengan menundukkan mukanya dia menyeret goloknya dan mengundurkan diri.
Bwee Hwa kini memandang kepada Gak Sun Thai dan bertanya, “Paman Gak, apakah ada lagi yang ingin menguji kepandaianku? Marilah kalau ada, selagi aku ada semangat. Kalau aku sedang malas, dipaksapun aku tidak mau bertanding secara main-main begini.”
Seorang pembantu lain segera melangkah maju menghadapi Bwee Hwa. “Gak-twako, biarkan aku mencoba kepandaian nona ini.” Gak Sun Thai juga menganggukkan kepala tanda setuju.
Orang itu bertubuh pendek kurus, berusia kurang lebih empatpuluh tahun. Hidungnya mancung dan mukanya meruncing seperti muka burung, matanya yang juling itu bersinar tajam. Dengan sikap digagah-gagahkan dia menjura kepada Bwee Hwa dan berkata, “Ang-hong-cu, aku adalah pembantu Gak-twako. Namaku Lie Hoat dan julukanku Kang-jiauw-eng (Garuda Kuku Baja).” Berkata demikian, Lie Hoat sengaja membentuk kedua tangannya seperti cakar garuda dan dia memang seorang yang mengandalkan ketangguhannya dengan ilmu pukulan Tiat-see-ciang (Tangan Pasir Besi).
Dalam melatih ilmu ini, dia menggunakan pasir besi dari yang dingin sampai yang panas dengan meremas-remas pasir besi itu. Latihan ini membuat kedua tangannya berwarna hitam dan karena dia seorang lwe-keh (ahli tenaga dalam), maka dapat dibayangkan betapa dahsyatnya kedua tangan itu. Pukulan Tiat-see-ciang itu dapat meremukkan tulang menghanguskan kulit daging. Cengkeramannya cukup kuat untuk menghancurkan batu karang yang keras!
“Hemm, apakah engkau juga hendak bertanding menggunakan senjata?” tanya Bwee Hwa.
“Nona, sungguh gagah perkasa. Aku tidak memiliki kepandaian atau senjata apapun, kecuali hanya mengandalkan sepasang tangan yang lemah ini.”
“Kedua tanganmu yang mengandung ilmu Tiat-see-ciang itu mana bisa dibilang lemah?” kata Bwee Hwa dan Lie Hoat terkejut bukan main. Dia merasa heran bagaimana gadis muda ini sekali pandang sudah dapat mengenal ilmu simpanannya.
Dia tidak tahu bahwa guru gadis itu, Sin-kiam Lojin, pernah menerangkan dengan jelas kepada muridnya itu tentang banyak macam ilmu yang aneh dan berbahaya dari orang-orang di dunia kang-ouw, termasuk Tiat-see-ciang ini. Bwee Hwa sudah hafal akan ilmu-ilmu itu dengan segala cirinya.
48
“Ah, sungguh nona memiliki pandangan yang tajam sekali, dapat mengenal ilmuku sebelum kupergunakan! Sebetulnya siapakah nona ini dan siapakah guru nona yang mulia?”
Melihat sikap si katai yang sopan ini, Bwee Hwa menjawab sejujurnya. “Tadi aku sudah memperkenalkan namaku. Namaku Bwee Hwa dan orang menjuluki aku Ang-hong-cu. Adapun siapa guruku tidak perlu kuperkenalkan namanya.” Gadis itu memang tidak ingin menyebut nama suhunya karena ia menganggap bahwa tidak perlu nama suhunya diketahui oleh golongan perampok seperti ini.
Mendengar jawaban dan melihat sikap Bwee Hwa, Lie Hoat maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang gadis kangouw yang masih muda dan yang bersikap polos dan jujur. Dia lalu berkata, “Nona, sudilah engkau memberi pelajaran untuk menambah pengalaman dan memperluas pengetahuanku yang dangkal.”
“Silakan, dan jangan sungkan-sungkan,” jawab Bwee Hwa.
Karena maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan tangguh, begitu bergerak, langsung saja Lie Hoat mengerahkan tenaga dalamnya dan mengeluarkan ilmu andalannya, yaitu Tiat-see-ciang! Kedua tangannya berubah menghitam dan setiap tamparan, pukulan atau cengkeramannya merupakan serangan maut yang berbahaya!
Akan tetapi sekali ini Lie Hoat yang berjuluk Kang-jiuw-eng (Garuda Kuku Baja) itu seolah membentur batu karang! Gadis muda itu berani menangkis dan beradu tangan dengannya dan ternyata gadis itu memiliki kedua tangan yang kini menjadi sekeras baja dan tidak kalah kuat dibandingkan kedua tangan yang mengandung ilmu Tiat-see-ciang itu!
Bwee Hwa mempergunakan ilmu mengeraskan tangan yang disebut Liap-kang Pek-ko-jiu (Membuat Tangan Keras Seperti Baja) sehingga kalau tangannya menangkis atau bertemu tangan Lie Hoat, terdengar suara berdenting seolah bukan lengan tangan dari kulit daging dan tulang yang saling bertemu, melainkan dua potong besi baja yang amat kuat!
Kemudian Bwee Hwa membalas serangan lawan dan ia memainkan ilmu silat Bi-ciong-kun (Kepalan Menyesatkan), ilmu silat yang indah namun memiliki kembangan-kembangan yang aneh sehingga membingungkan lawan.
Menghadapi gerakan-gerakan yang cepat dan juga aneh itu, Lie Hoat menjadi bingung dan pusing. Gerakan kedua tangan Bwee Hwa tak terduga dan aneh-aneh dan akhirnya gadis itu dapat mendorong pundak Lie Hoat yang membuat dia terpental jatuh bergulingan di atas tanah sehingga pakaiannya menjadi kotor semua. Biarpun dia tidak terluka sama sekali, Lie Hoat maklum bahwa kalau gadis itu berniat buruk, tentu dia akan tewas atau sedikitnya terluka berat. Maka dia lalu melompat berdiri dan memberi hormat.
“Ang-hong-cu sungguh hebat, aku mengaku kalah!” kata Lie Hoat dan dia lalu mengundurkan diri.
“Bukan main! Benar-benar luar biasa! Seumur hidupku belum pernah aku melihat seorang gadis semuda ini memiliki ilmu silat sehebat itu. Mari, mari Ang-hong-cu. Cobalah engkau memberi petunjuk untuk menambah kemampuanku yang tak seberapa ini.”
49
Bwee Hwa mengangkat muka dan melihat seorang laki-laki yang usianya sudah sekitar enampuluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan berjenggot panjang. Orang ini pakaiannya bersih, wajahnya kekuning-kuningan dan sikapnya halus dan sopan.
“Siapakah nama paman? Apakah paman juga pembantu Paman Gak Sun Thai?”
Kakek itu mengangguk dan menggunakan tangan kiri mengelus jenggotnya yang panjang. “Benar, Ang-hong-cu. Namaku Souw Ban Lip dan aku juga pembantu Gak-toako.”
Bwee Hwa merasa heran bagaimana kakek yang tampaknya lebih tua dari Gak Sun Thai inipun menyebut toako (kakak tertua) kepada Gak Sun Thai. Ia tidak tahu bahwa sebutan itu untuk menghormat orang yang kedudukannya lebih tinggi, walaupun usianya lebih muda. Ia memperhatikan dan melihat sebuah kantung merah yang biasanya untuk menyimpan senjata rahasia tergantung di pinggang kakek itu.
“Paman Souw, engkau hendak menggunakan senjata apakah untuk menguji kepandaianku?”
Souw Ban Lip tersenyum juga dan menepuk-nepuk kantung piauw (senjata rahasia) dan berkata. “Orang menjuluki aku Lian-hoan-piauw (Si Piauw Beruntun) dan dalam kantungku ini tersimpan duapuluh lima batang piauw. Sanggupkah engkau menghadapi semua senjata rahasiaku ini, Ang-hong-cu?”
Bwee Hwa tersenyum, dalam hati menertawakan kakek itu. Ia sendiri mendapat julukan Ang-hong-cu karena keahliannya melepaskan senjata rahasia hong-cu-ciam yang kecil dan sukar disambitkan, bagaimana mungkin ia takut menghadapi segala macam piauw yang merupakan senjata rahasia yang kasar?
“Silakan engkau melepaskan semua piauw itu. Aku tidak akan meninggalkan lingkaran ini.” Sambil berkata demikian Bwee Hwa mempergunakan ujung sepatu kirinya menggariskan lingkaran di luar tempat ia berdiri!
Ucapan Bwee Hwa ini bukan saja membuat semua orang merasa terkejut dan heran, bahkan membuat Gak Sun Thai merasa bahwa sekali ini Bwee Hwa betul-betul agak keterlaluan dalam kesombongannya. Maka dia lalu berkata, “Ini sama sekali tidak adil! Akan tetapi karena nona sendiri yang memutuskan untuk menghindarkan diri dari semua piauw yang dilepas saudara Souw Ban Lip tanpa keluar dari garis lingkaran yang nona buat sendiri, sudahlah. Akan tetapi aku harus mengambil keputusan yang adil. Engkau boleh membalas dengan senjata rahasia juga, yaitu, kalau engkau dapat mempergunakan senjata rahasia, Ang-hong-cu.”
Bwee Hwa tersenyum dan berkata kepada Souw Ban Lip, “Paman Souw, silakan mulai dengan serangan piauw-mu!” Ia berdiri dengan tenang saja seakan-akan tidak menghadapi lawan yang siap menyambitkan senjata rahasianya yang berbahaya.
Souw Ban Lip merogoh kantung piauwnya dan mengeluarkan tiga batang piauw dengan tangan kanannya. Kemudian dia berseru, “Ang-hong-cu, awas piauw-ku!”
Begitu tangannya bergerak, sinar hitam meluncur cepat sekali ke arah Bwee Hwa. Gadis itu tidak menggerakkan tubuh untuk mengelak, hanya tangan kiri-nya bergerak cepat, dan tahu-tahu piauw itu telah disambar dan ditangkap tangan kirinya. Piauw kedua dan ke tiga menyambar susul menyusul. Bwee Hwa menyambitkan piauw di tangannya, memapaki piauw kedua sehingga dua batang piauw itu
50
bertumbukan di udara dan jatuh ke atas tanah, sedangkan piauw ketiga yang mengarah lambungnya dapat ia tangkis dengan tendangan ujung sepatunya.
Melihat betapa gadis itu dengan mudah saja dapat mematahkan serangan tiga batang piauwnya, Souw Ban Lip merasa kagum sekali akan tetapi juga penasaran. Dia cepat mengeluarkan enam batang piauw, masing-masing tangan memegang tiga batang. Begitu dia menggerakkan kedua tangannya, secara beruntun enam batang piauw itu meluncur ke arah tubuh Bwee Hwa dan yang dijadikan sasaran adalah bagian tubuh yang berbahaya.
Namun, ternyata gadis itu memiliki gerakan kaki tangan yang cepat bukan main. Bagaikan mengubah kedua tangannya menjadi empat, dibantu kedua kakinya dia dapat menangkis dengan kebutan tangan dan tertendang kaki sehingga enam batang piauw itu semua runtuh tanpa dapat melukainya sedikitpun.
Kembali enam batang piauw melayang, kini bukan lagi beruntun melainkan berbareng! Sungguh berbahaya sekali serangan enam batang piauw yang meluncur berbareng ini. Akan tetapi, dengan gerakan cepat Bwee Hwa telah melepaskan pengikat rambutnya yang terbuat dari sutera halus berwarna merah dan ketika ia mengebut-ngebutkan sutera merah itu, enam batang piauw itu semua terpukul runtuh! Padahal yang dipergunakan untuk menangkis itu hanya sehelai sutera merah tipis, namun di tangan yang disaluri tenaga sakti itu, sutera merah tadi menjadi kaku dan kuat bagaikan sebatang pedang saja.
Setelah mengukur sampai di mana kekuatan dan keampuhan daya serang senjata rahasia lawan, Bwee Hwa sengaja berdiri membelakangi lawannya! Enam batang piauw yang menyambar dari belakang itu dapat ditangkis semua dengan cara memutar kain suteranya ke belakang tubuh. Ia hanya mengandalkan pendengarannya yang sangat tajam terlatih untuk menyelamatkan dirinya. Jangankan hanya diserang piauw dari belakang, biarpun diserang dari manapun juga dan di tempat gelap gulita sekalipun, ia akan sanggup menghindarkan diri karena ketajaman pendengarannya dapat menggantikan penglihatannya.
Ketika Souw Ban Lip yang sudah putus asa itu menyambitkan piauw terakhir ke arah leher Bwee Hwa, gadis itu miringkan kepalanya dan tahu-tahu ia berhasil menggigit paiuw itu dari samping! Lalu ia meniup dan piauw itu meluncur dan menancap pada cabang pohon yang tubuh di pekarangan itu.
“Paman Souw, kepandaianmu menyerang dengan piauw sungguh tidak rendah.”
Souw Ban Lip bersungut-sungut dengan wajah berubah kemerahan.
“Hemm, jangan engkau menyindir, Ang-hong-cu. Buktinya tak sebuahpun piauwku dapat menyentuh ujung bajumu. Sayang engkau tadi tidak membalasku dengan senjata rahasia sehingga tak dapat kuketahui sampai di mana kelihaianmu mempergunakan senjata rahasia.”
“Ah, jangan tergesa-gesa berkata begitu, saudara Souw. Tadi aku melihat sekelebatan tangan Ang-hong-cu bergerak dan kulihat sinar-sinar lembut berkelebat ke arahmu dengan mengeluarkan bunyi mengaung. Coba engkau periksa yang betul, jangan-jangan engkau telah terluka oleh senjata rahasia Ang-hong-cu,” kata Gak Sun Thai yang memang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi daripada tingkat Souw Ban Lip dan memiliki penglihatan yang lebih tajam.
51
Souw Ban Lip terkejut mendengar ucapan itu. Tadi diapun mendengar suara mengaung lembut akan tetapi tidak merasakan sesuatu yang mencurigakan. Kini dia melihat dan memeriksa ke seluruh bagian tubuhnya untuk melihat apakah ada yang terluka, akan tetapi dia tidak menemukan sesuatu.
“Engkau mencari apakah, Paman Souw? Coba engkau periksa kantung piauwmu dan lihat dengan teliti!” kata Bwee Hwa yang tersenyum manis.
Souw Ban Lip cepat mengambil kantung piauwnya yang sudah kosong dan memeriksa dalamnya. Tiba-tiba dia berseru, “Hayaaaa!!” Setelah betseru kaget dengan mata terbelalak dan wajah pucat, dia segera menjura kepada Bwee Hwa dan berkata, “Kemampuanku menggunakan senjata rahasia tidak ada sepersepuluh bagian dari kelihaianmu menggunakan hong-cu-ciam, nona.”
Ternyata di sebelah dalam kantung piauw itu telah menancap tiga batang jarum tawon yang berjajar rapi. Kalau gadis itu menghendaki, tentu saja jarum-jarum itu akan bersarang di tubuhnya! Dia memperlihatkan jarum-jarum itu kepada Gak Sun Thai yang merasa kagum sekali.
“Ang-hong-cu ternyata bukan julukan kosong belaka. Engkau sungguh lihai, nona. Biarpun aku sudah menyaksikan dengan mata sendiri akan kelihaianmu, akan tetapi biarlah aku merasakannya sendiri. Tidak setiap hari kami dapat berjumpa dengan seorang iihai sepertimu. Karena itu aku sendiri, ingin minta petunjuk darimu.”
Gak Sun Thai lalu mencabut sepasang pedangnya.
Melihat cara Gak Sun Thai memegang dan menggerakkan siang-kiam (sepasang pedang) itu, Bwee Hwa maklum bahwa kepala gerombolan ini memiliki ilmu silat yang lumayan juga, maka iapun tidak bersikap sungkan lagi. Ia menggerakkan tangan kanannya dan tampak sinar berkelebatan ketika Sin-hong-kiam sudah tercabut dan berada di tangannya. Pedang itu berkilauan tertimpa sinar matahari sore yang mulai redup.
Melihat gadis itu sudah siap dengan pedangnya, Gak Sun Thai lalu memasang kuda-kuda, kemudian dia menyilangkan siang-kiam di kedua tangannya lalu membentak nyaring, “Ang-hong-cu, lihat sepasang pedangku!”
Dia menyerang dengan gerakan Siang-liong-jiu-cu (Sepasang Naga Memperebutkan Mustika). Sepasang pedang itu menyerang dari kanan kiri, menyilaukan dan merupakan serangan yang berbahaya sekali karena menutup jalan dari kanan kiri.
“Bagus!” Bwee Hwa memuji dan iapun bergerak cepat sekali. Tampak pedangnya berubah menjadi gulungan sinar ketika ia memainkan jurus Seng-siok-hut-si (Musim Panas Mengebutkan Kipas).
“Trangg…… cringgg……!” Sinar pedangnya sudah menangkis dan menggagalkan serangan lawan.
Gak Sun Thai terkejut ketika merasa betapa kedua tangannya tergetar hebat akibat benturan sepasang pedangnya dengan pedang gadis itu. Dia sudah tahu bahwa gadis itu memiliki tenaga sinkang (tenaga sakti) yang amat kuat, akan tetapi setelah merasakannya sendiri, dia menjadi kaget. Bagaimana mungkin tangan yang kecil mungil dari tubuh gadis yang belum matang itu dapat mengandung tenaga yang demikian kuatnya.
52
Gak Sun Thai lalu memainkan pedangnya, mengeluarkan semua ilmu simpanannya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Terjadilah pertandingan pedang yang amat seru. Tubuh mereka berubah menjadi dua bayangan yang berkelebat di antara gulungan sinar pedang. Akan tetapi permainan pedang membutuhkan gerakan yang cepat dan lincah, dan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang dikuasai Bwee Hwa sudah mencapai tingkat tinggi sekali.
Gak Sun Thai memang lihai permainan silat sepasang pedangnya dan diapun memiliki tenaga yang cukup kuat, akan tetapi dia harus mengakui bahwa dalam hal kelincahan dan kecepatan, dia masih kalah jauh dibandingkan gadis itu. Maka, perlahan-lahan dia mulai terdesak dan terkurung gulungan sinar pedang Bwee Hwa.
Hal ini sebetulnya tidak mengherankan. Perlu diingat bahwa Bwee Hwa adalah murid tersayang dari Sin-kiam Lojin (Orang Tua Pedang Sakti). Maka sudah barang tentu ilmu pedang yang dikuasai gadis itu mencapai tingkat tinggi dan lihai sekali.
Gak Sun Thai memang seorang tokoh kang-ouw yang sudah lama berkecimpung di dunia persilatan, namun belum pernah dia bertemu tanding yang memiliki ilmu pedang sehebat ini. Apalagi ketika Bwee Hwa melakukan tekanan dan dari mulutnya keluar suara berdengung dan mengaung seperti banyak tawon mengamuk dan mengeroyok kepala gerombolan itu. Gak Sun Thai menjadi bingung dan pening, gulungan sinar pedang Sin-hong-kiam menyilaukan dan mengaburkan matanya sehingga dia hanya mampu bertahan dengan memutar kedua pedangnya untuk melindungi tubuhnya.
“Sing-sing....... trang!” Gak Sun Thai berseru kaget, demikian pula para penon-ton melihat betapa sepasang pedang kepala gerombolan itu terlepas dari kedua tangannya dan terlempar lalu berjatuhan di atas tanah. Seorang anak buah gerombolan cepat mengambil sepasang pedang itu dan menyerahkannya kembali kepada Gak Sun Thai.
Kepala gerombolan ini cepat memberi hormat kepada Bwee Hwa, merangkap kedua tangan depan dada dan membungkuk sampai dalam lalu berkata, “Nona, mulai saat ini, kami semua menyatakan kalah dan takluk kepadamu dan kami mengangkat nona menjadi pemimpin kami!”
Hampir saja Bwee Hwa tidak dapat menahan geli hatinya dan tertawa. Ia menjadi seorang kepala perampok? Ah, kalau saja ia tidak melihat betapa semua orang mengangkatnya dengan bersungguh hati, tentu ia akan marah dan merasa terhina. Para anak buah gerombolan itu setelah mendengar ucapan Gak Sun Thai, lalu memberi hormat kepada Bwee Hwa dan semua orang menyatakan ingin mengangkat gadis itu menjadi pimpinan.
“Saudara-saudara, janganlah sembarangan mengangkat orang. Biarpun ini merupakan suatu penghormatan besar sekali, akan tetapi bagaimana mungkin aku dapat menerima pengangkatan ini dan menjadi seorang kepala perampok? Sudahlah jangan diulangi lagi permintaan gila ini agar aku tidak menjadi marah. Sekarang harap kalian bubaran dan melakukan pekerjaan kalian masing-masing. Aku hendak melanjutkan perjalananku!”
Dengan kecewa semua anak buah gerombolan itu bubaran dan melanjutkan kesibukan masing-masing yang tadi tertunda untuk menonton pertunjukan pertandingan silat yang menarik itu.
53
“Sayang sekali engkau menolak permohonan kami, nona. Sekarang engkau hendak pergi ke manakah?” tanya Gak Sun Thai dengan wajah kecewa karena kalau gadis perkasa ini mau menjadi pemimpin mereka tentu kedudukan mereka menjadi lebih kuat lagi.
Tiba-tiba teringatlah Bwee Hwa bahwa ia tadi berniat untuk mencari keterangan perihal ayahnya, maka mendengar pertanyaan Gak Sun Thai itu ia cepat menjawab.
“Paman Gak, sebenarnya aku sedang mencari seorang yang barangkali saja kalian mengenal namanya. Dia adalah serang tokoh kang-ouw terkenal dengan julukan Kauw-jiu Pek-wan.”
Gak Sun Thai tampak terkejut sekali dan matanya terbelalak memandang kepada Bwee Hwa.
“Si Lutung Putih Tangan Sembilan? Engkau maksudkan hendak mencari Kwee-locianpwe (Orang Tua Gagah Kwee)?”
Jantung dalam dada Bwee Hwa berdebar tegang. Agaknya kepala gerombolan ini mengenal ayahnya!
“Benarkah Kauw-jiu Pek-wan itu seorang bermarga Kwee?”
“Tentu saja benar, nona. Siapakah yang tidak mengenal Kwee-locianpwe yang berjuluk Kauw-jiu Pek-wan, tokoh besar dunia liok-lim (rimba hijau, dunia hitam) yang amat tersohor itu. Nona mencarinya? Ada hubungan apakah antara nona dengan dia?”
“Aku adalah puterinya!” kata Bwee Hwa terus terang karena ingin sekali mendapatkan keterangan yang jelas tentang ayahnya.
Gak Sun Thai menjadi pucat wajahnya dan dia terbelalak sambil mundur tiga langkah sehingga Bwee Hwa merasa heran sekali dan menegur. “Paman Gak, kenapa engkau agaknya begitu kaget mendengar bahwa aku adalah anak Kauw-jiu Pek-wan?”
“Ah, aku....... eh, siapa yang tidak akan merasa heran mendengar bahwa engkau anaknya, nona. Engkau mengaku anaknya akan tetapi engkau tidak mengenalnya, bahkan tidak mengetahui namanya. Mana mungkin ada anak tidak mengenal orang tuanya sendiri?”
Bwee Hwa maklum bahwa agaknya memang tidak mungkin ada seorang anak tidak mengenal ayahnya sendiri. Karena ingin mendapat keterangan tentang ayahnya, terpaksa ia mengaku dengan singkat.
“Paman Gak, ketahuilah bahwa sejak kecil aku diculik orang dari orang tuaku dan baru sekarang aku hendak mencari mereka. Agaknya paman mengenal ayahku, maka katakanlah, di mana aku dapat menemukan ayahku dan siapakah nama lengkapnya?”
“Ah, begitukah? Kalau begitu, memang sebagai seorang anak berbakti engkau harus mencari ayahmu, nona. Ayahmu itu bernama Kwee Ciang Hok dan berjuluk Kauw-jiu Pek-wan. Tetapi telah beberapa tahun ini ayahmu mencuci tangan karena dia telah mengumpulkan harta kekayaan yang besar dan dia kini hidup sebagai seorang hartawan besar di sebuah dusun di atas bukit Twi-bok-san dan menjadi raja kecil di sana.”
54
Mendengar keterangan yang sangat berharga ini Bwee Hwa cepat memberi hormat dan mengucapkan terima kasih atas kebaikan kepala gerombolan itu. Kemudian ia bertanya dengan ramah.
“Paman Gak Sun Thai yang baik, melalui manakah jalan terdekat menuju ke Bukit Twi-bok-san itu? Tolong paman beri petunjuk kepadaku.”
Gak Sun Thai memandang ke atas dan mengerutkan alis lalu berkata, “Ang-hong cu, sekarang hari telah menjelang senja, sebentar malam tiba dan kalau malam daerah ini menjadi gelap sekali. Amat sukar untuk keluar dari daerah hutan ini kalau tidak mengenal jalan, apalagi bagi orang yang asing di daerah ini. Perjalanan ke Bukit Twi-bok-san tidaklah dekat. Oleh karena itu, sebaiknya kalau nona melewatkan malam ini di sini. Besok pagi-pagi engkau akan kuantar sendiri keluar dari hutan ini dan kutunjukkan jalan terdekat menuju Twi-bok-san.”
Bwee Hwa merasa tidak enak untuk mengganggu dan ia hendak menolak. Akan tetapi Gak Sun Thai cepat berkata, “Jika nona memaksa hendak berangkat sekarang juga, tetap saja engkau terpaksa harus bermalam di hutan ini, padahal hutan-hutan di sini penuh binatang buas, bahkan banyak pula ular berbisa. Bukan maksudku meremehkan nona yang tentu saja dapat menjaga dan membela diri terhadap serangan binatang buas. Akan tetapi setidaknya hal itu akan membuat nona tidak dapat beristirahat dengan santai. Karena itu, sekali lagi kami benar-benar mengharap agar nona suka bermalam di sini untuk semalam ini saja.”
Akhirnya Bwee Hwa melihat kebenaran ucapan kepala gerombolan itu. “Sesungguhnya aku merasa tidak enak sekali menerima semua kebaikan paman, akan tetapi apa boleh buat, terpaksa aku mengganggu paman dan kawan-kawan semua untuk satu malam lagi.”
Gak Sun Thai merasa gembira sekali. “Ah, nona tidak perlu banyak sungkan. Kami merasa terhormat sekali!” Dia lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mempersiapkan sebuah kamar untuk Bwee Hwa, menyediakan air untuk mandi dan mempersiapkan pula hidangan untuk makan malam sebagai penghormatan terhadap tamu yang mereka kagumi dan hormati itu.
Setelah mandi air yang cukup banyak, Bwee Hwa merasa tubuhnya segar. Hidangan malam itu lebih meriah lagi dan diramaikan dengan tarian dan nyanyian yang dilakukan keluarga para anggauta gerombolan. Suasana menjadi meriah dan riang gembira.
Bwee Hwa terbawa ke gembiraan itu. Diam-diam gadis ini merasa heran karena dalam keadaan seperti itu, sama sekali tidak membayangkan bahwa ia berada di tengah perkampungan yang menjadi sarang perampok-perampok ganas! Arak harum berulang kali disuguhkan oleh Gak Sun Thai yang bergantian dengan para pembantunya menyulangi gadis itu. Dalam kegembiraannya, gadis yang masih kurang pengalaman ini merasa tidak enak untuk menolak dan iapun minum banyak arak wangi sampai kepalanya mulai merasa pening.
Akhirnya Bwee Hwa tidak kuat lagi. Ia menjadi mabok dan dengan terhuyung-huyung ia diantar oleh dua orang pelayan wanita memasuki kamarnya. Tanpa membuka pakaian lagi ia langsung menjatuhkan diri di atas pembaringan di kamar itu dan langsung tertidur pulas.
Bwee Hwa mendengar kicau burung. Banyak burung berkicau dan suara mereka indah sekali, mendatangkan suasana riang gembira. Ia membuka kedua matanya dan melihat jendela kamar itu sudah terbuka. Angin pagi semilir masuk mendatangkan hawa sejuk. Kepalanya masih berdenyut aneh dan
55
teringatlah ia bahwa semalam ia terlalu banyak minum arak. Ia hendak mengangkat tangan untuk memijat pelipisnya yang terasa agak pening. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika kedua tangannya tidak dapat ia angkat.
Ia cepat menggerakkan kedua kaki untuk melompat turun dari atas pembaringan, namun juga kedua kakinya tidak dapat di gerakkan. Cepat ia mengerling dengan sudut matanya dan ia menjadi heran, kaget dan marah bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa kedua kaki dan tangannya telah terbelenggu kuat-kuat!
Bwee Hwa mengerahkan tenaga untuk memutuskan belenggu kaki tangannya itu, akan tetapi agaknya orang yang membelenggunya sudah siap menghadapi kemungkinan ini. Karena mengetahui betapa kuat tenaga sin-kang gadis itu, maka mereka menggunakan tali yang amat kuat, ulet dan lentur sehingga semua upayanya untuk mematahkan belenggu itu hanya menghasilkan rasa nyeri dan pedas pada pergelangan kaki dan tangannya.
“Jahanam Gak, manusia keparat rendah, pengecut besar!” Bwee Hwa berteriak-teriak nyaring, memaki-maki penuh kemarahan. Ia hanya dapat menggulingkan tubuhnya sehingga akhirnya ia terguling dan jatuh dari atas pembaringan dalam keadaan rebah dan tidak mampu bangkit duduk.
Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dan Gak Sun Thai muncul dari pintu kamar.
“Ha-ha-ha, perempuan muda yang sombong! Coba ingin kulihat apakah engkau dapat membebaskan dirimu sekarang, ha-ha-ha!”
Bwee Hwa menggulingkan tubuhnya sehingga ia dapat memandang wajah kepala gerombolan itu. “Huh, orang she Gak! Apakah engkau tidak tahu malu? Pantaskah kecurangan ini dilakukan seorang laki-laki jantan? Sungguh engkau manusia hina, rendah dan curang! Mengapa engkau melakukan kecurangan seperti ini kepadaku yang tadinya kauanggap sebagai seorang sahabat?”
“Bwee Hwa, jangan engkau sombong! Biarpun kepandaianmu tinggi, akan tetapi engkau masih hijau dan tolol. Ketahuilah, kalau saja engkau bukan puteri Kauw-jiu Pek-wan, tentu sekarang engkau masih kuanggap sebagai seorang tamu agung yang kami hormati. Akan tetapi engkau adalah puteri Si Lutung Gila itu! Dia telah memukul, memaki, menghina dan mengusir aku. Pada hal aku telah bertahun-tahun menjadi pembantunya yang setia. Telah lama sekali aku mendendam kepadanya, dan sekarang engkau anaknya dengan suka rela datang menyerahkan diri. Maka, jangan engkau mati penasaran, biarlah engkau mewakili ayahmu atas kelakuannya yang jahat kepadaku dahulu dan biarlah engkau yang menebus dosanya.”
“Pengecut hina! Beginikah caramu membalas dendam? Kalau engkau memang laki-laki, lepaskan ikatan ini dan mari kita bertanding seribu jurus sampai seorang di antara kita mati!”
“Ha-ha-ha, kaukira aku begitu bodoh? Terus terang kuakui bahwa aku tidak mampu menandingimu. Kepandaianmu tinggi, aku tidak begitu bodoh untuk membebaskanmu. Engkau sudah tertawan dan dendamku akan terbalas terhadap Kauw-jiu Pek-wan melalui engkau, anaknya!”
Bwee Hwa merasa gemas sekali. “Bangsat rendah tak tahu malu. Aku sudah terjatuh dalam akal dan tipu muslihatmu yang curang dan rendah. Hayo engkau cepat ambil senjata dan bunuh mati aku agar nyawaku dapat bebas untuk mencekik batang lehermu!”
56
“Enak saja kau bicara! Bukan semudah itu engkau mati.”
“Apa yang hendak kaulakukan, jahanam busuk?” Bwee Hwa membentak dengan marah, akan tetapi diam-diam ia merasa khawatir. Mati bukan apa-apa baginya dan ia tidak takut. Akan tetapi ia merasa khawatir kalau-kalau manusia rendah itu akan menggunakan akal busuk lain lagi untuk menyiksanya.
“Nona manis, kaulihat sajalah nanti. Aku akan menghibur anak buahku dengan pertunjukan yang menarik hati.”
Setelah berkata demikian, Gak Sun Thai berteriak memanggil empat orang anak buahnya yang menanti di luar kamar. Atas perintah Gak Sun Thai, empat orang itu lalu mengangkat dan memanggul tubuh Bwee Hwa keluar dari rumah itu. Gadis itu lalu dinaikkan ke atas punggung dua ekor kuda yang di tengah-tengah antara mereka telah dipasangi usungan.
Bwee Hwa dipaksa duduk di dalam usungan itu dengan kaki tangan tetap terbelenggu. Ia meneliti dengan sudut matanya dan melihat betapa orang-orang yang kemarin mengaguminya itu kini tampak bermuka beringas, buas dan kejam, tanda bahwa mereka semua telah ikut membenci dan memusuhinya.
Tak lama kemudian, Gak Sun Thai bersama tiga orang pembantu utamanya yang kemarin menguji kepandaian Bwee Hwa, memimpin para anak buah gerombolan membawa Bwee Hwa ke dalam hutan yang tampaknya lebih lebat dan liar lagi. Mereka melalui sepanjang lorong kecil yang agaknya merupakan jalan rahasia mereka dan jalannya mendaki, menuju puncak bukit. Kurang lebih lima li mereka berjalan, mereka tiba di puncak bukit di mana terdapat tempat terbuka karena pohon-pohon yang tumbuh di situ tidak berdempetan, akan tetapi semua pohon itu sangat tinggi.
Bwee Hwa lalu diturunkan dan diikat pada sebatang pohon besar yang berdiri agak terpencil. Ia dihadapkan ke arah timur, disinari matahari yang mulai cerah sinarnya.
“Nah, malam tadi engkau kami jamu dengan pesta makan besar, sekarang biarlah engkau yang menjadi hidangan lezat!” kata Gak Sun Thai sambil menyeringai. Wajahnya tampak bengis penuh dengan kekejaman hati yang mendendam.
Bwee Hwa diam saja, hanya tetap waspada memperhatikan keadaan sekelilingnya walaupun ia sama sekali tidak berdaya. Ia tahu bahwa dirinya berada dalam ancaman bahaya maut, akan tetapi tidak dapat menduga apa macam bahaya itu.
Gak Sun Thai lalu mengeluarkan sebuah terompet dari tanduk kerbau dan diapun meniup terompet itu. Terdengar suara mengaum yang menyeramkan, seperti bunyi seekor kerbau menguak, akan tetapi suara itu memanjang dan mengandung getaran yang dapat membuat suara itu terdengar sampai jauh, bergaung.
Ketika kepala gerombolan itu meniup terompetnya, semua anak buahnya yang berdiri mengelilinginya berdongak memandang ke atas sehingga Bwee Hwa juga memandang ke atas. Akan tetapi langit yang kelabu itu tampak bersih tidak ada sesuatu yang aneh sehingga Bwee Hwa merasa heran sekali. Apakah yang sedang dilakukan orang-orang yang wajahnya beringas ini?
57
Berulang-ulang Gak Sun Thai meniup terompetnya sehingga mukanya mulai berkeringat dan urat lehernya menggembung.
Tiba-tiba terdengar seorang di antara mereka berseru, “Nah itu mereka datang!”
Semua orang memandang ke atas. Juga Bwee Hwa melihat ke arah yang ditunjuk itu. Tiba-tiba hatinya berdebar dan tahulah ia kini apa yang dikehendaki Gak Sun Thai yang sudah seperti gila oleh dendam sakit hatinya.
Di atas udara tampak dua titik hitam melayang-layang dan berputar-putar mengelilingi sekitar tempat itu. Jelas bahwa dua titik hitam itu merupakan burung terbang. Setelah dua titik hitam itu melayang turun semakin dekat, tampaklah bahwa mereka adalah dua ekor burung rajawali yang amat besar, seperti dua ekor rajawali yang dibunuhnya kemarin!
Gak Sun Thai dan semua anak buahnya lalu berloncatan menyelinap di antara semak-semak dan mereka semua bersembunyi. Akan tetapi Gak Sun Thai yang bersembunyi di dalam semak belukar masih terus meniup terompetnya.
Dua ekor burung rajawali itu kini telah tiba di atas pohon di mana Bwee Hwa terikat. Mereka terbang mengelilingi pohon itu dan Gak Sun Thai sudah meng-hentikan tiupan sulingnya.
Kini mengertilah Bwee Hwa. Tiupan terompet tanduk kerbau itu adalah untuk menarik perhatian dan memanggil dua ekor burung itu dan dirinya dipasang di situ sebagai umpan. Pantas saja kepala gerombolan itu tadi berkata bahwa ia hendak dijadikan sebagai hidangan lezat. Ia hendak dijadikan mangsa dua ekor burung itu!
Tentu saja Bwee Hwa merasa ngeri membayangkan betapa tubuhnya akan dicabik-cabik. Akan tetapi ia menggigit bibirnya. Tak sudi ia mengeluh atau menjerit memperlihatkan rasa takutnya kepada Gak Sun Thai dan anak buahnya. Ia akan menghadapi kematiannya dengan tabah dan gagah, sesuai dengan nasihat gurunya dahulu. “Lebih baik mati seperti harimau daripada hidup seperti babi!” kata gurunya yang menganjurkan agar ia selalu menjaga nama dan kehormatan, bersikap gagah biar diancam kematian sekalipun dan tidak boleh berbuat rendah dan bersikap pengecut.
Melihat semua orang bersembunyi, tahulah Bwee Hwa bahwa mereka takut menjadi korban dua ekor burung ganas itu dan mereka kini tentu sedang mengintai dengan hati tegang dan gembira! Kini ia tahu mengapa ia diikat di pohon itu dengan menghadap ke timur. Dengan demikian tubuhnya akan disinari matahari dan dapat dengan mudah tampak oleh sepasang burung rajawali itu.
Benar saja dugaannya. Agaknya dua ekor rajawali itu kini dapat melihat tubuh gadis yang terikat di batang pohon. Mereka mengeluarkan bunyi nyaring seperti kegirangan dan keduanya meluncur turun sampai dekat sekali dengan pohon. Mereka mengelilingi pohon dan kepakan sayap mereka yang besar dan kuat itu mendatangkan angin membuat daun-daun pohon bergoyang-goyang. Kini keduanya mengeluarkan bunyi cecowetan seolah berunding siapa yang akan lebih dulu menyerang calon mangsa yang berada di bawah pohon itu.
Bwee Hwa merasa ngeri, akan tetapi tetap saja ia tidak mau mengeluh, bahkan tidak memejamkan mata. Bahkan dengan sinar mata tajam ia menatap ke arah dua ekor rajawali itu dengan penuh
58
keberanian. Tiba-tiba seekor di antara dua ekor rajawali itu, agaknya yang jantan, menukik ke bawah menyambar ke arah tubuh Bwee Hwa.
Pada saat yang teramat gawat bagi keselamatan nyawa Bwee Hwa itu, tiba-tiba terdengar seruan nyaring. “Binatang jahat, pergilah!” Dan dari belakang seba-tang pohon besar berkelebat sesosok bayangan orang yang melebihi kecepatan rajawali itu sehingga sebelum burung itu dapat mencengkeram tubuh Bwee Hwa, tahu-tahu seorang pemuda telah berdiri di depan Bwee Hwa dan menggunakan pedangnya menyambut rajawali itu dengan sabetan pedangnya!
Rajawali raksasa itu sama sekali tidak menyangka akan disambut serangan. Gerakan pedang di tangan pemuda itu luar biasa cepatnya sehingga rajawali itu tidak mampu menghindarkan dirinya dan kaki kirinya, di bagian paha terluka sabetan pedang dan mengeluarkan darah! Burung itu mengeluarkan pekik nyaring, tubuhnya melayang lagi ke atas sambil berteriak-teriak.
Alangkah gembira hati Bwee Hwa ketika melihat bahwa yang menolongnya itu bukan lain adalah Ong Siong Li, pemuda yang dulu bersamanya telah mengobrak-abrik perkumpulan agama sesat Hwe-coa-kauw! Siong Li tidak membuang waktu lagi, pedangnya berkelebat dua kali dan belenggu di kaki tangan Bwee Hwa terputus. Gadis itu kini bebas.
“Li-ko, terima kasih!” kata Bwee Hwa dengan terharu, karena tadinya ia sudah hampir putus asa untuk dapat terlepas dari ancaman maut.
“Hwa-moi, jangan sungkan untuk urusan kecil ini. Mari kita basmi penjahat-penjahat itu.”
Bwee Hwa seperti diingatkan. Ia melihat ke kanan kiri dan matanya yang tajam dapat melihat bayangan orang-orang bersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak. Sementara itu, dua ekor burung rajawali tadi tampaknya menjadi ketakutan dan mereka terbang pergi meninggalkan tempat itu. Mungkin kedua ekor rajawali itu tidak sedang kelaparan. Kalau mereka kelaparan, tentu mereka akan nekat untuk menyerang lagi.
“Bangsat rendah she Gak, keluarlah untuk menerima kematianmu!” bentak Bwee Hwa dengan marah.
Tiba-tiba dari tempat persembunyian para gerombolan itu meluncur anak panah dan senjata rahasia piauw yang beterbangan menyerang Bwee Hwa dan Siong Li. Siong Li cepat memutar pedangnya untuk memukul runtuh senjata-senjata rahasia itu. Adapun Bwee Hwa yang tidak memegang senjata, melompat ke atas menghindarkan diri. Tubuh gadis itu bagaikan seekor burung terbang saja kini melayang ke arah para anak buah gerombolan yang sudah berlompatan keluar dari tempat persembunyian mereka. Begitu tubuhnya tiba di antara para anak buah gerombolan, kaki tangannya bergerak cepat dan terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan tiga orang anggauta gerombolan telah terpelanting roboh.
Seorang diri saja Gak Sun Thai tidak mampu mengalahkan Bwee Hwa. Hal ini bukan membuat dia jerih. Karena sekarang dia diikuti tiga orang pembantu utamanya dan empatpuluh lebih orang anak buahnya, tentu saja Gak Sun Thai tidak menjadi takut dan dia menjadi marah sekali melihat gadis itu dapat dibebaskan oleh seorang pemuda. Dia lalu memberi aba-aba dan semua anak buahnya kini maju mengeroyok Bwee Hwa dan Siong Li.
59
Seorang anak buah menyerang Bwee Hwa dengan tusukan pedangnya dari belakang. Pedangnya meluncur, menusuk ke arah punggung gadis itu. Akan tetapi dengan pendengarannya yang tajam terlatih, Bwee Hwa dapat mendengar gerakan ini. Dengan cepat sekali ia miringkan tubuhnya, terus membalik. Pedang itu meluncur lewat dekat tubuhnya. Tangan kiri Bwee Hwa menyambar, merampas pedang dan kakinya mencuat. Penyerang itu berteriak, pedangnya terampas dan tubuhnya terlempar ke belakang diterjang tendangan kaki mungil itu.
Kini, dengan pedang rampasannya, Bwee Hwa mengamuk. Pedangnya berubah menjadi gulungan sinar menyambar-nyambar, dari mulutnya keluar suara berdengung-dengung seperti banyak tawon beterbangan dan banyak anak buah gerombolan berpelantingan disambar gulungan sinar pedang.
Siong Li juga mengamuk dengan pedangnya. Gerakan pedangnya tidak kalah hebat walaupun tidak seganas amukan Bwee Hwa yang marah sekali. Melihat amukan dua orang muda itu, Gak Sun Thai cepat memberi isyarat kepada tiga orang pembantunya. Dia sendiri sudah menyerang Bwee Hwa dengan pedangnya dibantu Souw Ban Lip, kakek tinggi kurus berjenggot panjang yang bersenjatakan sebatang golok tipis.
“Cringgg.......!” Golok tipis di tangan Souw Ban Lip terpental ketika Bwee Hwa menangkis menggunakan pedang rampasannya. Pada saat itu, Gak Sun Thai membacok ke arah lehernya dengan pedang di tangan. Melihat serangan kilat yang tak dapat dielakkan lagi, Bwee Hwa mengerahkan tenaga dan memapaki bacokan itu dengan tangkisan pedangnya.
“Trakkk!” Bwee Hwa terkejut sekali dan melompat ke belakang. Ia melihat bahwa pedang rampasannya patah menjadi dua potong dan ternyata kepala gerombolan itu mempergunakan pedang Sin-hong-kiam pedang miliknya yang telah dirampas Gak Sun Thai.
“Keparat! Kembalikan pedangku!” bentak Bwee Hwa sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka orang
“Ha-ha-ha, nih, terima pedangmu!” Dia berkata dan menusukkan pedang pusaka itu ke arah dada Bwee Hwa.
Gadis itu cepat melompat ke kiri. Akan tetapi golok Souw Ban Lip telah menyambutnya dengan bacokan. Terpaksa ia melompat ke belakang dan hanya dengan sepotong pedang buntung Bwee Hwa melayani pengeroyokan Gak Sun Thai dan Souw Ban Lip, juga masih harus menghadapi pengeroyokan banyak sekali anak buah gerombolan.
Bwee Hwa berlaku cerdik sekali. Ia berlompatan meninggalkan dua orang pemimpin itu dan mengamuk di antara para anak buah gerombolan. Dengan demikian, dua orang pemimpin itu tidak mampu mendesaknya, terhalang oleh pengeroyokan banyak anak buah mereka terhadap Bwee Hwa.
Sementara itu, Lui Thong yang tinggi besar juga sudah mengeroyok Siong Li bersama Lie Hoat yang pendek kurus. Lui Thong menggunakan goloknya yang besar dan berat, sedangkan Lie Hoat mempergunakan sebatang tombak. Dua orang pimpinan gerombolan ini masih dibantu banyak anak buah mereka sehingga gerakan mereka bahkan terhalang dan tidak leluasa. Seperti juga Bwee Hwa, Siong Li maklum bahwa yang lihai di antara para pengeroyoknya adalah dua orang pimpinan ini, maka diapun menjauhi mereka dan mengamuk, merobohkan banyak anak buah gerombolan.
60
Diamuk dua orang muda yang amat lihai itu, anak buah gerombolan menjadi panik. Banyak sekali kawan mereka sudah roboh. Sisanya menjadi panik dan hanya mengepung sambil berteriak-teriak, tidak berani mendekat. Akhirnya, hanya tinggal Gak Sun Thai dan Souw Ban Lip yang mengeroyok Bwee Hwa, sedangkan Lui Thong dan Lie Hoat mengeroyok Siong Li. Para anak buah ada yang merawat kawan-kawan yang terluka, dan ada pula yang menonton dari jarak jauh yang aman.
Sementara itu, ketika mengamuk di antara para anak buah gerombolan tadi, Bwee Hwa sudah berhasil merampas sebatang pedang lain untuk menggantikan pedangnya yang buntung. Kini ia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk menghadapi dua orang pengeroyoknya. Tiba-tiba Souw Ban Lip menggerakkan tangan kirinya dan tiga batang piauw dilepaskannya, menyambar ke arah Bwee Hwa.
Gadis itu sengaja melempar diri ke bawah, bergulingan dan tangan kirinya bergerak. Sinar lembut menyambar ke arah Souw Ban Lip dan orang tinggi ku-rus itu menjerit dan terpelanting roboh sambil memegangi lehernya di mana tertancap tiga batang jarum Hong-cu-ciam!
Gak Sun Thai terkejut sekali melihat kawannya roboh. Dia menjadi panik dan biarpun dia menggunakan pedang pusaka Sin-hong-kiam milik Bwee Hwa, akan tetapi karena dia sudah terbiasa memainkan siang-kiam (sepasang pedang), maka gerakannya menjadi kacau. Akhirnya, ketika ujung pedang di tangan Bwee Hwa menyentuh lengannya, terpaksa dia melepaskan Sin-hong-kiam dan gadis itu cepat menangkap pedangnya, lalu membuang pedang rampasan tadi, kini menggunakan pedang sendiri! Gak Sun Thai menjadi semakin panik, akan tetapi karena tidak ada kesempatan melarikan diri, dengan nekat dia mencabut sepasang pedangnya yang tergantung di punggung, lalu melawan mati-matian menggunakan siang-kiam.
Siong Li juga tidak mau kalah. Setelah dikeroyok dua, dia mengeluarkan jurus simpanannya pada saat Lie Hoat menahan tombaknya dan menyerangnya dengan tangan kiri menggunakan ilmu pukulan Tiat-see-ciang yang ampuh. Siong Li membuang diri ke kiri dan ketika tangan Lie Hoat yang pendek itu memukul lewat, dia mengayun pedangnya dari kiri.
“Crakkk!” Lengan kiri Lie Hoat itu buntung sebatas siku. Lie Hoat menjerit lalu melompat ke belakang, dengan tangan kanan memegangi siku yang buntung, akhirnya dia terkulai dan roboh pingsan. Beberapa orang anak buah segera mengangkatnya, seperti juga mereka mengangkat dan merawat Souw Ban Lip yang terkena jarum tawon Bwee Hwa.
Kini Bwee Hwa dan Siong Li masing-masing hanya melawan seorang saja. Keringat dingin sudah membasahi seluruh tubuh Gak Sun Thai. Dia melawan mati-matian dengan sepasang pedangnya. Akan tetapi sekarang Bwee Hwa menggunakan Sin-hong-kiam. Sedangkan tadipun, mengeroyok gadis itu dengan banyak orang dia tidak mampu menang, apalagi harus melawan seorang diri!
Di lain pihak, Bwee Hwa marah sekali kepada kepala gerombolan yang curang dan kejam itu, maka ia mengeluarkan jurus-jurus simpanannya. Akhirnya, Bwee Hwa berhasil merobohkan Gak Sun Thai dengan tusukan pedangnya. Gak Sun Thai terjungkal roboh dan tewas seketika. Pada saat berikutnya, Siong Li juga berhasil merobohkan Lui Thong.
Bwee Hwa masih hendak mengamuk dan mengejar anak buah gerombolan yang melarikan diri sambil mengangkat kawan-kawan yang tewas dan terluka. Akan tetapi Siong Li mencegahnya.
61
“Sudahlah, Hwa-moi. Ampunkan mereka. Mereka itu hanya anak buah. Setelah para pimpinan mereka tewas, tentu mereka tidak akan berani merajalela melakukan kejahatan lagi. Apalagi mengingat bahwa mereka mempunyai keluarga.”
Bwee Hwa menghela napas panjang. Bagaimanapun juga, orang yang paling dibencinya, Gak Sun Thai, telah tewas. Ia membersihkan pedangnya pada batang pohon dan daun-daun, lalu menyarungkan lagi pedangnya. Sarung pedang itu masih menempel di pinggangnya. Agaknya karena tergesa Gak Sun Thai tadi hanya merampas pedangnya tanpa menanggalkan sarung pedangnya. Ia lalu menatap wajah Siong Li dan berkata sambil tersenyum manis.
“Li-ko, sungguh aku berhutang budi besar sekali kepadamu. Kalau saja tidak ada engkau, maka pada saat ini tentu sudah tidak ada lagi yang namanya Ang-hong-cu. Aku tentu sudah lenyap ke dalam perut dua ekor rajawali raksasa tadi. Bagaimana aku dapat membalas budimu ini, Li-ko?”
“Hwa-moi, jangan engkau mengeluarkan kata-kata seperti itu, membuat aku merasa malu dan tidak enak saja. Bukankah sudah menjadi kewajiban kita untuk menolong siapa yang patut ditolong? Janganlah bicara tentang budi, karena perbuatan yang dilakukan dengan pamrih apapun juga demi keuntungan diri sendiri bukanlah kebajikan.”
Mendengar ucapan ini Bwee Hwa menghela napas panjang. “Li-ko, kata-katamu itu mengingatkan aku akan guruku. Engkau sungguh berhati mulia dan aku merasa seakan-akan berhadapan dengan saudaraku sendiri. Maukah engkau kuanggap sebagai seorang kakakku?”
“Terima kasih atas kebaikanmu, Hwa-moi.”
“Twako (kakak), bagaimana engkau tiba-tiba saja dapat datang ke sini menolongku?”
Wajah Siong Li menjadi kemerahan. Sebenarnya, ketika dia berpisah dari gadis itu, hatinya merasa tidak senang. Entah mengapa, dia merasa suka sekali berada di dekat gadis itu sehingga ketika mereka saling berpisah, dia merasa kehilangan dan kesepian. Terutama kalau dia teringat akan keterangan gadis itu bahwa ia hendak mencari Kauw-jiu Pek-wan.
Hatinya menjadi cemas karena dia telah mendengar kabar bahwa Kauw-jiu Pek-wan adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan juga jahat sekali. Dia khawatir kalau-kalau gadis itu akan menemui bencana. Karena itu, akhirnya dia mengalihkan tujuan perjalanannya dan melakukan pengejaran, lalu membayangi secara diam-diam. Dia melihat Bwee Hwa dijamu kepala gerombolan, akan tetapi dia hanya mengintai dari jauh dan tidak mau memperlihatkan diri. Dia melewathan malam di atas pohon besar dan tidur di sana, seperti yang sudah biasa dia lakukan.
Akan tetapi, pada keesokan harinya, dia terkejut bukan main melihat betapa Bwee Hwa ditawan, dibelenggu kaki tangannya dan dibawa ke dalam hutan. Dia membayangi dan berjaga-jaga untuk turun tangan menolong kalau gadis itu terancam. Demikianlah, ketika dua ekor burung itu datang menyerang, dia lalu turun tangan menolongnya.
Akan tetapi kini dia menghadapi pertanyaan Bwee Hwa dan dia merasa bingung, tidak tahu harus menjawab bagaimana. Untuk berterus terang dia merasa malu karena hal itu akan membuka rahasia perasaan hatinya. Untuk berbohong dia juga tidak sanggup karena hal itu bukan kebiasaannya. Akhirnya setelah berpikir-pikir, dia menjawab.
62
“Hwa-moi, sebetulnya ketika aku mendengar bahwa engkau hendak mencari Kauw-jiu Pek-wan, hatiku merasa sangat tertarik. Telah lama aku mendengar akan nama besar dan kehebatan Kauw-jiu Pek-wan, akan tetapi aku belum pernah bertemu dengannya. Kini aku ingin sekali untuk bersamamu mencari orang tua yang lihai itu dan untuk membuktikan sampai di mana kelihaiannya. Karena pikiran dan keinginan itulah maka aku lalu menyusulmu dan mengikuti jejakmu sampai di sini dan kebetulan melihat engkau terancam bahaya tadi.”
Bwee Hwa menghela napas panjang. “Li-ko, karena engkau telah menolongku dan sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri, maka biarlah aku mengaku terus terang kepadamu. Sebenarnya Kauw-jiu Pek-wan itu adalah ayahku sendiri. Aku telah dibawa oleh suhu ketika aku berusia delapan tahun dan aku tidak ingat lagi siapa nama ayah ibuku dan di mana tempat tinggal mereka. Karena itulah, maka aku hendak mencari Kauw-jiu Pek-wan karena hanya julukannya itulah yang kutahu dari suhuku.”
Siong Li dapat menahan perasaan hatinya yang kaget bukan main mendengar bahwa Bwee Hwa adalah puteri Kauw-jiu Pek-wan. Akan tetapi hal ini tidak tampak pada mukanya. Dia hanya mengangguk lalu berkata.
“Lalu ke manakah engkau hendak mencarinya, Hwa-moi?”
“Aku sudah mendengar dari jahanam Gak Sun Thai itu bahwa ayahku sekarang bertempat tinggal di sebuah kampung kecil di atas Bukit Twi-bok-san. Dia bernama Kwee Ciang Hok dan memang tadinya ayah adalah seorang perampok besar. Akan tetapi kata kepala gerombolan itu, ayah kini telah mengundurkan diri dan mencuci tangan.”
Siong Li menarik napas panjang. “Hwa-moi, terus terang saja, akupun telah mendengar bahwa nama ayahmu itu disohorkan orang dan tidak begitu baik terdengarnya. Akan tetapi semua itu hanya kabar angin, aku sendiri belum menyaksikannya dan engkau juga telah berpisah dari ayahmu sejak kecil. Kuharap saja kabar-kabar itu hanya bohong belaka. Maka sebaiknya kita pergi sendiri ke Twi-bok-san untuk membuktikan kebenaran kabar-kabar angin itu.”
Bwee Hwa memandang wajah pemuda itu dan di dalam hatinya ia menilai. Pemuda ini benar-benar baik hati terhadapnya dan memiliki pandangan yang bijaksana. Dan harus ia akui bahwa wajah pemuda itu cukup tampan dan gagah. Memang bentuk tubuhnya agak pendek, akan tetapi ketika diam-diam Bwee Hwa mengukur dengan sudut matanya, ia mendapat kenyataan bahwa sependek-pendeknya, pemuda itu masih lebih tinggi sedikit daripada ia.
“Li-ko, tahukan engkau jalan menuju Twi-bok-san?”
Siong Li mengangguk.
“Kalau begitu, kita tidak segera berangkat ke sana, mau tunggu sampai kapan lagi?”
Siong Li mengangkat muka memandangnya. Sepasang matanya berseri gem-bira. “Hwa-moi , jadi....... engkau tidak keberatan kalau aku pergi bersamamu?”
Bwee Hwa tersenyum manis. “Tentu saja tidak, bahkan aku senang sekali mendapat kawan yang baik hati dan banyak pengalaman seperti engkau, Li-ko. Kuharap engkau tidak bersikap demikian sungkan
63
lagi. Bukankah kita sudah menjadi sahabat baik? Bahkan aku merasa seolah engkau ini pantas menjadi seorang kakakku.”
Dalam hatinya Siong Li membantah. Tentu saja dia tidak bergembira kalau hanya dianggap sebagai kakak. Akan lebih berbahagialah hatinya kalau gadis itu menganggap dia sebagai seorang…… kekasih atau tunangan! Akan tetapi tentu saja dia tidak berani menyatakan suara hatinya itu dengan kata-kata.
Mereka lalu meninggalkan hutan itu dan mempergunakan ilmu berlari cepat. Tubuh sepasang orang muda ini berkelebatan di antara pohon-pohon dengan cepat sekali. Mereka seolah berlumba dan mendapat kenyataan dengan perasaan kagum bahwa kecepatan lari mereka seimbang. Karena kini Bwee Hwa melakukan perjalanan bersama Siong Li yang telah mengenal jalan, maka perjalanan mereka cepat dan lancar. Menurut keterangan pemuda itu, Bukit Twi-bok-san dapat dicapai selama perjalanan kurang lebih satu minggu, melalui kota Tung-kwang yang besar dan ramai.
Di sepanjang perjalanan, Siong Li bersikap sopan terhadap Bwee Hwa. Kalau mereka terpaksa bermalam di tengah perjalanan Siong Li mencarikan tempat di gubuk-gubuk ladang atau di kuil tua. Kalau terpaksa kemalaman di hutan, Siong Li membuat api unggun dan melakukan penjagaan. Tentu saja Bwee Hwa tidak mau tidur semalam suntuk dan membiarkan pemuda itu berjaga, ia memaksa pemuda itu untuk bergiliran menjaga. Kalau mereka bermalam di losmen sebuah kota, Siong Li minta dua buah kamar. Sikap Siong Li yang amat sopan dan ramah ini membuat Bwee Hwa semakin tertarik dan kagum.
Pada suatu sore mereka memasuki kota Tung-kwang. Kota ini cukup besar dan ramai. Melihat banyaknya rumah makan dan rumah penginapan dapat diketahui bahwa kota ini banyak dikunjungi orang dari luar kota dan merupakan kota dagang yang cukup ramai.
Siong Li dan Bwee Hwa mencari sebuah rumah penginapan yang besar dan menyewa dua kamar yang berhadapan. Setelah mandi dan bertukar pakaian, mereka lalu keluar dari rumah penginapan untuk berjalan-jalan dan melihat-lihat. Karena siang tadi mereka tidak bertemu dusun atau kota, maka sejak pagi tadi mereka belum makan. Perut mereka terasa lapar dan Bwee Hwa mengajak Siong Li memasuki sebuah rumah makan besar dari mana melayang uap yang menyegarkan aroma sedap membangkitkan selera.
Di dalam rumah makan itu terdapat banyak tamu sedang makan dan bercakap-cakap dengan ramai, akan tetapi ketika mereka melihat Siong Li dan Bwee Hwa memasuki ruangan rumah makan, mereka menghentikan percakapan mereka, bahkan banyak yang menunda makan mereka. Agaknya mereka tertarik sekali melihat sepasang orang muda yang berpakaian serba ringkas dan membawa pedang di punggung. Mata mereka memandang penuh curiga.
Siong Li dan Bwee Hwa merasakan perubahan ini dan tahu bahwa semua orang memperhatikan mereka. Akan tetapi mereka tidak perduli. Mereka memesan makanan dan minuman, lalu setelah yang dipesan dihidangkan, merek lalu makan dan minum dengan tenang. Betapapun juga, mereka berdua diam-diam memperhatikan orang-orang di sekitar mereka. Semua orang melanjutkan makan mereka akan tetapi kini mereka bicara perlahan, tidak berani langsung memandang ke arah Siong Li dan Bwee Hwa, kelihatan takut-takut.
Malam hari itu terlewat tanpa terjadi sesuatu. Akan tetapi pada keesokan hari-nya, pagi-pagi benar ketika Bwee Hwa telah bangun dan membersihkan diri lalu keluar dari kamar hendak mengetuk pintu kamar Siong Li, tiba-tiba dari luar menyerbu masuk tujuh orang yang berpakaian seperti polisi. Mereka
64
memasuki rumah penginapan itu dengan pedang terhunus di tangan dan langsung menghampiri Bwee Hwa. Kawanan polisi ini dipimpin seorang yang berkumis panjang.
Pada saat itu, Siong Li keluar dari dalam kamarnya. Ternyata diapun sudah bangun dan sudah mandi sehingga tampak segar. Pemuda ini merasa heran melihat tujuh orang petugas keamanan itu yang agaknya langsung menghampiri dia dan Bwee Hwa. Kepala regu itu berkata kepada mereka berdua. “Harap ji-wi (kalian berdua) menyerah dan tidak melawan. Kami harus membawa ji-wi ke kantor polisi untuk diperiksa.”
Tentu saja Bwee Hwa dan Siong Li terkejut mendengar ini dan Bwee Hwa yang berwatak keras itu segera bertolak pinggang dan membentak marah.
“Kau anggap kami ini orang apakah? Jangan sembarangan menuduh dan berlaku sewenang-wenang mengandalkan kekuasaanmu! Dengan alasan apakah kalian hendak menangkap kami?”
Mendengar ucapan dan melihat sikap Bwee Hwa yang keras dan melawan, kawanan polisi itu segera memberi isyarat ke belakang mereka dan muncullah tiga belas orang polisi lain sehingga jumlah mereka kini menjadi duapuluh orang yang semuanya mencabut pedang masing-masing!
“Nona, harap jangan mencoba untuk melawan dengan kekerasan. Kami hanya menjalankan tugas. Kami diperintah atasan kami untuk menangkap kalian berdua. Soal urusannya boleh kalian bicarakan sendiri dengan jaksa yang akan memeriksa kalian nanti di kantor.”
Bwee Hwa hendak mencabut pedangnya, akan tetapi Siong Li memberi isyarat dengan matanya untuk mencegah gadis itu mengamuk. Melihat ini Bwee Hwa menahan kemarahannya dan Siong Li lalu menghampiri kepala regu polisi itu dan berkata dengan sikap halus.
“Baiklah, kami akan menurut. Akan tetapi engkau harus menerangkan dulu kepada kami, tuduhan apakah yang dijatuhkan kepada kami? Kami minta penjelasan agar tidak menjadi penasaran.”
Kepala rombongan petugas keamanan itu tersenyum mengejek.
“Ah, kalian masih pura-pura bertanya lagi? Seluruh kota telah gempar karena perbuatan-perbuatan kalian pada malam hari, sekarang masih berpura-pura tanya mengapa kalian hendak ditangkap? Jangan main-main kalian!”
“Siapa yang main-main? Kalian telah salah sangka dan salah tangkap. Kami bukanlah orang-orang yang melakukan pelanggaran dan perbuatan jahat, kami bukan orang-orang yang kalian maksudkan. Kami baru saja datang di kota ini sore tadi. Nah, marilah antar kami ke kantor jaksa agar ada penjelasan tentang hal ini semua.
Dengan sikap tenang Siong Li dan Bwee Hwa keluar dari rumah penginapan itu, dikawal oleh duapuluh orang penjaga keamanan. Tentu saja hal ini menarik perhatian orang banyak dan dua orang muda itu menjadi tontonan. Para petugas keamanan membentak orang-orang yang saling berdesakan hendak melihat wajah Siong Li dan Bwee Hwa yang dikabarkan sebagai sepasang pencuri yang telah sebulan lebih menggemparkan kota itu.
65
Tadinya pemimpin regu polisi itu hendak memasang borgol pada kedua tangan Siong Li dan Bwee Hwa, akan tetapi Bwee Hwa membentak, “Kalau engkau berani menyentuh tanganku, kepalamu akan kubikin pecah lebih dulu!”
Siong Li cepat berkata kepada kepala regu itu, “Sobat, percayalah kepada kami. Kami tidak akan lari, kecuali kalau kalian bertindak kasar dan sewenang-wenang tentu kami akan bertindak keras pula. Bawalah saja kami kepada jaksa dan kami akan menghadap secara baik-baik.”
Kepala regu itu agaknya dapat menduga bahwa kedua orang muda ini tentu lihai sekali dan diapun melarang anak buahnya bersikap kasar. Maka Siong Li dan Bwee Hwa tidak diborgol, juga diperlakukan dengan sopan sehingga mereka yang menonton menjadi heran. Di sepanjang perjalanan menuju ke kantor jaksa, banyak orang nonton seregu petugas keamanan yang mengawal dua orang muda itu.
Berita bahwa sepasang maling yang selama ini meresahkan penduduk kota Tung-kwang telah tersebar luas dan semua orang ingin melihat bagaimana wajah para maling itu. Mereka yang sempat melihat Siong Li dan Bwee Hwa merasa heran bukan main. Sepasang maling itu sama sekali tidak berwajah menyeramkan sebagaimana yang mereka bayangkan, seperti wajah para penjahat pada umumnya. Sama sekali sebaliknya, wajah kedua orang maling ini tampan dan cantik, sepasang orang muda yang elok!
Tak lama kemudian tibalah pasukan itu di kantor jaksa dan ternyata Jaksa Kwee telah diberi laporan tentang tertangkapnya dua orang muda yang dicurigai sebagai maling, maka diapun sudah siap untuk memeriksanya. Jaksa Kwee adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih empatpuluh lima tahun, bertubuh gemuk dengan wajah kekanak-kanakan dengan sepasang mata yang tajam dan cerdik. Dia sudah duduk di atas kursi kebesarannya, berpakaian jaksa lengkap. Lima orang perajurit pengawal berdiri di belakangnya, dengan golok mengkilap di tangan.
Lima orang anggauta polisi termasuk pemimpinannya yang berkumis panjang mengawal dua orang muda itu memasuki ruangan sidang. Mereka berlima menjatuhkan diri berlutut memberi hormat kepada Jaksa Kwee, akan tetapi Siong Li dan Bwee Hwa tetap berdiri. Si kumis panjang yang melihat ini segera membentak.
“He, kalian sungguh tidak tahu aturan. Lekas berlutut!”
Bwee Hwa menjawab ketus. “Mengapa berlutut? Kami bukan pesakitan!”
Pemimpin polisi itu hendak marah, akan tetapi Jaksa Kwee memberi isyarat dengan tangannya untuk mencegah, kemudian berkata kepada dua orang muda itu.
“Ji-wi bernama siapa dan datang dari manakah?”
Siong Li mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi hormat, diturut oleh Bwee Hwa lalu berkata lantang. “Saya bernama Ong Siong Li dan nona ini adalah seorang pendekar wanita bernama Bwee Hwa berjuluk Ang-hong-cu. Kami berdua adalah pengembara dan sama sekali tidak mengerti mengapa tanpa sebab kami dipaksa menghadap ke sini. Harap taijin (pembesar) suka memberi penjelasan mengapa kami ditangkap?”
Jaksa Kwee mengangguk-angguk dan menghela napas panjang.
66
“Aku sendiri tidak dapat percaya bahwa orang-orang berdosa dapat bersikap seperti kalian. Tentu ada salah sangka dalam hal ini. Ketahuilah, telah sebulan lebih kota ini terganggu oleh sepasang maling yang sangat. berani dan yang tiap malam mendatangi rumah-rumah penduduk lalu mencuri barang-barang berharga. Ji-wi adalah orang-orang asing dan merupakan muka-muka baru, juga merupakan sepasang, lebih-lebih jiwi membawa pedang dan pasti memiliki kepandaian silat karena mengenakan pakaian perantauan yang ringkas itu, maka mudah dimengerti mengapa para petugasku menjadi curiga kepada ji-wi.”
Siong Li dan Bwee Hwa saling pandang dan mengangguk-angguk. Di dalam hati mereka memuji sikap Jaksa Kwee ini sebagai seorang pembesar yang tegas, jujur, dan bijaksana. Untung tadi mereka tidak mempergunakan kekerasan. Kalau sampai terjadi demikian, tentu mereka berdua akan merasa malu sekali menghadapi pembesar yang bijaksana dan bersikap terbuka ini.
“Sekarang kami mengerti mengapa kami berdua ditangkap, taijin,” kata Siong Li. “Kami tidak menyalahkan para perajurit ini.”
Jaksa Kwee menghela napas panjang lalu berkata, “Ji-wi adalah orang-orang gagah. Melihat sikap ji-wi yang gagah dan tenang, aku dapat menduga bahwa ji-wi tentulah dua orang pendekar budiman yang gagah perkasa. Akan tetapi sayang sekali nama baik ji-wi telah dicemarkan oleh sepasang penjahat yang mengacau kota Tung-kwang ini.”
Siong Li hanya tersenyum dan dia merasa semakin kagum kepada pembesar ini. Ucapan pembesar itu mengandung maksud tertentu dan membuktikan kelihaian pembesar itu mempergunakan akalnya. Akan tetapi Bwee Hwa mengerutkan alis dan rrterasa tidak senang.
“Hemm, mengapa nama kami tercemar oleh mereka? Kami tidak mempunyai hubungan apapun dengan mereka. Apa yang mereka lakukan tidak ada sangkut pautnya dengan kami!”
Kwee-taijin menjawab dengan suara yang mengandung penyesalan besar. “Bukankah ji-wi tadi telah terlihat oleh semua penduduk kota ini ketika digiring oleh para petugas keamanan ke kantor ini? Tentu saja orang-orang itu mengambil kesimpulan termudah, yaitu bahwa jiwi tentulah sepasang penjahat yang telah mengacau di kote ini. Bukankah itu berarti bahwa kedua penjahat itu makan dan menikmati buahnya, akan tetapi ji-wi yang terkena getahnya?”
Tahulah kini Bwee Hwa akan maksud kata-kata Kwee-taijin tadi dan ia menjadi marah sekali kepada kedua orang penjahat itu.
“Baiklah, taijin. Kalau demikian halnya, aku berjanji akan menangkap kedua orang penjahat itu dan menyeretnya ke hadapanmu agar semua penduduk mengetahui bahwa kami berdua bukanlah penjahat-penjahat keparat itu, melainkan pendekar-pendekar yang membela kebenaran dan keadilan!” kata gadis itu marah.
Wajah Jaksa Kwee kini tampak cerah berseri-seri. Senyum lega dan penuh harapan mengembang di wajahnya yang gemuk, berkali-kali dia berkata, “Bagus, bagus!” dan dengan ramahnya dia mengundang Bwee Hwa dan Siong Li untuk tinggal di gedungnya dan mengajak mereka makan bersama!
67
Malam bulan purnama! Langit bersih, tak tampak ada mendung sehingga cahaya bulan bersinar tanpa halangan, menerangi permukaan bumi mendatangkan suasana yang indah gemilang menggembirakan. Namun, penduduk kota Tung-kwang yang dihantui rasa takut dan ngeri dengan adanya dua orang penjahat yang hampir setiap malam berkeliaran di kota itu, lebih merasa aman untuk mengeram diri di dalam kamar rumah mereka.
Semenjak sore tadi, Siong Li dan Bwee Hwa sudah bersiap-siap. Sehabis makan malam, mereka lalu keluar dari gedung Jaksa Kwee, melakukan perondaan keliling kota. Mereka berpakaian ringkas dan bersikap waspada. Setelah kota menjadi sepi karena semua penduduk memasuki rumah dan menutup daun pintu dan jendela, keduanya lalu melompat ke atas genteng dan melakukan penjagaan di atas rumah-rumah penduduk.
Malam terang bulan itu dingin sekali. Kesunyian kota menambah dingin. Setelah menanti sampai tengah malam, belum ada tanda-tanda sepasang pgnjahat itu menampakkan diri.
Siong Li dan Bwee Hwa merasa marah dan kecewa sekali. Mereka beristirahat dan duduk di atas wuwungan sebuah gedung tertinggi sehingga dari situ mereka dapat melihat ke empat penjuru. Bwee Hwa hampir kehabisan kesabarannya.
“Penjahat-penjahat gila!” ia bersungut-sungut. “Kenapa belum juga muncul? Tidak kusangka malam ini kita akan makan angin di sini.”
Melihat gadis itu cemberut dan marah, Siong Li tertawa kecil sehingga Bwee Hwa memandangnya dengan heran. “Mengapa engkau tertawa, Li-ko?”
“Aku merasa lucu melihatmu, Hwa-moi.”
“Hemm, apanya yang lucu sampai engkau menertawakan?” gadis itu menge-rutkan alisnya.
“Engkau kelihatan lucu karena sekarang engkau marah-marah sedangkan tadi engkau begitu bersemangat untuk menangkap penjahat. Kalau saja engkau tidak terbujuk kata-kata manis dari Jaksa Kwee yang cerdik itu, tentu sekarang kita sudah semakin dekat dengan tempat tujuan kita. Memang pembesar gendut itu lihai sekali memainkan kata-kata.”
Bwee Hwa tertegun dan setelah berpikir sejenak, baru ia menyadari bahwa tadi ia telah diakali pembesar gendut bermuka kekanak-kanakan itu. Ia mendongkol sekali.
“Kalau begitu, marilah kita turun dan temui Jaksa Kwee! Aku tidak sudi diper-kuda olehnya dan setelah bicara terus terang kepadanya, kita lanjutkan perjalanan malam ini juga. Perjalanan kita lebih penting daripada segala usaha menanti-nanti munculnya maling-maling kecil seperti sekarang ini. Aku benar tolol sehingga menderita kedinginan seperti ini!”
Bwee Hwa sudah bersiap hendak melompat turun ketika tiba-tiba Siong Li memegang lengannya dan berbisik, “Sstt, lihat di sana itu……!”
Bwee Hwa menengok dan ia melihat dua sosok bayangan hitam berlari-lari di atas genteng. Gerakan mereka cukup gesit dan tentu saja Bwee Hwa menjadi curiga dan menduga bahwa mereka tentu dua orang penjahat yang dimaksudkan itu. Karena dua sosok bayangan itu berlari menuju ke arah mereka,
68
maka Bwee Hwa tetap mendekam dan berkata perlahan, “Maling-maling kecil, sekarang tiba saatnya kalian binasa!” Ia dan Siong Li bersiap siaga dan ketika dua bayangan itu telah melompat ke atas genteng wuwungan gedung di mana ia berada, Bwee Hwa melompat keluar dan membentak.
“Maling-maling kecil busuk! Menyerahlah untuk kutangkap!”
Dua orang itu terkejut bukan main dan mereka berdiri menghadapi Bwee Hwa dengan sikap menantang. Bwee Hwa memperhatikan dan melihat bahwa dua orang itu adalah seorang laki-laki dan seorang wanita yang berusia kurang lebih tigapuluhan tahun. Pakaian mereka serba hitam dan keduanya mempunyai pedang yang tergantung di punggung. Ketika melihat bahwa yang mereka hadapi hanyalah seorang dara muda yang berpakaian serba merah, wanita itu lalu balas membentak.
“Anak kecil kurang ajar! Siapakah kamu berani menghalangi kami?” Sambil berkata begini ia mencabut pedangnya hendak menyerang, akan tetapi kawannya yang laki-laki mencegah, lalu menoleh ke arah wuwungan di mana Siong Li masih bersembunyi dan berkata mengejek.
“Sobat yang berada di belakang wuwungan, keluarlah menemui kami, tidak perlu bersembunyi di situ!”
Siong Li kagum akan ketajaman penglihatan orang itu. Dia meloncat keluar sambil tersenyum. Melihat gerakan Siong Li demikian ringan dan cepat, kedua orang berpakaian hitam itu terkejut juga. Siong Li memang mempergunakan jurus Le-hi Ta-teng (Ikan Le Meloncat) dan loncatannya cepat dan indah karena dia membuat pok-sai (salto) sampai tiga kali sebelum kedua kakinya hinggap di atas genteng tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.
Laki-laki itu agaknya maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, maka dia bersikap ramah ketika menegur. “Dua orang sobat yang baik, siapakah kalian dan mengapa menghadang kami?”
Bwee Hwa yang masih marah segera menjawab ketus. “Mau tahu, siapa kami? Aku adalah Ang-hong-cu (Si Tawon Merah) dan kawanku ini adalah Kim-kak-liong (Si Naga Tanduk Emas). Kalian berdua sungguh kurang ajar dan sengaja mencemarkan nama kami!”
Laki-laki berkumis tipis itu terbelalak heran. “Bagaimana engkau dapat berkata demikian, lihiap (pendekar wanita)? Kita baru saja bertemu, bagaimana kami dapat mencemarkan nama kalian?”
Bwee Hwa menudingkan telunjuknya ke arah muka orang itu. “Kami adalah pendekar-pendekar pembela keadilan dan kebenaran, akan tetapi baru saja kami memasuki kota ini orang-orang telah menyangka bahwa kami adalah kalian berdua! Mana bisa kami disamakan dengan segala maling kecil seperti kalian?”
Laki-laki berkumis tipis itu tersenyum mengejek. “Sungguh engkau aneh dan tidak adil, lihiap. Kalau kalian berdua disamakan dengan aku dan adikku ini, siapakah yang menyamakan? Pasti sekali bukan kami. Kami tidak pernah bermusuhan dengan kalian, maka harap jangan mengganggu kami.”
Bwee Hwa tidak dapat menjawab, sehingga Siong Li yang maju dan berkata, “Harap ji-wi (kalian berdua) maafkan jika kami terpaksa mengganggu pekerjaan ji-wi. Akan tetapi, sebagai orang-orang yang menentang kejahatan, kami tidak suka dengan perbuatan kalian yang mengacau penduduk kota ini dan melakukan pencurian. Pula, kami telah berjanji kepada Jaksa Kwee untuk menangkap orang-orang yang menjadi pengacau kota ini. Terpaksa kami harus menangkap kalian.”
69
“Bangsat sombong!” maling wanita itu berteriak dan cepat ia sudah menggerakkan pedang di tangannya dan menyerang Bwee Hwa.
“Singgg……!” Pedang itu menyambar lewat di atas kepala Bwee Hwa karena pendekar wanita ini sudah mengelak dari sambaran pedang ke arah lehernya dengan merendahkan tubuhnya dan dari bawah, pedang Sin-hong-kiam (Pedang Tawon Sakti) ia tusukan ke arah perut lawan.
Maling wanita itu terkejut bukan main, tidak menyangka bahwa gadis yang diserangnya itu sedemikian cepat gerakannya. Nyaris perutnya tertusuk pedang. Ia cepat melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik tiga kali. Kini dengan hati-hati sekali ia menghadapi Bwee Hwa dan segera terjadi pertandingan pedang antara dua orang wanita itu.
Sementara itu, maling pria yang melihat rekannya atau lebih tepat adiknya telah bertanding melawan Bwee Hwa, segera menyerang Siong Li dengan pedangnya pula. Siong Li menyambut dengan pedangnya dan terjadi perkelahian yang seru antara kedua orang ini.
Akan tetapi, baru saja lewat belasan jurus, sepasang maling ini sudah kewalahan dan terdesak hebat. Mereka maklum bahwa mereka tidak mampu menandingi sepasang pendekar itu. Akan tetapi karena tidak mampu melarikan diri, mereka lalu melawan dengan nekat dan mati-matian. Di lain pihak, Bwee Hwa dan Siong Li tidak terlalu menekan kedua orang lawan itu karena sepasang pendekar ini tidak ingin membunuh mereka, melainkan ingin menangkap mereka hidup-hidup untuk diserahkan kepada Jaksa Kwee dan agar semua orang mengetahui maling-maling yang sesungguhnya.
“Hyaaaaatttt……!” Bwee Hwa membentak nyaring dan kaki kirinya berhasil menendang pergelangan tangan maling wanita sehingga pedang di tangan wanita itu terlepas dan terlempar, jatuh berkerontangan di atas genteng. Sebelum maling itu dapat menghindarkan diri, Bwee Hwa sudah menotok pundaknya dan lawannya terkulai dengan tubuh lemas tak berdaya.
Pada saat yang hampir bersamaan Siong Li juga sudah berhasil merobohkan lawannya dengan mematahkan pedang lawan ketika pedang mereka bertemu dan merobohkannya dengan sebuah tendangan lalu menyusulkan totokan yang membuat maling pria itupun tidak mampu bergerak. Kedua orang pendekar itu lalu membawa dua orang maling itu turun dari atas genteng dan hendak membawa mereka ke gedung Jaksa Kwee.
“Kalian akan membawa kami ke mana?” tanya maling wanita itu kepada Bwee Hwa yang memanggul tubuhnya.
“Ke mana lagi?” jawab Bwee Hwa dengan suara mengejek. “Tentu saja hendak kami serahkan kepada Jaksa Kwee agar kalian diadili dan dihukum berat.”
“Bebaskan kami!” kata maling wanita itu. “Kalau tidak, kalian tentu akan ber-hadapan dengan Kauw-jiu Pek-wan yang pasti akan membalas dendam kepada kalian!”
“Apa……?” Tiba-tiba Bwee Hwa dan Siong Li berhenti. Mereka sudah tiba di depan gedung Jaksa Kwee. Bwee Hwa menurunkan maling wanita itu dari pundaknya dan bertanya, “Kau tadi menyebut nama…… Kauw-jiu Pek-wan.......?”
70
Maling wanita itu merasa girang karena mengira bahwa nama besar itu membuat Bwee Hwa takut. “Benar, Kauw-jiu Pek-wan adalah guru kami!”
Bukan main kagetnya hati Bwee Hwa mendengar bahwa kedua orang maling itu adalah murid ayahnya! Siong Li juga terkejut dan dia juga menurunkan maling pria itu dari atas pundaknya.
“Li-ko, ternyata mereka ini…… muridnya……!” kata Bwee Hwa kepada Siong Li.
“Apakah ji-wi mengenal guru kami?” tanya maling pria yang masih rebah di atas tanah di samping rekannya, tidak mampu bergerak karena keduanya masih dalam keadaan tertotok.
“Mengenalnya? Hemmmm……” Bwee Hwa meragu. “Kalau kalian murid Kauw-jiu Pek-wan, mengapa kalian menjadi maling?”
Mendengar pertanyaan ini, kedua orang itu tertawa dan Bwee Hwa baru teringat bahwa Kauw-jiu Pek-wan, ayahnya itu adalah seorang kepala perampok besar! Tidak aneh kalau murid-muridnya menjadi maling! Maka pertanyaannya itu tadi tentu saja terdengar bodoh sekali sehingga kedua orang maling itu tertawa.
“Di mana adanya Kauw-jiu Pek-wan?” tanyanya kepada kedua orang maling itu. Dua orang itu masih menganggap bahwa Bwee Hwa jerih kepada suhu mereka, maka maling wanita itu menjawab dengan terus terang, mengharapkan bahwa akhirnya Bwee Hwa akan membebaskan mereka.
“Guru kami masih tetap tinggal di Twi-bok-san yang tidak jauh dari sini dan kini sedang menghadapi perayaan besar. Kami berdua di sini sedang mengumpulkan biaya atas perintahnya untuk keperluan perayaan itu. Kalau kalian membebaskan kami, beliau tentu akan memaafkan kalian dan akan memberi hadiah besar. Karena itu, bebaskanlah kami sekarang juga dan kami akan melaporkan kebaikan kalian kepada suhu.”
Bwee Hwa memandang kepada Siong Li dan bertanya, “Bagaimana pendapatmu, Li-ko? Apa yang akan kita lakukan terhadap dua orang ini?” Gadis itu bagaimanapun juga merasa ragu dan serba salah. Dua orang itu adalah maling yang harus dihukum, akan tetapi mereka juga murid-murid ayahnya!
Siong Li merasa sungkan juga kepada Bwee Hwa. Akan tetapi dia harus jujur dan setelah menghela napas panjang dia menjawab. “Dulu guruku pernah berkata bahwa seorang gagah harus teguh dalam pendiriannya, yaitu menentang kejahatan tanpa memperdulikan siapapun yang melakukan kejahatan itu.”
Bwee Hwa mengangguk-angguk. “Tepat sekali, aku juga berpikir begitu, Li-ko. Terima kasih, pendapatmu menghapus keraguanku. Mari kita serahkan dua orang maling ini kepada Jaksa Kwee!”
“Kalian mencari mampus!” teriak kedua orang maling itu. “Ingat, suhu pasti akan membalas dendam, akan menyiksa kalian lalu membunuh kalian seperti dua ekor tikus!”
Akan tetapi Bwee Hwa dan Siong Li tidak perduli dan menyeret kedua orang itu memasuki gedung yang pintu gerbangnya dijaga beberapa orang perajurit. Siong Li menyerahkan dua orang maling itu kepada para penjaga.
71
“Awas, ikat kedua tangan mereka jangan sampai mereka meloloskan diri dan serahkan kepada Jaksa Kwee. Inilah dua orang pencuri yang mengacau kota Tung-kwang.”
Setelah berkata demikian, Siong Li mengajak Bwee Hwa melanjutkan perjalanan pada malam hari itu juga. Mereka kembali ke kamar mereka untuk mengambil buntalan pakaian lalu meninggalkan kota Tung-kwang menuju ke Gunung Twi-bok-san.
Karena hatinya merasa penasaran dan ingin sekali dapat cepat bertemu orang tuanya, Bwee Hwa mengajak Siong Li melakukan perjalanan secepatnya. Dua hari kemudian mereka berdua telah tiba di kaki Bukit Twi-bok-san. Mereka melihat banyak orang mendaki bukit itu. Ada yang menggunakan kuda, ada pula yang berjalan kaki dan kebanyakan dari mereka tampaknya seperti orang-orang dunia persilatan. Agaknya mereka adalah para tamu yang hendak ikut merayakan pesta perayaan itu.
Bwee Hwa hanya tahu bahwa ayahnya hendak mengadakan pesta perayaan, akan tetapi ia belum tahu perayaan apakah itu, maka ketika melihat seorang petani tua sedang mencangkul ladang di kaki bukit, ia mengajak Siong Li untuk berhenti dan menghampiri kakek itu.
“Selamat pagi, paman,” kata Bwee Hwa kepada petani yang sedang mencangkul itu.
Petani itu menengok dan merasa heran ada seorang gadis cantik memberi salam.
“Selamat pagi, nona,” katanya hormat dan dia menghentikan pekerjaannya, lalu menghampiri Bwee Hwa dan Siong Li yang berdiri di tepi ladang yang sedang digarapnya.
“Paman, maafkan kalau kami mengganggu pekerjaan paman,” kata Bwee Hwa. “Aku hanya ingin bertanya kepada paman. Ada apakah di puncak bukit ini maka demikian banyak orang mendaki ke atas?”
Petani tua itu mempergunakan sehelai kain untuk mengusap keringat di muka, leher dan dadanya yang kurus dan telanjang, lalu menjawab. “Apakah nona tidak tahu? Di sana, di rumah Kiu Wan-gwe (Hartawan Kiu) sedang diadakan pesta pernikahan.”
“Paman maksudkah di rumah Kauw-jiu Pek-wan?”
Petani itu memandang ke kanan kiri, tampaknya takut-takut.
“Benar, nona. Akan tetapi beliau tidak suka dengan nama julukan itu dan kami semua penduduk pedusunan di sekitar Twi-bok-san menyebutnya Hartawan Kiu.”
“Hemm, siapakah yang merayakan pernikahan, paman?” tanya Bwee Hwa, mengira bahwa tentu yang menikah itu seorang murid ayahnya.
“Siapa lagi kalau bukan Hartawan Kiu sendiri yang menikah?” kata petani itu.
Bukan main kaget rasa hati Bwee Hwa mendengar ini. Ayahnya hendak merayakan pernikahan? Ia menjadi bingung.
“Akan tetapi, bukankah Kauw-jiu Pek-wan atau Hartawan Kiu itu telah mempunyai seorang isteri?”
72
Petani itu kembali memandang ke kanan kiri, takut kalau ada yang mendengar percakapan itu. Kemudian dia mengamati wajah Bwee Hwa dengan tajam.
“Nona tentu seorang asing maka tidak mengetahui persoalan itu. Hartawan Kiu memang telah mempunyai seorang isteri yang baik hati dan sering menolong kami para petani yang miskin. Akan tetapi isterinya itu sudah tua dan sakit-sakitan. Dia merayakan pernikahannya dengan seorang gadis dan kabarnya dia hendak mengusir isterinya yang tua agar meninggalkan gedungnya.”
Rasanya seperti mau meledak rasa hati Bwee Hwa mendengar keterangan itu. Semenjak mendengar bahwa ayah kandungnya adalah seorang perampok, ia sudah merasa penasaran kepada ayahnya dan ia sudah mengambil keputusan bahwa kalau ia bertemu dengan ayahnya, ia akan menegur dan membujuk ayahnya agar menghentikan pekerjaan yang jahat itu. Akan tetapi, kini apa yang didengarnya dari petani itu sudah keterlaluan sekali.
Bagaimana mungkin ayahnya sampai tersesat sedemikian jauhnya? Bukan hanya menjadi penjahat besar, bahkan murid-muridnya disuruhnya menjadi maling mencarikan dana untuk pernikahannya dan dia begitu kejam untuk mengusir ibunya yang sakit-sakitan!
“Jahat dan gila……!” Bwee Hwa berseru dan iapun berkelebat, lari dengan cepat sekali mendaki bukit. Siong Li cepat mengejarnya.
“Hwa-moi, engkau bersabarlah!” kata pemuda itu. “Tak perlu berlari-lari seperti ini karena akan menarik perhatian para tamu yang mendaki ke bukit.”
Mendengar kata-kata Siong Li, Bwee Hwa menahan larinya dan ia menahan isak tangisnya.
“Adik Bwee Hwa, sebaiknya kita atur agar jangan sampai mengacaukan perayaan yang diadakan orang tuamu. Aku akan menggabungkan diri dengan para tamu, dan engkau dapat melakukan penyelidikan ke belakang, menjumpai ibumu yang sedang sakit. Bagaimana pendapatmu?”
Bwee Hwa hanya mengangguk, tidak dapat mengeluarkan kata-kata, hanya matanya memandang kepada Siong Li dengan sinar mata berterima kasih. Memang ucapan Siong Li itu benar. Pada saat itu terdapat banyak orang yang hendak mengunjungi pesta perayaan di atas sehingga kalau ia berlari-lari cepat, hal itu tentu menimbulkan kecurigaan dan kekacauan.
Karena sebagian besar para tamu terdiri dari orang-orang kang-ouw (sungai telaga, persilatan) maka dengan mudah Siong Li membaurkan diri di antara mereka dan tidak menimbulkan kecurigaan. Bersama para tamu lainnya, Siong Li disambut sendiri oleh Kauw-jiu Pek-wan Kiu Ciang Hok. Siong Li memandang penuh perhatian.
Datuk penjahat yang kini menjadi hartawan itu bertubuh tinggi besar dan kokoh. Rambutnya telah memutih namun dia masih tampak gagah dengan matanya yang lebar itu bersorot tajam penuh wibawa. Begitu bertemu dengan datuk ini, Siong Li merasa heran karena tidak ada sedikitpun kemiripan antara wajah Bwee Hwa dan wajah orang tua ini.
Kauw-jiu Pek-wan (Lutung Putih Tangan Delapan) Kiu Ciang Hok menyambut Siong Li dengan sikap sederhana saja karena dia menganggap pemuda itu tentu dari golongan muda yang bertingkat rendah
73
dan tidak perlu disambut dengan penuh penghormatan. Karena sikap inilah maka dia pernah mengenalnya dan tidak pula mengundangnya menghadiri pesta perayaan itu. Setelah dipersilakan duduk, Siong Li mengambil tempat duduk bersama para tamu lainnya, akan tetapi seluruh perhatiannya ditujukan ke dalam, membayangkan apa yang kini sedang dilakukan Bwee Hwa.
Dengan hati-hati dan cerdik, bersikap biasa saja, Bwee Hwa menyelinap ke da-lam kebun dan memasuki gedung dari pintu belakang. Untung baginya bahwa semua orang sibuk di depan sehingga bagian belakang rumah itu kosong dan sunyi. Dari bagian belakang itu ia mendengar suara para tamu di depan, suara berisik seperti pasar.
Tiba-tiba dari pintu samping keluar dua orang pelayan wanita membawa cawan-cawan kosong. Melihat Bwee Hwa, mereka menganggap bahwa gadis itu tentu seorang tamu, maka mereka lalu bertanya heran.
“Siocia (nona) hendak mencari siapakah?”
Bwee Hwa dengan sikap tenang menjawab. “Aku hendak menyampaikan sesuatu kepada Kiu-hujin (Nyonya Kiu). Di manakah kamarnya?”
Kedua orang pelayan itu saling pandang dan tersenyum mengejek, lalu bertanya, “Nona maksudkan lo-hujin (nyonya tua) yang`sedang sakit?”
Biarpun Bwee Hwa merasa panas hatinya melihat sikap kedua orang pelayan wanita itu jelas meremehkan ibunya, namun ia menahan diri dan mengangguk membenarkan. “Ya, di mana kamarnya?” ia bertanya lagi.
“Kamarnya di belakang sana, yang pintunya bercat hitam. Ada keperluan apakah nona mengunjunginya? Hati-hati, nona dapat ketularan penyakitnya……”
Bwee Hwa menahan kemarahannya dan tanpa berkata apa-apa ia lalu menuju ke belakang. Benar saja, ia mendapatkan sebuah kamar yang daun pintunya hitam dan kotor. Agaknya tak pernah dibersihkan. Ia membuka daun pintu dan memasuki sebuah kamar yang tak terawat. Terdengar suara merintih lirih. Ia masuk dan memandang seorang yang rebah di atas sebuah dipan.
Wanita itu tampak kurus dan tua sekali. Rambutnya awut-awutan dan kusut. Mukanya yang kurus itu pucat seperti muka mayat. Tubuhnya rebah terlentang di atas pembaringan yang tak dapat dibilang bersih itu tertutup selimut sampai ke lehernya. Kedua matanya terbuka dan memandang sayu ke arah Bwee Hwa dan napasnya terengah-engah.
Bwee Hwa tertegun memandang wajah itu dan ia merasa jantungnya seperti diremas-remas. Wajah itu! Biarpun amat kurus dan pucat, namun masih tampak jelas bekas kecantikannya yang lembut. Wajah ibunya! Inilah wajah yang selama ini selalu terbayang dalam hatinya. Ibu kandungnya!
Pada saat itu, bagaikan tersentuh bisikan hatinya, wanita itu memandang dengan penuh perhatian kepadanya. Betapa kurusnya. Sepasang mata itu cekung sekali, membuat wajah itu seperti tengkorak. Ia mengeluh perlahan dan kedua tangannya tersembul keluar dari dalam selimut. Dua buah tangan yang kurus diangkat dan dikembangkan ke arah Bwee Hwa. Bibir itu gemetar dan berbisik lirih.
74
“Bwee……”
“Ibu.......!!” Bwee Hwa melompat ke depan dan merangkul wanita tua itu yang mendekap kepala Bwee Hwa dengan kedua lengannya. Kedua lengan yang tadinya lemas tak bertenaga itu kini seolah mendapatkan tenaga baru, mendekap dengan erat seolah ia telah mendapatkan kembali mustikanya yang hilang dan tidak ingin kehilangan lagi.
Kedua orang ibu dan anak itu menangis sesenggukan. Bwee Hwa menangis terisak-isak sambil merangkul dan menciumi wajah ibunya yang sepucat mayat dan sekurus tengkorak. Kemudian wanita tua itu memegang kedua pipi Bwee Hwa dengan kedua tangannya, memandang muka anaknya lama sekali, seolah tidak percaya kepada apa yang dilihatnya dan air matanya menetes, bercampur dengan air mata puterinya.
“Bwee Hwa....... engkau.......? Ya Tuhan....... terima kasih, Tuhan......., sekarang aku puas....... aku dapat....... mati dengan...... tenang.......”
“Ibu.......! Jangan berkata begitu, ibu. Aku tahu, ayah terlalu sekali. Dia kejam, tidak berperikemanusiaan. Membiarkan ibu sakit begini dan dia malah berpesta merayakan pernikahannya! Sungguh ayah telah tersesat, memalukan sekali!”
“....... Jangan.......! Jangan sebut dia....... ayah. Dia bukan ayahmu.......”
Bwee Hwa tersentak kaget. “Apa?!? Kauw-jiu Pek-wan, dia....... dia bukan ayahku?” Gadis itu terbelalak dengan pucat.
“.......untung sekali....... dia bukan ayahmu....... Bwee Hwa.......”
Bwee Hwa terlampau kaget dan terguncang hatinya sehingga ia tidak ingat betapa penyakit ibunya itu parah sekali dan sebetulnya wanita itu tidak boleh banyak bicara dan harus beristirahat dan berobat. Pada saat itu Bwee Hwa ter-lampau bingung sehingga ia ingin sekali segera mengetahui siapa sebenarnya Kauw-jiu Pek-wan dan siapa pula ayah kandungnya.
Dengan suara yang terputus-putus dan napas terengah-engah, terkadang berbisik lirih sehingga Bwee Hwa harus mendekatkan telinganya untuk menangkap kata-kata ibunya, wanita itu bercerita kepada anaknya.
Ia dan suaminya yang bernama Lim Sun, seorang pedagang, melakukan perjalanan bersama anak tunggal mereka, Bwee Hwa yang ketika itu masih kecil. Dalam perjalanan yang dikawal belasan orang piauw-su (pengawal barang) dan membawa barang dagangan itu, tiba-tiba muncul Kauw-jiu Pek-wan. Lim Sun dan para pengawal itu terbunuh semua oleh perampok tunggal itu dan ia bersama anaknya diculik.
Kauw-jiu Pek-wan Kiu Ciang Hok memaksanya menjadi isterinya dan Nyonya Lim ini terpaksa menurut karena kalau ia tidak mau, anaknya akan dibunuh penjahat itu. Ternyata Kauw-jiu Pek-wan memperlakukannya dengan baik, juga menganggap Bwee Hwa sebagai anaknya sendiri sehingga Bwee Hwa yang ketika ayahnya tewas itu baru berusia satu tahun, menganggap Kauw-jiu Pek-wan sebagai ayahnya sendiri.
75
“.......begitulah, Bwee Hwa...... Kemudian....... ketika engkau berusia delapan tahun....... pada suatu hari…… engkau lenyap entah ke mana.......” Nyonya itu menghentikan ceritanya dan napasnya terengah-engah kelelahan karena banyak bicara.
“Jahanam.......! Jadi dia malah pembunuh ayah kandungku? Dan sekarang dia menyia-nyiakan ibu, membuat ibu sengsara? Akan kubunuh iblis itu!” Bwee Hwa memaki dan ia melompat sambil mencabut pedangnya lalu hendak lari keluar dari kamar.
Akan tetapi ketika ia tiba di pintu, mendengar suara ibunya mengeluh lirih, “Bwee Hwa.......”
Ia menengok dan alangkah terkejutnya ketika ia melihat muka ibunya kini pucat sekali dan dari mulutnya mengalir darah! Ia cepat melompat ke dekat pembaringan dan duduk di tepi pembaringan. “Ibu....... ibu....... bagaimana rasa badanmu, ibu.......?” Baru sekarang ia menyadari bahwa ibunya sedang menderita penyakit berat dan keadaannya mengkhawatirkan sekali.
Ibu Bwee Hwa mencoba untuk tersenyum, senyum yang menusuk jantung Bwee Hwa karena senyum itu begitu menyedihkan. “Bwee Hwa aku aku telah puas....... aku telah....... bertemu denganmu....... Bwee Hwa....... kau ingatlah....... dulu ketika....... engkau masih kecil....... engkau telah dijodohkan....... dengan putera....... keluarga....... Ui Cun Lee....... di kota....... Ki-lok.......” Setelah mengerahkan seluruh tenaga untuk mengatakan semua itu, tubuhnya terkulai dan setelah terbatuk-batuk beberapa kali memuntahkan banyak darah dari mulutnya, wanita itu menghembuskan napas terakhir dalam pelukan Bwee Hwa!
“Ibuuuu.......!” Bwee Hwa mengeluarkan jerit yang keluar dari hatinya dan ia menangis sambil memeluki jenazah ibunya.
Kemudian, tiba-tiba ia teringat kepada Kauw-jiu Pek-wan yang dianggapnya sebagai pangkal semua bencana yang menimpa keluarganya. Pembunuh ayah kandung dan kini juga pembunuh ibu kandungnya. Ia lalu melepaskan rangkulannya, berlutut di depan pembaringan, menutup wajah ibunya dengan selimut lalu berkata dengan geram.
“Ibu, tenangkanlah perasaan ibu, aku bersumpah, hari ini juga anakmu akan membunuh musuh besar kita Kauw-jiu Pek-wan Kiu Ciang Hok agar ibu dapat menyeretnya menghadap Giam-kun untuk membuat perhitungan!”
Setelah berlutut menyembah delapan kali, Bwee Hwa lalu melompat dari kamar dengan pedang di tangan. Ia bertemu dengan dua orang pelayan wanita tadi. Mereka memandangnya dengan terkejut dan heran. Akan tetapi begitu bertemu, Bwee Hwa menggerakkan kaki menendang dan dua orang pelayan itu terlempar dan menjerit, mengaduh-aduh.
Tanpa memperdulikan mereka, Bwee Hwa terus berlari keluar dan tiba di ruangan depan di mana para tamu duduk. Di tengah-tengah ruangan itu tampak seorang laki-laki tinggi besar dengan brewok dan rambut yang telah memutih. Dia sedang duduk bercakap-cakap dengan para tamu yang dihormati. Laki-laki ini tampak gembira sekali dan jelas bahwa dia telah banyak minum arak sehingga mukanya menjadi merah dan tampak menyeramkan.
Bwee Hwa ragu-ragu karena belum yakin betul apakah orang itu Kauw-jiu Pek-wan yang dicarinya, karena walaupun ia masih setengah ingat akan muka orang yang tadinya dianggap ayahnya itu, sekali ini
76
ia tidak mau salah tangan. Sementara itu, semua tamu yang terdekat dengan Bwee Hwa menjadi terkejut dan heran, juga agak khawatir ketika melihat betapa tiba-tiba seorang gadis muda cantik jelita yang berpakaian serba merah dan ringkas muncul dengan pedang di tangan dan mukanya membayangkan kemarahan besar.
“Kauw-jiu Pek-wan, bangsat tua bangka, manusia iblis! Kau bersiaplah untuk mampus di tanganku!” Bwee Hwa berseru nyaring sambil memandang ke arah laki-laki tua tinggi besar itu dengan sinar mata tajam menyelidik.
Kauw-jiu Pek-wan Kiu Ciang Hok terkejut bukan main mendengar seruan ini dan dia segera menengok ke arah gadis yang berani mati mengeluarkan ancaman seperti itu. Ketika dia melihat wajah Bwee Hwa, dia terkejut bukan main. Bukankah itu Bwee Hwa yang dulu lenyap ketika berusia delapan tahun? Dia masih ingat benar potongan wajah gadis itu, karena mirip sekali dengan wajah isterinya yang sedang sakit.
Si Lutung Putih Tangan Sembilan ini adalah seorang datuk yang terkenal me-miliki kepandaian tinggi, maka tentu saja dia sama sekali tidak gentar menghadapi ancaman seorang gadis muda, apalagi hanya Bwee Hwa, anak tirinya yang mungkin marah melihat ibunya sakit dan dia merayakan pernikahannya dengan seorang wanita lain. Sekali saja dia menggerakkan tubuhnya, tahu-tahu dia telah melompat ke depan gadis itu.
“Kau kau....... bukankah engkau Bwee Hwa.......?” tanyanya.
“Hemm, mata tuamu masih belum lamur sehingga masih dapat mengenalku!” kata Bwee Hwa ketus.
“Bwee Hwa, anakku.......!” seru Kauw-jiu Pek-wan.
“Siapa anakmu? Siapa sudi mempunyai seorang ayah bangsat tua bangka rendah macam engkau?”
Marahlah Kauw-jiu Pek-wan. Dia telah dimaki dan dihina di depan para tamu. Kumis dan brewoknya seolah berdiri, kedua matanya yang bundar itu melotot lebar. Tak seorangpun di dunia ini boleh menghinanya seperti itu, apalagi di depan puluhan orang tamunya!
“Hemm, jadi engkau sudah tahu bahwa engkau bukan anakku? Jadi kalau begitu engkau sudah bertemu dengan anjing hina tua itu? Belum mampuskah ia?”
Belum habis ia bicara, Bwee Hwa sudah membentak marah dan pedangnya berkelebat menyerang dengan tusukan ke arah dada ayah tirinya yang amat dibencinya itu.
Kiu Ciang Hok adalah seorang datuk yang berkepandaian tinggi dan memiliki pengalaman bertanding selama puluhan tahun, maka tentu saja tidak mudah dia dirobohkan begitu saja. Sambil membentak nyaring dia mengelak dari tusukan pedang itu dan sambil memutar tubuh dia menyambar sebuah kursi dan memukulkan kursi itu kepada Bwee Hwa.
“Wuuuttt....... crakkkk!” Bwee Hwa menangkis dengan pedangnya dan kursi itupun pecah menjadi dua potong, bahkan hampir saja lengan Kiu Ciang Hok terbabat pedang.
Datuk itu terkejut bukan main. Sama sekali tidak disangkanya bahwa anak tirinya itu kini telah menjadi seorang gadis yang memiliki ketangkasan. Dia lalu melompat ke belakang dan mencabut sebatang golok
77
besar yang tergantung di dinding. Kauw-jiu Pek-wan memang terkenal pandai memainkan senjata golok besar itu.
Sebagai pengantin ia tidak membawa golok, maka senjata itu digantungkan di dinding sebagai hiasan dan juga sebagai tanda “kebesarannya”. Kini dia telah memegang senjatanya dan sambil mengeluarkan suara menggereng seperti seekor binatang buas diapun menyerang gadis itu. Bwee Hwa yang juga marah sekali menggerakkan pedangnya menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
“Singgg.......trangggg.......!!” Bunga api berpijar dan Kui Ciang Hok menjadi semakin kaget. Pertemuan dua senjata itu membuat tangannya tergetar hebat, tanda bahwa anak tirinya itu memiliki tenaga sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat pula! Mereka saling serang dan terjadilah perkelahian seru di tengah ruangan yang menjadi medan pesta itu!
Untuk mendapatkan ruang yang bebas, kedua orang yang bertanding itu menendangi meja kursi. Para tamu menjadi ribut dan panik. Yang tidak pandai ilmu silat menonton dari kejauhan. Mereka melarikan diri menabrak meja kursi sehingga keadaan di situ menjadi kacau balau.
Beberapa orang tamu orang-orang kang-ouw yang menjadi sahabat baik Kauw-jiu Pek-wan sudah mencabut senjata masing-masing. Mereka hendak membantu tuan rumah dan mengeroyok gadis yang dianggap mengacau di pesta itu. Akan tetapi sebelum mereka sempat mengeroyok, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dan seorang pemuda telah berdiri menghadang di depan mereka dengan pedang di tangan. Pemuda ini bukan lain adalah Siong Li yang tersenyum kepada mereka lalu berkata lantang.
“Bukan laki-laki gagah kalau mengeroyok seorang gadis muda! Mereka berdua mempunyai urusan pribadi, biarlah mereka selesaikan sendiri!”
Setelah berkata demikian, Siong Li memungut sepasang sumpit kayu yang berada di atas meja. Yang sebatang dia lemparkan ke atas dan ketika sumpit itu meluncur turun, dia menggerakkan pedangnya dengan amat cepat. Yang tampak hanya sinar menyambar ke arah sumpit yang melayang turun itu dan sumpit itu telah terbelah memanjang menjadi dua potong. Belum habis rasa heran dan kagumnya mereka yang tadinya hendak mengeroyok Bwee Hwa melihat kehebatan gerakan pedang itu, Siong Li mengayun sumpit kedua ke atas meja. Sumpit kayu itu bagaikan sebatang anak panah baja menancap dan menembus meja kayu yang tebal itu!
Menyaksikan pameran ilmu pedang dan tenaga sakti sehebat ini, semua orang yang hendak membantu Kauw-jiu Pek-wan menjadi terkejut dan jerih. Mereka maklum bahwa ilmu kepandaian pemuda ini jauh lebih tinggi daripada tingkat mereka, maka mereka menjadi ragu untuk melanjutkan niat mereka mengeroyok Bwee Hwa.
Siong Li bukan orang bodoh. Ketika melihat Bwee Hwa bertanding melawan ayah tirinya, dari gerakan mereka dia dapat memperhitungkan bahwa gadis itu tidak akan kalah. Karena itu ketika melihat beberapa orang hendak maju mengeroyok Bwee Hwa dia cepat mencegah mereka dan memamerkan kelihaiannya agar mereka menjadi gentar. Andaikata dia melihat bahwa Bwee Hwa akan kalah, tentu dia akan membantu gadis itu menghadapi Kauw-jiu Pek-wan!
Kini semua orang menonton dengan penuh perhatian dan hati tegang. Anak dan ayah tirinya itu bertanding mati-matian dan berusaha saling merobohkan. Sepak terjang Bwee Hwa dahsyat sekali.
78
Pedangnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang mengeluarkan bunyi mendengung. Tubuhnya berkelebatan menjadi bayang-bayang merah.
Ia mengerahkan tenaga dan mainkan ilmu pedang Sin-hong-kiam-sut (Ilmu Pedang Tawon Merah) dengan hebatnya sehingga Kauw-jiu Pek-wan yang banyak pengalaman itupun menjadi bingung. Namun, jagoan tua ini memang lihai, bertenaga besar dan menang dalam pengalaman bertanding sehingga biarpun ilmu silatnya kalah tinggi, dia masih dapat bertahan sehingga pertandingan berlangsung hampir seratus jurus masih belum dapat juga Bwee Hwa merobohkan lawannya.
Bwee Hwa yang merasa marah, dendam sakit hatinya memuncak, menyerang dengan semangat bernyala-nyala sehingga Kauw-jiu Pek-wan makin terdesak dan datuk ini mulai mengeluarkan keringat di seluruh tubuhnya dan napasnya mulai memburu. Dia merasa heran melihat betapa anak tirinya itu kini telah menjadi seorang lawan yang amat tangguh.
Diam-diam dia mengeluh dan merasa menyesal mengapa tidak dulu-dulu dia membunuh saja anak ini yang sekarang merupakan musuh besar yang amat lihai dan mengancam keselamatannya. Karena tidak ada jalan untuk keluar dari desakan ini, dia menjadi nekat dan melawan sekuat tenaga, bahkan beberapa kali sengaja melakukan serangan tanpa memperdulikan pertahanan dirinya sehingga serangan itu merupakan tantangan mengadu nyawa atau mengajak mati bersama. Ia meloncat ke belakang, kemudian ia melompat ke atas dan memainkan jurus Hui-in-ci-tian (Awan Mengeluarkan Kilat) pedangnya berputar dan menyambar bagaikan kilat ke arah leher dan dada lawan.
“Singgg....... crattt.......!”
Kauw-jiu Pek-wan mengeluh. Serangan gadis itu cepat bukan main sehingga biarpun dia sudah mengelak, tetap saja ujung pundaknya tercium ujung pedang sehingga baju dan kulit bahunya pecah dan berdarah. Hanya dengan melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan dia dapat terbebas dari maut.
Bwee Hwa tidak ingin melepaskannya dan mengejar. Sama sekali ia tidak menyangka bahwa ketika bergulingan itu, Kauw-jiu Pek-wan diam-diam mempersiapkan tiga batang piauw, senjata rahasianya yang berwarna hitam. Ketika Bwee Hwa mengejarnya, kakek itu melompat bangun dan begitu tangan kirinya bergerak, tiga sinar hitam menyambar ke arah Bwee Hwa. Gadis itu terkejut, cepat memutar pedangnya menangkis. Dua batang piauw dapat ditangkisnya, akan tetapi yang sebatang lagi menancap di paha kirinya!
Dengan mengertak gigi Bwee Hwa mencabut piauw itu dan ia merasa lega karena senjata rahasia itu tidak mengandung racun. Pahanya hanya terluka saja dan mengeluarkan darah. Ia tidak memperdulikan lukanya dan menyerang lagi dengan pedangnya sehingga sekali lagi mereka bertanding mati-matian. Akan tetapi, biarpun luka di pahanya itu tidak berbahaya namun amat menganggu sehingga gerakannya menjadi kaku dan Bwee Hwa kehilangan kegesitannya. Rasa nyeri pada pahanya membuat kakinya tidak leluasa bergerak. Bwee Hwa menjadi marah dan iapun mengambil jarum-jarumnya dengan tangan kiri.
“Bangsat rendah lihat jarumku!” bentaknya. Tangan kirinya bergerak dan sinar-sinar merah lembut menyambar ke arah Kauw-jiu Pek-wan sambil mengeluarkan suara berdengung seperti serbuan ratusan ekor lebah. Itulah Hong-cu-ciam (Jarum-jarum Tawon).
Senjata rahasia Bwee Hwa ini hebat dan sukar sekali dielakkan. Pertama karena kecil lembut dan cepat sekali luncurannya. Kedua karena suara berdengung halus seperti tawon itu menutupi suara desir angin
79
terbangnya senjata rahasia itu sehingga sukar diduga arah dan jaraknya. Setelah tiga kali tangan kiri Bwee Hwa bergerak dan tangan kanan yang memegang pedang masih tetap menyerang, Kauw-jiu Pek-wan menjerit karena mata kanannya terkena jarum merah. Dia terhuyung ke belakang sambil mendekap mata kanannya dengan tangan kiri dan pada saat itu, Bwee Hwa menyerang dahsyat sambil membentak.
“Kau ikutlah ibuku!” pedangnya berkelebat cepat sekali dan menembus dada Kauw-jiu Pek-wan yang roboh terjengkang, berkelojotan dan tewas.
Keadaan menjadi kacau dan gempar. Semua orang memandang dengan wajah pucat. Bwee Hwa melompat ke atas sebuah meja, melintangkan pedang di depan dada lalu berkata lantang, air matanya mengalir di atas kedua pipinya.
“Saudara-saudara sekalian, ketahuilah! Aku adalah anak kandung dari nyonya tua yang sekarang telah meninggal dunia karena penyakit yang dideritanya. Dan anjing rendah ini.......” ia menuding ke arah mayat Kauw-jiu Pek-wan, “dia dulu membunuh ayah kandungku dan merampas ibuku menjadi isteri paksaan. Sekarang kembali dia menyakiti hati ibuku dengan menyia-nyiakannya dan menikah lagi, tidak memperdulikan keadaan ibuku yang sakit parah sampai meninggal dunia seorang diri dalam kamarnya. Kini aku telah membalas dendam sakit hati ayah dan ibu kandungku, aku telah membunuh musuh besarku ini. Jika di antara kalian ada yang merasa penasaran dan hendak membelanya, boleh maju melawanku!”
Setelah gadis itu berhenti bicara, suasana menjadi sunyi sejenak, kemudian disusul suara gaduh karena para tamu itu saling bicara sendiri. Agaknya tidak ada seorangpun yang berani mencoba-coba menentang Bwee Hwa, apalagi setelah mereka ketahui bahwa gadis yang lihai itu masih mempunyai teman seorang pemuda yang juga lihai sekali.
Kemudian, para tamu meninggalkan tempat perayaan itu dan akhirnya tempat itu ditinggal sunyi, hanya terdapat para pelayan yang tampak ketakutan. Mempelai wanita yang tadinya berada di dalam kamar pengantin, ternyata juga telah pergi dengan diam-diam, dilarikan keluarganya.
Bwee Hwa yang merasa menjadi ahliwaris tunggal, atas nama ibunya lalu memerintahkan semua pelayan untuk mengurus jenazah Kauw-jiu Pek-wan dan ibu kandungnya. Setelah ia mengurus kedua jenazah itu sampai pemakamannya dibantu oleh Siong Li, ia lalu membagi-bagikan semua harta benda Kauw-jiu Pek-wan kepada para pelayan dan kepada para penduduk dusun yang miskin di sekitar pegunungan itu.
Kemudian ia menunjuk seorang pelayan laki-laki berusia limapuluh tahun untuk menjaga rumah gedung dan semua prabotnya. Dari semua harta kekayaan yang dibagikan, ia menyisakan sebagian karena dianggapnya itu hak ibu kandungnya dan ia berhak pula mewarisi milik ibunya. Setelah membagi-bagikan harta kekayaan Kauw-jiu Pek-wan, ia mengusir semua pelayan.
Seluruh penduduk dusun di pegunungan Twi-bok-san kebagian harta dan mereka merasa bersyukur dan berterima kasih sekali. Setelah semua beres, Bwee Hwa dan Siong Li bercakap-cakap di taman belakang gedung yang kini telah sepi itu.
“Hwa-moi, semua harta kekayaan itu adalah milikmu. Engkau berhak mewarisi-nya karena engkau adalah puteri kandung ibumu yang telah meninggal dunia. Ayah tirimu juga telah meninggal dunia dan mereka berdua tidak mempunyai sanak keluarga lain. Kenapa engkau bagi-bagikan kepada para pelayan
80
dan para penduduk dusun sekitar sini?” tanya Siong Li, ingin tahu apa yang mendorong gadis itu melakukan hal itu.
Bwee Hwa menghela napas panjang. “Li-ko, aku hanya berhak memiliki sebagian kecil saja harta itu yang menjadi hak ibuku. Aku tidak berhak memiliki harta peninggalan Kauw-jiu Pek-wan karena harta itu dia dapatkan dari hasil kejahatannya. Harta kekayaan itu lebih berguna bagi mereka yang miskin dan membutuhkan daripada aku.”
Siong Li mengangguk-angguk. “Bagus sekali, Hwa-moi. Aku setuju sepenuhnya dengan pendapatmu itu.”
Keduanya lalu terdiam dan melihat gadis itu diam saja dan seringkali menghela napas panjang dengan wajah sedih, Siong Li merasa iba. “Hwa-moi, tenangkanlah hatimu. Ibu kandungmu sudah meninggal, hal itu bahkan baik sekali baginya daripada hidup dalam keadaan berpenyakitan. Pula, hidup matinya seseorang ditentukan oleh kekuasaan Thian (Tuhan).”
“Engkau benar, Li-ko. Engkau sungguh seorang kawan yang baik sekali dan aku tidak tahu bagaimana dapat membalas budi kebaikanmu. Sekarang aku telah menjadi sebatang kara di dunia ini.......”
“Hwa-moi, mengapa seorang gagah seperti engkau dapat mengucapkan kata-kata seperti itu? Bukankah di mana-mana terdapat banyak orang gagah dan mulia hatinya, yang pantas menjadi saudara kita? Selain itu....... bukankah di dunia ini masih.......ada aku.......?”
Bwee Hwa menatap wajah kawannya itu dan sepasang matanya basah air mata ketika ia melihat betapa mata pemuda itu memandangnya dengan begitu lembut dan mesra, pandang mata penuh kasih sayang. Ia maklum akan perasaan hati pemuda itu kepadanya.
“Li-ko, engkau adalah seorang enghiong (pendekar) yang gagah perkasa dan budiman. Hidupmu berbahagia. Kau tinggalkanlah aku, Li-ko, karena nasibku yang sial akan menyeretmu ke arah kesialan pula. Kaulanjutkanlah perjalananmu sendiri dan tinggalkan aku dalam kemalangan.”
Siong Li mengerutkan alisnya. “Hwa-moi, agaknya engkau masih ragu dan tidak percaya kepadaku. Aku....... harus kuakui bahwa sumber kebahagiaanku terletak di telapak tanganmu. Berpisah darimu berarti derita bagiku.......” Pemuda itu menundukkan mukanya yang berubah muram dan sedih.
“Li-ko, engkau seorang yang berhati mulia. Alangkah akan senangnya hatiku mendengar ucapanmu tadi kalau saja....... kalau saja.......” Bwee Hwa menghentikan ucapannya dan menundukkan muka.
“Kalau saja apa, Hwa-nioi? Engkau hendak mengatakan bahwa engkau tidak dapat mengimbangi perasaanku? Katakanlah saja terus terang, tidak usah ragu-ragu, karena orang yang mengutamakan kegagahan seperti kita tidak perlu berpura-pura lagi dan sebaiknya bersikap terbuka.”
Bwee Hwa menghela napas panjang, lalu mengangkat muka menatap wajah pemuda itu. “Li-ko, ketika ibuku hendak menghembuskan napas terakhir, ia meninggalkan pesan padaku.”
“Pesan apakah itu kalau aku boleh mengetahui, Hwa-moi?” tanya Siong Li, menenangkan hatinya yang berdebar tegang.
81
“Pesan itu....... adalah....... bahwa aku semenjak kecil telah telah....... dijodohkan dengan putera keluarga Ui Cun Lee di kota Ki-lok!”
Siong Li cepat menatap wajah Bwee Hwa yang begitu bertemu pandang segera menundukkan mukanya. Wajah pemuda itu tiba-tiba menjadi pucat, akan tetapi segera dia dapat menguasai perasaan hatinya. Mulutnya tersenyum, senyum biasa yang ramah dan gembira, hanya saja sekali ini senyumnya tidak disertai seri matanya. Mata itu muram dan terselubung awan duka.
“Hemm, begitukah? Lalu bagaimana sekarang kehendakmu, Hwa-moi?” Akhirnya pemuda itu bertanya, suaranya terdengar biasa saja sehingga Bwee Hwa berani mengangkat mukanya perlahan-lahan dan memandang pemuda itu. Hati gadis itu merasa lega melihat pemuda itu masih dapat tersenyum walaupun senyumnya itu seolah mengiris jantung Bwee Hwa karena ia merasa betapa pemuda di dekatnya itu seperti bukan lagi Siong Li yang biasa.
“Aku....... aku tidak dapat menolak....... aku harus menaati pesan terakhir ibuku itu, Li-ko....... aku tidak sempat menolak karena begitu meninggal pesan itu, ibuku menghembuskan napas terakhir.......”
Siong Li mengangguk-angguk. “Memang demikianlah seharusnya, Hwa-moi. Seorang anak yang berbakti harus menaati pesan orang tuanya, dan aku percaya sepenuhnya bahwa ibumu tentu tidak salah pilih.”
Tiba-tiba Bwee Hwa merasa terharu sekali. Tidak disangkanya bahwa Siong Li memiliki pendirian semulia itu. Pemuda itu bicara dengan tabah, walaupun ia dapat merasakan betapa suaranya tergetar menahan perasaan. Ia amat terharu dan tak tertahankan lagi ia menutupi mukanya dengan kedua tangan dan terisak, menahan tangisnya.
“Hwa-moi, engkau kenapakah.......?”
“Li-ko, engkau sungguh mulia. Kuharap saja mudah-mudahan benar seperti katamu tadi bahwa ibu takkan salah pilih.......”
“Jangan khawatir, Hwa-moi. Lebih baik engkau segera berkemas dan mari kita cari keluarga Ui itu.”
Bwee Hwa mengangkat mukanya, memandang dengan mata basah, terkejut dan heran. “Apa.......? Engkau mau mengantar aku mencari mereka?”
Melihat gadis itu terheran, Siong Li tersenyum, kini senyumnya cerah seperti biasanya. “Tentu saja, mengapa tidak? Engkau yatim piatu, juga tiada sanak keluarga. Anggaplah aku sebagai kakakmu sendiri dan menjadi walimu. Kukira tidaklah pantas sebagai seorang gadis engkau harus mencari sendiri tunanganmu itu.”
Bwee Hwa menundukkan kepalanya dan mukanya berubah kemerahan. “Memang engkau benar, Li-ko. Agaknya kalau tidak kau antar, aku selamanya tidak akan sudi mengantarkan diri kepada mereka yang sama sekali tidak kukenal.......”
“Kalau begitu berkemaslah. Kita berangkat sekarang juga.”
82
Setelah meninggalkan pesan kepada A-sam, laki-laki setengah tua yang hidup sebatang kara itu untuk menjaga dan membersihkan rumah, berangkatlah Bwee Hwa bersama Siong Li turun dari Bukit Twi-bok-san menuju ke kota Ki-lok di Propinsi Hok-kian.
Bwee Hwa dan Siong Li tiba di kota Ki-lok yang besar dan ramai setelah mereka melakukan perjalanan hampir sebulan lamanya. Mereka menyewa dua buah kamar di sebuah hotel besar di kota itu dan setelah beristirahat semalam, pada keesokan harinya, pagi-pagi Siong Li berpamit kepada Bwee Hwa untuk pergi mencari keluarga Ui Cun Lee.
Ui Cun Lee adalah seorang hartawan di kota Ki-lok dan dahulu menjadi sahabat dalam perdagangan yang baik dari Lim Sun, ayah kandung Bwee Hwa. Persahabatan itu amat erat sehingga isteri merekapun menjadi sahabat baik, bahkan lebih akrab dan karib dibandingkan persahabatan antara suami mereka. Saking akrabnya, Nyonya Lim Sun dan Nyonya Ui Cun Lee bersepakat untuk menjodohkan anak mereka! Pada saat mereka bersepakat itu, puteri Lim Sun, yaitu Lim Bwee Hwa berusia enam bulan sedangkan putera Ui Cun Lee yang bernama Ui Kong berusia dua tahun.
Tidak sukar bagi Ong Siong Li untuk menemukan rumah Ui Cun Lee. Keluarga Ui ini terkenal sebagai seorang pedagang yang kaya raya dan budiman, suka menolong orang, dermawan dan baik hati. Ciut juga hati Siong Li ketika berdiri di depan gedung besar yang megah itu. Kiranya calon suami Bwee Hwa adalah seorang pemuda putera hartawan besar. Dia merasa kecil sekali.
Ketika dia mendengar suara ramai-ramai di pekarangan gedung itu, dia me-longok ke sana dan dilihatnya banyak orang berpakaian sederhana pertanda bahwa mereka orang-orang miskin sedang berdiri antri menerima bagian beras dari dua orang pegawai. Di sana tersedia beberapa karung beras.
Seorang laki-laki berusia limapuluh tahun berdiri mengawasi dan melihat pakaiannya, laki-laki itu tentulah majikan dua orang pegawai yang membagi beras. Hal ini terbukti ketika para pengantri sesudah menerima bagiannya lalu membungkuk dengan hormat kepada laki-laki tua itu dan berkata, “Terima kasih, Ui-loya (Tuan Besar Ui)!”
Berdebar rasa jantung dalam dada Siong Li. Laki-laki itu tentulah hartawan Ui Cun Lee! Dia merasa semakin kecil. Sudah kaya raya, dermawan lagi. Dia sendiri bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan keluarga Ui itu. Diam-diam ada rasa lega juga.
Bagaimanapun, hatinya dapat merasa tenteram karena Bwee Hwa mendapatkan seorang jodoh yang amat baik. Putera seorang hartawan yang dermawan! Tiba-tiba dia tertegun. Bagaimana kalau ternyata pemuda tunangan Bwee Hwa itu seorang yang cacat tubuhnya? Atau buruk sekali wajahnya? Mendapatkan pikiran ini dia cepat menghadang seorang laki-laki tua yang berjalan di jalan besar depan rumah itu.
“Maaf kalau saya mengganggu, paman. Saya hendak mohon keterangan sedikit dari paman,” katanya dengan sikap hormat.
Laki-laki itu memandang heran, akan tetapi dia tersenyum melihat bahwa pe-nanyanya adalah seorang pemuda yang bersikap sopan dan wajahnya lembut, bukan seperti seorang yang jahat walaupun di punggung pemuda itu terdapat sebatang pedang.
“Tidak mengapa, engkau tidak mengganggu, ho-han (orang gagah). Apakah yang hendak kautanyakan?”
83
“Begini, paman. Saya bukan orang sini, akan tetapi saya sudah mendengar bahwa Hartawan Ui yang dermawan mempunyai seorang putera. Nah, saya ingin tahu keadaan puteranya itu. Bagaimana wajahnya? Apakah dia tampan? Apakah dia baik hati?”
Orang itu tersenyum. “Yang mana yang kautanyakan, ho-han? Ui-wangwe (Hartawan Ui) mempunyai dua orang putera, keduanya adalah pemuda-pemuda tampan dan berbudi luhur seperti orang tuanya, dermawan dan suka menolong orang.”
Siong Li menjadi bingung. Dua orang? Dia teringat akan cerita Bwee Hwa yang mengatakan bahwa pesan ibu kandung gadis itu hanya memberitahu bahwa gadis itu telah dijodohkan dengan putera Ui Cun Lee yang tinggal di Ki-lok, tanpa menyebutkan nama pemuda yang ditunangkan dengan Bwee Hwa itu. Akan tetapi mendengar bahwa dua orang pemuda itu, dan seorang di antaranya pasti tunangan Bwee Hwa, adalah dua orang pemuda yang tampan dan berbudi luhur, dia menjadi semakin lega. Kiranya memang tidak salah pilihan ibu kandung Bwee Hwa!
“Terima kasih, paman. Bolehkah saya bertanya satu hal lagi? Siapa nama kedua orang putera Hartawan Ui itu?”
“Nama mereka? Twa-kongcu (Tuan Muda Terbesar) bernama Ui Kiang, terkenal karena ahli sastera yang sudah mempunyai gelar siucai (pelajar lulus ujian). Adapun Ji-kongcu (Tuan Muda kedua) bernama Ui Kong, juga sama tampan dengan kakaknya, akan tetapi lebih terkenal karena tinggi ilmu silatnya.”
“Usia mereka, paman?”
“Twa-kongcu berusia duapuluh empat tahun, sedangkan Ji-kongcu berusia duapuluh satu tahun.”
“Dan mereka sudah menikah?”
Laki-laki itu tersenyum dan menggeleng kepala. “Dua orang kongcu itu memang aneh. Hampir semua orang yang memiliki anak gadis yang cantik jelita mengharapkan puterinya menjadi jodoh seorang di antara kongcu itu. Akan tetapi dua orang kongcu itu tetap belum mau menikah. Dan mereka adalah dua orang pemuda pilihan, tidak suka berfoya-foya dan ugal-ugalan seperti para pemuda lainnya walaupun mereka itu putera orang kaya raya.”
Siong Li tersenyum dan mengangguk-angguk. Hatinya merasa tenang. Bwee Hwa pasti akan hidup makmur dan bahagia berjodoh dengan seorang di antara mereka.
“Terima kasih, paman.”
Kini dengan tenang dia melangkah memasuki pekarangan besar gedung itu di mana terdapat banyak orang antri menerima pembagian beras. Dia langsung menghampiri dua orang yang membagi beras.
“Eh, sobat. Kalau ingin mendapatkan bagian beras, harap antri di belakang. Tidak boleh menyerobot di depan!” kata seorang di antara dua pegawai yang membagi beras.
Siong Li memberi hormat dan berkata, “Maaf, saya datang bukan untuk mendapatkan pembagian beras, melainkan untuk menghadap Hartawan Ui, untuk menyampaikan urusan yang amat penting.”
84
Laki-laki setengah tua yang tadi menonton pembagian beras, memandang kepada Siong Li dan maju menghampiri. “Orang muda, engkau hendak bertemu dengan Hartawan Ui? Akulah orangnya dan siapa engkau? Ada urusan apakah engkau hendak bertemu denganku?”
Siong Li mengangkat kedua tangan depan dada dan menjura.
“Harap maafkan saya kalau saya mengganggu. Saya bernama Ong Siong Li dan saya datang mewakili keluarga Lim Sun di So-jiu.”
Siong Li mengetahui bahwa ayah kandung Bwee Hwa bernama Lim Sun dan dulu tinggal di So-jiu. Ibu kandung Bwee Hwa memang tidak sempat menceritakan kepada anaknya secara jelas, akan tetapi kedua orang muda itu mendengar banyak tentang orang tua kandung Bwee Hwa dari A-sam, pelayan tua yang dipercaya oleh ibu kandung Bwee Hwa. Dengan bekal pengetahuan tentang keluarga orang tua Bwee Hwa inilah Siong Li berani mewakili keluarga Lim itu.
Mendengar disebutnya Keluarga Lim Sun dari So-jiu, Hartawan Ui terkejut dan tertarik sekali. “Ah, begitukah? Mari, silakan masuk, kita bicara di dalam saja.”
Siong Li mengikuti hartawan itu memasuki ruangan tamu yang luas dan indah. Setelah dipersilakan duduk, seorang pelayan wanita muncul membawakan mi-numan.
“Nah, sekarang ceritakanlah, Ong…… siapa namamu tadi?”
“Ong Siong Li, harap sebut saja Siong Li, paman,” kata Siong Li dengan ramah. Diapun langsung menyebut paman tanpa ragu lagi, melihat sikap hartawan itu yang ramah dan akrab.
Ui Cun Lee tersenyum, senang mendengar pemuda itu menyebutnya paman. Dia adalah seorang yang biarpun kaya raya, berwatak sederhana dan tidak suka disanjung-sanjung dengan penghormatan yang sifatnya menjilat dan bermuka-muka.
“Baik, Siong Li, dengan begini kita dapat bicara leluasa dan akrab. Nah, sekarang ceritakan bagaimana engkau yang semuda ini menjadi wakil keluarga Lim Sun di So-jiu. Sudah lama sekali kami tidak pernah berhubungan, bahkan aku mendengar bahwa keluarga itu tertimpa malapetaka. Kabarnya Lim Sun tewas di tangan penjahat dan isterinya beserta anaknya telah hilang. Sejak itu aku tidak pernah mendengar apa-apa lagi dari mereka dan kini tahu-tahu engkau muncul dan mengaku sebagai wakil mereka. Bagaimana ceritanya? Aku tertarik sekali!”
“Ceritanya panjang, Paman Ui. Kabar yang paman dengar itu memang benar. Paman Lim Sun belasan tahun yang lalu, ketika melakukan perjalanan dengan isteri dan puteri tunggalnya, di tengah perjalanan dihadang seorang perampok. Paman Lim Sun dan para pengawalnya terbunuh. Isteri dan puterinya dilarikan perampok yang kemudian memaksa Bibi Lim Sun menjadi isterinya, dan puterinya menjadi anak tiri perampok yang berjuluk Kauw-jiu Pek-wan itu.”
Siong Li lalu menceritakan tentang Bwee Hwa yang dilarikan Sin-kiam Lojin, kemudian menjadi muridnya dan betapa akhirnya Bwee Hwa berhasil membunuh Kauw-jiu Pek-wan, bertemu ibu kandungnya yang meninggal karena sakit.
85
“Ketika hendak menghembuskan napas terakhir, ibu kandung nona Lim Bwee Hwa meninggalkan pesan kepada puterinya itu bahwa nona Lim Bwee Hwa sejak kecil sudah dijodohkan dengan putera Paman Ui Cun Lee di Ki-lok. Karena hendak memenuhi pesan terakhir ibu kandungnya, maka Nona Lim Bwee Hwa mencari ke sini dan saya menjadi wakil keluarga Lim atau wali nona Lim Bwee Hwa untuk menemui paman dan menceritakan ini semua.”
Ui Cun Lee mengangguk-angguk dan memandang pemuda itu dengan mata penuh selidik. “Dan ada hubungan keluarga apakah kalian dengan nona Lim Bwee Hwa?”
“Ah, saya hanya seorang sahabat, paman. Secara kebetulan saja saya bertemu dengannya dalam perjalanan dan bersama-sama menentang kejahatan. Karena melihat ia tidak mempunyai sanak keluarga, maka saya memberanikan diri menjadi walinya.”
Kembali Ui Cun Lee mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya yang jarang.
“Ibunya anak-anakku juga sudah meninggal dunia. Walaupun begitu aku tidak ingin mengingkari janji yang sudah dikeluarkan mendiang isteriku dan aku setuju saja kalau janji itu dipenuhi dan seorang puteraku menikah dengan puteri mendiang sahabatku Lim Sun. Akan tetapi ada satu hal yang tidak dapat dipaksakan, yaitu orang yang bersangkutan sendiri. Kedua orang puteraku itu memiliki watak yang aneh. Mereka sudah berusia duapuluh empat dan duapuluh satu tahun, akan tetapi selalu menolak bujukanku untuk berumah tangga. Sekarang, menghadapi janji ikatan perjodohan ini, tentu saja aku harus menanyakan pendapat mereka yang bersangkutan. Dan tentu saja yang harus menikah lebih dulu adalah puteraku yang tertua, Ui Kiang. Dan untuk mengetahui pendapatnya, tentu saja jalan satu-satunya adalah mempertemukan Ui Kiang dengan Lim Bwee Hwa. Kalau Ui Kiang setuju untuk menikah dengan Lim Bwee Hwa, tentu saja akupun tidak keberatan sama sekali. Bagaimana pendapatmu sebagai wakil keluarga Lim, Siong Li?”
Siong Li mengangguk, kagum akan kebijaksanaan hartawan itu. “Pendapat paman itu baik sekali. Akan tetapi Nona Lim Bwee Hwa adalah seorang pendekar wanita dan ia memiliki harga diri yang tinggi. Kiranya akan sukar membujuknya untuk datang ke rumah paman. Sebagai seorang gadis terhormat tentu saja ia merasa malu kalau harus datang ke rumah calon jodohnya.”
“Hemm, aku mengerti dan itu menunjukkan bahwa ia seorang gadis yang menjaga tinggi kehormatannya. Bagus sekali.”
“Lalu bagaimana sebaiknya diatur agar mereka berdua dapat saling bertemu, paman?”
“Begini saja. Di sebelah timur kota ini, sekitar sepuluh li (mil) dari sini, terdapat sebuah kuil, yaitu Ban-hok-si. Besok pagi kami sekeluarga akan melakukan sembahyang di sana. Nah, engkau ajaklah Lim Bwee Hwa ke sana sehingga kalian dapat bertemu dengan kami dan perkenalkan Bwee Hwa kepada kami. Dengan demikian, pertemuan ini seolah secara kebetulan dan bukan berarti Bwee Hwa mendatangi kami.”
Siong Li mengangguk. “Usul paman itu baik sekali. Saya akan mengajak ia ke kuil Ban-hok-si besok pagi.”
Siong Li lalu berpamit dan keluar dari gedung itu. Di pekarangan di mana masih terjadi kesibukan membagi beras, dia berpapasan dengan seorang pemuda yang tampan dan gagah sekali. Dari pakaiannya saja, walaupun pakaian itu tidak terlalu mewah, dapat diduga bahwa pemuda itu adalah
86
seorang kongcu (tuan muda) yang kaya. Pandang mata pemuda itu tajam sekali dan ketika berpapasan, dia memandang Siong Li penuh selidik. Siong Li mengangguk dan pemuda itu membalas dengan anggukan.
Setelah pemuda itu memasuki ruangan tamu, Ui Cun Lee masih duduk termenung di atas kursinya. Orang tua ini terkenang kepada mendiang isterinya yang mengikat janji dengan mendiang isteri Lim Sun. Teringatlah dia kepada Lim Sun yang menjadi sahabat baiknya dan isteri Lim Sun yang cantik jelita dan ramah. Dia menghela napas panjang. Betapa buruk nasib Lim Sun dan isterinya. Juga isterinya sendiri yang meninggal dunia dalam usia yang masih terhitung muda, baru empatpuluh tahun usianya.
Alangkah akan senang hatinya kalau seorang puteranya, dalam hal ini Ui Kiang sebagai putera pertama, dapat menikah dengan puteri tunggal Lim Sun dan isterinya. Dia merasa yakin bahwa gadis bernama Lim Bwee Hwa itu tentu cantik jelita karena ibunya juga seorang wanita jelita dan ayahnya, Lim Sun, juga seorang pria yang tampan. Akan tetapi ada sedikit hal yang membuat alisnya berkerut.
Menurut cerita Ong Siong Li tadi, Bwee Hwa adalah seorang pendekar wanita, seorang ahli silat! Sedangkan putera pertamanya, Ui Kiang adalah seorang siucai yang lemah lembut. Agaknya Ui Kong, puteranya yang kedua lebih cocok menjadi suami Bwee Hwa karena Ui Kong juga seorang ahli silat yang pandai. Akan tetapi, menurut aturan, Ui Kiang yang harus menikah lebih dulu! Semua ini membuat Ui Cun Lee duduk termenung dalam ruangan tamu.
Ui Kong memasuki kamar tamu itu dan melihat ayahnya duduk termenung, dia langsung bertanya sambil duduk di atas kursi di depan ayahnya.
“Ayah, siapakah pemuda yang membawa pedang di punggungnya dan yang baru keluar dari rumah kita tadi?”
Ui Cun Lee sadar dari lamunannya dan memandang wajah puteranya yang kedua. “Namanya Ong Siong Li dan dia membawa berita yang teramat penting.”
“Berita apakah itu, ayah? Ayah tampak termenung ketika aku masuk, tentu berita itu penting sekali.”
“Kong-ji (Anak Kong), panggil dulu kakakmu ke sini. Berita ini harus didengar kalian berdua.”
“Baik, ayah,” Pemuda itu dengan tangkas lalu bangkit dan keluar dari kamar tamu.
“Kalian temui aku di kamar dalam,” pesan Ui Cun Lee yang juga bangkit dan pindah ke kamar dalam, kamar yang merupakan kamar keluarga dan lebih tertutup, karena tidak ada pelayan berani masuk kamar atau ruangan itu tanpa dipanggil.
Tak lama kemudian Ui Cun Lee sudah duduk di atas kursi berhadapan dengan dua orang puteranya. Ui Kiang yang berusia duapuluh empat tahun berpakaian sebagai seorang sasterawan, pakaiannya sederhana walaupun terbuat dari sutera halus dan tampak bersih sekali. Sampai ke kuku-kuku jari tangannya, pemuda ini merawat dirinya bersih dan gerak geriknyapun lembut, tubuhnya sedang saja dan wajahnya yang halus tanpa kumis dan jenggot itu tampak sehat dan tampan.
Adapun adiknya yang bernama Ui Kong, berusia duapuluh satu tahun, tubuhnya tinggi tegap membayangkan kekuatan yang kokoh. Wajahnya tampan dan sikapnya sesuai dengan kegagahannya,
87
terbuka jujur dan agak keras. Wajahnya juga tampan dan bersih, sepasang matanya seperti mata burung rajawali, tajam dan berwibawa.
“Ayah memanggil saya? Ada perintah apakah yang, ayah ingin berikan kepada saya?” tanya Ui Kiang duduk di sebelahnya.
Dari ucapan dan sikapnya, Ui Kiang bersikap lebih merendah dan hormat kepada ayahnya dibandingkan Ui Kong yang sikapnya agak kasar terbuka, namun ada kemesraan dalam suaranya terhadap ayahnya. Cara kedua orang anak ini berbakti dan bersikap terhadap ayah mereka untuk menyatakan kasih sayang mereka, berbeda sesuai dengan watak mereka yang terbentuk sesuai dengan keahlian mereka.
Ui Kiang seorang sasterawan dan kutu buku yang mempelajari banyak filsafat dan agama, sedangkan Ui Kong tidak begitu maju dalam pelajaran sastra, akan tetapi memilih ilmu silat sebagai kegemarannya dan ilmu ini dia pelajari sampai mendalam. Untuk memperdalam ilmu silatnya, Ui Kong bahkan pernah berguru kepada Beng-san Cin-jin yang bertapa di pegunungan Beng-san sampai lima tahun lamanya.
“Aku tidak ingin menyuruh kalian melakukan sesuatu, hanya ingin memberitahu akan peristiwa yang penting dan minta pertimbangan kalian.”
“Peristiwa apakah itu, ayah? Tentu ada hubungannya dengan orang yang bernama Ong Siong Li tadi, bukan? Sudah kuduga bahwa dia tentu datang membawa urusan yang penting,” kata Ui Kong.
“Kong-te, siapakah itu Ong Siong Li? Jangan mengambil kesimpulan dulu dan biarkan ayah menceritakan kepada kita,” tegur Ui Kiang dengan halus.
Ui Cun Lee menggerakkan tangan kanannya. “Dengarkan kalian baik-baik. Tadi datang seorang tamu yang mengaku bernama Ong Siong Li. Karena dia mengatakan bahwa dia menjadi wakil keluarga Lim Sun dari kota So-jiu dan hendak bicara denganku, maka kuajak dia ke ruangan tamu dan kami bicara.”
“Nanti dulu, ayah. Siapakah itu keluarga Lim Sun dari So-jiu? Kurasa Kiang-ko (kakak Kiang), seperti juga aku sendiri, belum pernah mendengar tentang keluarga itu!”
“Kong-te (adik Kong), kembali engkau memotong pembicaraan ayah. Kenapa engkau begitu kasar?” tegur Ui Kiang.
Ui Kong mengangguk kepada ayahnya dan berkata, lebih halus, “Maafkan aku, ayah.”
“Sudahlah, kalian dengarkan saja baik-baik. Lim Sun adalah seorang sahabat karibku di So-jiu, juga isterinya menjadi sahabat mendiang ibumu. Kami suami isteri bergaul dengan akrab. Kami saling berpisah ketika aku dan ibumu pindah ke Ki-lok ini. Akan tetapi sebelum kami berpisah, ibumu dan isteri Lim Sun telah saling berjanji bahwa mereka berdua kelak akan menjodohkan anak masing-masing. Mereka mempunyai seorang anak perempuan.”
Kakak beradik itu terkejut dan otomatis mereka menoleh dan saling berpan-dangan. Ui Kong sudah menggerakkan mulutnya, akan tetapi baru saja bibirnya terbuka, belum sempat bersuara, kakaknya sudah memberi isyarat dengan telunjuk menekan mulut agar adik itu tidak memotong cerita ayah mereka. Ui Kong teringat dan menutup bibirnya rapat-rapat!
88
“Tadinya aku hanya mendengar bahwa Lim Sun telah tewas terbunuh penjahat dan anak isterinya hilang entah ke mana. Akan tetapi kemudian muncul Ong Siong Li itu dan dialah yang bercerita banyak tentang keluarga Lim Sun. Dia bercerita bahwa Lim Sun terbunuh oleh seorang kepala perampok berjuluk Kauw-jiu Pek-wan dan isterinya dipaksa menjadi isteri perampok itu, sedangkan anaknya juga menjadi anak tiri si perampok.”
Tiba-tiba Ui Kong melompat berdiri dari kursinya. “Kauw-jiu Pek-wan Kiu Ciang Hok! Jahanam busuk itu memang jahat sekali. Pernah aku bersama beberapa orang suheng (kakak seperguruan) mencari untuk membasminya, akan tetapi dia menghilang dan tak seorangpun tahu di mana dia berada! Sungguh keji dan biadab! Sudah membunuh suaminya, memaksa isterinya untuk menikah dengannya pula!”
“Kong-te, tidak bisakah engkau diam sejenak agar ayah dapat melanjutkan ceritanya?” tegur Ui Kiang marah.
Ui Cun Lee menghela napas panjang. Dua orang anaknya itu memiliki sikap yang demikian jauh berbeda, akan tetapi keduanya memiliki kebenaran masing-masing. Kalau Ui Kiang mengutamakan sikap baik bersusila, Ui Kong lebih mengutamakan sikap gagah menentang kejahatan.
“Menurut cerita Ong Siong Li, anak perempuan yang bernama Lim Bwee Hwa itu kemudian menjadi seorang gadis yang lihai ilmu silatnya. Kemudian, seorang sakti yang entah siapa namanya aku lupa lagi, merampas Lim Bwee Hwa dari tangan ayah tirinya kemudian dijadikan murid orang sakti itu. Nah, setelah dewasa, Lim Bwee Hwa itu mencari ibunya yang setelah bertemu dengannya, mati karena sakit dan terlantar, sedangkan Kauw-jiu Pek-wan menikah lagi. Lim Bwee Hwa lalu membunuh ayah tiri yang juga pembunuh ayah kandungnya dan menyia-nyiakan ibunya itu!”
“Bagus! Hebat……!” Ui Kong bersorak, akan tetapi teringat akan teguran kakak-nya, dia melirik kepada kakaknya dan duduk.
“Sebelum ibunya mati, Nyonya Lim Sun memesan kepada Lim Bwee Hwa bahwa gadis itu telah dijodohkan dengan puteraku seperti telah dijanjikan oleh mendiang ibu kalian. Maka, gadis itu lalu mencari sampai di kota ini dan ia me-nyuruh Ong Siong Li, yang menurut cerita pemuda itu menjadi sahabat baiknya, untuk menjadi walinya, menemuiku dan membicarakan urusan perjodohan ini. Nah, bagaimana menurut pendapat kalian? Karena ibumu sudah tidak ada, terpaksa hanya dengan kalian aku dapat berunding. Akan tetapi, akupun tidak ingin mengingkari janji yang sudah diucapkan ibumu.”
Kembali Ui Kiang dan Ui Kong saling pandang. Mulut mereka tidak mengatakan sesuatu, akan tetapi pandang mata mereka menyatakan berbagai macam perasaan. Terkejut, heran, ragu, cemas dan bimbang, bahkan seolah takut kalau-kalau dirinya terpilih oleh ayah mereka harus menikah dengan gadis yang sama sekali tidak mereka kenal itu!
“Ui Kiang, engkau lebih dulu mengatakan, bagaimana menurut pendapatmu menghadapi persoalan ini?” tanya Ui Cun Lee kepada anak sulungnya.
Ui Kiang terkejut, lalu memandang kepada ayahnya dan berkata dengan tenang dan lembut.
“Tidak dapat disangkal lagi, ayah. Pesan ibu yang sudah meninggal merupakan pesan wasiat yang sama sekali tidak boleh diabaikan dan harus dilaksanakan. Janji mendiang ibu harus dipenuhi, tidak boleh diingkari karena hal itu menyangkut kehormatan keluarga ibu, yaitu ayah, saya dan Kong-te. Karena itu,
89
sayapun setuju kalau ayah hendak memenuhi janji ibu itu. Adapun siapa di antara saya dan Kong-te yang harus memenuhi janji itu dan menjadi jodoh Nona Lim Bwee Hwa, hal itu saya kira harus dipertimbangkan dengan penuh kebijaksanaan. Menurut cerita ayah tadi, nona itu adalah seorang ahli silat yang pandai, seorang gadis pendekar. Keadaannya itu sama benar dengan keadaan Kong-te, maka saya kira mereka berdua akan lebih cocok dan serasi untuk menjadi suami isteri. Begitulah pendapat saya, ayah. Maafkan kalau ada kesalahan dalam kata-kata saya tadi.”
Ui Cun Lee mengangguk-angguk senang. Pendapat putera sulungnya itu memang cocok sekali dengan pendapatnya sendiri. Memang, kalau dilihat dari keadaannya, gadis itu lebih cocok menjadi isteri Ui Kong, sama-sama ahli silat dan berjiwa pendekar!
Kini orang tua itu memandang kepada anak bungsunya. “Dan sekarang aku minta pendapatmu, Ui Kong!”
Ui Kong juga terkejut. “Aku, ayah? Ah, aku sih setuju dengan pendapat Kiang-ko bahwa janji mendiang ibu harus ditepati. Itu merupakan keharusan! Kalau tidak, berarti kita mengkhianati ibu. Akan tetapi aku sama sekali tidak setuju dengan pendapat Kiang-ko bahwa akulah orangnya yang tepat menjadi suami gadis itu. Mana ada aturan seperti itu? Kiang-ko adalah saudara tua, anak sulung! Masa kakak sulung belum menikah, adik bungsu harus menikah lebih dulu melangkahi kakaknya? Tidak mungkin ini, ayah. Aku tidak mau menjadi terkutuk karena kesalahan ini. Kiang-ko yang tepat untuk menaati pesan ibu dan menikah dengan Nona Lim Bwee Hwa itu. Dia seorang siucai (sastrawan) dan Nona Lim Bwee Hwa seorang lihiap (pendekar wanita). Alangkah sudah serasinya ini. Kelak anak mereka tentu menjadi bun-bu-cwan-jai (ahli sastra dan silat)! Ayah akan mempunyai cucu-cucu yang hebat!”
Mendengar ini, Ui Kiang cemberut dan mengerutkan alisnya, akan tetapi Ui Cun Lee tertawa. Pendapat putera bungsunya itu pun cocok dengan pendapatnya. Akan tetapi dia teringat akan kericuhan ini dan menghela napas panjang.
“Inilah yang membuat hatiku bingung. Memang, kalau mengingat kepatuhan, seharusnya Ui Kiang yang menikah lebih dulu, akan tetapi kalau mengingat keahlian yang sama, agaknya Ui Kong lebih tepat menjadi jodoh gadis itu.”
“Akan tetapi, apakah ayah sudah memutuskan?” kedua orang kakak beradik itu bertanya, suara mereka hampir berbareng.
“Belum. Biarpun terkadang aku gelisah dan jengkel memikirkan betapa sampai sekarang, setelah Kiang-ji (anak Kiang) dan Kong-ji (anak Kong) berusia duapuluh empat dan duapuluh satu tahun belum juga mau menikah, akan tetapi dalam urusan ini aku tidak mau memaksa kalian. Kalian harus menentukan jodoh kalian masing-masing. Akan tetapi, aku telah mengambil keputusan agar janji mendiang ibu kalian tidak kita ingkari, dan kalian berdua juga menyetujui hal itu, maka aku telah mengambil suatu keputusan.”
“Keputusan yang bagaimanakah itu, ayah?” tanya Ui Kong dan kedua orang pemuda tampan itu menanti jawaban ayah mereka dengan jantung berdebar tegang.
“Keputusanku ini telah kusampaikan kepada Ong Siong Li dan diapun sudah menyetujuinya. Besok pagi-pagi, kita bertiga akan pergi sembahyang untuk arwah ibumu di Kuil Ban-hok-si di sebelah timur kota itu dan pada waktu itu, Ong Siong Li akan mengajak Lim Bwee Hwa ke kuil itu, melihat orang-orang yang melakukan upacara sembahyang. Dengan demikian kalian dapat bertemu dan berkenalan dengan Lim
90
Bwee Hwa dan kita lihat saja nanti, siapa di antara kalian yang suka dan bersedia menjadi calon suaminya.”
“Akan tetapi, ayah. Bagaimana kalau pilihan itu jatuh kepadaku? Aku tidak mau, tidak berani melangkahi Kiang-ko dan menikah lebih dulu.”
“Kong-te (adik Kong), jangan hiraukan hal itu. Aku tidak apa-apa walau engkau melangkahiku dan menikah lebih dulu. Aku rela sepenuhnya!”
“Akan tetapi aku yang akan celaka, kualat! Arwah ibu juga tentu akan marah besar kepadaku kalau ia melihat aku melangkahimu dan menikah lebih dulu!”
“Sudahlah jangan ribut. Kalian berdua harus mau saling mengalah sedikit. Begini saja. Kalau yang merasa suka itu Kiang-ji, maka tidak ada masalah dan dia boleh menikah dengan Bwee Hwa, akan tetapi seandainya yang cocok dan suka itu Kong-ji, maka dia akan bertunangan dulu dengan Bwee Hwa dan baru akan dilangsungkan pernikahan kalau Kiang-ji sudah mendapatkan jodohnya. Nah, ini merupakan perintah yang tidak boleh kalian bantah lagi!”
Sejenak dua orang kakak beradik itu diam. Mereka tidak berani membantah lagi karena memang keputusan ayah mereka itu mereka anggap sudah seadil-adilnya. Tidak ada unsur paksaan, dan tidak ada masalah lagi.
“Bagaimana, kalian setujukah? Hayo katakan kalau setuju dan kalau tidak setuju juga katakan terus terang dan kemukakan alasannya,” kata Hartawan Ui itu.
“Maaf, ayah. Saya sama sekali bukan tidak setuju, bahkan mendukung keputusan ayah yang sudah adil itu. Akan tetapi, kita harus memikirkan kemungkinan ketiga. Kemungkinan ketiga yang akan menghancurkan sama sekali rencana ayah yang amat baik ini.”
“Hemm, kemungkinan ketiga yang bagaimana itu?” Hartawan Ui bertanya dengan alis berkerut. Hatinya sudah senang dengan keputusannya yang disetujui kedua orang anaknya itu dan yang dianggapnya merupakan rencana yang pasti berhasil karena tidak ada halangan apapun lagi. Maka adanya “kemungkinan ketiga” yang dikatakan Ui Kiang ini membuat dia gelisah.
“Kemungkinan itu, ayah, adalah bagaimana kalau di antara Kong-te dan saya tidak ada yang suka atau cocok dengan gadis itu? Bagaimana kalau misalnya ia cacat atau....... jelek sekali wajahnya sehingga kami berdua tidak suka sama sekali?”
“Wah, benar sekali itu, ayah! Lebih celaka lagi, kalau ia ternyata seorang gadis yang sesat dan jahat, mengingat bahwa ayah tirinya juga sesat dan jahat, tentu biar matipun aku tidak sudi menjadi suaminya!” kata Ui Kong penuh semangat.
Hartawan Ui menghela napas panjang, “Mudah-mudahan tidak begitu dan aku percaya tidak akan muncul kemungkinan ketiga itu. Aku ingat benar bahwa Lim Sun seorang laki-laki yang berwajah tampan, sedangkan isterinya juga lembut dan cantik. Suami isteri itu memiliki watak yang amat baik. Tidak mungkin kalau anak tunggalnya cacat badan dan batinnya. Kecuali kalau Thian menghendaki lain apa boleh buat, kita akan bicarakan lagi seandainya memang terjadi kemungkinan ketiga itu. Bersiaplah kalian, besok pagi-pagi kita berangkat ke kuil Ban-hok-si!”
91
Kuil Ban-hok-si adalah sebuah kuil besar di mana dipuja beberapa tokoh dewa. Akan tetapi yang membuat Ban-hok-si (Kuil Selaksa Rejeki) terkenal adalah pemujaan terhadap Kwan Im Pouwsat (Dewi Welas Asih) yang patungnya ter-buat dari emas terukir indah.
Patung Dewi Kwan Im emas itu merupakan hadiah dari Kaisar Yung Lo yang memindahkan kota raja dari Nan-king di selatan ke Peking di utara, setelah dia berhasil merampas singasana dari keponakannya sendiri, Kaisar Hui Ti. Kaisar Yung Lo adalah putera dari Kaisar Thai Cu atau yang tadinya bernama Cu Goan Ciang, pendiri dinasti Beng. Melihat keponakannya diangkat menjadi kaisar, dia merasa lebih berhak maka dia yang menjadi panglima berkedudukan di Peking lalu memberontak, menyerbu ke Nanking dan merampas kedudukan kaisar. Dia menjadi kaisar dan berkedudukan di kota raja Peking. Ketika kisah ini terjadi, Kaisar Yung Lo telah memerintah selama kurang lebih sepuluh tahun.
Ketika Yung Lo menyerbu ke selatan untuk merampas tahta kerajaan, dia terpisah dari pasukannya dan sudah terkepung pasukan tentara selatan. Dia melarikan diri ke kuil Ban-hok-si itu dan bersembunyi di dalam kuil. Secara aneh sekali, pasukan selatan yang melakukan pengejaran dan pencarian tidak dapat menemukannya. Padahal, Yung Lo bersembunyi di bawah meja patung Kwan-im Pouwsat yang tertutup kain. Kalau dia dapat ditemukan tentu akan dikeroyok dan tewas. Tentara musuh sudah memasuki ruangan itu, namun tiada seorangpun menyingkap kain dan menemukannya.
Peristiwa yang ganjil ini oleh Kaisar Yung Lo dianggap sebagai perlindungan Kwan-im Pouwsat kepadanya, maka dia lalu melanjutkan penyerbuannya ke selatan. Setelah dia berhasil merebut tahta kerajaan Beng dari tangan keponakannya, Kaisar Hui Ti, dia lalu memerintahkan kepada seorang ahli pembuat patung emas terpandai untuk membuatkan patung Kwan-im Pouwsat dari emas itu dan menaruhnya di Kuil Ban-hok-si sebagai pengganti patung yang sudah lama dan buruk.
Demikianlah, riwayat patung itu menambah kepercayaan penduduk, apalagi ditambah kesaksian mereka yang merasa tertolong dan terpenuhi permohonannya melalui Dewi Kwan Im, maka kini Kuil Ban-hok-si menjadi kuil yang dikunjungi banyak orang. Apalagi pada hari-hari tertentu, seperti pada hari itu yang merupakan hari sembahyangan umum, menyembahyangi arwah para leluhur, kuil itu menjadi ramai sekali.
Banyak sekali pengunjung, bukan hanya mereka yang memang hendak sembahyang, melainkan banyak di antara mereka yang sekadar melihat-lihat keramaian. Mereka yang membayar kaul karena merasa permohonan mereka terpenuhi, ada yang menyewa para pemain ba-rong-sai, liong (naga) dan po-te-hi (wayang golek). Banyak pula penjaja makanan memenuhi pelataran kuil amat luas, melayani kebutuhan para pengunjung. Bahkan kesempatan itu dipergunakan pula oleh muda-mudi untuk mencari jodoh. Siapa tahu, berkat kemurahan hati Dewi Kwan Im, mereka akan saling berkenalan dan menemukan jodohnya di tempat itu!
Sementara itu, ketika Ong Siong Li kembali dari rumah Hartawan Ui dan menceritakan pertemuan dan percakapannya dengan Ui Cun Lee kepada Bwee Hwa, berbagai macam perasaan teraduk dalam hati gadis itu. Ia merasa bersyukur bahwa calon ayah mertua pilihan ibunya itu ternyata seorang hartawan yang dermawan. Hal ini tentu saja menyenangkan hatinya. Coba andaikata ia mendengar bahwa calon ayah mertuanya itu seorang penjahat seperti mendiang ayah tirinya, tentu saja ia akan menolak perjodohan itu mentah-mentah! Ia mendengar pula bahwa Nyonya Ui telah meninggal dunia dan bahwa Ui Cun Lee mempunyai dua orang putera, keduanya belum menikah.
92
“Karena kedua orang putera Paman Ui Cun Lee itu masih belum menikah, maka menurut dia, yang berhak menikah lebih dulu adalah putera sulungnya yang bernama Ui Kiang. Ternyata Paman Ui seorang yang bijaksana sekali, Hwa-moi. Biarpun dia setuju untuk memenuhi janji mendiang ibumu dan ibu pemuda itu, namun dia tidak mau memaksakan kehendaknya kepada kalian. Dia ingin agar engkau dapat bertemu dan berkenalan dengan puteranya itu dan kalau kalian berdua setuju, barulah pernikahan dapat dilangsungkan. Bukankah itu menunjukkan bahwa dia seorang tua yang bijaksana sekali?”
Bwee Hwa mengangguk-angguk. “Memang bijaksana sekali, Li-ko. Akan tetapi bagaimana aku dan Ui Kiang itu dapat bertemu dan berkenalan? Tentu aku merasa tidak enak dan sungkan untuk berkunjung ke rumah mereka.”
“Hal itupun dimaklumi oleh Paman Ui. Karena itu, dia sudah mengambil cara yang dapat kuterima karena merupakan rencana yang baik dan sopan. Besok pagi kebetulan ada upacara sembahyangan umum di Kuil Ban-hok-si, kurang lebih sepuluh lie (mil) di sebelah timur kota ini. Nah, dia dan kedua orang puteranya akan berada di sana untuk menyembahyangi arwah isterinya dan dia minta agara engkau dan aku berkunjung pula sana. Besok kuil itu menjadi tempat perkunjungan umum sehingga tidak akan ketahuan orang bahwa pertemuan itu diatur. Kita berdua akan bertemu mereka di sana, engkau dapat berkenalan dengan mereka dan kalian berdua yang sudah dijodohkan dapat menarik kesan hati masing-masing.”
Bwee Hwa menundukkan mukanya yang berubah merah. Biarpun ia seorang gadis bebas yang tidak pernah malu-malu namun bicara tentang perjodohan dengan Siong Li membuat ia tersipu juga.
“Berapa usia pemuda bernama Ui Kiang itu, Li-ko?”
“Aku tidak tahu, Hwa-moi. Paman Ui tidak mengatakan itu. Akan tetapi aku ingat....... ketika hendak meninggalkan rumah itu, di pekarangan aku berpapasan dengan seorang pemuda bertubuh tinggi tegap, berwajah tampan gagah, usianya kurang lebih duapuluh satu tahun. Kami hanya saling mengangguk. Aku tidak tahu siapa dia dan kalau dia itu putera Paman Ui, engkau sungguh beruntung, Hwa-moi. Dia tampan, gagah, dan dari gerakan langkahnya, aku yakin bahwa dia itu seorang ahli silat yang pandai.”
“Hemm, itu bukan merupakan syarat yang paling utama untuk seorang calon suami, Li-ko.”
“Ehh? Lalu syarat utamanya apa, Hwa moi?”
“Syarat utamanya adalah budi yang baik, bersusila, sikap yang adil dan penentang kejahatan, seperti....... misalnya seperti....... engkau, Li-ko.”
Siong Li menjadi salah tingkah wajahnya merah mendengar ini. Akan tetapi dia pura-pura tidak mendengar ucapan terakhir itu dan berkata.
“Aku yakin bahwa putera Paman Ui tentu seorang yang baik budi, mengingat betapa Paman Ui sendiri seorang dermawan. Aku telah melihat betapa dia membagi-bagikan beras kepada orang-orang miskin.”
Biarpun agak segan dan sungkan, akhirnya Bwee Hwa tidak dapat menolak rencana Hartawan Ui untuk mempertemukan ia dan putera Hartawan Ui yang telah dijodohkan sejak kecil oleh ibu masing-masing.
93
“Pakailah pakaianmu yang paling baru dan indah, Hwa-moi,” Ong Siong Li berkata sambil tersenyum. “Di tempat keramaian itu semua orang, terutama wanitanya, pasti mengenakan pakaian baru.”
“Hemm, kenapa aku harus memakai pakaian baru, Li-ko?” tanya Bwee Hwa.
“Karena biasanya, orang dihargai karena pakaiannya!”
“Hemm, aku tidak pernah menilai seseorang dari pakaiannya! Mungkin banyak sekali orang jembel yang compang-camping pakaiannya memiliki budi pekerti yang jauh lebih bersih daripada seorang hartawan atau bangsawan yang berpakaian serba indah!”
Siong Li tersenyum. “Tepat! Akupun berpendapat demikian, Hwa-moi. Akan tetapi dalam hal ini lain lagi. Engkau akan bertemu dan berkenalan dengan calon suamimu. Tidak pantas kalau pakaianmu tampak kumal dan wajahmu muram. Hayolah, kenakan pakaian yang paling baik.”
Bwee Hwa sudah mandi dan berganti pakaian, walaupun bukan pakaiannya yang terbaik, melainkan pakaian biasa yang berwarna merah, warna kesukaannya. Ia menunduk, memandang ke arah pakaian yang dipakainya.
“Apakah pakaian ini tidak patut bagiku?”
Siong Li memandang dan terpaksa dia mengatakan apa yang menjadi suara hatinya. “Patut, pantas sekali! Akan tetapi kalau ada yang lebih baru lagi.......”
“Sudahlah, Li-ko, hayo berangkat. Cerewet amat sih engkau! Kaya nenek-nenek saja!”
Siong Li tertawa dan mereka berdua lalu berangkat, keluar dari kota Ki-lok menuju ke timur. Ternyata jalan menuju ke kuil itu ramai sekali. Banyak orang berjalan ke arah kuil itu, ada pula yang naik kereta atau menunggang kuda. Dan benar saja seperti yang diperkirakan Siong Li tadi, kebanyakan orang-orang itu mengenakan pakaian baru seperti hendak merayakan pesta!
Tak lama kemudian sampailah mereka di depan Kuil Ban-hok-si. Di sana sudah terdapat banyak orang. Kurang lebih duaratus orang, laki-laki dan perempuan, tua muda, telah berkerumun di situ. Ada pula yang sedang sibuk melakukan upacara sembahyang. Di luar kuil terdapat banyak orang berjualan bermacam-macam makanan.
Siong Li mulai mencari-cari dengan pandang matanya, tentu saja mencari Hartawan Ui Cun Lee. Akan tetapi orang yang dicarinya itu tidak berada di dalam pekarangan yang penuh orang itu. Mungkin berada di dalam kuil, sedang bersembahyang, pikirnya. Bukankah mereka datang ke kuil untuk sembahyang?
Tiba-tiba dia merasa lambungnya disikut orang. Dia menoleh ke kiri dan melihat Bwee Hwa memberi isyarat dengan kedipan mata padanya. Gadis itu lalu menunjuk dengan dagunya ke arah kiri.
Aneh, apakah Bwee Hwa sudah dapat menemukan Hartawan Ui yang belum pernah dilihatnya itu? Akan tetapi ketika dia memandang ke arah yang ditunjuk oleh Bwee Hwa dan pandang matanya mencari-cari, dia terkejut juga melihat tiga orang yang sudah dikenalnya dengan baik.
94
Di sana, di antara kerumunan orang banyak, dekat ruangan depan bagian kuil yang menjadi tempat pemujaan Dewi Kwan Im, berdiri tiga orang yang bukan lain adalah Sam-kauwcu (Ketua Agama Ketiga) yang bertubuh tinggi berwajah tampan pucat berusia kurang lebih empatpuluh tahun, Lie Hoat yang buntung lengan kirinya, dan Souw Ban Lip. Dua orang terakhir ini adalah para pembantu kepala gerombolan Gak Sun Thai.
Sam-kauwcu dapat lolos ketika Siong Li dan Bwee Hwa membasmi para gerombolan perampok, sedangkan Lie Hoat buntung lengan kirinya oleh pedang Siong Li dan Souw Ban Lip terkena senjata rahasia jarum tawon yang lihai dari Bwee Hwa. Sam-kauwcu dan Li Hoat yang pendek kurus mata juling itu berusia kurang lebih empatpuluh tahun, sedangkan Souw Ban Lip berusia sekitar enampuluh tahun.
Siong Li mengerutkan alisnya. Mau apa tiga orang penjahat itu berada di tempat itu? Sudah pasti tidak mempunyai niat yang baik, pikirnya. Tiba-tiba dia menyentuh lengan Bwee Hwa dan menunjuk ke arah dua orang yang berada di belakang tiga orang penjahat itu. Bwee Hwa memperhatikan.
Dua orang itu berpakaian serupa, dengan pakaian serba putih dan di sebelah luar memakai jubah longgar berwarna kuning. Rambut kepala mereka digelung ke atas, diikat dengan pita putih, model gelung para tosu (Pendeta Agama To) dan di punggung mereka tergantung sebatang pedang. Dari belakang, dua orang yang layak disangka pendeta itu tampak kembar dan serupa, akan tetapi ketika mereka miring sehingga tampak wajah mereka, Siong Li memegang lengan Bwee Hwa dengan kuat sehingga gadis itu mengerutkan alis dan merenggut lepas lengannya.
Siong Li menyadari hal ini dan berbisik. “Maaf, akan tetapi aku terkejut sekali melihat wajah mereka. Tidak salah lagi, mereka itulah yang di dunia kang ouw (sungai telaga, persilatan) dikenal sebagai Pek-bin Moko (Iblis Muka Putih) dan Hek-bin Moko (Iblis Muka Hitam), dua orang tokoh besar dari Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih)!”
Bwee Hwa terkejut juga dan teringat betapa ketiga kepala agama, yaitu Toa-kauwcu, Ji-kauwcu dan Sam-kauwcu adalah tiga orang yang lihai sekali. Ilmu silat mereka adalah Go-bi-kiam-sut (Ilmu Pedang Go-bi) bercampur dengan ilmu yang aneh dan berbahaya dari ilmu-ilmu Pek-lian-kauw seperti yang pernah ia dengar dari gurunya. Kalau Pek-bin Moko dan Hek-bin Moko itu dua orang tokoh Pek-lian-kauw, ilmu-ilmu mereka pasti hebat dan jelas bahwa kehadiran lima orang itu tentu mempunyai maksud tertentu yang buruk!
“Cepat kita dekati dan bayangi mereka, Li-ko!” bisiknya dan mereka berdua kini tidak perduli lagi akan Hartawan Ui. Ada tugas di depan mata, yaitu mencegah terjadinya kejahatan yang pasti akan dilakukan oleh lima orang, terutama dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu.
Kedua orang itu lalu menyelinap di antara banyak orang, menghampiri ke arah ruangan bagian kuil di mana terdapat patung Dewi Kwan Im, di mana mereka bersembahyang.
Dugaan Bwee Hwa dan Siong Li memang tidak meleset.
Pada waktu itu, sekitar tahun 1413, semasa pemerintahan kerajaan Beng dipegang oleh Kaisar Yung Lo yang sepuluh tahun lalu merebut tahta kerajaan dari tangan Kaisar Hui Ti, keponakannya. Yung Lo telah mengadakan pembangunan besar-besaran di Cina.
95
Tembok Besar Cina yang terkenal di seluruh dunia itu diteruskan pembangunannya, karena tembok besar yang panjangnya sekitar selaksa mil ini merupakan benteng pertahanan yang kokoh kuat untuk menahan gangguan dan serbuan bangsa-bangsa di utara, terutama bangsa Mongol. Juga terusan besar yang menghubungkan Sungai Yang-ce dan Huang-ho dibangun, diteruskan dan diselesaikan. Kota raja baru Peking juga dibangun sehingga pada masa itu, kota raja Peking merupakan kota raja yang terkenal memiliki bangunan-bangunan yang serba indah dan besar.
Namun, tiada gading yang tak retak. Tidak ada keindahan buatan manusia yang sempurna. Pembangunan besar-besaran itupun mempunyai akibat sampingan yang menyedihkan. Hampir sebagian pembesar yang menangani pembangunan, tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk melakukan tindak tercela korupsi besar-besaran. Banyak pula yang menindas rakyat jelata, memperkerjakan mereka seperti kuli rodi sehingga dalam pembangunan Tembok Besar dan Terusan Besar itu banyak rakyat menjadi korban. Di mana-mana rakyat merasa penasaran dan muncullah pemberontakan-pemberontakan.
Walaupun dengan tangan besi Kaisar Yung Lo dapat membasmi para pemberontak, bahkan menalukkan kembali daerah Yun-nan dan daerah selatan yang tadinya membebaskan diri, namun masih ada gerombolan-gerombolan pemberontak yang selalu merongrong pemerintah. Di antara para gerombolan pemberontak itu, yang paling terkenal adalah munculnya Pek-lian-kauw, gerombolan pemberontak yang berkedok agama baru yang berdasar Agama To dan Agama Buddha yang diselewengkan, bercampur dengan segala macam ilmu sihir dan ilmu sesat.
Pek-lian-kauw yang menentang pemerintah itu bahkan tidak mengharamkan cara-cara yang biadab. Dalam mencari dana untuk kegiatan yang mereka namakan “perjuangan”, mereka tidak segan-segan untuk melakukan pencurian atau perampokan. Kalau ada yang menentang atau menghalangi perbuatan ini, merekapun tidak merasa bersalah untuk melakukan pembunuhan. Dengan tindakan seperti itu, maka rakyat juga tidak suka kepada Pek-lian-kauw, walaupun banyak juga rakyat dapat dikelabuhi oleh cara-cara mereka yang seolah melindungi rakyat kecil dengan sihir-sihir mereka. Bagi para pendekar, Pek-lian-kauw dianggap sebagai sebuah perkumpulan sesat yang menggunakan cara-cara yang biasa dipakai para penjahat.
Seperti kita ketahui, Lie Hoat yang kini buntung lengan kirinya, dan Souw Ban Lip yang pernah terluka lehernya, oleh Hong-cu-ciam (Jarum Tawon) senjata rahasia Bwee Hwa, adalah pembantu-pembantu mendiang Gak Sun Thai yang dahulu menjadi anak buah mendiang Kauw-jiu Pek-wan Kiu Ciang Hok. Mereka berdua itu tidak dibunuh oleh Bwee Hwa atas permintaan Siong Li yang merasa kasihan kepada mereka.
Dua orang ini lalu terpaksa menggabungkan diri dengan Pek-lian-kauw karena merasa bahwa gerombolannya sendiri sudah hancur dan untuk “berdiri sendiri” merasa kurang kuat. Yang mengajaknya untuk masuk menjadi anggauta Pek-lian-kauw adalah Sam-kauwcu yang sesungguhnya bernama Ban Kit yang sebelumnya memang pernah menjadi anggauta Pek-lian-kauw sebelum menjadi ketua agama dengan kedudukan sebagai Sam-kauwcu (Ketua Agama Ketiga). Mereka bertiga diterima baik oleh para pimpinan Pek-lian-kauw dan karena mereka bertiga memiliki ilmu silat yang lumayan tingginya, maka mereka diangkat menjadi tokoh-tokoh yang ditugaskan untuk aksi-aksi yang penting.
Pada pagi hari itu, mereka bertiga dikawal oleh dua orang pimpinan Pek-lian-kauw yang lebih tinggi tingkatnya, yaitu Pek-bin Moko dan Hek-bin Moko, dikirim oleh Pek-lian-kauw ke Kuil Ban-hok-si dengan
96
tugas khusus, yaitu untuk merampas patung emas Dewi Kwan Im yang berada di kuil itu, karena benda itu merupakan benda bersejarah dan terbuat dari emas yang tentu saja amat mahal nilainya.
Mereka berlima berangkat dan sama sekali mereka tidak tahu bahwa pada hari itu merupakan hari sembahyangan umum sehingga tempat itu menjadi ramai sekali dan penuh orang. Mereka agak terkejut dan ragu. Akan tetapi dasar mereka berlima adalah orang-orang yang selalu memandang rendah orang lain dan amat mengagulkan diri sendiri, maka mereka berlima bersepakat untuk nekat melanjutkan niat mereka untuk merampas patung itu seperti yang diperintahkan para pimpinan mereka. Mereka memandang rendah orang banyak itu yang mereka anggap tidak akan ada yang mampu menghalangi mereka!
Setelah menerima isyarat dari dua orang pimpinan Pek-lian-kauw, lima orang itu menyelinap memasuki ruangan di mana banyak keluarga antri untuk melakukan upacara sembahyang. Karena pada saat itu yang melakukan sembahyang adalah keluarga Hartawan Ui Cun Lee, yaitu ayah dan dua orang puteranya yang dikenal baik dan dihormati semua orang karena kedermawanan mereka, maka keluarga lain tidak mau mengganggu. Mereka bahkan mundur dan memberi tempat yang luas kepada tiga orang itu untuk melaksanakan upacara sembahyang mereka.
Melihat betapa di depan meja sembahyang, di balik tirai sebelah dalam dari balik meja sembahyang itu, hanya terdapat Hartawan dan dua orang pemuda, dilayani oleh tiga orang hwesio penjaga atau pelayan kuil Ban-hok-si, maka ini dianggap sebagai kesempatan baik oleh lima orang penjahat itu. Hanya enam orang lemah! Mereka segera melompat masuk ruangan itu.
Melihat ada lima orang berlompatan memasuki ruangan dan mereka semua membawa senjata, semua orang terkejut dan mundur menjauh saling bertabrakan.
Tiga orang hwesio pelayan itu melihat gelagat buruk dan agaknya merasa bahwa lima orang itu berniat buruk, segera maju untuk menegur dan menghalangi. Akan tetapi, Sam-kauwcu menggerakkan pedangnya, Lie Hoat yang lengan kirinya buntung itu menggerakkan tangan kanan dengan ilmu Tiat-see-ciang (Tangan Pasir Besi), dan Souw Ban Lip menggerakkan goloknya dan....... tiga orang hwesio itupun roboh mandi darah! Tentu saja semua orang menjadi kaget, panik ketakutan. Wanita-wanita menjerit, orang orang berdesakan untuk berlumba melarikan diri menjauhi tempat itu.
Pek-bin Moko dan Hek-bin Moko cepat bertindak. Pek-bin Moko yang mukanya putih pucat seperti dikapur itu melompat ke atas meja untuk mengambil patung Dewi Kwan Im. Sementara itu, ketika melihat seorang pemuda tinggi tegap dan tampan yang bukan lain adalah Ui Kong melompat maju hendak menghalangi Pek-bin Moko, Hek-bin Moko yang mukanya hitam pekat seperti dicat arang itu, menyambutnya dengan tamparan tangan kirinya yang mengandung tenaga sin-kang (tenaga sakti) yang ampuh sekali.
Tamparan itu menyambar ke arah kepala Ui Kong dari samping. Ui Kong maklum bahwa serangan itu berbahaya, maka dia cepat menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga Liap-kiang Pek-ko-jiu yang membuat tangan dan lengannya menjadi sekeras baja.
“Dukkk……!” Keduanya terpental ke belakang. Hek-bin Moko terkejut bukan main. Sama sekali tidak disangkanya bahwa di tempat itu dia akan bertemu seorang pemuda yang demikian lihainya!
97
Sementara itu, Pek-bin Moko karena tidak ada yang menghalanginya, dengan mudah dapat menyambar patung Dewi Kwan Im yang beratnya sekitar duapuluh kati itu dan mengempitnya dengan tangan kiri. Dia melompat dari atas meja. Melihat ini, Ui Kiang yang biarpun tidak pandai silat seperti adiknya, mencoba untuk menghalanginya.
“Jangan curi patung itu!” katanya. Akan tetapi Pek-bin Moko menyambutnya dengan bacokan pedang yang sudah dicabutnya dengan tangan kanan.
“Singgg…… carttt……!” Darah muncrat dan tubuh Hartawan Ui roboh mandi darah karena pundak dan dadanya terbacok pedang. Ui Kiang menubruk ayahnya.
“Ayahhhhhh……!” Dia berteriak dengan sedih. Ayahnya tadi sengaja menghadang serangan pedang Pek-bin Moko untuk melindunginya, dan ayahnya yang menjadi korban pedang itu!
Pek-bin Moko menggerakkan pedangnya lagi untuk membacok Ui Kiang, akan tetapi tiba-tiba sesosok bayangan merah berkelebat masuk.
“Trangggg……!” Bunga api berpijar ketika pedang di tangan Pek-bin Moko itu bertemu dengan Sin-hong-kiam (Pedang Tawon Sakti) di tangan Bwee Hwa yang menangkisnya.
Merasa betapa tangannya yang memegang pedang tergetar hebat, Pek-bin Moko terkejut dan marah. Dia lalu menyerang Bwee Hwa yang melompat ke belakang untuk mencari tempat yang lebih lega. Pek-bin Moko mengejar dan mereka berdua sudah terlibat dalam perkelahian pedang yang seru dan mati-matian.
Sementara itu, Sam-kauwcu atau Ban Kit, Lie Hoat dan Souw Ban Lip, setelah merobohkan tiga orang hwesio, kini diserang oleh Siong Li yang sudah mengamuk dengan pedangnya. Pemuda itu marah sekali dan merasa menyesal mengapa tadi dia dan Bwee Hwa terhalang banyak orang sehingga kedatangan mereka di ruangan itu agak terlambat dan para penjahat telah merobohkan tiga orang hwesio dan juga Hartawan Ui. Dia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya sehingga tiga orang penjahat itu agak kewalahan dan akhirnya mereka bertiga berloncatan keluar untuk mencari tempat yang lebih luas sehingga pengeroyokan mereka akan lebih leluasa.
Ui Kong juga terkejut melihat ayahnya roboh mandi darah. Dia mencabut pedangnya dan hendak menyerang Pek-bin Moko yang telah membunuh ayahnya, akan tetapi Hek-bin Moko sudah menyerang dengan pedang sehingga terpaksa dia melayani Iblis Muka Hitam itu.
Ui Kiang tidak memperdulikan mereka yang bertempur. Dengan bantuan dua orang hwesio yang berindap-indap menghampiri dengan takut, dia mengangkat tubuh ayahnya yang mandi darah ke sebelah dalam kuil. Seorang hwesio tua yang paham akan ilmu pengobatan berusaha untuk menolong Hartawan Ui dengan memberi obat kuat untuk diminumkan, lalu obat untuk menghentikan keluarnya darah dan membalut lukanya yang parah. Hartawan Ui belum tewas, akan tetapi keadaannya payah sekali. Luka di pundak terus ke dada itu cukup dalam. Napasnya terengah-engah dan dia berada dalam keadaan tidak sadar.
Sementara itu, perkelahian di luar ruangan depan kuil itu yang kini tampak sepi karena semua pengunjung telah kabur melarikan diri, masih berlangsung seru. Melihat betapa gadis baju merah yang menjadi lawannya itu hebat bukan main memainkan pedangnya yang mengeluarkan bunyi berdengung
98
seperti ada banyak lebah mengurungnya, Pek-bin Moko sengaja bergerak mendekati rekannya, Hek-bin Moko yang masih bertanding melawan Ui Kong. Ternyata pemuda she Ui inipun gagah perkasa karena dia mampu menandingi kehebatan ilmu pedang tokoh Pek-lian-kauw itu.
Yang agak kerepotan malah Siong Li. Biarpun tingkat kepandaiannya lebih tinggi daripada lawan-lawannya, akan tetapi karena mereka maju bertiga me-ngeroyoknya, dan ketiganya memang cukup tangguh, maka dia kewalahan dan Siong Li terpaksa hanya dapat memutar pedangnya sehingga gulungan sinar pedangnya menjadi perisai melindungi seluruh tubuhnya.
Ban Kit yang dulu menjadi ketua agama tingkat tiga memiliki ilmu pedang yang dasarnya adalah Go-bi-kiam-sut (Ilmu Pedang Aliran Go-bi), akan tetapi telah bercampur dengan ilmu pedang Pek-lian-kauw yang memiliki gerakan aneh dan curang sehingga cukup berbahaya. Adapuh Lie Hoat, biarpun lengan kirinya telah buntung dalam perkelahian melawan Siong Li dahulu, ternyata tangan kanannya masih ampuh dengan ilmu silat Kang-jiauw-eng (Garuda Cakar Baja) masih ampuh sekali, tidak kalah berbahayanya dibandingkan senjata tajam. Souw Ban Lip juga amat tangguh dengan goloknya yang lebar dan tipis, amat tajam.
Melihat betapa kawan-kawannya ditandingi orang-orang yang tangguh dan tampaknya tidak akan mudah menang, Pek-bin Moko menjadi khawatir. Dia khawatir kalau-kalau tugas yang mereka pikul gagal. Para pimpinan tertinggi Pek-lian-kauw tentu akan memberi hukuman berat kalau tugas tidak dapat dilaksanakan dengan hasil baik. Karena itu, paling penting adalah menyelamatkan patung emas Kwan-im Pouwsat yang sudah dikempitnya!
“Hek-te (Adik Hitam), dan tiga orang kawan-kawan, lawan terus!” katanya dan tiba-tiba dia meloncat jauh ke depan.
Ketika Bwee Hwa mengejarnya dan berseru nyaring, “Keparat, hendak lari ke mana engkau?”
Tiba-tiba Pek-bin Moko membanting sebuah benda ke atas tanah. Sebuah ledakan terdengar dan tampak asap hitam mengepul tebal. Bwee Hwa terkejut dan cepat melompat ke belakang karena khawatir kalau-kalau asap itu beracun. Akan tetapi ternyata tidak dan ketika ia hendak mengejar, bayangan Pek-bin Moko telah lenyap.
Dengan marah sekali ia lalu memandang ke arah Hek-bin Moko yang masih bertanding pedang dengan hebatnya melawan pemuda tampan gagah yang lihai itu. Ia terkejut ketika melihat betapa dasar gerakan ilmu pedang yang dimainkan pemuda itu sama benar dengan dasar gerakan ilmu pedangnya sendiri. Ia teringat! Itulah Sin-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Sakti) yang juga menjadi dasar dari Sin-hong Kiamsut (Ilmu Pedang Tawon Sakti) yang sengaja dirangkai oleh gurunya, Sin-kiam Lojin untuk disesuaikan dengan gerakan seorang wanita dan diajarkan kepadanya!
Melihat betapa pemuda itu mampu mengimbangi permainan pedang Iblis Muka Hitam, bahkan mampu mulai mendesaknya, ia menoleh ke arah Siong Li dan terkejutlah ia ketika melihat betapa Siong Li yang dikeroyok tiga oleh lawan-lawannya yang tangguh itu terdesak hebat dan hanya mampu melindungi diri saja! Bwee Hwa menjadi marah sekali. Cepat ia melompat ke arah medan pertempuran itu, tangan kirinya siap dengan jarum-jarumnya.
99
“Bangsat-bangsat rendah, mampuslah!” bentaknya dan ia telah menggerakkan tangan kirinya. Jarum-jarum lembut yang mengeluarkan suara berdengung menyambar ke arah tiga orang yang mengeroyok Siong Li.
Souw Ban Lip dapat menangkis dengan senjata mereka akan tetapi Lie Hoat yang hanya mengandalkan tangan kanan yang tak bersenjata, tak sempat mengelak dan dia roboh terpelanting ketika ada jarum mengenai pundak dan tengkuknya.
Bwee Hwa mengayun pedangnya dan tewaslah Lie Hoat! Setelah membunuh Lie Hoat, Bwee Hwa menyerang Ban Kit yang dulu sempat meloloskan diri.
Ban Kit terkejut dan juga gentar bukan main melihat kini gadis yang berjuluk Ang-hong-cu (Si Tawon Merah) itu menyerangnya dengan pedang yang me-ngeluarkan bunyi seperti ratusan tawon itu. Dia melawan mati-matian, akan tetapi karena gugup dan takut, gerakannya menjadi kacau dan pedang di tangan Bwee Hwa menyambar dari samping. Lambungnya tersayat dan Ban Kit terjungkal roboh untuk tidak bangun kembali.
Pada saat itu juga, Souw Ban Lip juga roboh oleh pedang Siong Li. Setelah dia hanya menghadapi seorang lawan saja, Siong Li yang memang lebih tinggi tingkat kepandaiannya, dengan mudah mengalahkan Souw Ban Lip. Tiga orang anak buah Pek-lian-kauw itu tewas semua.
Melihat betapa tiga orang kawannya tewas dan Pek-bin Moko sudah melarikan diri sehingga dia tinggal seorang diri, Hek-bin Moko menjadi gentar dan diapun ingin melarikan diri. Dia sudah mengeluarkan sebuah alat peledak dan siap membanting alat peledak yang menimbulkan asap tebal itu. Akan tetapi sekali ini Bwee Hwa telah waspada karena tadi ia telah tertipu oleh Pek-bin Moko dengan alat peledak itu sehingga ia kehilangan lawannya yang menggunakan akal licik.
Kini ia telah siap siaga, maka begitu Hek-bin Moko mengambil sesuatu dari kantung jubahnya, ia mendahuluinya dan begitu tangan kirinya bergerak, sinar sinar lembut meluncur ke arah tubuh Hek-bin Moko. Pendeta atau anggauta pimpinan cabang Pek-lian-kauw itu tidak menduga akan diserang dengan senjata rahasia yang meluncur demikian cepatnya.
Beberapa batang Hong-cu-ciam (Jarum Tawon) mengenai tenggorokan, dada dan perutnya dan robohlah Hek-bin Moko. Alat peledak itupun ikut terbanting dan terdengarlah ledakan dibarengi asap tebal mengepul. Akan tetapi setelah asap itu membuyar, tampak tubuh Hek-bin Moko terbujur kaku karena sudah tewas.
Siong Li menhampiri, menyingkap jubahnya dan di bawah jubah itu tampak lukisan setangkai bunga teratai putih di bajunya yang putih, yang membuktikan bahwa dia adalah seorang pimpinan Pek-lian-kauw.
Tiba-tiba Ui Kong berseru, “Ayah......!”
Dan tanpa memperdulikan Bwee Hwa dan Siong Li, dia melompat dan berlari memasuki kuil yang telah kosong dan sepi itu.
Siong Li memberi isyarat kepada Bwee Hwa dan keduanya juga lari memasuki kuil karena tadi Siong Li juga melihat robohnya Hartawan Ui.
100
Ketika Siong Li dan Bwee Hwa memasuki ruangan dalam kuil itu, mereka melihat laki-laki berusia limapuluh tahun itu menggeletak di atas dipan. Bajunya telah ditanggalkan dan tampak pundak dan dadanya dibalut kain putih. Laki laki ini adalah Ui Cun Lee yang telah dikenal Siong Li. Ui Kiang duduk di atas bangku dekat dipan dan Ui Kong yang baru datang berlutut di dekat dipan. Seorang hwesio kurus tua duduk di atas sebuah kursi.
“Ayah……!” Ui Kong berseru, lalu dia memegang lengan kakaknya. “Kiang-ko, bagaimana keadaan ayah kita?”
Ui Kiang memandang adiknya dan menghela napas dengan wajah sedih. “En-tahlah, Kong-te, lo-suhu ini sudah berusaha mengobatinya, akan tetapi lukanya amat parah dan dia mengeluarkan banyak darah……”
Ui Kong lalu bangkit berdiri dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan hwesio tua itu. “Lo-suhu, tolonglah ayah kami. Obati dan sembuhkan dia, lo-suhu......!”
“Omitohud, siapa yang tidak akan suka menolong Ui-wangwe ( Hartawan Ui) yang terkenal bijaksana dan dermawan? Pinceng (saya) sudah berusaha se-mampunya, akan tetapi semua hasilnya terserah kepada Yang Maha Kuasa, Omitohud!” kata pendeta itu sambil merangkap kedua tangan di depan dadanya.
Pada saat itu, Hartawan Ui bergerak membuka matanya dan mengeluh panjang.
“Ayah……!” Ui Kiang dan Ui Kong berseru, mendekati ayah mereka. Akan tetapi Ui Cun Lee mencari-cari dengan pandang matanya, lalu bertanya, suaranya lemah.
“Mana ia.......? Mana Lim Bwee Hwa.......?”
Kedua orang kakak beradik itu bingung karena mereka sendiri tidak tahu di mana gadis yang ditanyakan ayah mereka itu. Akan tetapi mendengar pertanyaan ini, Siong Li segera menarik tangan, Bwee Hwa untuk maju menghampiri pembaringan dan berkata.
“Paman Ui, inilah nona Lim Bwee Hwa!”
Ui Kiang dan Ui Kong menoleh dan terbelalak memandang gadis berpakaian merah yang tadi mereka lihat membela mereka dengan gagah perkasa. Mereka lalu bangkit dan memberi ruang kepada Siong Li dan Bwee Hwa. Gadis itu merasa terharu dan iba kepada Ui Cun Lee. Ia maju dan berlutut di dekat pembaringan sambil berkata.
“Paman, sayalah Lim Bwee Hwa dan maafkan bahwa saya terlambat menolong paman tadi.”
Hartawan Ui melebarkan matanya untuk dapat memandang gadis itu lebih jelas. Lalu dia tampak tersenyum girang. “Hemmm, engkau cantik seperti ibumu dan seperti ayahmu! Aku.......aku senang.........” Hartawan Ui itu terengah-engah, lalu menoleh kepada anak-anaknya. “.......Kiang-ji dan Kong-ji.......”
“Ya, ayah.” Kedua orang pemuda itupun berlutut tak jauh dari Bwee Hwa.
101
“…… katakan....... siapa di antara…… kalian…… yang setuju……?”
“Saya siap melaksanakan perintah ayah,” kata Ui Kiang.
“Aku setuju, ayah!” kata Ui Kong.
Biarpun dengan lemas, lemah dan napas terengah-engah, Hartawan Ui tertawa sehingga dia terbatuk-batuk. “Ha-ha...... ugh-ugh-ugh…… kalian selalu berebut…… sekarang, kuserahkan keputusannya…… kepadamu, Bwee Hwa....... Engkau kuterima...... menjadi mantuku....... dan engkau berhak....... memilih di antara...... kedua...... putera...... ku...... i...... ni.......” Hartawan Ui terkulai, matanya terpejam dan napasnya berhenti.
“Ayah......!!” Ui Kiang dan Ui Kong menubruk ayah mereka, mengguncang tubuh itu, akan tetapi Ui Cun Lee telah mati.
Ui Kiang menangis seperti anak kecil. Ui Kong tadinya juga menangis, akan tetapi kemudian tiba-tiba dia bangkit berdiri, mencabut pedangnya dan sambil mengacungkan pedangnya ke atas, dia berkata dengan suara bergetar penuh kemarahan dan dendam.
“Aku Ui Kong, bersumpah, tidak akan berhenti sebelum dapat membalas dendam kematian ayahku. Akan kubunuh jahanam bermuka putih itu dan konco-konconya!!”
Mendengar ucapan yang lantang ini, Ui Kiang juga berdiri dan merangkul adiknya. Dia mengusap air matanya dan berkata kepada adiknya. “Kong-te, tenanglah. Yang terpenting sekarang kita bawa pulang jenazah ayah dan mengurus pemakamannya baik-baik.”
Siong Li yang merasa kasihan kepada kakak beradik ini lalu berkata, “Jiwi Ui-kongcu (kedua tuan muda Ui), perkenalkan, nona ini adalah Nona Lim Bwee Hwa dan aku sendiri bernama Ong Siong Li, seorang sahabat yang ikut merasa berduka atas musibah yang menimpa keluarga ji-wi (anda berdua).”
Empat orang itu saling memberi hormat dengan nnengangkat kedua tangan depan dada. “Perkenalkan, aku bernama Ui Kiang dan ini adalah adikku Ui Kong. Kami berdua mengucapkan terima kasih atas bantuan Nona Lim Bwee Hwa dan saudara Ong Siong Li yang ikut menghadapi lima orang penjahat tadi.”
Bwee Hwa merasa tidak enak kalau berdiam diri saja. Memang pada dasarnya ia seorang gadis yang bebas dan tidak malu-malu, maka iapun berkata, “Apa yang dikatakan Ui toa-kongcu (tuan muda pertama Ui) tadi memang benar sekali. Ui ji-kongcu (tuan muda kedua Ui) harap tenang dan bersabar. Memang, penjahat muka putih yang lolos itu, yang menurut keterangan Li-ko adalah Pek-bin Moko, harus dikejar dan bersama teman-temannya harus dibasmi. Percayalah, aku dan Li-ko siap membantu untuk membalas kematian Paman Ui dan juga untuk merebut kembali patung Kwan-im Pouwsat dari kuil ini.”
Dua orang kakak beradik Ui itu memandang dan mendengarkan ucapan Bwee Hwa. Keduanya merasa kagum bukan main. Gadis yang “dijodohkan” dengan seorang di antara mereka itu benar-benar hebat. Cantik jelita, gagah perkasa, dan juga cerdik dan pandai bicara, tidak malu-malu seperti gadis biasa. Sungguh jauh melampaui perkiraan mereka!
102
“Aku protes, nona! Sungguh tidak enak dan terasa asing mendengar engkau menyebut kami dengan sebutan Ui toa-kongcu dan Ui ji-kongcu, juga mendengar saudara Ong Siong Li menyebut kami kongcu (tuan muda). Bukankah di antara kita terdapat hubungan dekat? Apalagi setelah kita bersama-sama melawan lima orang penjahat tadi. Nona, tidakkah sudah sepantasnya kalau engkau menyebut kakakku ini cukup dengan Kiang-ko (kakak Kiang) dan menyebut aku dengan Kong-ko (kakak Kong) saja, sedangkan kami menyebutmu dengan Hwa-moi (adik Hwa)?”
Bwee Hwa tersenyum dan mengangguk. “Begitupun baik dan boleh saja, Kong-ko.”
“Bagus!” kata Ui Kong. “Terima kasih, Hwa-moi. Dan engkau, saudara Ong Siong Li. Engkaupun kami anggap sebagai sahabat baik sendiri, maka sudah sepatutnya kita saling memanggil seperti saudara, menurut banyaknya usia masing-masing. Berapa usiamu sekarang?”
Siong Li juga tersenyum. Dia menyukai sikap keterbukaan Ui Kong yang tampak jujur dan yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup lihai itu.
“Usiaku sekarang duapuluh dua tahun,” jawabnya.
“Wah, kalau begitu, di antara kita bertiga, Kiang-ko yang paling tua, kemudian engkau, dan yang paling muda adalah aku. Jadi aku harus menyebutmu Li-ko (kakak Li). Nah, sekarang kita seperti keluarga sendiri dan kami ingin sekali mengetahui riwayat kalian masing-masing,” kata Ui Kong.
“Kong-te, kurasa hal itu akan terlalu panjang dan makan waktu untuk dibicarakan. Padahal, yang terpenting sekarang adalah membawa jenazah ayah pulang dan mengurus pemakamannya. Biarlah kelak kalau semua pengurusan jenazah beres, kita sambung lagi pembicaraan ini.”
“Tepat sekali apa yang dikatakan Kiang-ko itu, Kong-te!” kata Siong Li yang merasa kagum kepada putera pertama Hartawan Ui yang bijaksana.
“Akupun setuju!” kata Bwee Hwa. “Mari kita atur untuk membawa pulang jenazah Paman Ui, Kiang-ko dan Kong-ko!”
Dengan bantuan para hwesio Kuil Ban-hok-si, jenazah Ui Cun Lee dinaikkan ke atas kereta keluarga Ui yang masih berada di luar pekarangan. Jenazah itu diangkut ke kota Ki-lok, dikawal oleh empat orang muda itu. Adapun para hwesio Kuil Ban-hok-si sibuk menguburkan empat orang mayat para penjahat yang tewas dalam pertempuran tadi.
Selama upacara kematian sampai ke pemakaman yang makan waktu tiga hari tiga malam, di mana seluruh penduduk kota Ui Cun Lee datang melayat. Bwee Hwa dan Siong Li mendapatkan masing-masing sebuah kamar di rumah gedung keluarga Ui yang kini hanya tinggal Ui Kiang dan Ui Kong berdua.
Setelah upacara pemakaman selesai dan jenasah Ui Cun Lee dimakamkan di tanah kuburan di luar kota Ki-lok yang jaraknya belasan lie (mil) dari kota itu, kakak beradik Ui itu mengajak Bwee Hwa dan Siong Li bicara di ruangan depan rumah gedung mereka.
Melihat wajah kedua orang kakak beradik itu muram, Bwee Hwa merasa iba dan setelah mereka duduk mengelilingi sebuah meja besar sambil minum teh yang disuguhkan pelayan, ia berkata. “Kiang-ko dan Kong-ko, aku sungguh ikut merasa berduka cita atas kematian ayah kalian.”
103
“Hemm, aku pasti akan membalas dendam kepada mereka, setelah jenazah ayah dimakamkan!” kata Ui Kong dengan gemas.
“Sudahlah, Hwa-moi, hal itu sudah berlalu. Setiap kematian memang menda-tangkan duka, akan tetapi setiap kematianpun adalah takdir manusia yang tak dapat dihindarkan. Kita tidak boleh terlalu tenggelam dalam duka. Sekarang, mari kita lanjutkan perakapan kita tempo hari dengan menceritakan riwayat masing-masing agar perkenalan di antara kita lebih akrab,” kata Ui Kiang.
“ltu benar!” kata Ui Kong. “Kita mulai dari riwayatmu, Hwa-moi. Aku tertarik sekali melihat permainan pedangmu karena kalau tidak salah, permainan pedangmu itu memiliki dasar yang sama dengan ilmu pedangku. Dari manakah engkau mempelajari ilmu pedangmu itu?”
“Aku sendiripun heran melihat engkau memainkan pedangmu, Kong-ko, karena akupun melihat persamaan dasar ilmu pedang kita. Bahkan aku dapat menduga, kalau tidak salah ilmu pedangmu itu adalah Sin-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Sakti), bukan?”
“Wah, tepat sekali! Eh, Hwa-moi, cepat katakan, siapa yang mengajarmu ilmu pedang itu? Aku sudah ingin sekali mendengarnya!” kata Ui Kong.
“Yang mengajarkan adalah Sin-kiam Lojin (Orang Tua Pedang Sakti),” kata Bwee Hwa.
“Sin-kiam Lojin dari Heng-san? Dia itu adalah Toa-suhengku (kakak sepergu-ruan tertua)! Bahkan dia yang mengajarku, mewakili mendiang suhu Pek-mau Sanjin (Manusia Gunung Rambut Putih). Jadi, biarpun kedudukannya sebagai kakak seperguruanku, sebenarnya dia itu guruku juga,” seru Ui Kong girang.
“Kalau begitu, engkau masih suhengku (kakak seperguruanku) sendiri, Kong-ko!” kata Bwee Hwa gembira.
“Hemm, kalau melihat kedudukan kalian, Kong-te adalah susiok-mu (paman seperguruanmu), Hwa-moi. Engkau adalah keponakan muridnya,” kata Ui Kiang.
Diam-diam Siong Li mendengarkan dengan hati risau. Tampak benar bahwa kakak dan adiknya itu seolah bersaing untuk memperebutkan hati Bwee Hwa!
“Riwayatmu telah kami dengar dari mendiang ayah seperti yang diceritakan Li-te (adik Li) ini kepadanya, Hwa-moi. Dan engkaupun tentu sedikit banyak sudah mendengar cerita Li-te tentang keluarga kami seperti diceritakan mendiang ayah kepadanya. Nah, sekarang kami ingin mendengar tentang riwayatmu, Li-te. Bukankah engkaupun sekarang telah menjadi sahabat kami?” kata Ui Kiang lebih lanjut.
Siong Li tersenyum. “Wah, sebenarnya tidak ada sesuatu yang menarik untuk diceritakan tentang diriku.”
“Aih, hayolah, Li-ko. Berceritalah! Semenjak aku mengenalmu, beberapa bulan yang lalu sampai sekarang, engkau tidak pernah menceritakan tentang asal usulmu kepadaku. Engkau tidak ingin merahasiakan dirimu dari kami semua, bukan?” kata Bwee Hwa.
104
Ong Siong Li menghela napas panjang. “Baiklah, akan kuceritakan tentang diriku yang tidak menarik ini.”
“Tidak menarik?” bantah Bwee Hwa. “Kiang-ko dan terutama engkau, Kong-ko. Ketahuilah bahwa di dunia kang-ouw kakak Ong Siong Li ini terkenal dengan julukan It-kak-liong (Naga Tanduk Satu)!”
“Eh? Kenapa julukannya begitu aneh? Kulihat Li-te tidak bertanduk, kenapa pakai julukan Naga Bertanduk Satu?” tanya Ui Kiang dengan heran.
“Wah, pernah aku mendengar julukan itu! Menurut kabar yang pernah kudengar, adalah seorang tokoh Thai-san-pai yang lihai? Benarkah itu, Li-ko?” kata Ui Kong.
Siong Li tersenyum. “Untuk menjawab pertanyaan Kiang-ko tadi, mungkin yang dimaksudkan orang-orang yang memberi julukan Naga Bertanduk Satu kepadaku, yang dimaksudkan dengan tanduk itu adalah pedangku ini. Dan apa yang kaudengar itu, Kong-te, memang benar. Aku adalah seorang murid Thai-san-pai (Aliran Persilatan Thai-san).”
“Kiang-ko dan Kong-ko, biarkan Li-ko menceritakan tentang asal usulnya dari semula, tidak dipotong-potong begitu!” cela Bwee Hwa.
Ong Siong Li lalu terpaksa menceritakan tentang dirinya.
“Dia berasal dari sebuah dusun di kaki pegunungan Thai-san sebelah timur, yaitu dusun Ban-ki-cung. Ketika dia berusia sekitar lima tahun, dusun Ban-ki-cung dilanda wabah yang amat ganas. Hampir separuh penduduk dusun itu, berjumlah ratusan orang tewas karena penyakit menular yang ganas. Untung bahwa pada saat wabah itu mengganas, kebetulan Cheng-han Tojin, seorang pertapa yang menjadi ketua dari Thai-san-pai di Thai-san yang sakti dan pandai ilmu pengobatan, lewat di dusun itu. Biarpun dia hanya seorang diri dan kebetulan saja lewat di situ, namun melihat penderitaan rakyat, Cheng-han Tojin bekerja keras dan cepat bertindak.
Setelah memeriksa dan mengetahui jelas jenis wabah penyakitnya, dia lalu mencari akar-akar dan daun-daun obat, kemudian dia mengobati mereka dan ratusan orang dapat diselamatkan. Betapapun juga, sudah ratusan orang mati, termasuk ayah dan ibu Ong Siong Li.
Melihat keadaan anak itu, Cheng-han Tojin merasa kasihan dan dia lalu membawa Siong Li ke Thai-san. Di Thai-san dia dan murid-murid tertuanya menggembleng Siong Li dengan ilmu-ilmu silat Thai-san-pai, juga mengajari ilmu membaca menulis. Cheng-han Tojin sendiri yang lebih banyak duduk diam bersamadhi, lebih banyak mengajarkan tentang filsafat, budi pekerti dan keagamaan kepada Siong Li.
Setelah berusia duapuluh tahun dan menjadi seorang pemuda dewasa, Cheng-han Tojin yang seolah merupakan pengganti orang tuanya, menyuruh dia turun gunung untuk merantau dan mencari pengalaman. Dalam waktu hampir setahun saja Siong Li telah melakukan perbuatan-perbuatan gagah perkasa, menentang penjahat-penjahat besar sehingga dia memperoleh julukan It-kak-liong (Naga Tanduk Sakti).
Ketika perkumpulan Hwe-coa-kauw merajalela di Tit-le, Siong Li bersama beberapa orang suhengnya dan para pendekar dari aliran lain, bersatu menentang perkumpulan sesat yang amat kuat itu dan akhirnya setelah terjadi pertempuran besar, para pendekar dapat membasmi sarang Hwe-coa-kauw di Title. Akan tetapi seorang suheng dari Siong Li tewas dalam pertempuran itu. Hal ini membuat pemuda
105
itu sakit hati dan mulailah dia melakukan penyelidikan dan dalam perjalanan ini dia bertemu dengan Bwee Hwa dan bersama-sama membasmi sisa-sisa anggauta Hwe-coa-kauw.”
“Nah, demikianlah riwayat hidupku. Tidak ada yang menarik,” Siong Li meng-akhiri ceritanya.
“Menarik sekali, Li-ko. Ternyata engkau seorang pendekar sejati, aku kagum sekali padamu!” kata Ui Kong.
“Dan bagaimana engkau dapat menjadi suheng....... eh, susiok dari Hwa-moi, Kong-te?” tanya Siong Li.
“Sejak kecil aku suka mempelajari ilmu silat dan ketika aku berusia sepuluh tahun, secara kebetulan aku bertemu dengan Pek-mau Sanjin (Orang Gunung Rambut Putih). Karena aku melihat dia melompati sebuah jurang di luar kota, aku lalu mohon menjadi muridnya. Dia mengunjungi ayah dan setelah berbicara, ayah mengijinkan aku belajar silat dari Pek-mau Sanjin. Aku lalu diajak ke rumahnya yang berada di puncak Bukit Cemara. Di sana aku digembleng ilmu silat. Akan tetapi karena suhu Pek-mau Sanjin sudah tua renta, aku lalu dilatih oleh dua orang muridnya, yaitu Sin-kiam Lojin dan Beng-san Cinjin. Suhu meninggal dua tahun kemudian dan setelah toa-suheng Sin-kiam Lojin pindah ke Heng-san, aku selanjutnya dilatih oleh ji-suheng (kakak seperguruan kedua) Beng-san Cinjin. Setelah tamat belajar aku pulang.”
“Hemm, menarik juga ceritamu,” puji Siong Li.
“Yang lebih menarik lagi ternyata kita semua ini orang-orang yatim piatu, tidak punya ayah ibu lagi,” kata Bwee Hwa.
Ucapan wajar ini ternyata bagi Ui Kiang yang amat perasa dan peka merupakan tikaman pada jantungnya. Tak tertahankan lagi dia menutupi mukanya dengan kedua tangan. Walaupun dia menahan isak tangisnya, namun kedua pundaknya bergoyang-goyang dan ada juga air mata menetes dari celah-celah jari tangannya.
Sejak perkenalan pertama, Bwee Hwa merasa kasihan kepada Ui Kiang. Ia tahu bahwa Ui Kiang tidak mempelajari ilmu silat, akan tetapi dia seorang sastrawan, juga seniman. Wataknya yang lembut, sikapnya yang penuh sopan santun, perasaannya yang peka mendatangkan rasa kagum tersendiri dalam hatinya.
Melihat keadaan pemuda itu demikian terpukul oleh ucapannya, Bwee Hwa menyadari kesalahannya. Ia teringat bahwa kakak beradik Ui itu baru saja beberapa hari kehilangan ayah mereka. Maka iapun segera bangkit dari tempat duduknya, menghampiri Ui Kiang dan menyentuh pundak pemuda itu.
“Kiang-ko, ah, maafkan kata-kataku tadi. Aku tidak bermaksud menyakiti ha-timu, Kiang-ko.”
Mendengar ucapan gadis ini dan merasakan sentuhan pada pundaknya, Ui Kiang cepat mengeluarkan saputangan dan menghapus air matanya sampai bersih, lalu berusaha tersenyum dan memandang kepada Bwee Hwa.
“Terima kasih, Hwa-moi. Tidak ada yang perlu dimaafkan. Akulah yang harus minta maaf karena aku terlampau cengeng. Engkau benar dengan kata-katamu tadi, kita semua ini yatim piatu. Setidaknya kebersamaan ini mengurangi rasa sakit di hati karena mendapat sahabat senasib sependeritaan.”
106
Bwee Hwa tersenyum girang dapat menghibur hati Ui Kiang dan ia duduk di atas kursinya.
Ui Kong bangkit berdiri, kedua tangannya terkepal. “Kiang-ko, jangan bersedih. Hari ini juga aku akan berangkat mencari musuh besar kita, pembunuh ayah kita! Baik-baiklah saja di rumah, aku tidak akan kembali sebelum berhasil membunuh Pek-bin Moko itu!”
Siong Li kembali merasa cemas. Dia tahu bahwa secara diam-diam kedua orang kakak beradik Ui itu sedang bersaing untuk menjadi suami Bwee Hwa. Dia dapat melihat api cemburu bersinar di mata Ui Kong melihat sikap lembut Bwee Hwa terhadap kakaknya tadi! Maka diapun cepat berkata kepada Ui Kong yang masih berdiri.
“Kong-te, kuharap engkau suka tenang dan bersabar. Silakan duduk. Ketahuilah bahwa Hwa-moi dan aku sendiri sudah mengambil keputusan untuk membantumu mencari Pek-bin Moko dan kawan-kawannya, selain untuk membalas kematian Paman Ui, juga untuk merampas kembali patung Dewi Kwan Im dari Kuil Bak-hok-si.”
“Benar, Kong-ko. Duduklah dan mari kita rundingkan dulu bagaimana baiknya,” Bwee Hwa ikut membujuk Ui Kong yang masih berdiri dengan muka merah dan tangan terkepal.
Mendengar bujukan Bwee Hwa ini, Ui Kong lalu duduk kembali dan dia berkata, “Akan tetapi apalagi perlu dirundingkan? Kita pergi saja sekarang juga dan melakukan pengejaran dan pencarian, habis perkara,” kata Ui Kong yang masih belum hilang kemarahannya karena teringat kepada Pek-bin Moko yang telah membunuh ayahnya.
“Ingat, Kong-te, musuh kita tidak boleh dipandang rendah. Engkau menyaksikan sendiri bahwa Hek-bin Moko yang tewas itu adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw, jelas tampak dari pakaian sebelah dalam, di mana terdapat gambar teratai putih. Tentu pasangannya, Pek-bin Moko juga seorang tokoh Pek-lian-kauw. Jadi yang kita hadapi bukan perorangan, melainkan perkumpulan pemberontak golongan sesat itu. Tiga orang anak buah yang tewas itupun merupakan anggauta gerombolan sesat, yang seorang tokoh Hwee-coa-kauw dan yang dua orang lagi bekas anak buah Kauw-jiu Pek-wan. Agaknya mereka bertiga sudah menggabungkan diri dengan Pek-lian-kauw.”
“Nah, kalau begitu kita cari sarang Pek-lian-kauw dan kita basmi mereka!” kata Ui Kong.
“Maaf, Kong-te. Agaknya engkau belum mempunyai banyak pengalaman di dunia kang-ouw. Tahukah engkau di mana sarang pusat perkumpulan Pek-lian-kauw itu?” tanya Siong Li.
Ui Kong menggeleng kepalanya. “Akan tetapi kita dapat mencari keterangan sampai dapat menemukan sarang mereka!”
“Tidak perlu susah mencarinya. Pusat Pek-lian-kauw berada di Pegunungan Teratai di Propinsi Ho-pei.”
“Kalau begitu sekarang juga kita pergi ke sana!”
“Ucapanmu itu membuktikan bahwa engkau sama sekali tidak mengenal Pek-lian-kauw, Kong-te. Ketahuilah, perkumpulan itu pada pusatnya sana teramat kuat. Mereka menduduki daerah Pegunungan Teratai di Propinsi Ho-pei sebelah selatan sampai menyeberang propinsi ke lembah Sungai Kuning
107
bagian utara. Jumlah anggauta mereka mencapai seribu orang lebih. Kaisar sendiri yang bertangan besi, beberapa kali sudah mengerahkan pasukan, namun tak pernah berhasil membasmi perkumpulan itu sampai ke akarnya. Paling-paling hanya membuat perkumpulan itu lari mengungsi, berpindah-pindah di daerah yang sulit karena penuh dengan perbukitan dan anak sungai yang curam itu.”
“Wah, kalau begitu, bagaimana kalian dapat mencari pembunuh ayah itu? Tak mungkin kalian bertiga melawan ribuan orang Pek-lian-kauw!” seru Ui Kiang gelisah.
“Aku yakin bahwa Pek-bin Moko bukan anggauta pusat, Kiang-ko. Pek-lian-kauw mempunyai banyak sekali cabang. Cabang-cabang ini tempatnya tersembunyi, dan anggautanya juga tidak berapa banyak. Kalau Pek-lian-kauw sampai mau mencuri patung emas, berarti pelakunya tentu anggauta sebuah cabang saja untuk mengumpulkan dana. Karena itu, sekarang yang harus dicari adalah di mana adanya cabang Pek-lian-kauw yang berada di sekitar daerah ini,” Siong Li menjelaskan.
Ui Kong tampak lemas dan menghela napas. “Ah, memang sayang sekali, sete-lah dulu aku dilatih oleh suheng Sin-kiam Lojin dan beliau pindah ke Heng-san, aku tidak mau ikut, sehingga aku tidak sempat merantau jauh dan mencari pengalaman. Setelah tamat belajar, aku lalu pulang dan tak pernah meninggalkan ayah. Aku hanya menentang kejahatan yang terjadi di sekitar daerah Ki-lok saja sehingga aku hampir buta tentang dunia kang-ouw.”
“Aih, tidak perlu berkecil hati, Kong-ko. Aku sendiripun tidak memiliki penge-tahuan seluas Li-ko mengenai dunia kangouw. Dunia kang-ouw itu luas sekali dan memiliki tokoh-tokoh yang terhitung banyaknya. Sekarang jalan terbaik adalah melakukan penyelidikan di mana kiranya ada cabang Pek-lian-kauw di daerah Ki-lok ini atau di daerah Propinsi Hok-kian.”
“Sayang aku bukan seorang ahli silat sehinga aku tidak berdaya untuk mem-bantu kalian. Akan tetapi menurut pendapatku, akan lebih berhasil kalau kalian mencari sarang cabang Pek-lian-kauw itu dari para penjahat di daerah ini. Bukankah ada ucapan orang bijaksana yang mengatakan bahwa burung gagak selalu bergaul dengan burung gagak dan burung Hong hanya mau berpasangan dengan burung Hong lainnya? Mencari sarang perkumpulan jahat harus melalui para penjahat. Dan aku mendengar bahwa dalam Propinsi Hok-kian ini, gerombolan penjahat yang paling terkenal adalah Gerombolan Sembilan Naga di lembah Sungai Kiu-liong (Sungai Sembilan Naga). Entah benar atau tidak pendapatku ini.”
“Wah, hebat! Benar sekali pendapatmu itu, Kiang-ko! Hampir aku lupa. Memang, gerombolan yang menamakan dirinya Gerombolan Sembilan Naga itu amat terkenal dan sukar dibasmi karena daerah mereka amat luas, di sepanjang lembah Sungai Kiu-liong,” kata Ui Kong.
“Kalau begitu, ke sanalah kita pergi! Biasanya, gerombolan penjahat akan lari mengungsi kalau diserbu pasukan pemerintah yang besar jumlahnya. Akan tetapi kalau hanya kita bertiga yang muncul, tentu mereka akan memandang rendah dan kita dapat bertemu dengan pimpinan mereka untuk mencari keterangan tentang cabang Pek-lian-kauw di Propinsi Hok-kian ini,” kata Siong Li.
“Bagus, kita berangkat sekarang!” kata Bwee Hwa.
Kedua orang kakak beradik Ui itu mengadakan persiapan. Ui Kiang yang tidak pandai ilmu silat tentu saja tidak dapat ikut karena dia tidak akan dapat membantu malah hanya menjadi beban karena yang lain harus melindunginya. Ui Kiang dan adiknya mempersiapkan tiga ekor kuda yang baik. Juga Ui Kong membawa sekantung uang bekal dalam perjalanan yang belum mereka ketahui berapa lamanya itu.
108
Setelah persiapan selesai, tiga orang muda perkasa itu, Ui Kong, Siong Li, dan Bwee Hwa, berangkat menunggang kuda keluar dari kota Ki-lok, menuju ke lembah Sungai Kiu-liong.
Melakukan perjalanan diapit dua orang pemuda yang ia tahu sama-sama mencintanya, Bwee Hwa merasa bingung. Apalagi kalau ia teringat Ui Kiang yang tidak ikut. Ia tahu bahwa Ui Kiang, pemuda sasterawan itu, juga jatuh cinta padanya. Tiga orang pemuda mencintanya dan ia harus memilih seorang di antara mereka! Atau lebih tepat lagi, karena oleh mendiang ibunya ia sudah dijodohkan dengan putera keluarga Ui, ia harus memilih antara Ui Kiang dan Ui Kong.
Secara resmi, Siong Li sudah berada di luar hitungan. Semua ini membuat ia merasa bingung sekali. Dua orang saudara Ui itu sama baiknya, yang seorang lemah lembut dan bijaksana, juga terpelajar tinggi. Yang seorang lagi gagah perkasa, memiliki ilmu silat yang tangguh. Keduanya sama tampan menarik pula! Baru memilih di antara keduanya ini saja sudah membingungkan.
Apalagi kalau ia teringat kepada Siong Li! Pemuda ini telah banyak jasanya, dan ia sudah membuktikan sendiri bahwa pemuda ini amat mencintanya, juga merupakan seorang pendekar yang gagah perkasa dan baik budi. Ia menjadi bingung, tidak tahu harus memilih yang mana!
Bwee Hwa tidak tahu betapa sejak tadi Ui Kong memperhatikannya. Ketika itu, matahari telah naik tinggi. Mereka telah melakukan perjalanan beberapa hari dan terik matahari yang menyengat membuat mereka merasa lelah. Juga kuda mereka tampak kelelahan.
“Sebaiknya kita berhenti mengaso di sini agar kuda kita juga dapat mengaso,” kata Siong Li yang dianggap sebagai pemimpin mereka.
Mereka berhenti di tepi sebuah hutan, melepas kuda agar dapat makan rumput yang tumbuh subur di bawah pohon-pohon. Mereka bertiga lalu duduk di bawah pohon yang teduh, duduk di atas batu-batu yang banyak terdapat di situ. Ui Kong segera menurunkan bekal makanan dan minuman dari atas sela kudanya. Roti dan daging kering merupakan makanan lezat pada saat itu, dan minumannya hanya air jernih yang dituang dari guci.
Sehabis makan mereka membiarkan tubuh mereka beristirahat dan kesempatan ini dipergunakan oleh Ui Kong untuk menyatakan perasaan hatinya melihat Bwee Hwa sejak tadi banyak termenung.
“Hwa-moi, aku melihat wajahmu sejak tadi tampak muram. Kenapakah, Hwa-moi? Ah, aku merasa menyesal sekali bahwa karena urusan keluarga kami, engkau dan juga Li-ko menjadi ikut repot dan bersusah payah menemani aku untuk mencari pembunuh ayah.”
“Ah, kenapa engkau berpendapat seperti itu, Kong-ko? Aku termenung bukan sekali-kali karena merasa repot mengejar pembunuh ayahmu. Hal itu memang sudah menjadi kewajibanku menentang kejahatan!” kata Bwee Hwa.
“Benar apa yang dikatakan Hwa-moi, Kong-te. Selain mencari pembunuh Paman Ui Cun Lee, juga kita sudah sepatutnya merampas kembali Patung Kwan Im yang dicuri dan dilarikan Pek-bin Moko tokoh Pek-lian-kauw. Semua itu, seperti dikatakan Hwa-moi tadi, sudah menjadi tugas kewajiban kita, sama sekali tidak merepotkan dan menyusahkan!”
109
Ui Kong tersenyum dan mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat. “Terima kasih banyak. Memang jiwi (kalian berdua), Hwa-moi dan Li-ko adalah pendekar-pendekar budiman yang bijaksana dan gagah perkasa. Akan tetapi, aku melihat Hwa-moi banyak melamun sehingga timbul pertanyaan itu dalam hatiku. Maafkan aku.”
Bwee Hwa tersenyum. Pada dasarnya, ia seorang gadis periang sehingga tidak dapat lama terbenam dalam lamunan tentang cinta yang membingungkan hatinya tadi. Kini ia memandang wajah Ui Kiong dan tertawa. “Heheh, engkau ini lucu, Kong-ko. Orang melamun saja ditafsirkan. Aku tadi memang melamun karena teringat akan keadaanku yang hidup sebatang kara di dunia yang penuh kejahatan ini.”
“Aih, Hwa-moi, kenapa hal seperti itu diingat lagi? Apa engkau sudah lupa bahwa aku juga seorang yatim piatu dan hidup sebatang kara di dunia ini?” kata Siong Li sambil tertawa pula.
“Dan aku bagaimana? Juga kakakku Kiang-ko? Kami juga tidak mempunyai ayah dan ibu lagi!” kata Ui Kong pula.
“Nah, selain kita berempat, masih banyak sekali manusia di dunia ini yang sudah menjadi yatim piatu. Akan tetapi jangan katakan bahwa kita hidup sebatang kara di dunia yang penuh kejahatan ini, Hwa-moi. Kita tidak sebatang kara. Kita hidup dengan banyak manusia lain. Setidaknya, bukankah kita sekarang ini saling bersahabat dan saling membantu? Dunia tidak hanya terisi kejahatan, Hwa-moi, akan tetapi juga terdapat banyak kebaikan.”
“Ah, aku jadi ingat kepada kakakku. Kiang-ko seringkali bicara tentang kehi-dupan ini, tentang kebaikan dan kejahatan. Sering aku menjadi termangu keheranan kalau dia bicara tentang kehidupan, dan sama sekali kata-katanya itu tidak dapat dibantah dan aku harus mengakui kebenaran ucapannya,” kata Ui Kong.
Hati Bwee Hwa menjadi tertarik sekali. Iapun dapat merasakan bahwa Ui Kiang yang lemah tak pandai silat itu memiliki kelebihan dalam lain hal.
“Apa yang dia katakan tentang kebaikan dan kejahatan, Kong-ko? Aku ingin sekali mendengarnya,” kata Bwee Hwa.
“Dia bicara tentang dua unsur yang membuat dunia ini berputar, yang membuat segala sesuatu berimbang, yaitu Im dan Yang (positive dan negative). Tanpa adanya kedua unsur yang saling berlawan an namun saling menunjang ini, segala sesuatu di alam ini akan mandeg, segala kegiatan alam akan berhenti. Karena itu, keduanya sama pentingnya, misalnya siang dan malam, terang dan gelap, pria dan wanita, dan segala sesuatu dengan kebalikkannya. Juga kebaikan dan kejahatan. Satu antara lain dia berkata begini. Kalau tidak ada kejahatan, mana bisa ada kebaikan? Sebaliknya karena ada kebaikan, maka timbul kejahatan. Yang satu tidak lebih penting daripada yang lain. Demikianlah yang dikatakan kakakku itu.”
Bwee Hwa mengerutkan alisnya. “Kejahatan tidak kalah pentingnya dari pada kebaikan? Wah, yang ini aku kurang mengerti, Kong-ko. Bukankah kejahatan itu bertolak belakang dengan pandangan kita? Bukankah kita oleh guru-guru kita selalu dianjurkan untuk menentang kejahatan? Bagaimana bisa dikatakan bahwa kebaikan tidak lebih penting daripada kejahatan?”
110
Ui Kong mengangkat kedua pundaknya. “Begitulah yang dikatakan kakakku. Kalau engkau hendak mengetahuinya lebih jelas seharusnya ditanyakan kepada Kiang-ko. Aku sendiri juga tidak mengerti jelas.” Lalu Ui Kiong menoleh kepada Siong Li dan berkata, “Li-ko memiliki pengalaman luas, barangkali dapat menjelaskan dan menjawab pertanyaan Hwa-moi tadi?”
Siong Li tersenyum. “Ucapan Kiang-ko itu mengandung arti yang mendalam dan tak dapat dibantah kebenarannya, akan tetapi bagi yang tidak mengerti dapat menimbulkan salah-paham, apalagi bagi orang yang suka berbuat jahat, akan dapat membenarkan perbuatan jahatnya yang dianggap sama pentingnya dengan perbuatan baik.”
“Nah, itulah yang membingungkan aku, Li-ko. Kalau dianggap sama, lalu untuk apa kita membela kebenaran dan menentang kejahatan? Kalau dianggap sama pentingnya, lalu apakah kita seharusnya melakukan kejahatan seperti kita melakukan kebaikan?” bantah Bwee Hwa penasaran.
Siong Li tertawa. “Ha-ha! Bukan begitu, Hwa-moi. Kejahatan, atau keadaan apapun juga yang kita anggap tidak baik, merupakan tantangan dalam hidup ini. Misalnya kalau ada gelap kita akan berusaha untuk mengatasinya kegelapan dengan menyalakan api penerangan dan sebagainya. Kejahatan seperti juga penyakit dan kita harus mengatasinya, menentangnya. Menentang kejahatan dan melakukan kebaikan merupakan kewajiban dalam hidup ini. Melakukan kebaikan berarti membiarkan diri menjadi alat Tuhan, sebaliknya melakukan kejahatan berarti membiarkan diri menjadi alat setan.”
“Nah, kalau begitu, bagaimana dikatakan bahwa kebaikan tidak lebih penting daripada kejahatan? Dan engkau tadi mengatakan bahwa pendapat itu tidak dapat dibantah kebenarannya! Bagaimana ini, Li-ko?”
“Memang sesungguhnya, kita yang tidak mau menjadi alat setan akan selalu menentang kejahatan. Akan tetapi kejahatan itu sendiri amat penting bagi kehidupan, karena merupakan perimbangan keadaan, seperti siang dan malam tadi, yaitu Im dan Yang. Kalau tidak ada perbuatan jahat, mana ada perbuatan baik? Justeru kejahatan merupakan tantangan bagi manusia untuk memacu kebaikan. Makin hebat kejahatan merajalela, makin tekun orang memperhatikan pelajaran tentang kebaikan. Makin liar setan merajalela, manusia semakin bersemangat untuk mendekatkan diri kepada kepada Tuhan. Makin ganas si penyakit, makin tekun orang mencari obatnya. Semua itu memang harus berimbang, Im dan Yang, saling bertentangan akan tetapi juga saling menunjang. Kekuasaan Tuhan tampak jelas melalui perimbangan ini, melalui Im dan Yang. Bahkan segala yang tampak di dunia ini terjadi karena perpaduan antara Im dan Yang.”
“Wah, aku menjadi pening, Li-ko, biarpun aku dapat mengerti sedikit pen-jelasanmu itu,” kata Bwee Hwa sambil tertawa.
“Ha-ha-ha, sama dengan aku, Hwa-moi!” kata Ui Kong. “Akupun sering merasa pening kalau Kiang-ko bicara tentang semua itu. Akan tetapi dia pernah memberi perumpamaan yang lebih agak jelas. Begini katanya: Dalam batin manusiapun Im dan Yang bekerja sepenuhnya. Baik dan buruk bekerja dalam batin manusia, seolah manusia itu berbatin setengah malaikat setengah iblis. Maka setiap orang manusia itu ada baiknya dan ada pula jahatnya. Kalau dia baik sepenuhnya, maka bukan manusia namanya, melainkan malaikat. Kalau jahat sepenuhnya, diapun bukan manusia melainkan iblis. Terkadang baik dituntun malaikat, terkadang jahat dituntun iblis, itulah manusia!”
111
Mereka bertiga tertawa. Mereka kini sudah cukup beristirahat dan tiga ekor kuda mereka juga sudah cukup mengaso dan makan rumput. Dengan hati gembira setelah bercakap-cakap tadi, Bwee Hwa tidak melamun lagi dan rasa lelah setelah melakukan perjalanan selama tiga hari rasanya hilang.
Setelah menyeberangi hutan itu, tibalah mereka di lembah sungai dan ketiganya mulai bersikap waspada karena mereka telah memasuki daerah yang menjadi wilayah kekuasaan Kiu-liong-pang (Perkumpulan Sembilan Naga). Nama perkumpulan yang sesungguhnya merupakan gerombolan penjahat yang suka merampok dan mencuri ini, amat terkenal di Propinsi Hok-kian. Mereka sering melakukan perampokan ke dusun-dusun dan bahkan berani menjarah sampai ke kota.
Pada mereka yang berani melakukan perjalanan melewati lembah sungai itu, tentu akan bertemu anggauta gerombolan yang minta semacam “uang pajak”. Kalau permintaan ini ditolak, mereka akan menggunakan kekerasan, membunuh dan merampok dengan kejam. Juga mereka yang melakukan perjalanan dengan perahu di Sungai Kiu-liong, pasti akan mereka hadang pula dan mereka mintai uang, kalau menolak mereka akan membajak dan membunuh.
Ada sudah usaha para pedagang yang melakukan perjalanan, baik melalui darat maupun melalui air, menyewa para piauw-su (pengawal kiriman) untuk melindungi mereka dari gangguan para anak buah gerombolan Kiu-liong-pang itu. Namun, setelah beberapa kali piauw-su itu bahkan menjadi korban, maka para pedagang mengalah dan merasa lebih aman untuk membayar “pajak” kepada gerombolan itu.
Kiu-liong-pang dipimpin oleh tiga orang pemimpinnya yang terkenal tangguh dan amat lihai ilmu silatnya. Mereka biasa disebut sebagai Toa-liong (Naga Pertama), Ji-liong (Naga Kedua) dan Sam-liong (Naga Ketiga), merupakan tiga orang kakak beradik seperguruan yang berusia antara empatpuluh sampai limapuluh tahun. Gerombolan Kiu-liong-pang itu memiliki anak buah yang cukup banyak, tidak kurang dari seratus orang. Karena itu kedudukan mereka amat kuat.
Pihak pemerintah sudah pula berusaha untuk membasmi gerombolan ini dengan mengerahkan pasukan yang besar jumlahnya. Akan tetapi, kalau diserbu pasukan yang besar, semua anak buah gerombolan melarikan diri dan karena daerah lembah Sungai Kiu-liong itu amat luas dan panjang, melewati hutan-hutan lebat, maka sukar sekali bagi pasukan pemerintah untuk membasmi mereka.
Bwee Hwa, Siong Li dan Ui Kong yang telah tiba di lembah sungai dan mengharapkan dapat bertemu dengan anggauta gerombolan Kiu-liong-pang, sampai menjelang senja belum juga menemukan mereka. Daerah itu sunyi bukan main karena memang merupakan daerah yang dianggap berbahaya sehingga jarang ada yang berani melakukan perjalanan lewat lembah itu.
Terpaksa ketiga orang muda itu berhenti di tepi sungai yang terbuka, melepaskan kendali kuda dan menambatkan kuda mereka pada pohon yang tumbuh dekat tempat mereka berada. Ui Kong lalu mencari dan mengumpulkan kayu kering untuk persiapan membuat api unggun. Api unggun amat penting bagi mereka dalam melewatkan malam di tempat seperti itu. Selain dapat mengusir hawa malam yang dingin, juga terutama sekali dapat mengusir nyamuk-nyamuk yang tentu akan sangat mengganggu.
Sementara itu, Siong Li mencari anak sungai yang menumpahkan airnya ke Sungai Kiu-liong. Biasanya dalam hutan terdapat banyak anak sungai kecil yang jernih airnya. Setelah mendapatkan anak sungai yang jernih airnya, Siong Li memberi tahu Bwee Hwa dan gadis ini lalu pergi mandi dan berganti pakaian
112
bersih. Setelah ia selesai, lalu Ui Kong mandi dan yang terakhir giliran Siong Li. Mereka bertiga merasa segar sehabis mandi dan berganti pakaian bersih.
Setelah itu, kembali mereka makan roti dan daging kering yang dibawa Ui Kong sebagai bekal. Sejak siang tadi mereka tidak pernah bertemu dengan dusun atau bahkan orang lain sehingga mereka tidak dapat membeli makanan lain. Bagi Bwee Hwa dan Siong Li yang sudah terbiasa melakukan perjalanan dan mengalami makan seadanya dan tidur di tempat seadanya pula, keadaan seperti itu sama sekali tidak merupakan gangguan. Mereka dapat makan apa saja dengan lezat asalkan perut mereka lapar dan tidur di manapun asalkan mata mereka mengantuk.
Akan tetapi tidak demikian dengan Ui Kong. Biarpun pemuda ini pernah mempelajari ilmu silat sampai tingkat tinggi, namun dia tidak pernah melakukan perantauan seperti itu dan hidupnya selalu bergelimang kemewahan dan kecukupan. Makan selalu dengan lauk pauk yang serba lengkap dan mewah, tidurpun di kamar indah dengan tempat tidur yang lunak. Maka pengalaman selama tiga hari ini cukup membuat dia merasa menderita.
Ketika mereka makan roti dan daging kering, makanan yang itu-itu juga yang mereka makan selama tiga hari ini, Bwee Hwa melihat betapa Ui Kong makan dengan alis berkerut, sama sekali tidak lahap seperti ia dan Siong Li yang merasa lapar. Setelah selesai makan, Ui Kong berkata, “Biarlah malam ini aku yang berjaga di sini. Kalian mengaso dan tidurlah.”
“Ah, mana bisa begitu, Kong-te? Kita melakukan penjagaan dengan bergilir. Setidaknya kita berdua yang bergiliran dan Hwa-moi boleh mengaso dan tidur.”
“Ah, tidak bisa! Akupun harus mendapat giliran seperti dua malam yang lalu. Aku tidak mau enak-enakan sendiri tidur sedangkan kalian berdua melakukan penjagaan!” kata Bwee Hwa.
“Sebetulnya tidak perlu bergilir, biar aku saja yang berjaga semalam ini. Ba-gaimanapun, kalau tiba giliran kalian, tetap saja aku tidak dapat pulas.”
Bwee Hwa yang sejak hari pertama perjalanan sudah memperhatikan pemuda yang tampak menderita melakukan perjalanan itu, tersenyum, “Ah, engkau tidak dapat tidur pulas karena tempatnya, Kong-ko?”
Ui Kong tersenyum dan mengangguk, lalu berkata sejujurnya. “Ya, begitulah.”
“Kulihat tadi engkau makan juga tidak lahap, seperti dipaksakan. Makanannya kurang enak bagimu, ya?” tanya Bwee Hwa.
Ui Kong mengerutkan alisnya. “Sialan itu gerombolan Kiu-liong-pang! Di mana saja sih mereka itu, belum juga menampakkan diri? Membuat aku kesal!”
“Nah, inilah sebabnya mengapa dulu guruku pernah mengatakan bahwa jauh lebih baik membiasakan diri hidup sederhana daripada hidup bermewah-mewahan,” kata Siong Li.
“Akan tetapi, Li-ko, apakah orang yang keadaannya cukup atau kaya harus hidup sederhana? Lalu untuk apa semua harta yang diperolehnya dalam pekerjaannya?” bantah Ui Kong.
113
“Tentu saja tidak begitu yang dimaksudkan suhu. Hidup sederhana bukan berarti orang kaya harus hidup serba kekurangan atau melarat. Yang dimaksudkan agar dalam kehidupan sehari-hari tidak bermewah-mewah, tidak berlebihan. Hidup sederhana berarti merasa puas dengan apa yang ada, tidak main royal-royalan memanjakan nafsu keinginan yang bersifat angkara murka.
Kalau kita sudah terbiasa dengan apa adanya, maka makanan apapun akan terasa lezat kalau kita lapar dan tempat tidur manapun akan terasa nyaman kalau kita mengantuk. Hidup sederhana merupakan pencerminan jiwa yang sederhana, dalam arti kata tidak menginginkan sesuatu yang tidak ada dan dapat menerima dan menikmati apa yang ada sehingga setiap saat kita dapat bersyukur kepada Thian (Tuhan) akan apa yang diberikanNya kepada kita.”
Ui Kong mengangguk-angguk. “Aku mengerti sekarang, Li-ko. Agaknya yang kaumaksudkan adalah agar kita tidak memanjakan keinginan nafsu-nafsu kita yang selalu haus akan kesenangan. Begitukah?”
“Kurang lebih begitulah, Kong-te,” kata Siong Li.
Malam itu, ketika giliran Ui Kong untuk tidur, dia dapat tidur nyenyak di bawah pohon, di atas tanah begitu saja. Melihat ini, Siong Li tersenyum. Ternyata pemuda hartawan itu sudah dapat memetik manfaat dari percakapan mereka tadi!
Mereka tidur bergiliran dan pada keesokan harinya, setelah membersihkan badan, mereka hendak melanjutkan perjalanan mereka. Akan tetapi, tiba-tiba mereka mendengar tiga ekor kuda mereka meringkik ketakutan. Mereka cepat menengok dan tampaklah belasan orang laki-laki muncul dan tiga orang di antara mereka sudah menguasai kuda-kuda mereka yang tadinya ditambatkan pada batang pohon.
“Keparat busuk, lepaskan kuda-kuda kami!” bentak Bwee Hwa marah dan gadis ini sudah siap untuk menyerang para pencuri kuda-kuda itu dengan jarum-jarumnya.
Akan tetapi Siong Li cepat memegang lengannya. Pemuda ini khawatir kalau-kalau Bwee Hwa akan membunuh orang. Kalau hal itu terjadi, akan sukarlah bagi mereka untuk mencari keterangan tentang cabang Pek-lian-kauw. Diapun menghadapi belasan orang yang kini menghadang di depan mereka, lalu berkata dengan sikap bersahabat dan tersenyum ramah.
“Kalau kami tidak salah duga, cu-wi (anda sekalian) tentu anggauta-anggauta dari Kiu-liong-pang, bukan?”
Seorang dari mereka yang bertubuh tinggi kurus, memandang tajam dan menoleh ke arah kawan-kawannya yang rata-rata bertubuh kokoh kuat dan bersikap kasar. “Kawan-kawan, mereka mengenal kita!” kata si tinggi kurus lalu menjawab pertanyaan Siong Li. “Benar, kami adalah orang-orang Kiu-liong-pang. Setelah kalian bertiga mengetahui, hayo cepat serahkan buntalan-buntalan itu dan gadis ini harus ikut bersama kami sebagai oleh-oleh untuk ketua kami!” Ucapan si tinggi kurus ini disambut tawa terbahak oleh orang-orang kasar itu.
Bwee Hwa mengerutkan alisnya dan wajahnya berubah merah sekali. Melihat ini, Siong Li berbisik kepadanya.
“Hwa-moi, jangan bunuh orang, kita perlu keterangan mereka.”
114
Bwee Hwa menjawab, “Jangan khawatir, aku tidak akan bunuh orang, akan tetapi mulut orang itu harus dihajar!” Setelah berkata demikian, ia melangkah ke depan, menghadapi si tinggi kurus lalu membentak.
“Jahanam bermulut busuk! Hayo cepat berlutut dan minta maaf atas kelancangan mulut busukmu, atau aku akan menghancurkan mulut busukmu itu!”
Si tinggi kurus adalah seorang anggauta Kiu-liong-pang yang agak menonjol kemampuannya, maka dia diangkat menjadi kepala dari belasan orang itu. Melihat sikap dan mendengar ucapan Bwee Hwa itu, dia tertawa bergelak, diikuti tawa para kawannya yang menganggap gertakan gadis cantik jelita itu terdengar amat lucu!
“Awas, Boan-ko, mulutmu akan digigitnya hancur kalau engkau menciumnya!” kata seorang anggauta dan ucapan inipun memancing tawa bergelak.
“Boan-ko, kalau engkau memberikan gadis ini kepada toa-pangcu (Ketua Pertama), engkau tentu akan menerima hadiah besar. Toa-pangcu paling suka kepada wanita cantik dan galak seperti ini. Katanya dia paling suka kuda betina liar!” kata anggauta perampok yang lain.
Si tinggi kurus yang bernama Boan Kit itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, nona manis, engkau hendak menghancurkan mulutku? He-heh, bagaimana engkau akan menghancurkannya? Dengan gigitanmu, ha-ha-ha!”
Tiba-tiba saja tubuh Bwee Hwa bergerak ke depan dan kedua tangannya menyambar dari kanan kiri, cepat bukan main, seperti kilat menyambar sehingga gerakan kedua tangan itu tidak tampak jelas.
“Wuuutttt…… plakkkk! Plokkk!!” Tubuh tinggi besar itu terjengkang ke belakang dan dia mengeluarkan suara merintih, kedua tangan menutupi mulutnya yang pecah berdarah karena ditampar oleh kedua tangan Bwee Hwa dari kanan kiri. Bibirnya pecah-pecah dan beberapa buah giginya rontok! Boan Kit jatuh terduduk dan mengaduh-aduh dengan suara yang tidak jelas.
Kawan-kawannya marah bukan main, juga terkejut dan heran. Boan Kit adalah seorang yang bagi mereka merupakan orang pandai silat dan tangguh, akan tetapi mengapa sekali serang saja gadis itu mampu benar-benar menghancurkan mulutnya seperti ancamannya tadi?
Empatbelas orang anggauta Kiu-liong-pang itu adalah orang-orang kasar yang biasa melakukan kekerasan. Mereka adalah orang-orang bodoh dan nekat, sudah terbiasa memaksakan kehendak sendiri. Maka, hajaran kepada Boan Kit itu masih belum menyadarkan mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang lihai sekali. Robohnya Boan Kit itu malah membuat mereka marah dan empatbelas orang itu sudah mencabut golok masing-masing, lalu sambil mengeluarkan teriakan-teriakan ganas mereka menyerbu dan menyerang tiga orang muda itu!
“Jangan bunuh orang!” sekali lagi Siong Li memperingatkan Ui Kong dan Bwee Hwa.
Mereka bertiga menyambut serbuan para anggauta Kiu-liong-pang dengan tangan kosong. Dengan tamparan-tamparan dan tendangan, tiga orang itu mengamuk dan dalam waktu singkat saja, empatbelas orang itu sudah berpelantingan dan golok mereka beterbangan!
115
Mereka terkejut bukan main dan barulah mereka kini mengadari bahwa tiga orang muda itu adalah pendekar-pendekar yang amat lihai. Mereka menjadi ketakutan dan merangkak bangun untuk melarikan diri, termasuk Boan Kit. Akan tetapi Siong Li sudah melompat ke depan dan menangkap lengan Boan Kit. Bwee Hwa juga menangkap seorang anggauta gerombolan, demikian pula Ui Kong menangkap seorang lain. Yang lain-lain dapat meloloskan diri, termasuk tiga orang anggauta gerombolan yang sudah lebih dulu melarikan tiga ekor kuda.
“Dengar kalian bertiga!” kata Siong Li kepada tiga orang anak buah gerombolan yang mereka tawan. “Kami tidak ingin memusuhi kalian maka tadi kami tidak membunuh kalian. Kami hanya ingin bicara dengan pimpinan kalian. Nah, sekarang bawalah kami bertemu dengan pimpinan Kiu-liong-pang!”
Boan Kit dan dua orang kawannya yang tertawan itu sudah tidak berdaya dan mati kutu. Mereka maklum sepenuhnya bahwa di depan tiga orang ini mereka tidak akan mampu berbuat apa-apa dan masih untung bahwa mereka tidak dibunuh. Mereka mengangguk lalu menjadi penunjuk jalan bagi tiga orang yang mengikuti mereka berjalan ke barat, menyusuri sepanjang pantai Sungai Kiu-liong.
Akan tetapi belum terlalu lama mereka berjalan, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari depan dan tak lama kemudian tampak tiga orang laki-laki menunggang kuda tiba di depan mereka. Siong Li, Ui Kong dan Bwee Hwa mendongkol sekali melihat betapa tiga orang itu menunggang kuda mereka yang dicuri tadi! Akan tetapi sebelum Bwee Hwa melampiaskan kemarahannya, Siong Li sudah memberi isyarat kepadanya agar bersabar dan diam. Pemuda ini lalu melangkah maju, menghadapi tiga orang yang juga sudah berlompatan turun dari atas kuda mereka. Tiga orang anggauta gerombolan yang ditawan itu cepat maju dan memegang kendali tiga ekor kuda yang tadi ditunggangi tiga orang ketua mereka.
Siong Li memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dadanya, lalu bertanya, “Apakah kami berhadapan dengan para pemimpin Kiu-liong-pang?”
Orang yang bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh brewok menjawab dengan suaranya yang besar dan parau sambil menatap wajah Bwee Hwa bagaikan mata seekor srigala melihat seekor domba.
“Benar, kami adalah pimpinan Kiu-liong-pang! Siapakah kalian bertiga yang sudah berani menyiksa anak buah kami?”
“Kami tidak menyiksa. Adalah mereka yang hendak mengganggu kami, terpaksa kami membela diri. Kalau kami berniat buruk, tentu mereka semua telah mati di tangan kami. Ketahuilah, pangcu (ketua), kami hanya ingin bertemu dan membicarakan sesuatu dengan pimpinan Kiu-liong-pang, tidak ingin bermusuhan. Namaku Ong Siong Li dan di dunia kang-ouw dikenal dengan julukan It-kak-liong (Naga Tanduk Satu). Saudara ini bernama Ui Kong, pendekar dari kota Ki-lok dan nona ini adalah Lim Bwee Hwa yang dijuluki Ang-hong-cu (Si Tawon Merah). Kalau boleh kami ketahui, siapakah sam-wi (anda bertiga) ini?”
Siong Li sengaja menyebutkan nama-nama julukan, bukan untuk pamer atau menyombongkan diri, melainkan untuk membuat tiga orang kepala gerombolan itu tidak memandang rendah mereka dan mau diajak bicara baik-baik.
Dan usahanya ini memang berhasil baik. Mendengar nama-nama julukan ini, tiga orang itu saling pandang, lalu si tinggi besar brewok yang usianya sekitar limapuluh lima tahun itu memperkenalkan diri. “Aku disebut Toa-liong, ketua pertama Kiu-liong-pang!”
116
“Aku Ji-liong!” kata orang kedua yang bertubuh gendut pendek dan matanya sipit sekali seperti terpejam.
“Dan aku Sam-liong!” kata orang ketiga yang bertubuh tinggi kurus.
Siong Li tersenyum dan mengangguk-angguk. “Ah, kiranya sam-wi (anda bertiga), Toa-liong (Naga Pertama), Ji-liong (Naga Kedua) dan Sam-liong (Naga Ketiga) yang menjadi pimpinan Kiu-liong-pai? Bagus, memang kami ingin berjumpa dengan sam-wi untuk menanyakan sesuatu, harap sam-wi suka memberi keterangan yang kami butuhkan.”
“Hemm, apa yang hendak kalian tanyakan?” tanya Toa-liong, suaranya tidak ramah, bahkan agak ketus karena dia masih marah mendengar laporan para anak buahnya betapa belasan orang anak buahnya dihajar oleh tiga orang muda ini. Dan sejak tadi, pandang mata Toa-liong tidak pernah lepas dari wajah dan tubuh Bwee Hwa, biarpun dia bicara kepada Siong Li.
Melihat kenyataan ini saja, Bwee Hwa sudah merasa muak dan marah sekali. Ui Kong juga merasa mendongkol melihat betapa si tinggi besar brewokan itu selalu memandang kepada Bwee Hwa dengan pandang mata kagum yang tidak disembunyikan sehingga kelihatan kurang ajar sekali.
Ui Kong yang sudah tidak sabar langsung berkata, “Kami ingin mengetahui di mana adanya Pek-bin Moko tokoh Pek-lian-kauw itu. Harap kalian memberitahu kepada kami!”
Mendengar ucapan Ui Kong yang galak itu, Toa-liong berkata dengan senyum mengejek. “Hemm, kalian sudah tahu sendiri bahwa Pek-bin Moko adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw. Tentu saja dia berada di Pek-lian-kauw dan kami tidak mempunyai urusan dengan Pek-lian-kauw!” Jawaban ini tidak kalah kasarnya dibandingkan ucapan Ui Kong tadi.
Siong Li segera berkata untuk mencegah Ui Kong atau Bwee Hwa bicara dengan marah. “Kami juga mengerti bahwa Pek-bin Moko sebagai seorang tokoh Pek-lian-kauw tentu berada di Pek-lian-kauw, Toa-pangcu. Akan tetapi masalahnya, kami tidak tahu di mana adanya cabang Pek-lian-kauw di Propinsi Hok-kian ini. Karena itulah maka kami mengharapkan keterangan dan petunjuk darimu.”
Tiga orang pimpinan Kiu-liong-pang itu saling pandang dan Ji-liong atau ketua yang kedua, yang bertubuh gemuk pendek itu berkata dengan suaranya yang parau, “Enak saja kalian bertiga ini. Hendak minta keterangan dari kami akan tetapi merobohkan belasan orang anak buah kami!”
“Bukan kesalahan kami!” Bwee Hwa berseru. “Kami sudah memberitahu mereka bahwa kami hendak bertemu dan bicara dengan pimpinan mereka, akan tetapi mereka malah menyerang dan hendak merampok kami!”
“Dan engkau sudah memukul mulut anak buah kami Boan Kit sampai terluka parah!” bentak pula Sam-liong yang tinggi kurus dan bermuka pucat.
“Tentu saja! Habis mulutnya kotor dan busuk menghinaku! Masih untung aku hanya menghancurkan mulutnya bukan kepalanya!” teriak lagi Bwee Hwa.
117
Siong Li segera berkata kepada Toa-liong. “Sudahlah, Toa-pangcu. Yang sudah terjadi itu hanya salah paham yang dimulai oleh belasan orang anak buahmu sendiri. Bahkan mereka telah melarikan tiga ekor kuda kami. Sekarang kami harap engkau suka memberi petunjuk kepada kami agar kami dapat menemukan Pek-bin Moko dan biarlah aku yang memintakan maaf atas peristiwa yang terjadi tadi.”
“Hemm, tidak begitu mudah, It-kak-liong!” kata Toa-liong kepada Siong Li. “Anak buah kami telah kalian robohkan, kami sebagai pimpinan mereka merasa ditantang!”
“Lalu apa yang engkau kehendaki, pangcu?” tanya Siong Li, masih bersikap tenang dan sabar.
“Sekarang diatur begini saja. Kalian tiga orang dan kami pimpinan Kiu-liong-pang juga tiga orang. Mari kita bertanding satu lawan satu. Kalau kami kalah, barulah kami akan bicara tentang Pek-lian-kauw dan mengembalikan tiga ekor kuda kalian. Akan tetapi kalau kami yang menang……” Toa-liong menghentikan kata-katanya dan sepasang matanya memandang kepada Bwee Hwa dengan senyum menyeringai yang artinya dapat diduga dengan jelas.
Bwee Hwa dan dua orang pemuda itu merasa marah sekali, akan tetapi karena niat kotor yang terkandung dalam pandang mata dan senyum ketua pertama Kiu-liong-pang itu tidak diucapkan, merekapun hanya dapat menahan diri.
“Kalau kami yang kalah, lalu apa? Kalau kami kalah tentu saja kami siap untuk minta maaf,” kata Siong Li.
“Hemm…… hemm…… biarlah kami akan tentukan nanti apa yang harus kalian lakukan kalau kalian kalah. Nah, beranikah kalian bertanding melawan kami satu lawan satu?”
Pada saat itu terdengar suara banyak orang dan datanglah berbondong-bondong anak buah Kiu-liong-pang yang kurang lebih limapuluh orang banyaknya. Anak buah yang lain berada terpencar di tempat lain, akan tetapi yang berkumpul di situ sudah cukup banyak. Sikap mereka kasar dan menyeramkan. Akan tetapi BWee Hwa sama sekali tidak menjadi gentar dan ia bahkan menjawab dengan lantang.
“Siapa takut kepada kalian? Aku hanya sangsi apakah kalian benar-benar berani bertanding satu lawan satu, melihat begini banyaknya anak buah kalian berkumpul di sini!” kata Bwee Hwa dengan suara mengejek. “Jangan mengira bahwa kami takut menghadapi puluhan orang anak buah kalian. Akan tetapi perlu kuperingatkan kalian bahwa kalau semua anak buahmu berani mengeroyok kami, sekali ini kami tidak akan memberi ampun lagi dan semua anak buah Kiu-liong-pang akan mati di sini!”
“Hemm, gadis sombong! Kuda betina liar! Lihat saja nanti, aku yang akan menjinakkan kamu!” kata Toa-liong sambil menyeringai.
Sam-liong, ketua ketiga yang tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat itu sudah melompat ke depan dan menantang dengan sikap congkak. “Nah, aku maju pertama, siapa si antara kalian bertiga yang berani menandingiku?”
Ui Kong segera melangkah ke depan menghadapi Sam-liong. Tiga orang pendekar itu memiliki tingkat kepandaian yang hampir seimbang maka siapapun yang maju lebih dulu atau paling akhir sama saja.
“Aku yang akan melayanimu, Sam-liong!” kata pemuda itu dengan sikap tenang.
118
Sam-liong tersenyum dan mukanya yang pucat itu tampak menyeramkan ketika dia tersenyum, seperti mayat tersenyum!
“Bagus! Kalau begitu bersiaplah kamu!” kata Sam-liong dan dia lalu memasang kuda-kuda. Kedua kakinya terpentang lebar, kedua tangannya juga dipentang seperti sayap burung yang terbang, tubuhnya rendah seperti berjongkok.
Melihat lawannya memasang kuda-kuda yang digagah-gagahkan itu, Ui Kong tampak tenang saja, masih berdiri santai dengan kedua tangan tergantung di kanan kiri tubuhnya. Pemuda bertubuh tinggi tegap ini adalah murid seorang sakti dan sudah mempelajari ilmu silat tinggi, maka melihat kuda-kuda yang tampaknya saja gagah akan tetapi sebetulnya memiliki banyak kelemahan itu, dia dapat menilai bahwa ilmu silat orang itupun tidak seberapa hebat, hanya gagah bagian luarnya saja namun tidak “berisi”.
“Mulailah, Sam-liong, aku sudah siap,” kata Ui Kong biarpun dia masih berdiri santai dan tidak memasang kuda-kuda, namun seluruh urat syarafnya siap siaga menghadapi serangan yang bagaimanapun juga.
Melihat pemuda itu berdiri santai tidak memasang kuda-kuda, Sam-liong menilai bahwa pemuda itu belum belajar silat secara mendalam, maka dia memandang rendah.
“Sambut seranganku!” bentaknya dan diapun menyerang, tubuhnya menerjang ke depan dengan kedua tangan membentuk cakar menerkam ke arah Ui Kong, tangan kanan mencengkeram ke arah leher dan tangan kiri mencengkeram ke arah perut. Inilah serangan dengan jurus Leng-mouw-po-ci (Kucing Menerkam Tikus) yang dilakukan dengan cepat dan dengan menggunakan tenaga dalam yang cukup kuat.
Namun bagi Ui Kong serangan itu sama sekali tidak berbahaya. Dia yang memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah tinggi tingkatnya, dapat bergerak lebih cepat daripada gerakan lawan. Maka dengan mudah saja dia mengelak dari serangan itu.
Serangan pertama yang dapat dielakkan lawan dengan mudah itu membuat Sam-liong menjadi penasaran. Dia cepat mengubah gerakannya dan kini menyerang lagi dengan jurus Pek-wan-hian-ko (Lutung Putih Memberi Buah). Tangan kanannya menjadi kepalan dan memukul lurus ke arah ulu hati lawan sedangkan tangan kirinya menyusulkan pukulan berikutnya ke arah pelipis kanan Ui Kong.
Serangan kedua ini cukup berbahaya karena Sam-liong yang merasa penasaran mengerahkan seluruh tenaganya. Ui Kong lalu bergerak dengan ilmu silat Sin-liong-kun (Silat Naga Sakti). Dia menangkis dengan Sin-liong-tian-jiauw (Naga Sakti Mementang Cakar), kedua tangannya bergerak dari dalam keluar, menangkis serangan dua lengan tangan lawan.
“Duk-dukk!” Kedua lengan mereka bertemu dan tubuh Sam-liong terhuyung ke belakang. Hal ini membuat Sam-liong menjadi semakin penasaran dan marah. Dia lalu menghujani Ui Kiong dengan serangan yang nekat dengan gerakan mengamuk seperti orang gila.
Menghadapi serangan bertubi-tubi yang dilakukan dengan kemarahan meluap-luap itu, Ui Kong tetap bersikap tenang. Dengan ginkangnya yang istimewa, tubuhnya berkelebatan dan selalu dapat mengelak dari semua pukulan, tamparan dan tendangan lawan. Ui Kong memang hanya mempermainkan lawan.
119
Dia tahu bahwa dia membutuhkan tiga orang pemimpin Kiu-liong-pang ini, maka dia tidak akan melukai para lawannya, apalagi sampai membunuh.
Setelah merasa cukup lama hanya menyambut serangan lawan dengan tangkisan dan elakan, sampai lewat belasan jurus, tiba-tiba Ui Kong membalas. Setelah mengelak ke kiri, dia membalik dan mendorongkan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka ke arah kedua pundak Sam-liong.
“Mundurlah!” teriaknya dan dengan jurus Sin-liong-tui-in (Naga Sakti Tolak Awan) itu dia mengerahkan tenaganya. Sam-liong berusaha untuk menangkis kedua lengan yang mendorong itu, akan tetapi tetap saja dia terpental ke belakang dan terhuyung-huyung sampai lima langkah! Sudah jelas bahwa dia kalah dalam pertandingan tangan kosong itu, akan tetapi dia tidak mau menerima kekalahan. Malah dia menjadi penasaran dan marah. Dicabutnya senjatanya, yaitu sebatang ruyung besi, semacam penggada yang berduri dan tampak berat dan menyeramkan. Dia memutar ruyung itu di atas kepalanya dan terdengar suara mengiuk nyaring.
Melihat betapa lawannya mengeluarkan sebatang ruyung dan senjata itu tampaknya berbahaya, Ui Kong juga menghunus pedangnya. Dia tersenyum.
“Sam-liong, engkau masih belum menyudahi pertandingan ini dan hendak mempergunakan senjata? Baiklah, kalau engkau belum merasa puas dan hendak melanjutkan pertandingan, silakan maju, aku sudah siap menghadapi senjatamu itu!” kata Ui Kong dengan sikapnya yang masih tenang.
Sam-liong sudah merasa penasaran dan marah sekali, juga malu karena bagaimanapun juga, diakuinya atau tidak, sudah jelas bahwa dalam pertandingan silat tangan kosong tadi dia menderita kekalahan. Maka untuk menebus kekalahannya itu, dia hendak nekat dan menggunakan senjatanya untuk menebus kekalahannya, kalau perlu membunuh lawannya. Maka, mendengar tantangan Ui Kong itu, dia tidak menjawab hanya mukanya yang pucat dan muram itu cemberut dan matanya mengeluarkan sinar berapi.
Kemudian dia melangkah cepat menghampiri Ui Kong dan menerjang seperti seekor serigala yang haus darah. Ruyung yang tadinya diputar-putar di atas kepala itu lalu dipergunakan untuk menyerang. Serangannya ganas bukan main, dengan jurus yang disebut Hek-in-ci-tian (Awan Hitam Keluarkan Kilat). Ruyung itu menyambar ganas dari atas mengarah kepala Ui Kong. Ruyung itu berat dan digerakkan oleh tangan yang mengandung lweekang (tenaga dalam) yang amat kuat sehingga dapat dibayangkan kalau sampai mengenai kepala orang. Permukaannya yang berduri itu tentu akan meremukkan kepala!
Ui Kong juga maklum akan ganasnya serangan ini. Dia menarik tubuhnya ke kiri sehingga ruyung itu lewat bersiut di samping kepalanya. Diapun cepat menggerakkan pedangnya dengan ilmu silat pedang yang bernama Sin-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Sakti) dan memainkan jurus Sin-liong-sia-hui (Naga Sakti Terbang Miring). Pedangnya menyambar dari samping dengan tubuhnya miring dan pedang itu mengancam pergelangan tangan kanan Sam-liong yang memegang ruyung. Sam-liong terkejut bukan main sampai dia mengeluarkan seruan kaget dan cepat memutar pergelangan tangannya sehingga ruyungnya menyambar ke bawah dan menangkis pedang lawan yang mengancam pergelangan tangannya itu.
“Tranggg.......!!” Bunga api berpijar ketika dua senjata itu bertemu dan Ui Kong merasa betapa berat dan kuatnya ruyung itu. Ternyata lawannya menjadi jauh lebih lihai setelah menggunakan senjata ruyungnya. Akan tetapi tentu saja dia tidak menjadi gentar dan cepat dia mainkan pedangnya dengan
120
Sin-liong-kiam-sut yang merupakan ilmu pedang tingkat tinggi. Pedangnya lenyap berubah menjadi gulungan sinar seolah seekor naga sakti yang melayang-layang di udara, menyambar-nyambar dengan cepatnya seperti kilat menyambar. Tubuh pemuda itupun lenyap, hanya kadang-kadang saja tampak kaki tangannya, selebihnya dia hanya seperti bayangan yang terbungkus gulungan sinar pedang.
Menghadapi ilmu pedang yang luar biasa dan jauh lebih tinggi tingkatnya daripada ilmu silat ruyungnya sendiri yang hanya mengandalkan berat senjata ditambah tenaga dalamnya, Sam-liong menjadi bingung. Bagi pandang matanya, lawannya itu seolah berubah menjadi banyak orang yang mengeroyoknya dari empat penjuru!
Tiba-tiba Ui Kong membuat gerakan berputaran sehingga lawannya menjadi pening karena harus mencari dan menduga di mana adanya tubuh lawan dan pada saat Sam-liong kebingungan itu, Ui Kong berseru nyaring.
“Awas pedang!” Tahu-tahu ujung pedang Ui Kong sudah menempel di leher Sam-liong. Ketika Sam-liong hendak menggerakkan ruyungnya menangkis, tangan kiri Ui Kong bergerak memukul dengan bacokan pinggir tangan ke arah pergelangan tangan Sam-liong yang memegang ruyung.
“Dukk.......! Auhhh.......!” Sam-liong berteriak kesakitan dan ruyung itu terlepas dari tangan kanannya yang tiba-tiba terasa nyeri dan lumpuh. Sementara itu, ujung pedang di tangan Ui Kong masih menempel di lehernya.
Betapapun keras kepala dan hati Sam-liong, sekarang mau tidak mau dia harus mengaku kalah. Dia menghela napas panjang dan melangkah mundur. Ketika melihat betapa Ui Kong tidak mengejarnya, bahkan menarik kembali pedangnya dan memasukkan pedang ke sarung pedangnya, Sam-liong lalu kembali ke dekat dua orang rekannya.
Melihat betapa Sam-liong sudah kalah, Ji-liong yang merasa penasaran lalu melompat ke depan. Tingkat ilmu silatnya tentu saja lebih tinggi daripada tingkat Sam-liong dan orang yang bertubuh gemuk pendek bermata sipit dan berusia limapuluh dua tahun ini terkenal lihai sekali memainkan siang-to (sepasang golok). Sepasang goloknya itu tipis dan panjang, ringan dan tajam sekali.
Melihat kekalahan Sam-liong, Ji-liong berpikir cerdik. Dia tahu bahwa dia dan dua orang rekannya kurang pandai bersilat tangan kosong dan selalu mengandalkan senjata. Kalau dia harus bertanding tangan kosong, sukar baginya untuk menang. Akan tetapi kalau dia mengandalkan sepasang goloknya yang biasanya dia banggakan dan selama ini belum terkalahkan, hatinya menjadi besar dan banyak kemungkinan dia akan dapat mengalahkan lawannya.
“Nah, aku Ji-liong, ketua kedua Kiu-liong-pang sekarang maju. Seorang di antara kalian boleh maju menandingi aku!” katanya dan dia menggerakkan kedua tangannya ke punggung. Tampak dua sinar berkelebat dan kedua tangannya sudah memegang golok yang berkilau saking tajamnya.
Siong Li memandang kepada Bwee Hwa untuk menawarkan kalau-kalau Bwee Hwa ingin menandingi orang kedua dari Kiu-liong-pang ini agar nanti ketua pertamanya yang tentu paling lihai itu dia yang akan menandinginya. Akan tetapi Bwee Hwa yang marah terhadap Toa-liong, berkata, “Biar engkau saja yang menghadapinya, Li-ko.”
121
Siong Li tersenyum. Dia sudah mengenal benar watak gadis yang berhati baja ini, maka dia berkata lirih, “Asal engkau ingat dan tidak sampai membunuh orang, Hwa-moi.”
“Aku tahu!” jawab Bwee Hwa singkat.
Siong Li lalu maju menghadapi Ji-liong dan dia melihat Toa-liong menyeringai, agaknya senang karena dia mendapatkan lawan Bwee Hwa! Akan tetapi Siong Li tidak memperdulikannya. Dia percaya penuh akan kemampuan gadis itu. Tidak jauh bedanya apakah dia yang maju melawan Toa-liong, ataukah Bwee Hwa. Hanya dia khawatir kalau-kalau Bwee Hwa tidak dapat menahan diri dan membunuh ketua Kiu-liong-pang itu. Setelah berhadapan dengan Ji-liong yang telah memegang kedua goloknya, disilangkan di depan dada, dia lalu mencabut pula pedangnya.
“Ji-liong, aku sudah siap. Mulai dan seranglah!” katanya menantang.
Ji-liong tidak bersikap sungkan lagi. Dia lalu mengambil sikap dan memasang kuda-kuda. Tubuhnya yang sudah pendek itu menjadi lebih pendek lagi ketika dia menekuk kedua lututnya sehingga karena kedua kakinya memang pendek, pantatnya hampir menyentuh tanah. Kedua tangan digerakkan dan sepasang golok itu diputar di atas kepalanya, lalu berhenti bergerak dengan sepasang golok bersilang di depan, menunjuk ke atas.
Kemudian, dia mengeluarkan teriakan panjang dan tubuhnya yang gendut pendek sehingga tampak bulat itu seolah menggelinding ke depan dan dia sudah menerjang Siong Li dengan sepasang goloknya melakukan serangan kilat. Golok tangan kiri membacok ke arah leher, disusul golok di tangan kanan membabat ke arah kaki lawan. Jurus serangan ini dalam Ilmu golok yang dikuasai Ji-liong disebut Siang-kwi-jio-beng (Sepasang Setan Berebut Nyawa)! Memang hebat dan berbahaya sekali. Serangan golok ke arah leher itu membuat perhatian lawan tertuju ke atas, tidak tahunya yang amat berbahaya adalah serangan susulan lain golok yang membabat ke arah kedua kaki!
Namun, Siong Li adalah seorang pendekar yang sudah berpengalaman dan sering bertanding melawan tokoh-tokoh sesat yang memiliki ilmu silat yang ganas, curang dan penuh tipu muslihat. Karena itu, menghadapi Ji-liong dia sudah waspada. Maka, ketika serangan ke arah lehernya dilakukan lawan, dia tidak lengah dan dapat melihat gerakan kedua yang merupakan serangan susulan dan juga merupakan serangan inti. Maka, ketika golok menyambar ke arah lehernya, dengan tenang dia menangkis dengan pedangnya.
“Tranggg......!!” Ketika golok kedua membabat kaki, dia melompat dan sambil melompat itu, pedang yang tadi menangkis golok sudah dikelebatkan mengancam ke arah ubun-ubun kepala si pendek gendut!
“Hehh!” Ji-liong terkejut dan cepat melompat ke belakang. Lawan yang diserang dengan sepasang goloknya itu bukan hanya dapat menghindarkan diri, malah berbalik mengirim serangan balasan kontan yang tidak kalah dahsyatnya!
Ji-liong lalu menerjang lagi, memainkan sepasang goloknya dengan cepat dan kuat sekali. Tampak dua gulungan sinar golok menyambar-nyambar. Siong Li meimbangi sepasang golok lawan dengan Thai-san Kiam-sut (Ilmu Pedang Aliran Thai-san-pai) yang cepat dan indah gerakannya.
Dua orang itu lalu bertanding dan tampaknya memang ramai dan seru sekali. Gulungan sinar pedang beradu dan saling dorong, saling belit melawan dua gulungan sinar golok. Bagi para anak buah Kiu-liong-
122
pang tampaknya pertandingan itu seru sekali dan mereka tidak tahu siapa yang lebih unggul di antara kedua orang itu. Akan tetapi, Toa-liong, Sam-liong, Bwee Hwa dan Ui Kong dapat melihat dengan jelas bahwa sesungguhnya, perlahan-lahan sinar pedang itu mulai mendesak dan menindih dua sinar golok yang makin lama menjadi semakin sempit gulungan sinarnya. Sebaliknya sinar pedang itu semakin luas, menyambar-nyambar dengan dahsyat.
Ji-liong mulai menjadi bingung. Tadi dia masih dapat mengamuk dengan sepasang goloknya. Akan tetapi perlahan-lahan, gerakan sepasang goloknya selalu bertemu sinar pedang yang amat kuat dan selalu membuat sepasang goloknya terpental. Akhirnya, dia hanya mampu menangkis dengan kedua batang goloknya, hanya mampu memutar sepasang goloknya untuk melindungi dirinya dari ancaman pedang. Inipun tidak banyak menolong. Sinar pedang itu masih terus mengancamnya sehingga terpaksa dia harus mundur dan terus mundur karena terdesak dan tertekan.
Siong Li mendesak terus dengan pedangnya. Kalau dia mau, tentu saja dia dapat merobohkan lawannya. Akan tetapi untuk dapat melakukan hal itu, dia harus menyerang dengan jurus maut. Padahal dia tidak mau membuat Ji-liong terluka parah, apalagi sampai terbunuh. Dia mencari kesempatan baik untuk dapat mengalahkan pemimpin kedua dari Kiu-liong-pang itu tanpa harus melukai dengan parah.
Akhirnya, kesempatan yang dinanti-nantikan itu tiba. Ketika dia menyerang dengan bacokan pedangnya dan ditangkis oleh golok di tangan kiri Ji-liong, dia sengaja mengerahkan seluruh tenaga pada bacokan itu.
“Trangggg……!” Ji-liong terkejut dan tidak dapat mempertahankan goloknya yang sebelah kiri. Ketika dia menangkis pedang itu, dan goloknya beradu dengan kuatnya dengan pedang, dia merasa betapa lengan kirinya tergetar hebat dan jari-jari tangannya tidak mampu lagi menahan pegangan goloknya. Golok yang kiri itu terlempar jauh dan pada saat dia terkejut sekali, tiba-tiba kaki Siong Li mencuat dengan amat kuatnya, tepat menendang tangan kanannya yang memegang golok. Rasa nyeri yang hebat membuat tangan itu terpaksa melepaskan golok kedua itu dan tiba-tiba ujung pedang di tangan Siong Li telah menodong dadanya!
Si gemuk pendek ini tak mampu berbuat atau berkata sesuatu. Matanya menjadi semakin sipit seperti terpejam dan mulutnya menyeringai, tersenyum masam. Lenyap semua kesombongannya dan dia hanya dapat berha-ha-ha-he-he lalu mundur mendekati dua orang rekannya. Siong Li juga tidak mengejar dan menyimpan kembali pedangnya.
Siong Li lalu berkata kepada ketua pertama gerombolan itu.
“Toa-liong, di pihakmu, dua orang telah kami kalahkan, berarti pihakmu telah kalah dan pertandingan ketiga tidak perlu diadakan lagi. Andaikata engkau menang sekalipun, tetap saja pihakmu menderita kalah, dua lawan satu.” Siong Li memang ingin mencegah Bwee Hwa bertempur mengingat akan keganasan gadis itu.
“Hemm, tidak bisa begitu!” kata Toa-liong dengan suaranya yang berat dan parau. “Aku harus bertanding dengan nona ini, dengan Ang-hong-cu (Si Tawon Merah). Kalau aku kalah, ha-ha-ha!” Dia tertawa, seolah merasa geli mendengar dia akan kalah melawan gadis muda yang tampaknya masih remaja itu. “Kalau aku kalah, tentu saja kami akan menceritakan apa yang kami ketahui tentang Pek-lian-kauw menurut perjanjian. Akan tetapi kalau aku menang……” Dia menghentikan kata-katanya.
123
“Kalau engkau menang, tetap saja pihakmu kalah!” kata Ui Kong.
“Tidak bisa!” bantah Toa-liong. “Kalau dalam pertandingan antara aku dan Si Tawon Merah ini aku yang menang, maka aku akan menantang kalian berdua agar maju satu demi satu melawanku. Kalau aku dapat mengalahkan kalian berdua pula, berarti pihakku yang menang dan akulah yang berhak menentukan apa yang selanjutnya kita lakukan!”
“Baik, kami terima aturan itu. Sudah, jangan banyak cakap lagi, mari kita bertanding!” bentak Bwee Hwa.
“Ha-ha-ha, nanti dulu, Ang-hong-cu,” kata Toa-liong yang agaknya memang sengaja hendak memancing kemarahan tiga orang pendekar itu karena kemarahan membuat orang menjadi lengah. Ketua pertama ini memang seorang yang licik dan banyak pengalaman karena dalam usianya yang sudah limapuluh lima tahun sudah banyak dia malang melintang di dunia kang-ouw (sungai telaga, persilatan). “Aku belum menjelaskan, Ang-hong-cu. Kalau aku yang dapat mengalahkan kalian bertiga satu demi satu, maka kalian bertiga harus menerima hukuman karena kalian bertiga sudah berani merobohkan belasan orang anak buahku. It-kak-liong dan Pendekar Ki-lok ini harus berlutut minta maaf kepada kami, menyerahkan kuda dan barang-barang kalian, sedangkan engkau, Ang-hong-cu, engkau harus menjadi tamuku selama tiga hari tiga malam, ha-ha-ha!”
Merah wajah Bwee Hwa mendengar ucapan yang bukan saja amat sombong, akan tetapi juga menghinanya karena sudah jelas bahwa dalam ucapannya yang mengharuskan ia menjadi tamu selama tiga hari tiga malam itu mengandung maksud yang kotor dan rendah!
“Jahanam keparat engkau, Toa-liong! Tutup mulutmu yang busuk dan mari kita mulai bertanding!” bentak Bwee Hwa dan tidak seperti dua orang temannya yang tadi bersikap tenang dan sabar, gadis ini sudah mencabut pedang pusaka Sin-hong-kiam dan begitu dicabut, saking cepat dan kuatnya, pedang yang berada di tangannya itu tergetar dan mengeluarkan suara berdengung seperti tawon terbang!
“Ingat, Hwa-moi, jangan bunuh orang!” kata Siong Li.
Tanpa menoleh kepada Siong Li, Bwee Hwa menjawab pendek dan ketus. “Anjing ini tidak perlu dibunuh, hanya harus diberi hajaran agar mulutnya tidak menggonggong terus!”
Siong Li menghela napas panjang dan saling pandang dengan Ui Kong. Tanpa bicara kedua orang pendekar ini sudah sepakat, yaitu, bahwa mereka akan menjaga dan mencegah kalau Bwee Hwa akan membunuh Toa-liong. Terbunuhnya ketua Kiu-liong-pang itu mungkin saja akan membuat dua orang ketua lainnya menutup mulut dan tidak mau bercerita tentang Pek-lian-kauw.
Sementara itu, melihat Bwee Hwa bermuka merah dan sikapnya menunjukkan bahwa gadis itu marah besar, Toa-liong tertawa. Itulah yang dia kehendaki. Memang ketua ini terlalu mengandalkan kepandaian sendiri dan memandang rendah seorang lawan yang hanya seorang gadis muda remaja. Apalagi yang dalam keadaan marah seperti itu, tentu akan mudah dia kalahkan. Diapun menghunus sebatang pedang yang panjang dan besar lagi tajam berkilauan.
“Lihat serangan pedangku!” Bwee Hwa membentak dan ia yang mendahului mengirim serangan kilat. Pedangnya membentuk sinar yang panjang dan mengeluarkan bunyi berdengung-dengung. Toa-liong terkejut juga, akan tetapi dia juga sudah menggerakkan pedangnya yang panjang dan berat, menangkis
124
sambil mengerahkan tenaga dalamnya untuk mematahkan pedang lawan atau setidaknya untuk membuat pedang gadis itu terlepas dari pegangannya.
“Tranggg……!” Bunga api berpijar, akan tetapi dengan kaget Toa-liong melihat betapa pedang lawan itu tidak terlepas, bahkan pedang yang kecil dibandingkan pedangnya yang panjang besar itu demikian kuatnya sehingga membuat telapak tangannya yang memegang gagang pedang tergetar dan panas ketika pedang mereka saling beradu.
Setelah Toa-liong membalas serangan Bwee Hwa dan, mencoba untuk mendesak gadis itu, namun semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkis Bwee Hwa, ketua pertama Kiu-liong-pang itu menjadi penasaran dan marah. Akan tetapi kini diapun tidak berani meremehkan lawannya lagi, maklum bahwa gadis itu ternyata memang lihai bukan main.
Lenyaplah gairah berahinya, kalau tadinya dia hendak menundukkan gadis itu dengan ilmu pedangnya dan tidak ingin melukainya karena dia ingin mendapatkan gadis yang cantik denok itu, kini mulailah dia menyerang dengan sepenuh tenaganya dan mengeluarkan semua jurusnya yang paling ampuh. Kini dia bermaksud merobohkan gadis itu, tidak perduli bahwa pedangnya akan dapat mendatangkan luka parah. Kalau perlu dia akan membunuh gadis yang berbahaya itu.
Bwee Hwa juga merasakan betapa lawannya kini mengamuk dengan sekuat tenaga. Iapun mengimbangi ilmu pedang lawan yang cukup berbahaya itu dengan Ilmu Pedang Tawon Sakti. Karena maklum bahwa ilmu pedang Toa-liong itu jauh lebih berbahaya dibandingkan kedua orang ketua yang lain, maka Bwee Hwa juga mengerahkan seluruh tenaga dan memainkan pedangnya dengan cepat. Pedangnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan terdengarlah bunyi berdengung-dengung seperti ada ratusan ekor tawon yang beterbangan dan menyambar ke arah Toa-liong.
Pertandingan antara Toa-liong dan Bwee Hwa ini paling seru dan ramai di antara pertandingan melawan dua orang ketua yang lain tadi. Toa-liong memang lebih lihai dibandingkan kedua orang rekannya. Akan tetapi kini dia berhadapan dengan Si Tawon Merah yang amat lihai. Setelah mati-matian melawan sampai tigapuluh jurus lebih, perlahan-lahan Bwee Hwa mulai dapat mendesak lawannya.
Toa-liong menjadi semakin penasaran. Sukar baginya untuk dapat percaya bahwa gadis muda yang tampaknya masih remaja ini mampu mendesaknya! Dia, ketua Kiu-liong-pang yang ditakuti, yang telah berusia limapuluh lima tahun dan sudah tigapuluh tahun malang melintang di dunia kang-ouw, sudah banyak pengalaman, kini harus kalah melawan seorang perempuan, masih muda remaja lagi, masih hijau dan patutnya hanya menjadi muridnya atau anaknya?
Tiba-tiba Toa-liong mengeluarkan teriakan seperti seekor biruang marah dan tangan kirinya yang besar itu dengan telapak tangan terbuka mendorong ke arah dada Bwee Hwa, pada saat pedangnya untuk ke sekian kalinya beradu dengan pedang Bwee Hwa.
“Tranggg…… wuuuutttt……!!” Pukulan jarak jauh dengan tangan kiri yang mengandung sin-kang (tenaga dalam) kuat itu mendatangkan angin menyambar ke arah dada Bwee Hwa.
Gadis ini maklum akan kehebatan serangan tangan kiri itu. Akan tetapi ia sama sekali tidak merasa gentar. Bukannya mengelak, Bwee Hwa malah menyambut pukulan tangan kiri lawan itu dengan tangan kirinya pula sambil mengerahkan ilmu Liap-kang Pek-ko-jiu yang dapat mengeraskan tangan, juga yang mengandung tenaga dahsyat.
125
“Dessss……!” Tangan Bwee Hwa yang lunak, mungil dan indah itu bertemu dengan telapak tangan Toa-liong dan akibatnya, Bwee Hwa terdorong mundur dua langkah, akan tetapi Toa-liong terhuyung-huyung ke belakang. Selagi dia mengatur keseimbangan tubuhnya yang hampir jatuh terjengkang, Bwee Hwa sudah bergerak cepat sekali. Pedangnya menyambar-nyambar. Toa-liong tidak mampu melindungi dirinya dengan baik.
“Srattt……!” Seperti kilat menyambar pedang itu berkelebat di depan muka Toa-liong. Begitu tajam ujung pedang Sin-hong-kiam dan begitu cepat gerakan tangan Bwee Hwa sehingga Toa-liong sendiri tidak menyadari apa yang telah terjadi dengannya.
Tiba-tiba saja kaki Bwee Hwa sudah menendang tangannya yang memegang pedang dan pedangnya terlepas dari tangan dan terlempar jauh, sedangkan semua orang memandang kepadanya dengan mata terbelalak. Ada darah di kanan kiri mulutnya. Ketika merasakan perih-perih pada mulutnya, Toa-liong meraba mulutnya dan baru dia tahu bahwa mulutnya terluka ketika melihat tangannya berdarah. Tepi mulutnya, kanan kiri, telah terobek ujung pedang sehingga mulutnya bertambah lebar. Ketika dia hendak mengeluarkan suara, baru terasa betapa mulutnya perih dan nyeri dan dia lalu menutupi mulutnya dengan kedua tangan!
Siong Li dan Ui Kong terkejut, akan tetapi hati mereka lega ketika Toa-liong tidak roboh dan ternyata hanya luka ringan, ujung bibirnya kanan kiri dirobek ujung pedang!
Toa-liong memberi isyarat dengan tangan kepada anak buahnya untuk mengeroyok. Akan tetapi tiga orang pendekar muda itu sudah berloncatan dan pedang mereka sudah ditodongkan ke dada tiga orang ketua itu. Siong Li membentak kepada anak buah Kiu-liong-pang yang sudah mengepung tempat itu. Limapuluh orang lebih itu sudah mencabut senjata, siap mengeroyok!
“Semua mundur atau kami akan membunuh tiga orang pimpinan kalian kemudian membasmi kalian sampai tidak ada seorangpun dapat lolos!”
Gertakan ini manjur. Melihat betapa tiga orang pimpinan mereka sudah ditodong dan menyadari betapa lihainya tiga orang muda itu, para anak buah Kiu-liong-pang menjadi bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Mereka memandang ke arah tiga orang pimpinan mereka, tidak berani sembarangan bergerak.
“Kalian mundur semua! Tolol! Hayo mundur!” teriak Ji-liong dan Sam-liong karena Toa-liong tidak mampu bersuara dengan mulutnya yang robek itu. Mereka berdua merasa betapa ujung pedang yang menodong mereka itu telah menembus baju dan ujungnya yang runcing terasa menempel di kulit dada mereka. Karena maklum bahwa nyawa mereka terancam, maka mereka menjadi ketakutan dan cepat membentak para anak buah agar mundur. Mendengar bentakan dua orang pimpinan itu, puluhan anak buah Kiu-liong-pang segera mundur.
“Nah, Ji-liong dan Sam-liong, kalian telah kalah semua dan harus memenuhi janji. Karena Toa-liong tidak dapat bicara, maka kalian berdua harus mewakilinya. Cepat katakan di mana adanya Pek-bin Moko dan di mana pula cabang Pek-lian-kauw di daerah ini!” kata Siong Li.
“Sam-liong, engkau wakililah kami,” kata Ji-liong setelah memandang kepada Toa-liong dan ketua pertama ini masih menutupi mulutnya dengan kedua tangan, mengangguk.
126
“Sesungguhnya kami tidak mempunyai hubungan dengan Pek-lian-kauw dan tidak mengenal tokohnya yang berjuluk Pek-bin Moko,” kata Ji-liong.
“Itu tidak perlu. Katakan saja di mana sarang cabang Pek-lian-kauw di daerah ini,” kata pula Siong Li, dan Ui Kiong menekankan pedangnya ke dada Sam-liong sehingga orang tinggi kurus bermuka pucat ini menyeringai kesakitan.
“Cepat katakan!” bentak Ui Kong.
“Baiklah, Pek-lian-kauw mempunyai cabang yang bersarang di puncak Bukit Siong di sebelah utara itu!” kata Sam-liong sambil menuding ke arah sebuah bukit yang tampak dari situ.
“Katakan, siapa pemimpin mereka dan berapa banyak jumlah anak buah mereka!” kata pula Siong Li.
“Kami hanya tahu bahwa pimpinan mereka terdiri dari tiga orang yang berjuluk Ang-bin Moko (Iblis Muka Merah), Hek-bin Moko (Iblis Muka Hitam) dan Pek-bin Moko (Iblis Muka Putih). Akan tetapi kami tidak mengenal mereka. Ada pun berapa jumlah anak buah mereka, kami tidak tahu, hanya kabarnya anak buah mereka tidak banyak akan tetapi ilmu kepandaian para pimpinan itu tinggi sekali,” kata pula Sam-liong.
Tentu saja tiga orang pendekar muda itu tidak merasa gentar, bahkan mereka telah menewaskan Hek-bin Moko. Sambil memandang ke arah bukit yang ditunjuk itu, sebuah bukit yang tidak berapa tinggi dan bukit itu tampak menghijau, tentu banyak hutan dan pohon Siong di sana, Siong Li berkata dengan suara lantang.
“Baik, aku percaya akan keterangan kalian. Akan tetapi awas, kalau ternyata kalian berbohong, kami akan mencari kalian dan tidak akan memberi ampun! Sekarang, hayo kembalikan tiga ekor kuda kami berikut semua barang yang berada di atas kuda! Awas, kami tidak akan mengampuni kalau ada sebuahpun barang kami dicuri. Cepat!”
“Cepat taati perintah itu dan kembalikan kuda dan barang-barang mereka!” bentak Ji-liong kepada anak buah mereka.
Bergegas para anak buah itu menuntun tiga ekor kuda yang tadi mereka rampas. Juga semua barang mereka kembalikan ke atas sela kuda.
“Coba periksa isinya, Hwa-moi dan Kong-te.”
Ui Kong dan Bwee Hwa lalu saling pandang dan seperti telah mengerti maksud masing-masing mereka bergerak cepat menotok dan Toa-liong roboh terkulai, berbareng dengan Sam-liong yang juga roboh terkulai karena tertotok jalan darah mereka. Setelah membuat dua orang ketua ini tidak berdaya, Ui Kong dan Bwee Hwa menghampiri kuda mereka dan memeriksa. Ternyata buntalan pakaian mereka masih utuh, juga kantung uang yang dibawa Ui Kong sebagai bekal. Mereka lalu mengangguk kepada Siong Li dan cepat sekali Siong Li juga bergerak menotok Ji-liong yang roboh terkulai pula. Tiga orang ketua itu tertotok roboh dan tak mampu bergerak.
127
Siong Li berteriak kepada para anggauta Kiu-liong-pang. “Para pimpinan kalian kami robohkan dan sebelum lewat satu jam, mereka tidak akan dapat bergerak. Awas, jangan ada yang menghalangi kami pergi dari sini!”
Setelah Siong Li berkata demikian, tiga orang pendekar muda itu lalu melompat ke atas punggung kuda masing-masing dan segera melarikan kuda ke arah utara di mana tampak bukit yang diceritakan Sam-liong sebagai sarang cabang Pek-lian-kauw, yaitu Bukit Siong.
Apa yang pernah diceritakan oleh Ong Siong Li tentang Leng-hong Hoatsu memang benar. Leng-hong Hoatsu adalah seorang pertapa yang datang dari Himalaya, seorang peranakan dari ayah bangsa Han dan ibu bangsa India. Sejak muda dia mengasingkan diri di Himalaya, bertemu dengan orang-orang sakti, pertapa-pertapa yang tinggi ilmunya dan dia memang suka sekali mempelajari ilmu kesaktian sehingga akhirnya dia menjadi seorang tua yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Dia merantau ke timur, ke daratan Cina dan mengajarkan Agama Buddha bercampur Agama Hindu. Dia menasihati rakyat agar hidup jalan kebenaran karena jalan itulah yang membawa kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan selama hidup di dunia. Dia juga selalu mengulurkan tangan menolong mereka yang terserang penyakit karena di samping ilmu silat dan ilmu sihir, Leng-hong Hoatsu juga mahir ilmu pengobatan.
Pertapa sakti ini mempunyai peliharaan, seekor ular yang aneh. Di kanan kiri bawah leher, ular itu memiliki tonjolan yang dapat mekar seperti sayap sehingga ular itu disebut Hwee-coa (Ular Terbang). Sesungguhnya bukan terbang, melainkan melompat dari pohon ke pohon dan ketika melompat, tonjolan di kanan kiri itu berkembang sehingga ular itu dapat melayang.
Akan tetapi, pada waktu itu, rakyat, terutama di dusun-dusun, masih amat tahyul. Mereka mulai menyembah ular itu yang mereka anggap seekor ular sakti penjelmaan dewa dan mereka bahkan lebih menghormati ular itu daripada Leng-hong Hoatsu sendiri. Kakek pertapa itu berusaha untuk membantah. Namun, ketahyulan yang sudah mencengkeram hati dan pikiran manusia memang sukar sekali untuk dihilangkan. Akhirnya Leng-hong Hoatsu kembali ke barat karena dia tidak ingin ular peliharaannya dipuja-puja orang.
Kakek sakti ini mempunyai dua orang murid. Yang pertama bernama Sie Bun Sam, pada saat kisah ini terjadi, telah berusia duapuluh lima tahun. Sie Bun Sam adalah seorang pemuda yatim piatu dan telah menjadi murid Leng-hong Hoatsu sejak dia berusia lima tahun dan hidup sebatang kara dan terlantar karena ayah bundanya mati karena wabah yang mengamuk di desanya, di daerah Sin-kiang. Sie Bun Sam berwajah sederhana saja, seperti pemuda dusun kebanyakan, tidak buruk akan tetapi juga tidak terlalu tampan.
Namun ada sesuatu yang amat menarik pada wajahnya, yang membuat orang yang bertemu dengannya timbul rasa suka. Mungkin mulutnya yang selalu dihias senyum, dan matanya yang bersinar lembut penuh pengertian dan kesabaran itu. Tubuhnya sedang saja, tidak membayangkan bahwa pemuda ini adalah seorang yang sakti dan lihai sekali. Pakaiannya juga sederhana namun bersih.
Kesukaannya memakai sebuah caping lebar yang melindungi mukanya dan kepalanya dari sengatan matahari dan guyuran air hujan. Dia juga tidak membawa senjata apapun, namun kalau berada di tangannya, benda apapun dapat dijadikan senjata yang ampuh! Sie Bun Sam, seorang pemuda yang
128
berbudi luhur, setia dan berbakti kepada gurunya, maka Leng-hong Hoatsu amat sayang kepada murid ini.
Selain Sie Bun Sam, Leng-hong Hong masih mempunyai seorang murid lain, bernama Thio Kam Ki. Sebetulnya, Leng-hong Hoatsu yang bermata tajam dan peka perasaannya itu tidak begitu suka kepada anak ini, akan tetapi karena Thio Kam Ki juga ditemukan sebagai seorang anak berusia tiga tahun yang sebatang kara dan terlantar, dia merasa kasihan dan membawa anak ini ke pondoknya.
Pada saat sekarang, Thio Kam Ki berusia duapuluh tiga tahun. Dia memiliki tubuh sedang dan wajahnya tampan dan pasti akan menarik perhatian banyak wanita. Berbeda dengan Sie Bun Sam suhengnya (kakak seperguruannya) yang sederhana, sebaliknya Thio Kam Ki ini sejak kecil suka akan kemewahan. Dia suka iri hati dan pandai mengambil hati dengan sikap yang manis buatan. Karena sifat-sifat ini maka Leng-hong Hoatsu lebih sayang kepada Sie Bun Sam dan dia mengajarkan lebih banyak ilmu kepada murid pertamanya itu. Diam-diam Thio Kam Ki tahu ini dan dia merasa iri hati kepada suhengnya.
Tanpa setahu guru dan suhengnya, diam-diam ketika dia berusia duapuluh tahun, dia berguru kepada seorang pendeta aliran sesat yang juga bertapa di Pegunungan Himalaya, tidak begitu jauh dari tempat pertapaan Leng-hong Hoatsu. Dengan jalan sembunyi-sembunyi, selama dua tahun Thio Kam Ki mempelajari beberapa ilmu silat dan sihir yang sesat dari pertapa aliran sesat itu.
Pendeta itu berjuluk Hwa Hwa Cinjin yang mengajarkan ilmu sihir aliran sesat yang biasa disebut sihir hitam. Setelah menjadi guru secara rahasia dari Thio Kam Ki selama dua tahun, Hwa Hwa Cinjin meninggalkan tempat pertapaannya di Himalaya. Hal ini terjadi setahun yang lalu dan ketika itu Kam Ki berusia duapuluh dua tahun.
Kam Ki kini merasa bahwa dirinya sudah memiliki ilmu yang amat tangguh. Biarpun tadinya dia merasa iri hati kepada Sie Bun Sam karena guru mereka, Leng-hong Hoatsu mengajarkan ilmu yang lebih banyak kepada suhengnya itu, namun setelah selama dua tahun menimba ilmu dari Hwa Hwa Cinjin, Kam Ki merasa bahwa kini dia tidak akan kalah oleh suhengnya.
Pada suatu sore, seperti biasa setelah menyelesaikan semua tugas pekerjaan mereka seperti membersihkan rumah dan pekarangan tempat tinggal guru mereka, mengumpulkan dan memotongi kayu bakar, mengangkut air dari sumber dan memenuhi semua kolam kamar mandi, mempersiapkan makan malam untuk Leng-hong Hoatsu dan mereka sendiri, kedua orang kakak beradik seperguruan itu berada di kebun belakang pondok guru mereka. Biasanya, sebelum mereka mandi, mereka akan lebih dulu berlatih silat untuk menyegarkan tubuh. Bun Sam sudah duduk di atas bangku di kebun itu ketika sutenya, Kam Ki, datang menghampirinya.
“Suheng.......!” Kam Ki menegur sambil tersenyum akrab.
“Eh, sute. Apakah engkau sudah membersihkan kamar samadhi suhu? Hari ini giliranmu membersihkannya, ingat?”
Sambil tersenyum lebar Kam Ki berkata, “Jangan khawatir, suheng! Tentu saja aku ingat dan aku sudah membersihkannya dengan rapi!”
“Bagus! Eh, sute, sudah beberapa lama ini aku sering melihat engkau malam-malam meninggalkan pondok. Pergi ke mana saja sih engkau?”
129
“Ah, aku mencari tempat yang sunyi untuk berlatih dengan tekun, suheng. Juga aku perlu tempat sunyi dan dingin untuk menghimpun hawa murni dan memperkuat tenaga sakti. Selama ini aku memperoleh banyak kemajuan, suheng. Maukah engkau melayani aku berlatih sore ini? Hitung-hitung engkau memberi petunjuk kepadaku agar aku dapat memperbaiki kekuranganku.”
Bun Sam tersenyum. Memang sudah lama sekali dia tidak pernah latihan ber-sama sutenya ini karena dahulu, kalau mereka berdua latihan, tingkat kepandaian adik seperguruannya ini masih jauh di bawahnya. Sekarangpun dia merasa yakin bahwa sutenya ini bukan lawan seimbang. Akan tetapi untuk menyenangkan hati sutenya, dia mengangguk.
“Baiklah, sute. Mari kita latihan bersama.”
Mereka berdua segera mulai latihan dengan ilmu silat yang diajarkan oleh Leng-hong Hoatsu, yaitu Hwe-coa-sin-kun (Silat Sakti Ular Terbang). Mereka berdua sudah mempelajari ilmu silat yang amat hebat ini. Kedua lengan mereka bergerak seperti ular, meliuk-liuk dan selain cepat gerakannya dan tidak mudah diikuti lawan karena perubahan-perubahannya yang aneh, juga mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat. Karena Bun Sam maklum bahwa tenaga sutenya tidak seimbang dengan tenaganya, maka dia hanya mengeluarkan sebagian tenaganya saja, membatasi gerakannya dan sesekali kalau sutenya membuat gerakan atau jurus yang kurang sempurna, dia memberi tahu.
Mereka saling serang sampai puluhan jurus dan tidak kurang dari sepuluh kali Bun Sam menunjukkan kesalahan atau ketidaksempurnaan gerakan sutenya. Akhirnya Bun Sam merasa cukup dan begitu dia mempercepat gerakannya, dia berhasil mendorong pundak sutenya sehingga tubuh Thio Kam Ki terdorong ke belakang dan dia harus membuat salto sampai tiga kali ke belakang agar tidak terjengkang. Akan tetapi dia tidak terluka karena memang Bun Sam tadi membatasi tenaganya.
“Cukup, sute. Engkau memang telah memperoleh kemajuan pesat!” kata Bun Sam untuk menyenangkan dan memberi semangat kepada Kam Ki.
Wajah Kam Ki berubah pucat lalu kemerahan. Namun dia tersenyum dan tidak merasa kecewa. Mereka tadi berlatih menggunakan ilmu silat yang sama. Kalau dia kalah matang, gerakannya kalah gesit maka hal itu tidaklah mengherankan. Sekaranglah tiba saatnya untuk memberi hajaran kepada suhengnya yang telah lama mulai dibencinya karena perasaan iri hati yang memenuhi hatinya. Bagaimanapun juga, kalau dia bertanding melawan suhengnya mempergunakan ilmu silat, pasti dia akan kalah.
“Terima kasih, suheng. Akan tetapi aku masih ingin menguji sampai di mana kemajuanku dalam hal tenaga dalam. Karena itu, sambutlah seranganku ini, suheng!”
Bun Sam hendak menolak untuk mengadu tenaga sakti, akan tetapi sutenya telah memasang kuda-kuda dan menggerakkan kedua lengan untuk melancarkan pukulan jarak jauh dengan dorongan tenaga sakti. Maka, terpaksa dia harus menyambut, selain untuk melindungi dirinya, juga untuk mengukur sampai di mana kekuatan tenaga sakti sutenya agar dia mengetahui kemajuannya. Biasanya, dia dapat mengukur kekuatan tenaga sakti sutenya itu sekitar setengah ukuran tenaganya sendiri. Maka, karena mengira bahwa tenaga sakti sutenya mungkin sudah agak naik kekuatannya, dia menambah sedikit tenaganya, menggunakan tiga perempat bagian tenaganya dan mendorongkan kedua tangan ke depan menyambut serangan sutenya.
130
Tentu saja dia menggunakan tenaganya untuk menahan saja, bukan untuk menyerang. Dengan demikian, maka dia akan memenangkan adu tenaga itu tanpa melukai sutenya, hanya membuat sutenya terpental mundur saja dan paling hebat terjengkang dan terbanting jatuh.
Akan tetapi dia kaget sekali melihat mulut sutenya berkemak-kemik dan gerakan kedua lengan ketika mendorong itu sama sekali berbeda dengan apa yang diajarkan guru mereka. Dia menjadi curiga akan tetapi terlambat dan pada saat itu, dua tenaga sakti yang dahsyat bertemu di udara, di antara mereka.
“Wuuuutttt…… blaaarrr……!!” Tubuh Bun Sam terlempar ke belakang dan dia terbanting roboh dalam keadaan pingsan!
Melihat ini, Kam Ki menghampiri suhengnya untuk memeriksa dan melihat kakak seperguruannya itu benar-benar jatuh pingsan, dia menggosok-gosok kedua telapak tangannya yang berubah merah lalu berdongak dan tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha……!”
Akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan Leng-hong Hoatsu dan suara tawanya itu terhenti seperti dicekik. Timbul rasa takutnya. Kalau Leng-hong Hoatsu sampai mengetahui perbuatannya, dia pasti celaka! Bahkan guru gelapnya sendiri, Hwa Hwa Cinjin, merasa takut kepada Leng-hong Hoatsu dan ketika Hwa Hwa Cinjin mengetahui bahwa Kam Ki adalah murid Leng-hong Hoatsu, dia melarikan diri meninggalkan tempat itu. Hwa Hwa Cinjin takut kalau dituduh merampas murid Leng-hong Hoatsu, maka dia melarikan diri ketakutan. Apalagi dia!
Berpikir demikian, Thio Kam Ki lalu melarikan diri turun dari lereng bukit, tidak berani mengambil pakaiannya yang berada di dalam pondok. Dia berlari cepat dengan hati ngeri seolah mendengar langkah Leng-hong Hoatsu mengejarnya!
Ketika peristiwa itu terjadi, Leng-hong Hoatsu sedang tekun dalam samadhinya. Tiba-tiba ada perasaan tidak enak mengusiknya dan dia lalu membuka matanya dan bangkit berdiri. Tidak terdengar suara dalam pondok kayunya yang cukup besar itu, menandakan bahwa kedua orang muridnya tentu berada di luar pondok. Dia lalu melangkah keluar pondok. Karena dia tahu bahwa biasanya dua orang muridnya itu berlatih silat di kebun sebelum mereka mandi, Leng-hong Hoatsu lalu melangkahkan kakinya menuju kebun.
Tak lama kemudian Leng-hong Hoatsu sudah berjongkok dekat tubuh Bun Sam dan memeriksa keadaan muridnya itu. Bun Sam masih pingsan dan pernapasannya sesak. Leng-hong Hoatsu membuka baju pemuda itu dan dia mengerutkan alisnya dan menggumam.
“Hemm, siapa yang memukulnya dengan Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) yang keji ini?” Karena maklum bahwa nyawa Bun Sam terancam bahaya maut, Leng-hong Hoatsu cepat turun tangan.
Dia duduk bersila menempelkan tangan kirinya ke dada Bun Sam lalu menyalurkan hawa murni ke dalam tubuh muridnya itu. Tenaga sakti Leng-hong Hoatsu sudah mencapai tingkat tinggi sekali, maka dalam waktu beberapa menit saja, warna merah darah di dada Bun Sam menghilang dan kulit dada itu menjadi putih bersih kembali. Bun Sam kini bernapas normal dan tak lama kemudian dia membuka matanya. Leng-hong Hoatsu melepaskan tangannya.
131
Melihat suhunya bersila di dekatnya, Bun Sam cepat bangkit duduk dan berlutut memberi hormat. Dia maklum bahwa suhunya telah menolongnya dan mungkin sekali menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut.
“Suhu……!”
“Bun Sam, apa yang terjadi? Siapa yang memukulmu?” tanya Leng-hong Hoatsu.
Bun Sam menghela napas panjang. Rasanya berat untuk menceritakan pengalamannya karena ceritanya itu pasti akan membuat gurunya menjadi sedih. Dia sendiri menyayang Kam Ki karena sejak kecil mereka berdua hidup bersama Leng Hoat Hoatsu, suka duka dihadapi bersama. Dia sendiri merasa sedih sekali melihat kelakuan Kam Ki dan tidak tahu bagaimana adik seperguruannya yang sudah dianggap sebagai adiknya sendiri itu dapat menguasai ilmu pukulan beracun yang demikian hebatnya dan kejamnya.
Setelah menghela napas beberapa kali dia lalu berkata, “Suhu, harap suhu suka memaafkan sute Thio Kam Ki……”
Leng-hong Hoatsu mengerutkan alisnya yang sudah putih dan memandang wajah Bun Sam penuh selidik, “Hemm, kenapa sutemu? Apa yang telah terjadi? Ceritakanlah, Bun Sam!”
“Teecu (murid) sendiri sampai saat ini masih terheran-heran, suhu. Tadi, sute mengajak teecu untuk latihan bersama. Mula-mula kami berdua berlatih dengan ilmu silat Hwe-coa-sin-kun dan dalam latihan itu, teecu lihat sute memang ada kemajuan, walaupun tidak banyak. Akan tetapi dia kemudian mengajak latihan mengukur tenaga sakti. Sebetulnya teecu hendak menolak, akan tetapi dia telah melakukan serangan pukulan jarak jauh kepada teecu. Terpaksa teecu menyambutnya dan teecu membatasi tenaga teecu agar dia tidak sampai terluka. Akan tetapi teecu melihat gerakan kedua tangannya berbeda dengan gerakan yang suhu ajarkan, dan dari kedua telapak tangan itu menyambar sinar merah yang aneh. Teecu merasa betapa ada kekuatan dahsyat mendorong teecu, membuat teecu terpental ke belakang dengan dada terasa nyeri dan teecu tidak ingat apa-apa lagi.”
“Hemm, kalau engkau menggunakan seluruh tenagamu, belum tentu engkau yang terluka, mungkin dia sendiri yang terluka oleh tenaganya yang membalik. Akan tetapi aneh, bagaimana Kam Ki dapat memiliki Ang-tok-ciang seperti itu……?”
“Ang-tok-ciang, suhu?”
Leng Hoat Hoatsu mengangguk. “Benar, pukulan ini adalah Ang-tok-ciang, satu di antara ilmu pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga sihir. Hemm, di mana sekarang Kam Ki?”
“Teecu tidak tahu, suhu. Mungkin dia telah kembali ke pondok.”
“Panggil dia, Bun Sam. Aku harus bicara dengannya, kutunggu di ruangan depan!”
Bun Sam lalu mencari-cari. Akan tetapi dia tidak menemukan sutenya. Bahkan ketika dia mencari di kamar sutenya, kamar itupun kosong. Dia keluar dari pondok, memanggil-manggil, namun tidak ada jawaban. Akhirnya Bun Sam menduga bahwa besar kemungkinannya sutenya itu telah pergi, mungkin takut setelah merobohkannya. Maka dia lalu menghadap Leng-hong Hoatsu di ruangan depan dan melaporkan bahwa sutenya tidak ada.
132
“Hemm, kita tunggu sampai satu dua hari. Kalau dia tidak pulang, berarti dia telah melarikan diri,” kata Leng-hong Hoatsu dan dia merasa menyesal bukan main telah menerima anak itu menjadi muridnya. Memang sejak dulu dia sudah merasa bahwa Kam Ki memiliki watak dasar yang lemah dan anak itu akan mudah dikuasai oleh nafsu-nafsu daya rendah. Akan tetapi dia sama sekali tidak mengira anak itu berani mempelajari ilmu sesat, entah dari siapa, bahkan menggunakan ilmu itu untuk memukul Bun Sam yang menyayangnya seperti adik sendiri sehingga hampir saja Bun Sam tewas!
Setelah ditunggu sampai dua hari dan Kam Ki belum juga pulang, tahulah Leng-hong Hoatsu dan Bun Sam bahwa Kam Ki benar-benar telah minggat dan tidak akan pulang lagi. Leng-hong Hoatsu memanggil Bun Sam.
“Bun Sam, sekarang sudah tiba saatnya bagimu untuk turun gunung dan mengamalkan semua ilmu yang kaupelajari selama ini di sini.”
“Maaf, suhu. Rasanya teecu tidak tega meninggalkan suhu seorang diri di sini. Apalagi sekarang sute Kam Ki juga telah pergi. Perkenankan teecu menemani suhu di sini dan melayani suhu yang sudah berusia lanjut.”
“Bun Sam, apakah engkau lupa berapa usiamu sekarang? Engkau sudah berusia kurang lebih duapuluh empat tahun! Engkau bukan anak-anak lagi dan engkau telah mempelajari banyak ilmu. Semua ilmu tidak akan ada artinya kalau tidak kau amalkan. Semua jerih payahmu mempelajarinya selama bertahun-tahun akan terbuang percuma saja. Tidak perlu mengkhawatirkan diriku, Bun Sam. Aku adalah sebagian dari alam ini. Bagaimana aku dapat hidup sendiri? Aku tidak sendiri di dunia ini dan aku sudah biasa hidup tanpa bantuan orang lain. Tumbuh-tumbuhan di pengunungan ini akan mencukupi semua kebutuhan hidupku. Nah, aku minta agar engkau meninggalkan gunung, terjun ke dunia ramai mengamalkan semua ilmumu untuk kepentingan orang banyak. Untuk membela yang lemah tertindas dan menentang yang kuat sewenang-wenang, membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan.”
Biarpun hatinya merasa sedih dan terharu karena harus meninggalkan gurunya yang merupakan segala-galanya bagi Bun Sam. Kakek itu menjadi pengganti orang tuanya, gurunya, juga sahabatnya. Akan tetapi mendengar ucapan gurunya yang panjang lebar itu, dia tidak berani membantah.
“Baik, suhu. Teecu akan menaati semua perintah suhu!” katanya dengan suara tegas setelah berhasil menekan keharuan dan kesedihannya.
“Ada sebuah tugas lagi yang penting. Engkau harus mencari Kam Ki dan usahakan agar dia tidak terseret ke dalam kesesatan. Kalau dia tidak dapat dibujuk dan ternyata menjadi orang tersesat, terpengaruh ilmu-ilmu sesat yang entah dia pelajari dari mana itu, maka engkau harus mencegahnya melakukan perbuatan jahat. Kalau perlu lenyapkan semua ilmunya agar dia menjadi orang lemah yang tidak dapat mengganggu orang lain.”
“Akan tetapi, suhu.......” Bun Sam merasa sangsi apakah dia akan mampu melakukan hal itu. Dia amat sayang kepada sutenya yang telah dia anggap sebagai adik sendiri itu.
“Bun Sam, ingat. Tugasmu adalah menentang yang jahat. Tidak perduli siapa orangnya, bahkan keluarganya sendiri sekalipun, kalau jahat, harus engkau bujuk dan sadarkan, dan kalau bujukan tidak berhasil menyadarkannya, harus kau tentang. Sebaliknya, kalau ada orang tak bersalah tertindas,
133
siapapun dia itu, harus kaubela. Dalam membela kebenaran dan keadilan, dan menentang kejahatan, engkau sama sekali tidak boleh pilih kasih. Terkadang pilih kasih ini membuat orang kehilangan rasa keadilannya. Karena itu, menghadapi Kam Ki, engkau tidak boleh terpengaruh perasaan pilih kasih itu!”
Bun Sam mengangguk-angguk. “Betapa pun beratnya, suhu, teecu akan menaati dan selalu ingat akan perintah suhu.”
“Bagus, sekarang berkemaslah dan berangkatlah hari ini juga.”
Bun Sam berkemas, membawa pakaian dalam sebuah buntalan kain kuning, lalu berlutut memberi hormat dan pamit kepada suhunya. Kemudian dia turun dari bukit itu dan melakukan perjalanan menuju ke timur.
Ketika menuruni lereng bukit itu, Bun Sam merasa dirinya seolah menjadi seekor burung yang terbang melayang seorang diri dengan bebasnya. Dua macam perasaan teraduk di hatinya. Sedih dan girang. Dia bersedih memikirkan gurunya yang dia tinggalkan, gurunya yang sudah tua dan membutuhkan pelayanan. Akan tetapi diapun girang karena dia merasa bebas memasuki kehidupan baru di dunia ramai.
Pemuda itu menuruni bukit terakhir dari Pegunungan Himalaya yang panjang. Usianya sekitar duapuluh dua tahun, tubuhnya tegap dan wajahnya tampan. Semua orang akan tertarik kalau bertemu dengannya. Wajah tampan itu selalu tersenyum ramah dan matanya tajam bersinar-sinar. Dia adalah Thio Kam Ki yang sejak kecil sekali telah dipelihara dan dididik oleh Leng-hong Hoatsu. Hatinya masih gembira sekali mengenang betapa dengan sekali serang saja menggunakan Ang-tok-ciang yang dipelajarinya dari Hwa Hwa Cinjin, dia mampu merobohkan Sie Bun Sam, suhengnya yang sejak kecil selalu mengunggulinya dalam segala hal.
Sekarang dia bebas, dapat melakukan apa saja yang dikendakinya, sesuka hatinya. Biasanya, di pondok Leng-hong Hoatsu, dia merasa seperti dikekang dan diikat oleh segala macam peraturan. Begini tidak boleh, begitu dilarang. Apalagi suhengnya, Bun Sam itu. Seringkali mengomelinya, menasihatinya sampai dia merasa bosan.
Hanya satu hal yang dibutuhkannya saat ini, ialah pakaian pengganti dan bekal uang. Dia meninggalkan pondok suhunya tanpa membawa apa-apa. Semua pakaian dia tingalkan karena dia takut kalau-kalau perbuatannya memukul roboh suhengnya akan ketahuan suhunya. Akan tetapi itu adalah soal kecil. Di mana-mana tersedia pakaian dan segala kebutuhannya! Tinggal ambil saja! Mau uang? Pakaian? Bahkan teman wanita yang cantik?
“Ha-ha-ha, tinggal ambil, tinggal pilih!” Kam Ki tertawa sendiri sambil berlari cepat, membayangkan segala macam keindahan, segala macam keenakan dan kenikmatan, seolah melihat semua yang serba menyenangkan itu seperti buah-buahan yang bergantungan di depan matanya, tinggal mengulur tangan memetik dan menikmatinya!
Ketika dia tiba di sebuah pedusunan yang agak besar, dusun besar pertama yang ditemuinya semenjak dia turun gunung, dia melihat sebuah rumah besar, yang terbesar dan terindah di antara semua rumah di dusun itu. Ketika mendengar bahwa rumah itu adalah tempat tinggal kepala dusun yang kaya, Kam Ki menjadi girang sekali. Di rumah inilah tersedia kebutuhanku, pikirnya. Pada saat itu yang amat dibutuhkan adalah uang karena dengan uang dia akan dapat membeli segala kebutuhannya. Terutama
134
sekali yang terpenting pakaian karena dia tidak mempunyai pengganti sepotongpun pakaian. Lalu makanan enak dan lain-lain.
Malam itu, dengan mudah saja dia memasuki rumah kepala dusun itu melalui atap dan setelah mencari-cari, akhirnya dia menemukan cukup banyak uang perak dan emas dalam sebuah almari. Dia mengambil sekantung uang perak dan emas, lalu meninggalkan rumah itu tanpa suara sehingga tidak ada penghuni rumah yang mengetahui bahwa rumah itu kecurian banyak uang. Barulah pada keesokan harinya, tuan rumah terkejut karena sekantung perak dan emas lenyap tanpa meninggalkan jejak. Pintu jendela masih utuh dan tertutup rapat, maka gegerlah seisi rumah. Tentu saja hanya ada dua tersangka yang dapat mencuri sekantung uang itu, yaitu pelayan atau setan!
Kalau seisi rumah kepala dusun ribut dan panik, Kam Ki dengan santai membelanjakan uangnya, membeli beberapa stel pakaian dan makan sekenyangnya di warung makan. Hari itu juga dia melanjutkan perjalanan ke timur dengan menunggang kuda, seekor kuda yang dibelinya di dusun itu, berikut pelananya. Sejak kecil dia tidak pernah menunggang kuda, akan tetapi karena dia seorang ahli silat yang bertubuh kuat, maka sebentar saja dia sudah menguasai kudanya dan berani membalapkan kudanya di sepanjang jalan raya yang kasar.
Hari ini panas sekali. Matahari memancarkan cahayanya tanpa terhalang awan. Panasnya menyengat kulit dan jalan itu menjadi kering berdebu. Kam Ki ingin berhenti mengaso, selain untuk berlindung dari terik matahari di bawah pohon rindang, juga dia ingin memberi kesempatan kepada kudanya untuk mengaso. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat di depan sana gerakan beberapa orang yang agaknya sedang berkelahi. Maka dibalapkannya kudanya ke depan.
Setelah dekat dia melihat seorang wanita cantik jelita sedang berkelahi dikeroyok oleh tiga orang laki-laki yang berusia antara tigapuluh sampai enampuluh tahun. Wanita itu memiliki gerakan yang cepat sekali, memainkan sebatang pedang. Senjata ini digerakkan sedemikian cepatnya sehingga membentuk gulungan sinar putih.
Namun, ketika Kam Ki melompat turun dari kuda, membiarkan kudanya makan rumput di tepi jalan, dia melihat betapa wanita itu terdesak hebat oleh tiga orang pengeroyoknya. Tiga orang laki-laki itu masing-masing memainkan sepasang golok sehingga wanita itu seolah dikeroyok oleh enam batang golok! Dan gerakan tiga orang pengeroyok itu, walaupun tidak secepat gerakan pedang wanita, namun karena mereka maju bertiga, tetap saja wanita itu menjadi repot melindungi dirinya dari sambaran enam batang golok yang bertubi-tubi!
Melihat ini, Kam Ki tidak tahu siapa yang baik dan siapa yang jahat diantara mereka, akan tetapi karena melihat betapa wanita itu masih muda, tampaknya tidak lebih dari duapuluh tahun usianya dan cantik bukan main dan ia berada dalam keadaan terdesak, maka otomatis hati Kam Ki condong membela wanita itu. Maka, dia lalu membungkuk dan mengambil dua butir batu kerikil.
Menurut penglihatannya, ilmu silat tiga orang itu biasa-biasa saja dan baginya masih rendah, maka dia lalu menyambit dengan dua buah kerikil ke arah dua orang di antara mereka. Tampak dua sinar hitam menyambar dan dua orang pengeroyok itu berteriak mengaduh dan terpelanting roboh tak mampu bergerak lagi karena benturan kerikil itu telah menotok jalan darah mereka sehingga mereka tidak mampu menggerakkan kaki dan tangan mereka.
135
Wanita cantik itu ketika melihat dua orang lawannya roboh, lalu mengeluarkan teriakan melengking, “Hyaaaaatttt……!” Pedangnya menyambar dengan gerakan melengkung dan robohlah lawan ketiga dengan leher terluka dalam. Wanita itu tidak berhenti sampai di situ saja. Ia melompat ke depan, dua kali pedangnya berkelebat dan dua orang yang tadi roboh tertotok sambaran kerikil, juga dibacok lehernya. Darah membanjir dan tiga orang itu tewas seketika! Barulah wanita itu memeriksa pedangnya. Tidak ada darah sedikitpun mengotori pedangnya. Hal ini menunjukkan betapa cepatnya pedang itu tadi membacok leher sehingga tidak sampai ternoda darah. Lalu ia menyarungkan pedangnya di belakang punggung, dan ia memutar tubuh untuk memandang orang yang telah membantunya.
Mereka berhadapan dalam jarak empat meter dan kedua pihak terpesona! Kam Ki terpesona karena setelah wanita itu tidak bergerak, baru tampak jelas olehnya betapa cantiknya wajah itu, betapa putih mulusnya kulit yang tampak di leher itu. Putih mulus kemerahan, dengan bentuk tubuh menggairahkan, pinggang ramping, pinggul dan dada menonjol dan lekuk lengkung tubuhnya indah menggairahkan. Sepasang mata itu bersinar seperti bintang dan bibir yang merah basah itu sedikit terbuka, setengah tersenyum menantang, membuat jantung dalam dada Kam Ki berdebar tegang.
Namun kekejaman wanita itu yang membunuh pula dua orang lawan yang sudah roboh tertotok, membuat pemuda itu penasaran. Biarpun hatinya sudah mulai menyeleweng meninggalkan kebenaran setelah dia berguru kepada Hwa Hwa Cinjin, namun belum pernah Kam Ki melakukan pembunuhan, apalagi dengan cara kejam seperti itu. Bagaimanapun juga, sejak kecil dia menjadi murid Leng-hong Hoatsu yang mengajarkan kebenaran. Maka menyaksikan wanita itu membunuhi orang secara kejam, hatinya merasa penasaran dan agak menolak. Akan tetapi di lain pihak, rasanya tidak bisa dia kalau harus marah dan berkata-kata kasar terhadap seorang wanita yang demikian cantik jelitanya!
“Nona, kenapa engkau membunuh mereka? Kenapa?”
Wanita itu juga memandang kepada pemuda tampan itu dengan mata penuh kagum dan bibirnya kini merekah, senyumnya melebar. Wanita itu menggunakan tangan kiri untuk menyentuh setangkai bunga berwarna putih yang menghias rambut kepalanya sebelah kiri seolah hendak melihat apakah hiasan rambut itu masih berada di tempatnya. Pakaiannya yang terbuat dari sutera berwarna putih itu indah sekali, melekat ketat pada tubuhnya karena pakaian dari sutera itu potongannya memang ketat mencetak bentuk tubuhnya.
Ia adalah seorang tokoh besar di kalangan kang-ouw, berjuluk Pek-hwa Sianli (Bidadari Bunga Putih) karena ia selalu memakai hiasan rambut kembang putih. Biarpun dia dijuluki Sian-li atau Bidadari, agaknya itu hanya untuk menyatakan kekaguman orang akan wajahnya yang cantik jelita seperti bidadari, juga bentuk tubuhnya yang aduhai! Akan tetapi sesungguhnya wanita yang sudah berusia tigapuluh tahun lebih namun masih tampak seperti baru berusia duapuluh tahun ini terkenal sebagai datuk wanita yang amat kejam dan jahat. Ia adalah seorang iblis betina yang cabul.
Tiga orang itu adalah Siang-to Sam-hengte (Tiga Bersaudara Sepasang Golok), tiga orang pendekar yang suka menentang kejahatan mengandalkan ilmu sepasang golok mereka. Ketika mereka mendengar bahwa Pek-hwa Sianli mengganggu sebuah dusun, menculik pemuda dan kalau sudah bosan lalu membunuh pemuda itu, tiga orang pendekar itu ialu mencari dan menyerangnya. Kalau saja Kam Ki tidak kebetulan lewat dan membantu wanita itu, tentu Pek-hwa Sianli akan tewas oleh pengeroyokan mereka bertiga.
136
Mendengar pertanyaan Kam Ki, Pek-hwa Sianli tersenyum dan matanya memandang penuh daya tarik. “Aih, taihiap (pendekar besar), apakah engkau lebih senang melihat aku yang mereka bunuh?”
Tentu saja Kam Ki gelagapan mendengar jawaban yang berbalik menjadi pertanyaan itu. Dia menggeleng kepalanya. “Tentu saja tidak, nona. Akan tetapi, mengapa engkau berkelahi dengan mereka dan apakah kesalahan mereka maka engkau membunuh mereka?”
“Jawabannya adalah pertanyaan itu tadi, taihiap yang gagah perkasa. Mereka menyerangku dan hendak membunuhku, karena itulah maka aku harus membunuh mereka karena aku tidak ingin mereka yang membunuhku. Dalam perkelahian mati-matian hanya ada dua pilihan, bukan? Dibunuh atau membunuh, dan kalau engkau yang menjadi aku, engkau pilih dibunuh atau membunuh?”
Mau tidak mau Kam Ki tersenyum. Cara wanita itu bicara, sungguh menarik hati sekali. Bibirnya yang indah manis itu bergerak-gerak menantang! Suaranya juga merdu dan kata-katanya seolah tidak dapat dibantah kebenarannya.
“Tentu saja aku tidak memilih dibunuh!” jawabnya sejujurnya. “Akan tetapi kenapa mereka itu mengeroyokmu dan hendak membunuhmu? Apakah kesalahanmu, nona?”
“Kesalahanku? Aihh, aku tidak melakukan sesuatu yang salah terhadap mereka. Kalau mau dicari kesalahanku, mungkin kesalahanku terletak pada wajah dan tubuhku!”
Setelah berkata begitu, Pek-hwa Sianli mengerlingkan matanya dengan gaya yang menarik sekali. Akan tetapi, pada waktu itu Kam Ki adalah seorang perjaka yang belum pernah bergaul dekat dengan wanita, maka dia belum dapat menangkap apa yang tersirat dalam gerak dan gaya memikat itu.
“Wajah dan tubuhmu? Kenapa? Aku tidak melihat sesuatu yang salah dengan wajah dan tubuhmu, nona. Apa maksud kata-katamu itu?”
“Aihh, benarkah itu, taihiap? Kau tidak melihat sesuatu yang salah dengan wajah dan tubuhku? Kalau menurut penilaianmu, bagaimana dengan wajah dan tubuhku, taihiap?” Pertanyaan itu disertai gaya menggoda yang memikat dengan gerakan pundak dan dadanya, disertai bibir bawah yang mencebil dan kedipan mata kiri yang penuh arti.
Kam Ki yang sama sekali belum berpengalaman itu hanya tertegun karena terpesona oleh semua kecantikan yang memiliki daya tarik amat kuat itu dan dia menjawab gagap. “Wajah dan tubuhmu……? Ahh....... aku....... aku tidak tahu, wajahmu cantik jelita dan tubuhmu indah.......”
Pek-hwa Sianli tertawa geli sambil menutupi mulutnya. Dari sikap pemuda itu tahulah ia bahwa pemuda yang berilmu tinggi ini sama sekali belum berpengalaman, tentu masih perjaka tulen dan hal ini membuat hatinya seperti terbakar oleh gairah berahi. Pemuda-pemuda perjaka yang pernah ia dapatkan hanyalah orang-orang lemah. Belum pernah ia mendapatkan seorang pemuda perjaka yang memiliki kepandaian tinggi seperti pemuda yang telah menyelamatkan nyawanya ini.
“Terima kasih atas pujianmu, taihiap. Engkau sendiri, menurut penglihatanku, engkau seorang pemuda yang gagah perkasa dan ganteng, tampan bukan main.”
137
Wajah Kam Ki berubah merah. “Eh…… aku…… aku masih ingin mengetahui apa kesalahanmu terhadap mereka bertiga itu sehingga mereka mengeroyok dan hendak membunuhmu, nona.”
“Apakah engkau tidak dapat menduga apa yang hendak mereka lakukan setelah mereka melihat kecantikan wajahku dan keindahan tubuhku? Aih, engkau seperti bukan laki-laki saja, taihiap. Mereka bertiga itu tergila-gila kepadaku dan mereka menginginkan tubuhku, mereka ingin memiliki aku. Akan tetapi, huh, tubuhku yang indah ini tidak akan mudah begitu saja kuserahkan kepada sembarang laki-laki yang tidak kucinta! Karena aku menolak mereka, maka mereka menjadi marah dan hendak membunuh aku. Aku melawan mereka. Bagiku, daripada menyerahkan tubuhku ini kepada mereka, lebih baik aku melawan sampai mati. Untung engkau muncul dan engkau merobohkan dua orang dari mereka dengan sambitan kerikil. Taihiap, engkau yang masih begini muda sudah memiliki kepandaian yang begini tinggi, engkau telah menyelamatkan aku dari ancaman maut. Engkau adalah dewa penolongku. Taihiap, bolehkah aku mengetahui siapa nama besarmu?”
Keterangan panjang lebar dari wanita itu tidak sepenuhnya dapat dia mengerti, walaupun dapat dia rasakan. Biarpun dia belum mengalami, namun dia mengerti apa maksud wanita itu ketika mengatakan bahwa tiga orang laki-laki itu ingin memiliki wajahnya yang cantik dan tubuhnya yang indah itu. Timbul rasa cemburu dan bencinya ketika dia mengetahui bahwa tiga orang itu hendak memaksakan kehendak mereka, yaitu memiliki tubuh wanita yang menggairahkan ini.
“Hemm, kalau begitu pantas mereka dibunuh!” katanya penuh geram.
Mendengar ini, Pek-hwa Sianli lalu maju menghampiri Kam Ki dan memegang kedua tangan pemuda itu, menggenggamnya erat-erat.
“Ah, taihiap, engkau benar-benar memihakku? Syukurlah, taihiap, aku senang sekali, aku berterima kasih sekali padamu, untuk pertolonganmu dan untuk pengertianmu! Akan tetapi engkau belum memperkenalkan namamu.”
Gemetar kedua tangan Kam Ki ketika dipegang oleh sepasang tangan yang berkulit lunak, halus dan hangat itu. Juga hidungnya mencium keharuman bunga yang semerbak keluar dari rambut dan tubuh wanita itu.
“Aku…… namaku…… Thio Kam Ki. Dan engkau siapakah, nona?” suara Kam Ki juga agak gemetar karena jantungnya berdebar keras. Belum pernah dia berdekatan dengan wanita yang begini cantiknya, apalagi dipegang kedua tangannya.
“Thio Kam Ki? Thio Kam Ki alangkah gagah namamu, Thio-taihiap!” Pek-hwa Sianli memuji. “Dan engkau masih begini muda…… ah, begini muda, seorang perjaka murni……”
Kam Ki kini sudah dapat menenangkan hatinya dan dia menganggap wanita cantik ini lucu sekali. “Ah, nona, usiaku sudah duapuluh dua tahun bukan muda lagi.”
“Duapuluh dua tahun, aih muda belia yang gagah perkasa!” wanita itu berkata lembut, suaranya seperti membelai perasaan hati Kam Ki.
Kam Ki merasa senang, akan tetapi juga geli. “Nona, engkau bicara seolah engkau sudah nenek-nenek, padahal engkau masih remaja, jauh lebih muda dibanding aku.”
138
Wajah wanita itu berseri, matanya bersinar-sinar dan mulutnya terbuka dalam senyum, sehingga tampak deretan giginya yang putih berjejer rapi, rongga mulut yang kemerahan.
“Aihh, Thio-taihiap (pendekar besar Thio), kaukira berapa usiaku?”
“Hemm, paling banyak sembilan belas tahun. Engkau jauh lebih muda daripada aku, nona.”
Wanita itu memandang kepada Kam Ki dengan wajah terbelalak dan tampak girang bukan main. Wanita mana yang tidak akan senang kalau usianya disangka jauh lebih muda daripada yang sebenarnya? Dia sudah berusia tigapuluh tahun, dan disangka baru sembilan belas tahun!
“Aduh! Luar biasa……, luar biasa……, luar biasa sekali, engkau begitu pandai menebak usiaku, twako. Aku boleh menyebutmu Thio-twako (kakak Thio), bu-kan?”
“Tentu saja boleh,” kata Kam Ki yang mulai dapat menguasai debaran jantung-nya dan kini merasa gembira sekali mendapatkan seorang teman yang begini cantik dan menarik, juga ramah sekali. “Akan tetapi, aku belum mengetahui namamu.”
“Namaku, twako? Orang-orang menyebut aku Pek-hwa Sianli.”
“Pek-hwa Sianli (Dewi Bunga Putih)? Ah, tentu saja karena engkau memakai hiasan rambut setangkai bunga putih dan engkau juga cantik jelita seperti seorang dewi!” Kata Kam Ki, “akan tetapi kalau engkau menyebut aku Thio-twako, lalu aku harus menyebutmu bagaimana?”
“Sebut saja aku Pek-hwa.”
“Pek Hwa-moi (adik Hwa), ya, aku akan menyebut engkau Hwa-moi.”
“Aku, senang sekali, twako. Akan tetapi bicara di sini tidak enak,” kata Pek-hwa Sianli sambil menuding ke arah mayat tiga orang tadi. “Mari, twako, kuundang engkau singgah di rumahku.”
Kam Ki merasa gembira sekali. Memang dia ingin mengenal gadis jelita ini lebih baik. “Akan tetapi, orang tuamu......” katanya agak ragu.
“Heh-heh, aku tidak mempunyai orang tua lagi, twako. Aku tinggal seorang diri saja, bersama dua orang adik perempuanku, akan tetapi saat ini kedua orang adikku itu sedang melakukan perjalanan jauh. Hanya ada dua orang pelayan yang menemaniku di rumah. Marilah, Thio-twako.”
“Baik, Hwa-moi, akan tetapi aku tadi menunggang kuda.” Dia menengok dan melihat kudanya masih makan rumput. “Di manakah rumahmu?”
“Itu di sana, di lereng bukit.” Pek-hwa Sianli menuding ke arah sebuah bukit kecil di selatan.
“Wah, cukup jauh kalau jalan kaki, Hwa-moi.”
“Bukankah engkau mempunyai kuda? Kita dapat berboncengan naik kuda. Ku-lihat kudamu itu cukup besar dan kuat,” kata Pek-hwa Sianli dan suaranya sama sekali tidak mengandung keraguan.
139
Kam Ki yang menjadi merah mukanya. Tak dapat dia membayangkan naik kuda berboncengan dengan seorang wanita!
“Boncengan naik kuda?” tanyanya ragu.
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru